BAB 1V ANALISIS Analisis Pembahasan Pernikahan Beda Agama Menurut Gus Nuril (Tinjauan Al-Maqashid Syariah) A. Argumen Gus Nuril dengan Al-qur’an dan Sunnah Gus Nuril merupakan salah satu tokoh pendakwah yang menjunjung tinggi nilai toleransi. Beliau berasal dari Gresik Pangkah Kulon Jawa Timur. Sedangkan pengertian dari toleransi itu sendiri adalah sikap Menenggang (Menghargai, Membiarkan, Membolehkan). Hal ini beliau aplikasikan dengan menjadi ketua Forkhagama (Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat Beragama). Kelahiran Forkhagama terjadi setelah kerusuhan yang berujung pengrusakan gereja oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Pengrusakan tersebut bertempat di Semarang utara. Setelah terjadinya pengrusakan tersebut, kemudian KH Abdurrakhman Wahid (Gusdur) memerintahkan KH.Nuril (Gus Nuril) untuk menyelesaikan kerusuhan tersebut. Forum keadilan dan Hak Asasi atau yang disingkat Forkhagama di dirikan oleh 5 agama yakni: a. Islam : Gusdur dan Gus Nuril b. Khonghucu : Biksu Hatshu Chi Cai Ing c. Budha : Pandhita Rohmati d. Katholik : Mas Tomo Suratman e. Hindu : Jenderal Sulisma. 49 50 Gus Nuril juga merupakan tokoh pendakwah yang mempunyai paham pandangan politik pluralisme yang Rahmatan Lil’Alamiin. Paham tersebut beliau tunjukkan dengan sikap saling menghargai terhadap agama yang satu dengan yang lainnya. Hal ini juga beliau aplikasikan dalam dakwahnya yang bertempat di Gereja-gereja. Selain itu sikap ketoleransiannya beliau juga di aplikasikan dengan membolehkan pernikahan beda agama. Dasar hukum yang digunakan Gus Nuril dalam membolehkan pernikahan beda agama yakni dari sumber dan dalil hukum Islam seperti (Al-qur’an) dan Menggunakan konsep Maslahat. Gus Nuril menggunakan surat An-nisa ayat 3: Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Ayat-ayat pada surat An-nisa di atas merupakan ayat yang mengandung ayat yang mengandung makna umum (“Am) dan khusus (khas) yaitu: 1. Lafal umum (‘Am). Lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. 51 Kemudian dasar hukum yang digunakan gus Nuril membolehkan pernikahan beda agama selain pada surat Al-Maidah ayat 5 juga pada surat An-Nisa ayat 3. Ayat di atas merupakan ayat-ayat hukum yang menunjukan makna umum karena pada kata An-Nisa merupakan kata benda tunggal yang dima’rifahkan dengan alif lam. Kata An-Nisa merupakan kata umum yang sudah diketahui oleh semua orang bahwa An-Nisa menunjukan arti perempuan. Dasar hukum Gus Nuril membolehkan pernikahan beda agama beliau kemukakan dalam Surat An-nisa yang di dalam arti ayat tersebut di perintahkan mengawini wanita-wanita yang kamu senangi tanpa adanya ketentuan-ketentuan dari wanita-wanita yang akan dinikahinya. Ketentuanketentuan yang dimaksud Gus Nuril disini yakni tidak ada ketentuan harus menikahi wanita yang beragama yahudi kah atau Nasrani ataupun penganut lainnya. Jadi terdapat kebebasan dalam memilih wanita-wanita yang akan dinikahinya dengan catatan laki-laki tersebut adalah Muslim yang baik dan taat pada ajaran-ajaran agamanya, sehingga diharapkan adanya kesadaran dan kemauannya sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan serta kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup di tengah-tengah keluarga Islam. Sebab agama Islam merupakan panutan/pedoman hidup yang haqiqi karena Islam di dalam memberikan rahmat yakni untuk semua umat tanpa melihat keyakinan-keyakinan yang berbeda yang dianut oleh semua umat. Akan tetapi jika laki-laki tersebut 52 bukan dari golongan laki-laaki yang kualitas imannya baik, dikawatirkan bukanlak kemaslahatan yang di dapat tetapi kemudharatan yang di dapatkan. Kemudian Dalil yang kedua yang dijadikan Gus Nuril membolehkan pernikahan tersebut yakni pada surat Al-Maidah ayat 5 yang berbunyi: Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagi kamu baik-baik. Makanan orangorang yang diberi al-kitab ( Yahudi dan Nasrani ) itu halal bagi kamu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. Dan (dihalalkan bagi kamu menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang mukmin dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi al-kitab suci sebelum kamu, apabila kamu telah membayar imbalan (maskawin) mereka dengan maksud memelihara kesucian, tidak dengan berzina dan tidak (pula) menjadikannya pasangan-pasangan yang dirahasiakan (gundik-gundik). Barang siapa kafir sesudah beriman, maka sungguh hapuslah amalnya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. Surat di atas merupakan surat yang membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab (yahudi dan Nasrani), yang sekarang menyebutnya dengan agama kristen dan Khatolik. Kebolehan tersebut di lihat dari arti ayat yang menerangkan bahwa dibolehkannya menikahi wanita ahlul Kitab. Kebolehan tersebut menjadi landasan hukum Gus Nuril di dalam membolehkannya. 53 Beliau secara tegas mengatakan bahwa pernikahan itu bukan sekedar ranah agama tetapi Sunatullah dan diciptakannya laki-laki dan perempuan berpasang-pasangan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku agar umat Islam dapat saling mengenal seperti dalam surat Al-hujarat ayat 13.1 Jadi adanya perbedaan agama, suku, dan bangsa merupakan sebuah tanda kekuasaan Allah, dengan tujuan agar semua Umat dapat berfikir dan menyadari bahwa perbedaan tersebut bukan menjadi suatu halangan untuk dapat hidup berdampingan dengan rukun antara agama yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan diciptakannya laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tidak lain adalah agar semua umat dapat berpikir.2 Beliau mengatakan bahwa Islam adalah identik dengan sunnatullah maka Islam seharusnya memiliki keleluasan keadilan cakrawala pandang dan kesempatan serta kelonggaran yang sama dengan sunatullah, hal ini yang menjadikan ía membolehkan pernikahan beda agama. Gus Nuril mengatakan bahwa Allah menghalalkan babi karena adanya suatu hal dengan tujuan mencegah kemudhorotan sama halnya dibolehkannya pemikahan beda agama dengan tujuan rnencegah kemudhorotan yaitu mencegah perzinahan dan jika Islam melarang penikahan tersebut, maka dikhawatirkan terjadinya perzinahan. Urgensi dibolehkannya pernikahan beda agama oleh Nya yaitu selain menghindari perzinahan juga untuk memberikan kelonggaran umat non Islam 1 Wawancara dengan Aryo ( Assisten Gus Nuril ) bertepatan pada hari selasa tanggal 13 Januari 2015, pada pukul 11.00s/d selesai. 2 Wawancara dengan Gus Nuril bertepatan pada hari selasa tanggal 13 Januari 2015, pada pukul 11.00s/d selesai 54 untuk lebih mengenal apa itu Islam dan keistimewaan Islam itu sendiri dengan tujuan agar umat non Islam tersebut dapat masuk Islam, sehingga dapat memberi kesempatan bagi mereka umat non Islam untuk kembali kepada jalan yang diridhoi Allah3. Hukum asal mengawini wanita ahli kitab menurut jumhur umat Islam adalah mubah. Allah menghalalkan bagi pemeluk Islam untuk memakan binatang sembelihan Ahli kitab dan kebolehan mengawini mereka dalam sebuah ayat surat Al-Maidah ayat 5. Tujuan dibolehkannya pernikahan beda agama yakni agar dapat menimbulkan keinginannya memeluk Islam, mendekatkan hubungan antara umat Islam dan Ahli kitab, dan melonggarkan sikap toleransi serta pergaulan yang baik antara kedua golongn tersebut. Jadi argumen Gus Nuril dalam membolehkan pernikahan beda agama selain dasar hukumnya berasal dari AlQur’an dan Sunnah juga menggunakan konsep Maslahat dan Beliau juga mempunya visi sebagai dakwah. Sedangkan pengertian dakwah itu sendiri yakni penyiaran agama dan pengembangan diantara umat dan seruan untuk meningkatkan amal ibadah bagi pemeluk agama. Hukum pokok mengenai kebolehan Gus Nuril dalam membolehkan pernikahan tersebut selain melihat dari sisi kemudharatannya juga melihat beberapa ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilupakan, yakni menyatakan bahwa yahudi dan Nasrani yang dikelompokkan ahli kitab merupakan agama samawi asli yang artinya secara tegas yakni secara garis besar dia beriman kepada Allah, beriman kepada kerasulan dan beriman kepada hari akhir. 3 Wawancara dengan Gus Nuril bertepatan pada hari selasa tanggal 13 Januari 2015, pada pukul 11.00s/d selesa 55 Selain dengan dasar yang diambil dari ayat al-qur’an tersebut, beliau melihat Sunnah Nabi, yakni ketika Nabi Muhammad SAW menikah dengan wanita non muslim yang bernama Mariah Al-Qibtiyah (Kristen). Kemudian kriteria yang digunakan Gus Nuril dalam mengartikan makna ahlu kitab sendiri menyatakan bahwa di zaman sekarag wanita yang tergolong ahlu kitab sudah tidak muncul lagi. Urgensinya jika akan menikahi wanita-wanita, baik dari kalangan yahudi ataupun Nasrani haruslah memiliki kualitas iman yang baik sehingga tidak mudah terjerumus oleh ajaran agama yang di anut istrinya. Konsep yang dikemukakan oleh Gus Nuril mengenai dibolehkannya pernikahan beda agama dengan dasar mencegah kemudharatan lebih baik dari pada berbuat kebaikan dan dengan melihat surat an-Nisa ayat 3 dan didukung oleh surat Al-Maidah ayat 5 merupakan sesuatu yang kurang logis karena beliau membolehkannya hanya tertuju pada daerah yang mayoritas Muslim saja bukan di daerah yang minoritas Islam seperti di Pulau bali misalnya, di sana masyarakatnya minoritas Islam jadi kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita non Muslim akan lebih logis dibandingkan di daerah yang mayoritas Islam. Alasan tersebut sangat logis karena kalau Umat Muslimnya jarang ditemui di daerah tersebut. Kemudian melihat kebolehan pernikahan beda agama jika di daerah yang mayoritas menurut penulis kurang logis karena kenapa tidak menikahi wanita Muslim yang lain, kalau mayoritas di daerah tersebut adalah Umat Islam. Dan melihat dampak yang akan ditimbulkan setelah pernikahan tersebut dilangsungkan adalah sangat besar 56 kemungkinan di dapatkan kemaslahatannya. Dalam realita kehidupan ini, kenyataannya adalah pernikahan tersebut hanya bertahan tidak lama, seperti halnya pernikahan yang sangat heboh di era tahun 70-an artis yang bernama Lidia Kandaw dan Penyanyi Religius Jamal Mirdad pun pernikahannya kandas di tengah jalan dan anak pun mengikuti agama yang di anut Lidia Kandaw. Jadi seseorang yang kualitasnya baik pun tidak menjamin pernikahan tersebut dapat bertahan lama dan istri pun tidak menjamin dapat masuk ke agama yang di anut suaminya. Menurut penulis alasan Gus Nuril membolehkan pernikahan beda agama sebagai strategi Dakwah adalah merupakan alasan yang kurang logis karena menurut penulis jika tujuan dari dakwah itu sendiri salah satunya yaitu menyebarkan ajaran Islam untuk semua Umat baik Umat Muslim maupun non Muslim tidaklah harus dengan menikah. Melihat dampak yang ditimbulkan setelah pernikahan tersebut maka, sebaiknya pernikahan antara Umat non Muslim dengan umat Muslim tidak diperbolehkan. Kembali kepada pendapat Gus Nuril mengenai dibolehkannya pernikahan beda agama selain mempunyai dasar mencegah kemudharatan lebih baik dari pada berbuat kebaikan dan dengan didukung oleh Surat anNisa ayat 3 dan Surat Al-Maidah ayat 5, Gus Nuril mempunyai argumen bahwa sesungguhnya pernikahan merupakan kodrat Allah dan juga merupakan sunah Nabi yang jika melaksanakannya mendapatkan pahala dan jika tidak melaksanakannya tidak diakui sebagai umatnya sesuai dengan hadist yang artinya: 57 سنتى فمن ر غة عت سنتى فلي Artinya : “Barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku, maka ia bukan umatku”. Dari makna Hadist tersebut sudah sangat jelas bahwa bagi umat yang tidak melakukan apa yang di anjurkan oleh Rasul itu bukanlah disebut sebagai umat Nabi Muhammad Saw. Jadi esensi pernikahan sangatlah penting karena dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang syariat. Hal itu senada dengan dalil-dalil Ushul fiqih yakni: أ نه من تا ب منع ا لو سا ئل ا لمؤ د ية إ لى ا لمفا سد Artinya: Menutup jalan yang membawa kepada kebinasahan atau kejahatan. Pengertian dalil tersebut juga sudah sangat jelas, ketika suatu perbuatan yang nantinya akan menimbulkan kemafsadatan haruslah dihindari. Demikian halnyan seperti kasus legalisasi pernikahan beda agama. Kebolehan tersebut mempunyai tujuan agar terhindar dari kemafsadatan yaitu perzinahan. Pernyataan tersebut dijadikan landasan hukum dibolehkannya pernikahan beda agama oleh Gus Nuril. Menurut beliau, persoalan dibolehkannya pernikahan tersebut bukanlah persoalan yang sangat menyulitkan bagi mereka yang akan melaksanakannya. Semua tergantung dengan niat masing-masing pasangan tersebut. Jika memiliki keyakinan yang kuat jika pernikahan tersebut merupakan jalan bagi mereka untuk dapat meraih kemaslahatan dan menghindari perzinahan, maka dibolehkan. 58 Beliau mengatakan seorang suami dalam mengajak Istrinya tersebut berawal dari mengajarkan pendidikan Islami seperti pengenalan ajaran Islam, keutamaan agama Islam dari pada agama yang lain, sampai pada akhirnya istri menyukai ajaran Islam sehingga istri diharapkan adanya kesadaran dan kemauannya sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan serta kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup di tengah-tengah keluarga Islam. Sebab agama Islam merupakan panutan/pedoman hidup yang haqiqi karena Islam di dalam memberikan rahmat yakni untuk semua umat tanpa melihat keyakinan-keyakinan yang berbeda yang dianut oleh semua umat. Beliau sepakat dengan aksioma bahwa pernikahan didalamnya mengandung makna kebebasan dan ketentraman batin untuk meraih kemaslahatan umat. Kemaslahan tersebut mencangkup semua seluruh umat manusia baik umat muslim atau non muslim. Konteks kesejahteraan Islam menunjukkan bahwa agama ini lahir sebagai sebuah protes terhadap ketidakadilan di tengah masyarakat komersial.. Hal ini adalah dasar berliau membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim, agar terciptanya keadilan didalam batin bagi mereka yang melangsungkan pernikahan beda agama tersebut. Dengan demikian akan dapat meminimalisir kemudharatan. Hukum di bolehkannya pernikahan beda agama selain di iyakan oleh Gus Nuril juga di dukung oleh para fuqoha yang mentarjihkan pernikahan tersebut berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5. 59 Makna dari ayat Al-qur’an di atas sudah dapat dipahami kebolehan menikahi wanita-wanita ahlu kitab. Namun para fuqoha mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kebolehan pernikahan tersebut yakni: Menurut Mazhab Hanafi pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab hukumnya ada dua ; Jika wanita tersebut dari kalangan harbiyyah maka hukumnya haram sedangkan jika wanita tersebut dari kalangan dzimmiyah yakni kaum yang tidak memerangi umat Muslim maka hukum pernikahan tersebut adalah mubah. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan mazhab Hanbali hukum menikahi wanita tersebut boleh melihat surat Al-Maidah ayat 5 , kemudian menurut mazhab Syafii hukumnya makruh jika wanita tersebut dikawatirkan tidak masuk Islam. Namun kesimpulan dari jumhur Ulama di atas yakni membolehkan pernikahan tersebut dengan syarat laki-laki yang akan menikahinya adalah laki-laki yang kuat Imannya sehingga taat menjalankan ajaran agama yang dianutnya dan dapat mengajak istrinya untuk kembali ke dalam ajaran Islam. Dalam menanggapi hal diatas, sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu, hukum Islam memiliki tujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Jika dalam realita kehidupan kemaslahatan manusia tidak terwujudkan dan kemudharatan yang didapatkan, maka pernikahan antara Umat non Muslim dengan Umat Muslim tidak diperbolehkan. Kemaslahatan dapat diperoleh dengan merasakan ketentraman dalam kehidupan rumah tangganya serta keadilan Hak asasi manusia tersebut dapat dirasakan oleh setiap pasangan yang seagama atau sekufu. 60 Kemudian tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah pembinaan akhlak manusia dan memanusiakan sehingga hubungan yang terjadi antara dua gender yang berbeda dapat membangun kehidupan baru secara sosial dan kultural. Hubungan dalam bangunan tersebut adalah kehidupan rumah tangga dan terbentuknya generasi keturunan manusia yang memberikan kemaslahatan bagi masa depan masyarakat dan negara. Menurut Penulis jika pernikahan antara dua gender tidak seagama, tidak terbentuknya generasi keturunan manusia yang baik-baik karena tidak terpeliharanya kehormatan dari pasangan tersebut. Seperti yang diterangkan di atas. B. Analisis terhadap Argumen Gus Nuril dengan Prespektif Maqashid Syari’ah. Gus Nuril merupakan tokoh pendakwah yang mempunyai paham pandangan politik pluralisme yang Rahmatan Lil’Alamiin. Paham tersebut beliau tunjukkan dengan sikap saling menghargai terhadap agama yang satu dengan yang lainnya. Hal ini juga beliau aplikasikan dalam dakwahnya yang bertempat di Gereja-gereja. Selain itu sikap ketoleransiannya beliau juga di aplikasikan dengan membolehkan pernikahan beda agama. Dasar hukum yang digunakan Gus Nuril dalam membolehkan pernikahan beda agama yakni dari sumber dan dalil hukum Islam seperti ( Al-qur’an) dan Sunnah selain itu juga dengan menggunakan teori kemaslahatan karena mencegah kemudharatan lebih baik dari pada berbuat kebaikan dan visinya sebagai dakwah. 61 Hal tersebut senada dengan Qoidah Fiqhiyyah: د فع ا لمفا سد مقد م على جلة ا لمصا لح Yang artinya: Menolak Mafsadah harus didahulukan kemaslahatan4. dari pada meraih Kebolehan Gus Nuril di dalam membolehkan pernikahan tersebut bertujuan agar dapat terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Dengan kemaslahatan tersebut, dapat terpeliharanya kehormatan dan keturunan, sehingga makna dan tujuan yang dikehendaki syara’dalam mensyariatkan suatu hukum dapat terpenuhi. Gus Nuril menyatakan bahwa pada setiap hukum itu terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah Swt baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi. Oleh sebab itu, Gus Nuril dalam menyimpulkan hukum dari suatu kasus yang sedang di hadapi, bukan hanya berpatokan pada Qaidah Fiqhiyah juga berpatokan pada Al-Qur’an agar hukum yang di tetapkan sesuai dengan tujuan-tujuan syar’i. Apabila dalam suatu perkara terlihat adanya kemaslahatan, namun disitu juga terdapat adanya mafsadat (Kerusakan), maka haruslah di dahulukan menghilangkan mafsadatnya, karena kemafsadatan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. 4 A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih H.Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis, (Jakarta:Kencana,2006) , hlm.29. 62 Pada dasarnya maslahah adalah memelihara tujuan syara’(dalam penetapan hukum). Sedangkan dalam memelihara syara’ ada 5 hal yang harus di jaga guna agar tidak mengancam eksistensi manusia yaitu; 1) Menjaga Jiwa, 2) Menjaga Agama, 3) Menjaga akal, 4) Menjaga keturunan dan harta. 5 Kelima asas diatas dapat dijelaskan oleh penulis sebagai berikut; pada poin pertama yakni terjaganya jiwa dalam kasus pernikahan beda agama menurut Gus Nuril, tidaklah sesuai dengan tujuan syariat karena sebuah perkawinan haruslah dimiliki jiwa yang tentram dari kedua pasangan .Ketentraman dapat diperoleh dengan adanya kesamaan akidah sehingga terdapat kesamaan makna dan tujuan dari sebuah perkawinan. Dan tujuan dari perkawinan itu sendiri secara haqiqi yakni terjalin jiwa yang tenang dan terjalin hubungan yang sakinah, mawaddah dan waramah. Selanjutnya pada poin yang kedua terjaganya agama dalam kasus pernikahan beda agama menurut Gus Nuril , tidaklah sesuai karena melihat kondisinya terlebih dahulu. Jika kualitas Iman laki-laki baik maka akan lebih terjaganya agama karena tidak terbujuk oleh keyakinan istrinya sendiri. Namun sebaliknya jika kualitas iman laki-laki tersebut kurang baik, maka akan lebih mudah terbujuk kedalam keyakinan istrinya sehingga tidak terjaganya keyakinan laki-laki tersebut. 5 hlm.134. (Mukhlis Usman,Kaidah-kaidah Ushul Fiqih dan Fiqhiyyah (Jkt: Raja rafindo,1997), 63 Pada poin yang ketiga terjaganya akal pada kasus perkawinan beda agama menurut Gus Nuril adalah tidaklah sesuai karena ketidaksamaan akidah menjadikan mereka berbeda persepsi tentang segala sesuatu yang terjadi dalam rumah tangga mereka. Kemudian pada poin yang keempat yakni terjaganya keturunan dalam kasus pernikahan beda agama menurut Gus Nuril agar tidak berbuat zina jika tidak dibolehkan adalah sesuai dengan tujuan syariat, karena dengan pernikahan maka akan bisa menundukan pandangan dan kemaluan. Selanjutnya pada poin kelima yakni terjaganya harta dalam kasus pernikahan beda agama menurut Gus Nuril tidaklah sesuai karena melihat ketidaksamaan aqidah menjadikan mereka saling berbeda persepsi sehingga dalam permasalahan internal seperti bagaimana menjaga harta yang dimiliki oleh pasangan tersebut juga memiliki cara berbeda sesuai dengan persepsi masing-masing. Pernyataan diatas merupakan analisa penulis tentang tujuan Maqashid Syariah dalam kasus pernikahan beda agama. Di dalam Hukum Islam terdapat Makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia ulama ushul fiqih mendefinisikannya dengan makna dari maqashid alsyari’ah. Maqhasid syariah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayatayat Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Abu Ishaq al- Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat 64 Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut asl-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat. a. Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan, serta memelihara harta. b. Kabutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, di mana bilamana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhsah(keringanan) seperti dijelaskan Abd al-wahab khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam terhadap kebutuhan ini. c. Kebutuhan Tahsiniyat. Kebutuhan tahsiniyat ialah kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini menurut al-Syatibi yaitu hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat , menghindarkan 65 hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengang keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.6 Melihat dari semua keterangan diatas dapat disimpulkan oleh penulis bahwa terwujudnya kemaslahatan hanya dapat didapatkan dalam pernikahan yang seagama karena akan lebih mudah terbentuk gender agama yang baik dengan mempunyai pandangan dan pemikiran yang sama. Kembali kepada permasalahan dibolehkannya pernikahan beda agama mempunyai berbagai macam pandangan dari berbagai pendapat para ulama dan dengan melihat tinjauan maqashid al-syariah hikmah dibolehannya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim, yaitu selain mempunyai dasar mencegah kemafsadatan lebih baik dari berbuat kebaikan karena dikhawatirkan terjadinya zina jika pernikahan tersebut tidak dibolehkan, merupakan alasan dibolehkan pernikahan beda agama jika ditempatkan di wilayah yang minoritas umat Islam. Karena itu, cukup bijaksana dan suatu ketetapan yang arif bahwa agama Islam pada dasarnya melarang perkawinan antara muslim/muslimah dengan bukan penganut Islam, kecuali dalam kondisi tertentu yang tolerir syariat, pria muslim yang kualitas dan kadar iman dan Islamnya cukup mantap, diperkenankan kawin dengan wanita Ahlu Kitab yanga akidah dan praktek ibadahnya tidak menyimpang jauh dari Islam atau yang bukan dari kalangan aktivis fanatik agama Ahlu Kitab dengan disertai tujuan, misi, dan usaha serius untuk membawa pasangannya kepada Islam. 6 23. Prof. Dr.H. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushul fiqih ( Jakarta: Kencana, 2005),hlm 233-