Ketua Yayasan Sinai/Relawan Usia

advertisement
BAB III
SAJIAN DAN ANALISIS DATA
A. Profil Informan
1. Nama : Titus Lado, SE.
Jabatan: Ketua Yayasan Sinai/Relawan
Usia
: 57 tahun
Alamat : Dk. Kutu Rt.02 /08 Kelurahan Telukan Kecamatan Grogol ,
Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah
Deskripsi : Titus merupakan relawan yang juga ketua Yayasan Sinai.
Sudah sejak tahun 1992 Titus mengurus yayasan Sinai ini. Banyak
pengalaman yang ia alami ketika membantu para klien. Bagi Titus
berkomunikasi dengan orang gangguan mental adalah hal yang biasa.
Tugas Titus adalah mengkoordinasi relawan-relawan di bawahnya, namun
tidak jarang ia juga turun sendiri mengurus para klien.
2. Nama : Yuwita Simatupamg, S.Th.
Jabatan: Relawan
Usia
: 49 tahun
Alamat : Dk. Kutu Rt.02 /08 Kelurahan Telukan Kecamatan Grogol ,
Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah
Deskripsi : Yuwita Simatupang adalah adik dari istri Titus Ketua Yayasan
Sinai. Sebelum berada di yayasan, Yuwita bertempat tinggal di medan.
55
56
Karena ajakan kakak ia akhirnya menjadi relawan. Yuwita merupakan staf,
ia banyak berhubungan dengan para klien terutama wanita. Semua
keperluan klien ia bantu bahkan hingga mengurus klien wanita yang
datang bulan.
3. Nama : Wahyuningsih
Jabatan: Relawan
Usia
: 33 tahun
Alamat : Dawuwetan RT 3/RW 9 Surakarta, Jawa tengah
Deskripsi : Wahyuningsih dulunya adalah klien di yayasan Sinai, ia pernah
mengalami stres dan depresi hingga pernah telanjang tanpa busana. Namun
kini Wahyuningsih sudah sembuh memiliki suami dan 2 orang anak.
Sekarang ia juga menjadi relawan di Yayasan Sinai. Ia termasuk relawan
yang muda di Yayasan Sinai. Ia bertugas sama dengan relawan lainnya,
yaitu mengurus dan berinteraksi dengan para klien.
57
B. Analisis Data dan Pembahasan
Salah satu kebutuhan manusia adalah berkomunikasi. Manusia
membutuhkan dan senantiasa berusaha membuka serta menjalin komunikasi
atau hubungan dengan sesamanya. Selain itu ada sejumlah kebutuhan dalam
diri manusia yang hanya dapat dipuaskan lewat komunikasi dengan
sesamanya,misalnya kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan penghargaan
yang itu semua bisa diwujudkan melalui komunikasi interpersonal.
Dalam kehidupan manusia, komunikasi interpersonal sangat penting
untuk menjalankan fungsi sebagai alat mempengaruhi atau membujuk orang
lain, karena melalui komunikasi interpersonal kita dapat menggunakan lima
alat indera untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang kita komunikasikan
kepada komunikan. Sebagai komunikasi yang bersifat tatap muka,
komunikasi interpersonal berperan penting hingga kapan pun,. Di kehidupan
sehari-hari komunikasi tatap-muka ini membuat manusia merasa lebih akrab
dengan sesamanya, berbeda dengan komunikasi lewat media massa seperti
surat kabar, televisi, ataupun lewat teknologi yang lain. Karena dengan
menggunakan media kita tidak dapat merasakan ekspresi lawan bicara kita
secara langsung, media hanya memudahkan komunikasi dengan jarak yang
jauh.
Untuk menciptakan hubungan yang lebih akrab dan dekat maka
manusia melakukan komunikasi interpersonal. Menurut Martin Buber dalam
buku Komunikasi interpersonal:interaksi keseharian (2013:23), komunikasi
interpersonal adalah komunikasi antara seorang komunikator dengan seorang
komunikan, secara langsung face to face, menurutnya, kita melihat orang lain
58
dengan segala keutuhan dan kepribadiannya, kita tidak melihat seseorang
harus mengikuti norma sosial tertentu, namun kita menerima mereka secara
utuh. Tidak berbeda dengan komunikasi yang dilakukan oleh orang dengan
gangguan mental. Dalam masyarakat mereka begitu dikucilkan dan bahkan
ada yang mentertawakan, menjauhi atau memandang sebelah mata. Hal ini
berbeda sekali dengan yang terjadi di Yayasan Sinai. Sikap dan usaha-usaha
para relawan yang mengurus Yayasan Sinai dalam memperlakukan orang
dengan gangguan mental ini layaknya sebagai manusia normal.
Pada penelitian ini, membahas mengenai pola-pola komunikasi
interpersonal antara relawan dan klien dalam pengananan kepribadian klien di
Yayasan Sinai Sukoharjo, Jawa tengah. Berdasarkan hasil wawancara dan
observasi,
pola-pola
komunikasi
Interpersonal
tersebut
diantaranya:
Komunikator, Pesan, Komunikan, Feedback/respon, Situasi Komunikasi,
Noise/gangguan, dan Efek.
1. Komunikator
Komunikator merupakan orang yang menyampaikan pesan. Dalam
komunikasi
interpersonal
komunikator
tentu
berperan
dalam
keberhasilan komunikasi tersebut. Berdasarkan hasil observasi dan
wawancara, yang menjadi komunikator antara relawan dan klien di
Yayasan Sinai adalah relawan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh
Titus, ketua Yayasan Sinai:
“ya dari relawan dari pengurus lah, karena mereka susah untuk
inisiatif untuk itu, nah diharapkan kan nanti dalam perjalanannya
waktu mereka sendiri kita ajari supaya bener-bener memulai
sebuah komunikasi” (wawancara dengan Titus Lado, 23 February
2016 di Yayasan Sinai)
59
Menurut Titus, relawan lah yang berperan sebagai komunikator,
karena peran seorang komunikator, memang penting maka di Yayasan
Sinai relawan lebih banyak berinisiatif utntuk memulai komunikasi
terlebih dahulu dengan klien. Hal ini juga sesuai dengan hasil observasi
di Yayasan Sinai, peneliti melihat banyak klien yang pasif dan asyik
dengan dirinya sendiri. Titus sebagai relawan menghampiri salah satu
klien dan menyapanya, respon dari klien tersebut positif. Klien
memanggil Titus dengan “Om” memang para klien biasa memanggil
Titus demikian. Peneliti melihat peran relawan sebagai komunikator ini
sangat penting untuk membangun komunikasi dengan klien karena jika
relawan tidak memulai komunikasi terlebih dulu, maka sulit mewujudkan
komunikasi interpersonal antara relawan dan klien.
Peran relawan
sebagai
klien
komunikator
juga
beradaptasi
dengan
ketika
berkomunikasi, tidak bisa sembarangan asal komunikasi. Sebagai
relawan harus bisa menyesuaikan dengan keadaan klien, hal ini seperti
yang disampaikan Yuwita Simatupang sebagai seorang relawan.
“Pandangan kami sebagai staf, komunikator terhadap klien itu
berbeda-beda, karna situasi mereka, mental mereka, jiwa mereka
itu kan berbeda-beda, walaupun dalam situasi waktu dan hari yang
sama gitu. Karena jiwa mereka kan kadang labil kadang netral
kadang benar-benar baik atau pokoknya mereka kadang-kadang
normal juga kalau diajak komunikasi.” (Wawancara dengan
Yuwita Simatupang, 23 february 2016 di Yayasan Sinai)
Yuwita menjelaskan bahwa sebagai komunikator harus bisa
menyesuaikan keadaan klien. Karena setiap klien juga memiliki sifat dan
karakter masing-masing layaknya orang pada umumnya. Apalagi
60
ditambah dengan keadaan jiwa mereka yang tidak stabil, semakin sulit
ditebak keadaan klien. Maka peran komunikator menyesuaikan keadaan
komunikan sangatlah penting.
Sementara Titus ketua Yayasan Sinai mengungkapkan bahwa
sebagai Komunikator kita harus menyatu dengan klien.
“ya kita harus menjadi bagian penting dalam hidup mereka artinya
sepertinya kita menyatu, tapi mereka kondisi sakit ya kejiwaanya
sakit. Kalau ya itu narkoba, ya narkoba. Kondisi kejiwaanya sudah
ini akhirnya kita harus jadi bagian yang seperti menyatu dengan
mereka, itu peranan yang paling penting supaya nanti bisa
mendapatkan hasil yang menjadi tujuan kita mencari informasi
dari klien”. (wawancaradengan Titus Lado, 23 February 2016 di
yayasan Sinai)
Titus menjelaskan bahwa sebagai komunikator harus memiliki
empati atau yang dibilang Titus adalah menyatu, komunikator mencoba
merasakan seperti apa kondisi mereka, seolah-olah berada di posisi
mereka, kalau ibarat kena narkoba ya relawan juga berusaha merasakan
kondisi orang yang terkena barkoba. Dengan begitu menurutnya
komunikator bisa mencari informasi dari klien dan mencapai tujuan
komunikasi.
Di Yayasan Sinai relawan sebagai komunikator yang baik
mewujudkan komunikasi interpersonal dengan berbagai cara.
“Kriteria pelayanan lebih baik itu kita secara apa ya, bukan dengan
cara tapi dengan kasih dengan cara pelukan , gimana kamu keadaan
kamu karna pasien-pasien itu membutuhkan kasih saying, oleh
sebab itu terkadang mereka lebih membutuhkan komunikasi secara
fisik, contohnya kita memeluk mereka.” (Wawancara dengan
Yuwita, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
“wujudnya kan kita dengan hadir datang ke ruangan atau pada saat
dia duduk kita datang kita rangkul kita ya canda tawa terus kita
61
sambil yah mencari taulah pada tujuan saya dengan bahasa yang
sebetulnya ga perlu bahasa konseling, bahasa yang kira-kira dapat
dia terima bahasanya mereka enggak.” (Wawancara dengan Titus
Lado, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Wujud komunikasi interpersonal antara relawan dan klien bisa
dalam bentuk non verbal. Seperti yang disampaikan Yuwita yaitu
pelukan sedangkan Titus berupa merangkul klien. Hal ini juga didukung
oleh hasil observasi, peneliti melihat Yuwita salah satu relawan, tanpa
ragu memeluk salah satu klien perempuan. Klien tersebut tersenyum dan
terlihat senang dan tidak menunjukan rasa ketidaknyamanan sedikitpun.
Ini membuktikan bahwa komunikasi interpersonal antara Yuwita sebagai
relawan dan klien tersebut memang tidak ada jarak. Sedangkan
Wahyuningsih yang juga relawan untuk menjadi komunikator yang baik
terhadap klien kita harus sabar dan mendengarkan.
“ya harus mendengarkan, sabar kan kadang-kadang mereka kesel
ngamuk-ngamuk, kita sabar.” (Wawancara dengan Wahyuningsih
23 February 2016 di Yayasan Sinai di Yayasan Sinai)
Sebagai Komunikator relawan menghadapi berbagai macam klien,
menghadapi klien yang sulit diatur juga dibutuhkan sebuah sikap.
“itu memang pertanyaan yang cukup bagus ya, jadi artinya gini kita
harus tau bahwa pertama dia ada di sini kenapa kan gitu lo. Kita
harus tau juga saya ada di sini karena apa ya to. Kalau kita sudah
tau itu, maka itu akan menghindari kita dari hal-hal yang membuat
kita gampang emosi, gampang marah atau yang membuat kita
belajar menjadi orang yang sabar dalam menghadapi mereka. Saya
bukan orang yang sabar tetapi dengan menghadapi mereka yang
sulit diatur ini membuat saya belajar jadi sabar. Caranya sederhana
dia kesini karena apa, saya di sini untuk apa.” (Wawancara dengan
Titus Lado, 23 February 2016)
62
Sikap Titus sebagai relawan yang berperan sebagai komunikator
seperti ini harus didasari oleh niat. Tidak mudah berkomunikasi dengan
orang gangguan mental, sikap pertama yang harus dimiliki seorang
relawan adalah niat. Senada dengan Titus, Wahyuningsih dan Yuwita
juga menyampaikan hal yang sama.
“ada niat ada panggilan mau melayani.” ( Wawancara dengan
Wahyuningsih, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
“Kenapa saya bisa melakukannya itu karna hati, kenapa ada hati itu
karena Tuhan, Tuhan menaruh hati buat kita dan kita menaruh hati
buat mereka karna apa, tidak semua orang seperti kami ini bisa
terpanggil untuk mereka-mereka, tidak semua. Kalau semua
terpanggil seperti kami ini sudah tidak ada lagi pekerja-pekerja
lainnya kan gitu. Jadi memang dalam panggilan ini memang ada
kesulitan namun ada enakknya, kenapa ada kesulitannya ketika
kita melakukan dituntut banyak hal untuk melakukan sesuatu yang
terbaik bagi mereka tetapi kemampuan kita terbatas tetapi kita
berusaha gitu ketika ada enaknya ketika kita melihat ada perubahan
ada hasil yang kita lakukan kita merasa senang inilah yang kita
lakukan. Jadi hati kita tidak merasa sia-sia melakukan sesulit
apapun untuk mereka.” (Wawancara dengan Yuwita Simatupang,
23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Hampir sama dengan menghadapi klien yang sulit diatur, seorang
komunikator juga dituntut untuk memahami apa yang disampaikan klien.
Tidak seperti pada orang normal pada umumnya, berkomunikasi dengan
klien yang berkebutuhan khusus lebih sulit. Di Yayasan Sinai seorang
relawan sebagai komunikator senantiasa selalu memhami apa yang klien
ingin sampaikan.
“kami memahaminya itu mencoba membuka hati dulu baru
mendengarkan mereka, kita mendengarkan mereka aja apa-apa
keluhan mereka, nah ada keluhan yang harus kita tangani tetapi ada
keluhan-keluhan yang tidak kita harus tangani karena apa, karena
mereka kan cari perhatian lebih gitu,ingin maunya lebih contohnya
ingin lebih diperhatikan maunya saya saya saya, nah orang yang
63
sakit itu maunya dia jangan orang lain. Semuanya seperti itu ingin
disayangi ingin diperhatikan tetapi kita harus membagi-bagi waktu
kita mana yang lebih dulu kita tangani mana yang nanti
belakangan. Jadi ketika mereka mengeluh, ada keluhan yang
memang kita harus dengarkan dan kita jawab namun ada keluhan
yang langsung kita tangani begitu.” (Wawancara dengan Yuwita
Simatupang, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
“saya cuman berupaya untuk gimana sih supaya bisa menjadi
mereka, menjadi seperti mereka tapi saya kan tidak seperti mereka.
Menjadi seperti mereka dalam arti kata mungkin bahasa yang saya
perlakukan adalah bahasa-bahasanya yang seperti ngawur juga
tapi punya sasaran ini penting kalau kita tidak menggunakan
bahasa yang tinggi yang besar yang ini itu enggak akan pernah
dapat kalau itu bisa diperoleh dengan cara seperti itu tidak akan ada
orang sakit jiwa pasti sembuh semua, tapi karena kita mencoba
ada yang sembuh ada yang belum itulah cara kami memperlakukan
mereka, cara saya memperlakukan mereka melebur diri dengan
mereka.” (Wawancara dengan Titus Lado, 23 February 2016 di
Yayasan Sinai)
Tidak jauh berbeda dengan menghadapi klien yang sulit diatur,
memahami apa yang disampaikan klien juga dibutuhkan sikap yaitu niat,
seperti yang disampaikan Yuwita yaitu dengan membuka hati dan mau
mendengarkan. Sementara Titus berpegang pada empati, yaitu dengan
berupaya merasakan jika menjadi seperti klien.
64
Gambar. 7
Titus (kiri) sebagai relawan berinisiatif memulai obrolan pada klien (kanan) yang
pasif.
65
2. Pesan
Dalam berkomunikasi pesan merupakan unsur yang selalu ada.
Karena dalam berkomunikasi kita menyampaikan pesan untuk tujuan
tertentu. Melalui pesan kita bisa menyampaikan maksud dan keinginan
kita kepada komunikan. Di Yayasan Sinai relawan sebagai seorang
komunikator
menyampaikan
pesan
dengan
maksud
membuka
komunikasi dengan klien yang bertujuan menangani kepribadian klien
agar lebih baik.
Berdasarkan hasil wawancara dan observarsi di Yayasan Sinai,
relawan memperlakukan klien layaknya manusia normal seperti yang
disampaikan Titus selaku ketua Yayasan Sinai.
“kembali pada jawaban tadi , saya ini ada di sini kan untuk mereka
, mereka yang seperti ini kalau mereka waras kan gak mungkin ada
di sini tapi karena dia bermasalah makanya ada di sini dan saya di
sini untuk membantu mereka menyelesaikan masalahnya mereka
nah sudut pandang yang saya buat di sini kalau saya
memperlakukan mereka seperti orang sakit maka saya tidak punya
keahlian untuk menyembuhkan mereka tapi kalau saya
memperlakukan mereka yang seorang manusia pada umumnya
maka saya akan mendapatkan sesuatu yang harapkan dari mereka,
ya kalau komunikasi antara saya dengan orang yang sakit jiwa kan
gak pernah ketemu tapi komunikasi yang saya lakukan adalah saya
menganggap mereka adalah orang yang sehat hanya mereka sedang
dibelit sebuah masalah yang mereka sendiri belum dapatkan jalan
keluarnya nah tanggung jawab saya adalah mencoba trus mencari
bagaimana menolong mereka untuk menemukan jalan keluar dari
permasalahan mereka.” (Wawancara dengan Titus Lado, 23
February 2016 di Yayasan Sinai)
Pernyataan di atas memang benar-benar dilakukan, bukan cuma
kata-kata. Hal ini terbukti dengan pesan yang disampaikan relawan pada
klien.
66
“pesan kami kepada mereka untuk membangkitkan semangat
mereka supaya mereka punya percaya diri, contohnya dengan
banyak merapkan teori rohani, kita mengatakan kepada mereka
kalian itu adalah ciptaan yang sangat berharga oleh Tuhan. Jadi
jangan batasi dirimu dengan kelemahanmu tetapi cobalah lihat
kelebihanmu sekalipun mungkin orang luar tidak bisa menerima
kita maksudnya menerima kalian tetapi ada Tuhan yang bisa
nerima kamu biarkan orang lain berkata apa padamu tetapi ingat
tujuan hidup kita bukan hanya di dunia ini ada Tuhan tempat kita
bersandar, itu komunikasi kita pada mereka supaya yakin dengan
dirinya bahwa mereka itu benar-benar manusia yang masih
berguna.” (Wawancara dengan Yuwita Simatupang, 23 February
2016 di Yayasan Sinai)
“oo ya kita obrolan-obrolan sederhana yang misalnya masalah di
rumah bagaimana, dulu kamu disini seperti apa, kalau bapak ibu
seperti apa, kita mencari siapa tau kamu bersaudara berapa, kamu
apa saja kamu yang, karna ketika kita ngajak ngobrol gitu mereka
memorinya lama tetep ada, kembali.” (Wawancara dengan Titus
Lado, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
“tiap
tidur
berdoa,
yang
tenang
dikasih
nasihat
motivasi.”(Wawancara dengan Wahyuningsih, 23 February 2016 di
Yayasan Sinai)
.
Dari ketiga pernyataan tersebut memang pesan yang disampaikan
Relawan kepada klien di Yayasan Sinai tidak ada yang berbeda seperti
kita berkomunikasi pada orang umumnya, ini membuktikan relawan
memperlakukan klien layaknya manusia normal. Ini seperti hasil
observasi peneliti, ketika peneliti mencoba berkomunikasi langsung
dengan salah satu klien, klien tersebut mengerti dengan pesan yang
peneliti sampaikan sehingga komunikasi 2 arah terbentuk. Topik yang
disampaikan klien pada peneliti saat itu juga hal-hal ringan, seperti
menanyakan alamat rumah peneliti hingga nomor telepon peneliti, hal ini
memang tidak terduga. Namun tetap saja berkomunikasi dengan klien
tidak mudah, kadang mereka bicara ngalor-ngidul sehingga peneliti sulit
67
memahaminya. Namun apakah klien yang berkebutuhan khusus ini bisa
menerima dengan apa yang disampaikan oleh relawan.
“tetep nyambung untuk itu, hanya ceritanya lebih pada mereka
menyalahkan keluarga, bentuknya begitu. Habis itu peran kita
adalah berusaha mengembalikan bahwa sesungguhnya apa yang
menurut kamu salah itu ada alasan-alasan mengapa keluarga
mengapa kamu seperti ini, mengapa kakakmu seperti ini mengapa
adikmu seperti ini, apalagi yang terjadi ketika dia mulai sakit yang
menurut dia enggak sakit, artinya memori, yang selalu dia ingatkan
yang menimbulkan semacam dendam terhadap keluarga.”
(Wawancara dengan Titus, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
“ada yang bisa ada yang engga mas kan lain-lain kategori mereka
sakitnya.”(Wawancara dengan Wahyuningsih, 23 February 2016 di
Yayasan Sinai)
Dari pernyataan tersebut ternyata klien bisa menerima apa yang
disampaikan relawan. Meskipun tidak semua, karena kembali lagi bahwa
sebagai komunikator kita yang menyesuaikan keadaan klien. Karena
kondisi klien yang berbeda-beda maka pesan yang disampaikan
komunikator pada klien ada yang bisa diterima ada yang tidak. Selain
pesan-pesan verbal yang berupa obrolan-obrolan, relawan juga
menyampaikan pesan dalam bentuk non verbal. Ada relawan yang lebih
banyak menyampaikan pesan non verbal daripada verbal.
“kalau saya pribadi menyampaikannya itu kan kita banyak staf
disini kan beda-beda kalau saya pribadi terkadang satu harian itu
lebih banyak non verbal, kadang kita peluk mereka, kadang kita
cium mereka kalau mereka perempuan kita sayang, aduh kamu hari
ini cantik seperti itu.” (Wawancara dengan Yuwita Simatupang, 23
February 2016 di Yayasan Sinai)
Seperti yang telah dikemukakan pesan non verbal juga berperan
penting dalam komunikasi interpersonal antara relawan dan klien di
68
Yayasan Sinai. Bentuk pesan non verbal tersebut diantaranya
pelukan,ciuman. Namun hal itu dilakukan pada sesama jenis tentunya,
seperti yang disampaikan oleh Wahyuningsih relawan di Yayasan Sinai.
“pelukan,sentuhan tapi sesama jenis lo ya.” (Wawancara dengan
Wahyuningsih, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Berdasarkan hasil observasi, pernyataan diatas terbukti. Peneliti
melihat salah satu relawan memeluk klien, Selain itu peneliti juga
melihat Titus ketua yayasan Sinai, melakukan pesan non verbal juga,
Titus mengelus kepala klien laki-laki dan menanyakan kabarnya dan
sedikit obrolan ringan. Klien itu pun juga menanggapinya. Klien sebagai
komunikan juga menyampaikan pesan bukan hanya dari komunikator
saja. Kebanyakan klien di yayasan Sinai menyampaikan pesan dalam
bentuk non verbal, namun verbal tetap ada. Bentuk pesan verbal dari
klien biasanya berupa curhat dan keinginan mereka untuk pulang pada
keluarga mereka. Hal ini seperti yang diungkapkan Yuwita
dalam
wawancara.
“Kalau mereka itu lebih sering nanya gini ya, tante kapan kami
pulang itu yang paling sering,telpon dong keluarga biar kami
pulang hanya itu yang paling sering, telpon dong keluarga kan aku
udah sembuh, iyaa ntar kamu juga pulang tenang aja, yang penting
enjoy pikirannya tenang harus gembira enjoy aja pasti kamu
pulang.” (Wawancara dengan Yuwita Simatupang,23 February
2016 di Yayasan Sinai)
Dalam hal ini klien menyampaikan pesan tersebut seperti ngobrol
biasa. Dan relawan pun juga menanggapinya dengan serius. Selain
dengan verbal, klien menyampaikan pesan dalam bentuk non verbal.
69
Justru menurut Titus ketua yayasan Sinai pesan yang disampaikan klien
kebanyakan non verbal, verbal justru kecil sekali.
“seperti apa ya, artinya bahwa sesuatu yang kita sampaikan ini kita
sendiri tidak begitu yakin bahwa itu benar atau tidak namun kita
coba terus untuk menganalisa gitu ya apa yang sebenarnya terjadi
dibalik pesan mereka. Karena kalau kita lihat kebanyakan non
verbal, tapi saya enggak begitu yakin itu benar atau tidak berusaha
untuk menggali membuat semacam analisa supaya bisa
menjangkau, kalau kita enggak bisa menjangkau perasaan mereka
entar pada hasilnya itu itu saja.”(Wawancara dengan Titus Lado,
23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Pesan non verbal yang klien coba sampaikan menurut Titus sulit
untuk diketahui maksudnya. Namun Titus terus menganalisa dan mencari
tahu meskipun hasilnya tidak cepat didapat. Dengan melihat pesan-pesan
yang disampaikan klien baik verbal maupun non verbal, bisa dilihat
keunikan dari setiap klien. Hal
ini termasuk dalam salah satu ciri
komunikasi interpersonal yang di sebutkan oleh Julia Wood (2013:23-29)
yaitu unik.
70
Gambar. 8
Selain pesan verbal, pesan non verbal juga dilakukan Yuwita (kanan) sebagai
relawan pada klien (kiri) salah satunya pelukan
71
3. Komunikan
Sebagai salah satu unsur komunikasi interpersonal, komunikan
juga berperan dalam keberlangsungan komunikasi antara relawan dan
klien di Yayasan Sinai. Dalam komunikasi setiap harinya di Yayasan
Sinai klien lebih banyak berperan menjadi klien. Namun tidak selalu
klien berperan menjadi komunikan, ada kalanya mereka memulai
komunikasi terlebih dulu pada relawan tetapi hal itu sangat jarang.
Karena klien lebih pasif dan cenderung sudah asyik dengan dunia mereka
sendiri. Hal ini sesuai dengan hasil observasi, ketika berada di halaman
yayasan Sinai peneliti memang melihat banyak klien diam, ada yang
bicara sendiri, bisa dihitung jari klien yang mencoba mengajak bicara
salah satu relawan.
Karena itu relawan harus berinisiatif untuk memulai komunikasi
terhadap klien. Klien yang besifat pasif juga merupakan tanggung jawab
relawan
untuk membuatnya mau berkomunikasi sehingga tercipta
komunikasi 2 arah yang baik. Namun di Yayasan Sinai, merupakan hal
yang tidak mudah mengajak mereka klien sebagai komunikan untuk
berinteraksi. Kepribadian dari klien sangat menentukan keberhasilan dari
komunikasi interpersonal ini, karena para klien di Yayasan Sinai juga
memiliki karakter masing-masing layaknya manusia normal pada
umumnya.
“berbeda, karena latar mereka kan berbeda-beda ada yang karena
narkoba, ada yang depresi karena masalah keluarga, masalah dalam
usaha, dalam pacar jadi klien kita berbeda-beda, cara komunikasi
kita ke mereka juga berbeda-beda karna mereka sifat mereka sama
72
emosi mereka berbeda-beda gak semua sama.”(Wawancara dengan
Yuwita Simatupang, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Pernyataan dari Yuwita Simatupang sebagai relawan menegaskan
memang di Yayasan Sinai para klien juga memiliki kepribadian masingmasing, hal itu bisa disebabkan latar belakang klien. Peneliti juga
merasakan sendiri berkomunikasi dengan klien saat observasi, ketika
berbicara dengan salah satu klien, klien ini bisa diajak berkomunikasi 2
arah. Namun ketika peneliti mencoba dengan klien lain, ternyata
responnya berbeda, klien yang ini cenderung diam dan tidak mau diajak
berkomunikasi seperti menutup diri. Ini membuktikan setiap klien itu
berbeda-beda dan memiliki karakter masing-masing. Para relawan pun
menyesuaikan
keadaan
klien
dalam
berkomunikasi.
Tidak
bisa
menyamakan cara berkomunikasi pada semua klien sebagai komunikan,
disini kesabaran relawan diuji. Menghadapi klien yang berbeda-beda
kepribadiannya dibutuhkan kemauan. Jalaluddin (2013-132) menjelaskan
bahwa salah satu ciri komunikasi interpersonal adalah sikap supportif
yaitu sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Jalaluddin
menjelaskan sikap defensif merupakan hal yang dapat membuat gagal
sebuah komunikasi. Sikap defensif adalah sikap yang tidak menerima,
tidak jujur dan tidak empatis. Sama halnya dengan pernyataan Jalaluddin,
Titus relawan yang juga Ketua Yayasan Sinai melakukannya dalam
menghadapi klien (komunikan).
“kita mengatasinya dengan sistem gerak tubuh ya, misalnya datang
ke kamar mereka kecuali cewek ya saya enggak andil. Paling saya
rangkul di hadapan banyak orang lah, tapi kalau yang cowok
73
biasanya saya datang tidur bareng dengan mereka saya peluk saya
ajak bercanda maksudnya supaya dia mau membuka diri kan
dengan dia diperlakukan seperti itu kan dia merasa jadi temen
walaupun nanti pada akhirnya masih tetap pasif tapi itu terus kita
lakukan sampai dimana satu waktu dia mulai bisa bercerita.
Misalnya menanyakan om keluarga saya kok enggak pernah
datang.”(Wawancara dengan Titus Lado, 23 February 2016 di
Yayasan Sinai)
Dalam pernyataannya Titus menghadapi klien sebagai komunikan
dengan menerapkan sikap Supportif. Titus tidak defensif pada klien, hal
itu dilakukannya dengan mendatangi klien dan memeluknya. Hal ini
menurut Titus bisa membuat klien yang tadinya diam menjadi lebih
terbuka dan mau berkomunikasi pada relawan. Karena komunikan juga
berperan penting dalam keberhasilan komunikasi interpersonal antara
relawan dan klien maka tugas relawan untuk membuat klien sebagai
komunikan mau bicara, seperti Titus. Berbeda dengan Titus, Yuwita
yang juga relawan memiliki cara yang unik dalam menghadapi klien
yang susah diajak komunikasi, karena menurut Julia Wood (2013:23)
unik juga merupakan ciri komunikasi interpersonal. Setiap orang selalu
unik, begitu pula dengan persahabatan. Sekelompok sahabat pasti
menciptakan pola unik sendiri dan bahkan istilah-istilah yang hanya
dimiliki oleh kelompok mereka sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka
setiap komunikasi interpersonal adalah unik karena kita berkomunikasi
pada orang yang berbeda-beda dengan keunikan mereka masing-masing.
Di yayasan Sinai pun komunikasi antara relawan dan klien juga memiliki
keunikan.
74
“cara kita mengajak klien berkomunikasi yaitu kita coba dengan
cara memberikan sesuatu yang tidak pernah dia miliki contohnya
klien kita banyak juga yang tidak dikunjungi keluarga nah jika kita
punya uang klien ini kan suka makan-makanan ngemil kita kasih
permen atau roti, mau tidak ? mau mau mau, mereka pasti
ngomong gitu. Aku ada makanan kamu mau kan ? ya seperti tadi
dengan tangan terbuka dengan senyum, coba kalau kita dengan
galak, ada apa ! kan mereka semakin takut bukannya semaikin mau
ngomong, takut iya kan ?”(Wawancara dengan Yuwita
Simatupang, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
75
4. Feedback
Setelah komunikator (relawan) menyampaikan pesan pada klien
(komunikan), klien memberikan tanggapan atau feedback. Di yayasan
Sinai klien memberikan tanggapan yang berbeda-beda. Tanggapan dari
klien bisa dipengaruhi dari karakter klien itu sendiri. Karakter lagi-lagi
berpengaruh dalam komunikasi interpersonal antara relawan dan klien,
tak terkecuali feedback. Layaknya orang pada umumnya juga, mereka
juga
memberikan
tanggapan
berdasarkan
mood,
seperti
yang
disampaikan Yuwita relawan yayasan Sinai.
“tidak selalu tergantung pada mood, tidak, tapi kan pasien itu bedabeda. Kembali ke awal kan pasien kita kan beda-beda latar
belakang mereka jadi jiwa mereka temperamen mereka juga
berbeda-beda. Ada yang sama sekali tenang pembawaanya, ada
yang sama sekali mau marah-marah ada yang sama sekali tidak
mau diajak ngomong jadi pasien itu kan beda-beda.”(Wawancara
dengan Yuwita Simatupang, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Feedback dari klien banyak dipengaruhi oleh faktor dari diri klien
itu sendiri. Seoorang relawan yang sudah biasa berkomunikasi dengan
klien pun belum tentu bisa membuat klien yang tidak mau memberikan
tanggapan menjadi mau berbicara. Karena menurut Titus saat
wawancara, klien yang seperti ini sudah asyik dengan dunia mereka
sendiri. Bahkan ada juga klien yang ketika diajak berkomunikasi tidak
memberikan feedback sama sekali, ini menurut Wahyuningsih yang juga
relawan disebabkan oleh keadaan kejiwaan klien yang sudah sangat
parah. Namun menurut Titus kita harus terus mengajaknya berinteraksi
meski tidak tau sampai kapan dia akan diam, ia menegaskan bahwa para
76
relawan harus kembali lagi pada awal yaitu niat. Selain itu Feedback dari
klien pun jarang dengan yang sesuai dengan yang diharapakan relawan,
seperti yang dikatakan Titus, relawan tetap menanggapinya.
“kita coba untuk menanggapinya kembali mencoba untuk apa sih
tadi maksud kamu apa, butuh penjelasan ulang walaupun
jawabannya masih tetap enggak ini, tapi kita mencoba beberapa
kali untuk menanggapi, yang penting dia udah memberikan
tanggapan kan gitu ya, nah tanggapanya ya menanyakan lagi apa
sih tadi kok om gak jelas, coba jelasin apa. Misalnya dia
menyinggung masalah keluarga, kita Tanya gini kenapa to ibu
kenapa bapak kenapa.”(Wawancara dengan Titus Lado, 23
february 2016 di Yayasan Sinai)
Pernyataan di atas juga didukung hasil observasi, peneliti melihat
Titus mencoba menanggapi lagi apa yang disampaikan klien saat
berkomunikasi. Memang feedback dari klien sulit dimengerti tetapi Titus
berusaha memahami. Dari banyak klien yang memberikan feedback,
ternyata ada yang memberikan feedback yang bisa membuat komunikasi
2 arah seperti yang disampaikan Titus.
“ada, ada yang bisa membentuk komunikasi 2 arah tapi ya hanya
pasien/ orang tertentu , tapi itupun tidak bisa dalam jangka waktu
yang paling ya 5 sepuluh menit dia udah kehilangan
arah.”(Wawancara dengan Titus Lado, 23 February 2016 di
Yayasan Sinai)
Meskipun tidak lama, namun ternyata ada klien yang bisa diajak
berkomunikasi 2 arah. Melalui feedback dari klien ini juga bisa dilihat
keadaan klien. Seperti yang dikatakan Wahyuningsih.
“ya, lagi ada gangguan atau lagi tenang, kalau lagi bermasalah
bergejolak dia.”(Wawancara dengan Wahyuningsih, 23 February
2016 di Yayasan Sinai)
77
Gambar. 9
Titus (kiri) mencoba menanggapi kembali feedback non verbal dari klien (kanan)
78
5. Situasi Komunikasi
Dalam
komunikasi
Interpersonal
banyak
faktor
yang
mempengaruhinya, salah satunya adalah situasi komunikasi. Di Yayasan
Sinai juga berlaku hal yang sama, komunikasi interpersonal antara
relawan dan klien juga dipengaruhi oleh situasi komunikasi. Berdasarkan
hasil observasi komunikasi yang terjadi di yayasan Sinai banyak
dilakukan di dalam lingkungan yayasan Sinai. Komunikasi antar relawan
dan klien bisa terjadi di kamar tidur, ruang ibadah maupun halaman
yayasan Sinai. Halaman yayasan Sinai seperti lorong panjang, di sini
klien banyak menghabiskan waktunya selain di tempat tidur. Semua
komunikasi masih di dalam lingkup yayasan Sinai, tidak keluar dari situ.
Mengenai waktu, klien lebih nyaman diajak berinteraksi oleh
relawan pada pagi dan sore hari. Hal ini dikarenakan pada waktu itu klien
berada dalam kondisi yang tenang dan lebih santai. Hal ini berdasarkan
yang disampaikan Wahyuningsih dan Yuwita sebagai relawan.
“waktu iya ada yang berpengaruh, makanya ketika mereka ngantuk
atau lelah atau keadaannya mereka kadang nggak mau. Kalau
mereka lagi ini keadaan lagi santai tenang kita ajak ngobrol malah
lebih enak.” (Wawancara dengan Yuwita Simatupang, 23 February
2016 di Yayasan Sinai)
“sore, sore-sore kalau lagi santai.” (Wawancara
Wahyuningsih 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
dengan
Waktu yang paling tepat saat berkomunikasi dengan klien
memang saat pagi dan sore hari, Karena kondisi klien lebih baik pada
79
waktu-waktu tersebut. Walaupun pada jam tersebut Klien lebih enak
diajak berinteraksi, tetap saja klien tidak bisa diajak berkomunikasi lamalama. Menurut Titus ketua yayasan Sinai jika durasi komunikasi antara
relawan dan klien lebih dari 5 menit, maka mereka (klien) akan ngawur
dalam menjawab. Senada dengan Titus, Yuwita yang juga relawan
menyampaikan hal yang sama.
“kita nggak perlu lama-lama, mereka kan gampang jenuh
gampang bosanan, paling kita 5 – 15 menit.”(Wawancara dengan
Yuwita Simatupang, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Masih menurut Yuwita, klien yang diajak berkomunikasi lebih
dari 5 menit maka mereka akan bicara sendiri dan ada yang diam saja.
Berdasarkan hal ini relawan di Yayasan Sinai tidak lama-lama dalam
berkomunikasi dengan klien, durasi komunikasi yang efektif antara
relawan dan klien adalah 5 sampai 15 menit. Yuwita juga mempunyai
cara unik untuk membentuk situasi komunikasi yang fun.
“ada, umpamanya situasinya longgar ya kita main yuk trus kita
kumpul-kumpul baru mereka mengeluarkan uneg-uneg, oke tante
kita jajan inilah ita makan inilah kalau kita punya uang,ada satu
lagi tante telpon dong keluarga biar dikirimi paket , ya kalau kita
ngobrol seperti itu mereka mau.” (Wawancara dengan Yuwita
Simatupang 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Yuwita menjelaskan bahwa para klien akan lebih banyak bercerita
jika suasana komunikasi itu sendiri menyenangkan, mereka para klien
biasa dipancing dengan makananan maupun cemilan. Meski situasi
komunikasi sengaja diatur namun hal ini menurut Yuwita efektif untuk
membuat klien lebih banyak bicara sehingga komunikasi 2 arah lebih
mudah terjalin.
80
Oleh sebab itu menurut Titus situasi komunikasi sangat penting
dalam komunikasi interpersonal antara relawan dan klien.
“sebetulnya penting, sangat penting, masalah itu kembali pada kita
yang tau kesehariannya seperti apa itu sangat penting. Jangan
sampai dia ke tempat yang sepi yang tenang trus dia hanya
ngomong sendiri, kita enggak ngomong apa-apa percuma.”
(Wawancara dengan Titus Lado, 23 February 2016 di Yayasan
Sinai)
Sama dengan Titus, Yuwita juga menyampaikan hal yang sama.
“penting, situasi komunikasi itu penting,jangankan itu, bagi kita
saja,kita lagi capek bekerja istilahnya kita komunikasi dengan halhal mungkin berat pasti kan beda emosi juga. Apalagi dengan orang
yang sakit seperti itu , situasi dan waktunya itu
penting.”(Wawancara dengan Yuwita simatupang, 23 February
2016 di Yayasan Sinai)
Selain waktu dan tempat, di Yayasan Sinai lingkungan sekitar klien
dapat membentuk kepribadian klien. Lingkungan bisa berasal dari temanteman sesama klien, jika klien ada yang keras dengan sesama klien maka
mereka akan saling bersikap keras. Begitu juga sebaliknya jika teman
mereka peduli maka klien juga peduli. Hal ini juga didukung hasil
observasi, peneliti mendapati ada 2 klien yang saling bergandeng tangan
padahal mereka sama-sama laki-laki namun setiap berjalan selalu
bergandengan. Ini membuktikan bahwa antara orang gangguan mental
pun mereka masih bisa saling peduli.
81
Gambar. 10
Dua orang klien saling bergandengan,
yang menunjukan
kepedulian juga bisa dilakukan oleh mereka yang berkebutuhan khusus.
Sikap dari relawan juga berpengaruh. Jika relawan ramah maka
klien juga akan merasa diperhatikan. Kemudian lingkungan awal klien
atau latar belakang klien juga membentuk kepribadian klien, seperti yang
disampaikan Titus.
“ya kemungkinan ada, lingkungan membentuk kepribadian itu ada,
itu itu sangat banyak ya karna misalnya situasi keluarga, keluarga
ini kan otomatis katakan keluarga yang sering ribut sering
bertengkar trus menyinggung masalah otomatis membuat dia
terbentuk seorang yang pendendam sementara sama orang lain
mereka tidak punya keberanian untuk bicara. Nah dia masuk kesini,
kita datang bertemu dengan mereka, dengan cara yang mengasihi
membuat mereka punya penghormatan sama kita, makanya
lingkungan sangat berpengaruh.”(Wawancara dengan Titus Lado,
23 February 2016 di Yayasan Sinai)
82
Apa yang disampaikan Titus tersebut termasuk dalam salah satu
faktor yang mempengaruhi kepribadian yang disebutkan oleh Mattew dan
Hergenhahn (2013:7) yaitu Pengaruh Sosial-Budaya, situasi dimana
seseorang lahir dan dibesarkan (seperti jenis budaya, lingkungan
masyarakat dan keluarga) memiliki dampak yang besar bagi kepribadian.
Gambar. 11
Situasi komunikasi yang berada di halaman Yayasan Sinai. Para klien biasa
berkumpul di halaman saat santai.
83
6. Noise
Dalam segala hal pasti ditemukan suatu hambatan, begitu pula
dalam komunikasi interpersonal. Dalam komunikasi sehari-hari ada
hambatannya apalagi berkomunikasi dengan orang gangguan mental.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, relawan di yayasan Sinai
mengalami hambatan yang mirip saat berkomunikasi dengan orang normal
pada umumnya. Seperti yang disampaikan Yuwita berikut ini.
“hambatannnya yaitu ketika, contohnya kebetulan saya banyak
menangani pasien wanita ketika mereka datang bulan itu sangat susah
bawaanya marah marah terus, emosi. Sensitif, kalau mereka yang
datang bulan itu bawaanya marah-marah, apapun kata-kata yang kita
bilang gak masuk di hati mereka.” (Wawancara dengan Yuwita
Simatupang, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Tak jauh beda dengan perempuan normal umumnya, saat klien
perempuan mengalami datang bulan maka mereka akan lebih sensitif dan
mudah marah. Perbedaannya adalah orang gangguan mental akan lebih
ekspresif dan melampiaskan kemarahannya pada relawan karena para
klien
tidak
dapat
mengontrol
hal
tersebut
dikarenakan
kondisi
kejiwaannya. Sedangkan perempuan normal pada umumnya masih bisa
menyembunyikan hal ini. Titus ketua yayasan Sinai pernah mengalami
hambatan dari klien yang cenderung berbahaya, hal ini seperti yang
disampaikannya.
“pernah saya nih ada bekas nih,ngobrol cerita dia ngomong ngomong
sambil ketawa-ketawa tiba-tiba balik pukul saya, saya pingsan. Trus
sekarang reaksi saya apa kan gitu, begitu saya sadar dia lagi dipukuli
sama temen-temennya, temen-temennya yang narkoba kan dipukuli
sama temen-temennya tapi begitu saya sadar mereka saya marahi
justru mereka saya hukum karna apa, tindakan kalian harusnya bukan
membela untuk memukulinya tapi mungkin cukup dipegangi atau
diamankan, melakukan pengamanan karna kalian tidak berhak, tidak
perlu membela saya karna yang dia lakukan diluar kemampuannya di
bawah alam sadar. Akhirnya semenjak itu secara ini dia oleh temen-
84
temennya dibersihkan luka-lukanya, kenapa kamu dipukuli kenapa
kamu sampai gitu kan saya Tanya kamu dipukuli kenapa kan mesti
ada sebabnya.” (Wawancara dengan Titus Lado, 23 February 2016 di
Yayasan Sinai)
Pengalaman yang dialami Titus sebagai relawan bisa dikatakan hal
cukup ekstrim. Mungkin banyak orang yang akan berhenti menjadi
relawan jika mengalami hal yang sama. Namun Titus kembali menegaskan
mengapa ia sanggup menjalaninya.
“saya pikir tidak ada masalah, ya kembali lagi saya ini siapa dia
siapa, buat saya tidak ada masalah dengan itu. Misalkan ini terjadi
sesuatu gangguan misalnya waktu saya ajak ngomong tau-tau mukul
saya, harus jalan jangan jadi hambatan, kalau jadi hambatan berhenti
kita.” (Wawancara dengan Titus Lado 23 February 2016 di Yayasan
Sinai)
Hambatan yang tergolong ringan juga ada, seperti yang disampaikan
Yuwita dan Wahyuningsih.
“kadang karna temannya berisik nah itu mengganggu.”(Wawancara
dengan Yuwita Simatupang, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
“gangguan dari temennya.”(Wawancara dengan Wahyuningsih, 23
February 2016 di Yayasan Sinai)
Terkadang saat relawan dan klien berkomunikasi ada klien yang
berisik atau mengganggu sehingga obrolan sedikit terganggu, peneliti juga
mengalami hal ini ketika melakukan observasi. Ketika peneliti mencoba
berkomunikasi dengan salah satu klien, tiba-tiba datang klien lain yang
memotong pembicaraan, ia seperti penasaran dengan adanya orang baru
(peneliti). Selain itu ada kalanya klien mengalami temperamen dan emosi,
bukan karena datang bulan. Dan klien tidak bisa tidur, hal ini mengganggu
klien yang lain sehingga suasana menjadi ramai. Dalam keadaan seperti ini
85
terkadang relawan tidak dapat mengajaknya berkomunikasi dan respon
klien hanya marah-marah. Jika relawan sudah buntu maka jalan satusatunya membawa klien ke rumah sakit. Tujuannya untuk diberikan obat
penenang, karena komunikasi apapun yang dilakukan relawan sudah tidak
berpengaruh.
Hambatan tidak hanya dialami oleh relawan sebagai komunikator,
hambatan juga dialami klien itu sendiri. Wahyuningsih mengatakan dalam
wawancara salah satu hambatan yang dialami klien adalah pikiran klien
suka mengkhayal kemana-mana, sehingga sulit menyampaikan apa yang ia
ingin sampaikan. Senada dengan Yuwita Titus juga menyebutkan dalam
wawancara bahwa klien sudah asyik dengan dunia mereka sendiri.
Sedangkan menurut Yuwita, para klien tidak mau membuka hati, tidak
mau bercerita. Ini juga menjadi hambatan bagi kedua belah pihak yaitu
relawan sebagai komunikator dan klien sebagai komunikan. Di satu sisi
komunikator (relawan) akan sulit memahami kemauan klien, di sisi lain
klien ingin menyampaikan sesuatu namun tak mau terbuka. Hambatan
yang dialami klien ini karena kondisi kejiwaannya dan itu normal, di
yayasan Sinai hal seperti ini biasa terjadi. Tugas relawan lah untuk
membuat klien lebih aktif. Seperti yang disampaikan Yuwita.
“ya kembali lagi kita yang harus aktif, harus aktif untuk
berkomunikasi dengan mereka gitu, jangan mereka diam kita diam,
ga bisa juga jalan.” (Wawancara dengan Yuwita Simatupang, 23
February 2016 di Yayasan Sinai)
86
Hambatan juga berasal dari situasi komunikasi, adapun hambatan
tersebut seperti yang disampaikan berikut.
“kadang karna kita ada urusan keluar jadi kita kurang komunikasi
sama mereka, pekerjaan-pekerjaan yang di luar itu aja sih nggak ada
hambatan yang lain, kalau ada pekerjaan di luar.” (Wawancara
dengan Yuwita Simatupang, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
“kalau hambatan dari situasi atau lingkungan saya pikir selalu ada
maksudnya begini artinya tidak semua orang-orang yang ada di
bawah saya membantu saya memiliki satu kemampuan untuk seperti
saya karena dari mereka ada yang masih muda sehingga seluruh
pasien merasa terhindar mereka enggak mau trus emosi mengerah ini
kan membuat situasinya buat pasien juga enggak bagus. Yang saya
lakukan dengan mereka kamu kenapa, keluarga butuh sentuhan ya
batin ya tapi kan tidak semua orang bisa lakukan.”(Wawancara
dengan Titus Lado, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Hambatan yang dikatakan relawan di atas karena peran komunikator
yang hilang karena beberapa halangan. Ini menunjukan di Yayasan Sinai
peran komunikator sangatlah penting dalam keberhasilan komunikasi
interpersonal antara relawan dan klien. Menurut Titus, tidak semua
relawan memiliki kemampuan seperti dia, dalam hal berkomunikasi
dengan klien. Keahlian atau ketrampilan Titus ini bisa diartikan salah satu
upaya komunikasi konseling, hal ini berdasarkan yang disampaikan
Pietrofesa dalam buku Pengantar Konseling dan Psikoterapi (1992:16)
bahwa Komunikasi Konseling tidak dapat dibatasi secara tegas karena ini
merupakan sesuatu yang dinamis, namun ada ketrampilan yang lazim
dipakai bagi hubungan bantuan seperti itu. Sehingga untuk menjadi
relawan memang tugas tidak mudah, dan hal ini kembali lagi pada niat
seperti yang disampaikan Titus.
87
“itu memang pertanyaan yang cukup bagus ya, jadi artinya gini kita
harus tau bahwa pertama dia ada di sini kenapa kan gitu lo. Kita
harus tau juga saya ada di sini karena apa ya to. Kalau kita sudah tau
itu, maka itu akan menghindari kita dari hal-hal yang membuat kita
gampang emosi, gampang marah atau yang membuat kita belajar
menjadi orang yang sabar dalam menghadapi mereka. Saya bukan
orang yang sabar tetapi dengan menghadapi mereka yang sulit diatur
ini membuat saya belajar jadi sabar. Caranya sederhana dia kesini
karena apa, saya di sini untuk apa.”(Wawancara dengan Titus Lado,
23 February 2016 di Yayasan Sinai)
88
7. Efek
Setelah unsur-unsur komunikasi Interpersonal antara relawan
(komunikator) dan klien (komunikan) dilakukan, efek seperti apa yang
terjadi pada klien dalam rangka penanganan kepribadian klien di Yayasan
Sinai Sukoharjo, Jawa tengah. Melalui Hasil wawancara dan observasi,
para klien di Yayasan Sinai yang telah direhabilitasi dan diajak
berkomunikasi mengalami perubahan ke arah positif. Seperti yang
disampaikan berikut ini.
“oh ya namanya kan udah di dalam yayasan dalam rehab otomatis ya
jauhlah ya tapi enggak gampang lama prosesnya lebih lama proses
mereka gitu . Karena mentalnya caranya makan, cara berpakaian
juga kan sangat beda dari klien yang memang ada
keluarganya.”(Wawancara dengan Yuwita Simatupang, 23 February
2016 di Yayasan Sinai)
“Perilaku mereka kelihatan, dengan firman Tuhan mereka jadi
berubah , membuka hati, merespon.”(Wawancara dengan
Wahyuningsih, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
“secara langsung tidak, tapi dalam perjalanan waktu ada. Ada
banyak, ada yang sembuh ada yang berumah tangga punya istri
punya anak bisa beli rumah sendiri. bahkan yang bantu di sini ada
mantan klien, perempuan yang telanjang sudah sembuh sekarang
sudah punya suami punya anak 2/”(Wawancara dengan Titus Lado,
23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Perubahan-perubahan ke arah positif dari klien ini membuktikan
setelah dilakukan komunikasi interpersonal dan rehabilitasi oleh relawan
pada klien, klien mengalami kemajuan. Peneliti juga melihat sendiri saat
observasi, yaitu ketika mewawancarai Wahyuningsih mantan klien di
Yayasan Sinai yang menjadi relawan di Yayasasn Sinai. Ketika peneliti
89
melakukan
wawancara
dengan
Wahyuningsih,
peneliti
seperti
berkomunikasi dengan orang normal pada umumnya. Peneliti tidak
merasakan bahwa wahyuningsih ini dulunya juga mengalami gangguan
mental. Karena saat wawancara pun berjalan normal dan bisa membentu
komunikasi 2 arah yang baik.
Perubahan-perubahan klien ini, sesuai dengan teori Pavlov, ia
menyimpulkan dalam buku teori-teori kepribadian (1991:79) bahwa
respons atau tingkah laku organisme bisa dikondisikan dan organisme
bisa memiliki respon tertentu melalui stimulus atau pembelajaran. Dalam
hal ini klien yang mengalami gangguan mental adalah organisme yang
diberi stimulus dan pembelajaran yaitu komunikasi interpersonal dan
rehabilitasi kemudian klien (organisme) memberikan respon yaitu
perubahan sikap. Setelah memberikan hasil komunikasi interpersonal
harus terus dilakukan pada klien, hal ini berdasarkan yang disampaikan
relawan berikut ini.
“ya harus enggak boleh kita biarkan mereka walaupun mereka
sudah bisa diajak komunikasi, sudah ada perubahan, itu harus terus
karena ketika mereka diem ketika mereka tidak berkomunikasi itu
rentan membuat pikiran mereka itu juga bisa kembali lagi kepada
semula gitu, makanya ketika mereka sudah ada perubahan marilah
kita anggap mereka seperti orang normal marilah kita ajak mereka
berkarya contohnya mereka udah normal ayo kerja-kerjagitu lo,
kita ajak mereka kerja apa yang bisa mereka lakukan , kalau
mereka bisa cuci piring ya silahkan cuci piring nah kalau mereka
bisa
ngepel
ya
kita
suruh
ngepel
jadi
kita
manusiakan.”(Wawancara dengan Yuwita Simatupang, 23
February 2016 di Yayasan Sinai)
“oh perlu, itu kan bentuk pendampingan ya kita harus terus
melakukan pendampingan, makanya kalau mereka yang sakit udah
pada sembuh itu mereka tidak langsung saya ijinkan pulang,
mereka saya sarankan untuk membantu dulu di sini.”(Wawancara
dengan Titus lado, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
90
“harus terus.”(Wawancara dengan Wahyuningsih, 23 February
2016 di Yayasan Sinai)
Hal yang dilakukan para relawan untuk terus melakukan
komunikasi interpersonal ini juga termasuk dalam ciri komunikasi
interpersonal yang disebutkan Julia Wood (2013:23) yaitu Processual
dimana Komunikasi interpersonal adalah proses yang berkelanjutan.
Komunikasi interpersonal akan berkembang seiring berjalannya waktu.
Hubungan komunikasi interpersonal dapat menjadi renggang atau lebih
dekat nantinya, tergantung bagaimana komunikasi interpersonal tersebut
berlangsung. Upaya yang dilakukan para relawan untuk melakukan
komunikasi yang berkesinambungan juga merupakan langkah agar
komunikasi antara relawan dan klien di Yayasan Sinai terjaga. Meski ada
klien yang mengalami perubahan positif, ada pula klien yang tidak
mengalami perubahan sama sekali. Hal ini disebabkan pleh beberapa hal,
kondisi kejiwaan yang sudah sangat parah, keterlambatan dalam
menangani klien. Seperti yang disampaikan Yuwita berikut ini.
“itu karena tingkat stresnya sudah, contohnya kalau penyakit dalam
itu sudah stadium sekian jadi sama sekali enggak bisa diajak
komunikasi, ada yang sudah 10 tahun di sini enggak ada perubahan
karena dari sana juga sudah lama sakitnya.”(Wawancara dengan
Yuwita Simatupang, 23 February 2016 di Yayasan Sinai)
Jadi keadaan klien bisa mempengaruhi dalam keberhasilan klien itu
sendiri untuk sembuh, namun Yuwita juga menjelaskan bahwa relawan
tetap melakukan pendekatan tanpa membeda-bedakan klien yang sudah
parah atau tidak. Sedangkan Titus memberikan solusi seperti berikut.
“ya solusinya memang pada akhirnya meraka kalau memang yang
di keluarga tidak bermasalah dengan keluarga atau lingkungan
91
sebaiknya kita sarankan di rumah, karena kan kalau direhabilitasi
kan menyangkut biaya tapi kalau dia bermasalah misalnya kalau
mengganggu tetangga ketentraman lingkungan, keluarga ya
memang mereka disarankan untuk direhabilitasi, panti nah
sehingga dari pihak pengelola panti sendiri juga harus siap
berkorban dalam arti begini, sekarang untuk mengurus orang sakit
jiwa makan 3 kali sehari mandi minum semua kebutuhannya
dengan biaya satu juta kira kira cukup engga, jangankan satu juta 4
juta 5 juta belum tentu cukup, tetapi pihak pengelola kami harus
menyadari itu jadi siap mengorbankan itu, maka dibutuhkan kerja
sama keluarga dengan pengelola panti tidak terlalu sulit keluarga
juga tidak terlalu berat.”(Wawancara dengan Titus Lado, 23
February 2016 di Yayasan Sinai)
Download