FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM

advertisement
FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN
SOEHARTO
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Syahrul Wilda
NIM:1111033100016
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H. / 2017 M.
i
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
iii
LEMBAR PERNYATAAN
iv
ABSTRAK
FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN
SOEHARTO
Ajaran Astabrata pada hakikatnya memuat ajaran-ajaran yang baik dan
bijak apabila diterapkan oleh setiap manusia dan pemimpin khususnya.
Berdasarkan data dan analisa penulis, Soeharto sebagai pemimpin yang lama
berkuasa di Indonesia sangat banyak menerapkan ajaran Astabrata dalam
bertindak, hanya sebagian kecil dari ajaran tersebut yang tidak diterapkannya.
Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menganalisa sejauh mana
keterikatan dan penerapan Soeharto dengan budaya Jawa selama memimpin
Indonesia, khususnya ajaran Astabrata yang juga menjadi gagasan utamanya
dalam menjalankan kepemimpinan.
Berdasarkan literatur dan referensi yang penulis dapat, dari delapan watak
Dewa yang ada dalam ajaran Astabrata, yaitu dewa Indra, Yama, Surya, Candra,
Bayu, Kuwera, dan Brama hanya dua yang belum diterapkan oleh Soeharto secara
sempurna, yaitu watak Dewa Indra tentang pemerataan kesejahteraan dan watak
Dewa Surya dalam sifat pemaaf.
Kata Kunci: Dewa, Kepemimpinan, Jawa, Soeharto, Astabrata.
v
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum wr. wb.
Syukur atas nikmat Allah SWT yang terus mengiringi setiap langkah para
hamba-Nya dalam segala proses kehidupan. Karena-Nya penulis diberi
kemudahan selama penyusunan skripsi ini, sehingga dapat menyelesaikannya
dengan baik. Salawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan
pilihan, Nabi Muhammad Saw. Atas selesainya karya ilmiah ini tidak lepas dari
bantuan materil maupun moril dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Agus Darmaji, M. Fils., selaku Dosen Pembimbing yang selalu
memberikan arahan, motivasi dan membimbing penulis dengan baik,
hingga terselesaikannya skripsi ini.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Ketua Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam dan Abdul Hakim Wahid, SHI.,MA., selaku Sekretaris
Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
4. Drs. Nanang Tahqiq, MA., selaku dosen mata kuliah metode penelitian
yang telah mengajarkan pada penulis tentang ketelitian dan ketekunan.
5. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik.
6. Ayahanda Sanusi Saputra dan Ibunda Fatmadewita, kedua orang tua yang
selalu memberikan motivasi, serta doa selama penulis menjalankan
pendidikan di manapun penulis berada, serta adik-adik tercinta, Syahrul
Thaib, Raudhatul Jannah, Zaharatul Jannah, Annisatul Fauziah, Annisatul
vi
Fitri, dan Muhammad Farhan. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan
rahmat dan kasih sayang kepada mereka.
7. Desy Yeni Verawati, wanita yang begitu terspesial yang telah banyak
membantu dan menemani perjuangan penulis untuk menyelesaikan studi
ini.
8. Sahabat dan uda-uda seperantauan yang berasal dari Minangkabau, Erikh,
Muhammad Hafiz, Muhammad Hanafi, Muhammad Ishaq, Hafiz Satria
Putra.
9. Sanak seperjuangan Gagah Kamek 2011 yan telah memberikan
kebersamaan dan dukungan kepada penulis, Rizan, Firdo, Capaik,
Momon, Zaim, Yolla, Dilla, Rifa, Andam, dll.
10. Seluruh sahabat Aqidah Filsafat 2011, baik yang sudah selesai ataupun
yang belum. Yang belum semoga cepat selesai.
11. Teman-teman seangkatan, al-Fatih dan el-Khansa yang masih tetap
kompak bersama-sama berjuang, Amir, Ghani, Hary, Aji, Ihsan Nita,
Ghina, Yayat, Siti, Nadia, dll.
12. Keluarga Ikatan Alumni Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek
Ciputat, Rasyid, Harry, Oktaviondri, dll yang telah banyak membantu
penulis selama masa studi.
13. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut membantu
dalam perjuangan penulis, terima kasih tak terhingga penulis sampaikan.
Semoga kita dirahmati Allah Swt. Amin.
vii
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan wawasan
pengetahuan bagi siapapun yang berkesempatan membacanya.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Jakarta, 29 Maret 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
F.
Metode Penelitian ...................................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 12
BAB II FILSAFAT KEPEMIMPINAN ASTABRATA ...................................... 14
A. Pengertian Filsafat Kepemimpinan ............................................................ 14
B. Pengertian Astabrata ..................................................................................... 18
C. Sejarah dan Perkembangan Ajaran Astabrata .............................................. 19
D. Konsep Kepemimpinan Astabrata ............................................................. 23
ix
BAB
III
RIWAYAT
HIDUP
DAN
KEPEMIMPINAN
PRESIDEN
SOEHARTO……………………………………………………………………..
33
A. Riwayat Hidup Soeharto ............................................................................ 33
B. Indonesia di Bawah Soeharto ..................................................................... 41
BAB IV KEPEMIMPINAN SOEHARTO BERDASARKAN FILSAFAT
ASTABRATA....................................................................................................... 51
A. Soeharto dan Filsafat Astabrata ................................................................. 51
B. Analisis Kepemimpinan Soeharto Berdasarkan Filsafat Astabrata ........... 53
C. Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Islam ....................................................... 77
1. Kepemimpinan Perspektif al-Fārābī .......................................................... 78
2. Analisis Nilai-Nilai Kepemimpinan Islam dengan Astabrata pada
Soeharto……………………………………………………………………. 81
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 84
A. Kesimpulan ................................................................................................ 84
B. Saran-saran ................................................................................................. 85
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 86
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
xi
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Soeharto merupakan presiden yang paling lama menjabat dan berkuasa di
pemerintahan Indonesia yaitu selama 32 tahun. Masa pemerintahannya dikenal
sebagai Orde Baru. Menurut O.G Roeder banyak para kritikus yang mengenal
sebagai seorang yang otoriter, militeristik, ambisius namun murah senyum. 1
Selama masa kepemimpinannya, Soeharto banyak meninggalkan jasa-jasa baik
dalam bidang politik, perokonomian, kesehatan, maupun pendidikan. Meskipun
pada akhir kepemimpinannya terjadi krisis ekonomi, kerusuhan nasional, sosial
dan politik.2
Kekuasaan yang dimiliki oleh Soeharto diterima dari Presiden Soekarno.
Melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS),
pada 12 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden hingga setahun
kemudian akhirnya dilantik menjadi presiden ke-2 Indonesia. 3 Selama masa
pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas nasional sangat dijaga, sehingga
banyak kebijakan yang ditetapkan untuk mencapai tujuan tersebut seperti,
dwifungsi ABRI, pembatasan jumlah partai politik, menjadikan Pancasila sebagai
1
O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. Penerjemah A. Bar Salim & A. Hadi
Noor (Jakarta: Gunung Agung, 1976), hal. 5.
2
Thee Kian Wie,"Pembangunan Ekonomi:Pertumbuhan dan Pemerataan” dalam Taufik
Abdullah dan A.B Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011), hal. 146.
3
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,
(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 190.
1
2
asas tunggal organisasi-organisasi masyarakat yang ada. Semua tentara dan
pegawai hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa, Partai
Golongan Karya (Golkar). Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada
masa itu bisa diberikan penilaian dari dua sisi, pertama memang kebijakan
tersebut dapat mencapai apa yang menjadi tujuan pemerintah masa itu, kedua
kebijakan tersebut sangat memberikan batasan kepada manusia Indonesia dalam
menyampaikan aspirasi ataupun sikap tidak setuju mereka dengan pemerintah,
dan bahkan juga ada pendapat yang mengatakan tindakan tersebut merupakan
kejahatan HAM. William Liddle, guru besar Departemen Ilmu Politik, Ohio State
University, Columbia sebagaimana dikutip M. Fadjroel Rahman mengatakan
sebagai mantan ketua Dewan Pembina Golkar pada Orde Baru, Golkar selalu
mendukung Soeharto 100 persen selama 32 tahun, tujuh kali masa jabatan
presiden, tak peduli apakah Soeharto telah melakukan kejahatan HAM sejak
1965-1998, mematikan demokrasi, menjajah Timor Timur ataupun menembak
dan memenjarakan mahasiswa serta rakyat.4
Akan tetapi, benarkah apa yang telah dilakukan oleh Soeharto merupakan
suatu kejahatan HAM dan menindas demokrasi, karena tak jarang kita temui
sekarang ini masih ada slogan-slogan yang merindukan kepemimpinan Soeharto
kembali. “Piye kabare? Enakan jamanku toh?” Kalimat dalam bahasa Jawa
tersebut sering kita temui di tempat-tempat publik dalam bentuk stiker, bahkan
sampai kepada kaos yang dipakai sehari-hari.
Gaya
kepemimpinan
kepemimpinan
4
Soeharto
proaktif-ekstratif
merupakan
dengan
gabungan
adaptif-antisipatif,
dari
gaya
yaitu
gaya
M. Fadjroel Rachman,”Jejak Langkah (daripada) Partai Golkar,” dalam Bagus Dharmawan
ed., Warisan (daripada) Soeharto, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008), hal. 527.
3
kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai
sesuatu yang berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh ke depan dan
sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian. Selain itu sebagai pribumi asli
Indonesia, keturunan Jawa, gaya kepemimpinan Soeharto juga dikenal dengan
istilah “gaya kepemimpinan Jawa” karena pada masa kepemimpinannya Soeharto
banyak mengadopsi budaya kekuasaan Jawa.
Budaya Jawa berpengaruh besar dalam politik pemerintahan tidak pernah
pupus sejak Indonesia memasuki kemerdekaan hingga kini. Presiden Soekarno
misalnya, pernah menerapkan prinsip bahwa seorang bapak adalah pemimpin bagi
anak-anaknya, sebagaimana raja-raja Jawa terhadap rakyat kebanyakan. Upaya
sistematis untuk menghidupkan kembali pola lama kekuasaan raja tradisional
diteruskan oleh pemerintah Soeharto dengan lebih intens.5
Sebagai bukti keterkaitan kepemimpinan Soeharto dengan budaya Jawa
adalah pendapat Wilson berikut. Wilson dalam artikelnya mengatakan bahwa
Soeharto pada masa Orde Baru menjalankan kekuasaannya berdasarkan filosofi
Astabrata. 6 Selain itu seperti dikatakan oleh Denys Lombard “Soeharto sering
meminta nasehat pada dukun Jawa, dan istrinya telah memperkokoh pertalian
Soeharto dengan Mataram dan membawanya ke dalam lingkaran keraton
Mangkunegaraan.”7 Bukti lain adalah Astabrata sering dijadikan sebagai bahan
5
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika Orde
Baru Soeharto (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 81.
6
Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati," dalam Robertus Robet & Todung
Mulya Lubis, ed., Politik Hukuman Mati di Indonesia (Serpong: CV. Marjin Kiri, 2016), hal. 10.
7
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris.
Penerjemah Winarsih Arifin (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 71.
4
dalam penataran Pancasila serta dipahatkan dalam relief di dinding lobi gedung
utama Sekretariat Negara di Jakarta.8
Kepemimpinan Jawa bersifat sinkretis, artinya konsep-konsep yang diambil
adalah konsep-konsep yang berasal dari agama yang memiliki pengaruh pada pola
pikir di Jawa, khususnya Islam dan Hindu. Pola pikir Islam biasanya diambil dari
ajaran-ajaran tasawuf yang mengedepankan aspek wara’(menjauhi kemewahan
dunia) dan hidup sederahana seperti seorang sufi yang meninggalkan kehidupan
dunia untuk mencapai kebahagiaan sejati. Sedangkan pengaruh Hindu di
antaranya Gung Binatara (besar seperti dewa), Ambeg Paramarta (bagaikan
dewa), Panatagama (pemimpin itu merupakan penata agama), Astabrata (ajaran 8
sifat dewa).9
Berdasarkan pemaparan di atas tentang kepemimpinan Soeharto dan budaya
kepemimpinan Jawa, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
gaya kepemimpinan Soeharto secara lebih mendalam dan memandangnya dari sisi
filsafat kepemimpinan Astabrata.
Astabrata diyakini sebagai ajaran tentang kode etik kepemimpinan sejak
dulu hingga saat ini, ajarah Astabrata sangat populer dalam kehidupan masyarakat
Jawa. Astabrata dikenali masyarakat melalui tradisi tulis dan tradisi lisan. Tradisi
tulis yang memuat Astabrata dapat ditemukan pada karya tulis atau karya sastra
Jawa tradisional (zaman istana atau masa kerajaan). Sebagai contoh, pada masa
8
Bambang Wiwoho, “Falsafah Kepemimpinan Astabrata” artikel diakses pada 15 Januari
2016 dari www.teropongsenayan.com/27216-falsafah-kepemimpinan-hasta-brata
9
Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang Membangun
Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal. 6.
5
pemerintahan kraton Surakarta telah digubah sastra Jawa bertuliskan huruf Jawa
yang memuat ajaran Astabrata.10
Dalam kitab-kitab bertuliskan huruf Jawa, nama Astabrata dapat ditemukan
dalam beberapa naskah. Pertama, nama Astabrata terdapat dalam Ramayana
Kakawin seperti dalam bait berikut:11
(Hyang Indra Yama Surya Candra, Bayu, Kuwera Baruna, Agni nahan
wolu, Sirata ma angga sang Bhupati, Matang nira ninisthi Astabrata.)
(Hyang Endra, Yama Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, dan
Brahma(Agni), yaitu namanya dewa delapan.
Dewa delapan itu menyatu dalam pribadi raja, maka dewa itu disebut
Astabrata.)
Nama Astabrata juga terdapat dalam naskah Serat Nitisuri zaman sastra
Jawa pertengahan. Kutipannya sebagai berikut:12
(Salwir bawane kang sinung wadi
Ing naya mong jagad jaga-jaga
Arjuning rat saestine
Astagina ginelung
kang ginulang-gulang ing pangling,
reh Sang Ramawijaya,
wijiling pamuwus
warah ring Sang Wibisana
sananing Astaguna guniteng sari
sarehning Astabrata)
(Semua yang telah diberi pelajaran,
Diberi tahu pengetahuan rahasia menjaga dunia,
Agar mulia dan sejahtera
Yang selalu diinginkan hati adalah delapan hal,
Maka selalu dipelajari dan dibicarakan setiap hari
Apakah yang disebut delapan hal itu?
Yaitu nasihat pelajaran Sri Ramawijaya
Kepada Arya Wibisana,
Tentang tata cara menjalankan negara,
Yaitulah yang disebut ajaran Astabrata)
10
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma
Raja ( Yogyakarta: Adiwacana, 2006), hal. 50.
11
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51.
12
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51
6
Selain itu nama Astabrata juga terdapat dalam naskah-naskah lain seperti
Serat Rama Jarwa, Pakem Makutharama, atau dalam kitab Babad Sangkala.
Sementara itu dalam tradisi lisan, Astabrata dikenali masyarakat melalui naskah
pakem wayang dan pementasan wayang purwa (wayang kulit).13
Selain itu Astabrata juga diajarkan melalui sastra tulis dan seni pertunjukan.
Untuk seni pertunjukan terdapat dua jenis tradisi seni pertunjukan yang menjadi
medium pengajaran nilai-nilai Astabrata, yakni seni pertunjukan berupa naskah
dan seni pertunjukan dalam bentuk pegelaran wayang kulit. Dalam sastra tulis
wayang, ajaran Astabrata terdapat dalam buku Pakem Makutharama yang ditulis
oleh Siswaharsoyo. Nilai-nilai Astabrata disampaikan oleh tokoh bernama
Begawan Kesawasidi kepada Arjuna. Tampaknya ajaran Kesawasidi kepada
Arjuna tersebut berasal dari kitab Babad Sangkala. Hal itu terlihat dari tokoh
simbolik yang dicontohkan yang memiliki watak kepemimpinan. Dalam kitab
Babad Sangkala watak kepemimpinan tidak lagi diambil dari watak delapan dewa
sebagaimana terdapat dalam kitab Kakawin Ramayana, Serat Nitisruti, dan Serat
Rama karya Yasadipura di Surakarta, melainkan diambil dari delapan watak
benda-benda alam.14
Ada beberapa alasan mengapa penulis ingin melakukan penelitian ini.
Pertama, karena Soeharto merupakan seorang pemimpin yang cukup lama
memimpin Indonesia, ada pendapat yang mengatakan pada masa Soeharto
Indonesia menjadi makmur dan damai, sehingga bisa dikatakan beliau merupakan
sosok pemimpin yang baik, tetapi tak sedikit juga yang mengatakan bahwa beliau
13
14
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51-52.
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 53-54.
7
otoriter dan membunuh demokrasi. Kedua, Filsafat kepemimpinan Astabrata
mengatur tentang kebaikan raja atau pemimpin yang disamakan dengan kebaikan
Dewa dalam agama Hindu. Dengan begitu, dapat diartikan bahwa pada sosok
pemimpin yang baik juga melekat kebaikan para Dewa. Salah satu yang dikatakan
kebaikan dewa dan harus dimiliki oleh raja dalam Astabrata adalah kemampuan
untuk membasmi semua kejahatan demi menjaga negara yang tentram. Bisa
dikatakan salah satu tindakan Soeharto untuk menjaga ketentraman Indonesia
pada masa Orde Baru, sama dengan salah satu teori dalam Astabrata tersebut,
sehingga bisa mempertahankan kekuasaannya yang begitu lama. Ketiga, penulis
mengangkat tokoh Soeharto karena ia merupakan seorang tokoh keturunan Jawa,
dan Astabrata merupakan filsafat kepemimpinan berdasarkan budaya Jawa.
Sebagaimana kita ketahui sejauh ini pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya
merupakan orang Jawa, maka penulis ingin mengetahui seberapa besar pengaruh
filsafat kepemimpinan Astabrata bagi seseorang, dan bisakah ajaran filsafat
kepemimpinan Astabrata menjadi pegangan bagi seorang pemimpin.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis berusaha mengangkat permasalahan
tersebut dalam satu pembahasan skripsi dengan judul: “Filsafat Astabrata:
Implementasi Dalam Kepemimpinan Soeharto”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam skripsi ini penulis memfokuskan diri pada konsep filsafat Astabrata
yang delapan, serta menghubungkannya dengan gaya kepemimpinan presiden
Soeharto. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah yang
akan dibahas pada skripsi ini, yakni:
1. Bagaimana filsafat kepemimpinan berdasarkan filsafat Astabrata?
8
2. Bagaimana kepemimpinan Soeharto berdasarkan filsafat kepemimpinan
Astabrata?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendiskripsikan sifat-sifat seorang pemimpin berdasarkan filsafat
kepemimpinan Astabrata.
2. Mendeskripsikan
kepemimpinan
Soeharto
berdasarkan
filsafat
kepemimpinan Astabrata.
3. Menganalisa relevansi kepemimpinan Soeharto dengan ajaran-ajaran
Astabrata.
4. Upaya memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu
(S1).
D. Manfaat Penelitian
Selain untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1), penelitian ini juga
dilakukan untuk memberikan manfaat pada khayalak. Serta dapat menambah
wawasan tentang filsafat kepemimpinan Astabrata yang merupakan salah satu
filsafat asli Jawa. Penulis juga hendak menghadirkan bahwa Indonesia ataupun
Nusantara memiliki corak filsafat tersendiri. Yang berbeda dari filsafat lain, baik
Barat maupun Timur bagi para akademisi secara umum dan di Fakultas
Ushuluddin secara khusus.
9
E. Tinjauan Pustaka
Sebagai
seorang mantan
presiden
Indonesia,
pembahasan
tentang
kepemimpinan Soeharto menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji. Di UIN
Jakarta beberapa mahasiswa telah menulis tentangnya. Di antaranya adalah Dudi
Maududi dalam skripsinya Islam dan Soeharto: Analisis Kebijakan Politik
Pemerintahan Soeharto Terhadap Islam Politik (Skripsi, Pemikiran Politik Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005). Dalam skripsinya tersebut Dudi Maududi
membahas keadaan Islam politik pada masa Soeharto yang terpinggirkan
berdasarkan ketetapan dan kebijakan pemerintahan Soeharto. Penyebab
terpinggirkannya Islam politik pada masa itu; pertama, umat Islam pada masa itu
berpandangan bahwa partai Islam satu-satunya kendaraan untuk mencapai tujuan
politik. Sehingga, Soeharto berpandangan hal tersebut sebagai suatu ancaman
politik, dan harus disingkirkan. Kedua, sumber daya manusia dari kalangan Islam
Politik belum siap bersaing dengan kelompok lain. Akibatnya, Soeharto memilih
kelompok lain sebagai partner dalam menjalankan pemerintahannya dengan
tujuan memperbaiki kehidupan masyarakat dalam bidang politik dan ekonomi.
Kemudian, Saiman Vidiananda dengan skripsinya Nasionalisme Pancasila
dalam Perspektif Soeharto (Skripsi, Pemikiran Politik Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008). Dalam skripsinya dijelaskan bahwa menurut
Pancasila bagi Soeharto merupakan suatu pandangan hidup yang digali dan
ditetapkan oleh para pendiri bangsa. Konsep pemikiran Soeharto tentang
Nasionalisme Pancasila sangat menciptakan terbentuknya suatu kehidupan yang
adil, makmur, demokratis. Dengan Nasionalisme Pancasila inilah bangsa
Indonesia dapat bersama-sama meraih kemerdekaan.
10
Selanjutnya, Yuanita Rusalia Harneni dengan judul Tinjauan Islam tentang
Etika Politik Soeharto (Skripsi, Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009). Dalam skripsinya, ia membahas etika politik Soeharto yang sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Jawa yang dipelajarinya saat masih kecil,
dikatakannya Soeharto tidak peduli dengan etika politik modern, kalaupun ada
diterapkan hanya pada segi formalnya saja, adapun esensi hukum yang diterapkan
Soeharto tetap mengacu pada etika budaya Jawa.
Skripsi yang terakhir adalah karya Nita Setiawati tentang Politik Hukum
Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik (Studi Terhadap Undangundang No. 8 Tahun 1985) (Skripsi, Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2006). Skripsi tersebut membahas tentang bentuk konfigurasi politik pada
masa Soeharto yang menunjukkan pemerintahan yang otoriter dan sentralistik.
Pemerintahan Soeharto juga telah melahirkan politik hukum demokrasi yang tidak
adil dan tidak demokratis. Ditandai dengan lahirnya undang-undang nomor 8
tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan mengenai penerapan Pancasila
sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik dan organisasi kemasyarakatan.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah penulis teliti dan uraikan di atas,
maka skripsi yang penulis ini merupakan sesuatu yang berbeda dengan tulisantulisan sebelumnya yang juga membahas tentang Soeharto.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teknik library research
(studi kepustakaan). Teknik ini berupaya untuk mengumpulkan data-data terkait
permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai literatur, baik
primer maupun sekunder. Literatur primer yang penulis gunakan tentang filsafat
11
Astabrata adalah buku Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh,
Tripama, Dasa Darma Raja karya Pardi Suratno terbitan Adiwacana di
Yogyakarta pada tahun 2006. Sementara sumber primer tentang Soeharto adalah
buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang ditulis oleh Ramadhan
K.H dan G. Dwipayana merupakan autobiografi dari wawancara langsung
Soeharto, yang diterbitkan oleh Citra Lamtoro Gung Persada di Jakarta pada
1989.
Sedangkan literatur sekunder yang penulis gunakan di antaranya adalah
Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi ditulis oleh
beberapa orang penulis yang mayoritas merupakan para sarjana dari luar negeri
dan Donald K. Emmerson sebagai editornya, para penulis dalam buku ini
membahas bagaimana kondisi Indonesia pada masa Soeharto, pra Soeharto dan
pasca Soeharto, diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama bekerja sama
dengan The Asia Foundation pada tahun 2001.
Indonesia dalam Arus Sejarah karya Daud Aris Tanudirjo yang diterbitkan
oleh Ichtiar Baru Van Hoeve di Jakarta pada tahun 2011.
Sri
Wintala
Achmad
dengan
bukunya
yang
berjudul
Falsafah
Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX dan Jokowi terbitan Araska
Publisher di Yogyakarta pada 2013, buku ini selain memaparkan falsafah
kepemimpinan tokoh yang menjadi judul buku di atas juga memaparkan falasafah
kepemimpinan raja-raja jawa dahulu.
Ada juga buku Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau:
Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX yang pada awalnya
12
merupakan tesis karya Soemarsaid Moertono dan kemudian diterbitkan oleh
Yayasan Obor Indonesia pada tahun 1985 di Jakarta.
Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan analitis.
Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang
jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan skripsi ini. Sementara analitis
dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis
sehingga mengena pada inti permasalahan.
Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik tahun
2011/2012 Program Strata Satu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang disusun
oleh Tim Penyusun Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada
sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh HIPIUS
(Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin).
G. Sistematika Penulisan
Untuk
keserasian
pembahasan
dan
mempermudah
penulis
dalam
menganalisa materi penulisan, maka penulis menggambarkan sistematika
penulisan skripsi ini sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang uraian permasalahan
secara global dan menyeluruh mengenai materi, konteks, arah, dan ruang lingkup
pembahasan yang terdiri dari; latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
13
Bab II, penulis membahas tentang riwayat hidup Soeharto, pemerintahan
Orde Baru dan sangat memfokuskan pada tulisan tentang keadaan Indonesia di
bawah pimpinan Soeharto.
Bab III, penulis mendeskripsikan tentang filsafat kepemimpinan Astabrata
yang mencakup: pengertian filsafat kepemimpinan, sejarah dan perkembangan
ajaran Astabrata, dan delapan sifat pemimpin berdasarkan filsafat kepemimpinan
Astabrata.
Bab IV yang merupakan inti pembahasan penulis dari skripsi ini, berisi
tentang bagaimana kepemimpinan Soeharto berdasarkan filsafat Astabrata.
Bab V berisi tentang penutup dari skripsi yang berisi kesimpulan dari
pembahasan dengan memberikan jawaban atas rumusan masalah yang telah
dicantumkan pada bab Pendahuluan.
BAB II
FILSAFAT KEPEMIMPINAN ASTABRATA
BAB II FILSAFAT KEPEMIMPINAN ASTABRATA
A. Pengertian Filsafat Kepemimpinan
Untuk memahami apa itu filsafat kepemimpinan Astabrata, penulis
mengambil acuan terlebih dahulu kepada apa itu pengertian filsafat, apa itu
pengertian kepemimpinan. Hal ini sangatlah penting sehingga penulis tidak
melenceng terlalu jauh untuk memahami apa itu filsafat kepemimpinan Astabrata
yang juga merujuk kepada beberapa sumber lain nantinya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata benda “falsafah” dengan
“gagasan dan pandangan mendasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat;
pandangan hidup.” Kata kerja ”berfalsafah” diartikan dengan “ memikirkan
dalam-dalam tentang sesuatu; mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang dalam,
yang dijadikan pandangan hidup.”1 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga
ditemukan kata benda lain “filsafat” yang diartikan “teori tentang kebenaran; ilmu
yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.”2 Jadi sebenarnya
dalam bahasa Indonesia “filsafat” memiliki arti yang lebih luas dari “falsafah”,
dan kata “falsafah” merupakan salah satu arti kata “filsafat”.
Kata filsafat berasal dari kata Yunani philosophia, philos atau philei yang
berarti cinta atau suka, dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan atau hikmah
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,(Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal 387.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 392.
14
15
(wisdom), jadi philosophia berarti cinta akan kebijaksanaan. Maksudnya orangorang yang berfilsafat akan berusaha untuk menjadi bijaksana.3
Selain itu kata philosophy juga mempunyai banyak arti lain, diantaranya:
1) Mencintai dan memajukan kebijaksanaan dengan menggunakan sarana
intelektual dan moral disiplin-diri; 2) Investigasi terhadap sebab-sebab dan
hukum-hukum yang mendasari realitas; 3) Penyelidikan terhadap keadaan segala
sesuatu berdasarkan pemikiran logis daripada metode-metode empiris; 4) Ilmu
pengetahuan
yang terdiri atas logika, etika, estetika, metafisika, dan
epistemologi.4
Namun, pengertian secara etimologi ini tidak dianggap cukup untuk
memahami filsafat, sehingga harus memperhatikan konsep dan definisi yang
dibuat para filsuf dengan masing-masing sudut pandangnya. Di antara pandangan
tersebut yaitu, Plato memberikan istilah dengan dialetika yang berarti seni
berdiskusi untuk mencapai pengetahuan kebenaran asli. Filsafat adalah
pengetahuan yang meliputi kebenaran, di dalamnya terkandung ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika (Aristoteles). Menurut
al-Farabi filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari
segala yang ada, Descartes mengatakan filsafat merupakan kumpulan segala
pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikannya.
Menurut Francis Bacon, filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu. Bagi
Imanuel Kant, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dari segala
pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan: 1) Apa yang dapat kita
3
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat (Jakarta: Wijaya, 1978), hal. 9
Abdul Azis, “Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam” pada Seminar “Bill of
Human Rights: On Falsafa of Leadership in Interreligious Perspectives” (Ciputat, 20 September
2016), hal. 2.
4
16
kerjakan (metafisika), 2) Apa yang seharusnya kita kerjakan (etika), 3) Sampai di
mana harapan (agama), 4) Apakah yang dinamakan manusia (antropologi).5
Konsep dan defenisi yang diajukan para filsuf itu banyak sekali dan
berbeda-beda, namun dari semua perbedaan itu dapat diambil garis besarnya,
bahwa: Filsafat adalah proses berpikir secara radikal, sistematik, dan universal
terhadap segala yang ada dan mungkin ada. Dengan kata lain, berfilsafat berarti
berpikir secara radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akar-akarnya), sistematik
(teratur, runtut, logis, dan tidak serampangan), untuk mencapai kebenaran
universal (umum, terintegral, serta tidak khusus dan tidak parsial).6
Tetapi menurut penulis, sesuai dengan pembahasan skripsi ini lebih tepat
mengartikan filsafat dengan apa yang disebut Bahasa Indonesia dengan falsafah
yaitu, gagasan dan pandangan mendasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat
tentang kehidupan.
Sementara untuk kata “kepemimpinan”, Kamus Besar Bahasa Indonesia
menjelaskannya berasal dari kata “pimpin” diartikan (dalam keadaan) dituntun,
dibimbing, jari berpegangan (bergandengan) tangan. “Memimpin” antara lain
diartikan: mengetuai, mengepalai, membimbing, memandu, melatih supaya dapat
mengerjakan sendiri. Sedangkan “kepemimpinan” diartikan: perihal pemimpin,
cara memimpin.7
Kata “kepemimpinan” sepadan dengan bahasa Inggris leadership dan
dalam Bahasa Arab imamah. Secara etimologis, kata kerja to lead berasal dari
kata Inggris lama leden, atau loaden yang berarti “membuat berlangsung,
5
Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX &
Jokowi (Yogyakarta: Araska, 2013), hal. 20-21.
6
Ali Maksum, Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hal. 11.
7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 1074.
17
membimbing, menunjukan jalan” dan dari bahasa Latin ducere yang berarti
“menghela,
menyeret,
menarik;
mengarahkan,
membimbing.
Kata
lead
mempunyai beberapa arti, di antaranya: membimbing dengan tangan, memimpin
ke tempat mana saja, memimpin sebagai kepala atau komandan, memperlihatkan
cara mencapai, menularkan suatu tata krama. Leader didefinisikan; seorang yang
memimpin, seorang yang bergerak lebih dahulu, ketua partai atau fraksi.8
Terdapat beberapa tokoh yang memberikan definisi tentang pengertian
kepemimpinan, di antaranya Swansburg (1995), kepemimpinan merupakan proses
untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok yang terorganisasi dalam usahanya
mencapai penetapan dan pencapaian tujuan. George Terry (1986), kepemimpinan
adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan suka
rela di dalam mencapai tujuan kelompok. Sementara Sullivan dan Decker
menyebutkan, kepemimpinan merupakan penggunaan keterampilan seseorang di
dalam mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan sesuatu dengan sebaikbaiknya selaras dengan kemampuannya.9
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka penulis memberikan definisi
kepemimpinan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan istilah “filsafat kepemimpinan” dalam
tulisan ini, penulis mengutip pendapatnya Abdul Azis yang disampaikan pada
seminar internasional tentang “Filsafat Kepemimpinan dalam Perspektif AgamaAgama di Indonesia” pada 20 September 2016, yaitu:
8
9
Abdul Azis,“Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam,” hal. 3.
Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa, hal. 22-23.
18
Proses berpikir dengan cara radikal, rasional, menggali dasar-dasar yang
paling hakiki, guna menemukan kebenaran tentang kepemimpinan dalam
semua orientasi dan perspektifnya. Ke dalam “falsafah kepemimpinan” ini,
termasuk menemukan gagasan yang berada di balik berbagai teori
kepemimpinan, dan mengenali paradigma di balik pemikiran-pemikiran
falsafi tentang kepemimpinan. Penjelasan bagian terakhir ini penting,
mengingat falsafah kepemimpinan tidak terlepas dari kontek kelahirannya.
Hal ini berarti, perspektif falsafah kepemimpinan tidak terbatas kepada apa
yang telah diurai di atas, melainkan dapat diperluas dengan perspektif
keyakinan agama, perspektif kultural, perspektif wilayah geografis dan
seterusnya.10
B. Pengertian Astabrata
Nama atau kata Astabrata berasal dari dua kata, yakni asta dan brata. Kata
astha merupakan kosa kata dalam bahasa Jawa kuno atau Sanskerta. Kata astha
berarti “delapan.” Sementara itu kata brata merupakan kosa kata Jawa baru yang
berasal dari kosa kata Jawa kuno. Kata brata berarti “laku”. Kata “laku” dapat
juga disejajarkan dengan sikap, tindakan, atau sejenisnya. Kata laku dapat juga
disejajarkan dengan kata watak atau sifat. Dengan demikian Astabrata dapat
dimaknai “delapan laku” atau “delapan watak” atau “delapan sifat”. Kata asta
juga dekat dengan kata astha yang berarti membawa atau memegang. Dari kata
asta dapat dibentuk menjadi ngasta artinya memegang. Jika dihubungkan dengan
makna Astabrata, nama Astabrata dapat berarti tindakan atau laku memegang;
dan yang dipegang adalah negara. Jadi Astabrata dapat diartikan sebagai delapan
syarat dalam memegang negara atau pemerintahan.11
Berdasarkan definisi filsafat kepemimpinan yang telah dijelaskan di atas,
ajaran Astabrata bisa dikategorikan sebagai suatu kontek filsafat kepemimpinan,
berdasarkan pemaparan di atas bahwa filsafat kepemimpinan juga bisa berasal
dari perspektif keyakinan agama dan kultural.
10
11
Abdul Azis,“Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam,” hal. 4.
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal 54.
19
C. Sejarah dan Perkembangan Ajaran Astabrata
Kisah lahirnya ajaran Astabrata bisa diketahui dalam cerita wayang kulit
atau wayang purwa, khususnya dalam cerita Ramayana.12 Kisah tentang lahirnya
ajaran Astabrata tidak ditemukan dalam Ramayana di negara India, tetapi bisa
ditemukan di cerita Ramayana Kakawin atau Ramayana Jawa Kuna. Oleh sebab
itu sekalipun konsep ajaran tersebut telah ada dalam naskah agama Hindu di
India, namun cerita tentang lahirnya ajaran tersebut semata-mata merupakan
kreativitas pujangga Jawa. Ajaran Astabrata terdapat dalam beberapa karya sastra
Jawa, antara lain kitab Nitisruti, Serat Rama Jarwa, Babad Sangkala, Serat
Pakem Makutharama, dan Serat Partawigena.13
Cerita-cerita dalam ajaran tersebut menggambarkan nasehat Rama kepada
adiknya Bharata untuk memimpin kerajaan Ngayodya dan kepada Wibisana
ketika ragu-ragu untuk memimpin kerajaan Ngalengka setelah perang Brubuh.
Nasehat yang disampaikan Rama kepada Bharata dan Wibisana inilah yang
disebut dengan Astabrata pada sastra Jawa. 14
Sementara dalam cerita Mahabarata, ajaran Astabrata ini biasa
disampaikan kepada seorang satria dalam lakon-lakon tertentu, misalnya dalam
Wahyu
Makutharama
yang
menceritakan
diterimanya
wahyu
kearifan
kepemimpinan Rama Wijaya ini kepada Arjuna. Lakon ini dikenal dengan sebutan
Rama Nitik.15
12
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 55.
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 65.
14
Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang
Membangun Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal.
61.
15
Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal 61.
13
20
Sejak ajaran Astabrata menjadi populer, penyebarannya menjadi
berkembang melalui berbagai media, seperti buku terbitan, siaran radio,
sarasehan, seminar, dan berbagainya. Bahkan kisah atau inti ajaran Astabrata
menjadi pahatan relief atau diorama pada museum Purnabakti Taman Mini
Indonesia Indah (TMII). Ajaran Astabrata juga pernah dikutip dalam pidato
presiden Soeharto dalam salah satu acara penting di istana Bogor.16
Pada awalnya, Astabrata dalam Serat Rama Jarwa karya Yasadipura
terkait dengan ajaran kepemimpinan yang berkiblat pada watak delapan dewa,
sebagaimana ajaran Astabrata dalam agama Hindu tentang etika perilaku
(pemimpin) ke delapan Dewa tersebut adalah:
1. Dewa Indra.
2. Dewa Surya.
3. Dewa Bayu.
4. Dewa Kuwera.
5. Dewa Baruna.
6. Dewa Yama.
7. Dewa Candra.
8. Dewa Brama.
Di antara delapan Dewa di atas terdapat satu perbedaan antara ajaran
Astabrata Jawa dengan Astabrata Hindu, dalam agama Hindu terdapat watak
Dewa Agni yang dijadikan teladan bagi seorang pemimpin dan tidak terdapat
watak Dewa Brama.17
16
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 65-66.
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu (Surabaya:
Paramita, 2006), hal. 60.
17
21
Sesuai dengan perubahan cara pikir Jawa, orientasi watak kepemimpinan
itu menjadi bergeser kepada watak benda-benda alam. Pergeseran itu diawali
tatkala kelahiran ajaran Astabrata dimuat di dalam Babad Sangkala. Kemudian
teladan watak kepemimpinan pada benda-benda alam itu semakin mengental
dalam sosialisasi ajaran Astabrata melalui pagelaran wayang purwa, seperti dalam
ajaran Makutharama.18
Watak benda-benda alam yang menjadi teladan kepemimpinan berikutnya
adalah:
1. Watak bumi.
2. Watak air atau samudra.
3. Watak api.
4. Watak angin.
5. Watak matahari.
6. Watak rembulan.
7. Watak lintang atau bintang.
8. Watak mendhung atau awan.
Mengenai pergeseran orientasi tersebut terdapat ahli budaya yang
mengatakan telah terjadinya pergeseran pemanfaatan ajaran Astabrata. Jika
dahulu Astabrata diperuntukan para penguasa atau pemimpin, maka pergeseran
orientasi kepada benda-benda alam menunjukkan bahwa ajaran Astabrata telah
menjadi ajaran kerakyatan. Implikasinya tidak hanya pemimpin yang perlu
18
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 66.
22
meneladani delapan sifat dewa atau watak alam tersebut melainkan juga seluruh
rakyat tanpa terkecuali.19
Selain itu, menurut penulis pergeseran orientasi ini juga tidak lepas dari
perubahan pola pikir dan kepercayaan masyarakat Jawa. Orang Jawa yang
dahulunya bersifat animisme dan dinamisme telah bergeser kepada kepercayaan
terhadap agama-agama tertentu. Pada masa kerajaan di Jawa dahulu agama juga
sangat berpengaruh terhadap kekuasaan, sehingga hal ini juga memberikan
pengaruh kepada hukum, filsafat, dan sastra yang berkembang pada waktu itu.
Meskipun mengalami pergeseran, simbolisasi benda alam sebagai watak
panutan di atas sebagian besar memiliki kesejajaran makna dengan simbol dewa
dalam pemikiran sebelumnya. Benda-benda alam itu sebagian besar merupakan
nama lain yang identik dengan nama para dewa yang diharapkan jadi teladan
kepemimpinan tersebut. Air adalah nama lain dari Baruna, rembulan dari Candra,
angin dari Bayu, api dari Brama, matahari dari Surya, Kuwera sebagai Dewa
kekayaan, lautan atau air simbol dari Dewa Baruna.20
Untuk memperjelas pembahasan tentang konsep kepemimpinan Astabrata
penulis tidak bisa menghindarkan diri untuk masih mengambil landasan dari
watak dewa-dewa yang pernah ada dalam Astabrata meskipun konsepnya sendiri
mengalami pergeseran kepada watak benda-benda alam. Selain karena
keterbatasan referensi yang penulis dapat, hal ini juga tidak menjadi kendala
karena landasan uraian ini adalah dari perspektif budaya, bukan dari keyakinan
seperti yang diyakini oleh masyarakat Jawa dahulu.
19
20
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 69.
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 68.
23
D. Konsep Kepemimpinan Astabrata
Ajaran kepemimpinan Astabrata baik yang digambarkan oleh konsep
delapan dewa atau delapan simbol alam merupakan suatu kesatuan konsep yang
integral. Artinya, kedelapan watak itu harus menyatu pada diri seorang pemimpin.
Tidak dibenarkan seorang pemimpin hanya mengambil sebagian teladan tersebut,
sebab jika satu saja tertinggal maka negara yang dipimpinnya akan cacat. 21
Apabila delapan watak tersebut dapat menyatu dalam diri seorang pemimpin
watak tersebut disebut wolu-woluning ngatunggal (delapan dalam satu).22
1. Konsep kepemimpinan Dewa Indra
Dalam teks Astabrata dalam Serat Rama yang telah diterjemahkan,
dijelaskan bahwa dewa Indra merupakan dewa yang dengan bau-bauan
menghujani bumi, derma dananya menghambur merata ke seluruh dunia kepada
seluruh hambanya baik yang besar maupun yang kecil, tanpa membedabedakan.23
Dalam agama Hindu, Indra merupakan dewa yang paling penting di langit.
Mempunyai senjata halilintar dan mengendarai kereta yang kecepatannya
menyamai pikiran. Keberaniannnya sangat mempesona, Dia merupakan dewa
yang membantai raksasa Vrtra dan melepaskan air yang disanderanya. Indra
seringkali disamakan sebagai Tuhan Tertinggi. Kasih sayang dan welas asihnya
sangat disanjung. Dalam beberapa pahatan di kuil-kuil Indra dilukiskan dalam
21
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi
tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal.
174.
22
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 70.
23
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 174.
24
wujud manusia dengan empat lengan, yang mengendarai gajah surgawi
(Airavata).24
Dengan meneladani dewa Indra, seorang pemimpin diharapkan mampu
melindungi rakyat-rakyat kecil dan sangat memerlukan bantuan. Para pemimpin
hendaklah mampu dan berani memberikan perlindungan kepada rakyat kecil,
sehingga perlindungan yang diberikan dapat menimbulkan kebahagian dan
kesejahteraan bagi rakyat banyak.25
2. Konsep kepemimpinan Dewa Surya
Dalam etika Hindu, Surya merupakan pengendalian diri sesuai dengan
sifat-sifat atau perilaku dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang
memberikan sinarnya tanpa pilih kasih. Matahari juga meniadakan kegelapan dan
memberi kekuatan kepada alam semesta. Umat Hindu khususnya para pemimpin
harus dapat meniru sifat-sifat baik matahari. Mereka harus memberikan perhatian
terhadap sesamanya tanpa pilih kasih. Pemimpin harus mampu memberikan
bimbingan dan pendidikan agar manusia terhindar dari kegelapan tanpa pilih kasih
atau membeda-bedakan pangkat dan golongannya.26
Sementara dalam teks Astabrata yang telah diterjemahkan, Dewa atau
Batara Surya memiliki watak ambeg paramarta (berwatak halus), menurunkan
segala yang harum, restunya menanamkan rasa suasana yang sejuk. Batara Surya
selalu bersikap halus dan santun kepada siapapun. Maka siapapun yang berselisih
pendapat dengannya tetap menaruh rasa simpati dan malu/pakewuh. Batara Surya
24
I Wayan Maswinara, Dewa-Dewi Hindu (Surabaya: Paramita, 2007), hal. 9.
K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian untuk
Memperbaiki Tingkah Laku (Surabaya: Paramita, 2006), hal. 53.
26
K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 52-53.
25
25
sangat pandai mengambil hati terhadap semua pihak. Karena perangainya yang
halus dan lembut semua orang tak terasa tengah dirayu oleh Batara Surya, bahkan
musuh sekalipun dapat dirangkulnya tanpa merasa dikalahkan. Dengan demikian
siapapun yang melakukan kejahatan dapat dijinakkannya.27
3. Konsep Kepemimpinan Dewa Candra
Dewa Candra atau bulan menggambarkan sifat bulan yang memancarkan
sinarnya dengan sangat lembut. Bulan memberikan sinar terang di malam gelap.
Umat Hindu atau para pemimpin dalam agama Hindu hendaklah selalu bersikap
lemah lembut, ramah tamah, murah senyum dan tidak mudah marah. Pemimpin
juga harus menciptakan ketenangan dan ketentraman dalam lingkungannya.
Selain itu pemimpin juga harus dapat membantu rakyatnya yang dalam kesusahan
(kegelapan).28
Hampir sama dengan ajaran Hindu di atas, dalam teks Astabrata Jawa
watak Dewa Candra atau bulan merupakan seseorang yang memerintah dengan
harum manis, semua tindakan dan perilakunya manis sehingga menyejukkan
seluruh hati pegawai/bawahan dan rakyatnya. Selain itu Dewa Candra juga selalu
penuh ampun dan disayangi oleh para pandita.29
4. Konsep Kepemimpinan Dewa Bayu (Angin)
Angin atau udara merupakan suatu yang memberikan kehidupan kepada
manusia. Tanpa udara manusia tidak bisa hidup. Tiupan angin juga memberikan
kesejukan kepada manusia yang dapat menghindarkannya dari rasa gerah
27
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 233.
K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 53.
29
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 233.
28
26
kepanasan. Dalam ajaran etika Hindu dengan menirukan sifat angin, para
pemimpin hendaklah dapat mendorong seseorang untuk hidup rukun, hidup
dengan penuh toleransi atau timbang rasa, sehingga dijauhkan dari silang sengketa
yang dapat menimbulkan perkelahian sampai mati. Pemimpin juga harus dapat
menciptakan suasana sejuk, suasana yang selalu segar, sehingga terjalin suatu
kerjasama yang baik.30
Dewa Bayu atau watak angin merupakan dewa yang selalu meneliti dan
menyelidiki seluruh sepak terjang dan perilaku seluruh rakyatnya, seperti halnya
sifat angin yang mampu menelusup ke segala tempat dan situasi. Dalam
menyelidiki perilaku rakyatnya seorang pemimpin yang meneladani watak dewa
Bayu sangat berhati-hati dan hampir tidak kelihatan meskipun sedang melakukan
pengawasan terhadap rakyatnya. Batara Bayu mampu mengetahui segala
kejahatan dan kebaikan dari seluruh rakyatnya.31
Dengan watak angin, pemimpin setidaknya akan dapat (a) mengetahui
derajat keberhasilan Negara dalam membangun rakyatnya, (b) mengetahui
kekurangan pemerintahan yang telah dipimpinnya, (c) mengetahui penilaian
rakyat atas kepemimpinannya, (d) memahami dan merasakan susah dan
senangnya rakyat, (e) mengetahui tingkat kesejahteraan rakyat di seluruh
penjuru.32
30
K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 53.
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 234.
32
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 94.
31
27
5. Konsep Kepemimpinan Dewa Baruna
Dalam ungkapan masyarakat Jawa, sering terdengar ungkapan pentingnya
seorang pemimpin memiliki ati segara (hati lautan, artinya sabar). Maksudnya
seorang pemimpin perlu memiliki watak menerima segala persoalan dengan
lapang dada. Dewa Baruna dalam Serat Nitisruti, dan Serat Rama Jarwa
merupakan simbol dari air. Dewa Baruna kemanapun ia pergi selalu membawa
nagapasa, senjata yang sangat sakti. Sikap itu merupakan perlambangan bahwa
seorang pemimpin harus siap siaga dalam menjalankan tugas menjaga keamanan
dan kedamaian Negara. Dalam menjalankan tugasnya Dewa Baruna bekerja sama
dengan Dewa Yama sebagai penegak hukum dan keadilan. Dalam hal ini Dewa
Baruna berperan sebagai penangkap pelaku kejahatan dan Dewa Yama sebagai
pengadil.33
Sementara itu dalam etika pengendalian diri Hindu, Dewa Baruna
merupakan sosok yang patut dicontoh untuk selalu berusaha menegakkan keadilan
dan kebenaran, selalu waspada atas kemungkinan terjadinya kejahatan dan selalu
menghukum yang berbuat salah. Para pemimpin hendaknya selalu menghormati
peraturan dan ketentuan yang berlaku dan tidak mencoba untuk melanggarnya.
Mereka juga harus selalu waspada terhadap segala kejahatan yang akan muncul,
serta berani bertindak tegas dalam menghadapinya. Di samping itu pemimpin juga
harus berani menegakkan kebenaran dengan menghukum orang-orang yang salah.
33
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 99-100.
28
Sebaliknya, pemimpin juga harus mampu melindungi orang-orang yang tidak
bersalah terutama orang-orang kecil.34
Berdasarkan pemaparan di atas terdapat persamaan dan perbedaan tentang
sikap Dewa Baruna dalam ajaran Astabrata Jawa dan ajaran Astabrata Hindu.
Secara garis besar kedua ajaran tersebut menggambarkan Dewa Baruna sebagai
penegak keadilan dan selalu waspada. Tapi dalam ajaran Astabrata Jawa Dewa
Baruna hanyalah sebatas penangkap pelaku kejahatan sedangkan dalam ajaran
Hindu Dewa Baruna juga yang memberikan hukuman.
Sesuai dengan pergeseran yang terjadi pada ajaran Astabrata, Dewa
Baruna bergeser dengan watak air dan samudra, dengan meneladani watak air
pemimpin
diharapkan
menjadi
sumber
kehidupan
bagi
masyarakatnya
sebagaimana air merupakan sumber kehidupan. Tidak ada makhluk hidup yang
tidak memerlukan air, sama halnya dengan pemimpin yang selalu dibutuhkan
dalam suatu masyarakat, suku bangsa, dan suatu bangsa.35
Sedangkan samudra adalah kawasan air yang sangat luas. Samudra adalah
muara dari semua sungai yang memasuki lautan dengan membawa apa saja.
Semua itu diterima oleh lautan dan tidak pernah menolaknya. Ajaran yang
terkandung dari sifat samudra ini adalah seorang pemimpin harus dapat menerima
segala tindakan, persoalan, dan segala hal yang terjadi di negaranya. Dalam
menjalankan kepemimpinan itu ia harus menerima semuanya dengan lapang hati
dan keluasan akal budinya, seluas permasalahan yang dihadapinya. Pemimpin
tidak boleh menaruh rasa marah, dengki, dan benci sewaktu dicela dan dikritik
34
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 63-64.
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 100.
35
29
oleh rakyatnya. Seorang pemimpin harus menyadari bahwa di dunia senantiasa
ada dua hal yang saling berlawanan: senang dan susah, menyanjung dan
menghina, sepaham dan berselisih, baik dan buruk, membangkang dan taat, damai
dan rusuh. Kedua hal yang saling bertolak belakang itu menjadi isen-isening
jagat (isi dunia) yang akan tetap ada sepanjang masa.36
Sebaliknya, samudra juga memberi limpahan yang bermanfaat seperti
binatang laut yang cantik dan mempesona hati. Limpahan yang bermanfaat dan
binatang cantik itu dapat diibaratkan sebagai perilaku bawahan atau rakyat yang
baik. Akan tetapi, seorang pemimpin tidak harus mabuk pujian, tidak suka
disanjung yang semuanya itu dapat membuat dirinya terlena dalam menjalankan
kewajiban negara.37
6. Konsep Kepemimpinan Dewa Yama
Dewa Yama merupakan dewa yang disimbolkan sebagai penjaga negara
agung dalam ajaran Astabrata. Pekerjaan Dewa Yama adalah selalu menindak
seluruh pelaku kejahatan tanpa pandang bulu meskipun terhadap kerabat sendiri.
Siapapun yang terbukti melakukan kesalahan maka harus diberikan hukuman.
Dewa Yama juga bekerja melacak segala pelaku kejahatan kemanapun
bersembunyi dan menghabisinya sampai benar-benar habis walaupun dengan cara
membunuhnya demi menjaga keamanan negara. Bahkan terhadap segala sesuatu
yang berpotensi menimbulkan kejahatan dan kerusuhan pada negara diusir dari
negara tersebut.38
36
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 103.
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 104.
38
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 175.
37
30
Jadi, watak yang perlu diambil seorang pemimpin dengan mempelajari
watak Dewa Yama adalah selalu memegang teguh keadilan dan kebenaran serta
menghukum orang-orang yang bersalah. Seorang pemimpin hendaklah berlaku
adil dalam menerapkan hukum, menjaga kebenaran, dan berani bertindak tegas
untuk menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang berbuat salah dan
mengganggu keamanan negaranya.39
7. Konsep Kepemimpinan Dewa Kuwera
Dewa Kuwera atau disebut juga Dewa Dhana merupakan contoh yang
diteladani umat Hindu untuk menjaga dan mempergunakan harta benda/kekayaan
dengan sebaik-baiknya demi untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia,
dalam tata cara pengendalian diri. Kekayaan atau harta benda yang dimiliki
hendaklah dipakai untuk tujuan baik, tidak dipakai untuk menyombongkan diri.
Sebaiknya harta itu dipergunakan untuk membantu orang lain yang kekurangan
agar tercipta masyarakat yang sejahtera. Namun kekayaan juga hendaknya selalu
dijaga serta dimanfaatkan agar dapat berkembang dan menghasilkan. Para
pemimpin hendaklah dapat menjaga dan memelihara harta benda yang
dipercayakan kepadanya sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakatnya.40
Sementara dalam ajaran Astabrata pemimpin berwatak Dewa Kuwera
disejajarkan dengan pemimpin berwatak bumi dengan filosofinya bumi sebagai
sosok yang dapat menampung seluruh makhluk hidup dan Dewa Kuwera adalah
Dewa yang menyangga bumi. Seorang pemimpin harus memiliki watak mampu
39
40
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 62.
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 65.
31
menampung seluruh rakyat dengan perangai dan keinginan masing-masing
(beraneka ragam) sebagaimana bumi harus ikhlas diinjak oleh siapapun, entah
orang baik atau jahat, orang berpangkat ataupun rakyat jelata, dan sebagainya.
Semua makhluk (atau semua orang) memiliki hak untuk hidup di atas bumi dan
bumi harus lapang dada menerima tugas dan kewajibannya dalam melayani semua
orang dengan berbagai status dan perangainya.41
Bumi juga mempunyai sifat kuat sentosa dan suci. Dengan demikian
dalam ajaran Astabrata seorang pemimpin harus memiliki sikap teguh, tidak
mudah putus asa dalam menghadapi persoalan seberat apapun persoalannya
sebagaimana bumi yang kuat dan tidak goyah membawa beban apapun
diatasnya.42
Sifat suci bumi maksudnya seorang pemimpin harus bersifat jujur dalam
memimpin pemerintahannya, mengatakan suatu hal sesuai kebenaran sehingga
rakyat dapat memperoleh kepastian dari sikap dan ucapan pemimpin. Dalam
pelaksanaan pemerintahan, pemimpin harus benar-benar mewujudkan segala
ucapannya dalam tindakan nyata.
Dalam Serat Rama, Dewa atau Hyang Kuwera merupakan pemimpin yang
mampu menyediakan pangan berlebih terhadap mereka yang dipercayakannya
mengatur negara. Sehingga para pembantunya tidak perlu lagi bekerja untuk
memenuhi kebutuhannya karena telah disediakan oleh raja atau pemimpin
mereka.43
41
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal 76.
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 73.
43
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 177.
42
32
8. Konsep Kepemimpinan Dewa Brama
Sikap yang perlu diteladani seorang pemimpin dari Dewa Brama adalah
bagaimana Dewa Brama selalu mengusahakan kebahagiaan rakyatnya dengan
mengajak seluruh rakyatnya bekerja bersama-sama hingga tidak ada seorangpun
yang tertinggal, menurut penulis dalam bangsa Indonesia bisa disamakan dengan
gotong royong. Selanjutnya, Dewa Brama juga disimbolkan sebagai Dewa yang
menjaga keamanan negara dengan selalu menindak musuh negara dan
menyebabkan musuh negara selalu menjadi ketakutan. Pemimpin juga hendaknya
selalu menghancurkan musuh negara sampai habis layaknya Dewa Brama.44
Demikianlah Astabrata atau delapan watak yang harus dimiliki oleh
seorang Raja pada masa lampau, menurut penulis meskipun ajaran tersebut lahir
pada masa lampau dan tertulis pada teks-teks Jawa lama namun ajaran Astabrata
bersifat universal, bisa diterapkan di mana saja sepanjang masa.
Meskipun ajaran kepemimpinan di atas ada warna dari agama Hindu
tentang kehebatan para dewa, oleh orang Jawa dijadikan idealisme. Memimpin
rakyat dapat dianggap akan sukses apabila penguasaan karakter dewa mendarah
daging dalam dirinya. Hal ini sekaligus akan membuka peluang kewibawaan
seorang pimpinan. Pimpinan yang memiliki kepribadian dewa tertentu secara
otomatis dianggap lebih memiliki legitimasi. Pimpinan demikian pada gilirannya
akan membahagiakan rakyatnya secara keseluruhan.
44
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 178.
BAB III
RIWAYAT HIDUP DAN KEPEMIMPINAN PRESIDEN SOEHARTO
BAB III RIWAYAT HIDUP DAN KEPEMIMPINAN PRESIDEN
SOEHARTO
A. Riwayat Hidup Soeharto
Sebelum membahas tentang kepemimpinan pada masa presiden Soeharto
maka penulis merasa perlu untuk membahas sedikit tentang riwayat hidup
Soeharto. Dalam meriwayatkan kehidupan Soeharto penulis membaginya menjadi
tiga bagian utama, yakni; 1) Masa kecil dan masa sekolah; 2) Karir dalam
kemiliteran; 3) Karir sebagai presiden Republik Indonesia.
1. Masa Kecil dan Masa Sekolah
Soeharto dilahirkan pada tanggal 8 Juni tahun 1921, di rumah orang tuanya
yang sederahana, di desa Kemusuk, dusun terpencil, di daerah Argomulyo,
Godean, sebelah barat kota Yogyakarta. Ayah beliau bernama Kertosudiro
merupakan seorang ulu-ulu, petugas desa pengatur air yang bertani di atas tanah
lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugas tersebut. Ibunya bernama
Sukirah merupakan isteri kedua dari Kertosudiro, Soeharto merupakan anak
ketiga dari Kertosudiro, dari isteri yang pertama Kertosudiro mempunyai dua
anak. Hubungan kedua orang tua Soeharto kurang serasi hingga akhirnya tak lama
setelah Soeharto dilahirkan mereka bercerai. Beberapa tahun kemudian Sukirah
menikah lagi dengan seorang yang bernama Atmopawiro, pernikahan ini
melahirkan tujuh anak, dan ayahnya menikah lagi dan mendapatkan empat anak.1
Soeharto bukanlah seorang keturunan ningrat, ayahnya hanyalah seorang ulu-ulu
yang tidak memiliki lahan sejengkalpun. Belum sampai empat puluh hari setelah
1
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya
(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 6.
33
34
kelahirannya, Soeharto dibawa ke rumah mbah Kromodiryo karena ibunya sakit
dan tidak bisa menyusui. Setelah berumur empat tahun Soeharto diambil lagi oleh
ibu Sukirah.2
Selain ayah, ibu, dan mbah Kromodiryo seorang tokoh yang juga
memberikan
banyak
pengaruh
pada
perkembangan
Soeharto
adalah
Prawirowihardjo, suami dari bibi Soeharto yang tinggal di daerah Wuryantoro.
Prawirowihardjo merupakan orang tua angkat Soeharto. Kertosudiro khawatir
anaknya mendapatkan pendidikan yang kurang baik jika tetap tinggal di daerah
Godean. Karena itu Soeharto diserahkan kepada Prawirowihardjo.
Prawirowihardjo merupakan seorang mantri tani di Wuryantoro. Latar
belakang Soeharto dari keluarga petani dari desa Kemusuk menanamkan benihbenih simpati kepada petani dan dari Prawirowihardjo beliau banyak
mendapatkan pengetahuan pada bidang pertanian secara teoritis dan praktis.
Kehidupan dengan keluarga Prawirowihardjo ini sangat besar pengaruhnya
kepada Soeharto, seperti penuturan beliau:
“Keprihatinan hidup yang saya alami, pendidikan keluarga yang menjunjung
tinggi warisan nenek moyang, pendidikan kebangsaan sewaktu di sekolah
lanjutan rendah, pendidikan agama waktu mengaji, rasanya besar
pengaruhnya dalam pembentukan watak saya. Saya juga diberi latihan
spritual oleh ayah angkat saya seperti puasa tiap hari Senin dan Kamis dan
tidur di tritisan. Semua anjurannya saya kerjakan dengan tekun dan penuh
keyakinan. Ada satu anjuran yang belum saya kerjakan, yaitu tidur di bawah
pawuhan, di bekas tempat bakaran sampah.
Pada masa itu saya ditempa mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafat
hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenal agama dan cara hidup
Jawa. Pada masa itulah saya mengenal ajaran tiga, “aja”,”aja kagetan”, “aja
gumunan”,“aja dumeh”(jangan kagetan, jangan heran, jangan mentangmentang), yang kelak jadi pegangan hidup saya, yang jadi penegak diri saya
dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya.
Saya ingat terus akan ajaran leluhur, “hormat kalawan Gusti, guru, ratu lan
wong atuwo karo”, (hormat kepada Tuhan yang Maha Esa, guru, pemerintah,
2
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 8-9.
35
dan kedua orang tua. Sampai jadi presiden saya tidak merasa berubah dalam
hal ini. Saya junjung tinggi ajaran itu dan saya percaya akan kebenarannya.”3
Setelah dengan Prawirowihardjo, untuk melanjutkan sekolah lanjutan rendah
(Schakel School,) Soeharto tinggal di Wonogiri bersama Hardjowijono teman
ayahnya seorang pensiunan pegawai kereta api. Ketika bersama Hardjowijono,
Soeharto memiliki ketertarikan kepada seorang kiai yang bernama Darjatmo. Dari
kiai Darjatmo inilah Soeharto bisa mengerti apa itu samadi dan apa itu kebatinan,
belajar filsafat hidup, agama dan kepercayaan.
4
Soeharto menamatkan
pendidikannya pada tahun 1939 dan selanjutnya memasuki dunia militer.
2) Karir dalam Kemiliteran
Awal langkah Soeharto memasuki dunia militer terjadi ketika beliau masih
berumur sembilan belas tahun, tepatnya pada tahun 1940. Soeharto diterima
sebagai siswa di sekolah militer di Gombong (Jawa Tengah). Setelah menjalani
latihan dasar selama enam bulan, Soeharto lulus dari sekolah militer itu dengan
prediket terbaik serta mendapatkan pangkat Kopral.
Pada 1942 setelah Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Jepang, Soeharto
mendaftar sebagai Keibuho, polisi. Setelah lulus dari Keibuho dengan predikat
terbaik lagi Soeharto dianjurkan oleh Kepala Polisi, opsir Jepang untuk
mendaftarkan diri pada PETA. 5 Pada masa latihan di PETA ini terasa hidup
patriotisme, kecintaan Soeharto untuk membela tanah air. Di PETA, karir
Soeharto juga melonjak pesat, sesudah menjabat sebagai Komandan Resimen
3
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 13.
O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, (Jakarta : Gunung Agung, 1976),
4
hal. 167.
5
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 22.
36
dengan pangkat Mayor, Soeharto diangkat sebagai Komandan Batalyon dengan
pangkat Letnan Kolonel.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Soeharto beserta teman-teman militer
lainnya di PETA membentuk suatu kelompok yang kemudian jadi anggota Badan
Keamanan Rakyat (BKR) yang pembentukannya diumumkan oleh pemerintah RI.
Soekarno menyerukan agar bekas PETA, Heiho, Kaigun, KNIL dan para pemuda
lainnya untuk bergabung dan mendirikan BKR-BKR ditempatnya masing-masing.
Secara resmi Soeharto tercatat sebagai Tentara Republik Indonesia pada tanggal 5
Oktober 1945 bersamaan dengan lahirnya Tentara Keamanan Rakyat.6
Semasa terjadi serangan umum di Yogyakarta pada Maret 1949, atas saran Sri
Sultan Hamengkubuwono IX pada Jendral Soedirman memerintahkan agar
Soeharto melakukan serangan umum dan merebut kembali Yogyakarta dari
tangan Belanda. Pasca serangan umum tersebut karir Soeharto dalam kemiliteran
semakin meningkat. Ketika berusia 32 tahun Soeharto diangkat sebagai
Komandan Resimen Infantri 15. Bertepatan 3 Juni 1956, Soeharto menjabat
sebagai Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro Semarang.
Kemudian pada tahun 1967 Soeharto mendapatkan pangkat Kolonel.7 Selain itu
jabatan-jabatan penting yang diduduki Soeharto dalam dunia militer adalah:
1.
Komandan Brigade Garuda dengan tugas menumpas pemberontakan
Andi Azis di Sulawesi.
2.
Komandan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS)
sektor kota Makasar dengan tanggung jawab meredam kekacauan
yang dilakukan eks KNIL/KL.
6
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 28.
Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX &
Jokowi (Yogyakarta: Araska, 2013), hal. 116.
7
37
3.
Deputi I kepala staf Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jendral
pada tahun 1960.
4.
Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum Angkatan Darat)
dan Panglima Kohandad (Komando Pertahanan Angkatan Darat), dan
Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Perancis dan Bonn,
Jerman pada 1961.
5.
Panglima Komando Mandala pembebasan Irian Barat dan Deputi
Wilayah Indonesia Timur di Makasar pada 1962.
6.
Mendapatkan pangkat Mayor Jendral dan diangkat menjadi Panglima
Kostrad (Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat) pada 1963.
7.
Diangkat menjadi Panglima Kopkamtib sesudah dapat melakukan
pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai kaum
komunis pada tahun 1965. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 27
Maret 1968 secara resmi Soeharto diangkat menjadi presiden Republik
Indonesia yang kedua.8
3) Karir sebagai Presiden Republik Indonesia
Jumat, 11 Maret 1966 di Istana Merdeka sedang diadakan sidang Kabinet
Yang Disempurnakan, Soeharto adalah satu-satunya menteri yang tidak hadir
dalam sidang tersebut. Saat itu Soeharto telah menjabat sebagai menteri/Panglima
Angkatan Darat. Sementara itu di luar istana mahasiswa melakukan demo dengan
maksud membatalkan sidang. Baru sekitar 15 menit sidang berlangsung Bung
Karno terpaksa meninggalkan ruangan sidang karena nota dari Brigjen Sabur
tentang adanya pasukan yang tak dikenal mengepung istana, Bung Karno pun
8
Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa, hal. 117.
38
pergi menuju Bogor.9 Di tengah situasi yang rumit tersebutlah presiden Soekarno
diketahui mengeluarkan perintah yang dikenal dengan nama SUPERSEMAR.
SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) bisa disebut sebagai salah
satu ujung tombak peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Setelah
diberikan perintah tertanggal 11 Maret 1966 oleh presiden Soekarno, Soeharto
pun langsung bertindak. Perintah-perintah yang tertulis pada SUPERSEMAR
adalah:
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya
keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi.
2. Menjamin
keselamatan
pribadi
dan
kewibawaan
Pimpinan
Presiden/Panglima Tertinggi/Pimpinan Besar Revolusi.
3. Melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.10
Setelah menerima perintah tersebut Soeharto langsung mengambil
beberapa langkah taktis, salah satunya dengan pembubaran PKI pada 12 Maret
1966, langkah tersebut menimbulkan reaksi keras dari presiden Soekarno yang
memerintahkan Soeharto agar segera mencabut keputusannya, karena menurut
Soekarno, Surat Perintah Sebelas Maret tidak terkait dengan masalah politik,
hanya sebatas masalah keamanan. Akan tetapi Soeharto tetap teguh pendirian, ia
menolak mencabut keputusan tersebut. Karena menurut penulis ini merupakan
sikap dari Soeharto dalam mengartikan perintah pada poin yang pertama, yaitu
9
Julius Pour, “Supersemar Antara Dongeng dan Kenyataan,” dalam Bagus Dharmawan
ed., Warisan (daripada) Soeharto, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008), hal. 45.
10
Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru," dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian,
ed., Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2011), hal. 19.
39
“mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan
dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi.”
Menurut Saleh As‟ad Djamhari, dosen luar biasa Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, lahirnya Surat Perintah 11 Maret
1966 merupakan babak akhir dari pertarungan politik Soekarno melawan
Soeharto yang dimulai sejak Oktober 1965 dengan pokok permasalahan
penyelesaian peristiwa G-30-S dan akibatnya. Presiden Soekarno tidak pernah
memberikan penyelesaian yang tegas. Setiap penyelesaiannya digantung dengan
janji solusi politik. Oleh karena ingin mempertahankan status quo akibat dari janji
solusi politik yang tak kunjung tiba, Presiden Soekarno ditinggalkan oleh
Angkatan Bersenjata, terutama Angkatan Darat yang sejak semula mencurigainya
sebagai pembela PKI. Sikap Angkatan Darat kemudian diikuti oleh sejumlah
partai politik dan organisasi massa. Tanpa disadari oleh Soekarno, penundaan
situasi politik berarti memberikan ruang dan waktu yang seluas-luasnya kepada
Soeharto
melakukan
konsolidasi
untuk
mengubah
imbangan
kekuatan
(equilibrium) melalui hubungan persahabatan dengan partai-partai dan rakyat.
Selain itu Soeharto melakukannya melalui operasi sosial politik yang sistematis
serta operasi militer yang intensif terhadap sisa kekuatan PKI yang dianggap
sebagai dalang kudeta G-30-S.11
Untuk selanjutnya, meskipun Soekarno mencoba bangkit kembali melalui
pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” pada 17
Agustus 1966 namun masyarakat memandangnya dengan biasa-biasa saja. Media
massa tidak terlalu antusias menanggapi pidato tersebut, pandangan masyarakat
11
Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru,” hal. 20-21.
40
telah berubah, popularitas Soekarno telah menurun drastis. Begitu banyak
tekanan, dan penghinaan yang diberikan kepada Soekarno, pembantunya banyak
yang diadili karena dianggap sebagai penghianat bangsa. Selain itu Soekarnopun
dituntut untuk melengkapi pertanggungjawabannya kepada MPRS sampai batas
waktu 1967.12
Di tengah situasi nasional yang tidak stabil pada waktu itu ada pertanyaan
dan dorongan dari beberapa orang kepada Soeharto, pertanyaannya adalah;
Apakah surat perintah itu hanya satu “instruksi” Presiden kepada Soeharto
ataukah satu “pemindahan kekuasaan eksekutif yang terbatas?” Tapi Soeharto
menjawab.
Menurut saya, perintah itu dikeluarkan di saat negara dalam keadaan
gawat di mana integritas presiden, ABRI, dan rakyat sedang berada dalam
bahaya, sedangkan keamanan, ketertiban, dan pemerintahan berada dalam
keadaan berantakan. Saya tidak akan sering menggunakan
SUPERSEMAR tersebut, lebih-lebih kalau surat perintah itu belum
diperlukan. Mata pedang akan menjadi tumpul apabila selalu digunakan.13
Adapun tuntutan kepada Soeharto waktu itu adalah agar beliau segera
tampil ke depan, ada politisi yang tidak sabar agar adanya perubahan dan
terjadinya pergantian kepemimpinan, bahkan ada yang mengusulkan kepada
Soeharto agar mengoper begitu saja kekuasaan negara. Usul tersebut langsung
ditolak Soeharto dengan jawaban:
“Kalau caranya begitu, lebih baik saya mundur saja, cara-cara seperti itu
bukan cara yang baik. Merebut kekuasaan dengan kekuasaan militer tidak
akan menimbulkan stabilitas yang langgeng. Saya tidak akan mewariskan
sejarah yang menunjukan bahwa di Indonesia ini pernah terjadi perebutan
kekuasaan dengan kekuatan militer. Saya tidak mempunyai sedikitpun
12
Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru," hal. 25.
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 173.
13
41
pikiran di benak saya untuk melakukan coup atau gerakan yang bernoda.
Gerakan serupa itu menurut saya tidak akan berhasil.14
Tetapi setelah satu tahun konflik politik tersebut berjalan Soeharto pun
diangkat menjadi pejabat Presiden berdasarkan surat yang dikirimkan Soekarno
kepada Soeharto melalui Mr. Hardi dari PNI. Ada dua surat yang dikirimkan, satu
“Surat Penugasan” dan satunya lagi “nota pribadi”.
Nota pribadi itu berisi penjelasan rancangan naskah “Surat Penugasan” ,
bahwa hal-hal yang tercantum dalam “Surat Penugasan” itu akan dinyatakan di
depan Sidang Badan Pekerja MPRS. Sedangkan isi “Surat Penugasan” tersebut
menyebutkan bahwa Presiden menugaskan khusus kepada pemegang Surat
Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) 1966 untuk memegang Pimpinan Pemerintah
sehari-hari dengan dibantu oleh segenap aparatur pemerintahan, khususnya bagi
panglima Angkatan Bersenjata. Diterangkan juga bahwa dalam melaksanakan
tugas itu, pemegang SUPERSEMAR harus selalu mengadakan konsultasi yang
erat dengan Presiden sehingga wewenang dan tugas kewajiban sebagaimana
terkandung dalam ketetapan MPRS 1966 dapat dilaksanakan dengan sempurna.
Secara resmi Soeharto menjabat sebagai pejabat Presiden pada 20 Februari 1967,
dan resmi sebagai presiden Republik Indoneia kedua pada Maret 1968 setelah
diadakan sidang MPRS yang dipimpin oleh Abdul Haris Nasution.15
B. Indonesia di Bawah Soeharto
1. Bidang Ekonomi
Prioritas utama Soeharto saat pertama kali diangkat sebagai Presiden
Republik Indonesia adalah memperbaiki kondisi perekonomian nasional, yang
14
15
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 185.
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 187.
42
begitu anjlok pada sekitar tahun 1960-1965an yang juga disebabkan oleh situasi
politik pada waktu itu. Kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah
Orde Baru pada dasarnya merupakan cerminan dari dinamika pergulatan ekonomi
politik pembangunan yang berkembang dalam “komunitas politik” negeri ini. Bisa
dikatakan cita-cita besar rezim Orde Baru adalah penataan kembali seluruh
kehidupan bangsa dan negara serta menjadikan pemerintahan Orde Lama sebagai
titik acuan koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang pernah terjadi.
Perbedaan mendasar langkah yang dilakukan pemerintahan Soeharto
dengan pemerintahan sebelumnya adalah dengan tidak menganggap komitmen
mereka terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai ideologi. Mereka menganggap
dirinya pragmatis rasional yang mencoba untuk mengakhiri keterpesonaan bangsa
Indonesia terhadap suatu ideologi. Karena menurut mereka ideologi dapat
membangkitkan gerak hati primitif dan berbahaya yang tak menuju konflik sosial
dan akan membelotkan rakyat Indonesia dari persatuan yang dibutuhkan untuk
meraih modernitas. Pemerintahan Soeharto merumuskan modernitas bukan
sebagai suatu hasil utopis melainkan sebagai tujuan langkah-langkah yang
inkremental (berkembang sedikit demi sedikit) dan praktis: menstabilkan harga,
memperbaiki prasarana fisik, membuat pertanian lebih produktif, mendorong
industri, memperluas lapangan kerja, memperbaiki pendidikan, dan meningkatkan
penghasilan per kapita.16
Soeharto sangat menyadari keterbatasan pengetahuannya di bidang
ekonomi, sehingga dia bersedia bekerja sama dengan beberapa ahli yang latar
belakangnya berbeda. Soeharto banyak melibatkan pakar ekonomi lulusan
16
Robert Cribb, "Bangsa: Menciptakan Indonesia" dalam Donald K. Emmerson, ed,.
Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta; PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hal 57-58.
43
Universitas Indonesia dan University of California Berkeley, Amerika Serikat,
Soeharto memasukan beberapa ahli pada susunan kabinetnya. Itu merupakan salah
satu upaya Soeharto dalam membangun kembali perokonomian nasional.
Para pakar ekonomi yang diminta Soeharto untuk memperbaiki ekonomi
Indonesia pada waktu itu adalah: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad
Sadli, Soebroto, dan Emil Salim. Widjojo Nitiastro ditunjuk sebagai ketua dari
tim ini yang mendapat julukan ”Mafia Berkeley ” hampir selama dua dasawarsa.17
Pembangunan ekonomi pemerintah Orde Baru bertumpu pada bantuan luar
negeri dan penanaman modal, baik domestik maupun asing. Di sisi lain lembagalembaga keuangan internasional dan penanaman modal asing bersedia
mengucurkan bantuan dana atau menanamkan modal bila iklim sosial politik
Indonesia dinilai kondusif. Tidak ada jalan bagi pemerintahan Orde Baru selain
memulihkan keadaan perokonomian melalui kegiatan-kegiatan pembangunan.
Strategi pembangunan yang dipilih Orde Baru Soeharto saat itu adalah dengan
menerapkan konsep pertumbuhan ekonomi. Untuk meningkatkan perokonomian
semua harus berkorban. Soeharto percaya bahwa satu-satunya jalan untuk
meningkatkan taraf hidup rakyat adalah dengan membuka diri pada pasar dunia.
Investasi seluas-luasnya termasuk membujuk modal asing dengan menawarkan
berbagai fasilitas menjadi prioritas untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.18
Pembangunan ekonomi Orde Baru berlandaskan Trilogi Pembangunan
(stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan) memang membawa
hasil nyata, pendapatan rata-rata orang Indonesia yang hanya 50 dollar AS pada
17
Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan" dalam Taufik
Abdullah dan A.B Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011), hal. 154.
18
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika
Orde Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 108.
44
1965 perlahan-lahan naik menjadi 500 dollar AS pada 1980. Di antara 1968 dan
1981, perokonomian Indonesia tumbuh lebih dari 7 persen setahun.19
Akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat dan hampir berkelanjutan selama
tiga dasawarsa, maka pemerintahan Soeharto berhasil menjadikan Indonesia
menjadi kelompok negara berpenghasilan menengah-bawah (lower middle income
countries) yang sebelumnya Indonesia hanya berada pada kelompok negara
berpenghasilan rendah (low income countries) pada awal 1990-an. Selama kurun
waktu ini juga kemiskinan absolut telah berkuarang di Indonesia, lebih dari 60%
jumlah penduduk pada tahun 1965 sampai hampir 16% pada tahun 1996.20
Selain itu, pemerintahan Soeharto juga berhasil memakmurkan Indonesia
dari segi pertanian, petani-petani dari desa mendapatkan perhatian yang lebih dari
pemerintah, sehingga dengan suksesnya pertanian juga memberikan dampak
terhadap keberhasilan pertumbuhan industri.
Salah satu bentuk perhatian pemerintah pertanian adalah Repelita I
(1969/1970-1973-1974) yang memberikan prioritas utama pada pembangunan
sektor pertanian, khususnya subsektor pangan. Menurut para ahli prioritas kepada
pembangunan sektor pertanian sangat perlu segera diambil oleh pemerintah,
karena mayoritas penduduk Indonesia waktu itu adalah petani sehingga
meningkatkan pendapatan dan daya beli petani.
Dalam prakteknya, prioritas pada pembangunan pertanian terutama
ditunjukan kepada swasembada beras. Prioritas ini didasarkan atas pertimbangan
pemerintah Orde Baru bahwa pasokan beras yang mencukupi sangat penting bagi
19
Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" dalam Donald K.
Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 191.
20
Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan", hal. 147.
45
stabilitas politik dan sosial. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga
(Repelita III, 1979/1980-1983/1984) tujuan swasembada beras diperluas menjadi
swasembada pangan.21
Upaya intensif pemerintah Orde Baru meningkatkan produksi beras
membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Indikator yang dipakai untuk
mengukur keberhasilan ini adalah bobot padi yang dihasilkan per hektarnya.
Keberhasilan program intensifikasi beras juga tercermin dengan tercapainya
swasembada beras pada 1985. Keberhasilan pemerintah Orde Baru mencapai
swasembada beras diakui oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang
pada tahun 1985 itu memberikan piagam penghargaan kepada presiden
Soeharto.22
Berkat kinerja ekonomi yang mengesankan, Indonesia pada tahun 1993
digolongkan sebagai salah satu “ekonomi Asia yang berkinerja tinggi” (HighPerforming Asian Economies, HPAEs) oleh Bank Dunia dalam bukunya yang
terkenal The East Asian Miracle.23
Namun, di samping keberhasilan yang begitu pesat tersebut masih banyak
kritikan yang datang terhadap pemerintahan Orde Baru soal pemerataan. Model
pembangunan ekonomi trickle down effect justru menimbulkan kesenjangan
ekonomi karena pertumbuhan ekonomi hanya terpusat di pulau Jawa. Sedangkan
daerah di luar Jawa hanya sedikit yang merasakan hal tersebut.
Kebijakan dan strategi pembangunan pemerintah Orde Baru Soeharto
memang lebih mengutamakan kepentingan pusat ketimbang daerah. Itu
merupakan salah satu “warisan” kerajaan-kerajaan lama (Jawa). Setiap wilayah
21
Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan", hal. 158.
Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan", hal. 158.
23
Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan," hal. 192.
22
46
atau daerah yang berada di luar pusat kekuasaan “wajib” mempersembahkan dan
menyerahkan upeti kepada penguasa (raja) di pusat kekuasaan. Pembangunan
yang menomorsatukan kepentingan pusat kerajaan atau keraton otomatis
mendorong arus besar perpindahan modal dan manusia dari daerah ke pusat. Kue
pembangunan justru lebih banyak dinikmati pemerintah pusat ketimbang
pemerintah daerah. Tak pelak, pertumbuhan tanpa pemerataan pun memunculkan
gelombang kekecewaan dan ketidakpuasan di sejumlah daerah.24
2. Bidang Politik dan Sosial
Gagasan dan tindakan Soeharto berikutnya adalah membenahi bidang
politik dan pemerintahan. Orde Baru Soeharto meyakini bahwa pembangunan
ekonomi tidak dapat terwujud tanpa adanya stabilitas politik. Hampir semua
aktivitas politik pada masa Orde Baru mendapatkan kontrol yang ketat dari
pemerintah. Untuk itu Soeharto melakukan penyederhanaan partai berdasarkan
persamaan golongan. Ada tiga golongan yang masuk dalam pandangan Soeharto,
yakni golongan nasionalis, golongan agama, dan golongan karya. Soeharto
mengharuskan seluruh partai menyatukan diri berdasarkan persamaan golongan.
Maka lahirlah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang terdiri dari PNI, IPKI, dan
Partindo untuk golongan nasionalis. Partai Persatuan Pembangunan yang
merupakan gabungan dari partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSSI, dan Perti)
untuk golongan agama, dan Golkar untuk Golongan Karya.25
Selanjutnya, Soeharto menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal yang
harus dipegang oleh semua orang Indonesia untuk menghilangkan konflik
24
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 109.
Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara” dalam Taufik Abdullah dan A.B
Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 2011), hal. 60.
25
47
ideologi. Setiap partai politik diharuskan menganut ideologi yang sama yakni
Pancasila. Jika ada yang menolak azas Pancasila tersebut maka itu dianggap
sebagai potensi adanya ancaman. Sebagai contoh hukuman cekal (cegah dan
tangkal) yang diberikan kepada pimpinan dan anggota “petisi 50” pada tahun
1980.26
Soeharto selalu mengidentifikasikan oposisi sebagai sesuatu yang
membahayakan kepentingan nasional dan merongrong stabilitas. Suara kelompokkelompok yang kritis kadangkala dihadapi dengan tindak represi. Menurut
Soeharto sikap kritis yang merupakan salah satu bentuk cara kontrol sosial
seharusnya ditempuh dengan cara-cara yang tidak menimbulkan keonaran dan
mengusik stabilitas nasional.27
Terkait dengan peristiwa ini, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden
No. 10 tahun 1982 tentang Penataran Kewaspadaan Nasional pada 26 Juni 1982.
Soeharto juga secara khusus menugaskan kepada Panglima Kopkamtib Laksmana
Sudomo untuk menyelenggarakan penataran kewaspadaan nasional bagi para
pejabat eselon I di departemen-departemen dan instansi pemerintah lainnya.
Penataran tersebut dilakukan karena bangkitnya ancaman bahaya laten
komunisme/marxisme/leninisme.28
Selanjutnya hal yang juga patut diperhatikan untuk menjaga keamanan dan
stabilitas nasional adalah permasalahan sosial rakyat Indonesia. Karena Indonesia
merupakan negara kepulauan yang begitu luas, terdiri dari berbagai etnik suku,
agama, dan ras. Diantara suku-suku yang ada di Indonesia adalah Jawa, Sunda,
26
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 346.
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 115.
28
Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara,” hal. 62.
27
48
Melayu, Bugis, Batak, Minangkabau, Ambon, Madura, Betawi, Minahasa, Bajau,
Makassar, dll. Sementara keragaman bangsa Indonesia dari segi ras terdapat
warga negara Indonesia yang keturunan India, Arab, Cina, dan Eropa. Hubungan
antara empat ras ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu.
Keragaman pada bangsa Indonesia ini bisa menjadi sumber konflik,
terlebih lagi pada masa pemerintah Hindia Belanda melakukan diskriminasi
tentang lapisan masyarakat (stratifikasi sosial) meskipun pada akhirnya
pemerintah Indonesia menghapus diskriminasi sosial ini. Setiap warga negara
dilarang mempersoalkan perbedaan tersebut. Pada masa Orde Baru, pemerintah
menggiatkan program transmigrasi yang memindahkan penduduk pulau Jawa ke
seluruh wilayah Indonesia.29
Tulang punggung yang menjaga stabilitas politik dan sosial pada masa
pemerintahan Soeharto adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, mereka
dilibatkan dalam tata kelola negara melalui dwifungsi ABRI. Dalam Dwifungsi
ABRI, ABRI berperan sebagai stabilisator dan dinamisator bagi bangsa Indonesia.
Peran angkatan bersenjata merupakan sesuatu yang vital bagi Orde Baru
dan cara kerjanya. ABRI menjaga dominasi negara atas masyarakat. ABRI
membenarkan intervensi militer di bidang politik sipil berdasarkan konsep
Dwifungsi ABRI, yaitu ABRI berperan sebagai alat negara dan juga sebagai
kekuatan sosial politik. Dalam buku otobiografinya Soeharto mengatakan, “ABRI
bukan semata-mata Angkatan Bersenjata bayaran. ABRI adalah juga pengisi
kemerdekaan, berhak dan merasa wajib ikut menentukan haluan negara dan
jalannya pemerintah. Inilah sebab pokok pada masa Orde Baru ABRI mempunyai
29
Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara,” hal. 65.
49
dua fungsi. Konsep Dwifungsi ABRI sebenarnya bukanlah murni gagasan
Soeharto atau pemerintahan pada masa itu, konsep ini telah lama dikembangkan
oleh Jendral Besar A.H Nasution di era sistem Demokrasi Terpimpin. Saat itu
militer telah masuk ke dalam wilayah politik praktis, dan kehadirannya tidak
terelakan karena sebagai pengimbang kekuatan komunis, yakni Partai Komunis
Indonesia yang telah mendapat ruang politik dan berpengaruh pada masa presiden
Soekarno.30
Berdasarkan kebijakan pemerintah pada waktu itu maka secara legal dan
institusional, ABRI telah menjadi satu kekuatan yang memiliki peran politik
sebagai halnya partai politik, selain tugasnya sebagai pertahanan dan keamanan
negara. Akan tetapi keputusan ini sangat sulit dipahami bagi mereka yang kritis
atau mengerti cara berpikir akademis pada masa itu, muncul kekhawatiran bahwa
ABRI akan “terperosok” ke dalam lingkaran kepentingan politiknya daripada
melindungi rasa aman dan kebebasan rakyat dalam berpolitik.
Soeharto pun tahu dengan kekhawatiran sebagian pihak tersebut, namun ia
menepis:
”Saya tidak menutup mata terhadap kekhawatiran di sementara kalangan
di luar negeri bahkan di dalam negeripun masih ada yang
mengkhawatirkan bahwa dwifungsi ABRI serta perannya sebagai
stabilisator dan dan dinamisator, suatu waktu akan melahirkan pemerintah
yang militeristis, otoriter, atau totaliter. Kekhawatiran semacam itu tidak
beralasan. Sejarah membuktikan bahwa dalam saat yang sulit sekalipun ,
dalam saat negara dan bangsa kita dihadapkan kepada bahaya yang
mengancam keselamatan Pancasila, ABRI tidak pernah berpikir dan
bertindak militeristis.” Soeharto begitu yakin ABRI tidak akan tergelincir
30
Firdaus Syam, “Militer dan Dwifungsi” dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed.,
Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
2011), hal. 32.
50
kepada militerisme, otoriterisme, dan totaliterisme karena semuanya itu
lurus bertolak belakang dengan Demokrasi Pancasila.31
31
G. Dwipayana, Ramadhan KH. Soeharto, hal. 460.
BAB IV
KEPEMIMPINAN SOEHARTO BERDASARKAN FILSAFAT
ASTABRATA
BAB IV KEPEMIMPINAN SOEHARTO BERDASARKAN FILSAFAT
ASTABRATA
A. Soeharto dan Filsafat Astabrata
Dari awal berdiri negara Indonesia, budaya Jawa selalu berpengaruh besar
terhadap politik dan pemerintahan, selain karena pusat pemerintahan berada di
pulau Jawa menurut penulis hal ini tidak terlepas dari keberhasilan-keberhasilan
kerajaan Jawa dahulu dalam mempersatukan Nusantara sehingga budaya Jawa
masih memiliki pengaruh besar dalam politik dan pemerintahan. Politik memiliki
keterkaitan dengan budaya dan identitas. Pimpinan politik akan membawa
identitas masing-masing. Ketika identitas itu tidak dapat dikelola secara baik akan
muncul egoisme. Semua gejala tersebut dapat dilihat bahwa sedikit banyak proses
kultural politik dalam sistem politik Indonesia saat ini telah terbentuk oleh sebuah
sistem politik dan kekuasaan tradisional Jawa. Misalnya dalam konteks
pelaksanaan pembangunan sekarang ini yang selalu berorientasi ke pusat dengan
budaya
"mohon
petunjuk"
sebelum
suatu
program
dilaksanakan
telah
membuktikan bahwa sistem politik dan kekuasaan tradisional Jawa telah merasuki
sistem politik pemerintahan Orde Baru.
Bagi orang Jawa, pemimpin haruslah seorang yang alus (berbudi halus),
elegan, bertutur kata lembut, sopan, mudah beradaptasi dan reaktif, dengan
kekuatan dari dalam sehingga mampu memberikan perintah secara tidak langsung
dan sopan, yang dipermukaan tampak seperti merendahkan diri. Emosi-emosi
51
52
seperti kebahagiaan, kesedihan, kecewa, penyerahan, harapan, dan rasa kasihan
tidak seharusnya diperlihatkan di muka umum, Soeharto adalah seorang
pemimpin yang terampil dalam mendemonstrasikan sikap alus ini, terutama dalam
hal penguasaan diri.1
Pada bab sebelumnya penulis telah menjelaskan keterkaitan Soeharto
dengan filosofi budaya Jawa, dan bagaimana Soeharto memegang teguh filosofi
tersebut dalam kehidupannya. Seperti ajaran “tiga ojo”, ojo kagetan, ojo
gumunan, ojo dumeh (jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang-mentang)
yang diakui Soeharto sebagai pegangannya dalam menghadapi persoalanpersoalan yang bisa mengguncangkan hidupnya. Sebagai orang Jawa, Soeharto
tentu tidak bisa lepas dari filosofi Jawa selama kepemimpinannya khususnya
dengan ajaran Astabrata. Ada beberapa argumen yang mengatakan Soeharto
menjadikan Astabrata sebagai acuan dalam kepemimpinannya, di antaranya
adalah: sebagaimana Wilson mengatakan dalam artikelnya bahwa Soeharto pada
masa Orde Baru menjalankan kekuasaannya berdasarkan filosofi Astabrata. 2
Selain itu patung yang menggambarkan delapan kuda yang menarik kereta perang
dan diatasnya terdapat Prabu Kresna yang memegang sais dan Arjuna yang
memegang busur panah. Patung ini diilhami oleh kisah Barata Yudha dan
dianggap menggambarkan filosofi kepemimpinan Astabrata yang dijalankan oleh
Soeharto yang terkenal gemar menjunjung nilai-nilai budaya Jawa. 3 Bukti lain
adalah Astabrata sering dijadikan sebagai bahan dalam penataran Pancasila serta
1
Yuanita Rusalia Harneni, “Tinjauan Islam tentang Etika Politik Soeharto,” (Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009), hal. 45-46.
2
Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati," dalam Robertus Robet & Todung
Mulya Lubis, ed., Politik Hukuman Mati di Indonesia (Serpong: CV. Marjin Kiri, 2016), hal. 10.
3
Wilson,”Politik Hukuman Mati di Indonesia,” hal. 11.
53
dipahatkan dalam relief di dinding lobi gedung utama Sekretariat Negara di
Jakarta.4
B. Analisis Kepemimpinan Soeharto Berdasarkan Filsafat Astabrata
Pada bagian ini, yang merupakan pokok utama pembahasan skripsi ini penulis
akan memberikan analisa tentang kepemimpinan Soeharto secara teori dan praktik
dengan watak kedelapan Dewa sebagai pemimpin yang diajarkan dalam
Astabrata.
1. Watak Dewa Indra
Dalam ajaran Astabrata, dewa Indra merupakan dewa yang menjadi simbol
bagi pemimpin dalam mensejahterakan rakyatnya secara merata, seperti dalam
teks Astabrata berikut:
Adapun tingkah laku Batara Indra:
Ialah yang dengan bau-bauan menghujani bumi ini
Derma dananya menghambur tersebar
Merata ke seluruh dunia
Kepada semua hambanya baik yan besar maupun yang kecil
Tanpa membeda-bedakan orang
Itulah tingkah laku Indra5
Sebagai seorang pemimpin bangsa, Soeharto memiliki gagasan sendiri tentang
kesejahteraan, yaitu keberhasilan pembangunan ekonomi dan pemerataan
4
Bambang Wiwoho, “Falsafah Kepemimpinan Astabrata” artikel diakses pada 15 Januari
2016 dari www.teropongsenayan.com/27216-falsafah-kepemimpinan-hasta-brata
5
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi
tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal.
174.
54
terciptanya keadilan sosial. Pembangunan ekonomi yang dilaksanakannya
bertujuan untuk membuat rakyat sejahtera lahir dan batin.6 Menurut penulis secara
konsep, pemikiran Soeharto ini sangat sinkron dengan ajaran kepemimpinan yang
disimbolkan Dewa Indra dalam Astabrata. Jika dilihat secara praktekpun selama
kepemimpinan Soeharto permasalahan ekonomi merupakan suatu prioritas utama
untuk memulihkan keadaan Indonesia, sebagaimana juga sudah penulis paparkan
pada bab II.
Bagaimana keberhasilan Soeharto dalam meningkatkan perekonomian
Indonesia telah penulis paparkan pada bab II, yang secara garis besar di bawah
kepemimpinan Soeharto Indonesia berhasil meningkatkan perekonomian Nasional
dari perkisaran tahun 1968-1981. Pada saat itu perekonomian Indonesia tumbuh di
atas tujuh persen pertahunnya.7
Namun meskipun berhasil mencapai keberhasilan yang begitu pesat dalam
bidang ekonomi, pemerintahan Soeharto masih mendapatkan kritik dari berbagai
pihak soal pemerataan. Istilah “Jawa Sentris” mungkin sudah tidak asing lagi
terdengar
untuk
mengungkapkan
kesenjangan
kesejahteraan
sosial
dan
ketidakadilan ekonomi pada masa Soeharto memimpin Indonesia. Sebagian besar
masyarakat, terutama penduduk desa di daerah luar pulau Jawa dan kawasan
Timur Indonesia yang seharusnya juga mendapat kesejahteraan yang sama dengan
masyarakat di pulau Jawa hanya mendapat remah-remah kue pembangunan. 8
6
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya
(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 349-350.
7
Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" dalam Donald K.
Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 191.
8
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika Orde
Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 108.
55
Menurut Anne Booth, pimpinan Orde Baru memilih dan menjalankan kebijakan
yang dampaknya lebih menguntungkan kawasan Barat ketimbang Timur atau
Utara. Pilihan ini dianggap tidak mengherankan karena pemerintah pusat sendiri
bermarkas di Jakarta, ibukota yang terletak di Jawa dan struktur pemerintahan
Soeharto telah sangat memusatkan kekuasaan di tangan pusat bukan di pemerintah
daerah.9
Kebijakan dan strategi pembangunan pemerintahan Soeharto yang lebih
mengutamakan kepentingan pusat ketimbang daerah dianggap sebagai salah satu
“warisan” kerajaan-kerajaan lama (Jawa). Setiap wilayah atau daerah yang berada
di luar pusat kekuasaan “wajib” mempersembahkan dan menyerahkan upeti
kepada penguasa di pusat kekuasaan. Pembangunan yang menomorsatukan
kepentingan pusat kerajaan atau keraton otomatis mendorong arus besar
perpindahan modal dan manusia dari daerah ke pusat. Pertumbuhan tanpa
pemerataan seperti inilah yang menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan di
sejumlah daerah.10
Mengenai pemerataan yang belum terwujud ini Soeharto sendiri secara jujur
mengakuinya, tetapi keadilan sosial ini tetap merupakan suatu cita-citanya selama
memimpin Indonesia. 11 Menurut penulis meskipun pemerataan kesejahteraan
belum terwujud pada masa pemerintahan Soeharto, tetapi sebagai seorang
pemimpin Soeharto sangat menerapkan ajaran kepemimpinan Astabrata,
khususnya watak pemimpin yang disimbolkan oleh Dewa Indra tentang
kesejahteraan dan keadilan sosial. Meskipun masih terdapat perbedaan dan
9
Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" hal. 205.
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 109.
11
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 349-350.
10
56
kepincangan sosial Soeharto tetap menegaskan bagaimana hasil pembangunan
yang sangat nyata selama kepemimpinannya, kesejahteraan rakyat yang jauh lebih
baik daripada waktu sebelum pelaksanaan pembangunan pada masanya. Selain itu
arah kebijaksanaan pembangunan yang berlandaskan kepada GBHN (Garis Besar
Haluan Negara) akan terus bergerak menuju terwujudnya keadilan sosial.12
2. Watak Dewa Yama
Dalam menganalisa kepemimpinan Soeharto berdasarkan watak Dewa Yama,
penulis memfokuskan diri pada sikap Soeharto selaku pemimpin menjaga
keamanan Nasional dan penerapan hukum pada masa kepemimpinannya karena
sebagaimana telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, Dewa Yama
merupakan teladan yang patut ditiru oleh seorang pemimpin agar bisa menjaga
keutuhan dan keamanan negara.
Masa kepemimpinan Soeharto, pernah diterapkan kebijakan operasi
penembakan langsung kepada para penjahat kaliber yang waktu itu dikenal
dengan istilah “Petrus” (Penembakan Misterius) dan hukuman mati. Bagi
Soeharto langkah ini diterapkan pada masanya semata-mata hanya untuk
memberikan perlindungan kepada rakyat dan menumpas semua kejahatan yang
sudah melampaui batas perikemanusiaan.13 Pelaksanaan “Petrus” mendapat protes
dari sebagian pihak karena para penjahat itu dihukum tanpa melalui proses
12
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 351-351.
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 389-390.
13
57
peradilan, dan dianggap melanggar HAM. Namun justru sebagian besar rakyat
merasakan manfaat langsung dari adanya “Petrus” ini.14
Untuk berbagai macam kritik yang datang tersebut, Soeharto mengatakan
bahwa mereka yang mengkritik tidak mengerti masalah yang sebenarnya.
Soeharto hanya saja ingin bertindak tegas terhadap para pelaku kejahatan dan
memang harus dengan kekerasan tindakan tegas itu dilaksanakan. Tetapi
kekerasan yang itu bukan lantas dengan penembakan begitu saja, hanya kepada
para penjahat yang melawanlah penembakan itu dilakukan. Selain itu para
penjahat tersebut menurut Soeharto tidak hanya melakukan pelanggaran hukum,
tetapi juga melanggar batas-batas perikemanusiaan. Sebagai contoh, seorang yang
sudah tua dirampas hartanya, kemudian masih dibunuh. Bagi Soeharto ini
dianggap sudah melampaui batas kemanusiaan.15
Lalu berkaitan dengan peristiwa “Petrus” ini, ada penjahat yang setelah
ditembak mayatnya ditinggalkan begitu saja, Soeharto mengatakan tindakan
demikian itu dilakukan untuk memberi shock therapy (terapi goncangan) supaya
banyak yang mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bertindak
tegas dan mengatasinya. Dengan tujuan bisa menumpas semua kejahatan yang
sudah melampaui batas. Dan mengikis habis semua kejahatan-kejahatan yang
menjijikkan.16
Kebijakan
selanjutnya
yang
juga
mendapatkan
kritik
pada
masa
kepemimpinan Soeharto adalah permasalahan penerapan hukuman mati di
14
Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Sange, Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto,
(Jakarta: Jakarta Citra, 2006), hal. 191.
15
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 351-351.
16
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 390.
58
Indonesia. Wilson mengatakan bahwa hukuman mati merupakan suatu bentuk
hukuman yang kejam di Indonesia. Bentuk dan cara pelaksanaan hukuman mati
memang berubah dalam kurun ratusan tahun. Tetapi pada dasarnya filosofis
hukuman mati sama saja sejak dari zaman kerajaan-kerajaan Nusantara hingga
pasca kemerdekaan, yaitu untuk menegakkan superemasi ekonomi-politik dan
superemasi moral penguasa untuk melakukan “kontrol” atas tertib sosial dan tertib
politik, dan pada zaman Orde Baru Soeharto atas nama “stabilitas nasional”.17
Menurut penulis, tindakan Soeharto menerapkan kebijakan seperti di atas
merupakan representasi dari sikap Dewa Yama membasmi para penjahat yang
mengganggu ketentraman negara. Dalam teks Astabrata diuraikan cara Dewa
Yama menindak penjahat sebagai berikut:
Itu dinda, yang harus jadi tindakanmu
Terhadap semua hamba yang menghuni bumi ini
Adapun tingkah lakumu
Menghukum tindak yang menyakiti
Seluruh penjahat dalam negara terkikis punah
Tak peduli walaupun sanak-kerabat sendiri
Jika ia penjahat, dibunuhlah ia
Siapapun yang berbuat laknat
Diburu dan diusut sampai porak poranda
Di tempat sembunyi dilacak
Ditangkap dan dihabisi nyawanya
Sampah negara diusahakan habis musnah
Itulah Batara Yama
17
Wilson,“Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati,” hal. 1.
59
Caranya menjaga negara agung18
Pada petikan di atas secara jelas dinyatakan untuk menjaga suatu “negara
agung”, maka seorang penguasa atau pemimpin dibenarkan untuk membunuh,
menghabisi nyawa seseorang hingga tak berbekas. Selanjutnya cara yang dapat
diambil seorang pemimpin melalui watak Dewa Yama untuk menjaga sebuah
negara selain dengan menghilangkan kejahatannya adalah dengan “menyuruh
pergi siapa yang berbuat salah”, dalam hal ini penulis mengartikannya bagaimana
seorang pemimpin harus bisa menghapuskan sesuatu yang berpotensi melakukan
kesalahan atau kejahatan yang dapat mengganggu keamanan dan kedaulatan
negara.
Stabilitas nasional merupakan syarat penting bagi Soeharto untuk
pelaksanaan pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga
kekuatan-kekuatan yang berpotensi menentang pemerintah akan ditindak tegas,
dalam hal ini yaitu sikap yang menyimpang dari Demokrasi Pancasila yang
diterapkan Soeharto terlebih lagi penyimpangan terhadap apa yang telah
disepakati oleh wakil-wakil rakyat yang akan menjadi langkah bersama ke
depannya dalam jangka waktu 5 tahun.19 Pada masa pemerintahan Soeharto dapat
dilihat bagaimana pemerintah Orde Baru waktu itu menyikapi gerakan petisi 50,
permasalahan PKI, dan kontrol sosial yang ketat.
Pada tahun 1980 hukuman cekal (cegah dan tangkal) diberikan kepada
pimpinan dan anggota petisi 50 karena tindakan oposisi terhadap pemerintah.
Namun tindakan yang dilakukan Soeharto sangat jauh berbeda dengan yang
18
19
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 175.
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 346-347.
60
digambarkan oleh Dewa Yama yang menyuruh pergi atau mengusir siapa yang
dekat pada berbuat salah, Soeharto malahan mencegah para pelakunya untuk
keluar dari Indonesia, menurut penulis hal ini karena Soeharto mencegah akan
datangnya kekuatan dari luar negeri (Barat) yang akan mengganggu
pemerintahannya. Soeharto sendiri menganggap oposisi yang dilakukan oleh
anggota petisi 50 oposisi ala Barat, yang tidak sesuai dengan Demokrasi
Pancasila.20
3. Watak Dewa Surya
Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa mengatakan bahwa
kekuasaan yang sebenarnya dalam budaya Jawa nampak dalam ketenangan. Sikap
tenang di sini memiliki kaitan erat dengan suatu sifat yang bagi orang Jawa
merupakan inti dari kemanusiaan yang beradab dan sekaligus menunjukan
kekuatan batin. Seorang penguasa atau dalam pembahasan penulis lebih tepat
menggunakan kata pemimpin, haruslah seorang yang bersikap alus. Alus (halus)
pertama-tama berarti suatu permukaan halus dalam arti fisik, tetapi dalam hal
kekuasaan dan penguasaan lebih tepat dipakai arti lembut, luwes, sopan, beradab,
peka, dan sebagainya. Kehalusan di sini bukanlah sebuah kelemahan, akan tetapi
merupakan sesuatu kekuatan. Karena orang yang halus ia berarti dapat
mengontrol dirinya sendiri.21
Seorang pemimpin sejati tidak akan berbicara dengan suara keras agar
didengar, tidak pula marah-marah. Apabila ia memberikan perintah ia tidak akan
memberikannya secara langsung. Cukup dalam bentuk sindiran, usul, anjuran;
20
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 346.
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa, (Jakarta:PT. Gramedia, 1991), hal.102.
21
61
sebagai perintah yang halus. Begitu pula ia tak memberi larangan secara kasar.
Suatu ucapan kritis, pertanyaan yang sopan kepada lawan, senyuman toleran
sudah cukup untuk menunjukan kehendaknya yang kuat seperti besi. Orang yang
sungguh-sungguh berwibawa tidak perlu menggarisbawahi kewibawaannya
dengan usaha-usaha lahiriah.22
Menurut penulis penjelasan Frans Magnis Suseno tentang sifat penguasa
dalam budaya Jawa di atas merupakan pemaparan yang hampir sama dengan
watak Dewa Surya dalam ajaran Astabrata yang menjelaskan pemimpin sebagai
seorang yang berwatak ambeg pramata, selalu bersikap halus dan santun kepada
siapapun.
Menurut penulis, watak alus pada diri Soeharto dapat dilihat dari berbagai
peristiwa, kesaksian dan beberapa penjelasan tentang Soeharto. Pada peristiwa
perpindahan kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru, sangat tampak
bagaimana Soeharto bisa bersikap tenang dan tidak terburu-buru untuk
menduduki status sebagai kepala negara meskipun sudah ada desakan kepadanya
di tengah situasi politik dan nasional pada waktu itu.23
Selanjutnya sikap tenang, halus,bahkan masih menghormati lawannya
(Soekarno) dapat dilihat dari penuturan Soeharto berikut:
Lalu saya dihadapkan lagi kepada para mahasiswa yang tentunya tidak
sendirian. Saya menyatakan dengan nada tenang di depan mereka, bahwa
Bung Karno masih Presiden kita yang sah, sesuai dengan Undang-Undang
Dasa 1945. Kita mesti menghormatinya.24
22
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, hal 102-103.
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 187.
24
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 179.
23
62
Pada masa konflik politik dan ajakan kepada Soeharto yang terus berganti
tersebut akhirnya Soekarno menyetujui pengalihan kekuasaan pemerintahan
kepada Soeharto pada tanggal 20 Februari 1967 karena menyatakan diri tidak
sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai kepala negara. 25 Dan setelah itu
Soeharto bisa mempertahankan kepemimpinannya lebih kurang selama 32 tahun.
Menurut penulis rangkaian peristiwa di atas merupakan sikap Soeharto yang
sesuai dengan teladan yang digambarkan oleh watak Dewa Surya dalam teks
Astabrata berikut:
Apa yang kau kehendaki, dengan jalan yang halus
Menghisapnya dirasakan tanpa sakit
Terisaplah apa yang kau kehendaki
Tidak tergesa-gesa dalam semua usaha
Si musuh pun dapat diluluhkan hatinya
Dan tidak merasa bahwa hatinya kau masuki
Karena usahamu dirasakan tiada congkak-rasa.26
4. Watak Dewa Candra
Hal yang dapat diperhatikan dari seorang pemimpin berdasarkan watak Dewa
Candra adalah bagaimana cara seorang pemimpin dalam bersikap dan
memberikan perintah kepada bawahan atau pembantunya. Menurut penulis
terdapat tiga sifat yang menjadi teladan dalam sosok Dewa Candra, ketiga sifat
tersebutlah yang akan penulis paparkan dalam menganalisis kepemimpinan
Soeharto berdasarkan watak Dewa Candra.
25
26
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 188.
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 176.
63
1. Pemaaf (Penuh Ampun, itu sarananya memenuhi dunia ini)
2. Memerintah dengan santun, ramah, dan manis. (Agar enaklah hati seluruh
negeri, memerintahlah ia dengan harum dan manisnya, tiap katanya manis
didengar, muka dan tindakannya manis (dilihat), penuh ketawa, senyumnya
mencampuri tiap perilaku, tindakannya tiada sulit, hanya enaklah didengar
semua perintahnya)
3. Mencintai dan dicintai oleh agamawan. (Hatinya penuh damai terhadap seisi
buana, sampai ke lubuk berbaik hati, lebih-lebih harum manis serta kasih
sayang para pendeta kepadanya)
1. Watak Pemaaf pada Soeharto
Sifat pemaaf haruslah dimiliki oleh seorang pemimpin dalam ajaran
Astabrata, dan sifat ini merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki agar
seseorang menjadi pemimpin yang ideal atau sejati. Menurut penulis, Soeharto
yang begitu kental dengan kultur Jawa terkhususnya ajaran Astabrata selama
menjalankan kepemimpinan Orde Baru pasti sangat tahu dengan ajaran Astabrata
yang disimbolkan dengan Dewa Candra.
Akan tetapi dalam praktik kepemimpinannya Soeharto bukanlah seorang yang
pemaaf, bahkan Tjipta Lesmana menyebut Soeharto sebagai seorang pendendam
karena kebiasaannya memberikan hukuman kepada pembantunya yang dinilainya
telah melakukan kesalahan. Malah jika kesalahan itu dinilai fatal, Soeharto akan
sulit untuk memaafkannya. Dendam kesumat bisa terjadi terhadap orang itu.27
27
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa.
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009) hal. 137.
64
Beberapa kasus yang menggambarkan Soeharto memberikan hukuman
ataupun dendam kepada para pembantunya adalah sebagai berikut, pertama kasus
M. Jusuf, jendral TNI M. Jusuf merupakan menteri yang memiliki jabatan
rangkap pada masa kepemimpinan Soeharto, Menteri Pertahanan-Keamanan dan
Panglima Angkatan Bersenjata yang diangkat pada Maret 1978. Belum sampai
dua tahun setelah dilantik nama jendral M. Jusuf sangat popular di Indonesia
sehingga lahir isu bahwa M. Jusuf memiliki agenda politik sendiri. Dan Soeharto
merupakan orang yang paling tidak suka jika ada pembantunya yang popular dan
lebih popular darinya.28
Dalam kultur Jawa, raja memang tidak boleh disaingi atau tersaingi oleh
siapapun. Dalam kepemimpinan Jawa, penguasa hanya satu orang, yang lain
hanya pembantu yang harus bekerja dengan loyalitas. Gagasan pluralitas
kekuasaan tidak ada dalam paham politik Jawa, segala kekuasaaan dan hukum
bersumber dari pribadi raja. Jangankan sosok, ide suatu hukum yang berada di
atas pribadi penguasa tidak dikenal dalam paham politik Jawa.29
Menurut
beberapa
pihak,
kepopuleran
M.
Jusuf
tersebutlah
yang
menyebabkan Soeharto menggantinya dengan Letnan Jendral TNI L.B Moerdani,
Soeharto tahu bahwa jendral yang terlalu berkuasa dan popular dapat menjadi
ancaman serius bagi kelangsungan kekuasaannya.30
Kedua, Pengunduran diri Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia pada
21 Mei 1998 dan naiknya B.J Habibie untuk menggantikannya, bisa dikatakan
awal mula kebencian Soeharto kepada Habibie. Setelah posisinya digantikan,
28
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal 112-113.
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, hal 108.
30
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 114-115.
29
65
Soeharto tidak pernah bersedia ditemui oleh Habibie, Soeharto merasa bahwa
Habibielah yang telah berkhianat untuk menjatuhkannya. Bukan hanya Soeharto,
bahkan keluarganyapun dilarang mengizinkan Habibie menginjakan kaki di
kediamanannya di jalan Cendana. Setiap kali Habibie meminta bertemu dengan
Soeharto selalu ditolak dengan berbagai alasan. Bahkan tatkala Soeharto dalam
keadaan kritis, 15 Januari 2008 Habibie dan istrinya yang datang menjenguk tetap
ditolak oleh keluarga Soeharto untuk menemuinya. Akhirnya Habibie hanya
berdoa di ruang sebelah kamar Soeharto dirawat.31
Ketiga, Harmoko juga bisa dipastikan sebagai orang yang menjadi sasaran
kemarahan dan rasa sakit hati Soeharto. Sama dengan Habibie, di mata Soeharto,
Harmoko juga merupakan seorang pengkhianat. Kebencian Soeharto kepada
Harmoko bisa diketahui melalui percakapan Soeharto dengan Nurcholis Madjid
(Cak Nur) pada 18 Mei 1998, ketika itu Soeharto merasa tertarik pada gagasan
reformasi Cak Nur yang dipaparkan sehari sebelumnya di markas besar ABRI.
Kepada Soeharto, Nurcholis menyampaikan gagasannya tentang reformasi, dan
dalam reformasi tersebut Cak Nur mengatakan bahwa Soeharto harus lengser.
Menanggapi gagasan tersebut, Soeharto menanggapinya sambil tertawa dan
mengatakan, “Saya kan sudah lama ingin itu. Ini kan gara-gara Harmoko dan
Fraksi Karya Pembangunan.”32
Percakapan antara Cak Nur dan Soeharto itu terjadi ketika desakan agar
Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sudah sangat besar. Penyebab
mendasar yang menyebabkan kemarahan Soeharto kepada Harmoko adalah
31
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 124-126.
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 128-129.
32
66
karena dukungan yang diberikan Harmoko selaku ketua umum Golkar agar
Soeharto kembali bersedia dicalonkan sebagai presiden Indonesia pada pemilu
1987. Karena rakyat masih menginginkan Soeharto memimpin pada waktu itu.
Namun tak sampai setengah tahun setelah dilantik sebagai Presiden Indonesia
untuk kelima kalinya, Harmoko jugalah yang menyampaikan pernyataan sikap
fraksi Golkar agar Soeharto mengundurkan diri.33
Padahal Soeharto dalam buku autobiografinya bisa diketahui sudah
menampakkan sikap yang tidak begitu yakin atau mantap untuk kembali
memimpin Indonesia dikarenakan tugas yang begitu berat. 34 Dan meskipun
Golkar sudah resmi kembali mencalonkan Soeharto, Soeharto tetap meminta
Golkar kembali mempertimbangkan kembali keputusan tersebut, apakah benar
keputusan tersebut karena aspirasi rakyat?35
Menurut Sardjono sebagaimana dikutip oleh Tjipta Lesmana, pernyataan
Soeharto tersebut memang tidak dapat dipastikan apakah keluar tulus dari hatinya
atau hanya sebatas sikap pura-pura, karena orang Jawa juga terkenal dengan sikap
ethok-ethok.36
33
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 133.
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,
34
hal. 466.
35
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 131.
Ethok-ethok merupakan prinsip kepura-puraan dalam gaya berbahasa orang Jawa. Pola
perilaku kepura-puraan ini biasa dilakukan oleh penutur asli Jawa agar mampu mengendalikan diri
dan situasi sehingga tidak menimbulkan keributan. Budaya Jawa mengunggulkan sikap dan
perilaku yang tenang serta menghundari keributan sekalipun cuma bersifat verbal. (Lihat Herudjati
Purwoko, Wacana Komunikasi: Etiket dan Norma Wong-Cilik Abangan di Jawa, hal. 72-73).
Menurut penulis dengan sikap ethok-ethok ini dalam konteks kekuasaan maka akan menampilkan
seorang sebagai penguasa sejati, seperti Soeharto yang menampilkan diri dengan sikap tidak yakin
dan tenang menjelang pemilu 1987, tetapi tetap mendapatkan dukungan untuk kembali menjadi
penguasa/pemimpin bangsa Indonesia. Dalam budaya Jawa sikap tenang merupakan perilaku yang
menandakan kesejatian kekuasaan penguasa.
36
67
Rangkaian peristiwa tersebutlah yang membuat Soeharto marah kepada
Harmoko, dan sampai mengeluarkan pernyataan “Ini kan gara-gara Harmoko dan
Fraksi Karya Pembangunan” ketika berbincang dengan Cak Nur. Ketika
mengumumkan pengunduran dirinya di Credential Room
Istana Merdeka,
Soeharto tidak ingin acara tersebut dihadiri oleh pimpinan DPR/MPR, dan
Harmoko adalah orang yang menjabat sebagai ketua DPR/MPR pada waktu itu.
Hampir sama seperti kemarahan Soeharto kepada Habibie, Harmokopun juga
tidak pernah memperoleh kesempatan untuk berkomunikasi dan bertemu sampai
Soeharto meninggal.37
Selain contoh kasus tiga tokoh di atas, sejarah Orde Baru juga mencatat
banyak mantan jendral populer yang kemudian mendadak hilang dari peredaran
karena popularitasnya atau ada indikasi melawan kekuasaan Soeharto. Seperti
Jendral (Marinir) Ali Sadikin, Letnan Jendral Sarwo Edhie Wibowo (Komandan
Jendral RPKAD yang namanya juga populer dalam menumpas PKI pascaGerakan 30 September), Jendral Widodo (Kepala Staf Angkatan Darat yang
dipecat secara mendadak), Jendral Soemitro (Panglima Kopkamtib yang karier
militernya habis pasca-“Malari”), Letnan Jendral Kemal Idris (Panglima Kostrad
yang kemudian sering mengkritik Soeharto), dan Jendral Benny Moerdani
(Panglima Angkatan Bersenjata dan orang kepercayaan Soeharto yang akhirnya
juga disisihkan).38
Beberapa contoh kasus di atas jelas sekali bahwa Soeharto memang
mempunyai kebiasaan menghukum pembantunya yang dinilai telah melakukan
37
Tjipta Lesmana. Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 135-136.
Tjipta Lesmana. Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 115.
38
68
kesalahan. Malahan jika kesalahan itu dinilai fatal, Soeharto akan sangat sulit
untuk memaafkannya. Dengan demikian menurut penulis, Soeharto bukanlah
seorang pemimpin yang mempunyai sifat pemaaf seperti yang diteladankan oleh
Dewa Candra dalam ajaran Astabrata. Dalam ajaran Astabrata, Dewa Candra
digambarkan sebagai sosok yang penuh ampun, itu sarananya memenuhi dunia
ini.39
2. Memerintah dengan santun, ramah, dan manis
Meskipun memiliki watak pendendam terhadap para pembantunya yang
dianggap bersalah, Soeharto berdasarkan kesaksian para menteri pembantu
kabinet pada masa Orde Baru tetap merupakan sosok seorang pemimpin yang
santun, lembut, penuh wibawa, tidak keras dalam berbicara tetapi memiliki bobot
ketika berbicara dengan menterinya. Sebagaimana kesaksian Muladi (mantan
Wakil Ketua Komisi Hak Asasi Manusia masa Soeharto) yang disampaikan
kepada Tjipta Lesmana mengatakan, Soeharto jika menolak usulan menterinya dia
tidak mengatakannya secara langsung, tetapi dia menolaknya dengan cara yang
halus, dan biasanya para menterinya paham dengan sikap Soeharto tersebut. 40
Menurut Tjipta Lesmana, komunikasi politik Soeharto sangat tertib, satu arah,
singkat, dan tidak bertele-tele, kecuali dalam situasi tertentu. Hal ini sesuai denga
kebiasaan Soeharto untuk melihat segala sesuatu berjalan “tertib, aman, dan
terkedali.” Selain itu juga sangat kental dengan kultur Jawa: banyak kepurapuraan (impression management), tidak to the point dan amat santun.41
39
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, hal.
176.
40
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 52.
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 52&55.
41
69
O. G Roeder seorang penulis Belanda menjulukinya sebagai The Smiling
General (Jenderal yang selalu tersenyum) karena Soeharto merupakan seorang
penguasa atau pemimpin yang sangat handal menyembunyikan sesuatu dibalik
senyumannya, Soeharto mengikuti prinsip penggunaan kata-kata yang samarsamar dan cara-cara tidak langsung yang merupakan warisan kebudayaan Jawa.42
Usman Hamid dalam tulisan pengantarnya pada buku Teror Orde Baru:
Penyelewengan Hukum & Propaganda 1965-1981 juga menuliskan kesaksian
Ismid Hadad yang pernah bertemu dengan Soeharto di istana pada tahun 1980-an,
Soeharto adalah seorang penguasa yang memiliki karisma pribadi yang kuat
dengan senyuman khas gaya keramahan Jawa dan wajah Soeharto adalah wajah
yang ramah dan penuh perbawa.
Menurut penulis, selain ajaran tiga ojo yang menjadi pegangan bagi Soeharto
untuk memberikan ketenangan dalam menghadapi berbagai permasalahan, sikap
yang selalu ramah, murah senyum, dan penuh ketawa yang semuanya terdapat
dalam ajaran Astabrata juga diterapkan oleh Soeharto dalam kepemimpinannya.
Sebagai contoh adalah ketika Soeharto menghadapi peristiwa skandal Bapindo
(Bank Pembangunan Indonesia). Rabu, 16 Februari 1994, Ketua Dewan
Pertimbangan Agung, Sudomo, mengahadap Presiden Soeharto. Dalam pertemuan
itu Sudomo melaporkan referensi yang diberikannya kepada pimpinan Bapindo
sehubungan dengan kredit sebesar Rp. 1,3 triliun yang dikucurkannya kepada
seorang pengusaha yang bernama Eddy Tansil, adik kandung Hendra Rahardja
(pemilik Bank Harapan Sentosa yang sudah bangkrut). Kasus ini sangat
menghebohkan karena menyeret sejumlah pejabat tinggi, termasuk Sudomo yang
42
O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, hal 4-6.
70
pernah menjadi Panglima Kopkamtib. Namun setelah ditanya oleh wartawan
tentang tanggapan presiden Soeharto, Sudomo menjawab: “Pak Harto hanya
tertawa.”43
Beberapa tokoh di atas menyampaikan kesaksiannya tentang Soeharto yang
memiliki sifat ramah, santun, lembut, selalu tersenyum, dan juga dipenuhi tawa.
Tapi kebanyakan dari mereka juga sepakat bahwa terkadang hanya Soehartolah
yang mengetahui apa makna dibalik senyuman dan tawa tersebut. Namun dalam
kehidupan orang Jawa yang ideal, apalagi yang berlatar kelompok priyayi atau
bangsawan sikap demikian merupakan cara menyimpan rapat-rapat emosi dengan
ekspresi wajah yang tenang. Orang Jawa tidak akan memperlihatkan raut wajah
senang atau sedih yang berlebihan, jarang tertawa terbahak-bahak atau menangis
tersedu-sedu.
44
Dalam prinsip komunikasi Jawa tindakan tenang dan
mengendalikan diri merupakan cara untuk menghindari keributan dan konflik, dan
sangat sesuai dengan prinsip hidup orang Jawa yang mengunggulkan sifat rukun
(damai).45
Menurut
penulis
inilah
bentuk
penerapan
ajaran
Astabrata
pada
kepemimpinan Soeharto kepada para pembantu kabinetnya pada masa Orde Baru
“Agar enaklah hati seluruh negeri, memerintahlah ia dengan harum dan manisnya,
tiap katanya manis didengar, muka dan tindakannya manis (dilihat), penuh
ketawa, senyumnya mencampuri tiap perilaku, tindakannya tiada sulit, hanya
43
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 58.
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 152-151.
45
Herudjati Purwoko, Wacana Komunikasi: Etiket dan Norma Wong-Cilik Abangan di
Jawa, hal. 76-77.
44
71
enaklah didengar semua perintahnya” yang jika dilihat secara garis besar juga
merupakan representasi dari prinsip hidup rukun dalam budaya Jawa.
3. Disayangi oleh para tokoh agama
Dalam ajaran Astabrata, seorang pemimpin yang baik pasti akan dicintai oleh
pandita (pendeta), tetapi dalam konteks kepemimpinan Soeharto menurut penulis
akan lebih tepat menggambarkan bagaimana sikap pemuka agama yang resmi di
Indonesia pada masa Soeharto, dan untuk kasus ini penulis hanya mengambil
bagaimana sikap NU terhadap Soeharto karena NU sebagai ormas Islam terbesar
di Indonesia dianggap dapat mewakili bagaimana sikap-sikap pemuka agama
Islam lainnya.
Semasa Orde Baru, banyak pesantren dan figur kiai yang memperoleh
perlakuan istimewa dari pemerintah untuk dijadikan pilar penyangga kekuasaan
Soeharto. Sejumlah kiai masuk dalam daftar calon legislatif untuk meraih suara.
Banyak pula program pemerintah seperti Keluarga Bencana (KB) sosialisasinya
memanfaatkan karisma kekuatan komunikasi kiai.46
Selanjutnya sikap Abdurrahman Wahid selaku ketua umum Nahdlatul Ulama
tentang penerimaan Pancasila sebagai falsafah negara maupun sebagai satusatunya asas bagi organisasi massa apapun di Indonesia. Dalam penjelasannya
Wahid menyatakan Pancasila merupakan kendaraan terbaik untuk memberikan
legetimasi nasional bagi setiap perilaku politik yang diperankan organisasinya.
Dukungan yang disampaikan Gus Dur ini disampaikan setelah sepuluh tahun
46
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran
Radikal dan Akomodatif, (Jakarta: LP3ES, 2004), hal. 47.
72
sejak Presiden Soeharto menyampaikan gagasannya yang pertama di depan MPR
16 Agustus 1982.47
Selain itu tokoh-tokoh NU yang juga kerap mendukung Soeharto adalah
Achmad Siddiq, Tolchah Mansur, Syaifuddin Zuhri, Idham Chalid, dan
Mohammad Dahlan. Dengan sikap tokoh-tokoh NU yang mendukung Soeharto
tersebut, menurut Asep Saeful Muhtadi sikap keagamaan NU pada dasarnya dapat
dilacak sampai pada pemikiran al-Ghazali tentang Islam dan manusia. Dalam hal
ini NU tidak bersikap antithesis terhadap suatu nilai yang dianut masyarakat.
Karena itu suatu sistem atau nilai dalam masyarakat senantiasa mempunyai
potensi untuk dikembangkan agar sejalan dengan tujuan pokok syari‟at Islam
sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan akidah Islam.48
5. Kepemimpinan Soeharto Berdasarakan Watak Dewa Bayu
Dewa Bayu dalam ajaran kepemimpinan Astabrata juga merupakan simbol
dari angin, sikap utama yang patut diteladani seorang pemimpin pada watak Dewa
Bayu adalah tindakan yang selalu mengawasi gerak-gerik dalam negara dengan
teliti dan rinci, hal ini bertujuan agar pemimpin mengetahui kekurangan
pemerintahan yang telah dipimpinnya, memahami dan merasakan susah dan
senangnya rakyat, dan mengetahui tingkat kesejahteraan rakyat di seluruh
penjuru. 49 Dalam mengawasi negara seorang pemimpin sangat berhati-hati dan
47
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, hal. 136.
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, hal 146-148.
49
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 94.
48
73
hampir tidak kelihatan seperti halnya angin yang mampu menelusup ke segala
tempat dan situasi.50
Dalam konteks saat ini, maka seorang pemimpin perlu mengangkat orangorang atau pemimpin di bidang tertentu untuk memikul tugas dan tanggung jawab
penyelidikan dan penjaringan untuk pengumpulan informasi yang akurat dan
memadai. Dalam sistem pemerintahan Indonesia tugas-tugas seorang pemimpin
yang sejalan dengan watak Dewa Bayu adalah seperti tugasnya Intelijen Negara. 51
Soeharto berdasarkan kebijakan dwifungsi ABRI memposisikan ABRI
sebagai pengawas penduduk melalui komando teritorial yang meliputi seluruh
negara dari Jakarta sampai ke pulau terpencil, termasuk setiap desa. Perwira yang
berdinas aktif rata-rata menempati posisi juga sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dengan tetap memiliki tanggung jawab kepada atasannya
dan terus menerus sampai ke pusat pemerintahan. Perwira yang aktif ataupun
sudah pensiun diangkat memangku jabatan di pemerintahan sipil dengan alasan
perlindungan dan pengawasan.
6. Watak Dewa Baruna
Peran angkatan bersenjata merupakan suatu yang vital bagi pemerintahan
Soeharto dan cara kerjanya. ABRI menjaga dominasi negara atas masyarakat.
Pada masa Soeharto ABRI membenarkan intervensi militer di bidang politik sipil
menurut doktrin dwifungsi. Menurut gagasan itu angkatan bersenjata memiliki
dua peran yang saling berkaitan: membela negara tidak hanya dari ancaman
militer konvensional yang berasal dari luar negeri, tetapi juga dari bahaya dalam
50
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 234.
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 92.
51
74
negeri yang berciri apapun, seperti militer, politik, ekonomi, sosial, budaya, atau
ideologis.52
Hampir sama dengan penilaian William Liddle di atas, bagi Soeharto ABRI
memang merupakan fondasi utama yang menjaga stabilitas nasional sebagai
stabilitator dan dinamisator. 53 Pada praktiknya angkatan bersenjata melalui
ketetapan dwifungsi ABRI pada masa Soeharto bisa menempatkan tenaga militer
baik yang aktif maupun pensiunan di DPR, MPR, dan DPR tingkat provinsi dan
kabupaten sebagai eksekutif dan staf di pemerintahan pusat, provinsi, dan
kabupaten. Serta dalam posisi kekuasaan formal maupun informal Golkar.54
Jika dalam ajaran Astabrata Dewa Baruna digambarkan selalu membawa
nagapasa, suatu senjata yang sangat sakti sebagai perlambangan seorang
pemimpin yang selalu siap siaga dalam menjalankan tugas dan keamanan negara,
maka menurut penulis ABRI pada masa itulah yang merupakan nagapasanya
Soeharto, terutama dengan konsep dwifungsi ABRI yang memberikan ABRI
keleluasaan yang begitu luas untuk menjaga keamanan dan kedamaian negara.
Bagi Soeharto kewaspadaan dan keamanan tidak boleh dikendorkan demi
kemakmuran, tetapi bukan berarti juga kewaspadaan keamanan itu berlebihlebihan sehingga membatasi ruang gerak.55
52
R. William Liddle, ”Rezim Orde Baru,” dalam Donald K. Emmerson, ed., Indonesia
Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2001), hal. 73-74
53
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 459.
54
R. William Liddle,” Rezim Orde Baru,” hal. 74.
55
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 463.
75
7. Watak Dewa Kuwera
Dengan meneladani sikap kepemimpinan Dewa Kuwera, permasalahan pokok
yang penulis analisa dengan kepemimpinan Soeharto adalah bagaimana Soeharto
memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya, meskipun dalam teks Astabrata tersebut
dibatasi hanya kepada para pembantu seorang pemimpin tetapi jika ditarik lebih
umum, memenuhi kebutuhan pangan rakyat tentu juga memenuhi kebutuhan
pangan para pembantu pemimpin, dan bagaimana Soeharto bersikap dalam
memuji ataupun menegur para pembantunya dalam pemerintahan. Karena
berdasarkan ajaran Astabrata dalam serat Yasadipura Dewa Kuwera digambarkan
sebagai seorang pemimpin yang mempercayai pembantunya tetapi juga tidak
pernah melupakan kebutuhan jasmani mereka, tidak berlebihan dalam
menyanjung dan tidak terlalu menyalahkan pegawainya jika berbuat salah.56
Sebagai seorang pemimpin yang berlatar belakang dari keluarga petani,
Soeharto sangat mengerti tentang kebutuhan pangan di Indonesia dan bagaimana
kebutuhan pangan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kemakmuran
dan kestabilan sebuah negara. Hal ini bisa dilihat pada kebijakan pemerintahan
Soeharto di awal-awal Orde Baru yang memfokuskan peningkatan pertumbuhan
produksi beras. Prioritas ini didasarkan atas pertimbangan pemerintah Orde Baru
bahwa pasokan beras yang mencukupi sangat penting bagi stabilitas politik dan
sosial. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga (Repelita III,
1979/1980-1983/1984) tujuan swasembada beras diperluas menjadi swasembada
pangan.57
56
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 177.
Thee Kian Wie,"Pembangunan Ekonomi,” hal. 158.
57
76
Selain itu juga tak jarang Soeharto ketika berkunjung ke daerah-daerah
pedesaan langsung terjun kepada para petani dan berkomunikasi langsung tentang
pertanian sebagaimana ditulis oleh August Parengkuan dalam tulisannya Kepala
Negara Menyelusup ke Desa-Desa.58
Bukti nyata keberhasilan Soeharto dalam memenuhi kebutuhan pangan adalah
penghargaan yang diberikan oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada
tahun 1985 kepada Soeharto karena keberhasilan pemerintah Orde Baru mencapai
swasembada beras.
8. Watak Dewa Brama
Gerakan pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) pada masa Soeharto, merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
meningkatkan pendidikan politik bagi rakyat Indonesia, dengan harapan
warganegara memiliki kesadaran yang tinggi akan hak dan kewajibannya sebagai
negara dan dengan demikian seluruh warganegara akan ikut serta secara aktif
dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan.59
Secara bertahap Soeharto membentuk badan-badan yang ditugasinya untuk
memikirkan bahan penataran, memberi arahan dan melaksanakan penataran itu
baik pada tingkat nasional maupun tingkat daerah. Penataran P4 ini pada mulanya
dimulai dari pegawai negeri dan anggota ABRI karena merupakan aparat
pelaksana penyelenggara pemerintahan negara, dan selanjutnya baru ke
masyarakat luas seperti anggota partai politik dan Golongan Karya, alim ulama
58
Julius Pour, Warisan (daripada) Soeharto, hal. 84.
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 336.
59
77
dan rohaniawan, pemuda, mahasiswa, karyawan, pengusaha, wanita, para
wartawan, para artis, dan lain sebagainya.60
Dari program P4 di atas, menurut penulis ini merupakan langkah Soeharto
sebagai pemimpin dalam mengajak seluruh warganegara bersama-sama dalam
membangun bangsa Indonesia. Hal ini serupa dengan pekerjaan Dewa Brama
dalam Astabrata yang mengajak seluruh rakyatnya bekerja bersama-sama dengan
pejabat negara untuk kebahagiaan rakyat itu sendiri.61
Dewa
Brama
juga
digambarkan
sebagai
teladan
pemimpin
dalam
menghancurkan musuh negara dengan sikap gagah berani, tetapi untuk analisa
tentang menghadapi musuh negara ini menurut penulis sama dengan analisa
kepemimpinan Soeharto berdasarkan watak Dewa Yama dan Baruna, yang
keduanya sama-sama mengupayakan keamanan dan kestabilan negara.
C. Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Islam
Pada sub bab ini, fokus utama pembahasan penulis adalah menganalisa
kepemimpinan Soeharto dari sudut pandang ajaran Islam dan mengemukakan
persamaan atau perbedaan ajaran-ajaran kepemimpinan dalam Islam dengan
ajaran kepemimpinan Astabrata. Soeharto sebagai seorang pemimpin negara
merupakan seorang yang beragama Islam, sehingga sangat penting untuk
mengetahui bagaimana Soeharto bisa menerima dan memposisikan ajaran
Astabrata pada dirinya yang notabenenya berasal dari ajaran Hindu. Ajaran
kepemimpinan Islam yang penulis paparkan sebagai perbandingan dengan
Astabrata adalah nilai-nilai kepemipinan perspektif al-Fārābī, karena al-Fārābī
60
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 337.
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 235.
61
78
merupakan seorang pemikir Muslim yang memiliki gagasan kepemimpinan dalam
karyanya Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fādilah, Tahşīl al-Sa’ādah, Fuşūl Muntaza’ah,
dll.
1. Kepemimpinan Perspektif al-Fārābī
Bagi al-Fārābī pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin yang
tujuan utama dari segala apa yang dilakukannya dapat memberi manfaat kepada
diri dan para warga dalam meraih kebahagiaan. Ini merupakan tugas pemimpin.
Untuk itu pemimpin negara utama haruslah orang yang paling sejahtera di antara
yang lain karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan warga kota.62
Kemudian al-Fārābī juga memahami pemimpin sebagai orang yang diikuti
atau diterima. Dalam arti diterima dengan alasan bahwa dia adalah orang yang
memiliki kesempurnaan tujuan. Apabila perbuatan-perbuatan, keutamaankeutamaan, dan reaktifitas pemimpin tidak seperti yang dikehendaki oleh
masyarakat, maka kepemimpinannya tidak bisa diterima. Dengan kata lain
pemimpin adalah orang yang paling utama. Semua itu tidak mungkin terjadi
apabila dia tidak memiliki ilmu-ilmu teoritis dan keutamaan berpikir sebagaimana
yang dimiliki oleh seorang failasuf.63
Bagi al-Fārābī, agar semua komunitas manusia ini memperoleh
kebahagiaan sejati, pemimpin utama dalam melaksanakan tugasnya bisa
mempergunakan dua metode, yaitu pengajaran dan pembentukan karakter.
Metode pengajaran dilakukan dengan memperkenalkan kebajikan teoritis, dengan
harapan orang dapat memahami teori-teori dan melaksanakannya sesuai dengan
62
Al-Fārābī, Fuşūl Muntaza’ah (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), hal. 47.
63
Al-Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah (Hyderabad: Majlīs Dā‟irah al-Ma‟ārif al-„Utsmaniyyah,
1349H.), hal. 43.
79
ketentuan-ketentuan teoritis normatif tersebut. Sedangkan pembentukan karakter
adalah metode memperkenalkan kebajikan moral dan seni praktis dengan
membiasakan bangsa dan penduduk untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bersumber dari keadaan lingungan sekitar yaitu dengan cara membangkitkan
tekad untuk melakukan tindakan-tindakan (utama) baik secara persuasif maupun
paksaan pada diri mereka.64
Laksana sebuah rumah tangga, pemimpin adalah pengajar dan pembentuk
karakter semua anggota keluarga itu. Dia harus mengajari dan membentuk
karakter semua anggota keluarga, mulai dari yang masih anak-anak sampai
beranjak dewasa. Sebagian dari mereka ada yang memerlukan didikan secara
lemah lembut dan penuh pengertian, sementara yang lain ada yang harus kerja
keras dan paksaan. Demikian halnya dengan masyarakat ada yang cukup dengan
lemah lembut tapi ada juga yang mesti keras dan paksa untuk mengarahkan
mereka menjadi warga yang baik. Tujuan dari itu semua adalah kebahagiaan
tertinggi.65
Bagi al-Fārābī, pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan
dapat merealisasikan dalam kepemimpinannya sehingga kepercayaan masyarakat
terhadap dirinya semakin kuat. Pemimpin tida hanya pandai tebar pesona tetapi
mewujudkan gagasan-gagasannya secara nyata. Karakter demikian ini biasanya
dimiliki oleh orang-orang yang memahami filsafat secara baik, dia adalah filsuf
sejati.66
Bagi al-Fārābī pemimpin utama itu laksana jantung manusia.Jantung
adalah organ utama dalam tubuh manusia.Dia harus ada dalam kondisi prima
64
Al-Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 29.
Al- Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 31-32.
66
Al- Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 44.
65
80
sebelum anggota-anggota tubuh vital lainnya. Anggota-anggota tubuh lain lain
dalam beraktifitas selalu di bawah koordinasi dan otoritas jantung. Demikian juga
pemimpin negara utama. Dia adalah unsur paling utama dan menentukan bagi
pemimpin-pemimpin di bawahnya dan seterusnya yang memiliki kapasitas dalam
posisi memimpin dan dipimpin.67
Apa yang terjadi pada pemimpin utama pasti akan berimbas kepada
pemimpin-pemimpin lain di bawahnya. Pemimpin utama adalah yang secara
natural paling mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan paling mulia di antara
pemimpin-pemimpin di bawahnya, yang secara hirarkis melakukan pekerjaanpekerjaan yang kemuliaannya di bawah kemuliaan pimpinan utama sampai pada
jajaran yang hanya dapat melakukan pekerjaan yang tingkat kemuliaannya sedikit.
Sebab utama adanya peringkat kepemimpinan itu adalah bahwa pemimpin
utama adalah laksana seorang raja dalam kota (negara) utama dengan semua
kawasan lainnya. Pemimpin utama cendrung untuk tidak memperdulikan hal-hal
yang bersifat materi, sedangkan yang lain tidak demikian. Pemimpin utama fokus
kepada satu tujuan utama, yaitu mengabdi kepada Sebab Pertama, tunduk kepadaNya dan mencukupan diri hidup untuk-Nya. Pemimpin-pemimpin di bawahnya
mengikuti apa yang dilaukan pemimpin utama namun tidak terlalu fokus pada
tujuan utama, demikian seterusnya.68
Konsep kepemimpinan al-Fārābī yang bersifat simbolis dan falsafi ada
kesesuaian dengan doktrin-doktrin agama yang menganalogikan negara sebagai
tubuh manusia, sebagaimana hadist Rasulullah di bawah ini:
hal. 118.
67
Al- Fārābī, Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fādilah (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002) Cet. Ke-8,
68
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, hal.121.
81
Perumpamaan kaum Mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih serta
cinta adalah seperti satu tubuh. Jika satu bagian anggota tubuh sakit maka
akan merasa sakit seluruh tubuh dengan tida bisa tidur dan merasa demam
(H.R. Bukhari Muslim).
2. Analisis Nilai-Nilai Kepemimpinan Islam dengan Astabrata pada Soeharto
Pada bab pertama, penulis telah menjelaskan bahwa salah satu ciri
kepemimpinan Jawa bersifat sinkretis, artinya konsep-konsep yang diambil adalah
konsep-konsep yang berasal dari agama yang memiliki pengaruh pada pola pikir
di Jawa, khususnya Islam dan Hindu.69
Orang Jawa pada masa Hindu memiliki konsep tentang organisme negara,
raja atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos, negara. Bahwa pandangan
tentang alam yang yang terbagi dalam mikrokosmos (dunia manusia) dan
makrokosmos (dunia supra manusia) adalah sesuatu yang pokok bagi pandangan
dunia orang Jawa. Dalam pandangan ini terkandung dua faktor yang penting bagi
pemahaman orang Jawa mengenai kehidupan negara: pertama, adanya kesejajaran
antara makrokosmos dan mikrokosmos, dan kedua, adanya pengaruh timbal-balik
antara makrokosmos dan mikrokosmos.70
Karena pemahaman kesejajaranantara makrokosmos dan mikrokosmos
raja pada masa Jawa atau Hindu dahulu disamasuaikan dengan Dewa.71 Hal ini
tentu sangat bertentangan dengan ajaran Islam apabila memposisikan seorang raja
atau pemimpin sejajar dengan Tuhan/Allah dan dalam konsep kepemimpinan alFārābī juga telah ditegaskan bahwa memang ada hierarki dalam kepemimpinan,
69
Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang
Membangun Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal.
6.
70
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 33.
71
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 34.
82
tetapi seorang pemimpin utama tidaklah sejajar dengan Sebab Pertama melainkan
bertugas mengabdi kepada-Nya dan mencukupkan hidup hanya untuk-Nya.72
Identifikasi (penyamasuaian) raja dengan Dewa di Jawa tidak berlaku lagi
pada masa Jawa Islam, karena ajaran Islam secara terang-terangan menolak
penyamasuaian antara manusia dengan Tuhan. Teologi Islam menempatkan Raja
dalam kedudukan yang tidak setinggi atau semulia sebelumnya, hanya sebagai
kalipatullah.73
Ajaran Astabrta yang memuat delapan kebaikan yang ditentukan bagi raja
atau pemimpin untuk memimpin suatu kerajaan atau negara memuat kebajikan
yang disamakan dengan kebaikan delapan Dewa dalam pantheon Hindu. Soeharto
sebagai seorang Muslim selama kepemimpinannya menerapkan ajaran ini, tetapi
hal yang perlu digaris bawahi di sini menurut penulis adalah bagaimana penulis
memandang Soeharto yang hanya menerapkan ajaran-ajaran Astabrata sebatas
untuk mengatur masalah-masalah kebijaksanaan negara, yang meliputi kasih hati
yang pemurah maupun kekerasan yang tiada kenal ampun dan tidak melupakan
arti penting harta benda maupun daya kecerdasan.74
Secara garis besar, kebaikan-kebaikan pemimpin yang diatur dalam
Astabrata menurut penulis memiliki kesamaan dengan gagasan al-Fārābī tentang
seorang pemimpin yang utama, diantaranya:
1. Bagi al-Fārābī pemimpin haruslah seorang yang paling sejahtera, karena
dia akan menjadi sebab kesejahteraan bagi warga kota, sama halnya dengan
kebaikan Dewa Indra dan Kuwera dalam Astabrata yang mengharuskan
pemimpin untuk mensejahterakan rakyatnya secara merata.
72
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, hal.121
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 34.
74
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 52.
73
83
2. Bagi al-Fārābī pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis agar
mendapat kepercayaan dari masyarakat, karakter ini hanya dimiliki oleh seorang
failasuf. Dalam Astabrata pemimpin juga haruslah seorang yang memiliki
pandangan yang teliti dan pikiran yang dalam seperti sifat Dewa Bayu dan
Baruna.
3. Bagi al-Fārābī agar semua komunitas memperoleh kebahagiaan sejati,
pemimpin utama dalam melaksanakan tugasnya bisa menggunakan dua metode,
yaitu pengajaran dan pembentukan karakter. Hal ini bisa dilakukan secara
persuasi maupun secara paksaan. Konsep ini menurut penulis bisa disamakan
dengan kebaikan Dewa Surya, Candra yang lebih mengutamakan kelembutan dan
kasih sayang dan Dewa Yama dan Baruna dalam bertindak tegas dalam menjaga
negaranya untuk kebahagiaan rakyatnya.
Selanjutnya, pada akhir bab ini penulis bisa menegaskan bahwa meskipun
pada awalnya ajaran Astabrata berasal dari ajaran agama Hindu di India namun
untuk penerapannya di Jawa dan Indonesia secara umum telah memisahkan antara
kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya dengan konsepnya sebagai
ajaran sebuah agama. Terlebih setelah Islam masuk ke Jawa konsep penyesamaan
antara raja/pemimpin dengan Dewa telah dihapuskan.
Soeharto
pun
dalam
menerapkannya
hanya
memandang
Hasta
Brata(Astabrata) sebagai sebuah wejangan (nasehat) atau pandangan hidup Orang
Jawa bukan ajaran Hindu.
BAB V
PENUTUP
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat kepemimpinan Astabrata merupakan ajaran kepemimpinan Jawa
kuno yang mencontohkan agar seorang pemimpin bersikap layaknya dewa-dewa yang
ada dalam naskah Astabrata. Karena dalam budaya kepemimpinan Jawa pemimpin
adalah titisan dewa di muka bumi.
Dalam menjalankan kepemimpinannya Soeharto sangat banyak terpengaruh
oleh ajaran Astabrata, seperti dalam permasalahan hukum, keamanan negara,
stabilitas nasional yang sangat kental dengan ajaran Dewa Yama. Namun, menurut
penulis masih belum secara keseluruhan ajaran Astabrata dapat diterapkan Soeharto
secara baik, seperti:
Pertama, permasalahan kesejahteraan secara merata yang merupakan teladan
Dewa Indra bagi seorang pemimpin tetapi penulis juga sepakat bagaimana pandangan
Nurcholish Madjid tentang ketidakmerataan kesejahteraan pada masa Orde Baru,
Nurcholish Madjid mengibaratkannya sebagai sebuah dilema pembagiaan kue yang
baru akan membesar jika kuenya dibagi secara cepat dan merata kepada seluruh
rakyat masing-masing hanya akan mendapat bagian yang sangat kecil, tetapi jika
dibagikan hanya kepada segelintir kelompok tertentu (dalam permasalahan ini daerah
pusat) maka kelompok lain akan bersusah payah menjemputnya ke pusat.
84
85
Kedua, watak pemaaf seorang pemimpin pada Dewa Surya tidak diteladani
oleh Soeharto, hal ini bisa dilihat dari sikap-sikap Soeharto kepada pembantu ataupun
orang dekatnya jika telah dianggap melakukan kesalahan.
Secara keseluruhan ajaran Astabrata benar-benar telah diterapkan oleh
Soeharto selama memimpin Indonesia, karena memang Soeharto sendiri juga
membaca wejangan-wejangan (nasehat-nasehat) dalam ajaran Astabrata bahkan juga
menyampaikannya kepada orang-orang dekat atau pembantunya dalam pemerintahan,
sebagaimana keterangan Rudini (Kepala Staf Angkatan Darat) pada masa Soeharto
bahwa Soeharto pernah mengeluarkan buku wejangan yang berjudul Hasta Brata.
B. Saran-saran
Dengan penulisan skripsi ini, penulis memberikan saran kepada semua pihak
yang membaca tulisan ini, khususnya kepada jurusan Aqidah Filsafat bahwa bangsa
Indonesia atau dahulunya bernama Nusantara memiliki corak filsafat tersendiri yang
berbeda dengan konsep yang ada di Barat ataupun Islam, tetapi tetap tidak lepas dari
gagasan dasar filsafat secara umum, yaitu berfikir secara mendalam agar mencapai
kebijaksanaan.
Selain itu, menurut penulis filsafat Nusantara masih sangat layak untuk
dipelajari di lingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah untuk memperkaya
wawasan dan kematangan berfikir.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Sri Wintala. Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi.
Yogyakarta: Araska, 2013.
Akhmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Azis, Abdul. “Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam” pada seminar Bill of Human
Rights: On Falsafa of Leadership in Interreligious Perspectives, Ciputat, 20
September 2016.
Booth, Anne, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan." Dalam Donald K. Emmerson,
ed. Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001: hal. 185-358.
Cribb, Robert, "Bangsa: Menciptakan Indonesia." Dalam Donald K. Emmerson, ed.
Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001: hal. 3-64.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Djamhari, Saleh As'ad, "Lahirnya Orde Baru." Dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed.
Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2011: hal. 2-27.
Endaswara, Suwardi. Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang Membangun
Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2013.
Fārābī, Al. Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fādilah . Beirut: Dar al-Masyriq, 2002.
-------------. Fuşūl Muntaza’ah . Beirut: Dār al-Masyriq, 1993.
-------------. Tahşīl al-Sa’ādah. Hyderabad: Majlīs Dā‟irah al-Ma‟ārif al-„Utsmaniyyah,
1349H.
Harneni, Yuanita Rusalia. “Tinjauan Islam tentang Etika Politik Soeharto.” Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009.
K.H, Ramadhan dan Dwipayana, G. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan
Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989.
Saya.
Lesmana, Tjipta. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.
86
87
Liddle, R. William,”Rezim Orde Baru.” Dalam Donald K. Emmerson, ed. Indonesia Beyond
Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2001: hal. 65-122.
Magnis Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa. Jakarta:PT. Gramedia, 1991.
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2016.
Maswinara, I Wayan. Dewa-Dewi Hindu. Surabaya: Paramita, 2007.
Moertono, Soemarsaid. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi
tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1985.
Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Radikal
dan Akomodatif. Jakarta: LP3ES, 2004.
Pour, Julius. “Supersemar Antara Dongeng dan Kenyataan.” Dalam Bagus Dharmawan, ed.
Warisan (daripada) Soeharto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008: hal. 4347.
Rachman, M. Fadjroel. ”Jejak Langkah (daripada) Partai Golkar.” Dalam Bagus Dharmawan
ed., Warisan (daripada) Soeharto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008: hal.
527-537.
Sari, Dewi Ambar dan Sange, Lazuardi.
Jakarta: Jakarta Citra, 2006.
Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto.
Suhardana, K. M. Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu. Surabaya:
Paramita, 2006.
Suratno, Pardi. Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma
Raja. Yogyakarta: Adiwacana, 2006.
Syam, Firdaus, “Militer dan Dwifungsi.” Dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed.
Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 2011: hal. 28-53.
Syukur, Abdul, “Hubungan Masyarakat dan Negara.” Dalam Taufik Abdullah dan A.B
Lapian, ed. Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, 2011: hal. 54-77.
88
Wie, Thee Kian, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan." Dalam Taufik
Abdullah dan A.B Lapian, ed. Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan
Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011: hal. 146-163.
Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati." Dalam Robertus Robet & Todung
Mulya Lubis, ed. Politik Hukuman Mati di Indonesia. Serpong: CV. Marjin Kiri,
2016: hal. 1-55.
Wiwoho, Bambang. “Falsafah Kepemimpinan Astabrata.” Artikel diakses pada 15 Januari
2016 dari www.teropongsenayan.com/27216-falsafah-kepemimpinan-hasta-brata
Download