Juwono Sudarsono: Pendidikan Bangkitkan Kesadaran Awasi Kejahatan Sosial Jakarta, Kompas Institusi pendidikan memiliki potensi membangkitkan kesadaran masyarakat untuk melakukan gugatan dan kemarahan-dalam arti positif sebagai bentuk kontrol sosial-terhadap kejahatan sosial yang terjadi. Selain itu, pendidikan juga menjadi satu-satunya jalan mobilitas vertikal bagi seseorang untuk memperbaiki harkat dan martabatnya.Hal ini diungkapkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono, Senin (22/10), di Jakarta, ketika menjawab pertanyaan salah satu peserta seminar "Membangkitkan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan". Seminar yang dipandu mantan Kepala Kanwil Departemen Pendidikan Nasional DKI Jakarta Alwi Nur-din, juga menghadirkan pembicara mantan Menteri Negara Hak Asasi Manusia (HAM) Hasballah M Sa'ad dan Ketua Umum Forum Musyawarah Organisasi Profesi Pendidikan Indonesia (Formoppi) Prof Dr Engkoswara. jpe Juwono Sudarsoso "Kesadaran hak pribadi, hak individu, untuk mempertanyakan hal-hal yang janggal perlu ditumbuhkan. Akan tetapi, secara kultural kesadaran memang belum ada. Apatisme masyarakat terhadap kejahatan sosial (seperti korupsi, kolusi dan nepotisme; KKN), masih sangat tinggi," kata Juwono. Juwono menilai, usaha penyadaran hak masyarakat untuk menggugat ini perlu didukung dengan landasan sosial ekonomi, sehingga gerakan-gerakan menggugat ini bisa tahan lama. Menurutnya, tanpa daya tahan ekonomi ini usaha untuk menggugat akan mudah terpukul. "Ini, kan, fenomena kuatnya uang di kalangan orang-orang yang digugat itu. Mereka bisa membeli dan menyedot pemimpin buruh, atau mahasiswa yang menggugat. Tanpa daya tahan ekonomi, mereka akan terpukul," ujarnya. Watak bangsa Menurut Juwono, pembentukan watak bangsa dipengaruhi kurun waktu tertentu. Ia melihat ada semacam tumpang-tindih antar-generasi yang memasuki tahap pembangunan dan krisis yang berbeda. Namun, tambahnya, yang terpenting jangan sampai simpul-simpul pemersatu terlepas. Hanya saja, demikian Juwono, harus diakui bahwa realitas di lapangan menunjukkan kondisi sangat menyedihkan karena perlakuan yang tidak baik dan tidak benar di berbagai daerah. Perlakuan yang tidak adil itu tak cuma di bidang politik, tetapi juga secara ekonomi maupun budaya. Dalam situasi demikian, para pemimpin dituntut harus dapat membentuk jangkauan yang tulus agar Indonesia tetap bersatu dengan keanekaragaman yang ada di dalamnya. Untuk itu, pertama-tama yang diperlukan adalah usaha membangun watak bangsa. Dalam upaya membangun watak bangsa, Juwono melihat paling tidak ada lima pokok pikiran yang harus ditumbuhkan. Pertama menyangkut keberanian, dalam arti bahwa semua warga negara secara individual harus bisa mempertanyakan apa yang tidak benar dengan cara yang baik. Masalah benar dan salah ini, menurut Juwono, bermula dari pendidikan ibu dalam keluarga. Pokok persoalan kedua adalah menanamkan kesadaran akan pentingnya penggunaan akal sehat dalam mencari solusi berbagai krisis yang dihadapi. Ketiga, kesetiaan yang bisa mulai ditumbuhkan dalam keluarga. Keempat, rasa tanggung jawab, yakni bisa menerima segala sesuatu sebagai hal yang ditakdirkan dalam hidup termasuk kekalahan. "Bagi yang menang harus ada kesadaran untuk menghargai yang kalah. Sebab, tanpa ada yang kalah tidak mungkin kemenangan itu ada," ujarnya. Adapun butir kelima adalah berbakti. Tentang hal ini, Juwono menyatakan, "Konsep ini memang sudah lama, tetapi masih tetap relevan untuk diterapkan dalam kondisi saat ini, baik bagi orang yang berposisi sebagai public service maupun bukan pelayan masyarakat." Hasballah juga sepakat dengan pandangan Juwono bahwa pendidikan dapat menjadi kunci untuk mambangun kembali bangsa ini. Diyakini hanya melalui pendidikan kita bisa berharap dapat "membersihkan" watak dan karakter bangsa yang saat ini sudah telanjur "kotor". Dan itu tidak mungkin bisa dilakukan jika institusi pendidikannya lemah, terutama karena kondisi guru sebagai pendukung utamanya telah dipinggirkan. "Guru seharusnya bisa mengembangkan profesionalitasnya. Akan tetapi, pada kenyataannya mereka setiap hari dihimpit oleh berbagai tuntutan hidup, sehingga tidak heran kalau guru tidak bisa optimal mengembangkan diri karena terpaksa menyambi pekerjaan lain," kata Hasballah. (mam)