TESIS KEBIJAKAN PEMBARUAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT (CREDIT CARD) IDA AYU INDAH SUKMA ANGANDARI NIM: 0990561006 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 KEBIJAKAN PEMBARUAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT (CREDIT CARD) Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana IDA AYU INDAH SUKMA ANGANDARI NIM. 0990561006 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 LEMBAR PENGESAHAN TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 20 JULI 2011 Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.Hum. NIP 1946123111976021001 I Made Tjatrayasa, S.H, M.H. NIP 195012311979031019 Mengetahui Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, S.H., S.U. Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K). NIP 195604191983031003 NIP. 195902151985102001 Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 20 Juli 2011 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1243/ UN14.4/HK/2011, Tanggal 14 Juli 2011 Ketua Sekretaris Anggota : Prof. Dr. I Ketut Mertha. S.H., M.Hum. : I Made Tjatrayasa, S.H, M.H. : Dr. I Gusti Ketut Ariawan, S.H., M.H. Gde Made Swardhana, S.H., M.H. I Gede Artha, SH.,MH. SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : I.A. Indah Sukma Angandari NIM : 0990561006 Tempat dan tanggal lahir : Denpasar, 20 Juli 1987 Alamat : Br. Pemijian, Sangeh, Abiansemal - Badung Telepon/ HP : 0817351510 Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tidak menjiplak setengah atau sepenuhnya tesis orang lain. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya, dan apabila dikemudian hari ternyata tidak benar, maka saya bersedia dituntut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Denpasar, 21 Juli 2011 Hormat saya, I.A Indah Sukma A. NIM. 0990561006 RINGKASAN Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) terbaru per April 2010, nilai kerugian kartu atas fraud kartu kredit mencapai Rp 16,72 miliar. Penyalahgunaan kartu kredit memberikan dampak ekonomi yang perlu dikuantifikasi karena menimbulkan kerugian milyaran rupiah. Sehingga perlu adanya tindakan-tindakan yang cermat dari aparat penegak hukum di Indonesia. Hukum positif yang berlaku saat ini di Indonesia yakni KUHP khususnya ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP sudah tidak relevan digunakan untuk menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit, sehingga sangat diperlukan pembaruan KUHP untuk menjaring para pelaku kejahatan karena KUHP belum mengatur sementara kejahatannya yang menimbulkan kerugian hingga milyaran rupiah semakin marak terjadi. Dalam hal ini pembaruan hukum yang akan ditempuh adalah hukum pidana (penal reform). Jadi pembaruan hukum pidana tersebut yaitu pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum. Dalam Pembaruan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu kredit melakukan pembaruan pada aspek pembaruan substansi hukum pidana. Pentingnya pembaruan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dimana ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP sudah tidak relevan digunakan untuk menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. Beberapa kelemahan dari Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP antara lain: 1. Kartu kredit tidak dapat diinterpretasikan sebagai surat 2. Hal yang dipalsukan dalam penyalahgunaan kartu kredit adalah pin orang lain yang telah berhasil dicuri melalui penipuan lewat telepon kepada si korban. Pembaruan KUHP di Indonesia sangat penting untuk menjaring pelaku penyalahgunaan kartu kredit sehingga Indonesia tidak tertinggal dengan negara lain dalam menanggulangi kejahatan ini. Ketiadaan substansi hukum tentu akan melemahkan atau penyalahgunaan bahkan kartu kredit. meniadakan Dengan penegakan demikian hukum untuk terhadap mengantisipasi penyalahgunaan kartu kredit, maka kebijakan yang harus ditempuh oleh Pemerintah adalah dengan mengadakan penyempurnaan terhadap Kitab UndangUndang Hukum Pidana ( KUHP ) ataupun penyempurnaan terhadap konsep didalam Rancangan KUHP baru. Mengingat perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, maka koordinasi dan kerjasama antar pihak Bank, POLRI, Kejaksaan, Hakim hendaknya tetap menjadi bagian penting di dalam penanggulangan secara tuntas terhadap kasus-kasus penyalahgunaan kartu kredit yang semakin marak. Pembaruan hukum pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dapat segera dilaksanakan, karena dengan semakin maraknya penyalahgunaan kartu kredit bukan saja merugikan korban dan penerbit kartu kredit tersebut tetapi juga berdampak negative bagi perkembangan ekonomi Negara Indonesia. ABSTRAK Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card) Kartu kredit atau sering disebut dengan Credit Card, Kartu Plastik, merupakan salah satu produk perbankan yang penggunaannya menunjukkan pertumbuhan yang terus meningkat, demikian juga jumlah pedagang yang berminat melayani transaksi dengan menggunakan kartu kredit cenderung bertambah.Bagi golongan masyarakat tertentu, kartu kredit sudah merupakan suatu kebutuhan untuk melakukan transaksi karena tidak perlu membawa uang tunai (cash). Tetapi kartu kredit juga menimbulkan resiko tersendiri bagi si pemegang kartu apabila terjadinya penyalahgunaan kartu kredit oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penelitian normatif ini berjudul : “Kebijakan pembaruan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit (credit card)", mengetengahkan dua permasalahan yaitu : 1. Apakah pentingnya pembaruan hukum pidana (KUHP) terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit (credit card)? 2. Bagaimanakah kebijakan Hukum Pidana dalam tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dalam RKUHP ? Untuk menanggulangi penyalahgunaan kartu kredit maka harus sesegera mungkin membuat kebijakan pembaruan hukum pidana terhadap penyalahgunaan kartu kredit, dengan melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofik, sosio cultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Kata Kunci : Kartu Kredit, Kebijakan, Pembaruan Hukum Pidana. ABSTRACT Criminal Law Reform Policy In The Prevention Of Misuse Of Credit Card Crime Credit card or often called by Credit Card, Plastic Card, is one whose use of banking products showed growth continues to increase, so does the number of traders who are interested in serving transactions using credit cards tend bertambah.Bagi certain segments of society, a credit card it is an the need to conduct transactions because it does not need to carry cash (cash). But credit cards also pose its own risks for the card holder if the occurrence of credit card abuse by parties who are not responsible. Normative research is titled: "The policy of the criminal law reform in the response to criminal abuse of credit card (credit card)", explores two issues namely: 1. Is the importance of reform of criminal law (Criminal Code) against the criminal misuse of credit cards (credit card)? 2. How does the policy in the Criminal Law criminal misuse of credit cards in RKUHP? To overcome the misuse of credit cards then it must as soon as possible to make policy reform criminal laws against the misuse of credit cards, with reorient and reform criminal laws in accordance with the central values of socio-political, socio-philosophic, socio-cultural people of Indonesia that underlie social policy, criminal policy , and policy enforcement in Indonesia Keywords: Credit Cards, Policy, Criminal Law Reform. DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PRASAYARAT ........................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ................................... iv SURAT PERNYATAAN ................................................................................ v UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................ vi RINGKASAN ................................................................................................. ix ABSTRAK ....................................................................................................... xi ABSTRACT ..................................................................................................... xii DAFTAR ISI ................................................................................................. xiii BAB I PENDAHULUANs 1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 19 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................... 20 1.4 Manfaat Hasil Penelitian ......................................................... 21 1.5 Landasan Teori ........................................................................ 21 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian........................................................ 38 1.6.2 Metode Pendekatan ................................................ 38 1.6.3 Sumber Bahan Hukum ........................................... 40 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ..................... 40 1.6.5 Analisis Bahan Hukum .......................................... 41 BAB II TINJAUAN PIDANA UMUM TENTANG PEMBARUAN HUKUM DAN KARTU KREDIT 2.1 Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana 2.1.1 Pengertian Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana. .................................................................. 43 2.1.2 Ruang Lingkup Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana ................................................................... 50 2.2 Kartu Kredit 2.2.1 Pengertian Kartu Kredit .......................................... 60 2.2.2 Jenis-Jenis dan Ciri-Ciri Kartu Kredit .................... 62 2.2.3 Pihak-Pihak Yang Terkait dan Syarat Pemegang Kartu Kredit.......................................... 2.2.4 Mekanisme, Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Kartu Kredit ...................................... BAB III RELEVANSI PEMBARUAN HUKUM 70 74 PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT 3.1 Tindak Pidana Pemalsuan Kartu Kredit .................................. 81 3.2 Tindak Pidana Penipuan Kartu Kredit..................................... 102 3.3 Penanggulangan Penyalahgunaan Kartu Kredit ..................... 108 3.4 Pentingnya Pembaruan Hukum Pidana ................................... BAB IV KEBIJAKAN DALAM PEMBARUAN TINDAK HUKUM 118 PIDANA PIDANAPENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT 4.1 Penyelesaian Hukum di dalam Penyalahgunaan Kartu Kredit................................ ....................................................... 123 4.2 Kebijakan Hukum Pidana dalam mengantisipasi penyalahgunaan Kartu Kredit............................................................................. BAB V 135 PENUTUP 5.1 Kesimpulan ............................................................................ 170 5.2 Saran ....................................................................................... 171 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Permasalahan Latar Belakang Masalah Ariestoteles mengungkapkan bahwa manusia sebagai mahkluk bermasyarakat yang dikenal dengan istilah ”zoon politicon”1. Dalam masyarakat pada hakekatnya diperlukan adanya kaedah yang dapat menjaga ketertiban masyarakat tersebut. Cicerio dalam hal ini mengistilahkan dengan istilah ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disana ada hukum), dengan demikian peranan hukum dalam kehidupan bermasyarakat akan menjadi sangat penting, itu ditunjukkan dengan iahirnya konsepsi Negara hukum baik formil maupun materiil. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara yang bercita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur secara merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. seperti halnya dapat dilihat melalui bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa: "Indonesia adalah Negara Hukum" berdasarkan tujuan Negara sebagaimana tercantum dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Hukum material bertujuan untuk : 1 Sudikno Mertodikusumo, 1985, Mengenal hukum (Suatu Pengantar) Liberty, Yogyakarta, hal.3 "...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial . . ." Seiring dengan perkembangan zaman, pembangunan di Indonesia semakin meningkat mencakup segala aspek kehidupan. Pembangunan itu sendiri pada hakekatnya memang tidak bersifat kriminogen, khususnya apabila hasil-hasil tersebut didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat serta menunjang seluruh kondisi sosial. Dalam perkembangan masyarakat dengan segala permasalahannya, ada sebagian anggota masyarakat yang dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sebaliknya ada sebagian masyarakat lainnya yang justru mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dampaknya timbullah kecendrungan dilakukannya kejahatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, yang tentunya akan sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat, seperti dikatakan oleh Bonger bahwa "Kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial, yang oleh Negara ditentang dengan sadar.2 Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan .berbagai unsur pembangunan, termasuk di bidang ekonomi dan keuangan. 2 Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia, Hal.23 Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang semakin menyatu dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat menunjang sekaligus mendatangkan dampak negatif dan positif. Sementara itu, perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks, oleh karena itu, diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor perbankan sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkokoh perekonomian nasional. Sektor Perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses penyesuaian dimaksud. Sehubungan dengan itu, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individu, melainkan juga penyehatan sistem perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan Perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, bank-bank itu sendiri, dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan Perbankan nasional, sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional. Kegiatan perbankan dimulai dari jasa penukaran uang, oleh karena itu bank dikenal sebagai tempat menukar uang atau sebagai meja tempat menukar uang. Dalam sejarah para pedagang dari berbagai kerajaan melakukan transaksi dengan menukarkan uang, dimana penukaran uang dilakukan antar mata uang kerajaan yang satu dengan mata uang kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran uang ini sekarang dikenal dengan pedagang valuta asing (money changer). Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan bertambah fungsinya sebagai tempat penitipan uang atau disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Kemudian kegiatan perbankan berkembang dengan kegiatan peminjaman uang yaitu dengan cara yang semula disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali ke masyarakat yang membutuhkannya. Akibat dari kebutuhan masyarakat akan jasa keuangan semakin meningkat dan beragam, maka peranan dunia perbankan semakin dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik yang berada di negara maju maupun negara berkembang. Dewasa ini perkembangan dunia perbankan semakin pesat dan modern baik dari segi ragam produk, kualitas dan teknologi yang dimiliki. Perbankan semakin mendominasi perkembangan ekonomi dan bisnis suatu negara. Bahkan aktivitas dan keberadaan perbankan sangat menentukan kemajuan suatu negara dalam bidang ekonomi,oleh karena itu tidak heran apabila perbankan suatu negara hancur, maka akan mengakibatkan kehancuran perekonomian negara yang bersangkutan seperti yang terjadi di Indonesia tahun 1998 dan 1999.3 Sebagaimana kita ketahui, bank merupakan lembaga keuangan yang sangat penting sekali. Lembaga bank sebagai prasarana institusional dan sebagai agent of development mempunyai peranan yang sangat vital dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi. Dalam berbagai aturan yang mengatur pembinaan dan pengembangan usaha bank terdapat kelemahan dan kekurangan khususnya dalam pengamanannya. Kelemahan Bank dalam system pengamanan yaitu dalam bentuk kelemahan prosedur berupa identifikasi dan validasi calon nasabah dikarenakan di 3 Kasmir, 2000, Manaiemen Perbankan. PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta, hal. 16 Indonesia belum diterapkan single identity number (SIM) sehingga memudahkan pemalsuan identitas dan mengecoh system validasi bank sehingga berakibat pada penyalahgunaan kartu kredit. Dewasa ini untuk melakukan transaksi dapat digunakan berbagai sarana pembayaran, mulai dari cara yang paling tradisional sampai dengan yang paling modern. Pada awal mula sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran setiap transaksi dilakukan melalui cara pertukaran baik antara barang dengan barang atau barang dengan jasa, ataupun jasa dengan jasa. Transaksi pada waktu ini dikenal dengan nama sistem barter Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan cara yang paling efisien dan efektif untuk melakukan transaksi, yaitu dengan menggunakan "uang". Penggunaan uang sebagai alat untuk melakukan pembayaran sudah dikenal luas dan penggunaan uang sebagai sarana pembayaran sudah merupakan kebutuhan pokok hampir di setiap kegiatan masyarakat Namun dalam perjalanannya, penggunaan uang mengalami berbagai hambatan tertentu. Jika penggunaan dalam jumlah besar hambatannya adalah resiko membawa uang tunai sangat besar. Resiko yang timbul dan harus dihadapi adalah seperti resiko kehilangan, pemalsuan atau terkena perampokan. Akibatnya kegiatan penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran mulai berkurang penggunaannya. "Kartu plastik" atau yang lebih dikenal dengan nama 'kartu kredit" (credit card) atau "uang plastik" yang mampu menggantikan fungsi uang sebagai alat pembayaran. Kartu Kredit merupakan sejenis kartu sebagai pengganti fisik dari uang, sebagai alat tukar dalam berbagai kebutuhan.4 Di samping itu kartu kredit digunakan untuk berbagai keperluan, sehingga kegunaannya menjadi multi fungsi. Resiko seperti diatas sedikit banyak dapat dieliminir dengan penggunaan kartu kredit ini. Penggunaannya dirasakan lebih aman dan praktis untuk segala keperluan, seperti untuk bepergian, apalagi kartu kredit dewasa ini sudah dapat dipergunakan untuk segala kegiatan secara internasional. Kartu kredit merupakan kartu yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga pembiayaans, yang diberikan kepada nasabah untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran di berbagai tempat seperti supermarket, pasar, hotel, restaurant, tempat hiburan, dan tempat-tempat lainnya. Disamping itu, dengan kartu ini juga dapat diuangkan di berbagai tempat seperti di ATM (Automated Teller Machine). ATM yang dewasa ini dikenal dengan istilah Anjungan Tunai Mandiri biasanya tersebar di berbagai tempat yang strategis seperti di pusat perbelanjaan, hiburan, dan perkantoran. Penggunaan kartu kredit di Indonesia dapat dikatakan masih relatif baru, namun sudah sangat luas digunakan sebagai instrumen pembayaran sejak memasuki dekade 1980-an. Terutama setelah deregulasi, Deregulasi adalah kebijakan pemerintah yang mengurangi berbagi faktor yang melindungi industri perbankan dari masalah suatu perekonomian.(Eric. R. Reidenbach dan Robert E. Pitts, 1986:232)5 4 Info Bank, Edisi No. 144 Tahun 1989 hal. 62 Dimana bisnis kartu kredit ini digolongkan sebagai kelompok usaha jasa pembiayaan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK/ 013/1988 tanggal 20 Desember 1988. Citibank dan Bank Duta (merger dengan bank Danamon) dapat dikatakan sebagai bank yang cukup berperan dalam mempelopori pengembangan atau pemasyarakatan penggunaan kartu kredit di Indonesia dengan menerbitkan Visa dan Master Card kemudian diikuti oleh beberapa bank yang bertindak sebagai penerbit atau pengelola kartu kredit tersebut Jenis kartu kredit yang telah beredar dan dapat digunakan oleh masyarakat sebagai alat pembayaran saat ini di Indonesia disamping Visa dan Master Card adalah Amex Card, International Diners, BCA Card, Procard, Exim Smart, Duta Card, Kassa Card dan beberapa kartu lainnya yang diterbitkan oleh bank-bank. Umumnya kartu kredit tersebut dikeluarkan oleh bank-bank umum dan perusahaan pembiayaan. Penerbitan kartu kredit oleh bank harus melalui prosedur yang diatur oleh bank Indonesia. Sedangkan ijin penerbitan kartu kredit oleh perusahaan pembiayaan diberikan oleh Departemen Keuangan. Misalnya Diners Card oleh PT. Diners Jaya Indonesia Internasional dan Kassa Card oleh PT. Kassa Multi Finance.6 Penggunaan kartu kredit untuk pembayaran sebagai pengganti uang tunai sejak diperkenalkannya kartu kredit pertama tersebut semakin banyak dikenal dan digunakan oleh orang. Pada awal-awal diperkenalkannya kartu kredit ini, 5 http://thimutz.blogspot.com/2010/10/pengertian-dan-dampak-deregulasi-dari.html pada tanggal 3 Februari 2011 6 diakses Dahlan Siamat, 2001, Manaiemen Lembaga Keuangan, Edisi III, Lembaga Penerbit FE Ul, Hal. 309. pemakainya terbatas pada kalangan tertentu. Namun, beberapa dekade kemudian industri kartu kredit terutama memasuki akhir dekade 1970-an, telah merambah hampir ke seluruh bagian dunia, termasuk Indonesia. Kartu Kredit yang dikeluarkan paling umum digunakan oleh masyarakat dan berlaku Internasional saat ini terdiri atas berbagai merek, antara lain yang sangat populer adalah Visa dan Master Card yang masing-masing dikeluarkan oleh perusahaan kartu kredit Internasional dan Master Card Internasional.7 Ada berbagai perundang-undangan lain yang dengan tegas menyebut dan memberi landasan hukum terhadap penerbitan dan pengoperasian kartu kredit ini yaitu sebagai berikut : a. Keppres No.61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan - Pasal 2 ayat 1 dari Keppres No.6 1 ini antara lain menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dari Lembaga Pembiayaan adalah melakukan usaha kartu kredit - Sementara dalam Pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan perusahaan Kartu Kredit adalah badan usaha yang melakukan dengan mempergunakan kartu kredit. - Menurut Pasal 3 dari Keppres No.61 ini yang dapat melakukan kegiatan lembaga pembiayaan tersebut termasuk kegiatan kartu kredit adalah : 1. Bank. 2. Lembaga Keuangan Bukan Bank (sekarang sudah tidak ada lagi dalam sistem hukum keuangan kita). 3. Perusahaan pembiayaan. b. Keputusan Menteri Keuangan no.1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah berkali-kali diubah, terkhir denagn Keputusan Menteri Kuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan.8 - Pasal 2 dari Keputusan Menkeu No.1251 ini kembali menegaskan bahwa salah satu dari kegiatan Lembaga pembiayaan adalah usaha kartu kredit. 7 8 Ibid, hal. 400 Leden Marpaung.1994.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Sinar Grafika. Jakarta. hal.130. - Selanjutnya dalam pasal 7 ditentukan bahwa pelaksaan kegiatan kartu kredit dilakukan denagn cara penerbitan kartu kredit yang dapat dipergunakan oleh pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang/jasa. c. Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan seperti yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Sehubungan dengan perbankan, kertu kredit mendapatkan legitimasinya dalam UndangUndang No.7 Tahun1992 seperti yang telah diubah dengan UndangUndang No.10 Tahun 1998. Pasal 6 huruf I nya dengan tegas menyatakan bahwa salah satu kegiatan bank adalah melakukan usaha kartu kredit.9 Adapun prosedur untuk mendapatkan kartu kredit, antara lain: Dari sisi pemegang 1. calon pemegang diwajibkan untuk mengisi formulir permohonan dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: - KTP Keterangan gaji dan masa kerja dari perusahaan tempat pemohon bekerja. Dari sisi Penerbit - Memeriksa keaslian KTP - Melakukan crosschecking kepada penerbit lain apabila pemohon mempunyai kartu kredit lain - Meneliti data rekening dan keterangan gaji yang ada untuk menetapkan apakah pemohon layak diberikan kartu kredit Penggunaan kartu kredit dewasa ini sudah semakin meluas dan merupakan prestise serta kebanggaan tersendiri bagi pemegangnya, karena bersifat praktis 9 http://www.scribd.com/doc/22370900/Paper-Tentang-Kartu-Kredit diakses pada tanggal 31 Januari 2011 tanpa resiko tinggi. Perkembangan ini semakin dipacu dengan adanya deregulasi di bidang perbankan, sehingga beberapa Bank saling berlomba menawarkan fasilitas yang menggiurkan melalui penerbitan kartu kredit. Hal ini dapat menimbulkan suasana kompetitif antar Bank dalam menawarkan dan mengunggulkan produk perbankan (kartu kredit) masing-masing. Namun tidak jarang suasana tersebut merupakan peluang bagi pihak-pihak yang ingin menyalahgunakan kartu kredit yang dalam hal ini sangat bervariasi jenis dan kegunaannya. Dalam praktek banyak dijumpai perbuatan-perbuatan di bidang perbankan yang dapat dikenakan sanksi sebagaimana ditetapkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Jenis-jenis tindak pidana dimaksud dapat dikelompokkan berdasarkan kegiatan bidang perbankan, yaitu: a. Di bidang lalu lintas pembayaran giral dan peredaran uang, seperti pemalsuan warkat bank (Pasal 263 dan 264 KUHP), penggelapan (Pasal 372 KUHP), pemalsuan uang dan uang yang dimanipulasikan (Pasal 244 dengan 252 KUHP), memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak (Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 35 UU No.11 Tahun 2008) . b. Tindak pidana di bidang perkreditan, seperti penipuan (Pasal 378 KUHP) dan pemalsuan dokumen (Pasal 263 dan 264 KUHP) serta Undang- Undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.10 10 Marulak Pardede, 1955, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hal. 17. Bila dilihat pengertian kedua istilah tersebut diatas, maka terlihat perbedaan yang cukup jauh. Pengertian tindak pidana perbankan hanya menitik beratkan kepada pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yaitu masalah legalitas/ ijin pendirian bank. Namun sebenarnya yang dimaksudkan dengan pengertian tindak pidana perbankan tersebut bukan hanya yang menyangkut legalitas/ ijin pendirian bank, akan tetapi termasuk juga tindak pidana penipuan, penggelapan, pemalsuan, dan tindak pidana lainnya sepanjang berkaitan dengan lembaga perbankan . Pengertian ini berbeda dengan tindak pidana di bidang perbankan. Tindak pidana di bidang perbankan adalah segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank, baik bank sebagai sasaran maupun sarana. Pelakunya bisa perorangan, maupun badan hukum (korporasi) dimana pelakunya bertindak karena yakin sering terjadi ketidak hati-hatian pada perbankan serta penyembunyian perkara ini terjadi karena bila suatu bank kebobolan dianggapnya suatu aib yang tidak boleh diketahui oleh nasabahnya.11 Kelompok pertama disebut tindak pidana perbankan, berhubung perbuatanperbuatan tersebut secara langsung melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Meskipun Undang-Undang tentang pokok perbankan itu mengatur secara umum tentang lembaga bank serta fungsinya, tetapi di sisi lain memuat juga ketentuan-ketentuan pidana yang 11 Muhamad Djumhana. 1996. Hukum Perbankan Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. hal.281 melarang dan mengancam dengan sanksi beberapa perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan umum dalam Undang-Undang tersebut. Dalam Perundang-undangan, kejahatan di bidang perbankan dikelompokkan dalam tiga jenis perbuatan, yakni: a) Kejahatan di bidang perjanjian/legalitas bank, berupa menjalankan usaha yang serupa bank. b) Kejahatan pemalsuan dokumen yang dipakai sebagai jaminan kredit atau agunan berkali-kali sehingga mendapat kredit berulang kali dengan maksud melakukan penipuan. c) Pemalsuan yang menyangkut lalu lintas giral antara lain bentuknya pemalsuan dan penggunaan surat aplikasi transfer serta pemalsuan dan penggunaan alat/ warkat bank lainnya yang semuanya dengan maksud untuk melakukan penipuan.12 Diantara ketiga jenis kejahatan di bidang perbankan sebagaimana tersebut diatas maka tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit termasuk dalam jenis kejahatan pemalsuan yang menyangkut lalu lintas giral. Tindak pidana di bidang perbankan yang menggunakan kartu kredit terjadi dengan cara memalsukan kartu kredit dengan bantuan pejabat bank menyerahkan kartu kredit hasil curian/ temuan dan memalsukan tanda tangan pemegang sah kartu kredit tersebut. Mabes Polri mencatat pemalsuan kartu kredit mencapai angka 7.000 kasus. Kini, terdapat lebih dari sembilan juta kartu kredit beredar di Indonesia. Kartukartu itu diterbitkan oleh 20 bank yang tergabung dalam Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), baik domestik maupun asing. Kartu kredit yang diterbitkan bank-bank tersebut umumnya memakai lisensi internasional seperti Visa International, Mastercard International, American Express. Kejahatan kartu kredit 12 Ibid, hal. 73 terus meningkat dengan pertumbuhan mencapai 20-30% per tahun. Dari data AKKI, selama 2002 saja kerugian bank mencapai Rp 35 sampai Rp 50 miliar.13 Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) memperkirakan pada tahun 2007, kerugian akibat kejahatan kartu kredit di Tanah Air mencapai Rp 35 miliar.14 Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) terbaru per April 2010, nilai kerugian kartu atas fraud kartu kredit mencapai Rp 16,72 miliar. Kepala Biro Sistem Pembayaran Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran BI Aribowo menerangkan bahwa total nilai kerugian tersebut terdiri dari enam kasus fraud kartu kredit, yaitu pemalsuan kartu, kartu hilang atau dicuri, kartu tidak diterima, card not present (CNP), fraud aplikasi, dan kasus fraud lain-lain. Sejak Januari hingga April 2010, total kasus fraud tercatat sebanyak 2.829 kasus dengan nilai kerugian mencapai Rp 16,72 miliar. Adapun untuk volume transaksi kartu kredit mencapai 62,9 juta transaksi dengan nilai Rp 49,85 triliun. Untuk jumlah kartu beredar sendiri tercatat sebanyak 12,61 juta kartu.15 Manajer Umum Kartu Kredit PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Muhammad Helmi mengatakan bahwa khusus bulan April 2010, jumlah kasus fraud kartu kredit mencapai 701 kasus. Perinciannya, sebanyak 255 kasus kartu palsu, 31 13 Anonim II, “Kejahatan Kartu Kredit Menggila”, http://blog-artikelmenarik.blogspot.com/2008/04/kejahatan-kartu-kredit-menggila.html, , diakses pada 20 November 2010. 14 Suara Merdeka, “Kejahatan Kartu Kredit Rp 35 Miliar”, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/02/27/2653/Kejahatan-Kartu-Kredit-Rp35-Miliar, diakses pada 23 Juni 2011. 15 Bigswamp, Kasus-kasus Cyber Crime Part 3 Carding Fraud”, http://bigswamp.wordpress.com/2011/03/02/kasus-kasus-cyber-crime-part-3-carding-fraud/, diakses pada 23 Juni 2011. kasus kartu hilang atau dicuri, 21 kasus kartu tidak diterima, 117 kasus card not present (CNP), dan 277 kasus fraud aplikasi. Jumlah kasus tersebut bertambah dibandingkan kasus akhir Maret 2010 yang hanya 221 kasus. Meskipun jumlah kasus naik, nilai kerugian tercatat mengalami penurunan. Per April 2010, nilai kerugian sebesar Rp 3,04 miliar atau turun 45,32% dibandingkan akhir Maret 2010 yang mencapai Rp 5,56 miliar. Saat ini, fraud kartu kredit yang berkaitan dengan teknologi sudah mulai berkurang.16 Adanya beberapa modus carding yakni counterfeiting, yaitu kartu asli atau palsu yang diubah menyerupai kartu asli. Pelaku counterfeiting adalah perorangan atau sindikat dengan dana besar dan jaringan luas. Modus lain adalah dengan menggunakan peranti lunak tertentu yang tersedia secara umum.17 Pelaku juga dapat mencuri data lewat telepon yaitu dengan menelepon seseorang dan mengabarkan bahwa penggunaan kartu sudah mencapai limit. Pemilik kartu tentu kaget dan komplain. Komplain ini ditanggapi pelaku dengan meminta nomor kartu dan data lain untuk dicek di databasenya. Jebakan hadiah juga sering berhasil menggaet orang untuk menyebutkan nomor kartu kredit miliknya. Kemajuan teknologi memberikan kemudahan, dimana apabila seseorang hendak berpergian, maka tidak perlu membawa uang tunai, melainkan cukup dengan membawa kartu kredit untuk melakukan suatu transaksi. Walaupun demikian, ada juga usaha-usaha atau niat yang tidak baik dari pihak-pihak untuk 16 17 Ibid. Telkom, 15 Juni 2006, “Kejahatan Kartu Kredit via Internet Kian Marak”, http://www.telkom.net/index.php?option=com_content&task=view&id=412&Itemid=35, , diakses pada 20 November 2010. melakukan penipuan atau pemalsuan terhadap penggunaan kartu kredit, dimana hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi pihak Bank maupun pemilik kartu kredit. Adapun contoh kasus penyalahgunaan kartu kredit yang telah mendapat putusan pengadilan tahun 2001 sebagai berikut: Pada hari jumat, tanggal 15 Juni 2001, Toyib, Naviyanto Andriany, dan Pria Agustian melakukan tindak pemalsuan yang bertempat di PT. Atlantik Tour Cabang Denpasar Jl. Diponegoro dan di Pertokoan Departement Store Tragia Kerta Wijaya dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang telah dipalsukan berupa 3 (tiga) buah kartu kredit palsu, yaitu membayar dengan menggunakan kartu kredit palsu untuk membeli tiket pesawat di Atlantik Tour dan membeli baju di Tragia sehingga Bank International Indonesia sebagai bank pengelola mengalami kerugian sebesar Rp. 4.913.100,- (empat juta Sembilan ratus tiga belas ribu seratus rupiah). Toyib dan Navianto pada hari jumat, tanggal 15 Juni 2001 mendatangi PT. Atlantik Tour di Jl. Diponegoro membeli tiket pesawat Garuda jurusan Denpasar – Surabaya, Surabaya – Jakarta, dan Jakarta- Denpasar. Masing – masing atas nama Denny K. dengan Nomor 4544.1620.0082.1269 dan pada hari sabtu tanggal 16 Juni 2001 pukul 12.30 WITA Toyib dan Navianto mendatangi kembali PT. Atlantik Tour Cabang Denpasar membeli 9 (sembilan) buah tiket Garuda dengan Jurusan Denpasar – Surabaya untuk 3 (tiga) orang masing-masing atas nama Denny K, Denny W., dan Mr. Setaean E., serta untuk jurusan Surabaya – Jakarta untuk 6 (enam) orang atas nama Denny K., Denny W., Romli, Setiawan, Widodo, dan Yanto yang jumlah keseluruhannya berjumlah Rp. 4.913.100,- (empat juta Sembilan ratus tiga belas ribu seratus rupiah) dan setelah disetujui oleh petugas PT. Atlantik Tour, maka Novianto Andriani membayar dengan kartu kredit Visa Hongkong Bank dengan Nomor Nomor 4544.1620.0082.1269 atas nama Denny K. Sedangkan kartu kredit yang digunakan untuk membayar tiket tersebut adalah pemberian. Pada hari Rabu tanggal 20 Juni 2001 Tayib, Novianto Andriany dan Pria Agustian membeli sebuah baju warna merah/biru kotak-kotak dengan merek Vercaro seharga Rp. 79.900,- (tujuh puluh Sembilan ribu Sembilan ratus rupiah) . Pada saat itu Pria Agustian membayar dengan menggunakan Kartu kredit jenis Visa Gold Wing Hongkong Bank LTD Nomor 5417800.1103.9372 masa berlaku sampai dengan bulan Maret 2002 atas nama P. Agustian dan setelah membeli baju di Tragia, para pelaku kembali ke PT. Atlantik Tour untuk memesan 20 tiket tetapi sebelum transaksi selesai para pelaku ditangkap oleh polisi. Maka terhadap kasus tersebut, Pengadilan Negeri Denpasar dalam Putusan Nomor 454/PID.B/2001/PN.Dps menyatakan bahwa para terdakwa terbukti bersalah telah melakukan penipuan dengan menggunakan kartu kredit palsu sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan kesatu yaitu Pasal 263 ayat (1), jo. Pasal 64 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP dan Pasal 378 jo. Pasal 64 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1 KUHP ) menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan. Apabila dibandingkan antara putusan pengadilan di atas dengan kenyataan yang terjadi pada saat ini dimana kasus mengenai penyalahgunaan kartu kredit pada masa sekarang hampir tidak ada yang masuk keranah pengadilan sedangkan kasusnya sangat banyak terjadi di wilayah indonesia. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP tidak relevan untuk digunakan dalam menanggulangi / menjaring pelaku kejahatan kartu kredit karena memiliki beberapa kelemahan antara lain: 1. Kartu kredit tidak dapat diinterpretasikan sebagai surat 2. Hal yang dipalsukan dalam penyalahgunaan kartu kredit adalah pin orang lain yang telah berhasil dicuri melalui penipuan lewat telepon kepada si korban. Penyalahgunaan kartu kredit memberikan dampak ekonomi yang perlu dikuantifikasi karena menimbulkan kerugian milyaran rupiah. Sehingga perlu adanya tindakan-tindakan yang cermat dari aparat penegak hukum di Indonesia. Sebagai perbandingan pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju Sebagai kiblat dari perkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law termasuk mengenai tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). Malaysia yang pernah dilanda aksi kejahatan kartu kredit, segera membuat aturan yang sangat ketat, seperti hukuman cambuk rotan bagi pelakunya, denda 300.000 ringgit (Rp 900 juta), dan hukuman penjara maksimal 20 tahun. 18 Di samping itu, perangkat hukum di Malaysia sudah dilengkapi dengan undang-undang kejahatan komputer, undang-undang digital. Dasar pemikiran dari penyusunan tesis ini adalah hukum positif yang berlaku saat ini di Indonesia yakni KUHP khususnya ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP sudah tidak relevan digunakan untuk menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit, sehingga sangat diperlukan pembaruan KUHP untuk menjaring para pelaku kejahatan karena KUHP belum mengatur sementara kejahatannya yang menimbulkan kerugian hingga milyaran rupiah semakin marak terjadi. Makna dan hakikat pembangunan pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio politik, sosio – filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Bertitik tolak dari latar belakang pemikiran diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dalam “KEBIJAKAN PEMBARUAN rangka penyusunan tesis dengan judul HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT (CREDIT CARD).” Keaslian dari penelitian tesis ini dapat dilihat melalui perbandingan terhadap tesis sebelumnya yang juga mengangkat mengenai kartu credit (credit card. 18 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9767/perlu-undangundang-khusus-untuktanggulangi-kejahatan-kartu-kredit Adapun judul tesis sebelumnya yaitu Kajian Aspek Pidana Dalam Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card), dengan rumusan masalahnya : 1) Bagaimanakah kebijakan Hukum Pidana dalam penyelesaian tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit?, 2) Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit? Sedangkan penelitian tesis ini berjudul Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card) dengan rumusan masalahnya : 1) Apakah pentingnya pembaruan hukum pidana (KUHP) terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit (credit card)? 2) Bagaimanakah kebijakan Hukum Pidana dalam tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dalam RKUHP ? Dilihat dari judulnya Kajian aspek pidana itu berarti mengkaji pemasalahan dari sudut pandang hukum pidana berdasarkan ketentuan yang berlaku saat itu, sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian tesis sebelumnya berada pada dimensi ius constitutum sedangkan penelitian tesis ini berada pada dimensi ius constituendum. Dan dari rumusan masalah kedua antara tesis sebelumnya dengan Dalam tesis ini lebih mengkaji mengenai kelemahan KUHP khususnya ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP karena sudah tidak relevan digunakan untuk menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit, sehingga sangat diperlukan pembaruan KUHP untuk menjaring para pelaku kejahatan karena KUHP belum mengatur sementara kejahatannya sangat banyak terjadi. Sedangkan didalam tesis sebelumnya tidak mengkaji hal tersebut. 1. 2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 3. Apakah pentingnya pembaruan hukum pidana (KUHP) terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit (credit card)? 4. Bagaimanakah kebijakan Hukum Pidana dalam tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dalam RKUHP ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum a. Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum terkait dengan paradigma science as a prosses ( ilmu sebagai proses ). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenaran.19 Adapun tujuan umum penulisan tesis ini adalah 1. pengembangan konsep, asas, doktrin, dan teori hukum pidana khususnya dalam kebijakan pembaruan hukum pidana (penal policy) dalam tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit (credit card). 2. Serta mendistribusikan penyalahgunaan kartu konsep kredit pemikiran dalam tentang hukum Nasional mendatang. 19 Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud; 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana UNUD , hal. 25 1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui serta menganalisis pentingnya pembaruan hukum pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. b. Memberikan deskripsi dan analisis yang mendalam tentang penyalahgunaan kartu kredit. 1.4 Manfaat Hasil Penelitian Adapun manfaat hasil penelitian ini ada yang bersifat teoritis dan ada yang bersifat praktis. a. Manfaat yang bersifat teoritis yaitu untuk menemukan konsep serta teoriteori yang berhubungan dengan penyalahgunaan kartu kredit di bidang perbankan. b. Manfaat yang bersifat praktis yaitu memberikan sumbangan pemikiran bagi pembangunan dan pembaruan hukum khususnya bagi penegak hokum didalam menangani tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit (credit card. 1.5 Landasan Teoritis Sejak ditetapkannya paket kebijaksanaan tanggal 1 Juni 1983, Pakto, 27 Tahun 1988, Pakjun dan ketentuan lanjutannya tahun 1993, dunia perbankan semakin bergairah, terbukti dengan munculnya sejumlah bank-bank baru yang berhasil dalam meningkatkan pengerahan dana dan menyalurkannya kembali ke dalam masyarakat. Dibalik kesuksesan dunia perbankan tersebut semakin meningkat pula tindak pidana dalam dunia perbankan ini, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya sehingga tentunya merupakan kendala yang serius di bidang perbankan pada khususnya dan terhadap pembangunan ekonomi pada umumnya. Dalam berbagai peraturan yang mengatur pembinaan dan pengembangan usaha bank memang masih terdapat kelemahan dan kekurangan, khususnya dalam pengamanannya. Kekurangan dan kelemahan dalam peraturan-peraturan itu memberikan kesempatan bagi segolongan orang yang mempunyai itikad tidak baik untuk melakukan tindak pidana seperti pencurian, penggelapan, korupsi, penipuan, pemalsuan, membuka rahasia bank, bank gelap, dan lain-lain. Tindak pidana dibidang Perbankan pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap keamanan dan kesehatan sistem perbankan, sehingga dapat mengganggu sistem moneter yang pada gilirannya dapat membahayakan sendisendi kehidupan dalam pembangunan pada umumnya. Pelanggaran ketentuan-ketentuan terhadap di bidang perbankan dapat dikenakan sanksi dalam bentuk administratif maupun sanksi pidana. Penentuan pelanggaran perbankan sebagai tindak pidana tersebut harus memperhatikan tingkat identitas gangguan terhadap sistem perbankan. Adapun yang menjadi masalah dewasa ini adalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur masalah tindak pidana di bidang perbankan, sehingga tidak ada dasar hukum yang dapat dipakai untuk mengantisipasi tindak pidana ini. Dewasa ini peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan tindak pidana di bidang perbankan yaitu : a. Undang Undang No. 7 Tahun 1992 jo. Undang Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. b. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. c. Undang Undang No. 3 Tahun 1971 jo, Undang Undang No, 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. d. Undang Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. e. Undang Undang No. 32 Tahun 1964 jo. Undang Undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. f. Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik g. Rancangan Undang – Undang Tentang Transfer dana h. Ordonansi Riba ( Stbl. 1938 No. 534).20 Perkembangan masyarakat dan perubahan masyarakat membutuhkan pembaruan hukum. Ini menyangkut politik hukum, ialah yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. Penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. 20 Marulak Pardede, op cit Hal. 39 Adapun teori-teori yang digunakan dalam menjawab permasalahan sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut: 1. Teori Kebijakan Hukum Pidana Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.21 Crime is designation, which means that crime is defined by other than criminals. Crime is behavior subject to judgment of other.22 Kejahatan adalah penunjukan, yang berarti kejahatan yang didefinisikan oleh selain penjahat. Kejahatan adalah perilaku tunduk pada penilaian lainnya. Sehingga kebijakan penegakan hukum sangat diperlukan untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu : a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang. b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. 21 Barda Nawawi Arief, 1994, Kebiiakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Penerbit: Universitas Diponegoro Semarang, hal. 61 22 Peter Hoefnagels G. 1973. The Other Side of Criminology. Kluwer – Deventer. Holland.hal.92 c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.23 Pada tahap kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan,maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan/ kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit/ formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/ material. Dalam arti sempit/formal, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan/ mengenakan sanksi pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Sedangkan dalam arti luas/material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Oleh karena itu keseluruhan sistem/ proses/ kewenangan penegakan hukum pidana itupun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan Kursus Latihan ke -34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo 23 Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. PL Citra Aditya Bakti Bandung, , hal.30 tahun 1973 yang dikutip dalam tesis Kajian Aspek Pidana Dalam Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card sebagai berikut: Most of group members agreed some dicussion that "protection of the society" could be accepted as the final goal of criminal policy, Although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like "happiness of citizens", "a wholesome and cultural living", "social welfare" or equality".24(terjemahan biasa:Sebagian besar anggota kelompok setuju beberapa dicussion bahwa "perlindungan masyarakat" dapat diterima sebagai tujuan akhir dari kebijakan kriminal, Meskipun bukan tujuan utama masyarakat, yang mungkin dapat dijelaskan oleh istilah-istilah seperti "kebahagiaan warga", "sebuah sehat dan hidup budaya "," kesejahteraan sosial "atau kesetaraan) Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu : a. Dalam arti sempit yaitu keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana b. Dalam arti luas yaitu merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. c. Dalam arti paling luas, yaitu merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.25 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan/ upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial) Beberapa mengenai kejahatan yang mendapat The Prevention of Crime and The perhatian Treatment kongres PBB of Offenders, dimana dalam Kongres ke-5 tahun 1979 di Geneva, menyebutkan antara lain : 24 Praniti, A.A. Sg.2003. dalam Tesis Kajian Aspek Pidana Dalam Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card).Pascasarjana Universitas Udayana.hal22 25 Sudarto. 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II), hal. 114 1. "Crime as a business" yaltu kejahatan yang bertujuan mendapatkan material melalui kegiatan dalam bisnis atau industri, yang pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat ; termasuk dalam kejahatan ini antara lain yang berhubungan dengan pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen dan dalam bidang perbankan, disamping kejahatan-kejahatan lainnya yang biasa dikenal dengan "organized crime", "white collar crime", dan korupsi. 2. Tindak pidana yang berhubungan dengan hasil pekerjaan seni dan kekayaan budaya, objek-objek budaya, dan warisan budaya. Kejahatan yang berhubungan dengan alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan. 3. Perbuatan kekerasan antara perorangan (interpersonal violence), khususnya di kalangan remaja. 4. Perbuatan kekerasan yang bersifat trans nasional dan internasional, yang biasa disebut dengan perbuatan-perbuatan terorisme. 5. Kejahatan yang berhubungan dengan lalu lintas kendaraan bermotor. 6. Kejahatan yang berhubungan dengan perpindahan tempat (migrasi) dan peralihan pengungsi akibat bencana alam dan peperangan ; masalah-masalah yang berhubungan dengan perpindahan tempat misalnya mengenai pelanggaran paspor dan visa, pemalsuan dokumen, mengeksploitir tenaga kerja, pelacur, dan sebagainya. Masalahmasalah yang berhubungan dengan pengungsi antara lain masalah pengalihan bantuan dan masalah spionase.26 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana". 2. Teori Politik hukum pidana Politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan 26 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebiiakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti Bandung ,Hal. 15 untsuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Poltik hukum menurut Sudarto adalah: 1. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung di dalam masyarakat dan apa yang dicita-citakan. 2. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik, sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.27 Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara yang dikutip dalam Bukunya Mulyana W. Kusumah mengajukan pandangan tentang politik hukum nasional yaitu : ”Politik hukum nasional secara harafiah diartikan sebagai kebijaksanaan hukum (Legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu”. Politik Hukum Nasional tersebut meliputi: 1. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten 2. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada yang dianggap usang dan menciptakan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi perkembangan masyarakat 3. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya 4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.28 Dengan demikian, sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan 27 28 M. Hamdan, 1997,Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hal. 19 Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986, hal.42 merumuskan suatu perundang-undangan yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Menurut Marc Ancel, Modern Criminal Science terdiri dari tiga komponen, yaitu : 1. Criminology 2. Criminal Law 3. Penal Policy Mengutip pendapat Sutherland and Cressey didalam buku “Introduction To Criminology (Theories, Methods, and Criminal Behavior)” There are four characteristic of criminal law: 1. It is assumed by political authority. The state assumes the role of plaintiff or the party bringing forth charges. Murder, for example, is no longer just an offense against a person, but against the state. In fact, the state prohibits individual revenge in such matters, perpetrators must pay their debt to society, not to the individual wronged (Hal ini diasumsikan oleh otoritas politik. Negara mengasumsikan peran penggugat atau pihak menelorkan biaya. Pembunuhan, misalnya, tidak lagi hanya sebuah pelanggaran terhadap seseorang, tetapi melawan negara. Bahkan, negara melarang aksi balas dendam individual dalam masalah seperti itu, pelaku harus membayar utang mereka kepada masyarakat, bukan pada individu dirugikan) 2. It must be specific, defining both the offense as well as the proscribed punishment.( Ini harus spesifik, mendefinisikan baik pelanggaran serta hukuman dilarang.) 3. The law is uniformly applied. That is, equal punishment and fairness to all, irrespective of social position, is intended (Hukum adalah seragam diterapkan. Artinya, hukuman yang sama dan keadilan untuk semua, terlepas dari posisi sosial, dimaksudkan) 4. The law contains penal sanctions enforced by punishment administered by the state.29 (Undang-undang memiliki sanksi pidana ditegakkan oleh hukuman dikelola oleh negara) 29 Hagan, Frank E. Introduction to Criminology. Nelson – Hall. Chicago. 1986. Hal.12 Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Mengutip pendapat A. Mulder didalam buku Bahan Bacaan Politik karangan Barda Nawawi, politik hukum pidana (Strafrechtpolitiek) ialah garis untuk menentukan: 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui. 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.30 Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan. Permasalahannya sekarang adalah, garis-garis kebijakan atau pendekatan yang bagaimanakah sebaiknya ditempuh dalam menggunakan hukum pidana. 30 Barda Nawawi Arief, 1992, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana. Pasca Sariana Universitas Indonesia. Jakarta, hal. 7. Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya Packer menyatakan bahwa : 1. (The criminal sanction is indispenable; we could not, now or in the foreseeable future get along, without it).Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana . 2. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross & immediate harms and threats from harms).Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki utk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta utk menghadapi ancamanancaman dari bahaya 3. ( The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used provedently and humanely, it i s Guarantor; used indiscriminately and, it is coercively threatene r)Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.31 Dengan demikian Packer berpendapat bahwa menggunakan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan harus dilakukan dengan hati-hati, sebab bukan tidak mungkin penggunaan sanksi pidana itu akan menjadi semacam "bumerang", dalam arti justru akan menimbulkan bahaya dan meningkatkan jumlah kejahatan dalam masyarakat. 31 Herbert L. Packer, 1967,The Limits of The Criminal Sanction, Stanford California University Press, hal. 344-346. 3. Teori Legislasi. Mengutip pendapat dari Fuller dalam buku karangan Satjipto Rahardjo yang berjudul Hukum dan Masyarakat, Hukum dikatakan sebagai suatu system harus memenuhi 8 (delapan) prinsip legalitas atau yang disebut dengan principles of legality. Kedelapan prinsip tersebut dapat menjadi acuan dalam penyusunan undang-undang. Adapun delapan prinsip tersebut meliputi: a. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti, bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakan-tindakan yang bersifat arbiter; b. Peraturan-peraturan itu dibuat harus diumumkan secara layak; c. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut; d. Perumusan-perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat; e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin; f. Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain; g. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah; h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.32 32 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa, 1980), hlm. 78, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I). Agar hukum itu berfungsi maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai kaidah yakni: a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.33 Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa: Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi: a. Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundangundangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan. Perundang-undangannya. 33 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94. d. Dapat dilaksanakan; Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara f. Kejelasan rumusan; Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Keterbukaan. Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundangundangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan. 4. Teori Pembaruan Hukum Pidana Berkaitan dengan pengertian pembaruan hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan yaitu: Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makana, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosiofilosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum di Indonesia.34 34 Barda Nawawi Arief III, op.cit, hal. 27. Pembaruan hukum pidana dapat dikatakan sebagai pembaruan terhadap masalah perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang dapat dipidana; pelaku kejahatan; dan sanksi pidana yang diancamkannya,35 yang pada dasarnya hal itu terletak pada masalah mengenai perbuatan apa yang sepatutnya dipidana; syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempermasalahkan/ mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu; dan sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu.36 Akan tetapi hukum pidana dipandang sebagai suatu sistem yang mengatur keseluruhan dari aturan perundang-undangan hukum pidana, sehingga pembaruan system hukum pidana (penal system reform) meliputi pembaruan substansi hukum pidana, pembaruan struktur hukum pidana, dan pembaruan budaya hukum pidana. 6. Teori Hukum Progresif Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo, terdapat 2 macam tipe penegakan hukum progresif : 1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif; 2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia.37 35 Djoko Prakoso, 1983,Pembaruan Hukum Pidana Di Indonesia, cet.I, Yogyakarta: Penerbit : Liberty, Hal. 48 36 Barda Nawawi Arief I,op.cit, hal.111. 37 http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia Munculnya Hukum progresif adalah untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, Satjipto Rahardjo menekankan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”. Dan mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya. Penegasan ini berbeda dengan Pemahaman hukum secara legalistikpositivistik dan berbasis peraturan (rule bound). Dalam ilmu hukum yang legalistik- positivistik, hukum sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Untuk lebih jelasnya, hukum progresif ini dapat dijelaskan melalui runutan pengidentifikasikan yang terdiri atas asumsi, tujuan, spirit, progresivitas, dan karakter. Asumsi 1. Hukum untuk manusia, bukan sebaliknya. Maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. 2. Hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making) Tujuan : 1. Kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Spirit 1. Pembebasan terhadap tipe, cara berfikir, asas, dan teori yang selama ini dipakai. 2. Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan persoalan Progresivitas 1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making). 2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional, maupun global. 3. Menolak status-quo manakala menimbulkan dekandensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum. Karakter 1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula menggunakan optik hukum menuju ke perilaku. 2. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat, meminjam istilah Nonet & Selznick, bertipe responsif. 3. Hukum progresif terbagi paham dengan legal realism, karena hukum tidak dipandang dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. 4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum. 5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang meta-juridical. 6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan Critical Legal Studies namun cakupannya lebih luas 1.6 Metode Peneiitian 1.6.1 Jenis Penelitian Selayaknya suatu karya ilmiah ,agar memiliki bobot ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan maka dalam melakukan penelitian tesis ini dipergunakan metoda penelitian yaitu penelitian normatif. Metode normatif yaitu pemecahan masalah yang didasarkan pada literatur – literatur dan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. 1.6.2 Metode Pendekatan Adapun metode pendekatan yang dipakai terhadap masalah ini adalah beberapa metode yang dikenal dalam penelitian hukum normatif, yaitu pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (case Approach), pendekatan perbandingan. - Metode pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum, dimana yang dikaji dalam penelitian ini adalah peraturan perundangundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, maksudnya terhadap masalah yang timbul akan ditinjau dan dikaji berdasarkan teori-teori dan ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya dan kemudian dikaitkan dengan kenyataan dimasyarakat. - Metode pendekatan kasus yaitu untuk dapat memahami fakta-fakta materiil dengan cara memperhatikan abstraksi rumusan fakta yang terjadi.38 - Metode pendekatan perbandingan digunakan untuk membandingkan hukum yang berlaku di Indonesia dengan hukum yang berlaku di Negara lainnya. Seperti dalam penanggulangan penyalahgunaan kartu kredit di Indonesia sampai saat ini menggunakan KUHP dan UU No.11 Tahun 2008 Tentang Transaksi Elektronik,sedangkan Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah memiliki banyak 38 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum , Cetakan ke -3, Jakarta, kencana, 2007, hal.119 perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law termasuk mengenai tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA) sedangkan di Filipina menggunakan Philippines E-commerce Act Republic Of The Philippines.39 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang mana dalam penyusunan tesis ini yang dipakai adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Pokok Perbankan, Petunjuk Lapangan Kapolri No.POL : JUKLAP/ 017 I/ 1995 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang berhubungan dengan kartu kredit. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.40 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 39 Asril Sitompul, 2004, Hukum Internet (Pengenalan Mengenai Masalah Hukum Di Cyberspace), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, ,hal.175 40 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 1985,Peneiitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, Hal. 13 Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitik beratkan penelitian pada bahan hukum primer, sedangkan bahan hukum sekunder lebih bersifat menunjang. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari sumber primer berupa perundang-undangan dan yurisprudensi, dan dari sumber sekunder berupa dokumen atau risalah perundangundangan, konsep rancangan undang-undang, sumber-sumber hukum lainnya, hasil-hasil penelitian dan kegiatan ilmiah, serta pendapat para ahli hukum dan ensiklopedi. 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan melalui metode seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara deskriptif , interpretatif, evaluatif dan argumentatif. - Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi pidananya. - Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran historis,sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif ,sistematis dan argumentatif. - Teknik evaluative yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan, proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,baik yang tertera dalam baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder. - Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat. - Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.41 41 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana.2008.hal14 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBARUAN HUKUM PIDANA DAN KARTU KREDIT 2.1 Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana 2.1.1 Pengertian Pembaruan Hukum Pidana Sebelum membahas lebih lanjut tentang pengertian pembaruan hukum pidana, perlu terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan pembaruan (reform) itu sendiri, yaitu suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi terhadap sesuatu hal yang akan ditempuh melalui kebijakan42, artinya harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Berkaitan dengan pengertian pembaruan hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan yaitu: Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makana, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosiofilosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum di Indonesia.43 Dalam hal ini pembaruan hukum yang akan ditempuh adalah hukum pidana (penal reform). Jadi pengertian pembaruan hukum pidana tersebut yaitu pada 42 Barda Nawawi Arief II, op.cit, hal. 27 43 ibid.hal.48 hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosiofilosofik, dan sosio-kultural masyarakat yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum.44 Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana,45 yang secara etimologis, istilah kebijakan hukum pidana berasal dari kata “kebijakan” dan “hukum pidana”. Sebagaimana menurut Sudarto yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief: Masalah “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. 46 Bertolak dari uraian tersebut di atas, pembaruan hukum pidana ditentukan dengan kebijakan hukum pidana itu sendiri, artinya pembaruan hukum pidana dapat diarahkan melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum pidana berarti telah mengadakan suatu pembaruan hukum pidana. Sehubungan dengan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut : Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan 44 ibid. hal. 27-28 45 ibid 46 ibid.hal.25 hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.47 Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengertian tentang politik hukum maupun dari politik kriminal. Sedangkan pengertian politik hukum menurut Sudarto adalah sebagai berikut: 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicitacitakan.48 Lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Menurut A. Mulder sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief: Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan: 1. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui ; 2. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 47 ibid. hal.24 48 ibid. hal 24-25 3.cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.49 Apa yang dikemukakan oleh Mulder ini sebenarnya lebih bertolak pada pengertian sistem hukum pidana menurut Marc Ancel sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari : 1. peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; 2. suatu prosedur hukum pidana, dan 3. suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).50 Lebih lanjut Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa setiap usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan lewat bantuan pembuatan undangundang (hukum) pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan 49 ibid.hal 25-26 50 ibid.hal.26 masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy”, dan “social defence policy”.51 Kebijakan hukum pidana dapat juga dilihat sebagai bagian dari politik kriminal. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan atau perbuatan yang dilarang. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Politik kriminal merupakan usaha yang rasional dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Dirumuskan oleh Marc Ancel, politik kriminal adalah the rational organization of the control of crime by society.52 Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan: Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Saparinah Sadli menyatakan bahwa perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial; dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian kejahatan disamping merupakan masalah kemanusiaan, ia juga 51 ibid.hal27 52 Sudarto I, op.cit. hal. 162 merupakan masalah sosial, malahan menurut Benedict S. Alper merupakan “the oldest sosial problem”. 53 Sebagai suatu persoalan sosial yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai terus-menerus. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian usaha inipun masih sering dipersoalkan. Sehubungan dengan masalah ini, menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan mengenai perlunya pidana dan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut : a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untukmencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing. b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja. c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaituwarga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.54 Dengan demikian nampak bahwa prevensi khusus dan prevensi umum menjadi pertimbangan utama. Di sisi lain ada pertimbangan nilai yaitu 53 Muladi Dan Barda Nawawi Arief I, Op.cit, hal. 148-149. 54 ibid. hal 152-153 keseimbangan antara nilai dari hasil perbuatan yang dikenakan pidana dengan biaya yang dikeluarkan. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakkan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakkan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.55 H.L. Packer dalam bukunya “The Limits of Criminal Sanction”, sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief: a. (the criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the oreseeable future, get along without it)Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana. b. (the criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm).Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancamanancaman dari bahaya c. (the criminal sanction is atau once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener) Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.56 55 ibid. Hal149 Tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan, karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem social seperti dikemukakan Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy). Bertolak dari pengertian kebijakan hukum pidana di atas, Barda Nawawi Arief menyimpulkan, bahwa: Dilihat dari bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-udangan pidana yang baik….Dengan demikian, yang dimaksud “peraturan hukum positif” (the positive rules) adalah peraturan perundang-udangan hukum pidana. Olehkarena itu, istilah “penal policy” adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.57 2.1.2 Ruang Lingkup Pembaruan Hukum Pidana Sebagaimana diketahui, bahwa bagi bangsa Indonesia yang berasaskan Pancasila menjadi falsafah hidup, dan juga menjadi dasar falsafah negara. Sebagai falsafah hidup bangsa, Pancasila merupakan jiwa bangsa, kepribadian bangsa, 56 ibid. Hal. 155-156. 57 ibid. Hal.25. sarana tujuan hidup bangsa, pandangan hidup dan pedoman hidup bangsa. Begitu juga Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Kemudian pada rumusan alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan: Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonnesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam rangka merespon amanat pembukaan UUD1945 tersebut maka pembaruan sebagai produk perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia menjadi agenda yang patut diprioritaskan. Dengan demikian dari amanat tersebut juga tersimpul keharusan untuk melakukan pembaruan di bidang hukum. Usaha pembaruan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945. Namun mengingat permasalahan hukum menyentuh aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas sehingga setiap saat berubah, maka pembaruan tidak dapat dilakukan dalam sekejap. Sebagaimana pengertian pembaruan hukum pidana yang telah dikemukakan pada sub-1 di atas, dalam hal ini, ruang lingkup pembaruan hukum pidana meliputi: 1. Pembaruan substansi hukum pidana; 2. Pembaruan struktur hukum pidana; dan 3. Pembaruan budaya hukum pidana. Dalam Pembaruan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu kredit melakukan pembaruan pada aspek pembaruan substansi hukum pidana. Dimana pembaruan substansi hukum pidana, Barda Nawawi Arief berpendapat: 1. Suatu reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilainilai sosio-folosifik, sosio-politik, sosio-kultural masyarakat. Pembaruan hukum pidana pada dasarnya adalah: - Pembaruan konsep nilai Pembaruan ide-ide dasar Pembaruan pokok-pokok pemikiran Pembaruan paradigma/wawasan 2. Sebagai bagian dari “Sosial Policy”, pemnaharuan hukum pidana hakekatnya merupakan bagian dari upaya mengatsi masalah sosial untuk mencapai kesejahteraan/perlindungan masyarakat. 3. Sebagai dari “Criminal Policy”, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya penaggulangan kejahatan. 4. Sebagai bagian dari “Law Enforcement Policy” pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian kelancaran/efektivitas penegakkan hukum. 5. Pembaruan substansi hukum pidana meliputi: dari upaya menunjang a. pembaruan hukum pidana materiel, b. pembaruan hukum pidana formal, c. pembaruan hukum pelaksanaan pidana.58 Dalam hal ini, pembaruan hukum pidana terhadap persiapan melakukan tindak pidana sebagai delik, maka ruang lingkup pembaruan hukum pidana bertolak dari pembaruan substansi yang meliputi pembaruan hukum pidana materiel. Pembaruan hukum pidana/ KUHP Nasional juga merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana substansi. Patut dikemukakan, bahwa dalam rangka pembaruan hukum pidana nilai-nilai tersebut telah diakomodasikan oleh penyusun RUU KUHP. Hal ini dapat dilihat dari beberapa prinsip yang terkandung dalam penyusunan rancangan KUHP Nasional yang antara lain menyebutkan: a. bahwa hukum pidana dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (basic sosial value) prilaku hidup masyarakat, dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah dan idiologi negara Pancasila; b. bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengendalian sosial (sicial control) tidak mau atau belum dapat diharapkan keefektifitasannya; dan bahwa dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua pambatasan (a) dan (b) di atas, harus diusahakan dengan sungguhsungguh bahwa cara seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu tanpa 58 http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf mengurangi perlindungan yang perlu diberikan terhadap kepentingan kolektifitas dalam masyarakat demokratik yang modern. Sebagaimana pada pernyataan di atas, maka tendensi untuk tetap mempertahankan unsur-unsur asli dalam pembaruan hukum di Indonesia patut dikedepankan, apalagi terhadap hukum pidana. Mengingat hukum pidana dengan segala aspeknya (aspek-aspek sifat melawan hukum, kesalahan, dan pidana) mempunyai sifat dan fungsi yang istimewa, serta mempunyai fungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian dari politik kirminal) dan yang sekunder, ialah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara sepontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Dalam fungsi yang kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police, yakni melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar. Dalam kaitannya dengan upaya untuk melakukan reorientasi terhadap persiapan melakukan tindak pidana sebagai delik, maka kode etik penggunaan hukum pidana tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan tentang persiapan melakuan tindak pidana sebagai delik agar lebih berorientasi baik pada perlindungan individu maupun masyarakat. Dengan demikian akan tercipta hukum pidana yang lebih fungsional yang tetap berakar pada nilai-nilai sosial masyarakat. Sebagaimana Barda Nawawi Arief menyatakan: Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosiofilosofik san sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.59 Dengan penjelasan di atas, bahwa secara konstitusional pembaruan hukum nasional termasuk hukum pidana harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Keharusan konstitusioal tersebut patut untuk dikedepankan agar hukum yang akan terbentuk benarbenar merupakan penjelmaan dari nilainilai yang hidup alam masyarakat. Selanjutnya Beliau mengatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value- oriented approach”). Bertolak dari uraian tersebut di atas, perlu adanya pembaruan kebijakan kriminal yang digunakan untuk mencegah kejahatan sedini mungkin, sehingga perbuatan dapat dilihat dari dua sudut pendekatan yaitu sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai, sehubungan dengan masalah ini, Barda Nawawi Arief menyatakan pendapatnta sebagai berikut: 1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan: a. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalahmasalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangaka 59 http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf mencapai/ menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya); b. sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan); c. sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum 2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai: Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali (“reorientasi dan reevaluasi”) nilai-nilai sosio politik, sosiofilosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicitacitakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS). Hal ini dipandang bahwa hukum (hukum pidana) merupakan perwujudan suatu unsur sosial masyarakat yang mempengaruhi ada tidaknya penjaTuhan sanksi (dipidananya) terhadap persiapan melakukan tindak pidana tersebut, sehingga perlu adanya pembaruan kebijakan kriminal sejalan beriringan waktu yang didasarkan pada nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik, sosio kultural dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.Bertolak dari sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai, pengkajian menitikberatkan pada hukum pidana materiil (KUHP), mengingat bagian hukum pidana ini yang mampu merumuskan atau memformulasikan perbuatan-perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana, bagaimana mengenai pertanggungjawaban pidananya, serta bagaimana mengenai pidana dan pemidanaannya. Dengan demikian tahap formulasi menempati posisi strategis jika dibandingkan tahap aplikasi maupun tahap pelaksanaan hukum pidana yang merupakan kelanjutan dari operasionalisasi atau penegakkan hukum pidana. Mengenai posisi strategis dari tahap formulasi ini juga dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief : Tahap penetapan pidana hemat kami justru harus merupakan tahap perencanaan yang matang mengenai kebijakan-kebijakan tindakan apa yang seharusnya diambil dalam hal pemidanaan apabila terjadi suatu pelanggaran hukum. Dengan perkataan lain tahap ini harus merupakan tahap perencanaan strategis dibidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberi arah pada tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang masih tetap menggunakan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang mulai diterapkan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918 dan merupakan produk hukum pemerintahan jaman kolonial Hindia Belanda, dengan berbagai perubahan dan penambahannya. KUHP yang berasal dari Belanda tentu memiliki jiwa, pola pikir dan normanorma yang berbeda dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat bangsa Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Sudarto, bahwa WvS kita ini tidak mungkin mencerminkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia secara penuh, karena tidak dibuat oleh kita sendiri. Secara politis, sosiologis, maupun praktis KUHP yang berlaku di Indonesia sekarang perlu segera diganti dengan KUHP yang berasal dan bersumber dari nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Beberapa karakteristik hukum pidana yang mencerminkan proyeksi hukum pidana masa datang secara ringkas di dinyatakan oleh Muladi sebagai berikut : 1. Hukum pidana nasional mendatang, dibentuk tidak hanya sekadar alas an sosiologis, politis dan praktis semata-mata, melainkan secara sadar harus disusun dalam kerangka Idiologi Nasional Pancasila. Hal ini akan memberi kesadaran bahwa sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya tidak hanya merupakan suatu sistem yang bersifat phisik semata-mata melainkan juga merupakan sistem abstrak yang merupakan jalinan nilai-nilai yang konsisten dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. 2. Hukum pidana pada masa yang akan datang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang bertalian dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia. 3. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh didalam pergaulan masyarakat beradab, dalam arti beradaptasi yang kadang-kadang berupa pengambilan hikmah dari perkembangan tersebut. 4. Sistem peradilan pidana, politik kriminal, politik penegakan hukum merupakan bagian dari politik sosial. Dengan demikian hukum pidana mendatang harus memikirkan pula aspek-aspek yang bersifat preventif. 5. Hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektifitas fungsinya di dalam masyarakat.60 Indonesia sebagai sebuah negara yang sudah merdeka juga berupaya segera mengadakan pembaruan KUHP (WvS) yang disesuaikan dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia serta diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan jika dibandingkan dengan undang-undang warisan kolonial. Dengan demikian ruang lingkup kebijakan hukum pidana dapat mencakup kebijakan di bidang pidana formil, materiel serta pelaksanaan pidana itu sendiri. Ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sangat luas karena tidak hanya menyangkut hukum pidana dalam arti materiel (pidana dan pemidanaan) tetapi juga mengatur tentang bekerjanya hukum pidana melalui lembaga sub-sistem peradilan yang ada serta bagaimana pelaksanaan eksekusinya. 60 Ibid 2.2 Kartu Kredit 2.2.1 Pengertian Kartu Kredit Kartu Kredit merupakan “uang plastik” yang dikeluarkan oleh bank, kegunaannya adalah sebagai alat pembayaran di tempat-tempat tertentu seperti supermarket, hotel, restaurant, tempat hiburan dan tempat lainnya.61 Mengutip berberapa pengertian kartu kredit dalam penelitian tesis A.A. Sagoeng Poetri Praniti dalam judul Kajian Aspek Pidana Dalam Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card) antara lain : Dalam Encyclopedia Americana “Credit card is a means of identification by which of the owner may obtain consumer credit for the purchase of goods or service rather than pay cash. At the time of sale he present his card to the seller, who records the purchasers name an account number a long with the price of purchase records are sent to a central billing office that calculates the total price of purchases made by the card owner during the business month and send him a bill. The purchaser returns his personal check covering all or part of the total to the central office, which allocates the money to the establish entitle to it”.62 (Terjemahan bebas :Kartu Kredit adalah suatu alat pengenal, dimana pemilik boleh mendapat kredit untuk pembelian barang-barang atau mendapat pelayanan dari pada pembayaran kontan. Biasanya pembeli, ia memberikan kartunya pada penjual yang mencatat nama pembeli, menghitung nomor sebanding dengan harga pembelian. Catatan itu dikirim ke kantor pusat pengajuan rekening untuk menghitung harga total dari pembelian-pembelian yang telah dibuat oleh pemilik kartu selama usaha bulanan dan mengirimkannya suatu isian rekening. Pembeli kembali dapat menutup cheknya semua atau bagian totalnya, pada kantor pusat yang menyediakan uang untuk pembukuan kredit yang berhak untuk itu). Sedang menurut Hill Dictionary, “Credit Card is a card identification which allows the holder to purchase goods and services in the present and pay for them in the future. Credit 61 Kasmir I, Op cit, hal. 117. 62 Praniti, A.A. Sg. op.cit.hal90 Card is issued by Bank, Hotels, Travel organization, to individual who are classified a good credit risk a small fee, must be paid in advance by the individual to obtain certain credit card”.63 (Kartu kredit adalah sebuah kartu pengenal yang membolehkan pemegang membeli barang-barang dan mendapatkan pelayanan-pelayanan saat ini dan membayarnya pada masa mendatang. Kartu kredit diterbitkan oleh Bank, Hotel-hotel, Biro Perjalanan, ,Perorangan yang diklasifikasikan pada kredit barang dengan resiko pembayaran yang kecil, yang harus dibayar pada hari berikutnya oleh individu tersebut untuk mendapatkan kartu kredit tertentu). Menurut Peter Salim “Kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh Bank atau lembaga keuangan bagi langganan-langganannya untuk dapat membeli barang dan jasa dari. perusahaan yang menerima kartu kredit tersebut, tanpa pembayaran dengan uang tunai.”64 “Kartu kredit merupakan alat pembayaran yang memungkinkan si pemegang kartu untuk memperoleh barang-barang atau pelayanan dari pedagang, dimana peraturan-peraturannya telah dibuat (secara langsung atau tidak langsung) oleh orang yang mengeluarkan kartu tersebut, juga yang membuat peraturan-peraturan untuk membayar kerugian pada pedagang. Si pemegang kartu membayar kepada pembuat kartu menurut batas rencana yang khusus.65 Di dalam Pasal 1 ayat (8) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan disebutkan bahwa Perusahaan kartu kredit (credit card company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang dan jasa dengan menggunakan kartu kredit. Dengan demikian kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak Bank atau lembaga keuangan lainnya, dimana si pemilik kartu dalam melakukan suatu transaksi dapat memperoleh barang-barang atau pelayanan jasa dengan 63 ibid. hal91 64 ibid 65 ibid menunjukkan kartu tersebut yang juga dapat berfungsi sebagai alat pembayaran secara tunai. 2.2.2 Jenis-jenis dan Ciri-ciri Kartu Kredit Adapun jenis-jenis kartu kredit dapat digolongkan berdasarkan fungsi dan wilayah berlakunya.66 a. Berdasarkan Fungsinya 1. Credit Card Kartu kredit atau credit card adalah jenis kartu yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran transaksi jual beli barang atau jasa dimana pelunasan atau pembayarannya kembali dapat dilakukan dengan sekaligus atau dengan cara mencicil sejumlah minimum tertentu. Jumlah cicilan tersebut dihitung dari nilai saldo tagihan ditambah bunga bulanan. Tagihan pada bulan yang lalu termasuk bunga (retail interest) merupakan pokok pinjaman pada bulan berikutnya. Misalnya tagihan bulan sebelumnya adalah Rp. 1.000.000,00. Pembayaran minimum ditetapkan misalnya 10% dari total tagihan dengan pembayaran minimum sebesar Rp.50.000,00. Dari angka tersebut maka pemegang kartu harus membayar cicilan sebesar 10 % x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 100.000,00. Sekiranya hasil perkalian dari tagihan tersebut kurang dari Rp. 50.000,00, maka jumlah cicilan bulan yang bersangkutan minimum Rp. 50.000,00. Misalnya jumlah tagihan sebesar Rp.200.000,00, maka jumlah cicilan 66 Dahlan Siamat. Op.cit. hal. 401. adalah 10 % x Rp. 200.000,00 = Rp. 20.000,00. Karena jumlah tersebut kurang dari RP. 50.000,00, maka pemegang kartu harus mencicil minimal Rp. 50.000,00. Apabila card holder melakukan melampaui kredit limit, smaka pembayaran minimum adalah sebanyak kelebihan dari kredit limit ditambah 10 % dari total kredit limit. Pembayaran tersebut sudah harus dilakukan paling lambat pada tanggal jatuh tempo setiap bulan yang ditetapkan oleh issuer untuk setiap pemegang kartu. Keterlambatan pembayaran akan mengakibatkan kena denda keterlambatan atau late charge. Kartu kredit dapat digunakan pula untuk melakukan penarikan uang tunai baik langsung melalui teller pada kantor bank yang bersangkutan maupun ATM (automated teller maschine) di mana ada tertera logo atau nama kartu yang dimiliki, baik di dalam maupun di luar negeri. Kartu kredit yang umum digunakan dalam transaksi ini adalah Visa dan Master Card. 2. Charge Card Charge Card adalah kartu yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran suatu transaksi jual beli barang atau jasa dimana nasabah harus membayar kembali seluruh tagihan secara penuh pada akhir bulan atau bulan berikutnya dengan atau tanpa biaya tambahan. Misalnya, total nilai transaksi pada bulan sebelumnya adalah Rp. 1.000.000,00, maka pada saat tagihan diterima dari perusahaan kartu maka jumlah tagihan tersebut (atau ditambah biaya lainnya bila ada) harus dibayar seluruhnya paling lambat pada tanggal jatuh tempo pembayaran setiap bulan yang sebelumnya telah ditetapkan oleh issuer. 3. Debit Card Debit Card berbeda dengan kedua kartu plastik yang telah disebutkan di atas. Pembayaran atas transaksi jual beli barang atau jasa dengan menggunakan kartu debit ini pada prinsipnya merupakan transaksi tunai dengan tidak menggunakan uang tunai akan tetapi pelunasannya atau pembayarannya dilakukan dengan cara mendebit (mengurangi) secara langsung saldo rekening simpanan pemegang kartu yang bersangkutan dan dalam waktu yang sama mengkredit rekening penjual (merchant) sebesar jumlah nilai transaksi pada bank penerbit (pengelola). Mekanisme pembayaran dengan debit card yang sedang dikembangkan saat ini adalah pemegang kartu menyerahkan kartu debitnya pada kasir di counter penjualan (at the point of sales). Kemudian dengan menggunakan alat elektronik yang on line dengan bank, saldo rekening pemegang kartu akan langsung terlihat pada monitor yang selanjutnya akan didebit sebesar jumlah nilai transaksinya dengan mengkredit rekening merchant. Seperti halnya dengan kartu kredit, jenis kartu debit ini dapat digunakan pula untuk menarik uang tunai baik melalui counter bank maupun melalui mesin kas otomatis atau ATM yang berfungsi sebagai cash card. 4. Cash Card Cash Card pada dasarnya adalah kartu yang memungkinkan pemegang kartu untuk menarik uang tunai baik langsung pada kasir bank maupun melalui ATM bank tertentu yang biasanya tersebar di tempattempat strategis, misalnya di hotel, ,pusat-pusat perbelanjaan dan wilayah perkantoran. Dengan melakukan perjanjian kerja sama terlebih dahulu, pemegang cash card salah satu bank dapat pula menggunakannya pada bank lainnya. Jadi berbeda dengan tiga kartu plastik yang telah dijelaskan terdahulu, cash card tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran dalam melakukan transaksi jual beli barang atau jasa sebagaimana dengan credit card, debit card, atau charge card. Penerbitan kartu khusus untuk tujuan penarikan uang tunai dari bank ini pada dasarnya hanya untuk mempermudah dan mempercepat pelayanan kepada nasabah yang sebelumnya telah memiliki simpanan di bank yang bersangkutan. Beberapa bank telah memberikan pelayanan ATM 24 jam. Bank biasanya menentukan limit uang tunai yang dapat ditarik atau ditransfer melalui ATM misalnya, secara harian atau mingguan. Tergantung bagaimana perjanjian bank dengan nasabah pemegang kartu. Untuk melakukan penarikan melalui ATM tersebut pemegang kartu diberikan nomor identifikasi pribadi (personal identification number) PIN dan untuk demi keamanan, pemegang kartu harus menjaga kerahasiaan PIN tersebut. Kartu ini memungkinkan pemegangnya menarik uang tunai dengan cara yang sangat cepat, mudah, dan praktis tanpa komunikasi sama sekali dengan petugas bank, cukup dengan memasukkan kartu pada ATM dan memasukkan PIN melalui tombol-tombol pada keyboard ATM. Di samping pelayanan penarikan uang tunai, maka cash card dengan melalui ATM beberapa fungsi bank dapat pula dilakukan antara lain meminta informasi saldo rekening. Informasi tersebut lengkap dengan tanggaltanggal mutasi debit-kredit bisa dilihat langsung melalui monitor atau atas instruksi, informasi tersebut dapat langsung di-print out. Dengan semakin canggihnya perkembangan teknologi, pemegang kartu dapat pula melakukan transfer antar rekening secara global dengan electronic fund transfer, EFT. Cash card saat ini di Jakarta telah banyak dikeluarkan oleh bank yang telah memiliki fasilitas ATM. Semakin banyak jumlah dan luas jaringan on line ATM ini akan semakin memudahkan pelayanan nasabah. Misalnya seorang nasabah pemegang cash card yang memiliki rekening tabungan di suatu Bank di Blok M Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dengan menggunakan cash card, pemegang kartu tersebut dapat melakukan penarikan langsung uang tunai mellalui ATM di Ujung Pandang atau kotakota lain di mana memungkinkan penggunaan kartunya pada ATM bank yang bersangkutan. 5. Check Guarante Card Kartu ini pada prinsipnya dapat digunakan sebagai jaminan dalam penarikan cek oleh pemegang kartu. Kartu jenis ini sangat populer di Eropa terutama Inggris. Di samping itu, kartu tersebut dapat juga digunakan dalam melakukan penarikan uang melalui ATM. b. Berdasarkan Wilayah Berlakunya Dilihat dari wilayah berlakunya, kartu plastik ini dapat dibedakan antara kartu plastik yang berlaku secara domestik (lokal) dan Internasional. 1. Kartu Plastik Lokal Kartu plastik lokal merupakan kartu plastik yang hanya berlaku dan dapat digunakan di suatu wilayah tertentu saja, misalnya Indonesia. Dengan semakin pesatnya penggunaan kartu plastik ini menyebabkan beberapa perusahaan pengecer dan perusahaan jasa penerbit kartu plastik sendiri (umumnya charge card) guna memberikan pelayanan yang lebih mudah dan praktis bagi nasabahnya, misalnya Hero, Astra Card, Golden Truly, Garuda Executive Card. 2. Kartu Plastik Internasional Kartu Plastik Internasional adalah kartu yang dapat digunakan dan berlaku sebagai alat pembayaran Internasioanl. Pasar kartu kredit internasional dewasa ini didominasi oleh dua merek kartu yang telah memiliki jaringan antar benua, yaitu Visa dan Master Card. Kedua merek kartu tersebut masing-masing telah memiliki lebih dari 100 juta pemegang kartu yang tersebar di kota-kota seluruh dunia dan dapat digunakan untuk melakukan transaksi hampir di semua kota. Pemegang kedua kartu tersebut lebih dari separuhnya dipegang oleh penduduk Amerika Serikat. Selebihnya Jepang, Inggris, Kanada, dan sebagian kecil negara-negara lainnya. Kartu kredit Internasional yang dapat dipergunakan untuk melakukan transaksi di berbagai tempat di dunia adalah sebagai berikut: a) Visa Visa adalah kartu kredit Internasional yang dimiliki oleh perusahaan kartu Visa International. Pelaksanaan operasionalnya berdasarkan lisensi dari Visa Internasional dengan sistem franchise. b) Master Card Kartu kredit ini dimiliki oleh Master Card Internasional dan beroperasi berdasarakan lisensi dari Master Card International. c) Dinners Club Diners Club dimiliki oleh Citicorp. Cara operasinya dilakukan dengan cara mendirikan subsidiary atau dengan cara franchise. d) Carte Blanc Kartu ini juga dimiliki oleh Citicorp dan beroperasi persis sama dengan Dinners Club yaitu dengan membentuk subsidiary atau dengan franchise. e) American Express Kartu kredit ini dimiliki oleh American Express Travel Related Services Incorporated dan beroperasi dengan mendirikan subsidiary. American Express ini pada prinsipnya adalah charge card namun dapat memberikan fasilitas credit line kepada pemegang kartu. c. Berdasarkan Affiliasinya 1) Co-Branding Card, yaitu kartu plastik yang dikeluarkan atas kerjasama antara institusi pengelola kartu kredit dengan satu atau beberapa bank, contoh : Visa dan Masdter Card. 2) Affinity Card, yaitu kartu plastik yang digunakan oleh sekelompok atau golongan tertentu, misalnya kelompok profesi, kelompok mahasiswa dan lain-lain, contoh : Ladies Card, IMA Card, Bankers Card dan lain-lain. Ciri-Ciri Kartu Kredit Dari berbagai macam kartu kredit yang diterbitkan oleh pengelola kartu kredit di Indonesia, terdapat ciri-ciri umum yang sama antar satu dengan yang lain, yaitu :67 a. Tampak Muka : 1) Nomor kartu 2) Masa berlaku 3) Nama pemegang kartu 4) Logo dan nama dari bank penerbit 5) Nomor identifikasi dari bank penerbit. 6) Hologram (gambar tiga dimensi) khususnya untuk : Master Card, Visa, Astra Card, BCA Card. 67 Juklak POLRI, Op. Cit, hal. 4. b. Tampak Belakang 1) Signature Panel (Panel tanda tangan) 2) Magnetic Stripe 3) Debosing number (nomor yang dicetak tenggelam) yang sama dengan tercetak di depan. Ciri-ciri tersebut diatas bukanlah merupakan ciri-ciri yang hanya terdapat pada kartu kredit, karena sebagaian dari ciri-ciri tersebut dapat ditemukan pada beberapa macam kartu yang diterbitkan oleh bank atau lembaga keuangan lain, misalnya: kartu ATM, Discount Card, dan lain-lain. Namun karena penggunaan kartu kredit didasarkan perjanjian antara pihak-pihak terkait, maka yang membedakan kartu kredit dengan kartu lain yang mempunyai ciri-ciri yang sama, adalah bahwa hanya pemegang kartu kredit yang akan memperoleh fasilitas kredit sesuai dengan perjanjian dimaksud. 2.2.3 Pihak-Pihak Yang Terkait Dan Syarat Pemegang Kartu Kredit Dalam industri kartu kredit, adapun pihak-pihak yang terkait didalamya, antara lain : a. Issuer Card, merupakan pihak atau lembaga yang mengeluarkan dan mengelola suatu kartu. Penerbit dapat berupa bank, lembaga keuangan lain dan perusahaan non lembaga keuangan. Perusahaan yang khusus menerbitkan kartu kredit hams terlebih dahulu memperoleh ijin dari Departemen Keuangan. Apabila penerbit adalah bank, maka harus mengikuti ketentuan dari Bank Indonesia. Selanjutnya dalam tesis ini, Issuer Card disebut sebagai Penerbit. b. Acquirer, adalah lembaga yang mengelola penggunaan kartu kredit, terutama dalam hal pembayaran kepada pedagang (merchant) dan menagih kepada pihak issuer yang tidak berhubungan langsung dengan pedagang. Acquirer juga sering disebut dengan istilah Pengelola. c. Cardholder/Cardmember/Pemegang Kartu, adalah seorang atau nasabah yang telah memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan sehingga berhak untuk memegangkartu kredit dan menggunakannya sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. d. Merchant/Pedagang, adalah pedagang ayang telah ditunjuk /disetujui oleh pihak Pengelola untuk dapat melakukan transaksi dengan Pemegang Kartu yang menggunakan kartu kredit sebagai pengganti uang tunai. Hubungan hukum dari keempat pihak tersebut, dapat dilihat pada gambar di bawah ini PENERBIT/PENGELOLA (Issuer/Acquier) PERJANJIAN PEDAGANG PERJANJIAN TRANSAKSI Adapun prosedur untuk mendapatkan kartu kredit, antara lain : PEMEGANG (CARD HOLDER) 1. Dari sisi pemegang Calon pemegang diwajibkan mengisi formulir permohonan dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Bila calon pemegang adalah seorang pengusaha, maka syarat yang diperlukan adalah: 1) K.T.P. atau Pasport 2) Rekening koran selama 3 (tiga) bulan 3) Akte pendirian perusahaan atau S.I.U.P. b. Bila calon pemegang adalah seorang karyawan, maka syarat yang diperlukan adalah : 1) K.T.P. atau Pasport. 2) Keterangan gaji dan masa kerja dari perusahaan tempat pemohon bekerja. c. Bila calon pemegang adalah Dokter, Pengacara, Akuntan dan sebagainya, maka syarat yang diperlukan adalah : 1) K.T.P. atau Pasport. 2) Rekening korang selama 3 (tiga) bulan. 3) Surat ijin praktek. 2. Dari sisi Penerbit Permohonan kartu kredit tersebut diproses dengan memperhatikan segi keamanan, antara lain : a. Memeriksa keaslian dari KTP/Pasport yang ada. b. Melakukan crosschecking (rating) kepada penerbit lain apabila pemohon mempunyai kartu kredit lain c. Melakukan penelitian dalam daftar hitam BI atau AKKI d. Pihak penerbit akan melakukan penyelidikan lapangan. e. Meneliti data rekening/tabungan dan keterangan gaji yang ada untuk menetapkan apakah pemohon layak diberikan kartu kredit. Penerbit berhak menetukan apakah calon pemegang layak mendapatkan kartu kredit atau menolak keanggotaan tanpa memberitahukan alasannya. Bila disetsujui maka akan terjadi proses sebagai berikut: a. Bagian analisa kredit akan mengirimkan data calon pemegang ke bagian data entry untuk dilakukan pemasukan data ke dalam data base bank termasuk pagu kredit yang disetujui. b. Dilakukan pengecekan silang terhadap data yang dimasukkan dengan formulir permohonan calon pemegang. c. Selanjutnya bagian pencetakan kartu mencetak kartu kredit sesuai dengan daftar permintaan pencetakan (bila terjadi kesalahan dalam pencetakan, kartu kredit tersebut akan dimusnahkan dengan suatu berita acara pemusnahan). d. Kartu yang sudah dicetak disimpan pada tempat penyimpanan khusus dan tercatat yang selanjutnya dikirimkan ke bagian pengiriman kartu. e. Bagian pengiriman akan mengirimkan kartu kepada pemegang melalui ekspedisi (kurir) yang ditunjuk melalui suatu perjanjian khusus. Pihak ekspedisi akan memberikan bukti penerimaan kartu kepada bagian pengiriman (pihak bank) setelah kartu diterima oleh pemegang kartu. Bila dalam jangka waktu tertentu kartu tidak dapat disampaikan kepada pemegang kartu karena pemegang kartu keluar kota, tidak ada di tempat atau pindah alamat, maka kartu tersebut akan dikembalikan ke bank untuk disimpan dan selanjutnya pihak bank akan mengirimkan pemberitahuan kepada pemegang kartu untuk mengambil kartu tersebut di kantor penerbit. 2.2.4 Mekanisme, Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Kartu Kredit Adapun mekanisme dalam penggunaan kartu kredit, adalah sebagai berikut: a. Pemegang menggunakan kartu kredit dengan melakukan transaksi pada pedagang yang telah ditunjuk oleh pengelola. b. Pedagang dalam hal menerima transaksi kartu kredit harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Phisik kartu kredit harus berada ditangan pedagang dan pedagang harus meneliti keaslian kartu kredit tersebut dan mencocokkannya dengan ciri-ciri kartu kredit yang diajarkan kepada pedagang. 2) Pemegang harus ada ditempat transaksi. 3) Dikaitkan dengan nilai transaksi yang terjadi, terdapat dua kemungkinan : a) Apabila pedagang telah diberikan alat otorisasi berupa EDC/POS, maka pedagang harus melalakukan otorisasi dengan menggunakan alat tersebut tanpa melihat nilai transaksi. b) Apabila pedagang tidak diberikan alat otorisasi berupa EDC/POS maka pedagang diberikan batas kewenangan transaksi (floor limit) yang jumlahnya bervariasi sesuai dengan perjanjian antara pedagang dan penerbit, yaitu ; b).1. Jika nilai transaksi di bawah floor limit maka pedagang dapat langsung melakukan transaksi tanpa otorisasi, setelah memeriksa Daftar Hitam yang dikeluarkan secara berkala (seminggu sekali) oleh penerbit. b).2. Jika nilai transaksi diatas floor limit maka pedagang wajib melakukan otorisasi dengan menghubungi pengelola dengan menggunakan telepon. Otorisasi adalah : suatu pengesahan dari penerbit atas nomor kartu kredit dan nilai transaksi yang diajukan oleh pedagang. Karena pedagang adalah pihak yang melihat secara phisik kartu kredit yang digunakan untuk melakukan transaksi, maka pedaganglah yang melihat kejanggalan yang terdapat pada kartu kredit. Dengan demikian otorisasi yang diberikan penerbit tidak menjamin keabsahan kartu kredit karena penerbit/pengelola tidak melihat kartu kredit secara phisik. c) Selanjutnya pedagang akan menagih transaksi yang terjadi kepada pengelola. Jumlah tagihan dikurangr discount rate yang telah ditetapkan sebelumnya. Misalkan jumlah transaksi sebesar Rp. 1.000.000,- dan discount rate sebesar 5%, maka jumlah yang dibayarkan oleh pengelola kepada pedagang adalah sebesar Rp. 950.000,-. d) Kemudian pengelola aka menagih kepada pihak penerbit sebesar nilai transaksi setelah dikurangi inter change fee yang telah disepakati sebelumnya. Sebagai contoh, besar inter change fee adalah 2%, maka jumlah yang ditagihkan oleh pengelola kepada penerbit ialah sebesar Rp.980.000,-, dengan demikian pihak pengelola telah mendapat bagian sebesar Rp. 30.000,- (Rp. 980.000,- -Rp.950.000,-). e) Pada tanggal yang telah ditetapkan, pihak penerbit akan menagih kepada pemegang sejumlah nilai transaksi yang sesungguhnya. Dalam contoh tersebut ialah sebesar Rp. 1.000.000,- dengan demikian, pihak penerbit mendapat bagian sebesar Rp. 20.000,(Rp. 1.000.000,- - Rp. 980.000,-). Melihat mekanisme seperti yang terjadi diatas (Point 3 s/d 5) maka pihak pengelola/penerbit adalah pihak yang paling besar menanggung resiko yang timbul akibat penyalahgunaan kartu kredit. f) Jika jenis kartu tersebut ialah credit card, maka pemegang wajib untuk membayar sebagian dari seluruh jumlah tagihan. Besarnya jumlah minimum payment yang wajib dibayar atau yang biasa disebut sebagai telah ditetapkan oleh penerbit. Sisa tagihan yang belum dilunasi akan dikenakan interest atau bunga sebesar yang telah ditepakan oleh penerbit. Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Kartu Kredit Setiap nasabah yang memegang kartu kredit selalu mendambakan berbagai kemudahan dan keuntungan lainnya. Hal ini sesuai dengan tujuan penggunaan kartu kredit tersebut. Agar para nasabah tidak terjebak dalam berbagai masalah dengan memegang kartu yang diperolehnya, maka pemilihan untuk memegang kartu perlu lebih hati-hati, karena setiap jenis kartu memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing.68 Cara memilih jenis kartu yang baik dapat dilihat dari berbagai segi, setiap kartu mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Secara umum kartu kredit dikatakan baik apabila : 1. Persyaratan untuk memperoleh kartu kredit relatif ringan. 2. Proses cepat dan mudah serta tidak bertele-tele. 3. Mempunyai jaringan yang luas, sehingga dengan mudah dapat dibelanjakan di berbagai tempat yang diinginkan. 4. Biaya penggunaan yang relatif rendah seperti uang iuran tahunan dan bunga yang dibebankan ke pemegang kartu. 5. Kartu harus dapat digunakan dengan multi fungsi. 6. Penggunaan kartu memberikan rasa bangga kepada pemakainya. Adapun keuntungan dari penggunaan kartu kredit adalah : Bagi nasabah pemegang kartu dengan memiliki kartu kredit, baik yang dikeluarkan oleh bank maupun lembaga pembiayaan diharapkan akan memberikan berbagai keuntungan,demikian pula bagi lembaga penerbit kartu 68 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. (Edisi Revisi 2001), PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2001, hal. 307. kredit tersebut. Oleh karena itu penggunaan kartu kredit dalam setiap transaksi akan memberikan berbagai keuntungan kepada berbagai pihak walaupun dalam prkateknya terdapat juga kerugian. Keuntungan yang diperoleh, antara lain : 1. Keuntungan bagi bank atau lembaga pembiayaan. a. Iuran tahunan yang perolehannya sangat dikenakan besar kepada setiap pemegang setiap tahunnya. Semakin kartu, banyak pemegang kartu maka semakin banyak pula iuran yang akan diperolehnya. b. Bunga yang dikenakan saat berbelanja. c. Biaya administrasi yaitu biaya yang dibebankan kepada setiap pemegang kartu yang akan menarik uang tunai di ATM. d. Biaya denda terhadap keterlambatan pembayaran disamping bunga. 2. Keuntungan bagi pemegang kartu kredit,antara lain : a. Kemudahan berbelanja dengan cara kredit, menjadi nasabah tidak perlu membawa uang tunai untuk melakukan transaksi. b. Kemudahan memperoleh uang tunai selama 24 jam dan 7 hari dalam seminggu diberbagai tempat-tempat strategis, sehingga memudahkan untuk memenuhi keperluan uang tunai yang mendadak. c. Bagi sebagian kalangan memegang kartu kredit memberikan kesan bonafiditas, sehingga memberikan kebanggaan sendiri. 3. Keuntungan bagi pedagang (merchant}, yaitu : a. Dapat meningkatkan omset penjualan, hal ini disebabkan adanya minimal pembelanjaan serta akibat pemegang kartu merasa tidak membayar dengan tunai sehingga menggunakan sekehendaknya, maka biasanya pemegang kartu boros. b. Sebagai bentuk pelayanan yang diberikan kepada para pelanggannya, sehingga pelanggan selalu kembali untuk melakukan hal yang sama secara berulang-ulang. Sedangkan dalam hal kerugian, memang merupakan suatu resiko yang pasti ada dalam setiap kegiatan, dimana kerugian itu tidak hanya ada pada pihak bank atau lembaga pembiayaan tetapi juga ada pada pemegang kartu kredit. Adapun kerugian dimaksud, antara lain : 1. Kerugian bagi bank atau lembaga pembiayaan. Jika terjadi kemacetan pembayaran oleh nasabah yang berbelanja atau mengambil uang tunai, sulit untuk ditagih mengingat persetujuan penerbitan kartu kredit biasanya tanpa jaminan benda-beda berharga sebagaimana layaknya kredit. Bahkan jaminan hanya dengan jaminan bukti penghasilan saja sudah cukup untuk memperoleh kartu kredit. 2. Kerugian bagi nasabah pemegang kartu kredit. a. Biasanya nasabah agak boros dalam berbelanja,hal ini karena nasabah merasa tidak mengeluarkan uang tunai untuk berbelanja, sehingga kadangkadang ada hal-hal yang sebetulnya tidak perlu, dibeli juga. b. Sebagian pedagang (merchant) membebankan biaya tambahan untuk setiap kali melakukan transaksi. c. Adanya limit yang diberikan terkadang terlalu kecil. BAB III RELEVANSI PEMBARUAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT 3.1 Tindak Pidana Pemalsuan Kartu kredit Dalam KUHP Negara hukum merupakan istilah yang meskipun kelihatan sederhana namun mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari 2 suku kata yaitu negara dan hukum. Padanan kata ini menunjukkan bentuk dan sifat yang saling isimengisi antara negara di satu pihak dan hukum dipihak lain.69 HAM sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya pengakuan konstitusional bahwa jaminan perlindungan HAM merupakan elemen esensial konstruk Indonesia modern.70 Individu/ perorangan dengan hak asasinya dapat didekati lebih dahulu lewat hukum internasional, karena individu selain diakui sebagai subjek hukum internasional juga subjek hukum nasional, sehingga memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab formal dan jelas.71 Kejahatan kartu kredit memerlukan proses hukum yang adil. Menurut Mardjono Reksodiputro, proses hukum yang adil adalah lebih jauh dari 69 Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 46-47. 70 71 Ibid, hal. 59. Masykur Effendi, 2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) Proses Dinamika Penyusunan Hukum HAM (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 67. sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan formal. Dalam pengertian proses hukum yang adil terkandung penghargaan akan kemerdekaan seorang warga negara. Dengan demikian, meskipun warga masyarakat telah melakukan suatu perbuatan tercela (tindak pidana), hakhaknya sebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang.72 Disinilah letak pentingnya memperjuangkan tegaknya hak-hak tersangka/ terdakwa untuk didengar, didampingi penasehat hukum dan diberi kesempatan untuk membela diri serta dibuktikan kesalahannya di depan pengadilan yang jujur dan tidak memihak.73 Dalam konteks negara hukum, hak-hak ini dapat diperoleh dengan penerapan hukum dan argumentasi hukum yang baik dalam kasus kejahatan kartu kredit. Dalam hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada pelaku dan perbuatan (daad-daderstrafsrecht), sanksi pidana ini tidak lagi hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, akan tetapi juga tindakan tata tertib (maatregel, treatment) yang secara relative bermuatan pendidikan.74 Istilah tindak pidana merupakan istilah teknik yuridis yang berasal dari terjemahan delict atau strafbaar feit disamping istilah lainnya seperti 72 Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, hal 28. 73 Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Laksbang Pressindo, yogyakarta, hal. 120. 74 Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, BP UNDIP. Semarang.1997.hal.151 peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan yang boleh dihukum. Moeljatno dalam bukunya tentang azas-azas hukum pidana memberikan definisi tindak pidana yaitu: “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”75 Berdasarkan pengertian tersebut M.Sudrajat Bassir memberikan komentar bahwa menurut wujud atau sifatnya perbuatan-perbuatan pidana adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan atau menghambat terlaksananya tata cara dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Sehingga suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut : 1. Melawan hukum 2. Merugikan masyarakat 3. Dilarang oleh aturan pidana 4. Pelakunya diancam dengan pidana.76 Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan, khususnya dalam tindak pidana pemalsuan, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 263 KUHP, yaitu : 75 76 Moeljatno, 1980, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal.1 Sudrajat Bassir M, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu didalam KUHP, Remadja Karya, Bandung, hal.2 (1) (2) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang dapat diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai suratsurat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam juga pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun; Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbuikan kerugian.77 Untuk lebih jelasnya akan diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 263 KUHP. Rumusan pada ayat (1) terdapat unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur-unsur obyektif 1) Perbuatan : a) membuat palsu; b) memalsu; 2) Obyeknya : yakni surat: a) yang dapat menimbulkan suatu hak; b) yang menimbulkan suatu perikatan; c) yang menimbulkan suatu pembebasan hutang; d) yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal; 3) Dapat menimbulkan kerugian akibat dari pemakaian surat tersebut. b. Unsur Subyektif : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Sedangkan ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur-unsur obyektif: 77 98. Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, PT. Raja Grafindo Persada, hal. 1) Perbuatan : memakai; 2) Obyeknya : a) surat palsu; b) surat yang dipalsukan; 3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian; b. Unsur subyektif : dengan sengaja. Surat (geschrift) adalah suatu lembaran kertas yang diatasnya terdapat tuiisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung /berisi buah pikiran atau-makna tertentu, yang dapat berupa tuiisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun. Membuat surat palsu (membuat palsu valselijk opmaaken sebuah surat) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa : 1. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual (intelectuele valshheid). 2. Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yg demikian ini disebut pemalsuan materiil (materiele Valshheid}. Palsunya surat atau tidak benarnya surat lerletak pada asalnya atau si pembuat surat.78 terhadap sebagian atau seluruh isi surat, dapat juga pada tanda tangan si pembuat surat. Misalnya si pembuat dan yang bertanda tangan dalam surat bernama Parikun, diubah tanda tangannya menjadi tanda tangan orang lain yang bernama Panirun. Dalam hal ini ada suatu arrest HR (14-4-1913) yang menyatakan bahwa "barang siapa di bawah suatu tulisan membubuhkan tanda tangan orang lain sekalipun atas perintah dan persetujuan orang tersebut telah memalsukan tulisan itu.79 Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat adalah, bahwa membuat surat palsu/membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu.Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Tidak demikian halnya dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah ada sebuah surat yang disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang 78 Ibid, hal. 100 79 Ibid akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu. Tidak semua surat dapat menjadi obyek pemalsuan surat, melainkan terbatas pada 4 macam surat yakni : 1. Surat yang menimbulkan suatu hak. 2. Surat yang menimbulkan suatu perikatan. 3. Surat yang menimbulkan pembebasan hutang. 4. Surat yang diperuntukkan bukti mengenai sesuatu hal Walaupun pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan secara langsung adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang dalam surat itu, tetapi ada surat-surat tertentu yang disebut surat formil yang langsung menimbulkan suatu hak tertentu, misalnya cek, bilyet giro, wesel, surat izin mengemudi, ijazah dan lain sebagainya. Mengenai unsur "surat yang diperuntukkan sebagai bukti akan adanya sesuatu hal", ada 2 hal yang perlu dibicarakan, yakni : 1. Mengenai diperuntukkan sebagai bukti. 2. Tentang sesuatu hal. Sesuatu hal, adalah berupa kejadian atau peristiwa tertentu baik yang karena diadakan (misalnya perkawinan) maupun karena peristiwa alam (misalnya kelahiran atau kematian), peristiwa mana mempunyai suatu akibat hukum. HR dalam suatu arrestnya (22-10-1923) menyatakan bahwa : "yang diperhatikan sebagai bukti sesuatu hal adalah kejadian yang menurut hukum mempunyai pengaruh, jadi yang berpengaruh terhadap hubungan hukum orang-orang yang bersangkutan". 80 Sedangkan yang dimaksud dengan bukti adalah karena sifatnya surat itu memilki kekuatan pembuktian (bewijskracht). Siapa yang menentukan bahwa adanya kekuatan pembuktian atas sesuatu hal dalam sebuah surat itu ? Dalam hal ini bukan pembuat yang dapat menentukan demikian, melainkan Undang-Undang atau kekuasaan tata usaha negara. Dalam Undang-Undang seperti pasal 1870 KUHP Perdata yang menyatakan bahwa akta otentik bagi para pihaknya beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak daripada mereka merupakan bukti sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. Surat-surat yang masuk dalam akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna akan sesuatu hal adalah surat-surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang dan dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang. Surat yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna seperti ini misalnya surat nikah, akta kelahiran, vonis hakim, sertifikat hak atas tanah dan lain sebagainya. Sedangkan kekuatan pembuktian atas surat-surat oleh kekuasaan tata usaha negara, misalnya buku kas, rekening koran atau rekening 80 Ibid, Hal. 155 giro dalam suatu bank, surai kelakuan baik, surat angkutan, faktur dan lain sebagainya. Mengenai (a) diperuntukkan sebagai bukti dan (b) mengenai sesuatu hal adalah berupa dua unsur yang tidak terpisahkan. Sebuah surat yang berisi tentang suatu hal atau suatu kejadian tertentu, dimana kejadian itu mempunyai pengaruh bagi yang bersangkutan, misalnya perkawinan yang melahirkan hak dan kewajiban antara suami dan istri, dalam praktik diberi suatu nama tertentu. Misalnya surat yang dibuat untuk membuktikan adanya suatu kejadian perkawinan diberi nama surat kawin atau akta nikah. Surat-surat semacam ini dibuat memang diperuntukkan untuk membuktikan adanya kejadian tertentu itu. Dalam surat-surat semacam ini selain di dalamnya menyatakan tentang kejadian tertentu itu atau dapat juga disebut sebagai isi pokok dari surat itu, juga memuat tentang keadaan-keadaan atau hal lain tertentu yang ada sekitar atau berhubungan dengan kejadian sebagai isi pokok surat yang harus dibuktikan oleh surat itu. Misalnya surat kematian isi pokoknya atau kejadian yang harus dibuktikan oleh surat itu adalah adanya kematian dari seseorang tertentu. Adakalanya dalam surat itu dicantumkan juga sebab kematiannya, misalnya karena penyakit TBC. Keterangan tentang sebab kematiannya bukanlah termasuk dalam pengertian unsur hal atau kejadian yang harus dibuktikan oleh akta kematian itu. Demikian juga dalam akta kelahiran, walaupun didalamnya disebutkan kelahiran seorang bayi dari suami istri bernama tertentu, akta kelahiran itu tidak untuk membuktikan tentang sahnya perkawinan antara ibu dan bapak si bayi. Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat pada ayat (1), yakni dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Maksud yang demikian sudah harus ada sebelum atau setidaktidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu. Pada unsur/kalimat "seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu" mengandung makna : 1. Adanya orang-orang yang terperdaya dengan digunakannya suratsurat yang demikian. 2. Surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak dipalsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu. Unsur lain daripada pemalsuan surat dalam ayat (1) ialah jika pemakaian surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan/dimaksud petindak Dalam unsur ini terkandung pengertian bahwa : 1. Pemakaian surat belum diiakukan, hal ini ternyata dari adanya perkataan "jika" dalam kalimat/unsur itu. 2. Karena penggunaan pemakaian surat belum diiakukan, maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada, hal ini ternyata juga dari adanya perkataan, "dapat" Kerugian yang dapat timbul akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, tidak perlu diketahui atau disadari oleh petindak. Hal ini ternyata dari adanya suatu arrest HR (8-6-1897) yang menyatakan bahwa : "petindak tidak perlu mengetahui terlebih dulu kemungkinan timbulnya kerugian ini".81 Untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, tidak ada ukuran-ukuran tertentu, hanya berdasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu. Dalam hal ini tidak penting bagi siapa kerugian yang dapat timbul akibat dari pemakaian surat palsu atau surat yang dipalsukan. Kemungkinan akan adanya kerugian yang berlaku bagi siapa saja, kerugian tersebut harus dapat dibuktikan. Kerugian yang dimaksud , tidak saja kerugian yang bernilai atau dapat dinilai dengan uang atau kerugian di bidang kekayaan, akan tetapi dapat juga berupa kerugiankerugian lainnya, seperti dipersukarnya pengawasan , menutup-nutupi penggelapan yang terjadi. 81 Ibid,, hal. 156 Pada ayat (2) juga terdapat unsur pemakaian surat palsu atau surat dipalsu itu dapat menimbulkan kerugian. Walaupun dalam unsur ini baik pada ayat (1) maupun ayat (2) mempunyai persamaan, tetapi juga ada perbedaannya. Perbedaannya adalah : Pada ayat (1) bahwa kemungkinan akan timbulnya kerugian itu adalah akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, dimana pemakaian surat itu belum dilakukan. Karena yang baru dilakukan adalah membuat surat palsu dan memalsu surat saja. Akan tetapi pada ayat (2), kerugian yang mungkin terjadi akibat dari pemakai surat palsu atau dipalsu itu, dimana pemakaian surat itu sendiri sudah dilakukan, akan tetapi kerugian tidak perlu nyata- nyata telah timbul. Kehendak ditujukan pada perbuatan memakai,tetapi perbuatan memakainya bukan merupakan perbuatan yang dilarang, sedangkan pada ayat (2) perbuatan yang dilarang adalah memakai. Unsur perbuatan pada ayat (2) dirumuskan dalam bentuk abstrak, yang dalam kejadian senyatanya memerlukan wujud tertentu, misalnya menyerahkan, menunjukkan, mengirimkan, menjuai, menukar, menawarkan dan lain sebagainya, yang wujud-wujud itu sudah hams terjadi untuk dapat dipidananya melakukan tindak pidana. Dipisahkannya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan kejahatan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat terjadi pelanggaran ayat (1) dan pelangaran ayat (2)dapat dilakukan oleh orang yang sama'. dalam hal yang demikian telah terjadi perbarengan perbuatan (samenloop). Unsur kesalahan pada ayat (2) yakni dengan sengaja, dalam hal ini kesengajaan meliputi baik pada perbuatan memakai surat palsu atau surat dipalsukan, seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu maupun pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, maksudnya : 1. Pelaku menghendaki melakukan perbuatan memakai. 2. Pelaku sadar atau insyaf bahwa surat yang ia gunakan itu adalah surat palsu atau surat dipalsu. 3. Pelaku sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu adaiah seolah-olah pemakaian surat asli dan tidak dipalsu. 4. Pelaku sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur kesengajaan yang demikian itu harus dibuktikan. Pasal 264 KUHP (pemalsuan surat yang diperberat), merumuskan sebagai berikut: (1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap : ke-1 akte authentik; ke-2 surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau sebagainya atau dari suatu lembaga umum; ke-3 sero atau surat hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; ke-4 talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan pada ke-2, ke-3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat itu; ke-5 surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. (2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau dipalsukan seolah-o!ah benar dan tidak palsu, jika pemalsuan itu mendatangkan kerugian.82 Nyatalah bahwa yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat pada Pasal 264KUHP diatas terletak pada faktor macamnya surat. Surat-surat tertentu yang menjadi obyek kejahatan adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya. Pada surat-surat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi daripada surat-surat biasa atau surat lainnya. Kepercayaan yang lebih besar terhadap kebenaran akan isi dari macam-macam surat itulah yang menyebabkan diperberat ancaman pidananya. Pasal 264 KUHP, yang masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2) mempunyai unsur-unsur. Pasal 264 ayat (1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Semua unsur baik obyektif maupun subyektif pada Pasal 263 KUHP 2. Unsur-unsur khusus pemberatnya (bersifat alternatif) berupa obyek surat-surat tertentu, ialah : a. Akta-akta otentik b. Surat hutang atau sertifikat hutang dari: 1) Suatu negara 2) Bagian negara 82 Ibid, hal 107. 3) Suatu lembaga umum c. 1) Surat sero 2) Surat hutang dari suatu perkumpulan 3) Surat hutang dari suatu yayasan 4) Surat hutang dari suatu perseroan 5) Surat hutang dari suatu maskapai d. 1) Talon, tanda bukti deviden atau tanda bukti bunga dari surat-surat pada butir b dan c diatas 2) Tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti suratsurat itu e. 1) Surat-surat kredit 2) Surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. Berbicara tentang subyek pidana, tidak bisa terlepaskan dari wujud perbuatan sebagai unsur dari tindak pidana.83 Unsur -unsur kejahatan dalam ayat (2) adalah sebagai berikut : 1. Unsur obyektif: a. Perbuatan : memakai b. Obyeknya : surat-surat tersebut pada ayat (1) c. Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu 2. Unsur subyektif: dengan sengaja. Terhadap rumusan ayat (1) Pasal 264 KUHPdengan rumusan ayat (1) Pasal 263 KUHP pada dasarnya mempunyai arti yang 83 hal.56 Wiryono Prodjodikoro. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Eresco.Bandung. sama antara pemalsuan surat, dengan membuat surat palsu atau memalsu surat........dan seterusnya. Sedangkan perbedaannya hanyalah terletak pada jenis surat yang menjadi obyek kejahatan. Faktor jenis surat-surat tertentu inilah yang menyebabkan adanya kejahatan yang berdiri sendiri dan merupakan pemalsuan surat yang lebih berat daripada bentuk pokoknya (Pasal 263 KUHP). Sedangkan rumusan ayat (2) Pasal 263 KUHP adalah surat pada umumnya, dan ayat (2) Pasal 264 KUHP adaiah surat-surat tertentu yang mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi dan kepercayaan yang lebih besar daripada surat pada umumnya. Melihat kasus yang terjadi pada tanggal 15 s/d 20 Juni 2001 bertempat di PT.Atlantik Tour Cabang Denpasar Jalan Diponogoro, jika dikaitkan dengan isi Pasal 263 KUHP maka para terdakwa dalam perbuatannya bahwa kartu kredit yang dipergunakan dalam melakukan transaksi adalah palsu karena kartu kredit tersebut penerbitnya bukan Hongkong Bank tetapi Bank penerbitnya adalah City Bank Visa Singapura. Di samping itu kartu kredit tersebut jika dilihat dari hologram tidak terlihat tiga dimensi dan tidak rapi, semua perbuatan ini sudah diketahui dan disadari oleh para terdakwa bahwa perbuatan ini pemalsuan dan dapat menimbulkan kerugian. Pada dasarnya untuk dapat dihukum dengan pasal-pasal diatas, unsur nyata dari si pelaku harus menampakkan adanya suatu maksud bahwa penggunaan surat itu (baik yang terdapat dalam Pasal 263 KUHP), seolah-olah si pelaku itu sendiri maupun dengan cara menyuruh orang lain untuk menggunakan surat yang dipalsukan itu, seolah-olah asli dan tidak dipalsukan. Kata-kata "dapat" dari pasal diatas, konotasinya adalah kerugian tersebut bisa terjadi atau dapat juga tidak terjadi, atau dengan kata lain kerugian tidak perlu hoois terjadi atau sudah ada. Sedangkan apa yang dimaksud dengan kerugian itu sendiri, dalam peraturan perundang-undangan belum menentukan batasannya secara jelas. Apakah kerugian tersebut harus selalu dikaitkan dengan kerugian yang sifatnya materiil atau juga kerugian di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan dan kehormatan.84 Kerugian yang dimaksud daiam Pasal 263 KUHP, tidak saja meliputi kerugian materiil, tetapi juga kerugian di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dan sebagainya, maka dalam hai ini sangat sulit bagi kita untuk menafsirkan berapa jumlah kerugian (kehormatan,kesusilaan) dalam bentuk nilai uangnya. Hal ini disebabkan karena sifat dari kerugian yang bersifat non materiil ini hanya dapat dirasakan oleh orang yang merasa kehormatan maupun nama baik nya dirugikan. Oleh karena itu, pembatasan mengenai kerugian ini, hendaknya konsisten dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat, artinya kerugian yang sifatnya non materiil hendaknya dinilai sesuai dengan 84 Marulak Pardede I, op.cit, hal. 95. kepentingan yang berlaku dalam masyarakat. Golongan tindak pidana yang berhubungan dengan pasal ini, pada umumnya banyak terkait dengan timbulnnya kerugian secara materiil, dan menyangkut tindak pidana laiu lintas giral, dalam bentuk: 1. Pemalsuan dan penggunaan surat perintah pembayaran (cek) maupun surat perintah pemindah bukuan (giro bilyet) untuk maksud menipu. 2. Pemalsuan dan penggunaan surat duplikasi transfer untuk maksud penipuan. 3. Pemalsuan dan penggunaan alat/warkat bank lainnya (berupa bank draft, deposito berjangka, dan lain-lain untuk maksud penipuan. Kalau dilihat dari modus operandinya, disamping dapat diancam dengan Pasal 263KUHP, maka hal ini dapat juga diterapkan ancaman Pasal 264 KUHP, sejauh perbuatan pemalsuan tersebut mengacu pada unsur-unsur dari Pasal 264 KUHP, misalnya penggunaan alat/ warkat bank uang merupakan jenis surat khusus yang termasuk dalam klasifikasi Pasal 264(1) dan (2) KUHP. Penggunaannya itu harus dapat mendatangkan kerugian. " Dapat" maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan "kerugian" disini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan, dan sebagainya. Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja " memalsukan " surat (ayat 1), tetapi juga " sengaja mempergunakan " surat palsu (ayat 2). "Sengaja" maksudnya, bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar, bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum. Sudah dianggap sebagai mempergunakan, ialah misalnya : menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu ditempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan. Dalam hal menggunakan surat palsu inipun harus pula dibuktikan, bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.85 Sedangkan makna dari Pasal 264 KUHP ialah sudah barang tentu perbuatan yang diancam hukuman dalam Pasal ini harus memuat segala elemen-elemen atau syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 263 dan selain daripada itu ditambah dengan syarat, bahwa surat yang dipalsukan itu terdiri dari surat authentik, dan sebagainya, yang tersebut berturut -turut pada sub 1 s/d 5 dalam Pasal ini, surat-surat mana bersifat umum dan harus tetap mendapat kepercayaan dari umum. Memalsu surat semacam itu berarti membahayakan kepercayaan umum, sehingga menurut Pasal ini diancam hukuman yang lebih berat daripada pemalsuan surat biasa. 85 Soesilo.R, 1985, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia Bogor, hal. 196. Serta Berdasarkan uraian unsur-unsur kejahatan yang tertuang dalam ketentuan Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP mengenai Tindak Pidana pemalsuan seperti yang termuat pada halaman sebelumnya, Pasal 263 KUHP tidak relevan digunakan untuk menanggulangi tindak pidana pemalsuan kartu kredit. Pengenaan Pasal 263 KUHP untuk menjaring pelaku kejahatan kartu kredit memiliki beberapa kelemahan. Dalam rumusan Pasal 263 KUHP tersebut, dikatakan bahwa tindak pidana dilakukan dengan membuat surat palsu atau memalsukan surat, sementara untuk melakukan kejahatan kartu kredit, pelaku tidak perlu memalsukan surat (misalnya memalsukan surat berupa data nasabah yang dikeluarkan oleh lembaga pembiayaan kartu kredit). Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Dengan kecanggihan teknologi, pelaku dapat membuat program spyware, trojan, worm dan sejenisnya yang berfungsi seperti keylogger (program mencatat aktivitas keyboard) dan program ini disebar lewat E-mail Spamming, messenger (yahoo, MSN), atau situs-situs tertentu dengan icon atau iming-iming yang menarik netter untuk mengunduh dan atau membuka file tersebut. Program ini akan mencatat semua aktivitas komputer ke dalam sebuah file, dan akan mengirimnya ke email hacker. Dalam hal ini tidak ada surat yang dipalsukan/ surat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran (sekalipun itu PIN kartu kredit) sebab pelaku menggunakan PIN asli, hanya saja PIN asli tersebut didapatkan secara melawan hukum. b. Perkembangan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit juga dapat dilihat dari penggunaan kartu kredit palsu (virtual credit card). Cara kerja virtual credit card adalah provider mengeluarkan kartu kredit yang dapat digunakan untuk berbelanja (semacam debit card). Klien diwajibkan menyetor uang untuk membuat kartu kredit virtual ini. Pemalsuan kartu kredit yang dilakukan sindikat kejahatan juga dapat dilakukan dengan mencuri data kartu kredit melalui skimmer yang dipasang pada alat penggesek kartu, atau E-D-C. Untuk memasang skimmer pada EDC inilah, para pelaku bekerja sama dengan oknum yang bekerja di tempat incaran pelaku, seperti restoran dan tempat hiburan mewah. Kemudian melalui alat encoder, data pada kartu kredit dimasukkan ke dalam kartu kredit palsu.86 Kartu kredit palsu ini sebenarnya tidak dapat diintepretasikan sebagai surat palsu sebab surat berbeda dengan kartu kredit. Kelemahan Pasal 263 dan 264 KUHP ini memerlukan kebijakan pembaruan hukum pidana guna menjaring pelaku penyalahgunaan kartu kredit. 86 “ Indosiar, “Sindikat Pemalsu Kartu Kredit Tertangkap”, http://www.indosiar.com/beritaterkini/85689/sindikat-pemalsu-kartu-kredit-tertangkap, diakses pada 18 Juni 2011. 3.2 Tindak Pidana Penipuan Kartu Kredit. Mengenai penipuan dalam hal penggunaan kartu kredit, dalam putusannya hakim mendasarinya pada Pasal 378 KUHP tentang penipuan, yang isinya : Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk seseorang untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Penipu itu pekerjaannya: a. Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang, atau menghapuskan piutang b. Maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak. c. Membujuknya itu dengan memakai : nama palsu atau keadaan palsu, akal cerdik (tipu muslihat), atau karangan perkataan bohong Adapun unsur-unsur Pasal 378 KUHP, antara lain: 1. menggerakkan/membujuk orang lain ( uitloking ); 2. agar orang lain : menyerahkan sesuatu, membuat hutang, menghapuskan piutang; 3. dengan menggunakan (alat pembujuk/penggerak) : nama palsu, keadaan palsu, rangkaian kata-kata bohong, tipu muslihat; 4. dengan maksud : untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum. Dalam hal ini dapat dikemukakan, bahwa penyerahan sesuatu barang atau uang hams merupakan suatu akibat perbuatan menggerakkan atau membujuk orang lain, bujukan mana dipergunakan dengan menggunakan daya upaya yang terdiri dari nama palsu, rangkaian kata-kata bohong dan atau tipu muslihat. Tindak pidana penipuan di bidang perbankan ini dapat dilakukan dengan cara : - Seseorang mengajukan pemintaan pencairan atas warkat bank yang ternyata palsu atau dipalsukan, misalnya cek atau giro bilyet yang palsu atau dipalsukan kepada petugas bank. Atas penerimaan warkat tersebut, petugas bank mencairkannya. Maka mencairkan warkat bank itu sudah memenuhi unsur membujuk atau menggerakkan petugas bank dengan menggunakan daya upaya tipu muslihat yang dipenuhi dengan perbuatan memberikan warkat bank yang palsu atau dipalsukan kepada petugas bank. - Penggunaan cek tunai atau giro bilyet biasa dapat dinyatakan sebagai perbuatan tipu muslihat, apabila pencairannya atau penguasaannya ditolak oleh bank karena tidak tersedia cukup dananya. Perbuatan-perbuatan tersebut diatas merupakan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP. Unsur pemalsuan dan penipuan yang terjadi pada kasus yang menimpa PT.Atlantik Tour Cabang Denpasar dan Departemen Store Tragia Kerta Wijaya Jln. Diponegoro.dimana pelakunya adalah Toyib, Novianto Andriany dan Pria Agustian pada tanggal 15 s/d 20 Juni 2001, adalah kasus tentang penyalah gunaan kartu kredit Berdasarkan fakta-fakta yang torungkap dalam pemeriksaan di persidangan, maka unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan yaitu : Dakwaan kesatu melanggar Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan kedua melanggar Pasal 378 jo Pasal64 ayat (1)jo Pasal 55 ayat (10 ke-1 KUHP. Dalam hal ini yang dibuktikan adalah dakwaan pertama Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut: 1. Barang siapa 2. Dengan sengaja menggunakan surat palsu seolah-olah surat itu asli 3. Unsur menggunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian 4. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang berlanjut 5. Turut melakukan perbuatan.87 Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut: 1. Unsur barang siapa : Unsur barang siapa ini adalah obyek hukum yang didakwa dan harus mampu bertanggung jawab. 2. Unsur dengan sengaja menggunakan surat palsu seolah-olah surat itu asli : Kartu kredit yang digunakan oleh para terdakwa adalah palsu, karena kartu kredit tersebut penerbitnya adalah City Bank Visa Singapura dan bukan Hongkong Bank, kartu dan hologram tidak tampak tiga demensi dan tidak 87 Putusan pengadilan Neqeri Denpasar No. 4547 PIP. B/ 2001/ PN. Dps. Tanggal 6 September 2001. tercetak dengan rapi. Para terdakwa sudah mengetahui bahwa kartu kredit yang dipergunakan untuk transaksi adalah palsu. 3. Unsur menggunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian. Akibat dari perbuatan para terdakwa dengan menggunakan kartu kredit palsu, maka yang mengalami kerugian adalah PT. Atlantik Tour Cabang Denpasar sebesar Rp. 8.4481.100 (delapan juta empat ratus delapan puluh satu ribu seratus rupiah), dan Tragia Kerta Wijaya juga mengalami kerugian sebesar Rp.79.900,- (tujuh puluh sembilan ribu sembilan ratus rupiah). 4. Unsur perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang diteruskan atau berlanjut: Dikatakan perbuatan berlanjut, karena pertama terdakwa Toyib dan Novianto Andriany pada tanggal 15 Juni 2001 mendatangi Pt.Atlantik Tour untuk membeli 2 (dua) buah tiket Garuda jurusan DenpasarSurabaya, Surabaya-Jakarta dan Jakarta-Denpasar. Pada saat itu terdakwa menggunakan kartu kredit jenis Visa Hongkong Bank atas nama Denny dengan nomor ; 4544 1620 6082 0269 . Selanjutnya para terdakwa mendatangi kembali PT.Atlantik Tour pada tanggal 16 Juni 2001 untuk membeli 9 (sembilan) buah tiket Garuda dan mebayar dengan menggunakan kartu kredit yang sama. Kemudian para terdakwa pada tanggal 20 Juni 2001 mendatangi kembali PT.Atlantik Tour untuk membeli tiket sebanyak 20 (dua puluh) lembar tiket, sebelum transaksi selesai paraterdakwa sudah ditangkap oleh Polisi. Pada tanggal 20 Juni 2001 juga terdakwa Toyib dan Pria Agustian untuk membeli kemeja dengan menggunakan kartu kredit jenis Gold Wing Hang Bank LTD atas nama P. Agustian. 5. Unsur turut melakukan perbuatan : Perbuatan tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang dan dilakukan secara bersama-sama. Dakwaan kedua yaitu melanggar Pasal 378 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut: 1. Barang siapa, menyangkut pelaku yang menyalah gunakan kartu kredit tersebut. 2. Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, dimana dalam transaksi yang dilakukan oleh para terdakwa , mereka membayar dengan menggunakan kartu kredit palsu. Tiket yang dibeli tersebut kemudian dijual kembali oleh para tedakwa kepada calon penumpang di Bandara Ngurah Rai. 3. Unsur baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, setelah transaksi selesai dilakukan,bahwa Bank International Indonesia (Bll) pembayarannya tidak bisa masuk ke rekening PT.Atlantik Tour karena kartu kredit tersebut palsu hal ini dapat dilihat dari angka yang tertera dalam kartu kredit tersebut tidak rapi dan dilihat dari hologram tidak terlihat tiga dimensi. Menurut para terdakwa kartu kredit tersebut diperoleh dari Robby di Jakarta dan para terdakwa sudah mengetahui bahwa kartu kredit tersebut adalah kartu-kartu kredit palsu. 4. Unsur baik dengan akal dan tipu muslihat maupun dengan karangan perbuatan-perbuatan bohong, dimana sebelumnya para terdakwa sudah mengetahui bahwa kartu kredit tersebut palsu. 5. Unsur membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, dengan perbuatannya itu para terdakwa mendapatkan tiket dan baju. 6. Unsur membuat hutang atau menghapus piutang, hasil dari perbuatan para terdakwa mengakibatkan pihak PT.Atlantik Tour berhutang pada PT.Garuda Indonesia dan Tragia Kerta Wijaya berhutang pada garment. 7. Unsur perbuatan berlanjut dan turut melakukan perbuatan tersebut, sama dengan dakwaan pertama diatas. Dari kasus-kasus yang telah dikemukakan diatas, bahwa tindak pidana pemalsuan umumnya banyak berkaitan dengan penipuan, atau dengan pengertian lain tindak pidana pemalsuan umumnya bermuara pada penipuan. Penipuan pada dasarnya adalah merupakan tujuan akhir dari perbuatan pemalsuan baik dalam bentuk pemalsuan warkat bank, kartu kredit, pemalsuan sertifikat tanah untuk memperoleh kredit dan lainlainnya. Kelemahan dari ketentuan Pasal 378 KUHP dimana tidak dapat menjaring para pelaku penipuan dikarenakan pelaku melakukan penipuan melalui jaringan internet dimana pelaku memiliki program tersendiri dimana apabila si korban membuka program tersebut maka secara langsung data dari si korban terkirim kepada si pelaku. 3.3 Penanggulangan Penyalahgunaan Kartu Kredit Terhadap penanggulangan penyalahgunaan kartu kredit, Teori Politik kriminal digunakan untuk mengkaji permasalahan ini, dalam hal ini merupakan kebijakan-kebijakan atau usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan, dimana dalam hal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), Semuanya merupakan bagian dari politik sosial (social policy) yaitu usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Pidana yang dikenakan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi di bidang perbankan, pada dasamya mengikuti ketentuan pidana yang diatur pada Pasal 10 KUHP, yaitu pengenaan pidana pokok, dan pidana tambahan. Pidana terhadap perbuatan kejahatan ataupun pelanggaran yang terjadi hanya mengenakan pidana berupa penjara, kurungan,dan denda. Sedangkan pidana tambahannya hampir selalu menyertai setiap pengenaan pidana pokok tersebut, baik berupa altenatif pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim. Dengan digolongkannnya beberapa perbuatan pidana di bidang perbankan tersebut sebagai tindak pidana,, maka diharapkan akan dapat lebih terbentuk ketaatan yang tinggi terhadap ketentuan dalam Undang Undang. Adapun mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank, pada dasarnya berlaku ketentuan-ketentuan tentang sanksi dimaksud dalam Pasal 46 s/d Pasal 50 Undang Undang Pokok Perbankan No. 10 tahun 1998, sesuai dengan sifat ancaman pidana yang berlaku umum. Hanya saja pengenaan pidana tersebut dapat pula mengenakan batas, maksimum pidananya terhadap kejahatan yang dilakukan, dengan mempertimbangkan sampai sejauh mana besar kecilnya pidana tersebut akan ditetapkan, bahan pertimbangannya dengan memperhatikan antara lain kerugian yang ditimbulkan.88 Pengenaan sanksi administratif biasanya diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang melakukan pengawasan, dan pembinaan, ketentuan sanksi seperti ini dapat kita lihat pada Pasal 52 Undang Undang no. 10 Tahun 1998, yaitu berupa : 1. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu sebagai akibat tidak dipenuhinya ketentuan dalam Undang Undang ini. 2. Penyampaian teguran-teguran secara tertulis. 3. Penurunan tingkat kesehatan bank. 4. Larangan turut serta dalam kliring. 5. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan. 6. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. 7. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan. Pengenaan sanksi administrasi 88 Djumhana, Loc Cit, hal. 289 tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada pengelola bank sesuai dengan ketentuan Pasal 53 UU no. 10 Tahun 1998, dapat juga dikenakan pula pada pihak terafiliasi, adapun bentuk sanksi administratif itu berupa : 1. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu sebagai akibat tidak dipenuhinya ketentuan dalam Undang Undang ini. 2. Penyampaian teguran-teguran tertulis. 3. Larangan untuk memberikan jasanya kepada perbankan. 4. Penyampaian usul kepada instansi yang berwenang untuk mencabut atau membatalkan izin usaha sebagai pemberi jasa bagi bank (antara lain terhadap konsultan, konsultan hukum, akuntan publik, dan penilai). Adapun penyelesaian terhadap kasus penyalahgunaan kartu kredit yang terjadi di PT.Atlantik Tour Cabang Denpasar dan di Pertokoan Kerta Wijaya, tersebut, seperti yang telah disebutkan diatas, Pengadilan Negeri Denpasar 454/PID.B/2001/PN.Dps.menjatuhkan maka terhadap kasus dalam putusan dalam terdakwa, antara lain : 1. Nama lengkap Putusan : TOYIB Tempat lahir : Malang Umur/ tanggal lahir : 35 tahun/22 Juli 1966 Jenis kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Nomor: perkara para Tempat tinggal : Jalan raya Kuta Gg. Tegak Sari Kuta/ Perum Sidokari Indah Blok V No. 12 Sidoarjo - Jatim Agama : Islam Pekerjaan : Tidak ada Pendidikan : SLTA 2. Nama lengkap : NOVIANTO ANDRIANY Tempat lahir : Surabaya Umur/tanggal lahir : 31 tahun/18 Oktober 1970 Jenis kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Tempat tinggal : Jalan Raya Kuta Gg. Tegak Sari Kuta/ Desa Kebanyeng Kec. Pandaan Pasuruan Jatim Agama : Islam Pekerjaan : Calo Tiket di Bandara Juanda Surabaya Pendidikan : SLTA 3. Nama lengkap : PRIA AGUSTIAN Tempat lahir : Palembang Umur/tanggal lahir : 32 tahun/2 Agustus 1969 Jenis kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Tempat tinggal : Jalan Gunung Salak Gg. Tegal Wangi II Padang Sambian Kelod Denpasar Agama : Islam Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : SLTA Ditahan dengan jenis penahanan sebagai berikut: Penyidik sejak : tanggal 20 Juni s/d 10 Juli 2001. Diperpanjang oleh Penuntut Umum mulai : tanggal 11 Juli s/d 19 Agustus 2001. Jaksa Penuntut Umum : tanggal 9 Agustus s/d 28 Agustus 2001 Berdasarkan Surat Penetapan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 10 Agustus 2001 Nomor . 4547 Persid / 20017 PN. Dps dan berdasarkan Surat Pelimpahan Perkara dengan Acara Pemeriksaan Biasa tanggal 15 Agustus 2001 Nomor : B - 33837 P. 1. 107 Ep/ 87 2001 para terdakwa dihadapkan kedepan persidangan dengan dakwaan sebagai berikut: DAKWAAN Kesatu : Bahwa mereka terdakwa I Toyib , terdakwa II Novianto Andriany dan terdakwa III Pria Agustian secara berturut-turut yang merupakan perbuatan berlanjut atau setidak-tidaknya lebih dari sekali secara bersamasama atau bertindak atas diri masing-masing yaitu pada tanggal 15 s/d 20 Juni 2001 atau setidak tidaknya pada waktu tertentu dalam tahun 2001 bertempat di PT. Atlantik Tour Cabang Denpasar Jln, Diponegoro dan di Pertokoan Departemen Store Tragia Kertha Wijaya Jln. Diponegoro Denpasar atau setidak tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar, telah dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang telah dipalsukan berupa 3 (tiga) huah kartu kredit palsu, yaitu membayar dengan menggunakan kartu kredit palsu untuk membeli tiket pesawat di Atlantik Tour dan membeli baju di Tragia Kertha Wijaya Denpasar, sehingga Bank Internasional Indonesia Cord Centre sebagai Bank pengelola mengalami kerugian sebesar Rp. 4.913.100 ( empat juta sc-mbilan ratus tiga belas ribu seratus rupiah ). Pada saat itu terdakwa II Novianto Andriany membayar menggunakan kartu kredit jenis Visa Hongkong Bank atas nama Denny K. dengan Nomor 4544. 1620. 0082. 1269 dan pada hari Sabtu tanggal 16 Juni 2001 sekitar puku! 12.30 Wita, terdakwa I dan terdakwa II mendatangi lagi PT. Atlantik Tour cabang Denpasar di Jln. Diponegoro dan memesan/ membeli 9 (sembilan) buah tiket Garuda Jurusan Denpasar - Surabaya untuk 3 (tiga) orang masing-masing atas nama Denny K., Denny W., dan Mr. Setaean E., serta untuk jurusan Surabaya - Jakarta untuk 6 (enam) orang masing-masing atas nama Denny K., Denny W., Romli, Setiawan, Widodo, dan Yanto yang harga seluruhnya berjumlah Rp. 4.913.000,00 (empat juta sembilan ratus tiga belas ribu rupiah). Kedua Bahwa mereka terdakwa I Toyib, terdakwa II Novianto Andriany dan terdakwa III Pria Aguastian secara berturut-turut yang merupakan perbuatan berlanjut atau setidak-tidaknya lebih dari sekali secara bersamasama atau bertindak atas diri masing-masing pada waktu dan tempat sebagaimana telah diuraikan dalam dakwaan kesatu dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, yaitu mengadakan transaksi dengan menggunakan kartu kredit palsu, membayar tiket pesawat Garuda di PT. Atlantic Tour Cabang Denpasar dan di toko Tragia Kertha Wijaya Jln. Diponegoro membuat hutang atau menghapus piutang maupun dengan karangan perkataan bohong membuat orang supaya memberikan suatu barang yaitu setelah para terdakwa membeli tiket dan membeli baju maka para terdakwa membayar menggunakan kartu kredit palsu. Perbuatan para terdakwa ssebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55 ayat ( 1 ) ke-1 KUHP. Fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan secara berturut-turut berupa keterangan saksisaksi, keterangan para terdakwa, dan barang-barang bukti. Dalam putusan Majelis Hakim , menyatakan bahwa terdakwa I Toyib, terdakwa II Novianto, terdakwa III Pria Agustian terbukti bersalah telah melakukan penipuan dengan menggunakan kartu kredit palsu sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan kesatu yaitu Pasal 263 ayat (1) jo. Pasal 64 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 378 jo. Pasal 64 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Menghukum para terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan. Menyatakan barang bukti berupa : a. 9 (sembilan) buah kartu kredit palsu dirampas untuk dimusnahkan. b. 4 (empat) buah handphone dirampas untuk dimusnahkan c. 1 (satu) buah buku daftar hitam gabungan d. 2 (dua) faktur EDCBII e. 1 (satu) lembar faktur EDC BCA f. 11 (sebelas) lembar agen kupon g. 1 (satu) kartu tanda penduduk atas nama Eddy Setiawan dirampas untuk dimusnahkan. Barang bukti dari normor c s/d g, dikembalikan kepada yang berhak Melihat dari kasus dan putusan dari Majelis Hakim, dapat dikemukakan bahwa kebijakan pemerintah didalam penyelesaian kasus penyalah gunaan kartu kredit, selama ini masih mempergunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena dalam Undang-Undang Perbankan mengenai penyalahgunaan kartu kredit secara implisit belum diatur. Dari kasus yang dikemukakan diatas, tindak pidana pemalsuan umumnya banyak berkaitan dengan penipuan, atau dengan pengertian lain tindak pidana pemalsuan umumnya bermuara pada penipuan. Penipuan pada dasarnya merupakan tujuan akhir dari perbuatan pemalsuan.89 Otoritas konstitusi kalau dipandang dari segi moral sama halnya dengan pandangan aliran hukum alam yaitu mempunyai daya ikat terhadap warga negara, karena penetapan konsitusi juga didasarkan pada nilai-nilai moral. Lebih tegas lagi bahwa konstitusi sebagai landasan fundamental tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral.90 Pada hakikatnya hak asasi manusia tidak membedakan hak-hak asasi dari sudut jenis kelamin (perempan atau laki). Kedua-duanya adalah manusia yang mempunyai hak asasi yang sama.91 Hak asasi manusia sebagaimana yang dirumuskan dalam Declaration des droits de L’Homme et du Citoyen oleh Kuntjoro Purbopranoto adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari kodratnya karena itu bersifat suci.92 Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Pasal 4 ayat (2) UndangUndang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan bahwa proses peradilan harus dilaksanakan dengan sederhana, cepat, mudah dan dengan biaya yang seringan-ringannya. Dan hakim memiliki batas-batas maksimum dalam bergerak untuk mendapatkan 89 Marulak I, op.cit, hal. 100. 90 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 81. 91 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, 65. 92 Kuntjoro Purbopranoto, 1960, Hak-hak Asasi Manusia dan Pancasila, Jakarta, hal. 18-19. pidana yang tepat.93 Dalam pelaksanaan proses peradilan mengenai tindak pidana di bidang perbankan, senantiasa ditemui beberapa permasalahan antara lain : perbedaan penafsiran dan penerapan hukum terhadap suatu hal yang diajukan oleh Jaksa, kurangnya koordinasi diantara para aparat penegak hukum, seperti Jaksa,Polisi, Hakim dan pihak perbankan sendiri.94 Hakim sebagai salah satu organ pengadilan tidak dimungkinkan untuk menolak suatu perkara yang belum ada pengaturannya. Telah menjadi kewajiban para hakim untuk mencari, menggali dan menemukan hukum terhadap permasalahan yang diajukan kepadanya. Dalam kaitan inilah hakim dapat berfungsi sebagai pembentuk hukum (Recht Finding)95. Jenis-jenis tindak pidana di bidang perbankan selain penyalahgunaan terhadap kartu kredit, dapat puia berupa pencurian, penggelapan , penipuan, pemalsuan, membuka rahasia bank, bank gelap, korupsi dan bahkan bisa dikatakan subversi.Sedangkan peraturan yang dipergunakan selain Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan Undang Undang Perbankan, juga dipergunakan Undang Ekonomi, Undang Undang Tindak Pidana Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 93 Roeslan Saleh. 1978. Stelsel Pidana Indonesia.Aksara Baru. Jakarta. hal.9 94 Marulak I Op.cit hal. 129 95 ibid, hal. 130. 3.4 Pentingnya Pembaruan Hukum Pidana Tertib hukum dapat diwujudkan melalui suatu perubahan yang teratur, melalui prosedur hukum, baik yang berwujud perundang-undangan, ataupun keputusan-keputusan badan peradilan, lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur yang menggunakan kekerasan semata-mata.96 Untuk pembentukan hukum pada masa mendatang, pemerintah perlu menciptakan peraturan-peraturan yang akurat untuk mengantisipasi masalah tersebut melalui pembaruan dari hukum pidana yang telah ada. Malaysia yang pernah dilanda aksi kejahatan kartu kredit, segera membuat aturan yang sangat ketat, seperti hukuman cambuk rotan bagi pelakunya, denda 300.000 ringgit (Rp 900 juta), dan hukuman penjara maksimal 20 tahun. 97 Di samping itu, perangkat hukum di Malaysia sudah dilengkapi dengan undangundang kejahatan komputer, undang-undang digital. Langkah preventif yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia ialah dengan menggunakan teknologi chip. Teknologi chip ini dapat mengurangi risiko pemalsuan data-data kartu kredit seperti pada teknologi berbasis kartu magnetik (magnetic card) yang selama ini digunakan. Kartu magnetik relatif lebih mudah ditiru hanya dengan mengopi pita magnetik pada kartu tersebut serta memasangnya pada kartu yang baru. 96 Mochtar Kusumaatmaja. Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan. Alumni. Bandung.2002.hal.120 97 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9767/perlu-undangundang-khusus-untuktanggulangi-kejahatan-kartu-kredit Mexico adalah satu negara yang telah melakukan pembaruan terhadap beberapa perundang-undangan seperti civil code, civil procedurs, commerce code dan consumer protection law dengan tujuan untuk memberikan perlindungan atas segala bentuk transaksi yang dilakukan secara elektronik. Dalam melakukan perubahan, pemerintah Mexico mengadopsi model law yang disusun oleh United Nation Commision for International Trade (UNCITRAL).98 Pentingnya pembaruan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dimana ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP tidak relevan digunakan untuk menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit sehingga menimbulkan kekosongan hukum dalam menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit ini. Beberapa kelemahan dari Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP antara lain: 3. Kartu kredit tidak dapat diinterpretasikan sebagai surat 4. Hal yang dipalsukan dalam penyalahgunaan kartu kredit adalah pin orang lain yang telah berhasil dicuri melalui penipuan lewat telepon kepada si korban. Penyalahgunaan kartu kredit memberikan dampak yang kurang baik bagi Negara Indonesia yakni sebagai negeri sarang pelaku kejahatan dengan kartu kredit dan Indonesia telah masuk daftar hitam kejahatan dengan pembayaran kartu kredit. Sehingga sangat diperlukan pembaruan KUHP untuk menjaring para pelaku kejahatan karena KUHP belum mengatur sementara kejahatannya sangat banyak terjadi. 98 Asril Sitompul, op.cit., hal. 63. Dalam usaha pembaruan hukum pidana Indonesia bagi bangsa dan rakyat Indonesia tidak begitu saja timbul tetapi didorong oleh adanya perubahanperubahan yang terjadi di masyarakat terutama setelah perang dunia kedua dan juga untuk bagi Negara-negara yang baru timbul, maupun baru melepaskan diri dari belenggu penjajah, karena adanya perubahan dalam bidang ketatanegaraan. Hukum pidana yang berlaku dari suatu Negara tidak dapat dilepaskan dari tata nilai dan budaya dari bangsa sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto.99 Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofik, sosio- kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti, makna dan hakikat pembahaman hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaruan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaruan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatar belakangi itu. Dengan demikian, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio-filosofik, sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Hal ini disebabkan agar hukum dapat secara efektif diterapkan dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik selalu 99 Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung.hal.67 menuntut persyaratan keberlakuan secara yuridis, sosiologis dan filosofis, dan bahkan secara historis.100 Dapat dikatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada kakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ("policy-oriented") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ("value-oriented approach")101. Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau "policy" (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal,dan politik sosial). Didalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaruan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Dengan demikian, makna dan hakikat pembaruan hukum pidana, sebagai berikut: 1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan : a. Sebagai bagian dari kebijakan-sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasionat (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya); 100 101 Jimli Asshidiqie. Pembaruan Hukum Pidana Indonesia.Angkasa. Bandung.1996. hal 160 Barda Nawawi II, op.cit,hal.31 b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan); c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai: Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali ("re-orientasi dan reevaluasi") nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, sosio- kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan ("reformasi") hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicitacitakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).102 Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan: 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. 102 Ibid. Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi intergral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berati pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosio-politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana,. termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral diatas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. BAB IV KEBIJAKAN PEMBARUAN HUKUM PIDANA DALAM PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT 4.1 Tindak Pidana Pemalsuan dan Penipuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu bahwa pemalsuan diatur dalam Pasal 263 KUHP, yang isinya : (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang dapat diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat-surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam juga pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun; (2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Didalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1999-2000 pemalsuan juga dicantumkan dalam Bab XIII tentang Tindak Pidana Pemalsuan Surat, dimana dalam Pasal 395 nya menyebutkan: Dipidana karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak Rp.7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah), setiap orang yang : a. membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak perikatan atau pembebasan hutang atau diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian, atau b. dengan sengaja menggunakan surat yang isinya tidak benar atau dipalsu, seolah-olah benar atau tidak palsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.103 Sedangkan di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2008, dalam bab XIV diatur mengenai tindak pidana pemalsuan surat Ketentuan Pasal 452 RKUHP 2008 menyatakan bahwa : Dipidana karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, setiap orang yang : a. Membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, pembebasan utang, atau yang diperuntukan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian; atau b. Menggunakan surat yang isinya tidak benar atau palsu, seolah-olah benar atau tidak palsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian. Ketentuan Pasal 453 RKUHP menyatakan bahwa: Dipidana karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, setiap orang yang: a. Membuat secara tidak benar atau memalsu; 1. Akta otentik 2. Surat utang atau sertifikat utang dari suatu Negara atau bagiannya atau dari suatu lembaga umum 3. Saham, surat utang, sertifikat saham, sertifikat utang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau persekutuan; 4. Talon, tanda bukti dividen atau tanda bukti bunga salah satu surat sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat tersebut; 5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan guna diedarkan; 6. Surat keterangan mengenai hak atas tanah; atau 7. Surat-surat lainnya 103 Rancangan UP Rl tentang KUHP. Direktorat Perundang-Undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan, 1999 - 2000, hal. 148 b. Menggunakan surat-surat sebagaimana dimaksud pada huruf a, yang isinya tidak benar atau dipalsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian. Ketentuan Pasal 453 RKUHP mengandung pengertian yang hampir sama dengan pasal 263 KUHP, adapun yang dimaksud dengan surat dalam pasal ini adalah semua gambaran dalam pikiran yang diwujudkan dalam perkataan, yang dituangkan dalam tulisan, baik dengan cara menulis atau melalui mesin. Surat yang dipalsu itu harus dapat: a. Menimbulkan suatu hak, misalnya ijazah, karcis,.tanda masuk, saham, dan lain-lain. b. Menimbulkan suatu perikatan, misalnya perikatan utang-piutang, jual beli, sewa, dan lain-lain. c. Menerbitkan suatu pembebasan utang d. Dipergunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa, misalnya buku tabungan pos, surat tanda kelahiran, surat angkutan, buku kas, dan lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan "surat" adalah semua gambaran dalam pikiran yang diwujudkan dalam perkataan yaitu yang dituangkan dalam tulisan, baik tulisan tangan maupun melalui mesin, termasuk juga antara lain salinan, hasil foto copy, faximile atas surat tersebut. Surat yang dipalsu harus dapat: 1. menimbulkan suatu hak, seperti ijazah, karcis tanda masuk, saharn; 2. menimbulkan suatu perikatan, seperti perjanjian kredit, jual beli, sewa menyewa; 3. menerbitkan suatu pembebasan hutang, 4. dipergunakan sebagai bukti bagi suatu perbuatan atau peristiwa, seperti buku tabungan, surat tanda kelahiran.buku kas, dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan penipuan, di dalam KUHP diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang isinya : Barang siapa dengan maksud hendak menguntuntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat maupun karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk seseorang untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Penipuan adalah tindak pidana terhadap harta benda, dapat dilakukan juga terhadap badan hukum. Tempat tindak pidana ( locus delicti ) adalah dimana pembuat melakukan perbuatannya, walaupun penyerahan dilakukan di tempat lain. Demikian juga saat tindak pidana (tempus delicti ) adalah saat pelaku melakukan perbuatannya: Barang yang diserahkan dapat merupakan milik ( pembuat ) sendiri, misalnya barang yang diberikan sebagai jaminan utang tidak perlu dibuat untuk kepentingan pelaku. Penipuan didalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1999-2000, diatur dalam Bab XXV tentang Tindak Pidana Perbuatan Curang, dimana dalam Pasal 508 nya menyebutkan Setiap orang yang secara melawan hukum dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menyalahgunakan agama, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata-kata bohong membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat pengakuan hutang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.7.500.000,- (tuiuh juta lima ratus ribu rupiah)104 Di dalam penjelasannya, menyatakan bahwa Pasal ini mengatur tentang tindak pidana penipuan. Perbuatan materiil dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara yang disebut dalam ketentuan ini, untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pembuat, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan ini baru selesai, dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pembuat. Barang yang diberikan, tidak harus secara langsung kepada pembuat, tetapi dapat juga dilakukan kepada orang lain yang disuruh pembuat untuk menerima penyerahan itu. Sedangkan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2008, diatur dalam BAB XXVII tentang Tindak Pidana Perbuatan Curang, Bagian kesatu Penipuan, dalam ketentuan Pasal 611 menyebutkan bahwa: Setiap orang yang melawan hukum dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menyalahgunakan agama, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata-kata bohong membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. 104 Ibid.hal. 194. Penipuan adalah tindak pidana terhadap harta benda. Tempat tindak pidana (locus delicti) adalah tempat pembuat melakukan penipuan, walaupun penyerahan dilakukan di tempat lain. Saat dilakukannya tindak pidana (tempus delicti) adalah saat pembuat melakukan penipuan. Untuk lebih jelasnya, mengenai pemalsuan dan penipuan dapat dilihat dalam tabel berikut ini : TABEL1 PEMALSUAN Pasal 395 RKUHP 99/ 2000 Setiap Orang No Unsur Pasal 263 KUHP 1. Subjek Barang Siapa, yaitu : Orang Objek Membuat surat palsu Membuat secara tidak atau memalsu surat benar atau memalsu surat Surat : baik yang Surat : semua ditulis dengan tangan, gambaran dalam dicetak, maupun pikiran yang memakai mesin tik, dll diwujudkan dalam perkataan, yaitu yang dituangkan dalam tulisan, baik tulisan tangan maupun melalui mesin, termasuk salinan, hasil fotocopy, faximile, komputer, internet atas surat tersebut Dapat menimbulkan Dapat menimbulkan hak, perikatan atau hak, perikatan atau pembebasan hutang, pembebasan hutang, atau dapat atau dapat diperuntukkan sebagai diperuntukkan bukti dari suatu hal. sebagai bukti dari suatu hal 2 Pasal 452 RKUHP 2008 Setiap Orang Membuat secara tidak benar atau memalsu surat Surat : semua gambaran dalam pikiran yang diwujudkan dalam perkataan, yaitu yang dituangkan dalam tulisan, baik tulisan tangan maupun melalui mesin, termasuk salinan, hasil fotocopy, faximile, menimbulkan suatu hak, perikatan, pembebasan utang, atau yang diperuntukan sebagai bukti dari suatu hal Menyuruh orang lain Menyuruh orang lain Menyuruh orang lain Ada unsur kesengajaan Ada unsur menggunakan surat kesengajaan yang dipalsu. menggunakan surat yang dipalsu. Akibatnya : Akibatnya : menimbulkan menimbulkan kerugian, dengan kerugian, dengan ancaman pidana ancaman pidana penjara paling lama 6 penjara paling lama 6 tahun. tahun. Atau denda paling banyak Rp. 7.500.000,Analisa Tabel 1 : Ada unsur kesengajaan menggunakan surat yang dipalsu. Akibatnya : menimbulkan kerugian, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun. Atau denda paling banyak Kategori IV Dari KUHP dengan Rancangan belum mengatur mengenai pemalsuan kartu kredit. Dimana pemalsuan yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 263 KUHP dan RKUHP Tahun 1999/2000 dan RKUHP Tahun 2008 adalah pemalsuan surat. Kartu kredit tidak dapat diinterpretasikan sebagai surat dikarenakan yang dimaksud dengan "surat" adalah semua gambaran dalam pikiran yang diwujudkan dalam perkataan yaitu yang dituangkan dalam tulisan, baik tulisan tangan maupun melalui mesin, termasuk juga antara lain salinan, hasil foto copy, faximile atas surat tersebut. Surat yang dipalsu harus dapat: 1. menimbulkan suatu hak, seperti ijazah, karcis tanda masuk, saham; 2. menimbulkan suatu perikatan, seperti perjanjian kredit, jual beli, sewa menyewa; 3. menerbitkan suatu pembebasan hutang, 4. dipergunakan sebagai bukti bagi suatu perbuatan atau peristiwa, seperti buku tabungan, surat tanda kelahiran.buku kas, dan lain-lain. TABEL 2 PENIPUAN No. Unsur Pasal 378 KUHP Pasal 508 RKUHP 1999-2000 Pasal 611 RKUHP 2008 Setiap orang. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, melawan hukum, memakai nama palsu, kedudukan palsu, menyalahgunakan agama, dengan tipu muslihat, kata-kata bohong dan membujuk orang lain. Barang/harta benda. Dengan memakai tipu muslihat, dan lain-lain, maka agar orang lain Setiap orang. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, melawan hukum, memakai nama palsu, kedudukan palsu, menyalahgunakan agama, dengan tipu muslihat, kata-kata bohong dan membujuk orang lain. 1 Subyek Barang siapa, yaitu: orang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dengan melawan hak, memakai nama palsu atau keadaan palsu, dengan akal dan tipu muslihat, bohong dan pembujukan 2. Obyek Barang / Harta Benda. Dengan memakai tipu muslihat, dan lain-lain ,maka agar orang lain Barang/harta benda. Dengan memakai tipu muslihat, dan lainlain, maka agar orang lain memberikan Memberikan barangnya, membuat utang atau menghapus piutang memberikan barangnya, membuat barangnya, membuat utang atau utang atau menghapus piutang menghapus piutang. Akibatnya : Karena penipuan tersebut, dihukum dengan pidana penjara selama lamanya 5 tahun Akibatnya : Karena penipuan, dihukum dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp. 7. 500.000,- Akibatnya : Karena penipuan, dihukum dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak kategori IV Analisa label 2 : Antara KUHP dengan Rancangan ada perubahan dimana subjeknya tidak lagi orang dan Badan Hukum tetapi setiap orang dan selain memakai nama palsu juga memakai kedudukan palsu, serta menyalahgunakan agama. Juga dari melawan hak menjadi melawan hukum, dimana hak tersebut bersifat pribadi sedangkan melawan hukum sifatnya lebih luas. Jadi dalam rancangan menyebutkan secara liminatif daya upaya yang digunakan, yaitu dengan kedudukan palsu dan lain-lain. Antara daya upaya dan perbuatan harus ada hubungan kausal lain sehingga orang lain percaya dan menyerahkan barang/ harta benda yang diminta Internet telah membentuk masyarakat dunia baru. Masyarakat dunia yang tak lagi dihalangi oleh batas-batas teritorial antara negara yang dahulu ditetapkan sangat rigid sekali. Masyarakat baru dengan kebebasan beraktivitas dan berkreasi yang paling sempurna. Masyarakat yang sedang mencoba membangun kebudayaan baru di ruang maya yang dikenal dengan nama Cyberspace. Istilah yang lahir dari William Gibson, seorang penulis fiksi ilmiah (science fiction) dalam novelnya yang berjudul Neuromancer dan Virtual Light. Kelahiran internet memang telah membalikkan segalanya, yang jauh menjadi dekat, yang khayal menjadi nyata dan yang paper-based menjadi paperless. Namun dibalik kegemerlapan itu, internet juga melahirkan keresahan-keresahan baru, diantaranya muncul kejahatan yang lebih canggih dalam bentuk "cyber crime”.105 105 Freddy Harris, Menanti Hukum di Cyberspace, Jurnal Hukum dan Teknologi, FH Ul, Edisi I Tahun I 2001, hal. 4. Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Volodymyr Golubev menyebutnya sebagai "the new form of anti-social behavior". Beberapa julukan/ sebutan lainnya yang cukup terkenal diberikan kepada jenis kejahatan batu ini di dalam berbagai tulisan, antara lain sebagai "kejahatan dunia maya" ("cyber-space/ virtual-space offence"), dimensi baru dari "hi-tech crime", dimensi baru dari "transnational crime", dan dimensi bam dari "white collar •crime” Bahkan dapat dikatakan sebagai dimensi baru dari "environmentalcrime"106 Tindakan seorang hacker tidak sampai merusak yang dilakukan biasanya hanya sekadar mengintip informasi tentunya secara diam-diam, tanpa melakukan perubahan apapun terhadap sistem yang dia masuki.107 Serangan cyber crime umumnya mengincar dunia perbankan.108 Hal ini tentu mengguncang keamanan transaksi elektronik. Terhadap hal ini, Philipina melalui Electronic E-Commerce Act 2000 dan Consumer Act 1991 menyebutkan bahwa siapa saja yang menggunakan transaksi secara elektronik tunduk terhadap hukum yang berlaku.109 106 Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum Kejahatan, PT Citra Aditya Bhakti Bandung, 2001, hal. 243 dan Kebijakan Penanggulangan 107 Sutanto, Hermawan sulityo dan Tjuk Sugiarto (Ed.), 2005, Cyber Crime-Motif dan Penindakan, Pensil 324, Jakarta, hal. 15 108 Redaksi Suara Pembaruanm 2009, “Disiapkan, PP Kejahatan Dunia Maya”, Serial Online 8 November 2009, (Cited 2010 Jun 8), available from : URL: ttp://www.suarapembaruan.com/News/2009/11/08/Telko/tel01.htm. 109 Big, “Cyber Laws”, http://bigswamp.wordpress.com/2011/03/22/cyber-laws/, diakses pada 23 Juni 2011. Negara ini merupakan negara yang memiliki pengaturan khusus tentang kejahatan sebelum Indonesia. Pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law termasuk mengenai tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA diadopsi oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL) pada tahun 1999. Secara lengkap Cyber Law di Amerika meliputi Electronic Signatures in Global and National Commerce Act, Uniform Electronic Transaction Act, Uniform Computer Information Transaction Act, Government Paperwork Elimination Act, Electronic Communication Privacy Act, Privacy Protection Act, Fair Credit Reporting Act, Right to Financial Privacy Act Computer Fraud and Abuse Act, Anti-cyber squatting consumer protection Act, Child online protection Act, Children’s online privacy protection Act, Economic espionage Act dan “No Electronic Theft” Act.110 Pembaruan RKUHP di Indonesia sangat penting untuk menjaring pelaku penyalahgunaan kartu kredit sehingga Indonesia tidak tertinggal dengan negara lain dalam menanggulangi kejahatan ini. Ketiadaan substansi hukum tentu akan 110 Anonim, “Peraturan dan Regulasi (perbedaan cyberlaw diberbagai negara)”, http://blogkublogku.blogspot.com/2011/03/peraturan-dan-regulasi-perbedaan.html, diakses pada 23 Juni 2011. melemahkan atau penyalahgunaan bahkan kartu kredit. meniadakan penegakan hukum terhadap Mardjono Reksodiputro dalam artikelnya mengatakan bahwa Barda Nawawi Arief mengusulkan agar dalam hal kriminalisasi dibedakan antara harmonisasi materi/ substansi dan harmonisasi kebijakan formulasi. Yang pertama adalah apa yang dinamakan " Tindak Pidana Mayantara " (cyber crime ) dan yang kedua apakah akan berada diluar atau di dalam KUHP. Serta memasukan katagori delik menjadi sebagai berikut: 1. Delik-delik terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer, termasuk di sini: a. Mengakses sistem komputer tanpa hak (illegal access) b. Tanpa hak menangkap/ mendengar pengiriman dan pemancaran (illegal intercepton) c. Tanpa hak merusak data (data interference) d. Tanpa hak mengganggu sistem (system interference) e. Menyalahgunakan perlengkapan (misuse of devices) 2. Delik-delik yang berhubungan dengan komputer (pemalsuan dan penipuan dengan komputer-computer related offenses : forgery and fraud) 3. Delik-delik yang berhubungan dengan pornografi anak ( content related offenses : forgery and fraud) 4. Delik-delik yang berhubungan dengan hak cipta ( offenses related to infringements of copyright) Dari masalah tersebut diatas, didalam dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu : kebijakan formulasi dapat 1. Menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan dengan komputer (high-tech) dan KUHP dapat dipergunakan untuk menanggulanginya (tentu dengan penambahan). 2. Menganggap sebagai kejahatan kategori baru (new category of crime) yang membutuhkan suatu kerangka hukum yang baru dan komprehensif untuk mengatasi sifat khusus teknologi yang sedang berkembang dan tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa dan karena itu perlu diatur secara tersendiri diluar KUHP.111 Untuk mengatasi dan melacak kejahatan pembobol kartu kredit atau lebih dikenal dengan carder, kepolisian segera menerjunkan aparatnya. Markas Besar kepolisian Republik Indonesia (MabesPoIri) saat ini telah memiliki tim khusus penanganan cyber crime yang bernaung dibawah Subdit Pidana Teknologi Informasi ( Tl ) Direktorat Tindak Pidana Khusus Korserse Polri. 4.2 Kebijakan Hukum Dalam Mengantisipasi Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit. Kebutuhan akan teknologi Jaringan Komputer semakin meningkat. Selain sebagai media penyedia informasi, melalui Internet pula kegiatan komunitas komersial menjadi bagian terbesar, dan terpesat pertumbuhannya serta menembus berbagai batas negara. Bahkan melalui jaringan ini kegiatan pasar di dunia bisa diketahui selama 24 jam. Melalui dunia internet atau disebut juga cyberspace, 111 Mardjono Reksodiputro, Cybercrime and Intelectual Property, artikel anggota Komisi Hukum Nasional Rl, 28 September 2002, hall apapun dapat dilakukan. Segi positif dari dunia maya ini tentu saja menambah trend perkembangan teknologi dunia dengan segala bentuk kreatifitas manusia. Namun dampak negatif pun tidak bisa dihindari. Seiring dengan perkembangan teknologi Internet, menyebabkan munculnya kejahatan yang disebut dengan "CyberCrime" atau kejahatan melalui jaringan Internet. Munculnya beberapa kasus "CyberCrime" di Indonesia, seperti pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya email, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak dikehendaki ke dalam programmer komputer. Sehingga dalam kejahatan komputer dimungkinkan adanya delik formil dan delik materil. Delik formil adalah perbuatan seseorang yang memasuki komputer orang lain tanpa ijin, sedangkan delik materil adalah perbuatan yang menimbulkan akibat kerugian bagi orang lain (berdasarkan makalah Pengamanan Aplikasi Komputer Dalam Sistem Perbankan dan Aspek Penyelidikan dan Tindak Pidana). Adanya CyberCrime telah menjadi ancaman stabilitas, sehingga pemerintah sulit mengimbangi teknik kejahatan yang dilakukan dengan teknologi komputer, khususnya jaringan internet dan intranet. Para netter (pengguna internet) dapat mengetahui secara cepat perkembangan riset teknologi di berbagai belahan dunia. Dengan hanya berpandukan mesin pencari seperti Google, pengguna di seluruh dunia mempunyai akses internet yang mudah atas bermacam-macam informasi. Dibanding dengan buku dan perpustakaan, internet melambangkan penyebaran (decentralization)/ pengetahuan (knowledge) informasi dan data secara ekstrim.112 Mekanisme akses perpustakaan (e-librabry) dapat dilakukan dengan menggunakan program khusus yang berstandar Z39.50 seperti WAIS (Wide Area Information System), aplikasi telnet atau melalui web browser.113 Internet juga dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam memberikan layanan publik. Indonesia sendiri telah menggunakan aplikasi RI-NET yang memungkinkan akses email kepada para pejabat serta memberikan layanan web (homepage) yang dapat diakses melalui http://www.ri.go.id. Dengan mengunakan layanan internet maka pemerintah dengan cepat dapat mensosialisasikan regulasi dan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkannya. Melalui administrasi online dalam pemerintahan, praktik korupsi dalam membuat surat-surat dapat diminimalisasi. Pejabat juga dapat mendekatkan diri dengan rakyat melalui teleconference. Penggunaan teknologi informasi dalam bidang ekonomi telah melahirkan istilah new digital networked economy. Jaringan ini memberikan ruang untuk bertransaksi bisnis secara online dan real time. Penjualan produk secara online menyebabkan cost of marketing dan cost of employee menjadi semakin rendah sehingga margin keuntungan dapat ditingkatkan.114 Pelebaran 112 Redaksi Wikipedia, 2010, “Internet”, Serial Online 30 Agustus 2010, 11:29, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://id.wikipedia.org/wiki/Internet. 113 Perpustakaan Online, 2008, “Internet dan Manfaatnya”, Serial Online 19 Mei 2008, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/05/internetdan-manfaatnya.html jejaring bisnis melalui media internet memiliki prospek yang sangat baik. Pasar modal seperti NASDAQ yang didominasi oleh saham perusahaan yang berbasis teknologi misalnya, semakin diminati dan dimonitor oleh pelaku bisnis. Penetrasi internet yang begitu besar apabila tidak dipergunakan dengan bijak maka akan melahirkan kejahatan di dunia maya atau yang diistilahkan dengan cyber crime. Cyber crime terjadi pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1960-an.115 Berbagai kasus cyber crime yang terjadi saat itu mulai dari manipulasi transkrip akademik mahasiswa di Brooklyn College New York, penggunaan komputer dalam penyelundupan narkotika, penyalahgunaan komputer oleh karyawan hingga akses tidak sah terhadap Database Security Pasific National Bank yang mengakibatkan kerugian sebesar US$ 10.2 juta pada tahun 1978. Cyber crime juga terjadi di Indonesia, bahkan kejahatan ini sebenarnya sudah ada sejak internet masuk ke Indonesia.116 Pengguna internet di Indonesia hanya 14,5 juta orang dari total penduduk yang mencapai 220 juta. 114 Anonim, 2009, “Daftar Jumlah Pengguna Internet Dunia 1995-2008”, Serial Online 2009 Februari 28, (Cited 2010 Feb. 8), available from : URL: http://id.wordpress.com/tag/ Daftar jumlah-pengguna-internet- Dunia-1995-2008/ 115 Edy Junaedi Karnasudirja, 1993, Jurisprudensi Kejahatan Komputer, Tanjung Agung, Jakarta, hal. 3. 116 Indonesia yang untuk pertama kali terhubung dengan internet pada tahun 1993, pada tahun berikutnya saja telah mempunyai 32 (tiga puluh dua) network yang terhubung ke internet. Jumlah ini masih sangat kecil dibanding pada saat yang sama Amerika Serikat mempunyai 14.782 (empat belas ribu tujuh ratus delapan puluh dua), Jepang mempunyai 1.097 (seribu sembilan puluh tujuh), dan Jerman mempunyai 1.220 (seribu dua ratus dua puluh) network yang terhubung ke internet. (Asril Sitompul, 2004, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. vi.) Meskipun tidak ada 10 persennya, Indonesia pernah menduduki peringkat pertama dalam kejahatan dunia maya. Tahun 2007 posisi Indonesia sempat menurun di posisi empat setelah Ukraina dan beberapa negara Eropa Timur yang membukukan angka kejahatan dunia maya lebih banyak.117 Akibat tingginya kejahatan yang dilakukan di dunia maya Indonesia masuk dalam daftar hitam di kalangan penyedia pembayaran lewat internet (internet payment).118 Menurut Brigjen Anton Tabah, Staf Ahli Kapolri, jumlah cyber crime yang terjadi di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia karena banyaknya aktivitas para hacker. Tingginya kasus cyber crime dapat dilihat dari banyaknya kasus pemalsuan kartu kredit dan pembobolan sejumlah bank.119 Tahun 2004 kejahatan carding mencapai 177 dari 192 kasus kejahatan internet. Tahun sebelumnya, kejahatan carding menembus angka 145 dari 153 kasus kejahatan internet.120 Bahkan Indonesia masuk dalam peringkat 10 117 Jim Geovedi, tanpa waktu edisi, “Cyber Crime Terkendala”, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://www.kompas.co.id. 118 Ibid. 119 Redaksi Antara, 2009, “Jumlah Kasus Cyber Crime di Indonesia, Tertinggi di Dunia”, Serial Online Thursday, 26 March 2009, (Cited 2010 Feb. 8), available from : URL: http://www.indofamily.net/teens/index.php?option=com_content&task=blogsection&id=0&Itemid =30. 120 Danardono, 2005, “Indonesia Peringkat Pertama Pelaku Kejahatan Internet”, Serial Online 14 September 2005 3:36, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?f=1&t=29697&start=0 besar pelanggaran internet terbesar di dunia.121 Meskipun Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak.122 Data yang tidak jauh berbeda juga dikemukan dalam laporan bertajuk Internet Security Threat Report XV periode Januari-Desember 2009 yang disponsori oleh perusahaan Symante. Dalam laporan tersebut, Indonesia dinyatakan sudah termasuk dalam peringkat Top 10. Pada tahun 2008, Indonesia duduk di peringkat ke-12 dalam urutan negara di kawasan Asia Pasifik yang memiliki kegiatan jahat (malicious) berdasarkan negara. Namun pada tahun 2009, peringkatnya melonjak cepat dan langsung duduk di peringkat 9 setelah Australia di peringkat 8 dan Filipina di peringkat 10. Indonesia menjadi lokasi kedua terbesar untuk Sality. AE, virus yang menghapus layanan dan aplikasi-aplikasi keamanan, satu peringkat di bawah India. Indonesia juga terdaftar di peringkat 9 untuk lokasi phishing yang menyasar jasa-jasa finansial, dan urutan ke 8 untuk negara asal spam.123 121 Andi Hamzah, 2009, “Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia”, Serial Online 28 Oktober 2009, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html 122 Agus Raharjo, 2006, “Kebijakan Kriminalisasi dan Penanganan Cybercrime di Indonesia”, Serial Online 12 September 2006, (Cited 2010 Feb. 8), available from : URL: http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/kriminalisasi_cybercrime.htm. 123 Tribun Timur, 2010, “Peringkat Indonesia di CyberCrime Naik” Serial Online 30 April 2010, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.tribuntimur.com/read/artikel/100001/Peringkat_Indonesia_di_CyberCrime_Naik Berdasarkan data penyalahgunaan kartu kredit sebagaimana dipaparkan diatas, sudah jelas sangatlah diperlukan ketentuan hukum untuk menjerat pelaku penyalahgunaan kartu kredit, sementara KUHP sendiri sudah tidak relevan digunakan. Barda Nawawi Arief memberikan pendapat untuk mengatasi kekosongan perangkat atau ketentuan perundang-undangan yang demikian ada dua kemungkinan yang dapat ditempuh : 1. Membuat ketentuan perundang-undangan baru atau revisi ketentuan perundang-undangan yang berlaku saat ini dengan menegaskan pejabat mana yang dipandang bertanggung jawab sebagai pejabat pengendali itu. Dapat diusulkan agar Mahkamah Agung-lah yang ditetapkan sebagai pejabat pengendali, alasannya menurut sistem Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 24 ayat (2)) Mahkamah Agung yang melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman. Tetapi istilah kekuasaan kehakiman seyogianya jangan diartikan sebagai kekuasaan mengadili, tetati lebih luas sebagai kekuasaan untuk menegakkan hukum. 2. Kekosongan perundang-undangan diisi lewat yurisprudensi. Penanganan perkara kejahatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian merupakan penanganan yang bersifat represif, artinya penanganan tersebut dilakukan setelah terjadinya tindak pidana. Upaya yang lain yang dapat dilakukan aparat kepolisian adalah upaya preventif . Institusi hukum memiliki arti yang sangat penting dalam pembaruan hukum, hal ini disepakati oleh Paul Bohannon yang mengatakan “that legal institutions are the essense of law.”124 (bahwa institusi-institusi hukum adalah inti hukum.) Pembaruan hukum di Indonesia memerlukan waktu bertahuntahun untuk merancang konsep-konsep hukum yang tertuang dalam bentuk buku, berbeda dengan system di Australia yaitu Australian legislation is generally printed in pamphiet form after assent. These are cumulated in bound volumes at the end of the year.125 (Undang-undang Australia umumnya dicetak dalam bentuk pamflet setelah persetujuan. Ini adalah cumulated dalam volume terikat pada akhir tahun.) Peranan hukum dalam kehidupan masyatakat sangat besar dikarenakan Law is not clearly distinguishable from other aspects of social order until courts of law come into existence.126 (Hukum mencakup setiap aspek-aspek lain dari tatanan sosial sampai pengadilan hukum menjadi ada.) Penyalahgunaan kartu kredit jelas menimbulkan dampak negatif bagi Pengelola/ Penerbit, terutama karena mekanisme penggunaan kartu kredit membuat penerbit/ pengelola menanggung resiko paling besar dibandingkan dengan dua pihak terkait lainnya. Adapun dampak yang timbul dari penyalahgunaan kartu kredit dapat berupa : 124 Lawrence. M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Sentence Perspective, Russel Sage Foundation, New York, hal. 7. 125 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co., Sydney, Australia, hal 225. 126 Geoffrey Sawer , 1973, Law in Society, Oxford University Press, London. hal 70. 1. Dampak Finansial: a. Terhadap penerbit b. Terhadap Negara127 ad. 1. Dampak Finansial a. Dampak finansial terhadap penerbit Penyalahgunaan kartu kredit telah menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi penerbit di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Visa, Mastercard, Amex, BCA, dan Diners, kerugian tersebut menunjukkan kecendrungan yang terus meningkat selama beberapa tahun terakhir. Suatu hal yang kiranya perlu disadari oleh semua pihak bahwa bank sebagai lembaga keuangan bekerja atas dasar kepercayaan dari masyarakat, sehingga rasa kepercayaaan masyarakat terhadap bank sebagai penerbit kartu kreditpun berkurang. Dan memungkinkan para nasabah untuk menarik assetaset yang terdapat dibank tersebut sehingga bank mengalami pailit, sehingga dapat berdampak pula bagi kesejahteraan karyawan tersebut, dimana akan dilakukannya pemutusan hubungan kerja b. Dampak finansial terhadap negara Tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit memiliki dampak yang besar bagi perekonomian negara. Financial Times dalam UN World Report on Electronic Fraud melaporkan bahwa di Inggris sendiri pada tahun 2004, kejahatan ini sendiri telah menyebabkan kerugian 127 Juklap POLRI, op.cit. hal. 15 senilai 116.4 juta poundsterling, sementara itu di Amerika hal yang sama menyebabkan kerugian sebesar 428.2 juta dolar, sementara di Perancis menyebabkan kerugian sekitar 126.3 juta frank dalam periode yang sama.128 Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) memperkirakan pada tahun 2007, kerugian akibat kejahatan kartu kredit di Tanah Air mencapai Rp 35 miliar.129 Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) terbaru per April 2010, nilai kerugian kartu atas fraud kartu kredit mencapai Rp 16,72 miliar. Selain dampak seperti tersebut di atas, Penyalahgunaan kartu kredit memberikan dampak yang kurang baik bagi Negara Indonesia karena dijuluki sebagai negeri sarang pelaku kejahatan dengan kartu kredit dan Indonesia telah masuk daftar hitam kejahatan dengan pembayaran kartu kredit. Begitu pula bagi sektor pariwisata dimana merupakan sumber devisa negara, dimana apabila penyalahgunaan kartu kredit di Indonesia semakin marak dapat mengurangi minat untuk berbelanja dengan memakai kartu kredit, karena kekhawatiran dari pemegang bahwa kartu kredit akan dipalsu setelah berbelanja sehingga akan menurunkan pendapatan negara dan sektor pariwisata secara langsung. 128 Anonim, “Keamanan Kartu Kredit dan Sistem Pembayaran Elektronik (E-Payment) Kasus Penipuan Kartu Kredit pada Sistem Pembayaran Elektronik”, http://nurwantovic.blogspot.com/2010/10/keamanan-kartu-kredit-dan-sistem.html, diakses pada 18 Juni 2011. 129 Suara Merdeka, “Kejahatan Kartu Kredit Rp 35 Miliar”, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/02/27/2653/Kejahatan-Kartu-Kredit-Rp35-Miliar, diakses pada 23 Juni 2011. Menurut data Clear Commerce, sebuah firma keamanan awal 2002, Indonesia hanya kalah dari Ukraina dalam hal kejahatan di internet. Akibatnya, banyak situs merchant online memblokir transaksi yang menggunakan nomor internet protocol (IP) Indonesia. Kasus carding selama ini banyak dilakukan oleh carder dari kota-kota seperti Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang dan Medan. (tis,mmi)130 Bahkan Yogyakarta menjadi kota dengan kejahatan kartu kredit tertinggi. Jika pemerintah Indonesia tidak secara serius menanggulangi kejahatan ini, maka Indonesia akan masuk dalam daftar hitam dalam transaksi bisnis melalui internet (epayment). Hal ini bertendensi menimbulkan embargo ekonomi bagi Indonesia. Dari dampak yang ditimbulkan terhadap penyalahgunaan kartu kredit tersebut, untuk pembentukan hukum pada masa mendatang, pemerintah perlu menciptakan peraturan-peraturan yang akurat untuk mengantisipasi masalah tersebut melalui pembaruan dari hukum pidana yang telah ada. Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau "policy" (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal,dan politik sosial). Didalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula 130 Wicaksono Hidayat , “Cara Kerja Para Carder”, http://www.mokarawo.netfirms.com/infoteknologi.html, diakses pada 18 Juni 2011. pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaruan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Dengan demikian, makna dan hakikat pembaruan hukum pidana, sebagai berikut: Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan : a. Sebagai bagian dari kebijakan-sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasionat (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya); b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan); c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai: Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali ("re-orientasi dan reevaluasi") nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, sosio- kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan ("reformasi") hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicitacitakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).131 Perkembangan pembaruan hukum pidana dan pemidanaan saat ini telah memasuki era baru dari konsep reaksi pemidanaan (punitive reactions) tumbuh ke arah suatu modifikasi konsep reaksi pembinaan (treatment reactions).132 Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan: 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi intergral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berati pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosio-politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana,. termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral diatas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy 131 ibid 132 Bambang Purnomo, 1984, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hal. 4. oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo mengenai teori progresif, terdapat 2 macam tipe penegakan hukum progresif : 1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif; 2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia.133 Munculnya Hukum progresif adalah untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, Satjipto Rahardjo menekankan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”. Dan mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya. Penegasan ini berbeda dengan Pemahaman hukum secara legalistik-positivistik dan berbasis peraturan (rule bound). Dalam ilmu hukum yang legalistik- positivistik, hukum sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Untuk 133 http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia lebih jelasnya, hukum progresif ini dapat dijelaskan melalui runutan pengidentifikasikan yang terdiri atas asumsi, tujuan, spirit, progresivitas, dan karakter. Satjipto Rahardjo, dalam tulisannya berjudul : "Pembangunan Hukum yang diarahkan kepada tujuan Nasional", mengemukakan bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan sesudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil dalam kedua masa tersebut dan pengimplimentasiannya kedalam system hukum masing-masing. Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besamya, maka keputusan demikian harus dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan sruktur hukumnya pun harus menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.134 Secara operasional, perundang-undangan pidana mempunyai kedudukan strategis terhadap system peradilan pidana.135 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Soedarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama diatas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:136 134 Masalah-masalah Hukum , No.5-6 Thn. XII/1982, FH. UNDIP, hal. 2 135 136 Roeslan Saleh. Segi Lain Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.1984.hal.44-45 Soedarto,op.cit, hal 44-48. a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan mi maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian, (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat. c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan – badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampuan beban tugas (overlasting) Prof. Dr. Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Faktorfaktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum” menyebutkan beberapa hal yang mempengaruhi penegakan hukum yakni: 1. Faktor hukumnya sendiri. Permasalahan yang seringkali timbul dalam kejahatan transnasional adalah masalah yurisdiksi. Pada prinsipnya negara memiliki kekuasaan untuk mengatur hubungan hukum yang dilakukan oleh orang (warga negara atau warga negara asing) yang berada di wilayahnya. Negara pun memiliki wewenang yang sama untuk mengatur benda-benda atau peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di dalam wilayahnya. Pada dasarnya suatu Undang-undang hanya berlaku pada suatu negara tertentu saja kecuali diantara negara-negara tersebut terdapat perjanjian internasional baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Oleh sebab itu penerapan hukumnya sangat tergantung dari kerjasama dan perjanjian antar negara. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Banyak hal yang seringkali menjadi ganjalan dari penerapan hukum yakni kurangnya pengetahuan dari penegak hukum. Apalagi dalam bidang teknologi yang selalu berkembang. Dalam beberapa kasus di bidang cyber, penyidik seringkali menyita hardware seperti CPU atau layar sedangkan softwarenya tidak disita. Koordinasi yang kurang antara instansi penegak hukum dalam menindak pelaku juga masih dapat dilihat. Selain itu tindakan nyata dari aparat penegak hukum khususnya dalam menanggulangi prostitusi cyber belum dilakukan secara optimal. 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Fasilitas komputer hampir dimiliki oleh semua kesatuan aparat penegak hukum, namun masih sebatas untuk keperluan mengetik.137 Sarana dan fasilitas yang begitu minim seringkali menjadi faktor penyebab lemahnya penegakan hukum. 137 Sutarman, op.cit., hal. 119. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Suatu kejahatan terjadi di masyarakat disebabkan salah satunya adalah budaya hukum masyarakat yang menghendaki kejahatan tersebut. Kehendak ini dapat diwujudkan dengan tindakan aktif dan tindakan pasif. Tindakan aktif dilakukan manakala masyarakat menjadi pelaku carding. Dalam kasus pembobolan dana nasabah beberapa waktu lalu, Bank Central Asia membenarkan bahwa salah seorang pegawainya ditahan polisi karena kejahatan kartu kredit. Dia ditahan sehubungan penggandaan kartu dan pengintipan PIN138 Pelaku tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit semakin leluasa melakukan tindakannya karena meyakini akan lemahnya ketentuan hukum pidana dalam menjamin sekuritas pengguna kartu kredit. Bahkan pelaku menceritakan pengalaman dan memberikan tips-tips mengenai cara-cara melakukan tindakan penyalahgunaan kartu kredit tersebut melalui media internet. Di sisi lain masyarakat korban juga enggan melaporkan atas kejahatan kartu kredit yang dialaminya. Tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit ini tentu menimbnulkan kerugina. Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) merilis kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp35 miliar per tahun.139 138 Anton Septian, Rabu, 03 Februari 2010 | 21:01 WIB, “BCA Akui Pegawainya Terlibat Kejahatan Kartu Kredit”, http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/02/03/brk,20100203223371,id.html, diakses pada 20 November 2010 139 Kabar Bisnis, Selasa, 31 Maret 2009 | 15:31 wib ET, “Kejahatan Kartu Kredit Rp35 Miliar Pe Tahun”, http://www.kabarbisnis.com/read/281593, diakses pada 18 Juni 2011. Polarisasi pendekatan normatif ke dalam sistem peradilan pidana gaya Packer menurut Romli Atmasasmita tidaklah bersifat mutlak, sehingga operasionalisasi ke dua model ini dilandaskan pada asumsi yang sama, sebagai berikut: 1) Penetapan suatu tindakan sebagai tindak pidana harus lebih dahulu ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seorang tersangka pelaku kejahatan atau asas “ex post facto law” atau asas undang-undang tidak berlaku surut. Aparatur penegak hukum atau law enforcement agencies tidak diperkenankan menyimpang dari asas tersebut. 2) Diakuinya kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan. 3) Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.140 Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional pada bulan agustus tahun 1980 di Semarang. Dalam salah satu laporannya dikatakan sebagai berikut: Masalah kriminalisasi dan deskriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik criminal yang dianut oleh Bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.141 140 Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung, hal. 18-19. 141 Laporan Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Semarang, 1980 Khususnya mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi, laporan simposium itu antara lain menyatakan : untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut. 1. Apakah perbuatan itu disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban. 2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukurn yang akan dicapai. 3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya. 4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat. Disamping kriteria umum diatas, Simposium memandang perlu pula untuk memperhatikan sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu, dengan melakukan penelitian, khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial. Demikian pula menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam - macam faktor, termasuk: 1. Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya. dengan hasil-hasil yang ingin dicapai; 2. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicapai; 3. Penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia. 4. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder. Dalam upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia.142 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil budaya masyarakat berimplikasi pada perubahan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Didik J. Rachbini dalam bukunya yang berjudul Mitos dan Implikasi Globalisasi: Catatan Untuk Bidang Ekonomi dan Keuangan 142 Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, hal. 228. sebagaimana yang dikutip Dikdik Arief Mansur dan Alisatris Gultom mengemukakan bahwa ”dalam pelaksanaannya sistem teknologi terpaksa berbenturan dengan nilai-nilai moral.”143 Dampak negatif yang ditimbulkan oleh produk teknologi informasi, seperti internet menyebabkan proses perkembangan teknologi informasi belum mencapai tingkat kemapanan.144 Selanjutnya dikemukakan bahwa problem dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan adalah kecendrungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya nilai-nilai, ke dalam proses pembuatan keputusan. Namun demikian, pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini menurut Bassiouni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific devide dan digunakan sebagai altematif dari pendekatan dengan penilaian emosional (the emosionally lade value judgment approach ) oleh kebanyakan badanbadan legislatif. Dikemukakan pula bahwa perkembangan dari "a policy oriented approach" ini lamban datangnya , karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Masalahnya antara lain tertetak pada sumber-sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah itu. Kelambanan yang demikian ditambah dengan 143 Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, hal. 4. 144 Ibid. proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem, mengakibatkan timbulnya : a. Krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis ofover- criminalization),dan b. Krisis kelampuan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law). Masalah pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan, dan yang kedua mengenai usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi yang efektif.145 Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Ha lini merupakan konsekwensi logis, karena seperti dikatakan oleh Soedarto,dalam melaksanakan politik (kebijakan) orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak altematif yang dihadapi.146 Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan 145 Ibid, hal 82 - 84. 146 Soedarto, op.cit., hal. 161. semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional; dan inipun merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang rasional. Segi lain yang perlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan ialah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi.Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurutnya, ialah : 1. Pemeliharaan tertib masyarakat; 2. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain; 3. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggarhukum; 4. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan- pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan mdividu. Selanjutnya dikatakan bahwa sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. Pidana hanya dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat, pidana yang tidak diperlukan tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Selain itu batas-batas sanksi pidana ditetapkan pula berdasarkan kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai yang diwujudkannya. Berdasar pandangan yang demikian maka menurut Bassiouni disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis tetapi juga suatu disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value-based and value-oriented). Dengan demikian , dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgment approach). Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai, karena seperti dikatakan oleh Christiansen, "the conception of problem crime and punishment is an essential part of the culture of any society".147 Demikian pula menurut W. Clifford, "the very foundation of any criminal justice system consist of the phylosophy behind a given cuntry".148 Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan 147 Barda Nawawi Arief II,op.cit, hal. 15. 148 Praniti, A.A. Sg. op.cit.hal170 humanistik harus pula diperhatikan. karena kejahatan itu pada Hal ini penting tidak hanya hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai hidup bermasyarakat. Huala Adolf mengemukakan bahwa ”Yurisdiksi adalah kekuatan atau kewenangan hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum).”149 Yurisdiksi pidana adalah kewenangan (hukum) pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan, baik yang tersangkut di dalamnya unsur asing maupun nasional.150 Tien S. Saefullah dalam artikelnya yang berjudul Yurisdiksi Sebagai Upaya Penegakan Hukum Dalam Kegiatan Cyberspace menyatakan bahwa yurisdiksi suatu negara yang diakui hukum internasional dalam pengertian kovensional, didasarkan pada batas-batas geografis, sementara komunikasi multimedia bersifat 149 Huala Adolf, 2002, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional edisi revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 183 (selanjutnya disebut Huala Adolf I). 150 Huala Adolf, 1996, Aspek-aspek Hukum Pidana Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 145 (selanjutnya disebut Huala Adolf II). internasional, multi yurisdiksi dan tanpa batas-batas geografis sehingga sampai saat ini belum dapat dipastikan bagaimana yurisdiksi suatu negara dapat diberlakukan terhadap komunikasi multimedia sebagai salah satu pemanfaatan teknologi informasi.151 Hukum internasional tradisional telah meletakkan beberapa prinsip hukum mengenai yurisdiksi yakni: 1) Prinsip teritorial. Berdasarkan prinsip ini setiap negara dapat menerapkan yurisdiksi nasionalnya terhadap semua orang (baik warga negara atau asing), badan hukum dan semua benda yang berada di dalamnya. Lord Macmillan mengemukakan adalah suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini. 2) Prinsip Nasional Aktif, prinsip ini menyatakan setiap negara dapat memberlakukan yurisdiksi nasionalnya terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana sekali pun tindak pidana itu dilakukan dalam bidang yurisdiksi negara lain. Di sini kewarganegaraan pelaku menjadi titik taut diberlakukannya yurisdiksi negara asal. 151 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, hal. 34. 3) Prinsip Nasional Pasif, prinsip ini merupakan conterpart dari prinsip nasional aktif. Keduanya mendasarkan diri pada kewarganegaraan sebagai kriteria. Pada prinsip nasional pasif, tekanan diberikan pada kewarganegaraan si korban, sementara prinsip nasional aktif menekankan pada kewarganegaraan si pelaku. Atas dasar prinsip ini suatu negara memiliki kewenangan untuk memberlakukan misalnya hukum pidananya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar wilayah negara tersebut apabila korban adalah warganegaranya. 4) Prinsip Perlindungan, hukum internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai kewenangan melaksanakan yurisdiksi terhadap kejahatan yang menyangkut keamanan dan integritas atau kepentingan ekonomi yang vital. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu negara mempunyai hak untuk menerapkan hukum (pidana) nasionalnya pada pelaku suatu tindak pidana sekalipun dilakukan di luar wilayah negara tersebut apabila tindak pidana itu mengancam keamanan dan keutuhan negara yang bersangkutan. 5) Prinsip Universal, pada prinsip-prinsip seperti yang disebutkan di atas, suatu negara dapat menyatakan mempunyai hak untuk memberlakukan hukum pidananya dengan alasan terdapat hubungan antara negara tersebut dengan tindak pidana yang dilakukan. Hubungan yang dimaksud antara lain adalah tempat terjadinya tindak pidana, kewarganegaraan pelaku atau korban dan keamanan serta keutuhan negara. Berbeda dengan prinsipprinsip tersebut, prinsip universal sama sekali tidak mensyaratkan suatu hubungan. Hal ini berarti bahwa prinsip universal memberi hak pada semua negara untuk memberlakukan hukum pidananya, apabila tindak pidana yang dilakukan membahayakan nilai-nilai yang universal dan kepentingan umat manusia.152 Suatu negara memiliki yurisdiksi atas setiap orang, benda dan peristiwa yang terjadi di negaranya. Adapun ruang lingkup yang dimiliki negara tersebut adalah: 1) Yurisdiksi untuk menetapkan ketentuan hukum pidana (jurisdiction to precribe atau legislative jurisdiction atau prespective jurisdiction). 2) Yurisdiksi untuk menerapkan atau melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif (executif jurisdictrion). 3) Yurisdiksi untuk memaksakan ketentuan hukum yang telah dilaksanakan oleh badan eksekutif atau yang telah diputuskan 152 Ibid., hal. 31-33. oleh badan peradilan (enforcement jurisdiction atau jurisdiction to ajudicate).153 Terhadap dampak yang timbul dari penyalahgunaan kartu kredit, maka diupayakan adanya penanggulangannya, dimana secara umum adalah penanggulangan dengan cara preventif dan represif.154 1. Penanggulangan secara Preventif. Penanggulangan secara preventif yaitu tindakan pencegahan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, pihak-pihak yang berwenang maupun masyarakat itu sendiri.155 Berbagai cara preventif yang dilakukan penerbit/pengelola dalam rangka menanggulangi penyalahgunaan kartu kredit, yang terdiri atas : a. Menciptakan sistem pengawasan terhadap pedagang dan pemegang. b. Mengevaluasi sistem ini secara berkala dan menyempurnakannya bila dianggap perlu. c. Menciptakan sistem pengamanan terhadap kartu kredit secara teknis. d. Melakukan pertukaran informasi antar penerbit/pengelola tentang hal-hal yang negatif mengenai pedagang, pemegang, dan perkembangan modus operandi. 153 Ibid., hal 34. Juklap POLRI, op.cit. Hal. 16. 155 http://eprints.undip.ac.id/17450/1/Gandung_Sardjito.pdf 154 e. Memberikan penjelasan tentang prosedur pelaksanaan transaksi dengan menggunakan kartu kredit secara berkala kepada para pedagang. 2. Penanggulangan secara Represif. Tindakan Represif berupa tindakan upay apaksa antara lain melaku kan penangkapan terhadap para pelaku kejahatan, melakukan penggeledahan, penyitaan barang bukti, penahanan dan proses penyidikan, pelimpahan perkara kekejaksaan, proses persidangan sampai hakim menjatuhkan putusan.156 - Pada tahap penyelidikan, setelah menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit, penyelidik mendatangi tempat kejadian perkara untuk melakukan pemeriksaan alat dan atau sarana yang berkaitan dengan teknologi informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana - Tahap penyidikan, penyidik dapat melakukan tindakan sebagai berikut : a. Memanggil orang untuk didengar dan atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi. b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan usaha yang diduga melakukan penyalahgunaan kartu kredit. 156 ibid tindak pidana c. Melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. d. Melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan untuk melakukan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. e. Meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. - Setelah penyidikan dianggap telah selesai, penyidik segera melimpahkan berkas perkara, tersangka beserta barang bukti kepada Penuntut Umum. Pada tahap penyidikan banyak sekali kendala yang akan dihadapi oleh penyidik : a. Dari hasil temuan yang diperoleh baik oleh petugas di lapangan maupun yang terungkap dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa kejahatan ini merupakan suatu bentuk kejahatan yang terorganisasi atau sindikat. Para pelaku yang tertangkap adalah pengguna kartu kredit palsu, dimana kartu kredit palsu diperoleh dengan cara membeli atau menerimanya dari pihak lain. Sehingga kasus yang terungkap adalah hanya pelaku pengguna saja, sedangkan pelaku pemalsu kartu kredit biasanya tidak tertangkap. Biasanya Pemalsu ini tidak menyebutkan identitas secara lengkap kepada pembeli kartu kredit palsu sehingga pada saat pemakai kartu kredit palsu tertangkap ia tidak dapat menyebutkan dari mana ia memperoleh kartu kredit palsu tersebut. b. Pemegang kartu yang sah sulit bahkan tidak dapat dihubungi. Untuk dapat mengetahui identitas dan keberadaan pemegang kartu kredit yang sebenarnya, penyidik harus menghubungi Pihak penerbit. Namun Pihak Penerbit tidak begitu saja memberikan data yang menyangkut rahasia nasabahnya dan untuk mendapatkannya pun harus melalui prosedur yang lama dan sulit. Keberadaan pemegang kartu yang sah ini sangat penting kaitannya sebagai korban tindak pidana. Hal ini yang menyebabkan proses penyidikan terhadap tindak pidana ini berlangsung lama. c. Tidak ada bahan pembanding kartu kredit yang asli. Penyidik akan sangat kesulitan mendapatkan bahan pembanding kartu kredit yang asli apabila kartu kredit yang dipalsukan ini adalah kartu kredit yang masih jarang dipakai maupun kartu kredit yang dikeluarkan oleh penerbit luar negeri. Penyidik harus terus mencari kartu kredit tersebut bahkan harus mencarinya sampai luar negeri. Hal ini menyebabkan proses penyidikan berlangsung lama dan memerlukan biaya yang sangat tinggi, bahkan mungkin tidak sebanding dengan kerugian yang diderita pemegang kartu yang asli. Bahan pembanding kartu kredit yang asli ini sangat penting sebagai spesimen kartu kredit asli bahan banding pada laboratorium Forensik Polri. d. Dalam hal data atau bukti yang diperlukan menyangkut rahasia bank. Pihak bank tidak begitu saja memberikan data yang diperlukan karena data tersebut menyangkut rahasia nasabah dan dokumen rahasia bank. Untuk mendapatkan data tersebut penyidik harus mengajukan permohonan izin kepada Menteri Keuangan melalui Kapolri untuk memeriksa dokumen dimaksud. Sekali lagi proses ini memerlukan prosedur yang birokratif serta memerlukan waktu yang lama. e. Persepsi para penegak hukum masih mengenai kartu kredit masih lemah. Masih banyak para penegak hukum yang melihat akibat yang timbul dari penyalahgunaan kartu kredit hanya dari sudut jumlah kerugian yang diderita oleh penerbit atau pengelola dan kemudian membandingkannya dengan asset yang dimiliki penerbit atau pengelola. Persepsi demikian tampaknya terjadi karena belum banyak aparat penegak hukum yang memahami secara mendalam mengenai kartu kredit. f. Kerjasama dengan penegak hukum belum melembaga. Kerjasama yang dilakukan dengan penegak hukum sampai saat ini masih bersifat kasuistis. Jika terjadi kasus penyalahgunaan kartu kredit di suatu kota, pihak AKKI bersama Bank Indonesia melakukan pendekatan secara institusional kepada aparat penegak hukum dari semua lini, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Cara pendekatan semacam ini sangat membutuhkan waktu, tenaga dan biaya, sedangkan hasilnya dapat berbeda-beda mengingat pemahaman mengenai kartu kredit belum merata. Dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang bisa diterapkan untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana di bidang perbankan tersebut, maka hal ini dapat menimbulkan persepsi yang berbeda. Untuk mengatasi perbedaan persepsi tersebut, terdapat alternatif sebagai berikut: 1. Peraturan perundang-undangan yang telah ada, perlu disempurnakan untuk menampung perkembangan termasuk pengaturan tindak pidana yang menggunakan teknologi canggih seperti komputer, mengingat tindak pidana di bidang perbankan dengan sarana komputer memerlukan pengaturan secara spesifik.157 Kemajuan teknologi di satu pihak telah membawa hasil yang positif bagi pembangunan (dalam arti luas), namun di lain pihak telah disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang memanfaatkannya dengan caracara yang tidak terpuji, yang sepintas lalu tampaknya tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan. 2. Pembaruan RKUHP di Indonesia sangat penting untuk menjaring pelaku penyalahgunaan kartu kredit sehingga Indonesia tidak tertinggal dengan negara lain dalam menanggulangi kejahatan ini. Ketiadaan substansi hukum tentu akan melemahkan atau bahkan meniadakan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan kartu kredit. Dengan demikian untuk mengantisipasi penyalahgunaan kartu kredit, maka kebijakan yang harus ditempuh oleh Pemerintah adalah penemuan hukum (rechtfinding) harus segera dilakukan dikarenakan belum ada ketentuan yang mengatur mengenai penanggulangan kartu kredit. BAB V 157 Marulak, op.cit, hal. 130. PENUTUP Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembahasan seperti yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut: 5.1 Kesimpulan 1. Pentingnya diadakannya pembaruan hukum dalam penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dimana ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP tidak relevan digunakan untuk menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. Beberapa kelemahan dari Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP antara lain: 1. Kartu kredit tidak dapat diinterpretasikan sebagai surat 2. Hal yang dipalsukan dalam penyalahgunaan kartu kredit adalah pin orang lain yang telah berhasil dicuri melalui penipuan lewat telepon kepada si korban. Pembaruan RKUHP di Indonesia sangat penting untuk menjaring pelaku penyalahgunaan kartu kredit sehingga Indonesia tidak tertinggal dengan negara lain dalam menanggulangi kejahatan ini. Ketiadaan substansi hukum tentu akan melemahkan atau bahkan meniadakan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan kartu kredit. 2. Pembaruan RKUHP sangat diperlukan untuk menjaring para pelaku kejahatan karena KUHP yang berlaku saat ini serta RKUHP yang telah ada belum mengatur mengenai penangulangan penyalahgunaan sementara kejahatannya sangat banyak terjadi. Dengan demikian untuk mengantisipasi penyalahgunaan kartu kredit, maka kebijakan yang harus ditempuh oleh Pemerintah adalah penemuan hukum (rechtfinding) harus segera dilakukan dikarenakan belum ada ketentuan yang mengatur mengenai penanggulangan kartu kredit. 5.2 Saran 1. Dikarenakan pentingnya pembaruan hukum pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit maka koordinasi,kesamaan persepsi dan kerjasama antar pihak Bank, POLRI, Kejaksaan, Hakim harus semakin lebih baik dimana para pihak tersebut merupakan bagian penting di dalam penanggulangan secara tuntas terhadap kasus-kasus penyalahgunaan kartu kredit yang semakin marak. 2. Pembaruan hukum pidana khususnya terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit harus dapat segera dilaksanakan, karena dengan semakin maraknya penyalahgunaan kartu kredit bukan saja merugikan korban dan penerbit kartu kredit tersebut tetapi juga berdampak negative bagi perkembangan ekonomi Negara Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi.2000. Kejahatan Terhadap Pemalsuan, PT. Raja Grafindo Persada. Agus Raharjo, 2002, Cybercrime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung. Asril Sitompul, 2004, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Citra Aditya Bakti, Bandung. Bambang Purnomo, 1984, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta Barda Nawawi Arief, 1992, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana Pasca Sariana Universitas Indonesia. Jakarta ---------------------------,1994.Kebiiakan Legislatif Dalam Penangqulangan Keiahatan Dengan Pidana Peniara, Penerbit: Universitas Diponegoro Semarang. ----------------------------, 1996, Bunga Rampai Kebiiakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti Bandung. ----------------------------.1998 Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Pengembanqan Hukum Pidana. PL Citra Aditya Bakti Bandung ----------------------------. 2001 Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bhakti Bandung. ---------------------------, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta Bonger, W.A.1977. Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia. Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung. Dahlan Siamat, 2001, Manaiemen Lembaga Keuangan, Edisi III, Lembaga Penerbit FE Ul. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Djoko Prakoso, 1983,Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, cet.I, Yogyakarta: PenerbitLiberty. Djumhana Muhamad. 1996. Hukum Perbankan Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung Edy Junaedi Karnasudirja.1993. Jurisprudensi Kejahatan Komputer, Tanjung Agung, Jakarta. Freddy Harris, 2001 Menanti Hukum di Cyberspace, Jurnal Hukum dan Teknologi, FH Ul, EdisiI Geoffrey Sawer , 1973, Law in Society, Oxford University Press, London. Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Laksbang Pressindo, yogyakarta Hagan, Frank E. 1986.Introduction to Criminology. Nelson – Hall. Chicago. Herbert L. Packer, 1967,The Limits of The Criminal Sanction, Stanford California University Press Huala Adolf, 1996, Aspek-aspek Hukum Pidana Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta. ----------------, 2002, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional edisi revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Hoefnagels, G.P., 1973, The Other Side of Criminology, KIuwer-Deventer, Holland Jimli Asshidiqie. 1996.Pembaruan Hukum Pidana Indonesia.Angkasa. Bandung. Kasmir, 2000, Manaiemen Perbankan. PT. Raja Grafmdo Persada. ------------, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. (Edisi Revisi 2001), PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2001 Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta Kuntjoro Purbopranoto, 1960, Hak-hak Asasi Manusia dan Pancasila, Jakarta Lawrence. M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Sentence Perspective, Russel Sage Foundation, New York. Leden Marpaung.1994.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Sinar Grafika. Jakarta. Marulak Pardede, 1955, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, RajaGrafindo Persada, Jakarta Mansyur Effendi, 2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) Proses Dinamika Penyusunan Hukum HAM (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor M. Hamdan, 1997,Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta Mardjono Reksodiputro, Cybercrime and Intelectual Property, artikel anggota Komisi Hukum Nasional Rl, 28 September 2002. -----------------------, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta Mochtar Kusumaatmaja. 2002. Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan. Alumni. Bandung. Moeljatno. 1980.Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. Mulyana W. Kusumah. 1986. Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta. ----------.1997. Hak Asasi Manusia,Politik dan Sistem Peradilan Pidana, BP UNDIP. Semarang. Peter Mahmud Marzuki. 2007 Penelitian Hukum , Cetakan ke -3, Jakarta, Kencana. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum.2008. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana UNUD Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung Roeslan Saleh. 1978. Stelsel Pidana Indonesia.Aksara Baru. Jakarta. --------------------. 1984. Segi Lain Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. Shono Harso Supangkat, 2000, Teknologi Informasi dan Ekonomi Digital: Persiapan Regulasi di Indonesia, Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 1985,Peneiitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta Sudrajat Bassir M, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu didalam KUHP, Remadja Karya, Bandung Sutanto, Hermawan Sulistyo dan Tjuk Sugiarto (ed.), 2005, Cyber Crime - Motif dan Penindakan, Pensil 324, Jakarta. Sutanto, Hermawan sulityo dan Tjuk Sugiarto (Ed.), 2005, Cyber Crime-Motif dan Penindakan, Pensil 324, Jakarta Sutarman, 2007, Cyber Crime Modus Operandi dan Penanggulangannya, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta. Sudikno Mertodikusumo.1985.Mengenal hukum (Suatu Pengantar) Liberty. Yogyakarta. Sudarto. 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II). -------------. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung. Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co., Sydney, Australia. Wiryono Prodjodikoro. 1986. Asas-asas Eresco.Bandung. Hukum Pidana di Indonesia. Bahan Perundang-undangan Soesilo.R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Serta Komentar komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia Bogor, 1985 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843 Rancangan UU Rl tentang KUHP. Direktorat Perundang-Undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan, 1999 – 2000 Bahan Ilmiah dan Internet Info Bank, Edisi No. 144 Tahun 1989 http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia Masalah-masalah Hukum , No.5-6 Thn. XII/1982, FH. UNDIP Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.1980.Semarang Praniti, A.A. Sg.2003. dalam Penelitian Tesis Kajian Aspek Pidana Dalam Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card).Pascasarjana Universitas Udayana. Putusan pengadilan Neqeri Denpasar No. 4547 PIP. B/ 2001/ PN. Dps. Tanggal 6 September 2001 http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf Anonim II, “Kejahatan Kartu Kredit Menggila”, http://blog-artikelmenarik.blogspot.com/2008/04/kejahatan-kartu-kreditmenggila.html, , diakses pada 20 November 2010. http://www.scribd.com/doc/22370900/Paper-Tentang-Kartu-Kredit diakses pada tanggal 31 Januari 2011 Telkom, 15 Juni 2006, “Kejahatan Kartu Kredit via Internet Kian Marak”, http://www.telkom.net/index.php?option=com_content&task=vi ew&id=412&Itemid=35, , diakses pada 20 November 2010. Jim Geovedi, tanpa waktu edisi, “Cyber Crime Terkendala”, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://www.kompas.co.id. Anton Septian, Rabu, 03 Februari 2010 | 21:01 WIB, “BCA Akui Pegawainya Terlibat Kejahatan Kartu Kredit”, http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/02/03/brk,201 00203-223371,id.html, diakses pada 20 November 2010 Redaksi Antara, 2009, “Jumlah Kasus Cyber Crime di Indonesia, Tertinggi di Dunia”, Serial Online Thursday, 26 March 2009, (Cited 2010 Feb. 8), available from : URL: http://www.indofamily.net/teens/index.php?option=com_content &task=blogsection&id=0&Itemid=30. Danardono, 2005, “Indonesia Peringkat Pertama Pelaku Kejahatan Internet”, Serial Online 14 September 2005 3:36, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?f=1&t=29697& start=0 Andi Hamzah, 2009, “Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia”, Serial Online 28 Oktober 2009, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://andihamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-danpenanggulangan.html Agus Raharjo, 2006, “Kebijakan Kriminalisasi dan Penanganan Cybercrime di Indonesia”, Serial Online 12 September 2006, (Cited 2010 Feb. 8), available from : URL: http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/kr iminalisasi_cybercrime.htm. Tribun Timur, 2010, “Peringkat Indonesia di CyberCrime Naik” Serial Online 30 April 2010, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.tribuntimur.com/read/artikel/100001/Peringkat_Indonesia_di_CyberC rime_Naik http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia Anonim, 2009, “Daftar Jumlah Pengguna Internet Dunia 1995-2008”, Serial Online 2009 Februari 28, (Cited 2010 Feb. 8), available from : URL: http://id.wordpress.com/tag/ Daftar -jumlah-penggunainternet- Dunia-1995-2008 Redaksi Wikipedia, 2010, “Internet”, Serial Online 30 Agustus 2010, 11:29, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://id.wikipedia.org/wiki/Internet. Perpustakaan Online, 2008, “Internet dan Manfaatnya”, Serial Online 19 Mei 2008, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/05/internet-danmanfaatnya.html http://thimutz.blogspot.com/2010/10/pengertian-dan-dampak-deregulasi-dari.html diakses pada tanggal 3 Februari 2011 Kabar Bisnis, Selasa, 31 Maret 2009 | 15:31 wib ET, “Kejahatan Kartu Kredit Rp35 Miliar Pe Tahun”, http://www.kabarbisnis.com/read/281593, diakses pada 18 Juni 2011. Anonim, “Keamanan Kartu Kredit dan Sistem Pembayaran Elektronik (EPayment) Kasus Penipuan Kartu Kredit pada Sistem Pembayaran Elektronik”, http://nurwantovic.blogspot.com/2010/10/keamanankartu-kredit-dan-sistem.html, diakses pada 18 Juni 2011. Wicaksono Hidayat , “Cara Kerja Para Carder”, http://www.mokarawo.netfirms.com/info-teknologi.html, diakses pada 18 Juni 2011. Indosiar, “Sindikat Pemalsu Kartu Kredit Tertangkap”, http://www.indosiar.com/berita-terkini/85689/sindikat-pemalsukartu-kredit-tertangkap, diakses pada 18 Juni 2011. Anonim, “Peraturan dan Regulasi (perbedaan cyberlaw diberbagai negara)”, http://blogkublogku.blogspot.com/2011/03/peraturan-danregulasi-perbedaan.html, diakses pada 23 Juni 2011. Suara Merdeka, “Kejahatan Kartu Kredit Rp 35 Miliar”, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/02/27/265 3/Kejahatan-Kartu-Kredit-Rp-35-Miliar, diakses pada 23 Juni 2011. Bigswamp, Kasus-kasus Cyber Crime Part 3 Carding Fraud”, http://bigswamp.wordpress.com/2011/03/02/kasus-kasus-cybercrime-part-3-carding-fraud/, diakses pada 23 Juni 2011. Big, “Cyber Laws”, http://bigswamp.wordpress.com/2011/03/22/cyber-laws/, diakses pada 23 Juni 2011