NISA OKTAFIANI-FSH

advertisement
ANAK PEREMPUAN SEBAGAI HAJIB HIRMAN TERHADAP
KEWARISAN ASHABAH BIN-NAFSIH (Analisis Putusan
Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah
Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
NISA OKTAFIANI
NIM : 1110044100010
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 28 April 2014
Nisa Oktafiani
1110044100010
ABSTRAK
Nisa Oktafiani. NIM 1110044100010. Anak Perempuan Sebagai Hajib
Hirman Terhadap Kewarisan Ashabah Bin-Nafsih (Analisis Putusan
Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994). Konsentrasi Peradilan Agama, Program
Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1435 H/2014 M.
Skripsi ini merupakan penelitian tentang analisis putusan Mahkamah Agung
RI No. 84K/AG/1994 mengenai kedudukan kewarisan anak perempuan sebagai hajib
hirman terhadap kewarisan ashabah bin-nafsih/saudara kandung si pewaris. Pada
putusan MA ini, majelis hakim memutuskan bahwa anak perempuan sendiri dapat
menghijab hirman kewarisan pamannya sehingga ia mendapat seluruh harta warisan,
dengan pertimbangan hukum bahwa pendapat hakim yang mana sejalan dengan
pendapat Ibnu Abbas. Sedangkan putusan sebelumnya (PTA Mataram) memutuskan
bahwa anak perempuan bersama-sama pamannya mendapat warisan, yang mana
sesuai dengan KHI Pasal 176 dan 174, faraidh, dan pendapat jumhur ulama. Putusan
MA ini tidak mengemukakan alasan mengapa mengambil pendapat yang satu dan
mengesampingkan pendapat yang lain tanpa menyebutkan alasan tambahan kecuali
hanya menyebutkan bahwa keputusan itu sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam
penyelesaian perkara waris di atas, yang mana perkara ini ialah perkara yang bersifat
kasuistik.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-empiris yakni
meneliti kesenjangan antara hukum yang seharusnya (KHI dan hukum waris Islam)
dengan hukum yang diterapkan (putusan MA No.86K/AG/1994). Sumber data
menggunakan data primer (putusan yang terkait) dan data sekunder. Teknik
pengumpulan data dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara kepada
hakim Agung. Sedangkan teknik analisis dengan menggunakan metode content
analisis/analisis isi. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh suatu kesimpulan bahwa
pada kasus tertentu, hakim dapat menjatuhkan putusan yang keluar dari hukum secara
umum atau aturan yang biasa diterapkan, demi mencapai titik keadilan. Namun dalam
mengadilinya, hakim harus mempelajari dan memahami betul kasus tersebut dengan
melakukan interogasi filosofi dari bukti-bukti yang ada, sehingga dapat
mengkategorikan perkara tersebut sebagai kasuistik. Pada putusan MA ini, hakim
melakukan upaya penemuan hukum dengan metode interprestasi gramatikal pada
makna “walad” surat An-Nisa ayat 176 ialah anak baik anak laki-laki maupun
perempuan yang mana sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas.
Kata kunci
: Yurisprudensi, Kewarisan Anak Perempuan, Hijab Hirman.
Pembimbing
Daftar Pustaka
: Sri Hidayati, M. Ag.
: Tahun 1971 s.d Tahun 2012
KATA PENGANTAR
   
 
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa Syari’ahnya yang universal bagi semua umat manusia
dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Almarhum Ayahanda Sahan dan
Ibunda Rajab yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa
tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih
sayang-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan ridha-Nya, kesungguhan,
serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir
skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan
kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada
Bapak :
vi
vii
1.
Dr. H. JM. Muslimin, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A., selaku Ketua
Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al -Syakhshiyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4.
Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi alAhwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. Dan Perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu
penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
5.
Tata usaha, Kepaniteraan, Panitera Muda Perdata Agama Mahkamah Agung,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data
sebagai bahan rujukan skripsi.
6.
Drs. H.Habiburrahman, M.Hum., dan M.Yahya Harahap, SH., selaku Hakim
Mahkamah Agung RI dan Mantan Hakim Mahkamah Agung RI yang telah
penulis teliti dan telah senatiasa memberikan wejangan dan bimbingan pada
penulis selama penulis melakukan wawancara.
viii
7.
Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta, Reni Suryani,
Nurjanah, Tek Nira, M. Azka Rabbani, Mamah Tika, dan Bapak Eka yang
senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi.
8.
Sahabat seperjuangan penulis yaitu Wardhatul Jannah, Restia Gustiana, Nurul
Hikmah, Defi Uswatun Hasanah, Dede Umu Kulsum, Rizki Amalia,
M.Faudzan, Arinie Zidna, Irfan Helmi, Elsa Fitri, Najwa Aulia, Agnis Afriani,
dan Trisni Asih serta teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberi dukungan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka
dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, 28 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 5
D. Metode Penelitian .................................................................................... 7
E. Review Studi Terdahulu ......................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan .............................................................................. 11
BAB II HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian Kewarisan................................................................................ 13
B. Rukun, Syarat, Sebab, dan Penghalang Mewarisi..................................... 19
C. Asas-Asas Kewarisan ................................................................................ 24
ix
x
D. Konsep Jender ........................................................................................... 27
BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN MEWARISI BERSAMA
SAUDARA LAKI LAKI SEKANDUNG
A. Konsep Hijab-Ashabah ............................................................................. 31
B. Pendapat Para Ulama Tentang Kedudukan Anak Perempuan Bersama Saudara
Kandung .................................................................................................... 40
C. Bagian Ashabah Dalam KHI..................................................................... 52
BAB IV PUTUSAN MA RI NO. 86K/ AG/ 1994 DAN ANALISA
A. Kronologi Perkara ..................................................................................... 58
B. Tuntutan .................................................................................................... 60
C. Putusan Hakim .......................................................................................... 62
D. Pertimbangan Hukum................................................................................ 63
E. Analisa Pertimbangan Hukum .................................................................. 64
F. Analisa Penulis .......................................................................................... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 74
B. Saran .......................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 80
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Waris ialah bagian dari syariat Islam. Oleh karenanya, Islam mengatur secara
terperinci masalah-masalah yang berkaitan dengan waris. Ketentuan waris diatur
dalam Al-Qur’an, antara lain Surat An-Nisa ayat 7, 8, 9, 11, 12 dan 176 serta hadishadis Nabi. Ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi tersebut menegaskan kepada umat
Islam bahwa kita harus melaksanakan syariat waris sesuai dengan hukum Islam serta
dalam pelaksanaannya haruslah secara adil.1
Perihal hukum kewarisan Islam di Indonesia, ditetapkan dan disahkan sebuah
peraturan yaitu Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 sebagai titik temu serta acuan dalam pelaksanaan
hukum Islam untuk masyarakat Islam di Indonesia. Dan untuk permasalahan hukum
kewarisan Islam itu sendiri diatur dalam KHI Buku II mengenai Hukum Kewarisan.2
Disini dapat kita lihat bahwa pemerintah telah berupaya untuk memenuhi kebutuhan
produk hukum untuk masyarakat muslim di Indonesia dalam menjawab masalahmasalah kewarisan.
1
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 9.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 326.
1
2
Akan tetapi faktanya, masalah mengenai kewarisan masih sering terjadi
seperti perselisihan antara ahli waris dalam praktik pembagian harta warisan.
Permasalahan tersebut terjadi karena adanya perbedaan antara teori dengan praktik,
yakni putusan yang dikeluarkan tidak sejalan dengan hukum yang berlaku atau
meninggalkan hukum yang biasa dipakai dalam kasus yang serupa. Hal tersebut
disebabkan adanya pertimbangan hukum lain yang diambil hakim dalam mengadili
masalah tersebut.
Pada dasarnya, hakim memang mempunyai kebebasan dalam melaksanakan
wewenang yudisial, antara lain: (a) menerapkan hukum yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan secara benar dalam menyelesaikan perkara; (b)
menginterprestasikan hukum (undang-undang) secara tepat melalui metode
interprestasi yang dibenarkan; (c) kebebasan mencari dan menemukan hukum, baik
melalui yurisprudensi, doktrin hukum, hukum tidak tertulis (adat) maupun
pendekatan realisme. Akan tetapi kebebasan hakim tersebut bersifat tidak mutlak,
karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan Pancasila,
sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.3
Dalam hal kebebasan hakim menginterprestasikan hukum, hakim boleh saja
menghendaki pertimbangan lain dalam membuat keputusan jika pertimbangan yang
biasa dipakai secara umum diterapkan akan bertentangan dengan kemaslahatan atau
akan bertentangan dengan tujuan syariat. Akan tetapi hakim haruslah menjelaskan
3
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), cet.I, h. 39-40.
3
secara jelas mengapa ia meninggalkan hukum yang biasa dipakai dalam kasus yang
serupa dan menerapkan putusan lain yang tidak biasa.4
Permasalahan mengenai adanya pertimbangan lain dari hakim yang
menyebabkan putusan yang dikeluarkan tidak sejalan dengan hukum yang berlaku
atau meninggalkan hukum yang biasa dipakai dalam kasus yang serupa merupakan
permasalahan yang sangat menarik untuk diteliti. Salah satu kasus permasalahan
tersebut yakni seperti yang terjadi di Mahkamah Agung terkait sengketa waris dalam
Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994. Dalam putusan ini diputuskan
bahwa anak perempuan sendiri dapat menghijab kewarisan saudara sekandung.
Pada putusan di tingkat sebelumnya yakni putusan Pengadilan Tinggi Agama
Mataram, sengketa waris ini diputuskan bahwa saudara kandung pewaris mendapat
bagian harta waris sebagai ashabah bersama anak perempuan. Putusan ini terlihat
sejalan dengan pendapat jumhur ulama dalam menafsirkan Surat An-Nisa ayat 176
bahwa anak perempuan tidak menjadi penghalang bagi saudara laki-laki si pewaris
untuk mendapat harta warisan. Namun pada putusan di tingkat kasasi, hakim
Mahkamah Agung memutuskan bahwa anak perempuan dapat menghijab kewarisan
saudara pewaris. Hakim secara tegas memilih pendapat Ibnu Abbas dalam
menafsirkan Surat An-Nisa ayat 176 yaitu baik anak laki-laki maupun anak
perempuan masing-masing menghalangi saudara kandung si pewaris dari
4
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. III, h. 306.
4
mendapatkan harta warisan.5 Terdapat perbedaan kesimpulan putusan antara
Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung. Akan tetapi putusan
Mahkamah Agung tidak mengemukakan alasan mengapa mengambil pendapat yang
satu dan mengesampingkan yang lain tanpa menyebutkan alasan tambahan kecuali
hanya menyebutkan bahwa keputusan itu sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas.
Alasan putusan MA tersebut dirasa tidak kuat untuk membatalkan keputusan
Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang juga sejalan dengan pendapat mayoritas
ulama.6
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, terdapat hal-hal
yang sangat menarik untuk ditinjau lebih mendalam dan dikritisi oleh penulis,
khususnya mengenai latar belakang, baik dasar pemikiran maupun pertimbangan
hakim, hingga akhirnya dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung RI No.
86K/AG/1994. Maka penulis akan menuangkannya dalam bentuk proposal skripsi
dengan judul: “Anak Perempuan Sebagai Hajib Hirman Terhadap Kewarisan
Ashabah
Bin-Nafsih
(Analisis
Putusan
Mahkamah
Agung
RI
No.
86K/AG/1994)” .
B.
Identifikasi Masalah
1.
Pembatasan Masalah
Penelitian ini akan mencoba mendeskripsikan serta menganalisa Putusan
Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994 mengenai kedudukan kewarisan anak
5
Effendi, Problematika, h. 302-304.
6
Effendi, Problematika, h. 306.
5
perempuan sebagai hajib hirman terhadap kewarisan ashabah bin-nafsih. Disini anak
perempuan yang dimaksud yakni anak perempuan kandung si pewaris. Lalu ashabah
bin-nafsih yang dimaksud yakni saudara laki-laki sekandung si pewaris.
2.
Perumusan Masalah
Menurut Surat An-Nisaa ayat 11, Kompilasi Hukum Islam pasal 176, serta
pendapat jumhur ulama bahwa anak perempuan jika sendiri ia mendapat ½ bagian
warisan dan sisanya diberikan kepada ahli waris lainnya. Akan tetapi kenyataannya di
lapangan, satu orang anak perempuan dapat menghijab kewarisan ahli waris lainnya
dan ia mendapat seluruh warisan.
Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan-pertanyaan
penelitian yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut:
a. Apa alasan Hakim Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah Agung RI
No. 86K/AG/1994 memilih pendapat Ibnu Abbas dalam memaknai makna
“walad” pada Surat An-Nisaa ayat 176 dan mengenyampingkan pendapat
jumhur ulama seperti yang telah diterapkan pada putusan pengadilan
dibawahnya?
b. Dari segi analisis jender, apakah putusan Mahkamah Agung RI ini telah
sesuai dengan kesetaraan dan keadilan jender?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
6
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui apa pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam
membuat
keputusan
yakni
Putusan
Mahkamah
Agung
RI No.
86K/AG/1994 dalam menyelesaikan sengketa waris di atas.
b. Untuk mengetahui apakah putusan MA ini telah sesuai dengan prinsip
kesetaraan dan keadilan jender.
2.
Manfaat Penelitian
Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan mampu
menjadi dasar materi untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan secara teoritis
maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya bermanfaat diantaranya:
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Dapat rangka perkembangan wawasan ilmu hukum, khususnya menyangkut
penyelesaian sengketa waris tentang kewarisan anak perempuan sebaga hajib
hirman terhadap kewarisan ashabah bin-nafsih.
b. Bagi Masyarakat
Sebagai bahan bacaan serta informasi bagi masyarakat luas mengenai proses
penyelesaian sengketa waris pada Mahkamah Agung serta cara hakim Agung
mengambil keputusan.
c. Bagi Penulis
7
Untuk memperluas ilmu pengetahuan dan pembentukkan pola berpikir kritis
bagi si penulis, khususnya mengenai ilmu kewarisan Islam. Selain itu, untuk
membentuk pemikiran yang bijak dalam menyelesaikan masalah.
D.
Metode Penelitian
1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan ialah pendekatan
kualitatif. Yakni menggambarkan secara mendalam dan rinci terhadap permasalahan
yang diteliti. Metode kualitatif dapat menghasilkan informasi-informasi terinci
mengenai permasalahan tersebut, sehingga dapat meningkatkan pemahaman terhadap
kasus-kasus dan situasi permasalahan.7 Kemudian juga menggunakan pendekatan
yuridis-empiris yakni meneliti kesenjangan antara hukum yang seharusnya/yang
berlaku (das sollen) dengan hukum yang senyatanya/diterapkan (das sein).
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini yakni penelitian
deskriptif-analitik yakni mengungkapkan peraturan perundang-undangan atau
putusan hakim yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek
penelitian.8 Setelah mendeskripsikan secara mendalam dan rinci permasalahan yang
diteliti, kemudian dianalisis dengan sumber data yang diperoleh untuk mendapatkan
jawaban atas permasalahan yang teliti.
7
Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan,
(Jakarta: Kencana, 2011), cet. VI, h. 186.
8
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet.I, h. 105-106.
8
2.
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini antara lain:
a. Data primer: yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya yakni berupa
putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994, putusan PTA Mataram No.
19/Pdt.G/1993/PTA.MTR, Putusan PA Mataram No. 85/Pdt.G/92/V/PA.Mtr
dan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada Hakim Agung.
b. Data sekunder: yaitu data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan
dan bahan kepustakaan, antara lain peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan masalah ini seperti UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas UU No. 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Kompilasi Hukum Islam (KHI),
Al-Quran, Hadits Nabi, kitab-kitab fiqih, buku-buku hukum yang berkaitan
seperti buku Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, buku Hukum
Kewarisan Islam, buku metode penelitian, dan lain-lain.
3.
Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan oleh peneliti adalah data kualitatif, yaitu
pemikiran, makna, nilai dan cara pandang manusia mengenai gejala-gejala yang
menjadi fokus penelitian. Penelitian ini mengacu pada norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta norma-norma
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.9.
9
Ali, Metode, h. 105.
9
4.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Studi kepustakaan (documentary study) yakni melalui penelitian kepustakaan
yang bersumber dari dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, bukubuku, publikasi dan hasil peneltian,10 antara lain seperti
informasi dari
putusan Mahkamah Agung No. 86K/AG/1994 di Mahkamah Agung RI dan
putusan lain yang mendukung, peraturan perundang-undangan yang terkait,
serta menelusuri buku-buku hukum dan kutipan-kutipan lain yang
berhubungan erat dengan permasalahan di atas.
b. Wawancara: yaitu teknik pengumpulan data yang menggunakan instrument
wawancara untuk mendapatkan keyinforman yang diteliti,11 yakni dengan cara
tanya-jawab secara langsung kepada Hakim Mahkamah Agung.
5.
Metode Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian ini mengunakan metode penelitian deskriptif-
analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif tehadap seluruh
data yang tersedia dari berbagai sumber, baik primer, sekunder, maupun tersier.12
Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas
10
Ali, Metode, h. 107.
11
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet.1, h. 55.
12
Ali, Metode, h. 107.
10
dan menganalisis isinya menggunakan metode content analysis.13 Kemudian
menginterprestasikannya menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan
nampak jelas rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.
6.
Teknik Penulisan
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
E.
Review Studi Terdahulu
Pertama, Nur Fitriah (108044100035) Konsentrasi Peradilan Agama, Prodi
Akhwal al-Syakhsiyyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Judul skripsi :
“Kedudukan Kewarisan Anak Perempuan Bersama Saudara Pewaris (Studi Analisa
Putusan Mahkamah Agung No. 122/K/AG/1995)”. Permasalahan yang diangkat pada
penelitian ini yaitu membahas kedudukan kewarisan anak perempuan bersama
saudara pewaris dengan menganalisis Putusan MA No.122K/AG/1995. Terdapat
kesamaan antara skripsi saya dan skripsi ini yaitu sama-sama membahas kasus yang
berhadapan dengan ketidakadilan jender. Kemudian terdapat aturan baru untuk
mempertahankan keadilan sehingga mengenyampingkan Undang-Undang yang
berlaku. Namun perbedaannya adalah skripsi saya menganalisis putusan Mahkamah
Agung No. 86K/AG/1994 dan lebih memfokuskan pada apa alasan hakim dalam
mengambil pendapat Ibnu Abbas dan mengesamping pendapat ulama yang lain,
13
Cansuelo G. Sevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 85.
11
seperti yang terjadi dalam putusan PTA Mataram dan MA di atas. Sedangkan skripsi
terdahulu membahas pertimbangan hakim pada putusan MA No. 122K/AG/1995.
Kedua, Elfid Nurfitra Mubarok (104044101425), Konsentrasi Peradilan
Agama, Prodi Akhwal al-Syakhsiyyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Judul
skripsi : “Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan dengan Saudara
Kandung (Studi Analisis Pada Putusan Peradilan Agama)”. Pada skripsi ini
membahas penerapan hukum dalam penyelesaian gugatan kewarisan anak perempuan
dengan saudara kandung yakni dengan menganalisis putusan PA Jakarta Selatan No.
637/Pdt.G/2001/PA.JS dan putusan MA No. 122K/AG/1995. Terdapat kesamaan
antara skripsi ini dengan skripsi saya yakni sama-sama membahas kewarisan anak
perempuan dengan saudara kandung. Namun perbedaannya, skripsi ini menganalisis
putusan PA Jakarta Selatan No. 637/Pdt.G/2001/PA.JS dan putusan MA No.
122K/AG/1995. Sedangkan skripsi saya menganalisis putusan MA No. 86K/AG/1994
dan lebih memfokuskan pada apa alasan hakim dalam mengambil pendapat Ibnu
Abbas dan mengesamping pendapat ulama yang lain.
F.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang terdiri dari subsub bab sebagai berikut:
Bab Pertama, Pendahuluan, bab ini memuat menguraikan latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.
12
Bab Kedua, dalam bab ini memuat Konsep Dasar Hukum Kewarisan Islam
yang terdiri dari pengertian dan dasar hukum waris, rukun, syarat, sebab, dan
penghalang mewarisi, asas-asas kewarisan, dan konsep jender.
Bab Ketiga, dalam bab ini memuat pembahasan Kedudukan Anak Perempuan
Mewarisi Bersama Saudara Laki-Laki Sekandung yang terdiri konsep hijab dan
ashabah, pendapat para ulama tentang kedudukan anak perempuan mewarisi bersama
saudara laki-laki sekandung, dan bagian saudara dalam KHI.
Bab Keempat, dalam bab ini berisi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
86K/AG/1994 dan Analisa, yang terdiri dari kronologi perkara, tuntutan, putusan,
pertimbangan hukum, analisis pertimbangan hukum dan analisa.
Bab Kelima, penutup yaitu mencakup tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
HUKUM KEWARISAN ISLAM
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan
1.
Pengertian Kewarisan
Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk
menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum
kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang
dijadikan titik utama dalam pembahasan.1
Fiqh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris.
Menurut bahasa, fiqh adalah pengetahuan atau paham.2 Menurut istilah, fiqh ialah
ilmu untuk mengetahui hukum hukum syara’ yang pada perbuatan anggota, diambil
dari dalil-dalilnya yang tafsili (terinci). 3 Sedangkan kata mawaris (‫ )مواريث‬merupakan
bentuk jamak dari ‫( الميراث‬miiraats) yang berarti harta warisan atau peninggalan
mayit.4 Jadi fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta
peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak
1
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), Cet.IV, h. 5.
2
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Ed. II, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 1068.
3
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh lengkap), Cet. XXXVIII, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2005), h. 11.
4
Munawwir, Al-Munawwir, h. 1551.
13
14
menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.5 Sedangkan
Prof. T.M. Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya Fiqhul Mawaris menerangkan bahwa
para fuqaha menta’rifkan ilmu mawaris dengan:
“Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, orang yang
tidak dapat menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara
pembagiannya.” 6
Al-Faraidh (‫)الفرائض‬, yang selanjutnya ditulis faraid, jamak dari kata faridhah
(‫ )فريضة‬yang terambil dari kata al-faradh, yang artinya fardlu atau kewajiban.7 Para
ulama faradhiyyun (ahli faraidh) mengartikan al-faraid semakna dengan mafrudhah,
yakni bagian yang telah ditentukan atau bagian yang telah pasti.
8
Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT. Surah An-Nisaa ayat 7:
          
     
       
 
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
5
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum
Positif di Indonesia, Cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.7.
6
Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010),
7
Munawwir, Al-Munawwir, h. 1047.
h. 5.
8
Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 8.
15
ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia digunakan kata waris, warisan, dan
hukum kewarisan. Kata “waris”, berarti orang yang berhak menerima harta pusaka
dari orang yang telah meninggal. Adapun yang kata “warisan” berarti sesuatu yang
diwariskan seperti harta, nama baik, harta pusaka. Sedangkan kata “kewarisan”,
dengan mengambil kata asal “waris” dan tambahan awalan “ke” dan akhiran “an”.
Arti kata “kewarisan” itu sendiri yakni hal yang berhubungan dengan waris atau
warisan9. Jadi hukum kewarisan ialah hukum yang berhubungan dengan waris dam
warisan. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni pada pasal 171
poin (a) menjelaskan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya msing-masing.
Terdapat beberapa pendapat pakar hukum Islam mengenai hukum kewarisan
Islam, antara lain:
a. Menurut Drs. Fatchur Rahman, hukum kewarisan Islam ialah aturan-aturan
yang tidak mengandung unsur sewenang-wenag terhadap para ahli waris,
bahkan
telah
memperbaiki
kepincangan-kepincangan
sistem
pusaka
mempusakai yang telah dijalankan oleh orang-orang terdahulu dan oleh
9
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Ed. IV,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1556-1557.
16
sebagian orang-orang sekarang. Menurut beliau, hukum kewarisan Islam
mengandung unsur-unsur keadilan yang mutlak.10
b. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, hukum kewarisan Islam adalah
seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Nabi
tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati
kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini belaku dan mengikat
untuk semua yang beragama Islam.11
c. Menurut Drs. H. Habiburrahman, M.Hum, hukum kewarisan Islam adalah
hukum waris yang bersumber kepada Al-Quran dan Hadits, yang berlaku
universal di bumi manapun maupun di dunia ini.12
Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hukum kewarisan
Islam di Indonesia ialah seperangkat peraturan mengenai peralihan kepemilikan harta
warisan si pewaris kepada ahli warisnya yang berpedoman pada Al-Quran dan Hadis,
yang diberlakukan kepada seluruh masyarakat Islam di Indonesia.
2.
Dasar Hukum Kewarisan
Hukum Kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Quran
dan penjelasan tambahan yang diberikan Nabi Muhammad SAW. dalam sunnahnya.
10
Fatchur rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. ALMA’ARIF, 1971), h. 22.
11
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 6.
12
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet. I, (Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2011), h. 86.
17
Ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi yang mengatur secara langsung kewarisan itu
sebagai berikut, antara lain:
a.
Q.S. An-Nisaa ayat 11:

               
Artinya: “…..dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. ...”
b.
Q.S. An-Nisaa ayat 12:
 
             …….
  
 
         
  
 ....... 
Artinya: “……. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,….”
c.
Q.S. An-Nisaa ayat 176:
             
               
   
             
 
  
       
     
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
18
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.”
d.
Hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari:
Artinya: “Berikanlah fara’id (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada
yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan lakilaki yang terdekat.”13
e.
Hadits Nabi dari Jabir menurut riwayat Abu Dawud, al-Tirmizi, Ibnu Majah
dan Ahmad :
Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah berkata: Janda Sa’ad datang kepada Rasul
bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata: “Ya Rasulullah, ini
dua orang anak perempuan Sa’ad yang telah gugur secara syahid bersamamu
di perang Uhud. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka
dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat harta.”
Nabi berkata: “Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini.”
13
h. 320.
Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah),
19
Kemudian turunlah ayat-ayat tentang kewarisan. Nabi pun memanggil paman
itu dan berkata: “Berikanlah dua pertiga untuk dua orang anak Sa’ad,
seperdelapan untuk istri Sa’ad dan selebihnya ambillah untukmu.”
B.
Rukun, Syarat, Sebab dan Penghalang Mewarisi
1.
Rukun Waris
Menurut bahasa, rukun ialah asas atau dasar.
15
Sedangkan menurut istilah,
rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang
lain. Jadi, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta
waris dimana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukunrukunnya.16 Rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga, yaitu:
a. Al Muwarrits (yang mewariskan) adalah orang yang harta peninggalannya
pindah ke tangan orang lain (ahli warisnya), dan ia adalah si mayit.
b. Al-Warits (ahli waris) adalah orang yang menerima harta peninggalan si
mayit.
c. Al-Mauruts (yang diwariskan) yaitu harta peninggalan (si mayit).17
2.
Syarat Waris
14
Abu Dawud, Sunanu Abu Dawud, Juz III, (Darul Fikri), h. 45-46
15
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1187.
16
Komite Fakultas Syariah Unversitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys
Aldizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 27.
17
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris – Metode Praktis
Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah Muhaimin, (Tegal: Ash-Shaf
media, 2007), h. 22.
20
Syarat, menurut bahasa berarti janji.18 Sedangkan menurut istilah, syarat
adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak akan ada hukum. Berkaitan dengan
waris, maka jika tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta
waris. Meskipun syarat syarat waris terpenuhi, tidak serta merta harta waris dapat
langsung dibagikan jika terdapat sesuatu yang menghalanginya. 19 Syarat-syarat waris
antara lain20:
a. Matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan menurut
ulama dibedakan menjadi tiga yakni mati hakiki (sejati), mati hukmiy
(menurut putusan hakim, dan mati taqdiriy (menurut perkiraan/dugaan yang
kuat)
b. Ahli waris yang hidup, baik secara hakiki maupun hukmiy, setelah kematian
si mayit, sekalipun hanya sebentar, memili hak atas harta waris.
c. Mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit, seperti
garis kekerabatan, perkawinan, dan perwalian.
3.
Sebab-Sebab Mewariskan
Sebab-sebab seseorang menerima warisan ada tiga, antara lain:
a. Nikah, adalah ikatan (akad) suami istri yang sah, dengan sebab ini maka
seorang suami mewarisi harta istri dan istri mewarisi harat suami dengan
18
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1368.
19
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 28-29.
20
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 29-30.
21
sebab semata-semata telah melakukan akad nikah, meskipun belum
melakukan jima’ dan belum berkhalwat. Ini telah ditetapkan oleh Allah dalam
surah An-Nisaa ayat 12 yang artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya..”21
b. Nasab adalah kekerabatan yaitu hubungan darah yang mengikat para ahli
waris dengan si pewaris. Sebab hubungan kekerabatan ini diatur oleh Allah
dalam Surat Al Anfal ayat 75, yang artinya: “Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) di dalam kitab Allah.”22
c. Wala’ adalah wala’-nya seorang budak yang dimerdekakan. Yaitu ikatan
antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya.
23
Terjalinnya suatu tali
ikatan di atas dalam istilah fiqh dinamakan ushubah sababiyah, yakni
ushubah yang disebabkan oleh pemerdekaan. 24
Akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia pasal 174, sebab sebab
mewarisi hanya ada 2, yakni karena adanya hubungan darah dan adanya hubungan
perkawinan. Pada KHI tidak dicantumkan hubungan wala’, karena dianggap sudah
21
Al-Utsaimin, Ilmu Waris, h. 25-26.
22
Al-Utsaimin, Ilmu Waris, h. 27.
23
Al-Utsaimin, Ilmu Waris, h. 27.
24
Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 28.
22
tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia kini. Dimana saat ini tidak ada lagi
perbudakan
di
Indonesia,
karena
setiap
warganya
telah
dilindungi
hak
kemerdekaannya sebagai manusia dan warga negara.
4.
Penghalang-Penghalang Mewarisi
Penghalang-penghalang mewarisi ialah tindakan atau hal-hal yang dapat
menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya
sebab-sebab mewarisi.25 Maka, yang dilarang mendapatkan hak waris adalah
seseorang (ahli waris) yang mempunyai sebab mewarisi, tetapi ia melakukan tindakan
yang dapat menggugurkan kelayakan mewarisi. Penghalang-penghalang kewarisan
yang disepakati oleh segenap ulama ialah:
a. Pembunuhan. Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa
orang lain secara langsung atau tidak langsung. Para ulama fiqh sepakat
bahwa pembunuhan merupakan salah satu penghalangan dalam hukum waris.
Dengan demikian seseorang pembunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan
orang yang dibunuh.
26
Hal ini berdasarkan Hadis Nabi dari Abu Hurairah
menurut riwayat Abu Dawud:
Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Pembunuh
tidak boleh mewarisi”.27
25
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 45-46.
26
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 56.
27
Ibnu Majah, Sunanu Ibnu Majah, Juz II, (Darul Fikri), h. 913
23
Para ulama sepakat bahwa pembunuhan yang disengaja dapat menjadi
penghalang mewarisi. Sedangkan pembunuhan yang tidak sengaja terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Para ulama pun sepakat orang yang
terbunuh dapat mewarisi harta si pembunuh.
b.
Berlainan Agama. Para ahli fiqih telah bersepakat bahwasanya, berlainan
agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan
merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi.
Berlainan agama terjadi antara Islam dengan yang lainnya. Dengan demikian,
orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan seorang Muslim tidak
dapat mewarisi harta orang kafir.28 Sebagaimana sabda Nabi SAW. berikut:
Dari Usamah bin Zaid (semoga Allah meridhainya) bahwa Nabis
SAW. bersabda: “Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan
orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” (HR. Bukhari)29
c. Perbudakan. Para Faradhiyun telah bulat pendapatnya untuk menetapkan
perbudakan itu adalah suatu hal yang menjadi penghalang pusakamempusakai, berdasarkan adanya petunjuk umum dari suatu nash yang sharih
325.
28
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 47.
29
Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah), h.
24
yang menafikan kecakapan bertindak seorang budak dalam segala bidang,
yakni firman Allah SWT. yang termaktub dalam surat An-Nahl ayat 75, yang
artinya: “Allah telah membuat perumpamaan, (yakni) seorang budak yang
tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun…..”. Mafhum ayat tersebut
menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap mengurus hak milik kebendaaan
dengan jalan apa saja. Dalam soal pusaka-mempusakai terjadi di satu pihak
melepaskan hak milik kebendaan dan di satu pihak yang lain menerima hak
milik kebendaan. Oleh karena itu terhalangnya budak dalam pusakamempusakai ditinjau dari dua arah yaitu mempusakai harta peninggalan dari
ahli warisnya dan mempusakakan harta peninggalan kepada ahli warisnya
lantaran ia belum bebas secara sempurna dari perbudakan. Hal tersebut
sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Imam Syafi’ dan ulama jumhur.30
C.
Asas-Asas Kewarisan
Terdapat lima asas yang menunjukkan bentuk karakteristik dari Hukum
Kewarisan Islam itu sendiri, antara lain:
1.
Asas Ijbari
Dijalankannya asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti
bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya
berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada
kehendak dari pewaris atau permintaan ahli waris. Unsur paksaan sesuai dengan arti
30
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 83-84.
25
terminologis tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan
pindahnya harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan. 31
Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa
segi, antara lain: Pertama, dari segi peralihan harta, bahwa harta orang meninggal
dunia itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah
SWT. Kedua, dari segi jumlah , berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta
warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah. Ketiga, dari segi pewaris, berarti bahwa ia
sebelum meninggal tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apapun kemauan
pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya harus dibatasi oleh ketentuan yang
telah ditentukan Allah. Keempat, dari segi kepada siapa harta itu beralih, berarti
bahwa orang-orang yang mendapat harta peninggalan si pewaris ialah para ahli waris
yang telah ditentukan oleh Allah.32
2.
Asas Bilateral
Asas ini menerangkan tentang ke mana arah peralihan harta itu di kalangan
ahli waris. Asas bilateral ini mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada
atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang yang menerima hak
kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan
laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.33
31
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 20.
32
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 20-21.
33
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 22.
26
3.
Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan
mengandung arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara
perseorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa
terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai
tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagian kepada setiap
ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.34
4.
Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang dalam pembagian harta warisan dalam hukum Islam
memilki arti keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa
perbedaan jender tidak menentukan hak kewarisan Islam. Artinya, sebagaimana lakilaki, perempuan pun memiliki hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan.
Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat
ketidaksamaan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan
dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat
menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.35
5.
Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan istilah “kewarisan” hanya berlaku setelah yang mempunyai
34
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 23.
35
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 26-27.
27
harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih
kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup.
Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik
secara langsung maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah
kewarisan menurut hukum Islam. Dengan demikian, hukum kewarisan Islam hanya
mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata.36
D.
Konsep Jender
Jender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki
dan perempuan dari segi sosial-budaya. Jender dijelaskan dalam Women’S Studies
Encyclopedia adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
dalam hal peran, perilaku, mentalis, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Jender berbeda dengan sex. Jender
memandang laki-laki dan perempuan dari aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek
non bilogis lainnya, sedangkan sex memandang laki-laki dan perempuan dari aspek
biologis. Studi jender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas atau
feminitas seseorang, sedangkan studi sex lebih menekankan pada perkembangan
aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki dan perempuan.37
Di dalam pemahaman masyarakat umum, anggapan yang berkembang
mengenai sex dan jender adalah perbedaan jender sebagai akibat perbedaan sex. Akan
36
37
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 30.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina,
2001), h. 33- 35.
28
tetapi jika kita pahami lebih dalam, tidak mesti perbedaan sex menyebabkan
ketidakadilan jender. Memang, diakui bahwa perbedaaan anatomi biologis dan
komposisi kimia dalam tubuh manusia berpengaruh pada perkembangan emosional
dan kapasitas intelektual masing-masing. Akan tetapi faktor genetika bukanlah
penentu kesadaran dan kecerdasan manusia.38
Terdapat faktor lain yang lebih penting yaitu faktor lingkungan. Faktor
lingkungan dan budaya sangat berpengaruh pada peran dan status antara wanita dan
laki-laki. Seperti contoh, terdapat sejumlah masyarakat primitif telah memberikan
peran jender yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Perempuan boleh ikut
memburu hewan, dan laki-laki pun boleh ikut mengasuh anak. Hal ini menunjukkan
bahwa perbedaan peran jender bukan karena kodrat atau faktor biologis, namun
faktor budaya.39
Faktor budaya begitu mempengaruhi peran dan status laki-laki dan
perempuan. Contoh yang mudah kita lihat adalah budaya patriarkal yang telah
mengakar pada kehidupan masyarakat hingga saat ini. Sistem patriarkal menjadi
sistem filsafat, sosial, dan politik dimana laki-laki dengan kekuatan, tekanan
langsung, atau melalui ritual, tradisi, hukum, dan bahasa, adat kebiasaan, etiket,
pendidikan dan pembagian kerja menentukan peran apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan perempuan dan perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.
38
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 42-44.
39
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 44- 45.
29
Keberpihakan kepada jenis kelamin laki-laki ini menimbulkan ketidakadilan
gender.40
Adil (al-adl) sering disinonimkan dengan kata “al-musawwah” (persamaan),
“adala” (dasar keadaan lurus atau penetapan hukum dengan benar) dan “al-qisth”
(seseorang secara proporsional mendapatkan saham atau seimbang).41 Islam
menjelaskan makna adil yakni dalam Al-Quran Surat Al-Maidah (5) ayat 8 dan Surat
Ar-Rahman (55) ayat 7-9, makna adil itu adalah menegakkan kebenaran, memberikan
hak kepada yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan atau melampaui batas,
menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan mengatakan sesuatu (kesaksian) dengan
benar.
Dalam hal jender, Islam pun mengatur keadilan jender. Dalam Al-Quran
Surat Al-Hujurat ayat 13 bahwa wanita dan laki-laki sama di mata Allah, yang
membedakan adalah ketakwaannya.42 Kemudian dalam Surat Al-Baqarah ayat 228,
bahwa hak dan kewajiban suami-istri itu seimbang. Kemudian terkait hal waris,
terdapat perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan, contohnya
bagian anak laki-laki dan anak perempuan yaitu 2:1, kemudian bagian suami dan istri
yaitu ½ untuk suami (jika tidak keturunan) sedangkan istri ¼ (jika tidak keturunan).
40
Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, (Jakarta: Kompas, 2005), h. 60.
41
Ali Parman, Kewarisan Dalam Alquran: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 73-74.
42
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Kesetaraan dan Keadilan
Gender Dalam Perspektif Agama Islam, (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesia, 2004), h. 85.
30
Adanya perbedaan ini bukanlah ketidakadilan jender atau sekedar aturan yang
menyangkut ibadah saja, namun bentuk keadilan dalam kewarisan yang terletak pada
keseimbangan hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara keperluan dan
kegunaan.43
43
Ali Parman, Kewarisan Dalam Alquran, h. 75.
BAB III
KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN MEWARISI BERSAMA SAUDARA
LAKI-LAKI SEKANDUNG
A.
Konsep Hijab dan Ashabah
1.
Hijab
Al-hajb dalam bahasa Arab berarti menutup atau menghalangi. Orang yang
menjadi penghalang atau pencegah dinamakan hajb, sedangkan orang yang dicegah
atau dihalangi atau ditutup dinamakan mahjub.
1
Menurut istilah ulama mawaris
(faraidh), definisi al-hajb adalah mencegah dan menghalangi orang-orang tertentu
dari menerima seluruh pusaka atau sebagiannya karena ada seseorang lain.2
Hajb itu dibagi dua macam:
a.
Hajb dengan sesuatu washaf (sifat). Yaitu memiliki sifat-sifat yang dapat
menghalangi dirinya dari bagian warisannya dengan sifat-sifat yang telah lalu
seperti sifat perbudakan, membunuh, atau berlainan agama. Bagian hajb ini
dapat terjadi mengenai semua ahli waris, karena setiap orang dari mereka
mungkin bisa menjadi budak, atau pembunuh si mayit atau berbeda agama
dengan si mayit. Orang-orang yang terhalangi bagian warisannya dengan sifat
hajb ini keberadaan dirinya di antara ahli waris seperti ketika dirinya tidak ada
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Ed. II, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 237.
2
Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010),
h. 163.
31
32
di antara mereka, maka dia tidak dapat menghalangi lainnya dari bagiannya
dan tidak dapat menjadikan yang lainnya mendapatkan bagian warisan dengan
bagian ashabah.3
b.
Hajb dengan adanya seseorang yang lebih dekat dengan si pewaris dari yang
mahjub tersebut. Penghalang ini dapat mengurangi hak (hajb an-nuqsan)
ataupun menghilangkan hak (hajb al-hirman). 4
Hajb an-nuqshan adalah menghalangi seseorang yang memiliki sebab-sebab
boleh mewarisi dari bagiannya yang sempurna dan utuh. Artinya, hak seseorang ahli
waris dari bagiannya yang besar menjadi bagian yang lebih kecil, karena terdapat ahli
waris lain yang mempengaruhinya. Hajb an-nuqshan terjadi pada lima ash-habul
furudh, yakni suami, istri, ibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudara
perempuan sebapak.5 Contohnya hak suami bergeser dari ½ menjadi ¼ harta warisan
karena adanya keturunan.
Sedangkan hajb al-hirman adalah menghalangi orang yang mempunyai
sebab-sebab boleh mewarisi secara keseluruhan karena ada seseorang yang lebih
dekat kekerabatannya dengan si mayit. Para ahli waris dalam hajb al-hirman, ada dua
kelompok. Pertama, ahli waris yang sama sekali tidak pernah terhalang secara hujub
hirman. Ahli waris ini adalah bapak, anak laki-laki, suami, ibu, anak perempuan, dan
3
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris – Metode Praktis Menghitung
Warisan dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah Muhaimin, (Tegal: Ash-Shaf media, 2007), h.
116.
4
Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 163.
5
Komite Fakultas Syariah Unversitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys
Aldizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 280.
33
istri.
6
Kedua, ahli waris yang terhalang secara hajb al-hirman. Mereka adalah para
ahli waris yang tersisa yakni selain 6 orang yang telah disebut di atas. Mereka akan
terhalang kewarisannya jika terdapat ahli waris lain yang lebih dekat hubungan
nasabnya kepada si mayit.7 Contohnya saudara laki-laki atau perempuan kandung
mahjub oleh adanya anak-laki-laki, cucu laki-laki, dan bapak.
2.
Hijab - Ashabah
Kata at-ta‟shib adalah bentuk mashdar dari kata „ashshaba, yu‟ashshib,
ta‟shib. Orang atau subyeknya disebut „ashib, dan bentuk jamaknya disebut „ashabah
atau „ashabat. Menurut bahasa, ashabah berarti keturunan dari pihak ayah.
8
Sedangkan menurut istilah Faradhiyun, ashabah adalah ahli waris yang tidak
mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah disepakati oleh
para fuqaha (seperti ashabul furudh) dan yang belum disepakati oleh mereka (seperti
dzawil-arham).9 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, digunakan kata “asabat”
yang artinya ahli waris yang berhubungan langsung dengan yang meninggal atau ahli
waris yang hanya memperoleh sisa warisan setelah dibagikan kepada ahli waris yang
mendapat bagian tertentu.10
6
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 282-283.
7
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 283.
8
Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesiah. 937.
9
Fatchur rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. ALMA‟ARIF, 1971), h. 339.
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Ed. IV,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 89.
34
Kemudian terdapat riwayat hadis yang diterima Ibnu Abbas menyampaikan
tentang sabda Rasulullah SAW. mengenai sisa harta setelah diambil bagian untuk
mereka yang menerima hak-hak mereka berdasar furudun muqaddarah-Nya, sisa
tersebut menurut beliau untuk ahli asabah yaitu mereka yang berjenis lelaki, terbatas
lelaki saja.11 Sabda beliau: Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW. beliau bersabda:
12
“Berikan bagian waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya kepada
mereka yang berhak, kemudian apa yang sisa maka diperuntukkan kerabat paling
dekat yang lelaki.” (HR. Bukhari)
Ashabah terbagi menjadi dua bagian, yaitu Ashabah sababiyyah dan Ashabah
Nasabiyyah.13 Ashabah sababiyah yaitu waris-waris yang diikat oleh kekerabatan
pada hukum. Kekerabatan pada hukum ini ialah ushubah yang disebabkan oleh
pemerdekaan. Jadi, apabila seseorang tuan memerdekakan seorang budak sahayanya,
maka dalam istilah fiqh dinamakan ashabah sababiyyah.14
Sedangkan ashabah nasabiyyah atau asabat senasab adalah mereka yang
menjadi kerabat si mayit dari laki-laki yang tidak diselingi, antaranya dan antara si
mayit oleh seorang perempuan, seperti anak, bapak, saudara kandung atau saudara
11
Achmad Kuzari, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 89.
12
Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah),
h. 320.
13
14
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 253.
Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 28.
35
sebapak, dan paman kandung atau paman sebapak. Termasuk di dalamnya anak
perempuan apabila ia menjadi ashabah dengan saudaranya (anak laki-laki), lalu
saudara perempuan kandung atau sebapak yang menjadi ashabah karena ada bersama
anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, atau karena ada
bersamanya. 15 Jadi ashabah nasabiyah ini ada dari hubungan darah dan kerabat.
Ashabah nasabiyyah tidak memperoleh bagian harta warisan secara pasti,
tetapi ia dapat mewarisi semua harta peninggalan kalau ahli waris yang tergolong
ashhabul furudl tidak ada, atau ada ashhabul furudl tetapi terdinding seperti
terdindingnya saudara perempuan dengan anak laki-laki pewaris. Ashabah
nasabiyyah ada kemungkinan memperoleh bagian harta warisan setelah semua ahli
fardhu mendapatkan bagiannya, dan semua bisa juga tidak memperoleh bagian harta
warisan karena semua harta warisan sudah terbagi habis kepada ahli fardhu.16
Ashabah nasabiyah terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Ashabah bin-nafsi
Ashabah bin-nafsi atau ashabah dengan dirinya sendiri adalah setiap laki-laki
yang sangat dekat hubungan kekerabatannya dengan si mayit, yang tidak diselingi
oleh seorang perempuan. Mereka adalah laki-laki yang telah disepakati para ulama
dapat mewarisi, kecuali suami dan saudara seibu. Jumlah mereka ada 12 orang, yaitu
anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki dan generasi di bawahnya, bapak
15
16
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 253.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), h. 217.
36
dan kakek serta generasi di atasnya, saudara kandung, saudara sebapak, anak laki-laki
saudara kandung, anak laki-laki saudara sebapak dan generasi di bawahnya, paman
kandung, paman sebapak dan generasi di atasnya. Anak laki-laki paman kandung, dan
anak laki-laki paman sebapak dan generasi di bawahnya. Ahli waris dengan ashabah
bin-nafsih dihadapkan pada tiga hukum. Pertama, apabila dia hanya sendiri, ia dapat
mengambil seluruh warisan. Kedua, apabila berkumpul dengan ashabul-furudh, ia
dapat mengambil bagian yang tersisa dari bagian tetap. Ketiga, jika ashabul furudh
mengambil seluruh harta waris, maka ia tidak bisa mendapatkan warisan apapun. 17
Kemudian apabila terdapat lebih dari seorang ashabah bin-nafsih, maka harus
dilihat dulu jihat (garis keturunan)nya. Jika terdapat perbedaan jihat, maka
diadakanlah pentarjihan dengan jalan mendahulukan jihat (garis keturunan) golongan
yang pertama atas jihat-jihat sesudahnya. Hal ini dinamakan “Pengutamaan seorang
melihat jihatnya”.18 Jihat-jihat (garis keturunan) ashabah bin-nafsi terdapat empat
golongan, yakni dengan urutan sebagai berikut: (1) Jihat bunuwwah : keturunan
langsung dari yang meninggal, seperti anak laki-laki, (2) Jihat ubuwwah : asal (orang
tua) dari yang meninggal, seperti ayah (3) Jihat ukhuwah : persaudaraan dengan yang
meninggal, (4) Jihat „umumah : bersepupu (misan) dari yang meninggal, pamanpaman (saudara ayah) dari yang meninggal sendiri dan saudara-saudara dari ayah
17
18
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 254-255.
Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 145.
37
yang meninggal dan paman-paman (saudara-saudara ayah) dari kakeknya yang sejati
dan anak laki-laki mereka.19
Apabila yang ada dari ashabah-ashabah nasabiyah, lebih dari seorang dan
berada dalam satu garis keturunan, niscaya pentarjihan di antara mereka didasarkan
pada derajat. Karena itu didahulukan memberi pusaka kepada orang yang lebih dekat
derajatnya dengan yang meninggal.20 Contohnya jika terdapat anak laki-laki dan anak
laki-laki dari anak laki-laki, maka semua pusaka diambil oleh anak laki-laki.
Apabila garis keturunan mereka satu dan derajatnya sama, niscaya pentarjihan
itu didasarkan pada kekuatan kerabat. Maka orang yang mempunyai dua kekerabatan,
didahulukan atas orang yang mempunyai satu kekerabatan saja. Karena itu apabila
ada saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki seayah, maka yang didahulukan
saudara laki-laki sekandung. Pengutamaan ini dinamakan pengutamaan dengan
kekuatan kerabat (taqdim bquwwatil qarabah). Kemudian jika garis keturunan,
derajat, dan kekutan kerabat mereka satu, niscaya mereka menerima pusaka dengan
jalan ashib dan mereka bersekutu pada pusaka itu dan dibagi sama rata.21
b.
Ashabah bil-ghair
Ashabah bil ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain
untuk menjadikan ashabah dan bersama-sama menerima „ushubah. Ashabah bil ghair
19
Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 143.
20
Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 145
21
Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 146.
38
itu ada empat orang perempuan yang fard mereka 1/2 bila tunggal dan 2/3 bila lebih
dari seorang. Mereka itu adalah anak perempuan kandung, anak perempuan dari anak
laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seayah. Jadi jika
salah seorang dari perempuan- perempuan tersebut bersama-sama dengan seorang
mu‟ashib-binafsi yang sama derajat dan kekuatan-kekerabatannya, ia menjadi
ashabah bil-ghair. 22
Ketentuan ashabah bil ghair ini diatur dalam surat An-Nisa ayat 11, yang
artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang
anak perempuan. ….”
Untuk menjadikan mereka sebagai ashabah bil-ghair memerlukan syaratsyarat, antara lain: perempuan tersebut hendaknya tergolong ahli ashabul furudh,
adanya persamaan jihat, derajat, dan kekuatan kerabat antara perempuan dengan
mu‟ashibnya.23
Kemudian terdapat dua hukum mengenai kewarisan ashabah bil ghair.
Pertama, jika ia bersama dengan laki-laki yang sederajatnya, mereka bersama-sama
mendapat bagian yang tersisa setelah pembagian yang tetap. Dengan ketentuan
bagian laki-laki sebesar dua bagian perempuan. Kedua, apabila semua harta telah
22
Fatchur rahman, Ilmu Waris, h. 345.
23
Fatchur rahman, Ilmu Waris, h. 346-347.
39
habis dibagi pada ashabul furudh, maka mereka tidak mendapatkan apa-apa.24
Namun tidak berlaku terhadap anak perempuan shulbi, karena dia tidak dapat
dihindarkan dari pusaka sama sekali.25
c.
Ashabah ma‟al ghair
Ashabah ma‟al ghair ialah setiap perempuan yang berhak mendapatkan
bagian tetap bisa menjadi ashabah jika bersama dengan perempuan yang lain dan ini
khusus untuk saudara perempuan kandung atau sebapak, yang ada bersama furu‟
perempuan yang mewarisi.26
Hukum kewarisan ashabah ma‟al ghair ini yakni saudara perempuan kandung
atau sebapak jika ia bersama anak perempuan atau cucu perempuan atau keduanya,
dan mereka tidak bersama laki-laki yang sederajatnya, maka kedudukannya menjadi
sekuat saudara laki-laki kandung atau sebapak. Ia dapat menghalangi anak-anak lakilaki saudara kandung atau sebapak dan orang yang ada di bawahnya. Mereka dapat
mengambil sisa harta warisan sebagai ashabah setelah pembagian bagian yang tetap.
Namun apabila ashabul furudh telah mengambil semua harta warisan, mereka tidak
mendapatkan apa-apa, akan tetapi anak perempuan atau cucu perempuan yang ada
bersama mereka tetap menjadi ashabul furudh dan mendapat bagian tetapnya.27
24
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 264-265.
25
Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 151.
26
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 266.
27
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 266-267.
40
B.
Pendapat Para Ulama Tentang Kedudukan Anak Perempuan Mewarisi
Bersama Saudara
Mengenai kewarisan anak perempuan bersama saudara, ini di atur dalam surat
An-Nisaa ayat 176:
 
   
              
    
         
                
               
   
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan
ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Kemudian Surat An-Nisaa ayat 12 mengenai kalalah:
   
  
  
    
        
  
  

 
    
     
“….jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika
Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu…”
41
Terdapat hadis-hadis tentang waktu turunnya Surat An-Nisa ayat 176 dan 12.
1.
Hadis tentang waktu turunnya Surat An-Nisa ayat 176.
Al-Barra‟ berkata:
“Ayat terakhir yang diturunkan sebagai penutup surat An-Nisaa, adalah
yastaftunaka qulillahu yuftikum fil kalalati..” (HR. Bukhari)
2.
Hadis tentang waktu turunnya Surat An-Nisa ayat 12.
Hadis dari Jabir yang menceritakan bahwa istri peninggalan Sa‟d ibn ar-Rabi
datang menghadap Rasul dengan membawa dua orang anak perempuannya
dari Sa‟d tersebut maka berkatalah janda itu:
29
“Ya Rasulullah, inilah dua orang anak perempuan Sa‟d „bn „r-Rabi yang
telah mati Perang di Uhud di bawah komandomu. Maka sekarang paman
anak-anak ini (yaitu saudara laki-laki bagi Sa‟d) telah mengambil harta
28
Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah), h.
29
Abu Dawud, Sunanu Abu Dawud, Juz III, (Darul Fikri), h. 45-46.
320.
42
mereka dengan tiada pula menyediakan perbelanjaan bagi mereka”. Berkata
Rasulullah: “Allah akan memberikan penetapan mengenai perkara ini”.
maka turunlah ayat kewarisan, lalu Rasulullah suruh panggil anak-anak itu,
maka berkata Rasulullah: “ Berikan kepada dua orang anak Sa‟d 2/3 dan
kepada ibu anak-anak itu 1/8 dan sisanya utnuk kamulah.” (Ahmad,
Attirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dari Na‟il „l‟ awtar dan
Misykat‟lmasabih)
Mengenai ayat 176 Surat An-Nisaa, dalam tafsir Ath-Thabari terdapat
beberapa
riwayat
yang
menyatakannya
termasuk
kelompok
ayat
terakhir
diwahyukan.30 Kemudian sebab diturunkan ayat ini, disebutkan bahwa Rasulullah
SAW. sangat mementingkan keadaan kalalah, maka Allah SWT. menurunkan ayat
yang berkenaan dengan kalalah pada ayat ini. Pendapat tersebut sesuai dengan
riwayat dari Jabir bin Abdullah.31
Mengenai tempat diturunkannya ayat ini, terdapat riwayat dari Jabir yang
mengatakan bahwa ayat ini diturunkan di Madinah. Sedangkan menurut riwayat Ibnu
Sirin mengatakan ayat ini diturunkan pada saat Rasulullah SAW. dan para sahabat
berada dalam perjalanan, yang mana Rasulullah SAW. ditemani oleh Hudzaifah bin
Al-Yaman dan Umar berjalan di belakang Hudzaifah.32 Riwayat lain menyatakan
bahwa ayat ini turun ketika Nab SAW. bersiap menunaikan haji Wada‟. Lalu riwayat
30
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Penerjemah: Akhmad
Affandi, (Jakartas: Pustaka Azzam, 2008), Jilid. 8, h. 201.
31
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 8, h. 197.
32
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 8, h. 202-203.
43
dari Umar RA menyatakan ayat ini dinamakan ayat Ash-Shaif (musim panas) sebab
ayat ini diturunkan pada musim panas.33
Sedangkan mengenai ayat 12, At-Tabari menuliskan beberapa riwayat
mengenai makna yang terkandung dalam ayat tesebut. Yakni mengenai kewarisan
istri, kalalah, dan kewajiban melunasi utang dan melaksanakan wasiat si mayit dari
harta peninggalan mayit sebelum pembagian warisan.34 Sebab turunnya ayat ini ialah
pengaduan istri Sa‟d kepada Rasul, karena saudara Sa‟d telah mengambil semua
warisan tanpa menyisakan sedikitpun untuk anak-anak perempuannya. Peristiwa ini
terjadi setelah Perang Uhud.35 Riwayat lain mengatakan turunnya ayat ini sebagai
penjelasan bahwa setiap anak kecil maupun dewasa mendapat bagian waris dan
menghapus tradisi jahiliyah yang hanya memberi warisan kepada orang yang ikut
berperang dan membunuh musuhnya. 36
Menurut Hazairin kedua hadis yang telah disebut di atas memberi petunjuk
bahwa Surat An-Nisa‟ ayat 11 dan 12 turun serentak dan turun sebelum ayat 176.
Menurut beliau, kuat dugaan sewaktu Rasul mengurus harta warisan Sa‟d tersebut
kira-kira 5 H sesudah Perang Uhud (yang terjadi tahun 3 H) dengan berhukumkan
33
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 6, Penerjemah: Ahmad Rijali Kadir,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 67-69.
34
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Penerjemah: Akhmad
Affandi, (Jakartas: Pustaka Azzam, 2008), Jilid. 6, h. 557-558.
35
Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta:INIS, 1998), h. 83.
36
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 5, Penerjemah: Ahmad Rijali Kadir,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 147-148.
44
Surat An-Nisaa ayat 11 dan 12, maka belum ada lagi ayat-ayat muhkamat tentang
waris.37
Pemaknaan kata “walad” pada ayat-ayat di atas dalam konsep kalalah ini
terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada ulama menafsirkan kata
“walad” itu ialah anak laki-laki saja, namun ada ulama lain yang menafsirkannya
kata “walad” itu ialah tidak hanya anak laki-laki namun anak perempuan pula.
Berikut penjelasan para ulama dalam menafsirkan pengertian kalalah di atas.
a.
Menurut pendapat Abu Bakar ar. Dan Umar ra.
Diriwayatkan bahwa pada masa hidupnya Umar berharap ia dapat mengetahui
tentang kalalah. Ath-Thabari menuliskan beberapa riwayat mengenai Umar semasa
hidupnya senantiasa berharap kebenaran mengenai kalalah. Pada salah satu riwayat
tersebut dituliskan bahwa Umar bin Khaththab berkata, “Aku tidak pernah bertanya
kepada Rasulullah SAW tentang sesuatu yang seringkali aku tanyakan daripada
permasalahan kalalah, hingga beliau menusukkan jari beliau ke dadaku sambil
bersabda, „Cukup bagimu (dalam permasalahan itu), ayat shaif yang berada di akhir
surah An-Nisa‟.”38
Menurut riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku termasuk orang yang
terakhir hidup pada masa Umar RA, aku mendengar dia mengatakan seperti
37
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadits, cet. VI, (Jakarta: PT.
Tintamas Indonesia, 1982), h. 85.
38
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 8, h. 206.
45
perkataanku. Perawi bertanya, „apa perkataanmu?‟ Dia menjawab, „Al-kalalah
artinya oranng yang tidak mempunyai anak‟”.39
Kemudian riwayat dari Asy-Sya‟bi, ia berkata: Abu Bakar RA berpendapat
tentang kata al-kalalah. Ia berkata: “Aku mengatakan dengan pendapatku sendiri,
maka jika benar itu datangnya dari Allah. Al kalalah artinya yang tidak ada ayah
dan anak.” Ketika Umar menjadi khalifah, ia berkata, “Sungguh, aku akan malu
kepada Allah untuk berbeda pendapat dengan Abu Bakar.”40
Pada saat ajal menjemputnya, Umar berkata tentang kalalah, “Aku telah
menulis sebuah kitab mengenai kedudukan kakek dan kalalah, dan aku telah meminta
petunjuk mengenai hal tersebut. Kini sebaiknya aku tinggalkan permasalahan itu
kepada kalian sebagaimana kalian memutuskan.” Hal ini menurut riwayat dari Sa‟id
bin Al-Musayyab.41
b.
Menurut Jumhur Ulama Ahlusunnah
Jumhur ulama mengartikan kalalah adalah orang yang tidak mempunyai ayah
dan juga tidak mempunyai anak laki-laki. Mereka berpendapat bahwa makna walad
disini berarti anak laki-laki saja. Dengan demikian, anak perempuan tidak menutup
kemungkinan
saudara–saudara
baik
laki-laki
maupun
perempuan,
karena
keberadaannya tidak memengaruhi arti kalalah.42 Pendapat jumhur ulama ahlusunah
39
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 6, h. 565.
40
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 6, h. 559.
41
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 8, h. 207.
42
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet.IV, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 57.
46
ini agaknya terpengaruh oleh dua hal. Pertama, penggunaan secara urf
(adat/kebiasaan sehari-hari) dari kata walad itu. Hal ini berarti bahwa dalam adat
bahasa Arab kata “walad” itu diartikan anak laki-laki, bukan perempuan, meskipun
dalam hakikat penggunaan bahasa dan begitu pula dalam penggunaan syar‟i berarti
untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Artinya, ulama ahlusunah terpengaruh oleh
adat jahiliyah dalam penggunaan kata tersebut sehingga mendorong mereka untuk
mengartikan kata walad tidak menurut pengertian umum.43
Kedua, terpengaruh oleh Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas‟ud
tentang pembagian warisan untuk kasus anak perempuan, cucu perempuan, dan
saudara perempuan. Ibnu Mas‟ud berkata, “Aku akan memutuskan sesuai yang
dputuskan Rasulullah SAW: anak perempuan mendapat separoh, anak perempuan
dari anak lakilaki mendapat sperenam untuk menyempurnakan dua pertiga, sedang
sisanya untuk saudara perempuan”.44 Pada hadis ini dijelaskan bahwa saudara
perempuan dapat mewarisi bersama anak perempuan sebagai ashabah ma‟al ghairih.
Hadis ini mengandung arti bahwa anak perempuan tidak menghijab saudara
perempuan. Dalam keadaan begini tentunya pewaris bukanlah kalalah.45
Kemudian jumhur ulama pun memilah tentang saudara mana yang tidak
tertutup oleh anak perempuan. Bagi mereka, anak laki-laki dapat menghijab saudara
43
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 58.
44
Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas‟ud: Studi Tentang Ibnu Mas‟ud dan Tafsirnya,
Penerjemah: Ali Murtadho Syahudi, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2009), h. 385.
45
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 162.
47
dalam segala hubungan. Sedangkan anak perempuan tidak dapat menghijab saudara
sekandung dan seayah, tetapi dapat menghijab saudara seibu. Sulit mencari jawaban
kenapa saudara seibu dapat dihijab oleh anak perempuan, sedangkan saudara
sekandung dan seayah tidak dapat dihijab.
Hanya ditemukan satu alasan yaitu
saudara seibu dipertalikan kepada pewaris hanya melalui jalur perempuan atau ibu.46
c.
Menurut ulama dari kalangan Syi‟ah
Kalalah adalah orang yang meninggal dunia tanpa anak dan ayah. Pengertian
anak di atas ialah segala keturunan yang lelaki maupun perempuan seterusnya ke
bawah tanpa membedakan jenis kelamin mereka.47 Ulama Syi‟ah kelihatannya sama
sekali tidak terpengaruh dengan Hadis Ibnu Mas‟ud seperti jumhur ulama ahlusunah.
Karena sejak awal mereka telah berpendirian bahwa kata walad tidak membedakan
antara anak laki-laki dan perempuan, kecuali dalam suatu hal yang Allah sendiri yang
mengatakannya yaitu bagian anak laki-laki dua kali daripada bagian anak perempuan.
Di luar hal ini tidak ada perbedaan, baik dalam kedudukan maupun dalam kekuatan
untuk menghijab ahli waris yang lain.48 Menurut mereka, anak perempuan termasuk
juga dalam artian walad, sehingga pengertian kalalah ialah orang yang tidak punya
anak laki-laki dan anak perempuan. pengertian ini sesuai dengan artian lughawi dan
46
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 58-59.
47
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Cet. I,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 194.
48
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 59.
48
syar‟i. Dengan begitu ulama Syi‟ah tidak menggunakan artian urfi atau dengan
sederhana tidak terpengaruh pada pemahaman adat yang berlaku sebelumnya. 49
d.
Menurut ulama Zhahiri
Ulama Zhahiri sependapat dengan mayoritas ulama suni dalam hal anak
perempuan tidak dapat menghijab saudara laki-laki, namun mereka juga sama
sependapat dengan ulama Syi‟ah bahwa anak perempuan dapat menghijab saudara
perempuan. Hal ini mengandung arti bahwa golongan ulama Zhahiri ini tidak
menerima Hadis yang berasal dari Ibnu Mas‟ud tersebut, namun tidak menerima pula
anak perempuan sama dengan anak laki-laki dalam hal menutup saudara. Kalau
demikian keadaannya golongan Zhahiri sama pendapat dengan jumhur ulama
ahlusunah dalam mengartikan walad dalam ayat ini dengan “anak laki-laki” saja.50
e.
Menurut Ibnu Abbas
Dalam kitab Ath-Thabari, terdapat beberapa riwayat yang mengatakan Ibnu
Abbas berkata bahwa Al-kalalah artinya orang yang tidak meninggalkan anak dan
ayah.51 Kemudian Ibnu Abbas berpendapat bahwa ayat waris ini untuk
menghapuskan tradisi jahiliyah yaitu harta warisan hanya untuk anak laki-laki dan
wasiat hanya untuk kedua orang tua dan kerabat. Turunnya ayat waris (Q.S: 4: 11) ini
menjadikan bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua anak perempuan.52
49
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 162.
50
Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 162-163.
51
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 6, h. 561.
52
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jilid. 6, h. 536.
49
Kemudian mengenai makna walad dalam ayat 176 Surat An-Nisa, Ibnu Abbas
yang merupakan sahabat Rasulullah SAW. berpendapat bahwa kata walad (anak)
tersebut ialah mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Alasannya adalah kata
walad dan yang seakar dengannya dipakai dalam Al-Quran bukan saja untuk anak
laki-laki tetapi juga anak perempuan, seperti dalam ayat 11 Surat An-Nisaa, Allah
berfirman dengan memakai kata awlad (kata jama‟ dari kata walad) yang artinya:
“Allah wajibkan kamu tentang “awlad” (anak-anak kamu), buat seorang anak lakilaki (adalah) seperti bagian dua anak perempuan…”. Kata awlad dalam ayat tersebut
mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Sejalan dengan anak perempuan
tersebut, maka kata walad dalam ayat 176 surah An-Nisaa tersebut di atas,
menurutnya juga mencakup anak laki-laki dan perempuan.53
Maka dari itu, menurut Ibnu Abbas bahwa anak perempuan dapat menghijab
kewarisan saudara perempuan. Beliau tidak menjadikan saudara-saudara perempuan
sebagai ashabah bagi anak-anak perempuan. Pendapat ini yang dipegang oleh Daud
dan sekelompok ulama lainnya.
54
Argumentasi mereka adalah firman Allah Ta‟ala
yang artinya “Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya.” Dalam hal ini, saudara perempuan tidak
53
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. III, h. 303.
54
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Penerjemah: Ahmad Khotib, (Jakarta:
Pustaka , 2008), Jilid. 6, h. 68.
50
dapat mewarisi kecuali jika orang yang meninggal dunia itu tidak mempunyai anak.
Mereka berkata, “Sebagaimana yang diketahui bahwa cucu perempuan dari anak
laki-laki (itu ada). Oleh karena itu saudara perempuan tidak dapat mewarisi jika ada
anak perempuan.” Dalam hal ini, Ibnu Az-Zubair mengemukakan pendapat Ibnu
Abbas, hingga Al-Aswad bin Yazid mengabarkan kepadanya bahwa Mu‟adz
memberikan bagian kepada anak perempuan dan saudara perempuan, dimana Mu‟adz
menetapkan harta itu dibagi dua di antara mereka.
55
Riwayat hadis yang diterima Ibnu Abbas menyampaikan tentang sabda
Rasulullah SAW. mengenai sisa harta setelah diambil bagian untuk mereka yang
menerima hak-hak mereka berdasar furudun muqaddarah-Nya, sisa tersebut menurut
beliau untuk ahli asabah yaitu mereka yang berjenis lelaki, terbatas lelaki saja.56
Sabda beliau: Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW. beliau bersabda:
57
“Berikan bagian waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya kepada
mereka yang berhak, kemudian apa yang sisa maka diperuntukkan kerabat paling
dekat yang lelaki.” (HR. Bukhari)
55
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid. 6, h. 69.
56
Achmad Kuzari, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 89.
57
h. 320.
Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah),
51
Jadi bisa disimpulkan bahwa Ibnu Abbas berpendapat anak perempuan dapat
menghijab kewarisan saudara perempuan si pewaris, namun tidak dapat menghijab
kewarisan saudara laki-laki si pewaris.
f.
Menurut Prof. Hazairin
Mengenai arti kalalah oleh Hazairin yaitu seseorang mati dengan tidak ada
baginya walad. Dalam surat An-Nisa ayat 11 dijumpai bentuk jamak dari walad yaitu
awlad dan disana tegas dinyatakan bahwa walad itu mungkin anak laki-laki, mungkin
anak perempuan, mungkin keduanya bersama-sama, atau mungkin pula tidak seperti
dalam bagian kalimat “..fa‟in kunna nisa‟an”.58
Maka jelaslah bahwa arti walad ialah setiap anak, boleh anak laki-laki dan
boleh juga anak perempuan. Sehingga pengertian arti kalalah dalam ayat 12 dan 176
surat An-Nisa adalah keadaan seseorang yang mati dengan tidak ada baginya seorang
anak pun, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Dihubungkan dengan arti
mawali pada ayat 33, maka kalalah selengkapnya ialah keadaan seorang mati punah,
artinya mati dengan tidak berketurunan. Dalam sistem bilateral yang dianut al-Quran
maka keturunan artinya setiap orang di garis ke bawah, tidak perduli apakah garis tu
melakui laki-laki atau perempuan. Mengenai arti akhun, ukhtun dan ikhwatun seperti
ditemui dalam ayat kalalah, adalah saudara dalam semua macam hubungan
persaudaraan, baik karena pertalian darah dengan ayah ataupun ibu. Semua macam
hubungan persaudaraan tersebut wajib diperhitungkan dengan tidak boleh
58
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h. 50.
52
mengartikannya berlainan. Dan hal tersebut sesuai dengan al-Quran yang menganut
sistem kekeluargaan yang bilateral.59
Menurut beliau, dasar perbedaan pembagian warisan pada ayat 12 dan 176
bukanlah karena perbedaan macam hubungan persaudaraan, namun karena keadaan
yang lain yakni mengenai orang tua si pewaris. Beliau menafsirkan kalalah dalam
ayat 12 sebagai saudara
ketika masih ada ayah. Sedangkan pada ayat 176
dimaksudkan untuk menentukan bagian saudara–saudara dalam keadaan ayah si mati
telah meninggal lebih dahulu, di samping si mati tidak meninggalkan keturunan.60
C.
Bagian Saudara dalam KHI
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah fiqh Indonesia karena ia disusun
dengan memerhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fiqh
Indonesia sebagaimana telah pernah dicetuskan oleh Prof. Hazairin S.H, dan Prof.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy sebelumnya mempunyai tipe fiqh Indonesia, yang sangat
memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat, yang bukan
berupa mazhab baru, tapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab satu
persoalan fiqh. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam Hukum Islam.61
Usaha yang telah dilakukan Departemen Agama pada 1958 dengan
membatasi hanya 13 buah kitab kuning dari kitab kuning yang selama ini
59
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h.50.
60
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h. 54-55.
61
Amien Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 12.
53
dipergunakan di Pengadilan Agama, adalah merupakan upaya ke arah pemberlakuan
hukum Islam sebagai perundang-undangan negara yang dilakukan Negara India,
Turki, dan Sudan. Dan oleh sebab itulah kemudian timbul gagasan untuk membuat
Kompilasi Hukum Islam sebagai buku hukum bagi Pengadilan Agama. Dibuatnya
Kompilasi Hukum Islam ini sebagai satu buku hukum yang menghimpun semua
hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama yang dapat dijadikan
pedoman oleh para hakim dalm melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya
kesatuan dan kepastian hukum.62
Kompilasi Hukum Islam juga dilihat sebagai usaha Pemerintah Indonesia
dalam melakukan pembaharuan dan melakukan legalisasi hukum Islam sebagai
hukum nasional yang harus diterapkan oleh masyarakat Muslim Indonesia. Melalui
KHI, beberapa aturan tentang perkawinan, kewarisan, dam perwakafan Islam
diperbaharui, sambil beberapa aturan lainnya dipertahankan. 63
Mengenai kewarisan, KHI secara umum mengambil doktrin fikih tradisional
dan merujuk pada nash-nash Al-Quran yang cocok, misalnya memberikan anak lakilaki bagian waris yang sama besarnya dengan dua anak perempuan dan
mempertahankan aturan ashabah bahwa saudara laki-laki yang terdekat mendapat
sisa. Namun, dipengaruhi adat dan norma-norma setempat, KHI menerapkan aturan62
63
Husein Nasution, Hukum Kewarisan, h. 11.
Euis Nurlaelawati, “Kedudukan Anak Perempuan VS Saudara Kandung”, dalam Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemetrerian Agama RI, Problematika Hukum
Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Ed. I, Cet. I, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2012), h. 215.
54
aturan lain, seperti sistem ahli waris pengganti dan wasiat wajibah yang tidak
ditemukan dalam kitab-kitab fikih manapun.64
Aturan lain yang nampak diperbaharui dalam KHI adalah aturan terkait
dengan bagian saudara yang menurut fiqh hanya dapat bagian jika pewaris tidak
meninggalkan anak. Dalam pandangan jumhur ulama anak yang dimaksud dalam alQuran adalah anak laki-laki. Efek dari pandangan ini adalah bahwa saudara dapat
memperoleh harta waris jika pewaris tidak meninggalkan anak yaitu anak laki-laki.
Sedangkan jika pewaris meninggalkan hanya anak perempuan, saudara dapat
memperoleh kewarisan. Kesimpulannya jika anak laki-laki mempunyai kedudukan
menghijab saudara sedangkan anak perempuan tidak, maka akibatnya anak
perempuan harus berbagi harta warisan dengan saudara jika mereka bertemu dalam
sebuah kondisi waris mewaris. Para ulama Indonesia rupaya melihat aturan fiqh ini
agak bias jender. Lewat sebuah pasalnya, para penyusun KHI mengatur bahwa bagian
saudara ditentukan oleh keberadaan anak dalam pasal 181 dan pasal 182.65
Pasal 181 dan 182 KHI menyatakan bahwa hak waris dari saudara kandung
hanya bisa diberikan jika tidak anak. Kata anak ini adalah terjemahan sebenarnya dari
walad. Jadi, KHI menetapkan menurut kata Al-Quran. Pada dasarnya, kata anak
mengacu pada anak laki-laki dan anak perempuan. Namun, tampaknya penggunaan
kata ini masih membingungkan bagi sebagian hakim yang mempertanyakan apakah
64
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 215.
65
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 217-218.
55
kata ini, seperti kata walad dalam al-Quran, mengacu hanya kepada laki-laki
sebagaimana dalam penafsiran Sunni, atau kepada laki-laki dan perempuan
sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas.66 Sedangkan pada pasal 176 KHI diatur
bagian anak perempuan jika sendiri ialah separoh bagian. Hal ini menjadi persoalan,
apakah makna anak pada pasal 181 dan 182 ialah anak laki-laki saja atau keturunan
baik laki-laki maupun perempuan.
Perdebatan tersebut muncul dan dilakukan karena KHI bersifat mendua.
Seperti kata walad dalam al-Quran ditafsirkan secara berbeda dalam konteks ini,
masih menggunakan terjemahan yang umum. Yang menjadi pertanyaan mengapa
KHI (Pasal 181 dan 182) tidak menggunakan kata-kata yang jelas dan tertentu anak
perempuan dan anak lelaki sekaligus ketika memaksudkan bahwa keduanya
mendahulukan saudara kandung, dan menggunakan kata anak laki-laki saja ketika
tujuannya adalah untuk menyatakan bahwa anak laki-laki saja menghalangi saudara
kandung dari pewaris.67
Beberapa kalangan penyusun menjelaskan bahwa anak yang dimaksud adalah
baik laki-laki maupun perempuan. Artinya bahwa kompilasi melakukan terobosan
dan perubahan terhadap aturan yang dibuat oleh para ulama klasik. Dikehendaki
bahwa seorang perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak laki-laki
dalam hijab-menghijab terutama ketika mereka berada bersama saudara. Penyetaraan
66
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 224.
67
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 224-225.
56
kedudukan laki-laki dan perempuan ini memang selalu diupayakan untuk
memperlihatkan bahwa Indonesia meberikan perhatian terhadap kedudukan hukum
perempuan di Indonesia.68
Dalam prakteknya, para hakim dalam membuat keputusan mengenai masalah
kewarisan terkadang menyimpang dari Kompilasi dan malah mengacu pada kitabkitab fikih. Selain niat mereka mempertahankan kepentingan umum dimana banyak
hakim berpendapat bahwa penyimpangan dari aturan-aturan yang ditetapkan dalam
KHI kadang diperlukan untuk menciptakan kemaslahatan umum atau untuk
menjamin kepuasan keadilan pihak-pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam
satu kasus. Kenyataannya bahwa mereka tidak sependapat dengan aturan-aturan yang
ada dalam KHI merupakan salah satu alasan mengapa mereka dalam kasus-kasus
tertentu tidak sepenuhnya memenuhi sejumlah aturan dalam Kompilasi.
69
Dalam tulisan Euis Nurlaelawati yang berjudul “Menuju Kesetaraan Dalam
Aturan Kewarisan Islam Indonesia: Kedudukan Anak Perempuan VS Saudara
Kandung” pada buku Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di
Indonesia, bisa disimpulkan bahwa telah terjadi pembaharuan mengenai aturan
kewarisan Islam di Indonesia yang terwujud dalam Kompilasi Hukum Islam. Akan
tetapi pembaharuan tersebut belum sempurna dan perlu diperbaharui lagi agar lebih
jelas. Beliau berpendapat bahwa upaya pembaharuan harus dilakukan dengan sangat
68
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 218-219.
69
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 220-221.
57
hati-hati dan jelas, sehingga tidak menimbulkan interprestasi yang beragam.
Interprestasi terhadap hukum tentunya bisa diterima dengan alasan adanya
kemaslahatan di dalamnya, dan bukan karena ketidakjelasan aturan. 70
70
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 229.
BAB IV
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 86K/ AG/ 1994 DAN ANALISA
A.
Kronologi Perkara
P
Keterangan:
P
: Pewaris (Amaq Nawiyah)
: Ahli waris perempuan yang sudah meninggal
: Ahli waris laki-laki yang sudah meninggal
: Ahli waris perempuan yang masih hidup
: Ahli waris laki-laki yang masih hidup
B
: Amaq Itrawan (saudara laki-laki kandung Pewaris)
C
: Inaq Itrawan (Istri Amaq Itrawan)
D
: Le Putrahimah (Anak perempuan si Pewaris)
E
: Amaq Askiah bin Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan)
58
59
F
: Inaq Kadariah binti Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan)
G
: Amaq Mu’minah bin Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan)
H
: Inaq Sani binti Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan)
I
: Inaq Mas’ud binti Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan)
J
: Amaq Husniah bin Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan)
K
: Loq Dariah bin Amaq Itrawan (Anak Amaq Itrawan)
L
: Muslim (Cucu-Cucu Amaq Itrawan)
M
: Ma’arif (Cucu-Cucu Amaq Itrawan)
N
: Muhammad Husni bin Amaq Mu’minah (Cucu-Cucu Amaq Itrawan)
O
: Nursaid bin Amaq Mu’minah/Penggugat Asli (Cucu-Cucu Amaq Itrawan)
P
: Le Radmah binti Amaq Mu’minah (Cucu-Cucu Amaq Itrawan)
Q
: Fuad (Cucu-Cucu Amaq Itrawan)
R
: Sariah (Cucu-Cucu Amaq Itrawan)
Di dusun Malimbu Desa Pemenang Barat Kecamatan Tanjung, terdapat 2
saudara (kakak dan adik) yaitu Amaq Itrawan dan Amaq Nawiyah. Amaq Nawiyah
tersebut meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris saudara laki-lakinya yaitu
Amaq Itrawan dan seorang anak perempuan yang bernama Le Putrahimah, serta
meninggalkan harta peninggalan berupa 2 bidang tanah kebun yang seluas 6 Ha.
Ketika Amaq Nawiyah meninggal dunia, harta peninggalan tersebut belum
dibagiwariskan, namun langsung dikuasai dan dikelola oleh Amaq Itrawan karena
pada saat itu Le Putrahimah masih kecil. Pada tahun 1930, Amaq Itrawan meninggal
dunia. Lalu harta warisan Amaq Nawiyah yang berupa 2 bidang tanah kebun tersebut
60
jatuh ke tangan istri Amaq Itrawan dan anak-anak Amaq Itrawan. Setelah istri dan
anak-anak Itrawan meninggal dunia, barulah Le Putrahimah mengambil alih dan
menguasai tanah kebun warisan ayahnya (Amaq Nawiyah). Cucu-cucu dari Amaq
Itrawan tidak rela jika tanah kebun tersebut dikuasai oleh Le Putrahimah. Mereka
merasa berhak atas sebagian tanah kebun seluas 6 Ha tersebut. Maka dari itu, cucucucu dari Amaq Itrawan dan anak Amaq Itrawan yaitu Nursaid bin Amaq Mu’minah,
Muslim bin I Kadariah, Ma’rif bin I Kadariah, dan Mas’ud bin Amaq Itrawan
mengajukan gugatan tentang pembagian waris ke Pengadilan Agama Mataram serta
mengajukan permohonan sita jaminan atas tanah tersebut agar tanah itu tidak
dialihkan oleh Le Putrahimah ke Pihak ke III.
B.
Tuntutan
1.
Pada Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Agama Mataram)
Pada tingkat pertama yakni Pengadilan Agama Mataram, Penggugat
mengajukan gugatan pembagian waris serta sita jaminan atas tanah kebun tersebut
agat tidak dialihkan oleh Penggugat ke Pihak III. Lalu jawaban dari Tergugat (Le
Putrahimah) atas gugatan Penggugat yaitu bahwa setelah Amaq Nawiyah meninggal
dunia, tanah kebun tersebut dikuasai dan dinikmati oleh Amaq Itrawan dan anakanaknya karena waktu itu Le Putrahimah belum dewasa. Setelah Le Putrahimah
dewasa dan telah menjadi janda tiga kali, dalam masa itu kehidupan Le Putrahimah
sangat sengsara. Maka Le Putrahimah mengambil alih tanah kebun tersebut, akan
tetapi sebagian tanah tersebut belum dikembalikan oleh Penggugat. Kemudian
Tergugat mengajukan eksepsi bahwa objek gugatan dan identitas Penggugat tidak
61
jelas. Kemudian dalam konvensi, Penggugat tidak dapat membuktikan tentang luas
objek sengketa yang disanggah Tergugat. Sedangkan Tergugat memberikan buktibukti berupa Pipil Garuda atas kepemilikan tanah sengketa tersebut. Lalu Pengugat
pun dalam gugatannya berisikan data yang kabur baik mengenai objek sengketa
maupun identitas Penggugat, Tergugat, dan Turut Tergugat.
2.
Pada Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi Agama Mataram)
Karena ketidakpuasan atas putusan PA Mataram di atas, kedua belah pihak
mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Mataram. Pada tingkat banding
ini, yang mengajukan memori banding hanya pihak Penggugat asli, sedangkan pihak
Tergugat asli tidak mengajukan memori banding maupun kontra memori banding. Di
dalam memori banding dari Penggugat asal, memuat putusan PA Mataram terdapat
kelemahan yakni mengandung makna ganda, yang mana bisa menolak seluruhnya
atau menolak sebagian. Kemudian menganggap bahwa putusan PA Mataram tidak
lengkap karena tidak ditetapkannya ahli waris, satatus tanah sengketa serat
pelaksanaan pembagiannya. Selain itu alat bukti Pipil Garuda yang diberikan oleh
Tergugat asal adalah bukti yang lemah karena bukan alat bukti otentik dan bukan alat
bukti pemilikan menurut hukum, namun hanyalah mempunyai nilai sebagai bukti
permulaan yang harus didukung dengan alat bukti lainnya.
3.
Pada Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung)
Karena ketidakpuasan atas putusan PTA Mataram di atas, Le Putrahimah
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Le Putrahimah sebagai Pemohon Kasasi
memberikan alasan-alasan kasasi bahwa pertimbangan hukum PTA Mataram
62
mengenai tanah kebun (objek sengketa) merupakan harta peninggalan Amaq
Nawiyah yang belum dibagiwariskan kepada ahli warisnya adalah pertimbangan yang
kabur, karena tanah kebun tersebut terbukti telah terdaftar sebagai tanah milik Le
Putrahimah sejak tahun 1957. Alasan kasasi berikutnya bahwa tanah kebun (objek
sengketa) adalah tirkah tersebut tidak didukung bukti-bukti yang kuat. Alasan kasasi
terakhir bahwa PTA Mataram telah salah menerapkan hukum karena telah
mendudukan Amaq Itrawan sebagai Ashabah, Le Putrahimah selaku anak Amaq
Nawiyah tidak dapat disejajarkan kedudukannya
dengan pamannya dalam
pembagian warisan.
C.
Putusan Hakim
Pertama, pada putusan PA Mataram yakni putusan No. 85/Pdt.G/92/PA.Mtr
diputuskan menolak gugatan Penggugat dan menetapkan pencabutan sita jaminan atas
objek sengketa yang berada pada Tergugat. Kedua, pada tingkat banding, PTA
Mataram menjatuhkan putusan No. 19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr yakni yang berisi
membatalkan pengangkatan sita jaminan dan menyatakan sah serta berharga sita
jaminan No.85/Pdt.G/1992/V/PA.Mtr terhadap objek sengketa, menetapkan ahli
waris Amaq Nawiyah adalah Amaq Itrawan (saudara laki-laki sekandung) dan Le
Putrahimah (anak perempuan), dengan bagian waris ½ untuk Amaq Itrawan dan ½
untuk Le Putrahimah. Kemudian menetapkan objek sengketa ialah tirkah yang belum
dibagiwariskan. Terakhir, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung menjatuhkan
putusan MA No. 86K/AG/1994 yakni membatalkan putusan PTA Mataram di atas
63
dan menetapkan Termohon Kasasi/Penggugat Awal terhijab untuk mendapatkan
warisan karena adanya Pemohon Kasasi (anak perempuan).
D.
Pertimbangan Hukum
1.
Pada Tingkat Pertama (Putusan No.85/Pdt.G/92/V/PA.Mtr)
Pertimbangan hukum pada putusan PA Mataram ini, yakni Penggugat tidak
dapat membuktikan tentang luas objek sengketa serta terdapat data yang kabur di
dalam gugatannya tentang identitas Penggugat dan objek gugatannya. Sedangkan
Tergugat dapat memberikan bukti-bukti tentang kepemilikan tanah tersebut yaitu
berupa Pipil Garuda, sehingga objek sengketa sah milik Tergugat.
2.
Pada Tingkat Banding (Putusan No. 19/Pdt.G/1993/PTA.MTR)
Pertimbangan hukum pada putusan PTA Mataram ini, bahwa dari hasil
pemeriksaan di PA Mataram terhadap para pihak dan saksi-saksi, sama-sama diakui
bahwa Amaq Nawiyah telah meninggal dunia dan telah meninggalkan 1 orang anak
yaitu Le Putrahimah dan 1 orang saudara laki-laki yaitu Amaq Itrawan, dan pada
waktu Amaq Nawiyah meninggal dunia, ia meninggalkan 2 bidang tanah kebun yang
belum dibagiwariskan. Meskipun tanah-tanah tersebut telah dibaliknamakan kepada
Le Putrahimah dan telah memperoleh Pipil Garuda atas namanya sendiri, namun
karena saat meninggalnya Amaq Nawiyah tanah tersebut masih menjadi milik Amaq
Nawiyah sesuai dengan pengakuan kedua belah pihak. Maka tanah kebun tersebut
adalah harta peninggalan Amaq Nawiyah yang diwariskan kepada ahli waris, dan
belum dibagiwariskan kepada ahli warisnya yaitu Le Putrahimah (anak perempuan)
64
dan Amaq Itrawan (saudara laki-laki). Dan karena belum dibagiwariskan, maka tanah
tersebut masih merupakan tanah syarikat antara para ahli waris.
3.
Pada Tingkat Kasasi (Putusan No. 86K/AG/1994)
Pertimbangan hukum pada Putusan MA ini ialah bahwa Mahkamah Agung
berpendapat selama masih ada anak baik laki-laki maupun perempuan, maka hak
waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris kecuali
orang tua, suami, dan istri menjadi tertutup (terhijab). Bahwa pendapat ini sejalan
dengan pendapat Ibnu Abbas, salah seorang ahli tafsir di kalangan sahabat Nabi
dalam menafsirkan kata-kata “walad” pada ayat 176 Surat An-Nisa yang berpendapat
pengertiannya mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Oleh karena
itu dalam perkara waris ini dengan adanya si Pemohon Kasasi (anak perempuan),
maka Termohon Kasasi (pamannya) menjadi terhijab untuk mendapat warisan.
Dengan pertimbangan di atas, dengan tanpa mempertimbangkan keberatan-keberatan
lainnya,
permohonan kasasi yang diajukan pemohon kasasi (Le Putrahimah)
dikabulkan dan membatalkan putusan PTA Mataram sehingga Mahkamah Agung
mengadili sendiri perkara di atas dengan menguatkan putusan PA Mataram.
E.
Analisa Pertimbangan Hukum
Pada putusan PA Mataram, pertimbangan hakim lebih menekankan pada
bukti-bukti yang diberikan oleh para pihak. Pihak Penggugat saat itu tidak bisa
membuktikan tentang kebenaran objek sengketa dan terdapat data yang kabur
mengenai identitas Penggugat, sedangkan pihak Tergugat dapat membuktikan tentang
kepemilikan tanah sengketa tersebut berupa Pipil Garuda. Sesuai dengan KUH
65
Perdata Pasal 1865 dan HIR Pasal 163 bahwa barang siapa yang mengaku
mempunyai haknya itu, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan
haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan
adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Pembuktian memegang peranan penting
dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan di pengadilan. Dengan adanya
pembuktian, hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang
sedang menjadi sengketa di pengadilan.1 Pada persidangan perkara waris di tingkat
pertama ini, Penggugat tidak mampu memberikan bukti-bukti yang kuat tentang
objek sengketa. Sedangkan Tergugat mampu memberikan bukti yang kuat berupa
akta auntektik yakni Pipil Garuda atas tanah kebun tersebut. Oleh karenanya pada
tingkat pertama, hakim tidak mengabulkan gugatan Penggugat dan tidak menetapkan
bahwa Para Penggugat sebagai ahli waris dari Pewaris.
Lalu pada tingkat banding, majelis hakim mempertimbangkan adanya
pengakuan dari kedua belah pihak bahwa pada waktu si Pewaris meninggal dunia,
tanah-tanah kebun tersebut masih menjadi hak milik si Pewaris. Maka objek sengketa
itu adalah harta peninggalan si pewaris yang belum dibagiwariskan. Pengakuan disini
merupakan salah satu alat bukti yang kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna dan
menentukan 2 , sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Pasal 1925. Dengan
pengakuan di atas, maka tanah tersebut masih merupakan tanah Syarikat antara para
1
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. III,
(Jakarta: Kencana, 2005), h. 228.
2
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, h. 263.
66
ahli waris, meskipun telah dibaliknamakan kepada si anak perempuan. Seperti yang
dikatakan M. Yahya Harahap, SH. dalam wawancara penulis dengan beliau bahwa
“pembaliknamaan itu tidak bisa menghilangkan hak ahli waris lain untuk
mendapatkan warisan, selama dapat dibuktikan bahwa harta itu adalah tirkah.” 3
Akhirnya majelis hakim memutuskan bahwa Para Penggugat dan Tergugat
merupakan ahli waris dari Pewaris. Kemudian majelis hakim memutuskan objek
sengketa berupa tanah kebun seluas 2 Ha adalah harta peninggalan (tirkah) yang
belum dibagiwariskan kepada ahli warisnya yaitu Le Putrahimah (anak perempuan si
pewaris) dan Amaq Itrawan (saudara kandung si pewaris). Majelis hakim pun
memutuskan pembagian harta waris yakni anak perempuan ½ bagian dan saudara si
pewaris ½ bagian.
Kemudian pada tingkat kasasi, majelis hakim mempertimbangkan alasan
kasasi yakni PTA Mataram telah salah menerapkan hukum yakni mendudukan Amaq
Itrawan yang telah meninggal pada tahun 1930 sebagai ashabah, yang mana dengan
adanya Le Putrahimah sebagai anak dari Amaq Nawiyah kedudukannya tidak dapat
disejajarkan dengan pamannya selaku ahli waris yang sama-sama menerima warisan
dari pewaris. Alasan kasasi salah menerapkan hukum ialah bahwa putusan yang
dikasasi melanggar atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum baik hal itu
mengenai hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Sehubungan dengan itu,
penegakkan penerapan alasan kasasi berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No. 5
3
Wawancara pribadi dengan Mantan Hakim Mahkamah Agung RI. M. Yahya Harahap, SH.
Jakarta.02 April 2014.
67
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung yaitu salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
harus benar-benar ditujukan kepada fakta bahwa putusan yang dikasasi itu
bertentangan atau melanggar hukum yang berlaku berkenaan dengan kasus yang
bersangkutan.4
Dalam hal ini, MA dapat mempergunakan hukum Pembuktian berupa
pemeriksaan pada berkas perkara dan surat-surat lainnya yang dianggap perlu dan
jika dipandang perlu dengan mendengar keterangan para saksi. Hal itu diatur dalam
UU MA Pasal 51 ayat (2) dan 50, dimana dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan kasasi berdasarkan Pasal 30 huruf b, dan huruf c, maka Mahkamah
Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu. Lalu Apabila
Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara
tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat
Pertama.
Dalam pemeriksaan perkara, MA menemukan fakta bahwa harta warisan
berupa tanah kebun seluas 2 Ha tersebut dikuasai dan dinikmati berpuluh-puluh tahun
oleh keluarga besar saudara si pewaris dan tidak dibagikan kepada anak perempuan si
pewaris. Akhirnya majelis hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
kasasi dengan membenarkan alasan kasasi di atas, lalu membatalkan putusan PTA
4
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, Cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 328
68
Mataram karena telah salah menerapkan hukum serta mengadili sendiri perkara ini
dengan menguatkan putusan PA Mataram.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa
selama masih ada anak baik laki-laki maupun perempuan, maka hak waris dari orangorang yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris kecuali orang tua, suami,
dan istri menjadi tertutup (terhijab). Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Ibnu
Abbas, salah seorang ahli tafsir di kalangan sahabat Nabi dalam menafsirkan katakata “walad” pada ayat 176 Surat An-Nisa yang berpendapat pengertiannya
mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Oleh karena itu dalam
perkara waris ini dengan adanya si Pemohon Kasasi (anak perempuan), maka
Termohon Kasasi (pamannya) menjadi terhijab untuk mendapat warisan.
Pertimbangan hukum hakim di atas merupakan upaya hakim menemukan
hukum dalam menyelesaikan perkara waris tersebut dengan menggunakan metode
penafsiran bahasa (interprestasi gramatikal). Metode penafsiran bahasa (interprestasi
gramatikal) adalah penafsiran ketentuan yang belum jelas maknanya dengan
menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. 5 Majelis hakim menafsirkan
makna kata “walad” dalam surat An-Nisa ayat 176 mengenai kewarisan anak
bersama saudara ialah anak baik laki-laki maupun perempuan. Penemuan hukum
tersebut merupakan upaya hakim untuk memutuskan putusan yang seadil-adilnya
dengan menggali dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
5
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, h. 280.
69
F.
Analisa Penulis
Jika melihat secara sekilas, putusan Mahkamah Agung di atas terlihat tidak
kuat membatalkan putusan PTA Mataram yakni dengan hanya mengambil pendapat
Ibnu Abbas memaknai makna kata “walad” pada ayat 176 Surat An-Nisa sebagai
dasar pertimbangan hukum. Sedangkan terdapat pendapat ulama lain seperti pendapat
jumhur ulama. Pengambilan sebuah pendapat untuk membatalkan pendapat yang lain
tanpa adanya alasan yang jelas, tidak dapat membatalkan sebuah putusan. Namun
setelah penulis meneliti secara mendalam dengan mempelajari dan memahami
keseluruhan permasalahan, mulai dari kronologi perkara, tuntutan yang diajukan,
bukti-bukti yang telah diperiksa, pertimbangan hukum dan putusan dari tingkat
pertama, tingkat banding hingga tingkat kasasi, serta menganalisis dengan interogasi
filososi, maka dapat ditemukan titik keadilan yang ingin dicapai pada putusan
Mahkamah Agung ini.
Menurut M. Yahya Harahap, SH. dan Drs.H. Habiburrahman, M.Hum. bahwa
jika melihat pada putusan MA tersebut saja, mereka tidak akan mengikuti
yurisprudensi ini karena telah bertentangan dengan nash Al-Qur’an. Akan tetapi harus
dilihat dulu jalan perkaranya atau memahami kasus tersebut, apakah perkara tersebut
termasuk perkara yang kasuistik (kasus dalam keadaan tertentu). Menurut Drs.H.
Habiburrahman, M.Hum., “jika itu perkara yang kasuistik, maka boleh tidak
menerapkan hukum secara umum, jadi ada pengecualian pada kasus tertentu”. 6
6
Wawancara pribadi dengan Hakim
M.Hum. Jakarta. 11 April 2014.
Mahkamah Agung
RI, Drs. H. Habiburrahman,
70
Oleh karenanya harus diikaji dulu permasalahannya dari putusan tingkat pertama,
tingkat banding dan tingkat kasasi.
Menurut penulis, Putusan MA di atas berupaya memberikan putusan yang
seadil-adilnya dengan menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan aturan yang
berlaku atau biasa diterapkan yakni Al-Quran An-Nisa ayat 11, KHI Pasal 176 dan
menurut pendapat jumhur ulama, bagian waris anak perempuan jika sendiri ialah ½
bagian, selebihnya diberikan kepada ahli waris lainnya. Hal itu dikarenakan perkara
waris ini merupakan perkara yang bersifat kasuistik, yakni terdapat pengecualian
dalam kasus tertentu.
Pada perkara waris ini, setelah si Pewaris meninggal dunia, harta warisan
yang menjadi objek sengketa dinikmati dan dikuasai oleh Amaq Itrawan dan anakanaknya hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Sedangkan Le Putrahimah (anak
perempuan) hidup dalam keadaan yang sengsara sampai tiga kali menjanda, dan
selama itu ia belum pernah menikmati harta warisan dari ayahnya (si pewaris). Kini
setelah ia dewasa dan menjalani hidup yang sulit, dirasa adil jika harta warisan
tersebut jatuh seluruhnya kepada Le Putrahimah (anak perempuan). Bagian ½ harta
warisan yang dituntut oleh cucu-cucu dari Amaq Itrawan sesungguhnya sudah
diberikan kepada mereka, yakni hasil kebun yang selama berpuluh-puluh tahun telah
dinikmati oleh keluarga besar Amaq Itrawan. Jadi tidak adil jika mereka sekarang
mendapat ½ bagian warisan lagi, sedangkan dahulunya mereka menikmati
sepenuhnya tanah kebun (harta warisan) tersebut beserta hasilnya dengan waktu yang
lama.
71
Kemudian pengambilan pendapat ulama yang dilakukan majelis hakim Agung
di atas memang merupakan sebuah usaha menemukan hukum dengan metode
penafsiran gramatikal. Usaha ini sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 yakni hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Jadi untuk mencapai titik keadilan, hakim dapat menginterprestasikan
nilai-nilai hukum dalam penyelesaian suatu perkara.
Dalam ushul fiqh pun, terdapat metode ijtihad hakim yakni istihsan. Istihsan
adalah hukum pengecualian dari ketentuan-ketentuan yang berlaku umum, untuk
diterapkan pada kasus-kasus yang sedang berada dalam kondisi tertentu sehingga
menghendaki pertimbangan lain yang sejalan dengan tujuan syariat. Jadi pada kasus
tertentu dalam pandangan hakim bilamana ketentuan-ketentuan/pertimbangan hukum
yang biasa dipakai secara umum diterapkan dalam kasus seperti itu, akan
bertentangan dengan kemashlahatan atau akan bertentangan dengan tujuan syari’at,
maka hakim baru boleh keluar dari ketentuan-ketentuan tersebut. Namun hakim
hendaklah menjelaskan secara jelas mengapa ia meninggalkan hukum yang biasa
dipakai dalam kasus serupa dan menerapkan putusan lain atau pertimbangan hukum
lain.7
Pada putusan MA di atas tidak dijelaskan secara jelas alasan mengapa
mengambil pertimbangan hukum tersebut yang mana sejalan dengan pendapat Ibnu
7
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. III, h. 305-306.
72
Abbas, dan meninggalkan aturan yang biasa diterapkan yaitu ketentuan waris anak
perempuan yang sejalan dengan pendapat jumhur ulama, faraidh (hukum waris
Islam), dan KHI. Menurut penulis, hal inilah yang menjadi kelemahan pada putusan
MA ini. Pada hakikatnya, putusan MA tersebut sudah sesuai dengan UU No. 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung yakni Pasal 30 ayat (2), yang mana diatur bahwa “Dalam sidang
permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari putusan.”
Akan tetapi putusan MA di atas merupakan pengabulan kasasi dengan
pembatalan putusan judex facti dan mengadili sendiri perkara tersebut dikarenakan
putusan judex facti telah salah menerapkan hukum. Dalam pengabulan kasasi
tersebut, maka tindakan hakim Agung ialah memeriksa materi pokok perkara secara
menyeluruh, mengoreksi dan meluruskan kesalahan penerapan hukum tersebut ke
arah yang sebenarnya dengan nilai atau prinsip keadilan umum dan kepatutan, lalu
mengadili sendiri perkara itu dengan pertimbangan yang cukup dan berargumentasi
secara objektif dan rasional.8 Argumentasi inilah yang tidak disampaikan secara jelas
pada putusan ini.
Menurut penulis, seharusnya dalam pertimbangan hukum putusan MA ini
disampaikan secara jelas bahwa penerapan hukum (yang mana sejalan dengan
pendapat Ibnu Abbas) yang diambil oleh majelis hakim dikarenakan perkara ini
8
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi, h. 405.
73
bersifat kasuistik (dalam kondisi tertentu), sehingga dapat keluar dari aturan atau
ketentuan secara umumnya dan memutuskan ketentuan lain. Jika hal ini disampaikan
dalam putusan, maka jelas bahwa tujuan untuk mencapai keadilan yang seadil-adilnya
telah ditegakkan pada putusan ini. Apalagi putusan MA ini merupakan yurisprudensi,
yang mana menjadi pedoman dan acuan dalam penyelesaian perkara waris yang
serupa. Maka sangat diperlukan adanya penyampaian alasan atau argumentasi yang
jelas pada pertimbangan hukum putusan MA ini.
Kemudian penulis berpendapat bahwa putusan MA ini pun telah melakukan
kesetaraan dan keadilan jender. Dimana meletakkan keadilan bukan karena
kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin, namun pada kebenaran yang ada.
Pada putusan MA tersebut, anak perempuan dengan kondisi atau latar belakang
masalah yang dihadapi dirasa adil mendapatkan seluruh harta warisan.
BAB V
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa poin, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Terdapat berbagai pendapat di kalangan ulama mengenai makna “walad”
pada ayat 176 Surat An-Nisa tentang kedudukan anak perempuan mewarisi
bersama saudara pewaris. Pendapat-pendapat tersebut antara lain: (a)
Pendapat jumhur ulama: makna walad tersebut adalah anak laki-laki saja,
tidak termasuk anak perempuan. Jadi anak laki-laki dapat menghijab saudara
pewaris baik saudara kandung, seayah maupun seibu. Sedangkan anak
perempuan hanya bisa menghijab saudara seibu, (b) Pendapat ulama Syiah
dan Prof. Hazairin: makna walad ialah anak baik anak laki-laki maupun anak
perempuan, (c) Pendapat ulama Zhahiri dan Ibnu Abbas: bahwa anak laki-laki
yang dapat menghijab saudara laki-laki dan saudara perempuan pewaris.
Namun anak perempuan hanya dapat menghijab saudara perempuan pewaris.
2.
Pada putusan MA No. 86K/AG/1994, Mahkamah Agung memutuskan bahwa
putusan PTA Mataram salah menerapkan hukum. Akhirnya MA mengabulkan
permohonan kasasi dengan membatalkan putusan PTA Mataram serta
mengadili sendiri perkara tersebut. Dalam mengadili sendiri perkara, MA
74
75
dapat melakukan hukum pembuktian. Hal ini diatur dalam Undang-Undang
tentang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985 Pasal 50 dan 51 ayat (2).
3.
Mahkamah Agung pada putusan ini telah berusaha menjatuhkan putusan yang
seadil-adilnya dengan melakukan penemuan hukum menggunakan metode
interprestasi hukum yakni selama ada anak/keturunan baik laki-laki maupun
perempuan, maka saudara pewaris terhijab untuk mendapat warisan. Pendapat
MA itu sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas dalam memaknai makna
“walad” pada Surat An-Nisaa ayat 176. Perkara waris ini bersifat kasuistik,
dimana anak perempuan si pewaris selama bertahun-tahun tidak mendapatkan
haknya sebagai ahli waris. Oleh karenanya, hakim dapat keluar dari hukum
yang biasa diterapkan/ ketentuan secara umum demi mencapai keadilan.
4.
Putusan MA ini pun melakukan keadilan dan kesetaraan jender, dimana
keadilan itu harus diletakkan pada tempat/hak yang seharusnya. Karena
keadilan itu tidak melihat perbedaan jenis kelamin, namun dengan
mempertimbangkan kronologi perkara dengan menggunakan interogasi
filosofi.
B.
SARAN
Setelah mempelajari, memahami dan menganalis perkara waris ini, penulis
akan mengemukakan beberapa saran, antara lain:
76
1.
Untuk pemerintah dan lembaga pembuat undang-undang (DPR), hendaknya
memperbaharui dan menyempurnakan aturan Kewarisan Islam Indonesia.
Agar tercipta kepastian hukum di lingkungan Peradilan.
2.
Untuk Mahkamah Agung, hendaknya dapat lebih mensosialisasikan
yurisprudensi-yurisprudensi yang mempunyai pertimbangan-pertimbangan
hukum/alasan-alasan yang kuat (strong reason). Agar yurisprudensi ini dapat
menjadi salah satu sumber hukum yang dapat diikuti oleh para hakim lain
dalam menyelesaikan kasus yang serupa, sehingga tercipta keadilan dan
kepastian hukum. Serta dapat menjadi sumber pengetahuan dalam bidang
waris Islam Indonesia bagi para penegak hukum, akademisi dan masyarakat
luas.
3.
Untuk para hakim di Lingkungan Peradilan, hendaknya mengemukakan
alasan/argumentasi yang jelas ketika keluar dari ketentuan ketentuan/hukum
secara umum dan menghendaki ketentuan lain dalam penyelesaian perkaraperkara yang bersifat kasuistik (kasus-kasus tertentu). Agar tidak terjadi
penafsiran yang keliru dalam memahami putusan tersebut oleh hakim lainnya,
akademisi, dan masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Hadis.
Abu Dawud. Sunanu Abu Dawud, Juz III. Darul Fikri.
Abubakar, Al Yasa. Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab. Jakarta:INIS, 1998.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum, cet.I.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Al-Bukhariy. Shahih al Bukhariy, Juz IV. Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob AlIlmiyah.
Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum, cet.I. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi, Jilid V. Penerjemah: Ahmad Rijali
Kadir. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
----------. Tafsir Al-Qurthubi, Jilid VI. Penerjemah: Ahmad Rijali Kadir. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh. Ilmu Waris – Metode Praktis
Menghitung Warisan dalam Syariat Islam. Penerjemah Abu Najiyah
Muhaimin. Tegal: Ash-Shaf Media, 2007.
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. Fiqh Mawaris. Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2010.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, Jilid. VI.
Penerjemah: Akhmad Affandi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
-----------. Tafsir Ath-Thabari, Jilid. VIII. Penerjemah: Akhmad Affandi. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa,
edisi IV. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Fatchurrahman. Ilmu Waris. Bandung: PT. ALMA’ARIF, 1971.
77
78
Habiburrahman. Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. cet. I. Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2011.
Harahap, M. Yahya. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Hasbiyallah. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadits. cet. VI, (Jakarta:
PT. Tintamas Indonesia, 1982.
Isawi, Muhammad Ahmad. Tafsir Ibnu Mas’ud: Studi Tentang Ibnu Mas’ud dan
Tafsirnya. Penerjemah: Ali Murtadho Syahudi. Jakarta: Pustaka Azzam,
2009.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Kesetaraan dan
Keadilan Gender Dalam Perspektif Agama Islam. Jakarta: Kementerian
Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2004.
Komite Fakultas Syariah Unversitas Al-Azhar, Mesir. Hukum Waris, Penerjemah
Addys Aldizar dan Fathurrahman. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004.
Kuzari, Achmad. Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta
Tinggalan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2006.
----------. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet.
III. Jakarta: Kencana, 2005.
Mardani. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, cet.I.
Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia, cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, edisi II.
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Nasution, Amien Husein. Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
79
Nurlaelawati, Euis. “Kedudukan Anak Perempuan VS Saudara Kandung”, dalam
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemetrerian
Agama RI, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di
Indonesia, Edisi. I, Cet. I, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2012.
Parman, Ali. Kewarisan Dalam Alquran: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan
Tafsir Tematik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh lengkap), cet.XXXVIII. Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2005.
Sarmadi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, cet. I,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
Sevilla, Cansuelo G, dkk. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press, 1993.
Suyanto, Bagong dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan, cet. VI. Jakarta: Kencana, 2011.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2004
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran. Jakarta:
Paramadina, 2001.
Widanti, Agnes. Hukum Berkeadilan Jender. Jakarta: Kompas, 2005.
Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, cet. III. Jakarta: Kencana,
2010.
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kompilasi Hukum Islam
LAMPIRAN-LAMPIRAN
80
81
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Nisa Oktafiani
Tempat/Tanggal Lahir
: Tangerang, 20 Oktober 1992
Nomor Induk Mahasiswa
: 1110044100010
Semester
: VIII (Delapan)
Jurusan/Konsentrasi
: SAS (Hukum Keluarga Islam)/Peradilan Agama
Adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah melakukan wawancara dengan :
Nama
: M. Yahya Harahap, S.H.
Jabatan
: Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik
Indonesia
Hari/Tanggal
: Rabu, 02 April 2014
Waktu/Tempat
: Pkl. 09.20 WIB – 10.39 WIB
Tempat
: Law Offices of Remy and Partners, Manggala
Wanabakti Building, Blok IV 8th Floor, Wing B,
Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan-Jakarta.
Tema
“Anak Perempuan Sebagai Hajib Hirman Terhadap Kewarisan Ashabah
Bin-Nafsih (Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994)”
Dengan surat ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Mahasiswa
Narasumber
Nisa Oktafiani
M. Yahya Harahap, SH.
82
REVISI HASIL WAWANCARA
Narasumber
: M. Yahya Harahap, S.H.
Jabatan
: Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik
Indonesia
Hari/Tanggal
: Rabu, 02 April 2014
: Pkl. 09.20 WIB – 10.39 WIB/Law Offices of Remy and
Partners, Manggala Wanabakti Building, Blok IV 8th Floor,
Wing B, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan-Jakarta.
Waktu/Tempat
1.
Bagaimana menurut Bapak mengenai makna walad (anak) yang terdapat
dalam surat An-Nisa ayat 176 tentang kewarisan anak bersama saudara
pewaris?
Jawab:
Makna walad disitu adalah anak, baik anak laki-laki maupun anak
perempuan. akan tetapi Hukum Waris Islam meletakkan beberapa
diversifikasi atau perbedaan terutama mengenai porsi atau furudhul
muqaddarah.
2.
Bagaimana menurut Bapak tentang kedudukan anak perempuan yang dapat
menghijab keseluruhan kewarisan saudara pewaris seperti yang terdapat pada
putusan MA No. 86K/AG/1994?
Jawab:
83
Setiap anak, baik itu anak laki-laki maupun anak perempuan
menghijab saudara pewaris, memang inheren (melekat) dalam kewarisan
Islam. Tetapi ada patokan-patokan porsi, dimana kelebihan-kelebihannya
diberikan kepada ashabah lainnya atau jika tidak ada ashbab lain maka dapat
diberikan ke Baitul Mal. Jadi anak menghijab dahulu, tetapi sesuai porsinya
yang sudah ditentukan, tidak total menghijab. Kalau 1 orang anak perempuan
maka bagiannya 1/2, jika 2 orang atau lebih anak perempuan maka bagiannya
2/3 bagian. Lebihnya jatuh kepada ahli waris urutan/hierarki selanjutnya.
Jika anak perempuan dapat menghijab total kewarisan saudara
pewaris, tergantung pada kesadaran keapatutan apakah sudah saatnya merasa
adil diterapkan penegakkan hukum waris yang seperti itu. Jikalau harta
warisan itu sedikit, sedangkan saudara pewaris kaya raya, patutkah si anak
perempuan mendapat semua harta warisan? Patut. Jikalau hartanya itu
banyak, sedangkan saudara-saudara pewarisnya melarat, apakah disitu
patut/harus ditegakkan menghijab total? Tidak. Bahkan seharusnya anakanaknya itu secara ikhlas memberikan warisannya. Itulah yang dituntut oleh
nilai-nilai kewarisan secara kasuistik.
Jika harta itu sedikit, dan saudara pewaris itu kaya raya, patutkah si
anak perempuan mendapat setengah bagian lalu setengahnya lagi diberikan
kepada saudara pewaris yang kaya raya? Adil kah? Tidak. Sedangkan tujuan
dari pada warisan Islam itu bagaimana supaya memakmurkan dan melepaskan
84
para ahli waris tersebut daripada kemiskinan. Disitulah filosofi kasuistik
tersebut harus dipahami, agar bisa mencapai titik keadilan yang merata dalam
penyelesaian masalah kewarisan. Jadi di setiap menyelesaikan masalah, maka
kita harus bertanya filosofisnya yang disebut interogasi filosofis.
Penerapan kaidah hukum waris Islam, terutama yang berkenaan
dengan furudul muqaddarah tidak bersifat imperatif secara absolut. Akan
tetapi dapat dikesampingkan berdasar musyawarah atau islah.
3.
Bagaimana dengan alasan kasasi yang terdapat pada putusan MA tersebut
Pak, yakni adanya bukti telah dibaliknamakan objek warisan (tanah sengketa)
kepada si anak perempuan akan tetapi setelah si pewaris meninggal?
Jawab:
Alasan kasasi itu tidak tepat, karena tidak mempunyai landasan
yuridis. Pembaliknamaan itu tidak menghilangkan hak pewaris, selama dapat
dibuktikan bahwa harta itu adalah harta warisan/tirkah. Kalau hanya faktor
telah dibalik nama, harta itu tetap melekat hak si pewaris. Contohnya anda
dengan saudara-saudara anda, lalu harta warisan itu dibaliknamakan ke
saudara tertua anda. Kalau begitu anda tidak berhak lagi mendapat warisan?
Berhak. Tidak adil kalau tidak berhak. Kalau karena telah didaftarkan atau
dibaliknamakan, tapi dapat dibuktikan tanah itu adalah tirkah, maka itu tidak
bisa menghilangkan hak ahli waris lain untuk mendapatkan warisan.
85
Contoh lainnya, misalnya anda menikah, kemudian anda punya
banyak harta, tetapi harta itu harta yang diperoleh selama perkawinan, akan
tetapi didaftarkan atas nama suami anda. Apa anda tidak berhak atas harta itu?
Berhak. Asal dapat dibuktikan harta diperoleh selama perkawinan.
4.
Bagaimana menurut Bapak dengan konsep analisis jender yakni tentang
keadilan dan kesetaraan jender? apakah ada pengaruhnya dengan kewarisan
Islam?
Jawab:
Memang, keadilan yang ingin ditegakkan oleh perubahan/revolusi
yang dilakukan warisan Islam dari warisan jahiliyah yang tidak mendudukan
anak perempuan sebagai ahli waris. Nilai keadilan tersebut menempatkan
anak perempuan sejajar/setara dengan anak laki-laki di depan hukum (equality
before the law). Hal itu merupakan General justice principle atau nilai
keadilan umum.
Jika berpatokan pada hukum adat yaitu hukum adat Ambon dan
hukum adat Manado, mereka menyingkirkan perempuan sebagai ahli waris,
sehingga ia tidak termasuk dalam pembagian waris. Lalu dalam hukum adat
jahiliyah, anak perempuan disingkirkan dan tidak dianggap sebagai ahli waris.
Makanya dahulu banyak wanita yang dibunuh saat bayi. Maka dari itulah
86
yang diterobos/diangkat oleh hukum waris Islam, menempatkan anak
perempuan sebagai ahli waris, namun terdapat perbedaan porsi.
Bahkan sekarang trend yang berkembang terpengaruh oleh perubahan
masa dan nilai, sehingga sekarang menuntut sama, tidak lagi dirasa adil
membedakan porsi. Dulu alasan nilai perbedaan porsi tersebut karena anak
laki-laki bertanggung jawab atas kehidupan saudara perempuannya selama ia
belum berumah tangga.
5.
Bagaimana komentar Bapak mengenai pendapat-pendapat ulama tentang
masalah waris anak perempuan bersama saudara pewaris dan KHI?
Jawab:
Masalah fiqh bisa tergantung pada geografis, tempo (waktu), dan
cultural. Seperti Imam Syafi’I berbeda pendapat ketika di Mekah dengan di
Mesir. Para wali pun seperti itu. Mereka berbeda cara karena menyesuaikan
kondisi. Fiqh itu pun berbeda-beda, tapi pokok-pokok landasannya sama.
Mengenai pendapat Ibnu Abbas, apakah pendapat Ibnu Abbas itu sendiri
masih dapat diikuti pada kondisi sekarang di tanah Indonesia.
Memang ada yang berpendapat harus mutlak mengikuti fiqh yang
telah ada sesuai dengan mazhab yang dianut. Lalu yang terjadi di lingkungan
Peradilan Agama, penerapan dan penegakan hukum yang bercorak disparitas
antara hakim yang satu dengan yang lain mempergunakan pemahaman atau
87
kajiannya masing-masing sesuai dengan mazhab yang dianut. Kalau dia orang
Nahdhatul Ulama (NU), ia memakai kajian NU, sedangkan kalau ia orang alIrsyad, dia menggunakan keputusan-keputusan al-Irsyad. Maka dari itu, jika
persoalan seperti
ini terjadi di lingkungan Peradilan, ini adalah bentuk
peradilan yang dzalim, karena tidak ada kepastian hukum. Sedangkan dalam
penegakkan hukum itu menuntut adanya keseragaman (Unified Legal Frame
Work dan Unified Legal Opinion), sehingga bisa dilahirkan putusan-putusan
yang mengandung adanya kepastian hukum. Maka dari itu, lahirlah Kompilasi
untuk menghindari hal-hal itu. Kompilasi ini mencoba meletakkan adanya
maslahah yang menyangkut hukum waris, bukan lagi fiqh hukum waris.
Kompilasi ini pun tidak pernah dikatakan sebagai sesuatu yang
sempurna, tetapi merupakan langkah awal. KHI ini merupakan mazhab atau
fiqh
Islam
Indonesia.
Dan
sekarang jika
disempurnakan,
silahkan
disempurnakan. Dulu tidak dibuat Undang-Undang, karena adanya hambatanhambatan dimana masih alergi untuk membawa permasalahan murni tentang
ke DPR. Tapi sekarang sudah gampang, contohnya UU Perbankan Syariah.
6.
Bagaimana komentar Bapak mengenai kebebasan Hakim tentang wewenang
yudisial dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman?
Jawab:
88
Hakim itu independen sesuai dengan prinsip (judicial independency).
Jadi Peradilan itu adalah Peradilan yang bebas dari pengaruh siapapun, hakim
pun demikian. Hakim yang duduk dalam Peradilan tersebut, dalam
penyelesaian sengketa, ia bebas dari campur tangan siapapun. Dan kebebasan
itu absolut.
Tetapi hakim tidak bebas dalam penerapan penegakkan hukum. Dalam
hal ini kebebasannya bersifat alternatif, dengan acuan penerapannya ialah
undang-undang harus diunggulkan. Hukum itu kan banyak, ada hukum positif
yang diatur dalam undang-undang, ada hukum kebiasaan, ada hukum berdasar
doktrin, ada pula hukum yang lahir dari yurisprudensi. Maka di dalam
penerapan hukum tidak bebas secara absolut, tetapi harus berdasar pada acuan
kebebasan: (1) harus tunduk menerapkan ketentuan peraturan perundangundangan yang telah diatur oleh pembuat undang-undang. Namun dengan
syarat yakni sepanjang undang-undang yang masih berlaku tersebut masih
mampu menegakkan keadilan, kepatutan, dan kebenaran.
Kalau suatu undang-undang memang ada mengatur pokok sengketa,
tapi ketentuan dalam undang-undang tersebut sudah tidak mampu lagi
memberikan rasa keadilan, kepatutan dan kebenaran, sebab yang paling abadi
dalam kehidupan adalah perubahan. Selalu terjadi perubahan nilai dan setiap
perubahan tersebut selalu terkait dan berjalinan antara perubahan sosial
dengan nilai hukum. Maka disitu jika peraturan perundang-undangan tersebut
89
tidak dirasakan lagi memberi keadilan, kepatutan, dan kebenaran, boleh kita
berpaling kepada yurisprudensi, atau kepatutan, atau kebiasaan, atau hukum
lainnya.
Jadi ada aturannya, undang-undang harus diunggulkan oleh para
hakim dan ia tidak boleh melompat kepada hukum lain. Jika ada undangundang yang jelas dan mampu memberikan kepatutan, tetapi ia malah
mengambil yurisprudensi, itu keliru, salah menerapkan hukum. Jadi ada
gradasi-gradasi dalam penerapannya.
7.
Putusan MA No. 86K/AG/1994 ini kan telah menjadi yurisprudensi dan
sering diikuti oleh putusan-putusan selanjutnya. Bagaimana komentar Bapak
mengenai hal ini?
Jawab:
Tidak mesti mengikuti. Kategori yurisprudensi itu kalau putusan itu
memang
mempunyai
landasan-landasan/pertimbangan-pertimbangan/
pemikiran-pemikiran/alasan-alasan
yang
kuat
(strong
reason).
Kalau
alasannya lemah, apa pantas menjadi yurisprudensi.
Dalam common law atau dalam cipil law tidak dianut lagi dianut
paham preseden, tapi mengikuti yurisprudensi berdasarkan reason secara
rasional. Jadi tidak mengikuti secara membabi buta. Namun harus juga
dengan memberikan argumentasi kenapa tidak mengikuti lagi yuriprudensi.
90
Jika saya hakim yang menyelesaikan masalah waris seperti ini, tidak
akan saya ikuti yurisprudensi ini, dan dengan mengemukakan alasan-alasan
bahwa putusan itu tidak tepat lagi. Putusan-putusan yang telah mengikuti
yurisprudensi ini berarti mengikuti pemikiran-pemikiran yang keliru. Apakah
putusan-putusan itu semua sudah tepat? Tidak. Makanya dimungkinkan
menyimpang
dari
yurisprudensi.
Jadi
jika
kita
menyimpang
dari
yurisprudensi, maka kita harus mampu mengemukakan strong reason atau
argumentasi yang jelas dan rasional.
8.
Satu tahun setelah putusan MA No. 86K/AG/1994 ini putus, muncullah 2
kasus waris yang sama yaitu putusan MA No. 122K/AG/1995 dan putusan
MA No. 184K/AG/1995. Kedua putusan ini diputuskan juga oleh hakim yang
sama dengan putusan sebelumnya. Bagaimana komentar Bapak mengenai
ketiga putusan ini?
Jawab:
Di dalam penerapan hukum kasus yang sama, harus dijatuhkan
putusan yang sama. Dalam kasus yang sama, tidak boleh dijatuhkan putusan
yang bersifat disparitas. Kalau putusannya berbeda, maka dimana nanti
keadilan dan kepastian hukum.
Yang dibenarkan adalah dalam kasus yang sama, harus dijatuhkan
putusan yang sama, paling banter putusan yang bersifat variabel yakni ada
91
perbedaan-perbedaan sedikit disebabkan alasan-alasan tertentu. Karena tidak
mungkin ditemukan dalam suatu kasus persis semua sama, tetap ada
perbedaan-perbedaan kondisi atau perbedaan-perbedaan waktu, maka disitu
dibolehkan variabel.
Contohnya, pembunuh. Apakah boleh yang satu dihukum mati, yang
satu boleh bebas? Itu namanya disparitas, tidak boleh disparitas. Beda lagi
kalau yang satu dihukum 20 tahun, yang satu lagi dihukum 12 tahun saja. Itu
masih variabel. Karena disitu bisa dikemukakan alasannya, mengapa yang
satu diberikan keringanan dan yang satu berat. Jadi di setiap kasus yang sama
pun, terdapat perbeda-perbedaan. Tidak ada yang persis sama. Maka harus
selalu dikemukakan landasan-landasan filosofis.
9.
Bagaimana komentar Bapak mengenai asas Ijbari mengenai hukum waris?
Jawab:
Pengkajiannya, kalau itu sudah tafsil, itu tidak boleh. Kalau anda
berpendapat itu tafsil, sehingga tidak bisa ditafsirkan lagi dan tidak bisa
digeser (kalau dalam hukum umum dikatakan sudah interatif), berarti sudah
tidak bisa diubah, maka harus tunduk.
Contohnya dalam Kompilasi, kita larang seorang laki-laki Islam kawin
dengan wanita non Islam karena pada waktu kita memuat Kompilasi itu, kita
menengok bahwa laki-laki Islam yang kawin dengan non Islam, semua
92
terseret. Padahal di dalam Al-Quran itu boleh. Kalau boleh, jadi kategori
hukumnya mubah. Boleh dengan disesuaikan pada situasi. Tetapi kalau itu
sudah tafsil, sedangkan yang tafsil pun terkadang dalam keadaan tertentu,
maka dapat dipergunakan dalam keadaan darurat.
93
94
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Nisa Oktafiani
Tempat/Tanggal Lahir
: Tangerang, 20 Oktober 1992
Nomor Induk Mahasiswa
: 1110044100010
Semester
: VIII (Delapan)
Jurusan/Konsentrasi
: SAS (Hukum Keluarga Islam)/Peradilan Agama
Adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah melakukan wawancara dengan :
Nama
: Drs. H. Habiburrahman, M.Hum
Jabatan
: Hakim Agung Mahkamah Agung Republik
Indonesia
Hari/Tanggal
: Jumat, 11 April 2014
Waktu/Tempat
: Pkl. 10.30 WIB – 11.00 WIB
Tempat
: Mahkamah Agung
Tema
“Anak Perempuan Sebagai Hajib Hirman Terhadap Kewarisan Ashabah
Bin-Nafsih (Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994)”
Dengan surat ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Mahasiswa
Narasumber
Nisa Oktafiani
Drs. H. Habiburrahman, M.Hum
95
HASIL WAWANCARA
Narasumber
: Drs. H. Habiburrahman, M.Hum.
Jabatan
: Hakim Agung Mahkamah Agung Republik
Indonesia
Hari/Tanggal
: Jumat, 11 April 2014
Waktu/Tempat
: Pkl. 10.30 WIB – 11.00 WIB/Mahkamah Agung
10.
Pada putusan MA No. 86K/AG/1994 diputuskan bahwa anak perempuan
menghijab keseluruhan kewarisan saudara pewaris, sedangkan dalam fikih
faraidh bagian anak perempuan jika ia ialah ½, lebihnya diberikan kepada ahli
waris lainnya. bagaimana komentar Bapak mengenai putusan di atas?
Jawab:
Jadi memang putusan Mahkamah Agung dahulu, saya perhatikan
sudah lari betul dari nash. Padahal menurut saya nash-nash tentang waris itu
sangat komplit dan sangat detail. Kalau saya yang memutuskan perkara waris
itu, saya tetap bertahan dengan al-Quran dan hadis. Kalau anak perempuan itu
sendiri, ya bagiannya ½. Walaupun kita belum ada Baitul-Mal, dan kalau
tidak ada ahli waris lain, kan bisa ke BAZIS.
11.
Lalu bagaimana dengan konsep jender yang saat ini sedang trend, yang mana
kedudukan anak laki-laki setara dengan anak perempuan, Pak?
96
Jawab:
Tidak bisa disamakan tanggung-jawab laki-laki dengan perempuan.
Laki-laki itu kan wajib memberi mahar, memberi nafkah dan menanggung
anak dan istrinya. Jadi beban bapak itu lebih berat. Maka dari itu, kalau lakilaki mendapat bagian 2 kali bagian perempuan, ya sama sebenarnya.
Namun jikalau pada tempat-tempat tertentu, dimana mungkin
wanitanya lebih dominan. itu kasuistik, bukan hukum secara umum. Kalau
hukum secara umum tetap anak perempuan bagiannya ½ jika sendiri. tetapi
kalau pada kasus tertentu, bisa saja ada pengecualian. Maka dari itu dilihat
dulu jalan perkaranya, posita dan petitumnya. Kalau dia meminta dibuat
bagian warisnya tidak sama dengan saudara pewarisnya, dilihat dulu apa
alasannya, terbukti atau tidak alasannya. Pembuktiannya tersebut melihat itu
pada fakta-fakta yang ada dan keterangan dari saksi-saksi.
12.
Bagaimana komentar Bapak tentang kebebasan hakim dalam wewenang
yudisial yang diatur UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman?
Jawab:
Pada prinsipnya, hakim itu tidak terikat. Jadi hakim itu tidak ada
atasannya, tidak tergantung pada ketua Mahkamah Agung. Atasannya hakim
itu cuma Tuhan. Jadi kalau saya, tetap hukum Tuhan yang menjadi nomor
satu. Tidak boleh kita melangkahi al-Quran. Kecuali jika ada kasus tertentu,
97
maka ada pengecualian.
Apabila hukum Tuhan tidak ada atau memang
kasusnya tidak pas atau tidak adil bila disesuaikan dengan nash, baru kita
berinisiatif.
13.
Putusan MA ini kan sekarang menjadi yurisprudensi dan sering diikuti oleh
putusan-putusan selanjutnya. Bagaimana komentar Bapak mengenai hal ini?
Jawab:
Putusan Mahkamah Agung di atas yakni anak perempuan menghijab
pamannya, kalau saya tidak cocok. Bagaimana itu bisa dikatakan
yurisprudensi kalau menentang al-Quran. Seperti mengenai ahli waris beda
agama, saya juga tidak sependapat orang yang jelas murtad dapat bagian waris
yang sama. Jikalau mau dikasih, boleh dikasih tetapi sebagai pemberian atau
kerelaan dari saudaranya, bukan sebagai ahli waris.
14.
Mengenai KHI yakni pada pasal 182, dimana disebutkan bila tidak ada anak
dan ayah, saudara seayah atau kandung mendapat seluruh harta warisan. Kata
anak disini dalam pemaknaannya dianggap multitafsir, karena banyak prokontra apakah anak disini anak laki-laki an perempuan atau anak perempuan
saja. Bagaimana komentar bapak mengenai hal tersebut?
Jawab:
98
Pengertian anak itu memang anak, baik anak laki-laki maupun anak
perempuan. Atau disebut juga dengan keturunan. Akan tetapi mengenai
masalah waris ini, kembali pada hukum Islam. Jikalau memang 1 anak
perempuan saja, maka bagiannya ½ seperti yang diatur dalam hukum waris
Islam atau faraidh. Menurut saya, baik nash al-Quran mupun hadis sebenarnya
sudah sangat detail menjelaskan masalah waris. Menurut saya, tidak ada
hukum yang sekomplit menjelaskan masalah waris.
Narasumber
Drs. H. Habiburrahman, M.Hum.
99
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 1
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 2
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 3
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 4
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 5
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 6
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 7
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 8
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 9
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 10
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 11
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 12
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 13
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 14
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 15
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 16
Download