Deskontruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti

advertisement
Deskontruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti
( Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam )
Oleh :
Surjanti
Abstraksi:
Adanya istilah waris pengganti memungkinkan terjadinya penafsiran baru.
Boleh jadi ini merupakan pemikiran untuk dan agar cucu pancar
perempuan akan memperoleh haknya yang berbeda dengan pendapat
umum dalam hukum waris. Bisa jadi merupakan wajah lama yang muncul
dalam istilah baru atau menguatkan pendapat yang menentang system
pendapat kaum tradisional selama ini yang banyak mengisi buku-buku
waris Islam. Yang jelas, terjadi dekonstruksi hukum kewarisan Islam yang
selama ini telah dianggap preskriptif yang tak dapat dirubah
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara hukum yang sangat majemuk akan segala budaya .
Dalam perkembangan hukum yang terjadi di Indonesia, hukum
4
islam termasuk
5
menjadi sumber hukum di Indonesia . Bahkan dalam lapangan hukum keperdataan ,
masyarakat muslim Indonesia dapat melaksanan hukum Islam secara murni di dasarkan
pada berbagai legalisasi perundang-undangan seperti Undang-Undang No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Sebelum diberlakukan UU No.41 tahun 2004 tentang
6
wakaf. Tidak hanya pada keperdataan umum saja namun berlanjut pada masalah
ibadah seperti UU No.13 tahun 2008 tentang Haji hingga di bidang ekonomi yaitu
pemberlakuan UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah dan UU No.21
7
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam lapangan hokum materiil keperdataan
sebenarnya telah diberlakukan Kompilasi Hukum Islam sebagai dokumen Yustisia yang
dibentuk berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991. Sebagai dokumen Yustisia berarti
4
Vide, Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-Asas Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta 2001, h.122
5
Zainuddin ali meneterjemahkan keperdataan dengan fiqh al muamalat, hal ini dikarenakan dalam fiqh
bagian muamalat dalam arti luas mencakup hokum keperdataan. Lih.Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, h.68
6
Sebagai penyempurnaan dari PP No. 28 thn 1977 tentang Perwakafan Tanah.
7
Sebelum diberlakukan UU No.19 tahun 2008 telah berlaku PP RI No. 39 Tahun 2005 tentang
Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, Peraturan BI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank
Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Cf. Pemberlakuan UU No. 21 tahun 2008 dikarenakan prinsip atau asas hokum perbankan syariah berbeda
dengan perbankan konvensional. Lih Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Genta Press. Yogyakarta,
Cet. I, 2008, h. 70
20 Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum
terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
8
M. Yahya Harahap menyatakan bahwa penyusunan KHI adalah untuk
mempositifkan hukum islam di Indonesia, agar dijadikan pedoman oleh para hkim
dalam melaksanakan tugasnya seingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.
Sebab untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum
yang jelas dan dapat dilasksanakan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat.
Dengan lahirnya KHI, semua hakim di lingkungan PA diarahkan kepada persepsi
penegakan hukum yang sama.
9
Berangkat dari pendapat yang mendukung keberadaan KHI hadir di Indonesia,
KHI dapat memberikan kepastian hukum materil bagi umat Islam Indonesia. Kepastian
hukum dikarenakan sifatnya yang tertulis sehingga dapat dijadikan rujukan hukum
islam seperti penyelesaian sengketa dalam masalah hukum Perkawinan, Kewarisan,
Hibah, Wakaf dan Wasiat.
10
Sejauh itu pula, bagi hakim di lingkungan Peradilan
Agama, adanya hukum materil yang tertulis akan memudahkan rujukan pasti dalam
memutus perkara. KHI dapat dijadikan rujukan karena ia merupakan consensus para
yuris Islam di Indonesia yang mentransendensikan hukum yang hidup di masyarakat.
Hal ini sesuai dengan maksud dalam UU No.48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1), sbb :
Pasal 5 ayat (1) berbunyi : Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Dalam penjelasannya menyatakan Ketentuan ini
dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber hukum positif bagi umat Islam
merupakan bukti dari hukum yang hidup di masyarakat Indonesia. Kenyataan pula bagi
hakim dalam hukum Islam, jika ada kasus yang dihadapinya belum ada hukumnya,
maka ia wajib berijtihad.
11
Istilah ijtihad dapat diterjemahkan dengan rechtsvinding
law, yaitu dengan metode istimbath hukum ( metode penemuan hukum ) termasuk
8
Direktorat Badan Peradilan Agama, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1991/1992, . 1-9
9
M. Yahya Harahap, Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam mimbar
Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No.5,Al Hikmah, Jakarta 1992, h.25
10
Cf. Isi KHI pada buku I berisi Hukum Perkawinan yang diimplemantasikan dari Pasal 1 s/d Pasal 170,
bukum II berisi Hukum Kewarisan yang diimplemantasikan dari Pasal 171 s/d 214 dan buku III berisi Hukum
Perwakafan yang diimplemantasikan dari Pasal 214 s/d Pasal 229
11
Ibrahim Husein, Figh Perbandingan, Masalah Pernikahan, Pustaka Firdaus, Jakarta 2003 h.15-16
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
21
mengambil preseden hukum yang hidup dalam masyarakat ( living law ).
12
Hal ini
sesuai dengan doktrin pembentukan hukum bahwa hukum hanya akan efektif apabila
searah dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
(maslahat) bagi masyarakat.
13
Dengan kata lain bermanfaat
14
Dalam realitasnya, umat Islam merupakan jumlah mayoritas di negeri ini. Oleh
karenanya, dengan dilandasi oleh nilai filosofis, yuridis dan sosiologin bangsa
Indonesia negara berkewajiban untuk menjadikan hukum islam sebagai hukum positif
bagi umat Indonesia. Hal ini didasarkan pada cara berpikir pandangan hidup dan
karakter suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.
15
Kenyataan ini sesuai dengan sejarah panjang Islam di Indonesia hingga
interaksinya dengan hukum barat yang dibawa oleh koloni Belanda yang mengakui
akan berlakunya hukum islam dalam lapangan keperdataan tertentu. Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan bahwa bidang hukum waris dianggap sebagai salah satu
bidang hukum yang berada di luar bidang-bidang yang bersifat netral seperti hukum
16
perseroan, hukum kontrak ( perikatan) dan hukum lalu lintas ( darat, air, dan udara ) .
Bidang waris termasuk bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan
adanya komplikasi-komplikasi cultural, keagamaan dan sosiologi.
17
Salah satu hukum islam yang hingga sekarang masih berlaku dan diberlakukan
di Indonesia khususnya bagi umat islam telah sepakat bahwa hukum waris atau yang
disebut dengan faraid. Para yuris Islam telah sepakat bahwa hukum waris Islam
merupakan hukum yang terlahir dari dalil-dalil yang pasti dari teks suci Al Qur’an.
Mereka menyebut dengan istilah hukum faraid jamak dari lafaz “ faridah” yakni
18
bahagian-bahagian yang ditentukan . Hukum Waris Islam dianggap kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Ia dianggap sebagai compulsory law (dwingend
12
Menurut Peter Mahmud Marzuki, hakim harus melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming), analogi
(rechtsanologie), penghalusan hukm (rechtsverfijning) atau penafsiran (interpretatie). Kegiatan-kegiatan semacam itu
dalam system hukum continental disebut sebagai penemuan hukum (rechtsvinding).Lih Peter Mahmud Marzuki,
Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada hukum ,Cet.I, Jakarta, 2008,h.333
13
Eugen Ehrlich dalam Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, Cet.II,
1983, h.44
14
Teori Utility (utilities theorie) oleh Jeremy Benthan ( 1748-132M) bahwa hukum bertujuan untuk faidah
bagi masyarakat.Lih.Riduan Syahriah diturunkan adalah demi kemaslahatan umum. Lih.Muhammad Said al
Asymawi, Ushul al Syariah, terj.Luthfi Thomafi, LkiS, 2004, h.47
15
R.Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Pradata, Pradnya Paramita, cet.XII, Jakarta, 1993,h.3
16
Mohtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung,
1976, h. 14
17
Ibid, h. 12
18
Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah Bajuri, Dar ar-Fikr,J.II, Cairo, (t,t), h.68
22 Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
recht) yakni hukum yang berlaku secara mutlak dan baku.
19
Hal tersebut menjadikan
hukum waris Islam hingga sekarang tetap diberlakukan hamper disemua wilayah di
dunia Islam.
20
Walaupun demikian, bagi kalangan tertentu, hukum waris dalam hal-hal
tertentu dianggap tidak prinsipil bila saja ditakfsirkan dan direkonstruksi, sesuai dengan
kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk dipertimbangkan. Dalam konteksnya yang
lain secara realistis, ada beberap problem hukum waris yang menjadi polemic para
yuris Islam Klasik karena nas tentangnya tidak tegas (dalil Zhonni).
21
Kenyataannya
demikian, munculnya hukum waris Madzhab Sunni dan Syiah serta perbedaanperbedaan lainnya antar kalangan mereka tentang berbagai hal mengenai kewarisan
secara tidak langsung mendukung pendapat di kalangan tertentu yang menginginkan
adanya pembaharuan hukum waris.
22
Di Indonesia hingga sekarang, konflik tentang hukum waris Islam terutama
antara kelompok tradisionalis dengan kalangan yang menamakan dirinya kelompok
modernis masih merupakan fenomena yang mengisi teks-teks hukum waris Islam,
walaupun dapat dipastikan doktrin fiqh waris sunni pro-Syafi’I yang banyak dianut
dalam masyarakt muslim Indonesia. Hal ini terkait dengan kesejahteraannya yang
panjang sejak masuknya Islamnya di Indonesia.
23
Meskipun pada bagian-bagian
tertentu di dalamnya ditemukan refleksi-refleksi pemikiran baru untuk mengisi ruang
kosong dalam rangka penyesuaian dengan kondisi-kondisi di Indonesia antara lain
tentang ahli waris pengganti.
Kenyataan ini juga sempat menjadi polemik bagi kalangan yuris Islam
Indonesia bahwa apakah sistem kewarisan Islam itu patrilinial ataukah bilateral. Hal ini
didukung oleh kenyataan tentang ajaran hukum perkawinannya yang juga bilateral,
teori Hazairin merupakan teori baru, dimana ia telah telah membentangkan sisi realistis
ketika wahyu sebagai dokumen suci bersentuhan dengan masyarakat Arab lama. Di sini
dapat dikatakan wahyu telah mengaksikan dekonstruksi sistem kekeluargaan
19
Vide, Aminullah HM, Sekitar Formulasi Hukum Kewarisan dalam Semangat Reaktualisasi Ajaran
Islam, dalam Munawir Sjadzali, dk, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1998. H. 164
20
J.N.D, Anderson.,Islanic Law in the Modern World, terj. Machnun Husein, Amarpres, Surabaya, I,
1991
21
Lih. Ali Darokah, Reaktualisasi Mencari Kebenaran yang Wajar dalam Munawir Sjadzali, Op.cit.h.8384
22
Lih.E.Abdurahhman, Perbandingan Madzahab, Sinar Baru Algensindo, 1986, h. 19 Vide, Hazairin,
Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al Qur’an dan Hadis, Tintamas, Jakarta, et, IV, 1982, h. 1.
23
Vide, Rahmat Djatnika, Sosialisasi Hukum Islam dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia,
Remaja Rosdakarya, Bandung, II, 1993, hlm.244
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
23
masyarakat Arab ketika itu yang bercorak tribalisme-kesukuan untuk mengganti dengan
sistem egalitarianisme dan mengajarkan sistem rasional kehidupan sosial.
24
Dengan
demikian Hazairin telah mendudukan hukum kewarisan sebagai bagian pokok dari
sistem kekeluargaan.
25
Di penghujung tahun 80-an, Munawir Sjadzali yang ketika itu menjabat
sebagai Mentri Agama RI melontarkan gagasan perlunya raktualisasi hukum Islam
mengenai hukum waris. Suatu yang sangat sederhana tetapi sangat mendasar dimana ia
menginginkan “ jika perlu “ 2:1 antara kaum laki-laki dengan kaum wanita disamakan
menjadi 1:1
26
Gagasan ini ternyata membawa polemik yang berkepanjangan.
Sebenarnya yang menjadi persoalan bukannya hanya pada pokok persoalan 2:1
menjadi 1:1 saja tetapi juga dalam konsekuensi-konsekuensi baru yang merupakan
akibat langsung perubahan perubahan tersebut. Bagian istri dan suami juga akan
berubah dari sistem pembagian semula sebagaimana pula halnya terhadap pembagian
antara ayah dan ibu. Konsekuensi lain adalah kemungkinan keharusan bersamanya cucu
pancar laki-laki juga cucu pancar perempuan dalam kesatuan derajat yang sebelumnya
fiqh klasik membedakannya dalam garis keutamaan. Bila ijtihad Hazairin mengarah
pada persoalan bilateral sebagai pengganti patrilinial di mana keutamaan garis
keturunan adalah ibu bapak tanpa menggugat perbandingan sebagian antara laki-laki
dan wanita 2:1, maka Munawir Sjadzali memfokuskan perhatiannya kepada konsep “
egalitarianism” sebagai konsep yang rasional dalam kehidupan sosial dengan
ditandainya bagian porsi 1:1 antara laki-laki dan wanita. Dengan kata lain Hazairin
mengggugat pola penafsiran teks-teks suci selama ini terhadap hukum waris yang
sebenarnya bilateral menjadi patrilinial melewati konteks kesejahteraannya maka
Munawir Sjadzali menggugat konsep keadilan lama ketika berhadapan dengan
konsekuensi-konsekuensi baru zaman dalam kehidupan sosial yang dianggapnya
berbeda.
B. Permasalahan
Dalam rumusan masalah ini secara konkrit diformulasikan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut :
24
Vide, Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al Qur’an dan Hadis, Lok.Cit h.11
Hazairin, Hendak kemana Hukum Islam, tintamas, Jakarta, 1960, h.7
26
Munawir Sjadzali, Reaktulaisasi Ajaran Islam dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka
Panjimas, Jakarta, I, 1988, h. 1-11
25
24 Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
1.
Mengapa diberlakukan ketentuan ahli waris pengganti dalam Kompilasi
Hukum Islam.
2.
Apa yang seharusnya berlaku ketentuan tentang ahli waris pengganti
dalam Kompilasi Hukum Islam.
C. Pembahasan
Indonesia, merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah
masyarakat muslim.
27
Isu agar terjandinya pelaksanaan hukum Islam secara
menyeluruh merupakan isu yang terus-menerus berkelanjutan hingga sekarang. Pada
kenyataannya, sebagian hukum Islam telah hidup dan inheren dalam kehidupan umat
Islam di Indonesia. Hukum islam oleh sebagain masayarakat muslim di Indonesia
dirasakan sebagai norma-norma yang perlu ditegakkan. Setidaknya tidak dirasakan
sebagai norma-norma hukum yang dipaksakan dari luar diri mereka. Dengan alasan
sebagai hukum yang hidup maka hukum Islam dianggap dapat dilaksanakan dalam
kehidupan umat.
28
Hal ini beralasan dengan berlanjutnya permahaman tersebut sehingga
melahirkan teori Receptio in complex bahwa hukum Islam berlaku di Indonesia bagi
pemeluk Islam yang dijadikan standard Politik hukum Belanda. Dalam konteks ini,
Hazairin di tahun 60-an mempresentasikan berlakunya hukum Islam bagi umat Islam
di Indonesia dengan teori Receptie a contrario sebagai sanggahan terhadap teori
receptive dan pembenaran atas teori Receptio in Complexu.
Teori ini menghambat pengaruh hukum colonial di Indonesia.
Dalam memahami hukum kewarisan adat di Indonesia, setidaknya ada tiga
system yang berlaku, sebagaiberikut
29
1. Sistem kewarisan individual, bercirikan adanya pembagian harta kepada
orang-orang yang berhak baik dalam system pembagian patrilinial ( misalnya
masyarakat di tanah Batak ), matrilineal ataupun bilateral ( pada masyarakat
jawa umumnya). Konsekuensi ketika hukum waris diterapkan akan berakibat
sejumlah orang menjadi tertutup kemungkinan untuk memperoleh hak waris
atau sejumlah keuntungan pembagian menjadi berkurang.
2. Sistem kewarisan kolektif yang bercirikan harta yang tak dibagi-bagi di
antara sekumpulan ahli waris keculai untuk dimanfaatkan secara produksi
27
Vide, Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Penerbit Rajawali Pers,
Jakarta, Ed.1 th. 2006, h.250
28
Vide, Sudirman Tebba, (ed), Perkembangan Kontemporer Hukum Islam di Asia Tenggara dalam
Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asi Tenggara, Penerbit Mizan, Cet. I. Jakarta, 1993, h. 13
29
Vide, Lok. Cit, Sofyan Hasan, dk, h,.125
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
25
terutama terhadap mereka yang lebih memerlukannya seperti masyarakat
matrilineal di Minangkabau. Konsekuensinya, sikap kekerabatan diantara
mereka sejak lama telah terpupuk dan bisa jadi, ketika hukum Islam
diterapkan, mereka sebagai pemeluk agama Islam akan melaksanakannya
dengan membuka kemungkinan perdamaian pembagian harta warisan, jika
ini yang mereka sepakati, situasi tertentu seperti harta waris yang dianggap
sedikit atau karena dianggap kurang produktif adalah situasi yang akan
mendukung terjadinya perdamaian pembagian ( Ishlah )
3. Sistem kewarisan mayorat yang bercirikan anak tentulah yang menguasai
seluruh atau pokok harta pewaris setalah meninggalnya seperti masyarakat
patriliial di Bali. Konsekuensinya, hak mereka akibatnya dikurangkan. Di
sini, bagi orang tua tertentu kepada anak tertua dimana unsure kekerabatan
amat dekat dengan anak tertua yang sejak lama didukung oleh kebiasaan
hukum ada sebelum hukum Islam diterapkan. Hal ini sebenarnya bisa pula
terjadi bagi masyarakat yang belum menerapkan system kewarisan individual
patrilinial, matrilineal ataupun bilateral karena pada dasarnya hukum waris
Islam walaupun belakangansecara teoritis disebut dengan system kewarisan
individual bilateral, tetap merupakan system baru yang berbeda dengan
system kewarisan individual bilateral dalam kewarisan adat karena substansi
tujuan keadilan tetap berbeda.
Berlakunya UU No.7 tahun 1987 dan disempurnakan dengan UU No.3 tahun
2006 menjadi sempurnalah pemberlakuan hukum waris Islam di Indonesia dan
mengokohkan keberadaan Peradilan Agama sebagai salah satu bagian dari badan
peradilan.
30
Dalam peraturan perundang-undangan baru pada UU No.3 tahun 2006 tidak
hanya berkaitan dengan hukum keluarga.
31
Tetapi juga hukum muamalat dan perbankan
syariah di lapangan keperdataan merupakan bentuk langsung dari manifesto keinginan
umat Islam terhadap hukum Islam sebagai hukum yang mereka rasakan amat dibutuhkan.
Secara formil, hukum bidang kewarisan telah diberlakukan di Pengadilan
Agama dengan menetapkan hukum-hukum yang telah disepakati oleh umat Islam di
Indonesia.
32
Dan dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam.
33
Pemberlakuan hukum
kewarisan Islam secara formil tersebut bukan berarti tidak dibenarkannya terjadinya
pembagian harta warisan keluarga muslim di luar Pengadilan Agama Yang bersifat non
30
Moh.Muhibbin, dk, Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, cet.I,2009,h.171
31
Hukum keluarga dalam terminologi hukum Islam adalah al ahwalus Syakhsyiah
32
Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang
pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hkum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan. Berdasarkan
Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 tersebut dia tas adalah bersumber pada 12 kitab yang kesemuanya
madzhab Syafi’I yaitu Al Badjuri, Fathu al Muin, Syarqpwi ala al thahrir, Qulyubi/Mahali, tuhfah, Targibu al Mustaq,
qawaniinu al Syar’iyyah Said Usman Ibn Yahya, Qawaiinu al Syar’iyyah Said Sadaqah Dahlan, Syamsuri li al faraaid,
Bagyatu al Mursidin, Mugni al Muhtadz. Lih. Dalam Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958
Nomor B/I/735
33
Inpres No.1 tahun 1991 dengan dilatarbelakangi adanya pertemuan para yuris Islam se Indonesia dengan
melakukan consensus bersama menetapkan Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman bagi Umat Islam Indonesia.
26 Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
ligitasi. Hal ini didasarkan karena hukum kewarisan Islam diangap sebagai hukumhukum yang mengatur persoalan privat person atau keperdataan. Munculnya persoalan
ke Pangadilan Agama hanya terjadi jika ketidaksepakatan keluarga muslim dalam
pembagian kewarisan yang mereka akan terima atau salah satu pihak diantara mereka
tidak mau melaksanakan hukum kewarisan Islam. Dalam masalah ini, Pengadilan Agama
akan menentukan bagian masing-masing ahli waris didasarkan pada pedoman dokumen
yustisia berupa Kompilasi Hukum Islam yang termuat pada Bab.II ketentuan Hukum
Kewarisan. Ada 22 pasal yang memuat ketentuan hukum kewarisan yaitu dari Pasal 171
sampai dengan Pasal 193. Sedangkan Pasal yang berhubungan erat dan memiliki
pengaruh perhitungan dengan hukum kewarisan adalah tentang Wasiat yakni dari Pasal
194 sampai dengan Pasal 209. Sedangkan bahasan tentang Hibah di mulai dari Pasal 210
sampai dengan Pasal 214.
Dalam kenyataannya, Kompilasi Hukum Islam yang memuat hukum keluarga
bagi umat Islam sebagian kecilnya masih menimbulkan pro-kontra. Salah satunya
menyangkut persoalan ahli waris pengganti atau pergantian kedudukan ahli waris yang
dalam ilmu hukum dikenal dengan plaatvervulling yang termuat dalam Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam berbunyi :
Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut
34
dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti.
Menurutu Effendi Perangin dalam hukum Perdata Barat dikenal dalam hal
mewarisi adanya mewarisi langsung yaitu karena disi sendiri ( uit eigen hoofde ) dan
mewarisi tidak langsung atau dengan cara mengganti ( bij plaatsvervulling ) ialah
mewaris untuk orang yang sudah meninggal terlebih dahulu daripada si pewaris. Ia
menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dulu dari si pewaris.
35
Menurut Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, uit eigen hoofde berdasar
Pasal 852 ayat (2) KUHPerdata di mana adalah haknya sendiri, mewarisi kepala demi
kepala artinya tiap-tiap ahli waris menerima bagian yang sama besarnya. Adapun bij
34
Pengecualian tersebut dalam Pasal 173 adalah karena adanya halangan khusus berbunyi, “ Seorang
terhalang menjadi ahli waris apabila putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum
karena :Dipesalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris
a. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
35
Effendi Perangin, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Cet. VIII, Jakarta, 2008, h.11
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
27
plaatvervulling yaitu berdasarkan pergantian yaitu pewarisan dimana ahli mewaris
menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah meninggal dunia
lebih dahulu.
36
Waris pengganti diatur dalam Pasal 814-848 KUHPerdata, sebagai
berikut, :
841. Penggantian memberikan hak kepada orang yang mengganti untuk
bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang
yang digantikannya. (KUHPerd. 866,914,1060,1089).
842. Penggantian yang terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah
berlangsung terus tanpa akhir. Penggantian seperti itu diizinkan dalam
segala hal, baik bila anak-anak dari orang yang meninggal menjadi ahli
waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan dari anak yang
meninggal lebih dahulu, maupun bila semua keturunan mereka mewaris
bersama-sama, seorang dengan yang lain dalam pertalian keluarga yang
berbeda-beda derajatnya.
( KUHPerd.
280,260,872).
834. tiada ada penggantian terhadap keluarga sedarah dalam gatris ke atas.
Keluarga sedang terdekat dalam kedua garis itu setiap waktu
menyampingkan semua keluarga yang ada dalam derajat yang lebih jauh.
( KUHPerd. 280,260,872)
844. Dalam garis ke samping, penggantian diperkenankan demi keuntungan
semua anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan orang yang
meninggal baik jika mereka menjadi ahli waris bersama-sama dengan
paman-paman atau bibi-bibi mereka, maupun jika warisan itu, setalah
meninggalnya semua saudara si mati, harus dibagi diantara semua
keturunan mereka, yang satu sama lainnya keluarga dalam derajat yang
tidak sama ( KUHPerd 845,855 dst ).
845. (s,d,u dg. S. 1935-486 ) Penggantian juga diperkenankan dlam pewarisan
dalam garis ke samping, bila disamping orang yang terdekat dalam
hubungan darah dengan orang yang meninggal, masih ada anak atau
keturunan saudara laki-laki atau perempuan dari mereka yang tersebut
pertama. (KUHPerd. 844, 858.)
486. Dalam segal hal, bila penggantian diperkenankan, pembagian dilakukan
pancang demi pancang, bila suatu pancang mempunyai berbagai cabang,
maka pembagian lebih lanjut dalam tiap-tiap cabang dilakukan pancang
demi pancang pula, sedangkan antara orang-orang dalam cabang yang
sama pembagian dilakukan kepala demi ( KUHPerd. 852 )
847. tak seorangpun boleh bertindak menggantikan orang yang masih hidup (
KUHPerd.489 dst.,480,1060).
848. Anak tidak memperoleh hak dari orang tuanya untuk mewakili mereka,
tetapi seseorang dapat mewakili orang yang tidak mau menerima harta
peninggalannya. (KUHPerd. 1060,1089)
Sementara selama ini dalam kitab-kitab fiqh atau buku-buku yang ditulis para
yuris Islam tidak mengenal sebutan ahli waris pengganti ataupun pergantian kedudukan
36
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat. Kencana Renata Media
Group, Cet II, 2006.h.24
28 Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
ahli waris (plaatvervulling) seperti yang tersebut dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum
Islam. Ini merupakan dekonstruksi atas pendapat umum dalam hukum kewarisan Islam.
Hukum Islam Normatif, sebagaimana kebanyakan menjadi pendapat umum dikalangan
ahli hukum kewarisan menentukan bagian masing-masing ahli waris berdasarkan apa
yang tersebut dalam teks-teks suci Al Qur’an dan penguatan pengetahuan dari hadis Nabi
Muhammad saw. Antara lain sbb :
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk ) anak-anakmu
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan: dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ; jika anak perempuan itu
seorang sajamaka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat serpertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut diatas ) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau ( dan ) sesudah dibayar hutangnya. ( Tentang ) orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahu siapa diantara yang lebih dekat
(banyak) manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Q.S An Nisa 11.
Dan bagimu (suami-suami ) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isterim-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudar-saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertika itu,
sesudah dipenuhi wasia yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memebrik mudharat (kepada ahli waris ). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai ) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun. Q.S An Nisa 12.
Menurut kebanyakan para yuris Islam, teks suci pada ayat di atas telah rinci
menjelaskan tentang pembagian warisan bagi orang muslim. Mustahil ada celah untuk
mempengaruhi, baik secara sosiologis maupun filosofis. Ini berarti masalah kewarisan
Islam adalah final dan qoth’i.
37
37
Qoth’I maksudnya petunjuk yang telah jelas sebagai lawan dari zhonni yang artinya ada kesamaran.
Dalam kajian ushul fiqh untuk maksud tersebut di atas diistilahkan dengan Qoth’I al Dilalah ( petunjuk yang jelas
maksdnya ) dan Zhonni al Dilalah ( petunjuk yang tidak jelas maksudnya.). Lihat, A. Sukris Sarmadi, Membangun
Refleksi Nalar, Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, Pustaka Prisma, Yogyakarta, 2007, h.41
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
29
Dengan memahami salah satu dari sekian ayat tentang hukum waris Islam
dalam teks suci Al Qur’an di atas, hukum kewarisan Islam secara mendasar dipahami
sebagai ekspresi langsung dari teks-teks suci sebagaimana pula yang telah disepakati
keberadaannya. Bila dirincikan, sbb :
a. Cara pembagian antara laki-laki dengan perempuan adalah berbanding 2 : 1
berdasarkan Q.S An Nisa ayat 11.
b. Anak perempuan yang berjumlah lebih dari dua orang, secara kolektif
memperoleh bagian dua pertiga dan jika ia hanya seroang saja akan mendapatkan
bagian seperdua, berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 11.
c. Ayah dan ibu mendapat seperenam bagian jika pewaris anak. Jika pewaris tidak
memiliki anak, maka bagian ibu menjadi sepertiga kecuali jika pewaris walaupun
tidak punya anak tetapi punya saudara-saudara maka ia hanya memperoleh
seperenam, berdasarkan Q.S An Nisa ayat 11.
d. Harta waris adalah bagian harta sisa setelah harta peninggalan pewaris dibayarkan
untuk wasiat dan segala utangnya jika ada, berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 11.
e. Suami memperoleh seperdua dari istrinya yang meninggal dunia (pewaris) jika
mereka tidak mempunyai anak dan jika mereka anak maka bagiannya menjadi
seperempat, berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 12.
f. Istri akan memperoleh seperempat dari suaminya yang meninggal ( pewaris ) jika
suami tidak mempunyai anak, tetapi ia akan memperoleh seperdelapan jika ia
mempunyai anak, berdasarkan Q.S An Nisa ayat 12.
g. Ahli waris, apabila hanya ada seorang saudara laki-laki atau saudara perempuan
saja dari mayit ( pewaris ) tanpa adanya ayah dan anak dari pewaris maka
masing-masing mereka memperoleh seperenam dan jika mereka lebih dari satu
orang secara kolektif mereka memperoleh sepertiga, berdasarkan Q.S An Nisa
ayat 12.
h. Pewaris yang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, tetapi mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan tersebut memperoleh dua
pertiga. Apabila mereka dua orang atau lebih maka akan memperoleh dua pertiga
(2/3) berbagai sesema mereka. Teknis ini terjadi pula jika pewaris meninggalkan
saudara laki-laki maka ia akan memperoleh bagian pusaka saudaranya. Jika
mereka berbilang, lelaki dan perempuan, mereka memperolehnya secara kolektif
dengan perbandingan untuk seorang lelaki seumpama seorang perempuan
berdasarkan Q. S. An Nisa ayat 178.
Berdasarkan pendapat umum dalam hukum Islam yang dipahami dari ayat-ayat di
atas, tidak ada istilah waris pengganti ataupun pergantian kedudukan warisan
(plasatsvervulling). Seseorang memperoleh hak waris dikarenakan ditentukan dalam
hukum itu sendiri berhak menerima waris dengan bagian yang berbeda-beda. Misalnya
tentang anak-anak memperoleh hak bagi anak lelaki beroleh dua kali lipat dari anak
perempuan. Jika anak lelaki sendirian atau bersama dengan anak lelaki lain maka mereka
mendapat ushubah yakni menghabiskan semua sisa harta. Sedangkan anak perempuan
memperoleh ½ bila sendirian tanpa anak lelaki atau 2/3 jika berjumlah lebih dari seorang
tanpa ada anak lelaki. Lalu bagaimanakah jika tidak ada anak-anak sedangkan yang ada
30 Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
adalah para cucu dari pewaris? Pendapat umum dalam hukum Islam selama ini
mengqiyaskan pola pembagian sebagaimana terhadap anak-anak dengan ketentuan dua
keadaan yang berbeda, sbb
a. Pancar lelaki, maksudnya anak turun dari anak lelaki, baik ia lelaki ataupun
perempuan
b. Pancar perempuan, maksudnya anak turun dari anak perempuan baik ia lelaki
maupun perempuan.
Tentang anak-anak pancar lelaki ( para cucu pancar lelaki ) memperoleh ushubah
( mengambil semua sisa ) jika si pewaris tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris
yang lain. Jika ia bersama dengan cucu lelaki pancar lelaki lain maka ia berbagi sama
dan jika bersama dengan cucu perempuan pancar lelaki, maka cucu lelaki pancar lelaki
memperoleh dua bagian (2:1).
38
Sedangkan cucu perempuan pancar lelaki memperoleh
bagian separoh (1/2) bila ia hanya sendirian dan 2/3 bila ia dua orang atau lebih. Dan jika
ia bersama dengan cucu lelaki pancar lelaki maka ia memperoleh bagian separoh dari
saudaranya lelaki (cucu pancar lelaki ).
39
Ini merupakan dialektis atas pemahaman
terhadap anak lelaki dan anak perempuan pewaris dengan metode berfikir qias (analogi).
Mereka juga memperkuat pendapat tersebut dengan dasar pendapat Ibnu Mas’ud (
sahabat rasulullah saw ) yang mengatakan bahwa nabi swa memahamkan demikian sbb :
Huzil Ibmu Surujil berkata, ditanyai Abu Musa tentang anak perempuan dan
cucu perempuan pancar lelaki, maka Abu Musa berkata bahwa anak perempuan
memperoleh separoh (1/2) dan saudara perempuan separohnya (1/2). Lalu aku
datang kepada Ibnu Mas’ud ram aka ditanyakan kepadanya, lalu Ibmu Mas’ud
ra mengabarkan perkataan Abu Musa ra berkata, sungguh aku sesat jika tidak
termasuk orang yang diberi petunjuk, aku memutus dengan apa yang diputus
oleh nabi saw yaitu anak perempuan separoh ( ½ ), cucu perempuan pancar
lelaki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua pertiga dan sisanya untuk anak
perempuan. Maka aku datang kepada Abu Musa ra dan aku kabarkan perkataan
Ibnu Mas’ud maka Abu Musa berkata, aku tidak pernah ditanyai tentang itu
40
selama ini,
HR. Bukhari
Adapun tentang cucu lelaki atau perempuan pancar perempuan, mereka
dianggap tidak berhak atas waris bila masih ada far’u waris berupa ashabul furud
(orang-orang yang telah ditentukan bagiannya) dan ashobat ( orang yang menghabisi
38
Vide, Fathurrahman, Ilmu Waris, al Ma’arif, Bandung, cet.II, 1981,h.196
Ibid, 174
40
Hadis Bukhari no.6239, lihat, Kutubus Sittah, Mausuatu al Hadis al syarif, Penerbit Jamil’I al Huquq
mahfudzah lisirkati al Baramij al islamiyati al daulati, global Islamic Software Compony, 1991-1997
Cf. Sebagian pendapat kontra menggap hadis ini adalah sebuah bukan dari nabi saw tetapi hanya
merupakan pendapat dari sahabat Ibnu Mas’ud dan Abu Musa
39
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
31
sisa ). Mereka digolongkan termasuk sebagi dzawil arham yakni golongan yang bukan
ashabul furud dan ashoba.
41
Alasan umum pendapat mereka adalah bahwa para cucu
perempuan pancar perempuan tidak dibicarakan dalam teks-teks al Qur’an Kelompok
ini disponsori oleh mayoritas jumhur ulama dalam madzahab Sunni
( terutama
Imam empat madzhab). Dengan kata lain, tidak ditemukan ada istilah waris pengganti
sebab orang-orang tertentu berhak atas suatu fard ( perolehan bagian waris ) yang
disebut dengan ashabul furud dan ashobah. Sedangkan dzawil arham adalah orang yang
memperoleh hak dikarenakan tidak ada ashabul furud dan ashobah.
Pendapat tersebut ditentang oleh sebagian tokoh Islam. Beberapa waris
mempersoalkannya. Mereka lebih memahami bahwa para cucu, baik lelaki maupun
perempuan pancar perempuan berhak memperoleh bagian sebagaimana hak para cucu
pancar perempuan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Syiah. Mereka tidak boleh
dibedakan. Mereka bukan anak pisang terbalik seperti anak pisang Minangkabau.
42
Dalil bahwa hukum waris Islam tidak ditafsirkan secara sosiologis sebenarnya
kontradiktif sebab kenyataannya ketika memahami cucu pancar laki-laki justru
berdasarkan sosiologis. Oleh karenanya pemahaman tersebut harus direkonstruksi dari
awal. Noel Coulson dalam bukunya
A History of Islamic Law dan Succession in the
Muslim Family menawarkan perlunya penafsiran secara sosiologis terhadap hukum
waris Islam.
43
Hal ini konkordan bagi kalangan tertentu, bahwa hukum waris dalam
hal-hal tertentu yang dianggap tidak prinsipil, bisa sja ditafsirkan dan direkonstruksi,
sesuai dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk dipertimbangkan. Hal ini
terbukti dengan adanya pengaturan tentang cucu yang terhalang oleh saudara orang
tuanya yang masih hidup menjadikan pemberlakuan hukum wasiat wajibah seperti di
Mesir, diikuti oleh Sudan, Suriah, Maroko, dan Tunisia dengan beberap variasi.
44
Bila diperhatikan, dalam konteks histories perkembangan hukum waris Islam
sebenarnya ada 5 golongan yang telah mewarnai konflik yang mendasari paradigm
penalaran terhadap hukum waris Islam, sebagai berikut :
41
45
Fahurrahman, Op.Cit.351-362
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, cet, VII, 2001, h. 157
43
Vide, Martha Mundy, The Family Inheritance and Islam: A Rexxamanation of The Sociology of Fara’id
Law dalam Aziz al – Azmeh (ed), Islamic Law Social and Historical Contexts, Routledge, London, 1988,h.2
44
Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam dan perkembangannya di Seluruh Dunia, Wijaya, Jakarta, 1984,
h.21,23,25
45
A.Sukris Sarmadi, Transendensi Hukum Waris Islam Transformatif, Rajawali Pers; Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1997, h.9-10
42
32 Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
1. Skriptualisme konservatif, disini hukum waris Islam dipahami secara
tekstual tanpa mempertimbangkan efetivitas hukum dalam kehidupan
disamping mengabaikan kemungkinan adanya penafsiran lain yang
menyalahi teks tertulis nas agama. Barangkali dalam konteks ini secara
historis, mazhab Zhohiri dapat dimasukkan di dalamnya, dan termasuk
golongan tradisionalis (Ahlu Riwayah )
2. Skriptualisme Moderat, suatu kelompok yang memahami nas agama secara
tekstual tanpa mengabaikan adanya kemungkinan interpretasi yang luas
terhadap teks suci dalam batas metode istimbath (istidlal). Kelompok Syiah
dan Sunni dapat dimasukkan didalamnya. Terhadap kelompok sunni
minimal 4 mazhab, yakni dimulai dari Mazhab Imam Ahmad Ibn Hambali
yang agak lebih ketat merefleksikan tekstual nas agama, kemudian Imam
Malik bercorak lebih longgar, kemudian Syafi’I hingga yang lebih moderat
dinisbahkan kepada Hanafi. Nama terakhir ini banyak orang
memasukkannya sebagai golongan rasionalis (ahlu ra’yi ). Walaupun
demikian, dalam kontek ini, mereka secara keseluruhan dimasukkan dalam
kelompok tradisionalis Islam. Ini didasarkan atas adanya kesamaan yang
umum diantara mereka yang lebih mengutamakan penafsiran secara
tekstual yang kemudian berusaha menafsirkannya secara luas. Dalam
perkembangan duni Islam, kelompok ini mempengaruhi sebagian besar para
pemikir muslim.
3. Esensialisme Rasional, mendasarkan pemahaman kepada esoteric nas
agama di atas komitmennya terhadap justifikasi rasional. Situasi dan
kondisi politik, ekonomi, sosial cultural sangat berperan mendasari dan
mewarnai penafsiran nas agama sebagai cara inteaksi rasio terhadap nas.
Bagaimana, nalar rasio sangat terkait terhadapnya demi mewujudkan suatu
efektivitas hukum dan keadilan yang dipahami secara imperis. Pola
penafsiran Umar Ibn Khatab r.a dalam kasus penghentian pemberian bagian
mualaf yang sebelumnya baik berdasarkan prkatik Rasulullah SAW atau
teks suci yang menegaskannya (Q.S Al-Taubah:60) para mualaf dianggap
orang yang berhak sadaqoh / zakat. Penghentian ini berdasarkan situasi dan
kondisi sebagai presenden rasio. Kasus talak, harta ghonimah:
pemanfaatannya, tentang pajak hingga kasus mencuri unta, secara
keseluruhan dilatarbelakangi oleh fakta imperis kondisional. Belakangan
corak berpikir ini sebagai model kaum medernis.
4. Rasionalisme Liberal, suatu kelompok yang bercirikan sangat moderat di
mana nas agama secara keseluruhan dipahami secara umum. Di sini doktrin
agama normatif dimanafestasikan sebagai paradigm proyek percontohan
pembinaan hukum ilahinyah yang karena pemunculan suatu hukum baru
merupakan kebebasan rasio yang berlandaskan rasa tanggung jawab penuh
terhadapnya. Hukum pidana Islam normatif dianggap dapat saja diganti
dengan hukum pidana modern yang secara keseluruhan dibawah naungan
intelektual manusia, hal ini pun dapat pula terjadi dalam hukum
keperdataan Islam. Hal yang terpenting bagi mereka adalah konsep-konsep
tujuan keadilan hukum dalam Islam. Inti hukum inilah yang harus
direfleksikan dalam pembentukan hukum. Dalam hukum modern,
demonstrasi keadilan dikembangkan secara rasional agar hubungan antar
manusia dengan individu lainnya dapat terpelihara dengan baik dengan
keadilan yang dipahami manusia secara sosial-kultural. Kelompok ini
merupakan kelompok modernis tetapi lebih bebas dan tidak terikat dengan
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
33
doktrin metode berpikir lama yang dianggap mengikat. Jika kelompok
ketiga (esensialisme rasional ) masih menganggapnya sebagai doktrin yang
harus dikembangkan dan dibela, maka kelompok yang keempat ini tidak
mengklaimnya sebagai keharusan.
5. Unversalisme Transformatif, kelompok ini dapat pula disebut sebagai
kelompok yang mewakili modernis dengan corak pemikiran yang berbeda
dengan dua kelompok modernis sebelumnya. Corak pemahaman terhadap
nas agama bercirikan upaya pemaduan corak pemikiran keseluruhan
kelompok-kelompok yang ada, baik yang berhaluan tradisionalis ataupun
modernis. Mereka berkeyakinan bahwa masing-masing kelompok dengan
corak pemikirannya mempunyai keistimewaan yang dapat digunakan dalam
konteks-konteks tertentu. Jadi pada sisi tertentu merupakan perpaduan
dengan kecenderungan dan pengutamaan corak tertentu terkadang secar
spesifik mengharuskan cara penafsiran secara tunggal yang kondusif. Di
sini dapat dilihat formulanya bercirikan berubah-ubah, tanpa harus terikat
dengan salah satu doktrin kelompok haluan dan bersifat kasuistik.
Bahwa diantara lima kelompok tersebut, ada satu kelompok yang mungkin
akan masuk dalam bahasan tentang ahli waris pengganti yaitu pendapat kelompok
tradisionalis Islam. Dengan kata lain, meskipun pada prinsipnya mereka sama berpikir
normatifnya namun kecenderungan mereka berbeda dikarenakan pengaruh setting sosial.
Disini ada rasio-sosial yang dipertentangkan dalam memahami nas –nas yang memiliki
celah untuk ditafsirkan secara sosiologis dan filosofis.
Dalam kontek historis, ada beberapa problem hukum waris yang menjadi
polemic para yuris klasik karena nas tentangnya tidak tegas. Kenyataannya demikian,
munculnya hukum waris versi sunni dan syiah serta perbedaan-perbedaan lainnya antar
kalangan mereka tentang berbagai hal mengenai kewarisan secara tidak langsung
mendukung pendapat di kalangan tertentu yang menginginkan adanya pembaharuan
hukum waris. Pendapat ini pada kenyataannya banyak ditentang oleh para yuris Islam di
dunia maupun di Indonesia.
46
Meskipun sebenarnya mereka masih dalam tataran
kelompok berpikir tradisional Islam. Dan bisa dimengerti puola ketika mereka berkutat
pada dasar pemikiran normative yang sama namun filosofis dan sosiologi keadilan
berbeda mengakibatkan hasil penalaran hukum yang berbeda.
D, Kesimpulan
Adanya istilah waris pengganti memungkinkan terjadinya penafsiran baru. Boleh
jadi ini merupakan pemikiran untuk dan agar cucu pancar perempuan akan memperoleh
46
Vide, Yahya Harahap, Praktek Hukum Waris Tidak Pantas Membuat Generalisasi, dalam Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1988, h. 139
34 Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
haknya yang berbeda dengan pendapat umum dalam hukum waris. Bisa jadi merupakan
wajah lama yang muncul dalam istilah baru atau menguatkan pendapat yang menentang
system pendapat kaum tradisional selama ini yang banyak mengisi buku-buku waris
Islam. Yang jelas, terjadi dekonstruksi hukum kewarisan Islam yang selama ini telah
dianggap preskriptif yang tak dapat dirubah
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
35
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika
Pressindo, Jakarta,
III, 1993
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,
Angkasa Raya, Cet. X, Padang, 1993
Al amiri, abdallah M Al Husayn, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam,
Pemikiran Hukum Najm ad dinthufi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2004
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama,
1995
Direktorat Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, 1991 / 1992
Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum
Islam, al Hikmah,
Jakarta, 1993
Dja’far, Moh., Polemik Hukum Waris :Perdebatan Antara hazairin
dan Ahlu Sunnah, Kencana Mas Publishing House, Jakarta, 2007
Fuad, Mahsun., Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris
HinggaEmansipatoris, Lkis, Yogyakarta, 2005
Hasan, Sofyan., dan Warkum Sumitro, Dasar-Dasar Memahami
Hukum Islam di Indonesia, Usaha Nasional, Cet.I, Surabaya, 1994
Halim, Abdul., Ijtihad Kontemporer : Kajian Terhadap Beberapa
Aspek Hukum Keluarga Islam Indonesia dalam Mazhab Jogja :
MenggagasParadigma Ushul Fiqh Kontemporer, Ar-ruzz Press, Jogjakarta,
2002.
Haris, Ab., Distribusi Kekayaan dan Fungsi Sosial Dalam Hukum
Waris Islam, Pascasarjana IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 2000.
Lukito, Retno., Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di
Indonesia, INIS, Jakarta, 1998
Manan, Abdul., Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006
Munawir Sjadzali, dk, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka
Panjimas, Jakarta, 1988
Munir, Misbachul., Batasan Ahli Waris Pengganti Menurut Pasal 185
Kompilasi
Hukum
Islam
dalam
artikel
PA
Lumajang,
36 Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
http://www.palumajang.Net/info.php?page artikel-detail.html&artikel _id 21,11
Feb 2008
Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Law and Society in Transition,
terj. Raisul Muttaqien, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2007
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, rineka Cipta,
Cet. Iv,Jakarta, 2006
Perangin, Effendi, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Cet.VIII,
Jakarta, 2008
Raharjo, Satjipto.,Membongkar Hukum Progresif, Buku Kompas, Cet.
III, Jakarta 2008
Ramulyo, M Idris, Hukum Kewarisan Islam, Studi kasus
Perbandingan ajaran Syafi’I, Hazairin dan Praktik PA, Grafikatama, Jakarta, II,
1987 Aditya Bakti, cet III, Bandung, 2004
Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif, Rajawali Pers, Jakarta, 1997
……………………, Membangun Refleksi Nalar, Filsafat Hukum
Islam Paradigmatik, Pustaka Prisma, Yogyakarta, 2007
Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah , Hukum Kewarisan perdata
Barat, Kencana Prenada Media Group, Cet.II,2006
Siddik, Abdullah.,Hukum Waris Islam dan perkembangannya Di
Seluruh Dunia, Wijaya., Jakarta, 1984
Suparman, Eman.,Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam,
Adat dan BW Refika Aditama, Bandung, Cet.II, 2007
Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam,
Angkasa Raya, X,
1993
………………………, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Prenada
Media Gorup, Cet.III.Jakarta, 2008
UI-Press, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, 1981
Usman, Iskandar., Istihsan dan Pembaruan Hukum Islam, Raja
Grafindo Persada,
Cet. Ke-1, Jakarta, 1994
Usman, Rachmadi, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi
Kompilasi Hukum Islam, Mandar Maju, Bandung, 2009
Usman, Suparman, Hukum Islam; Asas-Asas Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta 2001
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
37
Wahid, Abdurrahman, dk., Kontroversi Pemukiran Islam di Indonesia,
Remaja Rosdakarya, Bandung, II, 1993
38 Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung
Download