Reposisi Hukom Suloh Terkait Mitigasi Bencana - E

advertisement
Jurnal Law Reform
Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Reposisi Hukom Suloh Terkait Mitigasi Bencana Sosial di Aceh
Sulaiman
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
[email protected]
ABSTRAK
Kehidupan manusia tidak mungkin dilepaskan dari masalah. Sebagai makhluk yang bersosialisasi,
manusia harus saling berhubungan. Dalam berhubungan demikian tidak jarang muncul masalah di antara
mereka. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, manusia juga menyiapkan mekanismenya. Salah satu
wujudnya adalah penyelesaian secara adat. Wujud penyelesaian secara adat di Aceh dikenal dengan
hukom suloh. Konsep hukom suloh berkaitan dengan kepentingan perdamaian dalam masyarakat. proses
perdamaian ini dimulai dari penerimaan kasus, mengkomunikasikan dengan fungsionaris adat,
memutuskan kasus, serta menyampaikan secara terbuka kepada masyarakat disertai ritual saling maafmemaafkan. Adanya cara menyelesaikan masalah demikian, akan membuat konflik semakin kecil dalam
masyarakat. Kondisi demikian strategis bagi pengurangan risiko bencana sosial di Aceh. Atas dasar itu,
hukom suloh harus direposisi, tidak hanya dipandang sebagai hukum adat semata, melainkan sarana
strategi dalam penyelesaian masalah dalam masyarakat.
Kata Kunci: Bencana Sosial; Hukom Suloh; Mitigasi Bencana
A. PENDAHULUAN
awal kehidupan manusia sudah menyadari adanya
potensi
Manusia tidak bisa hidup sendiri. Hidup
gesekan
masyarakat
tersebut.
manapun
Makanya
memiliki
dalam
mekanisme
berkelompok dan bersosialisasi membutuhkan
tersendiri dalam menyelesaikan masalah di antara
mekanisme tertentu dalam rangka saling memenuhi
mereka.
kebutuhan
mereka.
Pemenuhan
berbagai
Perkembangan
pengetahuan
manusia
kebutuhan itu sendiri harus dilakukan dengan
menggambarkan bahwa mekanisme tersebut pada
berhubungan antara manusia yang satu dengan
dasarnya
manusia lainnya.
dipersiapkan dalam rangka menjalani kehidupan
Kehidupan
manusia
tidak
merupakan
patokan-patokan
yang
mungkin
manusia secara damai. Patokan itu awalnya
dilepaskan dari adanya konflik dalam masyarakat.
berlangsung begitu saja. Ketika ia sudah menguat
ketika berhubungan dengan sesamanya, terutama
dan dilakukan berulang-ulang oleh kelompok
dalam pencapaian berbagai kebutuhan hidupnya,
manusia hingga masyarakat, kemudian ia menjadi
manusia berpotensi bergesek satu sama lain. Sejak
249
Jurnal Law Reform
Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
kaedah yang menjelma dalam pola-pola tingkah
beda. Umumnya disebut dengan adat. Namun
laku.1
Djuned mengingatkan bahwa pandangan sarjana
Fase
terbentuknya
patokan,
mula-mula
Barat
berbeda
dengan
Timur,
dalam
hal
seseorang dalam berhubungan satu sama lain
membedakan adat dengan hukum adat. Bagi
bertingkah laku dengan cara tertentu dan apabila
sarjana di Barat, suatu adat ketika ingin menjadi
tingkah laku itu diulang dan dianggap baik dijadikan
hukum adat, terdapat sejumlah proses yang harus
pola tingkah laku yang selanjutnya diikuti pula oleh
dilalui. Sejumlah literatur menyebutkan, antara adat
masyarakat yang lebih luas dan dirasakan sebagai
dan hukum adat.3
kaidah yang mengandung perintah dan larangan,
Terlepas nama apa yang akan digunakan
menjadikannya sebagai suatu kebiasaan atau adat-
baik dalam lingkungan akademis maupun di
istiadat. Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa
luarnya, pola penyelesaian masalah tersebut
pada dasarnya semua sistem hukum terbangun
berada di luar jalur pengadilan formal. Istilah jalur
demikian.2
formal pada dasarnya untuk menggambarkan
Patokan ini pula yang menyediakan pola
penyelesaian
masalah
yang
muncul
dalam
kehidupan mereka. Pola penyelesaian tersebut
adanya satu pandangan dominan bahwa hanya
hukum negara saja yang dapat disebut sebagai
hukum.4
terdapat dalam semua masyarakat termasuk yang
berada
di
Indonesia.
urusan
penyelesaian sengketa, maka pola yang dalam
kemasyarakat berlangsung bersamaan dengan
masyarakat disebut dengan penyelesaian sengketa
menyiapkan mekanisme penyelesaian masalah
diluar pengadilan. Hal ini ini sudah lama
yang
masyarakat
berlangsung di Indonesia, termasuk di Aceh. Pola
tradisional berbeda dengan masyarakat modern.
penyelesaian sengketa tersebut disebut juga
Masyarakat tradisional memiliki refleksi dalam
dengan penyelesaian sengketa secara damai yang
upaya meminimalisir dan menyelesaikan masalah
berakar pada budaya masyarakat. Pola ini, dalam
di antara mereka.
wujud yang lain disebut juga dengan peradilan
ditimbulkan.
Menurut
pembagian
Dengan demikian, berangkat dari konsep
Pola
Teuku
dalam
Djuned,
pola
dalam
adat.
masyarakat tradisional tersebut istilahnya berbedaAli Moertopo, 1978, Strategi Kebudayaan, Yayasan
Proklamasi, Jakarta, hlm 21.
2 Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam
Pembangunan, Majalah Hukum dan Pembangunan, No. 5
Tahun XV, Oktober 1985. Bandingkan Eva Achjani Zulfa,
Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di
Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus
2010 (182-203), hlm. 183-184.
1
T. Djuned, 1992, Azas-azas Hukum Adat, FH Unsyiah,
Banda Aceh, hlm. 14.
4
Dey Ravena, Wacana Konsep Hukum Progresif dalam
Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Wawasan Hukum,
Vol. 23 No. 02 September 2010, hlm. 155-166. Bandingkan
Aidul Fitriciada Azhari, Negara Hukum Indonesia:
Dekolonialisasi dan Rekonstruksi Tradisi, Jurnal Hukum Ius
Quia Iustum No. 4 Vol. 19 Oktober 2012, hlm. 489-505.
3
250
Jurnal Law Reform
Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Berdasarkan sejumlah kajian sebelumnya,
disebutkan
bahwa
masyarakat,
tidak
dalam
semua
perkembangan
masalah
bencana sosial akibat dari banyaknya masalah
yang tidak terselesaikan dalam masyarakat.
dapat
diselesaikan melalui jalur ini. Di Aceh pola
B. PEMBAHASAN
penyelesaian demikian terbatas pada sejumlah
jenis sengketa yang sudah melalui proses sortir
1) Hukom Suloh sebagai Wajah Hukum Adat
negara.5
Konsep hukom suloh sesungguhnya sangat
Masyarakat Aceh mengenal salah satu
sederhana. Hukom suloh sebagai wajah hukum
saluran penyelesaian demikian dengan nama
adat ingin menyelesaikan perkara dalam bentuk
hukom suloh. Menurut Hakim Nya’ Pha, istilah
perdamaian.
hukom
suloh
berbeda-beda
dipakai
dalam
Dalam
masyarakat,
bentuk
perdamaian ini sering disamakan dengan pola
masyarakat. Masyarakat Pidie mengenai sayam,
penyelesaian
secara
kekeluargaan.
Padahal
Aceh Besar menyebut diet, dan di Aceh Selatan
konsep penyelesaian kekeluargaan lebih sempit
disebut takanai. Secara umum, istilah hukom suloh
dari bentuk perdamaian yang menjadi tujuan dari
juga disebut dengan hukom peujroh.6
hukom suloh.
Konsep hukom suloh ini pada dasarnya
Menurut Hakim Nya’ Pha dan Nasruddin,
sangat tradisional. Seiring dengan perkembangan
istilah “suloh” dari bahasa Arab yakni kata
masyarakat yang pesat, ingin diketahui sejauhmana
“shalaha”, “yasluha”, dan “shuluhun”, yang berarti
ia mampu beradaptasi bagi penyelesaian masalah
mendamaikan.7 Untuk memosisikan suloh dalam
di Aceh. Dalam konteks yang lebih luas, dikaitkan
masyarakat Aceh, Syahrizal Abbas membedakan
pula dengan
tingkatan melalui diyat, suloh, sayam, dan
upaya meminimalisir ancaman
peusijuek.8 Konsep ini berbeda dengan yang
Sulaiman, Cara Berhukum Berperspektif Gampong di Aceh,
Jurnal Media: Jurnal Hukum dan Keadilan, Vol. 1 No. 1 Tahun
2011. Lihat juga, Syahrizal Abbas, Diyat dalam Kehidupan
Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Jurnal Media Syariah, Vol. 4
No. 11 Januari-Juni 2004. Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi
dalam Hukum Syariat, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
Kencana, Jakarta. Sulaiman, Penyelesaian Sengketa daam
Masyarakat Gampong di Aceh setelah Lahirnya UndangUndang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Vol. 10 No. 2 Tahun 2011.
6 Hakim Nya’ Pha, Hukom Suloh Dalam Masyarakat Aceh,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
Syiah Kuala, 4 November 1998. Bandingkan T. Djuned,
Hukom Peujroeh sebagai Alternatif Peradilan Hak Asasi
Manusia, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Edisi September 1999.
Lihat juga, Dahlan, Perkembangan dan Peranan Hukum Adat
dalam Masa Pembangunan Hukum, Kanun Jurnal Ilmu
Hukum No. 16 Tahun VII April 1997, hlm. 37.
5
diungkapkan Hakim Nya’ Pha yang menyebutkan
ketiga istilah tersebut hanya berbeda tempat, tidak
berbeda konsep.9
Menurut Syahrizal, diyat adalah sesuatu
yang dibayarkan setelah proses pemaafan oleh
korban atau keluarga korban. Besarnya diyat
Hakim Nya’ Pha, Op. Cit. Lihat juga Nasruddin, 1999, Suloh
(Model Perdamaian yang Pernah Diterapkan di Aceh), Buletin
Haba, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Banda Aceh.
8 Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi dalam Hukum Syariat,
Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, hlm.
261.
9 Hakim Nya’ Pha, Op. Cit.
7
251
Jurnal Law Reform
Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017
sangat
tergantung
dari
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
bagaimana
hasil
diberitahukan secara diam-diam, berbeda dengan
musyawarah petua adat dalam kawasan tersebut.
kasus
Pemberian diyat itu sendiri dilakukan dengan
didengarkan keterangannya. Pola menemui terlapor
upacara
adalah
juga sangat tergantung dari sensitif tidaknya kasus
kompensasi terkait dengan keadaan tubuh korban.
yang terjadi. Keempat, petua adat mengumukan
Jika diyat hanya melihat darah sebagai alat
putusan beserta sanksinya kepada masing-masing
ukurnya, maka sayam melihat bagian tubuh.
pihak. Kelima, sebagai puncak dari penyelesaian
Sedangkan besar dan mekanisme dari keduanya
kasus adalah mengumumkan kepada publik
sama saja. Sementara suloh terfokus pada proses
sekaligus saling bermaaf-maafan.
adat.
Sedangkan
sayam
biasa.
Ketiga,
pihak
terlapor
akan
mendamaikan. Proses yang kemudian berakhis
Untuk fase yang terakhir sangat penting
dengan ritual saling memaafkan yang dilaksanakan
terkait dengan keseimbangan dalam masyarakat.
di mesjid atau meunasah.10
Secara internal proses tersebut dimaksudkan agar
Sedangkan
Hakim
Nya’
Pha
melihat
tidak ada anggota masyarakat yang melakukan hal
ketiganya, suloh, diyat, atau sayam, adalah hal
yang sama. Sedangkan untuk eksternal, menjadi
yang sama, hanya dibedakan oleh tempat dan
ruang sosialisasi akan batas-batas nilai yang
bahasa yang berbeda dari masing-masing wilayah.
dipegang oleh masyarakat yang bersangkutan.
Makanya proses mendamaikan pada dasarnya
Atas
dasar
itulah,
dikaitkan
dalam
adalah mewujudkan keseimbangan yang diakhiri
masyarakat Aceh, kata “suloh” juga sering
dengan menepungtawari dan saling memberi-
dihubungkan dengan lampu, yakni usaha untuk
menerima maaf antara pelaku dan korban.
memperterang penyelesaikan
suatu masalah.
Secara garis besar, terdapat sejumlah tahap
Kondisi yang disebut terakhir tersebut, secara
yang harus dilalui dalam hukom suloh tersebut.
langsung terkait dengan keseimbangan sosial
Pertama, petua adat menerima pengaduan dari
dalam masyarakat yang terganggu.
korban,
baik
melalui
Dalam konteks teori hukum, upaya untuk
adat
menjaga keseimbangan itu masuk dalam konsep
mendalami kasus yang terjadi, untuk menentukan
kemanfaatan hukum sebagaimana disebutkan
bahwa apakah ia bisa ditindaklanjuti atau tidak,
Radbruch.11
termasuk menerima informasi awal dari masalah
kemanfaatan hukum dengan kepastian hukum atau
yang terjadi. Kedua, petua adat (keusyik atau
keadilan. Konsep kemanfaatan hukum sama sekali
mukim), memberitahu kepada fungsionaris adat
tidak menelusuri apakah hukum itu akan memenuhi
yang lain. Untuk kasus yang sensitif akan
unsur kepastian atau tidak. Demikian juga dengan
keluarganya.
langsung
Dalam
tahap
maupun
ini,
petua
Syahrizal Abbas, Op. Cit.
membedakan
kepentingan
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam,
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
11
10
Ia
252
Jurnal Law Reform
Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
tercapai atau tidaknya tujuan hakiki hukum yang
hak milik; (6) perselisihan dalam keluarga; (7)
bernama keadilan.
perselisihan harta seuhareukat; (8) pencurian
Peneguhan kemanfaatan hukum inilah, oleh
ringan; (9) pencurian ternak peliharaan; (10)
sejumlah sarjana digolongkannya sebagai “hukum
pelanggaran adat tentang ternak, pertanian dan
sosial” yang lahir dari pengalaman manusia sehari-
hutan;
hari. Berbeda dengan hukum negara yang hanya
persengketaan di pasar; (13) penganiayaan ringan;
memungkinkan lahir dari rahim legislasi atau
(14) pembakaran hutan; (15) pelecehan, fitnah,
produk negara. Apa yang disebut sebagai hukum
hasut
yang hidup,12 oleh kekuasaan negara disortir dalam
pencermaran lingkungan; (17) ancam mengancam;
proses penjagaan kewibawaan dan kekuasaan.
(18) perselisihan-perselisihan lain yang melanggar
Friedman menyebut kondisi demikian sebagai living
adat-istiadat.
law yang sangat ditentukan oleh norma-norma
hukum.13
(11)
dan
persengketaan
pencemaran
di
nama
laut;
baik;
(12)
(16)
Batasan ini sendiri juga dibutuhkan dalam
keadaan lembaga adat yang kekurangan sumber
Demikian yang berlaku di Aceh, dimana
daya manusia. Kenyataannya penyelesaian suatu
negara menentukan pola hukum adat yang mana
masalah yang muncul membutuhkan proses
memungkinkan dilaksanakan. Batas 18 jenis kasus
panjang. Prosesnya dimulai dengan penelusuran
yang ditentukan adalah gambaran sortir tersebut.
substansi masalah yang terjadi, hingga perdamaian
Corak pengaturan yang membatasi tersebut –
secara formal yang ditandai dengan saling
sekaligus bisa dipahami sebagai sortir hukum
bermaafan.
negara (Qanun No. 9 Tahun 2008)—adalah dengan
Tidak semua pihak mampu melaksanakan
penegasan 18 jenis kasus yang dapat diselesaikan
proses tersebut. Mereka yang sudah handal dalam
oleh lembaga adat. Sebanyak 18 jenis kasus
proses ini, akan membaginya ke dalam dua fase.
tersebut meliputi: (1) perselisihan dalam rumah
Fase awal dilaksanakan secara diam-diam. Fase ini
tangga; (2) sengketa antar keluarga yang berkaitan
lebih
dengan harta warisan; (3) perselisihan antar warga;
penyelesaian masalah biasanya sangat sensitif
(4) khalwat atau mesum; (5) perselisihan tentang
bagi pihak yang bersengketa. Setelah fase ini
banyak
dilaksanakan,
mengingat
selesai, biasanya sudah ada hasil yang dapat
Tedi Sudrajat, Aspirasi Reformasi Hukum dan Penegakan
Hukum Progresif melalui Hakim Perdamaian Desa, Jurnal
Dinamina Hukum Vol. 10 No. 3 September 2010, hlm. 296.
Lihat juga Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat dalam
Konstitusi Negara Pascaamandemen, Jurnal Mimbar Hukum
Vol. 22 No. 3 Oktober 2010, hlm. 460-461.
13 Lili Rasjidi, 1985, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?
Remaja Karya, Bandung, hlm. 50. Lihat juga Wolfang
Friedmann, 1967, Legal Theory, Stevens and Son Limited,
London, hlm. 268.
12
diterima kedua pihak. Hasil inilah yang bisa
diberitahukan kepada orang banyak. Secara formal,
akhir dari titik temu itu yang dilaksanakan dengan
makan bersama sambil bermaaf-maafan.
253
Jurnal Law Reform
Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Dari sejumlah literatur, disebutkan bahwa
masalah yang muncul dibedakan antara yang
2) Rasionalisasi Hukum Adat dalam Hukum
Nasional
kontak fisik dan nonfisik. Untuk sengketa dari
kontak
fisik,
yang
bahkan
berdarah,
bagian dari hukum adat, terlebih dahulu harus
penyelesaian akan membutuhkan waktu lebih lama.
dilihat dalam kerangka hukum nasional. Merujuk
Hal ini disebabkan karena kedua pihak harus
pada
diyakinkan untuk menyelesaikan masalahnya agar
hukum adat dalam konstitusi, pengakuan terhadap
tidak
masyarakat hukum adat dan hukum adatnya masih
mengganggu
bisa
Keberadaan hukom suloh yang merupakan
keseimbangan
dalam
masyarakat.
pengaturan
masyarakat
terbatas. Konstitusi memberi empat syarat agar
Menurut
Agus
Budi
Wibowo,
untuk
perselisihan yang mengakibatkan keluar darah,
suatu masyarakat hukum adat dapat melaksanakan
hak-hak tradisionalnya.
sanksinya akan dibebankan kepada orang yang
dinyatakan
perkembangan
bersalah.
peraturan
perundang-
undangan, apa yang diatur dalam konstitusi
menyediakan makanan bagi pihak yang diundang
kemudian diderivikasi sedemikian rupa, yang
dalam prosesi maaf-memaafkan. Sanksi ini sendiri
kadangkala membuat pengakuan menjadi tumpang
tidak ditentukan begitu saja. Sensitivitas para
tindih. Daerah Aceh sendiri membuat pola sortir
pemimpin
dalam
yang berjenjang. Terkait dengan keberadaan pola-
menentukan sanksi ini, karena untuk menentukan
pola penyelesaian secara adat, tidak diberikan
seseorang bersalah atau tidak membutuhkan
keleluasaan secara bebas kepada lembaga adat,
pertimbangan yang mendalam.14
melainkan sudah ditentukan batasannya melalui
Dengan
sangat
demikian
ini
sejumlah
umumnya
adat
Sanksi
Oleh
menentukan
tidak
semua
fase
qanun (peraturan derah).
penyelesaian masalah dalam hukom suloh itu dari
Corak pengaturan yang membatasi tersebut
awal bisa dibuka kepada publik. Justru untuk kasus
sekaligus bisa dipahami sebagai sortir hukum
tertentu jika dibuka dari awal akan membuat
negara (Qanun No. 9 Tahun 2008) sebagaimana
penyelesaiannya tidak terjadi.
telah disebutkan di atas. Hal yang menarik dalam
kajian hukum justru penghadapmukaan antara
hukum adat dan hukum nasional.
Dengan kenyataan di atas, dapat dipahami
bahwa ada suasana pluralisme hukum yang melihat
hukum adat dalam satu hal, dan hukum nasional
Agus Budi Wibowo, 2009, “Penyelesaian Konflik atau
Sengketa dalam Masyarakat Aceh”, Makalah. Abdurrahman,
Penyelesaian Sengketa melalui Pendekatan Adat, Kanun
Jurnal Ilmu Hukum No. 50 Edisi April 2010, hlm. 127-136.
14
pada hal yang lain. Kenyataan keberagaman
hukum ini, menurut Safitri adalah keniscayaan
254
Jurnal Law Reform
Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
dalam kehidupan manusia. Solusinya untuk kondisi
adalah tidak seragam dan sistematis. Sementara
ini adalah melihat fakta keberagaman hukum
pluralisme hukum yang lemah mengacu pada
nasional yang berimplikasi pada terciptanya situasi
ideologi sentralisme hukum, pluralisme hukum
dimana suatu bidang kehidupan atau urusan yang
merupakan salah satu bagian kecil dari hukum
sama berlaku berbagai norma dari hukum yang
suatu negara, yang berlaku selama diperintahkan
berbeda.15
oleh penguasa.17
Kenyataannya dua kondisi tersebut tidak
Untuk konteks Aceh, sangat dekat dengan
selalu berjalan seiringan. Keberadaan hukum adat
konsep pluralisme hukum yang lemah, dimana
dan hukum negara harus didamaikan. Mekanisme
semua hukum non negara harus melalui sortir dari
untuk mendamaikan ini dalam perkembangan teori
hukum negara dalam pelaksanaannya. Pola
hukum dikenal dengan pluralisme hukum.
penyelesaian sengketa dimana negara menentukan
Salah satu konsep pluralisme hukum disebut
oleh John Griffith. Griffith mempertentangan antara
sentralisme
hukum
dan
pluralisme
batas 18 jenis kasus adalah cermin dari sortir
negara terhadap hukum adat tersebut.
hukum.
Sentralisme hukum beranggapan bahwa yang
3) Reposisi Hukom Suloh bagi Mitigasi Bencana
disebut hukum hanya hukum negara. Sedangkan
Sosial
pluralisme
hukum
adalah
realitas
yang
sebenarnya16
Proses penyelesaian 18 jenis kasus tersebut,
berpotensi menurunkan jumlah masalah atau
Beranjak dari dua konsep ini, ada dua situasi
sengketa yang ada dalam masyarakat. Semakin
yang dilihat Griffith, yakni strong legal pluralism dan
banyak sengketa atau konflik dalam masyarakat,
weak legal pluralism. Pluralisme hukum yang kuat
akan menimbulkan masalah lain lagi, yakni
berlaku pada situasi dimana suatu masyarakat tidak
bencana sosial.
hanya tunduk pada hukum negara atau aturan yang
Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun
ditetapkan oleh lembaga negara, sehingga tertib
2007 tentang Penanggulangan Bencana, konsep
hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut
bencana tidak lagi terbatas pada bencana alam.
Myrna A. Safitri, “Bersikap Kritis terhadap Pluralisme
Hukum”, dalam Myrna A. Safitri (Ed.), Untuk Apa Pluralisme
Hukum? Konsep, Regulasi, Negosiasi dalam Konflik Agraria di
Indonesia, (Jakarta: Epistema Institute, Perkumpulan HuMA
dan Forest Peoples Programme, 2011), hlm. 1-4. Lihat juga,
Rikardo Simarmata, “Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu?”
dalam Donny Donardono (Ed.), Wacana Pembaharuan
Hukum di Indonesia, (Jakarta: Perkumpulan untuk
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis,
2007), hlm. 71.
16 John Griffith, 1986, “What Is Legal Pluralism?” Journal of
Legal Pluralism & Unofficial Law, 24 (1), p. 1-2.
15
Termasuk di dalam konsep bencana adalah
bencana non alam dan bencana sosial.
Pada dasarnya, dalam bencana alam
sekalipun sangat terkait dengan bagaimana
manusia memperlakukan alam, khususnya melalui
kebijakan yang dilahirkan. Dalam kasus tertentu,
17
255
Ibid.
Jurnal Law Reform
Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
yang terjadi adalah bencana alam, namun manusia
melalui
berbagai
kebijakan
tidak
membuat
Melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan lembaga
perencanaan di lokasi yang rentan dengan
adat
diteguhkan
dalam
Pasal
98,
yang
bencana.18
menyebutkan lembaga adat berfungsi dan berperan
Posisi bencana sosial sendiri terkait dengan
sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
problem sosial yang muncul ke permukaan.
penyelenggaraan pemerintah Aceh dan pemerintah
Berbagai konflik yang muncul dalam masyarakat
kabupaten/kota di bidang keamanan, ketentraman,
dapat digolongkan ke dalam kategori bencana
kerukunan
sosial ini. Keberadaan bencana sosial demikian
Penyelesaian masalah sosial kemasyaratan secara
memungkinkan
adat, ditempuh melalui lembaga adat, meliputi:
dikurangi
atau
ditanggulangi
dengan berbagai kebijakan manusia.
dan
ketertiban
masyarakat.
Majelis Adat Aceh; Imeum mukim atau nama lain;
Tidak pelak lagi bahwa kebijakan yang
Imeum chik atau nama lain; Keuchik atau nama
memungkinkan hukum adat masuk ke dalam
lain; Tuha peut atau nama lain; Tuha lapan atau
proses penyelesaian sengketa dapat menjadi ruang
nama lain; Imeum meunasah atau nama lain;
pengurangan risiko bencana sosial tersebut.
Keujreun blang atau nama lain; Panglima laot atau
Dengan adanya konsep penyelesaian semacam ini,
nama lain; Pawang glee atau nama lain; Peutua
akan membuat masalah yang muncul dalam
seuneubok atau nama lain; Haria peukan atau
masyarakat semakin berkurang bahkan akan habis
nama lain; dan Syahbanda atau nama lain.
sama sekali.
Keinginan
Dalam Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang
di
atas
tidak
berlebihan,
Lembaga Adat, telah ditegaskan fungsi dan peran
mengingat kondisi masyarakat Aceh yang masih
masing-masing lembaga adat tersebut. Konsep
memosisikan hukum adat sangat penting dalam
penyelesaian secara adat berada dalam gampong
kehidupannya. Dalam masyarakat Aceh masih
dan mukim. Semua masalah terkait dengan 18 jenis
terdapat berbagai lembaga adat yang masih hidup
di atas, mula-mula diselesaikan di tingkat gampong,
dan berkembang, seperti mukim, keusyik, panglima
jika tidak diselesaikan akan dibawa pada tingkat
laot, keujreun blang, peutua seuneubok, dan
mukim. Sekiranya kedua lembaga tersebut tidak
sebagainya. Keberadaan lembaga adat terkait
mampu menyelesaikan, baru diselesaikan melalui
dengan bidang kehidupan masyarakat yang
jalur formal –melalui lembaga penegakan hukum
dominan dalam masyarakat tersebut.
negara.
Berdasarkan penjelasan tersebut, hukom
Sulaiman, 2017, Rekonstruksi Hukum Kebencanaan
Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia, Calpulis, Yogyakarta,
hlm. 1-6.
18
suloh tidak mungkin lagi dipandang pada posisi
biasa sebagai hukum adat yang telah disortir oleh
256
Jurnal Law Reform
Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
hukum negara. Seyogianya di sinilah muncul
Walau dalam posisi berhadapmukakan,
rasionalisasi baru, berupa upaya reposisi hukom
penyelesaian masalah semacam itu dapat menjadi
suloh ini bagi proyeksi yang lebih besar dalam
ruang penting bagi pengurangan risiko bencana
kehidupan
menyelesaikan
sosial di Aceh. Dengan berkurangnya masalah
berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat
yang muncul dalam masyarakat akibat adanya
bawah.
penyelesaian di tingkat bawah, akan mengurangi
bernegara,
yakni
Dengan posisi demikian, maka negara
masalah yang semakin besar.
semakin penting menempatkan hukom suloh
sebagai bagian tidak terpisahkan dari kerangka
DAFTAR PUSTAKA
perwujudan kehidupan masyarakat yang semakin
sejahtera.
Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa melalui
Pendekatan Adat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum
C. PENUTUP
No. 50 Edisi April 2010.
Keberadaan hukom suloh di Aceh dapat
Agus Budi Wibowo, 2009, “Penyelesaian Konflik
dipandang sebagai wakil hukum adat dalam
atau Sengketa dalam Masyarakat Aceh”,
penyelesaian sengketa. Konsep hukom suloh
Makalah.
berkaitan dengan kepentingan perdamaian dari
Aidul Fitriciada Azhari, Negara Hukum Indonesia:
masalah yang timbul dalam masyarakat. proses
Dekolonialisasi dan Rekonstruksi Tradisi,
perdamaian ini dimulai dari penerimaan kasus,
Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 19
mengkomunikasikan dengan fungsionaris adat,
Oktober 2012.
memutuskan kasus, serta menyampaikan secara
Ali Moertopo, 1978, Strategi Kebudayaan, Yayasan
terbuka kepada masyarakat disertasi ritual saling
maaf-memaafkan.
Proklamasi, Jakarta.
Dahlan, Perkembangan dan Peranan Hukum Adat
Berangkat dari konsep demikian, maka
dalam Masa Pembangunan Hukum, Kanun
hukum adat tidak mungkin dilepas-kaitkan dari
Jurnal Ilmu Hukum No. 16 Tahun VII April
bagaimana ia diatur oleh hukum nasional.
1997.
Kenyataannya penyelesaian secara adat di Aceh
Dey Ravena, Wacana Konsep Hukum Progresif
sudah ditentukan melalui hukum negara. Hal ini
dalam Penegakan Hukum di Indonesia,
menggambarkan bahwa ia disortir oleh hukum
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 23 No. 02
nasional. Sortir tersebut dalam kajian hukum dapat
September 2010.
dikatakan sebagai wajah dari pluralisme hukum.
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan
Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,
257
Jurnal Law Reform
Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II
Sulaiman, Cara Berhukum Berperspektif Gampong
Agustus 2010.
di Aceh, Jurnal Media: Jurnal Hukum dan
Hakim Nya’ Pha, Hukom Suloh Dalam Masyarakat
Aceh, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Keadilan, Vol. 1 No. 1 Tahun 2011.
Sulaiman,
Penyelesaian
Sengketa
daam
Hukum Universitas Syiah Kuala, 4 November
Masyarakat Gampong di Aceh setelah
1998.
Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun
John Griffith, 1986, “What Is Legal Pluralism?”
2006 tentang Pemerintahan Aceh, Jurnal
Journal of Legal Pluralism & Unofficial Law,
Ilmu Hukum Litigasi, Vol. 10 No. 2 Tahun
24 (1).
2011.
Lili Rasjidi, 1985, Filsafat Hukum, Apakah Hukum
Sulaiman,
Itu? Remaja Karya, Bandung .
Pluralisme Hukum”, dalam Myrna A. Safitri
Untuk
Apa
Pluralisme
Rekonstruksi
Hukum
Kebencanaan Berbasis Kearifan Lokal di
Myrna A. Safitri, 2011, “Bersikap Kritis terhadap
(Ed.),
2017,
Indonesia, Yogyakarta: Calpulis.
Syahrizal Abbas, Diyat dalam Kehidupan Sosial
Budaya Masyarakat Aceh, Jurnal Media
Hukum?
Syariah, Vol. 4 No. 11 Januari-Juni 2004.
Konsep, Regulasi, Negosiasi dalam Konflik
Agraria di Indonesia, Epistema Institute,
Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi dalam Hukum
Jakarta.
Syariat, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
Nasruddin, 1999, Suloh (Model Perdamaian yang
Pernah Diterapkan di Aceh), Buletin Haba,
Kencana, Jakarta.
T. Djuned, 1992, Azas-azas Hukum Adat, FH
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,
Banda Aceh.
Unsyiah, Banda Aceh.
T. Djuned, Hukom Peujroeh sebagai Alternatif
Rikardo Simarmata, 2007, “Pluralisme Hukum,
Peradilan Hak Asasi Manusia, Kanun Jurnal
Mengapa Perlu?” dalam Donny Donardono
(Ed.), Wacana Pembaharuan Hukum di
Ilmu Hukum, Edisi September 1999.
Tedi Sudrajat, Aspirasi Reformasi Hukum dan
Indonesia, Perkumpulan Huma, Jakarta.
Penegakan Hukum Progresif melalui Hakim
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan
Perdamaian Desa, Jurnal Dinamina Hukum
Keenam, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Vol. 10 No. 3 September 2010.
Wolfang Friedmann, 1967, Legal Theory, Stevens
Soerjono Soekanto, 1985, Kedudukan dan Peranan
and Son Limited, London
Hukum Adat dalam Pembangunan, Majalah
Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat dalam
Hukum dan Pembangunan, No. 5 Tahun XV,
Konstitusi Negara Pascaamandemen, Jurnal
Oktober 1985.
Mimbar Hukum Vol. 22 No. 3 Oktober 2010.
258
Download