Jurnal Law Reform Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Reposisi Hukom Suloh Terkait Mitigasi Bencana Sosial di Aceh Sulaiman Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala [email protected] ABSTRAK Kehidupan manusia tidak mungkin dilepaskan dari masalah. Sebagai makhluk yang bersosialisasi, manusia harus saling berhubungan. Dalam berhubungan demikian tidak jarang muncul masalah di antara mereka. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, manusia juga menyiapkan mekanismenya. Salah satu wujudnya adalah penyelesaian secara adat. Wujud penyelesaian secara adat di Aceh dikenal dengan hukom suloh. Konsep hukom suloh berkaitan dengan kepentingan perdamaian dalam masyarakat. proses perdamaian ini dimulai dari penerimaan kasus, mengkomunikasikan dengan fungsionaris adat, memutuskan kasus, serta menyampaikan secara terbuka kepada masyarakat disertai ritual saling maafmemaafkan. Adanya cara menyelesaikan masalah demikian, akan membuat konflik semakin kecil dalam masyarakat. Kondisi demikian strategis bagi pengurangan risiko bencana sosial di Aceh. Atas dasar itu, hukom suloh harus direposisi, tidak hanya dipandang sebagai hukum adat semata, melainkan sarana strategi dalam penyelesaian masalah dalam masyarakat. Kata Kunci: Bencana Sosial; Hukom Suloh; Mitigasi Bencana A. PENDAHULUAN awal kehidupan manusia sudah menyadari adanya potensi Manusia tidak bisa hidup sendiri. Hidup gesekan masyarakat tersebut. manapun Makanya memiliki dalam mekanisme berkelompok dan bersosialisasi membutuhkan tersendiri dalam menyelesaikan masalah di antara mekanisme tertentu dalam rangka saling memenuhi mereka. kebutuhan mereka. Pemenuhan berbagai Perkembangan pengetahuan manusia kebutuhan itu sendiri harus dilakukan dengan menggambarkan bahwa mekanisme tersebut pada berhubungan antara manusia yang satu dengan dasarnya manusia lainnya. dipersiapkan dalam rangka menjalani kehidupan Kehidupan manusia tidak merupakan patokan-patokan yang mungkin manusia secara damai. Patokan itu awalnya dilepaskan dari adanya konflik dalam masyarakat. berlangsung begitu saja. Ketika ia sudah menguat ketika berhubungan dengan sesamanya, terutama dan dilakukan berulang-ulang oleh kelompok dalam pencapaian berbagai kebutuhan hidupnya, manusia hingga masyarakat, kemudian ia menjadi manusia berpotensi bergesek satu sama lain. Sejak 249 Jurnal Law Reform Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro kaedah yang menjelma dalam pola-pola tingkah beda. Umumnya disebut dengan adat. Namun laku.1 Djuned mengingatkan bahwa pandangan sarjana Fase terbentuknya patokan, mula-mula Barat berbeda dengan Timur, dalam hal seseorang dalam berhubungan satu sama lain membedakan adat dengan hukum adat. Bagi bertingkah laku dengan cara tertentu dan apabila sarjana di Barat, suatu adat ketika ingin menjadi tingkah laku itu diulang dan dianggap baik dijadikan hukum adat, terdapat sejumlah proses yang harus pola tingkah laku yang selanjutnya diikuti pula oleh dilalui. Sejumlah literatur menyebutkan, antara adat masyarakat yang lebih luas dan dirasakan sebagai dan hukum adat.3 kaidah yang mengandung perintah dan larangan, Terlepas nama apa yang akan digunakan menjadikannya sebagai suatu kebiasaan atau adat- baik dalam lingkungan akademis maupun di istiadat. Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa luarnya, pola penyelesaian masalah tersebut pada dasarnya semua sistem hukum terbangun berada di luar jalur pengadilan formal. Istilah jalur demikian.2 formal pada dasarnya untuk menggambarkan Patokan ini pula yang menyediakan pola penyelesaian masalah yang muncul dalam kehidupan mereka. Pola penyelesaian tersebut adanya satu pandangan dominan bahwa hanya hukum negara saja yang dapat disebut sebagai hukum.4 terdapat dalam semua masyarakat termasuk yang berada di Indonesia. urusan penyelesaian sengketa, maka pola yang dalam kemasyarakat berlangsung bersamaan dengan masyarakat disebut dengan penyelesaian sengketa menyiapkan mekanisme penyelesaian masalah diluar pengadilan. Hal ini ini sudah lama yang masyarakat berlangsung di Indonesia, termasuk di Aceh. Pola tradisional berbeda dengan masyarakat modern. penyelesaian sengketa tersebut disebut juga Masyarakat tradisional memiliki refleksi dalam dengan penyelesaian sengketa secara damai yang upaya meminimalisir dan menyelesaikan masalah berakar pada budaya masyarakat. Pola ini, dalam di antara mereka. wujud yang lain disebut juga dengan peradilan ditimbulkan. Menurut pembagian Dengan demikian, berangkat dari konsep Pola Teuku dalam Djuned, pola dalam adat. masyarakat tradisional tersebut istilahnya berbedaAli Moertopo, 1978, Strategi Kebudayaan, Yayasan Proklamasi, Jakarta, hlm 21. 2 Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan, Majalah Hukum dan Pembangunan, No. 5 Tahun XV, Oktober 1985. Bandingkan Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010 (182-203), hlm. 183-184. 1 T. Djuned, 1992, Azas-azas Hukum Adat, FH Unsyiah, Banda Aceh, hlm. 14. 4 Dey Ravena, Wacana Konsep Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 23 No. 02 September 2010, hlm. 155-166. Bandingkan Aidul Fitriciada Azhari, Negara Hukum Indonesia: Dekolonialisasi dan Rekonstruksi Tradisi, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 19 Oktober 2012, hlm. 489-505. 3 250 Jurnal Law Reform Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Berdasarkan sejumlah kajian sebelumnya, disebutkan bahwa masyarakat, tidak dalam semua perkembangan masalah bencana sosial akibat dari banyaknya masalah yang tidak terselesaikan dalam masyarakat. dapat diselesaikan melalui jalur ini. Di Aceh pola B. PEMBAHASAN penyelesaian demikian terbatas pada sejumlah jenis sengketa yang sudah melalui proses sortir 1) Hukom Suloh sebagai Wajah Hukum Adat negara.5 Konsep hukom suloh sesungguhnya sangat Masyarakat Aceh mengenal salah satu sederhana. Hukom suloh sebagai wajah hukum saluran penyelesaian demikian dengan nama adat ingin menyelesaikan perkara dalam bentuk hukom suloh. Menurut Hakim Nya’ Pha, istilah perdamaian. hukom suloh berbeda-beda dipakai dalam Dalam masyarakat, bentuk perdamaian ini sering disamakan dengan pola masyarakat. Masyarakat Pidie mengenai sayam, penyelesaian secara kekeluargaan. Padahal Aceh Besar menyebut diet, dan di Aceh Selatan konsep penyelesaian kekeluargaan lebih sempit disebut takanai. Secara umum, istilah hukom suloh dari bentuk perdamaian yang menjadi tujuan dari juga disebut dengan hukom peujroh.6 hukom suloh. Konsep hukom suloh ini pada dasarnya Menurut Hakim Nya’ Pha dan Nasruddin, sangat tradisional. Seiring dengan perkembangan istilah “suloh” dari bahasa Arab yakni kata masyarakat yang pesat, ingin diketahui sejauhmana “shalaha”, “yasluha”, dan “shuluhun”, yang berarti ia mampu beradaptasi bagi penyelesaian masalah mendamaikan.7 Untuk memosisikan suloh dalam di Aceh. Dalam konteks yang lebih luas, dikaitkan masyarakat Aceh, Syahrizal Abbas membedakan pula dengan tingkatan melalui diyat, suloh, sayam, dan upaya meminimalisir ancaman peusijuek.8 Konsep ini berbeda dengan yang Sulaiman, Cara Berhukum Berperspektif Gampong di Aceh, Jurnal Media: Jurnal Hukum dan Keadilan, Vol. 1 No. 1 Tahun 2011. Lihat juga, Syahrizal Abbas, Diyat dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Jurnal Media Syariah, Vol. 4 No. 11 Januari-Juni 2004. Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi dalam Hukum Syariat, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta. Sulaiman, Penyelesaian Sengketa daam Masyarakat Gampong di Aceh setelah Lahirnya UndangUndang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Vol. 10 No. 2 Tahun 2011. 6 Hakim Nya’ Pha, Hukom Suloh Dalam Masyarakat Aceh, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala, 4 November 1998. Bandingkan T. Djuned, Hukom Peujroeh sebagai Alternatif Peradilan Hak Asasi Manusia, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Edisi September 1999. Lihat juga, Dahlan, Perkembangan dan Peranan Hukum Adat dalam Masa Pembangunan Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 16 Tahun VII April 1997, hlm. 37. 5 diungkapkan Hakim Nya’ Pha yang menyebutkan ketiga istilah tersebut hanya berbeda tempat, tidak berbeda konsep.9 Menurut Syahrizal, diyat adalah sesuatu yang dibayarkan setelah proses pemaafan oleh korban atau keluarga korban. Besarnya diyat Hakim Nya’ Pha, Op. Cit. Lihat juga Nasruddin, 1999, Suloh (Model Perdamaian yang Pernah Diterapkan di Aceh), Buletin Haba, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Banda Aceh. 8 Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi dalam Hukum Syariat, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, hlm. 261. 9 Hakim Nya’ Pha, Op. Cit. 7 251 Jurnal Law Reform Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 sangat tergantung dari Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro bagaimana hasil diberitahukan secara diam-diam, berbeda dengan musyawarah petua adat dalam kawasan tersebut. kasus Pemberian diyat itu sendiri dilakukan dengan didengarkan keterangannya. Pola menemui terlapor upacara adalah juga sangat tergantung dari sensitif tidaknya kasus kompensasi terkait dengan keadaan tubuh korban. yang terjadi. Keempat, petua adat mengumukan Jika diyat hanya melihat darah sebagai alat putusan beserta sanksinya kepada masing-masing ukurnya, maka sayam melihat bagian tubuh. pihak. Kelima, sebagai puncak dari penyelesaian Sedangkan besar dan mekanisme dari keduanya kasus adalah mengumumkan kepada publik sama saja. Sementara suloh terfokus pada proses sekaligus saling bermaaf-maafan. adat. Sedangkan sayam biasa. Ketiga, pihak terlapor akan mendamaikan. Proses yang kemudian berakhis Untuk fase yang terakhir sangat penting dengan ritual saling memaafkan yang dilaksanakan terkait dengan keseimbangan dalam masyarakat. di mesjid atau meunasah.10 Secara internal proses tersebut dimaksudkan agar Sedangkan Hakim Nya’ Pha melihat tidak ada anggota masyarakat yang melakukan hal ketiganya, suloh, diyat, atau sayam, adalah hal yang sama. Sedangkan untuk eksternal, menjadi yang sama, hanya dibedakan oleh tempat dan ruang sosialisasi akan batas-batas nilai yang bahasa yang berbeda dari masing-masing wilayah. dipegang oleh masyarakat yang bersangkutan. Makanya proses mendamaikan pada dasarnya Atas dasar itulah, dikaitkan dalam adalah mewujudkan keseimbangan yang diakhiri masyarakat Aceh, kata “suloh” juga sering dengan menepungtawari dan saling memberi- dihubungkan dengan lampu, yakni usaha untuk menerima maaf antara pelaku dan korban. memperterang penyelesaikan suatu masalah. Secara garis besar, terdapat sejumlah tahap Kondisi yang disebut terakhir tersebut, secara yang harus dilalui dalam hukom suloh tersebut. langsung terkait dengan keseimbangan sosial Pertama, petua adat menerima pengaduan dari dalam masyarakat yang terganggu. korban, baik melalui Dalam konteks teori hukum, upaya untuk adat menjaga keseimbangan itu masuk dalam konsep mendalami kasus yang terjadi, untuk menentukan kemanfaatan hukum sebagaimana disebutkan bahwa apakah ia bisa ditindaklanjuti atau tidak, Radbruch.11 termasuk menerima informasi awal dari masalah kemanfaatan hukum dengan kepastian hukum atau yang terjadi. Kedua, petua adat (keusyik atau keadilan. Konsep kemanfaatan hukum sama sekali mukim), memberitahu kepada fungsionaris adat tidak menelusuri apakah hukum itu akan memenuhi yang lain. Untuk kasus yang sensitif akan unsur kepastian atau tidak. Demikian juga dengan keluarganya. langsung Dalam tahap maupun ini, petua Syahrizal Abbas, Op. Cit. membedakan kepentingan Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 11 10 Ia 252 Jurnal Law Reform Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tercapai atau tidaknya tujuan hakiki hukum yang hak milik; (6) perselisihan dalam keluarga; (7) bernama keadilan. perselisihan harta seuhareukat; (8) pencurian Peneguhan kemanfaatan hukum inilah, oleh ringan; (9) pencurian ternak peliharaan; (10) sejumlah sarjana digolongkannya sebagai “hukum pelanggaran adat tentang ternak, pertanian dan sosial” yang lahir dari pengalaman manusia sehari- hutan; hari. Berbeda dengan hukum negara yang hanya persengketaan di pasar; (13) penganiayaan ringan; memungkinkan lahir dari rahim legislasi atau (14) pembakaran hutan; (15) pelecehan, fitnah, produk negara. Apa yang disebut sebagai hukum hasut yang hidup,12 oleh kekuasaan negara disortir dalam pencermaran lingkungan; (17) ancam mengancam; proses penjagaan kewibawaan dan kekuasaan. (18) perselisihan-perselisihan lain yang melanggar Friedman menyebut kondisi demikian sebagai living adat-istiadat. law yang sangat ditentukan oleh norma-norma hukum.13 (11) dan persengketaan pencemaran di nama laut; baik; (12) (16) Batasan ini sendiri juga dibutuhkan dalam keadaan lembaga adat yang kekurangan sumber Demikian yang berlaku di Aceh, dimana daya manusia. Kenyataannya penyelesaian suatu negara menentukan pola hukum adat yang mana masalah yang muncul membutuhkan proses memungkinkan dilaksanakan. Batas 18 jenis kasus panjang. Prosesnya dimulai dengan penelusuran yang ditentukan adalah gambaran sortir tersebut. substansi masalah yang terjadi, hingga perdamaian Corak pengaturan yang membatasi tersebut – secara formal yang ditandai dengan saling sekaligus bisa dipahami sebagai sortir hukum bermaafan. negara (Qanun No. 9 Tahun 2008)—adalah dengan Tidak semua pihak mampu melaksanakan penegasan 18 jenis kasus yang dapat diselesaikan proses tersebut. Mereka yang sudah handal dalam oleh lembaga adat. Sebanyak 18 jenis kasus proses ini, akan membaginya ke dalam dua fase. tersebut meliputi: (1) perselisihan dalam rumah Fase awal dilaksanakan secara diam-diam. Fase ini tangga; (2) sengketa antar keluarga yang berkaitan lebih dengan harta warisan; (3) perselisihan antar warga; penyelesaian masalah biasanya sangat sensitif (4) khalwat atau mesum; (5) perselisihan tentang bagi pihak yang bersengketa. Setelah fase ini banyak dilaksanakan, mengingat selesai, biasanya sudah ada hasil yang dapat Tedi Sudrajat, Aspirasi Reformasi Hukum dan Penegakan Hukum Progresif melalui Hakim Perdamaian Desa, Jurnal Dinamina Hukum Vol. 10 No. 3 September 2010, hlm. 296. Lihat juga Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pascaamandemen, Jurnal Mimbar Hukum Vol. 22 No. 3 Oktober 2010, hlm. 460-461. 13 Lili Rasjidi, 1985, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu? Remaja Karya, Bandung, hlm. 50. Lihat juga Wolfang Friedmann, 1967, Legal Theory, Stevens and Son Limited, London, hlm. 268. 12 diterima kedua pihak. Hasil inilah yang bisa diberitahukan kepada orang banyak. Secara formal, akhir dari titik temu itu yang dilaksanakan dengan makan bersama sambil bermaaf-maafan. 253 Jurnal Law Reform Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Dari sejumlah literatur, disebutkan bahwa masalah yang muncul dibedakan antara yang 2) Rasionalisasi Hukum Adat dalam Hukum Nasional kontak fisik dan nonfisik. Untuk sengketa dari kontak fisik, yang bahkan berdarah, bagian dari hukum adat, terlebih dahulu harus penyelesaian akan membutuhkan waktu lebih lama. dilihat dalam kerangka hukum nasional. Merujuk Hal ini disebabkan karena kedua pihak harus pada diyakinkan untuk menyelesaikan masalahnya agar hukum adat dalam konstitusi, pengakuan terhadap tidak masyarakat hukum adat dan hukum adatnya masih mengganggu bisa Keberadaan hukom suloh yang merupakan keseimbangan dalam masyarakat. pengaturan masyarakat terbatas. Konstitusi memberi empat syarat agar Menurut Agus Budi Wibowo, untuk perselisihan yang mengakibatkan keluar darah, suatu masyarakat hukum adat dapat melaksanakan hak-hak tradisionalnya. sanksinya akan dibebankan kepada orang yang dinyatakan perkembangan bersalah. peraturan perundang- undangan, apa yang diatur dalam konstitusi menyediakan makanan bagi pihak yang diundang kemudian diderivikasi sedemikian rupa, yang dalam prosesi maaf-memaafkan. Sanksi ini sendiri kadangkala membuat pengakuan menjadi tumpang tidak ditentukan begitu saja. Sensitivitas para tindih. Daerah Aceh sendiri membuat pola sortir pemimpin dalam yang berjenjang. Terkait dengan keberadaan pola- menentukan sanksi ini, karena untuk menentukan pola penyelesaian secara adat, tidak diberikan seseorang bersalah atau tidak membutuhkan keleluasaan secara bebas kepada lembaga adat, pertimbangan yang mendalam.14 melainkan sudah ditentukan batasannya melalui Dengan sangat demikian ini sejumlah umumnya adat Sanksi Oleh menentukan tidak semua fase qanun (peraturan derah). penyelesaian masalah dalam hukom suloh itu dari Corak pengaturan yang membatasi tersebut awal bisa dibuka kepada publik. Justru untuk kasus sekaligus bisa dipahami sebagai sortir hukum tertentu jika dibuka dari awal akan membuat negara (Qanun No. 9 Tahun 2008) sebagaimana penyelesaiannya tidak terjadi. telah disebutkan di atas. Hal yang menarik dalam kajian hukum justru penghadapmukaan antara hukum adat dan hukum nasional. Dengan kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa ada suasana pluralisme hukum yang melihat hukum adat dalam satu hal, dan hukum nasional Agus Budi Wibowo, 2009, “Penyelesaian Konflik atau Sengketa dalam Masyarakat Aceh”, Makalah. Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa melalui Pendekatan Adat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 50 Edisi April 2010, hlm. 127-136. 14 pada hal yang lain. Kenyataan keberagaman hukum ini, menurut Safitri adalah keniscayaan 254 Jurnal Law Reform Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dalam kehidupan manusia. Solusinya untuk kondisi adalah tidak seragam dan sistematis. Sementara ini adalah melihat fakta keberagaman hukum pluralisme hukum yang lemah mengacu pada nasional yang berimplikasi pada terciptanya situasi ideologi sentralisme hukum, pluralisme hukum dimana suatu bidang kehidupan atau urusan yang merupakan salah satu bagian kecil dari hukum sama berlaku berbagai norma dari hukum yang suatu negara, yang berlaku selama diperintahkan berbeda.15 oleh penguasa.17 Kenyataannya dua kondisi tersebut tidak Untuk konteks Aceh, sangat dekat dengan selalu berjalan seiringan. Keberadaan hukum adat konsep pluralisme hukum yang lemah, dimana dan hukum negara harus didamaikan. Mekanisme semua hukum non negara harus melalui sortir dari untuk mendamaikan ini dalam perkembangan teori hukum negara dalam pelaksanaannya. Pola hukum dikenal dengan pluralisme hukum. penyelesaian sengketa dimana negara menentukan Salah satu konsep pluralisme hukum disebut oleh John Griffith. Griffith mempertentangan antara sentralisme hukum dan pluralisme batas 18 jenis kasus adalah cermin dari sortir negara terhadap hukum adat tersebut. hukum. Sentralisme hukum beranggapan bahwa yang 3) Reposisi Hukom Suloh bagi Mitigasi Bencana disebut hukum hanya hukum negara. Sedangkan Sosial pluralisme hukum adalah realitas yang sebenarnya16 Proses penyelesaian 18 jenis kasus tersebut, berpotensi menurunkan jumlah masalah atau Beranjak dari dua konsep ini, ada dua situasi sengketa yang ada dalam masyarakat. Semakin yang dilihat Griffith, yakni strong legal pluralism dan banyak sengketa atau konflik dalam masyarakat, weak legal pluralism. Pluralisme hukum yang kuat akan menimbulkan masalah lain lagi, yakni berlaku pada situasi dimana suatu masyarakat tidak bencana sosial. hanya tunduk pada hukum negara atau aturan yang Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun ditetapkan oleh lembaga negara, sehingga tertib 2007 tentang Penanggulangan Bencana, konsep hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut bencana tidak lagi terbatas pada bencana alam. Myrna A. Safitri, “Bersikap Kritis terhadap Pluralisme Hukum”, dalam Myrna A. Safitri (Ed.), Untuk Apa Pluralisme Hukum? Konsep, Regulasi, Negosiasi dalam Konflik Agraria di Indonesia, (Jakarta: Epistema Institute, Perkumpulan HuMA dan Forest Peoples Programme, 2011), hlm. 1-4. Lihat juga, Rikardo Simarmata, “Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu?” dalam Donny Donardono (Ed.), Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, 2007), hlm. 71. 16 John Griffith, 1986, “What Is Legal Pluralism?” Journal of Legal Pluralism & Unofficial Law, 24 (1), p. 1-2. 15 Termasuk di dalam konsep bencana adalah bencana non alam dan bencana sosial. Pada dasarnya, dalam bencana alam sekalipun sangat terkait dengan bagaimana manusia memperlakukan alam, khususnya melalui kebijakan yang dilahirkan. Dalam kasus tertentu, 17 255 Ibid. Jurnal Law Reform Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang terjadi adalah bencana alam, namun manusia melalui berbagai kebijakan tidak membuat Melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan lembaga perencanaan di lokasi yang rentan dengan adat diteguhkan dalam Pasal 98, yang bencana.18 menyebutkan lembaga adat berfungsi dan berperan Posisi bencana sosial sendiri terkait dengan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam problem sosial yang muncul ke permukaan. penyelenggaraan pemerintah Aceh dan pemerintah Berbagai konflik yang muncul dalam masyarakat kabupaten/kota di bidang keamanan, ketentraman, dapat digolongkan ke dalam kategori bencana kerukunan sosial ini. Keberadaan bencana sosial demikian Penyelesaian masalah sosial kemasyaratan secara memungkinkan adat, ditempuh melalui lembaga adat, meliputi: dikurangi atau ditanggulangi dengan berbagai kebijakan manusia. dan ketertiban masyarakat. Majelis Adat Aceh; Imeum mukim atau nama lain; Tidak pelak lagi bahwa kebijakan yang Imeum chik atau nama lain; Keuchik atau nama memungkinkan hukum adat masuk ke dalam lain; Tuha peut atau nama lain; Tuha lapan atau proses penyelesaian sengketa dapat menjadi ruang nama lain; Imeum meunasah atau nama lain; pengurangan risiko bencana sosial tersebut. Keujreun blang atau nama lain; Panglima laot atau Dengan adanya konsep penyelesaian semacam ini, nama lain; Pawang glee atau nama lain; Peutua akan membuat masalah yang muncul dalam seuneubok atau nama lain; Haria peukan atau masyarakat semakin berkurang bahkan akan habis nama lain; dan Syahbanda atau nama lain. sama sekali. Keinginan Dalam Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang di atas tidak berlebihan, Lembaga Adat, telah ditegaskan fungsi dan peran mengingat kondisi masyarakat Aceh yang masih masing-masing lembaga adat tersebut. Konsep memosisikan hukum adat sangat penting dalam penyelesaian secara adat berada dalam gampong kehidupannya. Dalam masyarakat Aceh masih dan mukim. Semua masalah terkait dengan 18 jenis terdapat berbagai lembaga adat yang masih hidup di atas, mula-mula diselesaikan di tingkat gampong, dan berkembang, seperti mukim, keusyik, panglima jika tidak diselesaikan akan dibawa pada tingkat laot, keujreun blang, peutua seuneubok, dan mukim. Sekiranya kedua lembaga tersebut tidak sebagainya. Keberadaan lembaga adat terkait mampu menyelesaikan, baru diselesaikan melalui dengan bidang kehidupan masyarakat yang jalur formal –melalui lembaga penegakan hukum dominan dalam masyarakat tersebut. negara. Berdasarkan penjelasan tersebut, hukom Sulaiman, 2017, Rekonstruksi Hukum Kebencanaan Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia, Calpulis, Yogyakarta, hlm. 1-6. 18 suloh tidak mungkin lagi dipandang pada posisi biasa sebagai hukum adat yang telah disortir oleh 256 Jurnal Law Reform Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro hukum negara. Seyogianya di sinilah muncul Walau dalam posisi berhadapmukakan, rasionalisasi baru, berupa upaya reposisi hukom penyelesaian masalah semacam itu dapat menjadi suloh ini bagi proyeksi yang lebih besar dalam ruang penting bagi pengurangan risiko bencana kehidupan menyelesaikan sosial di Aceh. Dengan berkurangnya masalah berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat yang muncul dalam masyarakat akibat adanya bawah. penyelesaian di tingkat bawah, akan mengurangi bernegara, yakni Dengan posisi demikian, maka negara masalah yang semakin besar. semakin penting menempatkan hukom suloh sebagai bagian tidak terpisahkan dari kerangka DAFTAR PUSTAKA perwujudan kehidupan masyarakat yang semakin sejahtera. Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa melalui Pendekatan Adat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum C. PENUTUP No. 50 Edisi April 2010. Keberadaan hukom suloh di Aceh dapat Agus Budi Wibowo, 2009, “Penyelesaian Konflik dipandang sebagai wakil hukum adat dalam atau Sengketa dalam Masyarakat Aceh”, penyelesaian sengketa. Konsep hukom suloh Makalah. berkaitan dengan kepentingan perdamaian dari Aidul Fitriciada Azhari, Negara Hukum Indonesia: masalah yang timbul dalam masyarakat. proses Dekolonialisasi dan Rekonstruksi Tradisi, perdamaian ini dimulai dari penerimaan kasus, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 19 mengkomunikasikan dengan fungsionaris adat, Oktober 2012. memutuskan kasus, serta menyampaikan secara Ali Moertopo, 1978, Strategi Kebudayaan, Yayasan terbuka kepada masyarakat disertasi ritual saling maaf-memaafkan. Proklamasi, Jakarta. Dahlan, Perkembangan dan Peranan Hukum Adat Berangkat dari konsep demikian, maka dalam Masa Pembangunan Hukum, Kanun hukum adat tidak mungkin dilepas-kaitkan dari Jurnal Ilmu Hukum No. 16 Tahun VII April bagaimana ia diatur oleh hukum nasional. 1997. Kenyataannya penyelesaian secara adat di Aceh Dey Ravena, Wacana Konsep Hukum Progresif sudah ditentukan melalui hukum negara. Hal ini dalam Penegakan Hukum di Indonesia, menggambarkan bahwa ia disortir oleh hukum Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 23 No. 02 nasional. Sortir tersebut dalam kajian hukum dapat September 2010. dikatakan sebagai wajah dari pluralisme hukum. Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, 257 Jurnal Law Reform Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Sulaiman, Cara Berhukum Berperspektif Gampong Agustus 2010. di Aceh, Jurnal Media: Jurnal Hukum dan Hakim Nya’ Pha, Hukom Suloh Dalam Masyarakat Aceh, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Keadilan, Vol. 1 No. 1 Tahun 2011. Sulaiman, Penyelesaian Sengketa daam Hukum Universitas Syiah Kuala, 4 November Masyarakat Gampong di Aceh setelah 1998. Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun John Griffith, 1986, “What Is Legal Pluralism?” 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Jurnal Journal of Legal Pluralism & Unofficial Law, Ilmu Hukum Litigasi, Vol. 10 No. 2 Tahun 24 (1). 2011. Lili Rasjidi, 1985, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Sulaiman, Itu? Remaja Karya, Bandung . Pluralisme Hukum”, dalam Myrna A. Safitri Untuk Apa Pluralisme Rekonstruksi Hukum Kebencanaan Berbasis Kearifan Lokal di Myrna A. Safitri, 2011, “Bersikap Kritis terhadap (Ed.), 2017, Indonesia, Yogyakarta: Calpulis. Syahrizal Abbas, Diyat dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Jurnal Media Hukum? Syariah, Vol. 4 No. 11 Januari-Juni 2004. Konsep, Regulasi, Negosiasi dalam Konflik Agraria di Indonesia, Epistema Institute, Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi dalam Hukum Jakarta. Syariat, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Nasruddin, 1999, Suloh (Model Perdamaian yang Pernah Diterapkan di Aceh), Buletin Haba, Kencana, Jakarta. T. Djuned, 1992, Azas-azas Hukum Adat, FH Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Banda Aceh. Unsyiah, Banda Aceh. T. Djuned, Hukom Peujroeh sebagai Alternatif Rikardo Simarmata, 2007, “Pluralisme Hukum, Peradilan Hak Asasi Manusia, Kanun Jurnal Mengapa Perlu?” dalam Donny Donardono (Ed.), Wacana Pembaharuan Hukum di Ilmu Hukum, Edisi September 1999. Tedi Sudrajat, Aspirasi Reformasi Hukum dan Indonesia, Perkumpulan Huma, Jakarta. Penegakan Hukum Progresif melalui Hakim Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan Perdamaian Desa, Jurnal Dinamina Hukum Keenam, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Vol. 10 No. 3 September 2010. Wolfang Friedmann, 1967, Legal Theory, Stevens Soerjono Soekanto, 1985, Kedudukan dan Peranan and Son Limited, London Hukum Adat dalam Pembangunan, Majalah Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat dalam Hukum dan Pembangunan, No. 5 Tahun XV, Konstitusi Negara Pascaamandemen, Jurnal Oktober 1985. Mimbar Hukum Vol. 22 No. 3 Oktober 2010. 258