Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan ISBN 979-98165-0-5 Editor: Safri Burhanuddin Budi Sulistiyo Agus Supangat Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan ISBN 979-98165-0-5 Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Penulis: Ichwan Makmur Nasution, S.Si, M.Sc Widodo Setiyo Pranowo, ST, M.Si Ir. Dini Purbani, M.S Gunardi Kusumah, ST Edward Erwanto, ST Semeidi Husrin, ST Budi Irawan, S.Si, M.Si Fajar Yudi Prabawa, ST Editor: Dr. Ir. Safri Burhanuddin, DEA Dr. Budi Sulistiyo Dr. Ir. Agus Supangat, DEA Pusat Riset Wilayah laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan KATA PENGANTAR Pemanfaatan sumberdaya pasir laut di wilayah Kepulauan Riau telah berkembang pesat. Akhir-akhir ini aktifitas penambangan pasir laut telah berkembang menjadi bahan pembicaraan antara pemerintahan, pelaku, pemerhati dan masyarakat luas tentang dampak positif dan negatif yang dapat ditimbulkannya. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati – Badan Riset Kelautan dan Perikanan pada tahun anggaran 2003 telah melakukan penelitian terhadap “Penghitungan Nilai Kerusakan Ekosistem Pesisir yang Disebabkan oleh Penambangan Pasir di Kepulauan Riau” dengan wilayah studi Pulau Bintan. Pemilihan lokasi studi dengan pertimbangan di sekitar pulau Bintan belum dilakukan aktifitas penambangan pasir laut, sehingga nilai acuan terhadap kondisi ekosistem pra penambangan dapat ditemukan. Hasil survei dan analisa data penelitian ini, disusun sebagai rangkaian tulisan ilmiah, dengan harapan menjadi bahan masukan yang komperhensif bagi pengambil kebijakan serta menjadi informasi bagi masyarakat luas mengenai dampak penambangan pasir laut. Tim Penyusun Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan i DAFTAR ISI Kata Pengantar..................................................................... i Daftar Isi ............................................................................... ii 1. Geologi Daerah Pesisir Kec. Bintan Timur dan Daerah Pesisir Kec. Gunung Kijang, Pulau Bintan, Kepulauan Riau 1 - Dini Purbani, Edward Erwanto, Gunardi Kusumah, dan Fajar Y. Prabawa 2. Morfologi Pantai Wilayah Kec. Bintan Timur dan Kec. Gunung Kijang...................................................................... 17 - Dini Purbani, Gunardi Kusumah, dan Edward Erwanto 3. Kondisi Oseanografi Perairan Pulau Bintan, Kepulauan Riau....................................................................................... 34 - Widodo S. Pranowo dan Semeidi Husrin 4. Kondisi Vegetasi Mangrove di Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau.................................................................... 50 - Budi Irawan 5. Padang Lamun di Perairan Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau.................................................................... 59 - Ichwan M. Nasution 6. Struktur Komunitas Ikan di Padang Lamun Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau.................................................. 68 - Ichwan M. Nasution 7. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Bintan, Kabupaten Kepulaun Riau.................................................... 78 - Ichwan M. Nasution dan Widodo S. Pranowo 8. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Gunung Kijang.................................. 85 - Gunardi Kusumah dan Edward Erwanto Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan ii GEOLOGI DAERAH PESISIR KEC.BINTAN TIMUR DAN DAERAH PESISIR KEC. GUNUNG KIJANG, PULAU BINTAN, KEPULAUAN RIAU Oleh : D. Purbani, E. Erwanto, G. Kusumah, F. Y. Prabowo Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Jl. MT Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770, Indonesia, e-mail: [email protected] ABSTRAK Geologi di wilayah pesisir Pulau Bintan terdiri dari dua jenis batuan yaitu: batuan beku dan batuan sedimen. Batuan beku berupa granit tersingkap di Pulau Penyusuk dan Tanjung Kelun. Batuan sedimen berupa batupasir klastik dan batupasir organik tersingkap di Pulau Ajab. Struktur geologi yang terdapat di wilayah pesisir Pulau Bintan adalah kekar dan deformasi minor mineral kuarsa. Arah umum kekar di Pulau Penyusuk ialah σ1= U 57oT/69o mengindikasikan sesar oblique, di Teluk Bakau ialah σ1= U30oT/4o mengindikasikan sesar normal, dan di Tanjung Kelun ialah σ1= U180oT/82o mengindikasikan sesar naik. Resistensi batuan kurang baik ditinjau dari intensifnya kekar dan tingginya deformasi struktur internal mineral pada batuan. Bahan galian di wilayah pesisir Pulau Bintan adalah penambangan bauksit, penambangan granit dan penambangan pasir darat. Kondisi geologi akan sangat terpengaruh jika di wilayah ini dilakukan aktifitas penambangan pasir laut, karena resistensi batuan yang kurang baik akan mempercepat abrasi pantai dan rusaknya morfologi bawah laut. Kata kunci : Granit, Batupasir, Kekar, Sesar, Resistensi Batuan. ABSTRACT Geology in Bintan Island consists of two types of lithology they are igneous rock and sedimentary rock. The igneous rock is granite that lies on Penyusuk Island and Tanjung Kelun. The sedimentary rock is clastical sandstone and organic sandstone that lies on Ajab Island. Structural geology in Bintan Island are joint and minor deformation in quartz mineral. General direction of joint on Penyusuk Island is σ1= U 57oT/69o identified as Oblique Faults, on Bakau Gulf is σ1= U30oT/4o identified as normal faults and on Tanjung Kelun is σ1= U180oT/82o identified as Reversed Fault. Rock resistence is poor, because of joint intencity and highly mineral deformed contain in rocks. Economic minerals that have been mined on Bintan Island are bauxite, granite and on land sand. Geological condition will highly affected if there is sea sand mining exploitation, related to poorly rock resistence that accelerate process of beach abration and underwater morphology destruction. Keywords : Granite, Sandstone, Joint, Faults, Rock Resistence. 1. PENDAHULUAN Tujuan penelitian Geologi Daerah Pesisir Pulau Bintan ini adalah memberikan informasi tentang data-data geologi daerah pesisir pulau-pulau yang meliputi batuan penyusun, struktur dan tektonik geologi serta sumberdaya mineral dihubungkan pengaruhnya dengan aktifitas penambangan pasir laut. Daerah penelitian ialah kawasan pesisir dan pulau-pulau di sekitar Pulau Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Bintan, tepatnya di wilayah Kijang, 10’BT di sebelah Barat, 109o 00’BT di sebelah Timur (Gambar 1 dan Gambar 2). Alasan pemilihan lokasi di 2 kecamatan di atas adalah karena lokasi di sekitarPulau Bintan belum dilakukan penambangan pasir sehingga ekosistem perairan di sekitar Bintan masih terbilang baiik dan relatif belum terganggu oleh aktifitas penambangan pasir laut. 1 Gambar 1. Peta Lokasi Pengamatan Geologi Kec. Bintan Timur Kep. Riau Gambar 2. Peta Lokasi Pengamatan Geologi Kec. Gunung Kijang Kep. Riau Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 2 2. ISI DAN PEMBAHASAN 2.1 Geologi Dan Stratigrafi Regional Geologi di Kepulauan Riau berumur antara akhir Paleozoikum sampai Tersier. Batuan yang tertua terdiri dari bahan vulkanik dan sedikit endapan sedimen yang mengalami metamorfosa atau malihan dan terlipat kuat yang berhubungan dengan jalur vulkanik Pahang (Group Riau-Pahang Vulkanik Series) di Malaysia yang diperkirakan berumur mulai akhir zaman Karbon sampai zaman Trias. Batuan yang termuda terdiri dari batupasir, serpih dan konglomerat yang sedikit terlipat dikorelasikan dengan Plateau Batupasir Kalimantan, diperkirakan berumur Tersier. Formasi Berakit yang berumur Paleozoikum diterobos oleh batuan granit. Daerah paling luas yang didasari oleh batuan granit adalah Pulau Karimun, Pulau Singkep dan Pulau Bintan. Intrusi granit kecil-kecilan terdapat di Pulau Tanjung Sua, Pulau Surowat, Pulau Mantang, Pulau Senjolong, Pulau Pangkil Besar dan Pulau Mapur. Intrusi granit diperkirakan berhubungan dengan granit yang mengandung timah putih di Malaysia dan Indonesia yang berumur lewat Trias. Oleh erosi secara luas, seluruh daerah menjadi hampir rata (peneplain) yang disebut dengan Paparan Sunda pada saat sekarang ini. Daerah ini kemudian mengalami pengikisan dalam periode waktu geologi. Batuan dekat permukaan berubah menjadi tanah liat dan beberapa tempat dilanjutkan dengan pelindihan/ penyucian/ leaching yang menghasilkan konkresi beraluminium dan konkresi yang mengandung besi, misalnya magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3), limonit (Fe203H20), gibsit (Al203H20) dan bachmit (Al203H20). Menurut RW Van Bemmelen (1972) secara umum daerah Pulau Bintan dan sekitarnya terdiri dari batuan Pra Tersier (seperti serpih pelitik, serpih pasiran, kwarsit, diabas dan batuan vulkanik yang termetamorfkan) yang diintrusi oleh granit dan asosiasinya yang terdiri dari granit aplit, granit prorfir dan jenis batuan rhyolitik. Urutan stratigrafi batuan di wilayah Bintan dan sekitarnya dimulai dari umur Karbon– Perm oleh Formasi Berakit sampai ke umur Holosen oleh batuan Aluvium (tabel 1). 2.2 Geologi Struktur Dan Tektonik Regional Secara regional, struktur geologi suatu daerah merupakan bagian dari struktur geologi yang berkembang di seluruh daerah di sekitarnya, dengan pola umum dan jenis struktur yang tidak jauh berbeda. Penafsiran Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan struktur geologi di daerah pemetaan dilakukan melalui: Rekonstruksi seluruh data yang diperoleh di lapangan, meliputi pengukuran arah jurus dan kemiringan perlapisan batuan, pengukuran bidang cermin sesar dan pitch (gores garis sesar), pengukuran pergeseran perlapisan batuan (offset litology), merekam zona hancuran dan bidang gawir, pengukuran arah jurus dan kemiringan bidang kekar (joint), dan lainnya. 2.2.1 Struktur Kekar Kekar ialah retakan-retakan pada tubuh batuan dengan sedikit atau tak ada pemisahan tubuh batuan tersebut. Struktur kekar merupakan salahsatu unsur untuk menganalisis arah tegangan utama struktur pensesaran yang terjadi. Kekar pada daerah pemetaan terdiri dari kekar gerus (shear joint) dan kekar tarik (tension joint). Kekar gerus mempunyai bidang pecah yang rata sampai mengkilap, sedangkan kekar tarik mempunyai bidang pecah yang tidak rata dan arahnya tidak teratur. 2.2.2 Tektonik Menurut hamilton (1978), daerah Bintan dan sekitarnya termasuk ke dalam dua jalur tektonik yaitu batas Barat paleozoic granit dengan batas Barat pasifik cretaceous granit. Di dalam kerangka zona subduksi antara Samudera Hindia dengan Lempeng Eurasia, daerah Bintan merupakan cekungan muka busur (zone of fore-arc basin). Aktifitas tektonik yang telah terjadi di area ini, ditemukan berupa pengangkatan (rifting) batuan granit dari fase lautan ke fase daratan. Proses struktur geologi yang telah terjadi berupa kekar-kekar pada batuan granit pada beberapa pulau dan adanya deformasi peretakan mineral kuarsa yang terkandung di dalam pasir pantainya. 2.3 Sumberdaya Mineral Salahsatu kekayaan sumber daya alam dari hasil bumi Pulau Bintan, di Kecamatan Gunung Kijang, adalah penambangan bauksit. Jumlah cadangannya cukup banyak dengan kualitas terbaik di dunia. Pengeksploitasian bauksit dari perut bumi Pulau Bintan yang dimulai sejak tahun 1935 hingga 2002 itu sudah menguras habis sebanyak 46.451.312 ton, dengan jumlah ekspor 45.127.911 ton. Berdasarkan catatan PT. Aneka Tambang (Antam), sejak tahun 1970, ekspor bauksit per tahun mencapai 1 juta ton. Setiap bulan sedikitnya 12 juta dollar as dihasilkan dari ekspor bijih bauksit ke Jepang dan Cina. Pihak pertama yang memanfaatkan tambang bauksit adalah 3 perusahaan Belanda, hingga akhirnya diambil alih pemerintah Republik Indonesia dan dikelola PT Antam pada 1968 hingga sekarang. Bongkahanbongkahan bekas penggalian bauksit itu terlihat jelas di sekitar Kijang, terutama di tiga tempat kawasan penambangan, yaitu Pari, Wacopek dan Lomesa. 2. 4 Metodologi 2.4.1 Bahan Dan Alat Bahan dalam penelitian ini menggunakan data pendukung dan data lapangan. Data pendukung terdiri dari: 1. Peta geologi lembar tanjung pinang, sumatera lembar tanjung pinang 1016, 1017 skala 1:250.000 dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi tahun 1994, 2. Peta sebaran sedimen permukaan dasar laut perairan lembar 1016 (tanjung pinang) dikeluarkan oleh Pusat Pengembangan Geologi Kelautan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral tahun 1996. 3. Peta lokasi bahan galian di pulau bintan dan sekitarnya Kab. Kepulauan Riau dikeluarkan oleh kantor wilayah Departemen Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Barat. 4. Peta topografi kepulauan riau Nibum lembar 4 m/0, skala 1: 63.360 dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Bandung tahun 1940, 5. Peta topografi kepulauan riau teluk dalam lembar 4i/15, skala 1: 63.360 dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Bandung tahun 1940, 6. Peta batimetri pulau-pulau Bintan alur pelayaran di pantai Timur Bintan skala 1:100.000 dikeluarkan oleh Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut Jawatan Hidro-Oseanografi Jakarta Mei 1983. Data lapangan meliputi struktur kekar dan batuan. Alat yang digunakan secara langsung dalam pekerjaan di lapangan yaitu : Kompas geologi, palu geologi, kantong sampel batuan, loupe (kaca pembesar) dan komparator batuan. 2.4.2 Metode Penelitian 2.4.2.1 Pengamatan Batuan Pengamatan batuan di lapangan dengan mendeskripsi jenis batuan beku dan batuan sedimen secara megaskopis yaitu berdasarkan pandangan mata visual dan secara mikroskopis melalui pengamatan Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan sayatan tipis batuan di bawah mata mikroskop polarisasi batuan. - Pemerian Batuan Beku secara mikroskopis meliputi : Jenis batuan, warna batuan, struktur dan tekstur terdiri dari kristalinitas, granularitas, dan fabrik bentuk: kristal, relasi, komposisi mineral: mineral utama dan mineral tambahan. 1. Pemerian Batuan Sedimen secara mikroskopis didasarkan pada: Tekstur, struktur dan komposisi. Berdasarkan cara pengendapannya, batuan sedimen dibagi menjadi 2 (dua) golongan besar yakni : 1. Batuan Sedimen Klastik 2. Batuan Sedimen Non-Klastik Didalam memerikan batuan sedimen klastik (tekstur), hal-hal yang perlu dibahas ialah mengenai : warna, kekompakan, Porositas, kebundaran bentuk mineral, butiran mineral, matriks, semen, pemilahan dan kemas. Berdasarkan penyebab pembentukannya, batuan sedimen dibagi menjadi 2 golongan : 1. Batuan sedimen organik, terbentuk dari bahan asal organik cangkang binatang atau sisa tumbuhan. Tekstur umumnya disebut Amorf (tidak kristalin). 2. Batuan sedimen kimiawi, terbentuk dari hasil penguapan (evaporasi) larutan garam dalam air. Tekstur umumnya disebut kristalin, dibagi atas dasar ukuran butir kristal : - D > 2 mm : kasar - 0.006 < d < 2 mm : menengah - D < 0.006 : halus Langkah selanjutnya,batuan hasil dari lapangan dianalisa mineral-mineralnya dengan terlebih dahulu dibuat sayatan tipis batuan yang kemudian diamati dengan menggunakan Mikroskop Polarisasi merk LEITZ LABORLUX II POL Ernst Leitz Wetzlar Gmbh. Sehingga dengan deskripsi mineralmineral tersebut dapat ditentukan penamaan jenis batu / pasir yang diamati. Hasil deskripsi batuan / pasir secara petrografi terlampir dalam lampiran petrografi. 2.4.2.2 Pengamatan Struktur Kekar Melakukan pengukuran-pengukuran struktur bidang di lapangan. Struktur bidang adalah bidang perlapisan, kekar, sesar foliasi, dan sebagainya. Di Pulau Bintan ditemukan struktur kekar. Kedudukannya dinyatakan dengan jurus dan kemiringan. Pengukurannya dengan menggunakan kompas geologi azimuth. Struktur yang tersingkap di daerah penelitian adalah kekar. Pada umumnya bidang kekar 4 ada sebagian yang telah terisi oleh mineral kalsit. Kekar berkembang pada satuan granit. Singkapan kekar dijumpai di Pulau Penyusuk, Teluk Bakau dan Tanjung Kelun. Data jurus dan kemiringan kekar-kekar tersebut kemudian di input dan diproses dengan menggunakan software “Dips” untuk didapatkan arah tegasan struktur yang mempengaruhinya. Langkah-langkah pemrosesan data kekar” yaitu dengan memasukkan data hasil pengukuran kekar dan jurus dan diolah dengan menggunakan suatu aplikasi khusus untuk struktur geologi , software Stereonet “Dips”.Dari hasil olah data metode aplikasi komputer didapat gambaran berupa arah gaya yang bekerja pada Pulau Bintan secara regional maupun spasial gaya tekan minor di pulau-pulau. Hasilnya berupa proyeksi gaya dalm format jaringt bumi stereonet dan disave dalam format .dxf .Selanjutnya dapat dibuka dengan program coreldraw untuk diedit tampilannya. Gambar tampilan analisa kekar dengan menggunakan software “Dips” dapat dilihat pada lampiran. 2.5 Hasil Dan Pembahasan 2.5.1 Litologi Batuan Daerah Penelitian Daerah penelitian terbagi atas dua wilayah yaitu Kijang dan sekitarnya, Kecamatan Bintan Timur dan Trikora dan sekitarnya, Kecamatan Gunung Kijang. Jenis batuan yang ditemui ialah batupasir klastik, batupasir non klastik / organik dan granit. Jenis batuan di wilayah penelitian di Kecamatan Bintan Timur meliputi : Pulau Dendang Litologi batuan yang ditemukan adalah batuan beku granit yang telah mengalami pelapukan menjadi bauksit berwarna merah hasil oksidasi. Pulau Mana Litologi batuan yang ditemukan adalah batuan beku granit yang telah mengalami pelapukan menjadi bauksit berwarna merah hasil oksidasi. Pulau Rusa Litologi batuan yang ditemukan adalah batuan beku granit yang telah mengalami pelapukan menjadi bauksit berwarna merah hasil oksidasi. Pulau Ngalih Pantai tertutup oleh batupasir halus sampai kerakal. Batuan beku granit yang telah mengalami pelapukan menjadi bauksit berwarna merah hasil oksidasi. Pulau Kambat Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Litologi batuan yang ditemukan adalah batuan sedimen nonklastik berupa batuan sedimen organik yang terbentuk dari bahan asal organik cangkang binatang berupa kerang. Pulau Ajab Litologi batuan yang ditemukan adalah batuan sedimen klastik batu pasir. Deskripsi makroskopis : ukuran butir pasir halus – pasir sangat halus, bentuk butir membundar, fragmen mineral kuarsa, kemas tertutup, pemilahan baik. Memiliki struktur kekar yang intensif pada litologi batuan beku granit dengan panjang singkapan + 40 m. Pulau Siulung Batuan beku granit yang telah mengalami pelapukan menjadi bauksit berwarna merah hasil oksidasi. Pulau Bulat Batuan beku granit yang telah mengalami pelapukan menjadi bauksit berwarna merah hasil oksidasi. Jenis batuan di wilayah penelitian di Kecamatan Gunung Kijang meliputi : Teluk Bakau Deskripsi batuan beku intermediate warna abu-abu, kristalinitas: holokristalin, granularitas: berkristal sangat kasar d>30 mm, fabrik: bentuk kristal subhedralanhedral, relasi: inequigranular, tekstur: porfiritik, fenokris: kuarsa, piroksen tertanam dalam masa dasar gelas. Memiliki struktur kekar yang intensif pada litologi batuan beku granit. Pulau Beralas Pasir Deskripsi batupasir halus berwarna putih, ukuran halus (fine sand), sifat batupasir loose/ lepas/ bercampur dengan fragmen terumbu karang. Pulau Penyusuk Warna abu-abu, kristalinitas: holokristalin, granularitas: berkristal sangat kasar d>30 mm, fabrik: bentuk kristal subhedralanhedral, relasi: inequigranular, tekstur: porfiritik fenokris: kuarsa, piroksen tertanam dalam masa dasar gelas. Memiliki struktur kekar yang intensif pada litologi batuan beku granit. Tanjung Kelun Deskripsi batuan beku intermediate. Warna abu-abu, kristalinitas: holokristalin, granularitas: berkristal sangat kasar d>30 mm, fabrik: bentuk kristal subhedralanhedral, relasi: inequigranular, tekstur: porfiritik fenokris: kuarsa, piroksen tertanam dalam masa dasar gelas. Memiliki struktur kekar yang intensif pada litologi batuan beku granit. 5 Pulau Beralas Bakau Litologi batuan yang ditemukan adalah batuan beku granit yang telah mengalami pelapukan menjadi bauksit berwarna merah hasil oksidasi. Secara mikroskopis dilakukan pengamatan sayatan tipis batuan untuk diamati di bawah mikroskop polarisasi. Identifikasi jenis, tekstur, struktur dan prosentase mineral berguna untuk pemerian nama batuan berdasarkan klasifikasi batuan tertentu. Hasil deskripsi petrografi batuan diperoleh nama batuan Lithic Tuff, Quartz onsonit, Syenit dan Quatrz Greywacke. Sedangkan hasil deskripsi petrografi pasir diperoleh jenis pasir mineral bauksit, polikristalin kuarsa, kuarsit dan pasir kuarsa. Deskripsi lengkap mineralnya dapat dilihat di lampiran petrografi. Foto 1. Batuan granit yang terkekarkan di Daerah Kerengge, Trikora, Kecamatan Gunung Kijang Foto 2. Cebakan mineral bauksit di Pulau Angkut, Kijang, Kecamatan Bintan Timur. 2.5.2 Stratigrafi Batuan Daerah Penelitian Pembagian urut-urutan stratigrafi (stratigraphic section) satuan batuan di wilayah penelitian berdasarkan pada peta Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan geologi regional (Lembar Tanjung Pinang, 1016, 1017 tahun 1994 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, P3G, Bandung) dengan mengkorelasikan antara satuan batuan dengan peta geologi yang mempunyai ciri deskripsi batuan yang sama. Peta geologi daerah penelitian terdiri dari satuan granit yang berumur Trias Akhir, satuan batupasir klastik dan satuan batupasir nonklastik dari Formasi Goungon disebandingkan dengan ketiga satuan batuan di atas (tabel 1). Urutan stratigrafi litologi ketiga jenis satuan batuan tersebut dari tua ke muda yaitu : 1. Satuan batupasir klastik (psk). Berupa batupasir klastik tersebar di Kecamatan Bintan Timur seperti di Pulau Rusa, Pulau Ajab, Pulau Beralas Pasir. 2. Satuan batupasir nonklastik (psnk). Berupa batupasir organik, terbentuk dari bahan asal organik cangkang binatang berupa kerang. Tersebar di Pulau Kambat. 3. Satuan granit (trg). Tersebar di Teluk Bakau, Tanjung Kelun, Pulau Penyusuk berupa hasil pelapukan dan proses peneplenisasi menghasilkan mineral ekonomis seperti cebakan bauksit yang tersebar di Kecamatan Bintan Timur seperti di Pulau Ngalih, dan Pulau Siulung. Berdasarkan kesebandingan dengan peta geologi regional lembar tanjungpinang, satuan batupasir klastik dan satuan batupasir non klastik sebanding dengan Formasi Goungon yang berumur Akhir Pliosen – Awal Pliosen. Satuan granit sebanding dengan Granit yang berumur Awal Trias – Akhir Trias. 2.5.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian Berdasarkan hasil pengolahan data kekar dengan Program “Dips”, arah umum dari tegasan struktur pembentuk kekar-kekar di Pulau Penyusuk mempunyai arah utama (σ1) U 57o T/69 o mengindikasikan jenis sesar oblique telah terjadi di daerah ini. Di Teluk Bakau arah tegasan utama (σ1) U 30o T/4o mengindikasikan jenis sesar normal. Di daerah Tanjung Kelun arah tegasan utama (σ1) U 180o T/82o mengindikasikan jenis sesar naik. Semua besar arah dan kemiringan bidang seluruh kekar dan analisisnya dapat dilihat pada lampiran. Pada hasil pengamatan sayatan tipis batuan dengan mikroskop petrografi, diketahui bahwa banyak mineral kuarsa yang terkandung pada pasir pantai telah mengalami deformasi berupa kenampakan retakan2 pada permukaannya. 6 Struktur kekar dan retakan mineral kuarsa yang dijumpai di lokasi, menunjukkan adanya aktifitas tektonik baik aktif ataupun pasif pernah terjadi di daerah ini. daerah pesisir dan sekitarnya juga mempercepat proses pengikisan (abration ) dan pelapukan (weathering) yang mengakibatkan perubahan garis pantai. 4. DAFTAR PUSTAKA Asikin, Sukendar,1984: Diktat Kuliah Geologi Lapangan, Institut Teknologi Bandung, tidak diterbitkan. Mackenzre W.S C. Guilford,1980: Atlas of Rock-Forming Minerals in Thin Section, Longman Group Ltd London, England. Foto 3. Kekar Tension (tarik) pada litologi Granit di Pulau Ajab. … Laporan Pendahuluan Survai Bahan Galian Di Pulau Bintan Dan Sekitarnya Kabupaten Kepulauan Riau , 1985: Propinsi Riau, dikeluarkan oleh No. 08/SDM/KWDPE-PD/1985 Bidang Geologi Kantor Wilayah Departemen Pertambangan Dan Energi Propinsi Sumatera Barat, Padang. Foto 4. Kekar Tension (tarik) pada litologi Granit di Tanjung Kelun. 3. KESIMPULAN Kondisi Geologi Pulau Bintan dan pulaupulau di sekitarnya yang tersusun oleh litologi batupasir dan granit relatif tidak memiliki resistensi yang baik terhadap deformasi struktur (gaya tekan yang bekerja di dalam dan permukaan bumi) ataupun pula ditambah dengan gangguan terhadapnya, seperti akibat dari aktifitas penambangan pasir laut. Hal ini terlihat dari intensifnya struktur kekar pada litologi granit, deformasi internal (retakan) mineral kuarsa pada pasir pantai dan proses pelapukan alamiah batuan. Hal ini tentu mengurangi kekuatan /resistensi batuan dasar penunjang suatu pulau. Pengambilan pasir laut juga akan mengganggu bentukan morfologi bawah laut Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 7 LAMPIRAN A. Deskripsi Petrografi Sayatan Tipis Batuan dan Penamaan Batuan Jumlah sampel sayatan tipis batuan : - Satu buah sampel 5 MG di Pulau Ajab - Dua buah sampel 9 MG di Pulau Penyusuk - Dua buah sampel 10 MG di Tanjung Kelun Lokasi Pulau Ajab No stasiun Tgl pengamatan Jam pengamatan Lokasi pengamatan Posisi GPS Deskripsi lapangan : : : : : : 5 MG 13 sept 2003 14.30 wib P. Ajab (lokasi Kijang kec. Bintan Timur) Deskripsi batuan : Batu pasir berukuran fine sand-very fine sand, fragment mineral kwarsa, kemas tertutup, pemilahan baik, bentuk butir membundar. Memiliki struktur kekar berarah n 68o e (utama), dan n 130 o e (minor). Panjang singkapan + 40 m Pantai tersusun oleh batu pasir halus, terdapat singkapan batu pasir (insitu) dengan struktur kekar. Morphology pantai berbukti. Vegatasi: mangrove Kode contoh : 5 MG Mikroskopis : Sayatan tidak berwarna sampai abu-abu kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah buruk, kemas terbuka, terdiri dari kwarsa, mineral bijih, dalam matriks gelas dan mineral lempung. Deskripsi mineralogi : Kwarsa (8%): tidak berwarna, subhedral, relief rendah, warna interferensi abu-abu sampai abu-abu kekuningan, belahan tidak ada. Mineral bijih (2%): berwarna hitam tidak tembus cahaya, bentuk membundar tanggung. Gelas (9%): tidak berwarna, bentuk menyudut sampai tidak beraturan, hadir sebagai matriks bersama mineral lempung. Mineral lempung (81%): berwarna abu–abu sampai coklat kekuningan, indek bias lebih kecil dari balsam, relief rendah, isotrop, tersebar sebagai matriks. Nama batuan: Lithic Tuff (Schmidt, 1981) A B C D E F G H I J K L M N O 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10 XPL 0,25 m m Foto 5.. Foto sayatan tipis batuan sampel 5 MG dengan pembesaran 40 x Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 8 Lokasi Pulau Penyusuk No stasiun Tgl pengamatan Jam pengamatan Lokasi pengamatan Posisi GPS Deskripsi lapangan : : : : : : Deskripsi batuan : 9 MG 16 sept 2003 11.45 wib P. Pennyusuk (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang) Terdapat singkapan batuan granit yang memiliki kekar/joint. Di dalam singkapan batuan granit terdapat batu pasir yang berukuran halus sampai kasar, sebaran batu pasir tersebut berupa spot-spot. Pantai tersusun oleh fragmen coral. Jenis pantai berbatu tidak ada sempadan pantai. Warna abu-abu, kristalinitas: holokristalin, granularitas: berkristal sangat kasar d>30 mm, fabrik: bentuk kristal subhedral-anhedral, relasi: inequigranular, tekstur: porfiritik fenokris: kwarsa, piroksen tertanam dalam masa dasar gelas. Kode contoh : 9 MG P. Penyusuk Singkapan ini dilapangan tampak sebagai spot-spot yang menyebar di batuan induk. Mikroskopis : Sayatan tidak berwarna sampai abu-abu kecoklatan, bertekstur porfiritik, masadasar phanaritik, hypidiomorf, holokristalin, berkomposisikan kwarsa, k-felspar, plagioklas, biotit dan mineral bijih. Deskripsi mineralogi : Kwarsa (33%) : tidak berwarna, subhedral, relief rendah, warna interferensi abu-abu sampai abu-abu kekuningan, belahan tidak ada. K-felspar (15%): tidak berwarna sampai abu-abu, kembar karlsbad, polisintetis, relief rendah, subhedral-anhedral, indeks bias lebih kecil dari balsam, diinklusi bijih. Plagioklas (27%) : sebagai fenokris tidak berwarna, subhedral-anhedral, indek bias lebih besar dari balsam, kembar albit, diinklusi oleh mineral bijih, jenis plagioklas an 23 (andesin). Biotit (23%) : berwarna hijau pucat relief rendah, pleokroisme kuat, pemadaman lurus, tekstur birds eye. Mineral bijih (2%) : hitam, tidak tembus cahaya, bentuk subhedral-anhedral, sebagai mineral inklusi dan granular dalam masadasar. Nama batuan: Quartz Monsonit (R.B. Travis, 1955) A B C D E F G H I J K L M N O 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10 XPL 0,25 mm Foto 6. Foto sayatan tipis batuan sampel 9 MG P.Penyusuk dengan pembesaran 40 x Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 9 Kode contoh : 9 MG Singkapan ini dilapangan batuan granit yang memiliki kekar-kekar (joint) Mikroskopis : Sayatan tidak berwarna, phaneritik, hypidiomorf, holokristalin, berkomposisikan plagioklas, k-felspar, piroksen, kwarsa, sebagian k-felspar terubah menjadi serisit. Deskripsi mineralogi : K-felspar (65%): tidak berwarna sampai abu-abu, kembar karlsbad, relief rendah, subhedral-anhedral, indeks bias lebih kecil dari balsam, diinklusi bijih, kwarsa. Sebagian terubah menjadi serisit. Plagioklas (22%): sebagai fenokris tidak berwarna, subhedral-anhedral, indek bias lebih besar dari balsam, kembar albit, diinklusi oleh mineral bijih. Kwarsa (5%): tidak berwarna, subhedral, relief rendah, warna interferensi abu-abu sampai abu-abu kekuningan, belahan tidak ada. Biotit (5%): berwarna hijau pucat relief rendah, pleokroisme kuat, pemadaman lurus, tekstur birds eye. Serisit (3%): tidak berwarna sampai abu-abu terang, granular, berserabut halus, seperti bersisik, indek bias lebih besar dari balsam, pseudomorfik, ubahan dari k-felspar. Nama batuan : Syenit (R.B. Travis, 1955) A B C D E F G H I J K L M N O 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10 XPL 0,25 m m Foto 7. Foto sayatan tipis batuan sampel 9 MG dengan pembesaran 40 x Lokasi Tanjung Kelun Deskripsi 10 MG batuan berwarna abu-abu. No stasiun Tgl pengamatan Jam pengamatan Lokasi pengamatan Posisi GPS Deskripsi lapangan : : : : : : Deskripsi batuan : 10 MG 16 sept 2003 17.00 wib Tanjung Kelun (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang) Pantai tersusun oleh material pasir halus dan fragmen cangkang koral. Terdapat singkapan batu granit dan kekar. Panjang singkapan batu granit 98, 80 m. Di dalam singkapan batuan granit terdapat batu pasir yang berukuran halus sampai kasar (mineral asing), sebaran batu pasir tersebut berupa spot-spot. Panjang pasang-surut 10 m, panjang berm 3 m, dan kemiringan pantai 2 o. Warna abu-abu, kristalinitas: holokristalin, granularitas: Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 10 berkristal sangat kasar d>30 mm, fabrik: bentuk kristal subhedral-anhedral, relasi: inequigranular, tekstur: porfiritik fenokris: kwarsa, piroksen tertanam dalam masa dasar gelas. Jenis batuan beku intermediate. Kode contoh : 10 MG/mineral asing Singkapan ini dilapangan batu pasir yang berukuran halus tersebar sebagai spot-spot di dalam batuan induk. Mikroskopis : Sayatan tidak berwarna, phanaritik, hypidiomorf, holokristalin, berkomposisikan k-felspar, biotit, kwarsa, sebagian terubah menjadi serisit dan epidot. Deskripsi mineralogi : K-felspar (83%): tidak berwarna sampai abu-abu, kembar karlsbad, relief rendah, subhedral-anhedral, indeks bias lebih kecil dari balsam, diinklusi bijih, kwarsa. Sebagian terubah menjadi serisit. Kwarsa (4%) : tidak berwarna, subhedral, relief rendah, warna interferensi abu-abu sampai abu-abu kekuningan, belahan tidak ada. Biotit (8%) : berwarna hijau pucat relief rendah, pleokroisme kuat, pemadaman lurus, tekstur birds eye. Serisit (4%) : tidak berwarna sampai abu-abu terang, granular, berserabut halus, seperti bersisik, indek bias lebih besar dari balsam, pseudomorfik, ubahan dari k-felspar. Epidot (1%) : berwarna hijau pucat relief rendah, pemadaman lurus, pleokroisme kuat, sebagai mineral ubahan dari k-felspar. Nama batuan : Syenit (R.B. Travis, 1955) A B C D E F G H I J K L M N O 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10 XPL 0,25 mm Foto 8. Foto sayatan tipis batuan sampel 10 MG/mineral asing dengan pembesaran 40 x Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 11 Kode contoh : 10 MG Singkapan ini dilapangan batuan beku intermediate Mikroskopis : Sayatan tidak berwarna sampai abu-abu kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah buruk, kemas terbuka, terdiri dari felspar, piroksen, fragmen batuan, fosil, mineral bijih, dalam matriks gelas dan mineral lempung. Deskripsi mineralogi: Kwarsa (59%) : tidak berwarna, membundar-membundar tanggung, relief rendah, warna interferensi abu-abu sampai abu-abu kekuningan, belahan tidak ada. Fragmen batuan sedimen (6%): berwarna abu abu kecoklatan sampai coklat, berbutir halus, membundar - membundar tanggung. Fragmen fosil (7%) : tidak berwarna sampai coklat terang, relief bergelombang, interferensi kuning terang, pleokroisme lemah, bentuk beraturan mengisi bentuk cangkang. Silika (2%) : tidak berwarna, bentuk menyudut-membundar tanggung, relief rendah, pemadaman bergelombang, mozaik. Mineral bijih (4%) : berwarna hitam tidak tembus cahaya, bentuk membundar tanggung. Mineral lempung (22%) : berwarna abu–abu sampai coklat kekuningan, indek bias lebih kecil dari balsam, relief rendah, isotrop, tersebar sebagai matriks dan semen. Nama batuan: Quartz Greywacke (Pettijohn, 1975) A B C D E F G H I J K L M N O 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10 XPL 0,25 m m Foto 9. Foto sayatan tipis batuan sampel 10 MG dengan pembesaran 40 x Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 12 B. Analisis Struktur Kekar Daerah Tanjung Kelun Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 13 C. Analisis Struktur Kekar Daerah Pantai Trikora Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 14 D. Analisis Struktur Kekar Daerah Pulau Penyusuk Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 15 E. Kesebandingan Regional Daerah Tanjungpinang (Kusnama, Dkk., 1994) Dengan Daerah Penelitian. Peta Geologi Regional Lembar TanjungPinang (Kusnama, dkk., 1974) Qa Kuarter Holosen Peistosen Endapan Batuan Permukaan Terobosan (Penulis, 2003) Psk QTg Psnk Pliosen TmP Miosen Tersier Akhir Tma Tengah Awal Oligosen Eosen Paleosen Kapur Akhir KsP Awal Mesozoikum Jura Akhir Trias Kenozoikum Psk Psnk Trg Qa QTg TmP Tma Kss KsP Kss JP Jg Tsd Tg Trg Awal Perm PCmb Karbon = = = = = = = = = Keterangan : Satuan batupasir klastik Satuan batupasir non klastik Satuan granit Aluvium Formasi Goungon Formasi Tanjungkerotang Andesit Formasi Semarung Formasi Pancur Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan JP Tsd PCmb Jg Tg = = = = = Formasi Pulau Panjang Formasi Duriangkang Formasi Berakit Granit Monzo Granit 16 MORFOLOGI PANTAI WILAYAH KEC.BINTAN TIMUR DAN KEC. GUNUNG KIJANG Oleh : D. Purbani, G. Kusumah dan E. Erwanto Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Jl. MT. Haryono Kav. 52-53 Pancoran, Jakarta Selatan Telp. 79180303 ext. 2368 email: [email protected] dan [email protected] ABSTRAK Morfologi Pantai di Pulau Bintan terdiri dari tiga jenis Pantai Berbatu, Pantai Berpasir dan Pantai Hutan Mangrove. Pantai Berbatu tersebar di Pulau Penyusuk, Pulau Kerapu, Pulau Balau, Pulau Kerengge dan Pulau Payung. Pantau Berpasir tersebar di Pulau Rusa, Pulau Kambat, Pulau Ajab, Pulau Beralas Pasir dan Pulau Siulung. Sedangkan Pantai Hutan Mangrove tersebar di Pulau Dendang, Pulau Mana, Pulau Ngalih, Pulau Bulat dan Pulau Beralas Bakau. Pantai Berbatu yang terbentuk akibat dari proses tektonik dan tersusun oleh batuan beku granit sehingga resistant terhadap penambangan pasir. Pantai Berpasir yang tersusun oleh lumpur dan pasir akibat dari proses hidrolis, sangat rentan terhadap penambangan pasir. Kata Kunci: Pantau Berbatu, Pantai Beralas Pasir dan Pantai Hutan Mangrove. ABSTRACT The Beach Morphology in Bintan Island consists of three type Rocky Beach, Sandy Beach and Mangrove Forest Beach. The Rocky Beach is found distributed in Rocky Beach in Penyusuk Island, Kerapu Island, Balau Island, Kerengge Island and Payung Island. The Sandy Beach is distributed in Rusa Island, Kambat Island, Ajab Island, Beralas Pasir Island, and Siulung Island. While the Mangrove Forest Beach is in Dendang Island, Mana Island, Ngalih Island, Bulat Island, and Beralas Bakau Island. The Rocky Beach is formed through the tectonic process therefore and composed by granite rock and made it resistant against sand mining. The Sandy Beach is composed by mud and sand which resulted form hydraulic process and made it very susceptible for sand mining. Keywords: Rocky Beach, Sandy Beach, and Mangrove Forest Beach. 1. PENDAHULUAN Secara geografis Pulau Bintan merupakan pulau yang terdekat dan terbesar setelah Pulau Batam. Untuk memudahkan akses ke berbagai pulau, pemerintah setempat mendirikan pelabuhan di Tanjung Pinang sebagai fasilitas transportasi laut. Sebagai wilayah kepulauan maka sarana transportasi laut sangat sesuai dengan lingkungan sekitar, dimana Pulau Bintan memiliki gugusan pulau-pulau dengan dimensi yang bervariasi. Sebagian besar pulau-pulau tersebut dapat dihuni, kebanyakan penduduk setempat memanfaatkan untuk tempat persinggahan. Secara umum keadaan morfologi pantai di Pulau Bintan merupakan pantai berpasir. Sedangkan gugusan pulau-pulau mempunyai karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga jenis morfologi gugusan Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan pulau-pulau tersebut bervariasi. Pada umunya dapat dibagi menjadi tiga jenis morfologi pantai antara lain; pantai berpasir, pantai berbatu dan pantai hutan mangrove. Komponen dari Pantai Berpasir (Sandy Beach) terdiri dari kwarsa dan feldspar. Pantai berpasir kasar menyebabkan sebagain kecil permukannya menyerap bahan organik baik yang terlarut maupun yang berukuran sangat kecil, serta yang tersedia untuk bakteri. Parameter lingkungan utama bagi daerah berpasir adalah (1) Pola arus yang akan mengikuti pasir yang halus (2) Gelombang yang akan melepaskan energinya di pantai dan (3) Angin dapat pula sebagai pengangkut pasir. Pantai Berbatu (Rocky Beach) merupakan pantai yang berbatu-batu yang memanjang ke laut dan terbenam air. 17 Parameter lingkungan utama yang mempengaruhi kondisi pantai berbatu adalah: (1) fenomena pasang, dinamikanya sangat berpengaruh terhadap biota yang menginginkan kondisi alam yang bergantian antara tergenang dan terbuka; (2) gelombang, energi yang dihempaskan bisa merusak komunitas biota yang menempel di batubatuan terutama pada batu yang langsung menghadap ke laut. Pantai Hutan Mangrove banyak tumbuh di sepanjang pantai-pantai yang terlindung dari gelombang besar dan pasang surut yang kuat. Proses pembentukan pantai berkaitan dengan pembentukan pulau. Karakteristik pembentukan pulau dibedakan dari bentuk geometri pulau, dan susunan materialnya. Bentuk geometri pulau terdiri atas tiga kategori yaitu pulau besar (seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan), pulau sedang (seperti Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan pulau-pulau di Propinsi Maluku), serta pulau kecil (Kepulauan Seribu dan seluruh pulau kecil yang ada di Kepulauan Riau, Mentawai). Sedangkan dari susunan materialnya yaitu pulau terbentuk dari hasil endapan hidrolis arus laut berupa pulau pasir atau lumpur dan pulau dari proses tektonik yang materialnya berupa batuan (rock). 1.1 Tujuan Dan Sasaran Penelitian Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasikan jenis-jenis pantai yang ada di Pulau Bintan, sehingga dapat diketahui pantai-pantai mana saja yang resistan terhadap penambangan pasir laut. Sasaran dari kegiatan ini adalah memberikan rekomendasi kepada pemda setempat terhadap pulau-pulau mana saja yang dilindungi dan yang dapat dieksploitasi untuk penambangan pasir laut. dan di pesisir Kec. Gunung Kijang, Kabupaten Kepulauan Riau,Propinsi Riau(Gambar 1 dan Gambar 2). Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 2. Isi Dan Pembahasan 2.1 Metodologi Penelitian Data yang digunakan untuk penelitian: 1. Data Pendukung 2. Data Lapangan melakukan 1.2 Lokasi Penelitian Secara geografis lokasi studi morfologi pantai ini terletak di pesisir Kec. Bintan Timur Data Pendukung terdiri dari: 1. Peta Topografi Kepulauan Riau Nibum Lembar 4 M/O, skala 1:63.360 Dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Bandung Tahun 1940, 2. Peta Topografi Kepulauan Riau Telukdalam Lembar 4I/15, skala 1:63.360 Dikeluarkan oleh Direktorat Geolgi Bandung Tahun 1940, 3. Lembar Peta Batimetri Pulau-pulau Riau Alur Pelayaran di Pantai Timur Bintan Dikeluarkan oleh Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut Jawatan Hidros-Oseanografi Jakarta Mei 1984, terbagi 2 yaitu; - Peta Batimetri Pantai Timur Bintan skala 1:100.000 - Peta Batimetri Selat Kijang, Dendang dan Kelong skala 1:20.000 Data Lapangan terdiri dari: 1. Pengukuran Morfologi Pantai meliputi: Pengukuran kemiringan pantai Pengukuran panjang pasang-surut Pengukuran panjang berm 2. Pengamanatan material penyusun pulau Alat: 1. Kompas Geologi, 2. Kaca Pembesar, 3. Meteran , 4. Kamera foto 18 Gambar 1. Peta Lokasi Pengamatan Morfologi Pantai Kec. Bintan Timur Kep. Riau Gambar 2. Peta Lokasi Pengamatan Morfologi Pantai Kec. Gunung Kijang Kep. Riau Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 19 Dalam penjabaran metode penelitian terbagi menjadi tiga bagian: 1. Penggunaan Peta Topografi dan Peta Batimetri 2. Pengukuran Morfologi Pantai 3. Diskripsi material penyusun pantai 2.1.1 Penggunaan Peta Topografi Dan Peta Batimetri Pengamatan di lapangan menggunakan Peta Topografi Kepulauan Riau Tahun 1940 dilengkapi dengan Peta Batimetri Pulau-pulau Riau Alur Pelayaran Pantai Timur Bintan. Sebagaimana diketahui bahwa Peta Topografi menggambarkan rupa bumi wilayah tersebut sehingga informasinya meliputi kontur gunung, kontur bukit, sungai, danau, jalan, batas propinsi, batas kabupatendan garis pantai. Peta Batimetri menggambarkan garis pantai, kontur kedalaman laut, jalur pelayaran, dan lintasan kabel. Penggabungan dari peta topografi dan peta batimetri akan memberikan informasi yang lengkap. Pada penelitian ini digunakan Peta Topografi yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Tahun 1940 dan Peta Batimetri yang dikeluarkan oleh Tentara Nasional IndonesiaAngkatan Laut Jawatan Hidros-Oseanografi Jakarta Mei 1984. Disini terlihat bahwa informasi yang dikeluarkan dari masingmasing peta memberikan informasi yang berarti bagi penelitian ini. Dari pengamatan kedua peta tersebut diperoleh: 1. Penamaan pulau di Peta Topografi dan Peta Batimetri mengalami perubahan 2. Terdapat sebaran pulau yang hanya tampak di Peta Batimetri sedangkan di Peta Topografi tidak ada. Tabel 1. Perubahan penamaan pulau No 1. No 1. Peta Batimetri Pulau Siulung 2. 3. 4. 5. 6. Peta Topografi Pulau Sendsolong Pulau Burato Pulau Tiau Pula Rosesa Pulau Kojan Pulau Pengidan 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pulau Empuru Pulau Tu 7. 8. Pulau Bulat Pulau Riau Pulau Rosa Pulau Koyang Pulau Pangedan Pulau Memporo Pulau Dua Sebaran Pulau yang hanya terdapat di Peta Batimetri yaitu: 1. Pulau Bulang 2. Pulau Kenau 2.1.2 Pengukuran Morfologi Pantai Pengamatan langsung dilakukan di dengan melakukan pengukuran: 1. Panjang Pasang Surut 2. Panjang Berm 3. Kemiringan Pantai lapangan 2.1.2.1 Pengukuran Panjang Pasang Surut Dilakukan dengan menggunakan meteran. Dalam pengukuran ini dimulai dari surut terendah sampai pasang tertinggi. Maksud dari pengukuran ini untuk menghitung luas sempadan pantai. Sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukan bagi pengamanan dan pelestarian pantai. 2.1.2.2 Pengukuran Panjang Berm Berm adalah permukaan yang relative datar terletak pada zona backshore (Gambar 3). Zona Beckshore adalah zona untuk pemanfaatan lahan yang Gambar 3. Penampang Morfologi Pantai (source: Knight, M. Tom. 1990 Physical Geography A Landscape Appreciation Third Edition. Prentice all Englewood Cliffs, N.J. 07632) Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 20 digunakan untuk perkebunan, pembangunan resort. Pengukuran dimulai dari batas antara foreshore dan backshore biasanya ditandai dengan melandainya pantai dalam pengukuran ini mengunakan meteran (5 mm > Ø > 1 mm) dan halus (Ø < 1 mm) Afanitik contoh mineral gelas C. Fabrik (susunan dan hubungan dari pada kristal) 2.1.2.3 Kemiringan Pantai Pengukuran kemiringan pantai untuk mengetahui terjal atau landai. Semakin pantai landai sampai mendekati datar maka pantai tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti wisata bahari. Namun, jika pantai tersebut terjal pemanfaatan lahannya menjadi sangat terbatas. Pengukuran ini menggunakan kompas geologi, untuk mendapatkan kemiringan pantai. Batuan Sedimen dibagi dua macam Batuan Sedimen Klastik dan Batuan Sedimen Nonklastik yang masing-masing mempunyai parameter yang berbeda. Parameter batuan sedimen klastik terdiri dari: warna, kekompakkan, porositas, kebundaran, butiran, matriks, semen, pemilahan, dan kemas. Parameter batuan sedimen nonklastik didasarkan pada penyebab pembentukannya, dibagi dua golongan: batuan sedimen organik cangkang dan batuan sedimen kimiawi. Batuan Piroklastik merupakan batuan yang tersusun dari material yang dierupsikan dari gunung api, ditransport oleh udara dn diendapkan di darat, di danau dan di laut. Paremeter terdiri dari ukuran butir, struktur dan komposisi mineral. 2.1.3 Diskripsi Material Penyusun Pengamatan langsung di lapangan dengan bantuan Kaca Pembesar (loupe) Material penyusun pantai dapat dibagi dua macam: 1. Material yang lepas 2. Material yang masiv berupa singkapan batuan beku, batuan sedimen dan batuan piroklastik Parameter yang digunakan dalam diskripsi batuan beku: A. Kristalinitas (derajat kristalisasi mineral) terdiri dari holokristalin, hipokristalin, dan holohialin B. Granularitas (besar butir) terdiri dari Fanerik dan Afanitik Fanerik kristal-krsitalnya sangat jelas ukuran berkristal sangat kasar (Ø > 30 mm), kasar (30 mm > Ø > 5 mm), sedang 2.2 Hasil Dan Pembahasan Ekosistem pesisir morfologi pantai di Pulau Bintan pada umumnya terbagi menjadi tiga jenis: 1. Pantai Berbatu dengan sebaran Pulau Penyusuk, Pulau Kerapu, Pualau Balau, Pulau Kerengge, dan Pulau Payung. 2. Pantai Berpasir dengan sebaran Pulau Rusa, Pulau Kambat, Pulau Ajab, Pulau Beralas Pasir dan Pulau Siulung. 3. Pantai Hutan Mangrove dengan sebaran: Pulau Dendang, Pulau Mana, Pulau Ngalih, Pulau Bulat, dan Pulau Beralas Bakau. 2.2.1 Pantai Berbatu Foto1. Pulau Penyusuk dengan karakteristik pulau berbatu dan terdapat sturktur kekar Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 21 Pulau Penyusuk Diskripsi lapangan : Terdapat singkapan batuan granit yang memiliki kekar/joint. Di dalam singkapan batuan granit terdapat batu pasir yang berukuran halus sampai kasar, sebaran batu pasir tersebut berupa spot-spot. Pantai tersusun oleh fragmen coral. Jenis pantai berbatu tidak ada sempadan pantai. Diskripsi batuan : Warna abu-abu, Kristalinitas: holokristalin, Granularitas: berkristal sangat kasar d>30 mm, Fabrik: bentuk kristal subhedral-anhedral, relasi: inequigranular, Tekstur: porfiritik fenokris: kwarsa, piroksen tertanam dalam masa dasar gelas. Diskripsi pantai : Backshore type: moderate Beach type: flat Sediment: boulder Biota presence: mangrove Land cover/use: mangrove Reef type: fringing Seabed: flat Morphology: rocky, open beach, volcanism Stability: stable Human effects: fish traps Defenses: stable Pollution: none Shore form: flat Shore material : bedrock Resources: flora, fish Pulau Kerapu, Pulau Balau, Pulau Kerengge dan Pulau Payung memilki kenampakkan lapangan yang sama. Perincian diskripsi lapangan sebagai berikut: Diskripsi lapangan : Tersusun oleh batuan granit Diskripsi batuan : Warna abu-abu, Kristalinitas: holokristalin, Granularitas: berkristal sangat kasar Ø>30 mm, Fabrik: bentuk kristal subhedral-anhedral, relasi: inequigranular, Tekstur: porfiritik fenokris: kwarsa, piroksen tertanam dalam masa dasar gelas. Diskripsi pantai : Backshore type: moderate Beach type: flat, no beach Sediment: gravel, sandy gravel, dan sand Biota presence: sea grass, coral live Land cover/use: settlement, agriculture, forest dan mangrove Reef type: fringing Seabed: flat Morphology: open beach, barrier island Stability: stable Human effects: fish traps Defenses: bagian utara stables, bagian timur eroding Pollution: solid Shore form: flat Shore material : sandy gravel, sand Resources: flora Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 22 2.2.2 Pantai Berpasir Foto 2. Pulau Rusa tersusun oleh batu pasir yang berukuran bercampur fragmen cangkang foram besar. Sudut kelerangan pantai 5 o Panjang pasang surut 10,85 m. Panjang berm 9,5m Foto 3. Pengukuran sudut kemiringan besar sudut 8 o Lokasi Pulau Kambat Foto 4. Mengukur Berm Panjang Berm 13,2 m, Panjang Pasang-Surut 8,8 m Lokasi Pulau Kambat Pulau Rusa Diskripsi lapangan : Pantai tersusun oleh batu pasir yang berukuran 0.5 cm-5 cm (halus-sedang) bercampur fragmen cangkang foram besar. Sudut kelerangan pantai 5 o Panjang pasang surut 10,85 m. Panjang berm 9,5m Pantai tertutup oleh vegetasi; mangrove yang berarah UtaraBarat Laut panjang mangrove mencapai 150m-200m. Diskripsi batuan : Warna merah akibat teroksidasi kenampakkan seperti lempung mungkin mineral bauksit. Diskripsi pantai : Backshore type: moderate Beach type: flat Sediment: sandy gravel, sand Biota presence: mangrove Land cover/use: mangrove, other Reef type: fringing Seabed: flat Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 23 Morphology: open beach, barrier island Stability: stable Human effects: fish traps Defenses: stables Pollution: solid Shore form: flat Shore material : sand Resources: flora Pulau Kambat Diskripsi lapangan : Pantai berpasir putih dengan material dasar terumbu, terdapat terumbu berwarna biru kemungkinan cangkang dari kima. Panjang pasang surut 8,8 m Panjang berm 13, 2m Sudut kemiringan lereng 8 o. Diskripsi batuan : Batuan sediment organik dari terumbu karang merupakan batuan sediment nonklastik. Diskripsi pantai : Backshore type: moderate Beach type: flat Sediment: sandy gravel, coral/shell Biota presence: coral live, mangrove Land cover/use: forest, mangrove Reef type: fringing Seabed: flat Morphology: open beach, barrier island Stability: stable Human effects: fish traps Defenses: stables, little eroding Pollution: solid Shore form: flat Shore material : sand Resources: aquatic fauna, flora, fish Diskripsi lapangan : Pantai tersusun oleh batu pasir halus, terdapat singkapan batu pasir (insitu) dengan struktur kekar. Morphology pantai berbukti. Vegatasi: mangrove Tidak ada pengukuran morphologi pantai. Diskripsi batuan : Batu pasir berukuran fine sand-very fine sand, fragment mineral kwarsa, kemas tertutup, pemilahan baik, bentuk butir membundar. Memiliki struktur kekar berarah N 68o E (utama), dan N 130 o E (minor). Panjang singkapan + 40 m Diskripsi pantai : Backshore type: moderate Beach type: flat Sediment: sandy gravel, sand Biota presence: mangrove Land cover/use: mangrove, other Reef type: fringing Seabed: flat Morphology: open beach, barrier island Stability: stable Human effects: fish traps Defenses: stables Pollution: solid Pulau Ajab Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 24 Shore form: flat Shore material : sand Resources: flora Pulau Beralas Pasir Diskripsi lapangan : Pantai mempunyai sempadan pantai yang cukup lebar 45 m, material penyusun terdiri dari batu pasir yang berukura halussedang. Morphologi pantai di beberapa tempat tampak mempunyai ketinggian dengan tinggi mencapai 1-1.5, dan dibeberapa tempat tampak datar. Terdapat abrasi di beberapa tempat. Panjang pasang-surut 65 m, panjang berm 2 m, dengan slope kemiringan 3 o. Diskripsi batuan : Batu pasir halus bercampur dengan fragmen terumbu karang. Diskripsi pantai : Backshore type: moderate Beach type: flat Sediment: sand Biota presence: mangrove Land cover/use: forest Reef type: fringing Seabed: flat Morphology: open beach Stability: stable, eroding Human effects: fish traps Defenses: stable Pollution: none Shore form: flat Shore material : sand Resources: fish Diskripsi lapangan : Pantai mengalami abrasi dengan tinggi 5 m, dan lebar abrasi 25 m. Panjang pasang-surut 10,7 m. Panjang berm 3 m. Di P. Siulung kenampakkan pantai sebagian merupakan daerah perumahan nelayan, dan sebagian lagi sebagian pantai. Diskripsi batuan : Warna merah hasil oksidasi sudah mengalami pelapukan, kemungkinan bauksit. Diskripsi pantai : Backshore type: moderate Beach type: flat, no beach Sediment: gravel, sandy gravel, dan sand Biota presence: sea grass, coral live Land cover/use: settlement, agriculture, forest dan mangrove Reef type: fringing Seabed: flat Morphology: open beach, barrier island Stability: stable Human effects: fish traps Defenses: bagian utara stables, bagian timur eroding Pollution: solid Shore form: flat Shore material : sandy gravel, sand Resources: flora Pulau Siulung Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 25 2.2.3 Pantai Hutan Mangrove Foto 5. Pulau Ngalih di kelilingi oleh mangrove yang cukup tebal, tidak ada sempadan pantai, dan kondisi perairan tenang. Pulau Dendang Diskripsi lapangan : Tidak ada sempadan pantai. Pantai tertutup mangrove. Diskripsi batuan : Warna merah akibat teroksidasi dan mengalami pelapukan kenampakkan seperti lempung mungkin mineral bauksit . Sampel batuan tidak insitu. Diskripsi lapangan : Tertutup oleh mangrove, tidak ada sempadan pantai. Diskripsi batuan : Warna merah akibat teroksidasi kenampakkan seperti lempung mungkin mineral bauksit. Diskripsi lapangan : Pantai bermangrove, tidak ada sempadan pantai, sudut kelerengan pantai 3 o. Pengukuran panjang pasang-surut 9,25 m. Pantai berbukit dijumpai mata air. Vegetasi: pakis laut, ilalang, kelapa. Terdapat mata air tawar. Diskripsi batuan : Pantai tertutup oleh batu pasir halus sampai kerakal, berwarna merah sudah mengalami pelapukan oksidasi. Diskripsi lapangan : Pantai mengalami abrasi, kondisi pantai berbukit, tidak ada sempadan pantai. Diskripsi batuan : Warna merah hasil oksidasi sudah mengalami pelapukan, kemungkinan bauksit. Diskripsi pantai : Tidak ada pantai/no beach Pulau Mana Pulau Ngalih Pulau Bulat Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 26 Pulau Beralas Bakau Diskripsi lapangan : Seluruh pantai ditumbuhi mangrove, namun masih terlihat pantai, landai dan berpasir putih, seabed landai-jarak ke tubir 250 m dan ditumbuhi lamun dan koral. Diskripsi batuan : Warna merah hasil oksidasi sudah mengalami pelapukan, kemungkinan bauksit. Diskripsi pantai : Backshore type: low, plantation Beach type: flat Sediment: sandy gravel, dan sand Biota presence: sea grass, coral live dan mangrove Land cover/use: forest dan mangrove Reef type: fringing Seabed: flat Morphology: open beach Stability: stable Human effects: fish traps Defenses: stables Pollution: none Shore form: flat Shore material : sandy gravel, dan mud Resources: aquatic fauna, flora 2.2.4 Pendiskripsian Pasir Pasir yang bersifat lepas, dikompaksi dengan menggunakan lem Glueco kemudian dibuat sayatan tipis. Diskripsi pasir berdasarkan mineral penyususunnya, karena sayatan tipis pasir direkatkan dengan lem Gluecol (tidak bersifat alami), maka tidak dapat diberi nama. Unsur-unsur yang dapat didiskripsikan yaitu: 1. Warna mineral, 2. Mineral penyusun, 3. Bentuk butir mineral, 4. Ukuran butir mineral, 5. Diskripsi optik butir mineral Uraian pasir terlampir dalam lampiran diskripsi petrografis pasir. 2.3 Analisis Morfologi Pantai Sebagaimana diketahui bahwa di Kepulaua Karimun Propinsi Kepulauan Riau telah terjadi penambangan pasir laut. Dampak yang ditimbulkan sangat beragam antara lain; laut menjadi keruh, populasi ikan laut berkurang, rusaknya terumbu karang di sekitarnya, misalnya karena perubahan geologi pulau atau pantai di sekitarnya. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Jika dilihat dari material penyusun pulau, maka jika terjadi penambangan pasir laut, pulau yang cukup stabil terhadap perubahan morfologi dasar laut adalah pulau berbatu. Ekosistem pesisir morfologi pantai berbatu lebih tahan terhadap penambangan pasir laut, hal ini didasarkan pada kekuatan batuan penyusun yang terdiri dari batuan beku granit. 3. Kesimpulan Dan Saran 3.1 Kesimpulan 1. Ekosistem pesisir pantai di Pulau Bintan yang terbagi tiga yaitu Pantai Berbatu, Pantai Berpasir dan Pantai Hutan Mangrove. Pantai Berbatu tersebar di Pulau Penyusuk, Pulau Kerapu, Pulau Balau, Pulau Kerengge, dan Pulau Payung. Pantai Berpasir tersebar di Pulau Rusa, Pulau Kambat, Pulau Ajab, Pulau Beralas Pasir, dan Pulau Siulung. Sedangkan Pantai Hutan Mangrove tersebar di Pulau Dendang, Pulau Mana, Pulau Ngalih, Pulau Bulat dan Pulau Beralas Bakau. 2. Material penyusun Pantai Berbatu batuan beku granit, material penyusun Pantai Berpasir lumpur dan pasir, dan Pantai Hutan Mangrove tertutup oleh vegetasi mangrove. 27 3.2 Saran 4. Daftar Pustaka 1. Bengen. D. G. 2001 : Ekologi dan Analisis Keterkaitan Ekosistem Wilayah Pesisir dan Dinamika Perairan Wilayah Pesisir. Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir/ ICZPM (Integrated Coastal Zone Planning And Management) Kerjasama Direktorat Jenderal Pesisir, Pantai dan PulauPulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 2. Jika penambangan pasir laut dilaksanakan di perairan Pulau Bintan maka yang harus dilakukan adalah pembuatan tata ruang wilayah laut. Dari tata ruang baru dapat ditentukan daerah mana saja yang harus dilindungi dan daerah mana saja yang bisa dieksploitasi. Melihat ekosistem pesisir pantai di Pulau Bintan yang terbagi tiga yaitu Pantai Berbatu, Pantai Berpasir dan Pantai Hutan Mangrove, direkomendasikan daerah yang diperuntukkan untuk pelestarian alam adalah Pantai Hutan Mangrove. Penambangan pasir dapat dilaksanakan di Pantai Berbatu dan Pantai Berpasir dengan melalui beberapa persyaratan antara lain pembuatan zona penyangga atau buffering disekitar pulaupulau kecil. Kisaran luas buffering tersebut kurang lebih 2 mil dari garis pantai. Alasan ini mengacu pada ekosistem di sekitar pantai pada jarak antara 0-2 mil dari garis pantai, memiliki keanekaragaman biota laut. Lepas dari 2 mil ekosistemnya diasumsikan homogen dan kurang bervariasi. Disamping itu pasir yang telah dikeruk harus dianalisa dulu sebelum dilakukan penambangan secara besar-besaran. Tujuan dari analisa ini adalah untuk mengetahui kandungan pasir tersebut apakah memang mengandung pasir saja atau memiliki campuran lain seperti pasir kwarsa, hematit, mangan, besi, dan mineralmineral lain yang memiliki nilai ekonomis. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S. P., Sitepu. 1996 : Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan Pertama PT Pradnya Paramita Jakarta. Dahuri, R. 2001: Kebijakan Nasional Pengelolaan Wilayah Pesisir Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir/ ICZPM (Integrated Coastal Zone Planning And Management) Kerjasama Direktorat Jenderal Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Knight, M. Tom. 1990 : Physical Geography A Landscape Appreciation Third Edition. Prentice Hall Englewood Cliffs, N.J. 07632. 28 Lampiran Petrografi Pasir Deskripsi Petrografi Sayatan Tipis Pasir dan Penamaan Jenis Pasir Jumlah sampel sayatan tipis batuan: - Sampel 2 MG di Pulau Rusa Baru - Sampel 5 MG di Pulau Ajab - Sampel di Pulau Angkut - Sampel 4 MG di Pulau Kambat - Sampel 6 MG di Pulau Siulung - Sampel 10 di Tanjung Kelun Lokasi Pulau Rusa Baru No stasiun Tgl pengamatan Jam pengamatan Lokasi pengamatan Posisi GPS Deskripsi Pasir : : : : : : Jenis Pasir : A B C D E F G 2 MG 13 sept 2003 10.30 wib P. Rusa Baru (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang) Warna mineral (paralel nicol) coklat muda kekuningan, terubah kuat. Terdiri dari masa dasar mikroklit kuarsa dan karbonat. Komponen Karbonat, Kuarsa, Hematit. Karbonat (80%): warna coklat muda merupakan mineral authogenik yang menyelimuti mineral kuarsa, bentuk butir sub angular – angular, ukuran 0.1-.1mm. Kuarsa (10%) : warna putih bening kekuningan, relief rendah, tanpa belahan, bentuk euhedral, pleokroisme lemah. Mineral opak (5%) : warna hitam, bentuk kubik. Hematit (5%) : warna merah, sub rounded, pleokroik lemah. Pasir Kuarsa Karbonatan H I J K L M N O 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10 XPL 0,25 mm Foto 6. Foto sayatan tipis pasir sampel 2 MG P. Rusa Baru dengan pembesaran 40 x Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 29 Lokasi Pulau Ajab No stasiun Tgl pengamatan Jam pengamatan Lokasi pengamatan Posisi GPS Deskripsi Pasir : : : : : : Jenis Pasir : A B C D E F G 5 MG 13 sept 2003 14.30 wib P. Ajab (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang) Warna mineral (paralel nicol) putih keruh. Masa dasar mikroklit alkali feldspar, dan kuarsa. Komponen Kuarsa dan Alkali Feldspar. Kuarsa (60%): warna putih bening, relief rendah, tanpa belahan, bentuk sub angular, ukuran 0.01-0.4 mm, pleokroisme lemah, kenampakkan fisik banyak dijumpai retakan-retakan kemungkinan akibat deformasi struktur. Alkali Feldspar (40 %): berwarna abu-abu, bentuk sub rounded, ukuran 0.1-0.4 mm, pleokhroik kuat. Polikristalin Kuarsa H I J K L M N O 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10 XPL 0,25 mm Foto 7. Foto sayatan tipis pasir sampel 5 MG P. Ajab dengan pembesaran 40 x Lokasi Pulau Angkut No stasiun Tgl pengamatan Jam pengamatan Lokasi pengamatan Posisi GPS Deskripsi Pasir : : : : : : Jenis Pasir : 13 sept 2003 11.30 wib P. Angkut (lokasi Kijang kec. Bintan Timur) Tidak dapat diidentifikasi, hampir 100% ialah ubahan mineral batuan beku granit berupa bauksit. Mineral Bauksit Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 30 A B C D E F G H I J K L M N O 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10 XPL 0,25 mm Foto 8. Foto sayatan tipis pasir sampel P. Angkut dengan pembesaran 40 x Lokasi Pulau Kambat No stasiun Tgl pengamatan Jam pengamatan Lokasi pengamatan Posisi GPS Deskripsi Pasir : : : : : : Jenis Pasir : A B C D E F G 4 MG 13 sept 2003 12.30 wib P. Kambat (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang) Warna mineral (paralel nicol) coklat keruh kekuningan, terubah kuat. Terdiri dari masa dasar mikroklit kuarsa dan karbonat, berukuran butir < 0.02 mm. Komponen Karbonat, Kuarsa dan Kalium Feldspar, berukuran 0.2-0.4 mm. Bentuk butir sub rounded – sub angular, ukuran butir 0,5 – 0,17 mm. Karbonat (80%) : merupakan mineral authegenik yang menyelimuti kuarsa. Kuarsa (10%): warna putih bening kekuningan, relief rendah, tanpa belahan, bentuk sub angular, pleokroisme lemah. Polikristalin Kuarsa H I J K L M N O 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10 XPL 0,25 mm Foto 9. Foto sayatan tipis pasir sampel 4 MG P. Kambat dengan pembesaran 40 x Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 31 Lokasi Pulau Siulung No stasiun Tgl pengamatan Jam pengamatan Lokasi pengamatan Posisi GPS Deskripsi Pasir : : : : : : Jenis Pasir : A B C D E F G 6 MG 14 sept 2003 13.30 wib P. Siulung (lokasi Kijang kec. Bintan Timur) Warna mineral (paralel nicol) coklat kekuningan sampai abuabu, terubah sedikit. Terdiri dari masa dasar oksida besi, lempung dan mineral opak. Komponen: Karbonat, Kuarsa, Hematit dan Fragmen Batuan. Kuarsa (55%): warna putih bening kekuningan, berukuran <0.1-0.4 mm, bentuk butiran sub rounded – sub angular, relief rendah, tanpa belahan, kekanampakkakn fisik terdapat retakan-retakan akibat deformasi internal/struktur, pleokroisme lemah. Beberapa mineral kuarsa diselimuti oleh mineral authegenik karbonat. Oksida besi (5%): bentuk subhedral, warna kemerahan ukuran butir 0.1-0.4 mm. Kuarsit H I J K L M N O 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10 XPL 0,25 mm Foto 10. Foto sayatan tipis Cross Nicol pasir sampel 6 MG P. Siulung dengan pembesaran 40 x Lokasi Tanjung Kelun No stasiun Tgl pengamatan Jam pengamatan Lokasi pengamatan Posisi GPS Deskripsi Pasir : : : : : : 10 16 sept 2003 17.00 wib Tanjung Kelun (lokasi Trikora kec. Gunung Kijang) Warna mineral (paralel nicol) coklat terang kehijauan terubah sedikit. Terdiri dari masa dasar mikroklit gelas, mikroklit biji, karbonat, kuarsa dan butir fragmen gamping. Bentuk butir rounded – sub angular, ukuran butir 0.4 – > 2 mm. Komponen Karbonat, Alkali Feldspar, Kuarsa, Fragmen Gamping. Karbonat (30 %): merupakan ubahan dari kuarsa, warna coklat muda. Kuarsa (40 %): warna putih bening kekuningan, relief rendah, tanpa belahan, bentuk sub angular-rounded, pleokroisme lemah. Alkali Feldspar (20 %): warna abu-abu, bentuk butir sub angular – rounded, ukuran butir 0,5 - > 2 mm. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 32 Fragmen Gamping (10 %): Warna Kuning, bentuk butir menyudut, ukuran butir 0.5 - > 3 mm. Jenis Pasir A B : C D E F G Pasir Kuarsa H I J K L M N O 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10 XPL 0,25 mm Foto 11. Foto sayatan tipis Pararel Nicol pasir sampel 10 Tanjung Kelun dengan pembesaran 40 x Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 33 KONDISI OSEANOGRAFI PERAIRAN PULAU BINTAN, KEPULAUAN RIAU Oleh: W. S. Pranowo dan S. Husrin Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati - Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jl. MT. Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770, Indonesia , e-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian kondisi oseanografi perairan Pulau Bintan bagian timur ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisik perairan Bintan bagian timur dalam kaitannya dengan kegiatan penambangan pasir laut. Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2003. Data lapangan yang berhasil dikumpulkan antara lain: Arus, salinitas, sedimentasi, pH, turbiditas, suhu, dan angin. Data-data tersebut merupakan hasil observasi lapangan secara langsung, sementara untuk mensimulasikan kondisi arus di daerah studi dilakukan dengan menggunakan pendekatan model numerik. Hasil Simulasi arus pasut secara umum menunjukkan bahwa arus di sebelah selatan dari perairan Bintan Timur lebih dinamis dibanding arus di sebelah utara. Hal ini terjadi karena perbedaan elevasi muka laut di sebelah selatan dari Bintan Timur cukup besar. Kata kunci: Karakteristik fisik perairan, arus pasut, penambangan pasir laut ABSTRACT Oceanographic research on Eastern Bintan waters was done to recognize physical characteristic of the waters in accordance with sea sand mining activities. Field data was taken on July – August 2003 and including currents, salinity, sediment transport, pH, temperature, and wind. The data were taken from direct observation, meanwhile, numerical method approach was carried out to make current simulation on the area. Generally, current simulation shows that current in southtern part of Eastern Bintan waters is more dynamic than northen part. This condition happens because the difference of sea level elevation in southern part of Eastern Bintan waters is relatively quite large. Keyword: physical characteristic of the waters, tidal currents, sea sand mining activities 1. PENDAHULUAN Ekosistem perairan Pulau Bintan merupakan ekosistem yang memiliki nilai hayati yang tinggi seperti ekosistem hutan mangrove, ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun. Pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam pesisir saat ini belum berjalan secara terpadu. Dampak yang dapat ditimbulkan adalah kerusakan lingkungan. Pesisir Bintan Selatan dan Bintan Timur merupakan wilayah strategis sebagai jalur pengangkutan ekspor pasir dan kawasan target para pengusaha untuk pengerukan/penambangan pasir laut. Upaya pengendalian resiko pencemaran di kawasan tersebut menjadi penting mengingat daerah pesisir tersebut mempunyai keanekaragaman hayati yang Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan rentan terhadap pencemaran. Kondisi oseanografi sangat mempengaruhi transpor limbah penambangan pasir ke arah kawasan ekosistem tersebut. 2. ISI / BAHASAN 2.1. Materi dan Metode Penelitian kondisi oseanografi dilakukan dengan observasi angin dan pasang surut serta pengukuran in situ parameter kecepatan dan arah arus, kecerahan air laut, temperatur, salinitas, Turbiditas, laju sedimentasi, dan pH air permukaan (23 Juli – 6 Agustus 2003). Selain itu, dalam penelitian ini digunakan juga metode pendekatan model numerik untuk mensimulasikan kondisi arus di wilayah studi, yaitu menggunakan 3DD Suite Model Software dari ASR Ltd (Black, 2001). 34 2.1.1. Survey dan Pengukuran Lapangan Prediksi pola pasang surut di beberapa titik calon stasiun survey dan pengukuran dilakukan terlebih dahulu agar pelaksanaan riset dapat berjalan lebih terarah dan efisien. Prediksi pola pasang surut dalam hal ini mengunakan Oritide – Global Tide Model yang dibangun oleh Ocean Research Institute, University of Tokyo. dengan asumsi bahwa percepatan vertikal diabaikan, maka Persamaan Hidrostatik untuk tekanan pada kedalaman z adalah: 2.1.2. Simulasi Model Hidrodinamika 2.1.2.1. Persamaan Hidrodinamika Persamaan pembangun model 3DD yang menyatakan gerak horisontal suatu fluida inkompresibel yang berada di permukaan bumi yang berotasi dalam koordinat kartesian (arah atas menunjukkan positif) adalah: Representasi fisis dari masing-masing suku persamaan momentum adalah terdiri dari: percepatan lokal; inersia; coriolis; gradien tekanan akibat variasi tinggi muka air; gradien tekanan akibat tekanan atmosfer; stress angin dan gesekan dasar laut; viskositas eddy horisontal. Harga AH bervariasi secara spasial, namun gradiennya diasumsikan begitu kecil sehingga suku ini bertindak seperti algoritma penghalus kecepatan (velocity smoothing algoritm) Persamaan Momentum. Perubahan tekanan atmosfer tidak dilibatkan dalam simulasi ini dan oleh karenanya dalam persamaan momentum, suku ini pun diabaikan. ∂u ∂u ∂u ∂u +u +v +w − fv = ∂t ∂x ∂y ∂z −g + ∂ 2u ∂ 2u ∂ζ 1 ∂u − P + AH 2 + 2 ∂x ρ ∂x ∂y ∂x ∂ ∂u NZ ∂z ∂z ∂v ∂v ∂v ∂v +u +v + w + fv = ∂t ∂x ∂y ∂z −g + ∂ 2v ∂ 2v ∂ζ 1 ∂v − P + AH 2 + 2 ∂y ρ ∂y ∂y ∂x ∂ ∂v NZ ∂z ∂z w=− ∂ ∂x z ∫ −h z udz − ∂ vdz ∂y ∫ h dimana: t = waktu u, v = kecepatan horisontal w =kecepatan vertikal h = kedalaman g = percepatan gravitasi ζ= tinggi muka laut di atas datum horisontal f = parameter coriolis P= tekanan AH = koefisien viskositas eddy horisontal NZ = koefisien viskositas eddy vertikal ρ = densitas yang nilainya bervariasi terhadap kedalaman Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan ζ ∫ P = Patm + g ρdz z dimana Patm adalah tekanan atmosfer. 2.1.3.2. Skema Numerik Model 3DD menggunakan Skema Beda Hingga Eksplisit untuk menyelesaikan Persamaan Momentum dan Konservasi Massa (Black, 2001). Pemecahan persamaan melalui Metoda Beda Hingga tersebut menggunakan skema staggered grid (Leendertse dan Liu, 1975 dalam Black,2001), yaitu menempatkan komponen v dan u pada dinding “utara” dan “selatan”. w berlokasi di tengah-tengah dinding “atas”. Tinggi muka air menggantikan w di lapisan atas. Solusinya akan diperoleh dengan Skema Eksplisit Ordo ke-2 dan Aproksimasi Ordo ke-3 untuk suku-suku inersia yang non linier. 2.1.3. Desain Model Simulasi model hidrodinamika dijalankan selama 15 hari dari 23 Juli hingga 6 Agustus 2003 berdasarkan lama waktu pengukuran dan pengambilan sampel di perairan Bintan Timur. Selengkapnya mengenai desain model hidrodinamika dapat dilihat pada Tabel 2. Data batimetri yang digunakan adalah Peta Batimetri Alur Pelayaran di Pantai Timur Bintan (Lembar No.65), Skala 1:100 000, Koreksi 2003, Dinas Hidro-Oseanografi TNIAL, Jakarta. Batas daerah model adalah 104°34’ - 104°59’ BT dan 0°33’ - 1°15’ LU. 35 Tabel 1. Desain Model Hidrodinamika Parameter Nilai Number Of X (I) Cells Number Of Y (J) Cells X Grid Size Y Grid Size Time Step Of Model First Time Step Maximum Number Of Time Steps 58 100 50 50 1 1 1296000 Roughness Length Effective Depth Drying Height Initial Sea Level Latitude Orientation Horizontal Eddy Viscosity Eddy Viscosity Mult Factor Number Of Steps To Apply Diffusion Percentage Slip 0.08 0.3 0.05 99 0 0 5 1 1 97 2.1.3.1. Nilai Awal dan Syarat Batas Input yang digunakan di batas terbuka adalah elevasi pasang surut (Gambar 2 hingga 5), dalam hal ini merupakan hasil prediksi mengunakan Oritide – Global Tide Satuan m m detik detik detik m m m set by model corriolis neglected 2 m /detik % Model (ORI.96) yang dibangun oleh Ocean Research Institute, University of Tokyo, menggunakan 8 Komponen pasut utama: M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, dan Q1. Adapun penempatan batas terbuka daerah model dapat dilihat pada Gambar 1. Batas Terbuka Utara Batas Terbuka Timur Batas Terbuka Barat Batas Terbuka Selatan Gambar 1. Batas Terbuka pada Daerah Domain Model Hidrodinamika Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 36 Time Series Boundary - North 2 elevation-m 1.5 1 0.5 0 0 50 100 150 200 250 300 350 tim e-s Gambar 2. Elevasi Muka Laut 15 Hari Di Batas Terbuka Area Model Bagian Utara Time Series Boundary - East 2.5 elevation-m 2 1.5 1 0.5 0 0 50 100 150 200 250 300 350 tim e-s Gambar 3. Elevasi Muka Laut 15 Hari Di Batas Terbuka Area Model Bagian Timur Time Series Boundary - South 2.5 elevation-m 2 1.5 1 0.5 0 0 50 100 150 200 250 300 350 tim e-s Gambar 4. Elevasi Muka Laut 15 Hari Di Batas Terbuka Area Model Bagian Selatan Time Series Boundary -West 2 elevation-m 1.5 1 0.5 0 0 50 100 150 200 250 300 350 tim e-s Gambar 5. Elevasi Muka Laut 15 Hari Di Batas Terbuka Area Model Bagian Barat Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 37 3. HASIL DAN DISKUSI 3.1. Hasil Survei dan Lapangan Pengukuran 1. Angin Berdasarkan observasi, diketahui bahwa kondisi tiupan angin di atas perairan Pulau Bintan yang menyebabkan gelombang dan arus adalah Angin Utara dan Baratlaut. Dimana angin tersebut umumnya bertiup pada bulan Juni hingga Agustus. Tinggi gelombang hasil pengamatan di perairan Bintan Timur sebelah utara pada musim angin tersebut bisa mencapai 2 meter. Kecepatan angin maksimum yang bertiup hasil pengukuran Stasiun Meteorologi Bandara Udara di Kecamatan Kijang adalah 15 knot dengan arah U 20º T (Utara) dan U 300º – 330º T (Baratlaut). 2. Pasang Surut Pasang surut di perairan Pulau Bintan bertipe Campuran Cenderung Semidiurnal atau Mixed Tide Prevailing Semidiurnal (Wyrtki, 1961). Dimana saat air pasang/surut penuh dan tidak penuh terjadinya dua kali dalam sehari, tetapi terjadi perbedaan waktu pada antar puncak air tertinggi-nya. Hasil prediksi pasut menggunakan Oritide – Global Tide Model di sekitar perairan pantai Trikora (Kecamatan Gunung Kijang) pada bulan Juli memperlihatkan bahwa tinggi rata-rata air pasang tertinggi +73,48 cm, air surut terendah –121,31 cm, dengan tunggang maksimum sekitar 194,79 cm. Sedangkan di sekitar perairan Pulau Mantang (Kecamatan Kijang) pada bulan yang sama mempunyai tinggi rata-rata air pasang tertinggi +78,68 cm, air surut terendah –135,84 cm, dengan tunggang maksimum sekitar 214,52 cm. Pada bulan September, tinggi rata-rata air pasang tertinggi +75,69 cm, air surut terendah –101,06 cm, dengan tunggang maksimum sekitar 176,75 cm di sekitar perairan pantai Trikora (Kecamatan Gunung Kijang). Sedangkan di sekitar perairan Pulau Mantang (Kecamatan Kijang) pada bulan yang sama mempunyai tinggi rata-rata air pasang tertinggi +98,18 cm, air surut terendah –117,74 cm, dengan tunggang maksimum sekitar 215,92 cm. Tabel 2. Hasil Prediksi Tinggi Air Pasang Surut dan Tunggang Maksimum Tahun 2003 Elevasi Air Pasang Tertinggi Air Surut Terendah Tunggang Maksimum Sekitar Pantai Trikora Juli September +73,48 cm +75,69 cm –121,31 cm -101,06 cm 194,79 cm 176,75 cm Sekitar Pulau Mantang Juli September +78,68 cm +98,18 cm –135,84 cm –117,74 cm 214,52 cm 215,92 cm Tabel 3. Hasil Pengukuran Lapangan di Perairan Bintan Timur Tahun 2003 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Stasiun P. Siulung 0 00 47,188’ LU 0 104 37,10’ BT P. Kerapu 0 01 06,133’ LU 0 104 38,550’ BT P. Beralas Bakau 0 01 03,948’ LU 0 104 40,266’ BT Teluk Bakau 0 01 03,066’ LU 0 104 39,033’ BT P. Ngalih 0 00 47,864’ LU 0 104 37,170’ BT Tanjung Keling 0 01 47,96’ LU 0 104 37,982’ BT P. Kekip 0 01 48,236’ LU 0 104 33,773’ BT P. Kelong 0 00 48,960’ LU 0 104 37,713’ BT P. Mantang 0 00 47,702’ LU 0 104 33,651’ BT Salinitas Konduktivitas Temperatur (ppt) (ms) ( Celcius) (NTU) 30,7 50,3 28,2 3,3 30,4 47,06 28,0 0,4 30,2 46,88 27,9 0,3 30,1 46,32 27,6 0,2 29,8 46,21 27,8 0,2 30,0 46,05 27,7 1,6 29,7 48,46 27,8 0,2 30,1 48,92 28,0 1,2 30,1 46,35 27,7 0,3 Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan o Turbiditas 38 3. Temperatur Secara umum temperatur permukaan air hasil pengukuran di perairan Bintan Timur memperlihatkan kisaran 27,6 – 28,2 oC (lihat Tabel 4). Berdasarkan Peta Oseanografi Wilayah Perairan Indonesia (BRKP, 2002) temperatur air permukaan di perairan sekitar Bintan, pada Monsun Barat (Desember – Februari) berkisar 27 – 28 oC, Monsun Peralihan dari Barat ke Timur (Maret - Mei) 29 – 29,5 oC, Monsun Timur (Juni - Agustus) 31 – 31,5 oC, Monsun Peralihan dari Timur ke Barat (September - November) 29 – 29,5 oC. 4. Salinitas Secara umum salinitas permukaan air hasil pengukuran di perairan Bintan Timur memperlihatkan kisaran 29,7 – 30,7 ppt (lihat Tabel 4). Berdasarkan Peta Oseanografi Wilayah Perairan Indonesia (BRKP, 2002) salinitas air permukaan di perairan sekitar Bintan, pada Monsun Barat (Desember – Februari) berkisar 32,5 – 32,8 ppt, Monsun Peralihan dari Barat ke Timur (Maret - Mei) 32 – 32,5 ppt, Monsun Timur (Juni - Agustus) 31 – 31,5 ppt, Monsun Peralihan dari Timur ke Barat (September - November) 32 – 32,5 ppt. 5. pH Secara umum derajat keasaman air permukaan hasil pengukuran di perairan Bintan Timur memperlihatkan kisaran 7 – 8 pH. derajat keasaman air tersebut berada pada kisaran yang diperbolehkan oleh SK. MenKLH No. Kep-02/MENKLH/1988, yaitu 6 9 pH, sehingga direkomendasikan bisa mendukung untuk kegiatan pariwisata, rekreasi, budidaya, dan konservasi laut. 6. Turbiditas Secara umum tingkat turbiditas air permukaan hasil pengukuran di perairan Bintan Timur memperlihatkan kisaran 0,2 – 3,3 NTU (lihat Tabel 4). Tingkat turbiditas tersebut sangat jauh dari ambang batas yang telah ditentukan SK. MenKLH No. Kep02/MENKLH/1988 yaitu <30-80 NTU. Jadi dapat dikatakan bahwa di perairan Bintan Timur belum terkontaminasi partikel tersuspensi, yang biasanya diakibatkan oleh penambangan pasir laut. 7. Laju Sedimentasi Secara umum laju sedimentasi di perairan Bintan Timur adalah sangat kecil yaitu laju sedimentasi tertinggi di stasiun Pulau Siulung (0.005557888 gr/cm2/jam) dan terendah di stasiun Teluk Bakau (0.001240089 gr/cm2/jam) (lihat Tabel 5). Laju sedimentasi di perairan Bintan Timur sebelah Utara lebih rendah dibanding di perairan Bintan Timur sebelah Selatan. Hal ini terjadi karena substrat dasar di perairan Bintan Timur sebelah Utara rata-rata adalah pasir dan pecahan kerang & coral, sedikit lumpur. Sedangkan di perairan Bintan Timur sebelah Selatan substrat dasarnya rata-rata berupa pasir berlumpur, dan lumpur, dimana sedimentasi yang terjadi bias disebabkan oleh pengadukan lokal, dan/atau hasil endapan TSS yang tertranspor dari lokasi lain. Tabel 4. Hasil Pengukuran Laju Sedimentasi Lokasi Bintan Timur Bagian Selatan Bintan Timur Bagian Utara Stasiun 2 Laju Sedimentasi (gr/cm /jam) P. Kelong 0.002116981 P. Ngalih 0.001880453 P. Siulung 0.005557888 Teluk Bakau 0.001240089 P. Beralas Bakau 0.001577448 Tj. Keling 0.003744924 3.2. Hasil Simulasi Model Hidrodinamika Hasil Simulasi arus pasut secara umum menunjukkan bahwa arus di sebelah Selatan dari perairan Bintan Timur lebih dinamis dibanding arus di sebelah Utara. Hal ini terjadi karena Perbedaan elevasi muka laut di sebelah Selatan dari Bintan Timur cukup besar (lihat Lampiran F dan G), sedangkan perbedaan elevasi muka laut di sebelah Utara dari Bintan Timur sangat kecil (lihat Lampiran D dan E). Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut perbani (Neap Tide Condition) adalah sebagai berikut: Saat air menjelang surut menunjukkan bahwa arus bergerak dari arah barat menuju timur dan timur laut. Lampiran B.(1) memperlihatkan arus di Selat Telang secara dominan bergerak menuju timur laut dan sebagian kecil berbelok ke selatan menuju Selat Sendara. Sedangkan arus di selat antara P. Siulung dan P. Bintan bergerak dominan ke arah timur bergabung 39 dengan arus dari selat Telang menuju timur laut, sebagian arus bergerak ke arah utara menyusur Selat Kijang dan sebagian kecil lain menyusur Selat Kelong. Saat air surut (Lampiran B.(2)) terlihat arus dominan bergerak dari Selat Sendara yang terdistribusi ke tiga arah, masing – masing menuju ke arah timur laut, Selat Telang, dan selat antara P. Bintan dan P. Siulung. Saat air menjelang pasang (Lampiran B.(3)) secara umum arus bergerak menuju barat, dimana arus dari arah timur laut, utara, dan dari Selat Sendara bergerak menuju ke barat (Selat Telang, dan selat antara P. Bintan dan P. Siulung ). Tetapi arus di sebelah tenggara Kepulauan Gin dan Numbing bergerak menuju timur laut. Saat air pasang (Lampiran B.(4)) kondisi pergerakan arus memiliki pola yang mirip dengan saat kondisi menjelang surut. Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut purnama (Spring Tide Condition) adalah sebagai berikut: Saat air menjelang surut (Lampiran C.(1)) memperlihatkan pola arus yang sama dengan saat menjelang surut pada kondisi perbani (Lampiran B.(1)), tetapi kecepatan dan elevasi kondisi perbani lebih besar dibanding kondisi purnama. Saat air surut (Lampiran C.(2)) memperlihatkan pola arus yang sama dengan saat menjelang pasang pada kondisi perbani (Lampiran B.(3)), tetapi kecepatan dan elevasi kondisi perbani lebih besar dibanding kondisi purnama. Saat air menjelang pasang (Lampiran C.(3)) memperlihatkan pola arus bergerak dari arah selatan (Selat Sendara), barat (Selat antara P. Bintan dan P. Siulung), dan barat daya (Selat Telang) menuju ke arah utara, timur laut, dan timur. Saat air pasang (Lampiran C.(4)) memperlihatkan pola arus yang sama dengan saat surut pada kondisi perbani (Lampiran B.(2)), tetapi kecepatan kondisi perbani lebih besar dibanding kondisi purnama, karena terjadi perbedaan elevasi cukup besar di Selat Sendara dengan daerah sekelilingnya. 3.3. Verifikasi Hasil Model Verifikasi model dilakukan untuk melihat kesesuaian hasil simulasi dengan kondisi sebenarnya (faktual). Dalam hal ini hanya dilakukan verifikasi terhadap kecepatan arus pasut di beberapa lokasi yang dilakukan pengukuran. P. Bintan P. Pangkil Selat Kijang P. Buton P. Poto 1 Selat Telang P.P. Kelong Kelong 4 2 3 P. Siulung Selat Sendara P. Gin Besar P. Gin Kecil P. Telang P. Numbing Gambar 6. Lokasi Titik-titik Pengukuran Data Arus Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 40 Tabel 5 . Verifikasi Model No 1. 2. 3. 4. Pengukuran Nama Kelong Bouy Riau KK-Bintan Posisi 0 00 49,100’ LU 0 104 37,740’ BT 0 00 48,456’ LU 0 104 36,948’ BT 0 00 47,943’ LU 0 104 37,627’ BT 0 00 48,236’ LU 0 104 33,773’ BT Model Jam Kecepatan Arah Grid (I,j) Kecepatan Error (%) Arah 10 0.09 U270°T (11, 45) 0.03 66.67 U300°T 11 0.19 U270°T (07, 41) 0.2 5.26 U270°T 12 0.5 U290°T (11, 41) 0.5 0.00 U260°T 34 0.34 U300°T (04, 40) 0.4 17.65 U280°T Dari tabel di atas terlihat bahwa prosentase error untuk masing – masing data cukup bervariasi. Untuk verifikasi di Stasiun Buoy, Riau dan KK-Bintan menunjukkan nilai error yang dapat diterima untuk pemodelan, namun untuk Stasiun Kelong terjadi penyimpangan yang cukup signifikan, hal ini terjadi karena ada sedikit kesulitan saat setting model di lokasi tersebut (celah yang sangat sempit). (Selat antara P. Bintan & P. Siulung), dan barat daya (Selat Telang) menuju ke arah utara, timurlaut, dan timur. 4. Kondisi parameter fisik perairan (turbiditas: 0,2 – 3,3 NTU, dan laju sedimentasi: 0,001240089 – 0,005557888 gr/cm2/jam) belum menunjukkan adanya pencemaran karena memang belum dimulainya penambangan pasir laut. 4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan Hasil survei dan simulasi model hidrodinamika dapat disimpulkan bahwa: 1. Kondisi arus permukaan pada bulan Juni-Agustus (selama survei dilaksanakan) di perairan Bintan Timur sebelah Utara lebih dibangkitkan oleh tiupan Angin Utara dan Baratlaut. Sedangkan kondisi arus permukaan perairan Bintan Timur sebelah Selatan lebih dibangkitkan oleh pasang surut. 2. Tunggang pasang surut maksimum rata-rata pada bulan Juli - September 2003 berdasarkan hasil prediksi adalah 176,75 – 215,92 cm, dengan kondisi rata-rata tunggang pasut maksimum lebih tinggi di perairan Bintan Timur sebelah selatan daripada sebelah Utara. 3. Pola pergerakan arus permukaan yang dibangkitkan oleh pasang surut pada kondisi purnama secara umum: Pada saat air menjelang surut, arus di Selat Telang secara dominan bergerak dari arah barat menuju timur dan timur laut dan sebagian kecil berbelok ke selatan menuju Selat Sendara. Kemudian arus di selat antara P. Siulung dan P. Bintan bergerak dominan ke arah timur bergabung dengan arus dari selat Telang menuju timur laut, sebagian arus bergerak ke arah utara menyusur Selat Kijang dan sebagian kecil lain menyusur Selat Kelong. Sedangkan pada saat air menjelang pasang, arus bergerak dari arah selatan (Selat Sendara), barat Berdasarkan kesimpulan diatas, jika terjadi penambangan pasir di wilayah perairan Bintan Timur bagian utara yang dilakukan secara kontinyu akan menghasilkan: • Perubahan kondisi batimetri yang akan mempengaruhi pola arus dan gelombang di area penambangan dan sekitarnya. Secara lebih jauh lagi perubahan tersebut mempengaruhi kondisi stabilitas pantai (memicu perubahan garis pantai) sehingga akan mempengaruhi bangunan fisik (infrastruktur) di pantai. • Partikel tersuspensi hasil kekeruhan air laut (tingkat turbiditas) yang cukup tinggi akan tertranspor ke perairan Bintan Timur bagian selatan dan mengkontaminasi ekosistem pantai (terumbu karang pantai, lamun, dan vegetasi mangrove). Sedangkan pengaruh lebih jauh dari kekeruhan air adalah terhambatnya penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air sehingga populasi fitoplankton tidak bisa melakukan fotosintesis, maka produktivitas primer menurun. • Produktivitas primer yang menurun ini akan menurunkan jumlah populasi ikan di area penambangan tersebut maupun di area lain yang ikut terkontaminasi. Penyebab menurunnya jumlah populasi ikan juga disebabkan karena tingkat kecerahan air yang sangat rendah sehingga ikan enggan tinggal, dan melakukan migrasi ke perairan yang lebih jernih. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 41 5. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Tri Handanari dan Ifan R. Suhelmi (BRKP) yang telah membantu proses digitasi dan pengolahan data batimetri, Yulia Herdiani (Mahasiswi Oseanografi – ITB) yang berpartisipasi dalam persiapan laporan ini V. DAFTAR PUSTAKA 1. Black, K.P., 2001. Model 3DD Descriptions and User’s Guide. ASR Ltd. Hamilton – New Zealand. 2. BRKP., 2002. Peta Oseanografi Wilayah Perairan Indonesia. Integrasi Data Riset Kelautan dan Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 3. Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga Report Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, California. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 42 Lampiran 130000 45 120000 40 P. MAPOR 110000 35 30 P. BINTAN 100000 90000 20 P. KELONG P. SIULUNG 80000 25 P. BUTON P. POTO 15 P. GIN BESAR 10 P. TELANG BESAR 5 0.5 70000 460000 470000 480000 490000 Lampiran A. Batimetri Perairan Bintan Timur Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 43 Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan (1) (2) 44 (3) (4) Lampiran B. Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Bintan Timur saat kondisi perbani pada: (1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan (1) (2) 45 (3) (4) Lampiran C. Pola arus dan elevasi muka air keseluruhan Perairan Bintan Timur saat kondisi purnama pada: (1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan ( 1) (2) 46 ( 3) (4) Lampiran D. Pola arus dan elevasi muka air Perairan Bintan Timur bagian utara saat kondisi perbani pada: (1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan ( 1) (2) 47 ( 3) (4) Lampiran E. Pola arus dan elevasi muka air Perairan Bintan Timur bagian utara saat kondisi purnama pada: (1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan ( 1) (2) 48 ( 3) (4) Lampiran F. Pola arus dan elevasi muka air Perairan Bintan Timur bagian selatan saat kondisi perbani pada: (1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan (1) (2) 49 ( 3) (4) Lampiran G. Pola arus dan elevasi muka air Perairan Bintan Timur bagian selatan saat kondisi purnama pada: (1) Menjelang surut, (2) Surut, (3) Menjelang pasang, (4) Pasang KONDISI VEGETASI MANGROVE DI PULAU BINTAN, KABUPATEN KEPULAUAN RIAU Oleh : B. Irawan Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA UNPAD, Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor, e-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian mengenai kondisi vegetasi mangrove dilakukan di dua wilayah estuaria di Pulau Bintan, yaitu wilayah estuaria Kijang di Kecamatan Bintan Timur, meliputi Pulau Ngalih, Pulau Kelong dan Pulau Siulung dan wilayah estuaria Trikora di kecamatan Gunung Kijang, meliputi Teluk Bakau, Pulau Beralas Pasir dan Pulau Beralas Bakau. Diperoleh 50 jenis mangrove, yang terdiri dari 12 jenis mangrove sejati dan 38 jenis mangrove ikutan. Zonasi mangrove diawali oleh formasi Rhizophora mucronata yang berada pada areal yang digenangi pasang sedang. Jenis vegetasi mangrove yang mempunyai nilai penting tertinggi adalah Rhizophora mucronata Lmk. (bakau hitam) untuk mangrove sejati dan Derris trifoliata Lour. (ambung) untuk mangrove ikutan. Kata Kunci: Kondisi, Vegetasi, Mangrove, Bintan. ABSTRACT Study about mangrove condition was carried out in two estuaries in Bintan Island, which were Kijang estuary in Bintan Timur district and Trikora estuary in Gunung Kijang District. 50 species of mangrove was found and consist from 12 species of true mangrove and 38 species of false mangrove. Mangrove zonation in these areas were started with Rhizopora mucronata. Rhizopora mucronata Lmk. (true mangrove) and Derris trifoliate Lour. (false mangrove) were the mangrove species with the highest importance value. Keywords: Condition, Vegetation, Mangrove, Bintan Island 1. PENDAHULUAN Indonesia memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km (Bengen 2001a), sehingga negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir dan laut yang besar. Ekosistem pesisir dan laut mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan dan mineral, energi, kawasan rekreasi dan pariwisata. Ekosistem pesisir dan laut meliputi estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ekosistem pantai dan ekosistem pulau-pulau kecil, didalamnya terkandung komponen hayati dan non-hayati yang saling berinteraksi. Adanya perubahan dari komponen tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya (Bengen 2001b). Hutan mangrove memerankan fungsi ekologis yang penting. Hutan mangrove bertindak sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air. Disamping itu, mangrove juga berperan sebagai daerah asuhan dan tempat mencari makanan dan daerah pemijahan bermacam biota perairan, dan penyubur perairan karena menghasilkan detritus dari seresah daun yang diuraikan oleh bakteri menjadi zat hara (Bengen 2001a; Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999). Fungsi lain hutan mangrove adalah sebagai kayu bakar, bahan bangunan, keperluan rumah tangga/perkakas, 50 bahan kertas, bahan tekstil, alat perikanan, pupuk pertanian dan obat-obatan (Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999). Kawasan mangrove di Pulau Bintan merupakan kawasan yang belum dilindungi. Pulau Bintan telah berkembang menjadi salah satu pusat kegiatan di Kepulauan Riau. Hal ini terlihat dengan aktifitas pembangunan di berbagai sektor yang sedang berlangsung di pulau ini. Aktifitas ini tidak dapat lepas dari adanya pemanfaatan sumberdaya alam yang ada dan akan berdampak pada adanya keseimbangan baru. Penelitian kondisi hutan mangrove di Pulau Bintan dan sekitarnya dilakukan sebagai upaya untuk mengetahui keanekaragaman jenis, zonasi, dan hubungannya dengan ekosistem pesisir lain. Hal ini diperlukan sebagai salah satu masukan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan 1.1 Lokasi Penelitian Pengamatan komposisi jenis, zonasi dan struktur komunitas mangrove di Pulau Bintan dilakukan pada bulan September 2003 di dua daerah yaitu Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Gunung Kijang. Pada masing-masing daerah, penelitian dilakukan di tiga stasiun penelitian. Stasiun penelitian di Kecamatan Bintan Timur adalah Pulau Kelong, Pulau Siulung, dan Pulau Ngalih, sedangkan stasiun penelitian di Kecamatan Gunung Kijang adalah Teluk Bakau, Pulau Beralas Bakau, dan Pulau Beralas Pasir (Gambar 1 dan Gambar 2). Bintan Koyang . 3 Kelong Bulat Ajab . Gabi 2 . Riau Ngalih 1 Siulung Rusa Gambar 1. Sketsa Lokasi Pengambilan data Di Kecamatan Bintan Timur (1= Pulau Siulung, 2= Pulau Ngalih, 3 = Pulau Kelong) Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 51 Berlangkap Bintan . . . 4 Beralas Bakau 6 Nikoi 5 Beralas Pasir Gambar 2. Sketsa Lokasi Pengambilan data di Kecamatan Gunung Kijang (4= Teluk Bakau, 5= Pulau Beralas Pasir, 6= Pulau Beralas Bakau) 2. ISI / BAHASAN 2.1 Metode Penelitian Untuk mengetahui keanekaragaman jenis vegetasi mangrove dilakukan dengan metode Eksplorasi (Vogel 1987). Koleksi tumbuhan dilakukan dengan cara membuat spesimen herbarium (Vogel 1987; Bridson & Forman 1992). Bahan yang diperlukan adalah alcohol 70% spirtus, kertas koran, kantung plastik besar (ukuran 40X60 cm), kantung urea, label gantung, golok, gunting dahan dan buku lapangan. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA UNPAD dengan menggunakan buku identifikasi mangrove (Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999) dan buku identifikasi tumbuhan berbiji (Hsuan Keng 1978; Balgooy 1998). Untuk mengetahui zonasi vegetasi dilakukan dengan membuat garis transek tegak lurus garis pantai (Bengen 2001b; Keneally 1982), sedangkan analisis vegetasi dilakukan dengan membuat petak-petak kuadrat sebanyak 5 petak contoh berukuran 10X10 m Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan yang diletakkan secara acak di sepanjang garis transek (Bengen 2001b), kemudian dihitung kerapatan jenis (Di) kerapatan relatif Jenis (RDi), Frekuensi jenis (Fi), Frekuensi jenis relatif (RFi), Penutupan jenis (Ci), Penutupan relatif jenis (RCi) dan Nilai penting jenis (IVi). 2.2 Hasil dan Pembahasan 2.2.1 Keanekaragaman Jenis Jenis-jenis vegetasi mangrove yang telah diidentifikasi berjumlah 50 jenis yang termasuk ke dalam 27 famili, terdiri dari 12 jenis mangrove sejati dan 38 jenis mangrove ikutan. Jenis-jenis tersebut berupa pohon, perdu, terna, tumbuhan pemanjat dan paku-pakuan (Lampiran Tabel 1). Jenis Scyphiphora hydrophyllacea yang ditemukan di P.Siulung termasuk jenis vegetasi mangrove yang umum setempat tetapi langka secara global (Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999), sehingga berstatus rentan dan memerlukan perhatian khusus. 52 2.2.2 Penyebaran Jenis Jenis vegetasi yang terdapat di seluruh lokasi penelitian adalah Cocos nucifera, Hibiscus tiliaceus, Derris trifoliata, Pandanus tectorius, Rhizhopora mucronata, Rhodomyrthus tomentosa, Scaevola taccada dan Terminalia cattapa. Lokasi yang memiliki keanekaragaman tertinggi adalah P. Ngalih (29 jenis), diikuti oleh P.Kelong (23 jenis), Teluk Bakau (20 Jenis), P. Siulung dan P.Beralas Bakau (14 jenis) serta P. Beralas Pasir (12 jenis) (Lampiran Tabel 2) 2.2.3 Zonasi Vegetasi mangrove umumnya tumbuh pada zona mangrove tengah. Menurut Noor, Khazali dan Suryadiputra (1999) pada zona mangrove tengah biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Pada lokasi pengamatan terlihat bahwa jenis vegetasi mangrove yang paling dominan adalah Rhizophora mucronata yang ditemukan pada semua lokasi pengamatan. Pada lokasi estuaria Kijang (P.Ngalih, P.Siulung dan P.kelong) serta lokasi estuaria Trikora (Teluk bakau, P. Beralas Pasir dan P. Beralas Bakau) tidak langsung berhadapan dengan laut terbuka. Lokasi tersebut membentuk gugusan pulau-pulau kecil yang berbeda dengan daerah yang langsung berhadapan dengan laut terbuka, dimana pada daerah ini jenis vegetasi mangrove yang mendominasi adalah Sonneratia alba. Jenis S.alba hanya ditemukan di Teluk Bakau dengan jumlah yang sedikit. Kedalaman formasi mangrove di lokasi pengamatan mencapai 20-100 m dari garis pantai (Gambar 1, Lampiran). Pulau Beralas Bakau dan Pulau Beralas Pasir mempunyai zonasi terpanjang yaitu 100 m, kemudian Pulau Siulung dengan panjang zonasi 80 m, Pulau Ngalih 50 m dan Pulau Kelong 20 m. Formasi hutan mangrove umumnya diawali dengan jenis Avicennia yang berasosiasi dengan Sonneratia (daerah yang selalu tergenang, walaupun pada saat pasang rendah), kemudian Rhizophora (daerah yang digenangi pada saat pasang sedang), Bruguiera dan Xylocarpus (daerah yang digenangi pada saat pasang tinggi), Bruguiera sexangula dan Lumnitzera (daerah yang digenangi hanya beberapa hari dalam sebulan pada saat pasang tertinggi) dan Nypa friticans (daerah transisi antara hutan mangrove dan hutan panatai Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan dataran rendah) [Bengen 2001b; Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999]. Pada daerah penelitian formasi mangrove selalu diawali oleh Rhizophora mucronata, hal ini menunjukkan bahwa areal pada lokasi penelitian digenangi oleh pasang sedang. Sedangkan secara morfologi bentuk perakaran dari Rhizophora adalah berakar tongkat yang berfungsi menahan gelombang. 2.2.4 Ekologi Secara fisiognomi jenis mangrove yang dominan di lokasi pengamatan adalah Rhizophora mucronata untuk mangrove sejati serta Rhodomyrthus tomentosa, Scaevola taccada dan Derris trifoliata untuk mangrove ikutan. Pada lokasi Pulau Siulung jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi adalah Scyphiphora hydrophyllacea (0,82) untuk mangrove sejati dan Rhodomyrthus tomentosa (0,92) untuk mangrove ikutan. Jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi di lokasi Pulau Kelong adalah Avicennia marina (0,48) untuk mangrove sejati dan Derris trifoliata(1,12 ) untuk mangrove ikutan. Jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi di lokasi Pulau Ngalih adalah Rhizophora mucronata (1,51) untuk mangrove sejati dan Cocos nucifera (0,62) untuk mangrove ikutan. Jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi di Lokasi Pulau Beralas Bakau adalah Rhizophora mucronata (2,6) untuk mangrove sejati dan Barringtonia asiatica dan Pandanus tectorius (0,26) untuk mangrove ikutan. Jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi di lokasi Pulau Beralas Pasir adalah Rhizophora mucronata (2,09) untuk mangrove sejati dan scaevola taccada (0,45) untuk mangrove ikutan. 3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kondisi vegetasi mangrove di Pulau Bintan mempunyai keanekaragaman jenis yang cukup tinggi yaitu sebayak 50 jenis yang termasuk ke dalam 27 famili, meliputi 12 jenis mangrove sejati dan 38 jenis mangrove ikutan. Formasi vegetasi mangrove diawali oleh jenis Rhizophora mucronata yang beradaptasi dengan areal yang digenangi oleh pasang sedang dan berada pada zona mangrove tengah, yang tidak langsung berhadapan dengan laut terbuka. Jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi adalah Rhizophora mucronata untuk 53 mangrove sejati dan Derris trifoliate untuk mangrove ikutan. Adanya perubahan lingkungan ekosistem terutama pada wilayah estuaria Kijang menunjukkan bahwa faktor lingkungan mempengaruhi kondisi vegetasi hutan mangrove, hal ini ditunjukkan dengan perbedaan kedalaman zonasi vegetasi mangrove antara wialayah estuaria kijang (20 – 80 m) dan wilayah estuaria Trikora (100 m). Keanekaragaman jenis mangrove mempengaruhi komunitas di dalamnya, mengingat mangrove merupakan komponen penting dalam ekosistem estuaria. Perubahan lingkungan ekosistem di sekitar estuaria secara tidak langsung akan mempengaruhi seluruh system komunitas yang ada di dalamnya. 3. 4. 5. 6. 7. 4. DAFTAR PUSTAKA 1. Balgooy M. M. J. van, 1998: Malesian Seed Plants, vol. 2, Portraits of Tree Families, Rijksherbarium, Leiden. 2. Bengen D. G., 2001a: Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 8. Laut. Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor. Bengen D. G., 2001b: Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor. Bridson and Forman, 199:. Handbook of Herbarium, Royal Botanic garden, Kew. Kenneally K.F., 1982: Mangrove of Western Australia. In Clough BF, Mangrove Ecosystem in Australia Structur, Function and Management, Australian Institute of Marine Science, Canberra. Noor Y. R., M. Khazali, dan I. N.N., 1999: Panduan Pengenalan mangrove di Indonesia, Wetland International Indonesia Programme, Bogor. Hsuan Keng, 1978: Orders and Families of Malayan Seed Plants, Singapore University Press. Vogel de E.F, 1987: Manual of Herbarium Theory and Practice, Unesco, Jakarta. 54 LAMPIRAN No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 Tabel 1. Jenis-jenis vegetasi mangrove di Pulau Bintan Nama Jenis Famili Acrostichum aureum Linn. Pteridaceae Aralia sp Araliaceae Avicennia lanata Ridl. Avicenniaceae Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Avicenniaceae Baringtonia asiatica Combretaceae Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Rhizophoraceae Callophyllum inophyllum L. Guttifferae Carex bacans Nees Cyperaceae Casuarina equisetifolia Casuarinaceae Cerbera manghas L. Apocynaceae Ceriops sp Rhizophoraceae Cyperus sp Cyperaceae Cocos nucifera L. Arecaceae/Palmae Cordia subcordata Lam Boraginaceae Crinum asiaticum L. Amaryllidaceae Crotalaria striata L. Papilionaceae Derris trifoliata Lour. Papilionaceae Excoecaria agallocha L. Euphorbiaceae Hibiscus tiliaceous L. Malvaceae Indigofera sp Papilionaceae Ipomoea pes-casprae L. convolvulaceae Ipomoea sp convolvulaceae Ixora sp Rubiaceae Jatropha curcas L. Euphorbiaceae Lantana camara L. Verbenaceae Lasianthus sp Rubiaceae Livistona sp Arecaceae/Palmae Lumnitzera racemosa Wild. Combretaceae Manihot glaziovii M.A Euphorbiaceae Manilkara kauki (L.) Dubard Sapotaceae Melastoma candidum D.Don Melastomataceae Morinda citrifolia L. Rubiaceae Osbornia octodonta F.v.M. ? Myrtaceae Pandanus tectorius Parkison ex Z. Pandanaceae Pongamia pinnsta (L.) Pierre Papilionaceae Pedilanthus sp Euphorbiaceae Pithecellobium sp Mimosaceae Phyllanthus reticulatus Poir. Euphorbiaceae Rhizophora mucronata Lmk Rhizophoraceae Rhodomyrthus tomentosa Myrtaceae Scaevola taccada (Gaerth.) Roxb. Goodeniaceae Scyphiphora hydrophyllacea Gaerth. Rubiaceae Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Nama Lokal Paku laut Ket. MS MI MS MS MI MS MI MI MI MI MS MI MI MI MI MI MI MS MI MI MI MI MI MI MI MI MI MS MS MI MI MI MS MI MI MI MI MI MS MI MI MS Api-api Api-api putih Kalpataru Tanjang Camplung Cemara laut Bintan Kelapa Bakung laut Ambung Buta-buta Waru laut Batata pantai Jarak laut Saliara Duduk laki-laki Singkong karet Sawo kecik senduduk Mengkudu Baru-baru Pandan laut Kacang kayu laut Penawar lipan kranji Tampal besi Bakau hitam Karamunting Bakung-bakung Duduk perempuan 55 43 Sonneratia alba JE Smith 44 Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl. 45 Syzygium sp 46 Taxus sumatrana (miq.) de Laub. 47 Terminalia cattapa L. 48 Thespesia populnea (L.) Soland. Ex Correa 49 Wedelia biflora (L.) DC. 50 Zizipus sp Ket: MS= Mangrove sejati, MI = Mangrove ikutan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Sonneratiaceae Verbenaceae Myrtaceae Taxaceae Combretaceae Malvaceae Asteraceae Tabel 2. Penyebaran jenis mangrove di Pulau Bintan P. Siulung P. P. Ngalih Nama Jenis Kelong Acrostichum aureum Linn. ● Aralia sp ● Avicennia lanata Ridl. ● Avicennia marina (Forsk.) Vierh. ● ● Baringtonia asiatica (L.) Kurz. ● ● Bruguiera gymnorrhiza (L.) ● Lamk. Callophyllum inophyllum L. ● ● Carex bacans Nees ● Casuarina equisetifolia Cerbera manghas L. ● Ceriops sp ● Cyperus sp ● Cocos nucifera L. ● ● ● Cordia subcordata Lam ● Crinum asiaticum L. Crotalaria striata L. Derris trifoliata Lour. ● ● ● Excoecaria agallocha L. ● Hibiscus tiliaceous L. ● ● ● Indigofera sp ● Ipomoea pes-casprae L. Ipomoea sp Ixora sp ● ● Jatropha curcas L. ● Lantana camara L. ● ● Lasianthus sp ● Livistona sp ● Lumnitzera racemosa Wild. ● Manihot glaziovii M.A Manilkara kauki (L.) Dubard ● Melastoma candidum D.Don ● ● ● Morinda citrifolia L. ● ● Osbornia octodonta F.v.M. ● Pandanus tectorius Parkison ex ● ● ● Z. Pongamia pinnsta (L.) Pierre ● ● Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Pedada Pecut Kuda Pokok jambu MS MI MI MI MI MI MI MI Ketapang Waru lot Pokok serunai P. Ber. Bakau P. Ber. Pasir ● ● ● Tl. Bakau ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● 56 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 Pedilanthus sp Pithecellobium sp Phyllanthus reticulatus Poir. Rhizophora mucronata Lmk Rhodomyrthus tomentosa Wight Scaevola taccada (Gaerth.) Roxb. Scyphiphora hydrophyllacea Gaerth. Sonneratia alba JE Smith Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl. Syzygium sp Taxus sumatrana (miq.) de Laub. Terminalia cattapa L. Thespesia populnea (L.) Soland. Ex Correa Wedelia biflora (L.) DC. Zizipus sp Jumlah ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● 14 ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● 23 29 14 12 ● 20 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tabel 3. Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan Nilai Penting di lokasi P. Siulung Nama jenis Di RDi Fi Rfi Ci RCi Rhizopora mucronata 4 0,12 1 0,2 254,47 0,12 Scyphiphora hydrophyllacea 5 0,15 3 0,6 141,37 0,07 Pandanus tectorius 3 0,09 2 0,4 336,53 0,16 Cocos nucifera 2 0,06 1 0,2 981,75 0,47 Scaevola taccada 2 0,06 2 0,4 78,54 0,04 Rhodomyrthus tomentosa 8 0,24 3 0,6 157,08 0,08 Osbornia octodanta 2 0,06 1 0,2 100,53 0,05 Melastoma candidum 1 0,03 1 0,2 7,07 0,003 Hibiscus tiliaceous 2 0,06 1 0,2 39,27 0,02 IV 0,44 0,82 0,65 0,73 0,5 0,92 0,31 0,23 0,28 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Tabel 4. Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan Nilai Penting di lokasi P. Kelong Nama jenis Di RDi Fi RFi Ci RCi Cordia subcordata 2 0,03 1 0,2 157,08 0,02 Scaevola taccada 6 0,10 3 0,6 117,81 0,016 Cocos nucifera 4 0,06 3 0,6 1963,44 0,27 Hibiscus tiliaceus 5 0,08 3 0,6 392,7 0,05 Pandanus tectorius 12 0.19 3 0,6 2120,58 0,29 Derris trifoliata 13 0,21 4 0,8 827,03 0,11 Thespesia populnea 2 0.03 2 0,4 157,08 0,02 Avicennia marina 2 0.03 2 0,4 353,43 0,048 Excoecaria agallocha 1 0,01 1 0,2 962,12 0,13 Rhizophora mucronata 3 0,05 1 0,2 235,62 0,03 Bruguiera gymnorrhiza 1 0,01 1 0,2 78,54 0,01 IV 0,25 0,716 0,93 0,73 1,08 1,12 0,45 0,48 0,34 0,28 0,22 Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 57 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Tabel 5. Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan Nilai Penting di lokasi P. Ngalih Nama jenis Di RDi Fi RFi Ci RCi Rhizophora mucronata 19 0,46 4 0,8 1492,26 0,25 Avicennia marina 4 0,1 3 0,6 314,16 0,053 Pandanus tectorius 3 0,07 2 0,4 235,62 0,04 Derris trifoliate 3 0,07 2 0,4 150,77 0,026 Cocos nucifera 2 0,05 2 0,4 981,75 0,17 Scaevola taccada 1 0,02 1 0,2 28,27 0,005 Ceriops 2 0,05 1 0,2 1413,73 0,24 Hibiscus tiliaceus 2 0,05 1 0,2 353,43 0,06 Terminalia cattapa 1 0,02 1 0,2 176,72 0,03 Melastoma candidum 2 0,05 1 0,2 19,64 0,003 Rhodomyrthus tomentosa 1 0,01 1 0,2 19,64 0,003 Cerbera manghas 1 0,01 1 0,2 706,86 0,12 No 1 2 3 4 5 6 7 Tabel 6 Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan Nilai Penting di lokasi P. Beralas Bakau Nama jenis Di RDi Fi RFi Ci RCi IV Rhizophora mucronata 39 0,81 5 1,00 6891,89 0,79 2,6 Ceriops 2 0,04 2 0,4 981,75 0,11 0,55 Sonneratia alba 1 0,02 1 0,2 78,54 0,01 0,23 Derris trifoliate 2 0,04 1 0,2 39,27 0,005 0,24 Scaevola taccada 2 0,04 1 0,2 100,53 0,012 0,25 Barringtonia asiatica 1 0,02 1 0,2 314,16 0,04 0,26 Pandanus tctorius 1 0,02 1 0,2 314,16 0,04 0,26 No 1 2 3 4 5 6 Tabel 7 Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan Nilai Penting di lokasi P. Beralas Pasir Nama jenis Di RDi Fi RFi Ci RCi Casuarina equisetifolia 5 0,12 1 0,2 883,58 0,13 Scaevola taccada 8 0,19 3 0,6 402,12 0,06 Rhizhopora mucronata 26 0,62 4 0,8 4594,59 0,67 Barringtonia asiatica 1 0,02 1 0,2 176,72 0,03 Terminalia cattapa 1 0,02 1 0,2 490,875 0,07 Sonneratia alba 1 0,02 1 0,2 314,16 0,05 IV 1,51 0,75 0,51 0,49 0,62 0,23 0,49 0,31 0,25 0,25 0,21 0,33 IV 0,45 0,85 2,09 0,25 0,29 0,27 Ket : Di=Kerapat jenis, RDi=Kerapatan Relatif Jenis, Fi= Frekuensi Jenis, FDi=Frekuensi Relatif Jenis, Ci=Penutupan jenis, RCi=Penutupan Relatif Jenis, IV= Nilai Penting Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 58 PADANG LAMUN DI PERAIRAN PULAU BINTAN, KABUPATEN KEPULAUAN RIAU Oleh: I.M. Nasution Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati - Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jl. MT. Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770, Indonesia , e-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian mengenai kondisi padang lamun di perairan Pulau Bintan, di enam stasiun penelitian yaitu Pulau Kelong, Pulau Siulung, Pulau Ngalih, Teluk Bakau, Pulau Beralas Bakau, dan Tanjung Keling. Terdapat delapan jenis lamun di perairan Pulau Bintan yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, C. Rotundata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprinchii, dan Thalassodendron ciliatum. Pulau Ngalih merupakan stasiun dengan padang lamun monospesifik E. acoroides, sedangkan stasiun lainnya mempunyai padang lamun campuran antara 2 hingga 6 spesies. Penutupan lamun tertinggi di Teluk Bakau dan yang terendah di Pulau Siulung. Kerapatan tertinggi di Teluk Bakau dan yang terendah di Tanjung keling. Biomassa tertinggi terdapat di Teluk Bakau dan yang terendah terdapat Pulau Ngalih. Kata Kunci: Pulau Bintan, Lamun, Penutupan, Kerapatan, Biomassa ABSTRACT Study about seagrass beds condition in Bintan Islands was done in six locations which were Kelong Island, Siulung Island, Ngalih Island, Teluk Bakau bay, Beralas Bakau Island, and Tanjung Keling Bay. Eight species of seagrass were collected during the reseach, which were Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, C. Rotundata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprinchii, and Thalassodendron ciliatum. Ngalih Island was the only area with monospecific seagrass bed. Teluk Bakau Bay has the highest seeagrass coverage and the lowest coverage was in Siulung Island. Teluk Bakau Bay has the highest seagrass density and the lowest density was in Tanjung Keling Bay. Teluk Bakau bay has the highest biomass of seagrass and the lowest biomass in Ngalih Island. Keyword: Bintan Island, Seagrass, Coverage, Density, Biomass 1. PENDAHULUAN Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh di laut dangkal, dan dapat membentuk kelompok-kelompok kecil dari beberapa tegakan tunas hingga berupa hamparan padang lamun yang luas. Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun atau vegetasi campuran yang disusun mulai dari dua sampai dengan 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama (Kirkman, 1985). Lamun ditemukan tumbuh di daerah pasang surut sampai dengan daerah berkedalaman 40 meter. Pada daerah transisi, lamun dan terumbu karang dijumpai tumbuh bersama (Nienhuis et al., 1989). Di perairan Indonesia terdapat 13 jenis lamun (Kiswara, 1994), sementara di dunia dijumpai 58 jenis (Hartog, 1970). Indonesia Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan dengan garis pantainya yang terpanjang kedua di dunia diperkirakan mempunyai padang lamun terluas diantara negara-negara tropis. Informasi tentang padang lamun di Indonesia Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Philipina dan Australia. Sementara itu tekanan penduduk terhadap padang lamun di Indonesia mulai terlihat pengaruhnya seperti eksploitasi sumberdaya di padang lamun yang berlebihan (Hutomo, 1995), hilangnya areal padang lamun akibat kegiatan reklamasi pantai, dan eksploitasi sumberdaya yang merusak padang lamun (Kiswara, 1994). Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data awal mengenai padang lamun di Pulau Bintan. Data tersebut diharapkan dapat menjadi informasi dasar mengenai padang lamun pulau Bintan dan 59 dapat bermanfaat dalam pemantauan dampak penambangan pasir laut terhadap ekosistem pesisir di Kepulauan Riau, sehingga dampak yang merugikan bagi ekosistem pesisir dan masyarakat sekitarnya dapat diminimalisasi. 1.1 Lokasi Penelitian Pengamatan tipe substrat, komposisi jenis, serta struktur komunitas padang lamun di Pulau Bintan dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2003 di dua daerah yaitu Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Gunung Kijang. Pada masingmasing daerah, penelitian dilakukan di tiga stasiun penelitian. Stasiun penelitian di Kecamatan Bintan Timur adalah Pulau Kelong (0o48,960’ LU; 104o37,713’BT), Pulau Siulung (0o47,188’BT; 104o37,10’BT), dan Pulau Ngalih(0o47,864’LU; 104o37,170’BT)., sedangkan stasiun penelitian di Kecamatan Gunung Kijang adalah Teluk Bakau (01o03’04,7’’ LU; 104o39’02,6’’BT), Pulau Beralas Bakau (01o03,948’ LU; 104o40,266’ BT), dan Tanjung Keling (01o05,912’LU; 104o37,982’BT) (Gambar 1 dan Gambar 2) Bintan . Koyang 1 Kelong Bulat Ajab . . Gabi 3 Riau Ngalih 2 Siulung Rusa Gambar 1. Sketsa Lokasi Pengambilan data Di Kecamatan Bintan Timur (1= Pulau Kelong, 2= Pulau Siulung, 3 = Pulau Ngalih) Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 60 . Berlangkap 6 Bintan . . 5 Beralas Bakau Nikoi 4 Beralas Pasir Gambar 2. Sketsa Lokasi Pengambilan data di Kecamatan Gunung Kijang (4= Teluk Bakau, 5= Pulau Beralas Bakau, 6= Tanjung Keling) 2. ISI / BAHASAN 2.1 Metode Penelitian 2.1.1 Substrat Substrat dasar diambil dengan menggunakan alat berupa pipa paralon dengan luas mulut 0.1 m2 yang dimasukkan kedalam substrat sedalam 30 cm. Sampel substrat diamati butirannya dengan cara disaring. Saringan yang digunakan berukuran 8, 4, 2, 1, 0.5, 0.25, 0.125, 0.063 mm, dan residu (< 0.0625 mm). Hasil penyaringan kemudian ditimbang dan datanya digunakan untuk menentukan besar butir. Butir substrat dianggap sebagai lumpur jika berdiameter <0.063 mm, pasir jika diameternya antara 0.063 – 2 mm, dan kerikil jika berdiameter >2 mm. Hasil pengelompokan kemudian dimasukkan kedalam segitiga Shepard (1954) yang dimodifikasi utnuk pemberian nama substrat. Jumlah contoh substrat dasar yang diambil pada setiap stasiun penelitian berjumlah lima contoh. 2.1.2 Struktur Komunitas Padang Lamun Pengumpulan data kerapatan dan penutupan lamun dilakukan dengan menggunakan kuadrat besi berukuran 50 x 50 cm (untuk lamun species Enhalus acoroides) dan 20 x 20 cm (untuk lamun species lain) (Kiswara et al., 1992). Kuadrat besi ini dilempar secara acak masing-masing 10 kali di tiap stasiun penelitian. Lamun yang berada didalam Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan kuadrat itu dihitung jumlah tunasnya untuk mengukur kerapatan dan ditaksir penutupannya. Untuk pengukuran biomassa lamun, 10 tunas lamun species Enhalus acoroides diambil secara utuh di setiap stasiun penelitian. Untuk jenis lamun lain, data biomass didapatkan dengan mengambil semua tunas yang terdapat pada frame 20 x 20 cm. Tiap sampel tunas diukur panjang dan lebar tiap daun, kemudian tiap tunas dipisahkan berdasarkan bagian helai daun, seludang, rhizoma, dan akar. Tiap bagian tersebut ditimbang berat basah dan berat keringnya. Berat kering dari tiap bagian lamun didapat dengan pengeringan menggunakan oven dengan temperatur 60°C selama 24 jam. 2.3 Hasil dan Pembahasan 2.3.1 Substrat Berdasarkan hasil pengukuran butiran pasir contoh dari setiap stasiun penelitian maka dapat dilihat bahwa setiap stasiun penelitian mempunyai substrat yang berbeda (Lampiran, Tabel 1). Pada stasiun penelitian di Kecamatan Bintan Timur, Pulau Kelong mempunyai substrat dasar lumpur, Pulau Ngalih mempunyai substrat pasir berlumpur, Pulau Siulung mempunyai substrat berpasir. Pada stasiun penelitian di Kecamatan Gunung Kijang, pantai Teluk Bakau mempunyai substrat dasar lumpur berpasir, Pulau Beralas 61 Bakau mempunyai substrat berpasir, dan pantai Tanjung Keling mempunyai substrat berpasir. Secara umum dapat dilihat bahwa substrat dasar di perairan Kecamatan Bintan Timur didominasi oleh substrat yang bervariasi dan didominasi oleh substrat lumpur, sedangkan di Kecamatan Gunung kijang substrat dasarnya didominasi oleh pasir. Perbedaan komposisi substrat diduga merupakan salah satu penyebab perbedaan komposisi jenis lamun yang tumbuh di kedua lokasi, dan juga mempengaruhi perbedaan kesuburan dan pertumbuhan lamun pada jenis lamun yang sama. Hal ini didasari asumsi bahwa perbedaan komposisi ukuran butiran akan menyebabkan perbedaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun dan proses dekomposisi serta mineralisasi yang terjadi pada substrat (Kiswara & Winardi, 1999). Pada substrat karbonat yang substratnya didominasi oleh butiran pasir, kandungan hara, proses dekomposisi, dan mineralisasinya lebih tinggi daripada yang terdapat pada substrat terigen (Erftemeijer, 1993). 2.3.2 Jenis lamun Didapat delapan jenis lamun di Perairan Pulau Bintan. Tujuh spesies lamun terdapat pada saat pengambilan data struktur komunitas lamun, satu spesies yaitu Thalassodendron ciliatum dikoleksi diluar stasiun penelitian lamun, yaitu pada saat pengambilan data terumbu karang (Tabel 1) Tabel 1.Komposisi jenis sebaran lamun di perairan Pulau Bintan Kerapatan ( tunas/1m2) No. Species 1 2 3 4 5 6 1 Halophyla ovalis + + + 2 Thalassia hemprinchii + + + + + 3 Cymodocea rotundata + + + 4 Cymodocea serrulata + + 5 Halodule uninervis + + 6 Syringodium isoetifolium + 7 Enhalus acoroides + + + + + + 8 Thalassodendron ciliatum + Jumlah 3 2 1 6 4 7 Keterangan: 1= P. Kelong, 2= P. Siulung, 3= P. Ngalih, 4= Tlk. Bakau, 5= P. Ber. Bakau, 6= Tj. Keling Hasil pengamatan sebaran jenis-jenis lamun di peraian Pulau Bintan merupakan daerah dengan sebaran jenis yang cukup tinggi dibandingkan dengan sebaran lamun di daerahdaerah lain di Indonesia seperti Kepulauan Seribu – Teluk Jakarta, dan Teluk Banten (delapan jenis)(Kiswara, 1992a, 1992b); Laut Flores (sembilan jenis) (Nienhuis et al., 1989);. Bila dibandingkan dengan penelitian Kiswara et al. (1997) di perairan Kepulauan Riau, yang berhasil mendapatkan sembilan jenis lamun di perairan tersebut, maka jumlah jenis lamun di Pulau Bintan sedikit lebih rendah. Berdasarkan jumlah jenis lamun yang dijumpai di perairan Indonesia sebanyak 12 Jenis (Hartog, 1970), maka perairan Pulau Bintan mempunyai jumlah jenis lamun yang Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan cukup tinggi yakni delapan jenis dari seluruh jenis lamun yang terdapat di perairan Indonesia. 2.3.3 Kerapatan dan Penutupan Lamun Kerapatan tertinggi jenis adalah Enhalus acoroides (41.6 tunas/m2) di panti Teluk Bakau dan kerapatan rata-rata terendah adalah Halophyla ovalis (3.25 tunas / m2) di Pulau Kelong (Tabel 2). Kerapatan lamun per satuan luas tergantung terhadap jenisnya (Nienhuis et al., 1989), karena morfologi yang berbeda dari tiap jenis lamun. Jenis lamun yang mempunyai morfologi daun berbentuk pita yang besar (Enhalus acoroides), daun berbentuk pita yang sedang (Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule uninervis), daun normal (Halophyla 62 ovalis) dan berbentuk jarum (Syringodium isoetifolium). Tabel 2. Kerapatan rata-rata tiap jenis lamun pada setiap stasiun penelitian Kerapatan ( tunas/1m2) No. Species 1 2 3 4 5 1 Halophyla ovalis 3.25 6 2 Thalassia hemprinchii 21.75 15.25 14 21.75 3 Cymodocea rotundata 16 15.75 4 Cymodocea serrulata 12.5 5 Halodule uninervis 12.75 6 Syringodium isoetifolium 12 7 Enhalus acoroides 33.2 10.4 27.2 41.6 34.4 Keterangan: 1= P. Kelong, 2= P. Siulung, 3= P. Ngalih, 4= Tlk. Bakau, 5= P. Ber. Bakau, Keling Kerapatan jenis lamun dengan daun pita yang besar (E. acoroides) yang bervariasi antara 10.4 tunas – 41.6 tunas /m2 lebih rendah dibandingkan dengan kerapatan E. Acoroides di daerah Lombok Selatan yang berkisar antara 60 – 430 tunas/m2 (Kiswara dan Winardi, 1999). Kerapatan jenis lamun berdaun pita sedang (H. uninervis) juga lebih kecil bila dibandingkan dengan kerapatan H. uninervis di daerah Lombok Selatan (310 – 7120 tunas/m2) (Kiswara dan Winardi, 1999), dan di Laut Flores 6 15.25 9.25 32 11.75 5 24 6= Tj. (7887 – 21355 tunas/m2) (Nienhuis et al., 1989). Hanya data penutupan lamun dari jenis Enhalus acoroides saja yang diambil untuk melihat penutupan lamun di lokasi penelitian, dengan asumsi jenis tersebut merupakan lamun yang tingginya dapat melebihi satu meter dan penutupannya akan menutupi semua jenis lamun lain (Tabel 3). Tabel 3. Persentase penutupan E. acoroides di setiap stasiun penelitian Persentase Penutupan / 1m2 No. Species 1 2 3 4 5 6 1 Enhalus acoroides 34% 5% 24.50% 36.25% 26% 28% Keterangan: 1= P. Kelong, 2= P. Siulung, 3= P. Ngalih, 4= Tlk. Bakau, 5= P. Ber. Bakau, 6= Tj. Keling Penutupan E. acoroides yang tertinggi terdapat di pantai Teluk Bakau, dimana di stasiun tersebut kerapatan lamun jenis ini juga paling tinggi (41.6 tunas/m2). Kerapatan dan penutupan lamun pada suatu daerah dipengaruhi oleh kondisi abiotisnya seperti kecerahan air, sirkulasi, kedalaman air, substrat, dan kandungan zat hara (Zieman, 1987). Substrat dasar di pantai Teluk Bakau yang merupakan lumpur berpasir diperkirakan mempunyai kandungan zat hara yang tinggi dan mendukung pertumbuhan lamun di daerah ini. Letak pantai Teluk Bakau yang langsung menghadap ke Laut Cina Selatan juga mempunyai peran dalam tingginya nilai kerapatan dan penutupan lamun terutamajenis E. acoroides karena daerah ini Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan mempunyai sirkulasi air yang relatif terbuka bila dibandingkan dengan stasiun penelitian lain, terutama stasiun-stasiun di Kecamatan Bintan Timur. 2.3.4 Biomassa lamun Biomassa total lamun yang tertinggi terdapat di perairan Teluk Bakau (863.34 gram berat basah), sementara sementara yang terendah terdapat di Pulau Ngalih (591.99 gram berat basah). Secara umum biomassa lamun yang lebih tinggi terdapat di perairan Kecamatan Gunung Kijang dibandingkan di Kecamatan Bintan Timur (Lampiran, Tabel 2). Tingginya biomassa total lamun di perairan Kecamatan Gunung kijang disebabkan oleh sifat padang lamun di perairan tersebut yang 63 heterogen dan mempunyai jenis lamun yang lebih banyak dibandingkan dengan padang lamun di Kecamatan Bintan Timur. Kondisi kecerahan perairan dan lokasi perairan di Kecamatan Gunung Kijang yang terbuka menghadap langsung ke Laut Cina Selatan juga mempengaruhi tingginya biomassa lamun di daerah Teluk Bakau Biomassa lamun bervariasi sangat besar tergantung dari jenis dan kondisi habitatnya, terutama kecerahan air, sirkulasi, kedalaman air, substrat, dan kandungan hara (Zieman, 1987). Jenis lamun yang sama mempunyai biomassa lebih tinggi bila tumbuh diperairan yang jernih dengan sirkulasi air yang besar, substrat yang lebih dalam, dan kandungan hara yang lebih tinggi (Kiswara & Winardi, 1999). Berdasarkan observasi lapangan, terdapat beberapa biota lamun yang bernilai ekonomis tinggi seperti ikan baronang (Siganus canaliculatus), keong gonggong (Strombus spp.), udang windu (Penaeus monodon) dan kepiting rajungan (Portunus pelagicus). Terganggunya padang lamun di daerah ini akan menyebabkan terganggu pula kegiatan perikanan masyarakat nelayan di sekitarnya. 3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Setidaknya terdapat delapan jenis lamun di perairan Pulau Bintan yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprinchii, Halodule uninervis, Halophila ovalis, dan Thalassodendron siliatum. Terdapat perbedaan kondisi padang lamun pada Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Timur. Pada Kecamatan Gunung Kijang substrat dasar yang mendominasi adalah pasir, padang lamunnya bevegetasi campuran lebih dari tiga jenis, dan mempunyai kerapatan, penutupan, dan biomassa lamun yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan padang lamun di Kecamatan Bintan Timur. Penambangan pasir laut yang direncanakan akan dilakukan di perairan Pulau Bintan khususnya bagian Utara dan Timur sebaiknya direncanakan dengan baik dan juga harus dianalisis dengan baik mengenai dampak terhadap lingkungannya, sehubungan dengan kondisi lamun di sekitar Kecamatan Gunung Kijang yang masih relatif baik. Sedimentasi yang tinggi sebagai akibat dari aktifitas penambangan pasir laut mengakibatkan air laut menjadi sangat keruh, seperti yang telah terjadi terutama di perairan Pulau Karimun. Kekeruhan air laut yang tinggi akan mengganggu kehidupan lamun, sebab sebagai tumbuhan tinggi lamun membutuhkan cahaya matahari yang tinggi dalam kehidupannya. Padang lamun di perairan Pulau Bintan mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan masyarakat nelayan disekitarnya. 5. DAFTAR PUSTAKA 1. Kirkman, H., 1985: Community structure in seagrass in southern western Australia, Aquatic Botany, 21:363-375. 2. Kiswara, W., 1994: A review: seagrass ecosystems studies in Indonesian waters, Paper presented at the ASEAN – Australia Symposium on Living Coastal Resources, Chulalangkorn University, Bangkok – Thailand, 16-20 May 1994. 3. Nienhuis, P.H., J. Coosen, & W. Kiswara, 1989: Community structure and biomass distribution of seagrasses and macrofauna in the Flores Sea, Netherlands Journal of Sea Research, 23(2): 197-214. 4. Den Hartog, C., 1970: The seagrasses of the world, North Holland Amsterdam, 275 pp. 5. Hutomo, M., 1995: Telaah ekologik komunitas ikan pada padang lamun (seagrass, Anthophyta) di perairan Teluk Banten, Thesis Doktor, Fakultas Pasca Sarjana – IPB Bogor, 271 pp. 6. Shepard, E.P., 1954: Nomenclature based on sand silt clay ratios, Journ. Sed. Petrology, 24: 151-158 7. Kiswara, W., A.S. Genisa, A. Arifin, dan L.H. Purnomo, 1992: A preliminary study of the species composition, abundance, and distribution of fishes in the seagrass beds of Banten Bay, West Java, Indonesia, Paper presented on Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 4. UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Sdr. Asep Rasyidin yang telah membantu mengerjakan biomassa lamun dan pengukuran substrat dasar, serta Sdr. Irman R. Syam yang membantu dalam pengumpulan data lapangan. 64 Workshop of Fisheries Connection with Mangroves and Seagrasses, Kuala Lumpur, 183-213. 8. Kiswara, W., dan Winardi, 1999: Sebaran lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok, dalam Dinamika komunitas biologis pada ekosistem lamun di Pulau Lombok, Indonesia, Soemodihardjo, S., O.H. Arinardi, dan I. Aswandy (Eds.), Puslitbang Oseanologi – LIPI, Jakarta, 11-25 9. Erftemeijer, P., 1993: Factors limiting growth and production of tropical seagrasses: Nutrient dynamics in Indonesia seagrass beds, Thesis PhD Nijmegen Katholieke Universiteit, 173 pp. 10. Kiswara, W., 1992a: Vegetasi lamun (seagrass)di rataan terumbu Pulau Pari, Pulau-pulau Seribu, Jakarta, Oseanologi di Indonesia, 25; 31-49. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 11. Kiswara, W., 1992b: Community structure and biomass distribution of seagrass at Banten Bay, West Java – Indonesia, dalam Third ASEAN Science and Technology Week Conference Proceeding, Chou, L.M and C.R. Wilkinson (eds.), Vol. 6, Marine Science, National University of Singapore and National Science and Technology Board, Singapore, 241250. 12. Kiswara, W., M.H. Azkab dan L.H. Purnomo, 1997: Komposisi jenis dan sebaran lamun di kawasan Laut Cina Selatan, dalam Atlas Oseanologi Laut Cina Selatan, Suyarso (ed.), Puslitbang Oseanologi – LIPI, 123-134. 13. Zieman, J.C.,1987: A review of certain aspects of the life, death and distribution of seagrasses of the Southern United States, Florida Marine Research Pub., 42:53-76. 65 LAMPIRAN Tabel 1. Hasil analisis ukuran butir pasir substrat di tiap stasiun penelitian Persentase Berat No Stasiun Jenis Lumpur Pasir Kerikil 1 Pulau b Kelong 1 84.51 15.17 0.31 Lumpur 2 83.92 16.08 0.00 Lumpur 3 80.92 19.08 0.00 Lumpur 4 83.49 16.24 0.28 Lumpur 5 86.12 13.72 0.16 Lumpur 2 P. Ngalih 1 23.60 68.51 7.89 Pasir berlumpur 2 28.05 65.71 6.24 Pasir berlumpur 3 26.88 65.37 7.76 Pasir berlumpur 4 25.91 65.17 8.92 Pasir berlumpur 5 25.32 61.38 13.30 Pasir berlumpur 3 P. Siulung 1 3.49 94.32 2.19 Pasir 2 2.82 92.87 4.31 Pasir 3 2.67 92.48 4.86 Pasir 4 4.22 93.16 2.62 Pasir 5 3.10 92.67 4.24 Pasir 4 Tl. Bakau 1 77.77 21.84 0.38 Lumpur berpasir 2 69.34 29.51 1.14 Lumpur berpasir 3 69.39 26.92 3.68 Lumpur berpasir 4 66.11 30.70 3.19 Lumpur berpasir 5 72.69 25.76 1.55 Lumpur berpasir 5 P. Ber. Bakau 1 2.12 88.87 9.00 Pasir 2 2.68 96.55 0.76 Pasir 3 2.25 81.88 15.87 Pasir 4 2.88 91.41 5.71 Pasir 5 3.31 92.98 3.71 Pasir 6 P. Kerapu 1 5.23 78.62 16.15 Pasir 2 3.78 92.55 3.67 Pasir 3 6.23 73.38 20.40 Pasir 4 5.61 82.08 12.31 Pasir 5 4.78 94.27 0.95 Pasir Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 66 Tabel 2. Biomassa (gram) basah, kering, dan yang hilang dari tiap jenis lamun Biomass Stasiun Penelitian No. Jenis lamun (gr) 1 2 3 4 5 6 Basah 391.7 591.9 386.7 373.5 531.4 317.3 1 Enhalus acoroides Kering 64.6 87.4 63.0 58.8 89.0 69.4 Hilang 327.1 504.5 322.8 314.6 442.4 247.8 Basah 15.8 1.9 3.9 2 Halophila ovalis Kering 1.6 0.2 0.6 Hilang 14.3 1.7 3.3 Basah 267.4 248.3 216.9 279.1 159.4 3 Thalassia hemprinchii Kering 39.8 35.1 31.1 33.5 21.7 Hilang 227.6 213.3 185.8 245.6 137.7 Basah 71.9 0.9 4 Halodule uninervis Kering 5.4 0.2 Hilang 66.4 07 Basah 50.4 14.9 86.4 5 Cymodocea rotundata Kering 6.7 2.2 13.6 Hilang 43.8 12.8 72.8 Basah 110.3 83.6 6 Cymodocea serrulata Kering 17.7 13.9 Hilang 92.6 69.7 Basah 40.5 7 Syringodium isoetifolium Kering 5.9 Hilang 34.5 Keterangan: 1= P. Kelong, 2= P. Siulung, 3= P. Ngalih, 4= Tlk. Bakau, 5= P. Ber. Bakau, 6= Tj. Keling Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 67 STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DI PADANG LAMUN PULAU BINTAN, KABUPATEN KEPULAUAN RIAU Oleh: I. M. Nasution Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Jl. MT Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770, Indonesia, e-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian mengenai struktur komunitas ikan di padang lamun Pulau Bintan, dilaksanakan di enam stasiun penelitian yaitu Pulau Kelong, Pulau Siulung, Pulau Ngalih, Teluk Bakau, Pulau Beralas Bakau, dan Tanjung Keling . Didapat 859 sampel ikan terdiri dari 33 jenis ikan dan 22 familia. Ikan Ikan Baronang (Siganus canaliculatus) merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi yang juga melimpah dan tersebar merata di lokasi penelitian. Pulau Siulung mempunyai keanekaragaman (H’ = 1.94) dan kerataan (E = 0.88) jenis ikan yang paling tinggi di siang hari dibandingkan dengan empat stasiun penelitian lainnya, sedangkan pada malam hari Pulau Ngalih mempunyai keanekaragaman (H’ = 2.15) dan kerataan (E = 0.83) jenis ikan yang paling tinggi dibanding dua stasiun penelitian lainnya. Kata Kunci: Pulau Bintan, Lamun, Kelimpahan, Distribusi, Keanekaragaman ABSTRACT Research about community structure of fishes in the seagrass beds of Bintan Island was carried out in six research station. The stations were Kelong Island, Siulung Island, Ngalih Island, Teluk Bakau Bay, Beralas Bakau Island, and Tanjung Keling Bay.859 fish was caught and consist from 33 species and 22 familia. Siganiids fish (Siganus canaliculatus) was an economically important species and also the abundant species with wide distribution in this area. Siulung Island has the highest fish diversity (H’ = 1.94) and evenness (E= 0.88) compared to other four stations during the day. Ngalih island has the highest fish diversity (H’= 2.15) and evenness (E= 0.83) compared two other stations during the night. Keywords: Bintan Island, Seagrass, Abundance, Distribution, Diversity 1. PENDAHULUAN Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh di laut dangkal, dan dapat membentuk kelompok-kelompok kecil dari beberapa tegakan tunas hingga berupa hamparan padang lamun yang luas. Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun atau vegetasi campuran yang disusun mulai dari dua sampai dengan 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama (Kirkman, 1985). Lamun ditemukan tumbuh di daerah pasang surut sampai dengan daerah berkedalaman 40 meter. Pada daerah transisi, lamun dan terumbu karang dijumpai tumbuh bersama (Nienhuis et al., 1989). Di perairan Indonesia terdapat 13 jenis lamun (Kiswara, 1994), sementara di dunia Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan dijumpai 58-60 jenis ( Hartog, 1970). Indonesia diperkirakan mempunyai padang lamun terluas diantara negara-negara tropis. Padang lamun menyediakan tempat membesarkan anak, mencari makan, dan tempat berlindung dari predator bagi ikan (Heck dan Orth, 1980). Padang lamun merupakan daerah asuhan juga bagi ikan niaga (Kikuchi, 1974). Ikan yang bernilai ekonomis seperti ikan baronang (Siganus spp.), kakap (Lutjanus spp.) dan kerapu (Ephinephelus spp.), ikan mudanya hidup di padang lamun. Penelitian mengenai ikan padang lamun di Indonesia masih jarang dilakukan, dibandingkan dengan luas perairannya. Hutomo dan Martosewojo (1977) pertamakali melaporkan penelitian komunitas ikan padang lamun di 68 Indonesia yang dilakukan di Pulau Burung, Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data spesies dan kepadatan ikan di padang lamun Pulau Bintan sehingga dapat diketahui struktur komunitas ikan di padang lamun Pulau Bintan. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi dasar mengenai spesies-spesies ikan termasuk ikan yang bernilai ekonomis penting, serta kelimpahan, frekuensi dan keanekaan jenis ikan di padang lamun Pulau Bintan. Informasi ini daharapkan dapat bermanfaat dalam pemantauan dampak penambangan pasir laut terhadap ekosistem pesisir di Kepulauan Riau, sehingga kegiatan penambangan ini dapat dilakukan tanpa menimbulkan dampak yang merugikan bagi ekosistem pesisir dan masyarakat sekitarnya. 1.1 Lokasi Penelitian Pengamatan komposisi jenis serta struktur komunitas ikan di padang lamun perairan Pulau Bintan dilakukan pada bulan Juli hingga September 2003 di dua daerah yaitu Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Gunung Kijang. Pada masing-masing daerah, penelitian dilakukan di tiga stasiun penelitian. Stasiun penelitian di Kecamatan Bintan Timur adalah Pulau Kelong (0o48,960’ LU; o 104 37,713’BT), Pulau Siulung (0o47,188’BT; 104o37,10’BT), dan Pulau Ngalih(0o47,864’LU; 104o37,170’BT)., sedangkan stasiun penelitian di Kecamatan Gunung Kijang adalah Teluk Bakau (01o03’04,7’’ LU; 104o39’02,6’’BT), Pulau Beralas Bakau (01o03,948’ LU; 104o40,266’ BT), dan Tanjung Keling (01o05,912’LU; 104o37,982’BT). Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Bintan . Koyang 1 Kelong Bulat Ajab . . Gabi 3 Riau Ngalih 2 Siulung Rusa Gambar 1. Sketsa Lokasi Pengambilan data Di Kecamatan Bintan Timur (1= Pulau Kelong, 2= Pulau Siulung, 3 = Pulau Ngalih) Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 69 . Berlangkap 6 . . Bintan 5 Beralas Bakau Nikoi 4 Beralas Pasir Gambar 2. Sketsa Lokasi Pengambilan data di Kecamatan Gunung Kijang (4= Teluk Bakau, 5= Pulau Beralas Bakau, 6= Tanjung Keling) 2. ISI / BAHASAN 2.1 Metode Penelitian Pada bulan Juli 2003, sampel ikan diambil dengan mengunakan Jaring Sodu (Push Net) empat kali pada tiap stasiun penelitian. Tiap tarikan dilakukan sepanjang 30 meter secara acak. Pada bulan September 2003, sampel ikan diambil dengan menggunakan Beam Trawl dengan pengulangan tiga kali pada tiap stasiun penelitian. Trawl ditarik sejajar dengan garis pantai dengan menggunakan kapal nelayan berkecepatan 1.5 knot dengan jarak 100 m setiap kali tarikan. Penggunaan dua jenis jaring yang berbeda dimaksudkan agar mendapatkan jumlah jenis ikan yang maksimal. Sampel ikan yang didapat langsung diawetkan dengan formalin 4%, kemudian diidentifikasi dengan berpedoman pada The Fishes of Indo-Australian Archipelago (Weber & de Beaufort, 1916-1951), FAO Species Identification Sheet for Fishery Purposes (FAO, 1974) dan Guide to Fishes (Grant, 1972) kemudian dihitung jumlah tiap speciesnya. 2.1.1 Analisis Data Parameter komunitas ikan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah 1. Komposisi jenis 2. Kelimpahan Relatif KR = (ni/N) x 100% Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan (1) Dimana ni is jumlah individu ikan jenis i dan N adalah jumlah individu semua jenis ikan 3. Frekuensi Relatif FR = (Fi/ΣF) x 100% (2) Dimana Fi adalah jumlah kehadiran jenis ikan i dan ΣF total frekuensi semua jenis ikan 4. Indeks kesamaan jenis antara dua stasiun (Sorensen’s Index) Cs = (2j / (a+b)) (3) Dimana a jumlah jenis ikan di stasiun a; b jumlah jenis ikan di stasiun b; dan j adalah jumlah jenis ikan yang terdapat pada stasiun a dan stasiun b. 5. Indeks Kerataan Komunitas E=(H’/ln(S)) (4) Dimana H’ Indek keanekaragaman Shannon-Wiener dan S adalah jumlah total jenis 6. Indeks Keanekaan H’ = - Σ (pi) (ln pi) (5) Dimana pi adalah hasil dari jumlah jenis ikan i dibagi dengan jumlah semua jenis pada satu stasiun. 70 2.2. Hasil dan Pembahasan 2.2.1 Komposisi jenis 859 sampel ikan berhasil ditangkap dengan menggunakan alat beam trawl dan jaring sodu (push net) yang terdiri dari 33 jenis ikan dan 22 famili yang berasal dari spesies ikan di padang lamun Pulau Bintan (Tabel 1). Pada siang hari jenis ikan terbanyak didapatkan di P. Kelong sebanyak 14 jenis, sedangkan yang paling sedikit didapatkan di P. Ngalih sebanyak 7 jenis. Pada malam hari jenis ikan terbanyak didapatkan di P. Ngalih sebanyak 15 jenis), sedangkan pada kedua stasiun lainnya mempunyai jumlah jenis yang sama sebanyak 11 jenis. Bila diperbandingkan jumlah rata-rata jenis ikan yang didapat pada siang hari dan malam hari pada padang lamun di Pulau Bintan, maka jumlah jenis pada siang hari sebanyak 10 jenis lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah jenis pada malam hari yaitu 13 jenis. Secara total jumlah jenis ikan pada siang hari didapat 25 jenis ikan sedangkan pada malam hari didapatkan 20 jenis ikan. Komposisi jenis ikan pada penelitian ini lebih sedikit dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Indonesia. Hutomo dan Djamali (1980) pada penelitiannya di padang lamun Pulau Tengah, Gugus Pulau Pari, mendapatkan 76 jenis ikan dari 32 familia, Peristiwady (1988) pada penelitiannya di Pulau Ambon medapatkan 63 jenis ikan dari 33 familia, dan Erftemeijer dam Allen (1993) pada penelitiannya di Sulawesi Selatan mendapatkan 49 jenis dari 29 familia. Jumlah jenis ikan di padang lamun pada waktu siang dan malam tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa perbedaan siang dan malam tidak terlalu berpengaruh pada komposisi ikan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gray et al. (1998) yang menyatakan bahwa ikan di padang lamun New South Wales, Australia, tidak berbeda secara nyata antara siang dan malam, dan juga tidak terdapat bukti bahwa terdapat jenis ikan yang secara khusus berpindah dari habitat lain ke padang lamun pada waktu malam, baik untuk mencari makan maupun beristirahat 2.2.2 Kerapatan Relatif dan Frekuensi Relatif Analisa kuantitatif struktur komunitas ikan hanya dilakukan pada sampel ikan hasil penangkapan dengan beam trawl. Jenis ikan yang didapat pada tiap stasiun penelitian mempunyai nilai kelimpahan dan Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan frekuensi kehadiran yang bervariasi. Kelimpahan ikan tiap stasiun penelitian dikelompokkan menjadi tiga yaitu dominan (KR > 5%), sub dominan (KR = 1%-5%) dan tidak dominan (KR < 1%). Frekuensi kehadiran ikan juga dikelompokkan menjadi tiga yaitu tinggi (FR > 10%), sedang (FR = 5% - 10%) dan rendah (FR < 5%). Sembilan jenis ikan dominan pada siang hari adalah Gerres macrosoma, Monacanthus tomentosus, Upeneus tragula, Aeoliscus strigatus, Dasson variabilis, Paracentropogon longisipinis, Apogon quadrimasciatus, Cociela quoy, dan Gobi sp2. Sedangkan delapan jenis ikan dominan pada malam hari yaitu Apogon quadrimasciatus, Apogon sp., Gerres macrosoma, Monacanthus tomentosus, Gobi sp2., Paracentropogon lognispinis, Messospristes argenteus, dan Siganus canaliculatus. Secara keseluruhan terdapat lima jenis ikan dominan pada siang dan malam hari yaitu Gerres macrosoma, Monacanthus tomentosus, Paracentropogon longispinis, Apogon quadrimasciatus, dan Gobi sp2., empat jenis ikan dominan hanya pada siang hari yaitu Upeneus tragula, Aeoliscus strigatus, Dasson variabilis, dan Cociela quoy, serta tiga jenis ikan yang dominan hanya pada malam hari yaitu Apogon sp., Messospristes argenteus, dan Siganus canaliculatus (Lampiran, Tabel 2 dan Tabel 3) Delapan jenis ikan dengan frekuensi kehadiran tinggi pada siang hari adalah Gerres macrosoma, Monacanthus tomentosus, Upeneus tragula, Paracentropogon longispinis, Apogon quadrimasciatus, Apogon sp., Cociela quoy, dan Dasson variabilis, sedangkan sembilan jenis ikan dengan frekuensi kehadiran tinggi pada malam hari adalah Apogon quadrimasciatus, Apogon sp., Gobi sp., Leucosia sp., Monacanthus tomentosus, Spyraena jelo, Upeneus tragula, Messospristes argenteus, dan Siganus canaliculatus. Secara keseluruhan terdapat empat jenis ikan yang mempunyai frekuensi kehadiran tinggi pada siang dan malam yaitu Monacanthus tomentosus, Upeneus tragula, Apogon quadrilineatus, dan Apogon sp., empat jenis ikan dengan frekuensi kehadiran tinggi hanya pada siang hari yaitu Paracentropogon longispinis, Cociela quoy, Dasson variabilis, dan Gerres macrosoma, serta lima jenis ikan yang mempunyai frekuensi kehadiran tinggi hanya pada malam hari yaitu Gobi sp., Leucosia sp., 71 Sphyraena jelo, Messospristes argenteus dan Siganus canaliculatus (Tabel 2 dan Tabel 3). Hutomo dan Martosewodjo (1977) mengkategorikan ikan padang lamun menjadi Monacanthus tomentosus dan Apogon quadrimasciatus adalah ikan dominan dengan frekuensi kehadiran tinggi pada waktu siang dan malam. Kedua jenis ikan tersebut merupakan ikan yang dikelompokkan sebagai ikan penentap. Siganus canaliculatus merupakan ikan dominan dengan frekuensi kehadiran tinggi hanya pada malam hari dan merupakan ikan yang dikelompokkan sebagai ikan penetap pada tahap muda di padang lamun. Dasson variabilis dan Cociela quoy merupakan ikan dominan dengan frekuensi kehadiran tinggi hanya pada siang hari. Kedua jenis ikan ini merupakan jenis ikan yang belum diidentifikasi sifat keberadaannya pada padang lamun, akan tetapi dengan sifat keberadaan ikan ini yang merupakan ikan penghuni dasar pasir, maka kemungkinan kedua jenis ikan ini merupakan ikan yang umum terdapat pada daerah dengan dasar pasir, walaupun tanpa ada padang lamun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan dominan dengan frekuensi tinggi merupakan ikan penetap di padang lamun, dan hasil ini sesuai dengan penelitian lain di Indonesia (Nasution, 1998). No. empat kelompok yaitu penetap (resident), penetap sejak ikan muda hingga dewasa, penetap selama tahap ikan muda, dan pengunjung sewaktu waktu. Ikan baronang (Siganus canaliculatus) dan ikan barakuda (Sphyraerna jelo) merupakan ikan yang bernilai ekonomis tinggi sebagai ikan konsumsi, merupakan ikan dominan dan tersebar secara merata di lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan peranan padang lamun dalam menunjang kegiatan perikanan bagi daerah sekitarnya. Hasil ini sesuai dengan penelitian lain (Peristiwady, 1995; Kikuchi, 1974) yang menunjukkan bahwa ikan di padang lamun mempunyai nilai ekonomis yang tinggi baik sebagai ikan konsumsi maupun sebagai ikan hias. 2.2.3 Keanekaragaman jenis ikan Pulau Siulung mempunyai keanekaragaman (H’ = 1.94) dan kerataan (E = 0.88) jenis ikan yang paling tinggi dibandingkan dengan empat stasiun penelitian lainnya, sedangkan pada malam hari Pulau Ngalih mempunyai keanekaragaman (H’ = 2.15) dan kerataan (E = 0.83) jenis ikan yang paling tinggi dibanding dua stasiun penelitian lainnya (Tabel 1). Tabel 1. Indeks keanekaan dan kerataan ikan pada siang dan malam Siang Malam Lokasi H' E H' 1 Siulung 1.94 0.88 1.75 2 Ngalih 0.95 0.49 2.15 3 Kelong 1.69 0.63 1.98 4 Tj. Keling 1.78 0.77 5 Tlk. Bakau 1.34 0.58 Pulau Siulung mempunyai kerapatan jenis (Thalassia hemprinchii = 15.25 tunas/m2; Enhalus acoroides = 10.4 tunas/m2) dan penutupan jenis lamun (E. acoroides = 5%) yang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun penelitian lainnya. Beranekanya jenis ikan di Pulau Ngalih menunjukkan fenomena yang berbeda dengan penelitian ikan lamun lainnya didaerah lainnya (Nasution, 1998; Hutomo dan Djamali, 1980; Peristiwady, 1988), yang menunjukkan bahwa tingginya kerapatan dan penutupan lamun berbanding lurus dengan keanekaragaman ikan. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan E 0.73 0.79 0.83 2.2.4 Kesamaan Jenis Ikan di Dua Lokasi Pada siang hari Pulau Siulung – Tanjung Keling mempunyai kesamaan jenis ikan yang paling tinggi dibanding dengan stasiun penelitian lainnya (Tabel 2). Kesamaan jenis ikan pada dua lokasi tersebut kemungkinan disebabkan karena lokasi tersebut mempunyai substrat dasar yang sama (pasir), juga mempunyai kerapatan jenis lamun E. acoroides yang paling rendah dibanding stasiun penelitian lainnya (Pulau Siulung = 10.4 tunas/m2; Tanjung Keling = 24 tunas/m2). Dengan adanya kondisi yang hampir sama tersebut kemungkinan membuat kedua stasiun 72 ini dihuni oleh jenis-jenis ikan yang sama yang mempunyai habitat pantai berpasir dengan lamun yang sedikit jarang dan terbuka. Pada malam hari, Pulau Ngalih – Pulau Siulung, serta Pulau Pulau Ngalih – Pulau Kelong mempunyai kesamaan jenis ikan yang paling tinggi dibanding stasiun penelitian lainnya. Pulau Ngalih – Pulau Siulung sama sama hanya didominasi oleh lamun jenis E. acoroides, di Pulau Ngalih bahkan padang lamunnya bertipe monospesifik dengan hanya ditumbuhi oleh E. acoroides. Selain fakta tersebut, kondisi lingkungan di kedua daerah tesebut sangat bertolak belakang, yaitu substrat dasarnya yang berbeda (Pulau Ngalih bersubstrat dasar pasir berlumpur; Pulau Siulung bersubstrat dasar pasir), Biomassa lamun jenis E. acoroides di kedua pulau ini juga sangat berbeda (di Pulau Ngalih = 591.99 gr berat basah; Pulau Siulung = 386.71 gr berat basah) serta penutupan jenis E. acoroides yang sangat berbeda (Pulau Ngalih = 24.5%; P. Siulung = 5%). Tabel 2. Indeks kesamaan Sorensen pada siang dan malam Indeks kesamaan Sorensen (Cs) No. Lokasi Siang Malam 1 Ngalih - Tj. Keling 0.24 2 Ngalih - Kelong 0.45 0.62 3 Ngalih - Siulung 0.50 0.62 4 Ngalih - T. Bakau 0.35 5 Tj. Keling - Kelong 0.48 6 Tj. Keling - Siulung 0.63 7 Tj. Keling - T. Bakau 0.50 8 Kelong - Siulung 0.50 0.45 9 Kelong - T. Bakau 0.40 10 Siulung - T. Bakau 0.53 Sementara itu Pulau Ngalih dan Pulau Kelong mempunyai kondisi habitat yang juga agak berbeda. Pulau Ngalih mempunyai substrat pasir berlumpur, sedangkan di Pulau Kelong substrat dasarnya berlumpur. Hanya satu spesies lamun terdapat di Pulau Ngalih, sedangkan di Pulau Kelong tumbuh tiga jen is lamun. Akan tetapi kerapatan jenis E. acoroides di kedua pulau tersebut hampir sama yaitu 27.2 tunas/m2 (Pulau Ngalih) dan 33.2 tunas/m2. Kemungkinan ikan yang berada di kedua pulau ini merupakan ikan-ikan yang menggunakan lamun dan kanopinya sebagai tempat mencari makan 3. KESIMPULAN DAN SARAN Setidaknya terdapat 33 jenis ikan dari 22 familia di padang lamun perairan Pulau Bintan. Beberapa spesies ikan yang dikoleksi mempunyai nilai ekonomis penting sebagai ikan konsumsi yaitu ikan kakap (Lutjanus sp, Lethrinus harak), belut laut (Moraena sp.), ikan baronang (Siganus canaliculatus), ikan sebelah (Pardochirus pavoninus), dan ikan barakuda (Sphyraena jelo). Selain itu ada juga ikan yang bernilai ekonomis tinggi sebagai obat tradisional Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan seperti kuda laut (Hippocampus kuda). Ikan baronang dan ikan barakuda juga mempunyai kelimpahan tinggi dan penyebaran merata di padang lamun Pulau Bintan. Hal ini membuktikan bahwa padang lamun mempunyai peran penting dalam menunjang kondisi perikanan masyarakat nelayan di sekitarnya. Pengelolaan padang lamun di perairan Pulau Bintan perlu dilakukan lebih seksama, terutama apabila rencana penambangan pasir laut di perairan sekitar pulau Bintan Bagian Timur dan Utara jadi dilaksanakan. Penambangan pasir laut yang telah dilaksanakan di perairan sekitar Pulau Karimun telah mengakibatkan tingginya sedimentasi dan penurunan kecerahan air yang sangat drastis. Penyebaran agregat sisa penambangan harus diperhatikan, apakah akan terbawa ke daerah padang lamun atau tidak. karena bila terbawa ke daerah padang lamun, terutama daerah yang kondisi lamunnya masih baik, akan mengakibatkan terganggunya kehidupan lamun itu, beserta ikan yang hidup di dalamnya, dan pada akhirnya akan mengakibatkan gangguan pada kegiatan perikanan masyarakat pesisir. 73 4. UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Sdr. Asep Rasyidin yang telah membantu dalam pengumpulan data lapangan dan para teknisi taksonomi ikan di Puslit Oseanografi – LIPI yang telah membantu dalam identifikasi jenis ikan. 5. DAFTAR PUSTAKA 1. Nienhuis, P.H., J. Coosen, and W. Kiswara, 1989: Community structure and biomass distribution of seagrass macrofauna in the Flores Sea, Indonesia, Netherlands Journal of Sea Research, 23(2): 197-214. 2. Hartog, C. den, 1970: Seagrass of the world, North-Holland Publishing Co., Amsterdam. 3. Heck, K.L.Jr. and R.J. Orth, 1980: Seagrass habitat: the roles of habitat complexity, competition, and predation in structuring associated fish and macroinvertebrate assemblages in V.S. Kennedy (ed.), Estuarine perspective, Academic Press, New York, 449-464. 4. Kikuchi, T. 1978: Japanese contributuions in consumer ecology in eelgrass (Zoostera marina L.) beds, with special references to trophic relationships and resources in inshore fisheries, Azuaculture 4: 145-160. 5. Hutomo, M., and Martosewodjo, 1977: The fishes of seagrass community on the Westside of Burung Island (Pari Islands, Seribu Islands) and their variation in abundance, Marine Research in Indonesia, 17: 147-172 6. Hutomo, M., and A. Djamali, 1980: Komunitas ikan pada padang seagrass di pantai Selatan Pulau Tengah, gugus Pulau Pari, in Burhanuddin, M.K. Moosa, H. Razak (eds.) Sumber daya hayati bahari, LON-LIPI, Jakarta in Indonesian. 7. Peristiwady, 1988: Note on the fish fauna of the seagrass bed at Ambon Island, Moluccas-Indonesia, Paper, Div. Marine Research Center for Oceanological Research and Development (P30), Ambon, 148-156. 8. Erftemeijer, P., and G.R. Allen, 1993: Fish fauna of seagrass beds in South Sulawesi, Indonesia, Rec. West. Aust. Mus.16(12): 269-277. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 9. Gray, C.A., R.C. Chick, dan D.J. McElligott, 1998: Diel changes in assemblages of fishes associated with shallow seagrass and bare sand, 849-859. 10. Nasution, I.M., 1998: Struktur komunitas ikan di padang lamun (seagrass) Teluk Banten, Cilegon, Jawa Barat, Skripsi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran, 83pp. 11. Peristiwady, T., 1995: Padang lamun di Pulau Osi dan Marsegu, Seram Barat: sumberdaya hayati dan pemanfaatannya, dalam Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I, 2527 Agustus 1993, BPPP, PPPP, ISPIKANI, ISSF, HIMAPIKANI dan JICA, Jakarta. 12. Weber, M., and L.F. de Beaufort, 19131951: The fishes of Indo-Australian archipelago, E.J. Brill, London. 13. Food and Agricultural Organization, 1974: Species identification sheet for fishery purposes, Vol. 1-4, FAO, Rome. 14. Grant, E.M., 1972: Guide to fishes, Dept. Prim. Industries, Brisbane. 15. Hutomo M., and Djamali, 1980: Komunitas ikan pada padang “seagrass” di Pantai Selatan Pulau Tengah, Gugus Pulau Pari, dalam Sumberdaya Hayati Bahari, Burhanuddin, M.K. Moosa, H. Razak (eds.), LON-LIPI, Jakarta 74 LAMPIRAN Tabel 1. Jenis ikan dan total tangkapan perairan Pulau Bintan Jumlah Individu Famili No. Jenis 1 2 3 4 5 6 1. Apogonidae 1 Apogon quadrimaculatus 44 26 152 0 0 0 2 Apogon sp 13 8 11 0 0 0 2 Atherinidae 3 Atherinomorus lacunosus (Forster, 1801) 0 0 0 0 30 3. Blenniidae 4 Petroscirtes variabilis Cantor, 1849 1 0 1 20 5 0 4. Centriscidae 5 Aeoliscus strigatus (Guenther, 1860) 1 1 4 5 00 5. Chaetodontidae 6 Parachaetodon ocellatus (Cuvier, 1831) 5 6 0 0 00 6. Gerreidae 7 Gerres macrosoma 9 48 0 0 20 7. Gobiidae 8 Amblygobius sp. 1 6 0 0 00 9 Gobi sp. 0 3 16 0 0 0 10 Gobi sp.2 7 3 18 0 0 0 8. Lethrinidae 11 Lethrinus harak 0 3 3 1 00 9. Lutjanidae 12 Lutjanus sp. 0 0 1 1 00 10. Monacanthidae 13 Monacanthus tomentosus (Linneaus, 1758) 12 7 28 23 48 5 11. Mullidae 14 Upeneus tragula Richardson, 1846 4 4 4 1 00 12. Muraenidae 15 Muraena sp. 0 0 1 0 20 13. Nemipteridae 16 Scolopsis sp. 0 0 0 1 10 18 Scolopsis bilineatus (Bloch, 1793) 0 0 3 0 00 14. Pomacentridae 19 Pomacentrus sp. 0 0 0 2 00 15. Scaridae 20 Scarus sp. 0 0 0 0 00 16. Scorpaenidae 21 Paracentropogon longispinis 65 58 78 4 5 0 17. Siganidae 22 Siganus canaliculatus 4 4 5 1 00 18. Soleidae 23 Pardachirus pavoninus (Lacepede, 1802) 0 0 0 0 10 19. Sphyraenidae 24 Sphyraena jello (Cuvier, 1829) 0 0 0 0 00 20. Syngnathidae 25 Corythoichthys intestinalis (Ramsay, 1881) 0 0 0 0 10 26 Hippocampus kuda Bleeker, 1852 0 1 0 0 10 27 Syngnathoides biaculeatus (Bloch, 1785) 17 0 0 1 00 21. Terapontidae 28 Mesopristes argenteus Cuvier, 1829 1 1 13 0 0 0 22. Tetraodontidae 29 Arothron immaculatus (Bloch & Schneider, 1801) 1 0 1 1 30 30 Cociela quoy 5 1 5 1 20 31 Leucosia sp. 0 0 2 0 00 32 Sebastipes sp. 0 0 1 0 00 33 Sinancea sp. 0 1 0 0 00 Jumlah 190 181 347 62 74 5 Ket: 1= P. Siulung, 2= P. Ngalih, 3= P. Kelong, 4 = Tj. Keling, 5= Tlk. Bakau, 6 = P. Beralas Bakau Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 75 Tabel 2. Kelimpahan relatif dan frekuensi relatif ikan pada waktu malam hari Siulung Ngalih Kelong No. Jenis KR FR KR FR KR FR 1 Aeoliscus strigatus 1.72 4.55 2 Apogon quadrimaculatus 45.31 15.79 37.93 13.64 16.18 9.09 3 Apogon sp. 20.31 10.53 13.79 9.09 5.88 9.09 4 Chaetodon kleinii 1.72 4.55 5 Cociela quoy 1.56 5.26 3.45 4.55 6 Gerres macrosoma 7.81 5.26 10.34 9.09 7 Gobi sp. 3.13 10.53 8 Gobi sp.2 5.17 4.55 9 Lethrinus harak 3.45 4.55 1.47 4.55 10 Leucosia sp. 3.13 10.53 11 Lutjanus sp. 1.56 5.26 3.45 4.55 12 Messopristes argenteus 3.45 9.09 20.59 13.64 13 Monacanthus tomentosus 6.25 10.53 5.17 9.09 26.47 13.64 14 Paracentropogon longispinis 5.17 9.09 2.94 9.09 15 Scarus sp. 1.47 4.55 16 Scolopsis bilineatus 2.94 9.09 17 Sebastipes sp. 1.47 4.55 18 Siganus canaliculatus 1.56 5.26 1.72 4.55 14.71 13.64 19 Spiraena jelo 4.69 10.53 1.72 4.55 20 Upeneus tragula 4.69 10.53 1.72 4.55 5.88 9.09 Ket: KR= Kelimpahan Relatif, FR= Frekuensi Relatif Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 76 Tabel 3. Kelimpahan relatif dan frekuensi relatif ikan pada waktu siang hari Ngalih Tj. Keling Kelong Siulung T. Bakau No. Jenis KR FR KR FR KR FR KR FR KR FR 1 Aeoliscus strigatus 7.14 7.69 1.38 3.70 3.70 7.69 2 Apogon quadrimaculatus 4.69 7.69 53.10 11.11 3 Apogon sp. 4.83 11.11 4 Arothron immaculatus 1.79 6.25 5 Bothus pantherinus 1.79 6.25 6 Cociela quoy 1.56 7.69 3.57 7.69 3.45 7.41 11.11 15.38 3.57 12.50 7 Dasson variabilis 14.29 7.69 0.69 3.70 3.70 7.69 3.57 12.50 8 Gerres macrosoma 75.00 23.08 25.93 7.69 3.57 6.25 9 Gobi sp. 1.56 7.69 1.38 7.41 10 Gobi sp.2 11.11 7.69 11 Lethrinus harak 3.57 7.69 0.69 3.70 12 Lutjanus sp. 3.57 7.69 13 Messopristes argenteus 2.07 3.70 14 Monacanthus tomentosus 9.38 23.08 39.29 23.08 16.55 11.11 22.22 15.38 66.07 18.75 15 Muraena sp. 0.69 3.70 3.57 6.25 16 Paracentropogon longispinis 14.29 15.38 6.90 7.41 3.70 7.69 8.93 18.75 17 Pomacentrus sp. 7.14 7.69 18 Pranesus pinguis 5.36 6.25 19 Scolopsis bilineatus 2.07 3.70 20 Scolopsis sp. 3.57 7.69 1.79 6.25 21 Sebastipes sp. 0.69 3.70 22 Siganus canaliculatus 2.76 7.41 23 Signatoides biaculeatus 3.57 7.69 3.70 7.69 24 Sinancea sp. 1.56 7.69 25 Upeneus tragula 6.25 23.08 2.76 11.11 14.81 23.08 Ket: KR = Kerapatan Relatif; FR = Frekuensi Relatif Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 77 KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU BINTAN, KABUPATEN KEPULAUAN RIAU Oleh: I. M. Nasution, dan W.S. Pranowo Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jl. MT. Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770 Jakarta, Indonesia, e-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian mengenai kondisi terumbu karang di perairan Pulau Bintan, dilaksanakan di enam stasiun penelitian yaitu Pulau Bunut, Pulau Ajab, Pulau Rusa, Pulau Beralas Bakau, Pulau Beralas Pasir, dan Pulau Kerapu. Secara umum terumbu karang yang terdapat di perairan Pulau Bintan kondisinya bervariasi dari rusak berat hingga baik. Terumbu karang yang berkondisi baik umumnya ditemukan di stasiun penelitian yang terletak di Kecamatan Gunung Kijang, sedangkan di sekitar stasiun penelitian di Kecamatan Bintan timur, kondisi terumbu karangnya cenderung menunjukkan adanya kerusakan. Kata Kunci: Pulau Bintan, Terumbu Karang, Kondisi ABSTRACT Study about coral reef condition in Bintan Island was carried out in six research stations which were Bunut Island, Ajab Island, Rusa Island, Beralas Bakau Island, Beralas Pasir Island, and Kerapu Island. Coral reef conditions in Bintan island vary from very disturbed to good. Coral reef with good condition could be found in Gunung Kijang district. Coral reefs in Bintan Timur district showed a tendency of disturbation. Keywords: Bintan Island, Coral reef, Condition 1. PENDAHULUAN Komunitas terumbu karang dibentuk oleh aktivitas biologi dari beberapa karang (coral) yang termasuk di dalam filum Cnidaria. Terumbu (reef) ini merupakan hasil dari deposit masif kalsium karbonat yang diproduksi oleh karang secara bertahun-tahun yang terjadi kirakira 500 juta tahun (Veron, 1993). Terumbu ini terdiri khususnya jenis-jenis karang batu dan algae berkapur, bersama-sama biota yang hidup di dasar laut lainnya seperti jenis-jenis mollusca, crustacea, echinodermata, polychaeta, porifera, tunicata dan biota lainnya yang hidup bebas di perairan sekitarnya termasuk jenis-jenis plankton dan ikan (Sukarno, 1995). Terumbu karang sering digunakan untuk menentukan batas-batas lingkungan laut tropis (Nybakken, 1993), karena mempunyai pertumbuhan optimal pada suhu 23°C sampai 29°C dan membutuhkan salinitas tinggi yaitu 32 sampai 42 ppm. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Terumbu karang berperan dalam menjaga garis pantai, menyediakan makanan dan perlindungan untuk tumbuhan dan hewan, pendatang devisa negara yang bersangkutan, serta menyediakan tempat untuk menempel untuk hewan sesil. Terumbu karang mudah untuk terganggu dan rusak. Saat ini terumbu karang diperkirakan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. World Conservation Union dan United Nation Environment Program (UNEP) melaporkan bahwa kerusakan dan kehancuran terumbu karang sudah terjadi di 93 negara. Kerusakan ini disebabkan baik oleh aktivitas manusia dan juga perubahan iklim lautan dan biologis (Sukarno, 1995). Ekosistem terumbu karang di Kepulauan Riau terbentang di paparan dangkal hampir di semua pulau-pulau. Di perairan Pulau Bintan dengan panjang garis pantai 728 km mempunyai terumbu karang seluas 16,860.50 ha. (Zieren, 1996). 78 Penelitian mengenai terumbu karang di Pulau Bintan dan sekitarnya dilakukan sebagai upaya untuk mengetahui kondisi terumbu karang yang dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengetahui pengaruh penambangan pasir laut terhadap ekosistem pesisir. Hal ini diperlukan sebagai salah satu masukan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Juli-Agustus 2003 di dua daerah yaitu Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Gunung Kijang. Pada masing-masing daerah, penelitian dilakukan di tiga stasiun penelitian. Stasiun penelitian di Kecamatan Bintan Timur adalah Pulau Bunut, Pulau Ajab dan Pulau Rusa, sedangkan stasiun penelitian di Kecamatan Gunung Kijang adalah Pulau Beralas Pasir, Pulau Beralas Bakau, dan Pulau Kerapu (Gambar 1 dan Gambar 2). 1.1 Lokasi Penelitian Pengamatan kondisi terumbu karang di perairan di Pulau Bintan dilakukan pada bulan Bintan Koyang Kelong 1 . Bulat Gabi Ajab Riau 2 Ngalih Siulung . Rusa Gambar 1. Sketsa Lokasi Pengambilan data Di Kecamatan Bintan Timur (1= Pulau Ajab, 2= Pulau Rusa, 3 = Pulau Ngalih) Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 79 . 6 Berlangkap Bintan 5 . Beralas Bakau . Beralas Pasir Nikoi 4 Gambar 2. Sketsa Lokasi Pengambilan data di Kecamatan Gunung Kijang (4= Pulau Beralas Pasir, 5= Pulau Beralas Bakau, 6= Pulau Kerapu) 2. ISI / BAHASAN 2.1 Metode Penelitian Penilaian kondisi terumbu karang di perairan Pulau Bintan dinilai dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (English et al., 1997) Pada masing masing titik penelitian, dilakukan pengambilan data menggunakan metoda LIT sepanjang 50 meter sejajar garis pantai dengan kedalaman 3 meter. Data mengenai panjang penutupan tiap jenis bentuk pertumbuhan karang yang terkena transek garis, dicatat dan selanjutnya dianalisa presentasi penutupan total karangnya. Selanjutnya kondisi terumbu karang ditentukan berdasarkan kriteria (Sukarno, 1995): - Penutupan karang 0 – 25% : rusak berat - Penutupan karang 26 – 50% : rusak - Penutupan karang 51 – 75% : baik - Penutupan karang 76 – 100% : baik sekali. 2.2 Hasil dan Pembahasan 2.21 Pulau Bunut Terumbu karang di lokasi penelitian Pulau Bunut didominasi oleh karang yang berasal dari genus non-acropora (Tabel 1). Hanya 14.20% dari keseluruhan Benthic life form dikenali sebagai karang hidup, sementara yang mendominasi di lokasi ini adalah koral mati yang sudah ditutupi oleh alga, dengan persentase sebesar 69%. Berdasarkan klasifikasi kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang hidupnya, maka kondisi terumbu karang pada stasiun penelitian Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan ini dapat dikatagorikan berkondisi rusak berat (penutupan karang hidup 0% – 25%). Tabel 1. Benthic life form dan persentase penutupannya di Pulau Bunut No. Benthic life form % Penutupan 1 Hard Coral (Non Acropora) Coral Massive 9.70 Coral Encrusting 1.33 Coral Mushroom 1.00 Coral Foliose 2.17 TOTAL CORAL 14.20 2 Dead Scleractinia Dead Coral with algae covering 69.00 3 Algae Algae Assemblage 6.27 4 Abiotic Pasir 4.53 Water 5.67 5 Other Sponge 0.33 TOTAL 100.00 Tingkat kekeruhan yang tinggi di sekitar perairan Pulau Bunut diduga sebagai salah satu penyebab utama tingginya tingkat kerusakan terumbu karang. Pada saat penyelaman, kecerahan air dan visibilitas cahaya matahari cukup rendah di perairan ini. Tingginya tingkat kekeruhan air di perairan Pulau Bunut diduga disebabkan oleh aktifitas penambangan bauksit yang sudah berlangsung 80 semenjak 60 tahun yang lalu. Penambangan bauksit ini membuang limbah hasil pencucian bauksit langsung ke laut. 2.2.2 Pulau Ajab Terumbu karang di lokasi penelitian Pulau Ajab didominasi oleh genus non-acropora (Tabel 2). Hanya 34.32% dari keseluruhan benthic life form dikenali sebagai karang hidup, sementara yang mendominasi di lokasi ini adalah alga dengan persentase 21.96% dan hancuran karang dengan persentase sebesar 28.32%. Berdasarkan klasifikasi kondisi terumbu karang berdasarkan presentase penutupan karang hidupnya, maka kondisi terumbu karang pada stasiun penelitian ini dapat dikatagorikan berkondisi rusak (Penutupan karang hidup 26% - 50%). Banyaknya alga yang hidup di stasiun penelitian ini dapat dikaitkan dengan lokasi pengambilan data masih terlalu dekat dengan pantai. Kondisi vegetasi yang ada masih merupakan zona peralihan antara zona pantai yang banyak ditumbuhi makroalgae dengan zona terumbu karang. Kemungkinan lain banyaknya alga di daerah penelitian ini adalah banyaknya zat hara yang dibawa didalam sedimen akibat aktifitas penambangan bauksit di daratan yang menyebabkan suburnya alga. Tabel 2.Benthic life form dan persentase penutupannya di Pulau Ajab % No. Benthic life form Penutupan 1 Hard Coral (Non Acropora) Coral Submassive 3.1 Coral Encrusting 0.4 Coral Massive 30.82 34.32 TOTAL CORAL 2 Dead Scleractinia Dead Coral with algae covering 1.6 3 Algae Algae Assemblage 21.96 4 Abiotic Pasir 28.32 Coral Rubble 12.3 Water 0.5 5 Other Sponge 1 TOTAL 100 Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Banyaknya persentase hancuran karang di stasiun penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh adanya penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan, seperti dikeluhkan masyarakat nelayan sekitar lokasi penelitian. Penangkapan dengan bahan peledak dilakukan di daerah ini biasanya untuk menangkapan ikan kerapu (Ephinephelus spp.) yang merupakan ikan konsumsi dengan nilai ekonomis yang tinggi terutama bila dijual dengan keadaan hidup. 2.2.3 Pulau Rusa Terumbu karang di perairan Pulau Rusa didominasi oleh genus acropora yang mencapai 15.47% dari total penutupan, sementara karang hidup dari genus yang lain sekitar 36.93% (Tabel 3). Tabel 3. Benthic life form dan persentase penutupannya di Pulau Rusa No. Benthic life form % Penutupan 1 Hard Coral (Acropora) - Acropora Branching 6.40 - Acropora Encrusting 5.20 - Acropora Digitata 3.87 2 Hard Coral (Non Acropora) Coral Branching 2.27 Coral Encrusting 3.07 Coral Massive 16.53 Coral Submassive 0.80 Coral Tabulaate 1.60 Coral Mushroom 0.27 Coral Foliose 12.40 52.40 TOTAL CORAL 3 Dead Scleractinia Dead Coral with algae covering 5.47 4 Algae Algae Assemblage 4.93 5 Abiotic Pasir Coral Rubble 0.27 Water 24.67 6 Other Anemone 0.27 Other 12.00 TOTAL 100.00 Secara keseluruhan, penutupan karang hidup di stasiun penelitian ini adalah 52.40% dari total penutupan benthic life form di perairan 81 ini. Rasio ini menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di perairan ini masih dalam keadaan baik (Penutupan karang hidup 51% 75%). Banyaknya persentase penutupan air (24.67%) pada stasiun penelitian ini kemungkinan dikarenakan pemasangan transek garis yang tidak sempurna sehingga garis tersebut menggantung terlalu tinggi dari permukaan life form yang seharusnya terkena garis transek. Dominasi genus acropora di lokasi penelitian ini menurut Nybakken (1993) dikarenakan genus acropora merupakan genus yang paling dominan dan merupakan salah satu ciri khas perairan Indo – Pasifik. 2.2.4 Pulau Beralas Bakau Terumbu karang di sekitar Pulau Beralas Bakau didominasi oleh genus acropora yang mempunyai persentase penutupan 32.74%, sedangkan karang hidup dari genus yang lain mempunyai persentase penutupan 39.2% (Tabel 4). Tabel 4. Benthic life form dan persentase penutupannya di Pulau Beralas Bakau No. Benthic life form % Penutupan 1 Hard Coral (Acropora) - Acropora Branching 1.74 - Acropora Submassive 30 - Acropora Digitata 0.6 - Acropora Tabulate 0.4 Hard Coral (Non 2 Acropora) Coral Foliose 39.2 71.94 TOTAL CORAL 3 Dead Scleractinia Dead Coral with algae covering 15.86 4 Abiotic Coral Rubble 6.1 Water 6.1 TOTAL 100 Secara keseluruhan, penutupan karang hidup di stasiun penelitian ini mecapai 71.94%. Dengan demikian berdasarkan rasio yang ada terumbu karang di perairan ini dikategorikan dalam keadaan baik (Penutupan karang hidup 51% - 75%). Komposisi karang mati yang sudah tertutupi alga sebesar 15.86% menunjukkan Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan kemungkinan bahwa telah terjadi kematian karang dalam kurun waktu yang agak lama. 2.2.5 Pulau Beralas Pasir Terumbu karang di sekitar Pulau Beralas Pasir didominasi oleh genus acropora yang mempunyai persentase penutupan 37.28%, sedangkan karang genus lain mempunyai persentase penutupan 17.54% (Tabel 5). Secara keseluruhan, penutupan karang hidup di stasiun penelitian ini adalah 54.82% dari total penutupan benthic life form, sehingga sesuai dengan rasio yang ada maka terumbu karang pada stasiun penelitian ini dapat dikatagorikan berkondisi baik. Karang mati yang sudah tertutupi alga sebesar 12.92% menunjukkan kemungkinan bahwa telah terjadi kematian karang dalam kurun waktu yang agak lama. Banyaknya persentase penutupan air (16.8%) pada stasiun penelitian ini kemungkinan dikarenakan pemasangan transek garis yang tidak sempurna sehingga garis tersebut menggantung terlalu tinggi dari permukaan life form yang seharusnya terkena garis transek Tabel 5. Benthic life form dan persentase penutupannya di Pulau Beralas Pasir No. Benthic life form % Penutupan 1 Hard Coral (Acropora) - Acropora Branching 20.54 - Acropora Tabulate 16.74 2 Hard Coral (Non Acropora) Coral Submassive 2.2 Coral Encrusting 0.9 Coral Massive 5.9 Coral Foliose 8.54 54.82 TOTAL CORAL 3 Dead Scleractinia Dead Coral with algae covering 12.92 4 Abiotic Coral Rubble 2 Water 16.8 5 Other Soft Coral 13.46 TOTAL 154.82 2.2.6 Pulau Kerapu Terumbu karang di sekitar Pulau Kerapu didominasi oleh genus acropora yang 82 mempunyai persentase penutupan 5.1%, sedangkan karang genus lain mempunyai persentase penutupan 35.8% (Tabel 6). Secara keseluruhan, penutupan karang hidup di stasiun penelitian ini mencapai 40.9%. Berdasarkan rasio yang ada, menunjukkan terumbu karang pada stasiun penelitian ini berkondisi rusak. Komposisi karang mati yang sudah tertutupi alga sebesar 30.5% menunjukkan kemungkinan bahwa telah terjadi kematian karang dalam kurun waktu yang agak lama. Komposisi hancuran karang sebesar 13.7%, kemungkinan disebabkan oleh bahan peledak yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan, seperti yang terjadi di perairan Pulau Ajab. Adanya penutupan lamun sebanyak 1.8% menunjukkan bahwa lokasi pengambilan data merupakan daerah transisi dimana lamun dan terumbu karang hidup bersama (Nienhuis dkk., 1989). Tabel 6. Benthic life form dan persentase penutupannya di Pulau Kerapu No. Benthic life form % Penutupan 1 Hard Coral (Acropora) - Acropora Branching 4.7 - Acropora Encrusting 0.4 Hard Coral (Non 2 Acropora) Coral Submassive 1.1 Coral Encrusting 5.8 Coral Massive 28.4 Coral Submassive 0.5 TOTAL CORAL 3 Dead Scleractinia Dead Coral with algae 30.5 covering 4 Algae Algae Assemblage 0.2 5 Abiotic Pasir 8.2 Coral Rubble 13.7 Water 4.7 6 Other Seagrass 1.8 TOTAL 100 3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Secara umum terdapat perbedaan yang cukup nyata antara kondisi terumbu karang di Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Gunung Kijang. Terumbu karang di perairan kecamatan Gunung Kijang (Pulau Beralas Bakau, Pulau Beralas Pasir, dan Pulau Kerapu) umumnya mempunyai kondisi terumbu karang yang masih baik, sedangkan di perairan Kecamatan Bintan Timur (Pulau Bunut, Pulau Ajab, dan Pulau Rusa) umumnya mempunyai kondisi terumbu karang yang sudah rusak. Karang keras di perairan Kecamatan Gunung kijang didominasi oleh genus acropora, sementara di perairan Kecamatan Bintan Timur tidak terdapat karang keras dari genus acropora yang terkena transek garis. Perairan di sekitar Kecamatan Gunung Kijang bersifat terbuka dan berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan sehingga sirkulasi air di daerah ini lebih baik bila dibandingkan dengan perairan di Kecamatan Bintan Timur yang mempunyai banyak pulaupulau kecil. Kecamatan Bintan Timur mempunyai pantai yang umumnya berlumpur dan berair keruh bila dibandingkan dengan perairan Kecamatan Gunung Kijang yang mempunyai pantai yang berpasir dengan air yang relatif jernih. Penekanan terhadap vegetasi dan perairan pesisir oleh penambangan bauksit yang telah berlangsung selama lebih kurang 60 tahun di perairan sekitar Kecamatan Bintan Timur mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas kecerahan perairan. Hal ini dikarenakan limbah pencucian bauksit tersebut dilepaskan ke laut (Aribowo, 1996). Sedimentasi yang tinggi dan perairan yang keruh mengakibatkan rendahnya keanekaramanan penutupan karang hidup di perairan Kecamatan Bintan Timur. Apabila sedimen mempunyai ukuran yang cukup besar dan banyak dapat mematikan karang karena menutupi polipnya. Binatang karang juga mengeluarkan energi yang lebih besar untuk menghalau sedimen, sehingga laju pertumbuhan karang menurun (Supriharyono, 2000). Penggunaan bahan peledak untuk pengambilan ikan karang juga mempengaruhi kondisi terumbu karang di sekitar lokasi penelitian, terbukti dengan banyaknya hancuran karang terutama di perairan Pulau Ajab dan Pulau Kerapu. Penambangan laut yang menurut rencana akan dilaksanakan di sekitar perairan Pulau Bintan sebaiknya dilaksanakan dengan perencanaan dan analisis dampak lingkungan 83 yang menyeluruh dan secara benar. Tingginya tingkat kekeruhan air pada daerah sekitar penambangan seperti yang sudah terjadi di perairan Pulau Karimun akan sangat mempunyai dampak negatif terhadap kondisi terumbu karang, terutama yang berlokasi di Kecamatan Gunung Kijang. 4. UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Sdr. Asep Rasyidin yang telah membantu pemasangan transek garis dan menjadi buddy selam dalam penelitian ini. 5. DAFTAR PUSTAKA 1. Veron, J. E., 1993: Corals of Australia and Indo – Pacific, University of Hawaii Press. Honolulu. 2. Nybakken, J. W., 1993: Marine biology: an ecological approach, 3rd edition, Harper Collins College Publisher, New York. 3. Nienhuis, P.H., J. Coosen, and W. Kiswara, 1989: Community structure and biomass distribution of seagrass macrofauna in the Flores Sea, Indonesia, Netherlands Journal of Sea Research, 23(2): 197-214. 4. Sukarno, R., 1995: Ekosistem terumbu karang dan masalah pengelolaannya Materi kursus pelatihan dalam metodologi penelitian penentuan kondisi terumbu karang, Puslitbang Oseanologi – LIPI, Jakarta. 5. English, S., C. Wilkinson, and V. Baker, 1997: Survey manual for tropical marine resources, Australian Institute of Marine Science, Townsville. 6. Aribowo F., 1996: Kondisi terumbu karang dan keanekaragaman sumberdaya hayati laut di Bintan, Kec.Senayang, Lingga, dalam Prosiding lokakarya pendayagunaan sumberdaya kelautan Bintan, Senayang, dan Lingga, Kabupaten Kepulauan Riau, Tanjungpinang 30 Mei 1996 7. Zieren, M., 1996: Environmental condition of reefs and seawater in Bintan, Senayang-Lingga, Riau Province, Indonesia, UNDP-RCZ Project, PT. Ardes Perdana, Bandung. 8. Supriharyono, 2000: Pengelolaan ekosistem terumbu karang, Penerbit Djambatan, Jakarta, 108 pp. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 84 KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KEC. BINTAN TIMUR & KEC. GUNUNG KIJANG Oleh: G. Kusumah dan E. Erwanto Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati - Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jl. MT. Haryono Kav. 52-53 Jakarta 12770, Indonesia , e-mail: [email protected] ABSTRAK Kegiatan survei sosial ekonomi ini dilaksanakan di dua kecamatan, untuk memperoleh informasi persepsi dan opini masyarakat mengenai lingkungan sekitar mereka, dalam hal ini terkait dengan masalah “Penilaian Kerusakan Ekosistem Akibat Penambangan Pasirlaut” Kegiatan penambangan pasir laut dapat memberikan peluang yang cukup besar terhadap pendapatan asli daerah melalui pengembangan wilayah, membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan perekonomian rakyat. Namun di lain pihak akan timbul dampak negatif terhadap lingkungan serta mata pencaharian masyarakat nelayan dari kegiatan penambangan ini. ABSTRACT Study about socio-economic condition was done in Gunung Kijang and Bintan Timur District. The aim was to collect several data of people perception and opinion about their environment. It was involved into the calculation of ecosystem destruction by sea sand mining. Sea sand mining activity could give contribution to local income, such as area development, new job opportunity and increase people prosperity. In the other hand the mining activity brought the negative impact to the coastal and marine environment. 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Kabupaten Kepulauan Riau merupakan daerah yang dibentuk oleh gugus pulau-pulau besar dan kecil serta memiliki kawasan laut ± 70% dari luas keseluruhan wilayahnya dan diperkirakan memiliki potensi dan keragaman sumberdaya alam yang besar bila dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Salah satu potensi tersebut ialah pasirlaut yang saat ini menjadi salah satu andalan untuk meningkatkan PAD. Pemanfaatkan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan dan lestari, perlu memperhatikan keseimbangan ekosistem yang ada. Kawasan padang lamun atau hutan mangrove yang mampu menjaga garis pantai dari terjangan ombak, juga kawasan ekosistem terumbu karang yang berperan penting dalam menjaga kelestarian beberapa jenis ikan ekonomis. Untuk mengetahui pendapat masyarakat, apakah penambangan pasir laut di daerah Bintan dan sekitarnya merupakan alternatif kegiatan pemanfaatan sumber daya alam. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 1.2. Maksud dan Tujuan Maksud dari kegiatan ini adalah adanya data mengenai kondisi pesisir serta ekosistemnya serta terciptanya kesadaran masyarakat terutama masyarakat nelayan untuk turut berperan serta melestarikan pesisir serta ekosistemnya yang secara langsung maupun tak langsung akan turut mendukung peningkatan pendapatan masyarakat nelayan. Secara umum survei ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi khususnya kawasan pesisir Pulau Bintan, mencakup permasalahan: a. Persepsi masyarakat di kawasan pesisir Pulau Bintan bagian Timur, tentang kegiatan penambangan pasirlaut. b. Nilai ekonomis dari kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh penambangan pasir laut 1.3. Lokasi Studi Lokasi studi berada di Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau meliputi atas 2 (dua) lokasi kegiatan, yaitu daerah pesisir di Kecamatan Bintan Timur dan di Kecamatan Gunung Kijang. 85 2. PEMBAHASAN Pengamatan dan pengumpulan data sosek masyarakat dilakukan terhadap desa-desa yang kemungkinan terkena dampak kegiatan penambangan yaitu desa-desa di Kecamatan Gunung Kijang dan desa-desa yang kemungkinan tak terkena dampak penambangan yaitu desa-desa di Kecamatan Bintan Timur. Pengumpulan data primer untuk komponen sosial ekonomi diperoleh melalui dengar pendapat (public hearing) yang dilaksanakan bersama-sama dengan aparat setempat, tokoh masyarakat, dan masyarakat nelayan. Wawancara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) kepada masyarakat nelayan. Sedangkan studi sekunder diperoleh dari instansi terkait di wilayah kegiatan. 2.1. Metodologi 2.1.1. Metode Studi Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kasus. Metode ini digunakan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan secara mendalam faktor-faktor dominan yang sedang terjadi yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap parameter yang diteliti.. Analisis disajikan dalam bentuk analisis kualitatif dan kuantitatif dilengkapi dengan tabel frekuensi dan grafik. 2.1.2. Metode Pengumpulan Data Studi terhadap aspek sosial ekonomi dilakukan terhadap penduduk yang diperkirakan akan terkena dampak baik berupa dampak positif maupun negatif. Pengumpulan data dilakukan secara primer maupun sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui: a. Dengar Pendapat (Public Hearing), merupakan proses memperoleh keterangan berbagai aspek yang meliputi sikap, harapan dan saran-saran dari masyarakat mengenai rencana kegiatan. Kegiatan ini dilaksanakan bersama-sama dengan mengundang tokoh mesyarakat, aparat setempat dan masyarakat nelayan yang terkena langsung dampak kegiatan. b. Pengumpulan data melalui kuisioner (daftar pertanyaan), dilengkapi dengan daftar pertanyaan yang berisi tentang fakta, pendapat (opini) dan persepsi. c. Pengumpulan data dengan observasi langsung atau pengamatan langsung Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait berupa: Monografi desa, Kecamatan Dalam Angka serta data yang relevan dari instansi setempat 2.1.3. Survey Lapangan Survey lapangan telah dilakukan terhadap responden yang meliputi 2 (dua) kecamatan yaitu Kecamatan Bintan Timur (survey dilakukan di Pulau Mantang, Pulau Dendun, dan Kota Kijang) dan Kecamatan Gunung Kijang (survey dilakukan di Desa Kawal, Desa Malang Rapat dan Desa Teluk Bakau). Banyaknya responden yang berhasil ditemui dan melakukan wawancara langsung adalah sebanyak 45 orang responden. Dalam melakukan survey terlihat bahwa responden sangat antusias dan bekerja sama dalam melakukan wawancara. 2.2. Hasil Penelitian 2.2.1. Jumlah Penduduk a. Kecamatan Bintan Timur Jumlah penduduk di Kecamatan Bintan Timur sampai dengan tahun 2002 berjumlah 33.771 jiwa, yang dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin, laki-laki berjumlah 17.919 jiwa, sedangkan perempuan 15.852 jiwa. Maka perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan (sex ratio) adalah 113 yang berarti pada setiap 100 penduduk berjenis kelamin perempuan terdapat 113 penduduk berjenis kelamin lakilaki. Berdasarkan jumlah penduduk di Kecamatan Bintan Timur, maka jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki lebih dominan dibanding perempuan. b. Kecamatan Gunung Kijang Jumlah penduduk di Kecamatan Gunung Kijang sampai dengan tahun 2002 berjumlah 13.364 jiwa, yang terdiri dari berbagai macam suku diantaranya suku Melayu, suku Jawa, suku Bugis, suku Buton, suku Flores, suku Tionghoa. Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa di Kec.Gunung Kijang Jumlah No. Desa Penduduk 1. Gunung Kijang 4.597 2. Teluk Bakau 1.120 3. Malang Rapat 1.316 4. Tuapaya 6.331 TOTAL 13.364 Sumber: Lap. sementara Dinas Kelautan & Perikanan Teluk Bakau (tahun 2003) 86 2.2.2. Kepadatan Penduduk Luas wilayah Kecamatan Bintan Timur mencapai 319 km² dengan jumlah penduduk sebesar 33.771 jiwa (sumber: Data Monografi Kec. Bintan Timur, 2002), maka kepadatan penduduk adalah 105 jiwa/km². Berdasarkan kriteria BPS 1999, maka kepadatan penduduknya tergolong rendah karena masih kurang dari 200 jiwa/km². Kondisi tersebut menggambarkan bahwa proses persebaran penduduk masih terpusat di kota kabupaten, dimana berdasarkan data dari BPS Tahun 2000 kepadatan penduduk di Tanjung Pinang sudah tergolong tinggi yaitu di Kecamatan Tanjung Pinang Barat tercatat kepadatan penduduknya sudah mencapai 754 jiwa/km² dan Kecamatan Tanjung Pinang Timur 499 jiwa/km². Tingginya tingkat kepadatan penduduk disebabkan oleh faktor penarik migrasi diantaranya adalah adanya kesempatan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik (Dasar-Dasar Demografi, Lembaga Demografi FE UI Tahun 2000), sehingga orientasi masyarakat masih menjadikan Kota Tanjung Pinang menjadi pusat kegiatan terutama untuk aktifitas perekonomian, sedangkan desa masih dianggap belum bisa memberikan kontribusi besar bagi masyarakat untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yaitu dengan masih kurang tersedianya lapangan pekerjaan di desa, sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan migrasi ke kota. Kriteria tingkat kepadatan penduduk menurut Biro Pusat Statistik tahun 1999: - Tinggi, jika kepadatan penduduk > 400 jiwa/km² - Sedang, jika kepadatan penduduk antara 200 – 400 jiwa/km² - Rendah, jika kepadatan penduduk < 200 jiwa/km² 2.2.3. Komposisi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian Bidang buruh industri, nelayan dan peternak merupakan mata pencaharian pokok masyarakat di Kecamatan Bintan Timur, mata pencaharian lainnya yang cukup dominan adalah pegawai negeri, buruh perkebunan, pengrajin, buruh pertambangan dan petani, sedangkan jumlah pencari kerja yang tercatat adalah sebanyak 158 orang. Secara lengkap komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian (Kec. Bintan Timur) Mata Pencaharian Kec.BintanTimur (%) 1. Petani - Petani Pemilik tanah 286 jiwa 2,1 - BuruhTani 428 jiwa 3,2 2. Nelayan 2886 jiwa 22,2 3. Pengusaha Sedang/Besar 102 jiwa 0,8 4. Pengrajin/Industri Kecil 824 jiwa 6,3 5. Buruh Industri 3572 jiwa 27,4 6. Buruh Bangunan 124 jiwa 0,95 7. Buruh Pertambangan 725 jiwa 5,6 8. BuruhPerkebunan 856 jiwa 6,6 9. Pedagang 523 jiwa 4,01 10. PNS 927 jiwa 7,1 11. ABRI 59 jiwa 0,45 12. Pensiun (PNS/ABRI) 81 jiwa 0,6 13. Peternak 1627 jiwa 12,5 Sumber: Data Monografi Kec. Bintan Timur, 2002 No Di Kecamatan Gunung pencaharian penduduk yang nelayan dan petani. Pada dimana ombak besar dan Kijang, mata utama adalah musim utara, angin bertiup Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan kencang, penduduk yang berprofesi sebagai nelayan biasanya berganti profesi sebagai petani/ pekebun/ buruh/ dan lain-lain. 87 Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian (Kec. Gn.Kijang) Mata Pencaharian No. Nama Desa Nelayan Petani PNS/ABRI Buruh Lain-lain 1. Gn.Kijang 488 697 61 101 72 2. Teluk Bakau 209 184 17 38 24 3. Malang rapat 253 217 25 47 36 4. Tuapaya 23 1.169 49 103 123 Sumber: Lap. sementara Dinas Kelautan & Perikanan Teluk Bakau (tahun 2003) 2.2.2. Kuisioner Kuisioner ini ditujukan kepada anggota masyarakat sekitar lokasi kegiatan (responden) secara acak dan dianggap mewakili suatu kelompok masyarakat tertentu. Sistem yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah mendatangi langsung para responden dan melakukan wawancara tatap muka sekitar permasalahan yang telah ditentukan. Ragam pertanyaan/kuisioner yang diajukan pada responden, terutama adalah tentang: a. Pola Pendapatan b. Sikap dan Persepsi Masyarakat Terhadap Rencana Kegiatan Penambangan Pasirlaut c. Sikap Masyarakat Terhadap Lingkungan Alam Sekitarnya d. Persepsi Masyarakat Mengenai Komunitas Lamun dan Alga (Rumput Laut) yang Terkena Dampak Penambangan Pasirlaut e. Persepsi Masyarakat Mengenai Komunitas Terumbu Karang yang Terkena Dampak Penambangan Pasirlaut f. Perikanan Hasil kuisioner yang telah dilakukan dapat dilihat pada lampiran. 3. KESIMPULAN Secara umum kondisi perekonomian masyarakat di wilayah Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Gunung Kijang cenderung pada kondisi yang cukup baik. Sebagian besar penduduk telah memiliki rumah tinggal sendiri, walaupun sebagian besar masih semi permanen, dan dilengkapi minimal dengan fasilitas televisi serta vcd player. Hanya sebagian kecil masyarakat nelayan terutama pendatang yang belum mempunyai tempat tinggal pribadi dan masih menyewa/ mengontrak. Di masyarakat kegiatan penambangan pasirlaut sudah menjadi isu yang agak Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan sensitif dan dapat memicu keresahan masyarakat. Kondisi tersebut disebabkan oleh terjadinya dampak negatif dari kegiatan penambangan yang telah dilaksanakan di wilayah lain. Dampak yang timbul adalah tidak disetujuinya semua rencana penambangan pasirlaut oleh masyarakat di desa tempat studi, yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara yang telah dilaksanakan dengan para pamong desa serta masyarakat nelayan di desa-desa tempat kegiatan berlangsung. Alasan masyarakat tak menyetujui adanya kegiatan penambangan pasirlaut adalah karena sebagian besar masyarakat desa berprofesi sebagai nelayan. Sehingga bila kegiatan penambangan pasirlaut dilaksanakan sanagat dikhawatirkan akan mengganggu wilayah tangkapan dan menurunkan pendapatan nelayan. Selain itu adanya fakta di daerah yang pernah terdapat penambangan pasir darat bahwa para pengusaha cenderung hanya memberikan janji-janji kosong kepada para nelayan. Bila misalnya kegiatan penambangan sudah tak dapat dihindarkan berkaitan dengan kepentingan daerah dalam meningkatkan devisanya, maka rencana kegiatan pasirlaut harus melibatkan peran serta masyarakay secara langsung, sehingga rencana kegiatan perlu diinformasikan secara transparan kepada masyarakat nelayan yang melakukan kegiatan maupun bertempat tinggal di daerah/wilayah tapak proyek, mulai dari persiapan, operasional hingga tahap pasca operasi. Isu yang sedang hangat dan beredar di masyarakat adalah maraknya praktek illegal fishing yang sangat meresahkan masyarakat nelayan. Praktek tersebut diantaranya adalah penangkapan ikan dengan alat peledak yang sangat mengganggu masyarakat nelayan yang mencari ikan di wilayah pesisir. Praktek ini secara langsung mengganggu biota laut seperti habitat ikan, ekosistem lamun dan alga serta ekosistem terumbu. 88 Dampak yang dirasakan sangat besar dibandingkan isu penambangan pasirlaut dan masyarakat sangat berharap agar praktek illegal fishing tersebut diberantas. Isu tersebut benar adanya seperti terlihat dari hasil survey yang dilakukan terhadap keberadaan seagrass terutama terumbu/coral, dimana ditemukan kerusakan-kerusakan yang parah akibat peledakan. Pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan kesadaran bahwa masalah lingkungan adalah tanggung jawab terhadap kepentingan generasi mendatang merupakan suatu hal yang penting diterapkan di pemerintahan dan masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup. DAFTAR PUSTAKA 1. Mantri Statistik Kecamatan Bintan Timur, 1996, Kecamatan Bintan Timur Dalam Angka 2. Pemkab Kepulauan Riau Kecamatan Bintan Timur, 2002, Data Monografi Kecamatan Bintan Timur 3. Radinka Aria International, 2002, Kerangka Acuan (KA) Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Kec. Bintan Timur, Kab. Kepulauan Riau, Propinsi Riau. 4. Rokhmin Dahuri, Dr. Ir. MS., Prof. Dr. Jacub Rais, M.Sc., Ir. Sapta Putra Ginting, M.Sc., Dr. M. J. Sitepu, 1996, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 89 LAMPIRAN POLA PENDAPATAN No. 1. Jenis Alat Usaha Pompong Kecil/ Sampan 2. Pompong Besar 3. Kapal Sedang Masalah Alat Tangkap Pompong tiongkok, Bubu, Jaring ikan, Pancing, Rompang, Pukat Kelong, Jaring, Bubu, Pancing, Kelong kecil Jaring lepas, Pukat, Pancing Jml Trip Hampir setiap hari dalam ½ bulan, 1-4 hr/melaut Hampir setiap hari dalam ½ bulan, 1-4 hr/melaut Tak di pengaruhi musim:7-10 hr /melaut SIKAP DAN PERSEPSI MASYARAKAT PENAMBANGAN PASIR LAUT Penghasilan Investasi Rp.15.000/ org / melaut; Sampan, Pompong 1 – 5 kg/ melaut 5 – 20 kg/ melaut 35-40rb /ABK/ hari; 200 kg s/d 4ton / melaut TERHADAP RENCANA Biaya Operasi 60 – 100 rb/melaut Pompong, Sewa Pompong 60 – 100 rb/melaut Sistem bagi hasil dgn tauke pemilik kapal ± 4 juta /melaut KEGIATAN a) 94,4% responden mengetahui adanya kegiatan penambangan pasir laut, walaupun kegiatan tersebut berada di wilayah lain. b) 100% responden berpendapat bahwa penambangan pasir laut tidak akan bermanfaat bagi kehidupan mereka, alasannya karena kegiatan tersebut akan mengganggu habitat ikan serta merusak ekosistem pesisir sehingga masyarakat nelayan akan menjadi susah mencari ikan c) 100% responden menolak kehadiran kegiatan penambangan pasir laut di wilayah mereka d) Hanya 4,4% responden yang bersedia dilibatkan dalam kegiatan penggalian pasir tersebut asalkan tidak merusak laut e) Bila misalnya terjadi konflik dengan kegiatan penggalian pasir, 60% responden akan menyelesaikannya dengan cara melapor kepada yang berwenang sedangkan 40% responden menyatakan akan mem-protes kegiatan tersebut secara langsung Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 90 PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI KOMUNITAS LAMUN, ALGA DAN TERUMBU KARANG 1. Apakah bapak mengetahui lamun, alga, bakau dan karang yang hidup di pesisir pantai: 2. Apakah Bapak/ibu sering melakukan aktivitas menangkap ikan /udang di sekitar kawasan pesisir: 40 42 50 37 35 30 40 30 tahu 25 tidak 20 ya tidak tidak tahu 15 20 3 8 10 10 5 0 0 0 3. Apakah bapak mengetahui kondisi ekosistem pesisir tersebut saat ini: 4. Kira – kira berapa jumlah ekosistim pesisir yang rusak / hilang akibat kegiatan penambangan pasir selama ini: 30 35 30 35 25 30 20 25 tetap ya 20 tidak 10 15 15 tidak tahu 12 0-25% 10 10 3 5 5 0 0 5. Apakah bapak pernah melakukan kegiatan pengambilan lamun atau alga ? 6. Apakah bapak mengetahui fungsi dan ekosistem pesisir sebagai tempat berlindung dan tempat makan biota laut (ikan, udang, moluska) lainnya: 43 42 45 45 40 40 35 35 30 kadang2 25 tak pernah 30 20 20 15 15 10 2 10 5 5 0 0 Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan ya 25 tidaktahu 3 91 7. Apakah penghasilan bapak berkurang dari aktivitas penangkapan ikan disekitar kawasan pesisir selama akibat dampak penambangan pasir laut: 33 8. Berapa kira – kira penghasilan yang berkurang sejak kegiatan penambangan pasir laut berlangsung di sekitar kawasan pesisir: 19 20 35 18 16 30 14 14 25 20 12 ya 12 tidak 10 0 – 25 % 25 – 50 % 9 50 – 75 % Tak Tahu 8 15 6 10 4 5 2 0 0 3 Ket: jawaban ya,namun bukan akibat penambangan pasirlaut 9. Apakah bapak pernah mendengar adanya kegiatan pengelolaan untuk ekosistem pesisir: 25 10. Apakah Bapak/ibu setuju apabila kegiatan pengelolaan ekosistem pesisir yang terkena dampak penambangan pasir laut melibatkan masyarakat sekitar ? 42 21 45 21 40 20 35 15 ya 30 tidak 25 tidak tahu 10 setuju ragu-ragu 20 15 5 3 10 3 5 0 0 11. Seluruh responden (100%) mendukung adanya kegiatan pengelolaan komunitas lamun, alga, mangrove dan terumbu karang dan sebagian responden mempunyai harapan besar untuk dapat lestarinya kehidupan fauna laut di kawasan ekosistem pesisir oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 92 PERIKANAN 1. Berapa banyak total tangkapan yang bapak/ibu dapatkan dalam satu kali melaut? No. Jenis Alat Usaha 1. Pompong Kecil/ Sampan Pompong Besar Kapal Sedang 2. 3. Jumlah Responden/Penghasilan (permelaut) 9 orang 28 orang 8 orang 1 kg –> udang 5-15 kg –> ikan ± 50 kg –> ikan ± 200-300 kg -> ikan 2. Dalam satu hari, berapa kali bapak/ibu melaut? No. 1. 2. 3. Jenis Alat Usaha Pompong Kecil/ Sampan Pompong Besar Kapal Sedang 9 orang < 24 jam Jumlah Responden/Penghasilan (permelaut) 28 orang 8 orang 3- 4 hari ± 4 hari – 2 minggu 3. Jenis ikan apa saja yang didapat? No. 1. 2. 3. Jenis Alat Usaha Pompong Kecil/ Sampan Pompong Besar Kapal Sedang Jenis Tangkapan Ikan tenggiri, selikur, kerapu, dela, udang, kepiting, ronjong, bilis, sotong Ikan tongkol, selar, kembung, tenggiri, parang, selikur, bawal tongkol, ja'an, bawal, tenggiri 4. Ikan apakah yang bernilai ekonomis paling tinggi dari total tangkapan bapak/ibu ? Berapa harga tiap jenis ikan? No. 1. 2. Responden Pompong besar & kapal sedang (91 %) Pompong Kecil Jenis Tangkapan Ikan tenggiri dan Tongkol, harga rata2 Rp.8-12rb/kg Kerapu & udang 5. Adakah penurunan total tangkapan selama adanya aktivitas penambangan pasirlaut? >> Kurang lebih 62% dari total responden menyatakan bahwa mereka mengalami penurunan total tangkapan dan bukan disebabkan oleh aktivitas penambangan pasirlaut, namun oleh hal lain misal persaingan nelayan yang semakin ketat dan adanya praktek illegal fishing. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan 93 BIOGRAFI PENULIS Ichwan Makmur Nasution, S.Si., M.Sc., dilahirkan di Jakarta, 25 Juni 1975. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Biologi Universitas Padjadjaran, Bandung dan Magister S-2 Aquatic Tropical Ecology Bremen University, Jerman. Bekerja sebagai Staf di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2002. Bidang penelitian yang ditekuni saat ini adalah Biologi dan Ekologi Laut. Penulis telah melakukan penelitian tentang Udang Krill dalam Ekspedisi Antartika 2002 Widodo Setiyo Pranowo, ST., M.Si., dilahirkan di Purwokerto, 5 september 1975. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang dan Magister S-2 Oseanografi dan Sains Atmosfer Institut Teknologi Bandung. Bekerja sebagai Staf di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2002. Bidang yang ditekuni saat ini adalah Oseanografi Kimia, dan Oseanografi Lingkungan. Penulis telah melakukan penelitian: Pemodelan Numerik Sebaran Senyawa Nitrogen di Pantai Jepara (2002), Temperature & Primary Productivity Correlation in the Indian Ocean (South Java Sea) (2003). Ir. Dini Purbani, M.Si., dilahirkan di Jakarta, 28 Oktober 1965. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Teknik Geologi Universitas Trisakti, Jakarta dan Magister S-2 Ilmu Geografi Universitas Indonesia. Bekerja sebagai Staf di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2001. Penulis telah melakukan penelitian Sosialisasi Garam, Survei Hydrothermal Bawah Laut-Bandamin 2003. Gunardi Kusumah, ST., dilahirkan di Bandung, 2 Mei 1973. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Bandung. Bekerja sebagai Staf di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2002. Bidang yang ditekuni saat ini adalah geomorfologi pantai. Penelitian yang pernah diikuti adalah Survei Hydrothermal Bawah LautBandamin 2003. Edward Erwanto, ST., dilahirkan di Jakarta, 4 Oktober 1977. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Bandung. Bekerja sebagai Staf di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2002. Bidang yang ditekuni saat ini adalah oseanografi geologi. Penelitian yang pernah diikuti adalah IASSHA 2003. Semeidi Husrin, ST., dilahirkan di Bandung 14 Mei 1979. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung. Bekerja sebagai Staf di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2002. Bidang yang ditekuni saat ini adalah pemodelan numerik, perubahan garis pantai, gelombang, dan akustik bawah air. Budi Irawan, S.Si., M.Si, dilahirkan di Bandung, 29 Desember 1973. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Biologi Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Magister S-2 Taksonomi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor. Bekerja sebagai Staf Pengajar Jurusan Biologi FMIPA UNPAD Bandung, sejak 1999. Bidang yang ditekuni saat ini adalah masalah Taksonomi dan Ekologi Tumbuhan. Fajar Yudi Prabawa, ST., dilahirkan di Merauke, 18 juli 1973. Latar belakang pendidikan Sarjana S-1 Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional UPN Veteran, Yogyakarta. Bekerja sebagai Staf di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta sejak 1 Desember 2002. Bidang yang ditekuni saat ini adalah masalah Geologi. Penelitian yang pernah diikuti adalah IASSHA 2003.