POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 Politik Hukum dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 H. Amhar Rasyid Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Abstrak Hukum Islam adalah salah satu hukum yang digunakan dalam sistem hukum Indonesia, di samping hukum adat dan hukum warisan Belanda. Salah satu bentuk pelaksanaan hukum Islam adalah adanya peradilan agama, yang pelembagaannya yang terpenting dalam sistem hukum Indonesia diamanatkan dalam Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Artikel ini membahas politik hukum dalam undang-undang tersebut. Argumen artikel ini adalah bahwa pembicaraan tentang peradilan agama tidak bisa dilepaskan dari perbincangan tentang sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Dengan kata lain, dinamika pembentukan undang-undang tersebut terentang panjang dalam sejarah; menggambarkan pasang-surut penerapan hukum Islam di negara dengan penduduk Muslim terbanyak tersebut. Kata Kunci: Peradilan agama, UU No 7 Tahun 1989, sistem hukum Indonesia, politik hukum. Pendahuluan UUD 1945 merupakan konstitusi Negara Republik Indonesia yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Akan tetapi saat itu SoekaMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 151 152 H. AMHAR RASYID rno menyatakan1: Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah UndangUndang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna. Sejak merdeka, Indonesia telah memberlakukan tiga macam konstitusi dalam empat periode, yaitu periode pertama (18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949) berlaku UUD 1945, periode kedua (27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950) berlaku UUD RIS, periode ketiga (17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959) berlaku UUD 1950 yang bersifat sementara dan periode keempat (5 Juli 1959 sampai sekarang) berlaku UUD 19452. Setelah kembali kepada UUD 1945 sampai sekarang konstitusi Indonesia tidak lagi mengalami pergantian. Akan tetapi hanya mengalami Amandemen sebanyak empat kali, yaitu Amndemen yang pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, Amandemen kedua tangal 18 Agustus 2000, Amandemen ketiga 10 November 2A01, dan Amandemen keempat pada tanggal 10 Agustus 2002. Menurut Mr. J.G. Steenbeek, sebagaimana telah dikutip oleh Sri Soemantri dalam disertasinya yang telah memberikan gambaran secara jelas apa yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi. Pada pokoknya konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu3: Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan waga negaranya; a. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; b. Adanya pembagian dan pembatasan tugas dan ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Atas dasar itulah, maka UUD 1945 Republik Indonesia yang dalam teori Stufenbau Hans Kelsen disebut sebagai groundnorm harus memberikan jaminan atas hak asasi manusia dan adanya pembagiaan kekuasaan dalam struktur negara untuk memberikan batasan atas kekuasaan tersebut agar tidak terjadi kekuasaan yang absolut. Dengan demikian, nilai yang terkandung di dalam batang tubuh UUD Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 1945 mengandung sistem politik hukum bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara ideal yang dicata-citakan. Politik hukum di dalam batang tubuh UUD 1945 tidak hanya mengandung sistem politik akan tetapi juga sistem ekonomi, sistem hukum, dan sosial. Menurut T. M. Radhie, yang dimaksud Politik hukum adalah suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun4. Politik hukum dalah legal policy yang telah atau akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi5: 1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. 2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. UUD 1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Tetapi dalam prakteknya hukum seringkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang memandang bahwa hukum adalah sama dengan kekuasaan. UUD 1945 mengakui hak-hak (termasuk hak milik) dan kebebasan individu sebagai hak asasi, tetapi sekaligus meletakkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Perkembangan hukum Islam di Indonesia terbagi kedalam beberapa masa yakni peratama, mas.r rebelum pemerintahan kolonial Belanda yang disana pada waktu itu pemerintahan berbentuk kerajaan. Kedua masa pemerintahan kolonial Belanda. Ketiga masa penjajahan Jepang. Keempat, pada masa kemerdekaan (1945-1974). Kelima, pasca kemerdekaan setelah diundangkannya UU No. 1 tahun 1974. Di negara yang baru merdeka terdapat gejala umum, yaitu munculnya kehendak uatuk menghapuskan hukum yang diwariskan oleh penjajah. Hukum yang diwariskan kolonial itu diganti dengan hukum yang dianggap cocok dengan alam kemerdekaan, yang digali dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan hukum penggantinya itu Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 153 154 H. AMHAR RASYID dianggap mampu menampung dan mengikuti perubahan yang dialami masyarakat dalam Negara itu. Perkembangan peradilan itu merupakan perubahan yang memiliki makna perluasan dan terdapat perambahan dari berbagi aspek dimulai dari aspek yang berkenaan dengan kedudukan peradilan sampai kepada hukum acara yang dijadikan sebagai landasan dalam penerimaan, pemeriksaan, putusan, dan penyelesaian perkara. Berbicara tantang Peradilan Agama sebenarnya kita sedang membicamkan sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum di tanah air telah dilakukan oleh masyarakat Islam sejak Islam dianut oleh masyarakat Nusantara. Hukum Islam memiliki kedudukan sendiri dalam masyarakat disamping kebiasaan adat panduduk yang tambah berkembang dalam masyarakat. Lain daripada itu, dilihat dari kedudukan Peradilan Agama mulai dari masa sebelum kolonial sampai kepada munculnya UU No. 7 tahun 1989, terjadi pasang surut baik dari segi kedudukannya ataupun kekuasaan pengadilan dalarn pengambilan keputusan. Sebagai salah satu perwujudan politik hukum yang diambil oleh penguasa Negara melalui interaksi dikalangan elite politik nasional perkembangan itu merupakan suatu perubahan yang memiliki makna perluasan ataupun penambahan, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Aktualisasi perkembangan itu diuji dalam cakupan yang lebih luas yaitu dalam peranan yang dimainkan oleh badan peradilan sesuai kedudukannya. Berangkat dari sinilah kami menulis makalah ini sebagai sarana menambah pengetahuan dalam palitik hukum tentang sejarah perkembangan Peradilan Agama serta kedudukan dan kewenangargnya pada saat itu di Indonesia. Pembahasan Sudah sejak lama para pemimpin dan aktivis Islam di negeri ini berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang membelit sebagian besar umatnya yakni kemiskinan dan keterbelakangan. Mereka sadar bahwa perbaikan kondisi yang memprihatinkan itu memerlukan perMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 juangan politik yang berarti berurusan dengariopuya memperoleh kekuasaan. Namun, ketika para pemimpin dan aktivis Islam tersebut meniti perjuangan politik timbul perlawanan dari kelompok lain di luar Islam. Tidak hanya itu, di internal para aktivis Islam sendiri terjadi perbedaan strategi yang tidak jarang mengarah pada sebuah pertentangan. Kelompok pertama yang mengusung "islamisasi negara demi masyarakat", dan kelompok kedua yang berslogan "islamisasi masyarakat dalam negara nasional”6. Kelompok yang mengusung "islamisasi negara demi masyarakat" tergambar dalam sikap para aktivitis Islam yang berpandangan bahwa kehidupan masyarakat Indonesia merdeka harus mencerminkan hukum Islam. Untuk mencapai tujuan itu, ada yang memakai caru konfrontatif, seperti memperjuangkan hukum Islam dalam konstitusi Negara, usaha penguasaan terhadap DPR, dan bahkan dengan memakai cara-cara fisik. Tetapi ada pula yang melakukannya melalui jalur yang bersifat akademis, seperti berdiskusi dan membentuk kelompok-kelompok intelektual muslim. Sedangkan kelompok kedua yang mengusung “islamisasi masyarakat dalam Negara nasional" lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat yaitu menciptakan masyarakat Indonesia mampu mengembangkan diri secara otonom7. Perjuangan sebagian umat Islam dalam memberlakukan hukum Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman kolonial. Tarik ulur tentang itu semakin menguat sejak pra-kemerdekaan, bahkan hingga kini. Berangkat dari asumsi bahwa politik determinan atas hukum, serta pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan otoriter sangat mempengaruhi terhadap karakrer produk hukum yang dihasilkan, maka makalah ini berusaha untuk mengkaji konfigurasi politik hukum Islam di Indonesia dan sekaligus untuk mengetahui model politik hukum tslam seperti apa yang berkembang di Indonesia. Pengertian Politik Hukum Islam Menurut Mahfud MD., didalam studi mengenai hubungan antara Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 155 156 H. AMHAR RASYID politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu: (l) Hukum determinan (menentukan) atas politik dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. (2) Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent variable atas politik. (3) Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi adagium, "politik tanpa hukum menimbulkan kesewenangwenangan (anarkis), hukum tanpa politik akanjadi lumpuh8." Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum di atas kemudian lahir sebuah teori "politik hukum". Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum9. Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan. Dalam Islam istilah politik hukum disebut dengan as-Siyasah as-Syar'iyyah yang merupakan aplikasi dari al-maslahah al-mursalah, yaitu mengatur kesejahteraan manusia dengan hukum yang ketentuan-ketentuannya tidak termuat dalam syara'. Sebagian ulama mendefinisikan politik hokum Islam sebagai perluasan peran penguasa untuk merealisasikan kemaslahatan manusia sepanjang halhal tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama10. Pemikiran Politik Hukum Islam di Indonesia Negara dan agama di negara sekulerpun, tidak dapat dipisahkan begitu saja karena para pengelola negara adalah manusia biasa yang juga terikat dengan berbagai macam norma yang hidup dalam masyarakat, termasuk norma agama. Misalnya, meskipun negaranegara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis dan BeMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 landa adalah negara yang memaklumkan diri sebagai negara sekuler, tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa keterlibatannya dalam urusan keagamaan terus berlangsung sepanjang entitas agama dan negara itu ada. Bukti empiris keterkaitan agama dan negara dalam konteks Indonesia dapat dilihat misalnya dalam perjuangan sebagian umat Islam untuk memberlakukan Islam sebagai dasar negara11. Menurut Mahfud MD, secara yuridis-konstitusional negara Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Menurutnya Indonesia adalah religious nation state atau negara kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah negara yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu dengan jelas dikatakan bahwa salah satu dasar negara Indonesia adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa"12. Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis bahwa ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan ini mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental Negara Pancasila. Kedua, alasan sosiologis bahwa perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hokum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan, dan Ketiga, alasan yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal13. Mengenai kedudukan hukum Islam dalam tata hukum negara Indonesia, sistem hukum di Indonesia bersifat majemuk, ini sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya. Disebut demikian karena hingga saat ini di Indonesia berlaku tiga sistem hukum sekaligus, yakni sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum barat. Namun tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa hukum Islam di Indonesia adalah “hukum yang hidup" (the living law), kendati Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 157 158 H. AMHAR RASYID secara resmi dalam aspek-aspek pengaturan tertentu, ia tidak atau belum dijadikan kaidah hukum positif oleh negara. Banyaknya pertanyaaan dan permasalahan mengenai hukum dalam masyarakat yang diajukan kepada para ulama, media massa, dan organisasi sosial keagamaan Islam, haruslah dilihat sebagai sebagai salah satu isyarat bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup dalam masyarakat14. Untuk mewujudkan anggapan tersebut maka dibutuhkan aktualisasi hukum Islam itu sendiri, agar tetap urgen menjadi bagian dari proses pembangunan hukum nasional. Aktualisai hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bentuk: pertama, upaya pemberlakuan hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu yang berlaku khusus bagi umat Islam. Kedua, upaya menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional15. Adapun prosedur legislasi hukum Islam harus mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan Negara secara kolektif, Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang layak. Dinamika Politik Hukum Islam di Indonesia Persentuhan Islam dan politik di Indonesia mulai tampak ke permukaan pada awal kemerdekaan Indonesia, tepatnya ketika bangsa ini meraih kemerdekaannya tahun 1945. Seperti yang tercatat dalam sejarah, pada masa itu terjadi perdebatan yang sangat sengit terkait dua hal, yaitu mengenai dasar Negara dan dimasukkan atau tidaknya tujuh kata pada sila pertama pancasila (peristiwa ini kemudian disebut dengan piagam Jakarta). karena itu, menurut Menteri Agama Era Orde Baru, Jenderal Alamsyah Ratu Perwiranegara, pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan oleh umat Islam kepada Republik Indonesia16. Peralihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru berimplikasi kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan massa yang menuntut pembubaMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 ran PKI serta tuntutan pembenahan sistem politik dan pemulihan keamanan negara. Puncaknya terjadi pada tahun 1966, yaitu dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang kemudian berakhir dengan pencabutan mandat presiden Soekarno oleh MPRS dan pengangkatan Soeharto sebagai Presiden kedua Republik Indonesia. Konflik Islam dan politik muncul kembali ketika Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi dari negara-negara Barut. Kiblat pembangunan Indonesia yang sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan Amerika. Imbasnya, banyak kemudian terdapat kalangan cendekiawan dan intelektual mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat. Sementara itu, bagi kalangan Islam, modemisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru yang berarti sama saja mendukung Barat, di sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam aLn kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional. Dilema tersebut melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilainilai yang berakar pada wacana modemisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi. Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modemisasi. Dari ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia17. Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya umat Islam yang dapat disatukan dalam Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 159 160 H. AMHAR RASYID bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi umat Islam untuk tetap memainkan perannya dalam pentas politik nasional. Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik orde Baru di penghujung tahun 70-an18. Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai ketegangan antara Islam dan negara. sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa orde Baru mengalami pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis (timbal balik yang kritis) sampai akomodatif. Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah orde Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islamisehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi19. Pada tahap hubungan resiprokal kritis (19822- 1985), kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasionalpragmatis telah melahirkan saling pengertian akan kepentingan Islam dan pemerintah. Dalam kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal sebagai landasan ideologi20. Pada tahap hubungan akomodatif (1935-2000), hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi. Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam unfuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur Islam serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 194521. Namun demikian, khusus dalam sudut pandang perkembangan hukum Islam di Indonesia kesempatan umat Islam untuk mendapMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 atkan hak-haknya pada pola hubungan antagonistik lebih tampak. Posisi umat Islam yang begitu lemah, seperti ketika merumuskan UU No. 1/1974, aliran kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), isu ekstrim kanan, isu suku, agama dan ras (SARA), isu kristenisasi dan kebijakan ekonomi kapitalistik. Protes umat Islam atas UU Perkawinan No. l/1974 yang disusul dengan PP No. 9/1975, dianggap sebagai usaha Orde Baru untuk menggeser Hukum Islam dan akar tatanan sosial masyarakat Islam di Indonesia22. Dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara pada tahap antagonistik lebih banyak peristiwa yang memunculkan pola hubungan yang tidak harmonis berupa konflik ideologis. Jika sebelumnya pada masa Orde Lama Islam lebih nampak mengkristal dalam bingkai organisasi politik Masyumi, tegas berhadapan dengan ideologi nasionalis sekuler (PNI Soekarnois) dan ekstrim kiri PKI. Selanjutnya pada masa Orde Baru Islam terbelah dan terpecah-pecah dari bingkai Masyumi. Hal ini terjadi karena kebijakan ketat pemerintah Orde Baru dalam merespon munculnya kembali kuatnya ideologi Islam politik. Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU No. 1/1974 yang kemudian disusul dengan PP No. 911975. Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No. 2811977. Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali mempersoalkan faham dan aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-undang Peradilan Agama (RUU PA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia23. Kemudian pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islam harus berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru24. Melalui pendekatan strukturai-fungsional, Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 161 162 H. AMHAR RASYID umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil, Islam, dan militer. Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas sosial politif umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya kepentingan syari'at Islam melalui UUPA No.7/1989 sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970, disusul dengan UU Perbankan No. 10/1998 (pengganti UU No. 7/1992), UU Zakat No. 38/1999, KHI Inpres No. 1/1991)25. Partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dari pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kakuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara represif (konflik) dan akomodatif (strukturalfungsional). Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam dan negara di Indonesia. Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan. Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar. Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Sekitar 25 tahun pasca kemerdekaan terdapat keanekaragaman dasar Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 penyelenggaraan, kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Perubahan tatanan peradilan nasional bertitik tolak pada ketentuan konstitusi disamping diperhatikan perkembangan aspirasi dan tatanan masyarakat secara makro. Dasar yang dijadikan rujukan dalam perubahan itu ialah pasal 12 undang-undang tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan 24 dan 25 UUD 1945. Pada tahun 1970 diundangkanlah UU No. 14 tahun 1970 Jo. UU No. 35 tahun 1999, dan UU No. I tahun 1974 tentang perkawinan serta peraturan pelaksanaannya. Dengan diundangkannya undang-undang tersebut, maka Peradilan Agama diberikan tempat sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam NKRI dan tugas-tugas badan peradilan agama menjadi meningkat. Dari rata-rata 35.000 perkara sebelum diberlakukannya undang-undang perkawinan menjadi hamper 300.000-an perkara dalam satu tahun diseluruh Indonesia. Dengan sendirinya hal itu mendorong usaha peningkatan jumlah dan kualitas aparatur pengadilan, khususnya hakim untuk menyelesaikan tugas-tugas peradilan tersebut. Sehubung dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah membentuk Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Acara Peradilan Agama serta Rancangan Undang-undang tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama. Tim ini bekerja di Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Tim diketuai oleh Hakim Agung, kemudian diganti oleh Ketua Muda Mahkamah Agung urusan lingkungan Peradilan Agama ini berhasil menyelesaikan tugasnya pada bulan maret 1984 dengan menyusun du RUU yaitu RUU Hukum Acara Perdata Peradilan Agama yang terdiri 204 pasal dan RUU tnetang Susuna Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama terdiri 58 pasal. Jadi kedua RUU tersebut berjumlah 262.Kedua RUU itu kini disatukan dan diringkaskan oleh tim lain menjadi RUU Peradilan Agama yang hanya memuat 180 pasal saja. Pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989, Rancangan Undang-undang Peradilan Agama, telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undanng-undang Republik Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 163 164 H. AMHAR RASYID Indonesia tentang Peradilan Agama yang disingkat Undang-undang Peradilan Agama. Peristiwa itu merupakan peristiwa penting, bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional tetapi juga bagi ummat Islam di Indonesia. Sebabnya adalah dengan disahkannya kelak undang-undang Peradilan Agama itu oeh Presiden Republik Indonesia dan diundangkannya dalam lembaran Negara oleh Menteri Sekretaris Negara, agar setiap orang mengetahuinya, semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dilingkungan yang mandiri ditanah air kita dalam menegakan hukum berdasarkan hukum Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat hibah, wakaf dan shadaqah. Pada tanggal 29 Desember 1989 disahkanlah Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI No. 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3400. Undang-undang tersebut merupakan ialah satu peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Isi Undang-undang No. 7 tahun 1989 terdiri atas 7 bab. Ketujuh bab tersebut yaitu Ketentuan Umumu, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan-ketentuan lain, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Secara umum isi UU tersebut memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan Peradilan Agama yaitu: a. Perubahan tentang Dasar Hukum Penyelenggaraan Peradilan 1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Stbld. Tahun 1882 No. 152 dan Stbld. Tahun 1937 No. 116 dan 610). 2. Peraturan tentang Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qodhi Besar untuk sebagian residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Stbld. Tahun 1937 No.638 dan639). 3. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'iyah di Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara tahun 1957 No. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 b. c. d. 99). 4. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 63 ayat2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara tahun 1974 No. 1, tambahan Lembaran Negara 3019). Perubahan tentang kedudukan Peradilan Agama di lndonesia dalam tata Peradilan Nasional. Berdasarkan UU No. 7 tahun 1989 kedudukan Pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama sejajar dengan Peradilan lainnya khususnya Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri. Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam pasal 63 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 dinyatakan dicabut, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan pasal 107 ayat 1 butir d, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara tahun 1974 No. 7, Tambahan Lembaran Negara No. 3019), dinyatakan berlaku. Dengan demikian, Pengadilan Agama memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri (executoire verklaring), yang dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan pranata baru dalam sturktur organisasi Pengadilan Agama. Perubahan tentang kedudukan Hakim Peradilan Agama. Di dalam pasal 11 ayat t UU No. 7 1989, hakim ialah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Ia merupakan unsur yang sangat penting bahkan menentukan. Pada pasal 15 ayat 1 disebutkan bahwa hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mentri Agama berdasarkan keputusan Mahkamah Agung. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan, terlepas pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya. Perubahan susunan dan kekuasaan Pengadilan Agama. Menurut ketentuan pasal 6, 7, 8 UU No. 7 tahun 1989 pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdiri atas Pengadilan Agama (PA) sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA), sebagai pengadilan tingkat banding. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 165 166 H. AMHAR RASYID Dalam pasal 49 ayat 1 Pengadilan Agama bertugas memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: a. perkawinan, b. kewarisan, wasiat dan hibah, c. wakaf dan shadaqah. Mengenai bidang perkawinan, pasal 49 ayat 2 menyebutkan bahwa yang dimaksud ialah 1). Izin beistri lebih dari satu, 2). Izin melangsungkan perkawinan bagi orang dibawah umur yang telah ditentukan dalam undang-undang, 3). Dispensasi kawin, 4). Pencegahan perkawinan, 5). Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah, 6). Pembatalan perkawinan, 7). Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri, 8). Perceraian karena talak, 9). Gugatan perceraian, 10). Penyelesaian harta bersama 11). Mengenai penguasaan anak, 12).Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya, 13). Penentuan kewajiban member biaya penghidupan oleh suami kepada mantan istri atau penentuan suatu kewajiban terhadap mantan istri, 14). Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak, 15). Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua, 16). Pencabutan kekuasaan seorang wali, 17). Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, 18). Menunjuk seorang wali untuk anak dalam hal seorang anak yang belum cukup umur sesuai undang-undang yang ditinggal kedua orang tuannya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya, 19). Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya, 20). Penetapan asal usul seorang anak, 21). Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran, 22). Pemyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. I tahun 1974 tentang perkawinan dijalankan menurut peraturan yang lain. Adapun kekuasaan dalam bidang kewarisan meliputi halhal berikut: 1. Penentuan yang menjadi ahli waris Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 e. f. g. 2. Penentuan harta peninggalan (al-tirkah) 3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris 4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Perubahan tentang Hukum Acara Di dalam ketentuan pasal 54, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku di pengadilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Perubahan tentang penyelenggaraan administrasi peradilan. Di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdapat dua jenis administrasi, yaitu Pertama, administrasi umum yang berkenaan dengan administrasi perkara dan tekhnis yudisial dan Kedua, administrasi umum yang berkenaan dengan administrasi kepegawaian dan umum. Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita. Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam Undang-undang ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke pengadilan yang didaerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. Penutup Pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989, Rancangan Undangundang Peradilan Agama, telah disetujui oleh kwan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-undang Republik Indonesia tentang Peradilan Agama yang disingkat Undang-undang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989 disyahkanlah Undang-undaug No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negaru RI No. 49 Tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3400. Undang-undang tersebut merupakan salah satu peraturan perundang- undangan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Isi Undang-undang No. 7 tahun 1989 terdiri atas 7 bab. Ketujuh bab Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 167 168 H. AMHAR RASYID tersebut yaitu Ketentuan Umumu, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan-ketentuan lain, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup. Pengadilan Agama bertugas memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: a. perkawinan, b. kewarisan, wasiat dan hibah, c. wakaf dan shadaqah. Catatan: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Stusi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), hal. 153 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, 1988), hal. 86 - 100 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni Bandung), 1987, hal. 51 Teuku Mohammad Radhie, “Pembaruan dan Politik, Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional”, dalam Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973, hal 3. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1998). Mochtar Mas’oed, “Cerita Tentang Dua Strategi”, pengantar dalam Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelun dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, cet. ke-l (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), bagian pengantar, hlm. ix-x. Ibid., hlm. x-xi. Moh. Mahfud, MD., Pergulatan Potitik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. xi-xii. Moh. Mahfud, MD., Politik Hukum di Indonesia, cet. ke-l (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 9. Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, alih bahasa Zainudin Adnan, cet. ke-2 (Yogyakarta: Tiata Wacana, 2005), hlm. v-vii. Moh. Mahfud MD., “Perjuangan Politik Hukum Islam di Indonesia”, makalah disampaikan pada seminar yang diadakan oleh Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,25 November 2006, hlm. 11. Ibid, hlm. 8. Abdul Ghani Abdullah, “Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum No. 1 Th. V (1994), hlm. 94-106. Said Agil Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. ke-l (Ja- Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 karta: Paramadina, 2004), hlm. 29. 15 Warnoto, Politik Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-l (Yogyakarta: Fakultas Syariah Press UIN Sunan Kalijaga, 2008). hlm. 23. 16 Tujuh kata tersebut adalah “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mengenai Piagam Jakarta lebih lanjut baca: Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), cet. ke-l (Jakarta: Gema Insani Press, 1997). 17 M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 381-382. 18 M. Syaf’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, (Bandung: Mizan,1995), hlm. 32-235. 19 M. Syaf’i Anwar, Pemikiran dan Aksi lslam Indonesia; Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 9. 20 Ibid., hlm.238-239. 21 Ibid. 22 Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 88-90. 23 Ahmad Sukarja, “Keberlakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia” dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, jilid I (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), hlm. 24-25. 24 M. Syaf’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, hlm.241. Cik Hasan Bisri, “Peradilan Agama dan Peradilan Islam”, dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Bunga Rampai Peradilan Islam I, hlm. 116-117. 25 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum lslam dan Hukum Umum, cet. ke-l (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h1m.773. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 169 170 H. AMHAR RASYID DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdul Ghani. "Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia", dalam Mimbar Hukum No. 1 Th.V (1994). Al-Munawar, Said Agil. 2004. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Paramadina. Anwar, M. Syaf’i. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina. Anwar, M. Syaf’i. 1995. Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi. Bandung: Mizan. Azizy, A. Qodri. 2002. Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media. Bisri, Cik Hasan. "Peradilan Agama dan Peradilan Islam", dalam Cik Hasan Bisri (ed.). Bunga Rampai Peradilan Islam I. Dimyati, Khudzaifah. 2004. Teorisasi Hukum: Stusi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 - 1990. Swakarta: Muhammadiyah University Press. Khallaf Abdul Wahab. 2005. Politik Hukum Islam. Alih bahasa ZainudinAdnan. Yogyakarta : Tiata Wacana. Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti. M. Saleh, Hasanudin. 1996. HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mahfud MD., Moh. "Perjuangan Politik Hukum Islam di Indonesia", makalah disampaikan pada seminar yang diadakan oleh Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 November 2006. Mahfud MD., Moh. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media. Mahfud MD, Moh. 1998. Potitik Hukum Di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka LP3ES. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 Mas'oed, Mochtar. "Cerita Tentang Dua Strategi", pengantar dalam Aminudin. 1998. Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Radhie, Teuku Mohammad. 1973. Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Dalam majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973. Rahardjo, M. Dawam. 1993. Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa. Bandung: Mizan. Saifuddin, Endang. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949). Jakarta: Gema Insani Press. Soemantri, Sri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Korutitusi. Bandung: Alumni Bandung. Sukarja, Ahmad. "Keberlakuan Hukum Islam tlalam Tata Hukum Indonesia" dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia. 1997. Bandung: Ulul Albab Press. Warnoto. 2008. Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Syariah Press UIN Sunan Kalijaga. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 171