gerakan sosial perempuan - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH.
Berbicara mengenai gerakan perempuan Indonesia berarti kita sedang
membahas gerakan yang mempunyai sejarah yang panjang. Sejak sebelum
kemerdekaan, dari catatan sejarah kita sudah menyaksikan bagaimana perempuan
Indonesia telah berorganisasi dan mengadakan berbagai aksi. Gerakan perempuan
Indonesia tumbuh dan berkembang sejak masa kolonial [penjajahan] seiring
dengan berdirinya organisasi – organisasi perempuan.
Menurut Syahfitri Anita dalam artikelnya yang berjudul ”Gerakan
Perempuan: Kajian Teoritis”, wacana gerakan perempuan yang dihadirkan sejak
awalnya merupakan suatu usaha untuk mengangkat posisi perempuan. Ini
berangkat dari asumsi bahwa peran perempuan dalam kehidupan masyarakat atau
ranah kebijakan publik di berbagai belahan dunia dari waktu ke waktu terus
berkembang, khususnya di Indonesia. Perkembangan ini tentunya mengarah
kepada terciptanya ruang yang memberikan kesetaraan bagi perempuan baik
secara individual maupun perempuan sebagai komponen masyarakat. 1
Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia menceritakan beberapa nama
perempuan yang disebutkan sebagai tokoh – tokoh perempuan yang ikut berjuang
bersama rakyat dalam memperjuangkan dan merebut kemerdekaan kita dari
tangan kolonialisme. R.A Kartini umumnya disebut-sebut sebagai tokoh
perempuan pada zamannya, dan yang paling terkenal. Kartini (1897-1904) dinilai
sebagai salah satu perintis kemerdekaan Indonesia, karena pemikirannya untuk
Universitas Sumatera Utara
melawan kolonialisme Belanda yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan
rakyat. Selama hidupnya, Kartini dikenal sebagai seorang tokoh yang berjuang
memajukan kaum perempuan. 2
Pemikiran Kartini banyak mengilhami gerakan perjuangan perempuan
sesudahnya. Kartini mempunyai cita-cita untuk membebaskan perempuan dari
keterbelakangan dan kemiskinan. Ia melihat pendidikan perempuan adalah jalan
untuk pembebasan itu. Namun menurut Kartini, titik tolak kemerdekaan
perempuan bukanlah dengan melihat perempuan sebagai sosok mandiri yang
terpisah dari lingkungannya, melainkan sebagai pribadi yang terkait dengan
kemajuan masyarakatnya. Kartini menulis: ''Kecerdasan pikiran penduduk
bumiputera tidak akan maju pesat bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu,
[yaitu] perempuan jadi pembawa peradaban''. 3 Hingga saat ini, Kartini menjadi
simbol gerakan perempuan Indonesia dan hari lahirnya, 21 April selalu dirayakan
oleh organisasi-organisasi perempuan dewasa ini.
Selain Kartini dan beberapa tokoh perempuan lainnya, tercatat beberapa
organisasi perempuan yang juga hadir pada masa sebelum kemerdekaan
Indonesia. Organisasi-organisasi perempuan itu bergelut mencari upaya untuk
memperbaiki
keadaan
kaum
perempuan
dan
mengubah
tatanan
yang
menyebabkan kaum perempuan tertindas. Sebut saja misalnya Poetri Mardika,
organisasi perempuan pertama di masa kolonial, yang berdiri pada tahun 1912. 4
Organisasi ini sangat dekat dengan Boedi Oetomo karena tujuannya yang paling
1
Artikel Syahfitri Anita, Gerakan Perempuan: Tinjauan Sejarah (Sebagai Pengantar
Diskusi Lingkar Studi Perempuan, Jakarta, Jumat 7 April 2006, hal. 3.
2
Dri Arbaningsih, Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi
Bangsa, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2005, hal. 33
3
Dri Arbaningsih, ibid., hal. 35
Universitas Sumatera Utara
menonjol yaitu keterlibatan dalam usaha pemerdekaan bangsa. Poetri Mardika
memusatkan perhatiannya terhadap perjuangan terhadap akses pendidikan bagi
perempuan dan reformasi perkawinan.
Setelah berdirinya Poetri Mardika, dalam tahun-tahun berikutnya berbagai
organisasi ataupun perkumpulan bermunculan baik yang didukung oleh organisasi
laki-laki maupun yang terbentuk secara mandiri oleh perempuan sendiri.
Misalnya, Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak
Temurun—PIKAT (Manado, 1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah atas
bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918),
Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanito
Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra
(Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924). 5 Secara keseluruhan
organisasi – organisasi ini masih bersifat kedaerahan. Namun, pada intinya setiap
organisasi perempuan saat itu bertujuan untuk dapat memperbaiki posisi
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dengan meningkatkan pendidikan
perempuan sebagai sebuah strategi dasar. 6
Selanjutnya, ada Isteri Sedar yang didirikan pada tahun 1930 di Bandung
oleh Suwarni Pringgodigdo. Isteri Sedar adalah organisasi perempuan yang aktif
dalam perjuangan politik. Dalam kongresnya tahun 1932, Isteri Sedar menyatakan
diri ingin meningkatkan status perempuan Indonesia melalui perjuangan
kemerdekaan. Ide dasarnya adalah bahwa tidak akan ada persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan bila tidak ada kemerdekaan, “Hanya Indonesia yang
4
Saskia E. Wieringa, Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia
Sesudah 1950, Jakarta: Kalyanamitra, 1998, hal. 3
5
Saskia E Wieringa, ibid., hal. 3 – 4.
Universitas Sumatera Utara
merdeka oleh usaha besar-besaran kaum laki-laki dan perempuan yang bersatu
padu yang akan sanggup memberikan persamaan hak dan tindakan kepada
rakyat Indonesia”. 7
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942, semua organisasi
perempuan
dilarang
kecuali
Fujinkai.
Organisasi
bentukan
Jepang
ini
beranggotakan istri pegawai negeri dan memiliki kemiripan dengan Dharma
Wanita (organisasi-organisasi istri para pejabat sipil). Kegiatan yang dilakukan
oleh Fujinkai yaitu kegiatan sosial salah satunya dibidang pemberantasan buta
huruf. 8
Pasca kemerdekaan, berbagai organisasi perempuan tumbuh, selain juga
ada yang merupakan kelanjutan dari organisasi perempuan di masa kolonial dan
menjadi berkembang sesudahnya. Diantaranya Wanita Marhaen yang menjadi
sayap perempuan Partai Nasionalis Indonesia, dan ada Gerakan Wanita Sedar
(GERWIS). 9 GERWIS berdiri pada 1950, kemudian tahun 1954 GERWIS
berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) 10 . Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia) adalah organisasi perempuan yang paling besar dan
paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia oleh karena itu organisasi ini sering
dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejak awal berdirinya, GERWANI banyak melakukan kegiatan-kegiatan
untuk peningkatan kesadaran kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak
mereka baik secara ekonomi maupun politik. Para anggota GERWANI pada
6
Ani Widyawani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: KOMPAS,
2005, hal. 22.
7
Artikel Gadis Arivia, Soekarno dan Gerakan Perempuan: Kepentingan Bangsa Versus
Kepentingan Perempuan, Jakarta, 2000, hal. 2 - 3.
8
Saskia E. Wieringa, op. cit., hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
umumnya berpendidikan tinggi dan berkesadaran politik. Gerwani, menuntut
tempat ditengah gelanggang politik bagi kaum perempuan.
Sejarah yang panjang tentang perjuangan gerakan perempuan terputus
sejak 1 Oktober 1965 yang menandai awal berdirinya rezim orde baru. Rezim ini
melakukan pemberangusan dan pelumpuhan terhadap organisasi-organisasi
perempuan beserta seluruh organisasi independen lainnya. Rezim Orde Baru
mendukung habis-habisan kapitalisme yang berkembang dengan cara-cara yang
sangat kejam, penuh dengan perampasan tanah petani, penggusuran pemukiman
kaum miskin, penindasan dan penghisapan kaum buruh, dan berbagai bentuk
kekerasan oleh aparat sipil maupun militer.
Gerakan perempuan yang kritis di Indonesia, tidak berkembang pada
zaman orde baru. Mitos yang dikembangkan rezim orde baru saat itu
mengarahkan peningkatan kualitas perempuan hanya sebagai istri. Ini ditunjukkan
oleh berbagai organisasi perempuan bentukan pemerintah saat itu seperti PKK
(Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), Dharma Wanita bagi istri pegawai negeri
dan Dharma Pertiwi bagi istri yang suaminya bekerja di salah satu cabang
angkatan bersenjata. 11 Sebagian besar organisasi perempuan di masa orde baru
lahir sebagai tanggapan atas hegemoni dan dominasi negara terhadap perempuan.
Karena dalam prakteknya seluruh organisasi perempuan yang ada diawasi dengan
ketat, dan mutlak harus menjalankan politik pemerintah.
Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengangkat posisi perempuan,
salah satunya melalui organisasi sosial perempuan sebagai gerakan perempuan
9
Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garba
Budaya, 1999, hal. 28.
10
Saskia E. Wieringa, ibid., hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
untuk pembebasannya dari segala ketertindasan dan ketidakadilan. Dengan
membangun organisasi perempuan di semua teritori, diharapkan perempuan dari
berbagai kalangan masyarakat dapat memahami ataupun menyadari penyebab
ketertindasannya kemudian ikutserta memperjuangkan hak – haknya.
Dalam masyarakat selama ini perempuan dipandang sebagai yang kedua
”The Second Sex” dimana peran utama perempuan adalah dilingkungan rumah
tangga (domestic sphere), sedangkan peran utama pria adalah diluar rumah (public
sphere) sebagai pencari nafkah utama. Ini merupakan bentukan budaya patriarki. 12
Ideologi patriarki merupakan salah satu basis penindasan perempuan
karena menciptakan dan memperkuat pembatasan ruang gerak perempuan antara
privat dan publik. Privat bermuara pada wilayah rumah tangga, yang dianggap
sebagai daerah awal utama kekuasaan laki – laki atas perempuan. Sedangkan
publik menempati wilayah - wilayah seperti lapangan pekerjaan dan negara.
Patriarki menurut Kamla Bhasin adalah sistem yang selama ini meletakan
kaum perempuan terdominasi dan tersubordinasi (patriarki). Hubungan antara
perempuan dan laki-laki bersifat hierarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan
dominan sedangkan perempuan sub-ordinat (laki-laki menentukan, perempuan
ditentukan). 13 Patriarki dikonstruksikan, dilembagakan dan disosialisasikan lewat
institusi-institusi yang terlibat sehari-hari dalam kehidupan seperti keluarga,
sekolah, masyarakat, agama, tempat kerja sampai kebijakan negara.
11
A. E. Priyono, Stanley Adi Prasetyo, Olle Tornqist, Gerakan Pro Demokrasi di
Indonesia Pasca Soeharto, Jakarta: DEMOS, 2003, hal. 391.
12
Siti Musidah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2005, hal. 31.
13
http://kunci.or.id/esai/nws/08/macho.htm. Nuraini Juliastuti, Kebudayaan yang
Maskulin, Macho, Jantan, dan Gagah, Newsletter KUNCI, 8 September 2000, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
Secara keseluruhan kaum perempuan baik
kalangan
mahasiswa/
intelektual, buruh dan petani mengalami dampak dari budaya patriarki yang
dilanggengkan melalui institusi yang bernama keluarga. Rumah adalah tempat
dimana sosialisasi awal konstruksi patriarki itu terjadi. Dalam beberapa hal
sebetulnya laki-laki juga dirugikan oleh patriarki. Dalam berbagai sistem
kebudayaan, seperti juga yang dialami perempuan, mereka didesak ke berbagai
macam stereotipe, dipaksa menjalankan peranan tertentu, diharuskan bersikap
menurut suatu cara tertentu, terlepas mereka suka atau tidak. Mereka juga
diwajibkan untuk menjalankan tugas-tugas sosial dan lainnya yang mengharuskan
mereka berfungsi dalam cara tertentu. Laki-laki yang sopan dan tidak agresif
dilecehkan dan diledek sebagai banci; laki-laki yang memperlakukan istrinya
secara sederajat dicap "takut istri".
Frederick Engels, seorang pionir feminisme dalam ajaran Marxisme,
melalui bukunya yang berjudul The Origin of Family, State and Private Property
(Asal–Usul Keluarga: Negara dan Kepemilikan Pribadi) menjelaskan inti
permasalahan dari melemahnya posisi perempuan adalah, mereka disingkirkan
dari akses ekonominya dan hanya difungsikan sebagai medium untuk melanjutkan
keturunan klan yang berarti penerus kekayaan. 14 Perempuan disingkirkan dari
kegiatan produksi dan diposisikan hanya sebagai aset yang dimiliki, dan berfungsi
untuk melayani. Posisi kaum perempuan hanya untuk melangsungkan keturunan
dan pekerjaan rumah tangga yang dianggap tidak menghasilkan untuk
perekonomian.
Jika patriarki merupakan akar penindasan perempuan dalam hal budaya,
14
Frederick Engels, The Origin of Family, State and Private Property: Asal-usul
Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara, Jakarta: Kalyanamitra, 2004, hal. 81.
Universitas Sumatera Utara
maka Neoliberalisme juga merupakan akar penindasan perempuan dalam hal
ekonomi dan politik (kebijakan). Neoliberalisme adalah cara
baru untuk
penguasaan secara langsung sumberdaya di negara terbelakang oleh penguasapenguasa modal di negara-negara maju. Ini berarti membuat yang kaya semakin
kaya, yang miskin semakin miskin. 15 Paket-paket kebijakan yang dibawa oleh
Neoliberalisme seperti perdagangan bebas, swastanisasi dan pemotongan subsidi,
tidak lain, adalah paket-paket untuk membuat agar pemodal asing bisa mengeruk
sebesar-besarnya kekayaan yang ada di negara-negara miskin, bisa dengan leluasa
menanamkan modal mereka, sehingga bisa berkembang biak, bisa bertambah
kaya.
Di Indonesia, tahun 2006 adalah masa panen kesengsaraan bagi kaum
perempuan. Secara ekonomi kaum perempuan Indonesia menjadi korban terbesar
dari kemiskinan dan kehancuran tenaga produktif akibat kebijakan Neolib. Dari
108 juta rakyat miskin yang hidup dibawah upah Rp. 19.000/hari, kaum
perempuan menempati lebih dari setengahnya. PHK sepihak oleh berbagai
industri manufaktur yang bangkrut mengorbankan angkatan kerja perempuan
lebih banyak daripada laki-laki. Tingginya angka pengangguran perempuan juga
dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi, termasuk peningkatan jumlah
pelacur. Jumlah pelacur anak saja mencapai 30%, dan setiap tahun 100.000 anak
diperdagangkan. 16
15
Materi Pendidikan Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokratik (LMND), Alam,
Neoliberalisme dan Pembangunan Berkelanjutan: Antara Charybdis dan Scylla, Jakarta, 2007,
hal. 2.
16
Dokumen Resmi Komite Persiapan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (KP
PAPERNAS), Catatan Akhir Tahun 2006: “Demokrasi Politik untuk Memperkokoh Jalannya
Penghisapan (Modal) Asing”. Jakarta, 2006, hal. 7 – 8.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu juga pendidikan dan kesehatan yang merupakan landasan bagi
kemajuan sumber daya manusia dan kemajuan suatu bangsa, semakin tak
menjangkau perempuan. Semakin sulit bagi mayoritas kaum ibu untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas yang murah, karena rumah-rumah
sakit besar yang berteknologi tinggi mayoritas dimiliki asing dan tidak bisa
diakses oleh rumah tangga miskin. Perempuan juga merupakan lapisan
masyarakat dengan tingkat melek huruf dan rata-rata sekolah yang paling rendah.
Pendidikan berkualitas hanya menjadi milik rumah tangga-rumah tangga kaya.
Sehingga masuk akal jika perempuan terjerumus ke dalam pekerjaan-pekerjaan
yang rentan eksploitasi, kekerasan, pelecehan seksual, termasuk rela dipoligami
karena tergantung secara ekonomi. Ini semua ditimbulkan oleh Neoliberalisme
yang diterapkan di Indonesia.
Hadirnya organisasi perempuan sebagai gerakan perempuan Indonesia
memiliki peran yang signifikan yang bukan saja untuk memperjuangkan hak-hak
dan kepentingan perempuan yaitu untuk mengangkat dan mengurusi peran dan
kedudukan perempuan yang bersifat jender, tetapi keberadaan organisasiorganisasi perempuan harus mampu menyentuh persoalan-persoalan rakyat secara
keseluruhan karena persoalan rakyat adalah juga persoalan perempuan dan
sebaliknya persoalan pembebasan terhadap perempuan merupakan bagian
persoalan rakyat. Dalam artian gerakan perempuan seharusnya menunjukkan
perannya dalam gerakan sosial lain.
Atas dasar inilah berbagai alternatif solusi terus dikembangkan dan
diwacanakan oleh aktivis perempuan yang dari berbagai organisasi, termasuk dari
kalangan akademisi untuk mempertajam persoalan – persoalan perempuan dan
Universitas Sumatera Utara
membicarakan metode pengorganisiran massa perempuan dengan satu prinsip,
tidak memisahkan pengorganisiran perempuan dengan massa lainnya.
Menurut Vivi Widyawaty, aktivis perempuan dari Jaringan Nasional
Perempuan Mahardika, organisasi-organisasi perempuan saat ini harus mampu
mengembangkan peran gerakan perempuan ke dalam gerakan sosial lainnya
artinya gerakan perempuan yang giat dikalangan rakyat jelata. 17 Karena itu
membangkitkan kembali gerakan perempuan yang sudah mengalami pasang surut
melalui pembangunan organisasi – organisasi perempuan di semua sektor adalah
sebuah langkah kedepan untuk menghadapi persoalan-persoalan ketertindasan
rakyat dan juga perjuangan yang lebih luas pada penegakkan demokrasi dan
keadilan.
Dita Indah Sari seorang aktivis buruh melontarkan pandangan kritis terhadap
gerakan perempuan.
”Gerakan perempuan tidak bisa eksklusif, melainkan harus inklusif bekerja sama
dengan gerakan-gerakan lain seperti gerakan buruh, ,gerakan tani, gerakan
prodemokrasi, dan gerakan-gerakan masyarakat lain untuk bersama-sama
memperjuangkan masyarakat yang lebih berkeadilan dan sejahtera. Juga
membangun organisasi di akar rumput dengan mengaitkan persoalan sehari-hari
dengan sistem politik seperti kekerasan dengan sistem pemerintahan yang
militeristik, kenaikan harga kebutuhan pokok dan banyaknya orang miskin dengan
ketidakmampuan mengelola ekonomi, serta tidak berjalannya sistem hukum”. 18
Ayu Ratih mendefenisikan gerakan perempuan sebagai usaha untuk
menerobos batasan yang memisahkan persoalan ketertindasan perempuan dan
ketertindasan manusia secara keseluruhan. Ini berarti gerakan perempuan harus
menyusun strategi tentang bagaimana memberi warna perempuan pada setiap
gerakan pembebasan yang bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk
17
Vivi Widyawaty, Laporan Konferensi Nasional Perempuan II POKJA (Kelompok
Kerja) Perempuan Mahardika, Jakarta, Senin, 14 Agustus 2006, hal. 3.
18
http://situs.kesrepro.info/gendervaw/2004/01/19/Pelangi
Gerakan
Perempuan
Indonesia, KOMPAS, Senin, 19 Januari 2004, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
diskriminasi dan ketidaksetaraan dalam tata hubungan antar manusia yang
beradab. 19
Basis teori dari gerakan pembebasan perempuan sesungguhnya adalah
feminisme. Gerakan feminisme melihat terjadi penindasan terhadap kaum
perempuan. Penindasan bersifat tidak adil. Dan pembebasan, mewujudkan
pembatasan atas penindasan.
Penindasan dan pembebasan tidak hanya memperkenalkan terminologi
politik baru, namun sebuah perspektif baru dalam dunia politik, pandangan ini
dipengaruhi oleh ide Marxis dari perlawanan kelas. 20 Menurut Marxis, semua
perempuan tertindas sebagai perempuan, tetapi dampak penindasan itu berbeda
bagi perempuan pada kelas 21 yang berbeda. Perjuangan seputar
penindasan
perempuan memerlukan keterlibatan perempuan dari latar belakang sosial
berbeda. Feminisme Marxis sebagai sebuah gerakan menggunakan analisis kelas
dalam memahami penindasan perempuan. Aliran ini memandang masalah
penindasan perempuan bersumber dari kapitalisme. 22
Bell
Hooks
seorang
filsuf
Amerika
yang
mewacanakan
dan
mengkampanyekan feminisme, mengemukakan mengenai feminisme. Feminisme
menurutnya adalah gerakan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi dan
19
Ayu Ratih dalam Perempuan: Mata Rantai Yang Hilang Dalam Pemberadaban
Manusia, hal. 6.
20
http://pembebasan.wordpress.com/2007/02/07/ J. Indra Wisudha, Feminisme-Marxis,
hal. 2.
21
Kelas sosial dalam konsepsi Marxisme yaitu sebagai segolongan besar masyarakat yang
dibedakan dengan segolongan masyarakat lainnya berdasarkan posisi mereka secara historis dalam
sistem produksi sosial, oleh relasi/hubungan mereka dengan alat-alat produksi, oleh peran mereka
dalam organisasi kerja secara sosial dan sebagai konsekuensinya, adalah hilangnya kemampuan
untuk mendapatkan jatah kekayaan sosial dan cara untuk memperolehnya. (V.I. Lenin, Collected
Works, jilid 29, Hal.421, Progress Publisher, Moscow 1964-1970).
22
Kapitalisme adalah sebuah sistem yang dijadikan alat untuk kebutuhan minoritas, untuk
pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan
(dalam segala bentuk) dari mayoritas.(Artikel “Politik Feminisme Untuk Pembebasan“, hal. 3).
Universitas Sumatera Utara
penindasan. Feminisme, sebagai roh gerakan perempuan, dapat diberi pengertian
sebagai “Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan
dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh
perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut”. Menurut definisi
ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis
kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan
untuk menentangnya, adalah seorang feminis. 23
Karena itu cukup menarik untuk meneliti organisasi perempuan sebagai
sebuah gerakan bagi perjuangan pembebasan perempuan. Saskia Eleonora
Wieringa salah seorang yang pernah meneliti “Gerakan Perempuan dan
Organisasi Kaum Perempuan dalam Perspektif Sejarah 24 , melalui penelitiannya
tentang Wieringa mencoba menguak fakta sejarah Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia) yang selama ini disusun oleh Orde Baru apakah “fiksi” atau
“kebenaran”. Untuk menjawabnya, Wieringa menggunakan gender sebagai
konsep analitis. Konsep ini digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana fungsi
gender dalam hubungan-hubungannya dengan umat manusia dan bagaimana
gender dimanipulasi didalam hubungan ekonomi, politik, dan sosial. 25
Dalam perspektif penelitian Wieringa, Gerwani ditempatkan sebagai
“korban” peristiwa politik Oktober 1965 dan hal ini tidak akan terungkap tanpa
menggunakan metode penelitian yang berperspektif feminis. Melalui penelitian
ini, Wieringa telah memberikan sumbangan yang besar untuk keperluan
23
http://rumahkiri.net/2007/01/03/Nur Amin Samhuri: Feminisme Sosialis, hal. 10.
Saskia E. Wieringa, Gerakan Perempuan dan Organisasi Kaum Perempuan Indonesia
(Disertasi dalam rangka proyek penelitian “The Politization of Gender Relations in IndonesiaGerakan dan Organisasi Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sejarah) diterjemahkan oleh Hesri
Setiawan dan kemudian diterbitkan oleh Garba Budaya dan Kalyanamitra), Jakarta, Desember
1982 -1985, hal. 25 – 28.
24
Universitas Sumatera Utara
membangun gerakan perempuan di Indonesia, juga terhadap khazanah penelitian
sejarah perempuan yang selama ini terabaikan.
Bagi gerakan perempuan, ia menyajikan rujukan mengenai perjuangan
kaum perempuan yang telah menentukan jalannya sejarah gerakan-gerakan
pembebasan pasca kemerdekaan. Organisasi Gerwani yang oleh rezim Orde Baru
dikatakan pelacur bejat moral ternyata adalah organisasi massa perempuan yang
suaranya sangat keras dalam membela hak-hak perempuan dan anak-anak sesuai
dengan keadaan zamannya. Musuh ideologi Gerwani adalah berbagai pandangan
yang menjadi penyebab berlangsungnya diskriminasi terhadap perempuan, yang
bersumber pada feodalisme, imperialisme dan kolonialisme.
Gerwani sebagai organisasi massa perempuan bukan hanya aktif
memperjuangkan kepentingan kaum perempuan tetapi juga giat dalam usaha
pemberantasan buta huruf dan banyak bekerjasama dengan organisasi massa
lainnya seperti SOBSI dalam memperjuangkan nasib buruh perempuan.
26
Penelitian Wieringa terhadap Gerwani sebagai gerakan perempuan dipupuk oleh
meningkatnya penelitian terhadap perempuan yang terjadi sejak awal 1980-an.
Gerwani turut membangun sejarah perempuan di Indonesia. Ini berarti Gerwani
telah membangkitkan kembali Gerakan Perempuan di Indonesia dan juga telah
memberikan sumbangan besar terhadap cita-cita organisasi-organisasi perempuan
masa kini untuk membangun masyarakat Indonesia baru yang nasional demokratis
dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan berkeadilan.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Wieringa ini kemudian dapat
menambah catatan baru bahwa sama seperti organisasi sosial dan organisasi
25
26
Saskia E. Wieringa, ibid., hal. 29.
Saskia E. Wieringa, ibid., hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
kemasyarakatan lainnya, keberadaan organisasi perempuan adalah sebagai agen
dalam melakukan perubahan-perubahan sosial di Indonesia. Sebuah perubahan
yang menciptakan tatanan masyarakat demokratis yang adil dan damai bagi semua
lapisan masyarakat terutama bagi kaum perempuan. Karena itu membangun
organisasi perempuan yang program perjuangannya tidak terpisah dari perjuangan
gerakan sosial masyarakat lainnya adalah jalan keluarnya.
Perempuan dari semua lapisan masyarakat jelas mengalami ketertindasan,
baik oleh budaya patriarki dan Neoliberalisme. Seperti halnya dalam dunia
pertanian. Perempuan menghadapi diskriminasi yang luar biasa dalam area ini,
seperti upah buruh tani perempuan yang lebih rendah dibanding buruh tani lakilaki. Selain itu, di daerah pedesaan dengan taraf ekonomi rendah, petani
perempuan mendapat perlakuan semena-mena. Secara individu mereka tidak
memiliki hak-hak sosial dan hukum dan kadang tidak diperlakukan secara
manusiawi. Secara total hidup mereka berada dibawah dominasi laki-laki dalam
keluarganya. 27 Petani perempuan mempunyai peran yang menentukan dalam
ekonomi. Bukan hanya karena jam kerja yang panjang baik di rumah maupun di
ladang, tapi karena perempuan menghasilkan anak dan ikut memikul beban
ekonomi.
Bronstain (1982) menjelaskan bagaimana perempuan dari keluarga miskin
di pedesaan acapkali harus menderita karena perjuangan rangkap tiga yang
menindihnya, yakni bahwa perempuan itu sebagai warga negara yang terbelakang,
perempuan sebagai petani yang tinggal didaerah yang sangat miskin dan
perempuan
yang
hidupnya
ditengah-tengah
masyarakat
laki-laki.
Pada
27
http://kinasih.org/portal/2007/06/26/ Soliper Kinasih: Memahami Akar Permasalahan
Kaum Perempuan, hal. 1 – 2.
Universitas Sumatera Utara
kenyataannya, perempuan sering ditinggalkan dalam upaya pengembangan
ekonomi dan ilmu pengetahuan karena perempuan dianggap bertempat dirumah
dan perannya sebagai pengasuh dan pemelihara rumah tangga. 28
Yayasan BITRA Indonesia sebagai salah satu NGO di Sumatera Utara
yang pernah meneliti mengenai “Kondisi nyata yang terjadi di lapangan pada
komunitas perempuan di pedesaan”, mendeskripsikan bagaimana perempuan
pekerja di pedesaan khususnya yang berprofesi sebagai petani mengalami beban
ganda (kerja berlebih), selain harus melakukan kerja produksi yaitu bertani, dalam
rumah tangga, perempuan ini juga harus mengolah dan menyelesaikan proses
pekerjaan domestik (memasak, mencuci dan memelihara anak).
29
Dalam
penelitian ini Yayasan BITRA menunjukkan bahwa telah terjadi peminggiran
(marginalisasi) terhadap perempuan pekerja dari kerja produktifnya dimana upah
kerja perempuan lebih rendah daripada upah pekerja laki-laki. Hal ini terjadi
karena adanya anggapan bahwa posisi perempuan tidak dianggap sebagai individu
yang menanggung beban ekonomi keluarga.
Kekerasan, subordinasi dan berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami
kaum perempuan di pedesaan seperti petani perempuan adalah persoalan yang
bersumber dari sisa-sisa bentukan budaya feodalisme yang kemudian tertanam
kuat (terkonstruksi) dalam sistem sosial masyarakat Indonesia sampai saat ini.
Disadari atau tidak ini adalah bentuk penindasan terhadap perempuan yang secara
perlahan tapi pasti merendahkan posisi perempuan ditengah-tengah masyarakat. 30
28
V. Aida, Dilema Ekonomi Wanita Pedesaan dalam Dinamika Wanita Indonesia,
Jakarta: Penerbit PPSW, 1995, hal. 18.
29
Rustam Ependi, dkk, Gender dan Komunitas Perempuan Pedesaan: Kondisi Nyata
Yang Terjadi di Lapangan, Medan: BITRA Indonesia, 2002, hal. 20.
30
Rustam Ependi, dkk, ibid., hal. 21 – 22.
Universitas Sumatera Utara
Untuk merubah penindasan dan penghisapan yang dialami kaum
perempuan baik secara ekonomi, sosial, budaya mau pun politik diperlukan
kesadaran perempuan untuk melakukan perjuangan beserta seluruh rakyat demi
tegaknya kesetaraan, keadilan dan demokrasi. Suatu keharusan untuk membangun
pondasi kekuatan dengan persatuan kaum perempuan yang berada di organisasi
tani mau pun buruh atau organisasi-organisasi lainnya untuk bersama-sama dan
bersatu padu yang juga harus didukung oleh kaum laki-laki.
Bagi penulis keberadaan gerakan perempuan harus mampu berperan
strategis dalam menguatkan gerakan petani di Indonesia. Seperti halnya Saskia E.
Wieringa yang menggunakan perspektif feminis dalam menemukan fakta sejarah
Gerakan Perempuan di Indonesia, penelitian ini juga banyak dipengaruhi oleh
perspektif feminisme seperti feminis sosialis yang tidak memisahkan perjuangan
pembebasan rakyat dari perjuangan pembebasan terhadap perempuan.
Teori feminisme beranjak dari asumsi bahwa gender merupakan
konstruksi yang meskipun bermanfaat, tetapi didominasi oleh bias laki-laki dan
cenderung opresif terhadap perempuan. Teori feminis berupaya menentang
asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat dan mencapai cara yang
lebih membebaskan kaum perempuan. 31
Dalam
menganalisis
persoalan
ketidakadilan
yang
dialami
oleh
perempuan, penelitian ini tidak melihat bahwa laki-laki sebagai musuh
perempuan, melainkan patriarki sebagai salah satu bentuk penindasan perempuan
yang dilanggengkan oleh sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan akar
permasalahannya. Ini berangkat dari analisis feminis Marxis dan feminis sosialis
31
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Jakarta: Pustaka Pelajar,
2003, hal. 86.
Universitas Sumatera Utara
yang melihat bahwa kepemilikan alat-alat produksi yang hanya dikuasai oleh
segelintir orang (minoritas) telah menimbulkan kelas. 32 Sehingga perempuan dan
laki-laki sebagai kelas pekerja sesungguhnya mengalami penindasan secara
bersamaan
untuk keuntungan minoritas (pemodal). Dan demi terbebasnya
masyarakat dari penindasan ini, sistem kapitalis harus diganti dengan sistem
masyarakat sosialis.
Gerakan feminisme ini telah mempopulerkan analisis gender dalam
mengamati berbagai fenomena sosial. Upaya membebaskan kaum perempuan
dari ketidakadilan merupakan perjuangan untuk menciptakan tatanan masyarakat
yang lebih demokratis dan egaliter. Sebab, hak-hak politik, sosial, dan ekonomi
perempuan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh kerangka hak
asasi manusia. Dengan demikian gerakan perempuan dapat berperan strategis
untuk menguatkan gerakan – gerakan perlawanan ( gerakan sosial) masyarakat,
sebagai agen untuk memperjuangkan hak – hak demokratis, keadilan dan
pembebasan rakyat. Demikian pula halnya dalam gerakan tani, gerakan
perempuan adalah sebagai salah satu elemen penggerak perjuangan rakyat (petani
dan buruh tani)dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
2. PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan masalah
penelitiannya sebagai berikut:
1. Perkembangan gerakan perempuan di Indonesia pada masa sebelum
kemerdekaan hingga saat ini.
32
Mansour Fakih, ibid., hal. 88 – 89.
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana keadaan kaum perempuan akibat bentukkan budaya Patriarki
dan Neoliberalisme di Indonesia.
3. Apa dan bagaimana peran organisasi perempuan sebagai bagian dari
gerakan sosial dalam memperjuangkan dan mewujudkan hak-hak
demokratis dan keadilan bagi kaum perempuan seperti pada petani
perempuan.
4. Mengapa organisasi perempuan perlu dibangun dalam gerakan sosial
(Gerakan Prodemokrasi) seperti gerakan tani yang dalam penelitian ini
yaitu Serikat Tani Nasional desa Pematang Lalang, Kabupaten Deli
Serdang.
3. TUJUAN PENELITIAN.
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk memberikan penjelasan tentang penyebab (akar) dan asal-usul
ketertindasan kaum perempuan.
2.
Untuk mendeskripsikan sekaligus memberikan penjelasan bagaimana
situasi (kondisi) kaum perempuan, dalam jeratan Neoliberalisme dan
Patriarki.
3.
Untuk mengidentifikasikan persoalan-persoalan dan bentuk-bentuk
ketidakadilan yang dialami oleh petani perempuan di desa Pematang
Lalang.
4.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan Serikat Tani Nasional (STN)
desa Pematang Lalang tentang perlunya membangun organisasi
perempuan dan peran organisasi perempuan dalam gerakan tani.
4. MANFAAT PENELITIAN.
Universitas Sumatera Utara
Disamping tujuan yang hendak dicapai maka suatu penelitian harus
mempunyai manfaat. Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat Praktis, bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk
mengembangkan kemampuan penulis dalam membuat karya ilmiah dan
bagi kaum perempuan, khususnya bagi perempuan tani, penelitian ini
dapat
memberikan penjelasan praksis dalam berorganisasi dan
membangkitkan semangat kaum perempuan, khususnya dikalangan
petani untuk bangkit melawan ketertindasannya.
2. Manfaat Akademis, bagi FISIP USU, khususnya Departemen Ilmu
Politik, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu sosial secara umum dan secara khusus.
3. Bagi organisasi petani: Serikat Tani Nasional, penelitian ini memberikan
masukkan agar gerakan petani juga mendukung gerakan perempuan
dalam perjuangan pembebasannya.
4. Bagi
kawan-kawan
perempuan
yang
terlibat
dalam
organisasi
perempuan (Gerakan Perempuan), penelitian ini dapat bermanfaat untuk
membangkitkan kembali roh/ semangat gerakan perempuan yang aktif
dalam perjuangan rakyat jelata seperti buruh tani perempuan di desa.
5. KERANGKA TEORI.
Kerangka teori diperlukan dalam setiap penelitian untuk memberikan
landasan teoritis bagi penulis dalam menyelesaikan masalah dalam proses
penelitian. 33 Kerangka teori juga membantu seorang peneliti dalam menentukan
tujuan dan arah penelitian, serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang
Universitas Sumatera Utara
ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten. 34 Peran teori dalam sebuah
penelitian diumpamakan sebagai “pemandu” seseorang dalam meneliti
Teori-teori yang dipakai untuk menjadi landasan berfikir dan titik tolak
menyoroti masalah yang diteliti oleh penulis, yaitu:
5. 1. Teori Gerakan Sosial.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan
atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang
disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai
gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang
ada. 35 Perlawanan atau desakan untuk mengadakan perubahan dapat dikategorikan
sebuah gerakan sosial. Gerakan sosial lahir dari situasi yang dihadapi masyarakat
karena adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap rakyat.
Dengan kata lain gerakan sosial lahir sebagai reaksi terhadap sesuatu yang tidak
diinginkannya atau menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil.
Berbagai gerakan sosial dalam bentuk LSM dan Ormas bahkan Parpol
yang kemudian menjamur memberikan indikasi bahwa dalam suasana demokratis,
masyarakat memiliki banyak prakarsa untuk mengadakan perbaikan sistem atau
struktur yang cacat.
Gerakan sosial secara teoritis merupakan sebuah gerakan yang lahir dari
dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi,
kebijakan atau struktur pemerintah. Di sini terlihat tuntutan perubahan itu
33
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES,
34
Koentjaraningrat, Metode-metode penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia, 1990,
hal. 21.
hal. 65.
35
http://globalisasi.wordpress.com/2006/07/10/Gerakan Sosial: Kajian Teoritis (Makalah
yang dimuat pada hari Senin, 10 Juli 2006), hal. 3-4.
Universitas Sumatera Utara
biasanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai lagi dengan konteks
masyarakat yang ada atau kebijakan itu bertentangan dengan kehendak sebagian
rakyat. Karena gerakan sosial itu lahir dari masyarakat maka kekurangan apapun
di tubuh pemerintah menjadi sorotannya. Dari literatur definisi tentang gerakan
sosial, ada pula yang mengartikan gerakan sosial sebagai sebuah gerakan yang
anti pemerintah dan juga pro pemerintah. Ini berarti tidak selalu gerakan sosial itu
muncul dari masyarakat tapi bisa pula hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau
penguasa. 36
Dilihat dari perspektif Marxis, gerakan sosial dianggap sebagai gejala
yang positif yang
kemunculannya disebabkan oleh karena terjadinya proses
eksploitasi dan dominasi satu kelas terhadap kelas lainnya. Gerakan sosial, dengan
demikian, dipahami sebagai reaksi (perlawanan) kaum proletar terhadap kaum
borjuis, merupakan ekspresi dari struktur kelas yang kontradiktif. Singkatnya,
gerakan sosial adalah perjuangan kelas yang lahir karena adanya kesadaran
kelas. 37
Dalam konteks kekinian, ada dua teori yang mendominasi studi-studi
gerakan sosial, yakni teori mobilisasi sumber daya yang berbasis di Amerika
Serikat, dan perspektif gerakan sosial baru New Social Movement ( NSM ) yang
berbasis di Eropa Barat. Jika dalam studi-studi gerakan sosial yang berkembang
pada tahun 1940-1960-an gerakan sosial dianggap sebagai gejala penyimpangan
(deviant), irasional dan dianggap penyakit sosial, maka dalam studi-studi yang
berkembang pada 1960-1970-an dan 1980-an hingga sekarang, gerakan sosial
36
Juwono Sudarsono (ed), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Jakarta:
Gramedia, 1976, hal. 24 – 25.
37
http://globalisasi.wordpress.com/2006/07/10/Gerakan Sosial: Kajian Teoritis, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
dipandang sebagai gejala positif yang kelahirannya didasari oleh alasan-alasan
rasional.
Lahirnya pandangan positif merupakan implikasi dari perkembangan
gerakan sosial dewasa ini, yang dinilai telah berhasil mendorong proses
demokratisasi. Gerakan sosial yang dimaksud adalah gerakan perjuangan hak-hak
sipil, gerakan anti kolonial, feminis, gerakan hak asasi manusia dan gerakan antirasial. 38
Teori gerakan sosial baru dan mobilisasi sumber daya merupakan dua
perspektif teori yang mendominasi studi-studi gerakan sosial kontemporer. Tidak
hanya itu, kedua teori itupun memberi pengaruh yang besar terhadap
perkembangan gerakan sosial di negara-negara Dunia Ketiga. Gerakan-gerakan
untuk perubahan telah banyak bermunculan di negara Dunia Ketiga. Terdapat
pandangan yang berusaha menilai hadirnya gerakan sosial ataupun kelompok aksi
di dunia ketiga. Ada yang melihat gerakan sosial itu sebagai leluhur dari transisi
ke sosialisme, dan yang lain melihat sebagai pendukung munculnya masyarakat
sipil.
Fuentes dan Gunder Frank mendefenisikan kelompok aksi atau pun
gerakan sosial tersebut sebagai akar rumput (bersifat lokal), transisional ke arah
sosialisme dalam arti berusaha untuk memutuskan mata rantai kolonialisme dan
bersifat antipolitik, yang artinya tidak berusaha untuk memegang kekuasaan di
tingkat institusional, tetapi secara luas merupakan gerakan demokratis.
39
Kelompok itu merupakan instrumen dan pernyataan perjuangan rakyat terhadap
38
Noer Fauzi, Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta:
InsistPress, 2005, hal. 10 – 11.
39
Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil Dunia Ketiga ”Gerakan Politik Baru
Kaum Terpinggir”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000, hal.27.
Universitas Sumatera Utara
eksploitasi dan penindasan yang sudah sangat tua serta upaya bertahan hidup dan
mempunyai identitas, mencoba untuk mencapai, dan menjadi instrumen dari,
pemberdayaan diri yang demokratis.
Disisi lain terdapat pandangan mengenai munculnya kelompok aksi atau
gerakan-gerakan sosial di Dunia Ketiga, adalah sebagai unsur utama dalam
munculnya masyarakat sipil dengan berusaha untuk melindungi, memprotes dan
meningkatkan kepentingan para anggotanya, hal ini memberikan dukungan
kepada munculnya proses demokratis yang perlahan dengan memperkuat dan
memperluas masyarakat sipil.
Stepan mendefenisikan masyarakat sipil sebagai wilayah dimana terdapat
banyak gerakan sosial (termasuk asosiasi kemasyarakatan, kelompok perempuan,
badan-badan keagamaan, dan arus intelektual) dan organisasi profesi (ahli hukum,
wartawan, serikat sekerja, wiraswastawan,dan sebagainya) yang berjuang
membentuk diri mereka menjadi suatu kerangka bersama guna menyatakan diri
dan memajukan kepentingannya. 40 Dengan kata lain, masyarakat sipil berfungsi
sebagai batu pembatas dari warga negara terhadap kekuasaan negara.
Masyarakat sipil tercakup dalam konsepsi asosiasi individu yang bebas
dan tidak tergantung pada Negara, mengatur dirinya sendiri dalam sederetan
aktifitas otonom dan signifikan secara politik. Masyarakat sipil hendaknya
menjadi pelindung yang kuat terhadap dominasi negara, meliputi organisasiorganisasi yang membatasi dan mengesahkan kekuasaan negara.
Jika suatu negara demokratis, itu mengandung pengertian bahwa paling
tidak disitu ada “ruang” dimana masyarakat sipil dan kelompok oposisi dapat
40
Jeff Haynes, ibid., hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
berfungsi dan mengejar tujuannya. Hong 1991, dikutip dalam Stiefel dan Wolfe
1994: 197, melihat organisasi yang mengikutsertakan lapisan bawah justru
sebagai fondasi dari masyarakat demokratis Dunia Ketiga. 41
Demokrasi, memberikan ruang bagi rakyat jelata termasuk juga bagi
perempuan, dimana mereka dapat mengorganisasikan diri dan dengan demikian
mereka memiliki peluang untuk mencapai tujuan mereka dalam mengejar
pembangunan dan atau perubahan sosial politik untuk memulihkan kedudukan
sosial mereka. Perspektif teori-teori yang dikembangkan pada umumnya
meletakkan gejala gerakan sosial sebagai aktor penting yang berperan dalam
proses perubahan dari otoritarianisme ke demokrasi.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, ada beberapa hal yang dapat
dicatat sebagai ciri-ciri atau karakter yang melekat dalam gerakan sosial, yaitu:
 Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk perilaku kolektif.
 Gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat
perubahan sosial atau untuk mempertahankan suatu kondisi. Itu
artinya, tujuan sekelompok orang untuk melakukan gerakan sosial
tidak selalu didasari oleh motif dan cita-cita ‘perubahan’, karena bisa
juga–disadari atau tidak– ditujukan untuk mempertahankan keadaan
(status quo).
 Gerakan sosial tidak identik dengan gerakan politik yang terlibat
dalam perebutan kekuasaan secara langsung.
 Gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisasi, baik
formal maupun tidak.
41
Jeff Haynes, ibid., hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
 Gerakan sosial merupakan gejala yang lahir dalam kondisi
masyarakat yang konfliktual. 42
Dalam sejarah modern dikenal ada ada dua jenis gerakan sosial yakni
gerakan kelas dan gerakan kelompok etnik. Contoh gerakan sosial adalah antara
kelas menengah lawan kelas dan kaum bangsawan, kelas petani lawan tuan tanah,
kelas pekerja lawan majikan, petani lawan tengkulak dan petty bourgeoisie
(borjuis kecil) lawan pengusaha besar. Mungkin lebih luas lagi kelas miskin lawan
kelas kaya. Selanjutnya, fungsi dari gerakan sosial adalah :
•
Gerakan sosial memberikan sumbangsih kedalam pembentukan opini
publik dengan memberikan diskusi-diskusi masalah sosial dan politik dan
melalui penggabungan sejumlah gagasan-gagasan gerakan kedalam opini
publik yang dominan.
•
Gerakan sosial memberikan pelatihan para pemimpin yang akan menjadi
bagian dari elit politik dan mungkin meningkatkan posisinya menjadi
negarawan penting.
5. 2. Teori Gerakan Perempuan.
Defenisi yang komprehensif tentang gerakan perempuan sangat sukar,
karena gerakan perempuan tidak pernah bicara dalam satu bahasa. Defenisi yang
luas
lebih
tepat
untuk
bisa
menangkap
heterogenitas,
pluralitas
dan
kompleksitasnya. Gerakan perempuan dapat dilihat sebagai spektrum menyeluruh
dari perbuatan individu atau kolektif secara sadar dan tidak sadar, kegiatan,
kelompok atau organisasi yang berperhatian terhadap berkurangnya berbagai
42
Sadikin, Perlawanan Petani dan Konflik Agraria dalam Diskursus Gerakan Sosial,
2004, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
aspek subordinasi gender yang dipandang sebagai berjalinan dengan penindasan
lainnya, seperti misalnya yang didasarkan atas kelas, ras, etnik, umur dan seks. 43
Menurut Melluci, gerakan perempuan bisa berupa jaringan kerja yang tak
nampak dari kelompok kecil yang timbul ditengah kehidupan sehari-hari, di dalam
”laboratoriumnya” yang tak menampak itu, gerakan akan mempertanyakan atau
menentang aturan hidup sehari-hari.
44
Gerakan perempuan seperti gerakan feminisme memandang perempuan
sampai saat ini selalu dalam posisi tertindas, subordinat secara sistem dan
terpenjara secara ideologis. Kelahiran gerakan pembebasan perempuan
merefleksikan perubahan struktural dalam kehidupan sebagian besar
perempuan. Gerakan feminis berhasil membangun karakter sosial atas
situasi kaum perempuan dan mendapatkan pengakuan gender perempuan.
Gerakan
pembebasan
perempuan
merupakan
gerakan
yang
dengan berbagai teori dan pandangan politik yang berbeda.
heterogen
45
Kalau gerakan perempuan yang terjadi pada akhir abad ke-18 sampai awal
abad ke-20 banyak memusatkan perhatiannya pada upaya memperoleh ruang
publik yang lebih luas dengan keterlibatan perempuan di dalam wilayah politik
dan ekonomi, maka belakangan ini tuntutan yang memuncak dan meluas adalah
penghilangan batasan wilayah publik dan pribadi dalam masalah perempuan.
Gerakan perempuan yang terjadi saat ini lebih kritis memandang asal-usul
munculnya penindasan terhadap mereka.
Kaum sosialis memandang perlunya gerakan perempuan yang bukan
bertujuan memusuhi laki-laki. Lebih dari itu, gerakan perempuan mesti lebih kritis
43
44
Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan diIndonesia, op. cit., hal. 75.
Saskia E. Wieringa, ibid., hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
memandang asal-usul penindasan terhadap perempuan dan kaum tertindas
lainnya. Karena kaum perempuan dan laki-laki sebagai kelas pekerja, sejatinya
berada dalam penindasan yang sama.
Perempuan harus bertarung dengan kemiskinan sebagai buruh pabrik,
buruh migran, buruh tani dan buruh kebun, juga sebagai pembantu rumah tangga
dan pekerja seks. Mereka semua memiliki karakter sosial yang sama yaitu miskin,
berpendidikan rendah dan dibayar murah. Ketiga poin diatas merupakan bentuk
kekerasan yang paling mendasar terhadap perempuan yang berakar pada
diskriminasi secara ekonomi politik dan sosial terhadap perempuan yang berwatak
patriarki. 46
5.2.1. Teori Feminisme.
Feminisme dilahirkan beberapa abad lalu di Barat yang dipelopori oleh
Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet, karena menilai ada
ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sumber ketidakadilan itu dinilai karena
kuatnya dominasi laki-laki (patriarki). Menjelang abad 19 feminisme lahir
menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan-putih di
Eropa. Simone de Beauvoir dalam Le Deuxieme Sexe (1949) memunculkan
eksistensi perempuan sebagai kelas kedua. Perempuan di negara-negara penjajah
Eropa (perempuan kulit putih) memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai
universal sisterhood.
45
Ernawaty Sasongko, Feminisme dan Sosialisme (diterjemahkan dari tulisan Lisa
Mcdonald ”Feminism and socialism : Putting The Pieces Together”), Australia: Resistance Book,
2001, hal. 41- 42.
46
Saskia E. Wieringa, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis,
Charles Fourier pada tahun 1837. 47 Pada awalnya gerakan ini diperlukan pada
masa itu, karena terjadinya pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah
dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa
dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki
(maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidangbidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan terutama bidang politik, hak-hak kaum
perempuan biasanya memang lebih rendah ketimbang apa yang dapat dinikmati
oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris (pertanian),
cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan atau di luar rumah sedangkan
kaum perempuan di rumah.
Secara umum, hal-hal yang menjadi momentum perjuangan gerakan
feminisme yaitu: hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran
gender, identitas gender dan seksualitas. Maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya,
gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme,
stereotyping, seksisme, dan penindasan perempuan. 48
Dalam perjalanan sejarahnya, ide feminisme ternyata muncul di berbagai
penjuru dunia dan punya berbagai corak yang masing-masing menawarkan
analisisnya tentang sebab dan pelaku penindasan kaum perempuan. Meski
berbeda-beda, pada dasarnya feminisme sampai kini masih sepakat bahwa
diperlukan perjuangan untuk mencapai kesetaraan harkat perempuan dengan lakilaki, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan
tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Sampai kini dikenal
47
http://wikipedia.com/2007/01/07/Penelusuran tentang Feminisme, hal. 1 – 2.
Universitas Sumatera Utara
beberapa aliran besar feminisme antara lain feminisme Marxis, feminisme
Sosialis, feminisme liberal, dan ekofeminisme. 49
Di Indonesia pada abad 20, organisasi-organisasi perempuan mulai
dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi,
maupun personal bagi kaum perempuan. Selain itu juga, reformasi hukum yang
berperspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam
parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis. Saat ini, feminisme
umumnya mengacu pada semua usaha yang mencoba untuk mengakhiri
subordinasi.
Menurut Gerda Lerner terdapat beberapa defenisi mengenai istilah
feminisme. Diantaranya, feminisme adalah sebuah doktrin yang menyokong hakhak sosial dan politik yang setara bagi perempuan; kepercayaan pada perubahan
sosial yang luas dan berfungsi untuk meningkatkan daya perempuan. Menurutnya,
feminisme dapat mencakup baik gerakan hak-hak perempuan maupun emansipasi
perempuan. 50
Gerakan hak-hak perempuan berarti sebuah gerakan yang peduli dengan
pemenangan bagi kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam semua aspek
masyarakat dan memberi mereka akses pada semua hak-hak dan kesempatankesempatan yang dinikmati laki-laki dalam institusi dari masyarakat tersebut.
Gerakan hak-hak perempuan serupa dengan gerakan hak-hak sipil dalam
menginginkan partisipasi setara bagi perempuan dalam status quo. Istilah
48
Artikel Dewi Candraningrum Soekirno, Menolak Universalisme ‘Perempuan’:
Perempuan Indonesia ‘bukan’ Perempuan Jawa, Jakarta, 2003, hal. 2.
49
Artikel Nur Amin Samhuri “Feminisme Sosialis: Apa? Bagaimana? Dan Mengapa
Kita Harus Menolak Feminisme Borjuis?” (Materi Pendidikan Politik Perempuan yang dibawakan
dalam DIKPOL Perempuan Mahardika), Medan, 5 Januari 2007, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
emansipasi perempuan berarti bebas dari pembatasan yang menindas yang
dikenakan oleh seks; penentuan diri; dan otonomi. 51
Feminisme juga dapat dikatakan sebagai sebuah ide yang berupaya
melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama jender 52 ,
pencarian akar ketertindasan perempuan sampai upaya penciptaan pembebasan
perempuan secara sejati. 53 Feminisme sesungguhnya adalah basis teori dari
gerakan pembebasan perempuan. Berbicara mengenai pembebasan berarti ada
hubungannya dengan penindasan. Pembebasan mewujudkan pembatasan atas
penindasan. Penindasan bersifat tidak adil. Penindasan dan pembebasan tidak
hanya memperkenalkan terminologi politik baru, namun sebuah perspektif baru
dalam dunia politik, pandangan ini dipengaruhi oleh ide Marxis dari perlawanan
kelas. 54
5.2.2. Teori Feminisme Sosialis.
[
Aliran feminis sosialis mulai berkembang di Jerman dan Rusia dengan
menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin (1871-1919). Feminisme
sosialis sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber
penindasan perempuan. Aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme
radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Akan tetapi,
50
C.Y. Marselina Nope, Jerat Kapitalisme Atas Perempuan, Yogyakarta: Resists Book,
2005, hal. 66.
51
C.Y. Marselina Nope, ibid., hal. 68.
52
Dalam Webster’s New World Dictionary (1984: 561), Jender diartikan sebagai
“perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”
(Endang Sumiarni, op. cit., hal. 1.)
53
C.Y. Marselina Nope, op. cit., hal. 57.
54
http://pembebasan.wordpress.com/2007/02/07/ Penelusuran tentang Sejarah feminisme,
hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
feminisme sosialis tidak melihat laki-laki sebagai sumber penindasan ataupun
sebagai musuh kaum perempuan. 55
Menurut
penindasan
pandangan
atas
feminisme
perempuan
sosialis,
adalah
perjuangan
perjuangan
melawan
untuk
melawan
penindasan dan penghisapan dari kelas masyarakat, bukan perjuangan
melawan laki-laki karena penindasan perempuan merupakan produk
dari kelas masyarakat.
56
Feminis sosialis berupaya menghilangkan struktur kelas dalam
masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Aliran ini berpendapat bahwa
”ketimpangan jender didalam masyarakat
adalah akibat penerapan
sistem kapitalis” yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa
upah
bagi
perempuan
dalam
lingkungan
rumah
tangga.
Kapitalisme
adalah sebuah sistem yang digunakan sebagai alat untuk kebutuhan minoritas,
untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan,
eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas. 57
Melalui perspektif Marxis, penindasan perempuan merupakan
produk dari masyarakat kelas dan hanya bisa diakhiri apabila kita
mampu menghancurkan seluruh tatanan masyarakat kelas.
tidak
akan
masyarakat,
perempuan
menegaskan
terbebaskan
sehingga
merupakan
bahwa
sebelum
menghancurkan
perjuangan
satu
jika
kesatuan
gerakan
kelas
dan
yang
tidak
feminisme
58
Perempuan
sisa-sisa
kelas
perjuangan
untuk
terpisahkan. Ini
tidak
mengembangkan
strategi untuk membangun aliansi dengan sektor tertindas lainnya
maka mustahil dasar penindasan perempuan dapat dihancurkan.
59
55
C.Y. Marselina Nope, op. cit., hal. 62.
http://rumahkiri.net/ 2007/05/02/ Nur Amin Samhuri, Feminisme Sosialis, hal. 8.
57
http://pembebasan.wordpress.com/2007/02/07/ Nur Amin Samhuri, Feminisme Marxis,
56
hal. 1.
58
59
Ernawaty Sasongko, op. cit., hal. 7.
Ernawaty Sasongko, ibid., hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
Feminis sosialis memandang kapitalisme dan patriarki adalah dua
kekuatan yang saling mendukung. Menurut Heidi Hartmann (1992), salah seorang
feminis sosialis, patriarki adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan
dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat.
Menurutnya, patriarki semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai
landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan.
Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan
sistem patriarki. Di Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problemproblem kemiskinan yang menjadi beban perempuan. 60
Engels dalam bukunya yang diterbitkan 1884 (Origins of the Family,
Private Property, and the State): Asal-usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi,dan
Negara, mengatakan, “masyarakat kapitalis yang memiliki kepemilikan pribadi
asal usulnya berasal dari institusi keluarga. Dan keluarga yang universal itu adalah
keluarga patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga”. 61
Cikal bakal kapitalisme adalah adanya struktur patriarki dalam keluarga
yang menempatkan pria sebagai penguasa/kepala keluarga serta adanya konsep
kepemilikan pribadi dalam keluarga, termasuk kepemilikan harta dan kepemilikan
istri.
62
Patriarki menurut Edwards (dkk) adalah suatu sistem yang dapat
berproduksi secara mandiri yang memberikan kendali atas komponen-komponen
penting dari alat produksi dan reproduksi, kepada laki-laki. 63 Di sini dinilai pihak
perempuan/istri tertindas karena tidak punya kekuatan ekonomi.
60
61
62
63
http://rumahkiri.net/ Nur Amin Samhuri, Feminisme Sosialis, op. cit., hal. 10.
C. Y. Marselina Nope, op. cit.., hal. 118.
C. Y. Marselina Nope, ibid.
Endang Sumiarni, op. cit., hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat dibawah cengkraman kapitalisme seperti Indonesia,
kaum perempuan yang jumlahnya setengah dari umat
manusia mengalami
penindasan ganda, dimana secara ekonomi kaum perempuan mengalami
penindasan dalam lapangan kerja produksi, seperti perempuan buruh di pabrikpabrik yang harus berjuang menuntut kenaikan upah yang layak, serta dalam
lingkup budaya yang terhegemoni oleh budaya patriarki. Seorang buruh
perempuan dan petani perempuan ditindas oleh modal. Mereka, yang telah lelah
sepulang bekerja, juga harus memenuhi tugasnya sebagai istri dengan melayani
suami, memasak di dapur, mencuci dan mengurus anak. 64
Feminisme sosialis mencoba membongkar akar ketertindasan perempuan
dan menawarkan ideologi alternatif yakni: Sosialis. Penindasan terhadap
perempuan tidak akan berakhir selama masih terus diterapkannya sistem
kapitalisme. Inilah yang dikatakan sebagai peminggiran peran perempuan sebagai
bagian dari produk sosial, politik dan ekonomi yang berhubungan dengan
keberadaan kapitalisme sebagai suatu sistem. Inilah penindasan yang berakar pada
keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat.
Secara ringkas, feminisme sosialis berpandangan bahwa perjuangan
sosialisme tak dapat dipisahkan dengan perjuangan pembebasan perempuan dan
dengan keteguhan didalam masyarakat yang terorganisirlah pembebasan
perempuan sejati akan tercapai, yakni ketika masyarakat sosialis telah tercipta.
Tak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan, tak ada pembebasan
perempuan tanpa sosialisme. 65
64
Artikel Ken Budha Kusumandaru, Asal – Usul Penindasan Perempuan (Materi
Pendidikan Politik Perempuan yang dibawakan dalam DIKPOL Kelompok Diskusi - Perempuan
Mahardika), Medan, 5 Januari 2007, hal. 7.
65
Nur Amin Samhuri, op. cit., hal. 2 – 3.
Universitas Sumatera Utara
Ini berarti bahwa perjuangan pembebasan perempuan hanya berhasil
ketika sistem kepemilikan pribadi yang memerlukan secara logis penindasan
terhadap perempuan, berhasil dihancurkan dan lalu berhasilnya transformasi sosial
masyarakat yang menghancurkan kelas-kelas, dan penguasaan alat-alat produksi
oleh segelintir orang untuk diserahkan dan dikelola secara sosial. Perjuangan
perempuan harus dilakukan dengan persatuan yang kokoh dengan berbagai sektor
masyarakat lain, terutama dengan kelas pekerja. Perjuangan perempuan tak bisa
terpisah secara sektoral dan eksklusif, karena akan melemahkan persatuan kokoh
dari masyarakat yang tertindas. Ini berarti perempuan juga harus terlibat aktif
dalam gerakan-gerakan sosial lainnya.
5.2.3. Teori Neoliberalisme
Neo-liberalisme adalah variasi dari liberalisme klasik di abad 19 ketika
Inggris dan imperialisme lainnya menggunakan ideologi kompetisi pasar dan
perdagangan bebas untuk menyetujui kapitalisme di negara mereka sendiri dan
negeri jajahan mereka di seluruh dunia. "Liberalisme" bisa berkaitan dengan
politik, ekonomi, atau bahkan gagasan-gagasan relijius. "Neo" berarti kita
membicarakan tentang jenis baru liberalisme. 66
Aliran ekonomi liberal menjadi terkenal di Eropa ketika Adam Smith,
seorang ekonom Inggris, menerbitkan bukunya di tahun 1776 yang berjudul The
Wealth of Nations. Ia dan pihak-pihak
lainnya mendukung penghapusan
intervensi pemerintah dalam urusan ekonomi. Menyerukan agar tidak adanya
hambatan dalam perdagangan, tidak adanya tariff. Smith menyatakan:
66
Artikel Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, Apa Itu Neo-Liberalisme ? (Materi
Pendidikan Politik bagi Pengurus Serikat Tani nasional (STN)-sebuah defenisi ringkas bagi Aktifis
yang tidak mencantumkan tanggal penulisannya), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
“perdagangan bebas adalah cara
terbaik untuk perkembangan perekonomian
sebuah bangsa”. Gagasan ekonomi semacam ini adalah "liberal" dalam artian
tidak adanya kontrol.
Penerapan watak individualisme ini mendorong adanya persaingan
"bebas", yang sesungguhnya bermakna kebebasan bagi kaum kapitalis untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya sesuai keinginan mereka.
Pokok-pokok utama Neo-Liberalisme 67, meliputi:
1. Aturan Pasar. Membebaskan perusahaan "bebas" atau perusahaan
swasta dari kewajiban-kewajiban yang diterapkan oleh pemerintah
(negara)
tidak
peduli
sebanyak
apa
kerugian
sosial
yang
diakibatkannya. Tidak ada lagi kontrol harga. Intinya, kebebasan
mutlak bagi pergerakan modal, barang, dan jasa.
2. Memotong Anggaran Belanja Publik bidang pelayanan sosial
seperti pendidikan dan pemeliharaan kesehatan.
3. Deregulasi, mengurangi peraturan pemerintah dalam segala hal yang
bisa menurunkan keuntungan, termasuk dalam hal perlindungan
alam dan keselamatan kerja.
4. Privatisasi. Menjual badan-badan usaha milik negara, barang-barang
dan jasa kepada investor swasta. Ini termasuk bank-bank, industriindustri strategis, jaringan rel kereta api, jalan-jalan tol, pembangkit
listrik, sekolah-sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih.
Privatisasi
terutama
sekali
berpengaruh
dalam
pemusatan
kemakmuran/kekayaan yang lebih besar lagi ke tangan segelintir
67
Artikel Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, ibid., hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
orang dan membuat masyarakat membayar lebih banyak lagi untuk
memenuhi kebutuhannya.
Di seluruh dunia, Neo-liberalisme telah didiktekan oleh lembaga-lembaga
keuangan yang
berkuasa seperti International Monetary Fund (IMF), Bank
Dunia dan Inter-American Development Bank.
6. METODOLOGI PENELITIAN
6. 1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif. Berdasarkan metode yang dipakai,
maka penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Hadari
Nawawi,
prosedur
metode
penelitian
pemecahan
menggambarkan/melukiskan
deskriptif
masalah
keadaan
dapat
yang
diartikan
sebagai
diselidiki
subjek/objek
dengan
penelitian
seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
68
Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data
dan
fakta-fakta
secara
sistematis
sehingga
dapat
lebih
mudah
dipahami dan disimpulkan.
Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk menjelaskan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau
daerah tertentu. 69 Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan bagaimana
kondisi gerakan perempuan masa kini yang digambarkan lewat program dan
strategi perjuangan organisasi perempuan yang dalam penelitian ini adalah
organisasi yang ada pada basis tani perempuan di Pematang Lalang, Deli Serdang.
68
Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1987, hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini juga menggunakan teori-teori, konsep-konsep dan data dari
pengamatan langsung yang diperoleh dilapangan untuk menjelaskan hasil
penelitian dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Maka jenis penelitian
ini adalah penelitian kualitatif.
6. 2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian penulis dalam penelitian ini yaitu di desa Pematang
Lalang, Kabupaten Deli Serdang dan mengambil tempat pada organisasi tani yaitu
Serikat Tani Nasional, Pematang Lalang.
6. 3. Populasi dan Sampel
Menurut Sumanto populasi yaitu : seluruh subyek di dalam wilayah
penelitian dijadikan subyek penelitian. 70
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh warga masyarakat di Pematang
Lalang yang terdaftar sebagai anggota dari Serikat Tani Nasional. Sedangkan
Sampel dari penelitian ini adalah seluruh pengurus (Komite Pimpinan Desa)
Serikat Tani Nasional - Pematang Lalang, Deli Serdang dan pengurus (Komite
Pimpinan Wilayah) STN Sumut. Yang dimaksud pengurus dalam hal ini adalah
seorang-orang yang telah melewati proses pendidikan dan juga bertanggung
jawab terhadap terlaksananya program kerja organisasi. Pengurus ini dijadikan
sebagai Key Informant.
7. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
69
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
Cetakan IX,1995, hal. 18.
70
Sumanto, Metodologi Penelitian Ilmu Sosial dan Pendidikan, Yogyakarta: ANDI,
1990, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
Untuk pengumpulan data penelitian ini, penulis menggunakan 2 teknik
pengumpulan data, yaitu dengan cara :
1. Metode Lapangan (Field Research)
Dengan metode ini penulis akan terjun langsung ke lapangan untuk
mendapatkan data-data yang diperlukan. Dalam hal ini peneliti
menggunakan metode wawancara yaitu melakukan wawancara langsung
dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang akan diteliti.
Penulis juga akan melakukan metode observasi yaitu mengamati secara
langsung objek yang akan diteliti.
2. Metode Kepustakaan (Library Research)
Untuk data pendukung, terutama guna melengkapi kerangka teoritis dan
kerangka konsep dipergunakan penelitian kepustakaan. Referensi yang
digunakan adalah text book yaitu buku bacaan, artikel, makalah,
majalah/surat kabar, dan web site.
8. TEKNIK ANALISA DATA
Setelah data yang diperoleh dirasa cukup memadai untuk mendukung
proses analisa, maka tahapan selanjutnya adalah analisa data. Dalam analisa data
ini, data yang sudah terkumpul akan diolah dan kemudian di analisis untuk dapat
disimpulkan sebagai hasil dari penelitian. Penelitian ini mencoba menganalisis
pandangan Serikat Tani Nasional (STN) desa Pematang Lalang mengenai
perlunya membangun Organisasi Perempuan dalam gerakan-gerakan rakyat
maupun gerakan prodemokrasi seperti gerakan tani.
Metode analisa data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode
analisis deskriptif yaitu suatu metode dimana data yang diperoleh disusun dan
Universitas Sumatera Utara
kemudian diinterpretasikan sehingga memberikan keterangan terhadap masalahmasalah yang aktual berdasarkan data-data yang sudah terkumpul dari penelitian.
Dalam menganalisa data dalam penelitian ini pertama-tama penulis
terlebih dahulu mengumpulkan data-data primer yang menyangkut masalah
penelitian dan data tersebut diperoleh melalui buku-buku, dokumentasi resmi,
artikel dan makalah/ skripsi/ tesis dari peneliti terdahulu yang sebelumnya juga
pernah meneliti masalah yang sama. Selain itu data juga diperoleh melalui
wawancara langsung dengan orang-orang ataupun organisasi (pihak) yang
berhubungan langsung dengan masalah penelitian yng dalam penelitian ini adlah
petani perempuan di Desa Pematang Lalang serta seluruh pengurus Serikat Tani
Nasional – Pematang Lalang.
Data- data yang sudah terkumpul kemudian di analisa dengan
menggunakan teori-teori sebagai landasan teoritis bagi penulis dalam menjelaskan
dan menjawab masalah-masalah penelitian. Teori-teori yang digunakan yaitu,
teori Gerakan Sosial untuk menganalisis peran organisasi massa perempuan
sebagai bagian dari gerakan sosial, teori Feminisme sebagai analisa terhadap
perkembangan gerakan perjuangan pembebasan perempuan, dan juga Perspektif
Feminisme Sosialis dan Feminisme Marxis terhadap Perjuangan Pembebasan
Perempuan. Dalam menganalisis persoalan petani perempuan, penulis juga
menggunakan teori Gender untuk menjelaskan peran dan kedudukan perempuan
terutama pada petani perempuan di Desa Pematang Lalang. Berdasarkan teoriteori tersebut masalah-masalah yang diteliti oleh penulis dapat dijelaskan secara
ilmiah dan sistematis.
9. SISTEMATIKA PENULISAN.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini berusaha mengungkapkan tentang apa yang dimaksud gerakan
pembebasan perempuan (Gerakan Sosial Perempuan) melalui pembangunan organisasi
perempuan sebagai bagian dari perjuangan pembebasan rakyat melawan ketidakadilan dan
ketidakberpihakan sistem terhadap hak-hak sosial, ekonomi dan politik kaum perempuan.
Agar penulisan hasil penelitian ini lebih sistematis, maka penulis membaginya dalam IV
bab dan beberapa sub bab.
Bab I menguraikan tentang latar belakang masalah yaitu perkembangan gerakan
perempuan Indonesia dari catatan sejarah yang dimulai sebelum kemerdekaan, bagaimana
keikusertaan perempuan Indonesia dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dan
munculnya organisasi-organisasi perempuan Indonesia yang tumbuh dan berkembang
sampai saat ini. Bab ini menjelaskan bagaimana strategi dan pengorganisiran organisasi
massa perempuan dalam memperjuangkan hak dan kedudukan kaumnya pada massa orde
lama, penghancuran gerakan perempun di masa orde baru dan bangkitnya gerakan
perempuan yang demokratis saat ini. Dalam bab ini juga di uraikan kondisi perempuan
pedesaan seperti petani perempuan yang kerap kali mengalami bentuk-bentuk
ketidakadilan sistem ekonomi dan politik terutama budaya yang meminggirkan posisinya
dan bagaimana peran organisasi perempuan dalam menyikapi persoalan mereka.
Bab II berisi tentang gambaran lokasi penelitian yaitu desa Pematang
Lalang. Untuk memudahkan penulis dalam pengumpulan data, penelitian ini
dilakukan pada Serikat Tani Nasional (STN) desa Pematang Lalang sebagai
organisasi tani yang menjadi payung bagi beberapa kelompok tani dan komunitas
petani perempuan di desa Pematang Lalang. Maka dalam bab ini di jelaskan
profil organisasi meliputi ; sejarah singkat organisasi, tujuan dan program
organisasi, prinsip-prinsip organisasi serta struktur organisasi.
Kemudian pada bab III adalah pembahasan. Dalam pembahasan, penulis
menyajikan data-data masalah penelitian dan menganalisis masalah penelitian.
Pertama, penulis menjelaskan tentang asal-usul ketertindasan perempuan mulai
dari fase komunal primitif sampai fase kapitalisme. Kemudian penulis akan
memberikan gambaran mengenai kondisi perempuan Indonesia akibat sistem
ekonomi Neoliberalisme dan budaya patriarki. Dalam bab III penulis juga
menguraikan bagaimana situasi petani perempuan yang mayoritas hidup dalam
Universitas Sumatera Utara
kemiskinan akibat penghisapan ekonomi neolib serta ketidakadilan yang dialami
petani perempuan dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka yang dirampas
oleh pengusaha bekerjasama dengan penguasa, juga bagaimana budaya patriarki
yang mengharuskan mereka menjalankan kerja-kerja rumah tangga tetapi juga
harus melakukan kerja produksi agar dapat bertahan hidup (beban ganda). Bab ini
juga menganalisis pandangan Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang
sebagai alat perjuangan petani laki-laki mau pun petani perempuan mengenai
perlunya membangun organisasi perempuan yang demokratik di setiap sektor
baik dalam dunia buruh, mahasiswa, khususnya dalam gerakan petani.
Bagian terakhir dari penulisan skripsi ini berisikan saran dan kesimpulan
yang diperoleh dari analisa data yang diteliti. Bab IV berusaha menyimpulkan
mengenai gerakan perempuan dewasa ini dalam masyarakat serta makna gerakan
sosial perempuan yaitu peran organisasi perempuan yang dibangun dalam gerakan
pro-demokratik seperti gerakan petani karena melihat kondisi perempuan di
pedesaan yang berprofesi sebagai petani atau buruh tani kerap kali mengalami
ketidakadilan dan pengeksploitasian dari sistem ekonomi-politik Neoliberal dan
budaya patriarki. Selain menyimpulkan data-data yang telah dianalisis, penulis
juga mencoba memberikan saran sebagai masukan bagi kemajuan ataupun
perkembangan gerakan perempuan dewasa ini, terlebih bagi para akademisi yang
juga berperan dalam berbagai gerakan sosial kemasyarakatan khususnya aktifis
perempuan demi kemajuan kaum perempuan di masa mendatang.
Universitas Sumatera Utara
Download