potensi lokal dalam penguasaan tanah dan pemanfaatan

advertisement
Potensi Lokal Dalam Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Sumber Alam
POTENSI LOKAL DALAM PENGUASAAN
TANAH DAN PEMANFAATAN SUMBER ALAM1
Ade Saptomo2
Abstrak
Makalah ini memperlihatkan potensi lokal dalam penguasaan tanah dan
pemanfaatan sumber alam di Nagari Anduring, Pariaman, Sumatera Barat
bertahan. Dengan pendekatan antropologi hukum diketahui bahwa
kebertahanannya didorong oleh pandangan bahwa, secara kultural, potensi lokal
mewujudkan prinsip matrilineal; sosial, mengintegrasikan anak kemanakan
akibat perkawinan eksogami; ekonomi, menjaga kesejahteraan sesuai kehendak
alam; politis, mewujudkan ideologi komunal; keamanan, menjaga keutuhan
hubungan antara fisik dan bathin. Bentuk penguasaan tanah dan pemanfaatan
sumber alam dimaksud adalah Bauduah (batas bathin), Balega (bergilir), Pagang
Gadai-susuik (jual-pinjam). Sementara itu, hambatan pelestarian potensi lokal
mencakup kecenderungan mindset pada hukum negara menyusul fenomena
interaksi antarhukum dan interaksi lintas etnik. Oleh sebab itu, pemahaman benar
terhadap kemajemukan hukum lokal sebagai dasar pembangunan hukum ke
depan menjadi perlu.
Latar Belakang
Sebuah pengalaman tidak dapat dilepas dari perjalanan alam pikiran utama saya
ketika melakukan penelitian grounded untuk mencari jawab bagaimanakah proses
penyelesaian sengketa tanah menurut kultur Minangkabau di Nagari Pauh Limau,
Padang, 1994.3 Di saat itu, ditemukan pilihan ragam upaya pesengketa untuk memilih
ragam institusi hukum yang tersedia dalam masyarakat tempatan.4 Fakta ragam upaya
dan pilihan institusi ini mendorong gagasan saya untuk menelusuri lebih lanjut ragam
potensi lokal (local potentialities) lain berkenaan dengan kegiatan, sebelum sengketa,
penguasaan tanah dimaksud menurut kultur Minangkabau.
Makalah ini disampaikan pada International Conference on Land and Resource Tenure in Changing
Indonesia “Questioning The Answer”, 11-13 Oktober 2004 Hotel Santika Jakarta, Indonesia.
1
2 Peneliti pada Pusat Studi Irigrasi, Sumber Daya Air, Lahan, dan Pembangunan (PSI-SDALP),
Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Andalas Padang.
Hasil penelitian ini lihat Saptomo (1995), Berjenjang Naik Bertangga Turun: Sebuah Kajian Antropologi
Hukum tentang Proses Penyelesaian Sengketa Tanah di Minangkabau, Tesis 2. Jakarta: PPs UI.
3
4 Untuk memperkaya wacana hal ini dapat dibaca konsep forums shopping dan shopping forums yang
dikemukakan oleh Benda Beckmann (1984), The Broken Stairways to Concensus, Village Justice and
State Coutrs in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications.
http://www.huma.or.id
1
Ade Saptomo
Pertanyaan itu semakin mengemukan ketika membayangkan sebuah asumsi
bahwa jauh sebelum negeri ini berdiri, telah lahir kebiasaan yang tidak saja mengatur
hubungan antarorang-perorangan, orang dan kelompok, dan antarkelompok, tetapi juga
antara orang dan kelompok itu sendiri di satu pihak dengan sumber alam sekitar di pihak
lain. Kebiasaan pengaturan hubungan dimaksud mulai mulai teratur, diikuti, dan
melembaga menjadi kekuatan kultural (cultural potentialities) tersendiri. Sehubungan
dengan itu, mestinya hingga kini, ia dipandang sebagai kekuatan lokal strategis yang
dapat digunakan sebagai pengatur hampir semua arena bidang kehidupan sosial, budaya,
ekonomi, dan politik lokal masyarakat tempatan.
Namun, kenyataan menunjukkan semenjak negeri ini berdiri, terutama selama
lebih dari tiga puluh tahun terakhir, di negeri multietnis dan multikultural ini telah terbit
beragam kebijakan hukum sumber alam (tanah, air, hutan, laut, tambang, perikanan, dan
sejenisnya) mendasarkan pada paradigma sentralisme hukum (legal centralism). De jure,
kebijakan hukum sentralistik dimaksud ternyata berangsur-angsur mengubur sebagian
besar potensi lokal masyarakat tempatan, sehingga ia seakan tidak berdaya dalam
mengelola sumber alamnya sendiri. De facto di Sumatera Barat, tepatnya di Nagari
Anduring, Kecamatan 2x11 Enam Lingkung,5 Kabupaten Padang Pariaman masih
menunjukkan fenomena kelokalitasannya tersendiri.
Dalam konteks tanah dan sumber alam misalnya, di nagari ini praktik-praktik
penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam berdasarkan atas potensi lokal
tempatan. Sehubungan dengan itu, di dalam makalah ini dikemukakan jawaban atas tiga
pertanyaan penting, yaitu mengapa penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam
dengan mendasarkan pada potensi lokal bertahan, bagaimanakah bentuk praktik
penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dimaksud, dan apakah faktor
pendorong dan penghambat praktik penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam
dimaksud.
Pendekatan
Potensi lokal yang dimaksud di sini adalah kekuatan-kekuatan kultural yang
diyakini benar oleh sebagian besar warga masyarakat tempatan dan dijadikan pedoman
bertindak.6 Sementara, penguasaan tanah adalah sistem hubungan sosial antarorang
Asal usul nama kecamatan ini adalah angka 2 menunjukkan dua nagari asal, Anduring-Sicincin,
Guguk-Kapalo Hilalang. Angka 11 menunjukkan Anduring terdiri atas 5 suku (Jambak, Tanjung,
Koto, Sikumbang dan Guci), sementara Sicincin terdiri atas 6 suku (Jambak, Tanjung, Koto,
Sikumbang, Guci, dan Panyalai). Kemudian, jumlah suku yang ada di dua Nagari Guguk-Kapalo
Hilalang adalah 11 (5 suku di Guguk-6 suku di Kapalo Hilalang). Sementara Enam Lingkung
menunjukkan pengertian bahwa ada 6 nagari yang melingkupi 2 nagari asal di atas, yaitu Nagari
Toboh Ketek, Sungai Asam, Lubuk Pandan, Parit Malintang, Pakandangan, dan Koto tinggi. Aspek
Historis-sosiologis demikian inilah yang melatarbelakangi asal-usul penamaan Kecamatan 2X11
Enam Lingkung. Mengenai hal ini lihat juga Unika Atmajaya (1998), Pola Penguasaan Tanah
Masyarakat Tradisional dan Problema Pendaftaran Tanah. Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan
Masyarakat Atmajaya bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional, 30.
5
Bandingkan dengan kebudayaan yang diartikan sebagai seperangkat pengetahuan yang diyakini
benar oleh sebagian besar warga masyarakat dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Selanjutnya,
lihat juga Spradley (1972) dalam Culture and Cognition: Rules, Map, and Plans. San Fransisco:
6
http://www.huma.or.id
2
Potensi Lokal Dalam Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Sumber Alam
sebagai ‘penguasa’ dan tanah sebagai sumber alam. Dalam konteks penguasaan tanah dan
pemanfaatan sumber alam, maka ia diartikan sebagai praktik hubungan (interaksi)
antaraorang yang menguasai dan memanfaatkan di satu sisi, dan tanah sebagai sumber
alam yang dikuasai di sisi lain. Interaksi dimaksud mencakup kegiatan memperoleh hak
atas tanah, mempertahankan tanah, mengalihkan hak atas tanah, dan bagaimana pula
memanfaatkan tanah berdasarkan atas potensi lokal masyarakat tempatan.
Sehubungan dengan itu, untuk memperoleh jawaban atas tiga pertanyaan
mendasar di atas dilakukan kegiatan penelitian dengan menggunakan pendekatan
antropologi hukum. Dalam pendekatan ini, selain digunakan model case study, baik
trouble-less cases7, maupun trouble cases8 juga seperangkat teori dan konsep berperspektif
pluralisme hukum9, misalnya, living law10, weak and strong legal pluralism11, neotraditionalism12, semi-autonomous social fields13, relative legal pluralism.14
Selain itu, konsep-konsep penting sejenisnya seperti interaksi antarhukum
digunakan.15 Konsep ini menjelaskan bahwa jika hukum negara dan hukum lokal
berinteraksi di dalam lokal sosial dan kepentingan sama (one social-interest field) diduga
akan melahirkan empat kemungkinan. Kemungkinan dimaksud, pertama, integrasi
(integration) yaitu penggabungan hukum negara dan hukum lokal; kedua, inkoorporasi
Chandler Publishing Company dan Suparlan (1999) “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”
dalam Antropologi. Thn. XXIII. No. 59: 8-9
Lihat Holleman (1973), “Trouble-Cases and Trouble-Less Cases in the Stuy of Customary Law and
Legal Reform” in Law and Society Review 7(4), page 585-609
7
8 Ini pandangan Llelewin dan Hoebel yang dapat dilihat pada Slaats dan Portier (1992) dalam Slaats
dan Karen Portier. 1992. Traditional Decision-Making and Law: Institutions and Processes in An
Indonesian Context. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 11-13.
Ada tiga pandangan utama berkaitan dengan konsep pluralisme hukum. Pertama, pluralisme
hukum dipandang sebagai alat politik untuk menguasai wilayah suatu bangsa dengan cara
memecah persatuan suatu bangsa dimaksud. Dalam konteks ini, hukum dibangun atas dasar
kerangka berfikir rasisme sehingga ada hukum bagi golongan-golongan ras yang ada. Kedua,
pluralisme hukum diartikan sebagai alat hukum untuk menguasai sumber daya tertentu dengan
cara mengkonstruksi satu hukum bagi semua (keseragaman) kelompok sosial, sehingga hanya satu
huku kecuali hukum lain yang diakui negara. Ketiga, pluralisme hukum dipandang sebagai
kenyataan normatif apa adanya (empiris) sehingga ada hukum negara, hukum lokal, dan hukumhukum lain yang diyakini benar oleh sebagian besar warga masyarakat dan dijadikan pedoman
bertindak.
9
Mengenai pandangan Eugen Ehrlich ini lihat Dragen (19940. A Primer in The Sociology of Law. New
York: Harrow and Newton.
10
Lebih dari empat teori Pluralisme Hukum dikemukakan Griffiths (1986) dalam “What is Legal
Pluralism” in Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law. No. 24/1986. Page 1-55.
11
lihat Benda Beckmann (1984). The Broken Stairways to Concensus, Village Justice and State Coutrs in
Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications.
12
Mengenai hal ini lihat Moore (1978) “Law and Social Change: The Semi-autonomous Social Field
as an Appropriate Subject of Study” in Law as Process; An Anthropological Approach. London,
Routledge & Kegan Paul & (4); 719746.
13
14
Ini merupakan pandangan Vanderlingen, selanjutnya lihat Griffiths , loc. cit.
Kemungkinan-kemungkinan hukum produk interaksi antarhukum ini dikemukakan oleh Moores
dan Gordon (1987) dalam Indigeneous Law and State. Dordrecht Holland: Foris Publications.
15
http://www.huma.or.id
3
Ade Saptomo
(incoorporation) yaitu penggabungan sebagian hukum negara ke dalam hukum adat atau
sebaliknya; ketiga, konflik (conflict) yaitu hukum negara dan hukum lokal dimaksud saling
bertentangan; dan, keempat, penghindaran (avoidance) yaitu salah satu hukum yang ada
menghindari keberlakuan hukum yang lain. Sementara, data dikumpulkan dengan teknik
participant observation, in-depth interview, listening, didukung dengan studi data
dokumentasi relevan lainnya secara secara dialogis16 serta dilakukan strategi tinggal
bersama warga di tengah masyarakat Nagari Anduring.
Sekilas Seting Sosial
Nagari Anduring terletak di wilayah administrasi Perwakilan Kecamatan 2X11
1Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Kecamatan dimaksud
mencakup 14 desa (desa Benteng, Padang Lapai, Aspiran, Pasar Usang, Pelabihan, Pasar
Limau, Simpang Balai Kamih, Pincuran Tujuah, Tarok, Sumue Bana, Balah Air, kampung
Tangah, Rimbo Kalam, dan Asam Pulau). Kelima desa disebut terakhir merupakan
sebagian wilayah administrasi perwakilan kecamatan 2X11 Enam Lingkung, yang
sekaligus merupakan wilayah Nagari Anduring dengan jumlah penduduk lebih dari 7670
jiwa.
Wilayah Nagari Anduring seluas 15.851 ha dimaksud mencakup lahan
persawahan, perbukitan, perladangan, tanah penggembalaan, dan sebagian rawa. Lahan
perbukitan dimaksud mencakup punggung bukit yang memotong wilayah nagari menjadi
hamparan lereng perbukitan dan dataran rendah. Di atas hamparan lereng dimaksud
tumbuh tidak saja hutan, tetapi juga karet, durian, kopi, kelapa, cubadak, kopi, dan
rumput pakis. Sementara dataran rendah merupakan tanah perwasahan yang di sana-sini
tampak bandar-bandar dari anak Sungai Batang Anai dan Sungai Batang Pinang. Sebagian
lagi merupakan per-kampong-an (teritorial-genealogis),17 yaitu kampong Suku Jambak,
Tanjung, Koto, Sikumbang, dan Guci. Sementara, sebagian warga kampong-kampong
dimaksud yang tersebar ke dalam Korong Lubuk Aua, Sipinang, Sipisang, Baringin,
Kalawi, Anduring Bawah, Balah Aie, Asam Pulau, dan Korong Tanah.
Di sanalah tampak interaksi antarorang, antara orang dan tanah dengan beragam
sumber alamnya. Serangkaian interaksi sosial dimaksud memperlihatkan keeksistensian
potensi kultural, di antaranya tampak pada kasus-kasus interaksional berikut di bawah.
Kasus Malakok
X, warga Jambak asal Pariaman, ingin membuka tanah di Nagari
Anduring. Atas keinginannya tersebut ia disarankan oleh Ketua KAN untuk
mencari dan malakok (melekat) kepada mamak Jambak di lingkungan Nagari
Anduring. Setelah diterima, dilakukan upacara sekapur sirih sebagai pengakuan
Seperangkat teknik pengumpulan data pada saat sama digunakan secara silih berganti sehingga
antara teknik satu dan yang lain saling disapakan dalam upaya mempertinggi produktivitas
pengumpulan data. Kelancaran saling menyapa demikian diantar oleh strategi-strategi penelitian
lapangan yang didasarkan atas kondisi dan situasi yang menyelimuti jalannya penelitian itu
sendiri. Selanjutnya, hal ini dapat pula dilihat pada Saptomo (2002) “Jamin”: Konstruksi Sosial
Tentang Integrasi Sukubangsa Jawa Dengan Minangkabau. Disertasi. Yogyakarta: PPs UGM.
16
Kampong di sini diartikan sebagai tempat berkumpul. Dengan demikian, pengertian kampong
suku Jambak berarti tempat berkumpulnya orang yang bersuku Jambak, dan seterusnya sehingga
kampong dipandang sebagai teritorial genealogis.
17
http://www.huma.or.id
4
Potensi Lokal Dalam Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Sumber Alam
bahwa ia telah melekatkan dirinya ke suku Jambak. Dengan upacara sederhana
yang dihadiri oleh mamak-mamak kaum di lingkungan suku Jambak, berarti ia
telah diakui sebagai orang Jambak Nagari Anduring. Pengakuan malakok
demikian menjadikan ia mempunyai hak dan kewajiban sama dengan warga
suku Jambak lain untuk manaruko (membuka lahan baru).
Kasus Ikan Larangan
Sebagian aliran bandar sawah itu melewati kampung suku Guci, Koto, dan
seterusnya ke Sungai Batang Anai. Di tempat tikungan-tikungan tertentu
bertaburan ikan sungai berbagai ukuran. X warga suku tertentu mengambil ikan
tanpa siizin mamak suku Guci. Akibatnya, ia menggigil kepanasan selama dua
minggu tak tersembuhkan. Mamak X mengetahui gelagat ini sehingga ia
menyelidiki penyebabnya. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa dua minggu
sebelumnya kemenakan dimaksud telah mengambil ikan sungai Guci. Persoalan
dimaksud disampaikan kepada kepala suku Guci dan diselesaikan di Surau Guci.
Dengan disaksikan jemaah, pengakuan dan permintaan maaf diterima, kemudian
mamak X menyerahkan denda kepada pengurus Surau. Beberapa hari kemudian,
kesehatan kemenakan tersebut berangsur pulih. Atas kejadian ini, diketahui
bahwa ikan yang dijaga secara bathin demikian biasa disebut sebagai ikan
larangan.
Kasus Bergilir
Sebagian punggung bukit Anduring sepanjang lima kilometer itu merupakan
wilayah teritorial suku Koto, sebuah satuan sosial yang terdiri atas lima kaum.
Masing-masing kaum menempati wilayah hunian kaki bukit yang dibatasi oleh
bentangan kawat. Sementara di atas punggung bukit dimaksud terdapat pohonpohon durian berbagai ukuran. Ketika musim panen durian tiba, setiap pagi
tengkulak dengan mobil kolt terbuka menjemput durian untuk dibawa ke pasar.
Ada aturan pembagian yang mendasari pendistribusian hasil durian bagi lima
kaum. Hari pertama dini hari semua durian yang jatuh menjadi milik kaum
pertama, hari kedua dini hari milik kaum kedua, dan hari-hari seterusnya dengan
tanpa mempersoalkan jumlah durian. Pemanfaatan hasil alam secara bergilir
demikian telah berlangsung dua generasi tanpa menimbulkan konflik.
Kasus Pagang (Gadai) Susuik
A mempunyai sepiring sawah dalam satu kali panen 1000 sukat,
menggadaikan kepada B senilai 15 emas dengan perjanjian bahwa A sebagai yang
menggadaikan dalam berbagi hasil penggarapan sawah dilakukan dengan cara
dua berbanding satu. Artinya, sawah dikerjakan B untuk dua kali panen, setelah
itu A menggarap satu kali panen, namun demikian ia ketika memanen hasil harus
memberikan 1/3 dari hasil panen tersebut kepada B dan 2/3 untuk A dari
keseluruhan hasil penen sampai nilai 15 emas terpenuhi.
Kasus Batas Sepadan
Semenjak mamak T meninggal, T tidak bertegur sapa dengan U (tetangga)
sebelah. Di antara mereka meski sesuku Jambak, namun tidak seketurunan, terjadi
konflik batas sepadan pekarangan. Di tanah pekarangan dimaksud terdapat dua
batas fisik, batas fisik pertama dibuat mamak T (alm) berupa pohon Cubadak
berjarak tiga meter dari dinding rumah, sementara batas kedua dibuat tetangga
berupa tugu beton berjarak dua meter dari rumah yang sama. Pertengkaran batas
http://www.huma.or.id
5
Ade Saptomo
pekarangan in diselesaikan mamak T (mamak yang lain) dengan cara lamak di
awak katuju di orang, yaitu menarik garis lurus dari titik depan ke belakang tepat
di antara dua batas pohon dan beton tersebut.
Pembahasan
Kasus-kasus antropologis tersebut menunjukkan bahwa potensi lokal terkandung
tidak saja di dalam trouble-less cases seperti dalam kasus penggarapan sawah dan hasil
panen padi menurut musim panen, pembagian durian antara kaum satu dan kaum lain
dalam satu suku menurut urutan hari. Kasus tersebut memperlihatkan gambaran bahwa
pola penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dikonstruksi dengan model bagilie
(bergilir). Model demikian memperlihatkan cara mempertahankan dan memanfaatkan
sumber alam dilandasi kesepakatan-kesepakatan yang dikonstruksi oleh mamak atas
dasar aturan lokal dalam mengatur siapa, apa, bagaimana, dan mengapa penguasaan dan
pemanfaatan sumber alam demikian.
Selain itu, dalam trouble cases seperti kasus pencurian ikan sungai oleh warga kaum
suku tertentu merupakan pelanggaran hukum lokal yang penyelesaiannya pun tidak
mengggunakan jalur formal-struktural, misal ketua Rukun Tetangga, Rukun Wilayah,
Kepala Desa, dan kepolisian setempat. Dalam perspektif hukum formal, maka X dapat
dilaporkan ke Polisi atas dasar sangkaan mengambil sesuatu tanpa seizin pemilik dengan
maksud memiliki. Dengan demikian, ia akan dituduh oleh aparat kepolisian telah
melakukan pelanggaran hukum negara.18 Namun, dalam kenyataannya, X justru
dilaporkan kepada mamak suku dan penyelesaiannya pun secara berjenjang naik
bertangga turun.19
Dalam perspektif kultural atau hukum lokal dari trouble case diperoleh pemahaman
bahwa model perajahan merupakan hukum yang hidup (living law) berkenaan dengan
cara membangun batas-batas non fisik. Selain itu, model penyelesaian lewat kesepakatan
antarmamak di suatu tempat yang disebut Surau merupakan kebiasaan yang telah
melembaga. Ini menunjukkan bahwa hukum negara tidak dijadikan sebagai rujukan,
bahkan dihindari (avoidance), untuk menyelesaikan persoalan konflik antarkaum berbeda
suku, namun diselesaikan lewat saluran kultural masyarakat tempatan.
Secara keseluruhan kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa alasan masyarakat
Anduring mempertahankan pola penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam
dengan tetap mendasarkan pada potensi lokal tempatan adalah secara kultural, potensi
lokal dapat mewujudkan prinsip-prinsip matrilineal, satu di antaranya mewujud ketika
kedatangan suku/sukubangsa (subetnik/etnik) lain dan penyelesaian konflik di nagari
tersebut. Kedatangan tersebut menjadikan dalam satu wilayah sama terdapat dua atau
lebih suku/sukubangsa. Implikasinya, interaksi sosial di antara mereka baik dalam
bentuk interaksi domestik seperti perkawinan lintas etnik20 melahirkan new family
formation maupun interaksi hukum seperti yang terjadi dalam praktik pendaftaran tanah
dan sertifikasi tanah hingga melahirkan pandangan neo traditionalism.
18
Mungkin saja ia akan dijerat pasal 352 KUHP tentang Pencurian.
19
Mengenai contoh praktik-praktik penyelesaian sengketa lihat Saptomo, loc cit
Mengenai hal dapat dibaca pada Saptomo (2002, 2003) “Jamin”: Proses Integrasi Sukubangsa
Jawa dengan Minangkabau.
20
http://www.huma.or.id
6
Potensi Lokal Dalam Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Sumber Alam
Dalam konteks interaksi yang disebut pertama, sebenarnya secara kultural
matrilineal berlaku prinsip perkawinan eksogami suku (subetnik) dan endogami
sukubangsa (etnik). Namun, dalam konteks adat Minangkabau hambatan matrilineal itu
dibuka melalui praktik malakok (melekat).21 Dalam malakok ini, siapapun dan apapun
etniknya dapat menikah dengan etnik Minangkabau apabila, terutama laki-laki dimaksud,
telah mengaku kepada dan diakui oleh salah satu mamak yang bersuku berbeda dengan
calon pasangan dalam nagari dimaksud. Dengan cara demikian, maka secara kultural ia
telah ‘menjadi’ etnik Minangkabau sehingga baik kebutuhan akan prinsip matrilineal dan
adat Minangkabau telah terpenuhi.22
Secara sosial, potensi lokal dapat mengintegrasikan anak kemanakan yang secara
teritorial dan sosial, sebagaimana dalam kasus batas sepadan, telah tersebar ke beberapa
daerah akibat praktik perkawinan eksogami dan/atau merantau. Dalam konteks ini,
apabila warga kaum berada di luar maka mereka akan diundang untuk berpartisipasi
mendukung penyelesaian konflik yang terjadi di tanah kelahirannya.23 Siapa yang
diundang akan diketahui dari runutan sebuah ranji dan besaran jumlah orang yang
tercantum dalam ranji tergantung skala dan intensitas konflik, semakin besar intensitas
konflik semakin besar pula warga kaum suku yang akan dilibatkan.
Demikian pula dalam konteks ekonomi, potensi lokal dapat mempertinggi dan
menjaga tingkat kesejahteraan dengan cara membagi hasil sumber alam secara ‘merata’
sesuai kehendak alam. Antara kaum satu dan yang lain dalam menerima apa yang
diterima dipandang sebagai kehendak alam diyakini sebagai perwujudan Alam Takambang
Jadi Guru. Dengan keyakinan demikian, mereka tidak mengeluh, konflik, apalagi
sengketa.24 Praktik demikian, secara politis, dapat menunjukkan kepada komunitas luar
bahwa warga komunitasnya mampu mempraktikkan bagaimana ideologi komunal
diterapkan secara benar dan dapat mempertemukan berbagai kepentingan berbeda.25
Dalam aspek keamanan pun demikian, potensi lokal dapat menjaga keutuhan
tanah dan sumber alam baik secara fisik maupun non fisik dari pengaruh luar. Dalam
konsep lokal, keamanan tanah tidak diukur dengan selembar kertas yang disebut
sertifikat, tetapi riwayat penggarapan tanah secara turun temurun, pengakuan tokoh-
21 Dalam konteks inilah saya membedakan antara kultur matrilineal dan kultur Minangkabau.
Kultur disebut pertama memiliki karakter universal, sementara yang kedua berkarakter lokal
Minangkabau.
Praktik-praktik matrilineal (unilineal) dalam masyarakat Minangkabau demikian ini saya sebut
sebagai Minangisasi, lihat Saptomo (2002), op cit. Dengan asumsi demikian, maka praktik
patrilineal dalam masyarakat Batak dapat pula disebut sebagai Batakisasi.
22
Di sini, saya memunculkan dua pengertian kaum. Pertama, pengertian formal statis tentang kaum
sebagai satuan sosial sebagaimana biasa diperkenalkan dalam buku-buku Adat lama. Kedua,
pengertian kontekstual dinamisional dimana kaum dipahami sebagai alat pengintegrasian sosial.
23
Konsep-konsep demikian juga pernah dikemukakan oleh Laura and Nader and Todd (1978)
dalam Dispute in Ten Societies.
24
Dalam konteks demikian ini sebenarnya dapat diinterpretasi bahwa telah terjadi pertarungan
antara ideologi komunalisme versus individualisme. Mengenai pertarungan antara komunalisme
versus individualisme, kapitalisme versus sosialisme, lihat Saptomo (2004), DELICTI, Jurnal
Hukum Pidana dan Kriminologi, Volume I No. 3/Agustus, ISSN 1693-4350. Padang: FH Unand,
hlm. 12-20.
25
http://www.huma.or.id
7
Ade Saptomo
tokoh adat, dan kesaksian orang lain menjadi faktor penentu. Satu hal yang menarik
diperhatikan adalah pandangan warga Anduring di bawah ini.
T (70), suku Koto, memiliki sebidang tanah pekarangan yang di atasnya
berdiri sebuah rumah, berikut sawah di bawah Bukit Sipinang. Kekayaan
tanah pekarangan rumah dan sawah tersebut diperoleh melalui warisan dari
mamaknya yang hingga kini belum didaftarkan dan disertifikatkan ke
Kantor Pertanahan. T berpendapat bahwa ‘saya akan mensertifikatkan tanah
kalau tanah itu dibeli dari orang lain, tetapi kalau warisan seperti ini tidak
perlu disertifikatkan’.
Oleh sebab pandangan demikian ini, wajar jika kegiatan pertanahan seperti pendaftaran
tanah dan sertifikasi tanah melalui kantor pertanahan negara setempat kurang mendapat
respon cukup dari masyarakat mengingat pandangan dasar mereka tentang batas dan
pembuktian kepemilikan ada pada pengakuan historis secara turun temurun dari tua-tua
adat. Dengan demikian, diperoleh pandangan hipotetis ada “pertarungan” antara hukum
negara dan hukum lokal.
Tentu, ini berbeda dengan tindakan mengamankan terhadap apa yang telah
diperoleh melalui sertifikasi hak atas tanah. Sertifikasi hak atas tanah demikian dapat
diinterpretasi sebagai upaya seseorang atau sekelompok orang yang mengamankan
terhadap apa telah diperoleh dengan cara-cara yang diatur hukum negara. Ini menjadi
menjadi serius untuk didiskusikan mengingat kecenderungan sebagian orang tidak
mempercayai kepemilikan hak atas suatu tanah tanpa dibuktikan dengan selembar
dokumen tertulis.26 Terutama, tatkala pembangunan nasional menuntut pemanfaatan
tanah-tanah lahan secara nasional untuk tujuan produktif. Sementara itu keberadaan
lahan pertanahan kian tidak sebanding dengan akselerasi tingkat kepadatan penduduk.
Akibatnya, perebutan tanah menjadi tak terelakkan lagi dan dalam proses perebutan itu
pembenaran-pembenaran hak berdasarkan hukum sangat menentukan seperti sertifikat
Hak Guna Bangunan (HGB), sertifikat Hak Milik (HM).
Sertifikat-sertifikat tersebut telah menjadi dokumen penting dalam realitas sosial
sehari-hari yang dapat digunakan untuk kepentingan ekonomi. Satu hal yang menjadi
persoalan kemudian, menurut Wignyosoebroto, adalah hukum manakah yang harus
dijadikan dasar?27 Dalam hal ini diperoleh jawaban responsif bahwa jikalau ada tanah
kaum, suku, dan nagari didaftarkan hingga diperoleh sertifikat tanah menurut hukum
negara, maka secara kultural yang terjadi adalah pemliaran tanah sebgaimana
dikemukakan tua adat setempat.
“Tanah yang disertifikatkan berarti liar karena akan berakibat bahwa hak atas
tanah dimaksud akan berpindah-pindah dan dapat digunakan secara bebas oleh
orang yang namanya tercantum dalam sertikfat tersebut sehingga sulit
dikontrol.”
Sejajar dengan hal itu dalam kehidupan sehari-hari dapat dijumpai, misalnya, kepemilikan
sepeda motor, mobil dengan dokumen Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB); ilmu
pengetahuan dan ketrampilan dibuktikan dengan selembar ijazah.
26
Pertanyaan demikian ini dikutip dari Wignjosoebroto (1996), Tanah Negara: Tanah Adat Yang
Dinasionalisasi (paper tidak terbit). Jakarta: Elsam.
27
http://www.huma.or.id
8
Potensi Lokal Dalam Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Sumber Alam
Artinya, terdapat pandangan bahwa setiap bidang tanah yang disertifikatkan
dianggap sebagai sebagai tanah “liar”28 dengan alasan tanah yang sudah disertifikatkan
akan menjadi bebas bagi orang yang namanya tercantum di atas lembar sertifikat untuk
dijual, disewa, digadai, dijadikan jaminan bank, dan sejenisnya.
Meski demikian, di nagari lain dimungkinkan terjadi dialog hukum sehingga
melahirkan model sertifikasi hak atas tanah dimana nama seorang kepala kaum atau suku
yang tertulis di atas lembaran sertifikat sebagai penanggung jawab komunitasnya yang
terdiri atas sejumlah nama anggota kaum suku dimaksud. Dalam perspektif interaksi
antar hukum, fenomena neo-traditionalism norm demikian ini merupakan kelahiran sebuah
asumsi inkoorporasi,29 yaitu bahwa hukum adat menerima sebagian unsur hukum negara
dan hukum negara menerima sebagian hukum lokal (adat).
Sementara bentuk penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dimaksud
adalah (1) Bauduah, suatu perajahan dimana setiap wilayah di bawah penguasaan suku
baik berupa bentangan punggung yang di atasnya tumbuh pohon produktif maupun
aliran air sungai yang bertaburan ikan selain dibangun batas fisik antar kaum dan juga
batas bathin (internal power). Selain itu, (2) Balega (bergilir), setiap warga kaum dapat
memanfaatkan hasil sumber alam, menggarap tanah dimaksud secara bergilir sesuai
dengan kesepakatan bersama kaum. Perubahan kesepakatan dimaksud dapat dilakukan
jika telah dibangun suatu kesepakatan baru berikutnya. Kemudian, (3) Pagang-GadaiSusuik merupakan kesepakatan baru berikutnya dalam pemanfaatan sumber alam, yang
secara kultural boleh dilakukan dengan cara menyewakan kepada anggota kaum lain
sampai beberapa langkah yang masih sesuku selama jangka waktu tertentu dengan
perjanjian tertentu pula.
Faktor pendorong pelestarian potensi lokal, antara lain, secara kultural-geografis,
wilayah nagari dimaksud berada di dalam lingkaran kantong tidak memiliki jalan tembus
ke daerah lain, sehingga keutuhan wilayah kultural terjaga. Hal ini didukung dengan
kondisi homogenitas penduduk dan jumlah penduduk yang relatif sedikit. Demikian pula
secara kultural merantau menjadikan warga dewasa terdidik cenderung meninggalkan
daerah kelahiran sehingga meski terdidik namun kurang berpengaruh pada percepatan
perubahan. Sementara, penghambat praktik pelestarian potensi lokal dimaksud tampak
pada orientasi pendidikan nasional yang berorientasi pada hukum negara, interaksi
antarahukum menyusul kedatangan etnik lain dalam pembangunan irigrasi menjadikan
interaksi antaretnik dan antartata hukum lokal yang memproduk beragam hukum baru,
dan pergeseran formasi rumah tangga matrilineal ke bilateral sehingga pembangunan
perumahan cenderung mengakomodasi prinsip bilateral, sementara dalam perspektif
lokal atas dasar rumah tangga kultural matrilienal.
Implikasi hukum “Liar” adalah perbedaan persepsi tentang konsep kepastian hukum menurut
hukum negara dan pandangan hukum lokal. Pandangan disebut terakhir mengartikan bahwa
setiap bidang tanah yang disertifikatkan diartikan haknya akan berpindah bebas sesuai kehendak
penuh seseorang yang namanya tertera di atas lembar sertifikat dimaksud sehingga yang terjadi
justru ketidakpastian.
28
29 Bandingkan dengan konsep neo-traditionalism norm. Konsep ini menjelaskan bahwa di satu pihak
hukum yang diterapkan dan digunakan dipandang sebagai hukum negara, namun secara materiil
hukum tersebut terdapat unsur hukum adat, agama maupun hukum lain. Di pihak lain, hukum
yang diterapkan dan digunakan oleh warga masyarakat dipandang sebagai hukum adat, hukum
agama ataupun hukum lain, namun secara materiil terkandung pula unsur hukum negara.
http://www.huma.or.id
9
Ade Saptomo
Kesimpulan dan Saran
Penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam mendasarkan pada potensi lokal
tempatan mengingat secara kultural, potensi lokal mewujudkan prinsip-prinsip
matrilineal; sosial, mengintegrasikan anak kemanakan akibat praktik perkawinan
eksogami; ekonomi, mempertinggi tingkat kesejahteraan lahir batin; politis, menunjukkan
praktik ideologi komunal secara benar; keamanan, menjaga keutuhan baik fisik dan bathin
sosial masyarakat tempatan.
Kekuatan bathin (internal power), pembagian hasil sumber alam secara bergilir
sesuai alam, penyewaan kepada anggota kaum sesuku selama jangka waktu tertentu,
merupakan bentuk penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dimaksud. Kondisi
geografis, homogenitas dan jumlah penduduk, kultur merantau merupakan faktor-faktor
pendorong kurangnya pengaruh pada percepatan perubahan. Sementara, orientasi pada
hukum negara, interaksi antarahukum dan kedatangan etnik lain menjadikan interaksi
antaretnik dan antartata hukum lokal memproduk beragam pandangan hukum baru yang
mendorong pergeseran model legalitas sosial ke legalitas formal.
Sehubungan dengan itu, penentu kebijakan hukum di negeri ini sudah seharusnya
memahami dengan baik kemajemukan hukum masyarakat lokal, segera mendialogkan
antara hukum negara dan lokal serta mengkooperasikan antara kepentingan nasional dan
masyarakat tempatan, sehingga ada kebaharuan yang diterima masyarakat sebagai
produk interaksi hukum lokal dan negara. Pembangunan hukum nasional harus
merupakan produk dialogis vertikal antara hukum lokal dan hukum negara, dan
sekaligus dialogis horisontal antar-hukum lokal.
ZZYY
http://www.huma.or.id
10
Potensi Lokal Dalam Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Sumber Alam
Daftar Pustaka
Benda-Beckmann, C.E von, 1984. The Broken Stairways to Concensus, Village Justice and State
Coutrs in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications.
Evan, Willian M (ed.), 1980. The sociology of Law: A Social-Structural Perspective. London:
The Free Press.
Griffiths, J., 1986. “What is Legal Pluralism” in Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law.
No. 24/1986. Page 1-55.
Hoeker, M.B. (1975). Legal Pluaralism: Introduction to colonial and neo-colonial laws. Oxford:
Clarendon Press.
Koesnoe, Moh., 1997. Hukum Adat: Dalam alam Kemerdekaan Nasional dan Persoalannya
Menghadapi Era Globalisasi. Surabaya: Ubhara Press.
Laura and Nader and Todd (1978). The Disputing Process: Law in Ten Societies. New:
Colombia Press.
Milosovic, Dragen, 1994. A Primer in The Sociology of Law. New York: Harrow and Newton.
Moorse, Stradford W and Gordon R Woodman, 1987. Indigeneous Law and State. Dordrecht
Holland: Foris Publications.
Rahardjo, Satjipto, 2002. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.
Surakarta: UMS Press.
Saptomo, Ade, 1995. Berjenjang Naik Bertangga Turun: Studi Antropologi Hukum tentang
Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Adat Dalam Masyarakat Minangkabau. Tesis 2
.Jakarta: PPs UI.
-----------, 2002. “Jamin”: Konstruksi Sosial Tentang Integrasi Sukubangsa Jawa Dengan
Minangkabau. Disertasi. Yogyakarta: PPs UGM.
-----------, 2002 Kerusuhan Sosial dalam Perspektif Sosiologi Hukum, dalam CLAVIA,
Jurnal Sarana Komunikasi dan Pengembangan Hukum, Volume 4 Nomor 2 Juli.
No. ISSN 1411-349X. Makassar FH Universitas 1945.
----------, 2003 “Jamin”: Proses Integrasi Sukubangsa Jawa dengan Minangkabau, dalam
Arena HUKUM, Majalah Penelitian dan Pengembangan Hukum, Nomor 19,
Tahun 6, November, ISSN 20126-0235. Malang: FH Universitas Brawijaya.
-----------, 2004. “Di balik Perilaku Korupsi” dalam DELICTI, Jurnal Hukum Pidana dan
Kriminologi, Volume I No. 3/Agustus . No. ISSN 1693-4350. Padang: FH.
Unand. Hlm, 12-20.
Slaats dan Karen Portier. 1992. Traditional Decision-Making and Law: Institutions and
Processes in An Indonesian Context. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
http://www.huma.or.id
11
Ade Saptomo
Soesanobeng, Herman. 1997. Interpretasi Saat Ini Tentang Hubungan Antara Hak Ulayat, Hak
Komunal dan Tanah Negara. (paper tidak terbit). Jakarta: BPN-Unika Atmajaya.
Spradley (1972) dalam Culture and Cognition: Rules, Map, and Plans. San Fransisco:
Chandler Publishing Company.
Sumardjono, Maria SW. 1998. UUPA dan Ulayat (paper tidak terbit). Jakarta: BPN.
Suparlan, Parsudi (1999) “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya” dalam Antropologi.
Thn. XXIII. No. 59: 8-9.
Unika Atmajaya (1998), Pola Penguasaan Tanah Masyarakat Tradisional dan Problema
Pendaftaran Tanah. Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Atmajaya
bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional.
Wignjosoebroto, Soetandya. 1996. Tanah Negara: Tanah Adat Yang Dinasionalisasi (paper
tidak terbit). Jakarta: Elsam.
----------, 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam dan
Huma.
http://www.huma.or.id
12
Download