BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis multidimensi yang meliputi ekonomi, sosial, dan budaya telah menghantui bangsa
ini sedemikian rupa. Aparat negara tidak bisa selalu diandalkan mengingat meningkatnya krisis
kepercayaan publik terhadapnya. Tidak sulit untuk melihat bagaimana korupsi, suap, dan
kekerasan dilakukan dengan berlindung pada institusi hukum. Sama halnya dengan konflik antar
umat beragama yang dipicu oleh ketidaktegasan dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah.
Dorongan untuk mengatasi itu terus dilakukan oleh masyarakat sipil dengan hasil yang minim.
Kali ini krisis yang terjadi memerlukan alat analisis dan cara penanganan yang lebih maju.
Namun, terkadang bukan ditangan negara atau pemerintah suatu permasalahan dapat
terselesaikan, melainkan gagasan-gagasan yang muncul dari masyarakat dapat memberikan
jalan keluar yang lebih nyata.
Melihat fenomena tersebut kemudian muncul berbagai kelompok pegiat dan aktivis yang
peduli terhadap isu-isu sosial. Misalnya, seorang aktivis perempuan melakukan perlawanan
dengan segenap kekuatannya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang termarjinalisasi.
Begitu pula dengan aktivis buruh dalam memperjuangkan hak-hak buruh yang harus terpenuhi
dengan serangkain tuntutan yang ditujukan kepada pemerintah dan pemilik modal. Selain itu, isu
perjuangan aktivis buruh semasa orde baru tidak hanya semata masalah kenaikan upah, meliputi
pula perjuangan hak sipil politik atas eksistensi organisasi mereka. Rezim orde baru dikenal
1
sangat represif atas eksistensi organisasi serikat buruh. Aksi mereka sering dimaknai sebagai
tindakan subversif melawan negara ketimbang dimaknai sebagai realitas politik demokratis. 1
Selain itu, aktivisme bagi seorang mahasiswa adalah suatu panggilan moral yang jika
tidak diarahkan dan disalurkan menjadi aktivis, mahasiswa tersebut akan sulit memahami
perannya sebagai agen perubahan. Menjadi seorang aktivis bukan perkara mudah, mahasiswa
membutuhkan serangkaian ide dan pemikiran yang mengusung kepada perbaikan baik secara
individu, kelompok maupun organisasi sebagai wadah pergerakan yang mempunyai pedoman
yang jelas. Namun, seorang aktivis harus memiliki gagasan yang terus berkembang. Jika tidak
peran seorang aktivis dalam organisasi akan sulit menelaah isu-isu yang semakin berkembang
sehingga pada akhirnya sulit untuk memperjuangkan isu yang coba diperjuangkan. Hal yang
menjadi pertanyaan kemudian, apakah aktivis tersebut memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi
aktivis? Apakah seorang aktivis memiliki kemampuan untuk mengadvokasi dan melakukan lobi
politik ketika mendampingi masyarakat yang sedang menghadapi penindasan. Para aktivis muda
dewasa ini memiliki tantangan yang jauh berbeda dengan kaum muda pada umumnya terutama
para aktivis beberapa tahun silam. Pola-pola pergerakan, semangat juang, bisa menjadi referensi.
Namun, aktivis muda beberapa dekade terakhir ini kurang mendalami dan memahmi beragam isu
dan konflik yang harus dihadapi.
Berangkat dari serangkaian pertanyaan tersebut peran Civil Society Organization (CSO)
sebagai wadah untuk pemberdayaan aktivis muda agar dapat berkembang dan progresif menjadi
sarana alternatif untuk pendidikan. Civil Society Organization (CSO) merupakan salah satu
pencapaian modernisasi sekaligus ethical life yang menjadi penghubung antara masyarakat
1
Dalam jurnal Melacak Perkembangan Isu Pergerakan Buruh di Indonesia Pasca Reformasi. Muhammad Zuhdan.
http://islambergerak.com/2014/05/perjuangan-gerakan-buruh-tidak-sekedar-upah/.
2
dengan negara. CSO mempu melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh negara ,
misalnya seperti pendidikan gerakan sosial untuk menguatkan pemikiran kritis masyarakat sipil.
Negara tidak memiliki andil yang cukup besar untuk melakukan pemberdayaan pada aktivis
muda. Aktivis muda hanya ada dan tumbuh secara naluriah ketika melihat kekacauan sosial,
ekonomi, politik dan lain-lain. Agar aktivis muda memiliki nilai dan peran sesuangguhnya maka
dari itu muncullah pemberdayaan aktivis muda yang dilakukan oleh CSO.
CSO yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah Social Movement Institute (SMI). SMI
merupakan organisasi yang berjuang mengadvokasi dan memberdayakan masyarakat kelas
bawah seperti buruh, tani, nelayan dan relijius marjinal. Dalam rangka memberdayakan tersebut
SMI menggandeng bermacam-macam kalangan aktivis muda untuk dapat berpartisipasi dalam
serangkaian agenda yang dilakukan SMI, terutama aktivis muda yang menginginkan
pengetahuan dan pendidikan alternatif. SMI mulai melahirkan tradisi belajar yang fokus pada
gagasan dan persoalan pendidikan yang meletakkan persoalan bukan sebagai masalah teknis,
melainkan masalah yang membutuhkan keterlibatan penuh untuk mengatasinya. Pendidikan yang
mendorong orang untuk terlibat, bergerak dan ingin mengubahnya. Langkah pemberdayaan
merupakan langkah yang tepat organisasi SMI dapat melahirkan aktivis muda yang tidak hanya
sebagai aktivis dadakan tetapi lebih pada memiliki elemen pendidikan yang kritis. Sama halnya
dengan pemikiran Ife terkait dengan pemberdayaan 2
“Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual
to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and
use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding
how to ‘work the system,’ and so on”.
2
Agus purbathin hadi.Konsep Pemberdayaan, Partisipan, dan Kelembagaan dalam Pembangunan.
suniscome.50webs.com/32%20Konsep%20Pemberdayaan%20Partisipasi.
3
Tujuan penulisan skripsi ini hendak memberikan penjelasan mengenai strategi
pemberdayaan aktivis muda yang dilakukan oleh organisasi SMI melalui pelatihan-pelatihan
pendidikan politik. Sehingga menghasilkan produksi pengetahuan yang secara umum berupa
diskusi gerakan. Dimana para peserta pemberdayaan aktivis muda tersebut mendapatkan
pengetahuan kritis melalui metode gerakan sosial dan berbagi pengetahuan dengan melihat
realitas sosial dan politik yang sedang terjadi. Sekolah politik dan hukum progresif merupakan
basis utama dalam pemberdayaan aktivis muda untuk memahami teori dan praktik gerakan.
Gagasan sekolah tersebut mengkombinasikan pengetahuan hukum dan politik yang selama ini
hanya menjadi tesis umum. Sekolah ini mencoba menerobos spesialisasi yang selalu jadi
identitas kampus. Singkatnya memadukan pengetahuan sosial dalam kerangka perubahan sosial.
Lantas yang menjadi menarik dari penelitian ini adalah banyak sumbangsih pengetahuan
baru mengenai pemberdayaan aktivis muda. Di kala CSO lain sibuk dengan isunya masingmasing dan kurang memberikan pemberdayaan pada aktivis muda, SMI mencoba memberikan
bekal terhadap aktivis muda agar dapat memperoleh ilmu politik, hukum dan sosial terkait
dengan pergerakan seorang aktivis. Alasan mendasar mengapa aktivis muda perlu diprioritaskan
adalah karena seseorang yang memutuskan memilih menjadi aktivis tentunya memiliki keahlian
tertentu dalam pergerakannya dan mereka memiliki keprihatinan yang menjadi alasan untuk
mereka bertindak (keprihatinan akan HAM, penindasan kaum buruh, politik, petani dan lainlain).
Dilihat dari perspektif politik, para kaum muda atau aktivis muda memiliki karakter
pemikiran politik dinamis, responsif, dan memiliki sensitivitas yang kuat setiap fase perubahan
politik. Proses pembelajaran dan pengalaman berinteraksi dengan kehidupan politik yang telah,
sedang, dan akan dialami oleh kaum muda di sini bisa melahirkan daya dorong perubahan politik
4
dengan dikelola secara maksimal sehingga yang diharapkan dari aktivis muda dapat memiliki
kemampuan dalam melakukan tindakan. 3 Studi ini fokus pada kajian tentang organisasi SMI
melakukan pemberdayaan pada aktivis muda di Yogyakarta. Hal itu disebabkan Yogyakarta
merupakan kota besar yang berbasis pendidikan dan multikulturalisme. Banyak penduduk
Yogyakarta yang berasal dari luar daerah untuk menuntut ilmu. Faktor keberagaman
masyarakatnya dan program-program kegiatan yang membuat organisasi ini dapat berkembang
cepat dengan berbagai macam isu yang sudah diusung.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Organisasi Social Movement Institute (SMI) dalam melakukan strategi
pemberdayaan aktivis muda di Yogyakarta pada tahun 2013-2014?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, tujuan penelitian ini antara lain:
1. Untuk menjelaskan strategi SMI melakukan pemberdayaan kepada aktivis muda di
Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui sejauh mana produksi pengetahuan gerakan sosial tersebut dapat
diaplikasikan.
3
Muhammad Umar Syadat, Revolusi Politik Kaum Muda, Jakarta,2008,hal.3
5
D. Literature Review
Dalam konteks Indonesia, ada beberapa penelitian yang menjelaskan mengenai
pemberdayaan yang dilakukan oleh Civil Society Organization. Namun, jenis pemberdayaan
tersebut berbeda-beda fokusnya, meskipun memiliki kesamaan dalam hal memberikan strategi
pemberdayaan. Misalnya saja skripsi karya Novita Erna dalam “Pemberdayaan Perempuan
Korban Kekerasan Berbasis Feminis oleh “Sahabat Perempuan” di Kabupaten Magelang” 4 .
Skripsi tersebut secara garis besar menjelaskan pemberdayaan perempuan korban kekerasan
berbasis feminis yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “Sahabat
Perempuan”. Strategi yang dilakukan LSM tersebut dengan melibatkan aktivis perempuan
pemula atau muda untuk dapat melakukan pemberdayaan pada perempuan korban kekerasan.
Hasil dari penelitian berupa strategi yang dapat diaplikasikan pada korban kekerasan perempuan
dan pada aktivis muda perempuan agar dapat semakin kritis dalam menghadapi isu-isu terkait
dengan perempuan.
Kemudian karya Aryos Nivada dalam “Potret Demokrasi: Studi Kasus Peran CSO dalam
Memperkuat Demokrasi di Nagan Raya”. 5 Penelitian tersebut menjelaskan mengenai potret
demokrasi di Nagan Raya, terutama dalam konteks pelaksanaan demokrasi di Nagan Raya.
Tingginya potensi sumber daya alam dan keinginan mewujudkan pemerataan pembangunan serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat telah mendorong wilayah ini untuk memekarkan diri
dari kabupaten induknya Aceh Barat. Namun, setelah beberapa dekade kepemimpinan berganti
tidak ada perubahan signifikan yang dirasakan masyarakat. Hal ini disebabkan demokrasi
4
Sari, Nurmala, Erma, Novita (2012): “Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan Berbasis
Feminis Oleh “Sahabat Perempuan” di Kabupaten Magelang. Universitas Negri Sunan Kalijaga (UIN)”. Skripsi sudah
dipublikasikan. Digilib.uin-suka.ac.id/7676/.
5
Dikutip dalam artikel “Potret Demokrasi: Studi Kasus Peran CSO Dalam Memperkuat Demokrasi di Nagan Raya”
http://www.jsithopi.org/category/database/ragam/pemilu-demokrasi/page/5/.
6
pelibatan organisasi masyarakat sipil kurang didukung guna memajukan daerah Nagan Raya.
Hubungan harmonis antara pemkab Nagan Raya dengan organisasi masyarakat sipil atau CSO
kurang dilibatkan dalam bentuk partisipasi aktif kedua arah. Tidak mengherankan penyimpangan
dalam menjalankan pemerintahan tidak terkontrol CSO di Nagan Raya. Bahkan besar peluang
tindakan kamuflase laporan anggaran yang dilakukan pemerintah.
Selain itu pentingnya peran CSO di Nagan Raya memiliki kekuatan yang besar, apalagi
dalam hal menggandeng aktivis muda dalam memperkuat pergerakan CSO, dengan menjelaskan
program dan strategi yang dilakukan CSO dalam pendampingan dan advokasi terhadap masalah
sosial masyarakat. Penelitian tersebut juga menjelaskan mengenai relasi kekuasaan antara
pemerintah dan CSO yang harapannya dapat menghasilkan kebijakan yang bermutu. Maju
mundurnya pergerakan CSO di Nagan Raya tersebut tergantung bagaimana mempertahankan
CSO tersebut dengan membuat basis penguatan aktivis agar dapat melebarkan jaringan atau
memperkuat basis masyarakat. Hal yang dikhawatirkan, CSO akan semakin meredup
dikarenakan aktivis-aktivis kurang memiliki minat terhadap pergerakan.
Selanjutnya mengenai jurnal karya Halili “Tantangan Kontemporer Organisasi Masyarakat
Sipil (CSO) dalam Gerakan Hak Asasi Manusia”. 6 Secara garis besar jurnal tersebut memang
tidak menjelaskan mengenai pemberdayaan. Namun, yang disoroti adalah peran dari CSO yang
dapat menggalang banyak aktivis muda agar dapat konsen dalam masalah HAM. CSO tersebut
dapat meyakinkan mengenai isu HAM sebagai isu yang besar, bukan hanya masalah teks
mengenai HAM tetapi mengenai nilai, dan bukan sekedar soal hukum dan sistem. Perjuangan
6
Dalam Jurnal, Halili “Tantangan Kontemporer Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) Dalam Gerakan Hak Asasi
Manusia”. CIVICS (Jurnal Kajian Kewarganegaraan) Volume 6, Nomor 1, Juni 2009.
http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Halili,%20S.Pd./Jurnal%20CIVICS%20Juni%202009-CSO%20dan%20Gerakan%20HAM.pdf
7
HAM sebenarnya adalah soal bagaimana bersuara dan meyakinkan orang lain terhadap kasus
HAM. Pertarungan nilai yang harus dimenangkan oleh para aktivis HAM adalah bagaimana
mengembangkan imaginasi publik sekaligus energi mereka mengenai HAM sebagai pengalaman
hidup riil mereka hadapi, bukan semata-mata soal hukum dan konsep yang berada di luar
pengalaman hidup mereka, dan inilah peran CSO untuk memberikan pengetahuan pada aktivis
muda bahwa aktivis HAM adalah merebut kembali ketidakadilan berkaitan dengan kasus HAM,
membuat kerangka debat seputar HAM yang tidak saja pada aspek legal, akan tetapi pada aspek
moral HAM yang didasarkan pada argumentasi mengenai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
E. Kerangka Teori
E.1. Gerakan Sosial Sebagai Strategi Produksi Pengetahuan
Dalam melakukan strategi pemberdayaan, pemberdayaan memiliki kontribusi dari
gerakan sosial yang salah satunya berasal dari Civil Society organization (CSO). Keberadaan
mereka relatif menghasilkan penguatan civil society sehingga terlihat semakin menguatnya
kewenangan masyarakat lokal
dalam proses pembangunan yang menyangkut masa depan
masyarakat, baik dalam level identifikasi masalah, perencanaan, sampai dengan pelaksanaan
pembangunan pemerintah. 7
Mansour Fakih mengatakan, aktivis gerakan sama sekali tidak bisa dipisahkan dari
gerakan sosial yang merupakan fenomena positif dan menjadi sarana konstruktif dari rekayasa
perubahan sosial. Maka tugas besar pemberdayaan bagi aktivis gerakan diantaranya ialah,
melakukan reposisi ideologi aktivis. Reposisi ideologis itu ialah menempatkan aktivis gerakan
7
Mahardika, Timur. Strategi Membuka Jalan Perubahan (Yogyakarta : Pondok Edukasi, 2006), hlm 64-78.
8
sebagai intelektual organik, dimana para aktivis gerakan harus menguasai gelanggang produksi
pengetahuan, menciptakan ruang bagi rakyat sehingga dapat menganalisa struktur dan sistem
yang memarginalisasi mereka, dan mendorong rakyat untuk berkesadaran kritis melalui sebuah
pendidikan.8
Gerakan Sosial Sendiri menurut David F. Aberle adalah suatu usaha terorganisir oleh
sekelompok orang untuk menimbulkan perubahan di hadapan tekanan manusia lainya (penguasa
yang mengendalikan tatanan yang sedang berjalan di masyarakat). Gerakan Sosial mengandung
unsur adanya kekacauan di antara manusia, suatu kegelisahan, yang kemudian melahirkan
gerakan bersama, suatu gerakan bersama untuk mencapai suatu tujuan yang divisualisasikan
khususnya suatu perubahan dalam lembaga atau tatanan sosial tertentu. 9
Beberapa pengertian gerakan sosial lainnya dikemukakaan oleh jhon Wilson 10 yakni; 1)
gerakan sosial adalah usaha sadar, kolektif, dan terorganisir menimbulkan perubahan atau sebuh
perlawanan terhadap perubahan dalam skala besar, dalam tatanan sosial dengan cara yang tidak
terlembagakan; 2) gerakan sosial adalah kolektifitas yang diorganisir. Dalam pengertian ini
gerakan sosial dapat dilihat dari adanya gerakan bersama; 3) gerakan sosial memiliki potensi
untuk memiliki skup yang lebih besar. Banyak gerakan sosial yang awalnya memiliki pengikut
yang sedikit, dengan anggota yang kurang dari seratus orang, namun pesan-pesan yang dibawa
oleh gerakan membuat banyak orang tertarik untuk bergabung; 4) gerakan sosial menggunakan
cara-cara yang tidak terlembagakan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Pola-pola perilaku
8
Fakih, Mansour. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2008), hlm 146-147.
9
Rudolf Heberle, Social Movement (New York: Appleton-Century Crof, 1991). Sebagaimana dikutip dalam
Saherman, Aktivis Mahasiswa di Ornop (Kebuntuan Media Alternatif Aktivis Mahasiswa Pada Gerakan Non
Pemerintah di Yogyakarta). (Skripsi Jur. Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, 2002), hlm 8.
10
Jhon Wilson, Introduction to Social Movement (New York: Basic Book,Inc. Publishirs, 1973). Sebagaimana dikutip
dalam Saherman, Aktivis Mahasiswa di Ornop (Kebuntuan Media Alternatif Aktivis Mahasiswa Pada Gerakan Non
Pemerintah di Yogyakarta). (Skripsi Jur. Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, 2002), hlm 9.
9
dikatakan tidak terlembagakan ketika secara luas diterima sebagai pengikat dalam masyarakat
atau bagian dari masyarakat; 5) gerakan sosial tidak sepenuhnya terbatas pada pemenuhan
kepentingan pribadi dari masingng-masing anggota mereka. Gerakan sosial tidak memiliki
tujuan-tujuan sempit yang akan membatasi maksud-maksud mereka hanya pada kelompok
masyarakat tertentu, yang menjadi tujuan gerakan sosial adalah kemajuan yang paling pokok dari
masyarakat; 6) gerakan sosial adalah usaha-usaha sadar yang terarah untuk menimbulkan
perubahan sosial. Gerakan ini mencoba menawarkan alternative lain dari sebuah tatanan sosial;
7) gerakan sosial menggunakan bermacam taktik untuk mencapai tujuannya. Taktik-taktik
tersebut bervariasi dari yang menggunakan kekerasan sampai dengan kekerasan, baik taktik
dalam advokasi, melakukan aksi dan lain sebagainya.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa gerakan sosial pada dasarnya merupakan
gerakan yang dilakukan untuk melakukan perubahan terhadap tatanan sosial yang ada, atau dapat
juga dikatakan sebagai aksi protes terhadap tatanan sosial yang timpang. Dengan adanya gerakan
sosial diharapkan akan tercapai sutau tatanan baru yang memajukan kondisi masyarakat.
Gerakan sosial dapat juga merupakan upaya untuk membebaskan masyarakat dari kondisikondisi tertekan atau tindakan respresif yang dialami akibat tatanan sosial yang timpang.
Ketimpangan itu terjadi krena adanya penguasaan terhadap tatanan yang dilakukan oleh orang
atau sekelompok orang yang lebih mengutamakan kepentingannya saja tanpa menghiraukan
nasib masyarakat. 11
Studi ini mencoba mengambil sudut pandang gerakan sosial sebagai strategi produksi
pengetahuan aktivis muda dalam artian pemahaman materi gerakan sosial yang diberikan, serta
11
Ibid
10
pemahaman mengenai aksi, dan
advokasi yang dilakukan yang terangkum dalam kegiatan
pemberdayaan.
E.2. Pemberdayaan Aktivis Muda Sebagai Tujuan CSO
Pemberdayaan (empowerment) dapat didefinisikan sebagai proses maupun sebagai
hasil. 12 Sebagai Proses Pemberdayaan adalah serangkaian aktivitas yang terorganisir dan
ditunjukan untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas atau kemampuan personal, interpersonal
atau politik, sehingga individu atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki
situasi-situasi yang mempengaruhi hidupnya. Sebagai sebuah hasil pemberdayaan menunjuk
pada tercapainya sebuah keadaan, yakni keberdayaan dan keberkuasaan yang menyangkut; state
of mind, seperti perasaan berharga dan mampu mengontrol kehidupan serta Realocation of power
yang dihasilkan dari pemodifikasian struktur sosial.
Dalam hal ini pemberdayaan aktivis muda adalah proses memperoleh serangkaian
pengetahuan untuk dapat diaplikasikan pada kasus dan isu-isu yang menjadi konsen dari
pergerakan seorang aktivis, sehingga menghasilkan gagasan untuk mencapai perubahan. Baik
sebagai proses atau tujuan, pemberdayaan mencakup tidak hanya peningkatan seseorang atau
sekelompok orang melainkan perubahan sistem dan struktur sosial. Tidak hanya pada
permasalahan atau pemberdayaan ekonomi tetapi meliputi pula dalam bidang sosial-politik,
misalnya seperti menyatakan aspirasi dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan politik.
12
Dalam artikel Edi Suharto, “Filosofi dan Peran Advokasi, dalam Mendukung Program Pemberdayaan
Masyarakat”. Teori DuBois Miley, 2005; Suharto, 2005a.
11
Sedangkan, pemberdayaan alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomi
pengambilan keputusan untuk melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan pada
sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui
pengamatan langsung. 13 Sesuai dengan konsep pemberdayaan tersebut SMI mencoba untuk
memberikan strategi pemberdayaan tidak hanya berdasarkan pada teori, tetapi pengamatan dan
kegiatan langsung di lapangan, sehingga ilmu yang sudah didapatkan dapat diaplikasikan sesuai
dengan isu-siu yang sedang dipelajari. Pemberdayaan dapat dikatakan juga sebuah proses ketika
orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam pembagian kontrol dan berpengaruh
terhadap kejadian serta lembaga yang berkaitan dengannya. Dengan demikian, pemberdayaan
menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup
untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya.
Pemberdayaan aktivis muda tersebut bergerak karena bermula dari keinginan CSO yang
dalam hal ini adalah organisasi SMI untuk dapat menghasilkan aktivis muda yang dapat mengerti
pergerakan seorang aktivis dan peduli akan kinerja seorang aktivis. CSO merupakan lembaga
yang terdiri dari banyak orang yang secara sukarela mengorganisasi diri dan merepresentasikan
kepentingan dan perikatan yang luas. Termasuk di dalamnya organisasi berbasis komunitas,
organisasi masyarakat adat, dan organisasi non-pemerintahan atau CSO sebagai organisasi di
luar keluarga yang bersifat non-pasar yang mengorganisasi diri dengan tujuan tertentu.
Karakter CSO dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis keanggotaan, latar belakang
pendirian, maupun CSO yang berorientasi pada pelayanan jasa atau voluntarisme.14 Bukan CSO
yang sembarangan melainkan CSO yang memiliki sifat otonom, memiliki kemampuan adaptif,
13
Ibid artikel Filosofi dan Peran Advokasi, dalam Mendukung Program Pemberdayaan Masyarakat”.
Definisi CSO dalam jurnal peran CSO dalam pelaksanaan kegiatan yang didanai atau hibah dari luar negeri. Studi
kasus kegiatan MCC-Compact Indonesia. pendanaan.bappenas.go.id
14
12
memiliki koherensi (konsensus tentang misi organisasi), dan memiliki kompetensi. 15 Tujuan
bersama antara CSO dan aktivis tersebut menjadi landasan utama agar pengetahuan yang dapat
diperoleh dapat diaplikasikan sesuai dengan latar belakang aktivis tersebut.
Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada pemberdayaan aktivis muda. Menurut
Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian aktivis adalah individu atau sekelompok
orang (terutama anggota politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, perempuan) yang
bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Artinya
aktivis merupakan orang yang bergerak untuk melakukan sebuah perubahan dan memiliki wadah
sebagai alat untuk mencapai tujuan perubahan tersebut.16
Dalam kosa kata bahasa Indonesia, pemuda atau muda juga dikenal dengan sebutan
generasi muda atau kaum muda yang memiliki terminologi beragam. Untuk menyebut generasi
muda atau pemuda, di gunakan istilah young human resources sebagai salah satu sumber daya
yang berperan dalam pembangunan. Mereka adalah generasi yang ditempatkan sebagai subjek
pemberdayaan yang memiliki kualitatif efektif dengan kemampuan dan ketrampilan yang
didukung penguasaan IPTEK, sosial dan politik untuk dapat maju dan berdiri dalam
keterlibatannya secara aktif bersama kekuatan efektif lainnya guna penyelesaian masalahmasalah yang sedang dihadapi. 17 Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa pemuda
sebagai objek pemberdayaan, yaitu mereka yang masih memerlukam bantuan, dukungan dan
15
Grezia Eleganza. Dalam kutipan Samuel Huntington “Penguatan Modal Sosial Masyarakat Desa melalui
Pemberdayaan oleh Civil Society Organization sebagai Upaya Menghadapi Krisis Pangan”.
https://www.academia.edu/5949291/Penguatan_Modal_Sosial_Masyarakat_Desa_melalui_Pemberdayaan_oleh_
Civil_Society_Organization_sebagai_Upaya_Menghadapi_Krisis_Pangan.
16
Pricilia Claudia Oley. PERILAKU POLITIK AKTIVIS MAHASISWA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SAM RATULANGI (Suatu Studi Terhadap Pengurus Organisasi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi Tahun 2012)
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/politico/article/view/2514.
17
Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Revolusi Politik Kaum Muda, Jakarta,2008,hal.15
13
pengembangan ke arah potensi dan kemampuan efektif ke tingkat optimal untuk dapat
mengaplikasikan pemberdayaan dan peran serta terlibat dalam organisasi yang menjadi
penunjang kemampuan.
E.3. Pendidikan Politik Aktivis Muda: Berpikir dan Bertindak
Dalam pemikiran Paulio Freire mengenai pendidikan politik, Freire memfokuskan
pendidikan politik tersebut pada pemahaman bahwa pendidikan adalah hadap-masalah untuk
berpikir dan bertindak. Freire mengutarakan tujuan dari pendidikan politik sebagai usaha
tabungan dan reproduksi dalam penghadapan secara langsung subjek-subjek terdidik dengan
masalah-masalah nyata manusia yang berhubungan dengan realitas dunia dan keberadaan diri
mereka di dalam dan bersama dunia. Masalah dan realitas dunia tersebut adalah objek yang dapat
dipahami sebab memiliki hubungan dengan subjek. Dalam hubungannya guru dengan murid,
pendidikan hadap-masalah menempatkan murid menjadi subjek yang belajar, subjek yang
bertindak dan berpikir, dan sekaligus mewujudkan hasil tindakan dan buah pikiran tersebut.
Metode hadap-masalah dalam pendidikan membebaskan adalah situasi belajar dan mempelajari
antara subjek dan subjek tentang objek lain yaitu realita. Artinya, dalam pendidikan hadapmasalah terjadi hubungan horizontal atau kesederajatan antara guru dan murid karena yang ada
adalah untuk saling belajar dan mengajar satu sama lain dengan metode berpikir dan bertindak.18
Pandangan ini sesuai dengan hakekat pendidikan politik yang tidak menonjolkan
pengembangan individu yang menjadi “intelektual politik” yang tinggal dalam menara gading
atau pribadi cerdas namun”terisolir” dari lingkungannya. Pendidikan politik menekankan relasi
18
Lihat dalam skripsi Firmanto. Peta Pemikiran Paulo Freire Mengenai Pendidikan Politik. 2008. hlm. 139.
14
individu dengan individu yang lain atau individu dengan masyarakat dalam konteks dan dimensi
sosial-politik masyarakat. 19 Dalam pendidikan hadap masalah, adalah objek atau realitas dunia
yang harus difahami subyek lewat dialog. Kartini Kartono menyebut proses ini sebagai “seni
didaktik politik”, yaitu berupa konsistensi dan problematisasi pengalaman-pengalaman nyata
yang subjektif dan kemudiakan dijadikan masalah objektif. Seni ini termasuk menemukan dan
memahami fakta permasalahan yang relevan, yang dikuatkan dengan penemuan adanya
kemungkinan-kemungkinan baru dan pencarian jalan keluar baru terhadap suatu permasalahan.
Dengan kata lain proses ini meliputi usaha menterjemahkan dan mentransformasikam kesulitan,
ide-ide dan aspirasi pribadi menjadi permasalahan kemasyarakatan yang bisa digeluti dan
ditangani secara kolektif.20
Melalui pendidikan politik orang berusaha melihat permasalahan sosial-politik yang ada
disekitarnya, memperbincangkan dengan pemikiran dan kemudian ikut menanganinya dengan
cara alternative dalam tindakan aktif dan arah pasti. Artinya pendidikan politik adalah proses
belajar bukan sekedar menambah informasi dan pengetahuan saja tetapi juga menekankan
kemampuan mawas situasi secara kritis dan bertindak. Dalam situasi sosial yang penuh dengan
dominasi dan penindasan maka peran dari pendidikan politik bukan untuk adaptasi atau
penyesuaian terhadap situasi status quo namun memperbesar kebebasan dan kesadaran kritis
untuk menciptakan gerakan-gerakan kontra yang penuh humanisasi dan membebaskan serta
menuju proses demokratisasi dari kehidupan bersama yang lebih progresif. 21
Pendidikan politik ala Paulo Freire menjelaskan pendidikan poltik menghindari rasa
mudah percaya dan meyakini “kebenaran” mitos-mitos politik, doktrin-doktrin politik dan
19
Lihat dalam skripsi Firmanto.2008. hal 140, Kartono, 1996, hlm. 63.
Ibid
21
Kartono, 1996, hlm 75-76.
20
15
propaganda politik yang semuanya bersifat melenakan. Pendidikan politik mendorong jalannya
fungsi kontrol, pengujian, verifikasi terhadap realitas yang dihadapi. Skeptisme terhadap realitas
dalam pendidikan politik adalah tahap problematisasi dalam pendidikan hadap masalah. Ini
berarti bahwa pendidikan tidak bisa menafikan pentingnya menyusun isi program pendidikan
politik dengan situasi kekinian, eksistensial dan kongkrit yang mencerminkan aspirasi-aspirasi
rakyat sebagai suatu permasalahan menantang yang menuntut jawaban, tidak hanya pada tingkat
pemikiran tetapi juga pada tingkat tindakan. 22
Pemikiran Paulo Freire tersebut dijadikan sebagai langkah dalam pemberdayaan aktivis
muda dalam hal berpikir dan bertindak melalui strategi pemberdayaan yang dilakukan. Dalam
hal ini SMI mencoba untuk mengkolaborasikan antara pengetahuan dan aksi dalam
pemberdayaan aktivis muda agar nantinya aktivis muda tidak terbelenggu pada gerakan yang
massif tanpa memahami isu yang dibawa. Sehingga subyek disini lebih ditekankan pada aktivis
muda atau mahasiswa guna memperoleh pendidikan politik.
F.
Definisi Konseptual
1. Gerakan Sosial adalah gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki
visi, misi, tujuan, ide, nilai sosial politik yang sama (mempertahankan, merubah,
merebut, mengontrol, dan menjalankan kehidupan sosial politik); yang dilakukan secara
sistematis, terorganisir dan bertahan cukup lama.
22
Kartono , op.cit., 1996,hlm 79.
16
2. Strategi gerakan adalah usaha atau upaya yang dilakukan guna mencapai tujuan tertentu
dan dengan cara tertentu.
3. Civil Society Organization adalah lembaga yang terdiri dari banyak orang yang secara
sukarela mengorganisasi diri dan merepresentasikan kepentingan dan perikatan yang luas.
4. Pemberdayaan aktivis adalah suatu proses kegiatan guna mendapatkan pengetahuan dan
kemampuan yang dilakukan oleh sekelompok orang (terutama anggota politik, sosial,
buruh, petani, pemuda, mahasiswa, perempuan) yang bekerja aktif mendorong
pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya.
5. Pendidikan Politik adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik
dalam semua aktifitas pendidikan.
G. Definisi Operasional
G.1 . Operasionalisasi Gerakan Sosial sebagai Produksi Pengetahuan Aktivis Muda
Indikator yang digunakan dalam melihat gerakan social sebagai produksi
pengetahuan melalui program-program kegiatan dan kurikulum pendidikan yang
diberikan dalam pemberdayaan aktivis muda di Yogyakarta. Indicator dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Kurikulum yang memberikan pemahanan mengenai gerakan sosial
2. Gagasan-gagasan SMI mengenai aksi gerakan sosial
3. Diskusi mengenai gerakan sosial yang dilakukan dalam proses pemberdayaan aktivis
muda
4. Sekolah pergerakan yang membahas mengenai teori dan praktik gerakan.
17
G.2. Operasionalisasi Pemberdayaan Aktivis Muda yang dilakukan CSO
Idikator yang digunakan dalam melihat pemberdayaan aktivis muda yang
dilakukan oleh CSO dipahami melalui indicator sebagai berikut:
1. Sejarah terbentuknya organisasi SMI tersebut.
2. Hal yang melatarbelakangi ide-ide mengenai pemberdayaan aktivis muda
3. Pola pengorganisasian yang dilakukan SMI dalam rekruitmen anggota dan peserta
pemberdayaan aktivis muda.
4. Strategi yang diberikan organisasi SMI dalam pemberdayaan aktivis muda
5. Jenis-jenis kegiatan atau program pemberdayaan yang akan dilakukan
6. Sejauh mana produksi pengetahuan pemberdayaan pada aktivis muda dapat
diterapkan dalam mengawal suatu kasus atau isu.
G.3. Operasionalisasi Pendidikan Politik dalam Pemberdayaan Aktivis Muda
Sebagai pemahaman mengenai penanaman pendidikan politik dalam menganalisis
masalah atau isu yang sedang dihadapi. Melihat sejauh mana pendidikan politik dapat diterapkan
dalam mengatasi isu atau kasus. Paling tidak mampu menciptakan ruang agar sikap atau
pemikiran kritis terhadap sistem dan strukur ketidakadilan dapat tersalurkan melalui kegiatan
yang dilakukan. Pendidikan politik menekankan pada aktivis muda memperoleh strategi
pemberdayaan melalui pemahaman pendidikan gerakan dan praktik dari pendidikan tersebut.
18
H. Metode Penelitian
H.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Metode penelitian kuantitatif biasanya sangat memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas.
Memang dalam penelitian kualitatif kehadiran nilai peneliti bersifat eksplisit dalam situasi yang
terbatas, melibatkan subjek dengan jumlahrelatif sedikit. Dengan demikian, hal yang umum
dilakukan ia berkutat dengan analisa tematik. 23 Peneliti kualitatif biasanya terlibat dalam
interaksi dengan realitas yang ditelitinya. Selain itu diperkuat dengan Factor-faktor yang terkait
orientasi dalam penelitian yang menggunakan metode kualitatif.
Orientasi pertama terkait dengan pendekatan yang digunakan terhadap data. Metode
kualitatif memperlakukan data sebagai sesuatu yang bermakna secara intrinsik. Dengan
demikian, data yang ada dalam penelitian kualitatif bersifat “lunak”, tidak sempurna, imaterial,
kadangkala kabur dan seorang peneliti kualitatif tidak akan pernah mampu mengungkapkan
semuanya secara sempurna. Namun demikian, data yang ada dalam penelitian kualitatif bersifat
empiris, terdiri dari dokumentasi ragam peristiwa, rekaman setiap ucapan, kata dan gestures dari
objek kajian, tingkah laku yang spesifik, dokumen-dokumen tertulis, serta berbagai imaji visual
yang ada dalam sebuah fenomena sosial. 24
Orientasi kedua adalah penggunaan perspektif yang non-positivistik. Penelitian kualitatif
secara luas menggunakan pendekatan interpretatif dan kritis pada masalah-masalah sosial.
Peneliti kualitatif memfokuskan dirinya pada makna subjektif, pendefinisian, metapora, dan
deskripsi pada kasus-kasus yang spesifik. Peneliti kualitatif berusaha menjangkau berbagai aspek
23
24
Gumilar Rusliwa Somantri. 2005. Dalam jurnal Memahami Metode Kualitatif. Hal 4-5.
Nurul Zuriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan,Teori-Aplikasi. Teori Neuman, 1997: 328. Hal 7-10
19
dari dunia sosial termasuk atmosfer yang membentuk suatu objek amatan yang sulit ditangkap
melalui pengukuran yang presisif atau diekspresikan dalam angka.
Dengan demikian, penelitian kualitatif lebih bersifat transendental, termasuk di dalamnya
memiliki tujuan menghilangkan keyakinan palsu yang terbentuk pada sebuah objek kajian.
Selanjutnya, mazhab non-positivist itu sendiri adalah mazhab yang secara spesifik akan
diteruskan oleh beberapa model penelitian kualitatif. Secara umum, metode penelitian kualitatif
adalah metode penelitian yang lebih banyak mengedepankan observasi di lapangan untuk kasus kasus sosial. 25
Sementara studi kasus adalah salah satu metode penelitian yang merupakan tindak lanjut
dari metode penelitian kualitatif itu sendiri.Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang
menggunakan metode studi kasus.fokus studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu
kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret
kehidupan.Lebih lanjut Creswell mengemukakan beberapa karakteristik dari suatu studi kasus
yaitu ; (1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi; (2) Kasus tersebut merupakan sebuah
“sistem yang terikat” oleh waktu dan tempat; (3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber
informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan
mendalam tentang respons dari suatu peristiwa dan (4) Menggunakan pendekatan studi kasus,
peneliti akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks atau setting untuk suatu
kasus. Hal ini mengisyaratkan bahwa suatu kasus dapat dikaji menjadi sebuah objek studi
maupun mempertimbangkannya menjadi sebuah metodologi. 26
25
Dapat dilihat di buku. Yin, Case Study Research Design and Methods.
(Washington : COSMOS Corporation, 1989), hlm. 1
26
Yani Kusmarini. 2013. Dalam jurnal Studi Kasus (Jhon W. Creswell). Hal 2-4
20
Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, obyek yang dapat diangkat sebagai kasus
bersifat kontemporer, yaitu yang sedang berlangsung atau telah berlangsung tetapi masih
menyisakan dampak dan pengaruh yang luas, kuat atau khusus pada saat penelitian dilakukan.
Salah satu kekhususan penelitian studi kasus sebagai metoda penelitian adalah pada tujuannya.
Penelitian studi kasus sangat tepat digunakan pada penelitian yang bertujuan menjawab
pertanyaan ‘why’ dan ‘how’ terhadap sesuatu yang diteliti. Melalui pertanyaan penelitian yang
demikian, substansi mendasar yang terkandung di dalam kasus yang diteliti dapat digali dengan
mendalam.27
H.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian tersebut penulis mengguankan sumber-sumber sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara yang dimaksud ialah interview mendalam yang dilakukan oleh peneliti
dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara lisan. Wawancara penulis lakukan kepada
beberapa pihak yaitu;
1. Pengurus dan Anggota Senior SMI yaitu Eko Prasetyo (Ketua Badan Pekerja), Lustfi
Siswanto, Melky, Asman Abdullah (Program Pendidikan dan Pelatihan/aksi
kamisan), Joko Supriyanto (Program penerbitan dan Publikasi), Angga Yudhiansyah
dan Muhammad Zuhdan (Program Penelitian dan Pengembangan), Sahidie
(Koordinator Sekolah Penulisan Progresif), Asam (Koordinator sekolah Politik dan
27
Yin, Robert K. 2003.Case Study Research, Design and Methods, Third Edition. Sage Publications, Inc. California.
21
Hukum Progresif ), Iroy dan Shinta (Koordinator Sekolah Perempuan) dan Dhika
(Koordinator Teater Suluh) .
2. Anggota dan Alumni Pendidikan Politik yaitu Mella dan Luna umur 25 tahun, S2
Fisipol UGM. Rayinda Dwi Prayogi, umur 20 tahun organisasi HMI. Gehan Ghofari,
umur 20 tahun, Fisipol UGM Organisasi Mun Community. Vicky Tri Sumekto, umur
28 tahun, organisasin Stube HEMAT Yogyakarta dan Jaringan Mahasiswa Lintas
Iman (JARI LIMA). Janeska Mahardika, umur 28 tahun, organisasi Yayasan Tadula
kota. Fadly Yashari Soumena, umur 21 tahun, organisasi BEM FE UMY dan HIMIE
UMY. Azan Pranoto, umur 23 tahun, organisasi KOMPAK. Martuti Organisasi
FBLP dan Romel Masykuri, umur 25 tahun, Senat Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
dan PMII. Utami Dewi, Volunteer Institut Hak Asasi Perempuan, One Billion Rising.
Kiki, umur 20 tahun, FISIPOL UGM, organisasi DEMA.
2. Pengamatan Langsung/ Observasi
Penulis juga mengumpulkan data dengan mengunjungi ke lokasi penelitian untuk
mengamati proses kegiatan dan aktivitas yang berlangsung.
3. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan sumber informasi penelitian dari data sekunder
berupa dokumen. Dokumen ini berupa penunjang yang penulis dapatkan dari beberapa
studi pustaka seperti jurnal maupun buku-buku yang ditujukan sebagai pembanding dan
pelengkap sekiranya memiliki kedekatan relevansi dengan tema penelitian.
22
H. 3 Metode Analisis Data
Penulis akan melakukan teknik analisis data dengan membagi menjadi dua tahapan yaitu
analisis sebelum di lapangan dan analisis data setelah di lapangan. Peneliti telah melakukam
analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi
pendahuluan atau data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian.
Namun demikian fokus penelitian ini maish bersifat sementara, dan akan berkembang setelah
peneliti masuk dan selama dilapangan. Peneliti telah melakukan penelitian awal sebagai
pembuka dalam pendahuluan melihat keadaan SMI dan sekilas melihat kegiatan yang mereka
lakukan. Maka dari itu, strategi pemberdayaan untuk aktivis muda di Yogyakarta yang menjadi
pilihan fokusan dengan berlandaskan kerangka teori yang sudah ditentukan.
Proses penelitian setelah memasuki lapangan, dimulai dengan menetapkan seseorang
informan kunci “key informant” yang merupakan informan kunci dan dipercaya mampu
“membukakan pintu” kepada peneliti untuk dapat memperoleh informan-informan lain terkait
dengan penelitian. Setelah itu peneliti melakukan wawancara kepada beberapa informan tersebut
dan mencatat hasil wawancara. Setelah itu perhatian peneliti pada obyek penelitian dan memulai
mengajukan pertanyaan diskriptif, dilanjutkan dengan analisis terhadap hasil wawancara. Jadi
proses penelitian berangkat dari yang luas, kemudian memfokus dan meluas lagi. Terdapat
tahapan analisis data yang dilakukan dalam penelitian yaitu analisis domain atau gambaran
umum, analisis taksonomi atau domain yang dipilih menjadi lebih rinci, analisis komepensial
melalui pertanyaan yang mengkontraskan, dan analisi tema kultural atau mencari hubungan
secara keseluruhan yang sesuai dengan penelitian.28
28
Spradley,1980, Macam analisis data kualitatif.
23
H.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di lingkungan Griya Social Movement
Istitute (SMI) yang beralamat di Jalan Tanjung No.64 , Sorogenen Nitikan Baru, Yogyakarta.
Pemilihan fokus di lokasi dengan menggunakan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut
merupakan tempat berkumpulnya atau markas para aktivis muda dan segala kegiatan yang
dilakukan. Di lokasi tersebut sering diadakan acara-acara atau pelatihan aksi yang berkaitan
dengan kegiatan pemberdayaan aktivis muda. Dengan pemilihan lokasi tersebut peneliti dapat
melakukan pengamatan langsung serta menemui narasumber utama untuk memperoleh data-data
yang diperlukan selama penelitian. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk pencarian datadata di luar lokasi yang pernah mengikuti atau mengerti kegiatan yang dilakukan SMI.
H.5 Unit Analisis Data
Unit analisis yang penulis ambil adalah fokus pada strategi gerakan yang dilakukan SMI
dalam melakukan pemberdayaan pada aktivis muda di Yogyakarta melalui pendidikan kritis dan
pemahaman akan gerakan sosial. Hal tersebut menjadi unit analisis yang menarik bagaimana
suatu organisasi masyarakat sipil dapat memberikan ruang diskusi dan diskursus mengenai
pergerakan dan pendidikan kritis untuk aktivis muda di Yogyakarta.
I. Sistematika Penulisan
Bab 1 menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan yang melatarbelakangi
munculnya pemikirian organisasi SMI dalam pemberdayaan aktivis muda di Yogyakarta, tujuan
24
dan manfaat dari dilaksanakannya penelitian, landasan teori yang dipakai sebagai pondasi awal
untuk menganalisis data, definisi konsep sebagai upaya pembatasan pembahasan, definisi
operasional terkait operasionalisasi konsep yang dipakai, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab 2 penulis menjelaskan mengenai dinamika gerakan mahasiswa dan organisasi
masyarakat sipil dan menurunya gerakan mahasiswa pasca reformasi. Selanjutnya menjelaskan
mengenai sejarah dari Organisasi SMI.
Bab 3
berisi tentang pembahasan dan analisis. Pembahasan pertama mengenai
pemaparan strategi organisasi SMI dalam pemberdayaan aktivis muda di Yogyakarta. Kedua
mengenai pandangan aktivis mdua terhadapa isu politik dan manfaat pemberdayaan.
Bab 4 berisi penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan merupakan refleksi dari babbab sebelumnya dan apakah sudah menjawab rumusan masalah dalam penelitian, dan diakhir
bab dijelaskan mengenai konstribusi studi penelitian ini dalam ilmu politik dan pemerintahan.
25
Download