ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H14094021 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN KRISMANTI TRI WAHYUNI. Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia (dibimbing oleh WIDYASTUTIK). Pembangunan telah mengalami perluasan makna, namun di dalamnya tetap menganggap pertumbuhan sebagai hal yang penting. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP potensial atau output nasional, yang menentukan tingkat standar hidup negara tersebut. Berdasarkan perbedaan pertumbuhan ekonomi, nilai PDRB provinsi yang bervariasi dan angka IPM yang masih beragam, pembangunan di Indonesia masih belum merata, yang mencerminkan adanya ketimpangan. Upaya mempercepat pembangunan regional dapat dilaksanakan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat produktivitasnya. Kegiatan ekonomi harus didukung oleh infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara berkesinambungan. Pertumbuhan potensi daerah akan mendorong proses pertukaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan memungkinkan bergeraknya perekonomian daerah sesuai dengan potensinya serta secara bersamasama menuju proses pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat sesuai dengan kemampuannya yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh serta besarnya kontribusi infrastruktur sosial dan ekonomi terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia. Produktivitas ekonomi diperoleh koefisien dari output per tenaga kerja yang diadopsi dari bentuk model pertumbuhan Solow, yang menghubungkan output dengan input faktor produksi. Kapital yang diteliti adalah investasi yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial. Analisis regresi data panel digunakan untuk melihat besarnya pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia. Infrastruktur yang diteliti meliputi: panjang jalan, energi listrik yang terjual, air bersih yang disalurkan dan sarana kesehatan yang diwakili dengan data jumlah rumah sakit dan puskesmas. Analisis dilakukan dengan menggunakan data 26 provinsi di Indonesia dan pada kurun waktu 13 tahun (1995 – 2007). Pendekatan dilakukan dengan model fixed effects menunjukkan hasil bahwa masing-masing infrastruktur memberikan pengaruh yang positif terhadap produktivitas ekonomi dengan tingkat elastisitas yang berbeda-beda, yaitu infrastruktur sarana kesehatan sebesar 0,65, energi listrik 0,08, panjang jalan 0,07 dan air bersih 0,05. Sarana kesehatan yang merupakan bagian dalam modal manusia yang vital bagi pembangunan, mempunyai tingkat elastisitas yang paling besar memengaruhi produktivitas ekonomi dimana setiap kenaikan 1 persen infrastruktur kesehatan akan meningkatkan produktivitas ekonomi sebesar 0,65 persen. ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H14094021 Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia Nama : Krismanti Tri Wahyuni NRP : H14094021 dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing W i d y a s t u t i k, M. S i. NIP. 19751105 200501 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003 Tanggal lulus: PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Oktober 2009 Krismanti Tri Wahyuni H14094021 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Krismanti Tri Wahyuni lahir pada tanggal 14 Oktober 1981 di Kulon Progo (Daerah Istimewa Yogyakarta). Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Kasman Nugroho dan Ibu Suyanti Magdalena. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 1 Pengasih pada tahun 1994, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 1 Pengasih pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 1 Wates, Kulon Progo dan lulus pada tahun 2000. Setelah tamat SMU, pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST) dan langsung ditempatkan untuk bekerja pada kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah selama lebih kurang 1 tahun. Kemudian penulis dimutasikan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah, yang merupakan wilayah pemekaran Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia” dengan baik. Infrastruktur merupakan investasi yang dilakukan pemerintah dan masih sangat penting ditingkatkan karena berdampak positif terhadap perekonomian. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian dengan topik ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penyusunan skripsi ini terutama kepada Ibu Widyastutik, M.Si., yang memberikan bimbingan baik teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni sebagai dosen penguji yang memberikan perbaikan-perbaikan skripsi ini. Namun kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini sepenuhnya tanggung jawab penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan saudarasaudara penulis yang memberikan dorongan sepenuhnya, juga kepada orang tua, kakak adik dan sahabat yang sudah penulis anggap sebagai keluarga serta temanteman yang memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga karya ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2009 Krismanti Tri Wahyuni H14094021 DAFTAR ISI I. II. III. DAFTAR ISI ……………………………………………...………… i DAFTAR TABEL …………………………………….…………….. iii DAFTAR GAMBAR …………………………………….…………. iv DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………... v PENDAHULUAN ……………………………………..……………. 1 1.1 Latar Belakang ……………………………….………………… 1 1.2 Perumusan Masalah ………………………….………………… 6 1.3 Tujuan Penelitian …………………………….………………… 7 1.4 Kegunaan Penelitian ………………………….………………... 7 TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….. 9 2.1 Tinjauan Teori …………………...……………………………... 9 2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi ……………………………..…… 9 2.1.2 Model Neoklasik Solow ……………….………………... 14 2.1.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ……………... 16 2.1.4 Produktivitas Ekonomi ………………………………….. 18 2.1.5 Infrastruktur ……………………………………………... 19 2.1.5.1 Infrastruktur Jalan ……………………………… 24 2.1.5.2 Infrastruktur Listrik ..…………………………… 25 2.1.5.3 Infrastruktur Air Bersih ………………………… 26 2.1.5.4 Infrastruktur Kesehatan ………………………… 28 2.1.6 Hubungan Antara Investasi Publik dengan Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................ 30 2.2 Penelitian Terdahulu …………………………………………… 32 2.3 Kerangka Pemikiran Operasional ……………………………… 36 METODOLOGI PENELITIAN …………………..……………….. 40 3.1 Jenis dan Sumber Data …………………………………………. 40 3.2 Analisis Regresi Data Panel ……………………………………. 41 3.2.1 Fixed Effect Model (FEM) …..…………………………. 43 ii IV. V. VI. 3.2.2 Random Effect Model (REM) …………………………. 48 3.2.3 Hausman Test ………………………………………….. 50 3.3 Model Penelitian Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi .............................................................. 51 3.4 Definisi Operasional …………………………………………… 53 GAMBARAN UMUM ……………………………………………… 58 4.1 Pertumbuhan Ekonomi …………………………………………. 58 4.2 Tenaga Kerja …………………………………………………… 61 4.3 Pembangunan Infrastruktur Jalan ................................................. 65 4.4 Pembangunan Infrastruktur Listrik .............................................. 67 4.5 Pembangunan Infrastruktur Air Bersih ........................................ 69 4.6 Pembangunan Infrastruktur Kesehatan ........................................ 72 PEMBAHASAN ................................................................................. 75 5.1 Pemilihan Metode Pendekatan dalam Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi ............................ 75 5.2 Pendugaan Model Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia ........................................... 76 5.3 Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia .................................................................. 77 PENUTUP .......................................................................................... 84 6.1 Kesimpulan .................................................................................. 84 6.2 Saran ............................................................................................ 84 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 86 LAMPIRAN ....................................................................................... 88 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa serta Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007……………………. 3 3.1 Data yang Digunakan dalam Penelitian Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi Indonesia, Tahun 1995 – 2007………………………………………... 40 4.1 Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Provinsi, Tahun 1996 – 2007 (%) .................................................................................... 60 5.1 Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia …………………………………. 78 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 2.1 Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi.…………… 20 2.2 Kerangka Pemikiran Operasional ………….................................... 38 4.1 Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 1996 – 2007 (%) 59 Bagan Tenaga Kerja, Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja Menurut Konsep Labour Force Approach ........................................ 62 4.3 Jumlah Tenaga Kerja Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (Juta Jiwa) ..... 63 4.4 Jumlah Tenaga Kerja Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Juta Jiwa) .......................................................................................... 64 Persentase Panjang Jalan Menurut Kualitasnya di Indonesia, Tahun 2007 (%) ............................................................................................ 65 Panjang Jalan Baik dan Sedang Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Km) ......................................................................................... 66 Energi Listrik yang Terjual di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (GWh) ................................................................................................ 68 Energi Listrik yang Terjual di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (GWh) ....................................................................................... 69 Persentase Pertumbuhan Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia, Tahun 1996 – 2007 ......................................... 70 4.10 Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (m3) ................................................................... 71 4.11 Persentase Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia, Tahun 2007 (%) ................................................................................. 72 4.12 Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Unit) .............................................................. 74 4.2 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1 2 3 4 5 Halaman PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi dan Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007 ………………………………. 89 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Peringkat Menurut Provinsi Serta Reduksi Shortfall-nya, Tahun 2006 – 2007 …………. 90 Uji Chow pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 ........................................ 91 Uji Hausman pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 .................. 94 Hasil Pengolahan Eviews dengan Metode Fixed Effect ...................... 98 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Walaupun banyak kritik terhadap pembangunan Indonesia, harus diakui bahwa perjalanan bangsa Indonesia selama 64 tahun dalam mengisi kemerdekaan telah memberikan nilai tambah yang sangat signifikan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Kapasitas dari sebuah perekonomian nasional Indonesia diukur dengan GDP (Gross Domestic Product) telah mampu dinaikkan menjadi 4.954,03 trilyun rupiah dan dengan pertumbuhan mencapai 6,06 persen pada tahun 2008. Demikian juga indeks ekonomi lainnya yang juga sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan yaitu tingkat pertumbuhan GDP per kapita pada tahun yang sama telah mencapai 21,70 juta rupiah. Angka ini mengukur kemampuan suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduknya (BPS, 2009). Pembangunan telah mengalami perluasan makna, namun di dalamnya tetap menganggap pertumbuhan sebagai point yang penting. Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004), pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP potensial atau output nasional negara, yang menentukan tingkat standar hidup negara tersebut. Pembangunan secara luas dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang meliputi berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta 2 pengentasan kemiskinan. Guna mencapai sasaran yang diinginkan dalam pembangunan, maka pembangunan suatu negara dapat diarahkan pada tiga hal pokok, yaitu: meningkatkan ketersediaan dan distribusi kebutuhan pokok bagi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengakses baik kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial dalam kehidupannya (Todaro dan Smith, 2006). Pembangunan Indonesia memang telah mencapai pertumbuhan yang meningkat, namun jika dilihat dari tingkat pemerataannya, masih menunjukkan ketimpangan. Beberapa provinsi yang pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto-nya masih di bawah 5 persen, menjadi salah satu realitas terciptanya kesenjangan/disparitas antar daerah dan antar kawasan (Lampiran 1). Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masing-masing daerah. Fakta adanya disparitas tersebut tercermin dalam kesenjangan kinerja pembangunan perekonomian dan kesenjangan kinerja pembangunan antar provinsi di Indonesia. Berdasarkan Tabel 1.1, terlihat adanya fenomena disparitas perekonomian di Indonesia, dimana terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa. Pulau yang luasnya hanya mencapai 6,95 persen dari luas Indonesia ini mendominasi pendapatan nasional sebesar 60,25 persen pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 60,57 persen pada tahun 2007. Sementara itu wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa yang terbagi menjadi 27 provinsi pada tahun 2007 (setelah terjadi pemekaran provinsi) hanya mampu berproduksi tidak lebih dari 40 persen. 3 Dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan luar Pulau Jawa, ketimpangan pembangunan akan semakin melebar. Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa serta Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007 No (1) Uraian PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Juta Rupiah) 2006 2007 (3) (4) (2) 1 Pulau Jawa 2 Luar Pulau Jawa 1.071.135.143 1.137.224.181 706.800.621 740.409.944 Pertumbuhan (%) (5) 6,17 4,76 Sumber: BPS, 2006 dan 2007 (diolah) Seperti halnya jika pembangunan dilihat secara ekonomi, pembangunan manusia secara keseluruhan menunjukkan indikasi masih terdapat disparitas antar wilayah, yaitu dengan membandingkan nilai IPM provinsi di Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan untuk menganalisis perbandingan status pembangunan sosial ekonomi secara sistematis dan komprehensif dalam ukuran indeks. Luasnya cakupan pembangunan manusia menjadikan peningkatan IPM sebagai manifestasi dari pembangunan manusia dapat ditafsirkan sebagai keberhasilan dalam meningkatkan kemampuan dalam memperluas pilihan-pilihan (enlarging the choices of the people). Dalam ukuran ini diungkapkan bahwa suatu wilayah dapat berbuat jauh lebih baik dalam pembangunan manusia sekalipun mempunyai pendapatan (kondisi ekonomi) yang rendah, karena pengukuran indeks ini juga menekankan pada aspek pendidikan dan kesehatan (BPS, Bappenas dan UNDP Indonesia, 2004). 4 Perkembangan IPM di Indonesia menunjukkan suatu peningkatan, yang berarti memberikan indikasi bahwa terjadi peningkatan kinerja pembangunan manusia. Capaian angka IPM akan menentukan urutan (ranking) antar daerah. Namun keberhasilan pembangunan manusia di suatu daerah tidak mutlak dilihat dari posisi (ranking), tetapi juga dilihat berdasarkan besaran nilai reduksi shortfall. Rata-rata nilai IPM untuk nasional mencapai 70,59 pada tahun 2007, meningkat dari tahun 2006 sebesar 70,10. Angka ini menutupi variasi nilai IPM antar provinsi yang beragam dan tidak merata (Lampiran 2). Perbedaan capaian antara IPM yang tertinggi dan terendah sebesar 13,2 poin, dengan rentang 63,41 untuk Papua dan 76,59 untuk DKI Jakarta. Dibandingkan dengan perbedaan pencapaian IPM provinsi tahun 2006 yang mencapai 13,6 poin, maka perbedaan tahun 2007 relatif lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan IPM provinsi cenderung melambat. Kecepatan pembangunan manusia dilihat dengan ukuran reduksi shortfall (BPS, 2008). Ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan ini bila dibiarkan berlangsung bisa memperlebar tingkat kesenjangan dalam masyarakat sehingga tujuan pembangunan yang adil dan merata terancam tidak tercapai. Ketimpangan juga menimbulkan kerawanan ekonomi dan beban sosial yang tinggi karena orang miskin terlilit dalam lingkaran setan kemiskinan sehingga menurunkan generasi yang miskin pula. Sementara itu orang kaya akan menjadi semakin kaya jika ketimpangan yang berkelanjutan ini tidak diantisipasi. Menurut Todaro dan Smith (2006), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, 5 semakin timpang distribusi pendapatan di suatu negara akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pendapatan antar daerah tergantung dari besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap penerima pendapatan dalam daerah tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima itu menimbulkan suatu distribusi pendapatan yang berbeda. Menurut Nurkse dalam Jhingan (2008), faktor utama dalam pembangunan ekonomi adalah pembentukan atau pengumpulan modal. Tujuan pokok pembangunan ekonomi ialah untuk membangun peralatan modal dalam skala yang cukup untuk meningkatkan produktivitas di bidang pertanian, pertambangan, perkebunan dan industri. Modal juga diperlukan untuk mendirikan sekolah, rumah sakit, jalan raya, kereta api, dan sebagainya. Singkatnya, hakikat pembangunan ekonomi adalah penciptaan overhead sosial dan ekonomi. Hal ini hanya mungkin jika laju pembentukan modal di dalam negeri cukup cepat, yaitu jika bagian dari pendapatan atau output masyarakat yang ada, hanya sedikit saja yang dipergunakan untuk konsumsi dan sisanya ditabung dan diinvestasikan dalam peralatan modal. Pembentukan modal dalam prakteknya dilaksanakan oleh pihak swasta dan juga pemerintah. Investasi sarana dan prasarana infrastruktur biasanya dilakukan oleh pemerintah, hanya sebagaian yang sangat kecil saja yang dilakukan oleh pihak swasta. Peningkatan prasarana infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pembangunan ekonomi karena kegiatan perekonomian akan lebih efisien. Oleh karena itu, dalam upaya pembangunan ekonomi, diperlukan analisis produktivitas ekonomi yang telah 6 dicapai dan peranan infrastruktur yang mendukung keberhasilan pembangunan tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi masih terjadi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pertumbuhan ekonomi, nilai PDRB provinsi yang bervariasi dan angka IPM yang masih beragam. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan Indonesia masih belum merata. Fakta dan indikasi ini perlu mendapat perhatian agar upaya pembangunan ekonomi di Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Upaya mempercepat pembangunan regional dapat dilaksanakan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat produktivitasnya. Efisensi dalam kegiatan ekonomi harus didukung oleh infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara berkesinambungan. Pertumbuhan potensi daerah akan mendorong proses pertukaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan memungkinkan bergeraknya perekonomian daerah sesuai dengan potensinya serta secara bersamasama menuju proses pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat sesuai dengan kemampuannya yang optimal. Walaupun kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia telah berlangsung cukup lama dengan biaya yang cukup besar dan kontribusinya dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi cukup signifikan, namun masih banyak masalah yang dihadapi beberapa wilayah di Indonesia, antara lain perencanaan 7 yang lemah, kuantitas yang belum mencukupi dan kualitas yang masih rendah (Ikhsan, 2004). Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh infrastruktur ekonomi dan sosial terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia? 2. Seberapa besar pengaruh infrastruktur ekonomi dan sosial terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia. 2. Menganalisis besarnya pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia dilihat menurut jenis infrastruktur yang diteliti. 1.4. Kegunaan Penelitian Secara umum penelitian ini berguna untuk: pertama, memberikan informasi dan gambaran mengenai dinamika pembangunan ekonomi di Indonesia baik dilihat dari nilai PDRB-nya maupun pertumbuhan ekonominya; kedua, memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah yang terkait dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia guna peningkatan pembangunan ekonomi yang dianalisis melalui produktivitas dalam kegiatan ekonomi; ketiga, memberi 8 informasi seberapa besar pengaruh setiap jenis infrastruktur yang perlu disediakan dalam meningkatkan produktivitas ekonomi di Indonesia, dan keempat, dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian yang akan datang, khususnya penelitian yang terkait dengan produktivitas ekonomi dan infrastruktur. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Kuznets dalam Jhingan (2008) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, yang tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Definisi ini memiliki tiga komponen, yaitu: pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terusmenerus persediaan barang; kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduknya; ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara tepat. Sementara itu Todaro dan Smith (2006) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu: 10 1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2. Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja. 3. Kemajuan teknologi. Akumulasi modal akan diperoleh bila sebagian dari pendapatan yang diterima oleh masyarakat tersebut ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan meningkatkan output dan pendapatan di masa depan. Akumulasi modal ini dapat dilakukan dengan investasi langsung terhadap stok modal secara fisik (pengadaan pabrik baru, mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku) dan dapat juga dilakukan dengan investasi terhadap fasilitas-fasilitas penunjang seperti investasi infrastruktur, ekonomi dan sosial (pembangunan jalan raya, penyediaan listrik, air bersih, dan sebagainya). Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja, secara tradisional dianggap sebagai sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga kerja produktif, walaupun hal ini tergantung kepada kemampuan sistem perekonomian untuk menyerap dan memekerjakan secara produktif tambahan tenaga kerja tersebut. Selanjutnya, pertumbuhan penduduk yang besar berarti menambah ukuran pasar domestik menjadi lebih besar. Komponen kemajuan teknologi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang paling penting. Perkembangan teknologi merupakan dasar atau prakondisi 11 bagi berlangsungnya suatu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan. Dalam bentuk yang paling sederhana, kemajuan teknologi dihasilkan dari pengembangan cara-cara lama atau penemuan metode baru dalam menyelesaikan tugas-tugas tradisional. Sukirno (2004) menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Oleh karena itu faktor perting dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi disebutkan sebagai beriktut: 1. Tanah dan kekayaan alam lainnya. Kekayaan alam suatu negara meliputi luas dan kesuburan tanah, keadaan iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hutan dan hasil laut, serta jumlah dan jenis kekayaan barang tambang yang terdapat di dalamnya. 2. Jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja. Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi pendorong maupun penghambat perkembangan ekonomi. 3. Barang-barang modal dan tingkat teknologi. Barang-barang modal yang bertambah dan teknologi yang modern memegang peranan penting dalam mewujudkan kemajuan ekonomi. 4. Sistem ekonomi dan sikap masyarakat. Adat istiadat yang tradisional dapat menjadi penghambat pembangunan. 12 Selanjutnya Jhingan (2008) menyebutkan bahwa proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor yaitu faktor ekonomi dan nonekonomi. Faktor ekonomi terdiri dari faktor produksi yang dipandang sebagai kekuatan utama yang memengaruhi pertumbuhan. Diantaranya adalah: 1. Sumber alam, yang mencakup kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya. 2. Akumulasi modal, yang berarti mengadakan persediaan faktor produksi yang secara fisik dapat direproduksi. Proses pembentukan modal bersifat kumulatif dan membiayai diri sendiri serta mencakup tiga tahap yang saling berkaitan, yaitu: (a) Keberadaan tabungan nyata dan kenaikannya, (b) Keberadaan lembaga keuangan dan kredit untuk menggalakkan tabungan dan menyalurkannya ke jalur yang dikehendaki, (c) Menggunakan tabungan untuk investasi barang modal. 3. Organisasi, yang terdiri dari para wiraswastawan (pengusaha) dan pemerintah, yang melengkapi (komplemen) modal, buruh dan yang membantu produktivitasnya, termasuk dalam menyelenggarakan overhead sosial dan ekonomi. 4. Kemajuan teknologi, yang berkaitan dengan perubahan di dalam metode produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil dari teknik penelitian baru sehingga menaikkan produktivitas buruh, modal dan faktor produksi lainnya. 13 5. Pembagian kerja dan skala produksi, yang menimbulkan peningkatan produktivitas. Sedangkan faktor nonekonomi yang memengaruhi kemajuan perekonomian antara lain: 1. Faktor sosial dan budaya, yang menghasilkan perubahan pandangan, harapan, struktur dan nilai-nilai sosial. 2. Faktor sumber daya manusia, yang disebut sebagai “pembentukan modal insani” yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seluruh penduduk, termasuk di dalamnya aspek kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial lainnya. 3. Faktor politik dan administratif, termasuk pemerintahan yang baik dengan menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat. Uraian tersebut menunjukkan bahwa dengan berbagai pendapat, pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan faktor terpenting dalam pembangunan. Keberhasilan pembangunan suatu negara diukur berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya. Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan menghitung peningkatan persentase dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara/wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi selama periode tertentu. Oleh karena itu, tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara/wilayah dapat diperoleh melalui tingkat pertumbuhan nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). Indeks 14 pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut : LPit = PDRBit − PDRBi (t −1) PDRBi ( t −1) × 100% .............................(2.1) Dimana: LP = laju pertumbuhan ekonomi i = sektor 1,2,…9 t = tahun t 2.1.2. Model Neoklasik Solow Model pertumbuhan Solow merupakan pilar yang sangat memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Model ini memungkinkan analisis pertumbuhan ekonomi secara dinamis, menjelaskan mengapa pendapatan nasional tumbuh dan mengapa sebagian perekonomian tumbuh lebih cepat dibandingkan yang lainnya serta menjelaskan perubahan-perubahan dalam perekonomian sepanjang waktu. Secara ekonomi, model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007). Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan (growth equation). Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang 15 terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale). Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dan tinggi rendahnya pertumbuhan itu diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (Todaro dan Smith, 2006). Jhingan (2008) mengemukakan asumsi-asumsi dalam model Solow sebagai berikut: 1. Ada satu komoditi gabungan yang diproduksi. 2. Yang dimaksud output ialah output netto yaitu sesudah dikurangi biaya penyusutan modal. 3. Return to scale bersifat konstan (fungsi produksi homogen pada derajat pertama). 4. Dua faktor produksi tenaga kerja dan modal dibayar sesuai dengan produktivitas fisik marjinalnya. 5. Harga dan upah fleksibel. 6. Tenaga kerja terpekerjakan secara penuh. 7. Stok modal yang ada juga terpekerjakan secara penuh. 8. Tenaga kerja dan modal dapat disubstitusikan satu sama lain. 9. Kemajuan teknologi bersifat netral. Dengan menganggap bahwa fungsi produksi adalah dalam bentuk CobbDouglas, maka model pertumbuhan neoklasik Solow dapat ditulis: Y = AK α L1−α .............................(2.2) 16 dimana: Y : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), A : tingkat kemajuan teknologi, yang menentukan produktivitas tenaga kerja dan pertumbuhannya ditentukan oleh variabel eksogen, K : stok modal fisik dan modal manusia, L : tenaga kerja, α : elastisitas output terhadap modal (persentase kenaikan PDRB yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia). Pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Berdasarkan model pertumbuhan ini, disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh kemajuan teknologi, penambahan modal atau investasi dan tenaga kerja. 2.1.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Seperti dikemukakan di atas, PDRB merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. Penghitungan angka-angka PDRB dapat menggunakan tiga pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Produksi PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). 17 2. Pendekatan Pendapatan PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). 3. Pendekatan Pengeluaran PDRB adalah semua komponen permintaan akhir dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), yang dirinci sebagai berikut: (a) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba, (b) konsumsi pemerintah, (c) pembentukan modal tetap domestik bruto, (d) perubahan stok, dan (e) ekspor neto. Penghitungan PDRB dibedakan menjadi dua yaitu PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). PDRB Atas Dasar memungkinkan Harga dapat Berlaku (ADHB) dinikmati oleh menunjukkan penduduk pendapatan suatu daerah yang serta menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun yang bersangkutan. Angka ini digunakan untuk menganalisis pola atau struktur ekonomi di wilayah tersebut. Sedangkan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) menggambarkan perkembangan produksi riil barang dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi daerah tersebut. Angka ini digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. 18 Tingkat pertumbuhan PDRB dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur pertumbuhan ekonomi karena: 1. PDRB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas produksi di dalam perekonomian. Hal ini berarti peningkatan PDRB juga mencerminkan balas jasa kepada faktor produksi yang digunakan dalam aktivitas produksi tersebut. 2. PDRB dihitung atas dasar konsep aliran (flow concept), artinya perhitungan PDRB hanya mencakup nilai produk yang dihasilkan pada satu periode tertentu. Perhitungan ini tidak mencakup nilai produk yang dihasilkan pada periode sebelumnya. Pemanfaatan konsep aliran guna menghitung PDRB yakni untuk membandingkan jumlah nilai tambah yang dihasilkan pada tahun ini dengan tahun sebelumnya. 3. Batas wilayah perhitungan PDRB adalah wilayah domestik. Hal ini memungkinkan kita untuk mengukur sejauh mana kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah mampu mendorong aktivitas perekonomian domestik. 2.1.4. Produktivitas Ekonomi Menurut Kuznets dalam Jhingan (2008), laju kenaikan produktivitas dapat menjelaskan hampir keseluruhan pertumbuhan produk per kapita di negara maju. Pertumbuhan ekonomi modern terlihat dari semakin meningkatnya laju produk per kapita terutama sebagai akibat adanya perbaikan kualitas input yang meningkatkan efisiensi atau produktivitas per unit input. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya masukan sumber tenaga kerja dan modal atau semakin meningkatnya 19 efisiensi. Untuk melihat produktivitas ekonomi tidak dapat dilepaskan dari konsep fungsi produksi yang merupakan konsep sistematis yang menghubungkan output dengan berbagai kombinasi input faktor produksi (sementara tingkat kemajuan teknologi dianggap sebagai faktor yang konstan) untuk menjelaskan cara penduduk menyediakan kebutuhannya (Todaro dan Smith, 2006). Jumlah ouput/produk barang dan jasa dalam perekonomian di suatu wilayah telah diuraikan dengan menghitung besarnya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Selanjutnya tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi yang berperan dalam proses produksi, merupakan populasi orang yang bekerja dalam angkatan kerja pada periode tertentu. 2.1.5. Infrastruktur Menurut Setyaningrum (1997), infrastruktur adalah bagian dari capital stock dari suatu negara, yaitu biaya tetap sosial yang langsung mendukung produksi. Stone dalam Kodoatie (2003) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitasfasilitas fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk memfasilitasi tujuantujuan ekonomi dan sosial. Infrastruktur merupakan input penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi yang akan menciptakan output dan kesempatan kerja, namun keberadaan infrastruktur juga 20 memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya. Pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dinyatakan oleh Cicilia dalam Sibarani (2002) seperti pada Gambar 2.2. Infrastruktur Pendapatan Rumah Tangga Peningkatan Kesejahteraan Pendapatan Dunia Usaha Pengembangan Pasar Penurunan Biaya Pertumbuhan Ekonomi Sumber: Cicilia dalam Sibarani (2002) Gambar 2.1. Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sementara itu The World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi final, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public work (jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi dan 21 drainase) serta sektor transportasi (jalan, rel kereta api, angkutan pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat, meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit dan pusat kesehatan), perumahan dan rekreasi (taman, museum dan lain-lain). 3. Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi serta kebudayaan. Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun dalam penyediaannya pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Perbedaan antara infrastruktur dasar dan pelengkap tidaklah selalu sama dan dapat berubah menurut waktu. Misalnya pengadaan air minum yang dulunya digolongkan sebagai infrastruktur pelengkap, sekarang digolongkan sebagai 22 infrastruktur dasar. Fasilitas infrastruktur bukan hanya berfungsi melayani berbagai kepentingan umum tetapi juga memegang peranan penting pada kegiatan-kegiatan swasta di bidang ekonomi. Kebutuhan prasarana merupakan pilihan (preference), dimana tidak ada standar umum untuk menentukan berapa besarnya fasilitas yang tepat di suatu daerah atau populasi. Edwin (1998) menguraikan prasarana umum yang diambil dari Catanese (1992), terdiri dari kategori-kategori dalam fasilitas pelayanan dan fasilitas produksi. Fasilitas pelayanan meliputi kategori-kategori sebagai berikut: 1. Pendidikan, berupa Sekolah Dasar, SMP, SMA dan perpustakaan umum. 2. Kesehatan, berupa rumah sakit, rumah perawatan, fasilitas pemeriksaan oleh dokter keliling, fasilitas perawatan gigi dengan mobil keliling, fasilitas kesehatan mental dengan mobil keliling, rumah yatim piatu, perawatan penderita gangguan emosi, perawatan pecandu alkohol dan obat bius, perawatan penderita cacat fisik dan mental, rumah buta dan tuli, serta mobil ambulans. 3. Transportasi, berupa jaringan rel kereta api, bandar udara dan fasilitas yang berkaitan, jalan raya dan jembatan di dalam kota dan antar kota serta terminal penumpang. 4. Kehakiman, berupa fasilitas penegakan hukum dan penjara. 5. Rekreasi, berupa fasilitas rekreasi masyarakat dan olahraga. Sedangkan fasilitas produksi meliputi kategori-kategori: 1. Energi, yaitu penyuplai energi langsung. 23 2. Pemadam kebakaran, berupa stasiun pemadam kebakaran, mobil pemadam kebakaran, sistem komunikasi, suplai air dan penyimpanan air. 3. Sampah padat, berupa fasilitas pengumpulan dan peralatan sampah padat dan lokasi pembuangannya. 4. Telekomunikasi, berupa televisi kabel, televisi udara, telepon kabel dan kesiagaan menghadapi bencana alam. 5. Air limbah, berupa waduk dan sistem saluran air limbah, sistem pengolahan dan pembuangannya. 6. Air bersih, berupa sistem suplai untuk masyarakat, fasilitas penyimpanan, pengolahan dan penyalurannya, lokasi sumur dan tangki air di bawah tanah. Dengan melihat jenis-jenis infrastruktur yang banyak berhubungan dengan masyarakat, peranan pemerintah sangat penting dalam penyediaannya. Walaupun pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh pihak swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar. Pemerintah sebagai pemain utama dalam penyediaan infrastruktur selayaknya menjaga kesinambungan investasi pembangunan infrastruktur dan memrioritaskan infrastruktur dalam rencana pembangunan nasional, sehingga infrastruktur dapat dibenahi baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu perlu pendekatan yang lebih terpadu dalam pembangunan infrastruktur guna menjamin sinergi antar sektor dan wilayah (Bulohlabna, 2008). 24 2.1.5.1.Infrastruktur Jalan Infrastruktur jalan sebagai salah satu infrastruktur pengangkutan berperan dalam merangsang pertumbuhan ekonomi karena ketersediaan jalan akan meminimalkan modal komplementer sehingga proses produksi dan distribusi akan lebih efisien. Pembangunan prasarana jalan turut akan meningkatkan pertumbuhan wilayah-wilayah baru dengan meningkatnya volume lalu lintas. Sebaiknya prasarana jalan yang buruk dan rusak akan menghambat alokasi sumber daya, pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan. Ikhsan (2004) mengemukakan bahwa jalan raya akan memengaruhi biaya variabel dan biaya tetap. Jika infrastruktur harus dibangun sendiri oleh sektor swasta, maka biaya akan meningkat secara signifikan dan menyebabkan cost of entry untuk suatu kegiatan ekonomi menjadi sangat mahal sehingga kegiatankegiatan ekonomi yang sebetulnya secara potensial mempunyai keunggulan komparatif menjadi tidak bisa terealisasikan karena ketiadaan infrastruktur. Lebih jauh lagi infrastruktur sangat berpengaruh terhadap biaya marketing. Sebagai contoh adanya pembukaan dan peningkatan jalan di Sulawesi tidak hanya menurunkan biaya transportasi, namun juga menjadi faktor penting dalam memperkuat bargaining power dari petani coklat. Akibatnya, margin yang diterima petani coklat meningkat dari sekitar 62 persen pada tahun 1980-an menjadi sekitar 90 persen setelah tersedianya Jalan Trans Sulawesi. Queiroz dalam Sibarani (2002) juga menunjukkan adanya hubungan yang konsisten dan signifikan antara pendapatan dengan panjang jalan. Negara 25 berpenghasilan lebih dari US$ 6.000/kapita mempunyai rasio panjang jalan ± 10.110 km/1 juta penduduk, sedangkan negara berpenghasilan US$ 545 - US$ 6.000/kapita mempunyai rasio panjang jalan ± 1.660 km/1 juta penduduk dan negara berpenghasilan kurang dari US$ 545/kapita mempunyai rasio panjang jalan ± 170 km/1 juta penduduk. Jika data tersebut dibandingkan, negara yang berpenghasilan tinggi mempunyai panjang jalan 59 kali lipat dibandingkan dengan negara berpenghasilan rendah. 2.1.5.2.Infrastruktur Listrik Dengan semakin majunya suatu wilayah, kebutuhan akan listrik menjadi tuntutan primer yang harus dipenuhi, tidak hanya untuk rumah tangga namun juga untuk kegiatan ekonomi terutama industri. Dalam kehidupan masyarakat yang semakin modern, semakin banyak peralatan rumah tangga, peralatan kantor serta aktivitas-aktivitas masyarakat yang mengandalkan sumber energi dari listrik. Peningkatan kegiatan ekonomi dalam produksi dan investasi juga membutuhkan listrik yang memadai. Oleh karena itu permintaan listrik meningkat dari tahun ke tahun baik dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Sementara sebagian lagi masih disuplai oleh perusahaanperusahaan non PLN. Sampai dengan tahun 2007, belum semua wilayah di Indonesia telah tersambung dalam jaringan PLN. Oleh karena itu, sebagian masyarakat mengusahakannya secara swasembada yaitu melalui perusahaan non PLN yang dikelola Pemda, koperasi maupun perusahaan swasta lainnya. 26 2.1.5.3.Infrastruktur Air Bersih Air bersih merupakan kebutuhan vital yang mutlak diperlukan dalam kehidupan manusia sehingga pengadaan sumber daya ini termasuk dalam prioritas pembangunan. Pengalokasian air bersih yang efisien harus didasarkan pada sifat zat cair yang mudah mengalir, menguap, meresap dan keluar melalui suatu media tertentu. Karakteristik sumber daya air dikemukakan oleh Anwar dalam Oktavianus (2003), yaitu: 1. Mobilitas air, menyebabkan sulitnya penegasan hak-hak (property right) atas sumber daya air secara ekslusif agar dapat menjadi komoditas ekonomi yang dapat dipertukarkan dalam sistem ekonomi pasar. 2. Sifat skala ekonomi yang melekat, menyebabkan penawaran air bersifat monopoli alami (natural monopoly), dimana semakin besar jumlah air yang ditawarkan, maka biaya per satuan yang ditanggung produsennya semakin murah. 3. Sifat penawaran air dapat berubah-ubah menurut waktu, ruang dan kualitasnya sehingga penyaluran air dalam keadaan kekeringan hebat dan banjir biasanya hanya dapat ditangani oleh pemerintah untuk kepentingan umum. 4. Kapasitas daya asimilasi dari badan air (water bodies) yang dapat melarutkan dan menyerap zat-zat tertentu selama daya dukungnya tidak melampaui, sehingga komoditas air dapat dimasukkan dalam barang umum (public good) dalam upaya mengurangi pencemaran lingkungan atas air bersih. 27 5. Penggunaan air bisa dilakukan secara beruntun ketika air mengalir dari suatu daerah aliran sungai (DAS) sampai ke laut, yang dapat menyebabkan perubahan kuantitas dan kualitasnya. 6. Penggunaan yang serba guna (multiple use). 7. Berbobot besar dan memakan tempat (bulkiness) sehingga biaya transportasinya menjadi mahal. 8. Nilai kultur masyarakat yang menganggap bahwa sumber daya air sebagai anugerah dari Tuhan, dapat menjadi kendala dalam pendistribusiannya secara komersial. Penggunaan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu kebutuhan domestik, irigasi pertanian dan industri. Kebutuhan domestik untuk masyarakat akan meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk baik di perkotaan maupun pedesaan. Air untuk keperluan irigasi pertanian juga terus meningkat dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Demikian juga dalam bidang industri, yang kian mengalami peningkatan karena struktur perekonomian yang mengarah pada industrialisasi. Air harus mendapatkannya dipandang memerlukan sebagai barang pengorbanan ekonomi baik waktu sehingga untuk maupun biaya. Sebagaimana barang ekonomi lainnya, air mempunyai nilai bagi penggunanya, yaitu jumlah maksimum yang bersedia dibayarkan untuk penggunaan sumber daya tersebut, dimana pengguna akan menggunakan air selama manfaat dari tambahan setiap kubik air yang digunakan melebihi biaya yang dikeluarkan 28 (Briscoe dalam Oktavianus, 2003). Industrialisasi yang meluas membutuhkan investasi yang besar untuk menjaga tingkat penyediaan air dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan air bersih secara kontinyu terus meningkat dari tahun ke tahun. Infrastruktur air bersih merupakan salah satu bagian penting dalam infrastruktur dasar yang dapat memberi pengaruh bagi pertumbuhan output (Bulohlabna, 2008). 2.1.5.4.Infrastruktur Kesehatan World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai sebuah kondisi kesejahteraan fisik, mental dan sosial, dan bukan sekedar bebas penyakit dan kelemahan fisik. Dalam prakteknya, pengukuran tingkat kesehatan yang digunakan antara lain tingkat harapan hidup. Ukuran ini merupakan salah satu dari tiga komponen dalam penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan nasional karena bidang kesehatan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia secara berkesinambungan, yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan ini merupakan upaya untuk tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal. Melalui pembangunan kesehatan diharapkan setiap penduduk memiliki kemampuan hidup sehat sehingga di masa mendatang tercipta generasi penerus yang bermutu sebagai modal penting dalam pembangunan nasional. 29 Secara ekonomi, masyarakat yang sehat akan menghasilkan tenaga kerja yang sehat dan merupakan input penting untuk pertumbuhan ekonomi. Negaranegara yang mempunyai tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah menghadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan dibandingkan dengan negara yang lebih baik tingkat kesehatan dan pendidikannya. Tenaga kerja yang berkualitas akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk lebih produktif, mempunyai kesempatan kerja yang lebih besar, memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, dan menghasilkan output ekonomi yang lebih besar juga. Tujuan pembangunan kesehatan yang tercantum dalam Rencana Strategi Pembangunan Kesehatan adalah terselenggaranya program atau kegiatan pembangunan kesehatan yang memberi jaminan tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sesuai dengan visi “Indonesia Sehat 2010”. Arah kebijakan pembangunan kesehatan menurut Depkes (2004) adalah: 1. Meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung, dengan pendekatan paradigma sehat yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut. 2. Meningkatkan dan memelihara mutu lembaga dan pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan sarana prasarana dalam bidang medis, termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau oleh masyarakat. 30 Pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan kesehatan lainnya diharapkan meningkatkan mutu kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata. Pengembangan infrastruktur kesehatan, baik secara kuantitas maupun kualitas, akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang merupakan faktor input pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. 2.1.6. Hubungan Antara Investasi Publik dengan Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sturm dalam Sibarani (2002) ada beberapa cara untuk mencari hubungan antara investasi publik dengan pertumbuhan ekonomi, diantaranya adalah: a. Fungsi Produksi Modal publik masuk dalam fungsi produksi melalui produktivitas multifaktor (multifactor productivity) atau sebagai input dalam fungsi produksi. Kelemahan model ini adalah variabel tenaga kerja dan modal merupakan variabel eksogen. Beberapa peneliti menggunakan data regional dalam analisisnya untuk memberikan hasil yang penting terhadap desain kebijakan pemerintah lokal. Keuntungan penggunaan data regional adalah teknologi produksi yang sama antar daerah karena adanya kebebasan teknologi untuk ke luar masuk antar wilayah, hukum dan institusi politik yang tidak bervariasi terlalu besar antar daerah, serta data yang ada cukup besar dan dikumpulkan dengan basis yang konsisten. Kelemahannya adalah faktor mobilitas yang relatif tinggi akibat adanya keterbukaan ekonomi antar daerah serta perlunya penanganan yang 31 mengabaikan efek spesifik regional akan memberikan hasil yang bias dan tidak konsisten. Contohnya wilayah yang lebih makmur akan melakukan investasi yang lebih banyak, sehingga ada korelasi positif antara efek spesifik daerah dan modal sektor publik. Studi dengan data agregat nasional umumnya mendapatkan elastisitas yang lebih besar daripada data disagregat. Hal ini disebabkan adanya spillover effects dari investasi infrastruktur pada area geografi yang kecil tidak terlihat dengan baik. b. Fungsi Biaya/Profit Stok modal publik diestimasi dengan pendekatan perilaku (behavioural approach) baik dengan maksimisasi profit atau minimisasi biaya. Dua perbedaan antara pendekatan ini dengan fungsi produksi yaitu: 1) Penggunaan bentuk fungsional yang fleksibel menghilangkan batasan pada struktur produksi, sehingga dampak langsung maupun tidak langsung dari modal publik melalui input swasta dapat ditentukan. 2) Estimasi dengan fungsi produksi dapat menghasilkan persamaan simultan yang bias sedangkan pada behavioural approach tidak terjadi bias karena biaya atau keuntungan secara langsung diwakili. Kekurangan model ini adalah banyaknya parameter yang harus diestimasi sehingga dapat menimbulkan masalah multikolinearitas dan membutuhkan data yang banyak. Kelemahan lainnya adalah masalah nonstasioner, bentuk fungsional yang fleksibel tidak menjamin global concavity dari fungsi biaya. 32 c. Vector Auto Regression (VAR) VAR menggunakan sesedikit mungkin batasan dan teori ekonomi. VAR berorientasi pada data dan juga memperhitungkan dampak tidak langsung dari modal publik. Keuntungan dari VAR adalah tidak dibutuhkan arah kausalitas dan tidak perlu mengidentifikasi kondisi yang diturunkan dari teori ekonomi. Namun pendekatan VAR tidak secara sempurna menjelaskan proses produksi sehingga sukar untuk mencari nilai elastisitas. 2.2. Penelitian Terdahulu Ketersediaan infrastruktur yang memadai sangat penting dalam perekonomian karena mampu mengefisienkan proses produksi dalam perekonomian. Semakin tinggi tingkat output perkapita, semakin tinggi pula produktivitas ekonominya. Dengan demikian, penyediaaan infrastruktur berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan distribusi pendapatan antar wilayah. Sibarani (2002) dalam penelitiannya mengenai kontribusi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, menganalisis bahwa kebijakan pembangunan infrastruktur yang terpusat di Pulau Jawa dan Indonesia Bagian Barat menimbulkan disparitas pendapatan per kapita di masing-masing daerah Indonesia, terutama antara Pulau Jawa dengan luar Jawa dan Indonesia Bagian Barat dengan Indonesia Bagian Timur, meskipun pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi meningkat. Model yang digunakan merujuk pada model Barro (1990) dengan 33 infrastruktur sebagai input dalam produksi agregat. Asumsi yang digunakan Barro adalah total faktor produksi mempunyai bentuk log Ait = ai + bt. Pendekatan yang dipilih dalam analisis ini adalah fixed effects dari masing-masing provinsi dengan indeks i dan pertumbuhan produktivitas Indonesia secara keseluruhan dengan indeks t. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa setiap jenis infrastruktur yang diteliti yaitu jalan, listrik dan telepon, memberikan kontribusi positif dengan elastisitas yang berbeda. Prasetyo (2008) yang meneliti pengaruh infrastruktur terhadap pembangunan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia dengan menggunakan data panel tahun 1995 – 2006, membagi modelnya dengan variabel dependen yang berbeda yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dianalisis dengan pendekatan fixed effects, yang menyimpulkan bahwa variabel bebas jalan, listrik, investasi dan dummy otonomi daerah berhubungan secara positif dengan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel air bersih tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena data yang digunakan adalah kapasitas air bersih yang disalurkan oleh perusahaan air bersih untuk pelanggan, yang umumnya adalah pelanggan rumah tangga. Sedangkan pengaruh infrastruktur terhadap pendapatan per kapita dianalisis dengan pendekatan random effects, dengan hasil yang sama dengan hasil dari estimasi pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu semua variabel bebas jalan, listrik, investasi dan dummy otonomi daerah berhubungan secara positif dengan pendapatan per kapita, dan variabel air bersih juga tidak berpengaruh secara 34 signifikan terhadap pendapatan per kapita. Yang membedakan kedua model tersebut adalah nilai elastisitas masing-masing infrastruktur yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Sedangkan Bulohlabna (2008) meneliti tipologi dan pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI). Metode penelitian yang digunakan adalah data panel dengan pendekatan fixed effects untuk provinsi KTI yang termasuk dalam klasifikasi daerah tertinggal dengan referensi data tahun 1995 – 2006. Hasil penelitian ini dibagi menjadi empat model yang perbedaaannya pada variabel dependennya, yaitu output total, output di sektor primer, output di sektor sekunder dan output di sektor tersier. Analisis data panel menunjukkan bahwa untuk wilayah KTI yang digolongkan sebagai daerah tertinggal, kontribusi positif infrastruktur yang paling besar terhadap pertumbuhan output adalah berasal dari infrastruktur jalan, kemudian listrik dan pendidikan. Sementara itu, variabel kesehatan dan otonomi daerah memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan output. Hal ini didasarkan pada teori bahwa kebutuhan akan infrastruktur akan meningkat seiring dengan peningkatan kemakmurannya. Sehingga infrastruktur dasar akan memberikan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan infrastruktur lanjutan. Selain itu, dapat diduga juga bahwa penyebab nilai negatif pada pengaruh infrastruktur ini lebih disebabkan karena kualitas dan kuantitas layanan yang rendah, sedangkan nilai negatif pada otonomi daerah lebih disebabkan karena kemampuan pemerintah daerah untuk menerapkan kebijakan. Kontribusi dari setiap layanan infrastruktur terhadap pertumbuhan output perekonomian baik secara umum maupun sektoral 35 berbeda. Besarnya kontribusi tersebut menentukan infrastrutur apa yang tepat dilakukan dalam mengembangkan tiap sektor perekonomian. Sementara itu Yanuar (2006) menganalisis kaitan infrastruktur terhadap pertumbuhan output baik dari sektor pertanian maupun industri dengan menggunakan analisis data panel pendekatan fixed effects. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa modal fisik, infrastruktur jalan, telepon, kesehatan dan pendidikan memberikan pengaruh terhadap output. Infrastruktur kesehatan dan pendidikan memberikan kontribusi terbesar pada sektor pertanian sementara infrastruktur jalan merupakan kontributor terbesar pada sektor industri. Kesenjangan yang terjadi antar daerah dan wilayah menurut Yanuar dapat disebabkan oleh kesenjangan stok infrastruktur dan besaran produktivitas infrastruktur terhadap output. Walaupun penelitian yang menganalisis mengenai pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, namun penelitian ini masih dirasakan perlu dengan pemikiran bahwa ada hal-hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian lainnya, antara lain: 1. Cakupan wilayah yang dianalisis meliputi seluruh Indonesia (sebanyak 26 provinsi). Untuk menjamin data seriesnya, data provinsi-provinsi pemekaran digabungkan dengan provinsi induknya. 2. Tahun data yaitu dari tahun 1995 sampai dengan 2007 (data series selama 13 tahun). 3. Variabel-variabel yang digunakan adalah: 36 • Variabel variabel dependen yang digunakan adalah PDRB riil per tenaga kerja. • Variabel independen terdiri dari infrastruktur dan investasi swasta. Infrastruktur yang dikaji meliputi infrastruktur ekonomi yang meliputi variabel jalan, listrik dan air bersih serta infrastruktur sosial yang diwakili oleh variabel kesehatan. 2.3. Kerangka Pemikiran Operasional Keberhasilan pembangunan di Indonesia masih meninggalkan masalah berupa disparitas wilayah dan pendapatan. Sumber daya yang ada masih belum merata dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga masih ada daerah yang termasuk kategori miskin dan yang kaya. Disparitas pembangunan ini bila dibiarkan berlangsung bisa memperlebar ketimpangan dan tingkat kesenjangan sehingga peningkatan kegiatan perekonomian tidak dapat mencukupi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Ketimpangan juga dapat menimbulkan beban ekonomi dan sosial yang tinggi. Hal ini disebabkan kemampuan masing-masing daerah untuk tumbuh dan berkembang yang bervariasi dan sangat ditentukan oleh berbagai faktor ekonomi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Pembangunan ekonomi suatu wilayah dapat dianalisis melalui tingkat pertumbuhan ekonominya, dimana perkembangannya ditentukan oleh kapasitas output produksi yang dihasilkan wilayah tersebut. Sementara itu kapasitas output produksi sangat ditentukan oleh akumulasi modal atau investasi yang dilakukan, produktivitas tenaga kerja, serta penggunaan teknologi dalam kegiatan ekonomi. 37 Salah satu bentuk pemanfaatan investasi publik adalah pembangunan pelayanan infrastruktur yang menunjang kegiatan ekonomi baik infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial, maupun infrastruktur administrasi. Pembangunan infrastruktur yang beragam dan bervariasi baik kuantitas maupun kualitasnya di setiap provinsi di Indonesia membawa pengaruh terhadap produktivitas ekonomi di masing-masing wilayah, yang bisa digunakan untuk menganalisis masalah ketimpangan yang terjadi. Untuk itu perlu dilakukan analisis terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia dan melihat besarnya pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia. Infrastruktur yang diteliti terdiri dari infrastruktur yang menunjang kegiatan ekonomi yaitu: panjang jalan, energi listrik, sumber daya air bersih dan fasilitas kesehatan. Tingkat produktivitas tiap infrastruktur dicerminkan oleh nilai elastisitas dari ketersediaan infrastruktur terhadap perekonomian. Semakin besar nilai elastisitas menunjukkan infrastruktur tersebut semakin produktif meningkatkan perekonomian. Layanan infrastruktur yang buruk, dilihat dari kualitas dan kuantitasnya, berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi, sebaliknya semakin efektif (optimal) layanan infrastruktur tersebut dimanfaatkan maka akan memberikan rate of return yang tinggi (Yanuar, 2006). Mengingat layanan infrastruktur memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang lama dan beresiko tinggi, maka pembangunan infrastruktur lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Dengan kerangka pemikiran tersebut, dapat ditentukan alat analisis yang 38 tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Model yang digunakan adalah model pertumbuhan neoklasik Solow yang didasarkan pada fungsi produksi Cobb-Douglas, dimana infrastruktur merupakan bagian dari stok modal yang dilakukan pemerintah sebagai investasi publik. Produktivitas ekonomi yang dihasilkan di suatu daerah dianalisis sebagai variabel eksogen yang diteliti dari input dalam fungsi produksi tersebut. Variabel eksogen diperoleh dari output per tenaga kerja, sedangkan produktivitas ekonomi merupakan nilai koefisien dari variabel eksogen yang dianalisis dalam model operasional. Nilai koefisien dalam model menunjukkan tingkat elastisistas variabel endogen terhadap variabel eksogen, yang artinya setiap kenaikan satu persen variabel endogen akan meningkatkan variabel eksogen sebesar nilai koefisien dari model hasil penelitian. Alur pemikiran dalam kerangka operasional ini secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 2.2. 39 Pertumbuhan Ekonomi Produktivitas Output Ekonomi Tenaga Kerja Kapital Teknologi Infrastruktur Infrastruktur Ekonomi Infrastruktur Sosial Jalan Kesehatan Listrik Air Bersih Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Operasional Keterangan: : variabel yang diteliti. : variabel yang tidak dimasukkan dalam penelitian karena dianggap konstan. III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, yang mencakup kurun waktu 1995 – 2007. Dengan berbagai keterbatasan, data yang digunakan dalam analisis ini ditunjukkan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Data yang Digunakan dalam Penelitian Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi Indonesia, Tahun 1995 – 2007 No Jenis Data Sumber (1) (2) (3) 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 1993 seluruh provinsi di Indonesia. BPS 2. Tenaga kerja masing-masing provinsi di Indonesia. BPS 3. Panjang jalan menurut kondisi jalan di masing-masing provinsi di Indonesia. Publikasi Statistik Perhubungan BPS 4. Jumlah energi listrik yang terjual masing-masing provinsi di Indonesia. PT. PLN 5. Jumlah air bersih yang disalurkan masing-masing provinsi di Indonesia. Publikasi Statistik Air Bersih BPS 6. Jumlah rumah sakit dan puskesmas masing-masing provinsi di Indonesia. Publikasi Statistik Indonesia BPS dan Departemen Kesehatan 41 Selanjutnya data-data tersebut diolah dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan Eviews 5.1. 3.2. Analisis Regresi Data Panel Data panel adalah gabungan antara data silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Analisis secara terpisah memberikan beberapa kelemahan. Sebagai contoh untuk analisis pertumbuhan ekonomi suatu wilayah yang dilihat dari pertumbuhan PDRB, tingkat investasi dan tingkat konsumsi. Jika hanya menggunakan data cross section, yang diamati hanya pada satu titik waktu, maka perkembangan ekonomi wilayah-wilayah tersebut antar waktu tidak dapat dilihat. Di sisi lain, penggunaan model time series juga menimbulkan persoalan tersendiri melalui peubah-peubah yang diobservasi secara agregat dari satu unit individu sehingga mungkin memberikan hasil estimasi yang bias. Pendekatan data panel menggunakan informasi dari gabungan kedua pendekatan tersebut (cross section dan time series) sehingga akan meminimalisir kelemahan masing-masing pendekatan. Keuntungan penggunaan model data panel dibandingkan data time series dan cross section yaitu: 1. Jumlah observasi menjadi lebih besar, sehingga estimasi yang dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Secara teknis, data panel dapat memberikan data yang lebih banyak dan informasi yang lebih lengkap, mengurangi kolinearitas antar peubah serta menambah derajat bebas (degree of freedom) sehingga 42 meningkatkan efisiensi. 2. Mengurangi masalah identifikasi karena mampu mengakomodasi tingkat heterogenitas variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam model (unobserved heterogeneity), mengindikasikan dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dengan data deret waktu murni dan data silang murni. Secara umum, persamaan model regresi data panel dapat dituliskan sebagai berikut: y it = α i + X it β + ε it .............................(3.1) dimana, yit dan xit masing-masing merupakan nilai variabel tak bebas dan variabelvariabel bebas untuk setiap individu i pada periode t. Sedangkan αit merupakan intersep yang dapat bernilai konstan atau berbeda-beda baik sepanjang periode t ataupun untuk setiap individu i. Melalui analisis data panel, kita dapat menangkap perilaku sejumlah individu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam suatu rentang waktu yang terdiri dari unit-unit waktu yang juga berbeda. Heterogenitas antar individu maupun antar waktu digambarkan dalam model dengan intersep dan koefisien slope yang berbeda-beda. Nilai intersep dan koefisien slope yang berbeda-beda ini berasal dari pengaruh variabel yang tidak termasuk dalam variabel penjelas dalam persamaan regresi biasa. Berdasarkan asumsi ada tidaknya korelasi antara komponen eror dengan variabel bebasnya, ada 2 model pendekatan yang diaplikasikan dalam regresi data panel, yaitu model fixed effect model (FEM), dan random effect 43 model (REM) (Firdaus dan Irawan, 2009). 3.2.1. Fixed Effect Model (FEM) FEM digunakan bila ada korelasi antara komponen eror dengan variabel bebasnya. Oleh karena itu, komponen eror dari efek individu (λi) dan efek dari waktu (μt) dapat menjadi bagian dari intersep. Dengan dua pendekatan, dapat dinyatakan sebagai berikut: 1. Untuk one way error component sebagai: y it = α i + λi + X it β + u it .............................(3.2) 2. Untuk two way error component sebagai: y it = α i + λi + μ t + X it β + u it .............................(3.3) Penduga dalam FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik sebagai berikut: 1. Pendekatan Pooled Least Square (PLS) Pendekatan ini menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N x T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan, yang diregresikan dengan model: y it = α i + X it β + u it .............................(3.4) dimana αi bersifat konstan untuk semua observasi, atau αi = α. Formula perhitungannya adalah: αˆ = y − βˆ x .............................(3.5) 44 1 N T ∑∑ xit yit NT i =1 t =1 β̂ = 1 N T 2 ∑∑ xit NT i =1 t =1 Dimana x = 1 NT N .............................(3.6) T ∑∑ x i =1 t =1 it dan xit = xit − x Dengan mengkombinasikan semua data cross section dan data time series, data panel dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, yaitu dengan varian: var(u it ) var(βˆ ) = N T ∑∑ x i =1 t =1 .............................(3.7) 2 it Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias. Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan PLS yang tidak sejajar dengan garis regresi dari masing-masing individu. Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda. 2. Pendekatan Within Group (WG) Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata individu dimana: T y = T −1 ∑ y it .............................(3.8) i =1 T xi = T −1 ∑ xit i =1 .............................(3.9) 45 Dalam hal ini xit* = xit − xit ...........................(3.10) y it* = y it − y it ...........................(3.11) dan y i = α i + xi' β + u i ...........................(3.12) Jika yit = αi + xit β + uit , maka diperoleh: y it − y i = (α i − α i ) + ( xit − xi ) ' β + (u it − u i ) ...........................(3.13) atau y it* = xit*' β + u it* ...........................(3.14) sehingga, βˆ WG 1 N T * * ∑∑ xit yit NT i =1 t =1 = 1 N T *2 ∑∑ xit NT i =1 t =1 ...........................(3.15) Berdasarkan persamaan tersebut, FEM dengan pendekatan WG tidak memiliki intersep. Kelebihan dari WG ini adalah dapat menghasilkan parameter β yang tidak bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (βWG) cenderung lebih besar dari var (βPLS) sehingga dugaan WG menjadi relatif lebih tidak efisien. Untuk melihat hal ini dapat dibuktikan dengan: N T S xx = ∑∑ ( xit − x ) 2 ...........................(3.16) i =1 t =1 N T S xxw = ∑∑ ( xit − xi ) 2 i =1 t =1 ...........................(3.17) 46 N S xxb = ∑ T ( xi − x ) 2 ...........................(3.18) i =1 sehingga dapat dilihat bahwa: S xx = S xxw + S xxb ...........................(3.19) diketahui bahwa: ⎛ T −1⎞ var(u it* ) = ⎜ ⎟ var(u it ) ⎝ T ⎠ ...........................(3.20) sehingga varians dari penduga β dengan pendekatan WG adalah: var(βˆ WG ) = var(u it* ) N T ∑∑ x i =1 t =1 = 2 it var(u it* ) S xx − S xxb ⎛ T −1⎞ ⎜ ⎟ var(u it ) T ⎠ ⎝ = S xx − S xxb ...........................(3.21) Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat bahwa var(β) pada WG lebih besar dari var(β) pada PLS. Kelemahan lain dari WG adalah tidak dapat mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM, seperti terlihat dari tidak dimasukkannya intersep ke dalam model. 3. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV) Metode ini bertujuan untuk dapat merepresentasikan perbedaan intersep, yaitu dengan dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan persamaan awal seperti pada persamaan PLS dan kelompok dummy variable dgit = 1 (g = i): 47 y it = α i + xit' β + u it ...........................(3.22) dengan memasukkan sejumlah dgit = 1 (g = i), persamaan awal menjadi: y it = α 1 d 1it + α 2 d 2it + ... + α N d Nit + xit' β + u it ...........................(3.23) persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh parameter βLSDV. Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah unit observasinya besar maka terlihat cumbersome. Untuk menguji apakah intersep memang signifikan atau tidak dapat menggunakan f-test dengan hipotesis sebagai berikut: H0 : α1 = α2 = α3 = ..... = αN dan H1 : satu dari α ada yang tidak sama Hipotesis ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik menggunakan PLS atau LSDV. Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik yaitu: 2 RDV − R p2 ⎛ NT − N − k ⎞ F= ⎜ ⎟ 2 N −1 ⎠ 1 − RDV ⎝ ...........................(3.24) dimana: 2 RDV : koefisien determinasi LSDV R p2 : koefisien determinasi PLS k : banyaknya peubah Jika nilai F hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga dugaan 48 bahwa α adalah sama untuk semua individu dapat ditolak. 4. Two Way Error Components Fixed Effect Model Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effects tidak hanya berasal dari variasi antar individu (time invariants) tetapi juga berasal dari variasi antar waktu (time effect) sehingga model dasar yang digunakan adalah: y it = α i + γ t + xit' β + u it ...........................(3.25) Dimana γt merepresentasikan time effect. Jika masing-masing pengaruh individu (αi) dan time-effect (γt) diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah zsit = 1 (s = t) peubah dummy akan diperoleh persamaan: y it = α 1 d 1it + α 2 d 2it + ... + α N d Nit + γ 2 z 2it + ... + γ T z Tit + xit' β + u it ...(3.26) Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat kebebasan, yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. 3.2.2. Random Effect Model (REM) REM muncul ketika antara efek individu dan variabel bebas tidak ada korelasi. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam eror, dimana: 1. Untuk one way error component sebagai: y it = α i + λi + X it β + u it ...........................(3.27) 49 2. Untuk two way error component sebagai: y it = α i + λi + μ t + X it β + u it ...........................(3.28) Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM yaitu: E (u it / τ i ) = 0 ...........................(3.29) E (u it2 / τ i ) = σ u2 ...........................(3.30) E (τ i / xit ) = 0 ...........................(3.31) E (τ i2 / xit ) = σ τ2 ...........................(3.32) E (u itτ i ) = 0 ...........................(3.33) Untuk i ≠ j dan t ≠ s E (u it u js ) = 0 ...........................(3.34) Untuk i ≠ j E (τ iτ j ) = 0 ...........................(3.35) dimana: Utuk one way error component, τi = λi Untuk two way error component, τi = λi + μi Dari semua asumsi tersebut, yang paling penting dalam REM adalah asumsi bahwa nilai harapan dari xit untuk setiap τi adalah 0 atau E(τi xit) = 0. Untuk menghitung estimator REM, ada dua jenis pendekatan yang digunakan, yaitu: 1. Pendekatan Between Estimator Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between 50 estimator konsisten untuk N tak terhingga, dengan asumsi bahwa peubah bebas dengan eror tidak saling berkorelasi atau E (xit εi = 0) begitu juga dengan nilai rata-rata eror E (xit εi = 0). 2. Pendekatan Generalized Least Square (GLS) Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi. Bila bobot yang dihitung tersebut tetap, maka estimator yang diperoleh disebut random effects estimator. Dalam bentuk persamaan hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut: βRE = ωβBetween + (Ik - ω) βWithin ...........................(3.36) 3.2.3. Hausman Test Dalam memilih apakah fixed atau random effects yang lebih baik, dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara variabel bebas dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan Hausman Test. Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H0 : E(τi / xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1 : E(τi / xit) = 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: H = (βREM – βfEM )’(MFEM –MREM)-1 (βREM – βfEM ) ~ χ2 (k) .............(3.37) dimana: M : matriks kovarians untuk parameter β 51 k : degrees of freedom Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effects, begitu juga sebaliknya. 3.3. Model Penelitian Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi Dalam penelitian ini, model yang digunakan untuk mengestimasi pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia mengacu pada model neoklasik dengan pendekatan fungsi produksi Cobb Douglass yang dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut: Yit = Ait K itα Lβit ...........................(3.38) Dimana: Y : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) A : total faktor produksi K : modal yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur L : faktor tenaga kerja i : indeks provinsi t : indeks waktu α : nilai elastisitas terhadap modal (infrastruktur) β : nilai elastisitas terhadap tenaga kerja Pada fungsi Cobb Douglass berlaku subsitusi antar faktor sehingga memungkinkan menduga nilai elastisitas masing-masing faktor (return to scale). Produksi agregat dikatakan mencapai kondisi pada skala konstan 52 (constant return to scale) pada saat α + β = 1. Apabila α + β < 1 dikatakan kondisi yang dicapai adalah berada pada skala menurun (decreasing return to scale), dan jika α + β > 1 maka dikatakan mencapai kondisi pada skala menaik (increasing return to scale). Berdasarkan persamaan (3.38), masing-masing variabel dibagi dengan variabel jumlah tenaga kerja (L) dan kemudian dilogaritmakan sehingga persamaan dalam bentuk linearnya dapat dituliskan sebagai berikut: ln y it = a it + α ln k it + u it ...........................(3.39) dimana u merupakan gangguan (error terms/disturbance). Pada penelitian ini, modal infrastruktur (kit) diagregasi menjadi 4 variabel infrastruktur yaitu panjang jalan (km), energi listrik yang terjual (KWh), air bersih yang disalurkan (m3) dan fasilitas kesehatan yaitu jumlah rumah sakit dan puskesmas (unit). Dengan demikian model persamaan (3.39) dapat dioperasionalkan dalam bentuk : ln yit = ait + α1 lnjalanit + α2 lnlistrikit + α3 lnairit + α4 lnkesit + uit ...........................(3.40) dimana : y = PDRB riil per tenaga kerja setiap provinsi, dengan menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 1993 (yang mencerminkan produktivitas ekonomi adalah koefisien dari y). jalan = panjang jalan (km) per tenaga kerja yang tersedia di setiap provinsi. Panjang jalan yang digunakan adalah gabungan panjang jalan provinsi, negara dan jalan kabupaten/kota yang berada dalam kondisi 53 baik dan sedang. Jalan yang kondisinya rusak ringan dan rusak berat tidak digunakan karena keduanya dianggap tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi terhadap proses produksi dan produktivitas ekonomi. listrik = energi listrik yang terjual PLN (KWh) per tenaga kerja di setiap provinsi. = air bersih yang disalurkan oleh PDAM (m3) per tenaga kerja di setiap air provinsi. kes = jumlah rumah sakit dan puskesmas (unit) per tenaga kerja di setiap provinsi. 3.4. Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan data series selama 13 tahun yaitu data dari tahun 1995 sampai dengan 2007 dengan cakupan wilayah meliputi seluruh Indonesia (sebanyak 26 provinsi). Untuk menjamin data seriesnya, data provinsi-provinsi pemekaran digabungkan dengan provinsi induknya. Provinsiprovinsi tersebut adalah: (a) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (b) Provinsi Sumatera Utara (c) Provinsi Sumatera Barat (d) Provinsi Riau (termasuk Provinsi Kepulauan Riau) (e) Provinsi Jambi (f) Provinsi Sumatera Selatan (termasuk Provinsi Kepulauan Bangka 54 Belitung) (g) Provinsi Bengkulu (h) Provinsi Lampung (i) Provinsi DKI Jakarta (j) Provinsi Jawa Barat (termasuk Provinsi Banten) (k) Provinsi Jawa Tengah (l) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (m)Provinsi Jawa Timur (n) Provinsi Bali (o) Provinsi Nusa Tenggara Barat (p) Provinsi Nusa Tenggara Timur (q) Provinsi Kalimantan Barat (r) Provinsi Kalimantan Tengah (s) Provinsi Kalimantan Selatan (t) Provinsi Kalimantan Timur (u) Provinsi Sulawesi Utara (termasuk Provinsi Gorontalo) (v) Provinsi Sulawesi Tengah (w) Provinsi Sulawesi Selatan (termasuk Provinsi Sulawesi Barat) (x) Provinsi Sulawesi Tenggara (y) Provinsi Maluku (termasuk Provinsi Maluku Utara) (z) Provinsi Papua (termasuk Provinsi Papua Barat). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 55 • Variabel dependen yaitu PDRB riil per tenaga kerja, dihitung dengan membandingkan nilai tambah bruto dalam kegiatan ekonomi di suatu wilayah (PDRB) dengan jumlah tenaga kerja di setiap provinsi di Indonesia. Walaupun publikasi data terbaru menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2000, namun dalam penelitian ini menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 1993 karena ada data tahun 1995 – 1999, yang tidak tepat kalau dikonversi dengan tahun dasar sesudah tahun tersebut. Produktivitas ekonomi dilihat dari koefisien variabel PDRB riil per tenaga kerja, yang menunjukkan kenaikan variabel dependen jika variabel independen meningkat sebesar satu satuan. • Variabel independen (infrastruktur) yang akan dikaji meliputi infrastruktur ekonomi yang meliputi variabel jalan, listrik dan air bersih serta infrastruktur sosial yang diwakili oleh variabel kesehatan, dengan uraian sebagai berikut: a. Variabel jalan yang digunakan adalah panjang jalan total baik yang diaspal maupun tidak (kerikil dan tanah), yang meliputi jalan negara, jalan provinsi dan jalan kabupaten, dengan kondisi baik dan sedang. Pemilihan ini berdasarkan pemikiran bahwa jalan dengan kondisi baik dan sedang lebih memiliki sumbangan terhadap produktivitas ekonomi suatu daerah dibandingkan dengan jalan yang rusak dan rusak berat. Penelitian ini tidak memisahkan panjang jalan tol yang dibangun oleh badan usaha tertentu yang telah ditunjuk oleh 56 pemerintah, karena kecilnya jumlah panjang jalan tol keseluruhan (hanya 0,17 persen pada tahun 2004) dan keberadaannya hanya ada di perkotaan saja. b. Variabel listrik yang digunakan adalah keseluruhan energi listrik yang dijual PLN kepada pelanggan, baik yang disalurkan kepada rumah tangga, industri, bisnis, sosial, gedung kantor pemerintahan maupun untuk penerangan umum. c. Variabel air bersih yang digunakan adalah kapasitas air bersih yang disalurkan PDAM. d. Variabel kesehatan yang digunakan yaitu jumlah rumah sakit dan puskesmas. Jumlah rumah sakit yang dimaksudkan adalah total jumlah rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, misalnya rumah sakit khusus bersalin, jantung, kanker, gigi dan ibu anak. Penelitian ini tidak memisahkan pelayanan rumah sakit yang diselenggarakan pemerintah dan swasta karena ingin melihat akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan dan kecilnya jumlah rumah sakit nasional dibandingkan dengan total sarana kesehatan yang dikaji (jumlah keseluruhan rumah sakit baik pemerintah maupun swasta hanya berkisar 13 sampai dengan 15 persen dibandingkan dengan jumlah sarana kesehatan nasional yang diteliti). Penelitian ini memasukkan puskesmas ke dalam variabel sarana kesehatan dengan pemikiran bahwa keberadaan puskesmas lebih mudah dijangkau oleh masyarakat kalangan miskin di daerah-daerah, sehingga diharapkan 57 dapat mewakili fasilitas kesehatan secara representatif. IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia masih digunakan sebagai ukuran kinerja pembangunan. Ukuran ini dihitung dari PDRB Atas Dasar Harga Konstan yang menunjukkan peningkatan output ekonomi dari tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terusmenerus). Pada tahun 2007, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,32 persen secara keseluruhan dan sebesar 6,92 persen jika dihitung tanpa minyak dan gas. Peningkatan output dari aktivitas ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang berfluktuasi sesuai dengan kondisi politik dan ekonomi yang memengaruhinya. Selama kurun waktu 1996 – 2007, perekonomian Indonesia pernah mengalami kontraksi karena masa krisis moneter pada tahun 1997 – 1999 yang berdampak di seluruh wilayah Indonesia walaupun dengan intensitas yang berbeda-beda. Secara nasional, pertumbuhan ekonomi turun hingga mencapai puncaknya sebesar -11,08 persen pada tahun 1998 yang ditunjukkan dengan grafik yang mengalami penurunan cukup curam sebagaimana pada Gambar 4.1. Goncangan krisis moneter baru bisa dipulihkan dalam dua tahun pada tahun 2000. Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif meningkat secara signifikan dan stabil pada tahun-tahun selanjutnya sampai dengan tahun 2007. 59 10.00 5.00 0.00 96 97 98 99 00 01 02 03 ‐5.00 04 05 06 07 Tahun ‐10.00 ‐15.00 Pertumbuhan PDRB Riil Sumber: BPS (diolah), 1996 – 2007 Gambar 4.1. Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 1996 – 2007 (%) Pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi selama tahun 1996 – 2007 juga mengalami fluktuasi seperti yang terjadi dalam skala nasional. Penurunan pertumbuhan ekonomi bukan berarti terjadinya penurunan kegiatan perekonomian (output ekonomi), namun memberikan informasi adanya perlambatan laju kegiatan perekonomian dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan output ekonomi ditunjukkan oleh angka pertumbuhan ekonomi yang negatif, yang bisa disebabkan oleh krisis moneter, pemekaran wilayah sehingga sebagian sumber daya di wilayah induk harus dipisahkan dengan wilayah pemekarannya, bencana alam, dan krisis-krisis lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang bernilai negatif dialami oleh semua provinsi di Indonesia pada tahun 1999 pada saat krisis moneter melanda Indonesia (Tabel 4.1). 60 Tabel 4.1. Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Provinsi, Tahun 1996 – 2007 (%) Provinsi (1) Pertumbuhan PDRB Riil (%) 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 (11) (12) (13) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2.47 -0.16 -9.26 -4.19 -8.25 1.19 0.38 3.39 -9.63 -10.12 1.56 -2.79 2. Sumatera Utara 9.01 5.70 -10.90 2.59 4.83 3.72 4.07 4.42 5.74 5.48 6.20 6.90 3. Sumatera Barat 7.87 5.09 -6.73 1.59 3.84 3.63 4.31 4.48 5.47 5.73 6.14 6.34 14.56 3.50 -4.04 3.32 6.45 4.36 4.43 4.70 3.83 5.57 5.46 4.43 8.81 3.91 -5.41 2.90 5.43 5.87 4.39 4.46 5.38 5.57 5.89 6.82 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan Bangka Belitung) -5.65 4.85 -6.78 0.83 3.34 2.39 3.76 4.52 4.63 4.84 5.20 5.84 7. Bengkulu 5.72 3.07 -6.27 2.88 3.93 4.03 4.32 5.12 5.38 5.82 5.95 6.03 8. Lampung 7.95 4.15 -6.95 3.54 3.40 3.61 5.17 5.71 5.07 4.02 4.98 5.79 9. DKI Jakarta 9.10 5.11 -17.49 -0.29 4.33 3.64 3.99 4.39 5.65 6.01 5.95 6.44 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 9.75 5.28 -18.35 -5.63 4.24 4.79 4.20 4.61 4.97 5.67 5.91 6.32 11. Jawa Tengah 7.30 3.03 -11.74 3.49 3.93 3.33 3.48 4.07 5.13 5.35 5.33 5.59 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 7.74 3.51 -11.18 0.99 4.01 3.37 4.02 4.09 5.12 4.73 3.69 4.28 13. Jawa Timur 8.65 4.15 -11.21 1.21 3.26 3.33 3.41 4.11 5.83 5.84 5.80 6.11 14. Bali 8.16 5.81 -4.04 0.67 3.05 3.39 3.15 3.65 4.62 5.56 5.28 5.92 15. Nusa Tenggara Barat 8.11 5.26 -3.07 4.24 28.80 8.99 3.78 3.10 2.63 -1.65 1.93 -0.77 16. Nusa Tenggara Timur 8.56 5.62 -2.73 2.73 4.17 5.10 5.96 5.87 3.50 -2.44 3.95 -2.10 10.75 7.53 -4.71 2.71 2.95 1.87 2.01 2.95 2.37 2.22 0.85 -0.62 11.85 6.29 -6.92 0.98 1.50 2.72 3.27 4.86 0.20 0.86 2.27 -1.31 9.95 4.69 -5.53 4.53 4.33 3.74 3.83 4.85 6.09 -0.83 -1.29 1.84 8.29 4.45 -0.76 4.90 4.02 5.05 4.72 2.39 2.87 -0.31 0.97 -1.37 9.01 5.53 -2.16 36.52 5.79 4.50 4.51 5.57 5.81 0.60 -0.94 1.40 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22. Sulawesi Tengah 8.78 22.94 -3.96 2.80 4.21 5.19 5.41 6.26 7.79 -1.27 -0.92 -0.48 23. Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 8.31 4.01 8.62 2.83 4.89 4.97 4.61 5.39 -0.67 6.56 -1.61 -0.90 24. Sulawesi Tenggara 6.01 5.32 -5.78 2.55 5.27 5.63 6.49 7.19 7.84 -0.86 -2.19 0.98 6.59 3.89 -24.95 -22.72 -4.01 -0.31 2.67 3.34 2.84 1.08 -0.22 0.62 7.16 2.16 -1.63 8.70 2.96 0.90 2.94 0.63 -2.42 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat) 13.92 21.49 -3.48 Sumber: BPS (diolah), 1995 – 2007 61 4.2. Tenaga Kerja Masalah ketenagakerjaan merupakan bagian dari fenomena kependudukan, yang menjadi bagian dalam permasalahan sosial. Namun masalah ini tidak bisa dilepaskan dalam kegiatan perekonomian karena dengan bertambahnya jumlah penduduk, konsekuensi logis yang akan dihadapi adalah bertambahnya jumlah penduduk usia kerja, yang merupakan faktor produksi. Bertambahnya penduduk usia kerja tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan penduduk karena ketersediaan lapangan kerja yang terbatas. Munculnya usia kerja yang tidak bekerja inilah yang sering menimbulkan masalah yang kompleks, yaitu pengangguran. Oleh karena itu ukuran tenaga kerja secara agregat sangat berkaitan dengan produktivitas perekonomian. Bagan tentang ketenagakerjaan dapat ditunjukkan pada Gambar 4.2 dengan menggunakan konsep pendekatan angkatan kerja (labour force approach). Persentase penduduk usia kerja yang termasuk dalam angkatan kerja merupakan indikator penting perekonomian yang disebut TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja). Angkatan kerja yang bekerja merupakan tenaga kerja yang menjadi faktor produksi yang penting dalam kegiatan perekonomian, sedangkan angkatan kerja yang tidak bekerja disebut pengangguran, yang terdiri dari pengangguran terpaksa dan pengangguran terselubung. Beban sosial dan tingkat ketergantungan ekonomi yang tinggi dapat dilihat dengan semakin kecilnya jumlah tenaga kerja di suatu wilayah. 62 Penduduk Usia Kerja Bukan Angkatan Kerja Angkatan Kerja Mengurus rumah tangga Sekolah Alasan lainnya Bekerja Pengangguran Fully utilized Under utilized by hour Under utilized Under utilized by income Under utilized by mismatch Sumber: BPS, 2008 Gambar 4.2. Bagan Tenaga Kerja, Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja Menurut Konsep Labour Force Approach Penduduk yang besar sebenarnya dapat menjadi modal pembangunan yang potensial apabila kualitasnya baik. Sebaliknya, jumlah penduduk yang terlalu besar dan tidak diimbangi dengan kemampuan produktivitas yang tinggi akan menimbulkan dampak yang kompleks di segala bidang karena beban ketergantungan yang tinggi. Beban ketergantungan ini dapat dikurangi jika 63 persentase penduduk yang bekerja semakin bertambah. Oleh karena itu jumlah tenaga kerja perlu dipantau perkembangannya sehingga masalah-masalah ekonomi yang diakibatkan fenomena kependudukan ini dapat diantisipasi. Berdasarkan trend jumlah tenaga kerja per tahun, terlihat bahwa jumlah tenaga kerja Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2003 justru menurun cukup tajam secara nasional. Penurunan ini dapat dipulihkan pada tahun-tahun berikutnya, bahkan pada tahun 2007 terjadi peningkatan yang cukup tinggi hingga jumlahnya mencapai hampir seratus juta pekerja (99,93 juta jiwa). Sumber: BPS, 1995 – 2007 Gambar 4.3. Jumlah Tenaga Kerja Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (Juta Jiwa) Jumlah tenaga kerja Indonesia ternyata tidak merata tersebar di seluruh provinsi. Populasi terbesar berada di Propinsi Jawa Barat (termasuk Banten), Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan jumlah tenaga kerja mencapai lebih dari 64 54 persen total tenaga kerja Indonesia. Hal ini disebabkan berdirinya pusatpusat industri besar padat karya yang terkonsentrasi di provinsi-provinsi tersebut. DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian hanya mempunyai jumlah tenaga kerja sebesar 3,84 juta (3,85 persen). Tenaga kerja di provinsi-provinsi lainnya tidak ada yang mencapai lima juta jiwa kecuali Provinsi Sumatera Utara (5,08 juta tenaga kerja). Data ini mengindikasikan bahwa penyebaran kegiatan perekonomian di Indonesia masih belum merata di seluruh provinsi. Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat) 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Sumber: BPS, 1995 – 2007 Gambar 4.4. Jumlah Tenaga Kerja Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Juta Jiwa) 65 4.3. Pembangunan Infrastruktur Jalan Ketersediaan infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian karena pelayanan dan kapasitas jalan berkaitan dengan kelancaran pengangkutan barang dan jasa yang menggerakkan perekonomian serta mempermudah mobilitas penduduk yang sangat berperan dalam kemajuan suatu daerah. Secara umum, kualitas jalan di Indonesia masih kurang memadai karena masih banyak jalan yang rusak ringan dan rusak berat seperti ditunjukkan pada gambar 4.5, yaitu sebesar 32,83 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian karena jalan yang rusak dan tidak berkualitas akan meningkatkan biaya sosial dalam kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Sumber: BPS, 2007 Gambar 4.5. Persentase Panjang Jalan Menurut Kualitasnya di Indonesia, Tahun 2007 (%) 66 Jika dilihat menurut jenisnya, ternyata jalan yang paling panjang merupakan jalan kabupaten yaitu sebesar 81,03 persen. Kemudian disusul jalan provinsi sebesar 9,71 persen dan yang terakhir jalan negara sebesar 9,27 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan infrastruktur jalan memerlukan perhatian daerah terutama Daerah Tingkat II (BPS, 2008). Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat) 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Sumber: BPS, 2007 Gambar 4.6. Panjang Jalan Baik dan Sedang Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Km) 67 Penyebaran jalan di Indonesia juga tidak merata di seluruh provinsi. Jalan yang kondisinya baik dan sedang dari yang paling panjang masing-masing berada di Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat), Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Papua (termasuk Papua Barat). Penyebaran ini tidak representatif sesuai dengan luas wilayah dan jumlah penduduk sehingga distribusi barang dan jasa serta transportasi untuk mobilitas penduduk masih terpusat di provinsi-provinsi yang kegiatan ekonominya telah maju. 4.4. Pembangunan Infrastruktur Listrik PT. PLN merupakan perusahaan yang memenuhi sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia, walaupun masih belum menjangkau seluruh wilayah nusantara karena belum semua wilayah di Indonesia tersambung dalam jaringan PLN. Secara operasional, produksi listrik PLN disalurkan melalui pembagian dalam 11 wilayah, 4 daerah distribusi, 4 pembangkitan serta pembangkit dan penyalur (kitlur) daerah Sumatera bagian Utara dan Sumatera bagian Selatan. Secara nasional, penjualan energi listrik terus meningkat dari tahun ke tahun walaupun dengan kecepatan yang tidak sama untuk setiap tahunnya. Peningkatan penjualan energi listrik tertinggi terjadi pada tahun 1996 yang pertumbuhannya mencapai 14,44 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan yang terendah terjadi pada tahun 1998 yang pertumbuhannya mencapai 1,47 persen. Penjualan energi listrik pada tahun 2007 mencapai 114,69 ribu GWh, 68 meningkat sebesar 1,85 persen dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 112,61 ribu GWh. Sumber: BPS, 1995 – 2007 Gambar 4.7. Energi Listrik yang Terjual di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (GWh) Dilihat dari sisi pengguna, energi listrik yang terjual paling banyak dimanfaatkan untuk keperluan industri yaitu sebesar 42,91 persen. Keperluan masyarakat untuk rumah tangga menempati urutan kedua sebesar 38 persen. Penggunaan berikutnya adalah untuk keperluan bisnis sebesar 13,48 persen, keperluan sosial sebesar 2,17 persen, untuk gedung kantor pemerintahan sebesar 1,84 persen dan yang terakhir untuk penerangan jalan umum sebesar 1,60 persen. Pelanggan yang menggunakan energi listrik terbesar berada Jawa Barat (termasuk Banten), selanjutnya DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini disebabkan penggunaan listrik yang paling banyak dimanfaatkan untuk industri dan rumah tangga yang berada di provinsi-provinsi tersebut. 69 Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat) 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Sumber: BPS, 1995 – 2007 Gambar 4.8. Energi Listrik yang Terjual di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (GWh) 4.5. Pembangunan Infrastruktur Air Bersih Pembangunan infrastruktur air bersih yang digunakan dalam penelitian ini adalah ketersediaan air bersih yang diselenggarakan oleh PDAM di seluruh 70 wilayah Indonesia dan disalurkan oleh 502 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 47.960 pekerja. Fakta yang menunjukkan masih banyaknya masyarakat terutama di pedesaan yang mencukupi kebutuhan air dengan sumur, pompa, mata air ataupun sumber lainnya, mengindikasikan bahwa pemenuhan kebutuhan air bersih ini belum memadai di seluruh Indonesia. Secara nasional, jumlah air bersih yang disalurkan pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 2,35 persen dibandingkan tahun 2006 yaitu dari 2,21 juta m3 menjadi 2,26 m3. Namun, pertumbuhan jumlah air bersih yang disalurkan PDAM di Indonesia selama tahun 1996 – 2007 sangat berfluktuatif seperti disajikan pada Gambar 4.9. Sumber: BPS, 1995 – 2007 Gambar 4.9. Persentase Pertumbuhan Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia, Tahun 1996 – 2007 (%) Jika dilihat menurut provinsi, DKI Jakarta merupakan pengguna air bersih PDAM terbesar yaitu sebesar 31,34 persen, disusul Jawa Timur sebesar 71 12,88 persen dan Jawa Barat (termasuk Banten) sebesar 11,18 persen. Hal ini menunjukkan bahwa prasarana air bersih yang disediakan oleh PDAM masih didominasi oleh masyarakat di Pulau Jawa dalam hal pemanfaatannya. Provinsi yang paling sedikit mendistribusikan air bersih dari PDAM adalah Sulawesi Tenggara (0,41 persen), selanjutnya Maluku (0,43 persen), Bengkulu dan Lampung masing-masing sebesar 0,46 persen. 800,000 700,000 600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Air Bersih yang Salurkan (KM3) Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat) 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Sumber: BPS, 2007 Gambar 4.10. Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (m3) 72 4.6. Pembangunan Infrastruktur Kesehatan Sarana dan prasarana kesehatan yang memadai mencerminkan kualitas sumber daya manusia dalam wilayah tersebut. Keberadaan tenaga medis menjadi tolok ukur kepedulian pemerintah dalam upaya menyehatkan masyarakat. Walaupun kualitas sarana kesehatan merupakan hal yang penting, namun karena keterbatasan data, maka penelitian ini hanya menganalisis pembangunan infrastruktur kesehatan secara kuantitatif berdasarkan jumlah rumah sakit dan puskesmas. Karena fasilitas rumah sakit pada umumnya hanya didirikan di daerah perkotaan atau ibukota kabupaten saja, dalam penelitian ini dimasukkan juga variabel jumlah puskesmas dengan harapan akan lebih tepat menggambarkan ketimpangan pelayanan kesehatan masyarakat yang sesungguhnya. 15.41% 84.59% Rumah Sakit Puskesmas Sumber: BPS, 2007 Gambar 4.11. Persentase Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia, Tahun 2007 (%) 73 Gambar 4.11 menunjukkan bahwa keberadaan puskesmas jauh lebih banyak dibandingkan dengan rumah sakit. Walaupun kapasitasnya juga di bawah kemampuan rumah sakit dalam menangani masalah kesehatan masyarakat, namun keberadaan puskesmas sangat penting meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, karena harganya lebih terjangkau untuk masyarakat miskin dan keberadaannya yang lebih mudah diakses oleh masyarakat di pedesaan. Penyebaran sarana kesehatan di Indonesia tidak merata di setiap provinsi, baik rumah sakit maupun puskesmas (Gambar 4.12). Urutan keberadaan rumah sakit dari yang paling banyak yaitu di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat (termasuk Banten), Sumatera Utara dan DKI Jakarta. Sedangkan untuk puskesmas, terbanyak berada di Jawa Barat (termasuk Banten), selanjutnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat). Perbedaan ini disebabkan wilayah kerja rumah sakit dan puskesmas. Puskesmas didirikan di setiap kecamatan di Indonesia, sedangkan rumah sakit di setiap kabupaten/kota kecuali rumah sakit khusus dan rumah sakit yang dikekola swasta. Semakin maju suatu wilayah, persentase jumlah rumah sakit cenderung lebih besar. Persentase perbandingan rumah sakit dan puskesmas terbesar adalah DKI Jakarta (26,59 persen), disusul Sumatera Utara (24,76 persen), Bali (22,76 persen), Daerah Istimewa Yogayakarta (21,94 persen) dan Riau (21,86 persen). 74 Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat) 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Sumber: BPS, 2007 Gambar 4.12. Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Unit) V. PEMBAHASAN 5.1. Pemilihan Metode Pendekatan dalam Analisis Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi Pengaruh Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data panel yang akan mengkaji pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia. Sebelum melakukan analisis data panel, maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah melakukan pemilihan terhadap metode pendekatan yang akan digunakan. Uji Chow dilakukan untuk memilih antara model Pooled Least Square atau fixed effect (Lampiran 3), sedangkan uji Hausman digunakan untuk memilih antara model fixed effect atau random effect (Lampiran 4). Hasil uji Chow menunjukkan bahwa model Pooled Least Square ditolak, sedangkan uji Hausman tidak memberikan hasil yang baik. Oleh karena itu pemilihan metode dilakukan dengan melihat karakteristik dari unit-unit observasi. Menurut Hsiao dalam Sibarani (2002), ketika uji pemilihan fixed effect atau random effect tidak dapat ditentukan secara teoritis maka sebaiknya menggunakan metode random effect jika data diambil dari sampel individu atau beberapa individu yang dipilih secara acak untuk menarik kesimpulan tentang populasinya. Namun, jika evaluasi meliputi beberapa individu dengan penekanan pada individu-individu tersebut maka lebih baik menggunakan metode fixed effect. Karena penelitian ini dilakukan terhadap keseluruhan dari populasi provinsi di Indonesia, maka metode yang dipilih adalah metode fixed effect dengan pendekatan two way error components agar dapat melihat heterogenitas antar propinsi dan antar waktu. Model ini mengasumsikan bahwa dalam berbagai 76 kurun waktu, pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen di setiap provinsi dan di setiap tahun berbeda-beda. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh nilai intersep pada model estimasi. 5.2. Pendugaan Model Analisis Pengaruh Produktivitas Ekonomi di Indonesia Infrastruktur terhadap Sebelum melakukan estimasi terhadap model, dilakukan pengujian secara statistik. Kriteria statistik dipenuhi jika nilai uji t dan uji F menunjukkan nilai yang signifikan pada tingkat kepercayaan tertentu, sehingga memberikan arti bahwa variabel-variabel bebas, baik secara parsial maupun bersama-sama mempengaruhi variabel tak bebasnya. Berdasarkan nilai R2 dan adjusted R2-nya, dapat dijelaskan tentang seberapa besar pengaruh model dan variabel-variabel bebas mampu menjelaskan variabel tak bebasnya. Hasil pengolahan penelitian ini menunjukkan bahwa nilai uji t dan uji F pada penelitian ini memenuhi nilai yang signifikan pada taraf nyata 99 persen dan 95 persen. Selanjutnya nilai adjusted R2nya juga menunjukkan nilai yang cukup besar, yaitu mencapai 0,9762 artinya bahwa setelah melihat kesesuaian model terbaik dan memperhatikan derajat bebasnya. Model yang diperoleh dalam penelitian ini (persamaan 5.1) mampu menjelaskan variabel dependennya sebesar 97,62 persen, sedangkan sisanya sebesar 2,38 persen dijelaskan oleh variabel dari luar model. Secara ekonometri, penggunaan analisis data panel dengan metode fixed effect telah memenuhi asumsi-asumsi mengenai autokorelasi dan heteroskedastik. Karena semua variabelnya signifikan, hubungan antara variabel dependen dan variabel independen sesuai dengan teori dilihat dari koefisiennya, 77 multikolinearitas dapat dikurangi. Secara ekonomi, penggunaan fungsi produksi neoklasikal yang dinyatakan dalam bentuk model pertumbuhan Solow, menjadi dasar pembentukan model analisis dalam penelitian ini, dan dapat dinyatakan sebagai berikut: ln pdrbit = 22.44395 + uit + 0.069066 lnjalanit + 0.083688 lnlistrikit + 0.051436 lnairit + 0.654881 lnkesit .............................(5.1) Nilai koefisien menunjukkan elastisitas dari variabel independen terhadap variabel dependen. 5.3. Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia Pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi dalam penelitian ini ditunjukkan oleh ouput yang dihasilkan tiap tenaga kerja. Estimasi persamaan pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi menunjukkan bahwa semua variabel bebas yakni jumlah energi listrik yang terjual dan sarana kesehatan yang dilihat dari jumlah rumah sakit dan puskesmas berhubungan secara signifikan dengan produktivitas ekonomi pada tingkat kepercayaan 99 persen, sedangkan panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, dan air bersih yang disalurkan berhubungan secara signifikan dengan produktivitas ekonomi pada tingkat kepercayaan 95 persen. Ringkasan hasil pengolahannya dapat dilihat pada Tabel 5.1. 78 Tabel 5.1. Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia Variabel Bebas Variabel tak bebas: PDRB adhk 1993 per tenaga kerja Koefisien Nilai Statistik t Prob. (1) (2) (3) (4) C Panjang jalan Energi listrik yang terjual Air bersih yang disalurkan Sarana kesehatan Fixed Effects (Cross) _NAD--C _SUMUT--C _SUMBAR--C _RIAU--C _JAMBI--C _SUMSEL--C _BENGKULU--C _LAMPUNG--C _DKI--C _JABAR--C _JATENG--C _DIY--C _JATIM--C _BALI--C _NTB--C _NTT--C _KALBAR--C _KALTENG--C _KALSEL--C _KALTIM--C _SULUT--C _SULTENG--C _SULSEL--C _SULTRA--C _MALUKU--C _PAPUA--C 22.44395 0.069066 0.083688 0.051436 0.654881 0.153529 0.218120 -0.055032 1.194139 -0.330691 0.115811 -0.686518 -0.095868 1.215948 0.440431 0.069264 -0.107717 0.263073 0.230186 -0.168760 -0.850745 -0.007144 -0.071690 -0.085843 1.261359 -0.370710 -0.650604 -0.373107 -0.822440 -0.640259 0.155268 Sumber: Lampiran Keterangan: * : nyata pada α = 1% ** : nyata pada α = 5% 26.15853 2.351656 2.679704 2.214584 6.507973 0.0000 0.0193** 0.0078* 0.0276** 0.0000* 79 Berdasarkan variabel-variabel yang signifikan tersebut, yang paling besar pengaruhnya terhadap produktivitas perekonomian yaitu sarana kesehatan. Variabel sarana kesehatan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,65 artinya setiap kenaikan sarana kesehatan sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas ekonomi sebesar 0,65 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan di bidang kesehatan sangat memengaruhi output yang dihasilkan. Angka ini tergolong cukup besar. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam Todaro dan Smith (2006) bahwa kesehatan merupakan prasyarat bagi peningkatan produktivitas. Kesehatan dilihat sebagai salah satu komponen pertumbuhan dan pembangunan yang vital yaitu sebagai input fungsi produksi agregat. Peran ganda kesehatan sebagai input dan output dalam pembangunan ekonomi menyebabkan variabel ini sangat penting pengaruhnya. Kesehatan merupakan bagian dalam modal manusia dalam perekonomian yang perlu mendapat perhatian tersendiri karena menyangkut semua tahapan dalam kehidupan manusia, mulai dari awal kehidupan sampai dengan akhir kehidupan. Generasi yang sehat akan lebih berprestasi dan dapat menghasilkan output yang lebih efisien, mampu menggunakan pendidikan yang diperolehnya secara produktif di setiap waktu dalam kehidupannya. Selanjutnya biaya ekonomi dan sosial dapat ditekan seminimal mungkin dan beban ketergantungan akan menurun. Harapan hidup yang tinggi akan meningkatkan pengembalian atas investasi dari biaya yang telah dikeluarkan di bidang kesehatan dan peningkatan modal manusia. 80 Tingkat elastisitas kesehatan yang tinggi terhadap produktivitas ekonomi sangat dimungkinkan dalam penelitian ini karena data yang digunakan untuk mengukur variabel kesehatan memasukkan jumlah puskesmas yang mana didasari pemikiran bahwa jumlah puskesmas merupakan pelayanan kesehatan yang memasyarakat sampai di daerah terpencil (tidak seperti rumah sakit yang secara relatif hanya berada di kota atau ibukota kabupaten saja), maka penggunaan data jumlah puskesmas dalam variabel ini dapat mewakili jumlah fasilitas kesehatan secara representatif di seluruh Indonesia. Hal ini berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan jumlah rumah sakit atau jumlah tempat tidur rumah sakit. Varibael energi listrik yang terjual mempunyai pengaruh terhadap produktivitas ekonomi dengan elastisitas 0,08 artinya setiap kenaikan energi listrik yang terjual sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas ekonomi sebesar 0,08 persen. Dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan produksi, energi listrik mempunyai peranan penting. Oleh karena itu peningkatan produktivitas ekonomi dipengaruhi oleh pasokan energi listrik. Data yang digunakan lebih mendekati kenyataan yaitu jumlah energi listrik total yang terjual, tidak hanya energi listrik yang digunakan oleh industri dan bisnis, mengingat pengguna listrik terbesar di Indonesia masih didominasi oleh rumah tangga (38 persen pada tahun 2007). Pemilihan variabel listrik menggunakan jumlah energi listrik yang dijual didasari oleh pemikiran bahwa infrastruktur listrik yang disediakan untuk pelayanan kepada masyarakat tidak tepat bila hanya dilihat dari jumlah pelanggannya saja, karena jumlah pelanggan listrik di beberapa daerah 81 yang jumlahnya sama banyak belum tentu menggunakan jumlah energi listrik yang sama. Misalnya, satu pelanggan yang menggunakan listriknya untuk industri akan membutuhkan lebih banyak energi listrik dibandingkan dengan rumah tangga. Variabel panjang jalan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,07 artinya setiap kenaikan panjang jalan sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas ekonomi sebesar 0,07 persen. Panjang jalan mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian. Distribusi faktor produksi maupun barang dan jasa hasil produksi sangat tergantung dari keberadaan infrastruktur jalan. Secara spasial, mobilitas manusia dan hasil produksi ini menentukan kemajuan suatu wilayah karena interaksi dan keterbukaan dengan wilayah lain meningkatkan pangsa pasar baik faktor produksi maupun hasil produksi. Pemilihan variabel jalan yang digunakan dalam penelitian ini lebih mendekati kenyataan karena hanya menggunakan jalan yang kondisinya baik dan sedang, dengan pemikiran bahwa keadaan jalan yang rusak ringan dan rusak berat kurang berpengaruh terhadap produktivitas ekonomi di suatu wilayah. Variabel infrastruktur yang terakhir dalam penelitian ini adalah jumlah air bersih yang disalurkan. Tingkat elastisitas variabel ini paling kecil dalam model yang dihasilkan, yaitu sebesar 0,05. Variabel air bersih yang disalurkan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,05 artinya setiap kenaikan air bersih yang disalurkan sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas ekonomi sebesar 0,05 persen. Penggunaan air bersih yang diselenggarakan oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) memang masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini 82 ditunjukkan dengan data jumlah air bersih yang disalurkan pada tahun 2007 sebagian besar hanya digunakan di Pulau Jawa (64,54 persen). Fakta ini mengindikasikan adanya ketimpangan penggunaan air bersih yang diselenggarakan oleh pemerintah di masing-masing daerah. Berdasarkan data sumber penggunaan air minum, masih banyak penduduk yang tidak menggunakan air ledeng (dari PDAM). Bahkan sumber air minum yang dominan digunakan adalah sumur (30,07 persen) dan pompa (17,62 persen) pada tahun 2007. Pemanfaatan air dari PDAM (air ledeng) secara nasional hanya menempati urutan ketiga, yaitu sebesar 16,19 persen. Sisanya masih menggunakan sumur tidak terlindung (10,32 persen), mata air terlindung (7,86 persen), air dalam kemasan (7,18 persen), mata air tidak terlindung (4,77 persen) dan air sungai (3,02 persen), bahkan masih ada yang memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum, sebesar 2,57 persen. Uraian pengaruh keempat infrastruktur yang diteliti terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia menunjukkan bahwa semua infrastruktur berpengaruh secara positif. Hal ini sesuai dengan teori bahwa ketersediaan infrastruktur secara merata akan meningkatkan kemampuan ekonomi suatu wilayah. Seperti dikemukakan Ikhsan (2004) bahwa secara langsung, pembangunan infrastruktur sendiri merupakan kegiatan produksi yang menciptakan output dan kesempatan kerja. Secara tidak langsung, ketersediaan infrastruktur yang memengaruhi perkembangan sektor-sektor ekonomi yang lain, terutama infrastruktur dasar yang memberikan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan infrastruktur lanjutan. Selain itu juga perlu diperhatikan tingkat pemerataan pembangunan 83 infrastruktur karena pelayanan sarana dan prasarana yang mudah dijangkau masyarakat akan lebih bermanfaat dan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap produktivitas ekonomi di wilayah tersebut. VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kesimpulan yang dapat diambil untuk menjawab permasalahan yang diteliti, yaitu: 1. Ketersediaan infrastruktur ekonomi dan sosial yang dikaji dalam penelitian ini semuanya memengaruhi produktivitas ekonomi di Indonesia secara signifikan. 2. Secara parsial, ketersediaan infrastruktur yang berpengaruh secara positif terhadap produktivitas ekonomi yaitu: sarana kesehatan, energi listrik yang terjual, panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, serta air bersih yang disalurkan PDAM. Sarana kesehatan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia, selanjutnya listrik, panjang jalan dan yang terkecil pengaruhnya adalah air bersih. Besarnya elastisitas masing-masing infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi cenderung dipengaruhi oleh tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan sarana dan prasarana infrastruktur. 6.2. Saran Sesuai dengan kesimpulan hasil penelitian, dapat diajukan saran yang dapat dipakai sebagai rekomendasi kebijakan, yaitu: 1. Pembangunan infrastruktur secara signifikan memengaruhi produktivitas ekonomi sehingga ketersediaan infrastruktur perlu mendapat perhatian 85 serius dari pemerintah dengan memberikan tambahan dana untuk pembangunan infrastruktur agar ketersediaannya lebih merata dinikmati seluruh masyarakat di Indonesia. 2. Infrastruktur yang memberikan kontribusi yang maksimal terhadap perekonomian yaitu sarana dan prasarana kesehatan. Oleh karena itu ketersediaan rumah sakit dan puskesmas perlu mendapatkan prioritas dalam penyelenggaraannya sehingga tingkat aksesibilitas masyarakat meningkat dan seluruh masyarakat dapat menjangkaunya dan pembangunan infrastruktur tersebut tepat sasaran baik wilayah maupun kegunaannya. 3. Listrik sebagai sumber energi perlu ditingkatkan produksinya agar kapasitas listrik yang disalurkan lebih besar lagi guna merangsang penggunaan listrik untuk bidang industri dan bisnis khususnya di luar Pulau Jawa. 4. Karena infrastruktur jalan mampu meningkatkan produktivitas ekonomi, pembangunan jalan baru dan perbaikan jalan yang rusak ringan maupun rusak berat perlu dilakukan terutama oleh pemerintah daerah khususnya jalan kabupaten/kota. 5. Ketersediaan air bersih juga perlu mendapat perhatian serius dalam hal pemerataan dan penggunaannya khususnya di luar Pulau Jawa dengan meningkatkan kapasitas air bersih PDAM sehingga masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan air bersih dengan harga yang terjangkau. DAFTAR PUSTAKA BPS, Bappenas dan UNDP Indonesia. 2004. Ekonomi dari Demokrasi Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia [Laporan Pembangunan Indonesia]. BPS, Jakarta. Bulohlabna, C. 2008. Tipologi dan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Edwin. 1998. Analisis Sikap Pemukim terhadap Prasarana Umum di Daerahnya [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Firdaus, M. dan T. Irawan. 2009. Ekonometrika untuk Data Panel (Aplikasi Eviews dan Stata. Modul Worshop IRSA Institute, Bogor. Ikhsan. 2004. Hubungan Antara Infrastruktur dengan Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan. LPEM, Jakarta. Jhingan, M. L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kodoatie, R. J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta. Murad, E. 2002. Pengaruh PDRB Riil, Tingkat Suku Bunga Riil dan Infrastruktur Jalan terhadap Investasi Domestik di Propinsi Bengkulu [Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Oktavianus, E. 2003. Analisis Keinginan Membayar Penduduk Perkotaan terhadap Pelayanan Air Bersih [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prasetyo, R. B. 2008. Ketimpangan dan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pembangunan Ekonomi Kawasan Barat Indonesia (KBI) [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Samuelson, P. A. dan W. D. Nordhaus. 2004. Ilmu Makroekonomi. PT. Media Global Edukasi, Jakarta. 87 Setiadi, E. 2006. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Dasar terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional (8 Propinsi di Pulau Sumatera) [Tesis]. Program Pascasarjana Magister Sains Universitas Indonesia, Jakarta. Setiorini. 2006. Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003 [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi IPB, Bogor. Setyaningrum, E. 1997. Analisis Pembiayaan Infrastruktur Perkotaan Studi Kasus Dati II Kabupaten Sleman DIY [Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sibarani, M. H. M. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia [Tesis]. Program Pascasarjana Magister Sains Universitas Indonesia, Jakarta. Soetopo, R. W. S. 2009. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sukirno, S. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. The World Bank. 1994. World Development Report: Infrastructure for Development. Oxford University Press, New York. Todaro, M. P. dan S. C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi kesembilan. Erlangga, Jakarta. Widarjono, A. 2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Ekonosia, Yogyakarta. Yanuar, R. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output serta Dampaknya terhadap Kesenjangan di Indonesia [Tesis]. Magister Sains Program Pascasarjana IPB, Bogor. 89 Lampiran 1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi dan Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007 No Provinsi (1) (2) PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Juta Rupiah) 2006 2007 (3) (4) 1 NAD 36.853.869 2 Sumatera Utara 93.347.404 3 Sumatera Barat 30.949.945 4 Riau 83.370.867 5 Kepulauan Riau 32.441.003 6 Jambi 13.363.621 7 Sumatera Selatan 52.214.848 8 Bangka Belitung 9.053.906 9 Bengkulu 6.610.626 10 Lampung 30.861.360 11 DKI Jakarta 312.826.713 12 Jawa Barat 257.499.446 13 Banten 61.341.659 14 Jawa Tengah 150.682.655 15 DI Yogyakarta 17.535.354 16 Jawa Timur 271.249.317 17 Kalimantan Barat 24.768.375 18 Kalimantan Tengah 14.853.726 19 Kalimantan Selatan 24.452.265 20 Kalimantan Timur 96.612.842 21 Sulawesi Utara 13.532.072 22 Gorontalo 2.175.815 23 Sulawesi Tengah 12.671.549 24 Sulawesi Selatan 38.867.679 25 Sulawesi Barat 3.321.147 26 Sulawesi Tenggara 8.643.330 27 Bali 22.184.679 28 NTB 15.543.810 29 NTT 10.368.505 30 Maluku 3.440.114 31 Maluku Utara 2.359.483 32 Papua 18.388.879 33 Papua Barat 5.548.901 Sumber: BPS (diolah), 2006 dan 2007 35.826.623 99.792.273 32.912.969 86.213.259 34.713.814 14.275.161 55.262115 9.465.062 7.008.965 32.648.066 332.971.263 273.995.145 65.046.776 159.110.254 18.285.620 287.815.123 26.260.648 15.754.509 25.922.288 97.803.248 14.407.302 2.339.218 13.683.882 41.332.426 3.567.816 9.331.720 23.497.047 16.242.003 10.904.483 3.633.475 2.501.175 19.176.080 5.934.316 Pertumbuhan (%) (5) -2,79 6,90 6,34 3,41 7,01 6,82 5,84 4,54 6,03 5,79 6,44 6,41 6,04 5,59 4,28 6,11 6,02 6,06 6,01 1,23 6,47 7,51 7,99 6,34 7,43 7,96 5,92 4,49 5,17 5,62 6,01 4,28 6,95 90 Lampiran 2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Peringkat Menurut Provinsi Serta Reduksi Shortfall-nya, Tahun 2006 – 2007 No (1) Provinsi (2) 1 NAD 2 Sumatera Utara 3 Sumatera Barat 4 Riau 5 Kepulauan Riau 6 Jambi 7 Sumatera Selatan 8 Bangka Belitung 9 Bengkulu 10 Lampung 11 DKI Jakarta 12 Jawa Barat 13 Banten 14 Jawa Tengah 15 DI Yogyakarta 16 Jawa Timur 17 Kalimantan Barat 18 Kalimantan Tengah 19 Kalimantan Selatan 20 Kalimantan Timur 21 Sulawesi Utara 22 Gorontalo 23 Sulawesi Tengah 24 Sulawesi Selatan 25 Sulawesi Barat 26 Sulawesi Tenggara 27 Bali 28 NTB 29 NTT 30 Maluku 31 Maluku Utara 32 Papua 33 Papua Barat Sumber: BPS, 2006 dan 2007 Peringkat Semua Provinsi IPM Reduksi Shortfall 2006 2007 2006 2007 (3) (4) (5) (6) (7) 69,41 72,46 71,65 73,81 72,79 71,29 71,09 71,18 71,28 69,38 76,33 70,32 69,11 70,25 73,70 69,18 67,08 73,40 67,75 73,26 74,37 68,01 68,85 68,81 67,06 67,80 70,07 63,04 64,83 69,69 67,51 62,75 6608 70,35 72,78 72,23 74,63 73,68 71,46 71,40 71,62 71,57 69,78 76,59 70,71 69,29 70,92 74,15 69,78 67,53 73,49 68,01 73,77 74,68 68,83 69,34 69,62 67,72 68,32 70,53 63,71 65,36 69,96 67,82 63,41 67,28 18 8 9 3 7 10 13 12 11 19 1 14 21 15 4 20 28 5 26 6 2 24 22 23 29 25 16 32 31 17 27 33 30 17 8 9 3 6 12 13 10 11 20 1 15 23 14 4 19 29 7 26 5 2 24 22 21 28 25 16 32 31 18 27 33 30 3,06 1,16 2,05 3,12 3,27 0,61 1,06 1,51 1,03 1,30 1,11 1,32 0,60 2,24 1,72 1,94 1,37 0,34 0,82 1,91 1,20 2,58 1,57 2,59 1,99 1,60 1,52 1,81 1,50 0,87 0,95 1,76 3,54 91 Lampiran 3. Uji Chow pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 Redundant Fixed Effects Tests Pool: POOL Test cross-section and period fixed effects Effects Test Statistic Cross-section F Cross-section Chi-square Period F Period Chi-square Cross-Section/Period F Cross-Section/Period Chi-square 158.737312 902.748847 5.875991 72.441327 116.177937 927.958853 d.f. Prob. (25,295) 25 (12,295) 12 (37,295) 37 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C JALAN? LISTRIK? AIR? KES? INV? 23.54738 0.265141 0.520867 0.193843 0.254749 0.028435 0.428859 0.024863 0.027829 0.017832 0.053981 0.003826 54.90703 10.66426 18.71638 10.87032 4.719250 7.433036 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Effects Specification Period fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.702415 0.686606 0.344514 37.98070 -110.1727 0.166301 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 15.29108 0.615405 0.758418 0.962012 44.43078 0.000000 92 Lampiran 3. Lanjutan Period fixed effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C JALAN? LISTRIK? AIR? KES? INV? 20.93830 0.109445 0.204423 0.055920 0.362502 0.003180 0.612030 0.046515 0.019764 0.018219 0.056409 0.002875 34.21123 2.352884 10.34335 3.069229 6.426334 1.106032 0.0000 0.0193 0.0000 0.0023 0.0000 0.2696 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.974488 0.971994 0.102987 3.256155 304.9811 0.420546 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) Cross-section and period fixed effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) 15.29108 0.615405 -1.621190 -1.270556 390.8772 0.000000 93 Lampiran 3. Lanjutan Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C JALAN? LISTRIK? AIR? KES? INV? 23.41928 0.210702 0.461489 0.220869 0.312253 0.028437 0.406591 0.023740 0.024550 0.014485 0.048880 0.003283 57.59913 8.875528 18.79825 15.24784 6.388203 8.661654 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.679371 0.674542 0.351082 40.92184 -122.7777 0.175845 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 15.29108 0.615405 0.761998 0.829863 140.6928 0.000000 94 Lampiran 4. Uji Hausman pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 Correlated Random Effects - Hausman Test Pool: POOL Test cross-section and period random effects Test Summary Cross-section random Period random Cross-section and period random Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. 0.000000 0.000000 0.000000 4 4 4 1.0000 1.0000 1.0000 * Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero. * Period test variance is invalid. Hausman statistic set to zero. Cross-section random effects test comparisons: Variable JALAN? LISTRIK? AIR? KES? Fixed 0.094237 0.178544 0.061950 0.444760 Random Var(Diff.) Prob. 0.089908 0.199342 0.075377 0.421101 -0.000106 -0.000052 -0.000062 0.000002 NA NA NA 0.0000 Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel EGLS (Period random effects) Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C JALAN? LISTRIK? AIR? KES? 21.45802 0.094237 0.178544 0.061950 0.444760 0.827410 0.028881 0.022496 0.022405 0.091128 25.93395 3.262970 7.936776 2.765016 4.880588 0.0000 0.0012 0.0000 0.0060 0.0000 Effects Specification S.D. Rho 95 Lampiran 4. Lanjutan Cross-section fixed (dummy variables) Period random Idiosyncratic random 0.021284 0.094855 0.0479 0.9521 Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) 0.976248 0.974011 0.098906 436.5262 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat 15.29109 0.613524 3.012972 0.356658 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.973948 3.324958 Mean dependent var Durbin-Watson stat 15.29109 0.376387 Period random effects test comparisons: Variable JALAN? LISTRIK? AIR? KES? Fixed 0.069029 0.142930 0.073875 0.543500 Random Var(Diff.) Prob. 0.089908 0.199342 0.075377 0.421101 -0.000091 0.000319 -0.000043 0.000103 NA 0.0016 NA 0.0000 Period random effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C JALAN? LISTRIK? AIR? KES? 21.98524 0.069029 0.142930 0.073875 0.543500 0.787264 0.029140 0.029617 0.022815 0.091683 27.92613 2.368855 4.825960 3.238048 5.928010 0.0000 0.0184 0.0000 0.0013 0.0000 96 Lampiran 4. Lanjutan Effects Specification S.D. Cross-section random Period fixed (dummy variables) Idiosyncratic random Rho 0.349378 0.9313 0.094855 0.0687 Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) 0.425756 0.397134 0.099788 14.87476 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat 15.29109 0.128519 3.196373 0.279011 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.305291 88.66573 Mean dependent var Durbin-Watson stat Cross-section and period random effects test comparisons: Variable Fixed Random Var(Diff.) JALAN? LISTRIK? AIR? KES? 0.069066 0.083688 0.051436 0.654881 0.089908 0.199342 0.075377 0.421101 -0.000078 0.000417 -0.000024 0.001823 15.29109 0.010058 Prob. NA 0.0000 NA 0.0000 Cross-section and period random effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C JALAN? LISTRIK? AIR? KES? 22.44395 0.069066 0.083688 0.051436 0.654881 0.857997 0.029369 0.031230 0.023226 0.100628 26.15853 2.351656 2.679704 2.214584 6.507973 0.0000 0.0193 0.0078 0.0276 0.0000 97 Lampiran 4. Lanjutan Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Period fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.979133 0.976243 0.094855 2.663261 338.9494 0.315300 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 15.29109 0.615405 -1.757097 -1.282044 338.7571 0.000000 98 Lampiran 5. Hasil Pengolahan Eviews dengan Metode Fixed Effect Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C JALAN? LISTRIK? AIR? KES? Fixed Effects (Cross) _NAD--C _SUMUT--C _SUMBAR--C _RIAU--C _JAMBI--C _SUMSEL--C _BENGKULU--C _LAMPUNG--C _DKI--C _JABAR--C _JATENG--C _DIY--C _JATIM--C _BALI--C _NTB--C _NTT--C _KALBAR--C _KALTENG--C _KALSEL--C _KALTIM--C _SULUT--C _SULTENG--C _SULSEL--C _SULTRA--C _MALUKU--C _PAPUA--C 22.44395 0.069066 0.083688 0.051436 0.654881 0.857997 0.029369 0.031230 0.023226 0.100628 26.15853 2.351656 2.679704 2.214584 6.507973 0.0000 0.0193 0.0078 0.0276 0.0000 0.153529 0.218120 -0.055032 1.194139 -0.330691 0.115811 -0.686518 -0.095868 1.215948 0.440431 0.069264 -0.107717 0.263073 0.230186 -0.168760 -0.850745 -0.007144 -0.071690 -0.085843 1.261359 -0.370710 -0.650604 -0.373107 -0.822440 -0.640259 0.155268 99 Lampiran 5. Lanjutan Fixed Effects (Period) 1995--C 1996--C 1997--C 1998--C 1999--C 2000--C 2001--C 2002--C 2003--C 2004--C 2005--C 2006--C 2007--C -0.075257 -0.037413 -0.006624 -0.083547 -0.083070 -0.046172 -0.033075 0.000576 0.030870 0.060153 0.070298 0.097716 0.105545 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Period fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.979133 0.976243 0.094855 2.663261 338.9494 0.315300 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 15.29109 0.615405 -1.757097 -1.282044 338.7571 0.000000