BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis multidimensi yang meliputi ekonomi, sosial, dan budaya telah menghantui bangsa ini sedemikian rupa. Aparat negara tidak bisa selalu diandalkan mengingat meningkatnya krisis kepercayaan publik terhadapnya. Tidak sulit untuk melihat bagaimana korupsi, suap, dan kekerasan dilakukan dengan berlindung pada institusi hukum. Sama halnya dengan konflik antar umat beragama yang dipicu oleh ketidaktegasan dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah. Dorongan untuk mengatasi itu terus dilakukan oleh masyarakat sipil dengan hasil yang minim. Kali ini krisis yang terjadi memerlukan alat analisis dan cara penanganan yang lebih maju. Namun, terkadang bukan ditangan negara atau pemerintah suatu permasalahan dapat terselesaikan, melainkan gagasan-gagasan yang muncul dari masyarakat dapat memberikan jalan keluar yang lebih nyata. Melihat fenomena tersebut kemudian muncul berbagai kelompok pegiat dan aktivis yang peduli terhadap isu-isu sosial. Misalnya, seorang aktivis perempuan melakukan perlawanan dengan segenap kekuatannya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang termarjinalisasi. Begitu pula dengan aktivis buruh dalam memperjuangkan hak-hak buruh yang harus terpenuhi dengan serangkain tuntutan yang ditujukan kepada pemerintah dan pemilik modal. Selain itu, isu perjuangan aktivis buruh semasa orde baru tidak hanya semata masalah kenaikan upah, meliputi pula perjuangan hak sipil politik atas eksistensi organisasi mereka. Rezim orde baru dikenal 1 sangat represif atas eksistensi organisasi serikat buruh. Aksi mereka sering dimaknai sebagai tindakan subversif melawan negara ketimbang dimaknai sebagai realitas politik demokratis. 1 Selain itu, aktivisme bagi seorang mahasiswa adalah suatu panggilan moral yang jika tidak diarahkan dan disalurkan menjadi aktivis, mahasiswa tersebut akan sulit memahami perannya sebagai agen perubahan. Menjadi seorang aktivis bukan perkara mudah, mahasiswa membutuhkan serangkaian ide dan pemikiran yang mengusung kepada perbaikan baik secara individu, kelompok maupun organisasi sebagai wadah pergerakan yang mempunyai pedoman yang jelas. Namun, seorang aktivis harus memiliki gagasan yang terus berkembang. Jika tidak peran seorang aktivis dalam organisasi akan sulit menelaah isu-isu yang semakin berkembang sehingga pada akhirnya sulit untuk memperjuangkan isu yang coba diperjuangkan. Hal yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah aktivis tersebut memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi aktivis? Apakah seorang aktivis memiliki kemampuan untuk mengadvokasi dan melakukan lobi politik ketika mendampingi masyarakat yang sedang menghadapi penindasan. Para aktivis muda dewasa ini memiliki tantangan yang jauh berbeda dengan kaum muda pada umumnya terutama para aktivis beberapa tahun silam. Pola-pola pergerakan, semangat juang, bisa menjadi referensi. Namun, aktivis muda beberapa dekade terakhir ini kurang mendalami dan memahmi beragam isu dan konflik yang harus dihadapi. Berangkat dari serangkaian pertanyaan tersebut peran Civil Society Organization (CSO) sebagai wadah untuk pemberdayaan aktivis muda agar dapat berkembang dan progresif menjadi sarana alternatif untuk pendidikan. Civil Society Organization (CSO) merupakan salah satu pencapaian modernisasi sekaligus ethical life yang menjadi penghubung antara masyarakat 1 Dalam jurnal Melacak Perkembangan Isu Pergerakan Buruh di Indonesia Pasca Reformasi. Muhammad Zuhdan. http://islambergerak.com/2014/05/perjuangan-gerakan-buruh-tidak-sekedar-upah/. 2 dengan negara. CSO mempu melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh negara , misalnya seperti pendidikan gerakan sosial untuk menguatkan pemikiran kritis masyarakat sipil. Negara tidak memiliki andil yang cukup besar untuk melakukan pemberdayaan pada aktivis muda. Aktivis muda hanya ada dan tumbuh secara naluriah ketika melihat kekacauan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain. Agar aktivis muda memiliki nilai dan peran sesuangguhnya maka dari itu muncullah pemberdayaan aktivis muda yang dilakukan oleh CSO. CSO yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah Social Movement Institute (SMI). SMI merupakan organisasi yang berjuang mengadvokasi dan memberdayakan masyarakat kelas bawah seperti buruh, tani, nelayan dan relijius marjinal. Dalam rangka memberdayakan tersebut SMI menggandeng bermacam-macam kalangan aktivis muda untuk dapat berpartisipasi dalam serangkaian agenda yang dilakukan SMI, terutama aktivis muda yang menginginkan pengetahuan dan pendidikan alternatif. SMI mulai melahirkan tradisi belajar yang fokus pada gagasan dan persoalan pendidikan yang meletakkan persoalan bukan sebagai masalah teknis, melainkan masalah yang membutuhkan keterlibatan penuh untuk mengatasinya. Pendidikan yang mendorong orang untuk terlibat, bergerak dan ingin mengubahnya. Langkah pemberdayaan merupakan langkah yang tepat organisasi SMI dapat melahirkan aktivis muda yang tidak hanya sebagai aktivis dadakan tetapi lebih pada memiliki elemen pendidikan yang kritis. Sama halnya dengan pemikiran Ife terkait dengan pemberdayaan 2 “Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work the system,’ and so on”. 2 Agus purbathin hadi.Konsep Pemberdayaan, Partisipan, dan Kelembagaan dalam Pembangunan. suniscome.50webs.com/32%20Konsep%20Pemberdayaan%20Partisipasi. 3 Tujuan penulisan skripsi ini hendak memberikan penjelasan mengenai strategi pemberdayaan aktivis muda yang dilakukan oleh organisasi SMI melalui pelatihan-pelatihan pendidikan politik. Sehingga menghasilkan produksi pengetahuan yang secara umum berupa diskusi gerakan. Dimana para peserta pemberdayaan aktivis muda tersebut mendapatkan pengetahuan kritis melalui metode gerakan sosial dan berbagi pengetahuan dengan melihat realitas sosial dan politik yang sedang terjadi. Sekolah politik dan hukum progresif merupakan basis utama dalam pemberdayaan aktivis muda untuk memahami teori dan praktik gerakan. Gagasan sekolah tersebut mengkombinasikan pengetahuan hukum dan politik yang selama ini hanya menjadi tesis umum. Sekolah ini mencoba menerobos spesialisasi yang selalu jadi identitas kampus. Singkatnya memadukan pengetahuan sosial dalam kerangka perubahan sosial. Lantas yang menjadi menarik dari penelitian ini adalah banyak sumbangsih pengetahuan baru mengenai pemberdayaan aktivis muda. Di kala CSO lain sibuk dengan isunya masingmasing dan kurang memberikan pemberdayaan pada aktivis muda, SMI mencoba memberikan bekal terhadap aktivis muda agar dapat memperoleh ilmu politik, hukum dan sosial terkait dengan pergerakan seorang aktivis. Alasan mendasar mengapa aktivis muda perlu diprioritaskan adalah karena seseorang yang memutuskan memilih menjadi aktivis tentunya memiliki keahlian tertentu dalam pergerakannya dan mereka memiliki keprihatinan yang menjadi alasan untuk mereka bertindak (keprihatinan akan HAM, penindasan kaum buruh, politik, petani dan lainlain). Dilihat dari perspektif politik, para kaum muda atau aktivis muda memiliki karakter pemikiran politik dinamis, responsif, dan memiliki sensitivitas yang kuat setiap fase perubahan politik. Proses pembelajaran dan pengalaman berinteraksi dengan kehidupan politik yang telah, sedang, dan akan dialami oleh kaum muda di sini bisa melahirkan daya dorong perubahan politik 4 dengan dikelola secara maksimal sehingga yang diharapkan dari aktivis muda dapat memiliki kemampuan dalam melakukan tindakan. 3 Studi ini fokus pada kajian tentang organisasi SMI melakukan pemberdayaan pada aktivis muda di Yogyakarta. Hal itu disebabkan Yogyakarta merupakan kota besar yang berbasis pendidikan dan multikulturalisme. Banyak penduduk Yogyakarta yang berasal dari luar daerah untuk menuntut ilmu. Faktor keberagaman masyarakatnya dan program-program kegiatan yang membuat organisasi ini dapat berkembang cepat dengan berbagai macam isu yang sudah diusung. B. Rumusan Masalah Bagaimana Organisasi Social Movement Institute (SMI) dalam melakukan strategi pemberdayaan aktivis muda di Yogyakarta pada tahun 2013-2014? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada, tujuan penelitian ini antara lain: 1. Untuk menjelaskan strategi SMI melakukan pemberdayaan kepada aktivis muda di Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui sejauh mana produksi pengetahuan gerakan sosial tersebut dapat diaplikasikan. 3 Muhammad Umar Syadat, Revolusi Politik Kaum Muda, Jakarta,2008,hal.3 5 D. Literature Review Dalam konteks Indonesia, ada beberapa penelitian yang menjelaskan mengenai pemberdayaan yang dilakukan oleh Civil Society Organization. Namun, jenis pemberdayaan tersebut berbeda-beda fokusnya, meskipun memiliki kesamaan dalam hal memberikan strategi pemberdayaan. Misalnya saja skripsi karya Novita Erna dalam “Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Feminis oleh “Sahabat Perempuan” di Kabupaten Magelang” 4 . Skripsi tersebut secara garis besar menjelaskan pemberdayaan perempuan korban kekerasan berbasis feminis yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “Sahabat Perempuan”. Strategi yang dilakukan LSM tersebut dengan melibatkan aktivis perempuan pemula atau muda untuk dapat melakukan pemberdayaan pada perempuan korban kekerasan. Hasil dari penelitian berupa strategi yang dapat diaplikasikan pada korban kekerasan perempuan dan pada aktivis muda perempuan agar dapat semakin kritis dalam menghadapi isu-isu terkait dengan perempuan. Kemudian karya Aryos Nivada dalam “Potret Demokrasi: Studi Kasus Peran CSO dalam Memperkuat Demokrasi di Nagan Raya”. 5 Penelitian tersebut menjelaskan mengenai potret demokrasi di Nagan Raya, terutama dalam konteks pelaksanaan demokrasi di Nagan Raya. Tingginya potensi sumber daya alam dan keinginan mewujudkan pemerataan pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat telah mendorong wilayah ini untuk memekarkan diri dari kabupaten induknya Aceh Barat. Namun, setelah beberapa dekade kepemimpinan berganti tidak ada perubahan signifikan yang dirasakan masyarakat. Hal ini disebabkan demokrasi 4 Sari, Nurmala, Erma, Novita (2012): “Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Feminis Oleh “Sahabat Perempuan” di Kabupaten Magelang. Universitas Negri Sunan Kalijaga (UIN)”. Skripsi sudah dipublikasikan. Digilib.uin-suka.ac.id/7676/. 5 Dikutip dalam artikel “Potret Demokrasi: Studi Kasus Peran CSO Dalam Memperkuat Demokrasi di Nagan Raya” http://www.jsithopi.org/category/database/ragam/pemilu-demokrasi/page/5/. 6 pelibatan organisasi masyarakat sipil kurang didukung guna memajukan daerah Nagan Raya. Hubungan harmonis antara pemkab Nagan Raya dengan organisasi masyarakat sipil atau CSO kurang dilibatkan dalam bentuk partisipasi aktif kedua arah. Tidak mengherankan penyimpangan dalam menjalankan pemerintahan tidak terkontrol CSO di Nagan Raya. Bahkan besar peluang tindakan kamuflase laporan anggaran yang dilakukan pemerintah. Selain itu pentingnya peran CSO di Nagan Raya memiliki kekuatan yang besar, apalagi dalam hal menggandeng aktivis muda dalam memperkuat pergerakan CSO, dengan menjelaskan program dan strategi yang dilakukan CSO dalam pendampingan dan advokasi terhadap masalah sosial masyarakat. Penelitian tersebut juga menjelaskan mengenai relasi kekuasaan antara pemerintah dan CSO yang harapannya dapat menghasilkan kebijakan yang bermutu. Maju mundurnya pergerakan CSO di Nagan Raya tersebut tergantung bagaimana mempertahankan CSO tersebut dengan membuat basis penguatan aktivis agar dapat melebarkan jaringan atau memperkuat basis masyarakat. Hal yang dikhawatirkan, CSO akan semakin meredup dikarenakan aktivis-aktivis kurang memiliki minat terhadap pergerakan. Selanjutnya mengenai jurnal karya Halili “Tantangan Kontemporer Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) dalam Gerakan Hak Asasi Manusia”. 6 Secara garis besar jurnal tersebut memang tidak menjelaskan mengenai pemberdayaan. Namun, yang disoroti adalah peran dari CSO yang dapat menggalang banyak aktivis muda agar dapat konsen dalam masalah HAM. CSO tersebut dapat meyakinkan mengenai isu HAM sebagai isu yang besar, bukan hanya masalah teks mengenai HAM tetapi mengenai nilai, dan bukan sekedar soal hukum dan sistem. Perjuangan 6 Dalam Jurnal, Halili “Tantangan Kontemporer Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) Dalam Gerakan Hak Asasi Manusia”. CIVICS (Jurnal Kajian Kewarganegaraan) Volume 6, Nomor 1, Juni 2009. http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Halili,%20S.Pd./Jurnal%20CIVICS%20Juni%202009-CSO%20dan%20Gerakan%20HAM.pdf 7 HAM sebenarnya adalah soal bagaimana bersuara dan meyakinkan orang lain terhadap kasus HAM. Pertarungan nilai yang harus dimenangkan oleh para aktivis HAM adalah bagaimana mengembangkan imaginasi publik sekaligus energi mereka mengenai HAM sebagai pengalaman hidup riil mereka hadapi, bukan semata-mata soal hukum dan konsep yang berada di luar pengalaman hidup mereka, dan inilah peran CSO untuk memberikan pengetahuan pada aktivis muda bahwa aktivis HAM adalah merebut kembali ketidakadilan berkaitan dengan kasus HAM, membuat kerangka debat seputar HAM yang tidak saja pada aspek legal, akan tetapi pada aspek moral HAM yang didasarkan pada argumentasi mengenai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. E. Kerangka Teori E.1. Gerakan Sosial Sebagai Strategi Produksi Pengetahuan Dalam melakukan strategi pemberdayaan, pemberdayaan memiliki kontribusi dari gerakan sosial yang salah satunya berasal dari Civil Society organization (CSO). Keberadaan mereka relatif menghasilkan penguatan civil society sehingga terlihat semakin menguatnya kewenangan masyarakat lokal dalam proses pembangunan yang menyangkut masa depan masyarakat, baik dalam level identifikasi masalah, perencanaan, sampai dengan pelaksanaan pembangunan pemerintah. 7 Mansour Fakih mengatakan, aktivis gerakan sama sekali tidak bisa dipisahkan dari gerakan sosial yang merupakan fenomena positif dan menjadi sarana konstruktif dari rekayasa perubahan sosial. Maka tugas besar pemberdayaan bagi aktivis gerakan diantaranya ialah, melakukan reposisi ideologi aktivis. Reposisi ideologis itu ialah menempatkan aktivis gerakan 7 Mahardika, Timur. Strategi Membuka Jalan Perubahan (Yogyakarta : Pondok Edukasi, 2006), hlm 64-78. 8 sebagai intelektual organik, dimana para aktivis gerakan harus menguasai gelanggang produksi pengetahuan, menciptakan ruang bagi rakyat sehingga dapat menganalisa struktur dan sistem yang memarginalisasi mereka, dan mendorong rakyat untuk berkesadaran kritis melalui sebuah pendidikan.8 Gerakan Sosial Sendiri menurut David F. Aberle adalah suatu usaha terorganisir oleh sekelompok orang untuk menimbulkan perubahan di hadapan tekanan manusia lainya (penguasa yang mengendalikan tatanan yang sedang berjalan di masyarakat). Gerakan Sosial mengandung unsur adanya kekacauan di antara manusia, suatu kegelisahan, yang kemudian melahirkan gerakan bersama, suatu gerakan bersama untuk mencapai suatu tujuan yang divisualisasikan khususnya suatu perubahan dalam lembaga atau tatanan sosial tertentu. 9 Beberapa pengertian gerakan sosial lainnya dikemukakaan oleh jhon Wilson 10 yakni; 1) gerakan sosial adalah usaha sadar, kolektif, dan terorganisir menimbulkan perubahan atau sebuh perlawanan terhadap perubahan dalam skala besar, dalam tatanan sosial dengan cara yang tidak terlembagakan; 2) gerakan sosial adalah kolektifitas yang diorganisir. Dalam pengertian ini gerakan sosial dapat dilihat dari adanya gerakan bersama; 3) gerakan sosial memiliki potensi untuk memiliki skup yang lebih besar. Banyak gerakan sosial yang awalnya memiliki pengikut yang sedikit, dengan anggota yang kurang dari seratus orang, namun pesan-pesan yang dibawa oleh gerakan membuat banyak orang tertarik untuk bergabung; 4) gerakan sosial menggunakan cara-cara yang tidak terlembagakan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Pola-pola perilaku 8 Fakih, Mansour. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hlm 146-147. 9 Rudolf Heberle, Social Movement (New York: Appleton-Century Crof, 1991). Sebagaimana dikutip dalam Saherman, Aktivis Mahasiswa di Ornop (Kebuntuan Media Alternatif Aktivis Mahasiswa Pada Gerakan Non Pemerintah di Yogyakarta). (Skripsi Jur. Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, 2002), hlm 8. 10 Jhon Wilson, Introduction to Social Movement (New York: Basic Book,Inc. Publishirs, 1973). Sebagaimana dikutip dalam Saherman, Aktivis Mahasiswa di Ornop (Kebuntuan Media Alternatif Aktivis Mahasiswa Pada Gerakan Non Pemerintah di Yogyakarta). (Skripsi Jur. Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, 2002), hlm 9. 9 dikatakan tidak terlembagakan ketika secara luas diterima sebagai pengikat dalam masyarakat atau bagian dari masyarakat; 5) gerakan sosial tidak sepenuhnya terbatas pada pemenuhan kepentingan pribadi dari masingng-masing anggota mereka. Gerakan sosial tidak memiliki tujuan-tujuan sempit yang akan membatasi maksud-maksud mereka hanya pada kelompok masyarakat tertentu, yang menjadi tujuan gerakan sosial adalah kemajuan yang paling pokok dari masyarakat; 6) gerakan sosial adalah usaha-usaha sadar yang terarah untuk menimbulkan perubahan sosial. Gerakan ini mencoba menawarkan alternative lain dari sebuah tatanan sosial; 7) gerakan sosial menggunakan bermacam taktik untuk mencapai tujuannya. Taktik-taktik tersebut bervariasi dari yang menggunakan kekerasan sampai dengan kekerasan, baik taktik dalam advokasi, melakukan aksi dan lain sebagainya. Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa gerakan sosial pada dasarnya merupakan gerakan yang dilakukan untuk melakukan perubahan terhadap tatanan sosial yang ada, atau dapat juga dikatakan sebagai aksi protes terhadap tatanan sosial yang timpang. Dengan adanya gerakan sosial diharapkan akan tercapai sutau tatanan baru yang memajukan kondisi masyarakat. Gerakan sosial dapat juga merupakan upaya untuk membebaskan masyarakat dari kondisikondisi tertekan atau tindakan respresif yang dialami akibat tatanan sosial yang timpang. Ketimpangan itu terjadi krena adanya penguasaan terhadap tatanan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang lebih mengutamakan kepentingannya saja tanpa menghiraukan nasib masyarakat. 11 Studi ini mencoba mengambil sudut pandang gerakan sosial sebagai strategi produksi pengetahuan aktivis muda dalam artian pemahaman materi gerakan sosial yang diberikan, serta 11 Ibid 10 pemahaman mengenai aksi, dan advokasi yang dilakukan yang terangkum dalam kegiatan pemberdayaan. E.2. Pemberdayaan Aktivis Muda Sebagai Tujuan CSO Pemberdayaan (empowerment) dapat didefinisikan sebagai proses maupun sebagai hasil. 12 Sebagai Proses Pemberdayaan adalah serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditunjukan untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas atau kemampuan personal, interpersonal atau politik, sehingga individu atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi hidupnya. Sebagai sebuah hasil pemberdayaan menunjuk pada tercapainya sebuah keadaan, yakni keberdayaan dan keberkuasaan yang menyangkut; state of mind, seperti perasaan berharga dan mampu mengontrol kehidupan serta Realocation of power yang dihasilkan dari pemodifikasian struktur sosial. Dalam hal ini pemberdayaan aktivis muda adalah proses memperoleh serangkaian pengetahuan untuk dapat diaplikasikan pada kasus dan isu-isu yang menjadi konsen dari pergerakan seorang aktivis, sehingga menghasilkan gagasan untuk mencapai perubahan. Baik sebagai proses atau tujuan, pemberdayaan mencakup tidak hanya peningkatan seseorang atau sekelompok orang melainkan perubahan sistem dan struktur sosial. Tidak hanya pada permasalahan atau pemberdayaan ekonomi tetapi meliputi pula dalam bidang sosial-politik, misalnya seperti menyatakan aspirasi dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan politik. 12 Dalam artikel Edi Suharto, “Filosofi dan Peran Advokasi, dalam Mendukung Program Pemberdayaan Masyarakat”. Teori DuBois Miley, 2005; Suharto, 2005a. 11 Sedangkan, pemberdayaan alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomi pengambilan keputusan untuk melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung. 13 Sesuai dengan konsep pemberdayaan tersebut SMI mencoba untuk memberikan strategi pemberdayaan tidak hanya berdasarkan pada teori, tetapi pengamatan dan kegiatan langsung di lapangan, sehingga ilmu yang sudah didapatkan dapat diaplikasikan sesuai dengan isu-siu yang sedang dipelajari. Pemberdayaan dapat dikatakan juga sebuah proses ketika orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam pembagian kontrol dan berpengaruh terhadap kejadian serta lembaga yang berkaitan dengannya. Dengan demikian, pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya. Pemberdayaan aktivis muda tersebut bergerak karena bermula dari keinginan CSO yang dalam hal ini adalah organisasi SMI untuk dapat menghasilkan aktivis muda yang dapat mengerti pergerakan seorang aktivis dan peduli akan kinerja seorang aktivis. CSO merupakan lembaga yang terdiri dari banyak orang yang secara sukarela mengorganisasi diri dan merepresentasikan kepentingan dan perikatan yang luas. Termasuk di dalamnya organisasi berbasis komunitas, organisasi masyarakat adat, dan organisasi non-pemerintahan atau CSO sebagai organisasi di luar keluarga yang bersifat non-pasar yang mengorganisasi diri dengan tujuan tertentu. Karakter CSO dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis keanggotaan, latar belakang pendirian, maupun CSO yang berorientasi pada pelayanan jasa atau voluntarisme.14 Bukan CSO yang sembarangan melainkan CSO yang memiliki sifat otonom, memiliki kemampuan adaptif, 13 Ibid artikel Filosofi dan Peran Advokasi, dalam Mendukung Program Pemberdayaan Masyarakat”. Definisi CSO dalam jurnal peran CSO dalam pelaksanaan kegiatan yang didanai atau hibah dari luar negeri. Studi kasus kegiatan MCC-Compact Indonesia. pendanaan.bappenas.go.id 14 12 memiliki koherensi (konsensus tentang misi organisasi), dan memiliki kompetensi. 15 Tujuan bersama antara CSO dan aktivis tersebut menjadi landasan utama agar pengetahuan yang dapat diperoleh dapat diaplikasikan sesuai dengan latar belakang aktivis tersebut. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada pemberdayaan aktivis muda. Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian aktivis adalah individu atau sekelompok orang (terutama anggota politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, perempuan) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Artinya aktivis merupakan orang yang bergerak untuk melakukan sebuah perubahan dan memiliki wadah sebagai alat untuk mencapai tujuan perubahan tersebut.16 Dalam kosa kata bahasa Indonesia, pemuda atau muda juga dikenal dengan sebutan generasi muda atau kaum muda yang memiliki terminologi beragam. Untuk menyebut generasi muda atau pemuda, di gunakan istilah young human resources sebagai salah satu sumber daya yang berperan dalam pembangunan. Mereka adalah generasi yang ditempatkan sebagai subjek pemberdayaan yang memiliki kualitatif efektif dengan kemampuan dan ketrampilan yang didukung penguasaan IPTEK, sosial dan politik untuk dapat maju dan berdiri dalam keterlibatannya secara aktif bersama kekuatan efektif lainnya guna penyelesaian masalahmasalah yang sedang dihadapi. 17 Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa pemuda sebagai objek pemberdayaan, yaitu mereka yang masih memerlukam bantuan, dukungan dan 15 Grezia Eleganza. Dalam kutipan Samuel Huntington “Penguatan Modal Sosial Masyarakat Desa melalui Pemberdayaan oleh Civil Society Organization sebagai Upaya Menghadapi Krisis Pangan”. https://www.academia.edu/5949291/Penguatan_Modal_Sosial_Masyarakat_Desa_melalui_Pemberdayaan_oleh_ Civil_Society_Organization_sebagai_Upaya_Menghadapi_Krisis_Pangan. 16 Pricilia Claudia Oley. PERILAKU POLITIK AKTIVIS MAHASISWA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SAM RATULANGI (Suatu Studi Terhadap Pengurus Organisasi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi Tahun 2012) http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/politico/article/view/2514. 17 Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Revolusi Politik Kaum Muda, Jakarta,2008,hal.15 13 pengembangan ke arah potensi dan kemampuan efektif ke tingkat optimal untuk dapat mengaplikasikan pemberdayaan dan peran serta terlibat dalam organisasi yang menjadi penunjang kemampuan. E.3. Pendidikan Politik Aktivis Muda: Berpikir dan Bertindak Dalam pemikiran Paulio Freire mengenai pendidikan politik, Freire memfokuskan pendidikan politik tersebut pada pemahaman bahwa pendidikan adalah hadap-masalah untuk berpikir dan bertindak. Freire mengutarakan tujuan dari pendidikan politik sebagai usaha tabungan dan reproduksi dalam penghadapan secara langsung subjek-subjek terdidik dengan masalah-masalah nyata manusia yang berhubungan dengan realitas dunia dan keberadaan diri mereka di dalam dan bersama dunia. Masalah dan realitas dunia tersebut adalah objek yang dapat dipahami sebab memiliki hubungan dengan subjek. Dalam hubungannya guru dengan murid, pendidikan hadap-masalah menempatkan murid menjadi subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berpikir, dan sekaligus mewujudkan hasil tindakan dan buah pikiran tersebut. Metode hadap-masalah dalam pendidikan membebaskan adalah situasi belajar dan mempelajari antara subjek dan subjek tentang objek lain yaitu realita. Artinya, dalam pendidikan hadapmasalah terjadi hubungan horizontal atau kesederajatan antara guru dan murid karena yang ada adalah untuk saling belajar dan mengajar satu sama lain dengan metode berpikir dan bertindak.18 Pandangan ini sesuai dengan hakekat pendidikan politik yang tidak menonjolkan pengembangan individu yang menjadi “intelektual politik” yang tinggal dalam menara gading atau pribadi cerdas namun”terisolir” dari lingkungannya. Pendidikan politik menekankan relasi 18 Lihat dalam skripsi Firmanto. Peta Pemikiran Paulo Freire Mengenai Pendidikan Politik. 2008. hlm. 139. 14 individu dengan individu yang lain atau individu dengan masyarakat dalam konteks dan dimensi sosial-politik masyarakat. 19 Dalam pendidikan hadap masalah, adalah objek atau realitas dunia yang harus difahami subyek lewat dialog. Kartini Kartono menyebut proses ini sebagai “seni didaktik politik”, yaitu berupa konsistensi dan problematisasi pengalaman-pengalaman nyata yang subjektif dan kemudiakan dijadikan masalah objektif. Seni ini termasuk menemukan dan memahami fakta permasalahan yang relevan, yang dikuatkan dengan penemuan adanya kemungkinan-kemungkinan baru dan pencarian jalan keluar baru terhadap suatu permasalahan. Dengan kata lain proses ini meliputi usaha menterjemahkan dan mentransformasikam kesulitan, ide-ide dan aspirasi pribadi menjadi permasalahan kemasyarakatan yang bisa digeluti dan ditangani secara kolektif.20 Melalui pendidikan politik orang berusaha melihat permasalahan sosial-politik yang ada disekitarnya, memperbincangkan dengan pemikiran dan kemudian ikut menanganinya dengan cara alternative dalam tindakan aktif dan arah pasti. Artinya pendidikan politik adalah proses belajar bukan sekedar menambah informasi dan pengetahuan saja tetapi juga menekankan kemampuan mawas situasi secara kritis dan bertindak. Dalam situasi sosial yang penuh dengan dominasi dan penindasan maka peran dari pendidikan politik bukan untuk adaptasi atau penyesuaian terhadap situasi status quo namun memperbesar kebebasan dan kesadaran kritis untuk menciptakan gerakan-gerakan kontra yang penuh humanisasi dan membebaskan serta menuju proses demokratisasi dari kehidupan bersama yang lebih progresif. 21 Pendidikan politik ala Paulo Freire menjelaskan pendidikan poltik menghindari rasa mudah percaya dan meyakini “kebenaran” mitos-mitos politik, doktrin-doktrin politik dan 19 Lihat dalam skripsi Firmanto.2008. hal 140, Kartono, 1996, hlm. 63. Ibid 21 Kartono, 1996, hlm 75-76. 20 15 propaganda politik yang semuanya bersifat melenakan. Pendidikan politik mendorong jalannya fungsi kontrol, pengujian, verifikasi terhadap realitas yang dihadapi. Skeptisme terhadap realitas dalam pendidikan politik adalah tahap problematisasi dalam pendidikan hadap masalah. Ini berarti bahwa pendidikan tidak bisa menafikan pentingnya menyusun isi program pendidikan politik dengan situasi kekinian, eksistensial dan kongkrit yang mencerminkan aspirasi-aspirasi rakyat sebagai suatu permasalahan menantang yang menuntut jawaban, tidak hanya pada tingkat pemikiran tetapi juga pada tingkat tindakan. 22 Pemikiran Paulo Freire tersebut dijadikan sebagai langkah dalam pemberdayaan aktivis muda dalam hal berpikir dan bertindak melalui strategi pemberdayaan yang dilakukan. Dalam hal ini SMI mencoba untuk mengkolaborasikan antara pengetahuan dan aksi dalam pemberdayaan aktivis muda agar nantinya aktivis muda tidak terbelenggu pada gerakan yang massif tanpa memahami isu yang dibawa. Sehingga subyek disini lebih ditekankan pada aktivis muda atau mahasiswa guna memperoleh pendidikan politik. F. Definisi Konseptual 1. Gerakan Sosial adalah gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki visi, misi, tujuan, ide, nilai sosial politik yang sama (mempertahankan, merubah, merebut, mengontrol, dan menjalankan kehidupan sosial politik); yang dilakukan secara sistematis, terorganisir dan bertahan cukup lama. 22 Kartono , op.cit., 1996,hlm 79. 16 2. Strategi gerakan adalah usaha atau upaya yang dilakukan guna mencapai tujuan tertentu dan dengan cara tertentu. 3. Civil Society Organization adalah lembaga yang terdiri dari banyak orang yang secara sukarela mengorganisasi diri dan merepresentasikan kepentingan dan perikatan yang luas. 4. Pemberdayaan aktivis adalah suatu proses kegiatan guna mendapatkan pengetahuan dan kemampuan yang dilakukan oleh sekelompok orang (terutama anggota politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, perempuan) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. 5. Pendidikan Politik adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas pendidikan. G. Definisi Operasional G.1 . Operasionalisasi Gerakan Sosial sebagai Produksi Pengetahuan Aktivis Muda Indikator yang digunakan dalam melihat gerakan social sebagai produksi pengetahuan melalui program-program kegiatan dan kurikulum pendidikan yang diberikan dalam pemberdayaan aktivis muda di Yogyakarta. Indicator dapat dilihat sebagai berikut: 1. Kurikulum yang memberikan pemahanan mengenai gerakan sosial 2. Gagasan-gagasan SMI mengenai aksi gerakan sosial 3. Diskusi mengenai gerakan sosial yang dilakukan dalam proses pemberdayaan aktivis muda 4. Sekolah pergerakan yang membahas mengenai teori dan praktik gerakan. 17 G.2. Operasionalisasi Pemberdayaan Aktivis Muda yang dilakukan CSO Idikator yang digunakan dalam melihat pemberdayaan aktivis muda yang dilakukan oleh CSO dipahami melalui indicator sebagai berikut: 1. Sejarah terbentuknya organisasi SMI tersebut. 2. Hal yang melatarbelakangi ide-ide mengenai pemberdayaan aktivis muda 3. Pola pengorganisasian yang dilakukan SMI dalam rekruitmen anggota dan peserta pemberdayaan aktivis muda. 4. Strategi yang diberikan organisasi SMI dalam pemberdayaan aktivis muda 5. Jenis-jenis kegiatan atau program pemberdayaan yang akan dilakukan 6. Sejauh mana produksi pengetahuan pemberdayaan pada aktivis muda dapat diterapkan dalam mengawal suatu kasus atau isu. G.3. Operasionalisasi Pendidikan Politik dalam Pemberdayaan Aktivis Muda Sebagai pemahaman mengenai penanaman pendidikan politik dalam menganalisis masalah atau isu yang sedang dihadapi. Melihat sejauh mana pendidikan politik dapat diterapkan dalam mengatasi isu atau kasus. Paling tidak mampu menciptakan ruang agar sikap atau pemikiran kritis terhadap sistem dan strukur ketidakadilan dapat tersalurkan melalui kegiatan yang dilakukan. Pendidikan politik menekankan pada aktivis muda memperoleh strategi pemberdayaan melalui pemahaman pendidikan gerakan dan praktik dari pendidikan tersebut. 18 H. Metode Penelitian H.1 Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode penelitian kuantitatif biasanya sangat memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas. Memang dalam penelitian kualitatif kehadiran nilai peneliti bersifat eksplisit dalam situasi yang terbatas, melibatkan subjek dengan jumlahrelatif sedikit. Dengan demikian, hal yang umum dilakukan ia berkutat dengan analisa tematik. 23 Peneliti kualitatif biasanya terlibat dalam interaksi dengan realitas yang ditelitinya. Selain itu diperkuat dengan Factor-faktor yang terkait orientasi dalam penelitian yang menggunakan metode kualitatif. Orientasi pertama terkait dengan pendekatan yang digunakan terhadap data. Metode kualitatif memperlakukan data sebagai sesuatu yang bermakna secara intrinsik. Dengan demikian, data yang ada dalam penelitian kualitatif bersifat “lunak”, tidak sempurna, imaterial, kadangkala kabur dan seorang peneliti kualitatif tidak akan pernah mampu mengungkapkan semuanya secara sempurna. Namun demikian, data yang ada dalam penelitian kualitatif bersifat empiris, terdiri dari dokumentasi ragam peristiwa, rekaman setiap ucapan, kata dan gestures dari objek kajian, tingkah laku yang spesifik, dokumen-dokumen tertulis, serta berbagai imaji visual yang ada dalam sebuah fenomena sosial. 24 Orientasi kedua adalah penggunaan perspektif yang non-positivistik. Penelitian kualitatif secara luas menggunakan pendekatan interpretatif dan kritis pada masalah-masalah sosial. Peneliti kualitatif memfokuskan dirinya pada makna subjektif, pendefinisian, metapora, dan deskripsi pada kasus-kasus yang spesifik. Peneliti kualitatif berusaha menjangkau berbagai aspek 23 24 Gumilar Rusliwa Somantri. 2005. Dalam jurnal Memahami Metode Kualitatif. Hal 4-5. Nurul Zuriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan,Teori-Aplikasi. Teori Neuman, 1997: 328. Hal 7-10 19 dari dunia sosial termasuk atmosfer yang membentuk suatu objek amatan yang sulit ditangkap melalui pengukuran yang presisif atau diekspresikan dalam angka. Dengan demikian, penelitian kualitatif lebih bersifat transendental, termasuk di dalamnya memiliki tujuan menghilangkan keyakinan palsu yang terbentuk pada sebuah objek kajian. Selanjutnya, mazhab non-positivist itu sendiri adalah mazhab yang secara spesifik akan diteruskan oleh beberapa model penelitian kualitatif. Secara umum, metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang lebih banyak mengedepankan observasi di lapangan untuk kasus kasus sosial. 25 Sementara studi kasus adalah salah satu metode penelitian yang merupakan tindak lanjut dari metode penelitian kualitatif itu sendiri.Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode studi kasus.fokus studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan.Lebih lanjut Creswell mengemukakan beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu ; (1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi; (2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh waktu dan tempat; (3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa dan (4) Menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks atau setting untuk suatu kasus. Hal ini mengisyaratkan bahwa suatu kasus dapat dikaji menjadi sebuah objek studi maupun mempertimbangkannya menjadi sebuah metodologi. 26 25 Dapat dilihat di buku. Yin, Case Study Research Design and Methods. (Washington : COSMOS Corporation, 1989), hlm. 1 26 Yani Kusmarini. 2013. Dalam jurnal Studi Kasus (Jhon W. Creswell). Hal 2-4 20 Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, obyek yang dapat diangkat sebagai kasus bersifat kontemporer, yaitu yang sedang berlangsung atau telah berlangsung tetapi masih menyisakan dampak dan pengaruh yang luas, kuat atau khusus pada saat penelitian dilakukan. Salah satu kekhususan penelitian studi kasus sebagai metoda penelitian adalah pada tujuannya. Penelitian studi kasus sangat tepat digunakan pada penelitian yang bertujuan menjawab pertanyaan ‘why’ dan ‘how’ terhadap sesuatu yang diteliti. Melalui pertanyaan penelitian yang demikian, substansi mendasar yang terkandung di dalam kasus yang diteliti dapat digali dengan mendalam.27 H.2 Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian tersebut penulis mengguankan sumber-sumber sebagai berikut: 1. Wawancara Wawancara yang dimaksud ialah interview mendalam yang dilakukan oleh peneliti dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara lisan. Wawancara penulis lakukan kepada beberapa pihak yaitu; 1. Pengurus dan Anggota Senior SMI yaitu Eko Prasetyo (Ketua Badan Pekerja), Lustfi Siswanto, Melky, Asman Abdullah (Program Pendidikan dan Pelatihan/aksi kamisan), Joko Supriyanto (Program penerbitan dan Publikasi), Angga Yudhiansyah dan Muhammad Zuhdan (Program Penelitian dan Pengembangan), Sahidie (Koordinator Sekolah Penulisan Progresif), Asam (Koordinator sekolah Politik dan 27 Yin, Robert K. 2003.Case Study Research, Design and Methods, Third Edition. Sage Publications, Inc. California. 21 Hukum Progresif ), Iroy dan Shinta (Koordinator Sekolah Perempuan) dan Dhika (Koordinator Teater Suluh) . 2. Anggota dan Alumni Pendidikan Politik yaitu Mella dan Luna umur 25 tahun, S2 Fisipol UGM. Rayinda Dwi Prayogi, umur 20 tahun organisasi HMI. Gehan Ghofari, umur 20 tahun, Fisipol UGM Organisasi Mun Community. Vicky Tri Sumekto, umur 28 tahun, organisasin Stube HEMAT Yogyakarta dan Jaringan Mahasiswa Lintas Iman (JARI LIMA). Janeska Mahardika, umur 28 tahun, organisasi Yayasan Tadula kota. Fadly Yashari Soumena, umur 21 tahun, organisasi BEM FE UMY dan HIMIE UMY. Azan Pranoto, umur 23 tahun, organisasi KOMPAK. Martuti Organisasi FBLP dan Romel Masykuri, umur 25 tahun, Senat Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan PMII. Utami Dewi, Volunteer Institut Hak Asasi Perempuan, One Billion Rising. Kiki, umur 20 tahun, FISIPOL UGM, organisasi DEMA. 2. Pengamatan Langsung/ Observasi Penulis juga mengumpulkan data dengan mengunjungi ke lokasi penelitian untuk mengamati proses kegiatan dan aktivitas yang berlangsung. 3. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan merupakan sumber informasi penelitian dari data sekunder berupa dokumen. Dokumen ini berupa penunjang yang penulis dapatkan dari beberapa studi pustaka seperti jurnal maupun buku-buku yang ditujukan sebagai pembanding dan pelengkap sekiranya memiliki kedekatan relevansi dengan tema penelitian. 22 H. 3 Metode Analisis Data Penulis akan melakukan teknik analisis data dengan membagi menjadi dua tahapan yaitu analisis sebelum di lapangan dan analisis data setelah di lapangan. Peneliti telah melakukam analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini maish bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama dilapangan. Peneliti telah melakukan penelitian awal sebagai pembuka dalam pendahuluan melihat keadaan SMI dan sekilas melihat kegiatan yang mereka lakukan. Maka dari itu, strategi pemberdayaan untuk aktivis muda di Yogyakarta yang menjadi pilihan fokusan dengan berlandaskan kerangka teori yang sudah ditentukan. Proses penelitian setelah memasuki lapangan, dimulai dengan menetapkan seseorang informan kunci “key informant” yang merupakan informan kunci dan dipercaya mampu “membukakan pintu” kepada peneliti untuk dapat memperoleh informan-informan lain terkait dengan penelitian. Setelah itu peneliti melakukan wawancara kepada beberapa informan tersebut dan mencatat hasil wawancara. Setelah itu perhatian peneliti pada obyek penelitian dan memulai mengajukan pertanyaan diskriptif, dilanjutkan dengan analisis terhadap hasil wawancara. Jadi proses penelitian berangkat dari yang luas, kemudian memfokus dan meluas lagi. Terdapat tahapan analisis data yang dilakukan dalam penelitian yaitu analisis domain atau gambaran umum, analisis taksonomi atau domain yang dipilih menjadi lebih rinci, analisis komepensial melalui pertanyaan yang mengkontraskan, dan analisi tema kultural atau mencari hubungan secara keseluruhan yang sesuai dengan penelitian.28 28 Spradley,1980, Macam analisis data kualitatif. 23 H.4 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di lingkungan Griya Social Movement Istitute (SMI) yang beralamat di Jalan Tanjung No.64 , Sorogenen Nitikan Baru, Yogyakarta. Pemilihan fokus di lokasi dengan menggunakan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut merupakan tempat berkumpulnya atau markas para aktivis muda dan segala kegiatan yang dilakukan. Di lokasi tersebut sering diadakan acara-acara atau pelatihan aksi yang berkaitan dengan kegiatan pemberdayaan aktivis muda. Dengan pemilihan lokasi tersebut peneliti dapat melakukan pengamatan langsung serta menemui narasumber utama untuk memperoleh data-data yang diperlukan selama penelitian. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk pencarian datadata di luar lokasi yang pernah mengikuti atau mengerti kegiatan yang dilakukan SMI. H.5 Unit Analisis Data Unit analisis yang penulis ambil adalah fokus pada strategi gerakan yang dilakukan SMI dalam melakukan pemberdayaan pada aktivis muda di Yogyakarta melalui pendidikan kritis dan pemahaman akan gerakan sosial. Hal tersebut menjadi unit analisis yang menarik bagaimana suatu organisasi masyarakat sipil dapat memberikan ruang diskusi dan diskursus mengenai pergerakan dan pendidikan kritis untuk aktivis muda di Yogyakarta. I. Sistematika Penulisan Bab 1 menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan yang melatarbelakangi munculnya pemikirian organisasi SMI dalam pemberdayaan aktivis muda di Yogyakarta, tujuan 24 dan manfaat dari dilaksanakannya penelitian, landasan teori yang dipakai sebagai pondasi awal untuk menganalisis data, definisi konsep sebagai upaya pembatasan pembahasan, definisi operasional terkait operasionalisasi konsep yang dipakai, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2 penulis menjelaskan mengenai dinamika gerakan mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil dan menurunya gerakan mahasiswa pasca reformasi. Selanjutnya menjelaskan mengenai sejarah dari Organisasi SMI. Bab 3 berisi tentang pembahasan dan analisis. Pembahasan pertama mengenai pemaparan strategi organisasi SMI dalam pemberdayaan aktivis muda di Yogyakarta. Kedua mengenai pandangan aktivis mdua terhadapa isu politik dan manfaat pemberdayaan. Bab 4 berisi penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan merupakan refleksi dari babbab sebelumnya dan apakah sudah menjawab rumusan masalah dalam penelitian, dan diakhir bab dijelaskan mengenai konstribusi studi penelitian ini dalam ilmu politik dan pemerintahan. 25