BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Dukungan Keluarga 2.1.1 Definisi Keluarga dan Dukungan Keluarga Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga. Keluarga juga didefinisikan sebagai kelompok individu yang tinggal bersama dengan atau tidak adanya hubungan darah, pernikahan, adopsi dan tidak hanya terbatas pada keanggotaan dalam suatu rumah tangga (Friedmen dkk, 2010). Dukungan keluarga merupakan sebuah proses yang terjadi sepanjang kehidupan, dimana dalam semua tahap siklus kehidupan dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal untuk meningkatakan kesehatan dan adaptasi keluarga dalam kehidupan (Setiadi, 2008). Menurut Allender & Spradley, 2001 dalam Achjar 2010 tipe keluarga meliputi: a. Keluarga inti (nuclear family) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak (anak kandung atau anak angkat). b. Keluarga besar (ekstended family) adalah keluarga inti ditambah dengan keluarga lain yang mempunyai hubungan darah, misalnya kakek, nenek, paman. c. Keluarga dyad, keluarga yang terdiri dari suami istri tanpa anak. d. Single parent, yaitu keluarga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak (anak kandung atau anak angkat). 8 9 e. Keluarga usia lanjut (usila), yaitu keluarga yang terdiri dari suami istri yang berusia lanjut. Berdasarkan tipe keluarga di atas, tipe keluarga yang dianut oleh masyarakat di Indonesia adalah tipe keluarga besar atau tipe keluarga tradisional. 2.1.2 Fungsi dan Tugas Kesehatan Keluarga Menurut Friedman dkk (2010) fungsi-fungsi keluarga didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi dari struktur keluarga. Fungsi keluarga meliputi: a. Fungsi afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian, saling memberi kasih sayang) untuk stabilitas kepribadian kaum dewasa, memenuhi kebutuhan anggota keluarga. b. Fungsi sosialisasi penempatan sosial yaitu untuk sosialisasi primer anak-anak yang bertujuan untuk membuat mereka menjadi anggota masyarakat yang produktif dan juga sebagai penganugerahan status anggota keluarga. c. Fungsi biologis yaitu menjaga kelangsungan generasi dan juga untuk kelangsungan hidup bermasyarakat. d. Fungsi ekonomis yaitu mengadakan sumber-sumber ekonomi yang memadai dan pengalokasian sumber-sumber tersebut secara afektif. e. Fungsi perawatan kesehatan yaitu merupakan fungsi keluarga dalam melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta menjamin pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik mental dan spiritual dengan cara memelihara dan merawat anggota keluarga serta mengenali kondisi sakit setiap anggota keluarga. 10 f. Fungsi psikologis yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian di antara anggota keluarga, membina pendewasaaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga. g. Fungsi pendidikan yaitu memberikan pengetahuan, keterampilan, membentuk prilaku anak, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa, mendidik anak sesuai dengan tingkatan perkembangannya. Menurut UU No.10 tahun 1992 dan PP No.21 tahun 1994 fungsi keluarga dibagi atas: a. Fungsi Keagamaan Dalam fungsi keagamaan keluarga membina ajaran agama sebagai dasar dan tujuan hidup seluruh anggota keluarga. Keluarga mengaplikasikan ajaran agama ke dalam tingkah laku hidup sehari-hari kepada seluruh anggota keluarga. Fungsi keagaaman juga sebagai sarana membina rasa, sikap dan praktek kehidupan sebagai pondasi menuju keluarga kecil yang sejahtera. b. Fungsi Budaya Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan normanorma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan. Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai. Keluarga dalam fungsi budaya juga mencari pemecahan masalah dari berbagai pengaruh negatif globalisasi dunia sesuai dengan budaya keluarga dengan budaya masyarakat atau bangsa untuk menjunjung terwujudnya norma keluarga kecil bahagia sejahtera. 11 c. Fungsi Cinta Kasih Menumbuh-kembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antar anggota keluarga ke dalam simbol-simbol nyata secara optimal dan terusmenerus. Membina rasa, sikap dan praktek hidup keluarga yang mampu memberikan dan menerima kasih sayang sebagai pola hidup ideal. d. Fungsi Perlindungan Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari rasa tidak aman yang timbul dari dalam maupun dari luar keluarga. Membina kemanan kelurga baik secara fisik maupun psikis dari berbagai bentuk ancaman sehingga menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga sebagai modal keluarga sejahtera. e. Fungsi Reproduksi Membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga maupun bagi keluarga sekitarnya. Keluarga memberikan contoh pengalaman dan juga kaidah dalam reproduksi yang sehat, baik yang berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara dua anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga. f. Fungsi Sosialisasi Merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak pertama dan utama. Menciptakan kehidupan keluarga sebagai pusat tempat anak dapat mencari pemecahan dari berbagai konflik dan permasalahan yang dijumpai baik lingkungan sekolah maupun masyarakat. Sebagai fungsi sosialisasi keluarga mengajarkan anak tentang hal-hal 12 yang diperlukan untuk meningkatkan kematangan dan kedewasaan (fisik dan mental) yang kurang diberikan oleh lingkungan sekolah maupun masyarakat. g. Fungsi Ekonomi Melakukan kegiatan ekonomi baik di luar maupun di dalam lingkungan keluarga dalam rangka menopang kelangsungan dan perkembangan kehidupan keluarga. Keluarga dalam fungsi ekonomi dapat mengatur pemasukan dan pengeluaran keluarga agar seimbang. Membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga sebagai modal untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. h. Fungsi Pelestarian Lingkungan Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan intern keluarga. Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan ekstern keluarga. Keluarga mengingatkan akan pentingnya pelestarian lingkungan sehingga tumbuh kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang antara lingkungan keluarga dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya. Selain itu keluarga juga berfungsi dalam melaksanakan asuhan keperawatan yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan. Kesanggupan keluarga dalam pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga. Tugas kesehatan keluarga menurut Friedman dkk, (2010), adalah sebagai berikut: 1) Mengenal masalah keluarga; 2) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat; 3) Melakukan perawatan; 4) Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat dan 5) Mempertahankan hubungan dengan menggunakan fasilitas kesehatan masyarakat. 13 2.1.3 Jenis Dukungan Keluarga Menurut House dan Kahn (1985) dalam Friedman dkk (2010), terdapat empat tipe dukungan keluarga yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasional. a. Dukungan emosional Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaaan emosional. Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diterima oleh anggota keluarga berupa ungkapan empati, kepedulian, perhatian, cinta, kepercayaan, rasa aman dan selalu mendampingi pasien dalam perawatan. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak terkontrol. b. Dukungan penghargaan Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan dan validator identitas anggota keluarga. Dimensi ini terjadi melalui ekspresi berupa sambutan yang positif dengan orang-orang disekitarnya, dorongan atau pernyataan setuju terhadap ide-ide atau perasaan individu. Dukungan ini membuat seseorang merasa berharga, kompeten dan dihargai. Dukungan penghargaan juga merupakan bentuk fungsi afektif keluarga yang dapat meningkatkan status psikososial pada keluarga yang sakit. Melalui dukungan ini, individu akan mendapat pengakuan atas kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. 14 c. Dukungan instrumental Dukungan instrumental (peralatan atau fasilitas) yang dapat diterima oleh anggota keluarga yang sakit melibatkan penyediaan sarana untuk mempermudah perilaku membantu pasien yang mencakup bantuan langsung biasanya berupa bentuk-bentuk kongkrit yaitu berupa uang, peluang, waktu, dan lain-lain. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. d. Dukungan informasional Dukungan informasional merupakan bentuk dukungan yang meliputi pemberian informasi, sarana atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu. Menurut Nursalam (2008) dukungan ini berupa pemberian nasehat dengan mengingatkan individu untuk menjalankan pengobatan atau perawatan yang telah direkomendasikan oleh petugas kesehatan (tentang pola makan seharihari, aktivitas fisik atau latihan jasmani, minum obat, dan kontrol), mengingatkan tentang prilaku yang memperburuk penyakit individu serta memberikan penjelasan mengenai hal pemeriksaan dan pengobatan dari dokter yang merawat ataupun menjelaskan hal-hal yang tidak jelas tentang penyakit yang diderita individu. 2.1.4 Sumber Dukungan Keluarga Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari suami atau istri, atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial 15 keluarga). Sebuah jaringan sosial keluarga secara sederhana adalah jaringan kerja sosial keluarga itu sendiri (Freidman dkk, 2010). 2.1.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga Menurut Feiring dan Lewis (1984 dalam Friedman 2002), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anakanak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak yang berasal dari keluarga yang lebih besar. Selain itu, dukungan yang diberikan oleh orang tua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia. Menurut Friedman (2002), ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris di bandingkan ibu-ibu yang lebih tua. Hal lain yang mempengaruhi faktor-faktor dukungan keluarga lainya adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas dan otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah (Friedman, 2002). Faktor lainnya adalah tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan kemungkinan semakin tinggi dukungan yang diberikan pada keluarga yang sakit. Status pernikahan juga berpengaruh, hal 16 tersebut dikaitkan dengan bertambahnya anggota keluarga, dukungan pada anggota keluarga yang sakit pun semakin banyak. 2.1.6 Dukungan Keluarga Terhadap Pasien Diabetes Mellitus Paradigma sehat untuk pasien DM merupakan suatu cara pandang tentang kesehatan dimana penatalaksanaannya mementingkan peran serta dari keluarga untuk hidup sehat terutama pada keluarga dengan risiko tinggi menderita DM sehingga mampu untuk mandiri, memelihara dan meningkatkan serta waspada akan munculnya komplikasi DM (Rifki, 2009). Dukungan keluarga sangat penting untuk memotivasi pasien dalam upaya menciptakan lingkungan yang terhindar dari stres akibat dari pengobatan yang dijalani. Dukungan sosial keluarga sebagai pelindung dalam faktor pencetus stres dan menciptakan lingkungan yang nyaman sehingga dapat menjaga kontrol gula darah. Penyakit DM jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit menahun, seperti penyakit serebro vaskuler, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai, penyakit pada mata, ginjal dan syaraf. Jika kadar glukosa darah dapat selalu dikendalikan dengan baik, diharapkan semua penyakit menahun tersebut dapat dicegah, paling sedikit dihambat (Waspadji, 2010). Dalam sebuah jurnal yang berjudul “ The Impact Of Family Behaviors and Communications Pattern on Chronic Illnes Outcome: a systematic review”, yang mengulas berbagai penelitian tentang dukungan keluarga terhadap penyakit kronis diantaranya adalah DM, menyebutkan bahwa dukungan keluarga dapat berpengaruh terhadap kesehatan penderita penyakit kronis. Pola komunikasi dan 17 mekanisme koping keluarga yang baik dapat meningkatkan motivasi klien untuk selalu menjaga kesehatanya (Marie R et al, 2011). 2.1.7 Pengukuran Dukungan Keluarga Cara mengatasi DM berbeda dengan penyakit kronik lainnya. Pada pasien DM diperlukan pengontrolan terhadap metabolik yang tentunya akan mempengaruhi gaya hidup pasien (dalam menggunakan terapi insulin dan obat antidiabetik oral), makanan, pengukuran gula darah dan latihan. (Goz et al,2007). Dukungan keluarga terkait dengan kesejahteraan dan kesehatan dimana lingkungan keluarga menjadi tempat individu belajar seumur hidup. Dukungan keluarga didefinisikan sebagai faktor penting dalam kepatuhan manajemen penyakit untuk remaja dan dewasa dengan penyakit kronik. Dukungan keluarga signifikan dalam mengatasi hambatan makan untuk pasien DM. Dukungan keluarga merupakan indikator yang paling kuat memberikan dampak positif terhadap perawatan diri pada pasien diabetes (Hansarling, 2009 dalam Aini Yusra, 2010). Dukungan keluarga terdiri atas dukungan orang tua anak, anak ke orang tua, saudara ke saudara, antar pasangan, cucu ke kakek/nenek. Hal ini perlu dievaluasi dan diadaptasi untuk memastikan keberhasilan dari rencana asuhan keperawatan terhadap pasien. Henserling mengembangkan suatu skala pengukuran dukungan keluarga dengan nama “Henserling Diabetes Family Support Scale (HDFSS), dimana skala ini menunjukan validitas isi untuk pengukuran persepsi pasien terhadap dukungan yang diberikan oleh keluarga. HDFSS mengukur dukungan keluarga yang 18 dirasakan oleh pasien DM, secara konsep didefinisikan bagaimana pasien melihat dukungan dari keluarganya. HDFSS terdiri dari 29 pertanyaan mencakup dimensi emosional terdiri dari 10 item pertanyaan (4,5,6,7,13,15,17,24,27,28) dimensi penghargaan 8 item pertanyaan (8,10,12,14,18,19,20,25), dimensi instrumental 8 item pertanyaan (9,11,16,21,22,23,26,29) dan dimensi informasi 3 item pertanyaan (1,2,3) dengan alternatif jawaban: 4 = selalu, 3 = sering, 2 = Jarang, 1= tidak pernah (Hanserling, 2009 dalam Aini Yusra 2010). 2.2 Diabetes Melitus 2.2.1 Pengertian Diabetes Melitus DM merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2013; Perkeni, 2006). Hal ini tidak jauh berbeda dari pengertian yang dikemukakan oleh Price & Wilson (2006) bahwa DM adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat dan apabila berkembang penuh secara klinis maka diabetes ditandai dengan hiperglikemia. Menurut WHO, DM digambarkan sebagai sualtu kelainan metabolik yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dimanifestasikan sebagai suatu keadaan hiperglikemia kronis yang menimbulkan gangguan metabolisme sebagai akibat dari gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (WHO, 2013). Smeltzer and Bare (2008) mengemukakan bahwa DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar gukosa darah dan dapat menimbulkan komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. 19 2.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus Secara garis besar Diabetes Melitus (DM) diklasifikasikan menjadi : a. Tipe I merupakan DM yang tergantung insulin (insulin dependent diabetes mellitus [IDDM]). DMT1 merupakan DM yang tergantung pada insulin untuk mengatur metabolisme glukosa dalam darah. Pada DMT1 terjadi kerusakan pada sel beta dalam menghasilkan insulin karena proses autoimun. Sebagai akibatnya pasien akan kekurangan insulin bahkan tidak ada insulin, sehingga memerlukan terapi insulin agar gula darah dalam batas terkontrol. Tipe ini terjadi sekitar 5-10% dari keseluruhan penderita diabetes (Smeltzer & Bare, 2008). b. Tipe II merupakan DM tidak tergantung insulin (non-insulin-dependent diabetes mellitus [NIDDM]). DMT2 adalah jenis penyakit DM dimana individu mengalami penurunan sensitivitas terhadap insulin dan kegagalan fungsi sel beta yang mengakibatkan penurunan produksi insulin. DMT2 mengenai 90-95% pasien dengan DM. Insiden ini lebih umum pada usia > 30 tahun dan obesitas (Smeltzer & Bare, 2008). c. Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainya DM tipe lain disebabkan oleh karena defek genetik dan fungsi sel beta. Defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologik yang jarang, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM. Beberapa hormon seperti hormon pertumbuhan, kortisol, glukagon dan epineprine bersifat antagonis atau melawan kerja 20 insulin. Kelebihan jumlah hormon tersebut dapat mengakibatkan DM tipe ini (Smeltzer & Bare, 2008). d. DM gestasional (gestasional diabetes mellitus [GDM]), terjadi karena intoleransi tingkat glukosa pada masa kehamilan. Hiperglikemi terjadi selama masa kehamilan karena sekresi dari hormon plasenta sehingga menyebabkan resistensi insulin. Diabetes gestasional terjadi pada 14% dari semua wanita hamil dan meningkat risikonya pada mereka yang memiliki masalah hipertensi dalam kehamilan (Smeltzer & Bare, 2008). 2.2.3 Penyebab Diabetes Melitus Menurut Smeltzer & Bare (2008) Penyakit diabetes mellitus biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : a. Kelainan genetik Faktor keturunan yang sangat memungkinkan seseorang menderita DM karena jika ada riwayat keluarga yang salah satu anggotanya penderita DM dimungkinkan akan menurun kepada keturunannya. b. Usia Faktor usia memungkinkan pada orang dewasa yang berusia 45 tahun ke atas atau orang-orang yang berusia di bawah 45 tahun tetapi mengalami kegemukan. c. Stres Stres kronis cenderung membuat seseorang akan memakan makanan yang manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak serotonin. Serotonin merupakan 21 mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagi mereka yang berisiko mengidap penyakit DM. d. Pola makan yang salah Pola makan yang cenderung mengkonsumsi makanan yang mengandung gula dan bersifat manis akan cepat meningkatkan kadar gula darah seseorang sehingga pola makan yang salah harus dikendalikan dengan cara mengendalikan mengkonsumsi makanan yang bersifat manis. 2.2.4 Kriteria Diagnostik Kriteria diagnostik Diabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA, 2010) merupakan salah satu dari kondisi berikut : a. HbA1c ≥ 6,5% b. Terdapat trias diabetes (poliuri, polidipsi dan polipagi) terdapat penurunan berat badan dan kadar gula darah acak (GDA ≥200 mg/dl) c. Kadar Gula darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl d. Kadar gula darah 2 jam post pandrial (PP) atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) 75 gr anhididrous yang dilarutkan dalam air (standar WHO ≥ 200 mg/dl) 2.2.5 Komplikasi Diabetes Melitus Menurut Price and Wilson (2006) komplikasi-komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori mayor yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis. a. Komplikasi Akut 22 Terdapat tiga komplikasi akut pada penderita DM yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah: hipoglikemia, ketoasidosis diabetik dan sindrom HHNK (disebut juga koma hiperglikemik hiperosmoler nonketotik atau HONK[hiperosmoler nonketotik]). 1. Hipoglikema Hipoglikemia merupakan suatu kondisi kadar glukosa darah yang rendah terjadi kalau kadar glukosa dalam darah turun di bawah 50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3 mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi apabila pemberian insulin dan preparat oral secara berlebihan, konsumsi makanan yang sedikit dan banyaknya aktifitas fisik juga mengakibatkan hipoglikemia. Kejadian ini sering dijumpai sebelum makan, khususnya jika waktu makan tertunda. 2. Ketoasidosis Diabetik-Koma Diabetika (KAD) Kriteria diagnosis KAD jika terdapat gejala klinis (poliuri, polidipsi, mual dan atau muntah, pernafasann kussmaul, lemah dehidrasi, hipotensi sampai syok, kesadaran terganggu sampai koma), kadar glukosa darah lebih dari 300 mg/dl (hiperglikemia) dan bikarbonat kurang dari 20 mEq/l (pH < 7,35) dan terdapat glukosuria dan ketonuria. 3. Koma Hiperosmolar Non-Ketotik (KHONK) Yaitu jika kadar glukosa darah 600 mg/dl (hiperglikemia) dengan tidak adanya riwayat DM sebelummya (No DM History) biasanya ± 1000 mg/dL, bikarbonat. 15 mEq/l, pH darah normal (no Kussmaul, No ketonemia) glukosa darah relatif rendah apabila ada nefropati dan jika dehidrasi berat (hipotensi, 23 shock), no Kussmaul, terdapat gejala neurologi, reduksi urine +++, bau aseton tidak didapatkan, ketonuria tidak didapatkan. Diagnosis pasti dikenal dengan Pentalogi KHONK, yaitu jika terdapat diagnosis klinis dan osmolalitas darah > 325-350 m.osm/l. b. Komplikasi Kronis Menurut Smeltzer and Bare (2008) angka kematian yang berkaitan dengan ketoasidosis dan infeksi pada pasien diabetes tampak terus menurun, tetapi kematian akibat komplikasi kardiovaskuler dan renal mengalami kenaikan yang mengkhawatirkan. Komplikasi panjang atau komplikasi kronis tersebut terbagi menjadi tiga yaitu: 1. Penyakit Makrovaskuler Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering terjadi pada diabetes. Perubahan ateroskerotik ini serupa dengan yang terlihat pada pasienpasien nondiabetik, kecuali dalam hal perubahan tersebut terjadi dalam usia yang lebih muda dengan frekuensi yang lebih besar pada pasien diabetes. Berbagai tipe penyakit makrovaskuler dapat terjadi aibat dari lokasi lesi ateroskelrotik, sebagai berikut : a) Penyakit Arteri Koroner Perubahan dalam aterosklerotik di pembuluh darah arteri koroner menyebabkan tingginya insiden miokard infark pada penderita diabetes. Pada penyakit daiabetes terdapat peningkatan kecenderungan untuk mengalami komplikasi akibat infark miokard dan kecenderungan akan mendapatkan serangan infark miokard yang kedua. Ciri dari penyakit arteri koroner yang diderita oleh 24 pasien diabetes adalah tidak terdapatnya gejala iskemik yang khas. Jadi pasien tidak akan mengalami penurunan aliran darah koroner dan dapat mengalami miokard infark yang asimptomatik. b) Penyakit Serebrovaskuler. Merupakan perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau pembentukan embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh darah yang kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah serebral sehinga menimbulkan serangan iskemia sepintas (TIA = Transient Ischemic Attack) dan stroke. Gejala penyakit serebrovaskular ini dapat meyerupai gejala pada komplikasi akut diabetes (sindrom HHNK atau hipoglikemi), karena itu perlu mengecek kadar gula darah penderita diabetes untuk mendapatkan pengobatan atas indikasi kelainan kadar glukosa darah sebelum dilakukan pemeriksaaan diagnostik yang luas untuk menemukan penyakit serebrovaskuler. c) Penyakit Vaskuler Perifer Tanda-tanda dan gejala peyakit vaskuler perifer dapat mencakup berkurangnya denyut nadi perifer dan klaudikasio intermiten (nyeri pada pantat atau betis ketika berjalan). Bentuk penyakit oklusif arteri ini merupakan penyebab utama meningkatnya insiden gangren dan amputasi pada pasien diabetes. Ada faktor-faktor risiko tertentu yang berkaitan dengan percepatan aterosklerosis. Faktor-faktor ini mencakup kenaikan kadar lemak darah, hipertensi kebiasaan merorok, obesitas kurangnya latihan dan riwayat keluarga (genetik). Faktor risiko ini sangat berperan penting dalam proses timbulnya penyakit 25 makrovaskuler disamping faktor risiko lain seperti obesitas dan peningkatan trigliserida, namun angka kejadian penyakit makrovaskuler tetap lebih tinggi pada pasien dengan diabetes dibandingkan pasien non diabetes yang memiliki faktor risiko sama. Jadi, penyakit diabtes sendiri dianggap sebagai faktor risiko terhadap penyakit aterosklerosis. 2. Komplikasi Mikrovaskuler Penyakit mikrovaskuler pada diabetik ditandai oleh adanya penebalan membran basalis pembuluh kapiler. Ada dua tempat dimana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius kedua tempat tersebut adalah mikrosirkulasi retina dan ginjal. Komplikasi mikrovaskuler diantaranya adalah retinopati diabetik yang merupakan kelainan patologis yang disebabkan oleh perubahan dalam pembuluhpembuluh darah kecil di retina mata. Retina merupakan bagian mata yang berfungsi untuk menangkap bayangan dan mengirimkanya ke otak. Terdapat tiga stadium dari retinopati diabetik yaitu retinopati nonpoliferatif, retinopati praproliferatif dan retinopati proliferatif. Sebagian besar penyandang diabetes mengalami retinopati nonpoliferatif dan berisiko kecil dalam mengalami kebutaan di masa mendatang. Komplikasi dari retinopati nonploriferatif yaitu edema mukula dan mengakibatkan distorsi visual serta kehilangan penglihatan sentral. Keadaan yang merupakan bentuk lanjutan dari retinopati nonproliperatif adalah retinopati proliperatif. Perubahan visual yang terjadi dalam stadium ini biasanya disebabkan oleh edema makula dan yang paling megancam penglihatan adalah retinopati proliferatif. Gangguan pengelihatan ini disebabkan oleh perdarahan viterus atau ablasio retina. Korpus viterus yang normal akan tampak 26 jernih dan apabila terjadi perdarahan korpus viterus akan menjadi keruh dan tidak dapat mentrasmisikan cahaya. Dampak lain dari perdarahan tersebut adalah terbentuknya jaringan parut fibrosa yang disebabkan oleh resorbsi darah ke korpus viterus. Jaringan parut ini dapat menarik retina dan terjadi ablasio (pelepasan) retina dan akhirnya terjdi kebutaan. 2.2.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan DM (Smeltzer and bare, 2008; PERKENI, 2006) yaitu diet, latihan, terapi anti obat diabetikum (jika diperlukan), edukasi dan monitoring. Lima komponen tersebut saling berkaitan dan berperan dalam mencegah dan mentabilkan kadar gula darah pasien DMT2. DMT2 muncul bukan hanya disebabkan oleh faktor genetik namun interaksi antara faktor genetik dengan faktor risiko lain terutama prilaku (PERKENI, 2006). Untuk mengubah gaya hidup khususnya pada individu yang berisiko tinggi menderita DMT2 untuk mencegah komplikasi dapat melakukan aktivitas fisik dan konsumsi makanan yang sehat terbukti mampu menurunkan berat badan, menstabilkan tekanan darah dan mengurangi risiko tinggi mengalami DMT2 dapat di tunjukan dengan penurunan kadar HbA1C, trigliserida, gula darah dan berat badan (ADA, 2010). Menurut Tjokroprawiro (2007), penatalaksanaan dasar terapi DMT2 meliputi : a. Terapi Primer 1. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat tentang DMT2 27 Tindakan ini dapat dilakukan oleh tenaga kesehataan kepada masyarakat dan dapat dilakukan perorangan. Media yang digunakan dapat melalui media cetak maupun elektronik dan dalam diskusi kelompok. 2. Latihan Fisik Latihan fisik untuk semua pasien DMT2 yaitu latihan fisik teratur setiap hari 1-1 ½ jam setelah makan, termasuk pasien yang dirawat di rumah sakit. Jika penderita mengalami obesitas dapat melakukan latihan fisik teratur sehabis makan dan ditambah latihan lebih berat di pagi dan sore setiap hari untuk menurunkan kelebihan berat badan. 3. Diet Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes. Penatalaksaan nutrisi ini tentunya untuk membantu mengendalikan kadar gula darah dan pada pasien-pasien dengan obesitas agar terjadi penurunan berat badan. Secara umum penurunan berat badan bagi individu dengan obesitas menjadi faktor utama untuk mencegah timbulnya penyakit diabetes. Obesitas akan diikuti oleh peningkatan resistensi insulin dan merupakan salah satu etiologi utama yang menyertai diabetes tipe II. b. Terapi Sekunder 1. Obat hipoglikemia (oral atau Insulin), menurut PARKENI (2011) terdapat bebagai macam obat hipoglikemia obat dilihat pada tabel 1 dan pada tabel 2 dapat dilihat mengenai kategori insulin menurut Smeltzer and Bare (2008). 28 Tabel 1. Obat Hipoglikemia OHO Generik Nama dagang Klorpopamid Diabenase Glibengklamid Daonil Gipizid 80 Glikuidon Euglucon Minidiab Glucotrol-XL Diamicron DiamicronMR Glurenom 30 Glimepirid Amaryl 1 NovoNorm 2 3 4 0,5 Sulfonilurea Glikazid Repaglinid B mg/ dosis tab hari an (mg) 100- 100250 500 2,5- 2,55 5 5-10 Glinid Tiazolidindion Penghambat glukosidase α 24-36 1 12-24 1-2 80240 10-20 1 1,2 30120 0,56 - - 24 1 1,56 - 3 360 4,8 24 3 1 Netaglinid Rosiglitazon Pioglitazon Starlix Acarbose Glucobay 50100 100300 Metformin Glucophage 500850 2503000 Actos Biguanid 3 6-8 Pemberian Sebelum makan Tidak bergantung jadwal makan Bersama suapan makan 1-3 Bersama atau sesudah makan Kombinase Glukovance Metformin + Glibenklamid Sumber : PARKENI 2008 Ket : 1 2 120 4 15,3 Lama Frek/hari kerja (jam) OHO : obat hiperglikemi oral XL : eXtenden reLase Frek : Frekuensi 29 Tabel 2. Kategori Insulin Lama kerja Agens Awitan puncak Durasi Indikasi Biasanya diberikan 20-30 menit sebelum makan dapat diberikan sendiri atau bersama dengan insulin long acting Biasanya diberikan sesudah makan Short-acting Regular (“R”) ½ - 1 jam 2-3 jam 4-6 jam Intermediateacting NPH (neutral protamine Hagedorn) Lente (“L”) 3-4 jam 4-12 jam 16-20 jam Long-Acting Ultralente (“UL”) 6-8 jam 12-16 jam 20-30 jam Digunakan terutama untuk mengendlikan kadar glukosa darah puasa (Smeltzer & Bare, 2008) 2.3 Glukosa Darah 2.3.1 Pengertian Glukosa darah Kadar glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat glukosa di dalam darah. Konsentrasi gula darah atau tingkat glukosa serum diatur dengan ketat di dalam tubuh. Umumnya tingkat gula darah bertahan pada batas-batas yang sempit sepanjang hari (70-150 mg/dl). Tingkat gula darah ini meningkat setelah makan dan biasanya berada pada level terendah pada pagi hari, sebelum orang makan. (Henrikson J. E. et al., 2009). 2.3.2 Proses Pengaturan Gula Darah Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah bergantung pada hati yang mengektrasi glukosa, mensistesis glikogen, dan melakukan glikogenolisis (Price & Wilson 2006). Kadar glukosa plasma sangat ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah glukosa yang masuk ke dalam aliran darah dan jumlah yang meninggalkannya. Oleh karena itu pengaruh yang berpengaruh terhadap gula darah adalah asupan makanan, kecepatan pemasukan ke dalam sel otot, jaringan 30 adiposa, dan organ-organ lain yang bergantung dengan keseimbangan fisiologis beberapa hormon serta aktivitas glukostatik hati (Ganong, 2008). Konsentrasi glukosa dalam darah ditentukan oleh keseimbangan yang ada antara proses-proses berikut (Sherwood, 2001): a. Faktor yang meningkatkan glukosa darah atau glukosa yang masuk aliran darah adalah penyerapan glukosa dari saluran pencernaan yang berasal dari asupan makanan dan pembentukan glukosa oleh hepar melalui glikogenolisis simpanan glikogen maupun glukoneogenesis yang dikontrol oleh hormon insulin. b. Faktor yang menurunkan glukosa darah atau glukosa yang meninggalkan aliran darah adalah pemindahan glukosa ke dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan disimpan sebagi glikogen maupun trigliserida yang dikontrol oleh hormon insulin. Eksresi glukosa melalui urin terjadi hanya dalam keadaan abnormal sewakru kadar glukosa darah terlalu tinggi melebihi kemampuan tubulus ginjal mereabsorpsi selama pembentukan urin. Asupan makanan dengan kandungan gula atau karbohidrat akan menghasilkan gula di dalam darah. Kadar gula darah juga ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Organ pankreas mengeluarkan enzim insulin yang dapat menyebabkan pengambilan, penyimpanan dan penggunaan gula darah yang cepat oleh semua jaringan tubuh terutama oleh otot, jaringan adiposa dan hati (Sudoyo et al, 2009). 31 Pada sebagian besar kasus DM disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin oleh sel-sel beta pulau langerhans. Sering kali faktor genetik menyebabakan timbulnya DM melalui peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap pengancuran oleh virus atau memepermudah perkembagan antibodi autoimun melawan sel-sel beta mengarah kepada penghancuran sel-sel beta. Obesitas juga memegang peranan dalam perkembangan DM. Obesitas menurunkan jumlah reseptor insulin dalam sel target insulin di seluruh tubuh membuat jumlah insulin yang tersedia kurang efektif dalam meningkatkan efek metabolik insulin yang biasa walaupun tanpa dipengaruhi faktor genetik (Guyton, 2000). Hormon yang meningkatakan kadar glukosa darah diantaranya adalah glukagon yang disekresi oleh sel-sel alfa langerhans, epinefrin yang disekresi oleh medulla adrenal dan jaringan kromafin lain, glukokortikoid yang disekresi oleh korteks adrenal, dan growth hormone yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Glukagon, epinefrin, glukokortikoid, dan growth hormone, membentuk suatu perlawanan mekanisme regulator yang mencegah timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin (Price & Wilson, 2006). 2.3.3 Pengukuran Kadar Gula Darah Kadar glukosa serum puasa normal adalah 70-110 mg/dl. Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl, sedangkan hipoglikemia didefinisikan bila kadarnya lebih rendah dari 70 mg/dl. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hampir semuanya diabsorpsi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160 sampai 180 32 mg/dl. Jika konsentrasi serum naik melebihi kadar ini, glukosa tersebut akan keluar bersama urine, dan keadaan ini disebut sebagai glikosuria (Price & Wilson, 2006). Untuk memastikan diagnosis, pemerikaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan enzimatik dengan bahan yang diambil dari plasma vena. Walaupun demikian, sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan dari WHO (Sudoyo et al, 2009). Berikut ini merupakan tabel patokan penyaring dan diagnosis DM menurut Parkeni (2006) Tabel 3. Patokan Penyaring dan Diagnosis DM Bukan DM Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl) Kadar glukosa darah puasa (mg/dl) (Parkeni, 2006) Plasma vena Darah kapiler Plasma vena Darah kapiler <110 <90 <110 <90 Belum pasti DM 110-199 90-199 110-125 90-109 DM ≥200 ≥200 ≥126 ≥110 Pemeriksaan menggunakan tes strip (glucose oxidase) boleh digunakan untuk bed side test, tetapi pemakai strip harus hati-hati akan kemungkinan hasil yang kurang tepat karena penyimpanan strip yang kurang baik. Cara ini umumnya dinilai secara semikuantitatif, tetapi dapat pula dinilai dengan menggunakan alat pengukur yang khusus (Kusnandar, 2009). 2.3.4 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kadar Gula Darah Ada beberapa hal yang menyebabkan gula darah naik, yaitu kurang berolah raga, bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi, meningkatnya 33 stres dan faktor emosi, pertambahan berat badan dan usia, serta dampak perawatan dari obat (Fox & Kilvert, 2010). a. Aktivitas Fisik Olah raga secara teratur dapat mengurangi resistensi insulin latihan fisik juga sehingga insulin dapat dipergunakan lebih baik oleh sel-sel tubuh. Olah raga juga dapat digunakan sebagai usaha untuk membakar lemak dalam tubuh sehingga dapat mengurangi berat badan bagi orang obesitas. b. Asupan Makanan Asupan makanan terutama melalui makanan berenergi tinggi atau kaya karbohidrat dan serat yang rendah dapat mengganggu stimulasi sel-sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Asupan lemak di dalam tubuh juga perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh terhadap kepekaan insulin. c. Obat-obatan Interaksi antara pituitary, adrenal gland, pankreas dan liver sering terganggu akibat stres dan penggunaan obat-obatan. Gangguan organ-organ tersebut mempengaruhi metabolisme ACTH (hormon dari pituitary), kortisol, glukokortikoids (hormon adrenal gland), glucagon merangsang glukoneogenesis di liver yang akhirnya meningkatkan kadar gula dalam darah. Produksi hormon kortisol dapat menurunkan toleransi glukosa dan mengurangi hormon tiroid. Semua itu menyebabkan resistensi insulin dan memperburuk metabolisme (Vita Health, 2000). 34 d. Usia Semakin bertambah usia perubahan fisik dan penurunan fungsi tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan penyerapan zat gizi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa masalah gizi pada usia lanjut sebagian besar merupakan masalah gizi berlebih dan kegemukan/obesitas yang memicu timbulnya penyakit degeneratif termasuk diabetes mellitus. Mayoritas penderita diabetes melitus biasanya terjadi di atas usia 30 tahun (Smeltzer & Bare 2008). 2.4 Hubungan antara Dukungan Keluarga Terhadap Kadar Gula Darah pasien DMT2 Stres adalah segala situasi dimana tuntutan non spesifik mengharuskan seseorang untuk berespon dan melakukan sesuatu. Respon yang dimaksud adalah respon fisiologis dan psikologis. Keadaan stres mengakibatkan perasaan yang negatif, yang berlawanan dengan keinginan atau mengancam kesejahteraan emosional. Stres dapat mengganggu cara seseorang melihat realitas, menyelesaikan masalah, berfikir secara umum dan hubungan seseorang dan rasa memiliki. Persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan besar menimbulkan stres (Potter & Pery, 2008). DM dengan berbagai perubahan fisik yang mengharuskan kepatuhan penderita untuk mengontrol penyakit dapat menjadi sumber stres. Penyakit DM dapat memberikan efek psikososial seperti depresi, dimana pasien menunjukan sikap yang negatif dalam mengendalikan DM seperti tidak mengikuti diet yang telah diprogramkan, kurang aktivitas fisik, merokok dan kurangnya kepatuhan terhadap pengobatan (Riley et al, 2009). Penyakit yang 35 diderita, dan pengobatan yang dijalankan dapat berpengaruh kepada kondisi psikologis klien dan kesehatan klien. Karena diabetes merupakan salah satu penyakit kronik, timbul kejenuhan dan kebosanan dalam menjaga kontrol glikemik. Oleh karena itu untuk mengatasi hal ini perlu tindakan terhadap faktor psikologis dalam penyelesaian masalah DM. Keikutsertaan keluarga lainya dalam kontrol gula darah pasien DM merupakan hal yang positif bagi kesehatan keluarga, merupakan bentuk peran aktif bagi keberhasilan penatalaksanaan DM (Rifki, 2009). Keluarga dapat berpengaruh kepada psikologis klien yang akan menimbulkan mekanisme koping yang adaptif sehingga keadaan psikologis penderita DMT2 terhindar dari stres akibat dari pengobatan dan diet (Soegondo, 2008). Sejalan dengan hal di atas terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lindsay et al (2012) yang berjudul “Family Support, Medication Adherence, and Glycemic Control Among Adults With Type 2 Diabetes” menguji hubungan antara dukungan keluarga, pengobatan dan kontrol metabolik (ditentukan dari hasil tes hemoglobin glikosilasi atau HbA1C). Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa dukungan keluarga yang positif akan membantu untuk menjalankan pengobatan diabetes lebih baik sehingga dapat mengontrol kadar gula darah yang baik pula namun berbanding terbalik dengan dukungan keluarga yang negatif, dukungan keluarga yg negatif cenderung pasrah dengan pengobatan. Dukungan keluarga terhadap pasien dengan DMT2 memberikan manfaat dalam manajemen dan penyesuaian terhadap penyakit. Dukungan keluarga 36 berdampak positif untuk menghindari pasien DMT2 dari dampak psikologis yang negatif sehingga dapat mengontrol kadar gula darah yang merupakan salah satu dari pengobatan diabetes (Goz et al,2007).