Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan

advertisement
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati
Badan Riset Kelautan dan Perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan
Kondisi
Ekosistem
Pesisir
Pulau
Bintan
ISBN 979-98165-0-5
Editor:
Safri Burhanuddin
Budi Sulistiyo
Agus Supangat
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
ISBN 979-98165-0-5
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Penulis:
Ichwan Makmur Nasution, S.Si, M.Sc
Widodo Setiyo Pranowo, ST, M.Si
Ir. Dini Purbani, M.S
Gunardi Kusumah, ST
Edward Erwanto, ST
Semeidi Husrin, ST
Budi Irawan, S.Si, M.Si
Fajar Yudi Prabawa, ST
Editor:
Dr. Ir. Safri Burhanuddin, DEA
Dr. Budi Sulistiyo
Dr. Ir. Agus Supangat, DEA
Pusat Riset Wilayah laut dan Sumberdaya Nonhayati
Badan Riset Kelautan dan Perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan
KATA PENGANTAR
Pemanfaatan sumberdaya pasir laut di wilayah Kepulauan Riau telah berkembang
pesat. Akhir-akhir ini aktifitas penambangan pasir laut telah berkembang menjadi
bahan pembicaraan antara pemerintahan, pelaku, pemerhati dan masyarakat luas
tentang dampak positif dan negatif yang dapat ditimbulkannya.
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati – Badan Riset Kelautan
dan Perikanan pada tahun anggaran 2003 telah melakukan penelitian terhadap
“Penghitungan Nilai Kerusakan Ekosistem Pesisir yang Disebabkan oleh
Penambangan Pasir di Kepulauan Riau” dengan wilayah studi Pulau Bintan.
Pemilihan lokasi studi dengan pertimbangan di sekitar pulau Bintan belum
dilakukan aktifitas penambangan pasir laut, sehingga nilai acuan terhadap kondisi
ekosistem pra penambangan dapat ditemukan.
Hasil survei dan analisa data penelitian ini, disusun sebagai rangkaian tulisan
ilmiah, dengan harapan menjadi bahan masukan yang komperhensif bagi
pengambil kebijakan serta menjadi informasi bagi masyarakat luas mengenai
dampak penambangan pasir laut.
Tim Penyusun
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................... ii
1.
Geologi Daerah Pesisir Kec. Bintan Timur dan Daerah
Pesisir Kec. Gunung Kijang, Pulau Bintan, Kepulauan Riau 1
- Dini Purbani, Edward Erwanto, Gunardi Kusumah, dan Fajar Y. Prabawa
2.
Morfologi Pantai Wilayah Kec. Bintan Timur dan Kec.
Gunung Kijang...................................................................... 17
- Dini Purbani, Gunardi Kusumah, dan Edward Erwanto
3.
Kondisi Oseanografi Perairan Pulau Bintan, Kepulauan
Riau....................................................................................... 34
- Widodo S. Pranowo dan Semeidi Husrin
4.
Kondisi Vegetasi Mangrove di Pulau Bintan, Kabupaten
Kepulauan Riau.................................................................... 50
- Budi Irawan
5.
Padang Lamun di Perairan Pulau Bintan, Kabupaten
Kepulauan Riau.................................................................... 59
- Ichwan M. Nasution
6.
Struktur Komunitas Ikan di Padang Lamun Pulau Bintan,
Kabupaten Kepulauan Riau.................................................. 68
- Ichwan M. Nasution
7.
Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Bintan,
Kabupaten Kepulaun Riau.................................................... 78
- Ichwan M. Nasution dan Widodo S. Pranowo
8.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kecamatan Bintan
Timur dan Kecamatan Gunung Kijang.................................. 85
- Gunardi Kusumah dan Edward Erwanto
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
ii
GEOLOGI DAERAH PESISIR KEC.BINTAN TIMUR
DAN DAERAH PESISIR KEC. GUNUNG KIJANG,
PULAU BINTAN, KEPULAUAN RIAU
Oleh : D. Purbani, E. Erwanto, G. Kusumah, F. Y. Prabowo
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Jl.
MT Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770, Indonesia, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Geologi di wilayah pesisir Pulau Bintan terdiri dari dua jenis batuan yaitu: batuan beku dan
batuan sedimen. Batuan beku berupa granit tersingkap di Pulau Penyusuk dan Tanjung Kelun.
Batuan sedimen berupa batupasir klastik dan batupasir organik tersingkap di Pulau Ajab.
Struktur geologi yang terdapat di wilayah pesisir Pulau Bintan adalah kekar dan deformasi
minor mineral kuarsa. Arah umum kekar di Pulau Penyusuk ialah σ1= U 57oT/69o
mengindikasikan sesar oblique, di Teluk Bakau ialah σ1= U30oT/4o mengindikasikan sesar
normal, dan di Tanjung Kelun ialah σ1= U180oT/82o mengindikasikan sesar naik. Resistensi
batuan kurang baik ditinjau dari intensifnya kekar dan tingginya deformasi struktur internal
mineral pada batuan. Bahan galian di wilayah pesisir Pulau Bintan adalah penambangan
bauksit, penambangan granit dan penambangan pasir darat. Kondisi geologi akan sangat
terpengaruh jika di wilayah ini dilakukan aktifitas penambangan pasir laut, karena resistensi
batuan yang kurang baik akan mempercepat abrasi pantai dan rusaknya morfologi bawah laut.
Kata kunci : Granit, Batupasir, Kekar, Sesar, Resistensi Batuan.
ABSTRACT
Geology in Bintan Island consists of two types of lithology they are igneous rock and
sedimentary rock. The igneous rock is granite that lies on Penyusuk Island and Tanjung Kelun.
The sedimentary rock is clastical sandstone and organic sandstone that lies on Ajab Island.
Structural geology in Bintan Island are joint and minor deformation in quartz mineral. General
direction of joint on Penyusuk Island is σ1= U 57oT/69o identified as Oblique Faults, on Bakau
Gulf is σ1= U30oT/4o identified as normal faults and on Tanjung Kelun is σ1= U180oT/82o
identified as Reversed Fault. Rock resistence is poor, because of joint intencity and highly
mineral deformed contain in rocks. Economic minerals that have been mined on Bintan Island
are bauxite, granite and on land sand. Geological condition will highly affected if there is sea
sand mining exploitation, related to poorly rock resistence that accelerate process of beach
abration and underwater morphology destruction.
Keywords : Granite, Sandstone, Joint, Faults, Rock Resistence.
1. PENDAHULUAN
Tujuan penelitian Geologi Daerah
Pesisir Pulau Bintan ini adalah memberikan
informasi tentang data-data geologi daerah
pesisir pulau-pulau yang meliputi batuan
penyusun, struktur dan tektonik geologi
serta sumberdaya mineral dihubungkan
pengaruhnya
dengan
aktifitas
penambangan pasir laut.
Daerah penelitian ialah kawasan
pesisir dan pulau-pulau di sekitar Pulau
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Bintan, tepatnya di wilayah Kijang, 10’BT di
sebelah Barat, 109o 00’BT di sebelah Timur
(Gambar 1 dan Gambar 2).
Alasan pemilihan lokasi di 2 kecamatan di atas
adalah karena lokasi di sekitarPulau Bintan
belum dilakukan penambangan pasir sehingga
ekosistem perairan di sekitar Bintan masih
terbilang baiik dan relatif belum terganggu oleh
aktifitas
penambangan
pasir
laut.
1
Gambar 1. Peta Lokasi Pengamatan Geologi Kec. Bintan Timur Kep. Riau
Gambar 2. Peta Lokasi Pengamatan Geologi Kec. Gunung Kijang Kep. Riau
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
2
2. ISI DAN PEMBAHASAN
2.1 Geologi Dan Stratigrafi Regional
Geologi di Kepulauan Riau berumur
antara akhir Paleozoikum sampai Tersier.
Batuan yang tertua terdiri dari bahan vulkanik
dan
sedikit
endapan
sedimen
yang
mengalami metamorfosa atau malihan dan
terlipat kuat yang berhubungan dengan jalur
vulkanik
Pahang
(Group
Riau-Pahang
Vulkanik
Series)
di
Malaysia
yang
diperkirakan berumur mulai akhir zaman
Karbon sampai zaman Trias.
Batuan yang termuda terdiri dari
batupasir, serpih dan konglomerat yang
sedikit terlipat dikorelasikan dengan Plateau
Batupasir Kalimantan, diperkirakan berumur
Tersier. Formasi Berakit yang berumur
Paleozoikum diterobos oleh batuan granit.
Daerah paling luas yang didasari oleh batuan
granit adalah Pulau Karimun, Pulau Singkep
dan Pulau Bintan. Intrusi granit kecil-kecilan
terdapat di Pulau Tanjung Sua, Pulau
Surowat, Pulau Mantang, Pulau Senjolong,
Pulau Pangkil Besar dan Pulau Mapur. Intrusi
granit diperkirakan berhubungan dengan
granit yang mengandung timah putih di
Malaysia dan Indonesia yang berumur lewat
Trias. Oleh erosi secara luas, seluruh daerah
menjadi hampir rata (peneplain) yang disebut
dengan Paparan Sunda pada saat sekarang
ini. Daerah ini kemudian mengalami
pengikisan dalam periode waktu geologi.
Batuan dekat permukaan berubah menjadi
tanah liat dan beberapa tempat dilanjutkan
dengan pelindihan/ penyucian/ leaching yang
menghasilkan konkresi beraluminium dan
konkresi yang mengandung besi, misalnya
magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3), limonit
(Fe203H20), gibsit (Al203H20) dan bachmit
(Al203H20).
Menurut RW Van Bemmelen (1972)
secara umum daerah Pulau Bintan dan
sekitarnya terdiri dari batuan Pra Tersier
(seperti serpih pelitik, serpih pasiran, kwarsit,
diabas
dan
batuan
vulkanik
yang
termetamorfkan) yang diintrusi oleh granit dan
asosiasinya yang terdiri dari granit aplit, granit
prorfir dan jenis batuan rhyolitik.
Urutan stratigrafi batuan di wilayah Bintan
dan sekitarnya dimulai dari umur Karbon–
Perm oleh Formasi Berakit sampai ke umur
Holosen oleh batuan Aluvium (tabel 1).
2.2 Geologi Struktur Dan Tektonik
Regional
Secara regional, struktur geologi suatu
daerah merupakan bagian dari struktur
geologi yang berkembang di seluruh daerah
di sekitarnya, dengan pola umum dan jenis
struktur yang tidak jauh berbeda. Penafsiran
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
struktur geologi di daerah pemetaan dilakukan
melalui: Rekonstruksi seluruh data yang
diperoleh di lapangan, meliputi pengukuran
arah jurus dan kemiringan perlapisan batuan,
pengukuran bidang cermin sesar dan pitch
(gores garis sesar), pengukuran pergeseran
perlapisan batuan (offset litology), merekam
zona hancuran dan bidang gawir, pengukuran
arah jurus dan kemiringan bidang kekar
(joint), dan lainnya.
2.2.1 Struktur Kekar
Kekar ialah retakan-retakan pada tubuh
batuan dengan sedikit atau tak ada
pemisahan tubuh batuan tersebut. Struktur
kekar merupakan salahsatu unsur untuk
menganalisis arah tegangan utama struktur
pensesaran yang terjadi. Kekar pada daerah
pemetaan terdiri dari kekar gerus (shear joint)
dan kekar tarik (tension joint). Kekar gerus
mempunyai bidang pecah yang rata sampai
mengkilap, sedangkan kekar tarik mempunyai
bidang pecah yang tidak rata dan arahnya
tidak teratur.
2.2.2 Tektonik
Menurut hamilton (1978), daerah Bintan
dan sekitarnya termasuk ke dalam dua jalur
tektonik yaitu batas Barat paleozoic granit
dengan batas Barat pasifik cretaceous granit.
Di dalam kerangka zona subduksi antara
Samudera Hindia dengan Lempeng Eurasia,
daerah Bintan merupakan cekungan muka
busur (zone of fore-arc basin). Aktifitas
tektonik yang telah terjadi di area ini,
ditemukan berupa pengangkatan (rifting)
batuan granit dari fase lautan ke fase daratan.
Proses struktur geologi yang telah terjadi
berupa kekar-kekar pada batuan granit pada
beberapa pulau dan adanya deformasi
peretakan mineral kuarsa yang terkandung di
dalam pasir pantainya.
2.3 Sumberdaya Mineral
Salahsatu kekayaan sumber daya alam
dari hasil bumi Pulau Bintan, di Kecamatan
Gunung
Kijang,
adalah
penambangan
bauksit. Jumlah cadangannya cukup banyak
dengan kualitas terbaik di dunia.
Pengeksploitasian bauksit dari perut
bumi Pulau Bintan yang dimulai sejak tahun
1935 hingga 2002 itu sudah menguras habis
sebanyak 46.451.312 ton, dengan jumlah
ekspor 45.127.911 ton. Berdasarkan catatan
PT. Aneka Tambang (Antam), sejak tahun
1970, ekspor bauksit per tahun mencapai 1
juta ton. Setiap bulan sedikitnya 12 juta dollar
as dihasilkan dari ekspor bijih bauksit ke
Jepang dan Cina. Pihak pertama yang
memanfaatkan tambang bauksit adalah
3
perusahaan Belanda, hingga akhirnya diambil
alih pemerintah Republik Indonesia dan
dikelola PT Antam pada 1968 hingga
sekarang.
Bongkahanbongkahan
bekas
penggalian bauksit itu terlihat jelas di sekitar
Kijang, terutama di tiga tempat kawasan
penambangan, yaitu Pari, Wacopek dan
Lomesa.
2. 4 Metodologi
2.4.1 Bahan Dan Alat
Bahan dalam penelitian ini menggunakan
data pendukung dan data lapangan.
Data pendukung terdiri dari:
1. Peta geologi lembar tanjung pinang,
sumatera lembar tanjung pinang 1016,
1017 skala 1:250.000 dikeluarkan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi tahun 1994,
2. Peta sebaran sedimen permukaan dasar
laut perairan lembar 1016 (tanjung
pinang)
dikeluarkan
oleh
Pusat
Pengembangan
Geologi
Kelautan
Direktorat
Jenderal
Geologi
dan
Sumberdaya Mineral tahun 1996.
3. Peta lokasi bahan galian di pulau bintan
dan sekitarnya Kab. Kepulauan Riau
dikeluarkan
oleh
kantor
wilayah
Departemen Pertambangan dan Energi
Propinsi Sumatera Barat.
4. Peta topografi kepulauan riau Nibum
lembar 4 m/0, skala 1: 63.360 dikeluarkan
oleh Direktorat Geologi Bandung tahun
1940,
5. Peta topografi kepulauan riau teluk dalam
lembar 4i/15, skala 1: 63.360 dikeluarkan
oleh Direktorat Geologi Bandung tahun
1940,
6. Peta batimetri pulau-pulau Bintan alur
pelayaran di pantai Timur Bintan skala
1:100.000 dikeluarkan oleh Tentara
Nasional
Indonesia-Angkatan
Laut
Jawatan Hidro-Oseanografi Jakarta Mei
1983.
Data lapangan meliputi struktur kekar dan
batuan.
Alat yang digunakan secara langsung dalam
pekerjaan di lapangan yaitu : Kompas geologi,
palu geologi, kantong sampel batuan, loupe
(kaca pembesar) dan komparator batuan.
2.4.2 Metode Penelitian
2.4.2.1 Pengamatan Batuan
Pengamatan batuan di lapangan dengan
mendeskripsi jenis batuan beku dan batuan
sedimen
secara
megaskopis
yaitu
berdasarkan pandangan mata visual dan
secara mikroskopis melalui pengamatan
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
sayatan tipis batuan di bawah mata mikroskop
polarisasi batuan.
- Pemerian Batuan Beku secara mikroskopis
meliputi :
Jenis batuan, warna batuan, struktur dan
tekstur terdiri dari kristalinitas, granularitas,
dan fabrik
bentuk: kristal, relasi, komposisi
mineral: mineral utama dan mineral
tambahan.
1. Pemerian Batuan Sedimen secara
mikroskopis didasarkan pada:
Tekstur, struktur dan komposisi.
Berdasarkan cara pengendapannya,
batuan sedimen dibagi menjadi 2 (dua)
golongan besar yakni :
1. Batuan Sedimen Klastik
2. Batuan Sedimen Non-Klastik
Didalam memerikan batuan sedimen klastik
(tekstur), hal-hal yang perlu dibahas ialah
mengenai : warna, kekompakan, Porositas,
kebundaran bentuk mineral, butiran mineral,
matriks, semen, pemilahan dan kemas.
Berdasarkan
penyebab
pembentukannya, batuan sedimen dibagi
menjadi 2 golongan :
1. Batuan sedimen organik, terbentuk dari
bahan asal organik cangkang binatang
atau sisa
tumbuhan.
Tekstur
umumnya disebut Amorf (tidak kristalin).
2. Batuan sedimen kimiawi, terbentuk dari
hasil penguapan (evaporasi) larutan
garam dalam air. Tekstur umumnya
disebut kristalin, dibagi atas dasar ukuran
butir kristal :
- D > 2 mm
: kasar
- 0.006 < d < 2 mm : menengah
- D < 0.006
: halus
Langkah
selanjutnya,batuan
hasil
dari
lapangan
dianalisa
mineral-mineralnya
dengan terlebih dahulu dibuat sayatan tipis
batuan yang kemudian diamati dengan
menggunakan Mikroskop Polarisasi merk
LEITZ LABORLUX II POL Ernst Leitz Wetzlar
Gmbh. Sehingga dengan deskripsi mineralmineral tersebut dapat ditentukan penamaan
jenis batu / pasir yang diamati.
Hasil deskripsi batuan / pasir secara
petrografi terlampir dalam lampiran petrografi.
2.4.2.2 Pengamatan Struktur Kekar
Melakukan
pengukuran-pengukuran
struktur bidang di lapangan. Struktur bidang
adalah bidang perlapisan, kekar, sesar foliasi,
dan sebagainya. Di Pulau Bintan ditemukan
struktur kekar. Kedudukannya dinyatakan
dengan jurus dan kemiringan. Pengukurannya
dengan menggunakan kompas geologi
azimuth.
Struktur yang tersingkap di daerah penelitian
adalah kekar. Pada umumnya bidang kekar
4
ada sebagian yang telah terisi oleh mineral
kalsit. Kekar berkembang pada satuan granit.
Singkapan kekar dijumpai di Pulau Penyusuk,
Teluk Bakau dan Tanjung Kelun.
Data jurus dan kemiringan kekar-kekar
tersebut kemudian di input dan diproses
dengan menggunakan software “Dips” untuk
didapatkan arah tegasan struktur yang
mempengaruhinya.
Langkah-langkah
pemrosesan
data
kekar” yaitu dengan memasukkan data hasil
pengukuran kekar dan jurus dan diolah
dengan menggunakan suatu aplikasi khusus
untuk struktur geologi , software Stereonet
“Dips”.Dari hasil olah data metode aplikasi
komputer didapat gambaran berupa arah
gaya yang bekerja pada Pulau Bintan secara
regional maupun spasial gaya tekan minor di
pulau-pulau.
Hasilnya berupa proyeksi gaya dalm
format jaringt bumi stereonet dan disave
dalam format .dxf .Selanjutnya dapat dibuka
dengan program coreldraw untuk diedit
tampilannya. Gambar tampilan analisa kekar
dengan menggunakan software “Dips” dapat
dilihat pada lampiran.
2.5 Hasil Dan Pembahasan
2.5.1 Litologi Batuan Daerah Penelitian
Daerah penelitian terbagi atas dua
wilayah yaitu Kijang dan sekitarnya,
Kecamatan Bintan Timur dan Trikora dan
sekitarnya, Kecamatan Gunung Kijang.
Jenis batuan yang ditemui ialah batupasir
klastik, batupasir non klastik / organik dan
granit. Jenis batuan di wilayah penelitian di
Kecamatan Bintan Timur meliputi :
ƒ Pulau Dendang
Litologi batuan yang ditemukan adalah
batuan beku granit yang telah mengalami
pelapukan menjadi bauksit berwarna merah
hasil oksidasi.
ƒ Pulau Mana
Litologi batuan yang ditemukan adalah
batuan beku granit yang telah mengalami
pelapukan menjadi bauksit berwarna merah
hasil oksidasi.
ƒ Pulau Rusa
Litologi batuan yang ditemukan adalah
batuan beku granit yang telah mengalami
pelapukan menjadi bauksit berwarna merah
hasil oksidasi.
ƒ Pulau Ngalih
Pantai tertutup oleh batupasir halus
sampai kerakal.
Batuan beku granit yang telah mengalami
pelapukan menjadi bauksit berwarna merah
hasil oksidasi.
ƒ Pulau Kambat
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Litologi batuan yang ditemukan adalah
batuan sedimen nonklastik berupa batuan
sedimen organik yang terbentuk dari bahan
asal organik cangkang binatang berupa
kerang.
ƒ Pulau Ajab
Litologi batuan yang ditemukan adalah
batuan sedimen klastik batu pasir. Deskripsi
makroskopis : ukuran butir pasir halus –
pasir
sangat
halus,
bentuk
butir
membundar, fragmen mineral kuarsa,
kemas tertutup, pemilahan baik.
Memiliki struktur kekar yang intensif pada
litologi batuan beku granit dengan panjang
singkapan + 40 m.
ƒ Pulau Siulung
Batuan beku granit yang telah mengalami
pelapukan menjadi bauksit berwarna merah
hasil oksidasi.
ƒ Pulau Bulat
Batuan beku granit yang telah mengalami
pelapukan menjadi bauksit berwarna merah
hasil oksidasi.
Jenis batuan di wilayah penelitian di
Kecamatan Gunung Kijang meliputi :
ƒ Teluk Bakau
Deskripsi batuan beku intermediate
warna abu-abu, kristalinitas: holokristalin,
granularitas: berkristal sangat kasar d>30
mm, fabrik: bentuk kristal subhedralanhedral, relasi: inequigranular, tekstur:
porfiritik,
fenokris:
kuarsa,
piroksen
tertanam dalam masa dasar gelas.
Memiliki struktur kekar yang intensif pada
litologi batuan beku granit.
ƒ Pulau Beralas Pasir
Deskripsi batupasir halus berwarna putih,
ukuran halus (fine sand), sifat batupasir
loose/ lepas/ bercampur dengan fragmen
terumbu karang.
ƒ Pulau Penyusuk
Warna abu-abu, kristalinitas: holokristalin,
granularitas: berkristal sangat kasar d>30
mm, fabrik: bentuk kristal subhedralanhedral, relasi: inequigranular, tekstur:
porfiritik
fenokris: kuarsa, piroksen
tertanam dalam masa dasar gelas.
Memiliki struktur kekar yang intensif pada
litologi batuan beku granit.
ƒ Tanjung Kelun
Deskripsi batuan beku intermediate.
Warna abu-abu, kristalinitas: holokristalin,
granularitas: berkristal sangat kasar d>30
mm, fabrik: bentuk kristal subhedralanhedral, relasi: inequigranular, tekstur:
porfiritik
fenokris: kuarsa, piroksen
tertanam dalam masa dasar gelas.
Memiliki struktur kekar yang intensif pada
litologi batuan beku granit.
5
ƒ Pulau Beralas Bakau
Litologi batuan yang ditemukan adalah
batuan beku granit yang telah mengalami
pelapukan menjadi bauksit berwarna merah
hasil oksidasi.
Secara
mikroskopis
dilakukan
pengamatan sayatan tipis batuan untuk
diamati di bawah mikroskop polarisasi.
Identifikasi jenis, tekstur, struktur dan
prosentase mineral berguna untuk pemerian
nama batuan berdasarkan klasifikasi batuan
tertentu. Hasil deskripsi petrografi batuan
diperoleh nama batuan Lithic Tuff, Quartz
onsonit, Syenit dan Quatrz Greywacke.
Sedangkan hasil deskripsi petrografi
pasir diperoleh jenis pasir mineral bauksit,
polikristalin kuarsa, kuarsit dan pasir kuarsa.
Deskripsi lengkap mineralnya dapat dilihat di
lampiran petrografi.
Foto 1. Batuan granit yang terkekarkan di
Daerah Kerengge, Trikora,
Kecamatan Gunung Kijang
Foto 2. Cebakan mineral bauksit di Pulau
Angkut, Kijang, Kecamatan
Bintan Timur.
2.5.2 Stratigrafi Batuan Daerah Penelitian
Pembagian
urut-urutan
stratigrafi
(stratigraphic section) satuan batuan di
wilayah penelitian berdasarkan pada peta
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
geologi regional (Lembar Tanjung Pinang,
1016, 1017 tahun 1994 yang dikeluarkan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
P3G, Bandung) dengan mengkorelasikan
antara satuan batuan dengan peta geologi
yang mempunyai ciri deskripsi batuan yang
sama. Peta geologi daerah penelitian terdiri
dari satuan granit yang berumur Trias Akhir,
satuan batupasir klastik dan satuan batupasir
nonklastik
dari
Formasi
Goungon
disebandingkan dengan ketiga satuan batuan
di atas (tabel 1).
Urutan stratigrafi litologi ketiga jenis
satuan batuan tersebut dari tua ke muda yaitu
:
1. Satuan batupasir klastik (psk).
Berupa batupasir klastik tersebar di
Kecamatan Bintan Timur seperti di Pulau
Rusa, Pulau Ajab, Pulau Beralas Pasir.
2. Satuan batupasir nonklastik (psnk).
Berupa batupasir organik, terbentuk
dari bahan asal organik cangkang
binatang berupa kerang. Tersebar di
Pulau Kambat.
3. Satuan granit (trg).
Tersebar di Teluk Bakau, Tanjung
Kelun, Pulau Penyusuk berupa hasil
pelapukan dan proses peneplenisasi
menghasilkan mineral ekonomis seperti
cebakan bauksit yang tersebar di
Kecamatan Bintan Timur seperti di Pulau
Ngalih, dan Pulau Siulung.
Berdasarkan kesebandingan dengan peta
geologi regional lembar tanjungpinang, satuan
batupasir klastik dan satuan batupasir non
klastik sebanding dengan Formasi Goungon
yang berumur Akhir Pliosen – Awal Pliosen.
Satuan granit sebanding dengan Granit yang
berumur Awal Trias – Akhir Trias.
2.5.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian
Berdasarkan hasil pengolahan data
kekar dengan Program “Dips”, arah umum
dari tegasan struktur pembentuk kekar-kekar
di Pulau Penyusuk mempunyai arah utama
(σ1) U 57o T/69 o mengindikasikan jenis sesar
oblique telah terjadi di daerah ini. Di Teluk
Bakau arah tegasan utama (σ1) U 30o T/4o
mengindikasikan jenis sesar normal. Di
daerah Tanjung Kelun arah tegasan utama
(σ1) U 180o T/82o mengindikasikan jenis
sesar naik. Semua besar arah dan kemiringan
bidang seluruh kekar dan analisisnya dapat
dilihat pada lampiran.
Pada hasil pengamatan sayatan tipis
batuan
dengan
mikroskop
petrografi,
diketahui bahwa banyak mineral kuarsa yang
terkandung
pada
pasir
pantai
telah
mengalami deformasi berupa kenampakan
retakan2 pada permukaannya.
6
Struktur kekar dan retakan mineral
kuarsa yang dijumpai di lokasi, menunjukkan
adanya aktifitas tektonik baik aktif ataupun
pasif pernah terjadi di daerah ini.
daerah
pesisir
dan
sekitarnya
juga
mempercepat proses pengikisan (abration )
dan
pelapukan
(weathering)
yang
mengakibatkan perubahan garis pantai.
4. DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Sukendar,1984: Diktat Kuliah Geologi
Lapangan, Institut Teknologi Bandung,
tidak diterbitkan.
Mackenzre W.S C. Guilford,1980: Atlas of
Rock-Forming Minerals in Thin Section,
Longman Group
Ltd
London,
England.
Foto 3. Kekar Tension (tarik) pada litologi
Granit di Pulau Ajab.
… Laporan Pendahuluan Survai Bahan Galian Di
Pulau
Bintan
Dan
Sekitarnya
Kabupaten Kepulauan Riau , 1985:
Propinsi Riau, dikeluarkan oleh No.
08/SDM/KWDPE-PD/1985
Bidang
Geologi Kantor Wilayah Departemen
Pertambangan Dan Energi Propinsi
Sumatera Barat, Padang.
Foto 4. Kekar Tension (tarik) pada litologi
Granit di Tanjung Kelun.
3. KESIMPULAN
Kondisi Geologi Pulau Bintan dan pulaupulau di sekitarnya yang tersusun oleh litologi
batupasir dan granit relatif tidak memiliki
resistensi yang baik terhadap deformasi
struktur (gaya tekan yang bekerja di dalam
dan permukaan bumi) ataupun pula ditambah
dengan gangguan terhadapnya, seperti akibat
dari aktifitas penambangan pasir laut. Hal ini
terlihat dari intensifnya struktur kekar pada
litologi granit, deformasi internal (retakan)
mineral kuarsa pada pasir pantai dan proses
pelapukan alamiah batuan. Hal ini tentu
mengurangi kekuatan /resistensi batuan dasar
penunjang suatu pulau.
Pengambilan pasir laut juga akan
mengganggu bentukan morfologi bawah laut
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
7
LAMPIRAN
A. Deskripsi Petrografi Sayatan Tipis Batuan dan Penamaan Batuan
Jumlah sampel sayatan tipis batuan :
- Satu buah sampel 5 MG di Pulau Ajab
- Dua buah sampel 9 MG di Pulau Penyusuk
- Dua buah sampel 10 MG di Tanjung Kelun
Lokasi Pulau Ajab
No stasiun
Tgl pengamatan
Jam pengamatan
Lokasi pengamatan
Posisi GPS
Deskripsi lapangan
:
:
:
:
:
:
5 MG
13 sept 2003
14.30 wib
P. Ajab (lokasi Kijang kec. Bintan Timur)
Deskripsi batuan
:
Batu pasir berukuran fine sand-very fine sand, fragment
mineral kwarsa, kemas tertutup, pemilahan baik, bentuk butir
membundar. Memiliki struktur kekar berarah n 68o e (utama),
dan n 130 o e (minor). Panjang singkapan + 40 m
Pantai tersusun oleh batu pasir halus, terdapat singkapan
batu pasir (insitu) dengan struktur kekar. Morphology pantai
berbukti. Vegatasi: mangrove
Kode contoh : 5 MG
Mikroskopis :
Sayatan tidak berwarna sampai abu-abu kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah buruk,
kemas terbuka, terdiri dari kwarsa, mineral bijih, dalam matriks gelas dan mineral lempung.
Deskripsi mineralogi :
Kwarsa (8%): tidak berwarna, subhedral, relief rendah, warna interferensi abu-abu sampai
abu-abu kekuningan, belahan tidak ada.
Mineral bijih (2%): berwarna hitam tidak tembus cahaya, bentuk membundar tanggung.
Gelas (9%): tidak berwarna, bentuk menyudut sampai tidak beraturan, hadir sebagai
matriks bersama mineral lempung.
Mineral lempung (81%): berwarna abu–abu sampai coklat kekuningan, indek bias lebih
kecil dari balsam, relief rendah, isotrop, tersebar sebagai matriks.
Nama batuan: Lithic Tuff (Schmidt, 1981)
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
XPL
0,25 m m
Foto 5.. Foto sayatan tipis batuan sampel 5 MG dengan pembesaran 40 x
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
8
Lokasi Pulau Penyusuk
No stasiun
Tgl pengamatan
Jam pengamatan
Lokasi pengamatan
Posisi GPS
Deskripsi lapangan
:
:
:
:
:
:
Deskripsi batuan
:
9 MG
16 sept 2003
11.45 wib
P. Pennyusuk (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang)
Terdapat singkapan batuan granit yang memiliki kekar/joint. Di
dalam singkapan batuan granit terdapat batu pasir yang
berukuran halus sampai kasar, sebaran batu pasir tersebut
berupa spot-spot. Pantai tersusun oleh fragmen coral. Jenis
pantai berbatu tidak ada sempadan pantai.
Warna abu-abu, kristalinitas: holokristalin, granularitas:
berkristal sangat kasar d>30 mm, fabrik: bentuk kristal
subhedral-anhedral, relasi: inequigranular, tekstur: porfiritik
fenokris: kwarsa, piroksen tertanam dalam masa dasar gelas.
Kode contoh : 9 MG P. Penyusuk
Singkapan ini dilapangan tampak sebagai spot-spot yang menyebar di batuan induk.
Mikroskopis :
Sayatan tidak berwarna sampai abu-abu kecoklatan, bertekstur porfiritik, masadasar
phanaritik, hypidiomorf, holokristalin, berkomposisikan kwarsa, k-felspar, plagioklas, biotit dan
mineral bijih.
Deskripsi mineralogi :
Kwarsa (33%) : tidak berwarna, subhedral, relief rendah, warna interferensi abu-abu
sampai abu-abu kekuningan, belahan tidak ada.
K-felspar (15%): tidak berwarna sampai abu-abu, kembar karlsbad, polisintetis, relief
rendah, subhedral-anhedral, indeks bias lebih kecil dari balsam, diinklusi bijih.
Plagioklas (27%) : sebagai fenokris tidak berwarna, subhedral-anhedral, indek bias lebih
besar dari balsam, kembar albit, diinklusi oleh mineral bijih, jenis plagioklas an 23 (andesin).
Biotit (23%) : berwarna hijau pucat relief rendah, pleokroisme kuat, pemadaman lurus,
tekstur birds eye.
Mineral bijih (2%) : hitam, tidak tembus cahaya, bentuk subhedral-anhedral, sebagai
mineral inklusi dan granular dalam masadasar.
Nama batuan: Quartz Monsonit (R.B. Travis, 1955)
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
XPL
0,25 mm
Foto 6. Foto sayatan tipis batuan sampel 9 MG P.Penyusuk dengan pembesaran 40 x
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
9
Kode contoh : 9 MG
Singkapan ini dilapangan batuan granit yang memiliki kekar-kekar (joint)
Mikroskopis :
Sayatan tidak berwarna, phaneritik, hypidiomorf, holokristalin, berkomposisikan plagioklas,
k-felspar, piroksen, kwarsa, sebagian k-felspar terubah menjadi serisit.
Deskripsi mineralogi :
K-felspar (65%): tidak berwarna sampai abu-abu, kembar karlsbad, relief rendah,
subhedral-anhedral, indeks bias lebih kecil dari balsam, diinklusi bijih, kwarsa. Sebagian
terubah menjadi serisit.
Plagioklas (22%): sebagai fenokris tidak berwarna, subhedral-anhedral, indek bias lebih
besar dari balsam, kembar albit, diinklusi oleh mineral bijih.
Kwarsa (5%): tidak berwarna, subhedral, relief rendah, warna interferensi abu-abu sampai
abu-abu kekuningan, belahan tidak ada.
Biotit (5%): berwarna hijau pucat relief rendah, pleokroisme kuat, pemadaman lurus, tekstur
birds eye.
Serisit (3%): tidak berwarna sampai abu-abu terang, granular, berserabut halus, seperti
bersisik, indek bias lebih besar dari balsam, pseudomorfik, ubahan dari k-felspar.
Nama batuan : Syenit (R.B. Travis, 1955)
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
XPL
0,25 m m
Foto 7. Foto sayatan tipis batuan sampel 9 MG dengan pembesaran 40 x
Lokasi Tanjung Kelun
Deskripsi 10 MG batuan berwarna abu-abu.
No stasiun
Tgl pengamatan
Jam pengamatan
Lokasi pengamatan
Posisi GPS
Deskripsi lapangan
:
:
:
:
:
:
Deskripsi batuan
:
10 MG
16 sept 2003
17.00 wib
Tanjung Kelun (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang)
Pantai tersusun oleh material pasir halus dan fragmen
cangkang koral. Terdapat singkapan batu granit dan kekar.
Panjang singkapan batu granit 98, 80 m. Di dalam singkapan
batuan granit terdapat batu pasir yang berukuran halus
sampai kasar (mineral asing), sebaran batu pasir tersebut
berupa spot-spot. Panjang pasang-surut 10 m, panjang berm
3 m, dan kemiringan pantai
2 o.
Warna abu-abu, kristalinitas: holokristalin, granularitas:
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
10
berkristal sangat kasar d>30 mm, fabrik: bentuk kristal
subhedral-anhedral, relasi: inequigranular, tekstur: porfiritik
fenokris: kwarsa, piroksen tertanam dalam masa dasar gelas.
Jenis batuan beku intermediate.
Kode contoh : 10 MG/mineral asing
Singkapan ini dilapangan batu pasir yang berukuran halus tersebar sebagai spot-spot di dalam
batuan induk.
Mikroskopis :
Sayatan tidak berwarna, phanaritik, hypidiomorf, holokristalin, berkomposisikan k-felspar, biotit,
kwarsa, sebagian terubah menjadi serisit dan epidot.
Deskripsi mineralogi :
K-felspar (83%): tidak berwarna sampai abu-abu, kembar karlsbad, relief rendah,
subhedral-anhedral, indeks bias lebih kecil dari balsam, diinklusi bijih, kwarsa. Sebagian
terubah menjadi serisit.
Kwarsa (4%) : tidak berwarna, subhedral, relief rendah, warna interferensi abu-abu sampai
abu-abu kekuningan, belahan tidak ada.
Biotit (8%) : berwarna hijau pucat relief rendah, pleokroisme kuat, pemadaman lurus,
tekstur birds eye.
Serisit (4%) : tidak berwarna sampai abu-abu terang, granular, berserabut halus, seperti
bersisik, indek bias lebih besar dari balsam, pseudomorfik, ubahan dari k-felspar.
Epidot (1%) : berwarna hijau pucat relief rendah, pemadaman lurus, pleokroisme kuat,
sebagai mineral ubahan dari k-felspar.
Nama batuan : Syenit (R.B. Travis, 1955)
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
XPL
0,25 mm
Foto 8. Foto sayatan tipis batuan sampel 10 MG/mineral asing dengan pembesaran 40 x
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
11
Kode contoh : 10 MG
Singkapan ini dilapangan batuan beku intermediate
Mikroskopis :
Sayatan tidak berwarna sampai abu-abu kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah buruk,
kemas terbuka, terdiri dari felspar, piroksen, fragmen batuan, fosil, mineral bijih, dalam matriks
gelas dan mineral lempung.
Deskripsi mineralogi:
Kwarsa (59%) : tidak berwarna, membundar-membundar tanggung, relief rendah, warna
interferensi abu-abu sampai abu-abu kekuningan, belahan tidak ada.
Fragmen batuan sedimen (6%): berwarna abu abu kecoklatan sampai coklat, berbutir
halus, membundar - membundar tanggung.
Fragmen fosil (7%) : tidak berwarna sampai coklat terang, relief bergelombang, interferensi
kuning terang, pleokroisme lemah, bentuk beraturan mengisi bentuk cangkang.
Silika (2%) : tidak berwarna, bentuk menyudut-membundar tanggung, relief rendah,
pemadaman bergelombang, mozaik.
Mineral bijih (4%) : berwarna hitam tidak tembus cahaya, bentuk membundar tanggung.
Mineral lempung (22%) : berwarna abu–abu sampai coklat kekuningan, indek bias lebih
kecil dari balsam, relief rendah, isotrop, tersebar sebagai matriks dan semen.
Nama batuan: Quartz Greywacke (Pettijohn, 1975)
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
XPL
0,25 m m
Foto 9. Foto sayatan tipis batuan sampel 10 MG dengan pembesaran 40 x
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
12
B. Analisis Struktur Kekar Daerah Tanjung Kelun
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
13
C. Analisis Struktur Kekar Daerah Pantai Trikora
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
14
D. Analisis Struktur Kekar Daerah Pulau Penyusuk
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
15
E. Kesebandingan Regional Daerah Tanjungpinang (Kusnama, Dkk., 1994) Dengan Daerah
Penelitian.
Peta Geologi Regional
Lembar TanjungPinang
(Kusnama, dkk., 1974)
Qa
Kuarter
Holosen
Peistosen
Endapan
Batuan
Permukaan
Terobosan
(Penulis, 2003)
Psk
QTg
Psnk
Pliosen
TmP
Miosen
Tersier
Akhir
Tma
Tengah
Awal
Oligosen
Eosen
Paleosen
Kapur
Akhir
KsP
Awal
Mesozoikum
Jura
Akhir
Trias
Kenozoikum
Psk
Psnk
Trg
Qa
QTg
TmP
Tma
Kss
KsP
Kss
JP
Jg
Tsd
Tg
Trg
Awal
Perm
PCmb
Karbon
=
=
=
=
=
=
=
=
=
Keterangan :
Satuan batupasir klastik
Satuan batupasir non klastik
Satuan granit
Aluvium
Formasi Goungon
Formasi Tanjungkerotang
Andesit
Formasi Semarung
Formasi Pancur
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
JP
Tsd
PCmb
Jg
Tg
=
=
=
=
=
Formasi Pulau Panjang
Formasi Duriangkang
Formasi Berakit
Granit Monzo
Granit
16
MORFOLOGI PANTAI WILAYAH
KEC.BINTAN TIMUR DAN KEC. GUNUNG KIJANG
Oleh : D. Purbani, G. Kusumah dan E. Erwanto
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati
Badan Riset Kelautan dan Perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan
Jl. MT. Haryono Kav. 52-53 Pancoran, Jakarta Selatan
Telp. 79180303 ext. 2368
email: [email protected] dan [email protected]
ABSTRAK
Morfologi Pantai di Pulau Bintan terdiri dari tiga jenis Pantai Berbatu, Pantai Berpasir dan
Pantai Hutan Mangrove. Pantai Berbatu tersebar di Pulau Penyusuk, Pulau Kerapu, Pulau
Balau, Pulau Kerengge dan Pulau Payung. Pantau Berpasir tersebar di Pulau Rusa, Pulau
Kambat, Pulau Ajab, Pulau Beralas Pasir dan Pulau Siulung. Sedangkan Pantai Hutan
Mangrove tersebar di Pulau Dendang, Pulau Mana, Pulau Ngalih, Pulau Bulat dan Pulau
Beralas Bakau. Pantai Berbatu yang terbentuk akibat dari proses tektonik dan tersusun oleh
batuan beku granit sehingga resistant terhadap penambangan pasir. Pantai Berpasir yang
tersusun oleh lumpur dan pasir akibat dari proses hidrolis, sangat rentan terhadap
penambangan pasir.
Kata Kunci: Pantau Berbatu, Pantai Beralas Pasir dan Pantai Hutan Mangrove.
ABSTRACT
The Beach Morphology in Bintan Island consists of three type Rocky Beach, Sandy Beach
and Mangrove Forest Beach. The Rocky Beach is found distributed in Rocky Beach in
Penyusuk Island, Kerapu Island, Balau Island, Kerengge Island and Payung Island. The Sandy
Beach is distributed in Rusa Island, Kambat Island, Ajab Island, Beralas Pasir Island, and
Siulung Island. While the Mangrove Forest Beach is in Dendang Island, Mana Island, Ngalih
Island, Bulat Island, and Beralas Bakau Island. The Rocky Beach is formed through the tectonic
process therefore and composed by granite rock and made it resistant against sand mining. The
Sandy Beach is composed by mud and sand which resulted form hydraulic process and made it
very susceptible for sand mining.
Keywords: Rocky Beach, Sandy Beach, and Mangrove Forest Beach.
1. PENDAHULUAN
Secara
geografis
Pulau
Bintan
merupakan pulau yang terdekat dan terbesar
setelah Pulau Batam. Untuk memudahkan
akses ke berbagai pulau, pemerintah
setempat mendirikan pelabuhan di Tanjung
Pinang sebagai fasilitas transportasi laut.
Sebagai wilayah kepulauan maka sarana
transportasi laut sangat sesuai dengan
lingkungan sekitar, dimana Pulau Bintan
memiliki
gugusan
pulau-pulau
dengan
dimensi yang bervariasi. Sebagian besar
pulau-pulau
tersebut
dapat
dihuni,
kebanyakan
penduduk
setempat
memanfaatkan untuk tempat persinggahan.
Secara umum keadaan morfologi pantai
di Pulau Bintan merupakan pantai berpasir.
Sedangkan gugusan pulau-pulau mempunyai
karakteristik yang berbeda satu dengan yang
lainnya, sehingga jenis morfologi gugusan
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
pulau-pulau tersebut bervariasi. Pada umunya
dapat dibagi menjadi tiga jenis morfologi
pantai antara lain; pantai berpasir, pantai
berbatu dan pantai hutan mangrove.
Komponen dari Pantai Berpasir (Sandy
Beach) terdiri dari kwarsa dan feldspar. Pantai
berpasir kasar menyebabkan sebagain kecil
permukannya menyerap bahan organik baik
yang terlarut maupun yang berukuran sangat
kecil, serta yang tersedia untuk bakteri.
Parameter lingkungan utama bagi daerah
berpasir adalah (1) Pola arus yang akan
mengikuti pasir yang halus (2) Gelombang
yang akan melepaskan energinya di pantai
dan (3) Angin dapat pula sebagai pengangkut
pasir.
Pantai
Berbatu
(Rocky
Beach)
merupakan pantai yang berbatu-batu yang
memanjang ke laut dan terbenam air.
17
Parameter
lingkungan
utama
yang
mempengaruhi kondisi pantai berbatu adalah:
(1) fenomena pasang, dinamikanya sangat
berpengaruh
terhadap
biota
yang
menginginkan kondisi alam yang bergantian
antara tergenang dan terbuka; (2) gelombang,
energi yang dihempaskan bisa merusak
komunitas biota yang menempel di batubatuan terutama pada batu yang langsung
menghadap ke laut.
Pantai Hutan Mangrove banyak tumbuh
di sepanjang pantai-pantai yang terlindung
dari gelombang besar dan pasang surut yang
kuat.
Proses pembentukan pantai berkaitan
dengan pembentukan pulau. Karakteristik
pembentukan pulau dibedakan dari bentuk
geometri pulau, dan susunan materialnya.
Bentuk geometri pulau terdiri atas tiga
kategori yaitu pulau besar (seperti Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan), pulau sedang
(seperti Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur dan pulau-pulau di Propinsi
Maluku), serta pulau kecil (Kepulauan Seribu
dan seluruh pulau kecil yang ada di
Kepulauan Riau, Mentawai). Sedangkan dari
susunan materialnya yaitu pulau terbentuk
dari hasil endapan hidrolis arus laut berupa
pulau pasir atau lumpur dan pulau dari proses
tektonik yang materialnya berupa batuan
(rock).
1.1 Tujuan Dan Sasaran Penelitian
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
mengidentifikasikan jenis-jenis pantai yang
ada di Pulau Bintan, sehingga dapat diketahui
pantai-pantai mana saja yang resistan
terhadap penambangan pasir laut.
Sasaran dari kegiatan ini adalah
memberikan rekomendasi kepada pemda
setempat terhadap pulau-pulau mana saja
yang dilindungi dan yang dapat dieksploitasi
untuk penambangan pasir laut. dan di pesisir
Kec. Gunung Kijang, Kabupaten Kepulauan
Riau,Propinsi Riau(Gambar 1 dan Gambar 2).
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
2. Isi Dan Pembahasan
2.1 Metodologi Penelitian
Data yang digunakan untuk
penelitian:
1. Data Pendukung
2. Data Lapangan
melakukan
1.2 Lokasi Penelitian
Secara geografis lokasi studi morfologi
pantai ini terletak di pesisir Kec. Bintan Timur
Data Pendukung terdiri dari:
1. Peta Topografi Kepulauan Riau
Nibum Lembar 4 M/O, skala 1:63.360
Dikeluarkan oleh Direktorat Geologi
Bandung Tahun 1940,
2. Peta Topografi Kepulauan Riau
Telukdalam Lembar 4I/15, skala
1:63.360 Dikeluarkan oleh Direktorat
Geolgi Bandung Tahun 1940,
3. Lembar Peta Batimetri Pulau-pulau
Riau Alur Pelayaran di Pantai Timur
Bintan Dikeluarkan oleh Tentara
Nasional Indonesia-Angkatan Laut
Jawatan Hidros-Oseanografi Jakarta
Mei 1984, terbagi 2 yaitu;
- Peta Batimetri Pantai Timur Bintan
skala 1:100.000
- Peta Batimetri Selat Kijang,
Dendang dan Kelong skala
1:20.000
Data Lapangan terdiri dari:
1. Pengukuran Morfologi Pantai meliputi:
Pengukuran kemiringan pantai
Pengukuran panjang pasang-surut
Pengukuran panjang berm
2. Pengamanatan material penyusun pulau
Alat:
1. Kompas Geologi,
2. Kaca Pembesar,
3. Meteran ,
4. Kamera foto
18
Gambar 1. Peta Lokasi Pengamatan Morfologi Pantai Kec. Bintan Timur Kep. Riau
Gambar 2. Peta Lokasi Pengamatan Morfologi Pantai Kec. Gunung Kijang Kep. Riau
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
19
Dalam penjabaran metode penelitian terbagi
menjadi tiga bagian:
1. Penggunaan Peta Topografi dan Peta
Batimetri
2. Pengukuran Morfologi Pantai
3. Diskripsi material penyusun pantai
2.1.1 Penggunaan Peta Topografi Dan Peta
Batimetri
Pengamatan di lapangan menggunakan
Peta Topografi Kepulauan Riau Tahun 1940
dilengkapi dengan Peta Batimetri Pulau-pulau
Riau Alur Pelayaran Pantai Timur Bintan.
Sebagaimana diketahui bahwa Peta
Topografi menggambarkan rupa bumi wilayah
tersebut sehingga informasinya meliputi kontur
gunung, kontur bukit, sungai, danau, jalan,
batas propinsi, batas kabupatendan garis
pantai. Peta Batimetri menggambarkan garis
pantai, kontur kedalaman laut, jalur pelayaran,
dan lintasan kabel. Penggabungan dari peta
topografi dan peta batimetri akan memberikan
informasi yang lengkap.
Pada penelitian ini digunakan Peta
Topografi yang dikeluarkan oleh Direktorat
Geologi Tahun 1940 dan Peta Batimetri yang
dikeluarkan oleh Tentara Nasional IndonesiaAngkatan Laut Jawatan Hidros-Oseanografi
Jakarta Mei 1984. Disini terlihat bahwa
informasi yang dikeluarkan dari masingmasing peta memberikan informasi yang
berarti bagi penelitian ini.
Dari pengamatan kedua peta tersebut
diperoleh:
1. Penamaan pulau di Peta Topografi dan
Peta Batimetri mengalami perubahan
2. Terdapat sebaran pulau yang hanya
tampak di Peta Batimetri sedangkan di
Peta Topografi tidak ada.
Tabel 1. Perubahan penamaan pulau
No
1.
No
1.
Peta Batimetri
Pulau Siulung
2.
3.
4.
5.
6.
Peta Topografi
Pulau
Sendsolong
Pulau Burato
Pulau Tiau
Pula Rosesa
Pulau Kojan
Pulau Pengidan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pulau Empuru
Pulau Tu
7.
8.
Pulau Bulat
Pulau Riau
Pulau Rosa
Pulau Koyang
Pulau
Pangedan
Pulau Memporo
Pulau Dua
Sebaran Pulau yang hanya terdapat di Peta
Batimetri yaitu:
1. Pulau Bulang
2. Pulau Kenau
2.1.2 Pengukuran Morfologi Pantai
Pengamatan langsung dilakukan di
dengan melakukan pengukuran:
1. Panjang Pasang Surut
2. Panjang Berm
3. Kemiringan Pantai
lapangan
2.1.2.1 Pengukuran Panjang Pasang Surut
Dilakukan dengan menggunakan meteran.
Dalam pengukuran ini dimulai dari surut terendah
sampai pasang tertinggi. Maksud dari pengukuran
ini untuk menghitung luas sempadan pantai.
Sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai
yang diperuntukan bagi pengamanan dan
pelestarian pantai.
2.1.2.2 Pengukuran Panjang Berm
Berm adalah permukaan yang relative datar terletak
pada zona backshore (Gambar 3). Zona Beckshore
adalah zona
untuk pemanfaatan lahan yang
Gambar 3. Penampang Morfologi Pantai (source: Knight, M. Tom. 1990 Physical Geography A
Landscape Appreciation Third Edition. Prentice all Englewood Cliffs, N.J. 07632)
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
20
digunakan untuk perkebunan, pembangunan
resort. Pengukuran dimulai dari batas antara
foreshore dan backshore biasanya ditandai
dengan
melandainya
pantai
dalam
pengukuran ini mengunakan meteran
(5 mm > Ø > 1 mm) dan halus (Ø < 1
mm)
Afanitik contoh mineral gelas
C. Fabrik (susunan dan hubungan dari pada
kristal)
2.1.2.3 Kemiringan Pantai
Pengukuran kemiringan pantai untuk
mengetahui terjal atau landai. Semakin pantai
landai sampai mendekati datar maka pantai
tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan seperti wisata bahari. Namun,
jika pantai tersebut terjal pemanfaatan
lahannya menjadi sangat terbatas.
Pengukuran ini menggunakan kompas
geologi, untuk mendapatkan kemiringan
pantai.
Batuan Sedimen dibagi dua macam
Batuan Sedimen Klastik dan Batuan Sedimen
Nonklastik yang masing-masing mempunyai
parameter yang berbeda. Parameter batuan
sedimen
klastik
terdiri
dari:
warna,
kekompakkan, porositas, kebundaran, butiran,
matriks, semen, pemilahan, dan kemas.
Parameter
batuan
sedimen
nonklastik
didasarkan pada penyebab pembentukannya,
dibagi dua golongan: batuan sedimen organik
cangkang dan batuan sedimen kimiawi.
Batuan Piroklastik merupakan batuan
yang tersusun dari material yang dierupsikan
dari gunung api, ditransport oleh udara dn
diendapkan di darat, di danau dan di laut.
Paremeter terdiri dari ukuran butir, struktur
dan komposisi mineral.
2.1.3 Diskripsi Material Penyusun
Pengamatan langsung di lapangan
dengan bantuan Kaca Pembesar (loupe)
Material penyusun pantai dapat dibagi
dua macam:
1. Material yang lepas
2. Material yang masiv berupa singkapan
batuan beku, batuan sedimen dan batuan
piroklastik
Parameter yang digunakan dalam diskripsi
batuan beku:
A. Kristalinitas (derajat kristalisasi mineral)
terdiri dari holokristalin, hipokristalin, dan
holohialin
B. Granularitas (besar butir) terdiri dari
Fanerik dan Afanitik
Fanerik kristal-krsitalnya sangat jelas
ukuran berkristal sangat kasar (Ø > 30
mm), kasar (30 mm > Ø > 5 mm), sedang
2.2 Hasil Dan Pembahasan
Ekosistem pesisir morfologi pantai di Pulau
Bintan pada umumnya terbagi menjadi tiga
jenis:
1. Pantai Berbatu dengan sebaran Pulau
Penyusuk, Pulau Kerapu, Pualau Balau,
Pulau Kerengge, dan Pulau Payung.
2. Pantai Berpasir dengan sebaran Pulau
Rusa, Pulau Kambat, Pulau Ajab, Pulau
Beralas Pasir dan Pulau Siulung.
3. Pantai Hutan Mangrove dengan sebaran:
Pulau Dendang, Pulau Mana, Pulau
Ngalih, Pulau Bulat, dan Pulau Beralas
Bakau.
2.2.1 Pantai Berbatu
Foto1. Pulau Penyusuk dengan
karakteristik pulau berbatu dan terdapat sturktur
kekar
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
21
Pulau Penyusuk
Diskripsi lapangan
:
Terdapat singkapan batuan granit yang memiliki kekar/joint. Di
dalam singkapan batuan granit terdapat batu pasir yang
berukuran halus sampai kasar, sebaran batu pasir tersebut
berupa spot-spot. Pantai tersusun oleh fragmen coral. Jenis
pantai berbatu tidak ada sempadan pantai.
Diskripsi batuan
:
Warna abu-abu, Kristalinitas: holokristalin, Granularitas:
berkristal sangat kasar d>30 mm, Fabrik: bentuk kristal
subhedral-anhedral, relasi: inequigranular, Tekstur: porfiritik
fenokris: kwarsa, piroksen tertanam dalam masa dasar gelas.
Diskripsi pantai
:
Backshore type: moderate
Beach type: flat
Sediment: boulder
Biota presence: mangrove
Land cover/use: mangrove
Reef type: fringing
Seabed: flat
Morphology: rocky, open beach, volcanism
Stability: stable
Human effects: fish traps
Defenses: stable
Pollution: none
Shore form: flat
Shore material : bedrock
Resources: flora, fish
Pulau Kerapu, Pulau Balau, Pulau Kerengge dan Pulau Payung
memilki kenampakkan lapangan yang sama. Perincian diskripsi lapangan sebagai berikut:
Diskripsi lapangan
:
Tersusun oleh batuan granit
Diskripsi batuan
:
Warna abu-abu, Kristalinitas: holokristalin, Granularitas:
berkristal sangat kasar Ø>30 mm, Fabrik: bentuk kristal
subhedral-anhedral, relasi: inequigranular, Tekstur: porfiritik
fenokris: kwarsa, piroksen tertanam dalam masa dasar gelas.
Diskripsi pantai
:
Backshore type: moderate
Beach type: flat, no beach
Sediment: gravel, sandy gravel, dan sand
Biota presence: sea grass, coral live
Land cover/use: settlement, agriculture, forest dan mangrove
Reef type: fringing
Seabed: flat
Morphology: open beach, barrier island
Stability: stable
Human effects: fish traps
Defenses: bagian utara stables, bagian timur eroding
Pollution: solid
Shore form: flat
Shore material : sandy gravel, sand
Resources: flora
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
22
2.2.2 Pantai Berpasir
Foto 2. Pulau Rusa tersusun oleh batu pasir yang
berukuran bercampur fragmen cangkang foram besar.
Sudut kelerangan pantai 5 o Panjang pasang surut
10,85 m. Panjang berm 9,5m
Foto 3. Pengukuran sudut kemiringan
besar sudut 8 o
Lokasi Pulau Kambat
Foto 4. Mengukur Berm
Panjang Berm 13,2 m,
Panjang Pasang-Surut 8,8 m
Lokasi Pulau Kambat
Pulau Rusa
Diskripsi lapangan
:
Pantai tersusun oleh batu pasir yang berukuran
0.5 cm-5 cm (halus-sedang) bercampur fragmen cangkang
foram besar. Sudut kelerangan pantai 5 o
Panjang pasang surut 10,85 m.
Panjang berm 9,5m
Pantai tertutup oleh vegetasi; mangrove yang berarah UtaraBarat Laut panjang mangrove mencapai 150m-200m.
Diskripsi batuan
:
Warna merah akibat teroksidasi kenampakkan seperti lempung
mungkin mineral bauksit.
Diskripsi pantai
:
Backshore type: moderate
Beach type: flat
Sediment: sandy gravel, sand
Biota presence: mangrove
Land cover/use: mangrove, other
Reef type: fringing
Seabed: flat
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
23
Morphology: open beach, barrier island
Stability: stable
Human effects: fish traps
Defenses: stables
Pollution: solid
Shore form: flat
Shore material : sand
Resources: flora
Pulau Kambat
Diskripsi lapangan
:
Pantai berpasir putih dengan material dasar terumbu, terdapat
terumbu berwarna biru kemungkinan cangkang dari kima.
Panjang pasang surut 8,8 m
Panjang berm 13, 2m
Sudut kemiringan lereng 8 o.
Diskripsi batuan
:
Batuan sediment organik dari terumbu karang merupakan
batuan sediment nonklastik.
Diskripsi pantai
:
Backshore type: moderate
Beach type: flat
Sediment: sandy gravel, coral/shell
Biota presence: coral live, mangrove
Land cover/use: forest, mangrove
Reef type: fringing
Seabed: flat
Morphology: open beach, barrier island
Stability: stable
Human effects: fish traps
Defenses: stables, little eroding
Pollution: solid
Shore form: flat
Shore material : sand
Resources: aquatic fauna, flora, fish
Diskripsi lapangan
:
Pantai tersusun oleh batu pasir halus, terdapat singkapan
batu pasir (insitu) dengan struktur kekar. Morphology pantai
berbukti. Vegatasi: mangrove
Tidak ada pengukuran morphologi pantai.
Diskripsi batuan
:
Batu pasir berukuran fine sand-very fine sand, fragment
mineral kwarsa, kemas tertutup, pemilahan baik, bentuk butir
membundar. Memiliki struktur kekar berarah N 68o E (utama),
dan N 130 o E (minor). Panjang singkapan + 40 m
Diskripsi pantai
:
Backshore type: moderate
Beach type: flat
Sediment: sandy gravel, sand
Biota presence: mangrove
Land cover/use: mangrove, other
Reef type: fringing
Seabed: flat
Morphology: open beach, barrier island
Stability: stable
Human effects: fish traps
Defenses: stables
Pollution: solid
Pulau Ajab
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
24
Shore form: flat
Shore material : sand
Resources: flora
Pulau Beralas Pasir
Diskripsi lapangan
:
Pantai mempunyai sempadan pantai yang cukup lebar 45 m,
material penyusun terdiri dari batu pasir yang berukura halussedang. Morphologi pantai di beberapa tempat tampak
mempunyai ketinggian dengan tinggi mencapai 1-1.5, dan
dibeberapa tempat tampak datar. Terdapat abrasi di beberapa
tempat. Panjang pasang-surut 65 m, panjang berm 2 m,
dengan slope kemiringan 3 o.
Diskripsi batuan
:
Batu pasir halus bercampur dengan fragmen terumbu karang.
Diskripsi pantai
:
Backshore type: moderate
Beach type: flat
Sediment: sand
Biota presence: mangrove
Land cover/use: forest
Reef type: fringing
Seabed: flat
Morphology: open beach
Stability: stable, eroding
Human effects: fish traps
Defenses: stable
Pollution: none
Shore form: flat
Shore material : sand
Resources: fish
Diskripsi lapangan
:
Pantai mengalami abrasi dengan tinggi 5 m, dan lebar abrasi
25 m. Panjang pasang-surut 10,7 m. Panjang berm 3 m.
Di P. Siulung kenampakkan pantai sebagian merupakan
daerah perumahan nelayan, dan sebagian lagi sebagian
pantai.
Diskripsi batuan
:
Warna merah hasil oksidasi sudah mengalami pelapukan,
kemungkinan bauksit.
Diskripsi pantai
:
Backshore type: moderate
Beach type: flat, no beach
Sediment: gravel, sandy gravel, dan sand
Biota presence: sea grass, coral live
Land cover/use: settlement, agriculture, forest dan mangrove
Reef type: fringing
Seabed: flat
Morphology: open beach, barrier island
Stability: stable
Human effects: fish traps
Defenses: bagian utara stables, bagian timur eroding
Pollution: solid
Shore form: flat
Shore material : sandy gravel, sand
Resources: flora
Pulau Siulung
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
25
2.2.3 Pantai Hutan Mangrove
Foto 5. Pulau Ngalih di kelilingi oleh
mangrove yang cukup tebal, tidak ada
sempadan pantai, dan kondisi perairan
tenang.
Pulau Dendang
Diskripsi lapangan
:
Tidak ada sempadan pantai. Pantai tertutup mangrove.
Diskripsi batuan
:
Warna merah akibat teroksidasi dan mengalami pelapukan
kenampakkan seperti lempung mungkin mineral bauksit .
Sampel batuan tidak insitu.
Diskripsi lapangan
:
Tertutup oleh mangrove, tidak ada sempadan pantai.
Diskripsi batuan
:
Warna merah akibat teroksidasi kenampakkan seperti
lempung mungkin mineral bauksit.
Diskripsi lapangan
:
Pantai bermangrove, tidak ada sempadan pantai, sudut
kelerengan pantai 3 o. Pengukuran panjang pasang-surut 9,25
m. Pantai berbukit dijumpai mata air. Vegetasi: pakis laut,
ilalang, kelapa. Terdapat mata air tawar.
Diskripsi batuan
:
Pantai tertutup oleh batu pasir halus sampai kerakal,
berwarna merah sudah mengalami pelapukan oksidasi.
Diskripsi lapangan
:
Pantai mengalami abrasi, kondisi pantai berbukit, tidak ada
sempadan pantai.
Diskripsi batuan
:
Warna merah hasil oksidasi sudah mengalami pelapukan,
kemungkinan bauksit.
Diskripsi pantai
:
Tidak ada pantai/no beach
Pulau Mana
Pulau Ngalih
Pulau Bulat
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
26
Pulau Beralas Bakau
Diskripsi lapangan
:
Seluruh pantai ditumbuhi mangrove, namun masih terlihat
pantai, landai dan berpasir putih, seabed landai-jarak ke tubir
250 m dan ditumbuhi lamun dan koral.
Diskripsi batuan
:
Warna merah hasil oksidasi sudah mengalami pelapukan,
kemungkinan bauksit.
Diskripsi pantai
:
Backshore type: low, plantation
Beach type: flat
Sediment: sandy gravel, dan sand
Biota presence: sea grass, coral live dan mangrove
Land cover/use: forest dan mangrove
Reef type: fringing
Seabed: flat
Morphology: open beach
Stability: stable
Human effects: fish traps
Defenses: stables
Pollution: none
Shore form: flat
Shore material : sandy gravel, dan mud
Resources: aquatic fauna, flora
2.2.4 Pendiskripsian Pasir
Pasir yang bersifat lepas, dikompaksi
dengan menggunakan lem Glueco kemudian
dibuat
sayatan
tipis.
Diskripsi
pasir
berdasarkan mineral penyususunnya, karena
sayatan tipis pasir direkatkan dengan lem
Gluecol (tidak bersifat alami), maka tidak
dapat diberi nama.
Unsur-unsur yang dapat didiskripsikan yaitu:
1. Warna mineral,
2. Mineral penyusun,
3. Bentuk butir mineral,
4. Ukuran butir mineral,
5. Diskripsi optik butir mineral
Uraian pasir terlampir dalam lampiran
diskripsi petrografis pasir.
2.3 Analisis Morfologi Pantai
Sebagaimana
diketahui
bahwa
di
Kepulaua Karimun Propinsi Kepulauan Riau
telah terjadi penambangan pasir laut. Dampak
yang ditimbulkan sangat beragam antara lain;
laut menjadi keruh, populasi ikan laut
berkurang, rusaknya terumbu karang di
sekitarnya, misalnya karena perubahan
geologi pulau atau pantai di sekitarnya.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Jika dilihat dari material penyusun pulau,
maka jika terjadi penambangan pasir laut,
pulau yang cukup stabil terhadap perubahan
morfologi dasar laut adalah pulau berbatu.
Ekosistem pesisir morfologi pantai berbatu
lebih tahan terhadap penambangan pasir laut,
hal ini didasarkan pada kekuatan batuan
penyusun yang terdiri dari batuan beku granit.
3. Kesimpulan Dan Saran
3.1 Kesimpulan
1. Ekosistem pesisir pantai di Pulau Bintan
yang terbagi tiga yaitu Pantai Berbatu,
Pantai Berpasir dan Pantai Hutan
Mangrove. Pantai Berbatu tersebar di
Pulau Penyusuk, Pulau Kerapu, Pulau
Balau, Pulau Kerengge, dan Pulau
Payung. Pantai Berpasir tersebar di Pulau
Rusa, Pulau Kambat, Pulau Ajab, Pulau
Beralas Pasir, dan Pulau Siulung.
Sedangkan Pantai Hutan Mangrove
tersebar di Pulau Dendang, Pulau Mana,
Pulau Ngalih, Pulau Bulat dan Pulau
Beralas Bakau.
2. Material penyusun Pantai Berbatu batuan
beku granit, material penyusun Pantai
Berpasir lumpur dan pasir, dan Pantai
Hutan Mangrove tertutup oleh vegetasi
mangrove.
27
3.2 Saran
4. Daftar Pustaka
1.
Bengen. D. G. 2001 : Ekologi dan Analisis
Keterkaitan Ekosistem Wilayah Pesisir
dan Dinamika Perairan Wilayah Pesisir.
Pelatihan
Perencanaan
dan
Pengelolaan Wilayah Pesisir/ ICZPM
(Integrated Coastal Zone Planning And
Management) Kerjasama Direktorat
Jenderal Pesisir, Pantai dan PulauPulau Kecil Departemen Kelautan dan
Perikanan
dengan
Pusat
Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut
Pertanian Bogor.
2.
Jika
penambangan
pasir
laut
dilaksanakan di perairan Pulau Bintan
maka yang harus dilakukan adalah
pembuatan tata ruang wilayah laut. Dari
tata ruang baru dapat ditentukan daerah
mana saja yang harus dilindungi dan
daerah mana saja yang bisa dieksploitasi.
Melihat ekosistem pesisir pantai di Pulau
Bintan yang terbagi tiga yaitu Pantai
Berbatu, Pantai Berpasir dan Pantai
Hutan
Mangrove,
direkomendasikan
daerah
yang
diperuntukkan
untuk
pelestarian alam adalah Pantai Hutan
Mangrove. Penambangan pasir dapat
dilaksanakan di Pantai Berbatu dan
Pantai Berpasir dengan melalui beberapa
persyaratan antara lain pembuatan zona
penyangga atau buffering disekitar pulaupulau kecil. Kisaran luas buffering
tersebut kurang lebih 2 mil dari garis
pantai. Alasan ini mengacu pada
ekosistem di sekitar pantai pada jarak
antara 0-2 mil dari garis pantai, memiliki
keanekaragaman biota laut. Lepas dari 2
mil ekosistemnya diasumsikan homogen
dan kurang bervariasi. Disamping itu pasir
yang telah dikeruk harus dianalisa dulu
sebelum dilakukan penambangan secara
besar-besaran. Tujuan dari analisa ini
adalah untuk mengetahui kandungan
pasir
tersebut
apakah
memang
mengandung pasir saja atau memiliki
campuran lain seperti pasir kwarsa,
hematit, mangan, besi, dan mineralmineral lain yang memiliki nilai ekonomis.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S. P., Sitepu.
1996 : Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Cetakan Pertama PT Pradnya
Paramita Jakarta.
Dahuri, R. 2001: Kebijakan Nasional
Pengelolaan Wilayah Pesisir Pelatihan
Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah
Pesisir/ ICZPM (Integrated Coastal
Zone Planning And Management)
Kerjasama Direktorat Jenderal Pesisir,
Pantai
dan
Pulau-Pulau
Kecil
Departemen Kelautan dan Perikanan
dengan Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Institut Pertanian
Bogor.
Knight, M. Tom. 1990 : Physical Geography A
Landscape Appreciation Third Edition.
Prentice Hall Englewood Cliffs, N.J.
07632.
28
Lampiran Petrografi Pasir
Deskripsi Petrografi Sayatan Tipis Pasir dan Penamaan Jenis Pasir
Jumlah sampel sayatan tipis batuan:
- Sampel 2 MG di Pulau Rusa Baru
- Sampel 5 MG di Pulau Ajab
- Sampel di Pulau Angkut
- Sampel 4 MG di Pulau Kambat
- Sampel 6 MG di Pulau Siulung
- Sampel 10 di Tanjung Kelun
Lokasi Pulau Rusa Baru
No stasiun
Tgl pengamatan
Jam pengamatan
Lokasi pengamatan
Posisi GPS
Deskripsi Pasir
:
:
:
:
:
:
Jenis Pasir
:
A
B
C
D
E
F
G
2 MG
13 sept 2003
10.30 wib
P. Rusa Baru (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang)
Warna mineral (paralel nicol) coklat muda kekuningan,
terubah kuat. Terdiri dari masa dasar mikroklit kuarsa dan
karbonat. Komponen Karbonat, Kuarsa, Hematit. Karbonat
(80%): warna coklat muda merupakan mineral authogenik
yang menyelimuti mineral kuarsa, bentuk butir sub angular –
angular, ukuran 0.1-.1mm. Kuarsa (10%) : warna putih bening
kekuningan, relief rendah, tanpa belahan, bentuk euhedral,
pleokroisme lemah. Mineral opak (5%) : warna hitam, bentuk
kubik. Hematit (5%) : warna merah, sub rounded, pleokroik
lemah.
Pasir Kuarsa Karbonatan
H
I
J
K
L
M
N
O
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
XPL
0,25 mm
Foto 6. Foto sayatan tipis pasir sampel 2 MG P. Rusa Baru dengan pembesaran 40 x
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
29
Lokasi Pulau Ajab
No stasiun
Tgl pengamatan
Jam pengamatan
Lokasi pengamatan
Posisi GPS
Deskripsi Pasir
:
:
:
:
:
:
Jenis Pasir
:
A
B
C
D
E
F
G
5 MG
13 sept 2003
14.30 wib
P. Ajab (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang)
Warna mineral (paralel nicol) putih keruh. Masa dasar
mikroklit alkali feldspar, dan kuarsa. Komponen Kuarsa dan
Alkali Feldspar. Kuarsa (60%): warna putih bening, relief
rendah, tanpa belahan, bentuk sub angular, ukuran 0.01-0.4
mm, pleokroisme lemah, kenampakkan fisik banyak dijumpai
retakan-retakan kemungkinan akibat deformasi struktur. Alkali
Feldspar (40 %): berwarna abu-abu, bentuk sub rounded,
ukuran 0.1-0.4 mm, pleokhroik kuat.
Polikristalin Kuarsa
H
I
J
K
L
M
N
O
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
XPL
0,25 mm
Foto 7. Foto sayatan tipis pasir sampel 5 MG P. Ajab dengan pembesaran 40 x
Lokasi Pulau Angkut
No stasiun
Tgl pengamatan
Jam pengamatan
Lokasi pengamatan
Posisi GPS
Deskripsi Pasir
:
:
:
:
:
:
Jenis Pasir
:
13 sept 2003
11.30 wib
P. Angkut (lokasi Kijang kec. Bintan Timur)
Tidak dapat diidentifikasi, hampir 100% ialah ubahan mineral
batuan beku granit berupa bauksit.
Mineral Bauksit
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
30
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
XPL
0,25 mm
Foto 8. Foto sayatan tipis pasir sampel P. Angkut dengan pembesaran 40 x
Lokasi Pulau Kambat
No stasiun
Tgl pengamatan
Jam pengamatan
Lokasi pengamatan
Posisi GPS
Deskripsi Pasir
:
:
:
:
:
:
Jenis Pasir
:
A
B
C
D
E
F
G
4 MG
13 sept 2003
12.30 wib
P. Kambat (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang)
Warna mineral (paralel nicol) coklat keruh kekuningan,
terubah kuat. Terdiri dari masa dasar mikroklit kuarsa dan
karbonat, berukuran butir < 0.02 mm. Komponen Karbonat,
Kuarsa dan Kalium Feldspar, berukuran 0.2-0.4 mm. Bentuk
butir sub rounded – sub angular, ukuran butir 0,5 – 0,17 mm.
Karbonat (80%) : merupakan mineral authegenik yang
menyelimuti kuarsa. Kuarsa (10%): warna putih bening
kekuningan, relief rendah, tanpa belahan, bentuk sub angular,
pleokroisme lemah.
Polikristalin Kuarsa
H
I
J
K
L
M
N
O
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
XPL
0,25 mm
Foto 9. Foto sayatan tipis pasir sampel 4 MG P. Kambat dengan pembesaran 40 x
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
31
Lokasi Pulau Siulung
No stasiun
Tgl pengamatan
Jam pengamatan
Lokasi pengamatan
Posisi GPS
Deskripsi Pasir
:
:
:
:
:
:
Jenis Pasir
:
A
B
C
D
E
F
G
6 MG
14 sept 2003
13.30 wib
P. Siulung (lokasi Kijang kec. Bintan Timur)
Warna mineral (paralel nicol) coklat kekuningan sampai abuabu, terubah sedikit. Terdiri dari masa dasar oksida besi,
lempung dan mineral opak. Komponen: Karbonat, Kuarsa,
Hematit dan Fragmen Batuan. Kuarsa (55%): warna putih
bening kekuningan, berukuran <0.1-0.4 mm, bentuk butiran
sub rounded – sub angular, relief rendah, tanpa belahan,
kekanampakkakn fisik terdapat retakan-retakan akibat
deformasi internal/struktur, pleokroisme lemah. Beberapa
mineral kuarsa diselimuti oleh mineral authegenik karbonat.
Oksida besi (5%): bentuk subhedral, warna kemerahan
ukuran butir 0.1-0.4 mm.
Kuarsit
H
I
J
K
L
M
N
O
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
XPL
0,25 mm
Foto 10. Foto sayatan tipis Cross Nicol pasir sampel 6 MG P. Siulung dengan pembesaran 40 x
Lokasi Tanjung Kelun
No stasiun
Tgl pengamatan
Jam pengamatan
Lokasi pengamatan
Posisi GPS
Deskripsi Pasir
:
:
:
:
:
:
10
16 sept 2003
17.00 wib
Tanjung Kelun (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang)
Warna mineral (paralel nicol) coklat terang kehijauan terubah
sedikit. Terdiri dari masa dasar mikroklit gelas, mikroklit biji,
karbonat, kuarsa dan butir fragmen gamping. Bentuk butir
rounded – sub angular, ukuran butir 0.4 – > 2 mm. Komponen
Karbonat, Alkali Feldspar, Kuarsa, Fragmen Gamping.
Karbonat (30 %): merupakan ubahan dari kuarsa, warna coklat
muda. Kuarsa (40 %): warna putih bening kekuningan, relief
rendah, tanpa belahan, bentuk sub angular-rounded,
pleokroisme lemah. Alkali Feldspar (20 %): warna abu-abu,
bentuk butir sub angular – rounded, ukuran butir 0,5 - > 2 mm.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
32
Fragmen Gamping (10 %): Warna Kuning, bentuk butir
menyudut, ukuran butir 0.5 - > 3 mm.
Jenis Pasir
A
B
:
C
D
E
F
G
Pasir Kuarsa
H
I
J
K
L
M
N
O
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
XPL
0,25 mm
Foto 11. Foto sayatan tipis Pararel Nicol pasir sampel 10 Tanjung Kelun dengan pembesaran
40 x
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
33
KONDISI OSEANOGRAFI PERAIRAN PULAU BINTAN,
KEPULAUAN RIAU
Oleh: W. S. Pranowo dan S. Husrin
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati - Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
Jl. MT. Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770, Indonesia , e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian kondisi oseanografi perairan Pulau Bintan bagian timur ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik fisik perairan Bintan bagian timur dalam kaitannya dengan kegiatan
penambangan pasir laut. Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Juli hingga
Agustus 2003. Data lapangan yang berhasil dikumpulkan antara lain: Arus, salinitas,
sedimentasi, pH, turbiditas, suhu, dan angin. Data-data tersebut merupakan hasil observasi
lapangan secara langsung, sementara untuk mensimulasikan kondisi arus di daerah studi
dilakukan dengan menggunakan pendekatan model numerik. Hasil Simulasi arus pasut secara
umum menunjukkan bahwa arus di sebelah selatan dari perairan Bintan Timur lebih dinamis
dibanding arus di sebelah utara. Hal ini terjadi karena perbedaan elevasi muka laut di sebelah
selatan dari Bintan Timur cukup besar.
Kata kunci: Karakteristik fisik perairan, arus pasut, penambangan pasir laut
ABSTRACT
Oceanographic research on Eastern Bintan waters was done to recognize physical
characteristic of the waters in accordance with sea sand mining activities. Field data was
taken on July – August 2003 and including currents, salinity, sediment transport, pH,
temperature, and wind. The data were taken from direct observation, meanwhile, numerical
method approach was carried out to make current simulation on the area. Generally, current
simulation shows that current in southtern part of Eastern Bintan waters is more dynamic than
northen part. This condition happens because the difference of sea level elevation in southern
part of Eastern Bintan waters is relatively quite large.
Keyword: physical characteristic of the waters, tidal currents, sea sand mining activities
1. PENDAHULUAN
Ekosistem
perairan
Pulau
Bintan
merupakan ekosistem yang memiliki nilai
hayati yang tinggi seperti ekosistem hutan
mangrove, ekosistem terumbu karang dan
ekosistem padang lamun. Pelaksanaan
pembangunan dan pengelolaan sumber daya
alam pesisir saat ini belum berjalan secara
terpadu. Dampak yang dapat ditimbulkan
adalah kerusakan lingkungan.
Pesisir Bintan Selatan dan Bintan Timur
merupakan wilayah strategis sebagai jalur
pengangkutan ekspor pasir dan kawasan
target
para
pengusaha
untuk
pengerukan/penambangan pasir laut.
Upaya pengendalian resiko pencemaran
di kawasan tersebut menjadi penting
mengingat
daerah
pesisir
tersebut
mempunyai keanekaragaman hayati yang
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
rentan
terhadap
pencemaran.
Kondisi
oseanografi sangat mempengaruhi transpor
limbah penambangan pasir ke arah kawasan
ekosistem tersebut.
2. ISI / BAHASAN
2.1. Materi dan Metode
Penelitian kondisi oseanografi dilakukan
dengan observasi angin dan pasang surut
serta pengukuran in situ parameter kecepatan
dan arah arus, kecerahan air laut, temperatur,
salinitas, Turbiditas, laju sedimentasi, dan pH
air permukaan (23 Juli – 6 Agustus 2003).
Selain itu, dalam penelitian ini digunakan juga
metode pendekatan model numerik untuk
mensimulasikan kondisi arus di wilayah studi,
yaitu menggunakan 3DD Suite Model
Software dari ASR Ltd (Black, 2001).
34
2.1.1. Survey dan Pengukuran Lapangan
Prediksi pola pasang surut di beberapa
titik calon stasiun survey dan pengukuran
dilakukan terlebih dahulu agar pelaksanaan
riset dapat berjalan lebih terarah dan efisien.
Prediksi pola pasang surut dalam hal ini
mengunakan Oritide – Global Tide Model
yang dibangun oleh Ocean Research
Institute, University of Tokyo.
dengan asumsi bahwa percepatan vertikal
diabaikan, maka Persamaan Hidrostatik untuk
tekanan pada kedalaman z adalah:
2.1.2. Simulasi Model Hidrodinamika
2.1.2.1. Persamaan Hidrodinamika
Persamaan pembangun model 3DD yang
menyatakan gerak horisontal suatu fluida
inkompresibel yang berada di permukaan
bumi yang berotasi dalam koordinat kartesian
(arah atas menunjukkan positif) adalah:
Representasi fisis dari masing-masing
suku persamaan momentum adalah terdiri
dari: percepatan lokal; inersia; coriolis;
gradien tekanan akibat variasi tinggi muka air;
gradien tekanan akibat tekanan atmosfer;
stress angin dan gesekan dasar laut;
viskositas eddy horisontal.
Harga AH
bervariasi secara spasial, namun gradiennya
diasumsikan begitu kecil sehingga suku ini
bertindak
seperti
algoritma
penghalus
kecepatan (velocity smoothing algoritm)
Persamaan Momentum. Perubahan tekanan
atmosfer tidak dilibatkan dalam simulasi ini
dan oleh karenanya dalam persamaan
momentum, suku ini pun diabaikan.
∂u
∂u
∂u
∂u
+u
+v
+w
− fv =
∂t
∂x
∂y
∂z
−g
+
 ∂ 2u ∂ 2u 
∂ζ 1 ∂u
−
P + AH  2 + 2 
∂x ρ ∂x
∂y 
 ∂x
∂ 
∂u 
 NZ

∂z 
∂z 
∂v
∂v
∂v
∂v
+u
+v
+ w + fv =
∂t
∂x
∂y
∂z
−g
+
 ∂ 2v ∂ 2v 
∂ζ 1 ∂v
−
P + AH  2 + 2 
∂y ρ ∂y
∂y 
 ∂x
∂ 
∂v 
 NZ

∂z 
∂z 
w=−
∂
∂x
z
∫
−h
z
udz −
∂
vdz
∂y
∫
h
dimana:
t = waktu
u, v = kecepatan horisontal
w =kecepatan vertikal
h = kedalaman
g = percepatan gravitasi
ζ= tinggi muka laut di atas datum horisontal
f = parameter coriolis
P= tekanan
AH = koefisien viskositas eddy horisontal
NZ = koefisien viskositas eddy vertikal
ρ = densitas yang nilainya bervariasi terhadap
kedalaman
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
ζ
∫
P = Patm + g ρdz
z
dimana Patm adalah tekanan atmosfer.
2.1.3.2. Skema Numerik
Model 3DD menggunakan Skema Beda
Hingga
Eksplisit
untuk
menyelesaikan
Persamaan Momentum dan Konservasi
Massa (Black, 2001).
Pemecahan persamaan melalui Metoda
Beda Hingga tersebut menggunakan skema
staggered grid (Leendertse dan Liu, 1975
dalam Black,2001), yaitu menempatkan
komponen v dan u pada dinding “utara” dan
“selatan”.
w berlokasi di tengah-tengah
dinding “atas”. Tinggi muka air menggantikan
w di lapisan atas. Solusinya akan diperoleh
dengan Skema Eksplisit Ordo ke-2 dan
Aproksimasi Ordo ke-3 untuk suku-suku
inersia yang non linier.
2.1.3. Desain Model
Simulasi model hidrodinamika dijalankan
selama 15 hari dari 23 Juli hingga 6 Agustus
2003 berdasarkan lama waktu pengukuran
dan pengambilan sampel di perairan Bintan
Timur. Selengkapnya mengenai desain model
hidrodinamika dapat dilihat pada Tabel 2.
Data batimetri yang digunakan adalah Peta
Batimetri Alur Pelayaran di Pantai Timur
Bintan (Lembar No.65), Skala 1:100 000,
Koreksi 2003, Dinas Hidro-Oseanografi TNIAL, Jakarta. Batas daerah model adalah
104°34’ - 104°59’ BT dan 0°33’ - 1°15’ LU.
35
Tabel 1. Desain Model Hidrodinamika
Parameter
Nilai
Number Of X (I) Cells
Number Of Y (J) Cells
X Grid Size
Y Grid Size
Time Step Of Model
First Time Step
Maximum Number Of Time Steps
58
100
50
50
1
1
1296000
Roughness Length
Effective Depth
Drying Height
Initial Sea Level
Latitude
Orientation
Horizontal Eddy Viscosity
Eddy Viscosity Mult Factor
Number Of Steps To Apply
Diffusion Percentage Slip
0.08
0.3
0.05
99
0
0
5
1
1
97
2.1.3.1. Nilai Awal dan Syarat Batas
Input yang digunakan di batas terbuka
adalah elevasi pasang surut (Gambar 2
hingga 5), dalam hal ini merupakan hasil
prediksi mengunakan Oritide – Global Tide
Satuan
m
m
detik
detik
detik
m
m
m
set by model
corriolis neglected
2
m /detik
%
Model (ORI.96) yang dibangun oleh Ocean
Research Institute, University of Tokyo,
menggunakan 8 Komponen pasut utama: M2,
S2, N2, K2, K1, O1, P1, dan Q1. Adapun
penempatan batas terbuka daerah model
dapat dilihat pada Gambar 1.
Batas Terbuka
Utara
Batas Terbuka
Timur
Batas Terbuka
Barat
Batas Terbuka
Selatan
Gambar 1. Batas Terbuka pada Daerah Domain Model Hidrodinamika
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
36
Time Series Boundary - North
2
elevation-m
1.5
1
0.5
0
0
50
100
150
200
250
300
350
tim e-s
Gambar 2. Elevasi Muka Laut 15 Hari Di Batas Terbuka Area Model Bagian Utara
Time Series Boundary - East
2.5
elevation-m
2
1.5
1
0.5
0
0
50
100
150
200
250
300
350
tim e-s
Gambar 3. Elevasi Muka Laut 15 Hari Di Batas Terbuka Area Model Bagian Timur
Time Series Boundary - South
2.5
elevation-m
2
1.5
1
0.5
0
0
50
100
150
200
250
300
350
tim e-s
Gambar 4. Elevasi Muka Laut 15 Hari Di Batas Terbuka Area Model Bagian Selatan
Time Series Boundary -West
2
elevation-m
1.5
1
0.5
0
0
50
100
150
200
250
300
350
tim e-s
Gambar 5. Elevasi Muka Laut 15 Hari Di Batas Terbuka Area Model Bagian Barat
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
37
3. HASIL DAN DISKUSI
3.1. Hasil Survei dan
Lapangan
Pengukuran
1. Angin
Berdasarkan observasi, diketahui bahwa
kondisi tiupan angin di atas perairan Pulau
Bintan yang menyebabkan gelombang dan
arus adalah Angin Utara dan Baratlaut.
Dimana angin tersebut umumnya bertiup
pada bulan Juni hingga Agustus. Tinggi
gelombang hasil pengamatan di perairan
Bintan Timur sebelah utara pada musim angin
tersebut bisa mencapai 2 meter. Kecepatan
angin maksimum yang bertiup hasil
pengukuran Stasiun Meteorologi Bandara
Udara di Kecamatan Kijang adalah 15 knot
dengan arah U 20º T (Utara) dan U 300º –
330º T (Baratlaut).
2. Pasang Surut
Pasang surut di perairan Pulau Bintan
bertipe Campuran Cenderung Semidiurnal
atau Mixed Tide Prevailing Semidiurnal
(Wyrtki, 1961). Dimana saat air pasang/surut
penuh dan tidak penuh terjadinya dua kali
dalam sehari, tetapi terjadi perbedaan waktu
pada antar puncak air tertinggi-nya. Hasil
prediksi pasut menggunakan Oritide – Global
Tide Model di sekitar perairan pantai Trikora
(Kecamatan Gunung Kijang) pada bulan Juli
memperlihatkan bahwa tinggi rata-rata air
pasang tertinggi +73,48 cm, air surut terendah
–121,31 cm, dengan tunggang maksimum
sekitar 194,79 cm. Sedangkan di sekitar
perairan Pulau Mantang (Kecamatan Kijang)
pada bulan yang sama mempunyai tinggi
rata-rata air pasang tertinggi +78,68 cm, air
surut terendah –135,84 cm, dengan tunggang
maksimum sekitar 214,52 cm.
Pada bulan September, tinggi rata-rata
air pasang tertinggi +75,69 cm, air surut
terendah –101,06 cm, dengan tunggang
maksimum sekitar 176,75 cm di sekitar
perairan pantai Trikora (Kecamatan Gunung
Kijang). Sedangkan di sekitar perairan Pulau
Mantang (Kecamatan Kijang) pada bulan
yang sama mempunyai tinggi rata-rata air
pasang tertinggi +98,18 cm, air surut terendah
–117,74 cm, dengan tunggang maksimum
sekitar 215,92 cm.
Tabel 2. Hasil Prediksi Tinggi Air Pasang Surut dan Tunggang Maksimum Tahun 2003
Elevasi
Air Pasang Tertinggi
Air Surut Terendah
Tunggang Maksimum
Sekitar Pantai Trikora
Juli
September
+73,48 cm
+75,69 cm
–121,31 cm
-101,06 cm
194,79 cm
176,75 cm
Sekitar Pulau Mantang
Juli
September
+78,68 cm
+98,18 cm
–135,84 cm
–117,74 cm
214,52 cm
215,92 cm
Tabel 3. Hasil Pengukuran Lapangan di Perairan Bintan Timur Tahun 2003
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
P. Siulung
0
00 47,188’ LU
0
104 37,10’ BT
P. Kerapu
0
01 06,133’ LU
0
104 38,550’ BT
P. Beralas Bakau
0
01 03,948’ LU
0
104 40,266’ BT
Teluk Bakau
0
01 03,066’ LU
0
104 39,033’ BT
P. Ngalih
0
00 47,864’ LU
0
104 37,170’ BT
Tanjung Keling
0
01 47,96’ LU
0
104 37,982’ BT
P. Kekip
0
01 48,236’ LU
0
104 33,773’ BT
P. Kelong
0
00 48,960’ LU
0
104 37,713’ BT
P. Mantang
0
00 47,702’ LU
0
104 33,651’ BT
Salinitas
Konduktivitas
Temperatur
(ppt)
(ms)
( Celcius)
(NTU)
30,7
50,3
28,2
3,3
30,4
47,06
28,0
0,4
30,2
46,88
27,9
0,3
30,1
46,32
27,6
0,2
29,8
46,21
27,8
0,2
30,0
46,05
27,7
1,6
29,7
48,46
27,8
0,2
30,1
48,92
28,0
1,2
30,1
46,35
27,7
0,3
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
o
Turbiditas
38
3. Temperatur
Secara umum temperatur permukaan air
hasil pengukuran di perairan Bintan Timur
memperlihatkan kisaran 27,6 – 28,2 oC (lihat
Tabel 4). Berdasarkan Peta Oseanografi
Wilayah Perairan Indonesia (BRKP, 2002)
temperatur air permukaan di perairan sekitar
Bintan, pada Monsun Barat (Desember –
Februari) berkisar 27 – 28 oC, Monsun
Peralihan dari Barat ke Timur (Maret - Mei) 29
– 29,5 oC, Monsun Timur (Juni - Agustus) 31
– 31,5 oC, Monsun Peralihan dari Timur ke
Barat (September - November) 29 – 29,5 oC.
4. Salinitas
Secara umum salinitas permukaan air
hasil pengukuran di perairan Bintan Timur
memperlihatkan kisaran 29,7 – 30,7 ppt (lihat
Tabel 4). Berdasarkan Peta Oseanografi
Wilayah Perairan Indonesia (BRKP, 2002)
salinitas air permukaan di perairan sekitar
Bintan, pada Monsun Barat (Desember –
Februari) berkisar 32,5 – 32,8 ppt, Monsun
Peralihan dari Barat ke Timur (Maret - Mei) 32
– 32,5 ppt, Monsun Timur (Juni - Agustus) 31
– 31,5 ppt, Monsun Peralihan dari Timur ke
Barat (September - November) 32 – 32,5 ppt.
5. pH
Secara umum derajat keasaman air
permukaan hasil pengukuran di perairan
Bintan Timur memperlihatkan kisaran 7 – 8
pH. derajat keasaman air tersebut berada
pada kisaran yang diperbolehkan oleh SK.
MenKLH No. Kep-02/MENKLH/1988, yaitu 6 9 pH, sehingga direkomendasikan bisa
mendukung untuk kegiatan pariwisata,
rekreasi, budidaya, dan konservasi laut.
6. Turbiditas
Secara umum tingkat turbiditas air
permukaan hasil pengukuran di perairan
Bintan Timur memperlihatkan kisaran 0,2 –
3,3 NTU (lihat Tabel 4). Tingkat turbiditas
tersebut sangat jauh dari ambang batas yang
telah ditentukan SK. MenKLH No. Kep02/MENKLH/1988 yaitu <30-80 NTU. Jadi
dapat dikatakan bahwa di perairan Bintan
Timur
belum
terkontaminasi
partikel
tersuspensi, yang biasanya diakibatkan oleh
penambangan pasir laut.
7. Laju Sedimentasi
Secara umum laju sedimentasi di
perairan Bintan Timur adalah sangat kecil
yaitu laju sedimentasi tertinggi di stasiun
Pulau Siulung (0.005557888 gr/cm2/jam) dan
terendah
di
stasiun
Teluk
Bakau
(0.001240089 gr/cm2/jam) (lihat Tabel 5). Laju
sedimentasi di perairan Bintan Timur sebelah
Utara lebih rendah dibanding di perairan
Bintan Timur sebelah Selatan. Hal ini terjadi
karena substrat dasar di perairan Bintan
Timur sebelah Utara rata-rata adalah pasir
dan pecahan kerang & coral, sedikit lumpur.
Sedangkan di perairan Bintan Timur sebelah
Selatan substrat dasarnya rata-rata berupa
pasir berlumpur, dan lumpur, dimana
sedimentasi yang terjadi bias disebabkan oleh
pengadukan lokal, dan/atau hasil endapan
TSS yang tertranspor dari lokasi lain.
Tabel 4. Hasil Pengukuran Laju Sedimentasi
Lokasi
Bintan Timur Bagian
Selatan
Bintan Timur Bagian
Utara
Stasiun
2
Laju Sedimentasi (gr/cm /jam)
P. Kelong
0.002116981
P. Ngalih
0.001880453
P. Siulung
0.005557888
Teluk Bakau
0.001240089
P. Beralas Bakau
0.001577448
Tj. Keling
0.003744924
3.2. Hasil Simulasi Model Hidrodinamika
Hasil Simulasi arus pasut secara umum
menunjukkan bahwa arus di sebelah Selatan
dari perairan Bintan Timur lebih dinamis
dibanding arus di sebelah Utara. Hal ini terjadi
karena Perbedaan elevasi muka laut di
sebelah Selatan dari Bintan Timur cukup
besar (lihat Lampiran F dan G), sedangkan
perbedaan elevasi muka laut di sebelah Utara
dari Bintan Timur sangat kecil (lihat Lampiran
D dan E).
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Pola arus pasut hasil simulasi model
pada kondisi pasut perbani (Neap Tide
Condition) adalah sebagai berikut: Saat air
menjelang surut menunjukkan bahwa arus
bergerak dari arah barat menuju timur dan
timur laut. Lampiran B.(1) memperlihatkan
arus di Selat Telang secara dominan bergerak
menuju timur laut dan sebagian kecil berbelok
ke selatan menuju Selat Sendara. Sedangkan
arus di selat antara P. Siulung dan P. Bintan
bergerak dominan ke arah timur bergabung
39
dengan arus dari selat Telang menuju timur
laut, sebagian arus bergerak ke arah utara
menyusur Selat Kijang dan sebagian kecil lain
menyusur Selat Kelong.
Saat air surut (Lampiran B.(2)) terlihat
arus dominan bergerak dari Selat Sendara
yang terdistribusi ke tiga arah, masing –
masing menuju ke arah timur laut, Selat
Telang, dan selat antara P. Bintan dan P.
Siulung.
Saat air menjelang pasang (Lampiran
B.(3)) secara umum arus bergerak menuju
barat, dimana arus dari arah timur laut, utara,
dan dari Selat Sendara bergerak menuju ke
barat (Selat Telang, dan selat antara P.
Bintan dan P. Siulung ). Tetapi arus di
sebelah tenggara Kepulauan Gin dan
Numbing bergerak menuju timur laut.
Saat air pasang (Lampiran B.(4)) kondisi
pergerakan arus memiliki pola yang mirip
dengan saat kondisi menjelang surut.
Pola arus pasut hasil simulasi model
pada kondisi pasut purnama (Spring Tide
Condition) adalah sebagai berikut: Saat air
menjelang
surut
(Lampiran
C.(1))
memperlihatkan pola arus yang sama dengan
saat menjelang surut pada kondisi perbani
(Lampiran B.(1)), tetapi kecepatan dan elevasi
kondisi perbani lebih besar dibanding kondisi
purnama.
Saat
air
surut
(Lampiran
C.(2))
memperlihatkan pola arus yang sama dengan
saat menjelang pasang pada kondisi perbani
(Lampiran B.(3)), tetapi kecepatan dan elevasi
kondisi perbani lebih besar dibanding kondisi
purnama.
Saat air menjelang pasang (Lampiran
C.(3)) memperlihatkan pola arus bergerak dari
arah selatan (Selat Sendara), barat (Selat
antara P. Bintan dan P. Siulung), dan barat
daya (Selat Telang) menuju ke arah utara,
timur laut, dan timur.
Saat air pasang (Lampiran C.(4))
memperlihatkan pola arus yang sama dengan
saat surut pada kondisi perbani (Lampiran
B.(2)), tetapi kecepatan kondisi perbani lebih
besar dibanding kondisi purnama, karena
terjadi perbedaan elevasi cukup besar di Selat
Sendara dengan daerah sekelilingnya.
3.3. Verifikasi Hasil Model
Verifikasi model dilakukan untuk melihat
kesesuaian hasil simulasi dengan kondisi
sebenarnya (faktual). Dalam hal ini hanya
dilakukan verifikasi terhadap kecepatan arus
pasut di beberapa lokasi yang dilakukan
pengukuran.
P. Bintan
P. Pangkil
Selat
Kijang
P. Buton
P. Poto
1
Selat
Telang
P.P.
Kelong
Kelong
4
2
3
P. Siulung
Selat
Sendara
P. Gin Besar
P. Gin Kecil
P. Telang
P. Numbing
Gambar 6. Lokasi Titik-titik Pengukuran Data Arus
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
40
Tabel 5 . Verifikasi Model
No
1.
2.
3.
4.
Pengukuran
Nama
Kelong
Bouy
Riau
KK-Bintan
Posisi
0
00 49,100’ LU
0
104 37,740’ BT
0
00 48,456’ LU
0
104 36,948’ BT
0
00 47,943’ LU
0
104 37,627’ BT
0
00 48,236’ LU
0
104 33,773’ BT
Model
Jam
Kecepatan
Arah
Grid (I,j)
Kecepatan
Error (%)
Arah
10
0.09
U270°T
(11, 45)
0.03
66.67
U300°T
11
0.19
U270°T
(07, 41)
0.2
5.26
U270°T
12
0.5
U290°T
(11, 41)
0.5
0.00
U260°T
34
0.34
U300°T
(04, 40)
0.4
17.65
U280°T
Dari tabel di atas terlihat bahwa
prosentase error untuk masing – masing data
cukup bervariasi. Untuk verifikasi di Stasiun
Buoy, Riau dan KK-Bintan menunjukkan nilai
error yang dapat diterima untuk pemodelan,
namun untuk Stasiun Kelong terjadi
penyimpangan yang cukup signifikan, hal ini
terjadi karena ada sedikit kesulitan saat
setting model di lokasi tersebut (celah yang
sangat sempit).
(Selat antara P. Bintan & P. Siulung),
dan barat daya (Selat Telang) menuju
ke arah utara, timurlaut, dan timur.
4. Kondisi
parameter
fisik
perairan
(turbiditas: 0,2 – 3,3 NTU, dan laju
sedimentasi:
0,001240089
–
0,005557888
gr/cm2/jam)
belum
menunjukkan
adanya
pencemaran
karena memang belum dimulainya
penambangan pasir laut.
4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan Hasil survei dan simulasi
model hidrodinamika dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kondisi arus permukaan pada bulan
Juni-Agustus
(selama
survei
dilaksanakan) di perairan Bintan Timur
sebelah Utara lebih dibangkitkan oleh
tiupan Angin Utara dan Baratlaut.
Sedangkan kondisi arus permukaan
perairan Bintan Timur sebelah Selatan
lebih dibangkitkan oleh pasang surut.
2. Tunggang pasang surut maksimum
rata-rata pada bulan Juli - September
2003 berdasarkan hasil prediksi adalah
176,75 – 215,92 cm, dengan kondisi
rata-rata tunggang pasut maksimum
lebih tinggi di perairan Bintan Timur
sebelah selatan daripada sebelah
Utara.
3. Pola pergerakan arus permukaan yang
dibangkitkan oleh pasang surut pada
kondisi purnama secara umum: Pada
saat air menjelang surut, arus di Selat
Telang secara dominan bergerak dari
arah barat menuju timur dan timur laut
dan sebagian kecil berbelok ke selatan
menuju Selat Sendara. Kemudian arus
di selat antara P. Siulung dan P. Bintan
bergerak dominan ke arah timur
bergabung dengan arus dari selat
Telang menuju timur laut, sebagian arus
bergerak ke arah utara menyusur Selat
Kijang dan sebagian kecil lain menyusur
Selat Kelong. Sedangkan pada saat air
menjelang pasang, arus bergerak dari
arah selatan (Selat Sendara), barat
Berdasarkan kesimpulan diatas, jika terjadi
penambangan pasir di wilayah perairan
Bintan Timur bagian utara yang dilakukan
secara kontinyu akan menghasilkan:
• Perubahan kondisi batimetri yang akan
mempengaruhi
pola
arus
dan
gelombang di area penambangan dan
sekitarnya. Secara lebih jauh lagi
perubahan tersebut mempengaruhi
kondisi stabilitas pantai (memicu
perubahan garis pantai) sehingga akan
mempengaruhi
bangunan
fisik
(infrastruktur) di pantai.
• Partikel tersuspensi hasil kekeruhan air
laut (tingkat turbiditas) yang cukup
tinggi akan tertranspor ke perairan
Bintan Timur bagian selatan dan
mengkontaminasi
ekosistem pantai
(terumbu karang pantai, lamun, dan
vegetasi
mangrove).
Sedangkan
pengaruh lebih jauh dari kekeruhan air
adalah terhambatnya penetrasi cahaya
matahari ke dalam kolom air sehingga
populasi
fitoplankton
tidak
bisa
melakukan
fotosintesis,
maka
produktivitas primer menurun.
• Produktivitas primer yang menurun ini
akan menurunkan jumlah populasi ikan
di area penambangan tersebut maupun
di area lain yang ikut terkontaminasi.
Penyebab menurunnya jumlah populasi
ikan juga disebabkan karena tingkat
kecerahan air yang sangat rendah
sehingga ikan enggan tinggal, dan
melakukan migrasi ke perairan yang
lebih jernih.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
41
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terimakasih kepada Tri
Handanari dan Ifan R. Suhelmi (BRKP) yang
telah membantu proses digitasi dan
pengolahan data batimetri, Yulia Herdiani
(Mahasiswi Oseanografi – ITB) yang
berpartisipasi dalam persiapan laporan ini
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Black, K.P., 2001. Model 3DD
Descriptions and User’s Guide. ASR
Ltd. Hamilton – New Zealand.
2. BRKP., 2002. Peta Oseanografi
Wilayah Perairan Indonesia. Integrasi
Data Riset Kelautan dan Perikanan.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.
3. Wyrtki,
K.,
1961.
Physical
Oceanography of the Southeast Asian
Waters. Naga Report Vol. 2. Scripps
Institution of Oceanography, La Jolla,
California.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
42
Lampiran
130000
45
120000
40
P. MAPOR
110000
35
30
P. BINTAN
100000
90000
20
P. KELONG
P. SIULUNG
80000
25
P. BUTON
P. POTO
15
P. GIN BESAR
10
P. TELANG BESAR
5
0.5
70000
460000
470000
480000
490000
Lampiran A. Batimetri Perairan Bintan Timur
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
43
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
(1)
(2)
44
(3)
(4)
Lampiran B. Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Bintan Timur saat kondisi perbani pada:
(1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
(1)
(2)
45
(3)
(4)
Lampiran C. Pola arus dan elevasi muka air keseluruhan Perairan Bintan Timur saat kondisi purnama pada:
(1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
( 1)
(2)
46
( 3)
(4)
Lampiran D. Pola arus dan elevasi muka air Perairan Bintan Timur bagian utara saat kondisi perbani pada:
(1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
( 1)
(2)
47
( 3)
(4)
Lampiran E. Pola arus dan elevasi muka air Perairan Bintan Timur bagian utara saat kondisi purnama pada:
(1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
( 1)
(2)
48
( 3)
(4)
Lampiran F. Pola arus dan elevasi muka air Perairan Bintan Timur bagian selatan saat kondisi perbani pada:
(1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
(1)
(2)
49
( 3)
(4)
Lampiran G. Pola arus dan elevasi muka air Perairan Bintan Timur bagian selatan saat kondisi purnama pada:
(1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang
KONDISI VEGETASI MANGROVE
DI PULAU BINTAN, KABUPATEN KEPULAUAN RIAU
Oleh : B. Irawan
Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA UNPAD, Jl. Raya Bandung Sumedang
Km 21 Jatinangor, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian mengenai kondisi vegetasi mangrove dilakukan di dua wilayah estuaria di Pulau Bintan,
yaitu wilayah estuaria Kijang di Kecamatan Bintan Timur, meliputi Pulau Ngalih, Pulau Kelong dan
Pulau Siulung dan wilayah estuaria Trikora di kecamatan Gunung Kijang, meliputi Teluk Bakau,
Pulau Beralas Pasir dan Pulau Beralas Bakau. Diperoleh 50 jenis mangrove, yang terdiri dari 12
jenis mangrove sejati dan 38 jenis mangrove ikutan. Zonasi mangrove diawali oleh formasi
Rhizophora mucronata yang berada pada areal yang digenangi pasang sedang. Jenis vegetasi
mangrove yang mempunyai nilai penting tertinggi adalah Rhizophora mucronata Lmk. (bakau
hitam) untuk mangrove sejati dan Derris trifoliata Lour. (ambung) untuk mangrove ikutan.
Kata Kunci: Kondisi, Vegetasi, Mangrove, Bintan.
ABSTRACT
Study about mangrove condition was carried out in two estuaries in Bintan Island, which were
Kijang estuary in Bintan Timur district and Trikora estuary in Gunung Kijang District. 50 species of
mangrove was found and consist from 12 species of true mangrove and 38 species of false
mangrove. Mangrove zonation in these areas were started with Rhizopora mucronata. Rhizopora
mucronata Lmk. (true mangrove) and Derris trifoliate Lour. (false mangrove) were the mangrove
species with the highest importance value.
Keywords: Condition, Vegetation, Mangrove, Bintan Island
1. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki panjang pantai sekitar
81.000 km (Bengen 2001a), sehingga negara
kita memiliki potensi sumber daya wilayah
pesisir dan laut yang besar. Ekosistem pesisir
dan laut mempunyai potensi sebagai sumber
bahan pangan, pertambangan dan mineral,
energi, kawasan rekreasi dan pariwisata.
Ekosistem pesisir dan laut meliputi
estuaria, hutan mangrove, padang lamun,
terumbu karang, ekosistem pantai dan
ekosistem pulau-pulau kecil, didalamnya
terkandung komponen hayati dan non-hayati
yang saling berinteraksi. Adanya perubahan
dari komponen tersebut, maka akan dapat
mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada,
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun
dalam keseimbangannya (Bengen 2001b).
Hutan mangrove memerankan fungsi ekologis
yang penting. Hutan mangrove bertindak sebagai
peredam gelombang dan angin badai, pelindung
pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap
sedimen yang diangkut oleh aliran air. Disamping
itu, mangrove juga berperan sebagai daerah
asuhan dan tempat mencari makanan dan daerah
pemijahan bermacam biota perairan,
dan
penyubur perairan karena menghasilkan detritus
dari seresah daun yang diuraikan oleh bakteri
menjadi zat hara (Bengen 2001a; Noor, Khazali
dan Suryadiputra 1999). Fungsi lain hutan
mangrove adalah sebagai kayu bakar, bahan
bangunan, keperluan rumah tangga/perkakas,
50
bahan kertas, bahan tekstil, alat perikanan,
pupuk pertanian dan obat-obatan (Noor,
Khazali dan Suryadiputra 1999).
Kawasan mangrove di Pulau Bintan
merupakan kawasan yang belum dilindungi.
Pulau Bintan telah berkembang menjadi
salah satu pusat kegiatan di Kepulauan Riau.
Hal ini terlihat dengan aktifitas pembangunan
di berbagai sektor yang sedang berlangsung
di pulau ini. Aktifitas ini tidak dapat lepas dari
adanya pemanfaatan sumberdaya alam yang
ada dan akan berdampak pada adanya
keseimbangan baru.
Penelitian kondisi hutan mangrove di
Pulau Bintan dan sekitarnya dilakukan
sebagai
upaya
untuk
mengetahui
keanekaragaman
jenis,
zonasi,
dan
hubungannya dengan ekosistem pesisir lain.
Hal ini diperlukan sebagai salah satu
masukan dalam pemanfaatan sumberdaya alam
yang berkelanjutan
1.1 Lokasi Penelitian
Pengamatan komposisi jenis, zonasi dan
struktur komunitas mangrove di Pulau Bintan
dilakukan pada bulan September 2003 di dua
daerah yaitu Kecamatan Bintan Timur dan
Kecamatan Gunung Kijang. Pada masing-masing
daerah, penelitian dilakukan di tiga stasiun
penelitian. Stasiun penelitian di Kecamatan Bintan
Timur adalah Pulau Kelong, Pulau Siulung, dan
Pulau Ngalih, sedangkan stasiun penelitian di
Kecamatan Gunung Kijang adalah Teluk Bakau,
Pulau Beralas Bakau, dan Pulau Beralas Pasir
(Gambar 1 dan Gambar 2).
Bintan
Koyang
.
3
Kelong
Bulat
Ajab
.
Gabi
2
.
Riau
Ngalih
1
Siulung
Rusa
Gambar 1. Sketsa Lokasi Pengambilan data Di Kecamatan Bintan Timur
(1= Pulau Siulung, 2= Pulau Ngalih, 3 = Pulau Kelong)
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
51
Berlangkap
Bintan
.
. .
4
Beralas Bakau
6
Nikoi
5
Beralas Pasir
Gambar 2. Sketsa Lokasi Pengambilan data di Kecamatan Gunung Kijang
(4= Teluk Bakau, 5= Pulau Beralas Pasir, 6= Pulau Beralas Bakau)
2. ISI / BAHASAN
2.1 Metode Penelitian
Untuk mengetahui keanekaragaman jenis
vegetasi mangrove dilakukan dengan metode
Eksplorasi (Vogel 1987). Koleksi tumbuhan
dilakukan dengan cara membuat spesimen
herbarium (Vogel 1987; Bridson & Forman
1992). Bahan yang diperlukan adalah alcohol
70% spirtus, kertas koran, kantung plastik besar
(ukuran 40X60 cm), kantung urea, label
gantung, golok, gunting dahan dan buku
lapangan. Identifikasi tumbuhan dilakukan di
Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan
Biologi FMIPA UNPAD dengan menggunakan
buku identifikasi mangrove (Noor, Khazali dan
Suryadiputra 1999) dan buku identifikasi
tumbuhan berbiji (Hsuan Keng 1978; Balgooy
1998).
Untuk
mengetahui
zonasi
vegetasi
dilakukan dengan membuat garis transek tegak
lurus garis pantai (Bengen 2001b; Keneally
1982), sedangkan analisis vegetasi dilakukan
dengan
membuat
petak-petak
kuadrat
sebanyak 5 petak contoh berukuran 10X10 m
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
yang diletakkan secara acak di sepanjang garis
transek (Bengen 2001b), kemudian dihitung
kerapatan jenis (Di) kerapatan relatif Jenis
(RDi), Frekuensi jenis (Fi), Frekuensi jenis
relatif (RFi), Penutupan jenis (Ci), Penutupan
relatif jenis (RCi) dan Nilai penting jenis (IVi).
2.2 Hasil dan Pembahasan
2.2.1 Keanekaragaman Jenis
Jenis-jenis vegetasi mangrove yang telah
diidentifikasi berjumlah 50 jenis yang termasuk
ke dalam 27 famili, terdiri dari 12 jenis
mangrove sejati dan 38 jenis mangrove ikutan.
Jenis-jenis tersebut berupa pohon, perdu, terna,
tumbuhan
pemanjat
dan
paku-pakuan
(Lampiran Tabel 1).
Jenis Scyphiphora hydrophyllacea yang
ditemukan di P.Siulung termasuk jenis vegetasi
mangrove yang umum setempat tetapi langka
secara global (Noor, Khazali dan Suryadiputra
1999), sehingga berstatus rentan dan
memerlukan perhatian khusus.
52
2.2.2 Penyebaran Jenis
Jenis vegetasi yang terdapat di seluruh
lokasi penelitian adalah Cocos nucifera,
Hibiscus tiliaceus, Derris trifoliata, Pandanus
tectorius,
Rhizhopora
mucronata,
Rhodomyrthus tomentosa, Scaevola taccada
dan Terminalia cattapa.
Lokasi yang memiliki keanekaragaman
tertinggi adalah P. Ngalih (29 jenis), diikuti oleh
P.Kelong (23 jenis), Teluk Bakau (20 Jenis), P.
Siulung dan P.Beralas Bakau (14 jenis) serta P.
Beralas Pasir (12 jenis) (Lampiran Tabel 2)
2.2.3 Zonasi
Vegetasi mangrove umumnya tumbuh
pada zona mangrove tengah. Menurut Noor,
Khazali dan Suryadiputra (1999) pada zona
mangrove tengah biasanya didominasi oleh
jenis Rhizophora.
Pada lokasi pengamatan terlihat bahwa
jenis vegetasi mangrove yang paling dominan
adalah Rhizophora mucronata yang ditemukan
pada semua lokasi pengamatan. Pada lokasi
estuaria Kijang (P.Ngalih, P.Siulung dan
P.kelong) serta lokasi estuaria Trikora (Teluk
bakau, P. Beralas Pasir dan P. Beralas Bakau)
tidak langsung berhadapan dengan laut
terbuka. Lokasi tersebut membentuk gugusan
pulau-pulau kecil yang berbeda dengan daerah
yang langsung berhadapan dengan laut
terbuka, dimana pada daerah ini jenis vegetasi
mangrove
yang
mendominasi
adalah
Sonneratia alba. Jenis S.alba hanya ditemukan
di Teluk Bakau dengan jumlah yang sedikit.
Kedalaman formasi mangrove di lokasi
pengamatan mencapai 20-100 m dari garis
pantai (Gambar 1, Lampiran). Pulau Beralas
Bakau dan Pulau Beralas Pasir mempunyai
zonasi terpanjang yaitu 100 m, kemudian Pulau
Siulung dengan panjang zonasi 80 m, Pulau
Ngalih 50 m dan Pulau Kelong 20 m.
Formasi hutan mangrove umumnya diawali
dengan jenis Avicennia yang berasosiasi
dengan Sonneratia (daerah yang selalu
tergenang, walaupun pada saat pasang
rendah), kemudian Rhizophora (daerah yang
digenangi pada saat pasang sedang), Bruguiera
dan Xylocarpus (daerah yang digenangi pada
saat pasang tinggi), Bruguiera sexangula dan
Lumnitzera (daerah yang digenangi hanya
beberapa hari dalam sebulan pada saat pasang
tertinggi) dan Nypa friticans (daerah transisi
antara hutan mangrove dan hutan panatai
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
dataran rendah) [Bengen 2001b; Noor, Khazali
dan Suryadiputra 1999]. Pada daerah penelitian
formasi
mangrove
selalu
diawali
oleh
Rhizophora mucronata, hal ini menunjukkan
bahwa areal pada lokasi penelitian digenangi
oleh pasang sedang. Sedangkan secara
morfologi bentuk perakaran dari Rhizophora
adalah berakar tongkat yang berfungsi
menahan gelombang.
2.2.4 Ekologi
Secara fisiognomi jenis mangrove yang
dominan di lokasi pengamatan adalah
Rhizophora mucronata untuk mangrove sejati
serta Rhodomyrthus tomentosa, Scaevola
taccada dan Derris trifoliata untuk mangrove
ikutan. Pada lokasi Pulau Siulung jenis yang
mempunyai nilai penting tertinggi adalah
Scyphiphora hydrophyllacea (0,82) untuk
mangrove sejati dan Rhodomyrthus tomentosa
(0,92) untuk mangrove ikutan. Jenis yang
mempunyai nilai penting tertinggi di lokasi
Pulau Kelong adalah Avicennia marina (0,48)
untuk mangrove sejati dan Derris trifoliata(1,12 )
untuk mangrove ikutan. Jenis yang mempunyai
nilai penting tertinggi di lokasi Pulau Ngalih
adalah Rhizophora mucronata (1,51) untuk
mangrove sejati dan Cocos nucifera (0,62)
untuk mangrove ikutan. Jenis yang mempunyai
nilai penting tertinggi di Lokasi Pulau Beralas
Bakau adalah Rhizophora mucronata (2,6)
untuk mangrove sejati dan Barringtonia asiatica
dan Pandanus tectorius (0,26) untuk mangrove
ikutan. Jenis yang mempunyai nilai penting
tertinggi di lokasi Pulau Beralas Pasir adalah
Rhizophora mucronata (2,09) untuk mangrove
sejati dan scaevola taccada (0,45) untuk
mangrove ikutan.
3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kondisi vegetasi mangrove di Pulau Bintan
mempunyai keanekaragaman jenis yang cukup
tinggi yaitu sebayak 50 jenis yang termasuk ke
dalam 27 famili, meliputi 12 jenis mangrove
sejati dan 38 jenis mangrove ikutan.
Formasi vegetasi mangrove diawali oleh
jenis Rhizophora mucronata yang beradaptasi
dengan areal yang digenangi oleh pasang
sedang dan berada pada zona mangrove
tengah, yang tidak langsung berhadapan
dengan laut terbuka.
Jenis yang mempunyai nilai penting
tertinggi adalah Rhizophora mucronata untuk
53
mangrove sejati dan Derris trifoliate untuk
mangrove ikutan.
Adanya perubahan lingkungan ekosistem
terutama pada wilayah estuaria Kijang
menunjukkan
bahwa
faktor
lingkungan
mempengaruhi
kondisi
vegetasi
hutan
mangrove, hal ini ditunjukkan dengan
perbedaan
kedalaman
zonasi
vegetasi
mangrove antara wialayah estuaria kijang (20 –
80 m) dan wilayah estuaria Trikora (100 m).
Keanekaragaman
jenis
mangrove
mempengaruhi
komunitas
di
dalamnya,
mengingat mangrove merupakan komponen
penting dalam ekosistem estuaria. Perubahan
lingkungan ekosistem di sekitar estuaria secara
tidak langsung akan mempengaruhi seluruh
system komunitas yang ada di dalamnya.
3.
4.
5.
6.
7.
4. DAFTAR PUSTAKA
1. Balgooy M. M. J. van, 1998: Malesian Seed
Plants, vol. 2, Portraits of Tree Families,
Rijksherbarium, Leiden.
2. Bengen D. G., 2001a: Sinopsis Ekosistem
dan Sumberdaya Alam Pesisir dan
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
8.
Laut. Pusat kajian Sumberdaya Pesisir
dan Laut, Institut Pertanian Bogor.
Bengen D. G., 2001b: Pengenalan dan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove,
Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan
Laut, Institut Pertanian Bogor.
Bridson and Forman, 199:. Handbook of
Herbarium, Royal Botanic garden, Kew.
Kenneally K.F., 1982: Mangrove of Western
Australia. In Clough BF, Mangrove
Ecosystem in Australia Structur,
Function and Management, Australian
Institute of Marine Science, Canberra.
Noor Y. R., M. Khazali, dan I. N.N., 1999:
Panduan Pengenalan mangrove di
Indonesia, Wetland International Indonesia Programme, Bogor.
Hsuan Keng, 1978: Orders and Families of
Malayan Seed Plants, Singapore
University Press.
Vogel de E.F, 1987: Manual of Herbarium
Theory and Practice, Unesco, Jakarta.
54
LAMPIRAN
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
Tabel 1. Jenis-jenis vegetasi mangrove di Pulau Bintan
Nama Jenis
Famili
Acrostichum aureum Linn.
Pteridaceae
Aralia sp
Araliaceae
Avicennia lanata Ridl.
Avicenniaceae
Avicennia marina (Forsk.) Vierh.
Avicenniaceae
Baringtonia asiatica
Combretaceae
Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.
Rhizophoraceae
Callophyllum inophyllum L.
Guttifferae
Carex bacans Nees
Cyperaceae
Casuarina equisetifolia
Casuarinaceae
Cerbera manghas L.
Apocynaceae
Ceriops sp
Rhizophoraceae
Cyperus sp
Cyperaceae
Cocos nucifera L.
Arecaceae/Palmae
Cordia subcordata Lam
Boraginaceae
Crinum asiaticum L.
Amaryllidaceae
Crotalaria striata L.
Papilionaceae
Derris trifoliata Lour.
Papilionaceae
Excoecaria agallocha L.
Euphorbiaceae
Hibiscus tiliaceous L.
Malvaceae
Indigofera sp
Papilionaceae
Ipomoea pes-casprae L.
convolvulaceae
Ipomoea sp
convolvulaceae
Ixora sp
Rubiaceae
Jatropha curcas L.
Euphorbiaceae
Lantana camara L.
Verbenaceae
Lasianthus sp
Rubiaceae
Livistona sp
Arecaceae/Palmae
Lumnitzera racemosa Wild.
Combretaceae
Manihot glaziovii M.A
Euphorbiaceae
Manilkara kauki (L.) Dubard
Sapotaceae
Melastoma candidum D.Don
Melastomataceae
Morinda citrifolia L.
Rubiaceae
Osbornia octodonta F.v.M. ?
Myrtaceae
Pandanus tectorius Parkison ex Z.
Pandanaceae
Pongamia pinnsta (L.) Pierre
Papilionaceae
Pedilanthus sp
Euphorbiaceae
Pithecellobium sp
Mimosaceae
Phyllanthus reticulatus Poir.
Euphorbiaceae
Rhizophora mucronata Lmk
Rhizophoraceae
Rhodomyrthus tomentosa
Myrtaceae
Scaevola taccada (Gaerth.) Roxb.
Goodeniaceae
Scyphiphora hydrophyllacea Gaerth.
Rubiaceae
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Nama Lokal
Paku laut
Ket.
MS
MI
MS
MS
MI
MS
MI
MI
MI
MI
MS
MI
MI
MI
MI
MI
MI
MS
MI
MI
MI
MI
MI
MI
MI
MI
MI
MS
MS
MI
MI
MI
MS
MI
MI
MI
MI
MI
MS
MI
MI
MS
Api-api
Api-api putih
Kalpataru
Tanjang
Camplung
Cemara laut
Bintan
Kelapa
Bakung laut
Ambung
Buta-buta
Waru laut
Batata pantai
Jarak laut
Saliara
Duduk laki-laki
Singkong karet
Sawo kecik
senduduk
Mengkudu
Baru-baru
Pandan laut
Kacang kayu laut
Penawar lipan
kranji
Tampal besi
Bakau hitam
Karamunting
Bakung-bakung
Duduk perempuan
55
43 Sonneratia alba JE Smith
44 Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl.
45 Syzygium sp
46 Taxus sumatrana (miq.) de Laub.
47 Terminalia cattapa L.
48 Thespesia populnea (L.) Soland. Ex Correa
49 Wedelia biflora (L.) DC.
50 Zizipus sp
Ket: MS= Mangrove sejati, MI = Mangrove ikutan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Sonneratiaceae
Verbenaceae
Myrtaceae
Taxaceae
Combretaceae
Malvaceae
Asteraceae
Tabel 2. Penyebaran jenis mangrove di Pulau Bintan
P. Siulung
P.
P. Ngalih
Nama Jenis
Kelong
Acrostichum aureum Linn.
●
Aralia sp
●
Avicennia lanata Ridl.
●
Avicennia marina (Forsk.) Vierh.
●
●
Baringtonia asiatica (L.) Kurz.
●
●
Bruguiera gymnorrhiza (L.)
●
Lamk.
Callophyllum inophyllum L.
●
●
Carex bacans Nees
●
Casuarina equisetifolia
Cerbera manghas L.
●
Ceriops sp
●
Cyperus sp
●
Cocos nucifera L.
●
●
●
Cordia subcordata Lam
●
Crinum asiaticum L.
Crotalaria striata L.
Derris trifoliata Lour.
●
●
●
Excoecaria agallocha L.
●
Hibiscus tiliaceous L.
●
●
●
Indigofera sp
●
Ipomoea pes-casprae L.
Ipomoea sp
Ixora sp
●
●
Jatropha curcas L.
●
Lantana camara L.
●
●
Lasianthus sp
●
Livistona sp
●
Lumnitzera racemosa Wild.
●
Manihot glaziovii M.A
Manilkara kauki (L.) Dubard
●
Melastoma candidum D.Don
●
●
●
Morinda citrifolia L.
●
●
Osbornia octodonta F.v.M.
●
Pandanus tectorius Parkison ex
●
●
●
Z.
Pongamia pinnsta (L.) Pierre
●
●
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Pedada
Pecut Kuda
Pokok jambu
MS
MI
MI
MI
MI
MI
MI
MI
Ketapang
Waru lot
Pokok serunai
P. Ber.
Bakau
P. Ber.
Pasir
●
●
●
Tl.
Bakau
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
56
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
Pedilanthus sp
Pithecellobium sp
Phyllanthus reticulatus Poir.
Rhizophora mucronata Lmk
Rhodomyrthus tomentosa Wight
Scaevola taccada (Gaerth.)
Roxb.
Scyphiphora
hydrophyllacea
Gaerth.
Sonneratia alba JE Smith
Stachytarpheta jamaicensis (L.)
Vahl.
Syzygium sp
Taxus sumatrana (miq.) de
Laub.
Terminalia cattapa L.
Thespesia
populnea
(L.)
Soland. Ex Correa
Wedelia biflora (L.) DC.
Zizipus sp
Jumlah
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
14
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
23
29
14
12
●
20
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tabel 3. Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan Nilai Penting di lokasi P. Siulung
Nama jenis
Di RDi
Fi
Rfi
Ci
RCi
Rhizopora mucronata
4
0,12
1
0,2 254,47 0,12
Scyphiphora hydrophyllacea
5
0,15
3
0,6 141,37 0,07
Pandanus tectorius
3
0,09
2
0,4 336,53 0,16
Cocos nucifera
2
0,06
1
0,2 981,75 0,47
Scaevola taccada
2
0,06
2
0,4 78,54
0,04
Rhodomyrthus tomentosa
8
0,24
3
0,6 157,08 0,08
Osbornia octodanta
2
0,06
1
0,2 100,53 0,05
Melastoma candidum
1
0,03
1
0,2
7,07
0,003
Hibiscus tiliaceous
2
0,06
1
0,2 39,27
0,02
IV
0,44
0,82
0,65
0,73
0,5
0,92
0,31
0,23
0,28
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Tabel 4. Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan Nilai Penting di lokasi P. Kelong
Nama jenis
Di RDi
Fi RFi
Ci
RCi
Cordia subcordata
2
0,03
1
0,2 157,08
0,02
Scaevola taccada
6
0,10
3
0,6 117,81 0,016
Cocos nucifera
4
0,06
3
0,6 1963,44 0,27
Hibiscus tiliaceus
5
0,08
3
0,6
392,7
0,05
Pandanus tectorius
12 0.19
3
0,6 2120,58 0,29
Derris trifoliata
13 0,21
4
0,8 827,03
0,11
Thespesia populnea
2
0.03
2
0,4 157,08
0,02
Avicennia marina
2
0.03
2
0,4 353,43 0,048
Excoecaria agallocha
1
0,01
1
0,2 962,12
0,13
Rhizophora mucronata
3
0,05
1
0,2 235,62
0,03
Bruguiera gymnorrhiza
1
0,01
1
0,2
78,54
0,01
IV
0,25
0,716
0,93
0,73
1,08
1,12
0,45
0,48
0,34
0,28
0,22
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
57
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Tabel 5. Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan Nilai Penting di lokasi P. Ngalih
Nama jenis
Di RDi Fi RFi
Ci
RCi
Rhizophora mucronata
19 0,46
4
0,8 1492,26 0,25
Avicennia marina
4
0,1
3
0,6 314,16 0,053
Pandanus tectorius
3
0,07
2
0,4 235,62
0,04
Derris trifoliate
3
0,07
2
0,4 150,77 0,026
Cocos nucifera
2
0,05
2
0,4 981,75
0,17
Scaevola taccada
1
0,02
1
0,2
28,27
0,005
Ceriops
2
0,05
1
0,2 1413,73 0,24
Hibiscus tiliaceus
2
0,05
1
0,2 353,43
0,06
Terminalia cattapa
1
0,02
1
0,2 176,72
0,03
Melastoma candidum
2
0,05
1
0,2
19,64
0,003
Rhodomyrthus tomentosa
1
0,01
1
0,2
19,64
0,003
Cerbera manghas
1
0,01
1
0,2 706,86
0,12
No
1
2
3
4
5
6
7
Tabel 6 Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan Nilai Penting di lokasi P. Beralas Bakau
Nama jenis
Di RDi Fi
RFi
Ci
RCi
IV
Rhizophora mucronata
39 0,81
5
1,00 6891,89 0,79
2,6
Ceriops
2
0,04
2
0,4
981,75
0,11
0,55
Sonneratia alba
1
0,02
1
0,2
78,54
0,01
0,23
Derris trifoliate
2
0,04
1
0,2
39,27
0,005 0,24
Scaevola taccada
2
0,04
1
0,2
100,53 0,012 0,25
Barringtonia asiatica
1
0,02
1
0,2
314,16
0,04
0,26
Pandanus tctorius
1
0,02
1
0,2
314,16
0,04
0,26
No
1
2
3
4
5
6
Tabel 7 Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan Nilai Penting di lokasi P. Beralas Pasir
Nama jenis
Di RDi
Fi RFi
Ci
RCi
Casuarina equisetifolia
5
0,12
1
0,2 883,58 0,13
Scaevola taccada
8
0,19
3
0,6 402,12 0,06
Rhizhopora mucronata
26 0,62
4
0,8 4594,59 0,67
Barringtonia asiatica
1
0,02
1
0,2 176,72 0,03
Terminalia cattapa
1
0,02
1
0,2 490,875 0,07
Sonneratia alba
1
0,02
1
0,2 314,16 0,05
IV
1,51
0,75
0,51
0,49
0,62
0,23
0,49
0,31
0,25
0,25
0,21
0,33
IV
0,45
0,85
2,09
0,25
0,29
0,27
Ket : Di=Kerapat jenis, RDi=Kerapatan Relatif Jenis, Fi= Frekuensi Jenis, FDi=Frekuensi Relatif
Jenis, Ci=Penutupan jenis, RCi=Penutupan Relatif Jenis, IV= Nilai Penting
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
58
PADANG LAMUN DI PERAIRAN PULAU BINTAN,
KABUPATEN KEPULAUAN RIAU
Oleh: I.M. Nasution
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati - Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jl.
MT. Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770, Indonesia , e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian mengenai kondisi padang lamun di perairan Pulau Bintan, di enam stasiun penelitian
yaitu Pulau Kelong, Pulau Siulung, Pulau Ngalih, Teluk Bakau, Pulau Beralas Bakau, dan Tanjung
Keling. Terdapat delapan jenis lamun di perairan Pulau Bintan yaitu Enhalus acoroides,
Cymodocea serrulata, C. Rotundata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium,
Thalassia hemprinchii, dan Thalassodendron ciliatum. Pulau Ngalih merupakan stasiun dengan
padang lamun monospesifik E. acoroides, sedangkan stasiun lainnya mempunyai padang lamun
campuran antara 2 hingga 6 spesies. Penutupan lamun tertinggi di Teluk Bakau dan yang terendah
di Pulau Siulung. Kerapatan tertinggi di Teluk Bakau dan yang terendah di Tanjung keling.
Biomassa tertinggi terdapat di Teluk Bakau dan yang terendah terdapat Pulau Ngalih.
Kata Kunci: Pulau Bintan, Lamun, Penutupan, Kerapatan, Biomassa
ABSTRACT
Study about seagrass beds condition in Bintan Islands was done in six locations which were Kelong
Island, Siulung Island, Ngalih Island, Teluk Bakau bay, Beralas Bakau Island, and Tanjung Keling
Bay. Eight species of seagrass were collected during the reseach, which were Enhalus acoroides,
Cymodocea serrulata, C. Rotundata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium,
Thalassia hemprinchii, and Thalassodendron ciliatum. Ngalih Island was the only area with
monospecific seagrass bed. Teluk Bakau Bay has the highest seeagrass coverage and the lowest
coverage was in Siulung Island. Teluk Bakau Bay has the highest seagrass density and the lowest
density was in Tanjung Keling Bay. Teluk Bakau bay has the highest biomass of seagrass and the
lowest biomass in Ngalih Island.
Keyword: Bintan Island, Seagrass, Coverage, Density, Biomass
1. PENDAHULUAN
Lamun
adalah
tumbuhan
berbunga
(Angiospermae) yang tumbuh di laut dangkal,
dan dapat membentuk kelompok-kelompok
kecil dari beberapa tegakan tunas hingga
berupa hamparan padang lamun yang luas.
Padang lamun dapat berbentuk vegetasi
tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun atau
vegetasi campuran yang disusun mulai dari dua
sampai dengan 12 jenis lamun yang tumbuh
bersama-sama
(Kirkman,
1985).
Lamun
ditemukan tumbuh di daerah pasang surut
sampai dengan daerah berkedalaman 40 meter.
Pada daerah transisi, lamun dan terumbu
karang dijumpai tumbuh bersama (Nienhuis et
al., 1989).
Di perairan Indonesia terdapat 13 jenis
lamun (Kiswara, 1994), sementara di dunia
dijumpai 58 jenis (Hartog, 1970). Indonesia
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
dengan garis pantainya yang terpanjang kedua
di dunia diperkirakan mempunyai padang lamun
terluas diantara negara-negara tropis.
Informasi tentang padang lamun di
Indonesia
Indonesia
masih
rendah
dibandingkan dengan negara lain seperti
Philipina dan Australia. Sementara itu tekanan
penduduk terhadap padang lamun di Indonesia
mulai terlihat pengaruhnya seperti eksploitasi
sumberdaya di padang lamun yang berlebihan
(Hutomo, 1995), hilangnya areal padang lamun
akibat kegiatan reklamasi pantai, dan
eksploitasi sumberdaya yang merusak padang
lamun (Kiswara, 1994).
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengumpulkan data awal mengenai padang
lamun di Pulau Bintan. Data tersebut
diharapkan dapat menjadi informasi dasar
mengenai padang lamun pulau Bintan dan
59
dapat bermanfaat dalam pemantauan dampak
penambangan pasir laut terhadap ekosistem
pesisir di Kepulauan Riau, sehingga dampak
yang merugikan bagi ekosistem pesisir dan
masyarakat sekitarnya dapat diminimalisasi.
1.1 Lokasi Penelitian
Pengamatan tipe substrat, komposisi jenis,
serta struktur komunitas padang lamun di Pulau
Bintan dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2003
di dua daerah yaitu Kecamatan Bintan Timur
dan Kecamatan Gunung Kijang. Pada masingmasing daerah, penelitian dilakukan di tiga
stasiun penelitian. Stasiun penelitian di
Kecamatan Bintan Timur adalah Pulau Kelong
(0o48,960’ LU; 104o37,713’BT), Pulau Siulung
(0o47,188’BT; 104o37,10’BT), dan Pulau
Ngalih(0o47,864’LU;
104o37,170’BT).,
sedangkan stasiun penelitian di Kecamatan
Gunung
Kijang
adalah
Teluk
Bakau
(01o03’04,7’’ LU; 104o39’02,6’’BT), Pulau
Beralas Bakau (01o03,948’ LU; 104o40,266’
BT), dan Tanjung Keling (01o05,912’LU;
104o37,982’BT) (Gambar 1 dan Gambar 2)
Bintan
.
Koyang
1
Kelong
Bulat
Ajab
.
.
Gabi
3
Riau
Ngalih
2
Siulung
Rusa
Gambar 1. Sketsa Lokasi Pengambilan data Di Kecamatan Bintan Timur
(1= Pulau Kelong, 2= Pulau Siulung, 3 = Pulau Ngalih)
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
60
.
Berlangkap
6
Bintan
.
.
5
Beralas Bakau
Nikoi
4
Beralas Pasir
Gambar 2. Sketsa Lokasi Pengambilan data di Kecamatan Gunung Kijang
(4= Teluk Bakau, 5= Pulau Beralas Bakau, 6= Tanjung Keling)
2. ISI / BAHASAN
2.1 Metode Penelitian
2.1.1 Substrat
Substrat
dasar
diambil
dengan
menggunakan alat berupa pipa paralon dengan
luas mulut 0.1 m2 yang dimasukkan kedalam
substrat sedalam 30 cm. Sampel substrat
diamati butirannya dengan cara disaring.
Saringan yang digunakan berukuran 8, 4, 2, 1,
0.5, 0.25, 0.125, 0.063 mm, dan residu (<
0.0625 mm). Hasil penyaringan kemudian
ditimbang dan datanya digunakan untuk
menentukan besar butir. Butir substrat dianggap
sebagai lumpur jika berdiameter <0.063 mm,
pasir jika diameternya antara 0.063 – 2 mm,
dan kerikil jika berdiameter >2 mm. Hasil
pengelompokan
kemudian
dimasukkan
kedalam segitiga Shepard (1954) yang
dimodifikasi utnuk pemberian nama substrat.
Jumlah contoh substrat dasar yang diambil
pada setiap stasiun penelitian berjumlah lima
contoh.
2.1.2 Struktur Komunitas Padang Lamun
Pengumpulan
data
kerapatan
dan
penutupan
lamun
dilakukan
dengan
menggunakan kuadrat besi berukuran 50 x 50
cm (untuk lamun species Enhalus acoroides)
dan 20 x 20 cm (untuk lamun species lain)
(Kiswara et al., 1992). Kuadrat besi ini dilempar
secara acak masing-masing 10 kali di tiap
stasiun penelitian. Lamun yang berada didalam
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
kuadrat itu dihitung jumlah tunasnya untuk
mengukur
kerapatan
dan
ditaksir
penutupannya.
Untuk pengukuran biomassa lamun, 10
tunas lamun species Enhalus acoroides diambil
secara utuh di setiap stasiun penelitian. Untuk
jenis lamun lain, data biomass didapatkan
dengan mengambil semua tunas yang terdapat
pada frame 20 x 20 cm. Tiap sampel tunas
diukur panjang dan lebar tiap daun, kemudian
tiap tunas dipisahkan berdasarkan bagian helai
daun, seludang, rhizoma, dan akar. Tiap bagian
tersebut ditimbang berat basah dan berat
keringnya. Berat kering dari tiap bagian lamun
didapat dengan pengeringan menggunakan
oven dengan temperatur 60°C selama 24 jam.
2.3 Hasil dan Pembahasan
2.3.1 Substrat
Berdasarkan hasil pengukuran butiran pasir
contoh dari setiap stasiun penelitian maka
dapat dilihat bahwa setiap stasiun penelitian
mempunyai substrat yang berbeda (Lampiran,
Tabel 1).
Pada stasiun penelitian di Kecamatan Bintan
Timur, Pulau Kelong mempunyai substrat dasar
lumpur, Pulau Ngalih mempunyai substrat pasir
berlumpur, Pulau Siulung mempunyai substrat
berpasir. Pada stasiun penelitian di Kecamatan
Gunung Kijang, pantai Teluk Bakau mempunyai
substrat dasar lumpur berpasir, Pulau Beralas
61
Bakau mempunyai substrat berpasir, dan pantai
Tanjung Keling mempunyai substrat berpasir.
Secara umum dapat dilihat bahwa substrat
dasar di perairan Kecamatan Bintan Timur
didominasi oleh substrat yang bervariasi dan
didominasi oleh substrat lumpur, sedangkan di
Kecamatan Gunung kijang substrat dasarnya
didominasi oleh pasir.
Perbedaan komposisi substrat diduga
merupakan salah satu penyebab perbedaan
komposisi jenis lamun yang tumbuh di kedua
lokasi, dan juga mempengaruhi perbedaan
kesuburan dan pertumbuhan lamun pada jenis
lamun yang sama. Hal ini didasari asumsi
bahwa perbedaan komposisi ukuran butiran
akan menyebabkan perbedaan nutrisi bagi
pertumbuhan lamun dan proses dekomposisi
serta mineralisasi yang terjadi pada substrat
(Kiswara & Winardi, 1999). Pada substrat
karbonat yang substratnya didominasi oleh
butiran pasir,
kandungan hara, proses
dekomposisi, dan mineralisasinya lebih tinggi
daripada yang terdapat pada substrat terigen
(Erftemeijer, 1993).
2.3.2 Jenis lamun
Didapat delapan jenis lamun di Perairan
Pulau Bintan. Tujuh spesies lamun terdapat
pada saat pengambilan data struktur komunitas
lamun, satu spesies yaitu Thalassodendron
ciliatum dikoleksi diluar stasiun penelitian
lamun, yaitu pada saat pengambilan data
terumbu karang (Tabel 1)
Tabel 1.Komposisi jenis sebaran lamun di perairan Pulau Bintan
Kerapatan ( tunas/1m2)
No.
Species
1
2
3
4
5
6
1 Halophyla ovalis
+
+
+
2 Thalassia hemprinchii
+
+
+
+
+
3 Cymodocea rotundata
+
+
+
4 Cymodocea serrulata
+
+
5 Halodule uninervis
+
+
6 Syringodium isoetifolium
+
7 Enhalus acoroides
+
+
+
+
+
+
8 Thalassodendron ciliatum
+
Jumlah
3
2
1
6
4
7
Keterangan: 1= P. Kelong, 2= P. Siulung, 3= P. Ngalih, 4= Tlk. Bakau, 5= P. Ber. Bakau, 6= Tj.
Keling
Hasil pengamatan sebaran jenis-jenis lamun di
peraian Pulau Bintan merupakan daerah
dengan sebaran jenis yang cukup tinggi
dibandingkan dengan sebaran lamun di daerahdaerah lain di Indonesia seperti Kepulauan
Seribu – Teluk Jakarta, dan Teluk Banten
(delapan jenis)(Kiswara, 1992a, 1992b); Laut
Flores (sembilan jenis) (Nienhuis et al., 1989);.
Bila dibandingkan dengan penelitian Kiswara et
al. (1997) di perairan Kepulauan Riau, yang
berhasil mendapatkan sembilan jenis lamun di
perairan tersebut, maka jumlah jenis lamun di
Pulau Bintan sedikit lebih rendah.
Berdasarkan jumlah jenis lamun yang
dijumpai di perairan Indonesia sebanyak 12
Jenis (Hartog, 1970), maka perairan Pulau
Bintan mempunyai jumlah jenis lamun yang
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
cukup tinggi yakni delapan jenis dari seluruh
jenis lamun yang terdapat di perairan Indonesia.
2.3.3 Kerapatan dan Penutupan Lamun
Kerapatan tertinggi jenis adalah Enhalus
acoroides (41.6 tunas/m2) di panti Teluk Bakau
dan kerapatan rata-rata terendah adalah
Halophyla ovalis (3.25 tunas / m2) di Pulau
Kelong (Tabel 2).
Kerapatan lamun per satuan luas
tergantung terhadap jenisnya (Nienhuis et al.,
1989), karena morfologi yang berbeda dari tiap
jenis lamun. Jenis lamun yang mempunyai
morfologi daun berbentuk pita yang besar
(Enhalus acoroides), daun berbentuk pita yang
sedang (Cymodocea rotundata, C. serrulata,
Halodule uninervis), daun normal (Halophyla
62
ovalis) dan berbentuk jarum (Syringodium
isoetifolium).
Tabel 2. Kerapatan rata-rata tiap jenis lamun pada setiap stasiun penelitian
Kerapatan ( tunas/1m2)
No.
Species
1
2
3
4
5
1 Halophyla ovalis
3.25
6
2 Thalassia hemprinchii
21.75
15.25
14
21.75
3 Cymodocea rotundata
16
15.75
4 Cymodocea serrulata
12.5
5 Halodule uninervis
12.75
6 Syringodium isoetifolium
12
7 Enhalus acoroides
33.2
10.4 27.2
41.6
34.4
Keterangan: 1= P. Kelong, 2= P. Siulung, 3= P. Ngalih, 4= Tlk. Bakau, 5= P. Ber. Bakau,
Keling
Kerapatan jenis lamun dengan daun pita
yang besar (E. acoroides) yang bervariasi
antara 10.4 tunas – 41.6 tunas /m2 lebih rendah
dibandingkan dengan kerapatan E. Acoroides di
daerah Lombok Selatan yang berkisar antara
60 – 430 tunas/m2 (Kiswara dan Winardi,
1999). Kerapatan jenis lamun berdaun pita
sedang (H. uninervis) juga lebih kecil bila
dibandingkan dengan kerapatan H. uninervis di
daerah Lombok Selatan (310 – 7120 tunas/m2)
(Kiswara dan Winardi, 1999), dan di Laut Flores
6
15.25
9.25
32
11.75
5
24
6= Tj.
(7887 – 21355 tunas/m2) (Nienhuis et al.,
1989).
Hanya data penutupan lamun dari jenis
Enhalus acoroides saja yang diambil untuk
melihat penutupan lamun di lokasi penelitian,
dengan asumsi jenis tersebut merupakan lamun
yang tingginya dapat melebihi satu meter dan
penutupannya akan menutupi semua jenis
lamun lain (Tabel 3).
Tabel 3. Persentase penutupan E. acoroides di setiap stasiun penelitian
Persentase Penutupan / 1m2
No.
Species
1
2
3
4
5
6
1 Enhalus acoroides
34% 5%
24.50%
36.25%
26%
28%
Keterangan: 1= P. Kelong, 2= P. Siulung, 3= P. Ngalih, 4= Tlk. Bakau, 5= P. Ber. Bakau, 6= Tj.
Keling
Penutupan E. acoroides yang tertinggi
terdapat di pantai Teluk Bakau, dimana di
stasiun tersebut kerapatan lamun jenis ini juga
paling tinggi (41.6 tunas/m2).
Kerapatan dan penutupan lamun pada
suatu daerah dipengaruhi oleh kondisi
abiotisnya seperti kecerahan air, sirkulasi,
kedalaman air, substrat, dan kandungan zat
hara (Zieman, 1987). Substrat dasar di pantai
Teluk Bakau yang merupakan lumpur berpasir
diperkirakan mempunyai kandungan zat hara
yang tinggi dan mendukung pertumbuhan
lamun di daerah ini. Letak pantai Teluk Bakau
yang langsung menghadap ke Laut Cina
Selatan juga mempunyai peran dalam tingginya
nilai
kerapatan
dan
penutupan
lamun
terutamajenis E. acoroides karena daerah ini
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
mempunyai sirkulasi air yang relatif terbuka bila
dibandingkan dengan stasiun penelitian lain,
terutama stasiun-stasiun di Kecamatan Bintan
Timur.
2.3.4 Biomassa lamun
Biomassa total lamun yang tertinggi
terdapat di perairan Teluk Bakau (863.34 gram
berat basah), sementara sementara yang
terendah terdapat di Pulau Ngalih (591.99 gram
berat basah). Secara umum biomassa lamun
yang lebih tinggi terdapat di perairan
Kecamatan Gunung Kijang dibandingkan di
Kecamatan Bintan Timur (Lampiran, Tabel 2).
Tingginya biomassa total lamun di perairan
Kecamatan Gunung kijang disebabkan oleh
sifat padang lamun di perairan tersebut yang
63
heterogen dan mempunyai jenis lamun yang
lebih banyak dibandingkan dengan padang
lamun di Kecamatan Bintan Timur. Kondisi
kecerahan perairan dan lokasi perairan di
Kecamatan Gunung Kijang yang terbuka
menghadap langsung ke Laut Cina Selatan juga
mempengaruhi tingginya biomassa lamun di
daerah Teluk Bakau
Biomassa lamun bervariasi sangat besar
tergantung dari jenis dan kondisi habitatnya,
terutama kecerahan air, sirkulasi, kedalaman
air, substrat, dan kandungan hara (Zieman,
1987). Jenis lamun yang sama mempunyai
biomassa lebih tinggi bila tumbuh diperairan
yang jernih dengan sirkulasi air yang besar,
substrat yang lebih dalam, dan kandungan hara
yang lebih tinggi (Kiswara & Winardi, 1999).
Berdasarkan observasi lapangan, terdapat
beberapa biota lamun yang bernilai ekonomis
tinggi seperti ikan baronang (Siganus
canaliculatus), keong gonggong (Strombus
spp.), udang windu (Penaeus monodon) dan
kepiting
rajungan
(Portunus
pelagicus).
Terganggunya padang lamun di daerah ini akan
menyebabkan
terganggu
pula
kegiatan
perikanan masyarakat nelayan di sekitarnya.
3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Setidaknya terdapat delapan jenis lamun di
perairan Pulau Bintan yaitu Enhalus acoroides,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata,
Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprinchii,
Halodule uninervis, Halophila ovalis, dan
Thalassodendron siliatum.
Terdapat perbedaan kondisi padang lamun
pada
Kecamatan
Gunung
Kijang
dan
Kecamatan Bintan Timur. Pada Kecamatan
Gunung
Kijang
substrat
dasar
yang
mendominasi adalah pasir, padang lamunnya
bevegetasi campuran lebih dari tiga jenis, dan
mempunyai
kerapatan,
penutupan,
dan
biomassa lamun yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan padang lamun di
Kecamatan Bintan Timur.
Penambangan
pasir
laut
yang
direncanakan akan dilakukan di perairan Pulau
Bintan khususnya bagian Utara dan Timur
sebaiknya direncanakan dengan baik dan juga
harus dianalisis dengan baik mengenai dampak
terhadap lingkungannya, sehubungan dengan
kondisi lamun di sekitar Kecamatan Gunung
Kijang yang masih relatif baik. Sedimentasi
yang tinggi sebagai akibat dari aktifitas
penambangan pasir laut mengakibatkan air laut
menjadi sangat keruh, seperti yang telah terjadi
terutama di perairan Pulau Karimun. Kekeruhan
air laut yang tinggi akan mengganggu
kehidupan lamun, sebab sebagai tumbuhan
tinggi lamun membutuhkan cahaya matahari
yang tinggi dalam kehidupannya.
Padang lamun di perairan Pulau Bintan
mempunyai peranan yang penting bagi
kehidupan masyarakat nelayan disekitarnya.
5. DAFTAR PUSTAKA
1. Kirkman, H., 1985: Community structure in
seagrass in southern western Australia,
Aquatic Botany, 21:363-375.
2. Kiswara, W., 1994: A review: seagrass
ecosystems studies in Indonesian
waters, Paper presented at the ASEAN
– Australia Symposium on Living
Coastal Resources, Chulalangkorn
University, Bangkok – Thailand, 16-20
May 1994.
3. Nienhuis, P.H., J. Coosen, & W. Kiswara,
1989:
Community
structure
and
biomass distribution of seagrasses and
macrofauna in the Flores Sea,
Netherlands Journal of Sea Research,
23(2): 197-214.
4. Den Hartog, C., 1970: The seagrasses of
the world, North Holland Amsterdam,
275 pp.
5. Hutomo, M., 1995: Telaah ekologik
komunitas ikan pada padang lamun
(seagrass, Anthophyta) di perairan
Teluk Banten, Thesis Doktor, Fakultas
Pasca Sarjana – IPB Bogor, 271 pp.
6. Shepard, E.P., 1954: Nomenclature based
on sand silt clay ratios, Journ. Sed.
Petrology, 24: 151-158
7. Kiswara, W., A.S. Genisa, A. Arifin, dan
L.H. Purnomo, 1992: A preliminary
study of the species composition,
abundance, and distribution of fishes in
the seagrass beds of Banten Bay, West
Java, Indonesia, Paper presented on
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
4. UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan banyak terimakasih kepada Sdr.
Asep
Rasyidin
yang
telah
membantu
mengerjakan biomassa lamun dan pengukuran
substrat dasar, serta Sdr. Irman R. Syam yang
membantu dalam pengumpulan data lapangan.
64
Workshop of Fisheries Connection with
Mangroves and Seagrasses, Kuala
Lumpur, 183-213.
8. Kiswara, W., dan Winardi, 1999: Sebaran
lamun di Teluk Kuta dan Teluk
Gerupuk, Lombok, dalam Dinamika
komunitas biologis pada ekosistem
lamun di Pulau Lombok, Indonesia,
Soemodihardjo, S., O.H. Arinardi, dan I.
Aswandy (Eds.), Puslitbang Oseanologi
– LIPI, Jakarta, 11-25
9. Erftemeijer, P., 1993: Factors limiting
growth and production of tropical
seagrasses: Nutrient dynamics in
Indonesia seagrass beds, Thesis PhD
Nijmegen Katholieke Universiteit, 173
pp.
10. Kiswara, W., 1992a:
Vegetasi lamun
(seagrass)di rataan terumbu Pulau Pari,
Pulau-pulau
Seribu,
Jakarta,
Oseanologi di Indonesia, 25; 31-49.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
11. Kiswara, W., 1992b: Community structure
and biomass distribution of seagrass at
Banten Bay, West Java – Indonesia,
dalam Third ASEAN Science and
Technology
Week
Conference
Proceeding, Chou, L.M and C.R.
Wilkinson (eds.), Vol. 6, Marine
Science,
National
University
of
Singapore and National Science and
Technology Board, Singapore, 241250.
12. Kiswara, W., M.H. Azkab dan L.H.
Purnomo, 1997: Komposisi jenis dan
sebaran lamun di kawasan Laut Cina
Selatan, dalam Atlas Oseanologi Laut
Cina Selatan, Suyarso (ed.), Puslitbang
Oseanologi – LIPI, 123-134.
13. Zieman, J.C.,1987: A review of certain
aspects of the life, death and
distribution of seagrasses of the
Southern United States, Florida Marine
Research Pub., 42:53-76.
65
LAMPIRAN
Tabel 1. Hasil analisis ukuran butir pasir substrat di tiap stasiun penelitian
Persentase Berat
No
Stasiun
Jenis
Lumpur
Pasir
Kerikil
1 Pulau b Kelong
1
84.51
15.17
0.31 Lumpur
2
83.92
16.08
0.00 Lumpur
3
80.92
19.08
0.00 Lumpur
4
83.49
16.24
0.28 Lumpur
5
86.12
13.72
0.16 Lumpur
2 P. Ngalih
1
23.60
68.51
7.89 Pasir berlumpur
2
28.05
65.71
6.24 Pasir berlumpur
3
26.88
65.37
7.76 Pasir berlumpur
4
25.91
65.17
8.92 Pasir berlumpur
5
25.32
61.38
13.30 Pasir berlumpur
3 P. Siulung
1
3.49
94.32
2.19 Pasir
2
2.82
92.87
4.31 Pasir
3
2.67
92.48
4.86 Pasir
4
4.22
93.16
2.62 Pasir
5
3.10
92.67
4.24 Pasir
4 Tl. Bakau
1
77.77
21.84
0.38 Lumpur berpasir
2
69.34
29.51
1.14 Lumpur berpasir
3
69.39
26.92
3.68 Lumpur berpasir
4
66.11
30.70
3.19 Lumpur berpasir
5
72.69
25.76
1.55 Lumpur berpasir
5 P. Ber. Bakau
1
2.12
88.87
9.00 Pasir
2
2.68
96.55
0.76 Pasir
3
2.25
81.88
15.87 Pasir
4
2.88
91.41
5.71 Pasir
5
3.31
92.98
3.71 Pasir
6 P. Kerapu
1
5.23
78.62
16.15 Pasir
2
3.78
92.55
3.67 Pasir
3
6.23
73.38
20.40 Pasir
4
5.61
82.08
12.31 Pasir
5
4.78
94.27
0.95 Pasir
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
66
Tabel 2. Biomassa (gram) basah, kering, dan yang hilang dari tiap jenis lamun
Biomass
Stasiun Penelitian
No.
Jenis lamun
(gr)
1
2
3
4
5
6
Basah
391.7 591.9 386.7 373.5
531.4
317.3
1 Enhalus acoroides
Kering
64.6
87.4
63.0
58.8
89.0
69.4
Hilang
327.1 504.5 322.8 314.6
442.4
247.8
Basah
15.8
1.9
3.9
2 Halophila ovalis
Kering
1.6
0.2
0.6
Hilang
14.3
1.7
3.3
Basah
267.4
248.3 216.9
279.1
159.4
3 Thalassia hemprinchii Kering
39.8
35.1
31.1
33.5
21.7
Hilang
227.6
213.3 185.8
245.6
137.7
Basah
71.9
0.9
4 Halodule uninervis
Kering
5.4
0.2
Hilang
66.4
07
Basah
50.4
14.9
86.4
5 Cymodocea rotundata Kering
6.7
2.2
13.6
Hilang
43.8
12.8
72.8
Basah
110.3
83.6
6 Cymodocea serrulata Kering
17.7
13.9
Hilang
92.6
69.7
Basah
40.5
7 Syringodium isoetifolium Kering
5.9
Hilang
34.5
Keterangan: 1= P. Kelong, 2= P. Siulung, 3= P. Ngalih, 4= Tlk. Bakau, 5= P. Ber. Bakau, 6= Tj.
Keling
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
67
STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DI PADANG LAMUN PULAU
BINTAN, KABUPATEN KEPULAUAN RIAU
Oleh: I. M. Nasution
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Jl. MT
Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770, Indonesia, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian mengenai struktur komunitas ikan di padang lamun Pulau Bintan, dilaksanakan di enam
stasiun penelitian yaitu Pulau Kelong, Pulau Siulung, Pulau Ngalih, Teluk Bakau, Pulau Beralas
Bakau, dan Tanjung Keling . Didapat 859 sampel ikan terdiri dari 33 jenis ikan dan 22 familia. Ikan
Ikan Baronang (Siganus canaliculatus) merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi yang
juga melimpah dan tersebar merata di lokasi penelitian. Pulau Siulung mempunyai
keanekaragaman (H’ = 1.94) dan kerataan (E = 0.88) jenis ikan yang paling tinggi di siang hari
dibandingkan dengan empat stasiun penelitian lainnya, sedangkan pada malam hari Pulau Ngalih
mempunyai keanekaragaman (H’ = 2.15) dan kerataan (E = 0.83) jenis ikan yang paling tinggi
dibanding dua stasiun penelitian lainnya.
Kata Kunci: Pulau Bintan, Lamun, Kelimpahan, Distribusi, Keanekaragaman
ABSTRACT
Research about community structure of fishes in the seagrass beds of Bintan Island was carried out
in six research station. The stations were Kelong Island, Siulung Island, Ngalih Island, Teluk Bakau
Bay, Beralas Bakau Island, and Tanjung Keling Bay.859 fish was caught and consist from 33
species and 22 familia. Siganiids fish (Siganus canaliculatus) was an economically important
species and also the abundant species with wide distribution in this area. Siulung Island has the
highest fish diversity (H’ = 1.94) and evenness (E= 0.88) compared to other four stations during the
day. Ngalih island has the highest fish diversity (H’= 2.15) and evenness (E= 0.83) compared two
other stations during the night.
Keywords: Bintan Island, Seagrass, Abundance, Distribution, Diversity
1. PENDAHULUAN
Lamun
adalah
tumbuhan
berbunga
(Angiospermae) yang tumbuh di laut dangkal,
dan dapat membentuk kelompok-kelompok
kecil dari beberapa tegakan tunas hingga
berupa hamparan padang lamun yang luas.
Padang lamun dapat berbentuk vegetasi
tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun atau
vegetasi campuran yang disusun mulai dari dua
sampai dengan 12 jenis lamun yang tumbuh
bersama-sama
(Kirkman,
1985).
Lamun
ditemukan tumbuh di daerah pasang surut
sampai dengan daerah berkedalaman 40 meter.
Pada daerah transisi, lamun dan terumbu
karang dijumpai tumbuh bersama (Nienhuis et
al., 1989).
Di perairan Indonesia terdapat 13 jenis
lamun (Kiswara, 1994), sementara di dunia
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
dijumpai 58-60 jenis ( Hartog, 1970). Indonesia
diperkirakan mempunyai padang lamun terluas
diantara negara-negara tropis.
Padang lamun menyediakan tempat
membesarkan anak, mencari makan, dan
tempat berlindung dari predator
bagi ikan
(Heck dan Orth, 1980). Padang lamun
merupakan daerah asuhan juga bagi ikan niaga
(Kikuchi, 1974). Ikan yang bernilai ekonomis
seperti ikan baronang (Siganus spp.), kakap
(Lutjanus spp.) dan kerapu (Ephinephelus spp.),
ikan mudanya hidup di padang lamun.
Penelitian mengenai ikan padang lamun di
Indonesia masih jarang dilakukan, dibandingkan
dengan luas perairannya. Hutomo dan
Martosewojo (1977) pertamakali melaporkan
penelitian komunitas ikan padang lamun di
68
Indonesia yang dilakukan di Pulau Burung,
Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengumpulkan data spesies dan kepadatan
ikan di padang lamun Pulau Bintan sehingga
dapat diketahui struktur komunitas ikan di
padang lamun Pulau Bintan.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi
informasi dasar mengenai spesies-spesies ikan
termasuk ikan yang bernilai ekonomis penting,
serta kelimpahan, frekuensi dan keanekaan
jenis ikan di padang lamun Pulau Bintan.
Informasi ini daharapkan dapat bermanfaat
dalam pemantauan dampak penambangan
pasir laut terhadap ekosistem pesisir di
Kepulauan
Riau,
sehingga
kegiatan
penambangan ini dapat dilakukan tanpa
menimbulkan dampak yang merugikan bagi
ekosistem pesisir dan masyarakat sekitarnya.
1.1 Lokasi Penelitian
Pengamatan komposisi jenis serta struktur
komunitas ikan di padang lamun perairan Pulau
Bintan dilakukan pada bulan Juli hingga
September 2003 di dua daerah yaitu
Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan
Gunung Kijang. Pada masing-masing daerah,
penelitian dilakukan di tiga stasiun penelitian.
Stasiun penelitian di Kecamatan Bintan Timur
adalah
Pulau
Kelong
(0o48,960’
LU;
o
104 37,713’BT), Pulau Siulung (0o47,188’BT;
104o37,10’BT), dan Pulau Ngalih(0o47,864’LU;
104o37,170’BT)., sedangkan stasiun penelitian
di Kecamatan Gunung Kijang adalah Teluk
Bakau (01o03’04,7’’ LU; 104o39’02,6’’BT), Pulau
Beralas Bakau (01o03,948’ LU; 104o40,266’
BT), dan Tanjung Keling (01o05,912’LU;
104o37,982’BT). Lokasi penelitian dapat dilihat
pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Bintan
.
Koyang
1
Kelong
Bulat
Ajab
.
.
Gabi
3
Riau
Ngalih
2
Siulung
Rusa
Gambar 1. Sketsa Lokasi Pengambilan data Di Kecamatan Bintan Timur
(1= Pulau Kelong, 2= Pulau Siulung, 3 = Pulau Ngalih)
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
69
.
Berlangkap
6
.
.
Bintan
5
Beralas Bakau
Nikoi
4
Beralas Pasir
Gambar 2. Sketsa Lokasi Pengambilan data di Kecamatan Gunung Kijang
(4= Teluk Bakau, 5= Pulau Beralas Bakau, 6= Tanjung Keling)
2. ISI / BAHASAN
2.1 Metode Penelitian
Pada bulan Juli 2003, sampel ikan diambil
dengan mengunakan Jaring Sodu (Push Net)
empat kali pada tiap stasiun penelitian. Tiap
tarikan dilakukan sepanjang 30 meter secara
acak.
Pada bulan September 2003, sampel ikan
diambil dengan menggunakan Beam Trawl
dengan pengulangan tiga kali pada tiap stasiun
penelitian. Trawl ditarik sejajar dengan garis
pantai dengan menggunakan kapal nelayan
berkecepatan 1.5 knot dengan jarak 100 m
setiap kali tarikan.
Penggunaan dua jenis jaring yang berbeda
dimaksudkan agar mendapatkan jumlah jenis
ikan yang maksimal.
Sampel ikan yang didapat langsung
diawetkan dengan formalin 4%, kemudian
diidentifikasi dengan berpedoman pada The
Fishes of Indo-Australian Archipelago (Weber &
de Beaufort, 1916-1951), FAO Species
Identification Sheet for Fishery Purposes (FAO,
1974) dan Guide to Fishes (Grant, 1972)
kemudian dihitung jumlah tiap speciesnya.
2.1.1 Analisis Data
Parameter komunitas ikan yang dianalisis
dalam penelitian ini adalah
1. Komposisi jenis
2. Kelimpahan Relatif
KR = (ni/N) x 100%
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
(1)
Dimana ni is jumlah individu ikan jenis i dan
N adalah jumlah individu semua jenis ikan
3. Frekuensi Relatif
FR = (Fi/ΣF) x 100%
(2)
Dimana Fi adalah jumlah kehadiran jenis
ikan i dan ΣF total frekuensi semua jenis
ikan
4. Indeks kesamaan jenis antara dua stasiun
(Sorensen’s Index)
Cs = (2j / (a+b))
(3)
Dimana a jumlah jenis ikan di stasiun a; b
jumlah jenis ikan di stasiun b; dan j adalah
jumlah jenis ikan yang terdapat pada
stasiun a dan stasiun b.
5. Indeks Kerataan Komunitas
E=(H’/ln(S))
(4)
Dimana
H’ Indek keanekaragaman
Shannon-Wiener dan S adalah jumlah total
jenis
6. Indeks Keanekaan
H’ = - Σ (pi) (ln pi)
(5)
Dimana pi adalah hasil dari jumlah jenis
ikan i dibagi dengan jumlah semua jenis
pada satu stasiun.
70
2.2. Hasil dan Pembahasan
2.2.1 Komposisi jenis
859 sampel ikan berhasil ditangkap dengan
menggunakan alat beam trawl dan jaring sodu
(push net) yang terdiri dari 33 jenis ikan dan 22
famili yang berasal dari spesies ikan di padang
lamun Pulau Bintan (Tabel 1).
Pada siang hari jenis ikan terbanyak
didapatkan di P. Kelong sebanyak 14 jenis,
sedangkan yang paling sedikit didapatkan di P.
Ngalih sebanyak 7 jenis. Pada malam hari jenis
ikan terbanyak didapatkan di P. Ngalih
sebanyak 15 jenis), sedangkan pada kedua
stasiun lainnya mempunyai jumlah jenis yang
sama sebanyak 11 jenis.
Bila diperbandingkan jumlah rata-rata jenis
ikan yang didapat pada siang hari dan malam
hari pada padang lamun di Pulau Bintan, maka
jumlah jenis pada siang hari sebanyak 10 jenis
lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah jenis
pada malam hari yaitu 13 jenis. Secara total
jumlah jenis ikan pada siang hari didapat 25
jenis ikan sedangkan pada malam hari
didapatkan 20 jenis ikan.
Komposisi jenis ikan pada penelitian ini
lebih sedikit dibandingkan dengan beberapa
daerah lain di Indonesia. Hutomo dan Djamali
(1980) pada penelitiannya di padang lamun
Pulau Tengah, Gugus Pulau Pari, mendapatkan
76 jenis ikan dari 32 familia, Peristiwady (1988)
pada
penelitiannya
di
Pulau
Ambon
medapatkan 63 jenis ikan dari 33 familia, dan
Erftemeijer
dam
Allen
(1993)
pada
penelitiannya
di
Sulawesi
Selatan
mendapatkan 49 jenis dari 29 familia.
Jumlah jenis ikan di padang lamun pada
waktu siang dan malam tidak menunjukkan
perbedaan yang berarti. Hal ini menimbulkan
asumsi bahwa perbedaan siang dan malam
tidak terlalu berpengaruh pada komposisi ikan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Gray et al. (1998) yang menyatakan bahwa ikan
di padang lamun New South Wales, Australia,
tidak berbeda secara nyata antara siang dan
malam, dan juga tidak terdapat bukti bahwa
terdapat jenis ikan yang secara khusus
berpindah dari habitat lain ke padang lamun
pada waktu malam, baik untuk mencari makan
maupun beristirahat
2.2.2 Kerapatan Relatif dan Frekuensi Relatif
Analisa kuantitatif struktur komunitas ikan
hanya dilakukan pada sampel ikan hasil
penangkapan dengan beam trawl.
Jenis ikan yang didapat pada tiap stasiun
penelitian mempunyai nilai kelimpahan dan
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
frekuensi
kehadiran
yang
bervariasi.
Kelimpahan ikan tiap stasiun penelitian
dikelompokkan menjadi tiga yaitu dominan (KR
> 5%), sub dominan (KR = 1%-5%) dan tidak
dominan (KR < 1%). Frekuensi kehadiran ikan
juga dikelompokkan menjadi tiga yaitu tinggi
(FR > 10%), sedang (FR = 5% - 10%) dan
rendah (FR < 5%).
Sembilan jenis ikan dominan pada siang
hari adalah Gerres macrosoma, Monacanthus
tomentosus, Upeneus tragula, Aeoliscus
strigatus, Dasson variabilis, Paracentropogon
longisipinis, Apogon quadrimasciatus, Cociela
quoy, dan Gobi sp2. Sedangkan delapan jenis
ikan dominan pada malam hari yaitu Apogon
quadrimasciatus,
Apogon
sp.,
Gerres
macrosoma, Monacanthus tomentosus, Gobi
sp2.,
Paracentropogon
lognispinis,
Messospristes
argenteus,
dan
Siganus
canaliculatus.
Secara keseluruhan terdapat lima jenis ikan
dominan pada siang dan malam hari yaitu
Gerres macrosoma, Monacanthus tomentosus,
Paracentropogon
longispinis,
Apogon
quadrimasciatus, dan Gobi sp2., empat jenis
ikan dominan hanya pada siang hari yaitu
Upeneus tragula, Aeoliscus strigatus, Dasson
variabilis, dan Cociela quoy, serta tiga jenis ikan
yang dominan hanya pada malam hari yaitu
Apogon sp., Messospristes argenteus, dan
Siganus canaliculatus (Lampiran, Tabel 2 dan
Tabel 3)
Delapan jenis ikan dengan frekuensi kehadiran
tinggi pada siang hari adalah Gerres
macrosoma,
Monacanthus
tomentosus,
Upeneus tragula, Paracentropogon longispinis,
Apogon quadrimasciatus, Apogon sp., Cociela
quoy, dan Dasson variabilis, sedangkan
sembilan jenis ikan dengan frekuensi kehadiran
tinggi pada malam hari adalah Apogon
quadrimasciatus, Apogon sp., Gobi sp.,
Leucosia sp., Monacanthus tomentosus,
Spyraena jelo, Upeneus tragula, Messospristes
argenteus, dan Siganus canaliculatus.
Secara keseluruhan terdapat empat jenis
ikan yang mempunyai frekuensi kehadiran
tinggi
pada
siang
dan
malam
yaitu
Monacanthus tomentosus, Upeneus tragula,
Apogon quadrilineatus, dan Apogon sp., empat
jenis ikan dengan frekuensi kehadiran tinggi
hanya pada siang hari yaitu Paracentropogon
longispinis, Cociela quoy, Dasson variabilis, dan
Gerres macrosoma, serta lima jenis ikan yang
mempunyai frekuensi kehadiran tinggi hanya
pada malam hari yaitu Gobi sp., Leucosia sp.,
71
Sphyraena jelo, Messospristes argenteus dan
Siganus canaliculatus (Tabel 2 dan Tabel 3).
Hutomo
dan
Martosewodjo
(1977)
mengkategorikan ikan padang lamun menjadi
Monacanthus tomentosus
dan Apogon
quadrimasciatus adalah ikan dominan dengan
frekuensi kehadiran tinggi pada waktu siang
dan malam. Kedua jenis ikan tersebut
merupakan ikan yang dikelompokkan sebagai
ikan
penentap.
Siganus
canaliculatus
merupakan ikan dominan dengan frekuensi
kehadiran tinggi hanya pada malam hari dan
merupakan ikan yang dikelompokkan sebagai
ikan penetap pada tahap muda di padang
lamun. Dasson variabilis dan Cociela quoy
merupakan ikan dominan dengan frekuensi
kehadiran tinggi hanya pada siang hari. Kedua
jenis ikan ini merupakan jenis ikan yang belum
diidentifikasi sifat keberadaannya pada padang
lamun, akan tetapi dengan sifat keberadaan
ikan ini yang merupakan ikan penghuni dasar
pasir, maka kemungkinan kedua jenis ikan ini
merupakan ikan yang umum terdapat pada
daerah dengan dasar pasir, walaupun tanpa
ada padang lamun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan
dominan dengan frekuensi tinggi merupakan
ikan penetap di padang lamun, dan hasil ini
sesuai dengan penelitian lain di Indonesia
(Nasution, 1998).
No.
empat kelompok yaitu penetap (resident),
penetap sejak ikan muda hingga dewasa,
penetap selama tahap ikan muda, dan
pengunjung sewaktu waktu.
Ikan baronang (Siganus canaliculatus) dan ikan
barakuda (Sphyraerna jelo) merupakan ikan
yang bernilai ekonomis tinggi sebagai ikan
konsumsi, merupakan ikan dominan dan
tersebar secara merata di lokasi penelitian. Hal
ini menunjukkan peranan padang lamun dalam
menunjang kegiatan perikanan bagi daerah
sekitarnya. Hasil ini sesuai dengan penelitian
lain (Peristiwady, 1995; Kikuchi, 1974) yang
menunjukkan bahwa ikan di padang lamun
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi baik
sebagai ikan konsumsi maupun sebagai ikan
hias.
2.2.3 Keanekaragaman jenis ikan
Pulau
Siulung
mempunyai
keanekaragaman (H’ = 1.94) dan kerataan (E =
0.88) jenis ikan yang paling tinggi dibandingkan
dengan empat stasiun penelitian lainnya,
sedangkan pada malam hari Pulau Ngalih
mempunyai keanekaragaman (H’ = 2.15) dan
kerataan (E = 0.83) jenis ikan yang paling tinggi
dibanding dua stasiun penelitian lainnya (Tabel
1).
Tabel 1. Indeks keanekaan dan kerataan ikan pada siang dan malam
Siang
Malam
Lokasi
H'
E
H'
1 Siulung
1.94
0.88
1.75
2 Ngalih
0.95
0.49
2.15
3 Kelong
1.69
0.63
1.98
4 Tj. Keling
1.78
0.77
5 Tlk. Bakau
1.34
0.58
Pulau Siulung mempunyai kerapatan jenis
(Thalassia hemprinchii = 15.25 tunas/m2;
Enhalus acoroides = 10.4 tunas/m2) dan
penutupan jenis lamun (E. acoroides = 5%)
yang relatif lebih rendah bila dibandingkan
dengan stasiun penelitian lainnya.
Beranekanya jenis ikan di Pulau Ngalih
menunjukkan fenomena yang berbeda dengan
penelitian ikan lamun lainnya didaerah lainnya
(Nasution, 1998; Hutomo dan Djamali, 1980;
Peristiwady, 1988), yang menunjukkan bahwa
tingginya kerapatan dan penutupan lamun
berbanding lurus dengan keanekaragaman
ikan.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
E
0.73
0.79
0.83
2.2.4 Kesamaan Jenis Ikan di Dua Lokasi
Pada siang hari Pulau Siulung – Tanjung
Keling mempunyai kesamaan jenis ikan yang
paling tinggi dibanding dengan stasiun
penelitian lainnya (Tabel 2).
Kesamaan jenis ikan pada dua lokasi tersebut
kemungkinan
disebabkan
karena
lokasi
tersebut mempunyai substrat dasar yang sama
(pasir), juga mempunyai kerapatan jenis lamun
E. acoroides yang paling rendah dibanding
stasiun penelitian lainnya (Pulau Siulung = 10.4
tunas/m2; Tanjung Keling = 24 tunas/m2).
Dengan adanya kondisi yang hampir sama
tersebut kemungkinan membuat kedua stasiun
72
ini dihuni oleh jenis-jenis ikan yang sama yang
mempunyai habitat pantai berpasir dengan
lamun yang sedikit jarang dan terbuka.
Pada malam hari, Pulau Ngalih – Pulau
Siulung, serta Pulau Pulau Ngalih – Pulau
Kelong mempunyai kesamaan jenis ikan yang
paling tinggi dibanding stasiun penelitian
lainnya.
Pulau Ngalih – Pulau Siulung sama sama
hanya didominasi oleh lamun jenis E.
acoroides, di Pulau Ngalih bahkan padang
lamunnya bertipe monospesifik dengan hanya
ditumbuhi oleh E. acoroides. Selain fakta
tersebut, kondisi lingkungan di kedua daerah
tesebut sangat bertolak belakang, yaitu substrat
dasarnya yang berbeda (Pulau Ngalih
bersubstrat dasar pasir berlumpur; Pulau
Siulung bersubstrat dasar pasir), Biomassa
lamun jenis E. acoroides di kedua pulau ini juga
sangat berbeda (di Pulau Ngalih = 591.99 gr
berat basah; Pulau Siulung = 386.71 gr berat
basah) serta penutupan jenis E. acoroides yang
sangat berbeda (Pulau Ngalih = 24.5%; P.
Siulung = 5%).
Tabel 2. Indeks kesamaan Sorensen pada siang dan malam
Indeks kesamaan Sorensen (Cs)
No.
Lokasi
Siang
Malam
1 Ngalih - Tj. Keling
0.24
2 Ngalih - Kelong
0.45
0.62
3 Ngalih - Siulung
0.50
0.62
4 Ngalih - T. Bakau
0.35
5 Tj. Keling - Kelong
0.48
6 Tj. Keling - Siulung
0.63
7 Tj. Keling - T. Bakau
0.50
8 Kelong - Siulung
0.50
0.45
9 Kelong - T. Bakau
0.40
10 Siulung - T. Bakau
0.53
Sementara itu Pulau Ngalih dan Pulau
Kelong mempunyai kondisi habitat yang juga
agak berbeda. Pulau Ngalih mempunyai
substrat pasir berlumpur, sedangkan di Pulau
Kelong substrat dasarnya berlumpur. Hanya
satu spesies lamun terdapat di Pulau Ngalih,
sedangkan di Pulau Kelong tumbuh tiga jen is
lamun. Akan tetapi kerapatan jenis E. acoroides
di kedua pulau tersebut hampir sama yaitu 27.2
tunas/m2 (Pulau Ngalih) dan 33.2 tunas/m2.
Kemungkinan ikan yang berada di kedua pulau
ini merupakan ikan-ikan yang menggunakan
lamun dan kanopinya sebagai tempat mencari
makan
3. KESIMPULAN DAN SARAN
Setidaknya terdapat 33 jenis ikan dari 22
familia di padang lamun perairan Pulau Bintan.
Beberapa spesies ikan yang dikoleksi
mempunyai nilai ekonomis penting sebagai ikan
konsumsi yaitu ikan kakap (Lutjanus sp,
Lethrinus harak), belut laut (Moraena sp.), ikan
baronang (Siganus canaliculatus), ikan sebelah
(Pardochirus pavoninus), dan ikan barakuda
(Sphyraena jelo). Selain itu ada juga ikan yang
bernilai ekonomis tinggi sebagai obat tradisional
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
seperti kuda laut (Hippocampus kuda). Ikan
baronang dan ikan barakuda juga mempunyai
kelimpahan tinggi dan penyebaran merata di
padang lamun Pulau Bintan. Hal ini
membuktikan bahwa padang lamun mempunyai
peran penting dalam menunjang kondisi
perikanan masyarakat nelayan di sekitarnya.
Pengelolaan padang lamun di perairan
Pulau Bintan perlu dilakukan lebih seksama,
terutama apabila rencana penambangan pasir
laut di perairan sekitar pulau Bintan Bagian
Timur dan Utara jadi dilaksanakan.
Penambangan pasir laut yang telah
dilaksanakan di perairan sekitar Pulau Karimun
telah mengakibatkan tingginya sedimentasi dan
penurunan kecerahan air yang sangat drastis.
Penyebaran agregat sisa penambangan
harus diperhatikan, apakah akan terbawa ke
daerah padang lamun atau tidak. karena bila
terbawa ke daerah padang lamun, terutama
daerah yang kondisi lamunnya masih baik, akan
mengakibatkan terganggunya kehidupan lamun
itu, beserta ikan yang hidup di dalamnya, dan
pada akhirnya akan mengakibatkan gangguan
pada kegiatan perikanan masyarakat pesisir.
73
4. UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan banyak terimakasih kepada Sdr.
Asep Rasyidin yang telah membantu dalam
pengumpulan data lapangan dan para teknisi
taksonomi ikan di Puslit Oseanografi – LIPI
yang telah membantu dalam identifikasi jenis
ikan.
5. DAFTAR PUSTAKA
1. Nienhuis, P.H., J. Coosen, and W. Kiswara,
1989:
Community
structure
and
biomass distribution of seagrass
macrofauna in the Flores Sea,
Indonesia, Netherlands Journal of Sea
Research, 23(2): 197-214.
2. Hartog, C. den, 1970: Seagrass of the
world, North-Holland Publishing Co.,
Amsterdam.
3. Heck, K.L.Jr. and R.J. Orth, 1980: Seagrass
habitat: the roles of habitat complexity,
competition,
and
predation
in
structuring
associated
fish
and
macroinvertebrate assemblages in V.S.
Kennedy (ed.), Estuarine perspective,
Academic Press, New York, 449-464.
4. Kikuchi, T. 1978: Japanese contributuions
in consumer ecology in eelgrass
(Zoostera marina L.) beds, with special
references to trophic relationships and
resources
in
inshore
fisheries,
Azuaculture 4: 145-160.
5. Hutomo, M., and Martosewodjo, 1977: The
fishes of seagrass community on the
Westside of Burung Island (Pari
Islands, Seribu Islands) and their
variation
in
abundance,
Marine
Research in Indonesia, 17: 147-172
6. Hutomo, M., and A. Djamali, 1980:
Komunitas ikan pada padang seagrass
di pantai Selatan Pulau Tengah, gugus
Pulau Pari, in Burhanuddin, M.K.
Moosa, H. Razak (eds.) Sumber daya
hayati bahari, LON-LIPI, Jakarta in
Indonesian.
7. Peristiwady, 1988: Note on the fish fauna of
the seagrass bed at Ambon Island,
Moluccas-Indonesia, Paper, Div. Marine
Research Center for Oceanological
Research and Development (P30),
Ambon, 148-156.
8. Erftemeijer, P., and G.R. Allen, 1993: Fish
fauna of seagrass beds in South
Sulawesi, Indonesia, Rec. West. Aust.
Mus.16(12): 269-277.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
9. Gray, C.A., R.C. Chick, dan D.J. McElligott,
1998: Diel changes in assemblages of
fishes associated with shallow seagrass
and bare sand, 849-859.
10. Nasution, I.M., 1998: Struktur komunitas
ikan di padang lamun (seagrass) Teluk
Banten, Cilegon, Jawa Barat, Skripsi
Jurusan Biologi FMIPA Universitas
Padjadjaran, 83pp.
11. Peristiwady, T., 1995: Padang lamun di
Pulau Osi dan Marsegu, Seram Barat:
sumberdaya
hayati
dan
pemanfaatannya,
dalam
Prosiding
Simposium Perikanan Indonesia I, 2527 Agustus 1993, BPPP, PPPP,
ISPIKANI, ISSF, HIMAPIKANI dan
JICA, Jakarta.
12. Weber, M., and L.F. de Beaufort, 19131951: The fishes of Indo-Australian
archipelago, E.J. Brill, London.
13. Food and Agricultural Organization, 1974:
Species identification sheet for fishery
purposes, Vol. 1-4, FAO, Rome.
14. Grant, E.M., 1972: Guide to fishes, Dept.
Prim. Industries, Brisbane.
15. Hutomo M., and Djamali, 1980: Komunitas
ikan pada padang “seagrass” di Pantai
Selatan Pulau Tengah, Gugus Pulau
Pari, dalam Sumberdaya Hayati Bahari,
Burhanuddin, M.K. Moosa, H. Razak
(eds.), LON-LIPI, Jakarta
74
LAMPIRAN
Tabel 1. Jenis ikan dan total tangkapan perairan Pulau Bintan
Jumlah Individu
Famili
No.
Jenis
1
2
3 4 5 6
1. Apogonidae
1 Apogon quadrimaculatus
44 26 152 0 0 0
2 Apogon sp
13
8 11 0 0 0
2 Atherinidae
3 Atherinomorus lacunosus (Forster, 1801)
0
0
0 0 30
3. Blenniidae
4 Petroscirtes variabilis Cantor, 1849
1
0
1 20 5 0
4. Centriscidae
5 Aeoliscus strigatus (Guenther, 1860)
1
1
4 5 00
5. Chaetodontidae
6 Parachaetodon ocellatus (Cuvier, 1831)
5
6
0 0 00
6. Gerreidae
7 Gerres macrosoma
9 48
0 0 20
7. Gobiidae
8 Amblygobius sp.
1
6
0 0 00
9 Gobi sp.
0
3 16 0 0 0
10 Gobi sp.2
7
3 18 0 0 0
8. Lethrinidae
11 Lethrinus harak
0
3
3 1 00
9. Lutjanidae
12 Lutjanus sp.
0
0
1 1 00
10. Monacanthidae
13 Monacanthus tomentosus (Linneaus, 1758)
12
7 28 23 48 5
11. Mullidae
14 Upeneus tragula Richardson, 1846
4
4
4 1 00
12. Muraenidae
15 Muraena sp.
0
0
1 0 20
13. Nemipteridae
16 Scolopsis sp.
0
0
0 1 10
18 Scolopsis bilineatus (Bloch, 1793)
0
0
3 0 00
14. Pomacentridae
19 Pomacentrus sp.
0
0
0 2 00
15. Scaridae
20 Scarus sp.
0
0
0 0 00
16. Scorpaenidae
21 Paracentropogon longispinis
65 58 78 4 5 0
17. Siganidae
22 Siganus canaliculatus
4
4
5 1 00
18. Soleidae
23 Pardachirus pavoninus (Lacepede, 1802)
0
0
0 0 10
19. Sphyraenidae
24 Sphyraena jello (Cuvier, 1829)
0
0
0 0 00
20. Syngnathidae
25 Corythoichthys intestinalis (Ramsay, 1881)
0
0
0 0 10
26 Hippocampus kuda Bleeker, 1852
0
1
0 0 10
27 Syngnathoides biaculeatus (Bloch, 1785)
17
0
0 1 00
21. Terapontidae
28 Mesopristes argenteus Cuvier, 1829
1
1 13 0 0 0
22. Tetraodontidae
29 Arothron immaculatus (Bloch & Schneider, 1801)
1
0
1 1 30
30 Cociela quoy
5
1
5 1 20
31 Leucosia sp.
0
0
2 0 00
32 Sebastipes sp.
0
0
1 0 00
33 Sinancea sp.
0
1
0 0 00
Jumlah
190 181 347 62 74 5
Ket: 1= P. Siulung, 2= P. Ngalih, 3= P. Kelong, 4 = Tj. Keling, 5= Tlk. Bakau, 6 = P. Beralas Bakau
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
75
Tabel 2. Kelimpahan relatif dan frekuensi relatif ikan pada waktu malam hari
Siulung
Ngalih
Kelong
No.
Jenis
KR
FR
KR
FR
KR
FR
1 Aeoliscus strigatus
1.72
4.55
2 Apogon quadrimaculatus
45.31 15.79 37.93 13.64 16.18
9.09
3 Apogon sp.
20.31 10.53 13.79
9.09
5.88
9.09
4 Chaetodon kleinii
1.72
4.55
5 Cociela quoy
1.56
5.26
3.45
4.55
6 Gerres macrosoma
7.81
5.26 10.34
9.09
7 Gobi sp.
3.13 10.53
8 Gobi sp.2
5.17
4.55
9 Lethrinus harak
3.45
4.55
1.47
4.55
10 Leucosia sp.
3.13 10.53
11 Lutjanus sp.
1.56
5.26
3.45
4.55
12 Messopristes argenteus
3.45
9.09 20.59 13.64
13 Monacanthus tomentosus
6.25 10.53
5.17
9.09 26.47 13.64
14 Paracentropogon longispinis
5.17
9.09
2.94
9.09
15 Scarus sp.
1.47
4.55
16 Scolopsis bilineatus
2.94
9.09
17 Sebastipes sp.
1.47
4.55
18 Siganus canaliculatus
1.56
5.26
1.72
4.55 14.71 13.64
19 Spiraena jelo
4.69 10.53
1.72
4.55
20 Upeneus tragula
4.69 10.53
1.72
4.55
5.88
9.09
Ket: KR= Kelimpahan Relatif, FR= Frekuensi Relatif
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
76
Tabel 3. Kelimpahan relatif dan frekuensi relatif ikan pada waktu siang hari
Ngalih
Tj. Keling
Kelong
Siulung
T. Bakau
No.
Jenis
KR
FR
KR
FR
KR
FR
KR
FR
KR
FR
1 Aeoliscus strigatus
7.14 7.69 1.38 3.70 3.70 7.69
2 Apogon quadrimaculatus
4.69 7.69
53.10 11.11
3 Apogon sp.
4.83 11.11
4 Arothron immaculatus
1.79 6.25
5 Bothus pantherinus
1.79 6.25
6 Cociela quoy
1.56 7.69 3.57 7.69 3.45 7.41 11.11 15.38 3.57 12.50
7 Dasson variabilis
14.29 7.69 0.69 3.70 3.70 7.69 3.57 12.50
8 Gerres macrosoma
75.00 23.08
25.93 7.69 3.57 6.25
9 Gobi sp.
1.56 7.69
1.38 7.41
10 Gobi sp.2
11.11 7.69
11 Lethrinus harak
3.57 7.69 0.69 3.70
12 Lutjanus sp.
3.57 7.69
13 Messopristes argenteus
2.07 3.70
14 Monacanthus tomentosus
9.38 23.08 39.29 23.08 16.55 11.11 22.22 15.38 66.07 18.75
15 Muraena sp.
0.69 3.70
3.57 6.25
16 Paracentropogon longispinis
14.29 15.38 6.90 7.41 3.70 7.69 8.93 18.75
17 Pomacentrus sp.
7.14 7.69
18 Pranesus pinguis
5.36 6.25
19 Scolopsis bilineatus
2.07 3.70
20 Scolopsis sp.
3.57 7.69
1.79 6.25
21 Sebastipes sp.
0.69 3.70
22 Siganus canaliculatus
2.76 7.41
23 Signatoides biaculeatus
3.57 7.69
3.70 7.69
24 Sinancea sp.
1.56 7.69
25 Upeneus tragula
6.25 23.08
2.76 11.11 14.81 23.08
Ket: KR = Kerapatan Relatif; FR = Frekuensi Relatif
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
77
KONDISI TERUMBU KARANG
DI PERAIRAN PULAU BINTAN, KABUPATEN KEPULAUAN RIAU
Oleh: I. M. Nasution, dan W.S. Pranowo
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jl.
MT. Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770 Jakarta, Indonesia, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian mengenai kondisi terumbu karang di perairan Pulau Bintan, dilaksanakan di enam
stasiun penelitian yaitu Pulau Bunut, Pulau Ajab, Pulau Rusa, Pulau Beralas Bakau, Pulau Beralas
Pasir, dan Pulau Kerapu. Secara umum terumbu karang yang terdapat di perairan Pulau Bintan
kondisinya bervariasi dari rusak berat hingga baik. Terumbu karang yang berkondisi baik umumnya
ditemukan di stasiun penelitian yang terletak di Kecamatan Gunung Kijang, sedangkan di sekitar
stasiun penelitian di Kecamatan Bintan timur, kondisi terumbu karangnya cenderung menunjukkan
adanya kerusakan.
Kata Kunci: Pulau Bintan, Terumbu Karang, Kondisi
ABSTRACT
Study about coral reef condition in Bintan Island was carried out in six research stations which were
Bunut Island, Ajab Island, Rusa Island, Beralas Bakau Island, Beralas Pasir Island, and Kerapu
Island. Coral reef conditions in Bintan island vary from very disturbed to good. Coral reef with good
condition could be found in Gunung Kijang district. Coral reefs in Bintan Timur district showed a
tendency of disturbation.
Keywords: Bintan Island, Coral reef, Condition
1. PENDAHULUAN
Komunitas terumbu karang dibentuk oleh
aktivitas biologi dari beberapa karang (coral)
yang termasuk di dalam filum Cnidaria.
Terumbu (reef) ini merupakan hasil dari deposit
masif kalsium karbonat yang diproduksi oleh
karang secara bertahun-tahun yang terjadi kirakira 500 juta tahun (Veron, 1993). Terumbu ini
terdiri khususnya jenis-jenis karang batu dan
algae berkapur, bersama-sama biota yang
hidup di dasar laut lainnya seperti jenis-jenis
mollusca,
crustacea,
echinodermata,
polychaeta, porifera, tunicata dan biota lainnya
yang hidup bebas di perairan sekitarnya
termasuk jenis-jenis plankton dan ikan
(Sukarno, 1995).
Terumbu karang sering digunakan untuk
menentukan batas-batas lingkungan laut tropis
(Nybakken,
1993),
karena
mempunyai
pertumbuhan optimal pada suhu 23°C sampai
29°C dan membutuhkan salinitas tinggi yaitu 32
sampai 42 ppm.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Terumbu karang berperan dalam menjaga
garis pantai, menyediakan makanan dan
perlindungan untuk tumbuhan dan hewan,
pendatang devisa negara yang bersangkutan,
serta menyediakan tempat untuk menempel
untuk hewan sesil.
Terumbu karang mudah untuk terganggu
dan rusak. Saat ini terumbu karang diperkirakan
mengalami penurunan kualitas dan kuantitas.
World Conservation Union dan United Nation
Environment Program (UNEP) melaporkan
bahwa kerusakan dan kehancuran terumbu
karang sudah terjadi di 93 negara. Kerusakan
ini disebabkan baik oleh aktivitas manusia dan
juga perubahan iklim lautan dan biologis
(Sukarno, 1995).
Ekosistem terumbu karang di Kepulauan
Riau terbentang di paparan dangkal hampir di
semua pulau-pulau. Di perairan Pulau Bintan
dengan panjang garis pantai 728 km
mempunyai terumbu karang seluas 16,860.50
ha. (Zieren, 1996).
78
Penelitian mengenai terumbu karang di
Pulau Bintan dan sekitarnya dilakukan sebagai
upaya untuk mengetahui kondisi terumbu
karang yang dapat digunakan sebagai data
dasar
untuk
mengetahui
pengaruh
penambangan pasir laut terhadap ekosistem
pesisir. Hal ini diperlukan sebagai salah satu
masukan dalam pemanfaatan sumberdaya
alam yang berkelanjutan.
Juli-Agustus 2003 di dua daerah yaitu
Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan
Gunung Kijang. Pada masing-masing daerah,
penelitian dilakukan di tiga stasiun penelitian.
Stasiun penelitian di Kecamatan Bintan Timur
adalah Pulau Bunut, Pulau Ajab dan Pulau
Rusa, sedangkan stasiun penelitian di
Kecamatan Gunung Kijang adalah Pulau
Beralas Pasir, Pulau Beralas Bakau, dan Pulau
Kerapu (Gambar 1 dan Gambar 2).
1.1 Lokasi Penelitian
Pengamatan kondisi terumbu karang di
perairan di Pulau Bintan dilakukan pada bulan
Bintan
Koyang
Kelong
1
.
Bulat
Gabi
Ajab
Riau
2
Ngalih
Siulung
.
Rusa
Gambar 1. Sketsa Lokasi Pengambilan data Di Kecamatan Bintan Timur
(1= Pulau Ajab, 2= Pulau Rusa, 3 = Pulau Ngalih)
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
79
.
6
Berlangkap
Bintan
5
.
Beralas Bakau
.
Beralas Pasir Nikoi
4
Gambar 2. Sketsa Lokasi Pengambilan data di Kecamatan Gunung Kijang
(4= Pulau Beralas Pasir, 5= Pulau Beralas Bakau, 6= Pulau Kerapu)
2. ISI / BAHASAN
2.1 Metode Penelitian
Penilaian kondisi terumbu karang di
perairan
Pulau
Bintan
dinilai
dengan
menggunakan metode Line Intercept Transect
(English et al., 1997)
Pada masing masing titik penelitian,
dilakukan pengambilan data menggunakan
metoda LIT sepanjang 50 meter sejajar garis
pantai dengan kedalaman 3 meter.
Data mengenai panjang penutupan tiap
jenis bentuk pertumbuhan karang yang terkena
transek garis, dicatat dan selanjutnya dianalisa
presentasi penutupan total karangnya.
Selanjutnya kondisi terumbu karang
ditentukan berdasarkan kriteria (Sukarno,
1995):
- Penutupan karang 0 – 25% : rusak berat
- Penutupan karang 26 – 50% : rusak
- Penutupan karang 51 – 75% : baik
- Penutupan karang 76 – 100% : baik sekali.
2.2 Hasil dan Pembahasan
2.21 Pulau Bunut
Terumbu karang di lokasi penelitian Pulau
Bunut didominasi oleh karang yang berasal dari
genus non-acropora (Tabel 1).
Hanya 14.20% dari keseluruhan Benthic
life form dikenali sebagai karang hidup,
sementara yang mendominasi di lokasi ini
adalah koral mati yang sudah ditutupi oleh alga,
dengan persentase sebesar 69%. Berdasarkan
klasifikasi kondisi terumbu karang berdasarkan
persentase penutupan karang hidupnya, maka
kondisi terumbu karang pada stasiun penelitian
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
ini dapat dikatagorikan berkondisi rusak berat
(penutupan karang hidup 0% – 25%).
Tabel 1. Benthic life form dan persentase
penutupannya di Pulau Bunut
No.
Benthic life form
% Penutupan
1 Hard Coral (Non Acropora)
Coral Massive
9.70
Coral Encrusting
1.33
Coral Mushroom
1.00
Coral Foliose
2.17
TOTAL CORAL
14.20
2 Dead Scleractinia
Dead Coral with algae covering
69.00
3 Algae
Algae Assemblage
6.27
4 Abiotic
Pasir
4.53
Water
5.67
5 Other
Sponge
0.33
TOTAL
100.00
Tingkat kekeruhan yang tinggi di sekitar
perairan Pulau Bunut diduga sebagai salah satu
penyebab utama tingginya tingkat kerusakan
terumbu karang. Pada saat penyelaman,
kecerahan air dan visibilitas cahaya matahari
cukup rendah di perairan ini.
Tingginya tingkat kekeruhan air di perairan
Pulau Bunut diduga disebabkan oleh aktifitas
penambangan bauksit yang sudah berlangsung
80
semenjak 60 tahun yang lalu. Penambangan
bauksit ini membuang limbah hasil pencucian
bauksit langsung ke laut.
2.2.2 Pulau Ajab
Terumbu karang di lokasi penelitian Pulau
Ajab didominasi oleh genus non-acropora
(Tabel 2).
Hanya 34.32% dari keseluruhan benthic life
form dikenali sebagai karang hidup, sementara
yang mendominasi di lokasi ini adalah alga
dengan persentase 21.96% dan hancuran
karang dengan persentase sebesar 28.32%.
Berdasarkan klasifikasi kondisi terumbu karang
berdasarkan presentase penutupan karang
hidupnya, maka kondisi terumbu karang pada
stasiun penelitian ini dapat dikatagorikan
berkondisi rusak (Penutupan karang hidup 26%
- 50%).
Banyaknya alga yang hidup di stasiun
penelitian ini dapat dikaitkan dengan lokasi
pengambilan data masih terlalu dekat dengan
pantai. Kondisi vegetasi yang ada masih
merupakan zona peralihan antara zona pantai
yang banyak ditumbuhi makroalgae dengan
zona terumbu karang. Kemungkinan lain
banyaknya alga di daerah penelitian ini adalah
banyaknya zat hara yang dibawa didalam
sedimen akibat aktifitas penambangan bauksit
di daratan yang menyebabkan suburnya alga.
Tabel 2.Benthic life form dan persentase
penutupannya di Pulau Ajab
%
No.
Benthic life form
Penutupan
1 Hard Coral (Non Acropora)
Coral Submassive
3.1
Coral Encrusting
0.4
Coral Massive
30.82
34.32
TOTAL CORAL
2 Dead Scleractinia
Dead Coral with algae covering
1.6
3 Algae
Algae Assemblage
21.96
4 Abiotic
Pasir
28.32
Coral Rubble
12.3
Water
0.5
5 Other
Sponge
1
TOTAL
100
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Banyaknya persentase hancuran karang di
stasiun penelitian ini kemungkinan disebabkan
oleh adanya penggunaan bahan peledak untuk
penangkapan
ikan,
seperti
dikeluhkan
masyarakat nelayan sekitar lokasi penelitian.
Penangkapan dengan bahan peledak dilakukan
di daerah ini biasanya untuk menangkapan ikan
kerapu (Ephinephelus spp.) yang merupakan
ikan konsumsi dengan nilai ekonomis yang
tinggi terutama bila dijual dengan keadaan
hidup.
2.2.3 Pulau Rusa
Terumbu karang di perairan Pulau Rusa
didominasi oleh genus acropora yang mencapai
15.47% dari total penutupan, sementara karang
hidup dari genus yang lain sekitar 36.93%
(Tabel 3).
Tabel 3. Benthic life form dan persentase
penutupannya di Pulau Rusa
No.
Benthic life form
% Penutupan
1 Hard Coral (Acropora)
- Acropora Branching
6.40
- Acropora Encrusting
5.20
- Acropora Digitata
3.87
2 Hard Coral (Non Acropora)
Coral Branching
2.27
Coral Encrusting
3.07
Coral Massive
16.53
Coral Submassive
0.80
Coral Tabulaate
1.60
Coral Mushroom
0.27
Coral Foliose
12.40
52.40
TOTAL CORAL
3 Dead Scleractinia
Dead Coral with algae covering
5.47
4 Algae
Algae Assemblage
4.93
5 Abiotic
Pasir
Coral Rubble
0.27
Water
24.67
6 Other
Anemone
0.27
Other
12.00
TOTAL
100.00
Secara keseluruhan, penutupan karang
hidup di stasiun penelitian ini adalah 52.40%
dari total penutupan benthic life form di perairan
81
ini. Rasio ini menunjukkan bahwa kondisi
terumbu karang di perairan ini masih dalam
keadaan baik (Penutupan karang hidup 51% 75%).
Banyaknya persentase penutupan air
(24.67%)
pada
stasiun
penelitian
ini
kemungkinan dikarenakan pemasangan transek
garis yang tidak sempurna sehingga garis
tersebut menggantung terlalu tinggi dari
permukaan life form yang seharusnya terkena
garis transek.
Dominasi genus acropora di lokasi
penelitian ini menurut Nybakken (1993)
dikarenakan genus acropora merupakan genus
yang paling dominan dan merupakan salah satu
ciri khas perairan Indo – Pasifik.
2.2.4 Pulau Beralas Bakau
Terumbu karang di sekitar Pulau Beralas
Bakau didominasi oleh genus acropora yang
mempunyai persentase penutupan 32.74%,
sedangkan karang hidup dari genus yang lain
mempunyai persentase penutupan 39.2%
(Tabel 4).
Tabel 4. Benthic life form dan persentase
penutupannya di Pulau Beralas Bakau
No.
Benthic life form
% Penutupan
1 Hard Coral (Acropora)
- Acropora Branching
1.74
- Acropora Submassive
30
- Acropora Digitata
0.6
- Acropora Tabulate
0.4
Hard Coral (Non
2 Acropora)
Coral Foliose
39.2
71.94
TOTAL CORAL
3 Dead Scleractinia
Dead Coral with algae
covering
15.86
4 Abiotic
Coral Rubble
6.1
Water
6.1
TOTAL
100
Secara keseluruhan, penutupan karang
hidup di stasiun penelitian ini mecapai 71.94%.
Dengan demikian berdasarkan rasio yang ada
terumbu karang di perairan ini dikategorikan
dalam keadaan baik (Penutupan karang hidup
51% - 75%).
Komposisi karang mati yang sudah
tertutupi alga sebesar 15.86% menunjukkan
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
kemungkinan bahwa telah terjadi kematian
karang dalam kurun waktu yang agak lama.
2.2.5 Pulau Beralas Pasir
Terumbu karang di sekitar Pulau Beralas
Pasir didominasi oleh genus acropora yang
mempunyai persentase penutupan 37.28%,
sedangkan karang genus lain mempunyai
persentase penutupan 17.54% (Tabel 5).
Secara keseluruhan, penutupan karang
hidup di stasiun penelitian ini adalah 54.82%
dari total penutupan benthic life form, sehingga
sesuai dengan rasio yang ada maka terumbu
karang pada stasiun penelitian ini dapat
dikatagorikan berkondisi baik.
Karang mati yang sudah tertutupi alga
sebesar 12.92% menunjukkan kemungkinan
bahwa telah terjadi kematian karang dalam
kurun waktu yang agak lama.
Banyaknya persentase penutupan air
(16.8%)
pada
stasiun
penelitian
ini
kemungkinan dikarenakan pemasangan transek
garis yang tidak sempurna sehingga garis
tersebut menggantung terlalu tinggi dari
permukaan life form yang seharusnya terkena
garis transek
Tabel 5. Benthic life form dan persentase
penutupannya di Pulau Beralas Pasir
No.
Benthic life form
% Penutupan
1 Hard Coral (Acropora)
- Acropora Branching
20.54
- Acropora Tabulate
16.74
2 Hard Coral (Non Acropora)
Coral Submassive
2.2
Coral Encrusting
0.9
Coral Massive
5.9
Coral Foliose
8.54
54.82
TOTAL CORAL
3 Dead Scleractinia
Dead Coral with algae
covering
12.92
4 Abiotic
Coral Rubble
2
Water
16.8
5 Other
Soft Coral
13.46
TOTAL
154.82
2.2.6 Pulau Kerapu
Terumbu karang di sekitar Pulau Kerapu
didominasi oleh genus acropora yang
82
mempunyai persentase penutupan 5.1%,
sedangkan karang genus lain mempunyai
persentase penutupan 35.8% (Tabel 6).
Secara keseluruhan, penutupan karang
hidup di stasiun penelitian ini mencapai 40.9%.
Berdasarkan rasio yang ada, menunjukkan
terumbu karang pada stasiun penelitian ini
berkondisi rusak.
Komposisi karang mati yang sudah
tertutupi alga sebesar 30.5% menunjukkan
kemungkinan bahwa telah terjadi kematian
karang dalam kurun waktu yang agak lama.
Komposisi hancuran karang sebesar
13.7%, kemungkinan disebabkan oleh bahan
peledak yang digunakan dalam kegiatan
penangkapan ikan, seperti yang terjadi di
perairan Pulau Ajab.
Adanya penutupan lamun sebanyak 1.8%
menunjukkan bahwa lokasi pengambilan data
merupakan daerah transisi dimana lamun dan
terumbu karang hidup bersama (Nienhuis dkk.,
1989).
Tabel 6. Benthic life form dan persentase
penutupannya di Pulau Kerapu
No.
Benthic life form
% Penutupan
1 Hard Coral (Acropora)
- Acropora Branching
4.7
- Acropora Encrusting
0.4
Hard Coral (Non
2 Acropora)
Coral Submassive
1.1
Coral Encrusting
5.8
Coral Massive
28.4
Coral Submassive
0.5
TOTAL CORAL
3 Dead Scleractinia
Dead Coral with algae
30.5
covering
4 Algae
Algae Assemblage
0.2
5 Abiotic
Pasir
8.2
Coral Rubble
13.7
Water
4.7
6 Other
Seagrass
1.8
TOTAL
100
3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Secara umum terdapat perbedaan yang
cukup nyata antara kondisi terumbu karang di
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan
Gunung Kijang.
Terumbu karang di perairan kecamatan
Gunung Kijang (Pulau Beralas Bakau, Pulau
Beralas Pasir, dan Pulau Kerapu) umumnya
mempunyai kondisi terumbu karang yang masih
baik, sedangkan di perairan Kecamatan Bintan
Timur (Pulau Bunut, Pulau Ajab, dan Pulau
Rusa) umumnya mempunyai kondisi terumbu
karang yang sudah rusak.
Karang keras di perairan Kecamatan
Gunung kijang didominasi oleh genus acropora,
sementara di perairan Kecamatan Bintan Timur
tidak terdapat karang keras dari genus acropora
yang terkena transek garis.
Perairan di sekitar Kecamatan Gunung
Kijang bersifat terbuka dan berhadapan
langsung dengan Laut Cina Selatan sehingga
sirkulasi air di daerah ini lebih baik bila
dibandingkan dengan perairan di Kecamatan
Bintan Timur yang mempunyai banyak pulaupulau kecil.
Kecamatan Bintan Timur mempunyai
pantai yang umumnya berlumpur dan berair
keruh bila dibandingkan dengan perairan
Kecamatan Gunung Kijang yang mempunyai
pantai yang berpasir dengan air yang relatif
jernih. Penekanan terhadap vegetasi dan
perairan pesisir oleh penambangan bauksit
yang telah berlangsung selama lebih kurang 60
tahun di perairan sekitar Kecamatan Bintan
Timur mengakibatkan terjadinya penurunan
kualitas kecerahan perairan. Hal ini dikarenakan
limbah pencucian bauksit tersebut dilepaskan
ke laut (Aribowo, 1996).
Sedimentasi yang tinggi dan perairan yang
keruh
mengakibatkan
rendahnya
keanekaramanan penutupan karang hidup di
perairan Kecamatan Bintan Timur. Apabila
sedimen mempunyai ukuran yang cukup besar
dan banyak dapat mematikan karang karena
menutupi polipnya. Binatang karang juga
mengeluarkan energi yang lebih besar untuk
menghalau
sedimen,
sehingga
laju
pertumbuhan karang menurun (Supriharyono,
2000).
Penggunaan
bahan
peledak
untuk
pengambilan ikan karang juga mempengaruhi
kondisi terumbu karang di sekitar lokasi
penelitian, terbukti dengan banyaknya hancuran
karang terutama di perairan Pulau Ajab dan
Pulau Kerapu.
Penambangan laut yang menurut rencana
akan dilaksanakan di sekitar perairan Pulau
Bintan
sebaiknya
dilaksanakan
dengan
perencanaan dan analisis dampak lingkungan
83
yang menyeluruh dan secara benar. Tingginya
tingkat kekeruhan air pada daerah sekitar
penambangan seperti yang sudah terjadi di
perairan
Pulau
Karimun
akan
sangat
mempunyai dampak negatif terhadap kondisi
terumbu karang, terutama yang berlokasi di
Kecamatan Gunung Kijang.
4. UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada Sdr. Asep
Rasyidin yang telah membantu pemasangan
transek garis dan menjadi buddy selam dalam
penelitian ini.
5. DAFTAR PUSTAKA
1. Veron, J. E., 1993: Corals of Australia and
Indo – Pacific, University of Hawaii
Press. Honolulu.
2. Nybakken, J. W., 1993: Marine biology: an
ecological approach, 3rd edition, Harper
Collins College Publisher, New York.
3. Nienhuis, P.H., J. Coosen, and W. Kiswara,
1989:
Community
structure
and
biomass distribution of seagrass
macrofauna in the Flores Sea,
Indonesia, Netherlands Journal of Sea
Research, 23(2): 197-214.
4. Sukarno, R., 1995: Ekosistem terumbu
karang dan masalah pengelolaannya
Materi
kursus
pelatihan
dalam
metodologi
penelitian
penentuan
kondisi terumbu karang, Puslitbang
Oseanologi – LIPI, Jakarta.
5. English, S., C. Wilkinson, and V. Baker,
1997: Survey manual for tropical marine
resources, Australian Institute of Marine
Science, Townsville.
6. Aribowo F., 1996: Kondisi terumbu karang
dan keanekaragaman sumberdaya
hayati laut di Bintan, Kec.Senayang,
Lingga, dalam Prosiding lokakarya
pendayagunaan sumberdaya kelautan
Bintan,
Senayang,
dan
Lingga,
Kabupaten
Kepulauan
Riau,
Tanjungpinang 30 Mei 1996
7. Zieren, M., 1996: Environmental condition
of reefs and seawater in Bintan,
Senayang-Lingga,
Riau
Province,
Indonesia, UNDP-RCZ Project, PT.
Ardes Perdana, Bandung.
8. Supriharyono,
2000:
Pengelolaan
ekosistem terumbu karang, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 108 pp.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
84
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
KEC. BINTAN TIMUR & KEC. GUNUNG KIJANG
Oleh: G. Kusumah dan E. Erwanto
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati - Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Jl. MT. Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770, Indonesia , e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kegiatan survei sosial ekonomi ini dilaksanakan di dua kecamatan, untuk memperoleh
informasi persepsi dan opini masyarakat mengenai lingkungan sekitar mereka, dalam hal ini
terkait dengan masalah “Penilaian Kerusakan Ekosistem Akibat Penambangan Pasirlaut”
Kegiatan penambangan pasir laut dapat memberikan peluang yang cukup besar terhadap
pendapatan asli daerah melalui pengembangan wilayah, membuka lapangan kerja dan
meningkatkan kesejahteraan perekonomian rakyat. Namun di lain pihak akan timbul dampak
negatif terhadap lingkungan serta mata pencaharian masyarakat nelayan dari kegiatan
penambangan ini.
ABSTRACT
Study about socio-economic condition was done in Gunung Kijang and Bintan Timur District.
The aim was to collect several data of people perception and opinion about their environment. It
was involved into the calculation of ecosystem destruction by sea sand mining.
Sea sand mining activity could give contribution to local income, such as area development,
new job opportunity and increase people prosperity. In the other hand the mining activity
brought the negative impact to the coastal and marine environment.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah
Kabupaten
Kepulauan
Riau
merupakan daerah yang dibentuk oleh gugus
pulau-pulau besar dan kecil serta memiliki
kawasan laut ± 70% dari luas keseluruhan
wilayahnya dan diperkirakan memiliki potensi
dan keragaman sumberdaya alam yang besar
bila dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan
baik. Salah satu potensi tersebut ialah
pasirlaut yang saat ini menjadi salah satu
andalan untuk meningkatkan PAD.
Pemanfaatkan sumberdaya kelautan
secara berkelanjutan dan lestari, perlu
memperhatikan keseimbangan ekosistem
yang ada. Kawasan padang lamun atau hutan
mangrove yang mampu menjaga garis pantai
dari terjangan ombak, juga kawasan
ekosistem terumbu karang yang berperan
penting dalam menjaga kelestarian beberapa
jenis ikan ekonomis.
Untuk mengetahui pendapat masyarakat,
apakah penambangan pasir laut di daerah
Bintan dan sekitarnya merupakan alternatif
kegiatan pemanfaatan sumber daya alam.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari kegiatan ini adalah adanya data
mengenai kondisi pesisir serta ekosistemnya
serta terciptanya kesadaran masyarakat
terutama masyarakat nelayan untuk turut
berperan serta melestarikan pesisir serta
ekosistemnya yang secara langsung maupun
tak langsung akan turut mendukung
peningkatan pendapatan masyarakat nelayan.
Secara umum survei ini bertujuan untuk
mengetahui
kondisi
sosial
ekonomi
khususnya kawasan pesisir Pulau Bintan,
mencakup permasalahan:
a. Persepsi masyarakat di kawasan pesisir
Pulau Bintan bagian Timur, tentang
kegiatan penambangan pasirlaut.
b. Nilai ekonomis dari kerusakan ekosistem
yang disebabkan oleh penambangan
pasir laut
1.3.
Lokasi Studi
Lokasi studi berada di Pulau Bintan,
Kabupaten Kepulauan Riau meliputi atas 2
(dua) lokasi kegiatan, yaitu daerah pesisir di
Kecamatan Bintan Timur dan di Kecamatan
Gunung Kijang.
85
2. PEMBAHASAN
Pengamatan dan pengumpulan data sosek
masyarakat dilakukan terhadap desa-desa
yang kemungkinan terkena dampak kegiatan
penambangan yaitu desa-desa di Kecamatan
Gunung Kijang dan desa-desa yang
kemungkinan
tak
terkena
dampak
penambangan yaitu desa-desa di Kecamatan
Bintan Timur. Pengumpulan data primer untuk
komponen sosial ekonomi diperoleh melalui
dengar pendapat (public hearing) yang
dilaksanakan bersama-sama dengan aparat
setempat, tokoh masyarakat, dan masyarakat
nelayan.
Wawancara
terstruktur
menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner)
kepada masyarakat nelayan. Sedangkan studi
sekunder diperoleh dari instansi terkait di
wilayah kegiatan.
2.1. Metodologi
2.1.1. Metode Studi
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode deskriptif dengan pendekatan kasus.
Metode ini digunakan untuk menggambarkan
dan menginterpretasikan secara mendalam
faktor-faktor dominan yang sedang terjadi
yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap
parameter yang diteliti.. Analisis disajikan
dalam bentuk analisis kualitatif dan kuantitatif
dilengkapi dengan tabel frekuensi dan grafik.
2.1.2. Metode Pengumpulan Data
Studi terhadap aspek sosial ekonomi
dilakukan
terhadap
penduduk
yang
diperkirakan akan terkena dampak baik
berupa dampak positif maupun negatif.
Pengumpulan data dilakukan secara primer
maupun sekunder. Pengumpulan data primer
diperoleh melalui:
a. Dengar Pendapat (Public Hearing),
merupakan
proses
memperoleh
keterangan berbagai aspek yang meliputi
sikap, harapan dan saran-saran dari
masyarakat mengenai rencana kegiatan.
Kegiatan ini dilaksanakan bersama-sama
dengan mengundang tokoh mesyarakat,
aparat setempat dan masyarakat nelayan
yang terkena langsung dampak kegiatan.
b. Pengumpulan data melalui kuisioner
(daftar pertanyaan), dilengkapi dengan
daftar pertanyaan yang berisi tentang
fakta, pendapat (opini) dan persepsi.
c. Pengumpulan data dengan observasi
langsung atau pengamatan langsung
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
Sedangkan data sekunder diperoleh dari
instansi terkait berupa: Monografi desa,
Kecamatan Dalam Angka serta data yang
relevan dari instansi setempat
2.1.3. Survey Lapangan
Survey
lapangan
telah
dilakukan
terhadap responden yang meliputi 2 (dua)
kecamatan yaitu Kecamatan Bintan Timur
(survey dilakukan di Pulau Mantang, Pulau
Dendun, dan Kota Kijang) dan Kecamatan
Gunung Kijang (survey dilakukan di Desa
Kawal, Desa Malang Rapat dan Desa Teluk
Bakau). Banyaknya responden yang berhasil
ditemui dan melakukan wawancara langsung
adalah sebanyak 45 orang responden.
Dalam melakukan survey terlihat bahwa
responden sangat antusias dan bekerja sama
dalam melakukan wawancara.
2.2. Hasil Penelitian
2.2.1. Jumlah Penduduk
a. Kecamatan Bintan Timur
Jumlah penduduk di Kecamatan Bintan
Timur sampai dengan tahun 2002 berjumlah
33.771
jiwa,
yang
dapat
dibedakan
berdasarkan jenis kelamin, laki-laki berjumlah
17.919 jiwa, sedangkan perempuan 15.852
jiwa. Maka perbandingan antara jumlah
penduduk laki-laki dan perempuan (sex ratio)
adalah 113 yang berarti pada setiap 100
penduduk berjenis kelamin perempuan
terdapat 113 penduduk berjenis kelamin lakilaki. Berdasarkan jumlah penduduk di
Kecamatan Bintan Timur, maka jumlah
penduduk berjenis kelamin laki-laki lebih
dominan dibanding perempuan.
b. Kecamatan Gunung Kijang
Jumlah penduduk di Kecamatan Gunung
Kijang sampai dengan tahun 2002 berjumlah
13.364 jiwa, yang terdiri dari berbagai macam
suku diantaranya suku Melayu, suku Jawa,
suku Bugis, suku Buton, suku Flores, suku
Tionghoa.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa di
Kec.Gunung Kijang
Jumlah
No.
Desa
Penduduk
1.
Gunung Kijang
4.597
2.
Teluk Bakau
1.120
3.
Malang Rapat
1.316
4.
Tuapaya
6.331
TOTAL
13.364
Sumber: Lap. sementara Dinas Kelautan &
Perikanan Teluk Bakau (tahun 2003)
86
2.2.2. Kepadatan Penduduk
Luas wilayah Kecamatan Bintan Timur
mencapai 319 km² dengan jumlah penduduk
sebesar 33.771 jiwa (sumber: Data
Monografi Kec. Bintan Timur, 2002), maka
kepadatan penduduk adalah 105 jiwa/km².
Berdasarkan kriteria BPS 1999, maka
kepadatan penduduknya tergolong rendah
karena masih kurang dari 200 jiwa/km².
Kondisi
tersebut
menggambarkan
bahwa proses persebaran penduduk masih
terpusat di kota kabupaten, dimana
berdasarkan data dari BPS Tahun 2000
kepadatan penduduk di Tanjung Pinang
sudah tergolong tinggi yaitu di Kecamatan
Tanjung Pinang Barat tercatat kepadatan
penduduknya sudah mencapai 754 jiwa/km²
dan Kecamatan Tanjung Pinang Timur 499
jiwa/km².
Tingginya tingkat kepadatan penduduk
disebabkan oleh faktor penarik migrasi
diantaranya adalah adanya kesempatan
untuk mendapatkan pendapatan yang lebih
baik (Dasar-Dasar Demografi, Lembaga
Demografi FE UI Tahun 2000), sehingga
orientasi masyarakat masih menjadikan Kota
Tanjung Pinang menjadi pusat kegiatan
terutama untuk aktifitas perekonomian,
sedangkan desa masih dianggap belum bisa
memberikan
kontribusi
besar
bagi
masyarakat untuk bisa memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari yaitu dengan masih kurang
tersedianya lapangan pekerjaan di desa,
sehingga mendorong masyarakat untuk
melakukan migrasi ke kota.
Kriteria tingkat kepadatan penduduk
menurut Biro Pusat Statistik tahun 1999:
- Tinggi, jika kepadatan penduduk > 400
jiwa/km²
- Sedang, jika kepadatan penduduk antara
200 – 400 jiwa/km²
- Rendah, jika kepadatan penduduk < 200
jiwa/km²
2.2.3. Komposisi Penduduk berdasarkan
Mata Pencaharian
Bidang buruh industri, nelayan dan
peternak merupakan mata pencaharian
pokok masyarakat di Kecamatan Bintan
Timur, mata pencaharian lainnya yang cukup
dominan adalah pegawai negeri, buruh
perkebunan, pengrajin, buruh pertambangan
dan petani, sedangkan jumlah pencari kerja
yang tercatat adalah sebanyak 158 orang.
Secara
lengkap
komposisi
penduduk
berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat
dalam tabel berikut:
Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian (Kec. Bintan Timur)
Mata Pencaharian
Kec.BintanTimur
(%)
1.
Petani
- Petani Pemilik tanah
286
jiwa
2,1
- BuruhTani
428
jiwa
3,2
2.
Nelayan
2886
jiwa
22,2
3.
Pengusaha Sedang/Besar
102
jiwa
0,8
4.
Pengrajin/Industri Kecil
824
jiwa
6,3
5.
Buruh Industri
3572
jiwa
27,4
6.
Buruh Bangunan
124
jiwa
0,95
7.
Buruh Pertambangan
725
jiwa
5,6
8.
BuruhPerkebunan
856
jiwa
6,6
9.
Pedagang
523
jiwa
4,01
10.
PNS
927
jiwa
7,1
11.
ABRI
59
jiwa
0,45
12.
Pensiun (PNS/ABRI)
81
jiwa
0,6
13.
Peternak
1627
jiwa
12,5
Sumber: Data Monografi Kec. Bintan Timur, 2002
No
Di Kecamatan Gunung
pencaharian penduduk yang
nelayan dan petani. Pada
dimana ombak besar dan
Kijang, mata
utama adalah
musim utara,
angin bertiup
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
kencang, penduduk yang berprofesi sebagai
nelayan biasanya berganti profesi sebagai
petani/ pekebun/ buruh/ dan lain-lain.
87
Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian (Kec. Gn.Kijang)
Mata Pencaharian
No.
Nama Desa
Nelayan
Petani
PNS/ABRI
Buruh
Lain-lain
1.
Gn.Kijang
488
697
61
101
72
2.
Teluk Bakau
209
184
17
38
24
3.
Malang rapat
253
217
25
47
36
4.
Tuapaya
23
1.169
49
103
123
Sumber: Lap. sementara Dinas Kelautan & Perikanan Teluk Bakau (tahun 2003)
2.2.2. Kuisioner
Kuisioner ini ditujukan kepada anggota
masyarakat
sekitar
lokasi
kegiatan
(responden) secara acak dan dianggap
mewakili suatu kelompok masyarakat
tertentu.
Sistem
yang
digunakan
dalam
pelaksanaan kegiatan ini adalah mendatangi
langsung para responden dan melakukan
wawancara
tatap
muka
sekitar
permasalahan yang telah ditentukan.
Ragam pertanyaan/kuisioner yang diajukan
pada responden, terutama adalah tentang:
a. Pola Pendapatan
b. Sikap
dan
Persepsi
Masyarakat
Terhadap
Rencana
Kegiatan
Penambangan Pasirlaut
c. Sikap Masyarakat Terhadap Lingkungan
Alam Sekitarnya
d. Persepsi
Masyarakat
Mengenai
Komunitas Lamun dan Alga (Rumput
Laut)
yang
Terkena
Dampak
Penambangan Pasirlaut
e. Persepsi
Masyarakat
Mengenai
Komunitas Terumbu Karang yang
Terkena
Dampak
Penambangan
Pasirlaut
f. Perikanan
Hasil kuisioner yang telah dilakukan
dapat dilihat pada lampiran.
3. KESIMPULAN
Secara umum kondisi perekonomian
masyarakat di wilayah Kecamatan Bintan
Timur dan Kecamatan Gunung Kijang
cenderung pada kondisi yang cukup baik.
Sebagian besar penduduk telah memiliki
rumah tinggal sendiri, walaupun sebagian
besar masih semi permanen, dan dilengkapi
minimal dengan fasilitas televisi serta vcd
player. Hanya sebagian kecil masyarakat
nelayan terutama pendatang yang belum
mempunyai tempat tinggal pribadi dan masih
menyewa/ mengontrak.
Di masyarakat kegiatan penambangan
pasirlaut sudah menjadi isu yang agak
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
sensitif dan dapat memicu keresahan
masyarakat. Kondisi tersebut disebabkan
oleh terjadinya dampak negatif dari kegiatan
penambangan yang telah dilaksanakan di
wilayah lain. Dampak yang timbul adalah
tidak
disetujuinya
semua
rencana
penambangan pasirlaut oleh masyarakat di
desa
tempat
studi,
yang
diperoleh
berdasarkan hasil wawancara yang telah
dilaksanakan dengan para pamong desa
serta masyarakat nelayan di desa-desa
tempat kegiatan berlangsung.
Alasan masyarakat tak menyetujui
adanya kegiatan penambangan pasirlaut
adalah karena sebagian besar masyarakat
desa berprofesi sebagai nelayan. Sehingga
bila
kegiatan
penambangan
pasirlaut
dilaksanakan sanagat dikhawatirkan akan
mengganggu
wilayah
tangkapan
dan
menurunkan pendapatan nelayan. Selain itu
adanya fakta di daerah yang pernah terdapat
penambangan pasir darat bahwa para
pengusaha cenderung hanya memberikan
janji-janji kosong kepada para nelayan.
Bila misalnya kegiatan penambangan
sudah tak dapat dihindarkan berkaitan
dengan
kepentingan
daerah
dalam
meningkatkan devisanya, maka rencana
kegiatan pasirlaut harus melibatkan peran
serta
masyarakay
secara
langsung,
sehingga
rencana
kegiatan
perlu
diinformasikan secara transparan kepada
masyarakat nelayan yang melakukan
kegiatan maupun bertempat tinggal di
daerah/wilayah tapak proyek, mulai dari
persiapan, operasional hingga tahap pasca
operasi.
Isu yang sedang hangat dan beredar di
masyarakat adalah maraknya praktek illegal
fishing yang sangat meresahkan masyarakat
nelayan. Praktek tersebut diantaranya
adalah penangkapan ikan dengan alat
peledak
yang
sangat
mengganggu
masyarakat nelayan yang mencari ikan di
wilayah pesisir. Praktek ini secara langsung
mengganggu biota laut seperti habitat ikan,
ekosistem lamun dan alga serta ekosistem
terumbu.
88
Dampak yang dirasakan sangat besar
dibandingkan isu penambangan pasirlaut dan
masyarakat sangat berharap agar praktek
illegal fishing tersebut diberantas. Isu tersebut
benar adanya seperti terlihat dari hasil survey
yang dilakukan terhadap keberadaan seagrass
terutama terumbu/coral, dimana ditemukan
kerusakan-kerusakan yang parah akibat
peledakan.
Pelaksanaan
pembangunan
yang
berwawasan lingkungan dan kesadaran bahwa
masalah lingkungan adalah tanggung jawab
terhadap kepentingan generasi mendatang
merupakan suatu hal yang penting diterapkan
di pemerintahan dan masyarakat dalam
mengelola lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mantri Statistik Kecamatan Bintan Timur,
1996, Kecamatan Bintan Timur Dalam
Angka
2. Pemkab Kepulauan Riau Kecamatan
Bintan Timur, 2002, Data Monografi
Kecamatan Bintan Timur
3. Radinka Aria International, 2002, Kerangka
Acuan
(KA)
Analisis
Dampak
Lingkungan (ANDAL), Kec. Bintan
Timur, Kab. Kepulauan Riau, Propinsi
Riau.
4. Rokhmin Dahuri, Dr. Ir. MS., Prof. Dr.
Jacub Rais, M.Sc., Ir. Sapta Putra
Ginting, M.Sc., Dr. M. J. Sitepu, 1996,
Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
89
LAMPIRAN
POLA PENDAPATAN
No.
1.
Jenis Alat
Usaha
Pompong Kecil/
Sampan
2.
Pompong Besar
3.
Kapal Sedang
Masalah
Alat Tangkap
Pompong
tiongkok, Bubu,
Jaring ikan,
Pancing,
Rompang, Pukat
Kelong, Jaring,
Bubu, Pancing,
Kelong kecil
Jaring lepas,
Pukat, Pancing
Jml Trip
Hampir
setiap hari
dalam ½
bulan, 1-4
hr/melaut
Hampir
setiap hari
dalam ½
bulan, 1-4
hr/melaut
Tak di
pengaruhi
musim:7-10
hr /melaut
SIKAP DAN PERSEPSI MASYARAKAT
PENAMBANGAN PASIR LAUT
Penghasilan
Investasi
Rp.15.000/ org
/ melaut;
Sampan,
Pompong
1 – 5 kg/
melaut
5 – 20 kg/
melaut
35-40rb /ABK/
hari;
200 kg s/d 4ton
/ melaut
TERHADAP
RENCANA
Biaya
Operasi
60 – 100
rb/melaut
Pompong,
Sewa
Pompong
60 – 100
rb/melaut
Sistem
bagi hasil
dgn tauke
pemilik
kapal
± 4 juta
/melaut
KEGIATAN
a) 94,4% responden mengetahui adanya kegiatan penambangan pasir laut, walaupun
kegiatan tersebut berada di wilayah lain.
b) 100% responden berpendapat bahwa penambangan pasir laut tidak akan bermanfaat
bagi kehidupan mereka, alasannya karena kegiatan tersebut akan mengganggu habitat
ikan serta merusak ekosistem pesisir sehingga masyarakat nelayan akan menjadi susah
mencari ikan
c) 100% responden menolak kehadiran kegiatan penambangan pasir laut di wilayah mereka
d) Hanya 4,4% responden yang bersedia dilibatkan dalam kegiatan penggalian pasir
tersebut asalkan tidak merusak laut
e) Bila misalnya terjadi konflik dengan kegiatan penggalian pasir, 60% responden akan
menyelesaikannya dengan cara melapor kepada yang berwenang sedangkan 40%
responden menyatakan akan mem-protes kegiatan tersebut secara langsung
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
90
PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI KOMUNITAS LAMUN, ALGA DAN TERUMBU
KARANG
1. Apakah bapak mengetahui lamun, alga, bakau
dan karang yang hidup di pesisir pantai:
2. Apakah Bapak/ibu sering melakukan aktivitas
menangkap ikan /udang di sekitar kawasan
pesisir:
40
42
50
37
35
30
40
30
tahu
25
tidak
20
ya
tidak
tidak tahu
15
20
3
8
10
10
5
0
0
0
3. Apakah bapak mengetahui kondisi ekosistem
pesisir tersebut saat ini:
4. Kira – kira berapa jumlah ekosistim pesisir yang
rusak / hilang akibat kegiatan penambangan
pasir selama ini:
30
35
30
35
25
30
20
25
tetap
ya
20
tidak
10
15
15
tidak tahu
12
0-25%
10
10
3
5
5
0
0
5. Apakah bapak pernah melakukan kegiatan
pengambilan lamun atau alga ?
6. Apakah bapak mengetahui fungsi dan ekosistem
pesisir sebagai tempat berlindung dan tempat
makan biota laut (ikan, udang, moluska) lainnya:
43
42
45
45
40
40
35
35
30
kadang2
25
tak pernah
30
20
20
15
15
10
2
10
5
5
0
0
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
ya
25
tidaktahu
3
91
7. Apakah penghasilan bapak berkurang dari
aktivitas penangkapan ikan disekitar kawasan
pesisir selama akibat dampak penambangan
pasir laut:
33
8. Berapa kira – kira penghasilan yang berkurang
sejak kegiatan penambangan pasir laut
berlangsung di sekitar kawasan pesisir:
19
20
35
18
16
30
14
14
25
20
12
ya
12
tidak
10
0 – 25 %
25 – 50 %
9
50 – 75 %
Tak Tahu
8
15
6
10
4
5
2
0
0
3
Ket: jawaban ya,namun bukan akibat penambangan pasirlaut
9. Apakah bapak pernah mendengar adanya
kegiatan pengelolaan untuk ekosistem pesisir:
25
10. Apakah Bapak/ibu setuju apabila kegiatan
pengelolaan ekosistem pesisir yang terkena
dampak penambangan pasir laut melibatkan
masyarakat sekitar ?
42
21
45
21
40
20
35
15
ya
30
tidak
25
tidak tahu
10
setuju
ragu-ragu
20
15
5
3
10
3
5
0
0
11. Seluruh responden (100%) mendukung adanya kegiatan pengelolaan komunitas lamun, alga, mangrove
dan terumbu karang dan sebagian responden mempunyai harapan besar untuk dapat lestarinya
kehidupan fauna laut di kawasan ekosistem pesisir oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
92
PERIKANAN
1. Berapa banyak total tangkapan yang bapak/ibu dapatkan dalam satu kali melaut?
No.
Jenis Alat Usaha
1.
Pompong Kecil/
Sampan
Pompong Besar
Kapal Sedang
2.
3.
Jumlah Responden/Penghasilan (permelaut)
9 orang
28 orang
8 orang
1 kg –> udang
5-15 kg –> ikan
± 50 kg –> ikan
± 200-300 kg -> ikan
2. Dalam satu hari, berapa kali bapak/ibu melaut?
No.
1.
2.
3.
Jenis Alat Usaha
Pompong Kecil/
Sampan
Pompong Besar
Kapal Sedang
9 orang
< 24 jam
Jumlah Responden/Penghasilan (permelaut)
28 orang
8 orang
3- 4 hari
± 4 hari – 2 minggu
3. Jenis ikan apa saja yang didapat?
No.
1.
2.
3.
Jenis Alat Usaha
Pompong Kecil/
Sampan
Pompong Besar
Kapal Sedang
Jenis Tangkapan
Ikan tenggiri, selikur, kerapu, dela, udang, kepiting, ronjong, bilis,
sotong
Ikan tongkol, selar, kembung, tenggiri, parang, selikur, bawal
tongkol, ja'an, bawal, tenggiri
4. Ikan apakah yang bernilai ekonomis paling tinggi dari total tangkapan bapak/ibu ? Berapa
harga tiap jenis ikan?
No.
1.
2.
Responden
Pompong besar & kapal
sedang (91 %)
Pompong Kecil
Jenis Tangkapan
Ikan tenggiri dan Tongkol, harga rata2 Rp.8-12rb/kg
Kerapu & udang
5. Adakah penurunan total tangkapan selama adanya aktivitas penambangan pasirlaut?
>> Kurang lebih 62% dari total responden menyatakan bahwa mereka mengalami
penurunan total tangkapan dan bukan disebabkan oleh aktivitas penambangan pasirlaut,
namun oleh hal lain misal persaingan nelayan yang semakin ketat dan adanya praktek
illegal fishing.
Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan
93
BIOGRAFI PENULIS
Ichwan Makmur Nasution, S.Si., M.Sc., dilahirkan di
Jakarta, 25 Juni 1975. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1
Biologi Universitas Padjadjaran, Bandung dan Magister S-2
Aquatic Tropical Ecology Bremen University, Jerman. Bekerja
sebagai Staf di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya
Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta sejak 1
Desember 2002. Bidang penelitian yang ditekuni saat ini
adalah Biologi dan Ekologi Laut. Penulis telah melakukan
penelitian tentang Udang Krill dalam Ekspedisi Antartika 2002
Widodo Setiyo Pranowo, ST., M.Si., dilahirkan di
Purwokerto, 5 september 1975. Latar belakang pendidikan
Sarjana S-1 Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro,
Semarang dan Magister S-2 Oseanografi dan Sains
Atmosfer Institut Teknologi Bandung. Bekerja sebagai Staf di
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati,
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan
dan Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2002. Bidang
yang ditekuni saat ini adalah Oseanografi Kimia, dan
Oseanografi Lingkungan. Penulis telah melakukan
penelitian: Pemodelan Numerik Sebaran Senyawa Nitrogen
di Pantai Jepara (2002), Temperature & Primary Productivity
Correlation in the Indian Ocean (South Java Sea) (2003).
Ir. Dini Purbani, M.Si., dilahirkan di Jakarta, 28 Oktober
1965. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Teknik Geologi
Universitas Trisakti, Jakarta dan Magister S-2 Ilmu Geografi
Universitas Indonesia. Bekerja sebagai Staf di Pusat Riset
Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2001. Penulis telah
melakukan penelitian Sosialisasi Garam, Survei Hydrothermal
Bawah Laut-Bandamin 2003.
Gunardi Kusumah, ST., dilahirkan di Bandung, 2 Mei
1973. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Teknik Geologi
Universitas Padjadjaran, Bandung. Bekerja sebagai Staf di
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati,
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan
dan Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2002. Bidang
yang ditekuni saat ini adalah geomorfologi pantai. Penelitian
yang pernah diikuti adalah Survei Hydrothermal Bawah LautBandamin 2003.
Edward Erwanto, ST., dilahirkan di Jakarta, 4 Oktober
1977. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Teknik Geologi
Universitas Padjadjaran, Bandung. Bekerja sebagai Staf di
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati,
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan
dan Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2002. Bidang yang
ditekuni saat ini adalah oseanografi geologi. Penelitian yang
pernah diikuti adalah IASSHA 2003.
Semeidi Husrin, ST., dilahirkan di Bandung 14 Mei
1979. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Teknik Kelautan
Institut Teknologi Bandung. Bekerja sebagai Staf di Pusat
Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2002. Bidang yang
ditekuni saat ini adalah pemodelan numerik, perubahan garis
pantai, gelombang, dan akustik bawah air.
Budi Irawan, S.Si., M.Si, dilahirkan di Bandung, 29
Desember 1973. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1
Biologi Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Magister S-2
Taksonomi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor. Bekerja
sebagai Staf Pengajar Jurusan Biologi FMIPA UNPAD
Bandung, sejak 1999. Bidang yang ditekuni saat ini adalah
masalah Taksonomi dan Ekologi Tumbuhan.
Fajar Yudi Prabawa, ST., dilahirkan di Merauke, 18 juli
1973. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Teknik Geologi
Universitas
Pembangunan
Nasional
UPN
Veteran,
Yogyakarta. Bekerja sebagai Staf di Pusat Riset Wilayah Laut
dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta
sejak 1 Desember 2002. Bidang yang ditekuni saat ini adalah
masalah Geologi. Penelitian yang pernah diikuti adalah
IASSHA 2003.
Download