Media Akademika 2013.indd - IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

advertisement
POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
Politik Hukum dalam Undang-undang
No. 7 Tahun 1989
H. Amhar Rasyid
Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak
Hukum Islam adalah salah satu hukum yang digunakan dalam
sistem hukum Indonesia, di samping hukum adat dan hukum
warisan Belanda. Salah satu bentuk pelaksanaan hukum Islam
adalah adanya peradilan agama, yang pelembagaannya yang terpenting dalam sistem hukum Indonesia diamanatkan dalam Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Artikel
ini membahas politik hukum dalam undang-undang tersebut. Argumen artikel ini adalah bahwa pembicaraan tentang peradilan
agama tidak bisa dilepaskan dari perbincangan tentang sejarah
penegakan hukum Islam di Indonesia. Dengan kata lain, dinamika pembentukan undang-undang tersebut terentang panjang
dalam sejarah; menggambarkan pasang-surut penerapan hukum
Islam di negara dengan penduduk Muslim terbanyak tersebut.
Kata Kunci: Peradilan agama, UU No 7 Tahun 1989, sistem hukum Indonesia, politik hukum.
Pendahuluan
UUD 1945 merupakan konstitusi Negara Republik Indonesia yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Akan tetapi saat itu SoekaMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
151
152
H. AMHAR RASYID
rno menyatakan1:
Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah UndangUndang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini
adalah Undang-Undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara
di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan
kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.
Sejak merdeka, Indonesia telah memberlakukan tiga macam
konstitusi dalam empat periode, yaitu periode pertama (18 Agustus
1945 sampai 27 Desember 1949) berlaku UUD 1945, periode kedua
(27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950) berlaku UUD RIS, periode ketiga (17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959) berlaku UUD 1950
yang bersifat sementara dan periode keempat (5 Juli 1959 sampai
sekarang) berlaku UUD 19452.
Setelah kembali kepada UUD 1945 sampai sekarang konstitusi
Indonesia tidak lagi mengalami pergantian. Akan tetapi hanya mengalami Amandemen sebanyak empat kali, yaitu Amndemen yang pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, Amandemen kedua
tangal 18 Agustus 2000, Amandemen ketiga 10 November 2A01, dan
Amandemen keempat pada tanggal 10 Agustus 2002.
Menurut Mr. J.G. Steenbeek, sebagaimana telah dikutip oleh
Sri Soemantri dalam disertasinya yang telah memberikan gambaran
secara jelas apa yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi. Pada
pokoknya konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu3: Adanya jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia dan waga negaranya;
a. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
b. Adanya pembagian dan pembatasan tugas dan ketatanegaraan
yang juga bersifat fundamental.
Atas dasar itulah, maka UUD 1945 Republik Indonesia yang dalam teori Stufenbau Hans Kelsen disebut sebagai groundnorm harus
memberikan jaminan atas hak asasi manusia dan adanya pembagiaan
kekuasaan dalam struktur negara untuk memberikan batasan atas
kekuasaan tersebut agar tidak terjadi kekuasaan yang absolut. Dengan demikian, nilai yang terkandung di dalam batang tubuh UUD
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
1945 mengandung sistem politik hukum bangsa Indonesia untuk
mewujudkan negara ideal yang dicata-citakan. Politik hukum di dalam batang tubuh UUD 1945 tidak hanya mengandung sistem politik
akan tetapi juga sistem ekonomi, sistem hukum, dan sosial.
Menurut T. M. Radhie, yang dimaksud Politik hukum adalah
suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang
berlaku di wilayah dan mengenai arah perkembangan hukum yang
dibangun4. Politik hukum dalah legal policy yang telah atau akan
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi5:
1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan.
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
UUD 1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik hukum
nasional Indonesia. Tetapi dalam prakteknya hukum seringkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga
tidak sedikit orang memandang bahwa hukum adalah sama dengan
kekuasaan. UUD 1945 mengakui hak-hak (termasuk hak milik) dan
kebebasan individu sebagai hak asasi, tetapi sekaligus meletakkan
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia terbagi kedalam beberapa masa yakni peratama, mas.r rebelum pemerintahan kolonial
Belanda yang disana pada waktu itu pemerintahan berbentuk kerajaan. Kedua masa pemerintahan kolonial Belanda. Ketiga masa penjajahan Jepang. Keempat, pada masa kemerdekaan (1945-1974). Kelima, pasca kemerdekaan setelah diundangkannya UU No. 1 tahun
1974.
Di negara yang baru merdeka terdapat gejala umum, yaitu munculnya kehendak uatuk menghapuskan hukum yang diwariskan oleh
penjajah. Hukum yang diwariskan kolonial itu diganti dengan hukum
yang dianggap cocok dengan alam kemerdekaan, yang digali dari
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan hukum penggantinya itu
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
153
154
H. AMHAR RASYID
dianggap mampu menampung dan mengikuti perubahan yang dialami masyarakat dalam Negara itu.
Perkembangan peradilan itu merupakan perubahan yang memiliki makna perluasan dan terdapat perambahan dari berbagi aspek
dimulai dari aspek yang berkenaan dengan kedudukan peradilan
sampai kepada hukum acara yang dijadikan sebagai landasan dalam
penerimaan, pemeriksaan, putusan, dan penyelesaian perkara.
Berbicara tantang Peradilan Agama sebenarnya kita sedang
membicamkan sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum di tanah air telah dilakukan oleh masyarakat Islam
sejak Islam dianut oleh masyarakat Nusantara. Hukum Islam memiliki kedudukan sendiri dalam masyarakat disamping kebiasaan adat
panduduk yang tambah berkembang dalam masyarakat.
Lain daripada itu, dilihat dari kedudukan Peradilan Agama mulai dari masa sebelum kolonial sampai kepada munculnya UU No. 7
tahun 1989, terjadi pasang surut baik dari segi kedudukannya ataupun kekuasaan pengadilan dalarn pengambilan keputusan. Sebagai
salah satu perwujudan politik hukum yang diambil oleh penguasa
Negara melalui interaksi dikalangan elite politik nasional perkembangan itu merupakan suatu perubahan yang memiliki makna perluasan ataupun penambahan, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Aktualisasi perkembangan itu diuji dalam cakupan yang lebih
luas yaitu dalam peranan yang dimainkan oleh badan peradilan sesuai kedudukannya. Berangkat dari sinilah kami menulis makalah ini
sebagai sarana menambah pengetahuan dalam palitik hukum tentang sejarah perkembangan Peradilan Agama serta kedudukan dan
kewenangargnya pada saat itu di Indonesia.
Pembahasan
Sudah sejak lama para pemimpin dan aktivis Islam di negeri ini berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang membelit sebagian
besar umatnya yakni kemiskinan dan keterbelakangan. Mereka sadar
bahwa perbaikan kondisi yang memprihatinkan itu memerlukan perMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
juangan politik yang berarti berurusan dengariopuya memperoleh
kekuasaan. Namun, ketika para pemimpin dan aktivis Islam tersebut
meniti perjuangan politik timbul perlawanan dari kelompok lain di
luar Islam. Tidak hanya itu, di internal para aktivis Islam sendiri terjadi perbedaan strategi yang tidak jarang mengarah pada sebuah pertentangan. Kelompok pertama yang mengusung "islamisasi negara
demi masyarakat", dan kelompok kedua yang berslogan "islamisasi
masyarakat dalam negara nasional”6.
Kelompok yang mengusung "islamisasi negara demi masyarakat"
tergambar dalam sikap para aktivitis Islam yang berpandangan bahwa kehidupan masyarakat Indonesia merdeka harus mencerminkan
hukum Islam. Untuk mencapai tujuan itu, ada yang memakai caru
konfrontatif, seperti memperjuangkan hukum Islam dalam konstitusi Negara, usaha penguasaan terhadap DPR, dan bahkan dengan
memakai cara-cara fisik. Tetapi ada pula yang melakukannya melalui jalur yang bersifat akademis, seperti berdiskusi dan membentuk kelompok-kelompok intelektual muslim. Sedangkan kelompok
kedua yang mengusung “islamisasi masyarakat dalam Negara nasional" lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat yaitu menciptakan masyarakat Indonesia mampu mengembangkan diri secara otonom7.
Perjuangan sebagian umat Islam dalam memberlakukan hukum
Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman kolonial. Tarik
ulur tentang itu semakin menguat sejak pra-kemerdekaan, bahkan
hingga kini. Berangkat dari asumsi bahwa politik determinan atas
hukum, serta pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan otoriter sangat mempengaruhi terhadap karakrer produk hukum yang dihasilkan, maka makalah ini berusaha untuk mengkaji
konfigurasi politik hukum Islam di Indonesia dan sekaligus untuk
mengetahui model politik hukum tslam seperti apa yang berkembang
di Indonesia.
Pengertian Politik Hukum Islam
Menurut Mahfud MD., didalam studi mengenai hubungan antara
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
155
156
H. AMHAR RASYID
politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu:
(l) Hukum determinan (menentukan) atas politik dalam arti hukum
harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. (2) Politik
determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya baik
produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat
dipengaruhi dan menjadi dipendent variable atas politik. (3) Politik
dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti
bunyi adagium, "politik tanpa hukum menimbulkan kesewenangwenangan (anarkis), hukum tanpa politik akanjadi lumpuh8."
Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan
hukum di atas kemudian lahir sebuah teori "politik hukum". Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan
secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama
pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap
materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua,
pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum9. Jadi politik
hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan
ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana
hukum difungsikan.
Dalam Islam istilah politik hukum disebut dengan as-Siyasah
as-Syar'iyyah yang merupakan aplikasi dari al-maslahah al-mursalah, yaitu mengatur kesejahteraan manusia dengan hukum yang
ketentuan-ketentuannya tidak termuat dalam syara'. Sebagian ulama
mendefinisikan politik hokum Islam sebagai perluasan peran penguasa untuk merealisasikan kemaslahatan manusia sepanjang halhal tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama10.
Pemikiran Politik Hukum Islam di Indonesia
Negara dan agama di negara sekulerpun, tidak dapat dipisahkan
begitu saja karena para pengelola negara adalah manusia biasa
yang juga terikat dengan berbagai macam norma yang hidup dalam
masyarakat, termasuk norma agama. Misalnya, meskipun negaranegara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis dan BeMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
landa adalah negara yang memaklumkan diri sebagai negara sekuler,
tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa keterlibatannya dalam
urusan keagamaan terus berlangsung sepanjang entitas agama dan
negara itu ada. Bukti empiris keterkaitan agama dan negara dalam
konteks Indonesia dapat dilihat misalnya dalam perjuangan sebagian
umat Islam untuk memberlakukan Islam sebagai dasar negara11.
Menurut Mahfud MD, secara yuridis-konstitusional negara
Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler.
Menurutnya Indonesia adalah religious nation state atau negara kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah negara yang menjadikan
ajaran agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum
materiil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu dengan jelas dikatakan bahwa salah satu dasar negara
Indonesia adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa"12.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang
berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis bahwa ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum
mayoritas muslim di Indonesia, dan ini mempunyai peran penting
bagi terciptanya norma fundamental Negara Pancasila. Kedua, alasan
sosiologis bahwa perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia
menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hokum bersendikan
ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan,
dan Ketiga, alasan yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29
UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara
yuridis formal13.
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam tata hukum negara
Indonesia, sistem hukum di Indonesia bersifat majemuk, ini sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya. Disebut demikian karena
hingga saat ini di Indonesia berlaku tiga sistem hukum sekaligus,
yakni sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum
barat.
Namun tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa hukum Islam
di Indonesia adalah “hukum yang hidup" (the living law), kendati
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
157
158
H. AMHAR RASYID
secara resmi dalam aspek-aspek pengaturan tertentu, ia tidak atau
belum dijadikan kaidah hukum positif oleh negara. Banyaknya pertanyaaan dan permasalahan mengenai hukum dalam masyarakat
yang diajukan kepada para ulama, media massa, dan organisasi sosial
keagamaan Islam, haruslah dilihat sebagai sebagai salah satu isyarat
bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup dalam masyarakat14.
Untuk mewujudkan anggapan tersebut maka dibutuhkan aktualisasi hukum Islam itu sendiri, agar tetap urgen menjadi bagian
dari proses pembangunan hukum nasional. Aktualisai hukum Islam
dapat dibedakan menjadi dua bentuk: pertama, upaya pemberlakuan
hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu yang
berlaku khusus bagi umat Islam. Kedua, upaya menjadikan hukum
Islam sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional15.
Adapun prosedur legislasi hukum Islam harus mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan Negara secara kolektif,
Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis
yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan
kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang layak.
Dinamika Politik Hukum Islam di Indonesia
Persentuhan Islam dan politik di Indonesia mulai tampak ke permukaan pada awal kemerdekaan Indonesia, tepatnya ketika bangsa
ini meraih kemerdekaannya tahun 1945. Seperti yang tercatat dalam
sejarah, pada masa itu terjadi perdebatan yang sangat sengit terkait
dua hal, yaitu mengenai dasar Negara dan dimasukkan atau tidaknya
tujuh kata pada sila pertama pancasila (peristiwa ini kemudian disebut dengan piagam Jakarta). karena itu, menurut Menteri Agama
Era Orde Baru, Jenderal Alamsyah Ratu Perwiranegara, pancasila
adalah hadiah terbesar yang diberikan oleh umat Islam kepada Republik Indonesia16.
Peralihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama kepada
Orde Baru berimplikasi kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan massa yang menuntut pembubaMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
ran PKI serta tuntutan pembenahan sistem politik dan pemulihan
keamanan negara. Puncaknya terjadi pada tahun 1966, yaitu dengan
dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang
kemudian berakhir dengan pencabutan mandat presiden Soekarno
oleh MPRS dan pengangkatan Soeharto sebagai Presiden kedua Republik Indonesia.
Konflik Islam dan politik muncul kembali ketika Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola
pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi
kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi dari negara-negara Barut. Kiblat pembangunan Indonesia yang sebelumnya
mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan Amerika. Imbasnya, banyak kemudian terdapat kalangan cendekiawan dan
intelektual mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat.
Sementara itu, bagi kalangan Islam, modemisasi ibarat dilema
karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung
modernisasi ala Orde Baru yang berarti sama saja mendukung Barat,
di sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam aLn kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional. Dilema
tersebut melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni
suatu bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilainilai yang berakar pada wacana modemisasi. Bahkan pola pertama
ini berasumsi bahwa modernisasi identik dengan westernisasi dan
sekularisasi. Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima
sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang
lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modemisasi. Dari ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi
lebih dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan
oleh kalangan modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia17.
Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan
jalan terbaik bagi islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya umat Islam yang dapat disatukan dalam
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
159
160
H. AMHAR RASYID
bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya, lahirlah gagasan
Islam kultural sebagai jalan tengah bagi umat Islam untuk tetap memainkan perannya dalam pentas politik nasional. Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik orde Baru di
penghujung tahun 70-an18.
Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya
telah melahirkan berbagai ketegangan antara Islam dan negara. sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan negara
pada masa orde Baru mengalami pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis (timbal balik yang kritis) sampai akomodatif.
Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan
yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah orde Baru. Keadaan
negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke
tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif
kalangan Islamisehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus
menempatkan Islam sebagai oposisi19.
Pada tahap hubungan resiprokal kritis (19822- 1985), kaum
santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan
merubah dirinya untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasionalpragmatis telah melahirkan saling pengertian akan kepentingan Islam
dan pemerintah. Dalam kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan
Islam mulai menerima asas tunggal sebagai landasan ideologi20.
Pada tahap hubungan akomodatif (1935-2000), hubungan Islam
dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk
sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi. Pola hubungan
akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam unfuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya
yang berakar pada nilai-nilai luhur Islam serta budaya bangsa yang
dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 194521.
Namun demikian, khusus dalam sudut pandang perkembangan
hukum Islam di Indonesia kesempatan umat Islam untuk mendapMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
atkan hak-haknya pada pola hubungan antagonistik lebih tampak.
Posisi umat Islam yang begitu lemah, seperti ketika merumuskan
UU No. 1/1974, aliran kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P-4), isu ekstrim kanan, isu suku, agama
dan ras (SARA), isu kristenisasi dan kebijakan ekonomi kapitalistik.
Protes umat Islam atas UU Perkawinan No. l/1974 yang disusul dengan PP No. 9/1975, dianggap sebagai usaha Orde Baru untuk menggeser Hukum Islam dan akar tatanan sosial masyarakat Islam di Indonesia22.
Dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara pada tahap
antagonistik lebih banyak peristiwa yang memunculkan pola hubungan yang tidak harmonis berupa konflik ideologis. Jika sebelumnya
pada masa Orde Lama Islam lebih nampak mengkristal dalam bingkai organisasi politik Masyumi, tegas berhadapan dengan ideologi
nasionalis sekuler (PNI Soekarnois) dan ekstrim kiri PKI. Selanjutnya pada masa Orde Baru Islam terbelah dan terpecah-pecah dari
bingkai Masyumi. Hal ini terjadi karena kebijakan ketat pemerintah
Orde Baru dalam merespon munculnya kembali kuatnya ideologi Islam politik.
Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU No. 1/1974 yang kemudian disusul dengan PP No.
911975. Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam
PP No. 2811977. Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali mempersoalkan faham dan aliran kepercayaan
dalam UUD 1945 sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang
paling krusial adalah kehendak umat Islam untuk dilegislasikannya
Rancangan Undang-undang Peradilan Agama (RUU PA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia23.
Kemudian pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat
pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan
dan politisi Islam harus berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru24. Melalui pendekatan strukturai-fungsional,
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
161
162
H. AMHAR RASYID
umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya
kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari
pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde
Baru dalam bingkai akumulasi sipil, Islam, dan militer.
Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan
dan negara. Tercatat realitas sosial politif umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional. Kehadiran ICMI, 8
Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya
kepentingan syari'at Islam melalui UUPA No.7/1989 sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang
diatur dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970, disusul
dengan UU Perbankan No. 10/1998 (pengganti UU No. 7/1992), UU
Zakat No. 38/1999, KHI Inpres No. 1/1991)25.
Partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dari pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai
pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kakuatan politik hanya dapat ditempuh dengan
dua cara yakni secara represif (konflik) dan akomodatif (strukturalfungsional). Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran terhadap
model paradigma hubungan antara Islam dan negara di Indonesia.
Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke
dalam supremasi hukum nasional, diperlukan partisipasi semua
pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam
dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan
politik hukum yang ditetapkan. Politik hukum tersebut merupakan
produk interaksi kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai
kelompok sosial budaya. Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar.
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989
Sekitar 25 tahun pasca kemerdekaan terdapat keanekaragaman dasar
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
penyelenggaraan, kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama. Perubahan tatanan peradilan
nasional bertitik tolak pada ketentuan konstitusi disamping diperhatikan perkembangan aspirasi dan tatanan masyarakat secara makro.
Dasar yang dijadikan rujukan dalam perubahan itu ialah pasal 12
undang-undang tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman sebagai
pelaksanaan 24 dan 25 UUD 1945. Pada tahun 1970 diundangkanlah
UU No. 14 tahun 1970 Jo. UU No. 35 tahun 1999, dan UU No. I tahun
1974 tentang perkawinan serta peraturan pelaksanaannya. Dengan
diundangkannya undang-undang tersebut, maka Peradilan Agama
diberikan tempat sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan
di Indonesia yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam NKRI
dan tugas-tugas badan peradilan agama menjadi meningkat. Dari
rata-rata 35.000 perkara sebelum diberlakukannya undang-undang
perkawinan menjadi hamper 300.000-an perkara dalam satu tahun
diseluruh Indonesia. Dengan sendirinya hal itu mendorong usaha
peningkatan jumlah dan kualitas aparatur pengadilan, khususnya
hakim untuk menyelesaikan tugas-tugas peradilan tersebut.
Sehubung dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah
membentuk Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Acara Peradilan Agama serta Rancangan Undang-undang tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama. Tim ini bekerja di Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman. Tim diketuai oleh Hakim Agung, kemudian
diganti oleh Ketua Muda Mahkamah Agung urusan lingkungan Peradilan Agama ini berhasil menyelesaikan tugasnya pada bulan maret
1984 dengan menyusun du RUU yaitu RUU Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama yang terdiri 204 pasal dan RUU tnetang Susuna
Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama terdiri 58 pasal. Jadi
kedua RUU tersebut berjumlah 262.Kedua RUU itu kini disatukan
dan diringkaskan oleh tim lain menjadi RUU Peradilan Agama yang
hanya memuat 180 pasal saja. Pada hari Kamis tanggal 14 Desember
1989, Rancangan Undang-undang Peradilan Agama, telah disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undanng-undang Republik
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
163
164
H. AMHAR RASYID
Indonesia tentang Peradilan Agama yang disingkat Undang-undang
Peradilan Agama. Peristiwa itu merupakan peristiwa penting, bukan
hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional tetapi juga bagi
ummat Islam di Indonesia. Sebabnya adalah dengan disahkannya
kelak undang-undang Peradilan Agama itu oeh Presiden Republik
Indonesia dan diundangkannya dalam lembaran Negara oleh Menteri Sekretaris Negara, agar setiap orang mengetahuinya, semakin
mantaplah kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dilingkungan yang mandiri ditanah air kita
dalam menegakan hukum berdasarkan hukum Islam bagi pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata
dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat hibah, wakaf dan shadaqah.
Pada tanggal 29 Desember 1989 disahkanlah Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kemudian ditempatkan
dalam Lembaran Negara RI No. 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3400. Undang-undang tersebut merupakan ialah
satu peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan
Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Isi Undang-undang No. 7 tahun 1989 terdiri atas 7
bab. Ketujuh bab tersebut yaitu Ketentuan Umumu, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan-ketentuan
lain, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
Secara umum isi UU tersebut memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan Peradilan Agama yaitu:
a. Perubahan tentang Dasar Hukum Penyelenggaraan Peradilan
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura
(Stbld. Tahun 1882 No. 152 dan Stbld. Tahun 1937 No. 116
dan 610).
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qodhi
Besar untuk sebagian residensi Kalimantan Selatan dan
Timur (Stbld. Tahun 1937 No.638 dan639).
3. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 tentang
pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'iyah di
Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara tahun 1957 No.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
b.
c.
d.
99).
4. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 63 ayat2
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
tahun 1974 No. 1, tambahan Lembaran Negara 3019).
Perubahan tentang kedudukan Peradilan Agama di lndonesia
dalam tata Peradilan Nasional.
Berdasarkan UU No. 7 tahun 1989 kedudukan Pengadilan
dalam lingkup Peradilan Agama sejajar dengan Peradilan lainnya khususnya Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri.
Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam pasal 63 ayat 2 UU No.
1 tahun 1974 dinyatakan dicabut, sebagaimana ditegaskan dalam
ketentuan pasal 107 ayat 1 butir d, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara tahun 1974 No. 7, Tambahan Lembaran
Negara No. 3019), dinyatakan berlaku. Dengan demikian, Pengadilan Agama memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri (executoire verklaring), yang dilaksanakan oleh
jurusita. Kejurusitaan merupakan pranata baru dalam sturktur
organisasi Pengadilan Agama.
Perubahan tentang kedudukan Hakim Peradilan Agama.
Di dalam pasal 11 ayat t UU No. 7 1989, hakim ialah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Ia merupakan unsur yang sangat penting bahkan menentukan. Pada pasal
15 ayat 1 disebutkan bahwa hakim diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mentri Agama berdasarkan keputusan Mahkamah Agung. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan,
terlepas pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya.
Perubahan susunan dan kekuasaan Pengadilan Agama.
Menurut ketentuan pasal 6, 7, 8 UU No. 7 tahun 1989 pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdiri atas Pengadilan
Agama (PA) sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan
Tinggi Agama (PTA), sebagai pengadilan tingkat banding.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
165
166
H. AMHAR RASYID
Dalam pasal 49 ayat 1 Pengadilan Agama bertugas memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
a. perkawinan, b. kewarisan, wasiat dan hibah, c. wakaf dan
shadaqah. Mengenai bidang perkawinan, pasal 49 ayat 2 menyebutkan bahwa yang dimaksud ialah 1). Izin beistri lebih dari satu,
2). Izin melangsungkan perkawinan bagi orang dibawah umur
yang telah ditentukan dalam undang-undang, 3). Dispensasi
kawin, 4). Pencegahan perkawinan, 5). Penolakan perkawinan
oleh pegawai pencatat nikah, 6). Pembatalan perkawinan, 7).
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri, 8). Perceraian
karena talak, 9). Gugatan perceraian, 10). Penyelesaian harta
bersama 11). Mengenai penguasaan anak, 12).Ibu dapat memikul
biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya, 13). Penentuan kewajiban member biaya penghidupan oleh suami kepada
mantan istri atau penentuan suatu kewajiban terhadap mantan
istri, 14). Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak, 15).
Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua, 16). Pencabutan kekuasaan seorang wali, 17). Penunjukan orang lain sebagai
wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut,
18). Menunjuk seorang wali untuk anak dalam hal seorang anak
yang belum cukup umur sesuai undang-undang yang ditinggal
kedua orang tuannya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh
orang tuanya, 19). Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas
harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya, 20). Penetapan asal usul seorang anak, 21). Putusan tentang penolakan
pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran,
22). Pemyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. I tahun 1974 tentang perkawinan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Adapun kekuasaan dalam bidang kewarisan meliputi halhal berikut:
1. Penentuan yang menjadi ahli waris
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
e.
f.
g.
2. Penentuan harta peninggalan (al-tirkah)
3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris
4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Perubahan tentang Hukum Acara
Di dalam ketentuan pasal 54, hukum acara yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku di pengadilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Perubahan tentang penyelenggaraan administrasi peradilan.
Di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdapat
dua jenis administrasi, yaitu Pertama, administrasi umum yang
berkenaan dengan administrasi perkara dan tekhnis yudisial dan
Kedua, administrasi umum yang berkenaan dengan administrasi
kepegawaian dan umum.
Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam Undang-undang ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat tetapi ke pengadilan yang didaerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat.
Penutup
Pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989, Rancangan Undangundang Peradilan Agama, telah disetujui oleh kwan Perwakilan
Rakyat menjadi Undang-undang Republik Indonesia tentang Peradilan Agama yang disingkat Undang-undang Peradilan Agama. Pada
tanggal 29 Desember 1989 disyahkanlah Undang-undaug No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kemudian ditempatkan dalam
Lembaran Negaru RI No. 49 Tahun 1989 dan Tambahan Lembaran
Negara No. 3400.
Undang-undang tersebut merupakan salah satu peraturan perundang- undangan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang
No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman.
Isi Undang-undang No. 7 tahun 1989 terdiri atas 7 bab. Ketujuh bab
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
167
168
H. AMHAR RASYID
tersebut yaitu Ketentuan Umumu, Susunan Pengadilan, Kekuasaan
Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan-ketentuan lain, Ketentuan
Peralihan dan Ketentuan Penutup. Pengadilan Agama bertugas memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: a. perkawinan, b. kewarisan, wasiat dan hibah, c. wakaf dan shadaqah.
Catatan:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Stusi tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2004), hal. 153
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan CV. Sinar Bakti, 1988), hal. 86 - 100
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung:
Alumni Bandung), 1987, hal. 51
Teuku Mohammad Radhie, “Pembaruan dan Politik, Hukum dalam
Rangka Pembangunan Nasional”, dalam Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973, hal 3.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka
LP3ES, 1998).
Mochtar Mas’oed, “Cerita Tentang Dua Strategi”, pengantar dalam
Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia
Sebelun dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, cet. ke-l (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), bagian pengantar, hlm. ix-x.
Ibid., hlm. x-xi.
Moh. Mahfud, MD., Pergulatan Potitik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. xi-xii.
Moh. Mahfud, MD., Politik Hukum di Indonesia, cet. ke-l (Jakarta:
LP3ES, 1998), hlm. 9.
Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, alih bahasa Zainudin Adnan, cet. ke-2 (Yogyakarta: Tiata Wacana, 2005), hlm. v-vii.
Moh. Mahfud MD., “Perjuangan Politik Hukum Islam di Indonesia”,
makalah disampaikan pada seminar yang diadakan oleh Jurusan Jinayah
Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,25 November
2006, hlm. 11.
Ibid, hlm. 8.
Abdul Ghani Abdullah, “Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan
Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum No. 1 Th. V (1994), hlm. 94-106.
Said Agil Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. ke-l (Ja-
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
karta: Paramadina, 2004), hlm. 29.
15 Warnoto, Politik Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-l (Yogyakarta: Fakultas Syariah Press UIN Sunan Kalijaga, 2008). hlm. 23.
16 Tujuh kata tersebut adalah “dengan menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Mengenai Piagam Jakarta lebih lanjut baca: Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), cet. ke-l
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
17 M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik
Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 381-382.
18 M. Syaf’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim
Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, (Bandung: Mizan,1995),
hlm. 32-235.
19 M. Syaf’i Anwar, Pemikiran dan Aksi lslam Indonesia; Sebuah Kajian
Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina,
1995), hlm. 9.
20 Ibid., hlm.238-239.
21 Ibid.
22 Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 88-90.
23 Ahmad Sukarja, “Keberlakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia” dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Bunga Rampai Peradilan Islam di
Indonesia, jilid I (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), hlm. 24-25.
24 M. Syaf’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, hlm.241. Cik
Hasan Bisri, “Peradilan Agama dan Peradilan Islam”, dalam Cik Hasan
Bisri (ed.), Bunga Rampai Peradilan Islam I, hlm. 116-117.
25 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum
lslam dan Hukum Umum, cet. ke-l (Yogyakarta: Gama Media, 2002),
h1m.773.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
169
170
H. AMHAR RASYID
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Ghani. "Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan
Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia", dalam Mimbar Hukum No. 1 Th.V (1994).
Al-Munawar, Said Agil. 2004. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial.
Jakarta: Paramadina.
Anwar, M. Syaf’i. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah
Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina.
Anwar, M. Syaf’i. 1995. Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan
Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi. Bandung:
Mizan.
Azizy, A. Qodri. 2002. Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi
antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama
Media.
Bisri, Cik Hasan. "Peradilan Agama dan Peradilan Islam", dalam
Cik Hasan Bisri (ed.). Bunga Rampai Peradilan Islam I.
Dimyati, Khudzaifah. 2004. Teorisasi Hukum: Stusi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 - 1990. Swakarta:
Muhammadiyah University Press.
Khallaf Abdul Wahab. 2005. Politik Hukum Islam. Alih bahasa ZainudinAdnan. Yogyakarta : Tiata Wacana.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. 1988. Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti.
M. Saleh, Hasanudin. 1996. HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Mahfud MD., Moh. "Perjuangan Politik Hukum Islam di Indonesia",
makalah disampaikan pada seminar yang diadakan oleh Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 November 2006.
Mahfud MD., Moh. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.
Mahfud MD, Moh. 1998. Potitik Hukum Di Indonesia. Jakarta: PT
Pustaka LP3ES.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
Mas'oed, Mochtar. "Cerita Tentang Dua Strategi", pengantar dalam
Aminudin. 1998. Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan
di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Radhie, Teuku Mohammad. 1973. Pembaruan dan Politik Hukum
dalam Rangka Pembangunan Nasional. Dalam majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973.
Rahardjo, M. Dawam. 1993. Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku
Politik Bangsa. Bandung: Mizan.
Saifuddin, Endang. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah
Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949). Jakarta: Gema Insani Press.
Soemantri, Sri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Korutitusi.
Bandung: Alumni Bandung.
Sukarja, Ahmad. "Keberlakuan Hukum Islam tlalam Tata Hukum
Indonesia" dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia. 1997. Bandung: Ulul Albab Press.
Warnoto. 2008. Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta:
Fakultas Syariah Press UIN Sunan Kalijaga.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
171
Download