1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam negara demokrasi, Pemilu merupakan sarana dan wahana dalam penyampaian pesan-pesan politik, baik oleh partai politik maupun kandidat yang mencalonkan diri. Orang-orang yang sengaja mencalonkan diri menjadi kandidat dalam jabatan publik melalui Pemilu adalah politikus, yang berkecimpung dalam partai politik maupun pemerintahan dengan orientasi utamanya mencapai tujuan memegang jabatan pemerintahan, baik pada eksekutif, legislatif maupun yudikatif (Joko Susilo, dalam Anwar dan Saviana, 2006: 37). Politikus yang mencalonkan dirinya menjadi anggota legislatif bertarung dengan para pesaing politiknya dalam perebutan suara pada Pemilu Legislatif. Di Indonesia, Pemilu Legislatif merupakan mekanisme utama dari warga negara untuk memilih wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat, baik pada tingkat nasional (DPR RI) maupun daerah (DPRD I dan II). Pemilu Legislatif merupakan media perebutan suara bagi calon anggota legislatif yang ingin atau merasa berhak mewakili rakyat di DPR RI maupun DPRD. Namun, menurut Nursal (2004:10), partai-partai politik beserta calon anggota legislatif yang diusung tidak gampang mencapai sasaran obyektif berupa target suara dengan cara-cara kampanye yang konvensional. Tanpa langkah terobosan, partai politik sulit meraih suara, bahkan hanya sekadar untuk dikenal baik oleh para pemilih. Langkah terobosan itu hanya dapat dilakukan dengan strategi jitu, salah satunya dengan menerapkan pemasaran politik (Nursal, 2010:10). 1 2 Menjelang Pemilu Legislatif, calon anggota legislatif melakukan berbagai kampanye untuk menyampaikan visi dan misi politik utamanya. Menurut Rise dan Paisley (dalam Anwar dan Salviana, 2006:40), kampanye merupakan suatu bentuk komunikasi kepada publik secara lebih terkontrol, baik isi pesan maupun bentuk kegiatannya, untuk mempengaruhi keyakinan atau perilaku dari orang lain melalui daya tarik komunikasi. Kampanye merupakan strategi kontrol sosial dalam rangka mengarahkan psikologi dan perilaku para pemilih guna menyesuaikan diri dengan dan pada saatnya menuruti apa yang diprogramkan oleh partai politik. Agusyanto (2007:66) berpendapat bahwa kontak sosial yang dituju adalah kontak sosial yang mampu menyediakan atau memberikan pengaruh serta informasi dalam mencapai kepentingan yang diinginkan para aktor yang bersangkutan dengan mengaktifkan, memodifikasi, atau memanipulasi hubungan emosi maupun kekuasaan. Menurut Pamungkas (2010:11), di dalam Pemilu, setiap aktor mempunyai kehirauan tertentu yang bersinergi dengan kepentingan masing-masing. Kalangan politisi berjuang memperebutkan suara rakyat melalui penciptaan opini publik. Menurut Karl Popper (dalam Anwar dan Salviana, 2006:42-43), para pemimpin menciptakan opini publik karena mereka berhasil membuat gagasan yang awalnya ditolak, dipertimbangkan, dan akhirnya diterima. Kemampuan membangun opini publik merefleksikan kemampuan politisi dalam mengidentifikasi khalayak yang potensial serta melakukan komunikasi politik yang baik kepadanya. Melalui tim sukses masing-masing, kampanye menjadi media penciptaan opini publik melalui komunikasi politik yang paling tepat untuk meraup suara rakyat sebagai strategi utama pemenangan pemilu. 3 Di Indonesia era reformasi, Pemilu Legislatif baru dilaksanakan pada 9 April 2014. Ribuan politisi bertarung memperebutkan suara rakyat agar mereka menang dan menduduki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, baik tingkat nasional (DPR RI), provinsi (DPRD I) maupun kota/kabupaten (DPRD II). Masing-masing menerapkan berbagai strategi pemenangan pemilu melalui kampanye politik di bawah kebijakan partai yang menjadi kendaraan politiknya. Menurut Pamungkas (2010:69), dalam kontestasi yang sengit, setiap partai dan calon anggota legislatif berusaha memaksimalkan perolehan suara untuk dapat memenangkan kontestasi. Kompetisi diantara partai semakin kompetitif, termasuk diantara calon anggota legislatif yang diusung untuk didudukkan di DPR RI, DPRD I maupun DPRD II. Penelitian ini memberikan fokus kajian pada kandidasi politikus di daerah dalam memperebutkan kursi di DPR RI. Salah satu politikus muda yang berjuang meraup suara rakyat di daerah untuk menjadi anggota DPR RI 2014-2019 adalah Hanafi Rais. Ia berjuang di Daerah Pemilihan (Dapil) Yogyakarta, yang meliputi Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta. Ia merupakan putra Amien Rais—mantan Ketua Muhammadiyah (1994-1998), tokoh reformasi 1998, dan salah satu pendiri serta Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) periode 1999-2004. Walau merupakan putra dari akademisi dan politisi yang populer, Hanafi Rais kalah pada Pemilu Walikota Yogyakarta pada 2011. Akan tetapi, politikus muda ini kemudian menang dengan suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta. Kemenangan ini menjadi refleksi strategisnya langkah politik dari tim sukses Hanafi Rais dalam meraih suara terbanyak pada Pemilu Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta. 4 Dari hasil rekapitulasi perolehan suara pada Pemilu Legislatif 2014 yang sudah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), perolehan suara sah Hanafi Rais ternyata paling tinggi diantara kandidat lainnya di Dapil Yogyakarta. Hanafi Rais berhasil meraih suara yang terbanyak, yaitu 197.915 suara, terdiri dari Kota Yogyakarta 26.903 suara, Kabupaten Sleman 63.229 suara, Kabupaten Bantul 47.763 suara, Kabupaten Gunungkidul 35.238 suara, dan Kabupaten Kulonprogo 24.782 suara. Posisi kedua diduduki oleh Idham Samawi dengan 120.796 suara, disusul My Esti Wijayati 99.440 suara, Andika Pandu Puragabaya 72.290 suara, Siti Hediati Soeharto 61.655 suara, Agus Sulistiyono 51.045 suara, Sukamta 49.771 suara, dan Ambar Tjahyono 38.152 suara. Fenomena kemenangan Hanafi Rais sebagai anggota DPR RI 2014-2019 menarik mengingat politikus muda ini termasuk pendatang baru dalam kontestasi kursi untuk DPR RI 2014-2019. Dari delapan kursi yang dialokasikan untuk DPR RI dari Dapil Yogyakarta, Hanafi Rais (PAN) merupakan anggota legislatif wajah baru, selain Idham Samawi dan Esti Wijayati (PDIP), Andhika Pandu Purgabaya (Gerindra), Titiek Soeharto (Golkar), dan Sukamta (PKS), sedangkan dua orang adalah anggota DPR lama (incumbent), yakni Ambar Tjahyono (Demokrat) dan Agus Sulistyono (PKB). Calon anggota DPR lama (incumbent) yang gagal maju ke senayan adalah Djuwarto dan Eddy Mihati (PDIP), sedangkan anggota DPR dari PAN sebelumnya, yakni Totok Daryanto, pindah ke Dapil Jawa Timur. Sehubungan dengan kemenangan dalam Pemilu Legislatif 2014 tersebut, calon anggota legislatif nomer satu dari PAN di Yogyakarta untuk DPR RI 20142019, Hanafi Rais mengaku sangat bersyukur lolos ke Senayan dengan perolehan 5 suara terbanyak di Dapil Yogyakarta sebagai hasil kerja keras dari tim suksesnya maupun PAN DI Yogyakarta (Republika.co.id, Jumat, 25/4/2014). Kesuksesan itu bukan sekadar karena nama besar ayahnya, Amien Rais, melainkan lebih karena faktor dirinya, karena ia tampil di setiap kampanye sebagai dirinya sendiri. Selain keterlibatannya dalam jaringan organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah dan partai politik PAN, salah satu faktor yang paling mendukung kemenangan dalam Pemilu Legislatif 2014 adalah keterlibatan intensifnya dalam berbagai komunitas. Fani Satria, Sekretaris Komite Pemenangan Pemilu Wilayah (KPPW) DPW PAN DIY menyatakan bahwa Hanafi Rais yang berada di nomor urut 1 calon anggota legislatif PAN DPR RI berhasil meraih suara tertinggi, yang dipengarungi adanya segmen pemilih baru. Ia berhasil mendekati pemilih, misalnya, melalui kegiatan budaya, seperti acara ‗Pangkur Jenggleng‘ (Republika.co.id, Jumat, 25/4/2014). Fenomena kemenangan Hanafi Rais dan tim suksesnya dengan perolehan suara terbanyak pada Pemilu Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta sangat menarik. Karena itu, peneliti terdorong untuk mengkaji secara lebih mendalam, khususnya tentang strategi pemasaran politik yang dilancarkan oleh tim sukses Hanafi Rais, metode penciptaan opini publik melalui kampanye, bentuk-bentuk kampanye yang dilaksanakan, sarana kampanye yang digunakan, strategi dan pola tindakan untuk menghadapi pesaing politik, dan strategi menarget komunitas calon pemilih. Agar lebih komprehensif, penelitian ini dilakukan dengan meneliti strategi pemenangan tim sukses Hanafi Rais, baik pada tingkat provinsi DI Yogyakarta pada umumnya maupun di tingkat kota/kabupaten Dapil Yogyakarta pada khususnya. Tujuannya adalah agar peneliti dapat mengidentifikasi dan menganalisis strategi pemenangan 6 tim sukses Hanafi Rais dalam Pemilu Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta secara lebih komprehensif berbasis lokalitas masing-masing kota/kabupaten. B. Rumusan Masalah Penelitian ini ingin mengangkat fenomena kemenangan Hanafi Rais yang telah berhasil meraih suara terbanyak (197.915 suara) dengan fokus pada strategi pemenangan tim sukses dalam meloloskannya menjadi anggota legislatif DPR RI 2014-2019 pada Pemilu Legislatif 2014 Dapil Yogyakarta. Walau diasumsikan sejak awal sangat kuat untuk menang karena bayang-bayang politik Amien Rais, kemenangannya pada Pemilu Legislatif 2014 tentu bukan hanya karena ia adalah putra Amien Rais, melainkan juga karena strategisnya langkah pemenangan dari tim suksesnya. Fenomena keterpilihan Hanafi Rais sebagai anggota DPR RI 20142019 dari Dapil Yogyakarta merupakan fenomena politik baru dan belum pernah diteliti secara akademik sebelumnya. Karena itu, perlu dilakukan penelitian secara lebih mendalam tentang strategi pemenangan tim sukses Hanafi Rais, sehingga ia meraih suara terbanyak pada Pemilu Legislatif 2014 di Yogyakarta. Dari rumusan masalah tersebut, pertanyaan penelitian ini dapat diajukan sebagai berikut: Bagaimana strategi pemenangan dari tim sukses Hanafi Rais dalam Pemilu Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian tersebut, dapat dikemukakan bahwa tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 7 Menganalisis strategi pemenangan tim sukses Hanafi Rais dalam Pemilu Legislatif 2014 di Dapil Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi besar, baik teoretis maupun praktis, sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pengembangan konsep strategi pemenangan dalam Pemilu, baik dalam upaya pemenangan calon anggota legislatif pada khususnya maupun dalam pemenangan partai politik pada umumnya, di daerah pemilihan yang sangat majemuk seperti Yogyakarta dengan kalangan pemilih yang diasumsikan rasional. 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para politikus maupun tim sukses pemenangan Pemilu, baik pada Pemilu Legislatif maupun Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, agar mereka menjadi lebih mampu memobilisasi dukungan politik dari berbagai kalangan, baik level massa, organisasi maupun elit di daerah. E. Landasan Teori 1. Partai Politik Di dalam negara demokrasi, partai politik dan pemilu merupakan dua pilar pokok dalam pemilihan para pejabat publik melalui artikulasi suara rakyat. Bagi Schumpeter, demokrasi secara sederhana didefinisikan sebagai sebuah mekanisme untuk pemilihan dan memberikan kekuasaan pada pemerintah, dimana ada suatu 8 kompetisi antara satu atau lebih kelompok politisi yang terpilih dan terorganisir di dalam partai politik, bagi suara yang akan mencerahkan mereka untuk memerintah sampai pemilihan berikutnya (Nurtjahjo, 2006:69). Varma mengemukakan bahwa metode demokratis merupakan tatanan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik dimana orang memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan alat-alat perjuangan kompetitif untuk memperoleh suara rakyat (Nurtjahjo, 2006:69). Menurut Pamungkas (2011:3), partai politik mengubah relasi antara rakyat dengan penguasa, yaitu dari yang semula mendiskualifikasi rakyat menjadi rakyat sebagai aktor dan poros penting dalam relasi itu. Dalam demokrasi kontemporer, partai-partai politik telah menjadi instrumen utama rakyat untuk berkompetisi dan mendapatkan kendali atas institusi-institusi politik. Menurut V.O. Key (1964), ada tiga posisi partai politik dalam demokrasi, yaitu partai di kalangan pemilih (party in electorate), organisasi partai (party organization), dan partai di pemerintahan (party in the government). Sebagai partai dikalangan para pemilih, partai politik berfungsi membantu untuk membuat politik ramah bagi warga negara, memberi pendidikan berupa informasi politik penting bagi warga negara, dan memobilisasi rakyat untuk berpartisipasi. Sebagai organisasi, partai politik berfungsi melakukan rekruitmen kepemimpinan dan mencari pejabat pemerintahan, memberi pelatihan elit politik, mengartikulasikan kepentingan politik, dan mengagregasi kepentingan politik. Sebagai partai dalam pemerintahan, partai politik berfungsi mengelola dan menstrukturkan persoalan-persoalan pemerintahan, mengorganisasi pemerintahan, mengimplementasikan tujuan kebijakan, menjamin tanggung jawab dari tindakan pemerintah, dan mengontrol administrasi pemerintahan (Pamungkas, 2011:15-20). 9 Pemilu merupakan proses politik yang secara konstitusional niscaya bagi negara demokrasi, karena sebagai sistem, demokrasi telah teruji dan diakui paling realistik dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi populis, adil dan beradab (Prihatmoko dan Moesafa, 2008:43). Tidak ada satu pun negara mengklaim dirinya demokratis tanpa melaksanakan pemilu. Diamond (2003:9-10) mendefinisikan demokrasi sekadar sebagai rezim yang menyelenggarakan pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan, di mana posisi kepala eksekutif dan kursi legislatif diisi melalui pemilu. Menurut Pamungkas (2009: 3), pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan politik pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warganegara yang memenuhi syarat. Dalam proses ini, partai politik biasanya mengajukan kandidat dalam pemilu. Ada negara menerapkan satu jenis pemilu, yaitu pemilu legislatif, dan ada negara yang menerapkan dua jenis pemilu, yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden. Menurut Heywood (2002:230-231) pemilu memiliki fungsi sentral berikut: a. Merekrut para politisi. Dalam negara demokrasi, pemilu menjadi sumber utama rekruitmen politik, di mana partai politik menominasikan kandidat. b. Membentuk pemerintahan. Pemilu hanya membentuk pemerintahan secara langsung di mana eksekutif dipilih secara langsung. c. Menyediakan representasi. Pemilu menjadi media penyaluran tuntutan dari publik kepada pemerintah. d. Mempengaruhi kebijakan. Pemilu menghalangi supaya pemerintah tidak mengikuti kebijakan yang radikal dan sangat tidak populer. 10 e. Mendidik pemilih. Proses kampanye memberi pemilih banyak informasi, tentang partai, kandidat, kebijakan, rekam pemerintahan sekarang, sistem politik, dan sebagainya. f. Membangun legitimasi. Satu alasan mengapa rezim otoritarian pun susahsusah mengadakan pemilu, walau tidak kompetitif, adalah bahwa pemilu membantu menumbuhkan legitimasi dengan menyediakan justifikasi bagi sistem kekuasaan. g. Memperkuat elit. Pemilu juga dapat menjadi kendaraan bagi elit dengan memanipulasi dan mengendalikan massa. Beberapa fungsi sentral tersebut menunjukkan bahwa pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif, memiliki peran yang sangat penting di dalam negara demokrasi, dengan dukungan utama partai politik. Heywood (2002:239) menyatakan bahwa pemilu memberi publik kesempatan formal yang paling jelas untuk mempengaruhi proses politik, dan juga membantu, secara langsung maupun tak langsung, untuk menentukan siapa yang nantinya akan memegang kekuasaan pemerintahan. Tanpa partai politik dan pemilu, tidak akan ada negara demokratis, walau rezim yang berkuasa mengklaim dirinya demokratis. Dalam mengajukan orang-orang untuk duduk dalam pemerintahan, partai politik melaksanakan fungsi rekruitmen politik. Czudnowski (Pamungkas, 2011: 91) menyatakan bahwa rekruitmen politik adalah proses dimana individu atau kelompok individu dilibatkan dalam peran-peran politik aktif. Rekruitmen politik juga didefinisikan sebagai bagaimana kandidat potensial ditarik untuk bersaing di dalam jabatan publik, dan didalamnya ada proses seleksi kandidat, yaitu proses 11 bagaimana cara kandidat dipilih dari kumpulan kandidat potensial. Sementara itu, rekruitmen legislatif mengacu pada bagaimana kandidat dinominasikan oleh partai yang terpilih menjadi pejabat publik. Fungsi rekruitmen politik ini menjadi fungsi eksklusif partai politik dan tidak mungkin ditinggalkan partai politik (Pamungkas, 2011:1989). Rekruitmen politik menggambarkan perjuangan kekuasaan internal dari partai politik, politik yang berusaha dihadirkan partai politik, dan bagaimana sirkulasi elit terjadi. Untuk mendudukkan wakilnya di lembaga perwakilan rakyat, partai politik melakukan rekruitmen politik diantara kandidat potensial, kemudian mengajukan kandidat terpilih ke arena kontestasi pemilu legislatif. Para kandidat terpilih diajukan partai politik untuk bersaing dengan kandidat partai politik lain ke dalam arena persaingan politik di pemilu legislatif. Rekruitmen politik yang dilakukan partai politik di dalam proses kandidasi didasarkan pada berbagai pertimbangan, di antaranya: representasi demografis dan peran yang dimainkan dalam organisasi (Pamungkas, 2011:101-102). Siavelis dan Morgenstern (2008) menjelaskan tipe kandidat untuk rekruitmen legislatif, yaitu: loyalis partai (party loyalist), pelayan konstituen (constitutent servant), wirausaha (entrepreneur), dan delegasi kelompok (group delegate). Berikut ini adalah tabel mengenai karakteristik kandidat dalam rekruitmen legislatif menurut Siavelis dan Morgenstern (2008:20) 12 Tabel 1.1 Tipe Kandidat dalam Rekruitmen Legislatif Tipe Kandidat Loyalis Partai Pelayan Konstituen Gaya kampanye Menyanjung platform partai Tidak sering Memikat konstituen Orientasi Representasi Partai sebelum konstituen Konstituen sebelum partai Tipe Tujuan Pelayanan Kolektif, programatik, ideologis Propaganda dan barang publik untuk distrik Disipin legislatif, dukungan untuk presiden Tinggi Moderat, dapat diberi dengan target propaganda Pencari Suara Personal Sering Wirausahawan Delegasi Kelompok Personalistik Menyanjung permintaan kelompok Sering Berubah-ubah, tergantung kepentingan individu daripada kelompok Individualistik, peng- Fungsional, kelompok hargaan mendukung sebelum partai kelompok/individu Propaganda Keuntungan untuk partikularistik untuk kelompok menghargai pendukung Rendah, pemilihan Moderat, dapat dibeli kepentingan pribadi dengan penghargaan kelompok Sumber: Siavelis dan Morgenstern (2008:2) Tabel 1.2 menunjukkan bahwa tipe kandidat dalam rekruitmen legislatif dilihat dari lima aspek, yaitu gaya kampanye, pencari suara personal, orientasi representasi, tipe tujuan pelayanan, serta disiplin legislatif dan dukungan untuk presiden. Apabila seseorang menjadi anggota partai, selalu bergelut dengan urusan partai, dan terus berjuang demi kepentingan partai, dalam rekruitmen politik ia biasanya menjadi kandidat tipe loyalis partai. Ia memiliki gaya kampanye yang menyanjung platform partai, tidak sering mencari suara personal, mengutamakan orientasi representasi partai sebelum konstituen, mempunyai tipe tujuan pelayanan kolektif, dan memiliki disiplin legislatif serta dukungan bagi presiden yang tinggi. Siavelis (2002) menyatakan aliansi dan mitra koalisi mempengaruhi model seleksi kandidat. Kepuasan dalam menjalin aliansi dan mitra koalisi mendorong peran yang lebih besar bagi pemimpin partai dalam menentukan seleksi kandidat. Selain itu, perjuangan kekuasaan di antara faksi atau elit partai, ide/ideologi partai dan etos/budaya partai juga mempengaruhi seleksi kandidat partai. Perjuangan 13 ataupun tawar-menawar kekuasaan di antara elit atau faksi menjadikan terjadinya perubahan aturan seleksi kandidat. Faksi-faksi dalam partai politik sering muncul ke permukaan untuk memproteksi kepentingannya. Faksi-faksi itu berusaha untuk melindungi kepentingannya dalam proses politik ini (Pamungkas, 2011: 107). Hal ini menunjukkan bahwa proses rekruitmen politik maupun kandidasi bukan hanya dipengaruhi oleh partai politik dimana mereka berkecimpung melainkan juga oleh kekuatan pendukungnya, baik di dalam maupun di luar partai. Proses rekruitmen dan kandidasi yang telah dilakukan oleh partai mengharuskan kandidat terpilih untuk menentukan langkah selanjutnya. Keterpilihan dalam pemilu tidak bisa didapat dengan mudah, karena sejatinya pemilu merupakan arena kompetisi antar kandidat terpilih. Untuk itu masingmasing kandidat diharuskan memiliki strategi pemenangan serta membentuk tim sukses yang akan membantu mendongkrak suara mereka nantinya. 2. Strategi Pemenangan Kandidat Dalam upaya mencapai kemenangan berupa keterpilihan sebagai anggota legislatif, kandidat bersama tim suksesnya menerapkan berbagai strategi politik yang arahnya adalah mempersuasi massa agar mereka datang ketempat pemilu dan memilih wakil rakyatnya sesuai aspirasi dan kepentingan mereka. Strategi ini memberikan sejumlah manfaat melalui kegiatan taktik yang mampu membangun dan menciptakan kekuatan melalui kontinuitas serta konsistensi. Strategi merupakan turunan kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni strategos. Kata strategos dapat diartikan sebagai ―komandan militer‖ pada zaman demokrasi Athena. Pada awalnya istilah strategi digunakan dalam dunia militer yang 14 diterjemahkan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan. Sedangkan secara terminologi banyak ahli telah mengemukakan definisi strategi dengan sudut pandang yang berbeda – beda. Strategi hakikatnya adalah perencanaan dan manajemen untuk mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah usaha, melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya (Effendi, 1993). Menurut Mangkuprawira (2002), strategi adalah cara mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu dan strategi merupakan sebuah rencana permanen untuk sebuah kegiatan yang didalamnya termasuk formulasi tujuan dan kumpulan rencana kegiatan untuk memperkuat posisi dan daya saing dalam sebuah kompetisi. Sedangkan menurut Prihatmoko (2008), strategi adalah seni yang melibatkan kemampuan inteligensi atau pikiran untuk membawa semua sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan dengan memperoleh keuntungan maksimal dan efisien. Pada hakikatnya, strategi dalam komunikasi politik, termasuk dalam kasus pemenangan Pemilu, adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan pada saat ini guna mencapai tujuan politik pada masa depan. Justru merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan politiknya merupakan keputusan strategis yang paling tepat bagi komunikator politik untuk mencapai tujuan politik ke depan, terutama untuk memenangkan Pemilu (Arifin, 2011). Sehingga dalam strategi pemenangan kandidat lebih banyak menggunakan strategi politik untuk mendongkrak tingkat keterpilihan kandidat. 15 Peter schroder (2008), mendefinisikan bahwa strategi politik merupakan strategi yang digunakan untuk mewujudkan cita-cita politik. Strategi itu sendiri selalu memiliki tujuan yakni kemenangan. Kemenangan akan tetap menjadi fokus, baik tercermin dalam mandatnya, dalam perolehan suara, dalam sebuah kemenangan pemilu bagi kandidatnya atau dalam mayoritas bagi suatu peraturan. Strategi politik pemenangan Pemilu merupakan rencana yang sudah terolah dimana setiap orang membuat antisipasi bukan saja dalam serangan yang dilakukan, tetapi juga memberikaan jawaban atas lawannya dan alat untuk menyelesaikannya. Rencana perjuangan ini merupakan strategi, sedangkan unsurunsur yang berbeda yang ada didalamnya, tindakan melawan musuh dan jawaban terhadap reaksinya merupakan taktik. Dalam Pemilu, strategi politik sangat diperlukan demi tercapainya apa yang menjadi kepentingan elit yang diajukan sebagai kandidat. Strategi politik tersebut bertujuan mencapai kemenangan dalam Pemilu. Jadi, strategi politik pemenangan Pemilu adalah cara yang telah dipahami dan disusun terlebih dahulu dalam rangka merealisasikan cita-cita politik yang digunakan untuk perubahan jangka panjang. Strategi pemenangan Pemilu memiliki tujuan untuk mewujudkan segala rencana yang telah disusun, kemudian menjadi fokus utama dalam Pemilu. Fokus utama pemenangan Pemilu adalah perolehan suara terbanyak sebagai wujud kemenangan memperoleh kekuasaan dan kekuasaan inilah tujuan strategi pemenangan Pemilu. Untuk mencapai kemenangan dalam pemilu dibutuhkan strategi pemenangan yang disesuaikan dengan sistem dan culture masyarakat Indonesia. 16 Sistem proposional terbuka mengharuskan kandidat untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya, sehingga dalam satu partai pun akan saling berkompetisi. Untuk itu strategi yang harus dilakukan kandidat dan tim sukses adalah dengan memobilisasi massa sebanyak-banyaknya di dapil yang telah ditentukan. Selanjutnya strategi yang digunakan adalah memanfaatkan culture masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih melihat tokoh sebagai orang yang dipanuti dilingkungan masyarakat. Untuk itu strategi ketokohan adalah strategi yang paling tepat digunakan untuk menggalang massa dalam konteks masyarakat indonesia. a. Strategi Mobilisasi Massa Dalam konteks negara demokrasi, kandidasi seseorang agar dapat masuk ke dalam kekuasaan, termasuk di lembaga legislatif, difasilitasi oleh partai politik sebagai fungsi dari rekruitmen politik. Agar bisa menang dalam bursa pencalonan anggota legislatif, setiap kandidat harus memperoleh suara sebanyak-banyaknya, sehingga perlu diterapkan apa yang disebut strategi mobilisasi massa. Untuk memenangkan kandidat dalam Pemilu, strategi kandidat tidak dapat dilepaskan dari kegiatan mobilisasi massa yang dilakukan oleh partai politik yang ia perjuangkan. Dalam kasus ini, partai politik berperan sebagai instrumen penting mobilisasi massa guna mendukung kegiatan pemilu mengingat partai politik lebih berfungsi sebagai kendaraan aktor calon untuk menggapai tujuan-tujuan pemilu. Kegiatan mobilisasi massa untuk kepentingan pencalonan kandidat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh partai politik (Heywood, 2002:254). Partai politik sebagai instrumen mobilisasi massa akan aktif mempengaruhi pemilih pada suatu pencalonan. Partai politik yang kuat tentunya 17 akan mampu melakukan penetrasi teritorial sebagai bagian dari pengembangan cabang-cabang diluar induk dari organisasi partai (Duverger 1959:23). Keberhasilan partai politik untuk memiliki kelembagaan yang kuat dan mengakar ini berdampak pada dua hal, yaitu akan memperkuat stabilitas partai politik dalam menghadapi kompetisi kepartaian dan memperkuat kemampuan partai politik untuk mempertahankan sumber-sumber dukungan elektoralnya (Katz & Crotty 2006:206-207). Partai politik melalui cabang-cabangnya menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan pemenangan pemilu, seperti mengorganisasi kampanye dan merancang kemenangan di dalam pemilu. Partai politik ditempatkan sebagai instrumen utama yang mengendalikan mobilisasi massa dalam pencalonan kandidat. Wielhouwer menawarkan pendekatan yang sama sebagai instrumen politik yang digunakan partai untuk mendorong pemilih agar terlibat dalam aktivitas politik yang partisan, seperti memasang simbol-simbol partai, pawai, pertemuan, hadir dalam kampanye dan mempengaruhi pemilih lain (1999:178, 184). Aktivitas mobilisasi massa ini dibayangkan memberi dampak terhadap proses pembentukan sikap-sikap politik pemilih yang semula masih ragu-ragu atau belum menentukan sikap politik menjadi pemilih yang lebih partisan (2006: 330, 334). Wielhouwer menyatakan aktivitas mobilisasi massa untuk pencalonan dapat memanfaatkan aktivis partai politik dan pekerja kampanye yang tetap dikontrol partai. Mobilisasi massa dalam kandidasi dilakukan dan dikendalikan partai politik. Para pemilih potensial yang dikontak atau didekati aktivis partai atau pekerja yang bekerja 18 untuk calon bisa aktif terlibat dalam memasang atribut partai, menghadiri pawai kampanye, bekerja membantu partai dan mempengaruhi pemilih lain (1999:191). Melalui kegiatan mobilisasi massa yang diorganisir partai politik, massa bisa dipengaruhi menjadi pemilih partisan. Instrumen mobilisasi massa dianggap sebagai representasi otoritatif organisasi partai politik. Menurut Karp & Banducci, aktivitas mobilisasi massa pada semua sistem politik membutuhkan pelembagaan politik tertentu (2007:225). Makin kuat pelembagaan politik, makin kuat kapasitas organisasi partai politik untuk menggerakkan sumber-sumber dukungan elektoral. Kekuatan keorganisasian menentukan kemampuan partai politik untuk mengolah sumber daya partai dalam mendukung aktivitas mobilisasi massa kandidat secara mendalam. Jika tingkat pemilih cenderung rendah, strategi mobilisasi massa yang diterapkan bersifat mobilisasi massa murni. Mobilisasi massa ini bertujuan untuk menjangkau jumlah pemilih secara luas agar mereka tergerak untuk memberikan suara mereka. Strategi konversi umumnya dilakukan didalam sistem politik yang memiliki tingkat pemilih tinggi. Pada situasi tersebut partai politik hanya melakukan pendalaman pengaruh dengan menjalin kontak-kontak dengan pemilih potensial. Pemilih potensial ini diharapkan menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi pemilih lain. Strategi pemenangan kandidat dalam pemilu diterapkan agar pemilih bisa menjadi lebih partisan melalui jejaring sosial-politik. Sumber daya partai politik ini menjadikan partai politik mempunyai peluang untuk melakukan perluasan pengaruh politik sehingga menghasilkan pemilih partisan. Kemungkinan untuk menghasilkan pemilih partisan lebih mudah jika partai politik mampu mengolah 19 sumber daya kelembagaannya secara stabil dan kuat (Katz, Crotty 2006:206). Peluang untuk memperkokoh mobilisasi massa dapat dilakukan jika partai politik dapat memanfaatkan ‗struktur-struktur mobilisasi gerakan‘ (Carthy dan McAdam, dalam McAdam et al. 1997:145). ‗Struktur-struktur mobilisasi gerakan‘ ini bisa disejajarkan sebagai instrumen-instrumen mobilisasi massa yang berasal dari luar organisasi partai politik, seperti keluarga, jaringan kerja, serikat kerja, lembaga agama dan asosiasi sosial lainnya yang berafiliasi dengan partai politik. Instrumen sosial-politik non-partai politik ini dapat dipakai partai politik dalam membangun jaringan mobilisasi massa elektoral. Justru melalui ‗struktur-struktur mobilisasi gerakan‘, suatu partai politik dapat membangun jaringan-jaringan serta instrumen mobilisasi massa baru secara luas. Partai politik pun dapat berkolaborasi dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan budaya serta memanfaatkan kekuatankekuatan tersebut sebagai agen mobilisasi massa baru yang akan menguntungkan partai politik, termasuk dalam konteks jaringan agama, menggerakkan pemilih dari kalangan sosial-keagamaan. Feith (1999), misalnya, Feith mengungkapkan bagaimana partai-parai politik era 1950-an membangun jaringan elektoral dengan memanfaatkan basis sosial kepartaian. Basis sosial ini merupakan representasi sosiologis yang menjadi asal dari datangnya sumber dukungan bagi partai-partai politik. Melalui basis sosial inilah partai-partai politik melakukan kegiatan mobilisasi massa. b. Strategi Ketokohan Strategi pemenangan yang dilakukan oleh kandidat dan tim sukses dipengaruhi oleh partai politik di Indonesia yang bercorak partai massa. Corak 20 partai massa seperti ini mendorong partai politik untuk mendulang suara berbasis ketokohan yang bertujuan untuk menghadirkan massa sebesar-besarnya. Strategi ketokohan ini menekankan pada peran partai untuk melakukan kontak-kontak dengan tokoh pemilih potensial agar hadir memberikan suara mereka pada hari pemilihan (Wielhouwer 1999:180). Ketokohan dalam partai sering menjadi indikasi kemerosotan institusional partai politik jika partai politik dikelola secara personalistik (Katz & Crotty 2006). Personalisme politik dapat menjadi magnet yang memperkuat peran partai politik dalam melakukan mobilisasi massa pada aras akar rumput. Personalisme politik dalam jangka pendek mampu berkembang menjadi instrumen mobilisasi massa yang cukup efektif untuk menggerakkan perilaku politik pemilih. Kekuatan mobilisasi massa yang berpola pada personalisme politik ini seakan berada di atas organisasi partai politik namun tidak berarti personalisme politik ini melemahkan institusi partai politik. Dalam jangka pendek, institusi partai politik dapat diperkuat melalui instrumen-instrumen mobilisasi massa yang berpola personal. Personalisme tidak selalu memperlemah kemampuan mobilisasi massa elektoral suatu partai politik. 21 F. Kerangka Pikir Dengan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian tersebut, kerangka pikir penelitian ini dapat diilustrasikan dalam diagram berikut. PEMILIHAN LEGISLATIF Rekruitmen Politik oleh Partai Kandidasi Anggota Legislatif Keterpilihan Anggota Legislatif Strategi Pemenangan Kandidat Tim Sukses Kandidat 1. Mobilisasi Massa 2. Strategi Ketokohan Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian G. Definisi Konseptual Partai Politik Partai politik adalah organisasi politik yang berfungsi merekruit anggota di antara warga negara potensial, yang nantinya diajukan sebagai kandidat pejabat politik dan pemerintahan melalui mekanisme pemilu. Partai politik menjadi instrumen utama rakyat untuk berkompetisi dan mendapatkan kendali atas institusi-institusi politik. 22 Strategi Politik Strategi politik merupakan strategi yang digunakan untuk mewujudkan cita-cita politik. Strategi itu sendiri selalu memiliki tujuan yakni kemenangan. Kemenangan akan tetap menjadi fokus, baik tercermin dalam mandatnya, dalam perolehan suara, dalam sebuah kemenangan pemilu bagi kandidatnya atau dalam mayoritas bagi suatu peraturan. H. Definisi Operasional Partai Politik - Melakukan proses kandidasi Strategi Politik I. - Strategi Mobilisasi Massa - Strategi Ketokohan Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peneliti ingin menyingkapkan secara lebih mendalam strategi pemenangan pemilu, dalam hal ini strategi pemenangan yang dirumuskan dan diterapkan tim sukses Hanafi Rais dalam Pemilihan Legislatif di Indonesia tahun 2014. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Daerah Pemilihan DI Yogyakarta, meliputi Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. 23 3. Teknik Pengumpulan Data Ada dua jenis data diperlukan untuk menjawab pertanyaan dan mencapai tujuan penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan, sementara data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari berbagai literatur dan dokumen yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dengan beberapa teknik sebagai berikut: a. Wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu melakukan wawancara secara secara langsung dengan informan kunci, dengan mengajukan pada informan kunci pertanyaan-pertanyaan semi-terstruktur yang dipersiapkan sebelumnya sebagai pedoman umum bagi pengumpulan data yang relevan dengan topik penelitian. Informan kunci yang diwawancarai adalah Hanafi Rais selaku kandidat yang dimenangkan; tim sukses Hanafi Rais; ; pak Nazarrudin selaku ketua timses, mas Habibi selalu asisten Hanafi Rais, pengurus DPW PAN Yogyakarta yakni mas Santi Wibowo dan mbak Nur; ketua DPC Kabupaten Sleman yakni mas Niko, dan kandidat lain di internal PAN nomer urut 3 yakni Pak Budi Setyagraha. b. Penelusuran literatur dan dokumen yang berhubungan dengan pemenangan Hanafi Rais sebagai anggota legislatif periode 2014-2019. 4. Instrumen Penelitian Pada penelitian ini, instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, yang turun ke lapangan langsung untuk melakukan observasi dan wawancara mendalam de- 24 ngan informan kunci. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, peneliti akan dibantu menggunakan beberapa alat wawancara seperti daftar pertanyaan semiterstruktur sebagai panduan mengumpulkan data yang relevan dengan indikator variabel yang diteliti. Agar hasil wawancara bisa terekam secara baik dan peneliti mempunyai bukti telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber data, alat-alat wawancara berikut sangat diperlukan (Sugiyono, 2009). 1. Buku catatan, yang berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber data. Di era teknologi informasi seperti sekarang, alat mencatat ini dapat berupa komputer kecil, laptop, atau notebook, yang dapat digunakan untuk membantu mencatat data hasil wawancara. 2. Tape recorder, yang berfungsi untuk merekam semua percakapan atau pembicaraan. Penggunaan alat ini dalam wawancara perlu memberi tahu kepada informan apakah diperbolehkan atau tidak. Alat ini berguna untuk mendapatkan data penelitian secara lebih akurat. 3. Kamera, yang digunakan dalam memotret untuk mendapatkan gambargambar yang mengilustrasikan kondisi objek penelitian, terutama ketika peneliti sedang melakukan pembicaraan dengan informan/sumber data. Adanya foto ini dapat meningkatkan keterjaminan keabsahan penelitian, karena peneliti betul-betul melakukan pengumpulan data. 5. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan 25 pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain (Bogdan dan Biklen, dalam Moleong, 2009). Menurut Sugiyono (2009), analisis data adalah suatu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilah mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan, sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (2009), ketika wawancara dilakukan, peneliti telah melakukan analisis terhadap jawaban dari informan yang diwawancarai. Bila jawaban informan yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Aktivitas di dalam analisis data kualitatif ini dilakukan secara interaktif dan terus berlangsung sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenus. Analisis kualitatif dalam penelitian ini dilakukan melalui tiga alur kegiatan yang terjadi secara simultan: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, dengan ilustrasi sebagai berikut. a. Reduksi Data Reduksi data merupakan proses seleksi atau pemilihan, pemfokusan atau pemusatan perhatian dan penyederhanaan serta abstraksi data kasar yang ada pada catatan lapangan. Dengan kata lain, reduksi data sebagai bagian dari analisis ini mempertegas, memperpendek, memusatkan perhatian, membuang hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga hanya data yang terkait saja 26 yang akan digunakan untuk analisis dan disajikan secara tertulis. Proses ini terus berlangsung sepanjang pelaksanaan penelitian dimulai dari sebelum pengumpulan data, saat pengumpulan data, sampai saat hasil penelitian ini selesai ditulis. b. Penyajian Data Penyajian data merupakan kegiatan menyajikan informasi/data yang sudah disusun secara teratur sehingga informasi/data lapangan yang disampaikan secara tertulis mudah dilihat dan dimengerti dalam bentuk utuh dan komprehensif untuk menarik kesimpulan. Dalam penelitian ini, data disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Namun, yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. c. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan merupakan usaha menarik kesimpulan dari hal-hal yang ditemui dari pengumpulan data, reduksi data maupun penyajian data. Data yang diperoleh pertama dinilai berdasarkan klasifikasi data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dan mencapai tujuan penelitian. Dalam penelitian ini proses penarikan kesimpulan ini dilakukan dengan mengambil kesimpulan-kesimpulan awal yang sifatnya sementara dan kemudian mengubah kesimpulan-kesimpulan tersebut bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Akan tetapi, bila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti 27 kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data, maka kesimpulan yang pernah dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. J. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disajikan dengan sistematika penulisan sebagai berikut. Bab I : Pendahuluan. Bab ini memuat pendahuluan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Bab ini memaparkan tentang DPW PAN DIY, Struktur Tim Sukses, kiprah Hanafi Rais dalam kancah politik dan Kandidasi hanafi Rais dalam pemilu legislatif. Bab III: Strategi pemenangan Hanafi Rais dalam pemilu legislatif 2014. Bab ini membahas tentang strategi pemenangan yang diterapkan Hanafi Rais dalam Pemilu Legislatif 2014. Pembahasan di bab ini terdiri dari empat bagian, yaitu perjuangan Hanafi Rais ketika proses kandidasi;strategi pemenangan Hanafi Rais dalam Pemilu Legislatif 2014, yang terdiri dari strategi mobilisasi massa dan strategi ketokohan; faktor yang menghambat pemenangan Hanafi Rais sebagai anggota DPR RI 20142019; dan kemenangan yang akhirnya ia capai hingga berhasil menjadi anggota DPR RI dengan perolehan suara yang terbanyak di Dapil DI Yogyakarta dengan melibatkan kedua strategi pemenangan tersebut. Bab IV: Kesimpulan dan Implikasi Teoretis