5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan rongga hidung melalui koana, bagian superior berbatasan dengan dasar tengkorak, bagian posterior berbatasan dengan fasia prevertebralis dari atlas dan axis, sedangkan bagian inferior berbatasan dengan palatum mole dan orofaring setinggi ismus faring. Pada kedua dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius dengan tonjolan tulang rawan di bagian superoposterior yang disebut torus tubarius. Di bagian posterior torus tubarius ini terdapat lekukan kecil yang agak datar disebut resesus faringeal lateralis atau fosa Rosenmuller, merupakan tempat tersering awal mula kanker nasofaring. Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat melekatnya muskulus levator veli palatini. Perluasan tumor pada KNF akan mengganggu fungsi dari muskulus ini untuk membuka ostium tuba (William, 2006). Gambar 2.1. Anatomi nasofaring (Wolden, 2006). 5 6 Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau kripta. Secara histologis mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia atau pseudostritified ciliated columnar epithelium yang kearah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis atau stratified squamous epithelium. Diantara pertemuan atap nasofaring dan dinding lateral di daerah fosa Rosenmuller terdapat epitel peralihan atau transitional epithelium yang menjadi tempat asal dari tumbuhnya tumor nasofaring (Anita, 2006). Fosa Rosenmuller terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen, yaitu: 1) kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris inferior; 2) kompartemen poststiloid, berisi sarung karotis; 3) kompartemen retrofaring, berisi kelenjar Rouviere. Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada KNF mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfe leher kontralateral. Lokasi fosa Rosenmuller yang demikian dan sifat KNF yang invasif, menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya dan menimbulkan berbagai macam gambaran klinis. Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia prevertebra. Pada dinding lateral di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfe berjalan kearah anterosuperior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing 7 sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoideus. Pembuluh limfe di daerah nasofaring sangat kompleks dan membentuk pleksus yang saling menyilang melewati garis tengah. Aliran getah bening menuju arah posterior, selanjutnya ke kelenjar getah bening Rouviere di ruang retrofaring bagian lateral dan retro parotis kemudian menuju ke rangkaian kelenjar getah bening di sekitar vena jugularis interna bagian superior, terutama kelompok jugulo digastrik (Anita, 2006). 2.2 Epidemiologi Provinsi Guangdong di China Selatan memiliki prevalensi KNF tertinggi yakni 25-50 per 100.000 orang per tahun (Lu X dkk. 2013). Di Asia Tenggara (Thailand, Vietnam, Indonesia, Malaysia dan Singapura) insiden KNF 5-9 kasus per 100.000 orang per tahun (Chen M dkk. 2013) sedangkan Eropa dan Amerika Utara memiliki insiden yang rendah yaitu 1-2 kasus per 100.000 orang per tahun. Diperkirakan ada 10.000 kasus baru KNF pertahun di Indonesia (Kurnianda, 2009). Globocan (2012) menemukan di Indonesia insiden KNF sebesar 6,5 per 100.000 penduduk dan insiden KNF dari seluruh kanker sebesar 4,4% (Anonim, 2012). Berdasarkan data register pasien yang berkunjung ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar sepanjang tahun 2014 ditemukan 97 kasus KNF baru. Umur rata-rata penderita KNF terbanyak yaitu 41-50 tahun (Lutan, 2003; Delfitri dkk. 2007). KNF lebih sering dijumpai pada pria dibanding wanita yaitu 2-3:1 (Chew, 1997; Cao dkk. 2011). 8 2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi Sampai sekarang penyebab utama KNF belum diketahui dengan pasti. Penyebab penyakit ini adalah multifaktorial dan sering dihubungkan dengan adanya infeksi VEB, genetik dan lingkungan. Faktor-faktor lain yang juga merupakan penyebab KNF ialah keadaan sosial ekonomi yang rendah, ras/suku, radang kronis di daerah nasofaring, kebiasaan hidup seperti merokok, menggunakan asap dupa dan zat yang bersifat karsinogenik seperti nitrosamin yang banyak terdapat pada makanan yang diasinkan (William, 2006; Averdi, 2007). Infeksi VEB juga dihubungkan sebagai faktor penyebab terjadinya keganasan limfoma Burrkitt dan KNF. Pada KNF terbentuk antibodi khusus yang tidak ditemukan pada limfoma Burrkitt dan mononukleosis infeksiosa, yaitu Imunoglobulin (Ig) G dan IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan terhadap early antigen (EA), antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) dan VEBDNA (Deoxyribosa Nucleic Acid). Antibodi ini ternyata hanya meninggi pada pasien KNF tipe non keratinizing dan undifferentiated, sedangkan pada tipe keratinizing antibodi tidak ditemukan atau titernya sangat rendah (William, 2006). 2.4 Gejala Klinis Gejala klinis KNF tidak spesifik, mirip dengan infeksi hidung lainnya dan letak tumor yang tersembunyi sehingga sulit diperiksa. Kebanyakan penderita KNF datang berobat sudah dalam stadium lanjut dan dengan gejala pertama berupa benjolan di leher. Gejala dini ketika tumor masih terbatas di nasofaring adalah rasa penuh di telinga, rasa berdenging atau krebek-krebek dan kadang 9 disertai dengan penurunan pendengaran. Gejala ini disebabkan oleh oklusi muara tuba Eustachius akibat pendesakan tumor. Bila oklusi berlangsung lama dapat terjadi otitis media serosa sampai otitis media supuratif kronis. Gejala hidung dapat berupa pilek-pilek lama, hidung buntu, epistaksis dan ingus bercampur darah (William, 2006; Anita, 2006; Thompson 2006). Gejala lanjut KNF disebabkan oleh perluasan tumor ke jaringan sekitarnya. Tumor dapat meluas ke arah superior menuju ke intra kranial dan menjalar sepanjang fosa kranii media. Tumor dapat masuk ke rongga tengkorak melalui foramen laserum, menimbulkan kerusakan atau lesi pada kelompok saraf kranialis anterior yaitu N. III, IV, V dan VI. Perluasan tumor ke arah anterior menuju rongga hidung, sinus paranasalis, fosa pterigopalatina sampai orbita, menyebabkan lesi pada saraf kranialis I dan II. Tumor yang besar dapat mendesak palatum mole, menimbulkan gejala obstruksi jalan napas atas dan jalan makanan. Perluasan tumor ke arah posterolateral menuju ruang parafaring dan fosa pterigopalatina, masuk ke foramen jugularis sehingga menimbulkan kerusakan kelompok saraf kranialis posterior yaitu N. IX, X, XI dan XII serta nervus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fisura orbitalis. Dua jenis sindrom nervus kranial yang berhubungan dengan KNF adalah retroparotid syndrome yang melibatkan gangguan saraf kranial IX, X, XI dan XII dan petrosphenoid syndrome dengan gangguan saraf kranial III, IV, V dan VI. Lesi saraf kranial II juga bisa terjadi melalui foramen laserum (William, 2006; Wolden, 2006). Metastasis tumor ke kelenjar getah bening regional sering terjadi yaitu sekitar 65%-80%. Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengikuti aliran darah dan 10 mengadakan metastasis jauh mengenai organ tubuh yang lain seperti tulang, hati dan paru (William, 2006; Wolden, 2006). 2.5 Diagnosis Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, radiologis dan histopatologis. Kecurigaan adanya KNF apabila dijumpai trias gejala yaitu 3 dari 4 gejala ( gejala hidung, telinga, intrakranial dan tumor leher). Pada stadium dini seringkali sulit menengakkan diagnosis oleh karena gejalanya tidak khas dan tumor primernya sulit dilihat. Pemeriksaan nasofaring harus dilakukan dengan teliti menggunakan rinoskopi posterior atau endoskopi dengan alat nasofaringoskop yang kaku (rigid nasopharyngoscope) maupun yang lentur (fiberoptic nasopharyngoscope). Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk mendapat informasi adanya tumor nasofaring, perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, destruksi pada tulang dasar tengkorak serta metastasis jauh. Untuk memperoleh gambaran lesi yang lebih jelas, dapat dilakukan computed tomography scanning (CT scan) maupun magnetic resonance imaging (MRI) yang dapat ditentukan besar dan perluasan tumor nasofaring dengan lebih akurat (Frank, 2002; William, 2006). Pemeriksaan histopatologis dari sediaan biopsi nasofaring sampai saat ini merupakan standar baku emas untuk menegakkan diagnosis KNF (William, 2006). 2.6 Histopatologis Klasifikasi gambaran histopatologis menurut World Health Organization (WHO) tahun 2005 dibagi atas 3 tipe yaitu: a) Keratinizing squamous cell carcinoma. b) Nonkeratinizing carcinoma yang terbagi menjadi undifferentiated dan differentiated. c) Basaloid squamous cell carcinoma. Dari ketiga jenis ini 11 yang paling sering ditemukan ialah undifferentiated atau karsinoma tidak berdifferensiasi. Jenis tanpa diferensiasi dan tanpa keratin mempunyai sifat radiosensitif, serta mempunyai titer antibodi terhadap VEB, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa dengan keratin tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan yang berarti dengan virus tersebut (William, 2006; Thompson, 2006). 2.7 Stadium Klinis Penentuan stadium yang dilakukan berdasarkan klasifikasi Tumor, Node, Metastasis (TNM) oleh American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2012 adalah sebagai berikut: T = Tumor primer T1 : tumor terbatas pada nasofaring T2 : tumor meluas ke jaringan lunak T2a : tumor meluas ke orofaring dan atau rongga hidung, tanpa perluasan ke parafaring T2b : tumor dengan perluasan ke parafaring T3 : tumor meluas ke struktur tulang dan atau sinus paranasalis T4 : tumor dengan perluasan intrakranial dan atau nervus kranialis, fossa infratemporal, hipofaring, orbita dan ruang mastikator N = Pembesaran kelenjar getah bening regional N0 : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening N1 : pembesaran kelenjar getah bening unilateral tunggal dengan ukuran terbesar ≤ 6 cm di atas fossa supraklavikula 12 N2 : pembesaran kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran terbesar ≤ 6 cm di atas fossa supraklavikula N3 : metastase kelenjar getah bening, >6cm dan/atau di fosa supraklavikula N3a : ukuran > 6 cm N3b : meluas ke fosa supraklavikula M = Metastase jauh Mx : metastase jauh tidak dapat dinilai M0 : tidak ada metastase jauh M1 : terdapat metastase jauh Stadium klinis Stadium 0 : Tis N0 M0 Stadium I : T1 N0 M0 Stadium IIA : T2a N0 M0 Stadium IIB : T1 N1 M0 T2a N1 M0 T2b N0,N1 M0 Stadium III : T1 N2 M0 T2a,T2b N2 M0 T3 N0,N1,N2 M0 Stadium IVA : T4 N0,N1,N2 M0 Stadium IVB : semua T N3 M0 Stadium IVC : semua T semua N M1 13 2.8 Penatalaksanaan dan Prognosis Pemilihan terapi kanker ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan antara lain jenis kanker, kemosensitifitas atau radiosensitifitas kanker, imunitas tubuh dan kemampuan pasien untuk menerima terapi yang diberikan (Hunchareek, 2002; Susworo, 2007). Terapi stadium I adalah radioterapi, stadium II-IV kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan KNF. Modalitas utama untuk KNF adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. KNF bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi yang terpenting. Respon terhadap penyinaran tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor makin berkurang responnya (Susworo, 2007). Faktor prognostik adalah faktor yang bisa memperkirakan kesintasan pasien terlepas dari terapi yang telah dijalani. Faktor prediktif adalah faktor yang bisa memperkirakan tingkat kesembuhan yang terkait dengan jenis terapi tertentu (Aryandono, 2006). Angka ketahanan hidup penderita KNF dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain stadium, usia, histopatologi, pembesaran kelenjar getah bening, kelumpuhan saraf otak dan ada tidaknya metastasis. Beberapa penelitian melaporkan 5 year-survival-rate (ysr) pasien dengan terapi radiasi primer sekitar 40-60%. 5 ysr KNF stadium I sekitar 85-95%, stadium II sekitar 70-80%, stadium III dan IV sekitar 24-80%. Tipe karsinoma undifferentiated memiliki prognosis yang lebih baik karena tingkat radiosensitifitasnya sedangkan KNF tipe sel skuamosa berkeratinisasi prognosisnya lebih buruk karena rendahnya tingkat radiosensitifitas (Nancy, 2005). 14 2.9 Proses Karsinogenesis Karsinogenesis adalah suatu proses berkesinambungan yang terjadi pada tahapan fenotip dan genotip. Kanker ganas memiliki beberapa macam fenotip seperti pertumbuhan yang berlebihan, invasi lokal dan kemampuan bermetastasis. Karakteristik tersebut merupakan fenomena progresivitas tumor. Banyak faktor penyebab kanker baik internal dan eksternal. Faktor internal berhubungan dengan gen yang berperan pada siklus sel dalam proses pertumbuhan tumor. Ada 2 golongan gen, yaitu kelompok pemicu terjadinya tumor disebut tumor onkogen (proto-onkogen) seperti gen c-myc, yang kedua adalah kelompok penekan terjadinya tumor disebut tumor supresor gen contohnya gen p53. Banyak peneliti menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya kanker adalah adanya mutasi pada gen-gen tersebut (Cotrans dkk. 1999; Kumar dkk. 2010). Gambar 2.9 Skema Dasar Sederhana Molekuler Kanker (Kumar dkk. 2010) 15 2.10 Definisi p53 p53 disebut juga dengan tumor protein p53 atau disingkat Tp53 adalah tumor protein supresor gen. Gen p53 adalah gen resesif terdapat pada lengan pendek kromosom nomer 17, region 1 dan pada band 1 sampai 3, dikode sebagai 53 kilodalton fosfoprotein. Titik mutasi gen p53 dijumpai pada ekson 5-8 yang dikelompokkan dalam 4 titik mutasi hotspot. Protein di dalam gen ini terakumulasi pada inti sel kanker dan sifat onkogenik p53 merupakan hasil dari mutasi gen (Kumar dkk. 2010). 2.11 Peranan p53 Protein p53 mengatur aktivasi transkripsi gen yang berperan dalam respon sel terhadap stres lingkungan, efek genotoksik (seperti alterasi DNA yang disebabkan oleh sinar ulraviolet, radiasi, karsinogen, obat sitotoksik), maupun efek non genotoksik (seperti hipoksia, aktivasi onkogen, represi nukleotida, kerusakan mikrotubula, hilang kontak antar sel). Gen p53 berfungsi menghambat pertumbuhan dan diferensiasi sel sehingga mencegah timbulnya transformasi sel yang mengarah kepada keganasan dan berperan dalam proses apoptosis, mengontrol dan menghentikan siklus sel, berperan dalam perbaikan DNA dan menghambat angiogenesis. Apoptosis juga disebut programmed cell death yang berlangsung terus selama proses kehidupan untuk menjaga homeostasis jaringan yaitu keseimbangan antara proliferasi dengan kematian sel (Weinberg, 2007). Protein 53 merupakan salah satu molekul terpenting dalam dunia biologi molekuler, berbagai peran p53 masih terus berusaha diteliti. Mengingat banyaknya mitra interaksi, penyimpangan pada p53 sangat sering ditemukan pada semua jenis sel kanker. Protein p53 ini dalam keadaan normal disebut sebagai 16 guardian of the genome yang dapat melindungi proliferasi sel dari kerusakan genetik yang berperan sebagai inhibitor penting dalam perkembangan sel-sel tumor (Foulkes, 2007). Dalam perkembangan teknik biologi molekuler akhir-akhir ini maka dapat menjelaskan bahwa salah satu penyebab terjadinya proses keganasan adalah kegagalan atau inaktivasi dari gen p53. Inaktivasi ini bisa menyebabkan hilangnya fungsi penekan tumor. Jika terjadi inaktivasi gen p53 yang disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan maka fungsi p53 menjadi tidak stabil dan tidak menghambat fase G1 ke S sehingga kerusakan sel tidak dapat diperbaiki. Akibatnya sel-sel yang rusak terus berdiferensiasi dan timbul proses keganasan, seperti yang terjadi juga pada kasus keganasan nasofaring (Cottrill, 2003; Kumar dkk. 2010). Gambar 2.11. Alur p53 (Kumar dkk. 2010) 17 2.12 Hubungan p53 dengan KNF Virus Epstein Barr yang ditransmisikan melalui saliva yang terinfeksi ke tempat pertama infeksinya yaitu sel-sel epitel orofaring akan memasuki sel, dapat bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (long life). Hal ini membuat sel yang terinfeksi menjadi immortal melalui induksi transformasi pertumbuhan yang permanen (Infante, 2007). Protein yang dihasilkan oleh gen p53 dalam keadaan aktif dan normal disebut dengan p53 tipe wild, merupakan faktor transkripsi multifungsional yang meliputi pengontrolan pembelahan sel, reparasi DNA dan apoptosis, mempunyai waktu paruh yang pendek, kadarnya dalam inti sangat kecil dan cepat menghilang pada sel normal sehingga tidak terdeteksi dengan teknik pemeriksaan IHK. Jika terjadi mutasi yaitu suatu virus DNA seperti VEB dapat mengikat p53 tipe wild akan menyebabkan waktu paruhnya memanjang sehingga dapat terlihat dengan IHK, ini akan mempengaruhi fungsi p53 yang mengakibatkan hilangnya hambatan proliferasi dan transformasi sel (Decker, 2004). Ekspresi p53 ini banyak ditemukan dengan kadar yang tinggi di dalam sel atau jaringan yang mengalami tranformasi sehingga dapat terlihat dengan pengecatan IHK. Pada sel normal, akumulasi p53 tipe wild akan menghentikan siklus sel pada fase periode antara pembelahan inti sel sebelumnya dengan permulaan sintesis DNA/gap1 (fase G1) dan menginduksi apoptosis, sehingga tidak terbentuk sel-sel baru dengan DNA yang rusak. Pada sel-sel yang mengalami mutasi akan menyebabkan fungsi p53 menjadi tidak aktif dan tidak dapat berfungsi untuk menghentikan siklus sel. Jika terjadi kegagalan perbaikan DNA menyebabkan 18 terjadinya akumulasi p53 yang menghambat proses apoptosis sehingga pembelahan sel akan terus berlangsung tanpa kontrol dan akibatnya akan terbentuk sel-sel baru dengan DNA yang rusak. Sel-sel baru inilah yang mengalami transformasi berkembang menjadi sel-sel kanker (Kumar dkk. 2010). Perkembangan KNF melibatkan hilangnya fungsi tumor supresor gen. Namun mekanisme inhibisi supresor tumor ini unik pada KNF. Pada kebanyakan kanker kepala leher, kadar p53 yang rendah disebabkan oleh mutasi. Namun ekspresi p53 pada KNF tidak mengikuti pola klasik ini. Pada KNF tidak terjadi mutasi pada gen p53, tetapi inaktivasi p53 disebabkan karena suatu protein virus DNA seperti VEB yang mengikat protein p53 normal (p53 tipe wild) dan menghilangkan fungsi protektifnya sehingga mengganggu fungsi kerja dari p53. (Chou, 2008; Kumar dkk. 2010). Hal ini menunjukkan mengapa proses inaktivasi p53 umumnya terjadi pada fase lanjut dari progresivitas suatu sel tumor. Pada keadaan dimana kejadian ini berlangsung terus menerus maka akan makin banyak sel-sel yang rusak sehingga derajat differensiasi makin buruk dan stadium akan makin tinggi sehingga prognosis akan makin buruk pula (Kumar dkk. 2010). Pada KNF, umumnya menunjukkan ekspresi p53 yang berlebihan dan merupakan faktor prognostik yang buruk (Ho, 2001). Masih diperdebatkan bahwa akumulasi p53 yang didasarkan pada pemeriksaan IHK, dapat digunakan untuk menentukan prognosis dan sensitifitas terhadap kemoterapi (Oliveira, 2005). Menurut Oyong (2002), penelitian IHK memperlihatkan bahwa infeksi VEB pada KNF berhubungan dengan akumulasi protein p53. 19 2.13 Penilaian Ekspresi P53 Pemeriksaan IHK ekspresi p53 menggunakan teknik Biotin-Streptavidine Amplied (B-SA) dengan antibodi primer tipe monoclonal p53 Dako yang berasal dari mouse IgG1 (Ab No.240M). Karakteristik IHK yang digunakan adalah terdapatnya granul halus berwarna coklat pada inti sel yang menunjukkan adanya ekspresi p53 dalam sel atau jaringan tersebut (Cottrill, 2003). Penilaian ekspresi p53 berdasarkan penjumlahan presentase sel tumor yang positif menurut skor intensitas pengecatan dengan skor 0-4+. Pembacaan hasil dengan menghitung inti sel yang menunjukkan reaksi positif untuk protein p53 dengan skor 0-4+ dimana: skor 0 = tidak ada sel tumor yang tercat; 1+ = <10% sel tumor yang tercat; 2+ = 10-25% sel tumor yang tercat; 3+ = 26-50% sel tumor yang tercat; dan 4+ jika >50% dari sel tumor yang tercat, dimana skor 0 sampai 1+ dikategorikan sebagai negatif dan skor 2+ sampai 4+ dikategorikan positif (Kurniawan, 2000).