1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam negara demokrasi, Pemilu merupakan sarana dan wahana dalam
penyampaian pesan-pesan politik, baik oleh partai politik maupun kandidat yang
mencalonkan diri. Orang-orang yang sengaja mencalonkan diri menjadi kandidat
dalam jabatan publik melalui Pemilu adalah politikus, yang berkecimpung dalam
partai politik maupun pemerintahan dengan orientasi utamanya mencapai tujuan
memegang jabatan pemerintahan, baik pada eksekutif, legislatif maupun yudikatif
(Joko Susilo, dalam Anwar dan Saviana, 2006: 37). Politikus yang mencalonkan
dirinya menjadi anggota legislatif bertarung dengan para pesaing politiknya dalam
perebutan suara pada Pemilu Legislatif.
Di Indonesia, Pemilu Legislatif merupakan mekanisme utama dari warga
negara untuk memilih wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat, baik pada tingkat
nasional (DPR RI) maupun daerah (DPRD I dan II). Pemilu Legislatif merupakan
media perebutan suara bagi calon anggota legislatif yang ingin atau merasa berhak
mewakili rakyat di DPR RI maupun DPRD. Namun, menurut Nursal (2004:10),
partai-partai politik beserta calon anggota legislatif yang diusung tidak gampang
mencapai sasaran obyektif berupa target suara dengan cara-cara kampanye yang
konvensional. Tanpa langkah terobosan, partai politik sulit meraih suara, bahkan
hanya sekadar untuk dikenal baik oleh para pemilih. Langkah terobosan itu hanya
dapat dilakukan dengan strategi jitu, salah satunya dengan menerapkan pemasaran
politik (Nursal, 2010:10).
1
2
Menjelang Pemilu Legislatif, calon anggota legislatif melakukan berbagai
kampanye untuk menyampaikan visi dan misi politik utamanya. Menurut Rise dan
Paisley (dalam Anwar dan Salviana, 2006:40), kampanye merupakan suatu bentuk
komunikasi kepada publik secara lebih terkontrol, baik isi pesan maupun bentuk
kegiatannya, untuk mempengaruhi keyakinan atau perilaku dari orang lain melalui
daya tarik komunikasi. Kampanye merupakan strategi kontrol sosial dalam rangka
mengarahkan psikologi dan perilaku para pemilih guna menyesuaikan diri dengan
dan pada saatnya menuruti apa yang diprogramkan oleh partai politik. Agusyanto
(2007:66) berpendapat bahwa kontak sosial yang dituju adalah kontak sosial yang
mampu menyediakan atau memberikan pengaruh serta informasi dalam mencapai
kepentingan yang diinginkan para aktor yang bersangkutan dengan mengaktifkan,
memodifikasi, atau memanipulasi hubungan emosi maupun kekuasaan.
Menurut Pamungkas (2010:11), di dalam Pemilu, setiap aktor mempunyai
kehirauan tertentu yang bersinergi dengan kepentingan masing-masing. Kalangan
politisi berjuang memperebutkan suara rakyat melalui penciptaan opini publik.
Menurut Karl Popper (dalam Anwar dan Salviana, 2006:42-43), para pemimpin
menciptakan opini publik karena mereka berhasil membuat gagasan yang awalnya
ditolak, dipertimbangkan, dan akhirnya diterima. Kemampuan membangun opini
publik merefleksikan kemampuan politisi dalam mengidentifikasi khalayak yang
potensial serta melakukan komunikasi politik yang baik kepadanya. Melalui tim
sukses masing-masing, kampanye menjadi media penciptaan opini publik melalui
komunikasi politik yang paling tepat untuk meraup suara rakyat sebagai strategi
utama pemenangan pemilu.
3
Di Indonesia era reformasi, Pemilu Legislatif baru dilaksanakan pada 9
April 2014. Ribuan politisi bertarung memperebutkan suara rakyat agar mereka
menang dan menduduki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, baik tingkat nasional
(DPR RI), provinsi (DPRD I) maupun kota/kabupaten (DPRD II). Masing-masing
menerapkan berbagai strategi pemenangan pemilu melalui kampanye politik di
bawah kebijakan partai yang menjadi kendaraan politiknya. Menurut Pamungkas
(2010:69), dalam kontestasi yang sengit, setiap partai dan calon anggota legislatif
berusaha memaksimalkan perolehan suara untuk dapat memenangkan kontestasi.
Kompetisi diantara partai semakin kompetitif, termasuk diantara calon anggota
legislatif yang diusung untuk didudukkan di DPR RI, DPRD I maupun DPRD II.
Penelitian ini memberikan fokus kajian pada kandidasi politikus di daerah
dalam memperebutkan kursi di DPR RI. Salah satu politikus muda yang berjuang
meraup suara rakyat di daerah untuk menjadi anggota DPR RI 2014-2019 adalah
Hanafi Rais. Ia berjuang di Daerah Pemilihan (Dapil) Yogyakarta, yang meliputi
Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten
Sleman, dan Kota Yogyakarta. Ia merupakan putra Amien Rais—mantan Ketua
Muhammadiyah (1994-1998), tokoh reformasi 1998, dan salah satu pendiri serta
Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) periode 1999-2004. Walau merupakan putra
dari akademisi dan politisi yang populer, Hanafi Rais kalah pada Pemilu Walikota
Yogyakarta pada 2011. Akan tetapi, politikus muda ini kemudian menang dengan
suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta. Kemenangan
ini menjadi refleksi strategisnya langkah politik dari tim sukses Hanafi Rais dalam
meraih suara terbanyak pada Pemilu Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta.
4
Dari hasil rekapitulasi perolehan suara pada Pemilu Legislatif 2014 yang
sudah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), perolehan suara sah Hanafi
Rais ternyata paling tinggi diantara kandidat lainnya di Dapil Yogyakarta. Hanafi
Rais berhasil meraih suara yang terbanyak, yaitu 197.915 suara, terdiri dari Kota
Yogyakarta 26.903 suara, Kabupaten Sleman 63.229 suara, Kabupaten Bantul
47.763 suara, Kabupaten Gunungkidul 35.238 suara, dan Kabupaten Kulonprogo
24.782 suara. Posisi kedua diduduki oleh Idham Samawi dengan 120.796 suara,
disusul My Esti Wijayati 99.440 suara, Andika Pandu Puragabaya 72.290 suara,
Siti Hediati Soeharto 61.655 suara, Agus Sulistiyono 51.045 suara, Sukamta
49.771 suara, dan Ambar Tjahyono 38.152 suara.
Fenomena kemenangan Hanafi Rais sebagai anggota DPR RI 2014-2019
menarik mengingat politikus muda ini termasuk pendatang baru dalam kontestasi
kursi untuk DPR RI 2014-2019. Dari delapan kursi yang dialokasikan untuk DPR
RI dari Dapil Yogyakarta, Hanafi Rais (PAN) merupakan anggota legislatif wajah
baru, selain Idham Samawi dan Esti Wijayati (PDIP), Andhika Pandu Purgabaya
(Gerindra), Titiek Soeharto (Golkar), dan Sukamta (PKS), sedangkan dua orang
adalah anggota DPR lama (incumbent), yakni Ambar Tjahyono (Demokrat) dan
Agus Sulistyono (PKB). Calon anggota DPR lama (incumbent) yang gagal maju
ke senayan adalah Djuwarto dan Eddy Mihati (PDIP), sedangkan anggota DPR
dari PAN sebelumnya, yakni Totok Daryanto, pindah ke Dapil Jawa Timur.
Sehubungan dengan kemenangan dalam Pemilu Legislatif 2014 tersebut,
calon anggota legislatif nomer satu dari PAN di Yogyakarta untuk DPR RI 20142019, Hanafi Rais mengaku sangat bersyukur lolos ke Senayan dengan perolehan
5
suara terbanyak di Dapil Yogyakarta sebagai hasil kerja keras dari tim suksesnya
maupun PAN DI Yogyakarta (Republika.co.id, Jumat, 25/4/2014). Kesuksesan itu
bukan sekadar karena nama besar ayahnya, Amien Rais, melainkan lebih karena
faktor dirinya, karena ia tampil di setiap kampanye sebagai dirinya sendiri. Selain
keterlibatannya dalam jaringan organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah dan
partai politik PAN, salah satu faktor yang paling mendukung kemenangan dalam
Pemilu Legislatif 2014 adalah keterlibatan intensifnya dalam berbagai komunitas.
Fani Satria, Sekretaris Komite Pemenangan Pemilu Wilayah (KPPW) DPW PAN
DIY menyatakan bahwa Hanafi Rais yang berada di nomor urut 1 calon anggota
legislatif PAN DPR RI berhasil meraih suara tertinggi, yang dipengarungi adanya
segmen pemilih baru. Ia berhasil mendekati pemilih, misalnya, melalui kegiatan
budaya, seperti acara ‗Pangkur Jenggleng‘ (Republika.co.id, Jumat, 25/4/2014).
Fenomena kemenangan Hanafi Rais dan tim suksesnya dengan perolehan
suara terbanyak pada Pemilu Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta sangat menarik.
Karena itu, peneliti terdorong untuk mengkaji secara lebih mendalam, khususnya
tentang strategi pemasaran politik yang dilancarkan oleh tim sukses Hanafi Rais,
metode penciptaan opini publik melalui kampanye, bentuk-bentuk kampanye yang
dilaksanakan, sarana kampanye yang digunakan, strategi dan pola tindakan untuk
menghadapi pesaing politik, dan strategi menarget komunitas calon pemilih. Agar
lebih komprehensif, penelitian ini dilakukan dengan meneliti strategi pemenangan
tim sukses Hanafi Rais, baik pada tingkat provinsi DI Yogyakarta pada umumnya
maupun di tingkat kota/kabupaten Dapil Yogyakarta pada khususnya. Tujuannya
adalah agar peneliti dapat mengidentifikasi dan menganalisis strategi pemenangan
6
tim sukses Hanafi Rais dalam Pemilu Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta secara
lebih komprehensif berbasis lokalitas masing-masing kota/kabupaten.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini ingin mengangkat fenomena kemenangan Hanafi Rais yang
telah berhasil meraih suara terbanyak (197.915 suara) dengan fokus pada strategi
pemenangan tim sukses dalam meloloskannya menjadi anggota legislatif DPR RI
2014-2019 pada Pemilu Legislatif 2014 Dapil Yogyakarta. Walau diasumsikan
sejak awal sangat kuat untuk menang karena bayang-bayang politik Amien Rais,
kemenangannya pada Pemilu Legislatif 2014 tentu bukan hanya karena ia adalah
putra Amien Rais, melainkan juga karena strategisnya langkah pemenangan dari
tim suksesnya. Fenomena keterpilihan Hanafi Rais sebagai anggota DPR RI 20142019 dari Dapil Yogyakarta merupakan fenomena politik baru dan belum pernah
diteliti secara akademik sebelumnya. Karena itu, perlu dilakukan penelitian secara
lebih mendalam tentang strategi pemenangan tim sukses Hanafi Rais, sehingga ia
meraih suara terbanyak pada Pemilu Legislatif 2014 di Yogyakarta.
Dari rumusan masalah tersebut, pertanyaan penelitian ini dapat diajukan
sebagai berikut:
Bagaimana strategi pemenangan dari tim sukses Hanafi Rais dalam Pemilu
Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian tersebut, dapat
dikemukakan bahwa tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
7
Menganalisis strategi pemenangan tim sukses Hanafi Rais dalam Pemilu
Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi besar, baik
teoretis maupun praktis, sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pengembangan konsep strategi
pemenangan dalam Pemilu, baik dalam upaya pemenangan calon anggota
legislatif pada khususnya maupun dalam pemenangan partai politik pada
umumnya, di daerah pemilihan yang sangat majemuk seperti Yogyakarta
dengan kalangan pemilih yang diasumsikan rasional.
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para politikus maupun tim
sukses pemenangan Pemilu, baik pada Pemilu Legislatif maupun Presiden
dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dari
berbagai daerah di seluruh Indonesia, agar mereka menjadi lebih mampu
memobilisasi dukungan politik dari berbagai kalangan, baik level massa,
organisasi maupun elit di daerah.
E. Landasan Teori
1.
Partai Politik
Di dalam negara demokrasi, partai politik dan pemilu merupakan dua pilar
pokok dalam pemilihan para pejabat publik melalui artikulasi suara rakyat. Bagi
Schumpeter, demokrasi secara sederhana didefinisikan sebagai sebuah mekanisme
untuk pemilihan dan memberikan kekuasaan pada pemerintah, dimana ada suatu
8
kompetisi antara satu atau lebih kelompok politisi yang terpilih dan terorganisir di
dalam partai politik, bagi suara yang akan mencerahkan mereka untuk memerintah
sampai pemilihan berikutnya (Nurtjahjo, 2006:69). Varma mengemukakan bahwa
metode demokratis merupakan tatanan kelembagaan untuk sampai pada keputusan
politik dimana orang memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan alat-alat
perjuangan kompetitif untuk memperoleh suara rakyat (Nurtjahjo, 2006:69).
Menurut Pamungkas (2011:3), partai politik mengubah relasi antara rakyat
dengan penguasa, yaitu dari yang semula mendiskualifikasi rakyat menjadi rakyat
sebagai aktor dan poros penting dalam relasi itu. Dalam demokrasi kontemporer,
partai-partai politik telah menjadi instrumen utama rakyat untuk berkompetisi dan
mendapatkan kendali atas institusi-institusi politik. Menurut V.O. Key (1964), ada
tiga posisi partai politik dalam demokrasi, yaitu partai di kalangan pemilih (party
in electorate), organisasi partai (party organization), dan partai di pemerintahan
(party in the government). Sebagai partai dikalangan para pemilih, partai politik
berfungsi membantu untuk membuat politik ramah bagi warga negara, memberi
pendidikan berupa informasi politik penting bagi warga negara, dan memobilisasi
rakyat untuk berpartisipasi. Sebagai organisasi, partai politik berfungsi melakukan
rekruitmen kepemimpinan dan mencari pejabat pemerintahan, memberi pelatihan
elit politik, mengartikulasikan kepentingan politik, dan mengagregasi kepentingan
politik. Sebagai partai dalam pemerintahan, partai politik berfungsi mengelola dan
menstrukturkan persoalan-persoalan pemerintahan, mengorganisasi pemerintahan,
mengimplementasikan tujuan kebijakan, menjamin tanggung jawab dari tindakan
pemerintah, dan mengontrol administrasi pemerintahan (Pamungkas, 2011:15-20).
9
Pemilu merupakan proses politik yang secara konstitusional niscaya bagi
negara demokrasi, karena sebagai sistem, demokrasi telah teruji dan diakui paling
realistik dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi populis,
adil dan beradab (Prihatmoko dan Moesafa, 2008:43). Tidak ada satu pun negara
mengklaim dirinya demokratis tanpa melaksanakan pemilu. Diamond (2003:9-10)
mendefinisikan demokrasi sekadar sebagai rezim yang menyelenggarakan pemilu
untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan, di mana posisi kepala eksekutif dan
kursi legislatif diisi melalui pemilu. Menurut Pamungkas (2009: 3), pemilu adalah
arena kompetisi untuk mengisi jabatan politik pemerintahan yang didasarkan pada
pilihan formal dari warganegara yang memenuhi syarat. Dalam proses ini, partai
politik biasanya mengajukan kandidat dalam pemilu. Ada negara menerapkan satu
jenis pemilu, yaitu pemilu legislatif, dan ada negara yang menerapkan dua jenis
pemilu, yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden.
Menurut Heywood (2002:230-231) pemilu memiliki fungsi sentral berikut:
a. Merekrut para politisi. Dalam negara demokrasi, pemilu menjadi sumber
utama rekruitmen politik, di mana partai politik menominasikan kandidat.
b. Membentuk pemerintahan. Pemilu hanya membentuk pemerintahan secara
langsung di mana eksekutif dipilih secara langsung.
c. Menyediakan representasi. Pemilu menjadi media penyaluran tuntutan dari
publik kepada pemerintah.
d. Mempengaruhi kebijakan. Pemilu menghalangi supaya pemerintah tidak
mengikuti kebijakan yang radikal dan sangat tidak populer.
10
e. Mendidik pemilih. Proses kampanye memberi pemilih banyak informasi,
tentang partai, kandidat, kebijakan, rekam pemerintahan sekarang, sistem
politik, dan sebagainya.
f. Membangun legitimasi. Satu alasan mengapa rezim otoritarian pun susahsusah mengadakan pemilu, walau tidak kompetitif, adalah bahwa pemilu
membantu menumbuhkan legitimasi dengan menyediakan justifikasi bagi
sistem kekuasaan.
g. Memperkuat elit. Pemilu juga dapat menjadi kendaraan bagi elit dengan
memanipulasi dan mengendalikan massa.
Beberapa fungsi sentral tersebut menunjukkan bahwa pemilu, baik pemilu
legislatif maupun pemilu eksekutif, memiliki peran yang sangat penting di dalam
negara demokrasi, dengan dukungan utama partai politik. Heywood (2002:239)
menyatakan bahwa pemilu memberi publik kesempatan formal yang paling jelas
untuk mempengaruhi proses politik, dan juga membantu, secara langsung maupun
tak langsung, untuk menentukan siapa yang nantinya akan memegang kekuasaan
pemerintahan. Tanpa partai politik dan pemilu, tidak akan ada negara demokratis,
walau rezim yang berkuasa mengklaim dirinya demokratis.
Dalam mengajukan orang-orang untuk duduk dalam pemerintahan, partai
politik melaksanakan fungsi rekruitmen politik. Czudnowski (Pamungkas, 2011:
91) menyatakan bahwa rekruitmen politik adalah proses dimana individu atau
kelompok individu dilibatkan dalam peran-peran politik aktif. Rekruitmen politik
juga didefinisikan sebagai bagaimana kandidat potensial ditarik untuk bersaing di
dalam jabatan publik, dan didalamnya ada proses seleksi kandidat, yaitu proses
11
bagaimana cara kandidat dipilih dari kumpulan kandidat potensial. Sementara itu,
rekruitmen legislatif mengacu pada bagaimana kandidat dinominasikan oleh partai
yang terpilih menjadi pejabat publik. Fungsi rekruitmen politik ini menjadi fungsi
eksklusif partai politik dan tidak mungkin ditinggalkan partai politik (Pamungkas,
2011:1989). Rekruitmen politik menggambarkan perjuangan kekuasaan internal
dari partai politik, politik yang berusaha dihadirkan partai politik, dan bagaimana
sirkulasi elit terjadi. Untuk mendudukkan wakilnya di lembaga perwakilan rakyat,
partai politik melakukan rekruitmen politik diantara kandidat potensial, kemudian
mengajukan kandidat terpilih ke arena kontestasi pemilu legislatif. Para kandidat
terpilih diajukan partai politik untuk bersaing dengan kandidat partai politik lain
ke dalam arena persaingan politik di pemilu legislatif.
Rekruitmen politik yang dilakukan partai politik di dalam proses kandidasi
didasarkan pada berbagai pertimbangan, di antaranya: representasi demografis dan
peran yang dimainkan dalam organisasi (Pamungkas, 2011:101-102). Siavelis dan
Morgenstern (2008) menjelaskan tipe kandidat untuk rekruitmen legislatif, yaitu:
loyalis partai (party loyalist), pelayan konstituen (constitutent servant), wirausaha
(entrepreneur), dan delegasi kelompok (group delegate). Berikut ini adalah tabel
mengenai karakteristik kandidat dalam rekruitmen legislatif menurut Siavelis dan
Morgenstern (2008:20)
12
Tabel 1.1
Tipe Kandidat dalam Rekruitmen Legislatif
Tipe Kandidat
Loyalis Partai
Pelayan Konstituen
Gaya kampanye
Menyanjung
platform partai
Tidak sering
Memikat konstituen
Orientasi
Representasi
Partai sebelum
konstituen
Konstituen sebelum
partai
Tipe Tujuan
Pelayanan
Kolektif,
programatik,
ideologis
Propaganda dan barang
publik untuk distrik
Disipin legislatif,
dukungan untuk
presiden
Tinggi
Moderat, dapat diberi
dengan target
propaganda
Pencari Suara
Personal
Sering
Wirausahawan
Delegasi Kelompok
Personalistik
Menyanjung permintaan
kelompok
Sering
Berubah-ubah, tergantung
kepentingan individu
daripada kelompok
Individualistik, peng- Fungsional, kelompok
hargaan mendukung sebelum partai
kelompok/individu
Propaganda
Keuntungan untuk
partikularistik untuk kelompok
menghargai
pendukung
Rendah, pemilihan
Moderat, dapat dibeli
kepentingan pribadi
dengan penghargaan
kelompok
Sumber: Siavelis dan Morgenstern (2008:2)
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa tipe kandidat dalam rekruitmen legislatif
dilihat dari lima aspek, yaitu gaya kampanye, pencari suara personal, orientasi
representasi, tipe tujuan pelayanan, serta disiplin legislatif dan dukungan untuk
presiden. Apabila seseorang menjadi anggota partai, selalu bergelut dengan urusan
partai, dan terus berjuang demi kepentingan partai, dalam rekruitmen politik ia
biasanya menjadi kandidat tipe loyalis partai. Ia memiliki gaya kampanye yang
menyanjung platform partai, tidak sering mencari suara personal, mengutamakan
orientasi representasi partai sebelum konstituen, mempunyai tipe tujuan pelayanan
kolektif, dan memiliki disiplin legislatif serta dukungan bagi presiden yang tinggi.
Siavelis (2002) menyatakan aliansi dan mitra koalisi mempengaruhi model
seleksi kandidat. Kepuasan dalam menjalin aliansi dan mitra koalisi mendorong
peran yang lebih besar bagi pemimpin partai dalam menentukan seleksi kandidat.
Selain itu, perjuangan kekuasaan di antara faksi atau elit partai, ide/ideologi partai
dan etos/budaya partai juga mempengaruhi seleksi kandidat partai. Perjuangan
13
ataupun tawar-menawar kekuasaan di antara elit atau faksi menjadikan terjadinya
perubahan aturan seleksi kandidat. Faksi-faksi dalam partai politik sering muncul
ke permukaan untuk memproteksi kepentingannya. Faksi-faksi itu berusaha untuk
melindungi kepentingannya dalam proses politik ini (Pamungkas, 2011: 107). Hal
ini menunjukkan bahwa proses rekruitmen politik maupun kandidasi bukan hanya
dipengaruhi oleh partai politik dimana mereka berkecimpung melainkan juga oleh
kekuatan pendukungnya, baik di dalam maupun di luar partai.
Proses rekruitmen dan kandidasi yang telah dilakukan oleh partai
mengharuskan kandidat terpilih untuk menentukan langkah selanjutnya.
Keterpilihan dalam pemilu tidak bisa didapat dengan mudah, karena sejatinya
pemilu merupakan arena kompetisi antar kandidat terpilih. Untuk itu masingmasing kandidat diharuskan memiliki strategi pemenangan serta membentuk tim
sukses yang akan membantu mendongkrak suara mereka nantinya.
2.
Strategi Pemenangan Kandidat
Dalam upaya mencapai kemenangan berupa keterpilihan sebagai anggota
legislatif, kandidat bersama tim suksesnya menerapkan berbagai strategi politik
yang arahnya adalah mempersuasi massa agar mereka datang ketempat pemilu
dan memilih wakil rakyatnya sesuai aspirasi dan kepentingan mereka. Strategi ini
memberikan sejumlah manfaat melalui kegiatan taktik yang mampu membangun dan
menciptakan kekuatan melalui kontinuitas serta konsistensi.
Strategi merupakan turunan kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni
strategos. Kata strategos dapat diartikan sebagai ―komandan militer‖ pada zaman
demokrasi Athena. Pada awalnya istilah strategi digunakan dalam dunia militer yang
14
diterjemahkan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan
suatu peperangan. Sedangkan secara terminologi banyak ahli telah mengemukakan
definisi strategi dengan sudut pandang yang berbeda – beda. Strategi hakikatnya adalah
perencanaan dan manajemen untuk mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut
strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah usaha,
melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya (Effendi,
1993).
Menurut Mangkuprawira (2002), strategi adalah cara mengerjakan sesuatu
untuk mencapai tujuan tertentu dan strategi merupakan sebuah rencana permanen
untuk sebuah kegiatan yang didalamnya termasuk formulasi tujuan dan kumpulan
rencana kegiatan untuk memperkuat posisi dan daya saing dalam sebuah
kompetisi. Sedangkan menurut Prihatmoko (2008), strategi adalah seni yang
melibatkan kemampuan inteligensi atau pikiran untuk membawa semua sumber
daya yang tersedia untuk mencapai tujuan dengan memperoleh keuntungan
maksimal dan efisien.
Pada hakikatnya, strategi dalam komunikasi politik, termasuk dalam kasus
pemenangan Pemilu, adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan
yang akan dijalankan pada saat ini guna mencapai tujuan politik pada masa depan.
Justru merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan politiknya merupakan
keputusan strategis yang paling tepat bagi komunikator politik untuk mencapai
tujuan politik ke depan, terutama untuk memenangkan Pemilu (Arifin, 2011).
Sehingga dalam strategi pemenangan kandidat lebih banyak menggunakan strategi
politik untuk mendongkrak tingkat keterpilihan kandidat.
15
Peter schroder (2008), mendefinisikan bahwa strategi politik merupakan
strategi yang digunakan untuk mewujudkan cita-cita politik. Strategi itu sendiri
selalu memiliki tujuan yakni kemenangan. Kemenangan akan tetap menjadi fokus,
baik tercermin dalam mandatnya, dalam perolehan suara, dalam sebuah
kemenangan pemilu bagi kandidatnya atau dalam mayoritas bagi suatu peraturan.
Strategi politik pemenangan Pemilu merupakan rencana yang sudah
terolah dimana setiap orang membuat antisipasi bukan saja dalam serangan yang
dilakukan, tetapi juga memberikaan jawaban atas lawannya dan alat untuk
menyelesaikannya. Rencana perjuangan ini merupakan strategi, sedangkan unsurunsur yang berbeda yang ada didalamnya, tindakan melawan musuh dan jawaban
terhadap reaksinya merupakan taktik.
Dalam Pemilu, strategi politik sangat diperlukan demi tercapainya apa
yang menjadi kepentingan elit yang diajukan sebagai kandidat. Strategi politik
tersebut bertujuan mencapai kemenangan dalam Pemilu. Jadi, strategi politik
pemenangan Pemilu adalah cara yang telah dipahami dan disusun terlebih dahulu
dalam rangka merealisasikan cita-cita politik yang digunakan untuk perubahan
jangka panjang. Strategi pemenangan Pemilu memiliki tujuan untuk mewujudkan
segala rencana yang telah disusun, kemudian menjadi fokus utama dalam Pemilu.
Fokus utama pemenangan Pemilu adalah perolehan suara terbanyak sebagai
wujud kemenangan memperoleh kekuasaan dan kekuasaan inilah tujuan strategi
pemenangan Pemilu.
Untuk mencapai
kemenangan dalam pemilu dibutuhkan strategi
pemenangan yang disesuaikan dengan sistem dan culture masyarakat Indonesia.
16
Sistem proposional terbuka mengharuskan kandidat untuk memperoleh suara
sebanyak-banyaknya, sehingga dalam satu partai pun akan saling berkompetisi.
Untuk itu strategi yang harus dilakukan kandidat dan tim sukses adalah dengan
memobilisasi massa sebanyak-banyaknya di dapil yang telah ditentukan.
Selanjutnya strategi yang digunakan adalah memanfaatkan culture masyarakat
Indonesia yang kebanyakan masih melihat tokoh sebagai orang yang dipanuti
dilingkungan masyarakat. Untuk itu strategi ketokohan adalah strategi yang paling
tepat digunakan untuk menggalang massa dalam konteks masyarakat indonesia.
a.
Strategi Mobilisasi Massa
Dalam konteks negara demokrasi, kandidasi seseorang agar dapat masuk
ke dalam kekuasaan, termasuk di lembaga legislatif, difasilitasi oleh partai politik
sebagai fungsi dari rekruitmen politik. Agar bisa menang dalam bursa pencalonan
anggota legislatif, setiap kandidat harus memperoleh suara sebanyak-banyaknya,
sehingga perlu diterapkan apa yang disebut strategi mobilisasi massa.
Untuk memenangkan kandidat dalam Pemilu, strategi kandidat tidak dapat
dilepaskan dari kegiatan mobilisasi massa yang dilakukan oleh partai politik yang
ia perjuangkan. Dalam kasus ini, partai politik berperan sebagai instrumen penting
mobilisasi massa guna mendukung kegiatan pemilu mengingat partai politik lebih
berfungsi sebagai kendaraan aktor calon untuk menggapai tujuan-tujuan pemilu.
Kegiatan mobilisasi massa untuk kepentingan pencalonan kandidat merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh partai politik (Heywood, 2002:254).
Partai
politik
sebagai
instrumen
mobilisasi
massa
akan
aktif
mempengaruhi pemilih pada suatu pencalonan. Partai politik yang kuat tentunya
17
akan mampu melakukan penetrasi teritorial sebagai bagian dari pengembangan
cabang-cabang diluar induk dari organisasi partai (Duverger 1959:23).
Keberhasilan partai politik untuk memiliki kelembagaan yang kuat dan mengakar
ini berdampak pada dua hal, yaitu akan memperkuat stabilitas partai politik dalam
menghadapi kompetisi kepartaian dan memperkuat kemampuan partai politik
untuk mempertahankan sumber-sumber dukungan elektoralnya (Katz & Crotty
2006:206-207). Partai politik melalui cabang-cabangnya menjalankan kegiatan
yang berhubungan dengan pemenangan pemilu, seperti mengorganisasi kampanye
dan merancang kemenangan di dalam pemilu. Partai politik ditempatkan sebagai
instrumen utama yang mengendalikan mobilisasi massa dalam pencalonan
kandidat.
Wielhouwer menawarkan pendekatan yang sama sebagai instrumen politik
yang digunakan partai untuk mendorong pemilih agar terlibat dalam aktivitas
politik yang partisan, seperti memasang simbol-simbol partai, pawai, pertemuan,
hadir dalam kampanye dan mempengaruhi pemilih lain (1999:178, 184). Aktivitas
mobilisasi massa ini dibayangkan memberi dampak terhadap proses pembentukan
sikap-sikap politik pemilih yang semula masih ragu-ragu atau belum menentukan
sikap politik menjadi pemilih yang lebih partisan (2006: 330, 334). Wielhouwer
menyatakan aktivitas mobilisasi massa untuk pencalonan dapat memanfaatkan
aktivis partai politik dan pekerja kampanye yang tetap dikontrol partai. Mobilisasi
massa dalam kandidasi dilakukan dan dikendalikan partai politik. Para pemilih
potensial yang dikontak atau didekati aktivis partai atau pekerja yang bekerja
18
untuk calon bisa aktif terlibat dalam memasang atribut partai, menghadiri pawai
kampanye, bekerja membantu partai dan mempengaruhi pemilih lain (1999:191).
Melalui kegiatan mobilisasi massa yang diorganisir partai politik, massa
bisa dipengaruhi menjadi pemilih partisan. Instrumen mobilisasi massa dianggap
sebagai representasi otoritatif organisasi partai politik. Menurut Karp & Banducci,
aktivitas mobilisasi massa pada semua sistem politik membutuhkan pelembagaan
politik tertentu (2007:225). Makin kuat pelembagaan politik, makin kuat kapasitas
organisasi partai politik untuk menggerakkan sumber-sumber dukungan elektoral.
Kekuatan keorganisasian menentukan kemampuan partai politik untuk mengolah
sumber daya partai dalam mendukung aktivitas mobilisasi massa kandidat secara
mendalam. Jika tingkat pemilih cenderung rendah, strategi mobilisasi massa yang
diterapkan bersifat mobilisasi massa murni. Mobilisasi massa ini bertujuan untuk
menjangkau jumlah pemilih secara luas agar mereka tergerak untuk memberikan
suara mereka. Strategi konversi umumnya dilakukan didalam sistem politik yang
memiliki tingkat pemilih tinggi. Pada situasi tersebut partai politik hanya
melakukan pendalaman pengaruh dengan menjalin kontak-kontak dengan pemilih
potensial. Pemilih potensial ini diharapkan menggunakan pengaruhnya untuk
mempengaruhi pemilih lain.
Strategi pemenangan kandidat dalam pemilu diterapkan agar pemilih bisa
menjadi lebih partisan melalui jejaring sosial-politik. Sumber daya partai politik
ini menjadikan partai politik mempunyai peluang untuk melakukan perluasan
pengaruh politik sehingga menghasilkan pemilih partisan. Kemungkinan untuk
menghasilkan pemilih partisan lebih mudah jika partai politik mampu mengolah
19
sumber daya kelembagaannya secara stabil dan kuat (Katz, Crotty 2006:206).
Peluang untuk memperkokoh mobilisasi massa dapat dilakukan jika partai politik
dapat memanfaatkan ‗struktur-struktur mobilisasi gerakan‘ (Carthy dan McAdam,
dalam McAdam et al. 1997:145). ‗Struktur-struktur mobilisasi gerakan‘ ini bisa
disejajarkan sebagai instrumen-instrumen mobilisasi massa yang berasal dari luar
organisasi partai politik, seperti keluarga, jaringan kerja, serikat kerja, lembaga
agama dan asosiasi sosial lainnya yang berafiliasi dengan partai politik. Instrumen
sosial-politik non-partai politik ini dapat dipakai partai politik dalam membangun
jaringan mobilisasi massa elektoral. Justru melalui ‗struktur-struktur mobilisasi
gerakan‘, suatu partai politik dapat membangun jaringan-jaringan serta instrumen
mobilisasi massa baru secara luas. Partai politik pun dapat berkolaborasi dengan
berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan budaya serta memanfaatkan kekuatankekuatan tersebut sebagai agen mobilisasi massa baru yang akan menguntungkan
partai politik, termasuk dalam konteks jaringan agama, menggerakkan pemilih
dari kalangan sosial-keagamaan. Feith (1999), misalnya, Feith mengungkapkan
bagaimana partai-parai politik era 1950-an membangun jaringan elektoral dengan
memanfaatkan basis sosial kepartaian. Basis sosial ini merupakan representasi
sosiologis yang menjadi asal dari datangnya sumber dukungan bagi partai-partai
politik. Melalui basis sosial inilah partai-partai politik melakukan kegiatan
mobilisasi massa.
b.
Strategi Ketokohan
Strategi pemenangan yang dilakukan oleh kandidat dan tim sukses
dipengaruhi oleh partai politik di Indonesia yang bercorak partai massa. Corak
20
partai massa seperti ini mendorong partai politik untuk mendulang suara berbasis
ketokohan yang bertujuan untuk menghadirkan massa sebesar-besarnya. Strategi
ketokohan ini menekankan pada peran partai untuk melakukan kontak-kontak
dengan tokoh pemilih potensial agar hadir memberikan suara mereka pada hari
pemilihan (Wielhouwer 1999:180). Ketokohan dalam partai sering menjadi
indikasi kemerosotan institusional partai politik jika partai politik dikelola secara
personalistik (Katz & Crotty 2006).
Personalisme politik dapat menjadi magnet yang memperkuat peran partai
politik dalam melakukan mobilisasi massa pada aras akar rumput. Personalisme
politik dalam jangka pendek mampu berkembang menjadi instrumen mobilisasi
massa yang cukup efektif untuk menggerakkan perilaku politik pemilih. Kekuatan
mobilisasi massa yang berpola pada personalisme politik ini seakan berada di atas
organisasi partai politik namun tidak berarti personalisme politik ini melemahkan
institusi partai politik. Dalam jangka pendek, institusi partai politik dapat
diperkuat melalui instrumen-instrumen mobilisasi massa yang berpola personal.
Personalisme tidak selalu memperlemah kemampuan mobilisasi massa elektoral
suatu partai politik.
21
F. Kerangka Pikir
Dengan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian
tersebut, kerangka pikir penelitian ini dapat diilustrasikan dalam diagram berikut.
PEMILIHAN
LEGISLATIF
Rekruitmen
Politik oleh Partai
Kandidasi
Anggota Legislatif
Keterpilihan
Anggota Legislatif
Strategi Pemenangan
Kandidat
Tim Sukses
Kandidat
1. Mobilisasi Massa
2. Strategi Ketokohan
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian
G. Definisi Konseptual
Partai Politik
Partai politik adalah organisasi politik yang berfungsi merekruit
anggota di antara warga negara potensial, yang nantinya diajukan sebagai
kandidat pejabat politik dan pemerintahan melalui mekanisme pemilu.
Partai politik menjadi instrumen utama rakyat untuk berkompetisi dan
mendapatkan kendali atas institusi-institusi politik.
22
Strategi Politik
Strategi politik merupakan strategi yang digunakan untuk
mewujudkan cita-cita politik. Strategi itu sendiri selalu memiliki tujuan
yakni kemenangan. Kemenangan akan tetap menjadi fokus, baik tercermin
dalam mandatnya, dalam perolehan suara, dalam sebuah kemenangan
pemilu bagi kandidatnya atau dalam mayoritas bagi suatu peraturan.
H. Definisi Operasional
Partai Politik
-
Melakukan proses kandidasi
Strategi Politik
I.
-
Strategi Mobilisasi Massa
-
Strategi Ketokohan
Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peneliti
ingin menyingkapkan secara lebih mendalam strategi pemenangan pemilu, dalam
hal ini strategi pemenangan yang dirumuskan dan diterapkan tim sukses Hanafi
Rais dalam Pemilihan Legislatif di Indonesia tahun 2014.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Daerah Pemilihan DI Yogyakarta, meliputi
Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.
23
3. Teknik Pengumpulan Data
Ada dua jenis data diperlukan untuk menjawab pertanyaan dan mencapai
tujuan penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data
yang diperoleh secara langsung di lapangan, sementara data sekunder adalah data
yang diperoleh secara tidak langsung dari berbagai literatur dan dokumen yang
berkaitan dengan topik penelitian. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dengan
beberapa teknik sebagai berikut:
a. Wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu melakukan wawancara
secara secara langsung dengan informan kunci, dengan mengajukan pada
informan kunci pertanyaan-pertanyaan semi-terstruktur yang dipersiapkan
sebelumnya sebagai pedoman umum bagi pengumpulan data yang relevan
dengan topik penelitian. Informan kunci yang diwawancarai adalah Hanafi
Rais selaku kandidat yang dimenangkan; tim sukses Hanafi Rais; ; pak
Nazarrudin selaku ketua timses, mas Habibi selalu asisten Hanafi Rais,
pengurus DPW PAN Yogyakarta yakni mas Santi Wibowo dan mbak Nur;
ketua DPC Kabupaten Sleman yakni mas Niko, dan kandidat lain di
internal PAN nomer urut 3 yakni Pak Budi Setyagraha.
b. Penelusuran literatur dan dokumen yang berhubungan dengan pemenangan
Hanafi Rais sebagai anggota legislatif periode 2014-2019.
4. Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini, instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, yang turun
ke lapangan langsung untuk melakukan observasi dan wawancara mendalam de-
24
ngan informan kunci. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, peneliti akan
dibantu menggunakan beberapa alat wawancara seperti daftar pertanyaan semiterstruktur sebagai panduan mengumpulkan data yang relevan dengan indikator
variabel yang diteliti. Agar hasil wawancara bisa terekam secara baik dan peneliti
mempunyai bukti telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber data,
alat-alat wawancara berikut sangat diperlukan (Sugiyono, 2009).
1. Buku catatan, yang berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan
sumber data. Di era teknologi informasi seperti sekarang, alat mencatat ini
dapat berupa komputer kecil, laptop, atau notebook, yang dapat digunakan
untuk membantu mencatat data hasil wawancara.
2. Tape recorder, yang berfungsi untuk merekam semua percakapan atau
pembicaraan. Penggunaan alat ini dalam wawancara perlu memberi tahu
kepada informan apakah diperbolehkan atau tidak. Alat ini berguna untuk
mendapatkan data penelitian secara lebih akurat.
3. Kamera, yang digunakan dalam memotret untuk mendapatkan gambargambar yang mengilustrasikan kondisi objek penelitian, terutama ketika
peneliti sedang melakukan pembicaraan dengan informan/sumber data.
Adanya foto ini dapat meningkatkan keterjaminan keabsahan penelitian,
karena peneliti betul-betul melakukan pengumpulan data.
5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
25
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa
yang dapat diceriterakan kepada orang lain (Bogdan dan Biklen, dalam Moleong,
2009). Menurut Sugiyono (2009), analisis data adalah suatu proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan
dan dokumentasi dengan mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan
ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilah mana
yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan, sehingga mudah
dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (2009), ketika wawancara
dilakukan, peneliti telah melakukan analisis terhadap jawaban dari informan yang
diwawancarai. Bila jawaban informan yang diwawancarai setelah dianalisis terasa
belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap
tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Aktivitas di dalam analisis data
kualitatif ini dilakukan secara interaktif dan terus berlangsung sampai tuntas,
sehingga datanya sudah jenus. Analisis kualitatif dalam penelitian ini dilakukan
melalui tiga alur kegiatan yang terjadi secara simultan: reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan, dengan ilustrasi sebagai berikut.
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses seleksi atau pemilihan, pemfokusan atau
pemusatan perhatian dan penyederhanaan serta abstraksi data kasar yang ada pada
catatan lapangan. Dengan kata lain, reduksi data sebagai bagian dari analisis ini
mempertegas, memperpendek, memusatkan perhatian, membuang hal yang tidak
penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga hanya data yang terkait saja
26
yang akan digunakan untuk analisis dan disajikan secara tertulis. Proses ini terus
berlangsung sepanjang pelaksanaan penelitian dimulai dari sebelum pengumpulan
data, saat pengumpulan data, sampai saat hasil penelitian ini selesai ditulis.
b. Penyajian Data
Penyajian data merupakan kegiatan menyajikan informasi/data yang sudah
disusun secara teratur sehingga informasi/data lapangan yang disampaikan secara
tertulis mudah dilihat dan dimengerti dalam bentuk utuh dan komprehensif untuk
menarik kesimpulan. Dalam penelitian ini, data disajikan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Namun, yang
paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah
dengan teks yang bersifat naratif.
c.
Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan usaha menarik kesimpulan dari hal-hal
yang ditemui dari pengumpulan data, reduksi data maupun penyajian data. Data
yang diperoleh pertama dinilai berdasarkan klasifikasi data yang diperlukan untuk
menjawab pertanyaan dan mencapai tujuan penelitian. Dalam penelitian ini proses
penarikan kesimpulan ini dilakukan dengan mengambil kesimpulan-kesimpulan
awal yang sifatnya sementara dan kemudian mengubah kesimpulan-kesimpulan
tersebut bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Akan tetapi, bila kesimpulan yang dikemukakan
pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti
27
kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data, maka kesimpulan yang pernah
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
J.
Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini disajikan dengan sistematika penulisan sebagai berikut.
Bab I : Pendahuluan. Bab ini memuat pendahuluan, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II: Bab ini memaparkan tentang DPW PAN DIY, Struktur Tim Sukses,
kiprah Hanafi Rais dalam kancah politik dan Kandidasi hanafi Rais
dalam pemilu legislatif.
Bab III: Strategi pemenangan Hanafi Rais dalam pemilu legislatif 2014. Bab ini
membahas tentang strategi pemenangan yang diterapkan Hanafi Rais
dalam Pemilu Legislatif 2014. Pembahasan di bab ini terdiri dari empat
bagian, yaitu perjuangan Hanafi Rais ketika proses kandidasi;strategi
pemenangan Hanafi Rais dalam Pemilu Legislatif 2014, yang terdiri dari
strategi mobilisasi massa dan strategi ketokohan; faktor yang
menghambat pemenangan Hanafi Rais sebagai anggota DPR RI 20142019; dan kemenangan yang akhirnya ia capai hingga berhasil menjadi
anggota DPR RI dengan perolehan suara yang terbanyak di Dapil DI
Yogyakarta dengan melibatkan kedua strategi pemenangan tersebut.
Bab IV: Kesimpulan dan Implikasi Teoretis
Download