7. evaluasi sifat prebiotik dan indeks glikemik tepung pisang

advertisement
79
7. EVALUASI SIFAT PREBIOTIK DAN INDEKS
GLIKEMIK TEPUNG PISANG TERMODIFIKASI
[Evaluation of prebiotic properties and glycemix index of modified banana
flour]
ABSTRAK
Tepung pisang memiliki potensi sebagai prebiotik karena secara alami
banyak mengandung pati resisten tipe II (RS2). Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi sifat prebiotik RS2 tepung pisang tanpa modifikasi dan RS3 tepung
pisang modifikasi. Sifat prebiotik yang dievaluasi meliputi ketahanan RS terhadap
hidrolisis asam lambung artifisial, kemampuannya untuk meningkatkan
pertumbuhan laktobasili dan bifidobakteria kultur fekal, menurunkan persentase
pertumbuhan enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) dan Salmonella
Typhimurium, produksi asam lemak rantai pendek, dan nilai indeks prebiotik (IP).
Tepung pisang yang dihasilkan juga dievaluasi nilai indeks glikemik (IG) dengan
menggunakan relawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RS2 dan RS3
bersifat stabil terhadap hidrolisis asam lambung artifisial pH 1-5 dan mampu
meningkatkan populasi laktobasili dan bifidobakteria serta menurunkan
pertumbuhan EPEC dan S. Typhimurium. RS3 mampu menghasilkan produksi
asam butirat. Nilai IP RS3 juga lebih tinggi (5.14) daripada nilai IP RS2 (4.02).
Tepung pisang modifikasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan
baik tanpa maupun dengan fermentasi spontan memiliki IG rendah (46 - 52),
sedangkan tepung pisang alami dan tepung pisang modifikasi dengan satu siklus
retrogradasi memiliki IG sedang (61 - 66).
ABSTRACT
Banana flour was a potential prebiotic source due to its resistant starch
type II (RS2) content. The aim of this study was to evaluate prebiotic properties of
RS2 isolated from native banana flour and RS3 isolated from modified banana
flour. The prebiotic properties were evaluated based on the stability to artificial
human gastric juice, the capability to stimulate the growth of lactobacilli and
bifidobacteria in the fecal batch culture fermentation, short chain fatty acid
production and score of prebiotic index (PI). The glycemic index value of native
and modified banana flour were evaluated by volunteers. The results showed that
both RS2 and RS3 of banana flour were stable to artificial human gastric juice at
pH 1 – 5 and able to increase the lactobacilli and bifidobacterial population and
decreased survival of enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) and Salmonella
Typhimurium. RS3 of the modified banana flour could produce butyric acid. The
PI score of RS3 was also higher (5.14) than RS2 (4.02). The modified banana
flour produced by two cycles autoclaving-cooling (either with or without
spontaneous fermentation) had low GI (46 – 52) while native and fermented
banana flour had moderate GI (61 – 66).
80
Keywords: modified banana flour, glycemic index, resistant starch, prebiotic
properties
PENDAHULUAN
Tepung pisang mentah merupakan salah satu pangan berkarbohidrat yang
mengandung pati resisten tipe II (RS2) sehingga memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai pangan fungsional. RS2 adalah pati alami yang berupa
granula pati yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan. Akan tetapi sifat
resisten granula akan hilang jika pati mengalami gelatinisasi (Sajilata et al. 2006).
Oleh karena itu Jenie et al. (2009) mengembangkan teknologi modifikasi
fermentasi spontan dan retrogradasi untuk menghasilkan pati resisten tipe III
(RS3) yang bersifat lebih stabil selama proses pengolahan terutama pengolahan
hidrotermal. RS3 adalah pati yang sudah mengalami retrogradasi karena
pemanasan dan pendinginan berulang-ulang (Croghan 2002; Sajilata et al. 2006).
Pati resisten merupakan salah satu komponen prebiotik yang banyak
dikembangkan (FAO 2007). Salminen & Wright (2004) mendefinisikan ingredien
pangan sebagai prebiotik jika dapat memenuhi kriteria yang di antaranya tidak
dihidrolisis maupun diserap (non-digestible) di saluran cerna bagian atas traktus
gastrointestinal sehingga dapat mencapai usus besar secara utuh. Selain itu
prebiotik juga menjadi substrat selektif bagi satu atau sejumlah terbatas bakteri
dalam kolon yang distimulasi untuk tumbuh dan menjadi aktif secara metabolik.
Prebiotik dapat mengubah keseimbangan flora usus besar ke arah komposisi yang
menguntungkan kesehatan serta merangsang timbulnya efek-efek luminal dan
sistemik yang menguntungkan inang.
Penelitian ini mengevaluasi sifat prebiotik pati resisten tepung pisang
modifikasi (RS3) yang dibandingkan terhadap pati resisten tepung pisang kontrol
(RS2). Sifat prebiotik dapat dievaluasi berdasarkan ketahanannya terhadap
hidrolisis asam lambung artifisial, kemampuannya meningkatkan populasi
laktobasili dan bifidobakteria, menurunkan pertumbuhan bakteri patogen, serta
meningkatkan produksi SCFA dan indeks prebiotik.
81
Tepung pisang modifikasi juga dievaluasi nilai indeks glikemiknya karena
produk yang dihasilkan merupakan bahan pangan berkarbohidrat sehingga erat
kaitannya dengan bioavibilitas pati yaitu parameter daya cerna pati untuk diubah
menjadi glukosa oleh enzim amilase pencernaan dan selanjutnya diserap oleh
tubuh. Pangan yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat
memiliki nilai indeks glikemik (IG) yang tinggi. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi IG suatu pangan diantaranya adalah struktur matriks pangan,
dinding sel dan struktur pati, kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula, daya
osmotik, kandungan serat pangan, lemak, protein dan zat antigizi (Patterson 2006)
serta proses pengolahan (Widowati 2007; Astawan & Widowati 2011).
Pangan IG rendah akan dicerna dan diubah menjadi glukosa secara bertahap
dan perlahan-lahan, sehingga puncak kadar gula darah juga akan rendah. Hal ini
menyebabkan peningkatan kadar gula relatif lebih pendek sehingga sangat penting
bagi penderita diabetes/diet gula dalam mengendalikan kadar gula darah.
Sebaliknya, olahragawan yang hendak bertanding memerlukan pangan IG tinggi
agar pangan yang dikonsumsi segera dikonversi menjadi energi. Individu normal
yang masih memerlukan tumbuh-kembang (misalnya anak-anak) sebaiknya harus
mengkonsumsi pangan IG sedang atau tinggi (Widowati 2007).
BAHAN DAN METODE
Bahan
Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) diperoleh dari
Desa Burno dan Desa Kandang Tepus Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang
Propinsi Jawa Timur. Pisang dipanen pada minggu ke 16 dari awal pembungaan
dengan tingkat kematangan tahap 1 yaitu pisang tua dengan kulit hijau merata.
Kultur Lactobacillus acidophilus diperoleh dari PSPG-UGM, sedangkan kultur
enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) diperoleh dari FKH-IPB dan kultur
Salmonella Typhimurium diperoleh dari Departemen ITP-IPB.
Metode
82
Modifikasi Proses Pembuatan Tepung Pisang dengan Fermentasi dan Dua
Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan
Pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm, selanjutnya direndam dalam akuades
steril (3:4) dan difermentasi selama 24 jam pada suhu kamar. Pisang yang sudah
difermentasi kemudian ditiriskan dan diberi pemanasan bertekanan dengan
menggunakan otoklaf (121 oC, 15 menit) yang selanjutnya didinginkan (4 oC, 24
jam). Perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan dilakukan sebanyak dua
siklus. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan (50 oC, 16 jam) dan dihaluskan
serta diayak dengan ayakan ukuran 80 mesh. Tepung pisang kontrol dibuat dari
irisan pisang yang langsung dikeringkan dan dihaluskan serta diayak tanpa proses
modifikasi. Perlakuan diulang sebanyak dua kali dengan dua kali ulangan teknik
sampling bahan baku di lahan budidaya pisang var agung semeru.
Isolasi Pati Resisten
Isolasi pati resisten dilakukan dengan menggunakan metode Englyst et al.
(1992) yang dikombinasi dengan metode gravimetri (AOAC 1999). Tepung
pisang sebanyak 1 g ditempatkan dalam tabung sentrifus. Sampel dicuci dengan
menggunakan 8 ml etanol 80% selanjutnya disentrifus pada 554 × g selama 10
menit dan diulang dua kali. Endapan yang merupakan pati ditambah 20 ml buffer
sodium asetat (0.1M pH 5.2) selanjutnya ditambah 5 ml larutan enzim yang
mengandung ekstrak pankreatin dan amiloglukosidase. Sampel diinkubasi dalam
inkubator bergoyang pada suhu 37 oC selama 120 menit, selanjutnya disentrifus
untuk mendapatkan endapan yang merupakan pati resisten. Larutan enzim
disiapkan dengan cara mensuspensikan 3.0 g pankreatin (Sigma, Cat. No. P7545)
ke dalam 20 ml air deionisasi, selanjutnya distirer selama 10 menit pada suhu
ruang dan disentrifus pada 1500 × g selama 10 menit. Sebanyak 13.5 ml
supernatan pankreatin ditambah amiloglukosidase 210U (Sigma Cat. No. A7095)
dan 1.25 ml air deionisasi.
Evaluasi Sifat Prebiotik
83
Ketahanan Pati Resisten terhadap Cairan Lambung
Pati resisten diuji ketahanannya terhadap cairan lambung manusia dengan
menggunakan metode Wicheinchot et al. (2010). Sampel dipersiapkan dengan
melarutkan pati resisten ke dalam akuades streil (1% b/v). Cairan asam lambung
merupakan buffer asam hidroklorida yang tiap g/l mengandung: NaCl, 8; KCl,
0.2; Na 2 HPO 4 .2H 2 O, 8.25; NaHPO 4 , 14.35; CaCl 2 .2H 2 O, 0.1; MgCl 2 .6H 2 O,
0.18. Buffer asam klorida ditera pada pH 1, 2, 3, 4 dan 5 dengan menggunakan 5
M HCl. Sebanyak 5ml buffer HCl pada tiap perlakuan pH ditambahkan ke dalam
5 ml larutan sampel, selanjutnya diinkubasi dalam water bath pada suhu 37 ± 1 oC
selama 6 jam. Sebanyak 1 ml sampel diambil secara periodik pada jam ke- 0, 0.5,
1, 2, 4 dan 6. Total gula reduksi diukur dengan menggunakan metode DNS
(Robertson et al. 2001) dan total gula ditentukan dengan metode asam sulfat-fenol
(Dubois et al. 1956). Persentase hidrolisis sampel dihitung dengan menggunakan
rumus Korakli et al. (2002) yaitu jumlah gula reduksi dibagi dengan total gula
dikali 100%.
Persentase Pertumbuhan Probiotik dan Bakteri Patogen pada Pati Resisten
Persentase pertumbuhan probiotik dan bakteri patogen ditentukan dari
viabilitas bakteri pada media agar yang mengandung isolat pati resisten (Huebner
et al. 2007; Buriti et al. 2010). Probiotik yang digunakan adalah Lactobacillus
acidophilus, sedangkan bakteri patogen yang digunakan adalah EPEC dan S.
Typhimurium. Bakteri uji dipersiapkan pada umur inkubasi 24 jam. Bakteri
ditumbuhkan pada media MRSB basis (tanpa glukosa) yang mengandung RS
2.5% (berat/vol) dan media MRSB sebagai kontrol negatif. Selanjutnya diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 24 jam dan dilakukan perhitungan jumlah bakteri pada
jam ke-0 dan 24 dengan menggunakan metode tuang pada media MRSA untuk L.
acidophilus, media EMBA untuk EPEC dan media XLDA untuk S. Typhimurium.
Persentase pertumbuhan bakteri probiotik dan patogen ditentukan dengan
menggunakan rumus jumlah peningkatan pertumbuhan bakteri akhir (log
CFU/ml) pada jam ke-24 dibagi jumlah bakteri awal (log CFU/ml) pada jam ke-0
dikali 100%.
84
Analisis Indeks Prebiotik
Sebanyak 10% (berat/vol) cairan feses manusia sehat ditera dengan buffer
garam fosfat 0.1 M (pH 7) dan divortex selama 120 detik. Empat buah jar yang
berisi 180 ml medium steril (pH 7) diinokulasi dengan 20 ml feses dan 2 g RS
pisang. Selanjutnya jar dikondisikan anaerob fakultatif dengan menggunakan
anoxomat. Jar diinkubasi pada suhu 37 °C dan dilakukan penghitungan jumlah
bifidobakteria, laktobasili, bakteroides dan klostridia serta konsentrasi asam lemak
rantai pendek pada jam ke 0, 4, 10, dan 24. Media yang digunakan antara lain
Brain Heart Infusion Agar yang disuplementasi dengan 75 mg/l Chloramphenicol,
75 mg/l kalnisitin untuk Clostridium spp pada kondisi anaerob, Thioglycollate
Agar yang disuplementasi 8mg/l linkomisin dan 8 mg/l kolistin untuk Bacteroides
spp
pada kondisi
aerob, de Mann Rogosa Sharp Agar (MRSA) untuk
Lactobacillus spp pada kondisi aerob dan MRSA yang disuplementasi 0.5 g/l
sistein-HCl untuk Bifidobacteria spp pada kondisi anaerob (Manderson et al.
2005; Vardakou et al. 2008). Indeks prebiotik setiap peningkatan waktu dihitung
dengan menggunakan persamaan Palframan et al. (2003).
Keterangan: t x = waktu ke-x ; t 0 = waktu ke-0
Analisis Asam Lemak Rantai Pendek (Short Chain Fatty Acid/SCFA)
Analisis SCFA dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Sebanyak 1 ml
cairan sampel dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dan ditambahkan 0.003 g
asam sulfo 5-salisilat dihidrat. Selanjutnya campuran disentrifus selama 10 menit
pada 12000 rpm suhu 7 oC. Supernatan diinjeksikan ke dalam kromatografi gas
Chrompack CP 9002 seri 946253. Konsentrasi asam lemak rantai pendek dihitung
berdasarkan luas peak sampel terhadap luas peak standar.
85
Evaluasi Indeks Glikemik
Evaluasi indeks glikemik dilakukan pada tepung pisang alami dan tepung
pisang modifikasi dengan menggunakan relawan manusia (Omoregie & Osagie
2008; Astawan & Widowati 2011). Pengujian ini sudah mendapat persetujuan etis
(ethical approval) dari Kementerian Kesehatan dengan No. LB.03.04/KE/8320/
2010. Relawan yang digunakan memiliki kriteria inklusi yaitu: wanita dan lakilaki sehat berumur 20-35 tahun; tidak menderita penyakit penyerta yaitu penyakit
metabolisme yang berkaitan dengan kelainan kadar glukosa darah, seperti diabetes
mellitus, hipoglikemi dan hiperglikemi; memiliki indeks massa tubuh (IMT) 1825 kg/m2; memiliki kadar glukosa darah normal (kadar glukosa darah puasa < 110
mg/dL dan glukosa darah 2 jam post prandial < 140 mg/dL); memiliki pola
respon kadar glukosa darah selama 2 jam pengujian yang normal dan bersedia
menjadi subjek. Kriteria eksklusi untuk relawan adalah subjek hamil, menyusui
dan merokok. Instrumen uji IG menggunakan alat pengukur kadar gula
(glukometer) dengan sistem reaksi glukooksidase yang dilengkapi dengan alat
penusuk jari untuk mengambil darah (lancet).
Sepuluh relawan (5 laki-laki dan 5 perempuan) dipilih yang berbadan sehat
dengan usia 20-30 tahun dan tanpa gangguan pencernaan serta tidak
hamil/menyusui. Pada proses pengujian, relawan harus berpuasa karbohidrat dan
gula selama 12 jam (misalnya mulai pukul 9 malam sampai pukul 9 pagi) dan
diukur kadar glukosa darah pada kondisi lapar menggunakan glukometer.
Selanjutnya relawan mengkonsumsi produk tepung pisang uji dengan takaran
konsumsi 50 g karbohidrat dan dilakukan pengukuran kadar glukosa darah pada
tiap interval waktu 30 menit hingga menit ke-120. Tepung pisang disajikan berupa
nasi yang ditanak seperti menanak tiwul.
Selama dua jam pasca pemberian (konsumsi) dilakukan pengambilan
sampel darah sebanyak 20 µL (finger-prick cappillary blood samples method)
untuk diukur kadar glukosa darah (menit ke-0, ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120).
Pada waktu berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa
murni (sebagai pangan acuan) kepada relawan. Kadar gula darah pada setiap
86
waktu pengambilan sampel darah dibuat grafik dengan dua sumbu yaitu sumbu X
(waktu) dan sumbu Y (kadar gula darah). Indeks glikemik ditentukan dengan
membandingkan luas daerah di bawah kurva untuk pangan yang diukur nilai IGnya dengan pangan acuan (glukosa murni). Perhitungan indeks glikemik
dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Analisis Statistik
Data dianalisis menggunakan prosedur Analysis of Variance (ANOVA).
Untuk mengetahui adanya perbedaan di antara perlakuan maka dilakukan uji
lanjut beda nyata terkecil pada taraf uji 5% (p ≤ 0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Prebiotik Pati Resisten Tepung Pisang
Ketahanan Pati Resisten terhadap Hidrolisis Cairan Asam Lambung
Analisis ketahanan pati resisten terhadap cairan asam lambung tiruan
dilakukan pada isolat RS. Pati resisten tipe II (RS2) diisolasi dari tepung pisang
yang tidak mengalami perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan yaitu tepung
pisang tanpa modifikasi (kontrol) dan tepung pisang modifikasi dengan fermentasi
spontan. Pati resisten tipe III (RS3) diisolasi dari tepung pisang yang mengalami
perlakuan retrogradasi yaitu tepung pisang modifikasi dengan dua silkus
pemanasan bertekanan-pendinginan dan tepung pisang modifikasi fermentasi
spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Isolasi RS secara
enzimatis yang dikombinasi dengan metode gravimetri menghasilkan rendemen
sekitar 40 – 45% dengan nilai yield antara 95 – 99% (Lampiran 5).
87
Hasil analisis menunjukkan RS2 tepung pisang kontrol dan tepung pisang
fermentasi spontan lebih stabil terhadap hidrolisis asam lambung artifisial jika
dibandingkan dengan RS3 baik dari tepung pisang modifikasi hasil dua siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan maupun tepung pisang modifikasi hasil
fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. RS2
dapat terhidrolisis sekitar 2% sedangkan RS3 dapat terhidrolisis hingga 4%.
Persentase hidrolisis RS yang menunjukkan ketahanannya pada pH 1, 2, 3, 4, dan
5 dapat dilihat pada Gambar 7.1.
Proses modifikasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan
tanpa fermentasi spontan menghasilkan tingkat hidrolisis hingga 6% pada pH 5
sedangkan adanya fermentasi spontan menghasilkan tingkat hidrolisis kurang dari
4% pada semua perlakuan pH 1-5. Menurut Cummings & Macfarlane (2002)
definisi pangan yang tidak dapat dicerna adalah jika 96% lolos tidak terhidrolisis
oleh cairan asam lambung hingga sampai ke usus. Hal ini berarti bahwa RS3
tepung pisang modifikasi fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan lebih stabil terhadap hidrolisis asam lambung dan dapat
dikategorikan sebagai kandidat prebiotik berdasarkan ketahanannya terhadap
asam lambung.
7
7
6
A
5
% Hidrolisis
5
% Hidrolisis
B
6
4
3
2
4
3
2
1
1
0
0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5
Lama Hidrolisis (Jam)
Lama Hidrolisis (Jam)
88
7
7
C
6
5
5
4
% Hidrolisis
% Hidrolisis
D
6
3
2
1
4
3
2
1
0
0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5
Lama Hidrolisis (Jam)
Lama Hidrolisis (Jam)
Gambar 7.1 Hidrolisis (37 oC, 6 jam) pati resisten tepung pisang modifikasi:
(A) kontrol (tanpa modifikasi), (B) dengan fermentasi spontan,
(C) dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan, (D) fermentasi
spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan
Pangan di dalam lambung biasanya berada dalam kondisi asam (pH 2-4) dan
dilepaskan mencapai usus setelah 2 jam. Dengan demikian dapat diperkirakan
lebih dari 98% RS2 tepung pisang dan lebih dari 96% RS3 tepung pisang dapat
mencapai usus besar. Wichienchot et al. (2010) melaporkan bahwa ketahanan
kandidat prebiotik oligosakarida pitaya (buah naga) dapat tahan 96% terhadap
hidrolisis asam lambung artifisial. Glukooligosakarida yang dihasilkan oleh
Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 juga menunjukkan ketahanan 98.4%
terhadap hidrolisis asam lambung artifisial (Wichienchot et al. 2006).
Persentase Pertumbuhan Lactobacillus acidophilus, EPEC dan Salmonella
Typhimurium pada Media yang Mengandung RS Tepung Pisang
Pati resisten digunakan sebagai media pertumbuhan bagi bakteri uji
probiotik (L. acidophilus) dan bakteri patogen (EPEC dan S. Typhimurium). Hal
ini dilakukan untuk mengetahui potensi pati resisten dalam memodulasi
pertumbuhan probiotik dan patogen yang dinyatakan sebagai persentase
pertumbuhan
bakteri
tersebut.
Gambar
7.2
memperlihatkan
persentase
pertumbuhan L. acidophilus yang dikompetisikan dengan EPEC dan Gambar 7.3
89
memperlihatkan persentase pertumbuhan L. acidophilus yang dikompetisikan
dengan S. Typhimurium dalam media MRSB basis yang mengandung RS.
40
Pertumbuhan (%)
30
20
10
0
Kontrol
Fermentasi spontan
-10
Dua siklus PBP
Fermentasi spontan
dan dua siklus PBP
Kontrol negatif
-20
-30
Gambar 7.2 Persentase Pertumbuhan ( ) L. acidophilus (MRSB), ( ) EPEC
(MRSB), ( ) L. acidophilus (MRSB basis + RS), ( ) EPEC
(MRSB basis + RS), (PBP = pemanasan bertekanan-pendinginan)
Media yang mengandung RS3 menghasilkan pertumbuhan L.
acidophilus relatif lebih tinggi daripada media yang mengandung RS2.
Pertumbuhan EPEC relatif lebih rendah pada media yang mengandung RS3. Hal
ini menunjukkan bahwa RS3 tepung pisang modifikasi bersifat selektif terhadap
pertumbuhan EPEC. Akan tetapi nilai pertumbuhan masih menunjukkan nilai
positif. Meskipun EPEC berada pada lingkungan yang minim sumber karbon,
akan tetapi EPEC memiliki kemampuan dapat bertahan hidup pada kondisi minim
nutrisi seperti perairan.
Salminen et al. (2004) menjelaskan bahwa EPEC
merupakan strain dari bakteri Escherichia coli yaitu salah satu jenis bakteri
indikator sanitasi yang dapat tumbuh baik dalam air seperti air sungai maupun air
sumur. Bakteri ini memiliki ketahanan terhadap kondisi minim nutrisi tidak
seperti halnya dengan L. acidophilus yang membutuhkan media kaya nutrisi
(fastidious).
RS tepung pisang modifikasi (RS3) lebih meningkatkan pertumbuhan L.
acidophilus daripada pertumbuhan EPEC. Hal ini berarti tepung pisang modifikasi
bersifat selektif menstimulasi pertumbuhan probiotik. Moons et al. (2004)
menjelaskan EPEC dapat menyebabkan diare jika terpapar dosis lebih dari 105
90
CFU/ml dan umumnya menyerang balita. Infeksi yang diakibatkannya mampu
menyebabkan perubahan histopatologi spesifik pada enterosit usus, menempel
pada mikrofili sehingga melekat pada membran sel inang dan menyebabkan aksi
filamentous dan protein sitoskeletal lainnya yang mengganggu penyerapan nutrisi.
Oleh karena itu tepung pisang modifikasi sangat baik karena memiliki keunggulan
yaitu tidak meningkatkan pertumbuhan EPEC dari dosis awal 106 CFU/ml .
40
Pertumbuhan (%)
30
20
10
0
Kontrol
-10
Fermentasi
spontan
Dua siklus PBP
Fermentasi Kontrol negatif
spontan dan dua
siklus PBP
-20
Gambar 7.3 Persentase Pertumbuhan ( ) L. acidophilus (MRSB), ( ) S.
Typhimurium (MRSB), ( ) L. acidophilus (MRSB basis + RS),
( ) S. Typhimurium (MRSB basis + RS), (PBP = pemanasan
bertekanan-pendinginan)
Gambar 7.3 menunjukan bahwa pertumbuhan L. acidophilus tertinggi pada
media RS3 yaitu tepung pisang modifikasi dari fermentasi spontan dengan dua
siklus retrogradasi, sedangkan pertumbuhan S. Typhimurium lebih tinggi pada
media RS2 yang tidak mengalami proses modifikasi fermentasi. Selama
fermentasi memungkinkan terjadinya degradasi komponen karbohidrat terutama
amilopektin menjadi fraksi yang lebih pendek. Fraksi tersebut lebih mudah
dimanfaatkan oleh L. acidophilus sehingga menstimulasi pertumbuhannya dan
menekan pertumbuhan S. Typhimurium. Hal ini menunjukkan bahwa RS dari
tepung pisang modifikasi secara fermentasi bersifat selektif tidak dapat digunakan
untuk pertumbuhan bakteri patogen terutama oleh S. Typhimurium akan tetapi
selektif mampu meningkatkan pertumbuhan L. acidophilus.
91
Selektivitas RS3 terhadap pertumbuhan bakteri diduga karena selama
fermentasi terjadi hidrolisis komponen pati menjadi polimer yang memiliki derajat
polimerisasi (DP) lebih rendah sehingga lebih mudah digunakan oleh bakteri
terutama L. acidophilus sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan selnya. Moura
et al. (2007) melaporkan bahwa xilooligosakarida (XOS) dengan DP 2 (BM
rendah) memiliki sifat prebiotik lebih baik daripada XOS dengan DP 5 – 6 (BM
lebih tinggi). Faridah et al (2010) juga melaporkan bahwa RS3 pati garut yang
tinggi memiliki DP 6-8 yang dihasilkan dari proses debranching pululanase dan
tiga siklus pemanasan-pendinginan
Modulasi Mikroflora Feses dan Produksi SCFA
Pengaruh RS2 dan RS3 terhadap populasi mikroflora feses dipaparkan pada
Tabel 7.1. Fermentasi oleh mikroflora feses pada media RS2 dan RS3 dapat
meningkatkan populasi baik bifidobakteria maupun laktobasili. Peningkatan
bifidobakteria dan laktobasili yang signifikan sebesar 2 log siklus terjadi setelah
fermentasi selama 24 jam. Kedua kelompok bakteri tersebut diketahui mampu
memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan manusia.
Bakteroides tumbuh meningkat hingga 2 log siklus pada media RS2, akan
tetapi populasi klostridia relatif stabil hingga inkubasi jam ke 24. Populasi
bakteroides maupun klostridia relatif stabil pada media RS3. Hal ini menunjukkan
bahwa RS3 bersifat lebih selektif terhadap pertumbuhan mikroflora terutama
bakteroides dan klostridia dibandingkan RS2. Sharp & Macfarlane (2000)
melaporkan bahwa bakteri dapat tumbuh pada media RS2 dengan menyerang
bagian sisi apikal dari granula dan membentuk struktur menyerupai kelopak
bunga dengan formasi glikokaliks selanjutnya berkelompok membentuk jaringan
biofilm.
Tabel 7.1 Populasi beberapa jenis mikroflora dan konsentrasi asam lemak rantai
pendek selama fermentasi pati resisten oleh kultur fekal
Waktu
Media (Jam)
Jumlah Bakteri (Log CFU/mL)
Bifidobakteria Laktobasili Bakteroides Klostridia
Asam Lemak Rantai Pendek
(mM/mL)
Asam
Asam
Asam
92
RS2*
RS3**
0
4
10
24
0
4
10
24
7.1 ± 0.03
8.5 ± 0.06
8.3 ± 0.05
9.2 ± 0.07
7.1 ± 0.02
8.6 ± 0.02
9.3 ± 0.05
9.2 ± 0.06
6.2
8.1
8.8
8.6
6.2
8.3
9.1
8.9
± 0.01
± 0.02
± 0.04
± 0.03
± 0.07
± 0.04
± 0.03
± 0.05
7.8 ± 0.04
8.2 ± 0.03
8.5 ± 0.05
9.3 ± 0.03
7.7 ± 0.02
7.7 ± 0.03
7.1 ± 0.06
7.8 ± 0.05
Asetat
7.5 ± 0.07
6.3 ± 0.01
6.5 ± 0.10
7.6 ± 0.04 9.65 ± 0.06
6.8 ± 0.02
7.1 ± 0.03
7.3 ± 0.06
7.5 ± 0.01 12.79 ± 0.15
Propionat
Butirat
5.76 ± 0.26 0.00 ± 0.00
2.13 ± 0.09 0.23 ± 0.04
* Tepung pisang tanpa modifikasi (kontrol)
** Tepung pisang modifikasi melalui fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan
bertekanan-perndinginan
Asam lemak rantai pendek (SCFA) yaitu asam asetat, asam propionat dan
asam butirat dihitung konsentrasinya setelah 24 jam fermentasi spontan.
Konsentrasi asam asetat lebih tinggi dihasilkan dari fermentasi RS3, sedangkan
asam propionat lebih tinggi dihasilkan dari fermentasi RS2. Asam butirat hanya
dihasilkan dari fermentasi RS3 yang diisolasi dari tepung pisang hasil modifikasi
fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan.
Manfaat SCFA bagi tubuh manusia di antaranya asam asetat untuk
metabolisme jaringan otot, ginjal, hati dan otak manusia, sedangkan asam
propionat
merupakan
prekursor
glukoneogenik
yang
mampu
menekan
pembentukan kolesterol dalam tubuh (Gibson et al. 2000). Asam butirat
menyediakan sekitar 50% energi yang rutin diperlukan oleh mukosa
gastrointestinal (Gibson et al. 2000; Tuohy et al. 2005). Dalam perkembangan
riset terakhir diketahui bahwa asam butirat tidak hanya sebagai sumber energi
bagi sel-sel mukosa, akan tetapi juga diperlukan untuk pro-diferensiasi, antiproliferasi dan anti-angiogenik yang berperan dalam mencegah kanker kolon.
Pada konsentrasi 2 - 4 mM, asam butirat mampu mereduksi mikronuklei sehingga
dapat melindungi sel dari kanker kolon akibat terpapar senyawa genotoksik
seperti H 2 O 2 dan Fe-NTA (Hovhannisyan et al. 2009).
Indeks Prebiotik Tepung Pisang
Gambar 7.4 menunjukkan bahwa indeks prebiotik RS3 lebih tinggi (5.14)
daripada indeks prebiotik RS2 (4.02) setelah fermentasi 10 jam. Peningkatan nilai
93
IP setelah fermentasi 10 jam juga terjadi pada penelitian sifat prebiotik pektik
oligosakarida dari kulit jeruk (Manderson et al. 2005). Hal ini mengindikasikan
bahwa fungsionalitas prebiotik tepung pisang modifikasi lebih baik daripada
tepung pisang tanpa modifikasi. Nilai IP yang positif
pada masing-masing
substrat mengindikasikan terjadinya peningkatkan populasi laktobasili dan
bifidobakteria dibandingkan populasi bakteroides dan klostridia.
6
5.14
5.00
Indeks Prebiotik
5
4
4.51
4.03
3.69
3.36
3
2.13
1.81
2
1.17
1
0
4
10
24
Waktu Inkubasi (Jam)
Gambar 7.4 Indeks prebiotik pati resisten tepung pisang; ( ) tanpa modifikasi
(kontrol), ( ) modifikasi secara fermentasi yang dikombinasikan
dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan, ( ) kontrol
negatif tanpa pati resisten
Proses retrogradasi pada pangan berpati dapat meningkatkan ketahanan pati
terhadap hidrolisis amilase selama proses pencernaan dengan terbentuknya RS3.
Pati resisten tidak dapat dihidrolisis oleh alfa amilase manusia tetapi dapat
didegradasi oleh beta amilase dari mikroflora sehingga dapat sebagai sumber
karbohidrat yang penting bagi pertumbuhannya (Gibson et al. 2000). RS3
merupakan fragmen oligomer yang kecil dengan derajat polimerisasi (DP) antara
30 – 100 yang secara cepat akan dimetabolisme oleh bakteri, sedangkan RS2 lebih
lambat dimetabolisme oleh bakteri karena RS2 merupakan granula pati secara
utuh (Schmiedl et al. 2000).
Indeks Glikemik Tepung Pisang
94
Hasil evaluasi indeks glikemik (IG) tepung pisang secara in vivo dengan
menggunakan relawan manusia menunjukkan nilai IG tepung pisang adalah
sedang (kurang dari 70) hingga rendah (kurang dari 55). Nilai IG disajikan pada
Tabel 7.2.
Tabel 7.2 Indeks glikemik tepung pisang pada beberapa perlakuan modifikasi
Perlakuan Modifikasi
Tanpa modifikasi (kontrol)
Fermentasi spontan
Satu siklus pemanasan bertekanan-pendinginan (PBP)
Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan (PBP)
Fermentasi spontan dengan satu siklus PBP
Fermentasi spontan dengan dua siklus PBP
Nilai Indeks Glikemik
66 ± 3.16 (Sedang)
66 ± 4.47 (Sedang)
62 ± 3.47 (Sedang)
52 ± 4.36 (Rendah)
61 ± 8.87 (Sedang)
46 ± 2.92 (Rendah)
Siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mempengaruhi nilai IG tepung
pisang. Tepung pisang tanpa modifikasi (kontrol), tepung pisang modifikasi
secara fermentasi spontan baik tanpa maupun dengan satu siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan memiliki nilai IG sedang. Proses dua siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan dapat menurunkan nilai IG dari IG sedang menjadi
rendah baik tanpa fermentasi spontan maupun dengan fermentasi spontan. Proses
dua silkus pemanasan bertekanan-pendinginan dapat menurunkan nilai IG tepung
pisang karena selama proses tersebut terjadi retrogradasi berulang sehingga
meningkatkan komponen yang tidak dapat dicerna terutama RS3. Hasil analisis
daya cerna secara in vitro juga menunjukkan penurunan daya cerna oleh proses
retrogradasi terutama dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Selama
proses pemanasan bertekanan terjadi kerusakan granula pati dan gelatinisasi pati
sedangkan pada saat pendinginan terjadi pembentukan ikatan ganda amilosa serta
sineresis pati yang menyebabkan rekristalisasi komponen pati membentuk struktur
pati yang lebih kristalin (Saguilan et al. 2005; Soto et al. 2007).
Selain pemanasan bertekanan, proses pendinginan pada suhu 4 oC selama 24
jam juga berperan dalam menurunkan IG karena proses tersebut dapat
meningkatkan jumlah amilosa teretrogradasi sehingga meningkatkan terbentuknya
95
pati resisten. Hasil ini juga didukung data Frie et al. (2003) yang melaporkan
terjadinya penurunan IG nasi dari beras Bagoean dari 93.2 menjadi 65.7 akibat
penyimpanan pada suhu rendah 4 oC selama 24 jam.
Proses fermentasi spontan selama 24 jam yang dikombinasi dengan dua
siklus pemanasan bertekanan-pendinginan menyebabkan IG tepung menjadi lebih
rendah. Hal ini disebabkan karena selama fermentasi terjadi peningkatan kadar
amilosa sehingga meningkatkan jumlah amilosa yang teretrogradasi pada proses
pemanasan
bertekanan-pendinginan.
Amilosa
teretrogradasi
tidak
dapat
dihidrolisis oleh enzim pencernaan sehingga tidak meningkatkan kadar glukosa
darah. Soto et al. (2004) melaporkan bahwa pati resisten yang dihasilkan dari
proses retrogradasi (RS3) akan meningkat dengan semakin meningkatnya kadar
amilosa suatu bahan pangan.
Tepung pisang jenis plantain seperti Musa paradisiaca memiliki nilai IG
sebesar 65 dan mengalami penurunan dengan adanya perlakuan pengolahan
seperti penyangraian nilai IG menjadi 57 (Ayodele & Erema 2010). Widowati
(2007) menjelaskan bahwa pengolahan dapat mengubah struktur dan komposisi
kimia pangan, yang selanjutnya dapat mengubah daya serap zat gizi. Semakin
cepat karbohidrat didegradasi dan diserap tubuh maka nilai IG cenderung tinggi.
Astawan & Widowati (2011) melaporkan salah satu klon ubi jalar yang direbus
memiliki nilai IG 62, apabila digoreng nilai IG-nya menjadi 47 dan jika
dipanggang nilai IG meningkat menjadi 80.
KESIMPULAN
RS2 maupun RS3 dari tepung pisang bersifat stabil terhadap hidrolisis asam
lambung artifisial pH 1-5 serta mampu meningkatkan populasi laktobasili maupun
bifidobakteria
dan
menurunkan
pertumbuhan
EPEC
dan
Salmonella
Typhimurium. RS3 memiliki sifat prebiotik lebih baik daripada RS2 berdasarkan
kemampuannya memproduksi asam butirat dan nilai indeks prebiotik (IP) yang
lebih tinggi (5.14) daripada nilai IP RS2 (4.02). Tepung pisang modifikasi dua
siklus retrogradasi baik tanpa maupun dengan fermentasi spontan memiliki IG
96
rendah (46 - 52), sedangkan tepung pisang kontrol, tepung pisang modifikasi
secara fermentasi spontan dan kombinasinya dengan satu siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan memiliki IG sedang (61 - 66).
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International16th. USA.
Astawan, M. dan S Widowati. 2011. Evaluation of nutrition and glycemic index
of sweet potatoes and its appropriate processing to hypoglycemic foods.
Indonesian J Agric Sci. 12 (1)
Ayodele OH, Erema VG. 2010. Glycemic indices of processed unripe plantain
(Musa paradisiaca) meals. Afr J Food Sci. 4 (8): 514 – 521
Buriti FCA, Castro IA, Saad SMI. 2010. Viability of Lactobacillus acidophilus in
synbiotic guava mousses and its survival under in vitro simulated
gastrointestinal conditions. Int J Food Microbiology. 137: 121–129
Cummings JH, Macfarlane GT. 2002. Gastrointestinal effects of prebiotics.
British J Nutr. 87(Suppl. 2): S145–S1151
Croghan M. 2002. Resistant starch as a functional ingredient in food systems. J
Business Briefing: Food Tech.
Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Calorimetric
method for determination of sugars and related substances. J Analytical
Chem. 28: 350–356
Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992 Classification and measurement
of nutritionally important starch fraction. Eu J Clin Nutr. 46:533-550
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical Meeting On
Preobitics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_
Report.pdf. Accessed on 22 November 2008.
Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2010. Perubahan struktur pati
garut (Maranta arundinaceae) sebagai akibat modifikasi hidrolisis asam,
pemotongan titik percabangan dan siklus pemanasan-pendinginan. J Teknol
dan Industri Pangan. 21 (2): 135-142
Frei M, Siddhuraju P, Becker K. 2003. Studies on the in vitro starch digestibility
and the glycemic index of six different indigenous rice cultivars from the
Philippines. J Food Chem. 83: 395–402
Gibson GR, Berry-Ottaway J, Rastall RA. 2000. Prebiotics: new developments in
functional foods. Chandos Publishing Limited. Oxford. United Kingdom
97
Hovhannisyan G, Aroutiounian R, Glei M. 2009. Butyrate reduces the frequency
of micronuclei in human colon carcinoma cells in vitro. J Toxicology in
Vitro. 23, 1028–1033
Huebner J, Wehling RL, Hutkins RW. 2007. Functional activity of commercial
prebiotics. J Int Dairy. 17: 770-775
Korakli M, Ganzle MG, Vogel RF. 2002. Metabolism by bifidobacteria and lactic
acid bacteria of polysaccharides from wheat and rye, and
exopolysaccharides produced by Lactobacillus sanfranciscensis. J App
Microbiol. 92: 958–965
Omoregie ES, Osagie A. 2008. Glycemic indices and glycemic load of some
Nigerian foods. Pak. J Nutr. 7: 710-716
Palframan R, Gibson GR, Rastall RA. 2003. Development of a quantitative tool
for the comparison of the prebiotic effect of dietary oligosaccharides. Lett
App Microbiol. 37: 281–284
Patterson CA. 2006. Glycemic Index (GI). Technology Watch. Wellness West.
Manderson K, Pinar M, Tuhoy KM, Race WE, Otckiss AT, Widmer W, Yadhav
MP, Gibson R, Rastall RS. 2005. In vitro determination of prebiotic
properties of oligosaccharides derived from an orange juice manufacturing
by-product stream. App and Env Microbiol. 71 (12): 8383-8389
Moons MMM, Schneeberger EE, Hecht GA. 2004. Enteropathogenic E. coli
infection leads to appearance of aberrant tight junction strands in the lateral
membrane of intestinal epithelial cells. Cell Microbiol. 6: 783–793
Moura P, Barata R, Carvalheiro F, Girio F, Loureiro-Dias MC, Esteves MP. 2007.
In vitro fermentation of xylo-oligosaccharides from corn cobs
autohydrolysis by Bifidobacterium and Lactobacillus strains. Swiss Society
of Food Sci and Technol. 40: 963–972
Robertson JA, Ryden P, Botham RL, Reading L, Gibson GR, Ring SG. 2001.
Structural properties of diet-derived polysaccharides and their influence on
butyrate production during fermentation. British J Nutr. 81: S219–S223
Saguilan AA, Flores-Huicochea E, Tovar J, Garcia-Suarez F, Guiterrez-Meraz F,
Bello-Perez LA. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by
autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization.
J Starch/Starke. 57: 405-412
Salminen S, Wright AV. 2004. Lactic Acid Bacteria: Microbiology and functional
aspect. 2nd Edition. Revised and Expanded. New York: Marcell Dekker, Inc.
Schmiedl D, Ba-Euerlein M, Bengs H, Jacobasch G. 2000. Production of heatstable, butyrogenic resistant starch. J Carbohy Polymers. 43: 183-193
Sharp R, Macfarlane GT. 2000. Chemostat enrichments of human feces with
resistant starch are selective for adherent butyrate-producing clostridia at
high dilution rates. App and Env Microbiol. 66 (10): 4212–4221
98
Soto RAG, Acevedo EA, Feria JS, Villalobos RR, Bello-Perez LA. 2004.
Resistant starch made from banana starch by autoclaving and debranching. J
Starch/Stärke. 56: 495–499
Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Bello-Perez LA. 2007. The
influence of time and storage temperature on resistant starch formation from
autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310
Tuohy KM, Rouzaud GCM, Bruck WM, Gibson GR. 2005. Modulation of the
human gut microflora towards improved health using prebiotics –
assessment of efficacy. Current Pharmaceutical Design. (1): 75-90
Vardakou M, Palop CN, Christakopoulos P, Faulds CB, Gasson MA, Narbad A.
2008. Evaluation of the prebiotic properties of wheat arabinoxylan fractions
and induction of hydrolase activity in gut microflora. Int J Food Microbiol.
123:166-170
Wichienchot S, Jatupornpipat M, Rastall RA. 2010. Oligosaccharides of pitaya
(dragon fruit) flesh and their prebiotic properties. J Food Chem. 120: 850–
857
Wichienchot S, Prasertsan P, Hongpattarakere T, Gibson GR, Rastall RA. 2006.
In vitro fermentation of mixed linkage gluco-oligosaccharides produced by
Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 by the human colonic microflora.
Current Issues in Intestinal Microbiol. 7:7–12
Widowati S. 2007. Sehat dengan Pangan Indeks Glikemik Rendah. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29 (3)
Download