TESIS POLA ADAPTASI PENGHUNI PADA RUSUNAWA URIP SUMOHARJO DAN RUSUNAWA TANAH MERAH I, KOTA SURABAYA Maulana Sakti 3212201007 DOSEN PEMBIMBING Ir. Ispurwono Soemarno, M.Arch, PhD Prof. Ir. Happy Ratna S, MSc, PhD PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014 THESIS RESIDENTS ADAPTATION PATTERN AT FLAT HOUSING OF URIP SUMOHARJO AND TANAH MERAH I, SURABAYA Maulana Sakti 3212201007 SUPERVISOR Ir. Ispurwono Soemarno, M.Arch, PhD Prof. Ir. Happy Ratna S, MSc, PhD MASTER PROGRAMME SPECIALIZATION: HOUSING AND HUMAN SETTLEMENT ARCHITECTURE DEPARTMENT FACULTY OF CIVIL ENGINEERING AND PLANNING INSTITUTE OF TECHNOLOGY SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014 POLA ADAPTASI PENGHUNI PADA RUSUNAWA URIP SUMOHARJO DAN RUSUNAWA TANAH MERAH I, KOTA SURABAYA Nama Mahasiswa NRP Pembimbing Co-Pembimbing : Maulana Sakti : 3212201007 : Ir. Ispurwono Soemarno, M.Arch, PhD : Prof. Ir. Happy Ratna S, MSc, PhD ABSTRAK Rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) merupakan perumahan formal yang dibangun oleh pemerintah yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan. Dari 18 rumah susun di Surabaya, dua diantaranya adalah Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Menempati rumah susun menuntut penyesuaian diri secara psikis maupun integrasi secara sosial dalam lingkungan bersama. Disini dituntut kemampuan manusia untuk beradaptasi pada lingkungan baru tersebut dengan melakukan penyesuaian diri (coping behavior). Tidak hanya penyesuaian diri, proses adaptasi manusia pada rumah susun juga terkait dengan pembentukan teritorialitas dan perasaan keterikatan pada tempat (attachment to place). Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pola adaptasi penghuni pada Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. Penelitan ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menempati sebuah model hunian baru dalam hal ini berupa rumah susun, adaptasi merupakan proses alami yang harus dilakukan, apalagi bila ketersediaan ruang belum sesuai dengan kebutuhan penghuni. Berdasarkan temuan studi, satuan rumah susun (sarusun) dan ruang komunal merupakan ruang yang dirasa penghuni masih perlu dilakukan penyesuaian diri aktif, terutama dalam hal pengorganisasian ruangnya. Selain itu, dalam beradaptasi terhadap lingkungan tempat tinggal yang baru, penghuni akan menyusun seting fisik yang baru untuk mencapai tingkat privasi yang dibutuhkan. Hal ini karena diluar sarusun, tidak ada batas tegas yang memisahkan antara kepemilikan individu dan komunal. Terakhir, mengenai perasaan keterikatan penghuni terhadap rumah susun. Berdasarkan temuan, faktor status kepemilikan, aksesibilitas dan jarak tempat kerja menjadi faktor yang membedakan antara derajat attachment to place penghuni di Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Kata Kunci: pola adaptasi, coping behavior, teritorialitas, attachment to place, rumah susun vi RESIDENTS ADAPTATION PATTERN AT FLAT HOUSING OF URIP SUMOHARJO AND TANAH MERAH I, SURABAYA Name NRP Supervisor Co-Supervisor : Maulana Sakti : 3212201007 : Ir. Ispurwono Soemarno, M.Arch, PhD : Prof. Ir. Happy Ratna S, MSc, PhD ABSTRACT Flat Housing (Rumah Susun Sewa Sederhana) is a formal housing which is developed by Government for people who have low salary in cities. Among 18 flat housing in Surabaya, two of them are Flat Housing of Urip Sumoharjo and Tanah Merah I. Live in Flat House is demanding an adaptation both psychological and social integration in collective areas. Here, the residents are demanded to adapt in a new area by doing coping behavior. It does not only need coping behavior for living in flat house but also related to forming territoriality and attachment to the place. The purpose of this research is to acquire delineation of resident adaptational pattern at Flat Housing of Urip Sumoharjo and Tanah Merah I. This research uses qualitative and descriptive method. Technique in collecting data is observation, interview, and documentation. The results of research show that in staying in a new occupation model in this case Flat Housing, adaptation is a natural process that needs to be done, even if availability of room is not yet suitable with the necessity of residents. Based on research finding, flat unit and communal space are places that residents need coping behavior actively, especially in organizing rooms. Beside that, in adapting to the new flat area, residents will organize new physical setting in order to reach level of privacy that is needed. This is because outside of flat unit there are no boundaries that separate individual and communal ownership. Last, regarding to residents attachment to Flat Housing. Based on finding, factors of ownership status, accessibility, and working place distance become factor that distinguishes between the degree of residents attachment to place in Flat Housing of Urip Sumoharjo and Tanah Merah I. Key Words: adaptation pattern, coping behavior, attachment to place, flat housing vii KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis dengan judul “Pola Adaptasi Penghuni pada Rusunawa Urip Sumoharjo dan Rusunawa Tanah Merah I, Kota Surabaya” ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar akademik Magister Teknik (MT) sekaligus sebagai syarat dalam menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Bidang Keahlian Perumahan dan Permukiman, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Adapun diselesaikannya penulisan tesis ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak tersebut, antara lain: 1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Drs. Edy Anda dan Ibunda Aslina atas kasih sayang, cinta, perhatian, pengorbanan, limpahan materi dan doa dalam setiap akhir sujudnya yang tiada henti-hentinya dipanjatkan untuk mengiringi langkah penulis di perantauan. 2. Ir. Ispurwono Soemarno, M.Arch, PhD selaku dosen pembimbing I dan Prof. Ir. Happy Ratna S, MSc, PhD selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan serta arahan yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian tesis ini. 3. Prof. Ir. Johan Silas dan Dr. Ima Defiana, ST., MT selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan berupa saran dan kritik yang sangat membantu dalam penyempurnaan tesis ini. 4. Dr. Ir Murni Rachmawati, M.T. selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Jurusan Arsitektur ITS yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menempuh dan menyelesaikan pendidikan Pascasarjana. 5. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi selaku pemberi Beasiswa Unggulan (BU) tahun 2012 atas dukungan dana selama menyelesaikan pendidikan Pascasarjana Jurusan Arsitektur ITS. iv iii 6. Seluruh staf dan karyawan Pascasarjana ITS, Pascasarjana Jurusan Arsitektur, Laboratorium Perumahan dan Permukiman dan Ruang Baca Jurusan Arsitektur yang telah banyak membantu penulis. 7. Berbagai pihak selaku narasumber dalam penelitian ini, antara lain: BAPPEKO Kota Surabaya, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya, Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya, Kepala UPTD Rumah Susun Kota Surabaya, Pengelola Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Tanah Merah I, serta seluruh penghuni rumah susun yang telah banyak memberikan informasi demi mendukung proses kelancaran tesis ini. 8. Saudara-saudara penulis yang tercinta: Elwin & keluarga, Rininta Andriani & keluarga, Eris Ruslan & keluarga, sepupu dan keponakan yang selalu memberi semangat dan mendoakan setiap langkah penulis. 9. Seluruh rekan mahasiswa Pascasarjana Jurusan Arsitektur 2012 atas saran, diskusi, dan dukungan semangat selama menjalani studi dan menyelesaikan tesis di Alur Perumahan dan Permukiman Jurusan Arsitektur ITS. 10. Segenap orang yang banyak membantu dalam kehidupan penulis: rekan seperjuangan di Surabaya (K’Rahmat, K’Rudi, K’Lisa, Wahyu, Wira, Ratih, Tari, K’Asti), mahasiswa S3 dari Sulawesi, IKAMI Sulsel Surabaya, IMKB Makassar, TGS dan Wesabbe Crew, penjual buku online, pemuda-pemudi PWK & Arsitektur Unhas 2007, teman-teman di Surabaya, Makassar & Baubau, warga Rungkut, Waru, Gebang Lor serta segenap pihak lainnya. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, kasih sayang, dan hidayahNya kepada seluruh pihak yang telah disebutkan di atas. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi kesempurnaan penelitian dalam tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca. Surabaya, 8 Agustus 2014 Penulis v iv DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ....................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ................................................ KATA PENGANTAR .................................................................................... ABSTRAK ...................................................................................................... ABSTRACT .................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian ............................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 1.5 Ruang Lingkup Peneltian ...................................................................... BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI ................................................ 2.1 Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah ................................. 2.2 Lingkungan dan Perilaku ........................................................................ 2.3 Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) .......................................... 2.4 Sintesa Kajian Pustaka dan Teori .......................................................... 2.5 Kerangka Pikir ....................................................................................... BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................ 3.1 Paradigma dan Metode Penelitian ......................................................... 3.2 Lokasi Penelitian ................................................................................... 3.3 Populasi dan Sampel ............................................................................... 3.4 Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 3.5 Desain Penelitian ................................................................................... 3.6 Variabel Penelitian ................................................................................. 3.7 Teknik Analisis Data .............................................................................. 3.8 Kerangka Analisis .................................................................................. 3.9 Tahapan Penelitian ................................................................................. BAB 4. GAMBARAN UMUM ..................................................................... 4.1 Rumah Susun di Kota Surabaya ............................................................ 4.2 Rumah Susun Urip Sumoharjo .............................................................. 4.3 Rumah Susun Tanah Merah I ................................................................. iii viii Hal. i ii iii iv vi vii viii x xii 1 1 3 3 4 4 7 7 13 25 32 34 35 35 35 36 38 39 40 41 46 48 49 49 50 56 BAB 5. HASIL DAN ANALISIS .................................................................. 5.1. Profil Penghuni ...................................................................................... 5.2. Perilaku Penyesuaian Diri (Coping Behavior) ....................................... 5.3. Teritorialitas ........................................................................................... 5.4. Attachment to Place (Keterikatan dengan Tempat) ............................... BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 6.1. Kesimpulan ............................................................................................. 62. Saran ....................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... LAMPIRAN .................................................................................................... BIOGRAFI PENULIS ................................................................................... iv ix 61 61 66 102 108 124 124 125 127 133 134 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Gambar 1.2. Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8. Gambar 4.9. Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 5.1. Gambar 5.2. Gambar 5.3. Gambar 5.4. Gambar 5.5. Gambar 5.6. Gambar 5.7. Gambar 5.8. Hal. Rumah Susun Urip Sumoharjo ................................................ 5 Rumah Susun Tanah Merah I .................................................. 5 Ruang Lingkup Informasi Lingkungan-Perilaku ..................... 13 Hubungan antara budaya, perilaku, sistem aktivitas dan sistem seting ............................................................................. 15 Ilustrasi mengenai sistem aktivitas yang terjadi di dalam sistem ruang .............................................................................. 17 Skema Persepsi ......................................................................... 20 Kerangka Pikir .......................................................................... 34 Kerangka Analisis ................................................................... 47 Tahapan Penelitian .................................................................. 48 Peta Persebaran Rumah Susun di Kota Surabaya tahun 2012 .. 50 Citra Satelit Rumah Susun Urip Sumoharjo ............................ 51 Site Plan Rusun Urip Sumoharjo .............................................. 52 Kondisi Fisik Rumah Susun Urip Sumoharjo .......................... 53 Utilitas di Rumah Susun Urip Sumoharjo ................................ 55 Fasilitas di Rumah Susun Urip Sumoharjo .............................. 55 Citra Satelit dan Site Plan Rumah Susun Tanah Merah I ......... 56 Denah Lantai 2-5 Rumah Susun Tanah Merah I ...................... 56 Kondisi Fisik Bangunan Rumah Susun Tanah Merah I ........... 57 Aktivitas Penghuni Rumah Susun Tanah Merah I ................... 59 Utilitas di Rumah Susun Tanah Merah I .................................. 60 Fasilitas di Rumah Susun Tanah Merah I................................. 60 Grafik Kelompok Usia Responden Penghuni Rusun Urip Sumoharjo ............................................................. 62 Grafik Kelompok Usia Responden Penghuni Rusun Tanah Merah I ............................................................... 63 Grafik Pekerjaan Responden Penghuni Rusun Urip Sumoharjo ............................................................. 63 Grafik Pekerjaan Responden Penghuni Rusun Tanah Merah I ............................................................... 64 Grafik Tingkat Penghasilan Responden Penghuni Rusun Urip Sumoharjo ............................................................. 65 Grafik Tingkat Penghasilan Responden Penghuni Rusun Tanah Merah I ............................................................... 65 Penjelasan Skala Likert dalam Kuesioner Penelitian ............... 67 Grafik Persepsi Penghuni Mengenai Kelengkapan Rumah Susun Urip Sumoharjo ................................................. 58 iii x Gambar 5.9 Gambar 5.10 Gambar 5.11 Gambar 5.12 Gambar 5.13 Gambar 5.14 Gambar 5.15 Gambar 5.16 Gambar 5.17 Gambar 5.18 Gambar 5.19 Gambar 5.20 Gambar 5.21 Gambar 5.22 Gambar 5.23 Gambar 5.24 Gambar 5.25 Gambar 5.26 Gambar 5.27 Gambar 5.28 Gambar 5.29 Gambar 5.30 Gambar 5.31 Gambar 5.32 Gambar 5.33 Gambar 5.34 Gambar 5.35 Kursi di selasar yang digunakan untuk menerima tamu ........... Aktivitas menjemur di rumah susun Urip Sumoharjo .............. Kondisi benda bersama di rumah susun Tanah Merah I ........... Grafik Persepsi Penghuni Mengenai Kelengkapan Rumah Susun Tanah Merah I ................................................... Kursi di luar sarusun yang digunakan untuk menerima tamu... Aktivitas menjemur yang dilakukan di rusun Tanah Merah I .. Kondisi bagian bersama di Rusun Tanah Merah I .................... Kondisi benda bersama di rumah susun Tanah Merah I ........... Kondisi fasilitas unit di Rusun Tanah Merah I ......................... Pola Ruang Komunal dengan dengan frekuensi jam dan harian ........................................................................... Pola Ruang Komunal dengan frekuensi mingguan ................... Pola Ruang Komunal dengan frekuensi bulanan ...................... Pola Ruang Komunal dengan frekuensi tahunan ...................... Pola Ruang Komunal dengan dengan frekuensi jam dan harian ........................................................................... Pola Ruang Komunal dengan frekuensi mingguan ................... Pola Ruang Komunal dengan frekuensi bulanan ...................... Pola Ruang Komunal dengan frekuensi tahunan ...................... Perbandingan persepsi mengenai Satuan Rumah Susun ........... Perbandingan persepsi mengenai benda bersama rumah susun Perbandingan persepsi mengenai bagian bersama rumah susun Ruang Semi Publik di Rusun Urip Sumoharjo ......................... Ruang Publik di Rusun Urip Sumoharjo .................................. Ruang Semi Privat di Rusun Tanah Merah I ............................ Ruang Semi Publik di Rusun Tanah Merah I ........................... Ruang Publik di Rusun Tanah Merah I..................................... Faktor-faktor yang mempengaruhi attachment to place di Rumah Susun Urip Sumoharjo ............................................. Faktor-faktor yang mempengaruhi attachment to place di Rumah Susun Tanah Merah I ............................................... iv xi 69 71 72 73 74 75 76 77 77 80 80 81 81 82 83 83 84 85 90 95 104 105 106 106 107 109 112 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tabel 3.1. Tabel 3.2. Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3. Tabel 5.4. Hal. Sintesa Kajian Pustaka dan Teori .................................................. 32 Desain Penelitian ........................................................................... 40 Variabel Penelitian ........................................................................ 41 Perbandingan Perilaku Penyesuaian Diri (Coping Behavior) pada satuan rumah susun antara Penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I ...................... 86 Perbandingan Perilaku Penyesuaian Diri (Coping Behavior) pada benda bersama antara Penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I .............................. 91 Perbandingan Perilaku Penyesuaian Diri (Coping Behavior) pada bagian bersama antara Penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I .............................. 96 Perbandingan Perasaan Keterikatan pada Tempat (Attachment to Place) antara Penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I ............................. 117 iii xii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta, dengan jumlah penduduk mencapai tiga juta jiwa. Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Jawa Timur. Inilah yang menjadi faktor penarik migrasi penduduk ke Kota Surabaya. Perkembangan kota yang pesat baik dari aspek ekonomi maupun aspek sosial kependudukan ini turut mempengaruhi kondisi lingkungan perkotaan. Banyaknya penduduk yang masuk ke kota Surabaya untuk mencari penghidupan yang layak menghadapi kenyataan bahwa diantara mereka ada yang tidak mampu bersaing dalam mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang besar. Besar penghasilan utamanya berhubungan dengan masalah pengadaan tanah/lahan. Harga tanah yang semakin lama semakin tinggi membuat kelompok masyarakat berpengahasilan rendah tersebut mengalami kesulitan mendapatkan lahan untuk membangun rumah. Hal ini menimbulkan di pusat kota (inner city) banyak tercipta kawasan dan lingkungan kumuh serta ilegal (Soesilowati, 2007). Untuk mengatasi persoalan itu, dalam beberapa dekade terakhir ini Pemerintah Kota Surabaya melakukan program perbaikan dan penertiban kawasan dan lingkungan kumuh serta illegal. Salah satu upayanya adalah dengan membangun rumah susun. Menurut UU No. 20 tahun 2011, tujuan penyelenggaraan rumah susun adalah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau, terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu. Melalui program ini, warga direlokasi untuk menghuni rumah susun yang tersebar di beberapa wilayah di dalam Kota Surabaya. Hingga tahun 2013 telah ada 18 rusun yang dikelola Pemkot Surabaya. Lokasi 18 rusun tersebut tersebar di beberapa kawasan. Dua diantaranya terdapat di Urip Sumohardjo dan Tanah Merah. Rusun Urip Sumoharjo yang dibangun pada tahun 1 1982 dimaksudkan dalam upaya peremajaan kota (urban renewal) sebagai salah satu konsekuensi dari penanganan bencana kebakaran yang terjadi pada tahun yang sama di lokasi tersebut. Kebakaran yang berpusat di pusat perbelanjaan Horison ini melalap habis perkampungan Keputran Kejambon 1 yang dihuni 120 KK. Keinginan warga pada saat itu adalah tetap tinggal dilokasi, sehingga diputuskan untuk membangun rumah susun. Sehingga hingga saat ini, sebagian besar penghuni rumah susun ini merupakan warga asli bekas perkampungan yang terbakar dahulu. Sementara Rumah Susun Tanah Merah I yang selesai dibangun pada tahun 2007 merupakan salah satu rusun yang diperuntukkan bagi warga umum dan warga gusuran. Hal inilah yang membedakan kelompok penghuni dari dua rumah susun tersebut, dimana Rusun Urip Sumoharjo ditempati warga asli kampung Keputran Kejambon 1, sedangkan Rusun Tanah Merah I dihuni oleh warga dari luar kampung. Rumah susun merupakan model hunian yang masih baru bagi masyarakat Indonesia khususnya MBR. Masyarakat yang selama ini tinggal pada rumah tapak yang horizontal, harus berpindah tempat tinggal pada rumah susun yang vertikal. Disinilah dituntut kemampuan manusia untuk beradaptasi pada lingkungan baru tersebut dengan melakukan perilaku penyesuaian diri (coping behavior). Kemampuan menyesuaikan diri tersebut ditujukan baik untuk hidup di unit hunian maupun untuk hidup dalam komunitas masyarakat rumah susun. Hal ini disebabkan karena dalam proses penyesuaian diri terdapat dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, apabila gagal dalam menyesuaikan diri maka akan menyebabkan stres. Kedua, apabila penyesuaian diri berhasil, hal itu disebut sebagai adaptasi. Tidak hanya membahas mengenai perilaku penyesuaian diri, proses adaptasi manusia pada rumah susun juga terkait dengan pembentukan teritorialitas dan perasaan keterikatan pada tempat (attachment to place). Dengan landasan wacana inilah penelitian ini dilakukan yaitu sebagai upaya untuk mengidentifikasi pola adaptasi penghuni rumah susun di Kota Surabaya, khususnya pada Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. 2 1.2. Rumusan Masalah Meskipun dari tahun ke tahun peminatnya semakin tinggi, pada dasarnya menghuni rumah susun merupakan pengalaman yang baru bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang terbiasa tinggal pada hunian tapak (Adianto, 2009). Oleh karena itu, permasalahan yang biasa muncul di rumah susun lebih banyak berkaitan dengan aspek sosial-budaya, dimana masyarakat belum terbiasa dengan gaya hidup di rumah susun yang pada dasarnya mengutamakan pada kepraktisan. Selain itu, sebagai bagian dari lingkungan kampung, kehadiran rumah susun di tengah-tengah kehidupan masyarakat diharapkan mampu berintegrasi secara utuh dalam sistem lingkungan kampung yang telah ada. Sehingga dalam proses penghuniannya, warga penghuni rumah susun tidak merasa terisolasi hanya karena menjadi “sesuatu yang lain” di dalam lingkungan kampung tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka pertanyaan penelitian yang dituangkan dalam rumusan masalah ini adalah bagaimana pola adaptasi yang dibentuk oleh penghuni pada Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I? 1.3. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pola adaptasi penghuni pada Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. Adapun sasaran yang ditetapkan guna mencapai tujuan penelitian di atas adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi perilaku penyesuaian diri (coping behavior) yang dilakukan oleh penghuni di Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. 2) Mengidentifikasi teritorialitas yang dibentuk oleh penghuni di Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. 3) Mengidentifikasi keterikatan pada tempat (place attachment) yang dirasakan oleh penghuni terhadap huniannya di Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. 3 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1) Secara teoritis, penelitian ini dapat menjadi sebuah tambahan referensi bagi pengembangan ilmu mengenai perancangan rumah susun sewa di Indonesia. 2) Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi masukan dalam perencanaan dan pembangunan rumah susun sewa di Indonesia. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup lingkup substansial dan lingkup spasial. Lingkup substansial merupakan penjelasan mengenai batasan substansi penelitian yang berkaitan dengan substansi-substansi inti dari topik penelitian. Sedangkan lingkup spasial merupakan penjelasan mengenai batasan wilayah penelitian yang berkaitan dengan wilayah penelitian yang dikaji. 1.5.1 Ruang Lingkup Substansial Penelitian ini ditinjau dari sisi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). MBR merupakan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran utama dalam program pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa atau yang biasa disingkat Rusunawa. Sementara di lain sisi, kelompok inilah yang paling kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan rumah susun yang merupakan lingkungan baru. Materi yang akan dikaji pada penelitian ini adalah mengenai gambaran adaptasi yang dilakukan oleh MBR selaku penghuni rumah susun. 1.5.2. Ruang Lingkup Spasial Untuk dapat memperoleh gambaran mengenai adaptasi hunian susun pada MBR, maka ruang lingkup wilayah studi kasus yang dilakukan harus terletak di kawasan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Penelitian ini mengambil dua objek studi yaitu Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. Kedua rumah susun ini merupakan rumah susun yang diperuntukkan bagi MBR. 4 Gambar 1.1. Rumah Susun Urip Sumoharjo (Sumber: wikipamia.org, 2014) Gambar 1.2. Rumah Susun Tanah Merah I (Sumber: wikimapia.org, 2014) 5 Halaman ini sengaja dikosongkan 6 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI Pada bab ini akan dibahas berbagai pustaka dan teori terkait rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Termasuk didalamnya kaitan antara lingkungan dan perilaku, serta aspek dasar dalam perencanaan Rusunawa yang berpengaruh terhadap adaptasi penghuni. Kajian pustaka dan teori ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran permasalahan di lapangan dan informasi pembanding bagi analisa data. 2.1.Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah 2.1.1 Makna Rumah Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang dan pangan. Definisi rumah menurut UU No. 1 tahun 2011 adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Fungsi rumah selain sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana keluarga yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan, juga mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan penyiapan generasi muda (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2007). Kata “rumah” dalam bahasa Inggris mempunyai beberapa istilah yang berbeda makna. Tiga diantaranya ialah shelter, house dan home. Pemahaman rumah sebagai shelter cenderung mengartikan rumah secara sempit dan pragmatisfungsional saja yakni sebagai tempat berteduh dan berlindung dari berbagai gangguan alam (Haryadi, 1995). Sementara itu, pengertian rumah sebagai house menurut Coolen (2009) yaitu lebih merujuk kepada tipe hunian masyarakat Barat (western-oriented type of dwelling) yakni rumah yang hanya ditempati oleh keluarga inti saja. Sedangkan definisi rumah sebagai home menurut Rapoport (1995 dalam Coolen, 2009) merujuk pada sebuah tempat/hunian yang memiliki keterikatan emosional dengan penghuninya. 7 Hayward (1987 dalam Budihardjo, 1998) menyatakan bahwa rumah tidak hanya dipandang sebagai sebuah struktur fisik wadah kegiatan sehari-hari saja namun juga pusat jaringan sosial budaya dan sebuah tempat dimana seseorang dapat mengekspresikan dirinya dengan bebas sebagai jati diri. Sejalan dengan penyataan itu, Silas (1993) mengemukakan bahwa rumah adalah bagian yang utuh dari permukiman dan bukan semata-mata hasil fisik yang sekali jadi. Rumah sebaiknya harus dikonsepkan secara total, maksudnya penghadiran rumah sebaiknya menyeluruh, utuh dan imbang antara manusia, rumah dan alam sekitarnya. Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa rumah tidak hanya wadah fisik tempat manusia bertempat tinggal semata, namun lebih daripada itu rumah harus mampu menjadi home yang menghantarkan penghuninya untuk dapat mengaktualisasikan dirinya secara bebas serta mampu berinteraksi dan berintegrasi secara utuh dalam lingkungan sosial budaya masyarakat dan lingkungan alam disekitarnya. 2.1.2 Karakteristik Masyarakat Berpenghasilan Rendah Ada tiga sudut pandang dalam menentukan stratifikasi sosial masyarakat di Indonesia yaitu kekayaan, tahapan pendidikan dan kekuasaan (Aulia, 2011). Kekayaan dilihat dari seberapa besar penghasilan, tahapan pendidikan dilihat dari seberapa tinggi jenjang pendidikan yang telah dicapai, serta kekuasaan dilihat dari seberapa tinggi jabatan yang diduduki dalam struktur kepemerintahan. Sehingga dalam mendeskripsikan pengertian masyarakat berpenghasilan rendah yakni mendeskripsikan strata sosial masyarakat berdasarkan besar penghasilannya. Menurut UU No. 1 tahun 2011, definisi Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Selanjutnya Permenpera No. 14 tahun 2010 menjelaskan bahwa MBR adalah masyarakat yang mempunyai penghasilan paling banyak Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) per bulan. Menurut Lewis (1984), MBR adalah kelompok masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang cukup lama sehingga 8 menghasilkan suatu kebudayaan yang disebut budaya miskin. MBR ini terperangkap dalam budaya miskinnya sehingga mereka tidak dapat lagi melihat potensi-potensi yang dimiliki. Melihat dari kondisi ini, menurut Soebroto (1998 dalam Budiharjo, 1998), kemungkinan besar mereka tinggal di daerah permukiman yang sempit, berdesak-desakan dan berdiri di atas status tanah yang tidak jelas. Konsekuensi dari hidup seperti ini adalah hubungan antara sesama warga menjadi erat. Aktivitas yang dilakukanpun lebih banyak bersama-sama dan berada di luar rumah disebabkan karena ruang dalam rumah yang sempit. Ayah atau ibu bekerja sambil mengobrol dengan tetangga sementara anak-anak bermain di luar. Sifat semacam ini biasa disebut sebagai outdoor personality yaitu orang yang lebih menyukai kegiatan di luar rumah. Pada akhirnya, rumah hanya menjadi tempat berkumpul keluarga pada saat tidur saja (Soebroto, 1998 dalam Budiharjo, 1998). 2.1.3 Pengadaan Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Modernisasi kota-kota di dunia telah menuntut para pemerintah kota untuk menampilkan wajah kota yang bersih dan nyaman. Salah satu tantangannya adalah penanganan permukiman kumuh. Permukiman kumuh lahir bukan tanpa sebab, ia lahir dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijaksanaan dan program yang jelas untuk membantu MBR dalam pengadaan rumahnya sendiri. Menurut Panudju (1999), pemerintah di negara-negara berkembang cenderung menekankan usaha pembangunan perumahan rakyat oleh pemerintah dengan standar yang relative tinggi serta penekanan pada aspek teknis, administrative dan ekonomis yang dilaksanakan secara formal, sehingga harganya relative mahal bagi MBR. Hal ini mengakibatkan masyarakat tersebut terpaksa harus memenuhi kebutuhan perumahannya sendiri, diluar program pemerintah. Namun dalam perkembangannya, kelompok MBR ini dapat dikatakan tidak mampu untuk menyediakan dana yang banyak bagi pengadaaan rumahnya. Kemampuan penyediaan biaya perumahan hanya semata-mata dari pendapatannya yang rendah. Oleh karena itu menurut Raharjo (2010), untuk memenuhi kebutuhan perumahan, preferensi masyarakat berpenghasilan rendah dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pemenuhan kebutuhan perumahan untuk 9 mendekat pada tempat kerja dan pemenuhan kebutuhan perumahan untuk menetap, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut: a. Pada pemenuhan kebutuhan perumahan untuk mendekat pada tempat kerja, perilaku masyarakat berpenghasilan rendah adalah memilih tempat tinggal dengan biaya tinggal terendah sedangkan kelengkapan maupun keadaan fasilitas dan sarana prasarana tidak menjadi soal. Fungsi rumah yang dibutuhkan hanyalah fungsi rumah secara fisiologis sedangkan fungsi lainnya belum sanggup dipenuhi. Dalam hal ini masyarakat berpenghasilan rendah tidak begitu memperhatikan tempat tinggalnya, sehingga mudah menimbulkan kekumuhan. b. Pada pemenuhan kebutuhan perumahan untuk menetap memiliki kondisi yang lebih baik. Perilaku masyarakat berpenghasilan rendah disini lebih baik, ada perhatian untuk rumah tempat tinggalnya. Dalam hal ini ada aktivitas perawatan, pemeliharaan, perbaikan bahkan penambahan bagian rumah. Perilaku yang dapat ditangkap disini adalah aktivitas perawatan, pemeliharaan, perbaikan dan penambahan bagian rumah sebisa mungkin dilakukan sendiri dengan biaya minimal. Untuk pengadaan bahan biasanya dilakukan dengan mencicil bahan, maksudnya menabung dalam bentuk menyimpan bahan bangunan. Terkait dengan kondisi seperti yang telah dipaparkan pada dua poin di atas, menurut Mirhad (1998 dalam Budihardjo, 1998) untuk pengadaan perumahan yang layak bagi MBR diperlukan peranan pemerintah yang lebih besar, baik menyangkut bangunan fisik rumah maupun prasarana dan sarana lingkungannya. Ada enam upaya yang dilakukan pemerintah kota dalam menyediakan perumahan yang layak bagi MBR sekaligus terkait penanganan permukiman kumuh yaitu: a. Perbaikan kampung atau KIP. Program ini merupakan suatu pola pembangunan kampung yang didasarkan pada partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan pemenuhan kebutuhannya (Basri, 2010). Tujuan perbaikan kampung adalah peningkatan taraf hidup masyarakat melalui bina lingkungan, bina manusia dan bina usaha. Program perbaikan kampung termasuk berhasil dilakukan di Jakarta, Bandung, Medan dan 10 Surabaya. Berkat usaha perbakan kampung, kondisi kampung-kampung pada umumnya sudah menjadi lebih baik. Dimana sebelumnya, pada beberapa kampung mempunyai kepadatan tinggi sehingga orang harus berjalan diantara dinding luar rumah yang sempit. Setelah dilakukan program ini, jalan-jalan kendaraan dan jalan setapak sudah diberi perkerasan dengan aspal atau beton sehingga menjadi lebih tertata dan tidak becek di musim hujan (Yudohusodo, 1991). b. Peremajaan kota (urban renewal). Peremajaan kota adalah upaya pembangunan yang terencana untuk merubah atau memperbaharui suatu kawasan di kota yang mutu lingkungannya rendah (Yudohusodo, 1991). Sasaran program ini adalah permukiman kumuh. Metodenya melalui pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah negara dan selajutnya ditempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas lingkungan, rumah susun serta bangunan-bangunan lainnya sesuai dengan rencana tata ruang kota. Sasaran utama dari program ini adalah untuk menampung penghuni yang tergusur dalam rumah susun, sehingga terdapat kelebihan lahan yang cukup luas untuk dapat dilakukan pembangunan fasilitas-fasilitas kota (Panudju, 1999). c. Permukiman kembali atau relokasi (resettlement). Resettlement merupakan upaya pemindahan penduduk pada suatu kawasan yang khusus disediakan, yang biasanya memakan waktu dan biaya sosial yang cukup besar, termasuk kemungkinan tumbuhnya kerusuhan atau keresahan masyarakat. Pemindahan ini apabila permukiman berada pada kawasan fungsional yang akan/perlu direvitalisasikan sehingga memberikan nilai ekonomi bagi Pemerintah Kota/Kabupaten (Soesilowati, 2007). d. Konsolidasi lahan (land consolidation) merupakan suatu model pembangunan yang didasari oleh kebijakan pengaturan penguasaan lahan, penyesuaian penggunaan lahan dengan Rencana Tata Guna Lahan atau Tata Ruang dan pengadaan tanah (Soesilowati, 2007). e. Pembagian lahan (land sharing). Model land sharing adalah penataan ulang di atas tanah/lahan dengan tingkat kepemilikan masyarakat cukup tinggi. Dalam penataan tersebut, masyarakat akan mendapatkan kembali lahannya dengan 11 luasan yang sama sebagaimana yang selama ini dimiliki/dihuni secara sah, dengan memperhitungkan kebutuhan untuk prasarana umum (Basri, 2010). f. Pengembangan lahan terarah (guide land development) merupakan alternative penanganan pengendalian perkembangan daerah pinggiran yang direncanakan untuk menampung kebutuhan perluasan daerah permukiman atau kegiatan fungsional produktif lainnya (Soesilowati, 2007). Apapun opsi yang dipilih dari enam upaya diatas diharapkan tidak hanya mencakup peningkatan kualitas dari aspek fisik saja, namun juga memperhatikan pula aspek sosial budaya dan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah sebagai kelompok sasaran program. Hal ini sejalan dengan pendapat Respati dkk (2012) bahwa dalam penanganan permukiman kumuh semestinya disikapi bukan sekedar sebagai perusak estetika suatu kota atau pelanggar peraturan perundangan yang harus dibasmi, tetapi harus lebih dilihat dari sisi sosial yaitu untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa membiarkan berkembangnya kawasan kumuh berarti membiarkan masyarakat tinggal dalam keadaan yang tidak layak dalam pelayanan infrastruktur, kriminalitas yang tinggi, terbatasnya akses pendidikan bagi anak-anak usia sekolah dan tidak terjaminnya keamanan dalam bertempat tinggal (secure tenure). Pernyataan di atas kemudian dijabarkan oleh Panudju (1999) menjadi empat kriteria utama perumahan yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yaitu sebagai berikut: a. Lokasi tidak terlalu jauh dari tempat-tempat yang dapat memberikan pekerjaan bagi buruh-buruh kasar atau tenaga tidak terampil. b. Status kepemilikan lahan dan rumah jelas, sehingga tidak ada rasa ketakutan penghuni untuk digusur. c. Bentuk dan kualitas bangunan tidak perlu terlalu baik, tetapi cukup memenuhi fungsi dasar yang diperlukan penghuninya. d. Harga atau biaya pembangunan rumah harus sesuai dengan tingkat pendapatan. 12 2.2. Lingkungan dan Perilaku Proshansky (1974 dalam Prabowo, 1998) melihat bahwa psikologi lingkungan memberi perhatian terhadap manusia, tempat serta perilaku dan pengalaman-pengalaman manusia dalam huungannya dengan setting fisik. Lingkungan fisik tidak hanya berarti rangsang-rangsang fisik seperti cahaya, suara, bentuk, warna terhadap objek-objek fisik tertentu, tetapi lebih dari itu merupakan suatu kompleksitas yang terdiri dari beberapa setting fisik dimana seseorang tinggal, berinteraksi dan beraktivitas. Menurut Calhoun (1995 dalam Prabowo, 1998), lingkungan mempengaruhi perilaku dengan empat cara. Pertama, lingkungan menghalangi perilaku, akibatnya membatasi apa yang kita lakukan. Kedua, lingkungan mengundang atau mendatangkan perilaku, menentukan bagaimana kita harus bertindak. Ketiga, lingkungan membentuk kepribadian. Terakhir, keempat, lingkungan akan mempengaruhi citra diri. Di bawah ini merupakan gambar tentang ruang lingkup informasi lingkungan dan perilaku, dimana dapat dilihat bahwa fenomena lingkungan perilaku terkait dengan hubungan antara kelompok pemakai dan setting. Gambar 2.1. Ruang Lingkup Informasi Lingkungan-Perilaku (Sumber: Moore, 1987 dalam Prabowo, 1998) 2.2.1 Adaptasi Manusia Konsep mengenai adaptasi pada mulanya berasal dari ilmu Biologi, dimana kajiannya berfokus pada perilaku organisme dalam menguasai faktor lingkungan 13 selama masa hidupnya. Hardesty (1977) mengemukakan bahwa adaptasi adalah proses terjalinnya dan terpeliharanya hubungan yang saling menguntungkan antara organisme dan lingkungannya, disebabkan karena organisme maupun lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap. Roy Ellen (1982) membagi tahapan adaptasi dalam empat tipe, yaitu tahapan phylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat seleksi alam, modifikasi fisik dari phenotype/ciri-ciri fisik, proses belajar, dan modifikasi budaya. Proses adaptasi hingga tahap modifikasi budaya inilah yang menjadi ciri khas manusia. Menurut Roy Ellen (1982), manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk belajar seperangkat pengetahuan sosial dan kaidah-kaidah budaya yang tidak terbatas. Sehingga kemudian fokus perhatian adaptasi untuk manusia dipusatkan pada proses belajar dan modifikasi budayanya. Tujuan adaptasi dikatakan Berry (Altman, 1980) untuk mengurangi disonansi dalam suatu sistem yaitu meningkatkan harmoni serangkaian variable yang berinteraksi. Jika dikaitkan dengan interaksi manusia-lingkungan, disonansi dalam suatu system dapat diartikan, ada ketidakseimbangan transaksi antara lingkungan dan manusia. Salah satu bentuk ketidakseimbangan tersebut adalah tuntutan lingkungan yang melebihi kapasitas manusia untuk mengatasinya. Salah satu upaya mencapai keseimbangan adalah melakukan adaptasi. Para ahli ekologi budaya (Alland, 1975; Harris, 1968; Moran, 1982 dalam Hardoyo, 2011) mendeļ¬nisikan, bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial. Menurut beberapa pendapat (Karta Sapoetra, 1987; Gerungan, 1991; Cockcroft, 2009), strategi penyesuaian diri manusia dibagi menjadi dua yaitu mengubah individu sesuai dengan keadaan lingkungan (pasif/akomodasi) dan mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan individu (aktif/asimilasi). Berbicara mengenai modifikasi budaya sebagai tahapan adaptasi manusia, menurut Rapoport (1977), budaya merupakan konsep yang terlalu umum dan masih perlu dilakukan penjabaran secara spesifik. Penjabaran yang dimaksud dapat dilihat pada gambar dibawah ini. 14 Gambar 2.2. Hubungan antara budaya, perilaku, sistem aktivitas dan sistem seting (Sumber : Rapoport, 1977 diadopsi oleh Haryadi, 1995) Menurut Rapoport & Altman (1980 dalam Lihawa, 2005), lingkungan yang didesain oleh budaya khusus adalah setting untuk suatu kelompok dan cara hidup khusus, yang signifikan dan tipikal membedakan kelompok tersebut dengan lainnya. Antara cara hidup dan sistem simbolik menjadi bagian dari strategi adaptif kelompok dalam setting ekologiknya. Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa adaptasi yang dilakukan manusia baik individu maupun kelompok merupakan strategi penyesuaian diri terhadap lingkungan yang dilakukan melalui perubahan sistem aktivitas dan sistem seting. 2.2.2 Behavior Setting Dalam proses adaptasi, manusia akan membentuk sebuah model behavior setting tertentu (Sangalang, 2013). Barker (1968 dalam Laurens, 2004) memakai istilah behavior setting untuk menjelaskan tentang kombinasi perilaku dan milieu (lingkungan) tertentu. Behavior setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat yang spesifik. Dengan demikian behavior setting mengandung unsur-unsur sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan, aktivitas atau perilaku dari sekelompok orang tersebut, tempat dimana kegiatan tersebut dilakukan serta waktu spesifik saat kegiatan tersebut dilaksanakan (Haryadi, 1995). Dalam bahasa yang lebih sederhana, Rapoport (1990) menjelaskan bahwa behavior setting berisi tentang pertanyaan mengenai: siapa melakukan apa, dimana, kapan, melibatkan atau tidak melibatkan siapa (dan mengapa). 15 Ada sejumlah syarat untuk terbentuknya sebuah behavior setting. Menurut Barker (1968 dalam Laurens, 2004), suatu entitas untuk dapat dikatakan sebagai sebuah behavior setting terbentuk dari kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat dan kriteria sebagai berikut: a. Terdapat suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku. Dapat terdiri atas satu atau lebih pola perilaku ekstraindividual. b. Dengan tata lingkungan tertentu, milieu ini berkaitan dengan pola perilaku c. Membentuk suatu hubungan yang sama antarkeduanya (synomorphy) d. Dilakukan pada periode waktu tertentu. 2.2.3. Sistem Aktivitas dan Sistem Ruang Menurut Rapoport (1990) behaviour setting atau latar/rona/seting perilaku dijabarkan ke dalam dua konsep yakni system of setting (sistem ruang) dan system of activity (sistem kegiatan). Keterkaitan antara keduanya membentuk suatu behaviour setting tertentu. a. Sistem tempat/ruang (system of setting) diartikan sebagai unsur-unsur fisik spasial/ruang ataupun formal/bentuk yang mempunyai hubungan tertentu atau terkait hingga dapat digunakan bagi suatu kegiatan tertentu. Rapoport (1990) menegaskan bahwa sistem ruang tersebut merupakan organisasi dari tempattempat/latar-latar atau beberapa setting ke dalam satu sistem yang berkaitan dengan kegiatan manusia. b. Sistem kegiatan atau sistem aktivitas (system of activity) diartikan sebagai suatu rangkaian perilaku yang secara sengaja dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Istilah “sistem” di atas penting untuk menegaskan bahwa di antara beberapa unsur ruang atau beberapa di antara kegiatan tersebut terdapat suatu struktur atau rangkaian yang menjadikan kesatuan kegiatan atau perilakunya mempunyai makna, terlepas dari apakah makna tersebut dapat dibaca atau diartikan oleh orang lain yang tidak mengikuti kegiatan tersebut. Pengamatan latar perilaku dapat dilakukan secara place-centered yang berorientasi pada tempat kegiatan dan/atau people centered yang berorientasi pada penelusuran alur kegiatan pelaku. 16 Konsep Rapoport (1990) tentang sistem aktivitas dan sistem ruang ini dipakai untuk menjelaskan interaksi antara manusia dengan lingkungan binaan melalui budaya. Aktivitas dianggap sebagai komponen terendah dari budaya yang berhubungan secara langsung dengan lingkungan binaan, tetapi juga mempertanyakan asumsi yang menyatakan bahwa arsitektur mewadahi perilaku. Melalui kajian fakta-fakta lintas budaya sepanjang waktu menunjukkan bahwa sesungguhnya arsitektur mewadahi perilaku, tetapi tidak dilakukan secara ketat. Dari fenomena lintas budaya sepanjang waktu menunjukkan bahwa jajaran aktivitas yang dilakukan manusia lebih terbatas dibandingkan dengan variasi lingkungan yang dibangun untuk aktivitas tersebut. Jika setting diandaikan sebagai sebuah lingkaran Kemudian di dalam setting tersebut terdapat aktivitas Maka jalinannya akan membentuk sistem aktivitas yang terjadi di dalam sistem ruang Gambar 2.3. Ilustrasi mengenai sistem aktivitas yang terjadi di dalam sistem ruang (Sumber: Rapoport, 1990) Setting merupakan variabel secara budaya yang diikuti oleh anggota atau kelompok dari budaya tersebut. Usulan-usulan mengenai aktivitas dan setting dihubungkan melalui sebuah makna, dengan kata lain mekanisme utama yang menghubungkan sebuah aktivitas dan setting adalah makna (meaning). Jika manusia bertindak (secara tipikal, walaupun setting tidak menentukan) sesuai apa 17 yang dimaksud oleh perancang, maka suatu rancangan tersebut dapat dikatakan tepat sasaran. Hal ini merupakan tujuan utama dari lingkungan binaan. Semua yang terjadi di dalamnya harus diatur dan disusun, beberapa macam individu harus terpikirkan oleh perancang (Rapoport, 1982). Adapun lingkungan binaan terdiri dari beberapa elemen (Rapoport, 1982; Hall, 1959 dalam Laurens, 2004), yaitu: a. Fixed-feature elements Terdiri dari bangunan, lantai, dinding, dan sebagainya. Adapun ruang yang dibentuknya merupakan ruang berbasis tetap dilingkupi oleh pembatas yang relatif tetap dan tidak mudah digeser. b. Semi-fixed-feature elements Terdiri dari furnitur interior dan eksterior dan sejenisnya. Adapun ruang yang dibentuknya merupakan ruang yang pembatasnya bisa berpindah untuk mendapatan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pada waktu yang berbeda. c. Non-fixed-feature elements Terdiri dari manusia dan aktivitas serta perilakunya. Adapun ruang yang terbentuk hanya untuk waktu singkat, seperti ruang yang terbentuk ketika dua atau lebih orang berkumpul. Ruang ini tidak tetap dan terjadi di luar kesadaran orang tersebut. Melalui elemen-elemen tersebut berlangsung komunikasi dalam sebuah setting berupa tanda-tanda situasi, aturan main, dan perilaku. Banyak aktivitas dapat berlangsung dalam satu tempat dengan merubah semi fixed-feature elements tanpa mengubah fixed-feature elements. Sehingga dapat dikatakan bahwa semi fixedfeature elements tetap lebih penting untuk mengkaji suatu aktivitas dalam setting (Rapoport, 1982). 2.2.4. Perilaku Penyesuaian Diri (Coping Behavior) Hasil interaksi individu dengan obyek menghasilkan persepsi individu tentang obyek itu. Persepsi adalah unsur penting didalam psikologi tata ruang. Persepsi merupakan pemaknaan hasil pengamatan malalui penyerapan informasi 18 lingkungan sekitar melalaui panca indra, termasuk persepsi tentang lingkungan yang menyeluruh, lingkungan dimana individu tersebut dibesarkan (Anwar, 1998). Sebagaimana persepsi seseorang yang tinggal di rumah susun, dimana sebelumnya belum pernah mempunyai pengalaman hidup pada hunian bertingkat, tentunya berbeda dengan seseorang yang telah mempunyai pengalaman tinggal pada hunian vertikal di masa lalunya. Jika persepsi berada dalam batas-batas optimal maka individu dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini biasanya ingin dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaan-perasaan yang paling menyenangkan (Sarwono, 1992). Sebaliknya, jika obyek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal (terlalu besar, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh, terlalu jelek, dan sebagainya) maka individu itu akan mengalami stres dalam dirinya. Tekanan-tekanan energi dalam dirinya meningkat sehingga orang itu harus melakukan coping (penyesuaian) untuk menyesuaikan dirinya atau menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya. Menurut Beaudry & Alain (2005), coping adalah aktivitas adaptasi yang dilakukan seseorang karena ada kejadian yang mengganggu dalam lingkungannya. Selanjutnya mereka harus melakukan perbuatan penyesuaian diri (coping behavior). Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kognisi seseorang dalam upaya coping behavior (Holahan, 1982 dalam Anwar, 1998) yaitu gaya hidup, familiaritas dengan lingkungannya, keterlibatan sosial, status sosial dan jenis kelamin. Menurut Bell (2001, dalam Laurens, 2004), sebagai hasil dari coping behavior, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, tingkah laku coping itu tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan. Gagalnya tingkah laku coping ini menyebabkan stres berlanjut dan dampaknya bisa berpengaruh pada kondisi individu maupun persepsi individu. Kemungkinan kedua, tingkah laku coping yang berhasil maka terjadi penyesuaian antara diri individu dengan lingkungannya (adaptasi) atau penyesuaian keadaan lingkungan pada diri individu (adjustment). 19 Gambar 2.4. Skema Persepsi (Bell, 2001 dalam Laurens, 2004) Dampak dari keberhasilan ini juga bisa mengenai individu maupun persepsinya. Jika dampak dari tingkah laku coping yang berhasil terjadi berulangulang maka kemungkinan akan terjadi penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan. Disamping itu, terjadi peningkatan kemampuan untuk menghadapi stimulus berikutnya. Kalau efek dari kegagalan yang terjadi berulang-ulang, kewaspadaan akan meningkat. Namun, pada suatu titik akan terjadi gangguan mental yang lebih serius seperti keputus-asaan, kebosanan, perasaan tidak berdaya, dan menurunnya prestasi sampai pada titik terendah. 2.2.5. Teritorialitas Proses beradaptasi yang dilakukan manusia pada tempat yang dipilih sebagai tempat bermukimnya akan menciptakan teritori (Sangalang, 2013). Brower (1976 dalam Altman, 1980), memaparkan bahwa teritorialitas merupakan hubungan individu atau kelompok dengan setting fisiknya, yang dicirikan oleh rasa memiliki, dan upaya kontrol terhadap penggunaan dari interaksi yang tidak diinginkan melalui kegiatan penempatan, mekanisme defensif dan keterikatan. Kontrol yang dimaksud oleh Altman (1980) adalah mekanisme mengatur batas antara orang yang satu dengan lainnya melalui penandaan atau personalisasi untuk menyatakan bahwa tempat tersebut ada yang memilikinya. Personalisasi menurut Altman (1980) adalah pernyataan kepemilikan individu, atau kelompok terhadap suatu tempat, melalui tanda-tanda inisial diri. Pernyataan kepemilikan tersebut bisa secara konkrit (wujud fisik) atau simbolik (non fisik). Secara konkrit menurut 20 Brower (1976 dalam Altman, 1980), pernyataan kepemilikan ditandai dengan adanya penempatan (occupancy) dan secara simbolik dengan keterikatan tempat (place attachment). Uraian-uraian di atas memberikan pengertian yang lebih terinci lagi mengenai teritorialitas yaitu upaya-upaya individu atau kelompok dalam melakukan kontrol terhadap ruang kegiatannya melalui mekanisme defensif. Mekanisme defensif tersebut tercermin dari adanya kegiatan penempatan dan keterikatan mereka terhadap ruang. Selain itu, definisi teritorialitas menurut Burhanuddin (2010) adalah kondisi kualitas teritori yang ada/terjadi yang terbentuk oleh interaksi/ kompromi antara kualitas teritori yang diinginkan masing-masing individu (dengan tujuan kegiatan) dan masing-masing organisasi (dengan tujuan kebijaksanaan) dengan karakteristik setting fisik yang mewadahi suatu kegiatan. Keterkaitan hubungan yang terjadi antar unsur teritorialitas ini yang membuat teritorialitas sebagai atribut perilaku dapat diukur kualitasnya. Dengan adanya interaksi antar unsur teritorialitas, maka kualitas teritori juga bisa diukur dimana yang terjadi antara pelaku dan setting fisiknya. Altman (1980 dalam Laurens, 2004) membagi teritorialitas berdasarkan derajat privasi, afiliasi, dan kemungkinan pencapaian menjadi tiga yaitu sebagai berikut: 1. Teritori primer, adalah tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya, hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah mendapatkan izin khusus. Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Contoh: pekarangan, ruang tidur, ruang kerja. 2. Teritori sekunder, adalah tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Sifat territorial sekunder adalah semi-publik. Contoh: toilet, sirkulasi lalu intas di dalam kantor, zona servis, dan sebagainya. 21 3. Teritori publik, adalah tempat-tempat yang terbuka untuk umum. Teritorial umum dapat digunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Pada prinsipnya setiap orang diperkenankan untuk berada di tempat tersebut. Contoh: gedung bioskop, ruang kuliah, pusat perbelanjaan dan lainlain. Dalam teori lain, Hussein el Sharkawy (1979 dalam Prabowo, 1998) menyebutkan tentang empat tipe territorial, yaitu: 1. Attached territory adalah personal space yang dimiliki oleh seseorang. 2. Central territories seperti seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi, biasa disebut sebagai ruang privat. 3. Supporting territories adalah ruang yang bersifat semi-privat dan semi-publik seperti koridor, kolam renang, taman depan, taman belakang dll. 4. Peripheral territories adalah ruang publik seperti lapangan olahraga bersama, taman kota dll. Menurut Yusuf (1991 dalam Anwar, 1998), ada beberapa ciri-ciri umum mengenai teritori yang disebut pula sebagai perilaku teritori yaitu sebagai berikut: a. Penguasaan dan pemilikan terhadapt teritori tertentu, baik secara pribadi maupun perseorangan. b. Tersedianya lokasi atau obyek seperti “taman atau kursi itu tempat saya”. c. Dimiliki individu atau sekelompok orang misalnya “ruangan ini untuk kelompok X”. d. Teritori memiliki dua fungsi yaitu: - fungsi sosial seperti ruang tamu dan ruang makan. - fungsi fisik misalnya meja dan kursi itu mempunyai fungsi sebagai tempat duduk. e. Ditandai dengan simbol-simbol seperti pagar dan papan nama yang menunjukkan “ini milik saya” dan “ini wilayah saya”. f. Penembusan atau pelanggaran teritori akan menimbulkan perilaku defensif. 22 2.2.6. Keterikatan Pada Tempat (Attachment to Place) Relasi antara manusia dan lingkungannya bersifat kompleks, terutama jika terkait dengan tempat tinggal. Kerumitan tersebut bertambah karena sebagai makhluk sosial, lingkup hidup manusia juga terkait erat dengan aspek sosial atau komunitasnya. Menurut William & Carr (1993), pemahaman tempat didasarkan pada ikatan emosional seseorang terhadap suatu tempat, lebih lanjut dinyatakan bahwa ikatan tersebut dapat berawal dari pengalaman nyata pada tempat tersebut atau dari keabstrakan lingkungan alamnya, sebagai hasil dari proses simbolis pada suatu kurun waktu tertentu. Banyak peneliti yang menyelidiki arti sebuah tempat setuju bahwa pemahaman terhadap tempat adalah sesuatu yang personal, suatu proses emosional dimana seseorang yang berinteraksi dengan suatu tempat menjadi terikat pada tempat tersebut (Williams et al., 1992). Ikatan emosional biasanya ditafsirkan sebagai suatu perasaan keterikatan terhadap tempat/ place attachment (Williams & Roggenbuck, 1989). Bahasan tentang place attachment juga terkait erat dengan konsep teritorialitas. Place attachment merupakan pernyataan simbolik dari kepemilikan atas sebuah tempat/teritori (Tondok, 2012; Altman, 1980). Altman & Low (1992) mendefinisikan place attachment sebagai hubungan simbolis yang dibentuk oleh seseorang yang secara kultural memberikan pengertian emosional kepada suatu ruang lahan yang menjadi basis seseorang atau sekelompok orang dalam memahami hubungannya dengan lingkungan. Dengan begitu, place attachment lebih dari sekedar suatu emosional dan pengalaman teori, dan meliputi kepercayaan budaya dan praktek yang menghubungkan seseorang dengan suatu tempat. Place attachment terbagi dalam dua dimensi, yaitu ketergantungan terhadap tempat (place dependence) yakni nilai suatu tempat untuk atribut yang terkait dengan aktivitas di dalamnya dan identitas tempat (place identity) yakni ikatan emosional terhadap tempat sebagai wujud identitas diri (Williams & Roggenbuck, 1989). Williams & Roggenbuck (1989) menjelaskan place dependence sebagai keterikatan fungsi, di mana nilai dan arti penting suatu tempat didasarkan pada seting/ penataan atribut atau sumber daya pada tempat tersebut. Hal tersebut dapat menjadikan seseorang menjadi terkait dengan suatu tempat dikarenakan kegunaan 23 tempat tersebut untuk memuaskan kebutuhan dan tujuan seseorang. Selain itu, hal tersebut dikenal sebagai fungsional atau komoditas pemaknaan bagi suatu tempat, dimana seting/ penataan bertindak sebagai suatu latar belakang untuk menikmati aktivitas yang menyenangkan (Williams, et al., 1992). Secara khas, place identity berupa keterikatan emosional yang terjalin dengan perasaan emosional yang kuat. Seringkali suatu tempat menimbulkan emosi yang sedemikian rupa apabila dihubungkan dengan suatu peristiwa historis penting, suatu kelompok yang bisa diidentifikasi, atau simbolis, nilai-nilai, gagasan, ideologi, atau kepercayaan (Russell & Snodgrass, 1987). Williams, et al. (1992) berpendapat bahwa kadang kala ikatan emosional dengan suatu tempat bisa sangat kuat sehingga ikatan pribadi (personal attachment) seseorang terhadap tempat dapat menjadi elemen penting dalam mendeskripsikan pribadi seseorang. Dengan begitu, place identity didefinisikan sebagai suatu interpretasi/ penafsiran diri yang menggunakan pemaknaan lingkungan untuk menandakan atau meletakkan suatu identitas pribadi (Cuba & Hummon, 1993). Mencermati beberapa teori diatas, dapat dilihat bahwa teori-teori mengenai place attachment yang ada selama ini mayoritas berdasar pada studi kasus kotakota di belahan bumi bagian barat (western countries), walaupun pada dasarnya teori tersebut bersifat universal (Kusuma, 2008). Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan Kusuma (2008) pada kota di Indonesia, ingin menjembatani celah pemahaman antara makna place attachment menurut masyarakat di negara Barat dan Timur, khususnya yang disebabkan oleh perbedaan seting fisik dan sosial. Dalam penelitiannya, Kusuma (2008) menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi perasaan place attachment pada hunian masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia. Faktor paling dominan adalah hubungan baik antar tetangga. Faktor selanjutnya adalah kenyamanan, aksesibilitas yang baik, jarak tempat kerja, status kepemilikan, lama tinggal, keamanan lingkungan, ketiadaan alternatif tempat tinggal yang lain, dan keterjangkauan sewa hunian (Kusuma, 2008). 24 2.3. Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) 2.3.1. Pengertian Rusunawa Pemenuhan kebutuhan rumah merupakan hal yang sangat urgen. Ironisnya, ketersediaan lahan untuk pembangunan permukiman semakin hari semakin berkurang. Melihat kondisi saat ini, pembangunan secara horizontal telah menjadi solusi yang kurang tepat terutama pada wilayah yang kepadatannya tinggi. Solusi yang ditawarkan adalah berupa pembangunan secara vertikal yaitu dalam bentuk rumah susun. Definisi rumah susun menurut UU No. 20 tahun 2011 tentang rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Dalam pembangunannya, rumah susun harus sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakatnya. Saat diperuntukkan untuk MBR dengan penghasilan di bawah Rp. 2.500.000/bulan, maka sebuah rumah susun dikategorikan sebagai rumah susun sederhana sewa (Rusunawa). Pengertian Rusunawa yang tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 14/PERMEN/M/2007 adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing digunakan secara terpisah, status penguasaannya sewa serta dibangun dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan fungsi utamanya sebagai hunian. Menurut Budihardjo (1998), penyediaan Rusunawa layak huni seharusnya tidak hanya dipandang dari segi kuantitas saja, tetapi kualitas lingkungan kehidupan yang diciptakannya. Masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan (yang merupakan sasaran penghuni rusunawa) kebanyakan menganggap rumah tidak sekedar tempat hunian semata-mata tetapi juga sebagai tempat bekerja untuk 25 menambah penghasilan. Jadi dalam perencanaan rusunawa perlu diperhatikan bahwa blok-blok hunian dalam rusun perlu memperhatikan pola mixed use (lingkungan yang swasembada/self-contained social structure) dan ruang-ruang terbuka antar blok rusun dialihfungsikan menjadi semacam community market place. 2.3.2. Ruang Komunal dalam Rusunawa Ruang komunal (berasal dari kata communal) yang berarti berhubungan dengan umum) merupakan ruang yang menampung kegiatan sosial dan digunakan untuk seluruh masyarakat atau komunitas (Wijayanti, 2000 dalam Purwanto, 2012). Menurut Lang (1987), ruang komunal memberikan kesempatan kepada orang untuk bertemu, tetapi untuk menjadikan hal itu diperlukan beberapa katalisator. Katalisator mungkin secara individu yang membawa orang secara bersama-sama dalam sebuah aktifitas, diskusi atau topik umum. Sebuah ruang terbuka publik akan menarik orang jika terdapat aktifitas dan orang dapat menyaksikannya. Ruang komunal adalah sebuah seting yang dipengaruhi oleh tiga unsur selain unsur fisiknya yaitu manusia sebagai pelaku, kegiatan dan pikiran manusia (Purwanto, 2012). Terjadinya ruang komunal di rumah susun tidak lepas dari pemahaman interaksi manusia dengan lingkungannya. Masyarakat berpenghasilan rendah penghuni selaku penghuni rumah susun merupakan kelompok masyarakat dengan outdoor personality yang ditandai dengan tingginya interaksi sosial antar masingmasing individu dalam sebuah kelompok. Hal ini tidak terlepas dari budaya yang terbentuk sejak sebelum menghuni rumah susun. Oleh sebab itu, kebutuhan penghuni sekaligus masyarakat dari suatu lingkungan permukiman dalam hubungannya dengan kegiatan interaksi sosial adalah terpenuhinya kebutuhan untuk melakukan kontak sosial secara individu maupun kelompok (Anwar, 1998). H. Bonner (1980 dalam Anwar, 1998) mendefinisikan interaksi sosial sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya. 26 Soekanto (1990 dalam Anwar, 1998) menyatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa adanya interaksi tidak mungkin ada kehidupan bersama. Bahkan dengan adanya kontak badani saja antar individu tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup tersebut akan terjadi apabila kelompok sosial. Pergaulan hidup tersebut akan terjadi apabila kelompok orang perorang atau kelompok manusia bekerjasama saling berkomunikasi/ berbicara untuk mencapai tujuan. Arti penting dari suatu komunikasi apabila seseorang memberi tafsiran terhadap perilaku orang lain, dan perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut yang kemudian timbul reaksi atas perasaan yang diungkapkan orang lain tersebut. Dengan demikian interaksi sosial pada dasarnya dapat berbentuk kerjasama, persaingan atau pertikaian. Namun interaksi sosial juga mengarah pada salah satu tujuan masyarakat/ sistem yaitu untuk beradaptasi (Anwar, 1998). Dalam hal kegiatan interaksi sosial secara fisik merupakan kegiatan pertemuan baik antar individu maupun kelompok yang menempati suatu ruang tertentu secara bersama, baik dilakukan secara sadar maupun tidak. Ruang-ruang yang digunakan untuk kegiatan yang sifatnya bersama tersebut mempunyai fungsi sebagai ruang komunal. Rumah susun dengan struktur vertikal terdiri ruang komunal yang terencana maupun tak terencana. Ruang komunal yang terencana adalah ruang komunal yang sengaja dibuat untuk keperluan penghuni dalam melakukan kegiatan sifatnya komunal dan biasanya merupakan kegiatan formal, seperti rapat, arisan, maupun sosialisasi. Ruang ini bisa berupa ruang terbuka maupun ruang tertutup. Sementara ruang komunal tak terencana adalah ruang-ruang publik yang dimanfaatkan bagi kegiatan yang biasanya bersifat non formal, seperti bersantai dan bercengkrama antar penghuni. Ruang ini biasanya berupa hall, selasar, koridor, tempat parkir, maupun ruang-ruang publik lainnya yang terbentuk secara insidentil pada masing-masing lantai (Anwar, 1998). 2.3.3. Aspek Dasar dalam Perencanaan Rusunawa Rusunawa sebagai salah satu solusi pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah memerlukan standar 27 perencanaan sebagai dasar pembangunannya. Menurut Yudohusodo (1991), dalam membangun rumah sewa perlu diperhatikan beberapa aspek, yaitu: a. Aspek ekonomi Rumah susun sewa yang berdekatan dengan tempat kerja, tempat usaha atau tempat berbelanja untuk keperluan sehari-hari akan sangat menyelesaikan masalah perkotaan, terutama yang menyangkut membantu masalah transportasi dan lalu lintas kota.Perjalanan dari tempat tinggal ke tempat kerja dapat ditangulangi sendiri. Disamping itu dari segi pengeluaran rumah tangga, dekatnya tempat tinggal ke tempat kerja menekan biaya transportasi. b. Aspek lingkungan Pada setiap lingkungan perumahan yang dibangun membutuhkan sejumlah rumah tambahan bagi masyarakat yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yang berbeda. Melalui penerapan subsidi silang masih dimungkinkan membangun sejumlah rumah sewa yang dibiayai oleh lingkungan itu sendiri. c. Aspek tanah perkotaan Rumah susun sewa yang secara minimal dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat ini, tidak akan lagi memenuhi kebutuhan masyarakat di kemudian hari. Program peremajaan lingkungan dengan membangun kembali perumahan sesuai dengan standar yang dituntut, harus dilaksanakan agar lingkungan perkotaan tetap dapat terjamin kualitasnya. Dengan dikuasainya tanah dimana rumah susun sewa itu dibangun, program peremajaan lingkungan di masa mendatang dengan lebih mudah dapat dilaksanakan. d. Aspek investasi Pembangunan rumah susun sewa untuk masyarakat berpenghasilan rendah secara ekonomis kurang menguntungkan. Besarnya sewa tidak dapat menutup seluruh biaya investasinya. Akan tetapi apabila ditinjau dari nilai tanah perkotaan yang selalu meningkat sesuai dengan perkembangan kotanya, maka cadangan tanah yang dikuasai pemerintah akan selalu meningkat harganya. Dengan nilai tanah tersebut, akan terpenuhi pengembalian sebagian atau seluruhnya biaya investasi. 28 e. Aspek keterjangkauan Untuk dapat mencapai sasaran yang tepat maka tarif sewa disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, atas dasar penghasilan yang nyata dan besarnya pengeluaran rumah tangga. Letak keberhasilan pembangunan dan penghunian rumah susun sewa tergantung pada lokasinya. Oleh karena itu, lokasi rumah susun sewa harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: ļ· Berdekatan dengan pusat kegiatan kota dan bersifat strategis, teruatama yang berhubungan dengan lapangan kerja ļ· Masih berada dalam radius jangkauan pejalan kaki dari jaringan angkutan umum kota ļ· Sesuai dengan rencana peruntukan pengembangan tata ruang wilayah kota Hamzah (2000) menyatakan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah susun yaitu: a. Persyaratan teknis untuk ruangan Semua ruangan yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan udara luar dan pencahayaan dalam jumlah yang cukup. b. Persyaratan untuk struktur, komponen dan bahan-bahan bangunan Harus memenuhi persyaratan konstruksi dan standar yang berlaku yaitu harus tahan dengan beban mati, bergerak, gempa, hujan, angin, dan lain-lain c. Kelengkapan rumah susun terdiri dari: Jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan gas, saluran pembuangan air, saluran pembuangan sampah, jaringan telepon/ alat komunikasi, alat transportasi berupa tangga, lift atau eskalator, pintu dan tangga darurat kebakaran, penangkal petir, alarm, pintu kedap asap, generator listrik, dll. d. Satuan rumah susun ļ· Mempunyai ukuran standar yang dapat dipertanggung jawabkan dan memenuhi persyaratan sehubungan dengan fungsi dan penggunaannya. ļ· Memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti tidur, mandi, buang hajat, mencuci, menjemur, memasak, makan, menerima tamu, dan lai-lain. 29 e. Bagian bersama dan benda bersama ļ· Bagian bersama berupa fondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap, talang air, tangga, lift, selasar, saluran, pipa, jaringan listrik, gas, dan telekomunikasi. ļ· Benda bersama harus mempunyai dimensi, lokasi, serta kualitas dan kapasitas yang memenuhi syarat sehingga dapat menjamin keamanan dan kenikmatan bagi penghuni. Benda bersama berupa ruang pertemuan, tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana sosial, tempat ibadah, tempat bermain, dan tempat parkir yang terpisah atau menyatu dengan struktur bangunan rumah susun. f. Lokasi rumah susun ļ· Harus sesuai peruntukkan dan keserasian dengan memperhatikan rencana tata ruang dan tata guna tanah ļ· Harus memungkinkan berfungsi dengan baik saluran-saluran pembuangan dalam lingkungan ke sistem jaringan pembuangan air hujan dan limbah ļ· Harus mudah mencapai angkutan ļ· Harus dijangkau pelayanan jaringan air bersih dan listrik g. Kepadatan dan tata letak bangunan Harus mencapai optimasi daya guna dan hasil guna tanah dengan memperhatikan keserasian dan keselamatan lingkungan sekitarnya. h. Prasarana lingkungan Harus dilengkapi dengan prasarana jalan, tempat parkir, jaringan telpon, tempat pembuangan sampah. i. Fasilitas lingkungan Harus dilengkapi dengan ruang atau bangunan untuk berkumpul, tempat bermain anak-anak dan kontak sosial ruang untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk kesehatan, pendidikan, peribadatan, dll. Selain itu, menurut Kartahardja (1998 dalam Budihardjo, 1998) ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada waktu merencanakan rumah susun yaitu sebagai berikut: 30 a. Tempat bermain dan rekreasi Khususnya bagi anak-anak yang masih perlu diawasi dan para remaja, harus ada tempat bermain dan berolahraga di dekat rumah. b. Kegaduhan Oleh karena adanya kepadatan penduduk dan kepadatan penghunian yang tinggi, kegaduhan akan mengurangi kenyamanan hidup penghuni rumah susun. Untuk mengurangi gangguan suara, perlu dipirkan penggunaan material yang dapat memberikan isolasi suara yang optimal. c. Kebebasan penghuni Kebebasan (privacy) penghuni akan berkurang dengan bertambah kepadatan penghunian, anatar lain terdengarnya percakapan keluarga tetangga dan sebagainya. Oleh karena itu tata letak ruangan-ruangan dalm masing-masing unit rumah di rusun harus direncanakan dengan baik. d. Tempat menjemur pakaian Kebiasaan ibu-ibu rumah tangga di Indonesia untuk memanfaatkan panas matahari untuk menjemur pakaian sukar dirubah. Untuk memenuhi kebutuhan itu, perlu disediakan tempat baik di dalam maupun di luar rumah e. Tempat parkir kendaraan bermotor Letaknya tidak boleh berjauhan dari rusun. f. Lift g. Pembuangan sampah Sampah yang berasal dari tiap unit rusun dibuang ke bawah melalui sebuah terowongan vertical yang khusus untuk itu. h. Perubahan kebiasaan hidup i. Pemeliharaan rumah susun Kerusakan-kerusakan yang sering terjadi jika rumah susun baru didiami adalah keran dan saluran air bocor, aliran listrik putus, dan sebagainya. Supaya kerusakan itu dapat segera diperbaiki di tiap bangunan rumah susun sebaiknya ada seorang ahli teknik atau tim pemeliharaan bangunan yang siap sedia selama 24 jam. 31 2.4. Sintesa Kajian Pustaka dan Teori Sintesa kajian pustaka dan teori merupakan uraian tentang teori, temuan dan bahan penelitian lain yang diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian untuk menyusun kerangka pemikiran yang jelas dari perumusan masalah yang ingin diteliti. Fokus penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pola adaptasi penghuni pada Rumah Susun Urip Sumohardjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. Sintesa kajian pustaka dan teori dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini: Tabel 2.1. Sintesa Kajian Pustaka dan Teori Sumber Newmark & Thompson (1977); Soebroto (1998); Panudju (1999); Respati (2012) Sintesa Rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah itu mampu memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Tidak hanya sekedar berwujud shelter, tetapi sebagai home 2. Mampu mewadahi outdoor personality 3. Mampu meningkatkan kesejahteraan 4. Lokasi tidak terlalu jauh dari tempat kerja 5. Status kepemilikan lahan dan rumah jelas 6. Bentuk dan kualitas bangunan tidak perlu terlalu baik 7. Sesuai dengan tingkat pendapatan Brower (1976); Altman (1980); Bell (2001); Beaudry & Alain (2005); Sangalang (2013) 1. Untuk beradaptasi, manusia melakukan perilaku penyesuaian diri (coping behavior). 2. Proses beradaptasi yang dilakukan manusia akan menciptakan teritorialitas. Secara fisik ditandai dengan adanya penempatan (occupancy.) 3. Keterikatan pada tempat (place attachment) merupakan ekspresi simbolik dari teritorialitas. Karta Sapoetra, (1987); Gerungan, (1991); Cockcroft, (2009) Strategi penyesuaian diri manusia terbagi menjadi 2 yaitu: 1. Mengubah individu sesuai dengan keadaan lingkungan (pasif/akomodasi) 2. Mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan individu (aktif/asimilasi). Hussein el Sharkawy (1979) Empat tipe territorial, yaitu: 1. Attached territory adalah personal space individu 2. Central territories adalah ruang privat 3. Supporting territories adalah ruang semi-privat dan semi-publik 4. Peripheral territories adalah ruang publik 32 Sumber Russell & Snodgrass (1987); Williams & Roggenbuck (1989); William & Carr (1993); Cuba & Hummon (1993) Sintesa Place attachment terbagi dalam dua dimensi, yaitu: 1. Ketergantungan terhadap tempat (place dependence), disebabkan kegunaan tempat tersebut untuk memuaskan kebutuhan dan tujuan seseorang (keterikatan fungsi), 2. Identitas tempat (place identity) yaitu ikatan emosional terhadap tempat sebagai wujud identitas diri. Kusuma (2008) Faktor yang mempengaruhi perasaan keterikatan pada tempat (place attachment) pada hunian MBR di Indonesia, yaitu: 1. Hubungan baik antar tetangga. 2. Kenyamanan, 3. Aksesibilitas yang baik, 4. Jarak tempat kerja, 5. Status kepemilikan, 6. Lama tinggal, 7. Keamanan lingkungan, 8. Ketiadaan alternatif tempat tinggal yang lain, 9. Keterjangkauan sewa hunian Sumber: kajian pustaka dan teori, 2014 33 2.5. Kerangka Pikir 1. Perkembangan kota yang pesat mempengaruhi kondisi lingkungan, menciptakan kawasan kumuh 2. Pemerintah Kota Surabaya sebagai otoritas pemegang kebijakan kota melakukan perbaikan permukiman kumuh melalui pembangunan rumah susun 3. Dari 18 rusun di Surabaya, dua diantaranya adalah Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Karakteristik kedua rusun berbeda, Rusun Urip Sumohardjo dibangun sebagai upaya urban renewal, Rusun Tanah Merah I dibangun sebagai program resettlement. 4. Menempati rumah susun menuntut penyesuaian diri secara psikis dan kepribadian (outdoor personality) maupun integrasi secara sosial dalam lingkungan kampung. 5. Bentuk adaptasi dapat diidentifikasi melalui identifikasi perilaku penyesuaian diri (coping behavior), pembentukan teritorialitas dan perasaan keterkaitan pada tempat. Bagaimana pola adaptasi yang dibentuk oleh penghuni pada Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I? 1. Mengidentifikasi perilaku penyesuaian diri (coping behavior) yang dilakukan oleh penghuni di Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. 2. Mengidentifikasi teritorialitas yang dibentuk oleh penghuni di Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. 3. Mengidentifikasi keterikatan pada tempat (place attachment) yang dirasakan oleh penghuni terhadap Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. Teori Adaptasi Teori Coping behavior Teori Teritorialitas Teori Place attachment Sintesa Pengumpulan Data Identifikasi perilaku penyesuaian diri (coping behavior) Identifikasi teritorialitas yang terbentuk Pola adaptasi penghuni pada Rumah Susun Urip Sumohardjo dan Rumah Susun Tanah Merah I Kesimpulan & Saran Gambar 2.5 Kerangka Pikir 34 Identifikasi keterikatan pada tempat (place attachment) BAB 3 METODE PENELITIAN Pemilihan metode penelitian menjadi prasayarat utama serta menjadi salah satu indikator dalam sebuah penelitian ilmiah. Bab ini memberikan gambaran tentang metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam bab ini akan dibahas mengenai paradigma penelitian, jenis penelitian, alasan pemilihan lokasi penelitian, sampel dan instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, desain penelitian, variabel penelitian, serta teknik analisa data. 3.1 Paradigma dan Metode Penelitian Untuk memperoleh gambaran gambaran mengenai pola adaptasi penghuni pada Rumah Susun, maka metode pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan strategi pendekatan yang digunakan adalah studi kasus. Menurut Creswell (2013), penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat konstuktivisme. Filsafat konstuktivisme ini menggunakan paradigma naturalistik karena penelitiannya digunakan untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci. Format penelitian yang digunakan pada metode penelitian kualitiatif ini adalah format deskriptif dengan jenis studi kasus (Bungin, 2001). Jadi format penelitian deskriptif studi kasus ini dimaksudkan untuk menjabarkan pola perilaku penghuni Rumah Susun Urip Sumohardjo dan Rumah Susun Tanah Merah I dan pembentukan teritorialitas serta perasaan keterikatan antara penghuni dengan rumah susun. Semua hal ini ditujukan untuk menjelaskan gambaran mengenai pola adaptasi penghuni pada Rumah Susun Urip Sumohardjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. 3.2 Lokasi Penelitan Lokasi penelitian ini ditujukan pada rumah susun yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau dikenal dengan istilah Rusunawa (Rumah 35 Susun Sederhana Sewa) di Kota Surabaya. Dari 18 rumah susun yang ada di kota ini, dipilih dua rumah susun yang akan dijadikan sebagai objek penelitian yaitu Rumah Susun Urip Sumohardjo yang terletak di Kel. Embong Kali Asin dan Rumah Susun Tanah Merah I yang terletak di Kel. Tanah Kali Kedinding. Alasan pemilihan objek penelitian ini didasarkan pada pertimbangan: 1) Kota Surabaya merupakan satu diantara 10 kota di Indonesia yang menjadi prioritas program nasional pembangunan rumah susun layak huni. 2) Pemilihan objek studi berupa Rusunawa atau rumah susun sederhana sewa disebabkan karena melihat fenomena jumlah MBR yang mendaftar ingin tinggal di rumah susun, khususnya di Kota Surabaya, semakin mengalami peningkatan hingga 3000 KK pada tahun 2014. Hal ini membuktikan bahwa minat masyarakat untuk menghuni rumah susun semakin tinggi. 3) Pemilihan dua studi kasus yaitu Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I disebabkan karena dua rusun ini dinilai mampu merepresentasikan rumah susun di Kota Surabaya secara umum. Pertama, adanya perbedaan lokasi rusun dimana Rusun Urip Sumoharjo sebagai representasi rumah susun yang berada di pusat kota Surabaya, sementara Rusun Tanah Merah I sebagai representasi rumah susun yang berada di pinggiran kota Surabaya. Kedua adanya perbedaan kebijakan pembangunan dari kedua rumah susun tersebut. Rusun Urip Sumohardjo dibangun sebagai upaya urban renewal (peremajaan kota) sedangkan Rusun Tanah Merah I dibangun sebagai program resettlement (relokasi). Diharapkan perbedaan karakter kedua rusun ini bisa memberikan varian mengenai karakteristik penghuni serta pola adaptasinya di kedua rumah susun yang akan diteliti tersebut. 3.3 Populasi dan Sampel Populasi menurut Sugiyono (2012) adalah objek penelitian sebagai sasaran untuk mendapatkan dan mengumpulkan data. Sedangkan sampel adalah populasi yang dituju atau yang akan dijadikan obyek kasus. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang menempati kedua rumah susun yang menjadi objek penelitian. Penentuan sampel menurut Sevilla (1993) adalah untuk penelitian deskriptif, ukuran minimum yang bisa diterima adalah 10% dari 36 populasi. Namun karena besaran populasi belum diketahui dan mengingat waktu penelitian, maka jumlah sampel yang diambil adalah 50 responden yang dipilih sesuai kriteria (Sevilla, 1993). Menurut Sudjana (1997), tidak ada ketentuan yang rumus yang pasti dalam penentuan besaran sampel sebab keabsahan sampel terletak pada sifat dan karakteristiknya apakah mendekati populasi atau tidak. Minamal sampel ialah sebanyak 30 responden. Hal ini didasarkan pada perhitungan atau syarat pengujian yang lazim digunakan statistika. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara purposive untuk menentukan key person. Pemilihan sampel didasarkan pada kemampuan responden memberikan kontribusi pada pemahaman tentang fenomena yang akan diteliti, misalnya kepala keluarga atau ibu rumah tangga yang lebih bisa memberikan informasi terkait tujuan penelitian. Jumlah responden dalam penelitian ini didasarkan atas pertimbangan informasi yang diperlukan. Karena tidak ada data populasi penghuni secara keseluruhan, maka jumlah responden diambil sebanyak 50 orang per rumah susun, mengacu pada Sevilla (1993). Penentuan responden dilakukan secara acak, dimana setiap penghuni mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi responden. Akan tetapi dalam penelitian ini diutamakan responden yang mempunyai kedudukan dan kompetensi lebih untuk memberikan informasi yang banyak sesuai dengan tujuan penelitian. Pilihan responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Sekelompok penghuni pria (suami) dan sekelompok penghuni wanita (istri) yang menjadi penghuni tetap rumah susun. Tiap satu unit hunian diwakili oleh satu orang responden. Sehingga total responden berjumlah 50 orang yang tersebar pada 50 unit hunian di rumah susun. Disamping itu, tingkatan lantai hunian juga menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan responden. Tiap lantai minimal diwakili oleh 3-4 orang responden. 2) Ketua RT atau Ketua RW juga menjadi pilihan sebagai responden karena disamping sebagai penghuni, posisinya juga sebagai narasumber yang bisa memberikan informasi lebih banyak dalam penggalian informasi yang baru. 37 3.4 Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari dua jenis yaitu data primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut: a. Data Primer Teknik pengumpulan data primer yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan triangulasi teknik/ metode yaitu gabungan dari tiga teknik dibawah ini: 1) Observasi/ pengamatan Obyek pengamatan dalam penelitian kualitatif menurut James (1980 dalam Sugiyono, 2012) dinamakan sistuasi sosial, yang terdiri atas tiga komponen yaitu place (tempat), actor (pelaku) dan activities (aktivitas). Teknik observasi yang dilakukan berupa pemetaan perilaku (behavioural mapping). Menurut Haryadi (1995), behavioural mapping digambarkan sebagai cara untuk mengungkap pola-pola ruang yang tercipta akibat hubungan timbal balik antara manusia dengan ruang, diwujudkan dalam bentuk sketsa dan diagram mengenai suatu area dimana manusia melakukan kegiatannya. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perilaku dalam peta, mengidentifikasi jenis frekuensi perilaku, serta menunjukkan kaitan perilaku dengan wujud perancangan yang spesifik. 2) Wawancara/ interview Wawancara dilakukan secara mendalam (in depth interview) terhadap penghuni kedua rumah susun yang menjadi lokasi penelitian untuk mendapatkan informasi dan opini atau pendapat dari narasumber terkait respon atau persepsi mengenai adaptasi terhadap hunian. Wawancara berupa percakapan, tanya jawab, tindakan narasumber terhadap objek yang diteliti. Alat pengumpulan data wawancara berupa kuesioner dan pedoman wawancara. 3) Dokumentasi Dokumentasi adalah mengumpulkan atau menangkap data/informasi yang dilakukan secara visual. Dilakukan dengan menggunakan kamera. Hasil dokumentasi pada lokasi Rusunawa lalu diinterpretasikan oleh peneliti dengan melakukan komentar terhadap hasil visualisasi tersebut. Hasil 38 interpretasi ini digunakan untuk mendapatkan informasi lain yang kemungkinan bisa dikembangkan. b. Data Sekunder Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Studi literatur ini terdiri dari tinjauan teori dan pengumpulan data-data dari instransi terkait. Untuk tinjauan teori, kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah teori-teori dari buku maupun jurnal yang keabsahan dan validitas teorinya dapat dipertanggungjawabkan dan berkaitan dengan pembahasan studi. Sementara itu, untuk pengumpulan data dari instansi terkait guna mendukung pembahasan studi. Instansi-instansi tersebut dinataranya adalah BAPPEKO Kota Surabaya, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya dan Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya yang membawahi UPTD Rumah Susun di Kota Surabaya. 3.5 Desain Penelitian Desain artinya rencana, tetapi apabila dikaji lebih lanjut kata itu dapat berarti pula pola, potongan, bentuk, model, tujuan dan maksud (Echols & Hassan Shadily, 1976 dalam Bungin, 2001). Selain itu, Lincoln dan Guba (1985 dalam Bungin, 2001) mendefinisikan rancangan penelitian sebagai usaha merencanakan kemungkinan-kemungkinan tertentu secara luas tanpa menunjukkan secara pasti apa yang akan dikerjakan dalam hubungan dengan unsur masing-masing. Dalam penelitian ini, desain penelitian digunakan untuk menjabarkan sasaran yang ingin dicapai, dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini: 39 Tabel 3.1. Desain Penelitian No 1 Sasaran Jenis Data Primer, Sekunder Mengidentifikasi perilaku penyesuaian diri (coping behavior) yang dilakukan oleh penghuni di Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. 2 Mengidentifikasi Primer teritorialitas yang dibentuk oleh penghuni di Rumah Susun Urip Sumohardjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. 3 Mengidentifikasi Primer keterikatan pada tempat (place attachment) yang dibangun antara penghuni dengan huniannya di Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. Sumber: Hasil olahan data, 2014 3.6 Bentuk Kegunaan Sumber Data Deskriptif Kualitatif Mengetahui pola perilaku penyesuaian diri yang dilakukan oleh penghuni Observasi, Wawancara, Dokumentasi, Deskriptif Kualitatif Mengetahui karakteristik teritorialitas yang dibentuk oleh penghuni Observasi, Wawancara, Dokumentasi, Deskriptif Kualitatif Mengetahui bentuk keterikatan pada tempat antara penghuni terhadap rumah susun Observasi, Wawancara, Variabel Penelitian Untuk memudahkan dalam melakukan penelitian, baik dalam tahapan pengambilan data maupun analisis, maka sangat penting untuk menentukan variabel penelitian. Variabel penelitian dirumuskan dari sintesa kajian pustaka dan teori yang digunakan, lalu dijabarkan melalui indikator penelitian seperti ditampilkan pada Tabel 3.2 berikut ini: 40 Tabel 3.2. Variabel Penelitian No 1 Sasaran Mengidentifikasi perilaku penyesuaian diri (coping behavior) yang dilakukan oleh penghuni di Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. 2 Mengidentifikasi teritorialitas yang dibentuk oleh penghuni di Rumah Susun Urip Sumohardjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. 3 Mengidentifikasi keterikatan pada tempat (place attachment) yang dirasakan oleh penghuni terhadap huniannya di Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. Parameter Penyesuian diri pasif/akomodasi Penyesuaian diri aktif/asimilasi Batas teritori Variabel Perspesi mengenai kelengkapan rumah susun, yang terdiri dari: ļ· Satuan rumah susun: ruang kamar, dapur, ruang menjemur, WC/kamar mandi, ruang tamu, pencahayaan dan penghawaan ļ· Benda bersama: tempat bermain anak, penerangan, tempat parkir, mushala, BLC/ruang komputer dan ruang pertemuan ļ· Bagian bersama: jaringan air bersih, jaringan listrik, saluran pembuangan air, saluran pembuangan sampah, tangga, koridor dan selasar ļ· Ruang komunal (Hamzah, 2000; Anwar, 1998) ļ· Jenis ruang ļ· Bentuk ruang (Burhanuddin, 2010) Jenis aktivitas ļ· Kegiatan yang berlangsung ļ· Penempatan pembatas ruang (Burhanuddin, 2010) Perasaan keterikatan ļ· Hubungan baik antar dengan rumah susun tetangga. ļ· Kenyamanan, ļ· Aksesibilitas yang baik, ļ· Jarak tempat kerja, ļ· Status kepemilikan, ļ· Lama tinggal, ļ· Keamanan lingkungan, ļ· Ketiadaan alternatif tempat tinggal yang lain, ļ· Keterjangkauan sewa hunian (Kusuma, 2008) Sumber: Hasil olahan data, 2014 3.7 Teknik Analisis Data Sejalan dengan pendapat Groat dan Wang (2002), analisa data kualitiatif dalam penelitian ini menggunakan model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (1984 dalam Sugiyono, 2012), mengemukakan bahwa aktivitas dalam 41 analisis data kualitatif dilakukan secara terus menerus sejak melakukan penelitian hingga penelitian selesai. Pengelolaan dan analisis data dalam skema kerja penelitian kualitatif bersifat terus-menerus, sejak pencarian data dan informasi di lapangan hingga penyusunan laporan pasca pengambilan data. Ada tiga macam kegiatan dalam analisa data kualitatif yaitu reduction data (reduksi data), data display (penyajian data) dan conclusion drawing/ verification (penarikan/ verifikasi kesimpulan) a) Data reduction (Reduksi Data) Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Langkah-langkah yang dilakukan adalah menajamkan analisis, menggolongkan atau pengkategorisasian ke dalam tiap permasalahan melalui uraian singkat, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Sugiyono, 2012). Dalam penelitian ini reduksi data dilakukan melalui pengumpulan data primer yaitu observasi, wawancara kepada penghuni dan pengelola rumah susun, dan dokumentasi. Selain data primer, juga terdapat data sekunder yang diperoleh melalui arsip dokumen milik instansi pemerintah Kota Surabaya, seperti Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya, BAPPEKO Kota Surabaya dan Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya. selain itu data sekunder juga diperoleh dari penelitian sebelumnya baik itu skripsi, tesis maupun disertasi yang menyangkut studi rumah susun di Kota Surabaya. Tujuan dari pengumpulan data sekunder ini adalah untuk mengetahui profil atau gambaran umum serta gambar kerja site plan rumah susun di Kota Surabaya. Untuk data primer awal didapatkan melalui metode wawancara. Kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai karakteristik masyarakat penghuni Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I secara umum, berupa kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Wawancara ini dilakukan kepada narasumber yang dinilai oleh peneliti mempunyai kapasitas yang baik untuk menilai secara objektif mengenai kondisi masyarakat penghuni rusun secara garis besar, seperti staf pengelola rumah susun, kepala UPTD rumah susun, serta ketua RT atau RW 42 di wilayah rumah susun yang bersangkutan. Selain wawancara, juga dilakukan observasi berupa pengamatan langsung disertai dengan aktivitas dokumentasi pada Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik bangunan seperti ketersediaan dan kondisi sarana dan prasarana dan aktivitas masyarakat penghuni rumah susun. Setelah data survei awal dikumpulkan, lalu data direduksi dengan cara dikelompokkan menurut kebutuhannya untuk menjawab sasaran penelitian. Adapun perolehan data mengenai hal-hal yang tidak relevan dengan survei awal ini, tidak dimasukkan dalam penyajian hasil awal, namun tetap disimpan bila diperlukan dalam kegiatan pengumpulan data utama. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data primer utama. Aktivitas ini diawali dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa kuesioner. Kuesioner ini disebar kepada responden pada Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Hasil kuesioner ini selanjutnya dianalisa dengan mengunakan analisis statistik deskriptif yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2012). Hasil pengolahan tersebut selanjutnya dipaparkan dalam bentuk angka-angka sehingga memberikan suatu kesan lebih mudah ditangkap maknanya oleh siapapun yang membutuhkan informasi tentang keberadaan gejala tersebut. Dalam analisis deskriptif ini, nilai-nilai yang diperoleh diwakili oleh mean (rata-rata). Kemudian dalam kuesioner digunakan skala pengukuran yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif. Dari sekian banyak jenis skala yang telah dikembangkan, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan Skala Likert dalam pembobotan data-data yang diperoleh. Skala Likert itu sendiri menurut Sugiyono (2012) adalah skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian fenomena sosial ini, telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang 43 selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian. Dalam penelitian ini Skala Likert dan nilai (skoring) yang di gunakan seperti pada Gambar 3.1. dibawah ini: Gambar 3.1. Skala Likert Selama mengumpulkan hasil kuesioner tersebut, peneliti juga melakukan wawancara kepada responden. Tujuannya untuk mendapatkan penjelasan dan pemaknaan yang lebih spesifik dari isi kuesioner yang diberikan. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara secara mendalam (in depth interview) kepada narasumber yang dianggap memiliki pengetahuan dan pemahaman lebih luas terhadap pengalaman menempati dan menghuni rumah susun. Wawancara ini dilakukan kepada ketua paguyuban penghuni masing-masing rumah susun. Tujuannya untuk memberikan perspektif yang lebih holistik mengenai kondisi penghuni dan penghunian rumah susun, baik itu Rusun Urip Sumoharjo maupun Rusun Tanah Merah I. Sebagai hasil dari pengumpulan data baik awal maupun utama, maka menyebabkan jumlah data juga semakin banyak, serta semakin kompleks dan rumit. Untuk itulah diperlukan reduksi data sehingga data tidak betumpuk dan mempersulit analisis selanjutnya. Oleh karena itu, tahap ini berusaha memasukkan data yang relevan saja terhadap penelitian dan kemudian menganalisisnya sesuai dengan teknik analisis yang digunakan. b) Data display (penyajian data) Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Miles dan Haberman (1984 dalam Sugiyono, 2012) menyatakan bahwa yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Selanjutnya disarankan dalam melakukan display data, selain dengan teks naratif, juga dapat berupa grafik, matriks dan chart sesuai dengan data yang tersedia. Pada penelitian ini, data disajikan dalam beberapa bentuk sebagai berikut: 44 1) Data teks dan numerik. Data ini dihasilkan dari hasil analisis kuesioner dan wawancara kepada responden. Data numeric dari skala likert dibauat dalam bentuk diagram lalu kemudian diinterpretasikan dengan analisis statistik deskriptif serta dilengkapi dengan data teks hasil narasi wawancara yang disusun sesuai kategori variabelnya. 2) Data gambar berupa peta lokasi, citra udara dan site plan dari Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Data ini digunakan untuk menjelaskan posisi lokasi studi dalam wilayah Kota Surabaya dan letak fasilitas dan utilitas yang dimiliki rumah susun. 3) Foto hasil dokumentasi, baik berupa foto lingkungan fisik maupun foto aktivitas masyarakat penghuni Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Foto ini digunakan sebagai visualisasi dari data teks agar pembaca dapat menangkap gambaran penjelasan secara lebih baik dan utuh. c) Conclusion drawing/ verification (penarikan/ verifikasi kesimpulan) Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman (1984 dalam Sugiyono, 2012) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan adalah tinjauan ulang pada catatan di lapangan atau kesimpulan dapat ditinjau sebagai makna yang muncul dari data yang harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya, yaitu yang merupakan validitasnya. Kesimpulan merupakan tinjauan terhadap catatan yang telah dilakukan di lapangan sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah usaha untuk mencari atau memahami makna/arti, keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat atau proposisi. Pada saat menarik kesimpulan awal, biasanya yang dikemukan masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Proses untuk mendapatkan bukti-bukti inilah yang disebut sebagai verifikasi data. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang kuat dalam arti konsisten dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti kembali ke lapangan maka kesimpulan yang diperoleh merupakan kesimpulan yang kredibel. Bila kesimpulan dinilai kurang, 45 maka penulis dapat kembali ke lapangan untuk rnengumpulkan data tambahan (Sugiyono, 2012). 3.8 Kerangka Analisis Kerangka analisis dibuat dengan tujuan untuk mengorganisasikan, mengelompokkan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sesuai dengan kebutuhan. Proses mengelola data akan dijadikan informasi untuk mencapai tujuan penelitian. Kerangka analisis penelitian ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu: input yang berdasarkan sasaran penelitian dan data yang dibutuhkan, proses yaitu metode penelitian yang digunakan, serta output hasil analisis yang diharapkan. Kerangka analisis dapat dilihat pada Gambar 3.2 berikut ini: 46 Input Proses Gambar 3.2. Kerangka Analisis 47 Output Rumusan Masalah Bagaimana pola adaptasi yang dibentuk oleh penghuni pada Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I? Teori: - Adaptasi - Teritorialitas - Coping behavior - Place attachment PENGUMPULAN DATA LITERATUR PENDAHULUAN 3.9. Tahapan Penelitian variabel-variabel Pengumpulan data primer: Observasi, wawancara, dokumentasi, sketsa Pengumpulan data sekunder: Jurnal, penelitian terdahulu dan penelitian berkaitan, laporan proyek, data monografi TAHAP ANALISA Triangulasi metode Identifikasi perilaku penyesuaian diri (coping behavior) Identifikasi teritorialitas yang terbentuk Identifikasi perasaan keterikatan pada tempat (place attachment) HASIL Analisa kualitatif deskriptif Pola adaptasi penghuni pada Rumah Susun Urip Sumohardjo dan Rumah Susun Tanah Merah I Gambar 3.3. Tahapan Penelitian 48 BAB 4 GAMBARAN UMUM 4.1. Rumah Susun di Kota Surabaya Pada dasarnya pembangunan rumah susun di perkotaan diharapkan menjadi solusi bagi penataan kawasan kumuh sebagai upaya pemerintah guna memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan akan papan yang layak dalam lingkungan yang sehat. Selain itu, pembangunan rumah susun juga diharapkan akan membantu mengatasi kemacetan lalu lintas dan dapat menekan serta menghemat biaya transportasi yang pada akhirnya dapat menekan inefisiensi di dalam pembangunan ekonomi kota. Selain itu, hal ini juga dijadikan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pengadaan lahan yang sangat sulit didapat di wilayahwilayah kota-kota besar di negara berkembang, seperti Indonesia yang sangat padat penduduknya akibat urbanisasi. Salah satu alasan pemerintah Kota Surabaya dalam memutuskan untuk membangun rumah susun adalah masih adanya kantong-kantong kampung yang keadaannya hampir tidak membaik sama sekali, walaupun telah pelaksanaan KIP telah berjalan semenjak tahun 1979. Selain itu, pembangunan rumah susun dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan hunian yang layak dan sehat. Rumah susun yang direncanakan adalah rumah susun yang disewakan kepada warga kota yang berpenghasilan tidak saja terbatas tapi juga tidak menentu. Gagasan ini dilanjutkan sampai dengan pembangunan rumah susun sewa pertama di Surabaya yaitu di Kampung Dupak Bangunrejo pada tahun 1988. Inilah yang menjadi tonggak awal era pembangunan rumah susun di Kota Surabaya yang masih berlangsung hingga saat ini (tahun 2014). Ternyata minat warga Surabaya untuk bisa menghuni rumah susun sewa (rusunawa) cukup besar. Hal ini dibuktikan dengan jumlah antrian masyarakat yang ingin menghuni rumah susun mencapai diatas 3000 orang (http://www.surabayakita.com). Berdasarkan Peraturan Walikota Surabaya No. 72 49 Tahun 2013, hingga tahun 2013 telah terdapat 18 buah rumah susun terbangun di Kota Surabaya yang terbagi dalam 3 wilayah operasional yaitu sebagai berikut: a. UPTD Rumah Susun Surabaya I, meliputi Rumah Susun Urip Sumoharjo, Rumah Susun Grudo, Rumah Susun Jambangan, Rumah Susun Siwalankerto dan Rumah Susun Warugunung; b. UPTD Rumah Susun Surabaya II, meliputi Rumah Susun Sombo, Rumah Susun Dupak Bangunrejo, Rumah Susun Pesapen, Rumah Susun Romokalisari dan Rumah Susun Bandarejo Sememi; c. UPTD Rumah Susun Surabaya III, meliputi Rumah Susun Penjaringansari I, Rumah Susun Penjaringansari II, Rumah Susun Penjaringansari III, Rumah Susun Wonorejo I, Rumah Susun Wonorejo II, Rumah Susun Randu, Rumah Susun Tanah Merah I dan Rumah Susun Tanah Merah II. Gambar 4.1. Peta Persebaran Rumah Susun di Kota Surabaya tahun 2012 (Sumber: BAPPEKO Surabaya, 2014) 4.2. Rumah Susun Urip Sumoharjo 4.2.1. Lokasi dan Sejarah Pembangunan Rumah Susun Urip Sumoharjo, terletak di Jl. Urip Sumoharjo, Kelurahan Embong Kali Asin, Kecamatan Genteng. Rumah susun ini memiliki luas ± 3.500 m² dan terdiri atas 1 RW dan 3 RT yaitu RW XIV/RT 1,2,3. 50 Gambar 4.2. Citra Satelit Rumah Susun Urip Sumoharjo (Sumber: Google Earth, 2014) Pembangunan rumah susun yang didirikan tahun 1982 ini berlangsung selama 3 tahun, oleh yaitu PT. Barata Indonesia. Pembangunan rusun dimaksudkan sebagai salah satu upaya penanganan bencana kebakaran yang terjadi pada tahun yang sama di lokasi tersebut. Kebakaran yang berpusat di pusat perbelanjaan Horison ini melalap habis perkampungan Keputran Kejambon 1 yang dihuni 120 KK. Keinginan warga pada saat itu adalah tetap tinggal dilokasi, karena warga telah menempati lahan tersebut berdasarkan Izin Pemakaian Tanah (IPT) yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Kota Surabaya, sehingga diputuskan untuk membangun rumah susun. Dalam pelaksanaan pembangunannya, warga menetap sementara di daerah Makam Kecacil Pandegiling di barak-barak yang telah disediakan oleh Pemerintah Kota dengan bantuan LSM. Setelah hampir 20 tahun menghuni, pada tahun 2003 pemerintah kota meremajakan bangunan rumah susun yang sebagian besar sudah tidak layak huni ini, terutama konstruksinya yang telah rusak. Setelah melakukan proses desain yang melibatkan penghuni lama, pada tahun 2004, mulai diwujudkan pembangunan kembali rumah susun ini dan selesai pada tahun 2006. 51 Lapangan Ruang serbaguna Blok Hunian Gambar 4.3. Site Plan Rusun Urip Sumoharjo (Sumber: Kusumaningrum, 2010) 4.2.2. Kondisi Fisik Bangunan Setelah dilakukan peremajaan, kompleks rumah susun yang baru terdiri dari 3 blok hunian (Blok A, B, C) yang terdiri dari 124 unit, dimana 123 unit dipakai sebagai hunian dan 1 unit sebagai ruang pengelola, 1 bangunan serbaguna beserta musholla. Untuk pembagian jumlah unit hunian, Blok A dan Blok B terdiri atas 11 unit/lantai dan Blok C terdiri 9 unit/lantai. Bangunan berkonsep arsitektur tropis ini pada setiap unitnya memiliki luas 5 m x 3 m persegi dan bagian servis 2 m x 3 m. Selain itu, rumah susun ini dilengkapi dengan selasar selebar 2 m yang orientasi bangunannnya menghadap ke luar gedung atau ke arah jalan. Adapun konstruksi dari rumah susun ini terdiri dari: a. Struktur utama rangka memakai baja b. Plat lantai dari beton dan dikeramik c. Dinding bata, diplester dan dicat. Pada dinding selasar dilengkapi dengan roster. d. Atap genteng 52 Gambar 4.4. Kondisi Fisik Rumah Susun Urip Sumoharjo (Sumber: Dokumentasi Survei, 2014) Tarif sewa Rumah Susun Urip Sumoharjo ini ditentukan berdasarkan Peraturan Walikota Surabaya No. 14 Tahun 2013. Tarif ini ini telah disesuaikan dengan tingkat kemampuan penghuni, yaitu Lantai I sebesar Rp. 105.000, Lantai II sebesar Rp. 95.000, Lantai III sebesar Rp.85.000, dan Lantai IV sebesar Rp. 75.000. Jangka waktu penghunian rumah susun ini diatur dalam Perda Kota Surabaya No. 2 tahun 2010 yaitu selama 3 tahun dengan ketentuan dapat memperpanjang izin pemakaian rumah susun sebanyak dua kali. Namun, peraturan ini pada tahun 2012 (www.lensaindonesia.com) rupanya digugat oleh warga penghuni rumah susun yang tergabung dalam paguyuban Rumah Susun Surabaya, sehingga kemudian perda ini direvisi kedalam Perda Kota Surabaya No. 15 tahun 2012 menjadi tidak ada jangka waktu batasan dalam penghunian. 4.2.3. Kondisi Penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo ini ditempati oleh 123 KK yang menempati 123 unit hunian. Blok A diisi oleh 43 KK karena 1 unit dijadikan sebagai kantor pengelola, Blok B diisi oleh 44 KK dan Blok C diisi oleh 36 KK.. Mayoritas penghuni adalah warga asli kampung Keputran Kejambon 1 yang telah menempati rusun ini sejak tahun 1985 dan penghunian rumah susun ini diwariskan secara turun temurun. Rata-rata penghuninya berusia kategori dewasa madya (40-60 tahun) dan usia lanjut (60 tahun ke atas). Sebagian besar penghuni pada Rusun Urip Sumoharjo ini berasal dari suku Jawa dan merupakan warga asli Surabaya. Jenis pekerjaan mayoritas penghuninya 53 adalah pekerjaan tidak tetap, seperti buruh, pedagang, supir dan hanya beberapa yang berprofesi sebagai PNS. Aktivitas penghuni di rumah susun ini dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Kegiatan keagamaan. Di rumah susun ini terdapat 1 Mushala yang diperuntukkan bagi aktivitas keagamaan rutin yang dilakukan oleh penghuni seperti shalat, pengajian serta acara peringatan hari-hari besar Islam. b. Kegiatan sosial. Kegiatan sosial warga dipusatkan pada balai RW. Aktivitas yang rutin dilakukan adalah arisan warga dan kegiatan posyandu yang diadakan oleh ibu-ibu PKK. c. Kegiatan olahraga. Kegiatan olahraga dipusatkan pada lapangan yang terletak di tengah rumah susun. Kegiatan rutin yang dilakukan adalah senam lansia dan lomba memperingati hari kemerdekaan Indonesia. d. Kegiatan bermain dan belajar anak. Untuk kegiatan belajar, ditunjang dengan adanya BLC yang memberikan pelatihan komputer gratis dan tersedianya taman baca yang terdapat dibalai RW. Untuk kegiatan bermain, pada rusun ini belum tersedia fasilitas penunjang bermain anak sehingga mayoritas anakanak bermain dibagian bersama rumah susun seperti selasar, tangga atau lapangan olahraga. 4.2.4. Kondisi Utilitas Bangunan rumah susun Urip Sumoharjo ini juga dilengkapi dengan sistem utilitas dengan kondisi cukup baik antara lain: a. Air bersih menggunakan air PDAM. Rumah susun ini dilengkapi tandon air berjumlah 3 buah/blok di lantai dasar untuk menampung air dari jaringan pipa air utama, kemudian air dipompa ke tandon yang berada di lantai atap yang berjumlah 2 buah/blok. Selanjutnya air didistribusikan ke masing-masing unit dengan sistim gravitasi. b. Listrik 900 watt dengan meteran listrik di setiap unit. c. Lampu jalan dalam kondisi baik dan berfungsi. d. Persampahan ditangani oleh pengelola rusun bagian kebersihan, dilengkapi dua gerobak sampah. Iuran sampah berasal dari urunan warga yang dikelola oleh ketua RW. 54 e. Drainase berfungsi dengan baik. Tidak pernah terjadi genangan air apabila hujan. f. Hidran tidak berfungsi. (a) b) (c) (d) Gambar 4.5. Utilitas di Rumah Susun Urip Sumoharjo (a) Panel Listrik (b) Meteran Air (c) Hidran (d) Gerobak Sampah (Sumber: Dokumentasi Survei, 2014) 4.2.5. Kondisi Fasilitas Selain penataan rumah susun diarahkan pada zoning fungsi privat pada hunian yaitu di blok A, B dan C, rumah susun Urip Sumoharjo ini pula dilengkapi dengan zoning publik pada fasilitas umum di lantai dasar yang terdiri dari Pendopo/Balai RW, musholla, BLC, taman baca, tempat parkir dan ruang terbuka pada lansekap untuk kegiatan insidentil. Kondisi seluruh fasilitas dalam keadaan baik dengan intensitas penggunaan yang tinggi. (a) (b) (c) Gambar 4.6. Fasilitas di Rumah Susun Urip Sumoharjo (a) Balai-balai (b) Balai RW (c) Lapangan dan Mushala (Sumber: Dokumentasi Survei, 2014) 55 4.3. Rumah Susun Tanah Merah I 4.3.1. Lokasi dan Sejarah Pembangunan Rumah Susun Tanah Merah I terletak di Jl. Tanah Merah V Surabaya dan secara adiministratif berada di RT 13/ RW IV, Kelurahan Tanah Kali Kedinding, Kecamatan Kenjeran. Rumah susun ini berdiri di atas lahan seluas ± 20.400 m² yang lokasinya berjarak ± 100 meter dari Jl. Tanah Merah Utara sebagai jalan kolektor primer. Terdapat 192 unit hunian yang pembangunannya ditekankan pada manfaat terhadap masyarakat umum, khususnya warga masyarakat berpenghasilan rendah di kota Surabaya. Sebelum dibangun rumah susun pada tahun 2007, lokasi ini merupakan tanah gogol milik Pemerintah Kota yang digarap dan dikelola oleh beberapa warga sekitar Tanah Merah. Unit Hunian Blok C, D Ruang Terbuka Taman Bermain Unit Hunian Blok A, B Pos Jaga Gambar 4.7. Citra Satelit dan Site Plan Rumah Susun Tanah Merah I (Sumber: Google Earth, 2014) Selasar Unit hunian Koridor penghubung Tangga Tangga darurat Gambar 4.8. Denah Lantai 2-5 Rumah Susun Tanah Merah I (Sumber: Laporan Proyek Pembangunan Rusunawa, 2014) 56 4.3.2. Kondisi Fisik Bangunan Rumah susun Tanah Merah I ini terdiri dari 2 twin blok (A,B,C,D) yang dibangun pada tahun 2007 dan ditempati pada tahun 2010. Masing-masing blok terdiri dari 5 lantai. Lantai pertama tidak digunakan untuk unit hunian, sementara lantai 2 sampai dengan lantai 5 memiliki 12 unit/lantai dengan luas masingmasing unit yaitu 21 m2 (3 x 7 meter). Satu blok terdiri dari 48 unit sehingga jumlah totalnya sebanyak 192 unit. Adapun konstruksi dari rumah susun ini terdiri dari: a. Struktur utama rangka memakai baja b. Plat lantai dari beton dan dikeramik c. Dinding bata, plester aci halus dan finishing cat. d. Atap genteng metal, dilengkapi dengan penangkal petir. (b) (a) (c) (d) (e) Gambar 4.9. Kondisi Fisik Bangunan Rumah Susun Tanah Merah I (a-b) Gambar Tampak (c) Fasade (d) Selasar (e) Tangga Darurat (Sumber: Laporan Proyek Pembangunan Rusunawa dan Dokumentasi Survei, 2014) Tarif sewa Rumah Susun Tanah Merah I ini ditentukan berdasarkan Peraturan Walikota Surabaya No. 14 Tahun 2013. Tarif ini merupakan hasil revisi dari peraturan tarif sewa sebelumnya yaitu Peraturan Walikota Surabaya No. 59 Tahun 2010 yang dikritik oleh penghuni rumah susun se-Kota Surabaya. Tarif baru menurut Peraturan Walikota Surabaya No. 14 Tahun 2013 ini telah disesuaikan dengan tingkat kemampuan penghuni, yaitu Lantai II sebesar Rp. 46.000, Lantai 57 III sebesar Rp. 41.000, Lantai IV sebesar Rp. 33.000 dan Lantai V sebesar Rp. 23.000. Seperti pada Rumah Susun Urip Sumhardjo, jangka waktu penghunian rumah susun ini pada mulanya diatur dalam Perda Kota Surabaya No. 2 tahun 2010 yaitu selama 3 tahun dengan ketentuan dapat memperpanjang izin pemakaian rumah susun sebanyak dua kali. Namun, seiring dengan adanya revisi Perda tersebut kedalam Perda Kota Surabaya No. 15 tahun 2012 sehingga izin pemakaian rumah susun tetap berlaku selama 3 tahun namun dapat diperpanjang sampai batas waktu yang tidak ditentukan. 4.3.3. Kondisi Penghuni Pada awal penghunian tahun 2010, terdapat 192 KK yang menampati 192 unit hunian pada rusun ini. Namun kemudian pada tahun 2012 terbangun Rumah Susun Tanah Merah II yang berlokasi di samping rusun ini dan menyebabkan 29 KK berpindah ke rusun baru tersebut. Akhirnya, hingga saat ini jumlah penghuni Rumah Susun Tanah Merah I tersisa 163 KK. Penghuni rusun ini berasal dari beberapa tempat di Kota Surabaya yaitu warga Tanah Merah bekas penggarap tanah gogol di lokasi rusun tersebut, warga penertiban dari kawasan Jl. Sawah Pulo Lapangan, Kelurahan Ujung, Kecamatan Semampir dan sekitarnya, warga pindahan dari rumah susun lain, serta terakhir warga umum domisili Kota Surabaya yang mendaftarkan diri secara sukarela untuk tinggal di rumah susun. Jenis pekerjaan mayoritas penghuninya adalah pekerjaan tidak tetap, seperti buruh, pedagang, dan supir. Aktivitas penghuni di rumah susun ini dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Kegiatan keagamaan. Di rumah susun ini terdapat 1 Mushala yang diperuntukkan bagu aktivitas keagamaan rutin yang dilakukan oleh penghuni seperti shalat, pengajian serta peringatan hari-hari besar Islam. b. Kegiatan sosial. Pada rumah susun ini tidak terdapat ruang serbaguna. Warga biasa menggunakan ruang serbaguna milik Rusun Tanah Merah II. Kegiatan Aktivitas yang rutin dilakukan adalah rapat warga dan kegiatan posyandu yang diadakan oleh ibu-ibu PKK. Selain dilakukan di ruang serbaguna, aktivitas sosial juga rutin dilakukan di koridor penghubung antar blok di masing-masing lantai, misalnya arisan. 58 c. Kegiatan olahraga. Kegiatan olahraga dipusatkan pada halaman rumah susun. Kegiatan rutin yang dilakukan adalah senam dan lomba memperingati hari kemerdekaan Indonesia. d. Kegiatan bermain dan belajar anak. Untuk kegiatan belajar, ditunjang dengan adanya BLC yang memberikan pelatihan komputer gratis dan tersedia perpustakaan kecil. Untuk kegiatan bermain, tersedia taman bermain yang dilengkapi dengan fasilitas penunjang bermain anak. Gambar 4.10. Aktivitas Penghuni Rumah Susun Tanah Merah I (Sumber: Dokumentasi Survei, 2014) 4.3.4. Kondisi Utilitas Bangunan rumah susun Tanah Merah I ini juga dilengkapi dengan sistem utilitas yang cukup baik antara lain: a. Air bersih menggunakan air PDAM, dengan meteran air di setiap unit. Terdapat 4 buah tandon air untuk suplai air unit di lantai atap per 2 blok. b. Listrik 900 watt dengan meteran listrik di setiap unit, terdapat 1 trafo untuk 4 blok c. Hidran berfungsi baik d. Persampahan ditangani oleh pengelola, ditiap blok terdapat saluran pembuaangan sampah dan untuk pengangkutan ke TPS dilakukan dengan gerobak sampah e. Drainase berfunsgi baik, air di badan saluran dapat mengalir lancar. f. Area terbuka di luar rusun ditutupi dengan paving blok g. Rusun ini dilengkapi pula dengan tangga darurat yang terdapat di tiap-tiap blok. 59 (b) (a) (c) (d) Gambar 4.11. Utilitas di Rumah Susun Tanah Merah I (a) Hidran (b) Saluran Drainase (c) Saluran Pembuangan Sampah (d) Tandon air (Sumber: Dokumentasi Survei, 2014) 4.3.5. Kondisi Fasilitas Fasilitas umum Rusunawa Tanah Merah I terdapat di lantai 1, dimana terdapat tempat parkir dan fasilitas umum blok seperti taman, gudang, BLC (Broadband Learning Center) atau ruang komputer dan Mushala. Sementara itu lantai 2 sampai lantai 5 pada koridor penghubung antar blok digunakan sebagai ruang publik dan biasa digunakan untuk kegiatan formal per lantai, seperti arisan dan pengajian. (a) (c) (b) 4 (d) (e) Gambar 4.12. Fasilitas di Rumah Susun Tanah Merah I (a) Taman Bermain (b) Tempat Parkir (c) BLC (d) Mushala (e) Gudang (Sumber: Dokumentasi Survei, 2014) 60 BAB 5 HASIL DAN ANALISIS Pembahasan pada bab ini terdiri atas dua kategori yaitu hasil pengumpulan data dan analisis data. Data yang ditampikan pada bab ini diperoleh dari hasil pengumpulan data primer yang dilakukan pada penghuni di Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I yang dalam hal ini bertindak sebagai responden penelitian. Hasil dari pengumpulan data tersebut akan ditampilkan dalam bentuk profil penghuni rumah susun. Selanjutnya, analisis yang dilakukan pada penelitian ini berupa analisis untuk mengidentifikasi pola adaptasi penghuni pada Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. Aspek yang dianalisa pada penelitian ini meliputi aspek perilaku penyesuaian diri (coping behavior), aspek teritorialitas dan aspek keterikatan pada tempat (place attachment). Masingmasing aspek penelitian tersebut dianalisa menggunakan teknik analisa yang telah ditentukan. 5.1 Profil Penghuni Profil penghuni rumah susun ini diperoleh berdasarkan data karakteristik dari 50 orang responden pada masing-masing lokasi penelitian, yaitu 50 orang responden di Rusun Urip Sumoharjo dan 50 orang responden di Rusun Tanah Merah I. Profil ini mencakup data mengenai umur, jenis pekerjaan dan tingkat penghasilan. a. Umur Umur merupakan suatu faktor yang menentukan seseorang dalam mempersepsikan suatu objek atau peristiwa yang dialami. Semakin bertambahnya umur seseorang maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat dari pengalaman dan proses pembelajaran yang dilewatinya. Pada akhirnya, pengetahuan tersebut akan mempengaruhi kemampuan untuk mempersepsikan kondisi lingkungan terkait dengan adaptasi yang dilakukannya. 61 Pengklasifikasian umur responden pada penelitian ini mengacu pada Dwi Riyanti (1997 dalam Prabowo, 1998). Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner kepada responden di Rusun Urip Sumoharjo, terdapat tiga kategori kelompok umur penghuni yakni periode dewasa awal (18-40 tahun) sebesar 36%, periode dewasa madya (40-60 tahun) sebesar 54%, dan periode usia lanjut (diatas 60 tahun) sebanyak 10%. 10% 36% Dewasa Awal Dewasa Madya 54% Usia Lanjut Gambar 5.1. Grafik Kelompok Usia Responden Penghuni Rusun Urip Sumoharjo. Melalui Gambar 5.1 diatas dapat diketahui mengenai persentase kelompok usia penghuni rumah susun Urip Sumoharjo, yang mana mayoritas berada pada rentang usia 40-60 tahun. Besarnya jumlah penghuni yang berada pada kelompok usia dewasa madya ini disebabkan karena mayoritas penghuninya masih merupakan penghuni asli generasi pertama pada saat rumah susun ini dibangun. Adapun untuk kelompok usia 18-40 tahun yang biasa merupakan anak dari para penghuni awal tersebut atau diistilahkan sebagai generasi kedua, berdasarkan wawancara diketahui bahwa ada pula penghuni generasi kedua ini yang sudah pindah untuk bertempat tinggal di luar rusun. Alasan untuk keluar dari rusun terutama didorong oleh faktor telah berkeluarga dan telah mempunyai penghasilan sendiri. Sehingga yang tetap menghuni rumah susun ini menyisakan penghuni generasi pertama serta generasi kedua yang masih berada pada usia sekolah. Selanjutnya, untuk responden pada rumah susun Tanah Merah I, berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner kepada responden di rusun tersebut, terdapat tiga kategori kelompok usia penghuni, yaitu kelompok periode dewasa awal (18-40 tahun) sebesar 27%, periode dewasa madya (40-60 tahun) sebesar 65%, dan periode usia lanjut (diatas 60 tahun) sebanyak 8%. Berdasarkan Gambar 5.2 dapat 62 dilihat bahwa mayoritas penghuni yang menempati rumah susun Tanah Merah I ini berusia antara 40-60 tahun. Rata-rata jumlah penghuni pada tiap unit rumah susun yaitu 4 orang, dan mayoritas anak-anaknya masih berusia sekolah. 8% 27% Dewasa Awal Dewasa Madya Usia Lanjut 65% Gambar 5.2. Grafik Kelompok Usia Responden Penghuni Rusun Tanah Merah I b. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan penghuni yang menjadi responden di Rumah Susun Urip Sumaharjo dapat dilihat pada Gambar 5.3. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa terdapat 25 responden tidak bekerja, hanya ibu rumah tangga. Sementara untuk pekerjaan penghuni yang lain cukup beragam, ada yang menjadi karyawan sebanyak 5 orang, buruh sebanyak 2 orang, pedagang sebanyak 6 orang, satpam sebanyak 5 orang, dan usaha rumahan (warung atau menjahit) sebanyak 4 orang. 30 25 20 15 10 5 0 Karyawan Buruh Ibu Rumah Pedagang Tangga Satpam Usaha Tidak Rumahan Menjawab Gambar 5.3. Grafik Pekerjaan Responden Penghuni Rusun Urip Sumoharjo 63 Selanjutnya, untuk responden yang menghuni di Rusun Tanah Merah I, pekerjaan penghuni disini hampir sama dengan penghuni di Rusun Urip Sumoharjo (lihat Gambar 5.4). 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Cleaning Service Buruh Ibu Rumah Pedagang Tangga Sopir Warung Jasa Tidak menjawab Gambar 5.4. Grafik Pekerjaan Responden Penghuni Rusun Tanah Merah I Dari Gambar 5.4 diatas dapat dilihat bahwa pekerjaan penghuni rusun Tanah Merah I cukup beragam. Di rumah susun ini mayoritas yang bekerja adalah lakilaki (suami). Terdapat 15 responden yang tidak bekerja yakni hanya sebagai ibu rumah tangga. Selebihnya terdapat 3 orang yang berprofesi sebagai cleaning service, buruh sebanyak 7 orang, pedagang sebanyak 3 orang, sopir sebanyak 9 orang, usaha warung sebanyak 4 orang, jasa sebanyak 4 orang dan sisanya tidak menjawab sebanyak 4 orang. c. Tingkat Penghasilan Besaran Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya yang ditetapkan untuk tahun 2014 berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 78 tahun 2013 adalah sebesar 2,2 juta per bulan. Berdasarkan hasil kuesioner, penghasilan rata-rata responden per bulan di rumah susun yang menjadi lokasi penelitian diketahui masih banyak yang tidak mencapai nilai UMK tersebut. Untuk besar penghasilan responden di Rusun Urip Sumoharjo dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 64 250.000-500.000 (10%) diatas 2.000.000 (15%) 1.500.0002.000.000 (19%) 500.000-750.000 (24%) 1.000.0001.500.000 (5%) 750.0001.000.000 (27%) Gambar 5.5. Grafik Tingkat Penghasilan Responden Penghuni Rusun Urip Sumoharjo Berdasarkan Gambar 5.5, dapat diketahui bahwa mayoritas tingkat penghasilan penghuni Rusun Urip Sumoharjo saat ini masih berada dibawah standar UMK Surabaya tahun 2014. Persentase tingkat penghasilan per bulan terbesar berada pada kisaran Rp 750.000 – Rp 1.000.000 sebesar 27%. Selanjutnya 24% berpenghasilan antara Rp 500.000-Rp 750.000, 19% berpenghasilan antara Rp 1.500.000-Rp 2.000.000, 15% berpenghasilan diatas Rp 2.000.000, 10% berpenghasilan antara Rp 250.000-Rp 500.000 dan 5% berpenghasilan antara Rp 1.000.000-Rp 1.500.000. Selanjutnya untuk penghasilan rata-rata per bulan responden pada Rusun Tanah Merah I dapat dilihat pada Gambar 5.6 dibawah ini. diatas 2.000.000 (8%) 500.000-750.000 (18%) 1.500.0002.000.000 (8%) 1.000.0001.500.000 (11%) 750.0001.000.000 (55%) Gambar 5.6. Grafik Tingkat Penghasilan Responden Penghuni Rusun Tanah Merah I Berdasarkan Gambar 5.6 diatas, dapat diketahui bahwa mayoritas tingkat penghasilan penghuni Rusun Tanah Merah I saat ini juga masih berada dibawah standar UMK Surabaya tahun 2014. Persentase tingkat penghasilan per bulan 65 terbesar berada pada kisaran Rp 750.000 – Rp 1.000.000 sebesar 55%. Selanjutnya 18% berpenghasilan antara Rp 500.000-Rp 750.000, 11% berpenghasilan antara Rp 1.000.000-Rp 1.500.000, 8% berpenghasilan antara Rp 1.500.000-Rp 2.000.000, dan 8% berpenghasilan diatas Rp 2.000.000. 5.2. Perilaku Penyesuaian Diri (Coping Behavior) 5.2.1 Penyesuaian Diri Terhadap Kelengkapan Rumah Susun Rumah susun sebagai bagian dari perumahan formal merupakan hunian yang dibangun mengikuti desain yang berasal dari pemerintah. Ini berarti keterlibatan masyarakat sebagai penghuni untuk menentukan besaran ruang yang dibutuhkannya secara mandiri sangat kecil kemungkinannya. Segala kelengkapan rumah susun baik itu satuan rumah susun, benda bersama serta bagian bersama merupakan produk baku yang mau tidak mau harus digunakan oleh seluruh penghuni. Oleh karena itu, untuk mengetahui tingkat penyesuaian diri penghuni terhadap aspek kelengkapan rumah susun dapat diidentifikasi melalui responnya terhadap kelengkapan rumah susun yang telah tersedia di rumah susun tersebut, apakah sudah sesuai dengan kebutuhan atau tidak. Apabila kelengkapan rumah susun sudah sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan penghuni, maka hal ini berarti penyesuaian diri dilakukan penghuni bersifat pasif, yakni dimana penghuni akan mengubah/menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan yang telah ada di rumah susun. Namun, apabila kelengkapan rumah susun belum atau tidak sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan, maka untuk mencapai keadaan yang stabil, penghuni harus mampu menyesuaikan diri secara aktif yaitu penghuni mengubah lingkungan rumah susun agar sesuai dengan keinginan individu penghuni tersebut (Karta Sapoetra, 1987; Gerungan, 1991; Cockcroft, 2009). Untuk mengetahui respon penghuni mengenai kelengkapan rumah susun maka disusunlah daftar pertanyaan (kuesioner) yang diberikan kepada 50 responden pada masing-masing rumah susun yang menjadi lokasi penelitian. Kuesioner ini berisi 20 pertanyaan dengan alat ukur menggunakan skala likert (1=sangat tidak setuju sampai dengan 5=sangat setuju). Kuesioner ini digunakan 66 untuk melihat kecenderungan mayoritas perilaku penyesuaian diri penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I. Skala 3 (normal) adalah nilai rata-rata (mean) yang menjadi batas untuk menilai kesesuaian kelengkapan rumah susun tersebut dengan kebutuhan yang diinginkan penghuni. Nilai 3 ke atas berarti bahwa penghuni merasa bahwa kelengkapan rumah susun telah sesuai dengan kebutuhannya. Diketahui melalui persetujuannya terhadap aspek yang ditanyakan di dalam kuesioner. Karena telah sesuai dengan kebutuhan, maka dapat dikatakan penyesuaian diri yang dilakukan oleh penghuni hanyalah bersifat pasif. Sedangkan nilai 3 ke bawah berarti kebutuhan penghuni akan aspek kelengkapan rumah susun belum sesuai dan menuntut penyesuaian diri secara aktif. Untuk lebih jelasnya mengenai skala likert dalam menjelaskan perilaku penyesuaian diri penghuni rumah susun, dapat dilihat pada Gambar 5.7 berikut. Gambar 5.7. Penjelasan Skala Likert dalam Kuesioner Penelitian 1) Rusun Urip Sumoharjo Berdasarkan penjelasan sebelumnya, penyesuaian diri penghuni terhadap kelengkapan rumah susun adalah penting untuk diidentifikasi. Dengan menggunakan skala likert, maka persepsi penghuni di rumah susun Urip Sumoharjo dapat dilihat pada Gambar 5.8. 67 Satuan rumah susun Benda bersama Bagian bersama Penghawaan Pencahayaan Ruang Tamu WC/Kamar Mandi Ruang Menjemur Dapur Ruang Kamar Penerangan Tempat Parkir Mushala Tempat Bermain Anak BLC/ Ruang Komputer Ruang Pertemuan Koridor Selasar Tangga Pembuangan sampah Saluran pembuangan air Ketersediaan listrik Ketersediaan air bersih 3.56 3.52 2.46 3.15 2.69 3.31 2.56 3.19 3.35 3.58 2.58 3.00 3.17 3.06 3.00 3.33 3.06 3.58 3.68 3.68 - 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 Gambar 5.8. Grafik Persepsi Penghuni Mengenai Kelengkapan Rumah Susun Urip Sumoharjo Berdasarkan Gambar 5.8 di atas, persepsi penghuni rumah susun Urip Sumoharjo mengenai kelengkapan rumah susun dapat menjelaskan tentang kecenderungan mayoritas strategi penyesuaian diri yang dilakukan penghuni. Strategi penyesuaian diri ini dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: a) Penyesuaian diri aktif Berdasarkan grafik diatas, dapat diketahui bahwa ada empat jenis kelengkapan rumah susun yang menurut penghuni masih belum sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena kelengkapan rumah susun merupakan produk baku yang tidak dapat dirubah, maka cara yang harus dilakukan oleh penghuni adalah dengan melakukan penyesuaian lingkungan terhadap dirinya atau disebut penyesuaian diri aktif. Penyesuaian diri aktif ini dilakukan pada beberapa ruang sebagai berikut: 1. Ruang tamu Berdasarkan Grafik 5.8 dapat dilihat bahwa persepsi penghuni terhadap kondisi ruang tamu nilainya 2,46 atau belum sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan penghuni. Hal ini terjadi karena pada dasarnya di dalam unit rumah susun tidak terhadap ruang tamu definitif. Maksudnya bahwa ruang tamu di dalam 68 unit memang tidak disediakan secara khusus dalam desain awal. Pembuatan sekat permanen juga tidak diperbolehkan berdasarkan aturan pemerintah mengenai rumah susun. Oleh karena itu, ruang tamu atau ruang untuk menerima tamu pada akhirnya terbentuk oleh sekat yang dibuat sendiri oleh penghuninya, disesuaikan dengan inisiatif dan kebutuhan masing-masing. Sekat ini menggunakan elemen semi-fixed atau sekat dari material yang bisa dipindahkan, baik berupa tirai maupun lemari. Di samping itu, selain membuat sekat di dalam hunian, ada juga penghuni yang mengadakan ruang tamu di selasar unit. Hal ini dilakukan apabila ruang dalam hunian dirasa tidak mampu untuk menampung aktivitas menerima tamu karena adanya keterbatasan ruang di dalam unit hunian itu sendiri. Tindakan yang dilakukan penghuni adalah mengubah area selasar dengan menambahkan kursi di depan unit masing-masing (lihat Gambar 5.9). Sehingga akhirnya selasar tidak hanya berfungsi sebagai area sirkulasi, namun juga telah dipersonalisasi menjadi ruang tamu. Gambar 5.9. Kursi di selasar yang digunakan untuk menerima tamu (Sumber: dokumentasi survei, 2014) Kedua perubahan baik didalam maupun diluar unit hunian inilah yang disebut sebagai penyesuaian diri aktif. Disebut begitu karena penghuni secara aktif mengubah lingkungan tinggalnya dengan memanfaatkan penggunaan material semi permanen, baik itu berupa tirai, lemari maupun kursi dalam rangka memperoleh kenyamanan ruang yang sesuai dengan kebutuhan. 2. Ruang kamar Berdasarkan Gambar 5.8 diketahui bahwa persepsi penghuni terhadap kondisi ruang kamar nilainya 2,56 atau belum sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan 69 penghuni. Kondisi ini terjadi disebabkan karena alasan yang sama seperti pada persepsi mengenai ruang tamu. Adanya aturan rumah susun yang melarang untuk membuat sekat permanen dalam hunian menyebabkan pembentukan ruang kamar hanya bisa dimungkinkan dengan membuat sekat semi-fixed dalam ruang hunian. Pembuatan sekat semi permanen inilah yang disebut sebagai penyesuaian diri secara aktif. Namun begitu, walaupun penghuni telah menyesuaikan diri secara aktif dengan membuat sekat sendiri untuk ruang kamar, kelonggaran privasi khususnya antara orang tua dan anak masih menjadi isu yang tidak pernah selesai. Berdasarkan wawancara, mayoritas penghuni sebenarnya membutuhkan sekat permanen untuk memisahkan antara kamar tidur dengan ruangan lain. 3. Tempat bermain anak Berdasarkan Gambar 5.8 diketahui bahwa persepsi penghuni terhadap kondisi tempat bermain anak nilainya 2,58 atau belum sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan penghuni.. Nilai ini masih dibawah nilai rata-rata tingkat kepuasan penghuni yakni 3. Ketiadaan tempat bermain anak yang dilengkapi dengan fasilitas bermain merupakan salah satu masalah di rumah susun Urip Sumoharjo ini. Area rumah susun yang lebih didominasi oleh ruang terbangun menyebabkan anak-anak harus mampu menyesuaikan lingkungan tergadap keinginannya utnuk bermain. Ruang-ruang kosong seperti jalan, tangga, koridor, dan Balai RW yang pada dasarnya bukan berfungsi sebagai tempat bermain pada akhirnya dijadikan sebagai tempat bermain oleh anak-anak, walaupun banyak penghuni mengakui bahwa resiko bermain di tangga cukup besar. Adapun lapangan sebagai ruang terbuka rumah susun justru kurang dimanfaatkan oleh anak-anak untuk bermain. Hal ini disebabkan karena faktor panas matahari serta lapangan tersebut sudah digunakan sebagai tempat parkir. 4. Ruang Menjemur Berdasarkan Gambar 5.8 diketahui bahwa persepsi penghuni terhadap kondisi ruang menjemur nilainya 2,69 atau belum sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan penghuni. Ketersediaan ruang menjemur memang telah menjadi masalah utama hampir di setiap penghunian rumah susun. Begitupula dengan 70 rusun Urip Sumoharjo ini. Walaupun, ruang menjemur pada dasarnya telah tersedia pada ruang belakang tiap-tiap unit, namun dimensi ruangnya yang dirasa kurang luas oleh penghuni memaksa sebagian besar para penghuni akhirnya menjemur pula di selasar dan railing. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh penjelasan bahwa kebutuhan akan ruang menjemur memang sangat dibutuhkan oleh para penghuni. Keterbatasan ruang jemur di dalam unit hunain akhirnya disesuaikan oleh penghuni dengan memfungsikan railing atau koridor rumah susun sebagai tempat menjemur (Gambar 5.10). Gambar 5.10. Aktivitas menjemur di rumah susun Urip Sumoharjo (Sumber: dokumentasi survei, 2014) b) Penyesuaian diri pasif Berdasarkan Gambar 5.8 dapat diketahui bahwa ada 17 jenis kelengkapan rumah susun yang menurut penghuni telah sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penyesuaian diri yang dilakukan penghuni terhadap kelengkapan rumah susun ini bersifat pasif, dimana individu berhasil menyesuaikan diri pada keadaan lingkungan yang telah ada. Penyesuaian tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Bagian bersama Definisi bagian bersama menurut UU No. 20 Tahun 2011 tentang rumah susun adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. Berdasarkan Gambar 5.8 diketahui bahwa persepsi penghuni terhadap bagian bersama seperti jaringan air bersih nilainya 3,68, jaringan listrik (3,68), saluran pembuangan air (3,58), pembuangan sampah (3,06), koridor (3,06), selasar (3,0) dan tangga (3,33). 71 Maksud dari angka-angka pada Gambar 5.8 tersebut adalah kondisi dan ketersediaan benda bersama pada rumah susun Urip Sumoharjo sudah sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan oleh penghuni. Ini berarti proses akomodasi berjalan dengan baik dan penyesuaian yang dilakukan penghuni sifatnya pasif. 2. Benda bersama Definisi benda bersama menurut UU No. 20 Tahun 2011 tentang rumah susun adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Berdasarkan Gambar 5.8 diketahui bahwa persepsi penghuni terhadap benda bersama seperti mushala nilainya 3.58, tempat parkir (3,35), BLC atau ruang komputer (3,0), penerangan (3,19), dan ruang pertemuan berupa balai RW (3,17). Beberapa contoh kondisi benda bersama dapat dilihat pada Gambar 5.11 berikut. (a) (b) (c) Gambar 5.11. Kondisi benda bersama di rumah susun Tanah Merah I (a) tempat wudhu mushala (b) tempat parkir (c) balai RW (Sumber: dokumentasi survei, 2014) Berdasarkan angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan penghuni telah sesuai dengan ketersediaan benda bersama yang ada di rumah susun Urip Sumoharjo ini. 3. Satuan Rumah Susun (Sarusun) Kondisi ruang pada sarusun merupakan titik utama dari seluruh proses penghunian rumah susun. Oleh karena itu, persepsi yang baik oleh penghuni terhadap lingkungan rumah susun dimulai dari terpenuhinya terlebih dahulu kebutuhan penghuni akan sarusun yang memadai. Sehingga, proses penyesuian diri yang terjadipun bersifat pasif, dimana penghuni berhasil merubah cara berpikir untuk berintegrasi dalam pengalaman baru. Berdasarkan Gambar 5.8, ada empat kondisi sarusun yang dipersepsikan baik oleh penghuni yaitu WC/ kamar mandi (3,15), dapur (3,31), pencahayaan (3,52) dan penghawaan/sirkulasi udara 72 (3,58). Hal ini berarti kondisi keempat hal tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan penghuni di rumah susun Urip Sumoharjo. 2) Rusun Tanah Merah I Berdasarkan penjelasan sebelumnya, penyesuaian diri penghuni terhadap kelengkapan rumah susun begitu penting untuk diidentifikasi. Dengan menggunakan skala likert maka persepsi penghuni di rumah susun Tanah Merah I dapat dilihat pada Gambar 5.12 di bawah ini. Satuan rumah susun Benda bersama Bagian bersama Penghawaan Pencahayaan Ruang tamu WC/kamar mandi Ruang menjemur Dapur Ruang kamar Penerangan Tempat parkir Mushala Tempat bermain anak BLC/ ruang komputer Ruang pertemuan Koridor Selasar Tangga Saluran pembuangan sampah Saluran pembuangan air Jaringan listrik Jaringan air bersih 3.52 3.89 2.53 3.70 2.91 3.72 3.20 3.65 3.57 3.57 3.72 3.45 3.36 3.32 3.68 3.57 3.74 3.78 3.91 3.81 - 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 Gambar 5.12. Grafik Persepsi Penghuni Mengenai Kelengkapan Rumah Susun Tanah Merah I Berdasarkan Gambar 5.12 di atas, persepsi penghuni rumah susun Tanah Merah I mengenai kelengkapan rumah susun dapat menjelaskan tentang strategi penyesuaian diri penghuni. Strategi penyesuaian diri ini dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: a) Penyesuaian diri aktif Berdasarkan Gambar 5.12 dapat diketahui bahwa hanya terdapat dua jenis kelengkapan rumah susun yang menurut penghuni masih belum sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena kelengkapan rumah susun merupakan produk baku 73 yang tidak dapat dirubah, maka cara yang harus dilakukan oleh penghuni adalah dengan melakukan penyesuaian lingkungan terhadap dirinya atau disebut penyesuaian diri aktif. Penyesuaian diri aktif ini dilakukan pada: 1. Ruang Tamu Berdasarkan Gambar 5.12 dapat dilihat bahwa persepsi penghuni terhadap kondisi ruang tamu nilainya 2,53 atau belum sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan penghuni. Keadaan ini sama seperti yang terjadi pada rumah susun Urip Sumoharjo, karena pada dasarnya di dalam unit rumah susun tidak terhadap ruang tamu definitif. Maksudnya bahwa ruang tamu di dalam unit memang tidak disediakan secara khusus dalam desain awal. Penambahan sekat permanen juga tidak diperbolehkan berdasarkan aturan pemerintah mengenai rumah susun. Pada akhirnya sekat dibuat sendiri oleh masing-masing penghuni dengan menggunakan material semi-fixed (semi permanen), baik berupa tirai maupun lemari. Di samping itu, selain membuat sekat di dalam hunian, ada juga penghuni yang mengadakan ruang tamu di selasar unit (Gambar 5.13). Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh penghuni di rusun Urip Sumoharjo. Kecenderungan penghuni dalam memenuhi kebutuhan akan ruang tamu adalah mempersonalisasi selasar di depan unit huniannya sendiri dengan meletakkan kursi atau balai-balai. Sehingga akhirnya selasar tidak hanya berfungsi sebagai area sirkulasi, namun juga telah dipersonalisasi menjadi ruang tamu. Gambar 5.13. Kursi di luar sarusun yang digunakan untuk menerima tamu (Sumber: dokumentasi survei, 2014) 2. Ruang Menjemur Ketersediaan ruang menjemur memang telah menjadi masalah utama hampir di setiap penghunian rumah susun. Berdasarkan Gambar 5.12 diketahui bahwa 74 persepsi penghuni terhadap kondisi ruang menjemur nilainya 2,91. Hal ini berarti kepuasan penghuni terhadap ruang menjemur yang telah disediakan di dalam sarusun masing-masing belum tercapai. Sehingga untuk mencapai kepuasan, masyarakat menyesuaikan diri dengan mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan/kebutuhannya untuk menjemur. Aktivitas menjemur akhirnya mayoritas dilakukan di luar hunian yakni di koridor dan railing (Gambar 5.14). Gambar 5.14. Aktivitas menjemur yang dilakukan di rusun Tanah Merah I (Sumber: dokumentasi survei, 2014) b) Penyesuaian diri pasif Berdasarkan Gambar 5.12 diatas, dapat diketahui bahwa ada 20 jenis kelengkapan rumah susun yang menurut penghuni telah sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penyesuaian diri yang dilakukan penghuni terhadap kelengkapan rumah susun inipun bersifat pasif, dimana individu berhasil menyesuaikan diri pada keadaan lingkungan yang telah ada. Penyesuaian tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Bagian bersama Berdasarkan Gambar 5.12 diketahui bahwa persepsi penghuni terhadap bagian bersama seperti jaringan air bersih nilainya 3,68, jaringan listrik (3,91), saluran pembuangan air (3,78), saluran pembuangan sampah (3,74), koridor (3,32), tangga (3,57), dan selasar (3,68). Nilai ini menggambarkan bahwa kondisi dan ketersediaan bagian bersama di rumah susun Tanah Merah I ini telah sesuai dengan kebutuhan mayoritas penghuni. 75 (a) (b) (c) Gambar 5.15. Kondisi bagian bersama di Rusun Tanah Merah I (a) pembuangan sampah (b) koridor (c) selasar (Sumber: dokumentasi survei, 2014) Berdasarkan wawancara, untuk saat ini keluhan-keluhan penghuni mengenai bagian bersama sudah tidak ada. Jaringan listrik dan air bersih telah tersedia dengan baik dan dapat mencukupi kebutuhan seluruh warga rusun. Kalaupun ada kendala, sifatnya hanya temporal karena pengelola rusun dibantu warga secara proaktif bersama-sama mengawasi serta mengelola dengan baik bagian bersama dari rumah susun ini. Persoalan sampah pun tidak ada dirasakan oleh penghuni karena pada dasarnya telah tersedia shaft yang lubang pembuangannya ada di setiap lantai, serta pengelolaannya sudah dibebankan kepada petugas rusun. Sehingga penghuni tidak perlu lagi khawatir mengenai masalah persamoahan ini. Selain itu, koridor, selasar dan tangga juga telah tersedia sesuai dengan kebutuhan penghuni. Tidak ada keluhan yang berarti dari penghuni mengenai kondisi ketiga aspek dari bagian bersama ini. Ini berarti proses akomodasi berjalan dengan baik dan penyesuaian yang dilakukan penghuni sifatnya pasif. 2. Benda bersama Berdasarkan Gambar 5.12 diketahui bahwa persepsi penghuni terhadap benda bersama pada rumah susun Tanah Merah I seperti: ruang pertemuan nilainya 3,36, BLC atau ruang komputer (3,45), mushala (3,57), tempat parkir (3,57), penerangan (3,65), dan tempat bermain anak (3,72). Berdasarkan angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan penghuni telah sesuai dengan ketersediaan benda bersama yang ada di rumah susun Tanah Merah I ini. Beberapa contoh mengenai kondisi benda bersama di Rusun Tanah Merah I dapat dilihat pada Gambar 5.16. 76 (c) (b) (a) Gambar 5.16. Kondisi benda bersama di rumah susun Tanah Merah I (a) tempat parkir (b) tempat bermain anak (c) penerangan (Sumber: dokumentasi survei, 2014) 3. Satuan Rumah Susun (Sarusun) Kondisi ruang pada sarusun merupakan titik utama dari seluruh proses penghunian rumah susun. Oleh karena itu, persepsi yang baik oleh penghuni terhadap lingkungan rumah susun dimulai dari terpenuhinya terlebih dahulu kebutuhan penghuni akan sarusun yang memadai. Bila memenuhi, proses penyesuian diri yang terjadipun bersifat pasif, dimana penghuni berhasil merubah cara berpikir untuk berintegrasi dalam pengalaman baru. Berdasarkan Gambar 5.8, ada lima kondisi sarusun yang dipersepsikan baik oleh penghuni yaitu ruang kamar (3,20), WC/ kamar mandi (3,70), dapur (3,72), pencahayaan (3,52) dan penghawaan/sirkulasi udara (3,89). Berdasarkan angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa keadaan sarusun telah sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan oleh mayoritas penghuni rumah susun Tanah Merah I. Beberapa contoh mengenai kondisi sarusun di Rusun Tanah Merah I dapat dilihat pada Gambar 5.17. (a) (b) Gambar 5.17. Kondisi fasilitas unit di Rusun Tanah Merah I (a) WC/kamar mandi (b) dapur (Sumber: dokumentasi survei, 2014) 77 5.2.2 Penyesuaian Diri Melalui Pembentukan Ruang Komunal Outdoor personality adalah kepribadian khas yang biasa ditemukan pada masyarakat kampung. Masyarakat dengan ciri outdoor personality ini digambarkan sebagai masyarakat dengan intekasi sosial yang tinggi, baik antar individu maupun antar kelompok, dan interaksi sosial tersebut dilakukan di luar rumah. Membahas mengenai hal tersebut, penghuni rumah susun Urip sumoharjo dan Rusun Tanah merah I memiliki identitas sebagai masyarakat kampung dan berpenghasilan rendah. Sehingga dapat dikatakan bahwa penghuni kedua rumah susun ini memiliki ciri outdoor personality. Namun sebagaimana yang diketahui, rumah susun yang dibangun oleh pemerintah memiliki model baku yang belum menyediakan fasilitas yang memadai untuk mewadahi outdoor personality ini. Walaupun telah tersedia ruang pertemuan untuk mewadahi kebutuhan penghuni rumah susun untuk berkumpul, namun ruang itu hanya difungsikan sewaktu-waktu dan kegiatan yang diwadahi sifatnya formal seperti rapat atau arisan. Ruang semacam ini disebut ruang komunal terencana, dimana penghuni hanya tinggal menyesuaikan diri secara pasif. Namun untuk kegiatan non formal, masyarakat cenderung akan menyesuaikan diri secara aktif dengan membentuk ruang komunal tidak terencana. Untuk cakupan rumah susun, definisi dari ruang komunal adalah ruang bersama yang dibentuk oleh penghuni rumah susun sebagai manifestasi dari outdoor personality itu sendiri. Berdasarkan Anwar (1998), ruang komunal di rusun ini terdiri atas dua jenis, yaitu ruang komunal terencana yang biasa digunakan untuk mewadahi kegiatan formal dan ruang komunal tidak terencana yang biasa digunakan untuk kegiatan non formal. Namun secara umum, semangat dari ruang komunal ini lahir dari proses interaksi sosial dan kebutuhan dari penghuni itu sendiri untuk menyesuaikan diri dan mempertahankan identitasnya di dalam lingkungan rumah susun. Ruang-ruang komunal di Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I berdasarkan observasi berupa selasar, koridor, tangga, serambi dan halaman. Pola rumah susun Urip Sumoharjo sendiri tersusun dalam bentuk blok bangunan yang terhubung satu dengan lainnya membentuk huruf U. Bentuk ini menyebabkan 78 terbentuknya ruang bersama di bagian tengah sebagai pusat orientasi. Sedangkan pola rumah susun Tanah Merah I tersusun dalam bentuk twin blok berbentuk huruf L. Pola bangunan berbentuk twin blok ini dilengkapi dengan koridor penghubung antar blok di tengah yang berfungsi sebagai ruang bersama. Parameter untuk mengidentifikasi pola ruang komunal di rumah susun diambil dari penelitian Purwanto (2012). Parameter ini terbagi dalam lima kategori yaitu: 1. Sifat kegiatan, ditentukan berdasarkan klasifikasi formal dan tidak formal. Kegiatan formal misalnya arisan, rapat RT, lomba, acara peringatan hari besar. Sedangkan kegiatan non formal, misalnya siskamling atau duduk santai sambil mengobrol. 2. Frekuensi kegiatan, dapat diidentifikasi berdasarkan waktu aktivitas yaitu jam, harian, mingguan, bulanan atau tahunan 3. Ruang yang digunakan. Pertama, ruang yang direncanakan sejak awal, misalnya ruang pertemuan, mushala, ruang terbuka berupa taman dan lapangan olahraga. Kedua, ruang yang tidak direncakan sejak awal, misalnya ruang-ruang yang digunakan sebagai ruang bersama seperti selasar, koridor, tangga, tempat usaha dan sebagainya 4. Skala kegiatan, dibagi menjadi tiga yaitu antar individu, antar penghuni per lantai dan antar RT 5. Jarak jangkauan, diukur berdasarkan lokasi yaitu di dalam rusun dan di luar rusun. 1) Rusun Urip Sumoharjo Pada rumah susun Urip Sumoharjo ini telah diamati pola pembentukan ruangruang komunal oleh penghuni berdasarkan parameter yang telah diutarakan sebelumnya. Hasil observasi akan diuraikan sebagai berikut: a. Aktivitas yang dilakukan penghuni dengan frekuensi jam dan harian biasanya bersifat non formal, seperti menongkrong sambil menonton TV. Berdasarkan observasi dan wawancara, aktivitas ini biasa dilakukan dengan rentang waktu dari pagi hingga malam hari. Ruang yang digunakan menggunakan ruang tak terpakai diantara bangunan serbaguna dan lapangan olahraga yang terletak di lantai dasar di dalam rusun. Selain itu, warga yang tidak sempat turun ke lantai 79 dasar, biasanya mengobrol di selasar masing-masing lantai (Gambar 5.18). Ruang komunal yang dibentuk oleh penghuni ini merupakan perwujudan dari penyesuaian diri aktif, dimana penghuni merubah lingkungan rumah susun sehingga sesuai dengan kebutuhannya, dari yang sebelumnya belum mampu mewadahi aktivitas menongkrong sambil menonton TV ini menjadi mampu terwadahi dengan baik. Keterangan: Ruang Komunal Gambar 5.18. Pola Ruang Komunal dengan frekuensi jam dan harian b. Aktivitas yang dilakukan penghuni dengan frekuensi mingguan biasanya bersifat formal atau kegiatan yang telah diagendakan oleh pengelola rusun bersama pengurus RT, seperti senam. Aktivitas ini menggunakan lapangan olahraga yang terletak di dalam rusun (Gambar 5.19). Keterangan: Ruang Komunal Gambar 5.19. Pola Ruang Komunal dengan frekuensi mingguan c. Aktivitas yang dilakukan penghuni dengan frekuensi bulanan biasanya juga bersifat formal, seperti arisan, pengajian, atau rapat warga. Berdasarkan wawancara dengan ketua RW rumah susun, kegiatan ini telah dijadwalkan rutin dengan melibatkan seluruh penghuni rusun atau hanya kepala keluarga 80 penghuni rusun ataupun berupa perwakilan penghuni dari tiap-tiap RT. Ruang yang digunakan yaitu mushala dan balai RW. Keduanya terletak di gedung serbaguna di dalam rusun (Gambar 5.20). Selain itu, biasanya pengajian juga dilakukan di luar rusun yaitu di rumah-rumah milik warga penghuni kampung di luar rusun. Biasanya warga rusun yang diundang berupa orangperseorangan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan warga luar rusun. Keterangan: Ruang Komunal Gambar 5.20. Pola Ruang Komunal dengan frekuensi bulanan d. Aktivitas yang dilakukan penghuni dengan frekuensi tahunan biasanya bersifat formal. Kegiatan ini meliputi lomba untuk memperingati hari kemerdekaan maupun acara peringatan hari besar Islam, seperti maulid nabi. Ruang yang digunakan yaitu lapangan olahraga dan mushala (Gambar 5.21). Kegiatan ini biasanya melibatkan warga rusun dan warga luar rusun. Keterangan: Ruang Komunal Gambar 5.21. Pola Ruang Komunal dengan frekuensi tahunan 81 2) Rusun Tanah Merah I Pada rumah susun Tanah Merah I ini telah diamati pola pembentukan ruangruang komunal oleh penghuni berdasarkan parameter yang telah diutarakan sebelumnya. Hasil observasi akan diuraikan sebagai berikut: a. Aktivitas yang dilakukan penghuni dengan frekuensi jam dan harian biasanya bersifat non formal, seperti menongkrong sambil menonton TV. Aktivitas ini biasa dilakukan dari pagi hingga malam hari. Ruang yang digunakan berada pada serambi lantai dasar blok A, halaman, pos jaga dan taman bermain di dalam area rusun (Gambar 5.22). Selain itu, warga yang tidak sempat turun ke lantai dasar, biasanya mengobrol di koridor penghubung antar blok masingmasing lantai (lantai 2-lantai 5). (b) (a) Keterangan: Ruang Komunal Gambar 5.22. Pola Ruang Komunal dengan dengan frekuensi jam dan harian (a) Lantai dasar (b) Lantai 2-5 b. Aktivitas yang dilakukan penghuni dengan frekuensi mingguan biasanya bersifat formal atau kegiatan yang telah diagendakan oleh pengelola rusun bersama pengurus RT, seperti senam. Aktivitas ini biasa dilakukan pada hari Minggu dan menggunakan halaman rumah susun (Gambar 5.23). 82 Keterangan: Ruang Komunal Gambar 5.23. Pola Ruang Komunal dengan dengan frekuensi mingguan c. Aktivitas yang dilakukan penghuni dengan frekuensi bulanan biasanya juga bersifat formal, seperti arisan, pengajian per lantai, atau rapat warga. Kegiatan ini memang telah dijadwalkan rutin dengan melibatkan seluruh penghuni, terutama laki-laki dan wanita dewasa maupun perwakilan dari masing-masing RT. Ruang yang digunakan yaitu ruang pertemuan di Rusun Tanah Merah II (Gambar 5.24a) maupun koridor penghubung antar blok pada tiap lantai (Gambar 5.24b). (b) (a) Keterangan: Ruang Komunal Gambar 5.24. Pola Ruang Komunal dengan dengan frekuensi bulanan (a) Lantai dasar (b) Lantai 2-5 d. Aktivitas yang dilakukan penghuni dengan frekuensi tahunan biasanya bersifat formal. Kegiatan tersebut meliputi lomba untuk memperingati hari kemerdekaan yang diadakan di halaman rumah susun maupun acara peringatan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi yang diselenggarakan di mushala yang berada di Blok D rumah susun (Gambar 5.25). Kegiatan ini, 83 khususnya lomba untuk memperingati hari kemerdekaan tidak hanya melibatkan warga rusun saja, tetapi melibatkan pula warga luar rusun. Keterangan: Ruang Komunal Gambar 5.25. Pola Ruang Komunal dengan dengan frekuensi tahunan 3) Perbandingan Perilaku Penyesuaian Diri (Coping Behavior) Penyesuaian diri adalah kemampuan individu dalam menghadapi tuntutantuntutan yang berasal dari dalam diri maupun dari luar diri individu sehingga tercapai kesesuaian antara diri individu dengan lingkungan fisik dan psikis demi memenuhi kebutuhan diri dengan baik. Penyesuaian diri juga merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Perbandingan perilaku penyesuaian diri antara penghuni Rumah Susun Urip Sumharjo dengan Rumah Susun Tanah Merah I ini dilakukan sebagai analisis untuk mengidentifikasi adaptasi penghuni melalui perbandingan strategi penyesuaian diri penghuni terhadap kelengkapan rumah susun serta pembentukan ruang komunal pada rumah susun. Oleh karena kelengkapan rumah susun ini menjadi produk baku yang harus diterima oleh penghuni dan tidak boleh diubah secara permanen, maka perilaku penyesuaian diri penghuni pada rumah susun menjadi unik untuk diidentifikasi. Ada empak aspek yang akan dibahas yaitu sebagai berikut: 1. Satuan Rumah Susun (Sarusun) Ada tujuh aspek yang akan dibandingkan terkait persepsi penghuni mengenai sarusun di Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Aspek-aspek tersebut adalah (a) ruang kamar, (b) dapur, (c) ruang menjemur (d) WC/kamar 84 mandi, (e) ruang tamu, (f) pencahayaan dan (g) penghawaan. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.26 dibawah ini. Penghawaan 3.56 3.52 3.523.89 Pencahayaan Ruang tamu 2.46 2.53 3.15 3.70 WC/kamar mandi Ruang menjemur 2.69 2.91 3.313.72 Dapur Ruang kamar 2.56 3.20 - 1.00 Rusun Urip Sumoharjo 2.00 3.00 4.00 5.00 Rusun Tanah Merah I Gambar 5.26. Perbandingan Persepsi mengenai Satuan Rumah Susun Berdasarkan gambar diatas telah dianalisa mengenai perbandingan perilaku penyesuaian diri melalui persepsi penghuni terhadap kondisi satuan rumah susun di Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I yaitu sebagai berikut: 85 Tabel 5.1. Perbandingan Perilaku Penyesuaian Diri (Coping Behavior) Pada Satuan Rumah Susun antara Penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I Satuan rumah susun Ruang Kamar Rumah Susun Urip Sumoharjo Rumah Susun Tanah Merah I Analisis Pada Rusun Urip Sumoharjo, dengan luas ruangan 15 m2, persepsi penghuni akan ruang kamar cenderung tidak sesuai dengan kebutuhannya (nilai 2,56). Pada Rusun Tanah Merah I, dengan luas ruangan 12 m2, persepsi penghuni terhadap ruang kamar sudah sesuai dengan kebutuhan (nilai 3,20). Banyak dari anak penghuni yang telah berusia remaja dan dewasa. Mayoritas dari penghuni pada kelompok usia ini akhirnya memilih keluar karena masalah gangguan pada privasi yang terjadi antara anak dan orang tua. Kelompok anak remaja, khususnya yang berusia 13 - 17 tahun (usia SMP dan SMA), lebih banyak menghabiskan waktunya diluar rumah dan kelompok anak dewasa (18 tahun ke atas) yang telah lulus SMA dan memperoleh pekerjaan mayoritas lebih memilih keluar dan mencari tempat tinggal lain di luar rumah susun. Selain kelompok remaja dan dewasa, terdapat pula kelompok usia kanak-kanak (usia SD ke bawah) yang berada di rusun ini. Pada Rusun Tanah Merah I, banyak dari anak-anak penghuni yang masih berusia dibawah 13 tahun (usia kanak-kanak). Oleh karena itu, kebutuhan memberi ruang privasi antara anak dan orang tua di rusun ini belum menjadi masalah. Hal ini menyebabkan keberadaan sekat untuk memisahkan ruang orang tua dan ruang anak juga belum dirasa perlu. Sehingga persepsi penghuni Rusun Tanah Merah I mengenai ruang kamar sarusun masih sesuai dengan kebutuhan, karena penghuni tidak perlu untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan mengubah tatanan ruang dengan memberikan sekat ruang kamar. Walaupun secara luasan, ruang di Rusun Urip Sumohrajo lebih besar daripada Rusun Tanah Merah I, namun rupanya belum menjamin kesesuaian terhadap kebutuhan penghuni. Hal ini terjadi disebabkan karena faktor perbedaan umur anak penghuni. Ketidaksanggupan kelompok anak penghuni yang berusia remaja dan dewasa untuk menyesuaikan diri pada lingkungan rumah susun pada akhirnya mendesak kelompok ini untuk menyingkir keluar dari lingkungan rumah susun. Kelompok ini terdesak karena merasakan kesesakan ruang. 86 Walaupun penghuni, dalam hal ini orang tua, telah menyesuaikan diri secara aktif dengan membuat sekat semi-fixed pada sarusun, namun hal tersebut belum cukup membantu untuk memberikan ruang privasi yang cukup antara anak dan orang tua. Satuan rumah susun Dapur Ruang Menjemur Rumah Susun Urip Sumoharjo Rumah Susun Tanah Merah I Analisis Nilai persepsi pada Rusun Urip Sumoharjo yaitu 3,31 artinya sudah sesuai dengan kebutuhan. Kondisi ruang dapur di sarusun memang telah memadai, terutama dengan adanya sekat permanen (fixed) yang telah ada sejak desain awal pada kedua rusun tersebut. Nilai persepsi pada Rusun Tanah Merah I yaitu 3,72 artinya sudah sesuai dengan kebutuhan. Sama seperti rusun Urip Sumoharjo, kondisi ruang dapur di sarusun memang telah memadai, terutama dengan adanya sekat permanen (fixed) yang telah ada sejak desain awal pada kedua rusun tersebut. Penghuni di kedua rusun tersebut tidak perlu lagi menyesuaikan diri secara aktif dengan merubah atau menambah bagian pada Sarusun untuk memenuhi kebutuhan akan ruang dapur, sebab ruang untuk dapur telah tersedia dan sudah sesuai dengan kebutuhan penghuni. Kondisi ruang menjemur di rusun ini masih tidak sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan nilai persepsi penghuni pada Rusun Urip Sumoharjo yaitu 2,69. Kondisi ruang menjemur di rusun ini Masalah ini disebabkan karena masih tidak sesuai dengan kebutuhan, terbatasnya ruang menjemur yang tersedia berdasarkan nilai persepsi penghuni di dalam sarusun. pada Rusun Tanah Merah I yaitu 2,91. Penghuni kedua rusun menyesuaikan diri Tindakan yang dilakukan penghuni secara aktif untuk mengatasi maaslah adalah dengan memanfaatkan selasar, ruang menjemur ini. Penghuni mengubah koridor maupun railing di lantai lingkungan sesuai dengan keadaan atau masing-masing untuk digunakan keinginan diri dengan memanfaatkan sebagai tempat menjemur pakaian. ruang-ruang di luar sarusun. Aktivitas menjemur di luar sarusun ini tidak pernah menimbulkan masalah antar penghuni karena semua penghuni mempunyai sikap toleransi yang baik. Tindakan yang dilakukan penghuni adalah dengan memanfaatkan selasar, koridor maupun railing di lantai masing-masing untuk digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. Aktivitas menjemur di luar sarusun ini tidak pernah menimbulkan masalah antar penghuni karena semua penghuni mempunyai sikap toleransi yang baik. 87 Satuan rumah susun WC/kamar mandi Rumah Susun Urip Sumoharjo Rumah Susun Tanah Merah I Analisis Kamar mandi dan WC menjadi salah satu item kelengkapan rumah susun yang ketersediaannya dirasa sudah cukup baik oleh penghuni. Kondisi WC/kamar mandi di rusun ini sudah sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan nilai persepsi penghuni pada Rusun Tanah Merah I yaitu 3,70 Menurut beberapa responden, WC dan kamar mandi di rumah susun ini kondisinya lebih bagus dibandingkan dengan WC dan kamar mandi pada hunian mereka sebelumnya. Kondisi WC/kamar mandi di rusun ini sudah sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan nilai persepsi penghuni pada Rusun Urip Sumoharjo yaitu 3,15. Ruang Tamu Menurut penghuni, kondisi ruang tamu di rusun ini tidak sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di bawah nilai mean, dimana pada Rusun Urip Sumoharjo yaitu 2,46 Penghuni di rusun ini merasa bahwa masalah ini disebabkan karena keterbatasan ruang yang ada di dalam sarusun itu sendiri. Ruang di dalam sarusun sudah lebih dominan difungsikan sebagai ruang privat yakni ruang kamar dan ruang keluarga. Hal inilah yang menyebabkan penyesuaian diri penghuni hanya bersifat pasif, karena penghuni tinggal menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Menurut penghuni, kondisi ruang tamu di rusun ini tidak sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di bawah nilai mean, dimana pada Rusun Tanah Merah I yaitu 2,53. Penghuni merasa perlu untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan. Hal ini diwujudkan dengan penggunaan elemen semi permanen (semi-fixed) Ruang tamu sebagai ruang semi berupa tirai atau lemari untuk privat, walaupun keberadaannya mewujudkan ruang tamu di dalam dirasa perlu tapi ketersediaan ruang di sarusun. Ruang tamu ini sifatnya dalam sarusun sudah tidak insidental yaitu apabila sedang tidak mendukung. difungsikan sebagai ruang tamu, maka fungsinya akan diubah kembali menjadi ruang keluarga. Ruang tamu di dalam sarusun ini pun hanya diadakan bila tamu yang datang berjumlah 1-2 orang atau tamu sudah dikenal baik oleh penghuni. 88 Satuan rumah susun Ruang Tamu Pencahayaan dan penghawaan Rumah Susun Urip Sumoharjo Kondisi pencahayaan dan penghawaan, menurut penghuni sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean, dimana untuk aspek pencahayaan pada Rusun Urip Sumoharjo yaitu 3,52 dan untuk aspek penghawaan pada Rusun Urip Sumoharjo yaitu 3,56 Kondisi ini dipengaruhi oleh orientasi bangunan di rumah susun ini menghadap ke luar, sehingga udara maupun cahaya dapat masuk ke sarusun dengan baik dan dapat mencukupi kebutuhan penghuni. Rumah Susun Tanah Merah I Analisis Apabila tamu yang datang jumlahnya lebih dari dua orang atau tamu tersebut merupakan orang asing, maka aktivitas untuk menerima tamu akan dilakukan di selasar sarusun. Inilah yang menyebakan mayoritas penghuni meletakkan kursi atau balai-balai di depan sarusun masingmasing sebagai personalisasi ruang. Kondisi pencahayaan dan Tidak ada permasalahan yang dirasakan penghawaan, menurut penghuni sudah oleh penghuni kedua rusun menyangkut sesuai dengan kebutuhan. Hal ini aspek pencahayaan dan penghawaan. teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean, dimana Hal inilah yang menyebabkan untuk aspek pencahayaan pada Rusun penyesuaian diri penghuni hanya bersifat Tanah Merah I yaitu 3,89 dan untuk pasif, karena penghuni tinggal aspek penghawaan pada Rusun Tanah menyesuaikan diri dengan keadaan Merah I yaitu 3,52. lingkungan rumah susun. Sama seperti rusun Urip Sumoharjo, orientasi bangunan di rumah susun ini menghadap ke luar, sehingga udara maupun cahaya dapat masuk ke sarusun dengan baik 89 2. Benda bersama Ada enam aspek yang akan dibandingkan terkait persepsi penghuni mengenai benda bersama di Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Aspek-aspek tersebut adalah (a) tempat bermain anak, (b) penerangan, (c) tempat parkir, (d) mushala, (e) BLC/ruang komputer dan (f) ruang pertemuan. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.27 di bawah ini. Tempat Bermain Anak 2.58 3.72 3.19 3.65 3.35 3.57 3.58 3.57 3 3.45 3.17 3.36 Penerangan Tempat Parkir Mushala BLC/Ruang Komputer Ruang pertemuan - 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 Rusun Urip Sumoharjo Rusun Tanah Merah I Gambar 5.27. Perbandingan persepsi mengenai benda bersama rumah susun Berdasarkan gambar diatas telah dianalisa mengenai perbandingan perilaku penyesuaian diri melalui persepsi penghuni terhadap kondisi benda bersama rumah di Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I yaitu sebagai berikut: 90 Tabel 5.2. Perbandingan Perilaku Penyesuaian Diri (Coping Behavior) Pada Benda Bersama antara Penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I Benda bersama Rumah Susun Urip Sumoharjo Tempat bermain Pada Rusun Urip Sumoharjo nilainya anak dibawah mean yakni 2,58 artinya kondisinya belum sesuai dengan kebutuhan penghuni. Rumah Susun Tanah Merah I Rusun Tanah Merah I nilainya diatas mean yakni 3,72 artinya kondisinya sudah sesuai dengan kebutuhan penghuni. Menurut hasil observasi dan wawancara, diketahui bahwa di rusun ini tidak terdapat tempat bermain anak yang memadai. Anak-anak tersebut memanfaatkan ruang-ruang kosong pada tangga, koridor, jalan dan balai RW untuk bermain. Hal ini tentunya tidak ideal untuk dapat memenuhi kebutuhan anak itu sendiri akan tempat bermain yang memadai, khususnya bila ditinjau dari faktor keamanan dan keselamatan anak. Rumah susun ini sudah memiliki tempat bermain anak yang memadai, dilengkapi dengan taman dan fasilitas bermain anak. Bahkan menurut beberapa responden, tempat bermain anak di rumah susun Tanah Merah I ini dinilai lebik layak dan memadai dibandingkan dengan kondisi di hunian mereka sebelumnya yang justru tidak memiliki tempat bermain anak yang memadai. Kondisi penerangan di rusun ini sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean pada Rusun Urip Sumoharjo yaitu 3,19. Pada Rusun Tanah Merah I nilai persepsi berada di atas nilai mean yaitu 3,65 artinya sudah sesuai dengan kebutuhan penghuni. Penghuni di rusun ini pun merasa bahwa ketersediaan penerangan pada Penerangan 91 Analisis Perbedaan persepsi ini disebabkan karena ketersediaan dari ruang bermain anak itu sendiri. Karena bila membahas tentang tempat bermain anak, maka asumsi kita akan merujuk pada sebuah area bermain yang luas dan dilengkapi dengan fasilitas bermain yang memadai. Asumsi ini pula yang menjadi dasar berpikir penghuni dalam menilai kebutuhan akan tempat bermain anak di kedua rusun tersebut. Kelompok penghuni rumah Susun Urip sumoharjo yang berusia kanak-kanak menyesuaikan diri secara aktif dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong di sekitar rumah susun. Sementara kondisi lain terjadi pada penghuni Rusun Tanah Merah I pun tinggal menyesuaikan diri secara pasif, karena area bermain telah tersedia secara memadai. Aspek penerangan yang dimaksud disini adalah kondisi penerangan lingkungan rumah susun utamanya penerangan pada waktu malam hari. Karena kondisi penerangan di kedua rusun tersebut dirasa sudah memadai maka Benda bersama Tempat Parkir Mushala Rumah Susun Urip Sumoharjo Berdasarkan observasi, penerangan di rumah susun ini sudah baik. Penghuni di rusun ini pun merasa bahwa ketersediaan penerangan pada rumah susun di tiap lantai yang mencakup penerangan di sarusun, koridor, tangga, serta selasar sudah terpenuhi dengan baik. Kondisi tempat parkir di rusun ini sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean pada Rusun Urip Sumoharjo yaitu 3,35. Rumah Susun Tanah Merah I Analisis rumah susun di tiap lantai yang penghuni di kedua rusun hanyalah tinggal mencakup penerangan di sarusun, menyesuaikan diri secara pasif terhadap koridor, tangga, serta selasar sudah fasilitas penerangan yang telah tersedia. terpenuhi dengan baik. Untuk rumah susun Urip Sumoharjo, tempat parkir terdapat di ruang antara lapangan dan bangunan. Berdasarkan observasi, di rumah susun telah terlihat bahwa ketersediaan tempat parkir sudah tidak menjadi masalah, sebab area untuk parkir kendaraan telah tersedia dan luas ruangnya juga cukup memadai untuk menampung kendaraan yang dimiliki oleh seluruh penghuni. Pada Rusun Urip Sumoharjo nilainya berada di atas nilai mean yaitu 3,58 artinya sudah sesuai dengan kebutuhan penghuni. Berdasarkan wawancara, untuk rusun Urip Sumoharjo, pemanfaatan mushala Berdasarkan kondisi tersebut, menyebabkan penghuni di kedua rusun hanyalah tinggal menyesuaikan diri secara pasif terhadap fasilitas tempat parkir yang telah tersedia. Kondisi tempat parkir di rusun ini sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai pada Rusun Tanah Merah I yaitu 3,57. Pada rusun Tanah Merah I, tempat parkirnya terdapat di lantai dasar tiap blok. Disebut sudah sesuai kebutuhan karena selain tempatnya yang luas dan memadai untuk kendaraan seluruh penghuni, kondisi tempat parkirnya juga terlindung dari gangguan cuaca berupa hujan dan terik matahari. Pada Rusun Tanah Merah I nilainya berada di atas nilai mean yaitu 3,57 artinya sudah sesuai dengan kebutuhan penghuni. Berdasarkan observasi, pemanfaatan mushala di rusun Tanah Merah I 92 Kondisi tempat parkir di kedua rusun tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan, dengan asumsi bahwa tempat parkir yang tersedia di kedua rusun ini hanya untuk menampung jenis kendaraan roda dua. Dengan ketersediaan mushala yang memadai untuk melakukan kegiatan keagamaan seprti pada kedua rusun tersebut, maka penghuni tinggal menyesuaikan diri secara pasif terhadap fasilitas yang telah tersedia itu. Benda bersama Rumah Susun Urip Sumoharjo memang giat dilakukan. Selain dipakai untuk salat berjamaah tiap hari, mushala juga digunakan untuk kegiatan pengajian bersama yang dilakukan rutin sekali seminggu. Rumah Susun Tanah Merah I memang giat dilakukan. Selain itu, remaja di rusun ini juga dilibatkan dalam pemanfaatan mushala dengan pembentukan kelompok remaja mushala. Ruang BLC/ Pada Rusun Urip Sumoharjo nilainya Pada Tanah Merah I nilainya berada di Ruang Komputer berada di atas nilai mean yaitu 3,0 atas nilai mean yaitu 3,45 artinya sudah artinya sudah sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan kebutuhan penghuni. penghuni. Berdasarkan wawancara terhadap Berdasarkan wawancara terhadap responden, ketersediaan BLC di rumah responden, ketersediaan BLC di rumah susun ini sangat memberi manfaat bagi susun ini sangat memberi manfaat, seluruh penghuni. Apalagi pada ruang khususnya bagi anak-anak, apalagi bila BLC di rusun ini juga menyediakan dibandingkan dengan kondisi pada fasilitas hotspot internet gratis. tempat tinggal sebelumnya dimana Sehingga aktivitas mengakses internet anak-anak merasa kesulitan dalam tidak terbatas di dalam ruang BLC saja mengakses komputer secara teratur. dan bisa dilakukan di serambi lantai dasar Blok A samping ruang BLC. Analisis Ruang BLC merupakan tempat yang memberikan pelatihan komputer gratis kepada masyarakat baik penghuni rusun maupun masyarakat dari luar rusun. Pengadaan ruang BLC ini diprakarsai oleh Dinas Kominfo Surabaya. Untuk ruang BLC di rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I, menurut penghuni, kondisinya dinilai baik dan bermanfaat, terutama bagi anak-anak dalam menghadapi era informatika seperti saat ini. Di tempat inilah anak-anak diberi pengenalan dan pemahaman dasar mengenai ilmu teknologi dan informasi. Oleh karena itu, dengan ketersediaan ruang komputer yang memadai di kedua rumah susun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I, maka penghuni tinggal menyesuaikan diri secara pasif terhadap fasilitas yang telah disediakan tersebut. 93 Benda bersama Ruang pertemuan Rumah Susun Urip Sumoharjo Menurut penghuni, kondisi ruang pertemuan di rusun Urip Sumoharjo sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean yaitu 3,17. Rumah Susun Tanah Merah I Menurut penghuni, kondisi ruang pertemuan di Rusun Tanah Merah I sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean yaitu 3,36. Untuk Rusun Urip Sumoharjo, aktivitas yang rutin dilakukan di ruang pertemuan (di Rusun Urip Sumoharjo bernama balai RW) ini adalah rapat bersama dan arisan yang dilakukan sekali sebulan. Aktivitas ini melibatkan seluruh penghuni maupun perwakilan. Pada Rusun Tanah Merah I, ruang pertemuan terdapat di rusun Tanah Merah II. Ruang ini sengaja disatukan antar dua rusun untuk mempererat kekerabatan antara penghuni Rusun Tanah Merah I dan Rusun Tanah Merah II. Aktivitas rutin yang dilakukan di ruang pertemuan ini juga adalah rapat bersama dan arisan yang dilakukan sekali sebulan. Aktivitas ini melibatkan seluruh penghuni maupun perwakilan. 94 Analisis Dengan ketersediaan ruang pertemuan yang memadai di kedua rumah susun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I, maka penghuni tinggal menyesuaikan diri secara pasif terhadap fasilitas yang telah disediakan tersebut. 3. Bagian bersama Ada tujuh aspek yang akan dibandingkan terkait persepsi penghuni mengenai benda bersama di Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Aspek-aspek tersebut adalah (a) jaringan air bersih, (b) jaringan listrik, (c) saluran pembuangan air, (d) saluran pembuangan sampah, (e) tangga, (f) koridor dan (g) selasar. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.28 di bawah ini. Selasar 3 3.68 3.06 3.32 3.33 3.57 3.06 3.74 3.58 3.78 3.68 3.91 3.68 3.68 Koridor Tangga Saluran pembuangan sampah Saluran pembuangan air Jaringan listrik Jaringan air bersih Rusun Urip Sumoharjo 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 Rusun Tanah Merah I Gambar 5.28. Perbandingan persepsi mengenai bagian bersama rumah susun Berdasarkan gambar diatas telah dianalisa mengenai perbandingan perilaku penyesuaian diri melalui persepsi penghuni terhadap kondisi bagian bersama rumah di Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I yaitu sebagai berikut: 95 Tabel 5.3. Perbandingan Perilaku Penyesuaian Diri (Coping Behavior) pada Bagian Bersama antara Penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I Bagian bersama Jaringan air bersih dan listrik Saluran pembuangan air Rumah Susun Urip Sumoharjo Menurut penghuni, kondisi jaringan air bersih dan listrik di rusun Urip Sumoharjo sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean yaitu untuk jaringan air bersih yaitu 3,36 dan untuk jaringan listik yaitu 3,36. Rumah Susun Tanah Merah I Menurut penghuni, kondisi jaringan air bersih dan listrik di Rusun Tanah Merah I sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean yaitu untuk jaringan air bersih yaitu 3,68 dan untuk jaringan listik yaitu 3,91. Kebutuhan air bersih pada rusun ini bersumber dari air PDAM dan distribusinya agar merata dan mencukupi ditunjang dengan adanya sejumlah rooftank. Sementara untuk aliran listrik, bersumber dari PLN dan sejauh ini mayoritas penghuni merasa masih sanggup membayar tarif listrik secara rutin. Seperti pada rusun Urip Sumoharjo, kebutuhan air bersih pada rusun ini bersumber dari air PDAM dan distribusinya agar merata dan mencukupi ditunjang dengan adanya sejumlah rooftank. Sementara untuk aliran listrik, bersumber dari PLN dan sejauh ini mayoritas penghuni merasa masih sanggup membayar tarif listrik secara rutin. Menurut penghuni, kondisi saluran pembuangan air di rusun Urip Sumoharjo sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean yaitu 3,78. Menurut penghuni, kondisi saluran pembuangan air di rusun Urip Sumoharjo sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean yaitu 3,58. 96 Analisis Kebutuhan air bersih dan listrik merupakan kebutuhan primer dari setiap bangunan. Kondisi serta ketersediaannya yang memadai berperan penting dalam menentukan kenyamanan penghuni sarusun. Mencermati hasil nilai yang ada, dapat dilihat bahwa dua kebutuhan primer ini telah tersedia dengan baik pada kedua rusun tersebut. Oleh karena itu, dengan ketersediaan air bersih dan listrik yang memadai di rumah susun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I, maka penghuni tinggal menyesuaikan diri secara pasif terhadap fasilitas yang telah disediakan tersebut. Saluran pembuangan air yang dimaksudkan disini ialah saluran pembuangan air limbah sarusun, baik grey water seperti air bekas cucian maupun black water yaitu air limbah dari septic tank. Bagian bersama Saluran pembuangan air Rumah Susun Urip Sumoharjo Berdasarkan wawancara, kondisi saluran pembuangan air dirasakan oleh penghuni di rusun ini telah memadai. Walaupun terkadang ada kebocoran, namun mampu ditangani dengan cepat melalui kerjasama antar warga dan petugas rumah susun. Rumah Susun Tanah Merah I Berdasarkan wawancara, kondisi saluran pembuangan air dirasakan oleh penghuni di rusun ini telah memadai. Hal ini ditunjang oleh pengecekan berkala oleh pengelola rumah susun. Kerusakan dan kebocoran kecil yang terjadipun mampu ditangani cepat oleh pengelola bekerja sama dengan penghuni. Analisis Dengan ketersediaan saluran pembuangan air yang memadai di rumah susun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I, maka penghuni tinggal menyesuaikan diri secara pasif terhadap fasilitas yang telah disediakan tersebut. Pembuangan sampah Kondisi pembuangan sampah di rusun Urip Sumoharjo sudah sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean yaitu 3,06. Menurut penghuni, kondisi saluran pembuangan sampah di rusun Tanah Merah I sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas Berdasarkan hasil observasi, rusun ini nilai mean yaitu 3,74. tidak dilengkapi dengan shaft sampah. Namun hal ini tidak menjadi masalah Untuk Rusun Tanah Merah I, yang berarti bagi mayoritas penghuni. berdasarkan hasil observasi, Hal ini disebabkan karena telah ada ketersediaan shaft sampah di rusun ini petugas rumah susun bagian kebersihan telah tersedia dengan baik dan yang bekerja maksimal menangani memadai. Hal ini ditunjang pula pekerjaan untuk membuang sampah ini. dengan keberadaan petugas rumah Walaupun begitu, bagi sebagian kecil susun bagian kebersihan yang penghuni, ketidaktersediaan shaft menangani proses pembuangan sampah ini membuat repot apabila sampah komunal ini. Dengan kondisi sewaktu-waktu sampah harus dibuang seperti ini, penghuni di kedua rusun ini sendiri ke tempat pembuangan sampah tidak perlu lagi terbebani dengan komunal di lantai dasar rusun. metode pembuangan sampah di hunian vertikal. Pada umumnya, keberadaan shaft pada hunian vertikal sampah begitu penting dibutuhkan. Walaupun terdapat perbedaan kondisi serta metode pembuangan sampah pada kedua rusun ini. Namun, penghuni pada kedua rusun ini merasa bahwa penanganan masalah persampahan telah dilakukan secara memadai pada rumah susun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I ini. 97 Oleh karena itu penghuni tinggal menyesuaikan diri secara pasif terhadap fasilitas pembuanagn sampah yang terdapat di lingkungan rumah susun masingmasing. Bagian bersama Tangga Rumah Susun Urip Sumoharjo Menurut penghuni, kondisi tangga di Rusun Urip Sumoharjo sudah sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan hasil wawancara, kebutuhan yang dimaksud mencakup dimensi luasan serta ketinggiannya yang dirasa sudah memadai. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean yaitu 3,33. Respon positif mengenai kondisi tangga ini tidak terlepas dari kesediaan penghuni untuk menyesuaikan diri dalam melakukan aktivitas naik turun tangga secara kontinu. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh data mengenai persentase kesediaan penghuni untuk melakukan aktivitas yang wajib dilakukan dalam menghuni rumah susun ini, yaitu bahwa mayoritas penghuni Rusun Urip Sumoharjo sebanyak 81 % sudah mampu menyesuaikan diri dengan kebiasaan naik turun tangga pada hunian vertical. Rumah Susun Tanah Merah I Menurut penghuni, kondisi tangga di Rusun Tanah Merah I sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean yaitu 3,57. Analisis Aktivitas naik turun tangga merupakan salah satu aktivitas yang wajib dijalani oleh setiap penghuni rumah susun untuk menyesuaikan diri. Oleh karena hal tersebut, tangga menjadi elemen vital dari keberadaan rumah susun sebagai hunian Sama seperti rusun Urip Sumoharjo, vertikal. Keberadaan tangga pula yang penghuni di rusun ini sudah mampu menjadi elemen pembeda antara hunian menyesuaikan diri dalam melakukan tapak (landed house) dengan hunian aktivitas naik turun tangga. vertikal. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh data mengenai persentase Selama ini opini yang berkembang adalah kesediaan penghuni untuk melakukan bahwa MBR sebagai kelompok sasaran aktivitas yang wajib dilakukan dalam Rusunawa akan mengalami kesulitan menghuni rumah susun ini yaitu bahwa beradaptasi untuk tinggal di hunian dengan mayoritas penghuni Rusun Tanah model vertikal. Namun berdasarkan Merah I sebanyak 73 % sudah mampu analisis data, MBR selaku penghuni rusun menyesuaikan diri dengan kebiasaan rupanya tidak mengalami kesulitan dalam naik turun tangga pada hunian vertikal. beradaptasi menggunakan tangga sebagai salah satu jalur sirkulasi dalam hunian. Hunian 4 lantai dengan aktivitas naik turun tangga tidak dirasakan sebagai beban oleh mayoritas penghuni. Adapun mengenai kelompok penghuni yang masih keberatan untuk melakukan aktivitas naik turun tangga ini, berdasarkan hasil observasi dan wawancara, diketahui bahwa untuk Rusun Urip Sumoharjo disebabkan karena faktor usia, yang mana 98 Bagian bersama Tangga Selasar koridor Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Menurut penghuni, kondisi selasar dan koridor di rusun ini sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai untuk selasar yaitu 3,0 dan untuk koridor diperoleh nilai yaitu 3,06. Rumah Susun Tanah Merah I Menurut penghuni, kondisi selasar dan koridor di rusun ini sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini teridentifikasi berdasarkan nilai yang berada di atas nilai mean, dimana untuk selasar yaitu 3,68dan untuk koridor diperoleh nilai yaitu 3,32. 99 Analisis banyak dari penghuni rusun ini telah masuk pada kategori manula dan masih tinggal pada lantai 2 sampai lantai 4. Sehingga aktivitas naik turun tangga dirasakan sudah terasa berat untuk dilakukan secara rutin. Sementara itu untuk Rusun Tanah Merah I, adanya kelompok penghuni yang keberatan ini disebabkan semata karena faktor penyesuaian diri yang lambat dari penghuni itu sendiri. Sehingga untuk melakukan aktivitas naik turun tangga masih dirasakan berat dan belum terbiasa. Persoalan ini seharusnya mendapat perhatian yang lebih serius. Sebab hal ini bisa memicu stress pada kelompok penghuni tersebut dan akhirnya membuat ketidaknyamanan untuk menghuni rumah susun. Dengan kondisi selasar dan koridor yang memadai pada rumah susun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I ini, maka penghuni tinggal menyesuaikan diri secara pasif di lingkungan rumah susun. Bagian bersama Rumah Susun Urip Sumoharjo Selasar dan Pada rumah susun ini, selasar dan koridor koridor sudah dimanfaatkan dengan efektif. Walupun begitu, berdasarkan wawancara, masih terdapat beberapa penghuni yang merasa bahwa luasan selasar masih sempit. Rumah Susun Tanah Merah I Pada rusun ini, penghuni beranggapan bahwa koridor sudah termanfaatkan secara efektif. Karena luasannya yang cukup lebar, maka banyak aktivitas berkumpul dan bersosialisasi antar warga yang bisa dilakukan pada area ini. 100 Analisis 4. Ruang Komunal Analisa mengenai pembentukan ruang komunal diperlukan untuk menjelaskan apakah identitas outdoor personality yang dimiliki oleh penghuni kedua rusun ini, baik Urip Sumoharjo maupun Rusun Tanah Merah I dapat terwadahi atau tidak. Selain itu, analisis ini dapat menjelaskan bagaimana strategi penghuni untuk menyesuaikan diri dalam mewujudkan identitas outdoor personality pada lingkungan rumah susun. Ruang komunal yang akan dibahas disini terbagi atas dua jenis yaitu: a. Ruang komunal yang terencana. Ruang komunal yang terencana merupakan ruang komunal yang telah ada sejak desain awal pembangunan Urip Sumoharjo maupun Rusun Tanah Merah I ini. Pada rumah susun Urip Sumoharjo, ruang komunal terencana ini berupa lapangan olahraga dan gedung serbaguna yang mencakup mushala dan balai RW Sementara pada Rumah Susun Tanah Merah I berupa balai pertemuan dan mushala. Berdasarkan hasil observasi, kondisi ruang komunal jenis ini telah memadai. Selain itu, dengan adanya ruang komunal ini, setidaknya telah mampu mewadahi kebutuhan penghuni akan interaksi sosial yang baik dan berkesinambungan. Oleh karena itu, dengan kondisi seperti ini maka penghuni tinggal menyesuaikan diri secara pasif terhadap ruang komunal yang terencana ini. Namun ruang komunal yang terencana ini juga memiliki batasan. Ruang ini terkesan hanya cocok untuk dipakai pada kegiatan-kegiatan formal, seperti arisan, rapat, pengajian, serta peringatan hari besar keagamaan. Hal ini menyebabkan frekuensi pemanfaatannyapun hanya sebatas pada aktivitas mingguan, bulanan serta tahunan. b. Ruang komunal yang tak terencana. Kehadiran ruang komunal yang tak terencana di dalam rumah susun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I ini tidak lepas dari kebutuhan penghuni itu sendiri untuk menyesuaikan diri secara aktif dalam mempertahankan identitasnya sebagai sebuah entitas masyarakat kampung yang memiliki ciri outdoor personality tetapi bertempattinggal di rumah susun. Oleh karena kelompok masyarakat ini lebih suka berada di luar rumah untuk menjalin 101 interaksi sosial antar sesamanya, pada akhirnya terbentuklah ruang-ruang komunal yang tak terencana ini. Aktivitas yang dilakukan penghuni pada ruang komunal tak terencana ini biasanya bersifat non formal dengan frekuensi jam-harian (setiap waktu), misalnya aktivitas mengobrol sambil menonton TV. Karena penyesuaian yang dilakukan penghuni ini bersifat aktif yakni mengubah lingkungan sesuai kebutuhan manusia, maka wujud dari penyesuaian diri ini adalah melalui pengadaan balai-balai atau kursi panjang yang berfungsi untuk mewadahi aktivitas mengobrol tersebut. Penyesuaian diri ini melalui pembentukan ruang komunal tak terencana ini ditemukan pada kedua rumah susun yang menjadi objek penelitian ini, yaitu Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan hipotesa bahwa dalam mewujudkan ruang komunal yang dapat mewadahi outdoor personality penghuni rumah susun seharusnya bentukannya bukan berupa ruang dengan pembatas elemen fixed berupa dinding tembok. Ruang model seperti itu telah terbukti bahwa intensitas penggunaannya rendah sehingga terkesan mubazir. Ruang komunal untuk Rusunawa lebih baik menggunakan model pendopo yang diletakkan di area tengah rumah susun pada lantai dasar. Sehingga penghuni tidak perlu lagi menyesuaian diri secara aktif dengan mengadakan ruang komunal dengan memanfaatkan ruang-ruang sisa yang tidak termanfaatkan atau area sirkulasi di dalam lingkungan rumah susun sebab hal ini dapat mengurangi estetika ruang dari rumah susun itu sendiri. 5.3.Teritorialitas Pembahasan mengenai teritorialitas pada penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi teritori yang dibentuk oleh masyarakat penghuni rusun, dalam hubungannnya dengan sesama penghuni rumah susun maupun dengan orang yang berasal luar rusun. Setelah berhasil beradaptasi, penghuni kemudian membentuk teritori sebagai bentuk penanda penguasaan suatu area, dalam hal ini yaitu lingkungan rumah susun. Berdasarkan teori Hussein el Sharkawy (1979 dalam Prabowo, 1998), 102 teritori pada Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I ini diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: (1) central territories atau ruang privat, (2) supporting territories atau ruang yang bersifat semi-privat dan semipublik dan (3) peripheral territories atau ruang publik. 1) Rusun Urip Sumoharjo Pembentukan teritorialitas merupakan mekanisme untuk mengatur batas antara orang yang satu dengan lainnya melalui penandaan atau personalisasi untuk menyatakan bahwa tempat tersebut ada yang memilikinya (Altman, 1980). Berdasarkan observasi pada rusun ini, dapat diidentiifkasi karakteristik teritori yang dibentuk oleh penghuni Rusun Urip Sumoharjo ini, yaitu sebagai berikut: a) Central Territories Central territories atau disebut sebagai ruang privat, merupakan ruang yang sifatnya sangat pribadi, hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah mendapatkan izin khusus. Pada rusun ini, yang termasuk dalam ruang privat adalah sarusun, mencakup unit hunian dan ruang servis. Sarusun ini sendiri sebenarnya bisa dibagi lagi menjadi ruang privat dan ruang semi-privat, tergantung dari keberadaan sekat yang dibuat oleh penghuni. Ruang ini hanya dapat ditempati oleh setiap anggota keluarga saja atau orang yang mendapat ijin khusus dari pemilik sarusun. Kegiatan yang berlangsung di dalam teritori ini merupakan aktivitas domestik keluarga, seperti makan, tidur, bercengkrama, mencuci, memasak, mandi, dan sebagainya. Luasan teritori ini adalah seluas ruangan satuan rumah susun masingmasing unit hunian, dimana ditandai dengan pembatas material fixed berupa dinding tembok. b) Supporting Territories Supporting territories atau disebut sebagai ruang semi privat atau ruang semi publik. Ruang ini ditempati bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal, lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Berdasarkan hasil observasi, yang termasuk ruang semi privat pada rusun ini adalah selasar sarusun. Personalisasi selasar sarusun sebagai ruang semi privat ini biasanya ditandai dengan pemberian kursi atau balai-balai di depan sarusun masing-masing. Ruang ini walau ditempati bersama namun cenderung dimiliki 103 dan dipersonalisasi oleh penghuni sarusun yang bersangkutan. Jenis kegiatan yang biasanya berlangsung pada teritori ini adalah aktivitas bersosialisasi antar tetangga berdekatan unit hunian. Selain itu, aktivitas yang dilakukan dalam teritori ini adalah menerima tamu yang ingin bercakap-cakap dengan penghuni rumah susun. Sementara itu, ruang semi publik pada rusun Urip Sumoharjo ini adalah koridor, tangga serta ruang kosong di depannya yang masih bagian dari selasar, halaman rusun termasuk tempat parkir. Ruang ini dikategorikan sebagai ruang semi publik karena walaupun ruang ini ditempati bersama namun cenderung tidak diakui kepemilikannya oleh masing-masing individu. Walaupun begitu, pengontrolan pada ruang semi publik ini tetap dilakukan, terutama bila ada orang asing yang masuk ke dalam area ini. Jenis kegiatan yang biasanya berlangsung pada teritori ini adalah menongkrong dan bersosialisasi antar tetangga baik dari blok yang sama maupun antar penghuni rumah susun secara keseluruhan. Personalisasi teritori ini biasanya ditandai dengan elemen semifixed mapun nonfixed. Gambar 5.29. Ruang semi publik di Rusun Urip Sumoharjo. (Sumber: dokumentasi survei, 2014) c) Peripheral Territories Peripheral territories atau disebut sebagai ruang publik. Berdasarkan hasil observasi, yang termasuk ruang publik di Rusun Urip Sumoharjo ini adalah gedung serbaguna, yang meliputi BLC/ruang komputer, taman baca, dan mushala (lihat Gambar 5.30). Ruang ini dikategorikan sebagai ruang publik karena pemanfaatannya yang terbuka bagi siapa saja, baik penghuni rusun maupun masyarakat dari luar rusun. Jenis aktivitas pada teritori ini seperti kursus, penyuluhan, rapat, arisan maupun acara keagamaan. Pembatas ruang ini adalah elemen fixed karena ruang ini sudah merupakan kelengkapan benda bersama dari rumah susun. 104 Gambar 5.30. Ruang Publik di Rusun Urip Sumoharjo (Sumber: dokumentasi survei, 2014) 2) Rusun Tanah Merah I Berdasarkan observasi pada rusun Tanah Merah I, dapat diidentiifkasi karakteristik teritori yang dibentuk oleh penghuni yaitu sebagai berikut: a) Central Territories Central territories atau disebut sebagai ruang privat, merupakan ruang yang sifatnya sangat pribadi, hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah mendapatkan izin khusus. Pada rusun ini, yang termasuk dalam ruang privat adalah sarusun, mencakup unit hunian dan ruang servis. Sarusun ini sendiri sebenarnya bisa dibagi lagi menjadi ruang privat dan ruang semi-privat, tergantung dari keberadaan sekat yang dibuat oleh penghuni. Ruang ini hanya dapat ditempati oleh setiap anggota keluarga saja atau orang yang mendapat ijin khususdari pemilik sarusun. Kegiatan yang berlangsung di dalam teritori ini merupakan aktivitas domestik keluarga, seperti makan, tidur, bercengkrama, mencuci, memasak, mandi, dan sebagainya. Luasan teritori ini adalah seluas ruangan satuan rumah susun masingmasing unit hunian, dimana ditandai dengan pembatas material fixed berupa dinding tembok. b) Supporting Territories Supporting territories atau disebut sebagai ruang semi privat atau ruang semi publik. Ruang ini ditempati bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal, lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Berdasarkan hasil observasi, yang termasuk ruang semi privat pada rusun ini adalah selasar sarusun. Personalisasi selasar sarusun sebagai ruang semi privat ini biasanya ditandai dengan pemberian kursi atau balai-balai (elemen semi-fixed) di depan sarusun masing-masing (lihat Gambar 5.31). Ruang ini walau ditempati bersama namun cenderung dimiliki dan dipersonalisasi oleh penghuni sarusun 105 yang bersangkutan. Jenis kegiatan yang biasanya berlangsung pada teritori ini adalah aktivitas bersosialisasi antar tetangga yang berdekatan unit hunian. Selain itu, aktivitas yang dilakukan dalam teritori ini adalah menerima tamu yang ingin bercakap-cakap dengan penghuni rumah susun. Gambar 5.31. Ruang semi privat di Rusun Tanah Merah I (Sumber: dokumentasi survei, 2014) Sementara itu, ruang semi publik pada rusun Tanah Merah I ini adalah koridor, tangga, serambi di lantai dasar tiap blok mushala dan tempat parkir (lihat Gambar 5.32). Ruang ini dikategorikan sebagai ruang semi publik karena walaupun ruang ini ditempati bersama namun cenderung tidak diakui kepemilikannya oleh masing-masing individu. Walaupun begitu, pengontrolan pada ruang semi publik ini tetap dilakukan, terutama bila ada orang asing yang masuk ke dalam area ini. Jenis kegiatan yang biasanya berlangsung pada teritori ini adalah menongkrong dan bersosialisasi antar tetangga baik dari blok yang sama maupun antar penghuni rumah susun secara keseluruhan. Personalisasi teritori ini ditandai dengan elemen semifixed, seperti balai-balai, bangku, sofa dan meja. Gambar 5.32. Ruang semi publik di Rusun Tanah Merah I (Sumber: dokumentasi survei, 2014) c) Peripheral Territories Peripheral territories atau disebut sebagai ruang publik. Berdasarkan hasil observasi, yang termasuk ruang publik di Rusun Tanah Merah I ini adalah taman bermain dan halaman rumah susun (lihat Gambar 5.33). Ruang ini dikategorikan 106 sebagai ruang publik karena pemanfaatannya yang terbuka bagi siapa saja, baik penghuni rusun maupun masyarakat kampung yang tinggal di luar rusun. Jenis aktivitas pada teritori ini seperti kegiatan olahraga. Pembatas ruang ini adalah elemen non-fixed yang ditandai dengan aktivitas manusia dalam ruang tersebut. Gambar 5.33. Ruang publik di Rusun Tanah Merah I (Sumber: dokumentasi survei, 2014) Berdasarkan pembahasan diatas, maka disusun hipotesa mengenai karakteristik teritorialitas yang dibentuk oleh penghuni di Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I yaitu sebagai berikut: 1. Teritorialitas terbentuk karena adanya perilaku penyesuaian diri yang dilakukan oleh manusia. Pada rumah susun, teritorialitas terbentuk dari aktivitas penghuni serta kebutuhannya akan ruang untuk melakukan aktivitas tersebut. Teritori ditandai dengan adanya elemen pembentuk ruang yakni fixed-feature, semi-fixed-feature dan non-fixed-feature. 2. Kebutuhan akan semi privat bagi penghuni di kedua rusun tersebut tergolong tinggi. Namun karena ruang sarusun telah berfungsi sebagai area privat, maka cara yang ditempuh adalah dengan memanfaatkan selasar. Hal tersebut ditandai dengan mayoritas penghuni sarusun mengadakan kursi atau balaibalai di selasar depan unit masing-masing. Tujuannya adalah untuk mempersonalisasi ruang. Akibatnya selasar sebagai jalur sirkulasi menjadi menyempit dan menyebabkan orang, terutama orang asing yang bukan warga rusun, akan merasa segan untuk melewati selasar yang telah berfungsi sebagai ruang semi-privat tersebut. 3. Ruang semi publik merupakan ruang komunal yang intensitas pemanfaatnya paling sering digunakan oleh seluruh warga di kedua rusun. Teritori ruang ini ditandai dengan penggunaan eleman semi-fixed. Ruang ini memiliki ukuran yang cukup luas dan kondisi yang terbuka, sehingga pengguna memiliki jarak 107 pandang yang cukup jauh dan lebih leluasa memandang kesekitarnya. Disamping itu penghuni juga dapat mengontrol dan mengawasi ke segala sisi ruang interaksi sehingga menimbulkan rasa aman dalam melakukan aktivitas. 4. Ruang publik di kedua rumah susun ditujukkan tidak hanya bagi penghuni rusun saja, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh warga luar rusun. Ruang ini difungsikan sebagai zona antara yang digunakan untuk menjembatani proses adaptasi warga rumah susun agar mampu berintegrasi ke dalam permukiman kampung di wilayah tersebut. Selain itu kegiatan-kegiatan bersama yang melibatkan warga rusun dan warga luar rusun juga biasa dilakukan di ruang publik rumah susun demi mempercepat proses adaptasi dan integrasi tersebut. 5.4. Attachment to Place (Keterikatan Pada Tempat) Perasaan keterikatan pada tempat (place attachment) merupakan ikatan emosional yang dirasakan oleh seseorang terhadap sebuah tempat. Sebuah rumah tinggal (home) biasanya memiliki ikatan emosional yang kuat dengan penghuninya. Namun untuk kasus rumah susun, hal tersebut menjadi unik karena rumah susun bisa dikatakan bahwa penghuninya hanyalah berstatus sebagai penyewa. Menurut Widjajanti (2010), karena kepemilikan unit rumah susun merupakan sistem sewa yang diselenggarakan oleh pemerintah inilah, maka rasa keterikatan masyarakat terhadap rumah susun menjadi kurang bila dibandingkan dengan rumah kampung karena mereka tidak merasa memiliki tempat dan lingkungannya. Untuk menganalisis pernyataan itu maka dilakukan penilaian attachment to place terhadap Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I. Faktor-faktor yang mempengaruhi attachment to place diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2008). 1) Rusun Urip Sumoharjo Persepsi penghuni mengenai keterikatan terhadap rumah susun Urip Sumoharjo dianalisa dengan menggunakan skala likert (5=sangat sesuai s.d 1=sangat tidak sesuai) terdahap faktor-faktor yang mempengaruhi attachment to place seperti terdapat pada Gambar 5.34 berikut. 108 Keterjangkauan sewa hunian Ketiadaan alternatif tempat tinggal yang lain Keamanan lingkungan Lama tinggal Status kepemilikan Jarak tempat kerja Aksesibilitas yang baik Kenyamanan Hubungan baik antar tetangga 3.00 3.31 3.89 3.60 3.89 3.67 4.13 3.04 4.00 - 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 Gambar 5.34. Faktor-faktor yang mempengaruhi attachment to place di Rumah Susun Urip Sumoharjo Berdasarkan data pada Gambar 5.34 dapat dilihat bahwa: 1. Hubungan baik antar tetangga mempunyai nilai 4, yang berarti hubungan antar penghuni di rumah susun Urip Sumoharjo ini sudah terjalin baik dan akrab. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya mayoritas penghuni rumah susun ini telah saling mengenal sejak sebelum rumah susun ini dibangun atau dalam kata lain penghuni merupakan warga asli kampung tempat dimana rumah susun ini berdiri sekarang. Selain itu seperti ciri khas masyarakat dalam sebuah kampung, hubungan antar penghuni dilandasi tidak hanya sekedar hubungan sahabat namun juga berdasar atas hubungan kerabat atau pertalian keluarga. 2. Faktor kenyamanan mempunyai nilai 3,04, yang berarti rata-rata penghuni telah merasakan nyaman untuk tinggal dirumah susun Urip Sumoharjo ini. Meskipun demikian, nilai tersebut berarti pula bahwa penghuni cenderung belum merasakan kenyamanan sesuai yang diinginkannya. Mencermati pada pembahasan sebelum ini pada bagian adaptasi, maka dapat ditarik sebuah benang merah penghubung bahwa masih belum sesuainya kebutuhan penghuni terhadap kelengkapan rumah susun seperti ruang kamar dan ruang menjemur akan mempengaruhi pada derajat kenyamanan yang dirasakan oleh penghuni rumah susun Urip Sumoharjo itu sendiri. Selain itu perasaan nyaman tinggal di rumah susun mayoritas hanya dirasakan oleh penghuni orang tua. Sementara untuk anak-anak penghuni, kebanyakan merasa kurang betah untuk 109 tinggal di rumah susun, terutama apabila anak penghuni tersebut telah memasuki usia dewasa pula. 3. Faktor aksesibilitas mempunyai nilai 4,13. Aksesibilitas merupakan kemudahan untuk mencapai suatu tempat. Aksesibilitas perorangan biasanya diukur dengan menghitung besarnya biaya perjalanan yang dapat dihitung berdasarkan jarak dari tempat hunian seseorang ke tempat tujuan aktivitas. Ukuran aksesibilitas dapat dihitung untuk aktivitas yang spesifik seperti belanja atau bekerja. Berdasarkan nilai yang diperoleh, terlihat bahwa masyarakat sudah merasa puas dengan tingkat aksesibilitas di rumah susun Urip Sumoharjo ini. Berdasarkan observasi dan wawancara diketahui bahwa posisi rumah susun ini sangat strategis karena terletak di pusat kota. Oleh sebab itu, fasilitas-fasilitas yang ada di Kota Surabaya menjadi lebih mudah untuk diakses oleh para penghuni rumah susun ini. Selain itu faktor kemudahan dalam mengakses angkutan umum menjadi pendukung aksesibilitas yang baik pada rumah susun ini. 4. Faktor jarak tempat kerja mempunyai nilai 3,67, yang berarti bahwa penghuni sudah merasa bahwa jarak antara rumah susun menuju tempat kerja sudah sesuai. Hal ini utamanya dipengaruhi oleh faktor aksesibilitas yang baik, seperti yang telah dijabarkan diatas. 5. Faktor status kepemilikan mempunyai nilai 3,89. Nilai ini berdasarkan pertanyaan mengenai perbandingan antara status tempat tinggal sebelum menghuni rumah susun yaitu rumah milik sendiri dengan status tempat tinggal sekarang yaitu rumah susun sewa. Kecenderungan jawaban adalah penghuni tidak merasa terganggu walaupun status penghunian rumah susun ini hanyalah sewa. Hal ini disebabkan karena: pertama, rumah susun Urip Sumoharjo ini dibangun di atas lahan bekas kampung mereka, yang pada akhirnya semakin memperkuat perasaan keterikatan para penghuni dengan rumah susun ini. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan penghunian rumah susun, misalnya ketersediaan sarana prasarana yang layak serta hak tinggal yang aman (security of tenure) lebih dijamin oleh pemerintah kota. Hal ini bagi penghuni dirasa lebih menguntungkan bila dibanding dengan kehidupan kampung di masa silam, sebelum rumah susun ini dibangun. 110 6. Faktor jangka waktu tinggal mempunyai nilai 3,60. Berdasarkan pertanyaan yang diajukan kepada respoden mengenai kemungkinan untuk pindah dari rumah susun, jawaban yang diperoleh bahwa mayoritas penghuni sudah merasa betah menetap di rumah susun ini. Jawaban ini utamanya diperoleh dari para penghuni yang berusia dewasa madya dan lanjut usia. Hal ini umumnya disebabkan karena adanya ikatan emosional dengan lokasi yang sekarang menjadi rumah susun tersebut. Lokasi ini telah dihuni sebagian besar penghuni sejak kecil, yang merupakan warisan orang tua mereka sendiri. Sehingga, para penghuni umumnya merasa memiliki kewajiban untuk tetap bertahan dan menjaga amanah dari orang tua mereka masing-masing. 7. Faktor keamanan lingkungan mempunyai nilai 3,89. Keamanan lingkungan merupakan salah satu isu utama di rumah susun. Ini utamanya terkait dengan keamanan tempat parkir kendaraan di rumah susun itu sendiri. Namun menilai angka yang didapat untuk faktor ini, maka bisa disimpulkan bahwa para penghuni sudah merasa aman dengan kondisi rumah susun sekarang. Hal ini disebabkan karena untuk menjaga lingkungan rumah susun, petugas pengelola rumah susun dan warga penghuni saling membantu dalam melakukan kegiatan pengamanan lingkungan rumah susun setiap harinya. 8. Faktor ketiadaan alternatif tempat tinggal yang lain mempunyai nilai 3,31. Sebagian besar penghuni utamanya yang berusia dewasa madya dan lanjut usia, pada dasarnya sudah tidak memiliki keinginan untuk mencari tempat tinggal lain selain di rumah susun ini. Apabila sebelumnya disebut bahwa faktor lama tinggal berpengaruh terhadap perasaan attachment to place, maka faktor ini juga berpengaruh terhadap perasaan keterikatan tersebut. Para penghuni merasa bahwa dengan kemampuan finansial yang dimilikinya saat ini, menghuni rumah susun merupakan pilihan yang paling logis. Apalagi jika pilihan ini dibandingkan dengan membeli rumah baru yang tentu harganya lebih mahal. Sehingga, peluang untuk pindah mencari tempat tinggal lain dirasa sudah sangat kecil kemungkinannya. Namun berdasarkan wawancara, kondisi ini hanya berlaku bagi penghuni berusia dewasa madya dan lanjut usia saja. Anak-anak penghuni rumah susun, terutama yang sudah memperoleh 111 pekerjaan, kenyataannya lebih memilih untuk mencari tempat tinggal di luar rumah susun. 9. Faktor keterjangkauan sewa hunian mempunyai nilai 3. Hal yang paling pokok dari menghuni rumah susun Urip Sumoharjo yang berstatus sebagai rumah susun sewa sederhana adalah sewa hunian. Bagi penghuni rusun Urip Sumoharjo ini, besaran tarif sewa yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota selaku pemegang kebijakan atas rumah susun dirasa masih terlalu tinggi bagi banyak penghuni rumah susun (lihat halaman 44). Bagi penghuni, besaran sewa rumah susun ini dinilai masih lebih tinggi dibandingkan dengan tarif sewa rumah susun lain. Walaupun disamping itu diakui pula oleh penghuni bahwa besaran biaya sewa rumah susun ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan sewa rumah kos atau rumah kontrak di Kota Surabaya. 2) Rusun Tanah Merah I Persepsi penghuni mengenai keterikatan terhadap rumah susun Tanah Merah I dianalisa dengan menggunakan skala likert (5=sangat sesuai s.d 1=sangat tidak sesuai) terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi attachment to place seperti terdapat pada Gambar 5.35 berikut. Keterjangkauan sewa hunian Ketiadaan alternatif tempat tinggal yang lain Keamanan lingkungan Lama tinggal Status kepemilikan Jarak tempat kerja Aksesibilitas yang baik Kenyamanan Hubungan baik antar tetangga 3.10 3.66 4.60 3.84 2.42 2.83 2.53 3.16 3.89 - 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 Gambar 5.35. Faktor-faktor yang mempengaruhi attachment to place di Rumah Susun Tanah Merah I Berdasarkan data pada Gambar 5.35 dapat dilihat bahwa: 1. Faktor hubungan baik antar tetangga mempunyai nilai 3,89. Berdasarkan observasi, hubungan antar penghuni terjalin baik di rumah susun Tanah Merah I ini. Meskipun rumah susun ini baru dihuni pada tahun 2010 dan 112 setelah itu secara bertahap diisi oleh penghuni serta penghuni yang masih memiliki pertalian keluarga dengan penghuni di unit lain rusun ini pun jumlahnya hanya sedikit, namun hubungan antar tetangga cepat terjalin akrab. Hal ini tidak lepas dari peran ketua RT selaku ketua paguyuban warga rumah susun yang didukung oleh keinginan dari seluruh warga rusun itu sendiri untuk selalu berpartisipasi aktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan bersama yang sifatnya komunal, seperti arisan, rapat, olahraga bersama atau kegiatan keagamaan. 2. Faktor kenyamanan mempunyai nilai 3,16. Untuk masalah kenyamanan, sejauh ini para penghuni sudah merasa betah untuk tinggal di rumah susun ini. Walaupun pada awalnya para penghuni membutuhkan adaptasi ruang rumah susun, namun hal tersebut lambat laun bisa berjalan baik. Jumlah penghuni di dalam unit hunian juga turut mempengaruhi faktor ini, dimana anggota keluarga penghuni rusun per unit rata-rata berjumlah 4 orang. Selain itu usia anak-anak penghuni rata-rata kanak-kanak atau remaja, sehingga kebutuhan ruang masing-masing penghuni dalam satu unit hunian masih bisa terakomodasi dengan baik. 3. Faktor aksesibilitas mempunyai nilai 2,53, yang berarti persepsi penghuni mengenai aksesibilitas rumah susun ini masih belum sesuai dengan kebutuhan. Faktor ini berkaitan erat dengan lokasi dari rumah susun itu sendiri. Berdasarkan observasi, lokasi rumah susun ini terletak di jalan lingkungan yang tidak memiliki akses langsung dengan angkutan umum. Penghuni harus mengalokasikan biaya perjalanan lebih banyak karena harus menggunakan moda transportasi becak terlebih dahulu untuk mencapai lokasi angkutan umum berada. Sehingga hal ini turut mempengaruhi tingkat aksesibilitas penghuni dalam mencapai berbagai fasilitas yang lokasinya terletak di luar rumah susun ini. 4. Faktor jarak tempat kerja mempunyai nilai 2,83, yang berarti persepsi penghuni mengenai jarak tempat kerja dari rumah susun Tanah Merah I ini masih belum sesuai. Berdasarkan wawancara, beberapa penghuni mengeluhkan perubahan jarak tempat kerja semenjak direlokasi ke rusun ini. 113 Bahkan ada penghuni yang kemudian harus kehilangan pekerjaan dan akhirnya mencari pekerjaan baru di dekat lokasi rumah susun ini. 5. Faktor status kepemilikan mempunyai nilai 2,42. Masalah status kepemilikan memang dirasakan oleh penghuni rusun. Walaupun peraturan daerah yang mengatur pembatasan waktu tinggal di rumah susun selama maksimal 9 tahun telah dicabut, namun penghuni masih merasa bahwa mereka tidak bisa selamanya tinggal di rumah susun ini dengan status yang hanya sewa. Masyarakat merasa bahwa tanpa hak milik, suatu waktu mereka pasti akan keluar dari rumah susun ini. 6. Faktor jangka waktu tinggal mempunyai nilai 3,84. Berdasarkan wawancara, mayoritas penghuni masih ingin tinggal untuk jangka waktu lama di rumah susun Tanah Merah I ini. Penghuni yang baru sekitar 4 tahun menghuni rumah susun ini merasa bahwa untuk berpindah-pindah tempat tinggal dalam jangka waktu cepat akan terasa sulit, apalagi bagi penghuni yang telah berkeluarga. Untuk itu, mayoritas penghuni belum berkeinginan untuk pindah dari rumah susun ini. 7. Faktor keamanan lingkungan mempunyai nilai 4,60. Bagi penghuni, keamanan lingkungan rumah susun dirasa sudah cukup baik. Hal ini ditunjang dengan adanya pagar keliling rusun serta pos saptam yang dibangun di akses masuk rusun. Selain itu pengamanan aktif pun dilakukan secara rutin oleh penghuni. Faktor kemanan memang dirasa penting bagi setiap daerah permukiman, termasuk juga rumah susun Tanah Merah I ini. Utamanya keamanan bagi kendaraan yang dimiliki oleh penghuni karena diletakkan di tempat parkir yang berada di lantai dasar rumah susun. 8. Faktor ketiadaan alternatif tempat tinggal yang lain mempunyai nilai 3,66. Bagi penghuni, opsi yang paling logis untuk saat ini adalah tetap menempati rumah susun. Alasan utamanya adalah kemampuan finansial dari masingmasing penghuni yang terbatas. Mayoritas penghuni merupakan masyarakat berpenghasilan rendah. Kebutuhan yang mendesak saat ini pun adalah kebutuhan untuk pangan dan biaya sekolah anak. Selain itu ketersediaan fasilitas rumah susun seperti listrik dan air bersih hingga saat ini tidak ada 114 masalah. Sehingga mayoritas penghuni belum memikirkan untuk mencari alternatif tempat tinggal yang lain. 9. Faktor keterjangkauan sewa hunian mempunyai nilai 3,10. Persoalan keterbatasan finansial memang menjadi karakteristik dari masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk para penghuni rumah susun Tanah Merah I ini. Beruntung, tarif sewa hunian yang dibebankan kepada penghuni rumah susun ini dirasa murah dan masih mampu dilunasi tiap bulan oleh penghuni. Inilah juga yang menyebabkan para penghuni rumah susun masih merasa betah menghuni tempat ini. 3) Perbandingan Attachment to Place Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa perasaan keterikatan pada tempat (attachment to place) penghuni Rusun Urip Sumoharjo lebih kuat daripada yang dirasakan penghuni di Rusun Tanah Merah I. Secara garis besar, perasaan attachment to place MBR yang menghuni Rusun Urip Sumoharjo dan Rusun Tanah Merah I dinilai sudah baik. Penghuni di kedua rumah susun tersebut sudah mampu beradaptasi untuk membetahkan diri tinggal di hunian model vertikal. Dari delapan faktor yang mempengaruhi perasaan attachment to place (Kusuma, 2008), pada Rusun Urip Sumoharjo semua faktor dinilai positif oleh penghuni. Sementara pada Rusun Tanah Merah I terdapat enam faktor yang dinilai positif dan tiga faktor yakni status kepemilikan, aksesibilitas dan jarak tempat kerja yang dinilai negatif oleh penghuni. Hal ini tentu berdampak pada berkurangnya rasa attachment to place yang dimiliki oleh penghuni Rusun Tanah Merah I terhadap huniannya bila dibandingkan dengan penghuni di Rusun Urip Sumoharjo. Walaupun masih terdapat beberapa faktor yang dapat mengurangi rasa keterikatan penghuni terhadap rumah susun seperti lokasi rumah susun yang jauh dari pusat kota dan tempat kerja, namun menilik dari data kuesioner dan wawancara yang telah dilakukan, mayoritas penghuni di kedua rusun sudah mampu menerima dan beradaptasi dalam menjadikan rumah susun seperti rumah milik sendiri. Tidak hanya arti rumah sekedar memenuhi kebutuhan fungsional, namun lebih dari itu yakni menjadikan rumah susun sebagai hunian yang 115 memadai dan dapat mendukung kehidupan dan penghidupan keluarga. Tersedianya fasilitas dan utilitas yang lengkap dan memadai, sewa yang terjangkau, hubungan tetangga yang baik, keamanan lingkungan yang lebih terjamin, serta aturan jangka waktu tinggal yang tidak dibatasi terbukti mampu memperkuat rasa attachment to place penghuni selaku masyarakat berpenghasilan rendah terhadap rumah susun yang dihuninya. Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada rangkuman analisa pada Tabel 5.4 sebagai berikut: 116 Tabel 5.4. Perbandingan Perasaan Keterikatan pada Tempat (Attachment to Place) antara Penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I Variabel Hubungan baik antar tetangga Rumah Susun Urip Sumoharjo Hubungan baik antar tetangga mempunyai nilai 4, yang berarti hubungan antar penghuni di rumah susun Urip Sumohrajo ini sudah terjalin baik dan akrab. Rumah Susun Tanah Merah I Faktor hubungan baik antar tetangga mempunyai nilai 3,89. Berdasarkan observasi, hubungan antar penghuni terjalin baik di rumah susun Tanah Merah I ini. Analisis Seperti ciri khas masyarakat dalam sebuah kampung, hubungan antar penghuni dilandasi tidak hanya sekedar hubungan sahabat namun juga berdasar atas hubungan kerabat atau pertalian keluarga. Sehingga tidak heran apabila hubungan antar tetangga baik di Rusun Urip Sumoharjo maupun Rusun Tanah Merah I cepat terjalin akrab karena budaya hidup komunal dan saling membutuhkan antar tetangga masih kental. Kenyamanan Faktor kenyamanan mempunyai nilai 3,04, yang berarti rata-rata penghuni telah merasakan nyaman untuk tinggal dirumah susun Urip Sumoharjo ini. Faktor kenyamanan mempunyai nilai 3,16. Untuk masalah kenyamanan, sejauh ini para penghuni sudah merasa betah untuk tinggal di rumah susun ini Persepsi mengenai kenyamanan yang dirasakan penghuni di kedua rumah susun didasarkan pada jumlah dan usia penghuni yang menempati tiap satuan rumah susun. Berdasarkan ukuran ideal, jumlah penghuni dalam sarusun maksimal sebanyak 4orang. Dari nilai yang diperoleh, dapat dilihat bahwa nilai persepsi mengenai kenyamanan pada Rusun Urip Sumoharjo lebih rendah dibanding dengan Rusun Tanah Merah I. Hal ini karena pada Rusun Urip Sumoharjo banyak unit sarusun yang ditempati lebih dari 4 atau banyak dari anak-anak penghuni yang beranjak dewasa dan menuntut adanya privasi yang lebih yang tidak mampu diakomodasi oleh unit sarusun itu sendiri. 117 Variabel Aksesibilitas Jarak kerja Rumah Susun Urip Sumoharjo Faktor aksesibilitas mempunyai nilai 4,13. Berdasarkan nilai yang diperoleh, terlihat bahwa masyarakat sudah merasa puas dengan tingkat aksesibilitas di rumah susun Urip Sumoharjo. Rumah Susun Tanah Merah I Faktor aksesibilitas mempunyai nilai 2,53, yang berarti persepsi penghuni mengenai aksesibilitas rumah susun ini masih belum sesuai dengan kebutuhan. tempat Faktor jarak tempat kerja mempunyai nilai 3,67, yang berarti bahwa penghuni sudah merasa bahwa jarak antara rumah susun menuju tempat kerja sudah sesuai. Faktor jarak tempat kerja mempunyai nilai 2,83, yang berarti persepsi penghuni mengenai jarak tempat kerja dari rumah susun Tanah Merah I ini masih belum sesuai. 118 Analisis Faktor terkuat yang menyebabkan penghuni merasa terikat dengan Rumah Susun Urip Sumoharjo adalah karena aksesibilitasnya yang baik. Hal ini disebabkan karena bila dilihat secara administratif, posisi rumah susun ini terletak di Surabaya Pusat serta berhadapan langsung dengan Jl. Urip Sumoharjo. Sehingga lokasi ini menjadi strategis bagi penghuni dalam mengakses fasilitas kota secara lebih mudah. Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang dirasakan penghuni Rusun Tanah Merah I. Penghuni merasa bahwa aksesibilitas rusun ini kurang baik. Hal ini disebabkan karena pertama, posisi rumah susun ini terletak di Jl. Tanah Merah V yang merupakan jalan lingkungan di wilayah pinggiran kota Surabaya. Konsekuensinya adalah jauh dari pusat kota dan jauh dari tempat kerja. Kedua, rumah susun ini tidak terlayani oleh angkutan umum secara efektif, sehingga bagi penghuni yang ingin menggunakan angkutan umum harus mengeluarkan ongkos yang banyak bila ingin bepergian ke pusat kota karena harus berganti beberapa moda transportasi. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor aksesibilitas. Hal ini paling dirasakan oleh warga relokasi pada Rusun Tanah Merah I, dimana perubahan jarak tempat kerja menjadi lebih jauh dan membutuhkan biaya perjalanan yang lebih banyak dibandingkan rumah sebelumnya kemudian memberikan dampak negatif mengenai perasaan keterikatan terhadap huniannya. Variabel Status kepemilikan Jangka tinggal Rumah Susun Urip Sumoharjo Faktor status kepemilikan mempunyai nilai 3,89. Artinya penghuni merasa bahwa kepemilikan rumah susun telah sesuai dengan apa yang diharapkannya. Rumah Susun Tanah Merah I Faktor status kepemilikan mempunyai nilai 2,42. Artinya penghuni merasa bahwa kepemilikan rumah susun belum sesuai dengan apa yang diharapkannya. waktu Faktor jangka waktu tinggal mempunyai nilai 3,60 yang artinya penghuni mempunyai persepsi yang baik mengenai tinggal di rumah susun Urip Sumoharjo. Faktor jangka waktu tinggal mempunyai nilai 3,84 yang artinya penghuni mempunyai persepsi yang baik mengenai tinggal di rumah susun Tanah Merah I. 119 Analisis Perbedaan rasa attachment to place antara penghuni kedua rumah susun ini juga terdapat pada persepsinya mengenai status kepemilikan rumah susun. Walaupun pada dasarnya kedua rumah susun ini merupakan rumah susun sewa yang kepemilikannya ada di tangan Pemerintah Kota Surabaya, namun pada kenyataannya hal tersebut dipersepsikan berbeda oleh penghuni Rusun Urip Sumoharjo dan penghuni Rusun Tanah Merah I. Hal ini tidak lepas dari aspek historis mengenai lokasi pembangunan rumah susun itu sendiri. Keterkaitan historis antara masyarakat dengan lokasi tempat hunian rupanya menumbuhkan persepsi mengenai adanya “hak milik” terhadap hunian. Oleh sebab itu, rasa attachment to place penghuni Rusun Urip Sumoharjo terhadap huniannya terasa kuat dibandingkan dengan mayoritas penghuni Rusun Tanah Merah I yang tidak memiliki keterkaitan historis apa-apa dengan lokasi tempat berdirinya rumah susun Tanah Merah I sekarang. Penjelasan mengenai faktor ini adalah mengenai kemungkinan penghuni untuk tinggal dalam masa yang akan lama di rumah susun. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kedua penghuni rumah susun tersebut memiliki keinginan untuk tinggal yang lama di rumah susun yang ditempatinya saat ini. Walaupun terdapat perbedaan alasan yang melatarbelakangi persepsi tersebut, dimana pada penghuni Rusun Urip Sumoharjo lebih disebabkan karena faktor historis dari kampung tempat mereka Variabel Keamanan lingkungan Rumah Susun Urip Sumoharjo Rumah Susun Tanah Merah I Faktor keamanan lingkungan mempunyai nilai 3,89. Bagi penghuni, keamanan lingkungan rumah susun dirasa sudah cukup baik. Faktor keamanan lingkungan mempunyai nilai 4,60. Bagi penghuni, keamanan lingkungan rumah susun dirasa sudah cukup baik. Ketiadaan Faktor ketiadaan alternatif tempat Faktor ketiadaan alternatif tempat alternatif tempat tinggal yang lain mempunyai nilai tinggal yang lain mempunyai nilai tinggal yang 3,31. 3,66. lain 120 Analisis tumbuh sedari kecil. Sementara penghuni Rumah Susun Tanah Merah I karena mereka baru menempati rumah susun tersebut selama ± 4 tahun dan merasa bahwa untuk berpindah-pindah tempat tinggal dalam jangka waktu cepat akan terasa sulit, apalagi bila telah berkeluarga. Faktor kemanan merupakan hal penting bagi setiap daerah permukiman, termasuk juga pada rusun Urip Sumoharjo dan rusun Tanah Merah I ini. Hal ini utamanya difokuskan pada keamanan bagi kendaraan yang dimiliki oleh penghuni karena diletakkan di tempat parkir yang berada di lantai dasar rumah susun. Berdasarkan hasil studi, ditemukan bahwa keamanan lingkungan di kedua rusun ini telah terjamin dengan baik. Hal ini dikarenakan untuk menjaga lingkungan rumah susun, petugas pengelola rumah susun dan warga penghuni saling membantu dalam melakukan kegiatan pengamanan lingkungan rumah susun setiap harinya. Faktor ini dititikberatkan pada pertanyaan kepada penghuni kedua rusun yaitu apakah masih memiliki keinginan untuk mencari tempat tinggal lain selain di rumah susun ini. Berdasarkan hasil studi ditemukan bahwa para penghuni telah merasa terikat dengan rumah susun yang ditempatinya. Penghuni merasa bahwa dengan kemampuan finansial yang dimilikinya saat ini yang masuk pada kategori masyarakat berpenghasilan rendah, menghuni rumah susun merupakan pilihan yang paling logis. Apalagi Variabel Rumah Susun Urip Sumoharjo Rumah Susun Tanah Merah I Keterjangkauan sewa hunian Faktor keterjangkauan sewa hunian mempunyai nilai 3 artinya penghuni mempunyai persepsi yang baik mengenai besaran sewa hunian di rumah susun Urip Sumoharjo. Faktor keterjangkauan sewa hunian mempunyai nilai 3,10 artinya penghuni mempunyai persepsi yang baik mengenai besaran sewa hunian di rumah susun Tanah Merah I. 121 Analisis jika pilihan ini dibandingkan dengan membeli rumah baru yang tentu harganya lebih mahal. Sehingga, peluang untuk pindah mencari tempat tinggal lain dirasa sudah sangat kecil kemungkinannya. Faktor ini terkait dengan tarif sewa hunian yang dibebankan kepada penghuni rumah susun. Berdasarkan hasil studi ditemukan bahwa tarif sewa yang rendah di kedua rumah susun ini juga merupakan faktor yang menyebabkan penghuni merasa betah untuk tinggal di rumah susun, terutama bila dibandingkan dengan pilihan untuk menyewa rumah kos atau rumah kontrak di Kota Surabaya. Halaman ini sengaja dikosongkan 122 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis terhadap perilaku penyesuaian diri (coping behavior), teritorialitas dan perasaan keterikatan pada tempat (place attachment) yang dilakukan untuk mengetahui pola adaptasi yang dibentuk oleh penghuni pada Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Untuk beradaptasi dan mencapai keadaan yang seimbang, manusia akan melakukan perilaku penyesuaian diri (coping behavior) terhadap lingkungan. Selama ini opini yang berkembang adalah bahwa MBR sebagai kelompok sasaran Rusunawa akan mengalami kesulitan beradaptasi untuk tinggal di hunian dengan model vertikal. Namun berdasarkan hasil studi ditemukan bahwa MBR selaku penghuni rusun secara umum rupanya tidak mengalami kesulitan dalam beradaptasi, terutama dengan tersedianya fasilitas dan utilitas penunjang yang lengkap dan dalam kondisi yang memadai. Walaupun demikian, hal yang masih perlu diperhatikan adalah mengenai satuan rumah susun baik itu ruang kamar, ruang tamu maupun ruang menjemur dan ruang komunal. Ruang-ruang ini merupakan ruang yang dirasa penghuni masih perlu dilakukan penyesuaian diri secara aktif, terutama dalam hal pengorganisasian ruangnya. Jumlah dan usia penghuni dalam satu unit sarusun merupakan faktor yang paling mempengaruhi perilaku penyesuaian diri ini, seperti contohnya mengenai pembagian ruang antara orang tua dan anak, utamanya terkait kebutuhan privasi apabila anak mulai beranjak dewasa. Hal ini bisa dilihat pada kasus di Rusun Urip Sumoharjo dimana banyak anak-anak penghuni yang memilih untuk keluar dari rumah susun setelah dewasa. Walaupun rumah susun biasa hanya dikatakan sebagai rumah transisi namun kualitas ruang juga perlu diperhatikan lebih seksama sesuai dengan karakter MBR yang menghuni rumah susun tersebut. 123 2. Teritori dibangun oleh manusia untuk memberi batasan antara wilayah yang diklaim dan yang tidak. Klaim tersebut dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok. Teritori di rumah susun dapat diidentifikasi melalui personalisasi ruang yang dilakukan oleh penghuni di rumah susun tersebut. Terdapat karakter yang sama antara Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I yaitu dimana penghuni menggunakan kursi atau balai-balai yang ditempatkan di selasar depan sarusun masing-masing untuk membentuk ruang semi privat di masing-masing unit hunian. Selain itu ruang publik yang tersedia digunakan sebagai ruang sosial yang mampu mempertemukan aktivitas antara penghuni rumah susun dan warga non-rusun. Ini tentunya akan mampu membangun kohesi sosial yang kuat, menghilangkan sentimen antara warga rusun dan non-rusun dan mewujudkan integrasi rumah susun secara utuh dalam wilayah permukiman masyarakat. 3. Perasaan keterikatan pada tempat (place attachment) merupakan ikatan emosional yang dirasakan oleh seseorang terhadap sebuah tempat. Rumah tinggal (home) biasanya memiliki ikatan emosional yang kuat dengan penghuninya. Namun di rumah susun menjadi unik, karena rumah susun bisa dikatakan bahwa penghuninya hanyalah berstatus sebagai penyewa. Berdasarkan analisa, diketahui bahwa perasaan place attachment penghuni Rusun Urip Sumoharjo lebih baik dibanding penghuni RusunTanah Merah I. Hal ini dilihat pada tiga faktor pembeda yang mempengaruhi place attachment antara penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo dan Rumah Susun Tanah Merah I yaitu status kepemilikan, aksesibilitas dan jarak tempat kerja. Masih kurang baiknya persepsi penghuni RusunTanah Merah I mengenai tiga faktor tersebut harus mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah Kota selaku pengelola rumah susun. Hal ini kembali lagi pada tujuan utama dari penyediaan rumah susun yang tidak hanya sekedar memberikan tempat tinggal bagi MBR namun harus mampu menciptakan kenyamanan tinggal sehingga tercapai kebahagiaan. 124 6.2. Saran Saran yang dihasilkan sebagai masukan terhadap perencanaan dan pembangunan rumah susun ke depan yang mempertimbangkan adaptasi penghuni yaitu: 1. Kriteria untuk mengidentifikasi pola adaptasi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah di rumah susun perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan indikator-indikator sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan rusunawa, sehingga bisa dijadikan acuan dalam merencanakan pembangunan rusunawa di masa mendatang. 2. Perlunya evaluasi pasca huni Rusunawa demi terciptanya sebuah hunian vertikal yang nyaman huni dan bisa menjamin peningkatan kualitas hidup penghuninya. 3. Perlunya pengkajian ulang mengenai standarisasi model rumah susun yang dimiliki oleh pemerintah saat ini, dimana harus menyesuaikan dengan aspek sosial budaya ekonomi dari masyarakat sasaran penghuni rumah susun. 4. Rumah susun bukan sekedar memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal tetapi merupakan tempat berkembang dan membina kehidupan keluarganya menuju masa depan yang lebih baik. Pemerintah tidak cukup hanya sebagai penyedia rumah (provider), tetapi harus memikirkan penyelesaian kebutuhan rumah sebelum, pada saat pembangunan maupun pasca hunian. 125 Halaman ini sengaja dikosongkan 126 DAFTAR PUSTAKA Adianto, Joko. (2009). Desain Unit Hunian Rumah Susun Sederhana Sewa: Modularisasi Raga Tanpa Jiwa. Jurnal Tesa Arsitektur, Vol. 7, No. 2, Desember 2009, hal. 76-85, ISSN 1410-6094 Altman, Irwin & Chemers M. (1980). Culture and Environtment. Monterey, Ca.: Brooks/Cole Altman, Irwin & Setha M. Low. (1992). Place Attachment (Human Behavior and Environment). Plenum Press. New York Anwar. (1998). Analisis Model Seting Ruang Komunal Sebagai Sarana Kegiatan Interaksi Sosial Penghuni Rumah Susun (Studi Kasus Rumah Susun Pakunden Dan Sombo). Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang. (Online). Tersedia: http://eprints.undip.ac.id/12078/1/1998MTA871.pdf (Diakses pada Rabu, 4 Februari 2014) Aulia, Dwira N. & Samsul Bahri. (2011). Perumahan dan Permukiman. Penerbit Magister Teknik Arsitektur USU: Medan Basri, Hasyim. (2010). Model Penanganan Permukiman Kumuh Studi Kasus Permukiman Kumuh Kelurahan Pontap Kecamatan Wara Timur Kota Palopo. Makalah dalam Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010, ITS, Surabaya. Beaudry, Anne & Alain Pinsioneault. (2005). Understanding User Responses to Information Technology: A Coping Model of User Adaptation. Journal MISQ Vol. 29 No. 3, pp. 493-524/September 2005 (Online). Tersedia: http://bebas.vlsm.org/v06/Kuliah/Seminar-MIS/2006/172/172-11UnderstandingUserResponsestoIT-AcopingModelofUserAdaptation.pdf (Diakses pada Rabu, 4 Februari 2014) Budihardjo, ed. (1998). Sejumlah Masalah Permukiman Kota. Penerbit Alumni: Bandung Bungin, Burhan. (2001). Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Airlangga University Press: Surabaya Burhanuddin. (2010). Karakteristik Teritorialitas Ruang Pada Permukiman Padat Di Perkotaan. Jurnal “Ruang“ Vol.2 No.1 Maret 2010. (Online) Tersedia: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=10966&val=754 (Diakses pada Rabu, 4 Februari 2014) Cockcroft, Kate. (2009). Piaget's Constructivist Theory of Cognitive Development dalam Developmental Psychology, eds. Jacki Watts, Kate Cockcroft, Norman Duncan, UCT Press, Cape Town, pp. 324-343 Coolen, Henny. (2009). House, Home, and Dwelling. Paper presented at the ENHR conference ‘Changing Housing Markets: Integration and Segmentation’, Prague, Czech Republic (Online). Tersedia: 127 http://www.soc.cas.cz/download/938/paper_coolen_w10.pdf (Diakses pada Rabu, 4 Februari 2014) Cuba, Lee, & David M. Hummon. (1993). A Place To Call Home: Identification With Dwelling, Community, and Region. The Sociological Quarterly. Volume 34, Issue 1, pages 111–131, March 1993 (Online) Tersedia: http://Onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1533-8525.1993.tb00133.x/ (Diakses pada Senin, 24 Maret 2014) Creswell, John W. (2013). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Edisi Ketiga. Pustaka Pelajar: Yogyakarta Ellen, Roy. (1982). Environment, Subsistence and System: The Ecology of SmallScale Social Formations. Cambridge University Press Gerungan. (1991). Psikologi Sosial. PT. Eresco: Bandung Groat, Linda & David Wang. (2002). Architectural Research Methods. John Willey & Sons, Inc: Canada Hamzah, Andi & I Wayan Sudra. (2000). Dasar-dasar Hukum Perumahan. Rineka Cipta: Jakarta Hardesty, Donald L. (1977). Ecological Anthropology. Wiley & Sons: New York Hardoyo, Su Rito, et al. (2011). Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut Di Kota Pekalongan. Percetakan Pohon Cahaya: Yogyakarta Haryadi & Setiawan B. (1995). Arsitektur Lingkungan dan Perilaku: Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi. Direktorat Jendral DIKTI, Depdikbud. Kartasapoetra. (1987). Sosiologi Umum. PT.Bina Aksara: Jakarta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2007. Pemetaan Kondisi Perumahan di Indonesia. Jakarta Kusuma, H.E. (2008). Working Base And Place Attachment. (Online). Tersedia: http://www.ar.itb.ac.id/pa/wp-content/uploads/2009/02/working-base-andplace-attachment.pdf (Diakses pada Senin, 24 Maret 2014) Kusumaningrum, Diah & Ida Warmadewanthi. (2010). Evaluasi Pengelolaan Prasarana Lingkungan Rumah Susun Di Surabaya (Studi Kasus : Rusunawa Urip Sumoharjo). Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2010. ISBN: 978-979-18342-2-3 (Online) (Diakses pada Rabu, 4 Februari 2014) Lang, John. (1987). Creating Architectural Theory. Van Nostrand Reinhold Inc: New York Laurens, Joyce Marcella. (2004). Arsitektur dan Perilaku Manusia. Penerbit PT Grasindo: Jakarta Lewis, Oskar. (1984). Kebudayaan Kemiskinan, dalam Kemiskinan Perkotaan. Penerbit Sinar Harapan: Jakarta 128 Lihawa, Harley Rizal, dkk. (2005). Tipologi Arsitektur Rumah Tinggal, Studi Kasus Masyarakat Jawa Tondano (Jaton) di Desa Reksonegoro Kabupaten Gorontalo (Online). Tersedia: http://repository.ung.ac.id/get/karyailmiah/115/ tipologi-arsitektur-rumah-tinggal-studi-kasus (Diakses pada Rabu, 4 Februari 2014) Newmark, Norma L & Patricia J Thomson. (1977). Self, Space & Shelter: An Introduction To Housing, Harper And Row, Publisher Inc.: New York Panudju, Bambang. (1999). Pengadaan Perumahan Kota Dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah. PT. Alumni: Bandung Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 78 tahun 2013 tentang Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2014 Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 14/PERMEN/M/2007 tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa Prabowo, Hendro. (1998). Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Seri Diktat Kuliah. Penerbit Gunadarma Purwanto, Edi dan Wijayanti. (2012). Pola Ruang Komunal Dirumah Susun Bandarharjo Semarang. Dimensi Journal of Architecture and Built Environment, Vol. 39, No. 1, July 2012, pp. 23-30. Raharjo, Nanang Pujo. (2010). Dinamika Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Studi Kasus: Penghuni Rumah Tipe Kecil Griya Pagutan Indah, Mataram). Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang (Online) Tersedia: http://eprints.undip.ac.id/23950/ (Diakses Pada Sabtu, 10 November 2012) Rapoport, Amos. (1977). Human Aspects of Urban Form. Oxford: Pergamon Press. Rapoport, Amos. (1982). The Meaning of the Built Environment, A Nonverbal Communication Approach. Sage Publication: California Rapoport, Amos. (1990). System of Activities and System of Settings, dalam Domestic Architecture and The Use of Space, (ed). Kent, Cambridge University Press, Cambridge. Rapoport, Amos dan Altman, Irwin. (1980). Human Behavior and Environment. Plenum Press: New York. Respati, Sri Mulyatini, dkk. (2012). Penanganan Permukiman Kumuh Secara Terpadu. Proceeding Sarasehan dalam Rangka Hari Habitat Dunian 2012. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya, Jakarta Russell, J. A. & Snodgrass, J. (1987). Emotion and the Environment. In Handbook of Environmental Psychology, (pp. 245–280). John Wiley & Sons: New York Sangalang, Indrabakti. (2013). Keterikatan Pada Tempat Untuk Hunian di Tepi Sungai Referensi Suku Dayak Ngaju di Palangka Raya. Disertasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. 129 Sarwono, Sarlito Wirawan. (1992). Psikologi Lingkungan. Penerbit Rasindo: Jakarta Sevilla, Consuelo G, at all. (1993). Pengantar Metode Penelitian. UI Press: Jakarta Silas, Johan. (1993). Housing Beyond Home. Pidato Pengukuhan Guru Besar Arsitektur, FTSP-ITS, Surabaya Soesilowati, Etty. (2007). Kebijakan Perumahan dan Permukiman Bagi Masyarakat Urban. Jurnal Ekonomi Dan Manajemen "Dinamika" Vol.16 No.1. Sudjana, Nana. (1997). Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, Makalah, Skrisi, Tesis, Disertasi. Sinar Baru Algensindo: Bandung Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta: Bandung. Tondok, Marselius Sampe, dkk. (2012). Rumahku Tidak Menapak Bumi: Rumah Susun Penjaringan Sari. (Online) Tersedia: http://repository. ubaya.ac.id/3467/ (Diakses pada Senin, 24 Maret 2014) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Widjajanti, Wiwik Widyo. (2010). Pengaruh Attachment to Place Terhadap Lingkungan Permukiman di Surabaya Timur. (Online) Tersedia: http://repository.ubaya.ac.id/4567/ (Diakses pada Senin, 24 Maret 2014) Williams, D. R., & Carr, D. S. (1993). The Sociocultural Meanings of Outdoor Recreation Places. In A. Ewert, D. Shavez and A. Magill (Eds.), Culture, conflict and communication in the wildland-urban interface (pp. 209-219). Boulder, CO: Westview Press. (Online) Tersedia: http://www.fs.fed.us/ rm/value/research-place.html (Diakses pada Senin, 24 Maret 2014) Williams, D. R., & Roggenbuck, J. W. (1989). Measuring Place Attachment: Some Preliminary Results. Paper Presented at the Session on Outdoor Planning and Management, NRPA Symposium on Leisure Research, San Antonio (Online) Tersedia: http://www.fs.fed.us/rm/value/research-place.html (Diakses pada Senin, 24 Maret 2014) Williams, D. R., et all. (1992). Beyond the Commodity Metaphor: Examing Emotional and Symbolic Attachment to Place. Leisure Sciences, 14, 29-46. Tersedia: http://www.fs.fed.us/rm/value/research-place.html (Online). (Diakses pada Senin, 24 Maret 2014) Yudohusodo, Siswono, dkk. (1991). Rumah untuk Seluruh Rakyat. Yayasan Padamu Negeri: Jakarta www.lensaindonesia.com/2012/06/11/tolak-perda-rusun-penghuni-merasakeberatan. html(Online) (Diakses pada Rabu, 27 Februari 2014) 130 www.surabayakita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3785: 3000-kk-warga-surabaya-tunggu-jatah-rumah-usun&catid=25:peristiwa& Itemid=28 (Online) (Diakses pada Rabu, 27 Februari 2014) 131 Halaman ini sengaja dikosongkan 132 BIOGRAFI PENULIS Maulana Sakti, Lahir di Baubau pada 1 Oktober 1989 sebagai anak bungsu dari empat bersaudara. Setelah menempuh pendidikan formal di SDN 1 Wameo, SMP Negeri 4 Baubau dan SMA Negeri 2 Baubau, Penulis melanjutkan studi di Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Makassar pada tahun 2007. Pada tahun 2012, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Magister Arsitektur bidang keahlian Perumahan dan Permukiman di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya lewat program Beasiswa Unggulan (BU) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Penulis dapat dihubungi lewat email ke: [email protected]