pelatihan mirror neuron system tidak berbeda dengan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi setiap individu sepanjang daur kehidupan di
dunia sejak berada dalam kandungan dan terlahir melalui rahim ibu sampai dengan
masa kanak-kanak, remaja, muda dan usia tua dan akhirnya ia meninggal secara
wajar. Upaya menuju derajat sehat yang optimal merupakan tanggung jawab bersama
setiap insan yang merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat yang hendak
melakukan berbagai partisipasi terhadap aktivitas kehidupannya sehari-hari dalam
keadaan sehat dan mandiri. Setiap upaya menuju derajat kesehatan yang optimal bagi
mereka yang sedang sakit bertujuan agar setiap individu dapat kembali melakukan
aktifitas sehari-hari dengan baik dan berpartisipasi kembali dalam pekerjaan di
lingkungan kehidupannya.
Pasien yang telah didiagnosis menderita gangguan saraf pusat seperti stroke dan
penyakit brain damage lainnya akan mengalami salah satu atau secara bersamaan
gejala yang mungkin timbul yaitu gangguan fungsi organ tubuh dan ekstremitas,
struktur tubuh, emosional dan kognitif. Tentunya sangat diperlukan penanganan dan
intervensi khusus yang optimal dan tepat sasaran oleh para dokter dan tenaga medis
lainnya termasuk fisioterapis yang berperan untuk melakukan penanganan fisioterapi
bagi pasien stroke untuk memulihkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional
berdasarkan potensi pasien yang masih dimilliki sepanjang daur kehidupan mereka.
1
2
Pasien yang menderita penyakit stroke tentunya akan mengalami berbagai
problematika, keterbatasan dan hambatan pada semua tingkat termasuk struktur
tubuh, fungsi tubuh, aktifitas dan partisipasi dalam lingkungan dan kehidupan seharihari sehingga sangat banyak penderita stroke akan selalu membutuhkan peran
keluarga atau orang lain diluar dirinya sendiri sebagai pendamping dalam
menyelesaikan aktifitas kerja dan tugas sehari-hari demi memenuhi semua kebutuhan
dasar dan kebutuhan tambahan bagi dirinya yang mengalami gangguan akibat sakit
sehingga dalam hal ini akan terjadi masalah ketidakmandirian individu yang
merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh mereka sebagai pasien itu sendiri
maupun bagi keluarga sebagai orang terdekatnya.
Banyak faktor yang menyebabkan pasien stroke menjadi tergantung dengan
orang lain dan menjadi tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhannya dan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari, diantaranya adalah adanya keterbatasan fungsional
anggota gerak atas (AGA) yang mengalami kelemahan akibat stroke.
Berbagai pelatihan, pendekatan, metode dan tehnik dalam bidang fisioterapi
telah banyak dikembangkan guna melengkapi dan memperkaya khazanah keilmuan
dalam mengatasi masalah fisik dan fungsional bagi pasien penderita stroke,
diantaranya adalah pelatihan Mirror Neuron System (MNS) dan Pelatihan Constraint
Induced Movement Therapy (CIMT). Keduanya memiliki dasar ilmiah yang sampai
saat ini masih terus dikembangkan dan diteliti oleh para dokter maupun fisioterapis
yang berkonsentrasi pada penanganan klinis bagi penderita stroke untuk memulihkan
kapasitas fisik dan kemampuan fungsional termasuk tentunya fungsi AGA yang
3
mengalami kelemahan (weakness) akibat lesi neurologis saraf pusat yang mereka
alami.
Pelatihan MNS merupakan pelatihan yang masih dianggap baru dan belum
memiliki banyak bukti uji klinisnya, dimana pada pelatihan MNS memandang bahwa
gerakan motorik secara fungsional dapat dihasilkan secara lebih baik yang diawali
dari suatu proses imitasi gerakan dan imajinasi gerakan yang dilakukan sebelumnya
dan hal ini akan menimbulkan rangsangan pada bagian atau pusat motorik pada
kortek terstimulasi atau terangsang untuk menghasilkan suatu gerakan fungsional
yang diinginkan (Iacoboni dan Galesse, 2009; Rizzolatti, 2011)
Sebuah penelitian tentang MNS yang dilakukan oleh Marijnissen (2011),
dilakukan terhadap 171 sampel yang dibagi beberapa kelompok dalam merespon
suatu gerakan yang diobservasi terlebih dahulu (imitasi) sebelum melakukan kembali
eksekusi aksi gerakan tersebut memberikan sebuah hasil yang baik. Kelompok yang
melakukan proses observasi penuh hasilnya lebih dari 97% dapat menunjukkan
aktivitas yang sesuai dengan apa yang telah diobservasi tersebut. Kelompok yang
melakukan eksekusi gerakan disaat sedang mengobservasi hasilnya sejumlah 60,75%
dapat menunjukkan aktivitas yang sesuai. Kelompok yang hanya melakukan sedikit
observasi hasilnya hanya 38,6% dapat menunjukkan aktivitas gerakan yang sesuai.
Kelompok kontrol tanpa observasi hanya 4,6% dapat melakukan aktivitas gerakan
yang sesuai dengan tujuan. Namun penelitian tersebut tidak spesifik menjelaskan
kondisi sampel yang diteliti dan aktivitas apa yang diteliti.
4
Penelitian lain tentang pelatihan MNS yang dilakukan oleh Salama (2011),
menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap dua puluh lima sampel dan
penilaian dilakukan dengan menggunakan The Functional Magnetic Resonance
Imaging (MRI) menunjukkan bahwa terjadi aktivitas otak sejumlah 50% dibagian
otak tertentu disaat mereka melakukan observasi gerakan sebelum eksekusi gerakan
tersebut. Namun sayangnya penelitian ini pun masih dirasa kurang dapat mengukur
kemampuan fungsional AGA bagi subjek yang diteliti.
Pelatihan CIMT merupakan salah satu pelatihan dalam penatalaksanaan pasien
pasca stroke dimana pada CIMT pasien diharuskan menggunakan sisi tangan yang
sakit atau yang mengalami kelemahan saat melakukan program terapi dan aktivitas
sehari-hari sementara sisi tangan lain yang sehat atau yang tidak mengalami
kelemahan sengaja ditahan atau dipaksa agar tidak digunakan untuk bergerak
melakukan aktifitas sehari-hari tersebut. Termasuk dalam melakukan stabilisasi
objek kecuali saat beristirahat (Hayner dkk., 2010).
Sebuah penelitian tentang pelatihan CIMT yang dilakukan oleh Tariah dkk.
(2010), menjelaskan bahwa penelitian dilakukan terhadap delapan belas sampel
pasien dengan riwayat stroke, dibagi menjadi dua kelompok yaitu sepuluh sampel
perlakuan pelatihan CIMT dan delapan lainnya sebagai kelompok kontrol perlakuan
pelatihan lain, setelah dilakukan intervensi pelatihan CIMT selama dua bulan
menunjukkan hasil peningkatan kemampuan fungsional AGA yang diukur dengan
Wolf Motor Function Test (WMFT) sebesar 39%, sedangkan pada kelompok kontrol
hanya sebesar 34% peningkatan selama empat bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa
5
pelatihan CIMT dinilai lebih baik dari pelatihan lainnya pada kelompok kontrol yang
diteliti.
Penelitian lainnya tentang pelatihan CIMT yang dilakukan oleh Hayner dkk.
(2010), menjelaskan bahwa penelitian dilakukan terhadap dua belas sampel pasien
stroke, dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, enam sampel perlakuan pelatihan
CIMT dan enam lainnya sebagai kelompok kontrol, setelah dilakukan intervensi
selama sepuluh hari dan diukur dengan tes WMFT, menunjukkan hasil bahwa
adanya peningkatan skor sebesar 3,35 dan hanya skor 1,92 untuk kelompok kontrol.
Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan CIMT lebih baik sebesar skor 1,43 dari
pelatihan lainnya dari kelompok kontrol.
Kedua pelatihan atau pendekatan (approach) tersebut masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan dasar ilmiah (evidence based) yang berbeda. Pelatihan
MNS merupakan pelatihan yang lebih baru dari pada pelatihan CIMT. Pada pelatihan
MNS masih sedikit sekali bukti ilmiah yang melakukan uji coba pada manusia dan
pasien pasca stroke, sehingga masih banyak dan perlu dikembangkan penggunaannya
dalam pemulihan fisik pasien pasca stroke (Iacoboni dan Mazziotta, 2007). Pada
pelatihan CIMT telah banyak dilakukan uji klinis dan penelitian yang dicobakan
pada manusia dan pasien dalam rangka pemulihan fisik dan peningkakan
kemampuan fungsional pasca stroke dan telah banyak memberikan hasil yang
signifikan pada kemampuan fungsional AGA (Hayner dkk., 2010; Tariah dkk., 2010;
Lin dkk., 2010). Pelatihan MNS relatif lebih mudah, murah, cepat, praktis dan
nyaman bagi pasien dibandingkan dengan pelatihan CIMT yang cenderung membuat
pasien tidak nyaman pada sisi ekstremitas atas yang sedang dihambat (constraint)
6
gerakannya dengan alat bantu tertentu sehingga terkesan ada unsur paksaan bagi
pasien untuk menggerakkan AGA yang sedang mengalami kelemahan akibat stroke.
Namun hal ini masih perlu pembuktian lebih lanjut sebagai dasar ilmiah yang
mendukung dan memperkuat pandangan teoritik bagi kedua pelatihan tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang maka peneliti merasa perlu untuk melakukan
penelitian tersendiri yang diharapkan akan lebih melengkapi dasar ilmiah (evidence
based) bagi kedua pelatihan atau pendekatan tersebut. Serta hendak membuktikan
bagaimana perbedaan peningkatan kemampuan fungsional AGA yang terjadi
sebelum dan sesudah pelatihan MNS dan pelatihan CIMT. Penelitian yang dilakukan
oleh peneliti bahwa pelatihan diterapkan pada pasien dengan kondisi yang sama yaitu
pasien pasca stroke dan akan menilai bagaimana perbandingan peningkatan
kemampuan fungsional AGA yang mengalami kelemahan atau keterbatasan
fungsional dari kedua kelompok pelatihan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Apakah pelatihan MNS dapat meningkatkan kemampuan fungsional
anggota gerak atas pasien stroke?
2. Apakah pelatihan CIMT dapat meningkatkan kemampuan fungsional
anggota gerak atas pasien stroke?
3. Apakah pelatihan MNS tidak berbeda dibandingkan dengan pelatihan
CIMT dalam meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas
pasien stroke?
7
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah terdiri dari tujuan umum dan
tujuan khusus sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum penelitian yang hendak dicapai adalah menambah dan
memperkaya khazanah keilmuan dan dasar ilmiah pada pelatihan MNS dan pelatihan
CIMT dalam meningkatkan kemampuan fungsional AGA pasien stroke.
1.3.2
Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian yang hendak dicapai adalah:
1. Mengetahui peningkatan kemampuan fungsional anggota gerak atas
pasien stroke pada pelatihan MNS.
2. Mengetahui peningkatan kemampuan fungsional anggota gerak atas
pasien stroke pada pelatihan CIMT.
3. Mengetahui perbedaan pelatihan MNS dibandingkan dengan pelatihan
CIMT terhadap peningkatan kemampuan fungsional anggota gerak atas
pasien stroke.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang hendak didapat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi peneliti, menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman dalam
melakukan penelitian dan mendapatkan data empirik dari hasil penelitian
8
yang didapat tentang pelatihan MNS dan pelatihan CIMT dalam
meningkatkan kemampuan fungsional AGA pasien stroke, berupaya
menemukan cara baru yang lebih efisien dan sebagai bagian dari proses
menyelesaikan program pendidikan magister, serta bekal keilmuan dimasa
yang akan datang.
2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kedokteran dan
kesehatan akan semakin melengkapi khazanah keilmuan dan kepustakaan
terutama bidang fisiologi olah raga dan fisioterapi tentang pelatihan MNS
dan pelatihan CIMT dalam meningkatkan kemampuan fungsional AGA
pasien stroke.
3. Bagi para sejawat fisioterapi sebagai tambahan dasar ilmiah (evidence based)
dalam melakukan program penatalaksanaan dan proses fisioterapi bagi
penderita stroke dalam kegiatan pelayanan klinis maupun bidang akademis
dan penelitian fisioterapi berikutnya.
4. Bagi masyarakat sebagai salah satu upaya dalam memperluas dan
mengembangkan berbagai pendekatan dan metode untuk mempercepat proses
peningkatan kemampuan fungsional pasien penderita stroke di berbagai
layanan fisioterapi klinis dan rumah sakit.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Stroke
2.1.1 Etiologi dan klasifikasi stroke
Stroke dapat menyebabkan kehilangan fungsi neurologis secara tiba-tiba akibat
gangguan suplai darah ke otak. Sebagian besar stroke datang tanpa peringatan.
Sehingga tujuan manajemen pemulihan adalah untuk membatasi kerusakan otak,
mengoptimalkan pemulihan dan mecegah stroke berulang. Umumnya konsentrasi
pengobatan adalah mengatasi faktor resiko vaskular yang menjadi predisposisi stroke
seperti tekanan darah tinggi, hiperlipidemia, diabetes dan merokok (Wilkinson dan
Lennox, 2005)
Gambar 2.1 Suplai Arteri pada Otak (Wilkinson dan Lennox, 2005)
9
10
Stroke merupakan istilah umum yang berarti adanya kerusakan jaringan otak
akibat dari kelainan suplai darah. Dalam istilah yang sederhana, kekurangan suplai
darah untuk otak disebut iskemik atau infark, kelebihan suplai darah normal disebut
haemoragik serebral dan drainase vena tidak memadai disebut stroke vena (Davis
dkk., 2005).
Stroke adalah penyebab paling umum ketiga kematian di negara maju setelah
kanker dan penyakit jantung iskemik, dan merupakan penyebab paling umum dari
kecacatan fisik yang parah. Hal ini merupakan manisfestasi klinis yang paling sering
dari penyakit pembuluh darah otak, meskipun dapat pula disebabkan oleh penyakit
serebrovaskular terutama pada orang tua seperti demensia. Secara konvensional
istilah stroke telah digunakan sebagai suatu episode disfungsi otak oleh karena
iskemik fokal atau perdarahan serta perdarahan sub-arachnoid. Namun karena
perdarahan sub-arachnoid memiliki manifestasi klinis yang berbeda dengan dasar
patologinya maka sering dibahas secara terpisah. Stroke merupakan keadaan darurat
medis umum yang insidennya meningkat tajam sesuai peningkatan usia dan di
banyak negara berkembang, insiden meningkat karena penerapan gaya hidup yang
kurang sehat. Sekitar seperlima dari pasien dengan stroke akut akan meninggal
dalam waktu satu bulan sejak serangan awal dan setidaknya setengah dari mereka
yang bertahan hidup akan menyisakan gejala sisa kecacatan fisik (Boon dkk., 2007).
Stroke dapat terjadi ketika suplai aliran darah ke daerah otak terhambat atau
apabila suplai darah terganggu akibat pecahnya arteri pada otak. Sekarang sebagian
besar disertai dengan peningkatan denyut jantung, tekanan darah tinggi, rendahnya
volume darah yang dikeluarkan oleh jantung selama setiap kontraksi dan
11
peningkatan resistensi terhadap aliran yang kurang mengaliri ke seluruh organ
didalam tubuh. Aliran darah di otot rangka menurun saat istirahat dan mengalami
peningkatan selama kontraksi otot (Hudlicka, 2008)
Stroke merupakan serangan yang terjadi secara tiba-tiba dengan perkembangan
gejala dan tanda-tanda neurologis secara cepat, yang memuncak dalam hitungan
menit atau jam sekitar 24-48 jam. Perubahan mendadak terjadi akibat konsentrasi
aliran darah yang terjadi di arteri serebral. Perubahan tersebut terjadi pada salah satu
dari dua cara yaitu penurunan aliran darah serebral yang menyebabkan iskemik dan
akhirnya infark dan perdarahan ke dalam parenkim otak atau ke dalam ruang
subarachmoid yang menyebabkan hematoma intraserebral yang besar atau
subarachnoid haemoragik. Dengan demikian baik iskemik atau haemoragik
merupakan gangguan subtrat patologis yang mengakibatkan infark atau haemoragik
(Haberland, 2007). Stroke didefinisikan sebagai suatu gejala klinis atau tanda-tanda
fokal yang berkembang pesat, dan secara umum (diterapkan pada pasien koma yang
mendalam dan bagi mereka yang mengalami perdarahan subarachnoid), hilangnya
fungsi otak, dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam atau yang dapat
menyebabkan kematian, tanpa penyebab yang jelas selain dari gangguan
vaskularisasi (Pendlebury dkk., 2009).
Faktor resiko penderita stroke terdiri dari dua tipe yaitu faktor resiko yang tidak
dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) dan faktor resiko yang dapat
dimodifikasi (modifiable risk factors). Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
adalah usia (age), jenis kelamin (sex) dan hormon seksual (sex hormones). Faktor
resiko yang dapat dimodifikasi adalah tekanan darah (blood pressure), merokok
12
(cigarette smoking), diabetes melitus (diabetes mellitus), lipid darah (blood lipids),
fibrilasi atrial (atrial fibrilation), emboli jantung (cardioembolism), obesitas dan
sindroma metabolik (obesity and the metabolic syndrome), pola makan (diet), latihan
fisik (exercise), alkohol (alcohol), variabel hemostatik (hemostatic variables),
hematokrit (hematocrit), infeksi dan inflamasi (infections and inflammation),
homosistenemia (homocystenemia), gangguan vaskular non-stroke (non-stroke
vascular disease) dan kemungkinan lainnya seperti penyakit jantung koroner
(coronary heart disease) dan lain-lain (Pendlebury dkk., 2009).
Faktor resiko keturunan penderita stroke terdiri dari: arteriopati dominan
autosom serebral dengan infark subcortical dan leukoensepalopati (Cerebral
autosomal
dominant
arteriopathy
with
subcortical
infarcts
and
leukoencephalopathy), dislipidemia herediter (hereditary dyslipidemias), penyakit
jaringan ikat (connective tissue disease), penyakit fabri (fabry’s disease), kelainan
jantung (cardiac disorders), kelainan mitokondria (mitochondrial disordera) dan
kelainan hematologi (hematological disorders) (Pendlebury dkk., 2009).
Komplikasi non neurologi akibat stroke antara lain: radang paru-paru
(pneumonia), tromboemboli vena (venous thromboembolism), inkontinesia urin
(urinary incontinence), tekanan luka atau dekubitus (pressure sores), komplikasi
jantung (cardiac complications), ketidakseimbangan cairan (fluid imbalance),
masalah gerak mekanik (mechanical problems), tukak lambung akut (acute gastric
ulceration), gangguan suasana hati (mood disorders), nyeri terpusat pasca stroke
(central post-stroke pain) (Pendlebury dkk., 2009).
13
Salah satu dari sekian banyak defisit neurologis adalah disebabkan oleh stroke.
Stroke disebabkan oleh adanya gangguan supply darah yang mengalir ke otak dan
tentunya selalu akan menyebabkan kehilangan atau gangguan yang bersifat
permanen pada fungsi otak dan prilaku. Pada kasus lesi area unilateral parietal atau
area motorik, akan menyebabkan partial paresis atau kelemahan sebagian yang
sering disebut sebagai hemiparese. Dan hal ini dapat menurunkan mobilitas fisik dan
sering mengakibatkan deterioration pada fungsi otot di satu atau lebih tungkai pada
sebagian tubuh (Salama, 2011).
Menurut Robinson (2006), menyatakan bahwa klasifikasi stroke atau penyakit
pembuluh darah otak (cerebrovascular disease/CVD) terdiri dari:
1. Gangguan penyumbatan atau iskemik (ischemic disorders)
a. infark
i. aterosklerotik trombosis
ii. emboli serebral
iii. lacunae
iv. penyebab lain: arteritis (penyakit jaringan ikat atau infeksi),
tromboplebitis otak, fibromuskular displasia, oklusi vena
b. transient ischemic attacks (TIAs)
2. Gangguan perdarahan atau hemoragik (hemorrhagic disorders)
a. perdarahan intraparenchymal
i. primer (hipertensi) perdarahan intraserebral
ii. penyebab lain: gangguan perdarahan (trombositopenia dan
pembekuan darah) dan trauma
14
b. perdarahan subarachnoid atau intraventrikular
i. ruptur aneurisma atau malformasi arterivena (AVM)
ii. penyebab lain
c. subdural atau epidural hematoma
2.1.2 Gangguan fisik dan fungsi akibat stroke
Menurut Greenberg dkk. (2002), tentang input kortikal menjelaskan bahwa
gerakan mata cepat menerima masukan dari lobus korteks frontal kontralateral,
gerakan mata lambat menerima masukan dari lobus parietooccipital ipsilateral. Oleh
karena itu, lesi destruktif mempengaruhi korteks frontal dan menggangu mekanisme
pandangan untuk sisi kontralateral horisontal dan dapat mengakibatkan preferensi
tatapan kesisilesi dan jauh dari sisi hemiparesis terkait, sebaliknya sebuah iritasi
fokus dalam lobus frontal dapat menyebabkan tatapan jauh dari sisi fokus.
A
B
C
Gambar 2.2 Gangguan Pandangan dan Kelemahan Ektremitas Atas Akibat Lesi
Hemisper Otak (Greenberg dkk., 2002)
15
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa gangguan pandangan dan kelemahan
ektremitas atas yang terjadi akibat belahan otak dan batang otak yang lesi (akibat
stroke). Gambar A lesi terjadi di lobus frontal belahan otak kanan, gambar B lesi
terjadi pada lobus frontal dari belahan otak kanan dan gambar C lesi terjadi yang
tepat pada pons. Arah panah menunjukkan arah preferensi tatapan yang menjauh dari
sisi hemiparese.
Manifestasi stroke bertahan selama lebih dari 24 jam dan sering permanen,
terjadi pemulihan pada sebagian umum. Durasi gejala dan tanda-tanda tampaknya
tidak berkorelasi dengan etiologi stroke. Pada iskemik gejala dan tanda-tandanya
dapat terselesaikan dalam waktu 24 jam. Pada haemoragik terjadi perdarahan
intraserebral non traumatik biasanya menyebabkan defisit neuruolgis akut yang
menetap setelahnya. Jika defisit memburuk setelah perdarahan awal penyebabnya
adalah karena perdarahan berulang atau komplikasi dari perdarahan awal. Beberapa
tipe defisit neurologis yang terjadi adalah kelemahan ektremitas, kehilangan
sensorik, gangguan okulomotor dan visual, sakit kepala, penuruan kesadaran,
perubahan prilaku, disartria dan disfagia, pusing, epilepsi kejang dan gangguan
pernafasan (Rohkamm, 2004)
Menurut Duncan dkk. (2009), menyatakan bahwa stroke dapat menyebabkan
beberapa efek berikut ini:
1. Kelemahan: hemiparese atau hemiplegia, ganngguan koordinasi dan
keseimbangan, spastisitas, gangguan sensorik (propriosepsi dan sentuhan atau
raba), gangguan penglihatan (hemianopsia), nyeri (sindrom bahu dan tangan),
16
hemineglesi atau kurangnya perhatian sebagian sisi, apraksia, gangguan
menelan (disphagia), gangguan bahasa (aphasia), gangguan artikulasi
(disartria), masalah belajar, perhatian dan mengingat serta gangguan fungsi
eksekusi tindakan, emosi labil, depresi, disfungsi buang air besar dan kecil
(bab dan bak), kelelahan dan keterbatasan ketahanan kardiovaskular.
2. Keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari: keterbatasan perawatan diri (mandi,
berpakaian, dan makan), gangguan mobilitas (berpindah posisi atau transfer,
berjalan), instrumen aktifitas sehari-hari (masak, mencuci, mengatur
keuangan, mengatur pengobatann dan perawatan diri), berkendaraan.
3. Kualitas hidup (partisipasi): fungsi peran fisik dan sosial, berkerja dan
bekerja secara nyaman.
4. Komplikasi umum: aspirasi pneumonia, vena trombosis, jatuh, gangguan
pada kulit, malnutrisi, nyeri bahu, dan kontraktur.
Menurut Desvigne-Nickens (2009), tentang tanda-tanda stroke menjelaskan
bahwa stroke dapat diketahui dengan adanya tanda-tanda seperti kelemahan tiba-tiba
pada otot wajah, lengan dan kaki yang umumnya hanya dialami oleh sebagian tubuh
kanan ataupun kiri, gangguan pandangan pada salah satu mata atau keduanya, sulit
berjalan, hilangnya kekuatan dan gangguan keseimbangan, bingung dan sulit bicara
atau memahami pembicaraan, sakit kepala tanpa sebab dan lain-lain.
17
Gambar 2.3 Tanda-tanda awal stroke (Desvigne-Nickens, 2009)
Akibat atau efek dari stroke menurut Desvigne-Nickens (2009), menjelaskan
bahwa stroke dapat mengakibatkan beberapa gangguan tergantung dari letak atau
area stroke yang terjadi di otak. Stroke yang terjadi pada otak bagian kanan
umumnya akan mengakibatkan masalah atau gangguan dalam mengukur jarak yang
menyebabkan ketidakmampuan untuk mengarahkan tangan untuk mengambil suatu
benda, gangguan dalam pengambilan keputusan dan prilaku yang menyebabkan
ketidakmampuan dalam mencoba melakukan sesuatu seperti menyetir kendaraan,
dan gangguan dalam memori jangka pendek yang meyebabkan pasien bisa
mengingat ingatan yang sudah lebih dari tiga puluh tahun tapi lupa dan tidak bisa
mengingat apa yang dilakukan tadi pagi misalnya. Stroke yang terjadi pada otak
18
bagian kiri umumnya akan mengakibatkan masalah bicara dan bahasa yang
menyebabkan ketidakmampuan bicara dan memahami bahasa orang lain, masalah
gerakan yang lambat dan prilaku hati-hati yang menyebabkan pasien membutuhkan
banyak bantuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, gangguan memori yang
menyebabkan pasien tidak mampu mengingat kejadian beberapa menit yang lalu dan
kesulitan belajar hal yang baru. Stroke yang terjadi pada cerebellum atau bagian otak
yang mengontrol kesimbangan dan koordinasi akan mengakibatkan gangguan refleks
abnormal pada kepala dan tubuh bagian atas, gangguan keseimbangan, kebingungan,
mual dan vomitus. Stroke yang terjadi pada batang otak (brain stem) adalah sangat
berbahaya karena batang otak berfungsi dalam mengontrol seluruh fungsi tubuh
secara otonom seperti gerakan mata, pernafasan, pendengaran, bicara, dan menelan.
Disaat impuls bermula dari otak maka ia harus melalui batang otak sebagai jalan atau
jalur menuju ke lengan dan kaki, pasien dengan stroke pada batang otak akan
mengalami kelemahan untuk mobilisasi atau tidak mampu untuk bergerak atau
merasakan satu atau kedua bagian dari tubuh.
Menurut Wittenberg dan Schaechter (2009), menyatakan bahwa suatu stroke
yang telah merusak jaringan motorik pada otak dapat menyebabkan hemiparesis.
Setidaknya pemulihan dari hilangnya fungsi motorik ini berlangsung spontan
beberapa hari bahkan beberapa bulan setelah stroke. Proses pemulihan dapat
ditingkatkan sccara lebih cepat dengan menggunakan beberapa metode pelatihan
tertentu. Namun, mayoritas pasien stroke akut hemiparerik dapat kembali fungsi
motoriknya secara penuh.
19
2.2 Sistem Neuromuskuler
2.2.1 Sistem saraf pusat
Menurut Despopoulus dan Silbernagl (2003), menjelaskan bahwa otak (brain)
dan sumsum tulang belakang (spinal cord) membentuk suatu sistem saraf pusat
(central nervous system/CNS). Sumsum tulang belakang dibagi menjadi segmensegmen yang sama, tetapi 30% lebih pendek dari kolom tulang belakang (spinal
column). Bagian utama dari otak (brain) terdiri dari medulla oblongata, pons,
mesencephalon,
cerebellum,
diencephalon
dan
telencephalon.
Otak
kecil
(cerebellum) merupakan pusat kendali yang penting untuk fungsi motorik dan
telencephalon yang merupakan bagian dari korteks yang juga penting untuk fungsi
motorik.
Gambar 2.4 Sistem saraf pusat (Despopoulus dan Silbernagl, 2003)
20
Gambar 2.5 Area atau bagian otak (Despopoulus dan Silbernagl, 2003)
Menurut Guyton dan Hall (2006), mengenai organisasi sistem saraf pusat
menjelaskan bahwa sistem saraf merupakan suatu yang unik dalam kompleksitas
yang luas dari proses berpikir dan kontrol tindakan agar bisa dilakukan. Ia menerima
jutaan bit informasi setiap menit dari saraf sensoris dan organ sensoris yang berbeda
dan kemudian mengintegrasikan semua ini untuk menentukan respon yang dilakukan
oleh tubuh. Mengenai unit fungsional sistem saraf pusat Guyton dan Hall (2006) juga
menjelaskan bahwa sistem saraf pusat mengandung lebih dari 100 miliar neuron.
21
Gambar 2.6 Struktur neuron besar di otak (Guyton dan Hall, 2006)
Gambar 2.6 menunjukkan bahwa neuron khas dari jenis yang ditemukan di
korteks motorik pada otak bahwa kedatangan sinyal masuk pada neuron ini melalui
sinapsis yang terletak pada sebagian besar dendrit saraf, tetapi juga pada sel tubuh.
Untuk berbagai jenis neuron, mungkin hanya ada beberapa ratus atau sebanyak
200.000 sambungan sinaptik tersebut dari masukan serat. Sebaliknya, perjalanan
sinyal output dengan cara akson tunggal meninggalkan neuron. Kemudian, akson ini
memiliki cabang yang terpisah ke bagian lain dari sistem saraf perifer atau badan.
Sebuah fitur khusus dari sinapsis yang paling banyak adalah bahwa sinyal
22
mengirimkan hanya dalam arah maju (dari akson neuron sebelumnya menuju ke
dendrit sel membran neuron berikutnya). Hal ini akan memaksa sinyal untuk
bepergian ke arah yang diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi saraf tertentu
(Guyton dan Hall, 2006).
2.2.2 Sistem sensorik dan kontrol motorik
Menurut Despopoulus dan Silbernagl (2003), tentang sistem kontrol sensorik
menjelaskan bahwa dengan indera yang kita miliki, kita mampu menerima sejumlah
besar informasi dari lingkungan. Rangsangan mencapai tubuh dalam berbagai bentuk
energi seperti elektromagnetik (rangsangan visual) atau energi mekanik (rangsangan
taktil). Berbagai reseptor sensorik atau sensor untuk rangsangan ini secara klasik
terdapat pada organ mata, telinga, kulit, lidah, dan hidung sedangkan pada
permukaan tubuh maupun didalam tubuh terdapat pada propriosensor dan organ
vestibular (keseimbangan). Jalur sistem sensorik ini memiliki empat elemen
stimulasi yaitu modalitas, intensitas, durasi dan lokalisasi. Setiap jenis sensor adalah
memiliki stimulus unik yang spesifik atau mampu membangkitkan modalitas
sensorik tertentu seperti penglihatan, suara, sentuhan, getaran, suhu, nyeri, rasa, bau,
juga posisi tubuh dan gerakan dan lain-lain. Masing-masing modalitas memiliki
submodalitas seperti rasa yang bisa manis atau pun pahit dan lain-lain.
23
Gambar 2.7 Resepsi, persepsi dan transmisi informasi
(Despopoulus dan Silbernagl, 2003)
Despopoulus dan Silbernagl (2003), juga menjelaskan bahwa pada stimulasi
yang konstan, kebanyakan sensor beradapatasi yaitu proses penurunan potensi
meraka. Dimana potensi sensor itu perlahan-lahan beradaptasi menjadi sebanding
dengan intensitas stimulus (P sensor atau tonik sensor). Sensor merespon dengan
beradaptasi secara cepat hanya pada awal dan akhir dari stimulus. Pada proses sentral
pada fase pertama impuls inhibisi dan stimulasi berkonduksi ke saraf pusat yang
terintegrasi untuk meningkatkan kontras rangsangan. Dalam hal ini impuls stimulasi
yang berasal dari sensor yang berdekatan dilemahkan pada prosesnya (lateral
inhibition). Pada fase kedua sebuah kesan rangsangan sensorik mengambil bentuk
dalam tingkat yang rendah dari korteks sensoris dan hal ini merupakan langkah
pertama fisiologi sensorik secara subjektif. Kesadaran adalah sarat utama dalam
proses ini. Kesan sensorik akan diikuti dengan interpretasi dan hasil tersebut disebut
sebagai sebuah persepsi. Yang didasarkan pada pengalaman dan alasan dan tunduk
pada interpretasi individu.
24
A
B
Gambar 2.8 A. Stimulus, sensor, and action potential relationship B. Contrasting
(Despopoulus dan Silbernagl, 2003)
Menurut Despopoulus dan Silbernagl (2003), tentang sistem kontrol motorik
atau gerak menjelaskan bahwa koordinasi gerakan muskular (otot) seperti berjalan,
menggenggam, melempar, dll secara fungsional tergantung pada sistem gerak
postural (the postural motor system), yang bertanggung jawab dalam rangka
mempertahankan postur agar tegak, seimbang, dan integrasi spasial dari gerakan
tubuh. Disaat kontrol fungsi gerak postural dan koordinasi otot membutuhkan suatu
kerja yang simultan dan tanpa interupsi pada jalur impuls sensorik dari area perifer
atau tepi, maka hal ini dapat disebut sebagai fungsi sensorimotor (sensorimotor
function).
25
Gambar 2.9 Peristiwa dari keputusan bergerak sampai dengan eksekusi gerakan
(Despopoulus dan Silbernagl, 2003)
26
Berdasarkan gambar 2.9 Despopoulus dan Silbernagl (2003), juga menjelaskan
bahwa gerakan yang disadari atau terencana membutuhkan beberapa tahapan aksi
yaitu keputusan untuk bergerak kemudian proses pemrograman (pemanggilan sub
program yang tersimpan) kemudian perintah untuk gerakan kemudian eksekusi
gerakan. Umpan balik dari aferen (re-aferen) dari gerakan subsistem dan informasi
dari perifer berintegrasi secara konstan dalam prosesnya. Hal ini akan menyebabkan
suatu penyesuaian sebelumnya dan disaat eksekusi gerakan yang disadari atau
terencana.
Menurut Guyton dan Hall (2006), mengenai bagian reseptor sensorik dari sistem
saraf menjelaskan bahwa sebagian besar kegiatan dari sistem saraf yang diprakarsai
oleh pengalaman indrawi akan menarik reseptor sensorik, termasuk reseptor visual di
mata, reseptor pendengaran di telinga, reseptor sentuhan pada permukaan tubuh, atau
jenis pengalaman reseptor indrawi yang lainnya. Pengalaman sensorik ini dapat
menyebabkan reaksi langsung dari otak, atau memori pengalaman dapat disimpan di
otak untuk reaksi dalam menit, minggu, atau tahun dan akan menentukan reaksi
tubuh dimasa yang akan datang.
27
Gambar 2.10 Axis somatosensoris dari sistem saraf (Guyton dan Hall, 2006)
Gambar 2.10 menunjukkan bahwa bagian somatik dari sistem sensorik, yang
mentransmisikan sensorik informasi dari reseptor dari permukaan seluruh tubuh dan
dari beberapa struktur yang mendalam. Informasi ini memasuki sistem saraf pusat
melalui saraf perifer dan dilakukan segera untuk beberapa sensorik didaerah sumsum
tulang belakang pada semua tingkatan, substansi reticular dari medula, pons, dan
mesenchepalon dari otak, otak kecil, thalamus dan daerah dari korteks serebral
(Guyton dan Hall, 2006).
28
Menurut Guyton dan Hall (2006), tentang bagian motorik dari sistem saraf
(efektor) menjelaskan bahwa peran terakhir yang paling penting dari sistem saraf
adalah untuk mengontrol berbagai kegiatan tubuh. Hal ini dicapai dengan
mengendalikan kontraksi yang tepat dari kerangka otot-otot pada seluruh tubuh,
kontraksi dari otot polos dalam organ internal, dan sekresi zat kimia aktif oleh kedua
kelenjar eksokrin dan endokrin di banyak bagian tubuh. Kegiatan ini secara kolektif
disebut fungsi motorik dari sistem saraf, otot dan kelenjar yang disebut sebagai
efektor karena mereka merupakan struktur anatomi yang sebenarnya melakukan
fungsi yang didikte oleh sinyal saraf.
Gambar 2.11 Axis saraf motorik skeletal dari sistem saraf (Guyton dan Hall, 2006)
29
Gambar 2.11 menunjukkan bahwa axis saraf motorik kerangka dari sistem saraf
untuk mengontrol kontraksi otot rangka. Operasi sejajar dengan sumbu ini
merupakan sistem lain yang berbeda, yang disebut sistem saraf otonom untuk
mengendalikan otot halus, kelenjar, dan sistem internal tubuh lainnya. Pada gambar
tersebut pula dijelaskan bahwa otot rangka dapat dikendalikan dari banyak tingkatan
pada sistem saraf pusat termasuk sumsung tulang belakang, subtansi reticular pada
medula, batang otak, dan mesenchepalon, basal ganglia, serebellum, dan korteks
motorik. Masing-masing area tersebut memainkan peran sendiri secara spesifik, area
yang lebih rendah terutama berkaitan dengan sistem otonom, respon otot seketika
untuk rangsangan sensorik, dan pada area yang lebih tinggi untuk gerakan otot
kompleks yang sengaja dikendalikan oleh proses berpikir otak (Guyton dan Hall,
2006).
Masih menurut Guyton dan Hall (2006), tentang otak bagian bawah atau tingkat
subkortikal menjelaskan bahwa banyak dari apa yang disebut kegiatan bawah sadar
tubuh dikendalikan di daerah yang lebih rendah dari otak medula, pons,
mesencephalon, hipotalamus, thalamus, otak kecil dan basal ganglia. Misalnya pada
kontrol bawa sadar tekanan arteri dan respirasi dicapai terumata di medula dan pons.
Pengendalian ekuilibrium adalah fungsi gabungan dari bagian-bagian yang lebih tua
dari otak kecil dan substansi reticular medula, pons, dan mesencephalon. Refleks
makan, seperti air liur dan menjilati bibir dalam merspons rasa makanan,
dikendalikan oleh area di medula, pons, mesencephalon, amigdala dan hipotalamus.
Dan banyal pola emosional, seperti kemarahan, kegembiraan, respon seksual, reaksi
30
terhadap rasa sakit dan reaksi terhadap kesenangan, masih dapat terjadi setelah
kerusakan dari korteks serebral.
Masih menurut Guyton dan Hall (2006), tentang otak bagian yang lebih tinggi
atau tingkat kortikal menjelaskan bahwa setelah penjelasan sebelumnya pada banyak
fungsi sistem syaraf yang terjadi pada kabel dan tingkat otak yang lebih rendah, kita
bisa bertanya, apa fungsi yang tersisa untuk korteks serebral yang dilakukan.
Jawabannya adalah kompleks tapi dimulai dengan fakta bahwa korteks serebral
merupakan gudang memori yang sangat besar. Bagian dari korteks bisa berfungsi
sendirian tapi selalu berhubungan dengan pusat-pusat yang lebih rendah dari sistem
syaraf. Tanpa korteks serebral, fungsi pusat-pusat otak yang lebih rendah sering tidak
tepat. Gudang besar informasi kortikal biasanya mengkonversi fungsi-fungsi untuk
operasi yang menentukan dan tepat. Akhirnya, korteks serebral sangat penting untuk
sebagian besar proses berfikir kita, tetapi tidak dapat berfungsi dengan sendirinya.
Bahkan itu adalah pusat otak yang lebih rendah, bukan korteks, yang memulai
terjaga di korteks serebral, sehingga membukan simpanan ingatan untuk mesin
berpikir otak. Dengan demikian, setiap bagian dari sistem syaraf melakukan fungsi
tertentu. Tapi itu adalah korteks yang membuka dunia informasi yang disimpan
untuk digunakan oleh pikiran.
2.3 Neurorestorasi dan fisioterapi pasca stroke
Menurut World Health Organiation (WHO, 2001), dalam konsep International
Classification of Functioning, Disability and Health (ICF-DH) yang merupakan
panduan dan acuan bagi segenap profesional fisioterapis di seluruh dunia untuk
31
menerapkan pola pelayanan bagi pasien dan masyarakat dalam proses fisioterapi
mencakup aspek assesmen, diagnosis, perencanaan, intervensi, evaluasi maupun
target sasaran hasil terapi yang diharapkan pada setiap individu pasien. Sebagaimana
yang telah diterangkan pada gambar dibawah ini:
Health Condition
(disorder or disease)
Body Functions and
Structures
Participation
Activities
Enviromental
Factors
Personal
Factors
Gambar 2.12 Interactions between the component of ICF-DH (WHO, 2001)
Gambar 2.12 menjelaskan bahwa kondisi kesehatan individu itu terdiri dari
problematika atau gangguan yang terjadi pada tingkat fungsi tubuh dan struktur
tubuh individu yaitu fungsi fisiologis dari sistem tubuh manusia dan bagian anatomis
dari tubuh manusia tersebut dan akan mengakibatkan timbulnya keterbatasan pada
tingkat aktifitas kehidupan sehari-hari yaitu keterbatasan dalam mengeksekusi atau
menyelesaikan
sebuah
tugas
atau
aktifitas
sehari-hari.
Kemudian
akan
mengakibatkan restriksi atau hambatan pada tingkat partisipasi yang lebih tinggi
32
yaitu masalah dalam melakukan aktifitas keterlibatan terhadap situasi kehidupannya
sehari-hari. Dimana semua problematika, keterbatasan dan hambatan yang ada selalu
akan dipengaruhi oleh faktor internal atau personal individu dan faktor eksternal atau
lingkungan sekitar individu tersebut.
Menurut Partridge (2002), menjelaskan bahwa prinsip umum dan tujuan
keseluruhan dari pengobatan pasien stroke adalah melatih kembali kontrol motorik
pasien sehingga kinerja motoriknya menjadi sedekat mungkin dengan kondisi
normal, karena kinerja motorik normal adalah kinerja yang paling efisien. Pada tahap
selanjutnya mungkin perlu untuk mengubah tujuan ini kearah bagaimana mengadopsi
pendekatan yang lebih fungsional. Sementara kontrol motorik sedang pemulihan,
sehingga menjadi penting untuk melestarikan panjang otot dan integritas bersama,
yang keduanya beresiko saat pasien tidak dapat bergerak normal.
Menurut Vuadens (2005), menjelaskan bahwa hasil (pemulihan pasca stroke)
yang berbeda dapat dijumpai ketika pengukuran dilakukan secara bervariasi. Bahkan
dalam hal neurorehabilitasi, dapat dievaluasi apakah pasien dapat pulang ke rumah
atau kembali bekerja. Biasanya, orang yang menderita stroke harus beradaptasi
terhadap kondisi kecacatannya (disability), dan kemampuan dalam melakukan
aktifitas sehari-hari, karena tujuan utama pemulihan stroke adalah dapat kembali
melakukan aktifitas sehari-hari. Tujuan ini membutuhkan skala khusus untuk menilai
efektifitas terapeutik.Pengukuran hasil lainnya termasuk mengukur kemampuan
berjalan (ambulasi), kemampuan gerak, dan kualitas hidup secara keseluruhan.
33
Menurut Sullivan (2007), terapi latihan adalah metode yang paling umum
digunakan untuk mengatasi masalah mobilitas fisik setelah kerusakan otak. Terapi
latihan menggabungkan prinsip-prinsip latihan ke dalam desain intervensi terapeutik
dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan kinerja fungsional dan mengurangi
disfungsi spesifik pada gerakan-gerakan terkait. Secara tradisional, program terapi
latihan telah dirancang untuk memulihkan penurunan masalah mobilitas tertentu
secara spesifik. Kemudian tren baru dalam terapi latihan adalah untuk
menggabungkan prinsip pelatihan secara fisiologis dalam desain program terapi
latihan yang meningkatkan kapasitas aerobik dan kekuatan pada indivisu dengan
kerusakan otak. Sehingga pentingnya latihan berulang berorientasi pada praktik
dalam tugas untuk pemulihan fungsi ektremitas atas dan berjalan telah ditunjukkan
secara konsisten dalam uji klinis kerusakan otak pada pasien stroke.
Beberapa level kesembuhan dalam peningkatan kemampuan fungsional dapat
terjadi pada sebagian besar pasien pasca sroke dan kesembuhan total memungkinkan
dapat terjadi walaupun prognosisnya sulit untuk diprediksi pada setiap individu.
Program rehabilitasi dapat membantu proses peningkatan kemampuan fungsional
dan memungkinkan pasien dalam mengembangkan strategi untuk mengatasi
kecacatan dan menjadi proses pengobatan yang dapat diandalkan setelah periode
stroke pasca akut (Pendlebury dkk., 2009).
Upaya rehabilitasi stroke dilakukan untuk memulihkan pasien pada kondisi fisik,
mental dan kemampuan sosial seperti sebelumnya. Pendekatan dilakukan termasuk
pada peningkatan kemampuan fungsional seperti sebelumnya, mengkompensasi
peningkatan akibat penurunan fungsi, modifikasi lingkungan, mencegah komplikasi
34
seperti stroke berulang, nyeri bahu, pemeliharaan dan pencegahan kerusakan fungsi.
Mencapai kualitas hidup yang optimal merupakan tujuan akhir. Meskipun ada bukti
kuat (evidence based) bahwa penambahan waktu untuk menjalani terapi dapat
bermanfaat. Namun secara umum, hanya sekitar 5% pasien store yang menjalani
terapu secara rutin (Pendlebury dkk., 2009).
Penatalaksanaan fisioterapi dapat memberikan hasil peningkatan fungsi,
walaupun belum begitu jelas jenis pendekatan yang terbaik. Fisioterapi melatih
pasien dalam mencapai kemampuan duduk, dari duduk ke berdiri, berdiri dan
berjalan. Fisioterapi juga membantu dalam penggunaan alat sanggahan kaki (splint
dropfoot), alat batu tongkat dan kursi roda, dan mereka memberikan instruksi kepada
penjaga pasien dalam melakukan transfer, mengangkat, berjalan dan latihan.
Fisioterapi juga mampu mempertahankan lingkup gerak sendi dan fungsi AGA.
Namun suntikan kortikosteroid atau ultrasound untuk nyeri bahu belum terbukti
bermanfaat dan katrol (pulleys) di atas kepala dan peregangan pasif posisi bahu statis
merupakan berbahaya dan tidak boleh digunakan (Pendlebury dkk., 2009).
Tujuan utama pemulihan pasien pasca stroke adalah untuk mencegah
komplikasi,
meminimalkan
gangguan,
dan
untuk
memaksimalkan
fungsi.
Pencegahan sekunder yang mendasar adalah untuk mencegah stroke berulang.
Standar evaluasi dan alat ukur yang valid sangat penting untuk mengembangkan
rencana pengobatan yang komprehensif. Berdasarkan bukti kuat (evidence based)
program intervensi harus menuju pada kemampuan fungsional (Duncan, 2009).
35
2.4 Neuroplastisitas pada otak
Menurut Edward (2002), tentang plastisitas otak menjelaskan bahwa plastisitas
otak mendasari semua keterampilan belajar dan merupakan bagian sistem saraf pusat
dalam keadaan sehat dan kerusakan otak individu dalam berbagai usia. Plastisitas
dari korteks sensoris juga telah diinduksi melalui pelatihan prilaku. Hal ini
menunjukkan bahwa sensorik stimulasi, jika diberikan secara efektif dan cukup
sering dapat memperluas daerah sensorik dari korteks dan dimungkinkan memiliki
implikasi untuk terapi. Perubahan plastisitas juga telah dibuktikan dalam sistem
motorik sebagai hasil dari pelatihan motorik.
Menurut Cohen dan Hallet (2003), tentang plastistas saraf dan pemulihan fungsi
menjelaskan bahwa perhatian terhadap rehabilitasi neurologis dan perkembangan
istilah seperti neuroplastisitas dan neurorehabilitation adalah ekspresi minat yang
relatif baru dalam pemulihan fungsi. Namum saat ini telah terjadi kemajuan dalam
pemahaman tentang fisiologi sinaptik. Pengaruh dasar pemikiran termasuk temuan
bahwa faktor pertumbuhan saraf adalah dinyatakan berada dalam otak orang dewasa
yang mengarah pada hipotesis bahwa mungkin akan terus mengarah pada efek tropik
di kemudian, demonstrasi tubuh di sistem saraf pusat dan temuan bahwa potensi
jangka panjang yang diinduksi oleh stimulasi berulang di hipokampus meningkatkan
transmisi sinaptik.
Masih menurut Cohen dan Hallet (2003), tentang plastisitas otak manusia pasca
stroke menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan tantangan besar bagi banyak ahli
saraf dan dokter. Banyak faktor yang menjadikan hal yang satu ini menjadi sulit
36
bagaimana terjadi dalam proses belajar. Disatu sisi gangguan umum stroke
merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang pada banyak orang dewasa
dengan berbagai tingkat gangguan neurologis residual. Disisi lain pasien stroke
setiap pasien stroke berbeda dari yang lain dan sedikit perbedaan dalam lokasi lesi
dan setiap kondisi pasien berpotensi besar masih menghasilkan perubahan yang
diketahui dalam plastisitas dan rehabilitasi. Dalam kebanyakan kasu, kesembuhan
spontan terjadi ke berbagai derajat pada bulan-bulan awal setelah episode kritis.
Kecepatan peningkatan fungsi motorik semakin lambat selama tahun pertama
tergantung pada tingkat keparahan defisit neurologis awal
dan perbedaan
mekanisme yang mungkin berperan dalam berbagai tahap pemulihan motorik.
Pemulihan pada hari-hari awal setelah episode serangan awal difokuskan pada
resolusi edema atau reperfusi dari penumdra iskemik. Tetapi mungkin juga bahwa
daerah lain di otak akan mengambil alih fungsi dareah yang lesi dan memberikan
kontribusi untuk pemulihan. Efek dasar neuroanatomi ini dalam sistem motorik bisa
menjadi atau membuat koneksi kortikomotoneuronal dari berbagai daerah di korteks
motorik. Pada tahap selanjutnya dapat dibayangkan bahwa serat tumbuh dari
bertahan untuk menjalin kontak sinaptik baru yang berkontribusi membangun dasar
pemulihan secara neuroanatomis.
Menurut Byl (2003), menjelaskan bahwa dekade terakhir ini telah banyak
penelitian di bidang ilmu syaraf dan neuroplastisitas. Secara jelas telah menunjukkan
bagaimana sistem syaraf tersebut beradaptasi. Meskipun masih dalam periode
pengembangan, namun telah diketahui bahwa plastisitas syaraf terjadi di semua
tingkat syaraf di seluruh rentang kehidupan. Skala plastisitas dalam proses
37
pembelajaran keterampilan berkembang cepat secara progresif. Selama perubahan
plastisitas kortikal tampak dijelaskan oleh adanya perubahan lokal dalam anatomi
syaraf. Proses plastisitas kortikal pada anak berkembang lebih progresif yang
ditunjukkan saat belajar berbagai keterampilan. Sedangkan pada orang yang lebih
tua, pengolahan plastisitas kortikal merupakan integrasi proses neurologis yang lebih
efisien dan efektif.
Menurut Ganong (2003), tentang plastisitas pada otak manusia dan primata,
dalam sebuah penemuan yang dilakukan pada hewan percobaan dan manusia
menunjukkan kesamaan plastisitas pada korteks sensorik. Daerah kontralateral
korteks motorik membesar membentuk pola sesuai dengan pergerakan yang
dipelajari dengan satu jari tangan, perubahan ini dapat dideteksi pada minggu
pertama dan maksimal pada minggu ke empat. Daerah output kortikal ke otot lain
juga bertambah besar ketika proses pembelajaran motorik melibatkan otot-otot ini.
Ketika lesi iskemik kecil pada focal dibuat di daerah tangan pada korteks motorik
primata, daerah tangan akan muncul kembali dengan kembalinya fungsi motorik
dibagian yang rusak yang berdekatan dengan korteks. Dengan demikian, peta dari
korteks motorik tidak berubah dan mereka berubah berdasarkan pengalaman.
Menurut Nikonenko dkk. (2005), tentang plastisitas bahwa rangsangan sinapsis
plastisitas diyakini merupakan aspek yang penting dalam integrasi sinyal jaringan
saraf. Sampai saat ini plastisitas pada dasarnya dipertimbangkan dalam hal
perubahan fungsional dalam keberhasilan transmisi dan fokus utamanya pada
potensialisasi peningkatan sinaptik jangka panjang. Peningkatan kekuatan terjadi
oleh karena adanya periode singkat stimulasi dengan frekuensi tinggi. Pada
38
penelitian terkini secara intensif dilakukan pada mekanisme molekuler yang
berkontribusi terhadap bentuk plastisitas telah terungkap bagaimana peran sentral
yang dimainkan reseptor polisinaptik dalam proses ini.
Menurut Hallett (2006), menjelaskan bahwa bagian korteks motorik berfungsi
lebih dari sekedar pelaksana perintah motorik melainkan ia juga dimungkinkan dapat
terlibat dengan aspek yang berbeda dari pembelajaran motorik. Korteks motorik
dapat menunjukkan plastisitas yang cukup, dan kedua rangsangan yang ditujukan
kepada otot di sejumlah wilayah atau kepada tugas tertentu yang dapat meluas
pemetaannya atau menyusut tergantung pada jumlah penggunaannya. Namun ada
juga peningkatan jangka pendek aktifitas korteks motorik ketika mempelajari tugastugas baru.
Menurut Frolov dan Dufosse (2006), menjelaskan bahwa proses belajar
menghasilkan plastisitas sinaptik yang terjadi diberbagai situs otak. Untuk gerakan
pencapaian atau meraih lengan, terdapat tiga lokasi yang telah dipelajari yaitu
sinapsis kortiko kortikal dari korteks serebral, sinapsis pararel sel serat purkinje dari
korteks serebelum dan jalur serebelo-talamo-kortikal. Maksudnya adalah untuk
memahami bagaimana ketiga lokasi tersebut secara proses adaptif berkerja sama
untuk kinerja yang optimal. Dalam rumusannya menunjukkan bahwa setiap
kombinasi linear perintah motorik otak dapat menghasilkan sinyal olivary yang
mampu mendorong proses pembelajaran serebelum dan setiap aktifitas serat yang
naik mengawasi pembelajaran serebelum dapat berasal dari generasi perintah otak
timbul cukup awal untuk meningkatkan bahkan untuk menggantikan perintah ini
sebelum kesalahan kinerja yang akan terjadi.
39
Sedangkan menurut Sullivan (2007), menjelaskan bahwa proses pembelajaran
motorik merupakan proses yang berhubungan dengan praktek atau pengalaman yang
mengarah pada perubahan yang relatif permanen dalam menghasilkan kemampuan
gerakan-gerakan yang terampil dan tentang prinsip latihan fungsional dan akuisisi
keterampilan motorik sebagaimana dijelaskan pada gambar dibawah ini.
Neuroplastisitas
Akuisisi
Keterampilan
Motorik
Prinsip
Pembelajaran
Motorik
Prinsip
Latihan
Analisis
Aktifitas
Fungsional
Kelemahan
Primer dan
Sekunder
Gambar 2.13 Neuroplastisitas dan Akuisisi Keterampilan Motorik
(Sullivan, 2007)
40
Menurut Nudo dan Dancause (2007), tentang korelasi saraf dan keterampilan
motor kontrol menjelaskan bahwa karena banyak dasar yang sama menjelaskan
bahwa proses adaptif neurologis diperkirakan terjadi pada kedua kondisi normal dan
kerusakan otak. Agar membentuk proses anatomis dan plastisitas secara fisiologis
yang mengarah pada pemulihan motorik secara fungsional setelah kerusakan otak
terjadi maka diperlukan proses pelatihan yang dilakukan berulang-ulang dan akuisisi
keterampilan motorik untuk memodulasi struktur dan fungsi normal otak yang tidak
terluka atau rusak.
Menurut
Lederman
(2010),
mejelaskan
bahwa
program
rehabilitasi
neuromuskular bukan hanya tentang berolahraga. Melainkan adalah tentang
bagaimana menyediakan kognisi sensori-motor yang memfasilitasi pembelajaran
motorik dalam sebuah adaptasi. Dengan menjadi bagian dari proses kontinum
neuromuskuler, otot dapat menunjukkan adaptasi dramatis secara pararel ke pusat
plastisitas di otak. Perubahan otot dapat dalam bentuk adaptasi yang panjang,
hipertrofi dan perubahan dalam jenis serat dari otot tersebut. Adaptasi dari otot
cenderung bersifat spesifik untuk jenis kegiatan yang dipraktekkan.
2.5 Pelatihan Mirror Neuron System
Menurut Buccino (2006), menjelaskan bahwa tangan merupakan bagian yang
sangat penting digunakan oleh manusia. Imitasi gerakan sering dianggap sebagai
dasar dalam menuntaskan tugas kognitif. Terdapat evidence yang jelas bahwa imitasi
merupakan bagian yang dikembangkan pada manusia. Imitasi gerakan menyiratkan
observasi motorik, citra motorik dan aktualisasi pelaksanaan gerakan. Pada saat jeda
41
selama imitasi gerakan maka terjadi hubungan dengan pembentukan dan konsolidasi
pola motorik baru. Terdapat juga evidence yang berkembang bahwa pengalaman dari
stimulasi sehari-hari untuk berlatih intensif dapat menyebabkan neuron yang ada
merubah konektifitas sinaptik dan membentuk organisasi reseptif yang baru. Yang
telah diamati dalam sistem somatosensori dengan stimulasi saraf perifer, sehingga
proses penyembuhan pada pasien stroke tergantung pada pendekatan yang dilakukan
dan pengaruh lingkungan dan rangsangan pelatihan khusus yang dilakukan. Pilihan
waktu intervensi juga penting, sehingga apakah waktu yang berbeda memberikan
pengalaman tersendiri dalam proses pemulihan. Pada kondisi stroke, lingkungan
homeostatik pada area infark terjadi proses trofik pertumbuhan pemancar reseptor
dan hal ini dapat mendukung pembentukan sinapsis atau peningkatan arborization
dendritik dan proses ini berperan dalam proses awal peningkatan kemampuan
fungsional secara proporsional.
Masih menurut Buccino (2006), juga menjelaskan bahwa imitasi motorik
berperan pada proses pembelajaran motorik dan gerakan tangan pada pasien pasca
stroke. Imitasi motorik merupakan suatu fungsi kognitif yang kompleks termasuk
didalamnya observasi gerakan, imajinasi gerakan, dan eksekusi gerakan. Secara
individual, observasi gerakan dan imajinasi gerakan dapat meningkatkan rangsangan
pada jalur kortikospinal dan pola ini berintegrasi dengan input sensorik yang akan
disimpan sebagai pola motorik untuk menghasilkan gerakan yang diperlukan. Maka
proses imajinasi gerakan merupakan hal yang penting dalam proses peningkatan
kemampuan fungsional motorik pada pasien stroke dan untuk mengarahkan pada
proses peningkatan kemampuan fungsional secara alamiah dan berhubungan dengan
42
proses remediasi dan kompensasi tindakan pada pemulihannya. Karena dianggap
lebih efisien dalam mencapai hasil secara fungsional.
Menurut Iacoboni dan Mazziotta (2007), menjelaskan bahwa aktivasi neuron
premotor selama pengamatan sederhana terhadap suatu tindakan adalah bagian fitur
yang menarik dalam pemulihan fungsi motorik. Adanya gangguan motorik kronis
dapat dilihat dalam sebagian besar pasien yang mengalami stroke. Secara umum
observasi terhadap suatu gerakan menjadi suatu bentuk latihan yang digunakan
sebagai dasar. Dalam sebuah penelitian dilakukan perbandingan antara dua
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen dilakukan
observasi terhadap gerakan dengan mengamati video sehari-hari terhadap aktifitas
lengan tangan sedangkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan. Hasilnya
menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen terjadi perbaikan fungsi motorik
yang signifikan. Pada kelompok kontrol tidak menunjukkan perubahan yang
subtansial. Penelitian tersebut merupakan satu-satunya studi empiris yang pernah
dilakukan tentang pengaruh observasi gerakan dalam suatu program peningkatan
kemampuan fungsional.
Tentang pelatihan MNS Iacoboni (2009), menjelaskan bahwa imitasi merupakan
hal yang sudah melekat dan terjadi otomatis pada manusia, model psikologis dari
imitasi mengasumsikan suatu yang tumpang tindih atau adanya link asosiasi yang
kuat antara persepsi dan tindakan yang didukung oleh mirror neuron, sirkuit inti
neuron dari imitasi terdiri dari area visual yang lebih tinggi (bagian posterior dari
sulkus temporal superior) dan oleh frontoparietal MNS, empati diimplementasikan
oleh simulasi dari keadaan mental orang lain, jaringan yang berskala besar untuk
43
empati terdiri dari MNS, insula dan sistem limbik, mirror neuron dipilih karena
memberikan keuntungan adaptif intersubjektifitas.
Gambar 2.14 Skema representasi proses imitasi (Asten, 2009)
Menurut Gallese (2009), menjelaskan bahwa mirror neurons merupakan neuron
premotor yang dapat aktif apabila sebuah aksi tindakan dijalankan dan apabila
mengobservasi apa yang dilakukan oleh orang lain. Neuron dengan sifat yang serupa
juga ditemukan dalam sektor korteks parietal posterior. Seperti pada primata, motor
neuron yang sama yang terjadi ketika ia menggenggam kacang juga diaktifkan ketika
primata tersebut mengamati individu lain melakukan tindakan yang sama. Aksi
pengamatan menyebabkan pada si pengamat mengaktifkan mekanisme saraf yang
sama secara otomomatis yang dipicu oleh pelaksanaan tindakan tersebut. Yang baru
dari temuan ini adalah fakta bahwa untuk pertama kalinya mekanisme saraf
memungkinkan pemetaan langsung antara deskripsi visual dari aksi tindakan dan
44
pelaksanaannya yang telah diidentifikasi. Sistem pemetaan ini memberikan solusi
yang ketat untuk masalah menerjemahkan hasil analisis visual dari gerakan yang
diamati. MNS pada manusia secara langsung terlibat pada proses imitasi gerakan
yang simpel, imitasi pembelajaran pada keterampilan yang kompleks, pada persepsi
dari komunikasi tindakan, dan deteksi pada niat atau rencana tindakan. Arsitektur
neurofunctional dari pelaksanaan struktur tindakan sistem premotor dan tindakan
persepsi, imitasi dan imajinasi dengan hubungan saraf efektor motorik dan atau
daerah korteks sensori. Ketika suatu aksi dijalankan atau diimitasi, jalur kortikospinal diaktifkan, dan menyebabkan eksitasi otot dan gerakan berikutnya. Ketika
suatu tindakan diamati dan dibayangkan, maka eksekusi yang sebenarnya sedang
dihambat. Jaringan motorik kortikal diaktifkan meskipun tidak semua komponen,
kemungkinan besar, tidak dengan intensitas yang sama tetapi tindakan tidak
diproduksi, itu hanya sebuah simulasi.
Menurut Heyes (2009), menerangkan bahwa secara empiris mirror neurons dan
kontra mirror neurons berkontribusi pada fungsi sosial kognisi, termasuk
pemahaman aksi, prediksi aksi, imitasi, pengolahan bahasa dan pembentukan mental.
Tantangannya menemukan apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka
melakukannya, sebagai ciri yang diperankan oleh mirror neurons di sistem
pendukung sosialitas manusia yang kompleks.
Mengenai gangguan pada MNS Cattaneo dan Rizzolatti (2009), menjelaskan
bahwa sindrom atau disfungsi dari MNS secara klinis didasarkan pada gangguan
perkembangan dari sistem saraf. Memang, disfungsi dari MNS dewasa ini
dihipotesiskan pada gangguan spektrum autisme. Gangguan spektrum autisme adalah
45
yang paling mungkin karena merupakan gangguan polygenetic yang dinyatakan
sebagai penurunan arsitektur materi abu-abu dan koneksi kortikokortikal
intrahemisper. Secara klinis, beberapa defisit fungsional yang khas dengan gangguan
spektrum autisme seperti defisit imitasi, empati emosional, dan kehendak
berhubungan dengan orang lain, memiliki kedekatan yang jelas dengan fungsi MNS.
Aspek lain yang relevan secara klinis dengan mirror system adalah rehabilitasi pada
ektremitas atas pada pasien pasca stroke. Dewasa ini, beberapa pendekatan untuk
pemulihan stroke telah dirancang dengan menggunakan teknik yang menginduksi
plastisitas kortikal secara jangka panjang. Data plastisitas disebabkan oleh karena
observasi gerakan atau timdakan menberikan dasar konseptual untuk aplikasi
tindakan protokol observasi pada pemulihan stroke. Data awal menunjukkan bahwa
pendekatan ini mungkin menghasilkan hasil klinis yang signifikan.
Dalam makalahnya Keyser dan Gazzola (2010), menjelaskan bahwa mirror
neurons didefinisikan sebagai suatu properti yang mana ia akan aktif bergejolak
sepanjang suatu eksekusi dan observasi terhadap suatu aksi yang spesifik. Meskipun
dalam sepuluh tahun belakangan ini baru ada bukti dasar atas percobaan yang
dilakukan pada monyet, sampai saat ini ia menjadi dasar (evidence) secara tidak
langsung bagi manusia dan akhirnya memberikan bukti kritis elektrofisiologi secara
langsung bahwa manusia memiliki “mirror neurons”. Penelitian tambahan
menunjukkan bahwa MNS pada manusia melampaui korteks premotor ventral dan
lobus parietal inferior yang secara tradisional terkait dengan sistem ini. Menariknya,
penelitian lain juga melaporkan bukti bahwa adanya eksistensi keberadaan “anti”
mirror neurons, yang mungkin akan membantu kita memahami bagaimana otak kita
46
dapat melakukan simulasi motorik tanpa menggerakkan tubuh kita, dan bagaimana
kita bisa membedakan tindakan kita sendiri dari yang kita amati. Kesimpulannya,
setelah periode dimana ada modus yang mengklaim bahwa sebenarnya tidak ada
bukti mirror neurons pada manusia, membawa kita dua lompatan lebih lanjut dalam
kita memahami sistem ini, kita sekarang tahu bahwa manusia memiliki mirror
neurons, dan kita juga tahu bahwa mirror neurons tidak terbatas pada premotor dan
korteks parietal inferior saja. Kita juga melihat bahwa neuron tertentu tampaknya
memiliki properti “anti mirror”. Dalam kombinasi dengan mirror neurons, ia bisa
membantu otak melakukan simulasi batin terhadap tindakan orang lainnya sementara
pada saat yang sama memblokir output motorik terbuka secara selektif dan
disambigu melakukan tindakan.
Tentang pelatihan mirror neurons, seorang profesor fisiologi manusia, Rizzolatti
(2011), menjelaskan bahwa mirror neurons seperti setiap kali kita melakukan
tindakan dengan tujuan. Misalnya mengambil sebuah gelas untuk minum. Bahkan
lebih luar biasa, ketika kita menonton orang lain melakukan tindakan yang sama,
maka “neuron” kita akan menyala atau bergejolak, kita akan memiliki “salinan dari
tindakan kita” dan hal ini memungkinkan anda untuk memahami apa yang orang lain
lakukan secara implisit, dimana otak kita mencerminkan prilaku mereka. Fungsi
mirror neurons berbeda dengan neuron motorik, yang akan aktif setiap kali kita
menggerakkan otot, terlepas dari tindakan yang dilakukan. Mirror neurons aktif
bukan karena adanya gerakan, akan tetapi karena tujuan dari gerakan-gerakan secara
keseluruhan. Namun masih banyak yang harus ditemukan tentang peran mirror
neurons dalam memungkinkan manusia untuk memahami satu sama lain dan mirror
47
neurons dimungkinkan telah mendorong pembentukan bahasa manusia, karena ia
memungkinkan dua orang berbagi pemahaman dari satu kegiatan. Sebagai contoh,
kita masih akan tahu secara implisit apa yang orang lain lakukan ketika mereka
minum air, bahkan jika kita tidak punya kata untuk menggambarkan prilaku mereka.
Menemukan kata-kata sederhana bagi mereka merupakan langkah awal terhadap
komunikasi verbal.
2.6 Pelatihan Constraint Induced Movement Therapy
Pelatihan CIMT merupakan salah satu pendekatan yang menggabungkan
pelatihan imtensif pada AGA yang terkena sakit atau kelemahan dengan cara
memberi tahanan pada sisi bagian lengan yang tidak sakit atau kelemahan.
Alasannya adalah dengan menggabungkan kedua unsur tersebut diharapkan akan
terwujud peningkatan potesi secara penuh pada sisi lengan yang sakit atau kelemahan
dengan program pemulihan AGA secara fungsional berkelanjutan (Nadler, 2007).
Menurut Sullivan (2007), tentang inovasi dalam pemulihan fisik bahwa
pelatihan CIMT dan penggunaan latihan treadmill dengan dukungan berat badan
merupakan contoh inovasi dalam pemulihan fisik yang berasal dari dasar ilmu
pengetahuan tentang neuroplastisitas dan neurorecovery dan memasukkan prinsipprinsip pembelajaran motorik dan latihan ke dalam intervensi terapeutik dan tujuan
dari masing program pemulihan tersebut adalah untuk meningkatkan keterampilan
dalam melakukan tugas-tugas secara fungsional. Pelatihan CIMT merupakan
intervensi latihan dimana penggunaan perangkat tahanan dan praktik penggunaan
48
atau pemberian tugas secara intensif dalam rangka pemulihan AGA pada individu
dengan kondisi hemiparese.
Gambar 2.15 Pelatihan CIMT (Sullivan, 2007)
Pelatihan CIMT merupakan salah satu teknik dalam neurorehabilitasi yang
bertujuan meningkatkan fungsi motorik dan meningkatkan penggunaan ekstremitas
atas hemiparetik dalam kegiatan sehari-hari (Wittenberg dan Schaechter, 2009). Pada
CIMT pasien diharuskan menggunakan sisi tangan yang sakit atau yang mengalami
kelemahan saat melakukan program terapi dan aktivitas sehari-hari sementara sisi
tangan lain yang sehat atau yang tidak mengalami kelemahan sengaja ditahan atau
dipaksa agar tidak digunakan untuk bergerak melakukan aktifitas sehari-hari
tersebut. Termasuk dalam melakukan stabilisasi objek kecuali saat beristirahat
(Hayner dkk., 2010).
49
Masih menurut Hayner dkk. (2010), dalam hasil penelitiannya menerangkan
bahwa terjadi peningkatan skor yang signifikan yang ditemukan dalam pengukuran
WMFT dan Canadian Occupational Performance Measure (COPM) pada semua
waktu di kedua group yang diteliti dan tidak dijumpai perbedaan yang signifikan
diantara group yang dijumpai pada tes tersebut dan memberi kesimpulan bahwa
terapi aktifitas dengan intensitas tinggi menggunakan pelatihan CIMT atau
pendekatan bilateral dapat meningkatkan fungsi AGA atau ekstremitas atas bagi
pasien yang menderita disfungsi ekstremitas atas setelah kecelakaan serebrovaskular
(cerebrovascular accident/CVA). Penelitian tersebut dilakukan dengan desain
menghubungkan dua group, percobaan acak dengan stratifikasi terhadap tingkat
keparahan disfungsi ekstremitas atas.
Singkatnya, ada dua kemungkinan melalui mekanisme mana fungsi motorik bisa
diperbaiki. Pertama, efek langsung pada jalur langsung (direct pathway) yaitu
meningkatkan rangsangan kortikal pada hemisper yang tidak dominan melalui
peningkatan penggunaan tangan yang tidak dominan akan menghasilkan peningkatan
fungsi motorik. Kedua, efek tidak langsung (indirect pathway) yaitu meningkatkan
rangsangan tersebut dari penurunan rangsangan pada hemisper yang dominan. Studi
menunjukkan bahwa prosedur modifikasi CIMT hanya dikaitkan dengan mekanisme
pertama, sebaliknya, bahwa prosedur modifikasi CIMT aktif dikaitkan dengan
mekanisme langsung maupun tidak langsung (Williams dkk., 2010).
50
Gambar 2.16 Mekanisme Rangsangan Kortikal Direct Pathway
(Williams dkk., 2010)
Gambar 2.17 Mekanisme Rangsangan Kortikal Indirect Pathway
(Williams dkk., 2010)
51
Peningkatan fungsi motorik pada kelompok yang menerima prosedur latihan
motorik unilateral merupakan intervensi yang efektif untuk meningkatkan performa
motorik di tangan yang tidak dominan. Sebuah analisis melaporkan bahwa pada uji
klinis yang dilakukan secara acak melihat penggunaan pelatihan CIMT untuk
meningkatkan fungsi ekstremitas atas. Pada analisis ini menyimpulkan bahwa CIMT
dapat meningkatkan fungsi ekstremitas atas secara lebih baik dari pada pengobatan
alternatif. Selain itu penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa peningkatan
fungsi motorik yang berhubungan dengan peningkatkan rangsangan kortikal pada
hemisper yang terkena (stroke). Dengan demikian, tujuannya adalah untuk
meningkatkan aktifitas pada hemisper yang tidak dominan dan menurunkan aktifitas
pada hemisper yang dominan. Hal ini mungkin dapat dilihat sebagai bentuk “CIMT
yang terpusat” yaitu memaksa kenaikan rangsangan dalam hemisper yang kurang
digunakan (dalam kasus ini, dalam hemisper yang tidak dominan) dimana terjadi
induksi perubahan rangsangan kortikal melalui modulasi perifer (Williams dkk.,
2010).
Elemen-elemen dari CIMT termasuk didalamnya upaya membatasi sisi tangan
yang sehat atau tidak terpengaruh akibat stroke untuk mendorong atau membantu
penggunaan pada sisi tangan yang sakit atau terpengaruh akibat stroke, kumpulan
praktik dari sisi tangan yang terpengaruh tersebut untuk belajar fasilitasi gerakan dan
fungsi, menggunakan tehnik secara intensif untuk melatih sisi tangan yang
terpengaruh tersebut (Tariah dkk., 2010)
Masih menurut Tariah dkk. (2010), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
para pasien stroke dalam kelompok CIMT menunjukkan hasil peningkatan yang
52
signifikan secara statistik pada semua umpan balik fungsi motorik lengan atas.
Namun, meskipun pada kelompok CIMT menunjukkan hasil yang signifikan secara
nemerik, ia tidaklah lebih signifikan jika dibandingkan dengan yang dilihat pada
kelompok Neurodevelopmental Treatment (NDT). Pelaksanaan CIMT sangat
berhubungan antara pengasuh dengan dukungan para terapis (fisioterapis) yang
menjanjikan pendekatan untuk meningkatkan fungsi pada sisi ekstremitas atas yang
terpengaruh akibat stroke. Namun, studi lanjutan masih perlu memberikan
konfirmasi atas penemuan ini. Metode penelitian yang dilakukan dengan studi pada
pre-tes dan post-tes secara acak, dengan sepuluh orang pasien stroke menerima
perlakuan modifikasi CIMT di rumah sementara delapan orang pasien stroke
menerima perlakuan NDT secara konvensional. Fokus dari CIMT pada tangan
hemiplegi dimana pada sisi tangan yang kurang terpengaruh diberi tahanan
terkendali sedangkan pada sisi tangan yang lebih terpengaruh diberikan latihan
secara terstruktur. Intervensi dilakukan selama dua jam perhari, tujuh hari selama
seminggu sampai dengan dua bulan dan umpan balik pengukuran fungsi motorik
tangan dievaluasi dengan menggunakan WMFT sebagai alat ukur primer sedangkan
Motor Activity Log (MAL) dan Fugl-Meyer Assessment (FMA) digunakan sebagai
alat ukur sekunder.
Bagi penderita pasca stroke, mengembalikan kekuatan dan fungsi pada bagian
tangan yang lemah adalah sebuah harapan dan tantangan. Pada CIMT dilakukan
latihan secara intensif pada bagian tangan yang lemah disaat yang bersamaan
memberi tahanan untuk tidak menggunakan sisi tangan yang kuat. Sisi tangan yang
kuat biasanya dapat dibungkus atau diselimuti oleh kain lunak atau menggunakan
53
gendongan lengan (arm-sling) selama sebagian atau sepanjang hari, guna mendorong
agar penderita tersebut menggunakan sisi tangan yang lemah dalam menyelesaikan
aktifitas sehari-hari dan suatu tugas pekerjaan menyiapkan makan dan minum,
aktifitas bermain seperti melempar bola, menulis, dan berjalan. Umumnya CIMT ini
pula perlu dilakukan secara intensif, latihan yang dilakukan secara berulang-ulang
pada bagian sisi tangan yang lemah dan biasanya diberikan selama 90% waktu
bangun dalam sehari (sekitar tiga belas jam sehari) periode selama dua minggu, hal
ini dapat dilakukan di klinik, di rumah, dan dimanapun saja ia ingin berada.
Modifikasi CIMT dapat dilakukan dengan mengurangi jam dalam sehari namun
periodenya ditingkatkan lebih dari dua minggu dan latihan ini memerlukan
kesepakatan, disiplin diri dan komitmen yang tinggi (Menon, 2010).
A
B
Gambar 2.18 Aplikasi CIMT A.Saat Duduk, B.Saat Berjalan (Menon, 2010)
Setelah stroke, sekitar 30-60% pasien dilaporkan mengalami keterbatasan yang
cenderung menetap pada ekstremitas atas dan ketidakmampuan menggunakan sisi
54
lengan yang sakit untuk aktifitas sehari-hari secara normal. Sebagian besar mereka
hanya menggunakan sisi lengan yang sehat saja dalam melakukan pekerjaan. Prilaku
ini bisa mengakibatkan fenomena “belajar tidak menggunakan (learned non-use)”,
satu mekanisme yang telah diusulkan untuk menjelaskan sebagian penurunan
penggunaan ekstremitas atas pasca stroke dan yang menghambat proses pemulihan
gerakan dan fungsi dari anggota tubuh yang terkena sakit. CIMT dan variannya, telah
dianjurkan untuk menjadi sarana untuk memfasilitasi pemulihan motorik bagi pasien
stroke. Aturan khusus pada teknik CIMT adalah melibatkan tahanan penggunaan dari
tungkai atau ekstremitas yang sehat dan dengan memberikan kinerja latihan yang
intensif dari anggota tubuh yang terkena sakit melalui penggunaan dalam bentuk
gerakan. Dimana hal tersebut akan menunjukkan adanya perubahan plastisitas saraf
di motor korteks dari hemisper ipsilesional selain manfaat fungsional gerakan
ekstremitas atas setelah intervensi rehabilitasi pada pasien dengan stroke kronis (Lin
dkk., 2010).
Masih menurut Lin dkk. (2010), dalam penelitian yang dilakukan menjelaskan
bahwa format distribusi kelompok CIMT menunjukkan bahwa adanya perbaikan
yang signifikan dalam pengukuran FMA dan MAL dibandingkan dengan kelompok
intervensi kontrol dan pada data MRI juga menunjukkan bahwa bentuk distribusi dari
kelompok CIMT mengalami aktivasi peningkatan secara signifikan pada bagian
hemisper kontralesional selama gerakan tangan yang terpengaruh dan yang tidak
terpengaruh sedangkan pada kelompok intervensi kontrol menunjukkan suatu
penurunan aktivasi pada sensorimotor korteks dari bagian hemisper ipsilesional
selama gerakan tangan yang terpengaruh. Sasaran dan desain penelitiannya adalah
55
studi perbandingan terhadap efek perlakuan CIMT dengan kelompok intervensi
kontrol pada perbaikan motorik dan reorganisasi otak pasca stroke yang diteliti
terhadap dua kelompok yang diacak dengan pengukuran pre-tes dan post-tes.
Tigabelas pasien dengan stroke secara acak sebagian diberikan perlakuan CIMT
(n=5) dan sebagian yang lainnya menjadi kelompok intervensi kontrol (n=8).
Pengukuran hasilnya menggunakan FMA, MAL dan dengan pemeriksaan The
Functional MRI.
2.7 Pengukuran Fungsional Anggota Gerak Atas
Ada banyak instrumen atau alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur
fungsional AGA diantaranya adalah tes WMFT. Menurut Derenzo dan Fritz (2010),
menjelaskan bahwa WMFT adalah pengukuran berbasis laboratorium yang
digunakan untuk menilai fungsi motorik AGA. Tes ini melakukan kuantitatifikasi
kemampuan gerakan ekstremitas atas berdasarkan ukuran waktu terhadap satu atau
group lingkup gerakan sendi dan tugas fungsional. Gerakan progresif dari proksimal
ke distal, tes ini terdiri dari limabelas item, dua item merupakan pengukuran
kekuatan dan kualitas skala fungsi motorik untuk masing-masing item waktunya.
Kualitas skala fungsi motorik terdiri dari enam poin skala kemampuan fungsional
dimana “nol” berarti tidak terlihat upaya keterlibatan lengan sama sekali sedangkan
“lima” berarti terlihat pasrtisipasi gerakan dan terlihat normal. Tugas satu sampai
dengan enam dari WMFT berisi ukuran waktu untuk segmen gerakan sedangkan
pada tugas tujuh sampai dengan ke limabelas berisi ukuran waktu untuk intergrasi
gerakan fungsional. Kecepatan diukur dimana tugas-tugas fungsional dapat
diselesaikan dengan tuntas dan kualitas gerakan saat menyelesaikan tugas diukur
56
dengan kemampuan fungsional. Satuan waktu maksimum dalam menuntaskan suatu
tugas item yang diperbolehkan adalah seratus dua puluh detik. WMFT dimulai
dengan item yang sederhana seperti menempatkan tangan di atas meja dan diteruskan
ke tugas yang lebih menantang tugas motorik halus seperti menyusun catur atau
mengambil klip kertas.
Menurut Derenzo dan Fritz (2010), penjelasan instruksi tugas dalam tes WMFT
adalah:
1. Lengan ke meja (samping): subjek berupaya untuk meletakkan lengan ke atas
meja sambil abduksi pada bahu
2. Lengan ke kotak (samping): subjek berupaya untuk meletakkan lengan ke
atas kotak sambil abduksi pada bahu
3. Memperpanjang siku (samping): subjek berupaya untuk mencapai seluruh
meja dengan memperpanjang siku (ke samping)
4. Memperpanjang siku (ke samping), dengan beban: subjek berupaya untuk
mendorong sanbag (karung pasir) terhadap luar sendi pergelangan tangan
melewati meja sambil memperpanjang siku
5. Tangan ke meja (depan): subjek berupaya untuk meletakkan tangan ke atas
meja
6. Tangan ke box (depan): subjek berupaya untuk meletakkan tangan ke atas
box
7. Meraih dan mengambil (depan): subjek berupaya untuk menarik benda beban
1 kg diseluruh meja dengan menggunakan elbow fleksi dan pergelangan
tangan dilengkungkan
57
8. Mengangkat kaleng (depan): subjek berupaya untuk mengangkat kaleng dan
membawanya mendekat ke bibir dengan pegangan silinder
9. Mengangkat pensil (depan): subjek berupaya untuk mengambil pensil dengan
menggunakan pegangan mengusap rahang
10. Mengambil klip kertas (depan): subjek berupaya mengambil klip kertas
dengan menggunakan pegangan menjepit
11. Menumpuk papan main dam (depan): subjek berupaya menumpuk papan
main dam ke arah tengah papan
12. Membalik kartu (depan): menggunakan pegangan menjepit, subjek berupaya
membalik masing-masing kartu keatas
13. Memutar kunci dalam gembok (depan): menggunakan pegangan menjepit,
sambil mempertahankan kontak, subjek memutar kunci secara penuh ke kiri
dan ke kanan
14. Melipat handuk (depan): subjek memegang handuk, lipat memanjang, dan
gunakan tangan yang sedang di tes untuk melipat handuk separuh lagi
15. Mengangkat basket (berdiri): subjek mengambil bola basket dengan
pegangan menggenggam dan meletakkannya ke atas meja disisi samping
Masih menurut Derenzo dan Fritz (2010), skala pengukuran kemampuan
fungsional dalam tes WMFT adalah:
1. Nilai 0, jika tidak ada upaya sama sekali dari AGA yang di tes.
2. Nilai 1, jika AGA yang di tes tidak bisa berpartisipasi secara fungsional,
namun, ia mencoba untuk menggunakan AGA, pada sisi AGA unilateral
58
yang tidak di tes boleh digunakan untuk membantu gerakan AGA yang
sedang di tes.
3. Nilai 2, jika bisa melakukan, tapi membutuhkan bantuan dari AGA yang
tidak di tes untuk sedikit menyesuaikan diri atau merubah posisi, atau
membutuhkan lebih dari dua kali percobaan untuk menyelesaikan tugas, atau
diselesaikan dengan sangat lambat. Pada tugas bilateral AGA yang di tes
akan dipakai hanya sebagai penolong.
4. Nilai 3, jika bisa melakukan, tapi gerakan dipengaruhi beberapa derajat oleh
sinergi atau dilakukan secara perlahan atau adanya usaha dorongan.
5. Nilai 4, jika bisa melakukan, gerakan dilakukan secara normal, tapi masih
sedikit lambat; kurang teliti, koordinasi halus atau kurang stabil.
6. Nilai 5, bisa melakukan, gerakan dilakukan atau diselesaikan secara normal.
59
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Penelitian
Berdasarkan dari uraian latar belakang dan kajian pustaka maka peneliti akan
melakukan upaya penelitian yang akan membandingkan penggunaan atau penerapan
dari pelatihan MNS dan pelatihan CIMT yang sama-sama diaplikasikan pada proses
pemulihan fisik dan peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien pasca stoke
dengan kerangka berpikir bahwa sebenarnya dengan adanya dukungan dari teori
plastisitas otak maka pasien stroke yang telah mengalami disfungsi atau kelemahan
pada bagian ektremitas atas nya dapat berpotensi pulih kembali secara fungsional
berdasarkan tingkat intensifitas latihan dan jenis metode pendekatan program latihan
yang pilih untuk diterapkan.
Pada pelatihan MNS pasien akan dirangsang untuk melakukan gerakan
fungsional tertentu sesuai dengan apa yang telah diobservasi sebelumnya oleh pasien.
Observasi gerakan dilakukan oleh pasien dalam rangka proses imitasi yang kemudian
pasien akan menjadikannya sebagai suatu memori gerakan yang tersimpan di kortek
yang akan mengaktifkan saraf pada jalur kortikospinal dan gerakan fungsional yang
akan dilakukan tersebut terlebih dahulu diimajinasikan oleh pasien agar dapat
merangsang proses plastisitas otak pada pusat motorik dan merangsang timbulnya
gerakan yang lebih tepat dan sesuai dengan gerakan yang sudah di observasi
sebelumnya dan hal ini dianggap dapat membantu proses pembelajaran sensorik dan
motorik pasien pasca stroke dalam rangka melakukan upaya neurorehabilitasi atau
59
60
neurorestorasi untuk pemulihan fisik dan meningkatkan kemampuan fungsional
AGA yang mengalami kelemahan dan keterbatasan gerak akibat stroke yang
dialaminya.
Pada pelatihan CIMT pasien akan dirangsang untuk menggerakkan ekstremitas
atas yang mengalami kelemahan dengan cara memberi tahanan agar sisi ektremitas
atas yang berlawanan tidak bergerak, adapun bentuk tahanan yang dilakukan dapat
berupa pembalutan pada bagian lengan dan tangan yang kuat dengan menggunakan
kain halus atau gendongan tangan untuk ektremitas yang lebih kuat tersebut,
sehingga dengan demikian pasien akan mau tidak mau terpaksa menggerakan atau
menggunakan lengan dan tangan yang lemah dalam melakukan aktifitas sehari-hari
sesuai arahan dan bimbingan dari fisioterapisnya.
Kedua pelatihan ini memiliki perbedaan dalam hal pemberian input rangsangan
pada saat proses awal sebelum timbulnya suatu eksekusi gerak yang dilakukan oleh
AGA
yang lemah
akibat
stroke,
dan
memiliki
kesamaan
tujuan
yaitu
mengembangkan kemungkinan adanya potensi plastisitas otak pada sekitar area yang
mengalami lesi akibat stroke. Dalam penelitian ini, peneliti berpikir bahwa potensi
pemulihan kemampuan fungsional AGA pasien stroke tersebut akan dapat lebih
ditingkatkan dengan menerapkan kedua pelatihan tersebut. Namun masih perlu
pembuktian lebih lanjut dengan mencoba menerapkan pelatihan keduanya pada
masing-masing kelompok perlakuan yang akan diteliti. Adapun pengukuran atau
penilaian pre-tes dan post-tes kemampuan fungsional AGA pasien akan
menggunakan instrumen WMFT sebagai alat ukur yang dianggap paling sesuai oleh
penulis dalam konteks kedua pelatihan tersebut.
61
3.2 Konsep Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir maka konsep penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Faktor Internal:
Faktor Eksternal:
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
Usia
Jenis kelamin
Kemampuan kognisi
Dosis latihan
Riwayat sakit : Tipe stroke,
Topis lesi, Jenis lateralisasi,dll
Motivasi keluarga
Kondisi lingkungan rumah
Faktor resiko
Pola makan dan gizi
Faktor emosi : depresi, stress, dll
Pasien Penderita Stroke
Penerapan Intervensi
Fisioterapi dengan konsep
Pelatihan Mirror Neuron
System (MNS)
Penerapan Intervensi
Fisioterapi dengan konsep
Pelatihan Constraint
Induced Movement
Therapy (CIMT)
Peningkatan Kemampuan Fungsional AGA:
Wolf Motor Function Test (WMFT)
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
62
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka, kerangka berpikir dan konsep penelitian maka
hipotesis penelitian yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Pelatihan MNS dapat meningkatkan kemampuan fungsional anggota
gerak atas pasien stroke.
2. Pelatihan CIMT dapat meningkatkan kemampuan fungsional anggota
gerak atas pasien stroke.
3. Pelatihan
MNS
tidak
berbeda
dengan
pelatihan
CIMT
dalam
meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke.
63
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental (experimental
research). Dengan rancangan penelitian membandingkan dua kelompok yang samasama mengalami kondisi stroke fase pemulihan fisik dan masing-masing diberikan
penanganan program latihan fisioterapi dengan pelatihan yang berbeda. Pada
kelompok pertama diberikan perlakuan pelatihan MNS sedangkan kelompok kedua
diberikan perlakuan pelatihan CIMT. Pengukuran atau tes dilakukan pada saat
sebelum dan sesudah perlakuan dengan rancangan pre test and post test control
group design. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.1 dibawah ini.
P1
O1
O2
.
P
R
S
RA
P2
O3
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
63
O4
64
Keterangan gambar:
P : Populasi
S : Sampel
R : Randomisasi
RA : Random Alokasi
P1 : Perlakuan terhadap kelompok observasi 1 dengan pelatihan MNS
P2 : Perlakuan terhadap kelompok observasi 3 dengan pelatihan CIMT
O1 : Kelompok observasi 1 sebelum perlakuan pelatihan MNS, kemampuan
fungsional AGA diukur dengan instrumen WMFT
O2 : Kelompok observasi 2 setelah perlakuan pelatihan MNS, kemampuan
fungsional AGA diukur dengan instrumen WMFT
O3 : Kelompok observasi 3 sebelum perlakuan pelatihan CIMT, kemampuan
fungsional AGA diukur dengan instrumen WMFT
O4 : Kelompok observasi 4 setelah perlakuan pelatihan CIMT, kemampuan
fungsional AGA diukur dengan instrumen WMFT
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Poliklinik Fisioterapi Rumah Sakit Umum Daerah
Cengkareng dan Klinik Stroke Carmel di Jakarta Barat. Waktu penelitian dilakukan
pada jam pelayanan fisioterapi sesuai dengan jam layanan di masing-masing lokasi
sekitar pukul 08.00 – 12.00 WIB. Penelitian dilakukan selama dua sampai dengan
tiga bulan yang dimulai pada tanggal 01 maret 2013 sampai dengan tanggal 01 juni
2013.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam ruang lingkup program latihan fisioterapi,
stimulasi dan fasilitasi fisioterapi terhadap pasien stroke pada fase pemulihan fisik
setelah fase akut mereka sudah terlewati dan sedang menjalani program fisioterapi
65
rawat jalan di klinik maupun rumah sakit sesuai lokasi yang telah ditentukan. Secara
lebih spesifik penilaian dan pengukurannya fokus pada peningkatan kemampuan
fungsional AGA sedangkan populasi dan sampel nya dibatasi dengan kriteria inklusi
dan kriteria eksklusi yang dibahas di bagian berikutnya pada penelitian ini.
4.4 Penentuan Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian yang dilakukan terdiri dari proses pemilihan populasi
yang dipilih kemudian ditentukan sejumlah sampel yang diteliti dan dianalisis.
Sebagaimana dijelaskan berikut ini:
4.4.1 Variabilitas populasi
Populasi yang diteliti adalah pasien atau klien yang datang berobat dalam rangka
meningkatkan kemampuan fungsional AGA atau restorasi fisik (physical restoration)
fisioterapi dengan kondisi pasca stroke fase pasca akut di klinik fisioterapi yang telah
ditentukan. Pada jam pelayanan masing-masing klinik. Sejumlah 26 orang pasien.
4.4.2 Kriteria subjek
Subjek penelitian yang dilakukan yaitu sampel dari populasi yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi adalah:
a. Bersedia diteliti sebagai subjek
b. Laki-laki dan wanita usia 32 – 73 tahun
c. Menderita stroke fase pasca akut dan teridentifikasi mengalami
gangguan kemampuan fungsional pada AGA
66
d. Hasil pengukuran kognisi mini mental state exam (MMSE) adalah
normal atau skor antara 24 – 30
e. Hipertensi terkontrol
2. Kriteria eksklusi adalah:
a. Menderita komplikasi salah satu atau kedua dari komplikasi pada
ekstremitas atas yang diteliti:
i. shoulder pain syndrom pasca stroke
ii. subluksasi shoulder joint
b. Menderita komplikasi akibat stroke lainnya seperti :
i. bronchopneumonia
ii. gangguan kesadaran
iii. penyakit jantung koroner
iv. gangguan psikososial
3. Kriteria pengguguran (drop out) adalah:
a. Bersedia diteliti sebagai subjek namun tidak bisa berkerja sama dalam
penelitian
b. Subjek tidak mampu menyelesaikan program penelitian sesuai dengan
rencana dan program latihan yang telah ditentukan
c. Subjek tidak melakukan prosedur penelitian dengan baik sesuai
arahan peneliti
4.4.3 Besaran sampel
Sampel penelitian yang diteliti adalah dengan menggunakan rumus Pocock
(2008) sebagai berikut:
67
n
2 2
xf  ,  
 2  1 2
(1)
Gambar 4.2 Rumus Pocock (2008)
Dimana :
n
: besar sampel

: standar deviasi

: batas kemaknaan dipilih 5% atau 0,05

: kekuatan (power) penelitian 0,95 ( = 0,05)
f(,)
: konstanta berdasarkan tabel : 13,0 (dari tabel Value of f(,))
1
: rerata sebelum perlakuan (sebelum pelatihan pendahuluan)
2
: rerata penurunan yang diestimasi (setelah pelatihan pendahuluan)
Berdasarkan rumus (1) dan penelitian pendahulan atau hasil penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya oleh Tariah dkk. (2010) tentang CIMT dengan alat
ukur WMFT maka diketahui bahwa nilai  (standar deviasi) = 0,43 dan nilai 1 =
2,96 sedangkan nilai 2 = 3,62 sehingga data tersebut dapat disubstitusikan ke rumus
Pocock (2008) sebagai berikut :
2(0,43)2
𝑛=
3,62 − 2,96
𝑛=
2
13
0,37
13
0,44
𝑛 = 11,04
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah sampel pada penelitian ini setelah
dibulatkan maka awalnya ditetapkan sejumlah 12 pasien dan ditambah 20% sebagai
68
prakiraan terhadap sampel yang gugur (drop out) menjadi 14 sampel untuk setiap
kelompok perlakuan pelatihan sehingga total rencana keseluruhan sampel pada kedua
kelompok perlakuan pelatihan MNS dan CIMT adalah sejumlah 28 responden
(subjek penelitian). Namum setelah pelaksanaan penelitian dilakukan hanya
didapatkan 26 responden dengan jumlah 13 orang pasien pada masing-masing
kelompok.
4.4.4 Teknik penentuan sampel
Sampel yang telah diambil dari populasi telah ditargetkan dan dapat dijangkau
oleh peneliti adalah dengan menggunakan teknik sampling sebagai berikut :
1. Melakukan pemilihan sejumlah sampel dari seluruh populasi yang didapat di
tempat yang ditargetkan yang terindikasi menderita stroke fase pasca akut
sesuai kriteria inklusi yang telah ditentukan.
2. Sejumlah sampel yang terpilih diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan
kriteria ekslusi yang telah ditentukan.
3. Melakukan penentuan sampel berdasarkan pasien yang berkunjung dan
dijumpai pada saat penelitian selama periode penelitian sejumlah yang
didapat sesuai besaran sampel dari rumus tersebut dan melakukan pre-tes
untuk mengetahui hasil pengukuran atau penilaian awal.
4. Kemudian melakukan pembagian kelompok menjadi dua kelompok
perlakuan intervensi dengan penentuan secara acak sederhana terhadap semua
sampel tersebut untuk di alokasi kan sebagai subjek perlakuan untuk masingmasing pelatihan yang diterapkan dalam penelitian.
69
4.5 Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang telah diteliti dijelaskan pada indentifikasi, klasifikasi
dan definisi operasional variabel sebagai berikut:
4.5.1 Indentifikasi dan klasifikasi variabel
Variabel yang teridentifikasi dan diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Variabel bebas
a. Pelatihan MNS
b. Pelatihan CIMT
2. Variabel tergantung
Kemampuan fungsional AGA yang dinilai atau diukur dengan hasil tes
instrumen WMFT
3. Variabel kontrol
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Kemampuan kognisi
d. Dosis latihan
e. Riwayat sakit : Tipe stroke, Topis lesi, Jenis lateralisasi,dll
4.5.2 Definisi operasional variabel
Definisi operasional variabel adalah sebagai berikut :
1.
Pelatihan MNS yaitu penerapan pendekatan latihan fungsional AGA pasien
stroke untuk AGA yang mengalami kelemahan dengan memberikan observasi
70
gerakan fungsional yang diinginkan agar diimitasi oleh pasien, diimajinasikan
oleh pasien dan disimpan dalam memorinya untuk kemudian ditimbulkan
dalam eksekusi gerakan pada AGA yang lemah tersebut secara fungsional.
Pada penilitan ini akan dilakukan pelatihan MNS untuk subjek yang diteliti
selama dua bulan dengan frekuensi kedatangan satu atau tiga kali dalam
seminggu dan selama tiga puluh sampai dengan enam puluh menit per sesi
latihan dalam sehari. Peneliti melakukan sendiri observasi pelatihan yang
diberikan selama periode penelitian tersebut.
2.
Pelatihan CIMT yaitu penerapan pendekatan latihan fungsional AGA pasien
stroke untuk AGA yang mengalami kelemahan dengan memberikan tahanan
ringan atau gantungan lengan pada AGA yang berlawanan atau yang lebih
kuat supaya tidak bergerak untuk menimbulkan rangsangan gerakan pada
AGA yang lemah tersebut secara fungsional. Pada penilitan ini akan
dilakukan pelatihan CIMT untuk subjek yang diteliti selama dua bulan
dengan frekuensi kedatangan dua atau tiga kali dalam seminggu dan selama
tiga puluh sampai dengan enam puluh menit per sesi latihan dalam sehari.
Peneliti melakukan sendiri observasi pelatihan yang diberikan selama periode
penelitian tersebut.
3.
Kemampuan fungsional AGA dengan pengukuran tes WMFT yaitu
pengukuran berbasis laboratorium yang digunakan untuk menilai fungsi
motorik AGA. Terdiri dari 15 item tugas penilaian. Tes ini melakukan
kuantitatifikasi kemampuan gerakan ekstremitas atas berdasarkan skala
71
kemampuan terhadap satu atau group lingkup gerakan sendi dan tugas
fungsional.
Menurut Derenzo dan Fritz (2010), 15 item instruksi tugas dalam tes WMFT
adalah:
a. Lengan ke meja (samping)
b. Lengan ke kotak (samping)
c. Memperpanjang siku (samping)
d. Memperpanjang siku (ke samping), dengan beban
e. Tangan ke meja (depan)
f. Tangan ke box (depan)
g. Meraih dan mengambil (depan)
h. Mengangkat kaleng (depan)
i. Mengangkat pensil (depan)
j. Mengambil klip kertas (depan)
k. Menumpuk papan main dam (depan)
l. Membalik kartu (depan)
m. Memutar kunci dalam gembok (depan)
n. Melipat handuk (depan)
o. Mengangkat basket (berdiri)
Skala pengukuran kemampuan fungsional dalam tes WMFT adalah:
a.
Nilai 0, jika tidak ada upaya sama sekali dari AGA yang di tes.
72
b.
Nilai 1, jika AGA yang di tes tidak bisa berpartisipasi secara fungsional,
namun, ia mencoba untuk menggunakan AGA, pada sisi AGA unilateral
yang tidak di tes boleh digunakan untuk membantu gerakan AGA yang
sedang di tes.
c.
Nilai 2, jika bisa melakukan, tapi membutuhkan bantuan dari AGA yang
tidak di tes untuk sedikit menyesuaikan diri atau merubah posisi, atau
membutuhkan lebih dari dua kali percobaan untuk menyelesaikan tugas,
atau diselesaikan dengan sangat lambat. Pada tugas bilateral AGA yang
di tes akan dipakai hanya sebagai penolong.
d.
Nilai 3, jika bisa melakukan, tapi gerakan dipengaruhi beberapa derajat
oleh sinergi atau dilakukan secara perlahan atau adanya usaha dorongan.
e.
Nilai 4, jika bisa melakukan, gerakan dilakukan secara normal, tapi
masih sedikit lambat; kurang teliti, koordinasi halus atau kurang stabil.
f.
Nilai 5, bisa melakukan, gerakan dilakukan atau diselesaikan secara
normal.
4.
Usia yaitu umur yang ditentukan atas dasar tanggal, bulan, dan tahun
kelahiran pada akta kelahiran sampel penelitian. Usia sampel dalam
penelitian ini adalah berkisar antara 32–73 tahun.
5.
Jenis kelamin yaitu jenis kelamin berdasarkan akta kelahiran sampel
penelitian. Dalam penelitian ini digunakan jenis kelamin laki-laki dan wanita.
6.
Kemampuan kognisi yaitu skor kemampuan proses berpikir pasien yang
diukur dengan alat bantu MMSE.
73
7.
Dosis latihan yaitu tingkat frekuensi aktifitas latihan fisik, tingkat intensitas
latihan pasien menjalani fisioterapi yang diprogramkan di rumah maupun di
klinik fisioterapi, serta durasi selama latihan dilakukan.
8.
Riwayat sakit yaitu terdiri dari :
a.
Jenis atau tipe stroke yaitu kategori penyakit stroke secara patologis yang
diderita oleh pasien. Dalam penelitian ini melakukan uji tes dan
perlakuan untuk semua jenis stroke penyumbatan (ischemic) dan
perdarahan (haemorragic).
b.
Topis lesi yaitu area atau lokasi lesi pada otak pasien yang mengalami
stroke yang dibagi menjadi area kortikal, subkortikal, brainstem, dan
cerebellar.
c.
Stroke ke yaitu jumlah repitisi serangan stroke yang terjadi pada pasien
terdiri dari stroke yang pertama, kedua dan seterusnya
d.
Jenis lateralisasi yaitu jenis kelemahan ekstremitas yang terjadi akibat
lesi pada sebagian hemisper otak pasie yang terkena stroke terdiri dari
monoparese kanan dan kiri serta hemiparese kanan dan kiri.
e.
Riwayat stroke yaitu riwayat lamanya waktu sejak terjadi atau
mengalami stroke yang lalu sampai dengan waktu saat mengikuti
pelatihan dan penelitian.
4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan beberapa bahan dan instrumen sebagai berikut:
74
1. Pada saat pengukuran pertama atau tes awal (pre test) dan pengukuran kedua
atau tes akhir (post test)
a. Form assesment data diri dan riwayat sakit pasien beserta alat tulisnya
(lampiran 1)
b. Form tes fungsi kognisi MMSE dan alat tulisnya (lampiran 2)
c. Form tes WMFT (lampiran 3) dan perangkatnya yang terdiri dari :
Form tes dan alat tulis, stopwatch, meja, kotak box, kantong pasir,
beban satu kilogram, kaleng, pensil, klip kertas, papan main dam atau
halma, kartu, kunci, handuk, dan bola basket (Amster, 2007).
2. Pada saat perlakuan atau penerapan latihan fisioterapi dengan pelatihan MNS:
Handuk, meja, kursi, sendok, gelas,kaleng kecil, bola, tisu, kertas dan alat
tulis, mainan kayu dan balok kecil, kartu, botol kecil dan alat peraga
tambahan lainnya yang digunakan untuk aktifitas tangan.
3. Pada saat perlakuan atau penerapan latihan fisioterapi dengan pelatihan
CIMT: Handuk, kain halus, armsling (gendongan lengan), meja, kursi,
sendok, gelas,kaleng kecil, bola, tisu, kertas dan alat tulis, mainan kayu dan
balok kecil, kartu, botol kecil dan alat peraga tambahan lainnya yang
digunakan untuk aktifitas tangan.
4.7 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian terdiri dari beberapa tahapan penelitian sebagai berikut:
4.7.1 Tahap persiapan dan administrasi
Pada tahap persiapan dan administrasi prosedur yang dilakukan adalah :
75
1. Melakukan studi kepustakaan dari buku, jurnal, internet file, dan berbagai
topik lain yang relevan
2. Mengurus surat-surat terkait persetujuan penelitian diberbagai tempat dan
lokasi yang ditargetkan
3. Membuat jadwal pelaksanaan penelitian
4. Mengadakan penjelasan dan pelatihan terhadap rekan sejawat fisioterapi yang
membantu proses pelaksanaan penelitian
5. Mempersiapkan bahan, alat ukur dan instrumen yang diperlukan selama
penelitian
6. Mempersiapkan surat persetujuan penelitian kepada subjek sampel penelitian
4.7.2 Tahap penentuan populasi dan pemilihan sampel
Pada tahap penentuan populasi dan pemilihan sampel prosedur yang dilakukan
adalah :
1. Melakukan seleksi terhadap sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi yang
telah ditentukan dan memberikan nomor urut untuk setiap sampel yang
terpilih
2. Melakukan tes MMSE untuk mendapatkan skor fungsi kognisi pasien
3. Pengukuran dan penilaian dapat dilanjutkan terhadap subjek jika skor hasil
tes MMSE nya adalah normal (>24)
4. Melakukan pembagian sampel menjadi dua kelompok perlakuan secara acak
sederhana untuk di alokasikan ke masing-masing kelompok perlakuan
76
5. Memberikan kembali no urut sampel yang telah dialokasikan pada masingmasing kelompok perlakuan
4.7.3 Tahap pengukuran pertama atau tes awal
Pada tahap pengukuran pertama atau tes awal prosedur yang dilakukan adalah:
1. Memberikan penjelasan dan meminta persetujuan kepada subjek atau pasien
perihal tentang rencana tes atau pengukuran yang dilakukan
2. Melakukan assesment data diri dan riwayat penyakit pasien sesuai format
yang telah disiapkan
3. Melakukan tes WMFT sesuai dengan format yang telah disiapkan
4. Melakukan rekapitulasi dan dokumentasi hasil tes pada form dan tabel data
yang telah disiapkan
4.7.4 Tahap pelatihan
Pada tahap pelatihan prosedur yang dilakukan adalah :
1. Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital bagi pasien untuk mengetahui
kondisi umum subjek yang diteliti
2. Memberikan penjelasan pada subjek atau pasien perihal tentang tata cara atau
prosedur latihan yang dilakukan
3. Mempersiapkan semua alat, bahan dan istrumen yang digunakan saat latihan
4. Pada pelatihan MNS
a. posisi fisioterapis berada didepan berhadapan langsung dengan pasien
77
b. pasien diminta untuk mengobservasi gerakan (proses imitasi) dan
memperhatikan aktifitas fungsional AGA yang dilakukan oleh
fisioterapi yang berada persis di depan pasien
c. pasien diminta untuk melakukan imaginasi visual dan menjelaskan
apa dan bagaimana gerakan dan aktifitas fungsional yang dilihat atau
yang diobservasi
d. pasien diminta untuk meniru (imitasi) dan melakukan pengulangan
gerakan dan aktifitas fungsional tersebut secara seksama dan perlahan
e. pasien dikoreksi dan diedukasi oleh fisioterapis jika ada gerakan yang
salah dan tidak sesuai dengan apa yang diobservasi dan dijelaskan
sebelumnya
f. dosis pelatihan diberikan dengan frekuensi latihan 1-3 kali kunjungan
dalam seminggu, intensitas latihan 5-10 kali pengulangan gerakan,
selama durasi latihan 30-60 menit
g. pasien diminta untuk datang kembali untuk latihan dengan fisioterapis
pada jadwal yang telah ditentukan berikutnya
5. Pada pelatihan CIMT
a. pasien diminta untuk menahan AGA yang dominan atau yang lebih
kuat dengan kain halus atau gendongan lengan yang telah disiapkan
b. posisi fisioterapis berada disamping pasien yang melakukan latihan
c. pasien dipandu dan diajarkan tentang berbagai aktifitas fungsional
AGA yang lemah sesuai dengan level lesi dan tingkat kelemahan
masing-masing subjek
78
d. pasien diminta untuk melakukan pengulangan berbagai aktifitas
fungsional AGA yang lemah secara mandiri sesuai dengan
kemampuan dan toleransi pada masing-masing pasien
e. dosis pelatihan dilberikan dengan frekuensi latihan 1-3 kali kunjungan
dalam seminggu, intensitas latihan 5-10 kali pengulangan gerakan,
selama durasi latihan 30-60 menit
f. setelah selesai latihan tersebut pasien diminta untuk melepas tahanan
kain halus atau gendongan lengan yang terpasang
g. pasien diminta untuk melakukan pengulangan sebisa mungkin di
rumah terhadap bentuk latihan fungsional AGA yang telah diajarkan
h. pasien diminta untuk datang kembali untuk latihan dengan fisioterapis
pada jadwal yang telah ditentukan berikutnya
4.7.5 Tahap pengukuran kedua atau tes akhir
Pada tahap pengukuran kedua atau tes akhir prosedur yang dilakukan adalah :
1. Memberikan penjelasan dan meminta persetujuan kepada subjek atau pasien
perihal tentang rencana tes atau pengukuran yang dilakukan
2. Melakukan tes WMFT sesuai dengan format yang telah disiapkan
3. Melakukan rekapitulasi dan dokumentasi hasil tes pada form dan tabel data
yang telah disiapkan
4.8 Analisis Data Penelitian
Setelah semua data penelitian terkumpul dan lengkap maka dilakukan langkahlangkah analisis data dengan menggunakan aplikasi SPSS versi 21sebagai berikut:
79
1.
Statistik deskriptif untuk menganalisis karakteristik subjek penelitian terkait
dengan usia, jenis kelamin, frekuensi latihan, skor MMSE, riwayat sakit,
pendidikan, pekerjaan dan hobi yang datanya diambil pada saat assesmen dan
pengukuran pertama atau tes awal. Analisa statistik frekuensi yang dihitung
adalah:
a. Rata-rata (mean)
b. Jumlah (sum)
c. Selisih data terbesar dengan data terkecil (range)
d. Nilai deviasi suatu data terhadap rerata nya (varians)
e. Ukuran simpangan baku (standart deviasi)
f. Nilai minimun (min)
g. Nilai maksimum (max)
2. Uji validitas instrumen WMFT untuk mengetahui objektifitas dan akurasi
hasil pengukuran dengan menggunakan rumus statistik korelasi pearson
product moment dan uji reliabilitas untuk mengetahui konsistensi hasil
pengukuran dengan menggunakan rumus statistik cronbach’s alpha.
3. Uji normalitas data untuk menganalisis distribusi data dari masing-masing
kelompok perlakuan. Karena sampel yang diteliti berjumlah < 30 sampel dan
agar lebih sensitif dengan nilai kemaknaan (p) > 0,05 maka rumus statistik
yang digunakan adalah shapiro wilk test
4. Uji homogenitas untuk menganalisis variasi data dari masing-masing
kelompok perlakuan. Dengan nilai kemaknaan (p) > 0,05 maka rumus
statistik yang digunakan adalah levene’s test of varians
80
5. Uji hipotesis pertama atau uji komparasi data terhadap hasil pre-tes dan posttes kelompok perlakuan pelatihan MNS bertujuan untuk membandingkan
rerata tes awal dan tes akhir kemampuan fungsional AGA pasien. Karena
data berdistribusi normal maka merupakan jenis data parametrik sehingga
rumus statistik parametrik yang digunakan adalah paired t-test.
6. Uji hipotesis kedua atau uji komparasi data terhadap hasil pre-test dan posttest kelompok perlakuan pelatihan CIMT bertujuan untuk membandingkan
rerata tes awal dan tes akhir kemampuan fungsional AGA pasien. Karena
data berdistribusi normal maka merupakan jenis data parametrik sehingga
rumus statistik parametrik yang digunakan adalah paired t-test.
7. Uji hipotesis ketiga atau uji komparasi data terhadap selisih antara hasil
sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan dari kedua kelompok perlakuan
pelatihan MNS dan pelatihan CIMT bertujuan untuk membandingkan rerata
hasil efek peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien setelah intervensi
atau perlakuan pada masing-masing kelompok tersebut. Karena data
berdistribusi normal maka merupakan jenis data parametrik sehingga rumus
statistik parametrik yang digunakan adalah independent t-test.
81
4.9 Alur Penelitian
Alur penelitian yang dilakukan adalah seperti yang digambarkan dibawah ini:
Populasi
Ramdomisasi
Kriteria inklusi
dan eksklusi :
termasuk tes
MMSE
Sampel
Tes awal kemampuan fungsional
AGA dengan WMFT
Alokasi acak sederhana
Kelompok 1
Kelompok 2
Pelatihan MNS
Pelatihan CIMT
Tes akhir kemampuan fungsional
AGA dengan WMFT
Tes akhir kemampuan fungsional
AGA dengan WMFT
Analisis Data
Penyusunan Tesis
Gambar 4.3 Alur Penelitian
82
BAB V
HASIL PENELITIAN
Setelah dilakukan penelitian yang memberikan intervensi pelatihan MNS dan
pelatihan CIMT pada masing-masing kelompok perlakuan yang telah ditentukan
sesuai kriteria subjek penelitian sejumlah 26 orang, secara acak ditentukan masingmasing kelompok perlakuan berjumlah 13 subjek penelitian, maka didapatkan hasil
penelitian yang telah dilakukan selama dua bulan tersebut sebagai berikut:
5.1 Deskripsi karakteristik subjek penelitian
Karakteristik subjek penelitian yang termasuk data numerik yaitu variabel usia,
skor MMSE dan jumlah kunjungan. Disajikan pada tabel 5.1 sebagai berikut:
Tabel 5.1
Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel
Data
Numerik
Kelompok 1
(n=13)
Kelompok 2
(n=13)
Min
Rerata ± SB
Maks
43
54,85 ± 8,35
73
Selisih
Rerata
Usia
(tahun)
Min
Maks
32
73
MMSE
(skor)
25
30
27,08 ± 1,89
25
30
28,15 ± 1,46
1,07
Kunjungan
(frekuensi)
1
10
4,46 ± 3,28
1
14
5,52 ± 3,51
1,06
Keterangan:
n
Min
Maks
SB
Kelompok 1
Kelompok 2
Rerata ± SB
55,15 ± 12,89
= Jumlah Sampel
= Minimal
= Maksimal
= Simpangan Baku
= Kelompok perlakuan pelatihan MNS
= Kelompok perlakuan pelatihan CIMT
82
0,3
83
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa pada variabel usia rata-rata usia kelompok perlakuan
pelatihan MNS lebih tua 0,3 tahun dari pada kelompok perlakuan pelatihan CIMT
dengan selisih usia termuda adalah 11 tahun dan terdapat kesamaan usia maksimal
pada kedua kelompok. Pada variabel skor MMSE rata-rata skor kelompok perlakuan
pelatihan CIMT lebih besar dari pada kelompok perlakuan pelatihan MNS dengan
selisih rata-rata skor 1.07 dan terdapat kesamaan pada skor MMSE minimal dan
maksimal. Pada variabel frekuensi jumlah kunjungan menunjukkan bahwa kelompok
perlakuan pelatihan CIMT lebih sering 1,06 dari pada kelompok perlakuan pelatihan
MNS.
Uji normalitas, uji homogenitas dan uji beda data numerik karakteristik subjek
penelitian disajikan pada tabel 5.2 sebagai berikut:
Tabel 5.2
Uji Normalitas, Uji Homogenitas dan Uji Beda Data Numerik Karakteristik
Subjek Penelitian
Variabel
Usia
MMSE
Kunjungan
p. Uji Normalitas
(Shapiro-Wilk Test)
Kelompok 1 Kelompok 2
0,818
0,353
0,032
0,222
0,059
0,019
p. Uji Homogenitas
p
Levene’s Test
0,090
0,340
0,602
0,943
0,101
0,479
Keterangan:
p = nilai probabilitas uji kemaknaan
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebaran data yang berdistribusi normal merupakan
jenis data parametrik sehingga uji komparasi yang digunakan untuk membedakan
variabel usia kedua kelompok adalah dengan uji parametrik independent t-test
sedangkan sebaran data yang berdistribusi tidak normal merupakan jenis data non
parametrik sehingga uji komparasi yang digunakan untuk membedakan variabel
84
MMSE dan variabel kunjungan kedua kelompok adalah dengan uji non parametrik
mann whitney u test. Pada variabel usia kelompok 1 dan 2 sebaran data usia
berdistribusi normal dan varian data usia homogen (p>0,05) dengan hasil uji beda
rerata usia kedua kelompok tidak berbeda secara signifikan (p>0,05), pada variabel
skor MMSE kelompok 1 sebaran data skor MMSE tidak berdistribusi normal
(p<0,05) sedangkan kelompok 2 sebaran data skor MMSE berdistribusi normal
(p>0,05) dan varian data skor MMSE homogen (p>0,05) dengan hasil uji beda rerata
skor MMSE kedua kelompok tidak berbeda secara signifikan (p>0,05), pada variabel
frekuensi kunjungan kelompok 1 sebaran data berdistribusi normal (p>0,05)
sedangkan kelompok 2 sebaran data tidak berdistribusi normal (p<0,05) dan varian
data frekuensi kunjungan homogen (p>0,05) dengan hasil uji beda rerata usia kedua
kelompok tidak berbeda secara signifikan (p>0,05).
Karakteristik subjek penelitian yang termasuk data katagorik umum yaitu jenis
kelamin, hobi, pendidikan dan riwayat pekerjaan. Disajikan pada tabel 5.3 sebagai
berikut:
85
Tabel 5.3
Data Katagorik Umum Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel
Jenis Kelamin
Hobi
Pendidikan
Riwayat Pekerjaan
Kategori
Laki-laki
Perempuan
Olah Raga
Hiburan
Masak
Baca
Lain-lain
SD
SLTP
SMU
Sarjana
Magister
PNS/Pensiunan
Ibu Rumah Tangga
Karyawan/Swasta
Guru/Konsultan
Lain-lain
Kelompok 1
(MNS)
%
46,2
53,8
23,1
30,8
23,1
7,7
15,4
23,1
7,7
30,8
30,8
7,7
15,4
30,8
30,8
23,1
-
Kelompok 2
(CIMT)
%
76,9
23,1
23,1
15,4
23,1
38,5
38,5
23,1
23,1
7,7
7,7
7,7
30,8
23,1
15,4
23,1
Keterangan:
SD
= Sekolah Dasar
SLTP
= Sekolah Lanjut Tingkat Pertama
SMU
= Sekolah Menengah Umum
PNS
= Pegawai Negri Sipil
Pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa pada variabel jenis kelamin kategori lakilaki lebih banyak terdapat pada kelompok 2 sedangkan kategori perempuan lebih
banyak terdapat pada kelompok 1, pada variabel hobi hiburan merupakan kategori
yang paling banyak pada kelompok 1 sedangkan hobi lain-lain merupakan kategori
yang paling banyak pada kelompok 2, pada variabel pendidikan SMU dan Sarjana
merupakan kategori yang paling banyak pada kelompok 1 sedangkan SD merupakan
kategori yang paling banyak pada kelompok 2, pada variabel riwayat pekerjaan ibu
86
rumah tangga dan karyawan/swasta merupakan kategori yang paling banyak pada
kelompok 1 sedangkan ibu rumah tangga merupakan kategori yang paling banyak
pada kelompok 2.
Karakteristik subjek penelitian yang termasuk data katagorik riwayat sakit yaitu
tipe stroke, topis lesi, stroke yang ke, jenis lateralisasi, dan riwayat stroke. Disajikan
pada tabel 5.4 sebagai berikut:
Tabel 5.4
Data Katagorik Riwayat Sakit Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel
Tipe Stroke
Topis Lesi
Sroke ke
Jenis Lateralisasi
Riwayat Stroke
Kategori
Iskemik
Hemoragik
Lain-lain
Kortikal
Subkortikal
Lain-lain
Pertama
Kedua
Monoparese Kiri
Hemiparese Kanan
Hemiparese Kiri
< 3 bulan
3 - 6 bulan
6 -12 bulan
1 -2 tahun
2 - 4 tahun
> 4 tahun
Kelompok 1
(MNS)
%
76,9
15,4
7,7
69,2
7,7
23,1
84,6
15,4
46,2
53,8
23,1
7,7
38,5
23,1
7,7
-
Kelompok 2
(CIMT)
%
69,2
23,1
7,7
61,5
38,5
100
7,7
38,5
53,8
15,4
15,4
7,7
23,1
15,4
23,1
Pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa pada variabel tipe stroke kategori iskemik
lebih banyak tedapat pada kelompok 1 sedangkan kategori haemoragik lebih banyak
lebih banyak terdapat pada kelompok 2, pada variabel topis lesi kortikal merupakan
87
kategori yang lebih banyak terdapat pada kelompok 1 sedangkan kortikal juga
merupakan kategori yang lebih banyak terdapat pada kelompok 2, pada variabel
stroke pertama merupakan kategori yang paling banyak terdapat pada kelompok 1
sedangkan pada kelompok 2 semua subjek merupakan stroke yang pertama, pada
variabel jenis lateralisasi hamiparese kiri merupakan kategori yang paling banyak
terdapat di kelompok 1 sedangkan hemiparese kiri juga merupakan kategori yang
paling banyak terdapat pada kelompok 2, pada variabel riwayat stroke 6–12 bulan
merupakan kategori yang paling banyak terdapat pada kelompok 1 sedangkan 1-2
tahun dan lebih dari 4 tahun merupakan kategori yang paling banyak terdapat pada
kelompok 2.
5.2 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian digunakan pada waktu yang sama yaitu sesaat sebelum dan
sesudah pelatihan dilakukan pada setiap kunjungan pasien dan data yang diambil
untuk analisis adalah data yang paling awal didapatkan dan data yang paling akhir
didapatkan dari setiap pasien yang dilatih dan diukur. Kemudian uji validitas
dilakukan untuk mengetahui apakah instrumen WMFT akurat dapat dipercaya dan
objektif dalam mengukur peningkatan kemampuan AGA pasien stroke dan dilakukan
uji reliabilitas instrumen agar dapat diketahui apakah instrumen tersebut tetap
konsisten bila dilakukan pengukuran berulangkali agar dapat dilanjutkan proses
pengolahan data berikutnya. Hasil uji validitas dan uji reliabilitas instrumen WMFT
disajikan pada tabel 5.5 sebagai berikut:
88
Tabel 5.5
Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Data Hasil Instrumen WMFT
Perlakuan
Variabel
r hitung
Cronbach’s alpha
(r alpha)
Kelompok 1
(n=13)
Kelompok 2
(n=13)
Pre Test
Post Test
Pre Test
Post Test
0,713
0,766
0,768
0,739
0,883
Keterangan:
n = jumlah sampel
r = nilai korelasi pearson product moment
Diketahui :
Jumlah sampel kelompok 1 (MNS) = n1 = 13
Jumlah sampel kelompok 2 (CIMT) = n2 = 13
Degree of freedom (df) kelompok 1 = n1 – 1 = 13 – 2 = 11
Degree of freedom (df) kelompok 2 = n2 – 1 = 13 – 2 = 11
α = 5% = 0,05
r tabel = 0,558
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa semua nilai r hitung pre test dan post test kedua
kelompok lebih besar dari pada nilai r tabel (r hitung > r tabel), maka dapat
disimpulkan bahwa semua instrumen WMFT yang digunakan adalah valid.
Berdasarkan ketentuan bila r alpha ≥ 0,6 maka semua pertanyaan dalam instrumen
dinyatakan reliabel (Hastono, 2011). Sedangkan nilai r alpha (cronbach’s alpha)
instrumen WMFT yang dihasilkan adalah lebih besar dari 0,6 (r alpha > 0,6) maka
dapat disimpulkan bahwa instrumen WMFT yang digunakan adalah reliabel.
89
5.3 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Data Instrumen Hasil Penelitian
Untuk menentukan jenis uji statistik komparasi yang digunakan untuk
membandingkan hasil pre test dan post test antara kedua kelompok perlakuan
pelatihan MNS dan pelatihan CIMT maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
distribusi data dengan menggunakan uji saphiro wilk test, sedangkan uji homogenitas
varian data dengan menggunakan uji levene’s test yang disajikan pada tabel 5.6
sebagai berikut:
Tabel 5.6
Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Data Hasil Instrumen WMFT
Variabel
Pre Test
Post Test
Selisih
Kelompok 1
(n=13)
0,782
0,630
0,277
p. Uji Normalitas
(shapiro-wilk test)
Kelompok 2 Kelompok 1 dan 2
(n=13)
(n=26)
0,832
0,378
0,883
0,436
0,148
0,015
p. Uji Homogenitas
(levene’s test)
0,801
0,788
0,178
Keterangan:
n
= jumlah sampel
p
= nilai probabilitas uji kemaknaan
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas dengan menggunakan uji shapiro
wilk test pada semua variabel pre test, post test dan selisih pada kedua kelompok data
adalah berdistribusi normal (p>0,05). Sedangkan pada variabel pre test dan post test
gabungan kedua kelompok data adalah berdistrubsi normal (p>0,05) namun pada
variabel selisih gabungan kedua kelompok data adalah berdistribusi tidak normal
(p<0,05). Uji homogenitas dengan menggunakan uji levene’s test of varian pada
semua variabel pre test, post test dan selisih pada kedua kelompok data adalah
homogen (p>0,05). Sebaran data yang berdistribusi normal merupakan jenis data
90
parametrik sehingga uji komparasi yang digunakan adalah dengan uji parametrik
sedangkan sebaran data yang berdistribusi tidak normal merupakan jenis data non
parametrik sehingga uji komparasi yang digunakan adalah dengan uji non
parametrik. Dengan demikian pada pengolahan data berikutnya untuk uji komparasi
statistik menggunakan uji parametrik paired t-test dan independent t-test.
5.4 Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Data Peningkatan Kemampuan
Fungsional AGA Antara Sebelum dan Sesudah Pelatihan
Untuk mengetahui perbedaan rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA
sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok MNS dan kelompok
CIMT dan untuk mengetahui signifikansi perbedaan peningkatan kemampuan
fungsional AGA sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok
MNS dan kelompok CIMT maka dilakukan uji t-berpasangan (paired t-test) yang
disajikan pada tabel 5.7 sebagai berikut:
Tabel 5.7
Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Paired t-test Terhadap Data Hasil
Instrumen WMFT
Perlakuan
Kelompok 1
(n=13)
Kelompok 2
(n=13)
Pre Test
Skor
Rerata ± SB
WMFT
Post Test
Skor
Rerata ± SB
WMFT
Selisih
Rerata
p
28,19
2,17 ± 1,01
34,32
2,64 ± 0,99
0,47
0.000
27,40
2,11 ± 1,03
32,12
2,47 ± 0,94
0,36
0,000
Keterangan:
n
= jumlah sampel
p
= nilai probabilitas uji kemaknaan
SB
= simpang baku
91
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa pada kelompok 1 selisih rerata peningkatan
kemampuan fungsional AGA sebelum dan sesudah perlakuan pelatihan MNS adalah
9,4% dan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05). Sedangkan pada
kelompok 2 selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA sebelum dan
sesudah perlakuan pelatihan CIMT adalah 7,2% dan menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan (p<0,05).
5.5 Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Selisih Data Peningkatan Kemampuan
Fungsional AGA Antara Kedua Kelompok Perlakuan
Untuk mengetahui perbedaan rerata dan selisih peningkatan kemampuan
fungsional AGA kelompok MNS dan kelompok CIMT pada saat sebelum dan
sesudah perlakuan dan untuk mengetahui signifikansi perbedaan peningkatan
kemampuan fungsional AGA kedua kelompok perlakuan pada saat sebelum dan
sesudah pelatihan maka dilakukan uji t-tidak berpasangan (independent t-test) yang
disajikan pada tabel 5.8 sebagai berikut:
92
Tabel 5.8
Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Independent t-test Terhadap Data Hasil
Instrumen WMFT
Variabel
Pre Test
Post Test
Selisih
Kelompok 1
(n=13)
Skor
Rerata ± SB
WMFT
28,19
2,17 ± 1,01
34,32
2,64 ± 0,99
6,13
0,47 ± 0,32
Kelompok 2
(n=13)
Skor
Rerata ± SB
WMFT
27,40
2,11 ± 1,03
32,12
2,47 ± 0,94
4,73
0,36 ± 0,18
Selisih
Rerata
p
0,06
0,17
0,11
0,880
0,660
0,305
Keterangan:
n
= jumlah sampel
p
= nilai probabilitas uji kemaknaan
SB
= simpang baku
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa pada saat sebelum perlakuan selisih rerata
peningkatan kemampuan fungsional AGA kedua kelompok adalah 1,2% dan
menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p>0,05). Pada saat sesudah
perlakuan selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA kedua kelompok
adalah 3,4% dan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p>0,05).
Sedangkan pada selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA kedua
kelompok adalah 2,2% dan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan
(p>0,05).
93
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Kondisi Subjek Penelitian
Subjek yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien sejumlah 26 orang pasca
stroke yang telah melewati fase pasca akut mereka dan sedang menjalani periode
pemulihan fisik dan fungsional anggota gerak di pelayanan rawat jalan di klinik atau
unit fisioterapi tempat penelitian dilakukan. Penelitian dilakukan didalam lingkungan
ruangan indoor ber-AC (air conditioning) selama sekitar dua bulan dengan jumlah
subjek yang terdaftar awalnya sejumlah 35 orang pasien, subjek yang termasuk
dalam kriteria inklusi sejumlah 32 orang pasien, subjek yang termasuk dalam kriteria
eksklusi sejumlah 3 orang pasien dan subjek yang termasuk kriteria drop out
sejumlah 6 orang pasien. Sehingga akhirnya didapatkan subjek sampel sejumlah 13
orang pasien pada kelompok MNS dan 13 orang pasien pada kelompok CIMT.
Kondisi subjek seperti yang diuraikan pada hasil penelitian menerangkan bahwa
pada variabel usia terdapat kecenderungan usia pasien rata-rata diatas 50 tahun yang
menunjukkan bahwa memang usia merupakan salah satu faktor resiko terjadinya
stroke yang tidak bisa dimodifikasi (Pendlebury dkk., 2009). Pada variabel skor
MMSE menunjukan bahwa semua subjek yang diteliti memiliki kemampuan kognitif
yang normal dan hal ini menjelaskan bahwa untuk melakukan sebuah tes WMFT dan
suatu tugas atau aktifitas latihan tertentu dalam proses perlakuan pelatihan MNS
maupun pelatihan CIMT diperlukan tingkat pemahaman kognisi pasien yang normal
dan memadai agar dapat mengerti dengan arahan program pelatihan yang diinginkan.
93
94
Pada variabel jumlah kunjungan didapatkan informasi bahwa rata-rata subjek
melakukan kunjungan pelatihan yang berulang-ulang dan hal ini sejalan dengan
prinsip pelatihan pembelajaran motorik agar membentuk suatu plastisitas otak yang
berkembang baik selama proses pemulihan fisik dan fungsional AGA sebagaimana
dijelaskan oleh Cohen dan Hallet (2003) dan Sullivan (2007) yang membutuhkan
suatu proses pengalaman dalam pembelajaran motorik.
Uji normalitas dan uji homogenitas juga dilakukan pada variabel usia, MMSE
dan jumlah kunjungan untuk mengetahui normalitas distribusi data dan variasi
datanya karena merupakan data numerik karakteristik subjek hasil penelitian yang
memiliki kecenderungan distribusi sebaran data dan variasinya dengan hasil uji yaitu
distribusi normal terjadi pada variabel usia kedua kelompok, variabel MMSE
kelompok 2, dan variabel kunjungan kelompok 1, sedangkan distribusi tidak normal
terjadi pada variabel MMSE kelompok 1 dan variabel kunjungan kelompok 2.
Sebaran data yang berdistribusi normal merupakan jenis data parametrik sehingga uji
komparasi yang digunakan adalah dengan uji parametrik sedangkan sebaran data
yang berdistribusi tidak normal merupakan jenis data non parametrik sehingga uji
komparasi yang digunakan adalah dengan uji non parametrik. Hasil uji homogenitas
menunjukkan bahwa semua data dari data numerik karakteristik subjek penelitian
adalah homogen.
Deskripsi frekuensi data kategorik umum subjek penelitian juga telah diuraikan
untuk memberikan gambaran latar belakang hobi, pendidikan dan pekerjaan subjek
penelitian secara umum. Deskripsi frekuensi data kategorik riwayat sakit juga telah
diuraikan untuk memberikan informasi tentang profil kesehatan pasien secara klinis
95
umumnya yang berguna pada saat evaluasi berkala dalam program pelatihan MNS
dan pelatihan CIMT.
6.2 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur kemampuan
fungsional AGA pasien stroke yaitu Wolf Motor Function Test (WMFT). Alat ukur
ini sudah sering digunakan dalam penelitian lain terutama pada pelatihan CIMT yang
telah dilakukan untuk menilai seberapa besar peningkatan kemampuan fungsional
AGA pasien stroke dengan membandingkan hasil sebelum dan sesudah latihan
fisioterapi. Sedangkan pada pelatihan MNS penulis belum menemukan penggunaan
alat ukur WMFT yang dilakukan untuk menilai peningkatan kemampuan fungsional
AGA melainkan penggunaan alat ukur Functional MRI. Sehingga penulis merasa
perlu kembali melakukan uji validitas dan uji reliabilitas instrumen agar lebih
memperkuat dan mengkonfirmasi kebenaran dan tingkat konsistensi instrumen
WMFT yang dipakai tersebut untuk menilai peningkatan kemampuan fungsional
AGA pasien stroke pada saat sebelum dan sesudah intervensi pelatihan MNS dan
pelatihan CIMT masing-masing kelompok perlakuan.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan aplikasi Statistical Program
for Social Science (SPSS) versi 21 untuk windows. Maka dari hasil uji validitas
instrumen didapatkan hasil bahwa nilai korelasi pearson product moment (r hitung)
kelompok 1 sebelum pelatihan MNS adalah 0,713 dan sesudah pelatihan MNS
adalah 0,766, sedangkan pada kelompok 2 sebelum pelatihan CIMT adalah 0,768
dan sesudah pelatihan CIMT adalah 0,739. Diketahui jumlah sampel pada masingmasing kelompok adalah sama (n = 13) dan diketahui pula nilai alpha (α) = 5% =
96
0,05 sehingga dengan nilai degree of freedom (df) 11 jika r hitung dibandingkan
dengan r tabel 0,558 dapat disimpulkan bahwa instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah valid karena r hitung lebih besar r tabel. Berdasarkan hasil uji
reliabilitas instrumen didapatkan hasil bahwa nilai cronbach’s alpha (r alpha) adalah
0,883, maka jika r-alpha dibandingkan dengan ketentuan 0,6 dapat disimpulkan
bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel karena nilai ralpha lebih besar dari ketentuan 0,6 (Hastono, 2011).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Chen dkk.
(2012), yang menyimpulkan bahwa instrumen WMFT adalah valid. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Morris dkk. (2001)
yang
menyimpulkan bahwa instrumen WMFT adalah konsisten internal, stabil adekuat
dan reliabel dengan nilai r alpha adalah 0,95 dan 0,90. Penelitian tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk menguji reliabilitas WMFT dalam menilai kemampuan
fungsional AGA dengan kondisi hemiplegia. Sampel yang digunakan dalam
penelitiannya berjumlah 24 pasien dengan gangguan fungsi motorik sedang (Morris
dkk., 2001). Serta penjelasan yang dilakukan oleh Zipp dan Sullivan (2010) dengan
validitas WMFT r 0,86 dan reliabilitas r alpha 0,88. Juga validitas dan reliabilitas
WMFT pada penelitian yang dilakukan oleh Wade dkk. (2009).
6.3 Distribusi Normalitas dan Varians Hasil Pengukuran Penelitian
Asumsi normalitas distribusi data pada kedua kelompok perlakuan juga
dilakukan untuk melihat apakah frekuensi skor hasil pengukuran instrumen WMFT
normal atau tidak. Sedangkan uji varian data pada kedua kelompok perlakuan juga
dilakukan untuk mengetahui apakah variasi skor hasil pengukuran WMFT homogen
97
atau tidak. Dengan melakukan uji normalitas shapiro wilk test karena jumlah sampel
lebih kecil dari 30 dan menggunakan SPSS 21 diketahui hasilnya pada kelompok 1
sebelum pelatihan MNS adalah 0,782 dan sesudah pelatihan MNS adalah 0,630,
sedangkan pada kelompok 2 sebelum pelatihan CIMT adalah 0,832 dan sesudah
pelatihan CIMT adalah 0,883. Sedangkan pada variabel pre test dan post test
gabungan kedua kelompok data adalah 0,378 dan 0,436 namun pada variabel selisih
gabungan kedua kelompok data adalah 0,015. Sehingga hasil uji normalitas tersebut
menunjukkan bahwa distribusi frekuensi data semua hasil pengukuran instrumen
WMFT adalah normal karena nilai probabilitas uji kemaknaan lebih besar dari alpha
(p>0,05) kecuali pada selisih gabungan kedua kelompok data adalah tidak normal
karena nilai probabilitas uji kemaknaan lebih kecil dari alpha (p>0,05). Maka
diketahui bahwa data hasil pengukuran instrumen WMFT kedua kelompok
merupakan data parametrik sehingga uji beda statistik pada pengolahan data
berikutnya menggunakan uji parametrik paired t-test dan independent t-test.
Pada uji homogenitas menggunakan levene’s test of varians menggunakan SPSS
versi 21 diketahui hasilnya pada saat sebelum pelatihan kedua kelompok adalah
0,801, pada saat sesudah pelatihan kedua kelompok adalah 0,788 dan pada selisih
kedua kelompok adalah 0,178. Sehingga dari hasil uji homogenitas tersebut
menunjukkan bahwa variasi data semua hasil pengukuran instrumen WMFT adalah
homogen karena nilai probabilitas uji kemaknaan lebih besar alpha (p>0,05).
6.4 Pelatihan MNS Meningkatkan Kemampuan Fungsional AGA pasien Stroke
Berdasarkan uji statistik parametrik uji t-berpasangan (paired t-test) terhadap
hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa rerata peningkatan kemampuan
98
fungsional AGA pasien stroke mengalami peningkatan sebesar 0,47 atau sebesar
21,7% setelah pelatihan MNS dengan nilai probabilitas uji kemaknaan (0.000200)
lebih kecil alpha (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan
peningkatan kemampuan fungsional AGA antara sebelum dan sesudah pelatihan
MNS adalah berbeda secara signifikan.
Hal ini membuktikan bahwa pelatihan MNS dapat meningkatkan kemampuan
fungsional AGA pasien stroke. Hal senada juga diungkapkan oleh Salama (2011)
yang menyatakan bahwa kegiatan observasi sebelum eksekusi gerakan dapat
meningkatkan aktivitas otak yang berdampak pada keterampilan tangan walaupun
pada laporan ini masih perlu dilakukan penelitian lanjutan agar dapat diaplikasikan
pada pasien dalam rangka pemulihan fisik dan kemampuan fungsional anggota
gerak. Namun jika menelaah fungsi dari MNS terutama pada pasien stroke akan
memberikan bukti lebih lanjut dan mengkonfirmasi asumsi-asumsi sebelumnya
bahwa kegiatan observasi bisa dimanfaatkan sebagai suatu pendekatan dalam
aplikasi klinis (Salama, 2011).
Hal serupa juga pernah sebelumnya diungkapkan oleh Ertelt dkk. (2007), yang
menyatakan bahwa adanya kemungkinan kegiatan observasi digunakan sebagai alat
rehabilitatif dalam studi empirik yang dilakukan pada kelompok pasien yang
mengalami kelemahan motorik akibat stroke dan dapat dikombinasikan dengan
pelatihan aktif. Berdasarkan penemuannya maka diusulkan bahwa kegiatan observasi
mengarah pada peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien yang dihasilkan
dari kondisi pelatihan fisik yang mengaktifasi MNS pada pasien.
99
Seperti yang telah dijelaskan oleh Iacoboni dan Mazziotta (2007), bahwa secara
umum observasi terhadap suatu gerakan menjadi suatu bentuk latihan yang
digunakan sebagai dasar. Hasilnya menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen
terjadi perbaikan fungsi motorik yang signifikan. Pada kelompok kontrol tidak
menunjukkan perubahan yang subtansial. Penelitian tersebut merupakan satu-satunya
studi empiris yang pernah dilakukan tentang pengaruh observasi gerakan dalam suatu
program peningkatan kemampuan fungsional.
Pandangan serupa juga pernah sebelumnya disampaikan oleh Buccino dkk.
(2004), bahwa MNS dapat merespon persepsi dari spesies lain atau orang lain.
Namun MNS tidak menanggapi persepsi secara langsung tetapi lebih mengambil
fitur secara umum dari orang lain. Diperkirakan bahwa MNS memberi respon dalam
tindakan yang dilakukan selama masa observasi (Buccino dkk., 2004)
Sejalan juga seperti yang telah disampaikan oleh Gallese (2009), menjelaskan
bahwa kegiatan observasi dapat mengaktifkan secara otomatis mekanisme saraf yang
sama
yang dipicu oleh pelaksanaan
gerakan. Mekanisme saraf tersebut
memungkinkan terjadinya pemetaan secara langsung antara deskripsi visual dari
suatu kegiatan motorik dengan identifikasi pelaksanaan kegiatan motoriknya.
Sehingga sistem pemetaan memberikan solusi untuk masalah interpretasi hasil
analisis visual dari prinsip gerakan yang diamati.
Sesuai dengan apa yang telah sebelumnya disampaikan oleh Hallett (2006),
menjelaskan bahwa bagian korteks motorik berfungsi lebih dari sekedar pelaksana
perintah motorik melainkan ia juga dimungkinkan dapat terlibat dengan aspek yang
100
berbeda dari pembelajaran motorik. Korteks motorik dapat menunjukkan plastisitas
yang cukup, dan kedua rangsangan yang ditujukan kepada otot di sejumlah wilayah
atau kepada tugas tertentu yang dapat meluas pemetaannya atau menyusut tergantung
pada jumlah penggunaannya. Namun ada juga peningkatan jangka pendek aktifitas
korteks motorik ketika mempelajari tugas-tugas baru.
6.5 Pelatihan CIMT Meningkatkan Kemampuan Fungsional AGA pasien
Stroke
Berdasarkan uji statistik parametrik uji t-berpasangan (paired t-test) terhadap
hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa rerata peningkatan kemampuan
fungsional AGA pasien stroke mengalami peningkatan sebesar 0,36 atau 17,1%
setelah pelatihan CIMT dengan nilai probabilitas uji kemaknaan (0,000012) lebih
kecil alpha (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan peningkatan
kemampuan fungsional AGA antara sebelum dan sesudah pelatihan CIMT adalah
berbeda secara signifikan.
Hal ini membuktikan bahwa pelatihan CIMT dapat meningkatkan kemampuan
fungsional AGA pasien stroke. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Menon
(2010), mengatakan bahwa tujuan dari pelatihan CIMT adalah untuk membantu
mendapatkan kembali kekuatan dan fungsi lengan dan tangan pada sisi yang lemah
akibat stroke. Program latihan ini membutuhkan kedisiplinan diri dan komitmen dari
individu pasien stroke itu sendiri agar menghasilkan bukti yang terbaik bagi mereka
yang mengaplikasikannya. Hal serupa juga dilaporkan oleh Hayner dkk. (2010),
bahwa telah ditemukan perbaikan kemampuan fungsional AGA pada instrumen
101
WMFT pada kelompok yang diteliti menggunakan pelatihan CIMT dengan hasil
peningkatan yang signifikan ditunjukkan dengan nilai p yaitu 0,008 (p<0,05).
Hasil peningkatan signifikan (p=0,003) kemampuan fungsional AGA pasien
stroke dengan pelatihan CIMT juga sebelumnya telah ditemukan oleh Tariah dkk.
(2010), pada penelitian mereka terdapat hasil peningkatan sebesar 13,2% skor
WMFT setelah pelatihan CIMT selama 2 bulan dan kembali terjadi penambahan
peningkatan sebesar 4% skor WMFT setelah evaluasi 2 bulan kemudian. Penelitian
tersebut dilakukan dengan jumlah subjek 10 orang pasien stroke. Sehingga penelitian
yang mereka lakukan ini mengkonfirmasi kelayakan pendekatan pelatihan CIMT
yang dilakukan dirumah bersama keluarga.
Hasil serupa juga ditemukan sebelumnya oleh Wolf dkk. (2009), bahwa pada
pasien yang mengalami stroke sejak 3 sampai 9 bulan mengalami perbaikan
signifikan (p = 0,001) secara statistik dan klinis yang relevan setelah pelatihan CIMT
dilakukan kepada pasien yang berlangsung selama minimal 1 tahun. Hasil ini pula
sebelumnya telah dibuktikan oleh Lin dkk. (2010), menjelaskan bahwa terjadi
peningkatan yang signifikan kemampuan fungsional AGA pada pelatihan CIMT
akibat proses reorganisasi otak dan melihat pada tingkat aktifitas otak pada hemisper
kontralesional selama gerakan tangan dilakukan disaat tahanan diberikan pada tangan
yang lebih dominan dan mereka menemukan bahwa adanya kemungkinan terjadi
proses adaptasi otak akibat perlakuan pelatihan CIMT yang dilakukan.
Salah satu faktor yang dapat berkontribusi pada divergen pola akitivasi otak
yang diamati setelah pelatihan CIMT adalah plastisitas otak (Wittenberg dan
102
Schaechter, 2009). Sejalan dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya oleh
Nudo dan Dancause (2007), tentang korelasi saraf dan keterampilan motor kontrol
menjelaskan bahwa karena banyak dasar yang sama menjelaskan bahwa proses
adaptif neurologis diperkirakan terjadi pada kedua kondisi normal dan kerusakan
otak. Sehingga untuk menghasilkan suatu plastisitas otak yang optimal maka
diperlukan rangsangan pelatihan yang dilakukan berulang-ulang dan kontinum.
6.6 Pelatihan
MNS
Tidak
Berbeda
dengan
Pelatihan
CIMT
dalam
Meningkatkan Kemampuan Fungsional AGA pasien Stroke
Berdasarkan uji statistik komparasi parametrik uji t-tidak berpasangan
(independent t-test) terhadap hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa pada
saat sebelum pelatihan MNS dan pelatihan CIMT selisih rerata peningkatan
kemampuan fungsional AGA pasien stroke hanya sebesar 0,06 atau 1,2% dengan
nilai probabilitas uji kemaknaan (0,880) lebih besar alpha (p>0,05), sehingga
disimpulkan bahwa perbedaan selisih sebelum peningkatan kemampuan fungsional
AGA antara kelompok pelatihan MNS dan kelompok pelatihan CIMT adalah tidak
berbeda secara signifikan. Seperti ditunjukkan pada grafik gambar 6.1 dibawah ini.
103
2,7
2,64
2,6
Skor WMFT
2,5
2,47
2,4
MNS
2,3
2,2
2,1
CIMT
2,17
2,11
2,0
Sebelum
Sesudah
Gambar 6.1 Peningkatan Kemampuan Fungsional AGA pasien Stroke
Gambar 6.1 menunjukkan bahwa pada saat sesudah pelatihan MNS dan
pelatihan CIMT selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien
stroke hanya sebesar 0,17 atau 3,4% dengan nilai probabilitas uji kemaknaan (0,660)
lebih besar alpha (p>0,05), sehingga disimpulkan bahwa perbedaan selisih sesudah
peningkatan kemampuan fungsional AGA antara kelompok pelatihan MNS dan
kelompok pelatihan CIMT adalah tidak berbeda secara signifikan.
Sedangkan pada selisih pelatihan MNS dan pelatihan CIMT selisih rerata
peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien stroke hanya sebesar 0,11 atau
hanya 4,6% dengan nilai probabilitas uji kemaknaan (0,305) lebih besar alpha
(p>0,05), sehingga disimpulkan bahwa perbedaan selisih antara sebelum dan sesudah
perlakuan antara kelompok pelatihan MNS dan kelompok pelatihan CIMT adalah
tidak berbeda secara signifikan. Seperti dijelaskan pada grafik gambar 6.2 dibawah
ini.
104
0,5
0,47
Skor WMFT
0,4
0,36
0,3
0,2
0,1
0,0
MNS
CIMT
Gambar 6.2 Selisih Peningkatan Kemampuan Fungsional AGA pasien Stroke
Berdasarkan hasil uji kompatibilitas diketahui bahwa pada distribusi data pre
test gabungan kedua kelompok adalah normal dan hasil uji beda pre test antara kedua
kelompok adalah tidak berbeda secara signifikan maka keputusan hipotesis
perbandingan dari kedua kelompok perlakuan tersebut dapat diambil berdasarkan
perbandingan hasil uji beda post test antara kedua kelompok yaitu tidak ada
perbedaan secara signifikan. Hal ini merupakan suatu hasil temuan baru yang belum
pernah ditemukan oleh penulis pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain.
Hasil akhir yang dibuktikan dari penelitian ini adalah bahwa pelatihan MNS dan
Pelatihan CIMT keduanya sama-sama dapat meningkatkan kemampuan fungsional
AGA pasien stroke namun tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
fungsional AGA pasien stroke yang terbukti antara kedua kelompok tersebut jika
dibandingkan dengan uji beda statistik. Walaupun secara uji beda rerata selisih
peningkatan kemampuan fungsional AGA pada kelompok MNS kecenderungannya
105
terlihat lebih tinggi dari pada selisih peningkatan kemampuan fungsional AGA pada
kelompok CIMT.
Bisa saja terdapat kemungkinan pengaruh dari faktor-faktor lain yang
menyebabkan hasil ini menjadi belum terlihat berbeda signifikan secara uji beda
statistik. Kemungkinan diantaranya adalah karena pengaruh faktor periode waktu
penelitian yang singkat hanya selama 2 bulan dan sensitifitas alat ukur WMFT dalam
mengukur perbandingan peningkatan kemampuan fungsional AGA yang belum
menunjukkan perbedaan perubahan dalam jangka periode waktu tersebut. Sehingga
mungkin saja diperlukan waktu 2 bulan lagi agar lebih tampak perbedaan
perubahannya. Kemungkinan lain yaitu pengaruh faktor data numerik karakteristik
subjek penelitian seperti usia, skor MMSE dan jumlah kunjungan yang bervarian
homogen dan terlihat juga tidak ada perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok
pelatihan MNS dan pelatihan CIMT. Kemungkinan lain yaitu karena pengaruh faktor
data kategorik umum karakteristik subjek penelitian terutama variabel jenis kelamin
yang memiliki komposisi yang tidak terpaut jauh berbeda. Kemungkinan lainnya
yaitu pengaruh faktor data katagorik riwayat sakit karakteristik subjek penelitian
yang ditunjukkan pada kesamaan komposisi dominan pada variabel tipe stroke
kategori iskemik, variabel topis lesi kategori kortikal, variabel stroke yang pertama,
dan variabel jenis lateralisasi kategori hemiparese kiri sebagaimana yang telah
dijelaskan frekuensi distribusinya masing-masing pada bab hasil penelitian.
Kesamaan komposisi dominan pada variabel tipe stroke kategori iskemik,
variabel topis lesi kategori kortikal, variabel stroke yang pertama, dan variabel jenis
lateralisasi kategori hemiparese kiri dimungkinkan sebagai salah satu penyebab
106
kesamaan peningkatan kemampuan fungsional AGA karena kondisi tersebut
memiliki potensi kesembuhan dan pemulihan lebih baik dan lebih cepat jika
dibandingkan dengan kondisi stroke lain yang dianggap sebagai penyulit dalam
proses restorasi dan fisioterapi pasien. Penulis berharap akan ada lagi penelitian
lanjutan yang dilakukan oleh peneliti lain untuk melengkapi dan mengkonfirmasi
kebenaran hasil penelitian ini di masa yang akan datang.
6.7 Kelemahan Penelitian
Beberapa kelemahan yang dijumpai oleh penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Kesulitan dalam mengontrol atau mengendalikan motivasi dan keadaan psikis
subjek khususnya diluar jam tindakan intervensi fisioterapi, terutama saat
pemberian program latihan yang perlu dilakukan pengulangan oleh pasien
secara mandiri di rumah.
2. Masih adanya keterlibatan pasien pada program terapi lainnya yang dilakukan
selama mengikuti program pelatihan semasa periode penelitian dilakukan.
Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh penulis sebagai peneliti untuk
mengatasi kelemahan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Berupaya memberi saran edukatif dengan melibatkan keluarga atau
pendamping pasien untuk mengontrol dan memberikan motivasi pasien untuk
menjalankan program latihan secara mandiri dirumah.
2. Memberikan saran bagi pasien agar hanya mengikuti program latihan
fisioterapi yang telah diprogramkan semasa periode penelitian dilakukan.
107
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarakan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Pelatihan mirror neuron system meningkatkan kemampuan fungsional
anggota gerak atas pasien stroke
2.
Pelatihan
constraint
induced
movement
therapy
meningkatkan
kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke
3.
Pelatihan mirror neuron system tidak berbeda dengan pelatihan
constraint induced movement therapy dalam meningkatkan kemampuan
fungsional anggota gerak atas pasien stroke
7.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dalam penelitian ini adalah:
1. Pelatihan mirror neuron system dan pelatihan constraint induced movement
therapy sebaiknya dilakukan dalam periode waktu lebih lama dengan
frekuensi kunjungan fisioterapi lebih tinggi dan rutin terprogram secara lebih
baik agar dapat menunjukkan peningkatan kemampuan fungsional anggota
gerak atas yang berbeda lebih baik dibandingkan pelatihan lainnya yang
relevan sesuai kondisi pasien.
107
108
2. Perlu diadakan penelitian lanjutan yang mengkombinasikan antara pelatihan
mirror neuron system dan pelatihan constraint induced movement therapy
secara bersamaan agar lebih baik dalam meningkatkan kemampuan
fungsional anggota gerak atas pasien stroke.
3. Masih perlu dilakukan penelitian lain sebagai lanjutan dari penelitian ini
guna melengkapi dan mengkonfirmasi hasil temuan dari penelitian ini
dimasa yang akan datang.
Download