ANALISIS KESETARAAN KESEMPATAN DAN PERLAKUAN DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN Oleh : Andari Yurikosari1 A. PENDAHULUAN Berbicara masalah kesetaraan kesempatan dan perlakuan di dalam pekerjaan dan jabatan, sebenarnya UU No. 13 tahun 2003 Pasal 6 telah mengatur mengenai larangan adanya diskriminasi di dalam memperoleh pekerjaan dan jabatan, walaupun di dalam ketentuan tersebut tidak diberikan penjabaran lebih lanjut mengenai batasan-batasan terhadap diskriminasi tersebut. Sebenarnya dapat diberikan terminologi terlebih dahulu terhadap beberapa hal mengenai diskriminasi itu sendiri. Diskriminasi dalam pengertian discrimination sebenarnya mencakup pengertian perbedaan yang luas, tidak hanya pada jenis kelamin akan tetapi juga pada SARA (suku, agama dan ras) bahkan juga pada perbedaan pandangan politik. Perbedaan pandangan politik, pada beberapa dekade yang lalu yaitu pada masa Pemerintahan Orde Baru bahkan telah mengancam tidak saja penganut pandangan politik yang berbeda tetapi juga dengan anak keturunannya (yang kemudian kita kenal sebagai keturunan eks TAPOL G 30 S PKI) untuk memperoleh kesempatan yang sama di dalam segala hak-haknya sebagai warganegara Indonesia termasuk untuk mendapat pekerjaan yang layak. ______________ 1 Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Anggota Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan, Anggota Pusat Studi Kebijakan dan HAM Kajian Perundang-undangan Universitas Trisakti. Makalah disampaikan dalam Bimtek Penerapan Kesetaraan Perlakuan Di Tempat Kerja oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Cibogo, 6 Desember 2006) 1 Perbedaan di dalam kesempatan dan perlakuan di lapangan kerja sering diisukan sebagai sebagai isu gender, yang kemudian sering diasosiasikan sebagai perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita di dalam berbagai bidang, juga dalam memperoleh pekerjaan dan jabatan. Isu gender ini sebenarnya sudah sering pula diantisipasi oleh undang-undang ketenagakerjaan kita, bahkan sejak zaman penjajahan Hindia Belanda yang beberapa di antaranya adalah Staadblad 1947 No.348 tentang Kesehatan Kerja yang kemudian menjadi UU No. 12/1948 tentang Kesehatan Kerja. Dalam undang-undang tersebut diatur larangan pekerjaan bagi wanita,anak-anak dan orang muda.2 Di kalangan pengambil keputusan dan pelaksana program di beberapa instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah, pernah diajukan pertanyaan mengenai gender dengan penjelasan yang terbatas tentang peran dan tanggung jawab atau keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. Beberapa ungkapan tentang gender sebagai berikut : 1.Laki-laki dan perempuan sesuai dengan peran dan fungsinya di dalam keluarga, social juga ditambahkan bahwa gender adalah perbedaan status antara laki-laki dan perempuan (Depnakertrans) 2. Gender pada dasarnya merupakan konsep yang membedakan antara laki-laki dan perempuan bukan berdasarkan biologisnya semata melainkan dikaitkan dengan peran, fungsi, hak,sifat, perilaku yang direkayasa social. Oleh karena itu pemahaman tentang gender dapat berubah dan sangat tergantung pada budaya setempat yang mendukung (Depag) 3. Penerapan keadilan dan kesetaraan gender (Depdagri) ______________ 2 UU No.12/1948 tentang Kesehatan Kerja telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU No.13/2003, akan tetapi beberapa ketentuan mengenai larangan kerja tetap diadopsi oleh UU No. 13/2003 dengan beberapa revisi, di dalam undang-undang yang baru tetap diatur mengenai diskriminasi (perbedaan perlakuan) terhadap pekerja anak dan wanita dengan alasan moral, fisik dan mental pada Pasal 68-77 2 4. Sebuah istilah yang digunakan sebagai pendekatan dalam pemberdayaan perempuan (Deptan) 5. Sudah ada kesamaan kedudukan antara wanita dan laki-laki baik di dalam pekerjaan maupun dalam social kecuali dalam agama 6. Gender artinya tidak ada perbedaan jabatan dan pekerjaan 7. Gender artinya mengenai wanita 8. Gender artinya tentang perempuan, ada perlindungan dan pemberdayaan 9. Kesetaraan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan 10. Konstruksi sosial yang tidak membedakan antara jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan3 Begitu banyak istilah maupun konotasi yang timbul dari pemahaman mengenai gender, sehingga arti harafiahnya sendiri menjadi tercerabut dari akarnya. Gender menurut pengertian dalam kamus Inggris- Indonesia adalah jenis kelamin antara pria dan wanita. Akan tetapi di dalam kehidupan bermasyarakat, pengertian gender menjadi luas makna dan konotasinya. Gender juga harus dibedakan dengan pengertian stereotype. Pengertian mengenai stereotype sendiri sebenarnya tidak hanya sebatas ruang lingkup gender, tetapi juga pada agama, adat istiadat, suku bangsa dan bahasa. Menurut pemahaman penulis sendiri, stereotype cenderung berkonotasi negatif, sedangkan gender tidak dapat dikatagorikan negatif. ______________ 3 Rahmadewi, dkk, “Studi Evaluasi Pelaksanaan Program Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sektoral L tingkat Pusat, Propinsi Jawa Timur dan Sumatera Barat, Puslitbang KS dan Peningkatan Kualitas Perempuan,” BKKBN, Jakarta 2002 3 Reaksi pembentuk undang-undang terhadap isu gender sebenarnya sudah banyak ditanggapi di dalam peraturan perundang-undangan. Untuk merespon program legislasi nasional (prolegnas) 2005-2009 yang mengagendakan sejumlah RUU terkait penegakan HAM perempuan, seperti UU trafficking, RUU revisi UU Kesehatan, RUU Revisi Kewarganegaraan, Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) membuat langkah politis untuk mendesak agenda proleg untuk kepentingan penegakan HAM perempuan.4 Namun demikian, sebenarnya masalah perbedaan kesetaraan perlakuan pada pekerjaan dan jabatan tentu tidak terbatas pada masalah perbedaan gender, sebab UU No. 13/2003 sendiri sebenarnya telah mengatur mengenai beberapa aturan perbedaan perlakuan dalam kedudukan dan jabatan di tempat kerja. Hal ini yang akan menjadi pokok bahasan permasalahan penulis dalam makalah ini. . B. POKOK PERMASALAHAN 1. Bagaimana fenomena perbedaan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan di tempat kerja dikaitkan dengan analisis normatif perlindungan hukum uu ketenagakerjaan terhadap fenomena perbedaan kesetaraan perlakuan tersebut ? ______________ 4LBH APIK Jakarta, “Pemikiran Perempuan dan Upaya Setengah Hati Negara dalam Menegakkan Hak Asasi Perempuan,” Refleksi dan Catatan Kerja LBH APIK Jakarta Tahun 2005 4 C. ANALISIS FENOMENA KESETARAAN DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN Fenomena tenaga kerja sepanjang tahun 2005 -2006 ditandai dengan maraknya kasus penutupan industri Tangerang, Bekasi dan Jakarta. Seperti kasus penutupan 16 pabrik garmen (Harian Suara Karya Desember 2005). Selain itu dari data buruh di Kawasan Berikat Nusantara Cakung diketahui terdapat lebih dari 10 pabrik yang mengalami penutupan dengan modus hilangnya dan kaburnya pemilik, diketahui tentu yang mengalami kerugian adalah buruh perempuan. Fenomena lain terungkap bahwa mengenai hak-hak buruh perempuan secara normative pada umumnya tidak terpenuhi, seperti upah di bawah UMP, tidak diperkenankan ikut serikat buruh, fasilitas penunjang kesehatan dan keselamatan kerja yang tidak terpenuhi juga jaminan atas perlindungan hak reproduksinya. Data dari LBH APIK Jakarta mengungkapkan bahwa seorang buruh perempuan dipotong gajinya oleh karena kehamilannya dianggap menurunkan kualitas kerja. Aturan mengenai cuti haid pun banyak perusahaan yang mengabaikan, menolak (dengan memotong gaji pekerja selama ia mengambil cuti haid) atau kalaupun menyetujui, perusahaan melakukan pemeriksaan secara fisik terlebih dahulu. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada pekerja di sector formal bahkan di sector informal, biasanya hal ini lebih parah oleh karena undang-undang ketenagakerjaan kita belum mengatur perlindungan bagi pekerja di sector informal. UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dalam beberapa pasalnya memang melakukan “diskriminasi” terhadap pekerja perempuan, selain aturan cuti haid dan cuti hamil yang memang khusus diperuntukkan bagi perempuan, juga adanya larangan bekerja malam hari bagi pekerja wanita di bawah 18 tahun. Wanita yang bekerja malam hari juga diatur secara khusus harus memenuhi ketentuan diantar jemput oleh perusahaan. Pada waktu penyusunan undang-undang ketenagakerjaan (UU No.13/2003) sebenarnya terdapat protes dari aktivis perempuan dan organisasi 5 perempuan yang menolak penghapusan ketentuan dalam UU No. 12/1948 di dalam uu ketenagakerjaan yang baru yang mengatur mengenai pekerja wanita yang bekerja di dalam tambang. Menurut mereka sebenarnya wanita dapat pula dan harus diperkenankan bekerja di dalam tambang, karena tidak ada perbedaan gender di sini. Sedangkan sebenarnya maksud pembentuk undang-undang adalah bahwa wanita secara kodrati memang perlu dibedakan dalam beberapa hal/bidang pekerjaan yang dianggap membahayakan fisik dan mentalnya sebagai seorang wanita. Di dalam CEDAW yang telah diratifikasi oleh UU No.7/1984 tentang Ratifikasi Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Pasal 2 disebutkan hal-hal sebagai berikut : Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala hal bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, untuk menjalankan suatu kebijakan diskriminasi terhadap perempuan dan untuk tujuan ini berusaha untuk : a. memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam undang-undang dasar mereka dan peraturan perundangan yang lain yang layak apabila belum dimasukkan ke dalamnya dan untuk menjamin realisasi dari asas ini melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat b. membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya lainnya, dan di mana perlu termasuk melarang semua diskriminasi terhadap perempuan c. menetapkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar persamaan dan menjamin perlindungan bagi kaum perempuan yang aktif terhadap setiap perilaku diskriminatif melalui organisasi yang kompeten dan badan-badan pemerintahan lainnya d. mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan perlakuan diskriminatif terhadap orang, organisasi atau lembaga apapun Kesetaraan di dalam prospek karier bagi wanita atau perempuan juga mengalami kendala yang sama . Sebuah studi yang dilakukan seorang dosen wanita di Semarang dan dipresentasikan dalam Proceeding Seminar dan Workshop Penelitian Balitbang Jawa Tengah, Semarang 9 September 2003, menemukan bahwa dunia akademis adalah pilihan yang menarik bagi wanita, 6 akan tetapi karier akademisi seorang wanita akan terhenti pada suatu titik tertentu, sekitar 66% menyatakan bahwa kesetaraan kesempatan bagi wanita rendah.5 Hasil penelitian ini tentu saja menurut penulis tidak dapat dianggap mewakili pendapat atau pandangan umum mengenai perbedaan kesempatan bagi wanita akan jabatan dan karier yang sama. Beberapa institusi pemerintah maupun swasta telah memiliki beberapa pimpinan seorang wanita dengan kemampuan dan kompetensi yang sama dengan pria. Perbedaan perlakuan di dalam memperoleh pekerjaan yang layak tidak hanya terjadi pada pekerja wanita. Hal ini juga terjadi pada pekerja anak-anak. Undang-undang No. 13/2003 Pasal 69mengatur bahwa anak boleh bekerja di bawah pengawasan anggota keluarga lainnya dan hanya diperkenankan bekerja selama tiga jam. Akan tetapi di dalam prakteknya tidak demikian. Fenomena pekerja anak yang bekerja di sector yang membahayakan perkembangan fisik dan mentalnya sebagai anak, terjadi di mana-mana. Anak bekerja dengan bahan kimia (misalnya di industri sepatu sebagai pengelem sepatu), anak bekerja dalam pekerjaan terpuruk anak (pekerja di lepas pantai, pekerja seks komersial hasil trafficking) dan tentu saja upah yang diterima pekerja anak biasanya lebih rendah dari pekerja dewasa untuk bidang pekerjaan yang sama. Fenomena perbedaan perlakuan juga terjadi di perusahaan asing juga di perusahaan joint venture, bagi pekerja asing (ekspatriat) dan pekerja Indonesia. Perbedaan ini terjadi mulai dari besaran upah termasuk bonus dan fasilitas untuk jenis pekerjaan yang sama, jaminan social dan jaminan kesejahteraan untuk tingkat kepangkatan yang sama dan tentu saja perbedaan di dalam meraih jenjang kepangkatan dan jabatan. ______________ 5 TH Agung M Harsiwi, “Studi Pandangan Akademisi Wanita terhadap Kesetaraan Kesempatan dan Prospek Karier di Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah,” Makalah hasil penelitian disampaikan pada Proceeding Seminar dan Workshop Penelitian Balitbang Jawa Tengah, Semarang, 9 September 2003 7 UU No. 13/2003 sebenarnya telah mengatur bahwa pekerja asing hanya diperbolehkan bekerja pada perusahaan non perseorangan (Pasal 42) dengan dasar RPTKA (Rencana Penempatan Tenaga Kerja Asing) (Pasal 43), akan tetapi banyak pula pelanggaran terhadap hal ini, misalnya visa yang tidak sesuai RPTKA maupun IKTA (Izin Kerja Tenaga Kerja Asing). Banyak tenaga kerja asing yang bekerja melebihi waktu kontrak dan tidak sesuai antara jabatan dengan jenjang pendidikannya. Banyak manajer asing yang bekerja dengan ijazah sekolah menengah dan membawahi pekerja Indonesia yang berpendidikan sarjana bahkan pascasarjana. Akibat hal tersebut, maka juga banyak tidak terjadi alih teknologi (transfer teknologi) dikarenakan perbedaan tingkat/jenjang pendidikan antara manajer dan bawahannya di perusahaan asing. Hal ini tentu bertentangan dengan amanat Pasal 46 UU No.13/2003 mengenai keharusan adanya alih teknologi antara pekerja asing terhadap pekerja Indonesia, bahkan hal ini sebenarnya juga diatur di dalam undang-undang investasi kita. Di dalam UU No.39/2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, ketentuan mengenai syarat pekerja yang akan bekerja di luar negeri dengan tingkat jenjang pendidikan minimal SMP telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan melanggar hak asasi manusia untuk mendapatkan kesempatan yang sama di dalam memperoleh pekerjaan. Sedangkan menurut pendapat penulis, hal ini dilakukan oleh pembentuk undang-undang untuk melindungi tenaga kerja Indonesia. Perbedaan perlakuan dengan alasan hak asasi manusia juga telah menyebabkan Mahkamah Konstitusi menganulir Pasal 156, 158, dst dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Perbedaan perlakuan tidak saja akibat hal-hal tersebut di atas, selain perbedaan agama, suku, ras di beberapa perusahaan tetap berlangsung dalam berbagai perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan, perbedaan kesetaraan juga terjadi pada aktivis serikat pekerja. Beberapa perusahaan cenderung memperlakukan aktivis serikat pekerja ini berbeda dengan rekan pekerja lainnya yang mempunyai kompetensi kerja yang sama. Akibatnya banyak pekerja yang 8 berlatar belakang aktivis serikat pekerja diletakkan pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan dan kompetensinya, seperti menjaga perpustakaan, menjaga gudang untuk seorang ahli engineer (teknik). UU NO.13/2003 Pasal 143 memang menyebutkan larangan memberlakukan PHK bagi pekerja yang ikut di dalam mogok kerja yang sah. Akan tetapi di dalam praktek, aktivis pekerja lah yang pertama kali terancam perbedaan perlakuan dan kesempatan sekaligus orang pertama yang terancam dikenakan PHK oleh karena mogok kerja. D. PENUTUP Undang-undang Ketenagakerjaan sebenarnya memang mengatur adanya perbedaan perlakuan dalam pekerjaan bagi para pekerja. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan gender dan tingkat usia kerja. UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur larangan pekerjaan bagi wanita dan anak-anak dengan alasan demi keselamatan moral bagi wanita dan tidak mengganggu perkembangan fisik dan mental bagi pertumbuhan pekerja anak. UU juga mengatur bahwa pekerja wanita yang oleh karena kodratnya sebagai wanita, diberikan perbedaan perlakuan dalam hal pekerja wanita mengalami masa haid (dengan cuti haid) dan dalam hal mengalami melahirkan/gugur kandungan (dengan cuti melahirkan). Oleh karenanya perbedaan tersebut di atas kiranya tidak perlu disikapi dengan alasan gender discrimination, oleh aktivis perempuan. Sebab perbedaan perlakuan di atas memang dimaksudkan untuk melindungi pekerja perempuan dan anak-anak. Yang perlu menjadi perhatian adalah perbedaan perlakuan oleh karena alasan stereotype (pandangan tertentu/mendiskreditkan) dalam hal pekerjaan dan jabatan dengan alasan gender, SARA, alasan pandangan politik, alasan keikutsertaan dalam Serikat Pekerja.Hal inilah sebenarnya yang dilarang oleh UU 9 No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 6. Pelanggaran terhadap Pasal 6 ini, penulis melihat belum diatur sanksinya secara tegas di dalam undang-undang. Di samping itu tentu fungsi pengawasan sangat diperlukan terhadap perbedaan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan, sebab dengan pengawasan demikian dapat dicegah setidak-tidaknya dikurangi kemungkinan untuk terjadi hal-hal yang tidak diinginkan tersebut di atas. E. DAFTAR PUSTAKA 1. CEDAW, Pasal 2 Ratifikasi Konvensi UU No. 7/1984 tentang Ratifikasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) 2. LBH APIK, Jakarta, 2005, “Pemiskinan Perempuan dan Upaya Setengah Hati Negara dalam Menegakkan Hak Asasi Perempuan,”Refleksi dan Catatan Kerja 2005 3. Rahmadewi, dkk, Studi Evaluasi Pelaksanaan Program Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sektoral L Tingkat Pusat, Propinsi Jawa Timur dan Sumatera Bara, Puslitbang KS dan Peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN Jakarta 2002 4. UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan 5. UU No. 39/2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri 6. UU No.12/1948 tentang Kesehatan Kerja 10 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Andari Yurikosari Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 18 Oktober 1968 Alamat Kantor : Fakultas Hukum Universitas Trisakti Gedung H Lantai 7, Jl. Kyai Tapa 1 Grogol Jakarta Barat PH. (021) 5663232 ext 704 Alamat Rumah : Jl. Patriot 34 Jakasampurna Bekasi Barat 17145 PH. (021) 8840985 – 88854849 HP 0811181284 - 021 68474147 Pekerjaan : 1. Dosen Fakultas Hukum Trisakti 2. Anggota Puskumnaker FH Usakti 3. Anggota Pusat Studi Kebijakan dan HAM kajian perundang-undangan Usakti 4. Tim Ahli Kongres Wanita Indonesia Riwayat Pendidikan : 1. Sarjana - Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1991 2. Magister Hukum – Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1999 3. Doktor - Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2004 11