Kajian Antropologi tentang Globalisasi: Catatan tentang Studi-studi Keterkaitan Dunia1 Celia Lowe (University of Washington, Seattle) Abstract Introduksi Orang mungkin berkata bahwa kita hidup dalam dunia yang bergerak. Ini adalah dunia dimana manusia, berbagai barang dan jasa, kapital, gambar-gambar, dan ide-ide bergerak melintasi batas-batas geografis. Berbagai hal berubah sejalan dengan aliran ini. Tempat yang paling sudut pun letaknya di muka bumi ini berubah menjadi kosmopolitan, dan kontak terjadi antara metropolitan di berbagai belahan dunia dengan wilayah pinggir dan terpencil. 1 Presentasi tentang topik ini dilakukan di Departemen Antropologi-FISIP UI pada tanggal 4 September 2006. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Iwan Tjitradjaya, Ibu Suraya Afiff, dan Saudari Mia Siscawati atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan presentasi ini waktu itu. 262 Lewat globalisasi, keterkaitan antara manusia dan tempat meningkat, dan manusia yang sebelumnya tidak pernah saling jumpa sekarang berkesempatan untuk menjalin kontak. Meskipun kita dapat melihat globalisasi terjadi di mana-mana, proses globalisasi sebenarnya tidak terdistribusi secara merata. Sebagian orang, hampir tidak pernah pindah dari satu tempat ke tempat lain yang berbeda dari tempat mereka lahir dan mati, dan banyak lagi yang tidak berpartisipasi secara aktif dalam seluruh pola konsumsi, birokrasi, atau informasi yang merupakan karakteristik dari globalisasi. Namun, setiap orang pada tingkatan tertentu terlibat dalam suatu bentuk sirkulasi yang baru. Globalisasi telah merubah dunia dimana kita semua hidup. ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006 Hal ini tidak hanya terjadi pada masa kini, tapi sesungguhnya telah terjadi sejak periode ekspansi perdagangan Arab dan Cina, dan terus berlanjut hingga periode ekspansi kolonial Eropa. Masyarakat di Kepulauan Togean di Sulawesi, tempat dimana saya melakukan penelitian pada tahun 1990an, mulai berinteraksi dengan Belanda ketika sebuah kapal Belanda datang untuk melakukan pemetaan, mendata, dan mengumpulkan sumber-sumber alam Togean, sekitar tahun 1650an. Rangkaian aktivitas penyerahan upeti, pembajakan, dan pemanfaatan sumber daya alam sangat dipengaruhi oleh kehadiran Belanda di sekitar kepulauan dan teluk Tomini sepanjang abad ke-19. Dalam pada abad ke-20, masyarakat Togean masih bercerita tentang penjajahan Jepang, atau tentang pesawat Amerika yang ditembak jatuh di sana, atau tentang perkebunan kopra Belanda. Dalam hal sejarah yang lebih kini, masyarakat Togean bercerita tentang Permesta, atau kejadian tahun ’65, atau kerusuhan Poso. Saat ini, masyarakat Togean juga terlibat dalam kegiatan perdagangan ikan hidup yang dikirim ke Singapur dan Hongkong, selain dalam perdagangan teripang yang telah berlangsung ratusan tahun di sebagian wilayah Indonesia. Seluruh rangkaian cerita tersebut belum termasuk cerita tentang penyebaran Islam di wilayah timur Indonesia, yang tentunya berlangsung sebelum hadirnya kolonial dan sejarah modern Indonesia. Jadi, globalisasi telah berlangsung dalam waktu yang lama. Namun demikian, apa yang terjadi di masa kini berbeda dengan masa lalu. Sekarang ini, ruang dan waktu kelihatannya tidak lagi menjadi halangan yang membatasi gerak dan aktivitas manusia seperti apa yang terjadi pada masa lalu. Saya pertama kali datang ke Indonesia pada masa ketika belum ada telepon genggam. Saat itu, seringkali hal yang terbaik untuk bertemu seseorang atau mencari waktu untuk bertemu adalah dengan datang langsung. Saat ini, menginvestasikan waktu dan perjalanan tidak selalu diperlukan. Kita dapat dengan mudah mengirim SMS bahkan dari dalam taxi yang kita tumpangi. Seorang geografer bernama David Harvey mengatakannya sebagai ”space-time compression” (kompresi dari ruang-waktu) (Harvey 1991). Waktu dan ruang tidak hanya menyempit, tapi juga meregang, sehingga dimungkinkan melakukan kontak mendalam dengan orang-orang yang tidak secara fisik hadir. Mencari jodoh lewat internet adalah salah satu contohnya, atau bersilaturahmi dan mengkontak keluarga atau teman serta kolega di berbagai tempat di Indonesia, atau luar negeri dapat dilakukan lewat ”cating” melalui internet. Kita dapat memikirkan suatu lokasi yang selalu terdiri dari mereka yang secara fisik tidak hadir, tetapi merupakan bagian dari komunitas kita. Komunitas akademik dimana saya terlibat, terdiri dari beberapa orang dari berbagai tempat di Amerika, Indonesia, dan negara lainnya. Mereka adalah komunitas yang orangorangnya tidak hadir secara fisik dan tidak akan bersama-sama dalam satu tempat tertentu. Mereka adalah bagian dari komunitas profesional saya yang dekat dan dunia kultural dimana saya hidup. Setiap lokalitas sekarang tidak membutuhkan kehadiran semua anggota dari komunitas untuk membuatnya dapat berfungsi, dan beberapa komunitas (seperti ”peneliti tentang Indonesia”) bahkan tidak menempati satu lokasi. Apa itu sebenarnya kajian Antropologi tentang globalisasi? Apa sumbangan Antropologi untuk menjelaskan gambaran mengenai globalisasi? Salah satu cara untuk mendefinisikan Antropologi adalah studi tentang bagaimana manusia memahami dunianya. Sebagian akan Saifuddin, Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat 263 mengatakan Antropologi adalah studi tentang makna lewat representasi simbolik. Kalau kita ingin memahami suatu kelompok masyarakat maka kita berusaha untuk memahami bagaimana mereka, diri mereka sendiri, memahami dan mereprentasikan dunianya. Inilah sumbangan utama dari Antropologi yang membedakannya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dunia tempat manusia berada adalah dunia yang ”mengglobal”. Dengan kata lain, untuk semua orang, mereka memberi makna terhadap dunia global yang mereka bayangkan lebih besar dari komunitas dimana mereka hidup atau bahkan negaranya. Mereka membayangkan tempat mereka hidup lewat hubungan dengan tempat lainnya. Hal ini juga terjadi pada masyarakat di kepulauan Togean ataupun juga Jakarta. Dalam hal ini, Kepulauan Togean tidak lebih ”terisolasi” dibandingkan Jakarta atau Amerika Serikat. Kalau ini benar, maka kita tidak dapat mengerti globalisasi sebagai sesuatu yang punya pola universal. Globalisasi bukanlah sesuatu yang selalu terlihat sama di semua tempat. Bukanlah pula proses yang homogen. Konsep yang lebih kompleks untuk memahami hal ini adalah ”global” tidak muncul di luar suatu tempat yang kita anggap ”lokal.” Kita hanya dapat memahami globalisasi sebagai sebuah fenomena lokal, sebagai cara seseorang untuk membayangkan sesuatu yang disebut universal. Dan setiap orang di satu tempat dan tempat lainnya berbeda-beda dalam pandangannya tentang ”universal.” Salah satu aspek penting dari kajian Antropologi tentang globalisasi, kemudian, adalah memahami bagaimana ide-ide setempat tentang apa itu universal diproduksi. Setiap lokalitas memiliki penghayatan yang berbeda tentang apa itu universal. Dari observasi ini, kita dapat pula mengajukan pertanyaan yang berbeda. 264 Bagaimana fenomena yang kita bayangkan awalnya sebagai global atau internasional berkembang di suatu tempat? Bagaimana beberapa elemen dari politik, ekonomi, dan kultural yang kita bayangkan sebagai universal, seperti Perang Dingin (Cold War), IMF, film India atau cerita novel, muncul di suatu lokasi tertentu. Dan bagaimana semua bentuk ”universal” ini dimodifikasi, diciptakan kembali, dimanfaatkan, dan dilawan di setiap tempat. Salah satu contoh yang dapat kita gunakan adalah tentang ”pembangunan” di masa pemerintahan Suharto. Presiden Suharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan, dan pembangunan adalah sesuatu yang khas Indonesia. Dengan perkataan lain, pembangunan Indonesia akan berbeda dengan development di Cina atau Tailand atau di Amerika Serikat. Di sinilah bagaimana pemikiran seorang Antropolog dapat dimanfaatkan. Kita membawa kata yang sama dari satu tempat ke tempat lain, dan menemukan bahwa kata itu mengalami proses dan peran yang berbeda-beda. Contoh lain, film India yang ditonton di India akan berkembang dengan makna yang berbeda daripada film yang persis sama yang ditonton di Jawa. Dalam saat yang sama, ketika kita dipaksa untuk memahami pembangunan sebagai sesuatu yang spesifik untuk Indonesia, kita tidak dapat memahami pembangunan ala Suharto ini di luar konteks wacana-wacana politik, ekonomi, dan budaya internasional, tentang apa yang benar-benar baik dan berguna. Pembangunan ala Indonesia harus dipahami, paling tidak sebagian, dalam konteks Perang Dingin, dan bagaimana Perang Dingin mempengaruhi strategi regim Suharto pada waktu itu. Kita dapat mengatakan, misalnya, sesuatu seperti program IDT (Inpres Desa Tertinggal) adalah tidak hanya tentang membantu orang- ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006 orang yang tidak berada. Tentu masih ingat bahwa ideologi Perang Dingin menggunakan pembangunan ekonomi juga sebagai sebuah bentuk anti-politik. Kapitalisme akan mendatangkan kekayaan, setidaknya itu janjinya, dan kekayaan akan menurunkan daya tarik Komunisme. Komunisme sebagai suatu sistem pemerintahan memang bermasalah, tetapi Marxisme adalah suatu sistem konsep yang membantu kita berfikir tentang produksi dan distribusi dari sumber daya: siapa yang memperolehnya dan kenapa. Jadi pembangunan bisa dilihat sebagai sebuah bentuk kontrol sosial. Masyarakat diarahkan agar terfokus pada pembangunan dan tidak pada politik partai, dan khususnya tidak pada politik distribusi sumber daya. Tapi kontradiksi yang fundamental terjadi di sini. Bagaimana kita menentukan cara sumber daya akan dimanfaatkan dan didistribusikan tanpa berbicara dan berfikir tentang ”politik”? Kita dapat melihat konflik tentang produksi dan distribusi kekayaan pada tingkat lokal. Sesuatu seperti program IDT dapat dibaca lewat pemahaman lokal, tapi program itu perlu dipahami lewat globalisasi dan berbagai pemaknaannya oleh orang-orang di luar negara, atau di Jakarta yang meletakkan pembangunan sebagai mesin anti-politik. Fenomena dari pembangunan sesungguhnya hanya dapat dipahami lewat cara mengintegrasikan berbagai skala analisis ini. Kita membutuhkan dua level analisis ini, global dan lokal, karena, di satu sisi, orang tidak selalu dapat melihat dengan sendirinya pengaruh sejarah yang lebih makro dan ideologi-ideologi yang mengurung mereka dan yang mempengaruhi mereka. Sementara di sisi lain, kekuatan-kekuatan sejarah yang makro ini tidak dapat menjelaskan berbagai perbedaan yang terdapat di tiap lokasi dan karakteristiknya yang khas di tiap tempat itu. Studi Antropologi tentang Globalisasi di Indonesia Dari sudut-pandang Eropa dan Amerika, Antropologi sebagai apa yang dipraktikkan pada tahun-tahun antara 1850 dan 1950an adalah sebuah studi tentang masa lalu dan sesuatu yang bukan Euro-Amerika atau sesuatu yang bisa disebut ”lampau dan asing” (Fabian 1983). Pada masa itu, Anthropologi dipahami sebagai sebuah studi tentang apa yang aneh dan tidak diketahui dari perspektif Euro-Amerika, dan menjelaskan sesuatu yang eksotik dari bangsa-bangsa di Asia, Afrika, Amerika Selatan itu ke pembaca di negaranegara Eropa dan Amerika. Saya pribadi tidak sepenuhnya memahami tentang sejarah perkembangan Antropologi di Indonesia, tetapi dari apa yang saya ketahui tentang Antropologi di Indonesia pada masa Suharto, Antropologi di Indonesia juga menggunakan asumsi model ”lampau dan asing” seperti yang dianut di Euro-Amerika. Dengan menggunakan model tersebut, salah satu fokus studi Antropologi di Indonesia adalah tentang kelompok masyarakat yang dianggapnya ”primitif, ” yaitu mereka yang hidup di luar kota-kota kosmopolitan di Indonesia. Akan tetapi berbeda dengan EuroAmerika, untuk konteks Indonesia kelompok masyarakat ini adalah mereka yang termarginalisasi dari pusat-pusat Indonesia, bukan pusat-pusat Euro America. Kalau di Barat, kelompok masyarakat yang diteliti waktu itu adalah semua bangsa-bangsa lain yang mereka anggap primitif, sedangkan di Indonesia yang dipelajari adalah kelompok yang dianggap sebagai ”suku terasing.” Orang-orang seperti Bajau atau Dayak Meratus dilihat sebagai masyarakat yang hidup di masa lampau dan jauh dari kehidupan kosmopolitan di Jawa, Sumatra, atau Bali. Saifuddin, Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat 265 Di bawah rezim Suharto, ide tentang suku terasing juga terkait dengan konsep pembangunan dan ide untuk membangun negara Indonesia yang modern. Pemerintah Indonesia dapat menerima perbedaan dalam pesta pernikahan atau karya seni, tetapi bagianbagian lain dari ”budaya” lokal harus luntur ke dalam budaya, gaya, dan modernisasi nasional. Antropologi, dalam masa Suharto, menjadi bagian untuk ”mengoreksi” keterbelakangan ini. Dengan demikian, hal ini menghalangi Antropologi berkembang menjadi suatu disiplin yang cukup kritis. Kembali ke Antropologi di Amerika sejenak, pada tahun 1980an terjadi perubahan yang signifikan yang saya rasa juga dialami di Indonesia. Arah utama dari perubahan ini adalah untuk memfokuskan pada hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan. Pertanyaan utama yang muncul sejak dari tahun 1980an selalu pada bagaimana kekuasaan beroperasi. Berbagai kerangka konseptual muncul untuk menjawab pertanyaan ini. Termasuk diskusi tentang bagaimana ideologi beroperasi, bagaimana identitas muncul lewat tekanantekanan sosial, dan bagaimana suatu pemahaman terkait dengan soal representasi. Salah satu yang muncul sejak masa 1980an adalah kritik tentang ide primitifisme. Sekarang kita mengerti bahwa konsep ”primitifisme” adalah suatu hasil buruk dari kolonialisme Eropa. Konsep ini sama sekali tidak menjelaskan tentang manusia yang sesungguhnya, tapi adalah metode yang digunakan bangsa Eropa untuk mengerti perbedaan di antara manusia yang mereka temui ketika mereka berkeliling dunia dan berupaya untuk menguasainya di bawah kolonialisme. Ada sejumlah konsekuensi yang muncul dari kritik terhadap ide tentang primitifisme. Pertama, Antropologi tidak dapat lagi dilihat sebagai studi tentang yang ”lampau dan asing” 266 bila masyarakat primitif pada dasarnya tidak ada, dan bahwa semua orang hidup pada momentum sejarah yang sama. Oleh karena itu, Antropologi mestilah menjadi studi tentang hal yang lain. Satu-satunya kesimpulan yang mungkin untuk Antropologi yaitu semua orang di semua tempat di setiap posisi sosial punya cara untuk tahu dan memberi makna tentang dunia mereka sesuai dengan sudut pandang mereka. Cara lain untuk mengatakan ini adalah bahwa pada dasarnya, semua hal di dunia ini sesungguhnya adalah hasil proses konstruksi sosial yang ”diciptakan” (arbitrary). Tidak ada hanya satu ”kebenaran.” Kita semua membuat dan menginterpretasikan dunia-dunia kita berdasarkan pengalaman kita atas itu dalam berbagai komunitas yang berbeda. Kalau semua orang punya ”budaya,” dan mereka menerjemahkan dunia-dunia mereka lewat suatu proses yang spesifik, dan kalau kita Antropolog tertarik untuk mengkaji bagaimana kekuasaan beroperasi, maka ada dua implikasi untuk Antropologi, baik di Amerika maupun di Indonesia. Pertama, ada banyak hal yang kita perlu pelajari di ”rumah” kita sendiri, baik itu di Jakarta atau di Seattle, di antara masyarakat yang mirip dengan diri kita sendiri. Yang saya maksudkan dengan ”rumah kita sendiri” dapat diterjemahkan menjadi negara kita sendiri, kota kita sendiri, kelas kita sendiri, atau suku kita sendiri. Yang kedua, kita dapat belajar banyak sekali dari studi tentang kaum elit. Masyarakat elit, dimana tangan mereka menggenggam kekuasaan, juga mengartikan dunia-dunia mereka dengan simbol-simbol kebudayaan yang spesifik dan cara yang terbatas. Kita dapat belajar sangat banyak tentang bagaimana kekuasaan beroperasi dalam masyarakat ketika kita melakukan studi tentang mereka di ”habitat” tempat hidupnya. ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006 Di Amerika Serikat, para Antropolog sekarang ini melakukan studi dengan topik beragam. Contohnya, kami melakukan studi mengenai Sains dan Teknologi sebagai suatu bentuk ”kebudayaan” dibandingkan sebagai suatu bentuk ”kebenaran” ilmiah. Dalam proyek ini, kita bertanya bagaimana pertanyaan kebenaran ilmiah dihasilkan, bagaimana eksperimentasi dilakukan, dan bagaimana masyarakat mempengaruhi pertanyaan yang diajukan para peneliti itu. Dalam penelitian saya sendiri di Kepulauan Togean, saya mengikuti proses penelitian monyet. Pertanyaan yang saya teliti pada saat itu adalah, bagaimana Macaca Togeanus menjadi jenis endemik dalam ilmu primatologi. Contoh lain, Lorna Rhodes (2004) meneliti tentang penjara di Negara Bagian Washington. Dia tertarik untuk mempelajari bagaimana mekanisme kontrol dapat terinternalisasi pada diri narapidana, khususnya bagaimana sipir penjara juga diatur lewat sejumlah wacana tentang apa itu perilaku rasional. Ternyata penjara memenjarakan perilaku narapidana maupun sipir penjara dengan cara berbeda. Karen Ho (2004) meneliti tentang Wall Street. Kita tentunya perlu tahu bagaimana suatu milieu kebudayaan tertentu dimana pialang saham bekerja. Kita diberitahu bahwa pasar saham adalah suatu bentuk rasionalisasi ekonomi yang sifatnya universal, tetapi Ho menemukan bahwa ”ramalan” memainkan peranan penting dalam analisis finansial. Selanjutnya, Ho mengungkapkan bahwa kebudayaan kapital yang ditemui di Wall Street itu bukan kapitalisme universal, tetapi sebuah pola kapitalisme yang sangat kusus dan spesifik. Saya ingin mendeskripsikan dua contoh proyek yang lain secara lebih detil sebagai contoh topik baru dalam Antropologi. Penelitian sumber daya alam dari segi globalisasi Contoh pertama diambil dari riset saya pribadi pada tahun 1990an ketika saya meneliti tentang pembentukan Taman Nasional Togean dan menulis buku yang belum lama terbit, berjudul Wild Profusion: Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelago (2006). Rangkaian tulisan dalam buku itu bukanlah merupakan studi tentang kelompok etnik, melainkan studi tentang tiga kelompok, dan bagaimana ide mereka saling terkait di sekitar Taman Nasional. Tiga kelompok itu adalah: Orang Sama atau Bajau yang tinggal di kepulauan Togean, ahli biologi Indonesia yang bekerja di Kepulauan Togean, dan saintis Barat yang tertarik dengan apa yang mereka sebut sebagai keanekaragaman hayati lingkungan tropis. Ketiga kelompok orang dengan latar belakang yang beragam ini tentunya tidak dapat dilihat sebagai satu komunitas tunggal yang biasanya dilihat dalam studi etnografi yang tradisional. Dengan cara melihat tiga kelompok yang berbeda ini, saya dapat melihat irisan dari lokal dan global pada setiap kelompok ini. Saya berusaha melakukan lebih dari sekedar melaporkan bagaimana setiap kelompok yang saya lihat ini memahami tentang lingkungan alami kepulauan Togean. Saya menekankan bahwa untuk dapat memahami praktik kontestasi tentang biodiversity (keanekaragaman hayati) kita perlu memahami bagaimana masalah alam menjadi pertanyaan. Alam adalah satu pertanyaan untuk ahli biologi international, dan pertanyaan lain untuk ahli biologi Indonesia. Ahli biologi internasional dapat hanya berfokus pada aspek biologinya saja, sementara para ilmuwan Indonesia juga peduli dengan negaranya dan masyarakat yang berada di sekitar Taman Nasional. Saya berupaya menunjukkan suatu komitmen yang kompleks dari orang Bajau-Sama yang Saifuddin, Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat 267 mengalami globalisasi lewat interaksinya dengan perdagangan, keanekaragaman hayati, dan governmentality. Wild Profusion mengkaji bagaimana reason atau ”pemikiran rasional” digunakan baik oleh masyarakat asli maupun pula ilmuwan untuk mengolah arti dari kata ”alam” yang mereka gunakan untuk sesuatu tujuan yang praktis (untuk kebutuhan pangan sehari-hari, memanfatkan sumber daya, mempromosikan turisme, dan konservasi keanekaragaman hayati) dan juga untuk ”pengetahuan.” Setiap aktor yang berbeda di Taman Nasional Kepulauan Togean terbelahbelah dalam berbagai sudut pandang kontruksi sosial tentang alam, pengetahuan, keadilan, dan ”pemikiran rasional” Metoda yang digunakan dalam buku itu adalah membuat ketiga grup itu ditempatkan dalam posisi yang dapat dikatakan ”setara.” Saya tidak ingin menempatkan mereka pada skala modernitas atau pengetahuan, tetapi lebih untuk memperlihatkan bagaimana tiap grup memproduksi pengetahuan tentang lokal dan global. Tiap kelompok terlibat dalam proyek globalisasi yang sama tapi juga berbeda-beda. Saya juga ingin membagi proyek lain yang dilakukan oleh Mia Siscawati yang saat ini sedang belajar Antropologi di University of Washington, AS. Dia tertarik dengan studi tentang kebudayaan dari kelompok akademisi kehutanan yang progresif di Indonesia. Dia ingin menganalisa bagaimana para akademisi ini memroduksi suatu bentuk pengetahuan alternatif tentang hutan, dan bagaimana mereka dapat memengaruhi lahirnya atau berkembangnya ide-ide kehutanan sosial di Indonesia. Untuk meneliti seperti ini, Siscawati perlu melihat peran dari gerakan sosial dalam menjembatani hubungan antara dunia akademik dan desa-desa. Lokasi lapangan dari proyek ini berada di dua desa di Jawa Tengah dan Jawa Barat, dan juga beberapa universitas dan organisasi non-pemerintah di Jawa. 268 Untuk melakukan proyek ini, Siscawati perlu bekerja di berbagai lokasi yang berbeda untuk melihat bagaimana ide berpindah dan diterjemahkan di berbagai titik lokasi itu dalam jaringan Kehutanan sosial. Dia tidak akan meneliti tentang ”kebudayaan Jawa” seperti Clifford Geertz di tahun 1970an. Dia akan meneliti tentang jaringan yang telah terbentuk di sekitar masalah itu. Ong dan Collier (2005) mengatakan ini sebagai sesuatu ”assemblage.” Assemblage itu, menurut Ong dan Collier, merupakan rangkaian baru dari relasi-relasi material, kelompok manusia, dan wacana yang terbentuk, pada momentum tertentu. Perlu dicatat bahwa pola konfigurasi relasi dalam assemblage tidak akan menjadi rangkaian relasi statis, ia akan terus berubah. Dalam sebuah assemblage, masyarakat dan etika-etika diformulasikan kembali, dan menjadi subyek dari bentukbentuk baru intervensi teknis dan politik. Menelusuri jaringan-jaringan, atau mengkaji assemblages, saya percaya, adalah suatu metoda yang menarik untuk Indonesia karena hal ini memberikan kesempatan buat kita untuk bekerja pada irisan antara Antropologi konseptual atau teoritik dan Antropologi terapan. Kita tidak sekedar menjawab persoalan, seperti pada Antropologi terapan, tetapi juga menelusuri peta persoalan. Oleh karena itu dapat dikatakan sebagai konseptual. Dalam proyek Mia Siscawati tersebut, terdapat pula aspek temporal, juga spasial seperti yang saya sampaikan. Bagaimana ideide yang diterapkan dalam kerangka pengelolaan hutan yang progresif muncul pada rentang waktu tertentu di setiap lokasi yang berbeda? Proyek ini tidak hanya terbatas di dalam Indonesia. Ada sejarah tentang kehutanan Jerman dan Belanda yang perlu dipertimbangkan. Ada juga peran dari Ford Foundation sejak tahun 1980an. Gerakan sosial ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006 di Tailand dan Filipina juga memengaruhi apa yang terjadi di Indonesia. Dalam gambaran ini, tampak bahwa rangkaian pemikiran dan aktivitas intelektual yang dikembangkan di Indonesia sendiri bukan sesuatu yang murni dan terisolir. Gerakan sosial dan pembaharuan intelektual di Indonesia pun terkait dalam suatu jaringan intelektual internasional. Juga pada tingkat yang lebih umum, apakah itu universitas dan apa relasinya dengan masyarakat intelektual atau cendekiawan di Indonesia? Bagaimana bentuk global dari birokrasi sumber daya modern diterapkan di Indonesia? Untuk memahami pertanyaannya, yaitu tentang Indonesia, Siscawati perlu memahami bagaimana global, nasional, dan lokal beririsan dalam kehidupan para cendekiawan Indonesia, di komunitas aktivis, dan di dalam proses produksi pengetahuan tentang hutan. Dalam riset ini ia akan mempertanyakan, bagaimana proses-proses transnasional dari produksi pengetahuan ilmiah, gerakan sosial, dan birokrasi modern bertemu di Indonesia pada suatu momen tertentu dengan cara yang tertentu pula? Proyek-proyek masa depan Untuk menjelaskan lebih banyak tentang Antropologi dari Globalisasi, saya akan menceritakan ide lainnya. Kita tidak lagi hidup dalam masa Perang Dingin, dan kita tidak lagi hidup dalam masa Suharto, jadi dalam momen apa sebenarnya kita ini hidup? Saya akan menggambarkan keadaan saat ini secara internasional sebagai sebuah kombinasi dari security (atau ”keamanan”) dan neoliberalisme. Berada pada satu sisi, adalah Perang Global tentang teror milik George Bush. Hal ini diartikan berbeda-beda tergantung dimana kita berada. Kebanyakan masyarakat Amerika yang progresif berfikir bahwa ”war on terror” atau perang anti-terorisme adalah tentang minyak, dan koneksi bisnis perminyakan dari George Bush. Sebagian masyarakat Indonesia berfikir bahwa ini adalah perang melawan Islam. Dengan demikian, fenomena ”global” ini hanya dapat dimengerti lewat perspektif lokal dimana perspektif ini berbeda-beda. Saya dapat berspekulasi juga bahwa ada berbagai komunitas di berbagai tempat di Indonesia dengan pemahaman yang berbeda-beda tentang fenomena global ini. Contohnya, mungkin ada perbedaan perspektif antara masyarakat di Jawa Barat dan di Manado. Perang anti-terorisme atau ”war on terror” adalah hasil produksi dari globalisasi-dariketakutan (globalization of fear). Inilah salah satu alasan mangapa, menurut saya, ”keamanan” adalah elemen penting untuk memahami konteks internasional ini. Kita dapat memasukkan berbagai bentuk fenomena sosial ke dalam konteks isu keamanan ini. Tidak hanya teror dan perang yang menakuti-nakuti kita, tetapi juga flu burung dan ide tentang pandemik global. Semakin kita hidup dalam ketakutan, semakin ke arah konservatif kita menuju, sehingga penduduk akan semakin konservatif dan bersifat reaktif. Dalam konteks Indonesia, penduduk yang ketakutan mungkin ingin kembali ke zaman Suharto atau ke masa kontrol militer. Jadi bagaimana globalisasi dari ketakutan dimainkan di Indonesia? Saya tidak tahu jawabannya, hanya saya dapat membuat kerangka pertanyaan yang dapat kita semua fikirkan lebih lanjut. Hal kedua yang merupakan konteks international baru yang saya ingin sampaikan adalah neo-liberalisme. Penggunaan kata liberal di sini tidak berarti pikiran pembaharuan atau progresif (seperti dalam istilah Islam liberal). Liberal di sini berarti bebas dari kontrol dan intervensi pemerintah. Ini adalah bentuk lanjutan dari kapitalisme. Dalam konteks internasional, kita dapat berfikir tentang neo- Saifuddin, Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat 269 liberalisme sebagai menurunnya program-program sosial di mana-mana, atau berakhirnya tanggung jawab pemerintah untuk kesejahteran sosial. Kita masih mencoba untuk mengerti bagaimana neo-liberalisme dan keamanan saling beririsan. Apakah kita dibuat ketakutan pada sejumlah hal sehingga kita tidak menyadari bahwa ekonomi telah berubah dan berjalan ke arah rezim neo-liberal, yaitu menghilangnya konsep ”welfare state ” di mana negara bertanggung jawab atas kesejahteraan sosial rakyatnya? Studi-studi Antropologi yang menggunakan pendekatan baru seperti tersebut di atas akan mengkaji irisan dari berbagai skala. Kita akan menggunakan konteks internasional untuk mendefinisikan ”ruang permasalahan (problem space) baru dalam studi Antropologi. Tempat dimana kita dapat melihat produksi dari ”global” tidak selalu adalah lokasi dimana ”masyarakat pedesaan” berada. Antropolog tidak harus selalu memfokuskan studinya pada tingkat desa. Kita dapat melihat konfigurasi dari kekuasaan di berbagai tempat. Misalnya, bagaimana kampanye tentang flu burung dilakukan di laboratorium atau di departemen kesehatan? Bagaimana pekerja kantor membuat keputusan tentang Indonesia di Bank Dunia atau di Bursa Saham Jakarta? Bagaimana gambar foto yang diperagakan di pameran kebudayaan digunakan untuk bercerita tentang sejarah Indonesia? Saya akan serahkan jawabannya kepada saudara semua. Apa yang menurut saudara saat ini dapat disebut sebagai pertanyaan yang penting untuk seorang Antropolog Indonesia? Apa masalah-masalah yang ingin saudara kaji? Apa keterkaitan yang saudara lihat sangat penting? Apa jaringan dari masyarakat, barang dagangan, kapital, gambar-gambar (images), dan ide-ide yang anda ingin telusuri? Hal-hal apa saja yang dapat dijadikan lapangan baru untuk studi baru tentang Antropologi dari Globalisasi? Referensi Fabian, J. 1983 Time and the Other. New York: Columbia University Press. Harvey, D. 1991 The Condition of Postmodernity: An Inquiry into the Origins of Culture Change. London: Blackwell. Ho, K. 2005 ”Situating Global Capitalisms: A View From Wall Street Investment Banks,” Cultural Anthropology 20(1):68–97. Inda, J.X. dan R. Rosaldo 2002 The Anthropology of Globalization: A Reader. London: Blackwell. Lowe, C. 2006 Wild Profusion: Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelago. Princeton: Princeton University Press. 270 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006 Ong, A. dan S. Collier 2005 Global Assemblages: Technology, Politics, and Ethics as Anthropological Problems. London: Blackwell. Rhodes, L. 2004 Total Confinement: Madness and Reason in the Maximum Security Prison. Berkeley: University of California Press. Tsing, A. 2000 ”The Global Situation,” Cultural Anthropology 15(3):327–369. Saifuddin, Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat 271