PENGAKUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK MUT’AH MANTAN ISTRI DALAM KAJIAN EMPAT MAZHAB (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN NO.1151/PDT.G/2008/PAJS) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: SYAMSUDDIN NIM: 207043200567 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M ABSTRAK Mut’ah adalah pemberian mantan suami kepada istri yang dicerainya baik berupa barang, uang dan lainnya. Mut’ah merupakan konsekwensi yang timbul akibat perceraian yang dilakukan oleh pihak suami. Problem seputar pemberian mut’ah sering menjadi kasus yang tidak kunjung usai, karena banyak terjadi dari pihak mantan suami lalai memenuhi kewajibannya, akibatnya pihak mantan istri sering kali dirugikan. Kasus yang sering muncul dimasyarakat disebabkan banyaknya istri yang awam tentang hukum akibat perceraian, disamping itu suami cenderung menyepelekan kewajibannya karena menganggap bahwa persoalan telah selesai seiring dengan putusan cerai. Islam sangat jelas mengatur dan menjembatani hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan hak seorang istri akibat perceraian. Para ulama mazhab telah memberikan batasan tentang hukum pemberian mut’ah, kadar dan jenisnya bagi istri yang dicerai oleh suaminya, hal ini untuk memenuhi rasa keadilan dan menghindari tindakan agar suami tidak mudah menjatuhkan talaq. Putusan nomor :1151/Pdt.G/2008/PAJS adalah Putusan terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan menerapkan alasan perceraian antara suami isteri yang timbul akibat terjadinya perselisihan atau percekcokkan yang terus menerus hingga tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penerapan hukum pembuktian serta akibat hukum dijatuhkan putusan oleh hakim. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan jalan mengumpulkan data, menyusun, atau mengklasifikasi, menganalisa serta menginterpretasikannya. iii KATA PENGANTAR بسم اهلل الرحمن الرحيم Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah mencurahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW. manusia pilihan yang membela umatnya hingga akhir zaman. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan akademis dalam menyelasaikan Program Strata 1 pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan dorongan dan bantuan baik berupa moril, materil, dan pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta. 2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA., Pudek I Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. iv 4. Bapak Dr. H. Muhammad Nurul Irfan,M.Ag., Dosen Pembimbing skripsi yang dengan ketekunan dan kesabarannya membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 5. Pimpinan dan Karyawan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang telah memberikan informasi dan data yang diperlukan dalam penulisam skripsi ini. 6. Pimpinan Perpustakaan Fakultas dan juga Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan dan mencari bahan rujukan di perpustakaan. 7. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak H. Muslih dan Ibu Hj. Mahwiyah, Tuan Guru H.M. Haris Hakam,SH,MA, dan istri Kakanda Hj. Yeni Triyartini, Sayyid Abdul Mutholib bin Yahya, Kakanda H. Hamdi Rifa’i dan Hj. Cholidah Syafi’i Hadzami yang tak pernah lelah memotivasi dan mendoakan serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Istri tercinta Ely Wuryanti dan anakku tersayang Ahmad Daniel Sya’fie, Makhshush Bil Izzi, dan Syifa Putri Fauziah, Kakak dan Adik-Adik serta Keponakan al-Hafizh Muhammad Yusya, al-Hafizhah Ratu Ghalbia Haibah dan Ratu Etba Humairah atas doa dan dukungannya. 9. Kepada teman seperjuangan di kelas Perbandingan Hukum, M. Amin Elwalad Meuraksa, Fadli Ghazali, Vina Nurmayanti, dan Syarif Hidayatullah, teman di kelas Peradilan Agama, Muhammad Muhiddin, Achmad Charist, Deni Hamdani, Deni Kurniawan, Marlianita, Syarifuddin, Muhammad Arifin, Nurmilasari, v Rahman Hakim, Indro Wibowo, Ibnu Tamim, dan sahabatku KH. M. Fakhruddin al-Bantaniy, SHI, yang selalu menjadi teman belajar, berdiskusi baik di dalam kelas maupun diluar kelas, semoga tali silaturrahim tetap terjalin. 10. Kepada seluruh rekan-rekan yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, yang telah memberikan kontribusi yang besar dalam penulisan skripsi hingga akhir. Semoga Allah SWT. memberikan pahala yang berlipat ganda atas apa yang mereka telah berikan kepada penulis. Akhirnya penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karenanya segala saran dan masukan yang konkrit sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Jakarta, 21 Januari 2014 Penulis Syamsuddin vi DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii ABSTRAK ................. . ............................................................................................. iii KATA PENGANTAR .............................................................................................. iv DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Pembatasan Masalah ....................................................................... 6 C. Perumusan Masalah ........................................................................ 7 D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 7 E. Kajian Terdahulu ............................................................................. 8 F. Metode Penelitian............................................................................ 9 G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 12 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MUT’AH A. Pengertian Mut’ah ........................................................................... 14 B. Hukum Pemberian Mut’ah .............................................................. 15 C. Tujuan dan Hikmah Pemberian Mut’ah .......................................... 18 D. Hak Istri dalam Perkawinan ............................................................ 20 vii BAB III PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK MUT’AH A. Pandangan Mazhab Hanafi ............................................................. 36 B. Pandangan Mazhab Maliki.............................................................. 39 C. Pandangan Mazhab Syafi’i ............................................................. 41 D. Pandangan Mazhab Hanbali ............................................................ 44 E. Kadar Mut’ah dan Jenisnya ............................................................. 46 BAB IV PEMBERIAN MUT’AH BAGI ISTRI YANG DITALAK : SUATU ANALISA PUTUSAN A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan ....................................... 51 B. Kronologis Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Jakata Selatan Nomor : 1151/Pdt.G/2008/PAJS ....................................... 61 C. Landasan Yuridis Pemeriksaan Cerai Talak dan Pemberian Mut’ah ............................................................................................. 63 D. Putusan Hakim ................................................................................ 67 E. Analisis Penulis ............................................................................... 68 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................... 73 B. Saran- Saran .................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 77 LAMPIRAN-LAMPIRAN viii 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkawinan sangatlah penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan, pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram dan penuh rasa kasih sayang antara suami dan isteri.1 Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi2 Landasan filosofis perkawinan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 bab II disebutkan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghaliidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3 Menurut M. Yahya Harahap seperti dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Hukum Perdata Islam di Indonesia berpendapat bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang 1 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2000), h.1. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana,2006), Cet. 3,h.42. 3 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta : Akademika Pressindo, 2007), h.114 2 1 2 bahagia dan kekal. Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal : Pertama : suami istri saling bantu membantu serta saling lengkap-melengkapi. Kedua : Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dengan saling bantu-membantu. Ketiga : Tujuan terakhir yang ingin dicapai oleh sebuah keluarga adalah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material.4 Dalam hubungan perkawinan banyak menimbulkan berbagai konsekwensi sebagai dampak adanya perikatan (akad) baru yang terjalin, antara lain terjalinnya ikatan kekeluargaan di antara keduanya, di samping itu hubungan perkawinan juga membuahkan adanya hak-hak baru yang sebelumnya tidak ada, kewajiban-kewajiban baru antara pihak yang satu terhadap yang lainnya, di antara kewajiban–kewajiban itu, termasuk kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya. Jika seorang isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya dan suami itu telah bersenang-senang kepadanya, sedangkan suami isteri tersebut termasuk orang yang ahlu al-istimta’ dalam perkawinan yang sah maka wajib kepada suami untuk memberikan nafkah dan diserahkan dengan sepantasnya, dan hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir ra :5 4 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ,h.51. al-Syaikh al-Imam Abiy Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzabadiy al-Syairaziy, alMuhazzab (Semarang : Toha Putra, tth), Juz.II, h. 159 5 3 Artinya : “Takutlah kamu sekalian kepada Allah dalam memperlakukan wanita karena kalian telah mengambilnya sebagai amanah Allah dan dihalalkan bagi kalian bercampur kelamin dengan nama Allah (akad nikah) maka mereka berhak atas diri kamu makanan dan pakaian dengan ma’ruf. (HR. Muslim)6 Hadis tersebut disamping menjelaskan bahwa istri adalah amanah Allah di tangan suami, juga kewajiban suami untuk memelihara amanah itu dengan cara memelihara dan memberikan nafkah kepadanya dalam bentuk makanan dan pakaian. 7 Ibnu Hazm seperti dikutip oleh al-Sayyid Sabiq berkata: “suami berhak menafkahi isterinya sejak terjalinnya akad nikah baik suami mengajak hidup serumah atau tidak, baik isteri masih di buaian atau isteri berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau fakir, masih punya orang tua atau yatim piatu, gadis atau janda, merdeka atau budak, semua itu disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami”.8 Tanggung jawab nafkah pada suami tak hanya sewaktu dia masih menjadi sahnya dan terhadap anak-anak yang dilahirkan si istri, tetapi 6 suamipun Abiy Husein Muslim bin al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburiy, al-Jami’ al-Shahih, (Semarang : Thoha Putra, tth) Juz.IV, h.41 7 Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta : Kencana, 2004), h. 152 8 al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, cet.120 (Cairo : Dar al-Fath Lil I’lam al-Arabiyah,2007), II, h,105. 4 tetap wajib menafkahinya bahkan pada saat perceraian.9 Berkaitan dengan nafkah Allah SWT berfirman: Artinya : dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. (QS. al-Baqarah (2) ayat 233) Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri. inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.10 Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian yaitu, Pertama : Terjadinya nusyuz dari pihak istri. Kedua : Terjadinya nusyuz suami terhadap istri. Ketiga ; Terjadinya syiqaq. Keempat : Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah) yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya. 9 Abdul Rahman I, Shari’ah The Islamic Law, alih bahasa, Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, cet.2 (Jakarta : Rineka Cipta, 1996) h,132. 10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet.2 (Jakarta : Kencana,2007),h, 190. 5 Perceraian sebagai sebab putusnya perkawinan adalah suatu institusi yang paling banyak dibahas oleh para ulama, seperti apa yang dikemukakan oleh Sarakhsi, bahwa perceraian itu hukumnya dibolehkan ketika berada dalam keadaan darurat, baik atas inisiatif suami (talak) atau inisiatif istri (khuluk). Terputusnya perkawinan dalam Islam membawa akibat-akibat tertentu baik kepada mantan suami atau kepada mantan isteri. Akibat hukum terputusnya perkawinan karena talak adalah: Bahwa bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda, kecuali qabla al dukhul; memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa iddah (menunggu), kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz; melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo apabila qabla al dukhul; memberikan biaya hadhanah untuk anakanaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.11 dan memberikan nafkah iddahnya kepada bekas isterinya, kecuali isterinya nusyuz.12 Kewajiban-kewajiban tersebut melekat pada diri suami dan harus dipenuhi oleh suami karena merupakan hak-hak isteri sebagai akibat hukum dari cerai talak, suami tidak boleh mencampakkan istri begitu saja tetapi suami harus memberi nafkah dan tempat tinggal kepada bekas istrinya, sebab terjadinya cerai talak bukan berarti melepaskan kewajiban saja melainkan melepaskan hubungan 11 Abdul Rahman, Kompilasi Hukum Islam , (Jakarta : Akademika Pressindo, 2007), h,149 Ibid, h,149 12 6 seksual, dan tanggung jawab nafkah dalam kasus perceraian itu sesuai dengan firman Allah SWT: ) : (الطالق Artinya : Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS.al-Thaalaq : 6) Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Pengakuan Hukum Islam Terhadap Hak Mut’ah Mantan Istri Dalam Kajian Empat Mazhab (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor : 1151/Pdt.G/2008/PAJS)”. B. PEMBATASAN MASALAH Mengingat luasnya permasalahan yang ada serta untuk menghindari kesalahpahaman bagi para pembaca maka dalam penyusunan skripsi ini penulis 7 membatasi pada pendapat empat mazhab tentang pemberian mut’ah bagi wanita yang dicerai atau ditalak oleh suaminya (Studi Kasus Putusan Nomor : 1151/Pdt.G/2008/PAJS) C. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan dari pembatasan masalah diatas, masalah yang dapat dirumuskan adalah : 1. Bagaimana Pandangan Empat Mazhab terhadap hak mut’ah istri pasca perceraian 2. Apa dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam menetapkan pemberian mut’ah bagi istri yang ditalak oleh suaminya, dan Mazhab Fikih siapa yang cocok dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan?. D. MANFAAT PENELITIAN Dari hasil penelitian ini setidaknya dapat ikut andil dalam memperkaya kajian keislaman tentang perceraian, khususnya pemberian mut’ah bagi mantan isteri. Hal ini sangat penting guna meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap adanya nafkah mut’ah bagi wanita yang dicerai oleh suaminya. 8 Disamping itu penelitian ini juga dimaksudkan agar hak-hak wanita yang dicerai tidak terabaikan dan diberlakukan sesuai dengan ketentuan syari’at, karena istri yang telah dicerai memerlukan bantuan materil untuk membantunya dalam menghadapi pengaruh negatif dari perceraian. Nafkah mut’ah dapat membantu meringankan persoalan tersebut dan dalam waktu yang sama mencegah orangorang untuk tidak menjatuhkan talak dengan tergesa-gesa. Dasar dari pensyariatan nafkah mut’ah ini adalah untuk menghibur perasaan istri yang dicerai. Dan menghibur hatinya adalah salah satu bentuk tanggung jawab yang dianjurkan oleh syariat. E. KAJIAN TERDAHULU Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi yang secara khusus membahas judul dan masalah yang serupa khusunya di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akan tetapi penulis menemukan data yang bercampur dengan bahasan yaitu : NO NAMA/TAHUN JUDUL SKRIPSI 1 Adam Alinuddin Pemberian Nafkah Pembahasan 2009 Bagi Istri Dicerai Nusyuz SUBSTANSI Yang hanya PERBEDAAN Hanya menganalisa pada putusan Karena pemberian nafkah No.617/Pdtiddah terhadap 9/2008/PAJP) istri nusyuz perkara 9 2 Faisal Rahman Realisasi Mengangkat Menganalisa putusan 2007 Pemberian Nafkah kewajiban suami perkara Pengadilan Istri Dalam Masa untuk memberi Agama Iddah terhadap Selatan dalam kurun Perceraian Akibat nafkah Jakarta istri dalam masa waktu 2005-2006 iddah perceraian akibat talaq perceraian dimaksud adalah perceraian (talak) I dan II F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Metode penelitian adalah gambaran bagaimana penelitian itu akan ditempuh atau dilaksanakan. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasi, menganalisa serta menginterpretasikannya. 2. Sumber Data 10 a. Data Primer Sumber data primer adalah data-data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan seperti Arsip tentang Putusan Cerai Nomor : 1151/Pdt.G/2008/PAJS , begitu juga data dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan hasil wawancara. b. Data Sekunder Sedangkan sumber data sekunder adalah data-data yang didapatkan dari buku-buku, artikel, dan dokumen yang berkaitan dengan tema dalam skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dan mempelajari putusan pengadilan dalam hal ini yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai perkara cerai talak yang didalamnya memuat putusan pemberian mut’ah, khusus dalam penelitian ini yaitu Putusan Perkara No. 1151/Pdt.G/2008/PAJS). Terhadap putusan pengadilan tersebut kemudian dilakukan wawancara pada hakim guna menguatkan pemahaman penulis terhadap materi putusan perkara yang dimaksud. Selain itu juga dengan melakukan studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan, buku fikih terutama tentang pendapat empat mazhab terhadap pemberian mut’ah, dan 11 sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian skripsi ini. 4. Analisis Data Data yang terkumpul disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh mengenai masalah hak mut’ah setelah perceraian dengan meninjau aturan mengenai pemberian mut’ah dalam Islam, dan aturan dalam hukum positif serta keputusan hakim dalam memutuskan perkara tersebut, selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis. 5. Teknik Penarikan Kesimpulan Dalam skripsi ini penulis menggunakan teknik menarik kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari pertanyaan yang bersifat umum serta melalui data-data yang diambil baik melalui wawancara, buku-buku, serta dokumen yang penulis dapat poin-poin penting dari data tersebut. 6. Teknik Penulisan Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 12 Adapun buku acuan yang dipakai adalah Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. G. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk mempermudah dalam memahami penulisan skripsi ini, maka penulis membuat suatu sistematika penulisan skripsi yang terurai sebagai berikut : BAB I : Merupakan pendahuluan yang terdiri dari ; latar belakang masalah, pembatasan Masalah, perumusan masalah, manfaat penelitian, kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Membahas tentang permasalahannya yang tinjauan umum terdiri mengenai mut’ah dan dari empat pokok bahasan yaitu : pengertian mut’ah, dasar hukum pemberian mut’ah, tujuan dan hikmah pemberian mut’ah serta hak istri dalam perkawinan. BAB III : Membahas pandangan hukum Islam terhadap hak mut’ah dalam kajian empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. BAB IV : Merupakan inti dari penelitian dari skripsi ini tentang putusan pemberian mut’ah bagi istri yang ditalak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang terdiri dari Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Kronologis Perkara, Pertimbangan dan Putusan Hakim, dan 13 analisa penulis atas putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tersebut. BAB V : Merupakan tahap akhir dari penulisan skripsi ini, yang terdiri dari dua pokok bahasan, yang membahas mengenai kesimpulan penelitian dan saran-saran penulis tentang persoalan yang dibahas dalam skripsi ini. 14 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MUT’AH A. Pengertian Mut’ah Secara etimologis, mut‟ah ) (متعةberasal dari kata mata ) (متعdiartikan dengan kenikmatan atau kesenangan, dapat pula diartikan dengan ( البلغةnafkah yang sepadan,cukupan), ( القلیل الزادbekal sedikit) dan juga diartikan dengan متاع dengan jamak ( امتعةharta benda atau barang-barang). Apabila dikaitkan dengan kata talak, متعة الطالق maka berarti sesuatu yang diberikan kepada istri yang dicerai.1 Senada dengan hal itu menurut al-Raghib al-Ashfahaniy mut‟ah berarti sesuatu yang diberikan kepada istri yang ditalak agar dapat dimanfaatkannya sejak iddahnya.2 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mut‟ah adalah sesuatu (uang, barang dan sebagainya) yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya.3 Imam Taqiyuddin dalam bukunya Kifayah al-Akhyar mendefinisikan mut‟ah yaitu harta benda yang diserahkan suami pada istrinya karena perceraian4. Adapun menurut Wahbah Zuhailiy mut‟ah adalah pakaian atau harta yang 1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997) Cet. 14, h. 1307 2 al-Raghib al-Ashfahaniy, al-Mufrodat fi Ghorib al-Qur’an, (Makkah, Mazaru Musthafa alBaz, 1997) Cet.1. Juz.II. h. 595 3 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1998) Cet. 1. h.603 4 Taqy al-Din Abi Bakar al-Husainiy, Kifayah al-Akhyar (Beirut : Dar al-Fikr) Juz II, h.67 14 15 diberikan oleh suami karena menceraikan istrinya sebagai tambahan atas mahar atau sebagai pengganti mahar dengan tujuan untuk menghibur diri mantan istrinya. Adapun pengertian mut‟ah menurut ulama Syafi‟iyyah adalah sejumlah harta yang wajib diserahkan suami kepada istrinya yang telah diceraikannya semasa hidupnya dengan cara talak atau cara yang semakna dengannya.5 Pemberian mut‟ah merupakan kompensasi yang diberikan oleh mantan suami kepada mantan isterinya. Pemberian tersebut manifestasi dari rasa tanggung jawab serta sirnanya rasa kebencian dan permusuhan dalam diri mantan suami. Lebih dari itu pemberian mut‟ah merupakan refleksi dari perangai yang terpuji dan sikap yang bijaksana. B. Hukum Pemberian Mut’ah Ketentuan tentang mut‟ah sebagai implikasi yang muncul akibat perceraian, untuk itu penulis akan memaparkan dalil-dalil yang menjadi dasar hukum pemberian mut‟ah. 1. al-Qur‟an a. Q.S. al-Baqarah ayat 236 5 Wahbah Zuhailiy, al-Fiqh al-Islami Wa’adillatuh, (Beirut ; Dar al-Fikr, 1996) Juz VII, h.316 16 ….. Artinya : “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. al-Baqarah : 236) b. Q.S. al-Baqarah ayat 241 : Artinya : "kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. al-Baqarah : 241) c. Q.S. al-Ahzab ayat 49 17 Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”(QS. al-Ahzab : 49) Dari ayat di atas dapat dipahami secara umum bahwa seorang suami yang menceraikan istrinya diperintahkan untuk memberikan mut‟ah. Adapun tentang wajib dan sunahnya pemberian mut‟ah menurut empat mazhab dapat dilihat pada bab III. 2.. Mut‟ah dalam Undang – Undang Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 dijelaskan bahwa apabila terjadi perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut diantaranya adalah memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan ini dimaksudkan agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.6 Sebagaimana bunyi pasalnya: “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”7 6 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ,h.255. Marjiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta : Indonesia Legal Center Publishing, 2011) Cet. 3, h.83 7 18 Di samping UU tersebut, KHI juga mengatur masalah mut’ah, diantaranya: Pasal 149: Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib : a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul Pasal 158: Mut‟ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba‟da al dukhul b. Perceraian itu atas kehendak suami. Pasal 159: Mut‟ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158 Pasal 160: Besarnya mut‟ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.8 C. Tujuan dan Hikmah Pemberian Mut’ah Menurut Muhammad Abduh, talak merupakan perbuatan rendah dan kebimbangan, yang sebenarnya suami tidak menginginkannya. Hanya saja terkadang ada sesuatu yang membuatnya harus menceraikan istrinya. Karena itu, ia diharuskan untuk memberikan mut‟ah untuk menghilangkan kerendahan tersebut. Dan status mut‟ah tersebut seperti saksi yang membersihkan istrinya. Ia 8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h.152 19 juga menyadari bahwa talak tersebut timbul dari hatinya karena adanya suatu sebab, bukan disebabkan karena istrinya. Karena Allah mewajibkan agar kita menjaga harga diri kita sesuai dengan kemampuannya, maka Allah menjadikan pemberian tersebut sebagai pengobat sakit hati, agar manusia mau mentolelirnya sehingga dikatakan ; si fulan memberikan fulanah ini dan itu. Sebenarnya ia menceraikan istrinya karena terpaksa, ia menyesali perbuatannya dan mengakui akan keutamaan istrinya, bukan karena ia melihat ada cacat pada istrinya, atau karena adanya sesuatu yang meragukan pada istrinya. Dikatakan bahwa Sayyidina Hasan bin Sayyidina Ali menceraikan salah seorang dari istri-istrinya dengan memberikan sepuluh ribu dirham. Seseorang berkata, pemberian yang sedikit dari kekasih yang menginginkan perpisahan.9 Masih berkaitan dengan pendapat di atas, biasanya sebelum diadakan akad nikah, ada kebiasaan-kebiasaan tertentu yakni saling mengenal satu sama lain dan saling mengunjungi rumah masing-masing. Baru kemudian dilaksanakan peminangan dan disusul dengan akad. Karena itu, jika suami menceraikan istrinya sebelum dukhul, maka manusia pada umumnya akan mengira yang tidak-tidak kepada wanita tersebut, berbeda dengan jika diceraikannya setelah dukhul. Karena pergaulan suami- istri akan mengungkap karakteristik keduanya, maka boleh jadi talak tersebut dikarenakan adanya perbedaan sifat diantara keduanya, dari situlah sebagian ulama mewajibkan bagi suami untuk memberikan mut‟ah 9 Abd. al-Adzim Ma‟ani dan Ahmad al-Ghundur, Hukum-Hukum dari al-Qur’an dan Hadis Secara Etimologi, Sosial dan Syari’at (Jakarta : Pustaka Firdaus,2003) Cet 1. h.178 20 kepada istrinya yang diceraikan sebelum dukhul dengannya. Jika suami memberinya mut‟ah yang layak, maka prasangka-prasangka buruk tersebut akan hilang dengan sendirinya.10 Dengan demikian hikmah dari pemberian mut'ah bahwa dengan adanya mut‟ah ini, dapat dijadikan sebagai alat bukti kebersihan perempuan tersebut dan sebagai obat penawar dan penahan rasa sakit hati akibat dari perceraian. D. Hak Istri Dalam Perkawinan Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya baik berupa materi ataupun non materi, di antaranya: 1. Mendapat mahar Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib sesuai dengan firman Allah SWT : ….. Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (QS. al-Nisa : 4) Dan juga firman Allah SWT . 10 Ibid. h.179 21 Artinya : “berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban” (QS. al-Nisa : 24) Dari al-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan Rasulullah kepada seorang sahabatnya yang ingin menikah sementara sahabat ini tidak memiliki harta: 11 Artinya : “Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. al-Bukhari) al-Imam Ibnu Qudamah berkata, 12 Artinya : “Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain 11 Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut : Dar al-Fikr, 1995) Juz III. h.255, hadis No.5087 12 Syamsuddin Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah alHanbali, al-Mughni, (Cairo : Dar al-Hadis, 2004) Juz IX. h. 448 22 mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah mengingatkan: ….. Artinya : “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?” (QS. al-Nisa : 20) 2. Mendapat Perlakuan Yang Patut (Ma’ruf) Di dalam al-Qur‟an Allah SWT. berfirman: ): (النساء......... Artinya : “dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(QS. alNisa : 19) Rasulullah SAW. bersabda : 23 Artinya : “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi) al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat dalam surat al-Nisa` ayat 19 Artinya : (Dan bergaullah dengan mereka secara patut) “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama.14 Allah berfirman dalam hal ini: Artinya “dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” (QS. al-Baqarah : 228) Rasulullah sendiri telah bersabda: 13 al-Hafizh Abi Isa Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Bandung : Diponegoro, tth) Juz 2. h.315 hadis No.1172. 14 Imaduddin Aby Fida Ismail Ibnu Katsir al-Dimasqiy, Tafsir Ibnu Katsir, (Semarang : Thoha Putra,tth) Juz 1, h.466 24 Artinya : “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.” Menurut keterangan al-Hafizh Ibnu Katsir : “Termasuk akhlak Nabi, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak „Aisyah Ummul Mukminin berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya. Setiap malam Nabi biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu, hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah shalat „Isya, biasanya beliau masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.”15 3. Mendapat nafkah Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`an al- Karim dari firman-Nya: 15 Ibid,h.466 25 Artinya : “…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS. al-Baqarah: 233) Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat dalam surat al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma‟ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” 16 Demikian pula firman Allah SWT berkenaan dengan nafkah : ): (الطالق Artinya : “Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya..”(QS. al-Thalaq: 7) 16 Ibid,h.283 26 Ada pula dalilnya dari al-Sunnah, dimana „Aisyah mengabarkan bahwa Hindun bintu „Utbah, istri Abu Sufyan datang mengadu kepada Rasulullah : 17 Artinya : Dari Aisyah ra. bahwa Hindun binti Utbah berkata :“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.” Bersabdalah Rasulullah, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari) Rasulullah SAW. ketika haji Wada‟ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda: 17 Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 308. hadis No.5364 27 18 Artinya : “Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri) karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istriistri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. al-Tirmidzi) Tanggung jawab nafkah pada suami tak hanya sewaktu dia menjadi sahnya dan terhadap anak-anak yang dilahirkan si istri, tetapi suamipun tetap wajib menafkahinya bahkan pada saat perceraian. al-Qur‟an menyebutkan tangggung jawab dalam kasus perceraian itu sebagaimana Firman Allah SWT : 18 al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, h.315 28 .. 19 ) :(الطالق. Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(QS. al-Thalaq : 6) Ada beberapa orang egois yang mungkin salah memperlakukan istrinya dan menyengsarakan hidupnya selama masa iddahnya. Setelah menjatuhkan talaq satu. Hal ini terlarang. Suami tetap harus menafkahinya sebagaimana yang dia sediakan untuk dirinya sendiri, sesuai dengan standar hidup si suami. Dalam situasi ini, masih ada harapan untuk berdamai, dan kalaupun tidak, maka perpisahan itu harus dilakukan secara terhormat. Sedangkan bila istri tengah hamil al-Qur‟an al-Karim membebankan tanggung 19 Abdul Rahman I, Shari’ah The Islamic Law, alih bahasa, Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi. h,132. 29 jawab tambahan Perceraian sama sekali tidak diperkenankan sampai anak yang dikandungnya lahir. Dengan demikian, dia harus dinafkahi sepatutnya. Bagi si anak sendiri, maka perawatannya, kesejahteraan serta kediaman bagi ibunya tetap merupkan tanggung jawab sang ayah. Seandainya si ibu tidak dapat menyusui anaknya, atau timbul keadaan sedemikian rupa yang menghalangi ibu dari menyusui anaknya, maka merupakan tanggung jawab ayah untuk menyerahkan anaknya kepada orang lain untuk disusui dengan biaya sendiri. Hal ini jangan sampai menyebabkan ayah mengurangi nafkah yang wajar yang berhak diperoleh oleh si ibu sesuai dengan keadaannya.20 Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat: …. Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. al-Thalaq : 7) 4. Mendapat Tempat Untuk Bernaung/Tempat Tinggal 20 Ibid, h.133 30 Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat: ) : (النساء Artinya : “Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (QS. al-Nisa`: 19) ِ dalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di A samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 81 bahwa seorang istri berhak mendapatkan tempat kediaman yang disediakan suaminya,21 bunyi Pasal tersebut adalah : Pasal 81 : 1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah. 21 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h.133 31 2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat. 3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. 4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. 5. Hak Melakukan Gugat Cerai (Khuluk) Di antara perselisihan serta penyakit yang biasa menimpa kehidupan rumah tangga ialah kebencian istri kepada suaminya. Islam telah menetapkan talak sebagai hak mutlak suami dengan syarat tidak melampui batas-batas tertentu yang telah ditetapkan Allah SWT. Akan tetapi dengan waktu yang bersamaan Islampun tidak memaksa seorang istri harus hidup bersama suami yang di bencinya. Karena itulah, Islam menetapkan ketentuan khuluk yaitu perceraian yang didasarkan pada harta. Seorang yang membenci suaminya, padahal ia tidak menemukan suatu aib pada diri sang suami selain kebencian 32 kepadanya, maka ia di wajibkan mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya dan pada saat itu juga suaminya harus menceraikannya.22 Hukum Islam memberikan jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khuluk sebagaimana Islam memberikan jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan jalan talak.23 Khuluk menurut istilah ilmu fiqh berarti : menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan istri membayar iwadh (ganti rugi) kepada pemilik akad nikah itu (suami) dengan menggunakan kata cerai, atau khuluk. Iwadh bisa berupa pengembalian mahar oleh istri kepada suami atau sejumlah barang, uang atau sesuatu yang dipandang mempunyai nilai yang telah disepakati oleh suami dan istri. 24 Sebagai dasar hukum khuluk terdapat dalam Al-Qur‟an Surat AlBaqarah ayat 229 yang berbunyi : Artinya: 22 Butsainah as-Sayyid al-Iraqi. Menyingkap Tabir Perceraian. (Jakarta; Pustaka Al-Sofwa. 2005) Cet. 1, h 199 23 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor; kencana. 2003) Cet. 1. h. 220 24 Kamal Mukhtar, Asas- Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, ( Jakarta, Bulan Bintang 1974) Cet. 1, h. 169 33 “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya, Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S; Al-Baqarah/2 : 229) Sebagai dasar hukum dari hadist sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari, bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syam bernama Jamilah datang menghadap Rasulullah SAW mengadukan perihal dirinya sehubungan dengan suaminya , sebagai berikut : 25 . Artinya : Istri Tsabit Bin Qais datang mengadu kepada Nabi SAW dan berkata : “Ya Rasulullah Tsabit Bin Qais itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamaannya. Cuma saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam”. Rasulullah SAW Berkata : “maukah kamu mengembalikan kebunnya (tsabit)?”. Jamilah menjawab : ya (bersedia). 25 Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 308. hadis No.5364 34 Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit lalu bersabda kepadanya : “Terimalah kebun dan ceraikanlah dia satu kali cerai.” Firman Allah SWT dan hadist Rasulullah tersebut di atas menjadi dalil di syariatkanya khuluk dan sahnya terjadinya khuluk antara suami istri. Walaupun khuluk dibolehkan dalam Islam, namun dalam pelaksanaanya harus ada alasan-alasan yang logis yang menyebabkan terjadinya khuluk, dalam hal ini adalah bila keduanya sama-sama hawatir tidak dapat melakukan aturan-aturan Allah. Tetapi jika tidak ada alasan apapun istri meminta cerai dari suami atau disebabkan hawa nafsu atau secara tiba-tiba, maka mengenai hal ini, Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda : 26 ٔ Artinya : “Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang di benarkan maka di haramkan baginya bau surga”. (HR. Tirmidzi) Khuluk itu wajib dilakukan istri karena suami tidak mau memberikan nafkah atau menggauli istri, sedangkan istri menjadi tersiksa. Khuluk diharamkan jika dengan maksud menyengsarakan istri dan anak-anaknya. Khuluk di perbolehkan (mubah) ketika ada keperluan yang membolehkan 26 Abi Muhammad Husain Bin Mas‟ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, jilid 5, Darul Kitabul Alamiyah, Beirut, h. 143 35 istri menempuh jalan ini. Khuluk menjadi makruh hukumnya jika tidak ada keperluan untuk itu, dan menjadi sunnah hukumnya jika dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih memadai keduanya.27 Mazhab empat mengatakan : khuluk tersebut sah hukumnya, dan berlakulah konsekwensi dan akibat hukum yang dilahirkannya. Kendati demikian, mereka menyatakan bahwa khuluk makruh hukumnya bila tidak adanya ketidaksukaan istri terhadap suaminya. 28 27 28 24, h. 456. Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. h. 224 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab,( Jakarta, Penerbit Lentera, 2009) Cet. 36 BAB III PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK MUT’AH Dalam kajian Empat Mazhab, Hukum Islam mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan hak seorang istri akibat perceraian, diantara pemenuhan hak tersebut adalah pemberian mut‟ah. Empat Mazhab yang dimaksud adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hanbali yang memberikan batasan mut‟ah, kadar dan jenisnya sebagai berikut : A. Pandangan Mazhab Hanafi Manurut Imam Hanafi mut‟ah wajib bagi orang yang menceraikan istrinya sebelum bercampur layaknya suami istri. Dan si bekas suami itu juga belum menentukan jumlah mahar selama pernikahannya. 1 Ulama Hanafi berpendapat bahwa mut‟ah kadang-kadang wajib dan kadang-kadang sunah. Wajib mut‟ah pada dua jenis talak2; 1. Talak bagi wanita mufawwidhah yaitu wanita yang nikah tafwidh3 sebelum bercampur (qabla al dukhul) atau disebutkan mahar dalam akad tetapi sebutan itu fasid, yakni talak yang berlaku sebelum suami isteri bercampur dan 1 Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurthubiy, Bidayah alMujtahid Wanihayah al-Muqtashid, (Cairo : al-Istiqomah, 1952) Juz II, h. 97 2 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut ; Dar al-Fikr, 1996) Juz VII, h.316 3 Nikah tafwidh adalah pernikahan yang didalam akadnya tidak disebutkan mahar tetapi akadnya sah dan wanita yang menikah tafwidh dinamakan mufawwidhah (Wahbah Zuhailiy, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, h.268) 36 37 berkhalwat pada pernikahan yang tidak disebutkan mahar dalam akad dan tidak ditentukan mahar selepas akad, atau perkawinan yang disebutkan mahar dalam akad tetapi sebutannya fasid. Ini mendapat kata sepakat disisi jumhur selain daripada ulama Maliki karena firman Allah SWT. ….. Artinya : “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka.” (QS. al-Baqarah (2) : 236) Ayat itu memerintahkan untuk memberikan mut‟ah, dan perintah itu menunjukkan makna wajib, dan diperkuat lagi pada akhir kalimat ayat dengan firman Allah SWT : Artinya : “yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. al-Baqarah : 236) Mut‟ah dalam hal ini adalah sebagai ganti separuh mahar. Separuh mahar adalah wajib dan ganti daripada wajib adalah wajib karena mengambil tempat wajib seperti tayamum ganti daripada wudhu. ia 38 2. Talak sebelum bercampur dengan isteri pada perkawinan yang tidak disebut mahar, ia hanya ditentukan selepas akad nikah pada pendapat Abu Hanifah dan Muhammad karena firman Allah SWT.: .... Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah…” (QS. al-Baqarah : 236) Pada ayat terdahulu surat al-Baqarah ayat 236 ada perintah untuk memberikan mut‟ah Ayat yang pertama mewajibkan memberi mut‟ah kepada perempuan pada semua perceraian yang berlaku sebelum mereka (suami isteri) melakukan persetubuhan, kemudian ayat itu dikhususkan bagi mereka yang menyebutkan mahar. Oleh karena itu maka kekal mut‟ah perempuan yang diceraikan suami tanpa disebutkan mahar baginya dalam akad. Dan ayat yang kedua mewajibkan memberi mut‟ah bagi mereka yang tidak ditentukan mahar baginya dan ini bermakna penentuan dalam akad. 39 Pendapat Abu Yusuf, al-Syafi‟i dan Ahmad bahwa wajib memberikan mut‟ah bagi perempuan yang diceraikan suaminya sebelum berlaku persetubuhan yang ditentukan mahar. sama halnya ditetapkan mahar itu di dalam akad atau setelah akad, karena penentuan mahar selepas akad berlaku separuh bila berlaku perceraian sebelum bersetubuh, maka itu juga mahar yang ditentukan selepas akad.4 Abu Hanifah berpendapat bahwa adalah sunah memberi mut‟ah dalam keadaan perceraian ba’da dukhul, dan perceraian qabla al dukhul pada perkawinan yang disebutkan mahar, karena mut‟ahnya diwajibkan sebagai ganti daripada separuh mahar. Apabila perempuan berhak mendapat mahar yang ditentukan (mahar musamma) atau mitsil ba’da dukhul, maka ia tidak perlu lagi mendapat mut‟ah. Kesimpulan: Sunah memberikan mut‟ah di sisi ulama Hanafi kepada setiap perempuan yang diceraikan kecuali bagi perempuan yang nikah tafwidh. Wajib diberi mut‟ah yaitu perempuan yang dinikahkan tanpa mahar dan bercerai qabla dukhul dengan suaminya atau perkawinan yang disebut mahar tetapi sebutannya atau penentuan maharnya fasid atau ditentukan mahar selepas akad. B. Pandangan Mazhab Maliki 4 Ibid, h.317 40 Memberikan mut‟ah kepada wanita yang dicerai merupakan perbuatan ihsan sesuai dengan kadar kemampuan suami yang menceraikan istrinya apakah dia memiliki harta yang banyak atau sedikit, dan pemberian mut‟ah itu hukumnya sunnah.5 Senada dengan hal tersebut menurut Wahbah Zuhailiy bahwa Mazhab Maliki berpendapat mut‟ah adalah sunah bagi semua perempuan yang diceraikan oleh suaminya karena firman Allah SWT: 6 Artinya : kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf. (QS. al-Baqarah : 241) dan juga firman Allah : Artinya : yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. al-Baqarah : 236) Sesungguhnya Allah SWT. mengikat perintah memberi mut‟ah dengan taqwa dan ihsan, sedang perkara wajib tidak terikat dengan kedua sifat itu. Mereka berpendapat bahwa perempuan yang diceraikan oleh suami ada tiga macam yaitu : 5 Abi Qosim Muhammad bin Ahmad Ibn Juza, al-Qowanin al-Fiqhiyyah (Cairo : Dar al-Hadis, 2005) h.193 6 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Waadillatuhu, .h.318 41 1. Perempuan yang diceraikan sebelum bercampur dengan suami dan sebelum ditentukan maharnya, maka ia berhak mendapat mut‟ah dan tidak berhak mendapat sesuatu pun daripada mahar. 2. Perempuan yang diceraikan qabla al dukhul (sebelum bercampur) dengan suami dan setelah ditentukan maharnya, maka tidak ada mut’ah baginya. Manakala perempuan yang diceraikan setelah bercampur dengan suami, sama ada sebelum ditentukan mahar ataupun setelah ditentukannya, maka ia berhak mendapat mut‟ah. 3. Tidak ada mut‟ah bagi perempuan pada setiap perceraian yang dipilih oleh perempuan, seperti isteri kepada orang gila, orang berpenyakit lepra, orang lemah syahwat (impoten) dan tidak ada mut‟ah pada perceraian dengan sebab fasakh, khuluk dan li’an. C. Pandangan Mazhab Syafi’i Pendapat Mazhab Syafi‟i bertentangan dengan ulama Maliki, menurut Mazhab Syafi‟i bahwa mut‟ah itu wajib diberikan kepada setiap perempuan yang diceraikan suami, sama halnya perceraian itu qabla al dukhul (sebelum bercampur) dengan suami ataupun ba’da dukhul (setelah bercampur), kecuali bagi perempuan yang bercerai qabla al dukhul (sebelum bercampur) dengan suaminya dan maharnya telah ditentukan (mahar masamma), maka cukup bagi mantan suaminya memberikan setengah daripada maharnya. Oleh karena itu, wajib 42 mut‟ah bagi isteri yang diceraikan qabla al dukhul (sebelum bercampur) meskipun tidak diwajibkan membagi dua mahar, dan wajib juga mut‟ah bagi perempuan yang diceraikan suami ba’da dukhul (setelah bercampur) dan maharnya tidak disebutkan di dalam akad, hal ini mengikut pendapat yang lebih zahir, dan wajib memberikan mut‟ah pada setiap perceraian yang bukan disebabkan oleh isteri seperti talak yang berlaku dengan sebab suami seperti suami murtad, meli‟an atau memeluk agama Islam. Adapun perempuan yang wajib baginya separuh mahar, maka baginya yang demikian. Manakala perempuan nikah tafwidh dan tidak ditentukan maharnya, maka ia berhak mendapat mut‟ah.7 Secara ringkas, ungkapan kata mereka adalah bermaksud: “bagi perceraian ada mut‟ah, kecuali perempuan yang telah ditentukan mahar baginya dan perempuan yang diceraikan sebelum bercampur dengan suami, atau berlaku perceraian dengan sebab perempuan, atau dengan sebab suami memberikan kepemilikan talak kepada isteri kemudian isteri menjatuhkan talaknya, atau suami mati, atau dengan sebab suami meli‟an dan impoten dengan sebab istri (yang menuntut fasakh).” Dalil mereka dengan firman Allah SWT. : 7 Ibid,.h.318 ..... 43 Artinya : dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka.” (QS.alBaqarah : 236) Dan firman-Nya: ...... Artinya : kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Baqarah :241) Sesungguhnya Allah S.W.T. mewajibkan mut‟ah bagi setiap isteri yang telah diceraikan sama halnya telah bercampur (bada dukhul) dengan suami ataupun tidak dan sama halnya ia telah ditentukan mahar ataupun tidak. Hal ini diperkuatkan lagi dengan tawaran Nabi s.a.w. memberi mut‟ah kepada isteri-isteri Nabi s.a.w. sedang para isterinya telah bercampur dengan Nabi s.a.w. Ini dapat di lihat pada firman Allah SWT : Artinya : Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. (QS. al-Ahzab : 28) 44 Adapun sekiranya telah ditentukan mahar bagi perempuan yang menikah secara tafwidh, maka tidak ada mut‟ah baginya karena suami tidak mengambil manfaat farajnya. Oleh karena itu memadai separuh mahar sebagai haknya wanita yang dicerai dihubungkan dengan pengorbanannya tersebab perpisahan. D. Pandangan Mazhab Hanbali Mazhab Hanbali pada keseluruhannya sependapat dengan Mazhab Hanafi bahwa mut‟ah adalah wajib atas setiap suami yang mendeka atau budak baik Muslim atau kafir dhimmi bagi setiap isteri yang dinikahi dengan nikah tafwidh, ia diceraikan sebelum bercampur dengan suaminya dan sebelum ditentukan maharnya, sebagaimana ayat al-Qur‟an: 8 …… ….. Artinya : dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka (QS. alBaqarah : 236) Dan ini tidak bertentangan dengan firman Allah SWT.: 8 Ibid. h.319 45 Artinya : yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. al-Baqarah 2:236) Oleh karena, menunaikan kewajiban adalah bagian dari ihsan, jadi tidak ada bagi orang yang mentafwidhh perkawinannya melainkan dengan mut‟ah. Sunah memberikan mut’ah di sisi ulama Hanbali kepada setiap perempuan yang diceraikan yang bukan nikah tafwidh yang tidak ditentukan maharnya karena firman Allah SWT. Artinya : kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Baqarah : 241) Ini tidak diwajibkan karena Allah S.W.T. mengelompokkan perempuan yang diceraikan oleh suaminya kepada dua bagian. Allah S.W.T. mewajibkan mut‟ah bagi perempuan yang tidak ditentukan mahar baginya dan setengah daripada mahar yang telah ditentukan baginya. Ini menunjukkan bahwa tiap-tiap bagian mempunyai hukum yang khusus baginya. Tidak ada mut‟ah bagi perempuan yang kematian suami karena nash (dalil) tidak merangkuminya, mut‟ah hanya mengenai perempuan yang diceraikan oleh suaminya. 46 Kewajiban mut‟ah gugur pada semua tempat yang digugurkan kesemua mahar seperti perempuan yang murtad dan perempuan yang difasakhkan perkawinan dengan sebab penyusuannya dan sebagainya karena mut‟ah menempati setengah dari mahar yang telah ditentukan (mahar musamma). Oleh itu, maka ia gugur pada semua tempat yang digugurkan mahar. Wajib bagi perempuan yang nikah tafwidh pada semua tempat yang perempuan berhak mendapat setengah daripada mahar musamma seperti suami murtad. Dan tidak wajib mut‟ah pada perpisahan yang menggugurkan mahar musamma seperti perceraian dengan sebab berlainan agama dan fasakh dengan sebab susuan, sekiranya ia datang dari pihak perempuan, karena mut‟ah menempati setengah mahar musamma. 9 Perempuan yang wajib baginya setengah daripada maharnya tidak wajib diberi mut‟ah sama halnya apakah maharnya ditentukan di dalam akad atau pun tidak, akan tetapi ditentukan selepas akad. Ini sama dengan pendapat jumhur selain daripada Abu Hanifah dan Muhammad sebagaimana yang dijelaskan. E. Kadar Mut’ah dan Jenisnya. Kadar mut‟ah yang diberikan suami kepada mantan istrinya dijelaskan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 236 : 9 Ibid, h.319 47 Artinya : “Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”(QS. alBaqarah : 236) Ayat tersebut tidak menyebutkan batasan maksimal dan minimal mut‟ah yang harus diberikan suami kepada isterinya. Sepertinya ayat ini memberikan hak sepenuhnya kepada suami dalam menentukan jumlah pemberian itu. Satu-satunya syarat yang diberikan ayat ini adalah “kepatutan”. Hal itu terlihat dari pernyataan yang menyebutkan bahwa “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut”. Dengan pernyatan seperti ini, maka ada tiga unsur kepatutan yang mesti diperhatikan dalam pemberian mut‟ah. Pertama, kepatutan atau kepantasan berdasarkan kemampuan si suami, dan itu didasarkan pada ayat di atas.10 Artinya, suami yang kaya tidak pantas memberikan mut‟ah yang sama jumlahnya dengan suami yang termasuk golongan miskin, dan sebaliknya. Kedua, patut atau pantas bagi si isteri. Artinya, isteri yang terbiasa dengan pola hidup “cukup” atau (apalagi) “mewah” dengan suami itu atau keluarganya sebelumnya, tidak pantas 10 Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasaniy, Bada’i wa al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i (Beirut : Dar alKitab al-Arabiy , 1982) Juz.II,h.304 48 kalau mendapat mut‟ah yang jumlahnya “sedikit”. Sebabnya, seperti dikatakan alKasaniy, karena mut‟ah itu sendiri adalah sebagai ganti dari “kemaluannya”. Oleh karena itu, keadan si isterilah yang jadi pedoman dalam penentuan mut‟ah itu. Ketiga, patut atau pantas menurut adat yang berlaku di lingkungan tempat mereka hidup. Hal ini perlu mendapatkan perhatian, setidaknya, untuk menghindari terjadinya kesenjangan sosial antara si isteri yang diberi mut‟ah dengan orangorang yang berada di sekitarnya. Ulama Hanafi menetapkan bahwa mut‟ah merupakan tiga pakaian: pakaian wanita yang menutupi pakaian dalamnya, pakaian yang menutupi kepala dan pakaian yang menutup kepala hingga ke kaki (milhafah,) karena firman Allah SWT.: ....... Artinya : “Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”(QS. al-Baqarah : 236) Kata mata‟ adalah nama bagi sesuatu yang sepadan menurut„uruf, oleh karenanya penetapan pakaian-pakaian dipandang dari kaidah syara yaitu kiswah yang wajib bagi wanita pada masa hubungan antara isteri dengan suami, kemudian pakaian pada masa iddah dan sekurang-kurang pakaian yang biasa 11 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Waadillatuhu, h.320 49 dipakai oleh istri di dalam rumah dan pakaian yang dipakai ketika keluar rumah. Pakaian-pakaian tersebut tidak melebihi daripada setengah mahar mitsilnya meskipun suami termasuk orang kaya, karena ia adalah sebagai ganti dari maharnya, dan tidak boleh mut‟ah kurang dari lima dirham meskipun suami dari golongan orang miskin. Dan yang menjadi fatwa pada hal ini bahwa mut‟ah itu diibaratkan sebagai nafkah, jika kedua-duanya kaya, maka bagi perempuan pakaian yang mahal (bermutu tinggi). Jika kedua-duanya fakir, maka baginya pakaian yang terendah nilainya. Jika kedudukan kedua-duanya berbeda dari segi kaya dan fakir, maka baginya pakaian yang sederhana. Ulama Syafi‟iyyah berpendapat bahwa sunah mut‟ah itu tidak kurang daripada 30 dirham atau sesuatu yang senilai dengannya. Ini adalah serendahrendah yang disunahkan, setinggi-tingginya ialah khadim (pelayan), dan yang pertengahan (sederhana) ialah pakaian. Disunatkan mut‟ah itu ialah juga kadarnya sampai separuh daripada mahar mitsil. Seandainya sampai atau lebih dari separuh dari nilai mahar mitsil hal ini diperbolehkan karena kemutlakan surat al-Baqarah (2) ayat 236. Seandainya suami isteri bertikai tentang kadar mut‟ah, maka qadilah yang menentukan kadar mut‟ah dengan ijtihadnya, berdasarkan apa yang sesuai dengan kedudukan atau taraf suami isteri sebagaimana pendapat ulama Hanafi dari segi kaya, miskin, keturunannya dan sifatnya.12 12 Ibid, h,321 50 Ulama-Ulama Maliki (Malikiyah) dan Ulama-Ulama Hanbali (Hanabilah) berpendapat bahwa mut‟ah diperhitungkan berdasarkan keadaan suami dari segi kaya dan miskin, atas orang yang kaya maka kadar mut‟ah disesuaikan dengan keadaannya, dan atas orang yang miskin kadar mut‟ah disesuaikan keadaannya, karena ayat al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 236 yang tersebut di atas secara jelas menyatakan keadaan mut‟ah adalah menurut keadaan suami, maksimum mut‟ah adalah seorang khadim, yakni nilai harga seorang khadim pada masa mereka sekiranya suami orang kaya, dan minimum mut‟ah adalah pakaian yang sempurna yang boleh dijadikan pakaian shalat sekiranya suami orang yang miskin, yakni sekurang-kurangnya pakaian, adalah pakaian rumah seorang wanita yang menutup hingga ke kaki dan kain penutup kepala, sebagaimana pendapat ulama Hanafi sekurang-kurangnya mut‟ah adalah tiga pakaian yaitu pakaian wanita yang menutupi pakaian dalamnya, pakaian yang menutupi kepala dan pakaian yang menutup kepala hingga ke kaki. Kadar mut‟ah ini bersandarkan kepada perkataan Ibnu „Abbas bahwa “setinggi-tinggi (maksimum) mut‟ah adalah seorang khadim, kemudian yang kurang dari itu adalah nafaqah, kemudian yang kurang itu adalah pakaian ”. Pada zahirnya dua pendapat ini adalah lebih rajih. 51 BAB IV PEMBERIAN MUT’AH BAGI ISTRI YANG TALAK : SUATU ANALISA PUTUSAN A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan 1. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pengadilan Agama telah ada sejak zaman kesultanan, secara yuridis baru diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 19 Januari 1882 dengan dikeluarkannya surat keputusan No 24. Stb. 1882 No. 152. Lahirnya teori hukum adat oleh Van Vollen Hoven dan Snouck Hurgroje dengan teori Receptie, Keberadaan Peradilan Agama Mulai digugat. Yang menganggap Stb. 1882 No. 152 adalah suatu kesalahan. Yang pada intinya diganti dengan Stb. Tahun 1907 No. 204, Stb. Tahun 1919 No. 262 yang berisikan “memperhatikan Undang-Undang Agama”.1 Setelah Indonesia merdeka, Presiden Mempertegas lewat Peraturan Presiden No. 2 Tanggal 10 Oktober 1945 dalam Pasal I, dijelaskan : Segala badan-badan Negara yang ada sampai berdirinya Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang 1 Dadan Muttaqien, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Dalam Persfektif Sosiologi Hukum, Artikel diakses pada 15 Juli 2013 dari http://yppei.blogspot.com/2009/03/undang-undang-nomor-3-tahun-2006.html 51 52 Dasar, maka tetap berlaku asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah Jakarta hanya terdapat tiga kantor cabang, yaitu : a. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara. b. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah. c. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk. Ketiga kantor cabang di atas termasuk ke dalam wilayah yurisdiksi hukum cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Pada tanggal 16 Desember 1976, istilah Mahkamah Islam Tinggi berkembang menjadi Pengadilan Agama Tinggi Agama atas Surat keputusan Menteri Agama No 71 Tahun 1976, akan tetapi realisasi pelaksanaannya terjadi pada tanggal 30 Oktober 1987 lalu secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.2 Perkembangan yang terjadi dari masa ke masa terbentuklah Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai jawaban perkembangan masyarakat Jakarta. Kantor Pegadilan Agama selalu mengalami perpindahan tempat. Tahun 1976 kantor cabang Pengadilan Agama pindah ke Blok D Kebayoran 2 Sayed Usman, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, artikel diakses pada 15 Juli 2013 dari www.pa-jaksel.net. 53 Baru Jakarta Selatan dengan menempati Serambi Masjid Syarif Hidayatullah dimana sebutan cabang itu di hilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan, 3 hal ini atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta Selatan yang waktu itu dijabat oleh Bapak Drs. H. MUHDI YASIN4, namun penetapan kantor di serambi masjid ini tidak bertahan lama hanya sampai tahun 1979. Pada bulan September Tahun 1979 kantor pengadilan agama dipindahkan kembali di gedung baru Jalan Ciputat Raya Pondok Pinang dengan status tanah milik PGAN Pondok Pinang yang dipimpin oleh Bapak H. ALIM, BA, kemudian pindah lagi ke jalan Rambutan VII No 48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan yang di ketuai oleh Drs. H. DJABIR MANSHUR, SH.5. Di mana gedung ini merupakan hibah dari PEMDA DKI Jakarta. Dan pada akhirnya berpindah terakhir di Jalan R.M Harsono RT 07/05 Ragunan Jakarta Selatan di mana gedung ini merupakan gedung termewah dan terbesar di bandingkan kantor pengadilan agama lainnya di Jakarta. Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam 3 ibid Media Informasi Dan Tranfaransi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. diakses pada tanggal 15 Juli 2013 melalui http://www.pajakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html 5 Ibid 4 54 hal peningkatkan IT yang sudah semakin canggih disertai dengan programprogram yang menunjang pelaksanaan tugas pokok, seperti program SIADPA yang sudah berjalan dan terintegrasi dengan TV Media Center, Touch Screen (KIOS-K) serta beberapa fitur tambahan dari Situs Web pa- jakartaselatan.go.id. Dasar hukum dan landasan kerja pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang melaksanakan tugasnya adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Republik Indonesia 1945 Pasal 24 b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 f. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 g. Peraturan/ Intruksi/Edaran Mahkamah Agung RI h. Intruksi Dirjen Bimas Islam /Bimbingan Islam i. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963 Tentang Pembentukan Peradilan Agama Jakarta Selatan j. Peraturan peraturan lain yang berkaitan dangan tata kerja dan wewenang pengadilan agama. 55 2. Letak Geogafis Gedung baru Pengadilan Agama Jakarta Selatan kelas 1A yang terletak di Jalan R.M Harsono RT 07/05 Ragunan Jakarta Selatan dibangun sejak Tanggal 21 April 2008 sampai dengan 3 Desember 2008 (tahap 1) dengan anggaran sejumlah Rp. 6.501.077.000.,- (enam miliar lima ratus juta tujuh puluh tujuh ribu rupiah) serta pembangunan tahap kedua tanggal 26 Februari 2009 sampai tanggal 3 Desember 2009 dengan anggaran Rp. 6.489.230.980.,- (enam miliar empat ratus delapan puluh sembilan ratus juta dua ratus tiga puluh sembilan ratus delapan puluh rupiah). Yang mencapai luas bangunan 2 lantai seluas 1.500 M2 dan luas tanah 6.144 M2. beberapa ruangan baru yang terdapat dalam gedung baru pengadilan agama adalah : a. Ruang kerja ketua b. Ruang kerja wakil ketua c. Ruang kerja panitera sekretaris d. Ruang kerja hakim e. Ruang kerja wakil panitera f. Ruang kerja kepaniteraan g. Ruang kerja kesekretariatan h. Ruang kerja panitera pengganti i. Ruang kerja juru sita pengganti j. Ruang kasir 56 k. Ruang server l. Ruang sidang pengadilan agama Jakarta Selatan 5 buah.6 m. Ruang mediasi sebanyak 5 buah n. Ruang arsip perkara sebanyak 2 buah o. Ruang tunggu p. Ruang parkir motor pegawai/karyawan Status tanah dan bangunannya adalah sebidang tanah seluas 6.149 M2 dari Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tahun 2007 sedangkan untuk biaya pembangunannya seluas 1.500 M2 terdiri dari dua lantai diperoleh dari DIPA Pengadilan Agama Jakarta Selatan secara dua tahap. Bangunan ini merupakan gedung pengadilan terbesar dan termegah di Jakarta. Di lihat dari astronomis wilayah pemerintahan kota madya Jakarta Selatan adalah 145,73 Kilometer persegi (Km2) dan secara astronomis wilayah Jakarta Selatan berada pada posisi 06’15’40,8’ lintang selatan dan 106’45/0,00 bujur timur serta pada kemiringan 26,2 meter diatas permukaan laut. Sedangkan daerah Jakarta Selatan itu sendiri terdapat rawa/ setu (setu babakan) wilayah ini cocok digunakan sebagai resapan air dengan iklimnya yang sejuk sehingga ideal di kembangkan sebagai wilayah penduduk. Daerah Jakarta Selatan juga banyak terdapat kegiatan usaha dan perkantoran yang 6 Laporan Tahunan 2009 Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 57 besar-besar. Wilayah hukum pengadilan agama Jakarta Selatan mencangkup semua wilayah kota Jakarta Selatan yang meliputi 10 (sepuluh) kecamatan dengan 65 (enam puluh lima) Kelurahan yaitu : 1. Kecamatan Kebayoran Lama a. Kelurahan Grogol Utara b. Kelurahan Grogol Selatan c. Kelurahan Cipulir d. Kelurahan Kebayoran Lama Utara e. Kelurahan Kebayoran Lama Selatan f. Kelurahan Pondok Pinang 2. Kecamatan Pesanggrahan a. Kelurahan Ulujami b. Kelurahan Petukangan Utara c. Kelurahan Petukangan Selatan d. Kelurahan Pesanggrahan e. Kelurahan Bintaro 3. Kecamatan Pasar Minggu a. Kelurahan Pejaten Barat b. Kelurahan Pejaten Timur c. Kelurahan Pasar Minggu d. Kelurahan Kebagusan 58 e. Kelurahan Jati Padang f. Kelurahan Ragunan g. Kelurahan Cilandak Timur 4. Kecamatan Jagakarsa a. Kelurahan Tanjung Barat b. Kelurahan Lenteng Agung c. Kelurahan Jagakarsa d. Kelurahan Ciganjur e. Kelurahan Srengseng Sawah f. Kelurahan Kelurahan Cimpedak 5. Kecamatan Mampang Prapatan a. Kelurahan Kuningan Barat b. Kelurahan Pela Mampang c. Kelurahan Bangka d. Kelurahan Tegal Parang e. Kelurahan Mampang Prapatan f. Kelurahan Manggarai Selatan 6. Kecamatan Pancoran a. Kelurahan Kalibata b. Kelurahan Rawa Jati c. Kelurahan Duren Tiga 59 d. Kelurahan Cikoko e. Kelurahan Pengadegan f. Kelurahan Pancoran 7. Kecamatan Kebayoran Baru a. Kelurahan Selong b. Kelurahan Gunung c. Kelurahan Kramat Pela d. Kelurahan Gandaria Utara e. Kelurahan Cipete Utara f. Kelurahan Pulo g. Kelurahan Melawai h. Kelurahan Petogogan i. Kelurahan Rawa Barat j. Kelurahan Senayan 8. Kecamatan Tebet a. Kelurahan Tebet Barat b. Kelurahan Tebet Timur c. Kelurahan Kebon Baru d. Kelurahan Bukit Duri e. Kelurahan Manggarai f. Kelurahan Manggarai Selatan 60 g. Kelurahan Menteng Dalam 9. Kecamatan Setia Budi a. Kelurahan Setiabudi b. Kelurahan Karet c. Karet Semanggi d. Kelurahan Karet Kuningan e. Kelurahan Kuningan Timur f. Kelurahan Menteng Atas g. Kelurahan Pasar Manggis h. Kelurahan Guntur 10. Kecamatan Cilandak a. Kelurahan Cipete Selatan b. Kelurahan Gandaria Selatan c. Kelurahan Cilandak Barat d. Kelurahan Lebak Bulus e. Kelurahan Pondok Labu 3. Struktur Organisasi Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan terdiri dari pemimpin pengadilan agama (yang terdiri dari seorang ketua dan wakil ketua), hakim, panitera sekretaris, dibantu Oleh wakil panitera yang membawahi tiga orang kepala sub kepaniteraan (panitera muda), dan wakil sekretaris yang 61 membawahi tiga kepala sub bagian, panitera pengganti, jurusita, jurusita pengganti, calon hakim dan beberapa orang staf/pelaksana serta dibantu beberap orang sebagai tenaga honorer. Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/004/II/92 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan KMA Nomor 5 Tahun 1996 tentang Struktur Organisasi Peradilan.7 B. Kronologis Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Jakata Selatan Nomor : 1151/Pdt.G/2008/PAJS Perkara dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini adalah putusan No. 1151/Pdt.G/2008/PAJS. Yang melibatkan Pemohon berumur 65 tahun dengan pekerjaaan pensiunan PNS yang bertempat tinggal di daerah Jakarta Selatan. Dengan Termohon berumur 48 tahun beragama Islam pekerjaan Ibu Rumah Tangga yang bertempat tinggal di daerah Jakarta Selatan. Dalam surat gugatan yang diajukan oleh Pemohon pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut : 7 Stuktur Organisasi Tata Kerja Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Artikel ini di akses pada tanggal 16 Juli 2013 melalui http://www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/strukturorganisasi.html 62 Pada tanggal 7 November 1994, telah dilangsungkan pernikahan antara Pemohon dan Termohon tercatat di PPN Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cibeber, Lebak sebagaimana yang tercantum dalam Akta Nikah Nomor : 262/13/XI/1994 tanggal 7 November 1994. Sejak menikah sampai dengan Januari 1998 kehidupan rumah tangga Pemohon dengan Termohon masih rukun sebagaimana layaknya suami istri meskipun pernah timbul perselisihan namun masih dapat diatasi, dari pernikahan tersebut belum dikaruniai anak walaupun telah berhubungan suami istri. Bahwa sejak Januari 1998 sampai dengan September 2007 kehidupan rumah tangga Pemohon dan Termohon sering terjadi perselisihan/pertengkaran yang sulit diatasi, sehingga membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup rumah tangga yang selama ini dibina. Adapun sebab-sebab terjadinya perselisihan/pertengkaran tersebut karena : 1. Termohon tidak mau menuruti perintah dan nasehat Pemohon 2. Termohon sifatnya egois (mau menang sendiri) 3. Termohon suka berhutang kepada orang lain tanpa sepengetahuan Pemohon. 4. Hubungan Termohon dengan anak bawaan Pemohon kurang harmonis 5. Pemohon dibebani oleh anak Termohon untuk memelihara anak-anaknya (cucu Termohon) sebanyak 5 (lima) orang yang tidak jelas ayahnya. 63 6. Sejak bulan September 2007 Pemohon dan Termohon sudah pisah rumah.8 Sejak berpisah Pemohon telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan musyawarah namun upaya tersebut tidak berhasil. Dengan sebabsebab tersebut di atas, Pemohon merasa rumah tangganya tidak bisa dipertahankan lagi, maka Pemohon bertambah yakin bahwa tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam berumah tangga dengan Termohon. Oleh karena itu Pemohon kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan memberikan izin kepada Pemohon untuk menceraikan Termohon.9 C. Landasan Yuridis Pemeriksaan Cerai Talak dan Pemberian Mut’ah Dalam setiap perkara perdata yang terjadi adalah sebuah wujud antara teori dan praktek harus dapat dilaksanakan sesuai dengan jalur hukum yang berlaku dilingkungannya. Maka dalam hal ini pengadilan ditunjuk sebagai penegak keadilan bagi orang yang mencari keadilan, bagi perkara orang Islam dalam hal perdatanya seperti perceraian akibat perkawinan yang bermasalah, untuk itu hakim pengadilan agama diminta untuk mencegah atau bisa menjadi juru damai (Hakamain) sekaligus penegak hukum untuk mengadili perkara para pihak, dengan harapan menemukan keadilan. 8 9 Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Nomor. 1151/Pdt.G/2008/PAJS Ibid 64 Setelah penulis uraikan tentang kronologis masalah perkara No, 1151/Pdt.G/2008/PAJS Majelis Hakim memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam masalah cerai talak. Dengan adanya bukti pernikahan yang sah menurut hukum, dan untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang oleh Majelis Hakim telah diupayakan perdamaian di antara para pihak dengan menghadirkan Pemohon dan Termohon dihadapan sidang akan tetapi tidak berhasil dan Pemohon tetap pada pendiriannya, maka Majelis memeriksa Pemohon dan Termohon dengan terlebih dahulu dibacakan surat permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon. Atas dalil-dalil permohonan Pemohon, pihak Termohon memberikan jawaban secara lisan tanggal 14 Agustus 2008 yang pada pokoknya membenarkan permohonan Pemohon dan menyatakan tidak keberatan diceraikan oleh Pemohon, akan tetapi Termohon menuntut kepada Pemohon untuk memberikan Mut’ah berupa uang sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan nafkah iddah dan kiswah sebesar Rp. 3.100.000,- (tiga juta seratus ribu rupiah). Berdasarkan jawaban Termohon tersebut, pihak Pemohon menyampaikan replik secara lisan yang pada dasarnya tetap pada permohonannya. Namun mengenai permintaan mut’ah Pemohon dengan mempetimbangkan statusnya sebagai Pensiunan PNS Guru hanya menyanggupi sebesar Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah) dan nafkah iddah dan kiswah sebesar Rp. 2.500.000,- (dua 65 juta lima ratus ribu rupiah). Selanjutnya atas replik Pemohon, Termohon menyampaikan duplik secara lisan tetap pada jawaban dan tuntutannya semula dan tidak menyampaikan sesuatu apapun lagi. Untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan bukti tulis yaitu photo copy Kutipan Akta Nikah Nomor : 263/13/XI/1994, beserta 2 (dua) buah aslinya atas nama Pemohon dan Termohon, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibeber, Lebak, Jawa Barat (sekarang Banten), bermaterai cukup, sesuai aslinya, yang diberikan tanda P-1. Selain mengajukan bukti tulis Pemohon mengajukan 1 (satu) orang saksi orang dekat yang berusia 58 tahun, beragama Islam dan bekerja sebagai Penyuluh Agama (Da’i) selanjutnya disebut sebagai saksi I. Begitupun juga Termohon mengajukan saksi orang dekatnya berusia 49 tahun beragama Islam, selanjutnya disebut sebagai saksi II. Bahwa saksi Termohon dan Pemohon dihadapan sidang telah memberikan keterangannya di bawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut : 1. Bahwa kedua saksi mengenal Pemohon dan Termohon sebagai suami istri yang menikah tahun 1994. 2. Bahwa antara Pemohon dengan Termohon belum dikaruniai anak, namun sebelum mereka menikah dengan status duda dan janda cerai mati, Pemohon 66 membawa anak kandung 1 (satu) orang sedangkan Termohon membawa anak kandung 3 (tiga) orang. 3. Bahwa antara Pemohon dan Termohon sering terjdi perselisihan yang dikarenakan masalah ekonomi dimana Pemohon tidak mencukupi nafkah Termohon, dan Pemohon tidak dihargai sebagai suami. 4. Bahwa antara Pemohon dan Termohon telah pisah rumah kurang lebih 2 (dua) tahun. 5. Bahwa pihak keluarga sudah berusaha untuk menasehati Pemohon dengan Termohon, akan tetapi usaha itu tidak berhasil, karena Pemohon tetap pada pendiriannya. Bahwa atas keterangan para saksi tersebut Pemohon dan Termohon membenarkannya. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Pemohon dan Termohon dipandang telah mempunyai cukup alasan, dan telah memenuhi ketentuan perundang-undangan, Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor : 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dengan terbuktinya pula perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara Pemohon dan Termohon dan tidak ada lagi harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga tersebut, apabila perkawinan mereka diteruskan maka tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tidak akan tercapai. 67 Bahwa perceraian yang akan terjadi antara Pemohon dengan Termohon adalah sebagai akibat permohonan Talak oleh Pemohon, oleh karenanya sesuai ketentuan Pasal 149 sub a dan (b) Kompilasi Hukum Islam maka Pemohon berkewajiban membayar Mut’ah, Nafkah Iddah dan Kiswah kepada Termohon. Adapun biaya yang timbul dari perkara ini dibebankan kepada Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. D. Putusan Hakim Berdasarkan fakta-fakta tersebut dan juga dari sikap Pemohon dan Termohon sejak terjadinya peristiwa tersebut sampai akhir proses persidangan, tidak ternyata telah terjadi perubahan sikap diantara para pihak untuk rukun kembali sebagai suami istri, maka Majelis Hakim memberikan penetapan dan keputusan yang menyangkut permohonan Talak oleh Pemohon, menyatakan bahwa : Pertama, Mengabulkan permohonan Pemohon. Kedua, Bahwa di persidangan Termohon tidak dapat menunjukkan bukti-bukti penghasilan Pemohon, dan berdasarkan alasan-alasan Pemohon yang hanya sebagai Pensiunan PNS Guru dan sesuai dengan kesanggupannya, maka Majelis Hakim menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon : Mut’ah berupa uang sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), Nafkah Iddah dan Kiswah sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). Ketiga, Membebankan kepada 68 Pemohon untuk membayar biaya perkara tersebut sebesar Rp. 156.000,- (seratus lima puluh enam ribu rupiah) Demikian putusan tersebut dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada hari Kamis 21 Agustus 2008 Masehi, bertepatan dengan tanggal 20 Sya’ban 1429 Hijriyah oleh Drs. A. Choiri,SH,MH, selaku Ketua Majelis, Dra. Hj. Noor Jannah Aziz,MH, dan Drs. H. Muh. Abduh Sulaeman,SH,MH., masing-masing selaku Hakim Anggota dan pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan dibantu oleh Lutfi Muslih,S.Ag, MA. selaku Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon dan Termohon. E. Analisis Penulis Dari jalan perkara di atas dapat diketahui dengan jelas alasan-alasan mengapa Pemohon menuntut cerai istrinya (Termohon) karena Termohon tidak menuruti perintah dan nasehat Pemohon, Pemohon sering berhutang kepada orang lain tanpa sepengetahuan Pemohon, dan hubungan Pemohon dengan anak bawaan Termohon kurang harmonis, hal ini membuat Pemohon merasa tidak dihargai sebagai suami. Dengan demikian menurut penulis Termohon telah melanggar Pasal 33 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi “Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.” 69 Pemohon mengakui kepada Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan bahwa tuntutan ekonomi yang dibebankan kepada Pemohon cukup berat karena Pemohon dibebani oleh anak bawaan Termohon untuk memelihara anak-anaknya (cucu Termohon) yang berjumlah 5 (lima) orang. Menurut pendapat penulis bahwasanya hubungan harmonis dalam rumah tangga wajib diciptakan oleh suami dan istri, keharmonisan bisa tercipta manakala suami istri saling cinta mencintai, saling menghormati satu sama lain dan saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, serta masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Namun demikian bila salah satu pihak melalaikan kewajibannya dan hanya menuntut haknya tanpa memperdulikan keadaan pihak lainnya maka akan menimbulkan percekcokan yang berakibat rusaknya hubungan keduanya. Dari perkara diatas jelaslah bahwa Termohon tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri, dan Pemohon tidak dapat memenuhi keinginan Termohon diluar kemampuannya sehingga memicu percekcokan, oleh karenanya Pemohon menganggap bahwa rumah tangganya tidak dapat dipertahankan lagi walaupun upaya untuk bermusyawarah telah dilakukan oleh Pemohon sehingga Pemohon mengajukan Permohonan talak kepada Pengadilan 70 Agama Jakarta Selatan. Selain itu Majelis Hakim telah melakukan upaya perdamaian kepada kedua belah pihak tetapi tidak berhasil. Dasar hukum yang dipakai oleh Pemohon dalam mengajukan Permohonan talak adalah Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Jo Pasal 116 Huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Jadi jelaslah, dalam kasus ini suami (Pemohon) dibenarkan mengajukan permohonan talak kepada istrinya (Termohon) karena alasan dan persyaratan yang diajukan dapat diterima dan secara tegas diatur oleh perundang-undangan yang berlaku di Negara kita. Maka pantas jika Majelis hakim mengabulkan Permohonan Pemohon demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi kedua belah pihak. Adapun tuntutan Termohon yang menuntut kepada Pemohon untuk membayar Mut’ah sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) menurut penulis sah-sah saja, akan tetapi yang menjadi dasar pertimbangan Hakim berdasarkan keterangan Hakim yang penulis wawancarai bahwa besaran Mut’ah harus disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan Pemohon (suami) berdasarkan Pasal 160 KHI. Hal senada dinyatakan dalam Surat al-Baqarah (2) ayat 236 : 71 Artinya : “Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”(QS. alBaqarah (2) : 236) Ayat tersebut tidak menyebutkan batasan maksimal dan minimal mut’ah yang harus diberikan suami kepada isterinya. Sepertinya ayat ini memberikan hak sepenuhnya kepada suami dalam menentukan jumlah pemberian itu. Satu-satunya syarat yang diberikan ayat ini adalah “kepatutan”. Hal itu terlihat dari pernyataan yang menyebutkan bahwa “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula. Demikian pula menurut ulama Maliki (Malikiyah) dan Ulama-Ulama Hanbali (Hanabilah) berpendapat bahwa mut’ah diperhitungkan berdasarkan keadaan suami dari segi kaya dan miskin, atas orang yang kaya maka kadar mut’ah disesuaikan dengan keadaannya, dan atas orang yang miskin kadar mut’ah disesuaikan keadaannya, karena ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 236 yang tersebut di atas secara jelas menyatakan keadaan mut’ah adalah menurut keadaan suami. Namun demikian tidak berarti seorang suami yang kaya dapat menyatakan dirinya orang yang tidak mampu sehingga pemberian mut’ah melanggar asas kepatutan. 72 Berdasarkan bukti-bukti dipersidangan bahwa Termohon tidak dapat menunjukkan bukti-bukti penghasilan dan aset yang dimiliki oleh Pemohon, dan mempertimbangkan kemampuan serta kesanggupan Pemohon untuk memberikan mut’ah sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) maka Majelis Hakim menghukum Pemohon untuk melaksanakan kewajibannya membayar mut’ah sesuai dengan kesanggupannya. Dasar hukum kewajiban membayar Mut’ah yang ditetapkan oleh Hakim terhadap Pemohon adalah Pasal 149 sub a KHI, menurut penulis sesuai dengan pendapat Ulama Syafi’i. Adapun besaran/kadar Mut’ahnya berdasarkan Pasal 160 KHI, hal ini sesuai dengan pendapat Ulama Malikiyah dan Hanabilah. 73 BAB V PENUTUP Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis mengakhiri dengan memberikan kesimpulan dan saran-saran yang menyangkut pembahasan. A. Kesimpulan 1. Ulama Syafi’i mewajibkan mut’ah kecuali perceraian yang terjadi qabla al dhuhul (belum bercampur) antara suami dan istri dan telah ditentukan maharnya. Adapun ulama’ Maliki berpendapat bahwa sunah memberi mut’ah kepada semua perempuan yang diceraikan oleh suami, sementara ulama’ Hanafi dan Hanbali berpendapat sunah memberikan mut’ah kepada perempuan yang diceraikan oleh suami, kecuali bagi perempuan yang nikah tafwid yang menikah tanpa ditentukan mahar. Pada zahirnya pendapat ulama Syafi’i tentang pemberian mut’ah lebih rajih, karena kuatnya dalil mereka, disamping sebagai penghibur perasaan perempuan, meringankan kepedihan akibat perpisahan. Pendapat tersebut tidak berlaku secara umum karena bisa terjadi perceraian disebabkan tersakitinya suami akibat perbuatan istrinya. 2. Hakim dalam memutuskan Perkara No.1151/Pdt.G/2008/PAJS telah sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu sesuai dengan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor : 9 73 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) 74 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga, selain itu Majelis Hakim telah berupaya mendamaikan para pihak berdasarkan Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan pada ayat (1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dan ayat (2) menyatakan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Sedangkan kewajiban membayar Mut’ah sesuai KHI Pasal 149 sub a yang menyatakan bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul. Adapun kewajiban membayar nafkah Iddah dan Kiswah sesuai KHI Pasal 149 sub b yang menyatakan bekas suami wajib memberikan nafkah Iddah dan Kiswah. Kewajiban membayar Mut’ah sesuai dengan pendapat Ulama Syafi’i, sedangkan besaran/kadar Mut’ahnya sesuai dengan pendapat Ulama Malikiyah dan Hanabilah. Keseluruhan keputusan Majelis Hakim tidak terlepas dari bukti-bukti dan saksi-saksi yang dihadirkan dipersidangan, agar tercipta keadilan bagi kedua belah pihak. 75 B. Saran-Saran 1. Hendaknya setiap pasangan yang akan menuju ke pelaminan, mempunyai komitmen yang jelas, mengerti dan memahami tujuan dari perkawinan 2. Suami istri hendaknya saling hormat menghormati, menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, karena mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, hal ini harus ditanamkan oleh sepasang suami istri dalam rumah tangga sehingga tidak akan menimbulkan perceraian di kemudian hari. 3. Manakala terjadi kekhilafan dan kelalaian didalam kehidupan berumah tangga, segera mengoreksi diri masing-masing dan mau mengakui kesalahan serta memperbaikinya agar keutuhan hubungan keduanya tetap terjaga. 4. Walaupun hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat bahkan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum hendaknya apa yang dilakukan oleh salah satu pihak maka pihak yang lain harus mengetahuinya. 5. Suami hendaknya mengetahui akibat perbuatan hukum yang harus ditanggungnya dengan menceraikan istrinya, dan seorang istri pun harus mengetahui haknya apabila diceraikan oleh suaminya sehingga tercipta rasa keadilan diantara keduanya. 76 6. Nilai-nilai ke-Islaman hendaknya ditanamkan dalam kehidupan berumah tangga sehingga tujuan berumah tangga yaitu membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah akan tercipta. 7. Diharapkan adanya sosialisasi kepada masyarakat baik melalui khutbah jumat, majelis taklim, pertemuan ibu-ibu PKK dan lain-lain, akan pentingnya arti pernikahan serta konsekwensi yang ditimbulkan akibat perceraian. 77 DAFTAR PUSTAKA Depag RI, Jakarta, Al-Qur’an dan Terjemahnya Azhari Akmal Taringan, Amir Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 Sampai KHI, Cet. -3, Jakarta; Kencana, 2006 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Akademi Pressindo, 2007 Ahmad al-Ghundur, Abd. al-Adzim Ma’ani, Hukum-Hukum dari al-Qur’an dan Hadis Secara Etimologi, Sosial dan Syari’at, Cet.1, Jakarta, Pustaka Firdaus,2003 Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Nomor. 1151/Pdt.G/2008/PAJS al-Asfahaniy, al-Raghib, al-Mufrodat Fi Ghorib al-Qur’an, Cet.1, Juz II, Makkah, Mazaru Musthafa al-Baz, 1997 al-Bukhari, Imam, Shahih al-Bukhari, Juz III, Beirut, Dar al-Fikr, 1995 al-Baghawi, Abi Muhammad Husain bin Mas’ud, Syarh al-Sunnah, Jilid V,Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta,UII Press, 2000 Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Cet.1, Bogor, Kencana, 2003 al-Husainiy, Taqy al-Din Abi Bakar, Kifayah al-Akhyar, Juz II, Beirut, Dar al-Fikr Hejazziey, Djawahir, Dkk, Buku Pedomana Penulisan Skripsi, Cet.1, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum, 2007 77 78 Ibnu Katsir, Imaduddin Aby Fida Ismail, Tafsir Ibnu Katsir, Juz I, Semarang, Thoha Putra Ibnu Qudamah, Syamsuddin Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, al-Mughniy, Juz IX, Cairo, Dar al-Hadis, 2004 Ibnu Juza, Abi Qasim Muhammad Ibn Ahmad, al-Qowanin al-Fiqhiyyah, Dar alHadis, 2005 Jawad Mughniyah, Muhammad, Fiqh Lima Mazhab, Cet.24, Jakarta, Lentera, 2009 al-Kasaniy, Abu Bakar bin Mas’ud, Bada’i wa al-Shana’i fi Tartib wa al-Syara’i, Juz II, Beirut, Dar al-Kitab al-Arabiy, 1982 Laporan Tahunan 2009 Pengadilan Agama Jakarta Selatan Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Cet.14, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997 Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Cet. 1, Jakarta, Bulan Bintang, 1974 Muttaqien, Dadan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Dalam Persfektif Sosiologi Hukum, Artikel di akses pada 15 Juli 2013 dari http://yppei.blogspot.com/2009/03/undang-undang-nomor-3tahun-2006.html Media Informasi Dan Tranfaransi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. diakses pada tanggal 15 Juli 2013 melalui http://www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentangkami/sejarah.html al-Naisaburiy, Abiy Husein Muslim bin Hajjaj, Jami al-Shahih, Semarang, Thoha Putra, Juz IV Prodjohamidjojo, Marjiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet.3, Jakarta, Indonesia Legal Center Publishing, 2011 79 al-Qurthubiy, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wanihayah al-Muqtashid, Juz II, Cairo, al-Istiqomah, 1952 Rahman I, Abdul, Shari’ah The Islamic Law, alih bahasa, Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, Cet. 2, Jakarta, Rineka Cipta, 1996 Stuktur Organisasi Tata Kerja Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Artikel ini di akses pada tanggal 16 Juli 2013 melalui http://www.pajakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/struktur-organisasi.html al-Syairaziy, Abi Ishaq Ibrahim, al-Muhazzab, Semarang, Toha Putra, tth al-Sayyid al-Iraqi, Butsainah, Menyingkap Tabir Perceraian. Cet. 1, Jakarta ; Pustaka al-Sofwa, 2005 Sabiq, al-Sayid, Fiqh Sunnah, Cet. 120, Juz II, Cairo, Dar al-Fath Lil I’lam alArabiyah, 2007 Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 2, Jakarta, Kencana, 2007 al-Tirmidzi, al-Hafizh Abi Isa Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmidzi, Juz II, Bandung, Diponegoro Tim Penyusun Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.1, Jakarta, Balai Pustaka, 1998 Usman, Sayed, Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, artikel diakses pada 15 Juli 2013 dari www.pa-jaksel.net. Zein, Muhammad Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta, Kencana, 2004 Zuhailiy, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa ’Adillatuhu, Juz VII, Beirut, Dar al-Fikr, 1996