Oseana, Volume XIII, Nomor 4 : 133-142, 1988

advertisement
www.oseanografi.lipi.go.id
ISSN 0216-1877
Oseana, Volume XIII, Nomor 4 : 133-142, 1988.
PERANAN BAKTERI HETEROTROFIK DALAM EKOSISTEM LAUT
oleh
Djoko Hadi Kunarso 1)
ABSTRACT
THE IMPORTANCE OF HETEROTROPHIC BACTERIA IN MARINE ECOSYSTEM. The most bacteria found in marine ecosystem are heterotrophic ones which
particularly belong to members of the genera Micrococcus, Sarcina, Vibrio, Corynebacterium, Pseudomonas, Bacillus, Bacterium, Spirillum, Mycoplana, Nocardia and
Streptomyces. Among these genera, several have various forms namely coccoid, spiral
and rod. In general, these bacteria have the following characters : motile, aerob, psychrophilic and biochemically gram negative. They have general pa them of distribution
in marine ecosystem, of which their population density is higher in coastal waters
than in open areas. They have important role in decomposing dead material, plant
or animal origin, to become mineral. The mineral resulted from that process then to
be used in the mineral cycle of the food chain among living aquatic organisms. The
article also discusses the mechanism and factors that influent the decomposition process by these bacteria in the marine ecosystem.
PENDAHULUAN
Pada ekosistem laut selalu terjadi interaksi antara organisme laut yang merupakan komponen biotik, dengan lingkungan
laut sebagai komponen abiotik yang merupakan habitatnya. Hal ini disebabkan dalam
air laut banyak terkandung unsur-unsur
esensial yang sangat diperlukan oleh organisme laut, untuk berbagai aktifitas kehidupannya, Unsur-unsur esensial yang merupakan
sumber nutrisi, selain berasal dari lingkungan
laut tersebut dapat pula berasal dari organisme laut itu sendiri sebagai hasil aktifitasnya.
Sehingga saling berinteraksinya antara organisme dan lingkungan, dalam hal penyediaan
sumber nutrisi pada ekosistem laut tersebut
akan selalu tersedia terus menerus.
Salah satu penyedia sumber nutrisi
pada ekosistem laut yang sangat penting
ialah bakteri heterotrofik. Seperti yang
diungkapkan oleh ELLENBERG (dalam
RHEINHEIMER 1980) bahwa bakteri heterotrofik, merupakan komponen biotik pada ekosistem laut yang berfungsi sebagai
dekomposer untuk menghasilkan mineralmineral sebagai nutrien. Jadi peranan bakteri heterotrofik selain sebagai penyedia
sumber nutrisi, juga sebagai penjaga keseimbangan terhadap kehidupan organisme
air (aquatik life) dan ekosistem di laut.
RESOSOEDARMO et al. (1984) menjelaskan proses dekomposisi adalah reaksi penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri
heterotrofik untuk memperoleh energi yang
diperlukan bagi kehidupannya. Oleh karena
1) Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.
133
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
itu peranan bakteri heterotrofik pada proses dekomposisi sangatlah penting, sebab
seandainya proses dekomposisi tidak terjadi
maka di pennukaan bumi ini akan penuh
dehgan serasah tumbuhan dan hewan mati,
serta bahan pencemar yang bersifat organik
sehingga kehidupan baru tidak akan terjadi.
Pada dasarnya reaksi yang terjadi dalam proses dekomposisi oleh bakteri heterotrofik ialah reaksi katabolisme, yaitu suatu
reaksi perombakan bahan makanan menjadi
konstituen-konstituen yang sederhana dengan disertai pembebasan energi (PELCZAR
& REID 1958 : RYADI 1981). Akan tetapi
pada ekosistem laut proses dekomposisi
ini tidaklah dilakukan sendiri oleh bakteri
heterotrofik, melainkan bersama-sama mikroorganisme laut lainnya seperti jamur,
khamir, algae dan protozoa (RHEINHEIMER 1980 : RYADI 198l).Walaupun reaksi tersebut sangat rumit dan komplek, proses dekomposisi oleh bakteri heterotrofik
harus berjalan terus. Sehingga hasil reaksi
dari proses tersebut yaitu mineralisasi dari
bahan-bahan organik oleh bakteri heterotrofik, dapat berfungsi sebagai pendaur
zat-zat hara dalam ekosistem laut.
Bakteri heterotrofik di lingkungan laut
merupakan komponen biotik yang penting,
tetapi aktivitas yang dilakukan pada proses
dekomposisi sebagai sumber penyedia zat
hara masih belum banyak diketahui. Meskipun demikian beberapa peneliti sebelumnya telah banyak memberikan informasi
ilmiah dari hasil penelitian-penelitiannya
dan eksperimen yang berkaitan dengan
peranan bakteri heterotrofik dalam ekosistem laut. STEVENSON et al. (dalam COLWELL & MORITA 1974) yang melakukan
penelitian terhadap kandungan populasi bakteri heterotrofik pada contoh air laut dan
sedimen di perairan estuaria. Selanjutnya
THAYIB & SOEHADI (1977) mengadakan
studi pendahuluan tentang distribusi bakteri
heterotrofik dan bakteri indikator di perairan Teluk Jakarta. Kemudian eksperimen
mengenai remineralisasi yang dilakukan oleh
bakterioplankton juga dilakukan oleh GAST
& HORSTMANN (1983). Selain itu degradasi bahan-bahan organik dan siklus elemen
biogenik pada sedimen diteliti oleh BALZER
(1984). Tulisan ini mencoba memberikan
gambaran dan informasi tentang peranan
bakteri heterotrofik dalam lingkungan laut.
TINJAUAN UMUM TENTANG
BAKTERI HETEROTROFIK
Umumnya bakteri heterotrofik adalah
protista yang bersifat uniselluler, termasuk
golongan mikroorganisme redusen atau yang
lazim disebut sebagai dekomposer (JUTONO
1971). Selain mikroorganisme yang tergolong redusen, dalam ekosistem laut terdapat
pula mikroorganisme golongan protista sebagai produsen dan konsumen. Golongan produsen yang terpenting di laut ialah algae,
sedangkan golongan konsumen meliputi organisme yang bersifat herbivora, karnivora
dan detrivora dalam hal ini protozoa laut
yang merupakan konsumen pemakan algae
atau protozoa lainnya. Dengan demikian
terlihat adanya perbedaan fungsi dalam sistem ekologi laut antara mikroorganisme
yang tergolong produsen, konsumen dan
redusen. Walaupun fungsinya berbeda akan
tetapi untuk melakukan fungsi tersebut
antara mikroorganisme terhadap lingkungan
laut yang satu terhadap yang lain saling
mempengaruhi.
Sebagian besar bakteri yang hidup di
laut tergolong kedalam bakteri heterotrofik
(RHEINHEIMER 1980), adapun jenis bakteri
yang termasuk kelompok ini menurut
WOOD (dalam PARSONS et al. 1977) meliputi marga Micrococcus, Sarcina, Vibrio,
Bacillus, Bacterium, Pseudomonas, Corynebacterium, Nocardia, Spirillum. Mycoplana
dan Streptomyces. Sedangkan tanda-tanda
karakteristik kelompok bakteri heterotrofik
ini ialah tidak berklorofil, motile, tidak
berspora, bersifat aerob dan umumnya termasuk bakteri gram negatif. Untuk kelangsungan hidupnya bakteri heterotrofik men-
134
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
dapatkan sumber makanan, oksigen serta
energi berasal dari hasil proses dekomposisi
(RHEINHEIMER 1980).
Bakteri heterotrofik berasal dari kata
"hetero" yang berarti "berbeda" dan "trofik" yang berarti "makanan" jadi pengertian heterotrofik sangat erat hubungannya
dengan mekanisme bakteri memperoleh makannya (ODUM 1971). Dengan kata lain
pengertian heterotrofik ialah bakteri yang
hanya mampu memperoleh makanannya,
yaitu bahan-bahan organik yang disediakan
oleh organisme lain. Di samping bakteri
heterotrofik dalam ekosistem laut terdapat
kelompok bakteri autotrofik yaitu bakteri
yang dapat mengubah bahan-bahan anorganik menjadi organik sebagai bahan makanannya (ODUM 1971; PARSONS et al.
1977; GAUDY & GAUDY 1980). Bakteri
heterotrofik dan autotrofik ini merupakan 2
kelompok besar dari komponen biotik sebagai
penyedia sumber makanan bagi organis-meorganisme di laut.
han organik bakteri heterotrofik dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu :
— Bakteri heterotrofik yang fungsinya seba
gai konsumer ialah bakteri yang kebutuhan energinya dari bahan organik tidak berasal dari aktifitasnya sendiri,
melainkan berasal dari organisme hidup
yang lain.
— Bakteri heterotrofik yang fungsinya se
bagai dekomposer ialah bakteri yang kebutuhan energinya dari bahan organik
berasal dari aktifitasnya sendiri dengan
melakukan proses dekomposisi.
Pada ekosistem laut, bakteri heterotrofik sangat vital peranannya sebagai dekomposer. Di samping itu transformasi aliran energi pada ekosistem mangrove, estuaria, laut dangkal dan badan-badan air lainnya
dapat dijaga keseimbangannya oleh bakteri
yang berhubungan dengan aktifitas bakteri
tersebut adanya kerja sama dengan organisme
uniselluler lainnya.
Berdasarkan cara memperoleh makanan
dari lingkungannya, RYADI (1981) membedakan bakteri heterotrofik dalam 2 sub
kelompok yaitu :
- Bakteri heterotrofik parasitik, ialah bak
teri heterotrofik yang sumber makanannya diambil dari jasad hidup inangnya
(hopses) secara parasiter, sehingga dapat
menimbulkan penyakit terhadap jasad
inang tersebut. Bakteri parasit yang menimbulkan penyakit ini disebut bakteri
patogen, sebagai contoh bakteri Escherichia coli, Vibrio anguillarum, Aeromonas
punctata dan Pseudomonas granulata
(RHEINHEIMER 1980).
- Bakteri heterotrofik saprofitik, ialah
bakteri heterotrofik yang sumber makanannya berasal bahan-bahan yang telah
mati atau sisa-sisa jasad hidup. Pada
umumnya bakteri laut termasuk kelom
pok bakteri heterotrofik yang bersifat
saprofitik.
Berdasarkan fungsi dan aktifitasnya
untuk mendapatkan energi dari bahan-ba-
DISTRIBUSI BAKTERI
HETEROTROFIK DI LAUT
Distribusi bakteri heterotrofik dalam
laut tidak merata. Hal ini disebabkan faktor
sumber nutrisi, kedalaman laut dan habitat
pada ekosistem laut (seperti sungai, danau,
estuari, mangrove, laut dangkal dan laut
dalam). Selain faktor-faktor tersebut diatas,
menurut RHEINHEIMER (1980) mengemukakan bahwa faktor fisika laut seperti arus,
pasang surut, turbulensi, gelombang dan
temperatur dapat mempengaruhi distribusi
bakteri heterotrofik pada ekosistem laut.
Pada zone littoral dan sublittoral
umumnya kandungan bakterinya lebih tinggi dan jenisnya lebih banyak bila dibandingkan dengan zone abissal atau hadal. Di zone
littoral dan sublittoral inilah bakteri heterotrofik giat melakukan aktifitas kehidupannya. Hal ini disebabkan faktor komponen
abiotik seperti penetrasi cahaya matahari,
temperatur, pasang surut dan bahan-bahan
organik terlarut banyak tersedia. Selain itu
135
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
adanya hubungan timbal balik antara organisme pelagik terutama plankton golongan
tumbuhan (fitoplankton), sangat berperanan
dalam proses fotosintesa yang akan menghasilkan bahan organik dan oksigen yang
sangat dibutuhkan oleh bakteri heterotrofik
dan biota laut lainnya. Seperti yang dilakukan oleh ZOBELL (dalam RHEINHEIMER
1980) dalam penelitiannya di perairan pantai
selatan California, menunjukkan distribusi vertikal kandungan bakteri heterotrofik
dan fitoplankton serta temperatur dan cahaya. Pada kedalaman 10 – 15 meter kandung-
an fitoplankton dan bakterinya lebih tinggi
bila dibandingkan dengan kedalaman yang
200 meter atau lebih (Gambar 1). Sedangkan
pada distribusi horisontal yaitu di zone neritik (perairan dangkal) densitasnya lebih padat bila dibandingkan dengan lautan bebas
(oseanik). Dari hasil observasi yang dilakukan oleh ZOBELL; GUNKEL dan RHEINHEIMER (dalam RHEINHEIMER 1980)
di perairan pantai laut Baltic dan laut Utara
kandungan bakteri heterotrofiknya dapat
berkisar antara 10.000–100.000 per ml,
sedangkan di perairan laut terbuka kandungannya berkisar antara 1–100 per ml.
Gambar 1. Distribusi vertikal kandungan bakteri heterotrofik, fitoplankton, cahaya
dan temperatur di perairan pantai Selatan California (Pasifik) (ZOBELL
dalam RHEINHEIMER 1980).
136
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
Jumlah jenis bakteri heterotrofik yang
terdapat di perairan littoral dan sublittoral
lebih banyak bila dibandingkan dengan perairan abissal atau hadal. Menurut WOOD
(dalam LYNCH & POOLE 1979) jenis bakteri heterotrofik yang umum terdapat pada
zone littoral ini ialah bakteri Micrococcus,
Sarcina, Bacillus, Pseudomonas, Corynebacterium, Nocardia, Spirillum dan streptomyces. Sedangkan di zone abissal (laut dalam)
hanya ada dua jenis yaitu bakteri Vibrio
marinus dan Pseudomonas bathycetes (YAYANOS et al. 1981; DELONG & YAYANOS 1986). Di Indonesia penelitian tentang
distribusi bakteri heterotrofik telah dilakukan oleh THAYIB & SUHADI (1977) di
perairan Tehik Jakarta. Bakteri heterotrofik
yang berhasil diisolasi meliputi marga Pseudomonas, Vibrio, Achromobacter, Flavobacteria dan golongan bakteri Coliform. Hubungan kedalaman dengan prosentase strain
bakteri heterotrofik yang terisolasi juga pernah dilakukan oleh EZURA et al. (dalam
COLWELL & MORITA 1974) di perairan
Teluk Akkeshi Jepang pada tahun 1969
seperti yang terlihat pada (Tabel 1). Dari
sejumlah 718 strain bakteri heterotrofik
dari 12 sampel air dengan kedalaman yang
berbeda, menunjukkan prosentase terisolasi
bakteri Pseudomonas, Achromobacter dan
Flavobacterium sangat dominan bila dibandingkan dengan bakteri lainnya. Bakteri
Pseudomonas ini ternyata lebih tahan hidup
walaupun di kedalaman 20 meter bila dibandingkan bakteri yang lain, hal ini tampak
dari sejumlah strain isolat 35% lebih bakteri
Pseudomonas dapat diisolasi.
PERANAN BAKTERI HETEROTROFIK
DI LAUT
1. Peranan Bakteri heterotrofik sebagai dekomposer (pengurai)
Peranan bakteri heterotrofik pada proses dekomposisi bahan organik dalam ekosistem laut sangat vital. Seandainya proses
dekomposisi tidak terjadi maka perairan di
lingkungan laut akan tertimbun oleh serasah
tumbuhan dan hewan mati, serta bahan pencemar yang bersifat organik sehingga kehidupan baru tidak akan terjadi. Untuk terjadinya proses ini maka ada beberapa komponen dalam ekosistem laut sebagai penyusunnya antara lain komponen abiotik, organisme produsen dan organisme konsumen.
LYNCH & POOLE (1979) serta HUTABARAT & EVANS (1985) mengemukakan
bahwa proses fotosintesis yang dilakukan
oleh organisme produsen yaitu tumbuhan
laut dan fitoplankton akan membuat senyawa-senyawa organik yang kompleks dari
bahan anorganik yang sederhana. Senyawa
organik ini merupakan sumber energi yang
sangat dibutuhkan oleh bakteri heterotrofik.
Untuk melakukan aktifitasnya sebagai dekomposer, bahan organik tersebut akan diurai menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu mineral-mineral makanan. Selain
digunakan sendiri sebagai makanannya, mineral-mineral tersebut juga dibebaskan ke
ekosistem laut untuk kehidupan organisme
laut lainnya. Oleh karena itu, bahan organik
haruslah cukup tersedia agar proses dekomposisi dapat berlangsung terus. Untuk
melakukan proses dekomposisi yang kompleks dan rumit ini, bakteri heterotrofik
tidak sendirian melakukannya melainkan bekerjasama dengan organisme uniselluler lainnya terutama jamur (RHEINHEIMER 1980).
Hal ini disebabkan bahan-bahan organik
yang diurai ada 2 jenis yaitu yang dapat dihancurkan oleh bakteri (biodegradable) dan
yang tidak dapat dihancurkan oleh bakteri
(non biodegradable). Senyawa organik yang
meliputi karbohidrat, protein dan lemak
serta senyawa lainnya seperti lignin dan
sellulose merupakan sampah tumbuhan
yang bersifat biodegradable.
Adanya kerja sama antara bakteri
heterotrofik dan jamur dalam proses dekomposisi mengakibatkan bahan organik yang
bersifat non biodegradable dapat terurai.
137
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Prosentase (%) komposisi bakteri heterotrofik di perairan Teluk Akkeshi - Hokkaido (Jepang) pada tahun 1969
(ECURA et al. dalam COLWELL & MORITA 1974).
Nomor
contoh
Kedalaman
Bakteri yang tersiolasi dalam prosen (%)
Pseudomonas
Aeromonas
Vibrio
Achromobacter
Flavobacterium
Enterobacteriaceae
Micrococcus
Coryneform
Arthrobacter
138
1.
2.
3.
0
10
20
52
53
77
34,6
35,8
37,7
0
0
0
3,8
3,8
5,2
15,4
11,3
27,3
40,4
41,5
22,1
0
0
0
3,8
3,8
2,6
1,9
3,8
5,2
0
0
0
4.
5.
6.
0
10
20
46
35
96
28,3
49,2
40,6
0
0
0
10,9
8,6
7,3
37,0
25,7
19,8
8,7
5,7
14,6
0
0
0
2,2
5,7
2,1
6,5
5,7
0
6,5
5,7
15,6
7.
8.
9.
0
10
20
57
56
75
47,4
30,4
33,3
0
0
1,3
3,5
3,6
0
22,8
8,9
14,7
12,3
35,7
32,0
0
1,8
0
3,5
12,5
9,3
0
7,1
1,3
10,5
0
8,0
10.
11.
12.
0
10
20
62
49
60
61,3
40,8
31,7
0
0
0
3,2
6,1
20,0
17,7
14,3
26,7
11,3
30,6
11,7
0
0
0
0
4,1
1,7
3,2
4,1
6,7
3,2
0
1,7
718
38,8
0,1
6,1
19,9
22,3
0,1
Total
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
Jumlah
isolasi
4,2
3,5
5,0
www.oseanografi.lipi.go.id
Bakteri heterotrofik lebih banyak berperan
dalam penguraian karbohidrat, protein dan
lemak sedangkan jamur lebih berperan melakukan penguraian lignin dan sellulose
(RESOSOEDARMO et al. 1985; RHEINHEIMER 1980). Adapun jenis-jenis bakteri
heterotrofik yang berperanan pada dekomposisi ialah bakteri Pseudomonas, Bacillus
dan Clostridium yang melakukan penguraian senyawa karbohidrat. Sedangkan untuk
menghidrolisa protein menjadi senyawa
yang lebih sederhana yaitu asam amino dilakukan oleh bakteri Pseudomonas. Bakteri
heterotrofik yang melakukan proses dekomposisi senyawa lemak yaitu glicerol dan
asam lemak ialah marga Pseudomonas, Vibrio, Sarcina, Serratia dan Bacillus ZOBELL
dan UPHAM (dalam RHEINHEIMER 1980).
Selanjutnya yang melakukan dekomposisi
selulose ialah jamur dari kelompok Myxobacteria antara lain Cytophaga dan Sporocytophaga, sedangkan lignin diuraikan oleh
jamur Ascomycetes dan jamur imperfecti
(LYNCH & POOLE 1979; RHEINHEIMER
1980).
2. Peranan bakteri heterotrofik dalam
aliran energi
Aliran energi adalah sistem penyebaran energi yang dibebaskan dari hasil aktifitas
bakteri heterotrofik dan ditransformasikan
kedalam suatu ekosistem di laut untuk kelangsungan hidup seluruh organisme. Pada
dasarnya sumber energi yang paling utama
untuk kehidupan mahluk hidup ialah matahari, walaupun demikian unsur-unsur lain
seperti karbon dioksida, air dan oksigen
juga sangat berperanan. Pada eko-sistem
laut hasil dari proses fotosintesis atau
dikenal dengan produk karbohidrat adalah sumber bahan organik yang selanjutnya
akan dioksidasi oleh bakteri sebagai sumber
energi (LYNCH & POOLE 1979). Seperti
juga yang diungkapkan oleh RYADI (1981)
bahwa karbohidrat yang merupakan produk
dari hasil fotosintesis disebut sebagai "inert
energy-rich subtances". Hal ini dika-
renakan inert energy-rich substances tersebut merupakan gudang energi yang sewaktu-waktu dibutuhkan dapat dipecah kembali
menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan
dari proses dekomposisi oleh bakteri heterotrofik tersebut selanjutnya digunakan untuk kehidupan aktifitasnya, sedangkan sisanya akan dibebaskan tanpa bakteri tersebut
gunakan dan sebaliknya dimanfaatkan oleh
ekosistem di laut.
Pembebasan energi kedalam ekosistem
di laut ini, sangat besar pengaruhnya terhadap organisme laut yang lebih tinggi tingkatannya yaitu organisme golongan konsumen
yang meliputi organisme herbivora dan
karnivora. Hal ini dikarenakan untuk melakukan aktifitas fisiologinya yaitu respirasi
dan proses metabolisme banyak mengkonsumsi energi dan nutrisi. Sebaliknya golongan
produsen yaitu tumbuhan hijau dan fitoplankton, serta golongan redusen yaitu bakteri di laut dapat memproduksi energi dari
hasil aktifitasnya. Oleh karena itu untuk
menjaga keseimbangan energi yang secara
beruntun makin berkurang akibat diabsorbsi
oleh organisme golongan konsumen dalam
ekosistem laut, maka peranan organisme
produsen akan melakukan proses fotosintesis dan organisme redusen akan melakukan
proses dekomposisi yang akhirnya akan
menghasilkan energi. Sehingga energi dalam
ekosistem laut tersebut tetap berada dalam
keseimbangan (homeostatis). Seperti yang
dijelaskan secara skema sistem transformasi
energi dalam ekosistem kehidupan organisme
oleh SOERIATMAJA (dalam RYADI 1981)
yaitu aliran energi dan mineral melalui rantai
makanan (food chain) yang terlihat pada
Gambar 2. Pada skema tersebut, bahwa dalam ekosistem terlihat adanya pengalihan
energi dan mineral dari sumbernya yaitu
organisme produsen. dan redusen, melalui
serangkaian trophic level antara organisme
yang makan dan dimakan. Dengan melalui
trophic level antara organisme produsen,
konsumen dan redusen yang saling berkaitan, energi dan mineral secara berkesinambungan akan selalu tersedia dan seimbang
di dalam ekosistem.
139
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 2. Sistem transformasi energi dalam ekosistem kehidupan organisme (SOERIAATMADJA dalam RYADI 1981).
dia zat hara yang penting salah satunya
berasal dari aktifitas yang dilakukan oleh
bakteri heterotrofik ialah mineralisasi. RHEINHEIMER (dalam LYNCH & POOLE
1979) mengemukakan bahwa peranan bakteri
heterotrofik pada proses mineralisasi
adalah sangat esensial sehingga produktivitas
primernya tinggi, dan memelihara keseimbangan energi flow dalam ekosistem perairan.
3. Peranan bakteri heterotrofik sebagai
pendaur zat hara
Sebagaimana telah diketahui bahwa
dalam ekosistem laut, terlarut berbagai mineral-mineral dalam bentuk bahan kimia
organik dan anorganik. Mineral tersebut sangat diperlukan oleh biota dan tumbuhan
laut untuk melakukan berbagai aktifitas kehidupannya. Oleh karena itu, sebagai penye-
140
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
Dalam kaitan ini peranan bakteri
heterotrofik sebagai pendaur zat hara, selain bakteri heterotrofik yang bersifat aerob
untuk melakukan proses dekomposisi, bakteri heterotrofik lainnya yang bersifat anerob dan fakultatif anerob juga akan melakukan proses mineralisasi bahan-bahan organik.
Rangkaian reaksi yang terjadi ini secara global terlihat pada siklus unsur-unsur kimia
yaitu siklus Karbon (C), siklus Nitrogen (N),
siklus Sulfur (S) dan siklus Fosfor (F). Sehingga zat hara yang terkandung dalam perairan terutama pada rantai makanan untuk
kehidupan organisme air (aquatic life) akan
selalu tersedia.
Diantara jenis bakteri heterotrofik
yang bersifat anerob yang penting dalam
pendaur zat hara ialah bakteri Clostridium,
karena dalam keadaan tanpa oksigen bakteri
tersebut dapat melakukan proses perombakan bahan-bahan organik secara fermentasi
yang menghasilkan Karbon dioksida (CO2)
yang terjadi pada siklus Karbon. Selanjutnya Karbon dioksida ini akan diserap oleh
organisme produsen yaitu tumbuhan hijau
dan fitoplankton pada ekosistem laut dalam
proses fotosintesis (LYNCH & POOLE 1979;
RYADI 1981). Selain itu ada proses penampatan (fiksasi) Nitrogen yang dilakukan oleh
bakteri antara lain bakteri Azotobacter,
Clostridium, Rhizobium dan Nitrosomonas
serta bakteri Nitrobacter. Seperti yang diungkapkan oleh RESOSOEDARMO (1984)
unsur nitrat (NO3) merupakan unsur yang
penting bagi tumbuhan yang berklorofil
untuk sintesis protein melalui reaksi metabolisme. Tahapan pendauran zat hara nitrogen ini melalui 2 proses yaitu denitrifikasi
dan nitrifikasi, dimana nitrogen bebas dari
udara diubah menjadi nitrat dalam siklus
Nitrogen (N). Selain dari pada itu unsur
sulfur dalam bentuk H 2 S dilingkungan
alam ini oleh bakteri akan diurai menjadi
sulfat (SO4) dalam siklus Sulfur (S). Peranan senyawa sulfat di ekosistem perairan pada
umumnya adalah sebagai sumber energi untuk mikroorganisme, tumbuhan dan hewan
laut (LYNCH & POOLE 1979). Proses pe-
rombakan H2S secara oksidasi menjadi SO4
ini disebut sulfurifikasi. Jenis bakteri yang
berperan pada sulfurifikasi ini ialah bakteri
Thiobacillus dan Desulfovibrio. Selain unsur
karbon, nitrogen dan sulfur yang sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, ada unsur
tambahan lain yang cukup esensial yaitu unsur fosfor. Jumlah unsur fosfor di alam sangat terbatas, oleh karena itu pada siklus
Fosfor (P) bila terjadi kekurangan fosfor
kelangsungan hidup organisme dalam ekosistem dapat terganggu (RESOSOEDARMO
1984). Di alam Fosfor biasanya terdapat
dalam bentuk senyawa HPO4 dan H2PO4,
melalui reaksi reduksi senyawa-senyawa
tersebut diuraikan menjadi fosfat dalam bentuk PO4. Bentuk gabungan lain dari unsur
fosfor ialah senyawa Trikalsium fosfat
(Ca3 (PO4)2). Trikalsium fosfat ini berbentuk padat dan merupakan senyawa fosfat
yang paling umum terdapat dalam perairan.
Senyawa tersebut oleh beberapa jenis
bakteri heterotrofik akan digunakan sebagai sumber energi, sedangkan sisanya akan
dilepaskan oleh bakteri tersebut ke dalam
ekosistem perairan. Jenis-jenis bakteri yang
berperan meliputi marga Pseudomonas, Aeromonas, Escherichia, Bacillus dan Micrococcus seperti yang diungkapkan oleh NIEWOLAK; PALUCH & SZUUCKA; dan
GAK (dalam RHEINHEIMER 1980).
Dalam ekosistem perairan laut khususnya, dan secara umum juga ekosistem yang
terjadi di biosfir dimana siklus biologi berlangsung. Oleh karena itu serangkaian reaksi-reaksi yang terjadi seperti fotosintesis,
dekomposisi, respirasi dan sistesa mineral,
dilain pihak pada media biosfir ini terdapat
organisme yang berperan sebagai penerima
zat hara dan adapula sebagai penyedia zat
hara hal ini menyebabkan kondisi ekosistem
yang saling berinteraksi tersebut menjadi
stabil. Peranan bakteri heterotrofik dalam
kaitan ini sangat penting, sehingga dalam
trofik level antara organisme produsen, konsumen dan dekomposer dalam hal penyedia
nutrisinya pada rantai makanan akan selalu
tersedia. Untuk melakukan fungsi yang ru-
141
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
mit dan komplek bakteri heterotrofik tidak
bekerja secara soliter, melainkan bersamasama dengan organisme uniselluer lainnya
seperti chamir, jamur, algae dan protozoa.
Beberapa fungsi bakteri heterotrofik
yang dilakukan ialah sebagai dekomposisi
bahan-bahan organik yang berasal dari jasad dan tumbuhan yang telah mati serta buangan yang bersifat organik. Berperanan
daiam aliran energi dan mineral, dimana bakteri heterotrofik membebaskan energi dan
mineral dari hasil aktifitas kehidupannya
sebagai hasil akhir dibuang ke ekosistem
perairan. Selain itu juga bakteri heterotrofik
sebagai pendaur zat hara, karena unsur-unsur
kimia seperti karbon, nitrogen, sulfur dan
fosfor merupakan hara yang sangat diperankan oleh mahluk hidup.
Dari hasil uraian di atas bakteri heterotrofik mempunyai pengaruh yang besar terhadap tersedianya zat hara sebagai
sumber nutrisi di ekosistem laut. Dengan
keaneka-ragaman jenis yang termasuk kedalam kelompok bakteri heterotrofik maka
rekasi-reaksi yang berlangsung di lingkungan
laut terutama dekomposisi dan sintesa mineral dari siklus karbon (C), siklus nitrogen
(N), siklus sulfur (S) dan siklus fosfor (P)
dapat berjalan sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
BALZER, W. 1984. Organic matter degradation and biogenic element cycling in a
nearshore sediment (Kiel Bight). Limnol.
Oceanogr. 29 (6) : 1231–1246.
COLWELL, R.R and R.Y. MORITA 1974.
Effect of the ocean environment on microbial activities. Univ. Park Press, Baltimore: 587 pp.
DELONG, E.F. and A.A. YAYANOS 1986.
Biochemical function and ecological significance of novel bacterial lipids in
Deep-sea procaryotes. Appl. Environ.
Microbiol. 51 (4): 1001–1008.
GAST, V and U. HORSTMANN 1983. Nremineralization of phyto and bacterioplankton by the marine ciliate Euplotes
vannus. Mar. Ecol. Prog. Ser. 13: 55–60.
GAUDY, A.F and E.T. GAUDY 1980. Microbiology for environmental scientists and
engineers. Mc Graw Hill, Inc. New York:
736 pp.
HUTABARAT, S dan S.M. EVANS 1985.
Pengantar Oseanografi Penerbit Univ.
Indonesia Press, Jakarta : 159 hal.
JUTONO. 1971. Dasar-dasar mikrobiologi
untuk perguruan tinggi. UGM Press,
Jogyakarta: 385 hal.
LYNCH, J.M and N.J POOLE 1979. Microbial ecology a conceptual approach.
Blackwell Scient. Publications, London:
266 pp.
ODUM, E.P. 1971. Fundamentals of ecology. W.B Saunders Co, Philadelphia: 574
pp.
PARSONS, T.R., M. TAKAHASHI and B.
HARGRAVE 1977. Biological Oceanographic Processes. Wheaton & Co Ltd,
England: 332 pp.
PELCZAR, M.J and R.D. REID 1958.
Microbiology. McGraw Hill Book Company, Inc. New York: 564 pp.
RESOSOEDARMO, R.S., K. KARTAWINATA dan A. SOEGIARTO 1984. Pengantar
Ekologi. Penerbit Remaja Karya, Bandung: 174 hal.
RHEINHEIMER, G. 1980. Aquatic microbiology. A Wiley Inter Science Publication,
Chichester: 225 pp.
RYADI, S. 1981. Ekologi ilmu lingkungan
dasar-dasar dan pengertiannya. Penerbit
Usaha Nasional, Surabaya: 153 hal.
THAYIB, S.S and F. SOEHADI 1977. Preliminary study on the distribution of
the aerobic heterotrophic bacteria and
microbial indicators in Jakarta Bay. Mar.
Res. Indonesia. 20: 87–97.
TYAYANOS, AA., A.S. DIETZ and R.V.
BOXTEL 1981. Obligately barophilic
bacterioum from the Mariana Trench.
Proc. Natl. Acad. Sci. 78 (8): 5212 –
5215.
142
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
Download