BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Jengkol adalah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Jengkol adalah tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara. Bijinya
digemari di Malaysia, Thailand, dan Indonesia sebagai bahan pangan. Tumbuhan
ini juga banyak ditemukan di Malaysia dan Thailand (Anonim, 2009). Namun,
asal-usul tanaman jengkol tidak diketahui dengan pasti. Di Sumatera, Jawa Barat,
dan Jawa Tengah, tumbuhan jengkol banyak ditanam di kebun atau pekarangan
secara sederhana (Roswaty, 2010).
2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Sistematika tumbuhan jengkol :
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Fabales
Suku
: Mimosaceae
Marga
: Pithecellobium
Spesies
: Pithecellobium lobatum Benth (Pandey, 2003).
2.1.2 Sinonim
Sinonim dari tumbuhan jengkol, antara lain: Zygia jiringa (Jack) Kosterm.,
Pithecellobium jiringa (Jack) Prain ex King. (Hutapea, 1994)
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Nama Daerah
Nama daerah dari tumbuhan jengkol adalah jering (Gayo), joring (Batak),
jarieng (Minangkabau), jaring (Lampung), jengkol (Sunda), jengkol, jering,
jingkol (Jawa), blandingan (Bali), lubi (Sulawesi Utara) (Hutapea, 1994; Heyne,
1987)
2.1.4 Habitat dan Daerah Tumbuh
Tumbuhan ini merupakan pohon di bagian barat Nusantara, tingginya
sampai 26 m, dibudidayakan secara umum oleh penduduk di Jawa dan di
beberapa daerah tumbuh menjadi liar. Tumbuh paling baik di daerah dengan
musim kemarau yang tidak terlalu panjang (Heyne, 1987).
2.1.5 Morfologi Tumbuhan
Akar tunggang berwarna coklat kotor. batang tegak, bulat, berkayu,
banyak percabangan. Daun majemuk, anak daun berhadapan, berbentuk lonjong,
panjang 10-20 cm, lebar 5-15 cm, tepi rata, ujung runcing, pangkal membulat,
pertulangan menyirip, berwarna hijau tua. Bunga majemuk, berbentuk tandan,
terletak di ujung batang, dan ketiak daun, berwarna ungu, kelopak berbentuk
mangkok, benang sari dan putik berwarna kuning, mahkota berbentuk lonjong
berwarna putih kekuningan. Buah berbentuk bulat pipih, berwarna coklat
kehitaman. Biji berbentuk bulat pipih, berkeping dua, dan berwarna putih
kekuningan (Hutapea, 1994).
2.1.6 Kandungan Kimia
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tanaman jengkol banyak
mengandung zat, antara lain adalah sebagai berikut: protein, kalsium, fosfor, asam
Universitas Sumatera Utara
jengkolat, vitamin A dan B1, karbohidrat, minyak atsiri, saponin, alkaloid,
terpenoid, steroid, tanin, dan glikosida. Karena kandungan zat-zat tersebut di atas,
maka jengkol memberikan petunjuk dan peluang sebagai bahan obat, seperti yang
telah dimanfaatkan orang pada masa lalu (Pitojo, 1994). Biji, kulit batang, kulit
buah dan daun jengkol mengandung beberapa senyawa kimia, diantaranya
saponin, flavonoid dan tanin (Hutapea, 1994).
2.1.7 Khasiat Tumbuhan
Kulit buah jengkol digunakan untuk obat borok (Hutapea, 1994) dan luka
bakar (steffi, dkk., 2009). Daunnya berkhasiat sebagai obat eksim, kudis, luka dan
bisul (Hutapea, 1994), sedangkan kulit batang (Wispiyono, B., 1991) dan kulit
halus biji jengkol (Soemitro, S., 1987) sebagai penurun kadar gula darah
(Widowati, dkk., 1997 ; Jis, dkk., 1990).
2.2 Ekstraksi
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan.Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku
proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk (Ditjen
POM,2000).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Ekstrak
adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
Universitas Sumatera Utara
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara
perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan
pengurangan tekanan,agar bahan sesedikit mungkin terkena panas. Ekstrak cair
adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau
sebagai pengawet (Ditjen POM,2000).
Ada beberapa cara metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000), yaitu:
dengan cara dingin (seperti : maserasi, perkolasi), dan cara panas (seperti : refluks,
sokletasi, digesti, infundasi dan dekoktasi).
1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Remaserasi berarti melakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat pertama,dan
seterusnya.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi
penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi
antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan / penampungan ekstrak),
terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).
3. Refluks
Universitas Sumatera Utara
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik.
4. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik
5. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, umumnya dilakukan
pada suhu 40-50oC.
6. Infundasi
Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 96-98oC
(bejana infus tercelup dalam penagas air mendidih) selama 15-20 menit.
7. Dekoktasi
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama
≥ 30( menit) dan
temperatur sampai titik didih air (90-98oC)
2.3 Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik
dimana terdapat adanya gangguan dalam metabolisme lemak, karbohidrat, dan
protein akibat penurunan dalam sekresi insulin, sensitivitas insulin, atau keduanya
(Triplitt, dkk., 2008). Sindrom resistensi insulin adalah suatu kondisi dimana
terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi
Universitas Sumatera Utara
peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas.
Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi sindrom metabolik yang
dapat menjadi awal suatu diabetes mellitus (Sudoyo, dkk., 2007). Diabetes
mellitus (DM) mempunyai sindroma klinik yang ditandai adanya poliuria,
polidipsia, dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemia (kadar glukosa puasa≥ 126 mg/dl atau postprandial ≥ 200 mg/dl
atau glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl) (Suherman, 2007).
2.3.1 Pankreas
Pankreas adalah suatu organ lonjong, kira-kira 15 cm, yang terletak di
belakang lambung dan sebagian di belakang hati. Dalam pankreas terdapat 4 jenis
sel endokrin, yakni:
a. sel alfa (α), yang memproduksi hormon glukagon, proglucagon, glucagonlike peptides (GLP)
b. sel-beta (β), yang memproduksi hormon insulin, C-peptide, proinsulin,
amylin, γ-aminobutyric acid (GABA)
c. sel-D (δ), yang memproduksi somatostatin
d. sel-PP (Sel-F), yang memproduksi pancreatic polypeptide (PP), yang
mungkin berperan pada penghambatan sekresi endokrin dan empedu (Tan,
dan Rahardja, 2007).
2.3.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan etiologinya menurut American
Diabetes Association (2005) meliputi:
1. DM tipe 1 adanya destruksi sel beta-langerhans pada pankreas, umumnya
menjurus ke defisiensi insulin absolut, akibat kelainan autoimun (antibodi
Universitas Sumatera Utara
sel islet, antibodi insulin, dan antibodi asam glutamat dekarboksilase) atau
idiopatik.
2. DM tipe 2, bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan
sekresi insulin bersama resistensi insulin.
3. DM tipe lain, akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat / zat
kimia, infeksi, imunologi, sindroma genetik lain. Bentuk ini biasanya
disebabkan oleh adanya malnutrisi disertai kekurangan protein. Dulu jenis
ini disebut Diabetes Terkait Malnutrisi (MRDM), tetapi oleh karena
patogenesis jenis ini tidak jelas maka tidak lagi disebut MRDM tetapi
Diabetes Tipe Lain.
4. Diabetes Kehamilan (Diabetes Gestasional), adalah diabetes yang timbul
selama kehamilan (Sudoyo, dkk., 2007)
Tabel 2.1 Presentasi Klinis Diabetes Mellitus (Triplitt, dkk., 2008)
Karakteristik
DM Tipe 1
DM Tipe 2
Usia
< 30 tahun
> 30 tahun
Onset
tak terduga
Bertahap
Bobot tubuh
Kurus
Resistensi insulin
tidak ada
obesitas atau memiliki
riwayat obesitas
Ada
Autoantibodi
sering ada
Jarang
Gejala
Simtomatik
Asimtomatik
Diagnosis adanya keton
Ada
tidak ada
Tergantung terapi insulin
Ada
tidak ada
Komplikasi akut
diabetes ketoasidosis
Hiperglikemik
hiperosmolar
nonketosis
Universitas Sumatera Utara
Komplikasi mikrovaskular
Tidak
Ada
Komplikasi makrovaskular Jarang
Ada
2.3.3 Diagnosa Diabetes Mellitus
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan toleransi
glukosa dapat juga dilihat dari keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan
pasien berupa lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita (Sudoyo, dkk., 2007).
Menurut Triplitt, dkk., (2008), berikut kategori status glukosa darah puasa
(GDP) dan tes toleransi glukosa oral (OGTT) pada Tabel 2.2 di bawah ini:
Tabel 2.2. Kategori Status Glukosa
Kategori Status Glukosa
Glukosa Darah
Puasa (GDP)
2 jam Sesudah
Beban Glukosa
(Tes Toleransi
Glukosa Oral)
Normal
<100 mg/dL (5,6 mmol/L)
GDP Terganggu
100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L)
Diabetes Mellitus
≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Normal
<140 mg/dL (7,8 mmol/L)
GDP Terganggu
140-199 mg/dL (7,8-11,1 mmol/L)
Diabetes Mellitus
≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Selain itu juga terdapat nilai atau indeks diagnostik tambahan yang dibagi
atas 2 bagian, yakni:
a. Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan
C-peptide, serta nilai HbA1C “Glycosylated hemoglobin” (WHO memakai
istilah “Glyclated hemoglobin”).
b. Indeks proses diabetogenik
Untuk penilaian proses diabetogenik dilakukan dengan penentuan tipe dan
sub-tipe HLA (Human Leucocyte Antigen), seperti adanya tipe atau titer
antibodi yang ditujukan pada sel islet pankreas (islet cell antibodies, ICA),
insulin autoantibodi (IAA), anti GAD (Glutamic Acid Decarboxylase).
ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin pada
pulau-pulau pancreas dan menyebabkan kerusakan sel. GAD adalah enzim
yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-aminobutyric acid
(GABA). Adanya ICA, IAA, dan anti GAD ini menunjukkan risiko tinggi
berkembangnya penyakit ke arah DM tipe 1. (Sudoyo, dkk., 2007 ;
Widijanti, dkk., 2011).
2.3.4 Patogenesis Diabetes Mellitus
DM tipe 1 atau dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM), terjadi karena adanya kerusakan sel pankreas (reaksi autoimun)
menyebabkan defisiensi absolut fungsi sel beta pankreas. Bila kerusakan sel beta
telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini
lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM
tipe 1 mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan
sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai
type 1 idiopathic. Sebagian besar (75%) kasus terjadi < 20 tahun, tetapi dapat juga
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada setiap usia. Prevalensi DM tipe 1 ini masih sedikit dalam populasi
(Triplitt, dkk., 2008).
DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM dikenal sebagai Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan
kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi
sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup
untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya
defisiensi insulin relatif. DM tipe 2 ini sering dijumpai pada individu yang
obesitas. Kasus ini umumnya dijumpai pada usia > 30 tahun (Triplitt, dkk., 2008).
Sindroma klinik yang sering dijumpai pada diabetes mellitus yakni
poliuria, polidipsia dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemia. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dikonsumsi
mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi
glikogen, dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Semua proses tersebut
terganggu pada DM, glukosa tidak dapat masuk ke sel hingga energi terutama
diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Sebenarnya hiperglikemia sendiri
relatif tidak berbahaya, kecuali bila kadarnya tinggi sekali sehingga darah menjadi
hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Yang berbahaya adalah glikosuria yang
timbul, karena glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga diuresis meningkat
disertai hilangnya berbagai elektrolit (poliuria). Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada pasien DM sehingga terjadi
koma hiperglikemik hiperosmolar nonketosis. Karena adanya dehidrasi, maka
tubuh berusaha mengatasinya dengan banyak minum (polidipsia). Selain itu,
polifagia juga timbul karena adanya perangsangan pusat nafsu makan di
Universitas Sumatera Utara
hipotalamus akibat kurangnya pemakaian glukosa di sel, jaringan, dan hati
(Suherman, 2007).
Normalnya lemak yang berada dalam aliran darah, melewati hati dan
dipecah menjadi gliserol dan asam lemak. Asam lemak kemudian diubah menjadi
senyawa keton (asam asetoaseat, aseton, asam betahidroksibutirat) dan dilepaskan
ke aliran darah kembali untuk disirkulasikan ke sel tubuh agar dimetabolisme
menjadi energi, CO2 dan air. Pada saat terjadi gangguan metabolit, lipolisis
bertambah dan lipogenesis terhambat, akibatnya dalam jaringan terbentuk
senyawa keton lebih cepat daripada sel tubuh dapat memetabolismenya. Maka,
terjadi akumulasi senyawa keton dan asidemia (penurunan pH darah dan
meningkatnya ion hidrogen dalam darah). Sistem buffer tubuh berusaha untuk
menetralkan perubahan pH yang ditimbulkannya, tetapi bila ketosis yang timbul
lebih hebat maka pH darah tidak dapat dinetralisir dan terjadi diabetik
ketoasidosis. Keadaan klinis ini ditandai dengan nafas yang cepat dan dalam,
disebut pernafasan Kussmaul, disertai adanya bau aseton (Suherman, 2007).
2.3.5 Komplikasi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan
terjadinya komplikasi kronik, baik mikrovaskular maupun makrovaskular.
Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal merupakan
dasar terjadinya komplikasi kronik DM. Perubahan dasar / disfungsi tersebut
terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah
maupun pada sel mesangial ginjal.
Pada retinopati diabetik terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah dan
kemudian terjadi penyumbatan kapiler.
Semua kelainan tersebut
akan
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan kelainan mikrovaskular berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal.
Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan tekanan glomelular, dan
disertai meningkatnya matriks ekstraseluler akan menyebabkan terjadinya
perubahan penebalan membran basal, ekspansi mesangial, dan hipertrofi
glomelular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan
kemudian terjadi perubahan
glomerulosklerosis.
Pada
selanjutnya
komplikasi
yang
mengarah ke terjadinya
kardiovaskular,
umumnya
terjadi
aterosklerosis akibat adanya plak pada daerah subintimal pembuluh darah yang
kemudian berlanjut pada terjadinya penyumbatan pembuluh darah dan kemudian
sindrom koroner akut (Sudoyo, dkk., 2007).
2.3.6 Manajemen Pengobatan Diabetes Mellitus
Tujuan terapi dari manajemen DM ini adalah mengurangi resiko terjadinya
komplikasi penyakit mikrovaskular (seperti neuropati, retinopati, dan nefropati)
dan makrovaskular (seperti hipertensi, jantung koroner, stroke), mengurangi
mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup (Triplitt, dkk., 2008).
Langkah pertama dalam mengelola diabetes mellitus selalu dimulai dengan
pendekatan non farmakologi, yaitu berupa perencanaan makan / terapi nutrisi
medik, olahraga, dan penurunan berat badan. Bila dengan langkah tersebut sasaran
terapi pengendalian DM belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan
obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi
farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam penyebab
terjadinya hiperglikemia (Sudoyo, 2007).
Obat antidibetika oral dibagi dalam 6 kelompok, sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Sulfonilurea
(misalnya:
tolbutamid,
klorpropamida,
glibenklamida,
gliklazida, glipizida, glikidon dan glimepirida)
Mekanisme kerja sulfonilurea dengan menstimulasi insulin dari sel betapankreas. Sulfonilurea berikatan dengan reseptor sulfonilurea yang
memiliki afinitas tinggi yang berkaitan dengan saluran K-ATP pada sel βpankreas, akan menghambat effluks kalium sehingga terjadi depolarisasi
kemudian membuka saluran Ca dan menyebabkan influks Ca sehingga
meningkatkan pelepasan insulin . Di samping itu, sulfonilurea juga dapat
meningkatkan kepekaan reseptor terhadap insulin di hati dan di perifer.
2. Kalium-channel blockers (misalnya: repaglinida, nateglinida)
Golongan
ini
mempunyai mekanisme kerja
yang sama dengan
sulfonilurea, hanya pengikatan reseptornya terjadi di tempat lain dan
kerjanya lebih singkat.
3. Biguanida (misalnya: metformin)
Berbeda dengan sulfonilurea, obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin
dan tidak menurunkan gula-darah pada orang sehat. Zat ini juga menekan
nafsu makan sehingga berat badan tidak meningkat, maka dapat diberikan
pada penderita yang kegemukan. Penderita ini biasanya mengalami
resitensi insulin, sehingga sulfonilurea kurang efektif.
Mekanisme kerjanya yaitu dengan meningkatkan kemampuan insulin
untuk memindahkan glukosa ke dalam sel (insulin sensitizers).
4. Glukosidase-inhibitors (misalnya: akarbose dan miglitol)
Obat golongan ini bekerja dengan merintangi enzim alfa-glukosidase di
mukosa duodenum, sehingga reaksi penguraian polisakarida menjadi
Universitas Sumatera Utara
monosakarida terhambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih
lambat dan absorpsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah
dan merata, sehingga puncak kadar gula darah dapat dihindarkan.
Universitas Sumatera Utara
5. Thiazolidindion (misalnya: rosiglitazon dan pioglitazon)
Obat golongan ini bekerja dengan mengurangi resistensi insulin dan
meningkatkan sensitivitas
jaringan perifer
untuk
insulin (insulin
sensitizers).
6. Penghambat DPP-4 (dipeptidylpeptidase-4 blockers)
Obat golongan baru ini bekerja dengan menghambat enzim DPP-4
sehingga produksi hormon incretin tidak menurun. Adanya hormon
incretin berperan utama dalam produksi insulin di pankreas dan
pembentukan hormon GLP-1 (glukagon-like peptide-1) dan GIP (glucosedependent insulinotropic polypeptide) di saluran cerna yang juga berperan
dalam produksi insulin. Dengan penghambatan enzim DPP-4 akan
mengurangi penguraian dan inaktivasi incretin, GLP-1 dan GIP, sehingga
kadar insulin akan meningkat (Tan, dan Rahardja, 2007).
2.4. Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan
pada sel beta pankreas, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam
darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah (Sudoyo,
2007).
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon
insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase,
preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang
Universitas Sumatera Utara
kemudian dihimpun dalam gelumbung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel
tersebut. Disini, dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi
insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan
secara bersamaan melalui membran sel (Sudoyo, 2007).
2.5 Monitoring Diabetes Mellitus
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain kadar glukosa darah puasa, 2 jam
PP, dan pemeriksaan glycated haemoglobin, khususnya HbA1C . Pemeriksaan lain
yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin (Triplitt, dkk., 2008). Kategori status
glukosa darah puasa dan 2 jam PP dapat dilihat pada Tabel 2.2 di atas.
Nilai HbA1C normal menurut ACA (American College of Endocrinology)
dan AACE (American Association of Clinical Endocrinologists) adalah < 6,5%,
sedangkan menurut ADA (American Diabetes Assosiation) adalah < 7% (Triplitt,
dkk., 2008). Di dalam sirkulasi darah, terdapat sel darah merah yang membentuk
molekul hemoglobin. Glukosa yang melekat pada hemoglobin ini membentuk
molekul glycated haemoglobin yang disebut hemoglobin A1c atau HbA1C. Kadar
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila kadar glukosa darah meningkat
(Anonim, 2011). Karena itu, pengukuran HbA1C merupakan gold standard untuk
kontrol glikemik jangka panjang pada pasien diabetes. HbA1C digunakan untuk
memonitoring (follow-up) penatalaksanaan terapi obat dan kepatuhan pasien
dalam penggunaan obat. Oleh karena itu, penentuan HbA1C ini dilakukan secara
rutin tiap 3 bulan sekali untuk dapat mengontrol terapi pengobatan pasien diabetes
(Triplitt, dkk., 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Aloksan
Pada uji farmakologi / bioaktivitas pada hewan percobaan, keadaan
diabetes mellitus dapat diinduksi dengan cara pankreaktomi dan pemberian zat
kimia. Zat kimia sebagai induktor (diabetogen) bisa digunakan aloksan,
streptozotozin, diaksosida, adrenalin, glukagon, EDTA yang diberikan secara
parenteral. Diabetogen yang lazim digunakan adalah aloksan karena obat ini cepat
menimbulkan hiperglikemi yang permanen dalam waktu dua sampai 3 hari
(Suharmiati, 2003).
Aloksan adalah suatu substrat yang secara struktural adalah derivat
pirimidin yang sederhana. Aloksan tersedia sebagai hidrasi aloksan dalam larutan
encer. Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat. Aloksan
(2,4,5,6-tetraoxypirimidin) secara selektif merusak sel dari pulau langerhans
dalam pankreas yang mensekresi hormon insulin (Anonim, 2010).
Aloksan dapat diberikan secara parenteral seperti intravena, intraperitoneal
atau subkutan pada hewan percobaan. Dosis aloksan yang diperlukan untuk
menginduksi diabetes tergantung pada hewan percobaan yang digunakan, rute
administrasi dan status nutrisi. Pemberian dosis secara intavena yang biasa
digunakan untuk menginduksi diabetes pada tikus adalah 65 mg/kg BB,
sedangkan secara intraperitoneal atau subkutan dosis efektifnya harus 2-3 kali
lebih tinggi. Pemberian dosis secara intraperitoneal di bawah 150 mg/kg BB
mungkin sudah cukup untuk menginduksi diabetes pada tikus (Szkudelski, 2001).
Hal ini juga harus ditekankan bahwa kisaran dosis diabetogenik dari
aloksan cukup sempit dan apabila overdosis dapat menjadi toksik dapat
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan kematian banyak hewan. Kematian yang terjadi kemungkinan besar
karena toksisitas nekrotik sel tubular ginjal, khususnya ketika dosis aloksan terlalu
tinggi diberikan (Szkudelski, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Download