BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Jengkol adalah tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara. Bijinya digemari di Malaysia, Thailand, dan Indonesia sebagai bahan pangan. Tumbuhan ini juga banyak ditemukan di Malaysia dan Thailand (Anonim, 2009). Namun, asal-usul tanaman jengkol tidak diketahui dengan pasti. Di Sumatera, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, tumbuhan jengkol banyak ditanam di kebun atau pekarangan secara sederhana (Roswaty, 2010). 2.1.1 Sistematika Tumbuhan Sistematika tumbuhan jengkol : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Fabales Suku : Mimosaceae Marga : Pithecellobium Spesies : Pithecellobium lobatum Benth (Pandey, 2003). 2.1.2 Sinonim Sinonim dari tumbuhan jengkol, antara lain: Zygia jiringa (Jack) Kosterm., Pithecellobium jiringa (Jack) Prain ex King. (Hutapea, 1994) Universitas Sumatera Utara 2.1.3 Nama Daerah Nama daerah dari tumbuhan jengkol adalah jering (Gayo), joring (Batak), jarieng (Minangkabau), jaring (Lampung), jengkol (Sunda), jengkol, jering, jingkol (Jawa), blandingan (Bali), lubi (Sulawesi Utara) (Hutapea, 1994; Heyne, 1987) 2.1.4 Habitat dan Daerah Tumbuh Tumbuhan ini merupakan pohon di bagian barat Nusantara, tingginya sampai 26 m, dibudidayakan secara umum oleh penduduk di Jawa dan di beberapa daerah tumbuh menjadi liar. Tumbuh paling baik di daerah dengan musim kemarau yang tidak terlalu panjang (Heyne, 1987). 2.1.5 Morfologi Tumbuhan Akar tunggang berwarna coklat kotor. batang tegak, bulat, berkayu, banyak percabangan. Daun majemuk, anak daun berhadapan, berbentuk lonjong, panjang 10-20 cm, lebar 5-15 cm, tepi rata, ujung runcing, pangkal membulat, pertulangan menyirip, berwarna hijau tua. Bunga majemuk, berbentuk tandan, terletak di ujung batang, dan ketiak daun, berwarna ungu, kelopak berbentuk mangkok, benang sari dan putik berwarna kuning, mahkota berbentuk lonjong berwarna putih kekuningan. Buah berbentuk bulat pipih, berwarna coklat kehitaman. Biji berbentuk bulat pipih, berkeping dua, dan berwarna putih kekuningan (Hutapea, 1994). 2.1.6 Kandungan Kimia Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman jengkol banyak mengandung zat, antara lain adalah sebagai berikut: protein, kalsium, fosfor, asam Universitas Sumatera Utara jengkolat, vitamin A dan B1, karbohidrat, minyak atsiri, saponin, alkaloid, terpenoid, steroid, tanin, dan glikosida. Karena kandungan zat-zat tersebut di atas, maka jengkol memberikan petunjuk dan peluang sebagai bahan obat, seperti yang telah dimanfaatkan orang pada masa lalu (Pitojo, 1994). Biji, kulit batang, kulit buah dan daun jengkol mengandung beberapa senyawa kimia, diantaranya saponin, flavonoid dan tanin (Hutapea, 1994). 2.1.7 Khasiat Tumbuhan Kulit buah jengkol digunakan untuk obat borok (Hutapea, 1994) dan luka bakar (steffi, dkk., 2009). Daunnya berkhasiat sebagai obat eksim, kudis, luka dan bisul (Hutapea, 1994), sedangkan kulit batang (Wispiyono, B., 1991) dan kulit halus biji jengkol (Soemitro, S., 1987) sebagai penurun kadar gula darah (Widowati, dkk., 1997 ; Jis, dkk., 1990). 2.2 Ekstraksi Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan.Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk (Ditjen POM,2000). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang Universitas Sumatera Utara tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan tekanan,agar bahan sesedikit mungkin terkena panas. Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet (Ditjen POM,2000). Ada beberapa cara metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000), yaitu: dengan cara dingin (seperti : maserasi, perkolasi), dan cara panas (seperti : refluks, sokletasi, digesti, infundasi dan dekoktasi). 1. Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Remaserasi berarti melakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat pertama,dan seterusnya. 2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan / penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). 3. Refluks Universitas Sumatera Utara Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 4. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik 5. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, umumnya dilakukan pada suhu 40-50oC. 6. Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 96-98oC (bejana infus tercelup dalam penagas air mendidih) selama 15-20 menit. 7. Dekoktasi Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama ≥ 30( menit) dan temperatur sampai titik didih air (90-98oC) 2.3 Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dimana terdapat adanya gangguan dalam metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein akibat penurunan dalam sekresi insulin, sensitivitas insulin, atau keduanya (Triplitt, dkk., 2008). Sindrom resistensi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi Universitas Sumatera Utara peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas. Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi sindrom metabolik yang dapat menjadi awal suatu diabetes mellitus (Sudoyo, dkk., 2007). Diabetes mellitus (DM) mempunyai sindroma klinik yang ditandai adanya poliuria, polidipsia, dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (kadar glukosa puasa≥ 126 mg/dl atau postprandial ≥ 200 mg/dl atau glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl) (Suherman, 2007). 2.3.1 Pankreas Pankreas adalah suatu organ lonjong, kira-kira 15 cm, yang terletak di belakang lambung dan sebagian di belakang hati. Dalam pankreas terdapat 4 jenis sel endokrin, yakni: a. sel alfa (α), yang memproduksi hormon glukagon, proglucagon, glucagonlike peptides (GLP) b. sel-beta (β), yang memproduksi hormon insulin, C-peptide, proinsulin, amylin, γ-aminobutyric acid (GABA) c. sel-D (δ), yang memproduksi somatostatin d. sel-PP (Sel-F), yang memproduksi pancreatic polypeptide (PP), yang mungkin berperan pada penghambatan sekresi endokrin dan empedu (Tan, dan Rahardja, 2007). 2.3.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan etiologinya menurut American Diabetes Association (2005) meliputi: 1. DM tipe 1 adanya destruksi sel beta-langerhans pada pankreas, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut, akibat kelainan autoimun (antibodi Universitas Sumatera Utara sel islet, antibodi insulin, dan antibodi asam glutamat dekarboksilase) atau idiopatik. 2. DM tipe 2, bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. 3. DM tipe lain, akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat / zat kimia, infeksi, imunologi, sindroma genetik lain. Bentuk ini biasanya disebabkan oleh adanya malnutrisi disertai kekurangan protein. Dulu jenis ini disebut Diabetes Terkait Malnutrisi (MRDM), tetapi oleh karena patogenesis jenis ini tidak jelas maka tidak lagi disebut MRDM tetapi Diabetes Tipe Lain. 4. Diabetes Kehamilan (Diabetes Gestasional), adalah diabetes yang timbul selama kehamilan (Sudoyo, dkk., 2007) Tabel 2.1 Presentasi Klinis Diabetes Mellitus (Triplitt, dkk., 2008) Karakteristik DM Tipe 1 DM Tipe 2 Usia < 30 tahun > 30 tahun Onset tak terduga Bertahap Bobot tubuh Kurus Resistensi insulin tidak ada obesitas atau memiliki riwayat obesitas Ada Autoantibodi sering ada Jarang Gejala Simtomatik Asimtomatik Diagnosis adanya keton Ada tidak ada Tergantung terapi insulin Ada tidak ada Komplikasi akut diabetes ketoasidosis Hiperglikemik hiperosmolar nonketosis Universitas Sumatera Utara Komplikasi mikrovaskular Tidak Ada Komplikasi makrovaskular Jarang Ada 2.3.3 Diagnosa Diabetes Mellitus Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa dapat juga dilihat dari keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien berupa lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita (Sudoyo, dkk., 2007). Menurut Triplitt, dkk., (2008), berikut kategori status glukosa darah puasa (GDP) dan tes toleransi glukosa oral (OGTT) pada Tabel 2.2 di bawah ini: Tabel 2.2. Kategori Status Glukosa Kategori Status Glukosa Glukosa Darah Puasa (GDP) 2 jam Sesudah Beban Glukosa (Tes Toleransi Glukosa Oral) Normal <100 mg/dL (5,6 mmol/L) GDP Terganggu 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) Diabetes Mellitus ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L) Normal <140 mg/dL (7,8 mmol/L) GDP Terganggu 140-199 mg/dL (7,8-11,1 mmol/L) Diabetes Mellitus ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) Selain itu juga terdapat nilai atau indeks diagnostik tambahan yang dibagi atas 2 bagian, yakni: a. Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta Universitas Sumatera Utara Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan C-peptide, serta nilai HbA1C “Glycosylated hemoglobin” (WHO memakai istilah “Glyclated hemoglobin”). b. Indeks proses diabetogenik Untuk penilaian proses diabetogenik dilakukan dengan penentuan tipe dan sub-tipe HLA (Human Leucocyte Antigen), seperti adanya tipe atau titer antibodi yang ditujukan pada sel islet pankreas (islet cell antibodies, ICA), insulin autoantibodi (IAA), anti GAD (Glutamic Acid Decarboxylase). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pancreas dan menyebabkan kerusakan sel. GAD adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA). Adanya ICA, IAA, dan anti GAD ini menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah DM tipe 1. (Sudoyo, dkk., 2007 ; Widijanti, dkk., 2011). 2.3.4 Patogenesis Diabetes Mellitus DM tipe 1 atau dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena adanya kerusakan sel pankreas (reaksi autoimun) menyebabkan defisiensi absolut fungsi sel beta pankreas. Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai type 1 idiopathic. Sebagian besar (75%) kasus terjadi < 20 tahun, tetapi dapat juga Universitas Sumatera Utara terjadi pada setiap usia. Prevalensi DM tipe 1 ini masih sedikit dalam populasi (Triplitt, dkk., 2008). DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM dikenal sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. DM tipe 2 ini sering dijumpai pada individu yang obesitas. Kasus ini umumnya dijumpai pada usia > 30 tahun (Triplitt, dkk., 2008). Sindroma klinik yang sering dijumpai pada diabetes mellitus yakni poliuria, polidipsia dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dikonsumsi mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen, dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Semua proses tersebut terganggu pada DM, glukosa tidak dapat masuk ke sel hingga energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Sebenarnya hiperglikemia sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali bila kadarnya tinggi sekali sehingga darah menjadi hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Yang berbahaya adalah glikosuria yang timbul, karena glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga diuresis meningkat disertai hilangnya berbagai elektrolit (poliuria). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada pasien DM sehingga terjadi koma hiperglikemik hiperosmolar nonketosis. Karena adanya dehidrasi, maka tubuh berusaha mengatasinya dengan banyak minum (polidipsia). Selain itu, polifagia juga timbul karena adanya perangsangan pusat nafsu makan di Universitas Sumatera Utara hipotalamus akibat kurangnya pemakaian glukosa di sel, jaringan, dan hati (Suherman, 2007). Normalnya lemak yang berada dalam aliran darah, melewati hati dan dipecah menjadi gliserol dan asam lemak. Asam lemak kemudian diubah menjadi senyawa keton (asam asetoaseat, aseton, asam betahidroksibutirat) dan dilepaskan ke aliran darah kembali untuk disirkulasikan ke sel tubuh agar dimetabolisme menjadi energi, CO2 dan air. Pada saat terjadi gangguan metabolit, lipolisis bertambah dan lipogenesis terhambat, akibatnya dalam jaringan terbentuk senyawa keton lebih cepat daripada sel tubuh dapat memetabolismenya. Maka, terjadi akumulasi senyawa keton dan asidemia (penurunan pH darah dan meningkatnya ion hidrogen dalam darah). Sistem buffer tubuh berusaha untuk menetralkan perubahan pH yang ditimbulkannya, tetapi bila ketosis yang timbul lebih hebat maka pH darah tidak dapat dinetralisir dan terjadi diabetik ketoasidosis. Keadaan klinis ini ditandai dengan nafas yang cepat dan dalam, disebut pernafasan Kussmaul, disertai adanya bau aseton (Suherman, 2007). 2.3.5 Komplikasi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan terjadinya komplikasi kronik, baik mikrovaskular maupun makrovaskular. Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik DM. Perubahan dasar / disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal. Pada retinopati diabetik terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah dan kemudian terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan Universitas Sumatera Utara menyebabkan kelainan mikrovaskular berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan tekanan glomelular, dan disertai meningkatnya matriks ekstraseluler akan menyebabkan terjadinya perubahan penebalan membran basal, ekspansi mesangial, dan hipertrofi glomelular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan glomerulosklerosis. Pada selanjutnya komplikasi yang mengarah ke terjadinya kardiovaskular, umumnya terjadi aterosklerosis akibat adanya plak pada daerah subintimal pembuluh darah yang kemudian berlanjut pada terjadinya penyumbatan pembuluh darah dan kemudian sindrom koroner akut (Sudoyo, dkk., 2007). 2.3.6 Manajemen Pengobatan Diabetes Mellitus Tujuan terapi dari manajemen DM ini adalah mengurangi resiko terjadinya komplikasi penyakit mikrovaskular (seperti neuropati, retinopati, dan nefropati) dan makrovaskular (seperti hipertensi, jantung koroner, stroke), mengurangi mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup (Triplitt, dkk., 2008). Langkah pertama dalam mengelola diabetes mellitus selalu dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa perencanaan makan / terapi nutrisi medik, olahraga, dan penurunan berat badan. Bila dengan langkah tersebut sasaran terapi pengendalian DM belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Sudoyo, 2007). Obat antidibetika oral dibagi dalam 6 kelompok, sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 1. Sulfonilurea (misalnya: tolbutamid, klorpropamida, glibenklamida, gliklazida, glipizida, glikidon dan glimepirida) Mekanisme kerja sulfonilurea dengan menstimulasi insulin dari sel betapankreas. Sulfonilurea berikatan dengan reseptor sulfonilurea yang memiliki afinitas tinggi yang berkaitan dengan saluran K-ATP pada sel βpankreas, akan menghambat effluks kalium sehingga terjadi depolarisasi kemudian membuka saluran Ca dan menyebabkan influks Ca sehingga meningkatkan pelepasan insulin . Di samping itu, sulfonilurea juga dapat meningkatkan kepekaan reseptor terhadap insulin di hati dan di perifer. 2. Kalium-channel blockers (misalnya: repaglinida, nateglinida) Golongan ini mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea, hanya pengikatan reseptornya terjadi di tempat lain dan kerjanya lebih singkat. 3. Biguanida (misalnya: metformin) Berbeda dengan sulfonilurea, obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan gula-darah pada orang sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan sehingga berat badan tidak meningkat, maka dapat diberikan pada penderita yang kegemukan. Penderita ini biasanya mengalami resitensi insulin, sehingga sulfonilurea kurang efektif. Mekanisme kerjanya yaitu dengan meningkatkan kemampuan insulin untuk memindahkan glukosa ke dalam sel (insulin sensitizers). 4. Glukosidase-inhibitors (misalnya: akarbose dan miglitol) Obat golongan ini bekerja dengan merintangi enzim alfa-glukosidase di mukosa duodenum, sehingga reaksi penguraian polisakarida menjadi Universitas Sumatera Utara monosakarida terhambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga puncak kadar gula darah dapat dihindarkan. Universitas Sumatera Utara 5. Thiazolidindion (misalnya: rosiglitazon dan pioglitazon) Obat golongan ini bekerja dengan mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas jaringan perifer untuk insulin (insulin sensitizers). 6. Penghambat DPP-4 (dipeptidylpeptidase-4 blockers) Obat golongan baru ini bekerja dengan menghambat enzim DPP-4 sehingga produksi hormon incretin tidak menurun. Adanya hormon incretin berperan utama dalam produksi insulin di pankreas dan pembentukan hormon GLP-1 (glukagon-like peptide-1) dan GIP (glucosedependent insulinotropic polypeptide) di saluran cerna yang juga berperan dalam produksi insulin. Dengan penghambatan enzim DPP-4 akan mengurangi penguraian dan inaktivasi incretin, GLP-1 dan GIP, sehingga kadar insulin akan meningkat (Tan, dan Rahardja, 2007). 2.4. Insulin Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta pankreas, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah (Sudoyo, 2007). Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang Universitas Sumatera Utara kemudian dihimpun dalam gelumbung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Disini, dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel (Sudoyo, 2007). 2.5 Monitoring Diabetes Mellitus Pemeriksaan yang dilakukan antara lain kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated haemoglobin, khususnya HbA1C . Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin (Triplitt, dkk., 2008). Kategori status glukosa darah puasa dan 2 jam PP dapat dilihat pada Tabel 2.2 di atas. Nilai HbA1C normal menurut ACA (American College of Endocrinology) dan AACE (American Association of Clinical Endocrinologists) adalah < 6,5%, sedangkan menurut ADA (American Diabetes Assosiation) adalah < 7% (Triplitt, dkk., 2008). Di dalam sirkulasi darah, terdapat sel darah merah yang membentuk molekul hemoglobin. Glukosa yang melekat pada hemoglobin ini membentuk molekul glycated haemoglobin yang disebut hemoglobin A1c atau HbA1C. Kadar HbA1C akan meningkat secara signifikan bila kadar glukosa darah meningkat (Anonim, 2011). Karena itu, pengukuran HbA1C merupakan gold standard untuk kontrol glikemik jangka panjang pada pasien diabetes. HbA1C digunakan untuk memonitoring (follow-up) penatalaksanaan terapi obat dan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat. Oleh karena itu, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali untuk dapat mengontrol terapi pengobatan pasien diabetes (Triplitt, dkk., 2008). Universitas Sumatera Utara 2.6 Aloksan Pada uji farmakologi / bioaktivitas pada hewan percobaan, keadaan diabetes mellitus dapat diinduksi dengan cara pankreaktomi dan pemberian zat kimia. Zat kimia sebagai induktor (diabetogen) bisa digunakan aloksan, streptozotozin, diaksosida, adrenalin, glukagon, EDTA yang diberikan secara parenteral. Diabetogen yang lazim digunakan adalah aloksan karena obat ini cepat menimbulkan hiperglikemi yang permanen dalam waktu dua sampai 3 hari (Suharmiati, 2003). Aloksan adalah suatu substrat yang secara struktural adalah derivat pirimidin yang sederhana. Aloksan tersedia sebagai hidrasi aloksan dalam larutan encer. Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat. Aloksan (2,4,5,6-tetraoxypirimidin) secara selektif merusak sel dari pulau langerhans dalam pankreas yang mensekresi hormon insulin (Anonim, 2010). Aloksan dapat diberikan secara parenteral seperti intravena, intraperitoneal atau subkutan pada hewan percobaan. Dosis aloksan yang diperlukan untuk menginduksi diabetes tergantung pada hewan percobaan yang digunakan, rute administrasi dan status nutrisi. Pemberian dosis secara intavena yang biasa digunakan untuk menginduksi diabetes pada tikus adalah 65 mg/kg BB, sedangkan secara intraperitoneal atau subkutan dosis efektifnya harus 2-3 kali lebih tinggi. Pemberian dosis secara intraperitoneal di bawah 150 mg/kg BB mungkin sudah cukup untuk menginduksi diabetes pada tikus (Szkudelski, 2001). Hal ini juga harus ditekankan bahwa kisaran dosis diabetogenik dari aloksan cukup sempit dan apabila overdosis dapat menjadi toksik dapat Universitas Sumatera Utara menyebabkan kematian banyak hewan. Kematian yang terjadi kemungkinan besar karena toksisitas nekrotik sel tubular ginjal, khususnya ketika dosis aloksan terlalu tinggi diberikan (Szkudelski, 2001). Universitas Sumatera Utara