abstrak - Repository Unand

advertisement
Pemetaan Potensi Konflik Sosial dan Skenario Pencegahannya :
Studi Tentang Model Penyelesaian Konflik Berbasiskan Kearifan Lokal
Minangkabau
Drs. Zaiyardam Zubir, M. Hum. dan Hary Efendi SS.
ABSTRAK
Melihat peta konflik sosial di Sumatera Barat, maka ada beberapa
konsentrasi konflik yaitu tanah, batas nagari, bacakak banyak, konflik negara
dengan masyasrakat, konflik masyarakat dengan perkebunan dan penguasaan
sumber daya alam, terutama burung walet, kayu dan batu bara.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah multidimensional
approach. Titik tekan tidak saja pada satu disiplin ilmu saja, tetapi bagaimana
melibatkan komponen masyarakat yang menyimpan konflik dalam riset ini.
Dengan demikian, riset ini berbentuk riset partisipatif (Mansour Fakih. 2000).
Artinya, masyarakat yang diteliti tidak hanya sebagai objek saja, tetapi mereka
juga sekaligus menjadi subjek dalam penelitian. kehadiran masyarakat juga
menjadi amat penting dalam pola riset partisipatif ini karena mereka jauh lebih
terlibat dibandingkan dengan tim penelitii lainnya karena tim peneliti bersifat
fasilitator. Penelitian seperti ini akan mengarah pada penelitian terapan.
Temuan lapangan penelitian diataranya adalah Sengketa antar warga.
Sengketa antar warga ini ada bermacam-macam pula bentuknya. Bisa terjadi
seperti kasus di Sasak dimana masyarakat dari program transmigran terlibat
masalah dengan penduduk setempat yang memiliki surat tanah, bisa juga antara
warga dengan ninik mamaknya. Ini disebabkan karena ninik mamak memiliki
kuasa besar dalam hal harta kaum seperti tanah ulayat. Akibatnya di beberapa
kasus terjadi tindakan sepihak oleh ninik mamak yang tidak melibatkan kaumnya.
Sengketa antara warga dengan perusahaan/investor. Biasanya menyangkut
masalah perkebunan terkait dengan sistem plasma. Konflik yang disebabkan
sumber daya alam terjadi seperti pada kasus penguasaan burung walet di Pasaman
Barat dan Pulau Punjuang. Kasus cakak banyak cukup banyak terjadi di Sumatera
Barat. Penyebabnya bisa hal-hal yang rumit seperti masalah batas tanah. Namun
di beberapa kasus, cakak banyak bisa juga dipicu oleh permasalahanpermasalahan kecil yang tidak perlu diselesaikan secara komunal. Masalah
perkebunan muncul dalam dua bentuk. Pertama, persoalan pembebasan lahan.
Persoalan lahan ini Kedua adalah perosalan buruh. Kadangkala konflik tidak
berhenti pada persoalan yang memicu kemunculannya saja. Misalnya sengketa
tanah, kemudian tidak hanya berhenti pada permasalahan batas-batas tanah.
Ketika identitas orang-orang yang bersengketa ikut dibawa ke dalam
permasalahan yang ada, konflik bisa berubah menjadi konflik etnis.
Untuk resolusi konflik berbasiskan kearifan lokal, yakni adat
Minangkabau, diperlukan kesadaran dan pemahaman adat dari semua pihak
terutama pemangku adat sendiri. Seperti terlihat dalam berbagai kasus terdapat
keterlibatan pemangku adat sendiri dalam konflik yang muncul. Di samping itu,
diperlukan pula peran spesifik pemerintah sebagai kunci agenda kebijakan publik
untuk memfasilitasi resolusi konflik berbasiskan adat ini.
1
Keyword : Konflik, Resolusi Konflik dan Perdamaian Adat Minangkabau
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Adakah Minangkabau memiliki sebuah negeri yang damai atau memang
akar budaya konflik itu menkjalar dalam keseharian masyarakat. Menyimak peta
Minangkabau dalam 10 tahun terakhir ini, sesungguhnya banyak kejadian yang
menggat rasa kemanusiaan terjadi di Minangkabau. Berbagai peristiwa yang
dipertontonkan di media cetak dan elektronik sulit dipahami dengan akal dan jiwa
yang sehat seperti bacakak banyak antar kampung
di Pasaman, Solok,
Sawahlunto, Sijunjung dan Damasraya. Konflik tanah yang tak berkesudahan di
Padang, Pasaman, Solok, Pesisir Selatan, dan Damasraya. Demonstrasi buruh di
Padang, Solok, dan Pasaman. Pencaplokan tanah oleh penguasa dan pengusaha di
Agam, Pasaman dan Damasraya. Penembakan rakyat oleh aparat di Pasaman.
Menyuimak perkataan Prof. Dr. M. Syafii Maarif, mantan pimpinan Pusat
Muhammadiyah dalam skala yang makro, ia katakan bahwa bangsa ini sudah
nyaris sempurna rusaknya (Media Indonesia, 16 Agustus 2006). Sebuah kondisi
yng sangat menyedihkan untuk sebuah bangsa dianggap yang ramah.
Persoalan utama adalah kenapa orang memiliki nurani membunuh yang
tinggi. Pada hal dalam keseharian tidaklah nampak demikian. Bangsa Indonesia
yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang sopan- santun dan ramah tamah
secara tidak terduga berubah menjadi bangsa yang bringas, sadis, penuh dendam
kesumat, dan suka ngamuk.
Kesalahan kecil bisa berakibat perang antar
kampung, antar etnis ataupun antar agama, sehingga nurani waras seperti terkikis
dalam kehidupan masyarakat, mengakibatkan hilangnya rasa aman dalam
kehidupan masyarakat (Suryadi Radjab, 2002).
Dalam setiap konflik yang muncul, dampak langsung bukanlah dirasakan
oleh elite politik. Kelompok yang mengalami kerugian dan menjadi korban justru
masyarakat, sehingga membuat kehidupan yang sudah susah menjadi semakin
parah. Hal yang tidak dapat dihindari adalah semakin memburuknya kondisi
masyarakat. Konsekwensi logis adalah terjadinya penurunan kualitas kehidupan.
2
Secara ekonomis, jelas sekali akan mempengaruhi produktifitas kerja,
karena energi mereka telah dihabiskan untuk konflik. Hal yang tak dapat
dielakkan adalah kemampuan bertahan atau survival masyarakat makin l;ama
makin lemah, sehingga akan dapat menimbulkan rasa frustasi baru. Implikasi
konkrit dari konflik yang terjadi adalah munculnya beraneka ragam masalah
sosial,
ekonomi, agama dan krisis kepercayaan
dalam masyarakat. Dalam
kondisi yang demikian, persoalan kecil saja seperti perkelahian antar pemuda,
seggolan ditempat keramaian ataupun pencurian, bisa berakibat fatal pada jiwa,
harta dan benda. Bahkan lebih parah lagi, bisa menjadi perang antar etnis, agama
atau golongan, yang dapat menelan korban jiwa dan harta (Robert Gur, 1971).
Tidak diragukan lagi bahwa salah satu organisasi yang menjadi pelaku
tindakan kekerasan adalah angkatan bersenjata dan polisi. Langkah untuk
mengurangi tindakan kekerasan ini sudah dilakakukan, terutama ketika akhir Orde
Baru tentara di tarik kembali ke barak. Artinya, urusan sosial, politik, ekonomi
dari ABRI dikurangi, sebagaimana masa Orde Baru, kelompok ini memainkan
peranan penting dengan konsep Dwi fungsi ABRI, sehingga kekerasan yang
ditimbulkan oleh tentara inipun semakin jauh berkurang. Untuk membebaskan
negara dari militer sungguh sangat sulit, karena cengkraman negara di bawah
otoriter militer selama 32 tahun, membuat mereka sulit keluar. Martin Shaw
dalam bukunya Bebas dari Militer menyatakan bahwa tidak akan mudah
menghapus begitu saja peranan militer dari kehidupan masyarakat, karena struktur
sosial yang terbangun selama ini menempatkan mereka pada posisi yang kuat
(Martin Shaw, 2001).
Militer inilah yang menjadi salah satu kekuatan dari luar daerah yang
memiliki peranan penting di daerah konflik. Hal ini dapat dilihat dari kasus DOM
di Aceh, pertikaian Brimob dan Kopasus di Papua, Marinir di Pasuruan dan
Brimob di Poso. Pertanyaan besar adalah bagaimana posisi mereka dalam setiap
konflik dan kekerasan yang terjadi itu. Skema dibawah ini memcoba memberi
gambaran jaringan konflik dan kepentingan berbagai kelompok dalam setiap
terjadinya konflik di Indonesia
3
Skema 1
Jaringan Kekerasan
Antara Daerah Konflik dengan Pusat Kekuasaan
MILITER, POLISI,
PENGUSAHA, DAN PREMAN
Negara
PAPUA
ACEH
POS
O
LSM,
POLITISI.
AKADEMISI
Bagan diatas memperlihat, semua pihak terlibat dalam konflik yang
terjadi. Persoalan ada yang membuat konflik dan ada yang mencegah atau
menyelesaikan konflik merupakan suatu rangkakain dari sebuah persoalan yang
terjadi wilayah konflik itu. Kekuatan yang begitu mengcengkeram dari luar,
terutama negara, pengusaha, militer, polisi, dan preman membuat masyarakat
semakin terdesak ke dalam jurang kekerasan. Sementara itu, politisi dan LSM
juga seringkali memanfaatkan mereka setelah mereka menjadi korban. Tidak
dapat dihindarkan, akhirnya mereka terjebak dalam lingkaran kekerasan.
4
Dalam setiap konflik yang muncul, dampak langsung bukanlah dirasakan
oleh elite politik. Kelompok yang mengalami kerugian dan menjadi korban justru
masyarakat, sehingga membuat kehidupan yang sudah susah menjadi semakin
parah. Hal yang tidak dapat dihindari adalah memburuknya kondisi masyarakat,
sehingga persoalan kecil saja seperti perkelahian antar pemuda, senggolan di
tempat ramai, ataupun pencurian, bisa berakibat fatal pada harta benda dan jiwa.
Bahkan lebih parah lagi bisa menjadi perang antar etnis, agama atau golongan,
yang dapat menelan korban jiwa dan harta.
Untuk itu perlu sebuah model
pencegahan konflik berbasiskan kearifan Lokal Minangkabau, sehingga konflik
kekerasan dapat dicegah.
2. Masalah
Masalah utama dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana
akar
dari
budaya
konflik
sosial
dalam
masyarakat
Minangkabau ?
2. Bagaimana peta konflik sosial di Minangkabau ?
3. Bagaimana
Penyelesaian
konflik
berbasiskan
perdamaian
adat
Minangkabau ?
B. Konsep Konflik dan Konflik Kekerasan
Dilihat dari sejarah umat manusia, konflik dan kekerasan sesungguhnya
bukanlah hal yang baru. Ia ada sejak manusia itu sendiri muncul dipemukaan
bumi. Latief meyebutkan bahwa kekerasan justru dianggap bagian dari budaya
masyarakat. Kajian-kajian historis, semuanya tidak pernah menyangkal bahwa
kekerasan telah ada sejak adanya manausia sehingga kekerasan dapat dikatakan
juga sebagai bagian dari budaya manusia (human Culture) ( A. Latief Wiyata,
2002: 10). Pertanyaan pokok adalah kenapa manusia suka melakukan tindakan
kekerasan itu sendiri. Jika konflik dipahami sebagai hal perwujudan keragaman
dari manusia, lalu kenapa konflik seringkali diikuti dengan tindakan kekerasan
oleh anggota masyarakat.
Jika diamati secara seksama, terdapat perbedaan yang signifikan antara
konflik dengan kekerasan. Kekerasan diakibatkan oleh konflik, namun belum
tentu konflik selalu mengkonflik bisa saja bersifat tidak kekerasan dan bisa
5
bersifat kekerasan. Konflik merupakan salah satu penyebab terjadinya kekerasan.
Kekerasan dapat diartikan sebagai sebuah tindakan secara fisik terhadap orang
lain, harta orang, bagi kelompok yang berkonflik. Namun, tindakan kekerasan
juga bisa terjadi pada orang-orang yang tidak terlibat dalam konflik. Latief,
sebagaimana dikutip dari Abink menyebutkan bahwa konsep kekerasan meliputi
aspek yang sangat luas mulai dari tindakan penghancuran harta benda,
pemerkosaan, pemukulan, perusakan, yang bersifat ritual (ritual Multulation)
penyiksaan sampai pembunuhan (A. Latief Wiyata, 2002: 8)
Secara teoretis, asal muasal setiap konflik dan konflik kekerasan bisa jadi
berasal dari rasa frustrasi yang dialami oleh setiap angota masyarakat. Rasa
kekecewaan yang dialami rakyat kemudian melahirkan ketidaksenangan, yang
puncaknya adalah tindakan kekerasan. Perlawanan terhadap kekerasan yang
dilakukan oleh penguasa, pengusaha, tentara dan polisi serta preman kemudian
melahirkan konflik, kekerasan, kebijakan pengusaha yang merugikan, kebijakan
pemerintah yang tidak bijak, jebakan kemiskinan, keresahan, konflik, mogok,
demonstrasi, dan pemberontakan (Camara, 2000).
Teori tentang konflik kekerasan yang menarik ditulis oleh Gurr. Gurr
melihat bahwa tindakan kekerasan dapat dilihat dari dua bentuk yaitu kekerasan
struktural dan kekerasan nonstruktural. Kekerasan struktural adalah kekerasan
yang dilakukan oleh pengusaha maupun penguasa. Dengan kekuasaan yang
dimilikinya, ia mampu membuat hukum atau aturan yang kemudian merugikan
bahkan menindas rakyat. Kekerasan non-struktural biasanya dilakukan oleh
masyarakat, dan sifatnya perlawanan spontan, sporadis, dan tidak tersistematis.
Protes sosial dalam bentuk apa pun juga memiliki tingkatan. Tingkatan paling
mendasar dalam gerakan sosial adalah gerakan diam, sedangkan tingkatan paling
puncaknya adalah peperangan. Menurut Robert Gurr (1971) adalah :
Turmoil yaitu tindakan kekerasan politis yang tidak terorganisasi dan
partisipasi populer, termasuk serangan politis, kerusuhan, konflik politik dan
pemberontakan kedaerahan yang relatif berlangsung secara spontan.
Conspirasi yaitu kekerasan politis yang terorganisir rapi dan partisipasi
terbatas seperti pembunuhan politis terorganisir, terorisme dalam skala kecil,
kudeta dan pemberontakan.
6
Internal War yaitu kekerasan politis yang terorganisir rapi dan partisipasi
populer dari luar bertujuan untuk menumbangkan rezim tertentu, merombak
negara. Pola yang ditempuh adalah kekerasan yang ekstensif, termasuk
terorisme, perang gerilya dalam skala besar, seperti perang saudara, perang
regional sampai kepada sebuah revolusi.
Skema II
Skema Konflik sosial
Militer/
Preman
Penguasa
Pengusaha
Rakyat
Radikal
Survival
Ideolog/ LSM
Sumber : Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Pinggiran : Studi Tentang
Issue, Strategi dan Dampak Gerakan. Yogyakarta : Insist press,
2002, hal. 37.
Dalam gerakan sosial yang lebih baru, perlawanan tidak selamanya dalam
bentuk konflik klasik antara buruh dengan majikan, yang kaya dengan miskin
ataupun antara pemerintah dengan rakyat. Teori-teori gerakan sosial baru juga
dapat gerakan yang sifatnya tidak memobilisasi massa, akan tetapi bersifat isu
7
seperti lingkungan, gender, HIV dan HAM. Singh merumuskan gerakan sosial
baru itu ke dalam beberapa pola, yaitu (Rayendra Singh, 2001).:
1.
Kebanyakan konsepsi ideologis gerakan sosial baru menaruh asumsi
bahwa masyarakat sipil tengah meluruh.
2.
Secara radikal paradigma gerakan sosial baru mengubah pradigma Marxis
yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah konflik kelas.
3.
Gerakan sosial baru umumnya mengabaikan model organisasi serikat
buruh industri dan model politik kepartaian, kecuali kelompok Hijau
Jerman dan Partai Hijau.
4.
Struktur gerakan sosial baru didefinisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan,
kehendak dan orientasi dan oleh heterogenitas basis sosial mereka
C. Metode penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah multidimensional
approach. Titik tekan tidak saja pada satu disiplin ilmu saja, tetapi bagaimana
melibatkan komponen masyarakat yang menyimpan konflik dalam riset ini.
Dengan demikian, riset ini berbentuk riset partisipatif (Mansour Fakih. 2000).
Artinya, masyarakat yang diteliti tidak hanya sebagai objek saja, tetapi mereka
juga sekaligus menjadi subjek
dalam penelitian. kehadiran masyarakat juga
menjadi amat penting dalam pola riset partisipatif ini karena mereka jauh lebih
terlibat dibandingkan dengan tim penelitii lainnya karena tim peneliti bersifat
fasilitator.
Penelitian seperti ini akan mengarah pada penelitian terapan.
Fenomena yang berkembang juga perlu dilihat dari berbagai disiplin,
seperti dari faktor agama, budaya, sejarah, faktor sosial, ekonomi, politik, dan
hukum. Pendekatan multidimensi akan sangat membantu untuk menjelaskan
berbagai persoalan sosial. Misalnya, pendekatan sosiologis diharapkan dapat
membantu mempertajam analisis tentang interaksi-sosial, konflik sosial, dan
perubahan sosial. Melalui pendekataan ekonomi diharapkan akan mampu
memberikan gambaran kesejahteraan, masalah kemiskinan, atau kemakmuran.
Konsep politik diperlukan untuk menjelaskan hubungan konflik dan kekerasan
yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat menganalisis jaringan kekerasan
yang berasal dari pusat kekuasaan atau kepentingan politik.
8
D. Hasil Penelitian
1. Konflik Sosial di Sumatera Barat : Meningkatnya Pelanggaran
Potensi konflik di Sumatera Barat ternyata cukup besar dan terjadi
peningkatan kasus pelanggaran HAM di Sumatera Barat dalam tiga tahun
terakhir. Kasus pelanggaran HAM yang masuk ke LBH selama empat tahun
terakhir adalah sebagai berikut; tahun 2005 sebanyak 110 kasus, tahun 2006
sebanyak 175 kasus, tahun 2007 sebanyak 420 kasus dan tahun 2008 sebanyak
498 kasus.1 Begitu pula bila dilihat dari laporan tahunan Komnas HAM
Perwakilan Propinsi Sumatera Barat, terlihat sebuah peningkatan jumlah kasus
selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2006 jumlah kasus yang masuk ada
sebanyak 58 kasus. Kemudian tahun 2007 kasus yang ditangani meningkat drastis
hingga 100 kaasus. Dan tahun 2008 lalu terdapat 123 kasus yang dapat
diindikasikan sebagai kasus pelanggaran HAM.2 Kasus yang masuk juga memiliki
variasi, bisa berupa masalah tanah ulayat dan berbagai bentuk kekerasan baik
fisik, psikis maupun kekerasan seksual. Kekerasan dilakukan baik oleh
pemerintah terhadap warga sipil, dari pemerintah terhadap masyarakat,
perusahaan terhadap buruh, sesama warga masyarakat, perang antar kampung,
dari orang tua terhadap anak, mamak (paman) terhadap kemenakan, dan suami
terhadap istri.3
Aktor pelanggaran HAM sendiri juga diklasifikasikan oleh Komnas HAM
dalam analisis kasus. Tahun 2007 lalu, dari 51 kasus yang terkait hak sipil dan
politik, sebanyak 96% atau sejumlah 49 kasus aktornya adalah aparat negara
(state actors) dan hanya dua kasus (4%) sisanya yang dilakukan oleh aktor nonnegara (non-state actors). Sementara untuk kasus yang terkait hak ekonomi sosial
dan budaya, dari 29 kasus pelanggaran HAM, 21 kasus atau 85% dari keseluruhan
melibatkan aktor negara (state actors) dan pada 8 kasus sisanya pelaku
merupakan warga sipil. Kemudian terdapat 14 kasus yang digolongkan ke dalam
1
Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2008.
hlm.15 dikutip dari surat kabar Padang Ekspress, 10 Desember 2008.
2
Ibid.,hlm.5
3
Ibid.,
9
Kelompok Khusus. Kasus yang digolongkan kelompok khusus ini lebih banyak
berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dari 14 kasus, aktor yang
merupakan aparat negara hanya terdapat dalam dua kasus dan 11 kasus lainnya
dilakukan oleh warga sipil dan 1 kasus ditutup.4
Dominasi aktor negara berlanjut di tahun 2008 lalu. Untuk kasus
pelanggaran HAM yang terkait hak sipil dan politik, dari 58 kasus, 42 kasus di
antaranya merupakan pelanggaran HAM oleh aparat negara. Pelaku yang warga
sipil adalah 6 kasus sisanya. Begitu pula pada kasus yang terkait hak ekonomi,
sosial dan budaya, dari 39 kasus yang masuk, 23 kasus masih melibatkan aparat
negara (state actors) dan hanya 16 kasus yang pelakunya bukan aparat negara.
Sementara itu, kasus yang digolongkan sebagai kelompok khusus ada 26 kasus.
Sebanyak 23 kasus dilakukan oleh warga sipil dan 3 lainnya oleh negara.5
Satu hal yang perlu diperhatikan disini adalah tingginya angka
pelanggaran HAM dengan aktor aparat negara dengan rata-rata tiap tahunnya
lebih dari 50% dari keseluruhan kasus yang masuk ke Komnas HAM. Kondisi ini
sangat memprihatinkan karena aparat negara yang selayaknya memberi pelayanan
dan perlindungan bagi masyarakat justru sering berbalik melawan masyarakatnya.
2. Pemetaan Konflik dan Kekerasan di Sumatera Barat
Dalam konteks kekinian, konflik di tengah masyarakat muncul dalam
berbagai bentuk dan banyak di antaranya diiringi dengan tindakan kekerasan.
Berbagai konflik ini terlihat dari banyaknya laporan dan pengaduan ke berbagai
lembaga yang bertugas melayani masyarakat baik itu lembaga pemerintahan
maupun non-pemerintah. Komnas HAM merupakan salah satu lembaga yang
merekam berbagai konflik dalam masyarakat karena masyarakat melakukan
pengaduan pada lembaga ini untuk bantuan hukum.
Bila dilihat dari unsur yang terlibat, konflik di Sumatera Barat bisa
dikategorikan sebagai berikut;
4
Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2007. hlm.
5
Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2008. hlm.
35-36.
11-12
10
1.
Konflik antar-masyarakat (konflik horizontal)
2.
Konflik antara masyarakat dan pemerintah (konflik vertikal)
3.
Konflik antara masyarakat dan perusahaan atau investor (konflik vertikal)
4.
Konflik yang melibatkan Aparat Keamanan (konflik vertikal)
Sementara bila dilihat dari sumbernya, ada beberapa bentuk konflik yang
bisa dikategorikan.
1.
Konflik yang disebabkan masalah ekonomi
Meliputi konflik yang disebabkan masalah sumber daya alam, tanah dan
sumber-sumber ekonomi lainnya. Konflik bisa disebabkan perebutan sumber
ekonomi, kesenjangan sosial, dan tindakan mengambil hak ekonomi orang.
2.
Konflik yang disebabkan masalah sosial dan politik.
Konflik yang menyangkut masalah kepentingan. Artinya terjadi perbenturan
kepentingan antar individu/kelompok dan konflik berkembang dalam upaya
masing-masing berupaya mencapai kepentingannya sendiri.
Konflik antar masyarakat atau bisa digolongkan juga sebagai konflik
horizontal, memiliki angka yang cukup tinggi di Sumatera Barat. Tindakan
kekerasan juga sangat banyak terjadi dalam konflik horizontal, dilihat dari
banyaknya kasus pembunuhan, pembakaran, pemerkosaan dan lain-lainnya.
Belum lagi kejahatan lain seperti perampasan harta benda. Konflik horizontal bisa
terjadi antar individu, bisa juga antar kelompok masyarakat atau antar individu
dengan kelompok. Namun terdapat juga kasus, pada awalnya hanya merupakan
konflik antar individu, namun berkembang menjadi konflik antar masyarakat.
Berikut gambaran konflik horizontal yang berlangsung selama 2006-2008 dalam
rekaman yang dibuat oleh Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat. 6
Beberapa kasus yang terlihat setipe adalah sengketa tanah ulayat.
Beberapa kasus menunjukkan penyelewengan hak tanah oleh perseorangan.
Misalnya apa yang terjadi di Pesisir Selatan pada tahun 2008.Terjadi penipuan
6
Berdasarkan Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat
tahun 2006, 2007 dan 2008. Kasus-kasus yang dijelaskan merupakan kasus yang masuk karena
ada pengaduan dalam tahun tersebut. Artinya ada kasus yang tidak terjadi di tahun itu namun
merupakan kelanjutan dari tahun-tahun sebelumnya atau baru diadukan pada tahun itu. Karena
kasus yang dicantumkan merupakan data dari pengaduan atau permohonan bantuan terhadap
lembaga terkait, tidak tertutup kemungkinan lebih banyak lagi konflik yang terjadi pada tahuntahun tersebut.
11
dengan membuat surat pernyataan palsu tentang peralihan hak atas tanah ulayat
milik kaum Melayu beserta tanamannya senilai 20 Sukek Banieh oleh seorang
yang merupakan Bako melalui surat tertanggal 25 Agustus 2006 dengan diketahui
oleh Mamak Suku Piliang yang terletak di Koto XI Tarusan Pesisir Selatan. Pihak
yang bertandatangan dalam surat itu dianggap bukan orang yang memiliki
wewenang. Masalah tanah ulayat bisa juga bersifat lebih luas dengan melibatkan
anggota masyarakat dalam jumlah yang lebih besar. Misalnya Sengketa batas
nagari antara Muaro Pingai dengan Nagari Saniangbaka telah memicu kekerasan
berupa tindakan pembakaran beberapa kali yang berakibat pada terbakarnya 26
rumah warga Muaro Pingai baik yang permanen maupun semi permanen serta
terbakarnya kandang dan ternak milik masyarakat. Terakhir pada 1 Mei 2008
terjadi pembakaran atas pondok nelayan milik sdr. Agus yang berisi alat
penangkapan ikan di dusun Alam Siang Jorong Guci IV Nagari Muaro Pingai.
Sengketa ini pada awalnya hanya terkait dengan batas nagari, namun berlanjut
pada tindakan kekerasan. Hal ini unik karena kedengarannya seperti sengketa
perbatasan antara negara bertetangga yang ingin mempertahankan kedaulatannya
kemudian mengadakan perang. Menjadi unik karena ini bukan dua negara yang
berbeda melainkan masih pada negara yang sama, bahkan daerah yang sama,
tentu dengan kebudayaan yang sama, hanya berbeda suku, tapi bisa membuat
situasi seperti perang besar antar negara.
Kasus di Ujung Gading Pasaman Barat tahun 2008 lalu bahkan lebih hebat
lagi. Disana dilakukan sebuah proyek pembangunan saluran pengairan Batang
Bayang suplesi Batang Sikerbau di daerah ini dilakukan dengan melalui tanah
milik beberapa orang warga setempat. Karena proyek membuang tanah yang
tidak/belum dimanfaatkan sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar.
Salah seorang warga mengalami kerugian hingga 15juta rupiah dan yang lainnya
kehilangan beberapa petak lahan perumahan. Kebanyakan konflik antara
masyarakat dengan pemerintah terkait erat dengan proses pembangunan yang
sedang dijalankan pemerintah. Hal ini menjadi ironis karena dalam proses
pembangunan yang diperuntukkan bagi masyarakat ini terjadi tindakan yang dapat
merugikan masyarakat sendiri.
12
Terakhir adalah konflik yang melibatkan aparat keamanan. Selain dalam
level masyarakat, konflik yang dilanjutkan dengan kekerasan kebanyakan timbul
karena keterlibatan pihak ini. Misalnya apa yang terjadi di Pasaman Barat tahun
2008 lalu. Terjadi sebuah tindakan kekerasan oleh Satpol PP Kabupaten Pasaman
Barat terhadap masyarakat Sasak. Awal permasalahan adalah permintaan
masyarakat untuk mengganti Wali Nagari Sasak, BPAN Sasak dan Camat Sasak
Ranah Pasisie karena dinilai masyarakat tidak punya ketegasan dalam
menjalankan tugasnya. Kemudian sekitar 2000 orang warga protes di kantor
Bupati Pasaman Barat dan sempat terjadi adu mulut dengan oknum Pol PP.
Akibatnya terjadi bentrokan yang mengakibatkan ibu dan anak-anak yang sedang
tidur di teras Kantor Bupati diinjak-injak serta masyarakat yang tidur di halaman
dipukul dengan pentungan.
3. Cakak Banyak Nagari Muaro Pingai dan Nagari Saniang Bakar
Semenjak tahun 1960-an, peristiwa ini sudah yang kelima kalinya.
Masalah yang memicu pergesekan antar warga ini adalah masalah tapal batas
kedua nagari serta diduga juga terjadi perbedaan pemahaman terhadap agama.7
Sebagai akibat dari bentrokan ini, seorang warga brnama Tamar tewas dan enam
warga lain tertembak. Sekiar dua unit rumah terbakar, kemudian Kantor Cabang
Dinas Kehutanan, rumah dinas, dua unit sepeda motor dan toko juga terbakar.
Warga Muaro Pingai berusaha menerobos personil kepolisian yang mengamankan
perbatasan. Aparat setempat dalam peristiwa ini sempat melakukan penembakan
yang mereka akui dilakukan sesuai prosedur.8
Konflik antar warga ini kemudian tidak berhenti hingga disitu. Terakhir
pada 1 Mei 2008 terjadi pembakaran atas pondok nelayan milik sdr. Agus yang
berisi alat penangkapan ikan di dusun Alam Siang Jorong Guci IV Nagari Muaro
Pingai. Adapun masyarakat Saniangbaka terus mendesak masuk ke Nagari Muaro
Pingai hingga akhirnya mereka menjarah rumah penduduk dan mengambil emas,
uang serta membakar rumah dengan bom molotov, jerigen minyak botol minuman
7
Surat kabar Mimbar Minang, Senin 29 Desember 2003.
8
Surat kabar Singgalang, Sabtu 20 Desember 2009.
13
dan senajta rakitan yang dilemparkan ke salah satu penduduk yakni Rusman.
Masyarakat Muaro Pingai kemudian melarikan diri ke Nagari Paninggahan.
Konflik yang berkembang antar warga ini bisa digolongkan istimewa
karena bertahan cukup lama mengingat ia telah ada sejak tahun 1960-an. Masalah
batas nagari menjadi penyebab konflik ini. Memang, untuk batas-batas nagari di
Minangkabau, juga tidak ada surat-surat perjanjian yang jelas secara hukum
formal. Ketua Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat, Rusmazar
Ruzaur, budaya Minangkabau bukan budaya tulis, melainkan budaya lisan seperti
budaya kaba, tambo, dan lainnya. Kemudian apabila menentukan batasan-batasan
tanah ditentukan dengan letak batang jengkol sana atau pandan kuburan situ
(batasan tanah tidak diukur secara resmi) namun saling diakui oleh Kerapatan
Adat Nagari itu sendiri. Demikianlah
bagaimana kemudian bisa muncul
permasalahan seperti antara kedua nagari di Kabupaten Solok ini.
4. Konflik Tanah Penduduk Lokal dan Transmigran Pasaman Barat
Sebagai transmigran dari program Transloksos Proyek IV/V Padang
Harapan yang ditempatkan di Kenagarian Sasak Kecamatan Sasak Ranah Pasisie
Kabupaten Pasaman Barat sejak tahun 1983, sekelompok masyarakat pendatang
telah mengolah dan mengelola lahan yang disediakan oleh pemerintah. Dibawah
proyek Bantuan dan Penyantunan Gelandangan Pengemis dan Orang Terlantar
(BPGP), tepatnya 40 kepala keluarga ditempatkan di Jorong Pisang Hutan Desa
Padang Harapan(kini Kenagarian Sasak). Sebelumnya masyarakat sekitar lokasi
dinyatakan telah menyerahkan tanah seluas 100ha untuk keperluan ini. Namun
tahun 1987 sebagian peserta transmigrasi ini meninggalkan lokasi sehingga rumah
dan lahan mereka terlantar. Kepala desa dengan perintah dari Kepala Dinas
Sosial Sumatera Barat kemudian mengijinkan lahan ini untuk dimanfaatkan oleh
mereka yang tergolong masyarakat miskin.
Demikianlah bagaimana lahan tersebut dipergunakan untuk menanam
sawit sehingga pada tahun 2004 sawit tersebut mulai menghasilkan uang. Salah
satu warga yang turut mengolah lahan ini adalah keluarga dari Syafrizal. Syafrizal
sendiri menjadi peserta transmigrasi mengikuti ayahnya Syuib tahun 1983.
Sekalipun telah mengelola lahan ini sedemikian rupa, Syafrizal dan segenap
14
warga transloksos lainnya tidak memiliki sertifikat tanah yang sah. Walau
demikian, bila ditinjau dari ketentuan KUHPerdata dan RBg Pasal 548
KUHPerdata bahwa “Tiap-tiap kedudukan yang beritikad baik, memberi kepada
si yang memangkunya hak-hak atas kebendaan yang dikuasai: ayat (1) “....
bahwa ia sampai kebendaan itu dituntut kembali di muka hakim, sementara harus
dianggap sebagai pemilik kebendaan. Ayat(2) “...bahwa ia harus dipertahankan
dalam kedudukannya bilamana diganggu dalam memangkunya, atau dipulihkan
kembali dalam itu bilamana kehilangan kedudukannya”. Ketentuan mereka yang
mengupayakan dan mengelola lahan sedikit banyak memiliki kedudukan yang
cukup kuat di mata hukum, meskipun tanpa sertifikat tanah. Di samping itu, tanah
tersebut sesuai surat Kepala Dinas Sosial Sumbar No. IV-V/6101/UKB/1998
merupakan hak milik warga yang diberi tanggung jawab untuk mengamankan.9
Benar saja pada 15 November 2007 Syafrizal ditangkap dan dibawa ke
POLRES Pasaman Barat untuk disidang dengan tuntutan pemakaian tanah
Suyono tanpa izin. Pada hari yang sama Syafrizal dibawa ke Pengadilan Negeri
Pasaman Barat untuk disidang dan dinyatakan kalah oleh pengadilan. Tidak hanya
itu, pada Desember 2007 terjadi dua kali kasus pencurian kelapa sawit di
perkebunan mereka atas suruhan Suyono. Pencurian pertama dilakukan dengan
mengambil 500 kg kelapa sawit di lahan Syafrizal dan pencurian kedua sebanyak
200 kg. Sikap ini diambil Suyono dengan klaim bahwa lahan itu miliknya secara
sah berdasarkan sertifikat yang ada.10
Pada Juni 2008 warga transmigran ini kembali mendapat gangguan. Kali
ini dari seorang bernama Suharto yang mengaku telah membeli tanah itu dari
pihak Suyono. Suharto menuntut agar warga meninggalkan tanah itu dan kembali
ke kampung halaman karena tanah itu adalah miliknya. Seminggu berselang
setelah peristiwa pengusiran ini terjadi perusakan/penebangan terhadap pohon
kelapa sawit milik Gindo Ambo dan Rosda sebanyak 65 batang. 11
9
Kronologis dan Analisa Hukum oleh PBHI dalam suratnya perihal Permohonan
Penegakan dan Jaminan Perlindungan Hukum dengan nomor 27/BPW/PBHI-SBR/XI/2008
10
Ibid.,
11
Ibid.,
15
Kali ini warga mengadukan masalah ini ke POLRES Pasaman Barat dan
mendapat tanggapan sebagai berikut. Pertama, pengaduan mereka hanya akan
diterima apabila warga memperlihatkan dokumen kepemilikan tanah. Kemudian
saat mereka membawa beberapa dokumen yang di antaranya merupakan
pernyataan akan hak mereka untuk mengelola tanah sebagai bagian proyek BPGP,
dokumen-dokumen yang mereka bawa ditolak oleh pihak kepolisian dan dianggap
tidak sah.
5. Konflik Tanah di Sumatera Barat
Kasus yang terjadi di tahun 2007-2008 seperti digambarkan di atas
merupakan salah satu contoh bentuk konflik dalam masyarakat yang disebabkan
alasan-alasan ekonomi. Lebih khususnya seperti contoh di atas, alasan ekonomi
ini terkait erat dengan sebuah aset yang secara adat memiliki pengakuan tersendiri
oleh adat Minangkabau.
Dari hasil wawancara di tiga lembaga; LBH, PBHI dan Komnas HAM
ditemukan sebuah gambaran umum bahwa di antara berbagai konflik sosial yang
ada, terdapat suatu konflik yang tidak hanya melibatkan konflik horizontal disana,
namun juga konflik vertikal, yakni konflik pertanahan atau sengketa pertanahan.
Artinya, disana tidak hanya terjadi pertentangan antar masyarakat sendiri, namun
juga antara masyarakat dengan pemerintah atau pemilik modal. Konflik yang
disebabkan masalah tanah ini merupakan salah satu konflik dengan angka
tertinggi di Sumatera Barat, dari 310 kasus yang masuk ke Departemen
Kehutanan dan HAM, 245 kasus di antaranya adalah masalah tanah. 12 Bila dilihat
dari tabel contoh kasus yang ada pada bagian sebelumnya, memang terlihat jelas
bahwa baik pada konflik antar masyarakat, masyarakat dengan negara dan pemilik
modal sebagian besar adalah sengketa tanah.13
Pemilikan tanah menurut adat Minangkabau memakai sistem tanah ulayat.
Tanah ulayat artinya tanah bukan milik pribadi, namun milik kaum, suku atau
nagari. Dengan tidak ada kepemilikan tunggal atas tanah ini, tidak ada sertifikat
untuk tanah kaum. Dalam wawancara dengan ketua Komnas HAM perwakilan
12
Kanwil Depkeh dan HAM Provinsi Sumatera Barat tahun 2006
13
Dikutip dari wawancara dengan narasumber Pino Oktavia, LBH Perwakilan Padang.
16
Sumatera Barat Rusmazar Ruzaur, ini disebabkan karena adat Minangkabau
kental dengan tradisi lisan, bukan tulisan dan memang tanah ulayat diwariskan
secara turun menurun melalui garis ibu. Akibatnya, tanah tersebut tidak memiliki
kekuatan hukum yang jelas, tidak ada pihak yang memiliki legitimasi kuat atasnya
bila disorot dari hukum negara. Padahal sebenarnya, tanah adat di Minangkabau
itu “Dijual dak tamakan bali, digadaikan dak tamakan sandro”, artinya tanah adat
tidak bisa dibeli dan tidak bisa disandera. Ungkapan lain untuk tanah adat ini
adalah “Kabau pai kubangan tingga” yang artinya tanah adat boleh saja
digunakan oleh siapapun, namun apabila telah selesai harus ditinggalkan.
Menurut ketua PBHI cabang Sumatera Barat, Fahmi, dalam wawancara
dengannya, ketiadaan sertifikat tanah ulayat menimbulkan banyak masalah karena
berbenturan dengan hukum formal. Ini dikarenakan kondisi tanpa sertifikat ini
tidak sesuai dengan UU PA(Undang-undang Pokok Agraria), tepatnya dalam
pasal 16. Jenis-jenis hak atas tanah dalam undang-undang ini terbagi atas hak
milik, Hak Guna Usaha(HGU), Hak Guna Bangunan(HGB), dan bentuk-bentuk
hal lainnya, semuanya dibuktikan dengan adanya sertifikat. Tidak adanya
sertifikat pada tanah adat ini yang kemudian sering menimbulkan konflik tanah.
Konflik biasanya muncul ketika telah ada pihak lain yang terlibat dalam urusan
tanah ini dan pihak tersebut akan berpijak pada kenyataan tidak adanya sertifikat
yang menyatakan masyarakat merupakan pemilik sah atas tanah itu. Jadi, masalah
dasar pertanahan di Minangkabau adalah lemahnya legitimasi masyarakat adat
Minangkabau sendiri terhadap tanahnya bila ditinjau dari hukum negara.14
Bila dilihat ke rezim yang lalu, yakni rezim otoriter, lemahnya legitimasi
tanah adat disebabkan karena ketakutan masyarakat untuk membantah perintah
dari kekuasaan pusat. Saat itulah banyak tanah ulayat yang dikonversi menjadi
tanah milik negara karena alasan kebutuhan investasi. Tanah ulayat sebenarnya
diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945, begitu pula dalam amandemennya.
Namun pada amandemen UUD terdapat beberapa perubahan pada isinya.
Keberadaan tanah ulayat diakui selama masih ada dan selama tidak bertentangan
dengan perkembangan jaman.
14
Dikutip dari wawancara dengan narasumber Fahmi, ketua PBHI Padang.
17
Sementara itu narasumber Pino Oktavia, aktifis LBH Padang, memaparkan
jenis-jenis konflik yang disebabkan sengketa tanah sebagai berikut. Pertama, pada
masa kolonialisme, tanah ulayat dikuasai oleh penjajah dan pasca kemerdekaan
tanah ini diklaim menjadi milik negara. Kedua, tanah ulayat yang dikuasai oleh
Negara dengan kondisi politik seperti kondisi Negara tahun 1965 yang panas
melalui peristiwa G 30 S/PKI. Ketiga, tanah masyarakat yang dipakai dalam
proses pembangunan Negara untuk fasilitas umum. Misalnya pembangunan jalan,
bandar udara, kantor pemerintahan dan tempat wisata. Keempat, penggunaan
tanah ulayat untuk lahan perkebunan dan lahan bagi penduduk transmigrasi.
Kelima, klaim atas tanah melalui kebijakan Negara seperti HTI dan HPH. Dalam
konflik tanah ini secara umum terjadi pergesekan antara masyarakat dengan eliteelite pemerintah di samping terjadi pergesekan antar masyarakat sendiri.15
Untuk wilayah bahasan penelitian ini, yakni Kabupaten Pasaman Barat,
Kabupaten Solok dan Kabupaten Damasraya, memang cukup banyak terjadi
konflik terkait masalah tanah, terutama di Kabupaten Pasaman Barat dan
Kabupaten Damasraya. Tidak hanya kedua kabupaten ini memiliki banyak
perkebunan tapi juga terdapat berbagai etnis di dalamnya. Sebenarnya dua hal ini;
perkebunan dan etnis yang beraneka ragam juga saling berkaitan satu sama lain.
Keberadaan berbagai etnis ini adalah karena mereka merupakan buruh untuk
perkebunan yang ada atau peserta transmigrasi yang disediakan lahan untuk
berusaha oleh pemerintah.16
Untuk konflik yang tergolong sengketa tanah, masalah yang terjadi
kebanyakan muncul karena dipergunakannya tanah masyarakat untuk perkebunan.
Bagaimana sesungguhnya awal mulanya sehingga perihal penggunaan tanah
perkebunan dapat menjadi konflik? Tentunya saat tanah ulayat dipergunakan
untuk kepentingan komersil telah ada perjanjian yang jelas antara pemerintah,
pengusaha dan masyarakat sendiri. Maka mengapa tetap muncul masalah yang tak
jarang diikuti dengan tindakan kekerasan?
15
Dikutip dari wawancara dengan narasumber Pino Oktavia, aktifis Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Padang.
16
Ibid.,
18
6. Perkebunan dan Konflik antara Masyarakat dengan Pemilik Modal
Sumatera Barat memiliki lahan perkebunan yang cukup luas bisa di
antaranya terletak di Kab. Pasaman (55.174 Ha), Kab. Lima Puluh Kota (14.355
Ha), Kab. (16. 781), Kab. Pesisir Selatan (27.400 Ha), Kab Solok (37.653 Ha) dan
Kab. Padang Pariaman (67.488 Ha), dengan komoditi andalan kelapa sawit, karet,
teh dan kelapa dalam. Pada kebanyakan kasus sengketa perkebunan masyarakat
merasa dirugikan karena mereka tidak mendapatkan hak mereka setelah tanah itu
digunakan untuk usaha dan banyak investor yang menggelar perkebunan disana.
Di Pasaman Barat sekitar tahun 1990-an misalnya, rakyat menyerahkan tanahnya
kepada pemerintah. Ini disebabkan karena agar tanah komunal ini dapat
digunakan untuk perkebunan, harus ada HGU terlebih dahulu. Tidak ada
sertifikat, maka tidak ada HGU. Karena ini masyarakat bersedia menyerahkan
tanahnya kepada pemerintah agar tanah itu dapat digunakan untuk usaha dengan
syarat ada feedback yang diberikan kepada mereka. Dengan diserahkannya tanah
kepada pemerintah, pemerintah akan mengundang investor untuk mengolah tanah
tersebut. Sistem perkebunan yang digunakan untuk dapat menyesuaikan antara
kebutuhan usaha dengan kebutuhan masyarakat adalah sistem plasma. Sistem
plasma disini berarti akan ada bagian inti dan bagian di luar inti, atau disebut juga
plasma. Bagian inti akan menjadi otoritas pemerintah dan di bagian inilah yang
dapat digunakan investor untuk menjalankan usahanya dan sisanya menjadi hak
masyarakat pemilik tanah tersebut. Sayangnya dalam prakteknya, masyarakat
seringkali tidak mendapatkan hak mereka tersebut. Ada pihak-pihak lain yang
mengambil kesempatan dalam perjanjian ini dan mengambil plasma atau bagian
tanah masyarakat. Inilah yang menjadi pemicu konflik antara masyarakat dengan
pihak pengusaha atau perusahaan.
Masalah yang disebabkan sistem plasma dan inti ini dibenarkan adanya
oleh ketua Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat Rusmazar Ruzaur.
Menurutnya, di lapangan masyarakat melihat bahwa banyak ‘janji-janji’ yang
tidak ditepati kepada masyarakat dalam sistem plasma-inti ini. Masalah yang
muncul seperti digambarkan olehnya bisa berupa hal-hal teknis belaka yang
menyebabkan masyarakat tidak mendapat bagiannya. Misalkan dalam perjanjian
plasma-inti masyarakat adat mendapat bagian 40 persen, namun kemudian tidak
19
dapat sama sekali karena ketidak-jelasan siapa ninik mamak dari kaum itu dan
masalah-masalah teknis lain yang sejenisnya.17
Kasus lain yang bisa terjadi adalah ketika tanah sudah ditinggalkan oleh
pihak di luar masyarakat seperti investor selama dua tahun. Menurut aturan yang
ada, apabila demikian, tanah akan kembali kepada masyarakat menjadi tanah
ulayat. Namun di sisi lain tanah tersebut sebelumnya sudah diubah menjadi HGU,
artinya sudah disahkan menjadi milik negara. Di sinilah masalah muncul karena
masyarakat, mengikuti klaim pertama akan mempergunakan kembali tanah
tersebut sementara secara legal formal tanah itu merupakan milik negara.
Kemarahan masyarakat dan penolakan masyarakat kepada pihak
pengusaha beberapa kali sempat memicu tindakan kekerasan dari masyarakat. Di
daerah Pesisir Selatan tahun 2003 lalu misalnya, terjadi pembakaran base camp
PT. Duta Maju Timber (DMT) yang merusak bangunan dan sebuah truk
perusahaan.18 Kejadian-kejadian seperti ini dianggap akan berbahaya bagi
investasi di Indonesia karena gagal menciptakan suasana ‘market friendly’.
Seperti disebutkan dalam UUD yang diamandemen, tanah adat diakui selama
tidak bertentangan dengan perkembangan zaman. Tindakan pembakaran seperti
contoh di atas tentunya tidak menunjukkan suatu bentuk dari mengikuti
perkembangan zaman. Begitu pula dalam UU No. 39 tentang HAM juga diakui
hak-hak adat. Terdapat juga dalam Perda aturan-aturan mengenai tanah ulayat.
Masalah yang menyangkut sistem plasma ini juga cukup sering dialami
masyarakat Pasaman Barat. Misalnya pada bulan September tahun 2000 lalu. Saat
itu masyarakat yakni warga desa Air Gading ingin menagih janji plasma
perusahaan perkebunan PT. Anam Koto. Janji ini sebelumnya telah disepakati
pihak Management PT. Anam Koto secara tertulis dengan masyarakat 19 Juli
2009 lalu di hadapan Bupati Pasaman saat itu Taufik Martha. Namun mereka
malah dihadang satuan Brimob dengan tembakan gas air mata serta peluru karet.
Sebagai akibatnya, delapan orang tertembak, lima orang lainnya mengalami luka
17
Ninik mamak merupakan mereka yang kemudian berwenang menjadi perwakilan
kaumnya saat pembicaraan mengenai tanah ulayat. Meskipun demikian fungsi mereka pada
dasarnya adalah pada proses pewarisan.
18
Dikutip dari surat kabar Singgalang, 2 Januari 2003 hlm.8
20
ringan akibat dihantam dengan benda keras. Masyarakat sendiri sempat
menghancurkan perkantoran dan kantor satpam.19
7.Konflik Antar-Masyarakat dan Peluang Konflik Etnis
Selain antara masyarakat dengan pihak di luar mereka seperti pemerintah
dan perusahaan-perusahaan, konflik juga seringkali terjadi antar masyarakat
sendiri. Penyebabnya lagi-lagi adalah dikarenakan ketidakjelasan kepemilikan
tanah. Tanah ulayat diwariskan secara turun temurun dalam suatu kaum. Masalah
yang ada menunjukkan konflik bisa terjadi karena setelah tanah berpindah tangan
atau telah diturunkan dari mamak ke kemenakan misalnya, terjadi perubahan
persepsi pula soal pemakaian tanah.
Bentuk lain konflik antar masyarakat yang dipicu oleh masalah tanah
adalah konflik antara apa yang disebut ‘pendatang’ dan ‘penduduk asli’. Misalnya
apa yang terjadi di Pegambiran, nagari Parit. Disana terdapat masyarakat dari
suku Mandahiling yang telah sejak dahulu telah menetap. Kalau menurut orang
Parit, mereka bukanlah penduduk asli, melainkan pendatang karena secara etnis
mereka bukan orang Minangkabau. Maka terjadi saling klaim akan kepemilikan
tanah ulayat itu, antara masyarakat Mandahiling dan masyarakat Parit.
Masalah yang tidak jauh berbeda dapat ditemui di Sasak. Di sana terjadi
konflik antara penduduk asli dengan penduduk transmigran. Penduduk yang
merupakan transmigran ini menetap disana karena program transmigrasi
pemerintah dan mendapat hak tanah untuk tempat tinggal dan lahan perkebunan
untuk usaha mereka. Konflik muncul saat ada penduduk setempat yang
mengklaim lahan penduduk transmigran ini sebagai lahannya. Padahal selama ini
warga transmigran ini telah mengolah lahan tersebut. Klaim ini terbukti dari
contoh yang dipaparkan secara kronologis sebelumnya, yakni pada masalah yang
terjadi antara penduduk Kenagarian Parit asli dan transmigran.
8. Pembukaan Perkebunan oleh Koperasi Serba Usaha Gambir Mas
Tengah malam 31 Oktober 2008 lalu sebuah rumah di Jorong Pegambiran
Kenagarian Parit Kecamatan Koto Balingka Kabupaten Pasaman Barat dirusak
19
Surat kabar Padang Ekspres, Senin 11 September 2000.
21
oleh sekelompok orang. Rumah atas nama Darul Aziz tersebut dirusak dengan
dilempari batu. Setelah melakukan perusakan rumah itu kemudian juga dibakar.
Pembakaran yang dilakukan ratusan warga ini tidak hanya menghanguskan rumah
Darul Aziz ketua Koperasi Serba Usaha Gambir Mas, tapi juga sebuah mobil
Toyota Kijang Innova miliknya.
Sebaliknya, menurut laporan warga terjadi tindakan kekerasan terhadap
beberapa anggota masyarakat yang dilakukan oleh pihak Darul Aziz sendiri.20
Berdasarkan laporan warga ini, pada tanggal 31 Oktober 2008 lalu terjadi
tindakan kekerasan terhadap beberapa warga Jorong Pegambiran oleh keluarga
Darul Aziz. Kemudian telah terjadi pula pengrusakan rumah warga milik Marhum
yang juga dilakukan oleh keluarga Darul Aziz. Mengenai tindakan pengrusakan
oleh keluarga Darul Aziz ini terdapat beberapa laporan yang sempat membuat
keadaan menjadi rumit. Salah seorang warga Jorong Pegambiran bernama Asma
mengaku pada malam 31 Oktober 2008 tersebut rumahnya didatangi lima orang
yang masing-masing memegang parang dan melempari rumahnya. Peristiwa
tersebut baru berhenti setelah salah seorang anak Asma memohon agar masalah
diselesaikan secara baik-baik. Akibat dari peristiwa tersebut, di samping
kerusakan rumah pada bagian dinding, atap, fentilasi jendela dan tiang dinding,
salah seorang cucu Asma yang bernama Rustandi jatuh pingsan. Aktor yang
ditenggarai mendalangi pengrusakan ini adalah keluarga Darul Aziz.21
Tampaknya telah terjadi ketegangan antara masyarakat sekitar dengan
keluarga ini. Dari sisi masyarakat mereka menyayangkan sikap Darul Aziz yang
mereka anggap arogan dan terkesan menentang warga sehingga menyebabkan
beberapa anggota masyarakat mengalami shock. Kemudian bahwa tindakan
pengrusakan dan pengecaman yang dilakukan Darul Aziz terhadap warga saat itu
tidak ditangani langsung oleh pihak yang berwenang telah menimbulkan
ketidakpuasan warga. Itulah yang pada akhirnya memancing aksi pelemparan batu
pada rumah Darul Aziz yang juga berakibat pada kebakaran. Salah satu masalah
20
Surat warga tertanggal 8 Desember 2008 mengenai Permohonan Pembatalan Izin
Pemanfaatan Kayu(IPK).
21
Surat Pernyataan PBHI Sumbar Terhadap Proses Penegakan Hukum Dugaan Perusakan
Rumah dan Pengancaman Keluarga Asma oleh Kepolisian POLRES Pasaman Barat.
22
yang dihadapi keluarga Asma terkait terbakarnya rumah Darul Aziz ini adalah
ditangkapnya anggota keluarga Asma, yakni anak-anaknya sebagai tersangka
kasus pembakaran rumah Darul Aziz. Padahal menurut kesaksian anggota
keluarganya, mereka yang dijadikan tersangka ini diungsikan bersama anggota
keluarga lain ke Jorong Roba Julu karena insiden yang terjadi sebelumnya.
Sayangnya kesaksian mereka dibantah oleh anggota keluarga Darul Aziz yakni
Nurlela, istri Darul Aziz, Sutan Takdir Ali Sahbana dan Mora Asshattan yang
merupakan anak Darul Aziz serta Ali Rahman, warga Jorong Pegambiran.
E. Pembahasan
Mengingat tingginya tingkat terjadinya konflik di Sumatera Barat, para
pembuat kebijakan perlu melakukan pembenahan ulang atas hukum yang berlaku.
Selama ini dengan hukum yang ada tindakan kekerasan tetap kerap terjadi dan
bahkan penegak hukum sendiri sering melanggar hukum yang ada melalui aksi
mereka atas nama keamanan dan keadilan. Tingginya tingkat konflik ini juga
tidak bisa dilepaskan dari karakter daerah sendiri. Setiap daerah tentunya
memiliki karakter yang berbeda entah itu pada masyarakatnya, sistem sosial,
ataupun karakter fisiknya.
Untuk penyelesaian konflik lokal seperti ini, sebenarnya bisa melalui
hukum-hukum adat atau dalam bahasa umumnya disebut kearifan lokal. Kearifan
lokal merupakan aturan yang mengikat masyarakat dibuat berdasarkan karakter
daerah itu sendiri. Hukum negara berbeda dengan hukum lokal karena hukum
negara bersifat lebih umum karena tidak mungkin mencakup karakteristik semua
daerah yang ada di Indonesia. Karena itu dibutuhkan aturan yang lebih sesuai
dengan karakter yang ada. Khusus untuk konflik atau sengketa tanah, Pino
Oktavia menyebutkan bahwa hukum negara tidak strategis karena merugikan
masyarakat adat, baik pengakuan terhadap masyarakat ataupun hukum adat.
Hukum adat selalu dikalahkan, misalnya HGU hanya untuk tanah negara.
Sumatera Barat sebagai wilayah adat Minangkabau sejak lama memiliki
kearifan lokal yang bisa mengikat masyarakatnya. Pertama dengan adanya slogan
“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, Minang memiliki pegangan
agama dalam adatnya. Kemudian Minang juga memiliki sistem pewarisan yang
23
khas yakni melalui garis keturunan ibu dari mamak ke kemenakan. Selain itu
terdapat sistem unit nagari (bukan desa) dengan pemimpin ninik mamak. Terdapat
pula Kerapatan Adat Nagari dimana ninik mamak dari beberapa nagari berkumpul
untuk merundingkan suatu permasalahan secara bersama.
Bila melihat dari konteks kekinian, karakter khas Minangkabau ini sedikit
banyak telah terkikis perkembangan jaman. Misalnya saja ketika Indonesia
memberlakukan ekonomi terbuka dengan membuka peluang bagi investor, salah
satu harta pustaka yang diwariskan secara turun temurun yakni tanah mulai
bergeser karena diserahkan kepada pemerintah. Penyerahan ini juga bukan
dilakukan secara cuma-cuma tapi melalui sistem yang disebut sistem plasma
dengan ada pembayaran ‘siliah jariah’. Ninik mamak memiliki peran dan fungsi
penting dalam hubungan dengan pemerintahan.
Untuk menciptakan kebijakan dalam mencegah atau menangani konflik
berbasiskan kearifan lokal di Minangkabau, ada beberapa hal yang perlu menjadi
perhatian. Pertama, bila mempelajari kasus-kasus yang terjadi di masyarakat, ada
banyak kejadian yang pelakunya adalah ninik mamak sendiri. Ruzzaur dalam
wawancara dengannya menjelaskan, “Dulu di lembaga KAN inilah tanah-tanah
dipindah hak-kan menjadi HGU. Walaupun sdh tanda tangan segala macam, tapi
tanah merupakan hak adat dan ada hak waris di dalamnya inilah yang menjadi
masalah karena tetap diakui sebagai tanah suku. Ninik Mamak yang ada di KAN
itu sendiri yang memindahkan hak itu(memindahkan siliah jariah).” Lebih lanjut
ia juga menjelaskan bahwa KAN ini merupakan tempat mufakat jual beli tanah,
disini sering terjadi masalah karena (KAN) kurang berfungsi. Mestinya pihak
kaum ibu masuk di KAN itu sendiri, agar jangan sampai hanya kepentingan pihak
laki-laki yang terlaksana sebab masalah adat ini adalah identitas budaya. Apabila
hilang, tidak ada diwariskan lagi, sistem matrilineal ditakutkan kian menjadi bias.
Kedua, untuk dapat menegakkan hukum adat dalam masyarakat, tentunya perlu
kesadaran tinggi baik pada pemangku adat maupun masyarakat itu sendiri.
Kenyataan yang ada sekarang adat Minangkabau sudah mulai terkikis dan
terlupakan oleh masyarakatnya. Saat ini nilai-nilai adat tidak lagi menjadi
panduan hidup bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau. Kesadaran akan
24
nilai-nilai adat ini dapat dimunculkan kembali dengan pembelajaran mengenai
adat kembali pada masyarakat luas.
Ketiga, karena kesadaran saja tidak akan cukup untuk dapat mewujudkan
kembali masyarakat yang mengenal dan menjalankan adat istiadat, hal ini perlu
ditegaskan kembali dalam hukum formal atau hukum negara. Masyarakat adat
bagaimanapun juga tetap warga negara Indonesia yang terikat oleh hukum. Pino
Oktavia dalam wawancara dengannya di LBH menuturkan bahwa lembaga adat
harus diikuti payung hukum di Sumatera Barat. Penyelesaian konflik secara
umumnya di Sumatera Barat belum terangkum dalam kebijakan yang jelas.
Menurutnya juga, untuk mengatasi ini dapat dilakukan dengan mendirikan satu
lembaga daerah yang khusus menangani konflik sosial dalam masyarakat.
Lembaga ini akan berfungsi apabila bergerak dalam beberapa hal berikut.
Pertama, lembaga ini menyelenggarakan suatu riset khusus untuk mengetahui dan
mengenali akar konflik yang sering terjadi. Setelah memahami akar permasalahan
yang ada, lembaga ini dapat bergerak dengan program yang sesuai. Cara ini bisa
efektif untuk kebijakan mencegah dan menangani konflik yang ada.
G. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Memahami secara seksama kehidupan masyarakat Sumatera Barat -yang
dominan dihuni oleh etnis Minangkabau-, maka ada berbagai gejolak yang terjadi
dalam kehidupannya. Gejolak ini seperti api dalam sekam saja, yang setiap waktu
bisa meledak, tanpa dapat ditahan oleh kekuatan apapun jua. Pada banyak kasus,
hal ini sudah terjadi, sehingga menimbulkan banayak kerugian harta, benda dan
jiwa manusia yang belum tentu berdosa.
Konflik yang paling tinggi, adalah konflik tanah. Untuk konflik tanah,
bentuk-bentuk sengketa tanah adalah sebagai berikut: Sengketa antar warga.
Sengketa antar warga ini ada bermacam-macam pula bentuknya. Bisa terjadi
seperti kasus di Sasak dimana masyarakat dari program transmigran terlibat
masalah dengan penduduk setempat yang memiliki surat tanah, bisa juga antara
warga dengan ninik mamaknya. Ini disebabkan karena ninik mamak memiliki
kuasa besar dalam hal harta kaum seperti tanah ulayat. Akibatnya di beberapa
25
kasus terjadi tindakan sepihak oleh ninik mamak yang tidak melibatkan kaumnya.
Sengketa antara warga dengan perusahaan/investor. Biasanya menyangkut
masalah perkebunan terkait dengan sistem plasma. Pada berbagai kasus sengketa
tanah, konflik dapat menjadi kekerasan karena ada tindakan dari warga sendiri
yang melakukan penyerangan seperti apa yang terjadi di Pasaman Barat. Konflik
yang disebabkan sumber daya alam terjadi seperti pada kasus penguasaan burung
walet di Pasaman Barat dan Pulau Punjuang.
Kasus cakak banyak cukup banyak terjadi di Sumatera Barat.
Penyebabnya bisa hal-hal yang rumit seperti masalah batas tanah. Namun di
beberapa kasus, cakak banyak bisa juga dipicu oleh permasalahan-permasalahan
kecil yang tidak perlu diselesaikan secara komunal. Masalah perkebunan muncul
dalam dua bentuk. Pertama, persoalan pembebasan lahan. Persoalan lahan ini
Kedua adalah perosalan buruh.
Kadangkala konflik tidak berhenti pada persoalan yang memicu
kemunculannya saja. Misalnya sengketa tanah, kemudian tidak hanya berhenti
pada permasalahan batas-batas tanah. Ketika identitas orang-orang yang
bersengketa ikut dibawa ke dalam permasalahan yang ada, konflik bisa berubah
menjadi konflik etnis.
2. Saran-Saran
1. Untuk resolusi konflik berbasiskan kearifan lokal, yakni adat Minangkabau,
diperlukan kesadaran dan pemahaman adat dari semua pihak terutama
pemangku adat sendiri. Seperti terlihat dalam berbagai kasus terdapat
keterlibatan pemangku adat sendiri dalam konflik yang muncul.
2. Di samping itu, diperlukan pula peran spesifik pemerintah. Peran pemerintah
terutama sebagai kunci agenda kebijakan publik untuk memfasilitasi resolusi
konflik berbasiskan adat ini.
3. Yang diperlukan sebenarnya adalah proses mencegah konflik, bukan
penanggulangannya. Sebab, yang terjadi selama ini adalah penanggulangan
setelah terjadi konflik, baru turun tangan pemerintah. Seharusnya, mencegah
sebelum terjasdinya konflik. Sementara itu, pendekatan yang dikembangkan
selama ini dalam pencegahan konflik sesungguhnya tidak ada. Hal yang ada
hanya kalau sudah terjadi konflik, maka pihak berwenang turun tangan.
26
Artinya, keterlibatan pihak luar, biasa setelah meletusnya konflik. Pada hal,
jika ada political will dari pihak pemerintah misalnya, maka konflik tidak
harus terjadi, jika sudah ada upaya pencegahan dan penanggulangan sebelum
jatuh korban. Dari pendekatan yang dikembangkan selama ini, kesan kuat
yang muncul adalah bersifat top down. Ternyata, hal ini hanya dapat
menghentikan konflik yang tengah berlangsung, bukan mencegah terjadinya
konflik. Jadi, mencegah konflik lah yang harus dilakukan dengan jalan
pendekatan kearifan lokal Minangkabau.
PUSTAKA ACUAN
Agus Budi Purnomo, Fransisca Melia N. Setiawati, Indra Jaya Piliang, Otto
Syamsuddin Ishak, 2004. Peta Konflik Jakarta : Warga, Mahasiswa,
Preman, Suku, Negara dan Warga. Jakarta : YAPPIKA.
Agus Surata dan Tuhana Taufiq Andrianto, 2001. Atasi Konflik Etnis.
Yogyakarta : Global Pustaka Utama.
Azyumardi Azra, 2002. Konflik Baru Antar Peradaban : Globalisasi,
Radikalisme dan Pluralitas. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Bell, David, V.J., 1973. Resistence and Revolution. Boston : Hontoun Miflin
Company.
Brinton, Crene, 1984. Anatomi Revolusi. Jakarta : Bharatara.
Budi.Winarno, 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media
Pressindo
Camara, Donm Helder,2000. Spiral Kekerasan. Yogyakarta : Insist Press dan
Pustaka Pelajar
Debray, R., 1969. Strategy for Revolution. New York : Monthly Review Press.
Efrem Silubun dan Pieter Elmas, 2004. Ken Sa Faak : Benih-Benih Perdamaian
dari Kepulauan Kei. Yogyakarta : INSIST PRESS
Emilianus Afandi, 2005. Menggugat Negara: Rasionalitas Demokrasi, HAM,
dan Kebebasan. Jakarta : European Union dan PBHI.
27
Fransisco Wahono, dkk, 2003. Gelombang Perlawanan Rakyat : Kasus-Kasus
Gerakan Sosial di Indonesia. Yogyakarta : INSIST PRESS.
Gurr, Robert,1971. Why Men Rebel Princeton : Princeton University Press.
Hungtinton, Samuel. P dan Nelson, Joan, 1986. Partisipasi Politik di Negara
Berkembang. Jakarta : Rineka Cipta.
Johan Galtung, 2002. “Kekerasan Kultural”, dalam jurnal Wacana, No. IX/2002.
Klinken, Gerry van, 20007. Perang Kota Kecil : Kekerasan Komunal dan
Demokrasi di Indonesia. Jakarta :Obor dan KITLV Jakarta.
Kuntowidjojo, 1993. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2006.
Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2007.
Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2008.
Loekman Sutrisno, 1997. Perilaku Kekerasan Kolektif : Kondisi dan Pemicu.
Yogyakarta : Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan
UGM Yogyakarta.
Mansour Fakih,2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta : Insist Press.
Menuju Gerakan Sosial Baru, jurnal WACANA edidi 11. tahun III 2002
Mills, C.W. 1967. The Power Elite. London : Oxford University Press.
Mirsel, Robert, 2004. Teori Pergerakan Soial. Yogyakarta : INSIST PRESS.
Muhidin M. Dahlan, “Gerakan Nirkekerasan Dibawah Bayang-bayang Utopia”,
dalam Jurnal Wacana No. IX/2002, hal. 123-124.
Noeng Muhadjir, 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Penerbit
Rake Sarasin.
Otto Syamsudin Ishak, 2003. Teungku Bantaqiah. Jakarta : Yappika.
P.M. Laksono (eds), Potret Perjalanan Pengorganisasian Masyarakat.
Yayasan Kehati, 2002.
Pramoedya Ananta Toer, 1996. “Atas Nama Sebuah Kebenaran”, makalah, yang
disampaikan dalam seminar terbatas di Jakarta.
28
R.Yando Zakaria, Abieh Tandeh : Masyarakat Desa Dibawah Rezim Orde
Baru. Jakarta : LSAM, 2000.
Sartono Kartodirodjo, 1983. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta : LP3ES.
________________, 1992. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta : PT Gramedia.
Scott, C. James. 2000. Senjatanya Orang-orang Yang Kalah. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia.
___________, 1995. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta : LP3ES.
Shaw, Martin, 2001. Bebas dari Militer. Yogyakarta : INSIST PRESS.
Singh, Rejendra Social Movements : Old and New. New Delhi : Sage
Publications, 2001.
Suryadi Radjab, 2002. Indonesia : Hilangnya Rasa Aman. Jakarta : The Asia
Foundation dan PBHI.
Syafrudin Bihar, 1996. Peranan Elite Sipil dan Elite Militer dalam Dinamika
Integrasi Nasional di Indonesia : Kasus Etnik Minangkabau di
Daerah Sumatera Barat, 1945-1984,Diseretasi. Universitas Gajah
Mada, Jogyakarta.
Tahmidy Lasahido, dkk, 2003. Suara dari Poso : Kerusuhan, konflik, dan
resolusi. Jakarta : Yappika.
T. Ibrahim Alfian, 1987. Perang di Jalan Allah. Jakarta : Sinar Harapan.
Weber, Max, 1999. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Jakarta : Pustaka
Pramathea.
Whertheim, W.F., 2002. Gelombang Pasang Emansipasi. Jakarta : ISAI.
Zaiyardam Zubir, 2002. Radikalisme Kaum Pinggiran : Studi Tentang Issue,
Strategi dan Dampak gerakan Yogyakarta : Insist Press.
_____________ 2001. “Orang Rantai, Orang Tambang dan Orang Lobang : Studi
Tentang Eksploitasi Buruh Tambang Batu Bara Ombilin, dalam Edy S.
Ekawati dan Susanto Zuchri (Eds), Arung Samudra : Persembahan
Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian. Jakarta : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Budaya UI Jakarta.
_____________, Eka F. Putra, dan Harry Effendi, 2003. Gerakan Mahasiswa
dan Otoritarisme Negara : sketsa Gerakan Mahasiswa Sumatea
Barat 1958-1999. Jakarta : CPI.
29
______________, Lani Fitrianti, Lusi Herlina dan Dwi Bertha, 2003. Partisipasi
Politik Perempuan di Minangkabau.Yogyakarta: Insist Press.
______________, Nurmina, Firman dan Ferawati, 2003, Penanggulangan
Tindakan KeKerasan dan Agresivitas Remaja di Sumatera Barat.
Padang, Balitbangda.
______________ dan Lindayanti, 2004. Dari Ahong Sampai Ahmad, Studi
tentang Politik Kekerasan dan Jebakan kemisiskinan Pada Level
Akar Rumput. Yogyakarta, Insist Press.
______________,2006. Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai : Eksploitasi
buruh Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto. Padang : Unand
Press.
______________, 2006. Menggugat Minangkabau. Padang : Unand Press.
_______________, 2008. Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan
buku Ajar, Hibah dari Dikti, 2008)
(Teks
Zanuddin Maliki, 1999. Penaklukan Negara Atas Rakyat. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Surat kabar
Surat kabar Haluan
Surat kabar Singgalang
Surat kabar Padang Ekspres
Surat kabar Post Metro Padang
30
Download