penerapan asas iktikad baik pada perjanjian kredit

advertisement
PENERAPAN ASAS IKTIKAD BAIK PADA PERJANJIAN KREDIT MODAL
KERJA BANK
APPLYING GROUND IKTIKAD GOOD AT AGREEMENT OF CREDIT
WORKING CAPITAL BANK
Andi Hasniwati¹, Sukarno Aburaera², Anwar Borahima²
¹Bagian Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar
²Bagian Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi :
Andi Hasniwati
Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin
Bone, kode pos
Hp. 085242571772
Email : [email protected]
Abstrak
Perkembangan pembangunan di segala bidang merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin bagi
warga masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Untuk mengetahui bagaimana penerapan asas
iktikad baik dalam perjanjian kredit modal kerja yang diberikan oleh PT. BPR Suar Data Bone. Untuk mengetahui
bagaimana perlindungan hukum terhadap debitor atas penerapan asas iktikad baik dalam perjanjian kredit yang
dilakukan oleh PT. BPR Suar Data sebagai kreditor di satu sisi dan nasabah sebagai debitor dipihak lain. Penelitian
ini menggunakan pendekatan sosio yuridis. Penelitian dilakukan di PT Suar Data Watampone. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara dan kajian pustaka. Data dianalisis secara kualitatif yang disajikan secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa. Perjanjian kredit modal kerja yang diberikan oleh PT. BPR Suar Data
Watampone maupun pelaksanaan perjanjiannya tidaklah mencerminkan/tidak menerapkan sepenuhnya asas iktikad
baik, dimana debitor tidak diberi kesempatan oleh kreditor untuk menyelesaikan kewajibannya, kreditor secara serta
merta menjual objek jaminan kreditor.Penerapan perjanjian yang dilakukan PT.BPR Suar data Watampone tidak
mencerminkan asas iktikad baik dan sama sekali tidak memberikan perlindungan hukum kepada debitor, dalam hal
ini adanya penjualan objek jaminan yang dilakukan oleh kreditor secara paksa dengan menggunakan pihak yang
berwajib atau kepolisian. Perjanjian kredit modal kerja yang diberikan oleh PT. BPR Suar Data Watampone maupun
pelaksanaan perjanjiannya tidaklah mencerminkan/tidak menerapkan sepenuhnya asas iktikad baik, dimana debitor
tidak diberi kesempatan oleh kreditor untuk menyelesaikan kewajibannya, kreditor secara serta merta menjual objek
jaminan kreditor.
Kata kunci: Asas iktikad, Perjanjian Kredit, Kesejahteraan Lahir batin.
Abstract
Growth of development in all area represent effort to increase prosperity born mind to society citizen. Intention of
this research shall be as follows. To know how applying of ground iktikad good in agreement of working capital
credit given by PT. BPR Lighthouse Data of Bone. To know how protection law to debtor applying of ground iktikad
good in agreement of credit conducted by PT. BPR Lighthouse Data as creditor in one client and side as other party
debtor. This research use approach of yuridis sosio. Research conducted by in PT Lighthouse Data Watampone.
Data collecting conducted with book study and interview. Data analysed qualitative which is presented
descriptively. Result of research indicate that. Credit working capital agreement given by PT. BPR Lighthouse Data
Watampone and also execution its agreement is not express / do not apply fully ground iktikad good, where debtor
do not give by opportunity by creditor to finish its obligation, creditor at moment's notice sell guarantee object
kreditor. Applying conducted by agreement is PT.BPR Lighthouse data Watampone do not express ground of iktikad
good and is not at all give protection law to debtor, in this case the existence sale of guarantee object conducted
creditor forcibly using body authority or police. Credit working capital agreement given by PT. BPR Lighthouse
Data Watampone and also execution its agreement is not express / do not apply fully ground iktikad good, where
debtor do not give by opportunity creditor to finish its obligation, creditor at moment's notice sell creditor
guarantee object
Keyword: Ground of Iktikad, Agreement Credit, Prosperity Born mind.
PENDAHULUAN
Perkembangan pembangunan di segala bidang merupakan upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan lahir batin bagi warga masyarakat.Pembangunan itu sendiri dapat mempengaruhi
pola pikir masyarakat terhadap pemecahan masalah hukum.Di bidang perkreditan, hukum harus
mampu memelihara dan memperlancar proses hubungan yang terjadi antara warga masyarakat
disatu pihak dengan bank di lain pihak. Telah diketahui bahwa usaha pokok dari kegiatan
perbankan ialah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran
uang. Perkembangan dunia usaha terutama usaha kecil dan menengah telah memacu
kompleksitas perkembangan dunia perbankan. Hal ini dapat dilihat pada persaingan antar bank
yang semakin kompetitif dan ini menciptakan suatu sistem persaingan baru dalam dunia bisnis
perbankan.Untuk menjalankan usahanya, selain didasarkan pada kemampuan keuangan pribadi
pengusaha yang bersangkutan, tidak jarang pinjaman dari lembaga perbankan menjadi suatu
pilihan untuk tetap melanjutkan usaha.
Dalam suatu perjanjian hukum perdata sebuah perjanjian itu sehendaknya mengikuti
ketentuan yang ada dan di atur dalam KUHPerdata khusus mengenai perikatan ataupun
ketentuan-ketentuan lain yang lebih khusus mengatur perjanjain tersebut.Salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan antara pihak yang perjanjian sebagaimana di atur
dalam pasal 1320 KUHPerdata. Oleh sebab itu tanpa kesepakatan maka sebuah perjanjian akan
tidak memenuhi persyaratan sahnya sebuah kerja sama kegiatan hokum, (Fuady, 2000).
Sebagaimana telah diketahui bersama pula bahwa iktikad baik adalah niat dari pihak yang satu
untuk tidak merugikan pihak yang lain dalam perjanjian, serta tidak merugikan kepentingan
umum. Asas iktikad baik ini dilaksanakan sejak para pihak menghendaki suatu perjanjian hingga
setelah perjanjian itu dibuat.Dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3), yang harus diterapkan oleh
seluruh pihak yang mengadakan suatu perjanjian tanpa terkecuali.Iktikad baik yang dimaksud
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut adalah bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian
harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan norma kesusilaan yang
berlaku. Makna dari kepatutan dan kesusilaan tersebut hingga saat ini belum ada undang-undang
yang mengatur rumusannya secara lengkap.Oleh sebab itu, tidak ada ketetapan batasan
pengertian mengenai istilah tersebut.Tetapi jika dilihat dari arti katanya, kepatutan artinya
kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan; sedangkan kesusilaan artinya kesopanan,
keadaban.Dari arti kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan sebagai nilai
yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan, dan beradab sebagaimana sama-sama
dikehendaki oleh masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian, (Abdulkadir,1992)
Asas iktikad baik merupakan suatu asas dimana debitur (nasabah) dan kreditur (bank)
harus melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh
atau kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk
diperhatikan terutama didalam membuat suatu perjanjian, maksud dari suatu iktikad baik disini
adalah bertindak sebagai pribadi yang baik.Iktikad baik dalam suatu pengertian yang sangat
subjektif dapat diartikan sebagai suatu kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada
seseorang pada waktu diadakan perjanjian. Sedangkan iktikad baik dalam perspektif objektif
yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa
yang dirasa sesuai dengan yang patut didalam masyarakat.Munir Fuady mengatakan, rumusan
dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya iktikad baik bukan
merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Unsur iktikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak,
bukan pada “perbuatan” suatu kontrak. Sebab unsur iktikad baik dalam hal suatu kontrak sudah
dapat dicakup oleh unsur kausa yang legal dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut(A.Qirom
Syamsuddin).
Selain dari pada itu sebuah perjanjian hendaknya pula mempunyai unsur iktikad baik
dalam melaksanakan perjanjian tersebut untuk bertindak sebagai pribadi yang baik dalam hal
mencerminkan niat dari pada pihak kreditor (bank) untuk tidak merugikan pihak nasabah
(debitur) dalam perjanjian.Asas iktikad baik ini di laksanakan sejak para pihak menghendaki
suatu perjanjian sehingga setelah perjanjian itu d buat.Iktikad baik ini tentu saja harus di
buktikan dalam bentuk yang nyata di mana para pihak mengetahui hak dan kewajiban masingmasing dalam melakukan perbuatan hukum sesuai yang di maksud dalam pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata. Namun demikian kenyataan yang terjadi pada PT. BPR Suar Data tidak melakukan
perjanjian sesuai pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata karena dalam proses negosiasi antara pihak
bank dan pihak nasabah, pihak debitur atau dalam hal ini pihak nasabah hanya diberi kesempatan
untuk menandatangani kontrak yang di sodorkan kepadanya tanpa di beritahukan tentang
konsekuensi kontrak beserta isinya, termasuk risiko yang dapat timbul adanya kontrak tersebut
yang menunjukkan bahwa nasabah bersedia memikul beban tanggung jawab. Dalam rumusan
perjanjian yang dibuat secara rinci menggunakan nomor atau pasal-pasal yang dituangkan dalam
berlembar-lembar kertas dan umumnya di tulis dalam huruf yang sangat kecil berupa klausula
tertentu yang hanya di pihak bank (kreditur) mengerti sedangkan nasabah (debitur) sulit
memahami isinya dalam waktu singkat yang dapat memberatkan dalam salah satu pihak
contohnya denda berat, bunga harian, tidak ada peringatan tertulis, mengambil benda jaminan
benda bergerak seperti mobil, motor dengan cara pemaksaan yang menggunakan oknum aparat
kepolisian yang berdampak pada tekanan psikologis pada dibitor (keluarga dibitor) yang
bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata.(Muhammad, 2000).
Menurut Miru (2010), Mengatakan Dalam hukum kontrak dikenal 4 (empat) asas,
diantaranya adalah Asas Konsensualisme, Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Pacta Sunt
Servanda, Asas Iktikad Baik.
Oleh sebab itu dalam disimpulkan bahwa dalam kontrak yang ada pada Bank Swardata
tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sehingga di khawatirkan tidak ada
perlindungan hukum pada nasabah bila terjadi persengketaan di mana pihak bank mempunyai
kekuatan yang sangat besar dan tidak seimbang di bandingkan dengan kekuatan yang di miliki
nasabah. Hal ini tentu tidak sesuai dengan keinginan perundang-undangan yang menyatakan
adanya kesimbangan dalam sebuah perjanjian antara pihak. Tujuan dari penelitian ini adalah
Untuk mengetahui bagaimana penerapan asas iktikad baik dalam perjanjian kredit modal kerja
yang diberikan oleh PT. BPR Suar Data Bone.
METODE PENELITIAN
Sifat dan Tipe Penelitian
Penelitin ini berbentuk penelitian sosio-yuridis, selain mengkaji hukum secara teoritik
dan normatif yang lazim dikenal dengan law in books, juga akan mengkaji hukum dalam
pelaksanaannya (law in action)
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada PT. BPR Suar Data di kota Watampone, Kabupaten Bone.
Pemilihan lokasi ini didasari pada pertimbangan penulis bahwa dalam penelitian awal yang
dilakukan terjadi kasus dimana debitor mendapatkan tekanan psikologis baik tekanan
fisik/mental maupun tekanan ekonomi dalam artian debitor sangat membutuhkan dana, dari
pihak PT. BPR Suar Data.
Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah semua nasabah yang menggunakan fasilitas kredit
pada PT. BPR Suar Data Watampone, dan karyawan atau managemen PT. BPR Suar Data.
Sampel, yaitu bagian dari populasi yang dapat mewakili seluruh polulasi.Metode
penentuan sampel dalam penelitian ini digunakan teknik non random sampling yaitu cara
pengambilan sampel dimana semua populasinya tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk
menjadi anggota sampel. Jadi hanya populasi tertentu saja yang dijadikan sampel.Yaitu 4 orang
pegawai PT. BPR Suar Data Watampone dan 15 orang nasabah PT. BPR Suar Data Watampone.
Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk menunjang hasil penelitian :
Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama (responden) pada
lokasi penelitian yaitu dari pihak Debitor yang mendapatkan tekanan secara psikologis.
Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh berupa dokumen-dokumen termasuk berupa
peraturanperundang-undangan perbankan termasuk juga data nasabah, jumlah nasabah dan
jumlah pinjaman nasabah debitor.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik wawancara yaitu mendatangi responden
dengan melakukan tanya jawab langsung dengan cara bebas.
Teknik Analisis data
Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan teknis
analisis kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan data yang diperoleh berupa data sekunder dan
data primer kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan.
HASIL
Perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan para
pihak, suatu obyek tertentu, dan sebab yang halal, hal ini sesuai dengan Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Maka terpenuhinya ke empat syarat tersebut suatu perjanjian
menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Keinginan atau
kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan dasar mengikatnya
suatu perjanjian dalam hukum kontrak. Keinginan atau kehendak itu dapat dikatakan dengan
berbagai cara baik lisan mau pun tulisan dan mengikat para pihak dengan segala akibat
hukumnya. Hal ini tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1), kitab undang-Undang Hukum Perdata,
bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya. Meskipun demikian, dalam Pasal 1338 ayat (3), Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik,
cara menjalankan atau melaksanakan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
kepatutan, kelayakan, dan keadilan yang ada dalam masyarakat.
Pada perjanjian kredit modal kerja yang diberikan oleh BPR Suardata konsumen juga
tidak memiliki alternatif selain menerima begitu saja syarat dan ketentuan dalam perjanjian.
Landasan yang menjadi alasan pertama adalah karena syarat dan ketentuan dalam perjanjian ini
telah dibuat secara baku oleh pihak bank. Kedua, pada saat nasabah menerima lembar surat
perjanjian kredit, didalamnya telah tertera adanya beban biaya administrasi dan kemungkinan
biaya lain yang tidak disertai penjelasan tetapi semuanya harus ditanggung oleh nasabah.
Penolakan terhadap ketentuan perjanjian sudah barang tentu membawa kerugian terhadap
konsumen sendiri. Kemudian, terpenuhnya syarat kedua tersebut diatas dapat dilihat pada adanya
klausula-klausula yang dianggap cenderung memberatkan dan merugikan debitor antara lain :
Ketentuan dalam pemberian kredit sewaktu-waktu bank dapat mengubah ketentuan
umum ini tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada nasabah, dan perubahan tersebut
diberlakukan pada kredit yang sedang diterima oleh debitor meskipun hal ini tidak disebutkan
dalam perjanjian kredit. Tetapi ketentuan umum berlaku dan mengikat antara debitor dengan
bank dan berakhir pada saat hutang debitor dinyatakan lunas oleh bank.
Ketentuan adanya denda atas keterlambatan angsuran, penalti (denda bunga) yang tidak
dicantumkan dalam formulir perjanjian kredit oleh pihak. Di dalam pelaksanaan suatu perjanjian
pada dasarnya tidak selamanya berjalan dengan baik atau sesuai apa yang diinginkan oleh para
pihak di dalam upaya pemenuhan prestasinya. Apabila seorang debitor wanprestasi, kreditor
sebagai penerima jaminan tidak boleh serta merta langsung melaksanakan haknya untuk menarik
jaminan. Namun kenyataan yang ada di lapangan khususnya yang terjadi pada PT.BPR Suar
Data pihak kreditur melakukan penarikan jaminan pada debitur yang terlambat melaksanakan
kewajibannya. Sedangkan pada Perjanjian Kredit yang telah disepakati oleh pihak kreditor
dengan pihak debitor, khususnya pada klausula bahwa pihak debitur tidak dibenarkan untuk
menunggak cicilan pokok pinjaman. Apabila dalam hal ini pihak Debitor menunggak, maka
pihak Kreditor berhak membayar biaya administrasi keterlambatan angsuran kepada pihak
kreditor sesuai dengan jumlahangsuran tiap bulan yang menunggak .
Dari hasil penelitian yang dilakukan melalui wawancara seorang Debitotr yang mana
hasil pembicaraan yang dibenarkan pula oleh Kreditor, menyatakan bahwa dalam
menguntungkan harta para kreditor pihak kreditor tenyata menggunakan jasa aparat oknum
kepolisian sebagai upaya pemaksaan kepada Debitor untuk pembayaran pinjamannya atau
sekaligus sebagai upaya pihak Kreditor untuk mengambil harta milik Debitor bilamana pihak
kreditor mengklaim ada beberapa permasalahan yang terjadi oleh pihak Debitor. Cara yang
dipakai oleh kreditor dalam mengumpulkan pembayaran oleh pihak Debitor ternyata tidak sesuai
dengan hukum yang berlaku karena pihak Kreditor memberikan kesan adanya pemaksaan serta
efek psikologis terhadap debitor sehingga Debitor merasa terganggu jiwanya, yang pada
hakikatnya memberikan pula arti yang negatif kepada pihak kepolisian sebagai aparat negara
dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Hal ini akan memberikan dampak negatif kepada sosok
polisi yang hanya mau bekerja untuk melindungi kreditor yang mempunyai kekuatan finansial
yang lebih bagus.
Selanjutnya menurut keterangan yang penulis dapat dari responden Debitor menyatakan
bahwa di dalam penagihan Debitor merasa dirinya bagaikan pencuri yang diburu-buru untuk
melunasi hutangnya. Selanjutnya dikatakan bahwa bilamana debitor yang menunggak
pembayarannya yang kemudian barang jaminan ditarik,selanjunya pada bulan berikutnya debitor
memasukan angsurannya dengan ketentuan debitor harus membuat perjanjian tertulis yang isinya
bilimana debitor terlambat lagi melaksanakan kewajibannya atau memasukan angsurannnya
kembali jaminan ditarik dan tidak diperkenankan debitor mengambilnya kembali sebelum
melunasi semua hutangnya walaupun belum jatuh tempo, Pada dasarnya Debitor mengetahui
bahwa pelaksanaan tanggung jawab dari Kreditor dirasakan tidak dilakukan sepenuhnya dengan
baik oleh Bank kemungkinan ini terjadi karena bank disatu sisi merasa sudah sangat aman
dengan menguasai jaminan yang diikat secara ketat oleh Bank.
Berdasarkan Pasal 7 dalam surat Perjanjian Kredit antara Debitor dengan Kreditor
mengatur bahwa :“Apabila pihak pertama (debitur) meninggal dunia atau cacat tubuh sehingga tidak
dapat bekerja sebagaimana layaknya, maka ahli warisnya berkewajiban untuk menyelesaikan seluruh sisa
pinjaman dan biaya administrasi kepada pihak kedua (kreditor) sampai lunas, walaupun pinjaman tersebut
belum jatuh tempo.”
Menurut analisa penulis bahwa isi pasal tersebut tidak memenuhi unsur keadilan bagi
debitor, karena mewajibkan keluarga debitor atau ahli waris debitor untuk menanggung segala
sesuatu yang berhubungan dengan hutang tersebut. Hal ini sangat bertentangan dengan hak asasi
manusia yang mewajibkan seseorang untuk menanggung beban atas perbuatan yang tidak
diketahui ataupun dilakukan oleh yang bersangkutan.
Lebih lanjut diuraikan dalam Surat kuasa menjual yang dibuat oleh Pihak Debitor dan
Pihak Kreditor yang dikeatahui oleh Kepala Desa/Lurah bahwa debitor memberikan kuasa
kepada Kreditor untuk menjual baik sebagian atau seluruhnya atas barang-barang milik Debitor,
dengan harga yang dianggap baik oleh pihak Kreditor, dimana pihak Debitor akan menerima
uang hasil penjualan tersebut, menandatangani seluruh surat atau kwitansi yang berhubungan,
serta menyetorkan uang penjualan barang tersebut ke kas PT. BPR Suar Data untuk melunasi
seluruh sisa hutang atas nama Debitor, termasuk seluruh denda atas biaya yang timbul akibat
pinjaman tersebut. Dalam hal hasil penjualan barang-barang jaminan tidak mencukupi untuk
melunasi sisa hutang tersebut, pihak Debitor tetap bertanggung jawab dan dapat dituntut sampai
pinjaman tersebut lunas.
Menurut penulis Surat Kuasa menjual tidak bisa digunakan karena sangat merugikan
Debitor. Dalam hal ini Kreditor telah melakukan kesalahan yang semestinya jaminan harus lebih
besar daripada utang debitor, sebab setiap jaminan sudah dianggap sebagai pembayaran segala
bentuk hutang debitor oleh sebab itu bila jaminan telah diambil dan dijual oleh kreditor maka
seyogyanya hutang dibitor dianggap lunas, karena jaminan tersebut seharusnya lebih besar dari
pada nilai hutang yang diberikan kepada Debitor . perjanjian tersebut sangat tidak adil dan
merugikan Debitor karena telah menyalahi nilai-nilai perjanjian dimana pihak kreditor dan
debitor harus mempunyai posisi yang seimbang ketika melakukan suaru perjanjian. Selain itu
kedua belah pihak harus melakukan perjanjian yang sesuai dengan syarat sahnya perjanjian atau
aturan kedua belah pihak harus melakukan tanpa tekanan dari salah satu pihak, dilakukan dengan
penuh keikhlasan. Selain itu, isi perjanjian ini hanya menguntungkan sepihak saja (kreditor),
karena ada beberapa pasal yang ada didalamnya terlalu banyak mengambil hak-hak dari salah
satu pihak, Hal ini memperlihatkan adanya itikad buruk yang sangat jelas dari kreditor yang
mengarah kepada kegiatan rentenir. Apabila terjadi kelebihan harga atau selisih harga dari
penjualan objek jaminan, maka kreditor mengembalikannya kepada debitor. Perbuatan yang
dilakukan oleh kreditor menurut penulis sudah mencerminkan nilai keadilan.
PEMBAHASAN
Penelitian ini Menunjukkan bahwa Perjanjian kredit modal kerja yang diberikan oleh
PT.
BPR
Suar
Data
Watampone
maupun
pelaksanaan
perjanjiannya
tidaklah
mencerminkan/tidak menerapkan sepenuhnya asas iktikad baik, dimana debitor tidak diberi
kesempatan oleh kreditor untuk menyelesaikan kewajibannya, kreditor secara serta merta
menjual objek jaminan kreditor. Pemanfaatan jasa keuangan dari perbankan yang berbentuk
kredit modal usaha biasanya dibuat dalam bentuk baku, yang memuat berbagai syarat dan
ketentuan dalam klausal yang telah dibakukan. Perjanjian ini telah disusun terlebih dahulu oleh
pihak perbankan untuk memperoleh pihak kredit bank, seorang debitur harus melalui beberapa
tahapan, yaitu dari tahap pengajuan aplikasi kredit sampai dengan tahap penerimaan kredit,
tahapan tersebut merupakan suatu proses
baku yang berlaku bagi setiap debitur yang
membutuhkan kredit bank.
Dalam menyalurkan kredit bank harus mempunyai kebijaksanaan kredit yang mencakup
komposisi dan pengendalian portopolio kredit secara menyeluruh dan memuat standar yang
berlaku untuk setiap pengambilan keputusan dalam pemberian kredit. Selain itu pelaksanaan
kredit harus memiliki standar yang mengandung unsur pengawasan kredit yang dapat memantau
kualitas pemberian kredit pada semua tahapan dalam proses pemberian kredit. Kebijaksanaan
kredit juga harus memuat metode untuk memelihara cadangan yang cukup atas aktiva yang
diklasifikasi. (Ridwan, 2004).
Dalam cakupan umum, kebijakan perkreditan mengatur mengenai (Djohan dkk,1995):
(1). Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, (2). Organisasi, dan managemen perkreditan, (3).
Kebijakan persetujuan kredit, (4) Pengawasan kredit, (5). Penyelesaian kredit.
Menurut penulis dalam memperhatikan aspek penelitian sangat penting dilakukan oleh
pihak bank selaku kreditor demi untuk mencegah terjadinya kredit macet atau kredit bermasalah
dikemudian hari yang akan mengganggu kesehatan suatu bank, mengingat penyaluran kredit
merupakan kegiatan Bank yang sangat berisiko tinggi. Menurut Wahyu Prabowo.,
selaku
Direktur Operasional PT. BPR. Suar Data Cabang Watampone, untuk melakukan kegiatan
pengkreditan yang secara sehat dan terjaminnya penyaluran kredit yang sehat pula, yang dikenal
dengan prinsip 5C sebagai berikut : (1). Character (watak seseorang debitur), (2). Capacity
(kemampuan seseorang debitur), (3) Capital (modal seseorang debitur). (4), Condition of
economy (kondisi ekonomi seseorang debitur). (5). Collateral (jaminan seseorang debitur)
Menurut penulis bahwa kreditur dalam menilai calon debiturnya bahwa kriteria tersebut
berlaku umum dalam dunia perbankan untuk menjamin penyaluran kredit sesuai fungsi dan
tujuannya serta menghindari kerugian yang akan muncul pada pihak kreditur. Kemudian pihak
bank atau debitur akan mengambil kredit kepada bank harus terlebih dahulu mengisi formulir
permohonan kredit, kemudian pihak bank atau kreditur akan melihat atau memutuskan bahwa
permohonan kreditur calon debitur layak atau tidak untuk diberikan kredit.
Menurut Andi Marjuni., Selaku pemasaran untuk merealisasikan suatu permohonan
kredit diperlikan perjanjian kredit yang mana didalamnya diatur hal-hal yang pokok seperti :
Identitas debitur, Diperlukan untuk mengetahui secara jelas siapa debitor tersebut sehingga nanti
akan memudahkan pihak kreditor dalam penagihan kredit.Persetujuan dari suami/istri, Didalam
permohonan kredit suami/istri turut bertanda tangan sebagai bukti persetujuaannya.Jenis kredit
yang disalurkan, Jenis kredit yang disalurkan yaitu kredit mikro, yang berjumlah relatif kecil
yang hanya digunakan untuk penambahan usaha yang telah ada.Jumlah utang, Memperlihatkan
berapa jumlah utang yang harus dibayar oleh para nasabah setiap bulannya sebagai bentuk
pembayaran kredit tersebut.Bunga, biaya yang dikeluarka oleh nasabah sebagai bentuk
kewajiban yang merupakan keuntungan pihak kreditor yang mana jumlahnya sudah ditetapkan
pada awal perjanjian kredit.Tatacara pembayaran angsuran pokok dan bunga serta denda,Cara
pembayaran angsuran dilakukan pada setiap bulannya.Jangka waktu perjanjian ditetapkan oleh
kreditor yang disetujui oleh debitor, yang mana jangka waktu maksimal perjanjian adalah 24
bulan.Penyelesaian domisili.Surat keterangan usaha dari Kepala Desa dan Kepala Kecamatan.
Hal-hal lain yang dianggap penting dalam penyaluran kredit.
Menurut teori klasik hukum kontrak, asas iktikad baik dapat diterapkan dalm situasi di
mana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibatnya ajaran ini tidak melindungi pihak
yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap
ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, (Suharnoko, 2009).
Menurut Yudha, (2010). Dalam Simposium Hukum Perdata Nasional yang
diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), iktikad baik hendaknya diartikan
sebagai : (1), Kejujuran pada waktu membuat kontrak. (2), Pada tahap pembuatan ditekankan,
apabila kontrak dibuat di hadapan pejabat, para pihak dianggap beriktikad baik (meskipun ada
juga juga pendapat yang menyatakan keberatannya). (3), sebagai kepatutan dalam tahap
pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan
apa yang telah disepakati dalam kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang
tidak patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut.
Menurut Hasanuddin Rahman bahwa kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang,
barang) dengan belas prestasi (kontra prestasi) atau terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini
kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang
sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit
dan si penerima kredit atau antara kreditur dengan debitur. Mereka menarik keuntungan dan
saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponenkomponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa mendatang, (Rahman, H,
1995).
Menurut Thomas S, (1993), unsur-unsur kredit terdiri atas 4 (empat) hal. Unsur-unsur
tersebut adalah : (1), Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali
dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang. (2), Tenggang waktu, yaitu suatu masa
yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada
masa yang akan datang. (3), Degree of risk, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai
akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan
kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. (4), Prestasi atau obyek kredit itu tidak
hanya diberikan dalam bentuk uang tetapi juga dapat berupa barang atau jasa. Namun, transaksitransaksi kredit yang berkaitan dengan uanglah yang sering kita jumpai dalam praktek.
KESIMPULAN DAN SARAN
Perjanjian kredit modal kerja yang diberikan oleh PT. BPR Suar Data Watampone
maupun pelaksanaan perjanjiannya tidaklah mencerminkan/tidak menerapkan sepenuhnya asas
iktikad baik, dimana debitor tidak diberi kesempatan oleh kreditor untuk menyelesaikan
kewajibannya, kreditor secara serta merta menjual objek jaminan kreditor. Penerapan perjanjian
yang dilakukan PT.BPR Suar data Watampone tidak mencerminkan asas ikhtikad baik dan sama
sekali tidak memberikan perlindungan hukum kepada debitor, dalam hal ini adanya penjualan
objek jaminan yang dilakukan oleh kreditor secara paksa dengan menggunakan pihak yang
berwajib atau kepolisian. Dalam suatu perjanjian haruslah senantiasa diterapkan asas iktikad
baik, para pihak harus menjunjung tinggi kejujuran dan senantiasa melaksanakan isi perjanjian
yang telah disepakati untuk memberikan atau menciptakan keadilan dimana debitor apabila
wanprestasi maka kreditor memberikan kesempatan dengan cara kekeluargaan untuk melunasi
kewajibannya.
DAFTAR PUSTAKA
Djohan, Taswir dan Wikanto, Rodeon, (1995), Kebijakan Perkreditan Pada Bank, Pedoman
Kebijaksanaan Perkreditan Bank Eksekutif Internasional,
Fuady, Munir, (2000). Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung:Citra
Aditya Bakti.
.
Jumhana, Muhammad, (2000). Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Khairandy Ridwan, (2004). Iktikad Baik Dalam kebebasan Berkontrak, Jakarta:Program
Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
M.Syamsudin, A.Qirom, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya.
Miru, Ahmadi, (2010). Hukum Kontrak dan Perancangan, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Muhammad, Abdul Kadir, (1992). Hukum Perikatan, Bandung:Citra Aditya Bakti.
Rahman, Hasanuddin, (1995). Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia,
Bandung:PT.Citra Aditya Bakti.
Suharnoko, (2009). Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta:Kencana.
Suyatno, Thomas. (1993). Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Yudha Hernoko, Agus, (2010). Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Jakarta;Kencana.
Download