Kontrak Bisnis dengan Orang Asing

advertisement
BAB III
HASIL PENELITIAN
Bab ini berisikan hasil penelitian lengkap mengenai Putusan
Pengadilan Indonesia. Pihak yang bersengketa di sana adalah orang
asing. Putusan Pengadilan Indonesia tersebut bernomor: 1080
K/Pdt/1998; 223 K/TUN/2007; 286 K/Pdt.Sus-PHI/2013; 1311
K/Pdt/2011; 1695 K/Pdt/1984; dan 641 K/Pdt/1993. Sedangkan
untuk Putusan Pengadilan Skotlandia terdapat beberapa kasus, yaitu
Putusan: Ertel Bieber & Co v. Rio Tinto Company, Limited;
Gebruder Van Uden v. Burrell; Schulze. Gow & Co. v. Bank of
Scotland; Schaffenius v. Goldberg; Halsey and Another v.
Lowenfeld; dan Daimler Company, Limited v. Continental Tyre and
Rubber Company.
3.1. Kaedah Hukum Mengenai Status Orang Asing
dalam Putusan Pengadilan Indonesia
3.1.a. Putusan Nomor 1080 K/Pdt/1998
Indonesia memiliki sistem hukum yang unik, namun tidak
menolak tradisi
civil law, karena KUHPerdata Indonesia pada
dasarnya ada yang sama dengan BW Belanda (yang lama). Praktek-
praktek bisnis juga mempengaruhi perkembangan hukum nasional,
terutama bidang Hukum Kontrak. Ini dapat terlihat dari putusanputusan pengadilan Indonesia, terutama yang menyangkut sengketa
kontrak. Nampak dengan jelas ada pengaruh yang dominan juga dari
sistem common law. Dalam berbagai ratio decidendi putusan
pengadilan terdeteksi bahwa konsep atau prinsip, juga terminologi
hukum yang digunakan bersumber pada sistem common law. Dapat
dicontohkan di antaranya kasus antara PT. Saprotan vs. Ny. R. A.
Moniek Sriwidjajanti, dkk. Dalam kasus ini Mahkamah Agung
menyatakan persetujuan batal demi hukum (null and void) karena
adanya economic duress.1
Ada dua kekeliruan disini, pertama dari segi terminologi
yang digunakan tercermin inkonsintensi. Kata “null and void“ and
“economic duress”,
ada pendapat bahwa tidak tepat diterapkan
dalam kasus a quo. Economic duress yang merupakan satu bentuk
undue influence dalam common law dengan akibat kontrak voidable.
Namun demikian secara subtansial penerapan prinsip ini dapat saja
dikatakan tepat.
1
Putusan MA No. 1080 K/Pdt/1998, tertuang dalam Varia Peradilan, TH. XV, No.
169, Oktober 1999, hlm. 39-65. Dapat disimak dalam Sogar Simamora, Op. Cit.,
hlm. 28.
Putusan diatas jelas menunjukkan pengaruh kuat dari hukum
kontrak common law. Situasi seperti ini, di antaranya karena secara
subtansial. hukum Perdata Indonesia terutama yang menyangkut
hukum perikatan sering dianggap tidak lagi memadai dalam
memenuhi tuntutan kebutuhan hukum dalam masyarakat, terutama
dalam lapangan perekonomian yang berkembang penuh dinamika.2
Ada pandangan KUHPerdata harus diakui telah ketinggalan jaman
(out of date), instrumen hukum yang dapat dikategorikan sebagai
bad law.3 Sekalipun pendapat demikian agak aneh, mana mungkin
ada hokum yang bad.
3.1.b. Putusan Nomor 223 K/TUN/2007
Perkara Tata Usaha Negara selanjutnya disingkat PTUN
dalam tingkat kasasi antara David J Duffi melawan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).
Mahkamah berpendapat dalam perkara itu bahwa Pemohon
Kasasi yang dahulu sebagai Penggugat telah menggugat sekarang
Termohon Kasasi yang dahulu sebagai Tergugat di muka
persidangan PT TUN Jakarta.
2
3
Moch. Isnaeni, Loc. Cit.
P.S. Atiyah, Law and Modern Society, Loc. Cit.
Obyek sengketa dalam perkara itu adalah putusan Tergugat
No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 23 Maret 2005 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja antara PT. Patra Supplies And Service
selanjutnya disebut PT. PSAS dengan David J Duffi.
Menurut Penggugat ia, telah menerima salinan putusan
Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005
dengan
surat
pengantar
bertanggal
18
April
2005
No.
TAR.734/M/KP4P/IV/2005, melalui kantor Hukum Yuherman Law
Office pada tanggal 11 Juli 2005.
Pengajuan gugatan dimaksud masih dalam batas waktu
Sembilan
puluh
hari
sejak
diterimanya
putusan
Tergugat
sebagaimana yang disyaratkan Pasal 55 Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang PTUN
Putusan Tergugat tersebut merupakan KTUN, sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 5 Tahun
1986, dan telah bersifat konkrit, individual, dan final, serta
menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat. Putusan Tergugat
merupakan produk hukum Administrasi Negara yang dapat digugat
di muka PTUN berdasarkan Pasal 48 jo Pasal 51 ayat (30) UndangUndang No. 5 Tahun 1986. Dengan demikian, menurut penggugat
gugatannya pada perkara itu haruslah dinyatakan tidak dapat
diterima.
Penggugat adalah karyawan yang bekerja pada Pengusaha
PT. Patra Supplies And Service terhitung sejak tanggal 1 Pebruai
2004, sesuai surat penunjukan PT. Patra Supplies And Service No.
MD0054/04 tanggal 27 Januari 2004 (selanjutnya disebut dengan
kontrak
kerja),
Advisor/Fasilities
Penggugat
Manager
atau
bekerja
sebagai
sebagai
Penasehat
Technical
Teknis,
ditempatkan di Propinsi Riau, dengan gaji tahunan sebesar US $
54,000 (lima puluh empat ribu US Dollar), yang dibayarkan tiap
bulan sebesar US $ 4,500. Dalam konteks penulisan tesis ini,
penggugat adalah subjek hokum orang asing.
PT. Patra Supplies And Service melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) dengan Penggugat tanpa mendapatkan ijin
terlebih dahulu dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Daerah (P4D) Propinsi DKI Jakarta. PHK tersebut dilakukan atas
alasan Penggugat tidak mampu melaksanakan instruksi kerja dari
Pengusaha. Keputusan PT. Patra Supplies And Service mengenai
PHK tersebut disampaikan kepada Penggugat pada tanggal 7 Mei
2004 (bulan keempat) masa kerja Penggugat melalui suratnya
bertanggal 5 Mei 2004, akan tetapi PHK dinyatakan berlaku mundur
terhitung sejak tanggal 30 April 2004.
PT. Patra Supplies And Service adalah perusahaan yang
didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia, berdomisili dan
berlamat kantor di Indonesia, serta menjalankan kegiatan usahanya
di Indonesia, oleh karenanya selain tunduk pada undang-undang
ketenagakerjaan, PT. Patra Supplies And Service juga tunduk pada
Peraturan Perusahaannya sendiri, serta Kontrak Kerja yang
ditandatangani oleh Penggugat sebagai orang asing dan PT. Patra
Supplies And Service.
Meskipun kontrak kerja a quo memilih hukum dan
Pengadilan Singapura dalam penyelesaian permasalahan yang diatur
dalam kontrak kerja tersebut, namun kontrak kerja tersebut tidak
mengesampingkan berlakunya Peraturan Perusahaan PT. Patra
Supplies And Service sendiri, dan hukum Indonesia yang lebih
tinggi kedudukannya dari kontrak kerja a quo.
Atas PHK yang dilakukan PT. Patra Supplies And Service
tersebut, Penggugat telah melaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Disnaker) DKI Jakarta, selanjutnya Disnaker DKI
Jakarta memberikan anjuran agar perusahaan PT. Patra Supplies
And Service, membayar kepada Pekerja Sdr. David J Duffi, yaitu
ganti rugi berupa sisa upah sebesar 9 (sembilan) bulan upah. PT
PSAS juga dianjurkan agar Sdr. David J Duffi, menerima
kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dalam butir
satu di atas; dan agar pihak perusahaan dan Pekerja memberikan
jawaban secara tertulis atas anjuran tersebut, selambat-lambatnya
dalam waktu paling lama tujuh hari setelah menerima anjuran.
PT. PSAS mengajukan keberatan atas putusan tersebut
kepada P4D Propinsi DKI Jakarta. P4D Propinsi DKI Jakarta dalam
putusannya tanggal 7 Desember 2004 memutuskan: menyatakan
hubungan kerja antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja David J
Duffi putus terhitung sejak tanggal 1 Mei 2004; dan mewajibkan
kepada Pengusaha membayarkan kepada Pekerja secara tunai tanpa
angsuran, berupa: “Uang ganti rugi : 9 x Rp. US $ 4,500 = US $
40,500 (empat puluh ribu lima ratus dollar Amerika Serikat);
Baik Disnaker maupun P4D Propinsi DKI Jakarta telah
menganjurkan PT. PSAS untuk melakukan pembayaran atas
sembilan bulan gaji Penggugat, akan tetapi PT. PSAS tetap
keberatan dengan putusan tersebut dan mengajukan banding kepada
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau Tergugat.
Melalui putusan No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret
2005 telah diubah isi putusan P4D tersebut, yaitu, menyatakan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat di Jakarta dapat
mengabulkan permohonan banding Pengusaha PT. PSAS dan
Penyelesaian perkara Pemutusan Hubungan Kerja yang terjalin
antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja Sdr. David J Duffi,
mengacu pada perjanjian kerja yang ditandatangani oleh Pekerja
Sdr. David J Duffi dengan Pengusaha PT. PSAS tanggal 27 Januari
2004 dengan menggunakan undang-undang/hukum yang berlaku di
Singapura.
Keputusan
Tergugat
No.
365/483/83-7/IX/PHK/3-2005
tanggal 29 Maret 2005 a quo adalah tidak berdasar dan bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
bertentangan pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik, sehingga berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 9
Tahun 2004, Keputusan Tergugat tersebut haruslah dinyatakan batal
atau tidak sah.
Pembatalan Keputusan Tergugat tersebut bukannya tanpa
alasan dan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Penggugat menjelaskan hal itu dalam pertimbangan mengenai:
Permasalahan atau fakta
Penggugat bekerja pada PT. PSAS terhitung sejak tanggal 1
Februari 2004 sesuai dengan kontrak kerja tanggal 27 Januari 2004.
Kontrak kerja tersebut ditandatangani oleh Penggugat di Jakarta
pada hari yang sama, setelah sebelumnya Penggugat menyerahkan
riwayat hidup Penggugat pada tanggal 12 Januari 2004 dan
melakukan orientasi lapangan selama satu minggu di Pekanbaru,
yakni sampai tanggal 24 Januari 2004. Hal itu, menurut penggugat
membuktikan bahwa kontrak kerja a quo dibuat dan ditandatangani
di Indonesia dan diberlakukan dalam hubungan kerja antara
Penggugat sebagai orang asing dengan Pengusaha PT. PSAS yang
didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia. Penggugat bekerja
sebagai
Technical
Advisor/Fasilities
Manager
atau
sebagai
Penasehat Teknis dan ditempatkan di Propinsi Riau dengan gaji
tahunan sebesar US $ 54.000 (lima puluh empat ribu US Dollar)
yang dibayarkan tiap bulan kepada Penggugat sebesar US $ 4,500.
Kontrak kerja tersebut tidak mengenai masa percobaan dan tanpa
batas waktu. Akan tetapi, segala perjanjian yang berkenaan dengan
status Penggugat sebagai Pekerja di Indonesia, seperti IKTA,
RPTKA, dan dokumen lainnya diurus dan menjadi tanggung jawab
PT. Patra Supplies And Service untuk jangka waktu sekurangkurangnya selama 1 (satu) tahun.
Bilamana perjanjian tersebut tidak dapat diperpanjang
meskipun kontrak kerja tidak mengenai batas waktu, Penggugat
tidak akan dapat bekerja dengan sah. Dengan kata lain, dalam
permasalahan ini, Penggugat dipekerjakan oleh PT. PSAS untuk
jangka waktu sekurang-kurangnya selama satu tahun.
Selanjutnya
menurut
Penggugat,
selama
ia
bekerja,
Penggugat tidak menerima teguran atau peringatan apapun dari
pihak Pengusaha, baik lisan maupun tulisan. Akan tetapi secara tibatiba Penggugat dipanggil ke Jakarta oleh dan bertemu dengan Mr.
Bob Nowk selaku Direktur PT. PSAS pada tanggal 4 Mei 2004 di
kantor perusahaan. Pada saat tersebut, Mr. Bob Nowk menyatakan
ketidakpuasannya dengan kinerja Penggugat. Atas dasar itu PT.
PSAS melakukan PHK terhadap Penggugat tanpa pembayaran
apapun. Karena menurut PT. PSAS, Penggugat dalam masa
percobaan.
Pengggugat membantah apa yang disampaikan oleh Mr. Bob
Nowk, baik mengenai ketidakpuasannya maupun mengenai masa
percobaan. Penggugat merasa ia telah bekerja dengan baik sesuai
posisi Penggugat dan Penggugat dipekerjakan tanpa mengenal masa
percobaan sebagaimana kontrak kerja, namun hal tersebut tidak
merubah keputusannya.
Pada tanggal 7 Mei 2004 (bulan keempat masa kerja
Penggugat), Penggugat menerima surat PHK bertanggal 5 Mei 2004
dari PT. PSAS. PHK tersebut dinyatakan berlaku mundur, yakni
terhitung sejak tanggal 30 April 2004, padahal pernyataan PHK
secara lisan saja disampaikan pada tanggal 4 Mei 2004;
Menurut
penggugat,
PHK
tersebut
dilakukan
tanpa
mendapatkan ijin terlebih dahulu dari P4D Propinsi DKI Jakarta;
dan terhadap keterangan PT. PSAS pada saat pertemuan di Disnaker
Jakarta, P4D Jakarta ataupun dalam memori banding sebagaimana
dikutip oleh Tergugat pada salinan putusan Tergugat ingin
menegaskan beberapa hal.
Dalil-dalil PT. Patra Supplies And Service yang pada
pokoknya
menyebutkan
bahwa
Penggugat
tidak
mampu
melaksanakan pekerjaan yang diinstruksikan PT. Patra Supplies And
Service, adalah tidak benar. Dapat dijelaskan lagi, bahwa disamping
tidak ada job description dari PT. Patra Supplies And Service,
diantara instruksi yang diberikan kepada Penggugat bukan
merupakan bidang tugas Penggugat. Demikian pula, menurut
penggugat,
mengenai
kejadian-kejadian
sebagaimana
yang
didalilkan PT. Patra Supplies And Service, juga tidak diketahui oleh
Penggugat, sehingga hal yang demikian haruslah ditolak.
Penggugat tidak pernah menyatakan ataupun mengakui
kepada Managing Director dan General Manager PT. Patra
Supplies And Service bahwa hal-hal yang tidak diharapkan dari
operasi perusahaan adalah kesalahan Penggugat. Keteranganketerangan PT. Patra Supplies And Service tersebut tidak pernah
dibuktikan. Bahkan Penggugat tidak pernah diberitahukan mengenai
memori banding PT. Patra Supplies And Service pada saat PT. Patra
Supplies And Service mengajukan keberatan pada Tergugat,
sehingga Penggugat tidak dapat memberikan tanggapan pada
Tergugat.
Keterangan PT. Patra Supplies And Service semakin tidak
berdasar lagi, karena PT. Patra Supplies And Service juga
menjadikan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain (karyawan
yang bernama Sahat Siregar) sebagai alasan untuk memutuskan
hubungan kerja dengan Penggugat.
Penggugat juga menolak pernyataan PT. Patra Supplies And
Service yang menganggap PHK dan hak-hak Penggugat atas PHK
tersebut harus diselesaikan dengan hukum dan pada Pengadilan
Singapura, bukan menurut hukum dan Pengadilan Indonesia, hal
yang demikian merupakan penafsiran PT. Patra Supplies And
Service mengenai pemberlakuan kontrak kerja.
B. Mengenai pertimbangan dan putusan Tergugat
Tergugat
telah
memberikan
pendapatnya
mengenai
permasalahan yang berkenaan dengan PHK Penggugat oleh PT.
PSAS. Selanjutnya, mengenai pendapat dan pertimbangan Tergugat
terhadap permasalahan dimaksud dapat Penggugat sampaikan
Pertimbangan dan putusan Tergugat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ternyata, Tergugat hanya
mengambilalih begitu saja seluruh memori banding PT. PSAS
sebagai bahan pertimbangan sebelum memberikan pendapatnya.
Tidak ada satu kalimat pun, pertimbangan Tergugat yang bukan
merupakan keterangan Penggugat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kemudian Tergugat
berpendapat Oleh karena Sdr. David J Duffi sebagai pihak berstatus
WNA yang berdomisili di Australia dan Perjanjian Kerja dapat
ditandatangani dimanapun juga, sehingga tidak berarti bahwa
perjanjian yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak harus
tunduk pada undang-undang yang berlaku dimana perjanjian kerja
tersebut ditandatangani. Sesuai persyaratan angka 12 dari perjanjian
kerja No. MD.0054/04 tanggal 27 Januari 2004 yang disetujui oleh
Sdr. David J Duffi, perjanjian itu demi hukum tunduk di bawah
hukum Singapura. Bila terjadi perselisihan apapun akan diajukan ke
Pengadilan Singapura. Panitia Pusat menilai berdasarkan perjanjian
kerja No. MD.0054/04 tahun 2004 (kontrak kerja) tersebut tidak
mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Tetapi,
Perjanjian Kerja tersebut tunduk di bawah hukum Singapura.
Sehingga
perselisihan
tersebut
seharusnya
diajukan
kepada
Pengadilan Singapura.
Pendapat Tergugat tersebut diambilalih statusnya dari
memori banding PT. PSAS, sebagaimana uraian memori banding
yang dituliskan kembali oleh Tergugat.
Pendapat dan putusan Tergugat pada perkara a quo sangat
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam wilayah hukum Republik Indonesia, yaitu: Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang Tenaga Kerja di
Indonesia: Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pekerja adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk
lain.
Berdasarkan
ketentuan
tersebut
David
J
Duffi/Penggugat termasuk dalam pengertian Pekerja menurut
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Selanjutnya, berdasarkan angka 4, 5 dan 6 Pasal 1 UndangUndang No. 13 Tahun 2003, PT. Patra Supplies And Service telah
memenuhi persyaratan untuk dapat disebut sebagai pemberi kerja,
Pengusaha, ataupun Perusahaan.
Oleh sebab itu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan
peraturan perundang-undangan lainnya mengenai tenaga kerja asing,
dalam hubungan antara Penggugat dengan PT. Patra Supplies And
Service adalah mutlak adanya.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mewajibkan Pengusaha
untuk membuat peraturan perusahaan yang diberlakukan kepada
seluruh Pekerja (baik asing maupun lokal) serta membuka peluang
kepada Pekerja dan Pengusaha untuk membuat perjanjian kerja atau
kontrak kerja yang merumuskan hak dan kewajiban lainnya dari
Pekerja atau Pengusaha. Akan tetapi, hak dan kewajiban tersebut
tidak boleh meniadakan atau bertentangan dengan Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003.
Oleh karenanya Pekerja maupun Pengusaha disamping
tunduk pada perjanjian kerja tersebut, mereka juga tunduk pada
undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain, perjanjian tersebut
berlaku sebagai perjanjian tambahan, sepanjang tidak bertentangan
dengan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk
mengenai penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia.
Pernyataan Tergugat bahwa kontrak kerja a quo tidak
mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, seharusnya
ditindaklanjuti dengan memutus permasalahan PHK a quo
berdasarkan Undang-Undang tersebut. Sehingga, hak-hak Penggugat
tetap dilindungi PT. PSAS harus memenuhi kewajibannya kepada
Penggugat sebagaimana yang telah diputuskan oleh P4D DKI
Jakarta.
Pendapat Tergugat yang membenarkan pendapat PT. PSAS
bahwa dalam permasalahan PHK a quo diberlakukan hukum dan
Pengadilan Singapura adalah pendapat yang keliru. Meskipun
kontrak kerja tersebut memilih hukum dan Pengadilan Singapura.
PT. PSAS adalah badan hukum yang didirikan dan tunduk
pada hukum Indonesia serta menjalankan aktivitas di Indonesia.
Demikian pula dengan Penggugat yang bekerja sebagai Tenaga
Kerja di Indonesia. Karenanya, baik Penggugat maupun PT. PSAS
tunduk pada hokum. Dalam penyelesaian permasalahan PHK
Penggugat,
apalagi
mengenai
berlakunya
hukum
Indonesia
(Undang-Undang No. 13 Tahun 2003), dinyatakan dengan tegas
oleh Tergugat, lebih tegas lagi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
telah mengatur mengenai masalah yang timbul dalam hubungan
kerja di Indonesia.
Pemilihan hukum dan Pengadilan Singapura sebagaimana
yang
disebutkan
dalam
kontrak
kerja
hanya
diberlakukan
penyelesaian dalam pelaksanaan kontrak kerja berkenaan dengan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh Penggugat
dan PT. PSAS, selain hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pekerja dan
Pengusaha yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di
Indonesia. Hak dan kewajiban tersebut antara lain adalah hak
Penggugat atas dua bulan gaji dari PT. PSAS. Jika yang melakukan
PHK adalah PT. PSAS atau kewajiban PT. PSAS untuk
menempatkan Penggugat pada perusahaan lain jika Penggugat di
PHK.
Karena Tergugat tidak memberikan putusan sesuai dengan
apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku,
maka putusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal
29 Maret 2005 pada perkara ini haruslah dinyatakan batal atau tidak
sah.
Anjuran Disnaker Propinsi DKI Jakarta dan putusan P4D
Propinsi DKI Jakarta tanggal 7 Desember 2004 yang memerintahkan
PT. PSAS untuk membayar sisa gaji Penggugat selama sembilan
bulan adalah sudah tepat. Lamanya waktu kerja bagi Pekerja Asing
di Indonesia yang kontrak kerjanya tidak ada batas waktu, setidaktidaknya adalah sesuai dengan jangka waktu Ijin Kerja Tenaga
Asing (IKTA) yang diberikan kepadanya.
Dalam permasalahan ini, Badan Koordinasi Penanaman
Modal
telah
menyetujui
permohonan
PT.
PSAS
untuk
mempekerjakan Penggugat sekurang-kurangnya selama satu tahun,
mengenai hal ini tidak dapat dibantah kebenarannya, baik oleh PT.
PSAS maupun oleh Tergugat, mengingat dokumen dimaksud diurus
sendiri oleh PT. PSAS.
Pembayaran kepada Penggugat selama sembilan bulan dari
gaji yang masih tersisa, juga menjadi berdasar. Pasal 62 UndangUndang No. 13 Tahun 2003 pada pokoknya menyebutkan bahwa
apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana Pasal 61 ayat
(1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar
ganti kerugian kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja/buruh
sampai berakhirnya jangka waktu pejanjian kerja.
Oleh sebab itu anjuran dan putusan P4D Propinsi DKI
Jakarta layak dan adil untuk dipertahankan. Pertimbangan dan
putusan
tergugat
Pemerintahan
bertentangan
Yang
Baik,
dengan
yakni
Asas
Asas-Asas
Umum
Kecermatan
dan
Keseimbangan.
Tergugat mengatakan setelah meneliti dan mempelajari
berkas perkara ini, Panitia Pusat berpendapat telah cukup data
sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara ini sehingga
memandang tidak perlu lagi mengadakan sidang hearing untuk
menolak tambahan data/keterangan tambahan dari kedua belah pihak
sebagaimana dimaksud Pasal 18 Undang-Undang No. 22 Tahun
1957 jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1957.
Pendapat tersebut jelas keliru dan jauh dari asas kecermatan
dan keseimbangan yang semestinya diterapkan oleh Tergugat. PT.
PSAS telah menyampaikan keterangan secara sepihak melalui
memori bandingnya. Memori banding tersebut tidak pernah
disampaikan kepada Penggugat oleh Tergugat.
Setelah tidak menyampaikan salinan memori banding, PT.
PSAS kepada Penggugat, Tergugat juga tidak memanggil Penggugat
untuk
memberikan
penjelasan.
Bahkan,
Tergugat
langsung
mengambilalih seluruh keterangan pada memori banding PT. PSAS
sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan putusannya.
Tergugat pada waktu membuat putusan pada perkara ini,
telah tidak memperhatikan semua fakta terkait, serta tidak pula
memperhatikan pihak pada perkara ini, yakni Penggugat.
Karena putusan Tergugat a quo bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku dan bertentangan dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik, serta sangat merugikan Penggugat,
maka putusan Tergugat a quo haruslah dinyatakan batal atau tidak
sah, dan menghukum Tergugat untuk menerbitkan keputusan TUN
yang baru yang menghukum PT. PSAS membayar kepada
Penggugat sisa gaji Penggugat untuk waktu sembilan bulan, yakni
sebesar empat puluh ribu lima ratus US Dollar atau dengan kata lain
putusan P4D Propinsi DKI Jakarta harus dilaksanakan oleh PT.
Patra Supplies And Service.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon
kepada PT TUN Jakarta agar memberikan putusan menerima dan
mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan
batal atau tidak sah putusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/32005 tanggal 29 Maret 2005 dan memerintahkan Tergugat untuk
menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang baru yang berisi
mewajibkan Pengusaha PT. PSAS membayar kepada Penggugat sisa
gaji Penggugat untuk waktu sembilan bulan, terhitung sejak bulan
Mei 2004 sampai dengan bulan Januari 2005 secara tunai dan
sekaligus sebesar empat puluh ribu lima ratus US dollar.
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul
menurut hukum.
Terhadap gugatan tersebut, PT TUN Jakarta telah mengambil
putusan, yaitu putusan No. 226/G/2005/PT.TUN.JKT. tanggal 14
Juni 2006, yang amarnya menolak gugatan Penggugat untuk
seluruhnya; dan menghukum Penggugat untuk membayar biaya
perkara sebesar dua ratus dua puluh sembilan ribu lima ratus rupiah.
Sesudah
putusan
terakhir
ini
diberitahukan
kepada
Penggugat pada tanggal 21 Juli 2006 kemudian terhadapnya oleh
Penggugat dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa
khusus tanggal 3 Agustus 2006 diajukan permohonan kasasi secara
lisan pada tanggal 3 Agustus 2006 sebagaimana ternyata dari akta
permohonan kasasi No. 195/K/2006/PT.TUN.JKT. yang dibuat oleh
Wakil Panitera PT TUN Jakarta, permohonan mana diikuti oleh
memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut pada
tanggal 16 Agustus 2006.
Setelah itu oleh Tergugat yang pada tanggal 22 Agustus 2006
telah diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat dan
terhadapnya tidak mengajukan jawaban memori kasasi.
Permohonan kasasi a quo beserta keberatan-keberatannya
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan
dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam
undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut
formal dapat diterima.
Pemohon Kasasi/Penggugat adalah karyawan yang bekerja
pada Pengusaha PT. PSAS terhitung sejak tanggal 1 Pebruari 2004,
sesuai dengan penunjukan PT. PSAS No. MD.005/04 tanggal 27
Januari
2004
Advisor/Fasilities
selanjutnya
Manager
disebut
atau
sebagai
sebagai
Penasehat
Technical
Teknis,
ditempatkan di Propinsi Riau, dengan gaji tahunan sebesar lima
puluh empat ribu US Dollar, yang dibayarkan tiap bulan sebesar US
$ 4,500.
PT. PSAS melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
dengan Pemohon Kasasi/Penggugat tanpa mendapatkan ijin terlebih
dahulu dari P4D Propinsi DKI Jakarta. PHK tersebut dilakukan atas
alasan Pemohon Kasasi/Penggugat tidak mampu melaksanakan
instruksi kerja dari Pengusaha. Keputusan PT. PSAS mengenai PHK
tersebut disampaikan kepada Pemohon Kasasi/Penggugat pada
tanggal 7 Mei 2004 bulan keempat masa kerja Pemohon
Kasasi/Penggugat melalui suratnya bertanggal 5 Mei 2004, akan
tetapi PHK dinyatakan berlaku mundur, terhitung sejak tanggal 30
April 2004.
PT. PSAS adalah perusahaan yang didirikan dan tunduk pada
hukum Indonesia, berdomisili dan beralamat kantor di Indonesia,
serta menjalankan kegiatan usahanya di Indonsia. Oleh karenanya,
selain tunduk pada undang-undang ketenagakerjaan, PT. PSAS juga
tunduk pada peraturan perusahaannya sendiri, serta kontrak kerja
yang ditandatangani oleh Pemohon Kasasi/Penggguat dan PT.
PSAS.
Dengan kata lain di samping peraturan perusahaan yang
diberlakukan atau perjanjian Pemohon Kasasi/Penggugat dengan PT.
PSAS, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara
Republik Indonesia tetap berlaku dan tidak pernah dikesampingkan
oleh para pihak sebagaimana yang diakui oleh PT. PSAS dan oleh
Termohon Kasasi/Tergugat pada putusannya.
Oleh karenanya, meskipun kontrak kerja a quo memilih
hukum dan Pengadilan Singapura, dalam penyelesaian permasalahan
yang diatur dalam kontrak kerja tersebut, namun kontrak kerja
tersebut tidak mengesampingkan, dan tidak akan pernah dapat
mengesampingkan berlakunya peraturan perusahaan, PT. PSAS
sendiri dan hukum Indonesia yang lebih tinggi kedudukannya dari
kontrak kerja a quo.
Atas PHK yang dilakukan PT. PSAS tersebut, Pemohon
Kasasi/Penggugat telah melaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Disnaker) DKI Jakarta, selanjutnya Disnaker DKI
Jakarta
memberikan
anjuran
agar
perusahaan
PT.
PSAS
membayarkan kepada Pekerja Sdr. David J Duffi, yaitu ganti rugi
berupa sisa upah sebesar sembilan bulan upah. David J Duffi dapat
menerima kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana
dalam butir satu di atas; dan agar pihak perusahaan dan Pekerja
memberikan jawaban secara tertulis atas anjuran sebagaimana
tersebut di atas, selambat-lambatnya dalam waktu paling lama tujuh
hari setelah menerima anjuran ini.
PT. PSAS mengajukan keberatan atas putusan tersebut
kepada P4D Propinsi DKI Jakarta. Selanjutnya P4D Propinsi DKI
Jakarta dalam putusannya tanggal 7 Desember 2004 memutuskan
hubungan kerja antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja David J
Duffi putus terhitung sejak tanggal 1 Mei 2004. Mewajibkan kepada
Pengusaha membayarkan kepada Pekerja secara tunai tanpa
angsuran sebagai berikut: Uang ganti rugi empat puluh ribu lima
ratus Dollar Amerika Serikat.
7Baik Disnaker maupun P4D Propinsi DKI Jakarta telah
menganjurkan PT. PSAS tetap keberatan dengan putusan tersebut
dan mengajukan banding kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat atau Termohon Kasasi/Tergugat.
Termohon
Kasasi/Tergugat
365/483/83-7/IX/PHK/3-2005
tanggal
melalui
29
putusannya
Maret
2005
No.
telah
mengubah isi putusan P4D tersebut, sehingga Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat di Jakarta dapat mengabulkan
permohonan banding Pengusaha PT. PSAS; dan penyelesaian
perkara Pemutusan Hubungan Kerja yang terjalin antara Pengusaha
PT. PSAS dengan Pekerja Sdr. David J Duffi, yang dalam perkara
ini memberi kuasa kepada Yuherman Law Office, mengacu pada
perjanjian kerja yang ditandatangani oleh Pekerja Sdr. David J Duffi
dengan Pengusaha PT. PSAS tanggal 27 Januari 2004 dengan
menggunakan undang-undang/hukum yang berlaku di Singapura.
Keputusan
Termohon
Kasasi/Tergugat
No.
365/483-
7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 a quo adalah tidak
berdasar dan bertentangan dengan asas-asas peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan bertentangan pula dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik. Sehingga berdasar Pasal 53
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, keputusan Termohon
Kasasi/Tergugat tersebut haruslah dinyatakan batal atau tidak sah.
Pembatalan keputusan Termohon Kasasi/Tergugat tersebut
bukannya tanpa alasan dan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Untuk itu Pemohon Kasasi/Penggugat menjelaskan
Pemohon Kasasi/Penggugat bekerja pada PT. PSAS, terhitung sejak
tanggal 1 Pebruari 2004 sesuai dengan kontrak kerja tanggal 27
Januari 2004, kontrak kerja tersebut ditandatangani oleh Pemohon
Kasasi/Penggugat di Jakarta pada hari yang sama, setelah
sebelumnya Pemohon Kasasi/Penggugat menyerahkan riwayat hidup
Pemohon Kasasi/Penggugat pada tanggal 12 Januari 2004 dan
melakukan orientasi lapangan selama satu minggu di Pekanbaru,
yakni sampai tanggal 24 Januari 2004. Membuktikan bahwa kontrak
kerja a quo dibuat dan ditandatangani di Indonesia dan diberlakukan
dalam
hubungan antara Pemohon Kasasi/Penggugat dengan
Pengusaha PT. PSAS yang didirikan dan tunduk pada hukum
Indonesia. Pemohon Kasasi/Penggugat bekerja sebagai Tehnical
Advisor/Facilities Manager atau sebagai Penasehat Teknis dan
ditempatkan di Propinsi Riau dengan gaji tahunan sebesar lima
puluh empat ribu US Dollar yang dibayarkan tiap bulan kepada
Pemohon Kasasi/Penggugat sebesar US $ 4,500. Kontrak kerja
tersebut tidak mengenal masa percobaan dan tanpa batas waktu,
akan tetapi segala perjanjian yang berkenaan dengan status Pemohon
Kasasi/Penggugat sebagai Pekerja di Indonesia, seperti IKTA,
RPTKA, dan dokumen lainnya diurus dan menjadi tanggung jawab
PT. PSAS untuk jangka waktu sekurang-kurangnya selama satu
tahun.
Bilamana perjanjian tersebut tidak dapat diperpanjang,
meskipun kontrak kerja tidak mengenal batas waktu, maka Pemohon
Kasasi/Penggugat tidak akan dapat bekerja dengan sah, atau dengan
kata lain dalam permasalahan ini Pemohon Kasasi/Penggugat
dipekerjakan oleh PT. PSAS untuk jangka waktu sekurangkurangnya selama satu tahun.
Selama Pemohon Kasasi/Penggugat bekerja, Pemohon
Kasasi/Penggugat tidak menerima teguran atau peringatan apapun
dari pihak Pengusaha baik lisan maupun tulisan. Akan tetapi secara
tiba-tiba Pemohon Kasasi/Penggugat dipanggil ke Jakarta bertemu
dengan Mr. Bob Nowk selaku Direktur PT. PSAS pada tanggal 4
Mei 2004 di kantor perusahaan. Pada saat tersebut Mr. Bob Nowk
menyatakan
ketidakpuasannya
dengan
kinerja
Pemohon
Kasasi/Penggugat, atas dasar itu PT. PSAS melakukan PHK
terhadap Pemohon Kasasi/Penggugat tanpa pembayaran apapun,
karena menurut PT. PSAS, Pemohon Kasasi/Penggugat dalam masa
percobaan.
Pemohon
Kasasi/Penggugat
membantah
apa
yang
disampaikan oleh Mr. Bob Nowk, baik mengenai ketidakpuasannya
maupun
mengenai
masa
percobaan,
karena
Pemohon
Kasasi/Penggugat telah bekerja dengan baik sesuai dengan posisi
Pemohon
Kasasi/Penggugat,
dan
Pemohon
Kasasi/Penggugat
dipekerjakan tanpa mengenal masa percobaan sebagaimana kontrak
kerja, namun hal tersebut tidak merubah keputusannya.
Pada tanggal 7 Mei 2004 (bulan keempat masa kerja
Pemohon Kasasi/Penggugat), Pemohon Kasasi/Penggugat menerima
surat PHK bertanggal 5 Mei 2004 dari PT. PSAS. PHK tersebut
dinyatakan berlaku mundur, yakni terhitung sejak tanggal 30 April
2004. Padahal pernyataan PHK secara lisan saja disampaikan pada
tanggal 4 Mei 2004. PHK tersebut dilakukan tanpa mendapatkan ijin
lebih dahulu dari P4D Propinsi DKI Jakarta. Terhadap keterangan
PT. PSAS pada saat pertemuan di Disnaker Jakarta, P4D Jakarta
ataupun dalam memori bandingnya sebagaimana yang dikutip oleh
Termohon Kasasi/Tergugat pada salinan putusannya, Termohon
Kasasi/Tergugat ingin menegaskan. Dalil-dalil PT. PSAS yang pada
pokoknya menyebutkan bahwa Pemohon Kasasi/Penggugat tidak
mampu melaksanakan pekerjaan yang didistribusikan PT. PSAS
adalah tidak benar. Dijelaskan lagi bahwa di samping tidak ada job
description dari PT. PSAS, diantara instruksi yang diberikan kepada
Pemohon Kasasi/Penggugat
bukan merupakan bidang tugas
Pemohon Kasasi/Penggugat, demikian pula mengenai kejadiankejadian sebagaimana yang didalilkan PT. PSAS, juga tidak
diketahui oleh Pemohon Kasasi/Penggugat, sehingga hal yang
demikian haruslah ditolak.
Pemohon
Kasasi/Penggugat
tidak
pernah
menyatakan
ataupun mengakui kepada Managing Director dan General Manager
PT. PSAS bahwa hal-hal yang tidak diharapkan dari operasi
perusahaan
adalah
kesalahan
Pemohon
Kasasi/Penggugat.
Keterangan-keterangan PT. PSAS tersebut tidak pernah dibuktikan,
bahkan Pemohon Kasasi/Penggugat tidak pernah diberitahukan
mengenai memori banding PT. PSAS pada saat PT. PSAS
mengajukan keberatan pada Termohon Kasasi/Tergugat. Sehingga
Pemohon Kasasi/Penggguat tidak dapat memberikan tanggapan pada
Termohon Kasasi/Tergugat. Keterangan PT. PSAS semakin tidak
berdasar lagi karena PT. PSAS juga menjadikan kesalahan yang
dilakukan oleh orang lain (karyawan yang bernama Sahat Siregar)
sebagai alasan untuk memutuskan hubungan kerja dengan Pemohon
Kasasi/Penggugat.
Pemohon Kasasi/Penggugat juga menolak pernyataan PT.
PSAS
yang
menganggap
PHK
dan
hak-hak
Pemohon
Kasasi/Penggugat atas PHK tersebut harus diselesaikan dengan
hukum dan Pengadilan Singapura, bukan menurut hukum dan
Pengadilan Indonesia. Hal yang demikian merupakan penafsiran PT.
PSAS mengenai pemberlakuan kontrak kerja a quo.
Mengenai
pertimbangan
dan
putusan
Termohon
Kasasi/Tergugat.
Termohon Kasasi/Tergugat telah memberikan pendapatnya
mengenai permasalahan yang berkenaan dengan PHK Pemohon
Kasai/Penggugat oleh PT. PSAS. Selanjutnya mengenai pendapat
dan
pertimbangan
Termohon
Kasasi/Tergugat
terhadap
permasalahan dimaksud Pemohon Kasasi/Penggugat sampaikan
Pertimbangan dan putusan Termohon Kasasi/tergugat bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ternyata
Termohon Kasasi/Tergugat hanya mengambilalih begitu saja seluruh
memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan sebelum
memberikan pendapatnya. Dapat dilihat pada salinan putusannya
dan
tidak
ada
satu
kalimatpun
pertimbangan
Termohon
Kasasi/Tergugat yang bukan merupakan keterangan Pemohon
Kasasi/Penggugat;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kemudian Termohon
Kasasi/Tergugat berpendapat. Oleh karena Sdr. David J Duffi
sebagai Pekerja berstatus Warga Negara Asing yang berdomisili di
Australia dan Perjanjian Kerja dapat ditandatangani dimanapun juga,
sehingga
tidak
berarti
bahwa
perjanjian
yang
merupakan
kesepakatan kedua belah pihak harus tunduk pada undang-undang
yang berlaku dimana perjanjian kerja tersebut ditandatangani. Sesuai
dengan persyaratan angka 12 dari perjanjian kerja No. MD.0054/04
tanggal 27 Januari 2004 yang disetujui oleh Sdr. David J Duffi,
perjanjian itu demi hukum tunduk di bawah hukum Singapura, dan
bila terjadi perselisihan apapun akan diajukan ke Pengadilan
Singapura. Panitia Pusat menilai berdasarkan perjanjian kerja No.
MD.0054/04 tanggal 27 Januari 2004 (kontrak kerja) tersebut tidak
mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, tetapi
perjanjian kerja tersebut tunduk di bawah hukum Singapura,
sehingga
perselisihan
tersebut
seharusnya
diajukan
kepada
Pengadilan Singapura.
Pendapat Termohon Kasasi/Tergugat tersebut, diambilalih
seutuhnya dari memori banding PT. PSAS, sebagaimana uraian
memori
banding
yang
dituliskan
kembali
oleh
Termohon
Kasasi/tergugat.
Pendapat dan putusan Termohon Kasasi/Tergugat pada
perkara a quo sangat bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam wilayah hukum Republik Indonesia,
yaitu: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang
tenaga kerja di Indonesia. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pekerja
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Berdasarkan ketentuan tersebut, David J
Duffi/Pemohon Kasasi/Penggugat termasuk dalam pengertian
Pekerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya
berdasarkan angka 4, 5, dan 6 Pasal 1 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003, PT. PSAS telah memenuhi persyaratan untuk dapat
disebut sebagai Pemberi Kerja, Pengusaha, ataupun Perusahaan.
Oleh sebab itu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan
perundang-undangan lainnya mengenai tenaga kerja asing, dalam
hubungan antara Pemohon Kasasi/Penggugat dengan PT. PSAS
adalah mutlak adanya. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
mewajibkan Pengusaha untuk membuat peraturan perusahaan
diberlakukan kepada seluruh Pekerja (baik asing maupun lokal),
serta membuka peluang kepada Pekerja dan Pengusaha untuk
membuat perjanjian kerja dan kontrak kerja yang merumuskan hak
dan kewajiban lainnya dari Pekerja atau Pengusaha, akan tetapi hak
dan kewajiban tersebut tidak boleh meniadakan atau bertentangan
dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Karenanya Pekerja
maupun Pengusaha disamping tunduk pada perjanjian kerja tersebut,
mereka juga tunduk pada Undang-Undang yang berlaku. Atau
dengan kata lain perjanjian tersebut berlaku sebagai perjanjian
tambahan, sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang
berlaku di Indonesia, termasuk mengenai penggunaan tenaga kerja
asing di Indonesia.
Pernyataan Pemohon Kasasi/Penggugat bahwa kontrak kerja
a quo tidak mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
seharusnya ditindaklanjuti dengan memutus permasalahan PHK a
quo berdasarkan undang-undang tersebut, sehingga hak-hak
Pemohon Kasasi/Penggugat tetap terlindungi, dan PT. PSAS harus
memenuhi
kewajibannya
kepada
Pemohon
Kasasi/Penggugat
sebagaimana yang telah diputuskan oleh P4D DKI Jakarta.
Pendapat Termohon Kasasi/Tergugat yang membenarkan
pendapat PT. PSAS bahwa dalam permasalahan PHK a quo
diberlakukan hukum dan Pengadilan Singapura adalah pendapat
yang keliru. Meskipun, kontrak kerja tersebut memilih hukum dan
Pengadilan Singapura. Hal ini dapat dijelaskan PT. PSAS adalah
badan hukum yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia serta
menjalankan aktivitas di Indonesia. Demikian pula dengan Pemohon
Kasasi/Penggugat yang bekerja sebagai Tenaga Kerja di Indonesia,
oleh karenanya baik Pemohon Kasasi/Penggugat maupun PT. PSAS
tunduk pada hukum Indonesia. Dalam penyelesaian permasalahan
PHK Pemohon Kasasi/ Penggugat, apalagi mengenai berlakunya
hukum Indonesia ini (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003)
dinyatakan dengan tegas oleh Termohon Kasasi/Tergugat. Lebih
tegas mengenai masalah yang timbul dalam hubungan kerja di
Indonesia.
Pemilihan hukum dan Pengadilan Singapura sebagaimana
yang disebutkan dalam kontrak kerja,
hanya
diberlakukan
penyelesaian dalam pelaksanaan kontrak kerja berkenaan dengan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh Pemohon
Kasasi/Penggugat dan PT. PSAS selain hak-hak dan kewajibankewajiban Pekerja dan Pengusaha yang diatur dalam UndangUndang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku di Indonesia. Hak dan kewajiban tersebut
antara lain adalah hak Pemohon Kasasi/Penggugat atas dua bulan
gaji dari PT. PSAS jika yang melakukan PHK adalah PT. PSAS,
atau
kewajiban
Kasasi/Penggugat
PT.
PSAS
pada
untuk
perusahaan
mendapatkan
lain
jika
Pemohon
Pemohon
Kasasi/Penggugat di PHK.
Karena Pemohon Kasasi/Penggugat tidak memberikan
putusan oleh undang-undang yang berlaku, maka putusan Termohon
Kasasi/Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29
Maret 2005 pada perkara ini haruslah dinyatakan batal atau tidak
sah.
Anjuran Disnaker Propinsi DKI Jakarta dan putusan P4D
Propinsi DKI Jakarta tanggal 7 Desember 2004 yang memerintahkan
PT. PSAS untuk membayar sisa gaji Pemohon Kasasi/Penggugat
selama sembilan bulan adalah sudah tepat, mengingat lamanya
waktu kerja bagi Pekerja Asing di Indonesia yang kontrak kerjanya
tidak ada batas waktu, setidak-tidaknya adalah sesuai dengan jangka
waktu Ijin Tenaga Kerja Asing yang diberikan kepadanya.
Badan Koordinasi Penanaman Modal telah menyetujui
permohonan
PT.
PSAS
untuk
mempekerjakan
Pemohon
Kasasi/Penggugat sekurang-kurangnya selama satu tahun. Mengenai
hal ini tidak dapat dibantah kebenarannya, baik oleh PT. PSAS
maupun oleh Termohon Kasasi/Tergugat mengingat dokumen
dimaksud diurus sendiri oleh PT. PSAS.
Pembayaran kepada Pemohon Kasasi/Penggugat selama
sembilan bulan dari gaji yang masih tersisa, juga menjadi berdasar,
karena Pasal 62 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pada pokoknya
menyebutkan bahwa, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan
kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, atau
berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana
Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
membayar ganti kerugian kepada pihak lainnya sebesar upah
Pekerja/Buruh sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Oleh sebab itu, anjuran dan putusan P4D Propinsi DKI
Jakarta layak dan adil untuk diperintahkan. Pertimbangan dan
putusan Termohon Kasasi/Tergugat bertentangan dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik, yakni Asas Kecermatan dan
Keseimbangan. Termohon Kasasi/Tergugat mengatakan setelah
meneliti dan mempelajari berkas perkara ini, Panitia Pusat
berpendapat telah cukup data sebagai bahan pertimbangan untuk
memutus perkara ini, sehingga memandang tidak perlu lagi
mengadakan
sidang
hearing
untuk
mencari
tambahan
data/keterangan tambahan dari kedua belah pihak sebagaimana
dimaksud Pasal 18 Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 jo Pasal 6
Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1967.
Pendapat tersebut jelas keliru dan jauh dari asas keseermatan
dan asas keseimbangan yang semestinya diterapkan oleh Termohon
Kasasi/Tergugat mengingat PT. PSAS, yang telah menyampaikan
keterangan secara sepihak melalui memori bandingnya, dimana
memori banding tersebut tidak pernah disampaikan kepada Pemohon
Kasasi/Penggugat oleh Termohon Kasasi/Tergugat. Setelah tidak
menyampaikan salinan memori banding, PT. PSAS kepada
Pemohon Kasasi/Penggugat, Termohon Kasasi/Tergugat juga tidak
memanggil
Pemohon
penjelasan,
bahkan
Kasasi/Penggugat
Termohon
untuk
memberikan
Kasasi/Tergugat
langsung
mengambilalih seluruh keterangan pada memori banding PT. PSAS
sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan putusannya. Hal ini
memberikan bahwa Termohon Kasasi/Tergugat
pada waktu
membuat putusan pada perkara ini, telah tidak memperhatikan
semua fakta terkait, serta tidak pula memperhatikan kepentingan
pihak pada perkara ini, yakni Pemohon Kasasi/Penggugat.
Karena
putusan
Termohon
Kasasi/Tergugat
a
quo
bertentangan dengan undang-undang yang berlaku dan bertentangan
pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, serta
sangat merugikan Pemohon Kasasi/Penggugat, maka putusan
Termohon Kasasi/Tergugat a quo haruslah dinyatakan batal atau
tidak sah, dan menghukum Termohon Kasasi/Tergugat untuk
menerbitkan KTUN yang baru yang menghukum PT. PSAS
membayar kepada Pemohon Kasasi/Penggugat sisa gaji Pemohon
Kasasi/Penggugat untuk waktu sembilan bulan, yakni sebesar empat
puluh ribu lima ratus US Dollar. Dengan kata lain putusan P4D
Propinsi DKI Jakarta harus dilaksanakan oleh PT. PSAS.
Pertimbangan Termohon Kasasi/Tergugat yang bertentangan
dengan hukum dan/atau tidak menetapkan hukum (Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003) sebagaimana mestinya, hukum diambilalih dan
dibenarkan oleh PT TUN Jakarta. Melalui putusannya tersebut di
atas, oleh sebab itu putusan PT TUN Jakarta juga harus dibatalkan.
Alasan
dan
permohonan
kasasi
dari
Pemohon
Kasasi/Penggugat pada perkara ini sesuai menurut hukum, maka
menjadi beralasan dan berdasar bagi Majelis Hakim Agung di
tingkat kasasi untuk membatalkan putusan PT TUN di atas,
selanjutnya mengadili sendiri perkara ini.
Oleh karena itu, Pemohon Kasasi/Penggugat mohon kepada
Mahkamah Agung RI untuk memperhatikan putusan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) Jakarta
sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut di
atas, Mahkamah Agung berpendapat. Keberatan-keberatan Pemohon
Kasasi tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Factie telah
tepat dan benar, yaitu tidak salah dalam penerapan hukum, dengan
pertimbangan. Keberatan-keberatan tersebut hanya pengulangan
kembali dari dalil-dalil gugatan yang sudah dipertimbangkan dengan
benar dan tepat oleh Judex Factie. Sesuai Pasal 12 Perjanjian
Kontrak Kerja, dinyatakan apabila terjadi sengketa dalam kontrak
kerja tersebut akan diselesaikan menurut Hukum Singapura di
Pengadilan Singapura.
Berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa
putusan PT TUN Jakarta dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: David J Duffi tersebut harus
ditolak. Karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak,
maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini.
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4
Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No 5 Tahun
2004, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004,
dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
Mahkamah mengadili: Menolak permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi: David J Duffi tersebut; danMenghukum Pemohon
Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat
kasasi ini sebesar lima ratus ribu rupiah.
3.1.c. Putusan Nomor 286 K/Pdt.Sus-PHI/2013
Perkara ini adalah perdata khusus perselisihan hubungan
industrial dalam tingkat kasasi. Dalam perkara antara: PT. Siemens
Indonesia sebagai Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II
dahulu Tergugat, melawan Stephen Michael Young, Warga Negara
Australia, sebagai Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II
dahulu Penggugat.
Dari surat-surat tersebut, ternyata bahwa sekarang Termohon
Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu sebagai Penggugat telah
mengajukan gugatan terhadap Pemohon Kasasi I juga Termohon
Kasasi II dahulu sebagai Tergugat di depan persidangan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pokok tuntutan sebagai berikut: Pada tanggal 16 April 2012
Mediator pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota
Administrasi
Jakarta
Selatan
yang
menangani
permohonan
pencatatan perselisihan hubungan industrial yang diajukan oleh
Penggugat telah memberikan anjuran agar pekerja (sekarang
Penggugat) dapat menerima Pemutusan Hubungan Kerja dengan
Pengusaha akibat dari berakhirnya masa Izin Menggunakan Tenaga
Kerja Asing atas nama Pekerja terhitung tanggal 24 Oktober 2011,
sesuai Surat Keputusan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja
dan Transmigrasi RI No.Kep-29167/MEN/B/IMTA/2010, tanggal
18 Oktober 2010.
Agar kedua belah pihak memberikan jawaban secara tertulis
atas anjuran tersebut di atas, selambat-lambatnya dalam jangka
waktu sepuluh hari kerja setelah menerima anjuran ini.
Penggugat tidak dapat menerima dan sangat keberatan
dengan anjuran Mediator pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Selatan. Karena anjuran
tersebut sangat sumir, dibuat secara asal-asalan, sekedar melepas
tanggung jawab memediasi laporan yang Penggugat ajukan. Setelah
anjuran diberikan, maka selesai tugas dan tanggung jawab mediator
dan anjuran tersebut tidak didukung dengan argumentasi dan dasar
hukum
yang kuat. Anjuran tersebut tidak menjawab dan
mempertimbangkan pokok persoalan yang Penggugat ajukan, yaitu
Penggugat bekerja pada Tergugat secara terus-menerus tanpa putus
sejak tanggal 21 April 1998 s/d tanggal 30 September 2011 (selama
± 13 Tahun). Anjuran tersebut mentolerir pelanggaran-pelanggaran
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang dilakukan oleh Tergugat. Anjuran tersebut mengkaitkan
hubungan kerja dengan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA), padahal hubungan kerja dan IMTA adalah dua hal yang
berbeda.
Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008
tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing IMTA, adalah
izin tertulis yang diberikan oleh Menteri/Pejabat yang ditunjuk
kepada Pemberi Kerja.
Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Hubungan Kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian
kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Berdasarkan pengertian IMTA dan Hubungan Kerja tersebut
di atas, maka hubungan kerja berakhir apabila perjanjian kerja
berakhir,
apabila
perjanjian
kerja
berakhir,
bukan
karena
berakhirnya IMTA. Apabila IMTA berakhir, hubungan kerja masih
berlangsung, maka adalah kewajiban Pemberi Kerja mengajukan
permohonan perpanjangan masa berlakunya IMTA.
Penggugat adalah Warga Negara Asing (Australia) yang
telah bekerja pada Tergugat sejak tanggal 21 April 1998 s/d tanggal
30 September 2011. Jabatan terakhir sebagai Manager PTD Service
(PTD SE), dengan gaji/pendapatan tetap pertahun sebesar seratus
dua puluh satu ribu delapan puluh satu Euro.
Meskipun Penggugat adalah Warga Negara Asing yang
bekerja di Indonesia, Penggugat mempunyai hak dan perlindungan
hukum yang sama dengan Warga Negara Indonesia sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia
sebagai berikut. Menurut Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Menurut
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan,
setiap
tenaga
kerja
mempunyai
hak
dan
kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah
pekerjaan, dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam dan di
luar negeri. Menurut Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan,
setiap
pekerja/buruh
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: Keselamatan
dan Kesehatan Kerja; Modal dan Kesusilaan; Perlakuan yang Sesuai
dengan Harkat dan Martabat Manusia Serta Nilai-Nilai Agama.
Peraturan
perundang-undangan
Republik
Indonesia
sebagaimana tersebut di atas, selalu menggunakan kata-kata setiap
orang/setiap pekerja, membuktikan bahwa peraturan perundangundangan Republik Indonesia tidak membeda-bedakan/memberikan
perlakuan atau perlindungan yang berbeda antara Warga Negara
Indonesia dengan Warga Negara Asing. Itu artinya, memberikan
perlindungan yang sama kepada Warga Negara Indonesia dan
Warga Negara Asing yang bekerja di dalam wilayah Republik
Indonesia.
Tergugat adalah suatu Perseroan Terbatas yang didirikan
berdasarkan dan tunduk kepada Undang-Undang Negara Republik
Indonesia. Perjanjian kerja/kesepakatan kerja waktu tertentu yang
dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat dibuat dalam
bahasa Indonesia. Isinya, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
dan apabila timbul perselisihan dalam hubungan kerja tersebut akan
diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan.
Apabila
penyelesaian secara musyawarah dan kekeluargaan tidak selesai,
maka kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalahnya ke
Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Hal tersebut berarti
bahwa Penggugat
dan Tergugat
telah sepakat
dan setuju
menundukkan diri dan memilih hukum Negara Republik Indonesia
dalam mengadakan hubungan kerja dan menyelesaikan perselisihan
yang timbul dalam pelaksanaan hubungan kerja tersebut.
Menurut Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan,
setiap
pemberi
kerja
yang
mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Menurut Pasal 42 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam
hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Menurut
Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Izin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing yang selanjutnya disingkat IMTA adalah izin tertulis
yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada
Pemberi Kerja TKA.
Menurut Pasal 24 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008
tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, jangka waktu
berlakunya IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
paling lama satu tahun dan dapat diperpanjang. Menurut Pasal 28
ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia
Nomor
PER.02/MEN/II/2008
tentang
Tata
Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing. IMTA dapat diperpanjang sesuai
jangka waktu berlakunya RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga
Kerja Asing) dengan ketentuan setiap kali perpanjangan paling lama
satu tahun. Menurut Pasal 13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008
tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, RPTKA dapat
diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan memperhatikan
kondisi pasar kerja dalam negeri.
Meskipun setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga
kerja asing di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memiliki
IMTA, akan tetapi IMTA bukan merupakan dasar terjadinya
hubungan kerja. IMTA hanya merupakan izin yang diberikan oleh
Menteri/Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja. Dasar
terjadinya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh
adalah perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU
Ketenagakerjaan.
Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya
perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Menurut Pasal
56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau
untuk waktu tidak tertentu.
Antara Penggugat dengan Tergugat telah mengadakan
hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja/kesepakatan kerja
waktu tertentu.
Penggugat bekerja pada Tergugat di Indonesia pada awalnya
berdasarkan Letter Of Appointment tanggal 21 April 1998 yang
dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Tergugat yang diwakili
Sdr. M. Hasier selaku Project Manager dan Sdr. Gunawan selaku
Project Site Commercia dengan Penggugat. Letter of Appointment
tersebut pada pokoknya mengatur Jabatan Penggugat adalah sebagai
Electrical and Instrumentation Supervisor Tergugat; Masa kerja
Penggugat terhitung sejak tanggal 10 April 1998 sampai dengan
tanggal 31 Maret 1999; Pendapatan Penggugat sebesar U$S 7.600,(tujuh ribu enam ratus dollar Australia) per bulan; Penggugat akan
menjalani masa percobaan selama 3 bulan; dan Letter of
Appointment dibuat berdasarkan dan tunduk pada hukum Negara
Republik Indonesia.
Meskipun Letter of Appointment tersebut di atas berakhir
pada tanggal 31 Maret 1999, akan tetapi Penggugat tetap bekerja
pada Tergugat sampai dengan tanggal 28 Februari 2001, menerima
gaji setiap bulannya dan menerima bonus tahun 1999, tahun 2000,
dan tahun 2001.
Pada tanggal 9 Maret 2000 (seharusnya tanggal 9 Maret
2001) telah dibuat dan ditandatangani Employment Agreement oleh
dan antara Tergugat yang diwakili Sdr. B. Ortmann dan Sdr. H.W.
Linne dengan Penggugat. Employment Agreement tersebut pada
pokoknya mengatur Penggugat akan mulai bekerja di Jakarta sejak
tanggal 01 Maret 2001 sampai dengan 31 Maret 2002; Penggugat
akan menjalani masa percobaan selama 3 bulan; Jabatan Penggugat
sebagai responsible to the Departement Manager of I & S2 PM;
Pendapatan dasar Penggugat sebesar sebelas juta delapan ratus tujuh
puluh sembilan ribu rupiah per bulan; Uang pesangon akan
dibayarkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;
Apabila terjadi perselisihan mengenai hubungan kerja, akan
diselesaikan secara kekeluargaan/damai dan apabila tidak tercapai,
maka para pihak akan menyelesaikan melalui Departemen Tenaga
Kerja Negara Republik Indonesia; dan Ketentuan-ketentuan yang
terdapat pada perjanjian kerja bersama berlaku, sepanjang tidak
diatur dalam perjanjian kerja ini.
Meskipun Employment Agreement tersebut di atas, berakhir
pada tanggal 31 Maret 2002, akan tetapi Penggugat tetap bekerja
pada Tergugat sampai dengan tanggal 30 September 2002,
menerima gaji setiap bulannya dan menerima bonus tahun 2002.
Pada
tanggal
02
Oktober
2002
telah
dibuat
dan
ditandatangani Employment Agreement oleh dan antara Tergugat
yang diwakili Sdri. Lola Irene Harahap dan Sdr. Frank Pedersen
dengan Penggugat. Employment Agreement tersebut pada pokoknya
mengatur Penggugat akan mulai bekerja di Jakarta sejak tanggal 01
Oktober 2002 sampai dengan 30 September 2003; Penggugat akan
menjalani masa percobaan selama 3 bulan; Jabatan Pemohon
sebagai responsible to the Departement Manager of I & S2 PM;
Pendapatan dasar Pemohon sebesar Rp13.676.688,00 (tiga belas juta
enam ratus tujuh puluh enam ribu enam ratus delapan puluh delapan
rupiah) per bulan; Uang pesangon akan dibayarkan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku; Apabila terjadi perselisihan
mengenai
hubungan
kerja,
akan
diselesaikan
secara
kekeluargaan/damai dan apabila tidak tercapai, maka para pihak
akan menyelesaikan melalui Departemen Tenaga Kerja Negara
Republik Indonesia; dan Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada
perjanjian kerja bersama berlaku, sepanjang tidak diatur dalam
perjanjian kerja ini.
Pada
tanggal
01
Oktober
2004
telah
dibuat
dan
ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara
Tergugat yang diwakili oleh Sdri. Lola Irene Harahap dan Sdr.
Juergen Marksteiner dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu
tertentu tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah
sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai
tanggal 01 Oktober 2004 s/d 30 September 2005; Tempat
penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan
Penggugat: Head of Department/Manager PTD Services (PTD SE);
Gaji kotor sebesar Rp17.000.000,- (Tujuh belas juta rupiah) bruto
per bulan. Golongan level 6; Pekerja yang telah bekerja selama 12
bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja.
Apabila pekerja belum/tidak memenuhi masa kerja 12 (dua belas)
bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan
persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan
penyelesaian
penyelesaian
secara
secara
musyawarah
musyawarah
kekeluargaan.
kekeluargaan
tidak
Apabila
dapat
diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan
masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir;
dan Para pihak dapat diperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu
tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya
tersebut kepada pihak lain, selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir.
Pada tanggal 1 Oktober 2006 telah dibuat dan ditandatangani
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang
diwakili Lola Irene Harahap dan Juergen Marksteiner dengan
Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada
pokoknya Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan
kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1 Oktober 2006 s/d
30 September 2008; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat
di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of Department/Manager PTD
Services (PTD SE); Gaji kotor sebesar dua puluh juta tujuh ratus
empat puluh lima ribu dua ratus rupiah brutto per bulan. Golongan
level 6; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak
atas cuti.
Pada tanggal 1 Oktober 2008 telah dibuat dan ditandatangani
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang
diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Markus Strohmeier dengan
Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada
pokoknya mengatur
Kedua belah pihak telah sepakat untuk
mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1
Oktober 2008 s/d 30 September 2009; Tempat penerimaan dan
penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of
Departemen/Manager PTD Services (PTD SE); Pendapatan per
tahun sebesar seratus tiga puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh
tujuh Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar seratus
delapan ribu sembilan ratus lima puluh tujuh Euro bruto, dan VIS
sebesar tiga puluh ribu tujuh ratus delapan puluh Euro; Jika pekerja
berhasil memperoleh target 100%, pekerja akan menerima seratus
empat puluh satu juta tujuh ratus enam puluh empat ribu seratus lima
puluh empat rupiah gross dan dua puluh ribu lima ratus tiga puluh
Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh
berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila pekerja
belum/tidak memenuhi masa kerja dua belas bulan, maka cuti
tahunan dapat diambil secara proporsional dengan persetujuan
atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian
secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara
musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua
belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen
Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat
memperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan
terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak
lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum kesepakatan kerja
waktu tertentu ini berakhir.
Pada
tanggal
01
Oktober
2009
telah
dibuat
dan
ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara
Tergugat yang diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Markus
Strohmeier dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu
tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat
untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal
01 Oktober 2009 s/d 30 September 2010; Tempat penerimaan dan
penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of
Departement/Manager PTD Services (PTD SE); Pendapatan per
tahun sebesar seratus empat puluh dua ribu tiga ratus tiga puluh
sembilan Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar
seratus dua belas ribu lima ratus lima puluh sembilan Euro bruto,
dan VIS sebesar tiga puluh ribu tujuh ratus delapan puluh Euro; Jika
pekerja berhasil memperoleh target 100%, pekerja akan menerima
seratus empat puluh satu juta tujuh ratus enam puluh empat ribu
seratus lima puluh empat rupiah gross dan dua puluh ribu lima ratus
tiga puluh Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan
penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila
pekerja belum/tidak memenuhi masa kerja 12 (dua belas) bulan,
maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan
persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan
penyelesaian
penyelesaian
secara
secara
musyawarah
musyawarah
kekeluargaan.
kekeluargaan
tidak
Apabila
dapat
diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan
masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir;
dan Para pihak dapat memperpanjang kesepakatan kerja untuk
waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya
tersebut kepada pihak lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan
sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir.
Pada tanggal 1 Oktober 2010 telah dibuat dan ditandatangani
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang
diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Hans Peter Haesslein dengan
Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada
pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat untuk
mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1
Oktober 2010 s/d 30 September 2011; Tempat penerimaan dan
penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of
Departement/Manager PTD Service (PTD SE); Pendapatan per
tahun sebesar seratus lima puluh empat ribu lima ratus tiga puluh
tiga Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar seratus
dua puluh satu ribu delapan puluh satu Euro bruto, dan VIS sebesar
tiga puluh tiga ribu empat ratus lima puluh dua Euro; Jika pekerja
berhasil memperoleh target 100%, pekerja akan menerima seratus
empat puluh delapan juta delapan ratus lima puluh dua ribu tiga
ratus enam puluh dua rupiah gross, dan dua puluh ribu lima ratus
tiga puluh Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan
penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila
pekerja belum/tidak memenuhi masa kerja dua belas bulan, maka
cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan persetujuan
atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian
secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara
musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua
belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen
Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat
memperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan
terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak
lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum kesepakatan kerja
waktu tertentu ini berakhir.
Letter of Appointment tanggal 21 April 1998, Employment
Agreement tanggal 9 Maret 2000, tanggal 2 Oktober 2002,
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu tanggal 1 Oktober 2004, tanggal
1 Oktober 2005, tanggal 1 Oktober 2010 yang dibuat oleh dan antara
Penggugat dengan Tergugat sebagaimana diuraikan pada point 9
tersebut di atas dibuat dalam bahasa Indonesia. Berisi ketentuanketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, dan apabila timbul perselisihan
dalam hubungan kerja tersebut akan diselesaikan secara musyawarah
dan kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah dan
kekeluargaan tidak diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat
menyelesaikan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja Republik
Indonesia. Hal tersebut berarti bahwa Penggugat dan Tergugat telah
sepakat dan setuju menundukkan diri dan memilih hukum Negara
Republik Indonesia dalam melakukan hubungan kerja dan
menyelesaikan
perselisihan
yang
timbul
dalam
pelaksanaan
hubungan kerja tersebut.
Menurut hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Negara
Republik Indonesia atau system kontrak bisnis dalam system hukum
Indonesia, yaitu: Pasal 58 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, maka Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak (selanjutnya disingkat PKWT) dapat mensyaratkan
adanya masa percobaan kerja. Dalam hal disyaratkan masa
percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
Menurut Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan: PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu. Yaitu: pekerjaan yang sekali
selesai atau yang sementara sifatnya; Pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling
lama tiga tahun; Pekerjaan yang bersifat musiman, atau; Pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan
yang bersifat tetap; PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui;
PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan
untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali
untuk jangka waktu paling lama satu tahun; Pengusaha yang
bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, paling lama tujuh hari
sebelum
perjanjian
kerja
waktu
tertentu
berakhir
telah
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh
yang bersangkutan; Pembaharuan PKWT hanya dapat diadakan
setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari berakhirnya
perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian
kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan satu kali dan paling
lama dua tahun; PKWT yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6), maka demi hukum menjadi PKWTT. Hal-hal lain yang
belum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Menurut Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disesuaikan dengan UU
Ketenagakerjaan 2013).
PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama tiga
bulan. Dalam masa percobaan kerja, pengusaha dilarang membayar
upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Ternyata
PKWT
antara
Penggugat
dengan
Tergugat
sebagaimana Penggugat uraikan di atas telah diperpanjang sebanyak
8 kali terhitung sejak tahun 2001 sampai dengan 2011 (± 11 tahun).
Khusus PKWT tahun 2004 s/d kesepakatan kerja waktu tertentu
tahun 2010 diperpanjang terus menerus tanpa putus. Di dalam
beberapa perjanjian kerja disyaratkan/adanya masa percobaan dan
pekerjaan yang dilakukan oleh Penggugat adalah pekerjaan yang
bersifat tetap, terus menerus, sehingga PKWT tersebut tidak
memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sesuai dengan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PKWT yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (1), ayat (2),
dan (4) tersebut, demi hukum menjadi PKWT.
Karena perjanjian kerja antara Penggugat dengan Tergugat
demi hukum menjadi PKWTT sebagaimana diuraikan di atas, maka
apabila Tergugat ingin memutuskan/mengakhiri hubungan kerja
dengan Penggugat, maka harus ada pemberitahuan, alasan, dan
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan
industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan 2003.
Selama bekerja dengan Tergugat, Penggugat mempunyai
prestasi kerja yang baik. Terbukti, setiap tahunnya Tergugat selalu
memberi bonus kepada Penggugat, tidak pernah melakukan
perbuatan tercela, tidak pernah melakukan kesalahan-kesalahan,
sehingga tidak pernah mendapatkan teguran/peringatan dan sanksi
dalam bentuk apapun juga dari Tergugat.
Pada tanggal 30 September 2011 Tergugat telah melakukan
pemutusan/pengakhiran hubungan kerja dengan Penggugat tanpa
pemberitahuan, tanpa alasan, tanpa adanya kesalahan Penggugat,
dan tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan
industrial, dan sejak itu gaji Penggugat tidak lagi dibayar oleh
Tergugat. Karenanya
pemutusan/pengakhiran hubungan kerja
tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum.
Menurut penggugat, pemutusan/pengakhiran hubungan kerja
tersebut dilakukan oleh Tergugat karena Penggugat menolak untuk
menandatangani draft PKWT yang baru. Pada draft kesepakatan
kerja waktu tertentu yang baru tersebut terdapat tambahan klausula.
Bahwa perusahaan atau Tergugat dapat memutuskan hubungan kerja
pekerja dengan Penggugat sebelum berakhirnya jangka waktu
kontrak tanpa kewajiban perusahaan untuk memberikan kepada
pekerja uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang
penggantian hak, uang pisah, ganti rugi sebesar upah pekerja sampai
dengan
waktu
seharusnya
berakhirnya
perjanjian
maupun
pembayaran lainnya, dengan pemberitahuan tertulis tiga bulan
sebelumnya, padahal klausula tersebut tidak ada pada PKWT
sebelumnya. Bahkan pada perjanjian kerja antara Penggugat dengan
Tergugat sebelumnya terdapat klausula yang menyatakan Penggugat
berhak mendapat pesangon sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku di Negara Republik Indonesia.
Adanya penambahan klasula dalam draft PKWT yang baru
tersebut karena Tergugat ingin menghindar dari tanggung jawab
untuk membayar pesangon kepada Penggugat akibat konsekuensi
dari perpanjangan kontrak kerja waktu tertentu yang dilakukan
terus-menerus tanpa putus. Hal ini dapat diketahui dari hasil risalah
Conference Call yang diadakan antara manajemen Tergugat yang
diwakili oleh Gilang Hermawan & Lola Irena Harahap dengan
manajemen Tergugat di Jerman (Mr.Andreas Heine) dan manajemen
Tergugat di Malaysia (Mr.Lakhvinder Singh) pada tanggal 9
Agustus 2011. Risalah berisi kesimpulan adanya risiko hukum
seperti pembayaran uang pesangon dan audit dari Kementerian
Tenaga Kerja dalam memperpanjang kontrak kekaryawanan Tenaga
Kerja Asing di Indonesia lebih dari 5 tahun berturut-turut
(disampaikan oleh Gilang Hermawan). Stephen Michael Young
(Penggugat) telah bekerja untuk PT. Siemens Indonesia (Tergugat)
sejak 10 tahun yang lalu. Karena itu, untuk menghindarkan isu
tersebut di atas direkomendasikan agar kontrak Stephen M. Young
diputuskan (disampaikan oleh
Gilang Hermawan & Lola Irene
Harahap).
Setelah adanya conference call tersebut, pada tanggal 12
September
2011
Tergugat
menawarkan
kompensasi
kepada
Penggugat sebesar 30% x 14,95 bulan upah dengan syarat kontrak
kerja Penggugat tidak diperpanjang lagi. Tawaran Tergugat tersebut
Penggugat tolak karena menurut penggugat hal itu tidak sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Meskipun pemutusan/pengakhiran hubungan kerja yang telah
dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat tersebut adalah tidak
sah dan batal demi hukum, namun faktanya hubungan kerja tersebut
telah berakhir dan tidak mungkin lagi untuk dilanjutkan. Karena
Tergugat sudah tidak lagi membayar gaji Penggugat selama delapan
bulan dan kalaupun hubungan kerja tersebut diteruskan akan
menimbulkan suasana kerja yang tidak baik yang akan merugikan
Penggugat dan Tergugat. Karenanya, Penggugat bersedia dan tidak
keberatan
dilakukan
pemutusan
hubungan
kerja/berakhirnya
hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat, akan tetapi
pemutusan hubungan kerja/berakhirnya hubungan kerja tersebut
setelah adanya putusan pengadilan perkara ini, bukan karena
kesalahan Penggugat, dan Tergugat harus membayar gaji Penggugat
yang belum dibayar terhitung sejak bulan Oktober 2011 sampai
dengan adanya putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum
tetap, yang untuk sementara dihitung sampai bulan Mei 2012 selama
8 bulan membayar 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja, dan uang pengganti hak sebesar tiga ratus empat puluh tujuh
ribu enam ratus dua Euro dengan rincian Gaji Penggugat yang
belum dibayar sejak Bulan Oktober 2011 s/d saat ini: 8 bln gaji x
Euro 121.081,-: 12 = Euro 80.720,- Pesangon: 2 x 9 bulan gaji x
Euro 121.081,-: 12 = Euro 181.621,- Uang penghargaan masa kerja:
5 bulan gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 50.450,- Uang penggantian
hak: 15% x (Euro 181.621,- + Euro 50.450) = Euro 34.811,- Total =
Euro 347.602.
Selain membayar gaji yang belum dibayar, 2 kali uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak
sebagaimana diuraikan di atas, Tergugat juga harus membayar
kekurangan pembayaran bonus tahun 2011. Sesuai ketentuan yang
berlaku pada Tergugat, Tergugat selalu memberi bonus kepada
Penggugat setiap tahunnya sesuai dengan prestasi bisnis dan prestasi
pribadi/personal yang Penggugat capai.
Pada tahun 2011, prestasi bisnis Penggugat adalah sebesar
144,39%, dan prestasi pribadi/personal adalah sebesar 1,25. Sesuai
ketentuan yang berlaku pada Tergugat, bonus yang harus diterima
oleh Penggugat pada tahun 2011 seharusnya adalah sebesar
(144,39% x 1.25 x Rp148.852.362,00) + (144,39% x 1.25 x Euro
20.530,-) = Rp268.659.906,00 + Euro 37.054,-. Akan tetapi yang
dibayar
oleh
Tergugat
kepada
Penggugat
hanya
sebesar
Rp188.000.000,00 + Euro 25.936,-. Sehingga masih terdapat
kekurangan sebesar Rp 80.659.906,00 + Euro 11.118,-.
Penggugat tidak melihat adanya iktikad baik dari Tergugat
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga Penggugat
mempunyai kekhawatiran Tergugat tidak mau melaksanakan isi
putusan Pengadilan secara sukarela, apabila nanti dihukum untuk
membayar gaji yang belum dibayar, 2 kali uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, kekurangan
pembayaran bonus kepada Penggugat. Oleh karena itu untuk
menjaga agar gugatan Penggugat tidak sia-sia dan adanya
kekhawatiran Tergugat akan mengalihkan, mengasingkan, dan
memindahkan harta kekayaaannya, mohon agar Pengadilan terlebih
dahulu meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) atas harta
kekayaan Tergugat berupa: Tanah dan Bangunan beserta isinya
milik Tergugat, terletak di Arkadia Office Park Tower F, Level 18,
Jl.TB Simatupang Kav.88, Jakarta Selatan.
Oleh karena Gugatan ini didasarkan pada bukti-bukti yang
secara hukum tidak dapat dibantah kebenarannya oleh Tergugat,
mohon Pengadilan memberikan putusan yang dapat dilaksanakan
terlebih dahulu (uit voerbaar bij voorraad), meskipun ada upaya
Kasasi, dan/atau upaya hukum lainnya, dan menghukum Tergugat
untuk membayar biaya perkara.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat mohon
kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat agar memutus, mengabulkan gugatan Penggugat untuk
seluruhnya; menyatakan Sita Jaminan yang telah diletakkan tersebut
sah
dan
berharga;
menyatakan
pemutusan
hubungan
kerja/berakhirnya hubungan kerja yang telah dilakukan Tergugat
terhadap Penggugat adalah tidak sah dan batal demi hukum;
menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat
berakhir/putus bukan karena kesalahan Penggugat terhitung sejak
putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap; menghukum
Tergugat untuk membayar kepada Penggugat gaji yang belum
dibayar, 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan
uang penggantian hak kepada Pemohon sebesar tiga ratus empat
puluh tujuh enam ratus dua Euro, dengan rincian gaji Penggugat
yang belum dibayar sejak Bulan Oktober 2011 s/d saat ini: 8 bln gaji
x Euro 121.081,-: 12 = Euro 80.720,- pesangon: 2 x 9 bulan gaji x
Euro 121.081,-: 12 = Euro 181.621,- uang penghargaan masa kerja:
5 bulan gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 50.450,- uang penggantian
hak: 15% x (Euro 181.621,- + Euro 50.450)
atau Total Euro
347.602,-. Beserta kekurangan pembayaran bonus tahun 2011
sebesar delapan puluh juta enam ratus lima puluh sembilan ribu
sembilan ratus enam rupiah + sebelas ribu seratus delapan belas
Euro. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih
dahulu meskipun ada upaya hukum, yaitu Kasasi dan/atau upaya
hukum lainnya (uit voerbaar bij voorraad). Menghukum Tergugat
untuk membayar biaya perkara ini. Atau apabila Pengadilan tidak
sependapat dengan Penggugat dan berpendapat lain, mohon
diberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa (ex aequo et bono). Pada tanggal 11 Juni 2012, Penggugat
telah mengajukan perbaikan surat gugatan, Posita Gugatan tertulis
adanya penambahan klausula dalam draft kesepakatan kerja waktu
tertentu yang baru tersebut karena Tergugat ingin menghindar dari
tanggung jawab untuk membayar pesangon kepada Penggugat akibat
konsekuensi dari perpanjangan kontrak kerja waktu tertentu yang
dilakukan terus-menerus tanpa putus. Seperti sudah dikemukakan di
atas, hal ini dapat diketahui dari hasil risalah Conference Call yang
diadakan antara manajemen Tergugat yang diwakili Gilang
Hermawan & Sdri. Lola Irene Harahap dengan menejemen Tergugat
di Jerman (Mr. Andreas Heine) dan manajemen Tergugat di
Malaysia (Mr. Lakhvinder Singh) pada tanggal 9 Agustus 2011 yang
adanya resiko hukum seperti pembayaran uang pesangon dan audit
dari Kementerian Tenaga Kerja dalam memperpanjang kontrak
kekaryawanan tenaga kerja asing di Indonesia lebih dari 5 tahun
berturut-turut (disampaikan Gilang Hermawan). Stephen Michael
Young (Penggugat) telah bekerja untuk PT. Siemens Indonesia
(Tergugat) sejak 10 tahun yang lalu. Karena itu, untuk
menghindarkan isu tersebut di atas direkomendasikan agar kontrak
Stephen M. Young diputuskan (disampaikan Gilang Hermawan &
Lola Irene Harahap).
Seharusnya, adanya penambahan klausula dalam draft
PKWT yang baru tersebut karena Tergugat ingin menghindar dari
tanggung jawab untuk membayar pesangon kepada Penggugat akibat
konsekuensi dari perpanjangan PKWT yang dilakukan terusmenerus tanpa putus dan sekaligus membuktikan bahwa Tergugat
memilih dan menundukkan diri pada hukum Negara Republik
Indonesia. Hal itu dapat diketahui dari Email tertanggal 16 Juni 2009
yang dikirimkan Gilang Hermawan (bagian Legal Tergugat) kepada
Penggugat. Berdasarkan email tersebut Gilang Hermawan telah
memberitahukan kepada Penggugat bahwa peraturan tentang masa
tenggang waktu 30 hari tidak dapat dikecualikan. Pandangan Legal
Tergugat tersebut berdasarkan hasil pertemuan Gilang Hermawan
dengan bagian SDM Tergugat. Pada pertemuan itu, bagian SDM
Tergugat menjelaskan bahwa bagian SDM Tergugat telah berdiskusi
dengan Departemen Tenaga Kerja tentang ketentuan masa tenggang
waktu 30 hari dalam perpanjangan (PKWT). Hasil diskusi SDM
Tergugat dengan Departemen Tenaga Kerja tersebut menyimpulkan
Kementrian Tenaga Kerja tidak membenarkan pengecualian dari
peraturan sekaligus hal tersebut sudah disebutkan dalam kontrak
kekaryawanan
yang
bersangkutan.
Akibat
dari
pelanggaran
peraturan tersebut karyawan yang bersangkutan akan menjadi
karyawan tetap sesuai dengan benefit. Berarti bahwa bila karyawan
diberhentikan, maka perusahaan harus membayar semua uang
pesangon.
Hasil risalah Conference Call yang diadakan antara
manajemen Tergugat yang diwakili Gilang Hermawan & Lola Irene
Harahap dengan manajemen Tergugat di Jerman (Mr. Andreas
Heine) dan manajemen Tergugat di Malaysia (Mr. Lakhvinder
Singh) pada tanggal 9 Agustus 2011 menyimpulkan antara lain
adanya resiko hukum seperti pembayaran uang pesangon dan audit
dari Kementerian Tenaga Kerja dalam memperpanjang kontrak
kekaryawanan tenaga kerja asing di Indonesia lebih dari 5 tahun
berturut-turut (disampaikan oleh Gilang Hermawan);
Stephen Michael Young (Penggugat) telah bekerja untuk PT.
Siemens Indonesia (Tergugat) sejak 10 tahun yang lalu, oleh karena
itu, untuk menghindarkan isu tersebut di atas direkomendasikan agar
kontrak Stephen M. Young diputuskan (disampaikan oleh Gilang
Hermawan & Lola Irene Harahap).
Terhadap gugatan tersebut di atas, Tergugat mengajukan
eksepsi bahwa Surat Kuasa yang diajukan oleh Penggugat harus
dibuktikan terlebih dahulu keabsahannya.
Pada persidangan tanggal 4 Juni 2012, dimana Tergugat
diberikan kesempatan untuk melakukan pemeriksaan Surat Kuasa
yang diajukan oleh Kuasa Hukum Penggugat, maka kami telah
disampaikan Penggugat adalah warga negara asing yang saat ini
sudah tidak bekerja lagi di Tergugat sehingga Tergugat tidak
mengetahui apakah Penggugat masih berdomisili di Indonesia atau
tidak. Di dalam Surat Kuasa yang diajukan Penggugat di muka
persidangan, tertulis bahwa Penggugat menandatangani Surat Kuasa
tersebut di Jakarta tanpa disertai bukti keberadaan Penggugat di
Indonesia. Tergugat telah memohon kepada Majelis Hakim yang
Terhormat
untuk
meminta
Penggugat
melengkapi
bukti
keberadaannya di Indonesia melalui photo copy paspor yang
memiliki cap imigrasi yang membuktikan keberadaan Penggugat di
Indonesia pada saat menandatangani Surat Kuasa. Pernyataan yang
disampaikan Tergugat di atas didasari pada ketentuan bahwa, selain
format Surat Kuasa harus memenuhi ketentuan Pasal 123 (1) HIR
dan SEMA No.6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus, namun
Mahkamah Agung melalui Yurisprudensi No. 3038 K/Pdt/1981
telah memberikan persyaratan tambahan khusus untuk surat kuasa
khusus yang dibuat di luar negeri, yaitu: “Surat kuasa yang dibuat di
luar negeri harus dilegalisir di KBRI setempat.”
Mengingat bahwa kesempatan untuk mengajukan Eksepsi
yang bukan bersifat eksepsi kewenangan harus diajukan bersamasama
dengan
Jawaban,
maka
sepanjang
Penggugat
belum
melengkapi Surat Kuasa dengan bukti keberadaan Penggugat di
Indonesia ketika menandatangani Surat Kuasanya, Surat Kuasa
Penggugat harus dianggap tidak sah atau setidaknya tidak memenuhi
ketentuan
hukum
acara
sebagaimana
termaksud
dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3038 K/Pdt/1981, dan
karenanya Gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijke verklaard).
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberikan putusan
Nomor 85/PHI.G/2012/PN.JKT.PST., tanggal 24 September 2012
yang amarnya dalam Eksepsi: Menolak Eksepsi Tergugat. Dalam
Pokok Perkara: mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
menyatakan “PUTUS” hubungan kerja antara Penggugat dengan
Tergugat sejak tanggal 30 September 2011; menghukum Tergugat
untuk membayar kepada Penggugat uang pisah, dan biaya
pemulangan Penggugat beserta keluarganya ke negara asalnya yang
seluruhnya sebesar sembilan puluh ribu delapan ratus sepuluh Euro;
menolak
gugatan
Penggugat
selain
dan
selebihnya;
dan
membebankan biaya perkara kepada Tergugat sebesar tiga ratus dua
puluh dua ribu rupiah.
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut telah diucapkan
dengan hadirnya Kuasa Penggugat dan Kuasa Tergugat pada tanggal
24 September 2012, terhadap putusan tersebut Tergugat dan
Penggugat melalui kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus
masing-masing tanggal 1 Juni 2012 dan 27 September 2012,
mengajukan permohonan kasasi masing-masing pada tanggal 4
Oktober 2012 dan tanggal 8 Oktober 2012, sebagaimana ternyata
dari
Akta
Permohonan
Kasasi
111/Srt.KAS/PHI/2012/PN.JKT.PST.,
masing-masing
Nomor
dan
Nomor
113/Srt.KAS/PHI/2012/PN.JKT.PST., yang dibuat oleh Panitera
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Permohonan tersebut disertai dengan memori kasasi yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri/Hubungan Industrial
Jakarta Pusat masing-masing pada tanggal 18 Oktober 2012 dan 19
Oktober 2012.
Memori kasasi dari Tergugat telah disampaikan kepada
Penggugat pada tanggal 25 Oktober 2012, kemudian Penggugat
mengajukan kontra memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada tanggal 6 November 2012.
Memori kasasi dari Penggugat telah disampaikan kepada
Tergugat pada tanggal 6 November 2012, kemudian Tergugat
mengajukan kontra memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada tanggal 20 November 2012.
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta
keberatan-keberatannya telah diberitahukan kepada pihak lawan
dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara
yang ditentukan dalam undang-undang, sehingga permohonan kasasi
tersebut secara formal dapat diterima.
Menimbang,
bahwa
keberatan-keberatan
kasasi
yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi I/Tergugat dan Pemohon Kasasi
II/Penggugat dalam memori kasasinya pada pokoknya adalah:
Keberatan-keberatan
Pemohon
Kasasi
I/Tergugat.
Keberatan
Pertama Judex Facti telah keliru dalam memberikan pertimbangan
hukum karena pertimbangan hukum tersebut tidak konsisten dengan
pertimbangan hukum yang sudah benar dan tepat di mengenai
ketentuan hukum yang berlaku bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) di
Indonesia. Judex Facti telah secara benar menerapkan ketentuan
hukum ketenagakerjaan khususnya ketentuan Pasal 42 ayat (4) jo.
Pasal 57 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
("UU No. 13/2003"), yang pertimbangan hukum selengkapnya
menimbang,
bahwa
sekalipun
Tergugat
terbukti
telah
mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus dari tanggal 10
April 1998 s/d 30 September 2011 atau selama tiga belas tahun dan
mempekerjakan Penggugat dari tahun 1999 s/d 2001 tanpa adanya
perjanjian kerja, Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan kerja
antara Penggugat sebagai tenaga kerja asing dengan Tergugat tidak
secara otomatis dapat berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat
atau berdasarkan PKWTT dengan alasan hukum sebagai berikut:
Penggugat adalah tenaga kerja asing, sehingga hubungan kerjanya
harus tunduk pada ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun
2003, yaitu PKWT; Ketentuan Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat
(7) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat umum (lex generalis) tidak
dapat diterapkan dalam perkara ini. Karena ketentuan tersebut dapat
diabaikan atau dihapuskan oleh ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No.
13 Tahun 2003 yang bersifat khusus (lex specialis) yang dalam teori
hukum dikenal dengan istilah lex specialis derogate legi generalis.
Walaupun Judex Facti telah memberikan pertimbangan hukum
dengan benar tentang penerapan ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No.
13/2003 bagi TKA yang bekerja di Indonesia dikutip di atas,
ternyata dalam pertimbangan hukum lainnya, Judex Facti membuat
kekeliruan yang fatal. Mempertimbangkan menimbang, bahwa
sekalipun gugatan Penggugat dalam bagian pokok perkara ditolak
untuk seluruhnya, namun demikian mengingat Tergugat juga
terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 57
ayat (1), yaitu mempekerjakan Penggugat tanpa adanya perjanjian
kerja dari tahun 1999 s/d 2001, dan Tergugat terbukti pula telah
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) dan
(6), yaitu telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus
selama tiga belas tahun lamanya, maka menurut Majelis adalah tidak
adil apabila Penggugat tidak mendapatkan kompensasi apapun atas
berakhirnya hubungan kerjanya tersebut. Padahal di lain pihak
Tergugat telah menikmati hasil kerja Penggugat dari tahun 1998 s/d
2011, atau selama tiga belas tahun lamanya."
Pertimbangan hukum yang diberikan oleh Judex Facti di atas
jelas bertentangan dengan pertimbangan hukum putusan a quo yang
juga Pemohon Kasasi telah kutip secara utuh di atas, dimana
ketentuan Pasal 57 dan 59 UU No. 13/2003 tidak dapat diterapkan
bagi penggunaan TKA di Indonesia.
Judex Facti seharusnya konsisten dalam setiap pertimbangan
hukumnya. Pengaturan penggunaan TKA di Indonesia memang
harus tunduk pada Ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13/2003
yang secara tegas dan tanpa perlu penafsiran apapun telah
menyatakan: “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia
hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu
tertentu."
Bahkan, ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13/2003 di atas
telah dipertegas lagi dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Pasal 2
ayat (2) Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995 tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang ("Kepres
No. 75/1995") juga mengatur mengenai pembatasan waktu dalam
penggunaan tenaga kerja asing sebagai berikut: "Apabila bidang dan
jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya dapat
diisi oleh tenaga kerja Indonesia, pengguna TKWNAP dapat
menggunakan TKWNAP sampai batas waktu tertentu."
Merujuk pada ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13/2003
yang dipertegas dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Kepres No.
75/1995 di atas, maka pertimbangan hukum yang diterapkan Judex
Facti sudah benar dan tepat, sehingga pertimbangan hukum Judex
Facti sudah seharusnya dibatalkan oleh Majelis Hakim Agung yang
Terhormat ("Judex Juris") agar tercipta konsistensi dalam penerapan
hukum.
Yahya Harahap dalam bukunya "Hukum Acara Perdata
tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan," halaman 798, menjelaskan mengenai putusan
yang mengandung kontradiksi dalam putusan, sebagai berikut:
"Begitu juga pertimbangan yang mengandung kontradiksi,
pada dasarnya dianggap tidak memenuhi syarat sebagai
putusan yang jelas dan rinci, sehingga cukup alasan
menyatakan putusan yang dijatuhkan melanggar asas yang
digariskan Pasal 178 ayat (1) HIR, Pasal 189 ayat (1) RBG,
dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004. Demikian penegasan
yang terkandung dalam Putusan MA No. 3538 K/Pdt/1984."
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka koreksi atas
pertimbangan hukum yang diberikan oleh Judex Facti juga sudah
sepatutnya dilakukan oleh Judex Juris. Sikap Mahkamah Agung
yang selama ini selalu konsisten dalam penerapan ketentuan hukum
mengenai penggunaan TKA di Indonesia sebagaimana terdapat
dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 595 K/PDT.SUS/2010 dan Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 115 PK/PDT.SUS/2009 yang juga dirujuk oleh
Judex Facti Putusan a quo;
Keberatan Kedua Judex Facti keliru dalam penerapan hukum
mengenai petitum subsidair yang berbentuk ex aequo et bono. Judex
Facti ternyata malah memberikan ultra petitum partium, dengan
memberikan putusan yang mengabulkan hal-hal yang tidak pernah
diminta ataupun disinggung oleh Termohon Kasasi selama proses
persidangan tingkat pertama berlangsung.
Di dalam a quo. Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar
uang pisah dan biaya pemulangan Termohon Kasasi yang
seluruhnya berjumlah sembilan puluh ribu delapan ratus sepuluh
Euro. Petitum ke 3 ini diberikan berdasarkan pertimbangan hukum
Judex Facti di Putusan a quo sebagai berikut:
"Menimbang, bahwa sekalipun gugatan Penggugat dalam
bagian pokok perkara ditolak untuk seluruhnya, namun
demikian mengingat Tergugat juga terbukti telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 57 ayat (1), yaitu
mempekerjakan Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja
dari tahun 1999 s/d 2001, dan Tergugat terbukti pula telah
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat
(4) dan (6), yaitu telah mempekerjakan Penggugat secara
terus-menerus selama 13 (tiga belas) tahun lamanya, maka
menurut Majelis adalah tidak adil apabila Penggugat tidak
mendapatkan kompensasi apapun atas berakhirnya
hubungan kerjanya tersebut, padahal di lain pihak Tergugat
telah menikmati hasil kerja Penggugat dari tahun 1998 s/d
2011 atau selama 13 (tiga belas) tahun lamanya."
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dan dengan
mempertimbangkan gugatan Penggugat dan jawaban Tergugat yang
mohon putusan yang seadil-adilnya (asas ex aequo et bono) apabila
Majelis berpendapat lain, maka Majelis akan memutus perkara ini
sesuai asas keadilan sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 140 K/Sip/1971 tanggal 12 Agustus 1972, dan Majelis
berpendirian, pertimbangan aspek ini tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR.
Berdasarkan keadilan Majelis berpendapat bahwa besarnya
uang kompensasi PHK yang adil dan layak yang harus dibayar oleh
Tergugat kepada Penggugat dan biaya pemulangan Penggugat
adalah uang pisah sebesar 7 kali upah tetap Penggugat dan biaya
pemulangan Penggugat bersama keluarganya ke negara asalnya
sebesar 2 kali upah tetap Penggugat, yaitu secara keseluruhan
sebesar 9 X Euro 121.081/12 = Euro 90.810.
Kekeliruan dan ketidakkonsistenan pertimbangan Judex
Facti di atas telah Pemohon Kasasi uraikan secara terperinci dalam
Keberatan Pertama di atas. Selanjutnya dibawah ini Pemohon Kasasi
menguraikan
kekeliruan
Judex
Facti
dalam
pertimbangan
hukumnya.
Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Acara Perdata
tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan," menjelaskan mengenai "panduan" dalam
penerapan petitum subsidair yang berbentuk "ex aequo et bono".
"Putusan Judex Facti yang didasarkan pada petitum
subsidair yang berbentuk ex aequo et bono, dapat dibenarkan, asal
masih dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primair.
Bahkan terdapat juga putusan yang lebih jauh dari itu. Putusan MA
No. 556 K/Sip/1971 berisi kemungkinan mengabulkan gugatan yang
melebihi permintaan, dengan syarat asal masih sesuai dengan
kejadian materiil. Namun perlu diingat, penerapan yang demikian
sangat kasuistik.
Asas lain digariskan pada Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189
ayat (3) RBG, dan Pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulkan
melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini
disebut ultra petitum portium. Hakim yang mengabulkan melebihi
posita maupun petitum gugat, dianggap telah melampaui batas
wewenang
atau
ultra
vires,
yakni
bertindak
melampaui
wewenangnya (beyond the powers of his authority). Apabila putusan
mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid),
meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith)
maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest).
Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang
digugat, dapat dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah
(illegal) meskipun dilakukan dengan iktikad baik.
Oleh karena itu, menurut Harahap, hakim yang melanggar
prinsip ultra petitum, sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule
of law. Karena tindakan itu tidak sesuai dengan hokum. Padahal
sesuai dengan prinsip rule of law; semua tindakan hakim mesti
sesuai dengan hukum (accordance with the law), kata Harahap
Tindakan hakim yang mengabulkan melebihi dari yang dituntut,
nyata-nyata melampaui batas wewenang yang diberikan Pasal 178
ayat (3) HIR kepadanya. Padahal sesuai dengan prinsip rule of law,
siapapun tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas
wewenangnya.
Sehubungan dengan itu, sekiranya tindakan ultra petitum itu
dilakukan hakim berdasarkan alasan iktikad baik, tetap tidak dapat
dibenarkan atau illegal, karena melanggar prinsip the rule of law
(the principal of the rule of law). Menurut Penggugat tidak dapat
dibenarkan. Hal itupun ditegaskan dalam Putusan MA No. 1001
K/Sip/1972 yang melarang hakim mengabulkan hal-hal yang tidak
diminta atau melebihi dari apa yang diminta. Yang dapat dibenarkan
paling tidak putusan yang dijatuhkan hakim, masih dalam kerangka
yang serasi dengan inti gugatan. Demikian penegasan Putusan MA
No. 140 K/Sip/1971. Kata penggugat, Dalam pertimbangan hukum
Judex Facti di atas, terdapat dua alasan dalam menghukum
Pemohon Kasasi, yaitu: adanya pelanggaran Pemohon Kasasi
terhadap ketentuan Pasal 57 dan 59 UU No. 13/2003. Hal ini jelasjelas bertentangan dengan pertimbangan Judex Facti sebelumnya
sebagaimana sudah diuraikan dalam Keberatan Pertama Pemohon
Kasasi di atas. Mempertimbangkan gugatan dan jawaban yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi yang meminta
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Jika Judex Juris mempelajari isi Gugatan dan Jawaban serta
merujuk pada pendapat dari Yahya Harahap sebagaimana diuraikan
di atas, maka, menurut penggugat, tidak ada satupun dalil maupun
petitum dari Penggugat yang meminta dibayarkannya "biaya
pemulangan Penggugat (Termohon Kasasi) bersama keluarganya ke
negara asalnya." Hal ini dikarenakan, faktanya termohon Kasasi
dipekerjakan dan direkrut dari Jakarta, Indonesia, sehingga di dalam
perjanjian
kerjanya
memang
tidak
terdapat
klausul
biaya
pemulangan Termohon Kasasi ke negara asalnya. Walaupun tidak
diwajibkan membayarkan biaya pemulangan ke negara asal, namun
Pemohon Kasasi atas kebijakannya telah memberikan biaya
pemulangan Termohon Kasasi ke negaranya.
Karena hal ini memang tidak pernah didalilkan ataupun
diminta di dalam petitum Termohon Kasasi, maka Pemohon Kasasi
belum pernah mengajukan adanya bukti pembayaran biaya
pemulangan Termohon Kasasi ini pada persidangan tingkat pertama.
Namun karena ternyata Pemohon Kasasi melalui Putusan a quo
dihukum untuk membayar biaya yang faktanya sudah pernah
dibayarkan oleh Pemohon Kasasi kepada Termohon Kasasi, maka
Pemohon Kasasi sangat keberatan dengan biaya pemulangan ini dan
dapat membuktikan bahwa biaya tersebut sudah dibayarkan.
Dihukumnya Pemohon Kasasi untuk membayar biaya
pemulangan ke negara asal Termohon Kasasi walaupun didasarkan
pada pertimbangan ex aequo et bono, namun pertimbangan Judex
Facti ini jelas-jelas tidak sesuai dengan inti petitum primair dari
Termohon Kasasi. Karena dalam gugatannya Termohon Kasasi tidak
pernah meminta untuk diberikan pembayaran uang pisah dan biaya
pemulangan Termohon Kasasi bersama keluarganya ke negara
asalnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam petitum Termohon Kasasi
yang Pemohon Kasasi kutip sebagai berikut: mengabulkan gugatan
Penggugat untuk seluruhnya. Menyatakan sita jaminan yang telah
diletakkan tersebut sah dan berharga. Menyatakan pemutusan
hubungan kerja/berakhirnya hubungan kerja yang telah dilakukan
Tergugat terhadap Penggugat adalah tidak sah dan batal demi
hukum. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan
Tergugat
berakhir/putus bukan karena kesalahan Penggugat
terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum
tetap. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat
gaji yang belum dibayar, 2 kali uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak kepada Pemohon sebesar tiga
ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus dua Euro, dengan rincian
Gaji Penggugat yang belum dibayar sejak bulan Oktober 2011 s/d
saat ini: 8 bln gaji X Euro 121.081,- : 12 = Euro 80.720,- Pesangon:
2 X 9 bulan gaji X Euro 121.081,- : 12 = Euro 181.621,- Uang
penghargaan masa kerja: 5 bulan gaji X Euro 121.081,-: 12 = Euro
50.450,- Uang penggantian hak: 15% X (Euro 181.621,- + Euro
50.450,-) = Euro 34.811,- + Total Euro 347.602,-, dan kekurangan
pembayaran bonus tahun 2011 sebesar delapan puluh juta enam
ratus lima puluh sembilan ribu sembilan ratus enam rupiah + sebelas
ribu seratus delapan belas Euro.
Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu
meskipun ada upaya hukum, yaitu kasasi dan/atau upaya hukum
lainnya (uit voerbaar bij voorraad). Menghukum Tergugat untuk
membayar biaya perkara ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka tindakan Judex Facti yang
menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar uang pisah dan biaya
pemulangan
Termohon
Kasasi
ke
negara
asalnya
dapat
dikualifikasikan
sebagai
tindakan
yang
melampaui
batas
wewenangnya.
Pemohon Kasasi juga memohon perhatian Judex Juris yang
terhormat bahwa Judex Facti juga keliru dalam menerapkan
ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR
“ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara
yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang
digugat." Adapun penjelasan atas ayat (3) di atas adalah:
“ayat (3) melarang hakim untuk menjatuhkan keputusan atas
perkara yang tidak digugat atau meluluskan lebih daripada
yang digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat
dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali
uang yang dipinjam oleh lawannya, akan tetapi ia lupa untuk
menuntut agar supaya tergugat dihukum pula membayar
bunganya, maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan
dalam putusannya supaya yang kalah itu membayar bunga
atas uang pinjaman itu."
Berdasarkan isi dan penjelasan pasal HIR di atas, maka
hakim sudah dilarang untuk memberikan atau menjatuhkan putusan
atas hal-hal yang tidak digugat walaupun atas dasar ex aequo et
bono. Penerapan prinsip ex aequo et bono harus konsisten dengan isi
petitum primair sebagaimana dijelaskan oleh Yahya Harahap di atas.
Dalam hal ini Judex Facti telah melakukan kesalahan. "...Majelis
berpendirian pertimbangan aspek ini tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR.”
Tindakan Judex Facti yang telah mengabulkan melebihi
tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan atau ultra petitum
partium juga bertentangan dengan kaidah hukum yang dijalankan
oleh Mahkamah Agung sebagaimana terdapat dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI Nomor 1001/K/Sip.1972 dan Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI Nomor 77 K/Sip/1973. Masing-masing kaidah
hukum: "melarang hakim mengabulkan hal-hal yang tidak diminta
atau melebihi dari apa-apa yang diminta." Dan "putusan harus
dibatalkan, karena putusan PT mengabulkan ganti rugi yang tidak
diminta dalam gugatan."
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka Pemohon Kasasi
dengan segala kerendahan hati memohon kepada Judex Juris untuk
memperbaiki kekeliruan pada sebagian pertimbangan hukum dari
Judex Facti sebagaimana telah diuraikan di atas, demi menjamin
kepastian hukum dan keadilan. Keberatan-keberatan Pemohon
Kasasi II/Penggugat adalah Judex Facti telah salah menerapkan
hukum menyatakan bahwa penggugat adalah Tenaga Kerja Asing,
sehingga hubungan kerjanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 42
ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, ketentuan Pasal 57 Ayat (2), dan
Pasal 59 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat umum (lex
generalis), tidak dapat diterapkan dalam perkara ini, karena
ketentuan tersebut dapat diabaikan atau dihapuskan oleh ketentuan
Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat khusus (lex
specialis) yang dalam teori hukum dikenal dengan istilah lex
specialis derogate legi generalis.
Judex Facti juga telah memberikan pertimbangan hukum
antara lain Sekalipun Tergugat terbukti telah mempekerjakan
Penggugat secara terus-menerus dari tanggal 10 April 1998 s/d 30
September 2011 atau selama tiga belas tahun dan mempekerjakan
Penggugat dari tahun 1999 s/d 2001 tanpa adanya perjanjian kerja,
Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan kerja antara Penggugat
sebagai tenaga kerja asing dengan Tergugat tidak secara otomatis
dapat berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat tetap atau
berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dengan
alasan hukum sebagai berikut: Penggugat adalah tenaga kerja asing,
sehingga hubungan kerjanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 42
ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu PKWT. Ketentuan Pasal 57
ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat
umum (lex generalis) tidak dapat diterapkan dalam perkara ini
karena ketentuan tersebut dapat diabaikan atau dihapuskan oleh
ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat
khusus (lex specialis) yang dalam teori hukum dikenal dengan istilah
lex specialis derogate legi generalis. Judex Facti telah salah
menerapkan hukum, karena dalam Letter of Appointment tanggal 21
April 1998 terdapat klausula bahwa Letter of Appointment dibuat
berdasarkan dan tunduk kepada hukum Negara Republik Indonesia.
Dalam Employment Agreement tanggal 9 Maret 2000 (seharusnya
tanggal 9 Maret 2001), dalam Employment Agreement tanggal 02
Oktober 2002, PKWT tanggal 1 Oktober 2004, PKWT tanggal 1
Oktober 2005, PKWT tanggal 1 Oktober 2006, PKWT tanggal 1
Oktober 2008, PKWT tanggal 1 Oktober 2009, dan PKWT Tertentu
tanggal 1 Oktober 2010 terdapat klausula bahwa ketentuanketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja bersama berlaku
sepanjang tidak diatur dalam perjanjian kerja ini, dan jika terjadi
perselisihan dalam hubungan kerja kedua belah pihak sepakat akan
mengusahakan penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan.
Apabila penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan tidak dapat
diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan
masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir.
Selain itu baik Letter of Appointment maupun kesepakatan-
kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut dibuat dalam bahasa
Indonesia dan isinya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Ketenagakerjaan 2003 yang disesuaikan.
Berdasarkan Letter of Appointment dan kesepakatankesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat dan ditandatangani
oleh dan antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi
sebagaimana diuraikan tersebut di atas, antara Pemohon Kasasi
dengan Termohon Kasasi telah sepakat dan setuju menundukkan diri
dan memilih hukum Negara Republik Indonesia dalam melakukan
hubungan kerja dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam
pelaksanaan
hubungan
kerja
tersebut.
Kesepakatan
tersebut
mengikat Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi, sehingga berlaku
sebagai undang-undang bagi Pemohon Kasasi dan Termohon
Kasasi.
Oleh karena kesepakatan tersebut berkaitan dengan masalah
ketenagakerjaan, maka hukum Indonesia yang telah oleh Pemohon
Kasasi dan Termohon Kasasi adalah hukum ketenagakerjaan
Indonesia, yaitu Ketenagakerjaan 2003, sehingga semua ketentuanketentuan yang terdapat dalam Ketenagakerjaan 2003 berlaku dan
dapat diterapkan terhadap Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi.
Selain itu, Ketenagakerjaan 2003 selalu menggunakan katakata pekerja/buruh atau tenaga kerja, berarti bahwa Ketenagakerjaan
2003 tidak membeda-bedakan dan memberi perlakuan dan
perlindungan hukum yang sama, baik kepada pekerja/buruh warga
negara Indonesia maupun warga negara asing yang bekerja di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia. Sehingga, semua ketentuanketentuan yang terdapat dalam Ketenagakerjaan 2003 berlaku dan
dapat diterapkan terhadap Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi.
Pasal 42 ayat (4) Ketenagakerjaan 2003, Tenaga kerja asing
dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu dan waktu tertentu.
Oleh karena semua ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan tersebut di atas juga
berlaku dan dapat diterapkan terhadap Pemohon Kasasi dan
Termohon Kasasi, maka waktu tertentu sebagaimana dimaksud
Pasal 42 ayat (4) tersebut menurut Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 adalah paling lama dua tahun dan hanya
boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu
tahun. Dan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud Pasal 59 ayat (4) tersebut, maka menurut Pasal 59 ayat (7)
PKWT tersebut demi hukum menjadi PKWTT.
Pemohon Kasasi telah bekerja pada Termohon Kasasi
terhitung sejak tanggal 10 April 1998 s/d 30 September 2011,
selama ± 13 tahun secara terus-menerus tanpa putus/jedah, dan
pekerjaan yang menjadi tugas pokok Pemohon Kasasi adalah
pekerjaan tetap yang menjadi inti bisnis Termohon Kasasi. Bahkan
pada tahun 1999 s/d 2001 Pemohon Kasasi bekerja pada Termohon
Kasasi tanpa perjanjian kerja dan pada tahun 1998 s/d 2005
Pemohon Kasasi bekerja pada Termohon Kasasi tanpa dilengkapi
dengan IMTA sebagaimana pertimbangan hukum Judex Facti,
membuktikan bahwa Termohon Kasasi adalah perusahaan asing
nakal
yang
melanggar
peraturan
perundang-undangan
ketenagakerjaan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Kesepakatan
kerja
waktu
tertentu
yang
dibuat
dan
ditandatangani oleh dan antara Pemohon Kasasi dengan Termohon
Kasasi sebagaimana diuraikan tersebut di atas, yaitu dilakukan
secara terus-menerus tanpa putus/jedah, pekerjaan yang menjadi
tugas pokok Pemohon Kasasi adalah pekerjaan tetap yang menjadi
inti bisnis Termohon Kasasi tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (4) Ketenagakerjaan 2003, sehingga menurut
Pasal 59 ayat (7), PKWT tersebut demi hukum menjadi PKWTT.
Konsekuensinya, apabila Termohon Kasasi ingin mengakhiri
hubungan kerja dengan Pemohon Kasasi, maka harus ada
pemberitahuan, alasan, dan memperoleh penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan apabila tidak
terbukti adanya kesalahan yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi,
Termohon
Kasasi
harus
membayar
uang
pesangon,
uang
penghargaan, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam
Pasal 156 UU Ketenagakerjaan 2003.
Judex Facti telah salah menerapkan hukum, karena
pertimbangan hukumnya bertentangan satu sama lainnya. Menurut
penggugat, pertimbangan hukum yang keliru itu adalah:
“Sekalipun gugatan Penggugat dalam bagian pokok perkara
ditolak untuk seluruhnya, namun demikian mengingat
Tergugat juga terbukti telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 57 ayat (1) yaitu mempekerjakan
Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja dari tahun 1999
s/d 2001, dan Tergugat terbukti pula telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) dan (6),
yaitu telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus
selama 13 (tiga belas) tahun lamanya, maka menurut Majelis
adalah tidak adil apabila Penggugat tidak mendapatkan
kompensasi apapun atas berakhirnya hubungan kerjanya
tersebut, padahal di lain pihak Tergugat telah menikmati
hasil kerja Penggugat dari tahun 1998 s/d 2011 atau selama
13 (tiga belas) tahun lamanya.”
Kesalahan Judex Facti itu karena dalam menerapkan hukum
pertimbangan hukum Judex Facti bertentangan satu sama lainnya.
Padahal, menurut Yahya Harahap dalam buku "Kekuasaan
Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali
Perkara Perdata," halaman 335, pertimbangan hukum Judex Facti
yang saling bertentangan selalu dikategori putusan yang salah
menerapkan hukum. Mengenai ruang lingkup putusan mengandung
saling pertentangan yang dapat dikategori kesalahan penerapan
hukum meliputi:
saling pertentangan antara satu pertimbangan
dengan pertimbangan yang lain, saling pertentangan antara
pertimbangan dengan berita acara persidangan, atau saling
pertentangan antara pertimbangan dengan amar putusan.
Sebagaimana telah Pemohon Kasasi uraikan di atas, Judex
Facti mempertimbangkan bahwa Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat
(7) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat umum (lex generalis) tidak
dapat diterapkan dalam perkara ini, dapat diabaikan atau dihapuskan
oleh ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan 2003 yang
bersifat
khusus
(lex
specialis).
Akan
tetapi,
Judex
Facti
mempertimbangkan bahwa Tergugat telah terbukti melanggar
ketentuan Pasal 57 ayat (1), Mempekerjakan Penggugat tanpa
adanya perjanjian kerja dari tahun 1999 s/d 2001, Tergugat juga
terbukti pula telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
59 ayat (4) dan (6). Telah mempekerjakan Penggugat secara terusmenerus selama tiga belas tahun lamanya. Maka menurut Majelis,
adalah tidak adil apabila Penggugat tidak mendapatkan kompensasi
apapun atas berakhirnya hubungan kerjanya tersebut. Padahal, di
lain pihak Tergugat telah menikmati hasil kerja Penggugat dari
tahun 1998 s/d 2011 atau selama tiga belas tahun. Sehingga
pertimbangan hukum Judex Facti tersebut bertentangan satu sama
lainnya.
Pertimbangan
hukum
Judex
Facti
yang
menyatakan
Tergugat telah terbukti melanggar ketentuan Pasal 57 ayat (1) yaitu
mempekerjakan Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja dari tahun
1999 s/d 2001, dan Tergugat terbukti pula telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) dan (6), yaitu telah
mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus selama tiga belas
tahun lamanya, maka menurut Majelis adalah tidak adil apabila
Penggugat tidak mendapatkan kompensasi apapun atas berakhirnya
hubungan kerjanya tersebut, padahal di lain pihak Tergugat telah
menikmati hasil kerja Penggugat tiga belas tahun lamanya, adalah
membenarkan dalil-dalil Pemohon Kasasi sebagaimana diuraikan
pada butir 1 di atas, bahwa bukan hanya Pasal 42 s/d Pasal 49 UU
Ketenagakerjaan 2003 saja yang dapat diterapkan dalam perkara ini,
akan tetapi juga ketentuan-ketentuan lainnya yang terdapat dalam
UU dimaksud.
Selain itu Judex Facti telah keliru menyatakan bahwa Pasal
42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan 2003 bersifat khusus (lex specialis)
dari Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang bersifat umum (lex generalis). Mengutip Kamus Hukum yang
diterbitkan Indonesia Legal Center Publishing, tahun 2006, hal 109,
penggugat berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lex specialis
derogate
legi
generalis
mendesak/mengesampingkan
adalah
yang
undang-undang
umum,
bukan
ketentuan yang terdapat dalam undang-undang
khusus
ketentuan-
yang sama
sebagaimana pertimbangan hukum Judex Facti.
Judex Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian.
Judex Facti memberikan pertimbangan hukum.
“Majelis Hakim juga tidak dapat mengabulkan tuntutan
Penggugat mengenai kekurangan pembayaran uang bonus
tahun 2011, karena pada kenyataannya Tergugat telah
membayarkan uang bonus tahun 2011 kepada Penggugat
pada bulan Desember 2011 sesuai dengan perhitungan
Tergugat yang seluruhnya sebesar Rp547.273.256,00."
Judex Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian,
karena menurut Harahap dalam buku "Kekuasaan Mahkamah Agung
Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata,"
halaman 338, dalam praktik, banyak ditemukan kesalahan penerapan
hukum pembuktian. Bisa terjadi karena salah menerapkan syarat
formal atau syarat materiil yang melekat pada alat bukti yang
bersangkutan.
Menurut Pasal 1875 KUH Perdata, suatu tulisan di bawah
tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak
dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap
sebagai
diakui,
memberikan
terhadap
orang-orang
yang
menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang
mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu
akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871
untuk tulisan itu.
Menurut Harahap dalam buku "Hukum Acara Perdata
tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan," halaman 546 s/d 547, agar pada akta bawah
tangan melekat kekuatan pembuktian, harus terpenuhi lebih dahulu
syarat formil dan materiil. Dibuat secara sepihak atau berbentuk
partai (sekurang-kurangnya dua pihak) tanpa campur tangan pejabat
yang berwenang. Ditandatangani pembuat atau para pihak yang
membuatnya. Isi dan tandatangan diakui.
Ada dua faktor yang dapat mengubah dan memerosotkan
nilai kekuatan dan batas minimal pembuktian akta bawah tangan,
yaitu: terhadapnya diajukan bukti lawan. isi dan tanda tangan
diingkari atau tidak diakui pihak lawan.
Dalam kasus yang demikian, terjadi perubahan yang sangat
substansial: nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya, jatuh
menjadi bukti permulaan tulisan. Batas minimalnya berubah menjadi
alat bukti yang tidak bisa berdiri sendiri, tetapi memerlukan
tambahan dari salah satu alat bukti yang lain.
Bukti yang diajukan oleh Termohon Kasasi, diterima dan
kemudian dipertimbangkan oleh Judex Facti adalah print out dari
file komputer Termohon Kasasi. Isinya adalah pembayaran bonus
tahun 2011 sebesar Rp 547.273.256,00 kepada Pemohon Kasasi,
tanpa tanda tangan, tanpa tanda terima, dan tanpa bukti setoran
bahwa uang tersebut telah diterima oleh Pemohon Kasasi, kebenaran
bukti itu telah disangkal oleh Pemohon Kasasi. Bukti tersebut tidak
memenuhi persyaratan sebagai alat bukti dan tidak membuktikan
bahwa uang sebesar Rp 547.273.256,00 yang tercantum dalam bukti
tersebut telah diterima oleh Pemohon Kasasi.
Selain itu, bukti tersebut bukanlah bukti penghitungan bonus
yang berlaku pada Termohon Kasasi. Sesuai ketentuan yang berlaku
pada Termohon Kasasi, Termohon Kasasi selalu memberi bonus
kepada Pemohon Kasasi setiap tahunnya sesuai dengan prestasi
bisnis dan prestasi pribadi/personal yang Pemohon Kasasi capai
sebagaimana termuat dalam bukti yang Pemohon Kasasi ajukan,
akan tetapi tidak dipertimbangkan oleh Judex Facti.
Judex Facti telah memberikan pertimbangan hukum dengan
demikian, maka bukti tersebut menjadi tidak relevan lagi
untuk dipertimbangkan, karena bukti-bukti tersebut masih
terkait erat dengan perdebatan mengenai apakah hubungan
kerja antara Penggugat dengan Tergugat dapat berubah
menjadi berdasarkan PKWTT dengan segala implikasi
hukumnya, mengingat secara yuridis hubungan kerja antara
Penggugat sebagai TKA dengan Tergugat telah diatur secara
khusus dalam ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun
2003, yaitu PKWT.
Judex Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian
karena tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang Pemohon Kasasi
ajukan, yaitu kebenarannya tidak pernah dibantah oleh Termohon
Kasasi, telah memenuhi persyaratan sebagai alat bukti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1875 KUHPerdata dan pendapat Harahap
sebagaimana diuraikan tersebut di atas. Semua membuktikan bahwa
Pemohon Kasasi selama bekerja pada Termohon Kasasi mempunyai
prestasi kerja yang baik, tidak pernah mendapatkan teguran atau
sanksi dalam bentuk apapun juga, diakhirinya hubungan kerja antara
Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi karena Pemohon Kasasi
tidak mau menandatangani draft PKWT yang baru
yang
menghilangkan hak-hak Pemohon Kasasi untuk mendapatkan
pesangon
dan
Iain-lain
apabila
hubungan
kerja
berakhir
sebagaimana diatur dalam kesepakatan kerja waktu tertentu
sebelumnya, Termohon Kasasi telah pernah berkonsultasi kepada
Departemen Tenaga Kerja RI tentang status hukum Pemohon Kasasi
yang bekerja pada Termohon Kasasi selama 13 Tahun secara terusmenerus tanpa putus, konsekuensinya menurut Departemen Tenaga
Kerja RI, hubungan kerja Pemohon Kasasi dari PKWT berubah
menjadi PKWTT, dan apabila hubungan kerja diakhiri/diputus,
Pemohon Kasasi berhak untuk mendapatkan pesangon, uang
penghargaan, dan penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 156 UU Ketenagakerjaan 2003, juga membuktikan adanya
kekurangan
pembayaran
bonus
80.659.906,00 + Euro 11.118.
tahun
2011
sebesar
Rp
Pertimbangan hukum Judex Facti bahwa bukti tersebut
menjadi tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan karena bukti-bukti
tersebut masih terkait erat dengan perdebatan mengenai apakah
hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dapat berubah
menjadi berdasarkan PKWTT dengan segala implikasi hukumnya,
mengingat secara yuridis hubungan kerja antara Penggugat sebagai
TKA dengan Tergugat telah diatur secara khusus dalam ketentuan
Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu PKWT,
menunjukkan bahwa Judex Facti tidak paham fungsinya sebagai
hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini.
Perdebatan tersebut terjadi antara Pemohon Kasasi dengan
Termohon Kasasi, sehingga masalah/perdebatan tersebut diajukan ke
pengadilan untuk dapat diperiksa dan diputus oleh Judex Facti.
Kenyataannya Judex Facti bukannya memeriksa dan memutus
perdebatan tersebut, akan tetapi menganggap perdebatan tersebut
terjadi antara Pemohon Kasasi, Termohon Kasasi, dan Judex Facti,
sehingga tidak ada putusan tentang itu, dan bukti yang Pemohon
Kasasi ajukan dikesampingkan, tidak dipertimbangkan, dianggap
tidak relevan karena masih dalam perdebatan.
Terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung
berpendapat dapat dibenarkan, Karena setelah meneliti secara
saksama memori kasasi tanggal 18 Oktober 2012 dan kontra memori
kasasi tanggal 5 November 2012 dihubungkan dengan pertimbangan
Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum
menyatakan Pemohon Kasasi I/Tergugat melanggar ketentuan Pasal
57 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (4) dan (6), sehingga berakibat
memperoleh uang kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
berupa uang pisah, dengan pertimbangan sekalipun Pemohon Kasasi
II/Penggugat bekerja pada Pemohon Kasasi I/Tergugat ± tiga belas
tahun, namun karena Pemohon Kasasi II/Penggugat adalah TKA
maka berlaku ketentuan Pasal 42 ayat (4) Ketenagakerjaan 2003,
hanya dalam PKWT.
Untuk mempekerjakan TKA ditentukan persyaratan khusus.
Diantaranya, Rencana Penggunaan Tenaga kerja Asing (RPTKA),
Ijin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), dan Kartu Ijin
Tinggal Terbatas (KITAS) yang kesemuanya tergantung pada
persetujuan pemerintah. Apabila pemerintah menyetujuinya maka
TKA dapat dipekerjakan di Indonesia.
Berdasarkan Permenakertrans Nomor Per.02/Men/III/2008
Pasal 24 ayat (3), jangka waktu berlakunya IMTA paling lama satu
tahun dan dapat diperpanjang, dan Pasal 28 menentukan
perpanjangan paling lama satu tahun, dan meskipun Penggugat telah
bekerja selama tiga belas tahun dengan diijinkan oleh pemerintah
dengan beberapa kali penerbitan IMTA, hal tersebut tidak
menjadikan hubungan kerja demi hukum menjadi PKWTT
sebagaimana dimaksud Pasal 59 UU Ketenagakerjaan 2003, karena
ketentuan Pasal tersebut tidak berlaku untuk TKA.
Berdasarkan Putusan Mahakamah Agung RI Nomor 595
K/Pdt.Sus/2010 tanggal 29 Juli 2010, telah menguatkan bahwa TKA
hanya dalam PKWT dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 42
ayat (4) UU Ketenagakerjaan 2003.
Putusan Judex Facti yang memberi uang pisah kepada
Penggugat sebesar tujuh kali bulan upah dengan alasan keadilan
karena hubungan kerja diantara Penggugat telah berlangsung tiga
belas tahun, adalah tidak dapat dibenarkan. Karena pertimbangan
keadilan hanya dapat digunakan apabila ketentuan peraturan
perundang-undangan sudah usang dan tidak adil apabila diterapkan.
Sementara ketentuan perundang-undangan tersebut belum usang dan
masih adil untuk diterapkan, sedangkan menyangkut kompensasi
akibat berakhirnya IMTA dapat diatur dalam perjanjian kerja.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dihubungkan
dengan bukti IMTA atas nama Penggugat (Anjuran Mediator),
bahwa IMTA berakhir tanggal 24 Oktober 2011, maka hubungan
kerja berakhir bersamaan dengan tanggal berakhirnya IMTA yang
diterbitkan Kemenakertrans RI, dan berdasarkan ketentuan Pasal 48
UU Ketenagakerjaan 2003, setelah hubungan kerjanya berakhir
Pengusaha wajib memulangkan Penggugat ke Australia sebagai
negara asal yang menurut Majelis berdasarkan keadilan ex aequo et
bono ditentukan sejumlah 2 bulan upah x Euro 10.090 = Euro
20.180.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah
Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/Tergugat PT. SIEMENS
INDONESIA tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
85/PHI.G/2012/
PN.JKT.PST.,
tanggal
24 September
2012.
Selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar
Terhadap keberatan-keberatan Pemohon Kasasi II/Penggugat ada
yang tidak dapat dibenarkan. Karena setelah meneliti secara saksama
memori kasasi tanggal 19 Oktober 2012 dan kontra memori kasasi
tanggal 20 November 2012 dihubungkan dengan pertimbangan
Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum
dengan pertimbangan sebagai berikut: TKA dapat dipekerjakan di
Indonesia dalam hubungan kerja PKWT [vide Pasal 42 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Bab VIII tentang Penggunaan TKA]; Tuntutan uang kompensasi
PHK berupa Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Uang
Penggantian Hak, dan Uang Pisah dapat diperoleh pekerja apabila
hubungan kerja dalam PKWTT (tetap); dan Terkait dengan bonus
tahun 2011 adalah mengenai penilaian hasil pembuktian tidak
menjadi wewenang hakim kasasi, lagi pula berdasarkan bukti
sebagaimana telah dipertimbangkan dengan benar oleh Judex Facti
(telah diterima oleh Pemohon Kasasi II/Penggugat).
Menimbang, berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat
dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga
permohonan
kasasi
yang
diajukan
oleh
Pemohon
Kasasi
II/Penggugat Stephen Michael Young tersebut harus ditolak.
Karena nilai gugatan dalam perkara ini di atas seratus lima
puluh juta Rupiah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, maka biaya perkara dalam semua tingkat
peradilan dibebankan kepada Pemohon Kasasi II/Penggugat.
Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan, Mahkamah mengadili: Menolak permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi II/Penggugat Stephen Michael Young tersebut.
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/Tergugat
PT. SIEMENS INDONESIA tersebut. Membatalkan putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Jakarta Pusat Nomor
85/PHI.G/2012/PN.JKT.PST.,
tanggal
24
September
2012.
MENGADILI SENDIRI: Dalam Eksepsi: • Menolak Eksepsi
Tergugat untuk seluruhnya.
Dalam Pokok Perkara: mengabulkan gugatan Penggugat
untuk sebagian; Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat
dengan Tergugat berakhir dengan berakhirnya masa berlaku IMTA
Nomor Kep.29167/MEN/B/IMTA/2010 sejak tanggal 24 Oktober
2011; Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat
biaya pemulangan Penggugat beserta keluarganya ke negara asalnya
sebesar dua puluh ribu seratus delapan puluh Euro; dan Menolak
gugatan Penggugat selain dan selebihnya. Menghukum Pemohon
Kasasi II/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam semua
tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar lima
ratus ribu Rupiah.
3.1.d. Putusan Nomor 1311 K/Pdt/2011
Perkara ini adalah perdata dalam tingkat kasasi.pihak
berperkara adalah Sino Sandjaja, PT. Sedjati Internusa Overseas,
Pihak-pihak ini adalah pihak Pemohon Kasasi dahulu para
Penggugat/para Pembanding. Pihak selanjutnya adalah Pemerintah
Republik Indonesia Cq Menteri Keuangan Republik Indonesia Cq
Kepala Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara Jakarta (Bupln
Kanwil Iii) Cq Kepala Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang
Negara (Kp2ln) Jakarta I, Pt. Bank Mandiri (Persero) Tbk Ex Pt.
Bank Bumi Daya (Persero) Pusat Cq. Pt. Bank Mandiri Pusat, Bumi
Daya International Finance Limited (BDIF), suatu badan hukum
privat yang didirikan dan berkedudukan di Hongkong, Termohon
Kasasi dahulu para Tergugat/para Terbanding.
Pemohon Kasasi dahulu sebagai para Penggugat telah
menggugat sekarang para Termohon Kasasi dahulu sebagai para
Tergugat di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Penggugat I Sino Sandjaja, warga negara Indonesia adalah
Penjamin Hutang dari Penggugat II PT. Sedjati Internusa Overseas
suatu badan hukum Indonesia berkedudukan di Jakarta, yang mana
pada 20 Maret 1989 Penggugat II telah mendapat fasilitas kredit dari
Tergugat III Bumi Daya International Finance Llmited selanjutnya
disebut BDIF, suatu badan hukum privat asing yang didirikan
menurut hukum Hongkong, berkedudukan di Hongkong, sama sekali
tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia.
Fasilitas
kredit
diperoleh
melalui
ketentuan-ketentuan
yang
tercantum dalam akta Nomor: 166 tanggal 20 Maret 1989, yang
dibuat di hadapan MUDOFIR HADI, SH. Notaris di Jakarta, dengan
kuasa memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan
(Borgtocht) No. 170.
Pada tanggal 03 Januari 2005, Penggugat I merasa terkejut
menerima surat panggilan dari Tergugat I No. PG-002/WPL.03/
KP.01/2004. Pada hakikatnya surat panggilan tersebut berisi
permintaan dari Tergugat I kepada para Penggugat untuk
mempertanggungjawabkan penyelesaian "piutang negara". Hal ini
oleh para penggugat dirasakan sungguh mengherankan. Karena
sesungguhnya para Penggugat tidak mempunyai hubungan hukum
dengan Tergugat I dan Tergugat II, apalagi mempunyai hubungan
hutang yang berkaitan dengan negara Republik Indonesia.
Sepengetahuan Penggugat I, hubungan hukum antara Penggugat I
dengan Tergugat III masih dalam perkara yang sedang berproses di
pengadilan, dan sama sekali belum mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan pasti, dan hal ini sudah diklarifikasikan oleh
Penggugat I yang dengan itikad baik memenuhi panggilan pertama
dari pihak Tergugat I pada tanggal 18 Januari 2005 untuk
menghormati dan menjelaskan duduk permasalahannya.
Tindakan Tergugat I melakukan pemanggilan terhadap para
Penggugat didasarkan oleh perbuatan Tergugat III sebagai badan
hukum asing yang tidak mempunyai domisili di wilayah Republik
Indonesia pada tanggal 12 Mei 1999, dengan secara melawan hukum
dan beriktikad buruk, Tergugat III secara sepihak mengingkari isi
perjanjian kredit dan berusaha menciptakan hubungan hukum baru
di dalam perkara bantahan yang sedang berjalan, dengan menarik
pihak ketiga (sementara hubungan hukum lama antara Penggugat I
dengan Tergugat III belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap
dan pasti). Dengan secara sepihak melimpahkan pengurusan hutang
tersebut kepada Tergugat II PT. BANK MANDIRI ex PT. BANK
BUMI DAYA, yang kemudian atas dasar pelimpahan piutang
tersebut, pada tanggal 20 Desember 2004 oleh Tergugat II PT.
BANK MANDIRI ex PT. BANK BUMI DAYA dilimpahkan lagi
secara sepihak pengurusan piutang tersebut kepada Tergugat I
(KEPALA KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG
NEGARA), hal inilah yang menjadi salah satu pokok permasalahan
dalam gugatan yang diajukan oleh para Penggugat sekarang, di
samping mempermasalahkan mengenai keabsahan dari perjanjian
kredit itu sendiri.
Para Penggugat menolak dengan keras tindakan Tergugat III
secara melawan hukum melimpahkan pengurusan hutang Penggugat
II kepada Tergugat I dan Tergugat II. Pengalihan penagihan piutang
tersebut cacat hukum, bertentangan dengan hukum, dan sama sekali
tidak mempunyai kekuatan/dasar hukum.
Pengalihan piutang tersebut dilakukan oleh Tergugat III
ketika obyek hutang piutang yang menjadi pokok persengketaan
sedang masih dalam proses sengketa yang sedang berjalan dengan
melibatkan subjek yang sama dan belum mempunyai putusan yang
berkekuatan hukum yang tetap dan pasti.
Pada tanggal 20 Maret 1989 telah terjadi hubungan hukum
antara Tergugat III dengan Penggugat II saja (tanpa ada pihak
ketiga, yaitu Tergugat II dan Tergugat I), yang dituangkan dalam
bentuk Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian
Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk
memasang Hipotik No. 167, 168, 169.
Berdasarkan kuasa memasang Hipotik tersebut telah dibuat
Grosse Akta Hipotik yaitu: Grosse Akta Hipotik tanggal 25 April
1989 Nomor 23/IV/1989/Gambir; Grosse Akta Hipotik tanggal 30
September 1989 Nomor : 60/lX/1989/Grogol Petamburan; dan
Grosse Akta Hipotik tanggal 23 Februari 1991 Nomor : 23/Grogol
Petamburan/1991.
Tanggal 18 November 1991 Penggugat I (Sino Sandjaja)
telah mendapat Surat Panggilan Teguran dari Pengadilan Negeri
Jakarta Barat yang isinya agar Penggugat I memenuhi bunyi dari 3
(ketiga) Grosse Akta Hipotik tersebut di atas.
Atas Surat Panggilan Teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta
Barat, Penggugat I (Sino Sandjaja) telah mengajukan bantahan
dengan No. Register: 15/Pdt/Bth/1991/PN. JKT. BAR. (P-3),
kepada: PT. Sedjati Internusa Overseas, sebagai Terbantah I; Bumi
Daya International Finance Limited, sebagai Terbantah II; Kepala
Kantor Pertanahan Jakarta Pusat, sebagai Terbantah III; dan Kepala
Kantor Pertanahan Jakarta Barat, sebagai Terbantah IV.
Atas bantahan tersebut, telah keluar Surat Penangguhan
Eksekusi
dari
Ketua
Mahkamah
Agung
RI
dengan
No.
KMA/198/XII/1991, tertanggal 12 Desember 1991, yang ditujukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Isinya surat
panggilan
WEksekusi
adalah
"memerintahkan
agar
Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Barat menangguhkan eksekusi terhadap:
Grosse
Akta
Hipotik
tanggal
25
April
1989
Nomor:
23/IV/1989/Gambir; Grosse Akta Hipotik tanggal 30 September
1989 Nomor: 60/lX/1989/Grogol Petamburan; dan Grosse Akta
Hipotik
tanggal
23
Februari
1991
Nomor:
23/Grogol
Petamburan/1991, sampai perkara bantahan No. 15/Pdt/1991/bth
diputus dan “in kracht van gewijsde".
Hingga saat ini, hubungan hukum antara Penggugat I dengan
Tergugat III belum memiliki kejelasan hukum, karena masih
mempermasalahkan legalitas kontrak kredit yang masih dalam
proses peradilan dan masih belum memiliki kekuatan hukum yang
tetap
dan
pasti,
sehingga
sudah
sepatut
dan
sepantasnya
pengingkaran kesepakatan perjanjian kredit dengan mengalihkan
pengurusan piutang yang dilakukan oleh Tergugat III kepada
Tergugat II dan Tergugat II kepada Tergugat I menjadi tidak
memiliki dasar apapun dan menjadi batal demi hukum (jo. Pasal
1340 ayat (1) KUHPerdata). Sudah menjadi asas kepatutan di dalam
praktek hukum Perdata di pengadilan bahwa, adalah adil selama
proses pengadilan (status quo) berjalan, semua permasalahan yang
menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak menjadi berhenti
menunggu adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan pasti,
sehingga masing-masing pihak menjadi jelas atas hak dan
kewajibannya. Berdasarkan Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata (jo.
Pasal 1315 KUHPerdata) ditegaskan, suatu perjanjian hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya saja (asas kepribadian).
Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian
Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk
memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan
(Borgtocht) No. 170. Akta itu, menurut pemohon kasasi sama sekali
tidak pernah memuat klausula yang memperjanjikan Tergugat III
diperbolehkan mengalihkan hak piutangnya, baik untuk seluruh
maupun sebagian (pokok + bunga) kepada pihak ketiga maupun
kepada pihak-pihak manapun juga.
Dengan demikian, pengalihan penagihan piutang (dalam
perkara) tersebut oleh Tergugat III kepada Tergugat II dan Tergugat
II kepada Tergugat I adalah perbuatan pengingkaran kesepakatan
perjanjian. Ancaman perbuatan tersebut menjadi batal demi hukum
(Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata), dan sama sekali tidak
mempunyai kekuatan hukum, karena secara tegas hubungan hukum
perjanjian kredit dibuat dan disepakati hanya oleh Tergugat III
dengan Penggugat II tanpa melibatkan Tergugat II dan Tergugat I di
dalamnya, sehingga hubungan hukum atau perjanjian kredit tersebut
hanya mengikat Tergugat III dan Penggugat II saja di wilayah
negara Hongkong (jo. Pasal 1342 KUHPerdata, asas sense clair:
"Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan untuk
menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran").
Pengalihan piutang dari Tergugat III kepada Tergugat II
dilakukan dengan cara yang tidak sah dan tidak berdasar hokum.
Apabila pengalihan piutang dilakukan dengan cara: 1). Cessie, maka
pengalihan piutang tersebut didasarkan pada cessie yang tidak
memenuhi syarat-syarat hukum sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata, yang menentukan bahwa akta cessie
baru berlaku terhadap cessus (debitur), kalau terhadapnya (sebelum
dialihkan piutang oleh kreditur) sudah diberitahukan adanya cessie
atau secara tertulis telah disetujui atau diakui olehnya, dan selama
ini Penggugat I maupun Penggugat II belum pernah diberitahukan
dan menyetujui adanya pengalihan piutang tersebut.
Selain itu tidak adanya kepastian jumlah hutang Penggugat II
yang harus dibayarkan kepada Tergugat III, jelas merupakan tidak
adanya transparansi dari Tergugat I dalam melakukan penagihan,
oleh karenanya terhadap hutang piutang tersebut masih belum ada
kepastian hukum dan terdapat sengketa di dalamnya, sehingga
terhadap
piutang
tersebut
tidak
dapat
dieksekusi
melalui
BUPLN/KP2LN (Tergugat I), tetapi harus melalui gugatan terlebih
dahulu ke Pengadilan Negeri (jo. Buku II, halaman 131 angka 39.5.),
dan masih dalam perkara tidak dapat dilimpahkan menurut hukum
(jo. Pasal 1340 dan Pasal 1315 KUHPerdata, mengenai asas
kepribadian: “suatu perjanjian hanya mengikat kepada pihak-pihak
yang membuat perjanjian itu saja”).
Atau 2). Subrogasi, maka tindakan Tergugat II menerima
pelimpahan pengurusan kredit dari Tergugat III adalah tindakan
yang bertentangan dengan jiwa dari Pasal 3 Keputusan Presiden No.
59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri. Berdasarkan
Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang
Penerimaan Kredit Luar Negeri ditegaskan:
"Penerimaan kredit luar negeri oleh perusahaan swasta
hanya dapat dibenarkan apabila tidak disertai adanya
keharusan jaminan dari Pemerintah Republik Indonesia,
termasuk Bank Indonesia dan bank-bank lainnya milik
negara, untuk pembayarannya kembali dan/atau tidak
menimbulkan kewajiban suatu apapun bagi pemerintah
Republik Indonesia sebagai akibat dari penerimaan kredit
luar negeri yang bersangkutan".
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden No. 59
Tahun 1972 ditegaskan:
"Badan usaha negara dan badan usaha daerah tidak
dibenarkan untuk memberikan jaminan atau bertindak
selaku penjamin dalam pembayaran kembali kredit luar
negeri yang diterima oleh badan usaha negara, badan usaha
daerah, dan perusahaan swasta."
Dengan demikian, apabila Tergugat II tetap melanjutkan
penagihan kepada para penggugat, maka jelas tindakan tersebut
bertentangan dengan jiwa dari Keputusan Presiden tersebut di atas,
karena Penggugat II mengadakan perjanjian kredit hanya dengan
Tergugat III (perusahaan yang berbadan hukum Hongkong),
sedangkan apabila Tergugat II sebagai bank milik pemerintah
merasa berhak menagih, maka berarti fasilitas kredit tersebut sudah
dijamin dan sudah dilunasi pembayarannya sebagai salah satu syarat
sah lahirnya subrogasi oleh Pemerintah Republik Indonesia,
sehingga sudah sepatut dan sepantasnya apabila tindakan Tergugat II
yang sangat jelas telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan Pasal 3 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang
Penerimaan Kredit Luar Negeri, haruslah dinyatakan sebagai
perbuatan melawan hukum dan haruslah dinyatakan batal demi
hukum oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian
Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk
memasang Hipotik No. 167, 168, 169 dan Pemberian Jaminan
(Borgtocht) No. 170. Akta itu mengandung kausa yang tidak halal
menurut pemohon kasasi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal
1320 ayat (4) KUHPerdata, dengan demikian sudah seharusnya akta
notaris tersebut beserta hipotiknya menjadi perjanjian yang cacat
hokum. Haruslah dibatalkan serta tidak mempunyai kekuatan
hokum, demikian dalil npemohon kasasi.
Perjanjian Kredit dalam akta notaris tersebut bertentangan
dengan hukum negara Republik Indonesia, dan oleh karena itu
haruslah dibatalkan (jo. Pasal 1320 (4) KUHPerdata, tidak
mengandung kausa yang halal), karena: menurut Pasal 1173
KUHPerdata, jelas-jelas menyatakan bahwa tidak boleh/tidak
dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan yang dibuat di suatu
negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang
terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di dalam sesuatu
traktat telah ditentukan sebaliknya (jis. Yurisprudensi No. 1695
K/Pdt/1984 tanggal 23 Mei 1986, yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993
tanggal 27 Juni 1996 secara tegas menyatakan: "Perjanjian antara
warga negara Indonesia dengan orang asing tidak dapat begitu saja
diperlakukan bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di
wilayah Indonesia." Dengan demikian Tergugat III sebagai pihak
asing tidak berhak melakukan suatu hubungan hukum dengan
jaminan yang melibatkan obyek-obyek yang berada di wilayah
Republik Indonesia, terlebih Tergugat III adalah suatu badan hukum
swasta luar negeri yang didirikan dan berkedudukan hukum di luar
negeri (Hongkong), serta tidak mempunyai domisili wilayah
Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Akta No. 166 Notaris
Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby
Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167,
168, 169 dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170 menjadi
batal/memuat syarat batal. Karena, Perjanjian kredit tersebut
bertentangan dengan perundang-undangan Republik Indonesia, yaitu
perjanjian tersebut dibuat untuk tunduk kepada hukum yang berlaku
di negara Hongkong (Pasal 17), sehingga dapat dipersamakan
dengan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, terlebih
di dalam perjanjian kredit itu sendiri terdapat pengakuan dari
Tergugat III akan yurisdiksi hukum negara Hongkong untuk
mengadakan kegiatan pengurusan piutang tersebut dengan
penggugat II. Yaitu di dalam Pasal 6 ayat (1), Akta No. 166 Notaris
Mudofir Hadi "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of
Credit". Dinyatakan dalam akta itu bahwa : "Pengambilan atau
penyetoran uang dapat dilakukan oleh debitur di kantor kreditur,
yaitu di Hongkong, pada tiap-tiap hari kerja pada jam-jam
dibukakan kas dari kreditur itu untuk umum atau dengan cara lain
sesuai dengan kebiasaan yang ada."
Perjanjian kredit tersebut dibuat oleh Kreditur (Tergugat III)
berbadan hukum asing (Hongkong) yang tidak mempunyai domisili
hukum di wilayah Republik Indonesia, sehingga sudah sepatut dan
sepantasnya setiap badan hukum asing yang tidak mempunyai
domisili hukum di wilayah Republik Indonesia dinyatakan tidak
mempunyai legitimasi hukum di wilayah Republik Indonesia, dan
dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
terhadap setiap perbuatannya.
Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara
Penggugat I dan Penggugat II dengan Tergugat III belum pernah
diberitahukan dan didaftarkan kepada Bank Indonesia selaku
pengawas otoritas moneter tertinggi di Republik Indonesia,
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 Keputusan Presiden
No.3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972. Ada keharusan semua
penerimaan kredit luar negeri, baik dalam hubungan penanaman
modal
asing
maupun
dalam
hubungan
lainnya,
sebelum
ditandatangani oleh pihak-pihak harus dilaporkan terlebih dahulu
kepada Bank Indonesia untuk dipelajari.
Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara
Penggugat I dan Penggugat II dengan Tergugat III belum pernah
diberitahukan kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
Sebagaimana, yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (2) Keputusan
Presiden No. 59 Tahun 1972. Juga ditentukan dalam Pasal 3 Surat
Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261/MK/IV/5/1973
tanggal 03 Mei 1973, yang mewajibkan melaporkan semua
penerimaan dan pelaksanaan kredit luar negeri dari setiap
perusahaan swasta kepada Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia, yang dimulai dari tanggal efektif berlakunya perjanjian
dan setiap tiga bulan sekali sejak tanggal efektifnya perjanjian kredit
berlaku.
Penerapan secara mutlak "lex specials derogat legi generali"
terhadap Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Keputusan
Presiden No. 59 Tahun 1972, Surat Keputusan Menteri Keuangan
No. KEP-261/MK/IV/5/1973, dan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, telah diterima menjadi
ajaran hukum yang tetap oleh beberapa putusan Mahkamah Agung
yang
sudah
diterapkan
secara
berulang-ulang
berdasarkan
yurisprudensi No. 2958 K/Pdt/1983 tanggal 15 April 1985 (jis.
yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, dan
yurisprudensi No. 1750K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981). Di
dalam Yurisprudensi itu ditegaskan:
"Dengan tidak dipenuhinya laporan kepada Bank Indonesia
dan Menteri Keuangan merupakan suatu pelanggaran
hukum, sehingga perjanjian yang melanggar peraturan
pemerintah tersebut adalah perjanjian yang tidak
mempunyai kekuatan hukum apapun."
Pemenuhan kewajiban penerapan pelaporan secara mutlak
"lex specials derogat legi generali" di atas, sebagai kaidah hukum
positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia, secara tegas dan
nyata kewajiban tersebut oleh Tergugat III sebagai badan hukum
swasta asing telah disangkal dan dikesampingkan penerapannya
lewat dua kali pengakuan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Barat yang memeriksa dan memutus perkara No.
15/Pdt/Bth/1991/PN.JKT.BAR.
Duplik tanggal 01 Desember 1992 poin 6, didalamnya
dikatakan: "... ketentuan Pasal 17 yang menyatakan bahwa
perjanjian ini tunduk kepada hukum yang belaku di Hongkong.
Sedangkan menurut ketentuan hukum di Hongkong, tidak ada
ketentuan untuk melaporkan..."; dan
b Kesimpulan tanggal 08 April 1993 poin 7, yang
menyatakan: "Sementara itu, menurut hukum yang berlaku di
Hongkong, tidak ada kewajiban untuk melapor seperti itu, i.c. ke
Bank Indonesia."
Adalah
jelas
merupakan
suatu
penghinaan
dan
kesewenangan terhadap kaidah hukum yang berlaku di Republik
Indonesia.
Sehingga
dengan
demikian
sudah
sepatut
dan
sepantasnya terhadap Tergugat III yang sama sekali tidak mau
mengakui eksistensi hukum positif yang berlaku di wilayah
Republik Indonesia, akan tetapi mau membuat hubungan hukum
dengan melibatkan subyek dan obyek di dalam wilayah Indonesia,
oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara secara
bertimbal balik haruslah ikut dikesampingkan juga segala eksistensi
keabsahan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan semua
perjanjian accesoirnya, karena Tergugat III secara tegas telah
membuat perjanjian kredit yang cacat hukum, yaitu dengan sengaja
tidak menghormati hukum yang berlaku di Republik Indonesia (di
bawah hukum yang berlaku di Hongkong).
Tidak dipenuhinya syarat di atas, maka sebagai konsekuensi
yuridis di mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan
memutus perkara berdasarkan ketentuan umum: Pasal 1320 ayat (4)
KUHPerdata: suatu perjanjian harus mempunyai tujuan yang
diperbolehkan/sebab yang halal; Pasal 1335 KUHPerdata: perjanjian
yang tujuan/sebab tidak diperbolehkan tidak mempunyai kekuatan
hukum; Pasal 1337 KUHPerdata: suatu sebab adalah terlarang,
apabila persetujuan itu melanggar undang-undang atau bertentangan
kesusilaan dan ketertiban umum (jo. Pasal 23 AB); dan Pasal 1339
KUHPerdata: suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan, atau undang-undang.
Pemohon kasasi mmengemukakan agar Majelis Hakim
Kasasi menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum
apapun juga Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: "Perjanjian Kredit
dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk
memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan
(Borgtocht) No. 170. Karena perjanjian tersebut mengandung kausa
yang terlarang, yaitu dalam hal ini perjanjian tersebut tidak
mempunyai tujuan yang diperbolehkan oleh undang-undang
(melawan hukum) yang ada di wilayah Republik Indonesia.
Oleh karena sudah jelas perjanjian kredit sebagai perjanjian
pokok yang dibuat antara Tergugat III dengan Penggugat II adalah
perjanjian
yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena
mengandung kausa/sebab yang terlarang, dibuat sebagai perikatan
pokok, dengan segala akibat hukumnya tunduk kepada domisili dan
yurisdiksi
hukum
negara
Hongkong
dengan
sengaja
mengesampingkan kaidah-kaidah hukum positif di wilayah Republik
Indonesia, (Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata jo. Pasal 1173
KUHPerdata), maka secara otomatis dengan sendirinya tidak
mungkin terdapat suatu perjanjian pemberian jaminan yang bersifat
accesoir yang sah berdasarkan Pasal 1821 ayat (1) KUHPerdata,
yang menentukan: "tidak mungkin ada pemberian jaminan, jika
tidak ada suatu perjanjian pokok yang sah."
Dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya apabila
Penggugat I sebagai penjamin hutang mendapatkan kembali haknya
berupa seluruh agunan dari perjanjian kredit yang dilakukan oleh
Tergugat III dengan Penggugat II. Penggugat II sudah sepatutnya
pula terbebas menurut hukum atas hutang-hutang tersebut. karena
hutang tersebut dibuat atas dasar perjanjian kredit yang bertentangan
dengan hukum/kepentingan nasional Republik Indonesia (melawan
hukum). Bahkan perjanjian kredit tersebut tidak pernah disetujui dan
dilaporkan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan (jis.
yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996,
yurisprudensi No. 2958K/Pdt/1983 tanggal 15 April 1985, dan
yurisprudensi No. 1750K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981).
Oleh karena Tergugat III, secara sengaja, dan sepihak, telah
melakukan perbuatan melawan hokum, dengan mengingkari
terhadap isi perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani bersama
yang dituangkan dalam Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi
berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit"
dengan tanpa diperjanjikan sebelumnya, secara sepihak dan
sewenang-wenang mengalihkan pengurusan piutangnya kepada
pihak ketiga (Tergugat II dan Tergugat I), sementara kejelasan
mengenai piutangnya sendiri masih diproses dalam perkara yang
hingga saat ini belum memiliki kekuatan hukum yang tetap dan
pasti, maka jelaslah dipandang dari sisi kaca mata hukum yang
berlaku di Indonesia, perbuatan para Tergugat adalah perbuatan
yang telah beritikad buruk yang bertentangan dengan Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata. Ditegaskan:
"Suatu perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt
servanda), dan bagi pihak ketiga harus menghormati dan
tidak mencampuri isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh
para pihak."
Dengan adanya perbuatan: Tergugat III yang dengan telah
sengaja dan sepihak mengalihkan pengurusan piutangnya kepada
pihak ketiga (Tergugat II dan Tergugat I), dan Tergugat II dan
Tergugat I dengan telah sengaja mencampuri isi perjanjian yang
dibuat antara Tergugat III dengan Penggugat II, maka jelaslah
Tergugat
III
telah
beritikad
buruk
melakukan
perbuatan
pengingkaran terhadap kesepakatan isi perjanjian (Pasal 1338 ayat
(1) jo. Pasal 1342 KUHPerdata) yang telah dibuat oleh kedua belah
pihak sudah sepatutnya. Sepantasnya terhadap perbuatan yang batal
demi hukum tersebut, oleh Majelis Hakim dinyatakan telah
melakukan perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan
kaidah hukum positif di Republik Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, Tergugat III
bersama-sama Tergugat II dan Tergugat I terbukti adalah pihak yang
telah beritikad buruk dengan:
a
Semena-mena
dengan
secara
melawan
hukum
sengaja
mengingkari perjanjian dengan mengalihkan pengurusan piutang
kepada pihak ketiga (Tergugat II dan Tergugat I), sementara
hubungan hukum yang lama masih belum memperoleh putusan
pengadilan
yang
tetap
dan
pasti.
Berusaha
melakukan
konspirasi/persengkongkolan (dengan menunjuk debt collector,
yaitu Tergugat II dan Tergugat I I, hal ini merupakan perbuatan
pidana:
premanisme)
di
wilayah
Indonesia.
Melakukan
penyelundupan hukum dengan seolah-olah memiliki kewenangan
hukum, dengan tujuan akhir untuk menjarah harta-harta Indonesia.
Maka kami mohon kepada majelis hakim yang memeriksa
dan memutus perkara ini agar segala tindakan hukum yang
dilakukan oleh para Tergugat yang tidak beritikad baik tidak perlu
mendapat perlindungan hukum dan berdasarkan Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata, sudah sepatut dan sepantasnya setiap tindakan
pengingkaran perjanjian Tergugat III yang tidak berdasarkan itikad
baik, dengan secara semena-mena dan sepihak mengalihkan
pengurusan piutangnya kepada Tergugat II dan Tergugat II kepada
Tergugat I, sementara kejelasan hubungan hutang piutang masih
dalam proses perkara yang masih berjalan, haruslah dinyatakan batal
demi hukum sebagai konsekuensi yuridis yang harus ditanggung
oleh para Tergugat sendiri. Terlebih tindakan pengalihan piutang
tersebut tidak pernah diperjanjikan antara kedua belah pihak, dan
tindakan
pengalihan
pengurusan
piutang
tersebut
sangatlah
bertentangan dengan itikad baik, kepatutan, kebiasaan, dan peraturan
undang-undang yang berlaku di negara Republik Indonesia (Pasal 23
AB, Pasal 1320 ayat (4), Pasal 1335, 1337, dan 1339 KUHPerdata).
Oleh karena pada awalnya Penggugat II melakukan
perjanjian kredit dengan Tergugat III (BDIF) suatu badan hukum
swasta/privat asing yang didirikan menurut undang-undang negara
Hongkong, dan perjanjian kredit tersebut tunduk kepada yurisdiksi
hukum Hongkong, bukan kepada Bank Mandiri (Tergugat II)
apalagi negara Republik Indonesia. Karenanya, hutang Penggugat II
bukan merupakan piutang negara yang penagihannya tidak
dikeluarkan
menurut
hukum
dan
kewenangan
melalui
BUPLN/KP2LN (Tergugat I), terlebih pengalihan piutang dalam
perkara tersebut sangat bertentangan hukum dengan syarat cessie
dan jiwa dari Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang
Penerimaan Kredit Luar Negeri seperti yang sudah dijelaskan pada
poin 4 huruf c sebelumnya di atas.
Sejak awal pengurusan piutang tidak sah menurut hukum
kepada Tergugat I (Kepala Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang
Negara) dari Tergugat II (PT. Bank Mandiri Ex Pt. Bank Bumi
Daya), dan tidak didasarkan pada Surat Pernyataan Bersama, baik
antara Penggugat I maupun Penggugat II dengan Tergugat I (Kepala
Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara) sebagai pihak yang
diberi tugas untuk mengurus penagihan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 49/Prp. Tahun 1960, cara
penyelesaian piutang negara menurut Undang-Undang tentang
Panitia Urusan Piutang Negara harus dilakukan dengan: Memuat
jumlah hutang dan kewajiban debitur yang besarannya telah pasti
menurut hukum untuk menyelesaikan hutang kepada negara (Pasal 4
ayat
(2)
Undang-Undang
Mengadakan
Surat
No.
Pernyataan
49/Prp.
Tahun
1960);
dan
Bersama
yang
dibuat
dan
ditandatangani oleh Debitur dan Ketua PUPN/BUPLN. Pernyataan
Bersama ini memuat jumlah hutang debitur dan kewajiban debitur
untuk menyelesaikan hutang kepada negara.
Maka dengan belum diperolehnya kepastian hingga saat ini,
legalitas jumlah dan kewajiban debitur yang besarannya telah tetap
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
dan pasti, dan dalam penagihan piutang yang saat ini dalam
sengketa, PUPN/BUPLN sama sekali belum pernah membuat Surat
Pernyataan Bersama, baik kepada Penggugat I maupun kepada
Penggugat II, maka sudah sepantasnya dan sepatutnya Panitia
Urusan Piutang Negara demi hukum dinyatakan tidak berwenang
terhadap penagihan piutang tersebut, karena tindakan penagihan
tersebut bersumber dari tindakan pengalihan pengurusan piutang
dari Tergugat III kepada Tergugat II, dan Tergugat II kepada
Tergugat I yang tidak sah dan batal demi hukum.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya
pengingkaran
perjanjian
oleh
Tergugat
III,
yaitu
dengan
mengalihkan pengurusan piutang dari Tergugat III kepada Tergugat
II sebagaimana diuraikan di atas (masih dalam perkara dialihkan,
tidak pernah diperjanjikan piutang dialihkan secara sepihak, piutang
dialihkan dengan cara yang tidak sah dan tidak berdasar hukum
dialihkan dengan cessie/subrogasi yang tidak memenuhi syarat
hukum piutang ditagih berdasarkan atas kausa yang tidak halal),
adalah merupakan suatu perbuatan pengingkaran perjanjian yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
(pemerkosaan
terhadap
kepastian hukum di Republik Indonesia), dan patut dinyatakan
perbuatan melawan hukum yang batal demi hukum dengan segala
akibat
hukumnya
sebagai
konsekuensi
yuridis
yang
harus
ditanggung oleh para Tergugat.
Oleh karena pengalihan piutang sewenang-wenang dari
Tergugat III kepada Tergugat II bertentangan dengan hukum yang
berlaku di Republik Indonesia dan terdapatnya cacat hukum, maka
penyerahan pengurusan penagihan piutang dari Tergugat II kepada
Tergugat I juga mengandung cacat hokum. Tidak memiliki kekuatan
hokum. Karena tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang No. 49/Prp Tahun 1960 khususnya, dan ketentuan
serta praktek hukum di negara Republik Indonesia umumnya. Maka
perbuatan Tergugat I yang telah membuat surat panggilan kepada
Penggugat I dan Penggugat II haruslah dinyatakan melawan hukum,
tidak sah, dan batal demi hukum.
Jelas dan tegas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III adalah perbuatan
sewenang-wenang yang tidak berdasar hukum dan sangat merugikan
Penggugat I dan Penggugat II, maka perbuatan mereka jelas dan
nyata sebagai perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige daad)
dengan segala akibat hukum dari padanya, sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Oleh karena Penggugat I adalah sebagai pribadi dan
Penggugat II adalah Badan Hukum yang memerlukan kredibilitas
yang baik di mata masyarakat umum, maka dalam menanggapi
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I,
Tergugat II, dan Tergugat III, telah mengakibatkan kerugian waktu,
biaya, dan tenaga bagi Penggugat I dan Penggugat II, oleh karena itu
adalah wajar apabila terhadap perbuatan tersebut adalah perbuatan
melawan hukum overheasdaad (jo. Pasal 1365 KUHPerdata).
Hubungan hukum antara Penggugat I dan Penggugat II
terhadap Tergugat III sesuai hukum perjanjian sangat melekat dan
tidak dapat dialihkan (diingkari) begitu saja ke Tergugat I dan
Tergugat II. Pula, obyek dalam perkara ini merupakan hutang badan
hukum swasta/private asing bukan Negara. Pula masih terdapatnya
kasus atau sengketa yang belum terselesaikan antara Penggugat I
dengan Penggugat II dan Tergugat III di Pengadilan Negeri Jakarta
Barat. Maka dimohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan
memutus perkara agar bijaksana dalam memeriksa dan memutus
perkara dengan jangan terjebak dalam kegiatan konspirasi pihak
asing yang berusaha menguasai aset-aset Indonesia, dan kami
mohon kepada majelis hakim yang terhormat agar mengedepankan
perlindungan hukum terhadap kepentingan nasional Republik
Indonesia demi mencegah dengan sewenang-wenang dirampasnya
harta-harta nasional Republik Indonesia di kemudian hari oleh
bangsa
asing
manapun
juga
dengan
berusaha
melakukan
penyelundupan hukum di wilayah negara Republik Indonesia
sendiri.
Karena gugatan ini diajukan berdasarkan bukti-bukti yang
original yang tidak terbantah kebenarannya, maka sangatlah
beralasan hukum putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan
terlebih dahulu (uitvoorbaar bij voorraad).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberikan putusan
dalam Provisi untuk melarang Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat
III untuk melakukan segala bentuk tindakan hukum terhadap
Penggugat I dan Penggugat II. Maupun terhadap piutang selama
keputusan perkara ini belum memperoleh kekuatan hukum yang
tetap. Juga, demi menghormati proses sengketa di Pengadilan Negeri
Jakarta Barat yang saat ini terdaftar dalam perkara No:
15/Pdt/Bth/1991/PN.JKT,.BAR tanggal 02 Desember 1991, dengan
ancaman hukuman apabila Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III
melanggar larangan ini maka Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat
III dihukum secara tanggung renteng untuk membayar kepada
Penggugat I dan Penggugat II uang paksa sebesar satu miliar rupiah
yang harus dibayar sekaligus dan kontan atas kelalaian para
Tergugat melaksanakan isi putusan ini.
Memerintahkan Tergugat I dan Tergugat II (Kepala Kantor
Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara dan PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk) untuk tidak mencampuri hubungan hutang piutang
antara Penggugat II dengan Tergugat III, yaitu dengan menghentikan
segala pemanggilan dan penagihan. Tergugat I dan Tergugat II tidak
ada hubungan hukum sebagai pihak-pihak di dalam perjanjian kredit
yang dibuat antara Penggugat II dengan Tergugat III; dan Tindakan
pengalihan piutang dari Tergugat III kepada Tergugat II dilakukan
dengan cara yang tidak sah dan tidak berdasar hukum, yaitu
didasarkan pada cessie yang tidak memenuhi syarat-syarat hukum
sebagaimana
yang
tercantum
dalam
Pasal
613
ayat
(2)
KUHPerdata/subrogasi yang bertentangan dengan jiwa dari Pasal 3
Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit
Luar Negeri.
Dalam Pokok Perkara: mengabulkan gugatan dari Penggugat
I dan Penggugat II untuk seluruhnya; menghukum Tergugat I,
Tergugat II, dan Tergugat III telah melakukan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad) kepada Penggugat I dan Penggugat II,
sebagaimana
yang
diatur
dalam
Pasal
1365
KUHPerdata;
menyatakan menurut hukum batal demi hukum pengalihan piutang
dari Tergugat III kepada Tergugat II dan dari Tergugat II kepada
Tergugat I; menyatakan menurut hukum batal demi hukum
pengurusan piutang yang dilakukan Tergugat II dan Tergugat I
terhadap para Penggugat.
Memerintahkan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III untuk
menghentikan segala upaya dan usaha yang baik secara langsung
maupun tidak langsung bertujuan untuk menagih terhadap
Penggugat I dan Penggugat II berdasarkan Akta Notaris Mudofir
Hadi No. 166: Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of
Credit, tanggal 20 Maret 1989. Menyatakan batal/tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166:
Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit, tanggal 20
Maret 1989 dengan kuasa memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan
Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170, karena mengandung kausa
yang tidak halal sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat (4)
KUHPerdata,
yaitu
bertentangan
dengan
hukum/kepentingan
nasional Republik Indonesia. Selanjutnya, menyatakan batal/tidak
sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum perjanjian pemberian
jaminan dan lain-lain jaminan yang telah diberikan Penggugat I
kepada Tergugat III sebagaimana tercantum dan terkait di dalam
Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: Perjanjian Kredit dan Fasilitas
Standby Letter of Credit, tanggal 20 Maret 1989. Menyatakan batal,
tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum Grosse Akta
Hipotik tanggal 25 April 1989 No. 23/IV/1989/Gambir; Hipotik
tanggal 30 September 1989 Nomor : 60/IX/1989/ Grogol
Petamburan; dan Hipotik tanggal 23 Februari 1991 Nomor:
23/Grogol Petamburan/1991.
Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III dan
siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk mengembalikan
dan menyerahkan kepada Penggugat I seluruh surat-surat jaminan
yang
telah
diagunkan
berupa
sertifikat-sertifikat
asli
yang
dituangkan dalam bentuk Grosse Akta Hipotik tanggal 25 April
1989 No. 23/IV/1989/Gambir; Hipotik tanggal 30 September 1989
Nomor: 60/lX/1989/Grogol Petamburan; dan Hipotik tanggal 23
Februari
1991
Nomor:
23/Grogol
Tamburan/1991.
Dengan
ketentuan untuk setiap hari keterlambatan/kelalaian menyerahkan
seluruh sertifikat-sertifikat tersebut kepada Penggugat I, para
Tergugat dan siapa saja yang memperoleh hak dari padanya,
dihukum secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa
(dwangsom) sebesar sepuluh juta rupiah per harinya yang harus
dibayar sekaligus dan kontan jika tidak memenuhi isi putusan ini.
Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III untuk
mematuhi dan melaksanakan seluruh isi putusan ini tanpa syarat.
Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu
sekalipun ada upaya hukum berupa bantahan, banding, dan/atau
kasasi (uitvoerbaar bij voorraad). Menghukum Tergugat I, Tergugat
II, dan Tergugat III untuk membayar biaya-biaya yang timbul dalam
perkara ini secara tanggung renteng. Atau, apabila Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutus
perkara ini berpendapat lain, mohon untuk diputus berdasarkan rasa
keadilan (ex aequo et bono).
Terhadap gugatan tersebut para Tergugat mengajukan
Eksepsi Tergugat I, mengenai Kompetensi Absolut. Tergugat I
adalah instansi pemerintah yang mempunyai tugas dan kewajiban
mengurus piutang negara macet sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara beserta peraturan pelaksanaannya. Kewenangan memeriksa
dan mengadili gugatan para Penggugat I terhadap Tergugat I untuk
membatalkan KPTUN mengenai pengurusan piutang negara yang
dilakukan Tergugat I adalah wewenang PTUN.
Eksepsi Error In Persona, Eksepsi Diskualifikasi. Gugatan
para Penggugat mohon dinyatakan mengandung cacat error in
persona dan dinyatakan tidak dapat diterima. Karena Penggugat I
bertindak sebagai orang yang tidak berhak mengajukan gugatan.
Direksi perseroan yang seharusnya bertindak (berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas), bukan
Penggugat I secara pribadi atau sebagai penjamin hutang. Dengan
demikian Penggugat I tidak memiliki kapasitas untuk menggugat.
Eksepsi Persona Standi In Yudicio. Gugatan para Penggugat
terhadap Tergugat I dimohonkan dinyatakan kurang sempurna dan
dinyatakan tidak dapat diterima. Karena
Penggugat dalam
menyebutkan persoon Tergugat I sangat keliru dan kurang
sempurna.
Dalam penyebutan Identitas Tergugat I sebagaimana
dikemukakan oleh Penggugat dalam surat gugatannya adalah keliru
karena menyebutkan suatu Badan Hukum yang sudah tidak ada lagi
dan tidak mengkaitkan dengan Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara (DJPLN ) cq. Kanwil III Direktorat Jenderal Piutang
dan Lelang Negara yang merupakan Badan Hukum Induk dari
Tergugat I, seharusnya Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri
Keuangan Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara cq. Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang
Negara (KP2LN) Jakarta I.
Melaksanakan tugas dan wewenangnya, Tergugat I harus
bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah III DJPLN yang
kemudian bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Piutang dan
Lelang Negara, yang kemudian bertanggungjawab kepada Menteri
Keuangan Republik Indonesia dan seterusnya, sehingga dalam hal
terjadi gugatan terhadap Tergugat I harus dikaitkan dengan
atasannya tersebut.
Tergugat II, eksepsi Vexatious Litigation (Eksepsi atas
gugatan yang mengada-ada) dan didasarkan atas iktikad buruk. Para
Penggugat
dalam
gugatannya
mempermasalahkan
keabsahan
perjanjian kredit beserta turunannya antara Penggugat II dengan
Tergugat III dan Pengalihan fasilitas kreditnya dari Tergugat III
kepada Tergugat II dan mendalilkan perbuatan melawan hukum.
Dalil para Penggugat tersebut tidak berdasar hukum dan mengadaada serta menunjukkan itikad buruk para Penggugat karena.
Kedudukan Penggugat II adalah subyek dalam perjanjian tersebut,
yang pada saat menerima prestasi berupa dana dari pencairan
fasilitas
kredit
yang
diberikan
oleh
Tergugat
III
tidak
mempermasalahkan sah dan tidaknya perjanjian. Setelah menerima
dan menikmati dana dari fasilitas kredit dan tiba saatnya untuk
membayar kembali, dengan mudah Penggugat I mendalilkan
perjanjian kredit yang dibuatnya tidak sah. Penggugat II sama sekali
tidak menyampaikan di dalam persidangan telah melalaikan
kewajiban membayar hutangnya yang telah jatuh tempo selama 15
tahun dan akan mengingkari kewajiban tersebut. Penggugat II juga
tidak menyampaikan di dalam persidangan bahwa sebagai akibat
tidak
membayar
hutangnya,
fasilitas
kredit
Penggugat
II
digolongkan sebagai kredit macet dan berakibat pada pengalihan
pengelolaan kredit.
Berdasarkan hal-hal tersebut, sudah sepatutnya gugatan para
Penggugat yang mengada-ada dan didasarkan itikad buruk ditolak
atau dinyatakan tidak diterima.
Eksepsi Diskualifikatur. Subyek yang dapat menjadi
Penggugat baik menurut doktrin hukum ataupun hukum perdata
adalah subyek yang secara nyata dirugikan atau terbukti memiliki
bukti-bukti bahwa ia dirugikan. Penggugat II tidak mempunyai
kapasitas sebagai Penggugat karena Penggugat II adalah debitur
yang justru berhutang kepada Tergugat II dan telah menggunakan
fasilitas hutang tersebut. Setelah fasilitas dinikmati selama bertahuntahun yaitu sejak tahun 1989 tanpa pembayaran pokok dan bunga
seperti layaknya dalam perjanjian yang telah ditandatangani
Penggugat, tiba-tiba adanya teguran/somasi atau peringatan, baik
lisan maupun tulisan, Penggugat mengajukan gugatan dan menuntut
semua perjanjian yang telah ditandatangani batal demi hukum dan
uang yang telah dinikmati sebesar paling tidak USD 896.000.00
hilang lenyap tanpa menyinggung kewajiban untuk mengembalikan.
Di sini jelas bahwa Tergugat II dan Tergugat III hak-haknya
dirugikan oleh Penggugat II yang telah menikmati fasilitas kredit
dan terhalang haknya dengan adanya gugatan ini. Oleh karenanya
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sepatutnya menolak gugatan
Penggugat.
Eksepsi Gugatan Kabur. Sebagaimana disampaikan di atas,
para Penggugat mendalilkan perjanjian kredit dan perjanjian
pengikatan jaminan antara para Penggugat dengan Tergugat III
adalah perbuatan melawan hukum. Padahal para Penggugat adalah
subyek hukum atau pelaku perjanjian tersebut dan bertindak untuk
kepentingan sendiri. Dengan demikian dalil yang disampaikan oleh
para Penggugat telah berbalik pada diri para Penggugat, yaitu ikut
serta dalam perbuatan melawan hukum. Hal tersebut mengakibatkan
konstruksi gugatan para Penggugat menjadi kacau dan tidak
jelas/kabur, sehingga gugatan para Penggugat patut dinyatakan tidak
dapat diterima.
Eksepsi Gugatan Gugur Karena Telah Lewat Waktu.
Penggugat dalam gugatannya telah menuntut pembatalan perjanjian
kredit beserta perjanjian turutannya dengan alasan seolah-olah ada
penyesatan
sebagaimana
didalilkan
dalam
posita.
Gugatan
penggugat atas dasar hal tersebut harus dinyatakan gugur dan tidak
dapat diterima karena telah lewat waktu.
Sesuai Pasal 1454 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: "Bila
suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak
dibatasi oleh suatu ketentuan khusus mengenai waktu yang lebih
pendek, maka waktu itu adalah 5 (lima) tahun." Dengan ketentuan
tersebut di atas, maka perjanjian kredit beserta turutannva yang
dibuat atas kehendak dan untuk memenuhi keinginan Penggugat II
sendiri serta tidak ada itikad Tergugat II dan Tergugat III untuk
melakukan penyesatan tidak dapat dituntut pembatalannya. Karena,
berdasarkan tanggal dibuatnya dan ditandatanganinya perjanjian,
maka waktu untuk meminta pembatalan setidak-tidaknya telah
diajukan ke pengadilan pada tanggal 02 Maret 1996, sementara
gugatan Penggugat baru diajukan tanggal 08 April 2005, oleh
karenanya telah melampaui waktu yang ditetapkan undang-undang.
Penggugat hingga tanggal gugatan ini tidak pernah
mempermasalahkan adanya penyesatan melainkan tetap menerima
dan menikmati dana dari pencairan fasilitas kredit, dan belakangan
mengangkat permasalahkan setelah ada upaya penagihan oleh
Tergugat I.
Di samping itu dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1456
KUHPerdata yang berbunyi: “Tuntutan untuk pernyataan batalnya
suatu perikatan, gugur jika itu dikuatkan secara tegas atau secara
diam-diam." isi pasal adalah perjanjian kredit dan perjanjian
turutannya yang sudah ditandatangani para pihak, pencairan fasilitas
kredit telah dilakukan dan diterima oleh Penggugat II, jaminan telah
diserahkan dan diterima oleh Tergugat II dan Tergugat III, telah
dilaksanakan oleh para pihaknya, artinya secara diam-diam
perikatan telah dipatuhi sehingga mengikat para pihaknya. Oleh
karenanya sepatutnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan
gugatan para Penggugat tidak dapat diterima.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
memutus putusan No. 110/PDT.G/2005/PN-JKT. PST. tanggal 12
Desember 2005. Amarnya sebagai berikut. Dalam Eksepsi menolak
eksepsi Tergugat I dan Tergugat II untuk seluruhnya. Sedanghkan
dalam Provisi menolak tuntutan provisi yang diajukan para
Penggugat. Mengenai pokok perkara menolak gugatan Penggugat
untuk seluruhnya; dan menghukum Penggugat I dan Penggugat II
secara tanggung renteng untuk membayar biaya yang timbul dalam
perkara ini sebesar dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah.
Putusan
Pengadilan
Negeri
tersebut
telah
dikuatkan
Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan No. 371/PDT/2006/PT.
DKI. tanggal 26 Februari 2007. Sesudah putusan terakhir
diberitahukan kepada Penggugat I/Pembanding I pada tanggal 16
Februari 2009, kemudian terhadapnya oleh Penggugat I/Pembanding
I diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 27 Februari
2009 sebagaimana ternyata dari akta permohonan kasasi No.
27/SRT. PDT.KAS/2009/PN. JKT. PST. jo No. 110/PDT.
G/2005/PN. JKT. PST., yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang
memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri tersebut pada tanggal 12 Maret 2009.
Sesudah putusan terakhir diberitahukan kepada Penggugat
II/Pembanding II pada tanggal 16 Februari 2009, terhadapnya oleh
Penggugat II/Pembanding II diajukan permohonan kasasi secara
lisan pada tanggal 27 Februari 2009 sebagaimana ternyata dari akta
permohonan kasasi No. 26/SRT. PDT.KAS/2009/PN. JKT. PST. jo
No. 110/PDT. G/2005 yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, permohonan tersebut diikuti oleh memori kasasi yang
memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri tersebut pada tanggal 12 Maret 2009.
Tergugat I/Terbanding I 29 September 2009 telah diberitahu
tentang memori kasasi dari para Penggugat/para Pembanding,
diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 13 Oktober 2009.
Setelah itu Tergugat II/Terbanding II, pada 21 Oktober 2009
telah diberitahu tentang memori kasasi dari para Penggugat/para
Pembanding diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 03
November 2009.
Permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undangundang. Karena itu, permohonan kasasi tersebut formal dapat
diterima.
Alasan-alasan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi/para
Penggugat dalam memori kasasinya ialah:
Memori Kasasi Pemohon Kasasi I, mengenai Penerapan
Hukum Acara.
Terhadap seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para
Pemohon Kasasi, hingga saat ini sama sekali tidak pernah dihadiri
(meskipun sudah dipanggil secara sah dan patut), dibantah dan
disangkal seluruh dalil-dalil para Pemohon Kasasi ajukan selama
proses persidangan/beracara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan
Pengadilan Tinggi Jakarta oleh Termohon Kasasi III selaku kreditur
asing yang memiliki hubungan hukum langsung dengan para
Pemohon Kasasi dalam perjanjian kredit yang melawan hukum
Republik Indonesia termasuk dalam pengalihannya. Dengan
perkataan
lain
telah
terbukti
Termohon
Kasasi
III
telah
membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang
diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya,
sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk
dikabulkan seluruhnya.
Oleh karena Termohon Kasasi II telah menggunakan Surat
Kuasa Khusus fiktif No. 057/SK.CHC/2005 yang tidak pernah
didaftarkan dan diperlihatkan di muka sidang yang terbuka untuk
umum berdasarkan pengakuannya sendiri di hadapan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat lewat Dupliknya tertanggal 26 September 2005.
Secara tegas dalam duplik dinyatakan "... untuk beracara di
pengadilan tidak mengatur keharusan suatu Surat Kuasa Khusus
untuk
beracara
didaftarkan."
Juga,
memuat
"SEMA
No.
31/P/169/M/1959 tidak disyaratkan adanya keharusan untuk
mendaftarkan surat kuasa. SEMA yang didalilkan Termohon Kasasi
II demi hokum, sudah dicabut, dan dinyatakan tidak berlaku lagi
oleh Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1971.
Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan
persidangan
berdasarkan
Pasal
174
HIR
(jo.
Pasal
1925
KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat.
Jawaban, duplik, pembuktian, dan kesimpulan yang dibuat,
ditandatangani dan diajukan oleh kuasa hukum Termohon Kasasi II
bersumber dari kewenangan hukum/legal standing yang fiktif.
Karena secara materiil tidak mungkin suatu badan hukum seperti
PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk dapat tampil beracara di pengadilan
tanpa diwakili/diwakili dengan Surat Kuasa Khusus fiktif dan untuk
dapat diwakili oleh kuasanya yang sah seharusnya terlebih dahulu
dibuat, didaftarkan, dan diperlihatkan Surat Kuasa Khusus di
hadapan pengadilan agar sah berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR jo.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat
Kuasa Khusus dan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI No.
296 K/Sip/1970 tanggal 09 Desember 1970.
Oleh karena Termohon Kasasi II dianggap tidak mengajukan
(menggunakan haknya berdasarkan Surat Kuasa Khusus fiktif di
pengadilan), dan tidak hadir secara sah untuk membantah dan
menyangkal gugatan yang diajukan para Pemohon Kasasi, sehingga
dengan demikian telah terbukti Termohon Kasasi II telah
membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang
diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya,
sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk
dikabulkan seluruhnya.
Oleh karena Termohon Kasasi I juga melepaskan haknya
dalam mengajukan Kontra Memori Banding kepada Pengadilan
Tinggi Jakarta sebagai keberatannya terhadap hal-hal yang diajukan
para Pemohon Kasasi dalam Memori Bandingnya, dengan demikian
telah terbukti Termohon Kasasi I telah membenarkan dan mengakui
seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi
dalam Memori Bandingnya, sehingga dengan demikian patut dan
wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya.
Penerapan
Teknis
Yuridis.
Judex
Facti
telah
salah
menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku. Pemohon
Kasasi
I
s.o.r
371/PDT/2006/PT.
keberatan
DKI
terhadap
yang
amar
menguatkan
putusan
Nomor
pertimbangan-
pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 110/PdtG/2005/PN. Jkt. Pst. Karena secara nyata Judex Facti
putusan Nomor 110/PdtG/2005/PN. Jkt. Pst dalam pertimbanganpertimbangan hukumnya tidak menggunakan satupun dasar hukum
positif apapun yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia
sebagaimana sudah dan pernah diterapkan berulang-ulang sehingga
menjadi yurisprudensi tetap dalam memeriksa dan memutus perkara
a quo. Dengan demikian terhadap putusan Judex Facti hanya
berdasarkan spekulasi logika sepihak dengan tanpa didukung adanya
dasar legalitas yuridis dan bukti otentik dalam menjawab
permasalahan hukum dalam pokok perkara yang diajukan Pemohon
Kasasi I ajukan:
Pengalihan, melawan hokum, pengurusan piutang tanpa akta
apapun antar badan/subyek hukum yang berbeda dari Termohon
Kasasi III kepada Termohon Kasasi II, dan dari Termohon Kasasi II
kepada Termohon Kasasi I; Keabsahan perjanjian kredit itu sendiri
yang sudah diakui oleh Termohon kasasi III sebagai kreditur
berbadan hukum privat asing di hadapan Pengadilan, sebagai
perjanjian yang melawan hukum di wilayah Republik Indonesia,
sudah sepatut dan sepantasnya demi hukum seluruh pertimbangan
hukum di dalam putusan tersebut dibatalkan.
Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan
hukum dan melampaui kewenangannya dalam mempertimbangkan
sesuatu hal yang pokok tanpa didasari atau didukung oleh sesuatu
alat bukti, karena di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta
Pusat
No.
110/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst
diambilalih
Pengadilan Tinggi Jakarta, mengkonstantir kewenangan pengalihan
pengurusan piutang dari Termohon Kasasi III kepada Termohon
Kasasi II menjadi sah sesuai hukum, hanya didasarkan, Surat kuasa
dari Termohon Kasasi III kepada Muda Siregar Siagian (Kepala
Urusan Luar Negeri ex Bank Bumi Daya sekarang menjadi
Termohon Kasasi II), terbatas hanya pada saat itu untuk
mengadakan perjanjian kredit saja, telah dipahami berwenang dalam
arti seluas-luasnya mengambilalih perjanjian kredit tanpa batas
waktu. Bukti berupa foto copy yang tanpa ditunjukkan dokumen
aslinya dan bukti surat di bawah tangan yang kekuatan
pembuktiannya bebas yang tidak dapat disangkal. Isi akta otentik,
para pihak di dalam perjanjian kredit melawan hukum hanyalah para
Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi III saja sebagaimana telah
diakui sendiri oleh Termohon Kasasi II; dan
Dalil kepemilikan saham Termohon Kasasi III oleh
Termohon Kasasi II, di mana tidak pernah terbukti di persidangan
satupun saham modal kekayaan Termohon Kasasi III sebagai badan
hukum swasta murni (private) yang tunduk pada Chapter 32
Companies Ordinance Hongkong, berasal dari Termohon Kasasi II
apalagi berasal dari negara/bank Indonesia.
Berdasarkan hukum positif Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata,
setiap pengalihan piutang antar dua subyek hukum yang berbeda
haruslah dilakukan dengan akta cessie, sedangkan berdasarkan
pengakuan berulang-ulang Termohon Kasasi II sendiri di hadapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pengurusan kredit melawan hukum
milik Termohon Kasasi yang dilakukannya, pengalihannya hanyalah
berasal dari penarikan repatriasi secara sepihak saja tanpa adanya
persetujuan pihak debitur sebagai para pihak di dalam perjanjian
tersebut sebelumnya.
Jawaban tanggal 22 Agustus 2005 dalam pokok perkara:
"...PT Bank Bumi Daya (Persero) selaku pemilik Tergugat III
mengambil langkah-Iangkah pengamanan dan penyelamatan antara
lain menarik/mengambil alih piutang." Duplik tanggal 26 September
2005, Poin 4 huruf a dalam eksepsi: "... repatriasi kredit Penggugat
II oleh Tergugat III kepada Tergugat II...". Poin 4 dalam pokok
perkara: "... kedudukan Tergugat III demi hukum telah digantikan
oleh Tergugat II yaitu dengan adanya repatriasi kredit dan ...".
Kontra Memori Banding tanggal 31 Agustus 2006 poin 7: "... maka
piutang tersebut ditarik ke Bank Bumi Daya. ..."
Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan
persidangan
berdasarkan
Pasal
174
HIR
(jo.
Pasal
1925
KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat.
Secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan pengadilan
bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik Termohon Kasasi
III yang dilakukannya, hanyalah berasal dari penarikan (repatriasi)
secara sepihak saja tanpa didukung/dibuktikan adanya.
Akta pengalihan pergantian posisi kreditur dari Termohon
Kasasi III selaku pemilik kredit (melawan hukum) mempunyai
hubungan hukum langsung dengan para Pemohon Kasasi. Dokumen
asli dalam pembuktian, tentang terjadinya repatriasi kredit yang
diajukan oleh Termohon Kasasi II sebagai bukti hanyalah dokumen
fax yang difoto copy yang tidak terbaca (samar-samar) dan tidak
secara sah dilengkapi/sesuai dengan dokumen aslinya maupun kertas
faxnya sendiri, sehingga dengan demikian sudah sepatut dan
sewajarnya demi hukum majelis hakim menolak tidak mempercayai
bukti dan dalil-dalil repatriasi tersebut, karena hanya didukung
berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah dan tidak memiliki kekuatan
pembuktian berdasarkan Pasal 1888 KUHPerdata jo. putusan
Mahkamah Agung RI No. 701 KISip/1974 tanggal 14 April 1976
yang berbunyi: " Kekuatan pembuktian suatu tulisan terletak pada
akta aslinya," sehingga sudah sepatut dan sepantasnya demi hukum
terhadap tindakan debt collector yang seolah-olah mempunyai
kewenangan hukum sepihak dengan melakukan penyelundupan
hukum
tersebut
dengan
demikian
tidak
perlu
memperoleh
perlindungan hukum.
Selain secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan
pengadilan bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik
Termohon Kasasi III yang dilakukannya hanyalah berasal dari
penarikan (repatriasi) secara sepihak saja, Termohon Kasasi II
dalam Pembuktiannya tanggal 24 Oktober 2005, secara a contrario
dan berulang-ulang juga telah mengakui sendiri di hadapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bahwa hubungan hukum yang
mengikat dalam perjanjian kredit hanyalah berlaku antara para
Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi III saja.
Bukti "Penggugat II dan Tergugat III adalah subyek hukum
dalam Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby L/C." Bukti: "Sesuai
akta tersebut Sino Sandjaja (Penggugat I) dengan persetujuan Linda
Effendi (istrinya) telah mengikatkan dirinya sendiri untuk menjamin
pengembalian fasilitas kredit Penggugat II yang diterima dari
Tergugat III." Pengakuan tertulis berulang-ulang dari Termohon
Kasasi II di hadapan pengadilan berdasarkan Pasal 174 HIR (jo.
Pasal 1925 KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna.
Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan
hokum. Karena selain mengabaikan legalitas yuridis syarat sah
pengalihan pengurusan piutang dengan formalitas suatu akta, Judex
Facti dalam pertimbangan hukumnya juga telah menutup mata
terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya di
dalam proses pengalihan/pengurusan piutang dari Termohon Kasasi
III kepada Termohon Kasasi II, dan dari Termohon Kasasi II kepada
Termohon Kasasi I.
Pengalihan piutang tersebut dilakukan oleh Termohon Kasasi
III kepada Termohon Kasasi II ketika obyek hutang piutang yang
menjadi pokok persengketaan sedang masih dalam proses sengketa
yang sedang berjalan (status quo) dengan melibatkan subjek yang
sama dan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum yang
tetap dan pasti di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan rool
perkara
No:
15/Pdt/Bth/1991/PN.JKT.BAR.
Ditangguhkan
eksekusinya dengan surat Penangguhan Eksekusi dari Ketua
Mahkamah Agung RI dengan No. KMA/198/XII/1991, tertanggal 12
Desember 1991: "sampai perkara bantahan No. 15/Pdt/1991/bth
diputus dan in kracht van gewijsde." Adalah rancu terhadap suatu
perkara yang legalitasnya masih berproses (status quo) diciptakan
hubungan hukum baru.
Melanggar asas kepribadian berdasarkan Pasal 1340 ayat (1)
KUHPerdata (jo. Pasal 1315 KUHPerdata). Suatu perjanjian hanya
berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya saja, yaitu dalam hal
ini Termohon Kasasi III dengan para Pemohon Kasasi saja.
Dengan demikian pengalihan penagihan piutang (dalam
perkara) tersebut oleh Termohon Kasasi III kepada Termohon
Kasasi II dan Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I adalah
perbuatan pengingkaran kesepakatan perjanjian, yang dengan
ancaman perbuatan tersebut menjadi batal demi hukum (Pasal 1320
ayat (1) KUHPerdata), tidak mempunyai konsekuensi yuridis
dengan pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum
dengan perjanjian kredit yang telah disepakati oleh para pihak
sebelumnya;
Piutang yang dialihkan adalah perjanjian kredit dan
accesoirnya yang tidak halal dan melanggar hukum negara Republik
Indonesia sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat (4)
KUHPerdata. Yaitu melanggar Pasal 1173 KUHPerdata, Pasal 2
Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Pasal 2 Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, Pasal 5 ayat
(2) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972, dan Pasal 3 Surat
Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261/MK/IV/5/1973
tanggal 03 Mei 1973, KUHPerdata Pasal: 1320 ayat (4), 1335, 1337,
dan 1339.
Terdapat bukti palsu dalam proses pengalihan pengurusan
kredit dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I. Hal ini,
didasarkan fakta dan realita hukum terhadap satu piutang terdapat
dua surat penyerahan pengurusan piutang yang berbeda dari
Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I.
Bukti, bahwa Termohon Kasasi I telah mengakui dalam
suratnya bahwa: "... PT. Bank Mandiri (Persero) Credit Recovery
Group dengan surat No. CRY/Dept.l/278/2004 tanggal 20 Desember
2004 telah menyerahkan pengurusan piutang..," akan tetapi di
dalam bukti lainnya, Termohon Kasasi I menyatakan: "Surat
Penyerahan PT. Bank Mandiri (Persero) Ex PT. Bank Bumi Daya
Persero Nomor: CRY/Dept.IV/278/2004 tanggal 13 Desember
2004.”
Terhadap bukti yang berbeda nomor dan tanggalnya tersebut
sama sekali tidak diajukan bukti pendukung apapun dari Termohon
Kasasi II selaku pihak yang menyerahkan piutang kepada Termohon
Kasasi I, sehingga dengan demikian sesungguhnya secara yuridis
prosedural sejak semula tidak pernah terjadi penyerahan piutang dari
Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I.
Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan
hokum. Dengan memandang tidak perlu lagi mempertimbangkan
sah tidaknya perjanjian kredit antara Pemohon Kasasi II dengan
Termohon Kasasi III di dalam pertimbangan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt.G/2005/PN.Jkt. Pst telah
diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta. Secara legalistik yuridis
gugatan para Pemohon Kasasi tidak pernah dibantah/disangkal dan
bahkan telah diakui sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta
Barat oleh Termohon Kasasi III sebagai kreditur asing yang
mempunyai hubungan hukum langsung dan terlibat dalam perjanjian
kredit bahwa Akta Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of
Credit Nomor: 166 tanggal 20 Maret 1989, yang dibuat di hadapan
Mudofir Hadi Notaris di Jakarta, dengan kuasa memasang Hipotik
No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170,
adalah perjanjian-perjanjian yang mengandung kausa yang tidak
halal sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat (4)
KUHPerdata, dengan demikian sudah seharusnya akta notaris
tersebut beserta hipotiknya menjadi perjanjian yang cacat hukum
dan
haruslah
dibatalkan,
serta
tidak
mempunyai
kekuatan
hukum/melawan hukum di Republik Indonesia.
Terdapat dua Akta Borgtocht yang tidak secara jelas dan
tegas mencampuradukkan penerapan dua akta perjanjian accesoir
terhadap satu perjanjian pokok, sehingga telah menimbulkan
kekacauan hukum perjanjian accesoir yang mana yang mengikat.
Adapun kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan di
dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata tersebut adalah dalam Pasal
1173 KUHPerdata jelas-jelas menyatakan bahwa tidak boleh/tidak
dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan yang dibuat di suatu
negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang
terletak di wilayah Indonesia. Kecuali apabila di dalam sesuatu
traktat telah ditentukan sebaliknya (jis yurisprudensi No. 1695
K/Pdt/1984 tanggal 23 Mei 1986, dan yurisprudensi No. 641
K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996. Secara tegas dinyatakan:
"Perjanjian antara warga negara Indonesia dengan orang Asing
tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang
obyeknya berada di wilayah Indonesia,". Dengan demikian,
Termohon Kasasi III sebagai pihak asing tidak berhak melakukan
suatu hubungan hukum dengan jaminan melibatkan obyek-obyek
yang berada di wilayah Republik Indonesia. Terlebih Termohon
Kasasi III adalah suatu badan hukum swasta luar negeri berstatus
private yang didirikan dan berkedudukan hukum di luar negeri
(Hongkong), serta tidak mempunyai domisili wilayah Republik
Indonesia, maka sudah seharusnya Akta No. 166 Notaris Mudofir
Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of
Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169,
dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170 menjadi batal/memuat
syarat batal.
Perjanjian kredit tersebut bertentangan dengan perundangundangan Republik Indonesia, yaitu perjanjian tersebut dibuat untuk
tunduk kepada hukum yang berlaku di negara Hongkong (Pasal 17).
Sehingga dapat dipersamakan dengan suatu persetujuan yang dibuat
di suatu negeri asing, terlebih di dalam perjanjian kredit itu sendiri
terdapat pengakuan dari Termohon Kasasi III akan yurisdiksi hukum
negara Hongkong untuk mengadakan kegiatan pengurusan piutang
tersebut dengan Pemohon Kasasi II, yaitu di dalam Pasal 6 ayat (1),
Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit
dan Fasilitas Standby Letter of Credit", yang menyatakan:
"Pengambilan atau penyetoran uang dapat dilakukan oleh debitur di
kantor kreditur, yaitu di Hongkong, pada tiap-tiap hari kerja pada
jam-jam dibukanya kas dari kreditur itu untuk umum atau dengan
cara lain sesuai dengan kebiasaan yang ada";
Perjanjian kredit tersebut dibuat oleh Kreditur (Termohon
Kasasi III) berbadan hukum asing (Hongkong) yang tidak
mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia,
sehingga sudah sepatut dan sepantasnya setiap badan hukum asing
yang tidak mempunyai/domisili hukum di wilayah Republik
Indonesia dinyatakan tidak mempunyai legitimasi hukum di wilayah
Republik
Indonesia,
dan
dinyatakan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap setiap perbuatannya:
Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara
Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi
III belum pernah diberitahukan dan didaftarkan kepada Bank
Indonesia selaku pengawas otoritas moneter tertinggi di Republik
Indonesia. Sebagaimana, yang ditentukan dalam Pasal 2 Keputusan
Presiden No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972. Kedua ketentuan itu
mengharuskan semua penerimaan kredit luar negeri baik dalam
hubungan penanaman modal asing maupun dalam hubungan lainnya
sebelum ditandatangani oleh pihak-pihak, harus dilaporkan terlebih
dahulu kepada Bank Indonesia untuk dipelajari.
Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara
Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi
III belum pernah diberitahukan kepada Departemen Keuangan dan
Bank Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat
(2) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 dan Pasal 3 Surat
Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261/MK/IV/5/1973
tanggal 03 Mei 1973. Kedua ketentuan itu mewajibkan melaporkan
semua penerimaan dan pelaksanaan kredit luar negeri dari setiap
perusahaan swasta kepada Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia. Dimulai dari tanggal efektif berlakunya perjanjian dan
setiap tiga bulan sekali sejak tanggal efektifnya perjanjian kredit
berlaku.
Penerapan secara mutlak "lex specials derogat legi generali"
Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Keputusan Presiden No. 59
Tahun 1972, Surat Keputusan Menteri Keuangan No. KEP261/MK/IV/5/1973, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, telah diterima menjadi ajaran hukum
yang tetap oleh beberapa putusan Mahkamah Agung. Sudah
diterapkan secara berulang-ulang berdasarkan yurisprudensi No.
2958 K/Pdt/1983 tanggal 15 April 1985 (jis. yurisprudensi No. 641
K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, dan yurisprudensi No. 1750
K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981), ditegaskan: "Dengan tidak
dipenuhinya laporan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan
merupakan suatu pelanggaran hukum, sehingga perjanjian yang
melanggar peraturan pemerintah tersebut adalah perjanjian yang
tidak mempunyai kekuatan hukum apapun."
Pemenuhan kewajiban penerapan pelaporan secara mutlak
"lex specials derogat legi generali", di atas, sebagai kaidah hukum
positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia, secara tegas dan
nyata kewajiban tersebut oleh Termohon Kasasi III sebagai badan
hukum
swasta
asing
telah
disangkal
dan
dikesampingkan
penerapannya lewat dua kali pengakuan di hadapan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memeriksa dan memutus
perkara No. 15/Pdt/Bth/1991/PN. JKT. BAR. Duplik tanggal 01
Desember 1992 poin 6, yang menyatakan: "... ketentuan Pasal 17
yang menyatakan bahwa perjanjian ini tunduk kepada hukum yang
belaku di Hongkong. Sedangkan menurut ketentuan hukum di
Hongkong
tidak
ada
ketentuan
untuk
melaporkan...";
dan
Kesimpulan tanggal 08 April 1993 poin 7, yang menyatakan:
"Sementara itu, menurut hukum yang berlaku di Hongkong tidak
ada kewajiban untuk melapor seperti itu, i.c. ke Bank Indonesia."
Jelas, ada suatu penghinaan dan kesewenangan terhadap
kaidah hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Sehingga,
dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya terhadap Termohon
Kasasi III yang sama sekali tidak mau mengakui eksistensi hukum
positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia akan tetapi mau
membuat hubungan hukum dengan melibatkan subyek dan obyek di
dalam wilayah Indonesia, oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan
memutus
perkara
secara
bertimbalbalik
haruslah
ikut
dikesampingkan juga segala eksistensi keabsahan perjanjian kredit
sebagai perjanjian pokok dan semua perjanjian accesoirnya, karena
Termohon Kasasi III secara tegas telah membuat perjanjian kredit
yang cacat hukum, yaitu dengan sengaja tidak menghormati hukum
yang berlaku di Republik Indonesia (di bawah hukum yang berlaku
di Hongkong).
Tidak dipenuhinya syarat dalam poin 7, poin 8, dan poin 9 di
atas, maka sebagai konsekuensi yuridis, dimohon kepada majelis
hakim yang memeriksa dan memutus perkara berdasarkan ketentuan
umum: Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata: “Suatu perjanjian harus
mempunyai tujuan yang diperbolehkan/sebab yang halal”;
Pasal 1335 KUHPerdata: “Perjanjian yang tujuan/sebab tidak
diperbolehkan tidak mempunyai kekuatan hukum”; Pasal 1337
KUHPerdata: “Suatu sebab adalah terlarang apabila persetujuan itu
melanggar undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum” (jo. Pasal 23); dan Pasal 1339 KUHPerdata:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang, menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum apapun juga.“
Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: "Perjanjian Kredit dan
Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk memasang
Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No.
170, mengandung kausa yang terlarang. Dalam hal ini perjanjian
tersebut tidak mempunyai tujuan yang diperbolehkan oleh undangundang (melawan hukum) yang ada di wilayah Republik Indonesia.
Karena sudah jelas perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok
yang dibuat antara Termohon Kasasi III dengan Pemohon Kasasi II
adalah perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena
mengandung kausa/sebab yang terlarang, dibuat sebagai perikatan
pokok yang dengan segala akibat hokum tunduk kepada domisili dan
yurisdiksi
hukum
negara
Hongkong,
dengan
sengaja
mengesampingkan kaidah-kaidah hukum positif di wilayah Republik
Indonesia (Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata jo. Pasal 1173
KUHPerdata), maka secara otomatis, tidak terdapat suatu perjanjian
pemberian jaminan yang bersifat accesoir yang sah berdasarkan
Pasal 1821 ayat (1) KUHPerdata. "Tidak mungkin ada pemberian
jaminan jika tidak ada suatu perjanjian pokok yang sah. Berdasarkan
bukti yang ada telah terjadi kekacauan hukum tidak diketahui
perjanjian accesoirnya yang mengikat. Dengan demikian sudah
sepatut dan sepantasnya apabila Pemohon Kasasi I sebagai penjamin
hutang mendapatkan kembali haknya berupa seluruh agunan dari
perjanjian kredit yang dilakukan oleh Termohon Kasasi III dengan
Pemohon Kasasi II, dan Pemohon Kasasi II sudah sepatutnya
terbebas menurut hukum atas hutang-hutang tersebut karena hutang
tersebut dibuat atas dasar perjanjian kredit yang bertentangan
dengan hukum/kepentingan nasional Republik Indonesia (melawan
hukum), dan bahkan perjanjian kredit tersebut tidak pernah disetujui
dan dilaporkan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan (jis
yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1983 tanggal 27 Juni 1996,
yurisprudensi No. 2958 K/Pdt/1983 tanggal 11 April 1985, dan
yurisprudensi No. 1750 K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981).
Karena Termohon Kasasi III secara sengaja dan sepihak
telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengingkari isi
perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani bersama dalam Akta
No. 166 Notaris Mudafir Hadi berbentuk Perjanjian Kredit dan
Fasilitas Standby Letter of Credit, tanpa diperjanjikan sebelumnya
secara sepihak dan sewenang-wenang mengalihkan pengurusan
piutangnya kepada pihak ketiga (Termohon Kasasi II dan Termohon
Kasasi I), sementara kejelasan mengenai piutangnya sendiri masih
diproses dalam perkara yang hingga saat ini belum memiliki
kekuatan hukum yang tetap dan pasti, maka jelaslah dipandang dari
sisi kaca mata hukum yang berlaku di Indonesia, perbuatan para
Termohon Kasasi adalah perbuatan yang telah beritikad buruk.
Bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. "Suatu
perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda) dan bagi pihak ketiga
harus menghormati dan tidak mencampuri isi perjanjian yang telah
ditetapkan oleh para pihak."
Karena sesungguhnya hubungan hukum dalam perjanjian
kredit yang melawan hukum hanya melibatkan para Pemohon
Kasasi dengan Termohon Kasasi III saja di Hongkong (Pasal 17 dan
Pasal 6 ayat (1) Akta No. 166), dan Termohon Kasasi II maupun
Termohon Kasasi I sama sekali tidak dapat membuktikan telah
memperoleh hak pengalihan pengurusan piutang, apalagi menagih
berdasarkan atas dasar hukum dan bukti-bukti yang sah, dan terlebih
perjanjian kredit beserta accesoirnya telah terbukti adalah perjanjian
yang bertentangan dengan hukum positif dan praktek hukum di
Republik Indonesia (Pasal 23 AB, Pasal 1320 ayat (4), Pasal 1335,
1337, dan 1339 KUHPerdata). Secara tegas sudah dikesampingkan
oleh
Termohon
Kasasi
III
hukum
positif
tersebut
lewat
pengakuannya di hadapan pengadilan. Di mohon kepada Majelis
Hakim mengedepankan perlindungan hukum terhadap kepentingan
nasional Republik Indonesia demi mencegah dengan sewenangwenang dirampasnya harta-harta nasional Republik Indonesia, di
kemudian hari oleh bangsa asing manapun juga dengan berusaha
melakukan penyelundupan hukum di wilayah negara Republik
Indonesia sendiri dengan melibatkan keburukan moral oknum
aparat-aparat
negara
kepentingan
keuangan
sendiri
pihak
untuk
berkonspirasi
swasta/private
membantu
asing
dengan
menyelundupkan hukum mencampuri perjanjian utang piutang off
shore loan antar badan hukum swasta diartikan sebagai piutang
negara, di dalam wilayah Republik Indonesia untuk menjarah
rakyatnya sendiri.
Berdasarkan Undang-Undang No. 49/Prp. Tahun 1960, cara
penyelesaian piutang negara menurut Undang-Undang tentang
Panitia Urusan Piutang Negara harus dilakukan dengan memuat
jumlah hutang dan kewajiban debitur yang besarannya telah pasti
menurut hukum untuk menyelesaikan hutang kepada negara (Pasal 4
ayat (2)); dan mengadakan Surat Pernyataan Bersama yang dibuat
dan ditandatangani oleh Debitur dan Ketua PUPN/BUPLN.
Pernyataan Bersama ini memuat jumlah hutang debitur dan
kewajiban debitur untuk menyelesaikan hutang kepada negara.
Dengan belum diperolehnya kepastian hingga saat ini
legalitas jumlah dan kewajiban debitur yang besarnya telah tetap
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
dan pasti, dan dalam penagihan piutang yang saat ini dalam sengketa
PUPN/BUPLN
sama
sekali
belum
pernah
membuat
Surat
Pernyataan Bersama, terlebih berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang
No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, secara
tegas pengertian bentuk usaha-usaha negara berbentuk perusahaan
sehingga menjadi kewenangan Termohon Kasasi I berdasarkan
Undang-Undang No. 49/Prp Tahun 1960, hanya dibedakan terbatas
hanya dalam tiga bentuk, yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan),
Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero),
namun berdasarkan pengakuan tertulis Termohon Kasasi II sendiri
dalam Jawabannya tanggal 22 Agustus 2005 dalam pokok perkara
secara tegas menyatakan dan mengakui bahwa Termohon Kasasi III
sama sekali adalah badan hukum private/swasta asing yang
"...didirikan dan tunduk pada ketentuan hukum Hongkong,
berdomisili di Hongkong..." (bukan sebagai subyek hukum
Indonesia, apalagi dikelompokkan sebagai lembaga/perusahaan
negara). Sehingga dengan demikian sejak awal pengurusan piutang
oleh Termohon Kasasi I tidak lagi memiliki relevansi dengan tugas
dan wewenang Termohon Kasasi I sebagai badan publik untuk
melakukan pengurusan, terlebih hubungan hukum antara para
Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi III adalah hubungan
hukum antar badan hukum privat dalam negeri dan badan hukum
privat luar negeri. Tidak dapat dicampuri begitu saja dengan
melakukan penyelundupan hukum di dalam wilayah Republik
Indonesia dengan melibatkan Negara Indonesia sendiri untuk
bertindak menguasai aset-aset rakyat dalam negerinya sendiri (debt
collector) bagi kepentingan keuangan kreditur swasta luar negeri
yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik
Indonesia.
Oleh karena pengalihan piutang sewenang-wenang dari
Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II bertentangan
dengan hukum yang berlaku di Republik Indonesia, dan terdapatnya
cacat hukum, maka penyerahan pengurusan penagihan piutang dari
Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I secara mutatis
mutandis juga mengandung cacat hukum dan tidak memiliki
kekuatan hukum, terlebih berdasarkan bukti yang ada penyerahan
piutang tersebut dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I
diragukan secara yuridis dan faktual pernah terjadi.
Jelas dan tegas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
para Termohon Kasasi adalah perbuatan sewenang-wenang yang
tidak berdasar hukum dan sangat merugikan Pemohon Kasasi I,
maka perbuatan mereka jelas dan nyata sebagai perbuatan yang
melawan hukum (onrechtmatige daad) dengan segala akibat hukum
dari padanya, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1365
KUHPerdata.
Karena Pemohon Kasasi I adalah Badan Hukum yang
memerlukan kredibilitas yang baik di mata masyarakat umum, maka
dalam menanggapi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
para Termohon Kasasi, telah mengakibatkan kerugian waktu, biaya,
dan tenaga bagi Pemohon Kasasi I, oleh karena itu adalah wajar
apabila terhadap perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan
hukum overheasdaad (jo Pasal 1365 KUHPerdata).
Putusan Judex Facti memuat alasan yang tidak lengkap atau
kurang cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd), sehingga
demi hukum patutlah untuk dibatalkan. Judex Facti s.o.r dalam
menyidangkan perkara ini secara nyata telah lalai memenuhi syaratsyarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam
kelalaian
itu
dengan
batalnya
putusan
yang
bersangkutan. Sesuai Pasal 30 huruf c Undang Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 dan perubahannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Majelis Hakim yang
memutus perkara ini di tingkat Pengadilan Negeri yang kemudian
diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, dalam pertimbanganpertimbangannya sama sekali tidak menyebutkan pasal-pasal
maupun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
penolakan gugatan Pemohon Kasasi I secara tegas dan jelas (Vide.
SEMA
No.
3
Tahun
1974),
sebagaimana
terlihat
dalam
pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt.
G/2005/PN. Jkt. Pst halaman 49 yang selengkapnya berbunyi:
"Menimbang, bahwa memperhatikan segala peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perkara ini."
Majelis
Hakim
dalam
memberikan
pertimbangannya,
seharusnya, secara tegas mencatumkan peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum putusan tersebut memuat
segala alasan hukum yang menyebabkan putusan mempunyai nilai
obyektif dan selaras dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.
51 K/Sip/1972 tanggal 25 Maret 1972: "Tiap bagian dari pada
putusan
pengadilan
harus
didasarkan
pada
pertimbangan-
pertimbangan hukum yang bersangkutan." Dengan tidak disebutkan
peraturan perundang-undangan yang pasti dalam keputusannya,
maka Majelis Hakim dianggap telah lalai memenuhi syarat-syarat
yang tercantum dalam Pasal 184 HIR (jis. Pasal 178 ayat (1) HIR,
Pasal 50 Rv) tentang sistematika surat putusan, dengan ancaman
batalnya putusan yang bersangkutan.
Pemohon Kasasi I s.o.r keberatan terhadap Judex Facti
Pengadilan Tinggi Jakarta yang begitu saja menyetujui dan
mengambilalih pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pertimbangan hukum dan amar putusannya dalam memeriksa dan
mengadili perkara ini Tingkat banding. Atas pertimbangan putusan
Majelis Hakim Tingkat Pertama sudah tepat dan benar, tanpa
memeriksa kembali
keseluruhan bukti-bukti
dan fakta-fakta
persidangan, baik fakta kejadian (feitelijke) maupun fakta hukum
(rechtelijke), dan tanpa mempertimbangkan memori banding secara
keseluruhan dengan benar, melainkan hanya dengan dasar
pertimbangan seadanya saja dan bersifat umum, sebagaimana
terlihat
di
dalam
pertimbangan
hukum
putusan
Nomor
371/PDT/2006/ PT.DKI, "Menimbang, bahwa setelah Pengadilan
Tinggi mencermati dengan seksama berkas perkara, salinan resmi
putusan
Pengadilan
Negeri
110/Pdt.G/2005/PN.JKT.PST...,
Jakarta
Pengadilan
Pusat
Tinggi
No.
sependapat
dengan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim tingkat pertama
dalam memutus perkara in casu, karenanya pertimbanganpertimbangan hukum hakim tingkat pertama tersebut diambilalih
sebagai pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi dalam memutus
perkara in casu di tingkat banding, Menimbang, bahwa memori
banding yang diajukan para pembanding ternyata tidak ada hal-hal
yang baru yang dapat melemahkan putusan hakim tingkat pertama,".
Jelas, pertimbangan hokum itu keliru, sehingga demi hukum
patutlah untuk dibatalkan karena tidak sejalan dan sangat
bertentangan dengan: Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1043
K/Sip/1972 tanggal 30 November 1972, yang menyatakan: "Dengan
diajukan permohonan banding oleh pemohon, maka perkara demi
hukum
harus
diperiksa
dalam
keseluruhan";
Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No. 672 K/Sip/1972 tanggal 18 Oktober 1972
yang menyatakan: "Putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan
karena kurang cukup pertimbangan"; dan Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI No. 492 K/Sip/1970 tanggal 16 Februari 1970 yang
menyatakan: "Pertimbangan Pengadilan Tinggi hanya mengenai
soal mengenyampingkan keberatan-keberatan yang diajukan dalam
memori banding dan selanjutnya dengan tidak memeriksa baik
mengenai fakta-faktanya maupun mengenai soal penerapan
hukumnya terus saja menguatkan putusan Pengadilan Negeri begitu
saja, hal mana menurut pendapat Mahkamah Agung selain kurang
tepat juga kurang cukup memberi dasar (onvoldoende gemotiveerd)
untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri."
Karena Memori Kasasi ini diajukan berdasarkan hukum dan
bukti-bukti yang otentik yang tidak terbantah kebenarannya karena
sudah diakui sendiri oleh Termohon Kasasi Ill dan Termohon Kasasi
II di hadapan pengadilan sehingga memenuhi Pasal 180 HIR dan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000.
Karena
adanya
kekhawatiran
selama
perkara
ini
berlangsung,Termohon Kasasi I atas permintaan Termohon Kasasi II
beritikad buruk akan melakukan eksekusi dan menguasai atas asetaset milik Pemohon Kasasi I sehubungan dengan Perjanjian Hutang
Piutang antara Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III,
padahal
dengan
Surat
Ketua
Mahkamah
Agung
RI
No.
KMA/198/XII/1991 tanggal 12 Desember 1991 telah menangguhkan
eksekusi atas aset-aset para Pemohon Kasasi tersebut, maka
sangatlah beralasan hukum putusan dalam perkara ini dapat
dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoorbaar bij voorraad). Pemohon
Kasasi I untuk selebihnya tetap pada dalil-dalil semula dan menolak
seluruh dalil-dalil para Termohon Kasasi kecuali yang secara tegas
diakui kebenarannya.
Memori Kasasi Pemohon Kasasi II, mengenai Penerapan
Hukum Acara. Terhadap seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan
oleh para Pemohon Kasasi, hingga saat ini sama sekali tidak pernah
dihadiri (meskipun sudah dipanggil secara sah dan patut), dibantah
dan disangkal seluruh dalil-dalil para Pemohon Kasasi ajukan
selama proses persidangan/beracara di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta oleh Termohon Kasasi III
selaku kreditur asing yang memiliki hubungan hukum langsung
dengan para Pemohon Kasasi dalam perjanjian kredit yang melawan
hukum Republik Indonesia termasuk dalam pengalihannya, atau
dengan perkataan lain telah terbukti Termohon Kasasi III telah
membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang
diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya,
sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk
dikabulkan seluruhnya.
Karena Termohon Kasasi II telah menggunakan Surat Kuasa
Khusus fiktif No. 057/SK.CHC/2005 yang tidak pernah didaftarkan
dan diperlihatkan di muka sidang yang terbuka untuk umum
berdasarkan pengakuannya sendiri di hadapan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat lewat Dupliknya tertanggal 26 September 2005 dengan
secara tegas menyatakan sendiri dalam eksepsinya: "... untuk
beracara di pengadilan tidak mengatur keharusan suatu Surat
Kuasa Khusus untuk beracara didaftarkan."; dan "SEMA No.
31/P/169/M/1959 tidak mensyaratkan adanya keharusan untuk
mendaftarkan surat kuasa. Di mana sesungguhnya SEMA yang
didalilkan Termohon Kasasi II ini demi hukum sudah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Surat Edaran Mahkamah Agung
RI No. 1 Tahun 1971.
Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan
persidangan
berdasarkan
Pasal
174
HIR
(jo.
Pasal
1925
KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat.
Jawaban, duplik, pembuktian, dan kesimpulan yang dibuat,
ditandatangani dan diajukan oleh kuasa hukum Termohon Kasasi II
bersumber dari kewenangan hukum/legal standing yang fiktif,
Secara materiil tidak mungkin suatu badan hukum seperti PT. Bank
Mandiri (Persero) Tbk dapat tampil beracara di pengadilan tanpa
diwakili/diwakili dengan Surat Kuasa Khusus fiktif dan untuk dapat
diwakili oleh kuasanya yang sah seharusnya terlebih dahulu dibuat,
didaftarkan, dan diperlihatkan Surat Kuasa Khusus di hadapan
pengadilan agar sah berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR jo. Surat
Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa
Khusus dan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI No. 296
K/Sip/1970 tanggal 09 Desember 1970.
Oleh karena Termohon Kasasi II dianggap tidak mengajukan
I (menggunakan haknya berdasarkan Surat Kuasa Khusus fiktif di
pengadilan) dan tidak hadir secara sah untuk membantah dan
menyangkal gugatan yang diajukan para Pemohon Kasasi, sehingga
dengan demikian telah terbukti Termohon Kasasi II telah
membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang
diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya,
sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk
dikabulkan seluruhnya.
Karena Termohon Kasasi I juga melepaskan haknya dalam
mengajukan Kontra Memori Banding kepada Pengadilan Tinggi
Jakarta sebagai keberatannya terhadap hal-hal yang diajukan para
Pemohon Kasasi dalam Memori Bandingnya, dengan demikian telah
terbukti Termohon Kasasi I telah membenarkan dan mengakui
seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi
dalam Memori Bandingnya, sehingga dengan demikian patut dan
wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya.
Penerapan
Teknis
Yuridis.
Judex
Facti
telah
salah
menerapkan hukum atau melanggar hukum berlaku. Pemohon
Kasasi
II
s.o.r
keberatan
terhadap
amar
putusan
Nomor
371/PDT/2006/PT. DKI tersebut yang menguatkan pertimbanganpertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 110/PdtG/2005/PN. Jkt. Pst, karena secara nyata Judex Facti
putusan Nomor 110/PdtG/2005/PN. Jkt. Pst dalam pertimbanganpertimbangan hukumnya tidak menggunakan satupun dasar hukum
positif apapun yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia
sebagaimana sudah dan pernah diterapkan berulang-ulang sehingga
menjadi yurisprudensi tetap dalam memeriksa dan memutus perkara
a quo. Dengan demikian terhadap putusan Judex Facti yang hanya
berdasarkan spekulasi logika sepihak dengan tanpa didukung adanya
dasar legalitas yuridis dan bukti otentik dalam menjawab
permasalahan hukum dalam pokok perkara yang diajukan Pemohon
Kasasi I ajukan. Pengalihan secara melawan hukum pengurusan
piutang tanpa akta apapun antar badan/subyek hukum yang berbeda
dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II, dan dari
Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I.
Keabsahan perjanjian kredit itu sendiri yang sudah diakui
oleh Termohon kasasi III sebagai kreditur berbadan hukum privat
asing di hadapan Pengadilan, sebagai perjanjian yang melawan
hukum di wilayah Republik Indonesia, sudah sepatut dan
sepantasnya demi hukum seluruh pertimbangan hukum di dalam
putusan tersebut dibatalkan.
Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan
hukum dan melampaui kewenangannya dalam mempertimbangkan
sesuatu hal yang pokok tanpa didasari atau didukung oleh sesuatu
alat bukti, Di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No. 110/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst halaman 47 alinea 3
dan halaman 48 alinea 1 yang telah diambilalih Pengadilan Tinggi
Jakarta, mengkonstantir kewenangan pengalihan pengurusan piutang
dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II menjadi sah
sesuai hukum, hanya didasarkan, Surat kuasa dari Termohon Kasasi
III kepada Muda Siregar Siagian (Kepala Urusan Luar Negeri ex
Bank Bumi Daya, sekarang menjadi Termohon Kasasi II), terbatas
hanya pada saat itu untuk mengadakan perjanjian kredit saja, telah
dipahami berwenang dalam arti seluas-Iuasnya mengambilalih
perjanjian kredit tanpa batas waktu.
Bukti berupa foto copy yang tanpa ditunjukkan dokumen
aslinya dan bukti surat di bawah tangan yang kekuatan
pembuktiannya bebas yang tidak dapat menyangkal. Isi akta otentik
bahwa para pihak di dalam perjanjian kredit melawan hukum
tersebut hanyalah para Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi III
saja sebagaimana telah diakui sendiri oleh Termohon Kasasi II
dalam Akta Bukti.
Dalil kepemilikan saham Termohon Kasasi III oleh
Termohon Kasasi II, di mana tidak pernah terbukti di persidangan
satupun saham modal kekayaan Termohon Kasasi III sebagai badan
hukum swasta murni (private) yang tunduk pada Chapter 32
Companies Ordinance Hongkong, berasal dari Termuhon Kasasi II
apalagi berasal dari negara/bank Indonesia.
Berdasarkan hukum positif Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata,
setiap pengalihan piutang antar dua subyek hukum yang berbeda
haruslah dilakukan dengan akta cessie, sedangkan berdasarkan
pengakuan berulang-ulang Termohon Kasasi II sendiri di hadapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pengurusan kredit melawan hukum
milik Termohon Kasasi yang dilakukannya pengalihannya hanyalah
berasal dari penarikan I (repatriasi) secara sepihak saja tanpa adanya
persetujuan pihak debitur sebagai para pihak di dalam perjanjian
tersebut sebelumnya:
Jawaban tanggal 22 Agustus 2005 dalam pokok perkara:
"...PT Bank Bumi Daya (Persero) selaku pemilik Tergugat III
mengambil langkah-Iangkah pengamanan dan penyelamatan antara
lain menarik/mengambilalih piutang"; dan Duplik tanggal 26
September 2005: dalam eksepsi: "... repatriasi kredit Penggugat II
oleh Tergugat III kepada Tergugat II..."; dalam pokok perkara: "...
kedudukan Tergugat III demi hukum telah digantikan oleh Tergugat
II yaitu dengan adanya repatriasi kredit dan ..."; Kontra Memori
Banding tanggal 31 Agustus 2006. "... maka piutang tersebut ditarik
ke Bank Bumi Daya. ..."
Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan
persidangan
berdasarkan
Pasal
174
HIR
(jo.
Pasal
1925
KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat,
bahwa secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan
pengadilan bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik
Termohon Kasasi III yang dilakukannya, hanyalah berasal dari
penarikan (repatriasi) secara sepihak saja tanpa didukung/dibuktikan
adanya. Akta pengalihan pergantian posisi kreditur dari Termohon
Kasasi III selaku pemilik kredit (melawan hukum) yang mempunyai
hubungan hukum langsung dengan para Pemohon Kasasi. Dokumen
asli dalam pembuktian, tentang terjadinya repatriasi kredit yang
diajukan oleh Termohon Kasasi II sebagai bukti hanyalah dokumen
fax yang difoto copy yang tidak terbaca (samar-samar) dan tidak
secara sah dilengkapi/sesuai dengan dokumen aslinya maupun kertas
faxnya sendiri, sehingga dengan demikian sudah sepatut dan
sewajarnya demi hukum majelis hakim menolak tidak mempercayai
bukti dan dalil-dalil repatriasi tersebut, karena hanya didukung
berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah dan tidak memiliki kekuatan
pembuktian berdasarkan Pasal 1888 KUHPerdata jo. putusan
Mahkamah Agung RI No. 701 KISip/1974 tanggal 14 April 1976.
"Kekuatan pembuktian suatu tulisan terletak pada akta aslinya."
Sehingga sudah sepatut dan sepantasnya demi hukum terhadap
tindakan debt collector yang seolah-olah mempunyai kewenangan
hukum sepihak dengan melakukan penyelundupan hukum tersebut
dengan demikian tidak perlu memperoleh perlindungan hukum.
Selain secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan
pengadilan bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik
Termohon Kasasi III yang dilakukannya hanyalah berasal dari
penarikan (repatriasi) secara sepihak saja, Termohon Kasasi II dalam
Pembuktiannya tanggal 24 Oktober 2005, secara a contrario dan
berulang-ulang juga telah mengakui sendiri di hadapan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat bahwa hubungan hukum yang mengikat dalam
perjanjian kredit hanyalah berlaku antara para Pemohon Kasasi
dengan Termohon Kasasi III saja, yaitu: Bukti: "Penggugat II dan
Tergugat III adalah subyek hukum dalam Perjanjian Kredit dan
Fasilitas Standby L/C."; Bukti: "Sesuai akta tersebut Sdr. Sino
Sandjaja (Penggugat I) dengan persetujuan Ny. Linda Effendi
(istrinya) telah mengikatkan dirinya sendiri untuk menjamin
pengembalian fasilitas kredit Penggugat II yang diterima dari
Tergugat III. Pengakuan tertulis berulang-ulang dari Termohon
Kasasi II di hadapan pengadilan berdasarkan Pasal 174 HIR (jo.
Pasal 1925 KUHPerdata) merupakan alat bukti yang sempurna.
Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan
hukum, karena selain mengabaikan legalitas yuridis syarat sah
pengalihan pengurusan piutang dengan formalitas suatu akta, Judex
Facti dalam pertimbangan hukumnya juga telah menutup mata
terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya di
dalam proses pengalihan/pengurusan piutang dari Termohon Kasasi
III kepada Termohon Kasasi II, dan dari Termohon Kasasi II kepada
Termohon Kasasi I.
Pengalihan piutang tersebut dilakukan oleh Termohon Kasasi
III kepada Termohon Kasasi II ketika obyek hutang piutang yang
menjadi pokok persengketaan sedang masih dalam proses sengketa
yang sedang berjalan (status quo) dengan melibatkan subjek yang
sama dan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum yang
tetap dan pasti di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan rool
perkara No: 15/Pdt/Bth/1991/PN.JKT.BAR, dan telah ditangguhkan
eksekusinya dengan surat Penangguhan Eksekusi dari Ketua
Mahkamah Agung RI dengan No. KMA/198/XII/1991, tertanggal 12
Desember 1991, sampai perkara bantahan No. 15/Pdt/1991/bth
diputus dan in kracht van gewijsde. Adalah rancu terhadap suatu
perkara yang legalitasnya masih berproses (status quo) diciptakan
hubungan hukum baru.
Melanggar asas kepribadian berdasarkan Pasal 1340 ayat (1)
KUHPerdata (jo. Pasal 1315 KUHPerdata), ditegaskan suatu
perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya saja,
yaitu dalam hal ini Termohon Kasasi III dengan para Pemohon
Kasasi saja.
Dengan demikian pengalihan penagihan piutang (dalam
perkara) tersebut oleh Termohon Kasasi III kepada Termohon
Kasasi II dan Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I adalah
perbuatan pengingkaran kesepakatan perjanjian, yang dengan
ancaman perbuatan tersebut menjadi batal demi hukum (Pasal 1320
ayat (1) KUHPerdata), dan tidak mempunyai konsekuensi yuridis
dengan pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum
dengan perjanjian kredit yang telah disepakati oleh para pihak
sebelumnya.
Piutang yang dialihkan adalah perjanjian kredit dan
accesoirnya yang tidak halal dan melanggar hukum negara Republik
Indonesia sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat (4)
KUHPerdata. Melanggar Pasal 1173 KUH Perdata, Pasal 2
Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Pasal 2 Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, Pasal 5 ayat
(2) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972, dan Pasal 3 Surat
Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261/MK/IV/5/1973
tanggal 03 Mei 1973, KUHPerdata Pasal: 1320 ayat (4), 1335, 1337,
dan 1339;
Terdapat bukti palsu dalam proses pengalihan pengurusan
kredit dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I, hal ini
didasarkan fakta dan realita hukum terhadap 1 (satu) piutang
terdapat 2 (dua) surat penyerahan pengurusan piutang yang berbeda
dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I, yaitu:
Bukti bahwa Termohon Kasasi I telah mengakui dalam
suratnya bahwa: "... PT. Bank Mandiri (Persero) Credit Recovery
Group dengan surat No. CRY/Dept.l/278/2004 tanggal 20 Desember
2004 telah menyerahkan pengurusan piutang..," akan tetapi di
dalam bukti lainnya bahwa Termohon Kasasi I menyatakan: "Surat
Penyerahan PT. Bank Mandiri (Persero) Ex PT. Bank Bumi Daya
Persero Nomor: CRY/Dept.IV/278/2004 tanggal 13 Desember
2004.”
Terhadap bukti yang berbeda nomor dan tanggalnya tersebut
sama sekali tidak diajukan bukti pendukung apapun dari Termohon
Kasasi II selaku pihak yang menyerahkan piutang kepada Termohon
Kasasi I, sehingga dengan demikian sesungguhnya secara yuridis
prosedural sejak semula tidak pernah terjadi penyerahan piutang dari
Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I.
Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan
hukum, dengan pandangan tidak perlu lagi mempertimbangkan sah
tidaknya perjanjian kredit antara Pemohon Kasasi II dengan
Termohon Kasasi III di dalam pertimbangan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt.G/2005/PN.Jkt. Pst yang telah
diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, karena secara legalistik
yuridis
gugatan
para
Pemohon
Kasasi
tidak
pernah
dibantah/disangkal dan bahkan telah diakui sendiri di hadapan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat oleh Termohon Kasasi III sebagai
kreditur asing yang mempunyai hubungan hukum langsung dan
terlibat dalam perjanjian kredit bahwa Akta Perjanjian Kredit dan
Fasilitas Standby Letter of Credit Nomor: 166 tanggal 20 Maret
1989, yang dibuat di hadapan Mudofir Hadi, SH. Notaris di Jakarta,
dengan kuasa memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian
Jaminan (Borgtocht) No. 170, adalah perjanjian-perjanjian yang.
Mengandung kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan
didalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata, dengan demikian sudah
seharusnya akta notaris tersebut beserta hipotiknya menjadi
perjanjian yang cacat hukum dan haruslah dibatalkan serta tidak
mempunyai
kekuatan
hukum/melawan
hukum
di
Republik
Indonesia; dan terdapat dua Akta Borgtocht yang tidak secara jelas
dan tegas mencampuradukkan penerapan dua akta perjanjian
accesoir
terhadap
satu
perjanjian
pokok
sehingga
telah
menimbulkan kekacauan hukum perjanjian accesoir yang mana
yang mengikat.
Adapun kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan di
dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata tersebut adalah sebagai
berikut. Dalam Pasal 1173 KUHPerdata jelas-jelas menyatakan
bahwa tidak boleh/tidak dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan
yang dibuat di suatu negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas
benda-benda yang terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di
dalam sesuatu traktat telah ditentukan sebaliknya (jis yurisprudensi
No. 1695 K/Pdt/1984 tanggal 23 Mei 1986, yurisprudensi No. 641
K/Pdt/1993 Tanggal 27 Juni 1996, secara tegas dinyatakan:
"Perjanjian antara warga negara Indonesia dengan orang Asing
tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang
obyeknya berada di wilayah Indonesia," dengan demikian
Termohon Kasasi III sebagai pihak asing tidak berhak melakukan
suatu hubungan hukum dengan jaminan melibatkan obyek-obyek
yang berada di wilayah Republik Indonesia, terlebih Termohon
Kasasi III adalah suatu badan hukum swasta luar negeri berstatus
private yang didirikan dan berkedudukan hukum di luar negeri
(Hongkong), serta tidak mempunyai domisili wilayah Republik
Indonesia, maka sudah seharusnya Akta No. 166 Notaris Mudofir
Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of
Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169,
dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170 menjadi batal/memuat
syarat batal.
Perjanjian kredit tersebut bertentangan dengan perundangundangan Republik Indonesia, yaitu perjanjian tersebut dibuat untuk
tunduk kepada hukum yang berlaku di negara Hongkong (Pasal 17),
sehingga dapat dipersamakan dengan suatu persetujuan yang dibuat
di suatu negeri asing, terlebih di dalam perjanjian kredit itu sendiri
terdapat pengakuan dari Termohon Kasasi III akan yurisdiksi hukum
negara Hongkong untuk mengadakan kegiatan pengurusan piutang
tersebut dengan Pemohon Kasasi II, yaitu di dalam Pasal 6 ayat (1),
Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit
dan Fasilitas Standby Letter of Credit", yang menyatakan:
"Pengambilan atau penyetoran uang dapat dilakukan oleh debitur di
kantor kreditur, yaitu di Hongkong, pada tiap-tiap hari kerja pada
jam-jam dibukanya kas dari kreditur itu untuk umum atau dengan
cara lain sesuai dengan kebiasaan yang ada";
Perjanjian kredit tersebut dibuat oleh Kreditur (Termohon
Kasasi III) berbadan hukum asing (Hongkong) yang tidak
mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia,
sehingga sudah sepatut dan sepantasnya setiap badan hukum asing
yang tidak mempunyai/domisili hukum di wilayah Republik
Indonesia dinyatakan tidak mempunyai legitimasi hukum di wilayah
Republik
Indonesia,
dan
dinyatakan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap setiap perbuatannya:
Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara
Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi
III belum pernah diberitahukan dan didaftarkan kepada Bank
Indonesia selaku pengawas otoritas moneter tertinggi di Republik
Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 Keputusan
Presiden No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, yang mengharuskan
semua penerimaan kredit luar negeri baik dalam hubungan
penanaman modal asing maupun dalam hubungan lainnya sebelum
ditandatangani oleh pihak-pihak harus dilaporkan terlebih dahulu
kepada Bank Indonesia untuk dipelajari;
Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara
Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi
III belum pernah diberitahukan kepada Departemen Keuangan dan
Bank Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat
(2) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 dan Pasal 3 Surat
Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261/MK/IV/5/1973
tanggal 03 Mei 1973, yang mewajibkan melaporkan semua
penerimaan dan pelaksanaan kredit luar negeri dari setiap
perusahaan swasta kepada Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia, yang dimulai dari tanggal efektif berlakunya perjanjian
dan setiap tiga bulan sekali sejak tanggal efektifnya perjanjian kredit
berlaku.
Penerapan secara mutlak "lex specials derogat legi generali"
Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Keputusan Presiden No. 59
Tahun 1972, Surat Keputusan Menteri Keuangan No. KEP261/MK/IV/5/1973, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 5/9 tanggal 23 Juni 1972, telah diterima menjadi ajaran hukum
yang tetap oleh beberapa putusan Mahkamah Agung yang sudah
diterapkan secara berulang-ulang berdasarkan yurisprudensi No.
2958 K/Pdt/1983 tanggal 15 April 1985 (jis. yurisprudensi No. 641
K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, dan yurisprudensi No. 1750
K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981), yang menegaskan:
"Dengan tidak dipenuhinya laporan kepada Bank Indonesia dan
Menteri Keuangan merupakan suatu pelanggaran hukum, sehingga
perjanjian yang melanggar peraturan pemerintah tersebut adalah
perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum apapun."
Pemenuhan kewajiban penerapan pelaporan secara mutlak
"lex specials derogat legi generali" sebagai kaidah hukum positif
yang berlaku di wilayah Republik Indonesia, secara tegas dan nyata
kewajiban tersebut oleh Termohon Kasasi III sebagai badan hukum
swasta asing telah disangkal dan dikesampingkan penerapannya
lewat dua kali pengakuan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Barat yang memeriksa dan memutus perkara No.
15/Pdt/Bth/1991/PN.JKT.BAR.
Duplik tanggal 01 Desember 1992 menyatakan: "...
ketentuan Pasal 17 yang menyatakan bahwa perjanjian ini tunduk
kepada hukum yang belaku di Hongkong. Sedangkan menurut
ketentuan hukum di Hongkong tidak ada ketentuan untuk
melaporkan..."; dan kesimpulan tanggal 08 April 1993, yang
menyatakan: "Sementara itu, menurut hukum yang berlaku di
Hongkong tidak ada kewajiban untuk melapor seperti itu, i.c. ke
Bank Indonesia."
Adalah
jelas
merupakan
suatu
penghinaan
dan
kesewenangan terhadap kaidah hukum yang berlaku di Republik
Indonesia.
Sehingga
dengan
demikian
sudah
sepatut
dan
sepantasnya terhadap Termohon Kasasi III yang sama sekali tidak
mau mengakui eksistensi hukum positif yang berlaku di wilayah
Republik Indonesia akan tetapi mau membuat hubungan hukum
dengan melibatkan subyek dan obyek di dalam wilayah Indonesia,
oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara secara
bertimbalbalik haruslah ikut dikesampingkan juga segala eksistensi
keabsahan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan semua
perjanjian accesoirnya, karena Termohon Kasasi III secara tegas
telah membuat perjanjian kredit yang cacat hukum, yaitu dengan
sengaja tidak menghormati hukum yang berlaku di Republik
Indonesia (di bawah hukum yang berlaku di Hongkong).
Berdasarkan dengan tidak dipenuhinya syarat, maka sebagai
konsekuensi yuridis kami mohon kepada majelis hakim yang
memeriksa dan memutus perkara berdasarkan ketentuan umum:
Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata: “Suatu perjanjian harus
mempunyai tujuan yang diperbolehkan/sebab yang halal”; Pasal
1335
KUHPerdata:
“Perjanjian
yang
tujuan/sebab
tidak
diperbolehkan tidak mempunyai kekuatan hukum”; Pasal 1337
KUHPerdata: ”Suatu sebab adalah terlarang apabila persetujuan
itu melanggar undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan
dan ketertiban umum”; dan Pasal 1339 KUHPerdata: “Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang,”menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum apapun juga Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: "Perjanjian
Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit" dengan kuasa untuk
memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan
(Borgtocht) No. 170, karena perjanjian tersebut mengandung kausa
yang terlarang, yaitu dalam hal ini perjanjian tersebut tidak
mempunyai tujuan yang diperbolehkan oleh undang-undang
(melawan hukum) yang ada di wilayah Republik Indonesia.
Karena sudah jelas perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok
yang dibuat antara Termohon Kasasi III dengan Pemohon Kasasi II
adalah perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena
mengandung kausa/sebab yang terlarang karena perjanjian kredit
tersebut yang dibuat sebagai perikatan pokok yang dengan segala
akibat hukumnya tunduk kepada domisili dan yurisdiksi hukum
negara Hongkong dengan sengaja mengesampingkan kaidah-kaidah
hukum positif di wilayah Republik Indonesia (Pasal 1320 ayat (4)
KUHPerdata jo. Pasal 1173 KUHPerdata), maka secara otomatis
dengan sendirinya tidak mungkin terdapat suatu perjanjian
pemberian jaminan yang bersifat accesoir yang sah berdasarkan
Pasal 1821 ayat (1) KUHPerdata, yang menentukan: "Tidak mungkin
ada pemberian jaminan jika tidak ada suatu perjanjian pokok yang
sah," apalagi sesungguhnya berdasarkan bukti yang ada telah terjadi
kekacauan hukum tidak diketahui perjanjian accesoirnya yang
mengikat. Dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya apabila
Pemohon Kasasi I sebagai penjamin hutang mendapatkan kembali
haknya berupa seluruh agunan dari perjanjian kredit yang dilakukan
oleh Termohon Kasasi III dengan Pemohon Kasasi II, dan Pemohon
Kasasi II sudah sepatutnya terbebas menurut hukum atas hutanghutang tersebut karena hutang tersebut dibuat atas dasar perjanjian
kredit yang bertentangan dengan hukum/kepentingan nasional
Republik Indonesia (melawan hukum), dan bahkan perjanjian kredit
tersebut tidak pernah disetujui dan dilaporkan kepada Bank
Indonesia dan Menteri Keuangan (jis yurisprudensi No. 641
K/Pdt/1983 tanggal 27 Juni 1996, yurisprudensi No. 2958
K/Pdt/1983 tanggal 11 April 1985, dan yurisprudensi No. 1750
K/Sip/1976 tanggal 10 Desember 1981).
Karena Termohon Kasasi III secara sengaja dan sepihak
telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengingkari
terhadap isi perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani bersama
yang dituangkan dalam Akta No. 166 Notaris Mudafir Hadi
berbentuk Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit,
dengan tanpa diperjanjikan sebelumnya secara sepihak dan
sewenang-wenang mengalihkan pengurusan piutangnya kepada
pihak ketiga (Termohon Kasasi II dan Termohon Kasasi I),
sementara kejelasan mengenai piutangnya sendiri masih diproses
dalam perkara yang hingga saat ini belum memiliki kekuatan hukum
yang tetap dan pasti, maka jelaslah dipandang dari sisi kaca mata
hukum yang berlaku di Indonesia, perbuatan para Termohon Kasasi
adalah perbuatan yang telah beritikad buruk yang bertentangan
dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, di mana ditegaskan:
"Suatu perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang
bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda) dan bagi
pihak ketiga harus menghormati dan tidak mencampuri isi
perjanjian yang telah ditetapkan oleh para pihak.”
Karena sesungguhnya hubungan hukum dalam perjanjian
kredit yang melawan hukum hanya melibatkan para Pemohon
Kasasi dengan Termohon Kasasi III saja di Hongkong (Pasal 17 dan
Pasal 6 ayat (1) Akta No. 166), dan Termohon Kasasi II maupun
Termohon Kasasi I sama sekali tidak dapat membuktikan telah
memperoleh hak pengalihan pengurusan piutang apalagi menagih
berdasarkan atas dasar hukum dan bukti-bukti yang sah, dan terlebih
perjanjian kredit beserta accesoirnya telah terbukti adalah perjanjian
yang bertentangan dengan hukum positif dan praktek hukum di
Republik Indonesia (Pasal 23 AB, Pasal 1320 ayat (4), Pasal 1335,
1337, dan 1339 KUHPerdata), dan di mana secara tegas sudah
dikesampingkan oleh Termohon Kasasi III hukum positif tersebut
lewat pengakuannya di hadapan pengadilan, maka kami mohon
kepada majelis Hakim yang terhormat agar mengedepankan
perlindungan hukum terhadap kepentingan nasional Republik
Indonesia demi mencegah dengan sewenang-wenang dirampasnya
harta-harta nasional Republik Indonesia di kemudian hari oleh
bangsa
asing
manapun
juga
dengan
berusaha
melakukan
penyelundupan hukum di wilayah negara Republik Indonesia sendiri
dengan melibatkan keburukan moral oknum aparat-aparat negara
sendiri untuk berkonspirasi membantu kepentingan keuangan pihak
swasta/private asing dengan menyelundupkan hukum mencampuri
perjanjian utang-piutang off shore loan antar badan hukum swasta
diartikan sebagai piutang negara, di dalam wilayah Republik
Indonesia untuk menjarah rakyatnya sendiri.
Berdasarkan Undang-Undang No. 49/Prp. Tahun 1960 cara
penyelesaian piutang negara menurut Undang-Undang tentang
Panitia Urusan Piutang Negara harus dilakukan dengan: Memuat
jumlah hutang dan kewajiban debitur yang besarannya telah pasti
menurut hukum untuk menyelesaikan hutang kepada negara (Pasal 4
ayat (2)); dan Mengadakan Surat Pernyataan Bersama yang dibuat
dan ditandatangani oleh Debitur dan Ketua PUPN/BUPLN.
Pernyataan Bersama ini memuat jumlah hutang debitur dan
kewajiban debitur untuk menyelesaikan hutang kepada negara (Pasal
10).
Dengan belum diperolehnya kepastian hingga saat ini
legalitas jumlah dan kewajiban debitur yang besarnya telah tetap
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
dan pasti, dan dalam penagihan piutang yang saat ini dalam sengketa
PUPN/BUPLN
sama
sekali
belum
pernah
membuat
Surat
Pernyataan Bersama, terlebih berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang
No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, secara
tegas pengertian bentuk usaha-usaha negara berbentuk perusahaan,
sehingga menjadi kewenangan Termohon Kasasi I berdasarkan
Undang-Undang No. 49/Prp Tahun 1960, hanya dibedakan terbatas
hanya dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan),
Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero),
namun berdasarkan pengakuan tertulis Termohon Kasasi II sendiri
dalam Jawabannya tanggal 22 Agustus 2005,
secara tegas
menyatakan dan mengakui bahwa Termohon Kasasi III sama sekali
adalah badan hukum private/swasta asing yang "...didirikan dan
tunduk
pada
ketentuan
hukum
Hongkong,
berdomisili
di
Hongkong..." (bukan sebagai subyek hukum Indonesia, apalagi
dikelompokkan sebagai lembaga/perusahaan negara), sehingga
dengan demikian sejak awal pengurusan piutang oleh Termohon
Kasasi I tidak lagi memiliki relevansi dengan tugas dan wewenang
Termohon Kasasi I sebagai badan publik untuk melakukan
pengurusan, terlebih hubungan hukum antara para Pemohon Kasasi
dengan Termohon Kasasi III adalah hubungan hukum antar badan
hukum privat dalam negeri dan badan hukum privat luar negeri,
yang tidak dapat dicampuri begitu saja dengan melakukan
penyelundupan hukum di dalam wilayah Republik Indonesia dengan
melibatkan Negara Indonesia sendiri untuk bertindak menguasai
aset-aset rakyat dalam negerinya sendiri (debt collector) bagi
kepentingan keuangan kreditur swasta luar negeri yang tidak
mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia.
Karena pengalihan piutang sewenang-wenang dari Termohon
Kasasi III kepada Termohon Kasasi II bertentangan dengan hukum
yang berlaku di Republik Indonesia dan terdapatnya cacat hukum,
maka penyerahan pengurusan penagihan piutang dari Termohon
Kasasi II kepada Termohon Kasasi I secara mutatis mutandis juga
mengandung cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum,
terlebih berdasarkan bukti yang ada penyerahan piutang tersebut dari
Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I diragukan secara
yuridis dan faktual pernah terjadi.
Jelas dan tegas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
para Termohon Kasasi adalah perbuatan sewenang-wenang yang
tidak berdasar hukum dan sangat merugikan Pemohon Kasasi II,
maka perbuatan mereka jelas dan nyata sebagai perbuatan yang
melawan hukum (onrechtmatige daad) dengan segala akibat hukum
dari padanya, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1365
KUHPerdata.
Oleh karena Pemohon Kasasi II adalah Badan Hukum yang
memerlukan kredibilitas yang baik di mata masyarakat umum, maka
dalam menanggapi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
para Termohon Kasasi, telah mengakibatkan kerugian waktu, biaya,
dan tenaga bagi Pemohon Kasasi I, oleh karena itu adalah wajar
apabila terhadap perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan
hukum overheasdaad (jo Pasal 1365 KUHPerdata).
Putusan Judex Facti memuat alasan yang tidak lengkap atau
kurang cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd), sehingga
demi hukum patutlah untuk dibatalkan. Judex Facti s.o.r dalam
menyidangkan perkara ini secara nyata telah lalai memenuhi syaratsyarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam
kelalaian
itu
dengan
batalnya
putusan
yang
bersangkutan, sesuai dengan bunyi Pasal 30 huruf c Undang
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan perubahannya UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung karena
Majelis Hakim yang memutus perkara ini di tingkat Pengadilan
Negeri yang kemudian diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, dalam
pertimbangan-pertimbangannya sama sekali tidak menyebutkan
pasal-pasal maupun peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum penolakan gugatan Pemohon Kasasi II secara tegas dan
jelas (Vide. SEMA No. 3 Tahun 1974), sebagaimana terlihat dalam
pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt.
G/2005/PN. Jkt. Pst. "Menimbang, bahwa memperhatikan segala
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara
ini."
Majelis
Hakim
dalam
memberikan
pertimbangannya
seharusnya secara tegas mencantumkan peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum putusan tersebut memuat
segala alasan hukum yang menyebabkan putusan mempunyai nilai
obyektif dan selaras dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.
51 K/Sip/1972 tanggal 25 Maret 1972: "Tiap bagian dari pada
putusan
pengadilan
harus
didasarkan
pada
pertimbangan-
pertimbangan hukum yang bersangkutan." Dengan tidak disebutkan
peraturan perundang-undangan yang pasti dalam keputusannya,
maka Majelis Hakim dianggap telah lalai memenuhi syarat-syarat
yang tercantum dalam Pasal 184 HIR (jis. Pasal 178 ayat (1) HIR,
Pasal 50 Rv) tentang sistematika surat putusan, dengan ancaman
batalnya putusan yang bersangkutan.
Pemohon Kasasi II s.o.r keberatan terhadap Judex Facti
Pengadilan Tinggi Jakarta yang begitu saja menyetujui dan
mengambilalih pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
sebagai pertimbangan hukum dan amar putusannya dalam
memeriksa dan mengadili perkara ini Tingkat banding, atas dasar
pertimbangan putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama sudah tepat
dan benar, tanpa memeriksa kembali keseluruhan bukti-bukti dan
fakta-fakta persidangan, baik fakta kejadian (feitelijke) maupun fakta
hukum (rechtelijke), dan tanpa mempertimbangkan memori banding
secara keseluruhan dengan benar, melainkan hanya dengan dasar
pertimbangan seadanya saja dan bersifat umum, sebagaimana
terlihat
di
dalam
pertimbangan
hukum
putusan
Nomor
371/PDT/2006/ PT.DKI. "Menimbang, bahwa setelah Pengadilan
Tinggi mencermati dengan seksama berkas perkara, salinan resmi
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110/Pdt. G/2005/PN.
JKT. PST., Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbanganpertimbangan hukum hakim tingkat pertama dalam memutus perkara
in casu, karenanya pertimbangan- pertimbangan hukum hakim
tingkat pertama tersebut diambilalih sebagai pertimbangan hukum
Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara in casu di tingkat
banding. Menimbang, bahwa memori banding yang diajukan para
pembanding ternyata tidak ada hal-hal yang baru yang dapat
melemahkan putusan hakim tingkat pertama."
Adalah jelas pertimbangan hukum yang keliru, sehingga
demi hukum patutlah untuk dibatalkan karena tidak sejalan dan
sangat bertentangan dengan. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
No. 1043 K/Sip/1972 tanggal 30 November 1972, yang menyatakan:
"Dengan diajukan permohonan banding oleh pemohon, maka
perkara demi hukum harus diperiksa dalam keseluruhan."
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 672 K/Sip/1972 tanggal 18
Oktober 1972 yang menyatakan: "Putusan Pengadilan Tinggi harus
dibatalkan karena kurang cukup pertimbangan."
Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No. 492 K/Sip/1970 tanggal 16 Februari 1970
yang menyatakan: "Pertimbangan Pengadilan Tinggi hanya
mengenai soal mengenyampingkan keberatan-keberatan yang
diajukan dalam memori banding dan selanjutnya dengan tidak
memeriksa baik mengenai fakta-faktanya maupun mengenai soal
penerapan hukumnya terus saja menguatkan putusan Pengadilan
Negeri begitu saja, hal mana menurut pendapat Mahkamah Agung
selain kurang tepat juga kurang cukup memberi dasar (onvoldoende
gemotiveerd) untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri."
Karena Memori Kasasi ini diajukan berdasarkan hukum dan
bukti-bukti yang otentik yang tidak terbantah kebenarannya karena
sudah diakui sendiri oleh Termohon Kasasi Ill dan Termohon Kasasi
II di hadapan pengadilan sehingga memenuhi Pasal 180 HIR dan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000.
Karena adanya kekhawatiran selama perkara ini berlangsung
Termohon Kasasi I atas permintaan Termohon Kasasi II beritikad
buruk akan melakukan eksekusi dan menguasai atas aset-aset milik
Pemohon Kasasi I sehubungan dengan Perjanjian Hutang Piutang
antara Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III, padahal
dengan Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA/198/XII/1991
tanggal 12 Desember 1991 telah menangguhkan eksekusi atas asetaset para Pemohon Kasasi tersebut, maka sangatlah beralasan hukum
putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu
(uitvoorbaar bij voorraad).
Pemohon Kasasi II untuk selebihnya bertetap pada dalil-dalil
semula dan menolak seluruh dalil-dalil para Termohon Kasasi
kecuali yang secara tegas diakui kebenarannya.
Terhadap
alasan-alasan
tersebut
Mahkamah
Agung
berpendapat: Alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena
Judex Facti tidak salah menerapkan hukum. Menurut MA
pengalihan piutang dari Tergugat III ke Tergugat II kemudian
dialihkan ke Tergugat I tidak menyalahi ketentuan yang berlaku
sesuai dengan Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 karenanya
pada Tergugat I, II, dan III tidak melakukan perbuatan melawan
hukum.
Alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena mengenai
penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu,
kenyataan
hal
mana
tidak
dapat
dipertimbangkan,
dalam
pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
Ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Sino
Sandjaya dan kawan tersebut harus ditolak.
Karena permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi
ditolak, maka para Pemohon Kasasi dihukum membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini. Memperhatikan pasal-pasal dari
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan. Mengadili: Menolak permohonan
kasasi dari para Pemohon Kasasi: 1. Sino Sandjaja dan 2. PT. Sedjati
Internusa Overseas, tersebut; dan menghukum para Pemohon
Kasasi/para Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini sebesar lima ratus ribu rupiah.
3.1.e. Putusan Nomor 1695 K/Pdt/1984
Kasus dalam putusan ini terjadi antara Wilopo Tjakradinata v
Th. J. Korzaan (warga negara Belanda). Kaedah dalam putusan ini
secara tegas menyatakan bahwa: “Perjanjian antara Warga Negara
Indonesia dengan orang asing tidak dapat begitu saja diperlakukan
bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah Indonesia.”
3.1.f. Putusan Nomor 641 K/Pdt/1993
Kaedah dalam putusan ini secara tegas menyatakan bahwa:
“Perjanjian antara Warga Negara Indonesia dengan orang asing
tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang
obyeknya berada di wilayah Indonesia.”
Dalam Putusan MA RI No. 641.K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni
1993, MA RI memutuskan bahwa grosse akte hipotek dengan irahirah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, tentang eksekusinya tidak selalu dengan
sendirinya harus dikabulkan oleh pengadilan, apalagi kalau masalah
kreditnya masih merupakan kredit bermasalah, sebab secara
bersamaan debitur mengajukan gugatan terhadap kreditur untuk
membatalkan credit agreement yang pernah dibuat. Eksekusi grosse
akte
hipotek
ditunda/ditangguhkan
sampai
adanya
putusan
berkekuatan hukum tetap atas gugatan perdata tentang sah tidaknya
credit agreement, karena hipotek yang dipasang adalah accessoir
terhadap credit agreement tersebut.
Dalam putusannya No. 641.K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni
1993, MA RI membuat keputusan yang cukup kontroversial
mengenai eksekusi grosse akte hipotek yang diajukan oleh sebuah
bank asing (kreditur). MA RI memutuskan bahwa permohonan
eksekusi grosse akte hipotek yang diajukan kreditur harus ditunda
dulu dikarenakan pihak debitur pada saat yang bersamaan
mengajukan gugatan perdata biasa kepada kreditur untuk
membatalkan “credit agreement”. Penetapan eksekusi hipotek harus
ditunda sampai ada putusan yang berkekuatan pasti atas gugatan
perdata mengenai sah tidaknya credit agreement yang diajukan oleh
debitur. Keputusan ini sempat memicu wacana ketidakpastian
hukum di Indonesia dan menyebabkan bank-bank asing enggan
untuk mengucurkan dananya kepada investor dalam negeri, karena
ketiadaan jaminan untuk mendapatkan uangnya kembali. Dengan
keputusan MA RI ini kita dapat berasumsi bahwa untuk mencegah
eksekusi grosse akte cukup dilakukan dengan mengajukan gugatan
perdata terhadap kreditur dengan dalil bahwa perjanjian kredit tidak
sah (meskipun uang pinjaman sudah diterima).4
3.2. Kaedah Hukum Status Orang Asing dalam Putusan
Pengadilan Skotlandia
4
Ahmad Fikri Assegaf dan Elijana Tanzah, Penjelasan Hukum tentang Grosse
Akte, Diterbitkan pertama kali oleh Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 201,
hlm. 130.
3.2.a. Putusan Ertel Bieber & Co v. Rio Tinto Company, Limited5
Pemohon adalah perusahaan Jerman yang menjalankan
bisnis di Hamburg dan di tempat lain di Jerman. Responden atau
termohon sebuah perusahaan Inggris yang memiliki tambang besar
di Spanyol.
Tergugat menandatangani dua kontrak sebelum perang tahun
1910 dan 1913 untuk pasokan bijih belerang yang mengandung
tembaga. Bijih itu harus dikirim dari Spanyol dan dikirim ke
pemohon tersebut di Rotterdam, Hamburg, Stettin, dan pelabuhan
benua lainnya. Pecah perang antara Inggris dan Jerman pada 1
Agustus 1914, beberapa bijih bawah kontrak pertama tetap tidak
terkirim, dan seluruh kontrak kedua telah ditunaikan. Setiap kontrak
berisi ayat (15) menyediakan bahwa jika, karena pemogokan,
perang, atau penyebab lainnya di luar kendali responden, responden
dicegah pengiriman atau pengiriman ke pemohon, kewajiban untuk
kapal atau memberikan diskors selama kelanjutan hambatan dan
untuk waktu yang wajar setelah; dan ayat yang berisi ketentuan yang
sesuai dalam mendukung para pemohon, menangguhkan kewajiban
mereka untuk menerima. Ada juga klausul arbitrase.
5
Dapat dibaca dalam William Finlayson Trotter, The Law of Contract During and
After War: with Leading Cases, Statutes, and Proclamations, Third Edition,
London and Edinburgh, William Hodge & Company, 1919, hlm. 423-426.
Dalam kasus kedua dan ketiga kontrak yang sifatnya serupa.
Masing-masing berisi klausul ketegangan yang sama; tetapi mereka
dibuat di Jerman, dan itu harus tunduk pada hukum Jerman. Mereka
menyediakan juga bahwa sengketa di bawah kontrak itu harus
diselesaikan melalui arbitrase.
Responden membawa tindakan terhadap beberapa pemohon
di bawah Proceedings Against Enemies Act, 1915, mengklaim
bahwa kontrak yang dibatalkan oleh perang. Sankey, J., memberikan
penilaian untuk responden dalam setiap kasus, dan keputusannya itu
ditegaskan oleh Pengadilan Tinggi.
The House of Lords menolak banding. Hakim menyatakan,
asumsi bahwa klausul ketegangan menutupi kasus perang antara
Inggris dan Jerman, kontrak itu batal karena bertentangan dengan
kebijakan publik karena ketidakcakapan untuk kepentingan musuh;
dan bahwa, terlepas dari klausul itu, kontrak dilarutkan dengan
pecahnya perang, karena mereka terlibat perdagangan dengan
musuh.
Mengenai kontrak kedua dan ketiga, Hakim menyatakan
bahwa dengan tidak adanya bukti sebaliknya, anggapan adalah
bahwa hukum Jerman adalah sama dengan hukum Inggris; dan
bahwa, dengan asumsi bahwa kontrak ini adalah sah menurut hukum
Jerman, pertanyaan apakah mereka batal karena bertentangan
dengan kebijakan publik jatuh ditentukan oleh hukum Inggris.
Hakim Dunedin mengatakan bahwa proposisi hukum yang
menjadi dasar putusan Pengadilan bawah didasarkan adalah bahwa
keadaan perang mengakhiri semua kontrak yang telah dijalankan
untuk kinerja lebih lanjut mereka diperlukan hubungan komersial
dengan musuh. Dia setuju dengan Pengadilan Tinggi di dalam kasus
Robson v. Premier Oil and Pipe Line Company, [1915] 2 Ch v.. 124.
Dalam putusan tersebut, kaedah yang tidak boleh berhubungan
dengan musuh tidak terbatas pada hubungan komersial. Banyak
putusan bahwa perang tidak larut semua kontrak, tetapi hanya
seperti pengangkutan. Tapi Esposito v Bowden, 7 E. & B. 763.,
Telah diselenggarakan sebagai berurusan dengan kontrak pada
umumnya. Ada, memang, tidak ada proposisi umum seperti bahwa
keadaan perang menghindari semua kontrak dengan musuh. Hak
yang masih harus dibayar tidak terpengaruh, meskipun hak
menggugat dihentikan. Ada kontrak tertentu, terutama yang yang
benar-benar seperti hak properti, yang, bahkan sejauh telah
dilaksanakan, tidak dibatalkan. Salah satu contoh seperti dapat
ditemukan dalam kasus Halsey v. Lowenfeld, [1916] 2 KB 707,
kontrak dari pemilik dan penyewa. Kontrak yang dibatalkan harus
baik melibatkan hubungan dengan musuh atau keberadaannya
menyangkut kebijakan publik sebagaimana ditetapkan dalam kasus
yang diputuskan. Jika kontrak tersebut telah tidak mengandung
klausul selain yang berkaitan dengan tanggal pengiriman, akan
segera
mengikuti
bahwa
mereka
dibubarkan,
sejauh
tidak
dilaksanakan sebelum pecahnya perang.
Dalam klausa ketegangan, efek dari itu menghapus dari
kontrak semua yang dilakukan dengan musuh. Tetapi hakim
Pengadilan bawah mengatakan bahwa ada tugas lain berdasarkan
kontrak selain pengiriman, yang masih tetap dan mensyaratkan
hubungan dengan musuh. Misalnya, dengan klausul 12, dimana
pembeli yang menyatakan secara tertulis selambat-lambatnya 1
Januari setiap tahunnya jumlah total denda dan benjolan terpisah
yang mereka diinginkan disampaikan pada tahun itu. Berikut
menyangkut kuantitas masing-masing ukuran.
Meskipun perang disebutkan dalam klausul tersebut, beliau
tidak berpikir bahwa itu termasuk perang antara Inggris dan Jerman.
Inggris atau Jerman mungkin menjadi salah satu pihaknya. Itu tidak
perlu untuk memutuskan pertanyaan ini, karena alasan sederhana
bahwa responden di sini terlibat dalam dilema. Entah perang, yaitu
untuk menunda pengiriman, tidak termasuk perang antara Inggris
dan Jerman, dalam hal klausul tidak berlaku, atau jika itu berarti
perang seperti itu, maka, dalam pandangan beliau itu, klausul itu
batal seperti terhadap kebijakan publik.
Keputusan dalam The "Hoop" 1 Ch Rob 196; Furtado v
Rogers, 3 Bos & P. 191; Esposito v Bowden, 7 E. & B. 763,
kebijakan publik terkait kelangsungan hubungan kontrak dengan
musuh, yang (1) memberikan kesempatan untuk penyampaian
informasi yang mungkin merugikan pelaksanaan perang, atau (2)
mungkin cenderung untuk meningkatkan sumber daya musuh atau
melumpuhkan sang Raja, menjengkelkan dan dilarang oleh hukum
Inggris. Dia baik untuk menjaga stok besar tertentu tidak ingin dari,
dan dengan demikian tidak tersedia untuk kebutuhan kerajaan, atau,
jika ia menjual seluruh saham ini, dia tidak bisa menjual ke depan
karena ia akan mampu untuk dilakukan jika ia tidak memiliki
permintaan besar di bawah kontrak yang akan datang. Ini
meningkatkan sumber daya musuh, karena jika musuh tahu bahwa
jika ia kontrak yakin mendapatkan pasokan secepat perang usai,
yang tidak hanya memungkinkan dia untuk menggunduli dirinya
saham ini, tapi itu mewakili nilai yang mungkin diwujudkan dengan
cara penugasan ke negara-negara netral. Klausa karena itu batal
karena melawan kebijakan publik.
Lord Atkinson, Lord Parker, dan Lord Sumner memberikan
penilaian agak mirip. Lord Dunedin, dengan mengacu pada banding
kedua dan ketiga, mengatakan bahwa fakta menjadi kontrak Jerman
mereka tidak material. Pengadilan Jerman tidak dapat menentukan
dengan cara seperti untuk mengikat seorang Inggris di Pengadilan
Inggris yang kontrak dengan klausul seperti itu tidak bertentangan
dengan kebijakan publik Inggris, dan karena itu mengikat subjek
bahasa Inggris.
Lord Atkinson, Lord Parker, dan Lord Sumner setuju. Lord
Parker
mengatakan
bahwa
almarhum
Bapak
Westlake
menyimpulkan hukum dalam hal ini, "Di mana konflik kontrak
dengan apa yang dianggap di Inggris menjadi kepentingan publik
atau moral yang penting, itu tidak bisa ditegakkan di sini, meskipun
itu
mungkin
benar
dengan
yang
hukum
yang
tepat."6.
[Kontrak penjualan barang yang dibuat sebelum perang dengan
6
Hukum Perdata Internasional, 4th ed., Bagian 215
pihak, yang kemudian menjadi musuh, dilarutkan dengan demikian
di mana melibatkan hubungan apapun dengan musuh.
3.2.b. Putusan Gebruder Van Uden v. Burrell7
Para penggugat adalah perusahaan yang terdiri dari dua
mitra, J. & C. van't Hoff, yang tinggal dan menjalankan usahanya di
Rotterdam; dan mereka menggugat tergugat, seorang pemilik kapal
Glasgow, sehubungan dengan transaksi penyewaan 1907. Aksi ini
awalnya dibesarkan di Glasgow Sheriff Court pada tahun 1913; dan,
menjamin untuk menangkap pada ketergantungan yang telah
diberikan, pengejar ditangkap di tangan dua tahanan jumlah milik
tergugat dan sebesar 2.850 Poundsterling. Seluruh Penyebab
akhirnya dipindahkan ke Pengadilan Sidang pada tahun 1915, dan
datang sebelum Divisi Pertama pada catatan reklamasi dari teman
bicara Hakim Biasa (Ormidale). Ternyata ada dua perusahaan lain
yang disebut Gebruder van Uden, satu tercatat di bisnis di Duisberg
dan terdaftar di bawah hukum Jerman, dan yang lainnya
menjalankan usaha di Antwerp dan terdaftar di bawah hukum
Belgia. Kedua perusahaan yang independen dari perusahaan
Rotterdam; tetapi J. & C. van't Hoff adalah individual tertarik pada
7
Ibid., hlm. 254-256.
masing-masing perusahaan tersebut, meskipun mereka bukan
pemilik atau mitra tunggal di salah satu dari mereka. Divisi Pertama
diadakan bahwa pengejar, yang diakui adalah mitra dalam sebuah
perusahaan Jerman di Jerman, adalah musuh asing yang tidak bisa
didengar dalam setiap proses di Pengadilan Skotlandia yang mereka
sendiri digerakkan. Oleh karena itu, Mahkamah menindak dan
mengingat putusan-putusan.
Hakim Presiden (Lord Strathelyde) mengatakan bahwa
pengejar itu, menurut pengakuannya sendiri, musuh asing, karena
mereka menjalankan usaha di Jerman. Oleh karena itu mereka
adalah orang-orang kepada siapa tergugat bisa membuat tidak ada
pembayaran selama perang, dan kepada siapa ia bisa tidak
memberikan keamanan apapun apapun. Mereka adalah orang-orang
yang tidak bisa menegakkan hak-hak sipil mereka dengan
menerapkan bantuan Majesty's Courts of Law-nya. Proposisi bahwa
musuh (orang asing) tidak bisa menuntut beristirahat, seperti Lord
Justice Buckley diamati dalam Kasus The Daimler Company's,
[1915] 1 KB 893, "pada proposisi bahwa semacam itu tidak bisa
mendekati Raja, dan tidak dapat meminta bantuan dari Raja.
Mahkamah Raja Pengadilan. Musuh asing tidak dapat datang ke
Pengadilan itu atau mendapatkan bantuan dari Pengadilan itu,
karena Pengadilan adalah, untuk tujuan peradilan, Raja duduk di
Pengadilan, dan musuh asing tidak bisa mendekatinya."
Prinsip yang mendasari Trading with the Enemy Acts and
Proclamations adalah kebijakan publik, yang melarang tindakan
yang akan atau mungkin untuk keuntungan Negara musuh dengan
meningkatkan kapasitasnya untuk memperpanjang permusuhan,
dalam menambah kredit, uang, barang, atau lainnya sumber daya
yang tersedia untuk individu di Negara musuh8. Tindakan ini
dibesarkan di contoh sebuah perusahaan bernama Gebruder van
Uden, yang dirancang sebagai pemilik kapal, dan menjalankan
usahanya di Rotterdam. Satu-satunya mitra adalah Bapak J. van't
Hoff dan putranya, Mr C. van't Hoff, keduanya tinggal di Rotterdam.
Mereka adalah pengejar aksi. Jika mereka berhasil, mereka akan
memulihkan jumlah lebih dari 1400 Poundsterling, setiap sen yang
akan masuk ke kantong mereka; dan sementara mereka mengadakan
keamanan atas aset Inggris untuk pemulihan utang itu.
Aksi ini dibesarkan dalam nama perusahaan; tapi itu tidak
penting. Mungkin sama baiknya telah dibesarkan dalam nama J.
8
Lihat pengamatan Willes, J. di Esposito v. Bowden, 1867, 7 E. & B. 763.
van't Hoff dan C. van't Hoff, sebagai mitra perusahaan itu dan
sebagai individu. Mereka adalah orang-orang yang diarahkan dan
dikontrol litigasi, dan yang hanya tertarik di dalamnya.
Para pengejar mengakui bahwa ada di Duisberg, Jerman,
sebuah perusahaan yang menjalankan usaha dengan nama Gebruder
van Uden, dan bahwa mereka tertarik di dalamnya individual,
meskipun mereka bukan satu-satunya mitra dalam usaha tersebut. Ini
menandakan tidak ada yang bermitra dengan mereka; karena jika
pengejar merupakan mitra dalam usaha yang dijalankan di Duisberg,
Jerman, kemudian mereka melakukan usaha di negara musuh dan
musuh asing dalam arti the Trading with the Enemy Act and Royal
Proclamation. Mereka tidak punya hak untuk meminta bantuan
Pengadilan untuk menegakkan hak-hak sipil mereka. Karena mereka
musuh asing, proses tersebut harus selesai sampai akhir perang.
Ini tentu diikuti bahwa putusan pengadilan harus diingat. Itu
benar bahwa mereka meletakkan dan keamanan sehingga diberikan
diperoleh sebelum pecahnya perang; tapi itu sama-sama yakin
bahwa setelah pecahnya perang mereka tidak bisa mendapatkan
keamanan ini atas aset dan properti tergugat. Mereka tidak bisa
mempertahankan atau menjaga keamanan selama aset negara Inggris
yang mereka tidak bisa sekarang mendapatkan. Mereka tidak
diizinkan untuk mengambil langkah apapun untuk pemulihan utang
mereka di Majesty's Courts, dan tidak ada langkah yang bisa
membuat lebih yakin bahwa utang mereka akan pulih dari untuk
mengadakan keamanan yang baik untuk pembayaran itu. Mereka
hanya bisa mempertahankan bahwa keamanan dengan bantuan
Majesty's Courts, yang memiliki kekuatan untuk mengingat putusanputusan terkait. Ini akan menjadi pelanggaran langsung terhadap
roh, jika bukan dari surat itu, dari Trading with the Enemy Acts and
Proclamations jika Pengadilan tidak ingat putusan-putusan terkait.
Lord Skerrington dan Lord Anderson menyampaikan
pendapat kepada efek yang sama. Yang pertama menunjukkan
bahwa pengejar tidak hanya pemegang saham di dua perusahaan
saham gabungan, yang merupakan perusahaan yang di bawah
hukum Jerman dan lain menurut hukum Belgia. Mereka mengakui
bahwa mereka merupakan mitra dalam dua bisnis tersebut.
3.2.c. Putusan Schulze. Gow & Co. v. Bank of Scotland9
Dalam aksi ini, yang dibesarkan sebelum pecahnya perang
ini, mitra yang masih hidup satu-satunya perusahaan yang
9
Ibid., hlm. 465-466.
menggugat pembela untuk akuntansi mereka dengan dana dari
perusahaan, dimana keseimbangan yang benar karena perusahaan
mungkin dipastikan. Para pembela memohon, antara lain, tidak ada
judul untuk menuntut, karena pasangan hidup seperti itu musuh
asing.
Lord Hunter mengatakan bahwa dia tidak bisa memberi efek
permohonan ini. Meskipun pengejar itu subjek Jerman, ia telah lama
tinggal dan diperdagangkan di Skotlandia, dan telah sepatutnya
memenuhi ketentuan Undang-Undang Pembatasan Orang Asing
1914, dan Pesanan dibuat bawahnya. Dalam Janson v. Driefontein
Consolidated Mines, Limited, [1902] AC, di p. 505, Lord Lindley
mengatakan; "Ketika mempertimbangkan pertanyaan yang timbul
dengan musuh asing, itu bukan kebangsaan seseorang, tapi tempat
usahanya selama perang, yang penting." Kasus Princess Thurn and
Taxis v. Moffitt, [1914] WN 379, diterapkan.
3.2.d. Putusan Schaffenius v. Goldberg
Diadakan,
bahwa
pembatasan
yang
dikenakan
pada
pergerakan musuh asing oleh pengasingannya tidak membuatnya ex
lege asing, sehingga merampas dia dari hak-hak sipil yang ia miliki
sampai saat itu.10
Pada melanggar keluar dari perang, netral dan warga negara
berperang menentang umumnya diperbolehkan waktu yang wajar
untuk mundur. The Sarah Starr, Blatch. Pr. Ca. 650. Ketentuan ini
juga telah dimasukkan dalam banyak perjanjian antar negara.
Sekaligus ada penghentian seluruh semua hubungan komersial
dengan negara bermusuhan menentang, kecuali dalam kasus secara
commersia belli, kecuali dengan izin dari penguasa yang berdaulat.
Esposito Bowden, (1857) 7 E. & B. 762 v.; The Hoop, I Rob. Rep.
Adm. 196. Namun, izin dapat diberikan kepada subyek musuh untuk
tetap, dan jika diberikan, mereka dapat menikmati properti mereka.
Barat. Int. Hukum. Vol. II, p. 42. Dalam penegakan hak-hak sipilnya
musuh asing tersebut diperlakukan seolah-olah subjek negara di
mana dia, meskipun pada saat yang sama ia adalah subjek dari
musuh, tapi dia tidak bisa menegakkan hak-haknya untuk
kepentingan musuh. Janson v. Dreifonstein Cons. Mines, (1902)
10
Dapat dibaca dalam War-Trading with the Enemy. Civilian Prisoner of War.
Internment of Alien Enemy within Realm. Deprivation of Civil Rights. Schaffenius
v. Goldberg, 113 L. T. (Eng.) 949Author(s): J. McD. Source: The Yale Law
Journal, Vol. 25, No. 6 (Apr., 1916), p. 510. Published by: The Yale Law Journal
Company, Inc.Stable URL: http://www.jstor.org/stable/786472. Accessed:
15/01/2015 23:43.
Kasus Banding, HL 484. Tes ini tidak kebangsaan seseorang, tetapi
tempat usahanya. McConnell v. Hector, 3 B. & P. 113. Jika musuh
asing yang berada di negaranya sendiri haknya untuk menuntut di
pengadilan negara menentang ditunda, dengan yang terakhir, selama
perang. Howes, Hyatt & Co. v Chester & Co, 33 Ga 89.; Bell. v.
Chapman, 10 Johns. 183; Wilcox v. Henry, 1 US (Dallas) 69. Tetapi
jika ia menggugat ia dapat memanfaatkan dirinya dari segala cara
dan peralatan pertahanan. McVeigh v. U. S., II Wall. 259; Albrecht
Sussman, 2 V. & B. 322. Seorang musuh asing yang berada di
Amerika Serikat dengan izin kompeten untuk mempertahankan
tindakan pribadi. Otteridge v. Thompson, Fed. Cas. No 10, 618;
Clarke v. Morey, 10 Johns. 69; dan sama diadakan di Inggris
mengenai musuh asing yang berada di sana. Sparenburgh v.
Bannatyne, i B. & P. 163. Jadi diadakan bahwa orang asing yang
telah memenuhi Aliens Restriction Act, I914, 4 & 5 Geo. 5 c. I2,
mungkin memiliki akses ke pengadilan. Princess Thurn & Taxis v.
Moffitt, (1915) i Ch. 58. Dengan demikian pokok perkara benar
menyatakan bahwa selama dia diizinkan untuk tetap berada di
Inggris dengan izin dari Crown ia berada di bawah perlindungan dan
harus diizinkan untuk menggunakan hak sipilnya. Internirannya
tidak dengan sendirinya dapat dianggap telah diringkas mereka
dengan implikasi, karena tidak ada pemberlakuan mengungkapkan
hal tersebut.11
Penggugat adalah kelahiran Jerman, dan telah tinggal di
negara ini selama dua puluh dua tahun, dan telah melakukan bisnis
di sini selama waktu itu. Segera setelah pecahnya perang ini ia
mencatatkan dirinya di bawah ketentuan yang berlaku untuk
pendaftaran orang asing. Pada bulan Maret 1915, ia menandatangani
perjanjian keuangan dengan terdakwa, dan tidak ada dalam
perjanjian itu sendiri untuk menunjukkan bahwa itu selain sempurna
bebas dari keberatan. Sebuah sejumlah besar uang itu diakui karena
dari terdakwa kepada penggugat dalam perjanjian. Penggugat
diinternir pada bulan Juli 1915, dan tindakan ini dibesarkan di
September untuk pemulihan uang yang dipinjamkan oleh penggugat
dan ganti rugi atas pelanggaran kontrak. Satu-satunya titik yang
coba adalah apakah penggugat bisa mengambil tindakan apapun,
dengan memperhatikan pengasingannya. Younger, J., membuat
pernyataan bahwa kontrak antara penggugat dan tergugat tidak
11
Ibid.
terpengaruh oleh interniran penggugat, dan penggugat berhak
menuntut atas kontrak. Terdakwa mengajukan banding.12
Lord Cozens-Hardy, MR, mengatakan bahwa kasus Porter v.
Freudenberg, [1915] 1 KB 857, memutuskan bahwa untuk tujuan
perdagangan itu tidak kebangsaan seseorang yang menentukan
apakah ia adalah musuh asing. Memutuskan juga bahwa pendaftaran
dioperasikan sebagai lisensi oleh Crown kepada orang terdaftar
untuk tinggal di sini. Lisensi tersebut bisa, tentu saja, akan dicabut
oleh Crown, tapi tidak ada keadaan dalam hal ini yang dapat
diusulkan untuk satu saat menghasilkan bukti pencabutan, kecuali
itu adalah interniran, yang berlangsung pada bulan Juli, 1915. Ada
adalah titik baru yang diambil dalam kasus ini. Dikatakan bahwa,
meskipun pendaftaran memiliki efek izin dari Crown untuk tetap di
negeri ini, izin yang hanya berlangsung selama lisensi tidak
menganiaya mahkota dan tidak dianiaya oleh itu, dan itu jauh
berpendapat bahwa penggugat itu jelas dianiaya oleh yang magang
di Isle of Man. Sama sekali tidak ada otoritas untuk pertarungan ini.
Salah satu kewenangan diandalkan adalah Wells v. Williams, 1 Ld.
Raym. 283, 1 Salk. 46, namun ketergantungan ditempatkan pada
satu bagian saja yang bisa ditemukan dalam laporan Lord Raymond
12
William Finlayson Trotter, Op. Cit., hlm. 326-327.
kasus ini, dan tidak dalam laporan Salkeld itu. Kemudian ia
berpendapat bahwa tidak ada otoritas sama sekali untuk anggapan
penggugat, tapi bahwa ada otoritas menentangnya, karena telah
ditetapkan bahwa tahanan diinternir tidak bisa mengajukan
permohonan surat perintah habeas corpus (Rex v. Superintendent of
Vine Street Police Station, ex Parte Liebmann, [1916] 1 KB 268).
Tapi ini adalah pertanyaan yang sangat berbeda dari kasus itu.
Beliau berpikir bahwa Sparenburgh v. Bannatyne, 1 Bos. & P. 163,
adalah otoritas mendukung pandangan bahwa penggugat bisa
menuntut. Banding harus diberhentikan.13
Bankes, LJ, mengatakan bahwa sebagai tawanan perang
posisi penggugat atas otoritas cukup jelas. Dia berhak untuk
mempertahankan tindakan. Dia tidak dalam posisi yang lebih buruk
daripada individu lain yang berada di tahanan untuk pelanggaran.
Referensi penganiayaan di Wells v. Williams, 1 Ld. Raym. 282,
adalah referensi untuk sesuatu yang mungkin bukti lisensi, jika telah
diberikan, yang telah ditarik, atau ada yang telah ada lisensi sama
sekali. Warrington, LJ, memberikan keputusan untuk efek yang
sama.14
13
14
Ibid.
Ibid.
3.2.e. Putusan Halsey and Another v. Lowenfeld15
Pada tahun 1896 teater ini untuk terdakwa yang telah mati
selama dua puluh empat tahun di sewa dari 500 poundsterling per
bulan. Pada tahun 1899 terdakwa ditugaskan sewa untuk satu
Lederer, dan oleh berbagai penugasan sewa menjadi hak karyawan
di Leigh, yang menyewakan ke Curzon. Pada bulan Juli 1915, sewa
untuk bulan sebelumnya Juni berada di tunggakan, penggugat
mengangkat tindakan terhadap terdakwa untuk memulihkan tempat;
dan pada bulan September 1915, mereka mengangkat tindakan
kedua melawan terdakwa untuk memulihkan sewa untuk bulan Juli
dan Agustus 1915, yang berada di tunggakan. Terdakwa adalah
subjek Austria, dan berpendapat bahwa, setelah menjadi musuh
asing pada pecahnya perang ini, tidak ada tindakan yang bisa selama
perang dibawa melawan dia sehubungan dengan tindakan yang
diperoleh setelah pecahnya perang. Dia juga menjabat Leigh dan
Curzon dengan pemberitahuan pihak ketiga, mengklaim bahwa
mereka bertanggung jawab untuk mengganti kerugian dia melawan
kewajibannya untuk membayar sewa.
15
Ibid., hlm. 406-408.
Ridley. J., berpendapat bahwa terdakwa adalah bertanggung
jawab untuk sewa bahkan meskipun telah timbul setelah pecahnya
perang. Dia juga menyatakan bahwa terdakwa, menjadi musuh
asing, tidak bisa mengambil tindakan pihak ketiga, karena ia tidak
hanya menyiapkan materi dengan cara pertahanan, tetapi memohon
bantuan dari Pengadilan dalam mendukung klaim mandiri.
Ini adalah banding oleh terdakwa terhadap keputusan Ridley,
J.
Pengadilan Tinggi menegaskan keputusan Ridley, J., dan
menolak banding tersebut, dengan biaya.
Lord Reading. CJ, mengatakan bahwa pertanyaan dalam
kasus ini adalah apakah penggugat selama perang bisa menuntut
musuh asing dalam sewa yang diberikan sebelum perang. Itu
berpendapat atas nama terdakwa yang pada saat pecahnya perang
semua hubungan, komersial atau sebaliknya, antara orang-orang
penduduk di sini dan musuh asing menjadi ilegal, dan akibatnya
bahwa sewa yang diberikan sebelum perang kepada orang yang
kemudian menjadi musuh (orang asing) itu baik ditangguhkan atau
diakhiri oleh perang, dan bahwa tidak ada tindakan yang bisa dibawa
selama perang untuk memulihkan pembayaran di bawah perjanjian
sewa dari musuh asing. Itu diragukan bahwa semua hubungan
komersial antara penduduk negeri ini dan musuh asing ilegal kecuali
diizinkan oleh Raja (The "Hoop," I Ch Rob 196; Esposito v Bowden,
7 E. & B. 779; Robson. v. Premier Oil and Pipe Line Company,
[1915] 2 Ch. 124). Larangan ini tidak terbatas pada hubungan
komersial (The "Panariellos," [1915] 1 KB 857). Hal ini didasarkan
pada kebijakan publik yang melarang perbuatan tindakan yang akan
atau
mungkin
untuk
keuntungan
Negara
musuh
dengan
meningkatkan kapasitasnya untuk memperpanjang permusuhan dan
dengan menambahkan sumber daya yang tersedia untuk individu di
Negara musuh. Dalam hal ini sewa adalah hidup dari, valid, dan
kontrak dilaksanakan pada pecahnya perang. Tidak ada hubungan
sebenarnya sudah, terjadi dengan musuh asing. Pembayaran oleh
atau atas rekening musuh asing bagi orang penduduk di negeri ini
tidak perdagangan dengan musuh, dan diizinkan jika pembayaran
muncul dari transaksi masuk ke sebelum pecahnya perang
(Proklamasi Perdagangan dengan Musuh (No 2), dari 9 September
1914, Pasal 7; Undang-Undang Perdagangan dengan Musuh, 1914, 4
& 5 Geo V. o 87, Pasal 1 (2)). Para penggugat tidak melakukan
tindakan ilegal jika mereka mengklaim dan menerima pembayaran
dari terdakwa sewa karena dalam sewa yang dibuat sebelum perang.
Seorang penyewa yang menjadi musuh asing tidak
dibebaskan dari kewajibannya di bawah sewa. Tidak ada otoritas
untuk proposisi tersebut baik secara hukum kasus atau dalam teksbuku, dan proposisi semacam itu tidak sehat pada prinsipnya. Ini
akan menjadi hasil yang aneh jika hukum diadakan untuk
meringankan musuh asing kewajiban, yang terjadi sebelum perang,
dalam hal properti yang ia tidak kehilangan oleh Crown. Jika Crown
menahan diri dari melaksanakan hak untuk menyita properti dari
musuh asing, dan memungkinkan dia untuk melanjutkan dalam
kepemilikan properti, ia memegang itu tunduk pada semua
kewajibannya. Ini tidak masuk akal bahwa musuh asing harus
memiliki keuntungan memegang properti tanpa kewajiban untuk
melakukan kewajiban kejadian ke hak kepemilikan. Perjanjian untuk
membayar sewa tetap, oleh karena itu, meskipun perang. Sewa itu
tidak dihentikan; itu hanya obat dari musuh asing yang berkaitan
dengan hal itu yang telah terhenti.
Terdakwa tidak bisa menegakkan klaim ini untuk ganti rugi
oleh pemberitahuan pihak ketiga. Dia tidak bisa menjadi "aktor"
dalam proses di Pengadilan Raja, tetapi harus dianggap sebagai
penggugat dalam aksi mencari obat terhadap pihak ketiga yang harus
dianggap sebagai terdakwa. Ini jelas dari bahasa Undang-Undang
Peradilan, 1873, bagian 24, sub-bagian 3, mengacu pada
pemberitahuan pihak ketiga.
Banding ditolak.
Lush, J., setuju dengan penilaian Lord Reading, CJ.
Warrington, LJ, menyampaikan keputusan untuk efek yang
sama.
[Perang tidak menangguhkan hipotek pada properti, maupun
obat atasnya di mana tidak ada kesempatan untuk menggunakan
Pengadilan
musuh
untuk
menegakkannya
terhadap
properti
digadaikan.]
3.2.f. Putusan Daimler Company, Limited v. Continental Tyre and
Rubber Company16
Responden adalah perseroan terbatas, didirikan berdasarkan
Companies Act. Mereka menjalankan usaha di London, di kantor
terdaftar dari perusahaan, dan memiliki sejumlah lembaga di seluruh
Inggris. Perusahaan ini dibentuk pada tahun 1905, dengan modal
16
Ibid., hlm. 232-236.
10.000, meningkat 190H 25.000, untuk perdagangan di ban motormobil yang dibuat di Jerman oleh sebuah perusahaan yang didirikan
berdasarkan hukum Jerman. Perusahaan Jerman membentuk
sejumlah anak perusahaan di berbagai belahan dunia untuk
penjualan ban tersebut. Perusahaan responden dibentuk untuk tujuan
menjual ban seperti di Inggris. Pada tanggal surat perintah
perusahaan Jerman yang diselenggarakan 23.398 saham di
perusahaan responden, dan sisa saham, kecuali satu, diadakan oleh
subjek dari Kekaisaran Jerman yang berada di Jerman. Satu saham
yang terdaftar atas nama sekretaris perusahaan, yang lahir di Jerman,
tinggal di London, dan pada bulan Januari 1910, menjadi subyek
naturalisasi dari Crown. Para direktur adalah subyek dari Kekaisaran
Jerman, dan semua penduduk di Jerman saat aksi pertama kali
dibawa.
Setelah pecahnya perang antara negara ini dan Jerman
perusahaan responden menggugat pemohon dengan penerima kuasa
khusus tertulis untuk harga barang yang dipasok sebelum perang.
Surat perintah dikeluarkan oleh pengacara responden perusahaan
pada petunjuk sekretaris. Tinggalkan untuk menandatangani
keputusan di bawah Orde XIV. Diberikan oleh Guru, yang
dikonfirmasi oleh Scrutton, J. Pengadilan Tinggi menegaskan urutan
Scrutton, J. Ini adalah banding dari Pengadilan yang dengan alasan
bahwa
sekretaris
tidak
memiliki
kewenangan
untuk
menginstruksikan tindakan, dan bahwa perusahaan responden adalah
musuh asing.
The House of Lords berkelanjutan banding dengan alasan
bahwa sekretaris tidak memiliki wewenang untuk mengambil
tindakan. Namun penilaian juga disampaikan pada pertanyaan utama
karakter ramah atau musuh perusahaan.
Lord
Halsbury
berpendapat
bahwa
seluruh
diskusi
diselesaikan oleh proposisi sederhana dalam hukum Inggris bahwa
ketika objek yang akan dicapai adalah sah, secara tidak langsung
dari cara-cara yang itu harus dicapai tidak akan menyingkirkan
melawan hukum tersebut; dan ini menyebabkan objek sarana
diadopsi adalah untuk memungkinkan ribuan pound untuk
dibayarkan ke musuh Raja. Sebelum perang terjadi antara negara ini
dan Jerman badan terkait Jerman penarikan diri dari hukum Inggris
untuk menjalankan usaha untuk manufaktur mesin bermotor di
Jerman, dan menjual mereka di sini di Inggris dan di tempat lain,
karena mereka berhak untuk melakukan, tetapi dalam melakukannya
terikat untuk mengamati arah yang UU Parlemen di mana mereka
tergabung diperlukan.
Mereka berhak menerima dalam bentuk dividen keuntungan
dari perhatian secara proporsional dengan saham mereka di
dalamnya. Mereka semua Jerman awalnya, meskipun salah satu
kemudian menjadi seorang Inggris naturalisasi. Sekarang, hak dan
tentu saja yang tepat untuk menangani masalah ini adalah untuk
mendistribusikan kepada mereka proporsional, sesuai dengan saham
mereka, keuntungan dari petualangan mereka. Tapi mesin ini,
sementara sempurna sah dalam waktu damai, benar-benar melanggar
hukum ketika pedagang Jerman yang berperang dengan negara ini.
Tampaknya dia bahwa pertanyaan menjadi sangat jelas ketika salah
satu menerapkan bahasa hukum dengan kondisi hal ketika perang
dinyatakan antara Jerman yang berada di karakter pemegang saham
dan mengendalikan perusahaan. Mereka bisa tidak bertemu di sini,
dan tidak pula mereka memenuhi ketentuan bagi pemerintah dari
perusahaan yang mereka terikat oleh karakter dimasukkan mereka
untuk mengamati.
Dalam
keadaan
seperti
ini
menjadi
bahan
untuk
mempertimbangkan apa yang hal ini yang digambarkan sebagai
"perusahaan." Saat itu, pada kenyataannya, kemitraan dalam semua
yang merupakan kemitraan kecuali nama, dan dalam beberapa hal
posisi mereka yang ia sebut mengelola mitra. Tidak ada yang bisa
meragukan bahwa nama dan penggabungan itu tapi mesin dimana
tujuan (memberikan uang kepada musuh) akan dicapai. Tidak
adanya kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah itu hanya
bagian dari masalah yang lebih besar. Tidak ada yang memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah atas nama musuh
asing, karena ia tidak punya hak sendiri untuk menuntut di
Pengadilan Raja dengan siapa berdaulat sendiri sedang berperang.
Tidak ada orang, atau badan orang, kepada siapa terpasang
kecacatan menggugat dalam keadaan seperti itu bisa memiliki
otoritas, dan mencoba untuk melindungi fakta pemberian musuh
uang karena mereka oleh mesin diciptakan untuk kepentingan
hukum akan setara untuk melampirkan emas dan mencoba untuk
memaafkan dengan menyatakan bahwa tas berisi itu pembuatan
bahasa Inggris.
Hakim Ketua Mahkamah Agung mengatakan bahwa
perusahaan adalah hal yang hidup. Jika demikian, itu akan mampu
kesetiaan dan ketidaksetiaan. Tapi itu tidak; dan argumen yang
menjadi mampu menjadi loyal atau setia didirikan pada yang tidak
menjadi "hal yang hidup." Baik itu tas dalam ilustrasi beliau itu "hal
yang hidup." Dan mesin hanya untuk melakukan tindakan ilegal
tidak akan membersihkan ilegalitas nya (fraus circuita non
purgatur). Setelah semua, ini adalah pertanyaan tentang kata-kata
cerdik, berguna untuk tujuan yang mereka dirancang, tetapi
sepenuhnya mampu menjadi tegang untuk tujuan ilegal. Kewajiban
terbatas adalah pengenalan yang sangat berguna dalam sistem
negara ini, dan tidak ada alasan mengapa orang asing tidak, ketika
berhadapan dengan jujur dengan subyek negeri ini, mengambil
manfaat dari lembaga itu, tapi tampaknya dia juga mengerikan
misalkan untuk melanggar hukum, karena, setelah deklarasi perang,
bermusuhan, tujuan bentuk lembaga yang harus digunakan, dan
musuh oleh negara, sementara sebenarnya berperang dengan negara
ini, harus diizinkan untuk melanjutkan perdagangan dan benar-benar
ke menuntut keuntungan mereka dalam perdagangan di Pengadilan
Kehakiman Inggris.
Lord
Atkinson
berpendapat
bahwa
banding
harus
diperbolehkan, dengan alasan bahwa sekretaris tidak memiliki
kewenangan untuk melembagakan tindakan. Pada titik utama ia
menyatakan tidak ada pendapat, tetapi ia menyesalkan bahwa
pemohon tidak diizinkan untuk membela, seperti dalam pendapatnya
mereka harus telah, sehingga semua fakta mungkin telah
menimbulkan, dan itu bisa ditentukan apakah perusahaan responden
tinggal atau diperdagangkan di Jerman atau tidak.
Lord Shaw Dunfermline dan Lord Parmoor setuju dengan
pandangan Pengadilan Tinggi pada titik utama, tapi berbeda dengan
mereka pada pertanyaan otoritas sekretaris.
Lord Parker dari Waddington, yang dalam penghakiman
Lord Mersey, Lord Sumner, dan Lord Kinnear setuju, mengatakan
bahwa ketika tindakan dilembagakan semua direktur perusahaan
penggugat adalah Jerman penduduk di Jerman. Dengan kata lain,
mereka adalah musuh Raja, dan sebagai mampu seperti berolahraga
salah satu kekuatan yang diberikan kepada mereka sebagai direktur
sebuah perusahaan yang didirikan di Inggris. Mereka tidak mampu,
oleh karena itu, otorisasi lembaga aksi ini. Anggapan bahwa
sekretaris perusahaan dapat mengotorisasi lembaga tersebut tak bisa
dipertahankan. Resolusi mana ia diangkat sebagai sekretaris akan
memberi dia kekuatan tersebut hanya seperti insiden terhadap
pelaksanaan tugas sekretarisnya. Para direktur perusahaan mungkin
dengan resolusi yang tepat dalam nama yang telah diberikan
kepadanya kekuatan untuk mengizinkan lembaga persidangan di
nama perusahaan, tetapi mereka tidak melakukannya. Perilaku
mereka dalam memegang dia keluar sebagai orang yang memiliki
kekuatan ini, jika mereka sebenarnya sehingga menahannya keluar,
mungkin dalam kasus-kasus tertentu telah dioperasikan untuk
memberhentikan perusahaan dari menyangkal otoritas pengacara
yang ia dipertahankan, tetapi tidak bisa memberi kekuatan yang
bersangkutan.
Ini diikuti bahwa tindakan ini dilembagakan tanpa otoritas
dari perusahaan, dan Pengadilan, memiliki pemberitahuan fakta,
seharusnya menolak bantuan. Memang benar bahwa pertanyaan
apakah pengacara penggugat telah atau belum sah ditahan itu pada
umumnya diajukan ke Pengadilan oleh gerak, yang pengacara itu
dibuat pesta. Tapi ketika Mahkamah dalam perjalanan dari suatu
tindakan sadar bahwa penggugat tidak mampu memberikan
punggawa sama sekali, tidak seharusnya membiarkan tindakan
untuk melanjutkan. Ini jelas tidak akan melakukannya dalam kasus
penggugat bayi, dan ia bisa melihat ada perbedaan prinsip antara
kasus bayi dan kasus perusahaan yang tidak memiliki direktur atau
pejabat lain yang mampu memberikan instruksi untuk lembaga
hukum proses. Ini lebih terutama jadi ketika, dengan alasan semua
pemegang saham (dengan satu pengecualian) menjadi musuh Raja,
tidak ada agen atau petugas yang mampu memberikan instruksi
tersebut dapat secara sah ditunjuk.
Disarankan
bahwa
sekretaris,
menjadi
satu-satunya
pemegang saham yang bukan musuh, bisa dalam beberapa cara atau
panggilan lain dan mengadakan pertemuan perusahaan di mana ia
mungkin menunjuk dirinya sebagai direktur atau agen perusahaan,
dengan kekuatan seperti karena ia mungkin berpikir sehat. Dia tidak
mencoba untuk melakukannya, dan setelah pemeriksaan yang
cermat terhadap artikel yang pikir itu cukup jelas bahwa upaya
tersebut akan gagal. Selanjutnya, itu cukup jelas bahwa anggaran
dasar perusahaan tidak merenungkan atau menyediakan untuk
kelanjutan perdagangan perusahaan tanpa direksi sama sekali, juga
tidak seorang sekretaris sebuah perusahaan resmi yang virtute officii
bisa mengatur semua urusan, dengan atau tanpa bantuan pembantu,
dengan tidak adanya direktorat biasa.
Dalam situasi seperti itu itu, tegasnya, tidak perlu untuk
mempertimbangkan apakah sebuah perusahaan yang didirikan di
Inggris bisa di bawah apapun dan keadaan apa menjadi musuh atau
menganggap karakter musuh. Pertanyaannya, sudah, bagaimanapun,
telah begitu rumit berpendapat, baik di sini maupun di Pengadilan
Tinggi, dan penting umum seperti, bahwa hal itu tidak akan tepat
untuk mengabaikannya.
Setelah meninjau serangkaian Inggris dan otoritas Amerika
pada pertanyaan apa yang merupakan sebuah perusahaan musuh,
Yang Mulia menyampaikan bahwa pertimbangan yang diatur
kewajiban sipil dan hak-hak properti di masa damai sangat berbeda
dengan orang-orang yang diatur karakter musuh pada saat perang.
Bersama saham perusahaan dan undang-undang Inggris dan
keputusan tentang hal itu telah dikembangkan terutama sejak negara
ini terakhir terlibat dalam perang besar Eropa, dan telah mengambil
sedikit, jika ada, rekening kondisi perang. Cita-cita perusahaan
saham gabungan, yang dengan kewajiban terbatas semakin terbatas
perdagangan yang lebih baik, adalah ideal perdamaian yang
mendalam. Aturan terhadap perdagangan dengan musuh adalah
senjata berperang tentang perlindungan diri. Dia berpikir bahwa itu
harus diterapkan pada situasi modern mereka menemukan mereka,
dan tidak terbatas pada aplikasi lama, dengan sedikit keinginan
untuk memotongnya di satu sisi untuk memperpanjang itu di lain di
luar apa yang diperlukan keadaan ini.
Meskipun telah dikatakan oleh otoritas tinggi (lihat
M'Connel v Hector, 3 B. & P. 113;.. Esposito v Bowden, 27 LJ, QB,
di p 20) untuk bertujuan membatasi sumber daya komersial musuh,
itu, menurut pihak berwenang lainnya dan lebih tua, objek yang
lebih luas untuk mencegah hubungan yang tidak diatur dengan
musuh sama sekali. Melalui lisensi kerajaan, yang divalidasi
hubungan tersebut dan perdagangan tersebut, mereka dibawa di
bawah kendali yang diperlukan. Tanpa kontrol seperti mereka
dilarang. Untuk pikirannya, aturan akan dicabut justifikasi
substansial dan berkurang menjadi kanon mandul jika diadakan,
dalam keadaan seperti ini, bahwa itu tidak ada aplikasi dengan
alasan fakta bahwa perusahaan ini terdaftar di London.
Dengan memperhatikan pertimbangan tersebut di atas, ia
berpikir bahwa undang-undang tentang subjek mungkin diringkas
dalam proposisi berikut:
1. perusahaan yang didirikan di Inggris adalah badan hukum,
penciptaan hukum dengan status dan kapasitas yang hukum
menganugerahkan. Hal ini bukan orang alami dengan pikiran atau
hati nurani. Untuk menggunakan bahasa Buckley, LJ, "bisa tidak
setia atau loyal. Hal ini dapat tidak teman atau musuh."
2. perusahaan tersebut hanya dapat bertindak melalui agen
resmi baik, dan selama itu menjalankan usaha di negara ini melalui
agen resmi jadi, dan tinggal di ini atau negara yang ramah, itu adalah
prima
facie
dianggap
sebagai
teman,
Yang
Mulia
dapat
menghadapinya seperti itu.
3. Seperti perusahaan dapat, bagaimanapun, menganggap
karakter musuh. Ini akan terjadi jika agen atau orang-orang dalam
kontrol de facto dari urusan, baik resmi atau tidak, bertempat tinggal
di negara musuh, atau, di manapun warga, yang mengikuti musuh
atau mengambil instruksi dari atau bertindak di bawah kontrol
musuh. Seseorang sengaja berurusan dengan perusahaan dalam
kasus seperti itu adalah perdagangan dengan musuh.
4. Karakter pemegang saham individu tidak dengan
sendirinya dapat mempengaruhi karakter perusahaan. Hal ini diakui
sehingga di masa damai, di mana setiap pemegang saham bebas
untuk berolahraga dan menikmati hak-hak seperti yang oleh insiden
hukum statusnya sebagai pemegang saham. Akan aneh jika tidak
demikian juga dalam waktu perang, di mana semua hak dan hak
istimewa tersebut di penundaan. Karakter musuh pemegang saham
individu dan perilaku mereka mungkin, namun, sangat material pada
pertanyaan apakah agen perusahaan, atau orang-orang dalam kontrol
de facto dari urusan, pada kenyataannya mengikuti, mengambil
instruksi dari, atau bertindak di bawah kontrol musuh. Materialitas
ini akan bervariasi dengan jumlah pemegang saham yang merupakan
musuh dan nilai kepemilikan mereka. Faktanya, jika itu kenyataan,
bahwa setelah menghilangkan pemegang saham musuh jumlah
pemegang saham yang tersisa tidak cukup untuk tujuan mengadakan
pertemuan perusahaan atau penunjukan direksi atau pejabat lainnya,
mungkin meningkatkan anggapan dalam hal ini. Sebagai contoh,
dalam kasus ini, bahkan jika sekretaris telah resmi sepenuhnya untuk
mengelola urusan perusahaan dan untuk menjalankan proses hukum
atas namanya, fakta bahwa ia memegang satu saham hanya dari
25.000 saham dan satu-satunya pemegang saham yang bukanlah
musuh mungkin juga melemparkan pada perusahaan yang tanggung
jawab untuk membuktikan bahwa ia tidak bertindak di bawah
kendali, mengambil instruksi dari, atau mengikuti musuh Raja
dengan cara seperti untuk memaksakan karakter musuh di
perusahaan itu sendiri. Ini adalah kasus fortiori ketika sekretaris
tanpa otoritas, dan tentu tergantung atas kebenaran semua yang
dilakukannya pada ratifikasi selanjutnya pemegang saham musuh.
Keadaan kasus ini, oleh karena itu, seperti membutuhkan investigasi
dekat, dan menghalangi kepatutan memberikan cuti untuk
menandatangani penghakiman bawah Ord. XIV, R. 1.
5. Dalam cara yang sama sebuah perusahaan yang terdaftar
di Inggris, namun melakukan usaha di negara netral melalui agen
resmi dan benar penduduk sini atau di negara netral prima facie
dianggap sebagai teman, tapi mungkin, melalui agennya , atau
orang-orang di de facto mengendalikan urusannya, menganggap
karakter musuh.
6. Sebuah perusahaan yang terdaftar di Inggris, tetapi
menjalankan bisnis di negara musuh, harus dianggap sebagai musuh.
Proposisi di atas tidak hanya konsisten dengan otoritas dikutip dalam
argumen, dan khususnya dengan apa yang dikatakan dalam hal ini
House in Jansen v. Driefontein Consolidated Mines, [1902].
3.3. Analisis Perbandingan Kaedah Hukum tentang Status
Orang Asing di Indonesia dan Skotlandia
Dalam hukum positif di Indonesia, terdapat pengaturan
mengenai kontrak bisnis dengan orang asing, walaupun tidak diatur
ke dalam undang-undang tersendiri. Pengaturan terdapat dalam
Pasal 1173 dan Pasal 1320 KUHPerdata. Diatur bahwa tidak boleh
atau tidak dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan yang dibuat di
suatu negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda
yang terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di dalam sesuatu
traktat telah ditentukan sebaliknya. Juga, terdapat pula dalam
yurisprudensi No. 1695 K/Pdt/1984 tanggal 23 Mei 1986 dan
yurisprudensi No. 641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, yang secara
tegas menyatakan bahwa: “Perjanjian antara Warga Negara
Indonesia dengan orang asing tidak dapat begitu saja diperlakukan
bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah Indonesia.”
Adapun contoh kasus kausa yang tidak halal sebagaimana
diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata tersebut
dapat dilihat dalam kasus antara SINO SANDJAJA, PT. SEDJATI
INTERNUSA OVERSEAS, Para Pemohon Kasasi dahulu para
Penggugat/para Pembanding melawan PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA
cq
MENTERI
KEUANGAN
REPUBLIK
INDONESIA cq KEPALA BADAN URUSAN PIUTANG DAN
LELANG NEGARA JAKARTA (BUPLN KANWIL III) cq
KEPALA KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG
NEGARA (KP2LN) JAKARTA I, PT. BANK MANDIRI (Persero)
Tbk ex PT. BANK BUMI DAYA (Persero) Pusat cq. PT. BANK
MANDIRI Pusat, BUMI DAYA INTERNATIONAL FINANCE
LIMITED (BDIF), suatu badan hukum privat yang didirikan dan
berkedudukan di Hongkong, para Termohon Kasasi dahulu para
Tergugat/para Terbanding, dalam putusan No. 1311 K/Pdt/2011
adalah sebagai berikut:
a Dalam Pasal 1173 KUHPerdata jelas-jelas menyatakan
bahwa tidak boleh/tidak dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan
yang dibuat di suatu negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas
benda-benda yang terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di
dalam sesuatu traktat telah ditentukan sebaliknya (jis yurisprudensi
No. 1695 K/Pdt/1984 tanggal 23 Mei 1986, dan yurisprudensi No.
641 K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, secara tegas dinyatakan:
"Perjanjian antara warga negara Indonesia dengan orang Asing
tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang
obyeknya berada di wilayah Indonesia," dengan demikian
Termohon Kasasi III sebagai pihak asing tidak berhak melakukan
suatu hubungan hukum dengan jaminan melibatkan obyek-obyek
yang berada di wilayah Republik Indonesia, terlebih Termohon
Kasasi III adalah suatu badan hukum swasta luar negeri berstatus
private yang didirikan dan berkedudukan hukum di luar negeri
(Hongkong), serta tidak mempunyai domisili wilayah Republik
Indonesia, maka sudah seharusnya Akta No. 166 Notaris Mudofir
Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of
Credit" dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169,
dan Pemberian Jaminan (Borgtocht) No. 170 menjadi batal/memuat
syarat batal, karena:
• Perjanjian kredit tersebut bertentangan dengan perundangundangan Republik Indonesia, yaitu perjanjian tersebut dibuat untuk
tunduk kepada hukum yang berlaku di negara Hongkong (Pasal 17),
sehingga dapat dipersamakan dengan suatu persetujuan yang dibuat
di suatu negeri asing, terlebih di dalam perjanjian kredit itu sendiri
terdapat pengakuan dari Termohon Kasasi III akan yurisdiksi hukum
negara Hongkong untuk mengadakan kegiatan pengurusan piutang
tersebut dengan Pemohon Kasasi II, yaitu di dalam Pasal 6 ayat (1),
Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk "Perjanjian Kredit
dan Fasilitas Standby Letter of Credit", yang menyatakan:
"Pengambilan atau penyetoran uang dapat dilakukan oleh debitur di
kantor kreditur, yaitu di Hongkong, pada tiap-tiap hari kerja pada
jam-jam dibukanya kas dari kreditur itu untuk umum atau dengan
cara lain sesuai dengan kebiasaan yang ada";
• Perjanjian kredit tersebut dibuat oleh Kreditur (Termohon
Kasasi III) berbadan hukum asing (Hongkong) yang tidak
mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia,
sehingga sudah sepatut dan sepantasnya setiap badan hukum asing
yang tidak mempunyai/domisili hukum di wilayah Republik
Indonesia dinyatakan tidak mempunyai legitimasi hukum di wilayah
Republik
Indonesia,
dan
dinyatakan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap setiap perbuatannya.
Berbeda halnya dengan negara Skotlandia yang mengatur
secara tersendiri mengenai kontrak bisnis dengan orang asing,
Skotlandia mempunyai the Trading with the Enemy Act dan Royal
Proclamation. Pernah Hakim bernama Lord Skerrington dan Lord
Anderson pada Court of Session Skotlandia menerapkan prinsip
hukum berdagang dengan orang asing. Para Penggugat memiliki
sebuah perusahaan yang menjalankan usaha dengan nama Gebruder
van Uden, yang berkedudukan di Duisberg, Jerman, mereka
berkontrak dengan seorang pemilik kapal di Glasgow yang bernama
Burrell. Jika Penggugat merupakan pengusaha yang menjalankan
usahanya di Duisberg, Jerman, kemudian mereka melakukan usaha
di negara musuh, dalam arti mereka harus tunduk pada the Trading
with the Enemy Act and Royal Proclamation Skotlandia. Maka,
mereka tidak punya hak untuk meminta bantuan Pengadilan di
Skotlandia untuk menegakkan hak-hak sipil mereka. Karena mereka
musuh asing, proses tersebut harus selesai sampai akhir perang.17
Terdapat satu contoh lagi mengenai perbedaan dengan
putusan No. 1311 K/Pdt/2011 Indonesia. Yaitu dalam Putusan
Schulze. Gow & Co. v. Bank of Scotland. Dalam kasus ini, yang
terjadi sebelum pecahnya perang, mitra yang masih hidup satusatunya perusahaan yang menggugat pembela untuk akuntansi
mereka dengan dana dari perusahaan, dimana keseimbangan yang
benar karena perusahaan mungkin dipastikan. Para pembela
memohon, antara lain, tidak ada alasan untuk menuntut, karena
subyek hukum kontrak seperti itu adalah dapat dikategorikan
sebagai musuh asing.
17
Gebruder van Uden v Burrell, First division, 1916, 1 S.L.T. 117. Court of
Session, Scotland, hlm. 254-256.
Lord Hunter mengatakan bahwa dia tidak bisa memberi
putusan dalam permohonan ini. Meskipun penggugat itu subjek
Jerman, ia telah lama tinggal dan melakukan usaha perdagangan di
Skotlandia, dan telah sepatutnya memenuhi ketentuan UndangUndang Pembatasan Orang Asing 1914, dan Penjelasan yang dibuat
di bawahnya. Dalam Janson v. Driefontein Consolidated Mines,
Limited, [1902] AC, di p. 505, Lord Lindley mengatakan; "Ketika
mempertimbangkan pertanyaan yang timbul dengan musuh asing,
itu bukan kebangsaan seseorang, tapi tempat usahanya selama
perang, yang penting, bukan klausul dalam kontrak." Doktrin ini
juga diterapkan dalam Kasus Princess Thurn and Taxis v. Moffitt,
[1914] WN 379, dan Schaffenius v. Goldberg.
Perbedaan berikutnya terletak pada bahwa Indonesia tidak
mempunyai suatu undang-undang khusus mengenai transaksi bisnis
dengan orang asing (khususnya pada saat perang atau dalam keadaan
damai), sedangkan Skotlandia sudah mempunyai undang-undang
tersebut. Hal ini dapat dimaklumi bahwa mengingat Indonesia baru
merdeka pada tahun 1945, dan itupun diperoleh bukan dari
kemenangan atas perang, tetapi karena penjajahan.
Penerapan prinsip hukum yang keliru juga dipakai oleh
sistem hukum di Indonesia. Dapat dicontohkan, kasus antara PT.
Saprotan vs. Ny. R. A. Moniek Sriwidjajanti, dkk., dalam putusan
MA No. 1080 K/Pdt/1998. Dalam kasus ini Mahkamah Agung
menyatakan persetujuan batal demi hukum (null and void) karena
adanya economic duress.18
Ada dua kekeliruan disini, pertama dari segi terminologi
yang digunakan tercermin inkonsintensi. Kata “null and void“ and
“economic duress” tidak tepat diterapkan dalam kasus a quo.
Kedua, economic duress merupakan salah satu bentuk undue
influence dalam common law dengan akibat kontrak voidable.
Dengan demikian secara subtansial penerapan prinsip ini tidak tepat.
Putusan ini jelas menunjukkan pengaruh kuat dari hukum
kontrak common law. Situasi seperti ini di antaranya karena secara
subtansial Hukum Perdata kita terutama yang menyangkut Hukum
Perikatan tidak lagi memadai dalam memenuhi tuntutan kebutuhan
hukum dalam masyarakat, terutama dalam lapangan perekonomian
yang berkembang penuh dinamika.19 BW kita harus diakui telah
ketinggalan jaman (out of date) dan bagi salah satu ahli Hukum
18
19
Putusan MA No. 1080 K/Pdt/1998, Loc. Cit.
Moch. Isnaeni, Loc. Cit.
Kontrak terkemuka, instrumen hukum yang demikian ini dapat
dikategorikan sebagai bad law.20
Perlu dikemukakan juga dalam kasus antara PT. Patra
Supplies And Service dengan David J. Duffi dalam putusan No. 223
K/TUN/2007. PT. Patra Supplies And Service adalah perusahaan
yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia, berdomisili dan
berlamat kantor di Indonesia, serta menjalankan kegiatan usahanya
di Indonesia, oleh karenanya selain tunduk pada Undang-Undang
Ketenagakerjaan, PT. Patra Supplies And Service juga tunduk pada
Peraturan Perusahaannya sendiri, serta Kontrak Kerja yang
ditandatangani oleh Penggugat dan PT. Patra Supplies And Service.
Meskipun kontrak kerja a quo memilih hukum dan
Pengadilan Singapura dalam penyelesaian permasalahan yang diatur
dalam kontrak kerja tersebut, namun kontrak kerja tersebut tidak
mengesampingkan berlakunya Peraturan Perusahaan PT. Patra
Supplies And Service sendiri, dan hukum Indonesia yang lebih
tinggi kedudukannya dari kontrak kerja a quo.
Akan tetapi, hakim dalam putusan tersebut mendalilkan
bahwa
sesuai
Pasal
12
Perjanjian
Kontrak
Kerja
yang
ditandatangani, dinyatakan apabila terjadi sengketa dalam kontrak
20
P.S. Atiyah, Law and Modern Society, Loc. Cit.
kerja tersebut akan diselesaikan menurut Hukum Singapura di
Pengadilan Singapura, bukan Indonesia.
Selain perbedaan, terdapat pula persamaan prinsip yang
dipakai di antara kedua negara (Indonesia dan Skotlandia). Prinsip
yang dimaksud adalah prinsip hukum bahwa seorang warga negara
asing tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan atas
kedaulatan wilayah negara dan segala keuntungan yang dapat
diperoleh atas itu. Prinsip tersebut dapat ditemukan dalam Putusan
Halsey and Another v. Lowenfeld. Pengadilan Tinggi menegaskan
keputusan Ridley, J., dan menolak banding tersebut, dengan biaya.
Lord Reading. CJ, mengatakan bahwa pertanyaan dalam
kasus ini adalah apakah penggugat selama perang bisa menuntut
musuh asing dalam sewa yang diberikan sebelum perang. Itu
berpendapat atas nama terdakwa yang pada saat pecahnya perang
semua hubungan, komersial atau sebaliknya, antara orang-orang
penduduk di sini dan musuh asing menjadi ilegal, dan akibatnya
bahwa sewa yang diberikan sebelum perang kepada orang yang
kemudian menjadi musuh (orang asing) itu baik ditangguhkan atau
diakhiri oleh perang, dan bahwa tidak ada tindakan yang bisa dibawa
selama perang untuk memulihkan pembayaran di bawah perjanjian
sewa dari musuh asing.
Putusan Halsey and Another v. Lowenfeld tersebut di atas
sama dengan putusan No. 286 K/Pdt.Sus-PHI/2013 dalam kasus
antara PT. SIEMENS INDONESIA sebagai Pemohon Kasasi I juga
Termohon Kasasi II dahulu Tergugat, melawan STEPHEN
MICHAEL YOUNG, Warga Negara Australia, sebagai Termohon
Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat. Pertimbangan
hakim
mengatakan:
“Sekalipun
Tergugat
terbukti
telah
mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus dari tanggal 10
April 1998 s/d 30 September 2011 atau selama 13 (tiga belas) tahun
dan mempekerjakan Penggugat dari tahun 1999 s/d 2001 tanpa
adanya perjanjian kerja, Majelis Hakim berpendapat bahwa
hubungan kerja antara Penggugat sebagai tenaga kerja asing
dengan Tergugat tidak secara otomatis dapat berubah menjadi
hubungan kerja yang bersifat atau berdasarkan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWTT) dengan alasan hukum: Penggugat adalah
tenaga kerja asing, sehingga hubungan kerjanya harus tunduk pada
ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu
Hubungan Kerja Waktu Tertentu (PKWT).”
Download