Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 35-40 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN TIPE THINK TALK WRITE DAN GENDER TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMPN 12 PADANG Sari Rahma Chandra1), Ahmad Fauzan2), dan Helma3) 1) 2,3) FMIPA UNP, email: [email protected] Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA UNP Abstract Mathematical communication ability is one of the learning goals that want to be developed in learning mathematics. This research aimed at investigating the differences in mathematical communication ability by using Think Talk Write (TTW) and conventional model, based on gender. This research was quasy experiment using Randomized Control Group Only design. Data about mathematical communication ability of the students were collected through a test and were analyzed by using t-test. The results of the research showed that mathematical communication ability of the students who taught using TTW model was significantly higher than those who taught using conventional model. This conclusion was also valid for male and female students Keywords – mathematical communication ability, Think Talk Write model, conventional model, Gender PENDAHULUAN Tujuan pembelajaran matematika di sekolah agar siswa memiliki kompetensi untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. (Kompetensi atau kecakapan matematika yang diharapkan dapat tercapai melalui pembelajaran matematika tertuang dalam Permendiknas no. 22 tentang standar isi [1]). Di sini dinyatakan bahwa tujuan pelajaran matematika di SD/MI SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK adalah diantaranya agar peserta didik: 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah ; 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3)Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika poin keempat, komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan penting yang harus dikembangkan dalam diri peserta didik. Komunikasi matematis sangat penting karena matematika tidak hanya menjadi alat berfikir yang membantu siswa untuk menyelesaikan masalah, tetapi juga sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikiran, ide, dan gagasan secara jelas. Akan tetapi, kemampuan komunikasi matematis sering terabaikan dalam pembelajaran matematika di sekolah. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan di SMPN 12 Padang dari tanggal 2-7 September 2013, diperoleh informasi bahwa masih banyak siswa yang sibuk dengan aktivitas lain saat pembelajaran berlangsung. Guru sudah berusaha agar seluruh siswa terlibat dalam pembelajaran. Pada kegiatan pembelajaran biasanya guru menjelaskan materi terlebih dahulu, setelah itu siswa diminta untuk menyampaikan informasi yang telah diterimanya dengan bertanya. Jika tidak ada siswa yang bertanya, maka siswa dianggap telah memahami materi pelajaran matematika dan dipersilahkan mencatat materi yang telah diajarkan. Hasil wawancara dengan beberapa orang siswa kelas VIII SMPN 12 Padang yang dilakukan saat jam istirahat, siswa merasa matematika merupakan pelajaran yang membosankan dan sulit untuk dipahami. Sebagian lagi mengatakan matematika merupakan pelajaran yang menarik karena menantang bagi mereka. Walaupun demikian sebagian besar mengatakan mereka sulit mengerti dengan materi yang diajarkan. Lingkungan yang tenang dan cara mengajar guru sangat berpengaruh bagi siswa dalam menerima pelajaran. Kondisi ini mengakibatkan hasil belajar siswa yang masih rendah, terlihat dari persentase jumlah siswa yang tuntas pada ulangan harian I kelas VIII SMPN 12 Padang memiliki nilai persentase di bawah KKM yang ditetapkan. 35 Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 35-40 Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai matematika siswa kelas VIII SMPN 12 Padang masih belum memuaskan. Hal ini terjadi karena dalam pembelajaran matematika masih banyak siswa yang cenderung pasif dan kurang antusias menanggapi pertanyaan dari guru. Dalam mengerjakan soal latihan siswa menirukan langkah-langkah yang sama persis dengan contoh yang diberikan oleh guru. Ini mengakibatkan siswa tidak terbiasa mengungkapkan ide-ide atau gagasan yang berbeda dalam menyelesaikan masalah. Ketika siswa dihadapkan dengan soal yang berbeda tetapi masih dalam konsep yang sama, siswa sering tidak mampu menyelesaikannya. Selain itu, siswa juga mengalami kesulitan membuat model matematika atau menggambarkan situasi dari permasalahan sehari-hari yang berhubungan dengan topik yang sedang dipelajari. Mereka kesulitan dalam memahami permasalahan tersebut dan kurang mampu menggambarkannya dalam bahasa matematika. Hal ini memperlihatkan kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah. Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa tidak terlepas dari peran serta guru dalam pembelajaran. Menurut [2] menyatakan bahwa guru sebagai pendorong kreativitas berperan untuk: 1)Menemukan cara yang lebih baik dalam pembelajaran; 2) Melatih siswa-siswa untuk aktif dan kreatif dalam pembelajaran; 3) Guru dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan suasana belajar yang nyaman dan memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa. sehingga pembelajaran tersebut dapat dijadikan sebagai wadah bagi siswa untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan mereka; 4)Melatih dan meningkatkan kemampuan siswa dalam memberikan penjelasan atau bukti dari setiap gagasan yang digunakan dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Permasalahan tersebut diperkirakan dapat diatasi dengan menerapkan model pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa adalah model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write (TTW). Dalam model pembelajaran ini siswa diberikan waktu untuk melakukan kegiatan berfikir, menyusun ide-ide atau gagasan dan kemudian menuliskannya. Pada proses pembelajaran matematika di kelas, Siswa laki-laki dan siswa perempuan mengikuti proses pembelajaran dengan bermakna. Dalam hal ini, dikenal istilah gender yaitu siswa laki-laki dan perempuan yang sedang mengikuti pelajaran di kelas. Gender di dalam kelas kurang mendapat perhatian, karena metode mengajar guru belum tentu sesuai dengan karakteristik dari gender, serta pemilihan metode mengajar yang digunakan oleh guru masih kurang. Hasil observasi menunjukkan bahwa siswa laki-laki malas menuliskan informasi penting yang diberikan oleh gurunya. Untuk itu dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write kebiasaan belajar siswa laki-laki diharapkan dapat lebih baik dari pada sebelumnya. Siswa perempuan mempunyai kebiasaan belajar yang tekun dan rajin. Tidak hanya dalam kebiasaan belajar, hasil belajar siswa laki-laki dan perempuan juga diharapkan lebih baik dari sebelumnya. Penggunaan Think Talk Write (TTW) diperkenalkan oleh [3]. TTW termasuk salah satu tipe pembelajaran kooperatif. Dalam penggunaan TTW diharapkan dapat mengembangkan kemampuan komunikasi siswa. TTW dikembangkan melalui proses think (berfikir), talk (berbicara) dan write (menulis). TTW dimulai dari keterlibatan siswa dalam berfikir sendiri setelah membaca materi selanjutnya berbicara atau membagikan ide dengan teman dan dilanjutkan dengan menuliskan laporan atau kesimpulan. Menurut [4] “Pembelajaran ini dimulai dengan berfikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi dan alternatif solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian membuat laporan hasil presentasi”. Kegiatan berfikir dapat dilihat dari proses siswa membaca suatu teks atau cerita matematika kemudian membuat catatan apa yang telah dibaca. Dalam membuat catatan siswa menterjemahkan sendiri apa yang telah dibaca ke bahasanya sendiri. Membuat catatan dapat mempertinggi pengetahuan siswa dan meningkatkan keterampilan berfikir dan menulis. Setelah tahap think (berfikir) dilanjutkan dengan tahap talk yaitu berkomunikasi. Siswa menggunakan bahasa untuk menyajikan ide kepada temannya, membangun teori bersama, berbagi strategi solusi, dan membuat definisi. Tahapan write atau menulis berarti mengkonstruksi ide melalui tulisan. Menulis dalam matematika membantu merealisasikan salah satu tujuan pembelajaran yaitu pemahaman siswa tentang materi apa yang dipelajarinya. Kegiatan menulis membantu siswa dalam membuat hubungan dan juga memungkinkan guru melihat kemampuan komunikasi tertulis siswa. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru sebagai alternatif strategi mengajar yang diterapkan di sekolah untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasy experiment). Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized Control Group Only Design. Pada rancangan penelitian ini populasi dipilih secara acak untuk ditentukan sebagai kelompok percobaan (eksperimen) dan kelompok kontrol. Kedua kelompok penelitian diberikan instrumen berupa tes kemampuan komunikasi matematis. Kemudian hasil tes kemampuan komunikasi matematis akan dianalisis menggunakan rubrik penskoran. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 12 Padang. Setelah melakukan beberapa prosedur dalam penarikan sampel maka 36 Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 35-40 terpilihlah kelas VIII.5 sebagai kelompok eksperimen dan kelas VIII.3 sebagai kelompok kontrol. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel bebas yaitu model pembelajaran yang terdiri dari model pembelajaran TTW yang diterapkan pada kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional yang diterapkan pada kelas kontrol. Variabel moderator yaitu gender yang terdiri dari perempuan dan laki-laki. Variabel terikat yaitu kemampuan komunikasi matematis siswa. Data pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini yaitu: (1) Data hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa yang dilihat dari pemberian tes akhir di kelas eksperimen dan kelas kontrol. (2) Data pendukung, yaitu data perkembangan kemampuan komunikasi matematis pada kelas eksperimen yang dilihat dari Lembar Kerja Siswa(LKS). Data sekunder dari penelitian ini adalah data nilai ulangan harian I semester ganjil siswa kelas VIII SMPN 12 Padang tahun pelajaran 2013/2014 dan jumlah siswa yang diperoleh dari guru matematika dan tata usaha sekolah. Prosedur penelitian dibagi atas tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap akhir. Instrumen penelitian ini adalah tes kemampuan komunikasi matematis. Pada instrumen tes kemampuan komunikasi matematis, soal yang digunakan berbentuk essay yang berjumlah 6 item soal. Materi yang diujikan berupa materi yang diberikan selama penelitian berlangsung yaitu “Relasi dan Fungsi”. Sebelum tes diberikan kepada kelas sampel, dilakukan pengujian soal tes. Teknik analisis data yang digunakan adalah ANAVA satu arah. Pengujian hipotesis dilakukan di bawah taraf signifikan α = 0,05. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu diuji persyaratan menggunakan Anava meliputi kenormalan sebaran data dan homogenitas variansi. Normalitas sebaran data diuji menggunakan uji Anderson-Darling, sedangkan uji homogenitas variansi dilakukan dengan menggunakan uji-F. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa hipotesis yang diajukan pada penelitian ini ditolak dan semua pengujian dilakukan dengan menggunakan software minitab. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dilihat berdasarkan gender diperoleh dengan mengolah data hasil tes kemampuan komunikasi matematis, sedangkan data perkembangan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen diperoleh dari penilaian LKS sebagai data pendukung. A. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Perbedaan nilai rata-rata yangi cukup tinggi, menjadi ukuran bahwa nilai tes komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model TTW lebih tinggi dari pada siswa yang pembelajarannya secara konvensional. Rata-rata nilai tes komunikasi matematis siswa kelas eksperimen adalah 83,84 dan siswa kelas kontrol adalah 48. Siswa di kelas eksperimen memperoleh nilai maksimum, nilai minimum lebih tinggi dari pada nilai maksimum, nilai minimum yang diperoleh siswa di kelas kontrol, sedangkan standar deviasi siswa kelas kontrol lebih tinggi dari pada siswa di kelas eksperimen. B. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Perempuan Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Deskripsi hasil dari kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan pada kelas sampel memberikan gambaran bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan pada kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas kontrol. Rata-rata nilai tes komunikasi matematis siswa perempuan pada kelas eksperimen adalah 80,83 dan pada kelas kontrol adalah 98,39. Siswa perempuan di kelas eksperimen memperoleh nilai maksimum, nilai minimum dan standar deviasi lebih tinggi daripada nilai maksimum, nilai minimum dan standar deviasi siswa perempuan di kelas kontrol. C. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Laki-laki Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Deskripsi hasil dari kemampuan komunikasi matematis siswa laki-laki kelas sampel memberikan gambaran bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa laki-laki pada kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kemampuan komunikasi matematis siswa lakilaki pada kelas kontrol. Rata-rata nilai tes komunikasi matematis siswa yang laki-laki kelas eksperimen adalah 93,37 dan siswa kelas kontrol 43. Siswa di kelas eksperimen memperoleh nilai maksimum, nilai minimum lebih tinggi daripada nilai maksimum dan nilai minimum siswa di kelas kontrol. Namun nilai standar deviasi siswa di kelas eksperimen lebih rendah daripada siswa di kelas kontrol. Hal ini menunjukkan nilai siswa pada kelas eksperimen lebih seragam. Sebagai data pendukung, pada penelitian ini juga dilihat perkembangan kemampuan komunikasi matematis siswa melalui hasil LKS pada setiap pertemuan. Berdasarkan data yang diperoleh, secara umum terlihat bahwa rata-rata nilai LKS mengalami peningkatan dan penurunan dari pertemuan pertama sampai pertemuan berikutnya. Rata-rata nilai LKS masing-masing pertemuan dapat dilihat pada Tabel 1. TABEL 1 RATA-RATA NILAI LKS PADA SETIAP PERTEMUAN LKS Pertemuan Rata-rata ke1 76,09 2 67,18 3 60,56 4 73,75 5 82,18 6 86,40 37 Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 35-40 Dari data pada Tabel 4 terlihat bahwa nilai rata-rata terendah terjadi pada pertemuan ketiga yaitu 60,56. Sedangkan nilai rata-rata tertinggi terjadi pada pertemuan keempat yaitu 86,40. Pada pertemuan kedua rata-rata nilai LKS siswa mengalami penurunan dari pertemuan pertama yaitu 67,18. Namun pada pertemuan ketiga ratarata nilai LKS siswa mengalami penurunan mencapai nilai 60,56. Pada pertemuan keempat rata-rata nilai LKS mengalami peningkatan yang cukup besar mencapai nilai 73,75. Namun pada pertemuan kelima rata-rata nilai LKS siswa kembali mengalami peningkatan mencapai nilai 82,18. Pada pertemuan selanjutnya rata-rata nilai LKS siswa mengalami peningkatan mencapai nilai 86,40. Analisis dilakukan terhadap data hasil tes kemampuan komunikasi matematis. Analisis ini bertujuan untuk menguji hipotesis penelitian. Sebelum menguji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas variansi. Uji normalitas kelas sampel dilakukan dengan menggunakan uji Anderson-Darling. Untuk data kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen diperoleh nilai P = 0,266 sedangkan kelas kontrol diperoleh nilai P = 0,362. Jadi dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa kelas sampel berdistribusi normal. Untuk data kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan kelas eksperimen, diperoleh nilai P besar dari 0,05 yaitu 0,360, sehingga data berdistribusi normal. Untuk data kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan kelas kontrol, diperoleh nilai P lebih besar dari 0,05 yaitu 0,056, sehingga data berdistribusi normal. Untuk data kemampuan komunikasi matematis siswa laki-laki kedua kelas sampel, diperoleh nilai P lebih besar dari 0,05 yaitu 0,301 dan 0,166 sehingga data berdistribusi normal. Uji homogenitas variansi dilakukan pada data kemampuan komuniksi matematis siswa perempuan, siswa laki-laki pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Selain itu juga terlihat bahwa nilai P dari semua kelas sampel > = 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa semua kelas sampel mempunyai variansi homogen. Data kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, dan data kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal, dan data kemampuan komunikasi matematis siswa laki-laki berdistribusi normal, sehingga untuk menguji hipotesis 1, 2, dan 3 digunakan uji-t. a) Hasil perhitungan uji-t untuk hipotesis pertama diperoleh thitung = 11,45 dengan taraf nyata 0,05 dengan ttabel = 2,14, karena thitung > ttabel maka hipotesis nol ditolak. Hal ini berarti bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model TTW lebih tinggi daripada siswa yang diajar secara konvensional. b) Hasil perhitungan uji-t untuk hipotesis kedua diperoleh thitung = 8,06 dengan taraf nyata 0,05 diperoleh ttabel = 2,14, karena thitung > ttabel hipotesis nol ditolak. Hal ini berarti kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write lebih tinggi daripada kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan yang diajar secara konvensional. c) Hasil perhitungan uji-t untuk hipotesis ketiga diperoleh thitung = 8,99 dengan taraf nyata 0,05 dengan ttabel = 2,14, karena thitung > ttabel maka hipotesis nol ditolak. Hal ini berarti kemampuan komunikasi matematis siswa laki-laki yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write lebih tinggi daripada kemampuan komunikasi matematis siswa laki-laki yang diajar secara konvensional. Untuk menunjang hasil uji hipotesis mengenai kemampuan komunikasi matematis, maka dilakukan analisis data terhadap masing-masing item soal tes kemampuan komunikasi matematis. Kemampuan komunikasi matematis siswa diukur sesuai dengan indikator kemampuan komunikasi matematis yang telah ditetapkan. Hasil yang diperoleh adalah persentase siswa berdasarkan skor kemampuan komunikasi matematis pada kelas eksperimen dominan lebih tinggi daripada kelas kontrol. Jadi, dapat disimpulkan bahwa secara umum kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas kontrol. persentase siswa perempuan berdasarkan skor kemampuan komunikasi matematis pada kelas eksperimen dominan lebih tinggi daripada kelas kontrol . Jadi, dapat disimpulkan bahwa secara umum kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada siswa perempuan pada kelas kontrol. Sedangkan, persentase siswa berdasarkan skor kemampuan komunikasi matematis pada kelas eksperimen dominan lebih tinggi daripada kelas kontrol. Jadi, dapat disimpulkan bahwa secara umum kemampuan komunikasi matematis siswa laki-laki pada kelas kontrol lebih tinggi daripada siswa laki-laki pada kelas eksperimen. Pada pengujian hipotesis pertama diperoleh bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model TTW lebih tinggi daripada siswa yang diajar secara konvensional. Hal ini diduga karena pada model pembelajaran kooperatif tipe TTW adanya kesempatan bagi siswa untuk berdiskusi dengan teman kelompok dan berbagi dengan teman di dalam kelas. Model pembelajaran ini dapat menjadikan siswa aktif mengerjakan teks soal/permasalahan matematika yang diberikan oleh guru, tidak ada lagi siswa yang hanya menunggu penjelasan dari guru. Berdasarkan kejadian di kelas siswa sering menanyakan hal-hal yang kurang mereka pahami dan mengemukakan ide mereka kepada guru. Pada proses pembelajaran dengan model TTW ini terjadi proses komunikasi dua arah. Dalam proses 38 Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 35-40 pembelajaran yang berlangsung selama penelitian, siswa sudah terbiasa menyampaikan ide dan gagasannya, sehingga mereka dapat dengan mudah menuliskan dan mengkomunikasikan jawaban dari soal yang diberikan. Kondisi ini membuat kemampuan matematis siswa pada aspek komunikasi matematis khususnya komunikasi tertulis lebih baik. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan siswa dalam menjawab soal yang terkait dengan kemampuan komunikasi matematis. Pada pembelajaran konvensional, pembelajaran berlangsung satu arah, siswa terlihat kurang aktif dan hanya sedikit yang mau memperhatikan guru menerangkan, dan beberapa siswa juga tampak meribut dengan teman-temannya. Siswa juga kesulitan mengkomunikasikan ide karena disebabkan siswa tidak terbiasa berkomunikasi. Hanya beberapa orang saja yang mampu mengkomunikasikan ide matematikanya dalam bentuk tulisan. Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hal-hal tersebutlah yang merupakan penyebab terjadinya kemampuan matematis khususnya kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajar dengan model TTW lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajar secara konvensional. Pada pengujian hipotesis kedua, diperoleh bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa laki-laki yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe TTW lebih tinggi daripada kemampuan komunikasi matematis siswa laki-laki yang diajar secara konvensional. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13 pada kelas eksperimen siswa laki-laki memperoleh rata-rata kemampuan komunikasi matematis yang lebih tinggi daripada siswa laki-laki di kelas kontrol. Pada dasarnya siswa laki-laki memiliki kecenderungan lebih baik apabila selalu dibimbing dan diarahkan oleh guru, karena mereka mempunyai ciri khas berupa ketergantungan besar terhadap lingkungannya. Hal ini sesuai dengan proses pembelajaran yang diterapkan di kelas kontrol yaitu pembelajaran konvensional. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Nasution (2008: 210) bahwa pembelajaran konvensional umumnya berbentuk ceramah, berorientasi pada kegiatan guru dengan mengutamakan proses mengajar, siswa umumnya bersifat pasif karena lebih banyak mendengarkan penjelasan guru, dan guru berfungsi sebagai penyebar atau penyalur pengetahuan [5]. Oleh karena itu, siswa laki-laki cenderung lebih baik dalam menerima pembelajaran secara konvensional. Namun, berdasarkan hasil penelitian, skor yang tinggi lebih didominasi oleh kelompok siswa yang pembelajarannya menggunakan model TTW. Siswa laki-laki kelas eksperimen lebih baik daripada siswa laki-laki kelas kontrol, karena pada kelas yang pembelajarannya menggunakan model TTW siswa lakilaki memperhatikan guru menjelaskan materi pelajaran selama proses pembelajaran, Siswa laki-lakinya berlomba-lomba dalam menyelesaikan permasalahan matematika yang diberikan oleh guru, Siswa laki-laki tertib dalam kelas, dan tidak mengganggu teman sekelas selama proses pembelajaran. Setelah diberikan teks soal matematika, siswa laki-laki kelas eksperimen menyelesaikannya sesuai dengan petunjuk yang diberikan guru, tanpa mengeluh. Berikut adalah salah satu lembar jawaban siswa laki-laki kelas eksperimen. Pada pengujian hipotesis ketiga diperoleh bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe TTW lebih tinggi daripada siswa yang diajar secara konvensional. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 12 pada kelas eksperimen siswa perempuan memperoleh rata-rata kemampuan komunikasi matematis yang lebih tinggi daripada siswa perempuan di kelas kontrol. Pada kelas eksperimen siswa perempuan saling berebut untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan dalam kelompoknya dan berlomba-lomba untuk mengerjakan soal tersebut ke depan kelas sebagai perwakilan dari kelompoknya masing-masing. Tidak ada anggota kelompok yang tidak mengerti bagaimana cara menyelesaikan soal matematika tersebut, karena semua anggota kelompok mengerti dan paham menyelesaikan permasalahan yang diberikan guru. Fenomena ini dapat terjadi karena dalam proses pembelajaran dengan model TTW, siswa dibentuk secara berkelompok dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Hal ini memberikan dampak positif bagi siswa laki-laki, karena karakteristik mereka berorientasi sosial dan cenderung mengutamakan keterampilan sosial dan humaniora. Sehingga keinginan untuk belajar lebih tinggi karena siswa akan lebih banyak bersosialisasi dan bekerja sama dengan siswa lain dalam mengutarakan permasalahan yang dihadapi dan langkah-langkah penyelesaian masalah. Karena beberapa yang dijelaskan tadi, maka dapat dikatakan bahwa siswa laki-laki yang diajar dengan model pembelajaran TTW lebih baik daripada siswa laki-laki yang diajar secara konvensional. Selama penelitian berlangsung, ditemukan beberapa keterbatasan, diantaranya yaitu keterbatasan waktu. Hal ini dirasakan saat dilakukannya diskusi kelompok yang menghabiskan banyak waktu bagi siswa untuk menentukan pertanyaan yang mengarah kepada indikator kemampuan komunikasi matematis, karena masingmasing siswa diwajibkan membaca, mendiskusikan, dan menuliskan hasil diskusi penyelesaian soal tiap-tiap pertemuan. Karena hal tersebut, maka waktu yang didapatkan untuk presentasi kelompok kurang optimal walaupun setiap tahapan model TTW pada LKS sudah ditetapkan waktunya. Hal ini menyebabkan proses pembelajaran yang berlangsung tidak sesuai dengan rancangan proses pembelajaran. Selanjutnya keterbatasan dalam pengelolaan kelas terutama dalam pembagian kelompok belajar. Pada pertemuan pertama, dalam pembagian kelompok ada beberapa orang siswa yang kurang menyetujui anggota kelompok yang diperoleh, setelah diberi penjelasan bahwa masing-masing siswa akan berada pada kelompok yang berbeda pada setiap pertemuan selanjutnya, maka siswa tersebut dapat menerima kondisi demikian. 39 Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 35-40 3. Disarankan kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai perbedaan pengaruh model pembelajaran Think Talk write(TTW) terhadap kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematis yang bisa meningkatkan tujuan pembelajaran yang lebih baik dari sebelumnya. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan model TTW lebih tinggi dari siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. 2. Kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan yang menggunakan model TTW lebih tinggi dari siswa perempuan yang menggunakan pembelajaran konvensional. 3. Kemampuan komunikasi matematis siswa lakilaki yang menggunakan model TTW lebih tinggi dari siswa laki-laki yang menggunakan pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh, maka saran yang dapat dikemukakan yaitu: 1. Proses pembelajaran yang menggunakan model TTW dapat menjadi salah satu variasi teknik mengajar bagi guru untuk meningkatkan tujuan pembelajaran matematika di sekolah khususnya pada aspek kemampuan komunikasi matematis. 2. Guru hendaknya lebih menguasai aspek-aspek yang terkandung dalam kemampuan komunikasi matematis, sehingga diharapkan tidak terjadi banyak kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal komunikasi matematis. REFERENSI [1] [2] [3] [4] [5] Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional No. 22, 23, 24. Jakarta: Depdiknas E. Mulyasa. 2010. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bandung: Remaja Rosdakarya. Huinker, D.A. dan Laughlin, C. (1996). Talk Your Way Into Writing. Dalam P.C Elliot dan M.J Kenney (Eds). Yearbook Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Reston, VA: The National Council of Teachers of Mathematics. Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka. Nasution, S. 2008. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. 40