Kajian Antropologi tentang Globalisasi

advertisement
Kajian Antropologi tentang Globalisasi:
Catatan tentang Studi-studi Keterkaitan Dunia1
Celia Lowe
(University of Washington, Seattle)
Abstract
Introduksi
Orang mungkin berkata bahwa kita hidup
dalam dunia yang bergerak. Ini adalah dunia
dimana manusia, berbagai barang dan jasa,
kapital, gambar-gambar, dan ide-ide bergerak
melintasi batas-batas geografis. Berbagai hal
berubah sejalan dengan aliran ini. Tempat yang
paling sudut pun letaknya di muka bumi ini
berubah menjadi kosmopolitan, dan kontak
terjadi antara metropolitan di berbagai belahan
dunia dengan wilayah pinggir dan terpencil.
1
Presentasi tentang topik ini dilakukan di Departemen
Antropologi-FISIP UI pada tanggal 4 September 2006.
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Iwan Tjitradjaya, Ibu Suraya Afiff, dan
Saudari Mia Siscawati atas kesempatan dan bantuan
yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan
presentasi ini waktu itu.
262
Lewat globalisasi, keterkaitan antara
manusia dan tempat meningkat, dan manusia
yang sebelumnya tidak pernah saling jumpa
sekarang berkesempatan untuk menjalin kontak.
Meskipun kita dapat melihat globalisasi terjadi
di mana-mana, proses globalisasi sebenarnya
tidak terdistribusi secara merata. Sebagian orang, hampir tidak pernah pindah dari satu
tempat ke tempat lain yang berbeda dari tempat
mereka lahir dan mati, dan banyak lagi yang
tidak berpartisipasi secara aktif dalam seluruh
pola konsumsi, birokrasi, atau informasi yang
merupakan karakteristik dari globalisasi.
Namun, setiap orang pada tingkatan tertentu
terlibat dalam suatu bentuk sirkulasi yang baru.
Globalisasi telah merubah dunia dimana kita
semua hidup.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006
Hal ini tidak hanya terjadi pada masa kini,
tapi sesungguhnya telah terjadi sejak periode
ekspansi perdagangan Arab dan Cina, dan
terus berlanjut hingga periode ekspansi kolonial
Eropa. Masyarakat di Kepulauan Togean di
Sulawesi, tempat dimana saya melakukan
penelitian pada tahun 1990an, mulai berinteraksi
dengan Belanda ketika sebuah kapal Belanda
datang untuk melakukan pemetaan, mendata,
dan mengumpulkan sumber-sumber alam
Togean, sekitar tahun 1650an. Rangkaian
aktivitas penyerahan upeti, pembajakan, dan
pemanfaatan sumber daya alam sangat
dipengaruhi oleh kehadiran Belanda di sekitar
kepulauan dan teluk Tomini sepanjang abad
ke-19. Dalam pada abad ke-20, masyarakat
Togean masih bercerita tentang penjajahan
Jepang, atau tentang pesawat Amerika yang
ditembak jatuh di sana, atau tentang
perkebunan kopra Belanda. Dalam hal sejarah
yang lebih kini, masyarakat Togean bercerita
tentang Permesta, atau kejadian tahun ’65, atau
kerusuhan Poso. Saat ini, masyarakat Togean
juga terlibat dalam kegiatan perdagangan ikan
hidup yang dikirim ke Singapur dan Hongkong,
selain dalam perdagangan teripang yang telah
berlangsung ratusan tahun di sebagian wilayah
Indonesia. Seluruh rangkaian cerita tersebut
belum termasuk cerita tentang penyebaran Islam di wilayah timur Indonesia, yang tentunya
berlangsung sebelum hadirnya kolonial dan
sejarah modern Indonesia.
Jadi, globalisasi telah berlangsung dalam
waktu yang lama. Namun demikian, apa yang
terjadi di masa kini berbeda dengan masa lalu.
Sekarang ini, ruang dan waktu kelihatannya
tidak lagi menjadi halangan yang membatasi
gerak dan aktivitas manusia seperti apa yang
terjadi pada masa lalu. Saya pertama kali datang
ke Indonesia pada masa ketika belum ada
telepon genggam. Saat itu, seringkali hal yang
terbaik untuk bertemu seseorang atau mencari
waktu untuk bertemu adalah dengan datang
langsung. Saat ini, menginvestasikan waktu
dan perjalanan tidak selalu diperlukan. Kita
dapat dengan mudah mengirim SMS bahkan
dari dalam taxi yang kita tumpangi. Seorang
geografer bernama David Harvey
mengatakannya sebagai ”space-time compression” (kompresi dari ruang-waktu) (Harvey
1991). Waktu dan ruang tidak hanya
menyempit, tapi juga meregang, sehingga
dimungkinkan melakukan kontak mendalam
dengan orang-orang yang tidak secara fisik
hadir. Mencari jodoh lewat internet adalah salah
satu contohnya, atau bersilaturahmi dan
mengkontak keluarga atau teman serta kolega
di berbagai tempat di Indonesia, atau luar negeri
dapat dilakukan lewat ”cating” melalui internet.
Kita dapat memikirkan suatu lokasi yang
selalu terdiri dari mereka yang secara fisik tidak
hadir, tetapi merupakan bagian dari komunitas
kita. Komunitas akademik dimana saya terlibat,
terdiri dari beberapa orang dari berbagai tempat
di Amerika, Indonesia, dan negara lainnya.
Mereka adalah komunitas yang orangorangnya tidak hadir secara fisik dan tidak akan
bersama-sama dalam satu tempat tertentu.
Mereka adalah bagian dari komunitas
profesional saya yang dekat dan dunia kultural
dimana saya hidup. Setiap lokalitas sekarang
tidak membutuhkan kehadiran semua anggota
dari komunitas untuk membuatnya dapat
berfungsi, dan beberapa komunitas (seperti
”peneliti tentang Indonesia”) bahkan tidak
menempati satu lokasi.
Apa itu sebenarnya kajian
Antropologi tentang globalisasi?
Apa sumbangan Antropologi untuk
menjelaskan gambaran mengenai globalisasi?
Salah satu cara untuk mendefinisikan
Antropologi adalah studi tentang bagaimana
manusia memahami dunianya. Sebagian akan
Saifuddin, Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat
263
mengatakan Antropologi adalah studi tentang
makna lewat representasi simbolik. Kalau kita
ingin memahami suatu kelompok masyarakat
maka kita berusaha untuk memahami bagaimana
mereka, diri mereka sendiri, memahami dan
mereprentasikan dunianya. Inilah sumbangan
utama dari Antropologi yang membedakannya
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya.
Dunia tempat manusia berada adalah dunia
yang ”mengglobal”. Dengan kata lain, untuk
semua orang, mereka memberi makna terhadap
dunia global yang mereka bayangkan lebih
besar dari komunitas dimana mereka hidup atau
bahkan negaranya. Mereka membayangkan
tempat mereka hidup lewat hubungan dengan
tempat lainnya. Hal ini juga terjadi pada
masyarakat di kepulauan Togean ataupun juga
Jakarta. Dalam hal ini, Kepulauan Togean tidak
lebih ”terisolasi” dibandingkan Jakarta atau
Amerika Serikat.
Kalau ini benar, maka kita tidak dapat
mengerti globalisasi sebagai sesuatu yang
punya pola universal. Globalisasi bukanlah
sesuatu yang selalu terlihat sama di semua
tempat. Bukanlah pula proses yang homogen.
Konsep yang lebih kompleks untuk memahami
hal ini adalah ”global” tidak muncul di luar
suatu tempat yang kita anggap ”lokal.” Kita
hanya dapat memahami globalisasi sebagai
sebuah fenomena lokal, sebagai cara seseorang
untuk membayangkan sesuatu yang disebut
universal. Dan setiap orang di satu tempat dan
tempat lainnya berbeda-beda dalam pandangannya tentang ”universal.” Salah satu aspek
penting dari kajian Antropologi tentang
globalisasi, kemudian, adalah memahami
bagaimana ide-ide setempat tentang apa itu
universal diproduksi. Setiap lokalitas memiliki
penghayatan yang berbeda tentang apa itu
universal.
Dari observasi ini, kita dapat pula
mengajukan pertanyaan yang berbeda.
264
Bagaimana fenomena yang kita bayangkan
awalnya sebagai global atau internasional
berkembang di suatu tempat? Bagaimana
beberapa elemen dari politik, ekonomi, dan
kultural yang kita bayangkan sebagai universal, seperti Perang Dingin (Cold War), IMF, film
India atau cerita novel, muncul di suatu lokasi
tertentu. Dan bagaimana semua bentuk ”universal” ini dimodifikasi, diciptakan kembali,
dimanfaatkan, dan dilawan di setiap tempat.
Salah satu contoh yang dapat kita gunakan
adalah tentang ”pembangunan” di masa
pemerintahan Suharto. Presiden Suharto
dikenal sebagai Bapak Pembangunan, dan
pembangunan adalah sesuatu yang khas Indonesia. Dengan perkataan lain, pembangunan
Indonesia akan berbeda dengan development
di Cina atau Tailand atau di Amerika Serikat. Di
sinilah bagaimana pemikiran seorang
Antropolog dapat dimanfaatkan. Kita membawa
kata yang sama dari satu tempat ke tempat lain,
dan menemukan bahwa kata itu mengalami
proses dan peran yang berbeda-beda. Contoh
lain, film India yang ditonton di India akan
berkembang dengan makna yang berbeda
daripada film yang persis sama yang ditonton
di Jawa.
Dalam saat yang sama, ketika kita dipaksa
untuk memahami pembangunan sebagai
sesuatu yang spesifik untuk Indonesia, kita
tidak dapat memahami pembangunan ala
Suharto ini di luar konteks wacana-wacana
politik, ekonomi, dan budaya internasional,
tentang apa yang benar-benar baik dan
berguna. Pembangunan ala Indonesia harus
dipahami, paling tidak sebagian, dalam konteks
Perang Dingin, dan bagaimana Perang Dingin
mempengaruhi strategi regim Suharto pada
waktu itu.
Kita dapat mengatakan, misalnya, sesuatu
seperti program IDT (Inpres Desa Tertinggal)
adalah tidak hanya tentang membantu orang-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006
orang yang tidak berada. Tentu masih ingat
bahwa ideologi Perang Dingin menggunakan
pembangunan ekonomi juga sebagai sebuah
bentuk anti-politik. Kapitalisme akan
mendatangkan kekayaan, setidaknya itu
janjinya, dan kekayaan akan menurunkan daya
tarik Komunisme. Komunisme sebagai suatu
sistem pemerintahan memang bermasalah,
tetapi Marxisme adalah suatu sistem konsep
yang membantu kita berfikir tentang produksi
dan distribusi dari sumber daya: siapa yang
memperolehnya dan kenapa. Jadi pembangunan
bisa dilihat sebagai sebuah bentuk kontrol
sosial. Masyarakat diarahkan agar terfokus
pada pembangunan dan tidak pada politik
partai, dan khususnya tidak pada politik
distribusi sumber daya.
Tapi kontradiksi yang fundamental terjadi
di sini. Bagaimana kita menentukan cara sumber
daya akan dimanfaatkan dan didistribusikan
tanpa berbicara dan berfikir tentang ”politik”?
Kita dapat melihat konflik tentang produksi
dan distribusi kekayaan pada tingkat lokal.
Sesuatu seperti program IDT dapat dibaca
lewat pemahaman lokal, tapi program itu perlu
dipahami lewat globalisasi dan berbagai
pemaknaannya oleh orang-orang di luar negara,
atau di Jakarta yang meletakkan pembangunan
sebagai mesin anti-politik. Fenomena dari
pembangunan sesungguhnya hanya dapat
dipahami lewat cara mengintegrasikan berbagai
skala analisis ini. Kita membutuhkan dua level
analisis ini, global dan lokal, karena, di satu
sisi, orang tidak selalu dapat melihat dengan
sendirinya pengaruh sejarah yang lebih makro
dan ideologi-ideologi yang mengurung mereka
dan yang mempengaruhi mereka. Sementara di
sisi lain, kekuatan-kekuatan sejarah yang makro
ini tidak dapat menjelaskan berbagai perbedaan
yang terdapat di tiap lokasi dan karakteristiknya
yang khas di tiap tempat itu.
Studi Antropologi tentang Globalisasi
di Indonesia
Dari sudut-pandang Eropa dan Amerika,
Antropologi sebagai apa yang dipraktikkan
pada tahun-tahun antara 1850 dan 1950an
adalah sebuah studi tentang masa lalu dan
sesuatu yang bukan Euro-Amerika atau
sesuatu yang bisa disebut ”lampau dan asing”
(Fabian 1983). Pada masa itu, Anthropologi
dipahami sebagai sebuah studi tentang apa
yang aneh dan tidak diketahui dari perspektif
Euro-Amerika, dan menjelaskan sesuatu yang
eksotik dari bangsa-bangsa di Asia, Afrika,
Amerika Selatan itu ke pembaca di negaranegara Eropa dan Amerika.
Saya pribadi tidak sepenuhnya memahami
tentang sejarah perkembangan Antropologi di
Indonesia, tetapi dari apa yang saya ketahui
tentang Antropologi di Indonesia pada masa
Suharto, Antropologi di Indonesia juga
menggunakan asumsi model ”lampau dan
asing” seperti yang dianut di Euro-Amerika.
Dengan menggunakan model tersebut, salah
satu fokus studi Antropologi di Indonesia
adalah tentang kelompok masyarakat yang
dianggapnya ”primitif, ” yaitu mereka yang
hidup di luar kota-kota kosmopolitan di Indonesia. Akan tetapi berbeda dengan EuroAmerika, untuk konteks Indonesia kelompok
masyarakat ini adalah mereka yang
termarginalisasi dari pusat-pusat Indonesia,
bukan pusat-pusat Euro America. Kalau di
Barat, kelompok masyarakat yang diteliti waktu
itu adalah semua bangsa-bangsa lain yang
mereka anggap primitif, sedangkan di Indonesia yang dipelajari adalah kelompok yang
dianggap sebagai ”suku terasing.” Orang-orang seperti Bajau atau Dayak Meratus dilihat
sebagai masyarakat yang hidup di masa lampau
dan jauh dari kehidupan kosmopolitan di Jawa,
Sumatra, atau Bali.
Saifuddin, Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat
265
Di bawah rezim Suharto, ide tentang suku
terasing juga terkait dengan konsep
pembangunan dan ide untuk membangun
negara Indonesia yang modern. Pemerintah
Indonesia dapat menerima perbedaan dalam
pesta pernikahan atau karya seni, tetapi bagianbagian lain dari ”budaya” lokal harus luntur ke
dalam budaya, gaya, dan modernisasi nasional.
Antropologi, dalam masa Suharto, menjadi
bagian untuk ”mengoreksi” keterbelakangan
ini. Dengan demikian, hal ini menghalangi
Antropologi berkembang menjadi suatu disiplin
yang cukup kritis.
Kembali ke Antropologi di Amerika sejenak,
pada tahun 1980an terjadi perubahan yang
signifikan yang saya rasa juga dialami di Indonesia. Arah utama dari perubahan ini adalah
untuk memfokuskan pada hubungan antara
kebudayaan dan kekuasaan. Pertanyaan utama
yang muncul sejak dari tahun 1980an selalu
pada bagaimana kekuasaan beroperasi.
Berbagai kerangka konseptual muncul untuk
menjawab pertanyaan ini. Termasuk diskusi
tentang bagaimana ideologi beroperasi,
bagaimana identitas muncul lewat tekanantekanan sosial, dan bagaimana suatu
pemahaman terkait dengan soal representasi.
Salah satu yang muncul sejak masa 1980an
adalah kritik tentang ide primitifisme. Sekarang
kita mengerti bahwa konsep ”primitifisme”
adalah suatu hasil buruk dari kolonialisme
Eropa. Konsep ini sama sekali tidak menjelaskan
tentang manusia yang sesungguhnya, tapi
adalah metode yang digunakan bangsa Eropa
untuk mengerti perbedaan di antara manusia
yang mereka temui ketika mereka berkeliling
dunia dan berupaya untuk menguasainya di
bawah kolonialisme.
Ada sejumlah konsekuensi yang muncul
dari kritik terhadap ide tentang primitifisme.
Pertama, Antropologi tidak dapat lagi dilihat
sebagai studi tentang yang ”lampau dan asing”
266
bila masyarakat primitif pada dasarnya tidak ada,
dan bahwa semua orang hidup pada momentum sejarah yang sama. Oleh karena itu,
Antropologi mestilah menjadi studi tentang hal
yang lain.
Satu-satunya kesimpulan yang mungkin
untuk Antropologi yaitu semua orang di semua
tempat di setiap posisi sosial punya cara untuk
tahu dan memberi makna tentang dunia mereka
sesuai dengan sudut pandang mereka. Cara lain
untuk mengatakan ini adalah bahwa pada
dasarnya, semua hal di dunia ini sesungguhnya
adalah hasil proses konstruksi sosial yang
”diciptakan” (arbitrary). Tidak ada hanya satu
”kebenaran.” Kita semua membuat dan
menginterpretasikan dunia-dunia kita
berdasarkan pengalaman kita atas itu dalam
berbagai komunitas yang berbeda.
Kalau semua orang punya ”budaya,” dan
mereka menerjemahkan dunia-dunia mereka
lewat suatu proses yang spesifik, dan kalau
kita Antropolog tertarik untuk mengkaji
bagaimana kekuasaan beroperasi, maka ada
dua implikasi untuk Antropologi, baik di
Amerika maupun di Indonesia. Pertama, ada
banyak hal yang kita perlu pelajari di ”rumah”
kita sendiri, baik itu di Jakarta atau di Seattle, di
antara masyarakat yang mirip dengan diri kita
sendiri. Yang saya maksudkan dengan ”rumah
kita sendiri” dapat diterjemahkan menjadi
negara kita sendiri, kota kita sendiri, kelas kita
sendiri, atau suku kita sendiri. Yang kedua, kita
dapat belajar banyak sekali dari studi tentang
kaum elit. Masyarakat elit, dimana tangan
mereka menggenggam kekuasaan, juga
mengartikan dunia-dunia mereka dengan
simbol-simbol kebudayaan yang spesifik dan
cara yang terbatas. Kita dapat belajar sangat
banyak tentang bagaimana kekuasaan
beroperasi dalam masyarakat ketika kita
melakukan studi tentang mereka di ”habitat”
tempat hidupnya.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006
Di Amerika Serikat, para Antropolog
sekarang ini melakukan studi dengan topik
beragam. Contohnya, kami melakukan studi
mengenai Sains dan Teknologi sebagai suatu
bentuk ”kebudayaan” dibandingkan sebagai
suatu bentuk ”kebenaran” ilmiah. Dalam proyek
ini, kita bertanya bagaimana pertanyaan
kebenaran ilmiah dihasilkan, bagaimana
eksperimentasi dilakukan, dan bagaimana
masyarakat mempengaruhi pertanyaan yang
diajukan para peneliti itu. Dalam penelitian saya
sendiri di Kepulauan Togean, saya mengikuti
proses penelitian monyet. Pertanyaan yang
saya teliti pada saat itu adalah, bagaimana
Macaca Togeanus menjadi jenis endemik dalam
ilmu primatologi.
Contoh lain, Lorna Rhodes (2004) meneliti
tentang penjara di Negara Bagian Washington.
Dia tertarik untuk mempelajari bagaimana
mekanisme kontrol dapat terinternalisasi pada
diri narapidana, khususnya bagaimana sipir
penjara juga diatur lewat sejumlah wacana
tentang apa itu perilaku rasional. Ternyata
penjara memenjarakan perilaku narapidana
maupun sipir penjara dengan cara berbeda.
Karen Ho (2004) meneliti tentang Wall Street.
Kita tentunya perlu tahu bagaimana suatu milieu kebudayaan tertentu dimana pialang saham
bekerja. Kita diberitahu bahwa pasar saham
adalah suatu bentuk rasionalisasi ekonomi
yang sifatnya universal, tetapi Ho menemukan
bahwa ”ramalan” memainkan peranan penting
dalam analisis finansial. Selanjutnya, Ho
mengungkapkan bahwa kebudayaan kapital
yang ditemui di Wall Street itu bukan kapitalisme
universal, tetapi sebuah pola kapitalisme yang
sangat kusus dan spesifik.
Saya ingin mendeskripsikan dua contoh
proyek yang lain secara lebih detil sebagai
contoh topik baru dalam Antropologi.
Penelitian sumber daya alam dari segi
globalisasi
Contoh pertama diambil dari riset saya
pribadi pada tahun 1990an ketika saya meneliti
tentang pembentukan Taman Nasional Togean
dan menulis buku yang belum lama terbit,
berjudul Wild Profusion: Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelago
(2006). Rangkaian tulisan dalam buku itu
bukanlah merupakan studi tentang kelompok
etnik, melainkan studi tentang tiga kelompok,
dan bagaimana ide mereka saling terkait di
sekitar Taman Nasional. Tiga kelompok itu
adalah: Orang Sama atau Bajau yang tinggal di
kepulauan Togean, ahli biologi Indonesia yang
bekerja di Kepulauan Togean, dan saintis Barat
yang tertarik dengan apa yang mereka sebut
sebagai keanekaragaman hayati lingkungan
tropis. Ketiga kelompok orang dengan latar
belakang yang beragam ini tentunya tidak dapat
dilihat sebagai satu komunitas tunggal yang
biasanya dilihat dalam studi etnografi yang
tradisional. Dengan cara melihat tiga kelompok
yang berbeda ini, saya dapat melihat irisan dari
lokal dan global pada setiap kelompok ini.
Saya berusaha melakukan lebih dari sekedar
melaporkan bagaimana setiap kelompok yang
saya lihat ini memahami tentang lingkungan
alami kepulauan Togean. Saya menekankan
bahwa untuk dapat memahami praktik
kontestasi tentang biodiversity (keanekaragaman hayati) kita perlu memahami
bagaimana masalah alam menjadi pertanyaan.
Alam adalah satu pertanyaan untuk ahli biologi
international, dan pertanyaan lain untuk ahli
biologi Indonesia. Ahli biologi internasional
dapat hanya berfokus pada aspek biologinya
saja, sementara para ilmuwan Indonesia juga
peduli dengan negaranya dan masyarakat yang
berada di sekitar Taman Nasional. Saya
berupaya menunjukkan suatu komitmen yang
kompleks dari orang Bajau-Sama yang
Saifuddin, Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat
267
mengalami globalisasi lewat interaksinya
dengan perdagangan, keanekaragaman hayati,
dan governmentality. Wild Profusion mengkaji
bagaimana reason atau ”pemikiran rasional”
digunakan baik oleh masyarakat asli maupun
pula ilmuwan untuk mengolah arti dari kata
”alam” yang mereka gunakan untuk sesuatu
tujuan yang praktis (untuk kebutuhan pangan
sehari-hari, memanfatkan sumber daya,
mempromosikan turisme, dan konservasi
keanekaragaman hayati) dan juga untuk
”pengetahuan.” Setiap aktor yang berbeda di
Taman Nasional Kepulauan Togean terbelahbelah dalam berbagai sudut pandang kontruksi
sosial tentang alam, pengetahuan, keadilan,
dan ”pemikiran rasional”
Metoda yang digunakan dalam buku itu
adalah membuat ketiga grup itu ditempatkan
dalam posisi yang dapat dikatakan ”setara.”
Saya tidak ingin menempatkan mereka pada
skala modernitas atau pengetahuan, tetapi lebih
untuk memperlihatkan bagaimana tiap grup
memproduksi pengetahuan tentang lokal dan
global. Tiap kelompok terlibat dalam proyek
globalisasi yang sama tapi juga berbeda-beda.
Saya juga ingin membagi proyek lain yang
dilakukan oleh Mia Siscawati yang saat ini
sedang belajar Antropologi di University of
Washington, AS. Dia tertarik dengan studi
tentang kebudayaan dari kelompok akademisi
kehutanan yang progresif di Indonesia. Dia
ingin menganalisa bagaimana para akademisi
ini memroduksi suatu bentuk pengetahuan
alternatif tentang hutan, dan bagaimana mereka
dapat memengaruhi lahirnya atau
berkembangnya ide-ide kehutanan sosial di
Indonesia. Untuk meneliti seperti ini, Siscawati
perlu melihat peran dari gerakan sosial dalam
menjembatani hubungan antara dunia akademik
dan desa-desa. Lokasi lapangan dari proyek
ini berada di dua desa di Jawa Tengah dan Jawa
Barat, dan juga beberapa universitas dan
organisasi non-pemerintah di Jawa.
268
Untuk melakukan proyek ini, Siscawati perlu
bekerja di berbagai lokasi yang berbeda untuk
melihat bagaimana ide berpindah dan
diterjemahkan di berbagai titik lokasi itu dalam
jaringan Kehutanan sosial. Dia tidak akan
meneliti tentang ”kebudayaan Jawa” seperti
Clifford Geertz di tahun 1970an. Dia akan
meneliti tentang jaringan yang telah terbentuk
di sekitar masalah itu.
Ong dan Collier (2005) mengatakan ini
sebagai sesuatu ”assemblage.” Assemblage itu,
menurut Ong dan Collier, merupakan rangkaian
baru dari relasi-relasi material, kelompok
manusia, dan wacana yang terbentuk, pada
momentum tertentu. Perlu dicatat bahwa pola
konfigurasi relasi dalam assemblage tidak akan
menjadi rangkaian relasi statis, ia akan terus
berubah. Dalam sebuah assemblage,
masyarakat dan etika-etika diformulasikan
kembali, dan menjadi subyek dari bentukbentuk baru intervensi teknis dan politik.
Menelusuri jaringan-jaringan, atau
mengkaji assemblages, saya percaya, adalah
suatu metoda yang menarik untuk Indonesia
karena hal ini memberikan kesempatan buat kita
untuk bekerja pada irisan antara Antropologi
konseptual atau teoritik dan Antropologi
terapan. Kita tidak sekedar menjawab
persoalan, seperti pada Antropologi terapan,
tetapi juga menelusuri peta persoalan. Oleh
karena itu dapat dikatakan sebagai konseptual.
Dalam proyek Mia Siscawati tersebut,
terdapat pula aspek temporal, juga spasial
seperti yang saya sampaikan. Bagaimana ideide yang diterapkan dalam kerangka
pengelolaan hutan yang progresif muncul pada
rentang waktu tertentu di setiap lokasi yang
berbeda? Proyek ini tidak hanya terbatas di
dalam Indonesia. Ada sejarah tentang
kehutanan Jerman dan Belanda yang perlu
dipertimbangkan. Ada juga peran dari Ford
Foundation sejak tahun 1980an. Gerakan sosial
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006
di Tailand dan Filipina juga memengaruhi apa
yang terjadi di Indonesia. Dalam gambaran ini,
tampak bahwa rangkaian pemikiran dan
aktivitas intelektual yang dikembangkan di Indonesia sendiri bukan sesuatu yang murni dan
terisolir. Gerakan sosial dan pembaharuan
intelektual di Indonesia pun terkait dalam suatu
jaringan intelektual internasional.
Juga pada tingkat yang lebih umum, apakah
itu universitas dan apa relasinya dengan
masyarakat intelektual atau cendekiawan di
Indonesia? Bagaimana bentuk global dari
birokrasi sumber daya modern diterapkan di
Indonesia? Untuk memahami pertanyaannya,
yaitu tentang Indonesia, Siscawati perlu
memahami bagaimana global, nasional, dan
lokal beririsan dalam kehidupan para
cendekiawan Indonesia, di komunitas aktivis,
dan di dalam proses produksi pengetahuan
tentang hutan. Dalam riset ini ia akan
mempertanyakan, bagaimana proses-proses
transnasional dari produksi pengetahuan
ilmiah, gerakan sosial, dan birokrasi modern
bertemu di Indonesia pada suatu momen
tertentu dengan cara yang tertentu pula?
Proyek-proyek masa depan
Untuk menjelaskan lebih banyak tentang
Antropologi dari Globalisasi, saya akan
menceritakan ide lainnya. Kita tidak lagi hidup
dalam masa Perang Dingin, dan kita tidak lagi
hidup dalam masa Suharto, jadi dalam momen
apa sebenarnya kita ini hidup?
Saya akan menggambarkan keadaan saat
ini secara internasional sebagai sebuah
kombinasi dari security (atau ”keamanan”) dan
neoliberalisme. Berada pada satu sisi, adalah
Perang Global tentang teror milik George Bush.
Hal ini diartikan berbeda-beda tergantung
dimana kita berada. Kebanyakan masyarakat
Amerika yang progresif berfikir bahwa ”war on
terror” atau perang anti-terorisme adalah
tentang minyak, dan koneksi bisnis
perminyakan dari George Bush. Sebagian
masyarakat Indonesia berfikir bahwa ini adalah
perang melawan Islam. Dengan demikian,
fenomena ”global” ini hanya dapat dimengerti
lewat perspektif lokal dimana perspektif ini
berbeda-beda. Saya dapat berspekulasi juga
bahwa ada berbagai komunitas di berbagai
tempat di Indonesia dengan pemahaman yang
berbeda-beda tentang fenomena global ini.
Contohnya, mungkin ada perbedaan perspektif
antara masyarakat di Jawa Barat dan di Manado.
Perang anti-terorisme atau ”war on terror”
adalah hasil produksi dari globalisasi-dariketakutan (globalization of fear). Inilah salah
satu alasan mangapa, menurut saya,
”keamanan” adalah elemen penting untuk
memahami konteks internasional ini. Kita dapat
memasukkan berbagai bentuk fenomena sosial
ke dalam konteks isu keamanan ini. Tidak hanya
teror dan perang yang menakuti-nakuti kita,
tetapi juga flu burung dan ide tentang pandemik
global. Semakin kita hidup dalam ketakutan,
semakin ke arah konservatif kita menuju,
sehingga penduduk akan semakin konservatif
dan bersifat reaktif. Dalam konteks Indonesia,
penduduk yang ketakutan mungkin ingin
kembali ke zaman Suharto atau ke masa kontrol
militer. Jadi bagaimana globalisasi dari
ketakutan dimainkan di Indonesia? Saya tidak
tahu jawabannya, hanya saya dapat membuat
kerangka pertanyaan yang dapat kita semua
fikirkan lebih lanjut.
Hal kedua yang merupakan konteks international baru yang saya ingin sampaikan
adalah neo-liberalisme. Penggunaan kata liberal di sini tidak berarti pikiran pembaharuan
atau progresif (seperti dalam istilah Islam liberal). Liberal di sini berarti bebas dari kontrol
dan intervensi pemerintah. Ini adalah bentuk
lanjutan dari kapitalisme. Dalam konteks
internasional, kita dapat berfikir tentang neo-
Saifuddin, Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat
269
liberalisme sebagai menurunnya program-program sosial di mana-mana, atau berakhirnya
tanggung jawab pemerintah untuk kesejahteran
sosial.
Kita masih mencoba untuk mengerti
bagaimana neo-liberalisme dan keamanan
saling beririsan. Apakah kita dibuat ketakutan
pada sejumlah hal sehingga kita tidak menyadari
bahwa ekonomi telah berubah dan berjalan ke
arah rezim neo-liberal, yaitu menghilangnya
konsep ”welfare state ” di mana negara
bertanggung jawab atas kesejahteraan sosial
rakyatnya?
Studi-studi Antropologi yang menggunakan pendekatan baru seperti tersebut di atas
akan mengkaji irisan dari berbagai skala. Kita
akan menggunakan konteks internasional untuk
mendefinisikan ”ruang permasalahan (problem space) baru dalam studi Antropologi.
Tempat dimana kita dapat melihat produksi dari
”global” tidak selalu adalah lokasi dimana
”masyarakat pedesaan” berada. Antropolog
tidak harus selalu memfokuskan studinya pada
tingkat desa. Kita dapat melihat konfigurasi dari
kekuasaan di berbagai tempat. Misalnya,
bagaimana kampanye tentang flu burung
dilakukan di laboratorium atau di departemen
kesehatan? Bagaimana pekerja kantor membuat
keputusan tentang Indonesia di Bank Dunia
atau di Bursa Saham Jakarta? Bagaimana
gambar foto yang diperagakan di pameran
kebudayaan digunakan untuk bercerita tentang
sejarah Indonesia?
Saya akan serahkan jawabannya kepada
saudara semua. Apa yang menurut saudara saat
ini dapat disebut sebagai pertanyaan yang
penting untuk seorang Antropolog Indonesia?
Apa masalah-masalah yang ingin saudara kaji?
Apa keterkaitan yang saudara lihat sangat
penting? Apa jaringan dari masyarakat, barang
dagangan, kapital, gambar-gambar (images),
dan ide-ide yang anda ingin telusuri? Hal-hal
apa saja yang dapat dijadikan lapangan baru
untuk studi baru tentang Antropologi dari
Globalisasi?
Referensi
Fabian, J.
1983 Time and the Other. New York: Columbia University Press.
Harvey, D.
1991 The Condition of Postmodernity: An Inquiry into the Origins of Culture Change.
London: Blackwell.
Ho, K.
2005
”Situating Global Capitalisms: A View From Wall Street Investment Banks,” Cultural
Anthropology 20(1):68–97.
Inda, J.X. dan R. Rosaldo
2002 The Anthropology of Globalization: A Reader. London: Blackwell.
Lowe, C.
2006 Wild Profusion: Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelago. Princeton:
Princeton University Press.
270
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006
Ong, A. dan S. Collier
2005 Global Assemblages: Technology, Politics, and Ethics as Anthropological Problems. London: Blackwell.
Rhodes, L.
2004 Total Confinement: Madness and Reason in the Maximum Security Prison. Berkeley:
University of California Press.
Tsing, A.
2000 ”The Global Situation,” Cultural Anthropology 15(3):327–369.
Saifuddin, Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat
271
Download