ARTIKEL KELAS KONFREHENSIF READING (CASE STUDY) BY. ZULFAHMI,SE.MM Sumber : Internet Edisi Oktober Tahun 2012 FROM RED OCEAN TO BLUE OCEAN STRATEGY Untuk sekedar mengrefresh para pembaca apa yg dimaksud dengan red ocean and blue ocean sebelum kita mengulas editorial kali ini, maka penulis ingin menjelaskan kembali mengenai kedua hal diatas. Ketika Herb Kohleher, seorang lawyer dari Dallas yg memutuskan untuk memasuki industri penerbangan yg ketika itu didonomasi oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Intercontinental, Northwest, American Airline, United Airlines dll dimana mereka saling berebut pasar dan pada akhirnya cenderung melakukan pricewar, dalam hal ini semua airlines yg saya sebut tadi sedang bermain di red ocean, artinya mereka bergulat pada pasar yg sama. Pasar yg sama dan diperebutkan oleh begitu banyak pemain, maka akan mengakibatkan perang harga. Inilah esensi dari Red Ocean. Visi dari Herb Kohleher dengan Southwest Airlinenya ketika itu adalah : Memindahkan penumpang bis menjadi penumpang pesawatnya. Dia sedang membuka pasar baru yg bukan menjadi pasar perusahaan penerbangan lainnya sebelumnya. Sebagai konsekwensi logis maka dia harus menjual ticketnya murah dan supaya bisa murah ticketnya maka costnya pun harus rendah dll. Itulah sebabnya jangan heran ketika awal-awal lahirnya Southwest Airline, mereka hanya terbang di airport kecil diluar kota, penerbangan hanya 1 jam, tidak ada makan atau minum, boarding pas menggunakan plastik yg bisa dipakai berulang-ulang dan tidak ada seating arrangement, pesawat yg digunakan hanya satu jenis agar spare part management dan maintenance mgt lebih mudah dan masih banyak lagi bahkan pilot-pilot yg pertama bergabung di SW pun di tegaskan bahwa mereka sedang bekerja di sebuah perusahaan bis terbang. Gajihnya pun cukup rendah pada awalnya. Inilah yg disebut BLUE OCEAN, dalam blue ocean competition is irrelevant, karena mereka tidak berkompetisi tetapi menciptakan pasar yg benar-benar baru. SW yg tadinya hanya punya 2 pesawat sekarang menjadi perusahaan besar dengan ribuan pesawat dan case studynya dipelajari di banyak sekolah management terkenal seperti Harvard dan Stanford bahkan strategynya sudah meng inspire perusahaan penerbangan dibanyak negara seperti Air Asia, Lion Air dll. Sekolah Makarios yg didirikan hampir 10 th lalu dan menggunakan Red Ocean strategy selalu menghadapi masalah seperti sekolah-sekolah kita lainnya, masalah keuangan, masalah guru, masalah jumlah murid, masalah mutu pelajaran dll. Akhirnya dengan pertolongan Tuhan, Majelis Makarios menemukan Blue Ocean Strategy untuk Sekolah Makarios. Kami bisa uraikan seperti dibawah ini: 1) sekitar 2 th lalu sekolah Makarios dengan seizin organisasi telah melakukan kerjasama dengan perusahaan yg juga dimiliki oleh anggota Makarios untuk mengadakan join operation, dimana perusahaan tsb akan membiayai semua kebutuhan keuangan yg diperlukan oleh sekolah dan nanti bila untung akan ada pembagian keuntungan antara Greja dengan perusahaan tsb. Pengajaran Advent tetap dipertahankan disekolah tsb, pemilihan guru-guru oleh dewan sekolah yg melibatkan Majelis Greja. Sehingga misi dari sekolah untuk mengjangkau anak-anak kepada Jesus tetap dipertahankan. Th lalu perusahaan tsb sudah menginvestasikan uang sebesar Rp 1.6 milyar yg digunakan untuk biaya operation dan membangun sarana dan prasarana sekolah seperti ruanganruangan kelas baru ber a/c, lapangan basket, kolam renang dan fasilitas lainnya. Kami sebagai anggota Makarios boleh berbangga barangkali secara fasilitas sekolah kami adalah salah satu yg terbaik kalau bukan yg terbaik di banding dengan sekolah-sekolah kita di Jakarta ini. Kerjasama ini tidak melibatkan asset, artinya kepemilikan gedung dan tanah sekolah adalah tetap dipihak organisasi kita bahkan apabila kerja sama berakhir maka investasi yg sudah ditanamkan pun akan dihibahkan ke sekolah. Bagi perusahaan tsb, ini adalah project CSR( Corporate Social Responsibility) dan kita melihat perusahaan tsb diberkati Tuhan dengan berbagai projectnya. 2) Kami tidak berhenti disini dan puas dengan fasilitas yg kami miliki, oleh sebab itu tahun ini focus Makarios adalah meningkat mutu pendidikannya. Mulai tahun ini Makarios memperkenalkan program SMP-SMA 4 th seperti yg dilakukan di Phillippines. Kami sudah bekerja sama dengan Mountain View College dan AUP di Phillippines untuk menampung para tamatan kita nanti. Untuk menangani program baru ini , Makarios telah memanggil Prof Dr Jose Dial yg dulu bekas rektor MVC dan sekarang bermukim di Sanfrancisco untuk menjadi kepala sekolah yg baru. Kepala sekolah yg lama akan menangani program curriculum lokal dan yg baru akan focus ke program international. 6 Guru-guru baru dari Phillippines akan bergabung di Makarios mulai ajaran bulan Juni ini. 3) Bila anak-anak saudara yg th ini akan menamatkan SMP di sekolah manapun juga, boleh bergabung ke kami hanya 1 th dan semua pengajaran dalam bahasa inggeris dan setelah lulus test, mereka bisa masuk college di Phillippines. Kalau anak-anak anda mau masuk di SMP ataupun program SD kita, walaupun masi menggunakan curriculum local, tetapi content pelajaran dalam bahasa inggeris nya akan lebih banyak dibanding sekolah-sekolah kita lainnya sehingga ketika mereka tamat SMP bisa memilih meneruskan ke program SMA atau program ke Phillippines untuk 1 th lagi. 3 Cerita tentang Blue Ocean Strategy Blue Ocean Strategy, kita tahu, merupakan salah satu tema penting dalam wacana manajemen strategi lima tahun belakangan. Digagas oleh profesor asal Korea, Chan Kim dan rekannya dari Perancis Renee Mauborgne, tema ini hendak mengajarkan kepada kita tentang bagaimana memenangkan kompetisi bisnis yang kian dinamik. Lalu apa itu sejatinya blue ocean strategy? Apa saja contoh konkrit perusahaan yang telah menerapkannnya? Dan tahapan apa saja yang mesti dilakoni guna menjalankannya dengan berhasil? Kita akan berikhtiar menjawab semua pertanyaan ini sembari menikmati kopi hangat di Senin pagi yang cerah. Blue ocean strategy pada dasarnya merupakan sebuah siasat untuk menaklukan pesaing melalui tawaran fitur produk yang inovatif, dan selama ini diabaikan oleh para pesaing. Fitur produk ini biasanya juga berbeda secara radikal dengan yang selama ini sudah ada di pasar. Dengan cara seperti diatas, blue ocean mendorong pelakunya untuk memasuki sebuah arena pasar baru yang potensial, dan yang selama ini “dilupakan” oleh para pesaing. Hal ini tentu berbeda dengan red ocean, dimana semua kompetitor memberikan tawaran fitur produk yang seragam, sama, dan semua saling memperebutkan pasar yang juga sama. Alhasil, yang acap terjadi adalah pertarungan yang berdarah-darah, lantaran arena persaingan diperebutkan oleh para pemain yang menawarkan keseragaman produk dan pendekatan. Contoh yang paling fenomenal dari dari kisah blue ocean ini misalnya dapat dilihat pada kisah keberhasilan Yamaha dengan skutik Mio-nya. Dulu sebelum motor jenis ini muncul, pasar sepeda motor didominasi oleh jenis konvensional dengan Honda sebagai penguasanya. Melalui skutik Mio, Yamaha mengintroduksi motor dengan fitur yang berbeda secara radikal dengan produk yang selama ini ada di pasaran. Ia juga segera membidik segmen pasar baru (new market segment) yakni para pelanggan perempuan (female bikers). Dengan pendekatan blue ocean ini, saat itu praktis Yamaha berenang dalam arena pasar baru, yang tidak ada players lain didalamnya. Dengan mudah Yamaha memimpin pasar baru itu, dan itu terus bertahan hingga kini. Keberhasilan ini memang fenomenal, sebab melalui Mio-lah, Yamaha kemudian pelan-pelan merangsek singgasana yang sudah puluhan tahun digenggam sang jawara, Honda. Contoh blue ocean strategy yang juga legendaris adalah drama kemenangan produk iPod dari Apple yang merebut habis pasar musik digital. Produk iPod ini sungguh inovatif, dan sama sekali berbeda dengan produk sebelumnya, seperti walkman atau CD music player yang dikuasai oleh Sony. Digitalisasi musik adalah fitur kunci dari iPod, selain kemudahan penggunaannya. Dengan segera iPod menguasai pasar baru musik digital, dan jauh meninggalkan Sony yang terpuruk dalam debu keterpurukan dan luka kekalahan. Contoh lain blue ocean strategy yang tak kalah dramatis tentu saja adalah kisah mendiang mbah Surip dengan lagu Tak Gendong-nya. Ketika arena musik tanah air didominasi oleh musik pop yang mendayu-dayu, ia hadir menawarkan produk dengan fitur yang secara radikal berbeda dengan yang selama ini ada di pasaran : sepotong lagu reggae yang jenaka dalam balutan gaya bohemian. Plus selarik tagline yang amat brilian : I love you full. Dengan segera ia menjelma menjadi ikon baru, menciptakan new market space, dan dalam arena ini ia dengan mudah menaklukkan pasar. Kisah Yamaha Mio, iPod, dan mbah Surip adalah sepenggal kisah tentang bagaimana konsep blue ocean strategy dibentangkan dalam kenyataan. Semua kisah ini selalu diawali dengan kejelian melihat potensi pasar yang selama ini diabaikan oleh para kompetitor. Dan kemudian semuanya segera disertai dengan tawaran produk dengan fitur yang unik, inovatif dan berbeda (different) dengan yang selama ini ada di pasar. Melalui cara itulah, para pelaku blue ocean strategy kemudian bisa menciptakan ruang pasar baru, menjangkau new market demand dan sekaligus membuat kompetisi menjadi tidak relevan. Atau mungkin lebih tepatnya : mereka kemudian bisa meninggalkan para pesaingnya dalam rintihan kekalahan. Mio melesat jauh meninggalkan Honda Beat. iPod membuat produk audio Sony tergeletak sekarat dalam ambang kehancuran. Dan nama mbah Surip tibatiba melambung, sebelum akhirnya benar-benar melesat menembus langit tuju bidadari. Strategi blue ocean tak pelak merupakan salah satu siasat yang barangkali mesti dilakukan manakala sebuah perusahaan hendak terus memenangkan kompetisi bisnis yang kian keras. Sebab dengan inilah, mereka kemudian bisa terus menciptakan produk inovatif yang akan digemari para pelanggannya. Dengan cara ini pula, para pelanggan akan senantiasa bisa jatuh hati dengan beragam produk yang ditawarkan; dan kemudian secara serentak berseru “We love your products full !” MANDALA AIRLINES : KEKALAHAN DI RED OCEAN Salah satu kabar bisnis yang mengejutkan di awal tahun 2011 ini adalah tutupnya sebuah maskapai penerbangan yang “sangat senior” di Indonesia, yaitu Mandala Airlines. Maskapai penerbangan ini bukanlah pemain baru di Indonesia. Dia adalah salah satu “pemain senior”, dan bahkan sejak saya masih duduk di bangku sekolah dasar dulu, maskapai ini sudah beroperasi. Saya masih ingat, waktu saya kecil dulu (menjelang akhir dekade 1970-an) di Padang, saya hanya mengenal 4 (empat) maskapai penerbangan (tentu saja yang terbang ke Padang saat itu) yaitu Garuda, Merpati, Mandala, dan Sempati. Setelah jalan-jalan ke Jakarta pertama kalinya tahun 1981, baru saya tahu ada maskapai penerbangan lainnya, yaitu Bouraq, tetapi tidak memiliki jalur penerbangan ke Padang. Saat itu, Merpati, Mandala, Sempati, dan Bouraq hanya mengoperasikan pesawat bermesin baling-baling, dan hanya Garuda yang mengoperasikan pesawat bermesin jet. Menyedihkan memang, tiga dari semua maskapai senior itu sudah hilang dari dunia persilatan bisnis penerbangan di Indonesia. Dimulai dengan tutupnya Sempati Air pada tahun 1998, lalu disusul oleh Bouraq pada tahun 2005, dan terakhir Mandala pada awal tahun 2011 ini. Mereka yang tertinggal hanyalah maskapai penerbangan plat merah alias milik pemerintah. Garuda dan Merpati pun sebenarnya pernah mengalami kondisi gawat darurat, tetapi masih bisa diselamatkan. Ada beberapa maskapai penerbangan di Indonesia yang sempat daik daun, tetapi ternyata hidupnya hanya sebentar, yaitu Indonesian Airlines dan Adam Air. Nasib yang sama juga menimpa Jatayu Airlines, dan mereka tergolong pemain baru. Sementara itu, pemain baru lainnya, AW Air akhirnya selamat karena dibeli oleh Air Asia. Dunia persilatan bisnis penerbangan di Indonesia memang sangat kejam. Meminjam istilah dalam teori blue ocean strategy, maka bisnis penerbangan di Indonesia sudah memasuki red ocean yang parah alias terjadi persaingan bisnis yang berdarah-darah. Dugaan saya (walau masih perlu dibuktikan dengan riset yang sahih) kondisinya adalah di mana penawaran (supply) sudah melebihi permintaan (demand), kecuali pada masa peak season seperti liburan. Persaingan seperti ini memang menyakitkan, apalagi jika para pemain terjebak di dalam red ocean itu, dan tidak sanggup keluar membentuk suatu blue ocean sendiri. Saat ini, terlihat beberapa maskapai berusaha untuk keluar dari red ocean dan membangun blue ocean sendiri. Misalnya, Lion Air dengan konsep low cost airlines (merupakan pionirnya di Indonesia), Garuda Indonesia dengan konsep service quality-nya (untuk ukuran Indonesia), serta Merpati yang akhirnya fokus melayani Indonesia bagian Timur. Sejalan dengan konsep blue ocean strategy, maka ini adalah contoh-contoh upaya mereka membentuk blue ocean tersebut, walaupun belum sepenuhnya blue. Tetapi setidaknya terbukti bahwa sampai saat ini mereka masih exist dalam dunia persilatan bisnis penerbangan. Saat ini Lion Air ditantang oleh Sriwijaya dan Batavia dan nanti sama-sama kita lihat hasilnya. Mari kita kembali ke Mandala. Maskapai ini pada awalnya merupakan bisnis yang dimiliki militer (dulu bernama ABRI) di Indonesia, bersama dengan Sempati Air. Belakangan, pada akhir tahun 1980-an atau menjelang 1990, Sempati diambil alih oleh Humpuss, sebuah grup bisnis yang dimiliki oleh keluarga Presiden Suharto. Sempati sempat menjadi icon penerbangan di Indonesia, sebelum akhirnya tutup pada tahun 1998. Demikian pula Mandala, awalnya juga milik kelompok bisnis militer, dan baru belakangan setelah era reformasi, Mandala akhirnya direstrukturisasi dan ada investor lain yang masuk. Tetapi akhirnya menyerah juga kepada kenyataan kalah dalam pertarungan bisnis penerbangan di Indonesia. Sudah beberapa maskapai penerbangan yang “tewas” di red ocean di Indonesia. Kita sebut saja nama Bouraq, Indonesian Airlines, Jatayu, Adam Air, dan sekarang ditambah Mandala Airlines. Kejadian ini semakin memperkuat teori blue ocean strategy yang mengatakan bahwa perusahaan harus mampu membangun blue ocean sendiri dan keluar dari red ocean yang berdarah-darah. Mengapa Mandala bisa kalah dalam pertarungan ini? Dugaan saya (perlu data atau bukti yang sahih untuk membuktikannya), Mandala tidak memilki strategic positioning yang jelas. Kembali meminjam blue ocean strategy, apakah sesungguhnya strategy-canvas Mandala ini? Secara kasat mata, kita tidak bisa melihat suatu ciri khusus dari Mandala ini. Selanjutnya, mungkin masalah finansial. Jika memang Mandala adalah low cost airlines, maka dia harus mampu beroperasi pada skala ekonomis tertentu supaya mencapai titik efisien dalam hal biaya. Dengan armada yang sedikit, apakah Mandala sanggup mencapai titik skala ekonomis itu? Saya agak meragukan. Dugaan saya, operating cost Mandala tidak efisien, sehingga membebani perusahaan ini, dan di sisi lain pendapatan juga kecil karena harga tiket yang murah. Tetapi benarkah demikian? Well, itu hanya dugaan saya saja. Hanya saja, sangat disayangkan cara Mandala Airlines menghentikan bisnisnya yang sangat mendadak, sehingga membuat panik calon penumpang dan juga karyawan frontline mereka. Cara direksi Mandala menghentikan bisnisnya tergolong pengecut, dan tidak memberikan notifikasi jauh-jauh hari. Cara Sempati Air menghentikan bisnisnya tahun 1998 jauh lebih elegan dan terhormat karena tidak meninggalkan kepanikan apapun, baik kepada penumpang maupun karyawannya.