49 BAB 1V ANALISIS Analisis Pembahasan Pernikahan Beda

advertisement
BAB 1V
ANALISIS
Analisis Pembahasan Pernikahan Beda Agama Menurut Gus Nuril
(Tinjauan Al-Maqashid Syariah)
A. Argumen Gus Nuril dengan Al-qur’an dan Sunnah
Gus Nuril merupakan salah satu tokoh pendakwah yang menjunjung
tinggi nilai toleransi. Beliau berasal dari Gresik Pangkah Kulon Jawa Timur.
Sedangkan pengertian dari toleransi itu sendiri adalah sikap Menenggang
(Menghargai, Membiarkan, Membolehkan). Hal ini
beliau
aplikasikan
dengan menjadi ketua Forkhagama (Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat
Beragama). Kelahiran Forkhagama terjadi setelah kerusuhan yang berujung
pengrusakan gereja oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Pengrusakan
tersebut bertempat di Semarang utara. Setelah terjadinya pengrusakan
tersebut, kemudian KH Abdurrakhman Wahid (Gusdur) memerintahkan
KH.Nuril (Gus Nuril) untuk menyelesaikan kerusuhan tersebut.
Forum keadilan dan Hak Asasi atau yang disingkat Forkhagama di
dirikan oleh 5 agama yakni:
a. Islam
: Gusdur dan Gus Nuril
b. Khonghucu
: Biksu Hatshu Chi Cai Ing
c. Budha
: Pandhita Rohmati
d. Katholik
: Mas Tomo Suratman
e. Hindu
: Jenderal Sulisma.
49
50
Gus Nuril juga merupakan tokoh pendakwah yang mempunyai paham
pandangan politik pluralisme yang Rahmatan Lil’Alamiin. Paham tersebut
beliau tunjukkan dengan sikap saling menghargai terhadap agama yang satu
dengan yang lainnya. Hal ini juga beliau aplikasikan dalam dakwahnya yang
bertempat di Gereja-gereja. Selain itu sikap ketoleransiannya beliau juga di
aplikasikan dengan membolehkan pernikahan beda agama. Dasar hukum
yang digunakan Gus Nuril dalam membolehkan pernikahan beda agama
yakni dari sumber dan dalil hukum Islam seperti (Al-qur’an) dan
Menggunakan konsep Maslahat. Gus Nuril menggunakan surat An-nisa
ayat 3:
               
              
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Ayat-ayat pada surat An-nisa di atas merupakan ayat yang
mengandung ayat yang mengandung makna umum (“Am) dan khusus (khas)
yaitu:
1. Lafal umum (‘Am).
Lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai
dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
51
Kemudian dasar hukum yang digunakan gus Nuril membolehkan pernikahan
beda agama selain pada surat Al-Maidah ayat 5 juga pada surat An-Nisa
ayat 3.
Ayat di atas merupakan ayat-ayat hukum yang menunjukan makna
umum karena pada kata An-Nisa merupakan kata benda tunggal yang dima’rifahkan dengan alif lam. Kata An-Nisa merupakan kata umum yang
sudah diketahui oleh semua orang bahwa An-Nisa menunjukan arti
perempuan.
Dasar hukum Gus Nuril membolehkan pernikahan beda agama beliau
kemukakan dalam Surat An-nisa yang di dalam arti ayat tersebut di
perintahkan mengawini wanita-wanita yang kamu senangi tanpa adanya
ketentuan-ketentuan dari wanita-wanita yang akan dinikahinya. Ketentuanketentuan yang dimaksud Gus Nuril disini yakni tidak ada ketentuan harus
menikahi wanita yang beragama yahudi kah atau Nasrani ataupun penganut
lainnya. Jadi terdapat kebebasan dalam memilih wanita-wanita yang akan
dinikahinya dengan catatan laki-laki tersebut adalah Muslim yang baik dan
taat pada ajaran-ajaran agamanya, sehingga diharapkan adanya kesadaran dan
kemauannya sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan
merasakan kebaikan serta kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup
di
tengah-tengah
keluarga
Islam.
Sebab
agama
Islam
merupakan
panutan/pedoman hidup yang haqiqi karena Islam di dalam memberikan
rahmat yakni untuk semua umat tanpa melihat keyakinan-keyakinan yang
berbeda yang dianut oleh semua umat. Akan tetapi jika laki-laki tersebut
52
bukan dari golongan laki-laaki yang kualitas imannya baik, dikawatirkan
bukanlak kemaslahatan yang di dapat tetapi kemudharatan yang di dapatkan.
Kemudian Dalil yang kedua yang dijadikan Gus Nuril membolehkan
pernikahan tersebut yakni pada surat Al-Maidah ayat 5 yang berbunyi:
           
           
         
            
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagi kamu baik-baik. Makanan orangorang yang diberi al-kitab ( Yahudi dan Nasrani ) itu halal bagi kamu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. Dan (dihalalkan bagi kamu
menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang mukmin dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi al-kitab suci sebelum kamu, apabila kamu telah membayar
imbalan (maskawin) mereka dengan maksud memelihara kesucian, tidak
dengan berzina dan tidak (pula) menjadikannya pasangan-pasangan yang
dirahasiakan (gundik-gundik). Barang siapa kafir sesudah beriman, maka
sungguh hapuslah amalnya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi.
Surat di atas merupakan surat yang membolehkan pernikahan antara
laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab (yahudi dan Nasrani), yang
sekarang menyebutnya dengan agama kristen dan Khatolik. Kebolehan
tersebut di lihat dari arti ayat yang menerangkan bahwa dibolehkannya
menikahi wanita ahlul Kitab. Kebolehan tersebut menjadi landasan hukum
Gus Nuril di dalam membolehkannya.
53
Beliau secara tegas mengatakan bahwa pernikahan itu bukan sekedar
ranah agama tetapi Sunatullah dan diciptakannya laki-laki dan perempuan
berpasang-pasangan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku agar umat Islam
dapat saling mengenal seperti dalam surat Al-hujarat ayat 13.1 Jadi adanya
perbedaan agama, suku, dan bangsa merupakan sebuah tanda kekuasaan
Allah, dengan tujuan agar semua Umat dapat berfikir dan menyadari bahwa
perbedaan tersebut bukan menjadi suatu halangan untuk dapat hidup
berdampingan dengan rukun antara agama yang satu dengan yang lain. Begitu
juga dengan diciptakannya laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku tidak lain adalah agar semua umat dapat berpikir.2
Beliau mengatakan bahwa Islam adalah identik dengan sunnatullah
maka Islam seharusnya memiliki keleluasan keadilan cakrawala pandang dan
kesempatan serta kelonggaran yang sama dengan sunatullah, hal ini yang
menjadikan ía membolehkan pernikahan beda agama. Gus Nuril mengatakan
bahwa Allah menghalalkan babi karena adanya suatu hal dengan tujuan
mencegah kemudhorotan sama halnya dibolehkannya pemikahan beda agama
dengan tujuan rnencegah kemudhorotan yaitu mencegah perzinahan dan jika
Islam melarang penikahan tersebut, maka dikhawatirkan terjadinya
perzinahan.
Urgensi dibolehkannya pernikahan beda agama oleh Nya yaitu selain
menghindari perzinahan juga untuk memberikan kelonggaran umat non Islam
1
Wawancara dengan Aryo ( Assisten Gus Nuril ) bertepatan pada hari selasa tanggal 13 Januari
2015, pada pukul 11.00s/d selesai.
2
Wawancara dengan Gus Nuril bertepatan pada hari selasa tanggal 13 Januari 2015, pada pukul
11.00s/d selesai
54
untuk lebih mengenal apa itu Islam dan keistimewaan Islam itu sendiri
dengan tujuan agar umat non Islam tersebut dapat masuk Islam, sehingga
dapat memberi kesempatan bagi mereka umat non Islam untuk kembali
kepada jalan yang diridhoi Allah3. Hukum asal mengawini wanita ahli kitab
menurut jumhur umat Islam adalah mubah. Allah menghalalkan bagi pemeluk
Islam untuk memakan binatang sembelihan Ahli kitab dan kebolehan
mengawini mereka dalam sebuah ayat surat Al-Maidah ayat 5.
Tujuan dibolehkannya pernikahan beda agama yakni agar dapat
menimbulkan keinginannya memeluk Islam, mendekatkan hubungan antara
umat Islam dan Ahli kitab, dan melonggarkan sikap toleransi serta pergaulan
yang baik antara kedua golongn tersebut. Jadi argumen Gus Nuril dalam
membolehkan pernikahan beda agama selain dasar hukumnya berasal dari AlQur’an dan Sunnah juga menggunakan konsep Maslahat dan Beliau juga
mempunya visi sebagai dakwah. Sedangkan pengertian dakwah itu sendiri
yakni penyiaran agama dan pengembangan diantara umat dan seruan untuk
meningkatkan amal ibadah bagi pemeluk agama. Hukum pokok mengenai
kebolehan Gus Nuril dalam membolehkan pernikahan tersebut selain melihat
dari sisi kemudharatannya juga melihat beberapa ketentuan-ketentuan yang
tidak boleh dilupakan, yakni menyatakan bahwa yahudi dan Nasrani yang
dikelompokkan ahli kitab merupakan agama samawi asli yang artinya secara
tegas yakni secara garis besar dia beriman kepada Allah, beriman kepada
kerasulan dan beriman kepada hari akhir.
3
Wawancara dengan Gus Nuril bertepatan pada hari selasa tanggal 13 Januari 2015, pada pukul
11.00s/d selesa
55
Selain dengan dasar yang diambil dari ayat al-qur’an tersebut, beliau
melihat Sunnah Nabi, yakni ketika Nabi Muhammad SAW menikah dengan
wanita non muslim yang bernama Mariah Al-Qibtiyah (Kristen). Kemudian
kriteria yang digunakan Gus Nuril dalam mengartikan makna ahlu kitab
sendiri menyatakan bahwa di zaman sekarag wanita yang tergolong ahlu kitab
sudah tidak muncul lagi. Urgensinya jika akan menikahi wanita-wanita, baik
dari kalangan yahudi ataupun Nasrani haruslah memiliki kualitas iman yang
baik sehingga tidak mudah terjerumus oleh ajaran agama yang di anut
istrinya.
Konsep yang dikemukakan oleh Gus Nuril mengenai dibolehkannya
pernikahan beda agama dengan dasar mencegah kemudharatan lebih baik dari
pada berbuat kebaikan dan dengan melihat surat an-Nisa ayat 3 dan didukung
oleh surat Al-Maidah ayat 5 merupakan sesuatu yang kurang logis karena
beliau membolehkannya hanya tertuju pada daerah yang mayoritas Muslim
saja bukan di daerah yang minoritas Islam seperti di Pulau bali misalnya, di
sana
masyarakatnya minoritas Islam jadi kebolehan laki-laki Muslim
menikahi wanita non Muslim akan lebih logis dibandingkan di daerah yang
mayoritas Islam. Alasan tersebut sangat logis karena kalau Umat Muslimnya
jarang ditemui di daerah tersebut. Kemudian melihat kebolehan pernikahan
beda agama jika di daerah yang mayoritas menurut penulis kurang logis
karena kenapa tidak menikahi wanita Muslim yang lain, kalau mayoritas di
daerah tersebut adalah Umat Islam. Dan melihat dampak yang akan
ditimbulkan setelah pernikahan tersebut dilangsungkan adalah sangat besar
56
kemungkinan di dapatkan kemaslahatannya. Dalam realita kehidupan ini,
kenyataannya adalah pernikahan tersebut hanya bertahan tidak lama, seperti
halnya pernikahan yang sangat heboh di era tahun 70-an artis yang bernama
Lidia Kandaw dan Penyanyi Religius Jamal Mirdad pun pernikahannya
kandas di tengah jalan dan anak pun mengikuti agama yang di anut Lidia
Kandaw. Jadi seseorang yang kualitasnya baik pun tidak menjamin
pernikahan tersebut dapat bertahan lama dan istri pun tidak menjamin dapat
masuk ke agama yang di anut suaminya. Menurut penulis alasan Gus Nuril
membolehkan pernikahan beda agama sebagai strategi Dakwah adalah
merupakan alasan yang kurang logis karena menurut penulis jika tujuan dari
dakwah itu sendiri salah satunya yaitu menyebarkan ajaran Islam untuk
semua Umat baik Umat Muslim maupun non Muslim tidaklah harus dengan
menikah. Melihat dampak yang ditimbulkan setelah pernikahan tersebut
maka, sebaiknya pernikahan antara Umat non Muslim dengan umat Muslim
tidak diperbolehkan.
Kembali kepada pendapat Gus Nuril mengenai dibolehkannya
pernikahan beda agama selain mempunyai dasar mencegah kemudharatan
lebih baik dari pada berbuat kebaikan dan dengan didukung oleh Surat anNisa ayat 3 dan Surat Al-Maidah ayat 5, Gus Nuril mempunyai argumen
bahwa sesungguhnya pernikahan merupakan kodrat Allah dan juga
merupakan sunah Nabi yang jika melaksanakannya mendapatkan pahala dan
jika tidak melaksanakannya tidak diakui sebagai umatnya sesuai dengan
hadist yang artinya:
57
‫سنتى فمن ر غة عت سنتى فلي‬
Artinya : “Barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku, maka ia bukan
umatku”.
Dari makna Hadist tersebut sudah sangat jelas bahwa bagi umat yang
tidak melakukan apa yang di anjurkan oleh Rasul itu bukanlah disebut
sebagai umat Nabi Muhammad Saw. Jadi esensi pernikahan sangatlah penting
karena dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang syariat.
Hal itu senada dengan dalil-dalil Ushul fiqih yakni:
‫أ نه من تا ب منع ا لو سا ئل ا لمؤ د ية إ لى ا لمفا سد‬
Artinya: Menutup jalan yang membawa kepada kebinasahan atau kejahatan.
Pengertian dalil tersebut juga sudah sangat jelas, ketika suatu
perbuatan yang nantinya akan menimbulkan kemafsadatan haruslah dihindari.
Demikian halnyan seperti kasus legalisasi pernikahan beda agama. Kebolehan
tersebut mempunyai tujuan agar terhindar dari kemafsadatan yaitu
perzinahan. Pernyataan tersebut dijadikan landasan hukum dibolehkannya
pernikahan beda agama oleh Gus Nuril.
Menurut beliau, persoalan dibolehkannya pernikahan tersebut
bukanlah persoalan yang sangat menyulitkan bagi mereka yang akan
melaksanakannya. Semua tergantung dengan niat masing-masing pasangan
tersebut. Jika memiliki keyakinan yang kuat jika pernikahan tersebut
merupakan jalan bagi mereka untuk dapat meraih kemaslahatan dan
menghindari perzinahan, maka dibolehkan.
58
Beliau mengatakan seorang suami dalam mengajak Istrinya tersebut
berawal dari mengajarkan pendidikan Islami seperti pengenalan ajaran Islam,
keutamaan agama Islam dari pada agama yang lain, sampai pada akhirnya
istri menyukai ajaran Islam sehingga istri diharapkan adanya kesadaran dan
kemauannya sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan
merasakan kebaikan serta kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup
di
tengah-tengah
keluarga
Islam.
Sebab
agama
Islam
merupakan
panutan/pedoman hidup yang haqiqi karena Islam di dalam memberikan
rahmat yakni untuk semua umat tanpa melihat keyakinan-keyakinan yang
berbeda yang dianut oleh semua umat.
Beliau sepakat dengan aksioma bahwa pernikahan didalamnya
mengandung makna kebebasan dan ketentraman batin untuk meraih
kemaslahatan umat. Kemaslahan tersebut mencangkup semua seluruh umat
manusia baik umat muslim atau non muslim. Konteks kesejahteraan Islam
menunjukkan bahwa agama ini lahir sebagai sebuah protes terhadap
ketidakadilan di tengah masyarakat komersial.. Hal ini adalah dasar berliau
membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim,
agar terciptanya keadilan didalam batin bagi mereka yang melangsungkan
pernikahan beda agama tersebut. Dengan demikian akan dapat meminimalisir
kemudharatan. Hukum di bolehkannya pernikahan beda agama selain di
iyakan oleh Gus Nuril juga di dukung oleh para fuqoha yang mentarjihkan
pernikahan tersebut berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5.
59
Makna dari ayat Al-qur’an di atas sudah dapat dipahami kebolehan
menikahi wanita-wanita ahlu kitab. Namun para fuqoha mempunyai
pandangan yang berbeda mengenai kebolehan pernikahan tersebut yakni:
Menurut Mazhab Hanafi pernikahan antara laki-laki muslim dengan
wanita ahlu kitab hukumnya ada dua ; Jika wanita tersebut dari kalangan
harbiyyah maka hukumnya haram sedangkan jika wanita tersebut dari
kalangan dzimmiyah yakni kaum yang tidak memerangi umat Muslim maka
hukum pernikahan tersebut adalah mubah. Sedangkan menurut mazhab
Maliki dan mazhab Hanbali hukum menikahi wanita tersebut boleh melihat
surat Al-Maidah ayat 5 , kemudian menurut mazhab Syafii hukumnya
makruh jika wanita tersebut dikawatirkan tidak masuk Islam. Namun
kesimpulan dari jumhur Ulama di atas yakni membolehkan pernikahan
tersebut dengan syarat laki-laki yang akan menikahinya adalah laki-laki yang
kuat Imannya sehingga taat menjalankan ajaran agama yang dianutnya dan
dapat mengajak istrinya untuk kembali ke dalam ajaran Islam.
Dalam menanggapi hal diatas, sebagai suatu sistem hukum yang
berdasarkan wahyu, hukum Islam memiliki tujuan mewujudkan kemaslahatan
manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Jika dalam realita kehidupan
kemaslahatan manusia tidak terwujudkan dan kemudharatan yang didapatkan,
maka pernikahan antara Umat non Muslim dengan Umat Muslim tidak
diperbolehkan. Kemaslahatan dapat diperoleh dengan merasakan ketentraman
dalam kehidupan rumah tangganya serta keadilan Hak asasi manusia tersebut
dapat dirasakan oleh setiap pasangan yang seagama atau sekufu.
60
Kemudian tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah
pembinaan akhlak manusia dan memanusiakan sehingga hubungan yang
terjadi antara dua gender yang berbeda dapat membangun kehidupan baru
secara sosial dan kultural. Hubungan dalam bangunan tersebut adalah
kehidupan rumah tangga dan terbentuknya generasi keturunan manusia yang
memberikan kemaslahatan bagi masa depan masyarakat dan negara. Menurut
Penulis jika pernikahan antara dua gender tidak seagama, tidak terbentuknya
generasi keturunan manusia yang baik-baik karena tidak terpeliharanya
kehormatan dari pasangan tersebut. Seperti yang diterangkan di atas.
B. Analisis terhadap Argumen Gus Nuril dengan Prespektif Maqashid
Syari’ah.
Gus Nuril merupakan tokoh pendakwah yang mempunyai paham
pandangan politik pluralisme yang Rahmatan Lil’Alamiin. Paham tersebut
beliau tunjukkan dengan sikap saling menghargai terhadap agama yang satu
dengan yang lainnya. Hal ini juga beliau aplikasikan dalam dakwahnya yang
bertempat di Gereja-gereja. Selain itu sikap ketoleransiannya beliau juga di
aplikasikan dengan membolehkan pernikahan beda agama. Dasar hukum
yang digunakan Gus Nuril dalam membolehkan pernikahan beda agama
yakni dari sumber dan dalil hukum Islam seperti ( Al-qur’an) dan Sunnah
selain itu juga dengan menggunakan teori kemaslahatan karena mencegah
kemudharatan lebih baik dari pada berbuat kebaikan dan visinya sebagai
dakwah.
61
Hal tersebut senada dengan Qoidah Fiqhiyyah:
‫د فع ا لمفا سد مقد م على جلة ا لمصا لح‬
Yang artinya: Menolak Mafsadah harus didahulukan
kemaslahatan4.
dari pada meraih
Kebolehan Gus Nuril di dalam membolehkan pernikahan tersebut
bertujuan agar dapat terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Dengan
kemaslahatan tersebut, dapat terpeliharanya kehormatan dan keturunan,
sehingga makna dan tujuan yang dikehendaki syara’dalam mensyariatkan
suatu hukum dapat terpenuhi.
Gus Nuril menyatakan bahwa pada setiap hukum itu terkandung
kemaslahatan bagi hamba Allah Swt baik kemaslahatan itu bersifat duniawi
maupun ukhrawi. Oleh sebab itu, Gus Nuril dalam menyimpulkan hukum dari
suatu kasus yang sedang di hadapi, bukan hanya berpatokan pada Qaidah
Fiqhiyah juga berpatokan pada Al-Qur’an agar hukum yang di tetapkan
sesuai dengan tujuan-tujuan syar’i.
Apabila dalam suatu perkara terlihat
adanya kemaslahatan, namun disitu juga terdapat adanya mafsadat
(Kerusakan), maka haruslah di dahulukan menghilangkan mafsadatnya,
karena kemafsadatan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga
akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.
4
A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih H.Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah
praktis, (Jakarta:Kencana,2006) , hlm.29.
62
Pada dasarnya maslahah adalah memelihara tujuan syara’(dalam
penetapan hukum). Sedangkan dalam memelihara syara’ ada 5 hal yang harus
di jaga guna agar tidak mengancam eksistensi manusia yaitu;
1) Menjaga Jiwa,
2) Menjaga Agama,
3) Menjaga akal,
4) Menjaga keturunan dan harta. 5
Kelima asas diatas dapat dijelaskan oleh penulis sebagai berikut;
pada poin pertama yakni terjaganya jiwa dalam kasus pernikahan beda agama
menurut Gus Nuril, tidaklah sesuai dengan tujuan syariat karena sebuah
perkawinan haruslah dimiliki jiwa yang tentram dari kedua pasangan
.Ketentraman dapat diperoleh dengan adanya kesamaan akidah sehingga terdapat
kesamaan makna dan tujuan dari sebuah perkawinan. Dan tujuan dari perkawinan
itu sendiri secara haqiqi yakni terjalin jiwa yang tenang dan terjalin hubungan
yang sakinah, mawaddah dan waramah.
Selanjutnya pada poin yang kedua terjaganya agama dalam kasus pernikahan
beda agama menurut Gus Nuril , tidaklah sesuai karena melihat kondisinya
terlebih dahulu. Jika kualitas Iman laki-laki baik maka akan lebih terjaganya
agama karena tidak terbujuk oleh keyakinan istrinya sendiri. Namun sebaliknya
jika kualitas iman laki-laki tersebut kurang baik, maka akan lebih mudah terbujuk
kedalam keyakinan istrinya sehingga tidak terjaganya keyakinan laki-laki
tersebut.
5
hlm.134.
(Mukhlis Usman,Kaidah-kaidah Ushul Fiqih dan Fiqhiyyah (Jkt: Raja rafindo,1997),
63
Pada poin yang ketiga terjaganya akal pada kasus perkawinan beda agama
menurut Gus Nuril adalah tidaklah sesuai karena ketidaksamaan akidah
menjadikan mereka berbeda persepsi tentang segala sesuatu yang terjadi dalam
rumah tangga mereka.
Kemudian pada poin yang keempat yakni terjaganya keturunan dalam kasus
pernikahan beda agama menurut Gus Nuril agar tidak berbuat zina jika tidak
dibolehkan adalah sesuai dengan tujuan syariat, karena dengan pernikahan maka
akan bisa menundukan pandangan dan kemaluan.
Selanjutnya pada poin kelima yakni terjaganya harta dalam kasus pernikahan
beda agama menurut Gus Nuril tidaklah sesuai karena melihat ketidaksamaan
aqidah menjadikan mereka saling berbeda persepsi sehingga dalam permasalahan
internal seperti bagaimana menjaga harta yang dimiliki oleh pasangan tersebut
juga memiliki cara berbeda sesuai dengan persepsi masing-masing. Pernyataan
diatas merupakan analisa penulis tentang tujuan Maqashid Syariah dalam kasus
pernikahan beda agama. Di dalam Hukum Islam terdapat Makna dan tujuan yang
dikehendaki syara’ dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat
manusia ulama ushul fiqih mendefinisikannya dengan makna dari maqashid alsyari’ah.
Maqhasid syariah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayatayat Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan
suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Abu
Ishaq al- Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat
64
Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah
untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut asl-Syatibi
terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat,
dan kebutuhan tahsiniyat.
a.
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau
disebut dengan kebutuhan primer. Menurut al-Syatibi ada lima hal yang
termasuk dalam kategori ini, yaitu agama, memelihara jiwa, memelihara
akal, memelihara kehormatan dan keturunan, serta memelihara harta.
b.
Kabutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, di mana
bilamana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya,
namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala
kesulitan itu. Adanya hukum rukhsah(keringanan) seperti dijelaskan Abd
al-wahab khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam
terhadap kebutuhan ini.
c.
Kebutuhan Tahsiniyat.
Kebutuhan tahsiniyat ialah kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak
mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula
menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini menurut al-Syatibi yaitu
hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat , menghindarkan
65
hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengang keindahan
yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.6
Melihat dari semua keterangan diatas dapat disimpulkan oleh penulis
bahwa terwujudnya kemaslahatan hanya dapat didapatkan dalam pernikahan
yang seagama karena akan lebih mudah terbentuk gender agama yang baik
dengan mempunyai pandangan dan pemikiran yang sama.
Kembali kepada permasalahan dibolehkannya pernikahan beda agama
mempunyai berbagai macam pandangan dari berbagai pendapat para ulama
dan dengan melihat tinjauan maqashid al-syariah hikmah dibolehannya
pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim, yaitu selain
mempunyai dasar mencegah kemafsadatan lebih baik dari berbuat kebaikan
karena dikhawatirkan terjadinya zina jika pernikahan tersebut tidak
dibolehkan, merupakan alasan dibolehkan pernikahan beda agama jika
ditempatkan di wilayah yang minoritas umat Islam.
Karena itu, cukup bijaksana dan suatu ketetapan yang arif bahwa
agama Islam pada dasarnya melarang perkawinan antara muslim/muslimah
dengan bukan penganut Islam, kecuali dalam kondisi tertentu yang tolerir
syariat, pria muslim yang kualitas dan kadar iman dan Islamnya cukup
mantap, diperkenankan kawin dengan wanita Ahlu Kitab yanga akidah dan
praktek ibadahnya tidak menyimpang jauh dari Islam atau yang bukan dari
kalangan aktivis fanatik agama Ahlu Kitab dengan disertai tujuan, misi, dan
usaha serius untuk membawa pasangannya kepada Islam.
6
23.
Prof. Dr.H. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushul fiqih ( Jakarta: Kencana, 2005),hlm 233-
Download