BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang i) Pengertian manusia Ahli filsafat Yahudi, Protagoras telah membuat pernyataan terkenal bahwa "Manusia adalah ukuran dari segalanya; apa yang benar, benarlah itu; apa yang tidak, tidaklah itu". Aristotle mendeskripsikan manusia sebagai "hewan komunal", yaitu menekankan pembangunan masyarakat sebagai pusat pembawaan alam manusia, dan "hewan dengan sapien" istilah yang juga menginspirasikan taksonomi spesies, Homo sapiens. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan. 1 ii) Pengertian Moral Sebelum kita mempelajai mengenai moralitas akan lebih baik apabila kita mempelajari mengenai moral terlebih dahulu. Moral berasal dari kata Latin yang mempunyai arti kebiasaan (adat ).bentuk tunggal dari moral yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya mores, keduanya memiliki srti kata yang sama seperti halnya moral. Dengan melihat arti kata tersebut bisa dikatakan makna moral dan etika itu sama yakni mengenai adat ataupun kebiasaan, yang menjdi perbedaan yaitu etika berasal dari kata Yunani sedangkan moral dari kata Latin. Oleh karena itu moral merupakan nilai- nilai dan norma- norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Pengertian secara umum, seperti diterangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah moral adalah: (i) ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila; atau (ii) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan; serta (iii) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Namun demikian, dalam prakteknya, tak semua orang membuka kamus. Kebanyakan diantara kita memahami ‘moral’ melulu dalam pengertian (i) sebagai tata nilai yang baik dan luhur, tanpa menyadari lagi bahwa pengertian itu berkaitan dengan (iii) sumber-sumber ajaran kesusilaan yang representasikan melalui suatu narasi. Pengertian ‘moral’ bahkan sering terlupakan juga berarti sebagai (ii) kondisi mental atau perasaan yang direpresentasikan sebagai ungkapan atau perbuatan. Velazquez memaparkan pendapat para ahli etika mengenai lima ciri yang berguna untuk menentukan hakikat standar moral ( 2005: 9-10 ). Kelima ciri tersebut yakni: 1. Standar moral yang berkaitan dengan persoalan yang dianggap akan merugikan secara serius atau benar- benar menguntungkan manusia. Contoh standar moral yang dapat diterima oleh banyak orang adalah perlawanan terhadap pencurian, pemerkosaan, perbudakan, pembunuhan dan pelanggaran hukum. 2. Standar moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu. Meskipun demikian, validitas standar normal terletak pada kecukuupan nalar yang dugunakan untuk mendukung dan membenarkannya. 2 3. Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk kepentingan diri. Contoh pengutamaan standar moral adalah ketika lebih memilih menolong orang yang jatuh dijalan, ketimbang ingin cepat sampai pada tujuan tanpa menolong orang tersebut. 4. Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak. Dengan kata lain, pertimbangan yang dilakukan bukan berdasarkan keuntungan atau kerugian pihak tertentu, melainkan memandang bahwa masing- masing pihak memiliki nilai yang sama. 5. Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosakata tertentu. Emosi yang mengasumsikan adanya standar moral adalah perasaan bersalah, sedangkan kosakata atau ungkapan yang mempresentasikan adanya standar moral yaitu “ Ini salah saya”, ”saya menyesal”, dan sejenisnya. Moralitas berasal dari bahasa Latin moralis yang memiliki arti sama dengan moral, namun moralitas memiliki nada yang lebih abstrak. Menurut Bertens ( 2002: 7 ) moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asa dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Sedangkan menurut Keraf ( 1993: 20) mengungkapkan bahwa moralitas juga berperan sebagai pengatur dan petunjuk bagi manusia dalam berperilaku agar dapat dikategorikan sebagai manusia yang baik dan dapat menghindari perilaku yang buruk. iii) Pengertin Hukum Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum. Berikut ini definisi Hukum menurut para ahli : - Menurut Tullius Cicerco (Romawi) dala “ De Legibus”: Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. - Hugo Grotius (Hugo de Grot) dalam “ De Jure Belli Pacis” (Hukum Perang dan Damai), 1625: Hukum adalah aturan tentang tindakan moral yang mewajibkan apa yang benar. - Thomas Hobbes dalam “ Leviathan”, 1651: 3 Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain. - Rudolf von Jhering dalam “ Der Zweck Im Recht” 1877-1882: Hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu Negara. - Plato Hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. 1.2 PERUMUSAN MASALAH Setelah kita mengetahui manusia, moral dan hukum , kita dapat menyimpulkan bahwa ketiga hal tersebut mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Yakni, hukum mengatur bagaimana manusia berbuat sesuatu, dan moral merupakan fondasi manusia dalam mentaati dan menjalankan hukum. Namun, dalam kenyataanya, sebagaimana kita ketahui, Masyarakat baru saja melihat kejadian hukum yang merusak moralitas sehingga berkembang persepsi bahwa kini sudah tidak ada lagi keadilan di lembaga penegak hukum. Pertama, putusan hakim terhadap Minah (55) yang diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan atas dakwaan pencurian 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), Banyumas. Belum hilang keheranan publik, hukum juga memaksa Basar dan Kolil mendekam dalam LP Kelas A Kota Kediri karena mencuri sebutir semangka seharga Rp 5.000. Keterkejutan memuncak ketika hukum melalui PT Banten menuntut Prita Mulyasari mengganti kerugian material dan immaterial kepada RS Omni Rp 204 juta karena dakwaan pencemaran nama baik atas pelayanan buruk yang dikeluhkan melalui surat elektronik. Kejadian-kejadian hukum itu pada akhirnya menimbulkan pengaruh sosial yang bermakna bagi masyarakat, lalu tak kalah penting untuk dipahami, kejadian hukum itu akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan sebagai sumber 4 keadilan. Mengapa kejadian ini berdampak pada pengadilan? Seberapa penting pengaruhnya? bagaimanakah penegakkan hukum di Indonesia? Apakah menggunakan moral? 5 BAB 2 KETERKAITAN ANTARA MANUSIA, MORALITAS, DAN HUKUM 2.1 Manusia dan Moralitas K. Bertens mengatakan bahwa mortalitas merupakan ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk lain di bawah tingkat manusiawi. Pada manusia ditemukan adanya kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak pantas dilakukan. Keharusan yang dimaksud dapat dibedakan menjadi dua yakni keharusan ilmiah dan keharusan moral. Keharusan ilmiah adalah keharusan yang didasarkan pada sumber hukum alam, jadi tidak perlu adanya pengawasan dari instansi karena alam telah mengaturnya sedemikian rupa sehingga berjalan secara otomatis. Sedangkan keharusan moral dijalankan berdasarkan hukum moral, dimana hukum moral tidak berjalan dengan sendirinya melainkan merupakan himbauan pada kemauan manusia dengan menyuruh untuk melakukan sesuatu. Keharusan moral didasarkan pada kenyataan bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah- kaidah atau norma- norma ( hukum ), melainkan manusia harus menaklukkan dirinya sendiri, menerima, dan menjalani norma- norma itu. Disaat seseorang memiliki kemauan untuk berhubungan dengan orang lain sehingga nantinya akan membentuk suatu kelompok manusia, kesadaran dan kemampuan seperti itu akan menunjukkan adanya kapasitas untuk menjadi manusia yang bermoral. Berbicara mengenai manusia yang bermoral berarti membicarakan mengenai perbuatan, pemikiran, dan pendirian manusia mengenai apa yang baik dan apa yang buruk, mengenai apa yang patut dan apa yang tidak patut dilakukan. 6 2.2 Manusia dan Hukum Manusia adalah makhluk social, dimana makhluk yang selalu berinteraksi dan membutuhkan bantuan sesamanya. Dalam konteks hubungan dengan sesame seperti itu, dibutuhkan adanya keteraturan sehingga setiap individu dapat berhubungna secara harmonis dengan individu lainnya. Agar tercipta keteraturan, maka diperlukan suatu aturan yang disebut hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan sebuah tuntutan, maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan sehingga pemeo “ Ubi societas ibi ius” ( dimana ada masyarakat disana ada hukum ) adalah tepat. Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda- beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, kegunaan, dan lain- lain. Akan tetapi kaitannya dengan masyarakat, tujuan hukum yang utama yakni untuk ketertiban ( order ). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, ketertiban adalah kebutuhan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama dalam hukum merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Banyak kaidah yang berlaku dan dipatuhi masyarakat, seperti kaida agama, kaidah susila, adat kebiasaan dan kaidah moral. Kaidah hukum merupakan salah satu kaidah social yang tidak berarti meniadakan kaidah- kaidah yang lain, bahkan antara kaidah hukum dengan kaidah yang lain saling berhubungan dan saling memperkuat satu sama lain. 7 2.3 Moralitas dan Hukum Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali, ada pepatah Roma yang mengatakan “ Quid leges sine moribus? ” ( “ apa artinya undangundang kalau tidak disertai moralitas” ). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang- undangan yang immoral harus diganti. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan- angan saja, kalau tidak diundangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak social dari moralitas. Meskipun tidak semua harus diwujudkan dalam bentuk hukum, karena hal itu mustahil. Hukum hanya membatasi diri dengan mengatur hubungan antarmanusia yang relevan. Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebabdalam kenyataannya “ mungkin“ hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang- undang yang immoral yang berarti terdapat ketidak cocokan antara hukum dan moral. K. Bertens mengungkapkan bahwa ada empat perbedaan antara hukum dan moral, yaitu: 1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas Artinya hukum lebih dibukukan secara sistematis dalam kitab perundangundangan. Oleh karena itu hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibandingkan dengan norma moral. Sedangkan moral lebih bersifat lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak “ diganggu “ oleh diskusi- diskusiyang mencari kejelasan yang harus dianggap etis dan tidak etis. 2. Hukum membatasi hanya pada tingkah laku lahiriyah Meskipun hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriyah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. 3. Sanksi untuk hukum lebih tegas Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari 8 dalam. Satu- satunya sanksi dibidang moraalitas adalah hati nurani yang tidak tenang. 4. Hukum didasarkan pada kehendak masyarakat dan akhirnya ataas kehendak Negara Meskipun hukum tidak langsung dari Negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus diakui oleh Negara agar bisa berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma- norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tetapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya 2.4 Analisis Contoh Kasus Pengadilan adalah jantung hukum itu sendiri karena menjadi laboratorium bedah atas paket perundang-undangan, profesional hukum melaksanakan fungsi, produk keadilan, dan pertarungan antara moral dan kepentingan-kepentingan lain. Untuk itulah berkembang adagium klasik di dunia hukum bahwa sebaik atau seburuk apapun teks perundang-undangan maka produk keadilan yang dihasilkan tetap tergantung pada sosok-sosok yang menjalankannya. Di sinilah pentingnya moralitas hukum yang harus dipegang oleh penguasa pengadilan. Pernyataan itu dapat dikatakan suatu jawaban atas fenomena hilangnya keadilan di pengadilan adanya kasus Minah, Basar-Kolil, dan Prita Mulyasari. Di sisi lain, semuanya merupakan kelompok masyarakat kelas bawah sehingga menjadi bukti langsung bahwa hukum belum dapat dicerna oleh masyarakat awam. Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar selalu baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan kepastian hukum. Itulah sebabnya, hukuman terhadap Amir Mahmud, sopir di BNN hanya karena sebuah pil ekstasi justru dikenai hukuman 4 tahun oleh Pengadilan Negeri 9 Jakarta Barat, sedangkan jaksa Ester dan Dara yang telah menggelapkan 343 butir ekstasi hanya divonis 1 tahun. Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang. Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki arti apa gunanya undang-undang kalau tidak disertai moralitas. Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan hukum dan pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan di pengadilan. Minah, secara substansi hukum memang melakukan pelanggaran berupa delik pencurian, namun secara moral mesti dipahami bahwa keadilan di tengah lalu lintas hukum modern adalah menekankan pada struktur rasional, prosedur, dan format. Jika hal ini ditiadakan, maka akan menegaskan tulisan Harold Rothwax dalam buku Guilty- The Collapse of the Criminal Justice System bahwa masyarakat modern tidak lagi mencari keadilan tetapi mencari kemenangan dengan segala cara. Setidaknya hal demikian dapat terbaca dalam kasus Prita yang menjadi tersangka pencemaran nama baik Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang. Prita dituduh setelah menulis keluhan pelayanan rumah sakit itu terhadap dirinya melalui internet. 10 Kawin Kontrak - Presentation Transcript 1. KAWIN KONTRAK MENURUT HUKUM ISLAM By: Subchi {13071567} Teguh Pamungkas {13071571} Restu Subiandana {13071583} 2. Pendahuluan o Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Namun kenyataannya, tidak semua orang berprinsip demikian, dengan berbagai alasan pembenaran yang cukup masuk akal dan bisa diterima masyarakat, perkawinan sering kali tidak dihargai kesakralannya. 3. Pengertian o Di dalam agama Islam, menurut Abdus Salam Nawawi, kawin kontrak dikenal dengan istilah kawin mut’ah o nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. 4. Larangan Nikah Mut’ah o Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a, bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut'ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging keledai peliharaan, (HR Bukhari [4216] dan Muslim [1407]). 5. Diriwayatkan dari ar-Rabi' bin Sabrah al-Juhani, dari ayahnya bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut'ah. Rasululalh saw. bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya nikah mut'ah itu haram mulai sekarang sampai hari kiamat. Barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (yakni) upah maka janganlah ia mengambilnya kembali,” 6. Hukum Kawin Kontrak Menurut MUI o nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan 11 7. Perkawinan Kontrak Fikih Islam o Perkawinan Islam adalah kontrak, bukan sakralmen. Meskipun telah pentingnya agama sebagai satu-satunya cara sanksi bagi individu untuk memiliki hubungan seksual yang sah dan melanjutkan keturunan perkawinan adalah perjanjian sipil, masuk ke dalam oleh dua individu atau mereka yang bertindak atas nama mereka 12 BAB 3 KESIMPULAN Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar selalu baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan kepastian hukum. Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang. Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki arti apa gunanya undang-undang kalau tidak disertai moralitas. Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan hukum dan pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan di pengadilan. Minah, secara substansi hukum memang melakukan pelanggaran berupa delik pencurian, namun secara moral mesti dipahami bahwa keadilan di tengah lalu lintas hukum modern adalah menekankan pada struktur rasional, prosedur, dan format. 13