ANAK PEREMPUAN SEBAGAI HAJIB HIRMAN TERHADAP KEWARISAN ASHABAH BIN-NAFSIH (Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: NISA OKTAFIANI NIM : 1110044100010 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 28 April 2014 Nisa Oktafiani 1110044100010 ABSTRAK Nisa Oktafiani. NIM 1110044100010. Anak Perempuan Sebagai Hajib Hirman Terhadap Kewarisan Ashabah Bin-Nafsih (Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994). Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1435 H/2014 M. Skripsi ini merupakan penelitian tentang analisis putusan Mahkamah Agung RI No. 84K/AG/1994 mengenai kedudukan kewarisan anak perempuan sebagai hajib hirman terhadap kewarisan ashabah bin-nafsih/saudara kandung si pewaris. Pada putusan MA ini, majelis hakim memutuskan bahwa anak perempuan sendiri dapat menghijab hirman kewarisan pamannya sehingga ia mendapat seluruh harta warisan, dengan pertimbangan hukum bahwa pendapat hakim yang mana sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas. Sedangkan putusan sebelumnya (PTA Mataram) memutuskan bahwa anak perempuan bersama-sama pamannya mendapat warisan, yang mana sesuai dengan KHI Pasal 176 dan 174, faraidh, dan pendapat jumhur ulama. Putusan MA ini tidak mengemukakan alasan mengapa mengambil pendapat yang satu dan mengesampingkan pendapat yang lain tanpa menyebutkan alasan tambahan kecuali hanya menyebutkan bahwa keputusan itu sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam penyelesaian perkara waris di atas, yang mana perkara ini ialah perkara yang bersifat kasuistik. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-empiris yakni meneliti kesenjangan antara hukum yang seharusnya (KHI dan hukum waris Islam) dengan hukum yang diterapkan (putusan MA No.86K/AG/1994). Sumber data menggunakan data primer (putusan yang terkait) dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara kepada hakim Agung. Sedangkan teknik analisis dengan menggunakan metode content analisis/analisis isi. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh suatu kesimpulan bahwa pada kasus tertentu, hakim dapat menjatuhkan putusan yang keluar dari hukum secara umum atau aturan yang biasa diterapkan, demi mencapai titik keadilan. Namun dalam mengadilinya, hakim harus mempelajari dan memahami betul kasus tersebut dengan melakukan interogasi filosofi dari bukti-bukti yang ada, sehingga dapat mengkategorikan perkara tersebut sebagai kasuistik. Pada putusan MA ini, hakim melakukan upaya penemuan hukum dengan metode interprestasi gramatikal pada makna “walad” surat An-Nisa ayat 176 ialah anak baik anak laki-laki maupun perempuan yang mana sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas. Kata kunci : Yurisprudensi, Kewarisan Anak Perempuan, Hijab Hirman. Pembimbing Daftar Pustaka : Sri Hidayati, M. Ag. : Tahun 1971 s.d Tahun 2012 KATA PENGANTAR Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa Syari’ahnya yang universal bagi semua umat manusia dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Almarhum Ayahanda Sahan dan Ibunda Rajab yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan ridha-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak : vi vii 1. Dr. H. JM. Muslimin, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A., selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al -Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis. 4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi alAhwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. Dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi. 5. Tata usaha, Kepaniteraan, Panitera Muda Perdata Agama Mahkamah Agung, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi. 6. Drs. H.Habiburrahman, M.Hum., dan M.Yahya Harahap, SH., selaku Hakim Mahkamah Agung RI dan Mantan Hakim Mahkamah Agung RI yang telah penulis teliti dan telah senatiasa memberikan wejangan dan bimbingan pada penulis selama penulis melakukan wawancara. viii 7. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta, Reni Suryani, Nurjanah, Tek Nira, M. Azka Rabbani, Mamah Tika, dan Bapak Eka yang senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. 8. Sahabat seperjuangan penulis yaitu Wardhatul Jannah, Restia Gustiana, Nurul Hikmah, Defi Uswatun Hasanah, Dede Umu Kulsum, Rizki Amalia, M.Faudzan, Arinie Zidna, Irfan Helmi, Elsa Fitri, Najwa Aulia, Agnis Afriani, dan Trisni Asih serta teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini. Ciputat, 28 April 2014 Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv ABSTRAK ........................................................................................................... v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ................................................................................. 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 5 D. Metode Penelitian .................................................................................... 7 E. Review Studi Terdahulu ......................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan .............................................................................. 11 BAB II HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Pengertian Kewarisan................................................................................ 13 B. Rukun, Syarat, Sebab, dan Penghalang Mewarisi..................................... 19 C. Asas-Asas Kewarisan ................................................................................ 24 ix x D. Konsep Jender ........................................................................................... 27 BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN MEWARISI BERSAMA SAUDARA LAKI LAKI SEKANDUNG A. Konsep Hijab-Ashabah ............................................................................. 31 B. Pendapat Para Ulama Tentang Kedudukan Anak Perempuan Bersama Saudara Kandung .................................................................................................... 40 C. Bagian Ashabah Dalam KHI..................................................................... 52 BAB IV PUTUSAN MA RI NO. 86K/ AG/ 1994 DAN ANALISA A. Kronologi Perkara ..................................................................................... 58 B. Tuntutan .................................................................................................... 60 C. Putusan Hakim .......................................................................................... 62 D. Pertimbangan Hukum................................................................................ 63 E. Analisa Pertimbangan Hukum .................................................................. 64 F. Analisa Penulis .......................................................................................... 69 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................... 74 B. Saran .......................................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 80 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waris ialah bagian dari syariat Islam. Oleh karenanya, Islam mengatur secara terperinci masalah-masalah yang berkaitan dengan waris. Ketentuan waris diatur dalam Al-Qur’an, antara lain Surat An-Nisa ayat 7, 8, 9, 11, 12 dan 176 serta hadishadis Nabi. Ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi tersebut menegaskan kepada umat Islam bahwa kita harus melaksanakan syariat waris sesuai dengan hukum Islam serta dalam pelaksanaannya haruslah secara adil.1 Perihal hukum kewarisan Islam di Indonesia, ditetapkan dan disahkan sebuah peraturan yaitu Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 sebagai titik temu serta acuan dalam pelaksanaan hukum Islam untuk masyarakat Islam di Indonesia. Dan untuk permasalahan hukum kewarisan Islam itu sendiri diatur dalam KHI Buku II mengenai Hukum Kewarisan.2 Disini dapat kita lihat bahwa pemerintah telah berupaya untuk memenuhi kebutuhan produk hukum untuk masyarakat muslim di Indonesia dalam menjawab masalahmasalah kewarisan. 1 Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 9. 2 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 326. 1 2 Akan tetapi faktanya, masalah mengenai kewarisan masih sering terjadi seperti perselisihan antara ahli waris dalam praktik pembagian harta warisan. Permasalahan tersebut terjadi karena adanya perbedaan antara teori dengan praktik, yakni putusan yang dikeluarkan tidak sejalan dengan hukum yang berlaku atau meninggalkan hukum yang biasa dipakai dalam kasus yang serupa. Hal tersebut disebabkan adanya pertimbangan hukum lain yang diambil hakim dalam mengadili masalah tersebut. Pada dasarnya, hakim memang mempunyai kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial, antara lain: (a) menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan secara benar dalam menyelesaikan perkara; (b) menginterprestasikan hukum (undang-undang) secara tepat melalui metode interprestasi yang dibenarkan; (c) kebebasan mencari dan menemukan hukum, baik melalui yurisprudensi, doktrin hukum, hukum tidak tertulis (adat) maupun pendekatan realisme. Akan tetapi kebebasan hakim tersebut bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.3 Dalam hal kebebasan hakim menginterprestasikan hukum, hakim boleh saja menghendaki pertimbangan lain dalam membuat keputusan jika pertimbangan yang biasa dipakai secara umum diterapkan akan bertentangan dengan kemaslahatan atau akan bertentangan dengan tujuan syariat. Akan tetapi hakim haruslah menjelaskan 3 Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet.I, h. 39-40. 3 secara jelas mengapa ia meninggalkan hukum yang biasa dipakai dalam kasus yang serupa dan menerapkan putusan lain yang tidak biasa.4 Permasalahan mengenai adanya pertimbangan lain dari hakim yang menyebabkan putusan yang dikeluarkan tidak sejalan dengan hukum yang berlaku atau meninggalkan hukum yang biasa dipakai dalam kasus yang serupa merupakan permasalahan yang sangat menarik untuk diteliti. Salah satu kasus permasalahan tersebut yakni seperti yang terjadi di Mahkamah Agung terkait sengketa waris dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994. Dalam putusan ini diputuskan bahwa anak perempuan sendiri dapat menghijab kewarisan saudara sekandung. Pada putusan di tingkat sebelumnya yakni putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, sengketa waris ini diputuskan bahwa saudara kandung pewaris mendapat bagian harta waris sebagai ashabah bersama anak perempuan. Putusan ini terlihat sejalan dengan pendapat jumhur ulama dalam menafsirkan Surat An-Nisa ayat 176 bahwa anak perempuan tidak menjadi penghalang bagi saudara laki-laki si pewaris untuk mendapat harta warisan. Namun pada putusan di tingkat kasasi, hakim Mahkamah Agung memutuskan bahwa anak perempuan dapat menghijab kewarisan saudara pewaris. Hakim secara tegas memilih pendapat Ibnu Abbas dalam menafsirkan Surat An-Nisa ayat 176 yaitu baik anak laki-laki maupun anak perempuan masing-masing menghalangi saudara kandung si pewaris dari 4 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. III, h. 306. 4 mendapatkan harta warisan.5 Terdapat perbedaan kesimpulan putusan antara Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung. Akan tetapi putusan Mahkamah Agung tidak mengemukakan alasan mengapa mengambil pendapat yang satu dan mengesampingkan yang lain tanpa menyebutkan alasan tambahan kecuali hanya menyebutkan bahwa keputusan itu sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas. Alasan putusan MA tersebut dirasa tidak kuat untuk membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang juga sejalan dengan pendapat mayoritas ulama.6 Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, terdapat hal-hal yang sangat menarik untuk ditinjau lebih mendalam dan dikritisi oleh penulis, khususnya mengenai latar belakang, baik dasar pemikiran maupun pertimbangan hakim, hingga akhirnya dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994. Maka penulis akan menuangkannya dalam bentuk proposal skripsi dengan judul: “Anak Perempuan Sebagai Hajib Hirman Terhadap Kewarisan Ashabah Bin-Nafsih (Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994)” . B. Identifikasi Masalah 1. Pembatasan Masalah Penelitian ini akan mencoba mendeskripsikan serta menganalisa Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994 mengenai kedudukan kewarisan anak 5 Effendi, Problematika, h. 302-304. 6 Effendi, Problematika, h. 306. 5 perempuan sebagai hajib hirman terhadap kewarisan ashabah bin-nafsih. Disini anak perempuan yang dimaksud yakni anak perempuan kandung si pewaris. Lalu ashabah bin-nafsih yang dimaksud yakni saudara laki-laki sekandung si pewaris. 2. Perumusan Masalah Menurut Surat An-Nisaa ayat 11, Kompilasi Hukum Islam pasal 176, serta pendapat jumhur ulama bahwa anak perempuan jika sendiri ia mendapat ½ bagian warisan dan sisanya diberikan kepada ahli waris lainnya. Akan tetapi kenyataannya di lapangan, satu orang anak perempuan dapat menghijab kewarisan ahli waris lainnya dan ia mendapat seluruh warisan. Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan-pertanyaan penelitian yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut: a. Apa alasan Hakim Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994 memilih pendapat Ibnu Abbas dalam memaknai makna “walad” pada Surat An-Nisaa ayat 176 dan mengenyampingkan pendapat jumhur ulama seperti yang telah diterapkan pada putusan pengadilan dibawahnya? b. Dari segi analisis jender, apakah putusan Mahkamah Agung RI ini telah sesuai dengan kesetaraan dan keadilan jender? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian 6 Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: a. Untuk mengetahui apa pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam membuat keputusan yakni Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994 dalam menyelesaikan sengketa waris di atas. b. Untuk mengetahui apakah putusan MA ini telah sesuai dengan prinsip kesetaraan dan keadilan jender. 2. Manfaat Penelitian Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan mampu menjadi dasar materi untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya bermanfaat diantaranya: a. Bagi Ilmu Pengetahuan Dapat rangka perkembangan wawasan ilmu hukum, khususnya menyangkut penyelesaian sengketa waris tentang kewarisan anak perempuan sebaga hajib hirman terhadap kewarisan ashabah bin-nafsih. b. Bagi Masyarakat Sebagai bahan bacaan serta informasi bagi masyarakat luas mengenai proses penyelesaian sengketa waris pada Mahkamah Agung serta cara hakim Agung mengambil keputusan. c. Bagi Penulis 7 Untuk memperluas ilmu pengetahuan dan pembentukkan pola berpikir kritis bagi si penulis, khususnya mengenai ilmu kewarisan Islam. Selain itu, untuk membentuk pemikiran yang bijak dalam menyelesaikan masalah. D. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan ialah pendekatan kualitatif. Yakni menggambarkan secara mendalam dan rinci terhadap permasalahan yang diteliti. Metode kualitatif dapat menghasilkan informasi-informasi terinci mengenai permasalahan tersebut, sehingga dapat meningkatkan pemahaman terhadap kasus-kasus dan situasi permasalahan.7 Kemudian juga menggunakan pendekatan yuridis-empiris yakni meneliti kesenjangan antara hukum yang seharusnya/yang berlaku (das sollen) dengan hukum yang senyatanya/diterapkan (das sein). Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini yakni penelitian deskriptif-analitik yakni mengungkapkan peraturan perundang-undangan atau putusan hakim yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.8 Setelah mendeskripsikan secara mendalam dan rinci permasalahan yang diteliti, kemudian dianalisis dengan sumber data yang diperoleh untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang teliti. 7 Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. VI, h. 186. 8 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet.I, h. 105-106. 8 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini antara lain: a. Data primer: yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya yakni berupa putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994, putusan PTA Mataram No. 19/Pdt.G/1993/PTA.MTR, Putusan PA Mataram No. 85/Pdt.G/92/V/PA.Mtr dan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada Hakim Agung. b. Data sekunder: yaitu data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan bahan kepustakaan, antara lain peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah ini seperti UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Al-Quran, Hadits Nabi, kitab-kitab fiqih, buku-buku hukum yang berkaitan seperti buku Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, buku Hukum Kewarisan Islam, buku metode penelitian, dan lain-lain. 3. Jenis Data Jenis data yang akan digunakan oleh peneliti adalah data kualitatif, yaitu pemikiran, makna, nilai dan cara pandang manusia mengenai gejala-gejala yang menjadi fokus penelitian. Penelitian ini mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.9. 9 Ali, Metode, h. 105. 9 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Studi kepustakaan (documentary study) yakni melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, bukubuku, publikasi dan hasil peneltian,10 antara lain seperti informasi dari putusan Mahkamah Agung No. 86K/AG/1994 di Mahkamah Agung RI dan putusan lain yang mendukung, peraturan perundang-undangan yang terkait, serta menelusuri buku-buku hukum dan kutipan-kutipan lain yang berhubungan erat dengan permasalahan di atas. b. Wawancara: yaitu teknik pengumpulan data yang menggunakan instrument wawancara untuk mendapatkan keyinforman yang diteliti,11 yakni dengan cara tanya-jawab secara langsung kepada Hakim Mahkamah Agung. 5. Metode Analisis Data Berdasarkan sifat penelitian ini mengunakan metode penelitian deskriptif- analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif tehadap seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, baik primer, sekunder, maupun tersier.12 Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas 10 Ali, Metode, h. 107. 11 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet.1, h. 55. 12 Ali, Metode, h. 107. 10 dan menganalisis isinya menggunakan metode content analysis.13 Kemudian menginterprestasikannya menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak jelas rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti. 6. Teknik Penulisan Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012. E. Review Studi Terdahulu Pertama, Nur Fitriah (108044100035) Konsentrasi Peradilan Agama, Prodi Akhwal al-Syakhsiyyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Judul skripsi : “Kedudukan Kewarisan Anak Perempuan Bersama Saudara Pewaris (Studi Analisa Putusan Mahkamah Agung No. 122/K/AG/1995)”. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini yaitu membahas kedudukan kewarisan anak perempuan bersama saudara pewaris dengan menganalisis Putusan MA No.122K/AG/1995. Terdapat kesamaan antara skripsi saya dan skripsi ini yaitu sama-sama membahas kasus yang berhadapan dengan ketidakadilan jender. Kemudian terdapat aturan baru untuk mempertahankan keadilan sehingga mengenyampingkan Undang-Undang yang berlaku. Namun perbedaannya adalah skripsi saya menganalisis putusan Mahkamah Agung No. 86K/AG/1994 dan lebih memfokuskan pada apa alasan hakim dalam mengambil pendapat Ibnu Abbas dan mengesamping pendapat ulama yang lain, 13 Cansuelo G. Sevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 85. 11 seperti yang terjadi dalam putusan PTA Mataram dan MA di atas. Sedangkan skripsi terdahulu membahas pertimbangan hakim pada putusan MA No. 122K/AG/1995. Kedua, Elfid Nurfitra Mubarok (104044101425), Konsentrasi Peradilan Agama, Prodi Akhwal al-Syakhsiyyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Judul skripsi : “Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan dengan Saudara Kandung (Studi Analisis Pada Putusan Peradilan Agama)”. Pada skripsi ini membahas penerapan hukum dalam penyelesaian gugatan kewarisan anak perempuan dengan saudara kandung yakni dengan menganalisis putusan PA Jakarta Selatan No. 637/Pdt.G/2001/PA.JS dan putusan MA No. 122K/AG/1995. Terdapat kesamaan antara skripsi ini dengan skripsi saya yakni sama-sama membahas kewarisan anak perempuan dengan saudara kandung. Namun perbedaannya, skripsi ini menganalisis putusan PA Jakarta Selatan No. 637/Pdt.G/2001/PA.JS dan putusan MA No. 122K/AG/1995. Sedangkan skripsi saya menganalisis putusan MA No. 86K/AG/1994 dan lebih memfokuskan pada apa alasan hakim dalam mengambil pendapat Ibnu Abbas dan mengesamping pendapat ulama yang lain. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang terdiri dari subsub bab sebagai berikut: Bab Pertama, Pendahuluan, bab ini memuat menguraikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan. 12 Bab Kedua, dalam bab ini memuat Konsep Dasar Hukum Kewarisan Islam yang terdiri dari pengertian dan dasar hukum waris, rukun, syarat, sebab, dan penghalang mewarisi, asas-asas kewarisan, dan konsep jender. Bab Ketiga, dalam bab ini memuat pembahasan Kedudukan Anak Perempuan Mewarisi Bersama Saudara Laki-Laki Sekandung yang terdiri konsep hijab dan ashabah, pendapat para ulama tentang kedudukan anak perempuan mewarisi bersama saudara laki-laki sekandung, dan bagian saudara dalam KHI. Bab Keempat, dalam bab ini berisi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 86K/AG/1994 dan Analisa, yang terdiri dari kronologi perkara, tuntutan, putusan, pertimbangan hukum, analisis pertimbangan hukum dan analisa. Bab Kelima, penutup yaitu mencakup tentang kesimpulan dan saran. BAB II HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan 1. Pengertian Kewarisan Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.1 Fiqh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris. Menurut bahasa, fiqh adalah pengetahuan atau paham.2 Menurut istilah, fiqh ialah ilmu untuk mengetahui hukum hukum syara’ yang pada perbuatan anggota, diambil dari dalil-dalilnya yang tafsili (terinci). 3 Sedangkan kata mawaris ( )مواريثmerupakan bentuk jamak dari ( الميراثmiiraats) yang berarti harta warisan atau peninggalan mayit.4 Jadi fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak 1 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), Cet.IV, h. 5. 2 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Ed. II, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1068. 3 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh lengkap), Cet. XXXVIII, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005), h. 11. 4 Munawwir, Al-Munawwir, h. 1551. 13 14 menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.5 Sedangkan Prof. T.M. Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya Fiqhul Mawaris menerangkan bahwa para fuqaha menta’rifkan ilmu mawaris dengan: “Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara pembagiannya.” 6 Al-Faraidh ()الفرائض, yang selanjutnya ditulis faraid, jamak dari kata faridhah ( )فريضةyang terambil dari kata al-faradh, yang artinya fardlu atau kewajiban.7 Para ulama faradhiyyun (ahli faraidh) mengartikan al-faraid semakna dengan mafrudhah, yakni bagian yang telah ditentukan atau bagian yang telah pasti. 8 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Surah An-Nisaa ayat 7: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan 5 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.7. 6 Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), 7 Munawwir, Al-Munawwir, h. 1047. h. 5. 8 Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 8. 15 ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia digunakan kata waris, warisan, dan hukum kewarisan. Kata “waris”, berarti orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Adapun yang kata “warisan” berarti sesuatu yang diwariskan seperti harta, nama baik, harta pusaka. Sedangkan kata “kewarisan”, dengan mengambil kata asal “waris” dan tambahan awalan “ke” dan akhiran “an”. Arti kata “kewarisan” itu sendiri yakni hal yang berhubungan dengan waris atau warisan9. Jadi hukum kewarisan ialah hukum yang berhubungan dengan waris dam warisan. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni pada pasal 171 poin (a) menjelaskan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya msing-masing. Terdapat beberapa pendapat pakar hukum Islam mengenai hukum kewarisan Islam, antara lain: a. Menurut Drs. Fatchur Rahman, hukum kewarisan Islam ialah aturan-aturan yang tidak mengandung unsur sewenang-wenag terhadap para ahli waris, bahkan telah memperbaiki kepincangan-kepincangan sistem pusaka mempusakai yang telah dijalankan oleh orang-orang terdahulu dan oleh 9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Ed. IV, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1556-1557. 16 sebagian orang-orang sekarang. Menurut beliau, hukum kewarisan Islam mengandung unsur-unsur keadilan yang mutlak.10 b. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, hukum kewarisan Islam adalah seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini belaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.11 c. Menurut Drs. H. Habiburrahman, M.Hum, hukum kewarisan Islam adalah hukum waris yang bersumber kepada Al-Quran dan Hadits, yang berlaku universal di bumi manapun maupun di dunia ini.12 Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hukum kewarisan Islam di Indonesia ialah seperangkat peraturan mengenai peralihan kepemilikan harta warisan si pewaris kepada ahli warisnya yang berpedoman pada Al-Quran dan Hadis, yang diberlakukan kepada seluruh masyarakat Islam di Indonesia. 2. Dasar Hukum Kewarisan Hukum Kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Quran dan penjelasan tambahan yang diberikan Nabi Muhammad SAW. dalam sunnahnya. 10 Fatchur rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. ALMA’ARIF, 1971), h. 22. 11 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 6. 12 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), h. 86. 17 Ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi yang mengatur secara langsung kewarisan itu sebagai berikut, antara lain: a. Q.S. An-Nisaa ayat 11: Artinya: “…..dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. ...” b. Q.S. An-Nisaa ayat 12: ……. ....... Artinya: “……. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,….” c. Q.S. An-Nisaa ayat 176: Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta 18 yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” d. Hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari: Artinya: “Berikanlah fara’id (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan lakilaki yang terdekat.”13 e. Hadits Nabi dari Jabir menurut riwayat Abu Dawud, al-Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad : Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah berkata: Janda Sa’ad datang kepada Rasul bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata: “Ya Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad yang telah gugur secara syahid bersamamu di perang Uhud. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat harta.” Nabi berkata: “Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini.” 13 h. 320. Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah), 19 Kemudian turunlah ayat-ayat tentang kewarisan. Nabi pun memanggil paman itu dan berkata: “Berikanlah dua pertiga untuk dua orang anak Sa’ad, seperdelapan untuk istri Sa’ad dan selebihnya ambillah untukmu.” B. Rukun, Syarat, Sebab dan Penghalang Mewarisi 1. Rukun Waris Menurut bahasa, rukun ialah asas atau dasar. 15 Sedangkan menurut istilah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. Jadi, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris dimana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukunrukunnya.16 Rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga, yaitu: a. Al Muwarrits (yang mewariskan) adalah orang yang harta peninggalannya pindah ke tangan orang lain (ahli warisnya), dan ia adalah si mayit. b. Al-Warits (ahli waris) adalah orang yang menerima harta peninggalan si mayit. c. Al-Mauruts (yang diwariskan) yaitu harta peninggalan (si mayit).17 2. Syarat Waris 14 Abu Dawud, Sunanu Abu Dawud, Juz III, (Darul Fikri), h. 45-46 15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1187. 16 Komite Fakultas Syariah Unversitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Aldizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 27. 17 Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris – Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah Muhaimin, (Tegal: Ash-Shaf media, 2007), h. 22. 20 Syarat, menurut bahasa berarti janji.18 Sedangkan menurut istilah, syarat adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak akan ada hukum. Berkaitan dengan waris, maka jika tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta waris. Meskipun syarat syarat waris terpenuhi, tidak serta merta harta waris dapat langsung dibagikan jika terdapat sesuatu yang menghalanginya. 19 Syarat-syarat waris antara lain20: a. Matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan menurut ulama dibedakan menjadi tiga yakni mati hakiki (sejati), mati hukmiy (menurut putusan hakim, dan mati taqdiriy (menurut perkiraan/dugaan yang kuat) b. Ahli waris yang hidup, baik secara hakiki maupun hukmiy, setelah kematian si mayit, sekalipun hanya sebentar, memili hak atas harta waris. c. Mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit, seperti garis kekerabatan, perkawinan, dan perwalian. 3. Sebab-Sebab Mewariskan Sebab-sebab seseorang menerima warisan ada tiga, antara lain: a. Nikah, adalah ikatan (akad) suami istri yang sah, dengan sebab ini maka seorang suami mewarisi harta istri dan istri mewarisi harat suami dengan 18 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1368. 19 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 28-29. 20 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 29-30. 21 sebab semata-semata telah melakukan akad nikah, meskipun belum melakukan jima’ dan belum berkhalwat. Ini telah ditetapkan oleh Allah dalam surah An-Nisaa ayat 12 yang artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya..”21 b. Nasab adalah kekerabatan yaitu hubungan darah yang mengikat para ahli waris dengan si pewaris. Sebab hubungan kekerabatan ini diatur oleh Allah dalam Surat Al Anfal ayat 75, yang artinya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.”22 c. Wala’ adalah wala’-nya seorang budak yang dimerdekakan. Yaitu ikatan antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya. 23 Terjalinnya suatu tali ikatan di atas dalam istilah fiqh dinamakan ushubah sababiyah, yakni ushubah yang disebabkan oleh pemerdekaan. 24 Akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia pasal 174, sebab sebab mewarisi hanya ada 2, yakni karena adanya hubungan darah dan adanya hubungan perkawinan. Pada KHI tidak dicantumkan hubungan wala’, karena dianggap sudah 21 Al-Utsaimin, Ilmu Waris, h. 25-26. 22 Al-Utsaimin, Ilmu Waris, h. 27. 23 Al-Utsaimin, Ilmu Waris, h. 27. 24 Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 28. 22 tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia kini. Dimana saat ini tidak ada lagi perbudakan di Indonesia, karena setiap warganya telah dilindungi hak kemerdekaannya sebagai manusia dan warga negara. 4. Penghalang-Penghalang Mewarisi Penghalang-penghalang mewarisi ialah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab mewarisi.25 Maka, yang dilarang mendapatkan hak waris adalah seseorang (ahli waris) yang mempunyai sebab mewarisi, tetapi ia melakukan tindakan yang dapat menggugurkan kelayakan mewarisi. Penghalang-penghalang kewarisan yang disepakati oleh segenap ulama ialah: a. Pembunuhan. Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain secara langsung atau tidak langsung. Para ulama fiqh sepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu penghalangan dalam hukum waris. Dengan demikian seseorang pembunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuh. 26 Hal ini berdasarkan Hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Abu Dawud: Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Pembunuh tidak boleh mewarisi”.27 25 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 45-46. 26 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 56. 27 Ibnu Majah, Sunanu Ibnu Majah, Juz II, (Darul Fikri), h. 913 23 Para ulama sepakat bahwa pembunuhan yang disengaja dapat menjadi penghalang mewarisi. Sedangkan pembunuhan yang tidak sengaja terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Para ulama pun sepakat orang yang terbunuh dapat mewarisi harta si pembunuh. b. Berlainan Agama. Para ahli fiqih telah bersepakat bahwasanya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Berlainan agama terjadi antara Islam dengan yang lainnya. Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan seorang Muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir.28 Sebagaimana sabda Nabi SAW. berikut: Dari Usamah bin Zaid (semoga Allah meridhainya) bahwa Nabis SAW. bersabda: “Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” (HR. Bukhari)29 c. Perbudakan. Para Faradhiyun telah bulat pendapatnya untuk menetapkan perbudakan itu adalah suatu hal yang menjadi penghalang pusakamempusakai, berdasarkan adanya petunjuk umum dari suatu nash yang sharih 325. 28 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 47. 29 Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah), h. 24 yang menafikan kecakapan bertindak seorang budak dalam segala bidang, yakni firman Allah SWT. yang termaktub dalam surat An-Nahl ayat 75, yang artinya: “Allah telah membuat perumpamaan, (yakni) seorang budak yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun…..”. Mafhum ayat tersebut menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap mengurus hak milik kebendaaan dengan jalan apa saja. Dalam soal pusaka-mempusakai terjadi di satu pihak melepaskan hak milik kebendaan dan di satu pihak yang lain menerima hak milik kebendaan. Oleh karena itu terhalangnya budak dalam pusakamempusakai ditinjau dari dua arah yaitu mempusakai harta peninggalan dari ahli warisnya dan mempusakakan harta peninggalan kepada ahli warisnya lantaran ia belum bebas secara sempurna dari perbudakan. Hal tersebut sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Imam Syafi’ dan ulama jumhur.30 C. Asas-Asas Kewarisan Terdapat lima asas yang menunjukkan bentuk karakteristik dari Hukum Kewarisan Islam itu sendiri, antara lain: 1. Asas Ijbari Dijalankannya asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan ahli waris. Unsur paksaan sesuai dengan arti 30 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 83-84. 25 terminologis tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan pindahnya harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan. 31 Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain: Pertama, dari segi peralihan harta, bahwa harta orang meninggal dunia itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Kedua, dari segi jumlah , berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah. Ketiga, dari segi pewaris, berarti bahwa ia sebelum meninggal tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apapun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya harus dibatasi oleh ketentuan yang telah ditentukan Allah. Keempat, dari segi kepada siapa harta itu beralih, berarti bahwa orang-orang yang mendapat harta peninggalan si pewaris ialah para ahli waris yang telah ditentukan oleh Allah.32 2. Asas Bilateral Asas ini menerangkan tentang ke mana arah peralihan harta itu di kalangan ahli waris. Asas bilateral ini mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang yang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.33 31 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 20. 32 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 20-21. 33 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 22. 26 3. Asas Individual Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan mengandung arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perseorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagian kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.34 4. Asas Keadilan Berimbang Asas keadilan berimbang dalam pembagian harta warisan dalam hukum Islam memilki arti keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan jender tidak menentukan hak kewarisan Islam. Artinya, sebagaimana lakilaki, perempuan pun memiliki hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan. Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.35 5. Asas Semata Akibat Kematian Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah “kewarisan” hanya berlaku setelah yang mempunyai 34 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 23. 35 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 26-27. 27 harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam. Dengan demikian, hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata.36 D. Konsep Jender Jender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Jender dijelaskan dalam Women’S Studies Encyclopedia adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalis, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Jender berbeda dengan sex. Jender memandang laki-laki dan perempuan dari aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non bilogis lainnya, sedangkan sex memandang laki-laki dan perempuan dari aspek biologis. Studi jender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas atau feminitas seseorang, sedangkan studi sex lebih menekankan pada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki dan perempuan.37 Di dalam pemahaman masyarakat umum, anggapan yang berkembang mengenai sex dan jender adalah perbedaan jender sebagai akibat perbedaan sex. Akan 36 37 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 30. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 33- 35. 28 tetapi jika kita pahami lebih dalam, tidak mesti perbedaan sex menyebabkan ketidakadilan jender. Memang, diakui bahwa perbedaaan anatomi biologis dan komposisi kimia dalam tubuh manusia berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing. Akan tetapi faktor genetika bukanlah penentu kesadaran dan kecerdasan manusia.38 Terdapat faktor lain yang lebih penting yaitu faktor lingkungan. Faktor lingkungan dan budaya sangat berpengaruh pada peran dan status antara wanita dan laki-laki. Seperti contoh, terdapat sejumlah masyarakat primitif telah memberikan peran jender yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Perempuan boleh ikut memburu hewan, dan laki-laki pun boleh ikut mengasuh anak. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan peran jender bukan karena kodrat atau faktor biologis, namun faktor budaya.39 Faktor budaya begitu mempengaruhi peran dan status laki-laki dan perempuan. Contoh yang mudah kita lihat adalah budaya patriarkal yang telah mengakar pada kehidupan masyarakat hingga saat ini. Sistem patriarkal menjadi sistem filsafat, sosial, dan politik dimana laki-laki dengan kekuatan, tekanan langsung, atau melalui ritual, tradisi, hukum, dan bahasa, adat kebiasaan, etiket, pendidikan dan pembagian kerja menentukan peran apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan dan perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. 38 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 42-44. 39 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 44- 45. 29 Keberpihakan kepada jenis kelamin laki-laki ini menimbulkan ketidakadilan gender.40 Adil (al-adl) sering disinonimkan dengan kata “al-musawwah” (persamaan), “adala” (dasar keadaan lurus atau penetapan hukum dengan benar) dan “al-qisth” (seseorang secara proporsional mendapatkan saham atau seimbang).41 Islam menjelaskan makna adil yakni dalam Al-Quran Surat Al-Maidah (5) ayat 8 dan Surat Ar-Rahman (55) ayat 7-9, makna adil itu adalah menegakkan kebenaran, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan atau melampaui batas, menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan mengatakan sesuatu (kesaksian) dengan benar. Dalam hal jender, Islam pun mengatur keadilan jender. Dalam Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13 bahwa wanita dan laki-laki sama di mata Allah, yang membedakan adalah ketakwaannya.42 Kemudian dalam Surat Al-Baqarah ayat 228, bahwa hak dan kewajiban suami-istri itu seimbang. Kemudian terkait hal waris, terdapat perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan, contohnya bagian anak laki-laki dan anak perempuan yaitu 2:1, kemudian bagian suami dan istri yaitu ½ untuk suami (jika tidak keturunan) sedangkan istri ¼ (jika tidak keturunan). 40 Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, (Jakarta: Kompas, 2005), h. 60. 41 Ali Parman, Kewarisan Dalam Alquran: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 73-74. 42 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Perspektif Agama Islam, (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2004), h. 85. 30 Adanya perbedaan ini bukanlah ketidakadilan jender atau sekedar aturan yang menyangkut ibadah saja, namun bentuk keadilan dalam kewarisan yang terletak pada keseimbangan hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara keperluan dan kegunaan.43 43 Ali Parman, Kewarisan Dalam Alquran, h. 75. BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN MEWARISI BERSAMA SAUDARA LAKI-LAKI SEKANDUNG A. Konsep Hijab dan Ashabah 1. Hijab Al-hajb dalam bahasa Arab berarti menutup atau menghalangi. Orang yang menjadi penghalang atau pencegah dinamakan hajb, sedangkan orang yang dicegah atau dihalangi atau ditutup dinamakan mahjub. 1 Menurut istilah ulama mawaris (faraidh), definisi al-hajb adalah mencegah dan menghalangi orang-orang tertentu dari menerima seluruh pusaka atau sebagiannya karena ada seseorang lain.2 Hajb itu dibagi dua macam: a. Hajb dengan sesuatu washaf (sifat). Yaitu memiliki sifat-sifat yang dapat menghalangi dirinya dari bagian warisannya dengan sifat-sifat yang telah lalu seperti sifat perbudakan, membunuh, atau berlainan agama. Bagian hajb ini dapat terjadi mengenai semua ahli waris, karena setiap orang dari mereka mungkin bisa menjadi budak, atau pembunuh si mayit atau berbeda agama dengan si mayit. Orang-orang yang terhalangi bagian warisannya dengan sifat hajb ini keberadaan dirinya di antara ahli waris seperti ketika dirinya tidak ada 1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Ed. II, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 237. 2 Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 163. 31 32 di antara mereka, maka dia tidak dapat menghalangi lainnya dari bagiannya dan tidak dapat menjadikan yang lainnya mendapatkan bagian warisan dengan bagian ashabah.3 b. Hajb dengan adanya seseorang yang lebih dekat dengan si pewaris dari yang mahjub tersebut. Penghalang ini dapat mengurangi hak (hajb an-nuqsan) ataupun menghilangkan hak (hajb al-hirman). 4 Hajb an-nuqshan adalah menghalangi seseorang yang memiliki sebab-sebab boleh mewarisi dari bagiannya yang sempurna dan utuh. Artinya, hak seseorang ahli waris dari bagiannya yang besar menjadi bagian yang lebih kecil, karena terdapat ahli waris lain yang mempengaruhinya. Hajb an-nuqshan terjadi pada lima ash-habul furudh, yakni suami, istri, ibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudara perempuan sebapak.5 Contohnya hak suami bergeser dari ½ menjadi ¼ harta warisan karena adanya keturunan. Sedangkan hajb al-hirman adalah menghalangi orang yang mempunyai sebab-sebab boleh mewarisi secara keseluruhan karena ada seseorang yang lebih dekat kekerabatannya dengan si mayit. Para ahli waris dalam hajb al-hirman, ada dua kelompok. Pertama, ahli waris yang sama sekali tidak pernah terhalang secara hujub hirman. Ahli waris ini adalah bapak, anak laki-laki, suami, ibu, anak perempuan, dan 3 Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris – Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah Muhaimin, (Tegal: Ash-Shaf media, 2007), h. 116. 4 Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 163. 5 Komite Fakultas Syariah Unversitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Aldizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 280. 33 istri. 6 Kedua, ahli waris yang terhalang secara hajb al-hirman. Mereka adalah para ahli waris yang tersisa yakni selain 6 orang yang telah disebut di atas. Mereka akan terhalang kewarisannya jika terdapat ahli waris lain yang lebih dekat hubungan nasabnya kepada si mayit.7 Contohnya saudara laki-laki atau perempuan kandung mahjub oleh adanya anak-laki-laki, cucu laki-laki, dan bapak. 2. Hijab - Ashabah Kata at-ta‟shib adalah bentuk mashdar dari kata „ashshaba, yu‟ashshib, ta‟shib. Orang atau subyeknya disebut „ashib, dan bentuk jamaknya disebut „ashabah atau „ashabat. Menurut bahasa, ashabah berarti keturunan dari pihak ayah. 8 Sedangkan menurut istilah Faradhiyun, ashabah adalah ahli waris yang tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah disepakati oleh para fuqaha (seperti ashabul furudh) dan yang belum disepakati oleh mereka (seperti dzawil-arham).9 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, digunakan kata “asabat” yang artinya ahli waris yang berhubungan langsung dengan yang meninggal atau ahli waris yang hanya memperoleh sisa warisan setelah dibagikan kepada ahli waris yang mendapat bagian tertentu.10 6 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 282-283. 7 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 283. 8 Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesiah. 937. 9 Fatchur rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. ALMA‟ARIF, 1971), h. 339. 10 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Ed. IV, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 89. 34 Kemudian terdapat riwayat hadis yang diterima Ibnu Abbas menyampaikan tentang sabda Rasulullah SAW. mengenai sisa harta setelah diambil bagian untuk mereka yang menerima hak-hak mereka berdasar furudun muqaddarah-Nya, sisa tersebut menurut beliau untuk ahli asabah yaitu mereka yang berjenis lelaki, terbatas lelaki saja.11 Sabda beliau: Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW. beliau bersabda: 12 “Berikan bagian waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya kepada mereka yang berhak, kemudian apa yang sisa maka diperuntukkan kerabat paling dekat yang lelaki.” (HR. Bukhari) Ashabah terbagi menjadi dua bagian, yaitu Ashabah sababiyyah dan Ashabah Nasabiyyah.13 Ashabah sababiyah yaitu waris-waris yang diikat oleh kekerabatan pada hukum. Kekerabatan pada hukum ini ialah ushubah yang disebabkan oleh pemerdekaan. Jadi, apabila seseorang tuan memerdekakan seorang budak sahayanya, maka dalam istilah fiqh dinamakan ashabah sababiyyah.14 Sedangkan ashabah nasabiyyah atau asabat senasab adalah mereka yang menjadi kerabat si mayit dari laki-laki yang tidak diselingi, antaranya dan antara si mayit oleh seorang perempuan, seperti anak, bapak, saudara kandung atau saudara 11 Achmad Kuzari, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 89. 12 Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah), h. 320. 13 14 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 253. Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 28. 35 sebapak, dan paman kandung atau paman sebapak. Termasuk di dalamnya anak perempuan apabila ia menjadi ashabah dengan saudaranya (anak laki-laki), lalu saudara perempuan kandung atau sebapak yang menjadi ashabah karena ada bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, atau karena ada bersamanya. 15 Jadi ashabah nasabiyah ini ada dari hubungan darah dan kerabat. Ashabah nasabiyyah tidak memperoleh bagian harta warisan secara pasti, tetapi ia dapat mewarisi semua harta peninggalan kalau ahli waris yang tergolong ashhabul furudl tidak ada, atau ada ashhabul furudl tetapi terdinding seperti terdindingnya saudara perempuan dengan anak laki-laki pewaris. Ashabah nasabiyyah ada kemungkinan memperoleh bagian harta warisan setelah semua ahli fardhu mendapatkan bagiannya, dan semua bisa juga tidak memperoleh bagian harta warisan karena semua harta warisan sudah terbagi habis kepada ahli fardhu.16 Ashabah nasabiyah terbagi menjadi tiga macam, yaitu: a. Ashabah bin-nafsi Ashabah bin-nafsi atau ashabah dengan dirinya sendiri adalah setiap laki-laki yang sangat dekat hubungan kekerabatannya dengan si mayit, yang tidak diselingi oleh seorang perempuan. Mereka adalah laki-laki yang telah disepakati para ulama dapat mewarisi, kecuali suami dan saudara seibu. Jumlah mereka ada 12 orang, yaitu anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki dan generasi di bawahnya, bapak 15 16 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 253. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 217. 36 dan kakek serta generasi di atasnya, saudara kandung, saudara sebapak, anak laki-laki saudara kandung, anak laki-laki saudara sebapak dan generasi di bawahnya, paman kandung, paman sebapak dan generasi di atasnya. Anak laki-laki paman kandung, dan anak laki-laki paman sebapak dan generasi di bawahnya. Ahli waris dengan ashabah bin-nafsih dihadapkan pada tiga hukum. Pertama, apabila dia hanya sendiri, ia dapat mengambil seluruh warisan. Kedua, apabila berkumpul dengan ashabul-furudh, ia dapat mengambil bagian yang tersisa dari bagian tetap. Ketiga, jika ashabul furudh mengambil seluruh harta waris, maka ia tidak bisa mendapatkan warisan apapun. 17 Kemudian apabila terdapat lebih dari seorang ashabah bin-nafsih, maka harus dilihat dulu jihat (garis keturunan)nya. Jika terdapat perbedaan jihat, maka diadakanlah pentarjihan dengan jalan mendahulukan jihat (garis keturunan) golongan yang pertama atas jihat-jihat sesudahnya. Hal ini dinamakan “Pengutamaan seorang melihat jihatnya”.18 Jihat-jihat (garis keturunan) ashabah bin-nafsi terdapat empat golongan, yakni dengan urutan sebagai berikut: (1) Jihat bunuwwah : keturunan langsung dari yang meninggal, seperti anak laki-laki, (2) Jihat ubuwwah : asal (orang tua) dari yang meninggal, seperti ayah (3) Jihat ukhuwah : persaudaraan dengan yang meninggal, (4) Jihat „umumah : bersepupu (misan) dari yang meninggal, pamanpaman (saudara ayah) dari yang meninggal sendiri dan saudara-saudara dari ayah 17 18 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 254-255. Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 145. 37 yang meninggal dan paman-paman (saudara-saudara ayah) dari kakeknya yang sejati dan anak laki-laki mereka.19 Apabila yang ada dari ashabah-ashabah nasabiyah, lebih dari seorang dan berada dalam satu garis keturunan, niscaya pentarjihan di antara mereka didasarkan pada derajat. Karena itu didahulukan memberi pusaka kepada orang yang lebih dekat derajatnya dengan yang meninggal.20 Contohnya jika terdapat anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-laki, maka semua pusaka diambil oleh anak laki-laki. Apabila garis keturunan mereka satu dan derajatnya sama, niscaya pentarjihan itu didasarkan pada kekuatan kerabat. Maka orang yang mempunyai dua kekerabatan, didahulukan atas orang yang mempunyai satu kekerabatan saja. Karena itu apabila ada saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki seayah, maka yang didahulukan saudara laki-laki sekandung. Pengutamaan ini dinamakan pengutamaan dengan kekuatan kerabat (taqdim bquwwatil qarabah). Kemudian jika garis keturunan, derajat, dan kekutan kerabat mereka satu, niscaya mereka menerima pusaka dengan jalan ashib dan mereka bersekutu pada pusaka itu dan dibagi sama rata.21 b. Ashabah bil-ghair Ashabah bil ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ashabah dan bersama-sama menerima „ushubah. Ashabah bil ghair 19 Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 143. 20 Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 145 21 Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 146. 38 itu ada empat orang perempuan yang fard mereka 1/2 bila tunggal dan 2/3 bila lebih dari seorang. Mereka itu adalah anak perempuan kandung, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seayah. Jadi jika salah seorang dari perempuan- perempuan tersebut bersama-sama dengan seorang mu‟ashib-binafsi yang sama derajat dan kekuatan-kekerabatannya, ia menjadi ashabah bil-ghair. 22 Ketentuan ashabah bil ghair ini diatur dalam surat An-Nisa ayat 11, yang artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. ….” Untuk menjadikan mereka sebagai ashabah bil-ghair memerlukan syaratsyarat, antara lain: perempuan tersebut hendaknya tergolong ahli ashabul furudh, adanya persamaan jihat, derajat, dan kekuatan kerabat antara perempuan dengan mu‟ashibnya.23 Kemudian terdapat dua hukum mengenai kewarisan ashabah bil ghair. Pertama, jika ia bersama dengan laki-laki yang sederajatnya, mereka bersama-sama mendapat bagian yang tersisa setelah pembagian yang tetap. Dengan ketentuan bagian laki-laki sebesar dua bagian perempuan. Kedua, apabila semua harta telah 22 Fatchur rahman, Ilmu Waris, h. 345. 23 Fatchur rahman, Ilmu Waris, h. 346-347. 39 habis dibagi pada ashabul furudh, maka mereka tidak mendapatkan apa-apa.24 Namun tidak berlaku terhadap anak perempuan shulbi, karena dia tidak dapat dihindarkan dari pusaka sama sekali.25 c. Ashabah ma‟al ghair Ashabah ma‟al ghair ialah setiap perempuan yang berhak mendapatkan bagian tetap bisa menjadi ashabah jika bersama dengan perempuan yang lain dan ini khusus untuk saudara perempuan kandung atau sebapak, yang ada bersama furu‟ perempuan yang mewarisi.26 Hukum kewarisan ashabah ma‟al ghair ini yakni saudara perempuan kandung atau sebapak jika ia bersama anak perempuan atau cucu perempuan atau keduanya, dan mereka tidak bersama laki-laki yang sederajatnya, maka kedudukannya menjadi sekuat saudara laki-laki kandung atau sebapak. Ia dapat menghalangi anak-anak lakilaki saudara kandung atau sebapak dan orang yang ada di bawahnya. Mereka dapat mengambil sisa harta warisan sebagai ashabah setelah pembagian bagian yang tetap. Namun apabila ashabul furudh telah mengambil semua harta warisan, mereka tidak mendapatkan apa-apa, akan tetapi anak perempuan atau cucu perempuan yang ada bersama mereka tetap menjadi ashabul furudh dan mendapat bagian tetapnya.27 24 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 264-265. 25 Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 151. 26 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 266. 27 Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 266-267. 40 B. Pendapat Para Ulama Tentang Kedudukan Anak Perempuan Mewarisi Bersama Saudara Mengenai kewarisan anak perempuan bersama saudara, ini di atur dalam surat An-Nisaa ayat 176: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” Kemudian Surat An-Nisaa ayat 12 mengenai kalalah: “….jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…” 41 Terdapat hadis-hadis tentang waktu turunnya Surat An-Nisa ayat 176 dan 12. 1. Hadis tentang waktu turunnya Surat An-Nisa ayat 176. Al-Barra‟ berkata: “Ayat terakhir yang diturunkan sebagai penutup surat An-Nisaa, adalah yastaftunaka qulillahu yuftikum fil kalalati..” (HR. Bukhari) 2. Hadis tentang waktu turunnya Surat An-Nisa ayat 12. Hadis dari Jabir yang menceritakan bahwa istri peninggalan Sa‟d ibn ar-Rabi datang menghadap Rasul dengan membawa dua orang anak perempuannya dari Sa‟d tersebut maka berkatalah janda itu: 29 “Ya Rasulullah, inilah dua orang anak perempuan Sa‟d „bn „r-Rabi yang telah mati Perang di Uhud di bawah komandomu. Maka sekarang paman anak-anak ini (yaitu saudara laki-laki bagi Sa‟d) telah mengambil harta 28 Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah), h. 29 Abu Dawud, Sunanu Abu Dawud, Juz III, (Darul Fikri), h. 45-46. 320. 42 mereka dengan tiada pula menyediakan perbelanjaan bagi mereka”. Berkata Rasulullah: “Allah akan memberikan penetapan mengenai perkara ini”. maka turunlah ayat kewarisan, lalu Rasulullah suruh panggil anak-anak itu, maka berkata Rasulullah: “ Berikan kepada dua orang anak Sa‟d 2/3 dan kepada ibu anak-anak itu 1/8 dan sisanya utnuk kamulah.” (Ahmad, Attirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dari Na‟il „l‟ awtar dan Misykat‟lmasabih) Mengenai ayat 176 Surat An-Nisaa, dalam tafsir Ath-Thabari terdapat beberapa riwayat yang menyatakannya termasuk kelompok ayat terakhir diwahyukan.30 Kemudian sebab diturunkan ayat ini, disebutkan bahwa Rasulullah SAW. sangat mementingkan keadaan kalalah, maka Allah SWT. menurunkan ayat yang berkenaan dengan kalalah pada ayat ini. Pendapat tersebut sesuai dengan riwayat dari Jabir bin Abdullah.31 Mengenai tempat diturunkannya ayat ini, terdapat riwayat dari Jabir yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan di Madinah. Sedangkan menurut riwayat Ibnu Sirin mengatakan ayat ini diturunkan pada saat Rasulullah SAW. dan para sahabat berada dalam perjalanan, yang mana Rasulullah SAW. ditemani oleh Hudzaifah bin Al-Yaman dan Umar berjalan di belakang Hudzaifah.32 Riwayat lain menyatakan bahwa ayat ini turun ketika Nab SAW. bersiap menunaikan haji Wada‟. Lalu riwayat 30 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Penerjemah: Akhmad Affandi, (Jakartas: Pustaka Azzam, 2008), Jilid. 8, h. 201. 31 Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 8, h. 197. 32 Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 8, h. 202-203. 43 dari Umar RA menyatakan ayat ini dinamakan ayat Ash-Shaif (musim panas) sebab ayat ini diturunkan pada musim panas.33 Sedangkan mengenai ayat 12, At-Tabari menuliskan beberapa riwayat mengenai makna yang terkandung dalam ayat tesebut. Yakni mengenai kewarisan istri, kalalah, dan kewajiban melunasi utang dan melaksanakan wasiat si mayit dari harta peninggalan mayit sebelum pembagian warisan.34 Sebab turunnya ayat ini ialah pengaduan istri Sa‟d kepada Rasul, karena saudara Sa‟d telah mengambil semua warisan tanpa menyisakan sedikitpun untuk anak-anak perempuannya. Peristiwa ini terjadi setelah Perang Uhud.35 Riwayat lain mengatakan turunnya ayat ini sebagai penjelasan bahwa setiap anak kecil maupun dewasa mendapat bagian waris dan menghapus tradisi jahiliyah yang hanya memberi warisan kepada orang yang ikut berperang dan membunuh musuhnya. 36 Menurut Hazairin kedua hadis yang telah disebut di atas memberi petunjuk bahwa Surat An-Nisa‟ ayat 11 dan 12 turun serentak dan turun sebelum ayat 176. Menurut beliau, kuat dugaan sewaktu Rasul mengurus harta warisan Sa‟d tersebut kira-kira 5 H sesudah Perang Uhud (yang terjadi tahun 3 H) dengan berhukumkan 33 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 6, Penerjemah: Ahmad Rijali Kadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 67-69. 34 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Penerjemah: Akhmad Affandi, (Jakartas: Pustaka Azzam, 2008), Jilid. 6, h. 557-558. 35 Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta:INIS, 1998), h. 83. 36 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 5, Penerjemah: Ahmad Rijali Kadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 147-148. 44 Surat An-Nisaa ayat 11 dan 12, maka belum ada lagi ayat-ayat muhkamat tentang waris.37 Pemaknaan kata “walad” pada ayat-ayat di atas dalam konsep kalalah ini terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada ulama menafsirkan kata “walad” itu ialah anak laki-laki saja, namun ada ulama lain yang menafsirkannya kata “walad” itu ialah tidak hanya anak laki-laki namun anak perempuan pula. Berikut penjelasan para ulama dalam menafsirkan pengertian kalalah di atas. a. Menurut pendapat Abu Bakar ar. Dan Umar ra. Diriwayatkan bahwa pada masa hidupnya Umar berharap ia dapat mengetahui tentang kalalah. Ath-Thabari menuliskan beberapa riwayat mengenai Umar semasa hidupnya senantiasa berharap kebenaran mengenai kalalah. Pada salah satu riwayat tersebut dituliskan bahwa Umar bin Khaththab berkata, “Aku tidak pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sesuatu yang seringkali aku tanyakan daripada permasalahan kalalah, hingga beliau menusukkan jari beliau ke dadaku sambil bersabda, „Cukup bagimu (dalam permasalahan itu), ayat shaif yang berada di akhir surah An-Nisa‟.”38 Menurut riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku termasuk orang yang terakhir hidup pada masa Umar RA, aku mendengar dia mengatakan seperti 37 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadits, cet. VI, (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 1982), h. 85. 38 Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 8, h. 206. 45 perkataanku. Perawi bertanya, „apa perkataanmu?‟ Dia menjawab, „Al-kalalah artinya oranng yang tidak mempunyai anak‟”.39 Kemudian riwayat dari Asy-Sya‟bi, ia berkata: Abu Bakar RA berpendapat tentang kata al-kalalah. Ia berkata: “Aku mengatakan dengan pendapatku sendiri, maka jika benar itu datangnya dari Allah. Al kalalah artinya yang tidak ada ayah dan anak.” Ketika Umar menjadi khalifah, ia berkata, “Sungguh, aku akan malu kepada Allah untuk berbeda pendapat dengan Abu Bakar.”40 Pada saat ajal menjemputnya, Umar berkata tentang kalalah, “Aku telah menulis sebuah kitab mengenai kedudukan kakek dan kalalah, dan aku telah meminta petunjuk mengenai hal tersebut. Kini sebaiknya aku tinggalkan permasalahan itu kepada kalian sebagaimana kalian memutuskan.” Hal ini menurut riwayat dari Sa‟id bin Al-Musayyab.41 b. Menurut Jumhur Ulama Ahlusunnah Jumhur ulama mengartikan kalalah adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan juga tidak mempunyai anak laki-laki. Mereka berpendapat bahwa makna walad disini berarti anak laki-laki saja. Dengan demikian, anak perempuan tidak menutup kemungkinan saudara–saudara baik laki-laki maupun perempuan, karena keberadaannya tidak memengaruhi arti kalalah.42 Pendapat jumhur ulama ahlusunah 39 Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 6, h. 565. 40 Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 6, h. 559. 41 Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 8, h. 207. 42 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet.IV, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 57. 46 ini agaknya terpengaruh oleh dua hal. Pertama, penggunaan secara urf (adat/kebiasaan sehari-hari) dari kata walad itu. Hal ini berarti bahwa dalam adat bahasa Arab kata “walad” itu diartikan anak laki-laki, bukan perempuan, meskipun dalam hakikat penggunaan bahasa dan begitu pula dalam penggunaan syar‟i berarti untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Artinya, ulama ahlusunah terpengaruh oleh adat jahiliyah dalam penggunaan kata tersebut sehingga mendorong mereka untuk mengartikan kata walad tidak menurut pengertian umum.43 Kedua, terpengaruh oleh Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas‟ud tentang pembagian warisan untuk kasus anak perempuan, cucu perempuan, dan saudara perempuan. Ibnu Mas‟ud berkata, “Aku akan memutuskan sesuai yang dputuskan Rasulullah SAW: anak perempuan mendapat separoh, anak perempuan dari anak lakilaki mendapat sperenam untuk menyempurnakan dua pertiga, sedang sisanya untuk saudara perempuan”.44 Pada hadis ini dijelaskan bahwa saudara perempuan dapat mewarisi bersama anak perempuan sebagai ashabah ma‟al ghairih. Hadis ini mengandung arti bahwa anak perempuan tidak menghijab saudara perempuan. Dalam keadaan begini tentunya pewaris bukanlah kalalah.45 Kemudian jumhur ulama pun memilah tentang saudara mana yang tidak tertutup oleh anak perempuan. Bagi mereka, anak laki-laki dapat menghijab saudara 43 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 58. 44 Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas‟ud: Studi Tentang Ibnu Mas‟ud dan Tafsirnya, Penerjemah: Ali Murtadho Syahudi, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2009), h. 385. 45 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 162. 47 dalam segala hubungan. Sedangkan anak perempuan tidak dapat menghijab saudara sekandung dan seayah, tetapi dapat menghijab saudara seibu. Sulit mencari jawaban kenapa saudara seibu dapat dihijab oleh anak perempuan, sedangkan saudara sekandung dan seayah tidak dapat dihijab. Hanya ditemukan satu alasan yaitu saudara seibu dipertalikan kepada pewaris hanya melalui jalur perempuan atau ibu.46 c. Menurut ulama dari kalangan Syi‟ah Kalalah adalah orang yang meninggal dunia tanpa anak dan ayah. Pengertian anak di atas ialah segala keturunan yang lelaki maupun perempuan seterusnya ke bawah tanpa membedakan jenis kelamin mereka.47 Ulama Syi‟ah kelihatannya sama sekali tidak terpengaruh dengan Hadis Ibnu Mas‟ud seperti jumhur ulama ahlusunah. Karena sejak awal mereka telah berpendirian bahwa kata walad tidak membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, kecuali dalam suatu hal yang Allah sendiri yang mengatakannya yaitu bagian anak laki-laki dua kali daripada bagian anak perempuan. Di luar hal ini tidak ada perbedaan, baik dalam kedudukan maupun dalam kekuatan untuk menghijab ahli waris yang lain.48 Menurut mereka, anak perempuan termasuk juga dalam artian walad, sehingga pengertian kalalah ialah orang yang tidak punya anak laki-laki dan anak perempuan. pengertian ini sesuai dengan artian lughawi dan 46 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 58-59. 47 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Cet. I, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 194. 48 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 59. 48 syar‟i. Dengan begitu ulama Syi‟ah tidak menggunakan artian urfi atau dengan sederhana tidak terpengaruh pada pemahaman adat yang berlaku sebelumnya. 49 d. Menurut ulama Zhahiri Ulama Zhahiri sependapat dengan mayoritas ulama suni dalam hal anak perempuan tidak dapat menghijab saudara laki-laki, namun mereka juga sama sependapat dengan ulama Syi‟ah bahwa anak perempuan dapat menghijab saudara perempuan. Hal ini mengandung arti bahwa golongan ulama Zhahiri ini tidak menerima Hadis yang berasal dari Ibnu Mas‟ud tersebut, namun tidak menerima pula anak perempuan sama dengan anak laki-laki dalam hal menutup saudara. Kalau demikian keadaannya golongan Zhahiri sama pendapat dengan jumhur ulama ahlusunah dalam mengartikan walad dalam ayat ini dengan “anak laki-laki” saja.50 e. Menurut Ibnu Abbas Dalam kitab Ath-Thabari, terdapat beberapa riwayat yang mengatakan Ibnu Abbas berkata bahwa Al-kalalah artinya orang yang tidak meninggalkan anak dan ayah.51 Kemudian Ibnu Abbas berpendapat bahwa ayat waris ini untuk menghapuskan tradisi jahiliyah yaitu harta warisan hanya untuk anak laki-laki dan wasiat hanya untuk kedua orang tua dan kerabat. Turunnya ayat waris (Q.S: 4: 11) ini menjadikan bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua anak perempuan.52 49 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 162. 50 Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 162-163. 51 Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 6, h. 561. 52 Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 6, h. 536. 49 Kemudian mengenai makna walad dalam ayat 176 Surat An-Nisa, Ibnu Abbas yang merupakan sahabat Rasulullah SAW. berpendapat bahwa kata walad (anak) tersebut ialah mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Alasannya adalah kata walad dan yang seakar dengannya dipakai dalam Al-Quran bukan saja untuk anak laki-laki tetapi juga anak perempuan, seperti dalam ayat 11 Surat An-Nisaa, Allah berfirman dengan memakai kata awlad (kata jama‟ dari kata walad) yang artinya: “Allah wajibkan kamu tentang “awlad” (anak-anak kamu), buat seorang anak lakilaki (adalah) seperti bagian dua anak perempuan…”. Kata awlad dalam ayat tersebut mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Sejalan dengan anak perempuan tersebut, maka kata walad dalam ayat 176 surah An-Nisaa tersebut di atas, menurutnya juga mencakup anak laki-laki dan perempuan.53 Maka dari itu, menurut Ibnu Abbas bahwa anak perempuan dapat menghijab kewarisan saudara perempuan. Beliau tidak menjadikan saudara-saudara perempuan sebagai ashabah bagi anak-anak perempuan. Pendapat ini yang dipegang oleh Daud dan sekelompok ulama lainnya. 54 Argumentasi mereka adalah firman Allah Ta‟ala yang artinya “Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.” Dalam hal ini, saudara perempuan tidak 53 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. III, h. 303. 54 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Penerjemah: Ahmad Khotib, (Jakarta: Pustaka , 2008), Jilid. 6, h. 68. 50 dapat mewarisi kecuali jika orang yang meninggal dunia itu tidak mempunyai anak. Mereka berkata, “Sebagaimana yang diketahui bahwa cucu perempuan dari anak laki-laki (itu ada). Oleh karena itu saudara perempuan tidak dapat mewarisi jika ada anak perempuan.” Dalam hal ini, Ibnu Az-Zubair mengemukakan pendapat Ibnu Abbas, hingga Al-Aswad bin Yazid mengabarkan kepadanya bahwa Mu‟adz memberikan bagian kepada anak perempuan dan saudara perempuan, dimana Mu‟adz menetapkan harta itu dibagi dua di antara mereka. 55 Riwayat hadis yang diterima Ibnu Abbas menyampaikan tentang sabda Rasulullah SAW. mengenai sisa harta setelah diambil bagian untuk mereka yang menerima hak-hak mereka berdasar furudun muqaddarah-Nya, sisa tersebut menurut beliau untuk ahli asabah yaitu mereka yang berjenis lelaki, terbatas lelaki saja.56 Sabda beliau: Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW. beliau bersabda: 57 “Berikan bagian waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya kepada mereka yang berhak, kemudian apa yang sisa maka diperuntukkan kerabat paling dekat yang lelaki.” (HR. Bukhari) 55 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid. 6, h. 69. 56 Achmad Kuzari, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 89. 57 h. 320. Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah), 51 Jadi bisa disimpulkan bahwa Ibnu Abbas berpendapat anak perempuan dapat menghijab kewarisan saudara perempuan si pewaris, namun tidak dapat menghijab kewarisan saudara laki-laki si pewaris. f. Menurut Prof. Hazairin Mengenai arti kalalah oleh Hazairin yaitu seseorang mati dengan tidak ada baginya walad. Dalam surat An-Nisa ayat 11 dijumpai bentuk jamak dari walad yaitu awlad dan disana tegas dinyatakan bahwa walad itu mungkin anak laki-laki, mungkin anak perempuan, mungkin keduanya bersama-sama, atau mungkin pula tidak seperti dalam bagian kalimat “..fa‟in kunna nisa‟an”.58 Maka jelaslah bahwa arti walad ialah setiap anak, boleh anak laki-laki dan boleh juga anak perempuan. Sehingga pengertian arti kalalah dalam ayat 12 dan 176 surat An-Nisa adalah keadaan seseorang yang mati dengan tidak ada baginya seorang anak pun, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Dihubungkan dengan arti mawali pada ayat 33, maka kalalah selengkapnya ialah keadaan seorang mati punah, artinya mati dengan tidak berketurunan. Dalam sistem bilateral yang dianut al-Quran maka keturunan artinya setiap orang di garis ke bawah, tidak perduli apakah garis tu melakui laki-laki atau perempuan. Mengenai arti akhun, ukhtun dan ikhwatun seperti ditemui dalam ayat kalalah, adalah saudara dalam semua macam hubungan persaudaraan, baik karena pertalian darah dengan ayah ataupun ibu. Semua macam hubungan persaudaraan tersebut wajib diperhitungkan dengan tidak boleh 58 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h. 50. 52 mengartikannya berlainan. Dan hal tersebut sesuai dengan al-Quran yang menganut sistem kekeluargaan yang bilateral.59 Menurut beliau, dasar perbedaan pembagian warisan pada ayat 12 dan 176 bukanlah karena perbedaan macam hubungan persaudaraan, namun karena keadaan yang lain yakni mengenai orang tua si pewaris. Beliau menafsirkan kalalah dalam ayat 12 sebagai saudara ketika masih ada ayah. Sedangkan pada ayat 176 dimaksudkan untuk menentukan bagian saudara–saudara dalam keadaan ayah si mati telah meninggal lebih dahulu, di samping si mati tidak meninggalkan keturunan.60 C. Bagian Saudara dalam KHI Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah fiqh Indonesia karena ia disusun dengan memerhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fiqh Indonesia sebagaimana telah pernah dicetuskan oleh Prof. Hazairin S.H, dan Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy sebelumnya mempunyai tipe fiqh Indonesia, yang sangat memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat, yang bukan berupa mazhab baru, tapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab satu persoalan fiqh. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam Hukum Islam.61 Usaha yang telah dilakukan Departemen Agama pada 1958 dengan membatasi hanya 13 buah kitab kuning dari kitab kuning yang selama ini 59 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h.50. 60 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h. 54-55. 61 Amien Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 12. 53 dipergunakan di Pengadilan Agama, adalah merupakan upaya ke arah pemberlakuan hukum Islam sebagai perundang-undangan negara yang dilakukan Negara India, Turki, dan Sudan. Dan oleh sebab itulah kemudian timbul gagasan untuk membuat Kompilasi Hukum Islam sebagai buku hukum bagi Pengadilan Agama. Dibuatnya Kompilasi Hukum Islam ini sebagai satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalm melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.62 Kompilasi Hukum Islam juga dilihat sebagai usaha Pemerintah Indonesia dalam melakukan pembaharuan dan melakukan legalisasi hukum Islam sebagai hukum nasional yang harus diterapkan oleh masyarakat Muslim Indonesia. Melalui KHI, beberapa aturan tentang perkawinan, kewarisan, dam perwakafan Islam diperbaharui, sambil beberapa aturan lainnya dipertahankan. 63 Mengenai kewarisan, KHI secara umum mengambil doktrin fikih tradisional dan merujuk pada nash-nash Al-Quran yang cocok, misalnya memberikan anak lakilaki bagian waris yang sama besarnya dengan dua anak perempuan dan mempertahankan aturan ashabah bahwa saudara laki-laki yang terdekat mendapat sisa. Namun, dipengaruhi adat dan norma-norma setempat, KHI menerapkan aturan62 63 Husein Nasution, Hukum Kewarisan, h. 11. Euis Nurlaelawati, “Kedudukan Anak Perempuan VS Saudara Kandung”, dalam Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemetrerian Agama RI, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Ed. I, Cet. I, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012), h. 215. 54 aturan lain, seperti sistem ahli waris pengganti dan wasiat wajibah yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih manapun.64 Aturan lain yang nampak diperbaharui dalam KHI adalah aturan terkait dengan bagian saudara yang menurut fiqh hanya dapat bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak. Dalam pandangan jumhur ulama anak yang dimaksud dalam alQuran adalah anak laki-laki. Efek dari pandangan ini adalah bahwa saudara dapat memperoleh harta waris jika pewaris tidak meninggalkan anak yaitu anak laki-laki. Sedangkan jika pewaris meninggalkan hanya anak perempuan, saudara dapat memperoleh kewarisan. Kesimpulannya jika anak laki-laki mempunyai kedudukan menghijab saudara sedangkan anak perempuan tidak, maka akibatnya anak perempuan harus berbagi harta warisan dengan saudara jika mereka bertemu dalam sebuah kondisi waris mewaris. Para ulama Indonesia rupaya melihat aturan fiqh ini agak bias jender. Lewat sebuah pasalnya, para penyusun KHI mengatur bahwa bagian saudara ditentukan oleh keberadaan anak dalam pasal 181 dan pasal 182.65 Pasal 181 dan 182 KHI menyatakan bahwa hak waris dari saudara kandung hanya bisa diberikan jika tidak anak. Kata anak ini adalah terjemahan sebenarnya dari walad. Jadi, KHI menetapkan menurut kata Al-Quran. Pada dasarnya, kata anak mengacu pada anak laki-laki dan anak perempuan. Namun, tampaknya penggunaan kata ini masih membingungkan bagi sebagian hakim yang mempertanyakan apakah 64 Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 215. 65 Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 217-218. 55 kata ini, seperti kata walad dalam al-Quran, mengacu hanya kepada laki-laki sebagaimana dalam penafsiran Sunni, atau kepada laki-laki dan perempuan sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas.66 Sedangkan pada pasal 176 KHI diatur bagian anak perempuan jika sendiri ialah separoh bagian. Hal ini menjadi persoalan, apakah makna anak pada pasal 181 dan 182 ialah anak laki-laki saja atau keturunan baik laki-laki maupun perempuan. Perdebatan tersebut muncul dan dilakukan karena KHI bersifat mendua. Seperti kata walad dalam al-Quran ditafsirkan secara berbeda dalam konteks ini, masih menggunakan terjemahan yang umum. Yang menjadi pertanyaan mengapa KHI (Pasal 181 dan 182) tidak menggunakan kata-kata yang jelas dan tertentu anak perempuan dan anak lelaki sekaligus ketika memaksudkan bahwa keduanya mendahulukan saudara kandung, dan menggunakan kata anak laki-laki saja ketika tujuannya adalah untuk menyatakan bahwa anak laki-laki saja menghalangi saudara kandung dari pewaris.67 Beberapa kalangan penyusun menjelaskan bahwa anak yang dimaksud adalah baik laki-laki maupun perempuan. Artinya bahwa kompilasi melakukan terobosan dan perubahan terhadap aturan yang dibuat oleh para ulama klasik. Dikehendaki bahwa seorang perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak laki-laki dalam hijab-menghijab terutama ketika mereka berada bersama saudara. Penyetaraan 66 Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 224. 67 Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 224-225. 56 kedudukan laki-laki dan perempuan ini memang selalu diupayakan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia meberikan perhatian terhadap kedudukan hukum perempuan di Indonesia.68 Dalam prakteknya, para hakim dalam membuat keputusan mengenai masalah kewarisan terkadang menyimpang dari Kompilasi dan malah mengacu pada kitabkitab fikih. Selain niat mereka mempertahankan kepentingan umum dimana banyak hakim berpendapat bahwa penyimpangan dari aturan-aturan yang ditetapkan dalam KHI kadang diperlukan untuk menciptakan kemaslahatan umum atau untuk menjamin kepuasan keadilan pihak-pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam satu kasus. Kenyataannya bahwa mereka tidak sependapat dengan aturan-aturan yang ada dalam KHI merupakan salah satu alasan mengapa mereka dalam kasus-kasus tertentu tidak sepenuhnya memenuhi sejumlah aturan dalam Kompilasi. 69 Dalam tulisan Euis Nurlaelawati yang berjudul “Menuju Kesetaraan Dalam Aturan Kewarisan Islam Indonesia: Kedudukan Anak Perempuan VS Saudara Kandung” pada buku Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa telah terjadi pembaharuan mengenai aturan kewarisan Islam di Indonesia yang terwujud dalam Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi pembaharuan tersebut belum sempurna dan perlu diperbaharui lagi agar lebih jelas. Beliau berpendapat bahwa upaya pembaharuan harus dilakukan dengan sangat 68 Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 218-219. 69 Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 220-221. 57 hati-hati dan jelas, sehingga tidak menimbulkan interprestasi yang beragam. Interprestasi terhadap hukum tentunya bisa diterima dengan alasan adanya kemaslahatan di dalamnya, dan bukan karena ketidakjelasan aturan. 70 70 Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 229. BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 86K/ AG/ 1994 DAN ANALISA A. Kronologi Perkara P Keterangan: P : Pewaris (Amaq Nawiyah) : Ahli waris perempuan yang sudah meninggal : Ahli waris laki-laki yang sudah meninggal : Ahli waris perempuan yang masih hidup : Ahli waris laki-laki yang masih hidup B : Amaq Itrawan (saudara laki-laki kandung Pewaris) C : Inaq Itrawan (Istri Amaq Itrawan) D : Le Putrahimah (Anak perempuan si Pewaris) E : Amaq Askiah bin Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan) 58 59 F : Inaq Kadariah binti Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan) G : Amaq Mu’minah bin Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan) H : Inaq Sani binti Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan) I : Inaq Mas’ud binti Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan) J : Amaq Husniah bin Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan) K : Loq Dariah bin Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan) L : Muslim (Cucu-Cucu Amaq Itrawan) M : Ma’arif (Cucu-Cucu Amaq Itrawan) N : Muhammad Husni bin Amaq Mu’minah (Cucu-Cucu Amaq Itrawan) O : Nursaid bin Amaq Mu’minah/Penggugat Asli (Cucu-Cucu Amaq Itrawan) P : Le Radmah binti Amaq Mu’minah (Cucu-Cucu Amaq Itrawan) Q : Fuad (Cucu-Cucu Amaq Itrawan) R : Sariah (Cucu-Cucu Amaq Itrawan) Di dusun Malimbu Desa Pemenang Barat Kecamatan Tanjung, terdapat 2 saudara (kakak dan adik) yaitu Amaq Itrawan dan Amaq Nawiyah. Amaq Nawiyah tersebut meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris saudara laki-lakinya yaitu Amaq Itrawan dan seorang anak perempuan yang bernama Le Putrahimah, serta meninggalkan harta peninggalan berupa 2 bidang tanah kebun yang seluas 6 Ha. Ketika Amaq Nawiyah meninggal dunia, harta peninggalan tersebut belum dibagiwariskan, namun langsung dikuasai dan dikelola oleh Amaq Itrawan karena pada saat itu Le Putrahimah masih kecil. Pada tahun 1930, Amaq Itrawan meninggal dunia. Lalu harta warisan Amaq Nawiyah yang berupa 2 bidang tanah kebun tersebut 60 jatuh ke tangan istri Amaq Itrawan dan anak-anak Amaq Itrawan. Setelah istri dan anak-anak Itrawan meninggal dunia, barulah Le Putrahimah mengambil alih dan menguasai tanah kebun warisan ayahnya (Amaq Nawiyah). Cucu-cucu dari Amaq Itrawan tidak rela jika tanah kebun tersebut dikuasai oleh Le Putrahimah. Mereka merasa berhak atas sebagian tanah kebun seluas 6 Ha tersebut. Maka dari itu, cucucucu dari Amaq Itrawan dan anak Amaq Itrawan yaitu Nursaid bin Amaq Mu’minah, Muslim bin I Kadariah, Ma’rif bin I Kadariah, dan Mas’ud bin Amaq Itrawan mengajukan gugatan tentang pembagian waris ke Pengadilan Agama Mataram serta mengajukan permohonan sita jaminan atas tanah tersebut agar tanah itu tidak dialihkan oleh Le Putrahimah ke Pihak ke III. B. Tuntutan 1. Pada Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Agama Mataram) Pada tingkat pertama yakni Pengadilan Agama Mataram, Penggugat mengajukan gugatan pembagian waris serta sita jaminan atas tanah kebun tersebut agat tidak dialihkan oleh Penggugat ke Pihak III. Lalu jawaban dari Tergugat (Le Putrahimah) atas gugatan Penggugat yaitu bahwa setelah Amaq Nawiyah meninggal dunia, tanah kebun tersebut dikuasai dan dinikmati oleh Amaq Itrawan dan anakanaknya karena waktu itu Le Putrahimah belum dewasa. Setelah Le Putrahimah dewasa dan telah menjadi janda tiga kali, dalam masa itu kehidupan Le Putrahimah sangat sengsara. Maka Le Putrahimah mengambil alih tanah kebun tersebut, akan tetapi sebagian tanah tersebut belum dikembalikan oleh Penggugat. Kemudian Tergugat mengajukan eksepsi bahwa objek gugatan dan identitas Penggugat tidak 61 jelas. Kemudian dalam konvensi, Penggugat tidak dapat membuktikan tentang luas objek sengketa yang disanggah Tergugat. Sedangkan Tergugat memberikan buktibukti berupa Pipil Garuda atas kepemilikan tanah sengketa tersebut. Lalu Pengugat pun dalam gugatannya berisikan data yang kabur baik mengenai objek sengketa maupun identitas Penggugat, Tergugat, dan Turut Tergugat. 2. Pada Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi Agama Mataram) Karena ketidakpuasan atas putusan PA Mataram di atas, kedua belah pihak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Mataram. Pada tingkat banding ini, yang mengajukan memori banding hanya pihak Penggugat asli, sedangkan pihak Tergugat asli tidak mengajukan memori banding maupun kontra memori banding. Di dalam memori banding dari Penggugat asal, memuat putusan PA Mataram terdapat kelemahan yakni mengandung makna ganda, yang mana bisa menolak seluruhnya atau menolak sebagian. Kemudian menganggap bahwa putusan PA Mataram tidak lengkap karena tidak ditetapkannya ahli waris, satatus tanah sengketa serat pelaksanaan pembagiannya. Selain itu alat bukti Pipil Garuda yang diberikan oleh Tergugat asal adalah bukti yang lemah karena bukan alat bukti otentik dan bukan alat bukti pemilikan menurut hukum, namun hanyalah mempunyai nilai sebagai bukti permulaan yang harus didukung dengan alat bukti lainnya. 3. Pada Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung) Karena ketidakpuasan atas putusan PTA Mataram di atas, Le Putrahimah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Le Putrahimah sebagai Pemohon Kasasi memberikan alasan-alasan kasasi bahwa pertimbangan hukum PTA Mataram 62 mengenai tanah kebun (objek sengketa) merupakan harta peninggalan Amaq Nawiyah yang belum dibagiwariskan kepada ahli warisnya adalah pertimbangan yang kabur, karena tanah kebun tersebut terbukti telah terdaftar sebagai tanah milik Le Putrahimah sejak tahun 1957. Alasan kasasi berikutnya bahwa tanah kebun (objek sengketa) adalah tirkah tersebut tidak didukung bukti-bukti yang kuat. Alasan kasasi terakhir bahwa PTA Mataram telah salah menerapkan hukum karena telah mendudukan Amaq Itrawan sebagai Ashabah, Le Putrahimah selaku anak Amaq Nawiyah tidak dapat disejajarkan kedudukannya dengan pamannya dalam pembagian warisan. C. Putusan Hakim Pertama, pada putusan PA Mataram yakni putusan No. 85/Pdt.G/92/PA.Mtr diputuskan menolak gugatan Penggugat dan menetapkan pencabutan sita jaminan atas objek sengketa yang berada pada Tergugat. Kedua, pada tingkat banding, PTA Mataram menjatuhkan putusan No. 19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr yakni yang berisi membatalkan pengangkatan sita jaminan dan menyatakan sah serta berharga sita jaminan No.85/Pdt.G/1992/V/PA.Mtr terhadap objek sengketa, menetapkan ahli waris Amaq Nawiyah adalah Amaq Itrawan (saudara laki-laki sekandung) dan Le Putrahimah (anak perempuan), dengan bagian waris ½ untuk Amaq Itrawan dan ½ untuk Le Putrahimah. Kemudian menetapkan objek sengketa ialah tirkah yang belum dibagiwariskan. Terakhir, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung menjatuhkan putusan MA No. 86K/AG/1994 yakni membatalkan putusan PTA Mataram di atas 63 dan menetapkan Termohon Kasasi/Penggugat Awal terhijab untuk mendapatkan warisan karena adanya Pemohon Kasasi (anak perempuan). D. Pertimbangan Hukum 1. Pada Tingkat Pertama (Putusan No.85/Pdt.G/92/V/PA.Mtr) Pertimbangan hukum pada putusan PA Mataram ini, yakni Penggugat tidak dapat membuktikan tentang luas objek sengketa serta terdapat data yang kabur di dalam gugatannya tentang identitas Penggugat dan objek gugatannya. Sedangkan Tergugat dapat memberikan bukti-bukti tentang kepemilikan tanah tersebut yaitu berupa Pipil Garuda, sehingga objek sengketa sah milik Tergugat. 2. Pada Tingkat Banding (Putusan No. 19/Pdt.G/1993/PTA.MTR) Pertimbangan hukum pada putusan PTA Mataram ini, bahwa dari hasil pemeriksaan di PA Mataram terhadap para pihak dan saksi-saksi, sama-sama diakui bahwa Amaq Nawiyah telah meninggal dunia dan telah meninggalkan 1 orang anak yaitu Le Putrahimah dan 1 orang saudara laki-laki yaitu Amaq Itrawan, dan pada waktu Amaq Nawiyah meninggal dunia, ia meninggalkan 2 bidang tanah kebun yang belum dibagiwariskan. Meskipun tanah-tanah tersebut telah dibaliknamakan kepada Le Putrahimah dan telah memperoleh Pipil Garuda atas namanya sendiri, namun karena saat meninggalnya Amaq Nawiyah tanah tersebut masih menjadi milik Amaq Nawiyah sesuai dengan pengakuan kedua belah pihak. Maka tanah kebun tersebut adalah harta peninggalan Amaq Nawiyah yang diwariskan kepada ahli waris, dan belum dibagiwariskan kepada ahli warisnya yaitu Le Putrahimah (anak perempuan) 64 dan Amaq Itrawan (saudara laki-laki). Dan karena belum dibagiwariskan, maka tanah tersebut masih merupakan tanah syarikat antara para ahli waris. 3. Pada Tingkat Kasasi (Putusan No. 86K/AG/1994) Pertimbangan hukum pada Putusan MA ini ialah bahwa Mahkamah Agung berpendapat selama masih ada anak baik laki-laki maupun perempuan, maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris kecuali orang tua, suami, dan istri menjadi tertutup (terhijab). Bahwa pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas, salah seorang ahli tafsir di kalangan sahabat Nabi dalam menafsirkan kata-kata “walad” pada ayat 176 Surat An-Nisa yang berpendapat pengertiannya mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Oleh karena itu dalam perkara waris ini dengan adanya si Pemohon Kasasi (anak perempuan), maka Termohon Kasasi (pamannya) menjadi terhijab untuk mendapat warisan. Dengan pertimbangan di atas, dengan tanpa mempertimbangkan keberatan-keberatan lainnya, permohonan kasasi yang diajukan pemohon kasasi (Le Putrahimah) dikabulkan dan membatalkan putusan PTA Mataram sehingga Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara di atas dengan menguatkan putusan PA Mataram. E. Analisa Pertimbangan Hukum Pada putusan PA Mataram, pertimbangan hakim lebih menekankan pada bukti-bukti yang diberikan oleh para pihak. Pihak Penggugat saat itu tidak bisa membuktikan tentang kebenaran objek sengketa dan terdapat data yang kabur mengenai identitas Penggugat, sedangkan pihak Tergugat dapat membuktikan tentang kepemilikan tanah sengketa tersebut berupa Pipil Garuda. Sesuai dengan KUH 65 Perdata Pasal 1865 dan HIR Pasal 163 bahwa barang siapa yang mengaku mempunyai haknya itu, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Pembuktian memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan di pengadilan. Dengan adanya pembuktian, hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di pengadilan.1 Pada persidangan perkara waris di tingkat pertama ini, Penggugat tidak mampu memberikan bukti-bukti yang kuat tentang objek sengketa. Sedangkan Tergugat mampu memberikan bukti yang kuat berupa akta auntektik yakni Pipil Garuda atas tanah kebun tersebut. Oleh karenanya pada tingkat pertama, hakim tidak mengabulkan gugatan Penggugat dan tidak menetapkan bahwa Para Penggugat sebagai ahli waris dari Pewaris. Lalu pada tingkat banding, majelis hakim mempertimbangkan adanya pengakuan dari kedua belah pihak bahwa pada waktu si Pewaris meninggal dunia, tanah-tanah kebun tersebut masih menjadi hak milik si Pewaris. Maka objek sengketa itu adalah harta peninggalan si pewaris yang belum dibagiwariskan. Pengakuan disini merupakan salah satu alat bukti yang kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna dan menentukan 2 , sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Pasal 1925. Dengan pengakuan di atas, maka tanah tersebut masih merupakan tanah Syarikat antara para 1 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. III, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 228. 2 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, h. 263. 66 ahli waris, meskipun telah dibaliknamakan kepada si anak perempuan. Seperti yang dikatakan M. Yahya Harahap, SH. dalam wawancara penulis dengan beliau bahwa “pembaliknamaan itu tidak bisa menghilangkan hak ahli waris lain untuk mendapatkan warisan, selama dapat dibuktikan bahwa harta itu adalah tirkah.” 3 Akhirnya majelis hakim memutuskan bahwa Para Penggugat dan Tergugat merupakan ahli waris dari Pewaris. Kemudian majelis hakim memutuskan objek sengketa berupa tanah kebun seluas 2 Ha adalah harta peninggalan (tirkah) yang belum dibagiwariskan kepada ahli warisnya yaitu Le Putrahimah (anak perempuan si pewaris) dan Amaq Itrawan (saudara kandung si pewaris). Majelis hakim pun memutuskan pembagian harta waris yakni anak perempuan ½ bagian dan saudara si pewaris ½ bagian. Kemudian pada tingkat kasasi, majelis hakim mempertimbangkan alasan kasasi yakni PTA Mataram telah salah menerapkan hukum yakni mendudukan Amaq Itrawan yang telah meninggal pada tahun 1930 sebagai ashabah, yang mana dengan adanya Le Putrahimah sebagai anak dari Amaq Nawiyah kedudukannya tidak dapat disejajarkan dengan pamannya selaku ahli waris yang sama-sama menerima warisan dari pewaris. Alasan kasasi salah menerapkan hukum ialah bahwa putusan yang dikasasi melanggar atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum baik hal itu mengenai hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Sehubungan dengan itu, penegakkan penerapan alasan kasasi berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No. 5 3 Wawancara pribadi dengan Mantan Hakim Mahkamah Agung RI. M. Yahya Harahap, SH. Jakarta.02 April 2014. 67 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, harus benar-benar ditujukan kepada fakta bahwa putusan yang dikasasi itu bertentangan atau melanggar hukum yang berlaku berkenaan dengan kasus yang bersangkutan.4 Dalam hal ini, MA dapat mempergunakan hukum Pembuktian berupa pemeriksaan pada berkas perkara dan surat-surat lainnya yang dianggap perlu dan jika dipandang perlu dengan mendengar keterangan para saksi. Hal itu diatur dalam UU MA Pasal 51 ayat (2) dan 50, dimana dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan Pasal 30 huruf b, dan huruf c, maka Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu. Lalu Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama. Dalam pemeriksaan perkara, MA menemukan fakta bahwa harta warisan berupa tanah kebun seluas 2 Ha tersebut dikuasai dan dinikmati berpuluh-puluh tahun oleh keluarga besar saudara si pewaris dan tidak dibagikan kepada anak perempuan si pewaris. Akhirnya majelis hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dengan membenarkan alasan kasasi di atas, lalu membatalkan putusan PTA 4 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 328 68 Mataram karena telah salah menerapkan hukum serta mengadili sendiri perkara ini dengan menguatkan putusan PA Mataram. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa selama masih ada anak baik laki-laki maupun perempuan, maka hak waris dari orangorang yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris kecuali orang tua, suami, dan istri menjadi tertutup (terhijab). Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas, salah seorang ahli tafsir di kalangan sahabat Nabi dalam menafsirkan katakata “walad” pada ayat 176 Surat An-Nisa yang berpendapat pengertiannya mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Oleh karena itu dalam perkara waris ini dengan adanya si Pemohon Kasasi (anak perempuan), maka Termohon Kasasi (pamannya) menjadi terhijab untuk mendapat warisan. Pertimbangan hukum hakim di atas merupakan upaya hakim menemukan hukum dalam menyelesaikan perkara waris tersebut dengan menggunakan metode penafsiran bahasa (interprestasi gramatikal). Metode penafsiran bahasa (interprestasi gramatikal) adalah penafsiran ketentuan yang belum jelas maknanya dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. 5 Majelis hakim menafsirkan makna kata “walad” dalam surat An-Nisa ayat 176 mengenai kewarisan anak bersama saudara ialah anak baik laki-laki maupun perempuan. Penemuan hukum tersebut merupakan upaya hakim untuk memutuskan putusan yang seadil-adilnya dengan menggali dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 5 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, h. 280. 69 F. Analisa Penulis Jika melihat secara sekilas, putusan Mahkamah Agung di atas terlihat tidak kuat membatalkan putusan PTA Mataram yakni dengan hanya mengambil pendapat Ibnu Abbas memaknai makna kata “walad” pada ayat 176 Surat An-Nisa sebagai dasar pertimbangan hukum. Sedangkan terdapat pendapat ulama lain seperti pendapat jumhur ulama. Pengambilan sebuah pendapat untuk membatalkan pendapat yang lain tanpa adanya alasan yang jelas, tidak dapat membatalkan sebuah putusan. Namun setelah penulis meneliti secara mendalam dengan mempelajari dan memahami keseluruhan permasalahan, mulai dari kronologi perkara, tuntutan yang diajukan, bukti-bukti yang telah diperiksa, pertimbangan hukum dan putusan dari tingkat pertama, tingkat banding hingga tingkat kasasi, serta menganalisis dengan interogasi filososi, maka dapat ditemukan titik keadilan yang ingin dicapai pada putusan Mahkamah Agung ini. Menurut M. Yahya Harahap, SH. dan Drs.H. Habiburrahman, M.Hum. bahwa jika melihat pada putusan MA tersebut saja, mereka tidak akan mengikuti yurisprudensi ini karena telah bertentangan dengan nash Al-Qur’an. Akan tetapi harus dilihat dulu jalan perkaranya atau memahami kasus tersebut, apakah perkara tersebut termasuk perkara yang kasuistik (kasus dalam keadaan tertentu). Menurut Drs.H. Habiburrahman, M.Hum., “jika itu perkara yang kasuistik, maka boleh tidak menerapkan hukum secara umum, jadi ada pengecualian pada kasus tertentu”. 6 6 Wawancara pribadi dengan Hakim M.Hum. Jakarta. 11 April 2014. Mahkamah Agung RI, Drs. H. Habiburrahman, 70 Oleh karenanya harus diikaji dulu permasalahannya dari putusan tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi. Menurut penulis, Putusan MA di atas berupaya memberikan putusan yang seadil-adilnya dengan menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku atau biasa diterapkan yakni Al-Quran An-Nisa ayat 11, KHI Pasal 176 dan menurut pendapat jumhur ulama, bagian waris anak perempuan jika sendiri ialah ½ bagian, selebihnya diberikan kepada ahli waris lainnya. Hal itu dikarenakan perkara waris ini merupakan perkara yang bersifat kasuistik, yakni terdapat pengecualian dalam kasus tertentu. Pada perkara waris ini, setelah si Pewaris meninggal dunia, harta warisan yang menjadi objek sengketa dinikmati dan dikuasai oleh Amaq Itrawan dan anakanaknya hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Sedangkan Le Putrahimah (anak perempuan) hidup dalam keadaan yang sengsara sampai tiga kali menjanda, dan selama itu ia belum pernah menikmati harta warisan dari ayahnya (si pewaris). Kini setelah ia dewasa dan menjalani hidup yang sulit, dirasa adil jika harta warisan tersebut jatuh seluruhnya kepada Le Putrahimah (anak perempuan). Bagian ½ harta warisan yang dituntut oleh cucu-cucu dari Amaq Itrawan sesungguhnya sudah diberikan kepada mereka, yakni hasil kebun yang selama berpuluh-puluh tahun telah dinikmati oleh keluarga besar Amaq Itrawan. Jadi tidak adil jika mereka sekarang mendapat ½ bagian warisan lagi, sedangkan dahulunya mereka menikmati sepenuhnya tanah kebun (harta warisan) tersebut beserta hasilnya dengan waktu yang lama. 71 Kemudian pengambilan pendapat ulama yang dilakukan majelis hakim Agung di atas memang merupakan sebuah usaha menemukan hukum dengan metode penafsiran gramatikal. Usaha ini sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 yakni hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jadi untuk mencapai titik keadilan, hakim dapat menginterprestasikan nilai-nilai hukum dalam penyelesaian suatu perkara. Dalam ushul fiqh pun, terdapat metode ijtihad hakim yakni istihsan. Istihsan adalah hukum pengecualian dari ketentuan-ketentuan yang berlaku umum, untuk diterapkan pada kasus-kasus yang sedang berada dalam kondisi tertentu sehingga menghendaki pertimbangan lain yang sejalan dengan tujuan syariat. Jadi pada kasus tertentu dalam pandangan hakim bilamana ketentuan-ketentuan/pertimbangan hukum yang biasa dipakai secara umum diterapkan dalam kasus seperti itu, akan bertentangan dengan kemashlahatan atau akan bertentangan dengan tujuan syari’at, maka hakim baru boleh keluar dari ketentuan-ketentuan tersebut. Namun hakim hendaklah menjelaskan secara jelas mengapa ia meninggalkan hukum yang biasa dipakai dalam kasus serupa dan menerapkan putusan lain atau pertimbangan hukum lain.7 Pada putusan MA di atas tidak dijelaskan secara jelas alasan mengapa mengambil pertimbangan hukum tersebut yang mana sejalan dengan pendapat Ibnu 7 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. III, h. 305-306. 72 Abbas, dan meninggalkan aturan yang biasa diterapkan yaitu ketentuan waris anak perempuan yang sejalan dengan pendapat jumhur ulama, faraidh (hukum waris Islam), dan KHI. Menurut penulis, hal inilah yang menjadi kelemahan pada putusan MA ini. Pada hakikatnya, putusan MA tersebut sudah sesuai dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yakni Pasal 30 ayat (2), yang mana diatur bahwa “Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.” Akan tetapi putusan MA di atas merupakan pengabulan kasasi dengan pembatalan putusan judex facti dan mengadili sendiri perkara tersebut dikarenakan putusan judex facti telah salah menerapkan hukum. Dalam pengabulan kasasi tersebut, maka tindakan hakim Agung ialah memeriksa materi pokok perkara secara menyeluruh, mengoreksi dan meluruskan kesalahan penerapan hukum tersebut ke arah yang sebenarnya dengan nilai atau prinsip keadilan umum dan kepatutan, lalu mengadili sendiri perkara itu dengan pertimbangan yang cukup dan berargumentasi secara objektif dan rasional.8 Argumentasi inilah yang tidak disampaikan secara jelas pada putusan ini. Menurut penulis, seharusnya dalam pertimbangan hukum putusan MA ini disampaikan secara jelas bahwa penerapan hukum (yang mana sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas) yang diambil oleh majelis hakim dikarenakan perkara ini 8 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi, h. 405. 73 bersifat kasuistik (dalam kondisi tertentu), sehingga dapat keluar dari aturan atau ketentuan secara umumnya dan memutuskan ketentuan lain. Jika hal ini disampaikan dalam putusan, maka jelas bahwa tujuan untuk mencapai keadilan yang seadil-adilnya telah ditegakkan pada putusan ini. Apalagi putusan MA ini merupakan yurisprudensi, yang mana menjadi pedoman dan acuan dalam penyelesaian perkara waris yang serupa. Maka sangat diperlukan adanya penyampaian alasan atau argumentasi yang jelas pada pertimbangan hukum putusan MA ini. Kemudian penulis berpendapat bahwa putusan MA ini pun telah melakukan kesetaraan dan keadilan jender. Dimana meletakkan keadilan bukan karena kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin, namun pada kebenaran yang ada. Pada putusan MA tersebut, anak perempuan dengan kondisi atau latar belakang masalah yang dihadapi dirasa adil mendapatkan seluruh harta warisan. BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa poin, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Terdapat berbagai pendapat di kalangan ulama mengenai makna “walad” pada ayat 176 Surat An-Nisa tentang kedudukan anak perempuan mewarisi bersama saudara pewaris. Pendapat-pendapat tersebut antara lain: (a) Pendapat jumhur ulama: makna walad tersebut adalah anak laki-laki saja, tidak termasuk anak perempuan. Jadi anak laki-laki dapat menghijab saudara pewaris baik saudara kandung, seayah maupun seibu. Sedangkan anak perempuan hanya bisa menghijab saudara seibu, (b) Pendapat ulama Syiah dan Prof. Hazairin: makna walad ialah anak baik anak laki-laki maupun anak perempuan, (c) Pendapat ulama Zhahiri dan Ibnu Abbas: bahwa anak laki-laki yang dapat menghijab saudara laki-laki dan saudara perempuan pewaris. Namun anak perempuan hanya dapat menghijab saudara perempuan pewaris. 2. Pada putusan MA No. 86K/AG/1994, Mahkamah Agung memutuskan bahwa putusan PTA Mataram salah menerapkan hukum. Akhirnya MA mengabulkan permohonan kasasi dengan membatalkan putusan PTA Mataram serta mengadili sendiri perkara tersebut. Dalam mengadili sendiri perkara, MA 74 75 dapat melakukan hukum pembuktian. Hal ini diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985 Pasal 50 dan 51 ayat (2). 3. Mahkamah Agung pada putusan ini telah berusaha menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya dengan melakukan penemuan hukum menggunakan metode interprestasi hukum yakni selama ada anak/keturunan baik laki-laki maupun perempuan, maka saudara pewaris terhijab untuk mendapat warisan. Pendapat MA itu sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas dalam memaknai makna “walad” pada Surat An-Nisaa ayat 176. Perkara waris ini bersifat kasuistik, dimana anak perempuan si pewaris selama bertahun-tahun tidak mendapatkan haknya sebagai ahli waris. Oleh karenanya, hakim dapat keluar dari hukum yang biasa diterapkan/ ketentuan secara umum demi mencapai keadilan. 4. Putusan MA ini pun melakukan keadilan dan kesetaraan jender, dimana keadilan itu harus diletakkan pada tempat/hak yang seharusnya. Karena keadilan itu tidak melihat perbedaan jenis kelamin, namun dengan mempertimbangkan kronologi perkara dengan menggunakan interogasi filosofi. B. SARAN Setelah mempelajari, memahami dan menganalis perkara waris ini, penulis akan mengemukakan beberapa saran, antara lain: 76 1. Untuk pemerintah dan lembaga pembuat undang-undang (DPR), hendaknya memperbaharui dan menyempurnakan aturan Kewarisan Islam Indonesia. Agar tercipta kepastian hukum di lingkungan Peradilan. 2. Untuk Mahkamah Agung, hendaknya dapat lebih mensosialisasikan yurisprudensi-yurisprudensi yang mempunyai pertimbangan-pertimbangan hukum/alasan-alasan yang kuat (strong reason). Agar yurisprudensi ini dapat menjadi salah satu sumber hukum yang dapat diikuti oleh para hakim lain dalam menyelesaikan kasus yang serupa, sehingga tercipta keadilan dan kepastian hukum. Serta dapat menjadi sumber pengetahuan dalam bidang waris Islam Indonesia bagi para penegak hukum, akademisi dan masyarakat luas. 3. Untuk para hakim di Lingkungan Peradilan, hendaknya mengemukakan alasan/argumentasi yang jelas ketika keluar dari ketentuan ketentuan/hukum secara umum dan menghendaki ketentuan lain dalam penyelesaian perkaraperkara yang bersifat kasuistik (kasus-kasus tertentu). Agar tidak terjadi penafsiran yang keliru dalam memahami putusan tersebut oleh hakim lainnya, akademisi, dan masyarakat luas. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Hadis. Abu Dawud. Sunanu Abu Dawud, Juz III. Darul Fikri. Abubakar, Al Yasa. Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab. Jakarta:INIS, 1998. Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum, cet.I. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Al-Bukhariy. Shahih al Bukhariy, Juz IV. Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob AlIlmiyah. Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum, cet.I. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi, Jilid V. Penerjemah: Ahmad Rijali Kadir. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. ----------. Tafsir Al-Qurthubi, Jilid VI. Penerjemah: Ahmad Rijali Kadir. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh. Ilmu Waris – Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam. Penerjemah Abu Najiyah Muhaimin. Tegal: Ash-Shaf Media, 2007. Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. Fiqh Mawaris. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010. Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, Jilid. VI. Penerjemah: Akhmad Affandi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. -----------. Tafsir Ath-Thabari, Jilid. VIII. Penerjemah: Akhmad Affandi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, edisi IV. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008. Fatchurrahman. Ilmu Waris. Bandung: PT. ALMA’ARIF, 1971. 77 78 Habiburrahman. Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. cet. I. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011. Harahap, M. Yahya. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hasbiyallah. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadits. cet. VI, (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 1982. Isawi, Muhammad Ahmad. Tafsir Ibnu Mas’ud: Studi Tentang Ibnu Mas’ud dan Tafsirnya. Penerjemah: Ali Murtadho Syahudi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Perspektif Agama Islam. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2004. Komite Fakultas Syariah Unversitas Al-Azhar, Mesir. Hukum Waris, Penerjemah Addys Aldizar dan Fathurrahman. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004. Kuzari, Achmad. Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996. Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. ----------. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. III. Jakarta: Kencana, 2005. Mardani. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, cet.I. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, edisi II. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Nasution, Amien Husein. Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. 79 Nurlaelawati, Euis. “Kedudukan Anak Perempuan VS Saudara Kandung”, dalam Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemetrerian Agama RI, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Edisi. I, Cet. I, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012. Parman, Ali. Kewarisan Dalam Alquran: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh lengkap), cet.XXXVIII. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005. Sarmadi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, cet. I, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997. Sevilla, Cansuelo G, dkk. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press, 1993. Suyanto, Bagong dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, cet. VI. Jakarta: Kencana, 2011. Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2004 Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran. Jakarta: Paramadina, 2001. Widanti, Agnes. Hukum Berkeadilan Jender. Jakarta: Kompas, 2005. Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, cet. III. Jakarta: Kencana, 2010. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Islam LAMPIRAN-LAMPIRAN 80 81 SURAT KETERANGAN WAWANCARA Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Nisa Oktafiani Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 20 Oktober 1992 Nomor Induk Mahasiswa : 1110044100010 Semester : VIII (Delapan) Jurusan/Konsentrasi : SAS (Hukum Keluarga Islam)/Peradilan Agama Adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah melakukan wawancara dengan : Nama : M. Yahya Harahap, S.H. Jabatan : Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia Hari/Tanggal : Rabu, 02 April 2014 Waktu/Tempat : Pkl. 09.20 WIB – 10.39 WIB Tempat : Law Offices of Remy and Partners, Manggala Wanabakti Building, Blok IV 8th Floor, Wing B, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan-Jakarta. Tema “Anak Perempuan Sebagai Hajib Hirman Terhadap Kewarisan Ashabah Bin-Nafsih (Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994)” Dengan surat ini dibuat dengan sebenar-benarnya. Mahasiswa Narasumber Nisa Oktafiani M. Yahya Harahap, SH. 82 REVISI HASIL WAWANCARA Narasumber : M. Yahya Harahap, S.H. Jabatan : Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia Hari/Tanggal : Rabu, 02 April 2014 : Pkl. 09.20 WIB – 10.39 WIB/Law Offices of Remy and Partners, Manggala Wanabakti Building, Blok IV 8th Floor, Wing B, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan-Jakarta. Waktu/Tempat 1. Bagaimana menurut Bapak mengenai makna walad (anak) yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 176 tentang kewarisan anak bersama saudara pewaris? Jawab: Makna walad disitu adalah anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. akan tetapi Hukum Waris Islam meletakkan beberapa diversifikasi atau perbedaan terutama mengenai porsi atau furudhul muqaddarah. 2. Bagaimana menurut Bapak tentang kedudukan anak perempuan yang dapat menghijab keseluruhan kewarisan saudara pewaris seperti yang terdapat pada putusan MA No. 86K/AG/1994? Jawab: 83 Setiap anak, baik itu anak laki-laki maupun anak perempuan menghijab saudara pewaris, memang inheren (melekat) dalam kewarisan Islam. Tetapi ada patokan-patokan porsi, dimana kelebihan-kelebihannya diberikan kepada ashabah lainnya atau jika tidak ada ashbab lain maka dapat diberikan ke Baitul Mal. Jadi anak menghijab dahulu, tetapi sesuai porsinya yang sudah ditentukan, tidak total menghijab. Kalau 1 orang anak perempuan maka bagiannya 1/2, jika 2 orang atau lebih anak perempuan maka bagiannya 2/3 bagian. Lebihnya jatuh kepada ahli waris urutan/hierarki selanjutnya. Jika anak perempuan dapat menghijab total kewarisan saudara pewaris, tergantung pada kesadaran keapatutan apakah sudah saatnya merasa adil diterapkan penegakkan hukum waris yang seperti itu. Jikalau harta warisan itu sedikit, sedangkan saudara pewaris kaya raya, patutkah si anak perempuan mendapat semua harta warisan? Patut. Jikalau hartanya itu banyak, sedangkan saudara-saudara pewarisnya melarat, apakah disitu patut/harus ditegakkan menghijab total? Tidak. Bahkan seharusnya anakanaknya itu secara ikhlas memberikan warisannya. Itulah yang dituntut oleh nilai-nilai kewarisan secara kasuistik. Jika harta itu sedikit, dan saudara pewaris itu kaya raya, patutkah si anak perempuan mendapat setengah bagian lalu setengahnya lagi diberikan kepada saudara pewaris yang kaya raya? Adil kah? Tidak. Sedangkan tujuan dari pada warisan Islam itu bagaimana supaya memakmurkan dan melepaskan 84 para ahli waris tersebut daripada kemiskinan. Disitulah filosofi kasuistik tersebut harus dipahami, agar bisa mencapai titik keadilan yang merata dalam penyelesaian masalah kewarisan. Jadi di setiap menyelesaikan masalah, maka kita harus bertanya filosofisnya yang disebut interogasi filosofis. Penerapan kaidah hukum waris Islam, terutama yang berkenaan dengan furudul muqaddarah tidak bersifat imperatif secara absolut. Akan tetapi dapat dikesampingkan berdasar musyawarah atau islah. 3. Bagaimana dengan alasan kasasi yang terdapat pada putusan MA tersebut Pak, yakni adanya bukti telah dibaliknamakan objek warisan (tanah sengketa) kepada si anak perempuan akan tetapi setelah si pewaris meninggal? Jawab: Alasan kasasi itu tidak tepat, karena tidak mempunyai landasan yuridis. Pembaliknamaan itu tidak menghilangkan hak pewaris, selama dapat dibuktikan bahwa harta itu adalah harta warisan/tirkah. Kalau hanya faktor telah dibalik nama, harta itu tetap melekat hak si pewaris. Contohnya anda dengan saudara-saudara anda, lalu harta warisan itu dibaliknamakan ke saudara tertua anda. Kalau begitu anda tidak berhak lagi mendapat warisan? Berhak. Tidak adil kalau tidak berhak. Kalau karena telah didaftarkan atau dibaliknamakan, tapi dapat dibuktikan tanah itu adalah tirkah, maka itu tidak bisa menghilangkan hak ahli waris lain untuk mendapatkan warisan. 85 Contoh lainnya, misalnya anda menikah, kemudian anda punya banyak harta, tetapi harta itu harta yang diperoleh selama perkawinan, akan tetapi didaftarkan atas nama suami anda. Apa anda tidak berhak atas harta itu? Berhak. Asal dapat dibuktikan harta diperoleh selama perkawinan. 4. Bagaimana menurut Bapak dengan konsep analisis jender yakni tentang keadilan dan kesetaraan jender? apakah ada pengaruhnya dengan kewarisan Islam? Jawab: Memang, keadilan yang ingin ditegakkan oleh perubahan/revolusi yang dilakukan warisan Islam dari warisan jahiliyah yang tidak mendudukan anak perempuan sebagai ahli waris. Nilai keadilan tersebut menempatkan anak perempuan sejajar/setara dengan anak laki-laki di depan hukum (equality before the law). Hal itu merupakan General justice principle atau nilai keadilan umum. Jika berpatokan pada hukum adat yaitu hukum adat Ambon dan hukum adat Manado, mereka menyingkirkan perempuan sebagai ahli waris, sehingga ia tidak termasuk dalam pembagian waris. Lalu dalam hukum adat jahiliyah, anak perempuan disingkirkan dan tidak dianggap sebagai ahli waris. Makanya dahulu banyak wanita yang dibunuh saat bayi. Maka dari itulah 86 yang diterobos/diangkat oleh hukum waris Islam, menempatkan anak perempuan sebagai ahli waris, namun terdapat perbedaan porsi. Bahkan sekarang trend yang berkembang terpengaruh oleh perubahan masa dan nilai, sehingga sekarang menuntut sama, tidak lagi dirasa adil membedakan porsi. Dulu alasan nilai perbedaan porsi tersebut karena anak laki-laki bertanggung jawab atas kehidupan saudara perempuannya selama ia belum berumah tangga. 5. Bagaimana komentar Bapak mengenai pendapat-pendapat ulama tentang masalah waris anak perempuan bersama saudara pewaris dan KHI? Jawab: Masalah fiqh bisa tergantung pada geografis, tempo (waktu), dan cultural. Seperti Imam Syafi’I berbeda pendapat ketika di Mekah dengan di Mesir. Para wali pun seperti itu. Mereka berbeda cara karena menyesuaikan kondisi. Fiqh itu pun berbeda-beda, tapi pokok-pokok landasannya sama. Mengenai pendapat Ibnu Abbas, apakah pendapat Ibnu Abbas itu sendiri masih dapat diikuti pada kondisi sekarang di tanah Indonesia. Memang ada yang berpendapat harus mutlak mengikuti fiqh yang telah ada sesuai dengan mazhab yang dianut. Lalu yang terjadi di lingkungan Peradilan Agama, penerapan dan penegakan hukum yang bercorak disparitas antara hakim yang satu dengan yang lain mempergunakan pemahaman atau 87 kajiannya masing-masing sesuai dengan mazhab yang dianut. Kalau dia orang Nahdhatul Ulama (NU), ia memakai kajian NU, sedangkan kalau ia orang alIrsyad, dia menggunakan keputusan-keputusan al-Irsyad. Maka dari itu, jika persoalan seperti ini terjadi di lingkungan Peradilan, ini adalah bentuk peradilan yang dzalim, karena tidak ada kepastian hukum. Sedangkan dalam penegakkan hukum itu menuntut adanya keseragaman (Unified Legal Frame Work dan Unified Legal Opinion), sehingga bisa dilahirkan putusan-putusan yang mengandung adanya kepastian hukum. Maka dari itu, lahirlah Kompilasi untuk menghindari hal-hal itu. Kompilasi ini mencoba meletakkan adanya maslahah yang menyangkut hukum waris, bukan lagi fiqh hukum waris. Kompilasi ini pun tidak pernah dikatakan sebagai sesuatu yang sempurna, tetapi merupakan langkah awal. KHI ini merupakan mazhab atau fiqh Islam Indonesia. Dan sekarang jika disempurnakan, silahkan disempurnakan. Dulu tidak dibuat Undang-Undang, karena adanya hambatanhambatan dimana masih alergi untuk membawa permasalahan murni tentang ke DPR. Tapi sekarang sudah gampang, contohnya UU Perbankan Syariah. 6. Bagaimana komentar Bapak mengenai kebebasan Hakim tentang wewenang yudisial dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman? Jawab: 88 Hakim itu independen sesuai dengan prinsip (judicial independency). Jadi Peradilan itu adalah Peradilan yang bebas dari pengaruh siapapun, hakim pun demikian. Hakim yang duduk dalam Peradilan tersebut, dalam penyelesaian sengketa, ia bebas dari campur tangan siapapun. Dan kebebasan itu absolut. Tetapi hakim tidak bebas dalam penerapan penegakkan hukum. Dalam hal ini kebebasannya bersifat alternatif, dengan acuan penerapannya ialah undang-undang harus diunggulkan. Hukum itu kan banyak, ada hukum positif yang diatur dalam undang-undang, ada hukum kebiasaan, ada hukum berdasar doktrin, ada pula hukum yang lahir dari yurisprudensi. Maka di dalam penerapan hukum tidak bebas secara absolut, tetapi harus berdasar pada acuan kebebasan: (1) harus tunduk menerapkan ketentuan peraturan perundangundangan yang telah diatur oleh pembuat undang-undang. Namun dengan syarat yakni sepanjang undang-undang yang masih berlaku tersebut masih mampu menegakkan keadilan, kepatutan, dan kebenaran. Kalau suatu undang-undang memang ada mengatur pokok sengketa, tapi ketentuan dalam undang-undang tersebut sudah tidak mampu lagi memberikan rasa keadilan, kepatutan dan kebenaran, sebab yang paling abadi dalam kehidupan adalah perubahan. Selalu terjadi perubahan nilai dan setiap perubahan tersebut selalu terkait dan berjalinan antara perubahan sosial dengan nilai hukum. Maka disitu jika peraturan perundang-undangan tersebut 89 tidak dirasakan lagi memberi keadilan, kepatutan, dan kebenaran, boleh kita berpaling kepada yurisprudensi, atau kepatutan, atau kebiasaan, atau hukum lainnya. Jadi ada aturannya, undang-undang harus diunggulkan oleh para hakim dan ia tidak boleh melompat kepada hukum lain. Jika ada undangundang yang jelas dan mampu memberikan kepatutan, tetapi ia malah mengambil yurisprudensi, itu keliru, salah menerapkan hukum. Jadi ada gradasi-gradasi dalam penerapannya. 7. Putusan MA No. 86K/AG/1994 ini kan telah menjadi yurisprudensi dan sering diikuti oleh putusan-putusan selanjutnya. Bagaimana komentar Bapak mengenai hal ini? Jawab: Tidak mesti mengikuti. Kategori yurisprudensi itu kalau putusan itu memang mempunyai landasan-landasan/pertimbangan-pertimbangan/ pemikiran-pemikiran/alasan-alasan yang kuat (strong reason). Kalau alasannya lemah, apa pantas menjadi yurisprudensi. Dalam common law atau dalam cipil law tidak dianut lagi dianut paham preseden, tapi mengikuti yurisprudensi berdasarkan reason secara rasional. Jadi tidak mengikuti secara membabi buta. Namun harus juga dengan memberikan argumentasi kenapa tidak mengikuti lagi yuriprudensi. 90 Jika saya hakim yang menyelesaikan masalah waris seperti ini, tidak akan saya ikuti yurisprudensi ini, dan dengan mengemukakan alasan-alasan bahwa putusan itu tidak tepat lagi. Putusan-putusan yang telah mengikuti yurisprudensi ini berarti mengikuti pemikiran-pemikiran yang keliru. Apakah putusan-putusan itu semua sudah tepat? Tidak. Makanya dimungkinkan menyimpang dari yurisprudensi. Jadi jika kita menyimpang dari yurisprudensi, maka kita harus mampu mengemukakan strong reason atau argumentasi yang jelas dan rasional. 8. Satu tahun setelah putusan MA No. 86K/AG/1994 ini putus, muncullah 2 kasus waris yang sama yaitu putusan MA No. 122K/AG/1995 dan putusan MA No. 184K/AG/1995. Kedua putusan ini diputuskan juga oleh hakim yang sama dengan putusan sebelumnya. Bagaimana komentar Bapak mengenai ketiga putusan ini? Jawab: Di dalam penerapan hukum kasus yang sama, harus dijatuhkan putusan yang sama. Dalam kasus yang sama, tidak boleh dijatuhkan putusan yang bersifat disparitas. Kalau putusannya berbeda, maka dimana nanti keadilan dan kepastian hukum. Yang dibenarkan adalah dalam kasus yang sama, harus dijatuhkan putusan yang sama, paling banter putusan yang bersifat variabel yakni ada 91 perbedaan-perbedaan sedikit disebabkan alasan-alasan tertentu. Karena tidak mungkin ditemukan dalam suatu kasus persis semua sama, tetap ada perbedaan-perbedaan kondisi atau perbedaan-perbedaan waktu, maka disitu dibolehkan variabel. Contohnya, pembunuh. Apakah boleh yang satu dihukum mati, yang satu boleh bebas? Itu namanya disparitas, tidak boleh disparitas. Beda lagi kalau yang satu dihukum 20 tahun, yang satu lagi dihukum 12 tahun saja. Itu masih variabel. Karena disitu bisa dikemukakan alasannya, mengapa yang satu diberikan keringanan dan yang satu berat. Jadi di setiap kasus yang sama pun, terdapat perbeda-perbedaan. Tidak ada yang persis sama. Maka harus selalu dikemukakan landasan-landasan filosofis. 9. Bagaimana komentar Bapak mengenai asas Ijbari mengenai hukum waris? Jawab: Pengkajiannya, kalau itu sudah tafsil, itu tidak boleh. Kalau anda berpendapat itu tafsil, sehingga tidak bisa ditafsirkan lagi dan tidak bisa digeser (kalau dalam hukum umum dikatakan sudah interatif), berarti sudah tidak bisa diubah, maka harus tunduk. Contohnya dalam Kompilasi, kita larang seorang laki-laki Islam kawin dengan wanita non Islam karena pada waktu kita memuat Kompilasi itu, kita menengok bahwa laki-laki Islam yang kawin dengan non Islam, semua 92 terseret. Padahal di dalam Al-Quran itu boleh. Kalau boleh, jadi kategori hukumnya mubah. Boleh dengan disesuaikan pada situasi. Tetapi kalau itu sudah tafsil, sedangkan yang tafsil pun terkadang dalam keadaan tertentu, maka dapat dipergunakan dalam keadaan darurat. 93 94 SURAT KETERANGAN WAWANCARA Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Nisa Oktafiani Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 20 Oktober 1992 Nomor Induk Mahasiswa : 1110044100010 Semester : VIII (Delapan) Jurusan/Konsentrasi : SAS (Hukum Keluarga Islam)/Peradilan Agama Adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah melakukan wawancara dengan : Nama : Drs. H. Habiburrahman, M.Hum Jabatan : Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia Hari/Tanggal : Jumat, 11 April 2014 Waktu/Tempat : Pkl. 10.30 WIB – 11.00 WIB Tempat : Mahkamah Agung Tema “Anak Perempuan Sebagai Hajib Hirman Terhadap Kewarisan Ashabah Bin-Nafsih (Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994)” Dengan surat ini dibuat dengan sebenar-benarnya. Mahasiswa Narasumber Nisa Oktafiani Drs. H. Habiburrahman, M.Hum 95 HASIL WAWANCARA Narasumber : Drs. H. Habiburrahman, M.Hum. Jabatan : Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia Hari/Tanggal : Jumat, 11 April 2014 Waktu/Tempat : Pkl. 10.30 WIB – 11.00 WIB/Mahkamah Agung 10. Pada putusan MA No. 86K/AG/1994 diputuskan bahwa anak perempuan menghijab keseluruhan kewarisan saudara pewaris, sedangkan dalam fikih faraidh bagian anak perempuan jika ia ialah ½, lebihnya diberikan kepada ahli waris lainnya. bagaimana komentar Bapak mengenai putusan di atas? Jawab: Jadi memang putusan Mahkamah Agung dahulu, saya perhatikan sudah lari betul dari nash. Padahal menurut saya nash-nash tentang waris itu sangat komplit dan sangat detail. Kalau saya yang memutuskan perkara waris itu, saya tetap bertahan dengan al-Quran dan hadis. Kalau anak perempuan itu sendiri, ya bagiannya ½. Walaupun kita belum ada Baitul-Mal, dan kalau tidak ada ahli waris lain, kan bisa ke BAZIS. 11. Lalu bagaimana dengan konsep jender yang saat ini sedang trend, yang mana kedudukan anak laki-laki setara dengan anak perempuan, Pak? 96 Jawab: Tidak bisa disamakan tanggung-jawab laki-laki dengan perempuan. Laki-laki itu kan wajib memberi mahar, memberi nafkah dan menanggung anak dan istrinya. Jadi beban bapak itu lebih berat. Maka dari itu, kalau lakilaki mendapat bagian 2 kali bagian perempuan, ya sama sebenarnya. Namun jikalau pada tempat-tempat tertentu, dimana mungkin wanitanya lebih dominan. itu kasuistik, bukan hukum secara umum. Kalau hukum secara umum tetap anak perempuan bagiannya ½ jika sendiri. tetapi kalau pada kasus tertentu, bisa saja ada pengecualian. Maka dari itu dilihat dulu jalan perkaranya, posita dan petitumnya. Kalau dia meminta dibuat bagian warisnya tidak sama dengan saudara pewarisnya, dilihat dulu apa alasannya, terbukti atau tidak alasannya. Pembuktiannya tersebut melihat itu pada fakta-fakta yang ada dan keterangan dari saksi-saksi. 12. Bagaimana komentar Bapak tentang kebebasan hakim dalam wewenang yudisial yang diatur UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman? Jawab: Pada prinsipnya, hakim itu tidak terikat. Jadi hakim itu tidak ada atasannya, tidak tergantung pada ketua Mahkamah Agung. Atasannya hakim itu cuma Tuhan. Jadi kalau saya, tetap hukum Tuhan yang menjadi nomor satu. Tidak boleh kita melangkahi al-Quran. Kecuali jika ada kasus tertentu, 97 maka ada pengecualian. Apabila hukum Tuhan tidak ada atau memang kasusnya tidak pas atau tidak adil bila disesuaikan dengan nash, baru kita berinisiatif. 13. Putusan MA ini kan sekarang menjadi yurisprudensi dan sering diikuti oleh putusan-putusan selanjutnya. Bagaimana komentar Bapak mengenai hal ini? Jawab: Putusan Mahkamah Agung di atas yakni anak perempuan menghijab pamannya, kalau saya tidak cocok. Bagaimana itu bisa dikatakan yurisprudensi kalau menentang al-Quran. Seperti mengenai ahli waris beda agama, saya juga tidak sependapat orang yang jelas murtad dapat bagian waris yang sama. Jikalau mau dikasih, boleh dikasih tetapi sebagai pemberian atau kerelaan dari saudaranya, bukan sebagai ahli waris. 14. Mengenai KHI yakni pada pasal 182, dimana disebutkan bila tidak ada anak dan ayah, saudara seayah atau kandung mendapat seluruh harta warisan. Kata anak disini dalam pemaknaannya dianggap multitafsir, karena banyak prokontra apakah anak disini anak laki-laki an perempuan atau anak perempuan saja. Bagaimana komentar bapak mengenai hal tersebut? Jawab: 98 Pengertian anak itu memang anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Atau disebut juga dengan keturunan. Akan tetapi mengenai masalah waris ini, kembali pada hukum Islam. Jikalau memang 1 anak perempuan saja, maka bagiannya ½ seperti yang diatur dalam hukum waris Islam atau faraidh. Menurut saya, baik nash al-Quran mupun hadis sebenarnya sudah sangat detail menjelaskan masalah waris. Menurut saya, tidak ada hukum yang sekomplit menjelaskan masalah waris. Narasumber Drs. H. Habiburrahman, M.Hum. 99 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15 R ep ub ne si a putusan.mahkamahagung.go.id s ne do In A gu ng M R ah ep ub lik ka m ah In A gu do ng ne si R ah ep ka ub m lik ah In A gu do ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16