METODE ANALISIS ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Salmonella Typhimurium PADA SUSU DENGAN METODE REAL-TIME PCR (Polymerase Chain Reaction) SKRIPSI Oleh: DWI ARYANTI NUR’UTAMI F24070116 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ISOLATION AND IDENTIFICATION ANALYSIS METHOD FOR Salmonella Typhimurium IN MILK USING REAL-TIME PCR (Polymerase Chain Reaction) Dwi Aryanti Nur’utami1, C. C. Nurwitri1, Winiati P. Rahayu1, Riolina Ida L. Panggabean2, and Suci Yuliangsih2 1 Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. 2 National Agency of Drug and Food Control Republic of Indonesia, Indonesia Phone: +62 857 23 521259, e-mail: [email protected] ABSTRACT Salmonella Typhimurium is one of pathogenic bacteria that cause foodborne disease. Conventional culture methods which is traditionally been considered as a ‘‘gold standards’’ are a common method to identified this pathogen. However, conventional culture methods are laborintensive and time-consuming. This study aimed to obtain a rapid and precise analytical method for Salmonella Typhimurium, to compare boiling method and commercial kit method using QIAamp® DNA Blood Mini Kit for extraction of DNA, identify and quantify Salmonella Typhimurium on sterilized milk using real-time PCR. Stages of this research are doing enrichment in pure culture and spiked sample, isolating the DNA of Salmonella Typhimurium by boiling method and commercial kit method, and then running a real-time PCR for determining specificity of the primers, determining primers concentration and doing quantification of Salmonella Typhimurium in sterilized milk. Commercial kit method produces DNA template purer than boiling method. So it affects their efficiency value. Commercial kit method assay has better efficiency than boiling method assay. It is 100% for commercial kit method and 386,8% for boiling method. The concentration of primers which is used in real-time PCR assay is 0.125 μM and its primers are specific for Salmonella Typhimurium. The result of Salmonella Typhimurium quantification in sterilize milk are not the same as quantification result from conventional method. But it has the same result with concentration value of Salmonella Typhimurium that is added to sterilize milk which is counted by Petroff-Hausser. Keywords: real-time PCR, Salmonella Typhimurium, boiling method, QIAamp® DNA Blood Mini Kit, milk 2 DWI ARYANTI NUR’UTAMI. F24070116. Metode Analisis Isolasi dan Identifikasi Salmonella Typhimurium pada Susu dengan Metode Real-Time PCR (Polymerase Chain Reaction). Di bawah bimbingan C.C. Nurwitri, Winiati P. Rahayu, Riolina Ida L. Panggabean, dan Suci Yuliangsih. 2011 RINGKASAN Salmonella merupakan salah satu bakteri yang banyak menimbulkan keracunan pangan. Oleh karena itu metode deteksi Salmonella terus mengalami perkembangan untuk melengkapi ataupun mengatasi keterbatasan metode konvensional yang berbasiskan biokimia dan serologikal dimana membutuhkan waktu analisis yang lebih lama. Metode cepat yang dalam dekade ini berkembang pesat adalah metode deteksi berbasiskan DNA, salah satunya adalah metode dengan menggunakan real-time PCR. Prinsip metode ini adalah hibridisasi antara DNA target dan fragmen oligonukleotida yang komplementer terhadap DNA target (primer). Real-time PCR merupakan metode yang dapat melakukan proses amplifikasi sekaligus dengan kuantifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk (1) memperoleh metode analisis Salmonella Typhimurium yang lebih singkat dan sederhana, (2) membandingkan metode isolasi DNA Salmonella Typhimurium menggunakan metode pendidihan dengan metode menggunakan kit komersial QIAamp® DNA Blood Mini Kit, (3) mengidentifikasi dan mengkuantifikasi Salmonella Typhimurium pada susu UHT dengan menggunakan real-time PCR. Tahap isolasi/ekstraksi DNA merupakan tahap kritis yang dapat mempengaruhi pengujian dengan menggunakan real-time PCR. Metode pendidihan dan metode dengan menggunakan kit komersial QIAamp® DNA Blood Mini Kit dapat digunakan untuk mengisolasi dan mengekstraksi DNA baik dari kultur murni maupun dari sampel susu UHT spike. Isolat/template DNA hasil isolasi dengan metode kit komersial lebih murni dibandingkan isolat/template DNA yang diperoleh dengan metode pendidihan, namun kedua metode tersebut dapat diamplifikasi dan menghasilkan nilai Threshold cycle (Ct) pada real-time PCR. Metode pendidihan tidak dapat menghasilkan efisiensi pengujian yang baik jika dibandingkan dengan metode kit komersial karena metode pendidihan menghasilkan efisiensi pengujian sebesar 386,8% sedangkan metode kit komersial menghasilkan efisiensi pengujian sebesar 100%. Pengkuantifikasian Salmonella Typhimurium dalam susu UHT menggunakan real-time PCR menghasilkan konsentrasi yang berbeda satu log lebih besar dibandingkan dengan pengkuantifikasian menggunakan metode konvensional pada media XLDA, namun pengkuantifikasian dengan real-time PCR menghasilkan nilai konsentrasi yang sama dengan nilai konsentrasi Salmonella Typhimurium yang ditambahkan ke dalam susu UHT yang dihitung secara mikroskopi dengan petroff-hausser. Urutan sekuen oligonukleotida pada primer berpengaruh terhadap spesifisitas pengujian dengan menggunakan real-time PCR. Reverse dan forward primer yang digunakan memiliki spesifisitas yang baik terhadap Salmonella Typhimurium yang ditunjukkan dengan tidak teramplifikasinya Shigella sonnei sebagai bakteri non-target dan tidak terbentuknya primer-dimer pada pengujian. Konsentrasi primer yang sesuai pada pengujian ini adalah sebesar 0,125 µM baik untuk reverse primer maupun forward primer. 3 METODE ANALISIS ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Salmonella Typhimurium PADA SUSU DENGAN METODE REAL-TIME PCR (Polymerase Chain Reaction) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh DWI ARYANTI NUR’UTAMI F24070116 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 4 Judul Skripsi Nama NRP : Metode Analisis Isolasi dan Identifikasi Salmonella Typhimurium pada Susu dengan Metode Real-Time PCR (Polymerase Chain Reaction) : Dwi Aryanti Nur’utami : F24070116 Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, (Ir. C. C. Nurwitri, DAA) NIP. 19580504.198503.2.001 (Prof. Dr. Winiati P. Rahayu) NIP. 19560813.198201.2.001 Pembimbing Lapang I, Pembimbing Lapang II, (Dra. Riolina Ida L. Panggabean, M.Kes., Apt) NIP. 19560415.198403.2.001 (Suci Yuliangsih, S.TP) NIP. 19810728.200604.2.003 Mengetahui : Plt Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, (Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si) NIP. 19610802.198703.2.002 Tanggal lulus : 26 September 2011 5 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Metode Analisis Isolasi dan Identifikasi Salmonella Typhimurium pada Susu dengan Metode Real-Time PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah hasil karya saya sendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari riset di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI tahun 2011 dengan arahan dosen pembimbing akademik dan pembimbing lapang, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2011 Yang membuat pernyataan Dwi Aryanti Nur’utami F24070116 6 BIODATA PENULIS Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Desember 1989 di Bogor dari pasangan H. Haryanto (Alm) dan Hj. Euis Rohayati. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis memiliki seorang kakak laki-laki bernama Anggi Bayu Aribowo. Penulis memulai pendidikannya di TK Amaliah Bogor pada tahun 1993-1995. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Pakuan (1995-2001), Sekolah Menengah Pertama Kesatuan (20012004), dan Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bogor (2004-2007). Melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor dengan mayor Ilmu dan Teknologi Pangan dan minor Manajemen Fungsional. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti beberapa organisasi diantaranya Unit Kegiatan Mahasiswa LISES Gentra Kaheman dan ikut aktif mengisi acara dalam beberapa pertunjukan seni sunda. Penulis juga tergabung dalam Klub Fotografi FATETA. Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan HIMPRO pada acara Indonesia Food Expo (IFOODEX) 2009. Penulis pernah memperoleh juara dua lomba fotografi dengan tema “Bangga Indonesia” dalam acara IPB Art Contest (IAC) 2010, dan memperoleh dua hibah penelitian di bidang teknologi dan rekayasa pada acara Pekan Kreatifitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan oleh DIKTI pada tahun 2009 dan 2011. Pada bulan April 2011, penulis memulai penelitiannya di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI dengan judul “Metode Analisis Isolasi dan Identifikasi Salmonella Typhimurium pada Susu dengan Metode Real-Time PCR (Polymerase Chain Reaction)” di bawah bimbingan Ir. C.C. Nurwitri, DAA, Prof. Dr. Winiati P. Rahayu, Dra. Riolina Ida L. Panggabean, M.Kes., Apt dan Suci Yuliangsih, S.TP. 7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan ridha-Nya skripsi dengan judul “Metode Analisis Isolasi dan Indentifikasi Salmonella Typhimurium pada Susu dengan Metode Real-Time PCR (Polymerase Chain Reaction)” yang merupakan hasil magang di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI yang dilakukan sejak bulan April 2011 hingga Juli 2011 telah berhasil diselesaikan. Laporan hasil dan pembahasan di dalam skripsi ini merupakan hasil pengujian dari penentuan konsentrasi dan spesifisitas primer, pengisolasian/pengekstraksian DNA dan pengkuantifikasian Salmonella Typhimurium pada susu UHT dengan metode pendidihan dan metode kit komersial. Program magang ini bertujuan untuk memperluas wawasan, melatih sikap dan kemampuan teknis mahasiswa serta mengaplikasikan ilmu selama magang di bidang keamanan pangan, Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI. Program magang ini juga memberikan manfaat kepada penulis seperti meningkatkan softskill dalam bekerja di dalam tim dan memberikan pengalaman tentang dunia kerja sebagai peneliti di Pusat Riset Obat dan Makanan yang belum pernah penulis alami. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak H. Haryanto (Alm), Ibu Hj. Euis Rohayati yang selalu mendukung penulis baik moril maupun materil juga doa yang tiada henti untuk penulis dan Kakak Anggi Bayu Aribowo yang selalu menyediakan waktu bagi penulis untuk bertukar pikiran serta seluruh keluarga besar di Bogor dan Purworejo yang selalu memberi dukungan kepada penulis selama perkuliahan. 2. Ibu Ir. C.C. Nurwitri, DAA yang dengan sabar selalu membimbing penulis selama perkuliahan di ITP dan selalu memberi dukungan juga semangat kepada penulis selama pengerjaan penelitian sampai selesainya skripsi ini. 3. Ibu Prof. Dr. Winiati P. Rahayu yang memberi kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI dan atas kesediaan waktu dalam memberikan saran, masukan, dan bantuan moril kepada penulis ketika mengalami kesulitan dalam melaksanakan penelitian. 4. Ibu Dra. Riolina Ida L. Panggabean, M.Kes., Apt atas kesediaan waktu dan pikirannya untuk menjadi pembimbing lapang pertama. 5. Ibu Suci Yuliangsih, S.TP atas kesediaan waktu dan pikirannya untuk menjadi penguji sidang dan pembimbing lapang kedua selama penelitian berlangsung. 6. Ibu Eva Nikastri, S.TP, M.Si; Ibu Novi Pusparini S.Farm., Apt; Ibu Khusnul Khotimah S.Si; Ibu Wiwi Hartuti S.Farm., Apt, dan seluruh staf Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI yang menjadi pembimbing teknis juga teman berbagi cerita, suka, duka, dan pengalaman selama penulis melakukan penelitian. 7. Seluruh Dosen dan tenaga kependidikan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bimbingan dan ilmu yang berharga kepada penulis selama menempuh pendidikan di Departemen ITP IPB. 8. Teman-teman ITP 44 tercinta yang bersama-sama dengan penulis menghabiskan hari-hari bersama di ruang kuliah PAU dan sekitarnya juga di Laboratorium ITP, terutama: Aisyah, Okky, Reni, Imel, Dhina, Ria, Ichang, Puji, Linda, Elvita dan kelompok P3B Yochan : Ulfa, Ale, Lia, Desir, Michael, Lukman, Annisa Sita, Meiada, Ni Putu, Tiara, Rini, Chifar yang selalu berbagi tawa disaat jenuhnya perkuliahan. 9. Staf Unit Pelayanan Terpadu Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang dengan sabar membantu proses administrasi dan birokrasi penulis selama perkuliahan dan penyusunan tugas akhir. viii Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi pangan. Bogor, Oktober 2011 Dwi Aryanti Nur’utami ix DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ viii DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... x DAFTAR TABEL ................................................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................................... xiii I. PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1 A. Latar Belakang ......................................................................................................................... 1 B. Tujuan Penelitian ..................................................................................................................... 1 C. Manfaat Penelitian ................................................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................ 3 A. Keracunan Pangan ................................................................................................................... 3 B. Salmonella Typhimurium ........................................................................................................ 6 C. Metode Identifikasi Salmonella Typhimurium Secara Konvensional...................................... 7 D. Metode Isolasi dan Identifikasi Salmonella Typhimurium Secara Cepat dengan Real-Time PCR .......................................................................................................................................... 8 III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................................. 17 A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................................................ 17 B. Bahan ..................................................................................................................................... 17 C. Alat ........................................................................................................................................ 17 D. Metode Penelitian .................................................................................................................. 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................... 25 A. Kultur Murni Hasil Pengecekan Kemurnian .......................................................................... 25 B. Inokulasi Susu dengan Kultur Murni Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei (Sampel Susu UHT spike) .................................................................................................................... 26 C. Isolat/Template DNA yang Dihasilkan .................................................................................. 26 D. Hasil Penentuan Konsentrasi Primer...................................................................................... 29 E. Hasil Penentuan Spesifisitas Primer ...................................................................................... 32 F. Kuantifikasi Salmonella Typhimurium pada Sampel Pangan Susu UHT .............................. 33 VI. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................................ 38 A. Simpulan ................................................................................................................................ 38 B. Saran ...................................................................................................................................... 38 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 39 LAMPIRAN ......................................................................................................................................... 42 x DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Mikroba patogen penyebab keracunan pangan....................................................................5 Kemurnian isolat DNA Salmonella Typhimurium dengan metode pendidihan...............................................................................................................27 Kemurnian Isolat DNA Salmonella Typhimurium dengan metode kit komersial............................................................................................................28 Pengaruh konsentrasi primer terhadap nilai threshold cycle (Ct)..............................................................................................................................30 xi DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7a. Gambar 7b. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10a. Gambar 10b. Gambar 11a. Gambar 11b. Gambar 12a. Gambar 12b. Gambar 12c. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Skema penyakit yang disebarkan oleh pangan (foodborne disease)........................................................................................................... 3 Tahapan amplifikasi dalam PCR (Polymerase Chain Reaction).....................................9 10 Jumlah DNA yang dihasilkan dari proses amplifikasi..................................................... DNA binding dyes dalam real-time PCR......................................................................... 12 15 Grafik sigmoidal proses amplifikasi dengan real-time PCR............................................. Kurva pelelehan/melt curve (kiri) dan kurva puncak pelelehan/ melt peak curve (kanan).................................................................................................... 16 Analisis kurva pelelehan (melt curve) - dua jenis puncak yang dihasilkan mengindikasikan nilai Tm dari dua jenis produk PCR..................................................... 16 Analisis kurva pelelehan (melt curve) - analisis elektroforesis gel pada produk PCR dari hasil yang terbentuk pada kurva............................................. 16 18 Diagram alir tahapan penelitian........................................................................................ Kit komersial yang digunakan...........………………………...….............................. 21 26 Proses isolasi/ekstraksi DNA dengan menggunakan metode kit komersial - penambahan buffer AW1 ke dalam kolom mini........................................... 22 Proses isolasi/ekstraksi DNA dengan menggunakan metode kit Komersial......................................................................................................................... 22 Isolasi bakteri Salmonella Typhimurium pada media XLDA......................................... 25 25 Isolasi bakteri Shigella sonnei pada media XLDA.......................................................... Kurva puncak pelelehan/melt peak curve dengan konsentrasi 31 primer 0,125 µM - sampel kultur murni Salmonella Typhimurium.................................. Kurva puncak pelelehan/melt peak curve dengan konsentrasi primer 0,125 µM - sampel 103 sel/ml Salmonella Typhimurium..................................... 31 Kurva puncak pelelehan/melt peak curve dengan konsentrasi primer 0,125 µM - sampel susu UHT spike 105 sel/ml Salmonella Typhimurium..................................................................................................................31 32 Kurva amplifikasi uji spesifisitas primer.......................................................................... Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) uji spesifisitas primer...............................32 Kurva standar metode pendidihan..................................................................................34 35 Kurva standar metode kit komersial................................................................................. Kurva amplifikasi sampel susu UHT spike Salmonella 36 Typhimurium metode kit komersial................................................................................. Kurva puncak pelelehan sampel susu UHT spike Salmonella 36 Typhimurium metode kit komersial................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1a. Lampiran 1b. Lampiran 1c. Lampiran 1d. Lampiran 1e. Lampiran 2a. Lampiran 2b. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Proses pembuatan larutan pengencer NaCl 0,85%.................................................... 43 Proses pembuatan lisozim......................................................................................... 44 Proses pembuatan proteinase K................................................................................. 44 Proses pembuatan CTAB.......................................................................................... 45 Proses pembuatan buffer TE pH 8,0......................................................................... 46 Proses pembuatan media HIB................................................................................... 47 Proses pembuatan media XLDA............................................................................... 48 Proses isolasi DNA metode pendidihan (Rahayu et al. 2009).................................. 49 Proses isolasi DNA metode kit komersial (Berdasarkan QIAamp® DNA Blood Mini Kit Handbook dengan modifikasi Bioteknologi PROM).............................................................................. 50 Jumlah bakteri Salmonella Typhimurium dengan penghitungan petroff-hausser.................................................................................... 51 Jumlah koloni awal (a) dan akhir (b) Salmonella Typhimurium pada sampel susu UHT dengan media XLDA.......................................................... 52 Kurva amplifikasi (a) dan kurva pelelehan (melt curve) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/template DNA kultur murni Salmonella Typhimurium..................................................................... 53 Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (a) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/ template DNA kultur murni Salmonella Typhimurium..............................................54 Kurva amplifikasi (a) dan kurva pelelehan (melt curve) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/template DNA 103 sel/ml Salmonella Tphimurium................................................................. 55 Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (a) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/ template DNA 103 sel/ml Salmonella Typhimurium..................................................56 Kurva amplifikasi (a) dan kurva pelelehan (melt curve) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/template DNA sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium............................................................................... 57 Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (a) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/ template DNA sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium.......................... 58 Tabel hasil kesesuaian sekuen nukleotida primer dengan bakteri lain (a) dan kesesuaian dengan gen InvA (b) pada Salmonella Typhimurium strain 14028 Basic Local Alignment Search Tool (BLAST)..................................... 59 Tabel nilai Threshold Cycle (Ct) (a) dan kurva amplifikasi (b) isolat DNA Salmonella Typhimurium metode pendidihan dalam pembuatan kurva standar............................................................................................................. 60 xiii Halaman Lampiran 15. Kurva pelelehan (melt curve) (a), kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (b) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (c) isolat DNA Salmonella Typhimurium metode pendidihan dalam pembuatan kurva standar................................................ Lampiran 16. Tabel kemurnian isolat DNA Salmonella Typhimurium metode pendidihan dalam pembuatan kurva standar................................................................................ Lampiran 17. Tabel nilai Threshold Cycle (Ct) (a) dan kurva amplifikasi (b) isolat/template DNA Salmonella Typhimurium metode kit komersial dalam pembuatan kurva standar............................................................................................................. Lampiran 18. Kurva pelelehan (melt curve) (a), kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (b) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (c) isolat/template DNA Salmonella Typhimurium metode kit komersial dalam pembuatan kurva standar...................... Lampiran 19. Tabel kemurnian isolat DNA Salmonella Typhimurium metode kit komersial dalam pembuatan kurva standar............................................ 61 62 63 64 65 xiv I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu, karena di dalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses di dalam tubuh, dan menghasilkan energi untuk kepentingan berbagai kegiatan dalam kehidupan. Komposisi umum bahan pangan terdiri atas protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Bahan pangan dengan komposisi tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Populasi mikroba khususnya mikroba patogen dapat meningkat pada pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat menimbulkan berbagai permasalahan salah satunya adalah Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan (foodborne disease) yang tidak jarang dapat menimbulkan kematian (Supardi dan Sukamto 1999). Salah satu penyebab KLB keracunan pangan adalah adanya cemaran biologis mikroba patogen dari jenis Salmonella. Selama tiga tahun berturut-turut Salmonella dijumpai sebagai penyebab keracunan pangan di Indonesia dan kemungkinan terjadinya berkisar antara 12,5 hingga 25,0% dari cemaran mikroba (Badan POM RI 2008, 2009, 2010). Setiap individu berhak untuk memperoleh pangan yang senantiasa tersedia setiap waktu, bergizi, dan aman untuk dikonsumsi. Pangan yang aman dikonsumsi merupakan pangan yang bebas (di bawah toleransi maksimum yang dipersyaratkan) dari cemaran berbahaya seperti cemaran biologis, kimia, dan benda asing yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Fardiaz 1994). Oleh karena itu, untuk mengetahui tingkat cemaran suatu pangan, khususnya cemaran biologis maka perlu dilakukan suatu pengujian baik kualitatif maupun kuantitatif, namun pengujian yang biasa digunakan untuk mengidentifikasi mikroba patogen adalah dengan metode konvensional/tradisional yang bergantung pada identifikasi bakteriologikal dan serologikal yang melelahkan dimana membutuhkan waktu empat sampai tujuh hari untuk memperoleh uji yang positif yang bergantung pada konfirmasi secara biokimia dan serologikal (Elizaquível et al. 2010). Penggunaan metode uji yang lebih cepat menjadi hal yang menarik untuk dikembangkan dan dipelajari khususnya untuk pengawasan keamanan pangan. Diantara banyak metode cepat yang sedang dikembangkan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi Salmonella dan mikroba patogen lainnya, Polymerase Chain Reaction (PCR) telah sering dipelajari selama dekade terakhir karena selain cepat dan mudah, metode ini juga sangat spesifik dan sensitif (Abubakar et al. 2007). Baru-baru ini, metode real-time PCR banyak digunakan karena hasilnya dapat langsung dimonitor secara realtime (diamati seketika) dan data yang dihasilkan dapat dianalisis secara kuantitatif (Chen et al. 2009). Pusat Riset Obat dan Makanan (PROM) Badan POM RI sedang mengembangkan metode dengan real-time PCR. Pengembangan metode ini penting dilakukan untuk memperoleh metode yang cocok (efektif, spesifik, dan sensitif) bagi pangan yang memiliki komposisi beragam yang bisa menghambat pengidentifikasian Salmonella Typhimurium. Pengujian dilakukan dengan menggunakan bakteri uji Salmonella Typhimurium sebagai kontrol positif dan Shigella sonnei sebagai kontrol negatif di dalam sampel pangan susu UHT dengan gen target adalah InvA. Gen target InvA bertanggung jawab terhadap proses invasi dari sel epitel dan lokus gen InvA diketahui terdistribusi luas pada berbagai strain Salmonella (Bohaychuk et al. 2006). B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memperoleh metode analisis untuk Salmonella Typhimurium yang lebih cepat dan sederhana, (2) membandingkan metode isolasi DNA Salmonella Typhimurium menggunakan metode pendidihan dengan metode menggunakan kit komersial QIAamp® DNA Blood Mini Kit, (3) mengidentifikasi dan mengkuantifikasi Salmonella Typhimurium pada susu UHT yang berbasiskan amplifikasi DNA dengan menggunakan real-time PCR. C. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini adalah memberikan informasi awal mengenai metode cepat, spesifik, dan efisien untuk mengidentifikasi Salmonella Typhimurium pada sampel pangan susu UHT yang berbasiskan amplifikasi DNA dengan menggunakan real-time PCR dengan gen target InvA menggunakan metode isolasi pendidihan dan metode isolasi kit komersial. 2 I. TINJAUAN PUSTAKA A. Keracunan Pangan Secara umum bahaya yang timbul dari pangan disebut foodborne disease atau sering disebut keracunan pangan. Menurut World Health Organization (WHO), kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan (foodborne disease outbreak) didefinisikan sebagai suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit setelah mengkonsumsi pangan yang secara epidemiologi terbukti sebagai sumber penularan (Sparringa 2002). Foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan infeksi atau intoksikasi akibat mengkonsumsi makanan, minuman atau air yang telah terkontaminasi (Sharp dan Reilly 2000). Penyakit yang timbul bila seseorang mengkonsumsi suatu pangan dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama pangan tersebut mungkin mengandung komponen beracun (komponen anorganik seperti sianida, gosipol, dsb). Kedua, pangan mengandung mikroba dalam jumlah yang cukup untuk dapat menimbulkan gejala sakit. Berdasarkan kedua hal tersebut, penyakit yang ditimbulkan oleh pangan dapat digolongkan dalam dua kelompok besar menurut penyebabnya yaitu (1) keracunan, dan (2) infeksi mikroba. Istilah keracunan pangan digunakan secara umum untuk menyatakan semua gejala penyakit yang ditimbulkan sebagai akibat dari mengkonsumsi suatu pangan, baik penyakit tersebut disebabkan oleh toksin maupun oleh mikroba penyebab infeksi yang terdapat dalam pangan tersebut. Selain itu, keracunan pangan juga dapat terjadi karena tertelannya toksin yang merupakan hasil metabolisme selsel mikroba tertentu. Gejala-gejala keracunan karena toksin tersebut diatas disebut intoksikasi. Gambaran penyakit yang dapat disebarkan melalui pangan adalah sebagai berikut ini (Gambar 1.). Penyakit yang disebarkan melalui pangan Keracunan Racun anorganik Toksin tanaman Intoksikasi Toksin Toksin hewan mikroorganisme Toksin algae Enterotoksin Infeksi Mikotoksin Toksin bakteri Enterotoksigenik Sporulasi Mukosa usus Invasif Tumbuh dan Lisis Sistemik (perut) Neurotoksin Menggangu metabolisme karbohidrat Tenunan lainnya Otot Hati Gambar 1. Skema penyakit yang disebarkan oleh pangan (foodborne disease) Infeksi mikroba adalah tertelannya atau masuknya mikroba ke dalam tubuh, kemudian dapat menembus sistem pertahanan tubuh dan hidup serta berkembang biak di dalam tubuh. Dengan kata 3 lain infeksi merupakan proses ketika mikroba yang patogen memasuki tubuh inangnya, mengadakan invasi, berkembang biak di dalam tubuh inang, dan menimbulkan penyakit. Dalam menghadapi adanya infeksi mikroba dan hasil-hasil metabolitnya, tubuh mengadakan suatu reaksi perlawanan, yang ditandai oleh adanya gejala-gejala demam yang dialami oleh penderita penyakit. Hal ini merupakan salah satu gejala penyakit yang membedakan antara intoksikasi dengan infeksi mikroba, dimana penderita intoksikasi biasanya tidak mengalami gejala demam. Kemampuan suatu mikroba dalam menimbulkan penyakit biasanya dinyatakan dengan istilah virulen. Mikroba yang terdapat dalam jumlah yang sedikit tetapi sudah dapat menimbulkan gejala infeksi atau penyakit, dikatakan mempunyai daya virulensi yang tinggi. Sedangkan mikroba yang menyebabkan gejala penyakit yang ringan, atau yang harus terdapat dalam jumlah yang banyak untuk dapat memulai infeksi atau menimbulkan penyakit, dikatakan mempunyai daya virulensi yang rendah. Sifat virulensi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan sifat patogenik suatu mikroba yang merupakan perpaduan dari tiga sifat kemampuan mikroba yaitu: (1) daya infeksi atau kemampuannya untuk memulai suatu infeksi di dalam tubuh inangnya, (2) daya invasif atau kemampuan suatu mikroba untuk menembus ke jaringan-jaringan yang lebih dalam, (3) daya patogenik atau kemampuan suatu mikroba untuk merusak sel-sel jaringan tubuh (Supardi dan Sukamto 1999). Mikroba penyebab infeksi yang tumbuh pada pangan dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: (1) mikroba patogen yang pertumbuhannya tidak distimulir oleh pangan tempat mikroba tersebut hidup, dalam hal ini pangan hanya sebagai perantara (pembawa). Misalnya mikroba patogen yang menyebabkan hepatitis. (2) Mikroba patogen yang pertumbuhannya distimulir oleh pangan tempat tumbuhnya sehingga jumlahnya akan bertambah banyak. Misalnya Salmonella sp., EPEC, dan Vibrio parahaemolyticus. Mikroba lain yang menyebabkan infeksi antara lain: Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Shigella sp., Yersinia enterocolica dan sebagainya. Clostridium perfringens dan Bacillus cereus adalah mikroba yang juga dapat memproduksi enterotoksin (bersifat enterotoksigenik), sehingga kadang-kadang digolongkan ke dalam kelompok mikroba penyebab intoksikasi. Clostridium perfringens tipe A menghasilkan enterotoksin yang akan dilepaskan ke luar sel sewaktu terjadi sporulasi di dalam saluran pencernaan atau di dalam pangan. Bacillus cereus juga menghasilkan enterotoksin, tetapi toksin tersebut akan dilepaskan ke luar sel sewaktu mengalami lisis atau pecah di dalam saluran pencernaan atau di dalam pangan. Jika toksin dan kedua mikroba itu dilepaskan oleh sel di dalam pangan dan pangan tersebut tertelan masuk ke dalam tubuh, gejala yang ditimbulkannya disebut sebagai gejala intoksikasi. Meskipun demikian, menunjukkan bahwa penyakit yang disebabkan oleh kedua mikroba tersebut baru timbul jika mikroba yang masih hidup tertelan dalam jumlah cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi yang terbaik bagi kedua mikroba tersebut untuk melepaskan toksinnya adalah di dalam saluran pencernaan. Oleh karena itu, kedua mikroba tersebut dapat digolongkan ke dalam kelompok mikroba penyebab infeksi. Toksin mikroba dapat dibedakan menjadi dua kelompok diantaranya (1) eksotoksin yaitu toksin yang disintesis di dalam sel mikroba, kemudian dikeluarkan ke substrat di sekelilingnya, dan (2) endotoksin yaitu toksin yang disintesis di dalam sel mikroba, dan baru bersifat toksik bila sel mengalami lisis. Eksotoksin yang dihasilkan oleh mikroba biasanya bekerja secara spesifik terhadap tenunan-tenunan atau sel-sel tertentu. Misalnya sel-sel saraf, otot, sel-sel pada saluran pencernaan, dan sebagainya. Tidak semua mikroba yang masuk ke dalam tubuh dapat menimbulkan penyakit. Untuk dapat menimbulkan penyakit, suatu mikroba harus dapat melalui beberapa tahap penting yaitu: masuk ke dalam tubuh (jalan masuk untuk setiap mikroba tidak sama), harus dapat berkembang biak, tahan 4 terhadap sistem pertahanan tubuh, dan melakukan invasi ke dalam tubuh inangnya, serta harus ada jalan keluar penyebab penyakit. Mikroba yang dapat menginfeksi dan dapat menimbulkan penyakit adalah mikroba yang mempunyai daya patogenisitas yang tinggi, daya virulensi yang kuat, dan daya invasi yang tinggi, sehingga dapat berkembang biak dan menyebar ke dalam tubuh inang yang peka, serta mempunyai daya pertahanan dan daya hinder yang baik terhadap serangan sel-sel fagosit di dalam tubuh inang. Proses yang terjadi di setiap tahap sangat kompleks dan biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Suatu mikroba dapat kehilangan sifat patogeniknya jika salah satu dari faktor tersebut hilang. Substrat dan lingkungan tempat pertumbuhan mikroba mempengaruhi hilangnya atau terbentuknya faktor patogenik tersebut. Mikroba patogen yang terdapat di dalam pangan biasanya masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Infeksi oleh mikroba tersebut dapat dimulai dari membran mukosa pada dinding saluran pencernaan, terutama usus halus. Meskipun demikian, tidak semua mikroba patogen masuk melalui saluran pencernaan dapat menyebabkan infeksi pada membran mukosa tersebut, karena sesungguhnya dinding saluran pencernaan dilindungi oleh lapisan lendir saluran mukus, pergerakan isi saluran pencernaan, dan mikroba komensal yang hidup berkembang biak tanpa merugikan di saluran pencernaan. Berdasarkan cara penyebarannya dan daya penetrasinya di dalam tubuh, mikroba patogen yang dapat menyebabkan infeksi melalui saluran pencernaan dapat dibedakan atas tiga golongan yaitu: (1) mikroba yang berkembang biak pada permukaan dinding saluran pencernaan, dan tidak menembus terlalu jauh ke dalam sel-sel mukosa, (2) mikroba yang menembus sel-sel mukosa dan berkembang biak di dalam sel-sel tersebut tetapi tidak menyebar ke jaringan-jaringan yang lebih dalam, (3) mikroba yang menyebar ke jaringan-jaringan yang lebih dalam baik dengan cara menembus sel-sel mukosa atau diantara sel-sel mukosa misalnya Salmonella yang menyebabkan salmonellosis (Supardi dan Sukamto 1999). Enam mikroba patogen yang menjadi penyebab utama KLB keracunan pangan di Amerika Serikat, yaitu Campylobacter jejuni, Clostridium perfringens, Escherichia coli O157:H7, Lysteria monocytogenes, Salmonella, dan Staphylococcus aureus (Doores 1999). Mikroba lain yang banyak menimbulkan KLB keracunan pangan di Indonesia adalah Escherichia coli, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Salmonella, Vibrio cholera, dan Pseudomonas cocovenenans (Badan POM RI 2002, 2003a, 2004). Gejala dan akibat yang ditimbulkan, jumlah yang dapat menyebabkan keracunan pangan, dan pencegahan mikroba patogen tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. berikut ini. Tabel 1. Mikroba patogen penyebab keracunan pangan* Mikroba Jumlah C. jejuni 10 sel/ml C. perfringens 5x105 sel/ml 4 Akibat Aborsi, infertilitas, enteridis Diare akut Gejala Sakit perut, demam kadang > 40oC, diare, muntah Diare Pencegahan Pemanasan (55-60oC) Pendinginan cepat (5-15oC) 5 Mikroba Jumlah E. coli EPEC 10 -10 sel ETEC 108-109 sel EIEC 106 sel EHEC 10-100 sel 6 9 Akibat Diare akut sampai diare berdarah L. monocytogenes 103 sel Aborsi Salmonella sp. 105-107 sel Salmonelosis Typhoid Non-typhoid S. aureus 106 sel/ml Diare Vibrio sp. 105-107 sel Kolera P. cocovenenans 2 mg/100g B. cereus 105 sel/g Keracunan asam bongkrek; toksoflavin Diare Morganella sp. Keracunan histamin Gejala Diare berair, muntah, dan demam Diare berair, kejang perut, demam Diare basiler (berlendir, berdarah) Diare berdarah Demam, gangguan gastroenteritis, gejala mirip flu Demam enterik (demam 39-40oC, kejang perut, sakit kepala, hilang nafsu makan), konstipasi. Sakit perut, diare, muntah dan demam Mual, muntah, kejang perut, diare Diare, diare disertai serpihan mukus Sakit perut, keringat berlebihan, lelah mual Diare, kejang perut, muntah Mual, muntah, diare, kejang perut, sakit kepala, rasa terbakar Pencegahan Pemasakan (<70oC; 2 menit) Pemasakan medium atau pada suhu 70oC Pemanasan 70-75oC (3-7 menit); 66oC (12 menit); 60oC (78-83 menit) Pendinginan (-10)-0oC Pemanasan 66oC; 10 menit Pemasakan (>70oC) pH < 5,5 atau penambahan garam NaCl (2,75-3,0%) Pendinginan (10oC), pemanasan (60oC) Pembekuan, Pendinginan (1oC) *Badan POM RI (2003b) B. Salmonella Typhimurium Salmonella merupakan salah satu genus dari famili Enterobacteriaceae. Taksonomi Salmonella sangatlah kompleks. Berdasarkan skema Kauffman-white dalam Brenner et al. (2000) genus Salmonella terdiri dari dua spesies diantaranya adalah Salmonella bongori (V) dan Salmonella enterica. Spesies Salmonella enterica ini terdiri dari enam subspesies diantaranya adalah (1) Salmonella enterica subsp. enterica (I), (2) Salmonella enterica subsp. salamae (II), (3) Salmonella 6 enterica subsp. arizonae (IIIa), (4) Salmonella enterica subsp. diarizonae (IIIb), (5) Salmonella enterica subsp. houtenae (IV), dan (6) Salmonella enterica subsp. indica (VI). Salmonella enterica subsp. enterica terdiri dari 1.454 serotype/serovar dan salah satunya adalah serovar Typhimurium. Oleh karena itu, kata “Typhimurium” pada Salmonella Typhimurium atau biasa disingkat dengan S. Typhimurim ditulis tidak dengan huruf miring dan juga ditulis dengan huruf kapital diawal katanya (Brenner et al. 2000). Salmonella Typhimurium merupakan bakteri Gram negatif, fakultatif anaerob, berbentuk batang, tidak membentuk spora dan Salmonella Typhimurium juga memiliki flagella peritrikus sehingga bersifat motil. Salmonella Typhimurium berdiameter 0,7 hingga 1,5 µm dan dengan panjang 2 hingga 5 µm. Suhu minimum untuk pertumbuhan Salmonella Typhimurium adalah 45oC, sedangkan suhu pertumbuhan optimumnya adalah 35-37oC (D’Aoust 2000). Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi yang jika tertelan masuk dan berkembang biak di dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Penyakit yang disebabkan oleh Salmonella dibagi menjadi dua grup besar yaitu nontyphoid salmonellosis (gastroenteritis) dan typhoid salmonellosis (demam typhoid). Gastroenteritis disebabkan karena infeksi Salmonella Typhimurium yang terbatas pada epithelium usus sedangkan demam typhoid disebabkan karena infeksi yang terjadi pada keseluruhan sistem. Typhoid salmonellosis (demam typhoid) memiliki gejala awal yang agak berbeda dan jauh lebih lambat (24-48 jam setelah konsumsi) daripada nontyphoid salmonellosis (12 jam setelah konsumsi). Demam typhoid akan mengalami peningkatan secara bertahap setiap harinya dan sering kali muncul bintik merah pada kulit. Gejala yang timbul pada demam typhoid adalah demam dengan suhu 39-40oC, kejang perut, sakit kepala, hilang nafsu makan, dan konstipasi. Penderita mungkin mengalami perforsi dan pendarahan usus dan koma. Penderita yang telah sembuh seringkali menjadi asymptomic carriers dimana organisme ini tetap berada dalam kantong empedu dan usus. Sedangkan gastroenteritis digejalai dengan mual, muntah, kejang perut, dan diare (Ziprin dan Hume 2001). Pangan yang sering terkontaminasi Salmonella Typhimurium adalah telur dan hasil olahannya, ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi, susu dan hasil olahannya. Keracunan pangan oleh Salmonella disebabkan karena pangan mengandung Salmonella dalam jumlah yang signifikan yaitu 107 sel (Jay et al. 2005). C. Metode Identifikasi Salmonella Typhimurium Secara Konvensional Analisis pangan terhadap kemungkinan adanya bakteri patogen atau bakteri pembusuk merupakan standar yang diharuskan untuk mengetahui kualitas pangan dan menjamin keamanan pangan (de Boer dan Baumer 1999). Analisis tersebut biasanya menggunakan metode konvensional yang telah distandarkan sehingga setiap negara di dunia memiliki standar yang sama dalam menilai kualitas pangan. Metode deteksi konvensional yang dimaksud ialah metode pengkulturan mikroba pada media spesifik dan menghitung sel mikroba yang hidup dalam pangan. Prinsipnya ialah mikroba bermultiplikasi pada media pertumbuhan sehingga dapat dideteksi. Metode ini sensitif, dapat memberi hasil uji kualitatif maupun kuantitatif, dan dapat menjadi standar bagi uji mikrobiologi terhadap produk pangan secara internasional. Analisis Salmonella terdiri dari beberapa tahapan, diantaranya adalah pra-pengayaan, pengayaan selektif, isolasi dengan agar selektif, tes biokimia, identifikasi dan uji serologi. Salmonella tidak dapat berkompetisi secara baik dengan bakteri-bakteri yang umum pada pangan (Ray 2001). Oleh karena itu tahap pra-pengayaan dengan media Lactose Broth (LB) dibutuhkan untuk membantu memperbaiki sel yang rusak, melarutkan zat toksik atau zat penghambat, dan juga menyediakan keuntungan nutrisi khususnya bagi Salmonella (Vanderzant dan Splittoesser 1992). 7 Pada media Lactose Broth (LB), laktosa akan difermentasi oleh sebagian besar bakteri nonSalmonella sehingga menyebabkan penurunan pH media. Penurunan pH media akan menghambat pertumbuhan bakteri non-Salmonella, sementara bakteri Salmonella dapat tetap tumbuh. Pada tahap ini inkubasi dilakukan pada suhu 37oC dan dianggap positif jika terjadi kekeruhan di media LB. Metode pengayaan selektif Rappaport-Vassiliadis medium (RV) yang mengandung senyawa selektif seperti malachite green dan magnesium klorida yang dikombinasikan pada pH rendah (5,2 ± 2) akan menghambat pertumbuhan mikroba alami yang berasal dari saluran pencernaan selain Salmonella. Media yang digunakan pada tahap isolasi terdiri dari tiga jenis agar selektif yaitu Hektoen Enteric Agar (HEA), Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA), dan Bismuth Sulfite Agar (BSA). Dari ketiga media yang berbeda ini akan ditemukan koloni spesifik yang diindikasikan Salmonella. Pada media HEA dan XLDA yaitu ditandai dengan koloni dengan bintik hitam di tengah yang menghasilkan H2S, sedangkan pada media BSA koloni Salmonella akan menghasilkan warna coklat hingga hitam dengan kilau metalik (Difco dan BBL manual 2003). Tahap akhir pada metode konvensional adalah tes biokimia, identifikasi, dan uji serologi. Salah satu langkahnya adalah dengan melihat pertumbuhan Salmonella pada media TSIA (Triple Sugar Iron Agar) dan LIA (Lysine Iron Agar). Pada media TSIA, jika hasil positif maka media akan berwarna kuning dengan adanya indikator pH fenol merah karena terfermentasinya laktosa oleh Salmonella. Sedangkan pada media LIA akan terbentuk warna gelap pada agar miring yang menunjukkan terjadinya deaminasi lisin dan ammonia yang terbentuk akan bereaksi dengan ferric ammonium citrate serta endapan hitam pada dasar tabung yang menunjukkan adanya produksi H2S (Difco dan BBL manual 2003). Saat ini telah banyak teknik yang dikembangkan untuk mempermudah pelaksanaan metode konvensional, misalnya: gravimetric diluter, pulsifier dan stomacher yang mempermudah homogenisasi; spiral plater, dipslide, dan petrifilm untuk enumerisasi dan deteksi; colony counter dan kit uji untuk konfirmasi atau identifikasi (de Boer dan Beumer 1999). Meskipun demikian waktu pendeteksian tidak berkurang secara signifikan. D. Metode Isolasi dan Identifikasi Salmonella Typhimurium Secara Cepat dengan Real-Time PCR Metode deteksi cepat patogen dan kontaminan mikrobiologi lainnya dalam pangan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin keamanan pangan konsumen. Keuntungan dari metode cepat dibandingkan dengan metode konvensional adalah waktu lebih singkat (4-48 jam), tidak membutuhkan banyak tenaga, serta lebih sensitif dan akurat (Patel dan Williams 1994, Chen et al. 2009). Metode cepat yang dalam dekade ini berkembang pesat adalah metode deteksi berbasiskan DNA. Metode berbasiskan DNA memiliki spesifikasi terbaik dan sesuai untuk mendeteksi patogen dalam pangan (de Boer dan Baumer 1999). Banyak uji yang berbasiskan DNA, tapi hanya metode probe, PCR dan bakteriofag yang telah dikembangkan secara komersial untuk mendeteksi patogen pencemar pangan (foodborne patogen). Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Dengan teknik ini, DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan waktu relatif singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA. Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekuler karena relatif mudah dan hanya memerlukan jumlah sampel yang kecil. 8 Secara prinsip, baik real-time PCR maupun PCR konvensional merupakan proses yang dilakukan berulang-ulang antara 20–30 kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap utama (Pestana et al. 2010). Berikut adalah tiga tahap utama kerja PCR dalam satu siklus, ketiga tahap utama dalam proses amplifikasi tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 2 berikut ini. Gambar 2. Tahapan amplifikasi dalam PCR (Polymerase Chain Reaction) (Anonim 2009). 1. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Tahap ini berlangsung pada suhu tinggi, 94–96°C ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) dan DNA utas ganda menjadi utas tunggal. Biasanya pada siklus awal PCR, tahap ini dilakukan lebih lama (5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi template (patokan) bagi primer. Umumnya, waktu/durasi yang dibutuhkan untuk tahap ini yaitu selama 1–2 menit. 2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian Template DNA yang komplementer urutan basanya. Tahap ini dilakukan pada suhu antara 45–60°C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Umumnya, waktu/durasi yang dibutuhkan untuk tahap ini yaitu selama 1–2 menit. 3. Tahap pemanjangan (extension) atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis enzim DNA polimerase yang dipakai. Karena suhu dinaikkan ke dalam kisaran suhu optimum kerja enzim DNA polimerase. Dengan Taq polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 70-76°C. Pada tahap ini DNA polimerase akan memasangkan dNTP yang sesuai pada pasangannya, jika basa pada template adalah A, maka akan dipasang dNTP, begitu seterusnya (pasangan A adalah T, dan C dengan G, begitu pula sebaliknya). Enzim akan memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung. Lamanya waktu 9 ekstensi bergantung pada panjang daerah yang akan diamplifikasi, misalnya adalah 1 menit untuk setiap 1000 bp. Selain ketiga proses tersebut umumnya tahap kerja PCR didahului dan diakhiri oleh tahapan berikut: 1. Pra-denaturasi Dilakukan selama 1-9 menit di awal reaksi untuk memastikan kesempurnaan denaturasi dan mengaktivasi DNA Polimerase (jenis hot-start/aktif jika dipanaskan terlebih dahulu). 2. Final Elongasi Umumnya dilakukan pada suhu optimum enzim (70-72oC). Tahap ini dilakukan selama 5-15 menit untuk memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara sempurna. Proses ini dilakukan setelah siklus PCR terakhir. Proses amplifikasi PCR dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler yang dapat menaikkan dan menurunkan suhu dalam waktu cepat sesuai kebutuhan siklus PCR. Pada awalnya untuk melakukan proses tersebut digunakannya tiga penangas air (water bath) untuk melakukan melting, annealing dan extention secara manual, berpindah dari satu suhu ke suhu lainnya menggunakan tangan. Tetapi sekarang mesin thermal cycler sudah terotomatisasi dan dapat diprogram sesuai kebutuhan. Secara teoritis, PCR dapat mengamplifikasi satu salinan DNA menjadi satu juta kali dalam waktu kurang dari 2 jam (Gambar 3.) maka berpotensi untuk mengurangi bahkan menghilangkan kebutuhan untuk pengayaan kultur, namun kehadiran inhibitor dalam pangan dan dalam berbagai media kultur dapat mencegah terikatnya primer dan mengurangi efisiensi amplifikasi sehingga sangat sensitif dicapai dengan PCR dan kultur murni sering berkurang bila menguji pangan. Oleh karena itu, beberapa pengayaan kultur diperlukan sebelum dilakukannya analisis. Gambar 3. Jumlah DNA yang dihasilkan dari proses amplifikasi (Anonim 2009) Komponen lain yang dibutuhkan untuk pengujian ini selain template DNA yang akan digandakan dan enzim DNA polimerase, diantaranya adalah: 1. Primer Primer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. PCR hanya mampu 10 menggandakan DNA pada daerah tertentu sepanjang maksimum 10000 bp, dan dengan teknik tertentu bisa sampai 40000 bp. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan template DNA, sehingga dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang diinginkan. Langkah pertama dalam perancangan primer adalah mencari/membuat urutan DNA/gen yang diinginkan, umumnya dapat menggunakan basis data umum seperti NCBI. Setelah urutan DNA/gen yang diinginkan diperoleh, kemudian software untuk merancang primer digunakan untuk mempermudah dan memaksimalkan keberhasilan dalam merancang primer. Langkah berikutnya adalah mempertimbangkan dengan hati-hati daerah gen yang akan digunakan sebagai template DNA. Gen yang memiliki struktur sekunder atau urutan nukleotida yang panjang harus dihindari dalam perancangan primer (Pestana et al. 2010). Besarnya konsentrasi dari primer yang digunakan merupakan hal yang menentukan keberhasilan pengujian. Jika konsentrasi primer pada pengujian dengan real-time PCR yang digunakan terlalu tinggi, maka akan meningkatkan kesempatan untuk terjadinya mispriming yang artinya akan menghasilkan produk PCR yang tidak spesifik karena primer berikatan tidak hanya dengan gen target, tetapi dengan gen-gen lainnya pada template DNA yang ditambahkan (Pestana et al. 2010), namun jika konsentrasi primer yang digunakan terlalu rendah, maka akan dihasilkan suatu metode pengujian yang tidak sensitif yang menyebabkan terjadinya false-negative dimana sampel yang positif (mengandung gen target) akan terdeteksi negatif (Lee et al. 2006). Oleh karena itu penentuan konsentrasi primer sangat dibutuhkan dalam pengujian dengan real-time PCR. 2. dNTP (deoxynucleoside triphosphate) dNTP atau building blocks sebagai ‘batu bata’ penyusun DNA yang baru. dNTP terdiri atas empat macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. 3. Buffer PCR Buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polimerase. 4. Kofaktor Kofaktor berfungsi untuk meningkatkan jumlah akhir dari reaksi. Kofaktor tersebut berupa Ion logam bivalen, umumnya magnesium klorida (Mg2+), sebagai kofaktor bagi enzim DNA polimerase. Tanpa ion ini enzim DNA polimerase tidak dapat bekerja (Pestana et al. 2010). Prinsip amplifikasi real-time PCR sama dengan PCR standar, hanya saja pada real-time PCR ditambahkan label berfluoresensi (fluoresence dye) sehingga penggunaan teknik real-time PCR lebih efisien dan efektif dibandingkan PCR standar (Edward et al. 2004). Terdapat dua jenis komponen label berfluoresensi yang umum digunakan dalam proses real-time PCR, diantaranya adalah label yang berikatan dengan DNA (DNA binding dyes) dan komponen kimia yang berbasiskan probe (Probe-based chemistries). Salah satu contoh label yang berikatan dengan DNA adalah SYBR® green I dimana label tersebut merupakan label yang tidak spesifik dan akan berikatan dengan semua jenis DNA utas ganda. Sedangkan contoh komponen kimia yang berbasiskan probe adalah TaqMan, Molecular Beacon, dan Scorpion yang merupakan susunan/sekuen probe yang spesifik. Prinsip dari probe tersebut adalah dengan menggunakan keberadaan dari transfer energi resonansi fluoresensi/Fluorescence Resonance Energy Transfer (FRET) probe sebagai sistem pelaporan/pengukuran, dan aktivitas 5' exonuclease 11 dari DNA polimerase untuk mendeteksi proses amplifikasi yang terjadi di dalam real-time PCR (Pestana et al. 2010). 1. DNA Binding Dyes, SYBR® green I Keuntungan dari SYBR® green I adalah mengukur intensitas fluoresen secara proporsional sesuai dengan produk PCR yang dihasilkan. Sedangkan kekurangannya adalah SYBR® green I yang merupakan label fluoresen yang tidak spesifik sehingga dapat menghasilkan sinyal pengujian false-positive karena terjadinya primer-dimer atau terbentuknya produk yang tidak spesifik oleh karena itu setiap pengujian, penting dilakukannya penganalisisan formasi dari kurva pelelehan (melting curve) (Pestana et al. 2010). SYBR® green I merupakan label fluoresen yang efektif dari segi biaya jika dibandingkan dengan komponen label kimia lainnya dan juga mudah digunakan. Penentuan konsentrasi primer yang tepat/optimum dapat dengan mudah dicapai dengan menggunakan SYBR® green I sebagai bahan fluoresen dibandingkan dengan menggunakan bahan yang lainnya seperti TaqMan dan Molecular Beacon. Ketika SYBR® green I berada dalam kondisi bebas dalam larutan, maka akan menunjukkan level fluoresen yang relatif rendah, tetapi ketika dsDNA ditambahkan, fluoresen yang berpendar akan meningkat lebih dari 1000 kali lipat. Akumulasi dari amplikon/produk amplifikasi PCR meningkat seiring dengan meningkatnya siklus reaksi, maka intensitas fluoresen juga akan meningkat karena molekul SYBR® green I berikatan dengan DNA, dan kemudian akumulasi dari produk yang dihasilkan dapat diukur dalam real-time PCR. SYBR® green I dapat berikatan dengan DNA utas ganda pada suhu 55oC, namun pada suhu suhu 95oC SYBR® green I akan terdisosiasi/terlepas dari DNA utas ganda. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. berikut ini. Gambar 4. DNA binding dyes dalam real-time PCR. Fluoresen secara dramatis meningkat ketika molekul dye berikatan dengan DNA (Pestana et al. 2010) Sensitifitas deteksi dengan menggunakan SYBR® green I dipengaruhi oleh pembentukan primer-dimer, spesifisitas primer yang rendah, konsentrasi primer (dapat membatasi), dan terbentuknya struktur sekunder pada produk PCR. Semua faktor tersebut dapat mengarahkan pada terbentuknya produk DNA utas ganda yang tidak diharapkan yang dapat berikatan dengan SYBR® green I dan menghasilkan sinyal fluoresen. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa SYBR® green I tidak dapat membedakan satu DNA dengan DNA yang lainnya, oleh karena itu penting untuk menganalisis kurva pelelehan pada akhir pengujian dengan real-time PCR (Pestana et al. 2010). 12 2. Probe-Based Chemistry Penggunaan berbasiskan probe merupakan pendeteksian yang lebih spesifik karena jenis fluoresen tersebut menggunakan pemeriksaan/penyelidikan internal disamping penggunaan sepasang primer yang digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu. Penggunaan probe lebih mahal dan perlu dilakukannya perancangan sekuen nukleotida agar sekuen pada probe tersebut sesuai dengan sekuen pada gen target. Oleh karena itu deteksi dengan menggunakan probe nantinya dibutuhkan proses validasi dan optimasi yang terpisah khusus untuk probe, namun dapat menghasilkan spesifisitas yang lebih tinggi jika menggunakan Molecular Beacon (Pestana et al. 2010). Real-time PCR melakukan amplifikasi dan deteksi dalam satu tahapan sebab akumulasi produk spesifik dicatat secara kontinyu selama siklus. Hal ini tidak dapat dilakukan pada PCR standar yang masih mengandalkan elektroforesis gel agarosa untuk mengkuantitasi amplikon. Selain itu, hasil dari elektroforesis gel agarosa dapat memperpanjang waktu deteksi dan timbulnya kontaminasi. Pendeteksian produk real-time PCR secara kuantitatif berbeda dengan PCR standar yang mengkuantitasi amplikon di akhir fase amplifikasi (fase plato) dan juga berdasarkan panjang basa atau bobot molekul padahal molekul yang berbeda mungkin saja memiliki ukuran yang sama atau hampir sama. Kuantitasi produk real-time PCR terdeteksi pertama kali di setiap siklus (fase eksponensial) dan dihitung berdasarkan threshold cycle (Ct) yaitu waktu dimana intensitas fluoresen lebih besar dari pada fluoresen yang ditimbulkan oleh noise (background fluorescence). Noise dapat disebabkan oleh penempelan larutan isolat DNA beserta pereaksi-pereaksi PCR pada dinding tabung microwell. Keunggulan real-time PCR lainnya ialah analisis dapat dilakukan tanpa membuka tabung sehingga mengurangi resiko kontaminasi amplikon PCR atau molekul target lainnya. Menurut Edward et al. (2004), aplikasi teknologi real-time PCR mengurangi waktu penanganan atau pengujian dan meningkatkan keakuratan kuantifikasi metode PCR. Sebelum tahap amplifikasi dengan real-time PCR, diperlukan tahap persisapan/pra-amplifikasi, kemudian setelah tahap amplifikasi diperlukan evaluasi produk real-time PCR. Tahap pra-amplifikasi PCR standard dan real-time PCR tidak berbeda, meliputi persiapan sampel bakteri dan isolasi DNA untuk memperoleh isolat DNA sebagai DNA target amplifikasi. Protokol yang baik dalam mempersiapkan isolat DNA adalah fokus pada tahap pengumpulan/pemanenan patogen, penghilangan inhibitor yang terdapat pada pangan atau pada media kultur, dan pengisolasian DNA (Lee et al. 2006). Prinsip dasar isolasi DNA adalah serangkaian proses untuk memisahkan DNA dari komponenkomponen sel lainnya. Hasil ekstraksi merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya. Oleh sebab itu, tahapan ini harus dilakukan dengan baik dan bebas kontaminasi. Terdapat enam tahap dalam mengisolasi DNA, yaitu (1) preparasi sampel, (2) pelisisan sampel yang umumnya menggunakan buffer yang mengandung Tris.HCl pH8,0; EDTA pH 8,0; CTAB, proteinase K, dan SDS (sodium dodecylsulphate), (3) proteksi dan stabilisasi DNA dengan menggunakan buffer TE yang mengandung Tris.HCl dan EDTA pH 8,0 dan juga ditambahkan NaCl, (4) pemisahan DNA dari debris sel dilakukan dengan cara sentrifugasi dan juga ditambahkan dengan fenol, kloroform, dan isoamil alkohol dengan perbandingan tertentu atau dengan dididihkan pada air suhu 100oC, (5) presipitasi DNA dengan menambahkan etanol 96% atau isopropanol, sedangkan (6) pemekatan DNA dilakukan dengan pencucian menggunakan etanol 70% dan ditambahkan dengan buffer TE (Tris.HCl dan EDTA). Berdasarkan prinsip tersebut, banyak metode untuk mengisolasi/mengekstraksi DNA dari sel mikroba salah satunya adalah metode pendidihan, dan dari berbagai metode tersebut, banyak industri yang mengembangkan suatu kit untuk memudahkan pengisolasian/pengekstraksian DNA. Metode pendidihan (boiling method) merupakan salah satu metode untuk mengisolasi/ mengekstraksi DNA dari sel mikroba. DNA yang berasal dari bakteri Gram negatif (contohnya: 13 Salmonella) dapat dengan mudah diisolasi/diekstraksi dengan menggunakan metode pendidihan/ mendidihkan sel bakteri di dalam air (Lee et al. 2006). Tahap isolasi DNA dengan metode pendidihan dilakukan setelah tahap enrichment pada kultur murni maupun pada sampel pangan. Tahap enrichment ini berfungsi untuk menyembuhkan sel mikroba yang rusak maupun memperbanyak mikroba agar memberi keyakinan bahwa mikroba yang diisolasi adalah mikroba hidup. Selain itu juga untuk mengencerkan komponen inhibitor PCR yang terdapat pada matriks sampel (Rådström et al. 2004). Bahan yang pertama kali digunakan pada metode pendidihan adalah buffer TE dimana mengandung Tris HCl 1 M pH 8,0 dan EDTA 0,5 M yang dicampur dengan pelet yang dihasilkan setelah sentrifugasi sampel. Proses sentrifugasi dan resuspensi pelet yang dihasilkan dengan buffer TE secara berulang berfungsi untuk mencuci sampel (kultur murni/sampel spike) dari inhibitor-inhibitor yang terkandung di dalamnya yang dapat mengganggu tahap amplifikasi DNA nantinya (Lee at al. 2006). Selain itu buffer TE juga berfungsi untuk menjaga kestabilan DNA agar tidak terdegradasi ketika pelisisan sel terjadi. Kemudian bahan berikutnya adalah penambahan lisozim ke dalam pelet bersamaan dengan ditambahkannya buffer TE. Lisozim berfungsi untuk melisiskan dinding sel bakteri dimana lisozim dapat merusak membran luar sel bakteri. Aktivitas lisozim efektif pada suhu ruang. Kemudian pada metode pendidihan juga ditambahkan proteinase K. Proteinase K merupakan enzim proteolitik yang digunakan untuk menghilangkan protein. Protein merupakan salah satu inhibitor dalam proses amplifikasi DNA. Suhu optimum aktivitas enzim proteinase K adalah 55-60oC selama 1 jam. Semakin lama inkubasi, maka daya recovery DNA semakin baik (Sambrook et al. 1989). Pendidihan di dalam air yang bersuhu 100oC berfungsi untuk menginaktivasi enzim proteinase K dan enzim nuklease atau DNAse dimana dapat mencerna asam nukleat dan menyebabkan penurunan kualitas maupun kuantitas DNA selama penyimpanan. Pendidihan dengan pemanasan 100oC juga dapat mempercepat lisis dinding sel bakteri sehingga DNA dapat diekstraksi sekaligus mempermudah proses denaturasi rantai DNA ketika dilakukan amplifikasi dengan PCR. Selain itu pendidihan juga dapat berfungsi mendenaturasi protein-protein inhibitor. Proses pendidihan tidak dapat mendenaturasi DNA plasmid karena secara topologi intertwined (Sambrook et al. 1989), namun dapat mendenaturasi DNA kromosomal. Pendinginan segera dilakukan di dalam freezer setelah dilakukannya pendidihan agar DNA kromosomal dapat terenaturasi. Proses pendinginan ini juga menyebabkan debris sel, protein-protein inhibitor dan DNA plasmid mengendap. DNA kromosomal akan larut dalam supernatan sedangkan debris sel, protein inhibitor, dan DNA plasmid akan terendapkan pada pelet setelah proses sentrifugasi dimana dilakukan setelah proses pendinginan tadi. Dan supernatan yang dihasilkan tersebut diambil sebagai isolat DNA yang akan digunakan pada tahap amplifikasi selanjutnya. Setelah persiapan isolat DNA selesai, maka dilakukan tahap amplifikasi yang dijalankan dalam thermal cycler dan dihasilkan/ditampilkan dalam bentuk grafik pada layar komputer dengan software yang aplikabel terhadap thermal cycler, contohnya adalah software IQ-5 (Bio-Rad). Grafik-grafik yang diperoleh berupa grafik amplifikasi, kurva standar, kurva pelelehan (melt curve) dan kurva puncak pelelehan (melt peak curve). Grafik tersebut digunakan untuk mengevaluasi kinerja amplifikasi real-time PCR. 1. Kurva Amplifikasi Kurva amplifikasi terbentuk sejak proses amplifikasi dimulai. Kurva ini berfungsi untuk menentukan apakah dalam thermal cycler terjadi amplifikasi atau tidak. Kurva amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 5. berikut ini. 14 Gambar 5. Grafik sigmoid proses amplifikasi dengan real-time PCR (Pestana et al. 2010) Amplifikasi ditetapkan berdasarkan intensitas fuoresen, semakin banyak produk amplifikasi yang dihasilkan, semakin besar akumulasi fluoresen yang terbaca. Peningkatan fuoresen tersebut ditandai dengan terbentuknya grafik sigmoid, seperti yang tergambar pada Gambar 5. (garis hijau). Grafik sigmoid akan berpotongan dengan baseline threshold yang telah ditentukan secara otomatis oleh program. Titik perpotongan antara grafik sigmoid dan baseline threshold jika direfleksikan pada sumbu-x (Cycle) adalah threshold cycle (Ct) bagi sampel yang diamplifikasi. Nilai Ct adalah siklus di atas noise dimana akumulasi produk (senilai 2n, n adalah jumlah pengulangan siklus amplifikasi) terbaca pertama kali pada fase eksponensial. Fase eksponensial berakhir menjadi fase plato saat pereaksi dalam campuran reaksi PCR sudah habis. Nilai Ct digunakan dalam kurva standar sebagai fungsi terhadap log konsentrasi bakteri. 2. Melt Curve dan Melt Peak Curve Setelah pengujian dengan real-time PCR selesai, thermo cycler dapat disesuaikan untuk menghasilkan kurva pelelehan (melt curve) dan kurva puncak pelelehan (melt peak curve) dengan meningkatkan suhunya sedikit demi sedikit hingga mencapai titik pelelehan dimana DNA untai ganda menjadi DNA untai tunggal dan kemudian mengukur perubahan fluoresen yang dihasilkan. Pada titik pelelehan, untai ganda DNA terpisah dan sinyal fluoresen pun turun. Kurva pelelehan menghubungkan laju perubahan Relative Fluorescence Unit (RFU) per waktu (T) (-d(RFU)/dT) pada sumbu-y dengan suhu pada sumbu-x, kurva tersebut akan menunjukkan suhu pelelehan (Tm). Suhu pelelehan merupakan suhu dimana 50% amplikon DNA untai ganda terpisah menjadi dua untai tunggal. Puncak kurva pada melt peak curve merupakan nilai Tm amplikon, jika nilainya ditarik menuju sumbu-x. Suhu Pelelehan/melting temperature (Tm) tergantung pada komposisi dasar dari produk yang terbentuk. Semua produk PCR untuk primer set tertentu harus memiliki nilai suhu pelelehan (Tm) yang sama kecuali jika terdapat adanya kontaminasi, mispriming, atau primer-dimer (Pestana et al. 2010). Amplikon yang berasal dari DNA target yang sama akan memiliki nilai Tm yang sama, ditunjukkan dengan puncak pada titik suhu yang sama. Melt peak curve mampu menunjukkan ada atau tidaknya produk non-spesifik. Produk non-spesifik akan membentuk puncak pada suhu yang berbeda dengan amplikon (produk spesifik) atau melt peak curve dapat pula memiliki lebih dari satu puncak suhu. Bentuk kurva pelelehan dan kurva puncak pelelehan dapat dilihat pada Gambar 6. berikut ini. 15 Gambar 6. Kurva pelelehan/melt curve (kiri) dan kurva puncak pelelehan/melt peak curve (kanan) (Hoffman et al. 2007) Setelah proses amplifikasi, jika molekul PCR yang terbentuk memiliki panjang yang sama maka akan terbentuk single curve (satu puncak dan satu nilai Tm), namun jika lebih dari satu produk PCR yang dihasilkan yang tidak homogen, maka akan terbentuk/teramati beberapa transisi termal (terbentuk lebih dari satu puncak/nilai Tm). Jika hal tersebut terjadi, perlu dibuktikan dengan elektroforesis gel untuk meyakinkan bahwa terdapat adanya lebih dari satu jenis DNA/produk PCR yang teramplifikasi (Gambar 7.). Gambar 7. Analisis kurva pelelehan (melt curve), A. Dua jenis puncak yang dihasilkan mengindikasikan nilai Tm dari dua jenis produk PCR, B. Analisis elektroforesis gel pada produk PCR dari hasil yang terbentuk pada kurva A. Kedua jenis produk PCR tersebut dibuktikan dengan terpisahnya/diperolehnya dua pita dalam satu garis pada gel (Pestana et al. 2010). 16 II. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI pada bulan April 2011 hingga Juli 2011. B. Bahan Bahan-bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sampel susu UHT, bakteri uji Salmonella Typhimurium (ATCC 14028) dan bakteri kontrol negatif Shigella sonnei (ATCC 25931). Media yang digunakan untuk menumbuhkan dan menghitung jumlah bakteri Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei yaitu larutan pengencer NaCl 0,85%, Heart Infusion Broth (Oxoid), dan Xylose Lysine Deoxycholate Agar (Oxoid). Bahan-bahan yang digunakan untuk mengisolasi DNA bakteri dengan menggunakan metode pendidihan yaitu buffer TE yang mengandung Tris.HCl 1 M pH 8,0 dan EDTA 0,5 M; lisozim (USB), dan proteinase K (USB). Bahan yang digunakan untuk mengisolasi DNA dengan menggunakan kit komersial QIAamp® DNA Blood Mini Kit (Qiagen) diantaranya adalah CTAB, Proteinase K, etanol 96%, buffer AL, buffer AW1, buffer AW2, dan buffer AE. Bahan-bahan yang digunakan untuk mengamplifikasi DNA dengan menggunakan real-time PCR yaitu buffer TE pH 8,0; forward primer invA (5’-ATC AGT ACC AGT CGT CTT ATC TTG AT-3’), reverse primer invA (5’-TCT GTT TAC CGG GCA TAC CAT-3’) (Shanmugasundaram et al. 2009), template DNA yang diperoleh dari tahap isolasi DNA, SsoFastTM EvaGreen® Supermix yang di dalamnya terdiri dari 2x reaction buffer dengan dNTPs, Sso7d-fusion polymerase, MgCl2, EvaGreen dye (sama dengan SYBR® Green I), dan penstabil. Bahan yang digunakan untuk mengukur kemurnian DNA dengan spektrofotometer uv-vis DNA adalah milliQ. C. Alat Alat-alat yang digunakan di dalam penelitian ini adalah cawan petri, mikropipet, tip mikropipet, gelas ukur, gelas piala, tabung reaksi, batang lup inokulasi, rak tabung reaksi, vortex, neraca analitik, erlenmeyer, hot plate, label, inkubator, bulp, bunsen, korek, petroff-hausser, mikroskop, masker dan sarung tangan latex. Alat yang digunakan untuk isolasi DNA dan amplifikasi real-time PCR diantaranya adalah IQTM5 real-time PCR (Bio Rad), plate 96 Well Reaction (BioRad), PCR Sealer TM Microseal® ‘B’ Film (BioRad), Refrigerator, mikrosentrifus (Hettich), Water Bath, tabung mikrosentrifus 2 ml, tip berfilter, MixMate PCR 96. Alat yang digunakan untuk mengukur kemurnian isolat DNA adalah UV-VIS Spektrofotometer DNA (Shimadzu) dan kuvet. D. Metode Penelitian a. Tahapan Pra-penelitian 1. 2. Persiapan Bahan Kimia Persiapan Media Tumbuh Mikroba b. Tahapan Penelitian Metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 8. berikut ini. 17 Kultur Murni ST & SS Pengecekan Kultur Murni ST & SS Sampel Susu UHT spike Inokulasi Isolasi/Ekstraksi DNA Metode Pendidihan Metode Kit Komersial Isolat/Template DNA Isolat/Template DNA Pengujian dengan Real-Time PCR Pengujian dengan Real-Time PCR 1. Penentuan Konsentrasi Primer 2. Penentuan Spesifisitas Primer 3. Pengkuantifikasian ST pada Susu Pengkuantifikasian ST pada Susu Ket: ST (Salmonella Typhimurium); SS (Shigella sonnei) Gambar 8. Diagram alir tahapan penelitian a. Tahapan Pra-penelitian 1. Persiapan Bahan Kimia Bahan kimia yang disiapkan untuk penelitian ini diantaranya adalah larutan pengencer NaCl 0,85%, lisozim, proteinase K, CTAB, dan buffer TE pH 8,0. Pembuatan NaCl 0,85% dilakukan dengan melarutkan 4,25 gram kristal NaCl ke dalam 500 ml milliQ di dalam labu ukur dan diaduk hingga homogen. Lisozim dibuat dengan melarutkan 10 mg/ml lisozim dengan 25 ml larutan Tris.HCl 10 mM pH 8,0 dan dikocok sampai jernih. Pembuatan proteinase K dilakukan dengan melarutkan 10 mg/ml proteinase K dengan 25 ml Tris.HCl 10 mM pH 8,0 dan diaduk sampai jernih. Cetyl trimethilammonium bromide (CTAB) dibuat dengan melarutkan 10 gram CTAB, 41 gram NaCl, dan 7,87 gram HCl ke dalam 400 ml akuades. Kemudian larutan tersebut ditambah dengan NaOH sampai larutan mencapai pH 8,0 dan ditambah dengan 20 ml EDTA 18 0,5 M pH 8,0. Larutan tersebut dituang ke dalam labu ukur 500 ml dan ditera dengan akuades. Larutan dipindahkan ke dalam erlenmeyer, divortex sampai larut kemudian dilakukan degasing (penghilangan gas dari larutan). Larutan tersebut selanjutnya disaring dengan kertas saring dan disterilisasi dengan autoclave dan disimpan pada suhu ruang. Bahan kimia lainnya yang disiapkan adalah buffer TE pH 8,0. Buffer TE pH 8,0 dibuat dengan mencampurkan 5 ml Tris.HCl 1 M pH 8,0 dengan 1 ml EDTA 0,5 M ke dalam labu ukur 500 ml dan ditambahkan milliQ sampai tanda tera. EDTA 0,5 M pH 8,0 diperoleh dengan menimbang 18,6 gram EDTA (Titriplex®; C10H14Na2O8.2H2O) dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml kemudian ditambahkan dengan 80 ml milliQ sedikit demi sedikit. Larutan tersebut ditambah dengan NaOH sampai larutan tersebut memiliki pH 8,0. Larutan kemudian ditera dan disterilisasi dengan autoclave. Seluruh proses pembuatan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1a, b, c, d, dan e. 2. Persiapan Media Tumbuh Mikroba Media tumbuh yang digunakan baik untuk Salmonella Typhimurium maupun Shigella sonnei adalah Heart Infusion Broth (HIB) dan Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA). Media HIB dibuat dengan melarutkan 18,5 gram HIB dengan 500 ml akuades dan diaduk sampai homogen. Setiap 5 ml larutan HIB dipipet ke dalam tabung reaksi steril dan ditutup dengan kapas dan alumunium foil kemudian disterilisasi dalam autoclave. Media XLDA dibuat dengan melarutkan 27,75 gram XLDA ke dalam 500 ml akuades steril di dalam erlenmeyer steril. Kemudian larutan tersebut dipanaskan di atas hot plate sampai mendidih dan larut sempurna tetapi tidak sampai over heat. Setelah itu didinginkan sampai suhu 50oC dan masing-masing sebanyak 25 ml dituang ke dalam cawan petri steril. Proses tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 2a, b. b. Tahapan Penelitian 1. Pengecekan Kemurnian Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei Masing-masing bakteri Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei pada media Heart Infusion Broth (HIB) yang disimpan dalam refrigerator diinokulasi sebanyak 1 ose ke dalam HIB baru kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Jika HIB yang telah diinkubasi tersebut menjadi keruh, selanjutnya HIB tersebut digores kuadran pada media Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA) yang berbeda, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Satu koloni Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei spesifik yang tumbuh pada XLDA diinokulasikan kembali ke dalam media HIB baru yang berbeda pula dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. 2. Inokulasi Sampel Pangan Susu UHT dengan Kultur Murni Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei Sebanyak 100 µl kultur murni Salmonella Typhimurium maupun Shigella sonnei yang telah dicek kemurniannya kemudian dimasukkan ke dalam 9 ml larutan pengencer NaCl 0,85%. Kemudian suspensi tersebut dihitung banyaknya/konsentrasi mikroba yang terkandung di dalamnya secara mikroskopi dengan petroff-hausser. Jika konsentrasi suspensi tersebut kurang dari 105 sel/ml maka suspensi ditambah kembali dengan kultur murni hingga konsentrasi suspensi mencapai 105 sel/ml, namun jika konsentrasi suspensi lebih dari 19 105 sel/ml maka dilakukan pengenceran pada suspensi tersebut dengan menggunakan larutan pengencer NaCl 0,85% sampai didapatkan suspensi dengan konsentrasi 105 sel/ml. Sebanyak 5 ml suspensi dengan konsentrasi 105 sel/ml tersebut dimasukkan ke dalam 5 ml susu UHT dan dikocok hingga homogen. Kemudian sampel susu UHT tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam. Untuk mengetahui jumlah mikroba akhir Salmonella Typhimurium yang terkandung pada susu UHT, maka sampel susu UHT ditumbuhkan dan dihitung dengan metode konvensional pada media Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA) yang diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Sebelumnya untuk mengetahui jumlah mikroba (Salmonella Typhimurium) natural pada susu UHT, maka dilakukan penghitungan jumlah mikroba awal dengan menginokulasi 1 ml susu pada media XLDA dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. 3. Isolasi/Ekstraksi DNA Mikroba Proses isolasi/ekstraksi DNA mikroba baik dari kultur murni maupun dari sampel susu UHT spike dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode pendidihan dan metode kit komersial. Masing-masing metode dijelaskan pada sub bab di bawah ini. a) Isolasi DNA Salmonella Typhimurium Pendidihan (Rahayu et al. 2009) dengan Metode Satu ml suspensi kultur murni mikroba spesifik yang terdapat dalam media HIB atau sampel susu UHT spike dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifus. Suspensi tersebut disentrifus dalam mikrosentrifus selama 10 menit 14.000 rpm dengan suhu 20oC dengan tujuan untuk mengendapkan sel bakteri. Supernatan yang dihasilkan dibuang dan pelet diresuspensi dengan 500 µl buffer TE lalu dihomogenkan dengan cara divortex. Suspensi tersebut disentrifus kembali pada mikrosentrifus selama 3 menit 14.000 rpm pada suhu 20oC. Untuk sampel susu UHT spike, pencucian dengan buffer TE dan disentrifus dengan mikrosentrifus diulang kembali sebanyak satu kali. Pelet yang dihasilkan diresuspensi dengan 100 µl Lisozim dan dihomogenisasi dengan cara divortex. Kemudian suspensi tersebut diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Setelah diinkubasi, sebanyak 100 µl proteinase K ditambahkan ke dalam suspensi dan divortex sampai homogen. Selanjutnya suspensi diinkubasi pada suhu 55oC selama 1 jam dan dinkubasi kembali pada suhu 100oC selama 15 menit. Proses tersebut bertujuan untuk melisiskan sel bakteri dan menghilangkan protein-protein yang terkandung di dalamnya. Penambahan buffer TE berfungsi untuk menjaga kestabilan DNA pada saat melisiskan sel. Suspensi yang telah diinkubasi didinginkan dalam es sampai membeku dan di-thawing ketika selanjutnya akan disentrifus selama 5 menit 14.000 rpm pada suhu 20oC. Supernatan yang dihasilkan dipindahkan pada tabung mikrosentrifus baru, disimpan sebagai isolat DNA pada suhu -20oC. Diagram alir proses ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Kemurnian isolat DNA yang dihasilkan dapat diketahui dengan mengukurnya pada spektrofotometer. Teknis pengukurannya adalah dengan membandingkan nilai absorbansi pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm (A260/A280). Isolat DNA dikatakan murni jika rasio diantara kedua nilai absorbansi tersebut berada pada selang 1,8 hingga 2,0 (Nolan et al. 2007) 20 b) Isolasi DNA Salmonella Typhimurium dengan Kit Komersial (Berdasarkan QIAamp® DNA Blood Mini Kit Handbook dengan modifikasi Bioteknologi PROM) Tahapan proses dengan menggunakan kit komersial dilakukan sesuai dengan anjuran dari produsen yang bersangkutan, salah satunya berdasarkan protokol/handbook yang dikeluarkan oleh Qiagen untuk penggunaan QIAamp® DNA Blood Mini Kit dalam mengisolasi/mengekstraksi DNA mikroba. Kit tersebut terdiri dari empat jenis buffer (AW1, AW2, AE, dan AL), collection tube, dan kolom mini dimana di dalamnya terdapat filter putih. Di bawah ini (Gambar 9.) merupakan gambar kit komersial yang digunakan pada penelitian ini. Gambar 9. Kit komersial QIAamp® DNA Blood Mini Kit (Qiagen) Proses isolasi/ekstraksi DNA dilakukan dengan penambahan buffer AL yang dilakukan setelah penambahan proteinase K dimana bersama-sama dengan proteinase K berfungsi untuk melisiskan sel bakteri sehingga dinding sel bakteri rusak. Supernatan yang dihasilkan dari proses sentrifugasi suspensi tersebut dimasukkan ke dalam kolom mini berfilter sehingga DNA tersangkut/terikat di dalamnya. Penambahan buffer AW1 dan buffer AW2 yang dilakukan setelahnya kedalam kolom mini berfilter yang berfungsi untuk pencucian dimana proses pencucian tersebut dapat meningkatkan kemurnian DNA nantinya serta meyakinkan penghilangan kontaminan secara keseluruhan dari proses tersebut tanpa mempengaruhi pengikatan DNA pada filter. Penambahan buffer AE ke dalam kolom mini dan dilakukan proses sentrifugasi setelah proses pencucian berfungsi untuk mengelusi DNA dari filter dan juga berfungsi dalam penyimpanan purifikasi DNA. Supernatan yang dihasilkan merupakan isolat DNA yang kemudian disimpan di dalam freezer suhu -20oC. Buffer AE yang digunakan mengandung 10 mM Tris.Cl; 0,5 mM EDTA pH 9,0 dimana pH yang basa dapat menghindari DNA dari degradasi karena hidrolisis asam. Teknis pengisolasian DNA dengan kit komersial pertama-tama adalah satu ml suspensi kultur murni mikroba spesifik yang terdapat dalam media HIB atau sampel susu UHT dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifus. Kemudian ditambahkan dengan 1 ml CTAB sebagai suatu modifikasi metode dari prosedur yang ditunjukkan pada handbook produsen kit, kemudian divortex hingga homogen. Suspensi tersebut disentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 13000 rpm dan supernatan yang dihasilkan dibuang sehingga menyisakan pelet pada tabung mikrosentrifus. Jika tidak dihasilkan pelet, maka suspensi disisakan sebanyak 200 µl supernatan pada tabung mikrosentrifus. Kemudian ditambahkan proteinase K sebanyak 30 µl ke dalam tabung mikrosentrifus, dan 21 dihomogenkan dengan vortex kemudian diinkubasi selama 20 menit pada suhu 65oC. Setelah itu, ditambahkan buffer AL sebanyak 300 µl dan dihomogenkan dengan vortex. Suspensi diinkubasi selama 10 menit di dalam water bath pada suhu 65oC. Setelah itu, ditambahkan 500 µl etanol (96-100%), dihomogenkan dengan vortex dan disentrifus selama 2 menit dengan kecepatan 10000 rpm. Supernatan yang dihasilkan dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom mini yang sudah dipasang pada collection tube, kemudian disentrifus 8000 rpm selama 1 menit. Sebanyak 500 µl buffer AW1 ditambahkan ke dalam kolom mini yang masih terpasang pada collection tube dan disentrifus 8000 rpm selama 1 menit. Tahap selanjutnya adalah kolom mini dipindahkan ke dalam collection tube yang baru dan ditambahkan dengan 500 µl buffer AW2 ke dalam kolom mini, kemudian disentrifus 13000 rpm selama 3 menit. Kolom mini dipindahkan kembali ke dalam collection tube dan disentrifus kembali selama 1 menit 13000 rpm. Kolom mini dipindahkan ke dalam tabung mikrosentrifus steril dan ditambahkan ke dalamnya sebanyak 80 µl buffer AE yang kemudian disentrifus 8000 rpm selama 1 menit. Supernatan yang diperoleh pada tabung mikrosentrifus merupakan isolat DNA yang akan digunakan pada tahap selanjutnya dan isolat tersebut disimpan pada freezer dengan sehu 20oC. Diagram alir proses ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Kemudian kemurnian isolat DNA yang dihasilkan dapat diketahui dengan mengukurnya pada spektrofotometer. Gambar penggunaan kolom mini dan collection tube dapat dilihat pada gambar berikut ini (Gambar 10.). filter pada kolom mini Gambar 10. (a) (b) Proses isolasi/ekstraksi DNA dengan menggunakan metode kit komersial, (a) penambahan buffer AW1 ke dalam kolom mini, (b) hasil sentrifugasi setelah penambahan AW1 dan supernatan yang terdapat di bawah dibuang untuk selanjutnya filter dicuci kembali dengan buffer AW2. 4. Pengujian Salmonella Typhimurium dengan Real-Time PCR Penggunaan real-time PCR dilakukan dengan membuat master mix terlebih dahulu kemudian diamplifikasi dengan memasukkan master mix tersebut ke dalam alat real-time PCR. a) Pembuatan Master Mix Master mix untuk pengujian dengan real-time PCR terdiri dari 7 µl buffer TE, 10 µl SsoFastTM EvaGreen® Supermix (terdiri dari 2x reaction buffer dengan dNTPs, Sso7dfusion polymerase, MgCl2, EvaGreen dye, dan penstabil), dan masing-masing 0,5 µl 22 reverse dan forward primer InvA pada konsentrasi tertentu. Volume master mix keseluruhan untuk pengujian satu jenis template DNA adalah 18 µl. Bahan-bahan untuk membuat master mix tersebut dicampur dalam satu tabung mikrosentrifus 2 ml dan dihomogenkan dengan vortex. Untuk melakukan pengujian beberapa jenis template DNA, maka volume masing-masing bahan dikali dengan banyaknya jenis template DNA yang akan diuji pada real-time PCR dan dicampur di dalam tabung mikrosentrifus. Kemudian masing-masing 18 µl campuran master mix yang telah dibuat pada tabung mikrosentrifus tersebut diambil dan dimasukkan kedalam setiap well yang kemudian ditambahkan dengan 2 µl template DNA yang selanjutnya dihomogenkan pada MixMate PCR 96 dan dimasukkan pada alat real-time PCR. b) Amplifikasi dengan real-time PCR Masing-masing sebanyak 18 µl master mix dan 2 µl template/isolat DNA yang telah dibuat dimasukkan ke dalam setiap well pada plate 96 Well Reaction. Kemudian well ditutup dengan PCR SealerTM Microseal® ‘B’ Film dan dihomogenkan dengan menggunakan MixMate PCR 96. Well dimasukkan ke dalam real-time PCR yang telah diatur dengan protokol PCR tertentu. Protokol PCR yang digunakan adalah predenaturasi pada suhu 95oC selama 1 menit, diikuti dengan 35 siklus denaturasi pada suhu 95oC selama 30 detik dan annealing pada suhu 58.1oC selama 1 menit. Primer elongasi dilakukan pada suhu 72oC selama 1 menit 30 detik dan final elongasi selama 10 menit pada suhu 72oC. Analisis melting curve dari produk akhir PCR dilakukan sebanyak 81 siklus pada suhu 55oC selama 10 detik. Kemudian dilakukan running dengan real-time PCR. 5. Penentuan Konsentrasi Primer Penentuan konsentrasi primer pada penelitian ini dilakukan dengan cara menguji primer dengan konsetrasi 0,0125; 0,025; dan 0,125 µM pada sampel kultur murni Salmonella Typhimurium, menguji primer dengan konsentrasi 0,025 dan 0,125 µM untuk sampel suspensi 103 sel/ml Salmonella Typhimurium dan sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium ke dalam real-time PCR dengan melalui dua tahap yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Kemudian dipilih konsentrasi primer yang sesuai/tepat. Konsentrasi primer yang sesuai/tepat adalah konsentrasi primer yang menghasilkan nilai Ct yang paling rendah dan tanpa menghasilkan atau seminimal mungkin menghasilkan primer-dimer pada kurva puncak pelelehan (Pestana et al. 2010). 6. Penentuan Spesifisitas Primer (Ahmed et al. 2009) Isolat DNA kultur murni Salmonella Typhimurium sebagai kontrol positif dan isolat DNA Shigella sonnei sebagai kontrol negatif diuji dengan real-time PCR. Pengujian dengan real-time PCR telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Penentuan spesifisitas dilakukan dengan menggunakan primer InvA forward dan reverse yang telah dianalisis dengan Basic Local Alignment Search Tool (NCBI 2011) dimana sekuen oligonukleotida primer yang digunakan tersebut telah spesifik untuk Salmonella dan tidak sesuai dengan sekuen gen pada patogen tertentu yang biasa terdapat pada susu. Kemudian setelah pengujian dengan realtime PCR selesai, dilakukan analisis terhadap kurva puncak pelelehan (melt peak curve) dan kurva amplifikasi yang dihasilkan. Jika primer yang digunakan spesifik untuk Salmonella Typhimurium, maka Shigella sonnei tidak akan teramplifikasi dan tidak akan menghasilkan 23 nilai Tm pada melt peak curve sedangkan Salmonella Typhimurium akan teramplifikasi dan menghasilkan nilai Tm. 7. Pengkuantifikasian Salmonella Typhimurium pada Sampel Pangan Proses pengkuantifikasian dilakukan dengan membuat kurva standar yang menghubungkan nilai Ct yang diperoleh dengan real-time PCR pada sumbu-y dan log konsentrasi mikroba pada sumbu-x. Kurva standar dibuat dengan mengencerkan 100 µl kultur murni Salmonella Typhimurium ke dalam 9 ml larutan pengencer NaCl 0,85%. Suspensi tersebut dihitung kandungan sel dalam setiap ml pengencer dengan hitungan mikroskopi pada petroff-hausser. Setelah diperoleh sejumlah 108 sel/ml dalam suspensi, maka dilakukan pengenceran hingga 103 sel/ml. Kemudian dilakukan isolasi DNA dan pengujian dengan real-time PCR sampai diperoleh nilai Ct dan kurva standar yang menghasilkan persamaan garis dengan efisiensi 96-110%; dan slope -3,1 hingga -3,6 (Pestana et al. 2010). Efisiensi merupakan faktor penting untuk setiap metode kuantitatif PCR yang reliable (Siebert 1999). Efisiensi amplifikasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: % E = [(10-1/slope)-1] x 100% Nilai Threshold Cycle (Ct) dari hasil pengujian sejumlah 105 sel/ml Salmonella Typhimurium pada sampel susu spike dimasukkan ke dalam persamaan garis yang diperoleh. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui nilai konsentrasi Salmonella Typhimurium yang terdapat pada susu berdasarkan pengujian dengan real-time PCR. Nilai konsentrasi hasil pengujian dengan real-time PCR tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai konsentrasi yang sesungguhnya dimana dihitung dengan petroff-hausser dan dengan metode konvensional pada media XLDA. 24 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kultur Murni Hasil Pengecekan Kemurnian Hasil goresan kuadran kultur murni ke dalam media Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA) menghasilkan koloni Salmonella Typhimurium berwarna merah muda dengan inti hitam di tengahnya dimana hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan pada Bacteriological Analytical Manual mengenai Salmonella (Andrews dan Hammack 2011). Sedangkan Shigella sonnei membentuk koloni merah muda tanpa ada inti hitam (Health Protection Agency 2007). Hasil pengisolasian Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei dapat dilihat pada Gambar 11. di bawah ini. (a) Salmonella Typhimurium (b) Shigella sonnei Gambar 11. Isolasi bakteri (a) Salmonella Typhimurium dan (b) Shigella sonnei pada media XLDA Masing-masing satu koloni spesifik tersebut kemudian diisolasi dalam Heart Infusion Broth dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC sebagai kultur murni mikroba spesifik Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei yang selanjutnya digunakan dalam proses isolasi/ekstraksi DNA dan juga diinokulasi ke dalam sampel pangan susu UHT (sampel susu UHT spike). Penelitian yang dilakukan Omiccioli et al. (2009) dan Hadjinicolaut et al. (2009) juga menggunakan XLDA dalam tahap pengayaan mengkulturkan mikroba. 25 B. Inokulasi Susu dengan Kultur Murni Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei (Sampel Susu UHT spike) Hasil hitungan secara mikroskopi dengan menggunakan petroff-hausser terhadap suspensi Salmonella Typhimurium pada larutan pengencer NaCl 0,85% yaitu sebesar 1,4 x 108 sel/ml Salmonella Typhimurium untuk proses isolasi DNA dengan metode kit komersial dan 1,6 x 107 sel/ml Salmonella Typhimurium untuk proses isolasi DNA dengan metode pendidihan, sedangkan penghitungan terhadap Shigella sonnei yaitu sebesar 2,5 x 107 sel/ml. Ketiga penghitungan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5. Karena konsentrasi suspensi lebih besar dari 105 sel/ml maka dilakukan pengenceran terhadap suspensi tersebut hingga diperoleh konsentrasi suspensi sekitar 105 sel/ml. Setelah dilakukan pengenceran, jumlah Salmonella Typhimurium pada susu UHT yang akan diisolasi/diekstraksi dengan metode kit komersial yaitu sebanyak 7,0 x 104 atau 0,7 x 105 sel/ml, pada susu UHT yang akan diisolasi/diekstraksi dengan metode pendidihan sebanyak 8,0 x 104 atau 0,8 x 105 sel/ml Salmonella Typhimurium, dan jumlah Shigella sonnei pada susu UHT yang akan diisolasi/diekstraksi dengan metode kit komersial sebanyak 1,2 x 105 sel/ml. Hasil penghitungan konsentrasi akhir Salmonella Typhimurium pada sampel susu UHT spike dan penghitungan awal mikroba natural pada susu UHT dengan metode konvensional dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sampel susu UHT tidak mengandung mikroba Salmonella Typhimurium dan ketika diinokulasi dengan Salmonella Typhimurium maka sampel susu UHT spike tersebut mengandung 3,9 x 104 CFU/ml (penghitungan ke-1) dan 2,6 x 104 CFU/ml (penghitungan ke-2) Salmonella Typhimurium yang tumbuh dan hidup di dalamnya. Penghitungan ke-1 merupakan tahapan inokulasi Salmonella Typhimurium ke dalam susu yang akan disolasi/ diekstraksi dengan metode kit komersial dan penghitungan ke-2 merupakan tahapan inokulasi Salmonella Typhimurium yang akan disolasi/diekstraksi dengan metode pendidihan. Konsentrasi Salmonella Typhimurium yang terkandung di dalam sampel susu UHT spike 4 (10 CFU/ml) tidak sama dengan konsentrasi Salmonella Typhimurium yang ditambahkan dimana diukur dengan menggunakan pengukuran mikroskopi pada petroff-hausser (105 sel/ml). Hal tersebut dikarenakan penghitungan dengan petroff-hausser tidak dapat membedakan mikroba yang hidup dan yang telah mati sehingga Salmonella Typhimurium yang telah mati juga ikut terhitung bersama dengan sel yang hidup. Sedangkan metode konvensional pada media XLDA, Salmonella Typhimurium yang terhitung adalah mikroba yang hidup saja. Sehingga hitungan konsentrasi Salmonella Typhimurium yang ditambahkan lebih besar dibandingkan konsentrasi akhir pada sampel susu UHT spike. C. Isolat/Template DNA yang Dihasilkan Satu hal penting yang dibutuhkan untuk mendeteksi suatu mikroba dengan menggunakan realtime PCR adalah DNA mikroba tersebut yang murni tanpa pengotor. Cara memperolehnya adalah dengan mengisolasi/mengekstraksi DNA dari dalam sel. Berbagai teknik ekstraksi DNA salah satunya metode pendidihan telah dikembangkan dari prinsip dasar tersebut, sehingga saat ini muncul berbagai teknik ekstraksi dan purifikasi DNA dalam bentuk kit, dimana prosesnya cukup mudah, cepat, dan sederhana (Sulandari dan Zein 2003). 1. Isolasi/Ekstraksi DNA dengan Metode Pendidihan DNA yang berasal dari bakteri Gram negatif (contohnya: Salmonella) dapat dengan mudah diisolasi/diekstraksi dengan menggunakan metode pendidihan atau mendidihkan sel bakteri di dalam air (Lee et al. 2006). Kemurnian isolat DNA yang dihasilkan dapat diketahui dengan mengukurnya pada UV-VIS spektrofotometer. Isolat DNA dikatakan murni jika rasio diantara nilai absorbansi pada panjang gelombang 260 dan 280 berada pada selang 1,8 hingga 2,0 (Nolan 26 et al. 2007). Di bawah ini merupakan hasil pengukuran kemurnian isolat/template DNA yang diperoleh dengan metode pendidihan (Tabel 2.). Tabel 2. Kemurnian isolat DNA Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei dengan metode pendidihan Sampel A1 (260) A2 (280) Rasio A1/A2 [DNA] ng/µl [Protein] ng/µl Spike ST1 0,068 0,097 0,6 0,367 86,964 Spike ST2 0,068 0,096 0,6 0,356 82,964 Spike SS1 0,071 0,100 0,6 0,360 85,708 Spike SS2 0,062 0,089 0,6 0,329 81,386 KM ST1 0,127 0,077 1,6 5,188 23,002 KM ST2 0,098 0,059 1,7 4,009 16,948 KM SS1 0,079 0,057 1,4 2,909 28,399 KM SS2 0,105 0,076 1,4 3,871 36,948 Ket: Spike ST1 & 2 (Sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium ulangan 1 dan 2); Spike SS1 & 2 (Sampel susu UHT spike Shigella sonnei ulangan 1 dan 2); KM ST1 & 2 (Kultur Murni Salmonella Typhimurium ulangan 1 dan 2); KM SS1 & 2 (Kultur Murni Shigella sonnei ulangan 1 dan 2). A1 adalah nilai absorbansi pada panjang gelombang 260; A2 adalah nilai absorbansi pada panjang gelombang 280. Berdasarkan hasil pengukuran spektrofotometri tersebut menunjukkan bahwa isolat DNA yang dihasilkan dari metode pendidihan belum murni yang artinya selain DNA, masih terdapat pengotor yang terkandung di dalam isolat tersebut salah satunya adalah protein. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio yang tidak berada pada selang 1,8-2,0 baik pada sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei maupun sampel kultur murni Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei yang diambil dari media pengayaan HIB. Adanya pengotor pada isolat tersebut ditunjukkan pula dengan tingginya nilai konsentrasi protein yang dihasilkan. Nilai konsentrasi protein yang dihasilkan pada sampel susu UHT spike jauh lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi protein yang diperoleh dari sampel kultur murni mikroba spesifik. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya modifikasi metode pendidihan khusus untuk sampel pangan yang mengandung protein tinggi seperti susu. Selain mengandung protein, susu juga mengandung lemak, kation (kalsium/Ca2+), dan pengkelat yang tinggi dimana komponen pangan tersebut menjadi inhibitor pada pengujian dengan menggunakan real-time PCR. Inhibitor tersebut dapat mengikat dan menurunkan aktivitas enzim polimerase, menyebabkan perubahan konformasi dalam DNA target, atau bersaing dengan primer untuk menempati primer binding sites (Lee et al. 2006 dan Siebert 1999). Hasil spektrofotometri tersebut membuktikan bahwa tahap pengisolasian DNA dari suatu matriks pangan merupakan hal yang sangat kritis dan kompleks dalam menjalankan pengujian dengan menggunakan real-time PCR. Keberadaan komponen gizi pada pangan dapat menjadi inhibitor PCR dimana dapat memberikan efek yang bervariasi, tetapi secara umum inhibitor tersebut dapat mempersulit pendeteksian DNA bakteri yang memiliki konsentrasi rendah (Lee et al. 2006). Hasil isolasi/ekstraksi DNA pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Amagliani et al. (2006) yang membandingkan metode isolasi/ekstraksi DNA dengan cara pendidihan dan dengan kit komersial DNeasy Tissue Kit (Qiagen) berdasarkan pengukuran rasio 27 A260/A280 pada UV-1700 spektrofotometer di dalam sampel pangan keju mozarela yang kaya akan lemak dan kalsium sebagai inhibitor dimana inhibitor tersebut juga terkandung pada susu UHT sebagai sampel pangan yang diuji pada penelitian ini. Penelitian Amagliani et al. (2006) tersebut menunjukkan bahwa metode pendidihan menghasilkan kemurnian isolat DNA yang kurang baik dimana nilai rasio A260/A280 lebih rendah dari 1,8. Hal tersebut terbukti pada pengujian kuantifikasi Salmonella Typhimurium dengan real-time PCR yang akan dibahas pada sub bab selanjutnya. Walaupun terdapat inhibitor di dalam isolat DNA yang diisolasi/diekstraksi dengan metode pendidihan, tetapi isolat tersebut masih dapat teramplifikasi contohnya pada pengujian penentuan spesifisitas primer InvA yang digunakan dan juga pada pengujian penentuan konsentrasi primer yang tepat dimana akan dibahas pada sub bab selanjutnya. 2. Isolasi/Ekstraksi DNA dengan Kit Komersial Keberadaan inhibitor baik dalam media kultur murni maupun dalam sampel pangan dapat menghambat proses amplifikasi dengan real-time PCR. Untuk mengatasinya, Chen et al. (1997) diacu dalam Lee et al. (2006) menggunakan metode kit komersial dalam proses isolasi/ekstraksi DNA Salmonella dari sampel susu nonpasteurisasi (raw milk), selain itu juga menggunakan proses pengayaan dan sentrifugasi untuk tahapan memanen/mengambil patogen. Begitu juga Omiccioli et al. (2009) dimana melakukan hal yang sama, namun menggunakan merk kit komersial yang berbeda. Isolat/template DNA yang dihasilkan diuji tingkat kemurniannya dengan menggunakan spektrofotometer dimana prinsipnya sama dengan pengukuran isolat DNA metode pendidihan. Hasil pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 3. di bawah ini. Tabel 3. Kemurnian isolat DNA Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei dengan metode kit komersial Sampel A1 (260) A2 (280) Rasio A1/A2 [DNA] ng/µl [Protein] ng/µl KM ST 0,047 0,029 2,0 1,610 -0,034 KM SS 0,003 0,001 2,0 0,180 0,075 Spike ST 0,036 0,021 2,1 1,305 -0,162 Ket: KM ST (Kultur Murni Salmonella Typhimurium); KM SS (Kultur Murni Shigella sonnei); Spike ST ( Sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium) Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa isolat DNA ketiga sampel yaitu kultur murni Salmonella Typhimurium, kultur murni Shigella sonnei, dan sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium memiliki nilai rasio yang diharapkan yaitu berada pada selang 1,8-2,0. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemurnian ketiga isolat DNA sangat baik, namun pada sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium, nilai rasio yang dihasilkan sedikit melebihi 2,0. Jika nilai rasio yang dihasilkan melebihi 2,0 maka, hal tersebut mengindikasikan bahwa isolat DNA tidak mengandung/terkontaminasi protein tetapi masih mengandung RNA di dalamnya (Anonoim 2007). Sedangkan kultur murni Salmonella Typhimurium dan kultur murni Shigella sonnei menghasilkan nilai rasio tepat 2,0 dan konsentrasi protein yang dihasilkan pun sangat rendah jika dibandingkan dengan isolat kultur murni Shigella sonnei yang diisolasi/diekstraksi dengan metode pendidihan. Hal ini menunjukkan bahwa metode isolasi dengan menggunakan kit komersial menghasilkan isolat DNA yang jauh lebih murni dibandingkan dengan metode 28 pendidihan yang dilakukan. Hal tersebut dikarenakan metode kit komersial memiliki prinsip metode dengan perlakuan proteinase K yang diikuti dengan pengikatan DNA pada membran gel silika/filter sehingga kontaminan akan turun/terpisah ke dalam spin column/collection tube (Dauphin et al. 2009). Hasil isolasi/ekstraksi DNA pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Amagliani et al. (2006) yang membandingkan metode isolasi/ekstraksi DNA dengan cara pendidihan dan dengan kit komersial DNeasy Tissue Kit (Qiagen). Penelitian Amagliani et al. (2006) tersebut menunjukkan bahwa nilai rasio pada isolat DNA yang dihasilkan dengan DNeasy Tissue Kit (Qiagen) dimana memiliki tingkat kemurnian yang kurang baik bahkan lebih jelek dibanding dengan metode pendidihan, namun tidak pada penelitian yang dilakukan dimana isolat/template DNA yang dihasilkan dengan kit komersial QIAamp® DNA Blood Mini Kit (Qiagen) menghasilkan isolat/template DNA yang lebih murni dibanding dengan metode pendidihan. Hal tersebut dapat dikarenakan pengaruh modifikasi metode kit komersial yang dilakukan pada penelitian ini dari metode sesungguhnya yang berdasarkan petunjuk produser kit terkait. Penelitian Amagliani et al. (2006) juga menunjukkan konsentrasi/yield DNA yang dihasilkan dengan metode pendidihan lebih besar dibandingkan dengan metode kit komersial. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian ini dimana konsentrasi DNA kultur murni Salmonella Typhimurium dan kultur murni Shigella sonnei yang diperoleh dengan metode pendidihan lebih besar dibandingkan dengan metode kit komersial, namun tidak terjadi pada sampel susu UHT spike dimana konsentrasi/yield DNA yang dihasilkan lebih besar dengan metode kit komersial dibandingkan dengan metode pendidihan. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa DNA Salmonella Typhimurium lebih mudah diisolasi/diekstraksi dari sampel susu UHT dengan menggunakan metode kit komersial yang dimodifikasi. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Dauphin et al. (2009) dimana membandingkan kemurnian isolat/template DNA yang dihasilkan dengan berbagai macam kit salah satunya adalah QIAamp® DNA Blood Mini Kit (Qiagen) dimana kit tersebut juga digunakan pada penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Dauphin et al. (2009) menunjukkan bahwa isolat/template DNA yang dihasilkan dengan kit QIAamp® DNA Blood Mini Kit (Qiagen) memiliki kemurnian yang kurang baik dimana nilai rasio A260/A280 lebih kecil dari 1,8 sehingga menandakan bahwa isolat DNA tersebut masih mengandung inhibitor/pengotor. Hal tersebut tidak sesuai dengan kemurnian yang dihasilkan dari penelitian ini dimana menghasilkan isolat/template DNA dengan kemurnian yang baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa modifikasi dengan penambahan CTAB terhadap metode yang berasal dari produsen berkait memperbaiki hasil kemurnian isolat DNA menjadi lebih baik. D. Hasil Penentuan Konsentrasi Primer Pertama kali yang perlu dilakukan dalam pengujian real-time PCR adalah mengevaluasi dan mengkaji penggunaan konsentrasi primer yang tepat (Pestana et al. 2010). Pemilihan konsentrasi primer yang tepat dari sejumlah konsentrasi primer yang diujikan, dilakukan berdasarkan nilai Ct yang paling rendah dan fluoresen yang cukup memenuhi syarat terhadap konsentrasi primer target sehingga menghasilkan primer-dimer seminimal mungkin atau bahkan tanpa menghasilkan primer-dimer (Pestana et al., 2010). Hasil penentuan konsentrasi primer yang telah dilakukan pada berbagai macam template/isolat DNA dapat dilihat pada Tabel 4. berikut ini. Kurva amplifikasi yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 7. sampai dengan Lampiran 12. 29 Tabel 4. Pengaruh konsentrasi primer terhadap nilai Threshold Cycle (Ct) Template DNA Kultur Murni S. Typhimurium [Primer] awal (µM) [Primer] akhir (µM) Nilai Ct 0,5 0,0125 19,17 1 0,0250 14,15 5 0,1250 11,39 S. Typhimurium 103 sel/ml 1 0,0250 tidak teramplifikasi 5 0,1250 31,35 Sampel susu UHT spike 1 0,0250 27,79 S. Typhimurium 5 0,1250 24,29 Konsentrasi primer akhir yang dimaksud adalah konsentrasi primer awal yang telah dicampurkan ke dalam master mix sehingga diperoleh master mix yang mengandung primer dengan konsentrasi yang lebih rendah (konsentrasi primer akhir) karena terjadi pengenceran dengan bahan-bahan lainnya seperti EvaGreen, isolat/template DNA, dan buffer TE pada master mix. Penentuan konsentrasi primer untuk sampel kultur murni Salmonella Typhimurium yang diambil dari media HIB menghasilkan nilai threshold cycle (Ct) yang berbeda pula jika diuji dengan menggunakan konsentrasi primer yang berbeda. Begitu juga pada sampel Salmonella Typhimurium 103 sel/ml dan sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium. Berdasarkan Tabel 4. di atas, konsentrasi primer yang tepat untuk pengujian kultur murni Salmonella Typhimurium adalah 0,125 µM dibandingkan jika menggunakan konsentrasi primer 0,025 dan 0,0125 µM. Hal tersebut dikarenakan nilai Ct yang dihasilkan pada konsentrasi primer 0,125 µM paling rendah jika dibandingkan dengan nilai Ct pada konsentrasi primer lainnya. Kemudian penentuan konsentrasi primer juga dilakukan pada suspensi kultur murni yang telah diencerkan sehingga jumlahnya menjadi lebih rendah yaitu mengandung 103 sel/ml Salmonella Typhimurium yang dihitung dengan hitungan mikroskopi pada petroff-hausser. Pengujian ini berfungsi untuk mengetahui sensitifitas metode dengan menggunakan konsentrasi primer yang berbeda. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi primer 0,025 µM gen target InvA pada Salmonella Typhimurium tidak dapat teramplifikasi sedangkan konsentrasi primer 0,125 µM masih dapat mengamplifikasi Salmonella Typhimurium sejumlah 103 sel/ml. Penentuan konsentrasi primer ini juga dilakukan pada sampel susu UHT spike. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi primer 0,125 µM menghasilkan nilai Ct yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi primer 0,025 µM. Dari pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan konsentrasi primer 0,125 µM cukup sesuai untuk pengujian Salmonella Typhimurium sampai konsentrasi 103 sel/ml baik berupa suspensi dari kultur murni maupun yang berada pada sampel pangan susu UHT. Selain itu juga, indikator dalam penentuan konsentrasi primer yang tepat adalah berdasarkan melt peak curve yang dihasilkan dimana harus mengandung satu puncak saja dan tidak menghasilkan mispriming. Gambar melt peak curve dari pengujian kultur murni Salmonella Typhimurium, suspensi 103 sel/ml Salmonella Typhimurium, dan sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium dengan menggunakan konsentrasi primer 0,125 µM adalah sebagai berikut ini (Gambar 12.). 30 (a) (b) (c) Gambar 12. Kurva puncak pelelehan/melt peak curve dengan konsentrasi primer 0,125 µM. (a) Sampel kultur murni Salmonella Typhimurium, (b) sampel 103 sel/ml Salmonella Typhimurium, (c) Sampel susu UHT spike 105 sel/ml Salmonella Typhimurium Ketiga kurva tersebut menghasilkan hanya satu puncak yang tinggi dan satu suhu pelelehan (Tm) yaitu sebesar 84,50 yang dapat dilihat pada tabel di Lampiran 8, 10, 12. Terbentuknya satu puncak dan satu suhu pelelehan menandakan bahwa konsentrasi primer 0,125 µM cukup tepat untuk pengujian ini, yang artinya tidak terlalu besar dimana dapat menyebabkan mispriming/primer-dimer (terbentuk lebih dari satu puncak yang tinggi) dan tidak pula terlalu rendah dimana dapat menyebabkan false-negative, namun pada kurva puncak pelelehan yang ditunjukkan pada Gambar 12c. untuk sampel susu UHT spike terdapat/terbentuk satu puncak kecil di sebelah kiri puncak pelelehan utama yang memiliki nilai Tm yang lebih rendah, hal tersebut menandakan adanya primer-dimer (sesama primer yang saling berikatan), dimana terbentuk suatu DNA untai ganda yang sangat pendek. Terbentuknya primer-dimer tersebut sangat minimal dimana penentuan konsentrasi 0,125 µM sebagai primer yang sesuai masih memenuhi syarat dari Pestana et al. (2010). Penelitian yang dilakukan Ahmed et al. (2010) yang melakukan optimasi konsentrasi primer mulai dari konsentrasi 0,1 hingga 0,5 µM dengan menghasilkan konsentrasi optimum sebesar 0,3 µM. Perbedaan hasil konsentrasi primer optimum yang diperoleh ini dikarenakan perbedaan label fluoresen yang digunakan. Jika menggunakan SYBR® green I sebagai label fluoresen, maka konsentrasi primer yang digunakan berada pada selang 0,05-0,3 µM sedangkan jika menggunakan TaqMan atau Molecular Beacon sebagai label fluoresen maka konsentrasi primer yang digunakan berada pada selang 0,05 hingga 0,6 µM (Pestana et al. 2010). Penelitian yang dilakukan Ahmed et al. (2010) menggunakan SYBR® Green I sebagai label fluoresen sedangkan penelitian ini menggunakan EvaGreen dye. Sehingga penggunaan konsentrasi primer yang tepat pada suatu penelitian bergantung pada bahan lain yang digunakan salah satunya adalah label fluoresen, namun berdasarkan protokol dalam kemasan EvaGreen, evagreen dye yang digunakan cara kerjanya sama dengan SYBR® Green I 31 dan konsentrasi primer yang tepat pada penelitian ini yaitu sebesar 0,125 µM dimana telah masuk pada selang konsentrasi primer yang sesuai jika pengujian dengan real-time PCR menggunakan SYBR® green I sebagai bahan pendar yaitu antara 0,05 hingga 0,3 µM (Pestana et al. 2010). Penelitian Shanmugasundaram et al. (2009) dimana menggunakan reverse dan forward primer dengan urutan nukleotida yang sama, menggunakan sebanyak 0,15 µM primer pada pengujian dengan real-time PCR. Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan konsentrasi primer yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebesar 0,125 µM. E. Hasil Penentuan Spesifisitas Primer Reverse dan forward primer yang digunakan untuk mendeteksi gen target InvA pada Salmonella Typhimurium diperkirakan berukuran 211 bp. Kedua jenis primer tersebut telah digunakan pada penelitian yang dilakukan Shanmugasundaram et al. pada tahun 2009. Primer tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan Basic Local Alignment Search Tool (NCBI 2011) dan hasil analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 13. Untuk lebih meyakinkan bahwa kedua primer tersebut spesifik terhadap Salmonella Typhimurium maka dilakukan pengujian Salmonella Typhimurium sebagai kontrol positif dan Shigella sonnei sebagai kontrol negatif dengan menggunakan real-time PCR. Hasil penentuan spesifisitas primer dengan menggunakan real-time PCR dapat dilihat pada kurva amplifikasi dan kurva puncak pelelehan pada Gambar 12. dan Gambar 13. berikut ini. Salmonella Typhimurium Shigella sonnei Ct Gambar 13. Kurva amplifikasi uji spesifisitas primer Shigella sonnei Salmonella Typhimurium Gambar 14. Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) uji spesifisitas primer 32 Kurva amplifikasi yang dihasilkan oleh real-time PCR menunjukkan bahwa kontrol negatif tidak teramplifikasi dan bakteri uji teramplifikasi dengan nilai Threshold Cycle (Ct) sebesar 12,37. Hal tersebut menandakan bahwa primer yang digunakan spesifik untuk Salmonella. Proses amplifikasi tersebut mencirikan bahwa forward dan reverse primer yang ditambahkan dapat berikatan dan bereplikasi dengan sejumlah sekuen nukleotida di dalam gen target InvA yang hanya terdapat pada Salmonella khususnya serovar Typhimurium. Selain menganalisis kurva amplifikasi (amplification curve), pengujian spesifisitas primer juga dilakukan dengan menganalisis kurva puncak pelelehan (melt peak curve) dengan melihat titik puncak pelelehan (melt peak) dan nilai Tm (Melting Temperature) yang dihasilkan pada kurva tersebut. Kurva puncak pelelehan menunjukkan bahwa kontrol positif Salmonella Typhimurium hanya menghasilkan satu puncak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada pengujian tersebut tidak terjadi mispriming yang artinya primer yang digunakan spesifik dan tidak mengamplifikasi gen lain selain gen target. Nilai Tm yang dihasilkan sebesar 84,50oC. Nilai tersebut dapat menjadi ciri khusus bagi Salmonella Typhimurium pada pengujian selanjutnya. Selain itu kurva tersebut juga menunjukkan bahwa kultur murni Shigella sonnei tidak menghasilkan puncak dan nilai Tm yang menandakan bahwa primer tidak dapat mendeteksi bakteri lain selain Salmonella khususnya serovar Typhimurium. Shanmugasundaram et al. (2009) dalam penelitiannya dimana menggunakan reverse dan forward primer InvA dengan urutan nukleotida yang sama menunjukkan hasil yang sama pula dengan penelitian ini dimana primer InvA tersebut spesifik Salmonella. Hasil tersebut ditunjukkan dengan dapat teramplifikasinya/menghasilkan uji positif pada berbagai subspesies dan serovar Salmonella dengan strain yang berbeda tetapi tidak dapat mengamplifikasi/menghasilkan uji negatif pada jenis mikroba selain Salmonella seperti Escherichia coli, Bacillus cereus, Yersinia intermedia, Yersinia enterocolitica, Aeromonas hydrophila, dan Staphylococcus aureus. F. Kuantifikasi Salmonella Typhimurium pada Sampel Pangan Susu UHT Pada pengkuantifikasian Salmonella Typhimurium pada sampel susu UHT diperoleh dua jenis kurva standar yaitu kurva standar yang dihasilkan dari isolat/template DNA dengan metode pendidihan dan kurva standar yang diperoleh dari isolat/template DNA dengan metode kit komersial. Kedua kurva standar yang dihasilkan tersebut menghasilkan efisiensi pengujian, nilai R2 dan slope yang berbeda. 1. Kurva Standar Metode Pendidihan Kurva standar yang dibuat dengan menggunakan isolat/template DNA dengan metode pendidihan menghasilkan slope sebesar -1,455 dimana nilai tersebut tidak berada dalam selang slope yang diharapkan, sehingga nilai efisiensi yang diperoleh tidak bagus yaitu sebesar 386,8% dan nilai R2 yang rendah yaitu sebesar 0,824. Kurva standar yang dibuat dengan metode pendidihan ini tidak dapat digunakan dalam pengkuantifikasian Salmonella Typhimurium dalam sampel susu UHT spike karena akan menyebabkan ketidaksesuaian dari hasil yang diperoleh. Kurva standar yang dihasilkan dari isolat DNA dengan menggunakan metode pendidihan ditunjukkan pada Gambar 15. berikut ini dan nilai threshold cycle (Ct) serta kurva amplifikasi yang dihasilkan untuk membuat kurva standar ini dapat dilihat pada Lampiran 14a. dan Lampiran 14b. Kurva pelelehan dan kurva puncak pelelehan yang dihasilkan dalam membuat kurva standar dapat dilihat pada Lampiran 15a. dan Lampiran 15b., sedangkan tabel suhu pelelehannya dapat dilihat pada Lampiran 15c. 33 Threshold Cycle Log Starting Quantity, fold dilution E=386,8% R2=0,824 slope=-1,455 y-int=35,444 Gambar 15. Kurva standar metode pendidihan Nilai efisiensi pengujian dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah urutan sekuen yang diamplifikasi, urutan sekuen primer yang digunakan, panjang sekuen yang diamplifikasi, dan kemurnian isolat DNA/inhibitor yang terdapat pada isolat (Siebert 1999). Kurva standar yang dihasilkan dengan metode pendidihan ini memiliki efisiensi yang buruk, hal tersebut dikarenakan tidak murninya isolat DNA yang digunakan/dihasilkan dari metode pendidihan. Ketidakmurnian isolat DNA dapat dilihat dari hasil pengukuran dengan spektrofotometer pada Lampiran 16. dimana nilai rasio tidak berada pada selang 1,8-2,0 dan nilai konsentrasi protein yang begitu tinggi. Keberadaan inhibitor pada suatu reaksi real-time PCR dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai efisiensi yang dikarenakan meningkatnya nilai Ct dan penurunan nilai absolut dari slope (Pestana et al. 2010). Selain itu tingginya nilai persentase effisiensi yang diperoleh (>110%) menjadi indikator terjadinya pippeting error ketika dilakukannya pengenceran, terjadinya amplifikasi pada produk yang non-spesifik, dan keberadaan dari primer-dimer (Pestana et al. 2010). Primer-dimer merupakan proses saling berikatannya primer (baik itu sesama reverse primer, sesama forward primer, maupun antara reverse dan forward primer) yang teramplifikasi dan terkuantifikasi sehingga dihasilkan pengujian yang false-positive (sampel yang negatif menghasilkan uji yang positif) (Pestana et al. 2010). Berdasarkan hasil tersebut perlu dilakukan pengembangan metode pendidihan lebih lanjut untuk mengatasi inhibitor yang terbawa pada isolat DNA salah satunya adalah dengan menambahkan Chelex-100 pada metode pendidihan seperti yang dilakukan oleh Kim et al. (2001) pada penelitiannya mengenai pengujian S. aureus pada sampel susu mastitis dimana metode pendidihan yang dilakukannya menghasilkan sensitivitas pengujian yang rendah. Chelex-100 merupakan resin pengkelat berupa kopolimer styrene divinilbenzene yang mengandung pasangan ion-ion iminodiasetat. Chelex-100 efisien diregenerasi di dalam asam encer dan dapat digunakan dalam kondisi basa, netral, dan asam lemah pada pH 4 atau lebih tinggi. Chelex-100 bertindak sebagai penukar anion pada pH yang sangat rendah. Resin chelex-100 memiliki banyak kegunaan diantaranya adalah menghilangkan logam dari reagen dan media kultur, mempurifikasi dinukleotida, menghilangkan kalsium di dalam darah, dan ekstraksi DNA untuk PCR (Bio-Rad Laboratories 2011). Kim et al. (2001) juga telah mengujikan metode pendidihan dengan menambahkan PBS dan metanol untuk menghilangkan inhibitor pada susu, namun hasilnya isolat DNA yang dihasilkan tetap mengandung inhibitor dimana mempengaruhi aktivitas Taq DNA Polimerase yang digunakan. 34 Selain itu juga dapat menambahkan/menggantikan suatu komponen yang mengatasi inhibitor pada saat pengujian sampel susu dengan real-time PCR. Salah satunya dengan mengganti Taq DNA Polimerase dengan menggunakan Tth DNA Polimerase seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (2001). Menurutnya, Tth DNA Polimerase lebih sensitif daripada Taq DNA Polimerase dalam pengujian sampel susu karena Taq DNA Polimerase diganggu/dihambat oleh inhibitor yang terdapat pada susu. Selain itu, Tth DNA Polimerase dapat menghasilkan data yang konsisten pada pengujian sebanyak tiga kali ulangan. 2. Kurva Standar Metode Kit Komersial Threshold Cycle Kurva standar yang dihasilkan dari isolat/template DNA dengan menggunakan metode kit komersial ditunjukkan pada Gambar 16. di bawah ini dan nilai threshold cycle (Ct) serta kurva amplifikasi yang dihasilkan untuk membuat kurva standar dapat dilihat pada Lampiran 17a dan 17b., sedangkan kurva pelelehan, kurva puncak pelelehan, dan nilai suhu pelelehannya dalat dilihat pada Lampiran 18. Log Starting Quantity, fold dilution E=100% R2=0,972 slope=-3,322 y-int=40,564 Gambar 16. Kurva standar metode kit komersial Kurva standar yang dihasilkan dari suspensi Salmonella Typhimurium dengan konsentrasi 10 hingga 108 sel/ml yang diperoleh dengan metode kit komersial memiliki nilai slope -3,3 dimana nilai tersebut termasuk ke dalam slope yang diharapkan. Oleh karena itu, nilai efisiensi yang diperoleh sangat baik yaitu sebesar 100% dengan nilai R2 mencapai 0,972. Persamaan garis dari kurva standar tersebut yaitu y = 40,564 - 3,322x dengan y adalah nilai Ct dan x adalah log konsentrasi mikroba yang diuji. Nilai tersebut dapat dihasilkan karena isolat DNA yang digunakan cukup murni dimana dapat dilihat pada Lampiran 19. Nilai efisiensi yang mendekati dan mencapai 100% adalah indikator yang baik untuk pengujian yang reliable, reproducible, dan robust (Pestana et al. 2010). Oleh karena itu, kurva standar ini dapat digunakan dalam proses kuantifikasi Salmonella Typhimurium pada sampel susu UHT spike. Susu yang telah mengandung 3,9 x 104 CFU/ml Salmonella Typhimurium tersebut masuk ke dalam tahap isolasi/ekstraksi DNA dengan metode kit komersial dan diamplifikasi dengan realtime PCR dengan menggunakan konsentrasi dan jenis primer yang telah optimum yang diperoleh pada pengujian sebelumnya. Kurva amplifikasi dan kurva puncak pelelehan hasil pengukuran sampel susu UHT spike dengan real-time PCR dapat dilihat pada Gambar 17. dan Gambar 18 berikut ini. 5 35 Ct 22,58 Gambar 17. Kurva amplifikasi sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium metode kit komersial Gambar 18. Kurva puncak pelelehan sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium metode kit komersial Kurva amplifikasi tersebut menunjukkan nilai Ct untuk sampel susu UHT spike yang mengandung 3,9 x 104 CFU/ml Salmonella Typhimurium yaitu sebesar 22,58 dan spesifik Salmonella Typhimurium karena memiliki nilai Tm yang sama dengan kultur murni mikroba spesifik Salmonella Typhimurium yaitu sebesar 84,50. Nilai Ct tersebut dimasukkan ke dalam persamaan garis yang telah diperoleh sebelumnya sehingga nilai log konsentrasi Salmonella Typhimurium yang terkandung di dalam susu dengan real-time PCR dapat diketahui yaitu sebesar 5,4 atau menunjukkan jumlah konsentrasi Salmonella Typhimurium yang terdapat di dalam susu UHT adalah sebesar 105,4 atau setara dengan 2,5 x 105 cetakan DNA/ml. Hasil dari pengujian real-time PCR tersebut tidak sama dengan hasil dari pengujian metode konvensional dengan menggunakan agar selektif XLDA yaitu sebesar 3,9 x 104 CFU/ml. Hal tersebut juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Jung et al. (2005) dimana pengkuantifikasian dengan real-time PCR menghasilkan nilai konsentrasi Salmonella Typhimurium dalam susu satu log lebih besar dibandingkan dengan metode konvensional 36 hitungan cawan. Berdasarkan Jung et al. hal yang sama juga terjadi pada penelitian Mayer et al. (2003) dan Hein et al. (2005) dimana hasil tersebut dapat dijelaskan karena beberapa kemungkinan yaitu nilai konsentrasi yang diperoleh dengan metode konvensional hitungan cawan bergantung pada distribusi mikroba dalam sampel, dan mikroba harus hidup dan dapat dikulturkan sedangkan real-time PCR dengan mendeteksi DNA mikroba baik mikroba tersebut hidup ataupun tidak. Selain itu, pengkuantifikasian dengan real-time PCR tergantung pada keadaan fisiologis mikroba dan efisiensi metode dalam mengekstrak/mengisolasi DNA dari dalam sel. Oleh karena itu, perbedaan hasil pengkuantifikasian yang terjadi antara real-time PCR dengan metode konvensional kemungkinan besar karena kultur murni mikroba spesifik yang diinokulasi ke dalam susu berada pada fase stasioner yang banyak mengandung sel yang telah mati dan lisis (Jung et al. 2005) sehingga DNA yang berasal dari sel mati dapat terkuantifikasi oleh real-time PCR. Tahap pengayaan (enrichment) biasanya dilakukan sebelum pengujian dengan real-time PCR untuk mencegah pengkuantifikasian sel yang sakit dan tidak dapat tumbuh/terhitung dengan metode konvensional, namun tahap pengayaan tersebut hanya dapat menyembuhkan sel mikroba yang rusak dan tidak dapat menghidupkan sel mikroba yang telah lisis/mati. Metode lain yang dapat mencegah pengkuantifikasian sel mati adalah dengan penambahan DNAse sebelum dilakukannya pelisisan sel pada tahap isolasi/ekstraksi DNA, sehingga suspensi yang mengandung DNA di luar sel akibat lisisnya sel yang telah mati akan hancur oleh DNAse (Maurer 2006). 37 IV. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Metode pendidihan dan metode kit komersial yang dimodifikasi dapat digunakan untuk mengisolasi/mengekstraksi DNA Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei baik berupa kultur murni maupun yang berada di dalam sampel susu UHT. Selain itu, isolat/template DNA yang dihasilkan dengan metode pendidihan tersebut dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi primer yang tepat dalam pengujian yaitu sebesar 0,125 µM dan juga dapat digunakan untuk menentukan spesifisitas primer InvA yang digunakan sehingga terbukti bahwa primer tersebut spesifik untuk Salmonella Typhimurium, namun isolat/template DNA yang dihasilkan dengan metode pendidihan tidak semurni isolat/template DNA yang dihasilkan dengan metode kit komersial, oleh karena itu metode pendidihan tidak dapat menghasilkan kurva standar yang memiliki nilai efisiensi yang baik dibandingkan dengan kit komersial. Isolat/template DNA metode pendidihan menghasilkan kurva standar yang memiliki nilai efisiensi sebesar 386,8% dan R2 sebesar 0,824 yang berarti bahwa metode pendidihan tidak dapat mengkuantifikasi Salmonella Typhimurium di dalam sampel susu UHT. Sedangkan isolat DNA yang dihasilkan dengan metode kit komersial menghasilkan kurva standar yang memiliki persamaan garis y = 40,564 - 3,322x dengan nilai efisiensi sebesar 100% dan R2 sebesar 0,972 sehingga dapat digunakan untuk pengkuantifikasian Salmonella Typhimurium pada susu. Konsentrasi Salmonella Typhimurium yang dihasilkan pada sampel susu UHT spike dengan real-time PCR (105 cetakan DNA/ml) tidak sesuai dengan pengkuantifikasian menggunakan metode konvensional (104 CFU/ml), namun sesuai dengan pengkuantifikasian secara mikroskopis dengan petroff-hausser (105 sel/ml). Hal tersebut dikarenakan sel mati dapat terkuantifikasi dengan metode real-time PCR dan petroff-hausser sedangkan dengan metode konvensional sel mati tersebut tidak dapat terkuantifikasi. B. Saran 1. 2. 3. Dilakukan pengulangan penentuan konsentrasi primer, penentuan spesifisitas primer, dan pengkuantifikasian Salmonella Typhimurium pada susu UHT setidaknya masing-masing dua kali pengulangan pada setiap tahap pengujian agar didapat data yang lebih valid ketika masuk ke tahap selanjutnya. Dilakukan modifikasi untuk isolasi DNA dengan metode pendidihan agar menghasilkan isolat/template DNA yang lebih murni bebas dari pengotor/inhibitor seperti penghilangan kalsium dengan penambahan chelex-100, penghilangan protein dan lemak dengan pengoptimasian penggunaan enzim proteinase K dan lipase sehingga dapat mengurangi biaya pengujian jika dibandingkan dengan menggunakan kit komersial. Dilakukan modifikasi pada tahap isolasi/ekstraksi DNA seperti dengan penambahan DNAse baik itu terhadap metode kit komersial maupun terhadap metode pendidihan agar sel/mikroba yang mati tidak dapat terkuantifikasi ketika pengujian dengan real-time PCR. 38 DAFTAR PUSTAKA Abubakar L, Irvine L, Aldus CF, Wyatt GM, Fordham R, Schelenz S, Shepstone L, Howe A, Peck M, Hunter PR. 2007. A systemic review of the clinical, public health and cost-effectiveness of rapid diagnostic tests for the detection and identification of bacteria intestinal pathogen in faeces and food. J Health Technol Assess 11:1-216. Ahmed W, Sawant S, Huygens F, Goonetilleke A, Gardner T. 2009. Prevalence and occurance of zoonotic bacterial pathogens in surface waters determined by quantitative PCR. J Water Research 43:4918-4928. Amagliani G, Giammarini C, Omiccioli E, Brandi G, Magnani M. 2006. Detection of Listeria monocytogenes using a commercial PCR kit and different DNA extraction methods. J Food Control 18(2007): 1137-1142. Anonim. 2007. RNA quality control using the NanoDrop ND-1000. http://biomedicalgenomics.org/ RNA_quality_control.html [14 September 2011] Anonim. 2009. Mengenal PCR (Polymerase Chain Reaction). http://sciencebiotech.net/tag/polymerase -chain-reaction/ [22 Agustus 2011] Andrews WH, Hammack T. 2011. Salmonella. http://www.fda.gov/Food/ScienceResearch/Laboratory Methods/BacteriologicalAnalyticalManualBAM/ucm07019.htm#Isol–Bacteriological Analytical Manual [23 Agustus 2011] Badan POM RI. 2002. Laporan KLB Keracunan pangan Tahun 2002. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta Badan POM RI. 2003a. Laporan KLB Keracunan pangan Tahun 2003. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta Badan POM RI.2003b. Mikroba Patogen. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan keamanan PanganBadan POM RI. Jakarta. Badan POM RI. 2004. Laporan KLB Keracunan Pangan Tahun 2004. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta. Badan POM RI. 2008. Laporan KLB Keracunan Pangan Tahun 2008. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta. Badan POM RI. 2009. Laporan KLB Keracunan Pangan Tahun 2009. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta. Badan POM RI. 2010. Laporan KLB Keracunan Pangan Tahun 2010. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta. Bio-Rad Laboratories. 2011. Chelex® 100 and Chelex 20 Chelating Ion Exchange Resin Instruction Manual. http://www.biorad.com/webmaster/pdfs/9184_Chelex.PDF. [30 September 2011] Bohaychuk VM, Gensler GE, McFall ME, King RK, Renter DG. 2006. A real-time PCR assay for the detection of Salmonella in a wide variety of food and food animal matrices. J Food Protection 70(5): 1080-1087. 39 Brenner FW, Villar RG, Angulo FJ, Tauxe R, Swaminathan B. 2000. Salmonella nomenclature. J Clinical Microbiology: 2465-2467. Chen J, Zhang L, Paoli GC, Shi C, Tu SI, Shi X. 2009. A real-time PCR method for the detection of Salmonella enterica from food using a target sequence identified by comparative genomic analysis. Int J Food Microbiology 137: 168-174. Chen S.Yee A, Griffiths M, Larkin C, Yamashiro CT, Behari R, Paszkokolva C, Rahn K, De Grandis SA. 1997. The evaluation of a fluorogenic polymerase chain reaction assay for the detection of Salmonella species in food commodities. Int J Food Microbiology 35: 239-250. D’Aoust, JY. 2000. Salmonella. In: Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW (eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Vol II. Maryland: Aspen Publisher Inc. Dauphin LA, Hutchins RJ, Bost LA, Bowen MD. 2009. Evaluation of automated and manual commercial DNA extraction methods for recovery of Brucella DNA from suspensions and spiked swabs. J of Clinical Microbiology 47(12): 3920-3926. de Boer E, Beumer RR. 1999. Methodology for detection and typing of foodborne microorganisms. Int J Food Microbiology 50:119-130. Difco dan BBL Manual. 2003. ICMSF, 1986. Microorganism in Foods, 2. Sampling for Microbiological Analysis: Principles and Specific Applications. 2nd ed. Blackwell Scientific Publications. Doores S. 1999. Food Safety: Current Status and Future Needs. Washington D.C: American Academy of Microbiologist. Edwards KJ. 2004. Performing real-time PCR. In: Edwards K, Logan J, Saunders N (eds.). Real-Time PCR An Essential Guide. UK: Horizon Bioscience. Elizaquível P, Gabaldón JA, Aznar R. 2010. Quantification of Salmonella spp., Listeria monocytogenes and Escherichia coli O157:H7 in non-spiked food products and evaluation of real-time PCR as a diagnostic tool in routine food analysis. J Food Control 22:158-164. Hadjinicolaou AV, Demetriou VL, Emmanuel MA, Kakoyiannis CK, Kostrikis LG. 2009. Molecularbeacon based real-time PCR detection of primary isolates of Salmonella Typhimurium and Salmonella Enteritidis in environmental and clinical samples. BMC Microbiology 2009(9): 97. Health Protection Agency. 2007. Identification of Shigella Species. National Standard Method. BSOP ID 20. Issue 2. http://www.hpa-standardmethods.org .uk/documents/bsopid/pdf/bsopid20.pdf [8Agustus 2011] Hein I, Jørgensen HJ, Loncarevic S, Wagner M. 2005. Quantification of Staphylococcus aureus in unpasterised bovine and caprine milk by real-time PCR. Res Microbiol 156(4): 554-463 Hoffman M, Hurlebaus J, Weilke C. 2007. High-Performance Melting Curve Analysis. http://www.genengnews.com/gen-articles/high-performance-melting-curve-analysis/2295/ [22 Agustus 2011] Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology. 7th ed. USA: Springer Science and Business Media Inc. Jung, Je S, Kim HJ, Kim HY. 2005. Quantitative detection of Salmonella Typhimurium contamination in milk, using real-time PCR. J Microbiol Biotechnol 15(6): 1353-1358 40 Kim CH, Khan M, Morin DE, Hurley WL, Triphathy DN, Kehrli Jr M, Olouch AO, Kakomat I. 2001. Optimization of the PCR for detection of Staphylococcus aureus nuc gene in bovine milk. J Dairy Sci 84:74-83. Lee MD, Fairchild A. 2006. Sample Preparation for PCR. In: Maurer, J (ed.). Food Microbiology and Food Safety: PCR Methods in Foods. USA: Springer. Maurer JJ. 2006. The mythology of PCR: a warning to the wise. In: Maurer, J (ed.). Food Microbiology and Food Safety: PCR Methods in Foods. USA: Springer. Mayer Z, Bagnara A, Färber P, Geisen R. 2003. Quantification of the copy number of nor-1, a gene of the aflatoxin biosynthetic pathway by real-time PCR, and its correlation to the cfu of Aspergillus flavus in foods. Int J Food Microbiol 82(2): 143-151 Nolan T, Mueller R, Bustin S. 2007. QPCR: target preparation. In: Mackay IM (ed.). Real-Time PCR in Microbiology From Diagnosis to Characterization. UK: Caister Academik Press Omiccioli E, Amagliani G, Brandi G, Magnani M. 2009. A new platform for Real-Time PCR detection of Salmonella spp., Listeria monocytogenes and Escherichia coli O157 in milk. J Food Microbiology 26:615-622. Patel PD, Williams DW. 1994. Evaluation of commercial kits and instrumen for the detection of foodborne bacterial pathogens and toxins. In: Pitel PD (ed.). Rapid Analysis Techniques in Food Microbiology. Scotland: Chapman & Hall. Pestana EA, Belak S, Diallo A, Crowther JR, Viljoen GJ. 2010. Early, Rapid, and Sensitive Veterinary Molecular Diagnostics Real-Time PCR Application. Dordrecht: Springer. Rådström P, Lövennklev M, Wolffs P, Löfström C, Knutsson R. 2006. Pre-PCR processing strategies. In: Weissensteiner T, Griffin HG, Griffin A (eds.). PCR Technology Current Innovations. 2nd ed. USA: CRC Pres LLC. Rahayu WP, Panggabean RIL, Yuliangsih S, Pusparini N, Khotimah K. 2009. Comparison of three extraction methods for identification Bacillus cereus and Staphylococcus aureus in fried rice. Research Center for Drug and Food. National Agency of Drug and Food Control. Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology. 2nd ed. USA: CRC Press. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: a Laboratory Manual. 1st ed. New York: Cold Spring Harbour Laboratory Press. Shanmugasundaram M, Radhika M. 2009. Detection of Salmonella enteric serovar Typhimurium by selective amplification of fliC, fljB, iroB, invA, rfbJ, STM2755, STM4497 genes by polymerase chain reaction in a monoplex and multiplex format. J Microbiol Biotechnol 25:1385-1394. Sharp JCM, Reilly WBJ. 2000. Surveillance of foodborne disease. In: Lund, Barbara M, Baird-Parker TC, Gould GW (eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Vol. II. Gaithersburg, Maryland: Aspen Publisher, Inc. Sparringa RA. 2002. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. In: Rahayu WP (ed). Surveilan Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta. Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bogor: Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI 41 Siebert PD. 1999. Quantitative RT-PCR. In: Kochanowski B, Reischl U (eds.). Methods in Molecular Medicine: Quantitative PCR Protocols. Totowa, New Jersey: Humana Press. Supardi HI, Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung: Penerbit Alumni. Vanderzant C, Splittstoesser DF. 1992. Compendium of methods for the microbiological examination of foods. 3rd ed. Washington D.C: American Public Health Association. Ziprin RL, Hume MH. 2001. Human salmonellosis: general medical aspects. In: Hui YH, Pierson MD, Gorham JR (eds.). Foodborne Disease Handbook Revised and Expanded Vol I: Bacterial Pathogens. 2nd ed. New York: Marcel Dekker, Inc. 42 LAMPIRAN Lampiran 1a. Proses pembuatan larutan pengencer NaCl 0,85% Ditimbang seksama 4,25 g NaCl Dimasukkan ke dalam labu ukur 500 ml Ditambahkan 250 ml milliQ sedikit demi sedikit hingga larutan NaCl homogen Ditambahkan milliQ sampai tanda tera Larutan pengencer NaCl 0,85% 43 Lampiran 1b. Proses pembuatan lisozim Ditimbang seksama 10 mg/ml lisozim Dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml Ditambahkan 10 mM larutan Tris.HCl pH 8,0 perlahan-lahan Dikocok dengan membolak-balikkan labu ukur sampai terbentuk lar. jernih Ditambahkan 10 mM lar. Tris.HCl pH 8,0 sampai tanda tera Lisozim Lampiran 1c. Proses pembuatan proteinase K Ditimbang dengan seksama 10 mg/ml proteinase K Dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml Ditambahkan 10 mM larutan Tris.HCl pH 8,0 perlahan-lahan Dikocok dengan membolak-balikkan labu ukur sampai terbentuk lar. jernih Tambahkan 10 mM lar. Tris.HCl pH 8,0 sampai tanda tera Proteinase K 44 Lampiran 1d. Proses pembuatan CTAB Ditimbang seksama 10 g CTAB; 4 g NaCl; 7,87 g Tris.HCl Ditambah air sebanyak 400 ml Dimasukkan ke dalam gelas beaker 500 ml Diaduk dengan batang pengaduk Diukur dengan pH meter Ditambahkan NaOH sampai menghasilkan pH 8 Ditambahkan 20 ml larutan EDTA 0,5 M pH 8,0 Dituang larutan ke dalam Erlenmeyer 500 ml Ditambahkan air sampai tanda tera Dihomogenkan dengan vortex sampai larut Dihilangkan gas dalam larutan (degassing) Disaring Larutan disterilkan pada suhu 121oC, selama 15’ Disimpan pada suhu ruang (25oC) CTAB 45 Lampiran 1e. Proses pembuatan buffer TE pH 8,0 Dipipet 5 ml Tris HCl 1 M pada pH 8,0 Dimasukkan ke dalam labu ukur 500 ml Ditambahkan 1 ml EDTA 0,5 M Ditambahkan milliQ sampai tanda tera Dihomogenkan Buffer TE 1X 46 Lampiran 2a. Proses pembuatan media HIB Ditimbang seksama 18,5 g HIB Dimasukkan ke labu erlenmeyer 500 ml 100 ml Ditambahkan 500 ml aquades Diaduk sampai homogen Dipipet 5 ml larutan Dimasukkan ke dalam tabung reaksi Ditutup dengan kapas dan aluminium foil Disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC, selama 15 menit Dikeluarkan dari autoklaf Didinginkan pada suhu kamar (25oC) Media HIB 47 Lampiran 2b. Proses pembuatan media XLDA Ditimbang dengan seksama 27,75 g XLDA Dimasukkan ke labu erlenmeyer 500 ml Ditambahkan 500 ml aquades Dipanaskan di atas hot plate sampai mendidih dan larut sempurna Diaduk sesekali Didinginkan sampai suhu ±50oC Dikocok perlahan-lahan hingga homogen Dituang ±25 ml ke dalam cawan petri Media XLDA 48 Lampiran 3. Proses isolasi/ekstraksi DNA metode pendidihan (Rahayu et al. 2009) Dimasukkan 1 ml suspensi bakteri/sampel pangan ke dalam tabung mikrosentrifus Didinginkan dalam es dengan segera Disentrifugasi (14.000 rpm, 5’) Disentrifugasi 14.000 rpm, 10’ menit Supernatan dipindahkan ke mikrosentrifus baru Supernatan dibuang Isolat DNA disimpan pada suhu-20oC Pelet diresuspensi dengan 500 µl Buffer TE (sampel) 2X Disentrifugasi (14.000 rpm, 3’) Pelet diresuspensi dengan 500µl Buffer TE, dihomogenisasi dengan vorteks Ditambah 100µl lisozim, dihomogenisasi dengan vorteks Diinkubasi T ruang (25oC), selama 15’ Ditambah 100 µl proteinase K Dihomogenisasi dengan vorteks Diinkubasi (55oC, 1 jam) Diinkubasi (100oC, 15’) Didinginkan dalam es dengan segera Disentrifugasi (14.000 rpm, 5’) 49 Lampiran 4. Proses isolasi/ekstraksi DNA metode kit komersial (Berdasarkan QIAamp® DNA Blood Mini Kit Handbook dengan modifikasi Bioteknologi PROM) 1 ml kultur murni bakteri/sampel spike dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifus Disentrifugasi 8.000 rpm selama 1 menit Ditambahkan CTAB 1 ml, dihomogenisasi dengan vortex Dipipet 500 µl dapar AW1 ke dalam kolom mini Disentrifugasi 13000 rpm 1 menit Disentrifugasi 8.000 rpm selama 1 menit Supernatan dibuang dengan mensisakan 200 µl Kolom mini dipindahkan ke collection tube baru Ditambah proteinase K 30µl o Dihomogenkan, diinkubasi 65 C 20 menit Dipipet 500 µl dapar AW2 ke dalam kolom mini Disentrifugasi 13.000 rpm, 5 menit Ditambahkan 300µl dapar AL Dicampurkan hingga homogen Diinkubasi 10 menit T = 65oC pada water bath Ditambahkan 500 µl etanol (96-100%) Kolom mini dipindahkan lagi ke collection tube baru Disentrifugasi 13.000 rpm, 1 menit Kolom mini dipindahkan ke tabung steril 1,5 ml Dicampur hingga homogen Ditambahkan 80 µl dapar AE ke dalam kolom mini Disentrifugasi 10.000 rpm selama 2 menit Disentrifugasi 8.000 rpm, 1 menit Dipipet semua cairan ke dalam kolom mini yang sudah dipasang pada collection tube DNA hasil isolasi disimpan pada suhu -20oC (freezer) 50 Lampiran 5. Kotak 0,04 mm2 Jumlah bakteri Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei dengan penghitungan petroff-hausser Jumlah Bakteri SS (sel) Jumlah Bakteri ST (sel) Penghitungan ke-1 Penghitungan ke-2 Penghitungan ke-2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 74 79 91 134 103 98 106 147 153 144 8 6 3 8 11 10 19 24 17 22 17 9 16 20 15 12 22 22 30 34 Rata-rata 112,9 Sel/ml 1,4 x 10 12,8 8 1,6 x 10 19,7 7 2,5 x 107 Ket: ST (Salmonella Typhimurium); SS (Shigella sonnei); Penghitungan ke-1 adalah penghitungan petroffhausser mikroba untuk isolasi DNA menggunakan metode kit komersial; Penghitungan ke-2 adalah penghitungan mikroba untuk isolasi DNA menggunakan metode pendidihan Jumlah sel/ml sampel = Jumlah sel/kotak besar x 25 kotak x 1/0,02 x 103 Jumlah sel/mm2 Jumlah sel/mm2 Jumlah sel/cm3 (ml) Jumlah sel per ml sampel = Jumlah sel/kotak besar x 1,25 x 106 = 112,9 x 1,25 x 106 = 1,4 x 108 Hasil perhitungan tersebut kemudian diencerkan hingga diperoleh pengenceran 105 sel/ml Salmonella Typhimurium. 51 Lampiran 6. Jumlah koloni awal (a) dan akhir (b) Salmonella Typhimurium pada sampel susu UHT dengan media XLDA (a) Jumlah Koloni Pengenceran Sampel Susu UHT Penghitungan ke-1 Penghitungan ke-2 cawan 1 cawan 2 cawan 1 cawan 2 100 0 0 0 0 10-1 0 0 0 0 10-2 0 0 0 0 Ket: Penghitungan ke-1 adalah penghitungan mikroba untuk isolasi DNA menggunakan metode kit komersial; Penghitungan ke-2 adalah penghitungan mikroba untuk isolasi DNA menggunakan metode pendidihan (b) Jumlah Koloni Pengenceran Sampel Susu UHT Spike Penghitungan ke-1 cawan 1 cawan 2 10-3 36 41 10-4 1 0 10-5 0 0 10-6 0 0 Penghitungan ke-2 cawan 1 cawan 2 12 26 0 1 0 0 0 0 Ket: Penghitungan ke-1 adalah penghitungan mikroba untuk isolasi DNA menggunakan metode kit komersial; Penghitungan ke-2 adalah penghitungan mikroba untuk isolasi DNA menggunakan metode pendidihan 52 Lampiran 7. Kurva amplifikasi (a) dan kurva pelelehan (melt curve) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/template DNA kultur murni Salmonella Typhimurium 0,025µM (G) 0,125µM (F) 0,0125µM (H) (a) (b) 53 Lampiran 8. Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (a) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/ template DNA kultur murni Salmonella Typhimurium (a) (b) 54 Lampiran 9. Kurva amplifikasi (a) dan kurva pelelehan (melt curve) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/template DNA 103 sel/ml Salmonella Typhimurium 0,125 µM (A) 0,025 µM (G) (a) (b) 55 Lampiran 10. Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (a) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/ template DNA 103 sel/ml Salmonella Typhimurium (a) (b) 56 Lampiran 11. Kurva amplifikasi (a) dan kurva pelelehan (melt curve) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/template DNA sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium 0,125 µM (F) 0,025 µM (H) (a) (b) 57 Lampiran 12. Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (a) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/ template DNA sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium (a) (b) 58 Lampiran 13. Tabel hasil kesesuaian sekuen nukleotida primer dengan bakteri lain (a) dan kesesuaian dengan gen InvA (b) pada Salmonella Typhimurium strain 14028 Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) (a) (b) 59 Lampiran 14. Tabel nilai Threshold Cycle (Ct) (a) dan kurva amplifikasi (b) isolat/template DNA Salmonella Typhimurium metode pendidihan dalam pembuatan kurva standar (a) (b) 60 Lampiran 15. Kurva pelelehan (melt curve) (a), kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (b) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (c) isolat/ template DNA Salmonella Typhimurium metode pendidihan dalam pembuatan kurva standar (a) (b) (c) 61 Lampiran 16. Tabel kemurnian isolat/template DNA Salmonella Typhimurium metode pendidihan dalam pembuatan kurva standar Konsentrasi (sel/ml) A1 (260) A2 (280) Ab (320) Rasio [DNA] ng/µl [Protein] ng/µl 103 0,002 0,001 0,000 2,3333 0,0997 -0,1935 104 0,001 -0,001 -0,001 2,8571 0,1006 -0,4282 105 0,015 0,012 0,011 4,5556 0,2255 -1,7081 106 0,034 0,020 0,008 2,1626 1,2303 -1,0546 62 Lampiran 17. Tabel nilai Threshold Cycle (Ct) (a) dan kurva amplifikasi (b) isolat/template DNA Salmonella Typhimurium metode kit komersial dalam pembuatan kurva standar (a) (b) 63 Lampiran 18. Kurva pelelehan (melt curve) (a), kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (b) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (c) isolat/template DNA Salmonella Typhimurium metode kit komersial dalam pembuatan kurva standar (a) (b) (c) 64 Lampiran 19. Tabel kemurnian isolat/template DNA Salmonella Typhimurium metode kit komersial dalam pembuatan kurva standar Sampel (sel/ml) A1 (260) A2 (280) Ab (320) Rasio [DNA] ng/µl [Protein] ng/µl 105 0,015 0,012 0,011 4,5556 0,0997 -0,1935 106 0,034 0,020 0,008 2,1626 0,1006 -0,4282 107 0,036 0,022 0,009 2,1085 0,2255 -1,7081 108 0,043 0,025 0,009 2,1296 1,2303 -1,0546 65