Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal Dalm

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi dan Perubahan Perilaku
Komunikasi
Kita mengalami perubahan sebagai hasil terjadinya komunikasi (Mulyana,
2002). Hal ini sejalan dengan definisi komunikasi yang dinyatakan oleh Hovland,
Janis dan Kelly (1953) dalam Rakhmat (2001) yaitu proses di mana seseorang
(komunikator) menyampaikan stimuli (biasanya verbal) untuk mengubah perilaku
individu lain (audience).
Tujuan komunikasi menurut Effendy (2001) adalah mengubah sikap,
opini, perilaku dan masyarakat. Sedangkan cara kerja untuk menimbulkan
perubahan dalam diri seseorang bisa dilakukan: (1) menyampaikan informasi, (2)
mengajar atau memberikan instruksi, (3) membujuk/mendesak, dan (4) dialog
(Kincaid dan Schramm, 1987).
Perubahan Perilaku
Perubahan sikap dan perilaku memang tidak mudah dan perlu waktu lama
karena prosesnya kompleks dan menyangkut komponen kognitif, komponen
afektif dan komponen kecenderungan perilaku (Tarmud ji, 2002). Komunikasi
antar pribadi dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat dan
perilaku seseorang karena bersifat dialogis. Masing- masing pihak menyadari
dirinya sebagai pribadi yang dapat menerima dan juga dapat menyampaikan pesan
sehingga terjadi suatu dialog antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lainnya
(Effendy, 1996).
Behaviorisme melihat bahwa perilaku manusia dipelajari dengan
membentuk asosiasi, artinya perilaku manusia terjadi melalui kebiasaan, refleksi,
atau hubungan antara respon dan peneguhan yang memungkinkan dalam
lingkungan. Dengan demikian, pada dasarnya perilaku manusia lebih ditentukan
oleh lingkungan (Rakhmat, 2001).
Dukungan terhadap behaviorisme ditunjukkan dengan lahirnya Teori
Brofenbrenner (1979) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak berdiri
8
sendiri, melainkan merupakan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan
dengan lingkungan di luarnya yang dibagi ke dalam beberapa lingkaran, yaitu :
1. Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan pribadi anak, yaitu
lingkaran sistem mikro yang terdiri dari keluarga, sekolah, guru, tempat
penitip an anak, teman bermain, tetangga, rumah, tempat bermain dan
sebagainya yang sehari- hari ditemui oleh anak.
2. Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor- faktor di dalam sistem mikro
(hubungan orang tua- guru, orang tua-teman, antar teman, guru-teman) ya ng
dinamakannya sistem meso.
3. Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang disebut sistem exo,
yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang tidak langsung menyentuh pribadi anak,
akan tetapi masih besar pengaruhnya, seperti keluarga besar, polisi, dokter,
koran, televisi, dan sebagainya.
4. Akhirnya, lingkaran yang paling luar adalah sistem makro, yang terdiri dari
ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat, budaya dan
sebagainya..
Salah satu Teori Belajar yang dapat menjelaskan proses belajar seorang
individu melalui lingkungannya adalah Teori Belajar Sosial yang dikemukakan
oleh Bandura (1995). Senada dengan pandangan behaviorisme, Bandura
menyatakan bahwa manusia menciptakan atau membentuk suatu perilaku melalui
interaksi dengan lingkungan.
Menurut Bandura dan teori Brofenbrenner, salah satu lingkungan yang
paling berpengaruh terhadap proses belajar sosial seseorang adalah keluarga
melalui komunikasi interpersonal. Oleh karena itu, keluarga sebagai lingkungan
pertama bagi seorang anak, akan memegang peranan penting dalam proses belajar
sosial serta membentuk perilaku dan kepribadiannya.
Keluarga
Hakikat Keluarga
Secara tradisional keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang
dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang
memiliki tempat tinggal bersama. Galvin dan Brommel (1991) dalam Tubbs dan
9
Moss (2001) menyatakan bahwa keluarga adalah jaringan orang-orang yang
berbagi kehidupan mereka dalam jangka waktu yang lama, yang terikat oleh
perkawinan, darah atau komitmen, legal atau tidak, yang menganggap diri mereka
sebagai keluarga dan yang berbagi pengharapan-pengharapan masa depan
mengenai hubungan yang berkaitan.
Orang tua dan anak adalah jaringan yang terikat oleh hubungan darah.
Orang tua mempunyai harapan- harapan tertentu pada anak-anaknya. Mussen et al.
(1989) mengemukakan bahwa orang tua mempunyai tujuan khusus dan umum
untuk anak-anak mereka yang meliputi nilai moral, pengetahuan dan standar
perilaku yang harus dimiliki anak bila sudah dewasa. Orang tua mencoba berbagai
cara untuk mendorong anak mencapai tujuan tersebut. Orang tua menggunakan
diri sebagai panutan, memberi hukuman, menjelaskan harapan dan kepercayaan
kepada anak-anak untuk dapat memiliki lingkungan yang baik, mencarikan teman
sebaya dan sekolah untuk mencapai tujuan mereka.
Sebagai sebuah lembaga, keluarga mempunyai karakteristik dan fungsi
tertentu. Di antara fungsi keluarga adalah: (1) merawat anak-anak, (2)
menghasilkan pertumbuhan kepribadian agar anak berhasil dalam lingkungan
sosial, dan (3) memenuhi kebutuhan emosional setiap anggota keluarga (Day et
al., 1995) .
Vembrianto
(1993)
menyatakan
bahwa
fungsi
keluarga
adalah
memelihara, merawat dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar
mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial. Keluarga merupakan
institusi sosial yang bersifat universal dan multi fungsi. Fungsi sosialisasi,
pendidikan keagamaan, perlindungan, rekreasi dan kontrol sosial dilakukan oleh
keluarga namun karena proses industrialisasi, urbanisasi dan sekularisasi maka
keluarga dalam masyarakat modern kehilangan sebagian dari fungsi- fungsi
tersebut. Fungsi utama keluarga yang tetap melekat yaitu melindungi,
memelihara, sosialisasi dan memberikan suasana kemesraan bagi anggotanya.
Para ahli memandang keluarga sebagai suatu sistem yang menekankan
hubungan antar anggotanya. Virginia Satir dalam Tubbs dan Moss (2001)
membedakan sistem keluarga tertutup dengan sistem keluarga terbuka. Dalam
10
suatu sistem tertutup, komunikasi tidak langsung, tidak jelas, tidak spesifik, tidak
sebangun, mengganggu pertumbuhan, aturan-aturan tertutup dan usang, orangorang menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan-aturan. Dalam
sistem yang terbuka, komunikasi langsung, spesifik, sebangun dan mendorong
pertumbuhan, aturan-aturan terbuka dan baru, berubah bila kebutuhan muncul.
Para peneliti telah mengembangkan model interaksi dalam keluarga yang
disebut circumplex model of family interaction untuk menjelaskan fungsi efektif
dan disfungsi dalam sistem keluarga. Model tersebut memiliki tiga elemen dasar,
yaitu kemampuan beradaptasi, kohesi dan komunikasi. Kemampuan beradaptasi
adalah kemampuan yang dimiliki sebuah keluarga untuk mengubah dan merespon
perubahan struktur tugas atau peran. Kohesi berkaitan dengan ikatan emosional
dan perasaan akan kebersamaan. Komunikasi merupakan penentu apakah suatu
keluarga
termasuk
kohesif
atau
adaptable,
dan
komunikasi
menjaga
keberlangsunga n keluarga sebagai suatu sistem (Beebe, 1999).
Berbagai perubahan dan tekanan yang terjadi dalam keluarga seperti
perkembangan yang terjadi pada anak-anak, kemunduran ekonomi dan perceraian
menuntut kemampuan keluarga untuk menyesuaikan diri. Keluarga yang sulit
menyesuaik an diri mereka dengan setiap perubahan yang terjadi dianggap kaku.
Bochner dan Eisenberg (1987) dalam Moss dan Tubbs (2001) memandang
kemampuan beradaptasi lebih penting daripada kohesi bagi berjalannya sebuah
keluarga.
Peran Keluarga dalam Perkembangan Anak
Perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu
faktor yang ada di dalam diri anak sendiri dan faktor lingkungan (Welis, 1994
dalam Kandoli, 2000). Lingkungan dibedakan menjadi lingkungan fisik dan
lingkungan sosial. Lingkungan
fis ik yaitu lingkungan yang berupa alam dan
benda ciptaan manusia. Lingkungan sosial adalah lingkungan yang berwujud
manusia yang merupakan masyarakat di mana mereka berinteraksi (Purnomo,
1990 dalam Kandoli, 2000).
Lingkungan tempat berlangsungnya proses pendidikan meliputi keluarga,
sekolah dan masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan
11
yang pertama karena di dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan
didikan dan bimbingan dan juga karena sebagian besar kehidupan anak adalah di
dalam keluarga sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak
adalah dalam keluarga (Hasbullah, 1999). Sedangkan menurut Amal (1990) dalam
masyarakat modern dan industrial sumber pengetahuan yang utama bagi anak
tidak lagi hanya keluarga tetapi juga sekolah (pendidikan formal), teman sebaya
(peer group), guru, buku dan media massa.
Keluarga merupakan wadah bagi seorang anak untuk mengenal segala
macam norma kehidupan. Peran keluarga adalah sebagai peletak dasar bagi pola
pengembangan kepribadia n yang dimiliki seseorang. Di dalam keluargalah kali
pertama anak-anak mendapat pengalaman yang akan digunakan sebagai bekal
hidupnya di kemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan
spiritual. Elkin dalam Dimmick (1987) berpendapat bahwa keluarga mempunyai
peran dominan dalam perkembangan ciri kepribadian dasar dan sikap-sikap serta
nilai- nilai sosial lainnya. Dengan demikian, keluarga mempunyai pengaruh yang
paling banyak terhadap perkembangan dan kehidupan sosial anak.
Sebagai lingkungan pertama tempat anak belajar bersosialisasi, keluarga
memiliki peran besar dalam mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan
anak. Menurut Hurlock (1991) keluarga memberi sumbangan besar dalam
perkembangan anak, yaitu dalam hal: (1) memberi rasa aman karena menjadi
anggota yang stabil, (2) memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis, (3) sumber
kasih sayang dan penerimaan, (4) memberi contoh dan pengembangan pola
perilaku yang disetujui, (5) memberi bantuan pemecahan masalah, (6) memberi
bimbingan dan bantuan dalam mempelajari berbagai ketrampilan, (7) memberi
stimulus untuk memperoleh keberhasilan di sekolah dan kehidupan sosial, (8)
memberi bantuan dalam menetapkan aspirasi yang sesuai dengan minat dan
kemampuan, dan (9) sebagai sumber persahabatan hingga mereka mendapat
teman di luar rumah atau ketika tidak ada teman.
Menurut Ahmadi (1999) faktor-faktor keluarga yang mempengaruhi
perkembangan anak adalah: (1) keutuhan keluarga, berdasarkan beberapa
penelitian yang dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri sejak tahun 1938
ditemukan ada hubungan antara keluarga tidak utuh dengan gejala kenakalan pada
12
anak, (2) kondisi sosial ekonomi keluarga, berdasarkan penelitian eksperimental
yang dilakukan Prestel dan Hetzer di Jerman (Ahmadi, 1999) disimpulkan bahwa
kondisi sosial ekonomi yang sangat tinggi dan sangat rendah mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan anak. Keluarga kaya mampu menyediakan
kebutuhan materiil bagi anak-anaknya tetapi tidak berarti anak-anak berkembang
dengan wajar. Keluarga miskin juga terlalu sibuk mencari nafkah sehingga
perhatian terhadap anak berkurang, (3) besar kecilnya keluarga, anak dari
keluarga besar lebih toleran karena sudah biasa bergaul dengan orang lain, (4)
status anak, berdasarkan penelitian tentang perkembangan sosial anak tunggal dan
anak yang bersaudara didapatkan hasil bahwa anak tunggal mengalami hambatan
dalam perkembangan sosial karena tidak biasa bergaul dengan anak-anak sebaya,
dan (5) pola asuh orang tua, makin otoriter orang tua makin berkurang
ketidaktaatan tetapi makin banyak timbul ciri pasif, kurang inisiatif, tidak dapat
merencanakan sesuatu, daya tahan berkurang dan penakut, sedangkan anak dari
orang tua demokratis menunjukkan ciri berinisiatif, tidak takut, lebih giat, lebih
bertujuan tetapi memberi kemungkinan berkembang sifat-sifat tidak taat dan tidak
mau menyesuaikan diri.
Zelditch dalam Gordon (1978) menyebutkan dua peran orang tua yaitu:
(1) instrumental, yang dilakukan oleh bapak/suami dalam kepemimpinan di
bidang ekonomi dan pembuatan keputusan sekaligus figur otoritas, dan (2)
ekspresif/emosional yang biasanya dijalankan ibu/istri dalam pengungkapan kasih
sayang, dukungan dan kedamaian. Kedua peran tersebut dijalankan oleh keluarga
yang juga merupakan institusi dasar dalam rangka membentuk individu
bertanggung jawab, mandiri, kreatif dan hormat melalui proses sosialisasi terus
menerus kepada anak-anaknya.
Orang tua bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan emosi anak.
Agar seorang anak dapat berkembang wajar secara psikososial, anak perlu
mendapat perhatian, pengertian, rasa aman, penghargaan dan penerimaan dari
kedua orang tuanya. Menurut Suwondo (1981) dalam Kandoli (2000) yang
pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak, baik
secara rohani, jasmani maupun sosial adalah orang tuanya. Sedangkan Gunarsa
(1990) menyatakan bahwa secara khusus ibu berperan penting dalam upaya
13
pemenuhan kebutuhan emosi anak melalui perhatian dan sikap dalam berinteraksi
serta berkomunikasi dengan anak karena ibu merupakan sosok yang dekat dengan
anak dan berperan sebagai pelindung dan pengasuh utama.
Keluarga Orang Tua Tunggal
Galvin dan Brommel dalam Arliss (1999) menunjukkan bahwa bentuk
keluarga telah berubah, yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya jumlah
single parent family. Balson (1999) mengungkapkan bahwa peristiwa khas yang
menimpa keluarga ini berkaitan dengan emosi dan penyesuaian diri. Ditambahkan
oleh Ahmadi (1999), tidak hadirnya salah satu orang tua, karena kematian atau
perceraian, berpengaruh terhadap perkembangan anak. Berdasarkan penelitian
para psikolog, anak-anak dari keluarga yang tidak utuh memperoleh nilai
psikologis yang rendah terutama dalam hal fleksibilitas, penyesuaian diri,
pengertian akan orang dan situasi di luarnya, dan pengendalian diri.
Kebanyakan orang tua tunggal adalah perempuan sehingga riset
difokuskan pada tidak adanya ayah dalam keluarga. Meskipun orang tua tunggal
cenderung mempunyai banyak masalah seperti konflik antara tanggung jawab
pekerjaan dan rumah tangga, peran yang terlalu berat, tekanan karena harus
membuat keputusan sendiri, menemukan waktu yang cukup untuk anak dan
kehidupan pribadi mereka, kebutuhan fasilitas perawatan anak yang cukup dan
isolasi sosial, kita tidak bisa menganggap bahwa keluarga orang tua tunggal
adalah unit yang disfungsional. Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan orang
tua tunggal berfungsi secara efektif ( Nock, 1987).
Hubungan Orang Tua Tunggal dan Anak
Perceraian menghilangkan hak anak untuk mendapatkan pengasuhan dari
dua orang tua. Hak asuh yang diberikan kepada ibu berarti kurangnya interaksi
anak dengan ayahnya. Menurut Landis dalam Ihromi (1999) dampak lain dari
perceraian bila anak berada dalam pengasuhan dan perawatan ibu adalah
meningkatnya perasaan dekat anak dengan ibu serta menurunnya jarak emosional
terhadap ayah.
14
Untuk mengisi kekosongan model peran karena anak hanya tinggal dengan
satu orang tua, orang tua tunggal mencarikan tokoh pengganti yang bisa diambil
dari dalam atau luar keluarga. Lewat interaksi dengan tokoh pengganti itu, anak
bisa mempelajari hal-hal yang tidak didapatkan dari orang tuanya (Chairani dan
Nurachmi, 2002).
Para peneliti menemukan kecenderungan bahwa orang tua tunggal lebih
terbuka pada anak, dengan keseimbangan yang lebih besar, lebih sering
berinteraksi dan kohesi meningkat (Weiss dalam Nock, 1987).
DeWitt dalam Chairani dan Nurachmi (2002) menyatakan bahwa dalam
keadaan sulit sekalipun, orang tua tunggal tetap berusaha membantu anakanaknya menghadapi emosinya dengan menyediakan waktu bagi anak untuk
mengungkapkan perasaannya. Orang tua tunggal mengakui perasaan terluka
anaknya dan membiarkan anak menumpahkan amarahnya karena anak sedang
memerlukan dukungan lebih banyak dari sebelumnya. Jika anak masih terlalu
kecil, ibu akan memeluk untuk memberikan perasaan aman. Jika anak cukup
besar, orang tua bisa mengajak bicara sesuai daya tangkapnya tentang kondisi
keluarga. Orang tua bisa mengemukakan apa yang dirasakan dan apa saja
harapannya dan bagaimana anak bisa membantunya. Jika cara itu dilakukan bisa
menumbuhkan harga diri anak. Selain itu, anak bisa diajak bersama-sama
menunjukkan kepada masyarakat bahwa sekalipun keluarga tidak lengkap tetapi
bisa lebih baik dari keluarga yang utuh sehingga anak bisa belajar mensyukuri apa
yang diperoleh. Pada saat keadaan emosi anak masih labil orang tua berusaha
sedapat mungkin menciptakan suasana rumah yang stabil.
Berbeda dengan hal tersebut, beberapa penelitian di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa orang tua tunggal tidak mengawasi anak-anaknya seperti
yang terjadi pada keluarga utuh. Surva i yang dilakukan terhadap para murid SMU
yang berasal dari keluarga orang tua tunggal melaporkan bahwa sedikit orang tua
tunggal yang mengetahui di mana anak berada sepulang sekolah dan bagaimana
anak bersekolah dibanding keluarga dengan dua orang tua. Perbedaan ini tampak
pada beberapa tingkat status sosial ekonomi ( Astone dan Mc. Lanahan dalam
Cherlin, 2002).
15
Menurut sejumlah psikolog, orang tua tunggal sering kali terjebak dengan
menjadikan anak sebagai mitra yang sama kedudukannya. Akhirnya, anak lakilaki terjebak menjadi lelakinya keluarga, anak perempuan menjadi ibu bagi adikadiknya. Fenomena ini biasanya terjadi secara alami, bukan karena pilihan sadar
dari orang tua. DeWitt dalam Chairani dan Nurachmi (2002) berpendapat bahwa
anak harus menyadari tanggung jawabnya pada keluarga adalah sebagai seorang
anak atau kakak. Anak membantu orang tua dalam kehidupan sehari- hari tetapi
mereka tidak menggantikan peran ayah atau ibu mereka yang hilang.
Orang tua tunggal memperluas jaringan pergaulan pertemanan yang bisa
memberikan dukungan tambahan untuk bantu membantu. Orang tua tunggal yang
didukung lingkungan seperti itu biasanya secara mental dan fisik merasa lebih
baik. Orang tua tunggal tidak perlu berambisi menjadi orang tua sempurna. Orang
tua bisa menunjukkan kepada anak bahwa pada saat-saat tertentu boleh saja kita
minta pertolongan seseorang (Chairani, 2002).
Rasa bersala h ibu atas perceraian mengakibatkan ibu berbuat banyak hal
untuk anak bahkan membiarkan kehidupannya dikontrol oleh anak-anaknya.
Penyesuaian yang dilakukan ibu sebagai orang tua tunggal akan menimbulkan
masalah jika ia merasa bertanggung jawab secara berlebihan terhadap anakanaknya. Para ibu sering berupaya untuk berperan sebagai ibu sekaligus sebagai
ayah dengan mengambil banyak tanggung jawab sehingga anak memikul sedikit
tanggung jawab (Balson, 1999). Menurut Clemes dan Bean (2001) seorang anak
yang bertindak tanpa tanggung jawab akan lebih banyak mengalami hukuman dan
kritik sehingga rasa harga dirinya merosot dan ia juga akan mengembangkan sikap
negatif terhadap kehidupan.
Permasalahan yang dihadapi Orang Tua Tunggal
Banyak masalah yang dihadapi ole h ibu sebagai orang tua tunggal.
Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, masalah yang paling menonjol
adalah pendapatan rendah dan konflik yang berlanjut dengan mantan pasangan.
Rendahnya atau menurunnya pendapatan karena tidak ada bantuan dari ayah atau
dukungan keuangan lain membuat anak dari orang tua tunggal menghadapi resiko
putus sekolah Bahkan jika pendapatan orang tua turun hingga di bawah garis
16
kemiskinan maka anak lak- laki menunjukkan masalah penyimpangan perilaku
(Mc. Lanahan dan Sandetur dalam Cherlin, 2002).
Masalah lain yang muncul adalah menurunnya kemampuan sebagai orang
tua yang ditunjukkan dengan menurunnya emosi secara tajam, berkurangnya
hubungan yang menyenangkan antara anak dan orang tua, menurunnya perhatian
pada kebutuhan dan keinginan anak serta kurangnya komunikasi dan interaksi
dengan anak. Ibu sebagai pemegang hak asuh anak mengalami stress sehingga
menjadi sering marah, jengkel dan depresi. Kondisi ini menimbulkan beberapa
kesulitan terutama dalam memberikan dukungan emosional kepada anak yang
juga mengalami kesedihan akibat perceraian orang tua. Selain itu, orang tua
tunggal menjalankan pola pengasuhan yang kurang konsisten terutama dalam
penerapan disiplin kepada anak. Tahap ini oleh para psikolog disebut authoritative
parenting (Wallerstein dan Kelly dalam Cherlin, 2002).
Pengaruh Keluarga Orang Tua Tunggal terhadap Perkembangan Anak
Seorang ibu yang mempunyai posisi sebagai single parent harus
memegang dua peran sekaligus yaitu sebagai ibu yang harus mengasuh dan
mendidik anak juga menggantikan figur bapak yang harus mencari nafkah. Teori
pengasuhan ibu tunggal pada keluarga bercerai dan teori kesehatan mental dari
Frankl (1972) mengemukakan bahwa seorang ibu tunggal sering mengalami
ketimpangan dan kemiskinan dalam otoritas pengasuhan. Tidak adanya sosok
seorang ayah menyebabkan ibu tunggal sering tidak konsisten dalam menjalankan
disiplinnya. Hilangnya ayah sebagai sumber penghasilan keluarga menyebabkan
ibu tunggal harus bekerja di luar rumah. Peran ganda yang dimainkan itu pada
akhirnya tidak sesuai dengan waktu mengasuh anak, kondisi serta kemampuan
yang dimilikinya.
Tanpa disadari
semua
faktor
tersebut
menyebabkan
ketimpangan dalam pola pengasuhan sehingga berpengaruh terhadap kesehatan
mental seorang anak.
Kurangnya kehangatan dan perhatian yang diberikan oleh seorang ibu
tunggal kepada anak menyebabkan anak tidak memiliki rasa aman di dalam
dirinya. Kesibukan ibu bekerja membuat anak tidak mempunyai seorang ibu yang
bisa diajak bercakap-cakap ataupun bertukar pendapat. Anak seringkali merasa
17
takut menghadapi masa depan dan mudah putus asa. Anak juga merasa tidak
memiliki kebebasan dalam membuat pilihan penting serta mengalami kesulitankesulitan lain seperti pandangan negatif dari masyarakat sehubungan dengan
perceraian kedua orang tua mereka (Mianda, 2002).
Sering terjadi perbedaan pendapat mengenai dampak ibu bekerja terhadap
pengasuhan anak. Sebagian besar masyarakat sering beranggapan bahwa status
ibu bekerja selalu negatif akibatnya terhadap pengasuhan anak. Sedangkan yang
lain mengemukakan bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja justru menjadi sangat
mandiri. Maccoby menyimpulkan dari beberapa penelitian bahwa bekerjanya ibu
bukan satu-satunya faktor penyebab terjadinya perkembangan negatif pada anak
(Amal, 1990).
Mianda (2002) mengemukakan bahwa keadaan yang timbul dari fenomena
single parent tersebut dapat berpengaruh secara timbal balik terhadap hubungan
ibu dengan anaknya maupun hubungan anak dengan ibu. Ibu yang memikul dua
peran mempunyai kasih sayang yang berlebihan kepada anaknya yang disertai
kekhawatiran yang juga berlebihan sehingga mendorongnya memberikan
perlindungan yang berlebihan (over protection). Ibu selalu ingin berbuat lebih
banyak untuk anaknya. Apalagi kondisi yang menimpa anak itu akhirnya
menimbulkan rasa kasihan ibu. Muncul ketakutan-ketakutan lainnya, seperti takut
kalau anaknya menjadi minder terhadap teman-teman sebayanya dan yang lebih
ekstrim adalah takut kalau anaknya dikucilkan oleh masyarakat atau lingkungan di
mana mereka tinggal. Dengan adanya perlindungan yang berlebihan dari ibu
mengakibatkan anak memiliki ketergantungan yang tinggi. Orang tua yang overprotective dan terlalu dominan menimbulkan rasa kurang percaya diri dan kurang
mandiri pada anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Stendler dalam Ahmadi
(1999) tentang sikap over protection dari orang tua yang menyebabkan anak
sangat tergantung pada orang tua. Berkaitan dengan fenomena orang tua tunggal,
Mianda (2002) menemukan kelompok anak dari orang tua tunggal yang berhasil
menjadi anak percaya diri, tahan banting, tidak cengeng dan mandiri adalah yang
dibesarkan oleh orang tua yang tidak over protection.
Satoto (1990) melihat interaksi ibu dan anak sebagai pola perilaku yang
mengikat ibu dan anak secara timbal balik dan stimuli keluarga mencakup
18
berbagai upaya keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi
perkembangan
dan
pertumbuhan
anak.
Karyadi
(1988)
mengungkapkan bahwa peran ibu selaku pengasuh dan pendidik anak di dalam
keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak secara positif maupun negatif
karena dalam berinteraksi dengan anak sehari- hari ibu dapat memainkan berbagai
peran yang secara langsung akan berpengaruh pada anak.
Menurut Wahab (1980) seorang ibu merupakan pemeran utama dalam
proses pembentukan pribadi dan proses sosialisasi anak. Sedangkan Scanzoni dan
Scanzoni dalam Suleeman (1990) menganggap komunikasi ibu dan anak sebagai
indikator untuk mengukur komunikasi orang tua dan anak karena ibu diasumsikan
lebih banyak berada di rumah bersama anak-anak dari pada ayah. Ditambahkan
oleh Rutter (1984) bahwa untuk perkembangan anak yang normal dibutuhkan
pengasuhan ibu yang berkualitas. Satoto (1990) menegaskan bahwa faktor
eksternal yang paling kuat pengaruhnya terhadap tumbuh kembang anak adalah
interaksi ibu dan anak.
Sebagian besar sosiolog dan psikolog percaya bahwa dua orang tua
penting dalam keluarga dan berperan dalam perkembangan anak tetapi penelitian
menunjukkan bahwa satu orang tua cukup untuk mengasuh anak. Keluarga
dengan dua orang tua tidak menjamin anak-anak dapat menyesuaikan diri dengan
baik kepada lingkungannya, cukup bergaul, kreatif dan produktif seperti halnya
keluarga dengan satu orang tua tidak secara otomatis berarti sebaliknya. Beberapa
anak dari orang tua tunggal menerima perhatian yang lebih baik dari pada anakanak lain dari keluarga utuh (Saxton, 1987).
Masyarakat menggambarkan keluarga ideal adalah keluarga yang lengkap.
Anak-anak yang diasuh orang tua tunggal kehilangan pengalaman hidup dalam
suatu keluarga yang utuh. Anak dari keluarga tidak lengkap ini tidak selalu
bermasalah ataupun merasa bermasalah. Hanya saja mereka merasa dirinya
kurang dibandingkan teman-temannya dari keluarga lengkap (Chairani
dan
Nurachmi, 2002).
Anak dari orang tua tunggal dapat tumbuh sehat jasmani dan rohani, moril
dan materiil atas dukungan keluarga inti dan keluarga besar, juga lingkungan yang
menerima tetapi semua memerlukan proses. Menurut Duncan, keluarga dengan
19
orang tua tunggal selalu terfokus pada kelemahan dan masalah yang dihadapi.
Menurutnya, sebuah keluarga dengan orang tua tunggal sebenarnya bisa menjadi
sebuah keluarga yang efektif seperti keluarga dengan orang tua utuh asalkan
mereka tidak larut dalam kelemahan dan masalah yang dihadapinya (Kompas,
2005).
Komunikasi dalam Keluarga Orang Tua Tunggal
Komunikasi memainkan peran utama dalam penentuan kualitas kehidupan
keluarga. Komunikasi dalam keluarga merupakan aspek penting karena setiap
anggota keluarga terikat satu sama lain melalui proses komunikasi. Keluarga
mengembangkan serangkaian pesan, perilaku dan harapan tertentu melalui proses
komunikasi (Suleeman, 1990).
Keluarga sebagai kelompok sosial yang terkecil dalam masyarakat
mempunyai ciri dan bentuk komunikasi yang berbeda dengan kelompok sosial
lainnya. Komunikasi dalam keluarga biasanya berbentuk komunikasi antar
persona (face to face communication) intinya merupakan komunikasi langsung di
mana masing- masing peserta komunikasi dapat memilih fungsi baik sebagai
komunikator maupun komunikan (Effendi,1993). Dalam komunikasi interpersonal
setiap anggota keluarga dapat dengan bebas mengungkapkan perasaan-perasaan
yang ada dalam diri mereka masing- masing (Suleeman, 1990).
Pace dalam Cangara (2004) membedakan komunikasi antar-pribadi
menjadi dua macam yaitu komunikasi diadik dan komunikasi kelompok kecil.
Komunikasi diadik adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang
dalam situasi tatap- muka yang dibedakan menjadi tiga bentuk , yaitu percakapan,
dialog dan wawancara. Percakapan berlangsung dalam situasi yang bersahabat
dan informal. Dialog berlangsung dalam situasi yang lebih intim, lebih dalam dan
lebih personal. Sedangkan Croskey memasukkan peralatan komunikasi seperti
telpon dan teleks sebagai saluran komunikasi antar pribadi sehingga timbul istilah
komunikasi antar-pribadi yang bermedia dan yang berlangsung tatap-muka.
Menurut DeVito (1997) keluarga dikategorikan dalam pola kesamaan di
mana masing- masing pihak berkedudukan sama, saling percaya dan masing-
20
masing pihak terbuka terhadap ide- ide, pendapat serta kepercayaan pada yang
lain. Kondisi semacam ini dapat menciptakan komunikasi dalam keluarga
seimbang dalam arti masing- masing pihak saling menempatkan diri sesuai dengan
peranannya.
Lawton (1982) dalam Kandoli (2000) mengemukakan bahwa hubungan
yang terjadi antara orang tua dan anak bukan merupakan proses yang searah
melainkan timbal balik karena perilaku anak dapat mempengaruhi perilaku orang
tua.
Fisher (1986) berpendapat bahwa proses komunikasi, termasuk juga yang
terjadi di dalam keluarga, dapat dipandang melalui empat perspektif dasar yaitu
mekanistis, psikologis, interaksional dan pragmatis. Perspektif pragmatis adalah
pendekatan yang paling sering diadopsi oleh para ahli yang mempelajari proses
komunikasi keluarga. Perspektif ini mempunyai pandangan holistik tentang
kegiatan komunikasi keluarga. Komponen individu dari suatu sistem saling
berhubungan dan mempengaruhi keseluruhan. Untuk mengetahui masalah dalam
sistem komunikasi keluarga maka tidak hanya memfokuskan pada satu atau dua
unsur melainkan pada seluruh bagian sistem yang menyebabkan disfungsi pola
komunikasi.
Menurut Jenkins (1995) sejumlah unsur dasar untuk menjelaskan
berfungsinya komunikasi dalam kehidupan keluarga meliputi: (1) pengertian
bersama, (2) pesan-pesan komunikasi, (3) pola komunikasi dan (4) proses
komunikasi.
Kebanyakan ahli di bidang keluarga melihat komunikasi sebaga i proses
membentuk dan menyusun keluarga dan hubungan interpersonal di antara orang
tua, anak, saudara dan anggota keluarga luas dibentuk dan dipertahankan (Jenkins,
1995). Pendapat Bateson et al. (1956) dalam Morton et al. (1976) juga telah
menegaskan bahwa komunikasi adalah usaha untuk menetapkan sebuah
hubungan. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam keluarga dimaksudkan
untuk berhubungan atau berinteraksi di antara anggota keluarga.
Selain untuk berhubungan, komunikasi dalam keluarga juga berperan
dalam kegiatan pengasuhan dan proses sosialisasi. Menurut Joewono (2002)
faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku anak dalam keluarga salah
21
satunya adalah pengasuhan yang dilakukan orang tua. Abhari (1998) menyatakan
bahwa
pengasuhan
pada
hakekatnya
adalah
upaya
memelihara
dan
mengembangkan segala potensi yang dimiliki anak sehingga tumbuh dan
berkembang secara optimal. Pertumbuhan dan perkembangan ini meliputi fisik,
mental dan emosional.
Kegiatan
pengasuhan
meliputi
cara
mendidik,
membimbing,
mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan
norma yang berlaku di dalam masyarakat pada umumnya. Menurut Etty (2003)
mendidik anak sesungguhnya mengantarkan mereka menjadi pribadi yang
mandiri.
Praktek pengasuhan merupakan masa penting dalam membentuk individu
matang dan dewasa yang di dalamnya mencakup proses sosialisasi. Keluarga amat
berperan dalam mensosialisasikan nilai-nilai kebaikan dan norma yang berlaku
atau yang diharapkan masyarakat kepada anak mereka. Melalui sosialisasi seorang
anak memperoleh nilai- nilai dan pengetahuan mengenai peran serta tingkah laku
sosial sehingga nantinya dapat mendukung kehidupannya dalam keluarga maupun
masyarakat. Sosialisasi merupakan suatu proses di mana seseorang mempengaruhi
orang lain karena adanya interaksi (Mc.Cleland, 1984). Salah satu cara untuk
melakukan sosialisasi terhadap anak di dalam keluarga adalah dengan
berkomunikasi. Melalui komunikasi antara orang tua dan anak, anak akan
mengetahui nilai-nilai mana yang dianggap baik dan nilai-nilai mana yang
dianggap tidak baik serta hal-hal mana yang harus dihindari (Suleeman, 1990).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa maksud dan tujuan komunikasi
dalam keluarga denga n anak-anak yang belum dewasa adalah untuk berinteraksi
atau berhubungan dalam kegiatan pengasuhan dan proses sosialisasi. Hasbullah
(1999) menyatakan bahwa orang tua perlu memiliki kemampuan komunikasi yang
baik dalam menjalankan tugasnya sebagai pengasuh dan pendidik bagi anakanaknya agar tercipta pola asuh dan pola didik yang dapat menjadikan anak
sebagai SDM yang potensial secara maksimal termasuk di dalamnya membentuk
kemandirian anak.
Komunikasi orang tua dengan anak merupakan upaya mengantarkan anak
menuju kesiapan memasuki dunia luar. Orang tua perlu mengarahkan
22
pembentukan perilaku anak sejak dini, termasuk membentuk kemandirian anak.
Dalam meraih tujuan ini maka iklim komunikasi dalam keluarga merupakan
kondisi prasyarat yang harus terpenuhi. Suasana di dalam keluarga yang
menyenangkan, hangat dengan suasana mendukung, terbuka, berpikir positif,
empati dan terjalinnya kerjasama akan membuat komunikasi dalam keluarga
berlangsung secara terbuka, rileks dan santun (Hasbullah, 1999).
Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal
DeVito (1997) mengartikan pola komunikasi orang tua dan anak sebagai
komunikasi antar pribadi antara orang tua dan anaknya, di mana masing- masing
dapat memilih fungsi baik sebagai komunikator maupun komunikan yang
mempunyai hubungan mantap dan jelas, artinya hampir tidak terhindarkan selalu
ada hubungan tertentu antara kedua orang tersebut.
Hubungan interpersonal terjadi melalui kejadian yang tidak disengaja
maupun pilihan hubungan yang disengaja. Hubungan antara orang tua dan anak
adalah suatu hubungan yang terjalin karena adanya hubungan darah sehingga bisa
dikategorikan sebagai hubungan yang disengaja.
Beebe (1999) mengungkapkan bahwa kepercayaan, keakraban dan
kekuasaan (power) merupakan unsur penting dalam hubungan interpersonal.
Kepercayaan adalah tingkat di mana kita merasa aman berbagi informasi dengan
orang lain. Keakraban adalah tingkat di mana kita bisa menjadi diri sendiri di
depan orang lain dan masih bisa diterima oleh mereka. Kekuasaan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sesuai arahan kita, yaitu
mengarahkan orang lain untuk melakukan apa yang kita inginkan.
Millar (1973) dalam Millar dan Rogers
(1976) menyebut kekuasaan
sebagai kontrol dan sedikitnya dibedakan menjadi dua kontinum yaitu: rigidfleksible dan stable – unstable. Rigidity (kekakuan) merujuk pada kurangnya
pergantian pola transaksi sedangkan stability merujuk pada kemampuan untuk
meramalkan suatu pola. Makin sering seseorang menetapkan tindakan dalam
suatu sistem, pola kontrol makin kaku. Makin konsisten dalam waktu dan arah,
pola kontrol makin stabil. Sedangkan Ericson (1972) dalam Millar (1976)
23
menggunakan
istilah dominance-submission (kekuasaan–kepatuhan)
dalam
membedakan tipe transaksi. Sementara Wood (2004) berdasarkan teori interaksi
menyatakan bahwa komunikasi menentukan dan mencerminkan kekuatan
hubungan yang dibedakan menjadi symmetrical (mencerminkan kekuatan yang
sama) dan complementary (menunjukkan perbedaan tingkat kekuatan).
Berdasarkan struktur kekuasaan yang dinyatakan beberapa ahli di atas
maka kita bisa melihat arah komunikasi, apakah searah atau timbal balik. Di
samping itu juga bisa melihat adanya kesamaan atau perbedaan dalam kerangka
referensi dan bidang pengalaman yang menyebabkan perbedaan kekuatan
hubungan.
Menurut Sudjana (2000) ada tiga pola komunikasi yang dapat digunakan
untuk mengembangkan interaksi dinamis dalam upaya memunculkan penyadaran,
yaitu :
1. Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah
Komunikator berperan aktif sebagai pemberi aksi dan komunikan sebagai
penerima aksi. Bentuk ini adalah ceramah yang pada dasarnya adalah
komunikasi satu arah, atau komunikasi sebagai aksi.
2. Komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah
Komunikator dan komunikan dapat berperan sama yakni pemberi aksi dan
penerima aksi. Keduanya dapat saling memberi dan saling menerima.
3. Komunikasi banyak arah atau komunikasi sebagai transaksi
Komunikasi tidak hanya melibatkan interaksi dinamis antara komunikator
dan komunikan tetapi juga dapat melibatkan interaksi dinamis antara
unsur-unsur komunikan la innya.
1
Komunikator
Komunikan
Komunikan
2
3
Komunikator
Komunikan
Komunikan
Komunikator
Komunikan
Komunikan
Gambar 1 Komunikasi sebagai aksi, interaksi dan transaksi
Sumber :(Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sudjana, 2000)
24
Komunikasi antar-pribadi mirip dengan komunikasi dua arah atau ke
semua arah. Jika dalam pengertian komunikasi dua arah atau komunikasi ke
semua arah perhatian lebih ditekankan pada arah komunikasi maka dalam
komunikasi
antar-pribadi
lebih
memperhatikan
pribadi-pribadi
yang
berkomunikasi. Masing- masing pihak menyadari dirinya sebagai pribadi yang
dapat menerima dan juga dapat menyampaikan pesan sehingga terjadi suatu
dialog antar pribadi.
DeVito (1997) menjabarkan empat pola komunikasi umum untuk
menggambarkan hubungan interpersonal dalam keluarga, yaitu :
1. The equality pattern
Setiap orang berbagi secara sama dalam komunikasi transaksional
sehingga peran yang dimainkan oleh setiap orang adalah sama. Masingmasing pihak terbuka pada ide, opini dan kepercayaan dari pihak lain
berdasarkan pada self disclosure (penyingkapan diri ) yang seimbang.
Pola ini lebih banyak terdapat dalam teori dari pada prakteknya tetapi
sangat bagus untuk menguji komunikasi dalam hubungan primer.
2. The balanced split pattern
Kesetaraan hubungan dipertahankan tetapi setiap orang mempunyai
otoritas melebihi wilayah yang berbeda. Setiap orang dilihat sebagai ahli
dalam bidang-bidang yang berbeda. Dalam keluarga tradisional, seorang
ayah dianggap mempunyai keahlian di bidang bisnis dan politik
sedangkan ibu mempunyai keahlian dalam perawatan anak dan memasak.
3. The unbalanced split pattern
Salah
satu
pihak
mempunyai
keahlian
lebih
banyak
sehingga
mendominasi pihak yang lain. Kadang-kadang pihak dominan ini lebih
pintar atau lebih berpengetahuan tetapi dalam beberapa kasus pihak ini
mungkin secara fisik lebih menarik atau berpenghasilan lebih tinggi.
Pihak yang dominan ini mengontrol pihak lain, menuntut orang lain
melakukan apa yang diinginkannya dan jarang menanyakan pendapat
pihak lain. Sebaliknya pihak yang dikontrol akan bertanya dan mencari
pendapat dari orang lain yang dianggap mempunyai leadership dalam
pembuatan keputusan.
25
4. The monopoly pattern
Seseorang dilihat sebagai pihak yang otoriter. Orang ini memberikan
banyak ceramah dari pada berkomunikasi. Jarang sekali orang ini
meminta pertimbangan dari pihak lain karena dia akan menetapkan
keputusan akhir. Dia akan mengatur apa yang boleh dilakukan dan apa
yang tidak boleh. Pihak yang dikontrol akan meminta ijin dari pihak lain
untuk memberikan pendapat dan membuat keputusan. Pola komunikasi
ini terjadi dalam hubungan anak dengan orangtua yang sangat berkuasa
atau otoriter.
Keempat pola komunikasi yang ditawarkan DeVito tersebut tak jauh beda
dengan yang dinyatakan Sudjana. The equality pattern identik dengan komunikasi
transaksi. The balanced split pattern dan the unbalanced split pattern bisa
disejajarkan dengan komunikasi interaksi dengan pola kontrol yang berbeda yaitu
complementary. The monopoly pattern menunjukkan komunikasi searah atau
linier.
Komunikasi Linier
Model komunikasi linier dikembangkan oleh Claude Shannon dan Warren
Weaver. Berdasarkan paradigma lama, komunikasi bersifat satu arah atau linier
dengan tekanan pada sumber sebagai pelaku dominan yang mempengaruhi
khalayak dengan persuasi (Mulyana, 2001).
Salah satu ciri komunikasi linier adalah adanya penyandian yang dilakukan
pengirim pesan dan interpretasi oleh penerima serta antisipasi kemungkinan
adanya gangguan dalam proses komunikasi yang berlangsung. Konsep ini
memaknai komunikasi sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan
kepada penerima pesan melalui saluran tertentu untuk tujuan tertentu. Terjadi
transfer informasi yaitu pemahaman sempurna tentang apa yang dikatakan oleh
partisipan lain. Model komunikasi Shannon dan Weaver ditunjukkan pada
Gambar 2.
26
Information
Source
Transmiter
Message
Signal
Message
Sign
Received
Signal
Destination
Message
Noise
Source
Gambar 2 Model Komunikasi Shannon dan Weaver
Pemancar (transmitter) mengubah pesan menjadi suatu sinyal yang sesuai
dengan saluran yang digunakan. Saluran (channel) adalah medium yang
mengirimkan sinyal (tanda) dari transmitter ke penerima (receiver). Dalam
percakapan, sumber informasi ini adalah otak, transmitter – nya adalah
mekanisme suara yang menghasilkan sinyal (kata-kata terucapkan), yang
ditransmisikan lewat udara (sebagai saluran). Penerima (receiver), yakni
mekanisme pendengaran, melakukan operasi yang sebaliknya yang dilakukan
transmitter dengan merekonstruksi pesan dari sinyal. Sasaran (destination) adalah
otak orang yang menjadi tujuan pesan itu (Severin dan Tankard dalam Mulyana,
2002)
Barlund dalam Fisher (1986) melukiskan bentuk komunikasi satu arah
sebagai situasi di mana para penerima diharapkan me ndengarkan dan tak
menyahut. Komunikasi merupakan transfer informasi yang berarti pemahaman
sempurna tentang apa yang dikatakan oleh partisipan lain. Kebersamaan adalah
usaha untuk meminimalkan distorsi dan kehilangan informasi.
Kritik terhadap model komunikasi linier ini dikemukakan oleh Kincaid
(1979) dalam Andulhak dan Anwas (2004) yang menyebut ada tujuh bias yang
mungkin terjadi, yaitu: (1) komunikasi linier cenderung bercirikan satu arah
secara vertikal, (2) cenderung sangat tergantung pada sumber pesan, (3) fokus
obyek komunikasi cenderung sederhana, (4) fokus hanya pada kemasan pesan dan
27
kurang mempedulikan waktu yang tepat, (5) terbatas pada fungsi persuasi, belum
menyentuh pada terjalinnya saling pengertian dan konsensus, (6) cenderung
terkonsentrasi pada efek psikologis individu, dan (7) cenderung mekanistis.
Komunikasi linier sering digunakan oleh orang tua, guru dan pemimpin
yang otoriter. Menurut Lewin, Muller dan Baldwin dalam Ahmadi (1999) anak
dari orang tua otoriter menunjukkan ciri-ciri pasif (sikap menunggu), takut,
cemas, mudah putus asa, kurang inisiatif, tidak dapat merencanakan sesuatu dan
daya tahan berkurang. Dengan kata lain anak yang tidak mandiri adalah produk
dari orang tua otoriter.
Komunikasi Interaksi
Komunikasi yang bercirikan hubungan relasional dan interaktif berasal
dari model cybernetics oleh Norbert Wiener yang kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh Wilbur Schramm. Salah satu ciri komunikasi relasional adalah
pentingnya peranan pengalaman (experience) dan faktor hubungan (relationship )
antara pengirim dan penerima dalam proses komunikasi. Bidang pengalaman akan
menentukan apakah pesan yang dikirim akan diterima oleh si penerima sesuai
dengan apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Schramm meyakini bila ada
perbedaan yang jauh dalam bidang pengalaman, akan mempengaruhi derajat
penerimaan pesan yang dikirimkan. Hal lain yang dikemukakan Schramm adalah
pentingnya umpan balik sehingga derajat relationship sebagai ciri komunikasi ini
akan tampak (Andulhak dan Anwas, 2004).
Field of experience
Field of experience
signal
Source
Encoder
Decoder Destination
Gambar 3 Model Kedua Schramm
Model kedua Schramm memperkenalkan gagasan bahwa kesamaan dalam
bidang pengalaman sumber dan sasaranlah yang sebenarnya dikomunikasikan,
28
karena bagian sinyal itulah yang dianut sama oleh sumber dan sasaran (Mulyana,
2002).
Sumber dapat menyandi dan sasaran dapat menyandi balik pesan
berdasarkan pengalaman yang dimilikinya masing- masing. Bila kedua lingkaran
memiliki wilayah bersama yang besar, maka komunikasi mudah dilakukan.
Semakin besar wilayah tersebut, semakin miriplah bidang pengalaman (field of
experience) yang dimiliki kedua pihak yang berkomunikoderasi. Bila kedua
lingkaran itu tidak bertemu – artinya bila tidak ada pengalaman bersama – maka
komunikasi tidak berlangsung. Bila wilayah yang berimpit itu kecil – artinya bila
pengalaman sumber dan pengalaman sasaran sangat jauh berbeda – maka sangat
sulit untuk menyampaikan makna dari seseorang kepada orang lainnya (Mulyana,
2002).
Message
Encoder
Decoder
interpreter
interpreter
Decoder
Encoder
Message
Gambar 4 Model Ketiga Schramm
Model ketiga Schramm menganggap komunikasi sebagai interaksi dengan
kedua pihak yang menyandi, menafsirkan, menyandi-balik, mentransmisikan, dan
menerima sinyal. Kita melihat umpan balik dan lingkaran yang berkelanjutan
untuk berbagi informasi (Severin dan Tankard dalam Mulyana, 2002). Menurut
Schramm dalam Mulyana (2002) komunikasi senantiasa membutuhkan setidaknya
tiga unsur utama : sumber (source), pesan (message) dan sasaran (destination).
Cangara (2004) menyatakan bahwa dalam model komunikasi interaksi,
komunikator memberi respon timbal balik kepada komunikator lainnya. Proses
komunikasi melingkar dengan adanya mekanisme umpan balik yang saling
29
mempengaruhi antara sumber dan penerima. Dalam interaksi, individu selalu
melihat dirinya melalui persepsi orang lain. Pengertian bersama dicapai melalui
toleransi. Konsep diri tumbuh berdasarkan pandangan orang lain.
Model komunikasi interaksi Schramm dalam Mulyana (2002) menyatakan
bahwa terjadi interaksi sosial guna mengembangkan potensi diri dan kesamaan
makna dicapai melalui pengambilan peran (role taking). Diri berkembang melalui
interaksi dengan orang lain dimulai dengan lingkungan terdekat seperti keluarga
dan terus berlanjut ke lingkungan luas. Interaksi adalah variabel penting yang
menentukan perilaku manusia.
Stewart dalam Fisher (1986) memakai istilah interaksi untuk menyatakan
komunikasi dua arah. Interaksi menonjolkan keagungan dan nilai individu.
Perspektif interaksional tentang komunikasi manusia sering dinyatakan sebagai
komunikasi dialogis. Proses fundamental dalam dialog adalah konsep role taking
yang dalam istilah lain diartikan juga sebagai empati.
Pengertian bersama diperoleh dengan proses empati melalui pengambilan
peran yang aktif, mencari makna menurut pandangan orang lain dan berbagi
makna dengan orang lain. Sumber makna kebersamaan adalah saling pengertian
dan empati timbal balik. Kebersamaan tidak harus diartikan bahwa peran atau
status para komunikator itu setara. Kedua komunikator dapat secara bersama
memiliki definisi yang sama tentang situasi mereka sebagai suatu hubungan
peranan yang sangat komplementer di mana orang yang berada dalam peranan
yang lebih rendah menerima definisi itu dan berbagi dengan orang lain yang lebih
dominan (Fisher, 1986).
Bila komunikasi mempunyai pengaruh timbal balik maka akan
menghasilkan suatu interaksi. Hubungan orang tua dan anak saling mempengaruhi
satu sama lain dan tidak lepas dari adanya interaksi. Hubungan kedua belah pihak
dilandasi oleh nilai- nilai yang dimiliki oleh masing- masing individu.
Komunikasi Transaksi
Model komunikasi transaksi memberi tekanan pada proses dan fungsi
untuk berbagi dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Komunikasi sebagai
proses di mana semua peserta ikut aktif secara dinamis dalam memenuhi fungsi
30
sosial sebagai anggota masyarakat (Cangara, 2004). Sedangkan Sereno dan
Bodaken (1975) melihat komunikasi sebagai kesatuan yang terdiri dari sistem
internal dan eksternal. Sistem internal adalah seluruh elemen atau stimuli yang
ada di dalam diri individu yang dibawa dalam situasi komunikasi, misalnya :
memori, harapan, sikap, ketakutan, nilai- nilai, kebencian dan pengalaman. Sistem
internal dibedakan menjadi
dua hal, yaitu : sikap dan kepribadian. Sistem
eksternal berupa petunjuk verbal dan non verbal.
Komponen komunikasi transaksi adalah persepsi, sistem, arti dan proses.
Persepsi merupakan pemrosesan terhadap stimuli internal dan eksternal. Sistem
melihat komunikasi sebagai keseluruhan yang terdiri dari sistem internal dan
eksternal. Arti diciptakan berdasarkan persepsi. Arti yang dimiliki komunikator
adalah hasil dari campuran stimuli internal dan eksternal. Komunikasi sebagai
proses dinamis yang menimbulkan perubahan pada pada para peserta komunikasi.
Seluruh komponen tersebut saling berhubungan dan dijalankan bersama dalam
setiap situasi komunikasi (Sereno dan Bodaken, 1975).
Model konvergensi dari Rogers dan Kincaid (1981) memandang
komunikasi sebagai proses transaksi di antara partisipan. Setiap partisipan
memberikan kontribusi pada transaksi tersebut yang artinya ada proses dialogis
yang terjadi sehingga menghasilkan mutual understanding (pengertian bersama).
Makna konvergen adalah the tendency for two or more individuals to move
toward one point, or for one individual to move toward another, and to unite in a
common interest or focus. Dengan demikian salah satu ciri model komunikasi
konvergen adalah komunikasi yang berlangsung secara multi arah di antara
penerima menuju ke suatu fokus atau minat yang dipahami bersama. Dalam
pandangan ini komunikasi berlangsung secara dinamis dan berkembang ke arah
pemahama n kolektif dan berkesinambungan (Andulhak dan Anwas, 2004).
Peirce dalam Andulhak dan Anwas (2004) menyatakan ada dua prinsip
dasar dalam pengembangan komunikasi konvergen. Pertama, informasi dalam
kadar tertentu bisa tidak tepat (imprecise) dan bercirikan ketidaktentuan
(uncertain). Kedua, komunikasi merupakan proses yang dinamis dan berlaku
sepanjang waktu.
31
Komunikasi konvergen dilakukan secara berkesinambungan melalui suatu
jejaring (network) dan didasarkan pada kaidah kolektivitas untuk memperoleh
kesamaan pengertian dalam realitas sosial. Model komunikasi konvergen
menyangkut tiga hal pokok, yaitu: (1) realitas psikologis, (2) realitas fisik, dan
(3) realitas sosial. (Rogers dalam Andulhak dan Anwas, 2004)
Realitas
Psikologis A
Realitas
Fisik
Realitas
Psikologis B
Interpretasi __ Pemahaman __ Informasi ___ Pemahaman ___ Interpretasi
Kegiatan
Kegiatan
Kegiatan
Kolektif
Pengertian _ Keyakinan
Keyakinan__ Pengertian
Saling
Kesepakatan
Saling
Pengertian
Realitas Sosial (A & B)
Gambar 5 Model Komunikasi Konvergen
Ciri informasi dan saling pengertian merupakan komponen yang sangat
dominan dalam komunikasi konvergen. Pemrosesan informasi dilakukan melalui
tahapan pemahaman, interpretasi, pengertian dan kegiatan di antara peserta untuk
kemudian dicapai saling kesepahaman. Model ini merupakan suatu proses yang
dinamis ketika mempertimbangkan dua hal. Pertama, pentingnya proses
informasi. Kedua, perlunya saling pengertian di antara pihak yang melakukan
komunikasi. Komunikasi dipandang sebagai suatu proses yang melibatkan
partisipan untuk berbagi informasi agar diperoleh saling pengertian (mutual
understanding). Bila dua pihak telah melakukan suatu interaksi komunikasi
dengan berbagi informasi yang diperlukan, kemudian terjadi saling pengertian
32
maka derajat saling pengertian di antara keduanya digambarkan oleh irisan di
antara dua kelompok lingkaran. Semakin besar daerah irisan, semakin besar
lingkup saling pengertian telah dicapai. Sebaliknya, semakin kecil daerah irisan,
semakin sedikit lingkup saling pengertian telah dicapai (Andulhak dan Anwas,
2004). Komunikasi keluarga yang memanfaatkan model konvergen ini
memecahkan permasalahan secara bersama-sama di antara orang tua dan anak
sehingga melahirkan mutual understanding di antara orang tua dan anak, dan
permasalahan diharapkan dapat terpecahkan.
Komunikasi orang tua dan anak penting tidak hanya dari segi isi tapi juga
metode. Apa yang diketahui orang tua mungkin kurang penting dibandingkan
bagaimana mereka menyampaikannya. (Chafee et al. dalam Sheinkopf, 1973).
Setiap keluarga mengembangkan pola komunikasi orang tua dan anak secara
konsisten.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Komunikasi
Seorang komunikator dalam berkomunikasi membawa pengalaman,
kepercayaan, nilai-nilai dan sikap tertentu yang diperoleh dan dipelajari dari
interaksinya dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Pengalaman, kepercayaan,
nilai- nilai dan sikap yang dimiliki seseorang menentukan bagaimana cara
seseorang berkomunikasi.
Perspektif perbedaan individu memandang bahwa sikap dan organisasi
personal psikologis (dalam arti faktor- faktor yang ada dalam diri individu) akan
menentukan bagaimana individu memilih stimuli dari lingkungan dan bagaimana
ia memberi makna pada stimuli tersebut (Effendy,1996). Perspektif ini bisa
digunakan untuk menjelaskan bagaimana faktor individu (karakteristik) orang tua
menentukan pola komunikasi yang digunakannya.
Di samping faktor individu, faktor lingkungan juga tidak bisa diabaikan.
Karena anak berinteraksi dengan lingkungan sosial, yaitu sekolah, teman sebaya
dan media massa maka dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua dipengaruhi
pula oleh lingkungan sosial tersebut. Hal ini diperkuat oleh pendapat Festinger
(1957) dalam Ramdhani (2006) bahwa perilaku manusia tergantung dari
pengetahuan, opini, apa yang dipercaya orang mengenai lingkungan dan mengenai
33
diri sendiri. Jadi perilaku orang tua tunggal dalam menggunakan suatu jenis pola
komunikasi ditentukan baik oleh faktor individu maupun faktor lingkungan.
Faktor Individu
Kelas sosial ekonomi ternyata mempengaruhi pola komunikasi antara
orang tua dengan anak. Temuan ini berasal dari penelitian sosiologis tentang
struktur keluarga dan pola sosialisasi di Taiwan. Kelas pekerja rendah menuntut
kepatuhan anak dengan cara otoriter. Sedangkan, kelas pekerja menengah lebih
menghargai kebebasan anak, bersedia memahami anak dan berpendapat bahwa
anak seharusnya belajar mengendalikan perilakunya (Olsen, 1974).
Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa pola sosialisasi yang
terjadi di dalam keluarga Taiwan dipengaruhi oleh kelas sosial ekonomi.
Berdasarkan asumsi bahwa komunikasi merupakan metode yang digunakan dalam
proses sosialisasi maka dari penelitian tersebut terlihat adanya praktik penggunaan
pola komunikasi tertentu, yaitu pola komunikasi linier digunakan oleh kelas sosial
ekonomi bawah sementara kelas ekonomi menengah menerapkan pola
komunikasi dua arah atau dialogis, baik interaksi maupun transaksi. Suleeman
dalam Ihromi (1990) menegaskan pula bahwa tingkat komunikasi orang tua dan
anak lebih rendah pada golongan bawah dari pada golongan menengah.
Miller dalam Gunarsa (1990) menyatakan bahwa keluarga dengan tingkat
sosial ekonomi rendah mempunyai nilai dan norma khusus yang berbeda dengan
nilai dan norma pada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi menengah dan atas,
misalnya keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah umumnya kurang
memberi perhatian terhadap perilaku anak. Tidak ada penghargaan dan pujianpujian untuk perbuatan baik serta kurangnya latihan dan penanaman nilai moral.
Menurut Widjaja (1989) dalam Rahmah (2004) pendidikan ibu
berpengaruh terhadap sikap dan tingkah laku dalam menghadapi anak-anaknya.
Ibu yang berpendidikan tinggi akan bersikap lebih baik. Dengan demikian, ibu
yang berpendidikan tinggi tidak menerapkan hukuman fisik kepada anak-anaknya
yang merupakan kecenderungan dari orang tua otoriter. Ini berarti ibu
berpendidikan tinggi tidak menggunakan pola komunikasi linier
cenderung pada penggunaan pola komunikasi dua arah.
tetapi lebih
34
Kepadatan dalam keluarga berpengaruh besar terhadap hubungan antar
pribadi dan keluarga. Adanya perbedaan secara perorangan baik mengenai umur,
pendidikan, tugas, kegiatan dan tanggung jawab akan mempersulit proses
penyesuaian. Interaksi yang semakin majemuk akan menimbulkan kesulitan untuk
membina komunikasi yang baik dan akan mudah terbentuk salah komunikasi atau
miscommunication, karena itu kepadatan mengganggu pola dan corak hubungan
dalam keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh,
sikap bersaing dan tersisih yang pada dasarnya bisa menjadi sumber pencetus ke
arah munculnya kondisi tegang yang bisa berakibat lebih buruk lagi pada
perilakunya. (Gunarsa, 1990)
Hasil penelitian Kohn (1963) dalam Chilman (1988) menunjukkan bahwa
seseorang yang menghabiskan banyak waktu untuk bekerja secara rutin, berulang
dan diawasi secara ketat cenderung menilai konformitas sebagai hasil dari otoritas
eksternal. Orientasi nilai tersebut berpengaruh pada pola pengasuhan anak.
Mereka beranggapan bahwa anak-anak seharusnya patuh pada orang tua dan
orang tua memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada anak.
Sedangkan pada kelompok orang yang bekerja rata-rata delapan jam sehari
bersikap lebih terbuka dan lebih menghargai kebebasan anak.
Lamanya waktu bekerja menyebabkan sempitnya waktu bersama antara
orang tua dan anak sehingga hubungan mereka semakin berjarak dan semu. Halhal yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum seperti berbicara
dengan orang-orang lainnya. Setiap anggota keluarga sibuk dengan urusan,
pikiran dan perasaannya masing- masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di
dalam keluarga adalah komunikasi yang bersifat informatif dan superfisial (hanya
sebatas permukaan). Akibatnya, masing- masing pihak makin sulit mencapai
tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan,
dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain (Mutadin, 2002).
Keikutsertaan seseorang dalam kelompok mempengaruhi sikap dan
perilakunya. Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju
norma kelompok sebagai akibat tekanan kelompok baik yang nyata atau yang
dibayangkan (Kiesler dan Kie sler dalam Rakhmat, 2001). Konformitas ini secara
tidak disadari terjadi pada kalangan orang tua yang terlibat dengan berbagai
35
kegiatan sosial. Meskipun demikian, konformitas merupakan hasil interaksi antara
faktor- faktor situasional dan faktor- faktor personal. Faktor-faktor situasional yang
menentukan konformitas antara lain adalah konteks situasi, karakteristik sumber
pengaruh dan ukuran kelompok. Dengan demikian, pengaruh kelompok pada
perilaku komunikasi orang tua berbeda-beda bergantung pada kedua faktor
tersebut.
Faktor Lingkungan
Penelitian yang dilakukan Olsen (1974) di Taiwan menunjukkan
bagaimana pengaruh keluarga luas terhadap sikap dan perilaku ibu yang
berhubungan dengan proses sosialisasi di dalam keluarga. Dari penelitian ini
terlihat kecenderungan pola komunikasi yang digunakan oleh ibu dalam nuclear
family (keluarga inti) dan extended family.
Ibu dalam keluarga inti lebih menekankan pada autonomy dan self
reliance, lebih sering menggunakan metode disiplin dengan pendekatan agar anak
merasa bersalah atau malu. Sementara itu, ibu yang tinggal dengan tiga generasi
menggunakan lebih banyak hukuman, terutama hukuman fisik serta menekankan
ketaatan anak pada orang tua. Demikian juga yang terjadi pada ibu yang diawasi
secara ketat oleh ibu mertuanya. Dari sini terlihat bahwa kehadiran atau
keterlibatan keluarga luas dalam pengasuhan anak mempengaruhi pola
komunikasi ibu menjadi cenderung linier, yaitu menekankan hubungan orang tua
dan anak berpola dominan-submisif.
Teman sebaya memainkan peranan penting dalam perkembangan
psikologis dan sosial anak. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial
pertama di mana anak belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan
anggota keluarganya. Kelompok teman sebaya ini berperan juga dalam
pembentukan perilaku anak. Interaksi dengan teman sebaya memberikan
kesempatan untuk belajar mengendalikan perilaku sosial, mengembangkan
ketrampilan dan minat yang sesuai dengan usia.
Tarmudji (2002) melihat bahwa peer group (kelompok teman sebaya)
berasal dari berbagai lingkungan keluarga sehingga berbeda dalam karakteristik
psikologis maupun sosial. Salah satu pengaruh yang mungkin dapat muncul dari
36
interaksi anak dengan teman sebaya adalah terjadinya perilaku agresif. Hal ini
terjadi apabila anak tidak terpenuhi kebutuhannya akan rasa aman, rasa sayang
dan harga diri. Oleh karena itu, ibu harus bisa memenuhi kebutuhan tersebut agar
tidak terjadi penyimpangan perilaku pada anak.
Mulyana (1999) menyatakan bahwa anak-anak mempunyai dorongan kuat
untuk berkomunikasi dan secara naluriah mampu memahami interaksi antar
pribadi karena menyadari bahwa komunikasi adalah sarana untuk membangun
hubungan. Oleh karena itu, ibu bisa mengajari anak untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya termasuk juga dengan teman sebaya melalui komunikasi
yang tepat. Bentuk komunikasi yang bisa mencapai tingkat empati optimal perlu
dikembangkan
sehingga
tidak
ada
kesulitan
bagi
kedua
pihak
untuk
mengkomunikasikan topik apapun
Rakhmat (2001) menyebutkan dua pengaruh media massa yaitu efek
prososial behavioral dan perilaku agresif. Salah satu perilaku prososial ialah
memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Buku,
majalah dan surat kabar mengajarkan kepada pembacanya berbagai keterampilan.
Keterampilan berkomunikasi bukan bawaan dari lahir melainkan
dipelajari. Agar terampil berkomunikasi dengan anak-anak,
ibu
harus
meningkatkan pengetahuan mereka dengan lebih banyak mengakses media massa
(Mulyana, 1999). Dengan demikian ibu memiliki kemampuan berkomunikasi
yang baik sehingga terjalin hubungan yang hangat dan menyenangkan dengan
anak.
Kemandirian Anak
Kartini dan Dali (1997) dalam Mutadin (2002)
mengatakan bahwa
kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri.
Secara singkat kemandirian mengandung pengertian suatu keadaan di mana
seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, mampu
mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya, dan bertanggung
jawab terhadap apa yang dilakukannya.
37
Berdasarkan pendapat beberapa ahli menurut Masrun et al.
dalam
Rahmah (2004) kemandirian mencakup pengertian dari berbagai istilah seperti
autonomy, independency dan self reliance. Autonomy adalah tendensi untuk
mencapai sesuatu, mengatasi sesuatu, bertindak secara efektif terhadap
lingkungan
dan
merencanakan
serta
mewujudkan
harapan- harapannya.
Independency merupakan perilaku yang aktivitasnya diarahkan pada diri sendiri,
tidak
mengharapkan
pengarahan
dari
orang
lain
dalam
menyelesaikan
masalahnya. Self reliance mempunyai ciri-ciri adanya kebutuhan yang menonjol
untuk memperoleh pengakuan orang lain, merasa mampu mengontrol tindakannya
sendiri dan penuh inisiatif.
Menurut Witkin dalam Anastasia (1986) orang yang mandiri memiliki
field dependency rendah (tidak tergantung) yaitu individu yang mampu secara
mandiri
membentuk
tanggapan-tanggapan,
mengorganisir
pengalamannya
berdasarkan hasil pemikiran yang analitis sehingga dalam kehidupan masyarakat
tidak mudah terpengaruh.
Hetherington dalam Spencer dan Kass (1976) dalam Rahmah (2004)
menyatakan bahwa kemandirian ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk
mengambil inisiatif, kemampuan untuk mengatasi masalah, penuh ketekunan,
memperoleh kepuasan dari usahanya serta berkeinginan mengerjakan sesuatu
tanpa bantuan orang lain.
Ciri-ciri sikap mandiri menurut beberapa ahli dalam Djunanah (1999)
yaitu: (1) memenuhi diri atau identitas diri, (2) memiliki kemampuan inisiatif, (3)
membuat pertimbangan sendiri dalam bertindak, (4) mencukupi kebutuhan
sendiri, (5) bertanggungjawab atas tindakannya, (6) mampu membebaskan diri
dari keterikatan yang tidak perlu, (7) dapat mengambil keputusan sendiri dalam
bentuk kemampuan memilih.
Sementara itu, Komar (1998) menyimpulkan bahwa kemandirian adalah
kemampuan seseorang untuk berada dalam suatu situasi yang memiliki ciri-ciri
percaya diri, mampu menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain, mampu
berpendapat sendiri, mempunyai tujuan hidup yang jelas dan tidak terpengaruh
oleh pendapat orang lain.
38
Robert Havighurst (1972) dalam Mutadin (2002) menambahkan bahwa
kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu :
Emosi , aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan
tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua.
Ekonomi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi
dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua.
Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi.
Sosial, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari
orang lain.
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap responden bersuku Jawa,
Batak dan Bugis, Masrun (1989) dalam (Rahmah, 2004) menyimpulkan bahwa
aspek-aspek kemandirian dalam konteks Indonesia adalah: (1) bebas, tindakan
yang dilakukan atas kehendak sendiri bukan karena orang lain dan tidak
tergantung pada orang lain, (2) progresif dan ulet, adanya usaha untuk mengejar
prestasi, penuh ketekunan, merencanakan serta mewujudkan harapan- harapannya,
(3) inisiatif, kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara rasional dan kreatif,
(4) pengendalian diri, mampu mengatasi masalah yang dihadapi dan mampu
mengendalikan tindakannya, dan (5) kemampuan diri (self esteem, self
confidence).
Kemandirian, seperti halnya kondisi psikolo gis yang lain, dapat
berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui
latihan yang dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini. Latihan
tersebut dapat berupa pemberian tugas-tugas tanpa bantuan, dan tentu saja tugastugas tersebut disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak. Dengan latihan
terus menerus akan tumbuh sikap mandiri dalam diri anak yang pada gilirannya
dengan sikap mandiri tersebut seorang anak akan mampu menghadapi
permasalahan (Mutadin, 2002).
Menurut Erikson dalam Lie dan Prasasti (2004), pada usia 6-12 tahun,
anak
belajar
menjalankan
kehidupan
sehari- hari
secara
mandiri
dan
bertanggungjawab. Jika orangtua bisa membimbing dengan baik, anak menjadi
39
rajin dan bersemangat untuk melakukan kegiatan yang produktif bagi
kemajuannya sendiri.
Kemandirian anak dilihat dari aspek inisiatif ditunjukkan dengan adanya
kemampuan anak dalam mengatasi masalah yang dihadapi berkaitan dengan
tugas-tugas atau PR (Pekerjaan Rumah) dari sekolah dan hubungan dengan teman.
Selain itu, kemandirian anak dapat dilihat dari kemampuannya mengerjakan
sendiri beberapa hal seperti merawat tubuh (mandi, menggosok gigi), merapikan
dan membersihkan kamar, merapikan dan melipat pakaian, menata buku dan
perlengkapan sekolah, menyiapkan sarapannya sendiri, merapikan mainan
sesudah bermain, dan melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga yang ringan
seperti mencuci piring dan gelasnya sendiri sesudah makan. Kemampuan
memutuskan dan memilih ditunjukkan oleh kemampuan anak memilih pakaian
yang sesuai untuknya, mengelola uang saku dan merawat binatang peliharaan
sebagai ungkapan perasaan kasih sayang, perhatian dan kepedulian (Lie dan
Prasasti, 2004).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak
Perkembangan kemandirian dapat bersumber dari dalam diri anak maupun
dari luar. Perkembangan kemandirian yang bersumber dari dalam diri anak
meliputi jenis kelamin, usia dan hereditas, sedangkan yang bersumber dari luar
adalah pembentukan oleh lingkungan, termasuk pola asuh orang tua dan proses
belajar mengajar di sekolah (Suyoto, 1982).
Menurut beberapa ahli dalam Rahmah (2004), faktor- faktor yang
mempengaruhi kemandirian adalah: intelegensia, pola asuh orang tua, jenis
kelamin, usia, status pekerjaan ibu, latar belakang budaya dan daerah asal, urutan
kelahiran, dan tingkat pendidikan ibu.
Makin tinggi intelegensia seseorang makin tinggi juga kemandiriannya.
Pola asuh demokratis paling mungkin menghasilkan anak yang mandiri.
Perbedaan perlakuan pada anak laki- laki dan anak perempuan juga mempengaruhi
kemandiriannya. Anak laki- laki dituntut oleh lingkungan sosial untuk lebih
mandiri. Perilaku ma ndiri juga meningkat sesuai dengan usia, semakin bertambah
40
usia seseorang maka perilaku mandirinya akan makin berkembang dan perilaku
tergantung akan berkurang. Anak yang ibunya bekerja mencari nafkah ternyata
lebih mandiri dibandingkan anak-anak yang mempunyai ibu yang tidak bekerja
(Rahmah, 2004).
Perkembangan kemandirian juga dipengaruhi latar belakang budaya dan
daerah asal. Tingkat kemandirian pada suatu kebudayaan berbeda dengan
kebudayaan yang lain. Perbedaan adat istiadat yang dianut oleh masing- masing
suku bisa menyebabkan perbedaan perkembangan kualitas kemandirian. Budaya
desa dan kota mempengaruhi perkembangan kepribadian. Anak yang berasal dari
desa kurang mandiri karena terikat lingkungan keluarga. Urutan kelahiran dalam
keluarga sangat berpengaruh terhadap terbentuknya sikap dan perilaku anak. Anak
sulung dituntut lebih mandiri dibandingkan anak-anak yang lahir kemudian.
Pendidikan ibu mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam menghadapi anakanaknya. Ibu yang berpendidikan bersikap lebih baik. Makin tinggi pendidikan
ibu akan mendorong kemandirian anak (Rahmah, 2004).
Hurlock
(1991)
menyebutkan
lima
faktor
yang
mempengaruhi
kemandirian, yaitu: (1) keluarga: misalnya perlakuan ibu terhadap anak, (2)
sekolah: perlakuan guru dan teman sebaya, (3) media komunikasi massa: misalnya
majalah, koran, televisi dan sebagainya, (4) agama: misalnya sikap terhadap
agama yang kuat, (5) pekerjaan atau tugas yang menuntut sikap pribadi tertentu.
Selanjutnya Hurlock menyebutkan bahwa melalui teman sebaya, anak
belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima dan
menolak pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga. Anak mempelajari pola
perilaku yang diterima oleh kelompoknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan pengakuan dan penerimaan oleh teman sebaya.
Penelitian Suyoto (1982) tentang pola asuh anak-anak remaja pada
berbagai kelas sosial di Yogyakarta menemukan bahwa kemandirian remaja
berkorelasi secara signifikan dengan variabel- variabel pendidikan, usia dan
tingkat interaksi orang tua.
Penelitian lain yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan bahwa
ketika single mother tinggal dengan orang dewasa lain, terutama ibunya,
keduanya bisa menyediakan pengasuhan anak seperti pada keluarga dengan dua
41
orang tua ( Kellam, Ensminger dan Turner dalam Cherlin, 2002). Sementara
beberapa penelitian lain menunjukkan jika ada orang dewasa lain, seperti nenek
yang ada di rumah, anak nampaknya akan berperilaku lebih baik dan juga lebih
baik di sekolah. Hal ini disebabkab karena tugas mengawasi perilaku anak
mungkin lebih sulit dilakukan oleh satu orang tua (Cherlin, 2002).
Berbeda dengan temuan penelitian tersebut, penelitian Dhamayanti (2006)
terhadap kemandirian anak usia 2,5 – 4 tahun di Yogyakarta menyebutkan bahwa
faktor banyaknya keluarga tidak memberikan kontribusi terhadap kemandirian
anak. Tipe keluarga yaitu nuclear family dan extended family tidak banyak
berperan dalam perkembangan kemandirian anak. Sementara itu, Olsen (1974)
berpendapat
bahwa figur otoritas dari extended family yang berperan dalam
membentuk kemandirian anak dengan cara mempengaruhi pola pengasuhan yang
dilakukan oleh ibu.
Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak
Dalam menanamkan kemandirian kepada anak, Mutadin (2002) menyarankan orang tua untuk mempertimbangkan: (1) komunikasi: berkomunikasi dengan
anak merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menghindari hal- hal yang
tidak diinginkan. Tentu saja komunikasi di sini harus bersifat dua arah, artinya
kedua belah pihak harus ma u saling mendengarkan pandangan satu dengan yang
lain. (2) kesempatan : orangtua sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak
untuk melakukan sendiri apa yang bisa dilakukannya. (3) tanggungjawab:
bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang diperbuat merupakan kunci
untuk menuju kemandirian. (4) konsistensi: konsistensi orangtua dalam
menerapkan disiplin dan menanamkan nilai- nilai sejak masa kanak-kanak di
dalam keluarga akan menjadi panutan bagi anak untuk dapat mengembangkan
kemandirian. Kemandian merupakan suatu sikap indivBBB
Menurut Kelman dalam Brigham (1991), pengaruh komunikasi kita pada
orang lain berupa tiga hal, yaitu internalisasi, identifikasi dan ketundukan.
Internalisasi terjadi bila individu menerima pengaruh dan bersedia memenuhi
permintaan karena hal tersebut sesuai dengan apa yang dipercayainya dan sistem
42
nilai yang dianutnya. Identifikasi terjadi bila individu meniru perilaku atau sikap
seseorang atau kelompok karena sikap tersebut sesuai dengan apa yang
dianggapnya sebagai bentuk hubungan yang diinginkannya. Ketundukan terjadi
bila individu menerima pengaruh dari orang lain atau kelompok lain karena ia
berharap memperoleh reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian Baumrind dan Bach dalam Wijaya (1986)
ditemukan bahwa orang tua yang demokratis akan menumbuhkan keyakinan dan
kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri pada anak,
seperti membuat keputusan sendiri yang akan berakibat pada munculnya tingkah
laku mandiri yang bertanggungjawab bagi anak-anak mereka.
Orang tua demokratis menunjukkan penggunaan pola komunikasi dialogis.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Stewart dan Koch (1983) yang menjelaskan
bahwa orang tua demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orang
tua dan anak. Mereka selalu mendengarkan keluhan dan pendapat anak-anak,
memberikan alasan tindakannya kepada anak, mendorong anak bertindak secara
obyektif. Mereka tegas tetapi hangat dan penuh pengertian. Anak diakui
keberadaannya oleh orang tua serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Download