Pendahuluan Tentang Seakeeping Eko B Djatmiko Apakah pertimbangan utama dalam perancangan bangunan laut terapung dan lentur (BLTL) untuk mendukung industri migas (+ industri mineral lain) di lepas pantai ? 1. Fungsi 2. Lingkungan Faktor-faktor apakah yang akan ditentukan oleh Fungsi BLTL ? 1. Kapasitas dan jenis (operasi) 2. Konfigurasi dan ukuran 3. Permesinan dan peralatan 4. Pengawakan 5. Fasilitas pendukung 6. dll (fabrikasi, transportasi, instalasi, Ekonomi) Gambar 1. Berbagai jenis BLTL sebagai hasil inovasi untuk memenuhi tuntutan fungsi operasional Apakah yang termasuk dalam aspek Lingkungan yang harus dipertimbangkan ? 1. Geografis (lokasi, kedalaman, gempa) 2. Angin 3. Arus 4. Gelombang Faktor-faktor apakah yang harus dipertimbangkan sehubungan dengan aspek Geografis ? 1. Lokasi Konektivitas 2. Kedalaman 3. Gempa Pipeline Shuttle Tanker Penambatan (Mooring) Penjangkaran (Anchoring) Skala kecil: mis. kerusakan sistem tambat dan jangkar Skala besar: Tsunami 4. Sumur Jumlah, Ukuran, Jarak Faktor-faktor apakah yang harus dipertimbangkan dari aspek Angin ? 1. Angin merupakan beban fluida (udara) dinamis yang dapat bersifat steady ataupun unsteady, 2. Berpengaruh pada bagian BLTL di atas air, 3. Mempunyai intensitas eksitasi rendah sampai cukup tinggi, 4. Mempengaruhi timbulnya olengan (listing/heeling) sampai dengan tergulingnya (capsizing) BLTL akibat efek pushing force (gaya dorong sisi) Faktor-faktor apakah yang harus dipertimbangkan dari aspek Arus ? 1. Arus merupakan beban fluida (air) dinamis yang dapat bersifat steady ataupun unsteady, 2. Berpengaruh pada bagian BLTL di bawah air, 3. Mempunyai intensitas eksitasi rendah sampai menengah, 4. Mempengaruhi timbulnya kerusakan sistem tambat akibat efek vortex shedding dan drifting force (gaya seret) Faktor-faktor apakah yang harus dipertimbangkan dari aspek Gelombang ? 1. Gelombang merupakan beban fluida (air) dinamis yang bersifat siklis dan acak dalam orde-1 (frekuensi tinggi & amplitudo kecil) dan orde-2 (frekuensi rendah & amplitudo besar), 2. Berpengaruh pada bagian BLTL di permukaan dan bawah air, 3. Mempunyai intensitas eksitasi rendah sampai dengan sangat tinggi, 4. Mempengaruhi timbulnya gerakan orde-1 dalam enam derajat kebebasan (surge, sway, heave, roll, pitch, yaw) dan gerakan seret orde-2 (surge, sway, yaw), Faktor-faktor apakah yang harus dipertimbangkan dari aspek Gelombang ? 5. Hal tersebut berarti bahwa gelombang adalah merupakan faktor utama yang akan mengganggu stabilitas dinamis BLTL dan menimbulkan efek dinamis selanjutnya (slamming, greenwater, hull whipping, propeller racing). 6. Selanjutnya eksitasi gelombang akan menyebabkan kegagalan sistem tambat sampai dengan tergulingnya (capsizing) bahkan tenggelamnya (sinking) BLTL akibat beban siklis ekstrim, 7. Intensitasnya akan meningkat bila bersuperposisi dengan angin dan arus, 8. Dengan demikian gelombang adalah merupakan sumber gangguan utama terhadap BLTL yang akan mempengaruhi kemampuan operasi (operability) yang baik pada kondisi lautan dengan tingkat keganasan tertentu dan kemampuan untuk selamat (survivability) pada kondisi lautan ekstrem. Catatan sehubungan Kemampuan Operasi: 1. Kualitas BLTL untuk tetap mampu mendukung operasi fungsionalnya pada kondisi keganasan laut tertentu (gelombang 1-tahunan) diistilahkan sebagai SEAKINDLINESS, 2. Hal-hal yang termasuk dalam kategori ini adalah: a. Kemampuan menjaga kecepatan (kapal yang melaju), b. Menghindari kemungkinan kerusakan komponen sistem, c. Menghindari kemungkinan kerusakan barang yang diangkut, d. Kenyamanan bagi penumpang, e. Kenyamanan bagi ABK untuk tetap mampu bekerja efektif mengoperasikan sistem BLTL (termasuk persenjataan untuk kapal perang), f. Kemampuan untuk terus melakukan proses produksi (dalam hal anjungan migas) Catatan sehubungan Kemampuan Selamat: 1. Kualitas BLTL untuk tetap mampu selamat dalam kondisi laut ekstrem (gelombang 100-tahunan) diistilahkan sebagai SEAWORTHINESS, 2. Hal-hal yang termasuk dalam kategori ini adalah: a. ABK mengalami penurunan kemampuan fisik untuk tetap mampu melakukan operasi akibat mabuk laut (seasickness), b. Peralatan kontrol stabilitas dinamis BLTL tidak berfungsi dengan baik, c. Kerusakan peralatan dan komponen struktur sehingga terjadi penurunan drastis stabilitas dinamis BLTL, 3. Sebagai akibatnya BLTL akan mengalami kerusakan parsial yang cukup besar atau pada kondisi terburuk adalah kerusakan total atau total loss. Kasus Kegagalan Total BLTL: Semi-sub Ocean Ranger Ocean Ranger's vulnerability to a rogue wave illustrated. 1 – For comparison, the Draupner wave 59 ft/18 m 2 – 28 ft/8.5 m 3 – Location of the ballast control room Gambar 2. Ilustrasi terkait semi-sub Ocean Ranger Semi-sub Ocean Ranger (http://en.wikipedia.org/wiki/Ocean_Ranger) Ocean Ranger was a semi-submersible mobile offshore drilling unit that sank in Canadian waters on 15 February 1982. It was drilling an exploration well on the Grand Banks of Newfoundland, 267 kilometres (166 mi) east of St. John's, Newfoundland, for Mobil Oil of Canada, Ltd. (MOCAN) with 84 crew members on board when it sank. There were no survivors. Gambar 3. Peta lokasi operasi Ocean Ranger History & Design of Semi-sub Ocean Ranger Ocean Ranger was designed and owned by Ocean Drilling and Exploration Company, Inc. (ODECO) of New Orleans. The vessel was a self-propelled large semi-submersible design with a drilling facility and living quarters. It was capable of operation beneath 1,500 feet (460 m) of ocean water and could drill to a maximum depth of 25,000 feet (7,600 m). It was described by ODECO as the world's largest semi-submersible oil rig to date.[1] Constructed for ODECO in 1976 by Mitsubishi Heavy Industries in Hiroshima, Japan, Ocean Ranger was 396 feet (121 m) long, 262 feet (80 m) wide, and 337 feet (103 m) high. It had twelve 45,000-pound (20,000 kg) anchors.[2] The weight was 25,000 tons. It was floating on two 122metre (400 ft) long pontoons that rested 24 metres (79 ft) below the surface.[3] The vessel was approved for 'unrestricted ocean operations' and designed to withstand extremely harsh conditions at sea, including 100-knot (190 km/h) winds and 110-foot (34 m) waves. Prior to moving to the Grand Banks area in November 1980, it had operated off the coasts of Alaska, New Jersey and Ireland. The Sinking of Semi-sub Ocean Ranger (1/4) On 26 November 1981, Ocean Ranger commenced drilling well J-34, its third well in the Hibernia Oil Field. Ocean Ranger was still working on this well in February 1982 when the incident occurred. Two other semi-submersible rigs were also drilling nearby: the Sedco 706, 8.5 miles (13.7 km) NNE, and the Zapata Ugland, 19.2 miles (30.9 km) N of Ocean Ranger. On 14 February 1982, the rigs received reports of an approaching storm linked to a major Atlantic cyclone from NORDCO Ltd, the company responsible for issuing offshore weather forecasts. The usual method of preparing for bad weather involved hanging-off the drillpipe at the subsea wellhead and disconnecting the riser from the sub-sea blowout preventer. Due to surface difficulties and the speed at which the storm developed, the crew of Ocean Ranger were forced to shear the drillpipe after hanging-off, after which they disconnected the riser in the early evening. The Sinking of Semi-sub Ocean Ranger (2/4) At about 19:00 local time, the nearby Sedco 706 experienced a large rogue wave which damaged some items on deck and caused the loss of a life raft. Soon after, radio transmissions were heard from Ocean Ranger, describing a broken portlight (a porthole window) and water in the ballast control room, with discussions on how best to repair the damage. Ocean Ranger reported experiencing storm seas of 55 feet (17 m), with the odd wave up to 65 feet (20 m), thus leaving the unprotected portlight at 28 feet (8.5 m) above mean sea level vulnerable to wave damage. Some time after 21:00, radio conversations originating on Ocean Ranger were heard on the Sedco 706 and Zapata Ugland, noting that valves on Ocean Ranger's ballast control panel appeared to be opening and closing of their own accord. The radio conversations also discussed the 100-knot (190 km/h) winds and waves up to 65 feet (20 m) high. Through the remainder of the evening, routine radio traffic passed between Ocean Ranger, its neighbouring rigs and their individual support boats. Nothing out of the ordinary was noted. The Sinking of Semi-sub Ocean Ranger (3/4) At 00:52 local time, on 15 February, a Mayday call was sent out from Ocean Ranger, noting a severe list to the port side of the rig and requesting immediate assistance. This was the first communication from Ocean Ranger identifying a major problem. The standby vessel, the M/V Seaforth Highlander, was requested to come in close as countermeasures against the 10—15-degree list were proving ineffective. The onshore MOCAN supervisor was notified of the situation, and the Canadian Forces and Mobil-operated helicopters were alerted just after 1:00 local time. The M/V Boltentor and the M/V Nordertor, the standby boats of the Sedco 706 and the Zapata Ugland respectively, were also dispatched to Ocean Ranger to provide assistance. At 1:30 local time, Ocean Ranger transmitted its last message: "There will be no further radio communications from Ocean Ranger. We are going to lifeboat stations." Shortly thereafter, in the middle of the night and in the midst of severe winter weather, the crew abandoned the rig. The rig remained afloat for another ninety minutes, sinking between 3:07 and 3:13 local time. The Sinking of Semi-sub Ocean Ranger (4/4) All of Ocean Ranger sank beneath the Atlantic: by the next morning all that remained was a few buoys. Her entire complement of 84 workers – 46 Mobil employees and 38 contractors from various service companies – were killed.[4] While the rig was provided with an Emergency Procedures Manual which detailed evacuation procedures, it is unclear how effectively the rig evacuation was carried out. There is evidence that at least one lifeboat was successfully launched with up to 36 crew inside, and witnesses on the M/V Seaforth Highlander reported seeing at least 20 crew members in the water at the same time, indicating that at least 56 crew successfully evacuated the rig.[citation needed] The United States Coast Guard report speculated that 'these men either chose to enter the water directly or were thrown into the water as a result of unsuccessful lifesaving equipment launching'. Rescue attempts by the standby vessels were hampered by the adverse weather conditions and the conclusion that the standby boats were neither equipped nor configured to rescue casualties from a cold sea. As a result of the severe weather, the first helicopter did not arrive on scene until 2:30 local time, by which time most if not all of Ocean Ranger's crew had succumbed to hypothermia and drowned. Over the next week, 22 bodies were recovered from the North Atlantic. Autopsies indicated that those men had died as a result of drowning while in a hypothermic state. In related activity the following day, the Soviet container ship Mekhanik Tarasov was struck by the same weather conditions as Ocean Ranger, approximately sixty-five miles to the east. The battered Soviet freighter listed dramatically for hours before sinking with a heavy loss of life.[4][5] Kasus Kegagalan Total BLTL: KMP Tampomas II Gambar 4. Dokumentasi musibah KMP Tampomas II Musibah KMP Tampomas II (http://id.wikipedia.org/wiki/Musibah_KMP_Tampomas_II) KMP Tampomas II adalah kapal penumpang milik PT PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia) yang mengalami kebakaran dan tenggelam di sekitar Kepulauan Masalembo di (114°25′60″BT — 5°30′0″LS) Laut Jawa (termasuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Timur). KMP merupakan singkatan dari Kapal Motor Penumpang. Kapal yang dinakhodai oleh Kapten Abdul Rivai kelahiran Bengkulu 23 Agustus 1936 ini, sedang menempuh perjalanan dari Jakarta menuju Sulawesi dan karam pada tanggal 27 Januari 1981. Musibah ini menyebabkan tewasnya ratusan penumpang kapal tersebut. Gambar 5. Peta lokasi kepulauan Masa Lembo Musibah KMP Tampomas II (http://id.wikipedia.org/wiki/Musibah_KMP_Tampomas_II) HASIL PENYELIDIKAN: Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin dalam penjelasannya pada pers di kantor Departemen Perhubungan, mengatakan tidak terjadi hal yang abnormal di ruang mesin. Kelainan terjadi pada ruang geladak kendaraan, khususnya pada kendaraan roda dua yang terletak di sebelah belakang. Karena guncangan gelombang laut yang cukup kuat memungkinkan untuk timbul percikan api dan menyebar. Masinis III Tampomas II Wishardi Hamzah mengatakan bahwa Tampomas II tidak memiliki sistem pendeteksi asap. Penyelidikan yang dipimpin oleh Jaksa Bob Rusli Efendi Nasution sebagai kepala Tim Perkara tidak memberikan hasil yang berarti, sebab semua kesalahan ditudingkan kepada para awak kapal. Ada kesan bahwa kasus ini dengan sengaja ditutup-tutupi oleh pemerintah saat itu, meskipun banyak suara dari parlemen yang menuntut pengusutan yang lebih serius. Musibah KMP Tampomas II (http://id.wikipedia.org/wiki/Musibah_KMP_Tampomas_II) KORBAN Seluruh penumpang yang terdaftar berjumlah 1054 orang, ditambah dengan 82 awak kapal. Namun diperkirakan keseluruhan penumpang berjumlah 1442 orang, termasuk sejumlah penumpang gelap. Tim penyelamat memperkirakan 431 orang tewas (143 mayat ditemukan dan 288 orang hilang bersama kapal), sementara 753 orang berhasil diselamatkan. Sumber lain menyebutkan angka korban yang jauh lebih besar, hingga 666 orang tewas. Dari catatan kapal tangker Istana VI berhasil menyelamatkan 144 penumpang Tampomas dan 4 jenazah, sementara KM Sengata menyelamatkan 169 orang dan 2 jenazah, kapal lain KM Sonne tercatat menemukan 29 Mayat termasuk mayat Nakhoda KMP Tampomas II Kapten Abdul Rivai. Odang Kusdinar Markonis KM Tampomas II selamat, ia ditemukan bersama 62 penumpang dalam sekoci di dekat Pulau Duang-Duang Besar, 240 km sebelah timur tempat Tampomas tenggelam pada hari Jumat 30 Januari 1981 pukul 05.00 Catatan: Salah satu faktor utama banyaknya korban adalah tidak mampunya penyelamatan dilakukan oleh kapal-kapal lain (termasuk dari ARMATIM) karena gelombang besar Berapa kerugian musibah BLTL ? Sangat Besar: • Korban manusia, • Korban nilai BLT, • Dampak (lingkungan, sosial, hankam, politik ...) Kesimpulan 1. Gelombang adalah sumber utama eksitasi terhadap BLTL yang akan mempengaruhi kemampuan operasionalnya dan kemampuannya untuk selamat, 2. Perancang BLTL harus mampu melakukan analisis yang akurat tentang perilaku BLTL di bawah pengaruh eksitasi gelombang (dan superposisi dengan arus dan angin), 3. Oleh karena itu Perancang BLTL harus menguasai pengetahuan dan ilmu hidrodinamika. Prinsip Hidrodinamika (II) • PRINSIP ANALISIS HIDRODINAMIKA adalah menghitung besarnya beban fluida air laut akibat aksi dari arus dan/atau gelombang yang bekerja pada struktur (laut), yang diawali dengan pemodelan medan aliran di sekitar struktur, dilanjutkan dengan perhitungan tekanan , kecepatan dan percepatan aliran yang mengenai struktur serta beban elemental yang ditimbulkannya, dan akhirnya mengintegrasikannya menjadi gaya dan momen aksi fluida terhadap struktur. (Gaya dan Momen aksi fluida ini kemudian digunakan sebagai input dalam analisis Respons Gerakan BLTL) • HASIL ANALISIS HIDRODINAMIKA secara umum kemudian akan digunakan sebagai input beban yang digunakan dalam melakukan analisis Kekuatan Struktur PRINSIP ANALISIS HIDRODINAMIKA: 1. Identifikasi bentuk/pola Aliran (di sekitar struktur) 2. Komputasi Kecepatan dan Percepatan Aliran 3. Komputasi Tekanan integralkan menjadi Gaya dan/atau Momen (beban aksi pada struktur) 4. Analisis Respons Gerakan BLTL reaksi RESPONS/REAKSI STRUKTUR: 1. Mekanika Benda Padat (Solid Mechanics) 2. Hidro-elastisitas (Hydroelasticity) KEKUATAN STRUKTUR TEORI 1. Sifat Fisik Fluida 2. Fluida Statis: - Archimedes 3. Fluida Dinamis: - Bernoulli - Euler - Navier-Stokes 1. Shear Force 2. Bending Moment Gambar 6. Skema prinsip hidrodinamika 1. Stress 2. deformation Materi Kuliah Hidrodinamika II • Materi dalam mata kuliah ini dibagi menjadi empat bagian untuk dipelajari dan dipahami oleh mahasiswa: • Pertama adalah dinamika gerakan bangunan laut terapung dan lentur (motion dynamics of floating and compliant marine structures), yang meliputi persamaan gerak dalam mode 1derajat dan 6-derajat kebebasan, komponen inersia, redaman, kekakuan dan eksitasi, periode alami, beban gelombang berdasar teori Morison, teori strip dan teori difraksi, respons dinamis gerakan akibat beban gelombang reguler, serta penyusunan kurva RAO (Response Amplitude Operator). • Kedua adalah topik gelombang acak (random waves), terdiri dari pembentukan gelombang laut, klasifikasi kondisi laut, pengukuran gelombang laut, karakteristik dan parameterparameter gelombang acak, analisa statistik dan data gelombang laut kurun waktu pendek dan kurun waktu panjang, spektra gelombang, prediksi gelombang ekstrem. • Kedua adalah respons gerakan struktur akibat gelombang acak, menyangkut fungsi transfer, harga-harga stokastik respon gerakan struktur, kualitas respon gerakan struktur. • Ketiga adalah materi tentang operabilitas, yang meliputi kotak operasi, kriteria operabilitas, dan analisis operabilitas bangunan laut terapung dan lentur. Tugas Hidrodinamika Susun uraian tentang kecelakaan bangunan laut & kapal sbb. Ditulis tangan, pada 2 @ 3 lembar kertas A4 + Presentasi Singkat (5~6 hal ppt). (Nilai: kejelasan, kelengkapan, kerapian, tepat waktu pengumpulan: 24/10/2019) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Alexander L Kielland Semi-Submersible – North Sea in 1980 (no absen 1 – 5) Seacrest Drillship – Gulf of Thailand in 1989 (no absen 6 – 10) MS Estonia Passenger Ship – Baltic Sea in 1994 (no absen 11 – 15) Petrobras P36 Semi-Submersible– Roncador Oil Field in 2001 (no absen 31 – 35) Oil Tanker Prestige – Offcoast Galcia in 2002 (no absen 16 – 20) MV LeJoola Ro-Ro Ferry – off the coast Gambia in 2002 (no absen 36 – 40) Thunder Horse Semi-Submersibe – Mississippi Canyon in 2005 (no absen 21 – 25) Gryphoon Alpha FPSO – North Sea in 2011 (no absen 26 – 30) MOL Comfort Container Ship – off the coast of Yemen in 2013 (no absen 41 – 45) MV Cemfjord Cement Carriwer - the Pentland Firth in 2015 (no absen 46 – 51) Diselesaikan dalam 2 minggu presentasi Selamat Belajar