BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, fenomena tentang homoseksual sebenarnya bukanlah masalah baru. Secara kultural fenomena ini ada dalam catatan sejarah kebudayaan di Indonesia, bahkan dalam kajian budaya pop, beberapa media seperti buku ataupun film pernah pula mengangkatnya sebagai suatu kajian sosial. Hal ini ditunjukan dengan terbitnya buku berjudul Lelaki Terindah karya Andrei Aksana dan Pria Terakhir karya Gusnaldi yang telah dikenal masyarakat sebagai seniman tata rias kondang di Indonesia sempat menggemparkan masyarakat luas. Dari ranah perfilman, film Arisan! pada tahun 2003 yaitu sebuah drama satir yang mengritik berbagai masalah sosial di Jakarta juga mengangkat isu gay sebagai salah satu tema. Diputarnya film ini di bioskop-bioskop Indonesia mendapat sambutan postif dari masyarakat luas dan dari kalangan gay pada khususnya. Dalam film tersebut tokoh yang bernama Sakti yang diperankan oleh Tora Sudiro mengalami kebimbangan terhadap orientasi seksual pada dirinya sedangkan dirinya bersuku Batak yang mewajibkan laki-laki menikah sebagai penerus nama keluarga. Ditengah kebingungannya, Sakti bertemu dengan Nino (Surya Saputra) yaitu seorang pembuat film yang selalu membuat film bertema hubungan sesama jenis. Keduanya akhirnya berhasil menjalin hubungan setelah Nino meminta ijin kepada ibunda Sakti. Berdasarkan DSM IV yang telah direvisi, hubungan romantisme oleh keduanya bukanlah suatu bentuk penyimpang lagi. Di Indonesia juga diadakan festival film yang bertema tentang hubungan sesama percintaan jenis yaitu Q Film Festival yang diadakan dibeberapa kota besar, termasuk Yogyakarta. 1 2 Di Indonesia sendiri lembaga yang menaungi LGBTQ (Lesbian – Gay – Biseks – Transgender/Transeksual – Queer) sudah ada pada akhir tahun 1960-an dengan didirikannya Himpunan Wadam Djakarta (hiwad) yang didukung oleh gubernur Jakarta waktu itu, Jendral Marinir Ali Sadikin. Bagi kelompok gay khususnya, pada tahun 1982 mendirikan Lamda Indonesia (Oetomo & Suvianita, Laporan LGBT Nasional Indonesia - Hidup Sebagai LGBT di Asia, 2013). Di Yogyakarta sendiri pernah diadakan Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) I pada tahun 1993 yang berlokasi di Kaliurang. Kongres tersebut membahas masalah advokasi dan mengorganisir kelompok dan LSM gay dan lesbian di Indonesia. Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) II diadakan di Lembang, Jawa Barat pada tahun 1995 dan Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) III diadakan di Denpasar, Bali pada tahun 1997. Sesudah itu terjadi vakum, hingga tahun 2004, ketika diselenggarakan Pertemuan Nasional Seksualitas dan Kesehatan Seksual Laki-laki. Pada tahun 2006 muncul Prinsip Yogyakarta (Yogyakarta Principles) hasil dari diskusi para ahli yang diadakan di Universitas Gadjah Mada mengenai perlindungan hak asasi LGBTQ di seluruh dunia. Penjelasan mengenai penentuan orientasi seksual tidak dapat dipastikan secara tepat (Byer, Galliano, & Shainberg, 1999). Pada penelitian pada remaja gay, ditemukan bahwa pembentukan identitas gay terjadi dalam beberapa tahap, yaitu sensitisasi yang diwakili dengan kesadaran disertai rasa bingung, kemudian penyangkalan, rasa bersalah dan rasa malu lalu pada akhirnya menjadi penerimanaan. Rata-rata usia menyukai sesama laki-laki yaitu 12,7 tahun dan rata-rata usia pengungkapan diri sebagai seorang gay itu pada usia 12,5 tahun (Santrock J. W., 1998). Untuk menemukan permasalahan yang dirasakan oleh para gay peneliti membuat wawancara pra-penelitian dengan salah satu gay di Yogyakarta. Wawancara pra-penelitian ini dilakukan untuk menelaah apa yang terjadi di komunitas homoseksual terutama laki-laki homoseksual yaitu gay. Wawancara dilakukan kepada salah satu gay yang telah tinggal selama kurang-lebih lima tahun untuk menjalani studi disalah 3 satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Narasumber berumur 23 tahun pada saat wawancara dilakukan dan telah menjalani hubungan sesama jenis (homoseksual relationship). Kesadaran dalam menyukai sesama jenis sedari kecil juga dirasakan oleh narasumber wawancara dengan bernama Lant (bukan nama sebenarnya): Ya, sedari kecil. I think I was born that way, so I should embrace it (Lant, 2015). Dalam kehidupan setiap manusia tidak ada yang berjalan statis, semua pergerakan kehidupan manusia akan terus berjalan dinamis seiring dengan perkembangan manusia itu sendiri. Perkembangan manusia dimulai dari masa pembuahan, menjadi janin, masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa dan kematian akan selalu terjadi perubahan. Perubahan-perubahan inilah yang disebut sebagai perkembangan dalam rentang kehidupan manusia. Dalam setiap tahap kehidupan, manusia memiliki tugas yang berbeda-beda disetiap tahapnya. Salah satu tahapan dalam perkembangan manusia menurut Erikson adalah masa dewasa muda (Santrock J. W., 2010) yaitu tahapan setelah remaja. Pada tahap masa dewasa muda tersebut, seorang manusia melakukan penyesuaianpenyesuaian terhadap tugas perkembangan baru yang berbeda dengan masa sebelumnya. Tugas perkembangan ini mencakup pola kehidupan dan harapan-harapan sosial baru dalam rentang kehidupan manusia yang terus bergerak dinamis tersebut. Individu dalam tahapan perkembangan dewasa muda ini diharapkan dapat memerankan tugas dalam mencari pasangan hidup, belajar menjadi suami atau istri bagi pasangannya, memulai hidup berkeluarga dan mengelolanya, mulai bekerja untuk mencari nafkah bagi dirinya dan keluarganya, bertanggung jawab sebagai warga negara, dan menemukan kelompok sosial yang serasi bagi dirinya (Santrock J. W., 2010). Individu dalam tahapan perkembangan dewasa muda ini diharapkan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan dan nilai baru dalam dirinya sesuai dengan tugas perkembangan yang dia emban dalam perkembangan yang sedang dirinya jalani. Sesuai dengan tugas perkembangan yang ada pada masa dewasa 4 muda ini, mencari pasangan adala satu tugas yang penting sehingga sebelum tugas-tugas lainnya bisa terlaksana, individu sebaiknya menemukan pasangan yang diinginkan. Menurut teori perkembangan psikososial Erikson (Papalia, Olds, & Feldman, 2009) masa dewasa muda (young adulthood) ditandai dengan adanya kecendrungan intimacy vs isolation pada diri individu. Jika pada masa sebelumnya, yaitu masa remaja, individu akan sangat terikat dengan kelompok sebayanya, pada saat masa dewasa muda tersebut individu akan mampu berdiri sendiri dan ikatan dengan teman sebaya akan semakin longgar. Individu akan mulai selektif terhadap pergaulannya dan membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Tahapan ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain, individu akan mencari seseorang yang sepaham dengan dirinya dan melabeli hubungan spesial tersebut sebagai pacaran. Genbeck dan Patherick (2006) menyatakan bahwa tujuan berpacaran yaitu keintiman dengan pasangan dan berbagi dengan orang lain yang merefleksikan tugas perkembangan pada masa dewasa muda ini. Individu yang sedang berada pada tahapan perkembangan dewasa muda mencari keintiman emosional dan fisik kepada pasangan romantis. Hubungan ini mensyaratkan keterampilan seperti kesadaran diri, empati, kemampuan mengkomunikasikan emosi, pembuatan keputusan seksualpenyelesaian konflik dan kemampuan dalam menjaga komitmen. Hal inilah yang terjadi pada setiap individu, termasuk individu yang mempunyai kecendrungan orientasi seksual gay. Menurut data Surveilans Terpadu-Biologis Perilaku (STBP) jumlah rata-rata gay di enam kota pada tahun 2010 (Medan, Batam, Jakarta, Bandung, Surabaya dan Malang) adalah sebanyak 766.800 (Cempaka & Kardiwinata, 2012) sedangkan belum ada data jumlah gay 5 yang ada di Yogyakarta. Orentasi seksual merupakan hal yang berbeda dengan identitas gender. Identitas gender merupakan kesadaran psikologis atau konsep diri individu terkait penilaian dirinya adalah laki-laki atau perempuan (Miracle, Miracle, & Baumeister, 2003). Lain halnya dengan orientasi seksual, yaitu ketertarikan seksual individu pada sesama jenis, berlainan jenis ataupun kepada kedua-duanya (Miracle, Miracle, & Baumeister, 2003). Miracle, Miracle, Baumeister (2003) mendefinisikan homoseksualitas sebagai ketertarikan, hasrat dan perilaku seksual yang ditunjukan kepada seseorang yang berjenis kelamin sama dengan individu. Hal ini juga dirasakan oleh gay, sesuai dengan hasil wawancara dengan Lant (bukan nama sebenarnya): Ya ada beberapa straight people secara random secara individu yang saya pikir sexy (Lant, 2015). Kalau untuk gay people tidak sama dengan straight, karena lingkupnya yang kecil jadi ssaling mengenal satu sama lain, sehingga harus berhati-hati dalam mencari pasangan (Lant, 2015). Istilah “Gay” merupakan kata yang sering digunakan untuk menyebut laki-laki dengan orientasi homoseksual (Oetomo, Memberi Suara Pada yang Bisu, 2001). Banyak anggapan masyarakat mengenai hubungan romantisme gay yang hanya mengedepankan hubungan seksual. Gay lebih fokus pada hubungan seksual daripada hubungan emosi (Byer, Galliano, & Shainberg, 1999). Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan hubungan heteroseksual yang mencari dukungan secara psikis dan finansial dalam sebuah hubungan (Byer, Galliano, & Shainberg, 1999). Pemaparan itu ditolak oleh narasumber awal pada saat ditanya apakah dirinya memiliki hasrat pada semua lelaki. Narasumber menyatakan bahwa gay tidak akan memilih pasangannya secara acak kepada semua laki-laki. Mereka akan mencari sesama gay untuk diajak kedalam suatu hubungan terlebih hubungan seksual sesama jenis. Hal inilah yang sering disalah pahami oleh masyarakat pada umumnya sehingga menimbulkan stigma negatif terhadap LGBT. 6 Ya, namun tidak semua laki-laki secara general. Ini yang sering disalah pahami oleh laki-laki normal, bahwa para gay mendambakan untuk berhubungan badan dengan mereka. Nyatanya, kebanyakan gay sangatlah pemilih (Lant, 2015). Dalam memandang laki-laki lain, narasumber memandang tidak ada hubungan seks yang begitu saja terjadi di kalangan gay. Menurut narasumber, gay juga mampu berteman dengan laki-laki heteroseksual pada umumnya dan tidak akan mengajak teman laki-laki heteroseksualnya untuk berhubungan seksual. Tergantung individunya. Kalau dia seorang teman, dan dia normal, ya tidak lebih dari itu. Begitu juga kalau sesama gay, I won’t think of friends sexually. It’s kinda disgusting actually (Lant, 2015). Kurangnya pemahaman mengenai perilaku hubungan romantisme pada gay di masyarakat umum ini sering menimbulkan keresahan di masyarakat itu sendiri dan menimbulkan ketakutan akan kalangan LGBT terutama gay. Masyarakat masih beranggapan bahwa gay akan membawa pengaruh buruk kepada masyarakat serta kepada anak-anak. Masyarakat masih awam khususnya masih berpikir bahwa gay adalah penyakit yang dapat menular padahal pada faktanya LGBT sudah tidak dianggap penyakit oleh DSM edisi ke IV. Dalam tulisan-tulisan di Kompasiana yang merupakan laman masyarakat mengemukakan pendapatnya masih banyak di temukan bahwa gay masih di kaitkan dengan penyakit. Salah satunya gay masih dianggap penyakit sosial di masyarakat yang dapat diklasifikasikan dengan mengukur perbedaan panjang jari telunjuk dan jari manis seseorang dan dikaitkan dengan kromosom seseorang (Abanggeutanyo, 2010). Dengan anggapan bahwa gay adalah penyakit sosial yang akan membawa bencana seperti yang dialami Nabi Luth ditakutkan akan menimbulkan kekerasan kepada kalangan LGBT terutama gay yang memang lebih terlihat jelas bersama dengan waria. Perilaku kekerasan terhadap gay yang sering kita dengar di media massa akibat dari kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai gay dan perilaku-perilakunya seperti aksi sweeping oleh organisasi masyarakat dibantu oleh 7 aparat kecamatan dan polsek Bandung Kulon di Bandung yang melakukan penyisiran dibeberapa rumah kos untuk mencari penghuni homoseksual yang dilakukan pada 25 Januari 2016 walaupun belum terbukti bahwa korban sweeping yang tertangkap memang homoseksual (Perdana, 2016). Kurangnya pemahaman masyarakat itu pula yang menjadikan kalangan gay tersisih dari pergaulan luas tanpa takut membuka identitas orientasi seksualnya. Ketakutan dengan dimensi yang berbeda pun dirasakan oleh kalangan gay akan keselamatan dirinya jika masyarakat umum mengetahui orientasi seksual yang dimiikinya apalagi sampai mengadakan pernikahan sesama jenis. Salah satu guru besar Psikologi UGM menyatakan bahwa adanya pernikahan sejenis yang terjadi di Boyolali karena ketidak tegasan pemerintah dalam pelarangan hubungan sejenis yang berakibat kalangan LGBT berlindung di bawah payung HAM, sedangkan dirinya menegaskan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi di Yogyakarta jika diadakan secara terbuka (Tribun Regional, 2015). Padahal mencari pasangan adalah salah satu tugas perkembangan manusia yang wajib dilaksanakan. Stigma yang melekat pada masyarakat bahwa gay adalah kutukan dan perilaku menyimpang masih sangat lekat dan membuat kalangan gay itu sendiri kesulitan dalam mengekspresikan orientasi seksualnya dalam hal mencari pasangan. Sejak kecil manusia belajar mengenai peran-peran di masyarakat yang dimilikinya. Salah satu peran yang dimilikinya adalah peran berdasarkan jenis kelaminnya, sebagai perempuan atau laki-laki. Peran sebagai laki-laki atau perempuan ini disebut sebagai peran gender. Gender merupakan peran perilaku atau aktivitas bagi laki-laki atau perempuan yang dianggap oleh masyarakat sesuai dengan identitas seksual mereka (Matsumoto & Juang, 2008). Hal ini juga dirasakan oleh gay, sesuai dengan hasil wawancara dengan Lant (bukan nama sebenarnya): 8 Laki-laki. Saya punya garis yang saya tak akan pernah cross, seperti memakai gaun atau rok juga memulas blush on atau eye shadow (Lant, 2015) Dalam masa dewasa muda, seorang gay juga mencari pasangan sebagai salah satu tugas perkembangan yang diembannya. Dalam rangka mencari pasangannya, seorang gay pun akan terlibat dalam hubungan romantisme dengan seorang gay lainnya. Saat seseorang melakukan hubungan romantisme, dirinya akan melakukan hubungan interpersonal. Munthe (Munthe, 2012) menjelaskan dari penelitian kelompok “Psyche” di Surabaya, didapati bahwa 30 dari 100 gay yang diwawancarai memilih berpasangan secara monogami, dengan alasan bahwa adanya pasangan tetap merupakan perwujudan kebutuhan akan cinta dan rasa aman dan pasti. Namun lebih banyak gay yaitu 70 orang yang tidak punya pasangan tetap, karena mempunyai pasangan tetap dianggap terlalu banyak mengajukan tuntutan dan tanggung jawab. Juga dikemukakan alasan sulitnya proses adaptasi antara dua orang yang baru kenal dan kurangnya kebebasan kalau berpasangan tetap. Spanier mendefinisikan romantic relationship sebagai sebuah disposisi umum individu terhadap cinta, perkawinan, keluarga, dan suatu hubungan yang melibatkan interaksi antara laki-laki dan perempuan (De Munck, 1998). Stenberg mengemukakan ada tiga dimensi cinta, yaitu hasrat, keintiman dan komitmen. Hal tersebut juga dirasakan oleh narasumber yang ingin menikah dan membangun sebuah keluarga walaupun dengan pasangan sejenis. Iya dong. Saya selalu bermimpi untuk menikah dan membangun sebuah keluarga nantinya. (Lant, 2015) Sedangkan dengan pertanyaan lanjutan mengenai hubungan romantisme lebih lanjut kejenjang pernikahan, narasumber menjawab bahwa pernikahan yang dirinya inginkan sama seperti pernikahan pada umumnya yang setiap individu didalamnya memiliki peran masingmasing. Dalam hubungan pernikahan sesama jenis yang narasumber inginkan adalah 9 keadaan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Narasumber menyatakan bahwa memang dirinya dan pasangan sejenisnya tidak dapat memiliki keturunan, tetapi masih ada banyak cara untuk memiliki keturunan. Dirinya berpendapat bahwa hanya perihal memiliki keturunan biologislah yang membedakan pernikahan heteroseksual dengan pernikahan homoseksual. Pernikahan yang saya inginkan sama seperti pernikahan.... Saya dan pasangan saya memiliki peran yang berbeda. (Lant, 2015) Saling melengkapi. Memang kami tidak akan memiliki keturuman biologis namun dan cara lain untuk memiliki anak. Seharusnya itu saja yang membedakan pernikahan sesama jenis dengan beda jenis. (Lant, 2015) Seorang gay pun dapat mengalami hubungan romantisme dalam masa dewasa mudanya. Dengan tingginya intensitas pada hubungan, akan menimbulkan daya tarik seksual. Pada pasangan gay kegiatan seksual yang dilakukan adalah oral dan seks anal (Irawan & Kartasasmita, 2010). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan Lant yang menyatakan bahwa hubungan seksual di hubungan homoseksual dapat dilakukan juga dengan banyak cara lain seperti oral sex sampai dengan anal sex. Banyak hal sexual activities yang dapat didapatkan seperti oral sampai anal (Lant, 2015). Hubungan seksual pada gay dilakukan secara oral maupun anal seks dengan frekuensi penggunaan kondom pada gay sebesar 57,8%, dari 57% (26 gay) tersebut tidak semuanya konsisten menggunakan kondom, yang konsisten hanyak 65,4% (17 gay) (Cempaka & Kardiwinata, 2012). Dari pemaparan di atas, peneliti melihat adanya perbedaan pemahaman masyarakat mengenai hubungan sesama jenis yang dilakukan oleh kelompok LGBTQI dan fakta yang terjadi di dalam hubungan sesama jenis terutama pada pasangan gay. Masyarakat belum memiliki pemahaman yang mendalam mengenai hubungan homoseksual yang semakin 10 muncul kepermukaan dalam kehidupan sosial masyarakat luas. Hal ini dapat menimbulkan kesalah-pahaman masyarakat menghadapi fenomena hubungan homoseksual di Indonesia dan berujung pada penolakan dan kekerasan kepada kelompok LGBTQI. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini ingin menjelaskan perilaku pasangan gay dalam menjalani hubungan romantisme sesama jenis sebagai salah satu tugas perkembangan dewasa muda sehingga masyarakat lebih memahami hubungan homoseksual tidak hanya dari stigma yang berkembang saat ini. C, Manfaat Penelitian 1. Manfaat secara teoritis Dengan adanya penelitian ini dapat menjadi tambahan wawasan dan data empiris dari pengembangan keilmuan terutama dalam pemahaman perilaku seorang gay dalam mencari pasangan dan menjalin hubungan romantis dengan sesama jenis 2. Manfaat secara praktis : 1. Penelitian ini dapat menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pemahaman lanjutan, proses atau menelaah faktor-faktor hubungan romantisme sesama jenis. 2. Penelitian ini dapat memberikan tambahan khazanah pengetahuan dari data empiris yang tersaji bagi seorang gay dalam menjalin hubungan romantisme dengan pasangannya. 3. Penelitian ini dapat memberikan pengayaan sudut pandang masyarakat tentang cara menilai seorang gay dan hubungan romantisme sesama jenis. 11 D. Keaslian Penelitian Saat ini penelitian mengenai gay dan hubungan sesama jenis sudah cukup banyak dilakukan. Dengan semangat memperkaya jumlah penelitian, pemahaman dan sudut pandang dari bahasan mengenai hubungan sesama jenis, peneliti akan melakukan penelitian ini. Sejatinya penelitian senada juga telah cukup banyak dilakukan seperti penelitian mengenai hubungan seksual pada kencan laki-laki homoseksual oleh M. R. Irawan (2010) yang membahas mengenai hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang gay baik dengan pasangan tetapnya maupun dengan partner seksualnya. Penelitian yang bertema gay pun juga dilakukan oleh Tanalin Norfirdausi (2015) mengenai hubungan gender role dan well-being pada gay.