BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dusun Tambran Kidul merupakan salah satu dusun di Desa Kalitekuk, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dusun itu mempunyai luas +383.936 hektar dengan jumlah penduduk +363 jiwa atau 108 KK1. Masyarakat dusun Tambran Kidul masih melestarikan warisan budaya, seperti campursari, rasulan, bersih desa, malamsatusura, tirakatan, adat perkawinan, bancakan, dan pengobatan tradisional. Hal ini merupakan bentuk apresiasi masyarakat terhadap warisan nenek moyang dan nilai-nilai yang digunakan sebagai pedoman hidup. Berhubungan dengan pengobatan tradisional, penelitian ini akan mengulas tentang perilaku verbal dan nonverbal dalam ranah kesehatan visual pada komunitas etnik Gunungkidul di Dusun Tambran Kidul dalam menggali pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan dunia. Penentuan ranah kesehatan ditentukanoleh berbagai faktor terutama faktor budaya, spiritual, geografi, dan sosial ekonomi. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan yang penting bagi kelangsungan hidupmanusia. Dengan kondisi kesehatan yang baik, manusia dapat bekerja, berinteraksi, bepergian, dan bahkan bisa memiliki keturunan. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia tidak bisa terlepas dari masalah kesehatan. Kondisi kesehatan yang tidak baik tentu akan mengganggu manusia. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang berakal,manusia akan berusaha mengupayakan kebutuhan terhadap kesehatan. Jika dikaitkan antara kesehatan dan kebudayaan, upaya-upaya yang 1 Informasi ini diambil dari laporan Kuliah Kerja Nyata (KKN) para Yogyakarta pada tahun 2013. mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, 1 2 dilakukan manusia untuk menjaga kesehatan merupakan bagian dari kebudayaan2. Upaya yang dilakukan, yaitu seperti menjaga kesehatan, menjaga keseimbangan alam, dan pengobatan yang terkadang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan kata lain, kesehatan adalah sesuatu yang berharga. Meskipun di zaman modern ini masyarakat Tambran Kidul sudah mengenal pengobatan medis, masyarakat tetap mengombinasikan antara pengobatan modern dan tradisional. Hal ini menjadi menarik sebab masyarakat Tambran Kidul masih melestarikan budaya Jawa dan sebagai bentuk menghargai kemajuan teknologi dalam ranah kesehatan. Selain itu, hal ini berhubungan dengan sistem kepercayaan masyarakat Jawa. Sistem kepercayaan Jawa khususnya masyarakat di Dusun Tambran Kidul menganggap bahwa tidak semua penyakit dapat disembuhkan secara modern sebab tidak semua penyakit disebabkan oleh gejala alami atau penyakit yang bersumber dari fisik manusia. Akan tetapi, ada beberapa penyakit yang bersumber dari roh-roh penunggu, sakit akibat tidak menghormati leluhur, sakit akibat melanggar norma-norma sosial, atau sakit dari seseorang karena merasa iri. Adanya faktor geografi dan sosial ekonomi di Kabupaten Gunungkidul juga menjadi alasan.Keadaan tanah yang bergelombangdan berbukit-bukit mempersulit akses masyarakat menuju rumah sakit di kota Wonosari3. Kabupaten Gunungkidul memiliki goa-goa, sungai bawah tanah yang mengalir, serta tanah yang mengandung kapur. Kondisi geografis tersebut mengurangi tingkat kesuburan tanah, sehingga hasil pertanian kurang optimal. Hal ini berdampak pada sosial ekonomi masyarakat Gunungkidul yang mayoritas adalah petani. Dengan keadaan ekonomi yang tidak stabil, tidak sedikit masyarakatyang memilih pengobatan tradisional karena lebih terjangkau. 2 3 Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2000:180). Wonosari merupakan kota Kabupaten Gunungkidul yang terletak di sebelah tenggara Daerah Istimewa Yogyakarta. 3 Dalam pengobatan tradisional, masyarakat mengenal sosoktetulung.Tetulung merupakan orang yang dipercaya memiliki kemampuan dalam menyembuhkan penyakit secara fisik dan nonfisik. Kemampuan yang dimiliki tetulung didapatkan melalui meguru ‘belajar’ kepada guru (wong pinter) yang masih ngugemi tinggalane para leluhur ‘melestarikan peninggalan para leluhur’. Untuk mencapai kemampuan itu, perlu adanya laku prehatin ‘hidup prihatin’, seperti berpuasa siang-malam, tidak makan dan minum, menghafal mantra, serta melaksanakan ajaran leluhur. Ketika seseorang mampu melakukan yang telah diajarkan sang guru, layaklah ia disebut sebagai tetulung. Dulu, tetulungdisebut dengan kyai atau dukun. Dalam perkembangannya hingga sekarang, istilah kyai diartikan sebagai orang yang mengajarkan agama Islam. Adapun kata dukun dianggap memiliki konotasi yang negatif. Maka dalam masyarakat Jawa, istilah tetulung dianggap sesuai dan tepat berdasarkan fungsinya sebagai sosok penyembuh. Bagi orang yang diberi kepercayaan, dalam hal ini tetulung, ia akan menjagadan melestarikan warisan budaya dengan baik. Caranyaadalah dengan mempraktikkan kemampuannya guna menolong orang yang sakit.Dalam praktik penyembuhan, bahasa sebagai ekspresi verbalmemiliki peranan yang penting. Melalui bahasa dapat tercermin sesuatu yang dipikirkan, dilakukan, dan dihasilkan. Sebagaimana pendapat Edward-Saphir (dalam Fernandez, 2015:12)yang mengemukakan bahwa hal terpenting dalam bahasa adalah adanya cerminan kognisi (sistem pengetahuan) masyarakat mengenai lingkungan, sehingga lingkungan pada dasarnya akan terlihat berbeda bagi setiap suku bangsa atau masyarakat yang memiliki bahasa itu. Tetulung biasanya melakukan perilaku,baik berupa perilaku verbal maupun nonverbal. Setiap perilaku verbal dan nonverbal yang dilakukan oleh setiap 4 tetulungberbeda-beda, sangat bergantung pada hal yang diajarkan sang guru. Perilaku verbal dan nonverbalyang dimiliki oleh suatu masyarakat merupakan warisan nenek moyang yang diperoleh individu secara turun-temurun dan bersifat kolektif. Perilaku verbal dapat berupa mantra yang diucapkan atau dapat juga berupa bacaan wikif. Wikifmerupakan tulisan-tulisan yang mengandung energi gaib yang dijadikan sebagai azimat atau rajah. Azimat atau rajah biasanya dikunyah, ditelan, atau direndam dalam air, yang kemudian airnya diminum (Endraswara, 2012:125). Mantra yang diucapkan atau di-watek (dibaca dalam batin)memiliki kekuatan magis jika diyakini dan dijadikan sebagai doa untuk memohon kesembuhan. Menurut Romo Loogman, Msc (2010:1), mengucapkan mantra atau doa perlu dilakukan dengan tujuan untuk membawa pasien ke hadirat Tuhan. Pasien tetap disadarkan bahwa tetulung merupakan transformasi dari Tuhan untuk membawa kesembuhan pada pasien. Oleh karena itu, perlu adanya keyakinan yang tumbuh dalam diri pasien. Adapun perilaku nonverbal adalah perilaku berupa gerakan atau tindakan ritual disertai berbagai media/alat. Misalnya, perilaku pada saat melakukan praktik penyembuhan dan bahkan perilaku ketika mencari ramuan-ramuan yang digunakan untuk mengobati pasien. Dalam praktik pengobatan tradisional, ramuan atau rempahrempah dipercaya sangat bermanfaat dalam proses penyembuhan. Menurut Romo Loogman, Msc (2010:1), alam memiliki rahasia dan kekuatan didalamnya. Jika ramuanramuan itu digunakan sesuai aturan dan komposisi yang sesuai tentu akan bermanfaat. Adapun media/alat digunakan sebagai sarana dalam praktik penyembuhan, seperti keris, gerabah, bunga tujuh rupa, atau benda-benda lain. Bentuk pemeliharaan biasanya diberi ‘pangan’ berupa kembang setaman dan membersihkan pada waktu-waktu tertentu. Masyarakat Jawa sangat cermat dalam upaya mengobati dan mencegahsakit- 5 penyakit.Salah satu contoh adalah dalam hal menjaga kesehatan dan keturunan. Masyarakat Jawa sudah mulai memperhitungkan sejak awal. Misalnya, masyarakat Jawa berusaha mendapatkan keturunan yang sehat jasmani dan rohani dengan cara memerhatikan bibit, bebet, dan bobot.Bibit diartikan sebagai benih atau asal-usul keturunan. Bebet diartikan sebagai status ekonomi seseorang. Bobot diartikan sebagai tinggi-rendahnya kualitas seseorang. Biasanya meliputi aspek pendidikan, akhlak, dan agama. Untuk mendapatkan pasangan dan keturunan yang sehat, sebelumnya masyarakat Jawa menggunakan petungan sebagai pertimbangan atau pasatowan, yaitu mempersatukan dua unsur dari pihak laki-laki dan perempuan. Pertimbangan yang dilakukan dalam hal keturunan dan watak, saat nikah, dan selamatan (Endraswara, 2012: 112-115). Sebagai manusia yang mengalami fase sehat dan sakit, apa yang menjadi ukuran ketika manusia sehat atau sakit? Ukuran itu dapat digunakan sebagai penetapan status sehat bagi manusia. Secara umum, sehat menurut WHO adalah keadaan yang sempurna dari jasmani, rohani maupun sosial serta tanpa penyakit, cacat, dan kelemahan (Mudjisunu, 1984:1). Untuk itu, perlu diketahui pola pikir masyarakat Jawa di Dusun Tambran Kidul Kabupaten Gunungkidul dalam memandang konsep sehat dan sakit, perilaku verbal dan nonverbal, dan alasan aspek perilaku verbal dan nonverbal yang sangat dipentingkan dalam praktik penyembuhan.Dengan demikian, untuk mengatasi masalahan kesehatan dari sudut pandang budaya dan bahasa diperlukan pendekatan etnolinguistik dalam menggali pandangan hidup, pola pikir, dan pandangan dunia pada masyarakat di Dusun Tambran Kidul. Kajianetnolinguistik dalam hubungannya dengan mantra, masyarakat Jawa, pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan dunia pernah diteliti oleh Sukarno (2005) 6 dalamtesisnya yang berjudul “Bahasa Ritual Pertanian Sawah Petani Jawa Tradisional (Studi Kasus di Desa Plosorejo Kecamatan Matesih Kabupaten Karanganyar)”. Iamenekankan bentuk repetisi leksikal dan gramatikal dengan menggunakan model analisis wacana. Wahyu Widodo (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Mantra Kidung Jawa (Kajian Repetisi dan Fungsi)” menekankan analisis repetisi leksikal dan gramatikal, serta fungsi referensial, konatif, dan puitik. Alip Sugianto (2014) dalam tesisnya yang berjudul “Gaya Bahasa dan Budaya Mantra Warok Rerog Ponorogo (Kajian Etnolinguistik)” menekankan repetisi dengan menggunakan model analisis stilistika. Dari hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa para peneliti masih menekankan pada repetisi karena merupakan salah satu ciri khas sebuah mantra. Akan tetapi, dalam penelitian tersebut belum dibahas mengenai makna kultural dan makna simbolik yang dapat mencerminkan pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan dunia masyarakat Jawa. Kajian etnolinguistik yang berhubungan dengan etnik pernah diteliti oleh Robson, Stuart & Yacinta Kurniasih (2000:297–302) dalam artikel berjudul “Describing Character in Javanese Three Grammatical Categories”dan termuat dalam Journal of The Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania(Bijdragen). Artikel inimengulas tentangkarakteristik masyarakat Jawa yang tercermin dalam tiga kategori sintaksis, yaitu adjektiva, nomina, dan verba. Siane F. Walangarei (2013) dalam makalah4 yang berjudul Sikap dan Perilaku Masyarakat Terhadap Simbol-Simbol Budaya:Suatu Kajian Etnolinguistik, mengulas bentuk simbol masyarakat Tondano serta makna dan pola pikir yang terkandung dalam simbol dan tanda budaya pada masyarakat Tondano. Simbol-simbol yang diteliti adalah simbol perilaku nonverbal 4 Makalah ini disajikan dalam International Conference on Indonesian Studies dengan tema “Ethnicity and Globalization” yang diadakan pada 13-14 Juni 2013 yangdiselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia di Yogyakarta. 7 yang berupa unsur material, gerak atau kinetik, dan suara. Kartubi (2012) dalam makalah yang berjudul “Bahasa, Kebudayaan Material, dan Tradisi Lisan: Studi Etnolinguistik Orang Kui di Alor, Nusa Tenggara Timur”, mengulas tentang situasi kebahasaan orang Kui di Alor; materialisasi struktur sosial orang Kui yang tercermin dalam tradisi lisan (lego-lego) dan mitologi; serta penggunaan aspek untuk mengonstruksi identitas etnik. Pada penelitian di atas disimpulkan karakteristik masyarakat Jawa berdasarkan beberapa leksikon bahasa Jawadan tentang pola pikir, pandangan hidup, serta pandangan dunia berdasarkan makna simbolik dari perilaku nonverbal. Peneliti ini belum meneliti perilaku verbal yang dapat mencerminkan pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan dunia masyarakat. Syarifuddin (2008) dalam disertasi yang berjudul “Mantra Nelayan Bajo: Cermin Pikiran Kolektif Orang Bajo di Sumbawa” mengulas bentuk (fonologi dan tata bahasa) serta fungsi mantra dalam ranah nelayan; danHarto Wicaksono (2013) bidang Antropologi dalam tesisnya yang berjudul “Pengobatan Dongke dalam Konteks Kosmologi Jawa pada Masyarakat Tanggulangin Kabupaten Tuban (Suatu Kajian Etnomedisin Jawa)” mengulas mengenai pandangan masyarakat Tanggulangin terhadap dongke. Penelitian Syarifuddin ini sedikit mengulas mantra sakit pada Suku Bajo, sedangkan Harto Wicaksono tidak mengulas secara lengkap mengenai perilaku verbal dan nonverbal. Berdasarkan uraian dan hasil review di atas, penelitian mengenai ranah kesehatan belum pernah diteliti secara khusus dan mendalam pada masyarakat Jawa. Adapun Wahyu Widodo dalam Kidung Warawedha terdapat variasi data.Oleh karena itu,peneliti mempunyai kesempatan untukmenelitiranah kesehatan pada masyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul. Selain itu, penelitianini 8 dipilih berdasarkan berbagai hal yang disebabkan para peneliti bahasa masih banyak meninggalkan masalah yang dapat diteliti lebih lanjut, antara lain sebagai berikut. Pertama, masyarakat Jawa di Dusun Tambran Kidul Kabupaten Gunungkidul sebagai masyarakat Jawa masih mempertahankan sistem pengetahuan kolektif yang ditemukan dalam bahasa dan budayanya. Misalnya, masyarakat masih mempertahankan pengobatan tradisional melalui jamu atau ramuan dalam proses pengobatan. Selain itu, masih ada praktik penyembuh, yaitu tetulungyang masih menggunakan perilaku verbal berupa mantra dan perilaku nonverbal berupa unsur material dan nonmaterial. Kedua, adanya sistem kognisi (sistem pengetahuan) masyarakat Jawa khususnya di Dusun Tambran Kidul tentang pandangan sehat dan sakit. Menurut Adi Karsono, sehat adalah yo kepenak le mangan, ngombe, kepenak le nyambut gawe, kepenak le ngelinhting, kepenak le srawong karo tetangga.‘Sehat adalah adanya nafsu makan dan minum, semangat bekerja, enak merokok, enak tegur sapa dengan tetangga.’Adanya pengulangan kata kepenak ‘rasa enak’ dapat dimaknai bahwa sehat adalah keadaan ketika merasa nyaman dalam diri manusia baik dalam aktivitas, relasi sosial,baik lahir maupun batin. Menurut Mbah Wito, sakit kui loro awake ting klenyer. Engko njalar neng tulang.‘Sakit yaitu badan rasanya linu dan menjalar ke tulang’. Konsep sakit yang dituturkan oleh Ibu Sarmilah memperlihatkan adanya kata klenyer ‘linu’ dan njalar ‘menjalar’ yang merupakan adanya indikasi rasa linu yang menjalar kebagian tubuh lainnya dari satu titik ke titik yang lain. Tanda-tanda itu dirasakan oleh otak sebagai stimulan yang menyebabkan seseorang merasa dirinya sakit. Ketiga, ekspresi verbal berupa pengulangan dalam ranah kesehatan terkait pandangan kolektif tentang (mantra). Misalnya, mantra sakit panas: 9 Singgah-singgah kala seminggah. Sumingkir sakeheng gudha Sing5asisik,sing awulu, Singabuntut, sing auntu, sing asiung, Padha balia myang gonmu dhewe-dhewe. Ninggala slamet kowe, slamet aku. Aja ganggu gawe ... (karo bocah sing diganggu kuwi mau) Terjemahan bebas: ‘Singgah-singgah makhluk halus bersinggah Tersingkir dari banyaknya godaan Yang bersisik, yang berbulu Yang berbuntut, yang bergigi, yang bersiung Pulanglah semua, pergi ke tempatmu sendiri-sendiri Tinggalkanlah selamat kalian dan selamat aku Jangan mengganggu aktivitas....( dengan anak yang diganggu itu tadi) Mantra sakit panas di atas merupakan mantra yang berisi perilaku verbal untuk mengusir makhluk halus atau gangguan yang menyebabkan si pasien sakit panas agar menjadi sembuh. Dalam mantra tersebut terdapat pengulangan kata sing yang diucapkan sebanyak lima kali. Pengulangan kata sing‘yang’ untuk menyampaikan maksud bahwa makhluk halus atau gangguan tidak hanya satu tetapi lebih dari satu yang semuanya itu bermakna simbolik sing mbahureksa. Singmbahureksa di sini wujudnya berupa ular (sisik), binatang yang berbulu, berbuntut, bergigi, dan bersiung. Mantra ini mengandung makna ‘perintah’, permohonan dalam bentuk kalimat imperatif seperti adanya frasapadha balia ‘pulanglah kalian’, katamyang ‘pergilah’, frasaninggalo slamet‘tinggalkanlah selamat’, danfrasa aja ganggu ‘janganlah mengganggu’. Dalam wujud verba imperatif ini, tokoh penyembuh (tetulung) memperlihatkan powernyabahwa ia mampu untuk mengusir makhluk halus dan mampu menyembuhkan si pasien. Selain itu, penyebutan nama penyebab penyakit dalam mantra pengobatan di 5 Kata yang dicetak tebal merupakan kata yang akan dianalisis dan sebagai pembeda antara data dan bukan data. 10 masyarakat Dusun Tambran Kidul sangat beragam. Bentuk morfologis yang dapat dilihat adalah adanya penyebutan nama penyebab penyakit menggunakan nomina yang berupa kata monomorfemik dan polimorfemik. Keempat, pada perilaku verbal adanya proses afiksasi. Perhatikan contoh berikut. Contoh: Padha balia myang gonmu dhewe-dhewe Bali ‘pulang’ (V) + {-a} balia ‘pulanglah’ (V) Kata bali yang berkategori verba mengalami proses afiksasi yang berfungsi membentuk verba imperatif pada kata balia. Kelima, pada perilaku verbal adanya komposisi berupa frasa bagas waras ‘sehat’ seperti contoh: Bagas waras sak teruse ora enek apa-apa. Keenam, adanya makna simbolik dalam perilaku nonverbal, seperti banyu putih, kembang setaman, kunir,temu ireng, godhong jambu, godhong gudhe, godhong sembukan, godhong cukilan, godhong dadap srep, godhong kanji, dan lain-lain. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pandangan sehat dan sakit menurut sistem kognisi masyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul? 2. Bagaimanakah perilaku verbal dan nonverbal dalam praktik penyembuhan penyakitpada masyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul? 3. Mengapa perilaku verbal dan nonverbal sangat penting dan merupakan satukesatuan dalam praktik penyembuhan penyakit pada masyarakat di Dusun 11 Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul? 4. Bagaimanakah pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan dunia padamasyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan pandangan sehat dan sakit menurut sistem kognisi masyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul. 2. Mendeskripsikan perilaku verbal dan nonverbal dalam praktik penyembuhan penyakit pada masyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul. 3. Menjelaskan mengapa perilaku verbal dan nonverbal sangat penting dan merupakan satu-kesatuan dalam praktik penyembuhan penyakit pada masyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul. 4. Mendeskripsikan pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan dunia pada masyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul. 12 D. Ruang Lingkup Penelitian Meskipun banyak jenis penelitian yang berkaitan dengan kajian etnolinguistik, penelitian ini hanya membatasi pada ruang lingkup penelitian sebagai berikut. (1) Konsep sehat dan sakit berdasarkan sistem kognisi masyarakat di Dusun Tambran Kidul. (2) Perilaku verbal dan nonverbal yang akan dianalisis berdasarkan teks pada struktur mikro dan makro, ko-teks (semantik dan semiotik), serta konteks (budaya, sosial, situasi, dan spiritual). (3) Mengapa perilaku verbal dan nonverbal sangat penting dalam praktik penyembuhan berdasarkan sistem kognisi. (4) Pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan dunia dalam ranah kesehatan pada masyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap kajian etnolinguistik sehingga akan memperkaya pemahaman terhadap kajiannya, yaitu perilalu verbal dan nonverbal dalam ranah kesehatan serta memberikan sumbangan dalam analisis etnografi, strukturmikro dan struktur makro, semantik, dan semiotik.Dengan memahami pandangan sehat dan sakit, perilaku verbal dan nonverbal, serta mengapa perilaku verbal dan nonverbal sangat penting dalam praktik penyembuhan, maka akan dipahami juga mengenai pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan dunia pada masyarakat di Dusun Tambran Kidul. Di samping itu, penelitian ini dapat bermanfaat dalam 13 bidang antropologi, khususnya yang berkaitan dengan makna-makna budaya yang terkandung di dalam perilaku verbal dan nonverbal oleh penggunanya. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya sebagai referensi, khususnya yang terkait pada ranah kesehatan atau mantra. Hal ini dikarenakan masih banyak tradisi Jawa, baik lisan dan tulisan yang belum diteliti. Selain itu, penelitian ini juga penting bagi pemerintah daerah, agar lebih memerhatikan berbagai kebudayaan lokal, kesehatan masyarakat, dan melestarikan ramuan tradisional yang mulai langka. F. Sistematika Penyajian Penyajian hasil penelitian ini akan disajikan dalam 5 bab, dengan rincian sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN berisi,latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,ruang lingkuppenelitian,manfaat penelitian, dan sistematika penyajian. BAB II LANDASAN TEORI berisi,penelitian yang relevan, tinjauan pustaka, dan kerangkaberpikir. BAB III METODE PENELITIAN berisi, jenis penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, teknik sampling, metode dan teknik penyajian data, validasi data, metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN berisi, hasil penelitian dan pembahasan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN berisi,kesimpulan dan saran.