BAB III HASIL PENELITIAN Bab ini berisikan hasil penelitian lengkap mengenai Putusan Pengadilan Indonesia. Pihak yang bersengketa di sana adalah orang asing. Putusan Pengadilan Indonesia tersebut bernomor: 1080 K/Pdt/1998; 223 K/TUN/2007; 286 K/Pdt.Sus-PHI/2013; 1311 K/Pdt/2011; 1695 K/Pdt/1984; dan 641 K/Pdt/1993. Sedangkan untuk Putusan Pengadilan Skotlandia terdapat beberapa kasus, yaitu Putusan: Ertel Bieber & Co v. Rio Tinto Company, Limited; Gebruder Van Uden v. Burrell; Schulze. Gow & Co. v. Bank of Scotland; Schaffenius v. Goldberg; Halsey and Another v. Lowenfeld; dan Daimler Company, Limited v. Continental Tyre and Rubber Company. 3.1. Kaedah Hukum Mengenai Status Orang Asing dalam Putusan Pengadilan Indonesia 3.1.a. Putusan Nomor 1080 K/Pdt/1998 Indonesia memiliki sistem hukum yang unik, namun tidak menolak tradisi civil law, karena KUHPerdata Indonesia pada dasarnya ada yang sama dengan BW Belanda (yang lama). Praktek- praktek bisnis juga mempengaruhi perkembangan hukum nasional, terutama bidang Hukum Kontrak. Ini dapat terlihat dari putusanputusan pengadilan Indonesia, terutama yang menyangkut sengketa kontrak. Nampak dengan jelas ada pengaruh yang dominan juga dari sistem common law. Dalam berbagai ratio decidendi putusan pengadilan terdeteksi bahwa konsep atau prinsip, juga terminologi hukum yang digunakan bersumber pada sistem common law. Dapat dicontohkan di antaranya kasus antara PT. Saprotan vs. Ny. R. A. Moniek Sriwidjajanti, dkk. Dalam kasus ini Mahkamah Agung menyatakan persetujuan batal demi hukum (null and void) karena adanya economic duress.1 Ada dua kekeliruan disini, pertama dari segi terminologi yang digunakan tercermin inkonsintensi. Kata “null and void“ and “economic duress”, ada pendapat bahwa tidak tepat diterapkan dalam kasus a quo. Economic duress yang merupakan satu bentuk undue influence dalam common law dengan akibat kontrak voidable. Namun demikian secara subtansial penerapan prinsip ini dapat saja dikatakan tepat. 1 Putusan MA No. 1080 K/Pdt/1998, tertuang dalam Varia Peradilan, TH. XV, No. 169, Oktober 1999, hlm. 39-65. Dapat disimak dalam Sogar Simamora, Op. Cit., hlm. 28. Putusan diatas jelas menunjukkan pengaruh kuat dari hukum kontrak common law. Situasi seperti ini, di antaranya karena secara subtansial. hukum Perdata Indonesia terutama yang menyangkut hukum perikatan sering dianggap tidak lagi memadai dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hukum dalam masyarakat, terutama dalam lapangan perekonomian yang berkembang penuh dinamika.2 Ada pandangan KUHPerdata harus diakui telah ketinggalan jaman (out of date), instrumen hukum yang dapat dikategorikan sebagai bad law.3 Sekalipun pendapat demikian agak aneh, mana mungkin ada hokum yang bad. 3.1.b. Putusan Nomor 223 K/TUN/2007 Perkara Tata Usaha Negara selanjutnya disingkat PTUN dalam tingkat kasasi antara David J Duffi melawan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Mahkamah berpendapat dalam perkara itu bahwa Pemohon Kasasi yang dahulu sebagai Penggugat telah menggugat sekarang Termohon Kasasi yang dahulu sebagai Tergugat di muka persidangan PT TUN Jakarta. 2 3 Moch. Isnaeni, Loc. Cit. P.S. Atiyah, Law and Modern Society, Loc. Cit. Obyek sengketa dalam perkara itu adalah putusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 23 Maret 2005 tentang Pemutusan Hubungan Kerja antara PT. Patra Supplies And Service selanjutnya disebut PT. PSAS dengan David J Duffi. Menurut Penggugat ia, telah menerima salinan putusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 dengan surat pengantar bertanggal 18 April 2005 No. TAR.734/M/KP4P/IV/2005, melalui kantor Hukum Yuherman Law Office pada tanggal 11 Juli 2005. Pengajuan gugatan dimaksud masih dalam batas waktu Sembilan puluh hari sejak diterimanya putusan Tergugat sebagaimana yang disyaratkan Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN Putusan Tergugat tersebut merupakan KTUN, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, dan telah bersifat konkrit, individual, dan final, serta menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat. Putusan Tergugat merupakan produk hukum Administrasi Negara yang dapat digugat di muka PTUN berdasarkan Pasal 48 jo Pasal 51 ayat (30) UndangUndang No. 5 Tahun 1986. Dengan demikian, menurut penggugat gugatannya pada perkara itu haruslah dinyatakan tidak dapat diterima. Penggugat adalah karyawan yang bekerja pada Pengusaha PT. Patra Supplies And Service terhitung sejak tanggal 1 Pebruai 2004, sesuai surat penunjukan PT. Patra Supplies And Service No. MD0054/04 tanggal 27 Januari 2004 (selanjutnya disebut dengan kontrak kerja), Advisor/Fasilities Penggugat Manager atau bekerja sebagai sebagai Penasehat Technical Teknis, ditempatkan di Propinsi Riau, dengan gaji tahunan sebesar US $ 54,000 (lima puluh empat ribu US Dollar), yang dibayarkan tiap bulan sebesar US $ 4,500. Dalam konteks penulisan tesis ini, penggugat adalah subjek hokum orang asing. PT. Patra Supplies And Service melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan Penggugat tanpa mendapatkan ijin terlebih dahulu dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) Propinsi DKI Jakarta. PHK tersebut dilakukan atas alasan Penggugat tidak mampu melaksanakan instruksi kerja dari Pengusaha. Keputusan PT. Patra Supplies And Service mengenai PHK tersebut disampaikan kepada Penggugat pada tanggal 7 Mei 2004 (bulan keempat) masa kerja Penggugat melalui suratnya bertanggal 5 Mei 2004, akan tetapi PHK dinyatakan berlaku mundur terhitung sejak tanggal 30 April 2004. PT. Patra Supplies And Service adalah perusahaan yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia, berdomisili dan berlamat kantor di Indonesia, serta menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia, oleh karenanya selain tunduk pada undang-undang ketenagakerjaan, PT. Patra Supplies And Service juga tunduk pada Peraturan Perusahaannya sendiri, serta Kontrak Kerja yang ditandatangani oleh Penggugat sebagai orang asing dan PT. Patra Supplies And Service. Meskipun kontrak kerja a quo memilih hukum dan Pengadilan Singapura dalam penyelesaian permasalahan yang diatur dalam kontrak kerja tersebut, namun kontrak kerja tersebut tidak mengesampingkan berlakunya Peraturan Perusahaan PT. Patra Supplies And Service sendiri, dan hukum Indonesia yang lebih tinggi kedudukannya dari kontrak kerja a quo. Atas PHK yang dilakukan PT. Patra Supplies And Service tersebut, Penggugat telah melaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaker) DKI Jakarta, selanjutnya Disnaker DKI Jakarta memberikan anjuran agar perusahaan PT. Patra Supplies And Service, membayar kepada Pekerja Sdr. David J Duffi, yaitu ganti rugi berupa sisa upah sebesar 9 (sembilan) bulan upah. PT PSAS juga dianjurkan agar Sdr. David J Duffi, menerima kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dalam butir satu di atas; dan agar pihak perusahaan dan Pekerja memberikan jawaban secara tertulis atas anjuran tersebut, selambat-lambatnya dalam waktu paling lama tujuh hari setelah menerima anjuran. PT. PSAS mengajukan keberatan atas putusan tersebut kepada P4D Propinsi DKI Jakarta. P4D Propinsi DKI Jakarta dalam putusannya tanggal 7 Desember 2004 memutuskan: menyatakan hubungan kerja antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja David J Duffi putus terhitung sejak tanggal 1 Mei 2004; dan mewajibkan kepada Pengusaha membayarkan kepada Pekerja secara tunai tanpa angsuran, berupa: “Uang ganti rugi : 9 x Rp. US $ 4,500 = US $ 40,500 (empat puluh ribu lima ratus dollar Amerika Serikat); Baik Disnaker maupun P4D Propinsi DKI Jakarta telah menganjurkan PT. PSAS untuk melakukan pembayaran atas sembilan bulan gaji Penggugat, akan tetapi PT. PSAS tetap keberatan dengan putusan tersebut dan mengajukan banding kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau Tergugat. Melalui putusan No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 telah diubah isi putusan P4D tersebut, yaitu, menyatakan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat di Jakarta dapat mengabulkan permohonan banding Pengusaha PT. PSAS dan Penyelesaian perkara Pemutusan Hubungan Kerja yang terjalin antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja Sdr. David J Duffi, mengacu pada perjanjian kerja yang ditandatangani oleh Pekerja Sdr. David J Duffi dengan Pengusaha PT. PSAS tanggal 27 Januari 2004 dengan menggunakan undang-undang/hukum yang berlaku di Singapura. Keputusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 a quo adalah tidak berdasar dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, sehingga berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, Keputusan Tergugat tersebut haruslah dinyatakan batal atau tidak sah. Pembatalan Keputusan Tergugat tersebut bukannya tanpa alasan dan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penggugat menjelaskan hal itu dalam pertimbangan mengenai: Permasalahan atau fakta Penggugat bekerja pada PT. PSAS terhitung sejak tanggal 1 Februari 2004 sesuai dengan kontrak kerja tanggal 27 Januari 2004. Kontrak kerja tersebut ditandatangani oleh Penggugat di Jakarta pada hari yang sama, setelah sebelumnya Penggugat menyerahkan riwayat hidup Penggugat pada tanggal 12 Januari 2004 dan melakukan orientasi lapangan selama satu minggu di Pekanbaru, yakni sampai tanggal 24 Januari 2004. Hal itu, menurut penggugat membuktikan bahwa kontrak kerja a quo dibuat dan ditandatangani di Indonesia dan diberlakukan dalam hubungan kerja antara Penggugat sebagai orang asing dengan Pengusaha PT. PSAS yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia. Penggugat bekerja sebagai Technical Advisor/Fasilities Manager atau sebagai Penasehat Teknis dan ditempatkan di Propinsi Riau dengan gaji tahunan sebesar US $ 54.000 (lima puluh empat ribu US Dollar) yang dibayarkan tiap bulan kepada Penggugat sebesar US $ 4,500. Kontrak kerja tersebut tidak mengenai masa percobaan dan tanpa batas waktu. Akan tetapi, segala perjanjian yang berkenaan dengan status Penggugat sebagai Pekerja di Indonesia, seperti IKTA, RPTKA, dan dokumen lainnya diurus dan menjadi tanggung jawab PT. Patra Supplies And Service untuk jangka waktu sekurangkurangnya selama 1 (satu) tahun. Bilamana perjanjian tersebut tidak dapat diperpanjang meskipun kontrak kerja tidak mengenai batas waktu, Penggugat tidak akan dapat bekerja dengan sah. Dengan kata lain, dalam permasalahan ini, Penggugat dipekerjakan oleh PT. PSAS untuk jangka waktu sekurang-kurangnya selama satu tahun. Selanjutnya menurut Penggugat, selama ia bekerja, Penggugat tidak menerima teguran atau peringatan apapun dari pihak Pengusaha, baik lisan maupun tulisan. Akan tetapi secara tibatiba Penggugat dipanggil ke Jakarta oleh dan bertemu dengan Mr. Bob Nowk selaku Direktur PT. PSAS pada tanggal 4 Mei 2004 di kantor perusahaan. Pada saat tersebut, Mr. Bob Nowk menyatakan ketidakpuasannya dengan kinerja Penggugat. Atas dasar itu PT. PSAS melakukan PHK terhadap Penggugat tanpa pembayaran apapun. Karena menurut PT. PSAS, Penggugat dalam masa percobaan. Pengggugat membantah apa yang disampaikan oleh Mr. Bob Nowk, baik mengenai ketidakpuasannya maupun mengenai masa percobaan. Penggugat merasa ia telah bekerja dengan baik sesuai posisi Penggugat dan Penggugat dipekerjakan tanpa mengenal masa percobaan sebagaimana kontrak kerja, namun hal tersebut tidak merubah keputusannya. Pada tanggal 7 Mei 2004 (bulan keempat masa kerja Penggugat), Penggugat menerima surat PHK bertanggal 5 Mei 2004 dari PT. PSAS. PHK tersebut dinyatakan berlaku mundur, yakni terhitung sejak tanggal 30 April 2004, padahal pernyataan PHK secara lisan saja disampaikan pada tanggal 4 Mei 2004; Menurut penggugat, PHK tersebut dilakukan tanpa mendapatkan ijin terlebih dahulu dari P4D Propinsi DKI Jakarta; dan terhadap keterangan PT. PSAS pada saat pertemuan di Disnaker Jakarta, P4D Jakarta ataupun dalam memori banding sebagaimana dikutip oleh Tergugat pada salinan putusan Tergugat ingin menegaskan beberapa hal. Dalil-dalil PT. Patra Supplies And Service yang pada pokoknya menyebutkan bahwa Penggugat tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang diinstruksikan PT. Patra Supplies And Service, adalah tidak benar. Dapat dijelaskan lagi, bahwa disamping tidak ada job description dari PT. Patra Supplies And Service, diantara instruksi yang diberikan kepada Penggugat bukan merupakan bidang tugas Penggugat. Demikian pula, menurut penggugat, mengenai kejadian-kejadian sebagaimana yang didalilkan PT. Patra Supplies And Service, juga tidak diketahui oleh Penggugat, sehingga hal yang demikian haruslah ditolak. Penggugat tidak pernah menyatakan ataupun mengakui kepada Managing Director dan General Manager PT. Patra Supplies And Service bahwa hal-hal yang tidak diharapkan dari operasi perusahaan adalah kesalahan Penggugat. Keteranganketerangan PT. Patra Supplies And Service tersebut tidak pernah dibuktikan. Bahkan Penggugat tidak pernah diberitahukan mengenai memori banding PT. Patra Supplies And Service pada saat PT. Patra Supplies And Service mengajukan keberatan pada Tergugat, sehingga Penggugat tidak dapat memberikan tanggapan pada Tergugat. Keterangan PT. Patra Supplies And Service semakin tidak berdasar lagi, karena PT. Patra Supplies And Service juga menjadikan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain (karyawan yang bernama Sahat Siregar) sebagai alasan untuk memutuskan hubungan kerja dengan Penggugat. Penggugat juga menolak pernyataan PT. Patra Supplies And Service yang menganggap PHK dan hak-hak Penggugat atas PHK tersebut harus diselesaikan dengan hukum dan pada Pengadilan Singapura, bukan menurut hukum dan Pengadilan Indonesia, hal yang demikian merupakan penafsiran PT. Patra Supplies And Service mengenai pemberlakuan kontrak kerja. B. Mengenai pertimbangan dan putusan Tergugat Tergugat telah memberikan pendapatnya mengenai permasalahan yang berkenaan dengan PHK Penggugat oleh PT. PSAS. Selanjutnya, mengenai pendapat dan pertimbangan Tergugat terhadap permasalahan dimaksud dapat Penggugat sampaikan Pertimbangan dan putusan Tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ternyata, Tergugat hanya mengambilalih begitu saja seluruh memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan sebelum memberikan pendapatnya. Tidak ada satu kalimat pun, pertimbangan Tergugat yang bukan merupakan keterangan Penggugat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kemudian Tergugat berpendapat Oleh karena Sdr. David J Duffi sebagai pihak berstatus WNA yang berdomisili di Australia dan Perjanjian Kerja dapat ditandatangani dimanapun juga, sehingga tidak berarti bahwa perjanjian yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak harus tunduk pada undang-undang yang berlaku dimana perjanjian kerja tersebut ditandatangani. Sesuai persyaratan angka 12 dari perjanjian kerja No. MD.0054/04 tanggal 27 Januari 2004 yang disetujui oleh Sdr. David J Duffi, perjanjian itu demi hukum tunduk di bawah hukum Singapura. Bila terjadi perselisihan apapun akan diajukan ke Pengadilan Singapura. Panitia Pusat menilai berdasarkan perjanjian kerja No. MD.0054/04 tahun 2004 (kontrak kerja) tersebut tidak mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Tetapi, Perjanjian Kerja tersebut tunduk di bawah hukum Singapura. Sehingga perselisihan tersebut seharusnya diajukan kepada Pengadilan Singapura. Pendapat Tergugat tersebut diambilalih statusnya dari memori banding PT. PSAS, sebagaimana uraian memori banding yang dituliskan kembali oleh Tergugat. Pendapat dan putusan Tergugat pada perkara a quo sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam wilayah hukum Republik Indonesia, yaitu: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang Tenaga Kerja di Indonesia: Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Berdasarkan ketentuan tersebut David J Duffi/Penggugat termasuk dalam pengertian Pekerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya, berdasarkan angka 4, 5 dan 6 Pasal 1 UndangUndang No. 13 Tahun 2003, PT. Patra Supplies And Service telah memenuhi persyaratan untuk dapat disebut sebagai pemberi kerja, Pengusaha, ataupun Perusahaan. Oleh sebab itu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan perundang-undangan lainnya mengenai tenaga kerja asing, dalam hubungan antara Penggugat dengan PT. Patra Supplies And Service adalah mutlak adanya. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mewajibkan Pengusaha untuk membuat peraturan perusahaan yang diberlakukan kepada seluruh Pekerja (baik asing maupun lokal) serta membuka peluang kepada Pekerja dan Pengusaha untuk membuat perjanjian kerja atau kontrak kerja yang merumuskan hak dan kewajiban lainnya dari Pekerja atau Pengusaha. Akan tetapi, hak dan kewajiban tersebut tidak boleh meniadakan atau bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Oleh karenanya Pekerja maupun Pengusaha disamping tunduk pada perjanjian kerja tersebut, mereka juga tunduk pada undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain, perjanjian tersebut berlaku sebagai perjanjian tambahan, sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk mengenai penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia. Pernyataan Tergugat bahwa kontrak kerja a quo tidak mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, seharusnya ditindaklanjuti dengan memutus permasalahan PHK a quo berdasarkan Undang-Undang tersebut. Sehingga, hak-hak Penggugat tetap dilindungi PT. PSAS harus memenuhi kewajibannya kepada Penggugat sebagaimana yang telah diputuskan oleh P4D DKI Jakarta. Pendapat Tergugat yang membenarkan pendapat PT. PSAS bahwa dalam permasalahan PHK a quo diberlakukan hukum dan Pengadilan Singapura adalah pendapat yang keliru. Meskipun kontrak kerja tersebut memilih hukum dan Pengadilan Singapura. PT. PSAS adalah badan hukum yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia serta menjalankan aktivitas di Indonesia. Demikian pula dengan Penggugat yang bekerja sebagai Tenaga Kerja di Indonesia. Karenanya, baik Penggugat maupun PT. PSAS tunduk pada hokum. Dalam penyelesaian permasalahan PHK Penggugat, apalagi mengenai berlakunya hukum Indonesia (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003), dinyatakan dengan tegas oleh Tergugat, lebih tegas lagi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 telah mengatur mengenai masalah yang timbul dalam hubungan kerja di Indonesia. Pemilihan hukum dan Pengadilan Singapura sebagaimana yang disebutkan dalam kontrak kerja hanya diberlakukan penyelesaian dalam pelaksanaan kontrak kerja berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh Penggugat dan PT. PSAS, selain hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pekerja dan Pengusaha yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Hak dan kewajiban tersebut antara lain adalah hak Penggugat atas dua bulan gaji dari PT. PSAS. Jika yang melakukan PHK adalah PT. PSAS atau kewajiban PT. PSAS untuk menempatkan Penggugat pada perusahaan lain jika Penggugat di PHK. Karena Tergugat tidak memberikan putusan sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku, maka putusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 pada perkara ini haruslah dinyatakan batal atau tidak sah. Anjuran Disnaker Propinsi DKI Jakarta dan putusan P4D Propinsi DKI Jakarta tanggal 7 Desember 2004 yang memerintahkan PT. PSAS untuk membayar sisa gaji Penggugat selama sembilan bulan adalah sudah tepat. Lamanya waktu kerja bagi Pekerja Asing di Indonesia yang kontrak kerjanya tidak ada batas waktu, setidaktidaknya adalah sesuai dengan jangka waktu Ijin Kerja Tenaga Asing (IKTA) yang diberikan kepadanya. Dalam permasalahan ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal telah menyetujui permohonan PT. PSAS untuk mempekerjakan Penggugat sekurang-kurangnya selama satu tahun, mengenai hal ini tidak dapat dibantah kebenarannya, baik oleh PT. PSAS maupun oleh Tergugat, mengingat dokumen dimaksud diurus sendiri oleh PT. PSAS. Pembayaran kepada Penggugat selama sembilan bulan dari gaji yang masih tersisa, juga menjadi berdasar. Pasal 62 UndangUndang No. 13 Tahun 2003 pada pokoknya menyebutkan bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti kerugian kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja/buruh sampai berakhirnya jangka waktu pejanjian kerja. Oleh sebab itu anjuran dan putusan P4D Propinsi DKI Jakarta layak dan adil untuk dipertahankan. Pertimbangan dan putusan tergugat Pemerintahan bertentangan Yang Baik, dengan yakni Asas Asas-Asas Umum Kecermatan dan Keseimbangan. Tergugat mengatakan setelah meneliti dan mempelajari berkas perkara ini, Panitia Pusat berpendapat telah cukup data sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara ini sehingga memandang tidak perlu lagi mengadakan sidang hearing untuk menolak tambahan data/keterangan tambahan dari kedua belah pihak sebagaimana dimaksud Pasal 18 Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1957. Pendapat tersebut jelas keliru dan jauh dari asas kecermatan dan keseimbangan yang semestinya diterapkan oleh Tergugat. PT. PSAS telah menyampaikan keterangan secara sepihak melalui memori bandingnya. Memori banding tersebut tidak pernah disampaikan kepada Penggugat oleh Tergugat. Setelah tidak menyampaikan salinan memori banding, PT. PSAS kepada Penggugat, Tergugat juga tidak memanggil Penggugat untuk memberikan penjelasan. Bahkan, Tergugat langsung mengambilalih seluruh keterangan pada memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan putusannya. Tergugat pada waktu membuat putusan pada perkara ini, telah tidak memperhatikan semua fakta terkait, serta tidak pula memperhatikan pihak pada perkara ini, yakni Penggugat. Karena putusan Tergugat a quo bertentangan dengan undang-undang yang berlaku dan bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, serta sangat merugikan Penggugat, maka putusan Tergugat a quo haruslah dinyatakan batal atau tidak sah, dan menghukum Tergugat untuk menerbitkan keputusan TUN yang baru yang menghukum PT. PSAS membayar kepada Penggugat sisa gaji Penggugat untuk waktu sembilan bulan, yakni sebesar empat puluh ribu lima ratus US Dollar atau dengan kata lain putusan P4D Propinsi DKI Jakarta harus dilaksanakan oleh PT. Patra Supplies And Service. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon kepada PT TUN Jakarta agar memberikan putusan menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan batal atau tidak sah putusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/32005 tanggal 29 Maret 2005 dan memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang baru yang berisi mewajibkan Pengusaha PT. PSAS membayar kepada Penggugat sisa gaji Penggugat untuk waktu sembilan bulan, terhitung sejak bulan Mei 2004 sampai dengan bulan Januari 2005 secara tunai dan sekaligus sebesar empat puluh ribu lima ratus US dollar. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul menurut hukum. Terhadap gugatan tersebut, PT TUN Jakarta telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 226/G/2005/PT.TUN.JKT. tanggal 14 Juni 2006, yang amarnya menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya; dan menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar dua ratus dua puluh sembilan ribu lima ratus rupiah. Sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Penggugat pada tanggal 21 Juli 2006 kemudian terhadapnya oleh Penggugat dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 3 Agustus 2006 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 3 Agustus 2006 sebagaimana ternyata dari akta permohonan kasasi No. 195/K/2006/PT.TUN.JKT. yang dibuat oleh Wakil Panitera PT TUN Jakarta, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut pada tanggal 16 Agustus 2006. Setelah itu oleh Tergugat yang pada tanggal 22 Agustus 2006 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat dan terhadapnya tidak mengajukan jawaban memori kasasi. Permohonan kasasi a quo beserta keberatan-keberatannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima. Pemohon Kasasi/Penggugat adalah karyawan yang bekerja pada Pengusaha PT. PSAS terhitung sejak tanggal 1 Pebruari 2004, sesuai dengan penunjukan PT. PSAS No. MD.005/04 tanggal 27 Januari 2004 Advisor/Fasilities selanjutnya Manager disebut atau sebagai sebagai Penasehat Technical Teknis, ditempatkan di Propinsi Riau, dengan gaji tahunan sebesar lima puluh empat ribu US Dollar, yang dibayarkan tiap bulan sebesar US $ 4,500. PT. PSAS melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan Pemohon Kasasi/Penggugat tanpa mendapatkan ijin terlebih dahulu dari P4D Propinsi DKI Jakarta. PHK tersebut dilakukan atas alasan Pemohon Kasasi/Penggugat tidak mampu melaksanakan instruksi kerja dari Pengusaha. Keputusan PT. PSAS mengenai PHK tersebut disampaikan kepada Pemohon Kasasi/Penggugat pada tanggal 7 Mei 2004 bulan keempat masa kerja Pemohon Kasasi/Penggugat melalui suratnya bertanggal 5 Mei 2004, akan tetapi PHK dinyatakan berlaku mundur, terhitung sejak tanggal 30 April 2004. PT. PSAS adalah perusahaan yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia, berdomisili dan beralamat kantor di Indonesia, serta menjalankan kegiatan usahanya di Indonsia. Oleh karenanya, selain tunduk pada undang-undang ketenagakerjaan, PT. PSAS juga tunduk pada peraturan perusahaannya sendiri, serta kontrak kerja yang ditandatangani oleh Pemohon Kasasi/Penggguat dan PT. PSAS. Dengan kata lain di samping peraturan perusahaan yang diberlakukan atau perjanjian Pemohon Kasasi/Penggugat dengan PT. PSAS, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia tetap berlaku dan tidak pernah dikesampingkan oleh para pihak sebagaimana yang diakui oleh PT. PSAS dan oleh Termohon Kasasi/Tergugat pada putusannya. Oleh karenanya, meskipun kontrak kerja a quo memilih hukum dan Pengadilan Singapura, dalam penyelesaian permasalahan yang diatur dalam kontrak kerja tersebut, namun kontrak kerja tersebut tidak mengesampingkan, dan tidak akan pernah dapat mengesampingkan berlakunya peraturan perusahaan, PT. PSAS sendiri dan hukum Indonesia yang lebih tinggi kedudukannya dari kontrak kerja a quo. Atas PHK yang dilakukan PT. PSAS tersebut, Pemohon Kasasi/Penggugat telah melaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaker) DKI Jakarta, selanjutnya Disnaker DKI Jakarta memberikan anjuran agar perusahaan PT. PSAS membayarkan kepada Pekerja Sdr. David J Duffi, yaitu ganti rugi berupa sisa upah sebesar sembilan bulan upah. David J Duffi dapat menerima kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dalam butir satu di atas; dan agar pihak perusahaan dan Pekerja memberikan jawaban secara tertulis atas anjuran sebagaimana tersebut di atas, selambat-lambatnya dalam waktu paling lama tujuh hari setelah menerima anjuran ini. PT. PSAS mengajukan keberatan atas putusan tersebut kepada P4D Propinsi DKI Jakarta. Selanjutnya P4D Propinsi DKI Jakarta dalam putusannya tanggal 7 Desember 2004 memutuskan hubungan kerja antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja David J Duffi putus terhitung sejak tanggal 1 Mei 2004. Mewajibkan kepada Pengusaha membayarkan kepada Pekerja secara tunai tanpa angsuran sebagai berikut: Uang ganti rugi empat puluh ribu lima ratus Dollar Amerika Serikat. 7Baik Disnaker maupun P4D Propinsi DKI Jakarta telah menganjurkan PT. PSAS tetap keberatan dengan putusan tersebut dan mengajukan banding kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau Termohon Kasasi/Tergugat. Termohon Kasasi/Tergugat 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal melalui 29 putusannya Maret 2005 No. telah mengubah isi putusan P4D tersebut, sehingga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat di Jakarta dapat mengabulkan permohonan banding Pengusaha PT. PSAS; dan penyelesaian perkara Pemutusan Hubungan Kerja yang terjalin antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja Sdr. David J Duffi, yang dalam perkara ini memberi kuasa kepada Yuherman Law Office, mengacu pada perjanjian kerja yang ditandatangani oleh Pekerja Sdr. David J Duffi dengan Pengusaha PT. PSAS tanggal 27 Januari 2004 dengan menggunakan undang-undang/hukum yang berlaku di Singapura. Keputusan Termohon Kasasi/Tergugat No. 365/483- 7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 a quo adalah tidak berdasar dan bertentangan dengan asas-asas peraturan perundang- undangan yang berlaku, dan bertentangan pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Sehingga berdasar Pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, keputusan Termohon Kasasi/Tergugat tersebut haruslah dinyatakan batal atau tidak sah. Pembatalan keputusan Termohon Kasasi/Tergugat tersebut bukannya tanpa alasan dan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk itu Pemohon Kasasi/Penggugat menjelaskan Pemohon Kasasi/Penggugat bekerja pada PT. PSAS, terhitung sejak tanggal 1 Pebruari 2004 sesuai dengan kontrak kerja tanggal 27 Januari 2004, kontrak kerja tersebut ditandatangani oleh Pemohon Kasasi/Penggugat di Jakarta pada hari yang sama, setelah sebelumnya Pemohon Kasasi/Penggugat menyerahkan riwayat hidup Pemohon Kasasi/Penggugat pada tanggal 12 Januari 2004 dan melakukan orientasi lapangan selama satu minggu di Pekanbaru, yakni sampai tanggal 24 Januari 2004. Membuktikan bahwa kontrak kerja a quo dibuat dan ditandatangani di Indonesia dan diberlakukan dalam hubungan antara Pemohon Kasasi/Penggugat dengan Pengusaha PT. PSAS yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia. Pemohon Kasasi/Penggugat bekerja sebagai Tehnical Advisor/Facilities Manager atau sebagai Penasehat Teknis dan ditempatkan di Propinsi Riau dengan gaji tahunan sebesar lima puluh empat ribu US Dollar yang dibayarkan tiap bulan kepada Pemohon Kasasi/Penggugat sebesar US $ 4,500. Kontrak kerja tersebut tidak mengenal masa percobaan dan tanpa batas waktu, akan tetapi segala perjanjian yang berkenaan dengan status Pemohon Kasasi/Penggugat sebagai Pekerja di Indonesia, seperti IKTA, RPTKA, dan dokumen lainnya diurus dan menjadi tanggung jawab PT. PSAS untuk jangka waktu sekurang-kurangnya selama satu tahun. Bilamana perjanjian tersebut tidak dapat diperpanjang, meskipun kontrak kerja tidak mengenal batas waktu, maka Pemohon Kasasi/Penggugat tidak akan dapat bekerja dengan sah, atau dengan kata lain dalam permasalahan ini Pemohon Kasasi/Penggugat dipekerjakan oleh PT. PSAS untuk jangka waktu sekurangkurangnya selama satu tahun. Selama Pemohon Kasasi/Penggugat bekerja, Pemohon Kasasi/Penggugat tidak menerima teguran atau peringatan apapun dari pihak Pengusaha baik lisan maupun tulisan. Akan tetapi secara tiba-tiba Pemohon Kasasi/Penggugat dipanggil ke Jakarta bertemu dengan Mr. Bob Nowk selaku Direktur PT. PSAS pada tanggal 4 Mei 2004 di kantor perusahaan. Pada saat tersebut Mr. Bob Nowk menyatakan ketidakpuasannya dengan kinerja Pemohon Kasasi/Penggugat, atas dasar itu PT. PSAS melakukan PHK terhadap Pemohon Kasasi/Penggugat tanpa pembayaran apapun, karena menurut PT. PSAS, Pemohon Kasasi/Penggugat dalam masa percobaan. Pemohon Kasasi/Penggugat membantah apa yang disampaikan oleh Mr. Bob Nowk, baik mengenai ketidakpuasannya maupun mengenai masa percobaan, karena Pemohon Kasasi/Penggugat telah bekerja dengan baik sesuai dengan posisi Pemohon Kasasi/Penggugat, dan Pemohon Kasasi/Penggugat dipekerjakan tanpa mengenal masa percobaan sebagaimana kontrak kerja, namun hal tersebut tidak merubah keputusannya. Pada tanggal 7 Mei 2004 (bulan keempat masa kerja Pemohon Kasasi/Penggugat), Pemohon Kasasi/Penggugat menerima surat PHK bertanggal 5 Mei 2004 dari PT. PSAS. PHK tersebut dinyatakan berlaku mundur, yakni terhitung sejak tanggal 30 April 2004. Padahal pernyataan PHK secara lisan saja disampaikan pada tanggal 4 Mei 2004. PHK tersebut dilakukan tanpa mendapatkan ijin lebih dahulu dari P4D Propinsi DKI Jakarta. Terhadap keterangan PT. PSAS pada saat pertemuan di Disnaker Jakarta, P4D Jakarta ataupun dalam memori bandingnya sebagaimana yang dikutip oleh Termohon Kasasi/Tergugat pada salinan putusannya, Termohon Kasasi/Tergugat ingin menegaskan. Dalil-dalil PT. PSAS yang pada pokoknya menyebutkan bahwa Pemohon Kasasi/Penggugat tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang didistribusikan PT. PSAS adalah tidak benar. Dijelaskan lagi bahwa di samping tidak ada job description dari PT. PSAS, diantara instruksi yang diberikan kepada Pemohon Kasasi/Penggugat bukan merupakan bidang tugas Pemohon Kasasi/Penggugat, demikian pula mengenai kejadiankejadian sebagaimana yang didalilkan PT. PSAS, juga tidak diketahui oleh Pemohon Kasasi/Penggugat, sehingga hal yang demikian haruslah ditolak. Pemohon Kasasi/Penggugat tidak pernah menyatakan ataupun mengakui kepada Managing Director dan General Manager PT. PSAS bahwa hal-hal yang tidak diharapkan dari operasi perusahaan adalah kesalahan Pemohon Kasasi/Penggugat. Keterangan-keterangan PT. PSAS tersebut tidak pernah dibuktikan, bahkan Pemohon Kasasi/Penggugat tidak pernah diberitahukan mengenai memori banding PT. PSAS pada saat PT. PSAS mengajukan keberatan pada Termohon Kasasi/Tergugat. Sehingga Pemohon Kasasi/Penggguat tidak dapat memberikan tanggapan pada Termohon Kasasi/Tergugat. Keterangan PT. PSAS semakin tidak berdasar lagi karena PT. PSAS juga menjadikan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain (karyawan yang bernama Sahat Siregar) sebagai alasan untuk memutuskan hubungan kerja dengan Pemohon Kasasi/Penggugat. Pemohon Kasasi/Penggugat juga menolak pernyataan PT. PSAS yang menganggap PHK dan hak-hak Pemohon Kasasi/Penggugat atas PHK tersebut harus diselesaikan dengan hukum dan Pengadilan Singapura, bukan menurut hukum dan Pengadilan Indonesia. Hal yang demikian merupakan penafsiran PT. PSAS mengenai pemberlakuan kontrak kerja a quo. Mengenai pertimbangan dan putusan Termohon Kasasi/Tergugat. Termohon Kasasi/Tergugat telah memberikan pendapatnya mengenai permasalahan yang berkenaan dengan PHK Pemohon Kasai/Penggugat oleh PT. PSAS. Selanjutnya mengenai pendapat dan pertimbangan Termohon Kasasi/Tergugat terhadap permasalahan dimaksud Pemohon Kasasi/Penggugat sampaikan Pertimbangan dan putusan Termohon Kasasi/tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ternyata Termohon Kasasi/Tergugat hanya mengambilalih begitu saja seluruh memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan sebelum memberikan pendapatnya. Dapat dilihat pada salinan putusannya dan tidak ada satu kalimatpun pertimbangan Termohon Kasasi/Tergugat yang bukan merupakan keterangan Pemohon Kasasi/Penggugat; Berdasarkan pertimbangan tersebut, kemudian Termohon Kasasi/Tergugat berpendapat. Oleh karena Sdr. David J Duffi sebagai Pekerja berstatus Warga Negara Asing yang berdomisili di Australia dan Perjanjian Kerja dapat ditandatangani dimanapun juga, sehingga tidak berarti bahwa perjanjian yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak harus tunduk pada undang-undang yang berlaku dimana perjanjian kerja tersebut ditandatangani. Sesuai dengan persyaratan angka 12 dari perjanjian kerja No. MD.0054/04 tanggal 27 Januari 2004 yang disetujui oleh Sdr. David J Duffi, perjanjian itu demi hukum tunduk di bawah hukum Singapura, dan bila terjadi perselisihan apapun akan diajukan ke Pengadilan Singapura. Panitia Pusat menilai berdasarkan perjanjian kerja No. MD.0054/04 tanggal 27 Januari 2004 (kontrak kerja) tersebut tidak mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, tetapi perjanjian kerja tersebut tunduk di bawah hukum Singapura, sehingga perselisihan tersebut seharusnya diajukan kepada Pengadilan Singapura. Pendapat Termohon Kasasi/Tergugat tersebut, diambilalih seutuhnya dari memori banding PT. PSAS, sebagaimana uraian memori banding yang dituliskan kembali oleh Termohon Kasasi/tergugat. Pendapat dan putusan Termohon Kasasi/Tergugat pada perkara a quo sangat bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam wilayah hukum Republik Indonesia, yaitu: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang tenaga kerja di Indonesia. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Berdasarkan ketentuan tersebut, David J Duffi/Pemohon Kasasi/Penggugat termasuk dalam pengertian Pekerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya berdasarkan angka 4, 5, dan 6 Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, PT. PSAS telah memenuhi persyaratan untuk dapat disebut sebagai Pemberi Kerja, Pengusaha, ataupun Perusahaan. Oleh sebab itu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan perundang-undangan lainnya mengenai tenaga kerja asing, dalam hubungan antara Pemohon Kasasi/Penggugat dengan PT. PSAS adalah mutlak adanya. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mewajibkan Pengusaha untuk membuat peraturan perusahaan diberlakukan kepada seluruh Pekerja (baik asing maupun lokal), serta membuka peluang kepada Pekerja dan Pengusaha untuk membuat perjanjian kerja dan kontrak kerja yang merumuskan hak dan kewajiban lainnya dari Pekerja atau Pengusaha, akan tetapi hak dan kewajiban tersebut tidak boleh meniadakan atau bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Karenanya Pekerja maupun Pengusaha disamping tunduk pada perjanjian kerja tersebut, mereka juga tunduk pada Undang-Undang yang berlaku. Atau dengan kata lain perjanjian tersebut berlaku sebagai perjanjian tambahan, sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk mengenai penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia. Pernyataan Pemohon Kasasi/Penggugat bahwa kontrak kerja a quo tidak mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 seharusnya ditindaklanjuti dengan memutus permasalahan PHK a quo berdasarkan undang-undang tersebut, sehingga hak-hak Pemohon Kasasi/Penggugat tetap terlindungi, dan PT. PSAS harus memenuhi kewajibannya kepada Pemohon Kasasi/Penggugat sebagaimana yang telah diputuskan oleh P4D DKI Jakarta. Pendapat Termohon Kasasi/Tergugat yang membenarkan pendapat PT. PSAS bahwa dalam permasalahan PHK a quo diberlakukan hukum dan Pengadilan Singapura adalah pendapat yang keliru. Meskipun, kontrak kerja tersebut memilih hukum dan Pengadilan Singapura. Hal ini dapat dijelaskan PT. PSAS adalah badan hukum yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia serta menjalankan aktivitas di Indonesia. Demikian pula dengan Pemohon Kasasi/Penggugat yang bekerja sebagai Tenaga Kerja di Indonesia, oleh karenanya baik Pemohon Kasasi/Penggugat maupun PT. PSAS tunduk pada hukum Indonesia. Dalam penyelesaian permasalahan PHK Pemohon Kasasi/ Penggugat, apalagi mengenai berlakunya hukum Indonesia ini (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003) dinyatakan dengan tegas oleh Termohon Kasasi/Tergugat. Lebih tegas mengenai masalah yang timbul dalam hubungan kerja di Indonesia. Pemilihan hukum dan Pengadilan Singapura sebagaimana yang disebutkan dalam kontrak kerja, hanya diberlakukan penyelesaian dalam pelaksanaan kontrak kerja berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh Pemohon Kasasi/Penggugat dan PT. PSAS selain hak-hak dan kewajibankewajiban Pekerja dan Pengusaha yang diatur dalam UndangUndang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Hak dan kewajiban tersebut antara lain adalah hak Pemohon Kasasi/Penggugat atas dua bulan gaji dari PT. PSAS jika yang melakukan PHK adalah PT. PSAS, atau kewajiban Kasasi/Penggugat PT. PSAS pada untuk perusahaan mendapatkan lain jika Pemohon Pemohon Kasasi/Penggugat di PHK. Karena Pemohon Kasasi/Penggugat tidak memberikan putusan oleh undang-undang yang berlaku, maka putusan Termohon Kasasi/Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 pada perkara ini haruslah dinyatakan batal atau tidak sah. Anjuran Disnaker Propinsi DKI Jakarta dan putusan P4D Propinsi DKI Jakarta tanggal 7 Desember 2004 yang memerintahkan PT. PSAS untuk membayar sisa gaji Pemohon Kasasi/Penggugat selama sembilan bulan adalah sudah tepat, mengingat lamanya waktu kerja bagi Pekerja Asing di Indonesia yang kontrak kerjanya tidak ada batas waktu, setidak-tidaknya adalah sesuai dengan jangka waktu Ijin Tenaga Kerja Asing yang diberikan kepadanya. Badan Koordinasi Penanaman Modal telah menyetujui permohonan PT. PSAS untuk mempekerjakan Pemohon Kasasi/Penggugat sekurang-kurangnya selama satu tahun. Mengenai hal ini tidak dapat dibantah kebenarannya, baik oleh PT. PSAS maupun oleh Termohon Kasasi/Tergugat mengingat dokumen dimaksud diurus sendiri oleh PT. PSAS. Pembayaran kepada Pemohon Kasasi/Penggugat selama sembilan bulan dari gaji yang masih tersisa, juga menjadi berdasar, karena Pasal 62 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pada pokoknya menyebutkan bahwa, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti kerugian kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja/Buruh sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Oleh sebab itu, anjuran dan putusan P4D Propinsi DKI Jakarta layak dan adil untuk diperintahkan. Pertimbangan dan putusan Termohon Kasasi/Tergugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, yakni Asas Kecermatan dan Keseimbangan. Termohon Kasasi/Tergugat mengatakan setelah meneliti dan mempelajari berkas perkara ini, Panitia Pusat berpendapat telah cukup data sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara ini, sehingga memandang tidak perlu lagi mengadakan sidang hearing untuk mencari tambahan data/keterangan tambahan dari kedua belah pihak sebagaimana dimaksud Pasal 18 Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1967. Pendapat tersebut jelas keliru dan jauh dari asas keseermatan dan asas keseimbangan yang semestinya diterapkan oleh Termohon Kasasi/Tergugat mengingat PT. PSAS, yang telah menyampaikan keterangan secara sepihak melalui memori bandingnya, dimana memori banding tersebut tidak pernah disampaikan kepada Pemohon Kasasi/Penggugat oleh Termohon Kasasi/Tergugat. Setelah tidak menyampaikan salinan memori banding, PT. PSAS kepada Pemohon Kasasi/Penggugat, Termohon Kasasi/Tergugat juga tidak memanggil Pemohon penjelasan, bahkan Kasasi/Penggugat Termohon untuk memberikan Kasasi/Tergugat langsung mengambilalih seluruh keterangan pada memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan putusannya. Hal ini memberikan bahwa Termohon Kasasi/Tergugat pada waktu membuat putusan pada perkara ini, telah tidak memperhatikan semua fakta terkait, serta tidak pula memperhatikan kepentingan pihak pada perkara ini, yakni Pemohon Kasasi/Penggugat. Karena putusan Termohon Kasasi/Tergugat a quo bertentangan dengan undang-undang yang berlaku dan bertentangan pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, serta sangat merugikan Pemohon Kasasi/Penggugat, maka putusan Termohon Kasasi/Tergugat a quo haruslah dinyatakan batal atau tidak sah, dan menghukum Termohon Kasasi/Tergugat untuk menerbitkan KTUN yang baru yang menghukum PT. PSAS membayar kepada Pemohon Kasasi/Penggugat sisa gaji Pemohon Kasasi/Penggugat untuk waktu sembilan bulan, yakni sebesar empat puluh ribu lima ratus US Dollar. Dengan kata lain putusan P4D Propinsi DKI Jakarta harus dilaksanakan oleh PT. PSAS. Pertimbangan Termohon Kasasi/Tergugat yang bertentangan dengan hukum dan/atau tidak menetapkan hukum (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003) sebagaimana mestinya, hukum diambilalih dan dibenarkan oleh PT TUN Jakarta. Melalui putusannya tersebut di atas, oleh sebab itu putusan PT TUN Jakarta juga harus dibatalkan. Alasan dan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat pada perkara ini sesuai menurut hukum, maka menjadi beralasan dan berdasar bagi Majelis Hakim Agung di tingkat kasasi untuk membatalkan putusan PT TUN di atas, selanjutnya mengadili sendiri perkara ini. Oleh karena itu, Pemohon Kasasi/Penggugat mohon kepada Mahkamah Agung RI untuk memperhatikan putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) Jakarta sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat. Keberatan-keberatan Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Factie telah tepat dan benar, yaitu tidak salah dalam penerapan hukum, dengan pertimbangan. Keberatan-keberatan tersebut hanya pengulangan kembali dari dalil-dalil gugatan yang sudah dipertimbangkan dengan benar dan tepat oleh Judex Factie. Sesuai Pasal 12 Perjanjian Kontrak Kerja, dinyatakan apabila terjadi sengketa dalam kontrak kerja tersebut akan diselesaikan menurut Hukum Singapura di Pengadilan Singapura. Berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan PT TUN Jakarta dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: David J Duffi tersebut harus ditolak. Karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini. Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No 5 Tahun 2004, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. Mahkamah mengadili: Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: David J Duffi tersebut; danMenghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar lima ratus ribu rupiah. 3.1.c. Putusan Nomor 286 K/Pdt.Sus-PHI/2013 Perkara ini adalah perdata khusus perselisihan hubungan industrial dalam tingkat kasasi. Dalam perkara antara: PT. Siemens Indonesia sebagai Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II dahulu Tergugat, melawan Stephen Michael Young, Warga Negara Australia, sebagai Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat. Dari surat-surat tersebut, ternyata bahwa sekarang Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu sebagai Penggugat telah mengajukan gugatan terhadap Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II dahulu sebagai Tergugat di depan persidangan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pokok tuntutan sebagai berikut: Pada tanggal 16 April 2012 Mediator pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Selatan yang menangani permohonan pencatatan perselisihan hubungan industrial yang diajukan oleh Penggugat telah memberikan anjuran agar pekerja (sekarang Penggugat) dapat menerima Pemutusan Hubungan Kerja dengan Pengusaha akibat dari berakhirnya masa Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing atas nama Pekerja terhitung tanggal 24 Oktober 2011, sesuai Surat Keputusan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.Kep-29167/MEN/B/IMTA/2010, tanggal 18 Oktober 2010. Agar kedua belah pihak memberikan jawaban secara tertulis atas anjuran tersebut di atas, selambat-lambatnya dalam jangka waktu sepuluh hari kerja setelah menerima anjuran ini. Penggugat tidak dapat menerima dan sangat keberatan dengan anjuran Mediator pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Selatan. Karena anjuran tersebut sangat sumir, dibuat secara asal-asalan, sekedar melepas tanggung jawab memediasi laporan yang Penggugat ajukan. Setelah anjuran diberikan, maka selesai tugas dan tanggung jawab mediator dan anjuran tersebut tidak didukung dengan argumentasi dan dasar hukum yang kuat. Anjuran tersebut tidak menjawab dan mempertimbangkan pokok persoalan yang Penggugat ajukan, yaitu Penggugat bekerja pada Tergugat secara terus-menerus tanpa putus sejak tanggal 21 April 1998 s/d tanggal 30 September 2011 (selama ± 13 Tahun). Anjuran tersebut mentolerir pelanggaran-pelanggaran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Tergugat. Anjuran tersebut mengkaitkan hubungan kerja dengan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), padahal hubungan kerja dan IMTA adalah dua hal yang berbeda. Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing IMTA, adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri/Pejabat yang ditunjuk kepada Pemberi Kerja. Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Berdasarkan pengertian IMTA dan Hubungan Kerja tersebut di atas, maka hubungan kerja berakhir apabila perjanjian kerja berakhir, apabila perjanjian kerja berakhir, bukan karena berakhirnya IMTA. Apabila IMTA berakhir, hubungan kerja masih berlangsung, maka adalah kewajiban Pemberi Kerja mengajukan permohonan perpanjangan masa berlakunya IMTA. Penggugat adalah Warga Negara Asing (Australia) yang telah bekerja pada Tergugat sejak tanggal 21 April 1998 s/d tanggal 30 September 2011. Jabatan terakhir sebagai Manager PTD Service (PTD SE), dengan gaji/pendapatan tetap pertahun sebesar seratus dua puluh satu ribu delapan puluh satu Euro. Meskipun Penggugat adalah Warga Negara Asing yang bekerja di Indonesia, Penggugat mempunyai hak dan perlindungan hukum yang sama dengan Warga Negara Indonesia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagai berikut. Menurut Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Menurut Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan, dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam dan di luar negeri. Menurut Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: Keselamatan dan Kesehatan Kerja; Modal dan Kesusilaan; Perlakuan yang Sesuai dengan Harkat dan Martabat Manusia Serta Nilai-Nilai Agama. Peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagaimana tersebut di atas, selalu menggunakan kata-kata setiap orang/setiap pekerja, membuktikan bahwa peraturan perundangundangan Republik Indonesia tidak membeda-bedakan/memberikan perlakuan atau perlindungan yang berbeda antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Itu artinya, memberikan perlindungan yang sama kepada Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang bekerja di dalam wilayah Republik Indonesia. Tergugat adalah suatu Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan dan tunduk kepada Undang-Undang Negara Republik Indonesia. Perjanjian kerja/kesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat dibuat dalam bahasa Indonesia. Isinya, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan apabila timbul perselisihan dalam hubungan kerja tersebut akan diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah dan kekeluargaan tidak selesai, maka kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Hal tersebut berarti bahwa Penggugat dan Tergugat telah sepakat dan setuju menundukkan diri dan memilih hukum Negara Republik Indonesia dalam mengadakan hubungan kerja dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan hubungan kerja tersebut. Menurut Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Menurut Pasal 42 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat IMTA adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada Pemberi Kerja TKA. Menurut Pasal 24 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, jangka waktu berlakunya IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama satu tahun dan dapat diperpanjang. Menurut Pasal 28 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/II/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing) dengan ketentuan setiap kali perpanjangan paling lama satu tahun. Menurut Pasal 13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, RPTKA dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri. Meskipun setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memiliki IMTA, akan tetapi IMTA bukan merupakan dasar terjadinya hubungan kerja. IMTA hanya merupakan izin yang diberikan oleh Menteri/Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja. Dasar terjadinya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh adalah perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan. Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Antara Penggugat dengan Tergugat telah mengadakan hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja/kesepakatan kerja waktu tertentu. Penggugat bekerja pada Tergugat di Indonesia pada awalnya berdasarkan Letter Of Appointment tanggal 21 April 1998 yang dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Tergugat yang diwakili Sdr. M. Hasier selaku Project Manager dan Sdr. Gunawan selaku Project Site Commercia dengan Penggugat. Letter of Appointment tersebut pada pokoknya mengatur Jabatan Penggugat adalah sebagai Electrical and Instrumentation Supervisor Tergugat; Masa kerja Penggugat terhitung sejak tanggal 10 April 1998 sampai dengan tanggal 31 Maret 1999; Pendapatan Penggugat sebesar U$S 7.600,(tujuh ribu enam ratus dollar Australia) per bulan; Penggugat akan menjalani masa percobaan selama 3 bulan; dan Letter of Appointment dibuat berdasarkan dan tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia. Meskipun Letter of Appointment tersebut di atas berakhir pada tanggal 31 Maret 1999, akan tetapi Penggugat tetap bekerja pada Tergugat sampai dengan tanggal 28 Februari 2001, menerima gaji setiap bulannya dan menerima bonus tahun 1999, tahun 2000, dan tahun 2001. Pada tanggal 9 Maret 2000 (seharusnya tanggal 9 Maret 2001) telah dibuat dan ditandatangani Employment Agreement oleh dan antara Tergugat yang diwakili Sdr. B. Ortmann dan Sdr. H.W. Linne dengan Penggugat. Employment Agreement tersebut pada pokoknya mengatur Penggugat akan mulai bekerja di Jakarta sejak tanggal 01 Maret 2001 sampai dengan 31 Maret 2002; Penggugat akan menjalani masa percobaan selama 3 bulan; Jabatan Penggugat sebagai responsible to the Departement Manager of I & S2 PM; Pendapatan dasar Penggugat sebesar sebelas juta delapan ratus tujuh puluh sembilan ribu rupiah per bulan; Uang pesangon akan dibayarkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku; Apabila terjadi perselisihan mengenai hubungan kerja, akan diselesaikan secara kekeluargaan/damai dan apabila tidak tercapai, maka para pihak akan menyelesaikan melalui Departemen Tenaga Kerja Negara Republik Indonesia; dan Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada perjanjian kerja bersama berlaku, sepanjang tidak diatur dalam perjanjian kerja ini. Meskipun Employment Agreement tersebut di atas, berakhir pada tanggal 31 Maret 2002, akan tetapi Penggugat tetap bekerja pada Tergugat sampai dengan tanggal 30 September 2002, menerima gaji setiap bulannya dan menerima bonus tahun 2002. Pada tanggal 02 Oktober 2002 telah dibuat dan ditandatangani Employment Agreement oleh dan antara Tergugat yang diwakili Sdri. Lola Irene Harahap dan Sdr. Frank Pedersen dengan Penggugat. Employment Agreement tersebut pada pokoknya mengatur Penggugat akan mulai bekerja di Jakarta sejak tanggal 01 Oktober 2002 sampai dengan 30 September 2003; Penggugat akan menjalani masa percobaan selama 3 bulan; Jabatan Pemohon sebagai responsible to the Departement Manager of I & S2 PM; Pendapatan dasar Pemohon sebesar Rp13.676.688,00 (tiga belas juta enam ratus tujuh puluh enam ribu enam ratus delapan puluh delapan rupiah) per bulan; Uang pesangon akan dibayarkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku; Apabila terjadi perselisihan mengenai hubungan kerja, akan diselesaikan secara kekeluargaan/damai dan apabila tidak tercapai, maka para pihak akan menyelesaikan melalui Departemen Tenaga Kerja Negara Republik Indonesia; dan Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada perjanjian kerja bersama berlaku, sepanjang tidak diatur dalam perjanjian kerja ini. Pada tanggal 01 Oktober 2004 telah dibuat dan ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili oleh Sdri. Lola Irene Harahap dan Sdr. Juergen Marksteiner dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai tanggal 01 Oktober 2004 s/d 30 September 2005; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of Department/Manager PTD Services (PTD SE); Gaji kotor sebesar Rp17.000.000,- (Tujuh belas juta rupiah) bruto per bulan. Golongan level 6; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila pekerja belum/tidak memenuhi masa kerja 12 (dua belas) bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian penyelesaian secara secara musyawarah musyawarah kekeluargaan. kekeluargaan tidak Apabila dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat diperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak lain, selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir. Pada tanggal 1 Oktober 2006 telah dibuat dan ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili Lola Irene Harahap dan Juergen Marksteiner dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1 Oktober 2006 s/d 30 September 2008; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of Department/Manager PTD Services (PTD SE); Gaji kotor sebesar dua puluh juta tujuh ratus empat puluh lima ribu dua ratus rupiah brutto per bulan. Golongan level 6; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti. Pada tanggal 1 Oktober 2008 telah dibuat dan ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Markus Strohmeier dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1 Oktober 2008 s/d 30 September 2009; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of Departemen/Manager PTD Services (PTD SE); Pendapatan per tahun sebesar seratus tiga puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh tujuh Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar seratus delapan ribu sembilan ratus lima puluh tujuh Euro bruto, dan VIS sebesar tiga puluh ribu tujuh ratus delapan puluh Euro; Jika pekerja berhasil memperoleh target 100%, pekerja akan menerima seratus empat puluh satu juta tujuh ratus enam puluh empat ribu seratus lima puluh empat rupiah gross dan dua puluh ribu lima ratus tiga puluh Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila pekerja belum/tidak memenuhi masa kerja dua belas bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat memperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir. Pada tanggal 01 Oktober 2009 telah dibuat dan ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Markus Strohmeier dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 01 Oktober 2009 s/d 30 September 2010; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of Departement/Manager PTD Services (PTD SE); Pendapatan per tahun sebesar seratus empat puluh dua ribu tiga ratus tiga puluh sembilan Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar seratus dua belas ribu lima ratus lima puluh sembilan Euro bruto, dan VIS sebesar tiga puluh ribu tujuh ratus delapan puluh Euro; Jika pekerja berhasil memperoleh target 100%, pekerja akan menerima seratus empat puluh satu juta tujuh ratus enam puluh empat ribu seratus lima puluh empat rupiah gross dan dua puluh ribu lima ratus tiga puluh Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila pekerja belum/tidak memenuhi masa kerja 12 (dua belas) bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian penyelesaian secara secara musyawarah musyawarah kekeluargaan. kekeluargaan tidak Apabila dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat memperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir. Pada tanggal 1 Oktober 2010 telah dibuat dan ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Hans Peter Haesslein dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1 Oktober 2010 s/d 30 September 2011; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of Departement/Manager PTD Service (PTD SE); Pendapatan per tahun sebesar seratus lima puluh empat ribu lima ratus tiga puluh tiga Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar seratus dua puluh satu ribu delapan puluh satu Euro bruto, dan VIS sebesar tiga puluh tiga ribu empat ratus lima puluh dua Euro; Jika pekerja berhasil memperoleh target 100%, pekerja akan menerima seratus empat puluh delapan juta delapan ratus lima puluh dua ribu tiga ratus enam puluh dua rupiah gross, dan dua puluh ribu lima ratus tiga puluh Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila pekerja belum/tidak memenuhi masa kerja dua belas bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat memperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir. Letter of Appointment tanggal 21 April 1998, Employment Agreement tanggal 9 Maret 2000, tanggal 2 Oktober 2002, Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu tanggal 1 Oktober 2004, tanggal 1 Oktober 2005, tanggal 1 Oktober 2010 yang dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat sebagaimana diuraikan pada point 9 tersebut di atas dibuat dalam bahasa Indonesia. Berisi ketentuanketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan apabila timbul perselisihan dalam hubungan kerja tersebut akan diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah dan kekeluargaan tidak diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Hal tersebut berarti bahwa Penggugat dan Tergugat telah sepakat dan setuju menundukkan diri dan memilih hukum Negara Republik Indonesia dalam melakukan hubungan kerja dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan hubungan kerja tersebut. Menurut hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Negara Republik Indonesia atau system kontrak bisnis dalam system hukum Indonesia, yaitu: Pasal 58 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak (selanjutnya disingkat PKWT) dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. Menurut Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Yaitu: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun; Pekerjaan yang bersifat musiman, atau; Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap; PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui; PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun; Pengusaha yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, paling lama tujuh hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan; Pembaharuan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan satu kali dan paling lama dua tahun; PKWT yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), maka demi hukum menjadi PKWTT. Hal-hal lain yang belum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Menurut Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disesuaikan dengan UU Ketenagakerjaan 2013). PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama tiga bulan. Dalam masa percobaan kerja, pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Ternyata PKWT antara Penggugat dengan Tergugat sebagaimana Penggugat uraikan di atas telah diperpanjang sebanyak 8 kali terhitung sejak tahun 2001 sampai dengan 2011 (± 11 tahun). Khusus PKWT tahun 2004 s/d kesepakatan kerja waktu tertentu tahun 2010 diperpanjang terus menerus tanpa putus. Di dalam beberapa perjanjian kerja disyaratkan/adanya masa percobaan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Penggugat adalah pekerjaan yang bersifat tetap, terus menerus, sehingga PKWT tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sesuai dengan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PKWT yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan (4) tersebut, demi hukum menjadi PKWT. Karena perjanjian kerja antara Penggugat dengan Tergugat demi hukum menjadi PKWTT sebagaimana diuraikan di atas, maka apabila Tergugat ingin memutuskan/mengakhiri hubungan kerja dengan Penggugat, maka harus ada pemberitahuan, alasan, dan memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan 2003. Selama bekerja dengan Tergugat, Penggugat mempunyai prestasi kerja yang baik. Terbukti, setiap tahunnya Tergugat selalu memberi bonus kepada Penggugat, tidak pernah melakukan perbuatan tercela, tidak pernah melakukan kesalahan-kesalahan, sehingga tidak pernah mendapatkan teguran/peringatan dan sanksi dalam bentuk apapun juga dari Tergugat. Pada tanggal 30 September 2011 Tergugat telah melakukan pemutusan/pengakhiran hubungan kerja dengan Penggugat tanpa pemberitahuan, tanpa alasan, tanpa adanya kesalahan Penggugat, dan tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial, dan sejak itu gaji Penggugat tidak lagi dibayar oleh Tergugat. Karenanya pemutusan/pengakhiran hubungan kerja tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum. Menurut penggugat, pemutusan/pengakhiran hubungan kerja tersebut dilakukan oleh Tergugat karena Penggugat menolak untuk menandatangani draft PKWT yang baru. Pada draft kesepakatan kerja waktu tertentu yang baru tersebut terdapat tambahan klausula. Bahwa perusahaan atau Tergugat dapat memutuskan hubungan kerja pekerja dengan Penggugat sebelum berakhirnya jangka waktu kontrak tanpa kewajiban perusahaan untuk memberikan kepada pekerja uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, uang pisah, ganti rugi sebesar upah pekerja sampai dengan waktu seharusnya berakhirnya perjanjian maupun pembayaran lainnya, dengan pemberitahuan tertulis tiga bulan sebelumnya, padahal klausula tersebut tidak ada pada PKWT sebelumnya. Bahkan pada perjanjian kerja antara Penggugat dengan Tergugat sebelumnya terdapat klausula yang menyatakan Penggugat berhak mendapat pesangon sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Adanya penambahan klasula dalam draft PKWT yang baru tersebut karena Tergugat ingin menghindar dari tanggung jawab untuk membayar pesangon kepada Penggugat akibat konsekuensi dari perpanjangan kontrak kerja waktu tertentu yang dilakukan terus-menerus tanpa putus. Hal ini dapat diketahui dari hasil risalah Conference Call yang diadakan antara manajemen Tergugat yang diwakili oleh Gilang Hermawan & Lola Irena Harahap dengan manajemen Tergugat di Jerman (Mr.Andreas Heine) dan manajemen Tergugat di Malaysia (Mr.Lakhvinder Singh) pada tanggal 9 Agustus 2011. Risalah berisi kesimpulan adanya risiko hukum seperti pembayaran uang pesangon dan audit dari Kementerian Tenaga Kerja dalam memperpanjang kontrak kekaryawanan Tenaga Kerja Asing di Indonesia lebih dari 5 tahun berturut-turut (disampaikan oleh Gilang Hermawan). Stephen Michael Young (Penggugat) telah bekerja untuk PT. Siemens Indonesia (Tergugat) sejak 10 tahun yang lalu. Karena itu, untuk menghindarkan isu tersebut di atas direkomendasikan agar kontrak Stephen M. Young diputuskan (disampaikan oleh Gilang Hermawan & Lola Irene Harahap). Setelah adanya conference call tersebut, pada tanggal 12 September 2011 Tergugat menawarkan kompensasi kepada Penggugat sebesar 30% x 14,95 bulan upah dengan syarat kontrak kerja Penggugat tidak diperpanjang lagi. Tawaran Tergugat tersebut Penggugat tolak karena menurut penggugat hal itu tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Meskipun pemutusan/pengakhiran hubungan kerja yang telah dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum, namun faktanya hubungan kerja tersebut telah berakhir dan tidak mungkin lagi untuk dilanjutkan. Karena Tergugat sudah tidak lagi membayar gaji Penggugat selama delapan bulan dan kalaupun hubungan kerja tersebut diteruskan akan menimbulkan suasana kerja yang tidak baik yang akan merugikan Penggugat dan Tergugat. Karenanya, Penggugat bersedia dan tidak keberatan dilakukan pemutusan hubungan kerja/berakhirnya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat, akan tetapi pemutusan hubungan kerja/berakhirnya hubungan kerja tersebut setelah adanya putusan pengadilan perkara ini, bukan karena kesalahan Penggugat, dan Tergugat harus membayar gaji Penggugat yang belum dibayar terhitung sejak bulan Oktober 2011 sampai dengan adanya putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, yang untuk sementara dihitung sampai bulan Mei 2012 selama 8 bulan membayar 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak sebesar tiga ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus dua Euro dengan rincian Gaji Penggugat yang belum dibayar sejak Bulan Oktober 2011 s/d saat ini: 8 bln gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 80.720,- Pesangon: 2 x 9 bulan gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 181.621,- Uang penghargaan masa kerja: 5 bulan gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 50.450,- Uang penggantian hak: 15% x (Euro 181.621,- + Euro 50.450) = Euro 34.811,- Total = Euro 347.602. Selain membayar gaji yang belum dibayar, 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana diuraikan di atas, Tergugat juga harus membayar kekurangan pembayaran bonus tahun 2011. Sesuai ketentuan yang berlaku pada Tergugat, Tergugat selalu memberi bonus kepada Penggugat setiap tahunnya sesuai dengan prestasi bisnis dan prestasi pribadi/personal yang Penggugat capai. Pada tahun 2011, prestasi bisnis Penggugat adalah sebesar 144,39%, dan prestasi pribadi/personal adalah sebesar 1,25. Sesuai ketentuan yang berlaku pada Tergugat, bonus yang harus diterima oleh Penggugat pada tahun 2011 seharusnya adalah sebesar (144,39% x 1.25 x Rp148.852.362,00) + (144,39% x 1.25 x Euro 20.530,-) = Rp268.659.906,00 + Euro 37.054,-. Akan tetapi yang dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat hanya sebesar Rp188.000.000,00 + Euro 25.936,-. Sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp 80.659.906,00 + Euro 11.118,-. Penggugat tidak melihat adanya iktikad baik dari Tergugat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga Penggugat mempunyai kekhawatiran Tergugat tidak mau melaksanakan isi putusan Pengadilan secara sukarela, apabila nanti dihukum untuk membayar gaji yang belum dibayar, 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, kekurangan pembayaran bonus kepada Penggugat. Oleh karena itu untuk menjaga agar gugatan Penggugat tidak sia-sia dan adanya kekhawatiran Tergugat akan mengalihkan, mengasingkan, dan memindahkan harta kekayaaannya, mohon agar Pengadilan terlebih dahulu meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) atas harta kekayaan Tergugat berupa: Tanah dan Bangunan beserta isinya milik Tergugat, terletak di Arkadia Office Park Tower F, Level 18, Jl.TB Simatupang Kav.88, Jakarta Selatan. Oleh karena Gugatan ini didasarkan pada bukti-bukti yang secara hukum tidak dapat dibantah kebenarannya oleh Tergugat, mohon Pengadilan memberikan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uit voerbaar bij voorraad), meskipun ada upaya Kasasi, dan/atau upaya hukum lainnya, dan menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat mohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memutus, mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; menyatakan Sita Jaminan yang telah diletakkan tersebut sah dan berharga; menyatakan pemutusan hubungan kerja/berakhirnya hubungan kerja yang telah dilakukan Tergugat terhadap Penggugat adalah tidak sah dan batal demi hukum; menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat berakhir/putus bukan karena kesalahan Penggugat terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap; menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat gaji yang belum dibayar, 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak kepada Pemohon sebesar tiga ratus empat puluh tujuh enam ratus dua Euro, dengan rincian gaji Penggugat yang belum dibayar sejak Bulan Oktober 2011 s/d saat ini: 8 bln gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 80.720,- pesangon: 2 x 9 bulan gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 181.621,- uang penghargaan masa kerja: 5 bulan gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 50.450,- uang penggantian hak: 15% x (Euro 181.621,- + Euro 50.450) atau Total Euro 347.602,-. Beserta kekurangan pembayaran bonus tahun 2011 sebesar delapan puluh juta enam ratus lima puluh sembilan ribu sembilan ratus enam rupiah + sebelas ribu seratus delapan belas Euro. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum, yaitu Kasasi dan/atau upaya hukum lainnya (uit voerbaar bij voorraad). Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini. Atau apabila Pengadilan tidak sependapat dengan Penggugat dan berpendapat lain, mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (ex aequo et bono). Pada tanggal 11 Juni 2012, Penggugat telah mengajukan perbaikan surat gugatan, Posita Gugatan tertulis adanya penambahan klausula dalam draft kesepakatan kerja waktu tertentu yang baru tersebut karena Tergugat ingin menghindar dari tanggung jawab untuk membayar pesangon kepada Penggugat akibat konsekuensi dari perpanjangan kontrak kerja waktu tertentu yang dilakukan terus-menerus tanpa putus. Seperti sudah dikemukakan di atas, hal ini dapat diketahui dari hasil risalah Conference Call yang diadakan antara manajemen Tergugat yang diwakili Gilang Hermawan & Sdri. Lola Irene Harahap dengan menejemen Tergugat di Jerman (Mr. Andreas Heine) dan manajemen Tergugat di Malaysia (Mr. Lakhvinder Singh) pada tanggal 9 Agustus 2011 yang adanya resiko hukum seperti pembayaran uang pesangon dan audit dari Kementerian Tenaga Kerja dalam memperpanjang kontrak kekaryawanan tenaga kerja asing di Indonesia lebih dari 5 tahun berturut-turut (disampaikan Gilang Hermawan). Stephen Michael Young (Penggugat) telah bekerja untuk PT. Siemens Indonesia (Tergugat) sejak 10 tahun yang lalu. Karena itu, untuk menghindarkan isu tersebut di atas direkomendasikan agar kontrak Stephen M. Young diputuskan (disampaikan Gilang Hermawan & Lola Irene Harahap). Seharusnya, adanya penambahan klausula dalam draft PKWT yang baru tersebut karena Tergugat ingin menghindar dari tanggung jawab untuk membayar pesangon kepada Penggugat akibat konsekuensi dari perpanjangan PKWT yang dilakukan terusmenerus tanpa putus dan sekaligus membuktikan bahwa Tergugat memilih dan menundukkan diri pada hukum Negara Republik Indonesia. Hal itu dapat diketahui dari Email tertanggal 16 Juni 2009 yang dikirimkan Gilang Hermawan (bagian Legal Tergugat) kepada Penggugat. Berdasarkan email tersebut Gilang Hermawan telah memberitahukan kepada Penggugat bahwa peraturan tentang masa tenggang waktu 30 hari tidak dapat dikecualikan. Pandangan Legal Tergugat tersebut berdasarkan hasil pertemuan Gilang Hermawan dengan bagian SDM Tergugat. Pada pertemuan itu, bagian SDM Tergugat menjelaskan bahwa bagian SDM Tergugat telah berdiskusi dengan Departemen Tenaga Kerja tentang ketentuan masa tenggang waktu 30 hari dalam perpanjangan (PKWT). Hasil diskusi SDM Tergugat dengan Departemen Tenaga Kerja tersebut menyimpulkan Kementrian Tenaga Kerja tidak membenarkan pengecualian dari peraturan sekaligus hal tersebut sudah disebutkan dalam kontrak kekaryawanan yang bersangkutan. Akibat dari pelanggaran peraturan tersebut karyawan yang bersangkutan akan menjadi karyawan tetap sesuai dengan benefit. Berarti bahwa bila karyawan diberhentikan, maka perusahaan harus membayar semua uang pesangon. Hasil risalah Conference Call yang diadakan antara manajemen Tergugat yang diwakili Gilang Hermawan & Lola Irene Harahap dengan manajemen Tergugat di Jerman (Mr. Andreas Heine) dan manajemen Tergugat di Malaysia (Mr. Lakhvinder Singh) pada tanggal 9 Agustus 2011 menyimpulkan antara lain adanya resiko hukum seperti pembayaran uang pesangon dan audit dari Kementerian Tenaga Kerja dalam memperpanjang kontrak kekaryawanan tenaga kerja asing di Indonesia lebih dari 5 tahun berturut-turut (disampaikan oleh Gilang Hermawan); Stephen Michael Young (Penggugat) telah bekerja untuk PT. Siemens Indonesia (Tergugat) sejak 10 tahun yang lalu, oleh karena itu, untuk menghindarkan isu tersebut di atas direkomendasikan agar kontrak Stephen M. Young diputuskan (disampaikan oleh Gilang Hermawan & Lola Irene Harahap). Terhadap gugatan tersebut di atas, Tergugat mengajukan eksepsi bahwa Surat Kuasa yang diajukan oleh Penggugat harus dibuktikan terlebih dahulu keabsahannya. Pada persidangan tanggal 4 Juni 2012, dimana Tergugat diberikan kesempatan untuk melakukan pemeriksaan Surat Kuasa yang diajukan oleh Kuasa Hukum Penggugat, maka kami telah disampaikan Penggugat adalah warga negara asing yang saat ini sudah tidak bekerja lagi di Tergugat sehingga Tergugat tidak mengetahui apakah Penggugat masih berdomisili di Indonesia atau tidak. Di dalam Surat Kuasa yang diajukan Penggugat di muka persidangan, tertulis bahwa Penggugat menandatangani Surat Kuasa tersebut di Jakarta tanpa disertai bukti keberadaan Penggugat di Indonesia. Tergugat telah memohon kepada Majelis Hakim yang Terhormat untuk meminta Penggugat melengkapi bukti keberadaannya di Indonesia melalui photo copy paspor yang memiliki cap imigrasi yang membuktikan keberadaan Penggugat di Indonesia pada saat menandatangani Surat Kuasa. Pernyataan yang disampaikan Tergugat di atas didasari pada ketentuan bahwa, selain format Surat Kuasa harus memenuhi ketentuan Pasal 123 (1) HIR dan SEMA No.6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus, namun Mahkamah Agung melalui Yurisprudensi No. 3038 K/Pdt/1981 telah memberikan persyaratan tambahan khusus untuk surat kuasa khusus yang dibuat di luar negeri, yaitu: “Surat kuasa yang dibuat di luar negeri harus dilegalisir di KBRI setempat.” Mengingat bahwa kesempatan untuk mengajukan Eksepsi yang bukan bersifat eksepsi kewenangan harus diajukan bersamasama dengan Jawaban, maka sepanjang Penggugat belum melengkapi Surat Kuasa dengan bukti keberadaan Penggugat di Indonesia ketika menandatangani Surat Kuasanya, Surat Kuasa Penggugat harus dianggap tidak sah atau setidaknya tidak memenuhi ketentuan hukum acara sebagaimana termaksud dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3038 K/Pdt/1981, dan karenanya Gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberikan putusan Nomor 85/PHI.G/2012/PN.JKT.PST., tanggal 24 September 2012 yang amarnya dalam Eksepsi: Menolak Eksepsi Tergugat. Dalam Pokok Perkara: mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; menyatakan “PUTUS” hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak tanggal 30 September 2011; menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang pisah, dan biaya pemulangan Penggugat beserta keluarganya ke negara asalnya yang seluruhnya sebesar sembilan puluh ribu delapan ratus sepuluh Euro; menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya; dan membebankan biaya perkara kepada Tergugat sebesar tiga ratus dua puluh dua ribu rupiah. Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut telah diucapkan dengan hadirnya Kuasa Penggugat dan Kuasa Tergugat pada tanggal 24 September 2012, terhadap putusan tersebut Tergugat dan Penggugat melalui kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus masing-masing tanggal 1 Juni 2012 dan 27 September 2012, mengajukan permohonan kasasi masing-masing pada tanggal 4 Oktober 2012 dan tanggal 8 Oktober 2012, sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi 111/Srt.KAS/PHI/2012/PN.JKT.PST., masing-masing Nomor dan Nomor 113/Srt.KAS/PHI/2012/PN.JKT.PST., yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan tersebut disertai dengan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri/Hubungan Industrial Jakarta Pusat masing-masing pada tanggal 18 Oktober 2012 dan 19 Oktober 2012. Memori kasasi dari Tergugat telah disampaikan kepada Penggugat pada tanggal 25 Oktober 2012, kemudian Penggugat mengajukan kontra memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 November 2012. Memori kasasi dari Penggugat telah disampaikan kepada Tergugat pada tanggal 6 November 2012, kemudian Tergugat mengajukan kontra memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 20 November 2012. Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta keberatan-keberatannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, sehingga permohonan kasasi tersebut secara formal dapat diterima. Menimbang, bahwa keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I/Tergugat dan Pemohon Kasasi II/Penggugat dalam memori kasasinya pada pokoknya adalah: Keberatan-keberatan Pemohon Kasasi I/Tergugat. Keberatan Pertama Judex Facti telah keliru dalam memberikan pertimbangan hukum karena pertimbangan hukum tersebut tidak konsisten dengan pertimbangan hukum yang sudah benar dan tepat di mengenai ketentuan hukum yang berlaku bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia. Judex Facti telah secara benar menerapkan ketentuan hukum ketenagakerjaan khususnya ketentuan Pasal 42 ayat (4) jo. Pasal 57 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ("UU No. 13/2003"), yang pertimbangan hukum selengkapnya menimbang, bahwa sekalipun Tergugat terbukti telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus dari tanggal 10 April 1998 s/d 30 September 2011 atau selama tiga belas tahun dan mempekerjakan Penggugat dari tahun 1999 s/d 2001 tanpa adanya perjanjian kerja, Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan kerja antara Penggugat sebagai tenaga kerja asing dengan Tergugat tidak secara otomatis dapat berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat atau berdasarkan PKWTT dengan alasan hukum sebagai berikut: Penggugat adalah tenaga kerja asing, sehingga hubungan kerjanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu PKWT; Ketentuan Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat umum (lex generalis) tidak dapat diterapkan dalam perkara ini. Karena ketentuan tersebut dapat diabaikan atau dihapuskan oleh ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat khusus (lex specialis) yang dalam teori hukum dikenal dengan istilah lex specialis derogate legi generalis. Walaupun Judex Facti telah memberikan pertimbangan hukum dengan benar tentang penerapan ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13/2003 bagi TKA yang bekerja di Indonesia dikutip di atas, ternyata dalam pertimbangan hukum lainnya, Judex Facti membuat kekeliruan yang fatal. Mempertimbangkan menimbang, bahwa sekalipun gugatan Penggugat dalam bagian pokok perkara ditolak untuk seluruhnya, namun demikian mengingat Tergugat juga terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 57 ayat (1), yaitu mempekerjakan Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja dari tahun 1999 s/d 2001, dan Tergugat terbukti pula telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) dan (6), yaitu telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus selama tiga belas tahun lamanya, maka menurut Majelis adalah tidak adil apabila Penggugat tidak mendapatkan kompensasi apapun atas berakhirnya hubungan kerjanya tersebut. Padahal di lain pihak Tergugat telah menikmati hasil kerja Penggugat dari tahun 1998 s/d 2011, atau selama tiga belas tahun lamanya." Pertimbangan hukum yang diberikan oleh Judex Facti di atas jelas bertentangan dengan pertimbangan hukum putusan a quo yang juga Pemohon Kasasi telah kutip secara utuh di atas, dimana ketentuan Pasal 57 dan 59 UU No. 13/2003 tidak dapat diterapkan bagi penggunaan TKA di Indonesia. Judex Facti seharusnya konsisten dalam setiap pertimbangan hukumnya. Pengaturan penggunaan TKA di Indonesia memang harus tunduk pada Ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13/2003 yang secara tegas dan tanpa perlu penafsiran apapun telah menyatakan: “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu." Bahkan, ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13/2003 di atas telah dipertegas lagi dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang ("Kepres No. 75/1995") juga mengatur mengenai pembatasan waktu dalam penggunaan tenaga kerja asing sebagai berikut: "Apabila bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia, pengguna TKWNAP dapat menggunakan TKWNAP sampai batas waktu tertentu." Merujuk pada ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13/2003 yang dipertegas dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Kepres No. 75/1995 di atas, maka pertimbangan hukum yang diterapkan Judex Facti sudah benar dan tepat, sehingga pertimbangan hukum Judex Facti sudah seharusnya dibatalkan oleh Majelis Hakim Agung yang Terhormat ("Judex Juris") agar tercipta konsistensi dalam penerapan hukum. Yahya Harahap dalam bukunya "Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan," halaman 798, menjelaskan mengenai putusan yang mengandung kontradiksi dalam putusan, sebagai berikut: "Begitu juga pertimbangan yang mengandung kontradiksi, pada dasarnya dianggap tidak memenuhi syarat sebagai putusan yang jelas dan rinci, sehingga cukup alasan menyatakan putusan yang dijatuhkan melanggar asas yang digariskan Pasal 178 ayat (1) HIR, Pasal 189 ayat (1) RBG, dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004. Demikian penegasan yang terkandung dalam Putusan MA No. 3538 K/Pdt/1984." Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka koreksi atas pertimbangan hukum yang diberikan oleh Judex Facti juga sudah sepatutnya dilakukan oleh Judex Juris. Sikap Mahkamah Agung yang selama ini selalu konsisten dalam penerapan ketentuan hukum mengenai penggunaan TKA di Indonesia sebagaimana terdapat dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 595 K/PDT.SUS/2010 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 115 PK/PDT.SUS/2009 yang juga dirujuk oleh Judex Facti Putusan a quo; Keberatan Kedua Judex Facti keliru dalam penerapan hukum mengenai petitum subsidair yang berbentuk ex aequo et bono. Judex Facti ternyata malah memberikan ultra petitum partium, dengan memberikan putusan yang mengabulkan hal-hal yang tidak pernah diminta ataupun disinggung oleh Termohon Kasasi selama proses persidangan tingkat pertama berlangsung. Di dalam a quo. Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar uang pisah dan biaya pemulangan Termohon Kasasi yang seluruhnya berjumlah sembilan puluh ribu delapan ratus sepuluh Euro. Petitum ke 3 ini diberikan berdasarkan pertimbangan hukum Judex Facti di Putusan a quo sebagai berikut: "Menimbang, bahwa sekalipun gugatan Penggugat dalam bagian pokok perkara ditolak untuk seluruhnya, namun demikian mengingat Tergugat juga terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 57 ayat (1), yaitu mempekerjakan Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja dari tahun 1999 s/d 2001, dan Tergugat terbukti pula telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) dan (6), yaitu telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus selama 13 (tiga belas) tahun lamanya, maka menurut Majelis adalah tidak adil apabila Penggugat tidak mendapatkan kompensasi apapun atas berakhirnya hubungan kerjanya tersebut, padahal di lain pihak Tergugat telah menikmati hasil kerja Penggugat dari tahun 1998 s/d 2011 atau selama 13 (tiga belas) tahun lamanya." Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dan dengan mempertimbangkan gugatan Penggugat dan jawaban Tergugat yang mohon putusan yang seadil-adilnya (asas ex aequo et bono) apabila Majelis berpendapat lain, maka Majelis akan memutus perkara ini sesuai asas keadilan sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 140 K/Sip/1971 tanggal 12 Agustus 1972, dan Majelis berpendirian, pertimbangan aspek ini tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR. Berdasarkan keadilan Majelis berpendapat bahwa besarnya uang kompensasi PHK yang adil dan layak yang harus dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat dan biaya pemulangan Penggugat adalah uang pisah sebesar 7 kali upah tetap Penggugat dan biaya pemulangan Penggugat bersama keluarganya ke negara asalnya sebesar 2 kali upah tetap Penggugat, yaitu secara keseluruhan sebesar 9 X Euro 121.081/12 = Euro 90.810. Kekeliruan dan ketidakkonsistenan pertimbangan Judex Facti di atas telah Pemohon Kasasi uraikan secara terperinci dalam Keberatan Pertama di atas. Selanjutnya dibawah ini Pemohon Kasasi menguraikan kekeliruan Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan," menjelaskan mengenai "panduan" dalam penerapan petitum subsidair yang berbentuk "ex aequo et bono". "Putusan Judex Facti yang didasarkan pada petitum subsidair yang berbentuk ex aequo et bono, dapat dibenarkan, asal masih dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primair. Bahkan terdapat juga putusan yang lebih jauh dari itu. Putusan MA No. 556 K/Sip/1971 berisi kemungkinan mengabulkan gugatan yang melebihi permintaan, dengan syarat asal masih sesuai dengan kejadian materiil. Namun perlu diingat, penerapan yang demikian sangat kasuistik. Asas lain digariskan pada Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBG, dan Pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini disebut ultra petitum portium. Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires, yakni bertindak melampaui wewenangnya (beyond the powers of his authority). Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid), meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest). Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang digugat, dapat dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah (illegal) meskipun dilakukan dengan iktikad baik. Oleh karena itu, menurut Harahap, hakim yang melanggar prinsip ultra petitum, sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law. Karena tindakan itu tidak sesuai dengan hokum. Padahal sesuai dengan prinsip rule of law; semua tindakan hakim mesti sesuai dengan hukum (accordance with the law), kata Harahap Tindakan hakim yang mengabulkan melebihi dari yang dituntut, nyata-nyata melampaui batas wewenang yang diberikan Pasal 178 ayat (3) HIR kepadanya. Padahal sesuai dengan prinsip rule of law, siapapun tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya. Sehubungan dengan itu, sekiranya tindakan ultra petitum itu dilakukan hakim berdasarkan alasan iktikad baik, tetap tidak dapat dibenarkan atau illegal, karena melanggar prinsip the rule of law (the principal of the rule of law). Menurut Penggugat tidak dapat dibenarkan. Hal itupun ditegaskan dalam Putusan MA No. 1001 K/Sip/1972 yang melarang hakim mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi dari apa yang diminta. Yang dapat dibenarkan paling tidak putusan yang dijatuhkan hakim, masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan. Demikian penegasan Putusan MA No. 140 K/Sip/1971. Kata penggugat, Dalam pertimbangan hukum Judex Facti di atas, terdapat dua alasan dalam menghukum Pemohon Kasasi, yaitu: adanya pelanggaran Pemohon Kasasi terhadap ketentuan Pasal 57 dan 59 UU No. 13/2003. Hal ini jelasjelas bertentangan dengan pertimbangan Judex Facti sebelumnya sebagaimana sudah diuraikan dalam Keberatan Pertama Pemohon Kasasi di atas. Mempertimbangkan gugatan dan jawaban yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi yang meminta putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Jika Judex Juris mempelajari isi Gugatan dan Jawaban serta merujuk pada pendapat dari Yahya Harahap sebagaimana diuraikan di atas, maka, menurut penggugat, tidak ada satupun dalil maupun petitum dari Penggugat yang meminta dibayarkannya "biaya pemulangan Penggugat (Termohon Kasasi) bersama keluarganya ke negara asalnya." Hal ini dikarenakan, faktanya termohon Kasasi dipekerjakan dan direkrut dari Jakarta, Indonesia, sehingga di dalam perjanjian kerjanya memang tidak terdapat klausul biaya pemulangan Termohon Kasasi ke negara asalnya. Walaupun tidak diwajibkan membayarkan biaya pemulangan ke negara asal, namun Pemohon Kasasi atas kebijakannya telah memberikan biaya pemulangan Termohon Kasasi ke negaranya. Karena hal ini memang tidak pernah didalilkan ataupun diminta di dalam petitum Termohon Kasasi, maka Pemohon Kasasi belum pernah mengajukan adanya bukti pembayaran biaya pemulangan Termohon Kasasi ini pada persidangan tingkat pertama. Namun karena ternyata Pemohon Kasasi melalui Putusan a quo dihukum untuk membayar biaya yang faktanya sudah pernah dibayarkan oleh Pemohon Kasasi kepada Termohon Kasasi, maka Pemohon Kasasi sangat keberatan dengan biaya pemulangan ini dan dapat membuktikan bahwa biaya tersebut sudah dibayarkan. Dihukumnya Pemohon Kasasi untuk membayar biaya pemulangan ke negara asal Termohon Kasasi walaupun didasarkan pada pertimbangan ex aequo et bono, namun pertimbangan Judex Facti ini jelas-jelas tidak sesuai dengan inti petitum primair dari Termohon Kasasi. Karena dalam gugatannya Termohon Kasasi tidak pernah meminta untuk diberikan pembayaran uang pisah dan biaya pemulangan Termohon Kasasi bersama keluarganya ke negara asalnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam petitum Termohon Kasasi yang Pemohon Kasasi kutip sebagai berikut: mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Menyatakan sita jaminan yang telah diletakkan tersebut sah dan berharga. Menyatakan pemutusan hubungan kerja/berakhirnya hubungan kerja yang telah dilakukan Tergugat terhadap Penggugat adalah tidak sah dan batal demi hukum. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat berakhir/putus bukan karena kesalahan Penggugat terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat gaji yang belum dibayar, 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak kepada Pemohon sebesar tiga ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus dua Euro, dengan rincian Gaji Penggugat yang belum dibayar sejak bulan Oktober 2011 s/d saat ini: 8 bln gaji X Euro 121.081,- : 12 = Euro 80.720,- Pesangon: 2 X 9 bulan gaji X Euro 121.081,- : 12 = Euro 181.621,- Uang penghargaan masa kerja: 5 bulan gaji X Euro 121.081,-: 12 = Euro 50.450,- Uang penggantian hak: 15% X (Euro 181.621,- + Euro 50.450,-) = Euro 34.811,- + Total Euro 347.602,-, dan kekurangan pembayaran bonus tahun 2011 sebesar delapan puluh juta enam ratus lima puluh sembilan ribu sembilan ratus enam rupiah + sebelas ribu seratus delapan belas Euro. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum, yaitu kasasi dan/atau upaya hukum lainnya (uit voerbaar bij voorraad). Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini. Berdasarkan uraian di atas, maka tindakan Judex Facti yang menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar uang pisah dan biaya pemulangan Termohon Kasasi ke negara asalnya dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang melampaui batas wewenangnya. Pemohon Kasasi juga memohon perhatian Judex Juris yang terhormat bahwa Judex Facti juga keliru dalam menerapkan ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR “ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat." Adapun penjelasan atas ayat (3) di atas adalah: “ayat (3) melarang hakim untuk menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau meluluskan lebih daripada yang digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali uang yang dipinjam oleh lawannya, akan tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat dihukum pula membayar bunganya, maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan dalam putusannya supaya yang kalah itu membayar bunga atas uang pinjaman itu." Berdasarkan isi dan penjelasan pasal HIR di atas, maka hakim sudah dilarang untuk memberikan atau menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak digugat walaupun atas dasar ex aequo et bono. Penerapan prinsip ex aequo et bono harus konsisten dengan isi petitum primair sebagaimana dijelaskan oleh Yahya Harahap di atas. Dalam hal ini Judex Facti telah melakukan kesalahan. "...Majelis berpendirian pertimbangan aspek ini tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR.” Tindakan Judex Facti yang telah mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan atau ultra petitum partium juga bertentangan dengan kaidah hukum yang dijalankan oleh Mahkamah Agung sebagaimana terdapat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 1001/K/Sip.1972 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 77 K/Sip/1973. Masing-masing kaidah hukum: "melarang hakim mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi dari apa-apa yang diminta." Dan "putusan harus dibatalkan, karena putusan PT mengabulkan ganti rugi yang tidak diminta dalam gugatan." Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka Pemohon Kasasi dengan segala kerendahan hati memohon kepada Judex Juris untuk memperbaiki kekeliruan pada sebagian pertimbangan hukum dari Judex Facti sebagaimana telah diuraikan di atas, demi menjamin kepastian hukum dan keadilan. Keberatan-keberatan Pemohon Kasasi II/Penggugat adalah Judex Facti telah salah menerapkan hukum menyatakan bahwa penggugat adalah Tenaga Kerja Asing, sehingga hubungan kerjanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, ketentuan Pasal 57 Ayat (2), dan Pasal 59 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat umum (lex generalis), tidak dapat diterapkan dalam perkara ini, karena ketentuan tersebut dapat diabaikan atau dihapuskan oleh ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat khusus (lex specialis) yang dalam teori hukum dikenal dengan istilah lex specialis derogate legi generalis. Judex Facti juga telah memberikan pertimbangan hukum antara lain Sekalipun Tergugat terbukti telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus dari tanggal 10 April 1998 s/d 30 September 2011 atau selama tiga belas tahun dan mempekerjakan Penggugat dari tahun 1999 s/d 2001 tanpa adanya perjanjian kerja, Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan kerja antara Penggugat sebagai tenaga kerja asing dengan Tergugat tidak secara otomatis dapat berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat tetap atau berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dengan alasan hukum sebagai berikut: Penggugat adalah tenaga kerja asing, sehingga hubungan kerjanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu PKWT. Ketentuan Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat umum (lex generalis) tidak dapat diterapkan dalam perkara ini karena ketentuan tersebut dapat diabaikan atau dihapuskan oleh ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat khusus (lex specialis) yang dalam teori hukum dikenal dengan istilah lex specialis derogate legi generalis. Judex Facti telah salah menerapkan hukum, karena dalam Letter of Appointment tanggal 21 April 1998 terdapat klausula bahwa Letter of Appointment dibuat berdasarkan dan tunduk kepada hukum Negara Republik Indonesia. Dalam Employment Agreement tanggal 9 Maret 2000 (seharusnya tanggal 9 Maret 2001), dalam Employment Agreement tanggal 02 Oktober 2002, PKWT tanggal 1 Oktober 2004, PKWT tanggal 1 Oktober 2005, PKWT tanggal 1 Oktober 2006, PKWT tanggal 1 Oktober 2008, PKWT tanggal 1 Oktober 2009, dan PKWT Tertentu tanggal 1 Oktober 2010 terdapat klausula bahwa ketentuanketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja bersama berlaku sepanjang tidak diatur dalam perjanjian kerja ini, dan jika terjadi perselisihan dalam hubungan kerja kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir. Selain itu baik Letter of Appointment maupun kesepakatan- kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut dibuat dalam bahasa Indonesia dan isinya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Ketenagakerjaan 2003 yang disesuaikan. Berdasarkan Letter of Appointment dan kesepakatankesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi sebagaimana diuraikan tersebut di atas, antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi telah sepakat dan setuju menundukkan diri dan memilih hukum Negara Republik Indonesia dalam melakukan hubungan kerja dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan hubungan kerja tersebut. Kesepakatan tersebut mengikat Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi, sehingga berlaku sebagai undang-undang bagi Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi. Oleh karena kesepakatan tersebut berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan, maka hukum Indonesia yang telah oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi adalah hukum ketenagakerjaan Indonesia, yaitu Ketenagakerjaan 2003, sehingga semua ketentuanketentuan yang terdapat dalam Ketenagakerjaan 2003 berlaku dan dapat diterapkan terhadap Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi. Selain itu, Ketenagakerjaan 2003 selalu menggunakan katakata pekerja/buruh atau tenaga kerja, berarti bahwa Ketenagakerjaan 2003 tidak membeda-bedakan dan memberi perlakuan dan perlindungan hukum yang sama, baik kepada pekerja/buruh warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang bekerja di dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Sehingga, semua ketentuanketentuan yang terdapat dalam Ketenagakerjaan 2003 berlaku dan dapat diterapkan terhadap Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi. Pasal 42 ayat (4) Ketenagakerjaan 2003, Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Oleh karena semua ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan tersebut di atas juga berlaku dan dapat diterapkan terhadap Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi, maka waktu tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (4) tersebut menurut Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Dan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat (4) tersebut, maka menurut Pasal 59 ayat (7) PKWT tersebut demi hukum menjadi PKWTT. Pemohon Kasasi telah bekerja pada Termohon Kasasi terhitung sejak tanggal 10 April 1998 s/d 30 September 2011, selama ± 13 tahun secara terus-menerus tanpa putus/jedah, dan pekerjaan yang menjadi tugas pokok Pemohon Kasasi adalah pekerjaan tetap yang menjadi inti bisnis Termohon Kasasi. Bahkan pada tahun 1999 s/d 2001 Pemohon Kasasi bekerja pada Termohon Kasasi tanpa perjanjian kerja dan pada tahun 1998 s/d 2005 Pemohon Kasasi bekerja pada Termohon Kasasi tanpa dilengkapi dengan IMTA sebagaimana pertimbangan hukum Judex Facti, membuktikan bahwa Termohon Kasasi adalah perusahaan asing nakal yang melanggar peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Kesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi sebagaimana diuraikan tersebut di atas, yaitu dilakukan secara terus-menerus tanpa putus/jedah, pekerjaan yang menjadi tugas pokok Pemohon Kasasi adalah pekerjaan tetap yang menjadi inti bisnis Termohon Kasasi tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Ketenagakerjaan 2003, sehingga menurut Pasal 59 ayat (7), PKWT tersebut demi hukum menjadi PKWTT. Konsekuensinya, apabila Termohon Kasasi ingin mengakhiri hubungan kerja dengan Pemohon Kasasi, maka harus ada pemberitahuan, alasan, dan memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan apabila tidak terbukti adanya kesalahan yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi, Termohon Kasasi harus membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan 2003. Judex Facti telah salah menerapkan hukum, karena pertimbangan hukumnya bertentangan satu sama lainnya. Menurut penggugat, pertimbangan hukum yang keliru itu adalah: “Sekalipun gugatan Penggugat dalam bagian pokok perkara ditolak untuk seluruhnya, namun demikian mengingat Tergugat juga terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 57 ayat (1) yaitu mempekerjakan Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja dari tahun 1999 s/d 2001, dan Tergugat terbukti pula telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) dan (6), yaitu telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus selama 13 (tiga belas) tahun lamanya, maka menurut Majelis adalah tidak adil apabila Penggugat tidak mendapatkan kompensasi apapun atas berakhirnya hubungan kerjanya tersebut, padahal di lain pihak Tergugat telah menikmati hasil kerja Penggugat dari tahun 1998 s/d 2011 atau selama 13 (tiga belas) tahun lamanya.” Kesalahan Judex Facti itu karena dalam menerapkan hukum pertimbangan hukum Judex Facti bertentangan satu sama lainnya. Padahal, menurut Yahya Harahap dalam buku "Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata," halaman 335, pertimbangan hukum Judex Facti yang saling bertentangan selalu dikategori putusan yang salah menerapkan hukum. Mengenai ruang lingkup putusan mengandung saling pertentangan yang dapat dikategori kesalahan penerapan hukum meliputi: saling pertentangan antara satu pertimbangan dengan pertimbangan yang lain, saling pertentangan antara pertimbangan dengan berita acara persidangan, atau saling pertentangan antara pertimbangan dengan amar putusan. Sebagaimana telah Pemohon Kasasi uraikan di atas, Judex Facti mempertimbangkan bahwa Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat umum (lex generalis) tidak dapat diterapkan dalam perkara ini, dapat diabaikan atau dihapuskan oleh ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan 2003 yang bersifat khusus (lex specialis). Akan tetapi, Judex Facti mempertimbangkan bahwa Tergugat telah terbukti melanggar ketentuan Pasal 57 ayat (1), Mempekerjakan Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja dari tahun 1999 s/d 2001, Tergugat juga terbukti pula telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) dan (6). Telah mempekerjakan Penggugat secara terusmenerus selama tiga belas tahun lamanya. Maka menurut Majelis, adalah tidak adil apabila Penggugat tidak mendapatkan kompensasi apapun atas berakhirnya hubungan kerjanya tersebut. Padahal, di lain pihak Tergugat telah menikmati hasil kerja Penggugat dari tahun 1998 s/d 2011 atau selama tiga belas tahun. Sehingga pertimbangan hukum Judex Facti tersebut bertentangan satu sama lainnya. Pertimbangan hukum Judex Facti yang menyatakan Tergugat telah terbukti melanggar ketentuan Pasal 57 ayat (1) yaitu mempekerjakan Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja dari tahun 1999 s/d 2001, dan Tergugat terbukti pula telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) dan (6), yaitu telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus selama tiga belas tahun lamanya, maka menurut Majelis adalah tidak adil apabila Penggugat tidak mendapatkan kompensasi apapun atas berakhirnya hubungan kerjanya tersebut, padahal di lain pihak Tergugat telah menikmati hasil kerja Penggugat tiga belas tahun lamanya, adalah membenarkan dalil-dalil Pemohon Kasasi sebagaimana diuraikan pada butir 1 di atas, bahwa bukan hanya Pasal 42 s/d Pasal 49 UU Ketenagakerjaan 2003 saja yang dapat diterapkan dalam perkara ini, akan tetapi juga ketentuan-ketentuan lainnya yang terdapat dalam UU dimaksud. Selain itu Judex Facti telah keliru menyatakan bahwa Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan 2003 bersifat khusus (lex specialis) dari Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang bersifat umum (lex generalis). Mengutip Kamus Hukum yang diterbitkan Indonesia Legal Center Publishing, tahun 2006, hal 109, penggugat berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lex specialis derogate legi generalis mendesak/mengesampingkan adalah yang undang-undang umum, bukan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang khusus ketentuan- yang sama sebagaimana pertimbangan hukum Judex Facti. Judex Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian. Judex Facti memberikan pertimbangan hukum. “Majelis Hakim juga tidak dapat mengabulkan tuntutan Penggugat mengenai kekurangan pembayaran uang bonus tahun 2011, karena pada kenyataannya Tergugat telah membayarkan uang bonus tahun 2011 kepada Penggugat pada bulan Desember 2011 sesuai dengan perhitungan Tergugat yang seluruhnya sebesar Rp547.273.256,00." Judex Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian, karena menurut Harahap dalam buku "Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata," halaman 338, dalam praktik, banyak ditemukan kesalahan penerapan hukum pembuktian. Bisa terjadi karena salah menerapkan syarat formal atau syarat materiil yang melekat pada alat bukti yang bersangkutan. Menurut Pasal 1875 KUH Perdata, suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu. Menurut Harahap dalam buku "Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan," halaman 546 s/d 547, agar pada akta bawah tangan melekat kekuatan pembuktian, harus terpenuhi lebih dahulu syarat formil dan materiil. Dibuat secara sepihak atau berbentuk partai (sekurang-kurangnya dua pihak) tanpa campur tangan pejabat yang berwenang. Ditandatangani pembuat atau para pihak yang membuatnya. Isi dan tandatangan diakui. Ada dua faktor yang dapat mengubah dan memerosotkan nilai kekuatan dan batas minimal pembuktian akta bawah tangan, yaitu: terhadapnya diajukan bukti lawan. isi dan tanda tangan diingkari atau tidak diakui pihak lawan. Dalam kasus yang demikian, terjadi perubahan yang sangat substansial: nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya, jatuh menjadi bukti permulaan tulisan. Batas minimalnya berubah menjadi alat bukti yang tidak bisa berdiri sendiri, tetapi memerlukan tambahan dari salah satu alat bukti yang lain. Bukti yang diajukan oleh Termohon Kasasi, diterima dan kemudian dipertimbangkan oleh Judex Facti adalah print out dari file komputer Termohon Kasasi. Isinya adalah pembayaran bonus tahun 2011 sebesar Rp 547.273.256,00 kepada Pemohon Kasasi, tanpa tanda tangan, tanpa tanda terima, dan tanpa bukti setoran bahwa uang tersebut telah diterima oleh Pemohon Kasasi, kebenaran bukti itu telah disangkal oleh Pemohon Kasasi. Bukti tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagai alat bukti dan tidak membuktikan bahwa uang sebesar Rp 547.273.256,00 yang tercantum dalam bukti tersebut telah diterima oleh Pemohon Kasasi. Selain itu, bukti tersebut bukanlah bukti penghitungan bonus yang berlaku pada Termohon Kasasi. Sesuai ketentuan yang berlaku pada Termohon Kasasi, Termohon Kasasi selalu memberi bonus kepada Pemohon Kasasi setiap tahunnya sesuai dengan prestasi bisnis dan prestasi pribadi/personal yang Pemohon Kasasi capai sebagaimana termuat dalam bukti yang Pemohon Kasasi ajukan, akan tetapi tidak dipertimbangkan oleh Judex Facti. Judex Facti telah memberikan pertimbangan hukum dengan demikian, maka bukti tersebut menjadi tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena bukti-bukti tersebut masih terkait erat dengan perdebatan mengenai apakah hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dapat berubah menjadi berdasarkan PKWTT dengan segala implikasi hukumnya, mengingat secara yuridis hubungan kerja antara Penggugat sebagai TKA dengan Tergugat telah diatur secara khusus dalam ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu PKWT. Judex Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian karena tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang Pemohon Kasasi ajukan, yaitu kebenarannya tidak pernah dibantah oleh Termohon Kasasi, telah memenuhi persyaratan sebagai alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1875 KUHPerdata dan pendapat Harahap sebagaimana diuraikan tersebut di atas. Semua membuktikan bahwa Pemohon Kasasi selama bekerja pada Termohon Kasasi mempunyai prestasi kerja yang baik, tidak pernah mendapatkan teguran atau sanksi dalam bentuk apapun juga, diakhirinya hubungan kerja antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi karena Pemohon Kasasi tidak mau menandatangani draft PKWT yang baru yang menghilangkan hak-hak Pemohon Kasasi untuk mendapatkan pesangon dan Iain-lain apabila hubungan kerja berakhir sebagaimana diatur dalam kesepakatan kerja waktu tertentu sebelumnya, Termohon Kasasi telah pernah berkonsultasi kepada Departemen Tenaga Kerja RI tentang status hukum Pemohon Kasasi yang bekerja pada Termohon Kasasi selama 13 Tahun secara terusmenerus tanpa putus, konsekuensinya menurut Departemen Tenaga Kerja RI, hubungan kerja Pemohon Kasasi dari PKWT berubah menjadi PKWTT, dan apabila hubungan kerja diakhiri/diputus, Pemohon Kasasi berhak untuk mendapatkan pesangon, uang penghargaan, dan penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan 2003, juga membuktikan adanya kekurangan pembayaran bonus 80.659.906,00 + Euro 11.118. tahun 2011 sebesar Rp Pertimbangan hukum Judex Facti bahwa bukti tersebut menjadi tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan karena bukti-bukti tersebut masih terkait erat dengan perdebatan mengenai apakah hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dapat berubah menjadi berdasarkan PKWTT dengan segala implikasi hukumnya, mengingat secara yuridis hubungan kerja antara Penggugat sebagai TKA dengan Tergugat telah diatur secara khusus dalam ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu PKWT, menunjukkan bahwa Judex Facti tidak paham fungsinya sebagai hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini. Perdebatan tersebut terjadi antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi, sehingga masalah/perdebatan tersebut diajukan ke pengadilan untuk dapat diperiksa dan diputus oleh Judex Facti. Kenyataannya Judex Facti bukannya memeriksa dan memutus perdebatan tersebut, akan tetapi menganggap perdebatan tersebut terjadi antara Pemohon Kasasi, Termohon Kasasi, dan Judex Facti, sehingga tidak ada putusan tentang itu, dan bukti yang Pemohon Kasasi ajukan dikesampingkan, tidak dipertimbangkan, dianggap tidak relevan karena masih dalam perdebatan. Terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat dapat dibenarkan, Karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 18 Oktober 2012 dan kontra memori kasasi tanggal 5 November 2012 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum menyatakan Pemohon Kasasi I/Tergugat melanggar ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (4) dan (6), sehingga berakibat memperoleh uang kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berupa uang pisah, dengan pertimbangan sekalipun Pemohon Kasasi II/Penggugat bekerja pada Pemohon Kasasi I/Tergugat ± tiga belas tahun, namun karena Pemohon Kasasi II/Penggugat adalah TKA maka berlaku ketentuan Pasal 42 ayat (4) Ketenagakerjaan 2003, hanya dalam PKWT. Untuk mempekerjakan TKA ditentukan persyaratan khusus. Diantaranya, Rencana Penggunaan Tenaga kerja Asing (RPTKA), Ijin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), dan Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) yang kesemuanya tergantung pada persetujuan pemerintah. Apabila pemerintah menyetujuinya maka TKA dapat dipekerjakan di Indonesia. Berdasarkan Permenakertrans Nomor Per.02/Men/III/2008 Pasal 24 ayat (3), jangka waktu berlakunya IMTA paling lama satu tahun dan dapat diperpanjang, dan Pasal 28 menentukan perpanjangan paling lama satu tahun, dan meskipun Penggugat telah bekerja selama tiga belas tahun dengan diijinkan oleh pemerintah dengan beberapa kali penerbitan IMTA, hal tersebut tidak menjadikan hubungan kerja demi hukum menjadi PKWTT sebagaimana dimaksud Pasal 59 UU Ketenagakerjaan 2003, karena ketentuan Pasal tersebut tidak berlaku untuk TKA. Berdasarkan Putusan Mahakamah Agung RI Nomor 595 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 29 Juli 2010, telah menguatkan bahwa TKA hanya dalam PKWT dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan 2003. Putusan Judex Facti yang memberi uang pisah kepada Penggugat sebesar tujuh kali bulan upah dengan alasan keadilan karena hubungan kerja diantara Penggugat telah berlangsung tiga belas tahun, adalah tidak dapat dibenarkan. Karena pertimbangan keadilan hanya dapat digunakan apabila ketentuan peraturan perundang-undangan sudah usang dan tidak adil apabila diterapkan. Sementara ketentuan perundang-undangan tersebut belum usang dan masih adil untuk diterapkan, sedangkan menyangkut kompensasi akibat berakhirnya IMTA dapat diatur dalam perjanjian kerja. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dihubungkan dengan bukti IMTA atas nama Penggugat (Anjuran Mediator), bahwa IMTA berakhir tanggal 24 Oktober 2011, maka hubungan kerja berakhir bersamaan dengan tanggal berakhirnya IMTA yang diterbitkan Kemenakertrans RI, dan berdasarkan ketentuan Pasal 48 UU Ketenagakerjaan 2003, setelah hubungan kerjanya berakhir Pengusaha wajib memulangkan Penggugat ke Australia sebagai negara asal yang menurut Majelis berdasarkan keadilan ex aequo et bono ditentukan sejumlah 2 bulan upah x Euro 10.090 = Euro 20.180. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/Tergugat PT. SIEMENS INDONESIA tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 85/PHI.G/2012/ PN.JKT.PST., tanggal 24 September 2012. Selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar Terhadap keberatan-keberatan Pemohon Kasasi II/Penggugat ada yang tidak dapat dibenarkan. Karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 19 Oktober 2012 dan kontra memori kasasi tanggal 20 November 2012 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut: TKA dapat dipekerjakan di Indonesia dalam hubungan kerja PKWT [vide Pasal 42 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Bab VIII tentang Penggunaan TKA]; Tuntutan uang kompensasi PHK berupa Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Uang Penggantian Hak, dan Uang Pisah dapat diperoleh pekerja apabila hubungan kerja dalam PKWTT (tetap); dan Terkait dengan bonus tahun 2011 adalah mengenai penilaian hasil pembuktian tidak menjadi wewenang hakim kasasi, lagi pula berdasarkan bukti sebagaimana telah dipertimbangkan dengan benar oleh Judex Facti (telah diterima oleh Pemohon Kasasi II/Penggugat). Menimbang, berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II/Penggugat Stephen Michael Young tersebut harus ditolak. Karena nilai gugatan dalam perkara ini di atas seratus lima puluh juta Rupiah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dibebankan kepada Pemohon Kasasi II/Penggugat. Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, Mahkamah mengadili: Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Penggugat Stephen Michael Young tersebut. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/Tergugat PT. SIEMENS INDONESIA tersebut. Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Jakarta Pusat Nomor 85/PHI.G/2012/PN.JKT.PST., tanggal 24 September 2012. MENGADILI SENDIRI: Dalam Eksepsi: • Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya. Dalam Pokok Perkara: mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat berakhir dengan berakhirnya masa berlaku IMTA Nomor Kep.29167/MEN/B/IMTA/2010 sejak tanggal 24 Oktober 2011; Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat biaya pemulangan Penggugat beserta keluarganya ke negara asalnya sebesar dua puluh ribu seratus delapan puluh Euro; dan Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya. Menghukum Pemohon Kasasi II/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar lima ratus ribu Rupiah. 3.1.d. Putusan Nomor 1311 K/Pdt/2011 Perkara ini adalah perdata dalam tingkat kasasi.pihak berperkara adalah Sino Sandjaja, PT. Sedjati Internusa Overseas, Pihak-pihak ini adalah pihak Pemohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Pembanding. Pihak selanjutnya adalah Pemerintah Republik Indonesia Cq Menteri Keuangan Republik Indonesia Cq Kepala Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara Jakarta (Bupln Kanwil Iii) Cq Kepala Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara (Kp2ln) Jakarta I, Pt. Bank Mandiri (Persero) Tbk Ex Pt. Bank Bumi Daya (Persero) Pusat Cq. Pt. Bank Mandiri Pusat, Bumi Daya International Finance Limited (BDIF), suatu badan hukum privat yang didirikan dan berkedudukan di Hongkong, Termohon Kasasi dahulu para Tergugat/para Terbanding. Pemohon Kasasi dahulu sebagai para Penggugat telah menggugat sekarang para Termohon Kasasi dahulu sebagai para Tergugat di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penggugat I Sino Sandjaja, warga negara Indonesia adalah Penjamin Hutang dari Penggugat II PT. Sedjati Internusa Overseas suatu badan hukum Indonesia berkedudukan di Jakarta, yang mana pada 20 Maret 1989 Penggugat II telah mendapat fasilitas kredit dari Tergugat III Bumi Daya International Finance Llmited selanjutnya disebut BDIF, suatu badan hukum privat asing yang didirikan menurut hukum Hongkong, berkedudukan di Hongkong, sama sekali tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia. Fasilitas kredit diperoleh melalui ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam akta Nomor: 166 tanggal 20 Maret 1989, yang dibuat di hadapan MUDOFIR HADI, SH. Notaris di Jakarta, dengan kuasa memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170. Pada tanggal 03 Januari 2005, Penggugat I merasa terkejut menerima surat panggilan dari Tergugat I No. PG-002/WPL.03/ KP.01/2004. Pada hakikatnya surat panggilan tersebut berisi permintaan dari Tergugat I kepada para Penggugat untuk mempertanggungjawabkan penyelesaian "piutang negara". Hal ini oleh para penggugat dirasakan sungguh mengherankan. Karena sesungguhnya para Penggugat tidak mempunyai hubungan hukum dengan Tergugat I dan Tergugat II, apalagi mempunyai hubungan hutang yang berkaitan dengan negara Republik Indonesia. Sepengetahuan Penggugat I, hubungan hukum antara Penggugat I dengan Tergugat III masih dalam perkara yang sedang berproses di pengadilan, dan sama sekali belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti, dan hal ini sudah diklarifikasikan oleh Penggugat I yang dengan itikad baik memenuhi panggilan pertama dari pihak Tergugat I pada tanggal 18 Januari 2005 untuk menghormati dan menjelaskan duduk permasalahannya. Tindakan Tergugat I melakukan pemanggilan terhadap para Penggugat didasarkan oleh perbuatan Tergugat III sebagai badan hukum asing yang tidak mempunyai domisili di wilayah Republik Indonesia pada tanggal 12 Mei 1999, dengan secara melawan hukum dan beriktikad buruk, Tergugat III secara sepihak mengingkari isi perjanjian kredit dan berusaha menciptakan hubungan hukum baru di dalam perkara bantahan yang sedang berjalan, dengan menarik pihak ketiga (sementara hubungan hukum lama antara Penggugat I dengan Tergugat III belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti). Dengan secara sepihak melimpahkan pengurusan hutang tersebut kepada Tergugat II PT. BANK MANDIRI ex PT. BANK BUMI DAYA, yang kemudian atas dasar pelimpahan piutang tersebut, pada tanggal 20 Desember 2004 oleh Tergugat II PT. BANK MANDIRI ex PT. BANK BUMI DAYA dilimpahkan lagi secara sepihak pengurusan piutang tersebut kepada Tergugat I (KEPALA KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA), hal inilah yang menjadi salah satu pokok permasalahan dalam gugatan yang diajukan oleh para Penggugat sekarang, di samping mempermasalahkan mengenai keabsahan dari perjanjian kredit itu sendiri. Para Penggugat menolak dengan keras tindakan Tergugat III secara melawan hukum melimpahkan pengurusan hutang Penggugat II kepada Tergugat I dan Tergugat II. Pengalihan penagihan piutang tersebut cacat hukum, bertentangan dengan hukum, dan sama sekali tidak mempunyai kekuatan/dasar hukum. Pengalihan piutang tersebut dilakukan oleh Tergugat III ketika obyek hutang piutang yang menjadi pokok persengketaan sedang masih dalam proses sengketa yang sedang berjalan dengan melibatkan subjek yang sama dan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum yang tetap dan pasti. Pada tanggal 20 Maret 1989 telah terjadi hubungan hukum antara Tergugat III dengan Penggugat II saja (tanpa ada pihak ketiga, yaitu Tergugat II dan Tergugat I), yang dituangkan dalam bentuk Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169. Berdasarkan kuasa memasang Hipotik tersebut telah dibuat Grosse Akta Hipotik yaitu: Grosse Akta Hipotik tanggal 25 April 1989 Nomor 23/IV/1989/Gambir; Grosse Akta Hipotik tanggal 30 September 1989 Nomor : 60/lX/1989/Grogol Petamburan; dan Grosse Akta Hipotik tanggal 23 Februari 1991 Nomor : 23/Grogol Petamburan/1991. Tanggal 18 November 1991 Penggugat I (Sino Sandjaja) telah mendapat Surat Panggilan Teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang isinya agar Penggugat I memenuhi bunyi dari 3 (ketiga) Grosse Akta Hipotik tersebut di atas. Atas Surat Panggilan Teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Penggugat I (Sino Sandjaja) telah mengajukan bantahan dengan No. Register: 15/Pdt/Bth/1991/PN. JKT. BAR. (P-3), kepada: PT. Sedjati Internusa Overseas, sebagai Terbantah I; Bumi Daya International Finance Limited, sebagai Terbantah II; Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Pusat, sebagai Terbantah III; dan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Barat, sebagai Terbantah IV. Atas bantahan tersebut, telah keluar Surat Penangguhan Eksekusi dari Ketua Mahkamah Agung RI dengan No. KMA/198/XII/1991, tertanggal 12 Desember 1991, yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Isinya surat panggilan WEksekusi adalah "memerintahkan agar Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat menangguhkan eksekusi terhadap: Grosse Akta Hipotik tanggal 25 April 1989 Nomor: 23/IV/1989/Gambir; Grosse Akta Hipotik tanggal 30 September 1989 Nomor: 60/lX/1989/Grogol Petamburan; dan Grosse Akta Hipotik tanggal 23 Februari 1991 Nomor: 23/Grogol Petamburan/1991, sampai perkara bantahan No. 15/Pdt/1991/bth diputus dan “in kracht van gewijsde". Hingga saat ini, hubungan hukum antara Penggugat I dengan Tergugat III belum memiliki kejelasan hukum, karena masih mempermasalahkan legalitas kontrak kredit yang masih dalam proses peradilan dan masih belum memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti, sehingga sudah sepatut dan sepantasnya pengingkaran kesepakatan perjanjian kredit dengan mengalihkan pengurusan piutang yang dilakukan oleh Tergugat III kepada Tergugat II dan Tergugat II kepada Tergugat I menjadi tidak memiliki dasar apapun dan menjadi batal demi hukum (jo. Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata). Sudah menjadi asas kepatutan di dalam praktek hukum Perdata di pengadilan bahwa, adalah adil selama proses pengadilan (status quo) berjalan, semua permasalahan yang menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak menjadi berhenti menunggu adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan pasti, sehingga masing-masing pihak menjadi jelas atas hak dan kewajibannya. Berdasarkan Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata (jo. Pasal 1315 KUHPerdata) ditegaskan, suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya saja (asas kepribadian). Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170. Akta itu, menurut pemohon kasasi sama sekali tidak pernah memuat klausula yang memperjanjikan Tergugat III diperbolehkan mengalihkan hak piutangnya, baik untuk seluruh maupun sebagian (pokok + bunga) kepada pihak ketiga maupun kepada pihak-pihak manapun juga. Dengan demikian, pengalihan penagihan piutang (dalam perkara) tersebut oleh Tergugat III kepada Tergugat II dan Tergugat II kepada Tergugat I adalah perbuatan pengingkaran kesepakatan perjanjian. Ancaman perbuatan tersebut menjadi batal demi hukum (Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata), dan sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum, karena secara tegas hubungan hukum perjanjian kredit dibuat dan disepakati hanya oleh Tergugat III dengan Penggugat II tanpa melibatkan Tergugat II dan Tergugat I di dalamnya, sehingga hubungan hukum atau perjanjian kredit tersebut hanya mengikat Tergugat III dan Penggugat II saja di wilayah negara Hongkong (jo. Pasal 1342 KUHPerdata, asas sense clair: "Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran"). Pengalihan piutang dari Tergugat III kepada Tergugat II dilakukan dengan cara yang tidak sah dan tidak berdasar hokum. Apabila pengalihan piutang dilakukan dengan cara: 1). Cessie, maka pengalihan piutang tersebut didasarkan pada cessie yang tidak memenuhi syarat-syarat hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata, yang menentukan bahwa akta cessie baru berlaku terhadap cessus (debitur), kalau terhadapnya (sebelum dialihkan piutang oleh kreditur) sudah diberitahukan adanya cessie atau secara tertulis telah disetujui atau diakui olehnya, dan selama ini Penggugat I maupun Penggugat II belum pernah diberitahukan dan menyetujui adanya pengalihan piutang tersebut. Selain itu tidak adanya kepastian jumlah hutang Penggugat II yang harus dibayarkan kepada Tergugat III, jelas merupakan tidak adanya transparansi dari Tergugat I dalam melakukan penagihan, oleh karenanya terhadap hutang piutang tersebut masih belum ada kepastian hukum dan terdapat sengketa di dalamnya, sehingga terhadap piutang tersebut tidak dapat dieksekusi melalui BUPLN/KP2LN (Tergugat I), tetapi harus melalui gugatan terlebih dahulu ke Pengadilan Negeri (jo. Buku II, halaman 131 angka 39.5.), dan masih dalam perkara tidak dapat dilimpahkan menurut hukum (jo. Pasal 1340 dan Pasal 1315 KUHPerdata, mengenai asas kepribadian: “suatu perjanjian hanya mengikat kepada pihak-pihak yang membuat perjanjian itu saja”). Atau 2). Subrogasi, maka tindakan Tergugat II menerima pelimpahan pengurusan kredit dari Tergugat III adalah tindakan yang bertentangan dengan jiwa dari Pasal 3 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri ditegaskan: "Penerimaan kredit luar negeri oleh perusahaan swasta hanya dapat dibenarkan apabila tidak disertai adanya keharusan jaminan dari Pemerintah Republik Indonesia, termasuk Bank Indonesia dan bank-bank lainnya milik negara, untuk pembayarannya kembali dan/atau tidak menimbulkan kewajiban suatu apapun bagi pemerintah Republik Indonesia sebagai akibat dari penerimaan kredit luar negeri yang bersangkutan". Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 ditegaskan: "Badan usaha negara dan badan usaha daerah tidak dibenarkan untuk memberikan jaminan atau bertindak selaku penjamin dalam pembayaran kembali kredit luar negeri yang diterima oleh badan usaha negara, badan usaha daerah, dan perusahaan swasta." Dengan demikian, apabila Tergugat II tetap melanjutkan penagihan kepada para penggugat, maka jelas tindakan tersebut bertentangan dengan jiwa dari Keputusan Presiden tersebut di atas, karena Penggugat II mengadakan perjanjian kredit hanya dengan Tergugat III (perusahaan yang berbadan hukum Hongkong), sedangkan apabila Tergugat II sebagai bank milik pemerintah merasa berhak menagih, maka berarti fasilitas kredit tersebut sudah dijamin dan sudah dilunasi pembayarannya sebagai salah satu syarat sah lahirnya subrogasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, sehingga sudah sepatut dan sepantasnya apabila tindakan Tergugat II yang sangat jelas telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 3 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri, haruslah dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum dan haruslah dinyatakan batal demi hukum oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169 dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170. Akta itu mengandung kausa yang tidak halal menurut pemohon kasasi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata, dengan demikian sudah seharusnya akta notaris tersebut beserta hipotiknya menjadi perjanjian yang cacat hokum. Haruslah dibatalkan serta tidak mempunyai kekuatan hokum, demikian dalil npemohon kasasi. Perjanjian Kredit dalam akta notaris tersebut bertentangan dengan hukum negara Republik Indonesia, dan oleh karena itu haruslah dibatalkan (jo. Pasal 1320 (4) KUHPerdata, tidak mengandung kausa yang halal), karena: menurut Pasal 1173 KUHPerdata, jelas-jelas menyatakan bahwa tidak boleh/tidak dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di dalam sesuatu traktat telah ditentukan sebaliknya (jis. Yurisprudensi No. 1695 K/Pdt/1984 tanggal 23 Mei 1986, yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996 secara tegas menyatakan: "Perjanjian antara warga negara Indonesia dengan orang asing tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah Indonesia." Dengan demikian Tergugat III sebagai pihak asing tidak berhak melakukan suatu hubungan hukum dengan jaminan yang melibatkan obyek-obyek yang berada di wilayah Republik Indonesia, terlebih Tergugat III adalah suatu badan hukum swasta luar negeri yang didirikan dan berkedudukan hukum di luar negeri (Hongkong), serta tidak mempunyai domisili wilayah Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169 dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170 menjadi batal/memuat syarat batal. Karena, Perjanjian kredit tersebut bertentangan dengan perundang-undangan Republik Indonesia, yaitu perjanjian tersebut dibuat untuk tunduk kepada hukum yang berlaku di negara Hongkong (Pasal 17), sehingga dapat dipersamakan dengan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, terlebih di dalam perjanjian kredit itu sendiri terdapat pengakuan dari Tergugat III akan yurisdiksi hukum negara Hongkong untuk mengadakan kegiatan pengurusan piutang tersebut dengan penggugat II. Yaitu di dalam Pasal 6 ayat (1), Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit". Dinyatakan dalam akta itu bahwa : "Pengambilan atau penyetoran uang dapat dilakukan oleh debitur di kantor kreditur, yaitu di Hongkong, pada tiap-tiap hari kerja pada jam-jam dibukakan kas dari kreditur itu untuk umum atau dengan cara lain sesuai dengan kebiasaan yang ada." Perjanjian kredit tersebut dibuat oleh Kreditur (Tergugat III) berbadan hukum asing (Hongkong) yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia, sehingga sudah sepatut dan sepantasnya setiap badan hukum asing yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia dinyatakan tidak mempunyai legitimasi hukum di wilayah Republik Indonesia, dan dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap setiap perbuatannya. Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara Penggugat I dan Penggugat II dengan Tergugat III belum pernah diberitahukan dan didaftarkan kepada Bank Indonesia selaku pengawas otoritas moneter tertinggi di Republik Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No.3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972. Ada keharusan semua penerimaan kredit luar negeri, baik dalam hubungan penanaman modal asing maupun dalam hubungan lainnya, sebelum ditandatangani oleh pihak-pihak harus dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia untuk dipelajari. Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara Penggugat I dan Penggugat II dengan Tergugat III belum pernah diberitahukan kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Sebagaimana, yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (2) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972. Juga ditentukan dalam Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261/MK/IV/5/1973 tanggal 03 Mei 1973, yang mewajibkan melaporkan semua penerimaan dan pelaksanaan kredit luar negeri dari setiap perusahaan swasta kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, yang dimulai dari tanggal efektif berlakunya perjanjian dan setiap tiga bulan sekali sejak tanggal efektifnya perjanjian kredit berlaku. Penerapan secara mutlak "lex specials derogat legi generali" terhadap Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972, Surat Keputusan Menteri Keuangan No. KEP-261/MK/IV/5/1973, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, telah diterima menjadi ajaran hukum yang tetap oleh beberapa putusan Mahkamah Agung yang sudah diterapkan secara berulang-ulang berdasarkan yurisprudensi No. 2958 K/Pdt/1983 tanggal 15 April 1985 (jis. yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, dan yurisprudensi No. 1750K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981). Di dalam Yurisprudensi itu ditegaskan: "Dengan tidak dipenuhinya laporan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan merupakan suatu pelanggaran hukum, sehingga perjanjian yang melanggar peraturan pemerintah tersebut adalah perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum apapun." Pemenuhan kewajiban penerapan pelaporan secara mutlak "lex specials derogat legi generali" di atas, sebagai kaidah hukum positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia, secara tegas dan nyata kewajiban tersebut oleh Tergugat III sebagai badan hukum swasta asing telah disangkal dan dikesampingkan penerapannya lewat dua kali pengakuan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memeriksa dan memutus perkara No. 15/Pdt/Bth/1991/PN.JKT.BAR. Duplik tanggal 01 Desember 1992 poin 6, didalamnya dikatakan: "... ketentuan Pasal 17 yang menyatakan bahwa perjanjian ini tunduk kepada hukum yang belaku di Hongkong. Sedangkan menurut ketentuan hukum di Hongkong, tidak ada ketentuan untuk melaporkan..."; dan b Kesimpulan tanggal 08 April 1993 poin 7, yang menyatakan: "Sementara itu, menurut hukum yang berlaku di Hongkong, tidak ada kewajiban untuk melapor seperti itu, i.c. ke Bank Indonesia." Adalah jelas merupakan suatu penghinaan dan kesewenangan terhadap kaidah hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Sehingga dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya terhadap Tergugat III yang sama sekali tidak mau mengakui eksistensi hukum positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia, akan tetapi mau membuat hubungan hukum dengan melibatkan subyek dan obyek di dalam wilayah Indonesia, oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara secara bertimbal balik haruslah ikut dikesampingkan juga segala eksistensi keabsahan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan semua perjanjian accesoirnya, karena Tergugat III secara tegas telah membuat perjanjian kredit yang cacat hukum, yaitu dengan sengaja tidak menghormati hukum yang berlaku di Republik Indonesia (di bawah hukum yang berlaku di Hongkong). Tidak dipenuhinya syarat di atas, maka sebagai konsekuensi yuridis di mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara berdasarkan ketentuan umum: Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata: suatu perjanjian harus mempunyai tujuan yang diperbolehkan/sebab yang halal; Pasal 1335 KUHPerdata: perjanjian yang tujuan/sebab tidak diperbolehkan tidak mempunyai kekuatan hukum; Pasal 1337 KUHPerdata: suatu sebab adalah terlarang, apabila persetujuan itu melanggar undang-undang atau bertentangan kesusilaan dan ketertiban umum (jo. Pasal 23 AB); dan Pasal 1339 KUHPerdata: suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang. Pemohon kasasi mmengemukakan agar Majelis Hakim Kasasi menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum apapun juga Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170. Karena perjanjian tersebut mengandung kausa yang terlarang, yaitu dalam hal ini perjanjian tersebut tidak mempunyai tujuan yang diperbolehkan oleh undang-undang (melawan hukum) yang ada di wilayah Republik Indonesia. Oleh karena sudah jelas perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang dibuat antara Tergugat III dengan Penggugat II adalah perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena mengandung kausa/sebab yang terlarang, dibuat sebagai perikatan pokok, dengan segala akibat hukumnya tunduk kepada domisili dan yurisdiksi hukum negara Hongkong dengan sengaja mengesampingkan kaidah-kaidah hukum positif di wilayah Republik Indonesia, (Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata jo. Pasal 1173 KUHPerdata), maka secara otomatis dengan sendirinya tidak mungkin terdapat suatu perjanjian pemberian jaminan yang bersifat accesoir yang sah berdasarkan Pasal 1821 ayat (1) KUHPerdata, yang menentukan: "tidak mungkin ada pemberian jaminan, jika tidak ada suatu perjanjian pokok yang sah." Dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya apabila Penggugat I sebagai penjamin hutang mendapatkan kembali haknya berupa seluruh agunan dari perjanjian kredit yang dilakukan oleh Tergugat III dengan Penggugat II. Penggugat II sudah sepatutnya pula terbebas menurut hukum atas hutang-hutang tersebut. karena hutang tersebut dibuat atas dasar perjanjian kredit yang bertentangan dengan hukum/kepentingan nasional Republik Indonesia (melawan hukum). Bahkan perjanjian kredit tersebut tidak pernah disetujui dan dilaporkan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan (jis. yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, yurisprudensi No. 2958K/Pdt/1983 tanggal 15 April 1985, dan yurisprudensi No. 1750K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981). Oleh karena Tergugat III, secara sengaja, dan sepihak, telah melakukan perbuatan melawan hokum, dengan mengingkari terhadap isi perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani bersama yang dituangkan dalam Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan tanpa diperjanjikan sebelumnya, secara sepihak dan sewenang-wenang mengalihkan pengurusan piutangnya kepada pihak ketiga (Tergugat II dan Tergugat I), sementara kejelasan mengenai piutangnya sendiri masih diproses dalam perkara yang hingga saat ini belum memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti, maka jelaslah dipandang dari sisi kaca mata hukum yang berlaku di Indonesia, perbuatan para Tergugat adalah perbuatan yang telah beritikad buruk yang bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Ditegaskan: "Suatu perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda), dan bagi pihak ketiga harus menghormati dan tidak mencampuri isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh para pihak." Dengan adanya perbuatan: Tergugat III yang dengan telah sengaja dan sepihak mengalihkan pengurusan piutangnya kepada pihak ketiga (Tergugat II dan Tergugat I), dan Tergugat II dan Tergugat I dengan telah sengaja mencampuri isi perjanjian yang dibuat antara Tergugat III dengan Penggugat II, maka jelaslah Tergugat III telah beritikad buruk melakukan perbuatan pengingkaran terhadap kesepakatan isi perjanjian (Pasal 1338 ayat (1) jo. Pasal 1342 KUHPerdata) yang telah dibuat oleh kedua belah pihak sudah sepatutnya. Sepantasnya terhadap perbuatan yang batal demi hukum tersebut, oleh Majelis Hakim dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan kaidah hukum positif di Republik Indonesia. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, Tergugat III bersama-sama Tergugat II dan Tergugat I terbukti adalah pihak yang telah beritikad buruk dengan: a Semena-mena dengan secara melawan hukum sengaja mengingkari perjanjian dengan mengalihkan pengurusan piutang kepada pihak ketiga (Tergugat II dan Tergugat I), sementara hubungan hukum yang lama masih belum memperoleh putusan pengadilan yang tetap dan pasti. Berusaha melakukan konspirasi/persengkongkolan (dengan menunjuk debt collector, yaitu Tergugat II dan Tergugat I I, hal ini merupakan perbuatan pidana: premanisme) di wilayah Indonesia. Melakukan penyelundupan hukum dengan seolah-olah memiliki kewenangan hukum, dengan tujuan akhir untuk menjarah harta-harta Indonesia. Maka kami mohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini agar segala tindakan hukum yang dilakukan oleh para Tergugat yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat perlindungan hukum dan berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, sudah sepatut dan sepantasnya setiap tindakan pengingkaran perjanjian Tergugat III yang tidak berdasarkan itikad baik, dengan secara semena-mena dan sepihak mengalihkan pengurusan piutangnya kepada Tergugat II dan Tergugat II kepada Tergugat I, sementara kejelasan hubungan hutang piutang masih dalam proses perkara yang masih berjalan, haruslah dinyatakan batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridis yang harus ditanggung oleh para Tergugat sendiri. Terlebih tindakan pengalihan piutang tersebut tidak pernah diperjanjikan antara kedua belah pihak, dan tindakan pengalihan pengurusan piutang tersebut sangatlah bertentangan dengan itikad baik, kepatutan, kebiasaan, dan peraturan undang-undang yang berlaku di negara Republik Indonesia (Pasal 23 AB, Pasal 1320 ayat (4), Pasal 1335, 1337, dan 1339 KUHPerdata). Oleh karena pada awalnya Penggugat II melakukan perjanjian kredit dengan Tergugat III (BDIF) suatu badan hukum swasta/privat asing yang didirikan menurut undang-undang negara Hongkong, dan perjanjian kredit tersebut tunduk kepada yurisdiksi hukum Hongkong, bukan kepada Bank Mandiri (Tergugat II) apalagi negara Republik Indonesia. Karenanya, hutang Penggugat II bukan merupakan piutang negara yang penagihannya tidak dikeluarkan menurut hukum dan kewenangan melalui BUPLN/KP2LN (Tergugat I), terlebih pengalihan piutang dalam perkara tersebut sangat bertentangan hukum dengan syarat cessie dan jiwa dari Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri seperti yang sudah dijelaskan pada poin 4 huruf c sebelumnya di atas. Sejak awal pengurusan piutang tidak sah menurut hukum kepada Tergugat I (Kepala Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara) dari Tergugat II (PT. Bank Mandiri Ex Pt. Bank Bumi Daya), dan tidak didasarkan pada Surat Pernyataan Bersama, baik antara Penggugat I maupun Penggugat II dengan Tergugat I (Kepala Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara) sebagai pihak yang diberi tugas untuk mengurus penagihan. Berdasarkan Undang-Undang No. 49/Prp. Tahun 1960, cara penyelesaian piutang negara menurut Undang-Undang tentang Panitia Urusan Piutang Negara harus dilakukan dengan: Memuat jumlah hutang dan kewajiban debitur yang besarannya telah pasti menurut hukum untuk menyelesaikan hutang kepada negara (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Mengadakan Surat No. Pernyataan 49/Prp. Tahun 1960); dan Bersama yang dibuat dan ditandatangani oleh Debitur dan Ketua PUPN/BUPLN. Pernyataan Bersama ini memuat jumlah hutang debitur dan kewajiban debitur untuk menyelesaikan hutang kepada negara. Maka dengan belum diperolehnya kepastian hingga saat ini, legalitas jumlah dan kewajiban debitur yang besarannya telah tetap berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti, dan dalam penagihan piutang yang saat ini dalam sengketa, PUPN/BUPLN sama sekali belum pernah membuat Surat Pernyataan Bersama, baik kepada Penggugat I maupun kepada Penggugat II, maka sudah sepantasnya dan sepatutnya Panitia Urusan Piutang Negara demi hukum dinyatakan tidak berwenang terhadap penagihan piutang tersebut, karena tindakan penagihan tersebut bersumber dari tindakan pengalihan pengurusan piutang dari Tergugat III kepada Tergugat II, dan Tergugat II kepada Tergugat I yang tidak sah dan batal demi hukum. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya pengingkaran perjanjian oleh Tergugat III, yaitu dengan mengalihkan pengurusan piutang dari Tergugat III kepada Tergugat II sebagaimana diuraikan di atas (masih dalam perkara dialihkan, tidak pernah diperjanjikan piutang dialihkan secara sepihak, piutang dialihkan dengan cara yang tidak sah dan tidak berdasar hukum dialihkan dengan cessie/subrogasi yang tidak memenuhi syarat hukum piutang ditagih berdasarkan atas kausa yang tidak halal), adalah merupakan suatu perbuatan pengingkaran perjanjian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (pemerkosaan terhadap kepastian hukum di Republik Indonesia), dan patut dinyatakan perbuatan melawan hukum yang batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya sebagai konsekuensi yuridis yang harus ditanggung oleh para Tergugat. Oleh karena pengalihan piutang sewenang-wenang dari Tergugat III kepada Tergugat II bertentangan dengan hukum yang berlaku di Republik Indonesia dan terdapatnya cacat hukum, maka penyerahan pengurusan penagihan piutang dari Tergugat II kepada Tergugat I juga mengandung cacat hokum. Tidak memiliki kekuatan hokum. Karena tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 49/Prp Tahun 1960 khususnya, dan ketentuan serta praktek hukum di negara Republik Indonesia umumnya. Maka perbuatan Tergugat I yang telah membuat surat panggilan kepada Penggugat I dan Penggugat II haruslah dinyatakan melawan hukum, tidak sah, dan batal demi hukum. Jelas dan tegas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III adalah perbuatan sewenang-wenang yang tidak berdasar hukum dan sangat merugikan Penggugat I dan Penggugat II, maka perbuatan mereka jelas dan nyata sebagai perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige daad) dengan segala akibat hukum dari padanya, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Oleh karena Penggugat I adalah sebagai pribadi dan Penggugat II adalah Badan Hukum yang memerlukan kredibilitas yang baik di mata masyarakat umum, maka dalam menanggapi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III, telah mengakibatkan kerugian waktu, biaya, dan tenaga bagi Penggugat I dan Penggugat II, oleh karena itu adalah wajar apabila terhadap perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan hukum overheasdaad (jo. Pasal 1365 KUHPerdata). Hubungan hukum antara Penggugat I dan Penggugat II terhadap Tergugat III sesuai hukum perjanjian sangat melekat dan tidak dapat dialihkan (diingkari) begitu saja ke Tergugat I dan Tergugat II. Pula, obyek dalam perkara ini merupakan hutang badan hukum swasta/private asing bukan Negara. Pula masih terdapatnya kasus atau sengketa yang belum terselesaikan antara Penggugat I dengan Penggugat II dan Tergugat III di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Maka dimohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara agar bijaksana dalam memeriksa dan memutus perkara dengan jangan terjebak dalam kegiatan konspirasi pihak asing yang berusaha menguasai aset-aset Indonesia, dan kami mohon kepada majelis hakim yang terhormat agar mengedepankan perlindungan hukum terhadap kepentingan nasional Republik Indonesia demi mencegah dengan sewenang-wenang dirampasnya harta-harta nasional Republik Indonesia di kemudian hari oleh bangsa asing manapun juga dengan berusaha melakukan penyelundupan hukum di wilayah negara Republik Indonesia sendiri. Karena gugatan ini diajukan berdasarkan bukti-bukti yang original yang tidak terbantah kebenarannya, maka sangatlah beralasan hukum putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoorbaar bij voorraad). Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberikan putusan dalam Provisi untuk melarang Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III untuk melakukan segala bentuk tindakan hukum terhadap Penggugat I dan Penggugat II. Maupun terhadap piutang selama keputusan perkara ini belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Juga, demi menghormati proses sengketa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang saat ini terdaftar dalam perkara No: 15/Pdt/Bth/1991/PN.JKT,.BAR tanggal 02 Desember 1991, dengan ancaman hukuman apabila Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III melanggar larangan ini maka Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III dihukum secara tanggung renteng untuk membayar kepada Penggugat I dan Penggugat II uang paksa sebesar satu miliar rupiah yang harus dibayar sekaligus dan kontan atas kelalaian para Tergugat melaksanakan isi putusan ini. Memerintahkan Tergugat I dan Tergugat II (Kepala Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara dan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk) untuk tidak mencampuri hubungan hutang piutang antara Penggugat II dengan Tergugat III, yaitu dengan menghentikan segala pemanggilan dan penagihan. Tergugat I dan Tergugat II tidak ada hubungan hukum sebagai pihak-pihak di dalam perjanjian kredit yang dibuat antara Penggugat II dengan Tergugat III; dan Tindakan pengalihan piutang dari Tergugat III kepada Tergugat II dilakukan dengan cara yang tidak sah dan tidak berdasar hukum, yaitu didasarkan pada cessie yang tidak memenuhi syarat-syarat hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata/subrogasi yang bertentangan dengan jiwa dari Pasal 3 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri. Dalam Pokok Perkara: mengabulkan gugatan dari Penggugat I dan Penggugat II untuk seluruhnya; menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) kepada Penggugat I dan Penggugat II, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata; menyatakan menurut hukum batal demi hukum pengalihan piutang dari Tergugat III kepada Tergugat II dan dari Tergugat II kepada Tergugat I; menyatakan menurut hukum batal demi hukum pengurusan piutang yang dilakukan Tergugat II dan Tergugat I terhadap para Penggugat. Memerintahkan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III untuk menghentikan segala upaya dan usaha yang baik secara langsung maupun tidak langsung bertujuan untuk menagih terhadap Penggugat I dan Penggugat II berdasarkan Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit, tanggal 20 Maret 1989. Menyatakan batal/tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit, tanggal 20 Maret 1989 dengan kuasa memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170, karena mengandung kausa yang tidak halal sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata, yaitu bertentangan dengan hukum/kepentingan nasional Republik Indonesia. Selanjutnya, menyatakan batal/tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum perjanjian pemberian jaminan dan lain-lain jaminan yang telah diberikan Penggugat I kepada Tergugat III sebagaimana tercantum dan terkait di dalam Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit, tanggal 20 Maret 1989. Menyatakan batal, tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum Grosse Akta Hipotik tanggal 25 April 1989 No. 23/IV/1989/Gambir; Hipotik tanggal 30 September 1989 Nomor : 60/IX/1989/ Grogol Petamburan; dan Hipotik tanggal 23 Februari 1991 Nomor: 23/Grogol Petamburan/1991. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III dan siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk mengembalikan dan menyerahkan kepada Penggugat I seluruh surat-surat jaminan yang telah diagunkan berupa sertifikat-sertifikat asli yang dituangkan dalam bentuk Grosse Akta Hipotik tanggal 25 April 1989 No. 23/IV/1989/Gambir; Hipotik tanggal 30 September 1989 Nomor: 60/lX/1989/Grogol Petamburan; dan Hipotik tanggal 23 Februari 1991 Nomor: 23/Grogol Tamburan/1991. Dengan ketentuan untuk setiap hari keterlambatan/kelalaian menyerahkan seluruh sertifikat-sertifikat tersebut kepada Penggugat I, para Tergugat dan siapa saja yang memperoleh hak dari padanya, dihukum secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar sepuluh juta rupiah per harinya yang harus dibayar sekaligus dan kontan jika tidak memenuhi isi putusan ini. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III untuk mematuhi dan melaksanakan seluruh isi putusan ini tanpa syarat. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu sekalipun ada upaya hukum berupa bantahan, banding, dan/atau kasasi (uitvoerbaar bij voorraad). Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III untuk membayar biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng. Atau, apabila Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutus perkara ini berpendapat lain, mohon untuk diputus berdasarkan rasa keadilan (ex aequo et bono). Terhadap gugatan tersebut para Tergugat mengajukan Eksepsi Tergugat I, mengenai Kompetensi Absolut. Tergugat I adalah instansi pemerintah yang mempunyai tugas dan kewajiban mengurus piutang negara macet sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara beserta peraturan pelaksanaannya. Kewenangan memeriksa dan mengadili gugatan para Penggugat I terhadap Tergugat I untuk membatalkan KPTUN mengenai pengurusan piutang negara yang dilakukan Tergugat I adalah wewenang PTUN. Eksepsi Error In Persona, Eksepsi Diskualifikasi. Gugatan para Penggugat mohon dinyatakan mengandung cacat error in persona dan dinyatakan tidak dapat diterima. Karena Penggugat I bertindak sebagai orang yang tidak berhak mengajukan gugatan. Direksi perseroan yang seharusnya bertindak (berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas), bukan Penggugat I secara pribadi atau sebagai penjamin hutang. Dengan demikian Penggugat I tidak memiliki kapasitas untuk menggugat. Eksepsi Persona Standi In Yudicio. Gugatan para Penggugat terhadap Tergugat I dimohonkan dinyatakan kurang sempurna dan dinyatakan tidak dapat diterima. Karena Penggugat dalam menyebutkan persoon Tergugat I sangat keliru dan kurang sempurna. Dalam penyebutan Identitas Tergugat I sebagaimana dikemukakan oleh Penggugat dalam surat gugatannya adalah keliru karena menyebutkan suatu Badan Hukum yang sudah tidak ada lagi dan tidak mengkaitkan dengan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN ) cq. Kanwil III Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang merupakan Badan Hukum Induk dari Tergugat I, seharusnya Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara cq. Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) Jakarta I. Melaksanakan tugas dan wewenangnya, Tergugat I harus bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah III DJPLN yang kemudian bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara, yang kemudian bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia dan seterusnya, sehingga dalam hal terjadi gugatan terhadap Tergugat I harus dikaitkan dengan atasannya tersebut. Tergugat II, eksepsi Vexatious Litigation (Eksepsi atas gugatan yang mengada-ada) dan didasarkan atas iktikad buruk. Para Penggugat dalam gugatannya mempermasalahkan keabsahan perjanjian kredit beserta turunannya antara Penggugat II dengan Tergugat III dan Pengalihan fasilitas kreditnya dari Tergugat III kepada Tergugat II dan mendalilkan perbuatan melawan hukum. Dalil para Penggugat tersebut tidak berdasar hukum dan mengadaada serta menunjukkan itikad buruk para Penggugat karena. Kedudukan Penggugat II adalah subyek dalam perjanjian tersebut, yang pada saat menerima prestasi berupa dana dari pencairan fasilitas kredit yang diberikan oleh Tergugat III tidak mempermasalahkan sah dan tidaknya perjanjian. Setelah menerima dan menikmati dana dari fasilitas kredit dan tiba saatnya untuk membayar kembali, dengan mudah Penggugat I mendalilkan perjanjian kredit yang dibuatnya tidak sah. Penggugat II sama sekali tidak menyampaikan di dalam persidangan telah melalaikan kewajiban membayar hutangnya yang telah jatuh tempo selama 15 tahun dan akan mengingkari kewajiban tersebut. Penggugat II juga tidak menyampaikan di dalam persidangan bahwa sebagai akibat tidak membayar hutangnya, fasilitas kredit Penggugat II digolongkan sebagai kredit macet dan berakibat pada pengalihan pengelolaan kredit. Berdasarkan hal-hal tersebut, sudah sepatutnya gugatan para Penggugat yang mengada-ada dan didasarkan itikad buruk ditolak atau dinyatakan tidak diterima. Eksepsi Diskualifikatur. Subyek yang dapat menjadi Penggugat baik menurut doktrin hukum ataupun hukum perdata adalah subyek yang secara nyata dirugikan atau terbukti memiliki bukti-bukti bahwa ia dirugikan. Penggugat II tidak mempunyai kapasitas sebagai Penggugat karena Penggugat II adalah debitur yang justru berhutang kepada Tergugat II dan telah menggunakan fasilitas hutang tersebut. Setelah fasilitas dinikmati selama bertahuntahun yaitu sejak tahun 1989 tanpa pembayaran pokok dan bunga seperti layaknya dalam perjanjian yang telah ditandatangani Penggugat, tiba-tiba adanya teguran/somasi atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, Penggugat mengajukan gugatan dan menuntut semua perjanjian yang telah ditandatangani batal demi hukum dan uang yang telah dinikmati sebesar paling tidak USD 896.000.00 hilang lenyap tanpa menyinggung kewajiban untuk mengembalikan. Di sini jelas bahwa Tergugat II dan Tergugat III hak-haknya dirugikan oleh Penggugat II yang telah menikmati fasilitas kredit dan terhalang haknya dengan adanya gugatan ini. Oleh karenanya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sepatutnya menolak gugatan Penggugat. Eksepsi Gugatan Kabur. Sebagaimana disampaikan di atas, para Penggugat mendalilkan perjanjian kredit dan perjanjian pengikatan jaminan antara para Penggugat dengan Tergugat III adalah perbuatan melawan hukum. Padahal para Penggugat adalah subyek hukum atau pelaku perjanjian tersebut dan bertindak untuk kepentingan sendiri. Dengan demikian dalil yang disampaikan oleh para Penggugat telah berbalik pada diri para Penggugat, yaitu ikut serta dalam perbuatan melawan hukum. Hal tersebut mengakibatkan konstruksi gugatan para Penggugat menjadi kacau dan tidak jelas/kabur, sehingga gugatan para Penggugat patut dinyatakan tidak dapat diterima. Eksepsi Gugatan Gugur Karena Telah Lewat Waktu. Penggugat dalam gugatannya telah menuntut pembatalan perjanjian kredit beserta perjanjian turutannya dengan alasan seolah-olah ada penyesatan sebagaimana didalilkan dalam posita. Gugatan penggugat atas dasar hal tersebut harus dinyatakan gugur dan tidak dapat diterima karena telah lewat waktu. Sesuai Pasal 1454 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: "Bila suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi oleh suatu ketentuan khusus mengenai waktu yang lebih pendek, maka waktu itu adalah 5 (lima) tahun." Dengan ketentuan tersebut di atas, maka perjanjian kredit beserta turutannva yang dibuat atas kehendak dan untuk memenuhi keinginan Penggugat II sendiri serta tidak ada itikad Tergugat II dan Tergugat III untuk melakukan penyesatan tidak dapat dituntut pembatalannya. Karena, berdasarkan tanggal dibuatnya dan ditandatanganinya perjanjian, maka waktu untuk meminta pembatalan setidak-tidaknya telah diajukan ke pengadilan pada tanggal 02 Maret 1996, sementara gugatan Penggugat baru diajukan tanggal 08 April 2005, oleh karenanya telah melampaui waktu yang ditetapkan undang-undang. Penggugat hingga tanggal gugatan ini tidak pernah mempermasalahkan adanya penyesatan melainkan tetap menerima dan menikmati dana dari pencairan fasilitas kredit, dan belakangan mengangkat permasalahkan setelah ada upaya penagihan oleh Tergugat I. Di samping itu dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1456 KUHPerdata yang berbunyi: “Tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan, gugur jika itu dikuatkan secara tegas atau secara diam-diam." isi pasal adalah perjanjian kredit dan perjanjian turutannya yang sudah ditandatangani para pihak, pencairan fasilitas kredit telah dilakukan dan diterima oleh Penggugat II, jaminan telah diserahkan dan diterima oleh Tergugat II dan Tergugat III, telah dilaksanakan oleh para pihaknya, artinya secara diam-diam perikatan telah dipatuhi sehingga mengikat para pihaknya. Oleh karenanya sepatutnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima. Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus putusan No. 110/PDT.G/2005/PN-JKT. PST. tanggal 12 Desember 2005. Amarnya sebagai berikut. Dalam Eksepsi menolak eksepsi Tergugat I dan Tergugat II untuk seluruhnya. Sedanghkan dalam Provisi menolak tuntutan provisi yang diajukan para Penggugat. Mengenai pokok perkara menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya; dan menghukum Penggugat I dan Penggugat II secara tanggung renteng untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah. Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan No. 371/PDT/2006/PT. DKI. tanggal 26 Februari 2007. Sesudah putusan terakhir diberitahukan kepada Penggugat I/Pembanding I pada tanggal 16 Februari 2009, kemudian terhadapnya oleh Penggugat I/Pembanding I diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 27 Februari 2009 sebagaimana ternyata dari akta permohonan kasasi No. 27/SRT. PDT.KAS/2009/PN. JKT. PST. jo No. 110/PDT. G/2005/PN. JKT. PST., yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 12 Maret 2009. Sesudah putusan terakhir diberitahukan kepada Penggugat II/Pembanding II pada tanggal 16 Februari 2009, terhadapnya oleh Penggugat II/Pembanding II diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 27 Februari 2009 sebagaimana ternyata dari akta permohonan kasasi No. 26/SRT. PDT.KAS/2009/PN. JKT. PST. jo No. 110/PDT. G/2005 yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan tersebut diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 12 Maret 2009. Tergugat I/Terbanding I 29 September 2009 telah diberitahu tentang memori kasasi dari para Penggugat/para Pembanding, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 13 Oktober 2009. Setelah itu Tergugat II/Terbanding II, pada 21 Oktober 2009 telah diberitahu tentang memori kasasi dari para Penggugat/para Pembanding diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 03 November 2009. Permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undangundang. Karena itu, permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima. Alasan-alasan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi/para Penggugat dalam memori kasasinya ialah: Memori Kasasi Pemohon Kasasi I, mengenai Penerapan Hukum Acara. Terhadap seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi, hingga saat ini sama sekali tidak pernah dihadiri (meskipun sudah dipanggil secara sah dan patut), dibantah dan disangkal seluruh dalil-dalil para Pemohon Kasasi ajukan selama proses persidangan/beracara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta oleh Termohon Kasasi III selaku kreditur asing yang memiliki hubungan hukum langsung dengan para Pemohon Kasasi dalam perjanjian kredit yang melawan hukum Republik Indonesia termasuk dalam pengalihannya. Dengan perkataan lain telah terbukti Termohon Kasasi III telah membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya, sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya. Oleh karena Termohon Kasasi II telah menggunakan Surat Kuasa Khusus fiktif No. 057/SK.CHC/2005 yang tidak pernah didaftarkan dan diperlihatkan di muka sidang yang terbuka untuk umum berdasarkan pengakuannya sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lewat Dupliknya tertanggal 26 September 2005. Secara tegas dalam duplik dinyatakan "... untuk beracara di pengadilan tidak mengatur keharusan suatu Surat Kuasa Khusus untuk beracara didaftarkan." Juga, memuat "SEMA No. 31/P/169/M/1959 tidak disyaratkan adanya keharusan untuk mendaftarkan surat kuasa. SEMA yang didalilkan Termohon Kasasi II demi hokum, sudah dicabut, dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1971. Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan persidangan berdasarkan Pasal 174 HIR (jo. Pasal 1925 KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat. Jawaban, duplik, pembuktian, dan kesimpulan yang dibuat, ditandatangani dan diajukan oleh kuasa hukum Termohon Kasasi II bersumber dari kewenangan hukum/legal standing yang fiktif. Karena secara materiil tidak mungkin suatu badan hukum seperti PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk dapat tampil beracara di pengadilan tanpa diwakili/diwakili dengan Surat Kuasa Khusus fiktif dan untuk dapat diwakili oleh kuasanya yang sah seharusnya terlebih dahulu dibuat, didaftarkan, dan diperlihatkan Surat Kuasa Khusus di hadapan pengadilan agar sah berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR jo. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus dan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI No. 296 K/Sip/1970 tanggal 09 Desember 1970. Oleh karena Termohon Kasasi II dianggap tidak mengajukan (menggunakan haknya berdasarkan Surat Kuasa Khusus fiktif di pengadilan), dan tidak hadir secara sah untuk membantah dan menyangkal gugatan yang diajukan para Pemohon Kasasi, sehingga dengan demikian telah terbukti Termohon Kasasi II telah membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya, sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya. Oleh karena Termohon Kasasi I juga melepaskan haknya dalam mengajukan Kontra Memori Banding kepada Pengadilan Tinggi Jakarta sebagai keberatannya terhadap hal-hal yang diajukan para Pemohon Kasasi dalam Memori Bandingnya, dengan demikian telah terbukti Termohon Kasasi I telah membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam Memori Bandingnya, sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya. Penerapan Teknis Yuridis. Judex Facti telah salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku. Pemohon Kasasi I s.o.r 371/PDT/2006/PT. keberatan DKI terhadap yang amar menguatkan putusan Nomor pertimbangan- pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 110/PdtG/2005/PN. Jkt. Pst. Karena secara nyata Judex Facti putusan Nomor 110/PdtG/2005/PN. Jkt. Pst dalam pertimbanganpertimbangan hukumnya tidak menggunakan satupun dasar hukum positif apapun yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana sudah dan pernah diterapkan berulang-ulang sehingga menjadi yurisprudensi tetap dalam memeriksa dan memutus perkara a quo. Dengan demikian terhadap putusan Judex Facti hanya berdasarkan spekulasi logika sepihak dengan tanpa didukung adanya dasar legalitas yuridis dan bukti otentik dalam menjawab permasalahan hukum dalam pokok perkara yang diajukan Pemohon Kasasi I ajukan: Pengalihan, melawan hokum, pengurusan piutang tanpa akta apapun antar badan/subyek hukum yang berbeda dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II, dan dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I; Keabsahan perjanjian kredit itu sendiri yang sudah diakui oleh Termohon kasasi III sebagai kreditur berbadan hukum privat asing di hadapan Pengadilan, sebagai perjanjian yang melawan hukum di wilayah Republik Indonesia, sudah sepatut dan sepantasnya demi hukum seluruh pertimbangan hukum di dalam putusan tersebut dibatalkan. Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan hukum dan melampaui kewenangannya dalam mempertimbangkan sesuatu hal yang pokok tanpa didasari atau didukung oleh sesuatu alat bukti, karena di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, mengkonstantir kewenangan pengalihan pengurusan piutang dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II menjadi sah sesuai hukum, hanya didasarkan, Surat kuasa dari Termohon Kasasi III kepada Muda Siregar Siagian (Kepala Urusan Luar Negeri ex Bank Bumi Daya sekarang menjadi Termohon Kasasi II), terbatas hanya pada saat itu untuk mengadakan perjanjian kredit saja, telah dipahami berwenang dalam arti seluas-luasnya mengambilalih perjanjian kredit tanpa batas waktu. Bukti berupa foto copy yang tanpa ditunjukkan dokumen aslinya dan bukti surat di bawah tangan yang kekuatan pembuktiannya bebas yang tidak dapat disangkal. Isi akta otentik, para pihak di dalam perjanjian kredit melawan hukum hanyalah para Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi III saja sebagaimana telah diakui sendiri oleh Termohon Kasasi II; dan Dalil kepemilikan saham Termohon Kasasi III oleh Termohon Kasasi II, di mana tidak pernah terbukti di persidangan satupun saham modal kekayaan Termohon Kasasi III sebagai badan hukum swasta murni (private) yang tunduk pada Chapter 32 Companies Ordinance Hongkong, berasal dari Termohon Kasasi II apalagi berasal dari negara/bank Indonesia. Berdasarkan hukum positif Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata, setiap pengalihan piutang antar dua subyek hukum yang berbeda haruslah dilakukan dengan akta cessie, sedangkan berdasarkan pengakuan berulang-ulang Termohon Kasasi II sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pengurusan kredit melawan hukum milik Termohon Kasasi yang dilakukannya, pengalihannya hanyalah berasal dari penarikan repatriasi secara sepihak saja tanpa adanya persetujuan pihak debitur sebagai para pihak di dalam perjanjian tersebut sebelumnya. Jawaban tanggal 22 Agustus 2005 dalam pokok perkara: "...PT Bank Bumi Daya (Persero) selaku pemilik Tergugat III mengambil langkah-Iangkah pengamanan dan penyelamatan antara lain menarik/mengambil alih piutang." Duplik tanggal 26 September 2005, Poin 4 huruf a dalam eksepsi: "... repatriasi kredit Penggugat II oleh Tergugat III kepada Tergugat II...". Poin 4 dalam pokok perkara: "... kedudukan Tergugat III demi hukum telah digantikan oleh Tergugat II yaitu dengan adanya repatriasi kredit dan ...". Kontra Memori Banding tanggal 31 Agustus 2006 poin 7: "... maka piutang tersebut ditarik ke Bank Bumi Daya. ..." Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan persidangan berdasarkan Pasal 174 HIR (jo. Pasal 1925 KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat. Secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan pengadilan bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik Termohon Kasasi III yang dilakukannya, hanyalah berasal dari penarikan (repatriasi) secara sepihak saja tanpa didukung/dibuktikan adanya. Akta pengalihan pergantian posisi kreditur dari Termohon Kasasi III selaku pemilik kredit (melawan hukum) mempunyai hubungan hukum langsung dengan para Pemohon Kasasi. Dokumen asli dalam pembuktian, tentang terjadinya repatriasi kredit yang diajukan oleh Termohon Kasasi II sebagai bukti hanyalah dokumen fax yang difoto copy yang tidak terbaca (samar-samar) dan tidak secara sah dilengkapi/sesuai dengan dokumen aslinya maupun kertas faxnya sendiri, sehingga dengan demikian sudah sepatut dan sewajarnya demi hukum majelis hakim menolak tidak mempercayai bukti dan dalil-dalil repatriasi tersebut, karena hanya didukung berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian berdasarkan Pasal 1888 KUHPerdata jo. putusan Mahkamah Agung RI No. 701 KISip/1974 tanggal 14 April 1976 yang berbunyi: " Kekuatan pembuktian suatu tulisan terletak pada akta aslinya," sehingga sudah sepatut dan sepantasnya demi hukum terhadap tindakan debt collector yang seolah-olah mempunyai kewenangan hukum sepihak dengan melakukan penyelundupan hukum tersebut dengan demikian tidak perlu memperoleh perlindungan hukum. Selain secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan pengadilan bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik Termohon Kasasi III yang dilakukannya hanyalah berasal dari penarikan (repatriasi) secara sepihak saja, Termohon Kasasi II dalam Pembuktiannya tanggal 24 Oktober 2005, secara a contrario dan berulang-ulang juga telah mengakui sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bahwa hubungan hukum yang mengikat dalam perjanjian kredit hanyalah berlaku antara para Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi III saja. Bukti "Penggugat II dan Tergugat III adalah subyek hukum dalam Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby L/C." Bukti: "Sesuai akta tersebut Sino Sandjaja (Penggugat I) dengan persetujuan Linda Effendi (istrinya) telah mengikatkan dirinya sendiri untuk menjamin pengembalian fasilitas kredit Penggugat II yang diterima dari Tergugat III." Pengakuan tertulis berulang-ulang dari Termohon Kasasi II di hadapan pengadilan berdasarkan Pasal 174 HIR (jo. Pasal 1925 KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna. Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan hokum. Karena selain mengabaikan legalitas yuridis syarat sah pengalihan pengurusan piutang dengan formalitas suatu akta, Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya juga telah menutup mata terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya di dalam proses pengalihan/pengurusan piutang dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II, dan dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I. Pengalihan piutang tersebut dilakukan oleh Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II ketika obyek hutang piutang yang menjadi pokok persengketaan sedang masih dalam proses sengketa yang sedang berjalan (status quo) dengan melibatkan subjek yang sama dan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum yang tetap dan pasti di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan rool perkara No: 15/Pdt/Bth/1991/PN.JKT.BAR. Ditangguhkan eksekusinya dengan surat Penangguhan Eksekusi dari Ketua Mahkamah Agung RI dengan No. KMA/198/XII/1991, tertanggal 12 Desember 1991: "sampai perkara bantahan No. 15/Pdt/1991/bth diputus dan in kracht van gewijsde." Adalah rancu terhadap suatu perkara yang legalitasnya masih berproses (status quo) diciptakan hubungan hukum baru. Melanggar asas kepribadian berdasarkan Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata (jo. Pasal 1315 KUHPerdata). Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya saja, yaitu dalam hal ini Termohon Kasasi III dengan para Pemohon Kasasi saja. Dengan demikian pengalihan penagihan piutang (dalam perkara) tersebut oleh Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II dan Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I adalah perbuatan pengingkaran kesepakatan perjanjian, yang dengan ancaman perbuatan tersebut menjadi batal demi hukum (Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata), tidak mempunyai konsekuensi yuridis dengan pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan perjanjian kredit yang telah disepakati oleh para pihak sebelumnya; Piutang yang dialihkan adalah perjanjian kredit dan accesoirnya yang tidak halal dan melanggar hukum negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata. Yaitu melanggar Pasal 1173 KUHPerdata, Pasal 2 Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Pasal 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, Pasal 5 ayat (2) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972, dan Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261/MK/IV/5/1973 tanggal 03 Mei 1973, KUHPerdata Pasal: 1320 ayat (4), 1335, 1337, dan 1339. Terdapat bukti palsu dalam proses pengalihan pengurusan kredit dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I. Hal ini, didasarkan fakta dan realita hukum terhadap satu piutang terdapat dua surat penyerahan pengurusan piutang yang berbeda dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I. Bukti, bahwa Termohon Kasasi I telah mengakui dalam suratnya bahwa: "... PT. Bank Mandiri (Persero) Credit Recovery Group dengan surat No. CRY/Dept.l/278/2004 tanggal 20 Desember 2004 telah menyerahkan pengurusan piutang..," akan tetapi di dalam bukti lainnya, Termohon Kasasi I menyatakan: "Surat Penyerahan PT. Bank Mandiri (Persero) Ex PT. Bank Bumi Daya Persero Nomor: CRY/Dept.IV/278/2004 tanggal 13 Desember 2004.” Terhadap bukti yang berbeda nomor dan tanggalnya tersebut sama sekali tidak diajukan bukti pendukung apapun dari Termohon Kasasi II selaku pihak yang menyerahkan piutang kepada Termohon Kasasi I, sehingga dengan demikian sesungguhnya secara yuridis prosedural sejak semula tidak pernah terjadi penyerahan piutang dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I. Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan hokum. Dengan memandang tidak perlu lagi mempertimbangkan sah tidaknya perjanjian kredit antara Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt.G/2005/PN.Jkt. Pst telah diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta. Secara legalistik yuridis gugatan para Pemohon Kasasi tidak pernah dibantah/disangkal dan bahkan telah diakui sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat oleh Termohon Kasasi III sebagai kreditur asing yang mempunyai hubungan hukum langsung dan terlibat dalam perjanjian kredit bahwa Akta Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit Nomor: 166 tanggal 20 Maret 1989, yang dibuat di hadapan Mudofir Hadi Notaris di Jakarta, dengan kuasa memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170, adalah perjanjian-perjanjian yang mengandung kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata, dengan demikian sudah seharusnya akta notaris tersebut beserta hipotiknya menjadi perjanjian yang cacat hukum dan haruslah dibatalkan, serta tidak mempunyai kekuatan hukum/melawan hukum di Republik Indonesia. Terdapat dua Akta Borgtocht yang tidak secara jelas dan tegas mencampuradukkan penerapan dua akta perjanjian accesoir terhadap satu perjanjian pokok, sehingga telah menimbulkan kekacauan hukum perjanjian accesoir yang mana yang mengikat. Adapun kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata tersebut adalah dalam Pasal 1173 KUHPerdata jelas-jelas menyatakan bahwa tidak boleh/tidak dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang terletak di wilayah Indonesia. Kecuali apabila di dalam sesuatu traktat telah ditentukan sebaliknya (jis yurisprudensi No. 1695 K/Pdt/1984 tanggal 23 Mei 1986, dan yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996. Secara tegas dinyatakan: "Perjanjian antara warga negara Indonesia dengan orang Asing tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah Indonesia,". Dengan demikian, Termohon Kasasi III sebagai pihak asing tidak berhak melakukan suatu hubungan hukum dengan jaminan melibatkan obyek-obyek yang berada di wilayah Republik Indonesia. Terlebih Termohon Kasasi III adalah suatu badan hukum swasta luar negeri berstatus private yang didirikan dan berkedudukan hukum di luar negeri (Hongkong), serta tidak mempunyai domisili wilayah Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170 menjadi batal/memuat syarat batal. Perjanjian kredit tersebut bertentangan dengan perundangundangan Republik Indonesia, yaitu perjanjian tersebut dibuat untuk tunduk kepada hukum yang berlaku di negara Hongkong (Pasal 17). Sehingga dapat dipersamakan dengan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, terlebih di dalam perjanjian kredit itu sendiri terdapat pengakuan dari Termohon Kasasi III akan yurisdiksi hukum negara Hongkong untuk mengadakan kegiatan pengurusan piutang tersebut dengan Pemohon Kasasi II, yaitu di dalam Pasal 6 ayat (1), Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit", yang menyatakan: "Pengambilan atau penyetoran uang dapat dilakukan oleh debitur di kantor kreditur, yaitu di Hongkong, pada tiap-tiap hari kerja pada jam-jam dibukanya kas dari kreditur itu untuk umum atau dengan cara lain sesuai dengan kebiasaan yang ada"; Perjanjian kredit tersebut dibuat oleh Kreditur (Termohon Kasasi III) berbadan hukum asing (Hongkong) yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia, sehingga sudah sepatut dan sepantasnya setiap badan hukum asing yang tidak mempunyai/domisili hukum di wilayah Republik Indonesia dinyatakan tidak mempunyai legitimasi hukum di wilayah Republik Indonesia, dan dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap setiap perbuatannya: Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III belum pernah diberitahukan dan didaftarkan kepada Bank Indonesia selaku pengawas otoritas moneter tertinggi di Republik Indonesia. Sebagaimana, yang ditentukan dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972. Kedua ketentuan itu mengharuskan semua penerimaan kredit luar negeri baik dalam hubungan penanaman modal asing maupun dalam hubungan lainnya sebelum ditandatangani oleh pihak-pihak, harus dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia untuk dipelajari. Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III belum pernah diberitahukan kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (2) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 dan Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261/MK/IV/5/1973 tanggal 03 Mei 1973. Kedua ketentuan itu mewajibkan melaporkan semua penerimaan dan pelaksanaan kredit luar negeri dari setiap perusahaan swasta kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Dimulai dari tanggal efektif berlakunya perjanjian dan setiap tiga bulan sekali sejak tanggal efektifnya perjanjian kredit berlaku. Penerapan secara mutlak "lex specials derogat legi generali" Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972, Surat Keputusan Menteri Keuangan No. KEP261/MK/IV/5/1973, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, telah diterima menjadi ajaran hukum yang tetap oleh beberapa putusan Mahkamah Agung. Sudah diterapkan secara berulang-ulang berdasarkan yurisprudensi No. 2958 K/Pdt/1983 tanggal 15 April 1985 (jis. yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, dan yurisprudensi No. 1750 K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981), ditegaskan: "Dengan tidak dipenuhinya laporan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan merupakan suatu pelanggaran hukum, sehingga perjanjian yang melanggar peraturan pemerintah tersebut adalah perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum apapun." Pemenuhan kewajiban penerapan pelaporan secara mutlak "lex specials derogat legi generali", di atas, sebagai kaidah hukum positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia, secara tegas dan nyata kewajiban tersebut oleh Termohon Kasasi III sebagai badan hukum swasta asing telah disangkal dan dikesampingkan penerapannya lewat dua kali pengakuan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memeriksa dan memutus perkara No. 15/Pdt/Bth/1991/PN. JKT. BAR. Duplik tanggal 01 Desember 1992 poin 6, yang menyatakan: "... ketentuan Pasal 17 yang menyatakan bahwa perjanjian ini tunduk kepada hukum yang belaku di Hongkong. Sedangkan menurut ketentuan hukum di Hongkong tidak ada ketentuan untuk melaporkan..."; dan Kesimpulan tanggal 08 April 1993 poin 7, yang menyatakan: "Sementara itu, menurut hukum yang berlaku di Hongkong tidak ada kewajiban untuk melapor seperti itu, i.c. ke Bank Indonesia." Jelas, ada suatu penghinaan dan kesewenangan terhadap kaidah hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Sehingga, dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya terhadap Termohon Kasasi III yang sama sekali tidak mau mengakui eksistensi hukum positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia akan tetapi mau membuat hubungan hukum dengan melibatkan subyek dan obyek di dalam wilayah Indonesia, oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara secara bertimbalbalik haruslah ikut dikesampingkan juga segala eksistensi keabsahan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan semua perjanjian accesoirnya, karena Termohon Kasasi III secara tegas telah membuat perjanjian kredit yang cacat hukum, yaitu dengan sengaja tidak menghormati hukum yang berlaku di Republik Indonesia (di bawah hukum yang berlaku di Hongkong). Tidak dipenuhinya syarat dalam poin 7, poin 8, dan poin 9 di atas, maka sebagai konsekuensi yuridis, dimohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara berdasarkan ketentuan umum: Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata: “Suatu perjanjian harus mempunyai tujuan yang diperbolehkan/sebab yang halal”; Pasal 1335 KUHPerdata: “Perjanjian yang tujuan/sebab tidak diperbolehkan tidak mempunyai kekuatan hukum”; Pasal 1337 KUHPerdata: “Suatu sebab adalah terlarang apabila persetujuan itu melanggar undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum” (jo. Pasal 23); dan Pasal 1339 KUHPerdata: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum apapun juga.“ Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170, mengandung kausa yang terlarang. Dalam hal ini perjanjian tersebut tidak mempunyai tujuan yang diperbolehkan oleh undangundang (melawan hukum) yang ada di wilayah Republik Indonesia. Karena sudah jelas perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang dibuat antara Termohon Kasasi III dengan Pemohon Kasasi II adalah perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena mengandung kausa/sebab yang terlarang, dibuat sebagai perikatan pokok yang dengan segala akibat hokum tunduk kepada domisili dan yurisdiksi hukum negara Hongkong, dengan sengaja mengesampingkan kaidah-kaidah hukum positif di wilayah Republik Indonesia (Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata jo. Pasal 1173 KUHPerdata), maka secara otomatis, tidak terdapat suatu perjanjian pemberian jaminan yang bersifat accesoir yang sah berdasarkan Pasal 1821 ayat (1) KUHPerdata. "Tidak mungkin ada pemberian jaminan jika tidak ada suatu perjanjian pokok yang sah. Berdasarkan bukti yang ada telah terjadi kekacauan hukum tidak diketahui perjanjian accesoirnya yang mengikat. Dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya apabila Pemohon Kasasi I sebagai penjamin hutang mendapatkan kembali haknya berupa seluruh agunan dari perjanjian kredit yang dilakukan oleh Termohon Kasasi III dengan Pemohon Kasasi II, dan Pemohon Kasasi II sudah sepatutnya terbebas menurut hukum atas hutang-hutang tersebut karena hutang tersebut dibuat atas dasar perjanjian kredit yang bertentangan dengan hukum/kepentingan nasional Republik Indonesia (melawan hukum), dan bahkan perjanjian kredit tersebut tidak pernah disetujui dan dilaporkan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan (jis yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1983 tanggal 27 Juni 1996, yurisprudensi No. 2958 K/Pdt/1983 tanggal 11 April 1985, dan yurisprudensi No. 1750 K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981). Karena Termohon Kasasi III secara sengaja dan sepihak telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengingkari isi perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani bersama dalam Akta No. 166 Notaris Mudafir Hadi berbentuk Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit, tanpa diperjanjikan sebelumnya secara sepihak dan sewenang-wenang mengalihkan pengurusan piutangnya kepada pihak ketiga (Termohon Kasasi II dan Termohon Kasasi I), sementara kejelasan mengenai piutangnya sendiri masih diproses dalam perkara yang hingga saat ini belum memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti, maka jelaslah dipandang dari sisi kaca mata hukum yang berlaku di Indonesia, perbuatan para Termohon Kasasi adalah perbuatan yang telah beritikad buruk. Bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. "Suatu perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda) dan bagi pihak ketiga harus menghormati dan tidak mencampuri isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh para pihak." Karena sesungguhnya hubungan hukum dalam perjanjian kredit yang melawan hukum hanya melibatkan para Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi III saja di Hongkong (Pasal 17 dan Pasal 6 ayat (1) Akta No. 166), dan Termohon Kasasi II maupun Termohon Kasasi I sama sekali tidak dapat membuktikan telah memperoleh hak pengalihan pengurusan piutang, apalagi menagih berdasarkan atas dasar hukum dan bukti-bukti yang sah, dan terlebih perjanjian kredit beserta accesoirnya telah terbukti adalah perjanjian yang bertentangan dengan hukum positif dan praktek hukum di Republik Indonesia (Pasal 23 AB, Pasal 1320 ayat (4), Pasal 1335, 1337, dan 1339 KUHPerdata). Secara tegas sudah dikesampingkan oleh Termohon Kasasi III hukum positif tersebut lewat pengakuannya di hadapan pengadilan. Di mohon kepada Majelis Hakim mengedepankan perlindungan hukum terhadap kepentingan nasional Republik Indonesia demi mencegah dengan sewenangwenang dirampasnya harta-harta nasional Republik Indonesia, di kemudian hari oleh bangsa asing manapun juga dengan berusaha melakukan penyelundupan hukum di wilayah negara Republik Indonesia sendiri dengan melibatkan keburukan moral oknum aparat-aparat negara kepentingan keuangan sendiri pihak untuk berkonspirasi swasta/private membantu asing dengan menyelundupkan hukum mencampuri perjanjian utang piutang off shore loan antar badan hukum swasta diartikan sebagai piutang negara, di dalam wilayah Republik Indonesia untuk menjarah rakyatnya sendiri. Berdasarkan Undang-Undang No. 49/Prp. Tahun 1960, cara penyelesaian piutang negara menurut Undang-Undang tentang Panitia Urusan Piutang Negara harus dilakukan dengan memuat jumlah hutang dan kewajiban debitur yang besarannya telah pasti menurut hukum untuk menyelesaikan hutang kepada negara (Pasal 4 ayat (2)); dan mengadakan Surat Pernyataan Bersama yang dibuat dan ditandatangani oleh Debitur dan Ketua PUPN/BUPLN. Pernyataan Bersama ini memuat jumlah hutang debitur dan kewajiban debitur untuk menyelesaikan hutang kepada negara. Dengan belum diperolehnya kepastian hingga saat ini legalitas jumlah dan kewajiban debitur yang besarnya telah tetap berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti, dan dalam penagihan piutang yang saat ini dalam sengketa PUPN/BUPLN sama sekali belum pernah membuat Surat Pernyataan Bersama, terlebih berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, secara tegas pengertian bentuk usaha-usaha negara berbentuk perusahaan sehingga menjadi kewenangan Termohon Kasasi I berdasarkan Undang-Undang No. 49/Prp Tahun 1960, hanya dibedakan terbatas hanya dalam tiga bentuk, yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero), namun berdasarkan pengakuan tertulis Termohon Kasasi II sendiri dalam Jawabannya tanggal 22 Agustus 2005 dalam pokok perkara secara tegas menyatakan dan mengakui bahwa Termohon Kasasi III sama sekali adalah badan hukum private/swasta asing yang "...didirikan dan tunduk pada ketentuan hukum Hongkong, berdomisili di Hongkong..." (bukan sebagai subyek hukum Indonesia, apalagi dikelompokkan sebagai lembaga/perusahaan negara). Sehingga dengan demikian sejak awal pengurusan piutang oleh Termohon Kasasi I tidak lagi memiliki relevansi dengan tugas dan wewenang Termohon Kasasi I sebagai badan publik untuk melakukan pengurusan, terlebih hubungan hukum antara para Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi III adalah hubungan hukum antar badan hukum privat dalam negeri dan badan hukum privat luar negeri. Tidak dapat dicampuri begitu saja dengan melakukan penyelundupan hukum di dalam wilayah Republik Indonesia dengan melibatkan Negara Indonesia sendiri untuk bertindak menguasai aset-aset rakyat dalam negerinya sendiri (debt collector) bagi kepentingan keuangan kreditur swasta luar negeri yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia. Oleh karena pengalihan piutang sewenang-wenang dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II bertentangan dengan hukum yang berlaku di Republik Indonesia, dan terdapatnya cacat hukum, maka penyerahan pengurusan penagihan piutang dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I secara mutatis mutandis juga mengandung cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum, terlebih berdasarkan bukti yang ada penyerahan piutang tersebut dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I diragukan secara yuridis dan faktual pernah terjadi. Jelas dan tegas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para Termohon Kasasi adalah perbuatan sewenang-wenang yang tidak berdasar hukum dan sangat merugikan Pemohon Kasasi I, maka perbuatan mereka jelas dan nyata sebagai perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige daad) dengan segala akibat hukum dari padanya, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Karena Pemohon Kasasi I adalah Badan Hukum yang memerlukan kredibilitas yang baik di mata masyarakat umum, maka dalam menanggapi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para Termohon Kasasi, telah mengakibatkan kerugian waktu, biaya, dan tenaga bagi Pemohon Kasasi I, oleh karena itu adalah wajar apabila terhadap perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan hukum overheasdaad (jo Pasal 1365 KUHPerdata). Putusan Judex Facti memuat alasan yang tidak lengkap atau kurang cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd), sehingga demi hukum patutlah untuk dibatalkan. Judex Facti s.o.r dalam menyidangkan perkara ini secara nyata telah lalai memenuhi syaratsyarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Sesuai Pasal 30 huruf c Undang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan perubahannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Majelis Hakim yang memutus perkara ini di tingkat Pengadilan Negeri yang kemudian diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, dalam pertimbanganpertimbangannya sama sekali tidak menyebutkan pasal-pasal maupun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum penolakan gugatan Pemohon Kasasi I secara tegas dan jelas (Vide. SEMA No. 3 Tahun 1974), sebagaimana terlihat dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt. G/2005/PN. Jkt. Pst halaman 49 yang selengkapnya berbunyi: "Menimbang, bahwa memperhatikan segala peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perkara ini." Majelis Hakim dalam memberikan pertimbangannya, seharusnya, secara tegas mencatumkan peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum putusan tersebut memuat segala alasan hukum yang menyebabkan putusan mempunyai nilai obyektif dan selaras dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 51 K/Sip/1972 tanggal 25 Maret 1972: "Tiap bagian dari pada putusan pengadilan harus didasarkan pada pertimbangan- pertimbangan hukum yang bersangkutan." Dengan tidak disebutkan peraturan perundang-undangan yang pasti dalam keputusannya, maka Majelis Hakim dianggap telah lalai memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 184 HIR (jis. Pasal 178 ayat (1) HIR, Pasal 50 Rv) tentang sistematika surat putusan, dengan ancaman batalnya putusan yang bersangkutan. Pemohon Kasasi I s.o.r keberatan terhadap Judex Facti Pengadilan Tinggi Jakarta yang begitu saja menyetujui dan mengambilalih pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertimbangan hukum dan amar putusannya dalam memeriksa dan mengadili perkara ini Tingkat banding. Atas pertimbangan putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama sudah tepat dan benar, tanpa memeriksa kembali keseluruhan bukti-bukti dan fakta-fakta persidangan, baik fakta kejadian (feitelijke) maupun fakta hukum (rechtelijke), dan tanpa mempertimbangkan memori banding secara keseluruhan dengan benar, melainkan hanya dengan dasar pertimbangan seadanya saja dan bersifat umum, sebagaimana terlihat di dalam pertimbangan hukum putusan Nomor 371/PDT/2006/ PT.DKI, "Menimbang, bahwa setelah Pengadilan Tinggi mencermati dengan seksama berkas perkara, salinan resmi putusan Pengadilan Negeri 110/Pdt.G/2005/PN.JKT.PST..., Jakarta Pengadilan Pusat Tinggi No. sependapat dengan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim tingkat pertama dalam memutus perkara in casu, karenanya pertimbanganpertimbangan hukum hakim tingkat pertama tersebut diambilalih sebagai pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara in casu di tingkat banding, Menimbang, bahwa memori banding yang diajukan para pembanding ternyata tidak ada hal-hal yang baru yang dapat melemahkan putusan hakim tingkat pertama,". Jelas, pertimbangan hokum itu keliru, sehingga demi hukum patutlah untuk dibatalkan karena tidak sejalan dan sangat bertentangan dengan: Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1043 K/Sip/1972 tanggal 30 November 1972, yang menyatakan: "Dengan diajukan permohonan banding oleh pemohon, maka perkara demi hukum harus diperiksa dalam keseluruhan"; Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 672 K/Sip/1972 tanggal 18 Oktober 1972 yang menyatakan: "Putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan karena kurang cukup pertimbangan"; dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 492 K/Sip/1970 tanggal 16 Februari 1970 yang menyatakan: "Pertimbangan Pengadilan Tinggi hanya mengenai soal mengenyampingkan keberatan-keberatan yang diajukan dalam memori banding dan selanjutnya dengan tidak memeriksa baik mengenai fakta-faktanya maupun mengenai soal penerapan hukumnya terus saja menguatkan putusan Pengadilan Negeri begitu saja, hal mana menurut pendapat Mahkamah Agung selain kurang tepat juga kurang cukup memberi dasar (onvoldoende gemotiveerd) untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri." Karena Memori Kasasi ini diajukan berdasarkan hukum dan bukti-bukti yang otentik yang tidak terbantah kebenarannya karena sudah diakui sendiri oleh Termohon Kasasi Ill dan Termohon Kasasi II di hadapan pengadilan sehingga memenuhi Pasal 180 HIR dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000. Karena adanya kekhawatiran selama perkara ini berlangsung,Termohon Kasasi I atas permintaan Termohon Kasasi II beritikad buruk akan melakukan eksekusi dan menguasai atas asetaset milik Pemohon Kasasi I sehubungan dengan Perjanjian Hutang Piutang antara Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III, padahal dengan Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA/198/XII/1991 tanggal 12 Desember 1991 telah menangguhkan eksekusi atas aset-aset para Pemohon Kasasi tersebut, maka sangatlah beralasan hukum putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoorbaar bij voorraad). Pemohon Kasasi I untuk selebihnya tetap pada dalil-dalil semula dan menolak seluruh dalil-dalil para Termohon Kasasi kecuali yang secara tegas diakui kebenarannya. Memori Kasasi Pemohon Kasasi II, mengenai Penerapan Hukum Acara. Terhadap seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi, hingga saat ini sama sekali tidak pernah dihadiri (meskipun sudah dipanggil secara sah dan patut), dibantah dan disangkal seluruh dalil-dalil para Pemohon Kasasi ajukan selama proses persidangan/beracara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta oleh Termohon Kasasi III selaku kreditur asing yang memiliki hubungan hukum langsung dengan para Pemohon Kasasi dalam perjanjian kredit yang melawan hukum Republik Indonesia termasuk dalam pengalihannya, atau dengan perkataan lain telah terbukti Termohon Kasasi III telah membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya, sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya. Karena Termohon Kasasi II telah menggunakan Surat Kuasa Khusus fiktif No. 057/SK.CHC/2005 yang tidak pernah didaftarkan dan diperlihatkan di muka sidang yang terbuka untuk umum berdasarkan pengakuannya sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lewat Dupliknya tertanggal 26 September 2005 dengan secara tegas menyatakan sendiri dalam eksepsinya: "... untuk beracara di pengadilan tidak mengatur keharusan suatu Surat Kuasa Khusus untuk beracara didaftarkan."; dan "SEMA No. 31/P/169/M/1959 tidak mensyaratkan adanya keharusan untuk mendaftarkan surat kuasa. Di mana sesungguhnya SEMA yang didalilkan Termohon Kasasi II ini demi hukum sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1971. Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan persidangan berdasarkan Pasal 174 HIR (jo. Pasal 1925 KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat. Jawaban, duplik, pembuktian, dan kesimpulan yang dibuat, ditandatangani dan diajukan oleh kuasa hukum Termohon Kasasi II bersumber dari kewenangan hukum/legal standing yang fiktif, Secara materiil tidak mungkin suatu badan hukum seperti PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk dapat tampil beracara di pengadilan tanpa diwakili/diwakili dengan Surat Kuasa Khusus fiktif dan untuk dapat diwakili oleh kuasanya yang sah seharusnya terlebih dahulu dibuat, didaftarkan, dan diperlihatkan Surat Kuasa Khusus di hadapan pengadilan agar sah berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR jo. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus dan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI No. 296 K/Sip/1970 tanggal 09 Desember 1970. Oleh karena Termohon Kasasi II dianggap tidak mengajukan I (menggunakan haknya berdasarkan Surat Kuasa Khusus fiktif di pengadilan) dan tidak hadir secara sah untuk membantah dan menyangkal gugatan yang diajukan para Pemohon Kasasi, sehingga dengan demikian telah terbukti Termohon Kasasi II telah membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya, sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya. Karena Termohon Kasasi I juga melepaskan haknya dalam mengajukan Kontra Memori Banding kepada Pengadilan Tinggi Jakarta sebagai keberatannya terhadap hal-hal yang diajukan para Pemohon Kasasi dalam Memori Bandingnya, dengan demikian telah terbukti Termohon Kasasi I telah membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam Memori Bandingnya, sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya. Penerapan Teknis Yuridis. Judex Facti telah salah menerapkan hukum atau melanggar hukum berlaku. Pemohon Kasasi II s.o.r keberatan terhadap amar putusan Nomor 371/PDT/2006/PT. DKI tersebut yang menguatkan pertimbanganpertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 110/PdtG/2005/PN. Jkt. Pst, karena secara nyata Judex Facti putusan Nomor 110/PdtG/2005/PN. Jkt. Pst dalam pertimbanganpertimbangan hukumnya tidak menggunakan satupun dasar hukum positif apapun yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana sudah dan pernah diterapkan berulang-ulang sehingga menjadi yurisprudensi tetap dalam memeriksa dan memutus perkara a quo. Dengan demikian terhadap putusan Judex Facti yang hanya berdasarkan spekulasi logika sepihak dengan tanpa didukung adanya dasar legalitas yuridis dan bukti otentik dalam menjawab permasalahan hukum dalam pokok perkara yang diajukan Pemohon Kasasi I ajukan. Pengalihan secara melawan hukum pengurusan piutang tanpa akta apapun antar badan/subyek hukum yang berbeda dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II, dan dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I. Keabsahan perjanjian kredit itu sendiri yang sudah diakui oleh Termohon kasasi III sebagai kreditur berbadan hukum privat asing di hadapan Pengadilan, sebagai perjanjian yang melawan hukum di wilayah Republik Indonesia, sudah sepatut dan sepantasnya demi hukum seluruh pertimbangan hukum di dalam putusan tersebut dibatalkan. Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan hukum dan melampaui kewenangannya dalam mempertimbangkan sesuatu hal yang pokok tanpa didasari atau didukung oleh sesuatu alat bukti, Di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst halaman 47 alinea 3 dan halaman 48 alinea 1 yang telah diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, mengkonstantir kewenangan pengalihan pengurusan piutang dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II menjadi sah sesuai hukum, hanya didasarkan, Surat kuasa dari Termohon Kasasi III kepada Muda Siregar Siagian (Kepala Urusan Luar Negeri ex Bank Bumi Daya, sekarang menjadi Termohon Kasasi II), terbatas hanya pada saat itu untuk mengadakan perjanjian kredit saja, telah dipahami berwenang dalam arti seluas-Iuasnya mengambilalih perjanjian kredit tanpa batas waktu. Bukti berupa foto copy yang tanpa ditunjukkan dokumen aslinya dan bukti surat di bawah tangan yang kekuatan pembuktiannya bebas yang tidak dapat menyangkal. Isi akta otentik bahwa para pihak di dalam perjanjian kredit melawan hukum tersebut hanyalah para Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi III saja sebagaimana telah diakui sendiri oleh Termohon Kasasi II dalam Akta Bukti. Dalil kepemilikan saham Termohon Kasasi III oleh Termohon Kasasi II, di mana tidak pernah terbukti di persidangan satupun saham modal kekayaan Termohon Kasasi III sebagai badan hukum swasta murni (private) yang tunduk pada Chapter 32 Companies Ordinance Hongkong, berasal dari Termuhon Kasasi II apalagi berasal dari negara/bank Indonesia. Berdasarkan hukum positif Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata, setiap pengalihan piutang antar dua subyek hukum yang berbeda haruslah dilakukan dengan akta cessie, sedangkan berdasarkan pengakuan berulang-ulang Termohon Kasasi II sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pengurusan kredit melawan hukum milik Termohon Kasasi yang dilakukannya pengalihannya hanyalah berasal dari penarikan I (repatriasi) secara sepihak saja tanpa adanya persetujuan pihak debitur sebagai para pihak di dalam perjanjian tersebut sebelumnya: Jawaban tanggal 22 Agustus 2005 dalam pokok perkara: "...PT Bank Bumi Daya (Persero) selaku pemilik Tergugat III mengambil langkah-Iangkah pengamanan dan penyelamatan antara lain menarik/mengambilalih piutang"; dan Duplik tanggal 26 September 2005: dalam eksepsi: "... repatriasi kredit Penggugat II oleh Tergugat III kepada Tergugat II..."; dalam pokok perkara: "... kedudukan Tergugat III demi hukum telah digantikan oleh Tergugat II yaitu dengan adanya repatriasi kredit dan ..."; Kontra Memori Banding tanggal 31 Agustus 2006. "... maka piutang tersebut ditarik ke Bank Bumi Daya. ..." Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan persidangan berdasarkan Pasal 174 HIR (jo. Pasal 1925 KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat, bahwa secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan pengadilan bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik Termohon Kasasi III yang dilakukannya, hanyalah berasal dari penarikan (repatriasi) secara sepihak saja tanpa didukung/dibuktikan adanya. Akta pengalihan pergantian posisi kreditur dari Termohon Kasasi III selaku pemilik kredit (melawan hukum) yang mempunyai hubungan hukum langsung dengan para Pemohon Kasasi. Dokumen asli dalam pembuktian, tentang terjadinya repatriasi kredit yang diajukan oleh Termohon Kasasi II sebagai bukti hanyalah dokumen fax yang difoto copy yang tidak terbaca (samar-samar) dan tidak secara sah dilengkapi/sesuai dengan dokumen aslinya maupun kertas faxnya sendiri, sehingga dengan demikian sudah sepatut dan sewajarnya demi hukum majelis hakim menolak tidak mempercayai bukti dan dalil-dalil repatriasi tersebut, karena hanya didukung berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian berdasarkan Pasal 1888 KUHPerdata jo. putusan Mahkamah Agung RI No. 701 KISip/1974 tanggal 14 April 1976. "Kekuatan pembuktian suatu tulisan terletak pada akta aslinya." Sehingga sudah sepatut dan sepantasnya demi hukum terhadap tindakan debt collector yang seolah-olah mempunyai kewenangan hukum sepihak dengan melakukan penyelundupan hukum tersebut dengan demikian tidak perlu memperoleh perlindungan hukum. Selain secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan pengadilan bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik Termohon Kasasi III yang dilakukannya hanyalah berasal dari penarikan (repatriasi) secara sepihak saja, Termohon Kasasi II dalam Pembuktiannya tanggal 24 Oktober 2005, secara a contrario dan berulang-ulang juga telah mengakui sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahwa hubungan hukum yang mengikat dalam perjanjian kredit hanyalah berlaku antara para Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi III saja, yaitu: Bukti: "Penggugat II dan Tergugat III adalah subyek hukum dalam Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby L/C."; Bukti: "Sesuai akta tersebut Sdr. Sino Sandjaja (Penggugat I) dengan persetujuan Ny. Linda Effendi (istrinya) telah mengikatkan dirinya sendiri untuk menjamin pengembalian fasilitas kredit Penggugat II yang diterima dari Tergugat III. Pengakuan tertulis berulang-ulang dari Termohon Kasasi II di hadapan pengadilan berdasarkan Pasal 174 HIR (jo. Pasal 1925 KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna. Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan hukum, karena selain mengabaikan legalitas yuridis syarat sah pengalihan pengurusan piutang dengan formalitas suatu akta, Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya juga telah menutup mata terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya di dalam proses pengalihan/pengurusan piutang dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II, dan dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I. Pengalihan piutang tersebut dilakukan oleh Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II ketika obyek hutang piutang yang menjadi pokok persengketaan sedang masih dalam proses sengketa yang sedang berjalan (status quo) dengan melibatkan subjek yang sama dan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum yang tetap dan pasti di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan rool perkara No: 15/Pdt/Bth/1991/PN.JKT.BAR, dan telah ditangguhkan eksekusinya dengan surat Penangguhan Eksekusi dari Ketua Mahkamah Agung RI dengan No. KMA/198/XII/1991, tertanggal 12 Desember 1991, sampai perkara bantahan No. 15/Pdt/1991/bth diputus dan in kracht van gewijsde. Adalah rancu terhadap suatu perkara yang legalitasnya masih berproses (status quo) diciptakan hubungan hukum baru. Melanggar asas kepribadian berdasarkan Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata (jo. Pasal 1315 KUHPerdata), ditegaskan suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya saja, yaitu dalam hal ini Termohon Kasasi III dengan para Pemohon Kasasi saja. Dengan demikian pengalihan penagihan piutang (dalam perkara) tersebut oleh Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II dan Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I adalah perbuatan pengingkaran kesepakatan perjanjian, yang dengan ancaman perbuatan tersebut menjadi batal demi hukum (Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata), dan tidak mempunyai konsekuensi yuridis dengan pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan perjanjian kredit yang telah disepakati oleh para pihak sebelumnya. Piutang yang dialihkan adalah perjanjian kredit dan accesoirnya yang tidak halal dan melanggar hukum negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata. Melanggar Pasal 1173 KUH Perdata, Pasal 2 Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Pasal 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, Pasal 5 ayat (2) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972, dan Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261/MK/IV/5/1973 tanggal 03 Mei 1973, KUHPerdata Pasal: 1320 ayat (4), 1335, 1337, dan 1339; Terdapat bukti palsu dalam proses pengalihan pengurusan kredit dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I, hal ini didasarkan fakta dan realita hukum terhadap 1 (satu) piutang terdapat 2 (dua) surat penyerahan pengurusan piutang yang berbeda dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I, yaitu: Bukti bahwa Termohon Kasasi I telah mengakui dalam suratnya bahwa: "... PT. Bank Mandiri (Persero) Credit Recovery Group dengan surat No. CRY/Dept.l/278/2004 tanggal 20 Desember 2004 telah menyerahkan pengurusan piutang..," akan tetapi di dalam bukti lainnya bahwa Termohon Kasasi I menyatakan: "Surat Penyerahan PT. Bank Mandiri (Persero) Ex PT. Bank Bumi Daya Persero Nomor: CRY/Dept.IV/278/2004 tanggal 13 Desember 2004.” Terhadap bukti yang berbeda nomor dan tanggalnya tersebut sama sekali tidak diajukan bukti pendukung apapun dari Termohon Kasasi II selaku pihak yang menyerahkan piutang kepada Termohon Kasasi I, sehingga dengan demikian sesungguhnya secara yuridis prosedural sejak semula tidak pernah terjadi penyerahan piutang dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I. Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan hukum, dengan pandangan tidak perlu lagi mempertimbangkan sah tidaknya perjanjian kredit antara Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt.G/2005/PN.Jkt. Pst yang telah diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, karena secara legalistik yuridis gugatan para Pemohon Kasasi tidak pernah dibantah/disangkal dan bahkan telah diakui sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat oleh Termohon Kasasi III sebagai kreditur asing yang mempunyai hubungan hukum langsung dan terlibat dalam perjanjian kredit bahwa Akta Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit Nomor: 166 tanggal 20 Maret 1989, yang dibuat di hadapan Mudofir Hadi, SH. Notaris di Jakarta, dengan kuasa memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170, adalah perjanjian-perjanjian yang. Mengandung kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan didalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata, dengan demikian sudah seharusnya akta notaris tersebut beserta hipotiknya menjadi perjanjian yang cacat hukum dan haruslah dibatalkan serta tidak mempunyai kekuatan hukum/melawan hukum di Republik Indonesia; dan terdapat dua Akta Borgtocht yang tidak secara jelas dan tegas mencampuradukkan penerapan dua akta perjanjian accesoir terhadap satu perjanjian pokok sehingga telah menimbulkan kekacauan hukum perjanjian accesoir yang mana yang mengikat. Adapun kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata tersebut adalah sebagai berikut. Dalam Pasal 1173 KUHPerdata jelas-jelas menyatakan bahwa tidak boleh/tidak dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di dalam sesuatu traktat telah ditentukan sebaliknya (jis yurisprudensi No. 1695 K/Pdt/1984 tanggal 23 Mei 1986, yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 Tanggal 27 Juni 1996, secara tegas dinyatakan: "Perjanjian antara warga negara Indonesia dengan orang Asing tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah Indonesia," dengan demikian Termohon Kasasi III sebagai pihak asing tidak berhak melakukan suatu hubungan hukum dengan jaminan melibatkan obyek-obyek yang berada di wilayah Republik Indonesia, terlebih Termohon Kasasi III adalah suatu badan hukum swasta luar negeri berstatus private yang didirikan dan berkedudukan hukum di luar negeri (Hongkong), serta tidak mempunyai domisili wilayah Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170 menjadi batal/memuat syarat batal. Perjanjian kredit tersebut bertentangan dengan perundangundangan Republik Indonesia, yaitu perjanjian tersebut dibuat untuk tunduk kepada hukum yang berlaku di negara Hongkong (Pasal 17), sehingga dapat dipersamakan dengan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, terlebih di dalam perjanjian kredit itu sendiri terdapat pengakuan dari Termohon Kasasi III akan yurisdiksi hukum negara Hongkong untuk mengadakan kegiatan pengurusan piutang tersebut dengan Pemohon Kasasi II, yaitu di dalam Pasal 6 ayat (1), Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit", yang menyatakan: "Pengambilan atau penyetoran uang dapat dilakukan oleh debitur di kantor kreditur, yaitu di Hongkong, pada tiap-tiap hari kerja pada jam-jam dibukanya kas dari kreditur itu untuk umum atau dengan cara lain sesuai dengan kebiasaan yang ada"; Perjanjian kredit tersebut dibuat oleh Kreditur (Termohon Kasasi III) berbadan hukum asing (Hongkong) yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia, sehingga sudah sepatut dan sepantasnya setiap badan hukum asing yang tidak mempunyai/domisili hukum di wilayah Republik Indonesia dinyatakan tidak mempunyai legitimasi hukum di wilayah Republik Indonesia, dan dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap setiap perbuatannya: Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III belum pernah diberitahukan dan didaftarkan kepada Bank Indonesia selaku pengawas otoritas moneter tertinggi di Republik Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, yang mengharuskan semua penerimaan kredit luar negeri baik dalam hubungan penanaman modal asing maupun dalam hubungan lainnya sebelum ditandatangani oleh pihak-pihak harus dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia untuk dipelajari; Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III belum pernah diberitahukan kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (2) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 dan Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261/MK/IV/5/1973 tanggal 03 Mei 1973, yang mewajibkan melaporkan semua penerimaan dan pelaksanaan kredit luar negeri dari setiap perusahaan swasta kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, yang dimulai dari tanggal efektif berlakunya perjanjian dan setiap tiga bulan sekali sejak tanggal efektifnya perjanjian kredit berlaku. Penerapan secara mutlak "lex specials derogat legi generali" Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972, Surat Keputusan Menteri Keuangan No. KEP261/MK/IV/5/1973, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, telah diterima menjadi ajaran hukum yang tetap oleh beberapa putusan Mahkamah Agung yang sudah diterapkan secara berulang-ulang berdasarkan yurisprudensi No. 2958 K/Pdt/1983 tanggal 15 April 1985 (jis. yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, dan yurisprudensi No. 1750 K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981), yang menegaskan: "Dengan tidak dipenuhinya laporan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan merupakan suatu pelanggaran hukum, sehingga perjanjian yang melanggar peraturan pemerintah tersebut adalah perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum apapun." Pemenuhan kewajiban penerapan pelaporan secara mutlak "lex specials derogat legi generali" sebagai kaidah hukum positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia, secara tegas dan nyata kewajiban tersebut oleh Termohon Kasasi III sebagai badan hukum swasta asing telah disangkal dan dikesampingkan penerapannya lewat dua kali pengakuan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memeriksa dan memutus perkara No. 15/Pdt/Bth/1991/PN.JKT.BAR. Duplik tanggal 01 Desember 1992 menyatakan: "... ketentuan Pasal 17 yang menyatakan bahwa perjanjian ini tunduk kepada hukum yang belaku di Hongkong. Sedangkan menurut ketentuan hukum di Hongkong tidak ada ketentuan untuk melaporkan..."; dan kesimpulan tanggal 08 April 1993, yang menyatakan: "Sementara itu, menurut hukum yang berlaku di Hongkong tidak ada kewajiban untuk melapor seperti itu, i.c. ke Bank Indonesia." Adalah jelas merupakan suatu penghinaan dan kesewenangan terhadap kaidah hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Sehingga dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya terhadap Termohon Kasasi III yang sama sekali tidak mau mengakui eksistensi hukum positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia akan tetapi mau membuat hubungan hukum dengan melibatkan subyek dan obyek di dalam wilayah Indonesia, oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara secara bertimbalbalik haruslah ikut dikesampingkan juga segala eksistensi keabsahan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan semua perjanjian accesoirnya, karena Termohon Kasasi III secara tegas telah membuat perjanjian kredit yang cacat hukum, yaitu dengan sengaja tidak menghormati hukum yang berlaku di Republik Indonesia (di bawah hukum yang berlaku di Hongkong). Berdasarkan dengan tidak dipenuhinya syarat, maka sebagai konsekuensi yuridis kami mohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara berdasarkan ketentuan umum: Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata: “Suatu perjanjian harus mempunyai tujuan yang diperbolehkan/sebab yang halal”; Pasal 1335 KUHPerdata: “Perjanjian yang tujuan/sebab tidak diperbolehkan tidak mempunyai kekuatan hukum”; Pasal 1337 KUHPerdata: ”Suatu sebab adalah terlarang apabila persetujuan itu melanggar undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”; dan Pasal 1339 KUHPerdata: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang,”menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum apapun juga Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170, karena perjanjian tersebut mengandung kausa yang terlarang, yaitu dalam hal ini perjanjian tersebut tidak mempunyai tujuan yang diperbolehkan oleh undang-undang (melawan hukum) yang ada di wilayah Republik Indonesia. Karena sudah jelas perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang dibuat antara Termohon Kasasi III dengan Pemohon Kasasi II adalah perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena mengandung kausa/sebab yang terlarang karena perjanjian kredit tersebut yang dibuat sebagai perikatan pokok yang dengan segala akibat hukumnya tunduk kepada domisili dan yurisdiksi hukum negara Hongkong dengan sengaja mengesampingkan kaidah-kaidah hukum positif di wilayah Republik Indonesia (Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata jo. Pasal 1173 KUHPerdata), maka secara otomatis dengan sendirinya tidak mungkin terdapat suatu perjanjian pemberian jaminan yang bersifat accesoir yang sah berdasarkan Pasal 1821 ayat (1) KUHPerdata, yang menentukan: "Tidak mungkin ada pemberian jaminan jika tidak ada suatu perjanjian pokok yang sah," apalagi sesungguhnya berdasarkan bukti yang ada telah terjadi kekacauan hukum tidak diketahui perjanjian accesoirnya yang mengikat. Dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya apabila Pemohon Kasasi I sebagai penjamin hutang mendapatkan kembali haknya berupa seluruh agunan dari perjanjian kredit yang dilakukan oleh Termohon Kasasi III dengan Pemohon Kasasi II, dan Pemohon Kasasi II sudah sepatutnya terbebas menurut hukum atas hutanghutang tersebut karena hutang tersebut dibuat atas dasar perjanjian kredit yang bertentangan dengan hukum/kepentingan nasional Republik Indonesia (melawan hukum), dan bahkan perjanjian kredit tersebut tidak pernah disetujui dan dilaporkan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan (jis yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1983 tanggal 27 Juni 1996, yurisprudensi No. 2958 K/Pdt/1983 tanggal 11 April 1985, dan yurisprudensi No. 1750 K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981). Karena Termohon Kasasi III secara sengaja dan sepihak telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengingkari terhadap isi perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani bersama yang dituangkan dalam Akta No. 166 Notaris Mudafir Hadi berbentuk Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit, dengan tanpa diperjanjikan sebelumnya secara sepihak dan sewenang-wenang mengalihkan pengurusan piutangnya kepada pihak ketiga (Termohon Kasasi II dan Termohon Kasasi I), sementara kejelasan mengenai piutangnya sendiri masih diproses dalam perkara yang hingga saat ini belum memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti, maka jelaslah dipandang dari sisi kaca mata hukum yang berlaku di Indonesia, perbuatan para Termohon Kasasi adalah perbuatan yang telah beritikad buruk yang bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, di mana ditegaskan: "Suatu perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda) dan bagi pihak ketiga harus menghormati dan tidak mencampuri isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh para pihak.” Karena sesungguhnya hubungan hukum dalam perjanjian kredit yang melawan hukum hanya melibatkan para Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi III saja di Hongkong (Pasal 17 dan Pasal 6 ayat (1) Akta No. 166), dan Termohon Kasasi II maupun Termohon Kasasi I sama sekali tidak dapat membuktikan telah memperoleh hak pengalihan pengurusan piutang apalagi menagih berdasarkan atas dasar hukum dan bukti-bukti yang sah, dan terlebih perjanjian kredit beserta accesoirnya telah terbukti adalah perjanjian yang bertentangan dengan hukum positif dan praktek hukum di Republik Indonesia (Pasal 23 AB, Pasal 1320 ayat (4), Pasal 1335, 1337, dan 1339 KUHPerdata), dan di mana secara tegas sudah dikesampingkan oleh Termohon Kasasi III hukum positif tersebut lewat pengakuannya di hadapan pengadilan, maka kami mohon kepada majelis Hakim yang terhormat agar mengedepankan perlindungan hukum terhadap kepentingan nasional Republik Indonesia demi mencegah dengan sewenang-wenang dirampasnya harta-harta nasional Republik Indonesia di kemudian hari oleh bangsa asing manapun juga dengan berusaha melakukan penyelundupan hukum di wilayah negara Republik Indonesia sendiri dengan melibatkan keburukan moral oknum aparat-aparat negara sendiri untuk berkonspirasi membantu kepentingan keuangan pihak swasta/private asing dengan menyelundupkan hukum mencampuri perjanjian utang-piutang off shore loan antar badan hukum swasta diartikan sebagai piutang negara, di dalam wilayah Republik Indonesia untuk menjarah rakyatnya sendiri. Berdasarkan Undang-Undang No. 49/Prp. Tahun 1960 cara penyelesaian piutang negara menurut Undang-Undang tentang Panitia Urusan Piutang Negara harus dilakukan dengan: Memuat jumlah hutang dan kewajiban debitur yang besarannya telah pasti menurut hukum untuk menyelesaikan hutang kepada negara (Pasal 4 ayat (2)); dan Mengadakan Surat Pernyataan Bersama yang dibuat dan ditandatangani oleh Debitur dan Ketua PUPN/BUPLN. Pernyataan Bersama ini memuat jumlah hutang debitur dan kewajiban debitur untuk menyelesaikan hutang kepada negara (Pasal 10). Dengan belum diperolehnya kepastian hingga saat ini legalitas jumlah dan kewajiban debitur yang besarnya telah tetap berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti, dan dalam penagihan piutang yang saat ini dalam sengketa PUPN/BUPLN sama sekali belum pernah membuat Surat Pernyataan Bersama, terlebih berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, secara tegas pengertian bentuk usaha-usaha negara berbentuk perusahaan, sehingga menjadi kewenangan Termohon Kasasi I berdasarkan Undang-Undang No. 49/Prp Tahun 1960, hanya dibedakan terbatas hanya dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero), namun berdasarkan pengakuan tertulis Termohon Kasasi II sendiri dalam Jawabannya tanggal 22 Agustus 2005, secara tegas menyatakan dan mengakui bahwa Termohon Kasasi III sama sekali adalah badan hukum private/swasta asing yang "...didirikan dan tunduk pada ketentuan hukum Hongkong, berdomisili di Hongkong..." (bukan sebagai subyek hukum Indonesia, apalagi dikelompokkan sebagai lembaga/perusahaan negara), sehingga dengan demikian sejak awal pengurusan piutang oleh Termohon Kasasi I tidak lagi memiliki relevansi dengan tugas dan wewenang Termohon Kasasi I sebagai badan publik untuk melakukan pengurusan, terlebih hubungan hukum antara para Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi III adalah hubungan hukum antar badan hukum privat dalam negeri dan badan hukum privat luar negeri, yang tidak dapat dicampuri begitu saja dengan melakukan penyelundupan hukum di dalam wilayah Republik Indonesia dengan melibatkan Negara Indonesia sendiri untuk bertindak menguasai aset-aset rakyat dalam negerinya sendiri (debt collector) bagi kepentingan keuangan kreditur swasta luar negeri yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia. Karena pengalihan piutang sewenang-wenang dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II bertentangan dengan hukum yang berlaku di Republik Indonesia dan terdapatnya cacat hukum, maka penyerahan pengurusan penagihan piutang dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I secara mutatis mutandis juga mengandung cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum, terlebih berdasarkan bukti yang ada penyerahan piutang tersebut dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I diragukan secara yuridis dan faktual pernah terjadi. Jelas dan tegas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para Termohon Kasasi adalah perbuatan sewenang-wenang yang tidak berdasar hukum dan sangat merugikan Pemohon Kasasi II, maka perbuatan mereka jelas dan nyata sebagai perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige daad) dengan segala akibat hukum dari padanya, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Oleh karena Pemohon Kasasi II adalah Badan Hukum yang memerlukan kredibilitas yang baik di mata masyarakat umum, maka dalam menanggapi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para Termohon Kasasi, telah mengakibatkan kerugian waktu, biaya, dan tenaga bagi Pemohon Kasasi I, oleh karena itu adalah wajar apabila terhadap perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan hukum overheasdaad (jo Pasal 1365 KUHPerdata). Putusan Judex Facti memuat alasan yang tidak lengkap atau kurang cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd), sehingga demi hukum patutlah untuk dibatalkan. Judex Facti s.o.r dalam menyidangkan perkara ini secara nyata telah lalai memenuhi syaratsyarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, sesuai dengan bunyi Pasal 30 huruf c Undang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan perubahannya UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung karena Majelis Hakim yang memutus perkara ini di tingkat Pengadilan Negeri yang kemudian diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, dalam pertimbangan-pertimbangannya sama sekali tidak menyebutkan pasal-pasal maupun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum penolakan gugatan Pemohon Kasasi II secara tegas dan jelas (Vide. SEMA No. 3 Tahun 1974), sebagaimana terlihat dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt. G/2005/PN. Jkt. Pst. "Menimbang, bahwa memperhatikan segala peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara ini." Majelis Hakim dalam memberikan pertimbangannya seharusnya secara tegas mencantumkan peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum putusan tersebut memuat segala alasan hukum yang menyebabkan putusan mempunyai nilai obyektif dan selaras dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 51 K/Sip/1972 tanggal 25 Maret 1972: "Tiap bagian dari pada putusan pengadilan harus didasarkan pada pertimbangan- pertimbangan hukum yang bersangkutan." Dengan tidak disebutkan peraturan perundang-undangan yang pasti dalam keputusannya, maka Majelis Hakim dianggap telah lalai memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 184 HIR (jis. Pasal 178 ayat (1) HIR, Pasal 50 Rv) tentang sistematika surat putusan, dengan ancaman batalnya putusan yang bersangkutan. Pemohon Kasasi II s.o.r keberatan terhadap Judex Facti Pengadilan Tinggi Jakarta yang begitu saja menyetujui dan mengambilalih pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagai pertimbangan hukum dan amar putusannya dalam memeriksa dan mengadili perkara ini Tingkat banding, atas dasar pertimbangan putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama sudah tepat dan benar, tanpa memeriksa kembali keseluruhan bukti-bukti dan fakta-fakta persidangan, baik fakta kejadian (feitelijke) maupun fakta hukum (rechtelijke), dan tanpa mempertimbangkan memori banding secara keseluruhan dengan benar, melainkan hanya dengan dasar pertimbangan seadanya saja dan bersifat umum, sebagaimana terlihat di dalam pertimbangan hukum putusan Nomor 371/PDT/2006/ PT.DKI. "Menimbang, bahwa setelah Pengadilan Tinggi mencermati dengan seksama berkas perkara, salinan resmi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt. G/2005/PN. JKT. PST., Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbanganpertimbangan hukum hakim tingkat pertama dalam memutus perkara in casu, karenanya pertimbangan- pertimbangan hukum hakim tingkat pertama tersebut diambilalih sebagai pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara in casu di tingkat banding. Menimbang, bahwa memori banding yang diajukan para pembanding ternyata tidak ada hal-hal yang baru yang dapat melemahkan putusan hakim tingkat pertama." Adalah jelas pertimbangan hukum yang keliru, sehingga demi hukum patutlah untuk dibatalkan karena tidak sejalan dan sangat bertentangan dengan. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1043 K/Sip/1972 tanggal 30 November 1972, yang menyatakan: "Dengan diajukan permohonan banding oleh pemohon, maka perkara demi hukum harus diperiksa dalam keseluruhan." Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 672 K/Sip/1972 tanggal 18 Oktober 1972 yang menyatakan: "Putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan karena kurang cukup pertimbangan." Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 492 K/Sip/1970 tanggal 16 Februari 1970 yang menyatakan: "Pertimbangan Pengadilan Tinggi hanya mengenai soal mengenyampingkan keberatan-keberatan yang diajukan dalam memori banding dan selanjutnya dengan tidak memeriksa baik mengenai fakta-faktanya maupun mengenai soal penerapan hukumnya terus saja menguatkan putusan Pengadilan Negeri begitu saja, hal mana menurut pendapat Mahkamah Agung selain kurang tepat juga kurang cukup memberi dasar (onvoldoende gemotiveerd) untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri." Karena Memori Kasasi ini diajukan berdasarkan hukum dan bukti-bukti yang otentik yang tidak terbantah kebenarannya karena sudah diakui sendiri oleh Termohon Kasasi Ill dan Termohon Kasasi II di hadapan pengadilan sehingga memenuhi Pasal 180 HIR dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000. Karena adanya kekhawatiran selama perkara ini berlangsung Termohon Kasasi I atas permintaan Termohon Kasasi II beritikad buruk akan melakukan eksekusi dan menguasai atas aset-aset milik Pemohon Kasasi I sehubungan dengan Perjanjian Hutang Piutang antara Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III, padahal dengan Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA/198/XII/1991 tanggal 12 Desember 1991 telah menangguhkan eksekusi atas asetaset para Pemohon Kasasi tersebut, maka sangatlah beralasan hukum putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoorbaar bij voorraad). Pemohon Kasasi II untuk selebihnya bertetap pada dalil-dalil semula dan menolak seluruh dalil-dalil para Termohon Kasasi kecuali yang secara tegas diakui kebenarannya. Terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat: Alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum. Menurut MA pengalihan piutang dari Tergugat III ke Tergugat II kemudian dialihkan ke Tergugat I tidak menyalahi ketentuan yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 karenanya pada Tergugat I, II, dan III tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu, kenyataan hal mana tidak dapat dipertimbangkan, dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Sino Sandjaya dan kawan tersebut harus ditolak. Karena permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi ditolak, maka para Pemohon Kasasi dihukum membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini. Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan. Mengadili: Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: 1. Sino Sandjaja dan 2. PT. Sedjati Internusa Overseas, tersebut; dan menghukum para Pemohon Kasasi/para Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar lima ratus ribu rupiah. 3.1.e. Putusan Nomor 1695 K/Pdt/1984 Kasus dalam putusan ini terjadi antara Wilopo Tjakradinata v Th. J. Korzaan (warga negara Belanda). Kaedah dalam putusan ini secara tegas menyatakan bahwa: “Perjanjian antara Warga Negara Indonesia dengan orang asing tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah Indonesia.” 3.1.f. Putusan Nomor 641 K/Pdt/1993 Kaedah dalam putusan ini secara tegas menyatakan bahwa: “Perjanjian antara Warga Negara Indonesia dengan orang asing tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah Indonesia.” Dalam Putusan MA RI No. 641.K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1993, MA RI memutuskan bahwa grosse akte hipotek dengan irahirah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tentang eksekusinya tidak selalu dengan sendirinya harus dikabulkan oleh pengadilan, apalagi kalau masalah kreditnya masih merupakan kredit bermasalah, sebab secara bersamaan debitur mengajukan gugatan terhadap kreditur untuk membatalkan credit agreement yang pernah dibuat. Eksekusi grosse akte hipotek ditunda/ditangguhkan sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap atas gugatan perdata tentang sah tidaknya credit agreement, karena hipotek yang dipasang adalah accessoir terhadap credit agreement tersebut. Dalam putusannya No. 641.K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1993, MA RI membuat keputusan yang cukup kontroversial mengenai eksekusi grosse akte hipotek yang diajukan oleh sebuah bank asing (kreditur). MA RI memutuskan bahwa permohonan eksekusi grosse akte hipotek yang diajukan kreditur harus ditunda dulu dikarenakan pihak debitur pada saat yang bersamaan mengajukan gugatan perdata biasa kepada kreditur untuk membatalkan “credit agreement”. Penetapan eksekusi hipotek harus ditunda sampai ada putusan yang berkekuatan pasti atas gugatan perdata mengenai sah tidaknya credit agreement yang diajukan oleh debitur. Keputusan ini sempat memicu wacana ketidakpastian hukum di Indonesia dan menyebabkan bank-bank asing enggan untuk mengucurkan dananya kepada investor dalam negeri, karena ketiadaan jaminan untuk mendapatkan uangnya kembali. Dengan keputusan MA RI ini kita dapat berasumsi bahwa untuk mencegah eksekusi grosse akte cukup dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata terhadap kreditur dengan dalil bahwa perjanjian kredit tidak sah (meskipun uang pinjaman sudah diterima).4 3.2. Kaedah Hukum Status Orang Asing dalam Putusan Pengadilan Skotlandia 4 Ahmad Fikri Assegaf dan Elijana Tanzah, Penjelasan Hukum tentang Grosse Akte, Diterbitkan pertama kali oleh Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 201, hlm. 130. 3.2.a. Putusan Ertel Bieber & Co v. Rio Tinto Company, Limited5 Pemohon adalah perusahaan Jerman yang menjalankan bisnis di Hamburg dan di tempat lain di Jerman. Responden atau termohon sebuah perusahaan Inggris yang memiliki tambang besar di Spanyol. Tergugat menandatangani dua kontrak sebelum perang tahun 1910 dan 1913 untuk pasokan bijih belerang yang mengandung tembaga. Bijih itu harus dikirim dari Spanyol dan dikirim ke pemohon tersebut di Rotterdam, Hamburg, Stettin, dan pelabuhan benua lainnya. Pecah perang antara Inggris dan Jerman pada 1 Agustus 1914, beberapa bijih bawah kontrak pertama tetap tidak terkirim, dan seluruh kontrak kedua telah ditunaikan. Setiap kontrak berisi ayat (15) menyediakan bahwa jika, karena pemogokan, perang, atau penyebab lainnya di luar kendali responden, responden dicegah pengiriman atau pengiriman ke pemohon, kewajiban untuk kapal atau memberikan diskors selama kelanjutan hambatan dan untuk waktu yang wajar setelah; dan ayat yang berisi ketentuan yang sesuai dalam mendukung para pemohon, menangguhkan kewajiban mereka untuk menerima. Ada juga klausul arbitrase. 5 Dapat dibaca dalam William Finlayson Trotter, The Law of Contract During and After War: with Leading Cases, Statutes, and Proclamations, Third Edition, London and Edinburgh, William Hodge & Company, 1919, hlm. 423-426. Dalam kasus kedua dan ketiga kontrak yang sifatnya serupa. Masing-masing berisi klausul ketegangan yang sama; tetapi mereka dibuat di Jerman, dan itu harus tunduk pada hukum Jerman. Mereka menyediakan juga bahwa sengketa di bawah kontrak itu harus diselesaikan melalui arbitrase. Responden membawa tindakan terhadap beberapa pemohon di bawah Proceedings Against Enemies Act, 1915, mengklaim bahwa kontrak yang dibatalkan oleh perang. Sankey, J., memberikan penilaian untuk responden dalam setiap kasus, dan keputusannya itu ditegaskan oleh Pengadilan Tinggi. The House of Lords menolak banding. Hakim menyatakan, asumsi bahwa klausul ketegangan menutupi kasus perang antara Inggris dan Jerman, kontrak itu batal karena bertentangan dengan kebijakan publik karena ketidakcakapan untuk kepentingan musuh; dan bahwa, terlepas dari klausul itu, kontrak dilarutkan dengan pecahnya perang, karena mereka terlibat perdagangan dengan musuh. Mengenai kontrak kedua dan ketiga, Hakim menyatakan bahwa dengan tidak adanya bukti sebaliknya, anggapan adalah bahwa hukum Jerman adalah sama dengan hukum Inggris; dan bahwa, dengan asumsi bahwa kontrak ini adalah sah menurut hukum Jerman, pertanyaan apakah mereka batal karena bertentangan dengan kebijakan publik jatuh ditentukan oleh hukum Inggris. Hakim Dunedin mengatakan bahwa proposisi hukum yang menjadi dasar putusan Pengadilan bawah didasarkan adalah bahwa keadaan perang mengakhiri semua kontrak yang telah dijalankan untuk kinerja lebih lanjut mereka diperlukan hubungan komersial dengan musuh. Dia setuju dengan Pengadilan Tinggi di dalam kasus Robson v. Premier Oil and Pipe Line Company, [1915] 2 Ch v.. 124. Dalam putusan tersebut, kaedah yang tidak boleh berhubungan dengan musuh tidak terbatas pada hubungan komersial. Banyak putusan bahwa perang tidak larut semua kontrak, tetapi hanya seperti pengangkutan. Tapi Esposito v Bowden, 7 E. & B. 763., Telah diselenggarakan sebagai berurusan dengan kontrak pada umumnya. Ada, memang, tidak ada proposisi umum seperti bahwa keadaan perang menghindari semua kontrak dengan musuh. Hak yang masih harus dibayar tidak terpengaruh, meskipun hak menggugat dihentikan. Ada kontrak tertentu, terutama yang yang benar-benar seperti hak properti, yang, bahkan sejauh telah dilaksanakan, tidak dibatalkan. Salah satu contoh seperti dapat ditemukan dalam kasus Halsey v. Lowenfeld, [1916] 2 KB 707, kontrak dari pemilik dan penyewa. Kontrak yang dibatalkan harus baik melibatkan hubungan dengan musuh atau keberadaannya menyangkut kebijakan publik sebagaimana ditetapkan dalam kasus yang diputuskan. Jika kontrak tersebut telah tidak mengandung klausul selain yang berkaitan dengan tanggal pengiriman, akan segera mengikuti bahwa mereka dibubarkan, sejauh tidak dilaksanakan sebelum pecahnya perang. Dalam klausa ketegangan, efek dari itu menghapus dari kontrak semua yang dilakukan dengan musuh. Tetapi hakim Pengadilan bawah mengatakan bahwa ada tugas lain berdasarkan kontrak selain pengiriman, yang masih tetap dan mensyaratkan hubungan dengan musuh. Misalnya, dengan klausul 12, dimana pembeli yang menyatakan secara tertulis selambat-lambatnya 1 Januari setiap tahunnya jumlah total denda dan benjolan terpisah yang mereka diinginkan disampaikan pada tahun itu. Berikut menyangkut kuantitas masing-masing ukuran. Meskipun perang disebutkan dalam klausul tersebut, beliau tidak berpikir bahwa itu termasuk perang antara Inggris dan Jerman. Inggris atau Jerman mungkin menjadi salah satu pihaknya. Itu tidak perlu untuk memutuskan pertanyaan ini, karena alasan sederhana bahwa responden di sini terlibat dalam dilema. Entah perang, yaitu untuk menunda pengiriman, tidak termasuk perang antara Inggris dan Jerman, dalam hal klausul tidak berlaku, atau jika itu berarti perang seperti itu, maka, dalam pandangan beliau itu, klausul itu batal seperti terhadap kebijakan publik. Keputusan dalam The "Hoop" 1 Ch Rob 196; Furtado v Rogers, 3 Bos & P. 191; Esposito v Bowden, 7 E. & B. 763, kebijakan publik terkait kelangsungan hubungan kontrak dengan musuh, yang (1) memberikan kesempatan untuk penyampaian informasi yang mungkin merugikan pelaksanaan perang, atau (2) mungkin cenderung untuk meningkatkan sumber daya musuh atau melumpuhkan sang Raja, menjengkelkan dan dilarang oleh hukum Inggris. Dia baik untuk menjaga stok besar tertentu tidak ingin dari, dan dengan demikian tidak tersedia untuk kebutuhan kerajaan, atau, jika ia menjual seluruh saham ini, dia tidak bisa menjual ke depan karena ia akan mampu untuk dilakukan jika ia tidak memiliki permintaan besar di bawah kontrak yang akan datang. Ini meningkatkan sumber daya musuh, karena jika musuh tahu bahwa jika ia kontrak yakin mendapatkan pasokan secepat perang usai, yang tidak hanya memungkinkan dia untuk menggunduli dirinya saham ini, tapi itu mewakili nilai yang mungkin diwujudkan dengan cara penugasan ke negara-negara netral. Klausa karena itu batal karena melawan kebijakan publik. Lord Atkinson, Lord Parker, dan Lord Sumner memberikan penilaian agak mirip. Lord Dunedin, dengan mengacu pada banding kedua dan ketiga, mengatakan bahwa fakta menjadi kontrak Jerman mereka tidak material. Pengadilan Jerman tidak dapat menentukan dengan cara seperti untuk mengikat seorang Inggris di Pengadilan Inggris yang kontrak dengan klausul seperti itu tidak bertentangan dengan kebijakan publik Inggris, dan karena itu mengikat subjek bahasa Inggris. Lord Atkinson, Lord Parker, dan Lord Sumner setuju. Lord Parker mengatakan bahwa almarhum Bapak Westlake menyimpulkan hukum dalam hal ini, "Di mana konflik kontrak dengan apa yang dianggap di Inggris menjadi kepentingan publik atau moral yang penting, itu tidak bisa ditegakkan di sini, meskipun itu mungkin benar dengan yang hukum yang tepat."6. [Kontrak penjualan barang yang dibuat sebelum perang dengan 6 Hukum Perdata Internasional, 4th ed., Bagian 215 pihak, yang kemudian menjadi musuh, dilarutkan dengan demikian di mana melibatkan hubungan apapun dengan musuh. 3.2.b. Putusan Gebruder Van Uden v. Burrell7 Para penggugat adalah perusahaan yang terdiri dari dua mitra, J. & C. van't Hoff, yang tinggal dan menjalankan usahanya di Rotterdam; dan mereka menggugat tergugat, seorang pemilik kapal Glasgow, sehubungan dengan transaksi penyewaan 1907. Aksi ini awalnya dibesarkan di Glasgow Sheriff Court pada tahun 1913; dan, menjamin untuk menangkap pada ketergantungan yang telah diberikan, pengejar ditangkap di tangan dua tahanan jumlah milik tergugat dan sebesar 2.850 Poundsterling. Seluruh Penyebab akhirnya dipindahkan ke Pengadilan Sidang pada tahun 1915, dan datang sebelum Divisi Pertama pada catatan reklamasi dari teman bicara Hakim Biasa (Ormidale). Ternyata ada dua perusahaan lain yang disebut Gebruder van Uden, satu tercatat di bisnis di Duisberg dan terdaftar di bawah hukum Jerman, dan yang lainnya menjalankan usaha di Antwerp dan terdaftar di bawah hukum Belgia. Kedua perusahaan yang independen dari perusahaan Rotterdam; tetapi J. & C. van't Hoff adalah individual tertarik pada 7 Ibid., hlm. 254-256. masing-masing perusahaan tersebut, meskipun mereka bukan pemilik atau mitra tunggal di salah satu dari mereka. Divisi Pertama diadakan bahwa pengejar, yang diakui adalah mitra dalam sebuah perusahaan Jerman di Jerman, adalah musuh asing yang tidak bisa didengar dalam setiap proses di Pengadilan Skotlandia yang mereka sendiri digerakkan. Oleh karena itu, Mahkamah menindak dan mengingat putusan-putusan. Hakim Presiden (Lord Strathelyde) mengatakan bahwa pengejar itu, menurut pengakuannya sendiri, musuh asing, karena mereka menjalankan usaha di Jerman. Oleh karena itu mereka adalah orang-orang kepada siapa tergugat bisa membuat tidak ada pembayaran selama perang, dan kepada siapa ia bisa tidak memberikan keamanan apapun apapun. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa menegakkan hak-hak sipil mereka dengan menerapkan bantuan Majesty's Courts of Law-nya. Proposisi bahwa musuh (orang asing) tidak bisa menuntut beristirahat, seperti Lord Justice Buckley diamati dalam Kasus The Daimler Company's, [1915] 1 KB 893, "pada proposisi bahwa semacam itu tidak bisa mendekati Raja, dan tidak dapat meminta bantuan dari Raja. Mahkamah Raja Pengadilan. Musuh asing tidak dapat datang ke Pengadilan itu atau mendapatkan bantuan dari Pengadilan itu, karena Pengadilan adalah, untuk tujuan peradilan, Raja duduk di Pengadilan, dan musuh asing tidak bisa mendekatinya." Prinsip yang mendasari Trading with the Enemy Acts and Proclamations adalah kebijakan publik, yang melarang tindakan yang akan atau mungkin untuk keuntungan Negara musuh dengan meningkatkan kapasitasnya untuk memperpanjang permusuhan, dalam menambah kredit, uang, barang, atau lainnya sumber daya yang tersedia untuk individu di Negara musuh8. Tindakan ini dibesarkan di contoh sebuah perusahaan bernama Gebruder van Uden, yang dirancang sebagai pemilik kapal, dan menjalankan usahanya di Rotterdam. Satu-satunya mitra adalah Bapak J. van't Hoff dan putranya, Mr C. van't Hoff, keduanya tinggal di Rotterdam. Mereka adalah pengejar aksi. Jika mereka berhasil, mereka akan memulihkan jumlah lebih dari 1400 Poundsterling, setiap sen yang akan masuk ke kantong mereka; dan sementara mereka mengadakan keamanan atas aset Inggris untuk pemulihan utang itu. Aksi ini dibesarkan dalam nama perusahaan; tapi itu tidak penting. Mungkin sama baiknya telah dibesarkan dalam nama J. 8 Lihat pengamatan Willes, J. di Esposito v. Bowden, 1867, 7 E. & B. 763. van't Hoff dan C. van't Hoff, sebagai mitra perusahaan itu dan sebagai individu. Mereka adalah orang-orang yang diarahkan dan dikontrol litigasi, dan yang hanya tertarik di dalamnya. Para pengejar mengakui bahwa ada di Duisberg, Jerman, sebuah perusahaan yang menjalankan usaha dengan nama Gebruder van Uden, dan bahwa mereka tertarik di dalamnya individual, meskipun mereka bukan satu-satunya mitra dalam usaha tersebut. Ini menandakan tidak ada yang bermitra dengan mereka; karena jika pengejar merupakan mitra dalam usaha yang dijalankan di Duisberg, Jerman, kemudian mereka melakukan usaha di negara musuh dan musuh asing dalam arti the Trading with the Enemy Act and Royal Proclamation. Mereka tidak punya hak untuk meminta bantuan Pengadilan untuk menegakkan hak-hak sipil mereka. Karena mereka musuh asing, proses tersebut harus selesai sampai akhir perang. Ini tentu diikuti bahwa putusan pengadilan harus diingat. Itu benar bahwa mereka meletakkan dan keamanan sehingga diberikan diperoleh sebelum pecahnya perang; tapi itu sama-sama yakin bahwa setelah pecahnya perang mereka tidak bisa mendapatkan keamanan ini atas aset dan properti tergugat. Mereka tidak bisa mempertahankan atau menjaga keamanan selama aset negara Inggris yang mereka tidak bisa sekarang mendapatkan. Mereka tidak diizinkan untuk mengambil langkah apapun untuk pemulihan utang mereka di Majesty's Courts, dan tidak ada langkah yang bisa membuat lebih yakin bahwa utang mereka akan pulih dari untuk mengadakan keamanan yang baik untuk pembayaran itu. Mereka hanya bisa mempertahankan bahwa keamanan dengan bantuan Majesty's Courts, yang memiliki kekuatan untuk mengingat putusanputusan terkait. Ini akan menjadi pelanggaran langsung terhadap roh, jika bukan dari surat itu, dari Trading with the Enemy Acts and Proclamations jika Pengadilan tidak ingat putusan-putusan terkait. Lord Skerrington dan Lord Anderson menyampaikan pendapat kepada efek yang sama. Yang pertama menunjukkan bahwa pengejar tidak hanya pemegang saham di dua perusahaan saham gabungan, yang merupakan perusahaan yang di bawah hukum Jerman dan lain menurut hukum Belgia. Mereka mengakui bahwa mereka merupakan mitra dalam dua bisnis tersebut. 3.2.c. Putusan Schulze. Gow & Co. v. Bank of Scotland9 Dalam aksi ini, yang dibesarkan sebelum pecahnya perang ini, mitra yang masih hidup satu-satunya perusahaan yang 9 Ibid., hlm. 465-466. menggugat pembela untuk akuntansi mereka dengan dana dari perusahaan, dimana keseimbangan yang benar karena perusahaan mungkin dipastikan. Para pembela memohon, antara lain, tidak ada judul untuk menuntut, karena pasangan hidup seperti itu musuh asing. Lord Hunter mengatakan bahwa dia tidak bisa memberi efek permohonan ini. Meskipun pengejar itu subjek Jerman, ia telah lama tinggal dan diperdagangkan di Skotlandia, dan telah sepatutnya memenuhi ketentuan Undang-Undang Pembatasan Orang Asing 1914, dan Pesanan dibuat bawahnya. Dalam Janson v. Driefontein Consolidated Mines, Limited, [1902] AC, di p. 505, Lord Lindley mengatakan; "Ketika mempertimbangkan pertanyaan yang timbul dengan musuh asing, itu bukan kebangsaan seseorang, tapi tempat usahanya selama perang, yang penting." Kasus Princess Thurn and Taxis v. Moffitt, [1914] WN 379, diterapkan. 3.2.d. Putusan Schaffenius v. Goldberg Diadakan, bahwa pembatasan yang dikenakan pada pergerakan musuh asing oleh pengasingannya tidak membuatnya ex lege asing, sehingga merampas dia dari hak-hak sipil yang ia miliki sampai saat itu.10 Pada melanggar keluar dari perang, netral dan warga negara berperang menentang umumnya diperbolehkan waktu yang wajar untuk mundur. The Sarah Starr, Blatch. Pr. Ca. 650. Ketentuan ini juga telah dimasukkan dalam banyak perjanjian antar negara. Sekaligus ada penghentian seluruh semua hubungan komersial dengan negara bermusuhan menentang, kecuali dalam kasus secara commersia belli, kecuali dengan izin dari penguasa yang berdaulat. Esposito Bowden, (1857) 7 E. & B. 762 v.; The Hoop, I Rob. Rep. Adm. 196. Namun, izin dapat diberikan kepada subyek musuh untuk tetap, dan jika diberikan, mereka dapat menikmati properti mereka. Barat. Int. Hukum. Vol. II, p. 42. Dalam penegakan hak-hak sipilnya musuh asing tersebut diperlakukan seolah-olah subjek negara di mana dia, meskipun pada saat yang sama ia adalah subjek dari musuh, tapi dia tidak bisa menegakkan hak-haknya untuk kepentingan musuh. Janson v. Dreifonstein Cons. Mines, (1902) 10 Dapat dibaca dalam War-Trading with the Enemy. Civilian Prisoner of War. Internment of Alien Enemy within Realm. Deprivation of Civil Rights. Schaffenius v. Goldberg, 113 L. T. (Eng.) 949Author(s): J. McD. Source: The Yale Law Journal, Vol. 25, No. 6 (Apr., 1916), p. 510. Published by: The Yale Law Journal Company, Inc.Stable URL: http://www.jstor.org/stable/786472. Accessed: 15/01/2015 23:43. Kasus Banding, HL 484. Tes ini tidak kebangsaan seseorang, tetapi tempat usahanya. McConnell v. Hector, 3 B. & P. 113. Jika musuh asing yang berada di negaranya sendiri haknya untuk menuntut di pengadilan negara menentang ditunda, dengan yang terakhir, selama perang. Howes, Hyatt & Co. v Chester & Co, 33 Ga 89.; Bell. v. Chapman, 10 Johns. 183; Wilcox v. Henry, 1 US (Dallas) 69. Tetapi jika ia menggugat ia dapat memanfaatkan dirinya dari segala cara dan peralatan pertahanan. McVeigh v. U. S., II Wall. 259; Albrecht Sussman, 2 V. & B. 322. Seorang musuh asing yang berada di Amerika Serikat dengan izin kompeten untuk mempertahankan tindakan pribadi. Otteridge v. Thompson, Fed. Cas. No 10, 618; Clarke v. Morey, 10 Johns. 69; dan sama diadakan di Inggris mengenai musuh asing yang berada di sana. Sparenburgh v. Bannatyne, i B. & P. 163. Jadi diadakan bahwa orang asing yang telah memenuhi Aliens Restriction Act, I914, 4 & 5 Geo. 5 c. I2, mungkin memiliki akses ke pengadilan. Princess Thurn & Taxis v. Moffitt, (1915) i Ch. 58. Dengan demikian pokok perkara benar menyatakan bahwa selama dia diizinkan untuk tetap berada di Inggris dengan izin dari Crown ia berada di bawah perlindungan dan harus diizinkan untuk menggunakan hak sipilnya. Internirannya tidak dengan sendirinya dapat dianggap telah diringkas mereka dengan implikasi, karena tidak ada pemberlakuan mengungkapkan hal tersebut.11 Penggugat adalah kelahiran Jerman, dan telah tinggal di negara ini selama dua puluh dua tahun, dan telah melakukan bisnis di sini selama waktu itu. Segera setelah pecahnya perang ini ia mencatatkan dirinya di bawah ketentuan yang berlaku untuk pendaftaran orang asing. Pada bulan Maret 1915, ia menandatangani perjanjian keuangan dengan terdakwa, dan tidak ada dalam perjanjian itu sendiri untuk menunjukkan bahwa itu selain sempurna bebas dari keberatan. Sebuah sejumlah besar uang itu diakui karena dari terdakwa kepada penggugat dalam perjanjian. Penggugat diinternir pada bulan Juli 1915, dan tindakan ini dibesarkan di September untuk pemulihan uang yang dipinjamkan oleh penggugat dan ganti rugi atas pelanggaran kontrak. Satu-satunya titik yang coba adalah apakah penggugat bisa mengambil tindakan apapun, dengan memperhatikan pengasingannya. Younger, J., membuat pernyataan bahwa kontrak antara penggugat dan tergugat tidak 11 Ibid. terpengaruh oleh interniran penggugat, dan penggugat berhak menuntut atas kontrak. Terdakwa mengajukan banding.12 Lord Cozens-Hardy, MR, mengatakan bahwa kasus Porter v. Freudenberg, [1915] 1 KB 857, memutuskan bahwa untuk tujuan perdagangan itu tidak kebangsaan seseorang yang menentukan apakah ia adalah musuh asing. Memutuskan juga bahwa pendaftaran dioperasikan sebagai lisensi oleh Crown kepada orang terdaftar untuk tinggal di sini. Lisensi tersebut bisa, tentu saja, akan dicabut oleh Crown, tapi tidak ada keadaan dalam hal ini yang dapat diusulkan untuk satu saat menghasilkan bukti pencabutan, kecuali itu adalah interniran, yang berlangsung pada bulan Juli, 1915. Ada adalah titik baru yang diambil dalam kasus ini. Dikatakan bahwa, meskipun pendaftaran memiliki efek izin dari Crown untuk tetap di negeri ini, izin yang hanya berlangsung selama lisensi tidak menganiaya mahkota dan tidak dianiaya oleh itu, dan itu jauh berpendapat bahwa penggugat itu jelas dianiaya oleh yang magang di Isle of Man. Sama sekali tidak ada otoritas untuk pertarungan ini. Salah satu kewenangan diandalkan adalah Wells v. Williams, 1 Ld. Raym. 283, 1 Salk. 46, namun ketergantungan ditempatkan pada satu bagian saja yang bisa ditemukan dalam laporan Lord Raymond 12 William Finlayson Trotter, Op. Cit., hlm. 326-327. kasus ini, dan tidak dalam laporan Salkeld itu. Kemudian ia berpendapat bahwa tidak ada otoritas sama sekali untuk anggapan penggugat, tapi bahwa ada otoritas menentangnya, karena telah ditetapkan bahwa tahanan diinternir tidak bisa mengajukan permohonan surat perintah habeas corpus (Rex v. Superintendent of Vine Street Police Station, ex Parte Liebmann, [1916] 1 KB 268). Tapi ini adalah pertanyaan yang sangat berbeda dari kasus itu. Beliau berpikir bahwa Sparenburgh v. Bannatyne, 1 Bos. & P. 163, adalah otoritas mendukung pandangan bahwa penggugat bisa menuntut. Banding harus diberhentikan.13 Bankes, LJ, mengatakan bahwa sebagai tawanan perang posisi penggugat atas otoritas cukup jelas. Dia berhak untuk mempertahankan tindakan. Dia tidak dalam posisi yang lebih buruk daripada individu lain yang berada di tahanan untuk pelanggaran. Referensi penganiayaan di Wells v. Williams, 1 Ld. Raym. 282, adalah referensi untuk sesuatu yang mungkin bukti lisensi, jika telah diberikan, yang telah ditarik, atau ada yang telah ada lisensi sama sekali. Warrington, LJ, memberikan keputusan untuk efek yang sama.14 13 14 Ibid. Ibid. 3.2.e. Putusan Halsey and Another v. Lowenfeld15 Pada tahun 1896 teater ini untuk terdakwa yang telah mati selama dua puluh empat tahun di sewa dari 500 poundsterling per bulan. Pada tahun 1899 terdakwa ditugaskan sewa untuk satu Lederer, dan oleh berbagai penugasan sewa menjadi hak karyawan di Leigh, yang menyewakan ke Curzon. Pada bulan Juli 1915, sewa untuk bulan sebelumnya Juni berada di tunggakan, penggugat mengangkat tindakan terhadap terdakwa untuk memulihkan tempat; dan pada bulan September 1915, mereka mengangkat tindakan kedua melawan terdakwa untuk memulihkan sewa untuk bulan Juli dan Agustus 1915, yang berada di tunggakan. Terdakwa adalah subjek Austria, dan berpendapat bahwa, setelah menjadi musuh asing pada pecahnya perang ini, tidak ada tindakan yang bisa selama perang dibawa melawan dia sehubungan dengan tindakan yang diperoleh setelah pecahnya perang. Dia juga menjabat Leigh dan Curzon dengan pemberitahuan pihak ketiga, mengklaim bahwa mereka bertanggung jawab untuk mengganti kerugian dia melawan kewajibannya untuk membayar sewa. 15 Ibid., hlm. 406-408. Ridley. J., berpendapat bahwa terdakwa adalah bertanggung jawab untuk sewa bahkan meskipun telah timbul setelah pecahnya perang. Dia juga menyatakan bahwa terdakwa, menjadi musuh asing, tidak bisa mengambil tindakan pihak ketiga, karena ia tidak hanya menyiapkan materi dengan cara pertahanan, tetapi memohon bantuan dari Pengadilan dalam mendukung klaim mandiri. Ini adalah banding oleh terdakwa terhadap keputusan Ridley, J. Pengadilan Tinggi menegaskan keputusan Ridley, J., dan menolak banding tersebut, dengan biaya. Lord Reading. CJ, mengatakan bahwa pertanyaan dalam kasus ini adalah apakah penggugat selama perang bisa menuntut musuh asing dalam sewa yang diberikan sebelum perang. Itu berpendapat atas nama terdakwa yang pada saat pecahnya perang semua hubungan, komersial atau sebaliknya, antara orang-orang penduduk di sini dan musuh asing menjadi ilegal, dan akibatnya bahwa sewa yang diberikan sebelum perang kepada orang yang kemudian menjadi musuh (orang asing) itu baik ditangguhkan atau diakhiri oleh perang, dan bahwa tidak ada tindakan yang bisa dibawa selama perang untuk memulihkan pembayaran di bawah perjanjian sewa dari musuh asing. Itu diragukan bahwa semua hubungan komersial antara penduduk negeri ini dan musuh asing ilegal kecuali diizinkan oleh Raja (The "Hoop," I Ch Rob 196; Esposito v Bowden, 7 E. & B. 779; Robson. v. Premier Oil and Pipe Line Company, [1915] 2 Ch. 124). Larangan ini tidak terbatas pada hubungan komersial (The "Panariellos," [1915] 1 KB 857). Hal ini didasarkan pada kebijakan publik yang melarang perbuatan tindakan yang akan atau mungkin untuk keuntungan Negara musuh dengan meningkatkan kapasitasnya untuk memperpanjang permusuhan dan dengan menambahkan sumber daya yang tersedia untuk individu di Negara musuh. Dalam hal ini sewa adalah hidup dari, valid, dan kontrak dilaksanakan pada pecahnya perang. Tidak ada hubungan sebenarnya sudah, terjadi dengan musuh asing. Pembayaran oleh atau atas rekening musuh asing bagi orang penduduk di negeri ini tidak perdagangan dengan musuh, dan diizinkan jika pembayaran muncul dari transaksi masuk ke sebelum pecahnya perang (Proklamasi Perdagangan dengan Musuh (No 2), dari 9 September 1914, Pasal 7; Undang-Undang Perdagangan dengan Musuh, 1914, 4 & 5 Geo V. o 87, Pasal 1 (2)). Para penggugat tidak melakukan tindakan ilegal jika mereka mengklaim dan menerima pembayaran dari terdakwa sewa karena dalam sewa yang dibuat sebelum perang. Seorang penyewa yang menjadi musuh asing tidak dibebaskan dari kewajibannya di bawah sewa. Tidak ada otoritas untuk proposisi tersebut baik secara hukum kasus atau dalam teksbuku, dan proposisi semacam itu tidak sehat pada prinsipnya. Ini akan menjadi hasil yang aneh jika hukum diadakan untuk meringankan musuh asing kewajiban, yang terjadi sebelum perang, dalam hal properti yang ia tidak kehilangan oleh Crown. Jika Crown menahan diri dari melaksanakan hak untuk menyita properti dari musuh asing, dan memungkinkan dia untuk melanjutkan dalam kepemilikan properti, ia memegang itu tunduk pada semua kewajibannya. Ini tidak masuk akal bahwa musuh asing harus memiliki keuntungan memegang properti tanpa kewajiban untuk melakukan kewajiban kejadian ke hak kepemilikan. Perjanjian untuk membayar sewa tetap, oleh karena itu, meskipun perang. Sewa itu tidak dihentikan; itu hanya obat dari musuh asing yang berkaitan dengan hal itu yang telah terhenti. Terdakwa tidak bisa menegakkan klaim ini untuk ganti rugi oleh pemberitahuan pihak ketiga. Dia tidak bisa menjadi "aktor" dalam proses di Pengadilan Raja, tetapi harus dianggap sebagai penggugat dalam aksi mencari obat terhadap pihak ketiga yang harus dianggap sebagai terdakwa. Ini jelas dari bahasa Undang-Undang Peradilan, 1873, bagian 24, sub-bagian 3, mengacu pada pemberitahuan pihak ketiga. Banding ditolak. Lush, J., setuju dengan penilaian Lord Reading, CJ. Warrington, LJ, menyampaikan keputusan untuk efek yang sama. [Perang tidak menangguhkan hipotek pada properti, maupun obat atasnya di mana tidak ada kesempatan untuk menggunakan Pengadilan musuh untuk menegakkannya terhadap properti digadaikan.] 3.2.f. Putusan Daimler Company, Limited v. Continental Tyre and Rubber Company16 Responden adalah perseroan terbatas, didirikan berdasarkan Companies Act. Mereka menjalankan usaha di London, di kantor terdaftar dari perusahaan, dan memiliki sejumlah lembaga di seluruh Inggris. Perusahaan ini dibentuk pada tahun 1905, dengan modal 16 Ibid., hlm. 232-236. 10.000, meningkat 190H 25.000, untuk perdagangan di ban motormobil yang dibuat di Jerman oleh sebuah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Jerman. Perusahaan Jerman membentuk sejumlah anak perusahaan di berbagai belahan dunia untuk penjualan ban tersebut. Perusahaan responden dibentuk untuk tujuan menjual ban seperti di Inggris. Pada tanggal surat perintah perusahaan Jerman yang diselenggarakan 23.398 saham di perusahaan responden, dan sisa saham, kecuali satu, diadakan oleh subjek dari Kekaisaran Jerman yang berada di Jerman. Satu saham yang terdaftar atas nama sekretaris perusahaan, yang lahir di Jerman, tinggal di London, dan pada bulan Januari 1910, menjadi subyek naturalisasi dari Crown. Para direktur adalah subyek dari Kekaisaran Jerman, dan semua penduduk di Jerman saat aksi pertama kali dibawa. Setelah pecahnya perang antara negara ini dan Jerman perusahaan responden menggugat pemohon dengan penerima kuasa khusus tertulis untuk harga barang yang dipasok sebelum perang. Surat perintah dikeluarkan oleh pengacara responden perusahaan pada petunjuk sekretaris. Tinggalkan untuk menandatangani keputusan di bawah Orde XIV. Diberikan oleh Guru, yang dikonfirmasi oleh Scrutton, J. Pengadilan Tinggi menegaskan urutan Scrutton, J. Ini adalah banding dari Pengadilan yang dengan alasan bahwa sekretaris tidak memiliki kewenangan untuk menginstruksikan tindakan, dan bahwa perusahaan responden adalah musuh asing. The House of Lords berkelanjutan banding dengan alasan bahwa sekretaris tidak memiliki wewenang untuk mengambil tindakan. Namun penilaian juga disampaikan pada pertanyaan utama karakter ramah atau musuh perusahaan. Lord Halsbury berpendapat bahwa seluruh diskusi diselesaikan oleh proposisi sederhana dalam hukum Inggris bahwa ketika objek yang akan dicapai adalah sah, secara tidak langsung dari cara-cara yang itu harus dicapai tidak akan menyingkirkan melawan hukum tersebut; dan ini menyebabkan objek sarana diadopsi adalah untuk memungkinkan ribuan pound untuk dibayarkan ke musuh Raja. Sebelum perang terjadi antara negara ini dan Jerman badan terkait Jerman penarikan diri dari hukum Inggris untuk menjalankan usaha untuk manufaktur mesin bermotor di Jerman, dan menjual mereka di sini di Inggris dan di tempat lain, karena mereka berhak untuk melakukan, tetapi dalam melakukannya terikat untuk mengamati arah yang UU Parlemen di mana mereka tergabung diperlukan. Mereka berhak menerima dalam bentuk dividen keuntungan dari perhatian secara proporsional dengan saham mereka di dalamnya. Mereka semua Jerman awalnya, meskipun salah satu kemudian menjadi seorang Inggris naturalisasi. Sekarang, hak dan tentu saja yang tepat untuk menangani masalah ini adalah untuk mendistribusikan kepada mereka proporsional, sesuai dengan saham mereka, keuntungan dari petualangan mereka. Tapi mesin ini, sementara sempurna sah dalam waktu damai, benar-benar melanggar hukum ketika pedagang Jerman yang berperang dengan negara ini. Tampaknya dia bahwa pertanyaan menjadi sangat jelas ketika salah satu menerapkan bahasa hukum dengan kondisi hal ketika perang dinyatakan antara Jerman yang berada di karakter pemegang saham dan mengendalikan perusahaan. Mereka bisa tidak bertemu di sini, dan tidak pula mereka memenuhi ketentuan bagi pemerintah dari perusahaan yang mereka terikat oleh karakter dimasukkan mereka untuk mengamati. Dalam keadaan seperti ini menjadi bahan untuk mempertimbangkan apa yang hal ini yang digambarkan sebagai "perusahaan." Saat itu, pada kenyataannya, kemitraan dalam semua yang merupakan kemitraan kecuali nama, dan dalam beberapa hal posisi mereka yang ia sebut mengelola mitra. Tidak ada yang bisa meragukan bahwa nama dan penggabungan itu tapi mesin dimana tujuan (memberikan uang kepada musuh) akan dicapai. Tidak adanya kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah itu hanya bagian dari masalah yang lebih besar. Tidak ada yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah atas nama musuh asing, karena ia tidak punya hak sendiri untuk menuntut di Pengadilan Raja dengan siapa berdaulat sendiri sedang berperang. Tidak ada orang, atau badan orang, kepada siapa terpasang kecacatan menggugat dalam keadaan seperti itu bisa memiliki otoritas, dan mencoba untuk melindungi fakta pemberian musuh uang karena mereka oleh mesin diciptakan untuk kepentingan hukum akan setara untuk melampirkan emas dan mencoba untuk memaafkan dengan menyatakan bahwa tas berisi itu pembuatan bahasa Inggris. Hakim Ketua Mahkamah Agung mengatakan bahwa perusahaan adalah hal yang hidup. Jika demikian, itu akan mampu kesetiaan dan ketidaksetiaan. Tapi itu tidak; dan argumen yang menjadi mampu menjadi loyal atau setia didirikan pada yang tidak menjadi "hal yang hidup." Baik itu tas dalam ilustrasi beliau itu "hal yang hidup." Dan mesin hanya untuk melakukan tindakan ilegal tidak akan membersihkan ilegalitas nya (fraus circuita non purgatur). Setelah semua, ini adalah pertanyaan tentang kata-kata cerdik, berguna untuk tujuan yang mereka dirancang, tetapi sepenuhnya mampu menjadi tegang untuk tujuan ilegal. Kewajiban terbatas adalah pengenalan yang sangat berguna dalam sistem negara ini, dan tidak ada alasan mengapa orang asing tidak, ketika berhadapan dengan jujur dengan subyek negeri ini, mengambil manfaat dari lembaga itu, tapi tampaknya dia juga mengerikan misalkan untuk melanggar hukum, karena, setelah deklarasi perang, bermusuhan, tujuan bentuk lembaga yang harus digunakan, dan musuh oleh negara, sementara sebenarnya berperang dengan negara ini, harus diizinkan untuk melanjutkan perdagangan dan benar-benar ke menuntut keuntungan mereka dalam perdagangan di Pengadilan Kehakiman Inggris. Lord Atkinson berpendapat bahwa banding harus diperbolehkan, dengan alasan bahwa sekretaris tidak memiliki kewenangan untuk melembagakan tindakan. Pada titik utama ia menyatakan tidak ada pendapat, tetapi ia menyesalkan bahwa pemohon tidak diizinkan untuk membela, seperti dalam pendapatnya mereka harus telah, sehingga semua fakta mungkin telah menimbulkan, dan itu bisa ditentukan apakah perusahaan responden tinggal atau diperdagangkan di Jerman atau tidak. Lord Shaw Dunfermline dan Lord Parmoor setuju dengan pandangan Pengadilan Tinggi pada titik utama, tapi berbeda dengan mereka pada pertanyaan otoritas sekretaris. Lord Parker dari Waddington, yang dalam penghakiman Lord Mersey, Lord Sumner, dan Lord Kinnear setuju, mengatakan bahwa ketika tindakan dilembagakan semua direktur perusahaan penggugat adalah Jerman penduduk di Jerman. Dengan kata lain, mereka adalah musuh Raja, dan sebagai mampu seperti berolahraga salah satu kekuatan yang diberikan kepada mereka sebagai direktur sebuah perusahaan yang didirikan di Inggris. Mereka tidak mampu, oleh karena itu, otorisasi lembaga aksi ini. Anggapan bahwa sekretaris perusahaan dapat mengotorisasi lembaga tersebut tak bisa dipertahankan. Resolusi mana ia diangkat sebagai sekretaris akan memberi dia kekuatan tersebut hanya seperti insiden terhadap pelaksanaan tugas sekretarisnya. Para direktur perusahaan mungkin dengan resolusi yang tepat dalam nama yang telah diberikan kepadanya kekuatan untuk mengizinkan lembaga persidangan di nama perusahaan, tetapi mereka tidak melakukannya. Perilaku mereka dalam memegang dia keluar sebagai orang yang memiliki kekuatan ini, jika mereka sebenarnya sehingga menahannya keluar, mungkin dalam kasus-kasus tertentu telah dioperasikan untuk memberhentikan perusahaan dari menyangkal otoritas pengacara yang ia dipertahankan, tetapi tidak bisa memberi kekuatan yang bersangkutan. Ini diikuti bahwa tindakan ini dilembagakan tanpa otoritas dari perusahaan, dan Pengadilan, memiliki pemberitahuan fakta, seharusnya menolak bantuan. Memang benar bahwa pertanyaan apakah pengacara penggugat telah atau belum sah ditahan itu pada umumnya diajukan ke Pengadilan oleh gerak, yang pengacara itu dibuat pesta. Tapi ketika Mahkamah dalam perjalanan dari suatu tindakan sadar bahwa penggugat tidak mampu memberikan punggawa sama sekali, tidak seharusnya membiarkan tindakan untuk melanjutkan. Ini jelas tidak akan melakukannya dalam kasus penggugat bayi, dan ia bisa melihat ada perbedaan prinsip antara kasus bayi dan kasus perusahaan yang tidak memiliki direktur atau pejabat lain yang mampu memberikan instruksi untuk lembaga hukum proses. Ini lebih terutama jadi ketika, dengan alasan semua pemegang saham (dengan satu pengecualian) menjadi musuh Raja, tidak ada agen atau petugas yang mampu memberikan instruksi tersebut dapat secara sah ditunjuk. Disarankan bahwa sekretaris, menjadi satu-satunya pemegang saham yang bukan musuh, bisa dalam beberapa cara atau panggilan lain dan mengadakan pertemuan perusahaan di mana ia mungkin menunjuk dirinya sebagai direktur atau agen perusahaan, dengan kekuatan seperti karena ia mungkin berpikir sehat. Dia tidak mencoba untuk melakukannya, dan setelah pemeriksaan yang cermat terhadap artikel yang pikir itu cukup jelas bahwa upaya tersebut akan gagal. Selanjutnya, itu cukup jelas bahwa anggaran dasar perusahaan tidak merenungkan atau menyediakan untuk kelanjutan perdagangan perusahaan tanpa direksi sama sekali, juga tidak seorang sekretaris sebuah perusahaan resmi yang virtute officii bisa mengatur semua urusan, dengan atau tanpa bantuan pembantu, dengan tidak adanya direktorat biasa. Dalam situasi seperti itu itu, tegasnya, tidak perlu untuk mempertimbangkan apakah sebuah perusahaan yang didirikan di Inggris bisa di bawah apapun dan keadaan apa menjadi musuh atau menganggap karakter musuh. Pertanyaannya, sudah, bagaimanapun, telah begitu rumit berpendapat, baik di sini maupun di Pengadilan Tinggi, dan penting umum seperti, bahwa hal itu tidak akan tepat untuk mengabaikannya. Setelah meninjau serangkaian Inggris dan otoritas Amerika pada pertanyaan apa yang merupakan sebuah perusahaan musuh, Yang Mulia menyampaikan bahwa pertimbangan yang diatur kewajiban sipil dan hak-hak properti di masa damai sangat berbeda dengan orang-orang yang diatur karakter musuh pada saat perang. Bersama saham perusahaan dan undang-undang Inggris dan keputusan tentang hal itu telah dikembangkan terutama sejak negara ini terakhir terlibat dalam perang besar Eropa, dan telah mengambil sedikit, jika ada, rekening kondisi perang. Cita-cita perusahaan saham gabungan, yang dengan kewajiban terbatas semakin terbatas perdagangan yang lebih baik, adalah ideal perdamaian yang mendalam. Aturan terhadap perdagangan dengan musuh adalah senjata berperang tentang perlindungan diri. Dia berpikir bahwa itu harus diterapkan pada situasi modern mereka menemukan mereka, dan tidak terbatas pada aplikasi lama, dengan sedikit keinginan untuk memotongnya di satu sisi untuk memperpanjang itu di lain di luar apa yang diperlukan keadaan ini. Meskipun telah dikatakan oleh otoritas tinggi (lihat M'Connel v Hector, 3 B. & P. 113;.. Esposito v Bowden, 27 LJ, QB, di p 20) untuk bertujuan membatasi sumber daya komersial musuh, itu, menurut pihak berwenang lainnya dan lebih tua, objek yang lebih luas untuk mencegah hubungan yang tidak diatur dengan musuh sama sekali. Melalui lisensi kerajaan, yang divalidasi hubungan tersebut dan perdagangan tersebut, mereka dibawa di bawah kendali yang diperlukan. Tanpa kontrol seperti mereka dilarang. Untuk pikirannya, aturan akan dicabut justifikasi substansial dan berkurang menjadi kanon mandul jika diadakan, dalam keadaan seperti ini, bahwa itu tidak ada aplikasi dengan alasan fakta bahwa perusahaan ini terdaftar di London. Dengan memperhatikan pertimbangan tersebut di atas, ia berpikir bahwa undang-undang tentang subjek mungkin diringkas dalam proposisi berikut: 1. perusahaan yang didirikan di Inggris adalah badan hukum, penciptaan hukum dengan status dan kapasitas yang hukum menganugerahkan. Hal ini bukan orang alami dengan pikiran atau hati nurani. Untuk menggunakan bahasa Buckley, LJ, "bisa tidak setia atau loyal. Hal ini dapat tidak teman atau musuh." 2. perusahaan tersebut hanya dapat bertindak melalui agen resmi baik, dan selama itu menjalankan usaha di negara ini melalui agen resmi jadi, dan tinggal di ini atau negara yang ramah, itu adalah prima facie dianggap sebagai teman, Yang Mulia dapat menghadapinya seperti itu. 3. Seperti perusahaan dapat, bagaimanapun, menganggap karakter musuh. Ini akan terjadi jika agen atau orang-orang dalam kontrol de facto dari urusan, baik resmi atau tidak, bertempat tinggal di negara musuh, atau, di manapun warga, yang mengikuti musuh atau mengambil instruksi dari atau bertindak di bawah kontrol musuh. Seseorang sengaja berurusan dengan perusahaan dalam kasus seperti itu adalah perdagangan dengan musuh. 4. Karakter pemegang saham individu tidak dengan sendirinya dapat mempengaruhi karakter perusahaan. Hal ini diakui sehingga di masa damai, di mana setiap pemegang saham bebas untuk berolahraga dan menikmati hak-hak seperti yang oleh insiden hukum statusnya sebagai pemegang saham. Akan aneh jika tidak demikian juga dalam waktu perang, di mana semua hak dan hak istimewa tersebut di penundaan. Karakter musuh pemegang saham individu dan perilaku mereka mungkin, namun, sangat material pada pertanyaan apakah agen perusahaan, atau orang-orang dalam kontrol de facto dari urusan, pada kenyataannya mengikuti, mengambil instruksi dari, atau bertindak di bawah kontrol musuh. Materialitas ini akan bervariasi dengan jumlah pemegang saham yang merupakan musuh dan nilai kepemilikan mereka. Faktanya, jika itu kenyataan, bahwa setelah menghilangkan pemegang saham musuh jumlah pemegang saham yang tersisa tidak cukup untuk tujuan mengadakan pertemuan perusahaan atau penunjukan direksi atau pejabat lainnya, mungkin meningkatkan anggapan dalam hal ini. Sebagai contoh, dalam kasus ini, bahkan jika sekretaris telah resmi sepenuhnya untuk mengelola urusan perusahaan dan untuk menjalankan proses hukum atas namanya, fakta bahwa ia memegang satu saham hanya dari 25.000 saham dan satu-satunya pemegang saham yang bukanlah musuh mungkin juga melemparkan pada perusahaan yang tanggung jawab untuk membuktikan bahwa ia tidak bertindak di bawah kendali, mengambil instruksi dari, atau mengikuti musuh Raja dengan cara seperti untuk memaksakan karakter musuh di perusahaan itu sendiri. Ini adalah kasus fortiori ketika sekretaris tanpa otoritas, dan tentu tergantung atas kebenaran semua yang dilakukannya pada ratifikasi selanjutnya pemegang saham musuh. Keadaan kasus ini, oleh karena itu, seperti membutuhkan investigasi dekat, dan menghalangi kepatutan memberikan cuti untuk menandatangani penghakiman bawah Ord. XIV, R. 1. 5. Dalam cara yang sama sebuah perusahaan yang terdaftar di Inggris, namun melakukan usaha di negara netral melalui agen resmi dan benar penduduk sini atau di negara netral prima facie dianggap sebagai teman, tapi mungkin, melalui agennya , atau orang-orang di de facto mengendalikan urusannya, menganggap karakter musuh. 6. Sebuah perusahaan yang terdaftar di Inggris, tetapi menjalankan bisnis di negara musuh, harus dianggap sebagai musuh. Proposisi di atas tidak hanya konsisten dengan otoritas dikutip dalam argumen, dan khususnya dengan apa yang dikatakan dalam hal ini House in Jansen v. Driefontein Consolidated Mines, [1902]. 3.3. Analisis Perbandingan Kaedah Hukum tentang Status Orang Asing di Indonesia dan Skotlandia Dalam hukum positif di Indonesia, terdapat pengaturan mengenai kontrak bisnis dengan orang asing, walaupun tidak diatur ke dalam undang-undang tersendiri. Pengaturan terdapat dalam Pasal 1173 dan Pasal 1320 KUHPerdata. Diatur bahwa tidak boleh atau tidak dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di dalam sesuatu traktat telah ditentukan sebaliknya. Juga, terdapat pula dalam yurisprudensi No. 1695 K/Pdt/1984 tanggal 23 Mei 1986 dan yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, yang secara tegas menyatakan bahwa: “Perjanjian antara Warga Negara Indonesia dengan orang asing tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah Indonesia.” Adapun contoh kasus kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata tersebut dapat dilihat dalam kasus antara SINO SANDJAJA, PT. SEDJATI INTERNUSA OVERSEAS, Para Pemohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Pembanding melawan PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA cq MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA cq KEPALA BADAN URUSAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA JAKARTA (BUPLN KANWIL III) cq KEPALA KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA (KP2LN) JAKARTA I, PT. BANK MANDIRI (Persero) Tbk ex PT. BANK BUMI DAYA (Persero) Pusat cq. PT. BANK MANDIRI Pusat, BUMI DAYA INTERNATIONAL FINANCE LIMITED (BDIF), suatu badan hukum privat yang didirikan dan berkedudukan di Hongkong, para Termohon Kasasi dahulu para Tergugat/para Terbanding, dalam putusan No. 1311 K/Pdt/2011 adalah sebagai berikut: a Dalam Pasal 1173 KUHPerdata jelas-jelas menyatakan bahwa tidak boleh/tidak dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di dalam sesuatu traktat telah ditentukan sebaliknya (jis yurisprudensi No. 1695 K/Pdt/1984 tanggal 23 Mei 1986, dan yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, secara tegas dinyatakan: "Perjanjian antara warga negara Indonesia dengan orang Asing tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah Indonesia," dengan demikian Termohon Kasasi III sebagai pihak asing tidak berhak melakukan suatu hubungan hukum dengan jaminan melibatkan obyek-obyek yang berada di wilayah Republik Indonesia, terlebih Termohon Kasasi III adalah suatu badan hukum swasta luar negeri berstatus private yang didirikan dan berkedudukan hukum di luar negeri (Hongkong), serta tidak mempunyai domisili wilayah Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170 menjadi batal/memuat syarat batal, karena: • Perjanjian kredit tersebut bertentangan dengan perundangundangan Republik Indonesia, yaitu perjanjian tersebut dibuat untuk tunduk kepada hukum yang berlaku di negara Hongkong (Pasal 17), sehingga dapat dipersamakan dengan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, terlebih di dalam perjanjian kredit itu sendiri terdapat pengakuan dari Termohon Kasasi III akan yurisdiksi hukum negara Hongkong untuk mengadakan kegiatan pengurusan piutang tersebut dengan Pemohon Kasasi II, yaitu di dalam Pasal 6 ayat (1), Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit", yang menyatakan: "Pengambilan atau penyetoran uang dapat dilakukan oleh debitur di kantor kreditur, yaitu di Hongkong, pada tiap-tiap hari kerja pada jam-jam dibukanya kas dari kreditur itu untuk umum atau dengan cara lain sesuai dengan kebiasaan yang ada"; • Perjanjian kredit tersebut dibuat oleh Kreditur (Termohon Kasasi III) berbadan hukum asing (Hongkong) yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia, sehingga sudah sepatut dan sepantasnya setiap badan hukum asing yang tidak mempunyai/domisili hukum di wilayah Republik Indonesia dinyatakan tidak mempunyai legitimasi hukum di wilayah Republik Indonesia, dan dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap setiap perbuatannya. Berbeda halnya dengan negara Skotlandia yang mengatur secara tersendiri mengenai kontrak bisnis dengan orang asing, Skotlandia mempunyai the Trading with the Enemy Act dan Royal Proclamation. Pernah Hakim bernama Lord Skerrington dan Lord Anderson pada Court of Session Skotlandia menerapkan prinsip hukum berdagang dengan orang asing. Para Penggugat memiliki sebuah perusahaan yang menjalankan usaha dengan nama Gebruder van Uden, yang berkedudukan di Duisberg, Jerman, mereka berkontrak dengan seorang pemilik kapal di Glasgow yang bernama Burrell. Jika Penggugat merupakan pengusaha yang menjalankan usahanya di Duisberg, Jerman, kemudian mereka melakukan usaha di negara musuh, dalam arti mereka harus tunduk pada the Trading with the Enemy Act and Royal Proclamation Skotlandia. Maka, mereka tidak punya hak untuk meminta bantuan Pengadilan di Skotlandia untuk menegakkan hak-hak sipil mereka. Karena mereka musuh asing, proses tersebut harus selesai sampai akhir perang.17 Terdapat satu contoh lagi mengenai perbedaan dengan putusan No. 1311 K/Pdt/2011 Indonesia. Yaitu dalam Putusan Schulze. Gow & Co. v. Bank of Scotland. Dalam kasus ini, yang terjadi sebelum pecahnya perang, mitra yang masih hidup satusatunya perusahaan yang menggugat pembela untuk akuntansi mereka dengan dana dari perusahaan, dimana keseimbangan yang benar karena perusahaan mungkin dipastikan. Para pembela memohon, antara lain, tidak ada alasan untuk menuntut, karena subyek hukum kontrak seperti itu adalah dapat dikategorikan sebagai musuh asing. 17 Gebruder van Uden v Burrell, First division, 1916, 1 S.L.T. 117. Court of Session, Scotland, hlm. 254-256. Lord Hunter mengatakan bahwa dia tidak bisa memberi putusan dalam permohonan ini. Meskipun penggugat itu subjek Jerman, ia telah lama tinggal dan melakukan usaha perdagangan di Skotlandia, dan telah sepatutnya memenuhi ketentuan UndangUndang Pembatasan Orang Asing 1914, dan Penjelasan yang dibuat di bawahnya. Dalam Janson v. Driefontein Consolidated Mines, Limited, [1902] AC, di p. 505, Lord Lindley mengatakan; "Ketika mempertimbangkan pertanyaan yang timbul dengan musuh asing, itu bukan kebangsaan seseorang, tapi tempat usahanya selama perang, yang penting, bukan klausul dalam kontrak." Doktrin ini juga diterapkan dalam Kasus Princess Thurn and Taxis v. Moffitt, [1914] WN 379, dan Schaffenius v. Goldberg. Perbedaan berikutnya terletak pada bahwa Indonesia tidak mempunyai suatu undang-undang khusus mengenai transaksi bisnis dengan orang asing (khususnya pada saat perang atau dalam keadaan damai), sedangkan Skotlandia sudah mempunyai undang-undang tersebut. Hal ini dapat dimaklumi bahwa mengingat Indonesia baru merdeka pada tahun 1945, dan itupun diperoleh bukan dari kemenangan atas perang, tetapi karena penjajahan. Penerapan prinsip hukum yang keliru juga dipakai oleh sistem hukum di Indonesia. Dapat dicontohkan, kasus antara PT. Saprotan vs. Ny. R. A. Moniek Sriwidjajanti, dkk., dalam putusan MA No. 1080 K/Pdt/1998. Dalam kasus ini Mahkamah Agung menyatakan persetujuan batal demi hukum (null and void) karena adanya economic duress.18 Ada dua kekeliruan disini, pertama dari segi terminologi yang digunakan tercermin inkonsintensi. Kata “null and void“ and “economic duress” tidak tepat diterapkan dalam kasus a quo. Kedua, economic duress merupakan salah satu bentuk undue influence dalam common law dengan akibat kontrak voidable. Dengan demikian secara subtansial penerapan prinsip ini tidak tepat. Putusan ini jelas menunjukkan pengaruh kuat dari hukum kontrak common law. Situasi seperti ini di antaranya karena secara subtansial Hukum Perdata kita terutama yang menyangkut Hukum Perikatan tidak lagi memadai dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hukum dalam masyarakat, terutama dalam lapangan perekonomian yang berkembang penuh dinamika.19 BW kita harus diakui telah ketinggalan jaman (out of date) dan bagi salah satu ahli Hukum 18 19 Putusan MA No. 1080 K/Pdt/1998, Loc. Cit. Moch. Isnaeni, Loc. Cit. Kontrak terkemuka, instrumen hukum yang demikian ini dapat dikategorikan sebagai bad law.20 Perlu dikemukakan juga dalam kasus antara PT. Patra Supplies And Service dengan David J. Duffi dalam putusan No. 223 K/TUN/2007. PT. Patra Supplies And Service adalah perusahaan yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia, berdomisili dan berlamat kantor di Indonesia, serta menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia, oleh karenanya selain tunduk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, PT. Patra Supplies And Service juga tunduk pada Peraturan Perusahaannya sendiri, serta Kontrak Kerja yang ditandatangani oleh Penggugat dan PT. Patra Supplies And Service. Meskipun kontrak kerja a quo memilih hukum dan Pengadilan Singapura dalam penyelesaian permasalahan yang diatur dalam kontrak kerja tersebut, namun kontrak kerja tersebut tidak mengesampingkan berlakunya Peraturan Perusahaan PT. Patra Supplies And Service sendiri, dan hukum Indonesia yang lebih tinggi kedudukannya dari kontrak kerja a quo. Akan tetapi, hakim dalam putusan tersebut mendalilkan bahwa sesuai Pasal 12 Perjanjian Kontrak Kerja yang ditandatangani, dinyatakan apabila terjadi sengketa dalam kontrak 20 P.S. Atiyah, Law and Modern Society, Loc. Cit. kerja tersebut akan diselesaikan menurut Hukum Singapura di Pengadilan Singapura, bukan Indonesia. Selain perbedaan, terdapat pula persamaan prinsip yang dipakai di antara kedua negara (Indonesia dan Skotlandia). Prinsip yang dimaksud adalah prinsip hukum bahwa seorang warga negara asing tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan atas kedaulatan wilayah negara dan segala keuntungan yang dapat diperoleh atas itu. Prinsip tersebut dapat ditemukan dalam Putusan Halsey and Another v. Lowenfeld. Pengadilan Tinggi menegaskan keputusan Ridley, J., dan menolak banding tersebut, dengan biaya. Lord Reading. CJ, mengatakan bahwa pertanyaan dalam kasus ini adalah apakah penggugat selama perang bisa menuntut musuh asing dalam sewa yang diberikan sebelum perang. Itu berpendapat atas nama terdakwa yang pada saat pecahnya perang semua hubungan, komersial atau sebaliknya, antara orang-orang penduduk di sini dan musuh asing menjadi ilegal, dan akibatnya bahwa sewa yang diberikan sebelum perang kepada orang yang kemudian menjadi musuh (orang asing) itu baik ditangguhkan atau diakhiri oleh perang, dan bahwa tidak ada tindakan yang bisa dibawa selama perang untuk memulihkan pembayaran di bawah perjanjian sewa dari musuh asing. Putusan Halsey and Another v. Lowenfeld tersebut di atas sama dengan putusan No. 286 K/Pdt.Sus-PHI/2013 dalam kasus antara PT. SIEMENS INDONESIA sebagai Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II dahulu Tergugat, melawan STEPHEN MICHAEL YOUNG, Warga Negara Australia, sebagai Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat. Pertimbangan hakim mengatakan: “Sekalipun Tergugat terbukti telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus dari tanggal 10 April 1998 s/d 30 September 2011 atau selama 13 (tiga belas) tahun dan mempekerjakan Penggugat dari tahun 1999 s/d 2001 tanpa adanya perjanjian kerja, Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan kerja antara Penggugat sebagai tenaga kerja asing dengan Tergugat tidak secara otomatis dapat berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat atau berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT) dengan alasan hukum: Penggugat adalah tenaga kerja asing, sehingga hubungan kerjanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu Hubungan Kerja Waktu Tertentu (PKWT).”