rumusan seminar nasional benih unggul untuk hutan

advertisement
RUMUSAN SEMINAR NASIONAL
BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN TANAMAN, RESTORASI
EKOSISTEM DAN ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM
YOGYAKARTA, 19-20 NOPEMBER 2014
Seminar Nasional “Benih Unggul untuk Hutan Tanaman, Restorasi Ekosistem dan
Antisipasi Perubahan Iklim” dilaksanakan dalam rangka menggali hasil-hasil penelitian
terkini, membahas berbagai konsep dan pengalaman berbagai lembaga penelitian
dalam pemuliaan tanaman untuk menciptakan benih unggul dan dampak
pemanfaatanya untuk peningkatan produktivitas hutan tanaman, restorasi ekosistem
dan antisipasi perubahan iklim. Seminar dibuka oleh Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dan diawali dengan presentasi dan pembahasan makalah khusus tentang
Penanggulangan Kebakaran Hutan. Seminar dihadiri oleh lebih kurang 400 peserta dari
kalangan peneliti, akademisi, praktisi dan pengambil kebijakan. Sebanyak 37 makalah
yang terdiri dari 5 makalah utama, 20 makalah penunjang dan 12 poster telah
dipresentasikan dan dibahas dalam seminar dengan rumusan sebagai berikut:
A. Arahan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
1. Seminar Nasional ini merupakan sarana yang sangat baik untuk menghimpun dan
tukar-menukar informasi dari para pelaku dan stakeholders mengenai peran benih
unggul dan kebakaran hutan.
2. Benih unggul merupakan kebutuhan pokok untuk meningkatkan kualitas tanaman.
Untuk kegiatan penanaman, terdapat 5 jenis yang wajib menggunakan benih unggul
dari sumber benih bersertifikat yaitu jati, jabon, sengon, gmelina dan mahoni.
3. Sesuai dengan topik seminar ini, masing-masing tujuan (benih unggul untuk hutan
tanaman, restorasi ekosistem, antisipasi perubahan iklim) perlu mengembangkan
sifat kayu/non-kayu yang sesuai melalui strategi pemuliaan.
B. Penanggulangan Kebakaran Hutan (Tentatif)
1. Kebakaran yang terjadi setiap tahun telah bertentangan dengan target pemerintah
Indonesia dalam menurunkan emisi antara 20% hingga 40 %. Kenyataan yang ada
adalah telah terjadi peningkatan jumlah kejadian kebakaran bahkan belakangan ini
kebakaran telah merambah kawasan konservasi. Permasalahan kebakaran hutan
dan lahan telah mempengaruhi selain aspek sosial, ekonomi, dan ekologi, tetapi
juga telah mempengaruhi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
2. Potret kejadian kebakaran lahan gambut di masa lalu dan sekarang khususnya
delapan tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian besar pemicu kebakaran
berada di luar kawasan hutan yaitu pengguna pembersihan lahan tidur, api
perladangan atau pertanian tradisional, pengguna api dalam pemanfaatan
sumberdaya alam, dan pembukaan lahan oleh perusahaan yang melanggar aturan
sehingga profil-profil manusia dalam aktivitas inilah yang dapat dijadikan obyek
pembinaan pencegahan kebakaran dengan cara memberdayakannya menjadi regu
pengendali kebakaran di tingkat desa dan kampung.
3. Salah satu insentif yang menyebabkan masyarakat terus menggunakan api dalam
pembukaan lahan adalah kepraktisan dan keuntungan efisiensi biaya dimana hanya
memerlukan 20% daripada biaya pembukaan lahan tanpa bakar sehingga
diperlukan teknologi alternatif yang lebih efisien dan praktis daripada pembukaan
lahan menggunakan api.
4. Kegiatan pencegahan kebakaran seharusnya menjadi kegiatan prioritas karena pada
dasarnya kebakaran yang terlanjur besar dan luas merupakan bencana antropogenik
yang sulit dipadamkan. Keberhasilan dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan
dan lahan yang luas merupakan keberhasilan mengatasi dampak negatif kebakaran
terhadap lingkungan ekologi seperti terhadap emisi gas rumah kaca, tanah dan air,
lingkungan hayati, sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Diperlukan suatu sistem
pencegahan kebakaran yang berisi pembinaan dan pelatihan.
5. Pembangunan model hutan berisiko kecil kebakaran melalui manajemen bahan
bakar yang mengarah ke minimasi bahan bakar potensial pada lantai hutan,
persiapan lahan menuju PLTB, pemilihan jenis pohon yang dikembangkan,
pengembangan agroforestry, pembuatan sekat bakar, pembuatan sumur, dan tower
pengamat kebakaran dapat menurunkan risiko hutan terhadap kebakaran.
6. Upaya pemberdayaan masyarakat melalui pengendalian kebakaran berbasis
masyarakat (PKBM) di sekitar hutan dan lahan merupakan pola alternatif
pengelolaan kebakaran yang menjanjikan karena kejadian kebakaran selama ini
banyak dipicu oleh kebiasaan pembakaran lahan masyarakat berskala kecil tetapi
banyak, yang dilakukan setiap tahun di desa-desa dan ladang sekitar hutan.
7. Model-model pengendalian kebakaran berbasis masyarakat seperti PKBM
(Pengendalian Kebakaran Berbasis Masyarakat) di Kalimantan Timur, TSA (Tim
Serbu Api) desa di Kalimantan Tengah, RPK (Regu Pengendali Kebakaran) Desa di
Kalimantan Tengah dan Selatan, PAK (Pos Api Kampung) dan MPA (Masyarakat
Perduli Api) di Kalimantan Selatan, Regu Pemadam Kebakaran desa di Sumatera
merupakan contoh pengendalian kebakaran berbasis masyarakat yang berhasil
didalam mengendalikan kebakaran hutan dan lahan di desa-desa.
8. Sistem pengendalian kebakaran berbasis masyarakat dengan memadukan teknologi
tinggi dan kearifan lokal perlu dikembangkan ke seluruh desa rawan kebakaran
dengan membentuk Regu Pengendali Kebakaran (RPK) desa yang difasilitasi institusi
terkait melalui musyawarah desa. Institusi tersebut juga memfasilitasi adanya
pelatihan keterampilan pemadaman, pengetahuan lingkungan, pembuatan aturan
desa dan alat-alat pemadam sederhana yang dapat digunakan secara praktis dan
efektif.
9. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru telah merekayasa dan membuat tidak
kurang dari 10 jenis alat untuk pemadaman kebakaran di hutan dan lahan rawa
gambut, dalam rangka mendukung pelaksanaaan pemadaman dini kebakaran hutan
dan lahan di tingkat masyarakat sekitar hutan.
10. Dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan diperlukan koordinasi antara
praktisi, scienties, dan pihak pengambil kebijakan sehingga apa yang dilakukan
dalam kegiatan pencegahan, pra-pemadaman, pemadaman, dan tindakan pasca
kebakaran menjadi logis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Koordinasi juga diperlukan antara PPNS dengan Polisi dan pihak pengadilan dalam
penegakan hukum agar memiliki persepsi yang sama tentang aturan yang berlaku
dalam kebakaran.
11. Perjanjian asap lintas batas (Transboundary haze polution agreement) asian perlu
menjadi pertimbangan pemerintah untuk meratifikasinya, karena dari kesepakatan
inilah satu negara dapat membantu atau dibantu negara lainnya untuk pengelola
kebakaran hutan dan lahan, selain pemberlakuan sangsi.
12. Upaya penegakan hukum bagi pelanggar pembakaran hutan dan lahan telah
mengalami kemajuan ditandai dengan banyaknya penangkapan terhadap pembakar
lahan oleh pihak berwajib, namun proses penuntasan hukumnya belum jelas
sehingga perlu penyempurnaan aturan secara holistik yang berefek jera.
13. Dalam upaya penegakan hukum kebakaran, masih ada aturan-aturan yang berisi
pasal bertentangan. Didalam suatu aturan ada yang membolehkan pembukaan
lahan gambut dalam untuk tujuan budidaya tanaman, sedangkan aturan yang lain
tidak membolehkan. Di sisi lain perlu menentukan apakah pembakaran terkendali
untuk luasan < 2 ha masih diperlukan.
14. Salah satu pencegahan kebakaran di lahan gambut yang telah dibangun kanal-kanal
adalah dengan membendung kanal-kanal (cannal blocking) untuk menghindari
pengeringan gambut di musim kering karena gambut memiliki sifat kering tidak
balik.
15. Diperlukan biaya yang selalu tersedia (on call budget) untuk kegiatan pencegahan
kebakaran hutan dan lahan karena kejadian kebakaran hampir terjadi setiap tahun.
16. Untuk menuju pengolahan lahan tanpa bakar diperlukan teknologi pemanfaatan
limbah tumbuhan hasil tebas-tebang perladangan menjadi komoditi bernilai ekonomi
seperti pembuatan pupuk organik dan arang briket agar masyarakat memilih
memanfaatkan vegetasi menjadi pupuk dan arang daripada membakarnya. Selain
itu diperlukan payung hukum dalam memanfaatkan limbah vegetasi hasil tebasan
tersebut.
17. Untuk menanggulangi kebakaran yang bersifat rutin diperlukan suatu program
jangka pendek dan jangka panjang disertai analisis kebutuhan prioritas dari suatu
areal rawan kebakaran sehingga dapat ditentukan apakah peralatan, sumberdaya
manusia, atau kebutuhan lainnya yang menjadi prioritas dalam hubungannya
dengan pencegahan kebakaran.
18. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu berkoordinasi dengan
Kementerian Pendidikan dasar dan Kebudayaan dalam upaya mengubah perilaku
manusia sejak dini untuk memahami bahaya kebakaran hutan dan lahan yaitu
melalui anak sekolah. Jika perlu, pendidikan kebakaran hutan dan lahan serta
lingkungan menjadi muatan dalam kurikulum pendidikan dasar.
C. Benih Unggul untuk Hutan Tanaman
1. Benih unggul hasil pemuliaan tanaman telah dihasilkan dan beberapa diantaranya
sudah dilepas Menteri Kehutanan, yaitu Acacia mangium, Eucalyptus pellita, kayu
kutih dan jati.
2. Strategi pemuliaan jenis tanaman hutan diarahkan untuk menghasilkan benih dalam
rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp, kayu pertukangan dan
HHBK, termasuk di dalamnya jenis andalan lokal. Dukungan penelitian bioteknologi
diperlukan untuk meningkatkan efisiensi strategi tersebut.
3. Pengembangan hutan tanaman guna meningkatkan produktivitas tanaman dapat
dilakukan dengan menggunakan jenis-jenis unggulan yang sudah dikuasi teknik
perbanyakan secara klon seperti klon unggul jati dan Acacia hibrida.
4. Kolaborasi antara Badan Litbang Kehutanan dan stakeholders dalam rangka
pemanfaatan dan pengembangan skala operasional perlu dibangun secara intensif
dan komprehensif.
5. Rencana kebutuhan bibit 10 tahun (2010-2020) adalah ± 7.993,9 Juta Bibit,
sehingga diperlukan kebijakan penggunaan benih unggul yang tepat. Pembangunan
sumber benih perlu dilakukan oleh HTI, KPH dan lembaga penelitian. Peranan
Litbang Kehutanan sangat besar dalam mendukung pembangunan hutan tanaman
pada IUPHHK-HTI dan KPH. Oleh karenanya, perlu penguatan peran Litbang
Kehutanan di setiap propinsi di Indonesia. Dalam rangka lebih menjaga mutu dan
kepastian kualitas benih unggul, maka kegiatan perbenihan tanaman hutan perlu
dikaji untuk dipusatkan di Lembaga Litbang Kehutanan.
6. Penerapan teknik silvikultur yang tepat akan meningkatkan daya guna/pertumbuhan
benih unggul yang digunakan. Teknik silvikultur yang digunakan adalah kesesuaian
lahan, jarak tanam, pemupukan dan pengendalian gulma.
7. Ancaman hama dan penyakit dapat menyebabkan daya guna benih unggul semakin
menurun. Oleh karenanya, perlu penanganan serius untuk mengatasi hama dan
penyakit tersebut.
D. Benih Unggul untuk Restorasi Ekosistem dan Antisipasi Perubahan Iklim
1. Benih unggul merupakan komponen penting dalam penyediaan materi tanam untuk
kegiatan-kegiatan restorasi ekosistem dan antisipasi perubahan iklim.
2. Memperhatikan upaya penurunan emisi GRK sebesar 26%, kontribusi sektor
kehutanan dilakukan melalui pencegahan terjadinya penambahan emisi dengan
mencegah terjadinya
deforestasi dan degradasi serta melakukan kegiatan
penanaman. Berkaitan dengan kegiatan penanaman ini, maka upaya menjaga
ketersediaan benih unggul sangat diperlukan.
3. Informasi tentang jenis-jenis tanaman yang memiliki kemampuan menyerap karbon
sudah tersedia. Daur rotasi, tingkat produktivitas / riap tanaman dan kualitas kayu
merupakan beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih tanaman
yang baik dalam penyerapan karbon.
4. Hasil pemuliaan tanaman untuk berbagai tujuan (kayu pulp, pertukangan, energi)
perlu disinergikan dengan upaya untuk peningkatan kualitas lingkungan / ekosistem
dan antisipasi perubahan iklim.
5. Pemuliaan tanaman beserta dukungan bioteknologi untuk meningkatkan ketahanan
terhadap kondisi cekaman lingkungan (cekaman garam, aluminium, tanah berpasir,
dll) perlu terus diupayakan dalam upaya restorasi ekosistem dan antisipasi
perubahan iklim.
6. Dalam mendukung upaya restorasi lahan rawa gambut, sumber benih 3 (tiga) jenis
tanaman rawa gambut, yaitu Jelutung, Belangeran dan Ramin sudah tersedia
dengan klasifikasi TBT seluas 205,5 hektar di Kalimanatan Tengah.
7. Restorasi ekosistem dalam kawasan konservasi, khususnya Taman Nasional Gunung
Merapi, bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekosistem aslinya. Suksesi alam
setelah terjadi erupsi masih bisa berlangsung dengan tumbuhnya jenis-jenis lokal
secara alami, walaupun masih ada ancaman invasi jenis asing. Peran satwa cukup
besar dalam penyebaran biji jenis lokal.
Dirumuskan pada :
Hari/Tanggal
: Rabu, 19 November 2014
Tempat
: Yogyakarta
Tim Perumus :
1. Dr. AYPBC Widyatmoko
2. Dr. Arif Nirsatmanto
3. Dr. Liliana Baskorowati
4. Dr. Budi Leksono
Download