Pemetaan Potensi Konflik Sosial dan Skenario Pencegahannya : Studi Tentang Model Penyelesaian Konflik Berbasiskan Kearifan Lokal Minangkabau Drs. Zaiyardam Zubir, M. Hum. dan Hary Efendi SS. ABSTRAK Melihat peta konflik sosial di Sumatera Barat, maka ada beberapa konsentrasi konflik yaitu tanah, batas nagari, bacakak banyak, konflik negara dengan masyasrakat, konflik masyarakat dengan perkebunan dan penguasaan sumber daya alam, terutama burung walet, kayu dan batu bara. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah multidimensional approach. Titik tekan tidak saja pada satu disiplin ilmu saja, tetapi bagaimana melibatkan komponen masyarakat yang menyimpan konflik dalam riset ini. Dengan demikian, riset ini berbentuk riset partisipatif (Mansour Fakih. 2000). Artinya, masyarakat yang diteliti tidak hanya sebagai objek saja, tetapi mereka juga sekaligus menjadi subjek dalam penelitian. kehadiran masyarakat juga menjadi amat penting dalam pola riset partisipatif ini karena mereka jauh lebih terlibat dibandingkan dengan tim penelitii lainnya karena tim peneliti bersifat fasilitator. Penelitian seperti ini akan mengarah pada penelitian terapan. Temuan lapangan penelitian diataranya adalah Sengketa antar warga. Sengketa antar warga ini ada bermacam-macam pula bentuknya. Bisa terjadi seperti kasus di Sasak dimana masyarakat dari program transmigran terlibat masalah dengan penduduk setempat yang memiliki surat tanah, bisa juga antara warga dengan ninik mamaknya. Ini disebabkan karena ninik mamak memiliki kuasa besar dalam hal harta kaum seperti tanah ulayat. Akibatnya di beberapa kasus terjadi tindakan sepihak oleh ninik mamak yang tidak melibatkan kaumnya. Sengketa antara warga dengan perusahaan/investor. Biasanya menyangkut masalah perkebunan terkait dengan sistem plasma. Konflik yang disebabkan sumber daya alam terjadi seperti pada kasus penguasaan burung walet di Pasaman Barat dan Pulau Punjuang. Kasus cakak banyak cukup banyak terjadi di Sumatera Barat. Penyebabnya bisa hal-hal yang rumit seperti masalah batas tanah. Namun di beberapa kasus, cakak banyak bisa juga dipicu oleh permasalahanpermasalahan kecil yang tidak perlu diselesaikan secara komunal. Masalah perkebunan muncul dalam dua bentuk. Pertama, persoalan pembebasan lahan. Persoalan lahan ini Kedua adalah perosalan buruh. Kadangkala konflik tidak berhenti pada persoalan yang memicu kemunculannya saja. Misalnya sengketa tanah, kemudian tidak hanya berhenti pada permasalahan batas-batas tanah. Ketika identitas orang-orang yang bersengketa ikut dibawa ke dalam permasalahan yang ada, konflik bisa berubah menjadi konflik etnis. Untuk resolusi konflik berbasiskan kearifan lokal, yakni adat Minangkabau, diperlukan kesadaran dan pemahaman adat dari semua pihak terutama pemangku adat sendiri. Seperti terlihat dalam berbagai kasus terdapat keterlibatan pemangku adat sendiri dalam konflik yang muncul. Di samping itu, diperlukan pula peran spesifik pemerintah sebagai kunci agenda kebijakan publik untuk memfasilitasi resolusi konflik berbasiskan adat ini. 1 Keyword : Konflik, Resolusi Konflik dan Perdamaian Adat Minangkabau A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Adakah Minangkabau memiliki sebuah negeri yang damai atau memang akar budaya konflik itu menkjalar dalam keseharian masyarakat. Menyimak peta Minangkabau dalam 10 tahun terakhir ini, sesungguhnya banyak kejadian yang menggat rasa kemanusiaan terjadi di Minangkabau. Berbagai peristiwa yang dipertontonkan di media cetak dan elektronik sulit dipahami dengan akal dan jiwa yang sehat seperti bacakak banyak antar kampung di Pasaman, Solok, Sawahlunto, Sijunjung dan Damasraya. Konflik tanah yang tak berkesudahan di Padang, Pasaman, Solok, Pesisir Selatan, dan Damasraya. Demonstrasi buruh di Padang, Solok, dan Pasaman. Pencaplokan tanah oleh penguasa dan pengusaha di Agam, Pasaman dan Damasraya. Penembakan rakyat oleh aparat di Pasaman. Menyuimak perkataan Prof. Dr. M. Syafii Maarif, mantan pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam skala yang makro, ia katakan bahwa bangsa ini sudah nyaris sempurna rusaknya (Media Indonesia, 16 Agustus 2006). Sebuah kondisi yng sangat menyedihkan untuk sebuah bangsa dianggap yang ramah. Persoalan utama adalah kenapa orang memiliki nurani membunuh yang tinggi. Pada hal dalam keseharian tidaklah nampak demikian. Bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang sopan- santun dan ramah tamah secara tidak terduga berubah menjadi bangsa yang bringas, sadis, penuh dendam kesumat, dan suka ngamuk. Kesalahan kecil bisa berakibat perang antar kampung, antar etnis ataupun antar agama, sehingga nurani waras seperti terkikis dalam kehidupan masyarakat, mengakibatkan hilangnya rasa aman dalam kehidupan masyarakat (Suryadi Radjab, 2002). Dalam setiap konflik yang muncul, dampak langsung bukanlah dirasakan oleh elite politik. Kelompok yang mengalami kerugian dan menjadi korban justru masyarakat, sehingga membuat kehidupan yang sudah susah menjadi semakin parah. Hal yang tidak dapat dihindari adalah semakin memburuknya kondisi masyarakat. Konsekwensi logis adalah terjadinya penurunan kualitas kehidupan. 2 Secara ekonomis, jelas sekali akan mempengaruhi produktifitas kerja, karena energi mereka telah dihabiskan untuk konflik. Hal yang tak dapat dielakkan adalah kemampuan bertahan atau survival masyarakat makin l;ama makin lemah, sehingga akan dapat menimbulkan rasa frustasi baru. Implikasi konkrit dari konflik yang terjadi adalah munculnya beraneka ragam masalah sosial, ekonomi, agama dan krisis kepercayaan dalam masyarakat. Dalam kondisi yang demikian, persoalan kecil saja seperti perkelahian antar pemuda, seggolan ditempat keramaian ataupun pencurian, bisa berakibat fatal pada jiwa, harta dan benda. Bahkan lebih parah lagi, bisa menjadi perang antar etnis, agama atau golongan, yang dapat menelan korban jiwa dan harta (Robert Gur, 1971). Tidak diragukan lagi bahwa salah satu organisasi yang menjadi pelaku tindakan kekerasan adalah angkatan bersenjata dan polisi. Langkah untuk mengurangi tindakan kekerasan ini sudah dilakakukan, terutama ketika akhir Orde Baru tentara di tarik kembali ke barak. Artinya, urusan sosial, politik, ekonomi dari ABRI dikurangi, sebagaimana masa Orde Baru, kelompok ini memainkan peranan penting dengan konsep Dwi fungsi ABRI, sehingga kekerasan yang ditimbulkan oleh tentara inipun semakin jauh berkurang. Untuk membebaskan negara dari militer sungguh sangat sulit, karena cengkraman negara di bawah otoriter militer selama 32 tahun, membuat mereka sulit keluar. Martin Shaw dalam bukunya Bebas dari Militer menyatakan bahwa tidak akan mudah menghapus begitu saja peranan militer dari kehidupan masyarakat, karena struktur sosial yang terbangun selama ini menempatkan mereka pada posisi yang kuat (Martin Shaw, 2001). Militer inilah yang menjadi salah satu kekuatan dari luar daerah yang memiliki peranan penting di daerah konflik. Hal ini dapat dilihat dari kasus DOM di Aceh, pertikaian Brimob dan Kopasus di Papua, Marinir di Pasuruan dan Brimob di Poso. Pertanyaan besar adalah bagaimana posisi mereka dalam setiap konflik dan kekerasan yang terjadi itu. Skema dibawah ini memcoba memberi gambaran jaringan konflik dan kepentingan berbagai kelompok dalam setiap terjadinya konflik di Indonesia 3 Skema 1 Jaringan Kekerasan Antara Daerah Konflik dengan Pusat Kekuasaan MILITER, POLISI, PENGUSAHA, DAN PREMAN Negara PAPUA ACEH POS O LSM, POLITISI. AKADEMISI Bagan diatas memperlihat, semua pihak terlibat dalam konflik yang terjadi. Persoalan ada yang membuat konflik dan ada yang mencegah atau menyelesaikan konflik merupakan suatu rangkakain dari sebuah persoalan yang terjadi wilayah konflik itu. Kekuatan yang begitu mengcengkeram dari luar, terutama negara, pengusaha, militer, polisi, dan preman membuat masyarakat semakin terdesak ke dalam jurang kekerasan. Sementara itu, politisi dan LSM juga seringkali memanfaatkan mereka setelah mereka menjadi korban. Tidak dapat dihindarkan, akhirnya mereka terjebak dalam lingkaran kekerasan. 4 Dalam setiap konflik yang muncul, dampak langsung bukanlah dirasakan oleh elite politik. Kelompok yang mengalami kerugian dan menjadi korban justru masyarakat, sehingga membuat kehidupan yang sudah susah menjadi semakin parah. Hal yang tidak dapat dihindari adalah memburuknya kondisi masyarakat, sehingga persoalan kecil saja seperti perkelahian antar pemuda, senggolan di tempat ramai, ataupun pencurian, bisa berakibat fatal pada harta benda dan jiwa. Bahkan lebih parah lagi bisa menjadi perang antar etnis, agama atau golongan, yang dapat menelan korban jiwa dan harta. Untuk itu perlu sebuah model pencegahan konflik berbasiskan kearifan Lokal Minangkabau, sehingga konflik kekerasan dapat dicegah. 2. Masalah Masalah utama dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimana akar dari budaya konflik sosial dalam masyarakat Minangkabau ? 2. Bagaimana peta konflik sosial di Minangkabau ? 3. Bagaimana Penyelesaian konflik berbasiskan perdamaian adat Minangkabau ? B. Konsep Konflik dan Konflik Kekerasan Dilihat dari sejarah umat manusia, konflik dan kekerasan sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Ia ada sejak manusia itu sendiri muncul dipemukaan bumi. Latief meyebutkan bahwa kekerasan justru dianggap bagian dari budaya masyarakat. Kajian-kajian historis, semuanya tidak pernah menyangkal bahwa kekerasan telah ada sejak adanya manausia sehingga kekerasan dapat dikatakan juga sebagai bagian dari budaya manusia (human Culture) ( A. Latief Wiyata, 2002: 10). Pertanyaan pokok adalah kenapa manusia suka melakukan tindakan kekerasan itu sendiri. Jika konflik dipahami sebagai hal perwujudan keragaman dari manusia, lalu kenapa konflik seringkali diikuti dengan tindakan kekerasan oleh anggota masyarakat. Jika diamati secara seksama, terdapat perbedaan yang signifikan antara konflik dengan kekerasan. Kekerasan diakibatkan oleh konflik, namun belum tentu konflik selalu mengkonflik bisa saja bersifat tidak kekerasan dan bisa 5 bersifat kekerasan. Konflik merupakan salah satu penyebab terjadinya kekerasan. Kekerasan dapat diartikan sebagai sebuah tindakan secara fisik terhadap orang lain, harta orang, bagi kelompok yang berkonflik. Namun, tindakan kekerasan juga bisa terjadi pada orang-orang yang tidak terlibat dalam konflik. Latief, sebagaimana dikutip dari Abink menyebutkan bahwa konsep kekerasan meliputi aspek yang sangat luas mulai dari tindakan penghancuran harta benda, pemerkosaan, pemukulan, perusakan, yang bersifat ritual (ritual Multulation) penyiksaan sampai pembunuhan (A. Latief Wiyata, 2002: 8) Secara teoretis, asal muasal setiap konflik dan konflik kekerasan bisa jadi berasal dari rasa frustrasi yang dialami oleh setiap angota masyarakat. Rasa kekecewaan yang dialami rakyat kemudian melahirkan ketidaksenangan, yang puncaknya adalah tindakan kekerasan. Perlawanan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh penguasa, pengusaha, tentara dan polisi serta preman kemudian melahirkan konflik, kekerasan, kebijakan pengusaha yang merugikan, kebijakan pemerintah yang tidak bijak, jebakan kemiskinan, keresahan, konflik, mogok, demonstrasi, dan pemberontakan (Camara, 2000). Teori tentang konflik kekerasan yang menarik ditulis oleh Gurr. Gurr melihat bahwa tindakan kekerasan dapat dilihat dari dua bentuk yaitu kekerasan struktural dan kekerasan nonstruktural. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang dilakukan oleh pengusaha maupun penguasa. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, ia mampu membuat hukum atau aturan yang kemudian merugikan bahkan menindas rakyat. Kekerasan non-struktural biasanya dilakukan oleh masyarakat, dan sifatnya perlawanan spontan, sporadis, dan tidak tersistematis. Protes sosial dalam bentuk apa pun juga memiliki tingkatan. Tingkatan paling mendasar dalam gerakan sosial adalah gerakan diam, sedangkan tingkatan paling puncaknya adalah peperangan. Menurut Robert Gurr (1971) adalah : Turmoil yaitu tindakan kekerasan politis yang tidak terorganisasi dan partisipasi populer, termasuk serangan politis, kerusuhan, konflik politik dan pemberontakan kedaerahan yang relatif berlangsung secara spontan. Conspirasi yaitu kekerasan politis yang terorganisir rapi dan partisipasi terbatas seperti pembunuhan politis terorganisir, terorisme dalam skala kecil, kudeta dan pemberontakan. 6 Internal War yaitu kekerasan politis yang terorganisir rapi dan partisipasi populer dari luar bertujuan untuk menumbangkan rezim tertentu, merombak negara. Pola yang ditempuh adalah kekerasan yang ekstensif, termasuk terorisme, perang gerilya dalam skala besar, seperti perang saudara, perang regional sampai kepada sebuah revolusi. Skema II Skema Konflik sosial Militer/ Preman Penguasa Pengusaha Rakyat Radikal Survival Ideolog/ LSM Sumber : Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Pinggiran : Studi Tentang Issue, Strategi dan Dampak Gerakan. Yogyakarta : Insist press, 2002, hal. 37. Dalam gerakan sosial yang lebih baru, perlawanan tidak selamanya dalam bentuk konflik klasik antara buruh dengan majikan, yang kaya dengan miskin ataupun antara pemerintah dengan rakyat. Teori-teori gerakan sosial baru juga dapat gerakan yang sifatnya tidak memobilisasi massa, akan tetapi bersifat isu 7 seperti lingkungan, gender, HIV dan HAM. Singh merumuskan gerakan sosial baru itu ke dalam beberapa pola, yaitu (Rayendra Singh, 2001).: 1. Kebanyakan konsepsi ideologis gerakan sosial baru menaruh asumsi bahwa masyarakat sipil tengah meluruh. 2. Secara radikal paradigma gerakan sosial baru mengubah pradigma Marxis yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah konflik kelas. 3. Gerakan sosial baru umumnya mengabaikan model organisasi serikat buruh industri dan model politik kepartaian, kecuali kelompok Hijau Jerman dan Partai Hijau. 4. Struktur gerakan sosial baru didefinisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak dan orientasi dan oleh heterogenitas basis sosial mereka C. Metode penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah multidimensional approach. Titik tekan tidak saja pada satu disiplin ilmu saja, tetapi bagaimana melibatkan komponen masyarakat yang menyimpan konflik dalam riset ini. Dengan demikian, riset ini berbentuk riset partisipatif (Mansour Fakih. 2000). Artinya, masyarakat yang diteliti tidak hanya sebagai objek saja, tetapi mereka juga sekaligus menjadi subjek dalam penelitian. kehadiran masyarakat juga menjadi amat penting dalam pola riset partisipatif ini karena mereka jauh lebih terlibat dibandingkan dengan tim penelitii lainnya karena tim peneliti bersifat fasilitator. Penelitian seperti ini akan mengarah pada penelitian terapan. Fenomena yang berkembang juga perlu dilihat dari berbagai disiplin, seperti dari faktor agama, budaya, sejarah, faktor sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Pendekatan multidimensi akan sangat membantu untuk menjelaskan berbagai persoalan sosial. Misalnya, pendekatan sosiologis diharapkan dapat membantu mempertajam analisis tentang interaksi-sosial, konflik sosial, dan perubahan sosial. Melalui pendekataan ekonomi diharapkan akan mampu memberikan gambaran kesejahteraan, masalah kemiskinan, atau kemakmuran. Konsep politik diperlukan untuk menjelaskan hubungan konflik dan kekerasan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat menganalisis jaringan kekerasan yang berasal dari pusat kekuasaan atau kepentingan politik. 8 D. Hasil Penelitian 1. Konflik Sosial di Sumatera Barat : Meningkatnya Pelanggaran Potensi konflik di Sumatera Barat ternyata cukup besar dan terjadi peningkatan kasus pelanggaran HAM di Sumatera Barat dalam tiga tahun terakhir. Kasus pelanggaran HAM yang masuk ke LBH selama empat tahun terakhir adalah sebagai berikut; tahun 2005 sebanyak 110 kasus, tahun 2006 sebanyak 175 kasus, tahun 2007 sebanyak 420 kasus dan tahun 2008 sebanyak 498 kasus.1 Begitu pula bila dilihat dari laporan tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat, terlihat sebuah peningkatan jumlah kasus selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2006 jumlah kasus yang masuk ada sebanyak 58 kasus. Kemudian tahun 2007 kasus yang ditangani meningkat drastis hingga 100 kaasus. Dan tahun 2008 lalu terdapat 123 kasus yang dapat diindikasikan sebagai kasus pelanggaran HAM.2 Kasus yang masuk juga memiliki variasi, bisa berupa masalah tanah ulayat dan berbagai bentuk kekerasan baik fisik, psikis maupun kekerasan seksual. Kekerasan dilakukan baik oleh pemerintah terhadap warga sipil, dari pemerintah terhadap masyarakat, perusahaan terhadap buruh, sesama warga masyarakat, perang antar kampung, dari orang tua terhadap anak, mamak (paman) terhadap kemenakan, dan suami terhadap istri.3 Aktor pelanggaran HAM sendiri juga diklasifikasikan oleh Komnas HAM dalam analisis kasus. Tahun 2007 lalu, dari 51 kasus yang terkait hak sipil dan politik, sebanyak 96% atau sejumlah 49 kasus aktornya adalah aparat negara (state actors) dan hanya dua kasus (4%) sisanya yang dilakukan oleh aktor nonnegara (non-state actors). Sementara untuk kasus yang terkait hak ekonomi sosial dan budaya, dari 29 kasus pelanggaran HAM, 21 kasus atau 85% dari keseluruhan melibatkan aktor negara (state actors) dan pada 8 kasus sisanya pelaku merupakan warga sipil. Kemudian terdapat 14 kasus yang digolongkan ke dalam 1 Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2008. hlm.15 dikutip dari surat kabar Padang Ekspress, 10 Desember 2008. 2 Ibid.,hlm.5 3 Ibid., 9 Kelompok Khusus. Kasus yang digolongkan kelompok khusus ini lebih banyak berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dari 14 kasus, aktor yang merupakan aparat negara hanya terdapat dalam dua kasus dan 11 kasus lainnya dilakukan oleh warga sipil dan 1 kasus ditutup.4 Dominasi aktor negara berlanjut di tahun 2008 lalu. Untuk kasus pelanggaran HAM yang terkait hak sipil dan politik, dari 58 kasus, 42 kasus di antaranya merupakan pelanggaran HAM oleh aparat negara. Pelaku yang warga sipil adalah 6 kasus sisanya. Begitu pula pada kasus yang terkait hak ekonomi, sosial dan budaya, dari 39 kasus yang masuk, 23 kasus masih melibatkan aparat negara (state actors) dan hanya 16 kasus yang pelakunya bukan aparat negara. Sementara itu, kasus yang digolongkan sebagai kelompok khusus ada 26 kasus. Sebanyak 23 kasus dilakukan oleh warga sipil dan 3 lainnya oleh negara.5 Satu hal yang perlu diperhatikan disini adalah tingginya angka pelanggaran HAM dengan aktor aparat negara dengan rata-rata tiap tahunnya lebih dari 50% dari keseluruhan kasus yang masuk ke Komnas HAM. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena aparat negara yang selayaknya memberi pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat justru sering berbalik melawan masyarakatnya. 2. Pemetaan Konflik dan Kekerasan di Sumatera Barat Dalam konteks kekinian, konflik di tengah masyarakat muncul dalam berbagai bentuk dan banyak di antaranya diiringi dengan tindakan kekerasan. Berbagai konflik ini terlihat dari banyaknya laporan dan pengaduan ke berbagai lembaga yang bertugas melayani masyarakat baik itu lembaga pemerintahan maupun non-pemerintah. Komnas HAM merupakan salah satu lembaga yang merekam berbagai konflik dalam masyarakat karena masyarakat melakukan pengaduan pada lembaga ini untuk bantuan hukum. Bila dilihat dari unsur yang terlibat, konflik di Sumatera Barat bisa dikategorikan sebagai berikut; 4 Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2007. hlm. 5 Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2008. hlm. 35-36. 11-12 10 1. Konflik antar-masyarakat (konflik horizontal) 2. Konflik antara masyarakat dan pemerintah (konflik vertikal) 3. Konflik antara masyarakat dan perusahaan atau investor (konflik vertikal) 4. Konflik yang melibatkan Aparat Keamanan (konflik vertikal) Sementara bila dilihat dari sumbernya, ada beberapa bentuk konflik yang bisa dikategorikan. 1. Konflik yang disebabkan masalah ekonomi Meliputi konflik yang disebabkan masalah sumber daya alam, tanah dan sumber-sumber ekonomi lainnya. Konflik bisa disebabkan perebutan sumber ekonomi, kesenjangan sosial, dan tindakan mengambil hak ekonomi orang. 2. Konflik yang disebabkan masalah sosial dan politik. Konflik yang menyangkut masalah kepentingan. Artinya terjadi perbenturan kepentingan antar individu/kelompok dan konflik berkembang dalam upaya masing-masing berupaya mencapai kepentingannya sendiri. Konflik antar masyarakat atau bisa digolongkan juga sebagai konflik horizontal, memiliki angka yang cukup tinggi di Sumatera Barat. Tindakan kekerasan juga sangat banyak terjadi dalam konflik horizontal, dilihat dari banyaknya kasus pembunuhan, pembakaran, pemerkosaan dan lain-lainnya. Belum lagi kejahatan lain seperti perampasan harta benda. Konflik horizontal bisa terjadi antar individu, bisa juga antar kelompok masyarakat atau antar individu dengan kelompok. Namun terdapat juga kasus, pada awalnya hanya merupakan konflik antar individu, namun berkembang menjadi konflik antar masyarakat. Berikut gambaran konflik horizontal yang berlangsung selama 2006-2008 dalam rekaman yang dibuat oleh Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat. 6 Beberapa kasus yang terlihat setipe adalah sengketa tanah ulayat. Beberapa kasus menunjukkan penyelewengan hak tanah oleh perseorangan. Misalnya apa yang terjadi di Pesisir Selatan pada tahun 2008.Terjadi penipuan 6 Berdasarkan Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2006, 2007 dan 2008. Kasus-kasus yang dijelaskan merupakan kasus yang masuk karena ada pengaduan dalam tahun tersebut. Artinya ada kasus yang tidak terjadi di tahun itu namun merupakan kelanjutan dari tahun-tahun sebelumnya atau baru diadukan pada tahun itu. Karena kasus yang dicantumkan merupakan data dari pengaduan atau permohonan bantuan terhadap lembaga terkait, tidak tertutup kemungkinan lebih banyak lagi konflik yang terjadi pada tahuntahun tersebut. 11 dengan membuat surat pernyataan palsu tentang peralihan hak atas tanah ulayat milik kaum Melayu beserta tanamannya senilai 20 Sukek Banieh oleh seorang yang merupakan Bako melalui surat tertanggal 25 Agustus 2006 dengan diketahui oleh Mamak Suku Piliang yang terletak di Koto XI Tarusan Pesisir Selatan. Pihak yang bertandatangan dalam surat itu dianggap bukan orang yang memiliki wewenang. Masalah tanah ulayat bisa juga bersifat lebih luas dengan melibatkan anggota masyarakat dalam jumlah yang lebih besar. Misalnya Sengketa batas nagari antara Muaro Pingai dengan Nagari Saniangbaka telah memicu kekerasan berupa tindakan pembakaran beberapa kali yang berakibat pada terbakarnya 26 rumah warga Muaro Pingai baik yang permanen maupun semi permanen serta terbakarnya kandang dan ternak milik masyarakat. Terakhir pada 1 Mei 2008 terjadi pembakaran atas pondok nelayan milik sdr. Agus yang berisi alat penangkapan ikan di dusun Alam Siang Jorong Guci IV Nagari Muaro Pingai. Sengketa ini pada awalnya hanya terkait dengan batas nagari, namun berlanjut pada tindakan kekerasan. Hal ini unik karena kedengarannya seperti sengketa perbatasan antara negara bertetangga yang ingin mempertahankan kedaulatannya kemudian mengadakan perang. Menjadi unik karena ini bukan dua negara yang berbeda melainkan masih pada negara yang sama, bahkan daerah yang sama, tentu dengan kebudayaan yang sama, hanya berbeda suku, tapi bisa membuat situasi seperti perang besar antar negara. Kasus di Ujung Gading Pasaman Barat tahun 2008 lalu bahkan lebih hebat lagi. Disana dilakukan sebuah proyek pembangunan saluran pengairan Batang Bayang suplesi Batang Sikerbau di daerah ini dilakukan dengan melalui tanah milik beberapa orang warga setempat. Karena proyek membuang tanah yang tidak/belum dimanfaatkan sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar. Salah seorang warga mengalami kerugian hingga 15juta rupiah dan yang lainnya kehilangan beberapa petak lahan perumahan. Kebanyakan konflik antara masyarakat dengan pemerintah terkait erat dengan proses pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah. Hal ini menjadi ironis karena dalam proses pembangunan yang diperuntukkan bagi masyarakat ini terjadi tindakan yang dapat merugikan masyarakat sendiri. 12 Terakhir adalah konflik yang melibatkan aparat keamanan. Selain dalam level masyarakat, konflik yang dilanjutkan dengan kekerasan kebanyakan timbul karena keterlibatan pihak ini. Misalnya apa yang terjadi di Pasaman Barat tahun 2008 lalu. Terjadi sebuah tindakan kekerasan oleh Satpol PP Kabupaten Pasaman Barat terhadap masyarakat Sasak. Awal permasalahan adalah permintaan masyarakat untuk mengganti Wali Nagari Sasak, BPAN Sasak dan Camat Sasak Ranah Pasisie karena dinilai masyarakat tidak punya ketegasan dalam menjalankan tugasnya. Kemudian sekitar 2000 orang warga protes di kantor Bupati Pasaman Barat dan sempat terjadi adu mulut dengan oknum Pol PP. Akibatnya terjadi bentrokan yang mengakibatkan ibu dan anak-anak yang sedang tidur di teras Kantor Bupati diinjak-injak serta masyarakat yang tidur di halaman dipukul dengan pentungan. 3. Cakak Banyak Nagari Muaro Pingai dan Nagari Saniang Bakar Semenjak tahun 1960-an, peristiwa ini sudah yang kelima kalinya. Masalah yang memicu pergesekan antar warga ini adalah masalah tapal batas kedua nagari serta diduga juga terjadi perbedaan pemahaman terhadap agama.7 Sebagai akibat dari bentrokan ini, seorang warga brnama Tamar tewas dan enam warga lain tertembak. Sekiar dua unit rumah terbakar, kemudian Kantor Cabang Dinas Kehutanan, rumah dinas, dua unit sepeda motor dan toko juga terbakar. Warga Muaro Pingai berusaha menerobos personil kepolisian yang mengamankan perbatasan. Aparat setempat dalam peristiwa ini sempat melakukan penembakan yang mereka akui dilakukan sesuai prosedur.8 Konflik antar warga ini kemudian tidak berhenti hingga disitu. Terakhir pada 1 Mei 2008 terjadi pembakaran atas pondok nelayan milik sdr. Agus yang berisi alat penangkapan ikan di dusun Alam Siang Jorong Guci IV Nagari Muaro Pingai. Adapun masyarakat Saniangbaka terus mendesak masuk ke Nagari Muaro Pingai hingga akhirnya mereka menjarah rumah penduduk dan mengambil emas, uang serta membakar rumah dengan bom molotov, jerigen minyak botol minuman 7 Surat kabar Mimbar Minang, Senin 29 Desember 2003. 8 Surat kabar Singgalang, Sabtu 20 Desember 2009. 13 dan senajta rakitan yang dilemparkan ke salah satu penduduk yakni Rusman. Masyarakat Muaro Pingai kemudian melarikan diri ke Nagari Paninggahan. Konflik yang berkembang antar warga ini bisa digolongkan istimewa karena bertahan cukup lama mengingat ia telah ada sejak tahun 1960-an. Masalah batas nagari menjadi penyebab konflik ini. Memang, untuk batas-batas nagari di Minangkabau, juga tidak ada surat-surat perjanjian yang jelas secara hukum formal. Ketua Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat, Rusmazar Ruzaur, budaya Minangkabau bukan budaya tulis, melainkan budaya lisan seperti budaya kaba, tambo, dan lainnya. Kemudian apabila menentukan batasan-batasan tanah ditentukan dengan letak batang jengkol sana atau pandan kuburan situ (batasan tanah tidak diukur secara resmi) namun saling diakui oleh Kerapatan Adat Nagari itu sendiri. Demikianlah bagaimana kemudian bisa muncul permasalahan seperti antara kedua nagari di Kabupaten Solok ini. 4. Konflik Tanah Penduduk Lokal dan Transmigran Pasaman Barat Sebagai transmigran dari program Transloksos Proyek IV/V Padang Harapan yang ditempatkan di Kenagarian Sasak Kecamatan Sasak Ranah Pasisie Kabupaten Pasaman Barat sejak tahun 1983, sekelompok masyarakat pendatang telah mengolah dan mengelola lahan yang disediakan oleh pemerintah. Dibawah proyek Bantuan dan Penyantunan Gelandangan Pengemis dan Orang Terlantar (BPGP), tepatnya 40 kepala keluarga ditempatkan di Jorong Pisang Hutan Desa Padang Harapan(kini Kenagarian Sasak). Sebelumnya masyarakat sekitar lokasi dinyatakan telah menyerahkan tanah seluas 100ha untuk keperluan ini. Namun tahun 1987 sebagian peserta transmigrasi ini meninggalkan lokasi sehingga rumah dan lahan mereka terlantar. Kepala desa dengan perintah dari Kepala Dinas Sosial Sumatera Barat kemudian mengijinkan lahan ini untuk dimanfaatkan oleh mereka yang tergolong masyarakat miskin. Demikianlah bagaimana lahan tersebut dipergunakan untuk menanam sawit sehingga pada tahun 2004 sawit tersebut mulai menghasilkan uang. Salah satu warga yang turut mengolah lahan ini adalah keluarga dari Syafrizal. Syafrizal sendiri menjadi peserta transmigrasi mengikuti ayahnya Syuib tahun 1983. Sekalipun telah mengelola lahan ini sedemikian rupa, Syafrizal dan segenap 14 warga transloksos lainnya tidak memiliki sertifikat tanah yang sah. Walau demikian, bila ditinjau dari ketentuan KUHPerdata dan RBg Pasal 548 KUHPerdata bahwa “Tiap-tiap kedudukan yang beritikad baik, memberi kepada si yang memangkunya hak-hak atas kebendaan yang dikuasai: ayat (1) “.... bahwa ia sampai kebendaan itu dituntut kembali di muka hakim, sementara harus dianggap sebagai pemilik kebendaan. Ayat(2) “...bahwa ia harus dipertahankan dalam kedudukannya bilamana diganggu dalam memangkunya, atau dipulihkan kembali dalam itu bilamana kehilangan kedudukannya”. Ketentuan mereka yang mengupayakan dan mengelola lahan sedikit banyak memiliki kedudukan yang cukup kuat di mata hukum, meskipun tanpa sertifikat tanah. Di samping itu, tanah tersebut sesuai surat Kepala Dinas Sosial Sumbar No. IV-V/6101/UKB/1998 merupakan hak milik warga yang diberi tanggung jawab untuk mengamankan.9 Benar saja pada 15 November 2007 Syafrizal ditangkap dan dibawa ke POLRES Pasaman Barat untuk disidang dengan tuntutan pemakaian tanah Suyono tanpa izin. Pada hari yang sama Syafrizal dibawa ke Pengadilan Negeri Pasaman Barat untuk disidang dan dinyatakan kalah oleh pengadilan. Tidak hanya itu, pada Desember 2007 terjadi dua kali kasus pencurian kelapa sawit di perkebunan mereka atas suruhan Suyono. Pencurian pertama dilakukan dengan mengambil 500 kg kelapa sawit di lahan Syafrizal dan pencurian kedua sebanyak 200 kg. Sikap ini diambil Suyono dengan klaim bahwa lahan itu miliknya secara sah berdasarkan sertifikat yang ada.10 Pada Juni 2008 warga transmigran ini kembali mendapat gangguan. Kali ini dari seorang bernama Suharto yang mengaku telah membeli tanah itu dari pihak Suyono. Suharto menuntut agar warga meninggalkan tanah itu dan kembali ke kampung halaman karena tanah itu adalah miliknya. Seminggu berselang setelah peristiwa pengusiran ini terjadi perusakan/penebangan terhadap pohon kelapa sawit milik Gindo Ambo dan Rosda sebanyak 65 batang. 11 9 Kronologis dan Analisa Hukum oleh PBHI dalam suratnya perihal Permohonan Penegakan dan Jaminan Perlindungan Hukum dengan nomor 27/BPW/PBHI-SBR/XI/2008 10 Ibid., 11 Ibid., 15 Kali ini warga mengadukan masalah ini ke POLRES Pasaman Barat dan mendapat tanggapan sebagai berikut. Pertama, pengaduan mereka hanya akan diterima apabila warga memperlihatkan dokumen kepemilikan tanah. Kemudian saat mereka membawa beberapa dokumen yang di antaranya merupakan pernyataan akan hak mereka untuk mengelola tanah sebagai bagian proyek BPGP, dokumen-dokumen yang mereka bawa ditolak oleh pihak kepolisian dan dianggap tidak sah. 5. Konflik Tanah di Sumatera Barat Kasus yang terjadi di tahun 2007-2008 seperti digambarkan di atas merupakan salah satu contoh bentuk konflik dalam masyarakat yang disebabkan alasan-alasan ekonomi. Lebih khususnya seperti contoh di atas, alasan ekonomi ini terkait erat dengan sebuah aset yang secara adat memiliki pengakuan tersendiri oleh adat Minangkabau. Dari hasil wawancara di tiga lembaga; LBH, PBHI dan Komnas HAM ditemukan sebuah gambaran umum bahwa di antara berbagai konflik sosial yang ada, terdapat suatu konflik yang tidak hanya melibatkan konflik horizontal disana, namun juga konflik vertikal, yakni konflik pertanahan atau sengketa pertanahan. Artinya, disana tidak hanya terjadi pertentangan antar masyarakat sendiri, namun juga antara masyarakat dengan pemerintah atau pemilik modal. Konflik yang disebabkan masalah tanah ini merupakan salah satu konflik dengan angka tertinggi di Sumatera Barat, dari 310 kasus yang masuk ke Departemen Kehutanan dan HAM, 245 kasus di antaranya adalah masalah tanah. 12 Bila dilihat dari tabel contoh kasus yang ada pada bagian sebelumnya, memang terlihat jelas bahwa baik pada konflik antar masyarakat, masyarakat dengan negara dan pemilik modal sebagian besar adalah sengketa tanah.13 Pemilikan tanah menurut adat Minangkabau memakai sistem tanah ulayat. Tanah ulayat artinya tanah bukan milik pribadi, namun milik kaum, suku atau nagari. Dengan tidak ada kepemilikan tunggal atas tanah ini, tidak ada sertifikat untuk tanah kaum. Dalam wawancara dengan ketua Komnas HAM perwakilan 12 Kanwil Depkeh dan HAM Provinsi Sumatera Barat tahun 2006 13 Dikutip dari wawancara dengan narasumber Pino Oktavia, LBH Perwakilan Padang. 16 Sumatera Barat Rusmazar Ruzaur, ini disebabkan karena adat Minangkabau kental dengan tradisi lisan, bukan tulisan dan memang tanah ulayat diwariskan secara turun menurun melalui garis ibu. Akibatnya, tanah tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang jelas, tidak ada pihak yang memiliki legitimasi kuat atasnya bila disorot dari hukum negara. Padahal sebenarnya, tanah adat di Minangkabau itu “Dijual dak tamakan bali, digadaikan dak tamakan sandro”, artinya tanah adat tidak bisa dibeli dan tidak bisa disandera. Ungkapan lain untuk tanah adat ini adalah “Kabau pai kubangan tingga” yang artinya tanah adat boleh saja digunakan oleh siapapun, namun apabila telah selesai harus ditinggalkan. Menurut ketua PBHI cabang Sumatera Barat, Fahmi, dalam wawancara dengannya, ketiadaan sertifikat tanah ulayat menimbulkan banyak masalah karena berbenturan dengan hukum formal. Ini dikarenakan kondisi tanpa sertifikat ini tidak sesuai dengan UU PA(Undang-undang Pokok Agraria), tepatnya dalam pasal 16. Jenis-jenis hak atas tanah dalam undang-undang ini terbagi atas hak milik, Hak Guna Usaha(HGU), Hak Guna Bangunan(HGB), dan bentuk-bentuk hal lainnya, semuanya dibuktikan dengan adanya sertifikat. Tidak adanya sertifikat pada tanah adat ini yang kemudian sering menimbulkan konflik tanah. Konflik biasanya muncul ketika telah ada pihak lain yang terlibat dalam urusan tanah ini dan pihak tersebut akan berpijak pada kenyataan tidak adanya sertifikat yang menyatakan masyarakat merupakan pemilik sah atas tanah itu. Jadi, masalah dasar pertanahan di Minangkabau adalah lemahnya legitimasi masyarakat adat Minangkabau sendiri terhadap tanahnya bila ditinjau dari hukum negara.14 Bila dilihat ke rezim yang lalu, yakni rezim otoriter, lemahnya legitimasi tanah adat disebabkan karena ketakutan masyarakat untuk membantah perintah dari kekuasaan pusat. Saat itulah banyak tanah ulayat yang dikonversi menjadi tanah milik negara karena alasan kebutuhan investasi. Tanah ulayat sebenarnya diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945, begitu pula dalam amandemennya. Namun pada amandemen UUD terdapat beberapa perubahan pada isinya. Keberadaan tanah ulayat diakui selama masih ada dan selama tidak bertentangan dengan perkembangan jaman. 14 Dikutip dari wawancara dengan narasumber Fahmi, ketua PBHI Padang. 17 Sementara itu narasumber Pino Oktavia, aktifis LBH Padang, memaparkan jenis-jenis konflik yang disebabkan sengketa tanah sebagai berikut. Pertama, pada masa kolonialisme, tanah ulayat dikuasai oleh penjajah dan pasca kemerdekaan tanah ini diklaim menjadi milik negara. Kedua, tanah ulayat yang dikuasai oleh Negara dengan kondisi politik seperti kondisi Negara tahun 1965 yang panas melalui peristiwa G 30 S/PKI. Ketiga, tanah masyarakat yang dipakai dalam proses pembangunan Negara untuk fasilitas umum. Misalnya pembangunan jalan, bandar udara, kantor pemerintahan dan tempat wisata. Keempat, penggunaan tanah ulayat untuk lahan perkebunan dan lahan bagi penduduk transmigrasi. Kelima, klaim atas tanah melalui kebijakan Negara seperti HTI dan HPH. Dalam konflik tanah ini secara umum terjadi pergesekan antara masyarakat dengan eliteelite pemerintah di samping terjadi pergesekan antar masyarakat sendiri.15 Untuk wilayah bahasan penelitian ini, yakni Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Solok dan Kabupaten Damasraya, memang cukup banyak terjadi konflik terkait masalah tanah, terutama di Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Damasraya. Tidak hanya kedua kabupaten ini memiliki banyak perkebunan tapi juga terdapat berbagai etnis di dalamnya. Sebenarnya dua hal ini; perkebunan dan etnis yang beraneka ragam juga saling berkaitan satu sama lain. Keberadaan berbagai etnis ini adalah karena mereka merupakan buruh untuk perkebunan yang ada atau peserta transmigrasi yang disediakan lahan untuk berusaha oleh pemerintah.16 Untuk konflik yang tergolong sengketa tanah, masalah yang terjadi kebanyakan muncul karena dipergunakannya tanah masyarakat untuk perkebunan. Bagaimana sesungguhnya awal mulanya sehingga perihal penggunaan tanah perkebunan dapat menjadi konflik? Tentunya saat tanah ulayat dipergunakan untuk kepentingan komersil telah ada perjanjian yang jelas antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat sendiri. Maka mengapa tetap muncul masalah yang tak jarang diikuti dengan tindakan kekerasan? 15 Dikutip dari wawancara dengan narasumber Pino Oktavia, aktifis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang. 16 Ibid., 18 6. Perkebunan dan Konflik antara Masyarakat dengan Pemilik Modal Sumatera Barat memiliki lahan perkebunan yang cukup luas bisa di antaranya terletak di Kab. Pasaman (55.174 Ha), Kab. Lima Puluh Kota (14.355 Ha), Kab. (16. 781), Kab. Pesisir Selatan (27.400 Ha), Kab Solok (37.653 Ha) dan Kab. Padang Pariaman (67.488 Ha), dengan komoditi andalan kelapa sawit, karet, teh dan kelapa dalam. Pada kebanyakan kasus sengketa perkebunan masyarakat merasa dirugikan karena mereka tidak mendapatkan hak mereka setelah tanah itu digunakan untuk usaha dan banyak investor yang menggelar perkebunan disana. Di Pasaman Barat sekitar tahun 1990-an misalnya, rakyat menyerahkan tanahnya kepada pemerintah. Ini disebabkan karena agar tanah komunal ini dapat digunakan untuk perkebunan, harus ada HGU terlebih dahulu. Tidak ada sertifikat, maka tidak ada HGU. Karena ini masyarakat bersedia menyerahkan tanahnya kepada pemerintah agar tanah itu dapat digunakan untuk usaha dengan syarat ada feedback yang diberikan kepada mereka. Dengan diserahkannya tanah kepada pemerintah, pemerintah akan mengundang investor untuk mengolah tanah tersebut. Sistem perkebunan yang digunakan untuk dapat menyesuaikan antara kebutuhan usaha dengan kebutuhan masyarakat adalah sistem plasma. Sistem plasma disini berarti akan ada bagian inti dan bagian di luar inti, atau disebut juga plasma. Bagian inti akan menjadi otoritas pemerintah dan di bagian inilah yang dapat digunakan investor untuk menjalankan usahanya dan sisanya menjadi hak masyarakat pemilik tanah tersebut. Sayangnya dalam prakteknya, masyarakat seringkali tidak mendapatkan hak mereka tersebut. Ada pihak-pihak lain yang mengambil kesempatan dalam perjanjian ini dan mengambil plasma atau bagian tanah masyarakat. Inilah yang menjadi pemicu konflik antara masyarakat dengan pihak pengusaha atau perusahaan. Masalah yang disebabkan sistem plasma dan inti ini dibenarkan adanya oleh ketua Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat Rusmazar Ruzaur. Menurutnya, di lapangan masyarakat melihat bahwa banyak ‘janji-janji’ yang tidak ditepati kepada masyarakat dalam sistem plasma-inti ini. Masalah yang muncul seperti digambarkan olehnya bisa berupa hal-hal teknis belaka yang menyebabkan masyarakat tidak mendapat bagiannya. Misalkan dalam perjanjian plasma-inti masyarakat adat mendapat bagian 40 persen, namun kemudian tidak 19 dapat sama sekali karena ketidak-jelasan siapa ninik mamak dari kaum itu dan masalah-masalah teknis lain yang sejenisnya.17 Kasus lain yang bisa terjadi adalah ketika tanah sudah ditinggalkan oleh pihak di luar masyarakat seperti investor selama dua tahun. Menurut aturan yang ada, apabila demikian, tanah akan kembali kepada masyarakat menjadi tanah ulayat. Namun di sisi lain tanah tersebut sebelumnya sudah diubah menjadi HGU, artinya sudah disahkan menjadi milik negara. Di sinilah masalah muncul karena masyarakat, mengikuti klaim pertama akan mempergunakan kembali tanah tersebut sementara secara legal formal tanah itu merupakan milik negara. Kemarahan masyarakat dan penolakan masyarakat kepada pihak pengusaha beberapa kali sempat memicu tindakan kekerasan dari masyarakat. Di daerah Pesisir Selatan tahun 2003 lalu misalnya, terjadi pembakaran base camp PT. Duta Maju Timber (DMT) yang merusak bangunan dan sebuah truk perusahaan.18 Kejadian-kejadian seperti ini dianggap akan berbahaya bagi investasi di Indonesia karena gagal menciptakan suasana ‘market friendly’. Seperti disebutkan dalam UUD yang diamandemen, tanah adat diakui selama tidak bertentangan dengan perkembangan zaman. Tindakan pembakaran seperti contoh di atas tentunya tidak menunjukkan suatu bentuk dari mengikuti perkembangan zaman. Begitu pula dalam UU No. 39 tentang HAM juga diakui hak-hak adat. Terdapat juga dalam Perda aturan-aturan mengenai tanah ulayat. Masalah yang menyangkut sistem plasma ini juga cukup sering dialami masyarakat Pasaman Barat. Misalnya pada bulan September tahun 2000 lalu. Saat itu masyarakat yakni warga desa Air Gading ingin menagih janji plasma perusahaan perkebunan PT. Anam Koto. Janji ini sebelumnya telah disepakati pihak Management PT. Anam Koto secara tertulis dengan masyarakat 19 Juli 2009 lalu di hadapan Bupati Pasaman saat itu Taufik Martha. Namun mereka malah dihadang satuan Brimob dengan tembakan gas air mata serta peluru karet. Sebagai akibatnya, delapan orang tertembak, lima orang lainnya mengalami luka 17 Ninik mamak merupakan mereka yang kemudian berwenang menjadi perwakilan kaumnya saat pembicaraan mengenai tanah ulayat. Meskipun demikian fungsi mereka pada dasarnya adalah pada proses pewarisan. 18 Dikutip dari surat kabar Singgalang, 2 Januari 2003 hlm.8 20 ringan akibat dihantam dengan benda keras. Masyarakat sendiri sempat menghancurkan perkantoran dan kantor satpam.19 7.Konflik Antar-Masyarakat dan Peluang Konflik Etnis Selain antara masyarakat dengan pihak di luar mereka seperti pemerintah dan perusahaan-perusahaan, konflik juga seringkali terjadi antar masyarakat sendiri. Penyebabnya lagi-lagi adalah dikarenakan ketidakjelasan kepemilikan tanah. Tanah ulayat diwariskan secara turun temurun dalam suatu kaum. Masalah yang ada menunjukkan konflik bisa terjadi karena setelah tanah berpindah tangan atau telah diturunkan dari mamak ke kemenakan misalnya, terjadi perubahan persepsi pula soal pemakaian tanah. Bentuk lain konflik antar masyarakat yang dipicu oleh masalah tanah adalah konflik antara apa yang disebut ‘pendatang’ dan ‘penduduk asli’. Misalnya apa yang terjadi di Pegambiran, nagari Parit. Disana terdapat masyarakat dari suku Mandahiling yang telah sejak dahulu telah menetap. Kalau menurut orang Parit, mereka bukanlah penduduk asli, melainkan pendatang karena secara etnis mereka bukan orang Minangkabau. Maka terjadi saling klaim akan kepemilikan tanah ulayat itu, antara masyarakat Mandahiling dan masyarakat Parit. Masalah yang tidak jauh berbeda dapat ditemui di Sasak. Di sana terjadi konflik antara penduduk asli dengan penduduk transmigran. Penduduk yang merupakan transmigran ini menetap disana karena program transmigrasi pemerintah dan mendapat hak tanah untuk tempat tinggal dan lahan perkebunan untuk usaha mereka. Konflik muncul saat ada penduduk setempat yang mengklaim lahan penduduk transmigran ini sebagai lahannya. Padahal selama ini warga transmigran ini telah mengolah lahan tersebut. Klaim ini terbukti dari contoh yang dipaparkan secara kronologis sebelumnya, yakni pada masalah yang terjadi antara penduduk Kenagarian Parit asli dan transmigran. 8. Pembukaan Perkebunan oleh Koperasi Serba Usaha Gambir Mas Tengah malam 31 Oktober 2008 lalu sebuah rumah di Jorong Pegambiran Kenagarian Parit Kecamatan Koto Balingka Kabupaten Pasaman Barat dirusak 19 Surat kabar Padang Ekspres, Senin 11 September 2000. 21 oleh sekelompok orang. Rumah atas nama Darul Aziz tersebut dirusak dengan dilempari batu. Setelah melakukan perusakan rumah itu kemudian juga dibakar. Pembakaran yang dilakukan ratusan warga ini tidak hanya menghanguskan rumah Darul Aziz ketua Koperasi Serba Usaha Gambir Mas, tapi juga sebuah mobil Toyota Kijang Innova miliknya. Sebaliknya, menurut laporan warga terjadi tindakan kekerasan terhadap beberapa anggota masyarakat yang dilakukan oleh pihak Darul Aziz sendiri.20 Berdasarkan laporan warga ini, pada tanggal 31 Oktober 2008 lalu terjadi tindakan kekerasan terhadap beberapa warga Jorong Pegambiran oleh keluarga Darul Aziz. Kemudian telah terjadi pula pengrusakan rumah warga milik Marhum yang juga dilakukan oleh keluarga Darul Aziz. Mengenai tindakan pengrusakan oleh keluarga Darul Aziz ini terdapat beberapa laporan yang sempat membuat keadaan menjadi rumit. Salah seorang warga Jorong Pegambiran bernama Asma mengaku pada malam 31 Oktober 2008 tersebut rumahnya didatangi lima orang yang masing-masing memegang parang dan melempari rumahnya. Peristiwa tersebut baru berhenti setelah salah seorang anak Asma memohon agar masalah diselesaikan secara baik-baik. Akibat dari peristiwa tersebut, di samping kerusakan rumah pada bagian dinding, atap, fentilasi jendela dan tiang dinding, salah seorang cucu Asma yang bernama Rustandi jatuh pingsan. Aktor yang ditenggarai mendalangi pengrusakan ini adalah keluarga Darul Aziz.21 Tampaknya telah terjadi ketegangan antara masyarakat sekitar dengan keluarga ini. Dari sisi masyarakat mereka menyayangkan sikap Darul Aziz yang mereka anggap arogan dan terkesan menentang warga sehingga menyebabkan beberapa anggota masyarakat mengalami shock. Kemudian bahwa tindakan pengrusakan dan pengecaman yang dilakukan Darul Aziz terhadap warga saat itu tidak ditangani langsung oleh pihak yang berwenang telah menimbulkan ketidakpuasan warga. Itulah yang pada akhirnya memancing aksi pelemparan batu pada rumah Darul Aziz yang juga berakibat pada kebakaran. Salah satu masalah 20 Surat warga tertanggal 8 Desember 2008 mengenai Permohonan Pembatalan Izin Pemanfaatan Kayu(IPK). 21 Surat Pernyataan PBHI Sumbar Terhadap Proses Penegakan Hukum Dugaan Perusakan Rumah dan Pengancaman Keluarga Asma oleh Kepolisian POLRES Pasaman Barat. 22 yang dihadapi keluarga Asma terkait terbakarnya rumah Darul Aziz ini adalah ditangkapnya anggota keluarga Asma, yakni anak-anaknya sebagai tersangka kasus pembakaran rumah Darul Aziz. Padahal menurut kesaksian anggota keluarganya, mereka yang dijadikan tersangka ini diungsikan bersama anggota keluarga lain ke Jorong Roba Julu karena insiden yang terjadi sebelumnya. Sayangnya kesaksian mereka dibantah oleh anggota keluarga Darul Aziz yakni Nurlela, istri Darul Aziz, Sutan Takdir Ali Sahbana dan Mora Asshattan yang merupakan anak Darul Aziz serta Ali Rahman, warga Jorong Pegambiran. E. Pembahasan Mengingat tingginya tingkat terjadinya konflik di Sumatera Barat, para pembuat kebijakan perlu melakukan pembenahan ulang atas hukum yang berlaku. Selama ini dengan hukum yang ada tindakan kekerasan tetap kerap terjadi dan bahkan penegak hukum sendiri sering melanggar hukum yang ada melalui aksi mereka atas nama keamanan dan keadilan. Tingginya tingkat konflik ini juga tidak bisa dilepaskan dari karakter daerah sendiri. Setiap daerah tentunya memiliki karakter yang berbeda entah itu pada masyarakatnya, sistem sosial, ataupun karakter fisiknya. Untuk penyelesaian konflik lokal seperti ini, sebenarnya bisa melalui hukum-hukum adat atau dalam bahasa umumnya disebut kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan aturan yang mengikat masyarakat dibuat berdasarkan karakter daerah itu sendiri. Hukum negara berbeda dengan hukum lokal karena hukum negara bersifat lebih umum karena tidak mungkin mencakup karakteristik semua daerah yang ada di Indonesia. Karena itu dibutuhkan aturan yang lebih sesuai dengan karakter yang ada. Khusus untuk konflik atau sengketa tanah, Pino Oktavia menyebutkan bahwa hukum negara tidak strategis karena merugikan masyarakat adat, baik pengakuan terhadap masyarakat ataupun hukum adat. Hukum adat selalu dikalahkan, misalnya HGU hanya untuk tanah negara. Sumatera Barat sebagai wilayah adat Minangkabau sejak lama memiliki kearifan lokal yang bisa mengikat masyarakatnya. Pertama dengan adanya slogan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, Minang memiliki pegangan agama dalam adatnya. Kemudian Minang juga memiliki sistem pewarisan yang 23 khas yakni melalui garis keturunan ibu dari mamak ke kemenakan. Selain itu terdapat sistem unit nagari (bukan desa) dengan pemimpin ninik mamak. Terdapat pula Kerapatan Adat Nagari dimana ninik mamak dari beberapa nagari berkumpul untuk merundingkan suatu permasalahan secara bersama. Bila melihat dari konteks kekinian, karakter khas Minangkabau ini sedikit banyak telah terkikis perkembangan jaman. Misalnya saja ketika Indonesia memberlakukan ekonomi terbuka dengan membuka peluang bagi investor, salah satu harta pustaka yang diwariskan secara turun temurun yakni tanah mulai bergeser karena diserahkan kepada pemerintah. Penyerahan ini juga bukan dilakukan secara cuma-cuma tapi melalui sistem yang disebut sistem plasma dengan ada pembayaran ‘siliah jariah’. Ninik mamak memiliki peran dan fungsi penting dalam hubungan dengan pemerintahan. Untuk menciptakan kebijakan dalam mencegah atau menangani konflik berbasiskan kearifan lokal di Minangkabau, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, bila mempelajari kasus-kasus yang terjadi di masyarakat, ada banyak kejadian yang pelakunya adalah ninik mamak sendiri. Ruzzaur dalam wawancara dengannya menjelaskan, “Dulu di lembaga KAN inilah tanah-tanah dipindah hak-kan menjadi HGU. Walaupun sdh tanda tangan segala macam, tapi tanah merupakan hak adat dan ada hak waris di dalamnya inilah yang menjadi masalah karena tetap diakui sebagai tanah suku. Ninik Mamak yang ada di KAN itu sendiri yang memindahkan hak itu(memindahkan siliah jariah).” Lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa KAN ini merupakan tempat mufakat jual beli tanah, disini sering terjadi masalah karena (KAN) kurang berfungsi. Mestinya pihak kaum ibu masuk di KAN itu sendiri, agar jangan sampai hanya kepentingan pihak laki-laki yang terlaksana sebab masalah adat ini adalah identitas budaya. Apabila hilang, tidak ada diwariskan lagi, sistem matrilineal ditakutkan kian menjadi bias. Kedua, untuk dapat menegakkan hukum adat dalam masyarakat, tentunya perlu kesadaran tinggi baik pada pemangku adat maupun masyarakat itu sendiri. Kenyataan yang ada sekarang adat Minangkabau sudah mulai terkikis dan terlupakan oleh masyarakatnya. Saat ini nilai-nilai adat tidak lagi menjadi panduan hidup bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau. Kesadaran akan 24 nilai-nilai adat ini dapat dimunculkan kembali dengan pembelajaran mengenai adat kembali pada masyarakat luas. Ketiga, karena kesadaran saja tidak akan cukup untuk dapat mewujudkan kembali masyarakat yang mengenal dan menjalankan adat istiadat, hal ini perlu ditegaskan kembali dalam hukum formal atau hukum negara. Masyarakat adat bagaimanapun juga tetap warga negara Indonesia yang terikat oleh hukum. Pino Oktavia dalam wawancara dengannya di LBH menuturkan bahwa lembaga adat harus diikuti payung hukum di Sumatera Barat. Penyelesaian konflik secara umumnya di Sumatera Barat belum terangkum dalam kebijakan yang jelas. Menurutnya juga, untuk mengatasi ini dapat dilakukan dengan mendirikan satu lembaga daerah yang khusus menangani konflik sosial dalam masyarakat. Lembaga ini akan berfungsi apabila bergerak dalam beberapa hal berikut. Pertama, lembaga ini menyelenggarakan suatu riset khusus untuk mengetahui dan mengenali akar konflik yang sering terjadi. Setelah memahami akar permasalahan yang ada, lembaga ini dapat bergerak dengan program yang sesuai. Cara ini bisa efektif untuk kebijakan mencegah dan menangani konflik yang ada. G. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Memahami secara seksama kehidupan masyarakat Sumatera Barat -yang dominan dihuni oleh etnis Minangkabau-, maka ada berbagai gejolak yang terjadi dalam kehidupannya. Gejolak ini seperti api dalam sekam saja, yang setiap waktu bisa meledak, tanpa dapat ditahan oleh kekuatan apapun jua. Pada banyak kasus, hal ini sudah terjadi, sehingga menimbulkan banayak kerugian harta, benda dan jiwa manusia yang belum tentu berdosa. Konflik yang paling tinggi, adalah konflik tanah. Untuk konflik tanah, bentuk-bentuk sengketa tanah adalah sebagai berikut: Sengketa antar warga. Sengketa antar warga ini ada bermacam-macam pula bentuknya. Bisa terjadi seperti kasus di Sasak dimana masyarakat dari program transmigran terlibat masalah dengan penduduk setempat yang memiliki surat tanah, bisa juga antara warga dengan ninik mamaknya. Ini disebabkan karena ninik mamak memiliki kuasa besar dalam hal harta kaum seperti tanah ulayat. Akibatnya di beberapa 25 kasus terjadi tindakan sepihak oleh ninik mamak yang tidak melibatkan kaumnya. Sengketa antara warga dengan perusahaan/investor. Biasanya menyangkut masalah perkebunan terkait dengan sistem plasma. Pada berbagai kasus sengketa tanah, konflik dapat menjadi kekerasan karena ada tindakan dari warga sendiri yang melakukan penyerangan seperti apa yang terjadi di Pasaman Barat. Konflik yang disebabkan sumber daya alam terjadi seperti pada kasus penguasaan burung walet di Pasaman Barat dan Pulau Punjuang. Kasus cakak banyak cukup banyak terjadi di Sumatera Barat. Penyebabnya bisa hal-hal yang rumit seperti masalah batas tanah. Namun di beberapa kasus, cakak banyak bisa juga dipicu oleh permasalahan-permasalahan kecil yang tidak perlu diselesaikan secara komunal. Masalah perkebunan muncul dalam dua bentuk. Pertama, persoalan pembebasan lahan. Persoalan lahan ini Kedua adalah perosalan buruh. Kadangkala konflik tidak berhenti pada persoalan yang memicu kemunculannya saja. Misalnya sengketa tanah, kemudian tidak hanya berhenti pada permasalahan batas-batas tanah. Ketika identitas orang-orang yang bersengketa ikut dibawa ke dalam permasalahan yang ada, konflik bisa berubah menjadi konflik etnis. 2. Saran-Saran 1. Untuk resolusi konflik berbasiskan kearifan lokal, yakni adat Minangkabau, diperlukan kesadaran dan pemahaman adat dari semua pihak terutama pemangku adat sendiri. Seperti terlihat dalam berbagai kasus terdapat keterlibatan pemangku adat sendiri dalam konflik yang muncul. 2. Di samping itu, diperlukan pula peran spesifik pemerintah. Peran pemerintah terutama sebagai kunci agenda kebijakan publik untuk memfasilitasi resolusi konflik berbasiskan adat ini. 3. Yang diperlukan sebenarnya adalah proses mencegah konflik, bukan penanggulangannya. Sebab, yang terjadi selama ini adalah penanggulangan setelah terjadi konflik, baru turun tangan pemerintah. Seharusnya, mencegah sebelum terjasdinya konflik. Sementara itu, pendekatan yang dikembangkan selama ini dalam pencegahan konflik sesungguhnya tidak ada. Hal yang ada hanya kalau sudah terjadi konflik, maka pihak berwenang turun tangan. 26 Artinya, keterlibatan pihak luar, biasa setelah meletusnya konflik. Pada hal, jika ada political will dari pihak pemerintah misalnya, maka konflik tidak harus terjadi, jika sudah ada upaya pencegahan dan penanggulangan sebelum jatuh korban. Dari pendekatan yang dikembangkan selama ini, kesan kuat yang muncul adalah bersifat top down. Ternyata, hal ini hanya dapat menghentikan konflik yang tengah berlangsung, bukan mencegah terjadinya konflik. Jadi, mencegah konflik lah yang harus dilakukan dengan jalan pendekatan kearifan lokal Minangkabau. PUSTAKA ACUAN Agus Budi Purnomo, Fransisca Melia N. Setiawati, Indra Jaya Piliang, Otto Syamsuddin Ishak, 2004. Peta Konflik Jakarta : Warga, Mahasiswa, Preman, Suku, Negara dan Warga. Jakarta : YAPPIKA. Agus Surata dan Tuhana Taufiq Andrianto, 2001. Atasi Konflik Etnis. Yogyakarta : Global Pustaka Utama. Azyumardi Azra, 2002. Konflik Baru Antar Peradaban : Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Bell, David, V.J., 1973. Resistence and Revolution. Boston : Hontoun Miflin Company. Brinton, Crene, 1984. Anatomi Revolusi. Jakarta : Bharatara. Budi.Winarno, 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo Camara, Donm Helder,2000. Spiral Kekerasan. Yogyakarta : Insist Press dan Pustaka Pelajar Debray, R., 1969. Strategy for Revolution. New York : Monthly Review Press. Efrem Silubun dan Pieter Elmas, 2004. Ken Sa Faak : Benih-Benih Perdamaian dari Kepulauan Kei. Yogyakarta : INSIST PRESS Emilianus Afandi, 2005. Menggugat Negara: Rasionalitas Demokrasi, HAM, dan Kebebasan. Jakarta : European Union dan PBHI. 27 Fransisco Wahono, dkk, 2003. Gelombang Perlawanan Rakyat : Kasus-Kasus Gerakan Sosial di Indonesia. Yogyakarta : INSIST PRESS. Gurr, Robert,1971. Why Men Rebel Princeton : Princeton University Press. Hungtinton, Samuel. P dan Nelson, Joan, 1986. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rineka Cipta. Johan Galtung, 2002. “Kekerasan Kultural”, dalam jurnal Wacana, No. IX/2002. Klinken, Gerry van, 20007. Perang Kota Kecil : Kekerasan Komunal dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta :Obor dan KITLV Jakarta. Kuntowidjojo, 1993. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Tiara Wacana. Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2006. Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2007. Laporan Tahunan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat tahun 2008. Loekman Sutrisno, 1997. Perilaku Kekerasan Kolektif : Kondisi dan Pemicu. Yogyakarta : Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM Yogyakarta. Mansour Fakih,2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta : Insist Press. Menuju Gerakan Sosial Baru, jurnal WACANA edidi 11. tahun III 2002 Mills, C.W. 1967. The Power Elite. London : Oxford University Press. Mirsel, Robert, 2004. Teori Pergerakan Soial. Yogyakarta : INSIST PRESS. Muhidin M. Dahlan, “Gerakan Nirkekerasan Dibawah Bayang-bayang Utopia”, dalam Jurnal Wacana No. IX/2002, hal. 123-124. Noeng Muhadjir, 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin. Otto Syamsudin Ishak, 2003. Teungku Bantaqiah. Jakarta : Yappika. P.M. Laksono (eds), Potret Perjalanan Pengorganisasian Masyarakat. Yayasan Kehati, 2002. Pramoedya Ananta Toer, 1996. “Atas Nama Sebuah Kebenaran”, makalah, yang disampaikan dalam seminar terbatas di Jakarta. 28 R.Yando Zakaria, Abieh Tandeh : Masyarakat Desa Dibawah Rezim Orde Baru. Jakarta : LSAM, 2000. Sartono Kartodirodjo, 1983. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta : LP3ES. ________________, 1992. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : PT Gramedia. Scott, C. James. 2000. Senjatanya Orang-orang Yang Kalah. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. ___________, 1995. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta : LP3ES. Shaw, Martin, 2001. Bebas dari Militer. Yogyakarta : INSIST PRESS. Singh, Rejendra Social Movements : Old and New. New Delhi : Sage Publications, 2001. Suryadi Radjab, 2002. Indonesia : Hilangnya Rasa Aman. Jakarta : The Asia Foundation dan PBHI. Syafrudin Bihar, 1996. Peranan Elite Sipil dan Elite Militer dalam Dinamika Integrasi Nasional di Indonesia : Kasus Etnik Minangkabau di Daerah Sumatera Barat, 1945-1984,Diseretasi. Universitas Gajah Mada, Jogyakarta. Tahmidy Lasahido, dkk, 2003. Suara dari Poso : Kerusuhan, konflik, dan resolusi. Jakarta : Yappika. T. Ibrahim Alfian, 1987. Perang di Jalan Allah. Jakarta : Sinar Harapan. Weber, Max, 1999. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Jakarta : Pustaka Pramathea. Whertheim, W.F., 2002. Gelombang Pasang Emansipasi. Jakarta : ISAI. Zaiyardam Zubir, 2002. Radikalisme Kaum Pinggiran : Studi Tentang Issue, Strategi dan Dampak gerakan Yogyakarta : Insist Press. _____________ 2001. “Orang Rantai, Orang Tambang dan Orang Lobang : Studi Tentang Eksploitasi Buruh Tambang Batu Bara Ombilin, dalam Edy S. Ekawati dan Susanto Zuchri (Eds), Arung Samudra : Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya UI Jakarta. _____________, Eka F. Putra, dan Harry Effendi, 2003. Gerakan Mahasiswa dan Otoritarisme Negara : sketsa Gerakan Mahasiswa Sumatea Barat 1958-1999. Jakarta : CPI. 29 ______________, Lani Fitrianti, Lusi Herlina dan Dwi Bertha, 2003. Partisipasi Politik Perempuan di Minangkabau.Yogyakarta: Insist Press. ______________, Nurmina, Firman dan Ferawati, 2003, Penanggulangan Tindakan KeKerasan dan Agresivitas Remaja di Sumatera Barat. Padang, Balitbangda. ______________ dan Lindayanti, 2004. Dari Ahong Sampai Ahmad, Studi tentang Politik Kekerasan dan Jebakan kemisiskinan Pada Level Akar Rumput. Yogyakarta, Insist Press. ______________,2006. Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai : Eksploitasi buruh Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto. Padang : Unand Press. ______________, 2006. Menggugat Minangkabau. Padang : Unand Press. _______________, 2008. Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan buku Ajar, Hibah dari Dikti, 2008) (Teks Zanuddin Maliki, 1999. Penaklukan Negara Atas Rakyat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Surat kabar Surat kabar Haluan Surat kabar Singgalang Surat kabar Padang Ekspres Surat kabar Post Metro Padang 30