cover ok print.indd 1 15/03/2011 11:02:39 REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Seri hukum dan keadilan iklim S eri ini adalah publikasi untuk menyebarluaskan proses-proses pembelajaran dan karya ilmiah mengenai aspek hukum dalam persoalan-persoalan perubahan iklim. Seri ini diterbitkan atas dasar pertimbangan masih kurangnya publikasi-publikasi mengenai perubahan iklim yang berfokus pada persoalan hukum, keadilan sosial dan lingkungan. Tema-tema ini mempunyai arti penting bagi Indonesia mengingat kompleksnya persoalan-persoalan ekologis dan sosial akibat perubahan iklim, kebijakan dan proyek-proyek yang terkait dengannya. Bagaimanakah kebijakan dan proyek-proyek ini menjamin keadilan bagi masyarakat yang paling rentan dan paling terkena dampak proyek serta dampak perubahan iklim itu sendiri serta keadilan terhadap lingkungan? Inilah tema-tema pokok dari rangkaian publikasi dalam Seri ini. Khusus publikasi dalam Seri ini diterbitkan oleh Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) dukungan pendanaan dari Rainforest Foundation Norwegia. Publikasi dalam seri ini: Tenurial dalam perdebatan REDD: Pokok persoalan atau hanya pelengkap? (Lorenzo Cotula dan James Mayers). Hukum, perubahan iklim dan REDD: Prosiding pelatihan kerangka hukum dan kebijakan perubahan iklim, khususnya REDD dari perspektif hak masyarakat dan keberlanjutan hutan (Bernadinus Steni dan Mumu Muhajir, penyunting). SERI HUKUM DAN Keadilan Iklim REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Studi tentang kebijakan pemerintah dan kerentanan sosial masyarakat Penyunting: Mumu Muhajir HuMa Jakarta, 2010 REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Studi tentang kebijakan pemerintah dan kerentanan sosial masyarakat / Penyunting: Mumu Muhajir. –Ed.1. –Jakarta: HuMa, 2010. x, 338 hlm. ill. : 23 x 15 cm. ISBN 978-602-8829-08-3 REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Studi tentang kebijakan pemerintah dan kerentanan sosial masyarakat © 2010 All rights reserved Penyunting: Mumu Muhajir Kontributor: Bernadinus Steni, Iwi Sartika, Laurensius Gawing, Mumu Muhajir, Myrna A. Safitri, Rano Rahman, Semiarto Aji Purwanto Foto sampul: Mumu Muhajir Cover dan Layout: Nur Budiman Edisi pertama: Juni 2010 Penerbit: HuMA-Jakarta Jl. Jati Agung No.8 Jakarta 12540 Telepon: +62-21-78845871; 78832167 Faksimile: +62-21 7806959 E-mail: [email protected]; [email protected] Website: www.hukumdanmasyarakat.org; www.huma.or.id Kalam Pembuka Riuh rendah perdebatan mengenai upaya pengurangan emisi melalui mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, REDD) serta pengembangannya kemudian melalui REDD+ (mekanisme REDD yang ditambah dengan peran konservasi, sustainable management of forests (SMF) dan peningkatan stock karbon hutan di negara berkembang) mewarnai wacana advokasi kebijakan dan akademik di Indonesia sejak beberapa tahun ini. Pertanyaan yang jamak diajukan terhadap hal ini adalah se-siap apakah pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan dan program terkait REDD dan se-siap apa pulakah masyarakat adat/lokal menghadapi pelaksanaan program REDD di wilayahnya. Buku ini mencoba menjawab pertanyaan itu dengan memaparkan data dan analisis yang diperoleh para penulisnya melalui beberapa penelitian yang kami - Learning Centre Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) – lakukan bersama dengan para mitra kami. Penelitian yang berlangsung di paruh pertama tahun 2010 mengurai berbagai permasalahan terkait dengan kebijakan, peraturan perundang-undangan dan kelembagaan pembangunan lingkungan hidup secara umum dan kaitannya dengan perubahan iklim dan REDD secara khusus di tingkat nasional dan dua daerah penelitian: Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Selanjutnya kami menganalisis pula potensi kerentanan sosial yang akan terjadi pada beberapa komunitas adat/lokal di kedua provinsi seandainya program REDD akan dijalankan di wilayah tersebut. Pengalaman masyarakat berinteraksi dengan agen dan program pembangunan ekonomi dan lingkungan adalah modal utama untuk memprediksi faktor-faktor yang akan berpengaruh pada kerentanan dan kelentingan sosial mereka. Penelitian ini dapat lakukan karena dukungan dari Rainforest Foundation Norwegia (RFN). Kami berterima kasih kepada lembaga tersebut. Selanjutnya, kami menyampaikan penghargaan kepada para peneliti yang terlibat dalam kegiatan ini: Laurensius Gawing dan Iwi Sartika (Lembaga Bela Banua Talino, Pontianak) dan Rano Rahman (Yayasan Betang Borneo, Palangkaraya). Penghargaan yang sama kami alamatkan kepada Dr. Semiarto Aji Purwanto (Departemen Antropologi Universitas Indonesia) sebagai supervisor studi kasus kerentanan sosial masyarakat. Kepada Mumu Muhajir dari Learning Centre HuMa yang mengkoordinir penelitian dan akhirnya menjadi penyunting buku ini kami sampaikan ucapan terima kasih. Direktur dan staf Lembaga Bela Banua Talino dan Yayasan Betang Borneo telah memberikan dukungannya pula dalam kegiatan ini, karenanya kepada mereka kami ingin menyampaikan terima kasih. Para informan yang meliputi pejabat pemerintah dari Jakarta, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, akademisi, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat dan teramat penting para tokoh adat dan seluruh warga di desa-desa penelitian di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat menjadi bagian yang penting dalam penelitian ini. Terima kasih kepada mereka semua. Kepada Dr. Agus Mulyana dari CIFOR (Center for International Forestry Research), Bogor serta Darmawan Triwibowo dari Perkumpulan Prakarsa, Jakarta yang berkenan menjadi pengkaji ahli atas temuan-temuan penelitian, kami juga menyampaikan terima kasih. Demikian pula ucapan yang sama kami sampaikan kepada para peserta seminar hasil penelitian yang telah memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan laporan penelitian ini. Dengan segala kesadaran, kami mengakui masih banyak kelemahan dalam penelitian serta penulisan buku ini. Buku ini hanyalah sebuah noktah dalam pusaran pengembangan wacana advokasi keadilan iklim di Indonesia. Bagi kami, ini adalah awal untuk terus mengikuti perkembangan REDD di Indonesia dan mengabarkannya kepada publik. Jakarta, Juni 2010 Myrna A. Safitri Koordinator eksektuif Learning Centre HuMa vi SERI HUKUM DAN Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Daftar Isi Kalam Pembuka..................................................................................... v Daftar isi.................................................................................................. vi Daftar kotak, peta, bagan dan tabel................................................ x 1. REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: Sebuah pengantar Mumu Muhajir dan Myrna A. Safitri......................................... 1 2. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen Bernadinus Steni............................................................................. 23 3. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sebagai kasus Mumu Muhajir................................................................................. 99 4. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap perubahan iklim/REDD di Kalimantan Tengah Mumu Muhajir................................................................................. 183 5. Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat Laurensius Gawing......................................................................... 235 6. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/REDD: Studi di tiga desa di Kalimantan Semiarto Aji Purwanto, Iwi Sartika dan Rano Rahman..... 269 Daftar pustaka.......................................................................................... 329 Biodata Penulis ........................................................................................ 337 Daftar Isi vii Daftar kotak, peta, bagan dan tabel Kotak Kotak 2.1. Laporan IPCC 1990 ............................................................. 27 Kotak 2.2. Pasal 4 ayat 8 Konvensi Perubahan Iklim........................ 32 Kotak 2.3. Net dan Gross....................................................................... 72 Kotak 2.4. Praktek SFM.......................................................................... 74 Kotak 3.1. REDD dan pengentasan kemiskinan................................. 138 Kotak 5.1. Indicative Guidance Demonstration Activities................... 236 Peta Peta 5.1. Lokasi DA FFI (IUPHHK RE) Danau Siawan-Belida (SK Menhut No 259/2009).................................................. 245 Bagan Bagan 2.1. Perbandingan emisi karbon negara maju-negara berkembang........................................................................... 60 Bagan 2.2. Skema REDD (1).................................................................... 76 Bagan 2.3. Skema REDD (2)................................................................... 79 Bagan 2.4. Aspek yang mempengaruhi baseline................................. 80 Bagan 2.5. Posisi tawar para pihak . .................................................... 85 Bagan 6.1. Percampuran struktur pemerintahan adat dan desa di Jelemuk ................................................................................. 274 Bagan 6.2. Kalender musim orang Kantuk.......................................... 281 Bagan 6.3. Skor akses desa ke situs...................................................... 298 Tabel Tabel 2.1. Daftar negara Annex I, Annex II dan Non-Annex......... 39 Tabel 2.2. Negara-negara yang masuk dalam Annex B Protokol Kyoto dan target pengurangan emisi mereka.................. 41 Tabel 2.3. Contoh gap emisi per kapita negara berkembang.......... 60 Tabel 2.4. Skenario pengurangan emisi IPCC .................................. 61 Tabel 2.5. Skenario cakupan REDD plus............................................ 70 Tabel 2.6. Skenario definisi deforestasi ............................................. 82 Tabel 2.7. Peta perdebatan antara negara maju dan negara berkembang . ........................................................................ 87 Tabel 2.8. Teks safeguard yang melemah .......................................... 89 viii SERI HUKUM DAN Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Tabel 3.1. RPJM 2004 – 2009 .............................................................. 104 Tabel 3.2. RKP 2008............................................................................... 108 Table 3.3. RPJM 2010-2014..................................................................... 113 Tabel 3.4. RKP 2010................................................................................ 116 Tabel 3.5. Renstra KL Dephut 2009 ................................................... 126 Tabel 3.6. Kegiatan Dephut di tahun 2010 terkait dengan efektivitas perumusan pendanaan terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.................................................... 127 Tabel 3.7. Pembagian keuntungan menurut Permenhut P30/2009 143 Tabel 3.8. Perbedaan lembaga terkait perubahan iklim di bawah Dephut .................................................................................. 158 Tabel 3.9. Alokasi anggaran peningkatan kapasitas penanganan perubahan iklim di APBN 2010 ........................................ 170 Tabel 5.1. Luas wilayah dan jumlah kecamatan Kabupaten Kapuas Hulu ........................................................................ 242 Tabel 5.2. Kawasan konservasi Kapuas Hulu . .................................. 256 Tabel 6.1. Jenis kegiatan utama produktif warga Desa Petak Puti 306 Tabel 6.2. Proses perladangan dengan kalender musim ................. 309 Tabel 6.3. Taksonomi Dayak Ngaju...................................................... 310 Tabel 6.4. Pembagian kawasan di Desa Petak Puti dan Kalumpang 311 Daftar Isi ix 1. REDD di Indonesia, kebijakan p e m e r i n t a h d a n ke r e n t a n a n masyarakat: Sebuah pengantar Mumu Muhajir dan Myrna A. Safitri 1.1 Upaya-upaya dunia internasional menanggapi perubahan iklim: Menyeimbangkan tanggung jawab? Pada mulanya, banyak pihak memahami fenomena perubahan iklim sebagai proses alamiah semata. Hampir tidak terdapat pengaruh manusia di dalamnya. Kesadaran bahwa manusia berperan penting dalam menyumbang percepatan perubahan iklim sekaligus mengendalikannya mulai menguat ketika berbagai laporan penelitian menunjukkan kebenaran hal ini. Misalkan saja laporan penelitian Callender – seorang peneliti berkebangsaan Inggris – pada tahun 1938 yang mempertanyakan kemungkinan naiknya jumlah CO2 di atmosfer disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Kemudian pada tahun 1950-an, seorang peneliti bernama Keeling menemukan metode untuk mengukur konsentrasi CO2 di atmosfer dan bahkan bisa menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer berkorelasi dengan emisi karbon yang disebabkan pembakaran bahan bakar fosil. Metode ini disempurnakan pada tahun 1970-an dimana para peneliti dapat menemukan angka yang lebih tepat soal naiknya konsentrasi CO2 di atmosfer yang ternyata tidak hanya disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, tetapi juga pembukaan lahan (Bolin, 2007:11-2). Konsumsi energi fosil serta pembukaan lahan adalah dua contoh kontribusi besar manusia terhadap perubahan iklim. Selain menjadi penyumbang bagi terjadinya perubahan iklim, manusia juga menjadi korban daripadanya. Perubahan iklim memberikan dampak yang luar biasa pada kelangsungan hidup milyaran manusia penghuni planet ini. Bumi yang makin panas membuat lapisan salju meleleh, menaikkan permukaan air laut, menguatkan dan mempersering datangnya topan, curah hujan, mengebalkan dan sekaligus meragamkan berbagai macam penyakit. Akibatnya, pola tanam pertanian berubah, ikan berpindah migrasinya, arus transportasi laut dan udara terganggu, dan ratusan juta manusia harus REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar 1 pindah atau dipindah paksa karena pemukimannya sudah tidak layak untuk ditempati (Burroughs, 2007:221-31). United Nations Framework on Climate Change Convention atau Kerangka kerja Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (selanjutnya disingkat UNFCCC)1 pada tahun 1992 menyatakan secara tegas bahwa ada sebagian umat manusia yang bertanggung jawab lebih dalam mempercepat perubahan iklim tersebut. Kelompok ini meliputi mereka yang sekarang menikmati kesejahteraan tinggi dengan cara memakai konsumsi sumber daya alam secara tidak wajar. Mereka adalah negara-negara maju yang dalam UNFCCC dilabeli sebagai Negara Annex 1.2 Termasuk ke dalam kategori negara-negara ini antara lain adalah Amerika Serikat, Australia, Negara-negara Eropa di luar Negara Eropa Timur. Ironisnya, penanggung dampak negatif terbesar akibat perubahan iklim ini bukanlah mereka yang menyebabkannya. Negara berkembang terutama negara-negara kepulauan seperti Indonesia menerima dampak perubahan iklim yang lebih besar daripada negara-negara maju. Karena itu, UNFCCC – setidaknya sampai saat ini –mewajibkan negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim ini. Sebuah cara paling tepat untuk mengatasi dampak terburuk perubahan iklim adalah penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).3 UNFCCC telah mewajibkan negara-negara maju untuk menurunkan emisi GRK yang dihasilkan di negara mereka. Menariknya, beberapa negara berkembang juga ingin berkontribusi pada penurunan emisi tersebut dengan menyodorkan hutan-hutan mereka sebagai penyerap karbon. Dalam teori-teori mengenai perubahan iklim, karbon adalah salah satu gas yang menjadi penyumbang penting bagi pemanasan global dan pada akhirnya memicu perubahan iklim (Solomom dkk., 2007). Dengan hutan-hutan yang mereka miliki, negaranegara berkembang berkeyakinan bahwa gas-gas karbon itu dapat terserap oleh hutan-hutan mereka, sehingga secara signifikan dapat menyumbang pada penurunan emisi. Kontribusi hutan yang unik dalam perubahan iklim – sebagai penyumbang sekaligus penyerap emisi rumah kaca – sebenarnya sudah disinggung dalam sebuah laporan dari Inter-governmental Panel on Climate Change (Panel antar pemerintah mengenai perubahan iklim, selanjutnya disingkat IPCC)4 pada tahun 2001. Laporan yang dikenal dengan Third Assesment Report (TAR) itu menyebutkan kontribusi perubahan tata 1 2 3 4 Penjelasan lebih jauh mengenai UNFCCC lihat bab 2.2 buku ini. Secara lengkap tentang daftar negara-negara yang termasuk ke dalam kategori negara Annex 1 ini lihat di Bab 2.2.(e) buku ini. Tentang definisi emisi GRK lihat bagian 1.4 pada bab ini. IPCC adalah sebuah panel pakar antarpemerintah yang dibentuk pada tahun 1988 oleh World Meteorological Organization (WMO) dan the United Nations Environment Programme (UNEP) yang bertugas meneliti resiko perubahan iklim akibat tindakan manusia. Lebih lanjut bisa dilihat di bab 2.2. 2 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? guna lahan pada perubahan iklim sejak dekade 1980-an hingga laporan itu diterbitkan berjumlah kurang lebih seperempat dari emisi global yang ada waktu itu. Penyumbang terbesar dari perubahan tata guna lahan itu adalah deforestasi.5 Dalam bagian lain laporan itu menyatakan sejak tahun 1850 diperkirakan hutan dunia hilang sebesar 20% yang menyumbang 90% emisi akibat perubahan tata guna lahan (Houghton dkk., 2001). TAR yang dikeluarkan oleh IPCC ini menginisiasi lahirnya sebuah dokumen UNFCCC yang dihasilkan di dalam COP 7 tahun 2001 yang diselenggarakan di Marrakesh, Maroko, yang dikenal dengan nama “Marrakesh Accord”. Dalam berbagai keputusan COP 7 tersebut, TAR berulang kali disebutkan sebagai rujukan penting dalam pengambilan keputusan para peserta dan bahkan memerintahkan badan-badan ad-hoc seperti SABTA atau SBTA untuk memperhatikan hasil-hasil kajian yang ada di dalam TAR dalam setiap putaran perundingannya. Perlu kami jelaskan terlebih dahulu bahwa COP atau Conference of Parties adalah sebuah forum pengambil keputusan tertinggi dari para pihak dalam UNFCCC. Forum ini bertanggungjawab untuk merancang upayaupaya internasional terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.6 Termasuk pula dalam tugas COP ini adalah mengkaji ulang penerapan kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dalam UNFCCC serta menguji komitmen para pihak dalam menjalankan kesepakatan-kesepakatan tersebut.7 Kembali pada Marrakesh Accord. Dokumen ini antara lain memasukkan hutan dalam strategi mitigasi perubahan iklim. Namun dalam perundingan, hanya aspek reforestasi dan aforestasi saja yang dimasukkan ke dalam skema mitigasi, yang kemudian dimasukkan ke dalam Skema CDM dalam Protokol Kyoto. 8 Sementara itu, pencegahan deforestasi – yang sebenarnya penyebab utama perubahan iklim– tidak dibahas. Penyebabnya, antara lain, adalah masalah definisi hutan yang masih ambigu dan lingkup CDM hanya berupa proyek yang kecil, sementara deforestasi lingkupnya secara geografi lebih luas (Swallow dkk., 2007). Barulah dalam COP 11 di Montreal pada Desember 2005, UNFCCC mengeluarkan pertimbangan kemungkinan adanya kebijakan strategi pengurangan emisi dari deforestasi di hutan tropis. Kajian soal kemungkinan adanya kebijakan itu akan dilakukan dalam waktu dua tahun. Dalam COP 11 ini pula, Kosta Rika dan Papua Nugini mengajukan usulan mekanisme 5 6 7 8 Dalam laporan itu, deforestasi didefinisikan sebagai “Conversion of forest to non-forest” atau perubahan hutan menjadi bukan hutan; sementara itu, buku ini menggunakan istilah deforestasi untuk menjelaskan perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Istilah yang dipakai dalam buku ini sama dengan pengertian deforestasi di dalam Protokol Kyoto (decision 11/COP 7 UNFCCC 2001; dapat dilihat di unfccc.int/resource/docs/cop7/13a01.pdf (diakses 28-09-2010)) Untuk definisi adaptasi dan mitigsi bisa dilihat pada bagian 1.4 bab ini. Deskripsi lebih rinci mengenai COP dan perkembangannya dapat dilihat pada bab 2.2 (d) buku ini. Skema aforestasi dan reforestasi ini masuk ke dalam Skema CDM di dalam Protokol Kyoto. Penjelasan lebih lanjut soal Protokol Kyoto dapat dibaca pada Bab 2.3 buku ini. REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar 3 pengurangan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) akibat deforestasi atau Reducing Emissions from Deforestation (RED). Dalam rangka memperkuat argumentasi keharusan masuknya “avoided deforestation”,9 IPCC tahun 2007 mengeluarkan laporan keempatnya yang menyatakan ada sekitar 1,6 miliar ton gas karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan per tahunnya ke atmosfer akibat perubahan tata guna lahan, sebagian besarnya disumbangkan oleh deforestasi. Jumlah itu merupakan seperlima dari jumlah emisi global yang ada saat ini (Solomon dkk., 2007). Dalam COP 13 di Bali, Desember 2007, avoided deforestation resmi dimasukkan dalam materi perundingan UNFCCC yang kemungkinan persetujuan atas mekanismenya akan diadakan di COP 15 di Kopenhagen tahun 2009. Di COP 13 ini juga dihasilkan Bali Action Plan yang berisi kesepakatan untuk melanjutkan perundingan yang mempertimbangkan kebijakan dan insentif positif untuk isu yang berkaitan dengan pengurangan ERK dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang. Dari perundingan ini pula ditakzimkan istilah REDD atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation.10 Skema REDD inilah yang kemudian menjadi riuh rendah diperbincangkan. Ratusan publikasi ilmiah dicetak dan diperdebatkan. Penamaan REDD juga mengalami perkembangan. REDD pada awalnya hanya menyangkut pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, aspek “negatif” dalam skema ini. Mengingat skema REDD juga perlu disusupi dengan aspek “positif” berupa pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), konservasi dan peningkatan penyimpanan karbon (carbon stock), maka dalam perkembangannya skema REDD ini ditambahi “+” di huruf terakhirnya sehingga menjadi REDD+ (Angelsen,Wertz-Kanounnikoff, 2008:15). Skema terakhir itulah yang masuk di dalam COP 13, diperkuat di COP 14 Poznan dan didiskusikan dengan panas dengan harapan dapat terwujud komitmen yang mengikat – namun gagal – di COP 15 Kopenhagen tahun 2009 kemarin. Dengan demikian, dari sisi negara berkembang, REDD+ merupakan skema kedua setelah CDM (Clean Development Mechanism/Skema Pembangunan Bersih) yang menghubungkan mereka dengan tugas yang sebenarnya menjadi tanggung jawab utama negara-negara maju: mitigasi perubahan iklim. Pada skema CDM ini – skema yang dilahirkan oleh Protokol Kyoto – negara-negara berkembang menyelenggarakan berbagai proyek yang hasilnya adalah penurunan emisi GRK. Hasil penurunan emisi ini (Kredit Emisi) ini kemudian dijual kepada negara-negara maju. Dengan demikian, negara-negara berkembang “membantu” negara-negara maju memenuhi kewajibannya menurunkan emisi dengan imbalan insentif keuangan. 9 10 Definisi Avoided Deforestation dapat dilihat pada 1.4 bab ini. Mengenai REDD dan berbagai skema yang diusulkan lihat bab 2, khususnya bagian 2.7 buku ini. 4 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Mengikutsertakan negara-negara berkembang di dalam kewajiban pengurangan emisi merupakan salah satu perdebatan panas di dalam UNFCCC. Hasilnya nyata dalam COP 15 di Kopenhagen yang menghasilkan Copenhagen Accord 2009. Walaupun kesepakatan ini tidak mengikat secara hukum, namun membuka jalan bagi keterlibatan negara-negara berkembang dengan keharusan mengirimkan komitmen pengendalian perubahan iklim ke sekretariat UNFCCC. Indonesia adalah salah satu negara yang menyatakan komitmen pengendalian iklim secara sukarela tersebut. Namun, UNFCCC sendiri menegaskan bahwa komitmen pengendalian iklim tersebut harus diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan secara umum di masingmasing negara berkembang, terutama dalam usaha pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bagaimanakah Indonesia menyiapkan perangkat hukum dan kelembagaan untuk menjalankan komitmen ini akan kami jelaskan di bagian berikut. 1.2 REDD di Indonesia Indonesia membuka tangan lebar masuknya sektor hutan dalam skema mitigasi perubahan iklim. Sebelum COP-13, Indonesia di bawah koordinasi Kementerian Kehutanan (melalui IFCA) telah menetapkan Road Map REDDI (Indonesia) yang terbagi ke dalam tiga fase:11 1. Persiapan (readiness) pada tahun 2007; Tahap ini bertujuan untuk menyiapkan perangkat metodologi dan strategi implementasi REDDI, termasuk penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi pelaksanaan (pilot/ demonstration activities, selanjutnya disingkat DA). Tahapan tersebut dilakukan dengan melakukan komunikasi/koordinasi/konsultasi dengan para pihak. 2. Pilot/transisi (2008-2012), merupakan tahapan untuk mengujicoba metodologi dan strategi, dan merupakan tahapan transisi dari nonmarket (fund-based) ke mekanisme pasar (market mechanism),12 dan ke arah implementasi REDD secara penuh (dari 2012 atau lebih awal tergantung perkembangan negosiasi dan kesiapan Indonesia) dengan tata cara (rules and procedures) berdasarkan keputusan COP dan ketentuan di Indonesia. Pada tahapan ini tetap dilakukan komunikasi dan konsultasi dengan para pihak dengan penekanan pada para pihak 11 12 Mengenai IFCA dapat dilihat dalam Bab 3.3 sub (ii) buku ini. Mekanisme Pasar atau Market Mechanism yang dimaksud dalam pelaksanaan REDD merupakan tahapan dimana pembiayaan pelaksanaan REDD tidak digantungkan pada alokasi dana yang sudah ditentukan; namun didasarkan pada siklus penawaran dan permintaan yang berkembang di pasar biasa, sehingga bisa jadi sebuah proyek REDD tidak berjalan karena tidak diminati, di sisi lain, ada juga proyek REDD yang diminati sehingga dapat berjalan dengan harga yang tinggi. Fund Based Mechanism merupakan mekanisme di dalam REDD dimana pembiayaannya berasal dari alokasi dana tertentu yang sudah disepakati oleh para pihak, dalam hal ini negara-negara maju. Mekanisme ini menghindari adanya proyek REDD yang tidak jalan atau terbengkalai serta dengan mekanisme harga yang sudah (di-) tetap (-kan). Penjelasan lain bisa disimak di Bab 2.6 buku ini. REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar 5 di daerah, penyiapan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara REDD (termasuk tentang DA), pemilihan lokasi dan dimulainya DA. Komunikasi dan konsultasi dengan penekanan dengan para pihak di daerah ini dimaksudkan untuk memperkuat konsolidasi karena pihak daerahlah yang sebenarnya yang akan menanggung pelaksanaan REDD. 3. REDD setelah 2012 (full implementation) merupakan tahapan akhir yang diharapkan pada tahun 2012 ini telah ada kesepakatan secara internasional mekanisme REDD. Dengan kebijakan tanpa sesal atau “non-regret policy” pada soal REDD ini, Pemerintah Indonesia berharap skema REDD bisa terlaksana sebagai pengganti Protokol Kyoto yang kekuatan hukumnya akan berakhir di tahun 2012. Kebijakan tanpa sesal itu berarti jikapun REDD tidak terlaksana – karena tidak disepakati para pihak di dalam UNFCCC sebagai pengganti Protokol Kyoto – maka dua tahapan yang disebutkan di atas tetap “berguna” bagi perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia. Selain itu, usaha yang telah dilakukan ini menunjukkan Indonesia tidak tinggal diam dalam ikut menurunkan emisi karbon dunia. Bukan hanya dalam soal REDD, Indonesia menunjukkan keinginannya terlibat dalam mitigasi perubahan iklim. Menjelang perundingan COP 15 di Kopenhagen, Pemerintah Indonesia menyatakan secara sukarela berniat menurunkan tingkat emisinya sebesar 26% pada tahun 2020 dibandingkan pada emisi pada situasi biasa atau dikenal dengan istilah business as usual (BAU) atau 41% jika ada bantuan internasional. Kesanggupan ini sudah dilaporkan Indonesia ke Sekretariat UNFCCC bulan Februari 2010 sebagai tindak lanjut Copenhagen Accord 2009. Kesanggupan pemerintah menurunkan emisi itu erat hubungannya dengan profil emisi Indonesia serta adanya tawaran skema pembiayaan REDD. Penyumbang emisi terbesar Indonesia berasal dari tata guna lahan, deforestasi dan kebakaran lahan gambut. Ketiganya menyumbang 61% dari total emisi Indonesia di tahun 2005 (Ministry of Environment, 2009). Sementara, penurunan emisi dari ketiga sektor itu relatif berbiaya murah (cost-effective) dengan imbal hasil yang besar. Berbiaya murah, karena pengaturan serta pengelolaan pada ketiga soal itu sebenarnya sudah dikerjakan Indonesia. Tanpa harus bekerja dari nol. Ditambah dengan kenyataan ada banyak insentif yang dapat diraih oleh Indonesia atas pengelolaan yang biasa dilakukan di tiga sektor itu, termasuk di dalamnya REDD. Karena itu pula, Kementerian Kehutanan mendapatkan perintah dari Presiden Indonesia untuk berkontribusi dalam penurunan emisi itu. Kontribusi Kementerian Kehutanan merupakan yang terbesar yakni lebih dari separuh (51%) dari target penurunan pemerintah sebesar 26% . 13 13 Penjelasan singkat soal “non-regret policy” itu dapat disimak di Bab 3.3 buku ini. 6 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Pada titik inilah kita penting mengkaji REDD ini untuk melihat apakah komitmen besar dari pemerintah itu telah diimbangi dengan kesiapan yang memadai dari aspek kebijakan dan hukum, kelembagaan dan alokasi anggaran. Lebih penting dari itu adalah apakah masyarakat telah siap atau sebaliknya akan rentan jika proyek-proyek REDD dilaksanakan di wilayah mereka. Buku ini kami tulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Isinya adalah hasil-hasil penelitian yang kami lakukan di Learning Centre HuMa dengan melibatkan sejumlah mitra peneliti dari perguruan tinggi dan organisasi non pemerintah. 1.3 Tentang penelitian perubahan iklim/REDD (a) Lingkup dan masalah penelitian Kami membagi penelitian ini ke dalam dua kegiatan. Pertama adalah penelitian tentang kerangka kebijakan dan hukum serta kelembagaan yang terkait dengan perubahan iklim dan REDD di tingkat internasional, nasional dan daerah. Kedua adalah studi kasus mengenai kesiapan dan kerentanan sosial masyarakat adat/lokal dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hakhak mereka atas tanah dan sumber daya di wilayah-wilayah yang potensial menjadi wilayah pelaksanaan proyek REDD di Kalimantan Barat (Kabupaten Kapuas Hulu) dan Kalimantan Tengah (Kabupaten Kapuas). Penelitian kerangka hukum dan kelembagaan kami lakukan untuk mengetahui seberapa jauh instrumen hukum/kebijakan dan kelembagaan di tingkat internasional, nasional dan daerah, terkait dengan perubahan iklim, khususnya REDD, yang ada mengatur pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat/lokal atas hutan serta perlindungan hutan secara umum; seberapa jauh perangkat kelembagaan yang ada berfungsi untuk menjalankan pengakuan, pemenuhan dan perlindungan tersebut? Secara khusus, penelitian hukum dan kelembagaan internasional kami lakukan untuk mengetahui dinamika perundingan perubahan iklim di UNFCCC. Kami memandang pengetahuan tentang apa yang terjadi di tingkat internasional ini penting untuk memprediksi bagaimana REDD akan berjalan di Indonesia. Di sisi lain, pengetahuan yang baik tentang perbandingan hukum menjadi penting dalam melihat sejauh mana hukum nasional tunduk pada hukum internasional. Di tingkat nasional, penelitian ini melihat perkembangan kebijakan/ hukum dan kelembagaan dengan perubahan iklim dan REDD. Masalah spesifiknya adalah seberapa jauh kebijakan/hukum itu melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat/lokal atas tanah dan sumber daya mereka. Kami menganalisis peraturan yang terkait langsung atau tidak langsung dengan perubahan iklim atau REDD dan memprediksi (potensi) REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar 7 dampak pelaksanaannya. Kami juga melihat bentuk kelembagaan yang dibentuk yang terkait dengan pengendalian perubahan iklim. Di tingkat provinsi dan kabupaten, penelitian mencari sejauh mana peraturan dan lembaga yang ada di daerah dapat mengantisipasi pelaksanaan REDD. Penelitian ini mengungkap sejauh mana pelaksanaan REDD atau secara lebih umum kebijakan perubahan iklim ini diintegrasikan dalam rencana pembangunan daerah. Penelitian juga mengungkapkan bagaimana persoalan ini terkait dengan masalah pembagian kewenangan pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan. Di tingkat daerah ini kami juga mempelajari kemampuan kebijakan pemerintah daerah dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat/lokal. Studi kasus tentang kesiapan dan kerentanan sosial masyarakat kami lakukan untuk mengetahui sampai dimana pengetahuan masyarakat mengetahui REDD dan bagaimana kondisi riil masyarakat dalam pengelolaan hutan, pengembangan pranata dan kegiatan ekonomi, modal sosial, hubungan dengan dunia luar, kelembagaan, konflik dan penyelesaian konflik. Secara umum studi kasus ini diarahkan untuk mengetahui sejauh mana kondisi-kondisi tersebut dapat diantisipasi menjadikan masyarakat siap atau rentan menghadapi REDD. (b)Metode Penelitian kerangka hukum dan kebijakan kami lakukan utamanya dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Peneliti menganalisis dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh UNFCC, pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang memiliki kekuatan hukum. Di tingkat daerah, penelitian kami lengkapi juga dengan wawancara dengan sejumlah informan untuk mengetahui keberadaan dan aktivitas lembaga-lembaga pemerintah yang menangani urusan lingkungan hidup dan kehutanan secara umum dan perubahan iklim khususnya. Penelitian untuk level internasional kami lakukan dengan mengamati peran negara-negara, khususnya Indonesia dalam perundingan-perundingan perubahan iklim di UNFCCC, serta peran kelompok masyarakat sipil dalam perundingan tersebut. Dalam penelitian soal kerentanan dan kesiapan masyarakat, pengumpulan data dilakukan dengan metoda pemahaman masalah secara cepat (rapid appraisal) dengan memanfaatkan tenaga peneliti yang telah memahami dinamika penduduk dan masalah di sekitar lokasi penelitian. Dengan menggunakan metode yang acap digunakan dalam penelitian antropologi, kami melakukan sejumlah wawancara pada informan kunci, mendiskusikan berbagai isu terkait dengan warga masyarakat dan mengamati kondisi fisik dan interaksi sosial di tingkat komunitas. Selain itu para peneliti juga membaca secara kritis aneka pustaka baik buku, artikel dan laporan tentang wilayah tersebut maupun data statistik. 8 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Sebagaimana telah kami sampaikan di bagian 1.3 (a), studi kasus dilakukan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Di kedua provinsi ini kami memilih lokasi yang selama ini diusulkan (atau berpotensi) menjadi lokasi proyek kegiatan REDD, yakni di Desa Jelemuk, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dan Desa Kalumpang dan Desa Petak Puti, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Penelitian ini sendiri secara keseluruhan dilakukan dalam waktu enam bulan antara Januari – Juni 2010. Khusus untuk penelitian hukum/kebijakan kami mengamati perkembangan yang terjadi dalam kurun tahun 2007 - 2010. Dalam kenyataannya, ada fakta-fakta sebelum tahun 2007 yang terpaksa harus diungkapkan karena kuatnya keterkaitannya dengan periode yang diteliti. Rentang tahun 2007 – 2010 dipilih karena dalam rentang tahun inilah perbincangan soal perubahan iklim/REDD masuk di dalam wacana publik dan pemerintah Indonesia mulai serius menanggapinya. Dalam menjalankan penelitian ini kami mendapati sejumlah kendala, baik dari sisi substansi maupun teknis. Kehilangan salah satu anggota peneliti di lapangan dan data yang tidak terkumpul sesuai dengan yang diharapkan harus kami hadapi dan carikan solusinya. Selain itu mengingat REDD merupakan skema yang belum solid sehingga sangatlah sulit memperkirakan tanggapan pemerintah atau dampaknya pada masyarakat. Oleh sebab itu kami hanya mampu mengidentifikasi tanggapan-tanggapan pemerintah pusat dan daerah yang telah mewujud dalam peraturan perundang-undangan. Adapun untuk memprediksi kemungkinan dampak REDD pada masyarakat kami mencoba menarik analoginya dengan melihat beberapa proyek pembangunan ekonomi atau lingkungan hidup yang masuk ke dalam masyarakat desa. 1.4 Konsep-konsep Dalam penelitian ini ada banyak istilah yang kami gunakan dan masingmasing merujuk pada konsep yang khusus, yakni: (i) Perubahan iklim. Menurut definisi UNFCCC, perubahan iklim adalah perubahan pada iklim yang disebabkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer global. Dengan demikian, UNFCCC membagi perubahan iklim akibat aktivitas manusia dan akibat alami. Sebenarnya, perubahan iklim sudah terjadi sejak pertama kali bumi terbentuk dan secara alami terjadi dalam jangka waktu yang lama. Namun, sejak revolusi industri pada abad ke sembilan belas, pertama kali dalam sejarah manusia, aktivitas manusia mempengaruhi iklim. Perubahan iklim itu terjadi karena adanya perubahan kandungan gasgas yang ada di atmosfer bumi yang disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca. Perubahan iklim mencakup perubahan pada pola REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar 9 angin, tekanan udara, pola curah hujan dan suhu permukaan bumi. Perubahan iklim kadang disamakan dengan istilah pemanasan global, padahal istilah pemanasan global hanya mencakup bagian kecil dari pengertian perubahan iklim. (ii) Pemanasan global. Secara saintifik pemanasan global adalah fenomena atmosfer bumi dalam melindungi bumi agar tetap hangat dengan menahan sebagian pantulan sinar inframerah matahari tetap di bawah selimut atmosfer bumi. Istilah ini lebih tepat dikatakan sebagai efek rumah kaca. Ada beberapa gas di atmosfer yang berperan penting terjadinya efek rumah kaca, yakni uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metan (CH4), nitrogen oksida (N2O) dan ozon (O3). Sampai saat ini ada dua perjanjian internasional yang mengatur mengenai gas-gas di atmosfer ini. Protocol Montreal mengatur emisi rumah kaca yang dihasilkan manusia, yakni halocarbon (CFCs, HCFCs, dan lain-lain), dan gas yang mengandung clorin dan bromin. Sedangkan Protokol Kyoto, mengatur gas-gas rumah kaca berupa CO2, N2O, CH4, SF6, HFCs dan PFCs. (iii) Emisi Gas Rumah Kaca. Konsep itu terdiri dari kata “emisi” dan frase “gas rumah kaca” atau GRK. Emisi merupakan zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/ atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/ atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. Sementara GRK, dalam definisi IPCC merupakan gas-gas di atmosfer, baik berupa gas alami maupun yang dihasilkan oleh manusia, yang menyerap dan memancarkan radiasi pada panjang gelombang tertentu di dalam spektrum radiasi panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi, oleh atmosfer itu sendiri maupun oleh awan. Gas rumah kaca inilah yang menyebabkan lahirnya efek rumah kaca. Gas-gas rumah kaca alami antara lain adalah uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metan (CH4), nitrogen oksida (N2O) dan ozon (O3). Sementara gas rumah kaca yang dihasilkan oleh manusia antara lain adalah halocarbon (CFCs, HCFCs, dan lain-lain), gas yang mengandung clorin dan bromin (Solomon dkk., 2007). (iv) REDD. Kepanjangan REDD dalam perdebatan di UNFCCC tidak selalu konsisten. Ia bisa kepanjangan dari pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang/Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation in developing countries atau kepanjangan dari Pengurangan emisi dari deforestasi di negara berkembang/Reducing Emissions from Deforestation in developing Countries. Kepanjangan REDD yang pertama itu merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Indonesia pada COP 13, Desember 2007, di 10 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Bali. Definisi resmi Indonesia tentang REDD adalah semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. REDD dalam pelaksanaannya merujuk pada dua hal. Pertama, proses pembentukan mekanisme pembayaran kepada negara berkembang yang telah mengurangi emisinya lewat pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan. Kedua, ia merujuk pada aktivitas persiapan bagi negara agar terlibat dalam mekanisme REDD, yang setidaknya akan melakukan pengujian dan pengembangan metodologi, teknologi dan institusi pengelolaan hutan secara berkelanjutan yang berupaya untuk mengurangi emisi karbon. Di Indonesia, rujukan kedua itu dikenal dengan istilah Demonstration Activities (DA). (v) Carbon Offset. Merupakan kredit pengurangan emisi rumah kaca yang berasal dari proyek atau organisasi lain yang melakukan praktik pengeluaran emisi gas rumah kaca yang rendah di tempat lain. Dengan demikian, biarpun bernama carbon, ia tidak hanya terbatas pada karbon saja, namun juga mencakup emisi rumah kaca lain di luar karbon. Pengaturan Carbon Offset ini diatur dalam CO2‐eq atau carbon dioxide-equivalent. Carbon Offset memungkinkan calon pembeli kredit membayar pihak lain untuk membuat proyek yang mengurangi emisi dengan atas nama calon pembeli kredit itu. Istilah ini muncul bersamaan dengan lahirnya Protokol Kyoto yang memberikan pilihan kepada negara maju – daripada melakukan pengurangan emisi di dalam negerinya – membiayai sebuah atau beberapa proyek pengurangan emisi di negara berkembang yang hasil pengurangan emisi itu akan dianggap sebagai pelaksanaan kewajiban pengurangan emisi negara maju (Bullock, Childs, Picken, 2009). Dalam perkembangannya aktor yang terlibat dalam Carbon Offset ini tidak hanya negara, namun juga individu dan perusahaan/ privat. (vi) Perdagangan karbon. Carbon Offset ini biasanya berjalan lewat mekanisme perdagangan karbon yang terdiri dari dua tipe, yaitu compliance dan voluntary. Pada perdagangan karbon yang bersifat compliance, para aktor (individu, perusahaan, pemerintah atau bentuk lembaga lain) membeli kredit karbon berdasarkan suatu batasan (“Cap”) karbon yang boleh dikeluarkan, sementara dalam perdagangan karbon yang bersifat voluntary – yang jumlahnya jauh lebih kecil dari yang compliance – para aktor membeli kredit pengurangan emisi untuk memitigasi pengeluaran emisi karbonnya sendiri. REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar 11 (vii) Deforestasi. Menurut Marrakesh Accord (COP 7) disebutkan bahwa deforestasi adalah direct human-induced conversion of forested land to non-forested land. 14 Sementara Indonesia sendiri memakai definisi yang hampir sama dengan definisi menurut UNFCCC itu dengan menyebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.15 (viii) Reforestasi. Ada dua definisi soal Reforestasi ini: untuk keperluan skema CDM dan lebih umum. Untuk keperluan skema CDM dapat dilihat pada Marrakesh Accord (COP 7) yang menyebutkan bahwa reforestasi adalah perubahan wilayah non-hutan menjadi hutan yang dilakukan oleh manusia melalui penanaman atau pembibitan yang dilakukan pada lahan yang dulunya hutan yang sudah dikonversi menjadi kawasan non-hutan.16 Lahan yang dapat dijadikan proyek reforestasi ini terbatas pada lahan yang tidak memiliki hutan sejak 31 Desember 1989. Sementara menurut Pemerintah Indonesia, reforestasi didefinisikan sebagai penghutanan pada lahan yang sejak tanggal 31 Desember 1989 bukan merupakan hutan.17 Penyebutan tanggal 31 Desember 1989, sebagaimana juga ada di dalam Marrakesh Accord, merupakan persyaratan di dalam skema CDM untuk periode komitmen pertama (2007-2012). Sementara itu, untuk definisi yang lebih umum, reforestasi adalah proses penghutanan pada lahan yang sebelumnya memiliki hutan namun telah dikonversi untuk keperluan lain (Solomon dkk., 2007). Dalam buku ini, kecuali disebutkan lain, istilah reforestasi merujuk pada pengertian dalam skema CDM. (ix) Aforestasi. Sebagaimana reforestasi, aforestasi ini memiliki dua pengertian: dalam skema CDM dan lebih umum. Dalam skema CDM, aforestasi disebutkan sebagai penghutanan pada lahan yang selama 50 tahun atau lebih bukan merupakan hutan,18 atau menurut Marrakesh Accord sebagai “the direct human-induced conversion of land that has not been forested for a period of at least 50 years to forested land through planting, seeding and/or the human-induced promotion of natural seed sources”.19 14 15 16 17 18 19 unfccc.int/resource/docs/cop7/13a01.pdf (diakses 28-09-2010). Pasal 1 butir 10 Permenhut P. P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). unfccc.int/resource/docs/cop7/13a01.pdf (diakses 28-09-2010). Pasal 1 butir 2 Permenhut P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih. Pasal 1 butir 1 Permenhut P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih. unfccc.int/resource/docs/cop7/13a01.pdf (diakses 28-09-2010). 12 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Aforestasi, dalam pengertian lebih luas, dimaknai sebagai penghutanan pada lahan yang sebelumnya belum pernah menjadi hutan (Solomon dkk., 2007). Dalam buku ini, kecuali disebutkan lain, istilah Aforestasi merujuk pada pengertian dalam skema CDM. (x) Degradasi hutan. Istilah ini belum dikenal dalam perundingan perubahan iklim. Indonesia, menyebut istilah degradasi hutan ini sebagai penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.20 Istilah ini serta istilah deforestasi terkait dengan istilah lain, yakni hutan. (xi) Hutan. Sampai saat ini UNFCCC mengadopsi istilah hutan yang dipunyai oleh FAO, yakni dengan mengatakan a minimum area of land of 0.05-1.0 hectares with tree crown cover (or equivalent stocking level) of more than 10-30 per cent with trees with the potential to reach a minimum height of 2-5 metres at maturity in situ.21 Tidak ada penjelasan apakah bisa juga dikatakan hutan ketika jenis pohonnya hampir seragam. Istilah Indonesia untuk hutan lebih bermasalah lagi. Hutan menurut Indonesia adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.22 Pengertian hutan itu dibedakan pengertiannya dengan kawasan hutan, yakni wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.23 (xii) Sustainable Forest Management (SFM). Pengertian SFM yang dibuat oleh Second Ministerial Conference on the Protection of Forests in Europe (MCPFE) pada tanggal 16-17 Juni 1993 di Helsinki, Finland (Helsinki Resolution) dapat dijadikan rujukan karena pengertian ini juga diadopsi oleh FAO. Menurut Helsinki Resolution, SFM adalah: The stewardship and use of forests and forest lands in a way, and at a rate, that maintains their biodiversity, productivity, regeneration capacity, vitality and their potential to fulfill, now and in the future, relevant ecological, economic and social functions, at local, national, and global levels, and that does not cause damage to other ecosystems (Pengusahaan hutan dan lahan hutan yang mempertimbangkan keanekaragaman hayati, produktivitasnya, kapasitas regenerasi, vitalitas dan potensinya untuk memenuhi fungsi 20 21 22 23 Pasal 1 butir 11 Permenhut P. P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). unfccc.int/resource/docs/cop7/13a01.pdf (diakses 28-09-2010). Pasal 1 butir 2 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Pasal 1 butir 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar 13 ekologis, ekonomi dan sosial, pada masa sekarang dan masa depan, baik pada tingkatan lokal, nasional dan global, dan pemenuhan fungsi itu tidak menyebabkan kerusakan pada ekosistem lain).24 Dalam praktiknya, SFM lebih ditujukan pada praktik perusahaan kayu besar dalam mengusahakan kekayaan kayu di wilayah konsesinya. Dengan definisi dan standar yang terlalu luas menyebabkan banyak perusahaan yang mengaku mengikuti standar tertentu SFM, padahal dalam prakteknya tidak demikian. Ketika SFM ini coba dimasukkan dalam perdebatan tentang REDD (dimasukkan kala perundingan soal teks REDD pada perundingan AWG di Bonn, Juni 2009), maka yang menerima manfaat adalah perusahaan kayu. Padahal perusahaan kayu ini menjadi biang terjadinya deforestasi dan penghasil banyak karbon (Global Witness, 2009). (xiii) Sustainable Management of Forest (SMF). Istilah ini muncul dalam perdebatan REDD ketika dicantumkan dalam Bali Action Plan 2007 Bali Action Plan memandatkan peran “..sustainable management of forest…” dalam usaha mitigasi perubahan iklim.25 Pengertian SMF ini juga diperkuat di dalam Copenhagen Accord yang dihasilkan COP 15 tahun 2009.26 Belum ada ditemukan penjelasan apa yang dimaksud dengan SMF ini, serta apa yang membedakannya dengan istilah SFM (xiv) Adaptasi. Dalam definisi yang lebih umum, adaptasi berarti menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Dalam persoalan perubahan iklim, adaptasi berarti penyesuaian dalam sistem alam atau kehidupan manusia untuk menanggapi perubahan iklim baik yang aktual atau yang diperkirakan atau dampaknya, yang ditujukan untuk mengurangi kerugian atau memanfaatkan peluang yang paling menguntungkan (Parry dkk., 2007). Persoalan adaptasi ini kurang begitu hangat dibicarakan dalam perundingan perubahan iklim di UNFCCC, baik soal kejelasan dana buat adaptasi maupun transfer teknologi dari negara-negara maju. Padahal, tindakan adaptasi sangat diperlukan oleh banyak negara-negara yang sudah diperkirakan akan terkena dampak oleh perubahan iklim, terutama negara-negara kecil dan kepulauan. Negara-negara maju diwajibkan membantu negara-negara berkembang agar dapat melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan cara bantuan keuangan dan transfer teknologi. Sampai perdebatan terakhir di COP 15, kedua isu dalam adaptasi itu belum jelas wujudnya. (xv) Mitigasi. Dalam perdebatan soal perubahan iklim, mitigasi merupakan intervensi manusia untuk mengurangi tekanan manusia 24 25 26 http://www.foresteurope.org/filestore/foresteurope/Conferences/Helsinki/helsinki_resolution_h1.pdf (diakses 28-09-2010). unfccc.int/files/meetings/cop_13/application/pdf/cp_bali_act_p.pdf (diakses 28-09-20100. http://unfccc.int/resource/docs/2009/cop15/eng/11a01.pdf (diakses 28-09-2010). 14 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? pada sistem iklim. Termasuk ke dalam tindakan mitigasi disini adalah strategi untuk mengurangi sumber dan emisi gas rumah kaca serta memperbesar penyerapan gas rumah kaca. Isu mitigasi, dianalogikan dengan rem dalam mekanik mobil, mengambil porsi yang besar dalam perdebatan perubahan iklim di UNFCCC. Sampai saat ini, sebenarnya, berdasarkan Protokol Kyoto, hanya negara-negara maju yang diwajibkan melaksanakan tindakan mitigasi. Namun, negara berkembang dibolehkan ikut membantu negara maju lewat CDM. Selain CDM, skema lain yang sekarang hangat diperdebatkan, yakni REDD, juga merupakan cara agar negara-negara berkembang, terutama yang memiliki hutan, ikut serta dalam melakukan mitigasi perubahan iklim. (xvi) Avoided Deforestation: merupakan istilah cair yang dipergunakan untuk menyebut upaya pencegahan atau pengurangan hilangnya hutan dengan maksud untuk menurunkan emisi GRK yang mengakibatkan pemanasan global (Griffiths, 2007). REDD merupakan salah satu upaya yang masuk ke dalam pengertian Avoided Deforestation ini. Dekatnya pengertian REDD dengan Avoided Deforestation ini menyebabkan ada yang mendefinisikan Avoided Deforestation ini sebagai penggunaan insentif keuangan untuk mengurangi tingkat deforestasi dan kerusakan hutan (Palmer, Engel, 2009). Di lain pihak, FAO sendiri masih belum memberikan definisi yang jelas soal Avoided Deforestation ini (xvii) Entitas nasional dan Entitas internasional. Dua istilah ini diperkenalkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 30/MenhutII/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Kedua entitas ini merupakan pelaku dari REDD. Entitas nasional adalah pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan pada kawasan hutan, pengelola hutan negara dan pemilik atau pengelola hutan hak. Sementara entitas internasional adalah mitra penyandang dana untuk pelaksanaan REDD. Dengan definisi demikian, maka entitas nasional ini menjadi pelaksana dari sebuah proyek REDD yang dibiayai oleh entitas internasional atau entitas nasional melakukan proyek yang nantinya menghasilkan sertifikat REDD yang akan dijual ke entitas internasional. Hak dari entitas nasional hanyalah menerima pembayaran dari entitas internasional atas penurunan emisi yang berhasil dilakukannya dan entitas internasional berhak mempergunakan sertifikat REDD untuk dikompensasikan dengan kewajiban penurunan emisinya. (xviii)Pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak. Pengakuan lebih merujuk kepada usaha pihak eksternal dalam mengakui keberadaan dan penghormatan pada pihak lain. Dalam hubungan dengan negara, REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar 15 pengakuan negara atas keberadaan hak suatu masyarakat yang menjadi dasar pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat tersebut. Pemenuhan hak merupakan usaha negara untuk mendekatkan kebijakan yang dilakukanya dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dengan tujuan memberikan ruang bagi penikmatan hak-hak tersebut. Perlindungan hak merupakan usaha negara untuk sedapat mungkin menjauhkan diri dan pihak lainnya dari usaha-usaha pelanggaran hak-hak masyarakat. Termasuk juga didalamnya usaha melindungi secara nyata keberlangsungan pelaksanaan hak-hak tersebut. (xix) Hukum dan Kebijakan. Hukum yang dimaksud dalam penelitian ini secara terbatas adalah segala peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh institusi negara di tingkat nasional dan daerah. Adapun kebijakan yang dimaksud pada buku ini merupakan keputusan otoritas publik yang mendapatkan mandat dari rakyat/ publik. Kebijakan secara pengertian jauh lebih luas dari peraturan perundang-undangan, karena ia juga mencakup sistem anggaran dan strategi pelaksanaan keputusan, termasuk pengawasannya. Karenanya kebijakan publik jika dilihat secara siklus mencakup kegiatan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan monitoring kebijakan. Peraturan perundang-undangan adalah alat otoritatif negara untuk melegitimasi kebijakan sekaligus untuk melaksanakan kebijakan tersebut. (xx) Perencanaan Kebijakan. Dimaksudkan sebagai usaha pemerintah untuk merencanakan program-program kebijakannya. Pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perencanaan kebijakan juga menyangkut proses penapisan usulan dari masyarakat. Namun, penelitian ini lebih bertumpu pada dokumen perencanaan kebijakan seperti halnya Rencana Kerja Pemerintah Jangka Panjang (RPJP), Rencana Kerja Pemerintah Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah per tahun (RKP), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) atau dokumen perencanaan lainnya. Sementara itu diperiksa juga Rencana Strategis (Renstra) serta Rencana Kerja (Renja) yang merupakan perencanaan kebijakan di tingkat instansi teknis. (xxi) Pelaksanaan Kebijakan. Merupakan upaya-upaya nyata dari pemerintah untuk menjalankan program-program kebijakan yang telah direncanakan sebelumnya secara sah. Salah satu bentuk pelaksanaan kebijakan adalah pembuatan peraturan perundangundangan, pembentukan lembaga serta pengalokasian anggaran. (xxii)Masyarakat adat. Pengertian masyarakat adat mengikuti pandangan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yakni, komunitaskomunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun 16 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat (AMAN, 2003). (xxiii)Masyarakat/komunitas lokal. Ada dua istilah yang dipakai dalam buku ini, yakni masyarakat lokal dan komunitas lokal, yang dipakai secara bergantian namun mempunyai pengertian yang sama. Komunitas lokal mengacu pada konsep masyarakat setempat, yang dipakai oleh Koentjaraningrat untuk merujuk pada satuan sosial yang utuh dan terikat pada sistem ekologi tertentu (Koentjaraningrat, 1990). Dalam konsep ini, keterikatan pada wilayah atau tempat tinggal lebih tinggi ketimbang ikatan kerabat atau etnik. Sekalipun demikian, susah untuk begitu saja memisahkan frase komunitas lokal dengan kelompok sosial yang telah lama menempati suatu wilayah. Pada situasi tersebut, komunitas lokal beririsan dengan konsep masyarakat adat (indigenous people). Dalam laporan ini, komunitas lokal dipakai sebagai konsep untuk menggambarkan satuan sosial di desa-desa sekitar dengan menyadari fakta bahwa ada di antara mereka yang merupakan bagian dari masyarakat adat dan ada yang pendatang. 1.5 Temuan-temuan utama Di tingkat internasional perdebatan terus belanjut mengenai beberapa hal krusial terkait dengan perubahan iklim. Tulisan yang dibuat oleh Steni pada bab 2 memaparkan dengan jelas perkembangan diskursus, konsep dan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam berbagai perundingan internasional terkait dengan perubahan iklim. Dalam tulisannya itu, Steni membuktikan bahwa isu-isu seperti komitmen pengurangan emisi masih saja digayuti oleh kepentingan domestik. Selain itu, ia menunjukkan masih belum bulatnya kesepakatan mengenai tindakan yang harus diberikan terhadap negara-negara berkembang yang rawan terkena dampak perubahan iklim dan kelompok-kelompok masyarakat rentan. Di sini terbukti bahwa perundingan di tingkat internasional dalam soal penanggulangan dampak perubahan iklim belum memberikan jalan terang ke arah adanya keadilan iklim. Sementara itu, terkait dengan REDD, Steni setelah panjang lebar mengupas sejarah kemunculan serta perkembangan selanjutnya dalam perumusan konsep dan kesepakatan REDD menyatakan bahwa persoalanpersoalan terkait dengan rona awal (base line), skala, cakupan dan mekanisme pendanaan masih belum tuntas dibahas. Skema pendanaan REDD umumnya mengerucut pada dua pilihan, yaitu transaksi pasar atau pendanaan publik. Apapun pilihan itu, hak mendasar dari proposal REDD REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar 17 adalah tanggung jawab negara-negara Annex 1 untuk mengembangkan proyek-proyek REDD di negara-negara berkembang sebagai bagian dari kewajiban mereka mengurangi emisi. Bagi negara-negara berkembang REDD kemudian menjadi mimpi untuk mengeruk keuntungan mengingat peluang adanya carbon offset dimana hutan-hutan tropis mereka dapat menjadi sumber pendapatan baru. Namun, apakah sejatinya dampak semua ini bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan? Pada bab ini, Steni yang mengikuti beberapa pertemuan internasional memaparkan bahwa negara-negara para pihak dalam COP belum memberikan perhatian memadai terhadap persoalan ini. “Respons para pihak dalam perundingan terhadap usulan masyarakat sipil agar hak masyarakat adat diakui, hingga kini masih suram. Banyak negara berkembang menolak atau mendiamkan saja usulan-usulan tersebut karena sebagian besar kawasan hutan dikuasai oleh negara. Sepanjang kondisi negosiasi tersebut tidak berubah, perundingan ini sulit untuk memberi ruang yang memadai bagi pengakuan masyarakat adat maupun lokal sebagai pra-kondisi atas REDD atau safeguard yang melindungi dan memperkuat isu hak dalam skema REDD,” demikian secara singkat Steni menyimpulkan. Jika perundingan intenasional masih belum memberikan titik terang, bagaimanakah halnya dengan perkembangan yang terjadi pada kebijakan dan hukum di Indonesia. Dalam kajian mengenai hal ini di tingkat nasional, Muhajir, sebagaimana tertuang dalam bab 3, menyatakan bahwa respon pemerintah bisa dikatakan cepat saat memberikan komitmen atau membuat infrastruktur kebijakan terkait isu tersebut. Ironisnya, Muhajir menemukan bahwa Pemerintah Indonesia masih belum mampu secara konsisten mengintegrasikan komitmen itu ke dalam program pembangunan. Pemerintah Indonesia memang membuat berbagai peraturan yang memberi jalan pada implementasi REDD, mendirikan lembaga yang mengurus soal perubahan iklim dan bahkan mulai mengalokasikan anggaran untuk beberapa program/kegiatan. Hanya saja, tanggapan yang cepat itu seperti berjalan tanpa perencanaan. Ada banyak program/kegiatan yang belum disinergikan dengan kegiatan/program lain yang berada di berbagai instansi sektoral. Belum lagi jika dihubungkan dengan kegiatan serupa yang ada di tingkat daerah. Hal ini menguatkan kesimpulan Muhajir bahwa kebijakan Pemerintah Indonesia mengenai perubahan iklim dan REDD masih bersifat ad hoc. Ini terjadi karena keinginan pemerintah untuk memberikan respon cepat terhadap masalah perubahan iklim dan REDD – sebagai penanda kepada dunia internasional tentang tingginya derajat ketanggapan Pemerintah Indonesia pada issu ini – tidak didukung oleh kesiapan birokrasi dan mekanisme kerja yang terkoordinasi antara lembaga pemerintah. 18 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Melengkapi analisisnya, Muhajir memaparkan sejumlah contoh. Misalnya pembuatan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.68/2008 mengenai Demonstration Activities REDD tidak diketahui adanya perencanaan terlebih dahulu. Demikian pula, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang dibentuk tahun 2008, dengan tugas mengkoordinasikan kementerian/lembaga pemerintah terkait, tetapi tidak diberikan anggaran sampai tahun 2010. Situasi ini membuat kita patut mempertanyakan bagaimanakah kebijakan dan lembaga-lembaga ini mampu secara efektif melindungi kepentingan masyarakat (potensial) terkena dampak proyek REDD Keadaan yang hampir sama ditemukan pula di tingkat pemerintah daerah. Tanggapan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah serta Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Kapuas Hulu terhadap isu perubahan iklim/REDD bukan tanggapan yang sudah direncanakan sebelumnya. Bukan pula diikuti dengan dengan pembuatan peraturan perundang-undangan, kelembagaan dan alokasi anggaran yang memadai. Di Kalimantan Tengah, sebagaimana dijelaskan oleh Muhajir (bab 4), pemerintah provinsi sebenarnya sudah memiliki “pendapat” terkait dengan responnya pada perkembangan implementasi REDD. Pendapat itu berupa bahwa tahun 2009 dipandang sebagai awal permulaan diterapkannya beberapa skema mitigasi perubahan iklim pada tingkatan lokal atau daerah, salah satunya adalah REDD. Untuk keperluan itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah akan mempersiapkan diri dan ikut terlibat dalam berbagai proses dan kegiatan untuk mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global khususnya yang dikaitkan dengan deforestasi dan degradasi hutan tropis dan hutan rawa gambut. Hanya saja, belum ada infrastruktur kebijakan yang mewadahi atau memberikan penahapan agar tujuan itu tercapai. Pembuatan dua lembaga, Komisi Daerah REDD (Komda REDD) dan Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) memang bisa diapresiasi, namun tantangan selanjutnya adalah soal koordinasi serta alokasi anggaran harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum bisa bekerja dengan baik. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sudah memiliki kebijakan penguatan kelembagaan adat dan penguatan kepemilikan masyarakat adat atas tanah dan hak-hak atas tanah. Namun penelusuran secara berhati-hati pada kebijakan tersebut berpotensi mengaburkan tujuan penguatan posisi masyarakat adat itu, karena, salah satunya, terlalu kentalnya aroma birokrasi negara di kelembagaan adat. Sementara di Kalimantan Barat situasinya juga sama. Gawing dalam bab 5 menyatakan bahwa respon pemerintah berjalan seperti trial and error sehingga menyingkapkan adanya inkonsistensi kebijakan. Kabupaten Kapuas Hulu mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Konservasi, namun karena kurang disambut pihak lain membuat Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu berpindah haluan mengeluarkan izin pengusahaan hutan. Ketika REDD REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar 19 diperkenalkan, dengan tangan terbuka Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu menerima. Namun, karena ketidakjelasan kontribusi REDD pada Penerimaan Asli Daerah (PAD) kabupaten membuat pemerintah kabupaten ini mulai terlihat enggan dengan REDD. Apa yang muncul dalam rangkuman temuan-temuan penelitian di atas menunjukkan pada kita bahwa pemerintah pusat dan daerah masih harus berjuang untuk menyiapkan kebijakan yang efektif menyambut REDD. Sekarang kita beralih pada level analisis yang terendah namun terpenting, yaitu masyarakat. Sebagaimana masalah penelitian yang kami sampaikan pada bagian sebelumya, sangat penting bagi kita untuk mengetahui derajat pengetahuan dan kesiapan masyarakat mengenai REDD ini. Untuk menjawab pertanyaan itulah hasil penelitian yang dituliskan Purwanto, Kartika dan Rahman (bab 6) menorehkan urgensi yang tidak dapat dipisahkan dalam keseluruhan hasil studi ini. Mereka menemukan bahwa dampak perubahan iklim dirasakan oleh masyarakat di desa-desa penelitian, namun diskursus mengenai perubahan iklim masih beredar pada elit desa. Demikian pula informasi mengenai rencana pelaksanaan proyek REDD di sekitar lokasi mereka masih samar-samar diketahui masyarakat. Purwanto, Kartika dan Rahman memperingatkan bahwa proyek REDD akan kontraproduktif dalam membangun modal sosial dalam masyarakat, menyelesaikan konflik dan mengakui hak-hak mereka atas tanah dan hutan jika pemerintah dan pelaku proyek tidak belajar dari pengalaman intervensi pembangunan di masa silam. Intervensi pembangunan ternyata sama memberikan efek traumatiknya dengan intervensi konservasi pada masyarakat desa penelitian di Kalimantan Tengah. Mereka harus mengalihkan mata pencaharian mereka agar mengikuti intervensi konservasi yang dibawa oleh pemerintah dan lembaga konservasi orangutan. Sementara itu di Kalimantan Barat, para peneliti ini menemukan daya resiliensi sosial yang cukup tinggi dari masyarakat melalui lembaga-lembaga adat mereka. Meskipun demikian, informasi yang terbatas mengenai REDD tak pelak membuat masyarakat bertanya-tanya tentang kepastian hak mereka dan sistem normatif apa yang akan mengatur dan melindungi mereka seperti tampak dalam kutipan sebuah pernyataan tokoh masyarakat yang kami ambil dari bab 6 di bawah ini: “Dalam sosialisasi memang udah cukup transparan tetapi ada yang kurang jelas, seperti apa perjanjiannya nanti misalnya, hukum apa yang kita mau pakai, seandainya terjadi pelanggaran-pelanggaran. Secara proyek jelas, cuma belum ada perjanjian untuk menguatkan siapa yang bertanggung jawab jika ada masalah.” Proyek-proyek REDD yang akan dijalankan, oleh siapapun, dengan skema apapun, hendaknya mampu menjawab pertanyaan di atas. Atas dasar itulah kita dapat menilai seberapa jauh proyek-proyek ini mampu memberikan 20 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? perlindungan pada masyarakat adat/lokal yang ruang kehidupannya harus berbagi dengan proyek ini. Lebih dari itu, kesiapan internal dalam masyarakat juga menjadi prasyarat kesuksesan lain bagi calon-calon proyek REDD. Selama ini, lembaga pemerintahan desa merupakan benteng terakhir masyarakat agar dapat beradaptasi secara formal dengan intervensi pembangunan dan konservasi. Perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan penguatan lembagalembaga adat. Bagaimanakan kedua lembaga dengan sumber otoritas yang berbeda ini dapat bersinergi adalah persoalan terpentingnya. Selain itu, patut pula dipertanyakan bagaimana keduanya memberikan ruang bagi suara dari kaum muda dan perempuan. 1.6 Organisasi buku Buku ini terdiri dari enam bab. Pada bab 2 kita akan menemukan sebuah deskripsi dan analisis mengenai pekembangan diskursus dan kebijakan perubahan iklim dan REDD di tingkat intenasional. Bab ini memberikan latar belakang untuk mengetahui situasi terkini isu-isu yang dirundingkan serta sudah sejauh mana perkembangan skema REDD. Tidak hanya REDD yang disinggung, mekanisme insentif lain yang bergerak dalam wilayah mitigasi perubahan iklim juga dibeberkan lengkap dengan potensi dampaknya bagi masyarakat. Bab 3 secara khusus mendiskusikan kebijakan pemerintah pusat menanggapi isu perubahan iklim/REDD dengan mendasarkan diri pada empat aspek yakni perencanaan kebijakan, peraturan perundang-undangan, kelembagaan dan alokasi anggaran. Bab 4 dan 5 membahas isu serupa namun yang terjadi di daerah, Bab 4 merupakan tulisan tentang situasi terkini dari kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kapuas terkait respon mereka pada isu perubahan iklim dan tawaran insentif berupa REDD; sedangkan Bab 5 memperlihatkan kebijakan serupa di Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Kapuas Hulu. Setelah bagaimana situasi terkini perundingan di tingkat internasional dan respon kebijakan pemerintah di berbagai tingkatan diketahui, tulisan dalam bab 6 melengkapi kajian ini dengan memperlihatkan bagaimana masyarakat di tiga desa di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah memberikan responnya, baik atas apa yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak lain terkait dengan isu perubahan iklim, tawaran skema REDD atau proyek-proyek pembangunan lain yang terkait. Bab ini sekaligus menunjukkan bahwa apa yang terjadi di tingkat internasional/nasional/ regional ternyata berpengaruh pada tatanan sosial masyarakat di tingkat tapak. REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar 21 2.Per u b ah an I k l i m , R ED D d an perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen Bernadinus Steni 2.1 Pendahuluan Pada 1898, ilmuwan Swedia, Svante Ahrrenius, mengingatkan bahwa emisi karbon dioksida (CO2) dapat menjadi penyebab pemanasan global. Tahun 1950, Saturday Evening Post, sebuah koran yang kemudian menjadi salah satu yang terbesar di Amerika, menampilkan artikel dengan pertanyaan “Is the world getting warmer?” Artikel itu meski mulai membuka pandora pemanasan global namun isu yang diangkat tidak mendalam bahkan cenderung seperti lelucon. Misalnya, akibat cuaca panas maka ikan terbang negeri tropis pun meluncur di pinggiran pantai New Jersey amerika (Henson, 2006:235). Namun, apapun yang dikemukakan oleh koran itu, telah menjadi titik awal informasi ke publik mengenai sesuatu telah terjadi pada suhu dan iklim global. Perdebatan ilmiah mengenai perubahan iklim baru mulai muncul pada tahun 1960-an, tapi banyak hal lain yang lebih menyita perhatian, seperti perang nuklir, sehingga sangat sedikit orang yang mengetahui isu ini. Ketika perdebatan ilmiah dimulai tahun 1970-an pun bukan pemanasan global yang menjadi perhatian pers tetapi justru pendinginan global (cool down). Suhu bumi secara perlahan menurun selama kurang lebih tiga dekade. Sejumlah ahli yang tidak konvensional berspekulasi bahwa debu dan partikel sulfat yang menutupi matahari menjadi sebab pendinginan tersebut. Sebuah film dokumenter Inggris tahun 1974 memberi peringatan bahwa musim dingin yang brutal cukup memadai untuk menutup garis lintang utara dengan kilauan salju dan dalam musim panas berikutnya tidak bisa hilang sepenuhnya. Hal ini potensial untuk menjadi benua dengan lapisan kerak es dalam dekade mendatang. Dua studi yang dilakukan pada penghujung 1970-an dari National Aeronautics and Space Administration (NASA) mengkonfirmasi bahwa konsentrasi CO 2 yang terus bertambah di udara akan menuju pada pemanasan yang signifikan. Uji coba model berbasis komputer kemudian Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 23 berkembang pesat. Model-model tersebut selanjutnya mengkonfirmasi bahwa pemanasan sedang berjalan. Pada akhirnya, perubahan di atmosfir sendiri secara empirik membenarkan simulasi komputer dan temuan-temuan ilmiah tersebut. Pada penghujung 1980, temperatur global telah mulai meningkat dan sejak itu tidak pernah menurun kecuali penurunan selama dua tahun setelah erupsi vulkanik Gunung Pinatubo tahun 1991 (Henson, 2006:236). Situasi berubah ketika lubang pada lapisan ozon ditemukan di Antartika tahun 1985. Meskipun masih belum begitu jelas perbedaan antara pengurangan ozon dengan perubahan iklim, penemuan tersebut menjadi sebuah tanda mengenai kerentanan atmosfir yang diperlihatkan dengan jelas oleh foto satelit. Perubahan iklim bergema pada musim panas 1988 di Amerika. Ketika itu kebakaran hutan skala luas terjadi di Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat, sebagian aliran sungai Mississippi kering dan bulan juni sebagai bulan terpanas di Washington membuat seorang ilmuwan NASA, James Hansen, bersaksi di depan Kongres Amerika dengan yakin 99% perubahan iklim sedang terjadi di depan mata dan nampaknya sebagian besar dipicu oleh kegiatan manusia (Henson, 2006:236). Meskipun dibayangi oleh pandangan dari beberapa politisi konservatif yang meragukan perubahan iklim, kandidat presiden Amerika ketika itu, George Bush Sr, dalam kampanyenya mengatakan bahwa “siapa yang beranggapan bahwa kita tidak dapat melakukan sesuatu atas efek gas rumah kaca, maka dia harus melupakan ’Efek Gedung Putih”. Meskipun drama meteorologis 1988 secara khusus melanda Amerika Serikat, namun gelombang politiknya berkumandang jauh dan luas. Pada September tahun itu, Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher juga mengingatkan rakyat Inggris bahwa “kita tanpa sadar telah memulai eksperimen yang masif terhadap sistem planet”. Seorang pengajar di Royal School of Mines, Jeremy Leggett, dalam bukunya The Carbon War menulis “1998 merupakan tahun istimewa yang tidak pernah terjadi dalam sejarah” (Henson, 2006:237-8). Di sisi lain, peta perundingan politik di tingkat global semakin memperlihatkan makin kuatnya aliansi negara-negara selatan untuk menekan negara maju agar keadilan global terwujud lewat pembagian sumber daya yang merata. Menguatnya diskusi hak atas pembangunan hingga menghadirkan Deklarasi PBB mengenai Hak atas Pembangunan tahun 1986 merupakan hasil dari kekuatan lobi politik negara berkembang, meskipun masih diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari Amerika Serikat. Menurut Amartya Sen dan David Beetham, secara garis besar hak atas pembangunan merefleksikan dua hal. Pertama, sebagai tuntutan ke negara maju untuk menghargai hak negara berkembang membangun. Hak tersebut tidak boleh dihalangi. Kedua, sebagai pernyataan yang menegaskan kontrol penuh oleh negara berkembang (dan juga masyarakat) atas kesejahteraan dan sumber daya alam mereka sendiri (Sen, Beetham, 2006:1-8, 79-95). 24 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Prinsip ini bisa juga diperiksa dalam pasal 1 ayat (2) Konvensi Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya 1966. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, negara berkembang senantiasa menekankan bahwa isu iklim merupakan bukti kuat ketidakadilan pembangunan. Bahwa sebab utama peningkatan emisi global dipicu oleh negara maju yang telah menggunakan sumber daya bumi secara boros namun akibatnya justru paling banyak diderita oleh negara berkembang, terutama negara-negara kecil kepulauan yang justru sama sekali tidak melakukan pembangunan massif (Friman, 2006:2). Karena itu, perundingan perubahan iklim dikemas oleh negara berkembang untuk menekankan ketidakadilan pemanfaatan sumber daya bumi dimana fakta historis menunjukan bahwa negara maju telah menghabiskan kekayaan alam jauh lebih banyak sehingga menyumbang polusi global lebih besar daripada negara berkembang. Menimbang sejarah eksploitasi tersebut, negara berkembang secara kuat mengartikulasikan pentingnya hak negara berkembang untuk tetap membangun sehingga dalam konteks pengurangan emisi, negara berkembang tidak bisa diberi kewajiban yang sama dengan negara maju. Untuk mempertegas tuntutan komitmen pengurangan emisi negara maju maka pasca perdebatan target dan beban pengurangan emisi dalam Berlin Mandat (1995), pada 1997 sebelum COP 3 Kyoto, Brazil mengajukan proposal berjudul Proposed Elements of a Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Kesimpulan kunci yang digarisbawahi proposal tersebut adalah menimbang Negara-negara Utara memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap perubahan iklim karena sejarah pelepasan emisi masa lalu mereka, negara-negara tersebut harus diberi beban lebih besar dalam penanganan perubahan iklim. Karena itu, proposal tersebut menganjurkan agar beban masing-masing negara diberikan berdasarkan level emisi di masa lalu (Friman, 2006:25). Tulisan ini membahas dua hal. Pertama, bagaimana perubahan iklim dibicarakan dalam perundingan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam hal ini, pembicaraan tersebut terkait dengan komitmen dan tanggung jawab pihak yang berunding yang secara garis besar dibagi atas negara majunegara berkembang serta komitmen kapan emisi dikurangi dan berapa jumlahnya. Kedua, secara khusus saya akan melihat bagaimana komitmen dan perdebatan-perdebatan tersebut berlanjut dalam isu yang menjangkau kawasan hutan, terutama REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) yang makin ramai dibicarakan, tidak hanya dalam perundingan internasional tetapi terutama dalam skala nasional di Indonesia. Isu REDD juga melibatkan beberapa aspek lain yang melekat seperti hak masyarakat dan kelestarian hutan. Dua aspek ini akan dibahas secara khusus dalam bagian tentang REDD. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 25 2.2 Konvensi Perubahan Iklim (a) Sejarah Merespons peningkatan temuan ilmiah atas perubahan iklim, seri konferensi antar pemerintah yang fokus pada perubahan iklim dibuat. Pada 1998, konferensi pertama diselenggarakan di Toronto. Konferensi tersebut bertajuk Changing Atmosphere menggoyang wacana publik dan menyita perhatian Internasional ketika 340 peserta konferensi dengan berbagai latar belakang dan berasal dari 46 negara merekomendasikan konvensi kerangka kerja global yang komprehensif untuk melindungi atmosfir. Dengan mengacu pada proposal yang diajukan oleh Malta, Majelis Umum PBB akhirnya menjawab perubahan iklim untuk pertama kali dengan mengadopsi resolusi 43/53. Resolusi ini paling tidak menghadirkan dua aspek penting yang akan menjadi perdebatan dalam perundingan-perundingan berikutnya. Pertama, mengakui bahwa perubahan iklim merupakan masalah bersama umat manusia terutama karena iklim merupakan kondisi yang esensial yang mempertahankan kehidupan di muka bumi. Kedua, menentukan bahwa tindakan yang perlu dan dalam jangka waktu yang tepat seharusnya diambil dalam kerangka kerja global untuk menghadapi perubahan iklim. Jika diperiksa lagi ke belakang, konferensi ini tak luput dari peran sejumlah lembaga-lembaga yang berkecimpung di isu lingkungan dan terutama iklim yakni WMO (The World Meteorological Organization), UNEP (United Nations Environment Programme) dan ICSU (International Council of Scientific Union). Setelah mengidentifikasi perubahan iklim sebagai masalah yang mendesak maka pada tahun 1979, lembaga-lembaga tersebut menyusun Program Iklim Dunia (World Climate Programme) (UNFCCC, 2006:16-20). Untuk menyokong pemahaman yang lebih baik bagi pembuat kebijakan dan publik secara keseluruhan mengenai apa yang dilakukan oleh para periset perubahan iklim, UNEP dan WMO selanjutnya membentuk IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). IPCC diberi mandat untuk melakukan asesmen terhadap situasi pengetahuan tentang sistem iklim dan perubahan iklim, lingkungan, dampak sosial dan ekonomi perubahan iklim dan strategi respons yang memungkinkan. IPCC mengeluarkan Laporan Asesmen Pertama pada 1990 setelah disetujui melalui proses peer review yang melelahkan oleh ratusan ilmuwan dan pakar (kotak 2.1.). Laporan tersebut menegaskan basis atau taji ilmiah dari isu perubahan iklim. Karena itu, laporan itu merupakan laporan yang memiliki efek yang kuat bagi pembuat kebijakan maupun publik secara keseluruhan dan berpengaruh terhadap negosiasi atas konvensi perubahan iklim. Temuan ini kurang lebih menjadi kerangka yang terus dikembangkan dalam temuan-temuan berikutnya hingga Laporan IPCC keempat pada 2007 (Solomon dkk., 2007). 26 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Kotak 2.1. Laporan IPCC 1990 ❑ GRK (Gas Rumah Kaca) manusia nampaknya mengakibatkan cepatnya perubahan iklim. Karbondioksida diproduksi ketika bahan bakar fosil dibakar dan efeknya makin intensif ketika hutan sebagai penyerap karbon ditebang. Gas methane dan nitrous terlepas ke atmosfer sebagai akibat pembukaan pertanian, perubahan dalam penggunaan lahan dan sebab-sebab lain. Chlorofluorocarbons (CFCs) dan gas-gas lainnya juga memainkan peran dalam memerangkap panas dalam atmosfer bumi. Dengan mempertebal “selimut” atmosfir, emisi manusia mengacaukan lingkaran energi yang mengendalikan sistem iklim. ❑ Model iklim memprediksikan bahwa temperatur global akan naik hingga kira-kira 1 - 3.5C pada tahun 2100. Proyeksi ini dibuat berdasarkan tren emisi saat laporan disusun dan berisi beberapa ketidakpastian terutama pada level regional. Selanjutnya, menurut laporan ini, karena iklim tidak segera merespons emisi GRK, iklim akan terus berubah dalam ratusan tahun hingga konsentrasi gas di atmosfir stabil. Sementara transisi iklim yang cepat dan tidak dapat diprediksi tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Ada bukti-bukti ilmiah bahwa perubahan iklim sudah terjadi. ❑ Perubahan iklim akan memiliki efek pada lingkungan global. Secara umum, makin cepat perubahan iklim, makin besar resiko kerusakan. Jika tren yang sedang berjalan terus berlanjut, permukaan laut diprediksikan akan naik antara 15-95 cm pada 2100 yang mengakibatkan banjir dan kerusakan lainnya. Wilayah iklim (dan juga wilayah ekosistem dan pertanian) dapat bergeser. Sementara hutan, padang pasir, dan berbagai ekosistem yang tidak terkelola dapat menjadi lebih basah, lebih kering, lebih panas atau lebih dingin. Sebagai hasilnya, banyak hal mengalami kemunduran atau terpecah-pecah dan spesies tertentu akan punah. ❑ Manusia akan menghadapi tekanan dan resiko baru. Ketahanan pangan global nampaknya terancam sementara beberapa wilayah akan mengalami kekurangan makanan dan kelaparan. Sumber daya air akan terpengaruh karena pola presipitasi (pengendapan) dan evaporasi (penguapan) mengubah seluruh dunia. Infrastruktur fisik akan rusak, secara khusus oleh kenaikan permukaan laut dan beragam situasi ekstrim yang barangkali akan meningkat di sejumlah tempat baik dalam frekuensi maupun intensitas. Aktivitas ekonomi, pemukiman dan kesehatan manusia akan mengalami dampak langsung maupun tidak langsung. Orang miskin, dalam hal ini, adalah pihak yang paling menderita dari efek negatif perubahan iklim; ❑ Manusia dan ekosistem harus beradaptasi dengan regim iklim yang akan datang. Emisi masa lalu dan masa kini telah meyakinkan bahwa akan ada beberapa derajat perubahan iklim pada abad 21. Beradaptasi terhadap efekefek ini akan membutuhkan pemahaman yang mendalam atas sistem alam, sistem sosial dan ekonomi dan tingkat kepekaan sistem-sistem tersebut terhadap perubahan iklim dan kemampuan dasar mereka untuk beradaptasi. Beberapa strategi tersedia untuk mempromosikan adaptasi. ❑ Menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer membutuhkan usaha luar biasa. Dengan mengacu pada tren saat laporan ini dibuat (350 ppm), peningkatan karbondioksida dan GRK lainnya diprediksikan meningkat dua kali lipat dari konsentrasi karbondioksida di era praIndustri pada tahun 2030. Dan pada tahun 2100 akan meningkat tiga kali lipat dari masa pra-industri. Upaya-upaya menstabilkan Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 27 konsentrasi karbondioksida pada level saat laporan dibuat akan menunda kenaikan ganda konsentrasi karbondioksida ke tahun 2100. Jika upaya ini dipertahankan maka emisi pada akhirnya harus turun hingga kurang dari 30 % dari level saat laporan dibuat. Pemangkasan tersebut harus dibuat meskipun di satu sisi ada pertumbuhan penduduk dan ekspansi ekonomi dunia. Pada 1990, Konferensi Iklim Dunia yang ke-2 diselenggarakan di Jenewa. Berbeda halnya dengan konferensi pertama, konferensi ke-2 lebih politis sifatnya karena lebih banyak dihadiri oleh para menteri dari 137 negara, termasuk Uni Eropa (ketika itu masih disebut European Community). Konferensi ini melahirkan Deklarasi Menteri yang berisi berbagai upaya yang lebih konkrit, termasuk rekomendasi untuk membentuk perjanjian kerangka kerja mengenai perubahan iklim (UNFCCC, 2002:6-7). Deklarasi yang final diadopsi setelah proses tawar menawar politik yang alot. Kesepakatan yang tercapai pada akhirnya menggarisbawahi beberapa hal penting. Pertama, tidak menyepakati target spesifik pengurangan emisi. Kedua, menyokong beberapa prinsip penting yang dalam perkembangan selanjutnya diadopsi dalam Konvensi Perubahan Iklim. Prinsip-prinsip tersebut adalah perubahan iklim sebagai common concern of humankind (masalah bersama umat manusia), pentingnya keadilan melalui prinsip common but differentiated responsibilities (tanggung jawab yang sama namun secara khusus harus dibedakan sesuai kemampuan) dengan menimbang level pembangunan yang berbeda, prinsip sustainable development (pembangunan berkelanjutan) dan the precautionary principle (kehatihatian dini) (Murdiyarso, 2003:26). Ketiga, telah terjadi ancaman serius atau kerugian yang tidak bisa dielak sehingga kurangnya kepastian ilmiah tidak menjadi alasan untuk menunda tindakan yang efektif biaya untuk mencegah pengurangan mutu lingkungan.27 Sementara itu, publik internasional mulai bereaksi. Meskipun tidak secara langsung dialamatkan pada perubahan iklim, rentetan gelombang panas dan badai destruktif yang tidak lazim di Amerika dan di beberapa tempat diberitakan secara beruntun dalam laporan pers tentang perubahan iklim dan dampak yang akan terjadi. Gelombang sentimen lingkungan internasional plus temuan lubang ozon di Antartika tahun 1985 (meskipun tidak berhubungan dengan perubahan iklim) memuncak.28 Di bawah bayang-bayang tekanan publik internasional, pada Desember 1990, Majelis Umum PBB setuju untuk memulai melakukan perundingan untuk membentuk perjanjian. Hasilnya, melalui Resolusi 45/21, Majelis Umum PBB membentuk The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC/FCCC) yang menjadi 27 28 United Nations Department of Public Information, February 1997. United Nations Department of Public Information, February 1997. 28 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? wadah tunggal proses negosiasi antarpemerintah di bawah naungan Majelis Umum PBB.29 INC/FCCC kemudian bertemu dalam empat sesi antara Februari 1991 hingga Mei 1992. Negosiator perundingan dari 150 negara menyusun kerangka kerja perubahan iklim dengan sedikit kejar tayang agar bisa diluncurkan pada KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi di Rio de Jeneiro Brazil, pada 1992. Hanya 15 bulan setelah dibentuk, bulan Mei 1992 INC menyodorkan draf akhir untuk diadopsi di New York pada Mei 1992. Seminggu kemudian draft tersebut diluncurkan dan dibuka untuk penandatanganan dari para pihak pada bulan Juni 1992 dalam KTT Bumi Brazil. Pada kesempatan itu 154 negara peserta KTT menandatangani kerangka kerja perubahan iklim yang selanjutnya disebut The United Nations Framework Convention on Climate Change atau UNFCCC. Bulan Maret 1994, Konvensi Perubahan Iklim mulai berlaku (UNFCCC, 2006:16-20). Saat ini, terdapat 194 pihak yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (193 negara dan 1 organisasi ekonomi regional – European Union).30 Konvensi Perubahan Iklim membangun sebuah proses menjawab masalah perubahan iklim dalam dekade mendatang. Secara khusus, konvensi merancang sebuah sistem dimana pemerintah nasional melaporkan informasi mengenai emisi GRK secara nasional dan strategi-strategi menghadapi perubahan iklim. Informasi tersebut selanjutnya ditinjau secara regular untuk memeriksa perkembangan konvensi. Selain itu, negara-negara maju setuju untuk mempromosikan transfer pendanaan dan teknologi untuk menolong negara berkembang untuk merespons perubahan iklim. Mereka juga berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah yang bertujuan menstabilkan emisi mereka ke level 1990 pada tahun 2000. (b) Tujuan Konvensi Tujuan paling utama konvensi adalah menstabilkan konsentrasi GRK pada level yang mencegah bahaya campur tangan manusia terhadap sistem iklim. Level tersebut tidak ditentukan secara eksplisit dalam konvensi namun seharusnya tercapai dalam tenggang waktu yang memadai bagi eksosistem untuk beradaptasi secara natural terhadap perubahan iklim, memastikan produksi makanan tidak terancam dan memberi jalan bagi pembangunan ekonomi dalam cara yang berkelanjutan.31 Untuk mencapai tujuan ini, para pihak dalam konvensi yakni negara-negara yang telah meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengikatkan diri terhadap perjanjian ini, tunduk pada seperangkat komitmen umum yang menempatkan kewajiban fundamental baik bagi negara industri maupun berkembang untuk mengatasi perubahan iklim. 29 30 31 United Nations Department of Public Information, February 1997. http://unfccc.int/essential_background/convention/status_of_ratification/items/2631.php, (diakses 15-04-2010) Pasal 2 UNFCCC. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 29 Dalam praktik, upaya mencapai tujuan konvensi dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan. Secara umum, para pihak dibagi berdasarkan jumlah emisi yang dikeluarkan di masa lalu. Negara-negara industri yang kemudian disebut Annex I yang menjadi kontributor paling besar dalam peningkatan GRK diberi kewajiban dan beban lebih besar dari negara-negara yang lain (Non-Annex I). Pendekatan ini bersifat historis sehingga seringkali dihubungkan dengan prinsip common but differentiated responsibility. Namun, meskipun menurut konvensi, tanggung jawab negara maju lebih besar, di antara negara maju pun, batasan atau jatah emisi berbeda-beda untuk masing-masing negara, tergantung sejarah pelepasan emisi. Konvensi selanjutnya merumuskan bahwa berdasarkan tanggung jawab dan beban pengurangan emisi yang ditetapkan, semua negara yang terikat dalam konvensi, dengan penekanan terutama negara-negara maju, wajib melakukan langkah-langkah dan intervensi kebijakan yang relevan untuk mencapai target yang ditetapkan. (c) Prinsip-Prinsip Dasar Dalam upaya mencapai tujuan konvensi, para pihak dipandu oleh beberapa prinsip yang tertera secara eksplisit dalam pasal 5 konvensi. Prinsip-prinsip tersebut oleh Marie-Claire Cordonier Segger dan Rajat Rana dikategorikan sebagai kebijakan dan hukum yang terbaik untuk generasi berikut (Segger, Rana, 2008:18-19). Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: (i) Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities Pasal 5 ayat 1: The Parties should protect the climate system for the benefit of present and future generations of humankind, on the basis of equity and in accordance with their common but differentiated responsibilities and respective capabilities. Accordingly, the developed country Parties should take the lead in combating climate change and the adverse effects thereof. Segger dan Rana menyebut prinsip ini, the principle of common but differentiated obligations. Secara historis prinsip ini berkembang dari gagasan common heritage of mankind atau warisan bersama umat manusia dan merupakan manifestasi dari prinsip-prinsip umum keadilan dalam hukum internasional. Prinsip ini mengakui bahwa semua negara memiliki tanggung jawab yang sama terhadap lingkungan hidup tapi 30 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? secara historis ada perbedaan kontribusi antara negara maju dan negara berkembang dalam mengatasi masalah lingkungan global dan juga mengakui adanya perbedaan dalam kapasitas ekonomi dan teknologi masing-masing dalam menangani masalah-masalah ini. Deklarasi Rio menyebutkan bahwa “dengan melihat perbedaan kontribusi terhadap degradasi lingkungan global, negara pihak memiliki tanggung jawab yang sama namun secara khusus harus dibedakan sesuai kemampuan. Negara maju mengakui tanggung jawab yang mereka emban dalam upaya internasional memenuhi pembangunan berkelanjutan dengan melihat tekanan yang dilakukan masyarakat negara maju terhadap lingkungan global dan sumber daya teknologi dan finansial yang mereka miliki.”(CISDL, 2002). Prinsip common but differentiated responsibility mencakup dua elemen fundamental. Pertama, tanggung jawab yang sama dari semua negara atas lingkungan baik pada level nasional maupun global. Kedua, perlu mempertimbangkan situasi yang berbeda yang berkaitan dengan kontribusi historis setiap negara terhadap perkembangan masalah lingkungan tertentu dan memperhatikan kemampuan masing-masing negara untuk mencegah, mengurangi atau mengontrol ancaman yang terjadi. (ii) The Specific Needs and Special Circumstances of Developing Country Pasal 5 ayat 2 The specific needs and special circumstances of developing country Parties, especially those that are particularly vulnerable to the adverse effects of climate change, and of those Parties, especially developing country Parties, that would have to bear a disproportionate or abnormal burden under the Convention, should be given full consideration. Marie-Claire Cordonier Segger dan Rajat Rana menyebut prinsip ini the principle of equity and the eradication of poverty. Prinsip ini merupakan tekanan lebih lanjut dari prinsip common but differentiated responsibility. Aspek keadilan dalam prinsip ini adalah bahwa upaya mengatasi perubahan iklim tidak boleh menambah beban luar biasa bagi negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim atau negaranegara berkembang yang masih bersusah payah untuk menggapai pertumbuhan ekonomi. Karena itu berbasis prinsip ini, negara maju wajib membantu negara berkembang, terutama yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dalam menyediakan pendanaan adaptasi terhadap dampak-dampak tersebut (pasal 4). Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 31 (iii) The Principle of the Precautionary Measures Pasal 5 ayat 3 The Parties should take precautionary measures to anticipate, prevent or minimize the causes of climate change and mitigate its adverse effects. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty should not be used as a reason for postponing such measures, taking into account that policies and measures to deal with climate change should be cost-effective so as to ensure global benefits at the lowest possible cost. To achieve this, such policies and measures should take into account different socio-economic contexts, be comprehensive, cover all relevant sources, sinks and reservoirs of greenhouse gases and adaptation, and comprise all economic sectors. Efforts to address climate change may be carried out cooperatively by interested Parties. Dalam kategori Segger dan Rana prinsip ini disebut the principle of the precautionary approach to human health, natural resources and ecosystems. Menurut mereka, prinsip precautionary pada dasarnya menggeser beban lingkungan kepada orang-orang yang mengusulkan aktivitas yang berpotensi sebagai ancaman serius terhadap lingkungan. Prinsip ini hadir sebagai pencegahan daripada pemulihan, sehingga pendekatannya adalah mengemas data ilmiah yang kokoh dan sesuai dalam pembuatan kebijakan pembangunan dan menjunjung kewajiban untuk menggunakan langkah-langkah yang hati-hati sejak dini dalam setiap kasus yang potensial menimbulkan kerusakan. Karena itu, aspek penting dalam prinsip ini adalah demi menjamin agar tidak terjadi dampak perubahan iklim yang lebih serius maka langkah-langkah awal perlu dilakukan dengan mengacu pada bukti-bukti yang sudah terjadi tanpa harus menunggu kepastian dan sokongan kepastian ilmiah yang solid dan kokoh. Konvensi menggarisbawahi bahwa prinsip pencegahan dalam precautionary principle bekerja pada dua sisi, tidak hanya pada dampak perubahan iklim tapi juga mencegah dampak dari upaya-upaya mitigasi perubahan iklim. Artinya, langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi perubahan iklim pun tidak boleh menimbulkan kerugian bagi manusia maupun lingkungan. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 4 ayat 8 Konvensi (kotak 2.2.): Kotak 2.2. Pasal 4 ayat 8 Konvensi Perubahan Iklim Dalam mengimpelentasikan komitmen atas pasal ini, para pihak wajib memberikan pertimbangan penuh untuk tindakan-tindakan yang perlu dalam kerangka Konvensi, termasuk tindakan-tindakan yang berkaitan dengan pendanaan, asuransi, transfer teknologi, untuk memenuhi kebutuhan dan perhatian khusus dari negara-negara 32 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? berkembang dari dampak negatif perubahan iklim dan/atau dampak-dampak yang terjadi dari langkah-langkah untuk menghadapi perubahahan iklim, terutama berkaitan dengan: a. Negara-negara pulau-pulau kecil; b. Negara-Negara yang memiliki wilayah lebih rendah dari permukaan laut c. Negara-negara yang memiliki wilayah kering atau semi-kering, area yang berhutan dan area yang hutannya mengalami kerusakan secara perlahan; d. Negara-negara yang rentan terhadap bencana alam; e. Negara-negara dengan daerah-daerah yang dapat menuju kekeringan dan penggurunan; f. Negara-negara dengan wilayah-wilayah yang polusi kotanya tinggi; g. Negara-negara dengan ekosistem yang rentan, termasuk ekosistem pegunungan; h. Negara-negara dengan ekonomi yang sangat tergantung pada pendapatan dari produksi, proses-proses produksi dan ekspor dan/atau konsumsi bahan bakar fosil dan produk-produk intensif energi yang terkait; dan i. Negara-negara transit dan yang hanya terdiri dari daratan. Rumusan pasal 8 antara lain menjadi basis hukum usulan safeguard atau kebijakan pengaman yang saat ini muncul dalam perundingan perubahan iklim, terutama dalam skema-skema mitigasi perubahan iklim, termasuk skema di isu kehutanan. (iv) The Principle of Sustainable Development Pasal 5 ayat 4 The Parties have a right to, and should, promote sustainable development. Policies and measures to protect the climate system against human-induced change should be appropriate for the specific conditions of each Party and should be integrated with national development programmes, taking into account that economic development is essential for adopting measures to address climate change. Sustainable development atau pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang hadir sejak lama sebagai anti-tesis atas konsep pembangunan modern yang eksploitatif. Berbeda dari pembangunan modern, prinsip utama pembangunan berkelanjutan adalah sebuah pembangunan yang dapat mencukupi kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Elemen-elemen pokok pembangunan berkelanjutan adalah (WCED, 1988:12-3): 1. Tercukupinya kebutuhan dasar 2. Pemanfaatan sumber daya yang hemat dan efisien karena ada batas sumber daya lingkungan menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 33 3. Teknologi ramah lingkungan 4. Demokratisasi dalam pengambilan keputusan atas sumber daya 5. Pembatasan jumlah penduduk Singkatnya, pembangunan berkelanjutan berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi serta perubahan kelembagaan yang konsisten dengan kebutuhan hari depan dan kebutuhan masa kini. (v) Cooperate to Promote a Supportive and Open International Economic System Pasal 5 ayat 5 The Parties should cooperate to promote a supportive and open international economic system that would lead to sustainable economic growth and development in all Parties, particularly developing country Parties, thus enabling them better to address the problems of climate change. Measures taken to combat climate change, including unilateral ones, should not constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination or a disguised restriction on international trade. Prinsip ini berkaitan dengan hak untuk tetap membangun, terutama bagi negara berkembang. Karena itu, halangan yang diskriminatif termasuk melalui pembatasan perdagangan tidak bisa dilakukan semenamena meskipun dirancang sebagai langkah untuk mengatasi perubahan iklim. Prinsip ini muncul sebagai artikulasi dari hak atas pembangunan (rights to development) yang disuarakan negara berkembang. (d)Kelembagaan Konvensi (i) Intergovernmental Negotiating Committee (INC) INC dipersiapkan sejak 1990 untuk menyelenggarakan negosiasi perubahan iklim, termasuk perundingan di Rio de Jeneiro 1992. Meskipun tidak mengikat, banyak rekomendasi INC yang mendorong agar konvensi dapat diimplementasikan, antara lain menyangkut keuangan, laporan emisi dan komitmen. INC bertemu untuk terakhir kalinya pada bulan Februari 1995 dan selanjutnya berbagai proses perundingan berikut diteruskan oleh Conference of Parties. (ii) Conference of Parties (COP) COP merupakan asosiasi para pihak yang meratifikasi konvensi. Menurut konvensi, COP merupakan badan tertinggi konvensi yang berwenang membuat keputusan. COP bertanggung jawab menjaga konsistensi upaya internasional dalam mencapai tujuan utama konvensi. Karena itu, secara rutin COP meninjau komitmen para pihak melalui peninjauan komunikasi nasional dan pengalaman para pihak 34 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? menerapkan kebijakan nasionalnya terkait isu perubahan iklim. COP diselenggarakan setahun sekali, kecuali karena suatu kondisi tertentu para pihak menghendaki lain. Penentuan tempat penyelenggaraan COP tergantung tawaran calon tuan rumah. Jika tidak ada penawaran, otomatis COP diselenggarakan di sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman. (iii) Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) Konvensi membentuk SBSTA sebagai badan pembantu tetap yang bertugas menangani masalah-masalah teknis dan ilmiah. SBSTA bekerja berdasarkan keputusan COP, namun bisa juga memberikan nasihat dan menjembatani konvensi dengan sumber-sumber informasi ilmiah sehingga masalah-masalah teknis dan metodologis yang dihadapi konvensi dapat dipecahkan. Untuk membuat informasi tetap update dan akurat, SBSTA mendapat informasi dari kumpulan para pakar yang tergabung dalam IPCC maupun lembaga-lembaga lainnya. Kadangkala, SBSTA juga bisa meminta IPCC menyusun laporan khusus atau makalah teknis di sela-sela tugas utama IPCC menyusun assessment report secara berkala. (iv) Subsidiary Body for Implementation (SBI) Badan pembantu tetap lainnya adalah SBI yang bertugas melakukan penilaian terhadap Komunikasi Nasional dan Inventarisasi Emisi yang disampaikan para pihak sesuai dengan komitmen yang diberikan (pasal 4). SBI juga bisa memberikan saran kepada COP dalam hal mekanisme keuangan yang dioperasikan Global Environment Facility (GEF), urusan administrasi dan masalah lain yang berkaitan dengan anggaran. Dalam perkembangan perundingan terkini, SBI juga terlibat intensif dalam mendiskusikan mekanisme pendanaan baru untuk adaptasi dan juga REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Dalam melakukan tugas-tugas tersebut SBI sering melakukan kerja sama dengan SBSTA dalam menyelesaikan masalah-masalah umum (cross-cutting issues) antara lain membahas perkembangan mekanisme, penaatan (compliance), pengembangan kapasitas dan kerentanan negara berkembang dan cara-cara mengatasinya. (v) Ad-hoc Group Dalam hal-hal tertentu, COP bisa membentuk Ad-hoc group, sifatnya sementara sesuai kebutuhan. Ad-hoc yang pernah dibentuk, antara lain: • Ad-hoc Group on Berlin Mandate (AGBM). Dibentuk pada COP pertama di Berlin untuk menyelenggarakan berbagai pertemuan yang berujung pada pembentukan dan pengadopsian Protokol Kyoto. • Ad-hoc Group on Article 13 Konvensi (AG13) yang dibentuk untuk mempelajari kemungkinan implementasi pasal 13 konvensi yang mengatur tentang resolusi berbagai pertanyaan mengenai Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 35 • • • implementasi konvensi. Pasal ini mensyaratkan adanya konsultasi multilateral, sehingga AG13 melakukan pertemuan enam kali dan mempresentasikan hasilnya dalam COP 4. Joint Working Group (JWG). Dibentuk dalam COP 4 untuk menyelesaikan sistem penaatan di bawah Protokol Kyoto. Hasil kerja kelompok ini terkubur dalam kemelut perundingan COP 6 di Den Haag, Belanda dan akhirnya diperpanjang hingga sesi kedua COP 6 di Bonn. Ad-hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP) yang dibentuk COP 11 di Montreal untuk membahas komitmen berikut dari negaranegara maju di bawah Protokol Kyoto. AWG-KP diharapkan menyelesaikan pekerjaannya pada 2009, namun perundingan COP 15 di Kopenhagen tidak menyepakati apapun sehingga AWG-KP terus bekerja dan diharapkan bisa menghasilkan konsensus pada COP 16 di Meksiko.32 Ad-hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA). Pada COP 13 di Bali, dalam rangka mencapai keputusan yang mengikat di COP 15 di Kopenhagen maka melalui keputusan 1/CP.13 atau disebut dengan the Bali Action Plan, COP meluncurkan proses yang komprehensif untuk memberi jalan yang luas, efektif dan berkelanjutan bagi penerapan konvensi melalui tindakan kerja sama jangka panjang hingga dan melampaui 2012. AWG-LCA diharapkan menyelesaikan pekerjaannya sebelum COP 15 di Kopenhagen dan mempresentasikan hasil pekerjaannya dalam COP 15 tersebut agar diadopsi. Namun COP 15 tidak menghasilkan keputusan apapun atas AWG-LCA sehingga COP melalui decision 1/CP.15 tentang hasil kerja AWG-LCA memperpanjang mandat AWG-LCA untuk memampukan kelompok kerja tersebut melanjutkan pekerjaannya dengan harapan akan mempresentasikan hasil kerjanya pada COP 16 di Meksiko.33 (vi) Biro Biro terdiri dari tiga yakni Biro COP, SBSTA dan SBI. Biro COP dibentuk dan dipilih oleh COP pada setiap awal sesinya. Tugas biro adalah mengarahkan pekerjaan COP dan badan-badan pembantunya. Untuk mempertahankan kesinambungan tugasnya, biro COP tidak hanya bekerja dalam satu sesi COP, tetapi juga pada periode antarsesi (inter-sessional period). Biro COP beranggotakan 11 orang yang mewakili lima wilayah PBB yaitu Asia, Afrika, Eropa Timur, Amerika Latin dan 32 33 http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/4577.php, (diakses 12-03-2010). http://unfccc.int/meetings/items/4381.php (diakses 12-03-2010). 36 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Karibia, Eropa Barat dan group lain (Western Europe and Others Group, WEOG). Yang termasuk group lain adalah Australia, Kanada, Eslandia, Selandia Baru, Norwegia, Swiss dan Amerika Serikat. Sebelas anggota tersebut termasuk satu orang Presiden COP, tujuh orang wakil presiden, satu orang ketua SBSTA, satu orang ketua SBI, dan satu orang Pelapor. Biro COP dipilih untuk satu tahun tetapi anggotanya dapat dipilih ulang untuk kedua kalinya. Sementara biro SBSTA dan SBI terdiri dari Ketua, Wakil Ketua dan Pelapor. Tugasnya mirip dengan dengan biro COP tetapi dengan masa jabatan dua tahun. (vii) Global Environment Facility (GEF) Konvensi membentuk mekanisme keuangan untuk membiayai berbagai kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim dan implementasi konvensi di negara berkembang. Untuk sementara, mekanisme tersebut dikelolah GEF. GEF sendiri dibentuk tahun 1991 oleh berbagai negara dan meminta Bank Dunia untuk mengelola dana pilot sebesar 1 milyar USD dengan misi membantu melindungi lingkungan global dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, kesepakatan pertama antara GEF dan UNFCCC terjadi di COP 2 tahun 1996, kemudian diperbarui dalam COP 4 dan selanjutnya ditinjau setiap empat tahun sekali. Dana GEF diimplementasikan oleh Bank Dunia, UNDP dan UNEP. Persoalan birokrasi dan jumlah dana yang minim mewarnai perjalanan GEF hingga kini. Karena itu, dalam perdebatan terkini, banyak proposal dari negara pihak mengusulkan agar pendanaan perubahan iklim melalui GEF diperbarui dan bahkan diganti dengan mekanisme yang lebih efektif. (viii)Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) IPCC bukan merupakan kelembagaan konvensi tetapi memberikan masukan yang sangat penting dalam proses negosiasi perubahan iklim. IPCC dibentuk oleh WMO dan UNEP pada 1989 sebagai panel ilmuwan yang diusulkan pemerintah untuk melakukan penilaian dan pembahasan yang mendalam terhadap literatur teknis dan ilmiah dan hal-hal yang terkait. IPCC dikenal dengan Laporan Pengkajian (Assessment Report) yang secara luas dikenal sebagai informasi yang otoritatif dan dapat dipercaya tentang perubahan iklim. Hingga saat ini IPCC telah mengeluarkan empat Laporan Pengkajian yakni tahun laporan pertama 1990, laporan kedua 1995, laporan ketiga 2001 dan laporan keempat 2007. Laporan-laporan ini menjadi dasar ilmiah bagi COP untuk melakukan negosiasi.34 34 Untuk melihat jenis dan berbagai laporan IPCC, silakan unduh di http://www.ipcc.ch/publications_and_data/ publications_and_data.htm, (diakses 03-02-2010). Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 37 (ix) Sekretariat Konvensi Sekretariat Konvensi berkedudukan di Bonn, Jerman. Tugas utamanya tercantum dalam pasal 8 konvensi, yakni: • Mengatur penyelenggaraan dan memberikan layanan dalam COP, pertemuan-pertemuan badan pembantu dan biro; • Mengkompilasi dan meneruskan laporan yang diterimanya; • Memberikan fasilitas kepada para pihak, khususnya permintaan dari negara berkembang dalam hal kompilasi dan komunikasi informasi sesuai dengan yang diamanatkan konvensi. Selain tiga tugas di atas sekretariat juga membantu koordinasi teknis antara sekretariat dengan badan-badan yang relevan, menyiapkan dokumen pertemuan dan berbagai dukungan teknis lainnya. (e) Pembagian para pihak Konvensi Perubahan Iklim membagi para pihak menjadi dua bagian besar yakni Annex I dan Non-Annex I. Negara-negara Annex I diberi beberapa mandat penting, antara lain, sebagai berikut: 1. Melakukan langkah-langkah domestik melalui kebijakan maupun tindakan lainnya dalam mitigasi perubahan iklim yang mengurangi emisi GRK dan melindungi serta memperluas penyerapan dan penyimpanan GRK. Kebijakan dan tindakan-tindakan tersebut harus menggambarkan bahwa negara-negara Annex I menjadi yang terdepan dalam mencapai tujuan konvensi dengan menimbang kondisi nasional masing-masing seperti struktur ekonomi dan basis sumber daya, kebutuhan untuk tetap memelihara pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan hingga teknologi pendukung; 2. Melaporkan perkembangan kebijakan dan langkah-langkah yang diambil dalam enam bulan setelah konvensi berlaku dan seterusnya memberikan laporan secara reguler kepada COP melalui sekertariat UNFCCC. Rincian mengenai apa saja yang dilaporkan tercantum dalam pasal 12 Konvensi. Beberapa di antaranya adalah daftar jenis GRK baik sumber maupun penyimpanannya yang tidak diatur dalam Protokol Montreal, deskripsi umum mengenai langkah-langkah yang diambil atau yang dipertimbangkan oleh negara yang bersangkutan dalam mengimplementasi konvensi, dan informasi lain yang relevan dalam mencapai tujuan konvensi. 3. Melakukan beberapa kewajiban, antara lain: (a) berkoordinasi dengan sesama Annex I untuk mencapai tujuan konvensi, (b) melakukan identifikasi dan tinjauan secara periodik atas kebijakan domestik maupun praktik yang mengakibatkan peningkatan GRK yang tidak diatur Protokol Montreal, (c) menyediakan sumber daya finansial baru dan tambahan 38 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? atas pendanaan yang sudah ada kepada negara berkembang agar negara-negara berkembang mampu membuat kebijakan dan melakukan langkah-langkah mitigasi perubahan iklim (pasal 12 paragraf 1), (d) bersama negara-negara Annex II, membantu adaptasi negara-negara berkembang yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, (e) bersama negara-negara Annex II melakukan langkah-langkah praktis dengan mempromosikan, memfasilitasi, mendanai sedapat mungkin transfer atau akses terhadap teknologi ramah lingkungan dan keterampilan yang diperlukan oleh negara lain terutama negara-negara berkembang agar memampukan negara-negara tersebut memenuhi tujuan konvensi. Tabel 2.1. Daftar negara Annex I, Annex II dan Non-Annex Annex I Australia Austria Belarusia Belgia Bulgaria Kanada Kroasia Republik Ceko Denmark Uni Eropa Estonia Finlandia Prancis Jerman Yunani Hungaria Islandia Irlandia Italia Jepang Latvia Liechtenstein Lithuania Luksemburg Monako Belanda Selandia Baru Norwegia Polandia Portugal Rumania Annex II Australia Austria Belgia Kanada Denmark Uni Eropa Finlandia Prancis Jerman Yunani Islandia Irlandia Italia Jepang Luksemburg Belanda Selandia Baru Norwegia Portugal Spanyol Swedia Swiss Inggris dan Irlandia Utara Amerika Serikat Non-Annex (negara-negara selain negara Annex I dan Annex II) –Penyebutan Non-Annex sendiri tidak ada di dalam Konvensi Perubahan Iklim. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 39 Federasi Rusia Slovakia Slovenia Spanyol Swedia Swiss Turki Ukraina Inggris dan Irlandia Utara Amerika Serikat Sementara non-Annex I atau seringkali disebut negara berkembang diberi mandat untuk membentuk kebijakan dan melakukan langkah-langkah yang perlu dalam mencapai tujuan konvensi tetapi dengan dukungan negara maju, baik dukungan teknologi, pendanaan hingga pengembangan kapasitas. Pembagian para pihak dalam perkembangan selanjutnya menimbulkan perdebatan, terutama berkaitan dengan pembagian beban dan tanggung jawab dalam mencapai tujuan konvensi, terutama pasca berakhirnya komitmen pertama Protokol Kyoto (2008-2012). 2.3 Protokol Kyoto Protokol Kyoto (PK) merupakan salah satu cara agar Konvensi Perubahan Iklim bisa diterapkan. Pembentukan protokol sudah mulai diinisiasi sejak COP pertama 1995 yang menghasilkan Mandat Berlin untuk membentuk Ad-hoc Group on Berlin Mandate (AGBM). Perdebatan panjang selama 2 tahun akhirnya menghasilkan dokumen protokol namun kesepakatan implementasinya tidak mudah. Hingga saat ini, Protokol Kyoto merupakan satu-satunya langkah konkrit konvensi yang mengikat secara hukum. Protokol Kyoto secara eksplisit mencantumkan enam GRK yang harus dikurangi oleh negara maju, yakni Carbon Dioxide (CO 2), Methane (CH 4), Nitrous Oxide (N2O), Hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs) dan Sulphur Hexaf luoride (SF 6 ). Berdasarkan perhitungan GRK nasional yang dikomunikasikan ke COP maka disepakati rata-rata target pengurangan emisi negara maju adalah 5,2 % di bawah level 1990. Metode pengurangan emisi Kyoto adalah menggunakan jatah (assigned amount). Sebuah negara tidak boleh melebihi jatah tertentu. Jika lebih, maka negara tersebut diwajibkan menurunkan emisinya dalam jumlah tertentu. Sebaliknya, beberapa negara tidak sanggup menghabiskan jatah yang disepakati sehingga untuk negara tersebut terjadi saldo emisi yang kemudian dikenal dengan hot air. Karena itu, pada tabel terlihat negara-negara yang harus mengurangi 8%, tapi juga 40 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? nampak negara-negara yang bisa menambah emisi hingga 10%. Protokol Kyoto menyebut dua kategori negara ini sebagai Annex B (tabel 2.2.) Tabel 2.2. Negara-negara yang masuk dalam Annex B Protokol Kyoto dan target pengurangan emisi mereka Negara EU-15 negara, Bulgaria, Republik Ceko, Estonia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Monaco, Rumania, Slovakia, Slovenia, Swiss Target (1990 - 2008/2012) -8% US -7% Kanada, Hongaria, Jepang, Polandia -6% Kroasia -5% Selandia Baru, Federasi Rusia, Ukraina 0 Norwegia +1% Australia +8% Islandia +10% Pada 2007, negara-negara yang tercatat dalam Annex B bertambah karena protokol membuka peluang amandemen atas negara-negara yang menjadi Annex B. Amandemen negara-negara Annex B pun diterima pada November 2006, melalui keputusan 10/CMP.2. Sejak itu, ada penambahan 22 negara Annex B Protokol Kyoto. Menurut PK, untuk mencapai target di atas maka negara-negara maju diberi kebebasan untuk mencari cara yang paling murah dan mudah sesuai kemampuan negara dan situasi nasional dan pada akhirnya bertujuan menghindari kegoncangan ekonomi domestik dan global. Karena itu, beberapa kemudahan diberikan, antara lain 15 Negara EU bersama-sama saling menyokong (tanggung renteng) pencapain target bersama EU di bawah skema yang disebut bubble. Menurut skema ini masing-masing negara anggota EU memiliki target individual yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan internal EU tapi gabungan capaian individual akan mendukung target bersama pengurangan 8%. Protokol juga memberi kemudahan bagi negara-negara dalam transisi ekonomi atau EITs untuk menentukan sendiri periode dimulainya perhitungan emisi atau disebut baseline di luar 1990. Kemudahan diberikan karena asumsi bahwa negara-negara tersebut sedang dalam proses transisi. Beban pengurangan emisi tidak boleh membuat transisi ekonomi ambruk. Sementara Amerika dan Australia yang tercatat sebagai penyumbang emisi tidak mau mengadopsi PK. Ini merupakan tantangan pelaksanaan Kyoto dan perundingan perubahan iklim secara keseluruhan yang akan dibahas di bagian sendiri tulisan ini. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 41 Protokol Kyoto tidak langsung berlaku ketika negara-negara peratifikasi konvensi setuju dengan protokol tersebut. Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum dan berlaku mengikat. Pertama, sekurang-kurangnya protokol harus diratifikasi oleh 55 negara peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim. Kedua, agregat emisi negara-negara Annex I peratifikasi Protokol Kyoto minimal 55% dari total emisi keseluruhan Annex I di tahun 1990. Syarat pertama terpenuhi ketika tanggal 23 Mei 2002, Islandia menandatangani protokol tersebut. Selanjutnya, 18 November 2004 Rusia meratifikasi Protokol Kyoto sehingga agregat emisi negara Annex I penandatangan Kyoto melampaui 55% yakni sebesar 61.79%. Hal ini berarti kedua syarat telah dipenuhi sehingga sesuai pasal 25 Protokol Kyoto, 90 hari setelah ratifikasi Rusia, yaitu pada tanggal 16 Februari 2005, protokol ini mulai berlaku mengikat tanpa ada reservasi. (a) Mekanisme Protokol Kyoto Untuk memberi jalan bagi upaya pengurangan emisi maka Protokol Kyoto membentuk tiga mekanisme yang disebut flexible mechanism. Disebut fleksibel karena ketiga mekanisme ini memberi kesempatan bagi negara-negara tersebut untuk bisa memilih mekanisme mana yang membantu mereka mengurangi emisi. Ketiga mekanisme tersebut adalah Joint Implementation (JI), Emission Trading (ET) dan Clean Development Mechanism (CDM). (i) 42 Clean Development Mechanism CDM memberi kesempatan bagi negara maju untuk mengurangi emisi dengan melakukan proyek di negara berkembang dan memperoleh sertifikat yang disebut Certified Emission Reductions (CERs) dari proyekproyek tersebut, masing-masing sertifikat setara dengan satu ton CO2. CERs dapat diperdagangkan dan diperjualbelikan serta digunakan oleh negara-negara industri untuk mencapai target pengurangan emisi mereka di bawah Protokol Kyoto. Mekanisme ini diyakini mendorong bekerjanya prinsip sustainable development dan pengurangan emisi sambil memberikan negara-negara maju fleksibilitas dalam melakukan upaya pengurangan emisi sesuatu target yang disepakati. Proyek CDM harus melalui kualifikasi yang ketat, registrasi publik dan proses pemberian CERs yang dirancang untuk memastikan pengurangan emisi yang nyata, terukur dan dapat diverifikasi yang melampaui apa yang terjadi tanpa proyek atau Business as Usual (BAU). Mekanisme operasional CDM ditinjau oleh Dewan Eksekutif CDM dan mengarahkan proyek terutama pada negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto. Supaya bisa dicatat, sebuah proyek pertama-tama harus disetujui oleh Designated National Authorities Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? (DNA). Validasi proyek selanjutnya dilakukan melalui Designated Operational Entity (DOEs) sebagai perangkat untuk sertifikasi proyek sebagaimana tercantum dalam pasal 12(5). DOEs juga punya kewenangan mensertifikasi pengurangan emisi yang diperoleh melalui proyek. Mekanisme CDM dilihat oleh banyak orang sebagai pembuka jalan global bagi investasi lingkungan dan skema kredit yang menyedikan instrumen offset emisi yang terstandar melalui CERs. CDM merupakan meknisme yang mengejutkan dalam perundingan Protokol Kyoto. Pada pertemuan sebelumnya, delegasi Brazil mengajukan proposal untuk membentuk Green Development Fund, namun proposal tersebut tidak banyak dibicarakan dalam perundingan Kyoto. Bentuk dan dasar CDM yang tertuang dalam pasal 12, dengan demikian merupakan bayi yang murni lahir dari kelit kelindan negosiasi di Kyoto. Pasal ini kemungkinan besar merupakan hasil dari proses perundingan pasal 12 yang dirumuskan dalam grup perancang yang berbeda dari grup perumus pasal 6 yang membahas “Joint Implementation”, namun memiliki konsep yang sama yakni memberi kesempatan bagi Annex I untuk mendanai proyek pengurangan emisi di negara tertentu. Keunikan pasal 12 adalah proyek Annex I tersebut bisa dilakukan di negara berkembang yang tidak membuat komitmen penurunan emisi di bawah Protokol Kyoto, di luar negara Annex I atau mekanisme offset. Pasal 12 secara eksplisit menyokong negara-negara Non-Annex I untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan berkontribusi terhadap tujuan utama konvensi dan membantu Annex I dalam memenuhi kewajiban mereka sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 (Freestone, 2009:11). Perangkat CDM dibentuk lebih dini daripada dua mekanisme lainnya yakni tahun 2000. Start cepat CDM dilakukan berdasarkan pasal 12 (10) Protokol Kyoto. Dari proses ini, CDM memberi peluang pengurangan emisi sejak 2000 dan menjadi permulaan pemenuhan komitmen Annex I. Konsekuensinya, berdasarkan mekanisme pasar CDM berlaku segera setelah adopsi Marrakesh Accord tahun 2001. Selanjutnya, para pihak diberi kewenangan untuk melakukan kredit retroaktif dari pengurangan emisi mulai tahun 2000. Sebagai mekanisme internasional pertama yang mulai beroperasi, CDM memberi kesempatan bagi pengembang proyek untuk merancang dan mengembangkan proyek pengurangan emisi. Secara formal, CDM mulai dihitung sebagai kredit dalam skema perubahan iklim di bawah komitmen Kyoto sejak awal 2006. Sejak itu, CDM telah mencatat lebih dari 1000 proyek dan diprediksikan mampu menghasilkan CERs lebih dari 2,7 milliar ton CO2 setara dengan komitmen periode pertama Protokol Kyoto, 2008–2012. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 43 (ii) Joint Implementation Mekanisme JI diatur dalam pasal 6 Protokol Kyoto. JI memberikan kesempatan bagi negara Annex B Protokol Kyoto untuk melakukan pengurangan atau pembatasan emisi agar memperoleh Emission Reduction Units (ERUs) dari proyek pengurangan emisi atau penyerapan emisi dari pihak Annex B yang lain. Satu ERUs setara dengan satu ton CO2 yang bisa dihitung sebagai upaya untuk mencapai target Kyoto. JI menyediakan beberapa cara yang fleksibel dan efisien bagi negara Annex B dalam memenuhi komitmen mereka di bawah Kyoto, sementara negara tuan rumah tempat proyek dilakukan mendapat keuntungan dari investasi asing dan transfer teknologi. Seperti halnya CDM, proyek JI harus mampu mengurangi emisi baik dari sumber maupun perluasan perangkap emisi dengan penyerapan yang melampaui BAU. Proyek harus mendapat persetujuan dari negara tuan rumah proyek dan peserta proyek swasta harus mendapat pengesahan dari negara pihak untuk bisa berpartisipasi dalam proyek. Pembentukan infrastruktur dasar JI bergantung pada waktu efektif kapan Protokol Kyoto berlaku, sehingga pembentukan Komite Supervisor JI ditunda (sama dengan Dewan Eksekutif CDM) hingga Desember 2005. Namun paralel dengan proses pembentukan Komite Supervisor, usulan proyek JI meningkat dan terus didesain, sehingga pada permulaan komitmen pertama Kyoto tahun 2008, pasar ERUs memperoleh momentum. Proyek yang dimulai dari tahun 2000 bisa disebut sebagai proyek JI jika proyek-proyek tersebut memenuhi persyaratan yang relevan. Tapi ERUs hanya boleh dikeluarkan untuk periode kredit sejak awal 2008. Belajar dari proses yang ditempuh CDM, JI hadir dengan menggunakan banyak petikan pelajaran maupun kerangka kerja yang sebelummya sudah dibentuk dalam CDM. Untuk dapat menghasilkan ERUs, JI mengenal dua trek prosedur. Pertama, prosedur trek satu, yakni jika negara tuan rumah mampu memenuhi persyaratan yang sesuai standar yang diakui untuk mentransfer maupun memenuhi ERUs, maka tuan rumah dapat memverifikasi pengurangan emisi dan perluasan perangkap emisi dari proyek JI sebagai sesuatu yang sifatnya melampaui BAU (additional). Berdasarkan verifikasi tersebut, negara tuan rumah dapat mengeluarkan ERUs dalam jumlah tertentu. Kedua, prosedur trek dua, yakni jika negara tuan rumah tidak dapat memenuhi semua persyaratan tapi hanya terbatas pada seperangkat persyaratan yang memenuhi standar maka verifikasi pengurangan emisi atau perluasan perangkap emisi sebagai sesuatu yang melampaui BAU (additional) harus dilakukan melalui prosedur verifikasi di bawah Komite Supervisor JI atau Joint Implementation Supervisory Committee (JISC). Sebuah entitas 44 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? independen yang diakreditasi oleh JISC harus menentukan apakah persyaratan yang relevan telah terpenuhi sebelum pihak negara tuan rumah dapat mengeluarkan dan mentransfer ERUs. Di sisi lain, negara tuan rumah yang memenuhi semua persyaratan yang sesuai standar yang diakui bisa juga memilih menggunakan prosedur verifikasi di bawah JISC atau prosedur trek 2. (iii) Emission Trading Target pengurangan emisi telah diwujudkan melalui jatah emisi yang dikenal dengan assigned amount (jatah yang diperbolehkan) dalam periode komitmen pertama 2008-2012. Jatah emisi dibagi ke dalam Assigned Amount Units (AAUs) atau unit jatah yang disepakati. Konsep ini mendasari skema perdagangan emisi dan secara hukum tercantum dalam pasal 17 Protokol Kyoto. Perdagangan emisi dalam skema ET membolehkan sebuah negara Annex I untuk mencadangkan unit emisi dari jumlah emisi yang diperbolehkan, dengan syarat cadangan tersebut tidak untuk dikonsumsi. Cadangan yang berlebihan tersebut dapat dijual ke negara Annex I lainnya yang melampaui jatah emisi yang diperbolehkan. Dengan demikian, sebuah komoditi baru telah dibuat dalam bentuk pengurangan atau perangkap emisi. Karena karbondioksida merupakan gas utama yang diperangkap atau dikurangi maka orang secara sederhana menyebut proses ini sebagai perdagangan karbon. Seperti komoditi lainnya, karbon saat ini memiliki rute pasar dan diperdagangkan di antara pelaku pasar, sehingga dikenal dengan sebutan pasar karbon. Selain perdagangan emisi aktual, Protokol Kyoto juga mengakui skema perdagangan emisi dari beberapa unit yang masing-masingnya setara dengan satu ton karbon. Unit-unit tersebut adalah: 1. Removal Unit (RMU) yang mengacu pada aktivitas land use, land-use change and forestry (LULUCF) atau tata guna lahan dan perubahan tata guna lahan dan hutan melalui kegiatan reforestasi dan aforestasi 2. Emission Reduction Unit (ERU) yang diperoleh lewat skema proyek Joint Implementation 3. Certified Emission Reduction (CER) yang diperoleh lewat aktivitas proyek dalam skema Clean Development Mechanism Transfer dan perolehan para pihak lewat unit-unit ini diamati dan dicatat melalui sistem pencatatan di bawah Protokol Kyoto. Pada level nasional, negara pihak (Annex I) diwajibkan untuk memelihara cadangan ERUs, CERs dan AAUs/RMUs dalam catatan nasional. Cadangan ini dikenal dengan commitment period reserve, dan tidak boleh kurang dari 90 persen AAU negara yang bersangkutan. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 45 Dari segi skala geografis, perdagangan emisi dibentuk sebagai instrumen kebijakan iklim pada level nasional maupun regional. Melaui skema perdagangan, pemerintah dapat merancang kewajiban emisi yang harus dicapai oleh entitas yang akan berpartisipasi dalam skema tersebut. Di antara pasar yang ada, skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (European Union Emissions Trading Scheme/EUETS) merupakan operasi pasar yang paling besar hingga saat ini. (b) Kelembagaan Protokol Kyoto Selain mengacu pada struktur kelembagaan yang telah tersedia dalam konvensi perubahan iklim, Protokol Kyoto mengembangkan beberapa struktur sendiri yang berbeda tapi sekaligus melengkapi struktur kelembagaan yang berusaha mewujudkan konvensi. (i) Conference of Meeting Parties CMP merupakan konferensi para pihak yang meratifikasi Protokol Kyoto. Dalam rumusan yang lebih panjang disebut dengan Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP). CMP melakukan pertemuan tahunan pada waktu yang sama dengan COP. Para pihak konvensi yang tidak menjadi para pihak dalam Protokol Kyoto dapat berpartisipasi dalam CMP sebagai observer (pengamat) tapi tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan. Fungsi CMP dalam kaitannya dengan protokol mirip dengan fungsi yang dimainkan COP terhadap konvensi. Pertemuan pertama CMP diselenggarakan di Montreal, Kanada pada Desember 2005 bersamaan dengan COP ke-11. Dalam pertemuan ini, para pihak CMP mengadopsi keputusan yang menggarisbawahi langkah penting bagi tindakan internasional ke depan terhadap perubahan iklim. Para pihak CMP juga secara formal mengadopsi “aturan pelaksana” Protokol Kyoto yang disebut dengan “Marrakesh Accords” yang terdiri dari seperangkat kerangka kerja implementasi Protokol. Beberapa kelembagaan yang dibentuk di bawah dan ditugaskan membantu COP seperti SBSTA dan SBI juga memiliki mandat melayani CMP. Demikian halnya biro juga melayani CMP. Meski demikian, beberapa anggota biro COP yang mewakili pihak yang bukan merupakan negara anggota Protokol Kyoto harus diganti oleh anggota yang mewakili Protokol Kyoto. (ii) Komite Mekanisme Kyoto Dalam rangka melaksanakan tiga mekanisme Kyoto yang mengikuti standar yang telah ditetapkan maka dibentuk beberapa 46 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? lembaga yang mendukung pelaksanaan mekanisme-mekanisme tersebut. Pertama, Dewan Eksekutif CDM. Lembaga ini menyiapkan keputusan bagi CMP dan mengambil peranan dalam berbagai tugas yang berhubungan dengan pelaksanaan CDM sehari-hari termasuk memberikan akreditasi bagi entitas operasional. Kedua, komite pemantau JI atau Joint Implementation Supervisory Committee (JISC). Komite ini bekerja berdasarkan kewenangan dan panduan yang diberikan CMP dan memiliki peranan men-supervisi verifikasi unit pengurangan emisi (ERUs) yang dilakukan oleh proyek JI dengan menggunakan prosedur verifikasi yang disediakan oleh standard JISC. Ketiga, komite pemenuhan atau compliance committee. Komite ini diuraikan lebih dalam pada bagian berikut karena berkaitan dengan target pemenuhan emisi negara Annex I yang menjadi tujuan utama konvensi. (iii) The Compliance Committee Mekanisme pemenuhan Protokol Kyoto dirancang untuk memperkuat integritas lingkungan, mendukung kredibilitas pasar karbon dan memastikan transparansi perhitungan karbon oleh para pihak. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi, mempromosikan dan menegakan pemenuhan komitmen terhadap Protokol. Mekanisme pemenuhan Protokol Kyoto atau compliance mechanism merupakan sistem yang paling komprehensif dan teliti untuk sebuah perjanjian lingkungan multilateral saat ini. Mekanisme yang kuat dan efektif merupakan kunci untuk menyukseskan penerapan Protokol.35 Komite Pemenuhan atau The Compliance Committee terdiri dari dua bagian yakni bagian fasilitatif dan bagian penegakan. Sebagaimana namanya, bagian fasilitatif bertujuan memberikan nasihat dan bantuan kepada negara pihak dalam rangka mempromosikan pemenuhan Protokol Kyoto. Sementara bagian penegakan mempunyai tanggung jawab untuk menentukan konsekuensi apa yang diberikan kepada negara pihak yang tidak mampu memenuhi target komitmen mereka. Komposisi keanggotaan yang mengisi kedua bagian ini terdiri dari 10 anggota termasuk perwakilan resmi dari masing-masing region PBB (Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia, Eropa Tengah dan Timur, Eropa Barat dan Yang Lain), satu orang dari negara berkembang kepulauan kecil, satu dari negara Annex I dan satu dari Non-Annex I. Mekanisme kerja dan pengambilan keputusan kedua bagian adalah komite menyelenggarakan pleno yang dihadiri anggota kedua bagian dan sebuah biro yang mencakup ketua dan wakil ketua setiap bagian dan mempunyai tugas mendukung pekerjaan kedua bagian. Keputusan 35 http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010). Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 47 dalam pleno dan bagian fasilitatif akan mengikat jika dilakukan oleh tiga perempat mayoritas. Sementara keputusan dalam bagian penegakan membutuhan tambahan dari dua kali lipat negara anggota Annex I dan Non-Annex I.36 Menurut pasal 8 Protokol Kyoto, melalui bagian-bagian ini komite mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan mengenai implementasi protokol yang dapat diajukan tim review pakar, sebuah negara terhadap implementasi di negaranya sendiri, atau sebuah negara terhadap implementasi di negara lain dan semunya didukung oleh informasi yang kuat. Setiap negara mengangkat sebuah badan yang bertugas menandatangani dokumen yang diserahkan ke komisi pemenuhan yang berisi pertanyaan-pertanyaan implementasi dan komentar yang melengkapi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Biro komite mendistribusikan pertanyaan implementasi ke bagian yang bertanggung jawab sesuai mandat yang diberikan. Selain itu, manakala mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan implementasi, bagian penegakan sewaktu-waktu dapat meneruskan pertanyaan implementasi ke bagian fasilitatif. Bagian penegakan bertanggung jawab untuk menentukan apakah suatu negara pihak dalam Annex I tidak memenuhi target emisi, keluar dari syarat metodologis dan pelaporan inventaris GRK, dan tidak mencapai persyaratan standar yang digariskan mekanisme Kyoto. Bagian ini bisa dibantu oleh review pakar maupun laporan negara pihak yang bersangkutan. Dalam hal terjadi ketidaksepahaman antara review pakar dengan negara pihak terkait, bagian penegakan wajib menentukan apakah melakukan penyesuaian terhadap inventarisasi GRK negara pihak yang bersangkutan atau mengkoreksi kompilasi dan database perhitungan untuk menghitung unit emisi yang akan ditetapkan (Assigned Amount Unit).37 Mandat bagian fasilitatif adalah memberikan nasihat dan fasilitasi terhadap negara pihak dalam mengimplementasi Protokol dan mempromosikan pemenuhan Protokol kepada para pihak berdasarkan komitmen mereka terhadap Kyoto. Bagian ini juga bertanggung jawab untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penerapan komitmen Kyoto oleh negara Annex I dalam kaitannya dengan langkah-langkah terukur yang diperlukan dalam mencegah perubahan iklim melalui cara yang mengurangi dampak negatif bagi negara berkembang sekaligus memberi jaminan bahwa penggunaan mekanisme Kyoto oleh negara Annex I merupakan sesuatu yang suplemen terhadap tindakan domestik. Lebih lanjut, bagian fasilitatif bisa menyediakan semacam 36 37 http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010). http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010). 48 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? “peringatan dini” mengenai kemungkinan tidak terpenuhinya target pengurangan emisi, syarat metodologis dan pelaporan inventaris GRK, dan komitmen mengenai pelaporan atas informasi yang mendukung pemenuhan target dalam inventarisasi tahunan negara Annex I.38 Selain itu, bagian fasilitatif juga mempertimbangkan prinsip common but differentiated responsibilities terhadap negara pihak dan situasi-situasi yang terkait dengan pertanyaan implementasi sebelum memberikan jawaban.39 Dalam kaitannya dengan bagian penegakan, setiap tipe noncompliance (tidak memenuhi komitmen) memerlukan serangkaian tindakan. Misalnya, jika bagian penegakan telah menentukan bahwa emisi sebuah negara pihak telah melampaui unit yang disepakati, maka bagian penegakan harus menyatakan bahwa negara yang dimaksud tidak memenuhi target dan mewajibkan negara tersebut untuk membuat laporan perbedaan antara emisi yang dikeluarkan dengan emisi yang disepakati selama periode komitmen kedua, plus tambahan pengurangan emisi 30%. Selain itu, bagian penegakan juga mewajibkan negara tersebut untuk mengajukan Rencana Tindakan Pemenuhan (Compliance Action Plan) dan menunda kelayakan (eligibility) negara tersebut untuk melakukan transfer dalam mekanisme pedagangan emisi (Emission Trading) sampai negara tersebut kembali ke trek pemenuhan target.40 Namun demikian, tidak ada hubungan antara langkah yang diambil bagian penegak terhadap negara non-compliance dengan bagian fasilitatif. Berdasarkan kewenangannya, bagian fasilitatif tetap memutuskan untuk memberikan nasihat dan fasilitasi bantuan terhadap negara pihak tertentu yang berkaitan dengan implementasi Protokol, memfasilitasi bantuan finansial dan teknikal terhadap pihak dimaksud, termasuk transfer teknologi dan pengembangan kapasitas maupun memformulasikan rekomodendasi terhadap pihak tersebut. Dalam bagian penegakan, pertanyaan atas implementasi akan diselesaikan dalam kurang lebih 35 minggu sejak pertanyaan implementasi diterima oleh bagian penegakan. Dalam hal permintaan yang mendesak, termasuk permintaan yang berhubungan dengan kelayakan untuk berpartisipasi dalam mekanisme Kyoto, disediakan prosedur yang dipercepat termasuk periode tahap awal yang diperpendek. Tahap awal merupakan periode pemeriksaan dokumen untuk menentukan langkah-langkah berikut yang harus diambil oleh sebuah negara dalam kaitannya dengan upaya mengimplementasi mekanisme Kyoto. Di luar deadline tiga minggu yang diberikan untuk 38 39 40 http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010). http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010). http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010). Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 49 melengkapi tahap awal, tidak ada deadline yang disediakan bagi bagian fasilitatif. 41 Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan implementasi, terdapat prosedur rinci dengan kerangka waktu yang spesifik untuk bagian penegakan, termasuk peluang untuk sebuah negara pihak menghadapi Komite Pemenuhan untuk membuat laporan formal tertulis dan permintaan dengar pendapat dimana negara tersebut dapat menghadirkan pandangannya dan mengundang testimoni pakar. Bagian-bagian Komite Pemenuhan akan menggunakan cara musyarawah mufakat dalam merespons laporan-laporan dari tim review pakar, badan-badan tambahan (subsidiary bodies), para pihak dan sumber-sumber resmi lainnya. Organisasi antar-negara maupun non-pemerintah yang kompeten dapat mengajukan informasi teknis dan faktual yang relevan terhadap bagian terkait sesudah pelaksanaan tahap awal.42 Selain menggunakan mekanisme pengawas dari bagian penegakan secara eksternal, secara internal pun setiap negara pihak yang tidak memenuhi persyaratan laporan harus mengembangkan rencana tindakan pemenuhan dan jika ditemukan negara-negara pihak tidak memenuhi kriteria untuk berpartisipasi dalam mekanisme maka mereka kehilangan ukuran kelayakan (eligibility) mereka. Dalam semua kasus, bagian penegakan akan membuat pengumuman publik bahwa negara tertentu tidak memenuhi target mereka dan juga mengumumkan konsekuensi apa yang harus dilakukan akibat ketidakpatuhan tersebut. Jika sebuah negara pihak ingin pencabutan atau penundaan kelayakan dalam perdagangan emisi dihapus dan hendak mendapatkan kelayakannya kembali, maka negara yang bersangkutan dapat meminta review pakar atau langsung mengajukan ke bagian penegakan untuk membuktikan bahwa negara tersebut telah menangani persoalannya dan telah memenuhi kriteria yang relevan.43 Dalam hal pemenuhan target pengurangan emisi, setelah terlaksananya review pakar terhadap inventarisasi final dari emisi tahunan, sebuah negara Annex I memiliki kesempatan 100 hari untuk mengemas cara yang perlu dalam mengatasi beberapa kekurangan dalam pemenuhan target (seperti memperoleh AAUs, CERs, ERUs atau RMUs melalui perdagangan emisi). Jika hingga akhir 100 hari, emisi negara tersebut masih lebih besar dari emisi yang dijatahkan (assigned amount), bagian penegakan akan mengumumkan bahwa negara pihak 41 42 43 http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010). http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010). http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010). 50 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? tersebut tidak memenuhi target, sehingga harus melaksanakan sejumlah konsekuensi seperti telah diuraikan di atas.44 Sebagai aturan umum, keputusan yang diambil oleh kedua bagian dalam komite ini tidak dapat diajukan banding. Pengecualiannya adalah keputusan dari bagian penegakan mengenai target pengurangan emisi. Namun, banding hanya dilakukan jika pihak yang mengajukan keberatan meyakini telah terjadi kesalahan dalam standar yang diakui (due process).45 (c) Perdagangan Karbon Perdagangan karbon merupakan salah satu jalan keluar dalam Protokol Kyoto. Di sana pasar memainkan peranan sangat penting dan aspek formal, antara lain sertifikat dan bukti tertulis penguasaan karbon, menjadi basis pelaksanaan transaksi. Semua tipe transaksi yang berkaitan dengan transfer kredit karbon memerlukan seperangkat kontrak yang sesuai. Sekali kontrak disepakati, CERs dan ERUs serta cadangan yang dialokasikan di bawah skema perdagangan emisi akan segera diperdagangkan dalam apa yang disebut pasar sekunder atau secondary market. Pasar karbon merupakan wilayah hukum yang kemudian menjadi sangat canggih dan rumit. Sebagian besar transaksi sekunder diatur oleh standar dan butir-butir kontrak. Namun, sebagian besar kredit JI dan CDM masih diperdagangkan melalui kontrak di muka (secara umum mengacu pada Emission Reduction Purchase Agreements atau ERPAs). Penerapan proyek CDM maupun JI menuju pada tersedianya hubungan hukum antara negara-negara yang memiliki kedaulatan berbeda dengan subyek hukum lain baik privat maupun publik yang terlibat dalam proyek. Berbagai hubungan tersebut diatur dalam kerangka kontrak yang secara umum terbagi atas tiga tipe instrumen kontrak, sebagai berikut (Freestone, 2009:15-16): 1. Instrumen unilateral dari negara Non Annex I dan Annex I, seperti surat persetujuan (Approval Letters) untuk proyek JI dan CDM;. 2. Instrumen bilateral antara negara Annex I dan non-Annex I, seperti perjanjian negara tuan rumah atau Memoranda of Understanding yang mengatur transfer AAUs atau ERUs sebagaimana tercantum dalam pasal 6 dan 7 Protokol Kyoto. 3. Instrumen bilateral atau multilateral antara peserta proyek yang bisa terdiri dari negara Annex I atau non-Annex I, subyek hukum privat atau publik, yang mengatur implementasi proyek pengurangan emisi, alokasi resiko dan transfer dana dan kredit karbon. Dua kategori pertama merupakan perjanjian yang fokus pada pengesahan proyek oleh negara pihak yang terlibat dan transfer atas apa yang secara 44 45 http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010). http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010). Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 51 internasional didefinisikan sebagai kredit karbon, sepanjang rangkaian tindakan kedaulatan diperlukan. Aktivitas proyek JI sangat tergantung pada konfirmasi dari negara tuan rumah untuk mengkonversi AAUs menjadi ERUs setelah proyek tersebut diverifikasi. Dalam kasus CDM, persetujuan sederhana dari negara tuan rumah sudah cukup untuk memperbolehkan keluarnya kredit. Kontrak karbon mendefinisikan relasi antara para pihak dalam mengawali pasar yang diwarnai oleh variasi resiko dan ketidakpastian yang kompleks. Kontrak perlu mencatat perjanjian antarpihak, mengidentifikasi tanggung jawab, mengalokasikan resiko, memberi dasar bagi hak dan merumuskan kewajiban yang jelas dan dapat diterapkan. Untuk mendorong adanya standar yang diakui, dalam pasar telah dilakukan berbagai upaya untuk menstandarkan ERPAs dan dokumen karbon terkait lainnya. Meski demikian, pengalaman menunjukan proyek karbon hadir dalam berbagai bentuk dan variasi. Konteks regional, tipe proyek, ukuran proyek dan status keuangan proyek serta kepemilikan proyek menentukan kondisi dari dan format transaksi CDM/JI selanjutnya. Bank Dunia dan Asosiasi Perdagangan Emisi Internasional (International Emission Trading Association atau IETA) telah mengembangkan model ERPAs yang terstandar dan tersedia bagi publik. Mekanisme Kyoto telah meletakan nilai pasar pada pengurangan emisi GRK bahkan sebelum Protokol Kyoto diberlakukan. Berawal dari permulaan yang sederhana dan jumlah yang kecil, saat ini telah terjadi ledakan jumlah pasar karbon di bawah Protokol Kyoto yang disokong oleh skema perdagangan emisi nasional maupun regional dimana perdagangan paling besar saat ini adalah EU Emission Trading Scheme (EU ETS). Pada tahun 2008, Bank Dunia memperkirakan total jumlah pasar karbon 2007 sekitar US$67 milyar, dimana US$50 milyar dari jumlah tersebut berasal dari EU ETS. Statistik 2008 memprediksikan bahwa di tengah resesi ekonomi, pasar karbon justru akan mampu melampaui US$120 milyar (Freestone, 2009:13). UNEP memperkirakan bahwa 5.2 milyar kredit CDM akan dikeluarkan dalam periode 2009 hingga 2020.46 Dalam perkembangan pasar yang sangat cepat seperti ini, Mekanisme Kyoto menyediakan referensi dasar bagi peraturan yang jumlahnya makin meningkat serta acuan bagi sistem dan standar. Hingga saat ini, CDM merupakan satu-satunya mekanisme yang menghubungkan pengurangan emisi yang dilakukan di negara berkembang ke dalam pasar global. Hubungan antara Protokol Kyoto dengan EU ETS dilakukan melalui pengadopsian mekanisme “Linking Directive” atau sertifikasi proyek pengurangan emisi dalam pasar EU langsung berdasarkan Protokol Kyoto, yang telah meningkatkan ketertarikan partisipasi sektor publik dan privat terhadap kredit yang diperoleh melalui proyek JI dan CDM.47 Namun dari kedua 46 47 http://www.cdmpipeline.org/overview (diakses 14-03-2010). Linking in the EU ETS Bulletin, Vol. 115 No. 1 Monday, 19 September 2005. 52 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? mekanisme ini, CDM merupakan mekanisme yang paling banyak diminati (mayoritas dana perubahan iklim, lebih dari US $ 12 milyar diperoleh melalui skema ini tahun 2007). Sementara JI telah berkembang agak terlambat, bukan hanya karena mayoritas negara yang potensial terlibat dalam proyek JI (Rusia dan Ukraina) lamban mengembangkan kerangka persetujuan JI tetapi juga karena JI tidak mendapat keuntungan seperti halnya kebijakan “start cepat” CDM (Freestone, 2009:14). 2.4 Tantangan dalam perundingan internasional Perubahan iklim dan kebijakan untuk mengurangi dampaknya memiliki implikasi ekonomi dan lingkungan yang sangat besar. Di sisi lain, data menunjukan bahwa negara maju bertanggung jawab terhadap 2/3 dari emisi masa lalu. Namun mereka memiliki segala perlengkapan terbaik untuk menangkal dampak merusak dari perubahan iklim. Sementara negara berkembang masih sangat membutuhkan pembangunan ekonomi dan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Perbedaan-perbedaan tersebut bermuara pada pertarungan yang serius dan cenderung membangun temboktembok argumen yang sulit diterobos. Masing-masing negara mencari afiliasi yang garis negosiasinya paling dekat dengan kepentingan domestik. Karena itu, dalam perundingan terbentuk banyak kubu yang sangat menentukan pola dan isi negosiasi. Beberapa grup strategis yang dijelaskan disini sangat menentukan proses perundingan. (i) Uni Eropa Uni Eropa adalah grup negara-negara yang terlibat dalam persemakmuran ekonomi Uni Eropa. Dalam sejarah perundingan perubahan iklim, Uni Eropa memainkan peran signifikan dalam mendorong negara-negara Annex I mencapai target pengurangan emisi. Secara keseluruhan, EU mendukung target pengurangan emisi yang sifatnya mengikat dan waktu yang jelas. Namun, antarnegara anggota EU sendiri terjadi perdebatan sengit mengenai pencantuman target. EU yang diwakili negara-negara anggota yang mapan mengajukan target cukup ambisius pengurangan emisi 30% pada tahun 2020. Namun tekanan dari negara-negara anggota EU yang lain, terutama dari Jerman dan Eropa Timur yang masih intensif menggunakan batu bara dan bahan bakar fosil lain menguburkan target ambisius tersebut dan dipangkas menjadi 20%.48 (ii) The JUSSCANZ Grup ini merupakan kumpulan negara-negara maju non-Eropa – termasuk Jepang, Amerika, Swis, Kanada, Australia, Selandia Baru dan Norwegia. Negara-negara non Uni Eropa dalam grup ini cenderung 48 http://www.guardian.co.uk/environment/2009/oct/ (diakses 21-10-2009). Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 53 mendorong pendekatan yang lebih fleksibel dalam mencapai target pembatasan emisi. Amerika yang memainkan peranan penting dalam mendraft pasal 4.2 konvensi tentang komitmen negara maju untuk membatasi emisi dengan telah menyusun rumusan yang kerap disebut “ambiguisitas kreatif” karena teks tersebut menimbulkan interpretasi ganda atas komitmen negara maju. Interpretasi pertama yang sering menjadi argumen Amerika adalah negara maju bisa secara fleksibel menggunakan pendekatan yang perlu diambil dalam mencapai tujuan konvensi, tergantung kondisi dan kemampuan negara masing-masing. Fleksibilitas seringkali diterjemahkan sebagai langkah-langkah yang paling minimal agar mencegah resiko penurunan pertumbuhan ekonomi. Posisi inilah yang diambil Amerika termasuk ketika negara ini menolak Protokol Kyoto. Interpretasi yang kedua dan secara umum dipakai oleh negara berkembang untuk menuntut negara maju adalah negara-negara maju wajib membuat upaya yang mendalam dan luas untuk mengembalikan emisi GRK mereka ke level 1990 pada tahun 2000. Ketika Clinton menguasai gedung putih tahun 1993, posisi Amerika sedikit mencair dan secara tegas mengumumkan maksud Amerika untuk mengejar stabilisasi GRK. Sayangnya, setelah digantikan oleh Bush jr, Amerika kembali menganut posisi konservatif dengan mendorong upaya agar komitmen dan target pengurangan emisi ditekan dan bahkan dihindari. (iii) CEITs (Countries with Economic in Transition). Negara-negara yang masuk dalam grup CEITs adalah negaranegara Eropa Tengah dan Timur bekas Uni Soviet yang juga merupakan emitter signifikan atas GRK. Namun seiring dengan kemacetan ekonomi yang terjadi pasca berakhirnya komunisme, negara-negara ini tidak banyak menghasilkan GRK sehingga secara tidak langsung mencapai target mempertahankan emisi di bawah level 1990 pada tahun 2000. Situasi ini dalam perkembangan selanjutnya menghasilkan keuntungan ganda bagi negara-negara EITs terutama ketika masuk dalam skema perdagangan emisi. Mereka adalah negara saldo emisi sehingga menikmati keuntungan melalui hot air, yakni sebuah situasi dimana suatu negara masih memiliki jatah emisi yang bisa dipakai atau diperjualbelikan dengan negara lain dan jatah tersebut diperoleh bukan karena aktivitas tambahan apapun yang secara sengaja dilakukan sebagai upaya mencapai stabilisasi GRK. (iv) The Group 77 dan China Negara-negara berkembang bergabung dalam G77 dan China mengembangkan posisi mengenai komitmen pengurangan emisi, pendanaan dan transfer teknologi. Meski demikian, G77 merupakan 54 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? group yang kepentingan anggotanya paling bervariasi dan seringkali bertentangan satu sama lain. Misalnya, China dan India kecanduan menggunakan batu bara dalam industrialisasi mereka yang membuat kedua negara ini, terutama China bangkit menjadi negara ekonomi baru yang disegani. China bersama beberapa Negara Asia lainnya yang laju perekonomiannya meroket, bertahan untuk tidak menjadi target berikut dari komitmen pengurangan emisi. Negara-negara Afrika cenderung untuk fokus pada isu kerentanan dan dampak perubahan iklim. Karena itu, proposal paling sering dari Negaranegara Afrika adalah mendesak komitmen pendanaan negara maju segera terwujud. Seringkali, beberapa Negara Afrika meninggalkan koalisi untuk bergabung mendukung satu opsi tertentu dari negara maju karena terpedaya oleh kucuran dana segar yang dijanjikan negara maju. Sementara, negara pemilik hutan seperti Indonesia dan Brazil bergulat dengan deforestasi dan stok karbon yang menjadi salah satu isu paling hangat di perundingan. Namun, meski berbeda, secara umum G77 dan China sama dalam posisi mendesak negara maju memenuhi tanggung jawab historis berdasarkan prinsip common but differentiated responsibility sekaligus meminta negara maju segera mewujudkan komitmen pendanaan, dukungan pengembangan kapasitas dan transfer teknologi ramah lingkungan ke negara berkembang. (v) The Association of Small Island States atau AOSIS Kelompok AOSIS merupakan asosiasi negara kepulauan yang paling banyak terkena dampak perubahan iklim. Sehingga barangkali merekalah yang sungguh-sungguh memikirkan cara mengatasi perubahan iklim melalui berbagai desakan dan usulan konkrit pelaksanaan konvensi. Sebagian negara kepulauan saat ini sudah terkena dampak kenaikan permukaan air laut sehingga terancam kehilangan negara dan menjadi pengungsi abadi di negara tetangga yang lebih besar. Karena itu, posisi negara kepulauan sangat kuat mendorong pemangkasan secara signifikan emisi domestik negara maju. Tuvalu, misalnya di Kopenhagen, atas nama AOSIS mendesak negara maju agar kenaikan jumlah GRK tidak boleh lebih dari 350 ppm sampai 2015 untuk mencegah kenaikan suhu bumi lebih dari 1,5°C. Bagi Tuvalu, kenaikan sebesar itu berarti kehilangan sebagian besar negara mereka.49 (vi) Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau The Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) Anggota OPEC cenderung mengkonsentrasikan diri pada pemaparan atas dampak signifikan perundingan perubahan iklim 49 http://www.planet-positive.org/ppblog/?tag=tuvalu (diakses 14-03-2010). Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 55 terhadap negara anggota OPEC jika negara-negara lain mengurangi penggunaan bahan bakar minyak fosil. Arab Saudi, Kuwait dan beberapa negara minyak lainnya berkali-kali menekankan ketidakpastian saintifik sehingga menekankan bahwa langkah maju perundingan konvensi harus dilakukan hati-hati. Lobi Arab yang kuat, China dan juga Amerika bahkan mempengaruhi laporan akhir IPCC untuk bagian yang disebut Summary for Policymakers. Scientific American mencatat keberatan Arab Saudi dan China berakibat IPCC menghilangkan sebuah kalimat yang mengatakan bahwa dampak emisi GRK oleh manusia pada penghangatan bumi belakangan ini adalah lima kali lebih besar daripada yang disebabkan matahari (Friedman, 2009:166-167). Kalimat tersebut mengancam keberlanjutan bisnis minyak dan industri negaranegara tersebut. Membiarkan sains mengambang tanpa kesimpulan yang valid merupakan salah satu target para pelobi agar keputusan akhir perundingan masih bisa dinegosiasikan secara politik. (vii) Kalangan Bisnis Hampir sama dengan kelompok negara anggota OPEC, kalangan bisnis sangat kuatir dengan dampak negatif perundingan perubahan iklim terhadap operasi bisnis yang dominan menggunakan bahan bakar fosil. Beberapa kelompok bisnis mulai mengikuti diskusi lebih dekat, antara lain sektor asuransi yang mengkategorikan diri mereka sebagai kelompok rentan yang terkena dampak perubahan iklim akibat semakin seringnya klaim kerugian yang muncul karena badai dan beberapa dampak lain perubahan iklim. Sementara kelompok bisnis yang mempromosikan energi bersih atau dikenal dengan sebut “energi biru” di Amerika melihat perubahan iklim sebagai peluang baru dalam bisnis energi. Meski beberapa laporan ilmiah menunjukan dampak pada lingkungan akibat pengembangan energi baru, banyak negara, termasuk Indonesia terus mempromosikan energi alternatif, antara lain proyek kelapa sawit sebagai pilihan menghadapi desakan tersedianya energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. (viii) Aktivis Lingkungan Aktivis lingkungan telah terlibat dalam isu perubahan iklim sejak awal. Beberapa di antaranya sangat aktif dalam lobi delegasi dan media dan memproduksi newsletter selama perundingan. Namun, mayoritas aktivis lingkungan berasal dari negara maju. Beberapa di antara jaringan yang sangat besar dan mempengaruhi proses perundingan adalah Climate Action Network (CAN), Friends of the Earth International (FOEI), dan NGO konservasi seperti The Nature Conservancy, Conservation International dan World Wildlife Fund. The Climate Action Network (CAN) merupakan jaringan lebih dari 56 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? 450 NGOs di seluruh dunia yang bekerja untuk mempromosikan tindakan pemerintah dan individu untuk membatasi penyebab perubahan iklim dari tindakan manusia sampai pada level ekologis yang berkelanjutan. Anggota CAN memberi prioritas terhadap rekomendasi Komisi Brundtland (1987) mengenai komitmen pada lingkungan yang sehat maupun pembangunan yang mempertemukan kebutuhan saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Visi CAN adalah untuk melindungi atmosfer di samping memberi ruang bagi pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan di seluruh dunia.50 FOEI merupakan jaringan isu lingkungan akar rumput terbesar di dunia yang mencakup grup dari 77 negara dan kurang lebih 5000 aktivis lokal di setiap kontinen. Menurut FOEI, dunia menghadapi tantangan lingkungan yang berhubungan satu sama lain, yang mengancam hidup dan kehidupan jutaan orang. Sebab utama tantangan-tantangan ini adalah berasal dari level konsumsi kita yang tidak berkelanjutan yang menggunakan energi untuk produksi dan transportasi dalam jumlah yang sangat besar. Solusi utamanya adalah hak komunitas untuk memilih sumber energi mereka yang berkelanjutan dan mengembangkan level konsumsi yang sehat. Ini juga menjadi kebutuhan untuk pengurangan GRK dan desakan untuk semua orang agar sama-sama membagi sumber daya dalam batas-batas ekologis. FOEI bekerja untuk keadilan iklim dan akses energi lewat proyek dan kampanye berbasis komunitas yang proaktif.51 Sementara grup NGO konservasi cenderung menggunakan jalur kedekatan mereka dengan pemerintah nasional di masing-masing negara maupun sejumlah perusahaan pencemar untuk melakukan kerja sama. Tak jarang posisi mereka dikritik keras karena memoderasi gerakan lingkungan yang sangat mengkritik bahkan cenderung menolak lobi dengan perusahaan pencemar. Johann Harry, kolumnis The Nation mengungkap kedekatan perusahaan pencemar dengan NGOs konservasi sedemikian rupa sehingga posisi NGOs tersebut seperti tangan kanan yang efektif dari para pencemar untuk mengkampanyekan kesuksesan perusahaan-perusahaan pencemar tersebut dalam menjaga lingkungan, meskipun dalam kenyataannya, kampanye tersebut lebih sebagai upaya menyembunyikan tindakan pencemaran yang sudah rutin dilakukan (Harry, 2010). Jaringan NGOs yang banyak melibatkan masyarakat sipil dari negara-negara selatan relatif baru muncul namun mulai menunjukan pengaruh dalam proses perundingan. Beberapa di antaranya adalah 50 51 http://www.climatenetwork.org/about-can/index_html (diakses 27-04-2009). http://www.foei.org/en/what-we-do/climate-and-energy, (diakses 27-04-2009). Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 57 TWN (Third World Network) yang bicara mengenai jaringan kelompok dunia ketiga untuk sama-sama menuntut aksi yang serius dan signifikan dari negara maju terhadap pengurangan emisi. Kelompok lain adalah Jubilee South yang antara lain mengusung keadilan iklim dan menolak utang sebagai jalan keluar pendanaan perubahan iklim di negara berkembang. (ix) Pemerintah Lokal Banyak kota, negara bagian atau provinsi di seluruh dunia telah meluncurkan program perubahan iklim, bahkan lebih ambisius dari apa yang dikembangkan oleh pemerintah nasional. Pemerintah kota memainkan peranan krusial karena kewenangan mereka dalam mengatu pemanfaatan energi, transportasi publik, dan aktivitas sektor publik lainnya yang memproduksi emisi. Walikota maupun para pemimpin pemerintahan kota lainnya telah bergabung dalam asosiasi untuk mempresentasikan pandangan mereka dalam pertemuan yang terkait konvensi perubahan iklim. Salah satu perkembangan pada level pemerintahan lokal adalah Governors’ Climate and Forests Task Force (GCF) yang diinisiasi oleh Gubernur California, Arnold Schwarzenegger. Selain California, GFC kemudian menarik minat beberapa negara bagian dan provinsi di negara lain, yakni Brazil (Acre, Amapá, Amazonas dan Pará), Indonesia (Aceh, Kalimantan Timur, Papua dan Kalimantan Barat), Meksiko (Campeche), Nigeria (Cross River State), Amerika (Wisconsin dan Illinois). Para gubernur mengklaim bahwa 50% hutan tropis dunia berada di wilayah provinsi. Karena itu, para gubernur dalam GCF merumuskan berbagai rekomendasi kebijakan terhadap REDD. Pada November 2008, dalam pertemuan pertama GFC berjudul Governors’ Global Climate Summit di Los Angeles ditandatangani sebuah Memoranda of Understanding (MOUs) yang bertujuan untuk membagikan pengalaman dan praktik terbaik, pengembangan kapasitas dan pengembangan rekomendasi untuk para pengambil kebijakan dan perumus peraturan mengenai cara-cara untuk mengintegrasikan REDD dan aktivitas lain yang berhubungan dengan karbon hutan dalam upaya memenuhi target pengurangan GRK.52 2.5 Isu yang terus diperdebatkan Sejak konvensi dibentuk dan ditandatangani oleh berbagai negara, debat atas sejumlah konsep maupun rancangan keputusan politik mewarnai proses-proses perundingan, terutama dalam COP. Garis besar perdebatan tersebut seperti sudah disinggung dalam bagian sebelumnya mencakup dua 52 Lihat informasi lebih lanjut mengenai GCF dalam http://gcftaskforce.org/about.html. 58 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? hal yakni: pertama, komitmen pengurangan emisi yang mengikat secara hukum dan tegas dalam penentuan waktu. Kedua, bantuan dan dukungan terhadap negara berkembang dan kelompok-kelompok rentan. (a) Komitmen pengurangan emisi Perdebatan komitmen pengurangan emisi berkaitan dengan dua hal. Pertama, siapa yang akan melakukan pengurangan emisi dan bagaimana menentukan beban. Kedua, melalui cara apa dan bagaimana menentukan waktu. Dalam kaitannya dengan siapa yang akan melakukan pengurangan emisi, dua kutub yang masih bertentangan hingga kini adalah negara berkembang dan negara maju. Argumen historis, ekonomi, politik hingga hukum dipakai secara bersamaan untuk memperkuat posisi masing. Namun, secara garis besar titik perdebatan kedua kutub adalah mengenai penerapan prinsip common but differentiated responsibility. Menurut negara berkembang, common but differentiated responsibility berarti bahwa semua negara memiliki tanggung jawab namun berdasarkan emisi historis, negara maju mempunyai tanggung jawab besar untuk melakukan pengurangan emisi. Dalam hal ini, terdapat pembagian beban pengurangan emisi yang menurut negara berkembang merupakan dasar moral dan hukum untuk menagih komitmen negara maju dalam memangkas emisi domestik mereka. Banyak kelompok pendukung argumen negara berkembang melihat tanggung jawab historis negara maju merupakan pengembangan prinsip keadilan dalam hubungan internasional. Anup Shah, dari kelompok Climate Justice, antara lain menjabarkan isu keadilan dalam tiga implikasi yang berkaitan dengan prinsip common but differentiated responsibility (Shah 2009): • Negara-negara maju atau industri telah mengeluarkan emisi jauh lebih banyak daripada negara berkembang yang memampukan mereka untuk mencapai jalan industri dengan cara yang murah. Sementara negara berkembang baru saja memulai perjalanan industri mereka; • Negara-negara maju menghadapi tanggung jawab dan beban yang jauh lebih besar untuk mengambil langkah-langkah menghadapi perubahan iklim; dan • Negara-negara maju harus mendukung negara-negara berkembang beradaptasi untuk mencegah polusi pembangunan melalui cara mudah dan murah, antara lain ditempuh lewat pendanaan dan transfer teknologi. Anup Shah menegaskan bahwa fakta historis memang menunjukan kontribusi signifikan negara maju dalam meningkatkan polusi GRK global. Fakta tersebut ditampilkan oleh Martin Khor dari Third World Network Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 59 terutama berkaitan dengan konsumsi karbon negara maju yang sangat royal dan boros, dibanding negara berkembang. Lihat bagan 2.1: Bagan 2.1. Perbandingan emisi karbon negara maju dan negara berkembang Emisi karbon masa lalu antara annex I dan non-annex I (1800-2008) Asumsi: Dunia hanya memiliki 600 gigaton emisi karbon untuk budget dari 18002050 rest of the world 91 27% annex l countries 240 73% Pada 2008, dunia telah mengkonsumsi 331 gigaton. Sebagian besar oleh Annex I Sumber: (Shah, 2009) Selain itu, fakta lain menunjukan bahwa emisi per kapita negara berkembang masih jauh lebih sedikit dibandingkan negara maju (tabel 2.3.). Emisi negara berkembang umumnya merupakan emisi untuk bertahan hidup (survival emissions), bukan emisi kemewahan seperti yang diproduksi negara maju (luxury emissions).53 Tabel 2.3. Contoh gap emisi per kapita negara berkembang Negara Berkembang Senegal Honduras Bangladesh Negara Maju Amerika Inggris Irlandia Pendapatan per orang (US $) 1,792 3,430 2,053 Pendapatan per orang (US $) 41,890 33,328 38,505 Emisi tahunan per orang 0.4 ton 1.1 ton 0.3 ton Emisi tahunan per orang 20.6 ton 9.8 ton 10.5 ton Sumber: Human Development Report UNDP 2007/2008 53 www.chinaview.cn, (diakses 05-12-2009). 60 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Tanggung jawab historis negara maju tidak bisa disangkal. Karena itu, laporan-laporan IPCC telah membuat skenario pengurangan emisi agar mencapai tujuan konvensi, terutama ditujukan kepada negara maju. IPCC antara lain menggarisbawahi pengurangan signifikan emisi negara maju pada tahun 2020 antara 25-40% (tabel 2.4.). Tabel 2.4. Skenario pengurangan emisi IPCC IPCC Box 13.7: The range of the difference between emissions in 1990 and emission allowances in 2020/2050 for various GHG concentration levels for Annex I and non‐Annex I countries Kategori Skenario Regio A‐450 ppm Annex I CO2‐eq Non‐Annex I B‐550 ppm CO2‐eq Annex I Non‐Annex I C‐650 ppm CO2‐eq Annex I Non‐Annex I 2020 2050 ‐25% to ‐40% ‐80% to ‐95% Substantial deviation Substantial deviation from baseline in from baseline in all Latin America, regions Middle East, East Asia and entrally‐ Planned Asia ‐10% to ‐30% Deviation from baseline in Latin America and Middle East, East Asia 0% to ‐25% Baseline ‐40% to ‐90% Deviation from baseline in most regions, especially in Latin America and Middle East ‐30% to ‐80% Deviation from baseline in Latin America and Middle East, East Asia Perkembangan negosiasi perubahan iklim hingga Protokol Kyoto memang menunjukan bahwa prinsip common but differentiated responsibility diterjemahkan sebagai tanggung jawab negara maju untuk melakukan pengurangan emisi. Karena itu, Protokol Kyoto tidak menambahkan kewajiban baru yang ditujukan kepada negara berkembang tapi mengikuti pemahaman yang berkembang sebelum dan selama konvensi perubahan iklim diformulasikan, yakni negara maju harus berada di depan dalam mengatasi isu perubahan iklim. Namun, perundingan selanjutnya menampilkan situasi yang berbeda. Dalam perdebatan yang berkembang, negosiasi perundingan tidak menghadirkan prinsip common but differentiated responsibility sebagai berbagi beban yang adil berbasis tanggung jawab historis tapi menimbulkan tafsir jamak yang saling bertarung, sarat kepentingan ekonomi-politik. Amerika misalnya mendorong interpretasi prinsip tersebut dengan Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 61 menekankan common responsibility atau tanggung jawab bersama sebagai prioritas sebelum menentukan siapa yang bertanggung jawab. Seketaris negara di bawah Presiden Bush, jr, Timothy Wirth mengungkapkan sebagai berikut: Let me be clear — developing countries must participate in this treaty. The rationale for developing countries to act is clear: while at present they are responsible for less than half of global emissions, over the next decades, their percentage of the total will grow, despite the fact that their per capita emissions will continue to remain far below our own.We must address this trend of rising emissions if we are to truly make a dent the long-term problem (Mumma, Hodas, 2008:627). Posisi Amerika didukung oleh beberapa pakar hukum, antara lain Albert Mumma dan David Hodas, masing-masing dari Fakultas Hukum Nairobi, Kenya dan Fakultas Hukum Widener University, Amerika. Menurut kedua ahli hukum tersebut Protokol Kyoto telah menghilangkan makna dari prinsip common but differentiated responsibility dengan hanya memberi beban bagi negara maju. Argument mereka adalah sebagai berikut: Kyoto Protocol “common but differentiated responsibilities” lost its original meaning that all nations have a duty to protect common resources, but the nature and extent of each nation’s obligations will be equitably allocated, duty being the common denominator. Instead, the concept has come to be understood as excluding developing nations from climate change obligations. The adjectives remain—common and differentiated, but the noun—responsibility—they modify has been removed from the term. There is no necessary reason why common but differentiated responsibility should mean no responsibility. Thus, Kyoto is flawed for the reasons described above and because it is a false articulation of common but differentiated responsibilities (Mumma, Hodas, 2008:631). Nampak jelas argumen Albert Mumma dan David Hodas menuntut pertanggungjawaban negara berkembang terhadap perubahan iklim. Common responsibility yang didukung dua pakar hukum ini mempunyai arti bahwa semua negara memiliki beban yang sama dalam menangani perubahan iklim. Tidak ada lagi “dosa” pelepasan emisi di masa lalu karena perubahan iklim semata-mata berhubungan dengan masa depan bersama. Konsep tanggung jawab bersama sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Sebelum laporan Bruntland 1987 yang berjudul “Our Common Future”, konsep common responsibility kerap dipakai dalam prinsip kewajiban para pihak terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), terutama hak sipil politik 1966 yang mendorong tanggung jawab mutlak negara untuk menghargai dan memastikan hak-hak tersebut diakui, tanpa perduli kondisi-kondisi tertentu atau tidak ada pengecualian (South Asia Human Rights Documentation Center, 2006:18). Pada prinsipnya tekanan terhadap tanggung jawab negara yang cenderung bersifat memaksa muncul karena sejarah pelanggaran HAM masa lalu. Negara pada masa lalu seringkali 62 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? menjadi aktor utama pelanggaran HAM baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Karena itu, instrumen HAM internasional mendesak agar negara mengambil peranan untuk memastikan HAM terwujud. Belajar dari sejarah pergulatan HAM, argumen Albert Mumma dan David Hodas telah melewatkan pertimbangan historis-politik yang menjadi alasan mengapa negara maju memiliki beban lebih besar daripada negara berkembang. Secara historis, merekalah biang perubahan iklim dan peletak batu pertama model pembangunan modern yang eskploitatif. Di sisi lain, negara maju sebagai sumber emisi terbesar bukannya tidak mampu mengurangi emisi domestik, tapi tidak ingin melakukan tindakan tersebut karena akan mengubah cara hidup mereka yang berpengaruh pada perubahan standar hidup. Amerika, misalnya, jika melakukan investasi efisiensi energi dan energi bersih, pada tahun 2020 diperkirakan akan memotong emisi CO2 dari industri perlistrikan hampir mencapai 50% di bawah level 1990 dan menabung $350/tahun dari rata-rata kebutuhan energi rumah tangga. Satu studi yang lain memperkirakan pengembangan 20% - 30% dalam perekonomian Amerika akan meningkatkan GDP (Gross Domestic Product) kira-kira 0,1% pada tahun 2030 dan menghasilkan perolehan total antara 0,5 – 1,5 juta pekerjaan.54 Isu yang utama dengan demikian adalah keadilan. Sebagaimana diuraikan oleh Virak Prum dari Universitas Nagoya, perubahan iklim yang dipicu sebagian besar oleh GRK dari negara maju telah mengakibatkan penderitaan bagi banyak negara berkembang yang tidak siap dari aspek apapun (teknologi, keuangan dan sumber daya lainnya) untuk menghadapinya (Prum, 2007:223-4). Sangat tidak adil jika negara-negara yang baru berkembang kemudian menderita akibat perubahan iklim dan segera dipaksa memikul tanggung jawab mengatasi perubahan iklim yang secara historis bukan merupakan akibat perbuatan negara tersebut. Namun, akibat isu keadilan yang mewarnai perdebatan common but differentiated responsibility, Amerika yang diikuti Australia menyatakan diri keluar dari Protokol Kyoto.55 Amerika di bawah Presiden Bush, menyatakan Protokol Kyoto tidak sesuai dengan kepentingan ekonomi Amerika dan tidak lagi menjadi hasil perundingan yang berbasis sains tetapi dikemudikan oleh kepentingan politik negara berkembang.56 Menurut delegasi Amerika, emisi masa lalu merupakan cerita lama dan Amerika menerima prinsip common but differentiated responsibility dalam konvensi bukan karena Amerika menerima tanggung jawab historis pengurangan emisi tapi semata-mata karena Amerika memiliki tingkat 54 55 56 Lihat eco Newsletter, Issue No 3, Volume CXVI, Poznan 3 December 2008. Dalam perkembangannya, Australia menyatakan menandatangani Protokol Kyoto setelah ada pergantian Rejim dari Howard kepada Kevin Rudd. Penandatanganan Protokol Kyoto oleh Australia ini dilakukan di awal-awal perundingan COP 13 Bali tahun 2007. Telegraph,12:00AM BST 29 Maret 2001. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 63 kemakmuran yang lebih baik (Prum, 2007:231). Dalam hal ini, tanggung jawab berbeda menurut Amerika disebabkan karena kemakmuran yang berbeda. Australia, di bawah John Howard, sekutu terdekat Bush melihat Protokol Kyoto sebagai ancaman. Di depan parlemen, Howard menyatakan “It is not in Australia’s interests to ratify. The protocol would cost us jobs and damage our industry”.57 Meski tanpa Amerika, Protokol Kyoto telah meletakan dasar komitmen pengurangan emisi yang berlaku mengikat untuk negara maju. Pasca komitmen pertama Protokol Kyoto (2008 – 2012), komitmen pengurangan emisi harus diteruskan sebagai wujud pelaksanaan konvensi. Dalam perundingan komitmen jangka panjang AWG LCA maupun AWG KP target pengurangan emisi terus mengalami perdebatan. Usulan yang tercantum dalam AWG KP adalah pemotongan emisi antara 30-45 % di bawah level 1990 untuk periode komitmen 2013 – 2018 atau 2013 – 2020. Namun semua usulan tersebut masih dalam tanda kurung (bracket) yang artinya belum ada kesepakatan apapun. Sementara untuk tindakan jangka panjang, AWG LCA mencantumkan dua usulan. Pertama, pemotongan agregat emisi global di bawah level tahun 1990 antara 50%, 85% atau 95% pada tahun 2050. Tiga usulan persentase ini masih diperdebatkan, belum ada kesepakatan. Kedua, pemotongan emisi negara maju antara 75–85 % atau paling tidak 80-95% atau lebih dari 95% di bawah level 1990 pada tahun 2050. Ketiga usulan persentase ini pun masih dalam perdebatan sehingga masih dicantumkan dalam tanda kurung. Hingga COP 15 Kopenhagen, belum jelas benar apa proposal konkrit negara maju dalam merespons pemotongan emisi domestik. EU yang selama ini dikenal membawa kepemimpinan yang baik dalam perundingan awalnya mengusulkan angka 80-95% pada 2050 dan 20 sampai 30% pada 2020 jika negara-negara maju lainnya menyepakati tindakan yang sama. Namun, komitmen terakhir EU hanya berani menyebut angka 20% untuk tahun 2020. Amerika bahkan lebih rendah karena mencantumkan penurunan 17% dengan baseline 2005. Artinya, hanya naik 4% dari baseline 1990. China dan India sebagai negara berkembang justru menaruh komitmen pengurangan emisi lebih besar, masing-masing 40-45% dan 20-25%. Kecenderungan lain memperlihatkan bahwa di samping mencantumkan angka pengurangan emisi, negara-negara maju juga mendorong offset untuk meraih target yang dimaksud. Offset adalah strategi pemotongan emisi yang dibolehkan regim Protokol Kyoto yang memberikan peluang upaya negara maju untuk mengejar target pengurangan emisi domestik melalui proyek yang berbiaya ekonomi murah di negara berkembang. Dalam paket “Climate dan Energi”, hingga 2020 EU membolehkan offset lebih dari setengah tanggung jawab pengurangan emisi dalam negeri. 57 http://www.timeshighereducation.co.uk/story.asp?storyCode=169527&sectioncode=26, (diakses 12-01-2009). 64 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Sektor di luar EU ETS seperti transportasi permukaan dapat memperoleh 73% pengurangan karbon pada periode 2013-2020 melalui pembelian CERs. Kurang lebih usaha pengurangan 781 juta ton CO2 dari 1.07 milyar ton CO2 di luar EU ETS yang menjadi tanggung jawab EU dapat diperoleh melalui pembelian CERs. Sementara sektor dalam EUTS dapat melakukan 50% usahanya pada 2008-2020 melalui CERs yang mewakili 1,6 milyar ton CO2. Artinya, jika kredit CERs tersedia, semuanya akan digunakan EU karena kredit CERs jauh lebih murah dari kredit yang tersedia lewat jalur pasar perdagangan emisi EU (Bullock, Childs, Picken, 2009:8, 11). Upaya ini memperlihatkan bahwa negara maju telah mempergunakan mekanisme Kyoto secara tidak proporsional. Menurut Protokol Kyoto, penggunaan mekanisme Kyoto hanya merupakan pelengkap dan bukan pengganti upaya penurunan emisi domestik. Pada saat yang sama, negara yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto, seperti Amerika, juga mendorong skema offset. Dari komitmen 17% pengurangan emisi, Amerika menaruh 10% offset. Di sisi lain, penggunaan mekanisme Kyoto juga telah dimanipulasi sedemikian rupa bukan sebagai upaya menyumbang penurunan emisi domestik tetapi dipakai sebagai peluang baru untuk mendatangkan keuntungan. Perusahaan-perusanaan Inggris yang mencatat rekor sebagai pembeli terbesar proyek CDM memiliki 1,223 proyek. Dalam banyak kasus, mereka tidak benar-benar mengalokasikan CERs sebagai upaya mengurangi emisi domestik, tetapi sebagai broker yang menjual kembali CERs ke emitter (pelaku pelepasan emisi) di negara lain (Bullock, Childs, Picken, 2009:10). (b) Dukungan terhadap Negara Berkembang dan Kelompok Rentan Hingga Kopenhagen, komitmen pendanaan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di negara berkembang, terutama negara-negara kepulauan kecil yang sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut seperti Tuvalu, Maladewa, Kiribati, Mauritius, Marshal Island belum mengalami pergerakan berarti. Pembentukan dana adaptasi yang baru disepakati di COP 14 Poznan hingga kini belum terwujud. Bahkan dalam COP tersebut, Jepang menolak untuk memberikan kompensasi dan bantuan kepada negara-negara berkembang dengan menyatakan “kami bukan mesin ATM”. Negara-negara kepulauan pun makin sekarat karena dalam kenyataan kenaikan permukaan air laut yang lebih cepat dari yang diprediksikan. Dalam setiap perundingan dan hingga kini, negara maju justru menggunakan alasan pertumbuhan ekonomi dan keadilan sebagai argumen bahwa mereka tidak bisa dipaksa untuk memangkas emisi mereka secara drastis dan membantu negara-negara rentan. Ada dua alasan utama negara maju. Pertama, pemangkasan akan beresiko pada ambruknya nadi perekonomian karena bisa dipastikan akan ada rasionalisasi industri dan Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 65 pengetatan cara hidup. Pernyataan Presiden Bush yang mundur dari Kyoto menjadi wakil dari argumen ini, “tidak seorang pun boleh mengatur cara hidup warga Amerika, seperti halnya warga Amerika tidak pernah mengatur cara hidup anda”. Kedua, jika masalahnya adalah pengurangan emisi maka semua warga dunia harus terlibat dengan caranya sendiri untuk mengurangi jumlah emisi mereka atau common responsibility. Jadi, pengurangan emisi merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya beban dan tanggung jawab negara-negara tertentu. Berkali-kali Amerika menekankan common responsibility, bahkan Obama pun menegaskan posisi tersebut. 2.6 Reducing Emissions from Deforestation and Forest (REDD) REDD merupakan satu diantara beberapa skema yang hangat diperdebatkan dalam perundingan perubahan iklim. Skema ini awalnya dirancang oleh Papua Nugini dan Kosta Rika yang tidak mendapat keuntungan apapun dari skema perubahan iklim di bawah rejim Protokol Kyoto. Dua skema Kyoto, emission trading (ET) dan joint implementation (JI) hanya berlaku untuk dan di antara negara Annex I. Satu skema lagi, clean development mechanism (CDM), melibatkan negara berkembang tapi dibatasi tidak lebih dari 1% pengurangan atas total emisi negara maju yang bisa dikerjakan melalui proyek CDM di negara berkembang. Jumlah yang sangat kecil ini tidak lepas dari prinsip pengurangan emisi domestik sebagai tujuan utama Protokol Kyoto. Artinya, mekanisme ET, JI maupun CDM hanya pelengkap (additional) atas tujuan utama Kyoto yakni mendesak negara Annex I agar mengurangi emisi domestik-nya (Murdiyarso, 2007:48-59). (a) Sejarah Singkat Perdebatan REDD atau REDD+ berawal dari perdebatan mengenai kerangka implementasi konvensi perubahan iklim, terutama Protokol Kyoto. Pasal 2 ayat 1 a (ii) Protokol Kyoto menyebutkan: Protection and enhancement of sinks and reservoirs of greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, taking into account its commitments under relevant international environmental agreements; promotion of sustainable forest management practices, afforestation and reforestation. (Melindungi dan memperluas penyerapan dan penampungan Gas-gas Rumah Kaca yang tidak diatur oleh Protokol Montreal, dengan mengingat komitmennya menurut kesepakatan-kesepakatan lingkungan tingkat internasional; mendukung praktik-praktik pengelolaan kehutanan yang berkelanjutan, penghijauan kembali dan penanaman hutan). Apa yang tercantum dalam protokol kyoto diatur lebih lanjut dalam aturan pelaksana protokol Kyoto yang dibahas di COP 7 di Marrakesh, Maroko, 2001. Aturan pelaksana tersebut selanjutnya disebut Marrakesh Accords. Salah satu keputusan Marrakesh Accords adalah mengenai 66 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? penggunaan lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan, termasuk definisi, modalitas (cara) dan panduannya atau disebut LULUCF (Marrakesh Accord 11/CP.7, Lampiran 1 A). Berkaitan dengan definisi hutan dan panduan terhadap mekanisme CDM yang memasukan isu kehutanan aforestasi dan reforestasi, Marrakesh Accords memutuskan beberapa panduan dasar, antara lain sebagai berikut: Definisi Hutan: 1. Areanya minimal 0,05-1 hektar 2. Tutupan tajuk lebih dari 10-30 persen 3. Ketinggian tajuk 2-5 meter 4. Hutan tertutup dengan variasi jenis 5. Semak belukar yang menutupi rapat tanah atau hutan terbuka 6. Tegakan pohon alam dan perkebunan yang belum mencapai tingkat kepadatan jenis atau keragaman jenis 10-30 persen atau ketinggian pohon 2-5 meter akan diperhitungkan sebagai hutan jika wilayah-wilayah itu biasanya membentuk kawasan hutan yang untuk sementara tidak berhutan karena intervensi manusia seperti dipanen atau akibat sebabsebab alamiah tapi diharapkan kembali menjadi hutan Selanjutnya, ada tiga istilah lain yang sudah tertuang dalam Protokol Kyoto yakni aforestasi, sustainable forest management dan reforestasi. Ketiganya didefinisikan sebagai berikut: Aforestasi: 1. Konversi akibat tindakan langsung manusia 2. Tidak berhutan selama paling tidak 50 tahun 3. Dihutankan kembali lewat penanaman, penyemaian maupun promosi langsung pengembangbiakan sumber-sumber benih alamiah Reforestasi: 1. Konversi akibat tindakan langsung manusia dari tidak berhutan menjadi berhutan 2. Metodenya lewat penanaman, penyemaian maupun promosi langung pengembangbiakan sumber-sumber benih alamiah di daerah yang dulunya berhutan tapi telah dikonversikan menjadi daerah yang tidak berhutan 3. Untuk komitmen pertama (2008 – 2012) tindakan reforestasi dibatasi pada reforestasi yang akan dilakukan pada wilayah-wilayah yang tidak berhutan pada 31 Desember 1989. Sustainable Forest Management: Praktek yang sistemik untuk menjaga dan menggunakan tanah berhutan yang bertujuan memenuhi fungsi sosial, ekonomi dan ekologi hutan yang relevan (termasuk keanekaragaman hayati) melalui cara yang berkelanjutan Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 67 Keempat konsep ini setidaknya menggarisbawahi beberapa hal yang menimbulkan perdebatan serius dalam perundingan perubahan iklim, termasuk ketika perdebatan REDD mulai mengadopsi konsep-konsep tersebut. Namun, bagaimana pun juga, definisi hutan, konsep aforestasi dan reforestasi telah menjadi landasan hukum yang membuat banyak pihak melirik konsep-konsep ini dalam perdebatan REDD. (b) Deforestasi dan degradasi hutan Dalam perundingan perubahan iklim selanjutnya, embrio isu kehutanan yang sudah berkembang dalam skema Kyoto mengalami perkembangan signifikan. Papua Nugini sebelum COP 11 di Montreal tahun 2005 melihat perlunya upaya serius mengatasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Inisiatif PNG didorong secara kuat oleh Kevin Condrad, duta besar dan utusan khusus PNG untuk lingkungan dan perubahan iklim. Condrad menjalani studinya di Columbia Business School dengan fokus pada proyek penelitian mengenai apakah uang dari kredit karbon setara dengan pendapatan dari logging. Logging yang tidak terkontrol memang menjadi masalah nasional di PNG. Karena itu, Condrad melihat isu perubahan iklim sebagai peluang politik untuk menegosiasikan nilai ekonomi hutan dalam pasar karbon dan menekan laju deforestasi. Agar mendapat resonansi politik yang signifikan, Professor Geoffrey Heal supervisor proyek penelitian Condrad dalam proyek tersebut mendukung Condrad untuk membujuk Perdana Mentri PNG, Michael Somare, agar mendorong terbentuknya koalisi yang menyuarakan kredit karbon hutan dalam perundingan perubahan iklim. Pada Januari 2005, Somare menyerukan pembentukan Coalition for Rainforest Nations pada forum pemimpin dunia yang diselenggarakan di Universitas Columbia. Bulan Mei, dalam acara Global Roundtable on Climate Change di Universitas Columbia, Somare kembali mengusulkan hal serupa dengan menyebut rekan-rekannya dari negara-negara hutan hujan seperti Peru, Kongo, Kosta Rika, Republik Dominika, Mozambik, Tanzania and Zambia untuk membentuk koalisi tersebut. Koalisi negara-negara hutan hujan kemudian terbentuk kemudian mengusung ambisi untuk memasukan offset sertifikat emisi yang terkait dengan deforestasi dalam pasar emisi karbon global (Lang, 2009:221-222). PNG kemudian menggandeng Kosta Rika yang juga sedang dililit utang untuk mencari sumber alternatif pemulihan ekonomi. Dalam proposal kedua negara yang dibahas pada COP Montreal tersebut, PNG dan Kosta Rika mengajukan dua opsi kerangka hukum ke depan. Pertama, membuat protokol tambahan yang khusus mengatur emisi dari deforestasi dan degradasi. Kedua, mengembangkan lebih lanjut substansi yang sudah tercantum dalam Protokol Kyoto dan Marrakesh Accords dengan salah satu tambahan penting yakni proyek kredit karbon harus dibuat secara spesifik 68 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? untuk isu deforestasi dan degradasi. Dalam bahasa yang lain, negara yang ingin dan mampu mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan seharusnya diberikan kompensasi secara finansial melalui mekanisme pasar karena sudah melakukan upaya itu dengan menahan diri tidak melakukan konversi hutan untuk pertumbuhan ekonomi. Selain Papua Nugini dan Kosta Rika, proposal ini didukung oleh enam negara pihak yan lain, yakni: Bolivia, Republik Afrika Tengah, Chili, Kongo, Republik Dominika dan Nikaragua. Negara-negara ini menjadi koalisi yang disebut dengan “Koalisi Negara Hutan Hujan” (Coalition of Rainforest Nations) dan menunjuk Universitas Kolumbia sebagai sekretariat. Banyak negara pihak menyepakati pentingnya isu yang disampaikan PNG dan Kosta Rika, sehingga COP membentuk kontak grup, semacam panitia khusus, untuk merancang kesimpulan yang menjadi bahan tindak lanjut dalam menjawab isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. Selanjutnya, secara teknis dan metodologis isu ini dibahas di bagian SBSTA (PNG, Kosta Rika, 2005). Untuk mendukung proses ini dari aspek ilmiah, maka IPCC mengkonsolidasikan berbagai penelitian di bidang ini. Hasil temuan IPCC pada tahun 2007, antara lain memperlihatkan kontribusi deforestasi dan degradasi hutan terhadap emisi dunia sebesar 17,3 % dari total emisi yang dilepaskan (Solomon, S. dkk., 2007:2). Dalam perkembangan selanjutnya, isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi mendapat kerangka hukum awal dalam COP 13 di Bali, 2007. Keputusan Bali, disebut dengan Bali Action Plan (BAP), antara lain memberikan dasar hukum pengembangan skema dan pilot project REDD saat ini. Dalam paragraf 1 b (iii) BAP disebutkan bahwa: Tindakan mitigasi internasional/nasional mencakup deforestasi dan degradasi tapi juga menyangkut konservasi, sustainable management of forest, perluasan stok karbon di negara-negara berkembang Dengan demikian dari pasal ini, cakupan REDD adalah deforestasi, degradasi, perluasan stok karbon, konservasi dan SMF. Konsep ini persis mengikuti logika LULUCF yang disepakati dalam Marrakesh Accord, sehingga kerap disebut REDD plus LULUCF. Bali Action Plan dalam pasal lain juga mengemukakan tiga hal dalam kaitannya dengan REDD yakni: 1. Pengembangan proyek-proyek percontohan atau pilot project REDD 2. Pengembangan kapasitas dan transfer teknologi ke negara berkembang 3. Panduan untuk proyek-proyek REDD lewat metodologi yang kokoh dan dapat dipercaya Tiga aspek ini menjadi landasan uji coba proyek REDD di berbagai lokasi, termasuk di Indonesia. Sebagai uji coba, belum ada skema yang pasti, sehingga berbagai skema ditawarkan oleh pemrakarsa atau pengusaha karbon dengan standar dan metodologi sendiri. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 69 (c) REDD plus Pada COP 14 di Poznan, REDD yang ditetapkan dalam BAP paragraph 1 b (iii) dipertegas tidak hanya deforestasi dan degradasi tetapi juga mencakup konservasi, SFM/SMF, aforestasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari skema CDM. Perkembangan ini kerap disebut REDD plus. Sama seperti perdebatan REDD, dalam REDD plus isu yang tetap dipergunjingkan adalah cakupan. Namun beberapa isu lain yang mencuat adalah cara perhitungan dengan pendekatan net dan gross, konsep sustainable forest management dan persoalan tropical hot air. (i) Cakupan Cakupan REDD menjadi kompleks dan rumit, tidak hanya deforestasi dan degradasi tapi juga mencakup beberapa komponen LULUCF dan konservasi. Penambahan konservasi diusulkan oleh negara-negara Afrika, terutama dari Congo Basin (Kongo, Kamerun, Tanzania, Ghana, dst.) yang tingkat deforestasinya rendah. Argumen utama mereka, jika skema REDD akan membayar negara-negara yang tingkat deforestasinya tinggi sebagai kompensasi agar level deforestasi tersebut menurun maka negara-negara Congo Basin tidak akan mendapat keuntungan apa pun. Benefit akan diperoleh olen negara-negara dengan tingkat deforestasi tinggi seperti Brazil dan Indonesia. Untuk mencegah deforestasi dan memberikan keuntungan bagi negara-negara dengan level deforestasi yang rendah maka perhitungan stok karbon hutan dimasukan ke dalam REDD. Disana jumlah stok karbon negara-negara Congo Basin yang melimpah akan mendapat benefit. Selain itu, kelompok negara maju seperti Amerika, Australia dan Uni Eropa mendorong masuknya LULUCF dalam skema REDD. Masuknya konservasi dan LULUCF dalam usulan baru untuk skema REDD membuat kompleksitas metodologi semakin pelik. Dalam formulasi yang sederhana, definisi REDD dan contoh konsekuensi hukumnya antara lain tergambar dalam tabel 2.5. Tabel 2.5. Skenario cakupan REDD plus 70 REDD plus Konsekuensi pada hak Segala bentuk pembukaan lahan pertanian dan konversi kawasan hutan Hak untuk membuka kebun dalam skala kecil pun diperhitungkan sebagai deforestasi. Membuka dilarang Pembukaan lahan pertanian & kawasan hutan dibagi dalam kategori (skala besar, sedang dan kecil) Hak membuka kebun skala kecil ditoleransi untuk tujuan yang jelas. Misalnya, kepentingan subsisten Berkebun diperbolehkan untuk luas tertentu Konsekuensi hukum kebun Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? (ii) Tropical Hot Air Cakupan REDD yang akan memasukan aforestasi dan reforestasi menimbulkan sejumlah kritik, antara lain menyangkut definisi hutan versi Protokol Kyoto akan diadopsi. Artinya, perkebunan dan HTI (Hutan Tanaman Industri) bisa dikategorikan sebagai hutan. Logikanya sederhana, perkebunan dan HTI merupakan bentuk reforestasi atau penanaman kembali sehingga bisa dikategorikan sebagai upaya memperluas karbon stok sebagaimana disebutkan dalam Bali Action Plan dan ditegaskan dalam keputusan COP 14 mengenai REDD plus. Jumlah karbon inilah yang akan diperdagangkan. Dengan demikian, hanya dengan menjalankan business as usual (BAU) berdasarkan dasar konsesi yang jelas tanpa melakukan upaya ekstra yang berkaitan dengan skema perubahan iklim, kelompok-kelompok pemegang izin atau konsesi perkebunan dan HTI justru mendapat keuntungan. Mereka bisa mendapat keuntungan ganda dari pekerjaannya sehari-hari. Hal yang sama potensial terjadi di kawasan konservasi. Dengan mengacu pada stok karbon kawasan konservasi yang masih utuh dan terpelihara secara natural para pencari sertifikat offset berbondongbondong menargetkan kawasan tersebut sebagai tempat transaksi karbon paling menguntungkan. Hanya dengan sedikit upaya agar konservasi karbon tetap dikategorikan sebagai tindakan additionality sebagaimana dituntut oleh MRV yang didesak dalam UNFCCC, para pelaku pasar dapat dengan mudah mendapatkan sertifikat offset lewat jual beli karbon kawasan konservasi yang melimpah ruah. Situasi ini mirip dengan perdagangan hot air yang membuat negaranegara seperti Rusia dan Ukraina mendapat rejeki nomplok hanya karena laju pertumbuhan ekonomi mereka sebelum 1990 mandek, jauh di bawah asumsi pelepasan emisi yang dirancang dalam skema Kyoto. Menurut asumsi ini, laju pertumbuhan ekonomi yang rendah akan diikuti oleh pelepasan GRK yang rendah. Sehingga, pertumbuhan ekonomi yang lamban membuat jatah emisi Rusia dan Ukraina tahun 1990 tidak tercapai atau kurang dari yang dijatahkan. Karena itu, saldo jatah mereka diobral ke pasar internasional dan melalui mekanisme Emission Trading (ET) dibeli berbondong-bondong oleh negara-negara maju agar jatah pengurangan emisi dalam negeri negara-negara maju tersebut dapat tercapai. Tanpa berusaha apa pun, Rusia mendapat durian runtuh. Demikian halnya dengan pelaku logging dan perkebunan. Tanpa suatu usaha ekstra mereka mendapat benefit yang dipanen justru dari tindakan yang merusak hutan alam. Situasi ini layak disebut perdagangan hot air kawasan hutan tropis. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 71 (iii) Net-Net dan Gross-Net Kehadiran LULUCF dalam perdebatan REDD mengundang rentetan perdebatan metodologis yang mengacu pada metodologi LULUCF. Salah satu masalah kalkulasi karbon adalah bagaimana melakukan perhitungan sebagai rujukan dalam baseline, apakah stok karbon atau deforestasi atau campuran keduanya. Sekelompok negara yang dikomandani Brazil berpendirian bahwa apa yang dihitung dalam REDD adalah deforestasi. Karena itu, berbasis pada level deforestasi tertentu, sebuah negara merancang baseline yang diikuti langkah-langkah tertentu agar pada suatu waktu rata-rata deforestasi tersebut menurun, bahkan berhenti di titik nol. Menurut mereka, deforestasi itulah yang bermasalah, sehingga harus dikurangi. Metodologi yang digunakan adalah GrossNet. Brazil sendiri memiliki masalah dengan level deforestasi yang tinggi. Sehingga, secara politik upayanya yang getol untuk mengatasi deforestasi merupakan artikulasi dari masalah dalam negeri. Namun, pendekatan ini dinilai hanya menguntungkan pelaku deforestasi karena membedakan secara tegas antara emisi total dan total penyerapan (kotak 2.3.). Bagaimana pun juga upaya positif untuk membuat stok karbon tetap stabil harus diapresiasi, terutama karena upaya tersebut dilakukan oleh berbagai komunitas yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Tetapi, kerumitan obyek perhitungan sangat kompleks, tidak saja karena persoalan teknis tapi juga berurusan dengan politik. Kotak 2.3. Net dan Gross Dalam aturan LULUCF di bawah Kyoto, dirancang dua alternatif metodologi perhitungan emisi yakni net-net dan gross-net. Sistem yang akan digunakan untuk menghitung tergantung pada apakah negara Annex I yang bersangkutan merupakan emitter semata atau murni sebagai penyerap karbon di sektor tata guna lahan dan kehutanan dengan mengacu pada level 1990. Para Pihak yang tata guna lahan dan kehutanannya semata-mata merupakan sumber GRK menurut level 1990 harus menghitung dengan merujuk perhitungan net-net untuk deforestasi. Sementara pihak yang tata guna lahan dan kehutanan mereka merupakan penyerap menurut level 1990 harus menggunakan metode perhitungan Gross- Net (Global Witness, The Wilderness Society, Rainforest Action Network, Wetlands International, 2009). Perhitungan Net-net Perhitungan net-net merupakan sebuah ukuran yang dipakai dalam dinamika karbon (pergeseran dan pergerakan) yang kasat mata (emisi minus penyerapan) yang diperoleh sebagai hasil dinamika karbon dalam periode komitmen tapi tanpa memasukan dinamika karbon dalam tahun yang menjadi awal rujukan. Misalnya baseline mengacu pada tahun 1990.* Tetapi dengan perhitungan net-net, hanya dilihat total karbon yang kasat mata saat ini, bukan lagi pada tahun 1990. * Kyoto Protocol Article 3.7. 72 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Perhitungan Gross-net Perhitungan gross-net merupakan ukuran yang dipakai untuk mengukur total atau gross dinamika karbon dalam periode komitmen (tidak membandingbandingkan dinamika karbon yang ada saat ini dengan tahun rujukan awal untuk baseline, tapi melihat agregat karbon sejak tahun rujukan awal hingga kini). Sebagian besar negara Annex I mendorong metode perhitungan net-net karena perkebunan dan tegakan pohon baru bisa dikalkulasikan sebagai upaya penyerapan karbon yang mengimbangi emisi yang dikeluarkan. Kontribusi pencapaian target pengurangan emisi dihitung tersendiri dalam perhitungan stabilitas stok karbon atau dikenal dengan permanence, yakni kemampuan menjaga stok karbon agar tetap bertahan dalam periode komitmen. Sementara deforestasi dikategorikan terpisah sebagai pelepas emisi yang tidak akan dibayar. Pembayaran hanya dilakukan jika pihak yang bersangkutan mampu menjaga stok karbonnya. Namun, pendekatan net-net tidak merujuk ke level deforestasi dan tingkat pelepasan emisi di masa lalu. Hal ini merupakan manifestasi dari lobi politik kelompok negara-negara maju yang telah mengeksploitasi hutan mereka untuk pembangunan pada era booming industri. Jika tahun-tahun penuh eksploitasi tersebut dihitung maka rata-rata emisi negara-negara Annex I boleh jadi meningkat. Untuk mencegah beban tanggung jawab yang lebih berat maka mereka mendorong agar perhitungan net-net dipertimbangkan dalam metode LULUCF dan juga diusulkan untuk menjadi metodologi perhitungan karbon dalam skema REDD. (iv) Sustainable Forest Management/SFM Banyak kelompok gerakan sosial yang mempertanyakan konsep Sustainable Forest Management yang tiba-tiba muncul dalam teks AWG LCA. Rumusan ini berbeda dengan konsep Bali Action Plan yakni Sustainable Management of Forest atau SMF. Salah satu pertanyaan penting adalah apakah SFM menguntungkan masyarakat lokal pemilik hutan atau hanya perusahaan pemilik konsesi. Dalam kebijakan maupun rekomendasi kebijakan sejumlah lembaga yang berkecimpung di bidang kehutanan, SFM rupanya lebih banyak digunakan sebagai konsep pengelolaan hutan lestari dalam industri kehutanan. Artinya, prinsip dasar konsep ini bukan hutan yang lestari tetapi logging yang lestari. Di Indonesia, konsep ini dikenal dengan nama sistem tebang habis dengan permudaan buatan (THPB), sistem tebang habis dengan permudaan alami (THPA), sistem tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), sistem tebang pilih tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sementara SMF dipahami secara lebih luas, tidak hanya dalam konteks industri tapi Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 73 juga pengelolaan lestari yang dilakukan komunitas lokal maupun adat. Sebagaimana ditemukan dalam penelitian Ashwini Chhatre dan Arun Agrawal, dengan menggunakan data asli dari 80 hutan yang dikuasai bersama oleh masyarakat di 10 negara yang tersebar di Asia, Afrika dan Amerika Latin, bahwa penguasaan hutan yang lebih luas dan otonomi dalam pengambilan keputusan yang lebih besar pada level lokal berkaitan erat dengan penyimpanan karbon yang cukup tinggi dan keuntungan bagi penghidupan masyarakat setempat. Lebih lanjut, kedua peneliti berargumen bahwa komunitas lokal membatasi konsumsi mereka terhadap produk hutan ketika mereka memililiki penguasaan hutan bersama, sehingga meningkatkan cadangan karbon (Chhatre, Agrawal, 2009) Fakta sebaliknya ditunjukan oleh SFM. Berbagai laporan juga menunjukan kegagalan SFM. Global Witness, misalnya, mengeluarkan laporan bahwa hanya sedikit dari konsep ini yang sukses. Kegagalannya rata-rata di atas 90% (Global Witness, 2009). Kotak 2.4. Praktek SFM SFM didukung oleh berbagai donor untuk mengatasi degradasi dan deforestasi hutan tropis. 1. 1990: ITTO merancang program “Objective 2000” yang mendorong agar hutan tropis dikelolah secara berkelanjutan pada 2000. Pada 2005, hanya 7% hutan produksi tropis yang dikelolah secara berkelanjutan. ITTO gagal 93% dari targetnya; 2. 1997: World Bank dan WWF meluncurkan program bersama dengan tujuan membuat 200 juta hektar produksi hutan kayu dikelolah di bawah sertifikat pengelolaan berkelanjutan yang independen pada tahun 2005. Mereka mencapai target hanya 31,8 juta hektar (16% dari target) hanya sepertiga dari jumlah itu yang merupakan hutan tropis (9,54 juta hektar). Namun, dengan berani keduanya mengusulkan pembaruan program dengan target baru 300 juta hektar pada tahun 2010. 3. 2004: ASEAN menggarisbawahi perhatian bersama untuk mempromosikan sumber daya hutan dan eksosistem kritis berbasis sustainable managemen of forest lewat pemberantasan praktik-praktik yang tidak berkelanjutan di bawah payung Vientiane Action Plan. Lima tahun kemudian (2009), FAO memperkirakan bahwa rata-rata deforestasi di negara-negara ASEAN nampaknya terus berlanjut dari periode 2000-2005 yakni 3,7 juta hektar per tahun Sumber: Global Witness, September 2009:5 (d) Faktor-faktor yang dibahas dalam skema REDD Menengok ke belakang sebelum COP 13 di Bali, proposal REDD sematamata mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh PNG dan Kosta Rika. Skema keuangannya adalah pasar dan public fund. Skema pasar menyerahkan upaya mendapatkan uang untuk membiayai REDD dari transaksi pasar. 74 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Sementara public fund menganjurkan agar skema REDD dibiayai dari danadana publik. Dari segi tanggung jawab, proposal ini mendorong tanggung jawab negara Annex I, baik melalui mekanisme pasar maupun public fund untuk mengembangkan proyek-proyek itu di negara berkembang. Jadi pada intinya proposal ini masih mendorong tanggung jawab negara maju untuk membiayai proyek REDD sebagai bagian dari kewajiban pengurangan emisi global maupun domestik. Namun demikian, status skema REDD masih merupakan rancangan yang tersebar dalam berbagai versi di banyak organisasi maupun negara. Rancangan skema REDD yang diusulkan negara-negara pemrakarsa versi sebelum Bali juga dipicu oleh refleksi keuntungan dari skema CDM Kehutanan di bawah komitmen Protokol Kyoto. Berbagai negara tropis sebetulnya cemburu melihat proyek CDM Kehutanan di China yang luar biasa menguntungkan negeri itu. Uang karbon hutan berlomba-lomba ke China melalui proyek penanaman (reforestasi) sebagai metode utama CDM Kehutanan. Beberapa kalkulasi menyebutkan, keuntungan per hektar dari proyek karbon 3 kali lipat dari pendapatan pertanian biasa. Beberapa di antara pengusaha lokal yang bergelimang keuntungan menjadi legiun duta besar kredit karbon negeri tirai bambu tersebut.58 Karena itu, negara-negara yang memiliki hutan alam juga mendorong agar tidak hanya China, negeri tanpa hutan alam, yang dimabuk badai uang karbon tapi juga para pemilik hutan tropis. Dalam berbagai perdebatan, tiga faktor kunci yang kerap dibahas dalam rancangan skema REDD yakni baseline, skala, cakupan dan mekanisme finansial.59 (i) Baseline atau rona awal Berbagai proposal skema REDD umumnya dimulai dari perhitungan jumlah emisi yang disebabkan oleh level deforestasi tertentu dalam periode waktu tertentu dalam wilayah tertentu. Tahapan ini disebut penentuan baseline. Baseline terdiri dari dua aspek kunci, yakni periode waktu dan skala. Pertama, periode waktu, yakni sebuah periode kapan deforestasi diukur. Jika baseline merujuk jauh ke masa lampau bahkan sebelum revolusi industri maka disebut historical baseline. Misalnya diukur laju deforestasi dan emisi yang dikeluarkan dari deforestasi tersebut pada periode 1780 – 1970. Baseline historis menentukan level deforestasi dan total emisi (karbon, dll) yang menjadi ukuran untuk menentukan proksi tindakan ke depan. 58 59 The Straits Times, Saturday, June 13, 2009. Uraian mengenai baseline, skala, cakupan dan mekanisme finansial REDD, lihat di Charlie Parker, Andrew Mitchell, Mandar Trivendi, dan Niki Mardas, 2009. Lihat juga uraian mengenai isu, opsi-opsi dan implikasi REDD, baik sosial, ekonomi maupun ekologis dalam Arild Angelsen ed 2008: 11-86. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 75 Dari pengukuran atas unit-unit massa karbon tersebut, disebut carbon pool, ditemukan kesimpulan bahwa tingkat rata-rata deforestasi yang meningkat juga diikuti dengan meningkatnya agregat emisi. Karena itu, untuk menurunkan agregat emisi maka dalam periode tertentu, misalnya 2000 – 2030, dibuatlah proyek REDD agar laju peningkatan emisi dikurangi. Untuk mengurangi laju tersebut maka aktivitas deforestasi sebagai sumber emisi harus dihentikan. Aktivitas-aktivitas tersebut adalah proses produksi dalam berbagai skala luasan. Skala besar, antara lain penebangan kayu untuk kebutuhan pasar. Sebagian keuntungannya menjadi pendapatan negara maupun pengusaha. Sementara skala kecil misalnya pembukaan ladang dan kebutuhan kayu bakar dari masyarakat adat atau masyarakat lokal di dalam maupun pinggir kawasan hutan. Dalam hal ini, tindakan REDD untuk menghentikan aktivitas-aktivitas tersebut akan berdampak langsung pada terputusnya akses para pelaku maupun negara yang bersangkutan terhadap sumber penghasilan mereka. Untuk itu, para pelaku tersebut harus diberi kompensasi agar kerugian mereka ditanggulangi dan aktivitas mereka berhenti. Bagan 2.2. Skema REDD (1) Rata-rata deforestasi Baseline Proyek Kredit Periode 1990 - 2009 Tindakan REDD 2030 Skema (1) di atas memperlihatkan bahwa baseline diambil dari rata-rata deforestasi pada periode 1990 – 2009. Melalui proyek REDD, maka rata-rata deforestasi sejak 2009 menurun tajam hingga menjadi nol atau zero deforestasi pada 2030. Dalam hal ini, selain pentingnya akurasi perhitungan level deforestasi dan jumlah emisi, asumsi lain dalam penentuan baseline adalah target pengurangan atau zero deforestasi benar-benar merupakan hasil dari tindakan REDD. Ada pengandaian disana bahwa tanpa campur tangan REDD, level deforestasi akan stabil business as usual atau cenderung meningkat dan agregat emisi karbon akan bertambah. Karena itu, selama proyek berlangsung, tidak boleh ada aktivitas yang mengganggu statistik penurunan level deforestasi dan 76 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? pengurangan emisi. Gangguan tersebut misalnya penebangan pohon dan konversi hutan. Baseline historis dalam dirinya sendiri berhadapan dengan sejumlah tantangan. Tantangan pertama adalah menyangkut model atau pola pembangunan masa lalu. Jika baseline ini mengejar perhitungan dari sumber emisi, carbon source, dari kawasan hutan maka waktu yang dipilih adalah periode kapan dimulainya bentuk-bentuk pembangunan yang eksploitatif dan sarat emisi GRK. Misalnya, di Indonesia periode ketika booming industri kayu dimulai, kira-kira 1970-an. Seandainya dalam periode baseline yang dipilih, ada perubahan gaya pembangunan, seperti intervensi pendekatan sustainable development, maka perubahan itu akan mempengaruhi agregat emisi dan menentukan proksi tindakan ke depan, berapa jumlah emisi yang harus dikurangi. Tantangan berikut adalah menyangkut data. Artinya, seberapa jauh data, seberapa dalam kualitasnya dan seberapa kuat validitasnya yang tersedia untuk menghitung secara obyektif agregat emisi dari deforestasi dalam periode baseline historis yang ditentukan. Tantangan terhadap data menjadi persoalan pelik terutama bagi kelompok negara berkembang yang database kehutanannya sangat amburadul yang merupakan akumulasi dari pertemuan berbagai kompleksitas masalah, seperti konflik antarsektor yang mengatur sumber daya alam, kapasitas birokrat yang terbatas, minimnya teknologi, dan seterusnya. Tantangan ini dalam perundingan perubahan iklim disuarakan negara berkembang ke meja negosiasi, terutama pemilik hutan tropis agar penyiapan infrastruktur yang memadai untuk menuju data yang valid, reliable dan komprehensif dapat dibantu oleh sumber daya dari negara maju. Tantangan lain adalah kapasitas dari tiga level aktor, yakni: (1) birokrat, (2) lembaga pengawas dan kelompok masyarakat sipil, (3) masyarakat di wilayah proyek. Menghadapi pengetahuan para pemrakarsa proyek atau pialang karbon yang sangat maju, baik dalam isu global perubahan iklim maupun dalam isu teknis seperti perhitungan karbon, verifikasi, dan isu metodologis lainnya, tiga level aktor di atas harus berpacu dengan waktu agar dalam lobi dan negosiasi bisa mengimbangi pengetahuan dan keluasan informasi yang dimiliki pemrakarsa. Tanpa perimbangan informasi maka perundingan atau perjanjian para pihak sudah memberi kemenangan lebih awal bagi pemrakarsa. Secara normatif, dalam konteks perlindungan hak masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan hutan, sumber informasi dan pengetahuan yang memadai harus disediakan oleh pemrakarsa pembangunan melalui mekanisme free anda prior informed consent (FPIC). Prinsip informasi yang terbuka, dikemas dalam bahasa yang mudah dan bisa dipahami masyarakat merupakan salah satu kekuatan dalam FPIC. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 77 Dia bisa menjadi mekanisme sekaligus prinsip yang menjadi pengawal (safeguard) bagi masyarakat dalam merespons skema REDD. Prinsip ini juga bisa dikerjakan dalam skema AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang sudah lazim dalam hukum Indonesia. Namun pengalaman penerapan hukum AMDAL yang seringkali menjadi ladang negosiasi penuh nuansa korupsi antara pengusul proyek dengan birokrat tertentu merupakan signal jelek yang harus dikoreksi. Dalam hal ini, mendorong pengawasan yang lebih tegas dan konsisten juga membutuhkan kerangka hukum yang lebih pasti, tegas, komprehensif dan jelas akibat hukumnya. Selanjutnya, baseline historis juga memperlihatkan ketegangan antara neraca keuntungan ekonomi dan kepentingan menurunkan laju deforestasi. Dalam pemikiran yang agak konspiratif yang memang kerap terjadi dalam sejarah pembagian keuntungan hasil hutan di Indonesia, skema deforestasi bisa dipermainkan dengan licin oleh pemrakarsa dengan memberi rate deforestasi yang tinggi di masa lalu agar harga atas upaya pemulihannya dibayar dengan mahal.60 Disini, keuntungan yang melimpah menjadi target. Sementara, upaya menekan laju deforestasi dikembalikan pada perspektif normatif, diserahkan kembali pada mandat pemerintah yang paradoksnya hanya mendapat remah dari jatah keuntungan. Kasus terakhir, Lapindo misalnya, memperlihatkan pemerintah yang demikian toleran terhadap pelecehan dan pengabaian hak asasi manusia yang sangat jelas oleh perbuatan langsung maupun tidak langsung Lapindo. Toleransi seperti ini, selain merupakan bawaan relasi kuasa yang timpang antara pemilik modal dengan rakyat jelata, juga diselimuti oleh kerangka normatif yang suram, sehingga mudah diterjemahkan sebagai kerangka yang menguntungkan para pelanggar dari jeratan hukum. Seandainya senjata hukum perlindungan hak masyarakat cukup memadai, koreksi atas akses kekuasaan dan relasi kuasa yang timpang antara pemilik modal atau pemrakarsa proyek dengan rakyat barangkali bisa diimbangi. Baseline historis juga menantang skema pendanaan. Manakalah penurunan laju deforestasi dan pengurangan emisi GRK dari deforestasi menjadi basis perhitungan untuk mendapatkan manfaat, sekelompok negara-negara di sekitar wilayah Congo Basin sulit mendapat manfaat dari sana. Sejak lama wilayah tersebut memiliki laju deforestasi yang sangat rendah. Karena itu, supaya mendapat manfaat dari skema ini, 60 Di masa keemasan industri kayu Indonesia, pengusaha-pengusaha kayu dilindungi aparat untuk mengeksploitasi hutan sebesar-besarnya tanpa terjerat masalah hukum. Dalam kerja sama tersebut, militer dan politikus-birokrat, biasa disebut sebagai silent partner, menerima ekuiti 20-25 % tanpa ikut dalam kegiatan manajemen di lapangan, namun bertanggung jawab atas keamanan dari dan memberi perlindungan politik bagi keberadaan HPH tersebut. Maka itu, tidak begitu mengejutkan bahwa antara tahun 1967-1980 terdapat 519 konsesi HPH untuk kawasan seluas 53 juta ha, diberikan tanpa melalui prosedur lelang (Kartodiharjo, Jhamtani 2006:26). 78 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? negara-negara Congo Basin mengembangkan suatu proposal proyeksi deforestasi di masa depan. Dalam rancangan skema itu, mereka akan menebang sebagian hutannya agar sampai pada taraf deforestasi tertentu. Jumlah proyeksi deforestasi tersebut akan menjadi modal bagi mereka untuk mendapat bayaran dari negara maju. Ini adalah jungkir balik baseline, semacam senam aritmetika, dengan mengutak-atik angka agar perhitungan deforestasi tidak hanya berbasis ukuran masa lalu maupun sekarang tapi juga proyeksi di masa depan. Bagan 2.3. Skema REDD (2) Baseline Proyek Kredit Rata-rata deforestasi Tindakan REDD Periode 1990 - 2009 2030 Pada skema ini, laju deforestasi yang rendah pada periode 1990-2009 dirancang agar mengalami peningkatan hingga level tertentu pada 2030. Jumlah yang diprediksikan tersebut akan diperhitungkan sebagai agregat laju deforestasi yang harus diatasi. Untuk itu, negara yang bersangkutan perlu dibayar agar tingkat laju deforestasinya berkurang. Peta perdebatan ini menjadi salah satu alasan lahirnya periode baseline yang bersifat ke depan atau projected baseline. Meski memiliki kontradiksi etis yang membingungkan, sebagian negara berkembang juga setuju dengan skema ini, tetapi dengan argumentasi yang lain. Indonesia adalah salah satu di antaranya. Ada dua alasan. Pertama, projected baseline tidak akan mengalami masalah dalam pengumpulan data karena sejak dini sudah dipersiapkan. Kedua, ada harapan bahwa transfer teknologi dan dukungan pendanaan akan mengalami kemajuan lewat mandat yang sedikit memaksa dalam skema pasca 2012. Sehingga, hambatan teknologi dan pendanaan akan segera bisa diatasi. Namun, secara politis dua argumentasi tersebut masih merupakan harapan yang sulit diprediksi karena siapa pun tidak bisa menjadi peramal Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 79 akan kemana bandul harapan tersebut berhenti. Namun jika berkaca pada pengalaman perundingan sebelumnya dalam putaran UNFCCC, negara maju selalu pandai memainkan strategi dalam mendorong skema baru yang membuat mereka luput dari kewajiban yang bersifat memaksa. Jika pengalaman tersebut menjadi rujukan untuk memprediksi hasil perundingan untuk skema pasca 2012, kemungkinan besar strategi jitu negara maju akan kembali memenangkan pertarungan. Gambaran kompleks atas aspek yang mempengaruhi baseline dapat dilihat dalam bagan berikut. Bagan 2.4. Aspek yang mempengaruhi baseline ! Kedua, skala yakni komponen yang berkaitan dengan luasan wilayah dimana deforestasi diukur. Dalam perdebatan yang sedang terjadi, skala umumnya mencakup tiga level, yakni sub-nasional, nasional dan global. Jika skala-nya adalah nasional maka perhitungan baseline akan mencakup seluruh kawasan hutan alam yang tersisa dari suatu negara. Perhitungannya akan lebih rumit karena pola dan karakter masingmasing wilayah berbeda, baik perbedaan hutan secara fisik maupun konstelasi sosial politik yang bergulat di sekitar hutan. Misalnya, perhitungan baseline di daerah kaya hujan dengan daerah kering akan berbeda karena elemen ekosistem pendukung hutan yang juga berbeda atau jenis pembentuk carbon pool -nya berbeda. Daya dukung ekosistem 80 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? akan memberi garansi bagi keberlanjutan hutan serta menentukan level (kuantitas dan kualitas) tindakan REDD yang diperlukan. Dalam konteks sosial-politik, pemaknaan hutan oleh penduduk sekitar hutan juga berpengaruh terhadap tindakan REDD, apakah hutan dimaknai semata-mata sebagai aspek ekonomi, ekologi atau juga wilayah kultural, sebagaimana kerap didefinisikan oleh kelompok masyarakat adat. Di sisi lain, jika cakupannya luas, misalnya skala nasional, tindakan REDD akan menjadi tindakan nasional. Dalam hal ini, ketangguhan metodologi (eligibility) menjadi isu kunci. Selain itu, aspek governance kehutanan menjadi isu kunci lain yang memungkinkan apakah skala tertentu bisa efektif atau justru menjadi bumerang bagi masa depan lingkungan dan secara politik merugikan posisi negara dalam percaturan komitmen mitigasi perubahan iklim. Misalnya, sejauh mana masing-masing sektor mendukung tindakan REDD, meskipun tugas pokok dan fungsi mereka justru membolehkan pembukaan kawasan hutan. Contoh, bidang pertambangan dan perkebunan secara yuridis mendapat mandat undang-undang untuk membuka dan memperluas areal pertambangan maupun perkebunan. Jika tetap mengikuti undang-undang yang ada maka proyek REDD dalam skala nasional akan mengalami kebocoran. Inilah yang disebut leakage atau kebocoran yang menjadi perhatian serius dalam putaran perundingan iklim. Lebih serius lagi, kebocoran merupakan sesuatu yang normal dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu keluarga dalam skala yang lebih mikro. Masalah yang mirip juga akan terjadi jika skalanya sub-nasional. Dalam logika hukum ekonomi biasa, konservasi suatu area untuk proyek REDD akan mengurangi salah satu sumber daya. Pengurangan akan dibalas dengan memacu eksploitasi kawasan hutan di wilayah lain yang bukan merupakan wilayah REDD. Disini, laju emisi di luar wilayah REDD dikawatirkan justru melesat naik karena pembukaan kawasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam level implementasi, baik skala nasional maupun subnasional akan berdampak langsung terhadap hak tenure maupun akses komunitas yang tinggal di kawasan tersebut.61 De facto maupun de jure, penguasaan komunitas beralih ke tangan pemrakarsa proyek karena baik penguasaan maupun hak yang melekat di dalamnya akan dibatasi, bahkan dihapuskan jika semua jenis konversi lahan/hutan diperhitungkan sebagai deforestasi. Menebang pohon untuk membangun rumah, pembukaan bekas ladang untuk pertanian akan dipangkas agar tujuan pengurangan deforestasi dan emisi dapat terwujud. 61 Bahkan dalam kondisi di mana belum ada kepastian skema REDD tersebut, kekuatan hak tenure masyarakat terus melemah. Situasi ini dapat disimak di Bab 6 buku ini. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 81 (ii) Scope atau Cakupan Aspek cakupan dalam perdebatan REDD sebelum REDD plus hanya meliputi deforestasi dan degradasi hutan. Karena itu, skema yang dirancang dalam baseline adalah mendorong agar deforestasi semakin berkurang bahkan pada suatu titik waktu deforestasi akan berhenti total atau nol. Pertanyaan metodologis yang berkonsekuensi langsung pada pertumbuhan ekonomi negara berkembang adalah apa yang dimaksud dengan deforestasi. Ada dua kemungkinan definisi yakni deforestasi terbatas akan ditoleransi. Sementara definisi lain sama sekali tidak memberi ruang bagi segala jenis deforestasi, bahkan dalam skala yang sangat kecil sekalipun. Tabel berikut ini (tabel 2.6.) memperlihatkan dua definisi deforestasi terhadap hak. Tabel 2.6. Skenario definisi deforestasi Deforestasi Semua jenis konversi hutan, baik skala besar, sedang maupun kecil diperhitungkan sebagai deforestasi Konsekuensi pada Hak Konsekuensi Hukum Hak untuk menebang Menebang pohon pohon dalam skala kecil dilarang pun diperhitungkan sebagai deforestasi Deforestasi dibagi Deforestasi skala kecil Menebang pohon dalam kategori (skala ditoleransi untuk tujuan diperbolehkan untuk besar, sedang dan kecil) yang jelas. Misalnya, luas tertentu kepentingan subsistem Degradasi berkaitan dengan mutu ekosistem atau seberapa tinggi kualitas hutan. Namun degradasi masih dalam perdebatan sengit, terutama karena kesulitan serius menentukan keadaan degradasi dan juga emisi yang keluar dari keadaan tersebut. Karena itu, dalam berbagai proposal negara, degradasi jarang disebut. Baik degradasi maupun deforestasi berhubungan dengan waktu dan ruang yang dibicarakan dalam pembahasan kebijakan. Artinya, dalam ruang politik dan kebijakan harus ada kepastian mengenai waktu penurunan laju deforestasi dan konsistensi upaya melakukan penurunan tersebut atau disebut dengan permanence. Jika penurunan deforestasi hanya untuk 30 tahun dan setelah itu laju deforestasi justru meningkat, artinya kebijakan penurunan deforestasi tidak menjamin permanence. Dalam kaitannya dengan ruang, perdebatan yang rumit berkaitan dengan kebocoran atau leakage, sebagaimana sudah diuraikan di atas. 82 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? (iii) Mekanisme finansial Skema pembiayaan seringkali menjadi kunci perdebatan perundingan perubahan iklim. Disini, logika pembiayaan berawal dari asumsi ekonomi bahwa negara pihak pemilik hutan atau negara berkembang akan rugi jika diminta menghentikan laju deforestasinya. Deforestasi menurut mereka, justru terjadi untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi karena konversi hutan dilakukan untuk meraih pertumbuhan ekonomi baik oleh perusahaan, masyarakat maupun lembaga negara secara langsung. Untuk menggantikan manfaat deforestasi tersebut, pelaku deforestasi perlu dibayar atau diberi kompensasi agar target pertumbuhan ekonominya tetap terpenuhi dan laju deforestasi ditekan hingga titik nol. Dalam usulan di atas meja, ada dua skema pembiayaan. Skema pertama adalah pembiayaan berasal dari public fund, dana publik yang dikumpulkan dari berbagai negara melalui proses tertentu oleh suatu institusi dalam UNFCCC. Selanjutnya, dana tersebut dialokasikan kepada negara-negara pemilik hutan melalui syarat-syarat tertentu. Relasi pendanaan ini adalah G to G (Government to Government). Skema ini diusulkan Brazil dan sebagian besar didukung oleh negara-negara Amerika Latin. Menurut mereka, skema fund akan menolong masyarakat miskin yang tidak punya pengetahuan tentang permainan pasar. Fund akan diatur oleh pemerintah dan dialokasikan kepada komunitas yang benar-benar merupakan pemilik hutan serta mengacu pada list prioritas kepentingan dalam negeri. Skema kedua adalah melalui pasar. Skema ini dimotori oleh world bank dan sebagian besar negara-negara maju. Mereka skeptis penggalangan dana publik akan mampu memenuhi target jumlah dana yang diperlukan agar skema REDD bisa efektif. Selain itu, hantu governance negara berkembang yang buruk kerap menjadi alasan untuk memindahkan peran negara ke swasta. Dari segi akumulasi dana, menurut mereka pasar memiliki peluang tak terbatas untuk memenuhi kebutuhan pendanaan. Selain itu, skema ini menurut negara maju, juga akan menguntungkan lebih banyak pihak, terutama swasta. Mengikuti sifatnya yang cair dan tergantung para pihak, relasi pendanaan ini adalah P to P (Private to Private). Jawaban negara maju yang dominan adalah REDD akan dibiayai tapi juga diperhitungkan sebagai offset, meskipun secara hukum offset dibatasi dalam konvensi. Offset adalah upaya negara maju mencari cara termurah dengan mengobral proyek karbon dan proyek perubahan iklim lainnya di negara lain, terutama negara berkembang dan hasilnya berupa koleksi sertifikat akan diperhitungkan sebagai bagian dari target pengurangan emisi domestik serta keberlanjutan polusi industri dalam Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 83 negeri. Argumen pembenaran mereka bersembunyi di balik prinsip konvensi dan Kyoto yakni murah secara ekonomi dan tidak akan mengancam putaran roda ekonomi secara nasional. Soal lain yang juga krusial adalah subyek penerima benefit. Secara normatif, penerima benefit adalah para pihak yang berunding atau negara sebagai subyek hukum. Namun de facto, penjaga hutan abadi adalah komunitas adat/lokal yang sejak lama hidup dan bergantung pada hutan. Banyak kelompok indigenous peoples, seperti AMAN dari Indonesia, UN Permanent Forum on Indigenous Peoples, Aliansi Indigenous Peoples dari Amazon menekankan bahwa kehadiran mereka menjadi kunci keberhasilan proyek REDD. Karena itu, sejumlah perkembangan perdebatan dalam COP menunjukan respons terhadap eksistensi indigenous peoples sebagai subyek yang harus dipertimbangkan dalam berbagai isu seputar REDD, antara lain implementasi dan pembagian benefit. Namun, belum ada proposal yang tegas mengenai perimbangan pembagian keuntungan. Jika regim hukum property yang menjadi alas hukum pembagian benefit maka akan ada dua kemungkinan hukum bagi komunitas yang memiliki hutan kolektif. Pertama, alas hukum yang jelas dan tegas untuk kontrak harus berbasis pada hukum yang bisa diterima dan disepakati dalam pakem hubungan dagang lintas negara. Dalam hal ini, bukti kepemilikan hutan berupa sertifikat harus ada atau jika mengikuti skema dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, sudah ada peraturan yang secara jelas dan tegas mengakui hak masyarakat yang bersangkutan. Kedua, hukum adat kemungkinan akan ditolak karena banyak aspek yang sulit terukur, misalnya nilai kultural dan sosial hutan. Aspek-aspek ini dalam hukum modern sudah lama ditiadakan. Kalaupun diterima, sebagian besar diperlakukan sebagai aspirasi belaka, bukan sesuatu yang bisa terwujud. Dalam konteks offset, diskusi pembagian keuntungan adalah pemrakarsa proyek REDD akan mendapat sertifikat pengurangan emisi dari setiap uang yang dikeluarkan untuk mengkompensasi kerugian orang atau pihak yang aksesnya terhadap hutan dibatasi atau dihilangkan. Penentuan harga dibicarakan secara kontraktual dalam kesepakatan. Dalam public fund, keuntungan akan diatur oleh peraturan pemerintah nasional atau ditetapkan dalam UNFCCC. Sebagai perbandingan, dalam proyek CDM harga yang dibicarakan dalam pembicaraan UNFCCC, satu sertifikat senilai dengan hak untuk mengemisi 1 ton GRK. Gambaran dalam bagan berikut ini memperlihatkan contoh faktorfaktor yang mempengaruhi bekerjanya pembiayaan. Pilihan skema, pasar atau public fund mempengaruhi pengaturan hingga jumlah dana REDD. Alas hak menentukan benefit yang diperoleh. Politik hukum 84 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? mempengaruhi jaminan atas hak, apakah diakui atau dibatasi. Relasi dan level pengetahuan para pihak menentukan kekuatan posisi tawar dalam perundingan, terutama dalam rancangan bagi hasil. Lihat bagan 2.5. berikut: Bagan 2.5. Posisi tawar para pihak ! (e) Proses Perundingan Hak dalam REDD Awalnya, perdebatan isu hak masyarakat lokal/adat di negara-negara berkembang dalam perundingan perubahan iklim lebih banyak dibicarakan dalam skema adaptasi, baik di bawah Konvensi maupun Protokol Kyoto. Skema adaptasi mendorong negara-negara Annex I yang tercantum dalam lampiran Konvensi Perubahan Iklim 1992, memberikan dukungan bagi adaptasi yang dilakukan masyarakat lokal/adat terhadap perubahan iklim melalui bantuan teknologi yang ramah lingkungan, pengembangan kapasitas dan dukungan finansial (Article 4 par 3 dan 4 Convention). Skema ini diuraikan panjang lebar dalam Program Kerja Nairobi dan terus dibahas dalam berbagai putaran perundingan. Selanjutnya, isu masyarakat adat bersamaan dengan isu lain seperti governance dan safeguard menguat dalam perdebatan mitigasi ketika isu kehutanan menjadi salah satu agenda dalam upaya mitigasi di luar skema Kyoto atau bagian dari perdebatan komitmen jangka panjang pasca berakhirnya komitmen pertama Protokol Kyoto 2012. Mulai COP 13 di Bali, Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 85 di bawah AWG-LCA, diskusi kehutanan dibicarakan lewat skema NAMAs (Nationally Appropriate Mitigation Actions) dan REDD. Dua skema ini menjadi perdebatan yang hampir sulit dicari titik temunya, terutama antara negara maju dan negara berkembang. Berikut ini beberapa perkembangan yang penulis amati selama mengikuti perundingan ini sejak Bali sampai Kopenhagen: (i) COP 13 Bali Dalam skema jangka panjang (long term cooperative action), COP Bali merupakan awal bergulirnya keputusan REDD secara formal. Sebelumnya, isu ini berkembang dari proposal PNG dan Kosta Rika pada COP 11 di Montreal. PNG dan Kosta Rika mengajukan ke UNFCCC agar isu kehutanan perlu direspons karena perhatian terhadap isu kehutanan di bawah skema Kyoto, sangat lemah. Banyak negara hutan tropis yang melihat perlunya merespons isu kehutanan secara lebih dalam. Mereka kemudian tergabung dalam koalisi Rainforest Nations Coalition. Proposal ini kemudian ditanggapi oleh berbagai proposal negara-negara lain, termasuk negara-negara maju. Keputusan Bali kemudian menjadi perdebatan panjang dalam seri perundingan berikutnya. Mengacu pada tuntutan proposal PNG dan Kosta Rika serta negara berkembang lainnya pemilik hutan yang menuntut agar negara-negara pemilik hutan dibayar untuk tidak melakukan deforestasi maka negara-negara maju juga mengajukan sejumlah syarat-syarat. Perdebatan itu antara lain mengenai cakupan REDD yang diperluas oleh konservasi, SMF, perluasan karbon stok. Selain itu, perdebatan juga mencakup tanggung jawab dan bagi beban. Isu kehutanan yang sudah mulai ramai diperdebatkan memicu keterlibatan masyarakat adat yang menjadi pemangku kepentingan langsung kawasan hutan. Secara umum bersama kelompok masyarakat sipil lainnya, masyarakat adat mendorong skema REDD tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat adat dan tetap menempatkan tanggung jawab utama pengurangan emisi ada pada negara maju. Dalam hal ini, masyarakat sipil mendesak agar negara maju tidak melihat REDD sebagai peluang offset seperti skema CDM. Perdebatan ini terus berlanjut ke putaran-putaran sebelumnya. (ii) COP 14 Poznan Di COP 14 di Poznan Polandia, 2008, berlanjut sejumlah perdebatan, terutama mengenai posisi REDD, apakah sebagai kewajiban atau kesukarelaan negara berkembang, offset negara maju atau percampuran keduanya. Secara umum, peta perdebatannya adalah sebagai berikut: 86 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Tabel 2.7. Peta perdebatan antara negara maju dan negara berkembang Negara Berkembang Negara Maju Mendorong negara maju mendukung pendanaan, transfer teknologi dan pengembangan kapasitas ke negara berkembang, terutama mendukung Mendorong skema REDD merupakan tanggung jawab negara berkembang di bawah NAMAs. REDD di bawah NAMAs secara singkat berarti semua REDD sebagai bagian dari tanggung jawab historis negara maju. Sebagian negara berkembang setuju REDD di bawah NAMAs tapi tetap merupakan tanggung jawab negara maju dan bukan offset pembiayaan berada di pundak negara REDD, bukan di negara maju. Sebagian negara maju setuju secara terbatas usulan pembiayaan, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi dari negara maju tapi di bawah skema offset Berkaitan dengan hak masyarakat adat, peta perdebatannya sulit dipilah antara negara berkembang dengan negara maju. Banyak negara berkembang yang tidak setuju dengan masuknya hak masyarakat adat ke dalam skema REDD. Kongo dan Guyana misalnya melihat bahwa semua orang di negara mereka merupakan Indigenous Peoples (IPs), karena itu tidak perlu dibeda-bedakan dan diberi perlakuan khusus. Dalam konstitusi mereka, semua warga negara mendapat perlakuan yang sama. Argumen ini persis sama dengan argumen delegasi Amerika yang melihat bahwa Amerika merupakan negara majemuk sehingga semua etnik ditempatkan secara sama secara konstitusional. Tidak ada perlakuan khusus terhadap IPs. Sebaliknya, negara-negara seperti Bolivia dan Paraguay sangat kuat mendorong hak Indigenous Peoples menjadi salah satu prinsip dasar bekerjanya REDD. Alasan mereka adalah bagi IPs hutan adalah diri mereka sendiri. Sangat tidak fair jika hutan yang merupakan bagian dari hidup IPs dibicarakan di agenda internasional tanpa mengikutsertakan mereka atau bahkan sama sekali tidak menyinggung soal peran signifikan mereka. Dua perdebatan ini mewarnai perdebatan SBSTA di Poznan. Hasilnya, dalam salah satu keputusannya, SBSTA menyebut perlunya mengakomodasi Indigenous People tanpa “s” dalam proses monitoring dan evaluasi REDD. Artinya, meski diterima, konsep ini tidak diterima sepenuhnya. Tanpa “s”, konsep ini kehilangan roh kolektifnya dan hanya menjadi sekedar kumpulan individu. Sebagai individu maka IPs tidak bisa mengklaim hak-hak kolektif tapi menjadi hak individu warga negara. Hilangnya “s” dalam istilah indigenous peoples menimbulkan reaksi yang sangat keras dari kelompok IPs dan kelompok-kelompok pendukung Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 87 IPs. Pernyataan kaukus IPs menegaskan bahwa negara-negara yang menolak IPs yang disebut group Canzus Group (Amerika, Kanada, New Zealand dan Australia) menunjukan langgengnya cara berpikir yang keliru tentang IPs dan memaksakan kekeliruan kebijakan domestik mereka ke level perundingan internasional. (iii) Intersessional Meeting Bonn Intersessional meeting di Bonn diselenggarakan bulan Juni 2009. Pertemuan ini merupakan salah satu perundingan yang berusaha menghasilkan dokumen yang solid sebelum dibawa ke perundingan puncak COP 15 di Kopenhagen. Kemajuan berarti dalam perundingan ini adalah hak IPs diterima sebagai salah satu cakupan dalam prinsip, implementasi dan monitoring REDD. Perkembangan Bonn memang menunjukan langkah maju daripada Poznan. Di Bonn, Australia berbalik mendukung IPs (dengan “s”) dalam rumusan teks SBSTA. Namun persoalannya kembali ke asumsi dasar skema REDD. Menurut negara-negara maju REDD adalah karpet merah untuk offset, sementara menurut negara berkembang REDD bukan offset tapi kewajiban negara maju di luar kewajiban domestik mereka untuk mengurangi emisi. (iv) Intersessional Meeting Bangkok Isu masyarakat adat kembali menjadi perdebatan di Bangkok ketika para pihak mengkonsolidasikan teks. Konsolidasi dilakukan karena teks REDD dalam AWG LCA sangat detail dan tidak sistematis sehingga para pihak sepakat agar teks tersebut perlu dipadatkan. Dalam teks negosiasi (non-paper 11, 3 Oktober 2009)62, IPs masuk sebagai prinsip dasar yang harus menjadi rujukan dalam REDD, mulai dari desain, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Demikian halnya dengan instrumen implementasi REDD, IPs diusulkan menjadi salah satu aktor kunci yang akan memantau praktik REDD dan akan menerima keuntungan langsung yang adil dari REDD. Namun, rumusan tersebut melemah dalam keputusan akhir melalui non-paper 18, 8 Oktober 2009. Dalam versi terakhir ini, pengakuan hak masyarakat adat harus mempertimbangkan situasi nasional. Dengan kata lain, jika situasi nasional tidak memungkikan maka pengakuan tersebut bisa dikecualikan. Secara historis, isu IPs merupakan salah satu usulan yang secara kuat didorong oleh kalangan masyarakat sipil. Namun, usulan tersebut menjadi bola liar yang dikemas sedemikian rupa oleh para pihak untuk 62 Non-paper adalah draft teks negosiasi yang dikeluarkan oleh masing-masing sub-isu. Misalnya, isu REDD, pendanaan, transfer teknologi, dll. Draft teks ini jika sudah disepakati oleh anggota yang terlibat di dalamnya, akan dibawa ke pleno dan meminta komentar anggota pleno. Jika disepakati pleno maka teks ini bersama sub-isu lainnya akan dibawa ke forum yang lebih tinggi setingkat menteri atau kepala negara untuk mendapat persetujuan umum. 88 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? ditempatkan dalam channel yang mereka miliki. Nampaknya, tegangan utama belum bergeser dari perdebatan soal tanggung jawab dan cakupannya. Amerika mengusulkan agar tanggung jawab harus berada di bawah payung common responsibility, sebuah usulan yang keluar dari prinsip utama Konvensi Perubahan Iklim, common but differentiated. (v) Intersessional Meeting Barcelona Bulan November, pertemuan intersessional terakhir diselenggarakan, sebelum COP 15 Kopenhagen. AWG LCA mengeluarkan lagi nonpaper No 39 versi pukul 19.00 waktu setempat. Dalam kaitannya dengan IPs, keputusan Barcelona sama persis dengan non-paper 18, Bangkok 8 Oktober, 2009. Namun, terdapat kerisauan yang mendalam terhadap aspek lain yang juga mempengaruhi hak masyarakat adat dan keberlanjutan hutan. Aspek tersebut safeguard atau kebijakan pengaman melawan konversi hutan alam. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.8. Tabel 2.8.Teks safeguard yang melemah Non paper 11 Versi Bangkok, 3 Oktober Ensure that the actions are consistent with the conservation of biological diversity. (Protect biological diversity), including safeguards against the conversion of natural forests to forest plantations Non paper 18 versi Bangkok, 8 Oktober Promote actions that are consistent with the conservation of biological diversity and enhance other social and environmental benefits(, including environmental ecosystem services), complementary to the aims and objectives of relevant international conventions and agreements. Non Paper 39 Versi Barcelona, 5 November (Promote) actions that are consistent with the conservation of biological diversity (, and do not provide incentives for conversion of natural forests) (, including safeguards on the conversion of natural forests) Ada beberapa perbedaan yang mendasar, yakni istilah “ensure” dan “promote”. Di Bangkok, non-paper kedua, versi 8 Oktober, istilah “promote” sudah dikritik habis oleh berbagai negara karena maknanya yang terlalu lemah. Selain itu, safeguard konversi hutan alam ke perkebunan dihilangkan sehingga menimbulkan kritik yang sangat tajam dari berbagai negara seperti Bolivia dan India. Keduanya mengkhawatirkan bahwa hilangnya safeguard ini akan menguntungkan industri skala besar yang sedang menunggu untuk mengkonversi hutan alam. Rumusan versi 8 Oktober ini, antara lain merupakan hasil kerja Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 89 dari Indonesia dan Kanada selaku negara yang diberi mandat untuk mengkonsolidasikan pasal-pasal safeguard. Sebagai respons atas nonpaper 8 Oktober ini, banyak negara mengusulkan istilah “ensure” yang sudah terdapat dalam Non Paper versi 3 Oktober karena sifatnya lebih mendesak, bila perlu memaksa negara-negara pihak, terutama yang memiliki hutan tropis, untuk menghentikan laju konversi hutan alam. Di Barcelona istilah “ensure” rupanya tidak berhasil didorong lagi ke dalam teks. Dugaan bahwa lobi perusahaan logging sangat besar, boleh jadi merupakan perumus hantu (ghost writer) dari pasal ini. Namun, safeguard konversi hutan alam masih ada, tapi kata “plantation” tetap lenyap. Penyebutan “plantation” sebetulnya diusulkan sebagai upaya langsung berbagai pihak, terutama aktivis lingkungan, untuk menekan laju konversi hutan alam untuk perkebunan skala besar di berbagai negara pemilik hutan tropis, seperti kelapa sawit di Indonesia dan soya atau kedelai di Brazil dan Amerika Latin umumnya. Menghilangkan kata “plantation” berarti mendorong negara pihak untuk mendakwa semua jenis konversi sebagai bentuk deforestasi, termasuk skala kecil yang biasa dikerjakan dengan bergilir oleh masyarakat adat. Dalam hal ini, kekuatiran kelompok masyarakat adat adalah safeguard ini justru melepaskan para pelaku konversi skala besar dengan dalih telah mendapat izin dan menangkap para pelaku ladang bergilir dengan alasan perbuatan illegal. (vi) COP 15 Kopenhagen Kopenhagen diharapkan menjadi gawang terakhir perundingan dimana semua kegaduhan yang berlangsung pasca COP 13 di Bali bisa diselesaikan dan menghasilkan keputusan final yang mengikat semua pihak. Namun harapan tersebut sama sekali tidak terwujud. Kopenhagen hanya menghasilkan kekisruhan perundingan yang mengecewakan semua pihak. Minggu kedua perundingan merupakan titik perundingan yang paling buruk. Negara maju benar-benar sukses menggunakan janji pendanaan untuk mengakomodasi negara-negara berkembang yang vokal dan meninggalkan substansi perundingan. Kebuntuan sudah dimulai ketika usulan Tuvalu agar kenaikan suhu global tidak boleh melebihi 350 ppm tidak dibeli negara maju. Sebaliknya, sejumlah negara melakukan gerakan terselubung untuk mengambil keputusan di belakang layar dan memanfaatkan forum PBB sebagai arena justifikasi. Hari Jumat, 18 Desember pukul 10.30 pm, Presiden Obama tiba-tiba mengumumkan bahwa Amerika Serikat mendukung hasil perundingan di belakang layar grup BASIC (Brazil, Afrika Selatan, India dan China) serta Ethiopia yang mengklaim mewakili grup Afrika. Selanjutnya, dia 90 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? menegaskan bahwa Accord yang disusun beberapa negara tersebut telah final meskipun sebagian besar negara belum menyatakan posisinya terhadap Accord tersebut. Setelah itu, Obama meninggalkan Kopenhagen, meninggalkan perseteruan akibat pekerjaan tersembunyi mereka di balik pintu perundingan tertutup beberapa negara.63 Perkembangan selanjutnya 25 negara yang lain kemudian menerima Accord. Rumor yang berkembang mengatakan bahwa selain didorong Australia dan Amerika, beberapa negara maju lain seperti Swedia, Inggris, Prancis dan Jerman memainkan peranan yang pro-aktif untuk membuat Accord diterima banyak negara. Janji Amerika untuk mengucurkan 100 milyar dollar pada tahun 2020 juga memikat beberapa negara miskin di Selatan sehingga turut menyatakan Accord ini sebagai kemajuan. Tengah malam berbagai informasi yang berkembang mengatakan bahwa Sekertariat UNFCCC mendraft Accord yang sudah dibicarakan dalam ruang tertutup grup BASIC dan sebagian besar negara maju. Dalam draf tersebut, REDD dikeluarkan karena ada beberapa persoalan yang belum diputuskan dalam MRV dan Keuangan. Namun, teks REDD masih terus dibicarakan di bawah AWG LCA. Keesokan harinya, Sabtu, 19 Desember 2009, pukul 21.00 Accord dibawa ke pleno. Tuvalu langsung mengambil posisi memblokir pengadopsian Accord. Berbagai negara pendukung Accord kemudian menyerang Tuvalu. Namun Venezuela, Bolivia, Nicaragua, Kuba, Sudan dan Arab Saudi tegas menolak Accord. Alasan mereka adalah pertama-tama, Accord ini tidak cukup secara substansial, lemah dan tidak mengikat. Selain itu, proses perumusannya tertutup dan tidak mengakomodasi proses yang demokratis dalam UN. Karena itu, Arab Saudi bersikukuh dengan prinsip bahwa tanpa konsensus Accord tersebut tidak bisa diterima. Inggris kemudian mengusulkan agar Accord tetap diterima tapi dengan mencantumkan catatan kaki mengenai negara-negara yang tidak setuju dengan Accord. Namun, usulan tersebut melanggar prosedur dasar dalam UN yang mengharuskan adanya konsensus dalam pengambilan keputusan atas Accord. Inggris mengusulkan agar prosedur dasar UN tersebut dibuat fleksibel agar Accord diterima dengan catatan semacam dissenting opinion. Namun proposal tersebut ditolak karena upaya membuat agar prosedur tersebut fleksibel juga membutuhkan konsensus. Pleno menemui jalan buntu. Delegasi Arab Saudi menyebut pleno tersebut sebagai pleno terburuk sepanjang keterlibatan mereka di 63 Berita soal kekisruhan di Kopenhagen bisa dilihat di sejumlah Koran Internasional, misalnya Barack Obama’s speech disappoints and fuels frustration at Kopenhagen lihat di http://www.guardian.co.uk/environment/2009/ dec/18/obama-speech-Kopenhagen, Jeremy Hance, (December 18, 2009). Bolivia’s President blames capitalism for global warming. Lihat http://news.mongabay.com/2009/1218-hance_morales.html, lihat juga Ed Crooks, Fiona Harvey, dan Andrew Ward, Financial Times, December 20, 2009, Financial Times. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 91 UN. Inggris kemudian mengusulkan jeda waktu. Selama jeda tersebut negosiasi yang berlangsung adalah tidak ada jalan lain selain membuat Accord dengan dissenting serta mencantumkan negara-negara yang setuju dengan Accord di bawah heading Accord tersebut. Pukul 11 pagi pleno dibuka lagi dengan satu usulan, tidak ada komitmen yang mengikat secara hukum tapi hanya menjadi “take note of the Copenhagen Accord of the 18th of December of 2009.” Artinya, siapa yang memberikan pernyataan dukungan terhadap Accord, dia setuju terhadap Accord. Accord kemudian diputuskan dan menjadi semacam voluntary agreement atau persetujuan sukarela yang pengadopsiannya tergantung pada negara-negara yang terlibat dan dimasukan dalam Decision 2/CP 15. Secara umum gambaran substansinya kurang lebih sebagai berikut: 1. Perlunya tetap mempertahankan temperature di bawah 2°C. Tapi menyerahkan komitmen pengurangan emisi ke masing-masing negara 2. Tidak mengikat secara hukum. Dalam versi yang lebih awal, ada paragraf yang menyebutkan perlunya pekerjaan lanjutan untuk mencapai kesepakatan yang mengikat secara hukum dalam COP 16 di Meksiko tahun 2010. Tapi dalam versi terakhir, paragraf tersebut dihilangkan. 3. Accord ini esensinya adalah semacam sistem “jaminan dan tinjauan”. Dia mencantumkan 2 lampiran. Lampiran pertama untuk negara maju, sementara lampiran kedua untuk negara berkembang untuk mengisi target pengurangan emisi yang mereka jaminkan untuk dicapai. Negara-negara memiliki waktu hingga 31 Januari untuk melaporkan target pengurangan emisinya ke Sekretariat UNFCCC. 4. Negara maju mengajukan jaminan target pengurangan emisi tahun 2020 tapi dapat memilih tahun baseline mereka sendiri. 5. Komitmen yang samar-samar untuk melakukan review apakah negara-negara mencapai target pengurangan emisi atau tidak. Tidak jelas bagaimana review ini dilakukan tapi barangkali hanya mempunyai sedikit konsekuensi karena ini tidak mengikat secara hukum. Belakangan ketika perjanjian yang tidak mengikat secara hukum ini dipertanyakan oleh banyak media sebagai salah satu kontribusi buruk Amerika, Obama justru cenderung menyalahkan China yang mendorong tidak ada komitmen yang mengikat secara hukum di Kopenhagen. Obama juga menuduh negara berkembang sebagai biang kerok kemunduran perundingan karena mengungkit-ungkit preseden dari komitmen Kyoto yang memaksa negara maju untuk memangkas emisi domestik mereka. Obama menekankan komitmen global semua 92 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? negara untuk memangkas emisi masing-masing, tanpa merujuk ke monumen Protokol Kyoto. Dia mengatakan “getting out of that mindset, and moving towards the position where everybody recognises that we all need to move together.”64 (1) Posisi REDD Copenhagen Accord tidak mengatur REDD secara jelas tetapi melalui Decision 4/CP 15, COP memberikan semua tanggung jawab metodologi pada SBSTA untuk tetap melakukan uji coba REDD plus dengan mengakomodasi hak masyarakat adat, termasuk menyediakan panduan bagaimana masyarakat adat bisa terlibat secara penuh dalam mekanisme monitoring dan pelaporan REDD. Melalui Decision 1/CP 15, COP juga memutuskan AWG-LCA dan AWG-KP diberi mandat untuk terus bekerja dan menghasilkan teks yang final hingga COP 16 di Meksiko. Dengan demikian, diskusi REDD masih terus dilanjutkan di AWG-LCA dan diharapkan bisa dipresentasikan pada COP 16. Namun, dalam Accord teks mengenai REDD hanya berhubungan dengan mekanisme pendanaan. Ada dua pasal yang berhubungan, yakni Pasal 6 dan Pasal 8. Pasal 6 sendiri berisi: “Mengakui peran penting REDD dan kebutuhan untuk menyedikan insentif positif melalui pembentukan mekanisme REDD-plus yang sesegera mungkin untuk memobilisasi sumber keuangan dari negara maju”. Beberapa aspek yang perlu digarisbawahi adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan pendanaan yang baru dan tambahan, dapat diprediksi dan memadai wajib disediakan kepada negara-negara berkembang termasuk keuangan yang mendasar untuk REDD-plus, adaptasi, pengembangan dan transfer teknologi dan pengembangan kapasitas. 2. Komitmen kolektif oleh negara maju adalah menyediakan sumber pendanaan yang baru dan tambahan, termasuk kehutanan dan investasi melalui institusi internasional hingga 30 miliar USD selama periode 20102020 dengan alokasi yang berimbang antara adaptasi dan mitigasi. 3. Negara maju berkomitmen untuk mencapai mobilisasi pendanaan secara bersama sebesar 100 miliar USD pada tahun 2020 untuk menjawab kebutuhan negara-negara berkembang (dari sumber pendanaan publik, privat, multilateral dan alternatif pendanaan lain). Accord ini mempercayakan pengurangan emisi domestik pada niat baik negara-negara maju yang dalam berbagai bukti proses perundingan ini, sama sekali tidak menunjukan niat baik. Target-target pengurangan emisi makin leluasa setelah Copenhagen Accord tidak mengikat secara hukum. Target pengurangan emisi domestik sepenuhnya diserahkan ke 64 Http://www.guardian.co.uk/environment/2009/dec/20/china-blamed-copenhagen-climate-failure (diakses 2012-2009). Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 93 masing-masing negara dan menjadi bagian dalam national communication yang dilaporkan sekali dalam 2 tahun. Namun tidak ada “paksaan” untuk mengejar target tersebut. Yvo de Boer, Sekretaris UNFCCC mengatakan Accord ini secara politik penting sebagai bentuk kemauan politik untuk melangkah ke depan. EU juga melihat Accord tersebut sebagai awal yang baik untuk memulai. Singkat cerita, banyak negara maju setuju dengan Accord ini. Indonesia pun dengan senang hati turut terlibat dalam euforia persetujuan tersebut. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono melihat Copenhagen Accord sebagai hasil yang positif, apalagi usulan Indonesia mengenai MRV diterima dengan baik.65 Namun, banyak analis melihat sebaliknya. Copenhagen Accord adalah klimaks yang buruk untuk perundingan yang diharapkan oleh jutaan mata di seluruh dunia dan khususnya para korban di negara-negara kepulauan yang hampir kehilangan harapan. Tuvalu, negara kepulauan yang hampir tenggelam telah ditinggal sendirian menunggu ajal. Koran Sunday menulis, tidak ada lagi harapan hopenhagen tapi hanya sebuah Hopelesshagen.66 Accord ini secara mendasar merupakan perjanjian antara Amerika dan China. Dia mewakili pergeseran dalam dunia politik dan tata dunia baru dimana Amerika dan China setuju pada konsep-konsep tertentu dan mendikte sebagian besar dunia. Ketidaknyamanan dirasakan secara umum oleh negara-negara lain, terutama negara-negara kecil kepulauan berkaitan dengan bagaimana Accord dibuat dan juga banyak diskusi tentang apa saja dampak proses ini terhadap proses PBB secara umum. George Monbiot, aktivis lingkungan dan kolumnis lingkungan ternama di Guardian menulis skenario yang melatari perjanjian dan komitmen ini:67 This has not happened by accident: it is the result of a systematic campaign of sabotage by certain states, driven and promoted by the energy industries. (Accord ini bukan merupakan kebetulan tapi merupakan hasil dari kampanye sabotase yang sistematis dari negara-negara tertentu, yang didorong dan dipromosikan oleh negara-negara konsumen energi) Selanjutnya Monbiot dengan sarkastis mengatakan: This idiocy has been aided and abetted by the nations characterised, until now, as the good guys: those that have made firm commitments, only to invalidate them with loopholes, false accounting and outsourcing. In all cases immediate self-interest has trumped the long-term welfare of humankind. Corporate profits and political expediency have proved more urgent considerations than either the natural world or human civilisation. Our political systems are incapable of discharging the main function of government: to protect us from each other. Di sisi lain, seorang kolumnis lain Robin McKie, di Guardian tetap optimis bahwa tidak semuanya lenyap dari Kopenhagen. Masih ada harapan 65 66 67 Kompas.com Minggu, 20 Desember 2009, (diakses pada 20-12-2009). http://www.sundayindependent.co.za/index.php?fArticleId=5292809, (diakses 20-12-2009). George Monbiot, The Guardian (UK), (diakses 19-12-2009). 94 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? karena Kopenhagen mencapai kesepakatan mengenai pendanaan dan juga perhatian bersama untuk tetap menjaga suhu bumi agar tidak naik hingga 2°C.68 2.7 Penutup PBB telah menghasilkan Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992. Tujuan utamanya adalah pengurangan emisi global hingga level yang tidak terlalu membahayakan manusia dan iklim di bumi. Karena itu, berbagai negara yang menjadi pihak dalam konvensi ini harus melakukan upaya-upaya serius pengurangan emisi. Berkaitan dengan upaya tersebut, konvensi secara eksplisit telah menempatkan negara maju sebagai pihak yang mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam pengurangan emisi global. Sementara negara berkembang ikut terlibat dalam upaya bersama mengurangi emisi sejauh mendapat dukungan negara maju. Pembagian ini selanjutnya dipertegas dalam kategori Annex I dan Non-Annex I yang berkonsekuensi secara langsung pada berat ringannya tanggung jawab mitigasi dan dukungan adaptasi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, nampak jelas bahwa secara normatif konvensi telah merumuskan sedemikian rupa pembagian tanggung jawab antar para pihak konvensi dan berbasis pembagian tersebut, dalam implementasi konvensi, para pihak dituntut untuk mewujudkan tanggung jawab dalam komitmen yang konkrit. Komitmen berhubungan dengan upaya pengurangan emisi domestik, baik jumlah maupun target waktu kapan pengurangan mulai dilakukan. Selain itu, komitmen juga berkaitan dengan dukungan terhadap negaranegara berkembang terutama kelompok negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Berkaitan dengan komitmen tersebut, skenario target pengurangan emisi telah dipaparkan oleh IPCC, namun hingga kini tidak satu pun negara maju yang secara resmi mendukung jumlah target yang diusulkan IPCC, baik tahun 2020 maupun 2050. Sementara dukungan terhadap negara berkembang, terutama kelompok negara-negara kepulauan yang sebagian wilayahnya sudah tenggelam karena naiknya permukaan air laut, sampai saat ini masih tarik ulur. Bahkan proposal negara-negara rentan tersebut agar kenaikan emisi global tidak boleh lebih dari 350 ppm dianggap tidak mengakomodasi kesulitan negara maju untuk menekan level konsumsi emisi yang sudah terlanjur mapan. Sebaliknya, negara maju justru mendorong agar pengurangan emisi tidak dilakukan dari dalam (emisi domestik) tapi justru menggunakan skema offset melalui penyerapan dan penyimpanan karbon di hutan-hutan tropis negara berkembang. Melalui obral offset, konvensi telah dilanggar karena offset merupakan jual beli kertas yang dilakukan secara terbatas untuk 68 Robin McKie, Guardian, Sunday 20 December 2009. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 95 mencapai target pengurangan emisi, bukan pengurangan emisi domestik yang sebenarnya. Di sisi lain, offset juga merupakan proyek yang menjadi beban negara berkembang sehingga de fakto, tanggung jawab pengurangan emisi justru lebih banyak dilakukan negara berkembang. Padahal, berbagai laporan menunjukan bahwa negara maju sesungguhnya mampu mengurangi emisi domestik bahkan melampaui skenario yang diusulkan IPCC. Pada saat yang sama, negara berkembang seperti China dan India justru tampil dengan taruhan komitmen pengurangan emisi yang jauh lebih besar dari negara maju mana pun. Situasi ini memperlihatkan ironi sekaligus pertanyaan yang sangat mendasar mengenai siapa yang oleh konvensi telah diberi tanggung jawab lebih besar, negara maju atau malah negara berkembang. Konvensi memang telah diinterpretasi sedemikian rupa dalam perundingan ini, baik untuk mendukung rumusan-rumusan yang tertera dalam konvensi maupun sebaliknya untuk memanipulasi rumusan-rumusan tersebut untuk mempertahankan kepentingan konsumsi emisi domestik. Dapat dikatakan, menjawab pertanyaan awal tulisan ini mengenai ruang dan waktu; ruang berhubungan dengan komitmen dan tanggung jawab pihak yang berunding; sementara, waktu berhubungan dengan kapan emisi dikurangi dan berapa jumlahnya, segera terlihat dalam perundingan proses tarik ulur komitmen negara maju yang hingga kini terus berlangsung. Proses tarik ulur saat ini sampai pada titik negara maju melemparkan tanggung jawab ke negara berkembang dan mempertahankan industri dan konsumsi dalam negeri pada level yang makin membahayakan iklim bumi. Hal ini dibuktikan dengan pergeseran konsentrasi perdebatan ke isu-isu pelepasan emisi negara berkembang, khususnya pelepasan emisi dari kerusakan dan penurunan kualitas hutan. Angka 17% emisi dari deforestasi digunakan sedemikian rupa untuk menjadi salah satu topik paling hangat bahkan mengalihkan pembicaraan mengenai 80% emisi global yang sebagian besar disumbang negara maju. Setelah adanya proposal PNG dan Kosta Rika, isu deforestasi memang segera menjadi salah satu topik hangat perundingan dan terkait erat dengan komitmen pengurangan emisi negara maju. Secara singkat, REDD menjadi seksi karena melibatkan target offset negara maju di satu sisi dan di sisi lain berkaitan dengan beberapa isu krusial kawasan hutan di negara berkembang pemilik hutan. Di samping itu, negara berkembang juga ingin hutan menjadi topik pembicaraan karena dari sana bisa dikeruk pendapatan baru bagi negara. Dalam negosiasi yang makin rumit dan kompleks, masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan justru tidak banyak didengar dan dilibatkan dalam proses ini. Respons para pihak dalam perundingan terhadap usulan masyarakat sipil agar hak masyarakat adat diakui, hingga kini masih suram. Banyak negara berkembang menolak atau mendiamkan saja 96 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? usulan-usulan tersebut karena sebagian besar kawasan hutan dikuasai oleh negara. Sepanjang kondisi negosiasi tersebut tidak berubah, perundingan ini sulit untuk memberi ruang yang memadai bagi pengakuan masyarakat adat maupun lokal sebagai pra-kondisi atas REDD atau safeguard yang melindungi dan memperkuat isu hak dalam skema REDD. Namun tanpa upaya mendorong perubahan proses dan isi perundingan, tidak ada isu hak yang tercantum dalam REDD. Karena itu, keterlibatan masyarakat sipil sangat perlu didorong agar regim REDD tidak menjadi ancaman baru bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dan bagi keberlanjutan hutan sendiri. Secara substantif, negosiasi yang diharapkan ke depan adalah usulan yang semakin memperkuat tuntutan pengurangan emisi domestik negara maju. Sementara di negara berkembang, berbagai skema untuk perubahan iklim, khususnya REDD yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat adat dan lokal harus menyokong tuntutan agar masyarakat yang secara de facto menguasai dan menjamin keberlanjutan kawasan hutan berdasarkan prinsip kearifan tradisional, harus diakui. Fakta yang menyingkap kemampuan masyarakat adat dan lokal menjaga hutan dan memelihara stok karbon telah dipaparkan di berbagai hasil penelitian. Dukungan temuan ilmiah dan data lapangan tersebut perlu disuarakan terus menerus agar bisa menjadi kekuatan yang menjadi isi keputusan final mengenai Perubahan Iklim. Untuk itu, sebagai langkah awal beberapa aspek metodologi rekomendasi UNFCCC ke SBSTA untuk mendorong ada standar dan metode yang menjamin keterlibatan penuh masyarakat adat harus diterjemahkan oleh negara pihak dalam aksi yang konkrit. Di sisi lain, untuk kalangan masyarakat sipil, keteguhan sikap diperlukan untuk mendorong isu hak masyarakat adat dan lokal tidak kehilangan momentum di tengah riuh rendah perundingan ini. Penerimaan terhadap hak menegaskan bahwa perundingan perubahan iklim, secara khusus REDD yang berbicara mengenai masa depan lingkungan bumi tidak boleh mengabaikan eksistensi hak manusia saat ini. Itulah prinsip dasar konvensi perubahan iklim yang harus diperjuangkan dalam proses perundingan ini. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen 97 3.Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sebagai kasus Mumu Muhajir 3.1 Indonesia dan perubahan iklim/REDD Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 26% tanpa bantuan luar negeri dan atau 41% jika ada bantuan luar negeri pada tahun 2020 menjadi pertaruhan tersendiri ketika komitmen itu harus diintegrasikan ke dalam kebijakan pembangunan Indonesia.69 Penurunan emisi hampir sama dan sebangun dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi. Padahal Indonesia sendiri sedang dalam proses membangun yang kalau dilihat dari struktur perekonomiannya menggantungkan pada pemanfaatan sumber daya alam. Indonesia nampaknya siap dengan konsekuensi itu karena merasa bahwa kontribusi terbesar emisi Indonesia berada di sektor kehutanan dimana perkembangan perundingan perubahan iklim mengarahkan skema REDD sebagai satu-satunya skema yang siap untuk menggantikan Protokol Kyoto di tahun 2012 nanti. Skema REDD memang menjanjikan insentif yang besar bagi Indonesia. Dukungan dari luar negeri juga mulai berdatangan. Tidak hanya dalam bentuk hutang, tetapi juga dalam bentuk hibah dengan jumlah yang luar biasa besar. MoU antara Indonesia dengan Norwegia di Bulan Mei 2010 ini membuktikan itu.70 Norwegia menyepakati akan memberikan dana hibah sebesar $1 miliar di tahun terakhir kesepakatan (tahun 2013) jika Indonesia mau dan berhasil menjalankan skema usaha menurunkan emisi lewat pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Ini merupakan dukungan besar pada pelaksanaan skema REDD. 69 70 http://www.reuters.com/article/idUSSP495601 (diakses 08-04-2010). Letter of Intent between the Government of The Kingdom of Norway and The Government of Indonesia on “Cooperation on reducing greenhouse gas emission from deforestation and forest degradation”, 26 Mei 2010. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 99 REDD sendiri merupakan dua hal yang diintegrasikan: Pertama, sebagai tujuan dan kedua sebagai mekanisme pembiayaan. Sebagai tujuan, ia mengharapkan adanya pengurangan emisi rumah kaca lewat cara pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan. Sebagai mekanisme pembiayaan, ia berusaha membuat tata cara pembiayaan/mekanisme kompensasi bagi usaha pengurangan deforestasi dan degradasi hutan yang berakibat pada turunnya emisi rumah kaca utamanya CO2. Jelaslah, REDD akan bersentuhan dengan persoalan di sekitar kehutanan atau pemanfaatan lahan. Hutan adalah tempat bergantung bagi sekitar satu milyar orang di dunia dan umumnya orang miskin. Di sinilah cecabang itu bermula: tawaran mekanisme itu – dengan sejumlah besar dana kompensasi – memberikan harapan dapat menyelesaikan persoalan yang selama ini membelit kehutanan dan memberikan kesejahteraan bagi mereka yang tergantung kepada hutan; namun di sisi lain, terutama karena mekanisme itu pada soalnya adalah pembiayaan, masih kurangnya transparansi, kurangnya partisipasi dan akuntabilitas di kalangan pemangku kehutanan serta sederet masalah tata pemerintahan lainnya, dikhawatirkan akan memberikan dampak merugikan bagi masyarakat atau akan kembali meneguhkan pandangan hutan sebagai sumber daya ekonomi semata. REDD lebih mungkin untuk dilakukan dengan sistem hukum nasional dibandingkan dengan memakai sistem hukum lainnya, seperti hukum adat (Cotula, Mayers, 2009:16). Proses pengintegrasian dan penyelarasan skema REDD ke dalam kebijakan kehutanan atau pemanfaatan lahan karena menjadi hal penting dilakukan. Tulisan di bawah akan membahas tanggapan kebijakan pemerintah (pusat) Indonesia atas isu perubahan iklim dan atau REDD. Tanggapan yang dimaksud berupa perencanaan kebijakan pembangunan dan pelaksanaan kebijakan, yang dalam buku ini dilihat dalam tiga aspek, yaitu: peraturan perundang-undangan yang dibuat, kelembagaan yang dibentuk dan anggaran yang dialokasikan. Tulisan ini akan dibagi ke dalam beberapa subtema, yakni terlebih dahulu membicarakan tanggapan kebijakan atas soal perubahan iklim, dengan melihat sisi perencanaan kebijakan dan pelaksanaan kebijakannya. Subtema selanjutnya akan lebih detail lagi membahas soal REDD dengan juga membaginya dalam dua pembahasan, yaitu perencanaan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan. 3.2 Tanggapan kebijakan pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim Keterlibatan Indonesia dalam perundingan perubahan iklim di bawah payung UNFCCC semakin kuat setelah menjadi tuan rumah COP 13/MOP 11 pada bulan Desember 2007 di Bali. Tidak hanya tuan rumah, Pemerintah Indonesia juga mengusulkan sebuah peta jalan bernama Bali Action Plan 100 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? yang isinya antara lain adalah mendorong lahirnya sebuah kesepakatan internasional pasca-Protokol Kyoto serta pentingnya sektor hutan dalam strategi mitigasi perubahan iklim dengan memperluas usulan awal dalam skema ini, yakni RED, menjadi REDD, dengan menambahkan “Degradation” sebagai “D” kedua.71 Sejak saat itu, tanggapan Indonesia dalam soal perubahan iklim berjalan cepat dan dalam. Tingginya kepentingan Indonesia dalam soal REDD ini telah mendorong pemerintah Indonesia untuk semakin “mendomestikan” piranti-piranti dalam perjanjian internasional dalam soal perubahan iklim. Domestifikasi piranti-piranti dalam perjanjian internasional dalam soal perubahan iklim sendiri sangat direkomendasikan oleh Konvensi Perubahan Iklim agar dilakukan oleh masing-masing pihak negara.72 Dalam prosesnya, domestifikasi itu harus memperhatikan benar pertumbuhan ekonomi sebagai dasar utama merespon perubahan iklim. (a) Rencana Kebijakan Penulis akan melihat pada 2 dokumen Repelita yang mencandrakan periode ini, yakni Repelita V (1989/90 – 1993/94) serta Repelita VI (1994/95 – 1998/99) serta 1 dokumen Propenas atau Program Pembangunan nasional 2000 – 2004 dan turunannya. Selain itu akan ditelusuri juga RPJP, RPJM dan RKP tahun 2005 – 2010. Pembatasan pada REPELITA V didasarkan pada alasan lahirnya UNFCCC serta ditandatanganinya UNFCCC oleh Indonesia pada tahun 1992 (i) REPELITA V dan VI Dari penelusuran dua dokumen REPELITA tersebut ternyata pemerintah Indonesia sudah menyadari soal perubahan iklim dan dampaknya bagi pembangunan. Ia hadir dalam latar belakang sebagai pertimbangan perencanaan pembangunan; namun sayangnya luput ketika masuk ke dalam program-program pembangunan. Pemerintah hanya mendekati persoalan perubahan iklim dalam kaca mata terbatas, hanya dilihat dalam soal teknis, yakni Program Pengembangan Meteorologi dan Geofisika yang hadir didalam REPELITA V. 73 Pemerintah belum sampai memikirkan bagaimana mengantisipasi dan mengintegrasikannya ke dalam kebijakan pembangunan lainnya. Program Pengembangan Metereologi dan Geofisika ini, walaupun terbatas, tetapi pada REPELITA VI,74 oleh pemerintah telah dihubungkan dengan adanya kesadaran di tingkat internasional untuk menjaga 71 72 73 74 Lihat bab 2.2 dan 2.3 untuk penjelasan mengenai UNFCCC, Bali Roadmap dan Protokol Kyoto. Pasal 3 Paragraf 4 Kerangka Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim. Ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1989 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima (1989/90 - 1993/94). Ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1994 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam (1994/95 - 1998/99). Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 101 lingkungan hidup global dalam hal ini antisipasi pemanasan suhu bumi. Program ini tidak lagi hanya merupakan kebijakan untuk menanggapi kepentingan domestik/dalam negeri Indonesia, tetapi sudah ada kesadaran untuk menghubungkannya dengan perundingan di tingkat internasional terkait perubahan iklim. Catatan penting pada Program Pengembangan Meteorologi dan Geofisika ini adalah merupakan satusatunya program pemerintah yang secara konsisten dimunculkan dalam dokumen perencanaan pembangunan hingga tahun 2010. (ii) PROPENAS 2000 – 2004 dan REPETA 2004 Tidak ada indikasi yang mengarah pada usaha pengantisipasian perubahan iklim pada tingkat kebijakan dalam PROPENAS 2000 2004,75 namun pengantisipasian perubahan iklim itu masuk ke dalam REPETA (Rencana Pembangunan Tahunan) 2004. Dalam REPETA 2004, sebagai turunan dari Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup, ada 3 kegiatan pokok yang akan dilakukan, yakni (1) Menyusun strategi dan program mitigasi LH serta adaptasi terhadap perubahan iklim global; (2) Mengembangkan kajian perubahan iklim dan pemanasan global; serta (3) Merintis penerapan skema Clean Development Mechanism (CDM) dalam rangka memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan Konvensi Perubahan Iklim Global (UNFCCC). Usaha mengantisipasi perubahan iklim itu dilihat oleh REPETA 2004 sebagai pekerjaan lintar sektoral dengan mendaftar sejumlah instansi pemerintah sebagai instansi pelaksana lengkap dengan alokasi pembiayaannya.76 Dari REPETA 2004 itu juga terlihat bahwa isu perubahan iklim semakin dekat dalam perencanaan kebijakan pemerintah Indonesia dan memilih skema mitigasi perubahan iklim berupa CDM sebagai penghubung pertama isu perubahan iklim di tingkat global dengan perencanaan kebijakan pembangunan di Indonesia. (iii) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 Dokumen perencanaan pembangunan nasional berupa RPJP 2005 – 2025 ini dikukuhkan dengan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025. RPJP Nasional merupakan dokumen perencanaan sebagai pengganti hilangnya GBHN. Ia merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden. RPJP Nasional ini merupakan pedoman bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional serta acuan bagi penyusunan 75 76 Ditetapkan dengan UU No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000 – 2004. Depperindag, Kantor Meneg Budpar, Deptan, Dephut, Dept Energi dan SD Mineral, Dep. Kelautan dan Perikanan, Dephub, Kantor Meneg LH, BAPETEN, BATAN, Kantor Meneg Ristek, Depdagri, Depkimpraswil, Depkes, BPPT, LIPI, Depnakertrans. 102 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? RPJP daerah. Sementara itu, RPJM Nasional menjadi pedoman bagi penyusunan RKP tahunan dan RKP tahunan menjadi acuan bagi penyusunan APBN. Dalam RPJP Nasional ini, perubahan iklim dan pemanasan global dianggap sebagai tantangan bagi keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Dalam bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup, RPJP Nasional ini menyebutkan bahwa jasa-jasa lingkungan adalah penopang hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan itu adalah keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan air secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih. (iv) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004 – 2009 RPJM 2004 – 2009 ini merupakan penjabaran visi, misi dan program presiden yang terpilih pada Pemilu tahun 2004. Ia merupakan acuan bagi a.Kementerian/Lembaga dalam menyusun Rencana Strategis Kementerian/Lembaga; b. Pemerintah Daerah dalam menyusun RPJM Daerah; dan c. Pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah. RPJM Nasional 2004-2009 ini dikukuhkan ke dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005. Dilihat dari waktu kelahirannya, RPJM ini disusun terlebih dahulu sebelum ada RPJP Nasional. RPJM 2004 – 2009 melihat ada tiga isu yang masuk ke dalam kategori “permasalahan” dalam pengelolaan SDA/lingkungan hidup. Ketiga isu itu adalah soal belum dilakukannya adaptasi kebijakan terhadap perubahan iklim dan pemanasan global, alternatif pendanaan lingkungan belum dikembangkan dan belum dipahaminya serta diterapkannya isu lingkungan global ke dalam pembangunan nasional dan daerah. Masalah utama dalam permasalahan pertama adalah adaptasi terhadap perubahan iklim belum dilakukan. Perubahan iklim belum menjadi pertimbangan di dalam kebijakan kesehatan, pemukiman, pertanian dan tata ruang. Padahal perubahan iklim, dalam keyakinan Pemerintah Indonesia, sudah ada buktinya, yakni berupa el nino dan la nina dimana Indonesia pasti mendapatkan dampak buruknya. Di sisi lain, ternyata, menurut Pemerintah Indonesia, Indonesia dapat menarik untung dari isu perubahan iklim, terutama karena Indonesia sudah meratifikasi Protokol Kyoto yang memungkinkan negara maju menurunkan emisinya dengan menanamkan investasi berupa CDM di negara-negara berkembang.77 Indonesia merasa peluang itu belum begitu dimaksimalkan yang juga tampak dari sedikitnya alternatif pendanaan lingkungan yang ada di Indonesia. CDM, DNS (Debt for Nature Swap) dan green tax tidak banyak peluang bergerak karena kakunya sistem keuangan di Indonesia. 77 Lihat bab 2 untuk penjelasan mengenai CDM. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 103 Setelah masalah dikenali, RPJM 2004 – 2009 menetapkan sasaran utama berupa mengarusutamakan konsep pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Bisa dikatakan isu lama yang terus digaungkan kembali. Dari sasaran utama itu lahir sasaran lain yang sifatnya sektoral, yaitu: kehutanan, kelautan, pertambangan dan sumber daya mineral, dan lingkungan hidup. Semua isu perubahan iklim pembunyiannya ada di dalam sektor lingkungan hidup. Tidak ada sasaran (dan kemudian program) yang ada kaitannya dengan perubahan iklim di dalam sektor kehutanan serta kelautan atau pertambangan dan sumber daya mineral. Kedua permasalahan sebagaimana disebutkan di atas dicarikan jalan keluarnya dengan dibuatkan program pembangunan sebagaimana tampak dalam tabel: Tabel 3.1. RPJM 2004 - 2009 Permasalahan Perubahan Iklim/ Pemanasan global Belum dilakukan Adaptasi Perubahan Iklim Program Pembangunan Kegiatan Pokok Program Perlindungan dan Konservasi Sumber daya alam 1. Pengkajian dampak hujan asam (acid deposition) di sektor pertanian Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan lingkungan Hidup 2. Pengkajian mendalam terhadap dampak perubahan iklim global dan upaya antisipasinya pada sektor-sektor prioritas Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan lingkungan Hidup 3. Adaptasi dampak perubahan iklim pada rencana strategis sektor maupun rencana pembangunan daerah Belum berkembangnya Program Pengendalian Alternatif Pendanaan Pencemaran dan Lingkungan Perusakan lingkungan Hidup 3. Perumusan aturan dan mekanisme pelaksanaan tentang alternatif pendanaan lingkungan, seperti DNS (debt for nature swap), CDM (Clean Development 104 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Mechanism), retribusi lingkungan, dan sebagainya. Titik fokus RPJM 2004-2009 dalam soal perubahan iklim ini berada pada sisi adaptasi perubahan iklim – dan bukan di sisi mitigasi perubahan iklim – yang seterusnya akan mewarnai penyusunan RKP 2006 – 2010. CDM yang sebenarnya masuk dalam skema mitigasi perubahan iklim, ternyata oleh pemerintah ditempat dalam kebijakan pendanaan lingkungan hidup yang disamakan posisinya dengan skema pendanaan lingkungan hidup lainnya seperti Debt for Nature Swaps (DNS). (v) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2005 Menelusuri RKP bukan hanya penting untuk melihat program apa yang akan dikerjakan oleh pemerintah pada tahun tertentu, tetapi juga dapat mengetahui pembagian alokasi anggaran dalam APBN. RKP merupakan pedoman bagi penyusunan APBN dan pada saat yang sama mengacu pada RPJM Nasional. Catatan penting terkait dengan RKP 2005 ini adalah bahwa ia tidak mengacu kepada RPJM 2005 – 2009, yang memang pada waktu itu belum disusun. Tapi mengacu kepada Rencana Pembangunan Nasional (Repenas) Transisi yang berwawasan lima tahun ke depan, terutama pada tahun-tahun awalnya. Tapi RKP 2005 ini tetap menjadi acuan bagi penyusunan APBN 2005. Dari penelusuran pada RKP 2005 ini, penulis hanya menemukan 2 kali frase perubahan iklim dan pemanasan global dibunyikan. Pertama, ketika menjelaskan perbedaan antara perubahan iklim dan pemanasan global; dan kedua, muncul sebagai salah satu kegiatan pokok berupa Perumusan Kebijakan untuk mengadaptasi perubahan iklim yang merupakan turunan dari Program Pembangunan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup. Kegiatan pokok lain yang berhubungan dengan isu perubahan iklim adalah inventarisasi dan pengendalian pencemaran dari bahanbahan perusak ozon (ozon depleting substances) dan inventarisasi dan persiapan kegiatan melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism). Keduanya merupakan usaha untuk menarik pendanaan global yang berasal dari perjanjian internasional berupa Protokol Montreal dan Protokol Kyoto. Untuk Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup ini disediakan pagu sebesar Rp 143 miliar lebih, yang dibagi-bagi di antara beberapa lembaga pemerintah (ESDM, MENLH, LIPI, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Lainnya). Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 105 (vi) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 200678 Penelusuran pada bab soal lingkungan hidup dan SDA dalam RKP 2006 ditemukan adanya kegiatan pokok yang berhubungan langsung dengan perubahan iklim, yakni berupa Pengkajian mekanisme adaptasi dampak perubahan iklim pada rencana strategis sektor maupun rencana pembangunan daerah dan Pengkajian aturan dan mekanisme DNS dan CDM. Yang menarik adalah Departemen Kehutanan tidak masuk sebagai instansi yang mendapatkan alokasi dana untuk melaksanakan kegiatan pokok ini. Instansi yang mengerjakan kegiatan pokok yang merupakan turunan dari program pembangunan “Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup” ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen ESDM, LIPI dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Sebagaimana diketahui bahwa setidaknya ada 4 program dalam RPJM 2004 – 2009 yang dapat dihubungkan dengan isu perubahan iklim dan hanya Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan lingkungan Hidup yang memiliki kegiatan pokok yang langsung menyebutkan hubungannya dengan perubahan iklim; yang juga muncul dalam RKP 2006 dengan kegiatan pokok yang lebih rinci. Tiga program lainnya merencanakan kegiatan pokok yang lebih umum. Ambil contohnya soal kegiatan yang ada di dalam program Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, berupa pengesahan, penerapan dan pemantauan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup yang telah disahkan, yang ada di dalam RPJM 2004 – 2009. Ternyata hal yang sama muncul di dalam RKP 2006, tetapi kegiatannya masih umum bahkan secara gramatika sama persis dengan apa yang di dalam RPJM 2004 – 2009. Tidak ada kegiatan pokok dalam RKP 2006 dari Program ini yang jauh lebih rinci. Dalam RKP ini, jelas terlihat bahwa pemerintah tidak memperhitungkan skema mitigasi yang di tahun sebelumnya dimasukkan dalam kegiatan pokok dalam program pembangunan tahun 2005. Pemilihan pada sisi adaptasi memang sesuai dengan posisi Indonesia yang merupakan negara Non-Annex dalam payung UNFCCC. Dengan memilih adaptasi, pemerintah sebenarnya telah berjalan di jalan yang benar. Indonesia bukanlah negara yang diharuskan menurunkan emisi, tapi karena posisinya sebagai negara kepulauan, Indonesia harus menyiapkan diri agar bisa menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim. Namun memang menjadi masalah tersendiri karena program-program mitigasi iklim yang dijalankan pada tahuntahun sebelumnya seperti tidak ada keberlanjutannya. 78 Ditetapkan dengan Peraturan Presiden No 39 Tahun 2005. 106 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? (vii) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 200779 Dalam RKP 2007 ini, tidak ada lagi pembunyian “perubahan iklim” atau “pemanasan global”; tidak ada lagi usaha-usaha, misalnya dalam pengendalian kerusakan lingkungan yang memang ditujukan atau dalam rangka antisipasi perubahan iklim. Ini tentu agak mengejutkan. Memang ada penyebutan soal “iklim”, tapi fokus kegiatan yang dimaksud masuk ke dalam usaha penyediaan informasi yang cepat dan tepat untuk mengantisipasi dampak bencana alam yang berasal dari variabilitas iklim yang ada di negara kepulauan Indonesia. Kegiatan yang muncul, misalnya saja, Pembangunan Sistem Peringatan Dini Meteorologi, serta informasi iklim untuk bidang pertanian. Ini merupakan bentuk lain dari pengembangan metereologi dan geofisika yang sudah ada sejak jaman REPELITA. Yang banyak hadir adalah kebijakan-kebijakan dalam lingkungan hidup dan energi yang bersifat “umum” dan sudah disebutkan dalam RKP sebelumnya. Misalnya saja adalah pengembangan energi terbarukan lewat biofuel yang masuk dalam fokus 4 Pengembangan SDA untuk Energi Terbarukan yang ada di dalam Prioritas Pembangunan III berupa Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Perdesaan. Atau kegiatan pengendalian kebakaran hutan, Peningkatan rehabilitasi hutan dan lahan, khususnya DAS-DAS prioritas, percepatan pembentukan KPH (Dephut); rehabilitasi hutan dan lahan serta penyediaan informasi lingkungan (Kemeneg LH). (viii) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 200880 Untungnya, frase “perubahan iklim” kembali hadir di dalam RKP 2008, terutama dalam bab Perbaikan Pengelolaan Sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, yakni di dalam pembicaraan mengenai lingkungan hidup dan pengembangan metereologi dan geofisika. Dalam soal Pengembangan Metereologi dan Geofisika ini ada informasi yang cukup membanggakan yang menunjukkan bahwa “..penelitian tentang perubahan iklim dan dampak sosio-ekonomi dalam rentang waktu tahun 1900-2000 serta skenario perubahannya pada rentang waktu tahun 2000-2010 untuk skala kabupaten juga telah dilakukan..” Selain itu adaptasi kebijakan atas perubahan iklim dan belum adanya sistem peringatan dini soal cuaca dan iklim ekstrim menjadi dua soal masalah yang dicoba dicarikan kegiatan untuk diselesaikan. Berikut tabel yang menunjukkan kembali munculnya isu perubahan iklim di dalam radar dokumen perencanaan kebijakan pembangunan pemerintah. Tidak semata kehadiran kembali, tetapi kehadiran yang 79 80 Ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2006. Ditetapkan dengan peraturan Presiden No. 18 Tahun 2007. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 107 semarak. Muncul dengan target dan sasaran yang lebih kuantitatif, lengkap dengan penunjukan instansi pelaksananya. Target yang lebih kuantitatif sebenarnya menunjukkan bahwa pemerintah sudah percaya diri dalam merengkuh isu perubahan iklim ini dengan mengintegrasikan ke dalam kebijakan pembangunan tahunannya. Tabel 3.2. RKP 2008 RKP 2008 Sasaran (indikator) Instansi Pelaksana Program Kegiatan Pokok Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Pengendalian dampak perubahan iklim dengan peningkatan kinerja pelaksanaan CDM di 5 provinsi Kemeneg LH, Dep.ESDM, LIPI, BATAN Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Pengembangan debt swaps bidang lingkungan hidup (DNS). Kemeneg LH, Dephut, Dep. ESDM, Kemeneg PDT Program Pengembangan dan Pembinaan Meteorologi dan Geofisika Pengembangan penelitian meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Pengembangan perangkat ekonomi dan pendanaan lingkungan Pengembangan sistem data dan informasi meteorologi, klimatologi, dan geofisika. 108 Tersusunnya BMG laporan deteksi dan skenario perubahan iklim serta dampaknya di 45 kabupaten dan model prakiraan trayektori air polutan di 5 kota besar. Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? (ix)Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 200981 Dalam RKP tahun 2009 ini, isu perubahan iklim semakin dianggap penting untuk ditanggapi dalam bentuk kebijakan oleh pemerintah. Ia dianggap sebagai salah satu masalah dan tantangan dalam pembangunan Indonesia terutama karena kaitannya dengan ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya air dan energi. Tantangan itu harus ditanggapi dengan: (1) melengkapi dan lebih mengakuratkan pendataan dan permodelan iklim regional untuk Indonesia; (2) memperbaiki pengintegrasian tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, termasuk pengurangan resiko bencana ke dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah;(3) meningkatkan dan menseragamkan kepedulian dan pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah yang masih rendah dan belum seragam dalam soal adapasi dan mitigasi perubahan iklim serta pengurangan resiko bencana; serta (4) meningkatkan koordinasi antar lembaga dalam menangani perubahan iklim dan pengurangan resiko bencana dengan memanfaatkan struktur institusi yang sudah ada. Setelah tantangan dikenali maka RKP 2009 membuat arahan dan fokus kegiatan yang ada hubungannya dengan antisipasi perubahan iklim, yakni fokus berupa Peningkatan Kapasitas Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Ada sekitar 27 kegiatan yang dijalankan dalam fokus ini yang bidang kegiatannya merentang dari kegiatan pengembangan pertanian, energi, kehutanan, pengelolaan lingkungan hidup, metereologi dan geofisika, pengurangan resiko bencana, penataan ruang serta kelautan sampai dengan bidang keuangan negara (pengalokasian DAK). Dalam RKP 2009 ini perundingan soal perubahan iklim di tingkat internasional mulai dianggap penting oleh Departemen Luar Negeri. Secara khusus disinggung pula posisi Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan COP 13 UNFCCC, di Bali pada bulan Desember 2007, sebagai bukti komitmen Indonesia dalam “…menyelamatkan kehidupan manusia dari perubahan iklim”. Anehnya, kegiatan Indonesia sebagai tuan rumah konferensi perubahan iklim (COP 13) di Bali itu, tidak disinggung sama sekali di dalam RKP 2007 (khususnya Bab 7) dan juga di dalam RKP 2008 (hanya disinggung soal pentingnya memperhatikan perundingan dalam bidang penyelamatan dan pengelolaan lingkungan hidup tanpa menyinggung UNFCCC). Dengan demikian, pentingnya penyelamatan manusia dari perubahan iklim dengan terlibat dalam UNFCCC serta juga memperjuangkan posisi Indonesia di dalam perundingan soal perubahan iklim bisa dikatakan baru disadari dua tahun kemudian setelah COP 13 tahun 2007 dilakukan. 81 Ditetapkan dengan Peraturan Presiden No 38 Tahun 2008. Merupakan RKP terakhir yang mengacu pada RPJM 2004-2009. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 109 Sayangnya, penyinggungan soal Indonesia menjadi tuan rumah dalam konferensi internasional terkait lingkungan hidup tidak diturunkan ke dalam kebijakan yang lebih rendah di tingkat Departemen Luar Negeri. Memang disebutkan bahwa memfasilitasi peningkatan kerja sama internasional dalam bidang lingkungan hidup menjadi salah satu arahan pembangunan di dalam RKP 2009 ini, tetapi ketika diturunkan lagi ke tingkat kegiatan pokok, soal ini tidak disebutkan lagi. Dalam Bab 18, disinggung mengenai turunnya produktivitas perikanan tangkap dan budidaya yang disebabkan oleh perubahan iklim dan bencana alam. Dalam bab yang juga mengatur soal kehutanan ini, sama sekali tidak ada penyinggungan perubahan iklim dengan apa yang terjadi pada sektor kehutanan, yang juga mengalami kemorosotan produksi. Nampaknya pemerintah melihat bahwa faktor yang menyebabkan kemorosotan produktivitas dalam sektor kehutanan lebih karena disebabkan pengelolaan kehutanan yang tidak baik. Perubahan iklim dianggap penting harus dihadapi karena pengaruhnya pada posisi Indonesia sebagai negara yang masih menggantungkan diri pada proses pemanfaatan sumber daya alam. Padahal, sumber daya alam/lingkungan akan menghadapi masalah besar akibat perubahan iklim ini. Sehingga perubahan iklim tidak baik buat pertumbuhan ekonomi, karena itu harus serius dihadapi. Perubahan iklim tidak pernah mendapatkan keistimewaan ini dalam bab 31 RKP 2009 yang membahas SDA dan lingkungan hidup seperti di dalam RKP tahun-tahun sebelumnya. Sekarang ia menjadi faktor penting bagi semua masalah, tantangan, arahan pembangunan yang mengatur soal SDA dan lingkungan hidup. Dalam RKP 2009-lah kemudian semua persoalan lingkungan hidup dan SDA, termasuk kehutanan, dibuhulkan ke dalam satu titik, yaitu perubahan iklim. Penulis menghitung 18 kali frase ‘perubahan iklim’ dan 8 kali kata “iklim” disebutkan dalam bab ini (ditambah 4 kali frase ‘perubahan iklim’ jika Matrik dimasukkan dalam bagian bab ini); sebuah jumlah yang luar biasa besar dari biasanya disebut di bawah angka 5 di RKP tahun-tahun sebelumnya. Dimasukkannya perubahan iklim sebagai “buhul” persoalan lingkungan hidup dan SDA ini memunculkan sedikitnya dua konsekuensi. Konsekuensi pertama adalah dibuatnya sasaran/arahan kebijakan “baru” yang dimaksudkan sebagai antisipasi perubahan iklim. Pengembangan konsep dan pelaksanaan pilot project REDD di dalam bidang kehutanan atau pengembangan upaya mitigasi (dan adaptasi) perubahan iklim di wilayah pesisir untuk bidang kelautan adalah dua contohnya. Konsekuensi kedua adalah ada kebijakan dan program/ kegiatan pokok pembangunan di tahun-tahun sebelumnya didekati atau dikaitkan peranannya (baik positif atau negatif) dengan perubahan iklim. Program pengendalian pencemaran lingkungan (PROKASIH, Program 110 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Langit Biru, PROPER, dan bahkan ADIPURA), misalnya, dicoba diberi warna baru dengan dikaitkan pada isu perubahan iklim. Namun, ketika masuk ke dalam matrik program RKP 2009, ada beberapa sasaran/arahan kebijakan yang menghilang, misalnya REDD tersebut. Namun, jika menilik pada bidang kehutanan, maka ada sasaran program (indikator pelaksanaan) yang berhubungan dengan antisipasi perubahan iklim, khususnya soal REDD, yakni pengevaluasian pada minimal 70% penggunaan dan perubahan kawasan (hutan) yang bermasalah serta pembentukan wilayah KPH di 28 wilayah provinsi. RKP 2009 merupakan RKP pertama yang merencanakan kebijakan mitigasi perubahan iklim, dari yang sebelumnya hanya soal adaptasi yang diperhatikan. Catatan lain, bidang kehutanan yang dalam kebijakan perubahan iklim sebelumnya jarang disinggung keterkaitannya (dengan menganggap CDM semata sebagai bagian dari pendanaan lingkungan), mulai dilihat keterkaitannya dalam soal mitigasi perubahan iklim dengan skema REDD atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Perlu dicatat pula, bahwa secara sektoral, pengembangan skema REDD ini sudah sejak tahun 2007 dikerjakan oleh Departemen Kehutanan. Pembunyian REDD di dalam RKP 2009 ini sebagai tindak lanjut hasil-hasil COP 13, Bali, Desember 2007. Nampaknya, ada semacam “kompetisi”, dari masing-masing sektoral agar kegiatan yang dulunya dilakukan dalam lingkup kecil sektor mereka diakui atau diperhatikan oleh Pemerintah sebagai kebijakan pemerintah. Sektor lain yang selalu dilihat keterkaitannya dengan perubahan iklim ini antara lain adalah soal kelautan, pertanian, lingkungan hidup dan perhubungan c.q. bidang metereologi dan geofisika. Catatan lain yang penting adalah pada RKP 2009 ini, pengurangan risiko bencana semakin diintegrasikan ke dalam kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dengan demikian, setidaknya ada dua fokus kegiatan dalam pembangunan yang awalnya tidak dilihat keterkaitannya dengan perubahan iklim, dengan RKP 2009 ini kedua fokus itu diberikan perhatiannya khusus dalam kaca mata perubahan iklim. Kedua fokus itu adalah bidang kehutanan dengan REDD-nya dan bidang pengurangan resiko bencana. (x) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 201482 Menarik untuk melihat bagian pendahuluan pada Buku I tentang prioritas nasional yang menjabarkan apa yang sudah dicapai kurun waktu lima tahun terakhir. Hampir semua pencapaian yang diceritakan adalah pencapaian di bidang ekonomi, seperti cerita pertumbuhan ekonomi yang tinggi, keberhasilan pembangunan infrastruktur, konsolidasi fiskal, dst. 82 Ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor No. 5 Tahun 2010. RPJM Nasional 2010 – 2014 merupakan penjabaran visi dan misi SBY-Boediono, sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2009 – 2014. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 111 Lingkungan hidup c.q. perubahan iklim ditempatkan sebagai tantangan pembangunan nasional yang harus dihadapi. Dalam tantangan nomor lima itu, RPJM 2010 – 2014 berkeyakinan pertumbuhan ekonomi tidak boleh merusak lingkungan tidak lain dan tidak bukan karena kerusakan lingkungan akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi tidak berkelanjutan. Rusaknya lingkungan mengakibatkan tingginya biaya hidup sehingga kualitas hidup turun disertai dengan munculnya epidemik dan penyakit saluran pernapasan. Perubahan iklim memperluas dimensi lingkungan hidup karena potensi merusaknya dalam bentuk bencana alam dan juga menurunnya produktivitas dari sumber daya alam. Berbeda dengan dokumen perencanaan pembangunan yang sudah dikutip sebelumnya dalam soal mendudukkan isu perubahan iklim, yang kebanyakan masih ditempatkan dalam bagian pertimbangan yang masih dianggap “jauh” dan belum saatnya untuk dihadapi, RPJM 20102014 ini melihat perubahan iklim sebagai salah satu “ancaman” bagi upaya Indonesia dalam mensejahterakan rakyatnya pada lima tahun mendatang. Satu ancaman lagi berasal dari krisis ekonomi global. Salah satu ancaman dari perubahan iklim ini adalah bahwa peningkatan kesadaran global dalam perubahan iklim telah menyebabkan negaranegara harus menyesuaikan pembangunannya dengan agenda perubahan iklim. Selain itu dampak dari perubahan iklim pada peningkatan harga pangan dan energi akan berkontribusi langsung pada sulitnya peningkatan kesejahteraan rakyat. Lalu apa yang ditawarkan sebagai solusi untuk menghadapi ancaman dari perubahan iklim? Terlihat dari misi Melanjutkan Pembangunan menuju Indonesia yang Sejahtera, bahwa untuk perubahan iklim akan dihadapi dengan “…kebijakan adaptasi dan mitigasi…melalui kebijakan antara lain: rehabilitasi hutan dan lahan, peningkatan pengelolaan daerah aliran sungai, dan pengembangan energi dan transportasi yang ramah lingkungan, pengendalian emisi gas rumah kaca(GRK) dan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan..” Peningkatan kapasitas dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ini juga dijadikan salah satu prioritas pembangunan dalam bidang SDA/lingkungan hidup. Di dalam RPJM 2010 – 2014 ini kembali diutarakan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 26% dari BAU (business as usual) pada tahun 2020 dengan usaha sendiri atau sebesar 41% jika ada dukungan dari dunia internasional. Dengan demikian, komitmen yang pada awalnya diucapkan oleh Presiden SBY pada saat pertemuan G-20 di Pittsburg itu menemukan landasan hukumnya. Karena itu pula perubahan iklim mewarnai di dalam banyak prioritas pembangunan. Ia hadir dalam prioritas ketahanan pangan, lingkungan hidup dan pengelolaan bencana dan Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi 112 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Teknologi. Perubahan iklim merupakan satu dari empat kebijakan lintas bidang (lainnya: penanggulangan kemiskinan, pembangunan kelautan berdimensi kepulauan, dan perlindungan anak) dimana dalam pelaksanaannya dilakukan lintas sektoral instansi pemerintah. Di dalam Bab X tentang SDA dan lingkungan hidup, prioritas pembangunan yang berkaitan langsung dengan perubahan iklim tidak hanya dalam bentuk peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, tetapi juga peningkatan kualitas informasi iklim dan bencana alam serta peningkatan kapasitas kelembagaan penanganan perubahan iklim. Jika diperhatikan dalam soal keberlanjutan program pembangunan yang merentang sejak REPELITA V, maka program peningkatan kualitas informasi iklim dan bencana alam merupakan program yang terus menerus ada dan dari tahun ke tahun, setelah peningkatan kuantitas, maka sekarang saatnya adalah meningkatkan kualitas hasil berupa informasi iklim dan bencana alam. Table 3.3. RPJM 2010-2014 Fokus Prioritas Indikator Strategi Peningkatan Kualitas Informasi Iklim, Cuaca dan Bencana Alam Lainnya, meningkatnya kapasitas pelayanan serta ketersediaan data dan informasi iklim, cuaca dan bencana alam lainnya yang cepat dan akurat Peningkatan Adaptasi dan Mitigasi terhadap Perubahan Iklim, meningkatnya kemampuan adaptasi dan mitigasi para pihak dalam menghadapi dampak perubahan iklim Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Penanganan Perubahan Iklim menguatnya kapasitas institusi dalam mengantisipasi dan menangani dampak perubahan iklim 1. peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan; 2. peningkatan akurasi jangkauan dan kecepatan penyampaian informasi dengan menambah dan membangun jaringan observasi, telekomunikasi dan sistem kalibrasi; 3. pendirian Pusat Basis Data dan informasi yang terintegrasi; 4. peningkatan kerja sama dan mengembangkan penelitian mengenai perubahan iklim dan resiko bencana alam; 5. penyediaan peta kerentanan wilayah Indonesia terhadap dampak perubahan iklim; 6. pendirian stasiun monitoring perubahan iklim di seluruh wilayah Indonesia; 7. pengembangan kebijakan dan peraturan perundangan mengenai perubahan iklim dan kebencanaan. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 113 Satu yang menarik dari RPJM 2010-2014 terkait dengan kebijakan perubahan iklim ini adalah, walaupun disebutkan sebagai salah satu sasaran prioritas dalam Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Bencana Alam serta Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, namun pendanaan alternatif untuk pengendalian dampak perubahan iklim, tidak lagi hadir dalam strategi untuk mencapai sasaran pembangunan tersebut. Sehingga tidak ada turunan kebijakan yang lebih rendah yang bisa diimplementasikan di lapangan. Pembunyian perubahan iklim lengkap dengan pembuatan program pembangunannya memang sudah ada di PROPENAS 2000 – 2004 yang juga didorong oleh semakin jelasnya insentif finansial dari dunia internasional: terlihat dari lahirnya CDM atau dimasukkannya penyimpanan karbon dalam PP 34/2002. Walaupun demikian, Dalam RPJM 2010-2014-lah isu perubahan iklim semakin dirasakan urgensinya untuk dihadapi dan diintegrasikan ke dalam kebijakan nasional/daerah karena potensi besarnya menghambat peningkatan kesejahteraan rakyat. perubahan iklim tidak baik bagi pertumbuhan ekonomi. Sisi mitigasi perubahan iklim, yang hanya muncul sedikit di dalam RPJM 2004 – 2009, mulai diperjelas keberadaanya di dalam kegiatan pembangunan. (xi) Rencana Kerja Pemerintah Tahun 201083 Perubahan iklim disinggung dalam masalah Sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dapat mengancam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang merupakan penopang jalannya pembangunan berkelanjutan. Dalam soal adaptasi dan mitigas perubahan iklim, RKP 2010 ini mencatat beberapa kemajuan yang dilakukan di tahun 2009. Selain soal peningkatan upaya pengarusutamaan perubahan iklim ke dalam seluruh sektor pembangunan, soal kemampauan adaptasi dan mitigasi di daerah-daerah yang rawan dampak perubahan iklim juga harus ditingkatkan. Upaya untuk mengarusutamakan perubahan iklim ke seluruh sektor pembangunan itu uniknya juga melahirkan pengklaiman yang hadir misalnya pada kegiatan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN), yang sejauh penulis baca di dalam dokumen perencanaan pembangunan seperti RKP sebelum RKP 2010 ini tidak pernah dilihat dalam hubungannya dengan isu perubahan iklim. Departemen Kehutanan-lah yang kemudian melihat GERHAN sebagai upaya antisipasi perubahan iklim. Padahal pada awalnya GERHAN ini bukanlah upaya antisipasi perubahan iklim. Sebagaimana terlihat dalam RPJM 2010 – 2014, yang memasukkan perubahan iklim, sebagai kebijakan lintas bidang, dalam RKP ini mulai 83 Ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2009. RKP 2010 ini merupakan RKP pertama yang mengacu kepada RPJM tahun 2010 - 2014 114 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? terlihat bagaimana masalah-masalah yang dulunya berdiri menjauh dari isu perubahan iklim mulai didekati. Contoh yang bisa diketengahkan adalah soal pengaruh perubahan iklim pada upaya penanggulangan kemiskinan, yang hadir dalam bentuk perubahan pola tanam bagi petani, rusaknya air dan sanitasi serta bencana alam. Atau bahkan pengaruh perubahan iklim pada peningkatan inflasi karena terganggunya produksi dan transportasi barang-barang. Perubahan iklim masuk ke dalam prioritas kelima kebijakan pembangunan di tahun 2010 berupa “Peningkatan kualitas pengelolaan SDA/Lingkungan hidup dan kapasitas pengelolaan perubahan iklim” yang salah satu arahnya adalah peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan bencana alam lainnya. Ada beberapa sasaran yang dikuantifikasikan seperti pengurangan hotspot kebakaran hutan sampai 10%, peningkatan pengelolaan 18 DAS, rehabilitasi hutan seluas 100.000 ha serta yang lebih bersifat kualitatif seperti peningkatan operasionalitas RTRWN-RTRW Provinsi dan kabupaten/kota serta RTR Pulau. Lalu apa program dan kegiatan pokok yang akan dilakukan oleh pemerintah terkait dengan perubahan iklim? Karena perubahan iklim sudah menjadi kebijakan yang lintas bidang dan menurut pertimbangan pemerintah telah memberikan dampak yang tidak baik bagi peningkatan kesejahteraan rakyat lewat pertumbuhan ekonomi, maka bidang yang dimasuki oleh isu perubahan iklim tidak lagi terbatas pada soal pengelolaan SDA dan lingkungan hidup (Bab 9). Namun, ia juga masuk ke dalam soal Ekonomi (Bab 2; dalam soal dampaknya pada inflasi dan penurunan kesejahteraan masyarakat serta kerja sama ekonomi internasional berupa kapasitas pendonor mitigasi perubahan iklim), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Bab 3; dalam soal penelitian mitigasi perubahan iklim bidang kelautan, penulisan soal perubahan iklim dalam jurnal, penelitian kebumian), Sarana dan Prasarana (Bab 4; dalam soal revitalisasi fungsi hidrologi, zonasi pantai tertentu, bangunan pengaman pantai), serta Wilayah dan Tata Ruang (Bab 8; dalam soal penyiapan strategi pengurangan bencana di wilayah rawan bencana, penintegrasian pengurangan resiko bencana dengan adaptasi/mitigasi perubahan iklim). Dalam Bab 9, ada dua prioritas dalam bidang SDA/lingkungan hidup ini, yakni (1) Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi serta (2) Peningkatan Kualitas dan Kelestarian Lingkungan Hidup. Sebagai perbandingan, dalam RKP 2009, misalnya, perubahan iklim hanya hadir di dalam prioritas kedua. Dalam RKP 2010 ini kedua prioritas itu berada di bawah payung isu perubahan iklim. Kedua prioritas itu kemudian diturunkan ke dalam 8 fokus, yaitu: (a) Peningkatan Ketahanan Pangan; (b) Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 115 dan Kehutanan; (c) Peningkatan Ketahanan Energi; (d) Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Air; (e) Peningkatan Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Alam; (f) Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan,; (g) Peningkatan Kualitas Daya Dukung Lingkungan Hidup; dan (h) Peningkatan Kapasitas Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Dari fokus bidang ini kemudian diturunkan ke dalam 113 item kegiatan yang terkait langsung/tidak langsung dengan perubahan iklim. Dalam fokus peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ada 16 item kegiatan yang akan dilakukan. Beberapa item yang penting dibuatkan dalam bentuk tabel: Tabel 3.4. RKP 2010 peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim Kegiatan Sasaran/indikator Instansi Pelaksana 1. mitigasi bencana lingkungan laut dan pesisir 1. Peningkatan ketahanan masyarakat terhadap bencana di 2 lokasi; 2. Peningkatan kapasitas perencanaan mitigasi bencana di 2 lokasi prioritas 3. Peningkatankapasitas perencanaan adaptasi perubahan iklim di 2 lokasi 4. green belt kawasan pesisir di 3 lokasi DKP 2. Pengendalian Kerusakan Lingkungan 1. Pengendalian kerusakan KLH hutan dan lahan di 8 provinsi di Sumatera dan Kalimantan yang rawan kebakaran 2. Perlindungan lapisan ozon melalui perhitungan jejak emisi karbon di 3 lokasi, 3. Pengembangan mitigasi kampung iklim di 3 lokasi, 4. Montoring dan evaluasi 16 proyek CDM, 30 ton ozon depleting potential (ODP) 5. Pelaksanaan Program Menuju Indonesia Hijau 116 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? 3. Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 1. Meningkatnya kinerja DNPI Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dengan tersedianya strategi pembangunan berkelanjutan rendah emisi di 4 sektor, kebijakan dan strategi perubahan iklim di bidang adaptasi, mitigasi, alih teknologi, pendanaan, post 2012, land use change and forestry, serta basis ilmiah dan inventarisasi GRK; 2. Koordinasi implementasi kebijakan, pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan pengendalian perubahan iklim; 3. Menguatnya posisi Indonesia di fora-fora internasional dalam pengendalian perubahan iklim Pengembangan Sistem Peringatan Dini Iklim (CEWS) 1. Terbangunnya Sistem BMKG Peringatan Dini Iklim (CEWS) yang meliputi antara lain, terpasangnya AWS 10 lokasi, ARG 10 lokasi, penakar hujan 1.000 lokasi. 2. Tersusunnya Peta dan Atlas mengenai Iklim sebanyak 3 pet Pengembangan Perubahan Iklim dan Kualitas Udara 1. Terlaksananya Workshop BMKG International on Climate Information Service in Supporting Mitigation and Adaptation to Climate Change in Infrastructure and Health Sector Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 117 Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan 1. Draft final peta Dephut penunjukan dan penetapan KH (Kawasan Hutan) di propinsi Riau dan Kalimantan Tengah (2 judul); 2. Data penetapan kawasan hutan yang sudah temu gelang di 33 propinsi (33 judul); 3. Laporan tindak lanjut hasil pencermatan permasalahan perubahan fungsi di 4 lokasi (4 judul); 4. Peta hasil telaahan permohonan perubahan fungsi dan peruntukan KH di 20 lokasi (20 judul). Pembangunan KPH 1. Draft SK penetapan Dephut wilayah KPHP dan KPHL di 4 propinsi (4 judul); 2. Data fasilitasi implementasi pembangunan KPH di 33 propinsi (33 judul); 3. Data monitoring dan evaluasi pembangunan KPH di 15 propinsi (15 judul). Inventarisasi Hutan dan Pengembangan Informasi SDA dan LH 1. Model penghitungan karbon tegakan hutan di 2 lokasi (2 judul) Pengembangan Hutan Tanaman dan Hutan Tanaman Rakyat Terwujudnya pemberian izin Dephut HTI/HTR kumulatif seluas 12,4 juta ha dan penanaman kumulatif seluas 6 juta ha (tahun 2010 HTI seluas 600.000 ha dan HTR seluas 200.000 ha) 118 Dephut Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? (b) Pelaksanaan Kebijakan Dalam soal pelaksanaan kebijakan terkait soal lingkungan hidup serta perubahan iklim, pemerintah berjalan maju. Hal ini bisa dilihat dari keterlibatan pemerintah Indonesia dalam soal lingkungan hidup global dengan menghadiri KTT Bumi di Rio de Jenairo, Brazil tahun 1992. Indonesia juga terlibat aktif menghadiri perundingan konvensi perubahan iklim. Posisi Indonesia dalam perundingan perubahan iklim, sebagaimana negara-negara Non-Annex lainnya, sebenarnya menjadi pihak yang pasif atau menjadi pihak yang menuntut pihak negara-negara Annex 1 agar bertindak mengurangi emisinya dan mengirimkan bantuan agar negaranegara berkembang dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun, perkembangan ekonomi yang luar biasa dari sebagai negara berkembang seperti China, India dan Brazil memunculkan ide agar negara-negara berkembang dengan ekonomi baik tersebut mulai dikenai kewajiban menurunkan emisi domestiknya sebagaimana negara-negara Annex 1. Amerika Serikat adalah aktor utama yang mendorong ide ini diwujudkan dalam setiap perundingan UNFCCC. Negara-negara berkembang mati-matian menolak ide tersebut. China, misalnya, beralasan, bahwa walaupun emisinya mengalahkan Amerika, namun secara emisi per kapita masih jauh di bawah Amerika. Yang menunjukkan bahwa pengurangan emisi di dalam negeri China – yang dapat dibaca dengan mengurangi pertumbuhan ekonomi – belum layak dilakukan karena masih banyaknya penduduk China yang miskin. Ini menjadi alasan utama penolakan tersebut. Copenhagen Accord yang dihasilkan dari perundingan panas COP 15 di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009 menjadi jalan tengah untuk menghindari “deadlock” yang dapat bermuara tidak adanya kesepakatan mengikat secara internasional pasca berakhirnya Protokol Kyoto di tahun 2012. Dalam Copenhagen Accord disebutkan bahwa diperlukan “deep cut emission” dari negera-negara Annex 1 yang dibarengi dengan usaha-usaha negara berkembang untuk secara sukarela menahan laju emisi domestik yang harus dimasukkan dalam NAPA mereka.84 Usulan pengurangan emisi secara sukarela ini harus dimasukkan ke sekretariat UNFCCC paling akhir pada Februari 2010. Pada titik inilah, Indonesia mengajukan usulan yang secara sukarela akan mengurangi emisinya sebanyak 26% pada tahun 2022 atau 41% jika penurunan emisi itu mendapatkan bantuan dari dunia internasional. Indonesia sangat yakin bahwa target 26% atau 41% itu dapat diwujudkan mengingat sebagaian besar emisi yang akan dikurangi berasal dari sektor kehutanan dan lahan gambut. 84 http://www.unfccc.int/resource/docs/2009/cop15/eng/l07.pdf (diakses 17-03-2010). lihat juga penjelasan Steni di bab 2. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 119 Indonesia sudah memiliki dokumen yang berisi road map atau peta jalan agar target itu tercapai. Misalnya adalah dokumen yang dibuat oleh Kementerian Keuangan dan Road Map Sectoral yang dibuat oleh Bappenas. Masalahnya adalah dokumen itu tidak memiliki kekuatan hukum apapun atau kekuatan pendorong agar Indonesia benar-benar melaksanakan target itu. Dokumen itu hanya menjadi arahan bagi terciptanya kebijakan yang lebih spesifik, termasuk penyusunan RPJM 2010-2014. Karena itu, Penulis tidak akan masuk ke dalam pembacaan dua dokumen itu, namun akan mengangkat kebijakan apa – yang direalisasikan dalam bentuk peraturan perundangan, pembentukan lembaga dan alokasi budget – yang disediakan oleh pemerintah agar target itu tercapai. Soal Pelaksanaan Kebijakan terkait perubahan iklim akan langsung dihubungkan dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait dengan REDD dalam bab berikutnya yang dimaksudkan agar lebih fokus. 3.3 Tanggapan Kebijakan Pemerintah Indonesia Terkait REDD Dalam dokumen perencanaan pemerintah yang penulis paparkan dalam bagian sebelumnya dapat dibaca dalam dua perspektif. Pertama, pemerintah Indonesia cukup berhati-hati untuk tidak segera menanggapi “kemajuan” perundingan UNFCCC yang mulai memasukkan sektor hutan dalam bagian mitigasi perubahan iklim. Namun, kedua, dengan semakin banyaknya tindakan yang diambil oleh pemerintah, termasuk komitmen penurunan emisi atau pembuatan dokumen-dokumen peta jalan penurunan emisi, bisa dilihat adanya keterlambatan memasukkannya ke dalam dokumen perencanaan pembangunan. Hal ini didasari oleh adanya hambatan dari program/kegiatan di tahun-tahun sebelumnya serta keterbatasan anggaran. Hal yang berbeda diperlihatkan pemerintah dalam menanggapi REDD. Sejak awal 2008, tanggapan kebijakan pemerintah soal REDD ini tampak jelas. (a) Rencana Kebijakan Pemerintah (i) Rencana Kebijakan di Pemerintah Pusat Pembacaan terhadap RKP 2006, 2007, dan 2008, tidak ditemukan pembunyian REDD atau program/kegiatan yang mengarah ke dalam pengembangan Skema REDD. Bahkan di dalam tiga RKP ini tidak disinggung secara spesifik keterlibatan Indonesia di dalam perundingan UNFCCC. Tidak ada penyinggungan posisi Indonesia sebagai tuan rumah untuk COP 13 di Bali pada Desember 2007 atau kegiatan-kegiatan pra perundingan untuk COP (terlibat di dalam perundingan badan-badan adhoc di dalam payung sekretariat UNFCCC seperti SABSTA, SBA, AWG-LC, dst). Nampaknya, keterlibatan sebagai tuan rumah atau terlibat aktif di dalam perundingan iklim dimasukkan sebagai kegiatan 120 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? “biasa” masing-masing sektoral (setidaknya tiga instansi, yaitu: Deplu, Kemeneg LH, Dephut). Tanggapan berbeda muncul dari pemerintah Indonesia terkait soal adaptasi/mitigasi di wilayah laut atau pesisir. Dalam soal kerjasama dengan negara lain, RKP 2008 secara jelas akan memfasilitasi kerja sama regional dengan tiga negara dalam dua kegiatan yang berbeda (yakni, Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) dengan Filipina dan Malaysia; dan kerjasama regional Bismarck Solomon Seas Ecoregion, dengan Papua Nugini). Tidak berhenti di sana, Kerja sama regional di bawah Coral Triangle Initiative (CTI) ini selalu dibunyikan keberadaannya sejak tahun 2005 (didukung dengan RKP 2006), dan seterusnya masuk di dalam RKP 2007, 2008, 2009 dan 2010. REDD tidak mendapatkan keistimewaan seperti itu. Pengembangan skema REDD baru hadir di dalam RKP 2009 sebagai tindak lanjut dari hasil perundingan UNFCCC (COP 13), Desember 2007 di Bali. Perlu dua tahun bagi pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan skema ini ke dalam rencana kerja pembangunannya. Pengembangan skema REDD berupa pelaksanaan pilot project REDD ini masuk ke dalam kegiatan pokok berupa inventarisasi hutan dan pengembangan informasi lingkungan hidup dimana sasaran dari kegiatan ini adalah, salah satunya, penyiapan implementasi REDD. Ia masuk ke dalam program peningkatan kualitas dan akses informasi SDA dan lingkungan hidup dimana ada 4 institusi pelaksananya (Dephut, Kemeneg LH, ESDM, BAKOSURTANAL) dengan alokasi bujet yang cukup besar (Rp. 170 Miliar lebih). Namun penyiapan implementasi REDD kemungkinan besar akan dilakukan oleh Dephut sehingga alokasi bujet bagi pelaksanaan REDD tidaklah sebesar itu. Sayangnya, pengimplementasian REDD itu menghilang di RKP 2010 di tengah semaraknya isu perubahan iklim yang mewarnai hampir semua isu pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Ia hanya muncul dalam kegiatan-kegiatan kecil dan terpisah yang punya sasaran seperti kajian model penghitungan karbon tegakan hutan yang bisa diinterpretasikan ada hubungannya dengan implementasi REDD. Atau dalam kegiatan berupa tindak lanjut dari penataan batas kawasan hutan yang dikerjakan oleh Departemen Kehutanan. Ia tidak lagi muncul secara mandiri dan percaya diri sebagaimana muncul di RKP 2009. Sehingga, keberlanjutan dukungan pemerintah pada implementasi REDD ini dipertanyakan. (1) Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2008 Tapi, memang ada banyak inisiatif pembangunan yang terlalu sulit untuk diantisipasi jika hanya diarahkan dalam bentuk perencanaan kebijakan berupa RKP. Apalagi RKP untuk tahun tertentu Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 121 penyusunannya dilakukan tahun sebelumnya; sehingga bisa jadi ada kejadian luar biasa antara waktu selesai penyusunan RKP dengan waktu pelaksanaan RKP yang perlu diantisipasi segera. Nampaknya REDD masuk dalam kriteria ini. Setelah sama sekali tidak disebut di dalam RKP 2008, REDD muncul kembali dalam sebuah aturan Inpres No. 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008 – 2009 yang dikeluarkan oleh presiden tanggal 22 Mei 2008. Inpres ini dalam kacamatan penulis merupakan salah satu bentuk perencanaan kebijakan karena isinya berupa arahan dan perintah pada masing-masing instansi pemerintah. Inpres No. 5 Tahun 2008 memandatkan kepada Menko Perekonomian untuk mengkoordinasikan kegiatan yang dilakukan oleh menteri, kepala lembaga dan gubernur. Macam kegiatan yang harus dikerjakan oleh para menteri, kepala lembaga dan gubernur ini diatur di dalam lampiran Inpres ini. Salah satu kegiatan itu adalah melaksanakan REDD yang berada di bawah program percepatan pengurangan emisi dalam kebijakan Peningkatan Kualitas Lingkungan. Ada 4 kegiatan yang dianggap sebagai program penurunan emisi ini, yaitu: melaksanakan REDD, melaksanakan DNS, mendorong pelaksanaan CDM dan pemanfaatan energi panas bumi untuk listrik. Keluaran yang diharapkan hadir dari pelaksanaan REDD ini adalah “..peraturan bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup mengenai program dan mekanisme kerja pengurangan emisi dari deforestation…”. Kedua menteri ini juga ditunjuk sebagai penanggung jawabnya. Keluaran ini ditenggatkan hadir pada Desember 2008. Jika dibandingkan dengan RKP 2008, sebenarnya kelahiran Inpres yang mengintruksikan dilakukannya REDD merupakan terobosan besar. Bisa dikatakan ini bentuk pemokusan kebijakan yang diambil oleh Presiden tanpa melihat pada RKP 2008 yang sudah disusunnya. Presiden tidak bisa dikatakan menyalahi aturan dengan mengeluarkan Inpres yang isinya mengatur kegiatan yang tidak ada di dalam Perpres soal RKP 2008; namun ini semakin menegaskan bahwa kebijakan REDD diambil secara impulsif, tanpa ada didesain terlebih dahulu. Bisa dilihat dari target program ini yang berupa terjadinya penurunan emisi. Bagaimana mungkin itu dilakukan pada saat skema REDD-nya sendiri baru digodok dan belum disepakati oleh komunitas internasional? Adanya pencantuman target itu menunjukkan bahwa pemerintah masih meraba-raba skema bernama REDD itu. Bukan berarti Inpres ini tidak ada sisi positifnya. Instruksi Presiden ini telah memerintahkan Menko Perekonomian untuk mengkoordinasikan kegiatan dua menteri (Kehutanan dan Lingkungan Hidup) untuk membuat program REDD. Ini menunjukkan bahwa REDD tidak bisa 122 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? dilakukan oleh satu departemen sektoral saja. Ia membutuhkan kerja sama setidaknya dua departemen itu. Namun, ada yang aneh dalam Inpres 5/2008. Kementrian Lingkungan Hidup tidak disebutkan dalam urutan pihak yang menerima instruksi. Tapi tetap ditempatkan sebagai pihak yang menerima tanggung jawab untuk membuat peraturan bersama Menhut terkait REDD. KemenLH memang tidak dicantumkan dalam Inpres tentang fokus pembangunan ekonomi itu karena koordinator KemenLH bukanlah Menko Perekonomian, melainkan Menko Kesra. Di sisi lain, Menko Kesra sendiri tidak “disuruh” oleh presiden untuk mengkoordinasi KemenLH untuk melaksanakan REDD bersama-sama dengan Menhut. Sejauh mana hal itu jadi pengaruh? Yang pasti, target berupa peraturan bersama Menhut dan Men-LH, kita ketahui bersama, tidak tercapai. Menhutlah yang kemudian yang mengambil inisiatif dengan mengatur “sendiri” aturan yang terkait dengan REDD (Bulan Desember 2008, lahir Permenhut 68/2009 tentang DA REDD). (ii) Rencana Kebijakan di Departemen Kehutanan Sama halnya ketika bicara soal dokumen perencanaan pembangunan pemerintah, penjelasan atas dokumen perencanaan yang ada di dalam Departemen Kehutanan akan dilakukan dengan cara kronologis dan tidak berdasarkan pembedaan termin (jangka panjang, menengah dan tahunan) (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan 2006 – 2025 Jika kita membaca Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan 2006 – 2025 atau RPJP Kehutanan 2006 - 2025, Departemen Kehutanan sepertinya melihat faktor perubahan iklim sebagai “penyebab”. 85 Dalam soal pengelolaan kehutanan, Departemen Kehutanan melihat bahwa peningkatan frekuensi kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh pemanfaatan kayu dari hutan alam yang tidak terkendali dan konversi hutan besar-besaran dan situasi ini diperparah dengan berubahnya iklim global. Tidak ada posisi yang melihat bahwa kebakaran hutan dan lahan juga menjadi penyumbang terbesar peningkatan emisi Indonesia atau secara global menyumbang setidaknya 20% dari emisi global di tahun 2005. (2) Rencana Strategis Kementerian/lembaga Departemen Kehutanan tahun 2005 – 2009 Dalam Rencana Strategis Kementerian/lembaga Departemen Kehutanan tahun 2005 – 2009 (penyempurnaan) tidak ada satupun kebijakan yang menyebut REDD atau bahkan perubahan iklim. 85 Ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.27/Menhut-II/2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan 2006 – 2025. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 123 Hanya saja di dalam paragraf awal Renstra KL Dephut ini disebutkan fungsi hutan sebagai penyeimbang iklim. 86 Pandangan yang jauh lebih “lembut’ daripada pandangan di dalam RPJP Kehutanan 2006 – 2025 yang menyebut perubahan iklim sebagai penyebab. (3) Rencana Kerja (Renja) Departemen Kehutanan tahun 2007 Skema REDD sebenarnya sudah dikembangkan oleh Departemen Kehutanan, setidaknya sejak tahun 2007 yang ditandai dengan lahirnya IFCA atau Indonesia Forest Climate Alliance yang melahirkan dokumen strategi REDD Indonesia dan keaktifannya dalam fora internasional yang membicarakan soal perubahan iklim dan hutan. Bahkan IFCA sudah menyusun Peta Jalan pelaksanaan REDD Indonesia dari tahun 2007 sampai dengan implementasi penuh di tahun 2012. Tapi penelusuran pada dokumen Rencana Kerja Departemen Kehutanan tahun 2007, tidak ada satu pun rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh Dephut terkait dengan perubahan iklim atau spesifik REDD. Rencana kegiatan yang dicantumkan merupakan tugas dan kewenangan Departemen Kehutanan dalam mengurus soal kehutanan, tanpa ada embel-embel perubahan iklim dan peranan hutan sebagai penyerap/penyimpan dan penghasil emisi karbon. (4) Rencana Kerja (Renja) Departemen Kehutanan tahun 2008 Dalam Renja Dephut tahun 2008, sebenarnya tidak ada kegiatan yang secara spesifik dikaitkan dengan isu mitigasi perubahan iklim berupa REDD. Sepertinya Renja Dephut 2008 ini mengikuti benar acuan di dalam RKP 2008. Tapi skema REDD memang sedang primadona dalam isu perubahan iklim di tingkat internasional. Indonesia, dengan potensi luas kawasan hutannya yang terluas ketiga di dunia (137, 09 juta ha) dengan laju deforestasi yang mencapai 1,3 juta/pertahun serta lahan gambut yang mencapai 17 juta ha atau 10 % luas Negara Indonesia, tentu tidak bisa (atau ingin) tinggal diam. Lalu terbitlah satu kegiatan yang keluaran/indikatornya adalah 80% Paket IPTEK Teknologi dan Kelembagaan Pemanfaatan Jasa Hutan sebagai Penyerap karbon, yang berada di bawah program penelitian dan pengembangan IPTEK, dengan kegiatan pokok berupa penelitian dan Pengembangan Kehutanan yang disisipkan dalam kegiatan tahun 2008 berupa Litbang Pemanfaatan dan pemasaran jasa hutan. Penanggung jawab program ini ada di bawah Balitbang Dephut dengan koordinasi dengan Dirjen RLPS, Ditjen PHKA, Ditjen BPK dan Setjen Baplan. 86 Ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 58/Menhut-II/2006 tentang Rencana Strategis Kementerian/lembaga Departemen Kehutanan 2005- 2009. Dokumen Renstra KL ini merupakan penyempurnaan dari Renstra KL 2005 – 2009 sebelumnya yang ditetapkan dengan Permenhut P. 04/ menhut-II/2005. 124 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Tentu saja, penelitian tentang pemanfaatan jasa hutan sebagai penyerap karbon tidak serta merta mengarah kepada pengembangan skema REDD, tapi juga bisa mengarah pada skema CDM, misalnya. Pertanyaannya adalah kenapa baru dilakukan sekarang? Dan pastinya di tahun-tahun awal mulai diterapkannya CDM – setidaknya di tahun 2004 – sudah terlebih dulu dilakukan penelitian tentang peran hutan sebagai penyerap karbon. Apakah data penelitian itu tidak cukup? (5) Rencana Kerja (Renja) Departemen Kehutanan tahun 2009 Dalam RKP tahun 2009, ada sasaran program berupa pengembangan skema REDD dalam bentuk pelaksanaan pilot project REDD. Namun, pilot project REDD ini tidak lagi ada di dalam kegiatan pokok yang akan dikerjakan oleh pemerintah. Ia hanya ada dalam bentuk acuan pembangunan tapi tidak hadir ketika masuk ke dalam rencana kerja tahunan. Dalam Renja Dephut 2009 ini, 87 kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh Dephut difokuskan pada dua hal, yaitu peningkatan kualitas pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan; serta peningkatan kapasitas mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Walaupun demikian, ketika dihadapkan dengan kegiatan prioritas tahun 2009 sebagai pelaksana dari Lima Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009, nampak bahwa tidak ada kegiatan yang secara spesifik menyebutkan perubahan iklim dan REDD.88 Renja Dephut 2009 sebagai dokumen perencanaan tingkat departemen yang mengacu pada RKP 2009 ini memang mencantumkan kegiatan berupa pengumpulan dan pemutakhiran data dan informasi SDH (Sumber Daya Hutan), dimana keluaran dari kegiatan ini salah satunya adalah penyiapan implementasi REDD. Tidak disebutkan apakah berbentuk pilot project REDD atau memang REDD itu sendiri. Dan memang keluaran/indikator berupa “penyiapan implementasi REDD” itu tidak hadir begitu saja. Renstra Dephut 2009 ini, berbeda misalnya dengan RKP 2009, menyebutkan bahwa harus ada kegiatan di tahun 2009 yang menjembatani antara implementasi REDD di Indonesia dengan apa yang terjadi di perundingan perubahan iklim di bawah payung UNFCCC. Kegiatan itu berupa “Pengembangan kemitraan dalam rangka perubahan iklim” yang keluarannya berupa 87 88 Ditetapkan dengan Permenhut No. P. 54/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Kementerian/LembagaDepartemen Kehutanan tahun 2009. Lima Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009: Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal; Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan;Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan;Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan; dan Pemantapan kawasan hutan. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 125 implementasi komitmen internasional bidang perubahan iklim, yang sepertinya mengarah pada REDD. Dengan demikian, Departemen Kehutanan mencoba untuk bernegosiasi dengan perencanaan jangka menengah (Renstra KL Dephut 2005 – 2009) yang sebenarnya dibuatnya sendiri itu yang sayangnya memberikan perhatian sedikit sekali pada peranan hutan dalam perubahan iklim. Perkembangan isu perubahan iklim dari sektor kehutanan memang berjalan cepat dan, dalam banyak hal menjanjikan insentif yang tinggi bagi sektor kehutanan. Perkembangan itu nampaknya harus ditanggapi oleh Departemen Kehutanan walaupun sebenarnya tidak secara bulat didukung oleh kebijakan kehutanan 5 tahunannya itu. Hal itu dibuktikan dengan lahirnya peraturan setingkat menteri yang secara spesifik menyebut soal REDD yang dikeluarkan di akhir tahun 2008 (Permenhut P. 68/Menhut-II/2008) dan di tahun 2009 (Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 dan Permenhut P. 36/MenhutII/2009). Padahal, kegiatan yang direncanakan akan dilakukan di tahun 2009 terkait REDD ini ditempatkan dalam kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan pembentukan kebijakan/peraturan yang ada hubungannya dengan REDD. Kegiatan yang menyebutkan REDD sebagai keluarannya/indikatornya berada pada wilayah pengumpulan informasi soal SDH. Tabel 3.5. Renstra KL Dephut 2009 Program Peningkatan Akses Informasi SDA dan LH Kegiatan tahun 2009 Output Penanggung jawab Pengumpulan dan pemutakhiran data dan informasi SDH Penyiapan implementasi REDD Kepala Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, Baplan Pengembangan kemitraan dalam rangka perubahan iklim Implementasi komitmen internasional bidang perubahan iklim Baplan (6) Rencana Kerja (Renja) Departemen Kehutanan tahun 2010 Bersamaan dengan tidak lagi disebutnya REDD di dalam RKP 2010, Hilang juga kata “REDD” di dalam Renja Dephut 2010. Tidak ada kegiatan yang secara spesifik menyebutkan akan menyiapkan pelaksanaan skema REDD atau setidaknya meneruskan kegiatan 126 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? yang ada di tahun 2009 di dalam Renja Dephut 2010 ini.Semua kegiatan lebih bersifat umum yakni antisipasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan, yang bisa berarti apa saja, tidak harus REDD. Sebagai gantinya, muncul banyak kegiatan dalam sektor kehutanan yang dikaitkan dengan perubahan iklim. Hal ini memang terkait dengan posisi kehutanan yang ditempatkan dalam dua prioritas pembangunan menurut RKP 2010, yakni di dalam Prioritas 4 dan Prioritas 5.89 Dalam Prioritas 4, kehutanan terdapat dalam fokus kegiatan berupa revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan, sedangkan dalam prioritas 5 ada 3 kegiatan, yakni 1) Peningkatan Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim dan Bencana Alam Lainnya, 2) Peningkatan Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Alam dan Kualitas Daya Dukung Lingkungan, dan 3) Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Dari RKP 2010 ini, muncul 11 (sebelas) program Dephut dalam Renja 2010. Tapi sepertinya Dephut tidak mau kehilangan momentum dalam pengembangan REDD atau mekanisme insentif dari hutan terkait perubahan iklim lainnya, karena itu di dalam Renja 2010, salah satu isu strategis yang menjadi dasar penyusunan Renja 2010 ini adalah pengelolaan/pemanfaatan sumber daya hutan dalam kerangka perubahan iklim, khususnya efektivitas perumusan pendanaan terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dephut sudah melihat sisi pendanaan dalam soal adaptasi/mitigasi perubahan iklim dan tidak lagi berfokus kepada sisi riset atau pengumpulan informasi SDH. Lalu muncullah kegiatan-kegiatan di tahun 2010 yang mencakup ke dalam isu strategis berupa efektivitas perumusan pendanaan terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Tabel 3.6. Kegiatan Dephut di tahun 2010 terkait dengan efektivitas perumusan pendanaan terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim 89 Program Kegiatan Output Penerapan Kepemerintahan Yang Baik Pembinaan/penyelenggaraan kerjasama internasional - Partisipasi pertemuan/ konvensi internasional, 120 kegiatan Penanggung jawab Ka. Pusat Kerjasama Luar Negeri Prioritas keempat: “Pemulihan Ekonomi yang Didukung Oleh Pembangunan Pertanian, Infrastruktur dan Energi”dalam Sub Prioritas “Pertumbuhan Ekonomi”. Prioritas kelima: Peningkatan Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kapasitas Penanganan Perubahan Iklim. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 127 Program Kegiatan Output Penanggung jawab - Penyusunan bahan sidang, International Arrangement/ Agreement dan Project Proposal, 20 kegiatan - Sosialisasi/ workshop/seminar/publikasi/ monev kegiatan kerjasama internasional, 20 kegiatan - Penguatan dan pengembangan hubungan kerjasama luar negeri, 10 kegiatan Pembinaan standardisasi dan Lingkungan 128 Pengembangan Ka. Pusat Standar Pengelo- Standardisasi laan Hutan Lestari Lingkungan dan Jasa Lingkungan : - Rancangan Standar Perdagangan Karbon Sukarela, 1 judul. - Pengembangan kemitraan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, 1 paket. - Pengembangan Pengendalian Dampak Lingkungan : (1) -A p r e s i a s i masyarakat terhadap perubahan iklim meningkat, 4 propinsi; (2) - Inisiatif dan apresiasi masyarakat Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Program Kegiatan Output Penanggung jawab dalam menyikapi perubahan iklim meningkat, 4 propinsi Penelitian dan Pengembangan Iptek Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Perubahan Iklim: - Hasil kajian Strategi Mitigasi Kehutanan, 1 paket Ka. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam - Ka. Pusat - Hasil peneli Litbang Hatian Perubahan sil Hutan Iklim, 1 paket - Ka. Pusat - Perhitungan Litbang Emisi KehuHutan tanan (InventaTanaman risasi), 1 paket - Ka. Pusat - Strategi AdaptaPenelitian si Bioekologi Sosek dan dan Sosial Kebijakan Ekonomi Budaya Kehutanan Terhadap Perubahan Iklim, 1 paket Perlindungan dan Pengembangan Konservasi Sum- Jasa Lingkungan ber Daya Alam dan Wisata Alam PNBP di bidang Jasling dan wisata alam meningkat sebesar 20% Dir. Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup - Model penghitungan karbon tegakan hutan di 2 lokasi , 2 judul - Basis data citra seluruh Indonesia, 2 judul (**) Dir. Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Inventarisasi Hutan dan Pengembangan Informasi SDA dan LH Dengan demikian, terlihat bahwa Dephut mencoba untuk menyisipkan berbagai kegiatan agar ada kelanjutan pengembangan REDD yang sudah dikerjakan di tahun 2009 kemarin. Dan hal itu dimungkinkan, asalkan Departemen terkait membuat pembedaan prioritas pembangunan nasional dan prioritas Departemen Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 129 kehutanan sendiri. Semua kegiatan yang dilakukan oleh Dephut di luar prioritas pembangunan nasional dapat dimasukkan sebagai prioritas Dephut sendiri. Dengan menarik salah satu kegiatan tahunannya ke taraf yang lebih umum; dengan tidak membunyikan “REDD”, tetapi “efektifitas mekanisme pendanaan terkait adaptasi/mitigasi perubahan iklim”, nampaknya pihak Dephut atau tepatnya pihak di dalam Dephut yang mendorong pengembangan skema REDD setidaknya sejak tahun 2007, tidak menyerah begitu saja pada tidak adanya dukungan kebijakan di tingkat pemerintah dan Dephut sendiri serta ketidakjelasan masa depan skema REDD di tingkat perundingan internasional terkait perubahan iklim. Dan memang, IFCA sendiri, misalnya, mengusung yang namanya “no-regret policy” dalam pengembangan REDD ini. Yang artinya, jikapun REDD tidak berhasil mendapatkan legitimasi di tingkat internasional dan karenanya tidak dapat dijalankan, maka kebijakan/program/kegiatan yang telah dilakukan sebagai persiapan pengembangan REDD itu tidak menjadi “kebijakan/ program/ kegiatan” yang sia-sia. Ia tetap menjadi kebijakan yang tetap ada artinya bagi – jika tidak ada artinya bagi strategi adaptasi/mitigasi perubahan iklim - pembangunan kehutanan secara keseluruhan. Dalam posisi ini, menurut penulis, justru Dephut dan Indonesia sendiri dalam posisi yang “aman” atau tepatnya mencari posisi aman dari naik turunnya tensi jadi tidaknya skema REDD sebagai pengganti atau sebagai pendamping dari komitmen internasional dalam perubahan iklim pasca 2012. (7) Rencana Strategis Kementerian/lembaga Departemen Kehutanan tahun 2010 - 2014 Baru pada Renstra Dephut 2010 -2014 isu perubahan iklim dan keterkaitannya dengan kehutanan dimunculkan, dalam bentuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan.90 Setidaknya ada 3 kebijakan yang akan dilakukan oleh Dephut dalam antisipasi perubahan iklim ini, yakni (1) peningkatan keberdayaan pengelolaan lahan gambut; (2) peningkatan hasil rehabilitasi seluas 500.000 ha/tahun dan (3) Penekanan laju deforestasi secara sungguhsungguh diantaranya melalui kerjasama lintas kementerian terkait serta optimialisasi dan efisiensi pendanaan seperti IHPH, PSDH dan DR. Dari tiga kebijakan ini lahir setidaknya 25 kegiatan lengkap dengan alokasi anggarannya. 90 Ditetapkan dengan Permenhut Nomor P. 08/Menhut-II/2010. 130 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? REDD sendiri atau tepatnya Demonstration Activities REDD (DA REDD) yang akan dilakukan di dua kawasan konservasi dengan tipe lahan gambut, sendiri berada di bawah program Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam dalam kebijakan peningkatan keberdayaan pengelolaan lahan gambut. Perlu dicatat bahwa Demonstration Activities ini sendiri merupakan nama lain dari pilot project REDD yang dalam RKP tahun 2009 sempat disinggung namun menghilang ketika masuk ke dalam kegiatan yang lebih rinci. Dua buah Demonstration Activities REDD di kawasan konservasi lahan gambut ini nampaknya direncanakan akan dilakukan di tahun 2012 dan 2013. Provinsi yang mendapatkan kehormatan untuk melaksanakan DA REDD ini ada di wilayah Regional III atau Kalimantan dan tepatnya di Kalimantan Tengah. Dengan demikian 2 DA REDD itu direncanakan di dua kawasan konservasi dengan tipe lahan gambut yang berada di Kalimantan Tengah. Tentu saja pelaksanaan DA REDD itu tidak mungkin berjalan tanpa dukungan dari kegiatan lain seperti penguatan lembaga kehutanan yang akan meneliti soal kebijakan kehutanan dan perubahan iklim, pengendalian kebakaran hutan, pengembangan kawasan konservasi dan ekosistem esensial, dan seterusnya baik yang terkait langsung maupun tidak langsung. Namun catatan lain dari Renstra Dephut ini adalah bentuk kegiatan yang secara langsung dikaitkan dengan perubahan iklim lebih banyak dalam bentuk kegiatan penelitian. Tapi di sisi lain, ketika Renstra Dephut 2010-2014 ini dihubungkan dengan Renja Dephut 2010, maka hilangnya REDD di dalam Renja 2010 Dephut mengindikasikan ketidakberlanjutan usaha pengembangan REDD (dan bukan skema lain mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan) dan juga tidak memperlihatkan kuatnya posisi Indonesia terkait REDD itu. Jika memang di tahun 2012 akan diadakan REDD, maka di dalam Renja 2010 ini seharusnya diadakan pula kegiatan yang ada hubungannya dengan kelanjutan dari kegiatan pengembangan REDD di tahun 2009 dan begitu seterusnya di tahun 2011. Yang ada malah penggantian REDD dengan “mekanisme pendanaan” di tahun 2010 ini sehingga pengembangan REDD tidaklah menjadi prioritas. Penyusunan dokumen perencanaan seperti halnya Renja Departemen Kehutanan merupakan usaha Departemen Kehutanan untuk mengkoordinasikan semua kegiatan yang dilakukan oleh instansi di bawahnya. Dalam horizon yang lebih luas, Renja itu merupakan refleksi dari program-program yang disusun oleh pemerintah yang terdapat di dalam RPJP, RPJM atau RKP tahunannya. Sehingga bisa diperlihatkan satu irama yang sama antara yang diinginkan oleh pemerintah dengan Departemen Kehutanan. Dan yang paling penting, ia berhubungan dengan alokasi anggaran yang diberikan oleh negara lewat APBN. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 131 Tentu menjadi hal yang harus dipertanyakan minimnya kegiatan “pengembangan REDD” dalam dokumen resmi perencanaan yang disusun baik oleh pemerintah maupun Departemen Kehutanan sendiri. Hanya Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2008 dan RKP 2009 saja, REDD disebutkan secara eksplisit dan itupun kemudian malah menghilang di tahun 2010, berubah menjadi kegiatan-kegiatan yang memang terkait dengan perubahan iklim namun tidak menyebut langsung soal REDD. Penulis hanya bisa menduga hal ini terkait dengan masih belum jelasnya pembicaraan REDD di tingkat perundingan internasional terkait perubahan iklim dan REDD. Namun, Dephut sepertinya tetap berharap REDD ini jadi dijalankan dengan terlihat pada akan diadakannya dua DA REDD di tahun 2012 dan 2013 di dalam Renstra Dephut 2010 – 2014. Jika memang demikian, mengapa penyebutan REDD di tahun 2010 malah dihilangkan dan diganti dengan frase yang lebih umum (“mekanisme pendanaan”)? Bukankah seharusnya jika yakin DA REDD akan dijalankan di tahun 2012 dan 2013, pentahapan ke arah sana perlu terus menerus diperlihatkan di tiap tahun Renja Dephut? (iii) REDD: Mencari Celah Dalam Perencanaan Pembangunan Dari pembacaan dokumen perencanaan sampai tahun 2010 ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa REDD tidak pernah menjadi fokus kebijakan pemerintah. Ia hanya muncul sekali di tahun 2009 dan kemudian menghilang di tahun 2010 kembali ke bentuk umum berupa “adaptasi/ mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan”. Hal tersebut membuat Departemen Kehutanan menyesuaikan kebijakan/program/kegiatan terutama yang terkait dengan adaptasi/mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan dengan apa yang direncanakan oleh pemerintah. Namun hal tersebut tidak membuat menyerah pihak Departemen Kehutanan, atau pihak di dalam Departemen Kehutanan yang mendorong pengembangan REDD setidaknya sejak tahun 2007, agar REDD ini tetap terlaksana. Renstra 2010 – 2014 menetapkan tahun 2012 dan 2013 akan diadakan DA REDD. Sementara hilangnya REDD di tahun 2010 ini diantisipasi dengan membuat salah satu sasaran kegiatan pembangunan tahun 2010 berupa efektifitas mekanisme pendanaan terkait adaptasi/mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan. REDD memang tidak lagi disebut, tapi bukan berarti ia tidak ada. Ia tetap dibayangkan ada. (b) Pelaksanaan Kebijakan (i) Peraturan Perundang-undangan REDD merupakan skema pemberian insentif buat usaha-usaha pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan kerusakan hutan. 132 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Pada awalnya, skema ini hanya memberikan insentif pada usaha pengurangan laju deforestasi dan kerusakan hutan yang kemudian diterjemahkan pada seberapa besar karbon yang bisa ditahan di hutan. Tapi berdasarkan keputusan di COP 13 dan COP 14, peranan hutan dalam mitigasi perubahan iklim tidak hanya dari sisi negatifnya (mencegah deforestasi dan kerusakan hutan), tapi perlu juga dilihat sisi positifnya, yang diterjemahkan dalam skema REDD yang berkembang sekarang berupa usaha-usaha peningkatan karbon, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan konservasi; dikenal dengan REDD+ (Angelsen, Wertz-Kanounnikoff, 2008:15). Skema REDD memang masih berkembang, termasuk dalam hal pemberian insentifnya. Tapi yang jelas, pemberian insentifnya berdasarkan pada “performa” sehingga penentuan “angka awal” atau dasar perhitungan – yang dikenal sebagai referensi – menjadi sangat penting. Setelah angka referensi ditentukan, maka kemudian dibuatkan model laju deforestasi/degradasi hutan jika tidak diintervensi oleh REDD (BAU) yang kemudian diperbandingkan dengan pengurangan laju deforestasi yang dilakukan dalam skema REDD. Angka antara laju deforestasi BAU dengan yang dihasilkan dari skema REDD itulah yang kemudian dijadikan dasar seberapa besar insentif itu diberikan. Dengan demikian, semakin besar tekanan pada hutan, baik tekanan deforestasi maupun kerusakan hutan, akan semakin memperbesar pula “harga” karbon di hutan tersebut. Dengan melihat penjelasan singkat soal REDD tersebut maka kita bisa menentukan pada kebijakan apa intervensi REDD itu harus dilakukan. Kebijakan dalam sektor kehutanan tentu adalah hal yang penting diperhatikan, terutama dalam soal kebijakan pengaturan penggunaan hutan dan peningkatan “harga” hutan. Selain itu, kebijakan di luar sektor kehutanan yang mendorong terjadinya deforestasi dan degradasi juga harus dilihat. Bentuknya sangatlah beragam, misalnya kebijakan pertanian dan perkebunan, pola kebijakan ekonomi, pengaturan penduduk, penggunaan lahan, dst. Di Indonesia misalnya, deforestasi lebih banyak terjadi karena disengaja dan bahkan diformalkan. Studi Greenomics menyebutkan bahwa angka deforestasi tertinggi di Indonesia terjadi di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) (Greenomics Indonesia, 2009). Penentuan suatu kawasan menjadi HPK atau bukan serta pelepasan kawasan hutannya merupakan wewenang Menteri Kehutanan. Sementara itu, pola pemanfaatan hutan yang tidak berkelanjutan membuat kondisi hutan di Indonesia terus turun. Di sisi lain, tekanan terhadap hutan tidak hanya terjadi dari dalam sektor kehutanan, tetapi juga berasal dari luar sektor kehutanan. Di Indonesia tekanan terbesar datang dari perluasan perkebunan dan Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 133 pertanian, selain, dalam angka yang lebih kecil tapi menghancurkan, pertambangan. Selain itu banyak aktivitas pembangunan non kehutanan yang dikerjakan di dalam kawasan hutan. Terlihat bahwa, sebagaimana perubahan iklim, REDD ini sendiri harus diperlakukan sebagai kebijakan lintas bidang. Selama “harga” suatu kawasan hutan dari sudut ekonomi lebih kecil daripada jika di kawasan hutan itu ditanami sawit, misalnya, maka hutan akan terus terancam dialihstatuskan dan dialihfungsikan. Kebijakan untuk menurunkan insentif penggunaan lahan hutan untuk perkebunan/ pertanian karenanya perlu juga diperhatikan. (1) Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Langsung REDD Jika dilihat dari segi keterhubungan langsung dengan soal REDD, sebenarnya baru ada dua peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Itu pun diatur dalam peraturan perundang-undangan setingkat menteri, yaitu: Permenhut P. 68/Menhut-II/2008 tentang Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (selanjutnya Permenhut P68/2008) dan Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (selanjutnya Permenhut P30/2009). Permenhut P. 36/Menhut-II/2009 tentang Tatacara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (selanjutnya Permenhut P36/2009), kerap kali disebut sebagai peraturan yang mengatur soal REDD. Padahal, Permenhut P 36/2009 mengatur hal yang lebih umum daripada REDD, yakni soal jasa lingkungan. Memang, permenhut ini mempunyai kedekatan dengan pengaturan soal REDD yang karenanya tetap akan disinggung dalam sub-bab di bawah ini. Ada satu peraturan perundangan yang tidak penulis cantumkan dalam bagian ini walaupun secara jelas menyebut soal REDD, yaitu Inpres No 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008 – 2009. Penulis melihat bahwa isi dari Inpres itu bukan bersifat mengatur, tetapi lebih bersifat mengarahkan sebuah atau beberapa lembaga untuk bekerja berdasarkan arahan tersebut. Sehingga penulis memasukkannya ke dalam bagian Rencana kebijakan - 134 Permenhut P. 68/Menhut-II/2008 tentang Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Aturan ini disusun sebagai respon pemerintah Indonesia c.q. Departemen Kehutanan pada apa yang dihasilkan di dalam COP 13, Desember 2007 di Bali, terutama dalam soal REDD. Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Disebutkan bahwa sebagai tindak lanjut dari hasil perjanjian COP 13 tersebut, pemerintah Indonesia sudah menetapkan kebijakan soal pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan atau REDD. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan “pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan” serta dalam bentuk apa kebijakan itu diwujudkan, misalnya peraturan perundanganundangan nomor berapa yang mengatur soal tersebut? Apakah yang dimaksud itu adalah Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), karena inilah satu-satunya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pasca COP 13 Bali 2007 yang juga dicantumkan dalam pertimbangan permenhut P 68/2008? Padahal, dalam Perpres ini hanya diatur tugas DNPI yang semuanya bersifat umum, tidak ada yang spesifik menyebutkan REDD. Ataukah, kebijakan yang dimaksud itu adalah Instruksi Presiden No. 5 tahun 2008 yang mengatur soal Fokus Program Ekonomi tahun 2008 – 2009 yang mengatur soal pelaksanaan REDD? Peraturan ini sendiri dilakukan sebagai pembuka jalan dilaksanakannya REDD yang sebenarnya masih dalam tahap persetujuan di fora kebijakan internasional, yang dinamai Demonstration Activities (DA). DA ini dilakukan sebagai cara untuk “menguji dan mengembangkan metodologi, teknologi dan institusi pengelolaan hutan secara berkelanjutan yang berupaya untuk mengurangi emisi karbon melalui pengendalian deforestasi dan degradasi hutan”; yang kemudian diharapkan akan lahir desain pengelolaan hutan yang tepat untuk menjalankan REDD. Lokasi yang bisa digunakan untuk DA REDD ini adalah hutan negara dan hutan hak. Sementara yang dapat menjadi pelaksananya (pemrakarsa) adalah pihak pemerintah, pemegang izin pemanfaatan hasil hutan kayu, pemegang/pengelola hutan hak, pengelola hutan adat, kepala kesatuan pengelola hutan. Pemrakarsa ini terbagi lagi antara pihak yang menyediakan dananya sendiri dan yang bermitra dengan pihak lain. DA ini harus mendapatkan persetujan dari Menteri Kehutanan. Sebelum persetujuan menteri itu didapatkan, pemrakarsa harus terlebih dahulu melewati proses perizinan. Pemrakarsa mengajukan permohonan kepada Menteri Kehutanan dengan melampirkan rancangan DA dan dilampiri dengan status dan lokasi berikut peta lokasi calon areal, bentuk dan jangka Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 135 waktu kerja sama, perkiraan nilai kegiatan, manajemen resiko dan rencana alokasi distribusi pendapatan. Permohonan itu akan diperiksa oleh Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan dan Menteri Kehutanan bisa melakukan tiga hal atas penilaian itu, yaitu: menyetujui, menyetujui dengan syarat dan menolak. Jika disetujui, DA itu akan dilakukan paling lama selama 5 tahun. Kriteria dan indikator kelayakan pelaksanaan DA, yang menjadi dasar Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan dan Menteri Kehutanan dalam menilai proposal DA REDD, akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. - Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) Dalam Pasal peralihan Permenhut P.30/Menhut-II/2009 tentang REDD disebutkan bahwa REDD baru dilaksanakan setelah ada persetujuan internasional tentang REDD. Sebelum ada peraturan di tingkat internasional itu, REDD dilaksanakan dalam bentuk Demonstration activities (DA), peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, serta perdagangan karbon sukarela. Dengan demikian, REDD di Indonesia dapat dilakukan dalam dua jalur, yaitu melalui jalur DA (sebagaimana diatur di dalam Permenhut P.68/2008) atau jalur REDD dengan dana dari dagang karbon sukarela/peningkatan kapasitas dan transfer teknologi. DA sebenarnya bisa dialihkan jadi proyek REDD dengan berbagai persyaratan yang sampai sekarang belum ditentukan. Semua pemrakarsa mengajukan usulannya kepada Departemen Kehutanan yang kemudian usulan itu akan diserahkan pada dua komisi untuk dinilai. Jika mengambil jalur DA, maka Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan yang akan menilainya; sementara jika jalur REDD lewat dagang karbon sukarela/ peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, maka ada komisi REDD yang akan menilainya. Subyek pemohon proyek REDD terbagi dua menjadi entitas nasional dan entitas internasional yang dibedakan berdasarkan fungsinya. Entitas nasional sebagai pemegang status hak atas hutan sementara entitas internasional bertugas sebagai penyandang dana. REDD hanya bisa dilakukan di wilayah yang sudah berizin. Ada 12 pemilik hak/izin yang bisa menjadi pelaku REDD, yakni 136 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHH-HKM, IUPHHK-HTR, IUPHHK-RE, KPHP, KPHL, KPHK, Kepala Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam atau Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, Pengelola Hutan Adat, pemilik dan pengelola Hutan Hak, pengelola Hutan Desa. Dengan rincian pelaku REDD sebagaimana diatur dalam Permenhut ini, maka tidak ada jalan lain bagi organisasi lingkungan yang selama ini berencana melaksanakan REDD, seperti FFI atau KFCP, kecuali membuat unit usaha lain yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan setidaknya 3 bentuk hak/izin (IUPHHK-HA, IUPHHK-HT dan IUPHHK-RE). Persyaratan dalam mengajukan REDD di semua kawasan hutan itu pada dasarnya sama, yakni memiliki izin hak (berupa pemanfaatan(mis. IUPHHK-HT) atau pengelolaan (mis. Hutan Desa), memiliki kriteria lokasi pelaksanaan REDD dan memiliki rencana pelaksanaan REDD. Namun ada persyaratan lain yang dikenakan bagi pengajuan di luar lokasi KPHP, KPHL/KPHK serta Hutan Konservasi, yaitu memperoleh rekomendasi untuk pelaksanaan REDD dari Pemerintah Daerah. Pengajuan permohonan diajukan kepada Menteri Kehutanan yang kemudian proposalnya akan diteliti oleh Komisi REDD dalam jangka waktu 14 hari. Hasil penelitian komisi REDD ini kemudian akan diserahkan kepada Menteri Kehutanan. Menteri Kehutananlah yang akan menentukan proposal itu diterima atau ditolak. Jika diterima, pemrakarsa dapat melaksanakan REDD yang izinnya berlaku selama 30 tahun dan setelahnya bisa diperpanjang. Pemrakarsa diwajibkan untuk menetapkan referensi emisi, melakukan pemantauan dan menyerahkan hasil pemantauan itu kepada menteri lewat Komisi REDD. VER atau sertifikat Pengurangan Emisi Karbon sendiri didapatkan oleh pemrakarsa jika laporan pemantauan itu telah diverifikasi oleh Lembaga Penilai Independen yang laporannya dberikan kembali kepada Komisi REDD. Komisi REDD-lah yang akan menerbitkan sertifikat pengurangan emisi karbon itu. Sertifikat pengurangan emisi karbon inilah yang dapat diperjualbelikan. Dalam soal distribusi insentif yang didapat dari penjualan Sertifikat itu, Permenhut ini tidak mengatur dengan jelas pihak mana yang berhak atas distribusi insentif itu. Yang jelas diatur adalah penerimaan negara dari REDD yang secara tersirat menunjukkan bahwa salah satu pihak yang berhak atas distribusi Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 137 insentif itu adalah pemerintah. Pengaturan soal ini akan diatur lebih lanjut di dalam peraturan perundang-undangan. Penerimaan negara dari pelaksanaan REDD ini akan diperlakukan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang pengaturan perundang-undangannya sudah ada. Sehingga jika REDD ingin diperlakukan sebagai salah satu PNBP di Departemen Kehutanan harus terlebih dahulu ada perubahan pada peraturan perundangan yang mengatur soal PNBP khusus di Departemen Kehutanan. Kedua, karena REDD ini dihitung secara nasional namun dengan pelaksanaan di tingkat daerah, maka perlu ada perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Aturan soal ini pun sudah ada. Kotak 3.1. REDD dan pengentasan kemiskinan Dimensi REDD, menurut permenhut ini, tidak hanya khusus mengantisipasi perubahan iklim, tetapi ternyata dikaitkan dengan usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hadir dalam bentuk pengentasan kemiskinan. Karena itu pula salah satu kriteria pemilihan lokasi yang dimasukkan dalam proposal REDD ini adalah ada tidaknya rencana pengentasan kemiskinan di daerah sekitar lokasi REDD. Hal yang sama juga hadir di dalam kriteria pemberian rekomendasi dari pemerintah daerah yakni kesesuaian proyek REDD ini dengan prioritas pembangunan berupa program pengentasan kemiskinan. Jembatan penghubung antara proyek REDD dengan pengentasan kemiskinan ini tampaknya hadir dalam bentuk distribusi insentif yang diterima oleh pemerintah sebagai PNBP. Karena itu pula harus ada kesesuaian antara lokasi REDD dengan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah (daerah) dimana salah satu sumber pembiayaannya berasal dari PNBP REDD tersebut. Ini menjadi alasan utama mengapa hanya pihak pemerintah saja yang dicantumkan dalam aturan soal distribusi insentif. Pengkaitan REDD dengan isu pengentasan kemiskinan sebenarnya seirama dengan kebijakan pembangunan yang diusung oleh Presiden SBY yang menginginkan pembangunan yang dilakukan di Indonesia itu harus mengarah pada pro-poor, pro-job, dan pro-growth. Jika REDD tidak semata diperlakukan sebagai kegiatan pengurangan emisi, tapi juga pengentasan kemiskinan, maka ia memerlukan dukungan kebijakan lintas bidang, lintas departemen. Kebijakan REDD harus memperhatikan kebijakan di bidang lain yang dapat menunjang atau malah menghambat keberhasilan proyek REDD. Apalagi ada anggapan deforestasi merupakan salah satu cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan (Kanninen dkk, 2009). Jika ini yang diminta, maka pengaturan REDD dengan Peraturan Menteri (Kehutanan) menjadi hambatan tersendiri. Peraturan Menteri Kehutanan mempunyai keterbatasan karena hanya bisa mengatur hal yang menjadi kewenangan Menteri Kehutanan. Ia tentu 138 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? akan menyalahi aturan jika mengatur hal di luar kewenangannya. Sementara permintaan terhadap skema REDD jauh melampaui kewenangan Departemen Kehutanan. Hal ini tidak berarti REDD membutuhkan dukungan dari peraturan perundangan dengan hirarki lebih tinggi dari Permenhut; tapi koordinasi antar departemen dengan melegalkannya dalam bentuk peraturan bersama, atau pengkoordinasian di tingkat menteri koordinator dapat saja dilakukan. - Permenhut P. 36/Menhut-II/2009 tentang Tatacara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung Banyak pihak yang menyebutkan bahwa Permenhut P36/2009 sebagai peraturan yang mengatur soal REDD. Namun, menurut penulis, Permenhut P36/2009 mengatur soal jasa lingkungan dari sektor kehutanan berupa penyimpanan dan penyerapan karbon yang sudah diatur di dalam PP No 6/2007. Suatu aktivitas yang lebih umum daripada skema REDD, walaupun keduanya bertumpu pada karbon. Dari sisi substansi yang diatur, Permenhut P36/2009 ini sebenarnya jauh lebih kuat dari Permenhut P30/2009 mengingat, pertama, jasa lingkungan berupa penyimpanan dan penyerapan karbon yang sudah diatur di dalam peraturan perundangan Indonesia yang hirarkhinya lebih tinggi dari Permenhut, yakni PP No 6/2007. Kedua, pemerintah sudah mengakui adanya skema penyimpanan/penyerapan karbon sebagai salah satu hak yang bisa didapatkan oleh para pihak. Ketiga, soal IUPJL Perdagangan Karbon bahkan jauh sebelumnya sudah diatur dalam mekanisme A-R CDM.91 Permenhut P36/2009 ini diatur untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan karbon secara sukarela dari sektor kehutanan yang berada di luar mekanisme REDD atau CDM. Ini terlihat dari mekanisme pembiayaannya yang bersifat sukarela dan berasal dari perdagangan karbon. Mekanisme perdagangan karbon sendiri jelas tidak bergantung pada kesepakatan G to G atau Negara dengan Negara. Sementara REDD, yang juga mengatur soal emisi karbon, merupakan mekanisme yang bersifat compliant yang sifat mengikatnya baru akan dijalankan jika ada kesepakatan di bawah perundingan UNFCCC. Apa yang diatur di dalam Permenhut P36/2009 ini baru berhubungan dengan skema REDD ketika menyangkut 91 Aforestation – Reforestation CDM. Di Indonesia diatur dalam Permenhut P14/Menhut-II/2004, tanggal 5 Oktober 2004. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 139 dua soal. Pertama, ketika dihubungkan dengan Permenhut P30/2009 yang menyatakan bahwa aktivitas REDD sebelum ada kesepakatan di UNFCCC pada tahun 2012 akan dilakukan dengan, salah satunya, perdagangan karbon sukarela. Dengan demikian, kesepakatan perdagangan karbon secara sukarela yang didasarkan pada aktivitas mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan (non-CDM; bentuknya penyimpanan karbon di hutan) sebelum ada kesepakatan internasional akan bisa dianggap sebagai pelaksanaan REDD. Hanya saja kriteria apa suatu kegiatan perdagangan karbon sukarela dapat dianggap sebagai pelaksanaan REDD tidak diatur dengan jelas dalam Permenhut ini. Kedua, dalam soal Usaha Pemanfaatan Penyimpanan Karbon (UP PAN Karbon). UP PAN Karbon ini dalam banyak hal memang sama dengan REDD. Disebutkan bahwa sertifikat VER (verified Emission Reduction) dari PAN Karbon harus divalidasi mengikuti prosedur mekanisme compliant yang diakui dan dimasukan dalam carbon baseline REDD Nasional serta diregistrasi pada Badan Registrasi Nasional. Selain itu kesepakatan jual beli PANKARBON harus dinegosiasikan kembali. Kedua hal ini terjadi jika REDD benar-benar dilaksanakan pada akhir tahun 2012. Dengan demikian, REDD hanya mengatur hal kecil saja dari soal jasa lingkungan berupa penyimpanan/penyerapan karbon ini. Sementara itu, soal UP RAN Karbon (Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon) tidak tergantung pada disepakati atau tidaknya REDD di tingkat internasional di tahun 2012. Ia bisa berjalan terus sampai izinnya – yang berumur 25 tahun – habis. Penyebutan angka 25 tahun sebagai jangka waktu proyek UP RAN/PAN Karbon ini di mata penulis cukup mengagetkan. Permenhut ini ternyata mengatur berbeda soal jangka waktu berlakunya IUP RAN/PAN karbon ini dengan apa yang diatur di dalam PP No 6 Tahun 2007. Dalam Pasal 29 ayat 1 huruf f serta Pasal 50 ayat 1 huruf f PP No. 6 Tahun 2007 terang dikatakan bahwa “..usaha penyerapan karbon dan usaha penyimpanan karbon diberikan paling lama 30 (tiga puluh) tahun dengan luas sesuai kebutuhan investasi…”. Tidak ada cukup alasan untuk melihat mengapa Permenhut P36/2009 tersebut mengatur berbeda soal jangka waktu berlakunya izin tersebut. Namun, jika mengikuti azas hirarkhi peraturan perundang-undangan, pengaturan soal jangka waktu dalam Permenhut itu batal demi hukum. 140 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Pemberian IUP RAN/PAN Karbon dibedakan berdasarkan areal yang berizin dan tidak berizin. Di areal yang sudah ada izinnya, hanya pemilik izin di lahan tersebut yang bisa mengajukan IUP PAN/RAN Karbon. Tidak ada keterangan lain yang menyebutkan pihak lain di luar pemilik izin/hak yang dapat mengajukan IUP RAN/PAN di areal yang berizin. Tapi ada perkecualiannya yakni bagi areal yang dibebani IUPHHK atau izin pemanfaatan hasil hutan kayu (berarti hanya di kawasan hutan produksi), pihak lain dapat mengajukan permohonan kepada menteri (Pasal 8 Ayat 2). Tapi, tata aturan mengenai hal itu akan ditentukan kemudian dalam bentuk peraturan menteri. Dengan demikian, di kawasan yang berizin pemanfaatan hasil hutan kayu saja pemohon selain pemilik izin dapat mengajukan IUP RAN/PAN Karbon. Pemilik izin di lahan itu antara lain adalah pemilik IUPHHKHA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, IUPHHK-HTR, pemilik izin pemanfaatan hutan lindung, pengelola HKm dan hutan desa. Selain pihak-pihak tersebut, ternyata Permenhut P36/2009 ini juga memberikan kesempatan kepada pihak lain yang ingin mengajukan permohonan IUP PAN/RAN karbon , yakni Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus pada hutan produksi dan/atau hutan lindung, Hutan Rakyat, dan Hutan Masyarakat Hukum Adat (Pasal 21). Masyarakat hukum adat yang memiliki izin pengelolaan hutan di kawasan hutan lindung atau produksi dapat mengajukan permohonan IUP PAN/RAN karbon sesuai dengan peraturan ini. Semua permohonan, kecuali pemilik izin IUPHHK-HTR, diajukan kepada Menteri Kehutanan, dengan melampirkan surat izin/hak dan proposal Usaha Pemanfaatan Penyerapan/ Penyimpanan Karbon. Sementara, untuk pemilik izin IUPHHKHTR permohonannya diajukan kepada bupati dengan syarat yang hampir sama dengan pemilik izin lainnya. Namun penulis sedikit bingung dengan rujukan antar pasal dan isi dari Permenhut P 36/2009 ini. Misalnya dalam soal pemberian izin di lahan yang sudah ada izinnya; pemilik IUPHHK- HTR yang mengajukan permohonan kepada bupati, pengaturan lebih lanjutnya merujuk pada Pasal 10 (Pasal 5 Ayat 4). Ternyata Pasal 10 ini mengatur soal pemberian izin oleh gubernur. Pasal yang mengatur soal pemberian izin oleh bupati sendiri diatur dalam pasal 9. Bahkan Pasal 9 ini tidak berdiri sendiri. Pasal 9 Ayat 1 mengatur bahwa Kepala Dinas Kabupaten/Kota melakukan Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 141 pemeriksaan atas kelengkapan persyaratan pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) yang isinya berupa penolakan Kepala Dinas Provinsi atas permohonan pemohon. Jadi, apakah pemohon IUPHHK-HTR yang akan mengajukan IUPJL berupa IUP RAN/PAN menyerahkan terlebih dahulu permohonannya kepada gubernur yang jika permohonannya ditolak baru akan diserahkan pemrosesannya ke tangan bupati? Lebih fatal dari itu adalah dalam hal pemberi izin untuk kawasan yang tidak dibebani izin. Tidak ada penjelasan pembagian kewenangan antara bupati/gubernur dan menteri dalam memberikan izin. Misalnya kriteria kawasan yang tidak dibebani izin seperti apa yang izinnya harus dikeluarkan oleh bupati atau gubernur atau menteri. Pasal 8 ayat 1 sebenarnya memberikan sedikit penjelasan yakni dengan menyebutkan bahwa di dalam areal yang tidak dibebani izin pemanfaatan hasil hutan kayu/IUPHHK maka kewenangan pemberian izinnya ada di tangan menteri. Apa saja areal yang tidak dibebani dengan IUPHHK? Dalam lingkup Permenhut P 36/2009 ini maka kawasan itu adalah kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin. Tidak berhenti di sana, Pasal 8 ayat 2 menyebutkan bagi areal yang dibebani dengan izin pemanfaatan hasil hutan kayu, izinnya di tangan menteri. Dengan demikian, wewenang pemberian izin IUP RAN/PAN Karbon yang berada di areal yang tidak berizin semuanya berada di tangan menteri. Jikapun interpretasi penulis terhadap pasal 8 itu salah dan pihak selain menteri dapat mengeluarkan izin IUP RAN/PAN Karbon di areal yang tidak dibebani izin, maka pengaturannya juga tidak jelas dan membingungkan. Perhatikan hubungan antara Pasal 10 dan Pasal 9 yang dijelaskan di atas: permohonan pemohon yang ditolak oleh gubernur dapat diproses lagi di tingkat bupati dengan persyaratan yang sama. Ini terjadi karena dalam rujukan Pasal 9 adalah Pasal 10 ayat 2. Seharusnya Pasal 9 merujuk pada Pasal 7 ayat 2, sebagaimana pasal 10 dan Pasal 11. Jelaslah, kewenangan bupati menjadi besar. Ia bisa mengeluarkan izin IUPJL di kawasan HTR, izin di kawasan yang tidak dibebani izin dan menerima permohonan dan mengeluarkan izin di kawasan yang tidak berizin yang permohonannya ditolak oleh gubernur. Itupun dengan catatan, kewenangan itu tidak dianulir oleh Pasal 8. 142 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Substansi lain yang juga membingungkan adalah Permenhut ini tidak membedakan antara Proposal UP RAP-KARBON dan/ atau UP PAN-KARBON dengan Proposal Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi (Proposal UPJL). Begitu juga, permenhut ini tidak memberikan penjelasan perbedaan antara pemegang IUP RAP/PAN Karbon dengan pengembang proyek IUP RAP/PAN Karbon. Di tengah ketidakjelasan isi peraturan, Permenhut P36/2009 ini ternyata mengatur hal yang luput diatur di dalam Permenhut P30/2009 dan sudah lama ditunggu-tunggu oleh pihak investor, yakni soal pembagian keuntungan. Menurut Permenhut ini, keuntungan dibagikan kepada tiga pihak, yaitu: pemerintah, masyarakat dan pengembang dengan persentase yang berbedabeda tergantung pada wilayah mana perdagangan karbon itu dilakukan. Tabel 3.7. Pembagian keuntungan menurut Permenhut P30/2009 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pemegang izin/ Distribusi Pengembang Pemerintah Masyarakat Pengembang IUPHHK-HA 20% 20% 60% IUPHHK-HT 20% 20% 60% IUPHHK-RE 20% 20% 60% IUPHHK-HTR 20% 50% 30% Hutan Rakyat 10% 70% 20% Hutan 20% 50% 30% Kemasyarakatan Hutan Adat 10% 70% 20% Hutan Desa 20% 50% 30% KPH 30% 20% 50% KHDTK 50% 20% 30% Hutan Lindung 50% 20% 30% Hasil pembagian dana yang diterima oleh pemerintah akan diperlakukan sebagai PNBP; sementara pembagian dana bagi masyarakat akan disalurkan ke dalam bentuk trust fund yang pengelolaannya diatur bersama oleh masyarakat dan pemerintah desa serta pengembang proyek. Trust fund ini dipergunakan untuk membiayai “..kegiatan pengamanan areal hutan proyek Pengembangan RAP-KARBON dan/atau PAN-KARBON dalam rangka mencegah kebocoran (leakeage)...(Pasal 17 ayat 4)”. Berbeda dengan REDD sebagaimana diatur dalam Permenhut P Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 143 30/2009 yang mengaitkan dana hasil REDD dengan pengentasan kemiskinan, dana yang diterima dari proyek karbon itu sebenarnya juga dipergunakan untuk keperluan pemberdayaan masyarakat namun dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kebocoran (leakage) dari wilayah proyek tersebut. (2) Peraturan perundang-undangan tidak langsung mengatur REDD Untuk membicarakan soal peratuaran perundang-undangan yang mengatur secara tidak langsung skema REDD, mau tidak mau akan mengarah pada persoalan perubahan iklim dan atau lingkungan hidup serta pengelolaan sumber daya alam. Jika diteropong dalam masalah ini, REDD sebenarnya bagian kecil dari persoalan lingkungan yang coba dicandra oleh pemerintah. Karena pengaturannya hanya dalam bentuk Permenhut, sementara urusan pengembangan skema REDD ini digantungkan pada kebijakan lain yang justru lebih umum dan mendasar, seperti dengan persoalan Kehutanan dan Tata Ruang, maka REDD menghadapi keterbatasan karena tidak bisa mengatur di luar lingkup Departemen Kehutanan. Dalam soal itu pula mencari hubungan REDD dengan peraturan di atasnya menjadi penting. Ada beberapa sektor yang terkait langsung dengan soal perubahan iklim/REDD ini: 1. Lingkungan hidup - UU No. 6 Tahun 1994 tentang Ratifikasi UNFCCC - UU No 17 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto - UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan hidup. UU Ini mengganti UU No.23 Tahun 1997 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada 5 Juni 1992, Indonesia menandatangani Konvensi Perubahan iklim (UNFCCC) dan meratifikasinya ke dalam UU No. 6 Tahun 1994 tentang Ratifikasi UNFCCC. Ini merupakan bukti keseriusan pemerintah dalam menanggapi isu perubahan iklim. Namun bisa dikatakan derajat kepentingan Indonesia, sebagai negara berkembang dan masuk dalam kategori negara Non-Annex, dalam soal perundingan iklim ini sangat rendah. Karena tidak ada kewajiban apapun yang ditimpakan perjanjian internasional itu kepada Indonesia serta tidak ada insentif apapun kepadanya. Walaupun demikian, sebagai negara berkembang dan anggota UNFCCC, Indonesia diharuskan melaporkan kondisi Gas Rumah Kaca dampak dan usaha mitigasinya kepada sekretariat UNFCCC. Dokumen yang dilaporkan itu bernama “The First 144 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? National Communication on Climate Change Convention” yang dilaporkan kepada Sekretariat UNFCCC pada tahun 1999. Pada tahun 1997, Pemerintah Indonesia menandatangai Protokol Kyoto dan meratifikasinya pada Bulan Juni tahun 2004 dan dituangkan dalam bentuk UU No 17 Tahun 2004. Salah satu keuntungan Indonesia dalam Protokol Kyoto adalah dapat terlibat dalam mekanisme CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih. Komnas PI, dijelaskan di bawah, banyak berperan dalam mendorong pembuat kebijakan agar meratifikasi Protokol Kyoto. UU 23 Tahun 1997 memberikan jalan bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dalam usaha pencegahan kerusakan lingkungan hidup. AMDAL adalah alat untuk mengukur sejauh mana kegiatan pembangunan memberikan dampak pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta memberikan solusi pengurangan dampaknya. Selain pencegahan, UU No 23 Tahun 1997 juga memberikan sanksi yang tegas kepada para pencemar dengan mendayagunakan prinsip pencemar membayar dan strict liability. UU 32 Tahun 2009 bergerak lebih maju lagi. Instrumen pencegahan kerusakan lingkungan tidak hanya Amdal/UKL-UPL, tetapi juga Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, izin lingkungan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup; dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu di tingkat kebijakan akan ada yang namanya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yag disusun secara berjenjang dari tingkat nasional, provinsi sampai kabupaten/kota, inventarisasi lingkungan hidup (nasional, pulau/kepulauan dan ekoregion) dan penetapan wilayah ekoregion. Dalam lingkup lingkungan hidup pula diatur soal penanganan kebakaran hutan dan lahan, yang dalam soal sumbangannya pada emisi Indonesia menempati posisi paling atas. 2. Penataan ruang - UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang telah dirubah dengan UU No. 26 Tahun 2007. Proses penataan ruang dianggap dapat memberikan arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan karena tidak Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 145 hanya soal penataan ruangnya yang diatur, tetapi juga masalah pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ketiga hal itu penting dalam soal perubahan iklim penataan ruang (yang disertai dengan lemahnya pengawasan) menyebabkan banyak lahan dalam kondisi tidak jelas peruntukannya sehingga menyulitkan untuk dikendalikan. Soal lemahnya penegakan hukum dalam mengawasi peruntukan lahan diselesaikan oleh UU 26/2007 yang memberikan sanksi bagi siapa saja yang melanggar peruntukan lahan yang sudah disepakati sebelumnya. 3. Kebencanaan - Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana Persoalan kebencanaan merupakan persoalan yang dalam kacamata pemerintah Indonesia dianggap paling dekat untuk didekatkan dengan pengendalian perubahan iklim. Beberapa kali, Pemerintah dalam dokumen perencanaan memandang penting pengendalian soal kebencanaan ini dengan melihat, misalnya, posisi geografis Indonesia yang berada di garis gunung berapi, dan diapit dua samudera besar. Pada saat yang sama, kondisi kebanyakan penduduknya masih belum sejahtera sehingga masih banyak penduduk yang berdiam di wilayah rawan bencana dan tidak menyadari soal kerawanan ini. Berbeda dengan cara pendekatan dulu dalam memandang soal kebencanaan yang selalu berlaku sebagai “pemadam kebakaran” atau pada saat terjadi bencana. UU 24/2007 ini memberikan arahan lain dalam penanganan kebencanaan yang tidak hanya pada saat terjadi bencana, tetapi juga pada sebelum terjadi bencana (sistem pencegahan dini, pendidikan tentang kerawanan wilayah,dst) serta monitoring dan pengawasannya. UU 24/2007 melengkapi dirinya dengan BNPB, sebuah badan di tingkat nasional, yang wewenang pada saat terjadi bencana/ keadaan gawat darurat, dapat memerintah badan pemerintah/ swasta apapun, seperti TNI, untuk membantu proses evakuasi bencana dan dapat memidanakan pihak yang menghalangi kerja BNPB ketika melakukan evakuasi bencana. Selain itu, soal pendanaan juga diatur sehingga dana dapat dipergunakan untuk kegiatan yang tepat sasaran. BNPB ini ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). UU 24/2007 dilengkapi dengan tiga Peraturan Pemerintah turunannya, yaitu: (1) PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang 146 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; (2) PP Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; serta (3) PP Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Untuk mengatur kelembagaan di tingkat pusat dan daerah, telah ditetapkan 4. Kehutanan - Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaiman diubah dengan UU No 19 Tahun 2004 Kehutanan jelas sektor yang sangat dekat sekali dalam soal perubahan iklim. Posisinya sangat unik, karena hutan dapat bekerja sebagai penyebab peningkatan emisi rumah kaca atau juga sebagai penyerap emisi rumah kaca. Posisi yang unik ini serta sulitnya menghitung emisi yang keluar dari hutan menyebabkan perdebatan tentang hutan dalam perundingan iklim berjalan tersendat-sendat. Kehutanan dianggap sebagai faktor penting dalam perjanjian iklim pasca Protokol Kyoto baru dibicarakan kencang di COP 11 di montreal sampai COP 15 di Kopenhagen. Skema REDD menjadi skema yang paling siap untuk dijadikan pengganti Protokol Kyoto pasca 2012 dan itu berimbas pada peningkatan posisi Departemen Kehutanan dalam soal perubahan iklim ini. UU 41/1999 memberikan arahan bagi pengelolaan kehutanan di Indonesia yang secara status dibedakan menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan hak. Karena posisi yang lebih kuat dan lebih luas maka soal hutan negara sebenarnya lebih banyak dibicarakan ketika berbicara soal “hutan”. Pemerintah c.q. Departemen Kehutanan sebagai pengelola hutan di Indonesia mengatur semua urusan yang ada hubungannya dengan penggunaan kawasan hutan, termasuk soal peruntukan hutan dan bagi siapa serta seberapa lama. Kebijakan desentralisasi membuat Departemen Kehutanan harus membagi perannya dalam mengelola kehutanan dengan pemerintah daerah; walaupun dalam kenyataannya, peran pemerintah daerah tetap kecil. Sektor kehutanan menjadi penting dalam soal perubahan iklim karena ia menjadi penyumbang terbesar emisi dari Indonesia (kebanyakan dari kebakaran hutan dan pembukaan hutan – apalagi jika lahannya gambut). Dengan menurunkan emisi dari sektor kehutanan, maka Indonesia mempunyai peluang besar untuk menurunkan emisi sebanyak 26% di tahun 2020. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 147 Dalam proses penurunan emisi sendiri, bisa dikatakan, Indonesia tinggal membetulkan praktik-praktik tidak baik dalam pengelolaan hutan, seperti menyelesaikan masalah tata batas kawasan hutan (mis. kawasan hutan yang tumpang tindih peruntukan (dan kepemilikannya) dengan pihak lain, termasuk dengan masyarakat adat), mengatur soal pelepasan kawasan hutan, alih status kawasan hutan, pembalakan liar (direncanakan atau tidak direncanakan), serius dalam mengelola kawasan hutan konservasi dan hutan lindung serta pengelolaan dan pengawasan pada pemanfaatan hutan produksi. Tetapi tinggal membetulkan praktik-praktik itu tidaklah berarti menyelesaikan soal dalam kehutanan ini gampang adanya. Keterikatan hutan dengan kepentingan ekonomi, sosial dan politik membuat persoalan kehutanan tidak bisa diselesaikan sendiri oleh kehutanan. Apalagi praktik tidak baik itu sudah mengarah pelemahan institusi kehutanan (misalnya, dengan perilaku korupsi). Beberapa peraturan pelaksanana UU 41/1999 yang berhubungan dengan soal perubahan iklim antara lain: PP. No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; PP No. 45 Tahun 2004 tentang perlindungan Hutan; PP No 6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan; serta PP 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan 5. Pertanian - UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria - Undang-Undang No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan - Undang-Undang No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Jika dilihat dari masa hubungannya dengan persoalan perubahan iklim, pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai hubungan panjang dengan soal perubahan iklim ini, terutama dihubungkan dengan kegiatan di bidang klimatologi dan metereologi. Kerja pertanian memang banyak ditentukan oleh kondisi iklim daerahnya. Pemerintah sudah memperhatikan kerentanan pertanian ini sejak perlunya dibangun stasiun-stasiun iklim untuk membantu petani meramalkan musim. Pertanian merupakan sektor lain yang sebenarnya, dalam konteks LULUCF, memegang peranan penting dalam soal pengendalian perubahan iklim. Pertanian, sebagaimana kehutanan, sama-sama berurusan dengan masalah pemanfaatan 148 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? lahan yang kontestasinya sangat tinggi; apalagi dengan kondisi Indonesia yang kemajuan ekonominya masih mengandalkan pada sumber daya alam. Tetapi pertanian juga berperan sebagai penyumbang emisi. Jika dihubungkan dengan soal peningkatan emisi dari hutan, peran pertanian, terutama perkebunan memegang peranan besar. Pembukaan lahan hutan, baik berizin maupun tidak berizin, untuk kepentingan perkebunan yang berjalan dengan sangat masif telah menjadi faktor utama terjadinya deforestasi di Indonesia. Perhatian yang lebih besar untuk mengarahkan sektor perkebunan agar tidak mempergunakan lahan hutan dalam ekspansi lahannya perlu dilakukan segera. Apalagi, banyak pembukaan lahan hutan atau praktik perkebunan besar yang dikerjakan di lahan bergambut. Praktek ini sebenarnya diperbolehkan dengan kriteria tertentu yang ditentukan oleh perundang-undangan (mis. Permentan no. 14/Permentan/ PL.110/2/2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit) Agar deforestasi bisa dibatasi dan pemakaian lahan gambut untuk kepentingan perkebunan harus dibuat kebijakan yang mempersulit kedua proses itu terjadi yang dalam kenyataannya justru lebih mudah, karena misalnya hanya dengan perizinan dari bupati, perkebunan di lahan APL dapat dilangsungkan. Selain pendekatan lewat perubahan regulasi, mempersulit pemakaian lahan hutan dan lahan bergambut buat perkebunan dapat juga dilakukan lewat pendekatan ekonomi, seperti pengenaan disinsentif berupa pajak ekspor atau bentuk pajak lainnya. Dalam soal lahan untuk pangan, pemerintah makin menyadari semakin sempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan pertanian yang masif yang terjadi di Jawa. Sebagai usaha untuk mencapai ketahanan pangan, pemerintah mencari lahanlahan subur yang berada di luar jawa. Kebanyakan lahan itu berada di kawasan hutan. Ini juga menjadi persoalan penting di dalam pengendalian perubahan iklim. Apalagi disadari bahwa iklim yang berubah-ubah seperti sekarang ini membuat posisi pertanian juga menjadi rentan yang mendatangkan berbagai masalah seperti sulitnya memulai masa tanam, kerusakan saat panen, timbulnya hama tanaman baru dan lebih kebal terhadap pestisida, dan masih banyak lagi. Masalah tersebut tentu akan menggangu ketahanan pangan yang dengan tersengal dicobategakkan oleh pemerintah. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 149 (ii) Kelembagaan Kelembagaan merupakan faktor kedua yang penting untuk melihat bagaimana suatu kebijakan (pemerintah) direalisasikan di tingkat lapangan. Pembentukan kelembagaan merupakan isyarat penting bahwa kebijakan itu bisa dijalankan. Dalam menganalisa kelembagaan ini ada beberapa isu yang bisa dikemukakan, seperti misalnya: (1) distribusi hak dan kewajiban antar aktor; (2) koordinasi atau interaksi antar aktor dan (3) Institusi/lembaga ini menentukan siapa yang mempunyai akses ke suatu sumber daya dan kekuasaan untuk membuat keputusan. Pengertian kelembagaan ini hanya merujuk pada proses pembentukan lembaga dan bagaimana lembaga tersebut bekerja untuk mewujudkan kebijakan pemerintah. Karenanya ia tidak merujuk pada pengertian “institutionalisasi” yang tidak hanya mencakup pembentukan lembaga tetapi juga proses pelembagaan nilai-nilai dan struktur yang berkembang. Sebelum melangkah ke arah sana, akan dibicarakan terlebih dahulu sejarah singkat pembentukan lembaga terkait perubahan iklim dan REDD di Indonesia. (1) Sejarah singkat pembentukan kelembagaan terkait perubahan iklim/REDD Dalam soal pembentukan lembaga yang mengurus perubahan iklim, Indonesia sudah berjalan jauh. Kementerian Lingkungan Hidup menjadi pionirnya. Bukan hanya dalam soal ditunjuknya KLH sebagai “national focal point” atau “perwakilan nasional” Indonesia perundingan UNFCCC atau adanya Unit Perubahan Iklim yang berada di bawah Deputi Perlindungan Lingkungan Hidup. Namun, KLH pada awal tahun 1990-an diisi oleh orang-orang yang punya visi jauh dan berdedikasi tinggi dalam soal lingkungan hidup sehingga menghasilkan ide-ide perlindungan lingkungan hidup cukup visioner untuk ukuran negara berkembang seperti Indonesia. Pada tahun 1990, Pemerintah Indonesia sudah membentuk lembaga yang bernama Komisi Nasional tentang Iklim dan Lingkungan Hidup yang diketuai oleh Menteri Lingkungan Hidup dengan anggotanya yang berasal dari berbagai sektor seperti kehutanan dan pertanian (NEDO, 2006). Pembentukan lembaga ini mendahului keterlibatan pemerintah Indonesia dalam Konvensi Bumi di Rio de Janeiro, 1992. Ia merupakan respon KLH dengan semakin menanjaknya isu perubahan iklim – waktu itu tepatnya soal lapisan ozon yang bolong – di dunia internasional. Pada tahun 1992, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup, kembali membentuk lembaga ad 150 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? hoc yang berhubungan dengan antisipasi perubahan iklim bernama Komisi Nasional Perubahan Iklim (Komnas PI). Komnas PI ini dibentuk dengan Keputusan MenLH No. 35 Tahun 1992. Keanggotaan Komisi Nasional Perubahan Iklim ini pada awalnya lebih luas dari Komisi Nasional Iklim dan Lingkungan Hidup, karena anggotanya tidak hanya datang dari pihak pemerintah, tetapi juga dari kalangan akademik dan NGO. Jika dilihat dalam struktur pemerintah saat itu, pembentukan lembaga pemerintah yang memasukkan unsur NGO menjadi catatan tersendiri. Bahkan bisa dikatakan, pembentukan lembaga selanjutnya, baik di dalam soal perubahan iklim maupun REDD tidak lagi menempatkan anggota non-pemerintah sebagai salah satu anggotanya. Namun, struktur keanggotaan Komnas PI ini berubah seiring dengan lahirnya Keputusan MenLH No. 53 Tahun 2003 dengan hanya meninggalkan anggota dari kalangan pemerintah saja. Tugas Komnas PI ini adalah membantu Pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, memonitor dan mengevaluasi kebijakan yang ada terkait perubahan iklim dan pelaksanaan di lapangan. Komnas juga bertugas untuk memberikan bantuan kepada Pemerintah Indonesia dalam menanggapi perkembangan perundingan internasional terkait perubahan iklim dan menginisiasi kerjasama baik secara nasional, regional dan internasional dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. Seiring dengan makin ramainya perbincangan soal mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan yang diatur dalam Protokol Kyoto, Indonesia menanggapinya dengan meratifikasi Protokol Kyoto dengan UU No 17 Tahun 2004. Sayang sekali, ketika Protokol Kyoto diimplementasikan di lapangan, pengurangan emisi dari deforestasi dijadikan skema yang hanya berlaku di negara-negara industri (Annex 1), dan dikeluarkan dari Mekanisme Pembangunan Bersih atau CDM. Padahal hanya dalam skema CDM inilah, negara-negara berkembang dapat bekerja sama dengan negara-negara maju dalam usaha mitigasi perubahan iklim. Kebijakan Indonesia terkait CDM cukup tanggap dengan pembentukan peraturan serta lembaga. Sebelum adanya CDM, kebijakan Indonesia terkait perubahan iklim masih kabur dan tidak ada keterkaitannya dengan apa yang dilakukan di dalam negeri Indonesia. CDM merupakan piranti internasional pertama terkait perubahan iklim yang diadopsi oleh Indonesia dan dimasukkan dalam kebijakan pemerintah Indonesia. Wujud dari kebijakan itu tampak dalam peraturan perundang-undangan serta pembentukan lembaga. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 151 Terkait dengan soal kelembagaan, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengambil alih tugas Komnas PI dan kemudian diserahkan ke lembaga baru bernama Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih atau Komnas MPB. Komnas MPB itu sendiri merupakan perwujudan dari Designated National Authority sebagaimana diminta dalam Protokol Kyoto dan berada di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup. Komnas MPB ini didirikan dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 206 Tahun 2005. Dengan pengambil alihan tugas ini, Komnas PI pun dibubarkan. Komnas MPB ini bertanggungjawab untuk mengeluarkan surat persetujuan atas usulan proyek-proyek CDM, melakukan monitoring terhadap kemajuan proyek CDM, mengorganisir pertemuanpertemuan untuk tim teknis, serta memberikan konsultansi dan fasilitasi kepada para pemangku kepentingan, pengembang proyek, dan masyarakat terkait dengan data dan informasi terkait dengan CDM. Struktur Komnas MPB mengalami perubahan yang disebabkan karena lahirnya Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada tahun 2008. Perubahan Komnas MPB ini ditetapkan dengan KepmenLH No. 522 Tahun 2009 yang berupa perubahan pada struktur dengan memasukkan Komnas MPB ke dalam kesekretariatan DNPI, menambah jumlah anggota Komnas MPB dari 9 menjadi 14 instansi, membentuk Tim Teknis, Kelompok Tenaga Ahli dan Forum Para Pemangku Kepentingan. Kesekretariatan DNPI juga berkewajiban untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan Komnas MPB. Dengan demikian, Komnas MPB ini tidak diambil alih tugasnya oleh DNPI, sebagaimana Komnas MPB mengambil tugas Komnas PI. Hal tersebut terjadi karena posisi Komnas MPB diwajibkan ada jika Indonesia ingin mendapatkan insentif dari adanya proyek CDM. Selain itu, DNPI sendiri menjadi salah satu anggota Komnas MPB. (2) Lembaga terkait REDD Di tempat lain, di Departemen Kehutanan tidak tinggal diam dalam mengantisipasi isu perubahan iklim ini, terutama dengan semakin menguatnya dorongan dari komunitas internasional untuk mengikutsertakan hutan – dalam hal ini pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan – ke dalam strategi mitigasi perubahan iklim. Bahkan, sampai sekarang, hanya opsi REDD ini yang lebih siap dijadikan sebagai pengganti Protokol Kyoto pasca 2012 nanti. Selain memberdayakan fungsi-fungsi kelembagaan yang ada di bawah Departemen Kehutanan (sekarang menjadi Kementerian Kehutanan), seperti Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Dirjen PHKA dan Baplan 152 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? serta Balitbang Dephut, Kemenhut juga merasa penting untuk membentuk badan ad-hoc di luar lembaga-lembaga yang sudah ada. 1. IFCA - Indonesia Forest Climate Alliance. Pada bulan Juli 2007, Kemenhut membentuk IFCA atau Indonesia Forest Climate Alliance yang dimaksudkan sebagai forum untuk komunikasi/ koordinasi para stakeholder serta memberikan fasilitasi substansi dalam membahas isu-isu REDD. IFCA ini berada di bawah Badan Litbang Kehutanan. IFCA ini tidak mempunyai nama resmi dalam Bahasa Indonesia; biarpun ia adalah lembaga yang dibentuk oleh Departemen Kehutanan. Di dalamnya, anggotanya tidak hanya berasal dari staf Dephut, tetapi juga stakeholder lain semisal Bappenas atau KLH, serta dari nonpemerintah, seperti dari kalangan NGO atau lembaga penelitian, baik nasional maupun internasional. Karena hanya sebagai forum kemunikasi, IFCA tidak mempunyai kewenangan apapun yang sifatnya eksekutif. Ia malah menjadi semacam think tank yang menggodok skema REDD versi Indonesia atau menyebarluaskan pentingnya skema REDD dan harus terlibatnya Indonesia REDD kepada segenap khalayak. Sebagaimana sudah disinggung dalam soal perencanaan kebijakan pemerintah c.q. Departemen kehutanan, pada tahun 2007 dan tahun 2008, tidak ada kegiatan pemerintah yang berhubungan langsung dengan skema REDD, yang berkonsekuensi pada tidak ada atau minimnya alokasi dana yang disediakan oleh pemerintah untuk mendorong isu ini. Karena itu dapat dipahami ketika IFCA dalam melakukan penelitian soal REDD tersebut mengandalkan bantuan asing seperti dari Bank Dunia, Pemerintah Australia, Inggris dan Jerman. Mungkin ini alasan paling sahih mengapa IFCA tidak memiliki nama resmi dalam Bahasa Indonesia. Kontribusi IFCA yang dapat dicatat adalah dengan membuat semacam path way REDD dari mulai tahap perencanaan, readiness sampai implementasi penuh di tahun 2012. Path way ini kemudian dipublikasikan dengan judul : “IFCA Consolidation Report: REDD in Indonesia”(Departemen Kehutanan, 2008). 2. Lembaga ad hoc yang disinggung dalam 3 Permenhut terkait REDD Permenhut P 68/2008 menyiapkan sebuah lembaga yang bertugas membantu Menhut menilai usulan DA REDD dari para pengembang bernama Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan. Sebagaimana disebutkan akan disebutkan di bawah, ada beberapa nama Kelompok Kerja yang berhubungan dengan soal perubahan iklim, namun baru dengan SK 2010 dibentuk atau tepatnya revisi pmbentukan lembaga yang memang bertugas untuk Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 153 memberikan penilaian usulan pihak ketiga terkait kegiatan mitigasi, adaptasi, transfer teknologi dalam Kementerian Kehutanan, yang bernama Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan. Untuk melaksanakan Permenhut P 30/2009 secara paripurna, Departemen Kehutanan harus membentuk atau menunjuk beberapa lembaga, yakni membentuk Komisi REDD dan menunjuk Komite Akreditasi Nasional untuk mengakreditasi Lembaga Penilai Independen sebelum keputusan lahir di tingkat UNFCCC. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas Komisi REDD saja. - Komisi REDD Komisi REDD ini adalah komisi yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan dan bertugas dalam pengurusan pelaksanaan REDD. Dalam Permenhut P 30/2009 tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan ketentuan lebih lanjut soal pembentukan Komisi REDD ini. Seolah sudah ada Komisi REDD di tingkat Departemen Kehutanan. Dalam kenyataan Komisi REDD ini belum dibentuk. Memang sempat ada draft Permenhut yang mengatur soal pembentukan Komisi REDD ini.92 Namun sampai sekarang kelanjutan penyusunan Permenhut REDD masih dalam tahap revisi.93 Permenhut ini juga tidak memberikan arahan lembaga mana yang sementara akan mengerjakan tugas Komisi REDD jika Komisi REDD belum terbentuk. Jelasnya, dari sejak 1 Mei 2009 sampai saat tulisan ini dibuat, posisi Permenhut itu masih belum bisa bergerak karena belum ada lembaga yang mengurus soal permohonan REDD atau mengeluarkan Sertifikat Pengurangan Emisi Karbon. Tapi pemerintah memang tidak perlu terburu-buru dalam soal pembentukan REDD ini, mengingat status REDD yang masih digantungkan pada hasil di perundingan internasional. Selain itu, Permenhut ini sudah membuat jalan keluarnya sendiri: sebelum tahun 2012 atau saat diberlakukannya REDD, maka REDD akan dilakukan dalam bentuk DA REDD, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, serta perdagangan karbon sukarela. Untuk DA REDD, tugas itu bisa diambil alih oleh Pokja PI Kemenhut, sementara untuk perdagangan karbon sukarela bisa diselaraskan dengan Permenhut P 36/2009. Permenhut P 36/2009 sendiri hanya membutuhkan pembentukan satu lembaga saja, yakni Badan Registrasi Nasional. Pembentukan konsultan atau lembaga penilai independen sendiri tidak diatur karena bisa memakai lembaga penilai independen yang ada. 92 93 Draft yang dimiliki Penulis tertanggal 18 Maret 2009 berjudul Komisi Penanganan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Komisi REDD). IFCA, 2010. REDD Indonesia: sampai dimana kita? IFCA Newsletter, Volume 1 May 2010. 154 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Sementara dalam urusan pengurusan permohonan, Permenhut ini mempergunakan lembaga yang sudah ada di dalam Dephut, yakni Dirjen BPK yang dibantu oleh Dirjen Baplan. Namun Permenhut mengatur cara jika Badan Registrasi Nasional belum terbentuk. Tugas Badan Registrasi Nasional akan dilakukan oleh Dirjen BPK. Tapi bentuk peregistrasian itu masih harus dijelaskan mengingat Dirjen BPK ini sangat luas: ke bagian mana di dalam Dirjen BPK penyampaian hasil verifikasinya? Kejelasan ini penting karena dari hasil registrasi itu akan muncul yang namanya Sertifikat VER (Verified Emission Reduction) yang bisa diperjualbelikan baik di pasar dalam maupun luar negeri. 3. Kelompok Kerja Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD) Pokja ini dibentuk berdasarkan SK Balitbang No 5/VIII-SET/2009 pada tanggal 13 Februari 2009 namun keberlakuan SK ini berlaku surut hingga tanggal 1 Januari 2009. Pokja ini berada di bawah Balitbang Dephut dan memang dibentuk karena menyadari fungsi penting Balitbang sebagai badan yang memberikan rekomendasi-rekomendasi teknis-scientific berkaitan dengan rencana implementasi REDD. Tugas Pokja REDD Balitbang itu sendiri adalah: 1. Mendokumentasikan seluruh informasi berkaitan dengan hasil-hasil studi, penelitian, dan inisiatif berkaitan dengan upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi; 2. Menyusun rekomendasi-rekomendasi teknis-scientific dan kebijakan tentang langkah tindak lanjut yang harus dilakukan Indonesia guna menangkap peluang dari skema REDD dan proses negosiasi lebih lanjut; 3. Bekerjasama dengan mitra memfasilitasi berbagai bentuk pertemuan seperti focus group discussion, workshop dan lain-lain dengan berbagai pihak, sebagai langkah persiapan implementasi skema REDD di Indonesia; 4. Mensinergikan seluruh upaya dan kegiatan yang berhubungan dengan penurunan emisi gas rumah kaca melalui REDD di Indonesia dalam payung IFCA; 5. Mendukung tugas-tugas Kelompok Kerja Perubahan lklim Lingkup Departemen Kehutanan dalam melaksanakan program dan kegiatan yang terkait perubahan iklim, terutama yang menyangkut aspek teknis-saintifik dan analisis kebijakan; 6. Memberikan masukan kepada Kepala Badan Litbang Kehutanan tentang kebijakan yang berkaitan dengan REDD dan isu lain yang terkait perubahan iklim. Dari tugas itu terlihat bahwa Pokja REDD Balitbang itu tidak hendak dikerdilkan di bawah sarang Balitbang saja, tetapi merambah pula ke tingkat nasional dengan memberikan rekomendasi, misalnya, bagi penyusunan kebijakan terkait REDD pada pemerintah. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 155 Namun ada tugas yang terdengar agak janggal, yakni tugas ke-4 yang hendak menyinergikan semua upaya/kegiatan dalam soal REDD di bawah payung IFCA. Apakah yang dimaksud itu lintas departemen atau hanya internal departemen saja? Jika soalnya mengarah keluar dari departemen maka pertanyaan soal legitimasi mengemuka. Misalnya harus mensinergikan upaya terkait penurunan emisi lewat REDD ini dengan DNPI: apakah kedudukan kedua badan ini sepadan. Lebih tepat DNPI yang mensinergikan upaya/kegiatan terkait dengan REDD dengan Pokja REDD Balitbang. Ini, sebagaimana akan dilihat di bawah ketika membicarakan soal Kelompok kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan, memperlihatkan adanya semangat yang luar biasa dari kalangan Departemen Kehutanan untuk menarik semua isu REDD ke tangan Dephut dan di sisi lain menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga di bawah Dephut saling bersaing dalam soal REDD. Balitbang – lewat Pokja REDD – memosisikan dirinya sebagai lembaga yang hendak menyinergikan seluruh upaya dan kegiatan terkait REDD di bawah IFCA, tanpa sama sekali menyebut di wilayah mana dan berdasarkan kewenangan apa. Balitbang memang dapat percaya diri dalam berbicara soal REDD (atau perubahan iklim lingkup Dephut) karena di dalam Renja Dephut sendiri sejak 2008 - 2010, banyak sekali kegiatan yang mengarah pada penelitian soal REDD. Soal koordinasi dengan lembaga lain. Ada dua lembaga yang disebut dalam SK ini, yakni IFCA dan Kelompok kerja Perubahan Iklim lingkup Departemen Kehutanan. Hubungan dengan IFCA tidak disebutkan dengan jelas. Hanya saja ada penjelasan bahwa IFCA ini dibentuk sebagai media komunikasi dan fasilitasi substansi, koordinasi dan sinergi. Apakah Pokja REDD ini ingin melakukan tugas yang berbeda dengan IFCA atau malah ingin memperkuat peran IFCA, khususnya terkait dengan memberikan rekomendasi-rekomendasi saintifik-teknis berkaitan dengan rencana implementasi REDD? Dan yang lebih penting lagi, apakah ada perbedaan antara IFCA dengan Pokja REDD Balitbang ini? Sebaliknya, hubungan dengan Kelompok kerja Perubahan Iklim lingkup Departemen Kehutanan disebutkan dengan jelas dimana Pokja REDD akan mendukung tugas Pokja PI, terutama untuk soal analisa kebijakan dan rekomendasi saintifik-teknis. 4. Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan merupakan lembaga yang disebut di dalam 156 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Permenhut P 68/2008 yang bertugas membantu Menteri Kehutanan dalam menilai kelayakan permohonan Demonstration Activities (DA) REDD yang diajukan para pemohon. Penulis tidak bisa melacak keberadaan lembaga yang sebenarnya dibutuhkan dengan segera ini. Hanya saja pada tahun 2008, dengan SK Nomor 455/Menhut-II/2008, Departemen Kehutanan ternyata membentuk sebuah lembaga dengan nama yang hampir mirip Kelompok Kerja Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan. Perbedaan nama membuat penulis yakin bahwa kedua lembaga tersebut merupakan dua lembaga yang berbeda. Selain itu, yang paling penting adalah, sebagaimana akan dijelaskan di bawah, Kelompok Kerja Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan ini tidak diberikan kewenangan untuk membantu Menteri Kehutanan dalam menilai usulan pihak ketiga terkait DA REDD. 5. Kelompok kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan Penulis membuat penamaan generik berupa Pokja Perubahan Iklim karena berubah-ubahnya pembentukan serta nama pada, setidaknya tiga, lembaga yang ketika dibaca sebenarnya menyandang tugas yang sama. Sub-judul di atas dipakai karena nama lembaga itu yang paling akhir dibentuk dan sampai sekarang belum ada perubahan baik dari nama maupun struktur organisasinya. Keberadaan Pokja Perubahan Iklim di bawah Kementerian Kehutanan ini ternyata berubah-ubah dan menunjukkan dinamisnya pembentukan kelembagaan terkait REDD di Departemen Kehutanan. Setelah pembentukannya pada 2 Desember 2008, Kelompok Kerja Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan dalam waktu yang sangat singkat, kemudian dirubah menjadi Kelompok kerja Perubahan Iklim lingkup Departemen Kehutanan, yang dibentuk dengan SK No. 13/Menhut-II/2009 pada tanggal 12 Januari 2009. Namun hampir setahun kemudian, pada tanggal 26 Januari 2010, Kementerian Kehutanan mengeluarkan SK Nomor 64/Menhut-II/2010 yang merupakan perubahan terhadap SK Nomor 13/Menhut-II/2009 sekaligus membubarkan Kelompok kerja Perubahan Iklim lingkup Departemen Kehutanan dan menggantikannya dengan Kelompok kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan. Tabel di bawah mencoba untuk menjabarkan perbedaan antara tiga lembaga yang sebenarnya bertugas sama namun perbedaan kebijakan di atasnya telah membuatnya bisa dibedakan. Ada beberapa isu yang layak untuk dicatat. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 157 Tabel 3.8. perbedaan lembaga terkait perubahan iklim di bawah Dephut Item Pembeda SK Nomor 455/ Menhut-II/2008 SK No. 13/MenhutII/2009 SK No. 64/ Menhut-II/2010 Kelompok Kerja Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan Kelompok kerja Perubahan Iklim lingkup Departemen Kehutanan Kelompok kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan Dasar ‘…perlu ditetapkan pembentu- kebijakan pengelokan laan hutan dengan mengembangkan pengendalian perubahan iklim di bidang Kehutanan’ “…perlu ditetapkan kebijakan pengelolaan hutan yang mengaplikasikan pengendalian perubahan iklim di bidang Kehutanan” “…dikembangkan kebijakan pengelolaan hutan secara lestari sebagai upaya mitigasi perubahan iklim” Dasar Perundangundangan 10 item 10 item 11 item (ditambah dengan Perpres No 84/P tahun 2009) Tugas a. memberikan a. memberikan a. memberikan masukan kepada masukan kepada masukan keMenteri KehuMenteri Kehupada Menteri tanan tentang tanan tentang Kehutanan tenkebijakan, dan kebijakan, dan tang kebijakan, rencana strategi, rencana strategi, strategi, program serta program serta program dan kegiatan dan kegiatan dan kegiatan adaptasi dan yang terkait peyang terkait pemitigasi perubarubahan iklim rubahan iklim han iklim pada di lingkungan lingkup Departekementerian KeDepartemen Kemen Kehutanan hutanan hutanan b. Membantu b. Membantu Menb. Membantu MenMenteri Kehuteri Kehutanan teri Kehutanan tanan di dalam di dalam melakdi dalam melakmelaksanakan sanakan tugas sanakan kegiakegiatan yang kegiatan-kegtan yang terkait terkait perubahan iatan adaptasi, perubahan iklim iklim yang memitigasi, dan yang meliputi liputi kegiatanalih teknologi kegiatan-kegkegiatan adaptasi, pada Kementeiatan adaptasi, mitigasi, dan alih rian Kehutanan. mitigasi, dan teknologi lingkup c. Membantu Menalih teknologi Departemen Keteri Kehutanan di lingkungan hutanan. melakukan Departemen Ke- c. Membantu Menevaluasi kebihutanan. teri Kehutanan jakan adaptasi, mitigasi, dan Nama 158 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? c. Membantu Men- mengevaluasi ke alih teknologi teri Kehutanan bijakan kegiatan Kementerian mengevaluasi terkait perubahan Kehutanan. kebijakan kegiklim yang med. Mengelola data iatan terkait liputi kegiatandan informasi perubahan iklim kegiatan adaptasi, kegiatan-kegyang meliputi mitigasi, dan alih iatan adaptasi, kegiatan-kegteknologi lingkup mitigasi, dan iatan adaptasi, Departemen Kealih teknologi mitigasi, dan hutanan. pada Kementealih teknologi d. Mengelola data rian Kehutanan. di lingkungan dan informasi e. Membantu Departemen Keterkait perubahan menteri Kehuhutanan. iklim yang metanan menilai d. Mengelola data liputi kegiatanusulan kegiatan dan informasi kegiatan adaptasi, pihak ketiga terkait perubamitigasi, dan alih yang berkaitan han iklim yang teknologi lingkup dengan implemeliputi kegDepartemen Kementasi kebiiatan-kegiatan hutanan. jakan adaptasi, adaptasi, mitie. Memfasilitasi inimitigasi dan gasi, dan alih siatif para pihak alih teknologi teknologi di dalam mitigasi perubahan iklim lingkungan Deperubahan iklim pada Kementepartemen Kehudi bidang kehurian Kehutanan tanan tanan, meliputi yang antara lain mekanisme pemmeliputi mekabangunan bersih nisme pembandan pengurangunan bersih gan emisi dari dan pengurandeforestasi dan gan emisi dari degradasi hutan. deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Ketua Dirjen Baplan Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan Sekretaris -(diganti dengan ketua eksekutif, yakni, Staf Ahli Menteri bidang Lingkungan Hidup) Sekretaris I : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan sekretaris II : Direktur Perencanaan Kawasan Huta Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Anggota 14 anggota (memasukkan Sekretaris Inspektorat Jenderal) 12 Anggota 14 Anggota (memasukkan Kabiro Perencanaan) Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 159 Pembiayaan Anggaran Departemen Kehutanan KeDiatur dan wajib beradaan/ pengangkatan sekretariat/ sub-kelompok Anggaran Departemen Kehutanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kementerian Kehutanan Diatur dan wajib Diatur tapi optional (diserahkan pada ketua Pokja) Pertama: Asal usul. Nampak jelas bahwa SK No. 64/Menhut-II/2010 jauh lebih tegas dalam membuat alasan pembentukan lembaga ini dengan menghubungkannya pada apa yang terjadi setelah COP 13 Bali dan peranan hutan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Ia secara terbuka menyatakan bahwa pengembangan kebijakan pengelolaan hutan secara lestari memang bisa dijadikan strategi mitigasi perubahan iklim. Titik tekannya ada pada pengembangan pengelolaan hutan secara lestari dan bukan pada perubahan iklimnya. Sementara dalam 2 SK sebelumnya disebutkan pengembangan kebijakan kehutanan disesuaikan dengan pengendalian perubahan iklim. Kedua: Legitimasi staf ahli menteri. Dari segi struktur organisasi, dua SK menteri terakhir (2009 dan 2010) menempatkan lembaga di bawah Menteri Kehutanan (Baplan, BPK, PHKA, RLPA, Balitbang, Sekjen dan Irjen) berada di posisi sebagai pengarah, sementara dalam SK tahun 2008, posisi Baplan justru sebagai ketua Pokja itu. Posisi ini jelas “menurunkan” posisi Dirjen Baplan di bawah Dirjen-Dirjen lain. Karena itu pula SK tahun 2008 itu hanya berlaku kurang dari satu setengah bulan. Namun menempatkan staf ahli sebagai ketua harian dalam Pokja PI Kementrian Kehutanan juga rawan dalam soal legitimasi. Dalam Struktur Organisasi Departemen Kehutanan, posisi staf ahli memang tinggi karena langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Kehutanan, tapi dia tidak mempunyai relasi kerja dengan organisasi lain di dalam Departemen Kehutanan (semisal Irjen, Dirjen)94. Memang, dalam urusan keadministrasian ia diatur oleh Sekjen c.q. Biro Umum bagian Tata Usaha Pimpinan, namun tidak dalam soal lainnya. Staf ahli bahkan, menurut Permenhut P 13/Menhut-II/2005,95 bertugas memberikan telaahan mengenai masalah tertentu sesuai bidang keahliannya, yang tidak menjadi bidang tugas Sekretariat Jenderal, 94 95 Lihat bagan struktur organisasi Departemen Kehutanan di dalam Permenhut P 13/Menhut-II/2005. Dirubah dengan Permenhut P 64/Menhut-II/2008; namun tidak ada perubahan pada soal staf ahli menteri 160 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Direktorat Jenderal, Badan, dan Inspektorat Jenderal. Tugasnya hanya memberikan telaahan atas suatu perkara yang sesuai dengan bidang keahliannya yang tidak menjadi tugas bagian lain di Departemen Kehutanan. Lalu jika tugasnya hanya menelaah, dari mana datangnya legitimasi untuk mengkoordinasi anggota dalam Pokja itu atau mengangkat anggota sekretariat Pokja PI? Seharusnya ada perubahan pada tugas staf ahli menteri terdahulu sebelum membebankan dia dengan kewenangan yang lebih bersifat “eksekutorial”. Posisi staf ahli menteri sebagai ketua Pokja PI Kementerian Kehutanan dan kemudian dihubungkan dengan tugas “sebenarnya” staf ahli menteri sebenarnya membuka satu pesan penting: Departemen Kehutanan masih belum yakin akan ditempatkan di mana, atau siapa yang harus memegang isu perubahan iklim ketika harus diintegrasikan ke dalam struktur organisasinya. Departemen Kehutanan hampir yakin bahwa isu perubahan iklim dalam sektor kehutanan itu bukan isu sektoral; ia harus bersifat lintas sektoral. Namun siapa yang lebih punya kewenangan untuk memegang isu itu di dalam internal Dephut sendiri? SK tahun 2008 dengan sangat yakin bahwa hal itu bisa dikoordinasikan di bawah Dirjen Baplan, namun kemudian dianggap tidak sesuai dan kemudian diserahkan kepada staf ahli menteri yang bertugas hanya menelaah perkara yang bukan tugas lembaga di bawah Menhut lainnya. Penempatan staf ahli sebagai Ketua Pokja PI Kemenhut barangkali dipergunakan untuk memperlihatkan bahwa isu perubahan iklim tidak bisa berada di bawah kangkangan satu dirjen tertentu. Dalam hal ini, penempatan itu sudah baik. Memberikan kursi ketua Pokja pada “orang dekat menteri” juga bisa berdampak baik dalam meredakan perbedaan persepsi antar dirjen atau badan di bawah Menhut terkait perubahan iklim. Di sisi lain, masalah terbatasnya tugas staf ahli menjadi keterbatasan tersendiri dalam mengerjakan tugas terkait perubahan iklim (yang bukan tugas dirjen, sekjen, irjen dan badan), tapi juga tidak otomatis langsung menjadi kewenangan dirinya, tanpa ada perubahan dahulu pada tugas pokoknya. Ketiga: Koordinasi. Dari segi tugas, Kelompok kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan (SK tahun 2010) menjadi pihak yang menilai usulan - dan tidak lagi hanya memfasilitasi - pihak ketiga dalam kegiatan terkait implementasi kebijakan perubahan iklim baik itu berupa Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) atau REDD. Menarik untuk menghubungkan tugas Kelompok kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan ini terutama dalam membantu Menhut dalam menilai usulan pihak ketiga terkait, antara lain CDM dan REDD, Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 161 dengan lembaga-lembaga lain (DNPI) termasuk dengan lembagalembaga yang disinggung keberadaannya dalam 3 Peraturan Menteri terkait REDD maupun dalam soal CDM. Dalam soal CDM, khususnya soal A-R CDM, Permenhut P 14/ Menhut-II/2004 menyebutkan bahwa Menteri Kehutanan dapat membuat sebuah kelompok kerja yang tugasnya adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada Menhut terkait dengan usulan CDM di lingkungan Departemen Kehutanan. Setelah menerima saran dan pertimbangan, Menhut membuat “… arahan atas usulan proyek, dan memberikan keterangan kepada Komisi Nasional MPB bahwa usulan proyek tersebut mempunyai kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan…”(Pasal 11). Pengembang proyek yang telah menerima arahan dari Menhut tersebut akhirnya akan membuat Dokumen Rancangan Proyek (DRP) dan menyerahkannya kepada Komnas MPB untuk dinilai. Singkatnya, dalam urusan CDM, lembaga yang berhak menilai adalah Komnas MPB. Menhut hanya memberikan semacam rekomendasi yang menyatakan bahwa usulan proyek yang diusulkan oleh pengembang sudah sesuai dengan arah pembangunan berkelanjutan di bawah Departemen Kehutanan. Dengan melihat kesamaan tugas antara kelompok kerja dengan Pokja PI Kemenhut ini, maka setelah lahirnya SK 2010 ini, seluruh usulan pengembang CDM kehutanan akan mendapatkan penilaian dari Pokja ini. Lalu bagaimana hubungan antara Pokja PI Kemenhut ini dengan lembaga yang disinggung di dalam 3 Permenhut terkait REDD? Sepertinya hanya dalam urusan DA REDD saja peranan dari Pokja PI Kemenhut ini. Dalam soal REDD, sudah ada badan yang akan dibentuk bernama Komisi REDD; karena belum dibentuk maka bentuk hubungan koordinasinya belum kelihatan. Dalam soal perdagangan karbon berupa pemanfaatan penyerapan/penyimpanan karbon, sebagaimana diatur di dalam Permenhut P 36/2009, bentuk koordinasinya belum jelas dan sepertinya Permenhut P36/2009 ini lebih akan mempergunakan lembaga-lembaga yang memang terbiasa – tidak membentuk lembaga baru atau – mengurus soal perizinan atau pengurusan verifikasi, dst. Dalam hubungannya dengan DNPI, penulis akan menceritakan terlebih dulu soal struktur DNPI ini. 6. Dewan Nasional Perubahan Iklim Dewan Nasional Perubahan Iklim atau DNPI didirikan dengan Perpres No. 46 Tahun 2008 pada tanggal 4 Juli 2008. Pada dasarnya dua hal yang diminta dikerjakan oleh DNPI ini, yaitu mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim, dan memperkuat posisi 162 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan iklim. Adapun tugas DNPI adalah a. merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; b. mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan; c. merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon; d. melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim; e. memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara- negara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim. Dalam struktur kelembagaan, DNPI merupakan lembaga setingkat departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dimana dia duduk sebagai ketua DNPI. Menko Kesra dan Menko perekonomian menjadi wakil ketuanya. Untuk kerja sehari-hari, DNPI ini dilakukan oleh ketua harian (Rahmat Witoelar) yang ternyata bukan perwakilan dari departemen atau lembaga pemerintah lainnya. Anggota DNPI terdiri dari 17 menteri dan ditambah dengan Kepala BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Dalam tugas kesehariannya, Ketua Harian dibantu oleh Sekretariat DNPI dan Kelompok Kerja. Sekretariat DNPI dijalankan oleh Sekretariat DNPI yang dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat. Sementara dalam soal Kelompok Kerja, DNPI membentuk 8 kelompok kerja yakni: 1. Kelompok Kerja Adaptasi; 2. Kelompok Kerja Mitigasi; 3. Kelompok Kerja Alih Teknologi; 4. Kelompok Kerja Pendanaan; 5. Kelompok Kerja Pasca 2012; 6. Kelompok Kerja Kehutanan dan Alih Guna Lahan; 7. Kelompok Kerja Dasar Ilmu Pengetahuan dan Inventarisasi Gas Rumah Kaca; dan 8. Kelompok Kerja Kelautan. Pada awalnya hanya 6 pokja saja yang diatur di dalam Perpres 46/2008 tersebut. Namun, Ketua Harian diberi keleluasan membentuk kelompok kerja baru jika dibutuhkan. Soal legitimasi. Soal legitimasi ini penting dibicarakan mengingat ia sangat menentukan dalam mengatur hubungan kerja di dalam serta ke luar lembaga DNPI. Sebagaimana disebutkan di atas, selain tugastugas spesifik yang dibebankan pemerintah, DNPI juga melakukan kerja-kerja koordinasi terkait kegiatan pengendalian perubahan iklim yang sifatnya lintas sektor. Persoalan pertama ada dalam kepemimpinan Ketua Harian yang ditunjuk sebagai individual, tanpa jabatan, sementara ia membawahi menteri-menteri lain. Sangat sulit dibayangkan seorang individual, biarpun ditunjuk oleh Presiden, melakukan tugas-tugas koordinasi lintas sektor departemen. Selain ego sektoral, tetap saja struktur birokrasi mengharuskan bawahan mengikuti garis atasannya langsung di dalam Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 163 suatu departemen. Kesulitan yang dirasakan DNPI dalam soal ini adalah tidak bisa menghadiri pertemuan setingkat menteri baik di dalam negeri maupun di luar negeri jika yang diundang adalah menteri. Tentu saja hal ini menyulitkan koordinasi ketua harian dengan menteri-menteri lain di bawahnya.96 Karena itu ada usulan meningkatkan posisi DNPI ini sebagai lembaga pemerintah setingkat dengan kementerian, sehingga ketua hariannya harus dijabat oleh pejabat setingkat dengan menteri atau bisa saja DNPI tetap dalam posisinya sekarang namun ketuanya dijabat oleh pejabat setingkat menteri.97 Usulan ini masih harus ditunggu realisasinya. Selain itu, posisi DNPI yang ditempatkan di bawah koordinasi KemenLH juga menemui kesulitan melakukan koordinasi dengan departemen lain, karena dipandang posisi KemenLH setara, bahkan “lebih rendah” karena berbentuk kementerian negara, dengan kementerian lain, apalagi jika dibandingkan dengan kementerian yang mengelola sumber daya (alam) tertentu. Penempatan di bawah KemenLH sendiri wajar karena Perpres menentukan bahwa DNPI dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Kesulitan itu sebenarnya sudah dicoba dicarikan jalan keluarnya. Pada bulan Januari 2010 kemarin, sebagai hasil dari Rapat Pleno DNPI, administrasi DNPI – walaupun masih dibiayai dari Anggaran KemenLH – ditarik dan ditempatkan di bawah koordinasi Kemenko Kesra; tidak lagi menginduk pada Kemen-LH. Dengan harapan, penempatan di bawah Kemenko akan memudahkan koordinasi DNPI dengan anggotaanggotanya atau lembaga di luar DNPI.98 Hasil rapat lain yang terkait dengan penguatan kelembagaan DNPI adalah akan dibentuknya Sekjen di Sekretariat DNPI dan pelengkapan pimpinan Pokja dari instansi terkait yang sesuai dengan keahliannya dan dimintai kesediaan waktu untuk bekerja di DNPI. Soal alokasi anggaran. Perpres menyebutkan bahwa DNPI ini akan dibiayai berdasarkan Anggaran dari dalam KemenLH sendiri. Dalam RKP 2010, DNPI ini disinggung dalam kegiatan berupa Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, serta penyelenggaraan operasional untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DNPI, yang sasarannya adalah meningkatnya kinerja DNPI. Dalam RKP 2010, tampak bahwa DNPI dilepaskan dari KemenLH karena disebut langsung sebagai instansi pelaksana lengkap dengan pagu indikatifnya. Masing-masing dua kegiatan itu masing-masing diberikan pagu indikatif sebesar Rp. 19,7 miliar dan Rp 10,3 miliar. 96 97 98 http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/22/03045091/Posisi.DNPI.Tak.Jelas (diakses 15-05-2010). http://www.pikiran-rakyat.com/node/107682 (diakses 15-05-2010). http://www.menkokesra.go.id/node/73 (diakses 15-05-2010). 164 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Soal Koordinasi dalam soal REDD. Soal ini penting dibicarakan untuk melihat sejauh mana skema REDD yang dikembangkan dalam tingkat departemen sektoral dapat dikoordinasikan oleh DNPI untuk kemudian diselaraskan dengan kepentingan departemen sektoral lain. Dengan menempatkan DNPI berada di bawah Menko Kesra sebenarnya dapat mengangkat posisi kelembagaan DNPI ketika melakukan koordinasi dengan kementerian lain. Mungkin hambatan terbesar sekarang adalah dalam soal ketua harian DNPI yang tidak dijabat oleh pejabat setingkat menteri. Menko Kesra sendiri memang mempunyai kewenangan untuk mengkoordinasi kementerian dalam bidang kesra dimana Kementrian Lingkungan Hidup berada di bawahnya. Penarikan DNPI ke Menko Kesra dapat dinilai wajar. Tapi, dalam soal REDD ini, ada departemen sektoral yang merasa paling berhak merancang, mengelola dan mengawasinya: Departemen Kehutanan. Sayangnya, Departemen Kehutanan ini berada di dalam wewenang koordinasi Menko Perekonomian. Contoh sulitnya berkoordinasi antar departemen terlihat jelas di dalam hasil Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2008. Inpres ini memberikan tanggung jawab pembuatan program dan mekanisme REDD kepada dua Departemen: Kehutanan dan Lingkungan hidup di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Hasil yang diharapkan dari (harapan) padunya koordinasi itu yang berupa peraturan bersama antara Menhut dan MenLH terkait REDD akhirnya tidak tercapai. Yang ada adalah Permenhut P 68/2008 yang memang dikeluarkan pada Desember 2008. Contoh di atas menunjukkan bahwa koordinasi antara Menhut dan Men-LH saja tidak terjadi. Bagaimana pula lembaga non departemen yang dipimpin oleh bukan pejabat setingkat menteri mengambil inisiatif untuk mengkoordinasi kegiatan yang dengan Inpres sendiri ternyata tidak dapat memaksakan hal itu terjadi? (iii) Alokasi Anggaran Alokasi anggaran yang dimaksud untuk memeriksa sejauh mana bentuk kegiatan sebagai turunan baik dari perencanaan kebijakan maupun pelaksanaan dibiayai oleh negara. Ini untuk melihat sejauh mana pemerintah menyediakan dana yang cukup agar pelaksanaan kebijakan itu berjalan. Anggaran ini penting juga diperhatikan karena ia seperti bahan bakar yang membuat sebuah kebijakan jalan. Anggaran memiliki tiga peran klasik: sebagai instrumen regulasi, stabilisasi dan redistribusi (Fernandez, 2009:10-1). Peran anggaran sebagai regulasi terdapat dalam kenyataan bahwa anggaran dapat mengatur pola perilaku dan kinerja pemerintah sekaligus juga warganya. Ketatnya anggaran bagi polisi hutan Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 165 selalu dijadikan alasan lemahnya pengawasan aparat kehutanan pada wilayah hutannya sehingga menimbulkan praktik perambahan liar. Peran anggaran di sisi stabilisasi lebih terjadi karena ia menjadi pegangan bagi pelaku ekonomi dalam memprediksi pergolakan perekonomian. Peran anggaran dari sisi ini nampak dalam menentukan tingkat inflasi atau arus masuk barang. Terakhir, sebagai alat redistribusi, anggaran berperan dalam membagai-bagi pendapatan yang masuk dan kemudian dibagikan kembali, misalnya, dalam bentuk subsidi atau stimulus fiskal lainnya. Redistribusi yang tidak tepat sasaran dapat menjauhkan suatu program/kegiatan dari tujuannya. Berbicara soal alokasi anggaran juga penting untuk melihat sejauh mana keluwesan anggaran dalam suatu tahun ketika ada kebutuhan/ kepentingan baru sebagai antisipasi pada suatu keadaan/tuntutan. Perubahan iklim/REDD bisa dikatakan sebagai keadaan/tuntutan baru yang direspon oleh pemerintah Indonesia. (1) Kebijakan pembiayaan perubahan iklim? Dalam soal perubahan iklim/REDD ini ada beberapa isu yang perlu dimasuki terlebih dahulu sebelum masuk untuk memeriksa alokasi anggaran yang ada di dalam APBN. Pertama, Indonesia bukanlah negara yang dikenai kewajiban untuk menurunkan emisi. Indonesia bukanlah negara Annex 1 yang menurut Protokol Kyoto diwajibkan menurunkan emisinya. Indonesia justru mendapatkan kemudahan dalam mengakses dana adaptasi yang disediakan oleh negara-negara Annex 1. Hal ini disebabkan Indonesia dan negara berkembang lainnya memberikan kontribusi kecil pada perubahan iklim, namun pada saat yang sama, karena posisi wilayah, kekurangan dana dan teknologi membuat posisinya menjadi rawan. Kedua, penggunaan dana APBN untuk kepentingan penurunan emisi sebenarnya sangat merugikan Indonesia. Apalagi jika dalam penggunaan APBN tersebut dilakukan dengan mengurangi atau memindahkan alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan pembangunan. Indonesia seharusnya malah dibantu dalam bentuk bantuan pendanaan atau tranfer teknologi dari negara-negara maju. Dalam Nota Keuangan APBN-P 2009, 99 Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa dalam hal penanganan perubahan iklim pembiayaannya tidak berasal dari pengurangan atau pemindahan alokasi dari program-program yang ada. Namun benar-benar harus berasal dari sumber pembiayaan baru. Sumber pembiayaan baru in berasal dana yang disediakan oleh negara-negara maju sebagai kewajibannya dalam menurunkan emisi. Atau berasal dari pembiayaan swasta, baik dalam 99 Bab IV Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun anggaran 2009. 166 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? bentuk penanaman investasi, penggunaan dana tanggung jawab sosial (CSR) atau kerja sama publik-private (Public-Private Partnership’s). Selain itu, pemerintah juga mendorong dilakukannya penyelarasan atau pemaduan program antar kementerian dan lembaga (K/L). Dengan cara itu akan ditemukan program-program bersama yang dibiayai bersama, atau disatukan dalam satu program, sehingga ada efesiensi dan efektivitas anggaran. Dalam soal tidak akan mengambil alokasi anggaran dari programprogram yang sudah, pemerintah nampaknya sudah tegas (walaupun, masih sumir dalam arti kekuatan hukumnya mengingat belum ada ketegasan pencantumannya di dalam kebijakan keuangan negara). Tapi dalam soal dari mana sumber dana baru ini berasal, kebijakan keuangan pemerintah sepertinya tidak terlalu tegas. Tidak ada penegasan apakah utang luar negeri dapat atau tidak dapat membiayai program pengendalian perubahan iklim. Begitu juga dalam soal utang dalam negeri: boleh atau tidak membiayai program-program tersebut? Jika diperbolehkan, berapa persentasenya dan apakah ada pembatasan tertentu dalam penggunaannya? Jika tidak boleh berasal dari utang luar atau dalam negeri, bagaimana strateginya untuk membiayai kegiatan penanganan iklim yang pastinya berbiaya sangat besar? Tidak mengatur belum tentu dalam prakteknya tidak terjadi. Pemerintah Indonesia ternyata telah menerima utangan dari pihak negara asing untuk kegiatan yang berupa penanganan masalah perubahan iklim dan itu sudah dilakukan setidaknya sejak tahun 2007. Utangan itu berasal dari JICA100 dan AFD Francis101 yang terus berlanjut sampai tahun 2010. Tidak hanya dari Jepang dan Prancis, pada tahun 2010 ini, Bank Dunia menyetujui utang baru sebesar $200 juta bagi Indonesia dalam bentuk Climate Change Development Policy Program102. Utang itu dipergunakan untuk mendorong perubahan kebijakan terkait perubahan iklim termasuk didalamnya perubahan peraturan perundang-undangan. Hanya dalam soal hibah saja pemerintah sudah sangat tegas. Penerimaan negara berupa hibah dari luar negeri sebagian besar akan dipergunakan untuk program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Terakhir, pemerintah juga memberikan dukungan dan stimulus dalam bentuk regulasi di bidang keuangan, kebijakan fiskal dan non-fiskal. Stimulus itu hadir dalam bentuk subsidi maupun kebijakan perpajakan (pengurangan pajak, pajak ditanggung pemerintah (DTP)). 100 101 102 http://www.mofa.go.jp/ICSFiles/afieldfile/2008/09/02/h2008_indon.pdf (diakses 06-06-2010). http://www.afd.fr/jahia/webdav/site/afd/users/admin_indonesie/public/PressRelease_CCPL2_30062009.pdf (diakses 06-06-2010). http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0, contentMDK:22592150~pagePK:1497618~piPK:217854~theSitePK:226309,00.html?cid=3001_3 (diakses 06-06-2010). Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 167 (2) Alokasi anggaran perubahan iklim/REDD dalam APBN Dalam RKP 2009 atau RKP 2010, dimana perubahan iklim disebut dengan tegas, ada banyak alokasi anggaran untuk membiayai programprogram pembangunan yang kemudian diberikan “warna” perubahan iklim. Penanganan kebakaran hutan, merupakan kegiatan yang sudah ada sebelum isu perubahan iklim ini menguat dan sebelumnya tidak pernah dikaitkan dengannya. Begitu juga rehabilitasi hutan/lahan: ia merupakan kegiatan di dalam internal departemen yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup Indonesia sendiri serta memperkuat pengelolaan negara atas wilayah hutan. Tidak ada hubungannya dengan perubahan iklim. Tapi, contoh-contoh kegiatan di atas itu memang berkontribusi pada perubahan iklim, baik positif maupun negatif. Dan dengan semakin menguatnya isu perubahan iklim di perundingan internasional lengkap dengan mekanisme pendanaannya semakin timbul “kebutuhan” atau “kepentingan” Indonesia untuk terlibat; dengan konsekuensi Indonesia harus menyesuaikan kegiatan-kegiatan sebagai turunan dari program pembangunan tertentu dengan perubahan iklim. Kenyataannya, tidak hanya menyesuaikan dengan isu perubahan iklim, tapi bahkan membuat kegiatan baru dari suatu program yang sudah ada yang sengaja dirundukkan di dalam payung perjanjian perubahan iklim. Apalagi kemudian soal perubahan iklim dianggap sebagai kebijakan lintas bidang menurut RPJM 2010 – 2014 dan tercetus di dalam RKP 2009 sebagai kegiatan meningkatkan kapasitas mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Jika melihat jarak antara “meletupnya” isu perubahan iklim di Indonesia yang dimulai pada tahun 2007, dengan bagaimana perubahan iklim diartikulasikan di dalam kebijakan ada jarak cukup lebar sejauh dua tahun. Padahal dalam dua tahun itu silih berganti kebijakan dicetuskan, seminar diadakan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam APBN 2009, alokasi anggaran untuk kegiatan itu cukup besar, yakni Rp 2 trilliun. Alokasi ini kemudian akan dibagikan kepada unit-unit departemen yang dapat merealisasikannya. Ada beberapa lembaga departemen yang disebut dalam RKP 2009 sebagai penanggung jawab kegiatan itu, yakni KemenLH, Dephut, DESDM, BATAN, LIPI, Departemen Kelautan dan Perikanan, Bakosurtanal, Departemen Pertanian dan BMKG. Tapi, penulis tidak menemukan secara spesifik bagaimana kegiatan itu dilakukan dalam tiap departemen. Nampak bahwa alokasi anggaran sebesar itu dipakai untuk membiayai kegiatankegiatan yang sudah ada dan kemudian dibunyikan sebagai “peningkatan kapasitas mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global”. 168 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Dalam APBN-P 2009, bentuk dukungan keringanan pajak itu diberikan dalam bentuk subsidi pajak. Pajak yang ditanggung oleh pemerintah yang terkait langsung dengan perubahan iklim ini diberikan untuk program TFCA atau Trofical Forest Conservation Act yang jumlahnya mencapai Rp 80 miliar. Spesifik pajak yang ditanggung pemerintah itu untuk pajak penghasilan (PPh). Ia merupakan realisasi dari salah satu kebijakan keringanan pajak atas aliran dana yang bersumber dari bantuan luar negeri kepada entitas nirlaba di Indonesia yang melakukan program konservasi lingkungan dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Program TFCA sendiri merupakan program untuk menjalankan skema Debt for Nature Swaps antara Amerika Serikat dengan Indonesia, yang realisasinya pernah diinstruksikan oleh Presiden No 5 Tahun 2008 pada bulan September 2008. Dalam soal hibah, APBN-P 2009 menyebutkan bahwa alokasi dana hibah (Rp. 991,6 miliar) dimana alokasi penggunaan dana hibah itu dipergunakan untuk mendanai program-program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Bagaimana dengan APBN 2010? RKP 2010 menyebutkan bahwa salah satu prioritas pembangunan di tahun 2010 adalah peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya alam dan kapasitas penanganan perubahan iklim. Jika dibandingkan dengan prioritas di RKP 2009, tampak bahwa prioritas ini jauh lebih lemah; dengan tidak menempatkannya pada prioritas tersendiri serta tidak merinci apa yang disebut dengan penanganan perubahan iklim tersebut. Ia terlihat kurang percaya diri dibandingkan dengan di RKP 2009. Walaupun demikian, alokasi anggaran buat menunjang salah satu prioritas tahun 2010 ini yang mencapai Rp. 3,2 trilliun lebih besar daripada tahun sebelumnya yang mencapai Rp 2 trilliun. Ada lima fokus kegiatan yang akan dibiayai dengan anggaran sebesar itu berdasarkan APBN 2010.103 Khusus untuk prioritas peningkatan kapasitas penanganan perubahan iklim nampaknya akan dilakukan pada fokus kegiatan berupa peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan bencana alam lainnya. 103 (1) peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan bencana alam lainnya sebesar Rp475,3 miliar (2)peningkatan rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam dan kualitas daya dukung lingkungan sebesar Rp792,4miliar; (3) peningkatan pengelolaan sumber daya air terpadu sebesar Rp436,6 miliar;(4) peningkatan pengelolaan sumber daya kelautan sebesar Rp564,6 miliar; dan (5) peningkatan kualitas tata ruang dan pengelolaan pertanahan sebesar Rp1,2 triliun. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 169 Tabel 3.9. Alokasi anggaran peningkatan kapasitas penanganan perubahan iklim di APBN 2010 Fokus kegiatan Peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan bencana alam lainnya Besar alokasi anggaran Rp. 475,3 miliar Sasaran 1. Pengendalian kebakaran hutan 2. Peningkatan sistem informasi peringatan dini cuaca dan iklim ekstrim, tsunami, serta potensi kebakaran hutan. Sementara itu 4 fokus kegiatan lainnya sebenarnya bisa saja dihubungkan dengan peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Namun, penulis mengikuti maksud dari penulis APBN 2010 yang tidak memasukkan kegiatan itu sebagai hal yang juga bisa dianggap sebagai bagian dari kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dalam APBN-P 2010 disebutkan bahwa kebijakan subsidi pajak pada kegiatan yang terkait penanganan iklim tetap dilakukan. Bahkan pada tahun 2010 ini nilainya meningkat. Tidak seperti APBN-P 2009, dalam APBN-P 2010 ini, subsidi pajak yang diberikan sebesar Rp. 900 miliar (angka ini tidak hadir di dalam APBN 2010) berupa PPN adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Subsidi pajak itu diberikan bagi pelaku usaha di bidang energi terbarukan (sebenarnya, pelaku usaha energi terbarukan ini menerima dua bantuan subsidi pajak: PPN Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta PPN Bahan Bakar Nabati). Selain itu, APBN-P juga mencatat peningkatan penerimaan hibah (Rp1.658 miliar) yang sebagian besar akan dialokasikan untuk mendanai program-program mitigasi perubahan iklim. Dari apa yang diuraikan di atas tampak bahwa Pemerintah Indonesia membiayai kegiatan penanganan perubahan iklim – sejauh yang disebutkan di dalam kedua APBN 2009/APBN-P 2009 dan 2010 sebagai kegiatan penanganan perubahan iklim – dari dana APBN, walaupun tidak dengan cara mengurangi/memindahkan alokasi anggaran dari program yang sudah ada. Jika membandingkan antara angka hibah dengan alokasi anggaran untuk kegiatan penanganan perubahan iklim di tahun 2009 dan 2010 ada beberapa hal yang bisa dicatat. Pertama, ada jurang yang sangat dalam antara alokasi anggaran dengan hibah di tahun 2009, dimana ada defisit di hibah. Sementara di tahun 2010, alokasi anggaran penanganan 170 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? perubahan iklim sebenarnya bisa ditutupi dengan dana hibah. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia tidak harus mempergunakan dana dari dalam negeri untuk membiayai program perubahan iklim. Namun masalahnya adalah dana hibah yang berasal dari luar negeri itu sendiri sudah memiliki maksud penggunaannya. Dengan demikian, tetap saja membuka kemungkinan penggunaan dana dari dalam negeri untuk membiayai kegiatan penanganan perubahan iklim. Dalam soal keluwesan alokasi anggaran penulis akan mengajukan contoh pada soal anggaran bagi DNPI. Sebagaimana diketahui, DNPI didirikan pada pertengahan tahun 2008 lengkap dengan alokasi anggarannya dari Kementerian LH. DNPI merupakan salah satu perwujudan strategi pemerintah dalam soal penanganan perubahan iklim ini berupa pembentukan kelembagaan. Selama masa dua tahun ini, DNPI mengalami pasang surut peran dan seperti dianaktirikan walaupun Indonesia semakin kencang menanggapai isu perubahan iklim ini. Penganaktirian itu terlihat dari struktur lembaganya serta anggarannya yang berasal dari dana Kementerian LH yang sebenarnya sudah sangat sedikit. Semakin seriusnya pemerintah Indonesia menanggapi perubahan iklim dengan salah satunya mengintegrasikannya ke dalam program pembangunan mendorong harus semakin kuatnya peran DNPI. Setelah dalam dua RKP sebelumnya (2008 dan 2009) peran kelembagaan tidak disebutkan sama sekali di dalam penanganan perubahan iklim, maka dalam RKP 2010 peran DNPI dikenali: didorong untuk ditingkatkan kualitasnya disertai dengan pengalokasian dana. Tidak hanya dalam soal kinerjanya, RKP 2010 juga secara terus terang menyebutkan bahwa operasional sehari-hari DNPI juga harus disokong dalam bentuk pemberian honorarium dan kebutuhan operasional sehari-harinya. Secara tersirat, selama ini pembiayaan DNPI masih mengandalkan dana dari induknya: Kementerian Lingkungan Hidup atau bahkan tanpa ada belanja pegawai (yang karena itu akan diberikan honor). Pagu indikatif yang diberikan sebesar Rp 30 miliar itu dalam tahun 2010 ini diharapkan DNPI dapat hidup dan bekerja lebih giat. Namun, dalam penelusuran penulis pada APBN 2010 atau APBN-P 2010, terutama pada bagian Belanja Pemerintah Pusat 2010, tidak ada penyebutan sama sekali pada soal DNPI ini. Padahal lembaga non departemen lainnya yang diberikan pagu indikatif di dalam RKP 2010 seperti BMKG, disebutkan kembali lengkap dengan program yang akan dijalankan dan anggaran yang harus dikelolanya atau Dewan Kelautan Nasional yang berada di bawah koordinasi Departemen Kelautan dan Perikanan. Dalam kondisi itu, posisi DNPI kembali menghadapi tantangan tersendiri di dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Perubahan pada Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 171 Perpres 5/2008 menjadi keharusan dengan materi perubahan yang bisa diusulkan khusus soal pembiayaan ini adalah dengan mencantumkan bahwa DNPI dibiayai oleh APBN; tidak lagi dibiayai oleh DIPA Kementerian Lingkungan Hidup. 3.4.Kebijakan terkait REDD dan perlindungan hak-hak masyarakat adat/lokal REDD lebih mungkin dilakukan dalam lingkup sistem hukum negara daripada sistem hukum adat. Sementara di sisi lain, posisi masyarakat sendiri dalam pengelolaan sumber daya kehutanan masih rawan. Sehingga sistem hukum negara yang memberikan perlindungan kepada hak-hak dan kepentingan masyarakat adat/lokal menjadi penting dalam pelaksanaan proyek REDD ini. Jangan sampai sistem hukum negara yang mengatur soal REDD malah semakin menyingkirkan posisi masyarakat. Untuk membaca apakah peraturan perundangan ini mengatur soal pemenuhan, penghormatan dan perlindungan kepentingan dan hak masyarakat adat/lokal, penulis akan membaginya dalam dua soal. Soal pertama adalah soal keterlibatan masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut dan kedua, soal bagaimana peraturan perundang-undangan itu sendiri secara substansi melindungi hak dan kepentingan masyarakat yang dilihat dari segi bentuk pemenuhan/ perlindungan hak atau kepentingan, keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, posisi masyarakat dalam REDD dan pembagian keuntungan. (a) Keterlibatan Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Perundangundangan Dalam catatan penulis, hanya pada saat penyusunan Peraturan Menteri yang nantinya menjadi Permenhut P 30/2009, Departemen Kehutanan menyebarluaskan draft penyusunannya ke masyarakat dan ada inisiatif untuk menerima usulan dari masyarakat104. Draft yang disebarluaskan itu sendiri terdiri dari dua draft, yakni draft tertanggal 14 Juli 2008 dan 18 Maret 2009. Permenhut P 30/2009 sendiri ditetapkan pada tanggal 1 Mei 2009. Konsultasi publik pernah dilakukan oleh Departemen Kehutanan pada bulan Maret 2009, yang mengundang para pemangku kepentingan, termasuk dari kalangan masyarakat sipil. Tapi sayang sekali, konsultasi publik itu hanya dijadikan topeng untuk memperlihatkan bahwa proses penyusunan peraturan itu sudah memenuhi syarat partisipasi publik. Hal itu terlihat bahwa apa yang diutarakan oleh masyarakat sipil hanya dianggap sebagai masukan saja – tidak masuk ke dalam substansi pengaturan dalam 104 Kementerian Kehutanan sedang berencana menyusun draft Permenhut tentang Komisi REDD, yang entah sampai sekarang belum terlaksana. 172 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Permenhut P 30/2009 – dan keputusan tertingginya berada di tangan para penyusun peraturan yang berasal dari unsur pemerintah. (b) Isi Peraturan Perundang-undangan - Permenhut P. 68/Menhut-II/2008 tentang Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Permenhut ini sama sekali tidak mencantumkan bentuk perlindungan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah terhadap hak/kepentingan masyarakat yang berada di daerah lokasi DA REDD. Dalam proposal DA REDD yang diajukan oleh pemrakarsa, tidak ada persyaratan yang secara jelas dan kuat mewajibkan pengelola untuk menghormati hak/kepentingan masyarakat adat/lokal. Tidak ada kewajiban untuk memasukkan dalam proposal itu persetujuan tertulis masyarakat atau dalam derajat yang lebih rendah, hasil konsultasi dengan masyarakat sekitar lokasi. Proposal DA REDD hanya berisi status dan lokasi berikut peta lokasi calon areal, bentuk dan jangka waktu kerja sama, perkiraan nilai kegiatan, manajemen resiko dan rencana alokasi distribusi pendapatan. Nampaknya permenhut ini berjalan di keyakinan bahwa lahan hutan yang akan dijadikan lokasi REDD merupakan lahan dalam status clean and clear. Tidak ada persyaratan untuk memperlihatkan status hukum kawasan yang diajukan oleh para pemrakarsa. Posisi masyarakat yang rawan dalam penyusunan DA REDD bisa dicontohkan dalam rencana alokasi pembagian pendapatan. Dalam soal ini, tidak jelas pihak mana saja yang dianggap berhak mendapatkan alokasi pembagian pendapatan itu. Taruhlah masyarakat memang dijadikan salah satu pihak yang berhak, tetapi apakah ada proses konsultasi dengan masyarakat dalam soal pembagian pendapatan itu? Tidak diatur. Bahkan nampaknya, pihak pemrakarsa-lah yang menentukan sendiri rencana alokasi pembagian pendapatannya tersebut yang kemudian akan ditetapkan ketentuannya oleh menteri. Ketidakjelasan posisi masyarakat dalam proses penyusunan proposal DA REDD itu sendiri membuat posisi masyarakat dalam DA REDD sendiri menjadi tidak jelas. Jika saja memang masyarakat mendapatkan alokasi pembagian keuntungan, hal itu menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang harus dilakukan agar mendapatkan pembagian pendapatan. Sayangnya dalam Permenhut ini, posisi masyarakat hanya sebagai pihak penerima dampak. Di atas semua itu, masyarakat tidak dianggap sebagai pihak yang dapat memberikan persetujuan atau tidak terhadap proyek REDD yang berada di sekitar wilayah hidup mereka. Menterilah satu-satunya pihak yang dapat memberikan persetujuan atas proposal DA REDD itu. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 173 - Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) Permenhut P30/2009 ini memperjelas ketentuan yang diatur dalam Permenhut P68/2008, terutama dalam hal subyek pemohon, tata cara permohonan, penilaian dan persetujuan proyek, hak dan kewajiban, penetapan referensi emisi, pemantauan dan pelaporan, verifikasi dan sertifikasi, serta distribusi insentif dan liabilitas. Namun posisi masyarakat tetap tidak dibicarakan secara proporsional. Partisipasi masyarakat adat/lokal dalam proses penyusunan proposal maupun persetujuan proyek REDD yang dilakukan oleh pihak ketiga sama sekali tidak disinggung dalam peraturan ini. Sehingga boleh dikatakan proyek REDD ini dapat berjalan tanpa harus mengikutsertakan persetujuan dari masyarakat sekitar proyek. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam kriteria pemilihan lokasi adalah aspek sosial, ekonomi dan budaya dimana perinciannya berupa ketergantungan masyarakat terhadap lokasi; ada/tidaknya konfllik; keterlibatan para pihak dalam pengelolaan hutan, dan kejelasan tentang dimensi pengentasan kemiskinan. Dari kriteria pemilihan lokasi itu, tidak ada yang mengarah pada bahwa pemrakarsa harus melakukan konsultasi serta permintaan izin kepada masyarakat sekitar lokasi. Yang ada adalah penceritaan kondisi hutan dengan masyarakat sekitar lokasi yang proporsi kerjanya ada di tangan pemrakarsa. Di sisi lain, posisi masyarakat dalam pelaksanaan REDD tidak lagi hanya objek tetapi bisa berlaku sebagai subjek pelaksana REDD yang bisa terlibat setidaknya dalam lima mekanisme: sebagai pemilik IUPHHKHTR, Pengelola hutan desa, Hutan Kemasyarakatan, hutan adat dan pemilik/pengelola hutan hak. Dalam lima mekanisme ini masyarakat dapat mengajukan sendiri sebagai pemrakarsa REDD. Dari sisi ini, pemerintah sudah menyediakan ruang bagi masyarakat untuk terlibat aktif sebagai pelaku REDD. Hanya saja, persyaratan yang dibebankan pada kelima pemilik hak itu hampir sama dengan apa yang dibebankan kepada pihak lain yang notabene secara finansial dan kelembagaan jauh lebih kuat. Pada titik ini pemerintah sebenarnya bisa mengatur soal peningkatan kapasitas atau bentuk lain bantuan pada pihak masyarakat tersebut. Bayangkan, berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh sebuah desa nun jauh di pedalaman dan jauh dari Jakarta yang hendak mengurus izin sebagai pihak pemrakarsa REDD. Masalah lainnya jauh ke belakang pada soal cara mendapatkan hak pengelolaan itu serta soal bahwa hak yang diberikan kepada masyarakat adalah hak pengelolaan dan bukannya hak atas milik. IUPHHK-HTR masih belum berjalan lancar di tingkat lapangan biarpun dukungan finansial sudah disediakan oleh pemerintah pusat. 174 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Pemerintah daerah sepertinya masih belum begitu percaya dengan mekanisme ini dibandingkan dengan memberikan izin pengelolaan hutan untuk keperluan lain, seperti untuk perkebunan atau pertambangan. Hutan Desa masih membutuhkan sosialisasi lebih lanjut mengingat peraturan pelaksananya baru diluncurkan tahun 2007 kemarin. Hutan Kemasyarakatan juga berjalan menyiput. Alasan utama kesulitan masyarakat dalam mengakses hak pengelolaan itu adalah sistem birokrasi dalam bentuk perizinan yang rumit dan berbiaya besar, ketiadaaan dukungan dana untuk mewujudkannya serta kapasitas yang masih harus ditingkatkan. Secara lebih makro, dukungan kebijakan pemerintah lebih mengarahkan hutan untuk dikelola dalam skala besar, industrial daripada dikelola skala kecil oleh masyarakat. Hutan Adat tetap merupakan skema yang pelik. Sampai saat ini belum ada pengakuan dari pemerintah atas suatu masyarakat adat lengkap dengan haknya atas suatu kawasan hutan tertentu. Padahal pengakuan atas suatu masyarakat menjadi syarat utama agar masyarakat adat tersebut dapat mengakses Hak Pengelolaan Hutan Adat. Dalam soal masyarakat adat ini ketara bahwa Permenhut ini mengatur hal yang tidak mungkin berjalan tanpa ada perubahan pada kebijakan lain dalam kebijakan soal pengakuan masyarakat adat. Pencantuman Pengelola Hutan Adat hanya tinggal pencantuman yang tidak ada konsekuensi apapun pada perbaikan posisi masyarakat adat; bahkan terancam terlalu sulit terlaksana di lapangan. Sementara itu, masalah klasik berupa hanya diberikannya hak pengelolaan dan bukannya status hak yang lebih tinggi, seperti hak atas milik, membuat posisi masyarakat adat/lokal yang bergantung pada hutan tetap tidak kuat. Hak atas pengelolaan suatu kawasan bekerja mengikuti batas waktu tertentu dan malahan, bisa dihentikan di tengah jalan jika tidak mengikuti aturan. Posisi masyarakat dalam pelaksanaan dengan demikian sebenarnya diberi jalan untuk terlibat, tetapi keterlibatan itu masih jauh dari harapan karena dukungan yang lebih mendasar tidak diberikan, termasuk dalam soal pengakuan masyarakat adat. Sementara itu, bagi masyarakat adat/lokal yang tidak (atau, sengaja agar tidak) memiliki hak atas pengelolaan kawasan hutan, kabarnya tidaklah menggembirakan. Setelah sama sekali tidak diakui keberadaannya dalam proyek REDD karena tidak adanya keharusan pemrakarsa REDD mengadakan konsultasi dan meminta izin kepada mereka, dalam soal pembagian keuntungan pun posisi mereka tidak jelas. Hanya pemerintah yang disebutkan sebagai pihak yang akan menerima “insentif” dari pelaksanaan REDD. Tentu saja pihak lain yang Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 175 juga menerima insentif adalah pemrakarsa REDD sendiri. Masyarakat sama sekali disebut sebagai pihak yang akan menerima manfaat dari pelaksanaan REDD ini. Masyarakat hanya ditempatkan sebagai pihak yang harus di tingkatkan kesejahteraannya lewat program pengentasan kemiskinan. Pemerintah nampaknya melihat keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan - yang harus dijelaskan oleh pemrakarsa dalam pengajuan proposal REDD-nya – tidak otomatis membuat mereka mendapatkan insentif dari pelaksanaan REDD. “Insentif” itu mengalir dari pembeli sertifikat REDD ke pemrakarsa REDD yang kemudian dibagi dengan pemerintah. Pemerintahlah yang akan menentukan buat apa insentif itu, termasuk, mungkin untuk membiayai program pengentasan kemiskinan. Distribusi insentif itu menjadi tidak jelas karena dalam Permenhut ini disebutkan bahwa untuk keperluan apa insentif itu dikeluarkan oleh pemerintah akan diatur kemudian dengan peraturan perundangundangan yang setidaknya berhubungan dengan mekanisme penerimaan keuangan negara berupa PNBP. Jadi ada kemungkinan besar, insentif yang (mungkin) diterima masyarakat di sekitar lokasi proyek REDD akan jauh lebih kecil. Sebaliknya, yang ketara dari distribusi insentif itu adalah sebagaian akan dipergunakan untuk jaminan pelaksanaan REDD pada tingkat nasional, yang bisa berupa pengelolaan registrasi nasional serta penanganan pengurangan emisi nasional. Tidak ada penyebutan secara tersurat bahwa sebagian dana dari hasil proyek REDD tersebut akan masuk, katakanlah, untuk mensejahterakan rakyat lewat program pengentasan kemiskinan. Hal ini membuat keterkaitan antara REDD dengan program pengentasan kemiskinan menjadi rapuh, yang membuatnya lebih tepat dikatakan sebagai hanya jargon. - Permenhut P. 36/Menhut-II/2009 tentang Tatacara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung Dalam soal pemenuhan/perlindungan hak atau kepentingan masyarakat adat/lokal, Permenhut ini tidak jauh berbeda dengan dua permenhut sebelumnya. Tidak ada persyaratan yang mewajibkan pemrakarsa IUP PAN/RAN Karbon terlebih dahulu melakukan konsultasi atau meminta persetujuan dari masyarakat adat/lokal yang berada di sekitar wilayah proyek. Dengan demikian, proposal proyek bisa disusun tanpa ada persetujuan masyarakat. Begitu juga pemerintah, dalam menilai proposal yang masuk tidak harus meminta pendapat atau persetujuan masyarakat dalam menentukan layak atau tidaknya proyek tersebut. 176 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Dalam perjelasan terdahulu, baik dalam kawasan yang sudah dibebani izin (kecuali izin IUPHHK-HTR) atau belum dibebani izin, pemberian izinnya dimohonkan dan dikeluarkan oleh menteri. Hal ini tentu, sekali lagi, mempersulit pemegang hak pengelolaan HKm atau Hutan Desa atau Hutan Adat, yang berada jauh dari Jakarta. Posisi masyarakat yang tidak memiliki IUP RAN/PAN Karbon, disebut sebagai masyarakat setempat, dibicarakan dalam proposal IUP PAN/RAN Karbon sebagai pihak yang akan direncanakan untuk diberdayakan serta dalam soal pembagian keuntungan dari proyek. Angka persentase itu memang masih misterius latar belakang pembagiannya, tapi angka persentase bagi masyarakat membesar dan mengecil tergantung siapa dan di wilayah mana proyek penjualan karbon itu dilakukan. Persentase bagi masyarakat berturut-turut dari yang terbesar (70%) yang terjadi jika pengembang proyek itu berasal dari pengelola Hutan Rakyat dan Hutan Adat; menengah (50%) jika pengembang berasal dari IUPHHK-HTR, Pengelola HKm dan Hutan Desa; dan persentase terkecil (20%) didapatkan masyarakat jika pengembang proyek/pemegang izinnya berasal dari IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, KPH, KHDTK, dan hutan lindung. Tampak bahwa bagian bagi masyarakat bertambah besar jika pengembang proyek adalah mereka sendiri. Masalahnya adalah permohonan untuk mendapatkan izin itu sulit dan memakan biaya yang besar yang memperkecil peluang bagi masyarakat setempat untuk memprakarsai pelaksanaan kegiatan PAN/RAN karbon tersebut. Masyarakat setempat kemungkinan besar hanya menjadi penerima dampak dan secara kalkulasi, akan menerima bagian kecil dari pembagian keuntungan hasil penjualan karbon tersebut, karena pemrakarsanya bukan berasal dari kalangan masyarakat sendiri. Kondisi yang dijelaskan berdasarkan 3 peraturan setingkat menteri di atas senyatanya sangat mengkhawatirkan. Perlindungan negara pada hak atas hutan/lahan yang dimiliki oleh masyarakat adat/lokal sudah demikian terdegradasi. Meskipun hutan adat diakui adanya, namun pengakuan negara atas masyarakat adat sulit didapatkan karena adanya persyaratan berupa: sistem adatnya masih ada dan penerapannya konsisten dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangundangan (Colchester dkk., 2006). Padahal pengakuan negara atas masyarakat adat itu menjadi syarat penting untuk mendapatkan hak pengelolaan hutan adat. Sementara masyarakat lokal yang mencoba menggugat sengketa lahan/hutan dihadapkan pada ketiadaan syarat formal berupa sertifikat tanah yang seharusnya bisa mereka dapatkan jika sistem pendaftaran tanahnya berlangsung dengan adil dan transparan. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 177 Dengan keadaan seperti itu, masyarakat adat/lokal tidaklah berdaya ketika hutan dialihkan kepemilikan/pengelolaannya ke tangan negara atau swasta. Mereka sama sekali tidak diberi hak untuk didengar pendapatnya apalagi untuk melakukan penolakan. Dalam proyek REDD, hal-hal yang disebutkan dalam 3 paragraf sebelumnya sama sekali tidak dibicarakan. Karena itu pertahanan terakhir masyarakat, sebagaimana juga ketika lahan/hutan mereka diambil paksa yakni dengan cara meminta kompensasi yang adil, adalah dalam pembagian keuntungan yang adil. Sayang sekali dalam soal ini pun posisi masyarakat tetap lemah. Permenhut P68/2008 menyerahkan pembagian kompensasi itu ke tangan pemrakarsa dan pemerintah; Permenhut P30/2009 menyerahkannya pada kebijaksanaan pemerintah dalam membagi alokasi PNBP; sementara Permenhut P36/2009 menggantungkan kepada para pengembang proyek yang bukan berasal dari mereka (IUPHHK-HA, IUPHHK-HT dan IUPHHK-RE atau pihak pemerintah) dengan konsekuensi pembagian keuntungan yang lebih kecil. 3.5 Kesimpulan Dari apa yang sudah diuraikan dalam 3 bab sebelumnya, maka jawaban singkat atas 3 pertanyaan penelitian di atas adalah sebagai berikut: Pemerintah Indonesia sudah dengan tanggap memberikan respon kebijakan terhadap perubahan iklim/skema REDD, baik di dalam rencana pembangunan berupa program pembangunan maupun pelaksananan kebijakannya: membuat aturan khusus, membentuk lembaga baru dan memberikan alokasi anggaran buat pelaksanaan program pembangunan terkait perubahan iklim dan operasional lembaga. Tanggapan kebijakan itu jika ditarik ke arah yang lebih umum hadir dalam tiga bentuk: pertama, Pemerintah Indonesia mengalokasikan sumber daya untuk menciptakan kebijakan yang sama sekali belum dikenal sebelumnya yang semata-mata ditujukan untuk mengatur hal baru sebagaimana tampak dalam pembuatan aturan dan kelembagaan terkait CDM atau REDD. Kedua, menyelaraskan kebijakan yang sudah ada dengan prioritas baru pengendalian perubahan iklim/REDD yang tampak dalam soal pengembangan meterologi dan geofisika, penanggulangan kebakaran hutan/ lahan dan rehabilitasi lahan/hutan. Ketiga, pemerintah tidak mengatur tegas soal itu, yang bisa ditelusuri dari tidak adanya peraturan perundangan yang mengaturnya, namun kenyataannya tetap dilaksanakan, seperti dalam soal penerimaan hutang luar negeri untuk membiayai program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kesenjangan antara apa yang direncanakan dengan apa yang akan dilaksanakan memang terlihat. Kesenjangan itu tidak hanya hadir ketika 178 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? dibandingkan antara perencanaan dengan implementasi kebijakan, tetapi juga muncul di dalam masing-masing bentuk kebijakan yang diteliti itu tadi. Paling menonjol kesenjangan itu terjadi ketika semuanya dibandingkan dengan alokasi anggaran. Kesenjangan internal perencanaan kebijakan terjadi ketika masuk dalam proses penurunan kebijakan umum pembangunan ke dalam bentuk program dan seterusnya ke dalam kegiatan. Contohnya adalah soal REDD yang muncul di RKP 2009 ketika berbicara kebijakan umum sampai program, namun kemudian tidak muncul dalam bentuk kegiatan pembangunan. Entah kenapa hal itu terjadi. Kesenjangan antara perencanaan dengan pelaksanaan kebijakan jelas akan terjadi. Dalam peraturan perundang-undangan, misalnya, UU No. 6 Tahun 1994 tentang Ratifikasi UNFCCC atau UU No 17 tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto, tidak cukup kuat untuk menghela pengaturan terkait perubahan iklim/REDD karena kedudukannya masih lemah jika dibandingkan dengan UU buatan dalam negeri. Sampai sekarang bagaimana bentuk pelaksanaan dari kedua UU itu masih sumir. Selain itu, aturan soal REDD diatur dalam bentuk peraturan menteri, padahal skema REDD sendiri membutuhkan koordinasi dengan pihak lain. Bahkan instruksi presiden di tahun 2008 agar terbentuk peraturan bersama antara Menteri Kehutanan dengan Menteri Lingkungan Hidup terkait REDD tidak kesampaian. Menhut yang akhirnya pegang kendali. Masalah koordinasi antar departemen, sumber dana terbatas, dan kebijakan penganggaran (dana bagi suatu departemen diharapkan tetap sama di tahun selanjutnya, sehingga kelebihan dana akibat tidak terpakai di tahun sebelumnya dianggap kegagalan memicu departemen/lembaga membuat anggaran sama dengan tahun sebelumnya, menjadi faktor penyebabnya), tetap menjadi batu sandungan penting dalam proses penyelarasan kebijakan tersebut. Soal legitimasi hadir menjadi catatan penting dalam kelembagaan terkait perubahan iklim dan REDD. Dana yang minim, keterbatasan secara struktur keorganisasian adalah dua alasan yang tidak memungkinkannya melakukan koordinasi yang sebenarnya menjadi tupoksinya. Apalagi terlihat dukungan kepada DNPI dalam bentuk pengalokasian anggaran juga masih belum jelas, biarpun RKP 2010 telah menyebutkan dengan tegas, namun menghilang di APBN 2010. Di sisi lain, Departemen Kehutanan seakan berlomba dalam pembentukan lembaga untuk membicarakan soal perubahan iklim sektor kehutanan dan REDD. Dukungan pemerintah dalam soal pengendalian perubahan iklim memang jelas, biarpun baru dibunyikan dalam dua tahun terakhir, tetapi tidak untuk dukungan REDD. Padahal jelas sekali Departemen Kehutanan menginginkan REDD sebagai alternatif pembiayaan baru di sektor kehutanan. Pemerintah Indonesia ternyata belum begitu pandai dalam menyelaraskan kebijakan jangka panjangnya dengan kebijakan tahunan serta dengan Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 179 kebijakan tahunan departemen/lembaga; terutama dalam menanggapi sebuah program yang berjangka panjang yang membutuhkan kesinambungan per tahun anggarannya dan koordinasi antar sektor. REDD adalah salah satu contoh program berjangka panjang dan membutuhkan kesinambungan per tahunnya. Pemerintah tampak memberikan dukungan penuh di RKP 2009, namun kemudian malah menghilang di tahun 2010. Renstra lima tahunan Dephut juga merencanakan pelaksanaan REDD di tahun 2012-2013, tapi di Renja 2010-nya REDD tidak disebut dengan tegas keberadaannya. Kesenjangan dengan alokasi anggaran memang tampak jelas. Apa yang direncanakan di dalam RKP, bisa jadi tidak ada di dalam APBN, misalnya pembiayaan operasional DNPI itu. Ini terjadi karena ada perbedaan proses antara perencanaan pembangunan dengan penganggaran anggaran. Perencanaan pembangunan memang dapat dibuat setransparan mungkin dengan menerima usulan apapun dari masyarakat lewat musrenbang, misalnya. Tapi ia membentur proses penganggaran yang dijalankan hanya ada di satu tangan, eksekutif. DPR hanya disodori hal-hal umum saja, namun pengaturan detailnya, termasuk alokasi anggaran untuk menjalankan program-program tertentu, hanya diketahui oleh kalangan eksekutif saja. Terpisahnya proses perencanaan dengan penganggaran itu membuat perkembangan baru yang sudah dicandra di dalam rencana kebijakan bisa menghilang ketika dibicarakan di tingkat penyusunan APBN. Masalah kesenjangan kebijakan, ego sektoral, lemahnya koordinasi, minimnya dana, ketidakjelasan penggunaan dana hutang, dapat menjadi penghalang besar tanggung jawab negara dalam memenuhi dan melindungi hak-hak masyarakat adat/lokal, yang menjadi penerima dampak terbesar baik dalam skema REDD. Situasi terkini mereka sedang tidak terlalu bagus. Pengakuan masyarakat adat masih minim dilakukan sementara kondisi masyarakat lokal sendiri terkepung dalam kebijakan dan sistem hukum yang tidak memihak mereka. Lalu datanglah REDD – yang biarpun ditempelkan padanya program pengurangan kemiskinan – namun dengan maksud yang jauh dari itu: menahan emisi agar tidak menguap ke atmosfer. Akses itu memang diberikan. Masyarakat dapat berperan sebagai pelaku atau penerima manfaat sekaligus dari skema REDD. Tapi pemberian akses itu tidak disertai dengan perubahan kebijakan yang lebih berorietasi kepada mereka, termasuk dalam alokasi pemanfaatan hutan yang masih lebih banyak diberikan kepada industri. Tidak ada pencantuman kewajiban melibatkan masyarakat dalam perencanaan atau dimintai izin ketika proyek akan dilakukan. Pada titik itu, kompensasi atau dalam aturan REDD ini mewujud dalam soal pembagian keuntungan menjadi harapan terakhir. Namun harapan itu pun tipis dapat memenuhi hak dan kepentingan masyarakat. Hampir semua perencanaan pembagian keuntungan ditetapkan oleh pihak lain, baik 180 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? pemerintah atau swasta, dalam semua skema REDD: DA REDD, REDD sendiri dan IUP PAN/RAN Karbon. Masyarakat sendiri akan menerima kompensasi dari REDD ini secara tidak langsung, dalam bentuk dana program yang pengelolaan dananya masih harus ditunggu realisasinya. Bahan untuk didiskusikan Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat dan kemudian didiskusikan lebih lanjut dimana penelitian ini tidak mencandranya: 1. Soal kebijakan keuangan terkait perubahan iklim/REDD merupakan topik yang sangat penting untuk dijelaskan untuk melihat sejauh mana pemerintah Indonesia benar-benar sejalan dengan keinginan komunitas internasional sebagai pihak yang belum dikenai kewajiban menurunkan sendiri emisi dalam negerinya dan sebaliknya dibantu oleh negara-negara maju di dalam pengendalian perubahan iklimnya. Apakah hutang luar negeri boleh dipergunakan untuk membiayai program-program pencegahan kebencanaan yang ada hubungannya dengan program adaptasi/mitigasi perubahan iklim. 2. Soal penggunaan dana dari REDD untuk membiayai program-program pengurangan kemiskinan. Pertanyaan penting untuk bagian ini adalah bagaimana dana itu dikelola, siapa yang mengelola apakah masih dalam lingkup departemen sektoral yang membawahi kewenangan pelaksanaan REDD. Selain itu ditegaskan pula bahwa dana dari REDD ini tidak akan mengurangi dana pemerintah yang memang sudah dialokasikan untuk program-progran pengurangan kemiskian. Jangan sampai REDD mengambil alih peran dana pemerintah dalam usaha pengurangan kemiskinan. Keengganan beberapa daerah tingkat dua dalam menerima REDD karena tidak jelasnya kontribusi REDD ke dalam APBD mereka menjadi jalan pembuka untuk melihat itu. Soal ini juga berhubungan dengan kebijakan keuangan negara. 3. Soal hubungan kebijakan perubahan iklim/REDD dihubungkan dengan kebijakan desentralisasi. Penelitian ini sudah mendedahkan beberapa lembaga di tingkat pusat yang diberikan kewenangan untuk melakukan pelaksanaan REDD baik sebagai koordinator, regulator, pemberi izin, pengawas. Namun penelitian ini masih belum dapat mencandra bagaimana hubungan lembaga-lembaga tersebut dengan lembagalembaga sejenis atau yang diberi kewenangan terkait perubahan iklim/ REDD yang berada di daerah. Perkembangan kemungkinan dapat dikembangkannya skema REDD di luar skema REDD nasional dapat menjadi pintu pembuka ke arah sana. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus 181 4.Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap perubahan iklim/REDD di Kalimantan Tengah Mumu Muhajir 4.1 Pendahuluan Dalam tiga tahun terakhir, isu perubahan iklim dan REDD telah menjadi diskursus penting, tidak hanya di kalangan saintis, tetapi juga di kalangan aktivis dan pemerintah. Respon dari kalangan pemerintah di Indonesia yang akan dijadikan perhatian dalam laporan riset ini. Respon pemerintah terhadap isunya itu sendiri merupakan hal yang baik, yang menunjukkan berjalannya roda pemerintahan. Perubahan iklim/REDD merupakan fenomena yang akan berdampak besar pada kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, dilihat, misalnya, dampak pada ketergantungan sebagian besar masyarakat Indonesia pada ketersediaan SDA. Perubahan iklim dikawatirkan akan menjadi penghalang penting tercapainya kesejahteraan mereka. Respon itu sendiri berjalan karena ada tantangan yang harus dihadapi. Respon selalu berarti sekumpulan pertanyaan: respon terhadap apa atau siapa? mengapa? dan bagaimana respon itu dilakukan. Lalu, karena ini berhubungan dengan respon pemerintah, pertanyaan penting mengemuka: apakah respon itu sudah sejalan dengan apa yang dimaui oleh masyarakat, terutama masyarakat yang terkena dampak? Tanpa ada kesesuaian dengan kemauan dan atau respon itu melindungi kepentingan masyarakat, maka pemerintah seperti mesin otonom yang dipertanyakan akuntabilitasnya di hadapan rakyatnya. Ia memang merespon dengan baik isu tersebut namun ia sebenarnya sedang merespon selain kepentingan rakyatnya. Lalu ia merespon terhadap kepentingan siapa atau apa? Pertanyaan-pertanyaan di atas memang sangat komplek dan akan sangat baik jika dijawab. Hanya saja laporan ini ada keterbatasannya. Laporan ini pada dasarnya hanya akan mencoba pertanyaan sederhana: bagaimana pemerintah merespon isu perubahan iklim dan REDD tersebut dan bagaimana pemerintah mengintegrasikan respon tersebut ke dalam Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 183 kebijakan sehari-hari kerja pemerintahannya dan apakah respon pemerintah itu telah melindungi kepentingan masyarakat terkena dampak, yang kami perkecil luasannya sebagai masyarakat adat dan lokal? Laporan ini karenanya berlaku seperti pemotretan atas respon pemerintah dalam tiga tahun terakhir (2007 – 2010). Tapi, ada beberapa kebijakan di luar rentang waktu itu yang ternyata harus disebut karena keterkaitan kuatnya dengan perubahan iklim/REDD. Laporan ini juga tidak terlalu berfokus pada siapa yang sedang direspon oleh pemerintah atau aktor di luar pemerintah. Walaupun demikian, secara tersirat, dalam pemotretan respon pemerintah tersebut sebenarnya bisa terlihat siapa yang sedang direspon paling banyak oleh pemerintah tersebut. Apalagi jika dilihat dalam kenyataannya isu perubahan iklim dan REDD merupakan isu yang berasal dari dunia internasional. “Setelah di bab sebelumnya menjelaskan soal respon kebijakan pemerintah pusat, dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan respon kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Pemerintah Kabupaten Kapuas.105 Terlebih dahulu penulis paparkan respon kebijakan di provinsi Kalimantan Tengah sebelum masuk untuk membahas respon kebijakan di Kabupaten Kapuas. Menilik respon kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam soal perubahan iklim/REDD ini penting karena sejatinya di wilayah pemerintah daerahlah pelaksanaan dan sekaligus dampak/manfaat dari kegiatan penanggulangan perubahan iklim/skema REDD itu terjadi. Tanpa adanya respon yang sepadan dari pemerintah daerah dikawatirkan pelaksanaan kegiatan penanggulangan perubahan iklim/REDD menghadapi kendala penting, terutama dalam menghubungkan kepentingan masyarakat internasional dengan masyarakat di tingkat lokal. 4.2 Respon Kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (a) Sekilas Provinsi Kalimantan Tengah Secara geografis, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan Provinsi terluas ketiga setelah provinsi Papua dan Provinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah 153.564 km2. Dari luas wilayah itu, 69,9% diantaranya masih berupa hutan (10.735.935 hektar). Data ini berdasar kepada hasil paduserasi antara TGHK dengan RTRWP pada Oktober 1999. Data terbaru masih belum tersedia mengingat RTRWP baru Kalimantan Tengah yang diajukan sejak tahun 2003 masih belum kelar pembahasannya. Sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Tengah merupakan dataran rendah, ketinggiannya berkisar antara 0 s/d 150 meter dari permukaan air laut. Kecuali sebagian kecil di wilayah Utara merupakan daerah perbukitan dimana terbentang 105 Liat bab 3 buku ini. 184 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? pegunungan Muller-Schwanner dengan puncak tertingginya (Bukit Raya) mencapai 2.278 meter dari permukaan air laut. Jumlah penduduk pada tahun 2008 adalah 2,1 juta jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 14 jiwa per km2; jauh di bawah rata-rata tingkat kepadatan penduduk secara nasional/Indonesia yag sebesar 123 jiwa per km2. Sebagain besar penduduk menggantungkan hidupnya pada pertanian (60,67% dari angkatan kerja), sebagian kecilnya terserap di sektor lainnya. Pada awalnya, Kalimantan Tengah hanya memiliki 5 kabupaten, namun sejak ada pemekaran wilayah di tahun 2002, jumlah kabupaten di Kalimantan Tengah bertambah menjadi 13 kabupaten dan 1 kota. (b) Kalimantan Tengah, Perubahan Iklim, REDD Setengah luas Kalimantan Tengah adalah hutan, seperlimanya lahan gambut, sehingga menjadikannya calon kuat percontohan REDD Plus (REDD+). Kalimantan Tengah dipandang memiliki peran penting dalam mencapai solusi bagi masalah perubahan iklim dengan potensi hutan dan ekosistem gambut yang banyak menyimpan karbon.Tidak hanya karena luas dan masih terjaganya hutan, tetapi karena luasnya lahan gambut yang berada di sebelah selatan Provinsi Kalimantan Tengah. Luas lahan gambut mencapai 3.010.640 hektar dengan kedalaman yang bervariasi: dari yang kedalamannya kurang dari 0.5m sampai yang lebih dari 8 m. Namun umumnya didominasi oleh kedalaman gambut yang dalamnya lebih dari 2 meter yang luasnya mencapai 41, 06% atau sekitar 1.236.071 hektar. Lahan Gambut di Kalimantan Tengah ini merupakan lahan gambut yang terbesar di Kalimantan (52,18% dari total lahan gambut Pulau Kalimantan) (Wahyunto dan I Nyoman N. Suryadiputra, 2008:37). Lahan Gambut berperan penting dalam penyerapan atau penahan karbon. Potensinya sangat besar pada kontribusi perubahan iklim jika ia secara sengaja atau tidak sengaja dibuat terbuka. Karena karbon yang terlepas tidak hanya dari pepohonan yang tumbuh di atasnya, tetapi juga dari bahan organik yang terurai di dalam tanah. Di lahan gambut sendiri, karbon lebih banyak terdapat di dalam permukaan tanah daripada di atas permukaan tanah. Dan inilah yang sedang terjadi di Kalimantan Tengah. Dari 3,1 juta hektare kawasan gambut, lebih dari 1,5 juta hektar sudah rusak dan perlu direhabilitasi.106 Kerusakan dipicu aktivitas pembukaan proyek eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare, serta pembukaan kawasan gambut untuk sawit dan hutan tanam industri (HTI). Bukan hanya lahan gambut yang rusak, di Kalimantan Tengah sendiri terdapat lebih kurang 5,3 juta hektar lahan kritis. Masifnya kerusakan hutan dan lahan di 106 http://regional.kompas.com/read/2010/05/25/17572054/Hutan.Kalimantan Tengah.Rusak.Parah (diakses 03-06-2010). Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 185 Kalimantan Tengah ini telah merugikan lingkungan dan masyarakat akibat mudah terjadinya kebakaran hutan, banjir, hilangnya keanekaragaman hayati. Kondisi hutan/lahan gambut di Kalimantan Tengah yang berada di dalam tekanan berat ini bisa dengan gampang dilihat dengan mengamati struktur perekonomian di Kalimantan Tengah. Saat ini sektor perkebunan, terutama sawit, merupakan salah satu sektor terpenting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Tengah. Kontribusinya mencapai 37,07% pada PDRB Kalimantan Tengah. Kontribusinya ini ternyata masih belum mencapai titik maksimal, masih bisa ditingkatkan. Sayangnya peningkatan kontribusi itu tidak hanya dengan proses intensifikasi (perbaikan standar, efesiensi panen, dst) namun dengan melakukan ekspansi lahan. Ekspansi ini tidak hanya pada lahan non-kehutanan, namun juga masuk ke areal berhutan (Pokja Sawit Multipihak Pemerintah Provinsi, 2008:15) Karena itu, setidaknya sejak tahun 2007, sudah banyak pihak yang bekerja di Kalimantan Tengah dan bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah berusaha mencari solusi yang dapat mencegah dampak perubahan iklim sekaligus memperhatikan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejak tahun 2007 pula, Provinsi Kalimantan Tengah selalu diajak oleh pemerintah pusat untuk ikut terlibat di dalam perbincangan internasional terkait perubahan iklim. Terakhir adalah kehadiran Provinsi Kalimantan Tengah di COP 15 di Kopenhagen, Denmark. 107 Potensi Kalimantan Tengah memberikan solusi bagi mitigasi perubahan iklim mendorong banyak pihak untuk datang ke Kalimantan Tengah dan bekerja sama dengan pemerintah provinsi dengan membawa kepentingannya masing-masing. Beberapa lembaga penting yang patut dicatat adalah Wetland Internasional, Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival) Mawas, KFCP (The Kalimantan Forest and Climate Partnership) dan Kemitraan. 1. Wetland Internasional Wetland Internasional sudah sejak lama bekerja di Kalimantan Tengah dan berkonsentrasi di masalah lahan gambut di Kalimantan Tengah. Bersama-sama dengan mitra lainnya dengan pembiayaan dari Pemerintah Belanda dan Indonesia, 108 berhasil menyusun Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah atau Rencana Induk PLG. Rencana Induk PLG ini diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah dan swasta dan juga masyarakat dalam melakukan aktivitas apapun di lahan eks PLG tersebut. Ia menjadi tatanan penting bagi implementasi Inpres No 2 Tahun 2007 Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan 107 108 Syahrin Daulay (Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010. CIMTROP-UNPAR, CARE, Bappenas, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau, Pemerintah Kabupaten Kapuas, Pemerintah Kabupaten Barito Selatan dan Pemkot Palangkaraya. 186 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Hanya sayangnya, baik Inpres no 2/2007 maupun Rencana Induk PLG ini menghadapi kendala di dalam pelaksanaannya. Inpres 2/2007 tidak maksimal berjalan karena tiadanya dukungan dana sementara Rencana Induk PLG itu kemungkinan besar akan menjadi dokumen mati. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pandangan antara masing-masing pemerintah pusat, pemerintah daerah yang mewadahi wilayah PLG.109 Apapun kondisinya, Rencana Induk PLG merupakan dokumen penting bagi siapapun pihak yang mau bekerja di isu REDD di Kalimantan Tengah. 2. Yayasan BOS Mawas Yayasan BOS Mawas merupakan lembaga yang bekerja untuk menyelamatkan orangutan, reintrodusir orangutan dan sekaligus melindungi habitatnya. BOS Mawas merupakan salah satu anggota konsorsium dari KFCP. BOS Mawas punya kepentingan besar melindungi hutan dan lahan gambut yang ada di dua kabupaten, Barito Selatan dan Kapuas. Terkait dengan lahan PLG, BOS Mawas bekerja di Blok E PLG seluas kurang lebih 300.000 hektar. Penunjukan kerja ini diperkuat dengan Izin Prinsip Untuk Kerjasama Konservasi dari Gubernur Kalimantan Tengah (berupa Surat Gubernur Kalimantan Tengah No.38/ GUB-VII/2002, tanggal 31 Juli 2002).110 Dalam soal perdagangan karbon, BOS mawas sudah berjalan jauh dengan membuat skema Debt-for-Nature Swaps dan Perdagangan Karbon sendiri (Smits, 2003). 3. KFCP (Kalimantan Forest and Climate Partnership) KFCP merupakan proyek DA (Demonstration Activities) REDD terbesar yang diadakan di Indonesia dengan biaya kurang lebih 30 juta dolar Australia yang ditandatangani pada September 2007. KFCP kemudian dimasukkan ke dalam bagian dari kerja sama yang lebih luas antara Indonesia dan Australia terkait perubahan iklim dengan spesifik REDD bernama Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) yang ditandatangani oleh PM Australia, Kevin Rudd dan Presiden Indonesia, SBY pada 13 Juni 2008. Setelah memberikan 30 juta dolar Australia pada KFCP, IAFCP berkomitmen memberikan dana sebesar 10 juta dolar Australia bagi proyek Hutan dan Iklim pemerintah Indonesia. KFCP berusaha membangun beberapa pola yang kemungkinan harus hadir di dalam proyek REDD, antara lain soal hitung-hitungan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan; mendekatkan 109 110 Muri (CARE International Indonesia site Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010. Informasi dari website BOS Mawas: http://www.sambojalodge.com/AboutBOSFoundation/BOSMawas/ (diakses 03-06-2010) . Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 187 perhitungan karbon hutan ke dalam sistem kehutanan Indonesia, pembayaran insentif kepada masyarakat yang tergantung hutan di Kalimantan Tengah dan membangun kerjasama institusional dengan pemerintah dalam pelaksanaan REDD. KFCP ini bekerja di areal kurang lebih 150.000 ha yang ada di Kalimantan Tengah. Namun sampai sekarang penunjukan detail lokasi mana yang akan dijadikan wilayah DA REDD belum dilakukan. Walaupun demikian, kemungkinan besar lokasi itu akan berada di sekitar Blok E PLG.111 KFCP sekarang ini menempati salah satu gedung di perkantoran Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah. 4. Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia atau Kemitraan Pihak ketiga lain, yang sepertinya bukan pihak terakhir, yang menjalin kerja sama dengan Provinsi Kalimantan Tengah adalah Kemitraan112. Kerjasama antara Kemitraan dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah tidak melulu soal REDD, namun lebih luas yakni perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik di Kalimantan Tengah. Ada beberapa isu yang akan dikerjasamakan yakni, (1) soal Lingkungan Hidup dan Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah; (2) Ekonomi dan perdagangan dalam konteks perubahan iklim; (3) pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan; serta (4) tata kelola pemerintahan yang baik. Saat ini kegiatan yang sudah berlangsung adalah konsultasi publik Rencana Induk PLG kepada yang berjenjang dilakukan dari tingkat desa sampai dengan kabupaten. Di tingkat desa, konsultasi dilakukan di sekitar 28 desa, 22 kecamatan dan 4 kabupaten/kota, yakni di Kota Palangkaraya, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Kapuas, dan Kabupaten Barito Selatan. REDD sendiri masuk ke 4 isu yang dikerjasamakan di atas. Misalnya saja akan ada sosialisasi soal REDD pada semua aparat pemerintah dan masyarakat yang berada di dalam kawasan Blok A dan E PLG serta peningkatan kapasitas pejabat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mempersiapkan implementasi REDD yang masuk di dalam isu Lingkungan Hidup dan Rencana PLG. Hal yang menarik lain dari kegiatan di dalam isu pertama ini adalah penyelesaian masalah penguasaan tanah dan inventarisasi tanah-tanah adat.113 Hanya saja, dalam dokumen yang penulis dapatkan yang bernama “Matriks Kerangka Logis Kegiatan Sebagai Tindak Lanjut Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) Antara Kemitraan dengan Pemerintah Provinsi 111 112 113 Aleu Dohong (Staf KFCP), wawancara, 22-06-2010. http://www.kemitraan.or.id/ (diakses 05-06-2010). http://www.kemitraan.or.id/partnership-events/central-kalimantan-and-the-partnership-signed-formal-agreement/ lang-pref/id/ (diakses 05-06-2010). 188 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Kalimantan Tengah”, dua kegiatan penting itu tidak dicantumkan. Yang ada malah fasilitasi adanya pola integrasi antara usulan skema REDD dengan hutan masyarakat (CBFM) di mana salah satu bentuk CBFM itu adalah hutan adat. Kejelasan soal ini, terutama inventarisasi tanahtanah adat, sangat penting dipikirkan dengan masak karena sudah ada Pergub yang mengatur soal Tanah adat dan Hak-hak adat atas tanah yang di samping menghembuskan kabar baik, namun mengintai di belakangnya persoalan tersendiri bagi tanah-tanah adat. Penjelasan soal Pergub ini akan dijelaskan di sub bab lain tulisan ini. Lembaga yang diuraikan di atas tidak bisa mewakili tingkah polah pihak-pihak lain yang sedang bekerja di Kalimantan Tengah terutama yang terkait dengan perubahan iklim. WWF, misalnya, yang fasilitasi dalam Heart of Borneo-nya memberikan nuansa tersendiri dalam isu perubahan iklim/REDD di Kalimantan Tengah. Tapi penguraian secara singkat keempat pelaku penting REDD di Kalimantan Tengah ini bisa menunjukkan dengan siapa dan atas insentif siapa sebenarnya respon (kebijakan) pemerintah di Kalimantan Tengah bergerak dalam menanggapi isu perubahan iklim dan REDD. Penjelasan lebih detail soal respon kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah akan diuraikan di bawah. (c) Respon Kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah atas Perubahan Iklim dan REDD (i) Perencanaan kebijakan pembangunan Perencanaan kebijakan merupakan salah satu alat bagi pemerintah untuk merencanakan suatu program di masa mendatang dengan memperhitungkan kekuatan dan kelemahan para pihak baik yang ada di dalam internal pemerintah maupun pihak di luar pemerintah, seperti sektor swasta dan masyarakat sipil. Ia sebenarnya bisa menjadi alat untuk mengkoordinasikan kerja semua pemangku kepentingan agar dapat mencapai target tertentu. Bagi daerah sendiri, perencanaan pembangunan ini berisi rencana pembangunan dan tahapan untuk meraih visi daerahnya, baik yang berjangka panjang, menengah atau pertahun yang dilakukan oleh pemerintah maupun dinas-dinas terkait. Selain sebagai alat koordinasi, proses perencanaan kebijakan pembangunan itu sendiri dapat dijadikan alat untuk mengukur sudah sejauh mana pelaksanaan pembangunan itu mencapai sasaran atau target, menjadi alat untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan apa yang ditargetkan, serta sebagai alat untuk membuka umpan balik dari para pemangku kepentingan daerah perihal tahapan pelaksanaan pembangunan. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 189 Untuk keperluan tulisan ini, dokumen perencanaan pembangunan yang akan ditelisik dimulai dari dokumen perencanaan yang berjangka panjang atau yang biasanya lebih abstrak, lalu berlanjut ke dokumen perencanaan yang berjangka menengah serta akhirnya dokumen yang lebih rigid yang berjangka tahunan. Dokumen perencanaan ini terbagi antara pemerintah daerah secara umum serta dokumen milik dinas-dinas atau dikenal sebagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Karena keterbatasan data dan juga pelingkupan yang rigid, yakni dengan hanya melihat keterkaitannya dengan isu perubahan iklim/REDD, hanya dokumen yang disebutkan di bawah saja yang akan diteliti isinya. Sebagian informasi juga berasal dari wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan kalangan staf pemerintah dan LSM pada pertengahanakhir Juni 2010 kemarin. (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Kalimantan Tengah 2006 - 2025 Dilihat dari sisi perencanaan kebijakan yang lahir dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) Provinsi Kalimantan Tengah, belum ada pembunyian soal perubahan iklim atau REDD. Kondisi ini bisa dimaklumi mengingat RPJP daerah Provinsi Kalimantan Tengah ini dibuat pada tahun 2005.114 Dalam soal pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, sebagai misi nomor sebelas pembangunan Daerah Kalimantan Tengah, respon Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah diarahkan pada persoalan lingkungan yang sifatnya lokal (kebakaran hutan, dilemma kekayaan sumber daya alam berupa emas antara sisi ekonomi dan lingkungan) dan belum menyentuh persoalan lingkungan yang sifatnya global. Selain itu, perlindungan lingkungan bisa dikatakan hanya ditanggungkan pada perbaikan sistem perizinan serta pembentukan lembaga koordinasi yang lintas sektoral dan lintas pelaku. Perhatian pada sektor ekonomi tetap mendominasi misi pembangunan daerah ini. Lingkungan hidup sedapat mungkin tidak menghalangi pada peningkatan kesejahteraan lewat pembangunan ekonomi. Karenanya banyak arahan di dalam misi pengelolaan lingkungan hidup menekankan pada “pola pemanfaatan” SDA yang ada dan bahkan ada satu arahan pembangunan yang jelas mencantumkan peningkatan keberdayaan perusahaan dan masyarakat dalam menyeimbangkan pengelolaan dan pelestarian SDA. 114 Ditetapkan dengan Perda Nomor 12 Tahun 2005 pada tanggal 15 November 2005. 190 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Kalimantan Tengah 2006 - 2010 Tindak lanjut misi kesebelas pembangunan daerah yang menyangkut pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ini kemudian ditindaklanjuti ke dalam bentuk RPJMD 2006 – 2010115. Hanya saja, penetapan yang bersamaan dengan RPJPD, membuat RPJMD hanya menambahkan detail yang tidak terlalu jauh dari apa yang ada di dalam RPJPD. Tiga isu tetap mendominasi misi pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ini, yakni pola pemanfaatan, keberdayaan perusahaan dan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup. Pola pemanfaatan SDA sebenarnya dibuat untuk menyelaraskan antara proses eksploitasi dan perlindungan SDA-nya. Namun arahan yang ada di dalam bagian ini lebih banyak soal bagaimana memudahkan proses eksploitasi, misalnya, dengan peningkatan birokrasi perizinan, peningkatan penerimaan daerah dari PNPB (Penerimaan Negara Bukan Pajak), peningkatan kualitas layanan perizinan dan pengawasan dalam bidang tambang dan batubara. Dalam soal keberdayaan perusahaan dan masyarakat, di samping soal perluasan akses pada SDA, terdapat pula arahan pembangunan yang cukup penting untuk dibicarakan, yakni dalam soal penggalian dan pemanfaatan kearifan lokal dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Program ini dijalankan dalam tiga sasaran: penggalian kearifan lokal, menyosialisasikannya pada murid sekolah dan masyarakat umum dan mengimplementasikannya ke dalam kebijakan daerah dalam soal pelestarian lingkungan hidup. Sementara soal pelestarian lingkungan masih didominasi dengan usaha penyelesaian limbah lingkungan, peningkatan kapasitas SDM, pencegahan kebakaran dan lahan dan isu lingkungan primordial lainnya. Dengan demikian, sebagaimana RPJPD, tidak ada pembicaraan atau tanggapan pemerintah daerah Kalimantan Tengah dalam soal perubahan iklim atau REDD. Sektor kehutanan, yang paling dekat hubungannya dengan isu REDD, masih berkutat pada masalah klasik dalam soal pelembagaan penataan kawasan hutan, koordinasi antar sektor, peningkatan penerimaan daerah, akses dunia usaha dan masyarakat pada hutan. Isu rehabilitasi/reboisasi/penghijauan hutan belum ada pengaitannya dengan isu perubahan iklim. Bisa dipastikan bahwa masuknya program ini merupakan tindak lanjut dari program nasional Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) yang pertama dicanangkan pada tahun 2004. 115 Ditetapkan dengan Perda Nomor 13 Tahun 2005 pada tanggal 15 November 2005. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 191 (3) Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Kalimantan Tengah 2009 Isu perubahan iklim mulai disebutkan di dalam RKPD Provinsi Pemerintah Kalimantan Tengah 2009 ketika berbicara soal pelestarian lingkungan hidup116. Hal ini seiring dengan mulai menguatnya isu perubahan iklim/REDD di dalam RKP (Pemerintah Pusat) 2009. Hanya saja, berbeda dengan RKP 2009 yang memandang isu perubahan iklim tidak hanya ada di dalam isu lingkungan hidup, Pemerintah Kalimantan Tengah memasukkan isu perubahan iklim dan REDD ke dalam program pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Secara jelas Pemerintah Kalimantan Tengah menyebutkan bahwa tahun 2009 merupakan permulaan diterapkannya beberapa skema mitigasi perubahan iklim pada tingkatan lokal atau daerah. Skema mitigasi yang dimaksud berurusan dengan deforestasi dan degradasi hutan tropis dan hutan rawa gambut, yang dalam skema mitigasi pemanasan global dikenal sebagai REDD. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah karenanya mempersiapkan diri untuk terlibat dalam proses dan kegiatan REDD tersebut. Hanya saja, masih belum jelasnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dalam menempatkan tantangan lingkungan global tersebut di dalam kebijakan sehari-hari pemerintahannya menimbulkan setidaknya dua situasi: Pertama, situasi dimana pemerintah Kalimantan Tengah membuat program dan kegiatan yang hampir sama dengan kegiatan tahun-tahun sebelumnya, dengan item yang hampir sama dan kemudian menyisipkan isu perubahan iklim pada beberapa program/kegiatan yang dirasa ada hubungannya. Sehingga ketika rencana kerja itu dijalankan terdapat fleksibilitas untuk merengkuh isu perubahan iklim di dalam program/kegiatan pembangunannya. Pada titik ini, aparat birokratlah yang menentukan satu item kegiatan tertentu mempunyai hubungan atau tidak ada hubungan dengan isu mitigasi perubahan iklim/REDD. Ada beberapa program dan aktivitas yang tersebar setidaknya di 4 lembaga (Dinas Pertanian/Peternakan, Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup) yang bisa dikaitkan dengan aktivitas mitigasi perubahan iklim. Program dan aktivitas itu antara lain terkait dengan pencegahan kebakaran hutan dan lahan, dan penyebarluasan infomasi dan pengelolaan lingkungan hidup/ hutan (pemantapan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan non kayu, pengendalian pencemaran udara). 116 Ditetapkan dengan Pergub Kalimantan Tengah No. 13 Tahun 2008 pada tanggal 31 Mei 2008. 192 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Situasi kedua yang timbul sebagai konsekuensi tidak adanya pembunyian perubahan iklim, atau strategi mitigasi perubahan iklim berupa REDD dalam program dan kegiatan pemerintah adalah pada tidak adanya alokasi bujet sehingga anggaran akan lebih diprioritaskan untuk program/kegiatan yang disebutkan secara jelas. Dengan kata lain, program/kegiatan yang disinyalir ada hubungannya dengan persiapan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah untuk terlibat di dalam proses dan kegiatan implementasi skema mitigasi perubahan iklim, sebenarnya tidak menjadi prioritas. Prioritas utama tetap pada apa yang disebutkan dengan terang benderang di dalam RKPD 2009. Dua situasi itu merupakan bukti kebingungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dalam menanggapi isu perubahan iklim, secara khusus sisi mitigasinya. Ketidakjelasan perundingan REDD di tingkat internasional, belum padunya kebijakan pemerintah nasional dan pada saat yang sama derasnya penawaran terkait mitigasi perubahan iklim ini membuat pemerintah provinsi bersikap mendua. Membunyikan secara jelas dalam rencana pembangunannya dapat berkonsekuensi tidak dijalankan jika ternyata implementasi REDD masih ada dalam tahap uji coba atau ternyata tertahan karena belum ada kesepakatan pasti. Ini dapat memberikan rapor jelek bagi aparat pemerintah. Sementara jika tidak membunyikan sama sekali berarti ada peluang yang dibiarkan lewat begitu saja, dengan konsekuensi hilangnya peluang tambahan pendapatan daerah. (4) Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Kalimantan Tengah 2010 Dalam RKPD 2010, disusun dalam kalimat yang sama namun dengan susunan paragraph yang lebih rapi dengan apa yang tertulis dalam RKPD 2009, disebutkan bahwa tahun 2010 (kembali) dipandang sebagai awal “tahapan inisiasi untuk implementasi lokal dari beberapa wacana skema mitigasi yang sudah dicanangkan…Untuk itu Kalimantan Tengah akan mempersiapkan diri dan ikut terlibat dalam berbagai proses dan kegiatan untuk mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global khususnya yang dikaitkan dengan deforestasi dan degradasi hutan tropis dan hutan rawa gambut.”117 Dengan kesamaan kalimat seperti di atas secara umum bisa dipastikan RKPD 2010 mempunyai semangat yang sama dengan apa yang ada di dalam RKPD 2009 sebagai bukti mulai ditanggapinya isu perubahan iklim, terutama skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD, oleh Pemprov Kalimantan Tengah. Ada keinginan 117 Hal IV-11 dalam Pergub 11 Tahun 2009 tentang RKPD Provinsi Kalimantan Tengah 2010 ditetapkan pada 17 Juni 2009. Bandingkan kalimatnya dengan Hal. IV-45 pada RKPD 2009. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 193 dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah untuk terlibat dalam proses dan kegiatan pengembangan skema mitigasi perubahan iklim tersebut. Pembacaan terhadap RKPD Provinsi Kalimantan Tengah 2010 jika dibanding dengan RKP 2010 juga menunjukkan apa yang menjadi prioritas pembangunan di tingkat pemerintah nasional tidak harus menjadi prioritas di tingkat pemerintahan provinsi. Dalam soal isu perubahan iklim, misalnya, pemerintah pusat telah melihat bahwa isu perubahan iklim ini merupakan isu yang lintas bidang/sektor dan perlu dihadapi agar tidak menghambat usaha peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemerintah memasukkan isu perubahan iklim ini sebagai “buhul” berbagai program/aktivitas yang dijalankan oleh masing-masing sektoral departemen atau lembaga pemerintah lainnya. Sementara dalam RKPD Provinsi Kalimantan Tengah 2010, ketegasan soal perubahan iklim itu tidak ada. Tapi Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sebenarnya ingin terlibat atau dilibatkan dalam proses dan kegiatan skema mitigasi perubahan iklim lewat REDD tersebut. Hanya saja, perubahan iklim tetap bukanlah isu prioritas Provinsi Kalimantan Tengah yang terlihat dari masih ditempatkannya isu perubahan iklim dalam program pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Walaupun demikian, RKPD Provinsi Kalimantan Tengah 2010 ini lebih terlihat program dan aktivitas nyata terkait dengan perubahan iklim/REDD dibandingkan dengan RKPD 2009. Program dan kegiatan itu memang kegiatan yang sudah ada di dalam RKPD 2009, hanya saja keluarannya (outputnya) ditambahkan isu perubahan iklim, tepatnya dampak bencana dari perubahan iklim. Semua kegiatan yang ada hubungannya dengan pencegahan dampak bencana perubahan iklim itu ada di sektor pertanian. Di dalam sektor pertanian, kegiatannya dapat dibagi dalam tiga kegiatan mencakup soal peningkatan kapasitas (baik PNS maupun petani – lewat sekolah iklim), pencegahan penyakit tanaman pangan, serta pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Lembaga yang masuk dalam lingkup sektor pertanian ini adalah Dinas Pertanian dan Peternakan serta Dinas Perkebunan. Di sektor kehutanan dan lingkungan hidup, sebenarnya ada aktivitas yang sama dengan aktivitas di sektor pertanian, yakni kegiatan pengendalian kebakaran hutan, lahan dan pekarangan, namun keluarannya tidak ditarik ke isu perubahan iklim. Tidak ada penjelasan bahwa program tersebut dikaitkan dengan perubahan iklim. Padahal, dalam rancangan skema mitigasi 194 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? perubahan iklim lewat kehutanan seperti REDD, pengendalian kebakaran hutan dan lahan merupakan unsur penting dalam skema tersebut. Kegiatan di sektor lingkungan hidup dan kehutanan ini banyak dikerjakan oleh Dinas Kehutanan dan BLH. Dengan kondisi di atas, mengapa program dan kegiatan yang sama di dua lembaga yang sebenarnya sering dikaitkan dengan isu perubahan iklim tidak dianggap sebagai bagian juga dari pengendalian dampak perubahan iklim? Apa susahnya menambahkan output pada program/aktivitas di BLH dan Dinas Kehutanan berupa pengendalian dampak perubahan iklim. Apakah ada unsur ketidaksengajaan sehingga penyusun RKPD 2010 luput memasukkan hal itu ke dalam kegiatan di lingkup BLH dan Dinas Kehutanan? Hasil wawancara dengan pihak BLH justru menunjukkan bahwa isu perubahan iklim sudah mulai ramai dibicarakan di kalangan internal mereka setidaknya sejak tahun 2008. BLH bahkan sudah ditunjuk sebagai fasilitator untuk isu ini di Kalimantan Tengah. 118 Sudah banyak kegiatan yang ada hubungannya dengan isu perubahan iklim atau REDD yang dilakukan dalam dua tahun terakhir (20092010). Umumnya adalah program sosialisasi (seminar, workshop) untuk mengenalkan isu perubahan iklim dan mitigasinya ke kalangan pemerintahan yang dananya memang tidak berasal dari APBD, namun berasal dari para pemrakarsa (mis. Kemitraan). Fakta itu menunjukkan dua hal. Pertama, ketiadaan dana untuk kegiatan terkait langsung dengan perubahan iklim menjadi penegasan bahwa belum ada prioritas dari pemerintah untuk menempatkan isu perubahan iklim di dalam kegiatan BLH. Kedua, di sisi yang lain, ada kesenjangan yang terlalu kentara (yang sebenarnya bisa dijembatani) antara yang dituliskan di dalam dokumen RKPD dengan fungsi dan kerja sehari-hari SKPD. Seolah penyusun RKPD 2010 luput untuk melihat bahwa sudah ada badan/ dinas di Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang sebenarnya – ditunjang dengan tupoksi yang jauh lebih terkait – lebih memiliki atau yang juga memiliki sumber daya untuk menjalankan kegiatan/ aktivitas terkait perubahan iklim, daripada atau di samping Dinas Pertanian dan Peternakan dan Dinas Perkebunan. Tapi menunjuk sektor pertanian (dan perkebunan) sebagai sektor pertama di Kalimantan Tengah yang dibebani dengan isu pengendalian perubahan iklim sebenarnya tidak menyimpang jauh dari kebijakan perubahan iklim di tingkat nasional. Dalam 118 Dra. Ernie Hermine L, M.Si (Kabag Pemulihan Kerusakan Lingkungan Hidup, BLH Provinsi Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 195 RKP 2010 serta RPJMD 2010 – 2014 memang terlihat sekali bahwa sektor pertanian diperhatikan benar dampaknya akibat perubahan iklim tersebut dan konsekuensinya banyak aktivitas yang dibiaya untuk pengendalian dampak tersebut. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah nampaknya bersikap sama dengan menegaskan keterkaitan antara dampak yang terjadi di sektor pertanian, seperti penyebarluasan hama penyakit tanaman, serta akibat-akibat lain dari perubahan iklim. (5) Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Pengelola dan Pelestarian Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2006-2010 Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Pengelola dan Pelestarian Lingkungan Hidup (Renstra SKPD BPPLH) Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2006 - 2010 ini dibuat pada tahun 2006 dan hanya berisi rencana umum kerja BPPLH. Belum ada pandangan umum BPLLH Kalimantan Tengah ini terkait dengan perubahan iklim atau skema mitigasi perubahan iklim. Rencana strategis lebih banyak menekankan pada aktivitas mendasar seperti pengumpulan data soal pencemaran atau keanekaragaman hayati atau soal peningkatan kualitas SDM. Hasil wawancara dengan beberapa narasumber menyatakan bahwa isu perubahan iklim baru hanya dalam tahap wacana sehingga belum dimasukkan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan BLH.119 Yang dimaksud dalam tahapan wacana ini lebih banyak dalam bentuk peningkatan kapasitas staf PNS dengan melakukan atau memfasilitasi banyak workshop terkait perubahan iklim dan REDD serta sosialisasi ke masyarakat umum, misalnya, dalam bentuk pemasangan poster. Karena tidak tercantum di dalam rencana kerja mereka, maka ketika melakukan fasilitasi workshop, seminar perubahan iklim/ REDD ini dananya tidak berasal dari APBD, namun berasal dari kerja sama dengan pemrakarsa, seperti Partnership. Informan yang ditanya, semuanya membetulkan bahwa belum ada alokasi bujet yang dialokasikan bahkan hanya untuk pelaksanaan workshop/ seminar bagi peningkatan kapasitas staf BLH sendiri. (6) Green Government Policy Kebijakan ini disinggung oleh Kepala Bappeda Kalimantan Tengah sebagai salah satu bukti persiapan Kalimantan Tengah ikut dalam proses dan kegiatan skema mitigasi perubahan iklim. Selain 119 Dra. Ernie Hermine L, M.Si (Kabag Pemulihan Kerusakan Lingkungan Hidup, BLH Provinsi Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010. 196 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Green Government Policy, ada 3 bentuk persiapan lain, yakni, kebijakan dalam pengelolaan gambut, pemanfaatan lahan-lahan terlantar dan keterlibatan dalam program Heart of Borneo (HoB). Kebijakan Pemerintah Hijau ini merupakan andalan dari Gubernur Kalimantan Tengah saat ini (Agustin Teras Narang) dalam menunjukkan Kalimantan Tengah sebagai provinsi yang dapat melaksanakan pembangunan yang berlandaskan pada pelestarian lingkungan hidup. Tidak ada peraturan formal yang meneguhkan Kebijakan Pemerintah Hijau ini. Ia lebih sebagai manifestasi visi dan misi Gubernur Kalimantan Tengah terpilih. Setidaknya, sejak tahun 2008, berkali-kali dalam pidatonya dan pertemuan-pertemuan formalinformal dengan bawahannya, gubernur menyebut soal kebijakan ini. Salah satu yang diinginkan di dalam Kebijakan Pemerintah Hijau ini adalah adanya keseimbangan antara proyek pembangunan ekonomi dengan perlindungan lingkungan, terutama dengan mengatur soal pemberian izin untuk usaha eksploitasi SDA. Kebijakan Pemerintah Hijau mewajibkan kepada para pemilik izin usaha untuk sebelumnya memiliki dokumen amdal dan dalam pelaksanaan eksploitasinya memperhatikan aturan-aturan soal lingkungan hidup (misal, reklamasi tambang). Kebijakan Pemerintah Hijau ini menjadi pembeda Kalimantan Tengah dengan provinsi lain, sehingga dalam satu kesempatan memunculkan keinginan untuk menjadikan Kalimantan Tengah sebagai Green Province atau Provinsi Hijau.120 Sampai sekarang, bentuk nyata dari Provinsi Hijau itu atau usaha untuk mencapai itu masih dalam bentuk wacana dan menjadi perbincangan di kalangan birokrat Kalimantan Tengah. Tidak hanya berhenti di sana, Kebijakan Pemerintah Hijau ini ternyata menarik perhatian pihak-pihak yang mengusung skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD. Kebijakan Pemerintah Hijau itu menjadi point penting untuk menempatkan Kalimantan Tengah sebagai calon wilayah percontohan REDD plus.121 Saat ini ada keinginan untuk menempatkan Kebijakan Pemerintah Hijau itu sebagai kebijakan “resmi” Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dengan mencarikan legalitas hukum formal, termasuk dengan Peraturan Daerah (Perda). Sebagai tahapan ke arah terbentuknya Perda, sampai saat ini sudah tersusun naskah akademik tentang Kebijakan Pemerintah Hijau. Cara lain yang ditempuh oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah untuk menguatkan posisi hukum kebijakan ini adalah dengan memasukkannya ke 120 121 http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2010/04/23/brk,20100423-242746,id.html (diakses 18-06-2010). http://www.kemitraan.or.id/newsroom/Kalimantan Tengah-masuk-percontohan-redd-plus/lang-pref/id/ (diakses 25-06-2010). Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 197 dalam RPJMD 2011 – 2016 yang merupakan wujud dari visi dan misi gubernur terpilih (yakni, Agustin Teras Narang).122 (ii) Tanggapan setengah hati: Antara perencanaan dan menangkap peluang Dari penelusuran pada dokumen perencanaan kebijakan di Provinsi Kalimantan Tengah ini, tampak bahwa isu perubahan iklim dan REDD merupakan isu baru yang baru dicantumkan di dalam RKPD 2009 dan pelan-pelan muncul dalam bentuk program dan aktivitas pemerintah pada tahun 2010. Tapi kemunculannya pun tidak tegas dalam bentuk program/aktivitas tersendiri, namun hanya disangkutkan di dalam keluaran/output beberapa kegiatan. Sementara itu ada penunjukkan aktor yang kurang komprehensif dengan tidak melibatkan dinas yang sumberdayanya sudah lama bergelut atau berdekatan dengan isu perubahan iklim seperti BLH dan Dinas Kehutanan. Informasi dari para informan dalam soal ketiadaan isu perubahan iklim dan REDD dalam RPJPD atau RPJMD, RKPD dan dokumen perencanaan lainnya menyebutkan bahwa hal itu merupakan hal yang wajar. Skema REDD sendiri baru muncul di medio tahun 2007, sementara Dokumen RPJPD, RPJMD dan Renstra BLH disusun pada pertengahan tahun 2005. Ketiadaan skema REDD di dalam dokumen yang disusun pasca 2007 lebih disebabkan karena belum disetujuinya skema REDD di dunia internasional. Ketika disangkutkan dengan belum adanya rencana program/kegiatan nyata pemerintah provinsi dalam soal perubahan iklim, semua informan menunjuk pada dua alasan. Alasan pertama adalah belum pastinya soal perundingan perubahan iklim, terutama dalam soal REDD di tingkat internasional. Biarpun skema mitigasi perubahan iklim itu sudah banyak yang ditawarkan, namun pemerintah provinsi masih menunggu versi mana dari skema mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan yang akan disepakati oleh dunia internasional. Hal itu terkait dengan pembayaran yang akan diterima dan kepada siapa karbon akan dijual. Alasan kedua, menunjuk pada belum pastinya kebijakan di tingkat nasional. Pemerintah Pusat belum juga memiliki kebijakan yang tegas dalam soal REDD itu, serta perubahan iklim dalam cakupan yang lebih luas. Pemerintah provinsi masih melihat bahwa kebijakan di tingkat nasional itu masih belum banyak yang disosialisasikan di tingkat daerah. Karenanya, semua informan menyatakan bahwa lebih baik menunggu daripada membuat kebijakan yang nantinya malah jadi salah. Nyatanya adalah kalangan internal BLH menyatakan bahwa mereka sudah beberapa kali memfasilitasi seminar/workshop terkait dengan perubahan iklim/REDD, atau kehadiran gubernur dalam perundingan 122 Syahrin Daulay (Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010. 198 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? UNFCCC, atau keterbukaannya pada KFCP dan pemrakarsa REDD lainnya,123 dan sederet kegiatan lainnya yang menunjukkan bahwa kerja-kerja tersebut seolah tidak dianggap sebagai bagian kerja “resmi” pemerintah karena seolah berjalan tanpa ada perencanaan. Ini menunjukkan ada kesenjangan antara perencanaan dengan kerja sehari-hari pemerintah dan kegagapan dalam menangkap sebuah peluang yang berinsentif besar. Penelusuran terhadap dokumen perencanaan ini untuk membaca sejauh mana pemerintah provinsi menempatkan isu perubahan iklim dan REDD dalam kebijakan sehari-harinya. Dibalik pernyataannya bahwa isu perubahan iklim dan REDD merupakan prioritas utama (dengan disebutkan pertama kali) program pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup, dan menyatakan pemerintah provinsi akan terlibat dan mempersiapkan diri dalam implementasi di tingkat lokal skema mitigasi berupa REDD, sebenarnya tidak dibarengi dengan rencana program atau aktivitas nyata di lapangan. Dengan demikian, sikap atau tanggapan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah soal skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD – berkebalikan dengan informasi dari para informan – ternyata sudah jelas: Pemerintah provinsi akan terlibat dan mempersiapkan diri dalam proses dan kegiatan skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD. REDD bisa jadi seperti target bergerak yang riskan jika terlalu tergesa dimasukkan ke dalam dokumen perencanaan, tetapi sikap pemerintah provinsi sudah jelas. Namun bagaimana keterlibatan dan persiapan diri itu akan dilakukan memang menjadi kabur. Hal tersebut terjadi karena Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah belum secara serius menempatkan dokumen perencanaannya sebagai cara untuk mengendalikan pembangunan serta memperkuat koordinasi antar instansi pemerintah. Dokumen perencanaan hanya dianggap sebagai dokumen formal saja sebagai keharusan karena diperintahkan peraturan perundang-undangan. Adanya susun kalimat yang hampir sama di dua RKPD 2009 dan 2010 serta luputnya pelibatan dua institusi penting menjadi buktinya. Padahal, selain itu pengendalian pembangunan, dokumen perencanaan juga dapat diperlakukan sebagai sarana monitoring. Jika pernyataan keharusan terlibat dan mempersiapkan diri di dalam proses dan kegiatan skema mitigasi perubahan iklim itu dinyatakan dalam susunan kalimat yang sama, berarti proses “perenungan” atas apa yang sudah dilakukan luput dilakukan. Atau itu juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, kerjakerja pemerintahan di tahun lalu dengan tahun berikutnya. 123 Pemrakarsa REDD yang melakukan aktivitas REDD di Kalimantan Tengah dapat dilihat di laporan ICRAF, lihat (Sakuntaladewi dkk., 2009:3-5). Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 199 Sisi lain dari minimnya pembunyian perubahan iklim/REDD di dalam dokumen perencanaan memperlihatkan kepada kita bahwa dokumen perencanaan seperti tidak menapak pada “realitas”. Ia seperti proses yang independen yang kemudian menganulir beberapa kerja-kerja penting atau tantangan-tantangan terkini. Ini tidak berarti bahwa perubahan iklim/REDD harus berada dalam prioritas penting Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Karena bagaimanapun proses pembentukan dokumen perencanaan merupakan proses yang berisi tarik menarik kepentingan, penguatan atau pengalihan serta penghilangan usulan-usulan tertentu dan seterusnya. Tapi setidaknya, dokumen perencanaan dapat memperlihatkan tanda kuat berupa tahapan-tahapan program/kegiatan yang jelas yang menunjukkan “bentuk mempersiapkan diri atau keterlibatan” yang akan diambil oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terkait dengan isu perubahan iklim dan REDD. Persiapan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah provinsi dalam mengendalikan perubahan iklim/REDD selayaknya sudah mulai dimasukkan ke dalam dokumen perencanaan dengan berkaca pada apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Ini akan memudahkan kerja pemerintah sekaligus memudahkan pihak lain melihat apa yang akan dikerjakan pemerintah dan memprediksi kinerjanya. Semakin luas diskresi pejabat/staf pemerintahan dalam menjalankan aktivitasnya semakin sulit bagi pihak luar untuk menakar akuntabilitasnya. Apakah kerja-kerja yang dilakukan selama ini terkait dengan isu perubahan iklim sudah dilaporkan ke rakyatnya atau wakil rakyatnya di DPRD? Jika pun dilaporkan, atas dasar apa laporan itu dilakukan jika tidak ada dokumen perencanaan di masa sebelumnya sebagai tolok ukur untuk melihat apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah? Yang lebih penting lagi, apakah masyarakat Kalimantan Tengah sudah mengetahui apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah provinsi terkait dengan kesiapan diri dan keterlibatan dalam proses/ kegiatan implementasi di tingkat lokal skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD? Dari mana masyarakat Kalimantan Tengah melihat kerja pemerintah itu jika program/kegiatannya tidak direncanakan dan bekerja secara acak? (iii) Pelaksanaan Kebijakan Ada dua bentuk pelaksanaan kebijakan yang akan dilihat untuk keperluan laporan ini, yakni peraturan perundang-undangan dan kelembagaan. Isi peraturan perundang-undangan yang dilihat adalah terkait atau tidak terkait langsung dengan perubahan iklim/REDD dan peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang mengatur soal 200 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? perlindungan hak dan kepentingan masyarakat adat/lokal. Sementara, kelembagaan yang dimaksud dalam pengertian yang sempit, yakni suatu organisasi dengan tugas, kerja dan fungsi tertentu, yang untuk keperluan penulisan ini, penting untuk dilihat tanggapannya dalam soal perubahan iklim dan REDD. Lingkup dari dua bentuk pelaksanaan kebijakan ini berada di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam pelaksanaan kebijakan berupa peraturan perundangundangan dan kelembagaan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah ternyata sudah melakukan aktivitas yang cukup maju dibandingkan dengan pemerintah provinsi lainnya. Di bawah adalah uraiannya. (1) Peraturan perundang-undangan - Peraturan perundang-undangan terkait langsung/tidak langsung dengan isu perubahan iklim/REDD Sampai laporan ini ditulis, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah belum mengeluarkan suatu peraturan perundangundangan berupa Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur yang mengatur soal perubahan iklim atau REDD. Peraturan yang dimaksud ini adalah peraturan yang langsung/tidak langsung mengatur soal perubahan iklim dan bersifat “regeling” atau mengatur. Hal ini disebabkan karena sebenarnya, jika dilihat dari segi terbitnya peraturan, pemerintah provinsi baru-baru ini sudah mengeluarkan 2 peraturan perundangan yang langsung mengatur perubahan iklim/REDD, namun bersifat menetapkan, yakni pembentukan dua lembaga (DDPI dan Komda REDD) yang penjelasannya akan diuraikan di bagian lain tulisan ini. Keinginan ke arah terbentuknya peraturan di daerah yang mengatur perubahan iklim, terutama untuk REDD, sebenarnya sudah mulai muncul di kalangan birokrat di Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Setidaknya ada tiga faktor yang mendorong keinginan itu: pertama, karena menghangatnya perdebatan soal ini tidak hanya di media, tapi juga masuk ke dalam perbincangan di kalangan birokrat. Kedua, semakin intensifnya tawaran dari pihak-pihak yang menawarkan kerja sama dalam REDD dan bahkan sudah ada beberapa inisiatif yang disepakati oleh pemerintah provinsi, misalnya KFCP. Dalam bahasa yang lebih lugas, ketiadaan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah menyebabkan pemerintah daerah tidak bisa merespon tawaran atau memantau pergerakan para inisiator REDD serta pedagang karbon yang semakin hari semakin banyak yang datang ke Kalimantan Tengah. Terakhir, keinginan untuk mengatur sendiri soal REDD ini dilatar belakangi dengan ketidakpuasan terhadap peraturan di Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 201 tingkat nasional yang mengatur soal REDD.124 Ketidakpuasan itu diarahkan pada pembagian kewenangan serta, yang paling penting, pembagian keuntungan/hasil REDD antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat (c.q. Departemen Kehutanan). Menurut salah seorang staf BLH, ada aturan dalam permenhut yang mengatur soal DA/REDD yang belum mempertimbangkan kewenangan peraturan daerah yang mengacu kepada UU Pemerintahan Daerah. Permenhut itu lebih mengacu pada UU 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.125 Satu aspek yang dilihat adalah dalam soal pengaturan soal hutan rakyat/adat. Menurut staf itu, kewenangan pemberian izin di hutan adat atau hutan rakyat sebenarnya sudah menjadi wewenang pemerintah daerah, lalu mengapa di dalam Permenhut No 36 Tahun 2009 diatur soal pembagian hasil di kawasan hutan adat dan hutan rakyat. Dalam pandangan staf itu, permenhut itu telah melewati kewenangannya, karena seharusnya Pemda-lah yang menentukan persentase bagi hasil masing-masing pihak yang melaksanakan skema REDD di hutan rakyat dan hutan adat. Ini menjadi alasan kuat mengapa Perda atau peraturan perundangan di tingkat daerah lainnya diperlukan. Di luar perda soal perubahan iklim, ada dua peraturan lain yang selayaknya dipersiapkan oleh Kalimantan Tengah untuk menyambut REDD, yakni Perda tentang Pengelolaan SDA dan Perda tentang Penataan Ruang. Perda Pengelolaan SDA sangat penting untuk menjembatani program antar dinas di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Perda SDA ini, selain untuk memperjelas visi Kalimantan Tengah dalam menyeimbangkan eksploitasi ekonomi dengan pelestarian lingkungan hidup, sangat penting untuk menurunkan ego masing-masing sektoral serta mempermulus kerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota. Perda Penataan Ruang jelas sangat penting bagi Kalimantan Tengah dalam mengatur pemanfaatan ruangnya. Saat ini Perda Kalimantan Tengah soal Penataan Ruang ini masih dibicarakan dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Kehutanan126. Ketidakjelasan pengaturan ruang ini menyebabkan ketidakpastian pembangunan di Kalimantan Tengah, termasuk dalam menunjuk suatu kawasan sebagai kawasan untuk implementasi REDD.127 124 125 126 127 Permenhut No. 68 tahun 2008, Permenhut No. 30 Tahun 2009, Permenhut No. 36 Tahun 2009. Langen Budiharjo (staf BLH), wawancara, 23-06-2010. Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang RTRWP Kalimantan Tengah. Perda ini belum disetujui oleh Pemerintah Pusat; dengan demikian sudah tujuh tahun Kalimantan Tengah tidak memiliki RTRWP. Aleu Dohong (Staf KFCP), wawancara, 22-06-2010. 202 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? a. Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan Dalam tulisan ini, tidak hanya Perda Nomor 5/2003 saja yang akan dibahas. Tapi juga peraturan pelaksana dari Perda ini serta regulasi lain di tingkat daerah yang terkait dengan pembakaran lahan dan hutan. Peraturan daerah ini dibuat sebagai kelanjutan dari perintah PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran dan atau Lahan. Perda ini bertujuan untuk mengendalikan dampak pencemaran udara akibat kebakaran di hutan dan lahan. Perda ini – mengikuti perintah peraturan di atasnya, PP No 4/2001 – tidak hendak melarang semua aktivitas pembakaran hutan atau lahan. Ada dua aktivitas pembakaran hutan dan lahan yang masih diperbolehkan dengan ada pembatasan tertentu. Dua aktivitas pembakaran yang masih diperbolehkan itu adalah: 1) Pembakaran lahan dan hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. 2) Kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan atau kebun.128 Namun kedua aktivitas itu tetap ada pembatasannya. Pembakaran lahan dan hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dihindari dibatasi dengan harus adanya izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. Sementara bagi masyarakat adat/tradisional aktivitas itu dibatasi dengan jika pembakaran hutan/lahan itu ke luar dari areal ladangnya. Sebagai konsekuensi adanya pembatasan serta untuk menentukan apakah aktivitas pembakaran masyarakat itu di dalam atau di luar ladang maka Perda ini meminta kepada gubernur/bupati untuk melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Termasuk di dalam inventarisasi itu adalah kepemilikan dan luasan ladang penduduk. Inventarisasi ini menjadi dasar untuk menentukan apakah aktivitas pembakaran itu ke luar dari ladangnya atau apakah pembakaran itu masuk dalam kualifikasi pembakaran dengan tujuan khusus. Sayangnya, sampai sekarang belum ada peraturan lanjutan atau petunjuk teknis tentang pelaksanaan inventarisasi ini. 128 Pasal 11 dan Penjelasannya PP No. 4 Tahun 2001. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 203 Pemerintah provinsi sendiri baru hanya mengeluarkan 2 SK Gubernur terkait dengan tindak lanjut dari Perda Nomor 5/2003 tersebut serta 1 buah Instruksi Gubernur. 2 SK Gubernur itu terkait dengan Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah (Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 77 Tahun 2005) dan Petunjuk Teknis Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah (Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 78 Tahun 2005). Isi dari kedua SK Gubernur tersebut tidak ada satu pun yang menyinggung soal inventarisasi kegiatan dan lahan yang potensial dilakukan pembakaran. Ketiadaan inventarisasi itu membuat posisi masyarakat adat/ lokal yang sebenarnya mempunyai keluwesan melakukan kearifan tradisional dalam mengusahakan ladangnya lewat pembakaran lahan menjadi rentan. Mereka dapat dikenai sanksi yang ada di dalam Perda karena melakukan pembakaran hutan/lahan. Apalagi kemudian pemerintah provinsi mengeluarkan Instruksi Gubernur no. 364/1337/DISTAN tanggal 6 Agustus 2007 yang tegas melarang aktivitas pembakaran hutan, lahan dan pekarangan tanpa kecuali. Kebijakan ini memang sangat populis dan sangat pro lingkungan hidup, apalagi Kalimantan Tengah pada waktu itu menjadi sorotan akibat kebakaran hutan/lahan yang tiada akhir. Namun konsekuensi berat mengenai peladang yang memakai metode pembakaran lahan, karena mereka tidak bisa membuka lahan untuk berladang atau dengan kata lain, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya (Noordin, 2008). Mereka bahkan ketakutan untuk membuka lahan.129 Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah provinsi akhirnya mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2008 yang mengatur soal Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah. Dalam Pergub ini pembukaan lahan dengan cara pembakaran diperbolehkan, namun dengan cara selektif dan terkendali dengan terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari aparat pemerintah. Peladang atau masyarakat yang ingin membakar lahan harus mendapatkan izin dari Ketua RT jika luasnya 0,1 hektar, dari Kepala Desa jika luasnya antara 0,1 – 0,5 hektar dan dari Camat jika lahannya 0,5 – 2,5 hektar.130 Izin di kecamatan dibatasi maksimal 100 hektare dan di kelurahan atau desa maksimal 10 hektare pada hari dan wilayah yang sama dan dilakukan di atas pukul 15.00 WIB dengan melihat kondisi suhu dan arah angin. Seiring dengan 129 130 Staf BLH Kalimantan Tengah, wawancara, 23-06-2010. http://nusantara.tvone.co.id/berita/view/13530/2009/05/09/semua_pembakaran_lahan_di_Kalimantan Tengah_harus_berizin/ (diakses 01-07-2010). 204 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? larangan terbatas ini, diperkenalkan pula sistem pembukaan lahan tanpa bakar. Namun respon dari masyarakat tidak kuat. Nyatanya, keinginan untuk mengatur pembakaran lahan dan hutan secara terkendali ini menemui kesulitan di lapangan. Salah satunya karena petani di Kalimantan Tengah rata-rata memiliki lahan di atas 2 hektar sehingga meminta izin dari kecamatan dianggap terlalu sulit dan jauh. Intinya, Pergub ini tetap belum mengakomodasi kepentingan petani/peladang yang aktivitas berladangnya bergantung pada proses pembakaran. Karena itu, kebakaran hutan kerap terjadi lagi sehingga memaksa Gubernur Teras Narang untuk mencabut kembali Pergub Nomor 52/2008 itu pada 10 Agustus 2009.131 (Pencabutan itu sendiri tidak ditindaklanjuti dengan lahirnya keputusan pencabutan atau lahirnya peraturan baru penggantinya. Pergub 52/2008 dicabut secara lisan oleh Gubernur Teras Narang dalam suatu konferensi pers). Pencabutan itu, ternyata, menghidupkan kembali larangan pembakaran lahan tanpa kecuali sebagaimana ditegaskan dalam Inpres tahun 2007 itu. Namun, tetap saja kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah kerap terjadi, yang asalnya tidak hanya berasal dari peladang/petani masyarakat, tetapi utamanya dari pembukaan lahan perusahaan perkebunan besar, seperti sawit132. Tanggapan pemerintah dalam soal pembukaan lahan/sistem pertanian dengan cara membakar hutan/lahan ini sebenarnya menjadi titik penting untuk melihat bagaimana dia menempatkan posisi masyarakat adat/lokal ketika berhadapan isu lingkungan hidup. Apalagi tekanan atas masih terjadinya pembakaran hutan di Kalimantan Tengah makin menguat – bukan hanya oleh kepentingan kelancaran transportasi atau kesehatan – tetapi juga oleh keinginan Indonesia untuk terlibat lebih jauh dalam perundingan perubahan iklim dengan melaksanakan salah satu skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD. Pembakaran lahan dan hutan apalagi di lahan gambut merupakan salah satu kontributor terbesar bertambahnya karbon di atmosfer yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu emitter terbesar dunia saat ini. Pembolehan atau juga pembiaran terus terjadinya kebakaran hutan akan bertentangan dengan tujuan implementasi REDD. Di tengah himpitan kepentingan itu, kebijakan Kalimantan Tengah dalam soal pelarangan pembakaran hutan dan lahan telah tegas: melarang tanpa kecuali. Namun pelarangan tanpa memberikan 131 132 http://regional.kompas.com/read/2009/08/10/13073996/Kalimantan Tengah.Kembali.Larang.Pembakaran. Lahan (diakses 01-07-2010). http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=9741 (diakses 01-07-2010). Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 205 solusi yang berarti bagi banyak petani yang sudah bergenerasi memakai sistem pembakaran lahan, hanya akan membuat posisi masyarakat adat/lokal terus terpinggirkan133. Padahal, dalam pandangan penulis, Pemerintah Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah belum menjalankan satu kegiatan penting yang tetap dapat mewadahi kepentingan petani: melakukan inventarisasi wilayah dan aktivitas yang potensial terjadi kebakaran/ dilakukan pembakaran.134 Belum lagi kewajiban itu dilakukan, pemerintah provinsi malah membuat Pergub 52/2008 yang justru memberikan beban tambahan kepada masyarakat. Lalu, sebelum jelas benar keberhasilan/kekurangan Pergub 52/2008, dalam jangka waktu yang belum genap satu tahun, Pergub itu dicabut (secara lisan) dan larangan pembakaran tanpa kecuali ditegaskan berlaku kembali (juga secara lisan). Selain itu, yang justru paling penting adalah pelarangan pembakaran hutan/lahan tanpa kecuali justru bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (PP No 4 Tahun 2001) yang masih memberikan pengecualian pada dua aktivitas pembakaran lahan/ hutan. Dengan melihat turun naiknya kebijakan dalam soal pembakaran hutan/lahan ini, bisa dipahami mengapa dalam RKPD 2010 soal perubahan iklim justru dimasukkan dalam sektor pertanian. Karena di titik inilah kepentingan masyarakat paling besar terlihat. Penyelesaian soal pembakaran hutan/lahan di lahan pertanian/ perkebunan menjadi salah satu prasyarat penting untuk melihat serius tidaknya Provinsi Kalimantan Tengah dalam memberi jalan implemetasi skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD. Yang nampak sekarang adalah pelarangan pembakaran hutan/lahan itu menimbulkan reaksi keras di kalangan masyarakat. - Peraturan Perundang-undangan terkait dengan perlindungan hak/kepentingan masyarakat Adat/Lokal Peraturan perundangan yang terkait dengan perlindungan hak/ kepentingan masyarakat adat/lokal mau tidak mau harus dilihat untuk melihat bagaimana pemerintah melindungi hak/kepentingan masyarakat terkait dengan perubahan iklim terutama skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD. Apalagi, ternyata terlihat bahwa di tingkat daerah belum ada peraturan terkait langsung dengan 133 134 Solusi itu antara lain adalah pengenalan sistem pertanian non-pembakaran lahan/hutan atau pengenalan kearifan tradisional peladangan non-bakar. Aktivitas ini direncanakan di dalam RKPD 2009-2010, namun dengan alokasi bujet yang kurang optimal. Merubah kebiasaan pertanian bukanlah pekerjaan mudah. Seharusnya perhatian pada soal ini diperkuat, sosialisasi diperkuat, opsi diperbanyak, dibuat tahapan, dukung dengan dana yang rasional, dst. Pasal 29 Ayat (1) PP No. 4 Tahun 2001. 206 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? perubahan iklim dan pada sisi yang lain, peraturan yang mengatur soal yang secara isi berkaitan dengan perubahan iklim, namun tidak disebutkan adanya perubahan iklim, seperti dalam soal Perda Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, ternyata isinya juga agak meminggirkan kepentingan dan hak masyarakat. Ada dua peraturan di tingkat Provinsi Kalimantan Tengah yang akan disorot untuk melihat usaha pemerintah melindungi kepentingan dan hak masyarakatnya, terutama masyarakat adat. Kedua peraturan itu adalah Perda Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Kalimantan Tengah (selanjutnya Perda 16/2008) serta Pergub 13/2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat di atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah (selanjutnya Pergub 13/2009). a. Perda Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Kalimantan Tengah. Perda yang ditetapkan pada 18 Desember 2008 ini sebenarnya penyempurnaan terhadap Perda Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 14/1998 tentang Kademangan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. Penyempurnaan itu tidak hanya pada sisi Lembaga Kademangan, tetapi juga pembentukan lembaga adat baru yang dikenalkan oleh Perda 16/2008. Hukum Adat dan hukum negara: Posisi Perda 16/2008 Menurut Perda 16/2008 maksud dari pemberdayaan kelembagaan adat Dayak adalah untuk mendorong lahirnya “... usaha upaya pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan menegakkan hukum adatdalam masyarakat...” sehingga dapat terbangun karakter masyarakat adat Dayak yang nantinya dipergunakan untuk mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, menunjang kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan dan kelangsungan pembangunan serta meningkatkan Ketahanan Nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum adat yang diakui oleh Perda ini adalah hukum adat yang hidup di dalam hati nurani masyarakat yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Apa yang dimaksud dengan kepentingan nasional? Perda ini tidak ada penjelasannya. Lalu apakah ketika ada situasi dimana hukum adat itu bertentangan dengan kepentingan nasional – dalam pengertian dan lingkup apapun – tidak akan lagi dianggap sebagai hukum adat? Perda ini sebenarnya melakukan pembatasan – mungkin tidak akan menghapus - terhadap hukum-hukum Adat Dayak yang berkembang di Kalimantan Tengah. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 207 Dengan demikian, semua aturan adat yang akan diakui harus tunduk kepada kepentingan nasional dan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua pengertian yang dibuat tidak sama sekali menunjukkan posisi adat yang seimbang atau menjadi unsur penting dalam pembentukan, katakanlah, pengertian kepentingan nasional itu. Posisi adat secara default berada di luar kepentingan nasional, kecuali aturan adat yang sesuai dengan kepentingan nasional. Selain itu, ada keinginan untuk mengintegrasikan peradilan adat ke dalam peradilan negara; hanya saja dengan posisi adat yang lebih rendah, di mana keputusan peradilan adat tentang suatu perkara dapat dijadikan pertimbangan bagi penyelesaian perkara sejenis yang sedang berjalan di aparat penegak hukum (Pasal 29); dan tidak menjadi penyelesaian konflik/sengketa itu sendiri. Proses untuk melakukan penapisan pada hukum adat Dayak yang masih berkembang di masyarakat dengan kriteria sesuai dengan kepentingan nasional atau tidak, menunjang kinerja pemerintah atau tidak sehingga nanti akan ditemukan “Hukum Adat Dayak” dalam pengertian Perda 16/2008 ini. Tapi sepertinya Perda ini tidak berhenti di sana. Perda ini juga mencoba untuk menyusupkan pada sistem birokrasi negara berupa kelembagaan adat baru; yang jika dihubungkan dengan maksud dan tujuan pembuatan Perda ini merupakan bentuk pemberdayaan adat Dayak. Kelembagaan adat Dayak: Struktur organisasi Menurut Perda ini, ada dua kelembagaan adat Dayak: yang sengaja dibentuk dan yang sudah ada dan tumbuh di masyarakat. Majelis Adat Dayak Nasional dan seterusnya ke bawah merupakan lembaga adat Dayak yang sengaja dibentuk, sementara Kademangan adalah lembaga adat yang sudah ada dan tumbuh di masyarakat. Di dalam Munas II (Musyawarah Nasional II) Dewan Adat Dayak se-Kalimantan tanggal 2-5 September 2006 di Pontianak dihasilkan keinginan untuk melakukan sinergi antara Majelis Adat Dayak Nasional, Dewan Adat Dayak Provinsi, Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota, Dewan Adat Dayak Kecamatan, Dewan Adat Dayak Desa/Kelurahan dengan Lembaga Pemangku Hukum Adat (Kedamangan). Struktur lembaga adat yang sengaja dibentuk memiliki hirarkhi berjenjang dimulai dari Majelis Adat Dayak Nasional, Dewan Adat Dayak Provinsi, Dewan Adat Dayak kabupaten/ kota, Dewan Adat Dayak Kecamatan, Dewan Adat Dayak 208 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Desa/Kelurahan. Wilayahnya mengikuti pembagian wilayah administratif pemerintah. Di dalam masing-masing majelis/ dewan adat itu dibuatlah Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak yang tugasnya adalah untuk mengawal perjuangan masyarakat adat Dayak mempertahankan keberadaannya, membantu tugas Damang dalam menegakkan hukum adat dan mengantisipasi gangguan terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di daerah perbatasan. Selain itu ada juga yang disebut dengan Lembaga Kademangan yang berada di tingkat kecamatan. Kademangan dikatakan sebagai lembaga adat yang memiliki wilayah adat, kesatuan masyarakat adat dan hukum adat dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari himpunan beberapa desa/ kelurahan/ kecamatan/kabupaten dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian, wilayah Kademangan tidak mengikuti struktur teritorial Pemerintah Indonesia sebagaimana Majelis/Dewan Adat Dayak. Di dalam Kademangan ini terdapat pula Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Kecamatan yang dijabat sekaligus oleh Damang Kepala Adat. Sementara di tingkat desa/kelurahan ada juga Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Desa/Kelurahan. Memperhatikan keberadaan dua lembaga adat Dayak itu, terlihat bahwa struktur lembaga adat yang dibangun oleh Perda ini bersifat ramping sampai kabupaten/kota, lalu menjadi gemuk di tingkat kecamatan dan desa. Di kecamatan selain ada Dewan Adat Dayak Kecamatan, akan ada juga Kademangan. Sementara di tingkat desa/kelurahan, Dewan Adat Dayak Desa/Kelurahan akan didampingi oleh kerapatan Mantir/Let Perdamaian. Tapi titik tekan Perda ini adalah pada pemberdayaan tugas dan fungsi Damang Kepala Adat. Dewan Adat Dayak Provinsi dan seterusnya sampai ke tingkat desa/kelurahan bertugas untuk mendukung kelancaran tugas Damang Kepala Adat. Karena itu, Perda ini tidak mengatur soal tata cara pembentukan atau pengangkatan masing-masing Majelis/Dewan Adat Dayak; yang diatur hanya pengangkatan/pemberhentian Kademangan. Damang Kepala Adat ini diangkat dan diberhentikan oleh bupati, begitu juga Mantir Adat. Perbedaannya adalah: Damang Kepala Adat dipilih dengan suara terbanyak oleh pejabat adat dan pemerintahan desa di bawahnya melalui suatu proses pemilihan; hasil pemilihan itu kemudian dilihat oleh Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota yang kemudian mengusulkan kepada bupati untuk diangkat. Sementara Mantir diusulkan oleh Damang Kepala Adat melalui Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota dan diangkat/diberhentikan oleh bupati. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 209 Sementara itu, Mantir Adat dapat dipilih berkali-kali asalkan tidak melewati umur 65 tahun; Damang, selain dibatasi umur (30 – 65 tahun), hanya dapat satu kali lagi dipilih. Jika diperhatikan, usaha untuk memprofesionalkan jabatan adat berupa Damang Kepala Adat dan Mantir Adat dilakukan dengan menyesuaikan diri dengan tata cara pemilihan pejabat publik lainnya yang ada: pemilihan umum dan diangkat dengan suara terbanyak. Namun, dalam proses pemilihan itu menyisakan satu masalah: Damang Kepala Adat ternyata dipilih “para pejabat” baik dari kalangan adat maupun pemerintahan desa135. Begitu juga pemilihan Mantir Adat yang merupakan wewenang Damang Kepala Adat. Dengan demikian, sama sekali tidak membuka kemungkinan pemilihnya berasal dari kalangan rakyat biasa yang berada di wilayah kademangan. Sehingga Perda ini seperti melupakan penguatan/pemberdayaan masyarakat adat secara umum dalam mempertahankan hak/kepentingannya. Apalagi, dengan proses pengangkatan dan pemberhentiannya, posisi Damang Kepala Adat tidak ubahnya personel pemerintah. Masalah lain timbul dari segi alokasi anggaran untuk menunjang operasional dan program kerja Kademangan dan Majelis/Dewan Adat Dayak. Perda ini menyatakan bahwa untuk membiayai operasional Majelis Adat Dayak Nasional Kalimantan Tengah dan Dewan Adat Dayak Provinsi akan diambil dari APBN provinsi, sementara itu untuk Dewan Adat Dayak Kabupaten/ Kota, Dewan Adat Dayak Kecamatan, dan Dewan Adat Dayak Desa/Kelurahan serta Kademangan wajib dibiayai oleh APBD kabupaten/kota. Penambahan Kelembagaan adat ini menimbulkan konsekuensi pada banyaknya personel pemerintahan di tingkat kecamatan dan desa. Bayangkan saja, jika secara berturut-turut ada pemilihan Kepada Desa dan Damang Kepala Adat dan struktur ke bawahnya: berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh APBD. Selain itu, Perda ini sebenarnya tidaklah berjalan dengan baik, karena masih adanya koordinasi yang lemah antara provinsi dengan kabupaten. Masalah paling utama adalah dalam soal pembiayaan operasional dan program kerja Dewan Adat Kabupaten/Kota dst ke bawah yang harus dibiayai oleh APBD kabupaten/desa. Banyak kabupaten/kota di Kalimantan Tengah 135 Pemilih adalah semua Kepala Desa dan Lurah atau Pejabat Kepala Desa dan Pejabat Lurah, semua ketua Badan Permusyawaratan Desa, Ketua Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan semua anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Kecamatan bersangkutan dan semua ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Desa/Kelurahan wilayah Kedamangan bersangkutan (Pasal 18 Perda 16/2008). 210 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? yang belum mengalokasikan anggarannya buat operasional dan kerja dewan adat itu, bahkan ada yang belum terbentuk. Masalah perbedaan haluan politik serta desentralisasi merupakan halangan terbesar ditindaklanjutinya Perda ini di tingkat kabupaten/kota.136 b. Peraturan Gubernur 13/2009 tentang Tanah Adat dan Hakhak Adat di atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah Sebagai tindak lanjut dari lahirnya Perda Nomor 16 Tahun 2008, pada tanggal 25 Juni 2009 lahirlah Pergub No 13/2009 yang secara khusus mengatur tanah adat dan hak-hak adat atas tanah di Kalimantan Tengah. Pergub ini didasari keinginan untuk memperkuat status tanah adat dan hak-hak adat atas tanah yang dipandang kurang kuat di mata peraturan perundang-undangan. Pengertian tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kedamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat. Dengan demikian ada dua macam tanah adat: tanah adat milik bersama atau tanah ulayat dan tanah adat milik perseorangan (tanah milik pribadi yang diperoleh dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah, warisan, dapat berupa kebun atau tanah yang ada tanam tumbuhnya maupun tanah kosong belaka). Tanah adat ini karenanya bisa melewati batas desa/kelurahan. Tanah adat juga bisa berada di dalam hutan. Sayangnya Pergub ini tidak memberikan penjelasan tentang hutan dan bahkan tidak ada satu pun aturan kehutanan yang dirujuk di dalam Pergub ini. Sementara itu, hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak perorangan untuk mengelola, memungut dan memanfaatkan sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di atas tanah yang berada di dalam hutan di luar tanah adat. Pengertian “di dalam tanah” selayaknya ada penjelasan lebih lanjutnya agar bisa dilihat kesesuaiannya dengan Hukum Agraria Nasional yang membatasi kepemilikan persorangan hanya pada apa yang ada di atas tanah. Sementara apa yang berada di dalam tanah sepenuhnya dikuasai oleh negara. Mengapa kesesuaiannya dengan kebijakan agraria nasional penting? Karena Pergub ini mendorong agar tanahtanah adat dan hak-hak adat atas tanah didaftarkan mengikuti UU Pokok Agraria. 136 Alue Dohong (staf KPCP), wawancara, 22-06-2010. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 211 Lagi-lagi, pengertian ini dipakai untuk kawasan hutan yang berada di luar tanah adat. Dengan kata lain, hak-hak adat atas tanah dapat berlaku bagi kawasan hutan yang bukan diklaim sebagai tanah adat. Pergub ini menerabas keterbatasan pengaturan kewenangan agraria di Indonesia yang terbagi dua: tanah di bawah kewenangan Badan Pertanahan Negara dan (tanah) hutan berada di dalam kewenangan Departemen Kehutanan. Dengan demikian, Pergub ini berlaku baik di dalam maupun di luar hutan, di atas tanah maupun di bawah tanah. Di sini bisa dilihat bagaimana Pergub ini mengenyampingkan begitu saja keberadaan peraturan perundang-undangan soal kehutanan serta beberapa aturan dalam UUPA. Atau memang sengaja, agar aturan dalam Pergub ini tidak bertentangan dengan pengertian Hutan Adat menurut UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Karena yang diatur oleh Pergub ini adalah soal tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah dan bukannya soal hutan adat. Pengaturan soal tanah adat dan hak-hak adat atas Tanah dalam Pergub ini meliputi soal kepemilikan dan pengusahaan, tata cara mendapatkan SKT, larangan pengalihan hak, pengawasan dan pembiayaan. Lembaga yang penting untuk mengatur dua hal ini berada di pundak Kademangan. Kademangan ini tidak hanya yang berada di tingkat kecamatan (Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Kecamatan), namun juga yang berada di tingkat desa/kelurahan (Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Desa/Kelurahan). Tugasnya adalah membantu masyarakat adat dayak untuk menginventarisir tanah-tanah adat dan hak-hak adat atas tanah masyarakat adat dayak; yang salah satu kewenangannya adalah mengatur soal kepemilikan, pengusahaan, pemanfaatan dan pembagian tanah adat dan hak-hak atas tanah. Damang Kepala Adatlah yang mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Tanah Adat dan Hak-hak Adat atas Tanah. Ada tiga jenis SKT yang diatur di dalam Pergub ini: (1) Atas nama para ahli waris bersama untuk tanah adat milik bersama; (2) atas nama perorangan untuk tanah adat milik perseorangan; dan (3) atas nama para ahli waris atau atas nama perseorangan untuk hak-hak adat di atas tanah. Dalam proses mendapatkan SKT itu, tidak ada pelibatan pemerintah, semua dilakukan secara independen oleh kelembagaan kademangan kecamatan dan desa/kelurahan, termasuk dalam pengukuran, pematokan, pengaturan soal bukti kepemilikan. Pemerintah bisa membantu dalam memberikan bantuan keuangan pada pemohon SKT. 212 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? SKT ini merupakan prasyarat penting agar bisa mendapatkan sertifikat tanah sebagaimana di atur di dalam UUPA. Walaupun demikian, SKT ini tetap menjadi bukti yang kuat jika ada tanah adat atau hak-hak adat atas tanah yang akan dijadikan dasar dalam perjanjian pola kemitraan dengan pihak lain dihadapan pejabat yang berwenang. Pergub ini tidak mengatur apa yang dimaksud dengan Perjanjian Pola Kemitraan? Siapa yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang itu? Pergub ini ingin menunjukkan bahwa SKT sebenarnya sudah dapat dijadikan bukti yang kuat atas kepemilikan tanah, tidak kalah dibandingkan dengan yang sudah disertifikasi. Hanya saja, Kademangan tetap mendorong pemilik SKT agar melanjutkan prosesnya penguatan haknya dengan mengikuti proses sertifikasi menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Ini menunjukkan bahwa Pergub ini masih melihat bagaimana pun sertifikat tanah yang dibuat oleh negara jauh lebih kuat ketimbang SKT atau bukti kepemilikan tanah adat lainnya. Ini sesuai dengan tujuan Pergub ini yang ingin memperkuat posisi tanah adat dan hak-hak adat atas tanah. Yang perlu dilihat sekarang adalah bagaimana kedudukan SKT itu ketika akan dijadikan dasar terjadi perjanjian pola kerjasama dengan pihak lain, misalnya dengan pengusaha perkebunan. Apakah posisi SKT ini dapat diterima oleh pejabat pemberi izin baik di dinas perkebunan maupun di tingkat Departemen Perkebunan dan BPN? Ataukah justru posisi SKT ini malah mempermudah pihak lain untuk menguasai lahan? Dengan demikian, Pergub ini memposisikan pengaturan tanah adat dengan SKT-nya berdiri sejajar dengan peraturan keagrarian yang diatur di dalam UU Pokok Agraria. Pergub ini bahkan mengatur sendiri soal “pendaftaran” tanah adat yang dimiliki secara komunal. Padahal aturan hak ulayat menurut UU Pokok Agraria pada dasarnya sudah dibatasi. UU Pokok Agraria, terutama pada saat pendaftaran tanahnya, lebih mengacu pada hak perorangan, tidak lagi hak komunal (Bakker, 2010:187). Ada dualisme pengaturan soal tanah yang ada di Kalimantan Tengah. Tapi apakah dualisme ini mengarah kepada ketidakpastian hukum (Aslan Noor, 2006)? SKT tetap ditempatkan sebagai bukti untuk dilakukan proses sertifikat. Ini menunjukkan bahwa Pergub ini lebih berkeinginan untuk memberikan bukti tertulis kepada hak atas kepemilikan tanah adat/hak-hak adat atas tanah.Nyatanya Pergub ini tetap berpendapat bahwa pengaturan dengan UUPA – lewat sertifikasi tanah – jauh lebih Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 213 kuat kedudukan hukumnya ketimbang pengaturan tanah adat lewat Pergub ini. Masalah yang perlu dilihat lebih jauh justru adalah posisi SKT itu ketika ia dijadikan bukti untuk proses sertifikasi menurut UU Pokok Agraria. Beberapa masalah beruntut muncul: pertama, bagaimana posisi bukti berupa SKT tanah adat yang tanahnya ada di dalam hutan? BPN selalu menolak perdaftaran tanah yang posisinya ada di dalam kawasan hutan yang menurutnya merupakan wewenang Departemen Kehutanan. Kedua, bagaimana pula posisi SKT tanah adat yang tanahnya dimiliki komunal? Akan sulit, karena sertifikasi BPN hanya mengenal pendaftaran berdasarkan kepemilikian perseorangan. Namun BPN sebenarnya memberikan jalan keluar dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 5 Tahun 1999 (PMA/KBPN 5/1999). Namun konsekuensinya adalah prosesnya kembali ke awal atau mengulang dan bahkan PMA/KBPN 5/1999 ini memiliki kriteria tersendiri soal masyarakat adat yang dapat mengajukan tanah ulayat (tanah komunal), sehingga ada resiko tidak lolos kualifikasi tersebut. Jalan keluar kedua adalah dengan mendaftarkan tanah komunal itu atas nama perseorangan. Ini justru lebih beresiko karena bisa saja pemilik nama itu menjualnya secara sembunyisembunyi dari masyarakatnya. Dua hal ini selayaknya masuk dalam agenda Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah jika memang punya kepedulian dan keinginan untuk meningkatkan kekuatan hukum tanah adat dan hak-hak adat atas tanah. Solusi macam apa yang paling bijak yang tetap dapat menyelamatkan kepemilikan seseorang/ kelompok masyarakat atas tanah adatnya. Selain soal penguatan posisi tanah adat di hadapan peraturan negara, Pergub ini hendak menertibkan tanah-tanah adat dan hak-ahak adat di atas tanah yang ada di Kalimantan Tengah. Penertiban itu sendiri dilakukan dalam 3 tahap: (1) inventarisasi tanah adat dan hak-hak adat atas tanah; (2) penerbitan SKT dan (3) sertifikasi dan atau pemutihan kepemilikan tanah adat. Akhir dari penertiban ini adalah adanya kejelasan status dan tata batas tanah adat dengan bukan tanah adat. Dari kegiatan penertiban itu, inventarisasi tanah adat dan hak-hak adat atas tanah merupakan aktivitas penting karena jika enam tahun setelah Pergub ini lahir masih ada tanah adat yang belum diinventarisir, maka kepemilikannya tidak diakui. Tapi apakah ini ada konsekuensinya pada hilangnya tanah adat atau hak-hak adat atas tanah? Sepertinya tidak. Hanya saja kedudukan 214 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? tanah adat itu tidak akan diakui kepemilikannya, baik oleh kelembagaan adat Kademangan maupun pemerintah. Pada titik ini kerja Kademangan harus didukung karena tugasnya membantu masyarakat adat Dayak melakukan inventarisasi tanah adat dan hak-hak adat atas tanah. Masalahnya adalah, pertama, kademangan ini akan mendapatkan sokongan dana dari APBD kabupaten/kota sebagaimana diamanatkan Perda 16/2008; jadi dikembalikan lagi pada prioritas kabupaten/ kota masing-masing. Kedua, proses inventarisasi itu sendiri memerlukan biaya yang menurut Pergub ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemohon. Pemerintah dapat membantu proses itu dengan memberikan bantuan/hibah yang berasal dari APBD kabupaten/kota atau APBD provinsi. Sekali lagi, ini ditentukan oleh prioritas masing-masing kabupaten/kota dengan asumsi pemerintah provinsi mendukung penuh pelaksanaan Pergub ini di lapangan. Ketiga, proses inventarisasi haruslah dilakukan dengan semangat transparansi dan pendampingan penuh dari Lembaga Kademangan tanpa pilih bulu. Tidak boleh ada pengistimewaan atau dukungan terbuka/diam-diam fungsionaris Kademangan ketika melakukan inventarisasi di suatu kawasan tanah adat yang kondisinya belum clear atau masih ada saling pengklaiman dari banyak pihak. Sayangnya, Pergub tidak memberikan pengaturan petunjuk soal bagaimana seharusnya fungsionaris Kademangan melakukan kerjanya. Ini penting karena jangan sampai proses inventarisasi ini menimbulkan orang atau kelompok masyarakat yang akhirnya jadi tanpa tanah. Tapi, jika tujuannya adalah penguatan posisi tanah adat dan hak-hak adat atas tanah, Pergub ini bersifat mendua. Dalam soal berpindahnya hak kepemilikan tanah adat dan hak-hak adat atas tanah, ada satu dari tiga pengecualian yang merupakan hal lumrah ada dalam pengaturan tanah tapi justru berbahaya, yakni berpindah karena untuk kepentingan pembangunan di daerah. Adanya pengecualian atas larangan berpindahnya hak kepemilikan tanah adat berupa kepentingan pembangunan di daerah sebenarnya tidak jauh beda dengan pengaturan lain dalam soal tanah. Masyarakat diharuskan memberikan hak atas tanahnya ketika pemerintah hendak melaksanakan pembangunan di tanah tersebut. Dan bukankah atas nama pembangunanlah posisi tanah adat serta hukum-hukum adatnya selama ini dibuat tidak berdaya? Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 215 Memang, Pergub ini telah membatasi pengecualian atas larangan itu dengan membuat keharusan: (1) adanya penetapan oleh kerapatan mantir perdamaian adat yang kemudian disahkan oleh Damang Kepala Adat; (2) pemilik/para pemilik tanah adat dan hak-hak adat atas tanah mendapatkan kompensasi yang adil. Pertanyaannya apa itu kerapatan mantir perdamaian adat? Ternyata isinya adalah para mantir yang berada di bawah koordinasi Damang Kepala Adat. Hal itu akan efektif berlaku bagi pencegahan beralihnya hak atas tanah adat karena adanya kehendak bersama ahli waris dan kehendak pribadi atau melindungi pemilik/para pemilik tanah adat ketika ada pihak lain yang menginginkan tanah adat tersebut. Tapi ketika soalnya adalah adanya kepentingan pembangunan di daerah, Pergub ini tidak mengatur harus adanya persetujuan dari pemilik tanah adat. Cukup dengan penetapan para mantir adat yang nantinya disetujui oleh Damang Kepala Adat, maka suatu tanah adat, baik yang dimiliki perseorangan maupun bersama, bisa berpindah tangan. Ini menjadi celah buruk di dalam Pergub tersebut. Dan pasti, tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan pembangunan di daerah itu; yang berarti bisa apa saja tergantung kepentingan penyokong pembangunan (bisa pemerintah, bisa pengusaha atau pihak lainnya). Bayangkan jika pembangunan di daerah itu berupa implementasi REDD? Ia bisa berarti baik atau buruk pada keberadaan tanah-tanah adat. (Ingat, karena tanahtanah adat ada yang berupa hutan). Ketika pun posisi tanah adat sudah kuat, tapi ia tetap tidak berdaya ketika berhadapan dengan pembangunan. Jika dilihat dari sisi ini, Pergub ini sebenarnya tidak maju sedikit pun dari arah untuk memperbaiki posisi tanah adat dan hak-hak adat atas tanah. Secara umum ini menunjukkan masih lemahnya posisi kepemilikan masyarakat atas tanah di hadapan rejim pembangunan (ifdal kasim, Endang Suhendar, 1997). (2) Kelembagaan 1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalimantan Tengah Bappeda Kalimantan Tengah memegang peranan penting dalam mengonsolidasikan perencanaan pembangunan, menyusun Rencanan APBD dan sekaligus menjadi lembaga yang mengevaluasi program/kegiatan pembangunan yang dikerjakan tahun-tahun sebelumnya. Bappeda menjadi aktor utama dalam membuat rencana pembangunan, baik rencana 216 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? pembangunan jangka panjang (RPJP), menengah (RPJMD) atau pendek (tahunan) Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Ia mengkoordinir proses pembuatan dokumen perencanaan pembangunan dari mulai penjaringan aspirasi di masyarakat sampai dengan mengkonsolidasikan program/kegiatan di masing-masing dinas pemerintah. Dengan demikian, uraian tentang perencanaan kebijakan pembangunan di atas sebenarnya sudah dapat mewakili bagaimana peranan Bappeda dalam isu perubahan iklim/ REDD di Kalimantan Tengah. Bappeda, bersama dengan BLH Kalimantan Tengah, ditunjuk sebagai sekretariat untuk Dewan Daerah Perubahan Iklim Provinsi Kalimantan Tengah. Bappeda juga menjadi aktor penting dalam membantu gubernur untuk menentukan suatu kebijakan daerahnya. Beberapa inisiatif gubernur sebagian dilahirkan di Bappeda, ada juga yang digodok dan dikembangkan lebih detail, seperti kebijakan Green Government Policy. 2. BLH (Badan Lingkungan Hidup) Kalimantan Tengah BLH atau Badan Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah sudah ditunjuk sebagai semacam focal point bagi Kalimantan Tengah dalam soal perubahan iklim dan REDD. Sebagai sebuah badan dan bukan dinas, BLH sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan langsung di lapangan; ia berlaku sebagai fasilitator atau koordinator berbagai kegiatan yang dipunyai oleh berbagai dinas yang ada kaitannya dengan lingkungan hidup. BLH Kalimantan Tengah merupakan badan yang masih muda, baru didirikan dengan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 7 Tahun 2008 tanggal 18 April 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dan baru efektif berjalan dimulai sejak pelantikan para pejabat struktural tanggal 12 Juli 2008 dan serah terima Kepala Badan tanggal 29 Juli 2008. Sebelumnya, untuk urusan lingkungan hidup di Kalimantan Tengah berada di bawah kewenangan BPPLHD (Badan Pengelola dan Pelestarian Lingkungan Hidup Daerah). Walaupun sudah ditunjuk sebagai focal point untuk urusan perubahan iklim/REDD, sampai tahun 2010 ini, BLH sebenarnya belum memiliki program/aktivitas khusus terkait dengan perubahan iklim/REDD. Sehingga bisa dipastikan BLH belum mengalokasikan anggaran khusus untuk menunjang kegiatannya Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 217 sebagai focal point itu. BLH baru akan memasukkan program/ aktvitas tersendiri terkait dengan perubahan iklim/REDD ini di tahun 2011. Kegiatannya sebagai “focal point” masih terbatas pada kegiatan yang lebih banyak bertumpu pada soal fasilitasi rapat internal atau koordinasi, seminar/workshop, dan sosialisasi terbatas. Selain itu, BLH juga kerap kali mendampingi Gubernur Kalimantan Tengah ketika menghadiri acara yang ada kaitannya dengan perubahan iklim/REDD. Ketiadaan dukungan program/aktivitas terkait perubahan iklim/REDD membuat BLH harus bersikap selektif di dalam melakukan kegiatannya, termasuk dengan memasukkan kegiatan ini ke dalam program/kegiatan yang sudah ada sehingga ada pembiayaannya. Rapat-rapat internal maupun koordinasi serta sosialisasi berjalan di dalam koridor ini. Sementara untuk kegiatan-kegiatan besar yang menyedot anggaran besar, BLH masih belum bisa menyediakan sendiri anggarannya, karena memang tidak ada alokasinya. Jalan keluarnya adalah dengan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga. Bentuk kegiatannya pun masih terbatas pada lingkup peningkatan kapasitas, seperti seminar/workshop yang berisi pengenalan soal perubahan iklim/REDD di kalangan internal pemerintah daerah, kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi implementasi REDD. Pertemuan langsung dengan beberapa staf dan pejabat BLH Kalimantan Tengah dapat diambil kesimpulan, mereka melihat isu perubahan iklim/REDD merupakan isu strategis dan kesempatan emas yang harus dimanfaatkan untuk mengarusutamakan isu lingkungan hidup ke dalam program pembangunan di Kalimantan Tengah. Mereka sangat antusias dalam mempelajari isu dan perkembangan baru dalam isu perubahan iklim dan terutama REDD. Biarpun skema REDD belum jelas, mereka merasa bahwa pemerintah provinsi harus mempersiapkan diri dalam pengimplementasiannya. Ada sikap yang cukup menarik dari kalangan BLH ini, mereka melihat bahwa isu perubahan iklim atau REDD ini merupakan isu internasional dan merupakan skema yang lebih menguntungkan negara-negara Barat (dalam hal ini negara Annex 1= negara yang harus menurunkan emisinya berdasarkan Protokol Kyoto). REDD merupakan skema terselubung yang membuat Indonesia harus menurunkan emisinya, padahal Indonesia belum dikenai kewajiban itu. REDD adalah bentuk pengalihan tanggung jawab negara-negara barat ke negara-negara tropis seperti Indonesia. 218 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Di sisi lain, REDD merupakan skema yang menarik insentif besar dimana Kalimantan Tengah – dengan kondisi hutan yang masih bagus dengan lahan gambut yang luas – dapat mengambil peranan dan sekaligus menarik insentif itu masuk ke Kalimantan Tengah. Persiapan terus dilakukan untuk menarik insentif itu masuk ke Kalimantan Tengah. Tidak hanya itu, wacana yang terus berkembang di internal BLH dan instansi pemerintah lain di Kalimantan Tengah membuatnya dapat dijadikan kendaraan untuk melakukan perbaikan dalam soal lingkungan hidup. Belum pernah ada masa dimana Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah demikian memperhatikan isu lingkungan hidup ini selain ketika isu perubahan iklim dan REDD masuk ke Kalimantan Tengah. Semua pejabat di Provinsi Kalimantan Tengah telah diberikan sosialisasi apa itu perubahan iklim, apa itu skema REDD dan apa yang harus dipersiapkan.137 “Kekuatan” wacana REDD bahkan membuat konsolidasi antar dinas menjadi suatu aktivitas yang sering dilakukan dan dipandang penting. Dalam kondisi seperti ini, bagi BLH, badan yang sebenarnya hanya bisa melakukan fasilitasi dan koordinasi dalam soal lingkungan hidup, merupakan kesempatan emas untuk memegang peranan.138 Walaupun belum ada kata perubahan iklim/REDD di dalam dokumen kebijakan BLH Kalimantan Tengah, namun peranannya sebagai fasilitator beberapa inisiatif penting dalam soal lingkungan hidup, dipandang BLH sebagai salah satu penarik dan persiapan Kalimantan Tengah untuk menerima skema REDD atau skema mitigasi perubahan iklim lainnya. BLH selama ini menjadi fasilitator untuk “Heart of Borneo”, sebuah inisiatif untuk melindungi kawasan hutan yang merentang di tiga provinsi dan dua negara. BLH juga berlaku sebagai focal point untuk perlindungan soal gambut di Kalimantan Tengah serta menjadi koordinator untuk Pusat Informasi Lingkungan Hidup, yang berusaha mengkonsolidasi data lingkungan di seputar Kalimantan Tengah. Selain itu, ia menjadi penyusun kebijakan Green Government Policy yang dicanangkan oleh Gubernur Kalimantan Tengah. Tapi, secara organisasi, BLH yang berupa badan memang agak kesulitan jika harus mengkoordinasi semua kegiatan yang ada hubungannya dengan perubahan iklim/REDD yang sifatnya 137 138 Syahrin Daulay (Kepala Bappeda Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010 dan Herson B. Aden (Kepala Bappeda Kabupaten Kapuas), wawancara, 24-06-2010. Selain REDD, satu faktor pendorong lainnya adalah lahirnya UU Lingkungan Hidup baru (UU 32/2009) yang lebih kuat daripada UU Lingkungan Hidup sebelumnya. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 219 juga lintas sektoral. Selama ini juga, ketika harus melakukan koordinasi isu lingkungan hidup di Kalimantan Tengah, BLH harus dapat bekerja sama dengan pihak lain dengan menyesuaikan kegiatannya agar ada kesesuaiannya dengan pihak lain, terutama dinas teknis. Tanpa ada kesesuaian itu, BLH tidak bisa mengeksekusinya langsung di lapangan. Misalkan dalam soal penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Kegiatan ini sebagian ada di dalam koordinasinya, sebagian lain ada di Dinas Kehutanan. Kegiatan yang ada di dalam wewenang BLH pada dasarnya terbatas pada sosialisasi atau penyediaan narasumber ketika dinas lain memerlukan SDM yang memahami dampak kebakaran hutan bagi lingkungan. BLH sebenarnya membuat kerangka besar penanggulangan kebakaran, namun prakteknya di lapangan digantungkan ada tidaknya program/kegiatan yang sama di dinas teknis terkait. Pada titik ini, sulit sekali bagi BLH untuk melakukan pengarusutamaan isu perubahan iklim di Kalimantan Tengah. BLH tidak memiliki kekuatan untuk menolak kehadiran suatu badan usaha yang izinnya datang dari dinas teknis lain atau menarik suatu izin yang dikeluarkan oleh dinas teknis terkait lain. BLH hanya sekedar memberikan penilaian dan rekomendasi yang pelaksanaanya digantungkan pada dinas teknis. 3. Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kalimantan Tengah Soal lemahnya koordinasi ini menjadi salah alasan lahirnya DDPI di Kalimantan Tengah. Isu perubahan iklim merupakan isu yang lintas sektoral dan sangat kompleks sehingga memerlukan suatu lembaga tersendiri yang kuat untuk mengendalikannya dan menjadikannya arus utama di dalam pembangunan Kalimantan Tengah. DDPI merupakan lembaga pertama yang didirikan di Indonesia untuk mengurus soal perubahan iklim di tingkat daerah. Ia ditetapkan dengan SK Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 188.44/153/2010 tentang Pembentukan Dewan Daerah Perubahan Iklim pada tanggal 11 Mei 2010. Ia memiliki kesamaan beberapa fungsi sebagai mana Dewan Nasional Perubahan Iklim dengan cakupan wilayah yang lebih sempit. Dalam pembentukannya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melakukan komunikasi intensif dengan DNPI di Jakarta. Bisa dikatakan, pembentukannya tidaklah serta merta dan sudah sepengetahuan pemerintah pusat, dalam hal ini DNPI. Tugas dan fungsi DDPI adalah (1) Mengkordinasikan Pengendalian perubahan Iklim dan memperkuat posisi Provinsi 220 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Kalimantan Tengah untuk turut serta berperan pada skala nasional maupun skala global dalam pengendalian perubahan iklim; (2) Merumuskan Kebijakan Daerah, Strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; (3) Mengkordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim di daerah yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknomogi dan pendanaan;(4) Merumuskan kebijakan daerah terhadap pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon;(5) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan daerah tentang pengendalian perubahan iklim. Sebagian besar tugas dan fungsinya hampir sama dengan DNPI, hanya cakupan wilayahnya saja yang lebih terbatas. Sebagaimana juga DNPI, DDPI dipimpin oleh seorang ketua, yang tugas kesehariannya diemban oleh ketua harian. Ketua DDPI adalah Gubernur Kalimantan Tengah sementara kepala hariannya diemban oleh Sekda Provinsi Kalimantan Tengah. DDPI juga memiliki sekretariat DDPI yang ditempatkan di Badan Lingkungan Hidup Daerah yang diketuai oleh seorang kepala sekretariat. Ia juga dibantu oleh 4 kelompok kerja (lebih sedikit dari yang dimiliki oleh DNPI), yakni pokja adaptasi, pokja mitigasi, pokja alih teknologi dan pokja pendanaan. Isi dari Pokaj ini tidak hanya dari instansi pemerintah, tapi juga para pakar dan akademisi. Dalam susunan keanggotaan DDPI, selain unsur pemerintah, unsur lain juga diakomodasi, yakni unsur LSM, akademisi/para pakar dan Majelis Adat Dayak dan Majelis Adat Dayak Nasional. Melihat susunan keanggotaan DDPI, yang memasukkan semua pejabat teras, bahkan gubernur, dan hampir semua dinas yang ada di Kalimantan Tengah, sebenarnya terlihat kuat untuk memegang peranan pengendalian perubahan iklim, terutama dalam soal pembuatan kebijakan dan koordinasi antar sektor di daerah. Sementara itu, susunan organisasi DDPI dibagi-bagi ke dalam 5 Komisi Daerah (Komda): yakni Komda REDD dan Lahan Gambut, Komda Tambang dan Energi, Komda Pertanian dan Perkebunan, Komda Infrastruktur dan Komda Transportasi. Di dalam masing-masing komda ini terdapat 3 pokja, yakni pokja adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan. Dari lima komda itu, hanya Komda REDD dan Lahan Gambut yang baru terbentuk bahkan duluan dibentuk daripada DDPI. Sedikit catatan atas pembentukan DDPI perlu kiranya ditambahkan mengingat belum bisa menilai kiprah DDPI Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 221 karena umurnya yang masih muda. Catatan itu antara lain mengenai: pertama, dalam susunan keanggotaan DDPI, hanya unsur masyarakat Adat Dayak yang diwadahi, sementara unsur adat lainnya belum diberi kesempatan. Ini mungkin akan jadi halangan harus melakukan koordinasi dengan kabupaten/kota yang mayoritasnya tidak terwakili oleh Majelis Adat Dayak dan Majelis Adat Dayak Nasional. Kedua, pembentukan DDPI ini tidak ada di dalam RKPD Provinsi Kalimantan Tengah 2010, sehingga segi pembiayaan akan jadi halangan terbesar sampai akhir tahun 2010 ini. Ia barangkali akan dibiayai penuh pada tahun 2011 tergantung ada tidaknya DDPI di dalam SKPD Provinsi Kalimantan Tengah 2011. Berkaca pada DNPI yang dibentuk pada tahun 2008, baru pada tahun 2010 ia mendapatkan pembiayaan tersendiri dan keluar dari pembiayaan induknya (KLH). Segi pembiayaan ini bisa tidak jadi masalah jika masingmasing anggota di dalam DDPI – tidak ada satu pun yang bersifat individual – membuat perencanaan kegiataan terkait dengan DDPI di masing-masing anggaran dinas/badan-nya. Untuk melakukan ini, perlu ada koordinasi yang intensif antar sektor selain soal pembunyian DDPI di dalam penyusunan program tahunannya. Tanpa ini dilakukan, kerja DDPI tidak akan maksimal dan hanya akan mengambil kerjaan yang tidak dikerjakan oleh dinas lain atau hanya menjadi narasumber. Ketiga, karena susunan keanggotaannya tidak ada yang individual dan semuanya mewakili lembaganya masing-masing, maka harus ada pembagian waktu kerja yang proporsional antara tugasnya sebagai ketua/wakil ketua/anggota DDPI dengan tugas keseharian dia di instansinya. Apalagi kerja DDPI berupa rapat koordinasi harus dilakukan sedikitnya sekali dalam tiga bulan. Pembagian waktu ini sebenarnya bisa diantisipasi ketika dilakukan penyusunan program di masing-masing instansi atau musrenbangda. Tanpa itu dilakukan, ada salah satu kerjaan yang tidak akan maksimal dikerjakan. 4. Komisi Daerah REDD dan Lahan Gambut Provinsi Kalimantan Tengah Komda REDD ini dibentuk dengan SK Gubernur No. 188.44/152/2010 tentang Pembentukan Komisi Daerah Pengurangan Emisi dari Kegiatan Deforestasi dan Degradasi hutan (REDD) serta Lahan Gambut pada tanggal 11 April 2010 atau terlebih dahulu dibentuk daripada DDPI yang kemudian malah menjadi payung komda ini. Walaupun ada kata Lahan 222 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Gambut di belakangnya, namun yang kemudian disebut selanjutnya oleh SK Gubernur itu hanya REDD saja, sehingga komda ini dikenal sebagai Komda REDD. Sama dengan DPPI, Komda REDD juga merupakan yang pertama dibentuk di Indonesia. Komda REDD ini dibentuk untuk melakukan fasilitasi, komunikasi dan koordinasi usulan skema REDD oleh berbagai pihak di Kalimantan Tengah. Selama ini, aktivitas para pemrakarsa REDD berjalan bebas tanpa harus terlebih dahulu koordinasi dengan pemerintah provinsi. Beberapa pihak (termasuk didalamnya pemerintah pusat yang memberikan izin pemanfaatan hutan) langsung melakukan pertemuan dengan pemerintah kabupaten tanpa terlebih dahulu melalui pintu provinsi. Selain itu, pemrakarsa REDD – sering disebut dalam makna yang peyoratif sebagai carbon cowboy – ini kerap kali melakukan aktivitas di lapangan (mengambil sampel tanah, mengukur kawasan hutan) tanpa ada izin atau pengawasan dari pemerintah daerah. Pihak pemrakarsa sendiri mengalami hambatan ketika harus memasuki pintu pemerintah daerah yang kebijakannya dalam soal perubahan iklim masih belum begitu jelas: dinas mana yang harus ditemui, apakah hanya BLH dan Dishut saja, bagaimana dengan Dinas PU, misalnya, atau masalah cara mendapatkan izin agar bisa melakukan aktivitas terkait dengan REDD. Pembentukan Komda REDD ini mencoba mengatasi dua permasalahan itu. Komda REDD diharapkan menjadi pintu pertama para pemrakarsa REDD yang hendak melakukan aktivitas di Kalimantan Tengah. Tugas Komda REDD memang tidak hanya memberikan rekomendasi kepada gubernur atau bupati mengenai usulan pemrakarsa REDD, tetapi juga menyusun kriteria dan indikator serta syarat-syarat lokasi pelaksanaan REDD dan atau DA REDD. Tugas lainnya adalah fasilitasi riset serta sosialisasi dan training yang ada hubungannya dengan REDD. Dilihat dari fungsinya, Komda REDD ini menjadi jembatan komunikasi antara berbagai aktor dan melakukan koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota serta nasional dan global. Tampak bahwa Komda REDD ini diharapkan menjadi lembaga yang solid di tingkat provinsi (tidak lagi direcoki masalah koordinasi lemah antar instansi di internal Provinsi Kalimantan Tengah) sehingga bisa melakukan tugas dan fungsinya ke luar, misalnya ketika berhadapan dengan pihak dari pemerintah pusat atau komunitas internasional. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 223 Berbeda dengan DDPI, susunan keanggotaan Komda REDD ini campuran antara anggota yang mewakili instansinya dengan anggota personal. Jabatan pucuk seperti ketua (dijabat oleh sekda provinsi) atau wakil ketua merupakan perwakilan instansi sementara sekretaris dan seterusnya ke bawah dijabat secara individual walaupun sebenarnya berasal dari suatu instansi atau karena kepakaran tertentu. Mayoritas Komda REDD ini dijabat oleh perwakilan dari BLH Kalimantan Tengah, termasuk sekretaris Komda REDD. Dari segi struktur organisasi, Komda REDD ini dibantu oleh sembilan kordinator bidang yang mencakupi semua tugas dan fungsi Komda REDD. Catatan terhadap komda REDD sebagaian besar bisa dilihat dalam catatan penulis soal DDPI, kecuali catatannya soal keberadaan Majelis Adat Dayak/Majelis Adat Dayak Nasional. Pembiayaan dan bagaimana mekanisme kerja internal perlu diperhatikan terlebih dahulu pada masa awal pembentukannya ini. Komda REDD tidak ada perencanaannya di dalam RKP 2010 sehingga hampir bisa dipastikan tidak ada anggarannya. Kedua, kehadiran DDPI dan kemudian menjadi payung bagi Komda REDD, mengharuskan ada penambahan mekanisme kerja di dalam Komda REDD yang menghubungkannya dengan keberadaan DPPI. Misalnya, apakah Komda REDD masih harus bertanggung jawab langsung kepada gubernur pada saat yang sama Komda REDD berada di bawah DDPI? Jika tetap dibiarkan maka posisi Komda REDD sebenarnya tidak tergantung pada DDPI dan ini ada hubungannya dengan soal efesiensi pemerintah. Ada banyak jabatan ganda yang dijabat oleh pejabat yang berada di dua lembaga ini. Jabatan ketua harian DDPI yang juga ketua Komda REDD adalah Sekretaris Daerah Pemerintah Kalimantan Tengah. Begitu juga jabatan Kepala BLH, Kepala Dishut dan Kepala Bappeda. Adanya tugas yang hampir sama antara DDPI dan Komda REDD terutama pada tugas DDPI dalam mengkoordinasikan kebijakan dalam perdagangan karbon, sehingga harus ada perampingan di Komda REDD. Ini sebagai cara untuk mengefesienkan kerja dan anggaran pemerintah serta agar pemrakarsa REDD, misalnya, atau pihak lain yang berkepentingan dengan perubahan iklim/REDD tidak malah dibingungkan lembaga mana yang harus ditemuinya atau malah ditambah pintu birokrasinya. Satu catatan penting adalah soal pembiayaan dari sumber lain yang tidak mengikat. Catatan ini bisa diberlakukan pula pada DDPI. Ada dua sumber pembiayaan: APBD dan sumber 224 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? lain yang tidak mengikat. APBD dalam jangka waktu dekat ini tidak dapat diharapkan; kecuali ada program tersendiri atau pengalihan dari dana yang sudah direncanakan atau menambah item kecil kegiatan di bawah satu program di RKPD 2011. Tanpa melakukan ini sulit DDPI dan Komda REDD ini bekerja maksimal. Pengertian dari sumber (dana) lain yang tidak mengikat perlu diatur demi alasan transparansi dan akuntabilitas kedua lembaga ini. Ini untuk mengantisipasi banyaknya tawaran kerja sama dari berbagai pihak, tidak hanya dalam negeri, tetapi juga pihak luar negeri. Agar bisa didapat sumber dana lain yang tidak mengikat, tentu saja harus diatur jenis dana, donatur, kuantitas dan frekuensi dana yang didapatkan sehingga dapat dinilai oleh siapapun bahwa dana itu memang tidak mengikat. Sehingga pengertian tidak mengikat tidak hanya diberikan oleh kalangan internal kedua lembaga itu atau pemerintah, tapi juga oleh pihak lain yang berada di luar kedua lembaga/pemerintah. 4.3 Respon kebijakan Pemerintah Kabupaten Kapuas (a) Sekilas Kabupaten Kapuas Kabupaten Kapuas merupakan salah satu kabupaten yang disebut-sebut, misalnya oleh KPCP, akan dijadikan tempat pelaksanaan skema REDD atau DA REDD. Kabupaten yang beribukota Kuala Kapuas ini memiliki luas kurang lebih 1.499.900 Hektar atau 9,77% dari luas Provinsi Kalimantan Tengah. Jumlah kecamatan di Kapuas ada 12 yang jika dilihat dari geografi tanahnya terbagi di dalam dua bagian: sebelah selatan (9 kecamatan) geografinya berupa rawa dengan ketinggian tanah mencapai 50 s/d 100 m di atas permukaan tanah, sementara di sebelah utara (3 kecamatan) bertekstur bukit dengan ketinggilan 100 s/d 500 di atas permukaan laut. Kepadatan penduduk pada tahun 2003 diperkirakan sekitar 21 jiwa/km2 dengan rata-rata penduduk bergantung pada pertanian. Pada daerah berawa di sebelah selatan Kabupaten Kapuas inilah diadakan Proyek 1 juta hektar sawah yang luasnya mencapai 1,4 juta hektar. Proyek itu sendiri 85%-nya ada di wilayah Kabupaten Kapuas. Pembukaan lahan di area berawa yang sebenarnya tidak bersahabat bagi manusia ini disertai dengan penempatan para transmigran yang mencapai 13ribu KK (kepala keluarga) (McCarthy, 2001) yang kemudian menimbulkan persoalan tersendiri, terutama konflik pertanahan (Gamma Galudra ddk., 2009). Data terakhir menunjukkan bahwa transmigran yang beada di PLG kurang lebih 14.935 KK (61.000 jiwa), dan telah memanfaatkan lahan seluas 60.332 hektar (Burhanuddin Ali, 2003). Proyek 1 juta hektar sawah atau Proyek lahan Gambut atau PLG ini sendiri menimbulkan banyak kritikan dari berbagai pihak sehingga aktivitasnya Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 225 benar-benar dihentikan pada tahun 1999.139 Namun penghentian proyek tersebut tidak menghentikan pembukaan lahan gambut – salah satunya karena masih banyaknya perizinan di bidang kehutanan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten yang didasari oleh semangat desentralisasi. Sehingga kemudian dipikirkan harus adanya pengelolaan secara terpadu untuk merehabilitasi yang dituangkan ke dalam Inpres No 2 Tahun 2007. Tiga tahun Inpres itu dibuat, tindak lanjut di lapangan masih jauh dari yang diharapkan.140 Kabupaten Kapuas memiliki luas lahan gambut sekitar 524.640 hektar atau 35 persen dari keseluruhan luas Kabupaten Kapuas. Apalagi sebagian besarnya rusak yang menjadi alasan utama mengapa REDD potensial dilakukan di kabupaten ini. Selain BOS Mawas, yang memang sudah beraktivitas di wilayah Kapuas dan secara spesifik di PLG, yang sudah memiliki ‘wilayah tertentu” buat REDD; pihak pemrakarsa lain, seperti KFCP belum memiliki wilayah yang jelas. (b) Respon kebijakan Kabupaten Kapuas Pada tingkat tapak, ternyata respon kebijakan pemerintah kabupaten Kapuas belum berjalan seirama dengan apa yang terjadi di tingkat nasional maupun provinsi. Padahal, pada tingkat kabupatenlah sebenarnya pelaksanaan dari usaha mitigasi/adaptasi perubahan iklim, termasuk REDD, dilakukan. Berikut penjelasannya. (i) Perencanaan Kebijakan Dalam soal perencanaan kebijakan, belum ada pembunyian soal perubahan iklim, strategi mitigasinya, serta REDD di dalam dokumen perencanaan baik itu RPJP, RPJMD ataupun RKPD Kabupaten Kapuas. Dalam pernyataan dari Kepala Bappeda Kabupaten Kapuas, Pemerintah Kabupaten Kapuas sementara ini dalam posisi menunggu kepastian implementasi skema mitigasi perubahan iklim. Menunggu itu tidak hanya kebijakan dari pemerintahan di atasnya, tetapi juga dari pihak internasional, yakni dalam perundingan perubahan iklim.141 (1) Rencana Kerja Pemerintah Kabupaten Kapuas a. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Kapuas 2010 Ambil contoh dalam dokumen perencanaan berupa RKPD Kabupaten Kapuas 2010 yang merupakan dokumen paling terkini dan paling rigid dalam merencanakan bentuk program dan aktivitas pemerintah per tahunnya. Terlihat belum ada bahkan pembunyian perubahan iklim atau REDD di dalam RKPD 2010.142 139 140 141 142 Dihentikan dengan Perpres No. 80 tahun 1999. Muri (Staf CARE International Indonesia site Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010 dan Syahrin Daulay (Kepala Bappeda Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010. Herson B. Aden (Kepala Bappeda Kabupaten Kapuas), wawancara, 24-06-2010. ditetapkan dengan PerBup No. 179 tahun 2010 pada tanggal 8 Juni 2009. 226 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Hanya saja, dalam pembicaraan soal lingkungan hidup dan kehutanan, ada banyak rencana program yang berkaitan dengan isu perubahan iklim, seperti halnya penanggulangan kebakaran hutan atau lahan. Namun, kondisinya sama dengan apa yang direncanakan dalam RKPD pemerintah provinsi 2009 di mana kegiatan pencegahan kebakaran hutan itu tidak dianggap sebagai bagian dari pencegahan dampak perubahan iklim. Namun lebih sebagai pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup atau sebagai bagian dari pencegahan bencana. Walaupun belum ada pembunyian dalam RKPD 2010 (yang berarti Pemerintah Kabupaten Kapuas tidak ada rencana untuk terlibat dalam proses atau kegiatan terkait skema mitigasi perubahan iklim di tahun 2010 ini) namun respon kebijakan pemerintah pusat dan provinsi dalam soal perubahan iklim/ REDD ini (serta iming-iming insentif besar dari luar negeri) tetap saja menyeret kerja Pemerintah Kabupaten Kapuas untuk mau tidak mau merespon isu itu pula, setidaknya sebagai pendamping atau peserta workshop untuk peningkatan kapasitas. Karena belum ada kebijakan yang memang diarahkan untuk menanggulangi perubahan iklim/REDD, maka hanya kegiatan sosialisasi saja yang dilakukan. Itu pun sosialisasinya hanya terbatas pada pejabat atau staf dari dinas-dinas terkait dan belum sampai pada sosialisasi di tingkat lokasi/tapak. Ketiadaan kebijakan itu serta sikap menunggu itu juga dilatar belakangi dengan adanya beda persepsi dalam melihat suatu kegiatan yang menyebabkan perbedaan dalam menyimpan skala prioritas atas suatu program/kegiatan. Pencegahan kebakaran hutan, misalnya, bagi Pemerintah Kabupaten Kapuas, hal itu merupakan aktivitas mencegah pencemaran udara serta agar tidak mengganggu lalu lintas transportasi. Sementara, bagi masyarakat internasional, hal itu berarti kenaikan emisi. Karena itu bagi Pemerintah Kabupaten Kapuas, kebakaran hutan bukanlah hal yang harus dihilangkan seratus persen. Pembakaran lahan di lahan gambut merupakan proses agar mendapatkan nutrisi yang cukup jika tanah itu akan dijadikan lahan pertanian. Tanpa pembakaran lahan, nutrisi bagi tanaman akan kurang. Praktek ini sudah dilakukan bergenerasi-generasi oleh petani-petani di lahan gambut. Karena itu pula, Pemerintah Kabupaten Kapuas dalam merespon soal kebakaran hutan ini membaginya ke dalam dua kategori: kebakaran hutan yang terkendali serta kebakaran hutan yang tidak terkendali. Keduanya dibedakan dalam skala kebakaran dan tujuan dari pembakaran hutan/lahan Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 227 tersebut. Kebakaran hutan yang tidak terkendali ini yang tidak diperbolehkan. Sementara kebakaran terkendali masih diperbolehkan. Masih diperbolehkannya pembakaran hutan tentu saja akan mengganggu perkembangan skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD. Misalnya saja akan berpengaruh pada kebocoran atau “leakage”. Hal yang tentu saja akan sedapat mungkin dicegah oleh para pemrakarsa atau pendukung kebijakan REDD. Di sisi lain, pembolehan ini bertentangan dengan kebijakan provinsi yang melarang sama sekali pembakaran hutan/lahan. Ini soal menarik dan beberapa kali informan di Kabupten Kapuas menyatakan ketidakpuasannya dengan kebijakan ini. Beda persepsi ini, dalam kacamata Kepala Bappeda Kapuas, akan semakin meruncing ketika insentif yang berupa dana masuk dalam perdebatan. Hal ini sebenarnya harus diselesaikan terlebih dahulu dengan memberi kesempatan kepada Kabupaten Kapuas untuk mendefinisikan keseimbangan antara pembangunan dengan perlindungan lingkungan atau pembangunan berkelanjutan. Soal lain yang akan menjadi fokus Pemerintah Kabupaten Kapuas adalah dalam soal perlindungan masyarakat, misalnya dalam merancang kegiatan yang langsung bersentuhan dengan kepentingan masyarakat sekitar termasuk dalam melakukan sosialisasi yang lebih gencar dan terarah dalam soal pencegahan perubahan iklim/REDD. (2) Perencanaan di tingkat SKPD a. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Penelusuran pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan mengalami nasib yang sama seperti di Pemerintah Kabupaten Kapuas: belum ada program/kegiatan khusus yang ada kaitannya dengan perubahan iklim/REDD. Penelusuran itu dilakukan pada dokumen Renja Dinas Perkebunan/Kehutanan tahun 2009 dan tahun 2010. Prioritas program dalam kedua Renja tersebut lebih banyak yang bernuansa ekonomi, seperti peningkatan kontribusi PAD, berkembanya industri kehutanan. Walaupun demikian, ada kegiatan yang sebenarnya memiliki keterkaitan langsung dengan perubahan iklim, namun tidak ada penarikan ke arah isu perubahan iklim. Dalam Renja 2010, kegiatan itu berupa rehabilitasi lahan dan hutan, penertiban illegal logging dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Ketiga kegiatan ini merupakan kelanjutan dari program serupa yang ada di Renja 2009. Bentuk rehabilitasi itu ternyata bermacam-macam, tidak hanya penanaman biasa 228 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Dinas Perkebunan dan Kehutanan, tetapi juga rehabilitasi yang mengajak peran serta masyarakat, seperti program Hutan Tanaman Rakyat (HTR). b. Badan Lingkungan Hidup Kapuas Menurut penuturan seorang staf BLH Kapuas, belum ada pembunyian perubahan iklim atau REDD di dalam dokumen perencanaan kebijakan yang dibuat oleh BLH. Namun penelusuran penulis terhadap Rencana Kerja (Renja) BLH Kabupaten Kapuas tahun 2009 menemukan adanya program terkait dengan perubahan iklim, lengkap dengan pagu indikatifnya (batasan anggaran yang sudah disetujui yang nantinya menjadi dasar alokasi anggaran di dalam APBD Kapuas). - Renja BLH Kapuas 2009 Di bawah Program Perlindungan dan Konservasi SDA, ada satu item kegiatan bernama pengendalian dampak perubahan iklim yang keluarannya berupa data dan informasi dan prosedur rencana antisipasi menghadapi perubahan iklim. Dananya berasal dari APBD tahun 2009 dan lokasi kegiatannya hanya ada di ibukota Kabupaten Kapuas, Kuala Kapuas. Adanya kegiatan pengendalian dampak perubahan iklim di level kabupaten ini cukup mengagetkan karena hasil wawancara sebelumnya dengan para staf yang ada di Kapuas, tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa kegiatan terkait dengan perubahan iklim itu ada. Kegiatan BLH Kapuas ini melewati – dalam segi cepatnya tanggapan – dibandingkan dengan BLH Kalimantan Tengah di level provinsi. Renja ini benar-benar mengikuti RKP 2009 di level pemerintah pusat yang juga menjadi RKP pertama yang membunyikan perubahan iklim di dalam program dan kegiatan pemerintah tahunannya. Selain program yang menyebut langsung perubahan iklim, seperti biasa ada kegiatan yang punya kontribusi pada pengendalian dampak perubahan iklim, seperti program pengendalian kebakaran hutan/lahan. Menariknya program pengendalian kebakaran hutan ini memiliki banyak item kegiatannya, tersebar di tiga program, tidak hanya berada di satu program khusus. Pagunya juga sangat besar mencapai kurang lebih 500 jutaan. Ini menunjukkan adanya prioritas BLH untuk benar-benar mengendalian kebakaran hutan/ lahan. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 229 - Renja BLH Kapuas 2010 Sayangnya adalah kegiatan di bawah Program Perlindungan dan Konservasi SDA terkait perubahan iklim tidak berlanjut sampai tahun 2010. Tidak ada kegiatan yang secara spesifik menyebutkan pengendalian dampak perubahan iklim. Ketidakberlanjutan kegiatan ini memang menjadi tanda tanya. Walaupun demikian, perhatian terhadap kegiatan yang tidak menyebut perubahan iklim namun terkait erat dengan itu masih ada berupa program pengendalian kebakaran hutan. Hanya saja, jika dilihat dari pagu indikatifnya ternyata lebih rendah dari Renja di tahun 2009. Selain itu item kegiatannya juga lebih sedikit. (ii) Pelaksanaan Kebijakan Posisi Pemerintah Kabupaten Kapuas yang menunggu membuat Pemerintah Kabupaten Kapuas lebih menunggu inisiatif dari pemerintah di atasnya dalam soal perubahan iklim atau REDD ini. Tidak ada peraturan khusus yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas yang mengatur soal perubahan iklim/REDD atau aturan lainnya yang dapat dikaitkan dengan pengendalian kebakaran hutan, misalnya. Ketiadaan adanya aturan sendiri soal pengendalian kebakaran hutan/ lahan membuat aturan di tingkat provinsi berlaku di level Kabupaten Kapuas. Sehingga keinginan dari Kepala Bappeda agar pelarangan kebakaran hutan atau lahan dengan pengecualian menjadi tidak mendapatkan dukungan hukum. Dalam soal peraturan yang melindungi kepentingan masyarakat adat/ lokal, ternyata Kabupaten Kapuas belum juga memilikinya. Penuturan Kepala Bappeda menyatakan bahwa untuk aturan ini masih mengikuti aturan di tingkat provinsi, termasuk Perda No 16/2008 dan Pergub 13/2009. Tapi memang diakui, ada hambatan di dalam pelaksanaannya, termasuk alokasi anggaran dari APBD untuk menunjang operasional dan program kerja Dewan Adat Dayak tingkat kabupaten sampai desa/ kelurahan, serta lembaga adat Kademangan. Sisi lembaga. Dari sisi lembaga, BLH Kapuas dianggap sebagai focal point untuk kegiatan yang ada hubungannya dengan pengendalian perubahan iklim dan memang terbukti dalam Renja tahun 2009, BLH kapuas menganggarkan kurang lebih Rp 40 juta untuk menunjang kegiatan itu. Selain itu, BLH Kapuas rajin dalam melakukan sosialisasi ke masyarakat dan menjalin kerja sama dengan KLH pusat kaitannya dengan perubahan iklim/REDD. Tapi keterbatasan struktur lembaganya yang berupa “badan” membuatnya tidak dapat melakukan eksekusi 230 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? langsung di lapangan sehingga keberhasilannya tergantung pada ada tidaknya program/kegiatan sejenis di SKPD Teknis. Sementara di Dinas Perkebunan dan Kehutanan, wacana soal perubahan iklim atau REDD malah kurang begitu dikenal. Menurut salah satu staf, dinas ini lebih banyak mengerjakan program/kegiatan yang ada hubungannya dengan perkebunan.143 Masalah perkebunan di Kapuas meninggalkan banyak masalah, terutama pemberian izin yang tumpang tindih dengan sesama pemilik izin atau dengan kawasan kehutanan. Mereka semua sedang berkonsentrasi untuk menyelesaikan persoalan itu di bidang perkebunan itu. Data dalam Renja 2009 dan 2010 mengafirmasi kondisi itu: lebih banyak program/kegiatan yang ada hubungannya dengan perkebunan ketimbang sektor kehutanan. Hal ini bisa dipahami, seiring dengan makin turunnya pamor sektor kehutanan, maka sektor perkebunan, terutama sawit, menjadi komoditas penting yang sumbangannya pada PAD Kapuas cukup signifikan. Dalam hubungannya dengan keberadaan DDPI dan Komda REDD, belum pernah ada kunjungan atau koordinasi DDPI/Komda REDD ke Kapuas atau bahkan sosialisasi keberadaan dua lembaga baru di tingkat provinsi tersebut.144 Ini menunjukkan bahwa dua lembaga itu harus bekerja keras lagi untuk meningkatkan kerja dan kehadirannya di tingkat kabupaten/kota. 4.4 Kesimpulan Dari apa yang sudah dituturkan di atas, kita bisa melihat bahwa tanggapan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kapuas terhadap isu perubahan iklim/REDD bukan tanggapan yang sudah direncanakan sebelumnya atau dibarengi dengan pembuatan kebijakan yang terlihat dalam peraturan perundang-undangan, kelembagaan dan alokasi anggaran. Empat hal itu merupakan kriteria untuk melihat apakah tanggapan yang selama ini diperlihatkan memiliki dasar pijakannya atau memiliki arahan tertentu atau dengan mempertimbangkan konsekuensinya bagi perlindungan hak/ kepentingan masyarakat adat/lokal. Dalam soal perencanaan kebijakan (pembangunan), tampak betapa pemerintah hanya memperlakukan dokumen perencanaan (RPJPD, RPJMD, RKPD, RENSTRA SKPD, RENJA SKPD) yang dibuat dengan susah payah dengan proses berjenjang untuk menjaring aspirasi masyarakat, ternyata tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Dokumen perencanaan sebenarnya dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengendalikan pembangunan, memperkuat koordinasi antar instansi pemerintah atau 143 144 Staf Dishutbun Kapuas, wawancara, 24-06-2010 Staf BLH Kapuas, wawancara, 24-06-2010. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 231 monitoring pembangunan. Akhirnya, pemerintah seperti berjalan tanpa rencana di dalam permainan yang belum jelas bentuknya itu. Dari penelusuran pada dokumen perencanaan kebijakan, tampak sebenarnya Provinsi Kalimantan Tengah sudah mempersiapkan diri untuk terlibat dalam proses dan aktivitas implementasi di tingkat lokal skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD. Namun, tindak lanjut persiapan diri itu kemudian menjadi tidak jelas karena tidak banyak program/kegiatan yang dibuat yang menunjukkan adanya tahapan menuju kesiapan diri itu. Biarpun kemudian sektor pertanian diberi kepercayaan untuk terlibat di dalam pengendalian perubahan iklim, pemerintah provinsi luput melibatkan dua dua institusi penting lainnya yang justru secara kewenangan dan kapasitas memiliki keterkaitan dengan pengendalian perubahan iklim. Sementara di tingkat Kabupaten Kapuas, malah belum ada kebijakan yang tegas. Kedua pemerintah daerah sama-sama belum memiliki peraturan yang terkait dengan perubahan iklim/REDD, namun Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah memiliki peraturan daerah yang mengatur soal kebakaran hutan. Hanya saja ketika hal itu dilaksanakan tetap tidak menyelesaikan masalah kebakaran hutan dan malah merugikan masyarakat yang memakai cara tradisional dalam membuka lahannya. Hal itu di tengah tidak dilaksanakannya kewajiban pemerintah melakukan inventarisasi jenis kegiatan dan wilayah yang potensial terjadi kebakaran hutan. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Kapuas memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat kebakaran hutan/lahan itu: ada jenis kebakaran yang dikendalikan dan yang tidak terkendali. Pelarangan tanpa kecuali pembakaran hutan malah akan membuat masyarakat lebih menderita dilihat misalnya dari sisi geografis Kapuas yang berlahan gambut dan sisi ketahanan pangan masyarakat. Ketegangan ini menunjukkan masih adanya kesenjangan dalam penyelesaian masalah lingkungan dengan perlindungan kepentingan/hak masyarakat. Padahal penurunan emisi dengan cara pencegahan kebakaran hutan menempati posisi penting dalam skema REDD. Perlindungan lingkungan hidup tanpa memberikan solusi makin sempitnya akses masyarakat pada SDA sebenarnya juga tidak akan berkelanjutan. Di sisi lain, perlindungan terhadap kepentingan masyarakat adat atas tanah adat dan hak-hak adat atas tanahnya ternyata tidak ada gunanya selama pemerintah belum bisa mendefinisikan tujuan pembangunan yang lebih aspiratif, dan belum bisa menerima penolakan masyarakat. Pergub soal Tanah Adat itu memang dapat menerabas kesulitan yang ada dalam soal bukti tertulis bagi kepemilikan komunal, namun tidak memberikan solusi ketika bukti tertulis itu dikonstestasi dengan peraturan pertanahan menurut UU Pokok Agraria yang justru menjadi acuan tertinggi Pergub tersebut. 232 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Penguatan kepemilitan atas tanah adat juga harus dibarengi dengan pemberdayaan pada kelembagaan adat Kademangan dalam arti Lembaga Kademangan yang lebih independen dan benar-benar memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Namun, posisi Damang yang mulai dari pemilihan (diangkat dan dipilih oleh bupati) sampai anggaran program dan operasionalnya tidak lepas dari tangan pemerintah, maka cukup jadi alasan untuk bertanya: apa sebenarnya tujuan sebenarnya “pemberdayaan” kelembagaan adat di Kalimantan Tengah? Kondisi ini dihubungkan dengan betapa lebih mudah (secara teoritis) proses lepasnya tanah adat/hak-hak adat atas tanah demi alasan pembangunan dibandingkan jika itu kehendak pemilik. Sebuah lembaga kademangan yang lebih kredibel dapat mencegah proses itu. Di tengah kondisi yang cukup rentan bagi masyarakat tersebut, maksud pemerintah provinsi untuk semakin terlibat di dalam proses implemetasi skema REDD makin nyata dengan dibentuknya dua lembaga: DDPI dan Komda REDD. Terlalu tergesa-gesa untuk menilai kinerja badan tersebut yang juga baru dibentuk pertengahan tahun 2010 ini. Tapi pembentukan lembaga penting yang sama sekali tidak ada rencananya di dalam RKPD 2010 kembali mencelikan mata kita pada kaburnya jalur jalan yang ditempuh pemerintah dalam menjalankan kebijakannya. Terbukti, Komda REDD harus diredefinisikan kembali begitu terbentuk DDPI sebulan kemudian, karena ternyata posisi Komda REDD berada di bawah koordinasi DDPI dan tidak lagi bertanggung jawab langsung kepada gubernur. Pujian memang layak diberikan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang berani membuat dua badan pertama di tingkat provinsi di Indonesia. Tapi hadangan masalah akan terus ada, karena pilihan untuk menyelesaikan masalah dengan cara ad-hoc pada dasarnya dilandasi kesadaran bahwa instansi-instansi tradisional/lama – entah karena tidak dipercaya atau tidak mampu – tidak lagi dianggap mampu memegang peranan dalam menghadapi tantangan baru. Masalah yang membuat instansi lama tidak mampu itu akan juga dihadapi oleh dua lembaga adhoc itu: koordinasi lemah baik internal di satu level pemerintah maupun antar pemerintah, anggaran yang tidak cukup dan tidak efesien sampai sesuatu sederhana, sosialisasi. Tantangan terdekat yang bisa dilakukan oleh kedua lembaga itu adalah memberitahu seorang pejabat di Kapuas akan keberadaannya dan kesiapan untuk bekerja sama dengannya. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/ Redd di Kalimantan Tengah 233 5.“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat Laurensius Gawing 5.1 Provinsi Kalimantan Barat dan REDD Kalimantan Barat jika ditilik dari luasan kawasan dipastikan menyimpan cadangan carbon yang memadai, apalagi jika dihitung dari tutupan hutannya. Atas pertimbangan tersebutlah maka provinsi ini dijadikan salah satu lokasi percontohan kegiatan REDD. Propinsi ini berbatasan masing-masing di utara dengan Sarawak, selatan dengan Laut Jawa dan Kalimantan Tengah, timur dengan Kalimantan Timur dan bagian barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Kalimantan Barat merupakan satu di antara beberapa provinsi di Indonesia, yang terpilih menjadi lokasi pelaksanaan uji coba REDD, selain karena stok karbon yang memadai juga dianggap telah mengalami degradasi dan deforestasi tinggi, akibat pembalakan liar dan pembukaan perkebunan skala luas. Perkebunan skala luas tidak hanya mengancam eksistensi hutan primer yang menjadi tujuan pengurangan emisi karbon, juga mengancam ekosistem gambut yang daya serap karbonnya tinggi dan kini menjadi alasan kuat mengapa REDD plus dilakukan. Wilayah bergambut tersebut, mendominasi berbagai kawasan di Kalimantan Barat, sehingga beberapa pemrakarsa uji coba REDD memasukan kawasan bergambut tebal sebagai hal penting untuk diselamatkan. Setelah Ulu Massen di Aceh, Malinau di Kalimantan Timur dan Kabupaten Kapuas di Kalimantan Tengah kini, Kalimantan Barat turut melaksanakan kegiatan serupa dengan memilih lokasi uji coba atau demonstration activities di Kabupaten Ketapang dan Kapuas Hulu. Uji coba REDD yang kini berlangsung tak lepas dari keluarnya “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 235 Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) nomor 68 Tahun 2008 tentang Demonstration Activities REDD, yang menjadi landasan pijakannya. Salah satu alasan mengapa penting dilakukan DA REDD di Indonesia adalah tentunya merujuk kepada salah satu keputusan 2/COP-13 tentang REDD yang menyebutkan pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk REDD mencakup tiga hal yakni: 1) Pilot/ demonstration activities (Proyek-proyek Percontohan) 2) Capacity building dan technology transfer (pengembangan kapasitas dan transfer teknologi) 3) Indicative guidance (Panduan untuk proyek percontohan)145 Kotak 5.1. Indicative Guidance Demonstration Activities Demonstration activities harus mendapat persetujuan host Party dalam hal ini Pemerintah, Penghitungan pengurangan / peningkatan emisi harus sesuai hasil, terukur, transparan, dapat diverifikasi, dan konsisten sepanjang waktu, Pelaporan menggunakan reporting guidelines (Good Practice Guidance for Land Use, LandUse Change and Forestry) sebagai dasar penghitungan dan monitoring emisi, Pengurangan emisi dari national demonstration activities dievaluasi berdasar emisi deforestasi dan degradasi nasional. Subnational demonstration activities dievaluasi dalam batas kegiatan tersebut, termasuk evaluasi terhadap pengalihan emisi sebagai dampak dari kegiatan dimaksud (leakage). Pengurangan/peningkatan emisi dari demonstration activity didasarkan pada emisi di masa lampau, dengan memperhatikan kondisi masing-masing negara, pemakain pendekatan sub-national harus merupakan suatu langkah menuju pendekatan national reference levels/baseline dan estimasi pengurangan emisi, Demonstration activities harus konsisten dengan provisi di bawah UNFF, CCD, dan CBD, Pengalaman dari implementasi demonstration activities dilaporkan dan tersedia melalui Web platform; termasuk dalam pelaporan demonstration activities deskripsi kegiatan, efektivitas, dan informasi lain yang relevan. Dianjurkan menggunakan independent expert review. Dalam kesepakatan ‘Bali Action Plan’, beberapa kesepakatan yang tertuang memberikan gambaran ke arah mana REDD tertuju. Hal tersebut, memperkuat keinginan negara-negara inisiator sekaligus suporternya yakni, negara maju, selain harus memenuhi kewajiban peningkatan target penurunan emisi dan membantu negara berkembang (capacity building, transfer teknologi, bantuan keuangan) dalam upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim, negara berkembang juga didorong melakukan aksi nyata dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan, a.l. melalui integrasi upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam perencanaan nasional dan sectoral planning. Beberapa butir penting dari keputusan COP-13 tentang REDD yang memerlukan tindak lanjut segera maupun terjemahan lebih lanjut untuk 145 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), December 2007 Report of the Parties on its Thirteenth session, held in Bali 30 to 15 December 2007. 236 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? implementasinya di Indonesia antara lain : REDD dilaksanakan atas dasar sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan negara (sovereignity), negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity building, transfer teknologi di bidang metodologi dan institusional, pilot / demonstration activities, Untuk pelaksanaan pilot/demonstration activities dan implementasi REDD, diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai standar internasional. Oleh karenanya COP-13 menyepakati indicative guidance untuk pilot/demonstration activities, dimana terdapat tanggung jawab internasional, nasional (Pemerintah Pusat) dan sub-nasional (pelaksana di daerah). (a) Kerangka Hukum Lalu bagaimanakah kesiapan segenap elemen Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat terhadap kegiatan ujicoba REDD yang berlangsung? Semenjak COP-13, banyak perdebatan yang muncul sebagai reaksi atas hasil-hasil perundingan mengenai perubahan iklim di tingkat internasional. Dinamika ini ternyata juga memengaruhi situasi dan cara pandang umum di Kalimantan Barat. Efek tersebut tergambar jelas, ketika adanya pemikiran bahwa REDD tidaklah seindah yang dibayangkan dan diwacanakan selama ini, yakni Kalimantan Barat hanya perlu menjaga hutan dan pasti akan diberi kompensasi berupa sejumlah nominal tertentu. Namun benang kusut perdebatan dan perundingan kerjasama penanggulangan dampak perubahan iklim, ternyata membutuhkan berbagai persyaratan yang tidak mudah. Banyak prasyarat nan rumit yang mesti dilalui, dan tentu saja harus mengikuti standar internasional yang hingga saat ini terus dinegosiasikan. Selain persoalan negosiasi yang rumit, persoalan teknis terkait pelaksanaan REDD sejauh ini juga memberi hambatan tersendiri bagi para pihak untuk berpartisipasi. Dalam situasi yang demikian, secara umum skema REDD membuat kebingungan termasuk Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (maupun Kabupaten Kapuas Hulu). Dilematis terjadi karena di sisi lain harus bergerak cepat mengantisipasi maupun menangkap peluang, namun sebaliknya Pemda harus menunggu kebijakan atau aturan hukum yang benar-benar jelas dari Jakarta dan tentu saja kepastian skema REDD yang nanti dijalankan. Contohnya adalah keragu-raguan Pemda dalam mengambil kebijakan tentang perubahan iklim (REDD) karena harus menunggu peraturan nasional, dan tak heran jika berbagai daerah cenderung memilih untuk pasif Akibatnya, pada rentang waktu 2008-2009 mekanisme REDD yang didukung oleh Pemerintahan SBY tidak mendapat apresiasi yang cukup luas dari daerah. Konteks Kalimantan Barat contohnya adalah, ketika Gubernur Cornelis diundang oleh Gubernur California (USA) Arnold Schwarzenegger ke Los Angeles pada 30 September - 2 Oktober 2009 untuk menghadiri kegiatan “Governors Global Climate Summit”. Cornelis hadir namun “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 237 selanjutnya Cornelis menolak menandatangani deklarasi dalam kegiatan tersebut, yang berisikan kesepahaman untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan komitmen bersama lainnya termasuk berbagi informasi mengenai penanganan pembalakan liar, penggunaan energi, transfer teknologi, karena merasa bahwa belum ada titik terang seperti apa kontribusi konkret REDD dan atau program pengurangan emisi bagi daerah semisal Kalimantan Barat, yang menyiapkan hutan sebagai penyerap emisi rumah kaca. “…..Saya tidak tanda tangan, karena tidak jelas apa yang menjadi kewajiban negara maju dan apa yang menjadi kewajiban negara berkembang. Kita mau ini jelas. Kalau kita dituntut sebagai paru-paru dunia, bagaimana kehidupan kita, apa yang akan mereka (negara maju, red) berikan kepada kita, bagaimana mengatasi masyarakat kita dan seterusnya, ini yang kita mau. Kalau kita sudah teken, nanti repot kita,” 146 Namun, setelah keluarnya Permenhut No P. 36/Menhut-II/2009 (selanjutnya Permenhut P36/2009) yang dalam lampirannya menyebutkan pembagian keuntungan dalam proyek REDD, ditambah lagi ketika Menhut melakukan meluncurkan secara resmi lokasi DA-REDD di Indonesia, 147 yang menunjuk Kalimantan Barat sebagai salah satu wilayahnya, situasi di Kalimantan Barat sedikit berubah. Terhitung pasca CoP 13 di Bali 2007 yang lalu, dan keluarnya Permenhut mengenai demonstration activities , beberapa aktifitas berhubungan dengan REDD sudah mulai berjalan di Kalimantan Barat. Namun semuanya masih dalam taraf menjajaki lokasi dan koordinatif sifatnya. Pemrakarsa yang secara intens mensosialisasikan kegiatannya adalah Fauna and Flora International (FFI) melalui Frank Momberg (Asia Director for Programe DevelopmentFFI). Sejumlah pendekatan dilakukan terhadap Dinas Kehutanan berkaitan dengan rencana lokasi proyek. Selain mendekati unsur pemerintah, Frank juga mendiskusikan rencananya dengan berbagai NGO lokal seperti PPSDAK-Pancur Kasih yang bergerak di isu Pemetaan Partisipatif dan Yayasan Titian. Di Kalimantan Barat saat ini ada dua kabupaten yang telah melaksanakan aktifitas ujicoba REDD, yakni Kabupaten Ketapang (Sungai Putri) dan Kabupaten Kapuas Hulu (Danau Siawan-Belida). Di Ketapang, inisiatif ini dikembangkan oleh Fauna and Flora International (FFI) didukung oleh MacQuarie Bank (Australia). Selanjutnya, FFI melakukan aktifitas serupa di Kapuas Hulu, dengan lokasi uji coba di Danau Siawan-Belida dan menggunakan alas hak izin restorasi ekosistem (IUPHHK-Restorasi Ekosistem) dari Menteri Kehutanan untuk eks HPH PT.Trikaka. FFI dalam kegiatannya menggunakan pendekatan skema pasar (voluntary bases) di 146 147 http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/2009/10/11/10861/Gubernur-Kalimantan Barat-Tolak-Teken-MoUGlobal-Warming (diakses 13-05-2010). http://portal.antara.co.id/berita/1264754693/menhut-launching-indonesia-redd-demonstration-activities (diakses 13-05-2010). 238 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? berbagai proyek REDD yang mereka lakukan. Di Kapuas Hulu, pada saat ini ada satu kegiatan lagi yang mendorong ujicoba REDD berbasis kerjasama bilateral antara Indonsia dan Jerman. Saat ini mereka tengah melaksanakan kegiatan uji coba melalui kegiatan bertajuk Forest and Climate Change Program (ForClime) yang akan dibiayai oleh Pemerintah Jerman. Tetapi yang menarik adalah, setelah sekian lama proses masuknya kegiatan ujicoba REDD ke Kalimantan Barat, tidak ditemukan adanya kebijakan atau aturan (legal formal) di level Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat yang dapat dijadikan rambu-rambu pelaksananaan REDD dalam hal ini kegiatan ujicobanya. Ketiadaan aturan secara legal formal yang mengatur soal pelaksanaan REDD didasari oleh prinsip kehati-hatian Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam menyikapi arahan kebijakan pusat terutama Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang mengingatkan agar Pemda tidak terburu-buru melakukan perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga dan atau mengeluarkan kebijakan yang dapat bertumbukan dengan kebijakan nasional tentang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.148 Beberapa kebijakan lain yang sifatnya parsial terkait pelaksanaan REDD memang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, namun kebijakan tersebut bukan by design melainkan respons atas tawaran kerjasama dari pihak lain terutama pengembang REDD. Contohnya adalah ketika membuka workshop Hutan Desa di Hotel Santika Pontianak, Gubernur Kalimantan Barat dan Menteri Kehutanan akan menandatangani sebuah nota kesepahaman (MoU) tentang dukungan terhadap Hutan Desa sebagai salah satu bentuk partisipasi masyarakat mendukung kegiatan pelaksanaan REDD di Kalimantan Barat. 149 Selain itu, Gubernur Cornelis baru memulai beberapa hal berkaitan dengan pelaksanaan REDD termasuk menyepakati sebuah nota kesepahaman dengan Menteri Kehutanan mengenai dukungan terhadap skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan serta Hutan Rakyat sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan REDD. 150 Sebelum proses ujicoba REDD berlangsung, Gubernur Kalimantan Barat berulang kali melakukan eksposur atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan isu perubahan iklim. Namun hingga saat ini belum terlihat kebijakan progresif yang diambil. Lalu, bagaimanakah proses dan kerja-kerja DA REDD yang berlangsung? Kedua pengembang saat ini menjalankan kerja-kerjanya lebih banyak berhubungan dengan dua kabupaten yang menjadi pusat kegiatan yakni Kabupaten Kapuas Hulu dan Ketapang. Peran pemerintah provinsi hanya sifatnya koordinatif dan fasilitasi karena terhalang oleh kisi-kisi otonomi yang diserahkan ke kabupaten. 148 149 150 Yoseph Lejo (Project officer OEDAS), wawancara, 3-06-2010. http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7624%3Amenhut-buka-workshophutan-desa-&Itemid=364 (diakses 02-06-2010). http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/7816 (diakses 02-06-2010). “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 239 Alasan mengapa belum ada kebijakan langsung terkait dengan REDD di level provinsi adalah adanya anggapan bahwa soal REDD merupakan kewenangan pemerintah pusat dan belum pastinya mekanisme REDD seperti apa yang akan diterapkan. Pendapat lain menyatakan bahwa REDD adalah isu Kementerian Kehutanan, sehingga satu-satunya yang berwenang adalah Menhut dan daerah tinggal menunggu kabar dari pusat.151 Pembentukan Pokja Perubahan Iklim yang merupakan salah satu kebijakan standar yang mesti dilakukan oleh daerah, terutama yang saat ini terkena DA REDD, belum dilakukan di Kalimantan Barat.152 Kondisi berbeda ditemukan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah yang sudah mulai membentuk Pokja dan atau Dewan Daerah Perubahan Iklim. (b) Kelembagaan Bicara mengenai kelembagaan yang mengurusi tentang REDD, tidak terlepas dari sisi kebijakan dan aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah provinsi. Selama tidak ada kebijakan dan aturan yang secara legal formal menaungi kerja-kerja perubahan iklim, baik itu mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim, maka pada saat yang bersamaan kita tidak akan menemukan adanya kelembagaan baik itu Kelompok Kerja Perubahan Iklim, maupun Dewan Daerah Perubahan Iklim. Di Kalimantan Barat hingga penelitian ini dilaksanakan, Pokja Perubahan Iklim dan Dewan Daerah Perubahan Iklim belum terbentuk. Dalam pelaksanaan kegiatan ujicoba REDD, walaupun belum memiliki Pokja REDD dan Dewan Daerah Perubahan Iklim, untuk sementara pemerintah provinsi mengandalkan Dinas Kehutanan sebagai ‘Leading Sector’ menangani isu REDD. Sehingga, secara kelembagaan yang memiliki otoritas ketika bicara REDD di Kalimantan Barat praktis hanya Dishut. Namun dengan posisi yang demikian, instansi yang mengurusi isu hutan tersebut cukup tertatih-tatih dan tidak mampu berbuat banyak karena keterbatasan sumber daya manusia dan pendanaan. Jauh lebih dalam lagi, halangan dinas untuk lebih aktif dalam isu REDD ini adalah karena sifatnya yang lintas sektoral terutama melibatkan instansi lain seperti Bappeda, Lingkungan Hidup, dan badan-badan konservasi lainnya yang ada di Pontianak. Penelusuran yang dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan kelembagaan yang dibentuk untuk menangani isu REDD di Kalimantan Barat, hanya kegiatan berupa workshop-workshop yang hampir keseluruhannya adalah inisiatif organisasi masyarakat sipil yang memiliki concern terhadap isu perubahan iklim dan atau REDD. Berbagai kegiatan lain berbentuk training-training pengenalan REDD juga dilakukan oleh Ornop dan lembaga pemrakarsa REDD di Kalimantan Barat (FFI, DED,GTZ). 151 152 Staf Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara http://www.vhrmedia.com/Dinas-Kehutanan-Kalimantan Barat-Perlu-Pokja-Tangani-REDD-berita4060.html (diakses 13-05-2010) 240 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Rentang waktu 2008-hingga saat penelitian ini dilakukan, tidak ditemukan workshop dan atau pelatihan yang murni dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat guna memberi informasi dan pemahaman kepada para pihak secara komprehensif, sebagai upaya mendorong pengurangan dampak perubahan iklim di Kalimantan Barat. Alasan utama di balik ketiadaan upaya mengkampanyekan isu perubahan iklim tersebut disebabkan berbagai alasan, dan umumnya adalah ketiadaan dana dan sumber daya manusia. Meskipun belum ada Pokja atau kebijakan mengenai Perubahan Iklim dan REDD secara khusus, namun Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat bekerjasama dengan World Wide Fund for Nature (WWF) telah membangun kesepakatan untuk menjaga kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi di Kabupaten Singang, Kapuas Hulu dan Melawi sebagai bagian dari program Heart of Borneo (HOB). HoB sendiri adalah kerjasama tiga negara yakni Indonesia Malaysia dan Brunei Darussalam, untuk menjaga kawasan penting di sepanjang perbatasan ke tiga negara tersebut. Inisiatif tersebut sudah mulai berjalan dengan melakukan pengintegrasian kesepakatan-kesepakatan antar ketiga negara dengan berbagai program, terutama di dua kabupaten yang menjadi focus HoB. Contoh pengintegrasiannya adalah menganggarkan dana kegiatan HOB bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).153 Secara umum, jika bicara mengenai apa saja aturan hukum atau kebijakan mengenai REDD, dan apa saja kelembagaan yang terbentuk guna merespon isu REDD di Kalimantan Barat, berdasarkan interview dan telaahan penelitian belum sepenuhnya menemukan kebijakan dan kelembagaan yang dibentuk semisal Pokja Perubahan Iklim, Dewan Daerah Perubahan Iklim dan atau penamaan lainnya pada level propinsi. Praktis selama ini kegiatan DA REDD yang dilaksanakan di dua kabupaten, yang lebih banyak “bermain” adalah Dinas Kehutanan dengan kapasitas sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kehutanan di daerah. Situasi ini didukung oleh keadaan seperti contoh: Flora and Fauna International (FFI) yang mengusung skema pasar lebih memfokuskan dirinya ke kabupaten (pendekatan kabupaten) sehingga pemerintah provinsi tidak memiliki andil yang begitu besar. Begitu pula kerjasama bilateral Indonesia-Jerman dalam proyek Forest and Climate Change Programe (ForClime), hampir semua proses yang saat ini sedang berjalan, hanya berkisar di tataran Dinas Kehutanan Provinsi dan langsung menuju Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai tempat pelaksanaan. 153 Bambang Bider (Koordinator HOB), wawancara, 26-03-2010. “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 241 5.2 Kabupaten Kapuas Hulu dan REDD Kabupaten Kapuas Hulu terletak paling ujung Sungai Kapuas dan berjarak 600 Km dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Secara astronomi, kabupaten ini berada pada 0,5° Lintang Utara sampai 1,4 Lintang Selatan dan 111,40° sampai 114,10° Bujur Timur. Dan secara administratif, kabupaten ini terbagi atas 24 kecamatan, namun 1 kecamatan pemekaran Putussibau Selatan yakni Kecamatan Hulu Kapuas masih tarik ulur letak ibu kota kecamatan, sehingga saat ini jumlahnya hanya 23 kecamatan (Bappeda Kapuas Hulu 2008). Tabel 5.1 Luas wilayah dan jumlah kecamatan Kabupaten Kapuas Hulu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Kecamatan Silat Hilir Silat Hulu Hulu Gurung Bunut Hulu Mentebah Manday Kalis Kedamin/Putussibau Selatan Embaloh Hilir Bunut Hilir Boyan Tanjung Batu Datuk Embau Selimbau Suhaid Seberuang Semitau Empanang Puring Kencana Badau Batang Lupar Embaloh Hulu Putussibau/Putussibau Utara Luas (km²) 1.777.10 1.061.80 432.90 1.118.14 781.26 1.069.00 1.184.00 5.352.30 1.869.10 844.10 824.00 531.20 422.50 999.24 620.56 573.80 562.70 357.25 448.55 700.00 1.332.90 3.457.60 4.122.00 29.824.00 Persentase 3.94 3.56 1.45 3.75 2.62 3.58 3.97 17.94 6.26 2.83 2.76 1.78 1.42 3.35 2.08 1.92 1.89 1.20 1.50 2.35 4.47 11.59 13.81 100.00 Sumber: (BPS Kabupaten Kapuas Hulu 2008) Pasca COP 13 di Bali, Indonesia secara khusus memulai proyek percontohan REDD sebagai mandat dari CoP 13 yang menegaskan bahwa kerja-kerja pengurangan emisi berbasis skema pengganti Protokol Kyoto mesti melakukan uji coba atau demonstration activities. Keluarnya Permenhut P68/2008 tentang Demonstration Activities menjadi penguat legalitas proyek 242 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? ujicoba, termasuk di Kapuas Hulu. Selain aturan secara legal formal tersebut, Menhut juga merilis secara resmi kegiatan DA di seluruh Indonesia.154 Kegiatan ujicoba REDD di Kapuas Hulu bermula ketika terjadi kesepakatan bilateral antara Pemerintah Jerman dan Indonesia untuk melakukan kerjasama pengurangan emisi pasca COP 13 Bali. Sebagai bentuk komitmen Pemerintah Jerman sebagai negara maju (Annex 1) bersedia membantu pendanaan guna membiayai kerja-kerja pengurangan emisi yang tertuang dalam kerjasama Forest and Climate Change Programe (ForClime). Sebagai lanjutannya, pada tahun 2008, tim feasibility melakukan penjajakan di Kapuas Hulu dan hasilnya tim merekomendasikan bahwa kabupaten ini dianggap layak untuk dijadikan lokasi ujicoba dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut: a) Perluasan perkebunan sawit yang terencana (sekitar 390,000 ha) di areal hutan dan lahan gambut akan menjadi sumber emisi karbon utama CO2 dalam waktu dekat. b) Hanya 3 dari 14 HPH (pemegang izin IUPHHK) yang pada saat ini dikelola dengan aktif. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, karena wilayah-wilayah yang dimaksud tidak cukup terlindungi dari penebangan liar, perambahan, dan pertanian tebang bakar, dan tidak menghasilkan pemasukan serta lapangan pekerjaan yang paling dibutuhkan oleh kabupaten. c) Hutan rawa gambut yang terdegradasi dan kering merupakan penghasil karbon dioksida yang besar serta rentan terhadap bahaya kebakaran.155 Kerjasama bilateral Indonesia-Jerman ini berdasarkan keterangan dan wawancara lapangan dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kapuas Hulu, dalam pelaksanaannya mencoba menguji skema compliance atau pasar wajib. Namun hingga saat ini, kegiatan ujicoba di Kapuas Hulu terutama kerjasama bilateral tersebut masih berkutat pada hal-hal teknis berupa peningkatan sumber daya manusia terutama staf Dinas Kehutanan. Pada saat yang bersamaan, pasca COP 13 di Bali, Fauna and Flora International (FFI) juga melakukan penjajakan di Kapuas Hulu. Setelah sukses membangun kerjasama dengan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan menjadikan Ulu Masen sebagai lokasi proyek ujicoba, FFI hendak menyelenggarakan kerjasama serupa dengan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu. Setelah melakukan koordinasi dengan pemerintah Kabupaten, kini FFI telah mengantongi MoU untuk melakukan kegiatan proyek ujicoba REDD di Kapuas Hulu. 154 155 http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6015 (diakses 15-05-2010). Dikutip dari presentasi Tim Studi Kelayakan Gabungan Komponen Finansial (FC)/Komponen Teknis (TC) untuk Program Hutan dan Perubahan Iklim Indonesia-Jerman, dipresentasikan tanggal 19 November 2008 dalam rapat para pihak di Putussibau, Kapuas Hulu. “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 243 1. Fauna and Flora International (FFI) Organisasi yang terdaftar di Amerika Serikat sebagai sebuah lembaga non profit ini, mengklaim organisasinya adalah organisasi konservasi internasional pertama di dunia.156 Organisasi ini eksis dalam isu keanekaragaman hayati dan saat ini fokus kepada isu-isu lingkungan terutama isu perubahan iklim. FFI memulai aktivitasnya di Kapuas Hulu setelah pertemuan pertama dengan Bupati (Tambul Husin) yang di fasilitasi oleh Y. Jimbau anggota DPRD Kapuas Hulu periode 20042009. Pertemuan tersebut menjadi landasan FFI yang dimotori oleh Frank Momberg (Asia Director for Programme Development-FFI) waktu itu, sehingga, terbentuk sebuah Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemda Kapuas Hulu dan FFI terkait proyek ujicoba REDD di Kapuas Hulu khususnya di lahan gambut di bantaran Danau Sentarum seluas ±170.000 hektar.157 Secara umum tujuan ujicoba yang diusung FFI adalah menjadikan “Karbon Hutan Masyarakat Milik Bersama” atau yang lazim disebut “Community Carbon Pool”. Frank Momberg, menjabarkan konsep Community Carbon Pool adalah “The project is based on community rights and developing a benefit mechanism directly for communities for future REDD credits”,158 artinya proyek tersebut berbasis hak-hak masyarakat (adat) dengan membangun sebuah mekanisme keuntungan yang langsung kepada masyarakat ketika REDD dilaksanakan pada 2012 yang akan datang. Pemilihan lokasi DA yang diprakarsai oleh FFI, melingkupi dua lokasi yakni; Danau Siawan-Belidak untuk tujuan menjaga (Restorasi) eks HPH PT Trikaka dan hutan gambut tebal di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) eks HPH PT.Trikaka. Restorasi areal HPK Danau Siawan – Danau Belida dengan luas 45.569 hektar. Cita-cita proyek ini adalah mengembalikan fungsi produksi (perubahan fungsi hutan menjadi hutan produksi tetap). Selain itu restorasi ekosistem bertujuan mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non-hayati (tanah dan air) sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Hal lain adalah, pemegang izin IUPHHK RE dapat diberikan Izin Usaha Pengelolaan Jasa Lingkungan (IUPJL) untuk penyerapan dan penyimpanan karbon dengan tujuan untuk menjamin pendanaan untuk perlindungan dan pengelolaan hutan gambut jangka panjang, dan memberikan insentif kepada masyarakat setempat dan pemerintah daerah. 156 157 158 http://www.fauna-flora.org/thentonow.php. “Nota Kesepahaman (MoU) Mengenai Hutan Gambut di Kapuas Hulu” antara Pemda Kapuas Hulu, Macquarie Capital Group Limited dan Fauna and Flora International .Tanggal 22 Agustus 2008 di Putussibau, pasal 2 (dua) http://fficop15.wordpress.com/2009/12/12/community-carbon-cop15/ 244 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Peta 5.1. Lokasi DA FFI (IUPHHK RE) Danau Siawan-Belida (SK Menhut No 259/2009) Sumber: Fauna and Flora International (FFI Lokasi lain yang digunakan untuk area DA REDD di Kapuas Hulu adalah seputaran Zona Penyangga Taman Nasioal Danau Sentarum. Tujuan pemilihan lokasi ini adalah untuk mengurangi konversi lahan gambut oleh sektor perkebunan di Kapuas Hulu terutama di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL). Berdasarkan paparan resmi FFI melalui berbagai pertemuan sosialisasi, tujuan DA yang dilaksanakan di kawasan penyangga TNDS antara lain adalah : Melindungi hutan gambut di Kawasan Budidaya Non Kehutanan (Areal Pengunaan Lain/ APL) dengan fokus zona penyangga Taman Nasional Danau Sentarum dan zona penyangga Danau Siawan – Danau Belida. Dan beberapa sektor lainnya yang menjadi concern proyek DA tersebut adalah pendampingan perusahaan perkebunan untuk sertifikasi RSPO; identifikasi hutan dengan nilai konservasi tinggi (HCVF), termasuk gambut, didalam wilayah IUP dan HGU dan pendampingan kepada Pemda untuk revisi tata ruang kabupaten berdasarkan pengalihan lahan kritis untuk perkebunan, areal hutan untuk perlindungan dan produksi.159 Saat ini, FFI yang disokong MACQUARIE Bank (Australia) dan beberapa NGO lokal semacam Yayasan Kaban, Lanting Borneo, dan PPSDAK-PK serta Yayasan Titian, terus melaksanakan kegiatan persiapan DA yang berpusat di Danau Siawan - Belida serta zona penyangga 159 Presentasi FFI yang disampaikan pada Workshop RSPO; HCVF dan REDD, Kapuas Hulu 11- 13 Mei 2009. “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 245 TNDS. Beberapa wilayah yang menjadi pusat kegiatan melingkupi Desa Nanga Tuan di Kecamatan Embaloh Hilir dan Desa Jelemuk di Kecamatan Bika.160 2. Kerjasama Indonesia-Jerman (forClime) Pasca kesepakatan antar pemerintah (negosiasi bilateral) yang dibangun bulan Oktober 2007 dan diperkuat oleh hasil COP 13 di Bali, sebagai salah satu negara yang berkomitmen untuk menyalurkan bantuan finansialnya pemerintah Jerman saat ini telah memulai aktivitasnya di Indonesia dengan wilayah focus Kalimantan. Kalimantan Barat sebagai salah satu tujuan yang dijadikan lokasi REDD (demonstration activities), saat ini menunjuk Kabupaten Kapuas Hulu sebagai lokasi pilot project tersebut. Dengan pertimbangan, bahwa kabupaten ini sudah mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Konservasi, dengan dua buah taman nasional di dalamnya. Langkah awal kerjasama G to G ini sudah mulai dirasakan kegiatannya, sejak pertengahan 2008 dengan melakukan berbagai asesmen. Pada tanggal 8/11/2008, kerjasama Indonesia-Jerman di Kapuas Hulu mulai dibicarakan dengan serius pada rapat para pihak di Putussibau. Rapat yang mempertemukan para pihak seperti Departemen Kehutanan, Pemda Kapuas Hulu, dan Pemerintah Jerman dan konsultan (OBF, AHT Group AG) tersebut membahas beberapa temuan studi kelayakan yang dilakukan sebelumnya di Kapuas Hulu. Studi kelayakan yang dihasilkan oleh kerjasama ini, memuat beberapa kesimpulan kegiatan apa saja yang dianjurkan untuk dilakukan di Kapuas Hulu dalam rangka kegiatan kerjasama tersebut161 : 1. Membantu kesiapan di Dinas Kehutanan kabupaten (Reference Emission Level, pemantauan karbon). 2. Membantu Bappeda dalam revisi rencana tata ruang kabupaten dan jika memungkinkan, pengembangan rencana tata ruang partisipatif di tingkat kecamatan (untuk Embaloh Hilir dan Embaloh Hulu). 3. Membantu Pokja REDD di Kapuas Hulu. 4. Membantu kegiatan-kegiatan percontohan yang terpilih. Atas kesimpulan dan rekomendasi studi kelayakan tersebut, Kapuas Hulu dinyatakan sebagai salah satu area pelaksanan proyek percontohan REDD. Proyek kerjasama yang sedang berlangsung di Kapuas Hulu adalah proyek yang termasuk dalam proyek besar bernama Forest and Climate Change Programme (forClime). Proyek yang sektor keuangannya dikelola oleh KfW (Bank Jerman) ini pada sisi-sisi teknis lainnya dibantu oleh berbagai organisasi lain seperti GTZ, CIM, DED dan InWENT. 160 161 Soal Desa Jelemuk ini dijelaskan lebih lanjut di bab 6.2 buku ini. Kesimpulan tersebut disampaikan dalam Rapat Para Pihak, tanggal 11/11/2008 di Kabupaten Kapuas Hulu, Putussibau. 246 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Kegiatan yang sedang berlangsung saat ini di Kapuas Hulu, lebih difokuskan pada penyiapan kemampuan-kemampuan teknis terkait Geographycal Information Sytem (GIS) dan Community Forestry (Perhutanan Masyarakat). Untuk itu Pemerintah Jerman menempatkan dua orang tenaga ahli dari Deutscher Entwicklungsdienst /The German Development Service (DED) dan berkantor di Dinas Kehutanan Kapuas Hulu. Seperti yang telah disinggung di atas tujuan utama kehadiran DED di Kapuas Hulu, khusus memberikan peningkatan kapasitas pada instansi terkait (Dinas Kehutanan, Bapeda dll) terkait spatial information technologies, khususnya remote sensing methodologies. Beberapa release dan publikasi kegiatan DED selalu menjelaskan prioritas dan kegiatan apa saja yang berlangsung di Kapuas Hulu, salah satunya seperti berikut: …One of the major activities of the DED in the Climate Change and Forestry program is to support preparedness for REDD in West-Kalimantan. This includes measures in Community Forestry Management and GIS/Remote Sensing. The activities aim at empowering the District Forestry Services to implement REDD measures and projects. For this aim DED supports the provincial Forestry Service in setting up a GIS Service Centre that will train and support employees of district forestry services in regard to forest monitoring, carbon accounting and land-use planning. These activities are carried out in close cooperation with the Forestry Service of Kapuas Hulu. Kapuas Hulu acts as a pilot district for REDD preparedness – trainings are carried out and evaluated, pilot areas are identified and data about these pilot areas is collected.162 GTZ yang bertugas untuk sisi teknis legal formal, seperti menyusun kelembagaan pelaksanaan REDD, saat ini kegiatannya praktis pada tataran sosialisasi dan memfasilitasi terbentuknya Kelompok Kerja (pokja) Perubahan Iklim di Kapuas Hulu, namun hingga kini inisiatif mengenai Pokja tersebut masih terbengkalai. Pertengahan 2009, lembaga ini memfasilitasi kunjungan studi banding untuk beberapa person yang akan mengurusi Pokja REDD ke Kaltim, guna melihat kerja-kerja serupa yang dilakukan oleh GTZ di Malinau dan beberapa wilayah lainnya di Kalimantan Timur. (a) Kerangka Hukum REDD di Kabupaten Kapuas Hulu (i) MOU Kabupaten Kapuas Hulu dan FFI Kabupaten yang berada di hulu Sungai Kapuas dan berbatasan langsung dengan Sarawak Malaysia ini, sudah cukup lama bersentuhan dengan isu perubahan iklim. Sejak tahun 2003, kabupaten ini menyatakan bahwa Kapuas Hulu menjadi Kabupaten Konservasi. Ide dasarnya mengacu bukan hanya semata kepada konservasi semata namun berorientasi ke hasil perundingan perubahan iklim CoP ke 3 Tahun 162 http://gisdevelopment.net/technology/rs/ma09_Lupp.htm. “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 247 1997 yang menelurkan Protokol Kyoto. Dalam berbagai pertimbangan dan ide dasarnya seperti yang tertuang dalam SK Bupati Kapuas Hulu 144/2003 dan dipertajam oleh buku yang ditulis oleh Bupati Kapuas Hulu berjudul Kabupaten Konservasi, di mana pembentukan Kabupaten Konservasi bermuara kepada peluang untuk mengakses pendanaan dari luar negeri (kompensasi) sebagai basis pembiayaan pembangunan, peluang tersebut dapat bersumber dari : Global Environment Facilities/ GEF, Debt for Nature Swap, NGO internasional (Abang Tambul Husin, 2005). Semangat itu pula yang melatarbelakangi munculnya gagasan Kabupaten Konservasi walaupun sempat mengalami pasang-surut dalam pemberlakuannya, namun gagasan menjadi Kabupaten Konservasi masih melekat erat. Sejak CoP ke 13 berakhir dan meretas jalan pemberlakukan REDD serta menghasilkan kesepakatan Bali Road Map dan Bali Action Plan, Kabupaten Kapuas Hulu semakin menarik perhatian pengembang REDD. Tidak heran, jika beberapa waktu setelah 2007 berakhir aktifitas survey dan pejajakan lokasi ujicoba REDD terus datang ke Kapuas Hulu. Dan akhirnya kabupaten ini menjadi lokasi ujicoba REDD oleh dua pemrakarsa REDD yaitu FFI dan kerjasama bilateral Indonesia-Jerman. Masuknya kegiatan ujicoba tersebut tentunya membawa implikasi kepada bagaimana respons dan kesiapan Kabupaten Kapuas Hulu menghadapi kegiatan tersebut. Saat ini dua kegiatan ujicoba REDD yang berlangsung, hanya FFI yang intens melakukan kegiatannya mulai dari survey-survey hingga pertemuan dengan komunitas di berbagai lokasi. Berdasarkan release FFI-Kapuas Hulu setidaknya ada sekitar 15 kegiatan survey dan assessment yang telah dilakukan sejak Maret-Desember 2009; kegiatan ini belum ditambah dengan berbagai kegiatan sosialisasi, training dan pertemuan di tingkat kecamatan yang dilakukan FFI sehubungan dengan rencana pemberlakukan ujicoba REDD di Kapuas Hulu (Fauna and Flora International, Program Kapuas Hulu, 2009). Untuk menaungi kegiatan FFI di Kapuas Hulu, Pemda Kapuas Hulu telah menandatangani sebuah nota kesepahaman/MoU mengenai kegiatan ujicoba REDD di lahan Gambut di Kabupaten Kapuas Hulu. MoU tersebut ditanda tangani pada tanggal 22 Agustus 2008, bertindak sebagai pihak pertama dalam MoU ini adalah: Drs. Abang Tambul Husin (Bupati Kapuas Hulu), Pihak kedua : Oliver Yates (Dir Eksekutif Macquarie Capital Group Limited-Australia) dan pihak ketiga : Frank Momberg (Dir.Pengembangan Program Asia-FFI). Latar belakang MoU ini adalah kesepahaman para pihak atas fakta bahwa hutan dapat memberikan keuntungan nyata bagi masyarakat lokal dan lingkungan global, dan bahwa pendapatan daerah dapat diperoleh melaui upayaupaya penyelamatan hutan dan menurunkan pelepasan emisi karbon ke 248 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? atmosfir. Selain itu, Macquarie Capital Group Limited dan Fauna and Flora International (FFI) telah menanda-tangani kesepakatan untuk mengembangkan proyek-proyek yang dapat menurunkan emisi karbon melalui “pencegahan deforestasi dan degradasi hutan” (REDD). Berbagai proyek tersebut akan memanfaatkan mekanisme pendanaan karbon demi kelangsungan upaya perlindungan hutan, pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati, serta menyediakan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal. Nota kesepahaman ini dimaksudkan guna memberikan sebuah kerangka kerja pengembangan proyek REDD dan mekanisme kerjasama antar para pihak. Dari MoU ini hal penting yang akan dihasilkan adalah sebuah dokumen rancangan proyek yang disepakati secara bersama dengan nilai komersial yang layak. Artinya MoU ini akan memberi landasan bagi kerjasama yang lebih baik antar para pihak selanjutnya, oleh sebab itu nota kesepahaman ini akan menghasilkan sebuah dokumen rancangan proyek. MoU ini pada pasal 2 (dua) secara spesifik berbicara mengenai Proyek REDD yang akan dilaksanakan di sekitar Danau Sentarum dengan luas kurang lebih 170.000 hektar, mencakup areal hutan gambut dalam bantaran Danau Sentarum dan akan melindungi gambut di DAS Hulu Kapuas. Berbasis nota kesepahaman ini, ada beberapa proyek yang akan diusulkan yakni: • Menurunkan deforestasi sehingga menghindarkan pelepasan karbon dari hutan gambut ke atmosfir • Menghasilkan “karbon kredit” yang akan diakui secara international dan memiliki kelayakan komersial dari proyek termaksud dalam tatanan mekanisme perdagangan karbon internasional, sehingga menyediakan aliran pendapatan kepada para pihak; • Melindungi keanekaragaman hayati di wilayah kerja proyek yang diusulkan, termasuk pelestarian populasi Orang Utan secara nyata • Menyediakan dana operasional untuk meningkatkan upaya-upaya penegakan hukum dalam perlindungan hutan; • Mengembangkan mekanisme pembagian keuntungan yang layak di antara para pemangku kepentingan, khususnya Pemda dan masyarakat lokal demi mencapai pembangunan masyarakat berkelanjutan Dalam MoU ini, terutama pasal 3 (tiga) dibicarakan pula mengenai tanggung jawab para pihak. Pihak pertama (Pemda Kapuas Hulu) dalam MoU ini akan menyediakan dukungan dan bantuan teknis kepada Macquarie dan FFI mengembangkan proyek. Kewajiban lain adalah melaksanakan perlindungan terhadap hutan di lokasi proyek dan yang “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 249 terakhir adalah menyediakan surat dukungan atas usulan pilot project REDD kepada Menteri Kehutanan, serta bantuan yang diperlukan dalam proses penataan ulang wilayah hutan di lokasi proyek yang diusulkan. Pihak kedua (Macquarie Capital) akan bertanggung jawab dalam pelayanan finansial dan secara ekslusif akan bertindak sebagai penjual hasil proyek (termasuk penjualan kredit karbon). Sedangkan pihak ketiga (FFI) akan bertanggung jawab dalam pengelolaan proyek konservasi, termasuk penilaian dan pemantauan proyek, serta pengembangan kerjasama dengan masyarakat lokal sebagai ujung tombak pemangkukepentingan serta mitra-mitra lain yang diperlukan. Pasal 4 (empat) nota kesepahaman ini menjelaskan kewajiban para pihak dan hak-hak khusus yang harus dilaksanakan dalam phase awal proyek ini. Para pihak sepakat untuk bekerjasama untuk mengembangkan sebuah Dokumen Rancangan Proyek (Project Design Document/ PDD) yang memberikan penjelasan rinci mengenai usulan proyek yang termaktub dalam MoU ini. para pihak sepakat untuk bekerjasama namun dengan kewajiban khusus yang berkaitan dengan pengembangan PDD. Dengan kata lain, MoU ini hanya memberi kerangka dasar untuk kerjasama yang lebih detil yang tertuang dalam PDD dan akan dikembangkan secara bersama oleh para pihak, tentunya dengan kewajiban-kewajiban khusus. Dalam pasal 5 (lima) menjelaskan bahwa, perjanjian atau MoU ini berlaku sejak ditanda-tangani (22/8/2008) dan akan berakhir jika digantikan oleh sebuah kontrak kerjasama yang sah secara hukum dan berkaitan dengan PDD yang rinci. Selain itu, MoU ini akan berakhir jika para pihak sepakat untuk mengakhiri MoU ini melalui perundingan atas usulan salah satu pihak. Perundingan setidaknya dilakukan maksimal setelah 30 hari setelah tanggal usulan dari salah satu pihak atau minimal dalam jangka waktu 18 bulan dari penandatanganan MoU ini. Mou yang dibuat dalam dua bahasa ini (Inggris dan Indonesia), merupakan langkah kebijakan yang diambil untuk memberi ruang bagi pelaksanaan REDD di Kapuas Hulu. Walaupun secara proses pembuatan MoU ini tidak partisipatif dalam hal pelibatan para pihak, termasuk dalam soal klausul yang ada di dalam MoU dan terkesan kejar setoran, namun MoU ini menjadi penanda bahwa program ujicoba REDD mulai dilakukan di Kapuas Hulu.163 Tetapi, walaupun sudah menanda-tangani MoU dengan FFI dan Maquarie, daya dukung pemda terhadap proyek ini terbilang rendah. Sejak ditanda-tangani dan bersepakat untuk bekerjasama untuk menghasilkan sebuah dokumen bernama PDD, tidak terlihat dengan 163 Drs.Alexander Rombonang MM (staff ahli Bupati Kapuas Hulu bidang Konservasi dan kawasan Perbatasan), wawancara, 17-03-2010. 250 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? jelas hal apa saja yang dilakukan Pemda selaku pihak pertama dalam menunjang kegiatan ujicoba REDD terutama di tataran teknis. Padahal dalam MoU bahwa Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu memiliki tanggung jawab sebagai berikut: • Menyediakan dukungan dan bantuan teknis kepada Macquarie dan FFI dalam mengembangkan Proyek; • Melaksanakan Perlindungan terhadap hutan di lokasi proyek, dengan dukungan dan bantuan teknis dari FFI, termasuk usulan moratorium konversi hutan dan pencegahan pembalakan liar di wilayah lokasi proyek termaksud; • Menyediakan sebuah surat dukungan atas usulan Pilot Proyek REDD kepada Menteri Kehutanan sebagaimana terlampir dalam dokumen Lampiran 1, serta bantuan yang diperlukan dalam proses penataanulang wilayah di lokasi proyek yang diusulkan; Indikasi lain terlihat dari tidak lagi intensnya komunikasi antara FFI dan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu sehingga posisi mereka merenggang, dan akibatnya kegiatan koordinasi dan penajaman visi bersama soal proyek menjadi tidak terpelihara dengan baik.164 Beberapa alasan muncul adalah, karena Pemda merasa bahwa belum ada kejelasan mekanisme pelaksanaan proyek dan telah terjadi perpindahan lokasi proyek dari Danau Sentarum sesuai MoU, ke Danau Siawan-Belida oleh FFI, sehingga perlu adanya konsolidasi lanjutan terkait lokasi baru tersebut. Dari situasi yang berkembang terkini, praktis FFI bergerak sendiri untuk mengkonsolidasikan kegiatan di lokasi barunya, yakni SiawanBelida. Sejak memfokuskan kegiatan pada lokasi Siawan-Belida, FFI memusatkan kegiatannya di Desa Nanga Tuan, Kecamatan Bunut Hilir. Dari pantauan di lokasi ternyata tidak banyak pihak yang paham mengenai apa yang dilakukan oleh FFI di Nanga Tuan.165 Beberapa kunjungan dan survey yang dilakukan oleh FFI hanya pemberitahuan dan langsung menuju lokasi kegiatan di danau. Terlepas dari kerumitan pola kerjasama dan belum jelasnya proyek ujicoba REDD bertajuk Community Carbon Pool oleh FFI, terlihat ada ketidaksiapan Pemda Kapuas Hulu dalam menjalankan kegiatan kerjasama tersebut. Dua hal bisa dicatat sebagai penyebabnya: pertama, berhubungan dengan riuh rendahnya negosiasi skema penanggulangan dampak perubahan iklim dan masuknya kegiatan ujicoba REDD, muncul ekspektasi yang menggebu-gebu di benak para penyelenggara pemerintahan daerah, bahwa kegiatan konservasi menjaga hutan sekaligus menjual karbon 164 165 Eko Darmawan (Koordinator FFI Kapuas Hulu), wawancara, 18-03-2010. Kepala Desa Nanga Tuan, wawancara, 27-5-2010. “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 251 dapat memberikan limpahan uang, guna mendukung pembangunan di Kalimantan Barat dan khususnya di Kapuas Hulu. Namun, setelah ada sedikit titik terang bagaimana skema REDD calon pengganti Kyoto Protocol yang menitik beratkan pada aspek performance based yang artinya mekanisme pemberian kompensasi kepada pengembang hanya akan diberikan jika yang bersangkutan sanggup membuktikan bahwa mereka telah mampu menurunkan emisi di lokasi proyeknya, hal tersebut membuat Pemda seperti tidak bersemangat. Karena dalam dugaan mereka selama ini, mekanisme pembayaran yang dibayangkan adalah Pemda menyediakan hutan yang memiliki stok karbon banyak lalu diukur, dihitung lalu dijual dan langsung terima uangnya. Akibat hasil perundingan yang menyepakati mekanisme berbasis performance based, artinya harus menunggu sekian lama, memunculkan kekecewaan terhadap mekanisme kompensasi dalam REDD. Kedua, kebijakan benefit sharing yang tidak memadai untuk Pemda. Hal tersebut karena FFI yang hendak melakukan kegiatan ujicoba REDD di Danau Siawan-Belida memakai izin bernama Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Jika mekanisme IUPHHK-RE yang dipakai, maka sesuai dengan Permenhut P36/2009, bagian Pemerintah hanya 20% dibandingkan dengan Pengembang yang 60%, 20% sisanya dibagikan kepada masyarakat. Melihat angka pembagian yang sangat kecil tersebut, ada ide agar 20% milik masyarakat sebaiknya diserahkan ke pemerintah daerah karena nantinya uang itu akan dikembalikan ke masyarakat melalui anggaran pembangunan di APBD. Terlebih lagi bagian 20% milik pemerintah akan dibagi lagi secara proporsional sebagai berikut pusat 40%, provinsi 20% dan kabupaten (40%). Pembagian itu jelas dipandang tidak adil oleh kalangan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu. Kabupaten Kapuas Hulu telah ‘mengorbankan’ 56,21% dari total wilayahnya sebagai kawasan konservasi dan penyerap emisi berbahaya, sudah selayaknya usaha ini diberi apresiasi.166 Bupati Kapuas Hulu bahkan kerap kali mengutarakan mengenai pola bagi hasil ini ketika pertemuan-pertemuan berkaitan dengan kerja-kerja perubahan iklim, namun FFI dan pengembang lain tidak begitu serius menanggapi. Akhirnya, kegerahan itu muncul ketika Bupati Kapuas Hulu menolak membuka sebuah workshop REDD yang digagas oleh salah satu pengembang REDD di Putussibau, karena beranggapan bahwa kegiatan ujicoba REDD belum jelas kompensasi terhadap PAD.167 Selain itu, kebijakan REDD yang tengah dilaksanakan saat ini belum menemukan keserasian dalam hal mekanisme benefit sharing. Ketika 166 167 Drs.Alexander Rombonang MM (staff ahli Bupati Kapuas Hulu bidang Konservasi dan kawasan Perbatasan), wawancara, 17-03-2010. Harian Berkat, kamis, 29 Oktober 2009. 252 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? menggagas konsep Kabupaten Konservasi 2003 yang lalu, ada keinginan Pemda agar uang hasil jasa lingkungan perdagangan karbon diserahkan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Konservasi, ataupun Dana Alokasi Umum (DAU) sehingga Kabupaten Kapuas Hulu dapat memaksimalkan dana hasil penjualan tersebut untuk pembangunan (Tambul Husin, 2005:57) Akan tetapi hingga saat ini, perkembangan kebijakan pusat terkait benefit sharing belum mengakomodasi usulan tersebut. (ii) Kebijakan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi Selain MoU kerjasama mengenai hutan gambut yang pada gilirannya menjadi dasar kerjasama pelaksanaan REDD, ada kebijakan lain sebelumnya yang dilakukan oleh Pemda Kapuas Hulu terkait isu Perubahan Iklim. Kebijakan itu adalah menjadikan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. Konsep Kabupaten Konservasi ini dimunculkan sebagai respons atas hasil perundingan perubahan iklim di Kyoto, yang memunculkan skema Clean Development Mechanism (CDM) dan memungkinkan adanya perdagangan emisi antar negara. Selanjutnya, Kabupaten Kapuas Hulu kemudian mengeluarkan SK Bupati 144/2003 yang menetapkan Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi dan untuk menjalankan konsep ini, Pemda membentuk Pokja Kabupaten Konservasi yang bertugas untuk mengawal perjalanan konsep ini. Banyak pihak bertanya-tanya apa gerangan yang dalam benak para deklarator sekaligus konseptor Kabupaten Konservasi. Dengan luas wilayah 29.824 km2 (20,33% luas dari Provinsi Kalimantan Barat) adalah aset yang berharga dimanfaatkan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu. Menurut pihakpihak yang selama ini mengandalkan hutan sebagai sumber uang, menjadikan sumber daya hutan yang tersedia sedemikian luas, hanya untuk kawasan konservasi kurang tepat, karena persoalan besar berupa belum meratanya pembangunan dan kemiskinan belum beranjak dari kehidupan masyarakat. Semestinya hutan dapat memberikan jalan keluar dari segala permasalahan tersebut. Namun ide untuk menjadikan Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi semakin menguat ketika disadari bahwa, eksploitasi hutan secara konvensional selama ini, dengan membabat hutan ternyata tidak jua menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat, terutama masyarakat yang ada di dalam dan sekitar hutan. Inisiatif Kabupaten Konservasi sebetulnya adalah amanat workshop internasional tentang konservasi yang melibatkan mahasiswa dan “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 253 peneliti dari berbagai negara di kecamatan Embaloh Hulu 2002. Dan pada tahun 2003, amanat tersebut diwujudkan dengan keluarnya Surat Keputusan Bupati nomor 144/2003 tentang Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi (selanjutnya SK Bupati 144/2003). Secara substansi, Kabupaten Konservasi membatasi posisi kabupaten yang tata wilayahnya memiliki kawasan konservasi dengan luas (magnitude) dan tingkat kepentingan (importance) yang signifikan secara global, nasional atau regional. Tujuan operasional Kabupaten Konservasi adalah wilayah administratif yang mempunyai komitmen politik untuk menjalankan pelaksanaan pembangunan berlandaskan pemanfaatan berkelanjutan, perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati (Abang Tambul Husein, 2005). Pada 22 Juni tahun 2004, pasca penetapan melalui SK Bupati 144/2003, bertempat di Kecamatan Lanjak dilaksanakan kegiatan Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. Deklarasi ini tak akan berlangsung sedemikian rupa tanpa dukungan dari berbagai pihak, berdasarkan penelusuran dokumen berbagai kegiatan telah ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu guna membentuk Kabupaten Konservasi. Dukungan dan kegiatan tersebut menjadi landasan kuat pembentukan kabupaten ini menjadi Kabupaten Konservasi, antara lain berupa: 1. Pernyataan dukungan tertulis dari 122 Kepala Desa di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu. 2. Menerbitkan SK Bupati Kapuas Hulu 144/2004 tentang Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. SK ini dilengkapi dengan rekomendasi DPRD Kapuas Hulu. 3. Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi oleh Gubernur Kalimantan Barat (Usman Ja’far) pada hari lingkungan hidup se-dunia di Lanjak Kecamatan Batang Lupar 4. Menyelenggarakan pertemuan di Hotel Crown Jakarta, untuk mensosialisasikan wacana Kabupaten Konservasi bekerjasama dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan dihadiri oleh 30 bupati se-Indonesia. 5. Dialog di MetroTV dan TVRI soal kampanye dan sosialisasi Kabupaten Konservasi 6. Lokakarya internasional “Kapuas Hulu menuju Kabupaten Konservasi” 7. Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Kabupaten Konservasi di Kapuas Hulu dan Pusat 8. Pembentukan Pokja Penanggulangan Pembalakan Haram.168 168 Drs.Alexander Rombonang MM (Staff Ahli Bupati Kapuas Hulu bidang Konservasi dan kawasan Perbatasan), wawancara, 17-03-2010. 254 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Berdasarkan prinsip pembangunan berlanjutan dan aspek-aspek konservasi yang menaunginya, maka tujuan Kabupaten Konservasi dibagi dua, yaitu tujuan dengan skala makro dan tujuan dengan skala mikro: 1. Membangun suatu model pembangunan wilayah yang memadukan antara konservasi alam dan kegiatan pembangunan (Integrated Conservation and Development Project/ICDP). 2. Meningkatkan tanggung jawab dan peranan masyarakat dalam usaha perlindungan dan konservasi alam melalui pengelolaan hutan yang berbasis kemasyarakatan (Community-based Conservation/CBC). 3. Melalui penerapan ICDP dan CBC sebagai pendekatan pembangunan, diharapkan terjadinya keseimbangan antara pemanfaatan dan usaha perlindungan terhadap sumber daya alam, sehingga terwujud pembangunan berkelanjutan yang pada akhirnya menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarkat secara berkelanjutan pula (sustainable livelihoods). 4. Mencegah dan atau menghentikan kegiatan ekstraksi atau eksploitasi sumber daya alam hutan secara illegal (illegal cutting) yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lingkungan (deforestation dan forest degradation). 5. Meningkatkan hubungan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dengan dunia internasional dalam rangka pengelolaan hutan serta habitatnya, melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan Clean Development Mechanism-CDM. 6. Tersedianya dukungan dana dalam penyelenggaraan pembangunan sebagai kompensasi atas kesediaan Kabupaten Kapuas Hulu melakukan kegiatan konservasi alam yang bermanfaat bagi seluruh mahluk yang ada di muka bumi ini. Tujuan dengan skala mikro adalah : 1. Memantapkan fungsi kawasan konservasi sekaligus mengamankannya dari berbagai aktivitas illegal. 2. Menciptakan peluang/kesempatan ekonomi bagi daerah untuk mengembangkan kemampuannya mengelola sumber daya alam yang dimiliki secara kreatif dan inovatif guna meningkatkan pendapatan daerah serta kesejahteraan masyarakat. 3. Meningkatkan nilai tambah terhadap produk-produk hasil hutan sebagai bahan baku industri di seluruh wilayah Kabupaten Kapuas Hulu. 4. Membangun sistem ekonomi rakyat yang berbasis pengelolaan hasil-hasil non kayu. 5. Meningkatkan peran masyarakat dalam perlindungan, pelestarian dan pengawasan sumber daya alam (hutan dan keanekaragaman hayati) (Abang Tambul Husin, 2005) “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 255 Jika merujuk pada nilai serta maksud dan tujuan pembentukan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi, ada korelasi langsung konsep ini dengan REDD sebagai sasaran utama penelitian ini. Walau sebenarnya kelahiran konsep Kabupaten Konservasi mendahului lahirnya REDD namun ada perkembangan yang menciptakan situasi pemungkin (enabling condition) bagi konsep Kabupaten Konservasi untuk kembali dibangkitkan. Poin pentingnya adalah, konsep “Kabupaten Konservasi” yang dikembangkan Kabupaten Kapuas Hulu perlu dihargai, oleh sebab itu perlu ada insentif positif bagi penyelamatan hutan yang dilakukan oleh para pihak yang secara serius dan terus menerus. Dari fakta yang tersedia, Kabupaten Kapuas Hulu telah melakukan hal tersebut, dengan menyediakan 56,21% wilayahnya sebagai kawasan konservasi. Memeriksa lebih jauh hubungan konsep Kabupaten Konservasi ini dengan inisatif REDD, kita akan menemukan bahwa ide dasarnya berangkat dari Protokol Kyoto yang disahkan pada tahun 1997. Di beberapa bagiannya mensyaratkan perlu ada usaha pengurangan emisi melalui Clean Mechanism Development (CDM) yang dalam praktiknya turut memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang memelihara hutan. Jadi, walaupun secara konseptual inisiatif Kabupaten Konservasi ini tidak berkaitan dengan REDD, namun secara kontekstual keduanya memiliki visi dan misi yang sama yakni mengurangi emisi dengan menyelamatkan hutan. Berdasarkan wawancara dengan Alexander Rombonang MM, staf ahli Konservasi Kapuas Hulu sekaligus otak terbentuknya Kabupaten Konservasi, pada lampiran SK Bupati Kapuas Hulu 144/2004 disebutkan bahwa salah satu dasar pemikiran Kabupaten Konservasi adalah karena dari luasnya yang 29.842 km2, 56,21%-nya merupakan kawasan lindung atau kawasan konservasi. Oleh sebab itu, Kapuas Hulu layak mendapatkan kompensasi atas usahanya menjaga hutan tetap lestari. Hal tersebut ditegaskannya sehubungan dengan dipilihnya Kabupaten Kapuas Hulu sebagai salah satu lokasi ujicoba REDD. Karena menurutnya, Kabupaten Konservasi selama ini bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan dan tidak mengeluarkan izin-izin atau memberi ruang eksploitasi di kawasan tersebut. Selanjutnya, atas usaha tersebut Pemerintah Kapuas Hulu mengharapkan perhatian Pemerintah dan dunia internasional atas inisiatif yang dilakukan, dengan memberikan kompensasi secara layak demi kelangsungan pembangunan dan keselamatan bumi tentunya. 256 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Tabel 5.2. Kawasan konservasi Kapuas Hulu No 1 2 3 4 5 Kawasan TN Betung Kerihun TN Danau Sentarum HL. Danau Empangau Daerah Resapan Air Lahan Gambut Total Luas (hektar) 800.000 132.000 628.973 49.546 67.082 1.677.601 (56,21%) Sumber: Dinas Kehutanan Kapuas Hulu (2008) Kebijakan tentang Kabupaten Konservasi hingga saat ini terus mengalami pasang surut, perkembangan terbaru menyiratkan bahwa sampai saat ini rencana induk Kabupaten Konservasi belum terintegrasi maksimal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kapuas Hulu. Selain kebijakan langsung yang berkaitan dengan REDD, Kapuas Hulu juga memiliki beberapa kegiatan yang berkaitan langsung dengan kegiatan konservasi yakni menjadi bagian dari program Heart of Borneo (HoB). Program yang diinisiasi oleh WWF ini melibatkan tiga negara yang berbatasan langsung di Pulau Borneo yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kawasan yang dilindungi oleh inisiatif ini adalah kawasan-kawasan penting yang memiliki nilai konservasi tinggi. Di Kalimantan Barat setidaknya ada 3 kabupaten yang terkena lokasi yaitu Kabupaten Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Di Kapuas Hulu saat ini, inisiatif HoB telah memiliki Pokja yang aktifitasnya dibiayai oleh APBD Kapuas Hulu. (b) Kelembagaan REDD di Kabupaten Kapuas Hulu Selain kebijakan atau aturan hukum yang dibentuk oleh Kapuas Hulu baik atas inisiatif daerah ataupun penerjemahan kebijakan di atasnya, penting untuk melihat sisi kelembagaan apa saja yang telah dan akan dibentuk oleh Kapuas Hulu berkaitan dengan REDD. Dari hasil penelitian yang dilakukan selama 3 bulan di Kapuas Hulu, belum terdapat satu institusi baru yang secara khusus dibentuk guna menghadapi program ujicoba REDD. Untuk saat ini semua kegiatan yang berbasis isu hutan termasuk REDD masih memakai institusi konvensional di bidang kehutanan yaitu Dinas Kehutanan Kapuas Hulu. Dinas memfasilitasi berbagai kegiatan dua pengembang yang ada saat ini, berupa penentuan lokasi dan membantu hal teknis lain seperti sosialisasi dan sisi administrasi. Dinas Kehutanan sebagai instansi resmi mengurusi isu hutan, saat ini menjadi tempat koordinasi “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 257 satu-satunya tentang proyek REDD. Instansi lain yang sebenarnya memiliki perhatian dan keterlibatan dalam isu ini semisal Bappeda atau kantor Lingkungan Hidup dinamikanya tidak seaktif Dinas Kehutanan. Hingga saat ini belum ada kelembagaan yang secara khusus dibentuk untuk mengurusi isu REDD di Kapuas Hulu.169 Namun rencana untuk membentuk sebuah kelompok kerja sudah sering didiskusikan oleh para pihak yang terkait isu ini, seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Bappeda dan Sekretariat daerah, bahwa ada keperluan untuk membentuk Pokja perubahan iklim. Hingga bulan Mei 2010 ketika diadakan Focus Group Discussion “Refleksi kerja-kerja perubahan di Kapuas Hulu” yang sekaligus adalah presentasi dan klarifikasi temuan penelitian ini menemukan bahwa draft SK Bupati tentang Pokja sudah memasuki draft final dan segera akan disahkan. 170 (i) Masalah dalam kelembagaan Isu perubahan iklim adalah isu yang baru dan rumit. Keruwetan dalam menghadapi isu iklim ternyata tidak hanya melanda Kapuas Hulu, melainkan menyapu bersih semua lapisan di negara ini. Isu iklim hanya ‘dimainkan’ oleh segelintir kelompok namun berpengaruh kepada semua mahluk yang ada di muka bumi. Pertama, soal kurangnya kapasitas. Dalam menghadapi situasi seperti disebut dalam paragraf di atas itu, peran negara sebagai fasilitator dan penyedia informasi bagi warganya tak kunjung maksimal terlihat. Soal kurangnya kapasitas, baik di Pemda Kapuas Hulu maupun di lembaga yang jadi “leading sector ”-nya, Dishut Kapuas Hulu, memang persoalan pelik. Ambil contoh, dari berbagai diskusi, pengamatan lapangan dan wawancara yang dilakukan dengan berbagai pihak terlihat bahwa isu perubahan iklim adalah sesuatu yang tidak dimengerti oleh masyarakat, namun tidak sama sekali terlihat peran Pemda guna memberikan pemahaman dan pencerahan kepada masyarakat. Tanggung jawab penyebaran informasi oleh negara yang dalam hal ini diwakili oleh Pemda Kapuas Hulu, lebih banyak diambil alih oleh Ornop lingkungan dan gerakan sosial baik melalui training, sosialisasi, buletin maupun pertemuan kampung untuk membahas dampak perubahan iklim dan isu di dalamnya termasuk REDD. Kedua, persoalan lainnya adalah memusatnya informasi hanya di beberapa kalangan tertentu di Kapuas Hulu. Dari diskusi yang dilakukan di Kapuas Hulu, terlihat bahwa isu REDD dan terutama proyek kerjasama 169 170 Drs.Alexander Rombonang MM (Staff Ahli Bupati Kapuas Hulu bidang Konservasi dan kawasan Perbatasan), wawancara, 17-02-2010. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Merpati Indah, Putussibau. melibatkan 15 orang peserta dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kantor Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan Staff Ahli bidang Konservasi dan Kawasan Perbatasan serta organisasi non pemerintah seperti : LBBT,WWF,AMAN dan pengembang REDD di Kapuas Hulu : FFI dan DED. 258 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? perubahan iklim di Kapuas Hulu ternyata hanya dipahami segelintir aparat dan eksklusif ada di Dinas Kehutanan. Oleh sebab itu, wajar saja jika terjadi kekalutan institusi menghadapi isu perubahan iklim karena mereka, secara struktural, tidak dibekali informasi mengenai perubahan iklim khususnya REDD yang cukup memadai. Kekalutan itu akhirnya berbuah sikap saling melimpahkan. Hal tersebut tergambar ketika mewawancarai beberapa pejabat di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda),171 ketika ditanyai apa saja peran Bappeda Kapuas Hulu dalam menghadapi isu perubahan iklim dan terutama REDD? Jawaban yang muncul mengisyaratkan bahwa isu Iklim dan REDD itu adalah kewenangan Dinas Kehutanan selaku “leading sector-nya”, tanpa merinci peran Bappeda selaku institusi penting dalam perencanaan pembangunan di Bumi Uncak Kapuas. Hampir semua elemen dan instansi di Kabupaten Kapuas Hulu, menganggap bahwa segala informasi mengenai perubahan iklim dan REDD berada di tangan Dinas Kehutanan. Artinya tanggung jawab sosialisasi, informasi pencerahan kepada semua pihak adalah tugas Dinas Kehutanan. Tentu saja hal ini tidak proprosional dan cenderung berlebihan apalagi ketika menelusuri sumber daya dan kapasitas Dinas Kehutanan mengemban tugas ini, sesungguhnya kapasitasnya tidak berbeda jauh dari instansi lain yang terkait isu perubahan iklim seperti Kantor Lingkungan Hidup, Bappeda, dan tentu saja sekretariat daerah. Di Dinas Kehutanan tidak semua staff memiliki pengetahuan memadai soal isu perubahan iklim, apalagi informasi mengenai REDD yang relatif rumit dan berubah-ubah karena dalam proses negosisasi. Oleh karena situasi demikian, sejak awal 2009 Dinas Kehutanan mendapat asistensi intensif dari Pemerintah Jerman dengan menempatkan dua tenaga ahli dari DED Jerman yakni Patrick Oswald dan Berthold memberikan bantuan teknis untuk meningkatkan kapasitas instansi terkait (Dinas Kehutanan), dalam hal teknologi informasi spasial khususnya remote sensing (melatih GIS) dan Community Forestry. Selain urusan teknis yang nantinya dilakukan oleh berbagai lembaga (DED,GTZ,CIM, inWEnt) urusan finansial akan diurus oleh KfW. Ketiga, kekalutan lain yang terjadi di Kapuas Hulu adalah ketika merespon kegiatan ujicoba REDD, terjadi kebingungan institusi mana yang akan secara intensif mengawal isu perubahan iklim dan berbagai proyek ujicoba REDD. Perdebatan panjang terjadi, ketika mendiskusikan pilihan-pilihan alternatif jalan keluar dari situasi ini. Ada dua pandangan berbeda dalam perdebatan mengenai kelembagaan apa yang akan mengurusi isu iklim, termasuk REDD di Kapuas Hulu. 171 Sofiandi (Kepala Penelitian dan Statistik Bappeda) dan Syarifah Maryam (Kabid Ekonomi- Bappeda), wawancara, 18-03-2010. “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 259 Pandangan pertama, mengusulkan agar segala urusan mengenai isu perubahan iklim diurusi oleh Pokja Konservasi yang pernah dibentuk oleh Pemda guna mengawal konsep Kabupaten Konservasi, dan tentu saja tujuan dan intisari yang diurus tak jauh berbeda. Usulan ini datang dari kantor bupati atau sekretariat daerah. Namun pandangan kedua berpendapat bahwa, isu iklim termasuk REDD sebaiknya diurusi oleh sebuah organisasi baru berupa Pokja Perubahan Iklim dan atau dengan nama lain, karena ada kebijakan pusat yang membenarkan hal tersebut, yakni dari Dewan Nasional Perubahan Iklm (DNPI) dan Kementerian Kehutanan. Pandangan ini dimunculkan oleh Dinas Kehutanan sebagai tindak lanjut dari arahan Kementerian Kehutanan agar daerah segera membentuk Pokja atau Dewan Daerah Perubahan Iklim sebagai respon atas mekanisme REDD yang mulai berdinamika. 5.3 R E D D d a n Pe rl i n d u n g a n Ha k d a n Ke p e n t i n g a n Masyarakat Protokol Kyoto persis akan berakhir pada 2012, namun hingga 2010 mekanisme penggantinya belum menemukan titik terang seperti apa bentuk idealnya. Organisasi lingkungan semacam Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) atau jaringan NGO semacam Climate Justice Now dengan tegas mengecam negosiasi dan berbagai poin resultannya, karena tidak berkeadilan dan menihilkan eksistensi masyarakat adat, yang selama ini berada dalam hutan dan di sekitar kawasan hutan. Menurut para penentang perundingan, apa yang terjadi hanya memberikan keuntungan bagi negara kaya penghasil emisi paling besar (Annex 1), dan mengeksloitasi negaranegara berkembang. Untuk itu perlu ada pembenahan ulang mengenai ide dasar REDD yakni menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, tanpa diselingi embel-embel lain. Sejarah dan pengalaman panjang masyarakat adat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan telah membuktikan, bahwa mereka adalah pelaku konservasi sejati. Perilaku peduli terhadap alam terutama hutan, bukanlah semata didorong oleh rasa cinta lingkungan an-sich, melainkan didasari oleh perilaku hidup turun-temurun dibalut oleh keyakinan sosio-religius-magis yang kental dengan hutannya. Perilaku bijak memperlakukan hutan bukan hanya sebagai objek ekonomi, hingga saat ini dapat ditemukan pada berbagai komunitas masyarakat adat di berbagai kawasan di Indonesia termasuk termasuk yang dilakukan oleh masyarakat adat di Kapuas Hulu. Kearifan pengelolaan hutan yang dipakai masyarakat adat selama ini, nyatanya berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah. Paradigma usang yang menganggap hutan sebagai tambang uang hingga kini masih saja awet dipertahankan oleh penyelenggara negara. Tentu saja, 260 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? akibat yang dirasakan saat ini adalah kerusakan hutan yang masif dan bencana ekologi yang tiada henti. Potret buram pengelolaan hutan oleh negara yang sentralistik serta miskin pelibatan masyarakat, di sana-sini telah menimbulkan dampak serius terhadap deforestasi dan kerusakan hutan di Indonesia. Dikeluarkannya peraturan dan kebijakan mengenai pemanfaatan sumber daya alam terutama kayu beberapa dekade silam merupakan awal cerita penurunan kualitas lingkungan dan peminggiran kelompok masyarakat adat yang berdiam di sekitar kawasan hutan. Anehnya, walaupun aturan tersebut digadanggadangkan demi kesejahteraan masyarakat namun survey potensi desa (Podes : 2004) melansir data bahwa eksploitasi hutan secara besar-besaran tidak berbanding lurus dengan perbaikan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Riuh rendahnya pembicaraan mengenai REDD dan perdagangan karbon yang dilaksanakan di Kabupaten Kapuas Hulu, memang secara samar (umum) terdengar hingga pelosok desa. Di ruang-ruang diskusi mengenai isu iklim dan REDD di tingkat kampung, masyarakat hanya memaknainya sebagai dagangan karbon semata, walaupun definisinya perdagangan karbon tak mereka pahami secara betul. Namun yang mesti diingat adalah, masyarakat kerap hanya membincangkan seputar limpahan uang yang dihasilkan oleh proyek tersebut, tanpa mendiskusikan lebih jauh mengenai dampak buruk berupa terabaikannya hak dan akses atas hutan, dan tentu saja kerumitan skemanya. Pemaknaan masyarakat yang hanya berkutat pada uang, terindikasi kuat akibat asupan informasi yang disampaikan oleh Pemda dan pemrakarsa DA yang terus menerangkan bahwa REDD adalah jalan terbaik saat ini untuk mendapat keuntungan finansial dan pada saat yang sama, hutan tetap terjaga kelestariannya. Di setiap kesempatan, pemrakarsa terus mendengungkan nominal-nominal yang dapat membelalakan mata orang kampung. Tentunya, penggiringan pemahaman seperti ini, tidak dapat dibenarkan karena mengaburkan makna penyelamatan iklim yang sesungguhnya. Semestinya, diskusi dan sosialisasi yang dilakukan di tiap kampung, mesti membincangkan bagaimana hak dan pelibatan masyarakat secara optimal dalam kerja-kerja perubahan iklim terutama proyek REDD. Pelibatan masyarakat perlu dilakukan agar mereka tidak hanya dijadikan objek oleh pemrakarsa REDD, namun juga menjadi subyek dalam menanggulangi dampak perubahan iklim tersebut. Artinya, dengan segala kearifan lokal yang tersedia dan terbukti mampu menjaga hutan dengan baik selama ini, seharusnya mereka mendapatkan apresiasi dari pemerintah dan pengembang. Dengan bahasa yang lain, pemerintah mesti memberikan ruang partisipasi yang seluasnya kepada masyarakat adat, berupa hak yang sama dalam mengelola proyek berbasis skema memakai alas hak berupa Hutan Adat, “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 261 karena pola konservasi berbasis kearifan lokal mengelola hutan di Kapuas Hulu masih ada dan dipraktikan hingga saat ini. Berbagai persoalan yang muncul dalam masa inisiatif ujicoba REDD di Kapuas Hulu, semestinya dapat dimininalisir jika proses sosialisasi kepada masyarakat berangkat dari rambu-rambu yang disepakati dalam skema REDD, dan berbasis penghormatan kepada hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan hutan. Karena selama ini sosialisasi hanya corong kampanye akan mulainya proyek namun alpa memberikan pemahaman mengenai prinsip-prinsip seperti Free Prior and Informed Consent (FPIC) secara utuh. Sehingga, saat ini informasi yang diterima oleh masyarakat jauh dari hal-hal bertajuk hak-hak masyarakat dalam DA/REDD dan hanya berkisar keuntungan finansial semata. Keresahan-keresahan mendalam tertangkap ketika berdiskusi mengenai proyek REDD yang akan masuk ke Kapuas Hulu, jika pada tahun 2012 nanti skema ini akan dilaksanakan. Rasa khawatir itu muncul karena dapat dipastikan bahwa proyek yang nantinya dilaksanakan akan memakai hutan yang selama ini didiami oleh masyarakat adat. Hingga kini interaksi berbagai komunitas adat yang ada di Kapuas Hulu terhadap hutan masih sangat tinggi. Interaksi tersebut berupa aktivitas seperti berladang, berburu, meramu hasil hutan bahkan mengadakan ritual-ritual adat di hutan yang mereka anggap keramat. Sehingga, ketika proyek REDD masuk, tentu akan membatasi ruang gerak mereka untuk mengakses hutan, yang secara otomatis membuat aktifitas rutin dan kearifan lokal mengelola hutan yang dilakukan selama ini akan terhenti, termasuk melakukan ritual-ritual yang menjadi basis hidupnya adat istiadat. Rumitnya persoalan teknis dan ketidaktahuan mengenai prosedur melaksanakan proyek REDD, adalah bagian yang tak terpisahkan dari keluhan dan keresahan masyarakat adat di Kapuas Hulu. Walaupun dalam Permenhut P36/2009 menyatakan Hutan Adat dan Hutan Desa dapat menjadi alas hak untuk melaksanakan proyek berbasis skema REDD, namun situasinya menjadi sulit karena secara defacto pengakuan atas hak-hak masyarakat adat oleh Pemerintah terutama hak memiliki hutan secara komunal hingga saat ini menjadi barang ‘haram’. Walaupun secara konstitusi sebenarnya diperbolehkan, terutama Pasal 18 b dan Pasal 21. Secara umum masyarakat adat dijamin kesempatannya untuk melakukan proyek secara mandiri, namun kompleksitas urusan teknis dan prosedur pengajuan izin menjadi hambatan maha besar bagi mereka. Jika ditinjau secara lebih detil, peluang yang ditawarkan oleh Permenhut P30/2009 dan Permenhut P36/2009 akan menjadi sia-sia karena pengakuan hukum atas masyarakat adat di Indonesia masih jauh dari harapan.172 172 Penjelasan rinci atas dua Permenhut ini dapat dilihat Bab 3.3 (b) buku ini 262 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Walaupun Hutan Adat dapat dijadikan lokasi REDD namun dalam prakteknya sangat sulit mengandalkan klausul tersebut mengingat hakhak masyarakat di Indonesia tidak diakui dengan baik secara legal formal. Contohnya di Menua Sungai Utik, komunitas adat ini belum diakui keberadaannya secara hukum (legalitas formal) karena tidak ada Peraturan Daerah tentang pengakuan hukum yang menjadi dasar hukumnya. Padahal, komunitas ini sudah mendiami wilayah adatnya ratusan tahun silam, dan telah berulang kali meminta pengakuan formal ke Pemda melaui usahausaha memperjelas status hutan adatnya melalui pemetaan partisipatif. Namun belum direspon dengan baik oleh pemerintah. Usaha-usaha pencarian legalitas formal itu menarik perhatian Lembaga Ekolabel Indonesia dengan mendorong agar mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari, dan mendapatkannya pada tahun 2008 lalu. 5.4 Kesimpulan dan Rekomendasi (a) Kesimpulan Dampak perubahan iklim akibat dari pemanasan global saat ini menjadi pembicaraan paling menarik perhatian umat manusia di muka bumi. Perdebatan tentang sebab dan akibatnya telah menjadi santapan setiap hari melalui pemberitaan di media cetak, elektronik dan media online lainnya. Ulah manusia terutama negara kaya (Annex 1) yang menjadi emiter terbesar, namun terus menghindari tanggung jawabnya seperti yang dimandatkan Protokol Kyoto merupakan penyebab utama gagalnya berbagai perundingan tentang mekanisme mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim melalu skema REDD. Pada saat yang sama, dampak buruk perubahan iklim pun terus merangsek ke semua sudut bumi. Kabupaten Kapuas Hulu yang selama ini tak terpengaruh secara signifikan, 10-20 tahun belakangan merasakan keanehan-keanehan iklim di wilayahnya secara ekstrem. Mulai banyak yang mengalami gagal tanam akibat ladang tidak dapat dibakar akibat hujan yang selalu turun, atau dengan kata lain telah terjadi perubahan siklus perladangan asli. Selain gagal tanam, gagal panen akibat padinya terendam air (banjir) adalah persoalan yang melanda berbagai wilayah di Kapuas Hulu. Hasil wawancara, Focus Group Discussion, bahkan temuan lapangan menemukan fakta bahwa dampak perubahan iklim telah terjadi dan cenderung mengganas, oleh sebab itu, jika tidak ada usaha-usaha yang serius menanggulanginya maka akan berdampak lebih buruk bagi semua aspek, terutama eksistensi masyarakat adat yang berkehidupan tradisional. Sejak Kabupaten Kapuas Hulu yang mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Konservasi tahun 2003, kini telah menjadi lokasi ujicoba REDD. Ada dua pengembang yang mulai melakukan aktifitasnya di sana, yaitu FFI dan Pemerintah Jerman (DED,GtZ). Walaupun masih berkutat pada “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 263 tahapan persiapan, namun dapat disepakati bahwa proyek REDD sudah ada dan terus berdinamika di Kapuas Hulu. Sejak dideklarasikan melalui SK Bupati Kapuas Hulu Nomor 144 Tahun 2003, banyak pihak yang memandang inisiatif ini dengan sebelah mata, karena hanya mengharap kucuran uang dari luar negeri tanpa melihat bahwa penyelamatan iklim adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah secara utuh. Akibatnya, ketika kucuran dana tidak kunjung datang pada periode 2003-2009, Pemda Kapuas Hulu tidak terlihat serius untuk menindaklanjuti konsep Kabupaten Konservasi tersebut. Contoh nyata dari sikap ini adalah mengeluarkan izin tebang kayu berdasarkan SK Menhut tentang HPHH 100 hektar yang dilakukan oleh bupati. Jika Pemda serius dengan konsep yang dibangun, hal-hal seperti ini tidak semestinya terjadi. Akibatnya, setelah SK HPHH 100 hektar dicabut oleh Menteri Kehutanan, penebangan hutan malah semakin marak dan merusak dalam rentang waktu 2003-2007. Pembalakaan haram yang kerap disebut illegal logging yang terjadi di Kapuas Hulu pada beberapa waktu lalu tidak hanya melawan hukum, tetapi juga merongrong kedaulatan negara. Hal tersebut terjadi, karena pengusaha kayu dari Malaysia dapat masuk tanpa izin ke Kapuas Hulu dan membawa log-log hasil tebangan ke Sarawak yang anehnya Pemda Kapuas Hulu tutup mata. Pasca COP 13 di Bali, yang meretas jalan mengenai Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD), Pemda Kapuas Hulu kembali bergeliat dengan mempromosikan diri untuk bekerja sama dalam proyek iklim berbasis skema REDD. Hasilnya, saat ini Pemda Kapuas Hulu telah menanda tangani sebuah MoU dengan Fauna and Flora International (FFI) untuk pelaksanaan demonstration activities di Danau Sentarum, walaupun kemudian mengalami pemindahan lokasi ke Danau Siawan-Belidak. Selain itu, saat ini Pemda Kapuas Hulu juga telah menjadi lokasi kerjasama Program Hutan dan Perubahan Iklim antara Pemerintah Indonesia dan Jerman. Kerjasama yang dilandasi oleh kesepakatan bilateral tahun 2007 yang lalu, kini telah memulai aktivitasnya dengan membantu penyiapan teknis melaksanakan REDD. Namun yang sangat disesali dari proses pelaksanaan DA di Kapuas Hulu, adalah minimnya informasi dan sosialisasi kepada para pihak. Jika menanyakan perihal kegiatan ujicoba REDD di Kapuas Hulu kepada pejabat Pemda selevel kepala bidang, selain Dinas Kehutanan, seperti Bappeda, Kantor Lingkungan Hidup atau para camat sebagai ujung tombak di lapangan, jawaban yang diberikan tidak kontekstual atau jauh dari memadai. Banyak di antara mereka, mengakui belum mendapat informasi tentang REDD. Hal tersebut menandakan ada sisi-sisi yang perlu ditingkatkan dari program ujicoba ini, terutama peningkatan kapasitas birokrasi memahami isu iklim dan berbagai program mitigasi dan adaptasi di dalamnya. 264 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Bagaimana dengan masyarakat, apakah mereka mendapatkan informasi yang cukup tentang DA dan proyek iklim lainnya? Pengakuan masyarakat seperti yang dipaparkan pada bagian-bagian di muka, bahwa informasi yang disebarkan sangat tidak memadai. Contohnya, sejak tahun 2008 ketika DA sudah mulai menjadi isu yang hangat, masyarakat adat Iban di Sungai Utik di Kecamatan Embaloh Hulu dan masyarakat adat Punan Uheng Kereho di kecamatan Hulu Kapuas/Putussibau Selatan, sama sekali tidak mendapat informasi memadai mengenai proyek ujicoba tersebut. Bahkan informasi mengenai apa dan bagaimana perubahan iklim terjadi serta cara mitigasi dan adaptasi yang menjadi bagian penting dari proses penyelamatan iklim sama sekali tak tersebar secara baik di Kapuas Hulu terutama oleh Pemda. Pemda Kapuas Hulu yang semestinya mengambil peran lebih besar untuk menjelaskan duduk perkara ujicoba REDD, dan melakukan pendidikan iklim bagi masyarakat hingga kini terus berkutat dengan rutinitasnya. Selama rentang 2008-2010 di Kapuas Hulu belum tertemukan ada pertemuan sosialisasi, atau pertemuan yang bersifat peningkatan kapasitas bagi masyarakat awam untuk membicarakan dampak perubahan iklim dan bagaimana menanggulanginya yang murni dilakukan atas inisiatif dan pendanaan oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu. Beberapa kegiatan kecil mengenai pendidikan iklim, sosialisasi hanya dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap dampak perubahan iklim dan serta pengembang REDD, yang dalam pelaksanaannya kerap melibatkan pemkab. Hal utama yang perlu diketahui publik saat ini adalah, hingga saat ini kegiatan ujicoba yang berjalan di Kapuas Hulu, hanya bersandar pada nota kesepahaman (MoU) yang ditanda-tangani pada tanggal 22 Agustus 2008 antara Pemda Kapuas Hulu (pihak pertama), Macquarie Capital Group Limited (pihak kedua) dan Fauna and Flora International (pihak ketiga), dan MoU tersebut hanya berlaku selama 18 bulan terhitung dari tanggal penanda-tanganan. Dapat dipastikan bahwa berdasarkan Pasal 5 MoU tersebut, kontrak kerjasama ini sudah habis masa berlakunya (expired), karena 18 bulan setelah tanggal 22 Agustus 2008 saat penanda-tanganan adalah Februari 2010. Namun hingga saat ini belum ada pembicaraan serius dari FFI dan Macquarie Capital Group Limited untuk melanjutkan MoU bersama Pemda Kapuas Hulu. Artinya hingga saat ini (1 Juni 2010), salah satu fondasi kerjasama pelaksanaan ujicoba REDD di Kapuas Hulu berakhir. Namun, hingga saat ini hanya MoU tersebut memberikan kerangka kerjasama terkait REDD di Kapuas Hulu yang melibatkan pemerintah derah secara langsung (bupati tanda tangan). Terkait kerjasama bilateral (IndonesiaJerman) dalam proyek Forest and Climate Change Program (ForClime), Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu hingga kini belum melakukan kerjasama secara penuh karena semua kebijakan mengenai aktifitas ujicoba ini di masih menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan RI. “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 265 Selain ketiadaan kerangka hukum dan kebijakan yang kuat terkait REDD di Kapuas Hulu, kabupaten ini pun mengalami kendala dalam soal kelembagaan. Karena hingga saat tidak ada lembaga yang secara khusus mengurusi isu perubahan iklim berikut proyek kerja samanya. Lembaga yang selama ini menjadi persinggahan pemrakarsa REDD adalah instansi konvensional bidang kehutanan yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kapuas Hulu. Dinas ini dalam segala keterbatasannya, mencoba memfasilitasi pemrakarsa REDD dalam informasi lahan atau kawasan hutan, dan jembatan koordinasi dengan instansi lain di Kabupaten Kapuas Hulu. Inisiatif untuk membentuk kelembagaan berupa Kelompok Kerja (Pokja) Perubahan Iklim memang sudah berkembang, dengan beredarnya info bahwa draft Surat Ketetapan Bupati tentang Pokja Perubahan Iklim sudah memasuki tahap final. Namun kendalanya adalah pergantian rezim daerah (Pilkada) yang dapat sewaktu-waktu ’mengganggu’ isi SK Bupati terutama berkaitan dengan mutasi personil di Pemda. Oleh sebab itu, SK akan diserahkan kepada bupati terpilih yang akan dilantik pada bulan Agustus 2010. Persoalan lain, minimnya pengetahuan aparatus Pemda terkait isu perubahan iklim dan termasuk REDD, membuat beban Dinas Kehutanan kian bertambah karena dinas dan kantor lain yang terkait secara erat dalam isu iklim (Lingkungan Hidup, Bappeda, Sekretariat Daerah) ’melimpahkan’ isu ini kepada Dinas Kehutanan. Dalam semua rangkaian ujicoba perubahan iklim baik yang berbasis pasar (Voluntary-based) yang diusung oleh FFI dan Macquarie Capital Group Limited, maupun yang menggunakan pendekatan pasar wajib (Compliance/ Mandatory-based) yang pakai oleh kerjasama bilateral Indonesia-Jerman, sejauh ini belum menyentuh masyarakat adat secara utuh. Dari hasil pantauan lapangan dan penelusuran dokumen, tidak menemukan adanya pelibatan masyarakat adat secara substantif baik dalam hal perencanaan, maupun pelaksaanaan proyek ujicoba REDD. Selain itu sosialisasi yang dilakukan berkenaan dengan pelaksanaan proyek, belum menghasilkan pemahaman yang memadai di tingkat masyarakat. Karena sosialisasi lebih banyak menekankan pada aspek benefit-sharing daripada memberikan gambaran bagaimana dampak proyek pada hak-hak masyarakat adat di sekitar lokasi. (b) Rekomendasi Berangkat dari kompleksitas persoalan yang ada di Kapuas Hulu, berkenaan dengan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim yang terjadi dan melanda komunitas masyarakat adat di Kapuas Hulu, dan telah dimulainya ujicoba REDD yang telah dilaksanakan oleh FFI dan Pemerintah Indonesia-Jerman, serta bagaimana menyoal hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan hak-hak masyarakat adat yang wilayahnya dijadikan lokasi 266 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? pilot project REDD dipenuhi secara utuh, maka penelitian ini hendak merekomendasikan hal-hal sebagai berikut : • Penting untuk memastikan proyek ujicoba REDD yang dilaksanakan di Kapuas Hulu menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas hutan. Oleh sebab itu, dalam proses mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim di Kapuas Hulu perlu melibatkan masyarakat adat secara penuh. Pelibatan masyarakat tersebut mesti ada di setiap proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proyek iklim yang ada di Kapuas Hulu; • Pemda Kapuas Hulu perlu membentuk Kelompok Kerja Perubahan Iklim dan atau dengan nama lain, yang bertugas mengurusi isu Perubahan Iklim termasuk REDD. Sehingga, semua hal yang berkaitan dengan isu tersebut menjadi terpusat dan terkonsolidasi dengan baik; • Penting untuk pemda mengeluarkan kebijakan dan atau aturan hukum yang kuat sebagai fondasi pelaksanaan REDD di Kapuas Hulu secara khusus dan secara umum memberikan dasar pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. Dengan catatan, kebijakan tersebut mesti menempatkan masyarakat adat sebagai pemangku kepentingan penting. Untuk lebih memaksimalkan hal tersebut segala pembiayaan dibebankan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga. “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan Barat 267 6.Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/REDD: Studi di tiga desa di Kalimantan Semiarto Aji Purwanto, Iwi Sartika dan Rano Rahman 6.1 Pendahuluan: Indonesia dan antisipasi perubahan iklim global Kontribusi sektor kehutanan, baik sebagai penyerap maupun penghasil emisi gas rumah kaca, pada perubahan iklim global sudah lama disadari oleh para ilmuwan. Laporan IPCC ketiga (2001) dan keempat (2007)173 secara konsisten memperlihatkan bahwa seperlima dari emisi gas rumah kaca global disumbangkan oleh sektor perubahan lahan dimana kontribusi paling besar berasal dari deforestasi. Sebelum COP 11 di Montreal, Kanada, perhatian negara pihak pada hutan masih terbatas pada aforestation dan reforestation yang diatur dalam Protokol Kyoto. Belum ada perhatian pada kontribusi hutan yang ada sekarang (existing forest) sebagai penyerap emisi gas rumah kaca. Pada COP 11 inilah muncul usulan dari Papua Nugini dan Kosta Rika agar UNFCCC mempertimbang sebuah mekanisme mitigasi emisi gas rumah kaca dari deforestasi atau RED (Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries). Dua tahun kemudian, Di COP 13, Bali, lahirlah Bali Roadmap yang selain mempertegas perlu dimasukkannya emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang ke dalam skema perundingan perubahan iklim, juga mengusulkan inisiatif skema pelaksanaannya. Skema ini bahkan diharapkan menjadi penerus dari Protokol Kyoto pasca 2012. Inisiatif tersebut muncul dalam banyak istilah, namun istilah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), yang diusulkan oleh Indonesia, mendapatkan banyak perhatian. Perundingan internasional tentang REDD ini masih berlangsung di tingkat internasional. Ia memasuki 173 Soal Laporan IPCC serta perundingan COP sampai COP 15 di Kopenhagen 2009 dapat dilihat di bab 1 serta di bab 2 buku ini. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 269 masa perundingan krusial menjelang COP 15 tahun 2009 di Kopenhagen. Meskipun demikian, belum ada kesepakatan solid bagaimana konsep, cakupan dan strategi implementasi REDD. Di sudut lain, bagi banyak pihak di Indonesia, REDD – walau dalam bentuk prototypenya – selain berpotensi memperuncing perkara tetapi bisa juga membuka pintu penyelesaian tunggakan perkara yang ada di sektor kehutanan. Pemerintah Indonesia sendiri merespon potensi besar REDD itu dengan mengikat kerja sama dengan pihak lain dalam melaksanakan pilot proyek REDD, yang dikenal dengan istilah Demonstration Activities (selanjutnya disingkat DA) dan menyiapkan perangkat kebijakan nasional yang terkait dengan pelaksanaan REDD. Potensi besar yang ada dalam REDD selayaknya diantisipasi demi untuk keuntungan masyarakat dan keberlanjutan hutan. Kebijakan, hukum serta kelembagaan yang menunjang tercapainya kedua hal tersebut perlu kiranya dikenali dan kalau perlu dibangun di tingkat nasional maupun daerah. 174 Karenanya perlu ada kajian yang komprehensif mengenai kerangka hukum dan kelembagaan apa saja yang ada dan perlu ada bagi pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat/lokal dan keberlanjutan hutan. Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kajian mengenai kesiapan dan kerentananan sosial masyarakat (sosial readiness and vulnerability) terhadap (potensi) pelaksanaan proyekproyek perubahan iklim khususnya REDD. Kajian yang terakhir ini akan menemukan berbagai kapasitas dan masalah sosial dalam masyarakat yang akan memengaruhi daya kesiapan dan kerentanan mereka untuk mengelola hutan dan melindungi hak-hak mereka terhadap berbagai proyek REDD. 6.2 Konteks penelitian Learning Centre HuMa – sekarang menjadi Yayasan Epistema – berinisiatif menyelenggarakan penelitian untuk mempelajari persoalanpersoalan hukum dan sosial dalam perumusan dan pelaksaaan kebijakan dan proyek REDD di Indonesia sebagai masukan bagi perumusan dan advokasi kebijakan pada isu tersebut. Penelitian untuk mengungkap aspek sosial budaya pada komunitas terdekat dengan sumber daya alam, dalam hal ini hutan, penting dilakukan karena tiga hal. Pertama, komunitas sekitar hutan merupakan komunitas lokal yang selama ini terekspos oleh berbagai investasi modal. Sebagai komunitas lokal, 175 sebagian dari mereka hidup dalam alam subsisten atau 174 175 Penjelasan soal ini dapat dilihat di Bab 3, 4 dan 5 buku ini. Komunitas lokal mengacu pada konsep masyarakat setempat, yang dipakai oleh Koentjaraningrat untuk merujuk pada satuan sosial yang utuh dan terikat pada sistem ekologi tertentu. (Koentjaraningrat 1990). Dalam konsep ini, keterikatan pada wilayah atau tempat tinggal lebih tinggi ketimbang ikatan kerabat atau etnik. Sekalipun demikian, susah untuk begitu saja memisahkan frase komunitas lokal dengan kelompok sosial yang telah lama menempati suatu wilayah. Pada situasi tersebut, komunitas lokal beririsan dengan konsep masyarakat adat (indigenous people). Dalam laporan ini, komunitas lokal dipakai sebagai konsep 270 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? pra-kapitalis; namun masuknya investasi modal dalam bentuk perusahaan konsesi hutan atau tambang, menyebabkan mereka langsung berhadapan dengan ekonomi kapitalis. Pertemuan dua sistem ekonomi ini selalu menarik untuk dikaji karena menunjukkan kekhasan adaptasi suatu komunitas atas tantangan yang bersifat global. Kedua, mereka menempati wilayah marginal dalam arti jauh dari pusat kekuasaan. Efektivitas pemerintahan dan alokasi pembangunan seringkali jauh dari harapan untuk memajukan komunitas tersebut. Ketiga, sebagai komunitas yang berada dalam atau sekitar wilayah hutan, mereka memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Bukan saja sebagai sumber penghidupan, hutan memiliki makna dan ikatan kultural yang kuat pada banyak komunitas lokal. Ketiga hal di atas menjadi semakin signifikan untuk dikaji mengingat isu REDD dan perubahan iklim global pada umumnya merupakan sebuah isu baru yang datang dari pemahaman saintifik atas fenomena ekologi dewasa ini. Di lapangan, pemahaman demikian merupakan pilihan penjelasan budaya untuk memahami lingkungan, di samping berbagai penjelasan budaya yang lain yang muncul dari tradisi. Para ahli antropologi (Puntenney, 2009:314) telah menunjukkan pentingnya pemahaman budaya dimana intensitas pertemuan antar budaya demikian tinggi. Dalam konteks mencoba mengantisipasi masuknya ide dan kegiatan baru, dan membahas tentang bagaimana komunitas lokal yang awalnya hidup dengan teknologi sederhana dan sistem ekonomi pra-kapital di pedalaman Kalimantan mencoba bertahan di tengah maraknya penanaman modal dan isu global, penelitian ini bertujuan untuk: a. Menghadirkan dokumentasi sistem pengelolaan sumber daya alam, terutama hutan, pada komunitas lokal di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah: bagaimana bentuknya, dinamikanya dalam kekinian dan kemungkinan eksistensinya di masa depan b. Mengkaji kondisi sosial masyarakat, kesiapan dan kerentanan pranata sosialnya terhadap kemungkinan aplikasi REDD di lokasi Proyek REDD di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah; Lokasi Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat menjadi salah satu kasus studi penelitian ini.176 Terletak di wilayah perbatasan dengan Sarawak, Malaysia, Kapuas Hulu memiliki luas 29.842 km2 dan meliputi 23 kecamatan dengan ibukota Putussibau. Di sebelah utara, wilayah ini berbatasan, sebelah timur dengan Provinsi Kalimantan Timur, sebelah barat dan selatan dengan Kabupaten Sintang. Penelitian ini difokuskan di Desa Jelemuk di pinggir 176 untuk menggambarkan satuan sosial di desa-desa sekitar dengan menyadari fakta bahwa ada di antara mereka yang merupakan bagian dari masyarakat adat dan ada yang pendatang. Penjelasan soal bagaimana Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu menanggapi isu perubahan iklim dapat dilihat pada bab 5 buku ini. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 271 Sungai Manday yang berada di dataran rendah. Secara administratif, desa ini terdiri atas dua dusun yakni Dusun Jelemuk dan Dusun Sinar Manday, yang dibagi lagi ke dalam dua RW dan empat RT. Penelitian untuk kasus kedua dilakukan di Kabupaten Kapuas, salah satu kabupaten yang terluas wilayahnya di Kalimantan Tengah yang berdiri sejak 1959. 177 Beribu kota di Kuala Kapuas, Kabupaten Kapuas mempunyai luas wilayah 14.999 km2 tersebar ke dalam 14 kecamatan. Adapun kawasan yang menjadi lokasi riset adalah Kecamatan Mantangai dan Timpah. Di Kecamatan Mantangai, penelitian dilakukan di Desa Kalumpang, sedangkan di Kecamatan Timpah penelitian dilakukan di Desa Petak Puti. Metode Pengumpulan data dilakukan dengan metoda pemahaman masalah secara cepat (rapid appraisal) dengan memanfaatkan tenaga peneliti yang telah memahami dinamika penduduk dan masalah di sekitar lokasi penelitian. Kualifikasi peneliti dengan demikian menjadi satu hal yang penting dalam menjamin data yang valid; tim beruntung mendapatkan dua orang aktivis LSM yang bergerak di bidang lingkungan. Penelitian di Desa Petak Puti dan Kalumpang dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan dengan melakukan assessment yang dilakukan pada awal Januari 2010 disusul dengan kunjungan ke lokasi Desa Petak Puti oleh penulis pada 1621 Maret 2010. Tahap kedua, merupakan tahap pendalaman yang dilakukan pada awal April selama 6 hari dari tanggal 5 – 10 April 2010. Penelitian di Desa Jelemuk dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama dilakukan selama 5 hari, dari tanggal 14-18 Maret 2010, dimana peneliti tinggal dan mengamati berbagai persoalan di desa; tahap kedua dilakukan selama 5 hari, dari tanggal 4-8 Mei 2010, dengan melakukan aktifitas yang sama termasuk melakukan klarifikasi dan melengkapi kekurangan data dan informasi. Data diperoleh dengan melakukan sejumlah wawancara pada informan kunci, mendiskusikan berbagai isu terkait dengan warga masyarakat, mengamati kondisi fisik dan interaksi sosial di tingkat komunitas dan membaca secara kritis aneka pustaka baik buku, artikel dan laporan tentang wilayah tersebut maupun data statistik. Untuk mendapatkan masukan, seusai fase pencarian data lapangan, dilakukan lokakarya pada tanggal 15 Juni 2010 yang bertempat di Hotel Santika, Jakarta, dengan narasumber dari lembaga penelitian kehutanan internasional. 177 Sementara untuk tanggapan Pemerintah Kabupaten Kapuas soal isu perubahan iklim ini dapat dilihat pada bab 4 buku ini. 272 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? 6.2 Galau di Jelemuk: Studi kasus di Kalimantan Barat (a) Wilayah dan Penduduk Desa Jelemuk Desa Jelemuk178 dapat dijangkau melalui sungai dengan dua alternatif jalur, pertama melalui Nanga Kalis dengan mencarter speedboat seharga Rp 500.000 (pulang-pergi); kedua dari Putussibau melalui Kecamatan Bika (standar angkutan umum Putussibau–Bika Rp. 40.000), dengan memperpanjang trayek sampai ke Desa Jelemuk (dengan tambahan biaya Rp. 20.000) memakan waktu sekitar dua jam. Desa Jelemuk berbatasan dengan Kecamatan Bunut Hilir di sebelah Barat, Kecamatan Kedamin di sebelah timur, dan Desa Penyeluang (Kecamatan Bika) di sebelah Utara. Tepatnya, Desa Jelemuk berada di sebelah Selatan Kota Putussibau, Ibukota Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Hampir seluruh penduduk Desa Jelemuk adalah komunitas Dayak Kantuk (selanjutnya dalam tulisan ini disebut orang Kantuk, sesuai dengan bagaimana komunitas ini menyebut dirinya). Suku Kantuk dikelompokkan ke dalam “Ibanic” atau kerabat Iban, yang merupakan kelompok Dayak terbesar di Kalimantan Barat dan Sarawak, bersama dengan suku lain seperti Seberuang, Mualang dan Desa (Sellato, 1994:11). Asimilasi karena perkawinan memungkinkan untuk menjumpai suku lain seperti Flores, Batak, Dayak Kalis, Jawa dan Tionghoa, yang jumlahnya masih sangat kecil. Berdasarkan sensus penduduk 2010, Desa Jelemuk terdiri dari 558 jiwa yang terbagi ke dalam 140 kepala keluarga (KK). Mereka bermukim dan membangun rumah tidak jauh dari pinggiran Sungai Manday dengan alasan gampang mengakses air untuk mandi-cuci-kakus (MCK). Oleh karena itu, meski memiliki rumah tinggal, hampir semua keluarga besar di desa ini juga memiliki rumah terapung (lanting) yang hanya digunakan untuk keperluan MCK. Orang Kantuk di desa ini masih memegang teguh hukum adat yang ditopang oleh struktur pemerintahan adat yang masih kuat meski sudah terjadi percampuran dengan struktur pemerintahan desa. Ini dibuktikan dengan masih berfungsinya perangkat adat sejalan dengan fungsi perangkat desa dalam kerangka kontrol sosial, meskipun sebetulnya struktur ini termasuk struktur baru, karena sebelumnya, ketika orang Kantuk masih berada di rumah panjang, mereka hanya mengenal tuai rumah bukan Kepala Kampung, (orang yang berperan menentukan ritual-ritual dan waktu untuk mengelola sumber daya alam seperti berladang). Bahkan, percampuran struktur pemerintahan adat dan desa dirasakan lebih efektif karena mengutamakan musyawarah dan kekeluargaan sebagai mekanisme pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik di tingkat lokal. Selain itu, 178 Nama Jelemuk berasal dari nama pohon yaitu pohon Jelemuk, buahnya bisa dimakan dan bentuknya seperti buah mangga. Menurut masyarakat setempat, yang disampaikan pada saat diskusi terfokus, pohon ini sudah punah. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 273 jenjang atau tingkatannya pun dirasakan tidak terlalu panjang. Di bawah ini adalah gambaran kedua struktur yang dimaksud: Bagan 6.1. Percampuran struktur pemerintahan adat dan desa di Jelemuk Struktur I: Versi Lama (Pra 1970-an - 1989) Temenggung Struktur II: Versi Baru (1989 - Sekarang) Setingkat dan/ atau masuk dalam pengurus desa Ka. Kemplit Ka. Adat Ka. kampung Kebayan/Manteri Temenggung Ka. Kemplit Setingkat dan/ atau masuk dalam pengurus dusun Ka. Adat Pengurus RT/RW Garis Penyelesaian perkara Garis Tingkatan Kewenangan dan Tanggung Jawab Struktur I (struktur lama) merupakan struktur pemerintahan adat orang Kantuk. Temenggung memiliki kedudukan tertinggi,179 diikuti oleh Kepala Kemplit dan Ketua Adat, kemudian Kepala Kampung dan diikuti Kebayan. Namun, demikian, jika melihat dari sejarah, Kepala Kampung memiliki peran yang sangat besar, diantaranya mengambil inisiatif dan sekaligus memimpin perpindahan orang Kantuk dari Ulak Jelemuk ke Desa Jelemuk sekarang. Kepala Kampung juga dipilih dengan cara musyawarah, baru kemudian dilakukan voting dengan menggunakan biji jagung. Jabatan ini juga tidak dibatasi periodenya karena berdasarkan kepercayaan masyarakat. Jabatan Kepala Kampung kemudian hilang setelah terjadi perubahan sistem pemerintahan kampung menjadi desa (1989). Sebelum 1970-an sampai 1989, orang Kantuk memiliki 2 orang Kepala Kampung, yakni Pak Rema dan Pak Budau. Perubahan kampung menjadi desa disertai dengan berubahnya struktur pemerintahan adat orang Kantuk dimana selain jabatan Kepala Kampung, jabatan Kebayan pun menjadi hilang. 179 Temenggung adalah jabatan tertinggi yang kekuasaannya mencakup beberapa kampung atau dusun dan/ atau desa yang disebut Ketemenggungan. Ia memiliki wewenang yang lebih luas baik dalam menyelesaikan perkara maupun dalam mengatur adat istiadat yang berlaku di suatu wilayah tertentu. Kepala Kemplit adalah orang yang membantu Temenggung dan berkuasa pada beberapa kampung saja. Kepala Adat adalah orang yang bertanggung jawab penuh untuk mengurusi adat istiadat. Kepala Kampung adalah orang yang berkuasa dan bertanggung jawab dalam satu kampung saja. 274 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Struktur II (struktur baru) menunjukan eksistensi Temenggung sampai ke Ketua Adat masih diakui. Peran dan tanggung jawab Temenggung sampai ke Ketua Adat tidak jauh berbeda dengan struktur lama, Kepala Komplek/Pateh merupakan bagian dari pengurus desa, sedangkan Ketua Adat merupakan bagian dari pengurus dusun. Tidak terlalu jelas bagaimana dan dimana kewenangan dan tanggung jawab Kepala Kampung (yang dulu) berada: apakah kewenangan dan fungsinya sama, atau berada pada pengurus RT/RW, atau memang peran dan kewenangan itu telah hilang. Ini mengingat pentingnya andil konsep desa dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1979 yang di banyak tempat telah mengaburkan institusi lokal seperti kampung (Safitri, 2000:16). Namun yang jelas, struktur ini menunjukkan bahwa selain menangani urusan administrasi desa, RT/RW juga dibebani dengan urusan penyelesaian perkara. Terjadinya perubahan struktur pemerintahan adat (versi lama dan baru) di desa Jelemuk pada tahun 1989 ini juga erat kaitannya dengan dikeluarkannya dan dilaksanakannya Undang-undang Pemerintahan Desa, dan pada tahun inilah pertama kalinya Jelemuk menjadi nama desa (awalnya dengan nama kampung).180 Sudah rahasia umum dan menjadi kajian banyak penelitian bahwa produk hukum ini telah melemahkan kelembagaan lokal/adat di banyak masyarakat/komunitas karena menyamakan struktur pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Penyamaan struktur ini dimaksudkan untuk memberikan kontrol yang semakin besar terhadap seluruh aspek kehidupam masyarakat lokal/adat di pedesaan. Kedua struktur di atas menunjukan percampuran antara struktur pemerintahan adat dan pemerintahan desa (versi lama dan baru). Ini memberikan gambaran adanya proses pengaburan institusi lokal seperti yang dimaksudkan sebelumnya. Dengan mengacu kepada Undangundang Pemerintahan Desa inilah, termasuk Undang-undang Otonomi Daerah, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu melakukan kontekstualisasi dalam bentuk Perda No. 11/2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga adat.181 Sangat jelas, adanya intervensi pemerintah terhadap struktur pemerintahan adat dengan melakukan formalisasi struktur pemerintahan adat. Namun demikian, diskusi dengan beberapa narasumber tidak menggiring ke arah tesis tersebut. Para narasumber hanya berkali-kali mengungkapkan dengan sederhana bahwa inilah buah dari otonomi daerah dan pengaruhnya terhadap sistem politik lokal. Hal yang menarik bahwa orang Kantuk merasa bahwa struktur yang mereka jalankan sekarang cukup efektif dan diakui sebagai bentuk 180 181 Pada tahun 1989 Jelemuk menjadi desa yang terbagi ke dalam 4 dusun (kala itu Dusun Jongkong, Dusun Melapi, Dusun Jangka, dan Dusun Cempaka). Pada tahun 2007, Jelemuk menjadi desa sendiri. Kebijakan inilah yang dijadikan cantolan hukum dikeluarkannya SK Bupati No. 62 Tahun 2001 tentang Penetapan Nama-nama Kepala Adat Definitif se-Kabupaten Kapuas Hulu yang berhak menerima tunjangan penghasilan. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 275 desentralisasi desa. Dari struktur di atas, tidak terlihat bagaimana Kepala Desa memiliki sentralisasi kekuasaan dengan adanya legitimasi yang diberikan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1979, dimana porsi pengaturan lembaga Kepala Desa sangat besar (Safitri, 2000:22-23). Perlu dicatat bahwa meskipun orang Kantuk mengakui struktur versi lama merupakan struktur pemerintahan adat, namun sesungguhnya jabatanjabatan seperti Temenggung, Kepala Kemplit maupun Kebayan belum ada ketika mereka masih hidup dengan pranata rumah panjang (sebelum perpindahan ke Ulak Jelemuk). Dalam rumah panjang, struktur pemerintahan adat lebih sederhana, dimana hanya ada Tuai Rumah dan Kepala Kampung (sebelum Undang-undang Pemerintahan Desa). Tuai Rumah dan Kepala Adat memiliki peran besar dalam menentukan kapan musimnya boleh berladang atau membuka hutan, menentukan wilayah-wilayah yang boleh dikelola serta mengatur dinamika serta mengorganisir kehidupan rumah panjang, termasuk penyelesaian perkara. Yang membedakan keduanya hanya cakupan wilayah tugas dimana Kepala Kampung lebih luas dibandingkan Tuai Rumah. Karena struktur yang begitu sederhana, Pekat atau musyawarah menjadi hal yang sangat penting dalam melakukan pengambilan keputusan. (b) Sejarah singkat migrasi orang Kantuk di Desa Jelemuk Berdasarkan sejarah migrasinya, orang Kantuk yang berdiam di Desa Jelemuk adalah perpindahan dari Empanang (Sekarang Kecamatan Empanang dengan Nanga Kantuk sebagai Ibukota Kecamatannya, terletak di sebelah barat Desa Jelemuk) ke Ulak 182 Jelemuk (di hilir Sungai Manday) dikarenakan kalah ‘berperang’ dengan suku Iban. Tidak diketahui persis tahun perpindahan tersebut, namun pada tahun 1970, mereka kembali pindah dari Ulak Jelemuk ke hulu Kampung Ulak Jelemuk. Ada beberapa versi tentang alasan migrasi orang Kantuk dari Ulak Jelemuk, pertama karena alasan penyakit kolera dan yang kedua alasan tanah yang semakin sempit karena longsor, sementara jumlah penduduk semakin bertambah. Namun yang pasti, migrasi ini dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama dengan memilih wilayah hulu Kampung Ulak Jelemuk karena orang Kantuk masih memegang petuah pendahulu mereka, “ … jika pindah harus mudik air.” Pada masa ini, peran Kepala Kampung masih begitu besar, salah satunya memutuskan untuk migrasi, mengorganisir dan memimpin warganya. Para narasumber mengungkapkan dengan jelas bahwa mulanya Kepala Kampunglah (Pak Budau) salah seorang dari 6 KK yang pertama kali membuka hutan di wilayah Desa Jelemuk sekarang. Tahun-tahun berikutnya, warga dari Kampung terdekat lain seperti Samak dan Nyamuk juga melakukan migrasi ke wilayah yang sama, namun kedua kampung ini juga merupakan komunitas Dayak Kantuk. 182 Ulak adalah bahasa lokal yang artinya perputaran air 276 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Sejarah migrasi orang Kantuk juga ditandai dengan perubahan rumah tinggal, semula mendiami rumah panjang kemudian membentuk rumah tunggal sendiri-sendiri. Terlepas dari alasan perpindahan di paragrap sebelumnya, perubahan rumah tinggal merupakan implikasi dari program resettlement penduduk desa terpencil yang diusung oleh Dinas Sosial pada tahun 1970-an, dimana masyarakat diminta untuk tidak lagi membuat dan tinggal di rumah panjang dengan alasan rawan kebakaran dan tidak memenuhi standar kesehatan. Perubahan ini juga diikuti dengan hilangnya pranata rumah panjang (termasuk struktur adat Tuai Rumah dan Kepala Kampung) sampai dijalankannya struktur adat versi lama tahun 19701989. Melihat sejarah perpindahannya, dapat dikatakan bahwa Desa Jelemuk berusia masih sangat muda, 39 tahun per 2010. Sampai saat ini, orang Kantuk merupakan salah satu populasi yang cukup besar tidak saja di desa ini, tetapi secara umum, orang Kantuk, dengan bahasa Kantuk sebagai bahasa pengantar, juga adalah salah satu suku besar di Kabupaten Kapuas Hulu. Selain di Desa Jelemuk, orang Kantuk juga tersebar di beberapa desa lain di pinggir Sungai Manday seperti Desa Tekalong, Desa Pala Pintas, Desa Keling Semulung, Desa Nanga Tuan, dan Desa Bunut Hulu. (c) Sistem kontrol sosial dan mekanisme penyelesaian konflik lokal Sistem peradilan adat masih dijalankan dan dipercaya oleh orang Kantuk bisa memberikan akses terhadap keadilan. Namun, karena sudah terjadi percampuran dengan struktur desa, kasus-kasus diselesaikan melalui mekanisme musyawarah di tingkat RT dan RW terlebih dahulu baru kemudian naik ke struktur adat di atasnya (Kepala Kampung), dan jika tidak terselesaikan akan naik ke atasnya lagi (Kepala komplek), demikian selanjutnya terus mengikuti tingkatan adat sampai tingkatan tertinggi untuk kasus-kasus yang ‘rumit’. Bagaimana menentukan bentuk pelanggaran dan sanksi atas pelanggaran yang terjadi, orang Kantuk menjadikan Buku Ketentuan Hukum Adat dan Budaya Suku Dayak Kantuk sebagai pegangan dalam pertimbangan dan keputusan suatu kasus/perkara. Buku ini pertama kalinya dibuat pada tahun 2002 ketika terjadi konflik tapal batas antara Desa Jelemuk dan Nanga Tuan. Buku ini dirasakan perlu digagas (penulisannya) berdasarkan musyawarah desa untuk bisa menjadi pegangan dalam penyelesaian konflik. Untuk perkara ringan, orang Kantuk akan mengutamakan dan mengusahakan musyawarah dan penyelesaian kekeluargaan. Sedangkan untuk perkara yang ‘rumit’, dimana kedua belah pihak bersikukuh tidak bersalah, mekanisme penyelesaian paling akhir adalah dengan sumpah atau sabung ayam. Sumpah biasanya tidak disarankan oleh pengurus adat karena dianggap terlalu berat dan tidak berprikemanusiaan dimana yang Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 277 terbukti bersalah diyakini akan mati karena proses dalam sumpah melibatkan hal-hal yang mistis (misal memanggil roh-roh dan seluruh binatang buas) dan masih diyakini kebenarannya. Dalam 10 tahun terakhir, sistem sabung ayam merupakan mekanisme yang sering dijalankan oleh orang Kantuk karena dianggap penyelesaian ‘paling akhir’ yang lebih berperikemanusiaan dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan sumpah dalam penyelesaian perkara yang rumit (kondisi dimana kedua belah pihak yang bersengketa/ bertikai saling ngotot merasa benar). Sabung ayam biasanya melibatkan seluruh warga dalam gelar perkara dan tentunya beserta pengurus adat. Di samping mengatur penyelesaian perkara, buku hukum adat orang Kantuk juga memuat pengaturan-pengaturan terkait pengelolaan Sumber Daya Alam di wilayah mereka. Menyadari dinamika di masyarakat, orang Kantuk di Desa Jelemuk ini juga terus menerus melakukan peninjauan ulang atas Buku Ketentuan Hukum Adat dan Budaya mereka. Dan, sampai saat ini sudah dilakukan 4 kali revisi atas substansi yang dilakukan pada Mei 2006. Selain Buku Ketentuan Hukum Adat dan Budaya, orang Kantuk juga memberikan porsi khusus pengaturan wilayah danau dan sungai dalam Peraturan Pengelolaan Sungai, Danau dan Perairan Umum di Wilayah Desa Jelemuk. Peraturan ini dihasilkan melalui Musyawarah Desa yang dilakukan pada tahun 2009. Peraturan ini dirasakan perlu mengingat wilayah mereka memiliki banyak danau dan sungai kecil, yang tidak diatur dalam buku hukum adat mereka. Meskipun diungkapkan dengan jelas bahwa hukum adat masih menjadi alat kontrol sosial yang efektif untuk menciptakan keteraturan sosial namun fakta bahwa ada kekhawatiran masyarakat terkait penegakan hukum adat bisa dirasakan ketika berdiskusi dengan perangkat desa dan perangkat adat. Ini utamanya ketika mereka harus berhadapan dengan pihak yang menjadikan hukum negara sebagai alas klaim penguasaan atas suatu wilayah, misalnya perusahaan. Di samping itu, kekhawatiran bahwa hukum adat tidak dipercayai dan dihormati juga terdengar, terutama jika menyangkut pelanggaran yang melibatkan aktor dari fungsionaris adat itu sendiri. Menurut mereka lagi, hal-hal seperti ini bisa berdampak pada tidak diakuinya lagi kekuatan hukum adat jika harus berhadapan dengan kekuasaan yang lebih besar dan akibatnya adalah ketidakpercayaan orang Kantuk dalam menegakan hukum adat mereka sendiri. Dengan alasan ini pula, mekanisme penyelesaian konflik dengan menggunakan hukum negara juga mau tidak mau mereka tempuh meskipun mereka sadar mereka harus menembus birokrasi yang sangat tidak berpihak kepada mereka. (d) Tradisi dan adat istiadat orang Kantuk di Desa Jelemuk Orang Kantuk di Desa Jelemuk masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat yang mereka sebut dengan istilah adat lama’ meski seluruh 278 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? penduduk sudah memeluk agama Katolik dan Kristen Protestan (agama mayoritas). Sehingga, ritual-ritual pegelak, pedera’ masih dijalankan, terutama oleh orang-orang tua yang masih kuat memegang adat lama’. Bahkan, gereja Katolik memungkinkan melakukan inkulturasi (penggabungan) praktik tradisi lama dan tradisi gereja dalam beberapa kondisi. Sedangkan gereja Protestan, jelas melarang praktik-praktik seperti ini dilakukan oleh jemaatnya karena dianggap men-Tuhankan benda. Secara umum, masyarakat Desa Jelemuk menggambarkan bahwa sejauh ini tidak pernah sedikitpun ada konflik yang berbau etnis dan agama, mereka masih bisa mempertahankan hidup toleransi tanpa adanya diskriminasi terhadap komunitas non-Kantuk dan non-Kristen meski jumlahnya sangat sedikit. Orang Kantuk juga relatif terbuka untuk menerima komunitas dari etnis dan agama lain sepanjang eksistensi tradisi dan adat istiadat mereka dihormati. Tidak banyak orang Kantuk di Desa Jelemuk yang bekerja di pemerintahan, kalaupun ada, paling sebatas guru honorer di Sekolah Dasar. Untuk satu Sekolah Dasar yang ada di Desa Jelemuk, hanya ada 4 orang Guru yang bertanggung jawab untuk 90-an orang murid. Dari empat orang Guru, 3 orang adalah Pegawai Negeri Sipil (2 orang adalah orang lokal dan 1 orang dari NTT, yakni kepala sekolah dan hanya satu orang guru bantu perempuan yang juga orang lokal di Desa Jelemuk). Sebagian besar anak-anak tamatan SD terpaksa dikirim oleh orang tua mereka ke Kecamatan Bika untuk melanjutkan ke SLTP dan SLTA karena Desa Jelemuk hanya memiliki satu saja Sekolah (SD). Kondisi ini juga memaksa para orang tua untuk mulai membiasakan anak-anak mereka hidup mandiri dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengepel lantai, memasak, mencuci pakaian sendiri, demikian diungkapkan oleh seorang ibu yang anaknya sudah kelas enam SD saat penelitian ini sedang dilakukan. “… apalagi anak-anak yang masuk kelas enam harus mulai dibiasakan hidup mandiri, biar nanti kalau mereka tamat dan mau melanjutkan sekolah ke Bika atau Putussibau, kalau tidak masuk asrama paling dititip di rumah keluarga atau kerabat yang ada di sana. Jadi, memang harus diajari bekerja”183 Ini juga dialami oleh beberapa anak muda yang terpaksa bermigrasi ke kota seperti Pontianak untuk melanjutkan kuliah, ke Putussibau untuk menjadi pekerja lepas dan paling jauh ke Malaysia tetapi hanya sebentar. Aktifitas kaum muda di desa ini bisa terlihat sore hari ketika mereka sedang bermain bola voli. Secara umum, orang Kantuk di Desa Jelemuk ini bekerja sebagai nelayan (mencari ikan), pengusaha keramba ikan, peladang gilir balik dan pemburu. Sebagian penduduk juga bekerja di luar desa yakni di Danau Sentarum, Danau Beliung dan Kobul. Namun, sebagian besar memang bekerja sebagai petani. 183 Diungkapkan oleh Ibu Ida kepada penulis di Jelemuk pada tanggal 5 Mei 2010. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 279 (e) Perekonomian Desa Hutan (i) Orang Kantuk dan Hutan Orang Kantuk di Desa Jelemuk hampir seluruhnya hidup dari berladang gilir-balik (beumai), dan menoreh karet sebagai mata pencaharian utama. Di samping itu, mereka menanam tanaman buah dan sayur-mayur, berternak unggas (ayam dan bebek) dan hewan (babi dan sapi) serta mencari ikan di sungai dengan Pukat, Jala, dan Bubu serta berburu ke hutan. Beberapa orang membuka warung sembako (terdapat tujuh warung sembako di Desa Jelemuk). Pada musim tertentu, mereka juga mengumpulkan buah ncerinak dan majau (tengkawang). Pekerjaan ini sebagian besar dilakukan oleh ibu-ibu karena memang di beberapa keluarga melakukan pembagian kerja, kaum laki-laki pergi ke hutan untuk mengumpulkan buah hingga sore, sedangkan kaum perempuan membersihkan dan merebus buah sembari melakukan kegiatan-kegiatan domestik lainnya seperti memasak, mengasuh anak dan mencuci. Namun demikian, umumnya tidak ada pemisahan peran yang jelas antara laki-laki dan perempuan kaitannya dengan aktifitas ekonomi mereka, sangat tergantung kepada kesepakatan dalam setiap keluarga. Terkadang, bahkan anak-anak juga dilibatkan membantu pekerjaan membersihkan buah tengkawang di sela-sela waktu pulang sekolah atau libur dengan upah 1 bungkus indomie untuk 1 karung buah. Bagi orang Kantuk, berladang masih menjadi kegiatan ekonomi penting yang dilakukan turun temurun. Tahun 2009, penilaian yang dilakukan oleh lembaga KaBan (Kami Anak Bangsa)184 menunjukan bahwa ada sekitar 576.000/meter wilayah hutan yang sudah diladangi oleh orang Kantuk. Konsep berladang ini sendiri jauh melampui sekedar menjalankan tradisi dari nenek-moyang mereka. Diungkapkan, “ … kalau tidak beladang, bagaimana kami bisa hidup. Berladang saja hidup masih susah, apalagi tidak berladang. Ini cukup untuk menggambarkan tingkat ketergantugan mereka terhadap produksi padi (beras) sebagai salah satu bahan pokok yang memasok kebutuhan mereka terhadap karbohidrat dengan menanam berbagai jenis padi di ladang dan tanaman-tanaman sumber karbohidrat lainnya (bisa menjadi pengganti nasi) seperti singkong, ketela, talas, jawak (sejenis gandum) dan lingkau (tanaman biji). Di samping itu, berladang juga memungkinkan mereka menyediakan sumber protein nabati dan vitamin dengan menanam kacang-kacangan dan sayur-mayur seperti mentimun, katup, periak, 184 Perkumpulan KaBan adalah sebuah organisasi lembaga swadaya masyarakat yang berkedudukan di Pontianak, yang dalam program REDD dari FFI mengerjakan survei awal mengenai kondisi masyarakat di desa-desa wilayah DA. Nama KaBan diambil dari singkatan Kami Anak Bangsa namun jika dilafalkan sebagai kaban dalam bahasa setempat berarti ‘kawan’. Lembaga ini sendiri fokus melakukan pengorganisasian rakyat dan good governance, budidaya madu dan karet. 280 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? kucai (daun bawang) dan terong. Kesemuanya ini diproduksi dalam jumlah yang terbatas untuk keperluan sehari-hari mereka (subsisten), dan selebihnya jika ada dimungkinkan untuk dijual kepada orang luar atau desa lain yang datang. Cara lain adalah dengan melakukan barter produk ladang dengan bahan sembako, misal barter antara terong dan gula. Dengan 3 kilogram terong (1 kilogram=Rp. 5.000,00) bisa memperoleh 1 kilogram gula (1 kilogram=Rp. 13.000). Menoreh karet merupakan kegiatan ekonomi yang cukup bertahan lama bagi orang Kantuk Desa Jelemuk, karena sebagian besar warga desa memiliki kebun yang ditanami paling sedikit sekitar 50 – 100 batang pohon karet setiap keluarga. Menoreh karet bisa dilakukan sepanjang tahun sepanjang curah hujannya kecil. Biasanya, orang Kantuk menoreh setelah selesai masa nugal sembari menunggu musim panen tiba. Saat menunggu musim panen tiba, biasanya pagi hari mereka menoreh karet dan setelah selesai dilanjutkan dengan mantun (membersihkan ladang dari gulma). Ini semua dilakukan berdasarkan kalender musim orang Kantuk, yang tentu saja sangat tergantung kepada kondisi iklim/cuaca tertentu, misalnya musim membakar ladang hanya bisa dilakukan pada saat iklim/cuaca panas. Bagan 6.2. Kalender musim orang Kantuk Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 281 Kalender musim orang Kantuk tidak jauh berbeda dengan komunitas Dayak lain di Kapuas Hulu dan alat-alat produksinya pun tidak jauh berbeda bahkan sama, misal untuk berladang, diperlukan kampak/ parang untuk menebas dan menebang, ketam untuk mengetam padi, tongkat kayu untuk menugal; sedangkan untuk noreh karet diperlukan piso’ untuk menyadap kulit karet. Musim menebang dan menebas dilakukan pada bulan Juni-Juli, membakar pada bulan Agustus dan menanam dilakukan pada bulan September, kemudian masa menunggu panen dengan membersihkan ladang dari gulma pada bulan Oktober – November. Persiapan panen (menyiapkan alat-alat dan perlengkapan panen seperti alat ketam padi, bakul penampung padi dan keranjang pengangkut padi, tikar jemuran, karung, dan lain sebagainya) dilakukan pada bulan Desember. Musim panen biasanya berlangsung pada bulan Januari – Februari, yang diawali dengan panen padi ketan terlebih dahulu yang diolah menjadi pam atau emping (olahan padi ketan muda sejenis oats/cereals). Setelah itu, baru dilanjutkan dengan panen padi biasa, lalu panen padi muda (panen susulan untuk padi yang matang belakangan) pada bulan Maret. Bulan April – pertengahan Mei adalah masanya untuk beristirahat, biasanya aktifitas ke ladang hanya untuk mencari sayur-mayur yang menjadi tumpang sari tanaman padi. Pertengahan Mei biasanya dilakukan gawai (pesta). Demikian seterusnya aktifitas ekonomi berladang yang dilakukan oleh orang Kantuk dengan mengikuti kalender musim. Selain aktifitas berladang, menoreh karet juga menjadi bagian penting dalam kelender musim orang kantuk, bahkan ini berlangsung sepanjang musim atau bulan, terkecuali jika hari hujan. Meskipun dalam dua tahun terakhir harga karet diketahui pernah sangat anjlok, warga Desa Jelemuk tetap menoreh karet.185 Pilihan ini dilakukan di samping karena tidak memiliki alternatif pencaharian lain yang tetap, budaya pertanian multikultur yang dilakukan lebih kepada sekedar memanfaatkan lahan pekarangan rumah daripada kosong, dan syukur-syukur jika bisa menambah persediaan kebutuhan sehari-hari, dan suatu saat dapat memiliki nilai komoditi. Hampir semua keluarga memiliki tanaman buah (nangka, pinang, pisang, jambu, mangga, rambutan dan kelapa), sayur mayur (terong, cabai, dan singkong), dan tanaman obat dan/atau bumbu (kunyit, serei, sirih dan mengkudu, bahkan beberapa macam tanaman hortikultura (cacao, kopi dan tebu). Sebetulnya, ini menunjukan bahwa pekarangan rumah oleh orang Kantuk tidak sekedar menyediakan kebutuhan sehari-hari, tetapi merupakan bentuk tata produksi dalam skala kecil untuk keperluan subsisten mereka. Praktik-praktik inipun sesungguhnya menunjukan relasi orang 185 Pada saat berlangsungnya penelitian ini, yakni bulan April 2010, harga karet mulai naik mencapai Rp. 7.500 – 10.000 per kilogram. 282 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Kantuk dengan sumber daya alamnya. Berbagai jenis tanaman tersebut sebagian besar juga mereka tanami di kebun, ladang, dan pemuda’ (lahan bekas ladang). Dengan menanamnya di sekitar rumah, mereka tidak perlu jauh-jauh ke hutan atau ke kebun, jika hanya untuk kebutuhan sehari-hari yang mendesak. Di samping itu, ini juga salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap pasar. Tengkawang menjadi salah satu alternatif ekonomi orang Kantuk, namun sangat tergantung musim (berbuah hanya 4-5 tahun) dan harganya menurun drastis mencapai Rp. 2000,00/kilogram dari Rp. 7.500,00 pada awal musim (bulan Maret 2010) ketika penelitian ini dilakukan. Mereka bisa memperoleh harga yang lumayan tinggi jika menjual ke Malaysia. Mereka menduga ada pihak-pihak tertentu (yang perlu ditelusuri lebih jauh) yang melakukan praktik monopoli terhadap tengkawang, sehingga harga sangat anjlok. Namun demikian, hampir seluruh warga desa tetap menghabiskan musim tengkawang dengan mengambil buahnya seta membersihkannya, merebus, menjemur dan kemudian menjual pada pengepul/pengumpul di Kecamatan Bika, “daripada tidak ada sumber pendapatan sama sekali, apalagi di musim banjir seperti ini”. Demikian kata salah seorang ibu pemetik tengkawang. Berbagai komoditi di atas menjadi sumber pemenuhan kebutuhan akan pangan, sandang dan papan orang Kantuk. Kebutuhan ini mengharuskan mereka untuk mengatur pola konsumsi dan distribusi atas berbagai komoditi yang dimaksud. Pengaturan pola konsumsi ini bisa dilihat dari bagaimana mereka mengatur pasokan sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral yang ketersediaannya mudah dijangkau dengan adanya pemanfaatan tanah pekarangan, konsep tembawai dan pemuda’. Meskipun dikatakan sebelumnya bahwa pola produksi seperti ini memungkinkan orang Kantuk untuk mengurangi ketergantungannya terhadap pasar, namun pola konsumsi mereka tetap dipengaruhi oleh pasar, terutama untuk kebutuhan akan beberapa bahan pokok seperti gula, minyak goreng, kopi, penyedap masakan (micin), garam, dan lain sebagainya. Untuk distribusi, selain untuk keluarga (inti), orang Kantuk mengandalkan pasar kelontong yang ada di Kecamatan Bika, karena satu-satunya situs ekonomi besar di sini adalah pasar di Putussibau, yang letaknya cukup jauh dan memakan biaya transportasi yang cukup besar untuk mencapainya.186 Akibatnya, distribusi komoditi mengandalkan pengepul (penampung) karet dan tengkawang, dan terkadang pembeli yang datang langsung ke desa untuk menjual sayur-mayur dan ikan. 186 Dari desanya, untuk ke Putussibau, warga Jelemuk harus ke Nanga Kalis yang memakan waktu lebih lama karena arahnya yang melawan arus (mudik) dan biaya transportasi yang lebih besar dibandingkan ke pasar di Kecamatan Bika. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 283 (f) Orang Kantuk dan program-program pembangunan Intervensi pemerintah begitu kuat mempengaruhi kehidupan orang Kantuk di Desa Jelemuk. Secara historis, seperti yang telah disampaikan di muka, mereka juga tidak luput dari program “pemukiman kembali” yang telah menghilangkan pranata rumah panjang dari kehidupan mereka.187 Sampai saat inipun, orang Kantuk di Desa Jelemuk tidak terlepas dari program “pembangunan” dalam bentuk eksploitasi sumber daya alam (hutan) oleh HPH yang belum terbukti memberikan keuntungan bagi mereka. Seyogyanya, “pembangunan” adalah untuk kepentingan menegakkan ketertiban dan pengawasan, namun kenyataannya sumber daya (alam) masyarakat lebih kepada untuk kepentingan nasional (Sellato, 2002:55; Li, 2002: XV). Orang Kantuk sendiri melihat kebijakan “pembangunan” pemerintah itu baik adanya karena untuk kemakmuran rakyat, sehingga mereka haruslah mematuhinya. Di lain pihak, ada pula kesadaran bahwa intervensi pemerintah selama ini tidak cukup meyakinkan mereka bahwa itu betulbetul untuk kepentingan mereka. Ini utama dirasakan dari semakin sulitnya mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka karena harga yang tinggi tidak sebanding dengan pendapatan (cash) mereka dari berbagai aktifitas ekonomi yang mereka jalankan selama ini. Bandingkan saja, harga 1 kilogram karet (Rp. 9.000-10.000) dengan harga 1 kilogram minyak goreng (Rp. 15.000).188 Kaitannya dengan program-program pemerintah, dalam sepuluh tahun terakhir ini, setidaknya ada beberapa program seperti PPIP (Proyek Pemberdayaan Infrastruktur pedesaan), BLT (Bantuan Langsung Tunai), Raskin (Beras Miskin) yang datang ke desa ini. PPIP merupakan bantuan yang disalurkan dalam bentuk dana sebesar 250 juta yang dikelola oleh OMS (Organisasi Masyarakat Setempat).189 Orang Kantuk melihat program seperti ini baik, dianggap tidak menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat karena adanya pelibatan langsung seluruh masyarakat dan realisasinya dapat dilihat secara kasat mata dalam bentuk jalan cor semen, tong air minum untuk setiap rumah, serta jembatan dan stecther (port). Desa Jelemuk pernah menerima program bantuan pemerintah dalam bentuk BLT pada bulan Februari 2009. Namun, bantuan ini hanya berlangsung selama setahun saja (satu kali). Respon masyarakat cukup beragam terhadap BLT ini, ada yang mengatakan baik karena uang cash memang diperlukan, 187 188 189 Program ini tidak hanya berdampak pada kehidupan orang Kantuk, namun juga bagi suku-suku (Dayak) lainnya di Borneo (Kalimantan dan Sabah), di antaranya Punan yang dikenal sebagai suku nomads yang harus merubah cara hidup mereka dari mengumpulkan hasil hutan menjadi bertani dengan sistem menetap sekitar tahun 1967 (lih. Sellato, 2002:55-59). Persoalan ini dikemukakan oleh kaum ibu dari bincang-bincang informal dengan peneliti saat berkunjung dari rumah ke rumah di RT. 1 dan 2, di Desa Jelemuk pertengahan Maret 2010. OMS dibentuk setelah proyek masuk dan menjadi syarat pemberian bantuan. Komponen OMS terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara dan anggota. Mekanisme pemilihan orang yang bertanggung jawab untuk masing-masing komponen dilakukan melalui 3-4 kali rapat Desa. 284 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? bisa langsung digunakan untuk memenuhi keperluan mereka. Ada juga kekhawatiran bahwa bantuan tunai gampang di mark-up. Namun, secara umum, BLT dianggap sangat rentan konflik antara yang masuk sebagai Rumah Tangga Penerima Manfaat (RTPM) dan yang bukan, karena hampir semua warga merasa membutuhkan bantuan itu. Sementara, persoalan administrasi juga muncul kaitannya dengan pendataan yang tidak akurat sehingga membuat kesulitan dalam pendistribuian bantuan. Ini disikapi oleh pengurus desa dengan mengambil kebijaksanaan untuk membagi rata bantuan bagi seluruh warga per RTPM agar tidak ada kecemburuan sosial. Ada pernyataan menarik yang diungkapkan oleh beberapa warga ketika ditanya, “Apakah anda mau dikatakan miskin?”Jawabnya, “Bukan mau atau tidak, tetapi dana itu kan memang sudah ada dari pemerintah dan program pemerintah. Apapun nama program itu, jika program pemerintah, ya kita terima, toh kalaupun kita minta belum tentu kita dikasih 300 ribu per triwulan”. Respon yang hampir sama juga muncul kaitannya dengan pembagian Raskin yang sudah lama dirasakan oleh warga Desa Jelemuk. Dan, kendala yang dihadapi diawal bergulirnya bantuan ini juga masih berkutat pada persoalan administrasi, dimana ada tercatat 62 KK sebagai RTPM, sementara banyak warga yang protes karena merasa berhak. Menyikapi ini, pengurus Desa mengambil kebijaksanaan untuk membagi rata Raskin ke seluruh penduduk dengan menalangi pembelian Raskin dari dolog di Putussibau (menggunakan kas desa). Setelah itu, setiap keluarga akan datang sendiri ke kantor desa untuk membeli dengan harga Rp. 2.500/kilogram. Selain program bantuan di atas, Desa Jelemuk juga pernah memperoleh bantuan (IDT=Inpres Desa Tertinggal) dalam bentuk alat pertanian seperti hand-tractor, racun (pestisida), bibit ayam ras, dan ikan. Namun demikian, sedikit dari warga desa yang mengetahui bantuan-bantuan ini dikarenakan tidak ada musywarah atau sosialisasi dari pemerintah terlebih dahulu dengan masyarakat. Bantuan dalam bentuk alatpun tidak dirasakan efektif karena tidak adanya asistensi teknis serta pendidikan dan pelatihan untuk masyarakat bagaimana mengembangkan bantuan-bantuan tersebut agar memberikan manfaat lebih bagi mereka. Program-program lain seperti PNPM juga mulai diperkenalkan ke warga Desa Jelemuk. Namun, sampai saat laporan ini dibuat, proyek ini masih dalam proses sosialiasi dari Fasilitator Kecamatan (FK). Salah satu program PNPM yang cukup mendapat perhatian warga dalam proses sosialisasi adalah Simpan Pinjam Perempuan, yakni bantuan dalam bentuk uang tunai yang harus dikelola oleh kelompok ibu-ibu (satu kelompok terdiri dari 5-6 orang). Warga Desa Jelemuk melihat program ini cukup “membingungkan” mereka karena akan ada proses perankingan terlebih dahulu. Sebelumnya, semua desa diminta ajukan usulan ke kecamatan untuk dinilai oleh petugas. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 285 “Ini membingungkan, mestinya kalau ada bantuan dibagi per desa dari kecamatan. Meski tidak rata, tetapi sama-sama dapat. Dengan sistem ranking ini, siapa yang mesti dapat?. Kita belum tentu terima jika aturan mainnya begitu.”190 (g) Sistem tenurial orang Kantuk Seperti yang telah disampaikan di bagian sebelumnya, orang Kantuk masih bertahan hidup dengan adat mereka, meski perlahan mulai tergerus oleh ‘pembangunan’, salah satunya ketika mereka tidak lagi mempertahankan budaya rumah panjang. Inipun berpengaruh terhadap lunturnya tradisitradisi yang mereka jalankan ketika masih di rumah panjang, misalnya tradisi membagi hasil buruan, sekarang setiap orang berburu untuk keperluannya sendiri dan kalaupun hasil buruannya banyak, biasanya untuk dijual. Konsep penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam/hutan oleh orang Kantuk erat kaitannya dengan tradisi berladang, karena dari sinilah konsep penguasaan terhadap suatu wilayah dimulai. Pada orang Kantuk, ketika pertama kali membuka lahan untuk berladang, saat itu suatu wilayah dinyatakan oleh pengelola sebagai ‘milik’ dan diakui oleh seluruh warga masyarakat. Namun, ini juga melalui ketentuan, misalnya, sebuah wilayah atau lahan yang sudah dibuka haruslah dipelihara (ditebas dan ditanami) terus menerus setelah selama satu tahun diladangi. “… dengan membuka lahan, umumnya berladang, lahan ditebas, ditebang, dibakar, ditanami padi lalu panen. Setelah selesai dipanen, nah itu jadi milik kita”, demikian diungkap oleh peserta diskusi terfokus saat penelitian berlangsung. Wilayah bekas ladang ini dikenal dengan sebutan pemuda’ oleh orang Kantuk. Pemuda’ yang dalam waktu lama tidak dikelola setelah satu tahun bisa berpindah kepemilikannya kepada pihak lain “…. Jika hanya nebas saja, tidak ditebang dan tidak dikerjakan selanjutnya, dia tidak berhak atas lahan” lanjut salah satu narasumber dalam diskusi tersebut. Meski dinyatakan sebagai ‘milik’, secara legal formal praktik-praktik memperoleh hak atas tanah/wilayah seperti ini tidak diakui, karena bentuk klaim dengan mengelola lahan yang kerap dilakukan oleh orang Kantuk tidak memiliki legitimasi dalam bentuk sertifikat kepemilikan. Lahan berladang yang sudah menjadi pemuda’, biasanya akan ditinggalkan dan biasanya akan diladangi lagi setelah 5 tahun. Untuk menunjukkan penguasaan atas suatu pemuda’, orang Kantuk mengandalkan tanda-tanda alam seperti sungai, pohon besar dan terkadang sengaja ditanam tanaman keras sebagai bukti klaim atas wilayah. Konsep ini terus dijalankan orang Kantuk selama bertahun-tahun, dan mereka meyakini bahwa aturan adat/ hukum adat mereka memiliki kekuatan dalam mengatur ini. Orang luar juga diperbolehkan untuk membuka lahan di wilayah Desa Jelemuk dengan mengikuti aturan-aturan adat mereka, tetapi tidak untuk pihak-pihak yang 190 Yahya (Kepala Desa Jelemuk), wawancara, 16-03-2010. 286 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? akan melakukan pembukaan lahan dalam skala besar untuk keperluan industri oleh perusahaan-perusahaan besar seperti perusahaan perkebunan kelapa sawit. Ini dibuktikan dengan penolakan masyarakat Desa Jelemuk atas perusahaan kelapa sawit PT. Benua Internasional Anugerah yang akan masuk pada tahun 2008. Konsep penguasaan dan pengelolaan tanah oleh orang Kantuk di wilayah ini juga bisa dilihat dari konsep tembawai (kawasan non-hutan bekas tempat membangung rumah). Tembawai biasanya dikuasi oleh keluarga atau satu keturunan yang dulunya (yang bersangkutan atau nenek-moyangnya) membangun rumah di lahan yang dimaksud. Orang lain (banyak orang) di luar anggota keluarga bisa saja mengelola tembawai, biasanya dengan menanam tanaman buah seperti rambutan, durian dan lain sebagainya. Namun, mereka juga hanya boleh mengambil buah dari tanamana yang dia tanam sendiri, tidak boleh memanen buah yang ditanam orang lain karena akan dikenakan sanksi adat. Status kepemilikan bersama (tembawai bersama) biasanya tetap bermula dari penguasaan oleh satu keluarga/ keturunan (dimiliki bersama oleh satu keluarga/keturunan), ini disebut dengan Tembawai Tigas. Semua orang boleh menanam dan mengambil, namun harus dilakukan secara bersama-sama, tidak boleh mengambil/ menguasai sendiri. Kaitannya dengan konsep penguasaan wilayah, orang Kantuk di Desa Jelemuk juga mengenal sistem warisan (mewariskan tanah/wilayah kelola), utamanya untuk lahan membuat rumah dan berladang. Oleh karena itu, dalam satu hamparan lahan, pengelolanya adalah satu klan (keluarga/ keturunan). Konsep penguasaan wilayah bisa juga bersifat individu-satu keluarga namun pengelolaannya secara kolektif dengan sistem kerja kelompok, ini ditandai dengan masih hidupnya tradisi kerja ambik-ari atau beduruk (sistem kerja gilir-balik) dimulai dari saat menebang, menebas dan menanam sampai panen, dan ini berlaku juga untuk pekerjaan lain seperti membangun rumah. (h) Praktek pengelolaan hutan oleh orang Kantuk (i) Klasifikasi sumber daya alam dan hutan Secara historis, tidak terbantahkan bahwa orang Kantuk di Desa Jelemuk sudah hidup dari memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam hutan yang mereka sebut dengan istilah Kampung (untuk hutan perawan). Kampung adalah istilah untuk hutan perawan, dan aktifitas pembukaan lahan di hutan ini disebut ngampung. Tidak ada klasifikasi khusus untuk jenis-jenis sumber daya alam, karena hutan dipandang wujud dari kesatuan keberadaan sumber daya alam seperti tanah, air dan udara beserta turunan-turunannya yang terintegrasi dan dimanfaatkan untuk keberlangsungan hidup. “Belum tahu pengelompokan seperti Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 287 itu. Yang jelas, kita di sini kenal hutan, di hutan ada kayu”, demikian diungkapkan seorang ibu di Jelemuk. Orang Kantuk juga mengakui pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam, yang paling utamanya adalah dengan menjaga hutan karena adanya siklus kehidupan yang ada, dan masyarakat masuk di dalamnya sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu, ketika bicara Kampung atau hutan, terintegrasi di dalamnya banyak unsur-unsur yang ada di muka bumi baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Inilah yang mendasari orang Kantuk menjaga relasi mereka dengan alam/hutan dalam bentuk ritual-ritual, misalnya ketika pertama kali membuka lahan (baik untuk berladang maupun membangun rumah), ada sampi (do’a) yang disampaikan oleh orang Kantuk kepada yang mereka yakini sebagai kekuatan lebih besar yang berkuasa atas tanah, air dan udara. “ … yang bisi’ yang ngempang-ngelayang, bisi’ ngaru-ngacau- ngerigau, minta disepah-diseliah. Minta sepah-seliah, utai ti ka’ munuh-ma’ti kami nyak anang damping agik, mutung tanjung, ngepat ke darat, ndak tau’ alah. Kami minta’ panjai umur, ndak ada kapal, kami cari’ bisik’. Utai ti sekolah suruh pintar, isak iya ati disuruh tajam, pinta ke ia tajam bepikir, sekolah isak panjai isak tamat, isak nemu mata pelajar.” (… mohon dijauhkan dari segala mara bahaya. Bagi anak yang sekolah agar bisa diberikan ketajaman berpikir, kelak menjadi pintar dan bisa tamat sekolah).191 Meskipun orang Kantuk tidak melakukan klasifikasi secara khusus untuk sumber daya alam. Namun, ketika ditanya mereka bisa menjelaskan dengan baik jenis-jenis kayu yang ada di hutan meski tidak begitu lengkap misalnya, hampir semua narasumber menyebut jenis kayu yang hampir sama seperti jelutung, meranti, dan kelansam. Hutan juga mereka yakini menyediakan tanaman (sumber) obat-obatan seperti akar bentak yang biasa digunakan untuk mengobati sakit kepala atau untuk diminumkan kepada Ibu yang baru habis melahirkan karena bisa membantu menghentikan pendarahan. Untuk tanah/lahan, orang Kantuk mengenal tanah pekarangan rumah, tanah/lahan untuk berladang (baru) dan pemuda (biasanya dijadikan kebun sayur atau buah)’, dan kuburan. Kaitannya dengan air, orang Kantuk memiliki beberapa danau dan sungai yang dikelompokan ke dalam danau dan sungai besar dan kecil yang memiliki aturan pengelolaan sendiri-sendiri. Menuba ikan hanya boleh dilakukan di Sungai-sungai kecil dan danau yang sudah ditentukan dalam buku Hukum Adat. Tidak ada proses transfer pengetahuan secara khusus dalam menentukan atau mengelompokan sumber daya alam, karena orang Kantuk sendiri belum pernah secara bersama-sama melakuan inventarisasi terhadap sumber daya yang ada. Pengetahuan yang mereka 191 Pak Jenggot (salah satu tetua di Desa Jelemuk), wawancara, 16-03-2010. 288 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? miliki lebih kepada pengalaman dalam melakukan akses terhadap sumber daya tersebut, misal ketika hendak membangun rumah, dengan sendirinya mereka akan menggunakan pengetahuan turun temurun alami mereka untuk mencari jenis kayu keras yang tepat seperti Meranti dan Belian. Pengetahuan alami turun temurun mereka juga mampu mengidentifikasi jenis-jenis tanaman yang bisa dijadikan obat dan bumbu serta yang bisa dijadikan bahan untuk membuat tikar seperti pandan dan bahan untuk membuat keranjang seperti rotan. (ii) Pranata dan praktik pengelolaan hutan oleh orang Kantuk Pengelolaan hutan oleh orang Kantuk menjadi bagian penting yang diatur dengan menggunakan aturan lokal atau hukum adat. Aturan lokal juga digunakan untuk mengatur pengelolaan wilayah perairan, dimana orang Kantuk di Desa Jelemuk telah memiliki aturan tentang pengelolaan sungai, danau dan perairan yang mereka buat pada tahun 2009. Menurut para narasumber, proses ini mereka lakukan karena didorong pula oleh ide Kabupaten Konservasi yang dicanangkan oleh Bupati Abang Thambul Husin pada tahun 2003 melalui SK Bupati No. 144 Tahun 2003, yang dipandang oleh orang Kantuk sebagai ide yang sangat baik pada mulanya karena menjaga keberlangsungan hutan dan alam tempat mereka menggantungkan hidup. Ide Kabupaten Konservasi ini juga merupakan manifestasi dari reformasi birokrasi di level kabupaten yang bertujuan pada peningkatan kinerja aparat, memacu pertumbuhan ekonomi namun dengan tetap mengindahkan kelestarian alam (Purwanto, 2008).192 Jika dulu pranata rumah panjang menjadi salah satu kekuatan dalam mempertahankan pengelolaan yang lestari, saat ini orang Kantuk masih terus mempertahankan struktur pemerintahan adat dengan adanya pengurus adat di samping pengurus desa yang dikukuhkan dalam hukum adat yang sampai saat ini dipegang teguh oleh orang Kantuk. Meski demikian, sebetulnya, intervensi pemerintah dalam memformalkan struktur pemerintahan adat termasuk memunculkan istilah baru untuk beberapa jabatan di struktur adat seperti Temenggung, Ketua Kemplit dan Ketua Adat telah memilki kontribusi terhadap kaburnya pranata rumah panjang dimana peran Tuai Rumah dan Kepala Kampung yang menjadi sangat penting dalam pengelolaan hutan kala itu sudah dengan sendirinya juga hilang. Sebagai masyarakat yang hidupnya bergantung kepada hutan, orang Kantuk di Desa Jelemuk memiliki sistem pengelolaan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri. Selama inipun, belajar dari banyak tempat, mereka melihat 192 Ide tentang Kabupaten Konservasi juga sudah dibahas pada Bab 5 Buku ini. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 289 sistem pengelolaan versi pemerintah cenderung eksploitatif dan mengabaikan keberlangsungan hidup mereka dan hak-hak mereka. Inilah yang menjadi dasar kuat penolakan warga Desa Jelemuk terhadap perkebunan kelapa sawit di daerah mereka. Dalam bagian terdahulu laporan ini telah dijelaskan tentang bentuk-bentuk pengelolaan seperti berladang (swidden cultivation), tumpang sari (agro forestry), dan juga menjaga hutan-hutan yang dianggap tempat keramat dengan adanya ritual-ritual. Kebiasaan masyarakat dalam melakukan tebang pilih serta penggunaan alat-alat produksi yang tidak merusak anak-anak kayu dan kayu lain di sekitar pohon yang akan ditebang juga merupakan bentuk pengelolaan yang mereka anggap berkelanjutan. Selama ini, praktik pengelolaan yang demikian disebut sebagai sistem hutan kerakyatan (Lynch, Talbott, 2001). (iii)Eksistensi pranata dan praktik pengelolaan hutan di luar masyarakat Meskipun masyarakat Jelemuk sadar bahwa selama ini mereka telah menjalankan pengelolaan hutan mereka secara berkelanjutan, namun kekuatan luar dalam bentuk penggunaan alat-alat berat seperti bulldozer dan ekskavator pada akhir tidak bisa mereka tolak, terutama pada masa terjadinya pembalakan liar di hutan mereka. Fakta lain hadirnya pranata dan praktik dari luar di salam kawasan hutan Desa Jelemuk adalah fakta bahwa wilayah hutan mereka merupakan wilayah eks beroperasinya tiga Perusahaan HPH; PT. Ulak Jelemuk (1977), PT. Puncak (1976) dan PT. Trikaka (1979). Diskusi terfokus dengan beberapa narasumber menggambarkan adanya konflik meski tidak meluas yang terjadi baik antara perusahaan dengan kelompok masyarakat yang kontra, maupun antar masyarakat yang pro dan yang kontra terhadap perusahaan. Peristiwa paling penting terjadi pada tahun 2000 yakni konflik orang Kantuk di Desa Jelemuk vs. PT Barito Pasifik. Ketika itu, perusahaan ini ‘menurunkan’ kayu, namun ditahan oleh warga karena ternyata perusahaan ini telah beroperasi melampui areal yang diijinkan (yakni meluas sampai ke wilayah hutan Jelemuk, padahal seharusnya di luar kawasan hutan Desa Jelemuk). Pola-pola klaim wilayah sepihak juga pernah dilakukan perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Internasional Anugerah (BIA) yang melakukan sosialisasi pada tahun 2006. Saat itu, warga Jelemuk menolak kehadiran perusahaan ini. Namun, pada April 2010, PT. First Borneo Plantations sebagai Holding Company PT. BIA kembali menyampaikan rencana realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit PT. BIA dengan mengundang kepala desa dan perangkat adat untuk hadir dalam pertemuan di Putussibau. Terkait dengan rencana realisasi perkebunan 290 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? sawit ini, beberapa orang perangkat desa kembali menyatakan bahwa sikap mereka masih sama, yakni menolak dengan alasan bahwa perkebunan sawit hanya akan menggunduli hutan mereka (sebelum realisasi perkebunan, perusahaan akan mengambil kayu), kemudian mereka akan kehilangan tanah karena tidak ada jaminan tanah kembali dengan masa perpanjangan ijin perkebunan kelapa sawit yang dimungkinkan. Pada akhirnya, ini hanya akan menjadikan orang Kantuk di Desa Jelemuk ‘menjadi kuli di tanahnya sendiri’, demikian diungkapkan oleh Kepala Desa Jelemuk, dengan ilustrasi di bawah ini: “Saya sendiri tidak setuju. Sewaktu pertemuan, mereka (baca: PT. BIA) mengundang Kades; dan penyampaian mereka memang baguslah katanya. Cuma, saya bilang, masyarakat Jelemuk 30 tahun lalu penduduknya cuma 30 KK dan sekarang sudah lebih dari 100 KK. Dengan adanya hutan, dibuka sawit, dan dari 100 KK ini, dikreditkanlah 2 Ha per KK, sudah habis hutan kita. Sementara, sawit itu 35 tahun baru peremajaan, dan masih boleh diperpanjang lagi. Apakah selama 25 tahun perusahaan bisa memperluas lahan bagi masyarakat; bagi katakanlah anak-anak sekarang yang belum kawin, yang mungkin minta. Apakah bisa disediakan?. Iya kalau memang bisa disediakan, kalaupun tidak, apakah ada alternatif lain?. Sebab, kalau tidak, akan ada kesenjangan antara yang ada sawit dan yang tidak ada sawit. Bisa-bisa, ujungnya jadi penonton di tanah sendiri karena sudah tidak ada lahan. Jadi kuli di tanah sendiri.”193 Klaim bertumbukan (contested claim) juga pernah terjadi antara warga Desa Jelemuk dan orang luar di batas wilayah (Sungai) Jelemuk dan Nanga Tuan. Klaim berawal ketika salah seorang tokoh adat Jelemuk dan beberapa orang dari luar wilayah Jelemuk (Batang Tuan) menuba ikan dengan menggunakan akar. Ini merupakan salah satu sistem penguasaan yang membingungkan orang Kantuk di Desa Jelemuk karena wilayah ini diklaim sebagai wilayah bebas (open access) oleh pihak yang me-nuba, sehingga penegakan aturan adat (hukum adat) tidak bisa dijalankan atas apa yang mereka anggap pelanggaran.194 Sementara, menurut beberapa perangkat adat dan desa, aturan adat itu pun berpijak pada aturan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu tentang pemeliharaan wilayah sungai. Dalam aturan tersebut, Batang Tuan merupakan salah satu sungai besar yang tidak boleh dituba dalam berdasarkan Musyawarah Desa Jelemuk pada tahun 2009. 193 194 Yahya (Kepala Desa Jelemuk), wawancara, 16-03-2010. Menuba dengan menggunakan akar diperbolehkan hanya dalam jumlah tertentu dan hanya dalam wilayah sungai yang tidak diakses langsung oleh masyarakat. Dalam kasus ini, menurut warga Jelemuk, para penuba telah menuba di wilayah sungai yang diakses oleh banyak orang dan menggunakan akar tuba dalam jumlah sangat besar hingga mampu menghasilkan sampai 7 ton ikan. Dengan dalih open access, para penuba menolak dijatuhkan sanksi adat, sehingga warga Jelemuk terpaksa mengadukan kasus ini ke Polisi namun tidak direspon dengan baik dengan alasan kejadian di luar wilayah Jelemuk. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 291 Berangkat dari persoalan di atas, meskipun adanya kekhawatiran warga Desa Jelemuk terhadap kekuatan luar (penguasaan luar), namun hukum dan aturan lokal terkait pengelolaan sumber daya alam mereka tetap akan mereka tegakan. Ini pula yang menjadi landasan pikir dilakukannya peninjauan Buku Hukum Adat mereka selama ini. Proses ini terrmasuk bagaimana memaksimalkan peran perangkat adat dan bagaimana hukum adat itu sendiri melakukan adaptasi dan memiliki kekuatan ketika mereka berhadapan dengan kekuatan luar tersebut, seperti perusahaan. Munculnya bentuk-bentuk pengelolaan lain (dari luar) di wilayah orang Kantuk ini tidak lepas dari skema-skema pemberian ijin dari pemerintah. Dengan pola penguasaan dan pengelolaan seperti ini, orang Kantuk khawatir bahwa penegakan aturan adat mereka semakin sulit dilakukan dalam dinamika yang terus berubah dan menyeret mereka pada kerentanan hilang sumber daya alamnya. Dalam beberapa kasus atau konflik yang terjadi, terutama konflik dengan perusahaan, masyarakat cenderung melihat konflik ini sebagai absennya pelaksanaan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent, ketiadaan partisipasi masyarakat dan ganti rugi, tetapi belum sampai kepada kesadaran bahwa ini bagian dari usaha yang melanggar hak-hak tenurial dan sistem tenurial yang mereka jalankan selama ini. (iv) Perubahan ekologi hutan di mata orang Kantuk Orang Kantuk menyadari bahwa telah terjadi perubahan ekologi hutan mereka, setidaknya dilihat dari dua aspek yakni aspek fisik dan non fisik. Aspek fisik salah satunya dapat ditandai dengan semakin sulitnya memperoleh binatang buruan, hal ini diungkapkan salah seorang Ibu: “Dulu, jika hendak berambik ari (mengerjakan ladang di suatu tempat secara bersama-sama dan bergiliran, istilah lokal lainnya beduruk), biasanya kaum perempuan pergi lebih dulu ke ladang, kaum laki-laki pergi ngasu (berburu) dulu, sebentar sudah dapat buruan (babi), sekarang susah. Kita dulu ndak susah dapat babi, jalan jak sebentar dah dapat. Kalau sekarang, bedanya jauh sekali.”195 Hal lain adalah seringnya banjir, yang dulunya banjir datang sekali dalam 5 tahun, sekarang kecenderungannya terjadi setiap tahun dan berlangsung dalam waktu yang cukup panjang. Dan, saat banjir tiba, orang Kantuk di Desa Jelemuk tidak saja terancam gagal panen tetapi juga menurunkan produktifitas karet karena kebun karet merekapun tidak luput dari rendaman air, bahkan permukaan air bisa sampai ke teras rumah warga yang sudah temasuk di dataran yang paling tinggi di Desa Jelemuk. 195 Diungkapkan oleh Ibu Ida, saat Wawancara dengan Pak Jenggot, Selasa, 16 Maret 2010. 292 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Aspek non-fisik bisa dirasakan langsung ketika hari panas atau hujan, jika dulunya cuaca atau iklim sangat gampang dikira-kira, sekarang sering terjadi perubahan ekstrim misalnya dari cuaca yang ekstrim panas, bisa berubah jadi ekstrim dingin. Ini juga sangat berpengaruh terhadap jam kerja warga, misalnya ketika cuaca dianggap ‘bagus’ untuk menoreh karet, di tengah pekerjaan harus berhenti karena hujan tibatiba datang, dan tentu pekerjaan mereka tidak membuahkan hasil. Contoh lainnya adalah ketika cuaca panas, warga biasanya menjemur padi atau pakaian, dan sering terjadi pergantian cuaca secara tiba-tiba menjadi hujan beberapa saat kemudian. Kedua aspek di atas juga berpengaruh terhadap praktik dan penggunaan pengetahuan lokal orang Kantuk, misalnya dalam membaca tanda-tanda alam seperti suara burung untuk menentukan kapan musim yang tepat untuk berladang.196 Menurut salah seorang tokoh yang dituakan, ini tidak saja disebabkan tidak adanya proses transfer pengetahuan dari yang tua ke yang muda, tapi juga dikarenakan kondisi alam yang tidak memungkinkan lagi. Di samping itu, pola penguasaan tanah yang awalnya tidak dibatasi, mau tidak mau juga berubah karena ketersediaan tanah dengan jumlah penduduk tidak lagi berimbang. (i) Perubahan pada sumber daya alam Sumber daya alam yang selama ini memberikan peran penting bagi orang Kantuk dalam bertahan hidup (survival) perlahan menunjukan penurunan kuantitas dan kualitasnya. Kualitas air Sungai Manday yang semakin hari semakin keruh berpengaruh terhadap ketersediaan jenis ikan seperti arwana misalnya. Orang Kantuk pernah melakukan panen besar ikan arwana pada tahun 1981, dan sekarang sulit untuk memperoleh ikan jenis ini.197 Hal ini dikarena air Sungai Manday yang sudah semakin keruh dan juga penggunaan alat-alat produksi yang merusak misalnya dengan menggunakan setrum listrik. Ketersediaan kayu-kayu di hutan seperti jenis kayu Meranti, Jelutung, Kelansam, Tempurau, dan Kempas juga semakin berkurang padahal selama ini masyarakat memanfaatkan hanya untuk membangun rumah dan beberapa dijual dalam jumlah yang tidak begitu banyak hanya untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Itupun mereka lakukan dengan sistem Tebang-Banjir atau TB yang mereka lakukan sangat tergantung dengan pasang-surutnya 196 197 Diungkapkan oleh salah seorang tetua Desa Jelemuk bahwa untuk berladang, biasanya menunggu burung Ketupung atau burung Padi berbunyi. Jika suaranya nyaring, dipercaya merupakan waktu yang baik dan diperbolehkan untuk berladang, sebaliknya jika sumbang, dipercayai bukan waktu yang tepat, apakah baik (nyaring), atau tidak (sumbang). Jika nyaring berarti sudah boleh berladang. Pada tahun 1980-an, ikan Arwana (Silok) pernah menjadi primadona warga Jelemuk sebagai salah satu sumber mata pencaharian keluarga karena harganya cukup mahal, terutama untuk jenis ikan arwana merah yang bisa mencapai harga Rp. 50.000; per ekor untuk ukuran sedang. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 293 sungai, sekitar sekali dalam 5 tahun.198 Aktifitas ini terpaksa mereka tinggalkan sejak berlangsungnya operasi penertiban pembalakan liar oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu 2004. Padahal, aktifitas TB ini juga pernah menjadi alternatif ekonomi yang menjanjikan dan cukup mengubah kehidupan orang Kantuk di Jelemuk yang dulunya rumah mereka hanya dari kayu, sekarang tidak asing lagi menjumpai beberapa rumah warga berbentuk semi-permanen. Perlu dicatat bahwa operasi penertiban illegal logging tersebut memang pada dasarnya dilakukan untuk memberantas aktifitas illegal logging yang terorganisir dilakukan oleh para pengusaha asing dari Malaysia. Namun demikian, usaha penertiban ini tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Bukannya membuat para cukong kayu menghentikan laju aktifitas mereka, justru masyarakat kecil seperti orang Kantuk di Desa Jelemuk inilah yang kemudian menjadi sasaran operasi pemberantasan illegal logging. Di bawah ini adalah ilustrasi keberatan orang Kantuk terhadap istilah illegal logging bagi aktifitas penebangan mereka, yang diungkapkan oleh seorang ibu dalam wawancara bersama seorang tokoh tua di Desa ini; “Kami sebenarnya tidak terima kalau nebang pake kampak dibilang illegal logging. Yang dibilang illegal logging itukan pake mesin semua. Kalau TebangBanjir itu kan, kalau tidak banjir kita tidak tebang, susah keluarkan kayu besar-besar. Kalau 5 tahun tidak banjir, 5 tahun kita tidak tebang. Kayu tidak bisa diangkat-angkat. Mana bisa, karena jauh.”199 Meski demikian, warga Desa Jelemuk mau tidak mau mencari alternatif sumber pencaharian lain, meskipun mereka yakin bahwa aktifitas menebang yang mereka lakukan selama ini tidaklah merusak. Di samping itu, aturan adat mereka mengharuskan mereka untuk menebang kayu seperlunya dan hanya mencari kayu yang diameternya sudah besar agar hutan tidak gundul. (i) Iklim, cuaca dan kehidupan keseharian orang Kantuk di Desa Jelemuk Orang Kantuk tidak memiliki sebutan atau istilah khusus untuk menunjukan karakter iklim (climate) dan cuaca (weather), tetapi mengelompokannya ke dalam musim hujan dan panas (kering atau kemarau). Secara harfiah, tidak ada pembedaan cuaca dan iklim. Pada musim hujan, orang Kantuk sedikit melakukan aktifitas di luar rumah. Aktifitas berladang di tanah keringpun beralih kepada berladang lahan basah, sehingga tidak perlu melakukan aktifitas pembakaran, namun biasanya tidak bisa dihindari pemakaian pestisida untuk mengusir hama. Dengan curah hujan yang cukup tinggi, orang Kantuk melihat banjir 198 199 TB atauTebang Banjir adalah aktivitas penebangan yang hanya dilakukan saat debit air naik (banjir), dengan demikian akan mudah untuk mengeluarkan dan ‘menurunkan’ kayu-kayu yang sudah ditebang dari hutan ke sungai. Diungkapkan oleh seorang Ibu (yang tidak ingin namanya disebutkan) kepada peneliti, 16-03-2010. 294 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? di desa mereka sudah seakan menjadi agenda rutin tiap tahun yang awalnya paling hanya datang 3-4 tahun sekali. Satu-satunya hal yang mungkin disyukuri oleh orang Kantuk adalah tambahan persediaan air hujan untuk konsumsi mereka (diminum), karena air Sungai Manday tidak layak untuk diminum tetapi hanya untuk mandi dan mencuci. Hal lain saat musim tengkawang tiba, mereka tidak perlu jauh-jauh masuk hutan untuk mencari buahnya karena permukaan air sungai dapat mempercepat dan mempersingkat akses mereka. Pada musim kering, banyak aktifitas produksi yang bisa dilakukan oleh orang Kantuk ketimbang di musim hujan. Namun jika musim ini berkepanjangan, tetap akan berdampak pada menurunnya tingkat produktifitas lahan dan produk pertanian, misalnya karet. Musim kemarau memang sedikit memberikan keuntungan, misalnya, selain gampang menjemur/mengeringkan padi, biasanya musim ini akan mempermudah mencari ikan, karena permukaan sungai turun. Namun, tetap saja, jika berlangsung dalam rentang waktu lama, kondisi ini bisa mengancam tingkat produktifitas pertanian orang kantuk; air getah karet sedikit, tanaman padi dan sayur mayur kering. Pada musim kemarau, ketersediaan air bersih juga tidak memadai dan akan membawa dampak ikutan lainnya seperti penyakit. Sistem distribusi dan transportasi orang Kantuk juga akan sangat terganggu dimusim kering dan cenderung mengisolir mereka dari situs-situs ekonomi. (ii) Orang Kantuk di Desa Jelemuk dan perubahan iklim global Perubahan iklim bukanlah sesuatu yang asing didengar oleh orang Kantuk di Desa Jelemuk saat ini. Mereka cukup melek informasi tentang iklim global dengan adanya televisi yang bisa dijumpai hampir di setiap rumah. Mereka menyadari bahwa ada yang berubah dengan lingkungan dan alam tempat mereka bertahan hidup. Hal yang paling jelas adalah ketika mereka mencoba menilai tingkat produktifitas pertanian mereka. Mereka mengungkapkan bahwa ini sangat tergantung musim. “Tergantung musim. Kalau pas tidak banjir, bisa dapat banyak padi. Tapi kalau banjir, kurang malah, karena Di samping banjir juga kadang kena hama. Ini membuat padi mati kadang-kadang. Tergantung iklim. Kalau dirawa, habis padinya kena banjir. Karena perubahan iklim bah”.200 Tingkat produktifitas pertanian orang Kantuk juga diakui sangat berpengaruh pada pola konsumsi mereka, misalnya terpaksa membeli beras jika hasil panen tidak mengalami surplus. Pola konsumsi seperti ini akan membuat mereka tergantung pada pasar. Cara bertanam multikultur dengan menanam berbagai jenis tanaman seperti sayur mayur dan buahbuahan di sekeliling dan sekitar rumah yang sebetulnya merupakan 200 Diungkapkan oleh Pak Asoi dalam diskusi terfokus, 14-03-2010. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 295 salah satu cara orang Kantuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap pasar pun tidak bisa terlepas dari pengaruh iklim dan cuaca global. Dengan kondisi seperti ini, orang Kantuk pun sudah berproses untuk menyesuaikan diri (adaptasi) dengan berbagai mekanisme survival, seperti menanam padi di lahan basah (paya’) dengan jenis padi berumur pendek. Selama ini, orang Kantuk menanam padi yang berumur panjang (tahunan) seperti padi darat, padi sibau, padi payun, padi arang dan padi kayan. Menurut Dove, ada beberapa dasar bagi orang Kantuk untuk menentukan jenis dan/atau nama padi, pertama padi yang lengket atau tidak; kedua penyesuaian pada tanah kering atau berpaya (basah); ketiga kepentingan-kepentingan keagamaan (Dove, 1988). Pengaruh iklim dan cuaca global terhadap pola pertanian orang Kantuk di desa secara sederhana salah satunya bisa dilihat dari bagaimana mereka mempertahankan sistem bertani di lahan kering dan lahan basah. Sistem ini sebetulnya untuk mengantisipasi dampak-dampak dari perubahan iklim. Namun demikian, ini bukannya tidak memunculkan kendala lain, misalnya untuk mengatasi persoalan hama mereka terpaksa menggunakan pestisida yang tentu saja menambah lagi beban ekonomi keluarga. Di samping itu, mereka juga mulai menerapkan pola pertanian dengan sistem pengairan (irigasi), yang mungkin mereka lakukan di lahan basah. Pola-pola konsumsi dan distribusi yang berubah setidaknya dalam tujuh tahun terakhir, juga merupakan bentuk-bentuk adaptasi orang Kantuk, misalnya ketersediaan padi di lumbung yang semakin hari mengalami penurunan.201 Namun, ini pula yang membuat mereka mulai tergantung kepada pasar, yang awalnya hanya sebatas konsumsi gula, kopi, teh, minyak tanah dan minyak goreng, dalam tujuh tahun terakhir, pernah ada beberapa keluarga yang harus menutupi defisit produksi beras dengan membeli ke pasar, terutama ketika banjir panjang atau musim paceklik. Hal ini terjadi ketika mereka sudah mengenal pasar. Sebelumnya, orang Kantuk memiliki tradisi “meminjam” surplus dari keluarga lain yang nantinya akan dikembalikan jika produksi mulai meningkat. Meskipun orang Kantuk menyadari iklim yang sudah berubah, namun mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup bagaimana iklim bisa berubah. Ini bisa terlihat dengan respon mereka yang melihat perubahan iklim global seolah-olah merupakan “takdir” yang tidak bisa mereka tolak karena berlaku dan dirasakan oleh semua orang di muka bumi ini tanpa terkecuali. Sehingga, ketika ada solusi yang ditawarkan untuk merubah “takdir” itu dalam bentuk REDD di wilayah mereka, 201 Setiap keluarga orang Kantuk memiliki lumbung untuk menyimpan persediaan padi di rumahnya. Lumbung ini terletak di bagian belakang ataupun di bagian samping rumah tinggal dalam bentuk ruangan kecil atau lebih persis seperti gudang, tempat mereka menyimpang karung-karung yang sudah terisi gabah kering. 296 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? ini dianggap sesuatu yang sangat baik, apalagi jika bisa memberikan keuntungan bagi masyarakat. (j) Orang Kantuk di Desa Jelemuk dan REDD Iklim global yang berubah tentu saja berdampak terhadap kehidupan orang Jelemuk. Selain dampak-dampak yang dirasakan baik langsung maupun tidak langsung. Kaitannya dengan ini, dalam setahun terakhir (2009), kawasan hutan Jelemuk menjadi salah satu target proyek iklim (penurunan emisi) dalam bentuk REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Proyek REDD di wilayah ini difokuskan pada Danau Siawan – Belidak, namun setelah beberapa kali survey yang dilakukan oleh FFI, ternyata wilayah kawasan hutan orang Kantuk masuk dalam site proyek wilayah VI dalam peta site Demonstration Activities (DA) REDD ini. Kenyataan ini mengharuskan orang Jelemuk mencari tahu tentang apa yang sedang dilakuan di dalam kawasan hutan mereka. Ini pula yang mendorong mereka untuk terlibat dalam beberapa kali survey, termasuk dalam proses pertemuan-pertemuan sosialisasi proyek ini. Alhasil, dalam 2 tahun terakhir, Desa Jelemuk tidak lagi menjadi desa yang biasa-biasa saja, mereka terbiasa berinteraksi dengan orang “kulit putih” dan orang-orang LSM dengan masuknya hutan mereka sebagai wilayah REDD. Setelah diketahui bahwa wilayah desa mereka masuk dalam wilayah DA REDD, FFI seringkali melakukan akses ke wilayah hutan di SiawanBelida melalui Desa Jelemuk karena memang desa ini satu-satunya desa yang dekat aksesnya dengan hutan dibandingkan desa lain. Desa Jelemuk juga bahkan dilibatkan dalam beberapa kali survey oleh FFI diantaranya survey buaya, survey burung, survey kedalaman gambut dan survey kelelawar yang dilakukan pada tahun 2009 (Fauna and Flora International Program Kapuas Hulu 2009). Sebelumnya, Kepala Desa mengungkapkan bahwa desa mereka belum pernah dijamah oleh program/proyek yang dilakukan oleh LSM baik dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan maupun penyadaran, apalagi dari pemerintah. Warga Desa Jelemuk sendiri baru menyadari jika hutan mereka memiliki peran yang sangat penting kaitannnya dengan penurunan emisi penyebab pemanasan global. Selama ini, mereka hanya menjalankan tradisi nenek-moyang dalam mengelola hutan karena memang menjadi kebutuhan hidup mereka. Kaitannya dengan pengetahuan warga Jelemuk tentang REDD, mereka mengakui bahwa proses sosialisasi yang pernah dilakukan oleh FFI dan LSM KaBan cukup membantu mereka. Namun demikian, diakui pula bahwa masih banyak hal-hal lain yang belum begitu jelas misalnya kaitannya dengan perjanjian, basis hukum yang belum jelas, dan hal-hal lain kaitannya dengan mekanisme complain masyarakat jika terjadi masalah di kemudian hari, seperti yang diungkapkan oleh Kepala Desa Jelemuk berikut ini: Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 297 “Dalam sosialisasi memang udah cukup transparan tetapi ada yang kurang jelas, seperti apa perjanjiannya nanti misalnya, hukum apa yang kita mau pakai, seandainya terjadi pelanggaran-pelanggaran. Secara proyek jelas, Cuma belum ada perjanjian untuk menguatkan siapa yang bertanggung jawab jika ada masalah.” 202 Kawasan hutan Desa Jelemuk merupakan kawasan hutan gambut dengan kedalaman gambut berkisar 15 – 17 meter ke dalam perut bumi.203 Di dalam kawasan hutan ini masih terdapat banyak pohon-pohon besar bernilai komoditi dengan kisaran diameter yang tidak dijelaskan pasti oleh beberapa orang yang dijumpai oleh penulis. Ini diungkapkan oleh beberapa orang warga desa yang terlibat langsung dalam survey.204 Lagi, salah seorang narasumber yang pernah ikut dalam pemetaan bersama dengan tim survey FFI mengatakan bahwa hutan mereka belum pernah ‘disentuh’ kecuali untuk berburu, itupun paling sekitar 1-2 km, jarak maksimal yang lazim ditempuh warga dari permukaan air ke dalam kawasan hutan. Selama ini, orang Kantuk di Desa Jemuk hanya menunjukan 6% aksesibilitasnya terhadap hutan selama ini dengan penguasaan lahan dan tingkat ketergantungan terhadap hutan yang tinggi dari 21 desa yang berada di sekitar hutan atau site REDD di Siawan-Belida (Perkumpulan KaBan 2009). Bagan 6.3. Skor akses desa ke situs Sumber: Perkumpulan KaBan 2009 202 203 204 Pak Kuyung (warga Desa Jelemuk), wawancara, 16-03-2010. Menurut peserta FGD, hal ini pernah disampaikan oleh para peneliti yang dikontrak oleh FFI untuk melakukan penelitian kedalaman gambut ketika berdiskusi dengan penduduk lokal. Suvey dilakukan dengan melibatkan 7 orang warga Desa secara bergiliran dalam sekali survey. Sampai dituliskannya laporan ini, sudah dilakukan 4 kali survey, diantaraya untuk meneliti kelelawar, burung, gambut, hutan/kayu. 298 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Diagram dari laporan PAR Perkumpulan KaBan tahun 2009 menunjukan memang ada beberapa wilayah yang juga memiliki akses yang cukup tinggi terhadap wilayah yang menjadi site REDD, berkisar 6-7% seperti Pala Pintas, Keling Semulung, Bunut Hulu, Bunut Tengah, dan Nanga Tuan. Namun, menurut warga Desa Jelemuk, wilayah-wilayah tersebut di atas secara jarak masih sangat jauh dari kawasan hutan jika dibandingkan desa Mereka. Justru, penduduk mempertegas bahwa sebetulnya wilayah hutan mereka dan/atau desa mereka tidak termasuk di wilayah Siawan-Belida (secara administratif). Bahwa kemudian FFI lebih banyak melakukan akses ke site REDD melalui wilayah Desa Jelemuk, mereka menduga hanya dikarenakan jarak desa mereka yang dekat dengan kawsan hutan. Ini memang tidak bisa dipastikan mengingat, belum adanya batas-batas yang jelas di kawasan hutan (versi masyarakat). Kawasan hutan gambut dinilai mampu menyerap banyak karbon. Beberapa narasumber yang dijumpai mengungkapkan bahwa inilah yang menjadi salah satu argumentasi penting dijadikannya wilayah hutan Desa Jelemuk ini sebagai DA REDD. Selain itu, kawasan hutan ini juga merupakan eks wilayah beroperasinya HPH yang dianggap telah melakukan deforestasi di kawasan hutan ini. Oleh karena itu, proyek REDD di wilayah ini dilakukan dengan skema Restorasi Ekosistem (RE). Skema IUPHHK-RE yang diajukan oleh FFI dengan luas 45.569 hektar, yakni mencakup kawasan hutan wilayah Danau Siawan dan Danau Belida (Hutan Lindung), wilayah eks HPH Trikaka (Hutan Produksi) dan Benua Indah (Hutan Konversi). Keseluruhan, ada 21 desa dari 7 kecamatan yang menjadi wilayah sekitar DA REDD, dan 6 diantaranya termasuk Jelemuk merupakan wilayah yang direkomendasikan oleh Perkumpulan KaBan sebagai wilayah ‘dalam’ kawasan situs REDD (Perkumpulan KaBan 2009). Dalam diskusi terfokus bersama perangkat desa terungkap bahwa awalnya warga Desa Jelemuk tidak tahu jika survey dilakukan di wilayah mereka dan bahkan tidak tahu jika wilayah mereka menjadi DA REDD. Mereka secara tidak sengaja bertemu dengan tim survey yang turun ke wilayah Desa mereka karena kehabisan logitsik. Dari sinilah perbincangan soal REDD dan Carbon Trade bermula di Desa Jelemuk ini, sampai kemudian masyarakat mengatakan bahwa telah dilakukan sosialisasi REDD oleh FFI untuk di kecamatan dan sekali lagi di desa pada bulan Maret 2010. Namun, pada lain kesempatan, Koordinator FFI Kalbar membantah, bahwa proses dianggap baru pada tahap kosultasi dan persiapan sosial masyarakat dengan melakukan assessment ekonomi, sosial dan budaya. Menurutnya, proses sosialisasi dilakukan jika sudah mengarah kepada implementasi, sementara proses ke arah implementasi REDD masih sangat panjang karena IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) sedang diajukan ke Departemen Kehutanan untuk RE. “Sebelum ijin RE didapat, tidak mungkin REDD bisa dilakukan,” demikian ungkapannya. Di samping itu, FFI meyakinkan bahwa Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 299 skema-skema lain untuk kawasan hutan di luar IUPHHK-RE seperti HTR (Hutan Tanaman Rakyat), HA (Hutan Adat) maupun Hutan Desa belum ada kejelasan, seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat. REDD yang diketahui oleh warga Jelemuk adalah proyek yang tujuannya untuk jual beli karbon. Dalam jual-beli, keputusannya tergantung kepada masyarakat apakah menerima atau menolak. Kesepakatan ini bisa dilakukan oleh Lembaga Kerjasama Antar Desa yang anggotanya adalah 6 desa yang menjadi site DA REDD, sehingga memperoleh gambaran yang utuh tentang respon desa-desa lain. Secara prinsip, masyarakat melihat proyek REDD akan menjamin kelestarian hutan mereka. Namun pada waktu yang sama, muncul kekhawatiran bahwa mereka akan kehilangan akses terhadap sumber daya di hutan tempat mereka menggantungkan hidup selama ini. Dan, masih belum jelas bagi mereka, dimana persisnya wilayah dari kawasan hutan mereka yang masuk dalam wilayah REDD karena batas-batas yang belum begitu jelas. Konsep “menjaga hutan” tidak menjadi masalah bagi mereka, karena hutan memang harus dijaga, seperti yang diungkapkan oleh Kepala Desa Jelemuk di bawah ini: “…yang jadi masalah ke depannya, masyarakat tidak punya pekerjaan atau alih kerja (harus dicarikan kerja) jika memang hutan itu nanti tidak bisa lagi dimanfaatkan. Intinya, kalau memang harus dibuka, harus dicarikan jalan keluar bagi masyarakat.”205 Selain persolan alternatif mata pencaharian, masyarakat Jelemuk juga tidak begitu setuju dengan presentase 20% nilai jual jasa lingkungan yang akan mereka peroleh dari IUPHHK-RE.206 Menurut pengurus Desa, Masyarakat mestinya memperoleh setidaknya 50% karena mereka dituntut “menjaga hutan”, bahkan kemungkinan tidak bisa lagi mengakses hutan yang menjadi wilayah REDD. Dengan tanggung jawab yang begitu besar, jika ini bisa direspon oleh pemerintah maupun FFI, diungkapkan bahwa 70%-80% warga Desa Jelemuk akan menyetujui proyek REDD berjalan di desanya. Dari uraian di atas, memang masih ada beberapa hal yang belum begitu jelas bagi masyarakat kaitannya dengan REDD, diantaranya bagaimana memastikan posisi mereka sebagai “pemilik hutan” memperoleh manfaat dari proyek REDD. Hampir bisa dipastikan bahwa mereka tidak akan cukup kuat (posisi yang tidak setara) untuk menegosiasikan presentase 50% seperti yang mereka inginkan dengan pengetahuan mereka yang belum cukup memadai demikian pula dengan belum diakomodirnya isu perubahan iklim dan REDD dalam aspek hukum. Baik FFI maupun Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu mengakui bahwa belum ada perangkat hukum yang bisa dijadikan ‘cantolan’ untuk proyek REDD di wilayah ini.207 205 206 207 Yahya (Kepala Desa Jelemuk), wawancara, 16-03-2010. Lih. Lampiran III Permenhut RI No. P. 36 /Menhut-II/ 2009. Ini diungkapkan dalam Pertemuan Regional Mitra-mitra The Samdhana Institute ‘Pencapaian Pelaksanaan Kegiatan REDD Preparedness Wilayah Kerja Kalimantan’, 29-30 Maret 2010 di Pontianak. 300 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Tidak bisa dipungkiri pula, bahwa wacana tentang REDD yang berkembang di Desa Jelemuk berkutat pada persoalan “uang”, meskipun FFI memastikan bahwa meskipun akan ada “uang” kompensasi dari perdagangan karbon, itu akan masuk kas desa. Penggunaanya harus direncanakan oleh desa setiap tahun, utamanya untuk kepentingan umum seperti untuk pembangunan puskesmas, pendidikan gratis, atau untuk kegiatan pertanian. 6.3 Menunggu REDD di desa: Kasus di Desa Petak Puti dan Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (a) Kondisi geografis dan aksesibilitas Desa Petak Puti berada di kawasan hulu kawasan DAS Mantangai masuk ke dalam daerah administrasi Kecamatan Timpah di Kabupaten Kapuas. Dalam pembagian blok kawasan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG), Desa Petak Puti masuk di kawasan blok E. Ada dua alternatif jalan yang dapat di tempuh dari Kota Palangkaraya untuk sampai ke Desa Petak Puti. Pertama, melalui Kota Kuala Kapuas; dari Kota Kuala Kapuas dilanjutkan menggunakan kelotok. Jadwal keberangkatan ke Petak Puti dari Kota Kuala Kapuas hanya ada setiap hari rabu dengan biaya Rp. 90.000,00. Ke dua, dari Palangkaraya melalui jalan darat, transit di kota Kecamatan Timpah; dengan biaya sebesar Rp. 100.000,00. Perjalanan selanjutnya melalui Sungai Kapuas, dengan kelotok atau perahu motor sewaan, dengan uang sewa paling murah Rp. 350.000. Sebetulnya saat ini sudah dapat di tempuh dengan menggunakan sepeda motor, akan tetapi resiko perjalanannya cukup tinggi karena harus menyusuri jalan yang rusak dan melewati hutan. Sementara, Desa Kalumpang secara administratif berada di Kecamatan Mantangai. Dari ibukota Kecamatan Mantangai, Desa Kalumpang di pisahkan oleh satu desa yaitu Desa Mantangai Mulu yang berada di sebelah selatan. Di sebelah utara Desa Kalumpang berbatasan dengan Desa Katunjung (ke hulu Sungai Kapuas dari Kalumpang). Dalam pembagian blok di kawasan PLG desa Kalumpang masuk di kawasan Blok A sebelah utara. Jalur transportasi dari Kota Kuala Kapuas menuju Desa Kalumpang bisa melalui jalan darat dan melalui jalur Sungai Kapuas. Apabila melalui jalur darat angkutan umum yang ada adalah taksi L-300, waktu yang di perlukan adalah + 1,5 jam dengan ongkos Rp. 35.000,00 . Angkutan umum ini hanya sampai di Kecamatan Mantangai, selanjutnya perjalanan ke Desa Kalumpang dapat ditempuh dengan menggunakan ojek dengan biaya Rp. 25.000,00 dengan waktu tempuh + 30 menit. Transportasi menuju desa Kalumpang melalui Sungai Kapuas biasanya menggunakan speed boat atau taksi air (long boat). Apabila menggunakan long boat waktu yang di tempuh adalah + 4 jam dengan biaya Rp. 35.000, Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 301 sedangkan jika menggunakan speed boat biayanya Rp. 60.000,00 dengan estimasi waktu 2 jam. Perjalanan melalui jalur sungai ini bisa langsung sampai ke Desa Kalumpang. (b) Penduduk desa penelitian Petak Puti termasuk lewu (kampung) yang baru; mulai ada sejak era penjajahan Jepang. Lewu Petak Puti di pertama di buka oleh 4 orang utama yaitu Bapak Soeta dan 3 orang pelarian Romusha Jepang yang bersuku Madura dan Jawa, Bapak Soeta sendiri adalah keturunan Dayak dari daerah Lamandau. Meskipun statusnya diawali sebagai tempat persembunyian dari kejaran penjajah Jepang, seiring jalannya waktu Desa Petak Puti berkembang menjadi perkampungan. Ada tiga kelompok pemukiman di desa ini, yaitu kampung asal, kampung seberang dan kampung hilir. Desa Petak Puti memiliki jumlah penduduk sebanyak 808 orang berasal dari 238 Kepala keluarga terdiri dari 394 orang laki-laki dan 414 orang perempuan. Desa Petak Puti berpenduduk mayoritas bersuku Dayak, adapun suku lain yang tinggal antara lain suku Banjar dan Jawa. Suku Dayak di Desa Petak Puti adalah anak suku Dayak yaitu suku Dayak Ngaju, sedangkan suku Banjar yang ada adalah pendatang yang berbaur akibat status perkawinan saja, sedangkan suku Jawa relatif sedikit saja. “Desa Petak Puti mulai banyak penduduknya setelah datangnya penduduk asli dari sungai kapuas ini, mereka ada yang dari timpah, mantangai, juga ada dari kampung-kampung lain di sepanjang sungai kapuas ini. Kebetulan daerah kami ini banyak ikan karena itulah banyak yang datang ke desa ini” ujar Mantir Adat Desa Petak Puti. Masyarakat Desa Petak Puti kebanyakan memiliki rumah di tepian sungai, saat ini masih ada beberapa rumah yang menghadap ke sungai. Alasan pemilihan rumah di tepi sungai selain untuk aktifitas mandi, mencuci dan jamban kakus . Berbeda dengan Petak Puti, Desa Kalumpang merupakan lewu yang sudah cukup lama keberadaannya, mulai dibuka sejak masa penjajahan Belanda. Secara administrasi Desa Kalumpang sendiri merupakan pecahan dari desan Mantangai . Berdasarkan wawancara dengan Mantir Adat Desa Kalumpang, Desa Mantangai dibagi menjadi 3 desa yaitu Desa Mantangai hilir, Desa Mantangai Hulu dan Desa Kalumpang. Saat ini, jumlah penduduk Kalumpang ada 1.106 jiwa dengan 297 kepala keluarga. Masyarakat Desa Kalumpang dengan Desa Petak Puti mayoritas penduduknya adalah samasama orang Dayak Ngaju, namun di Desa Kalumpang ada sejumlah suku lain (terutama orang Jawa dan Banjar) yang cukup banyak, dibandingkan dengan warga Desa Petak Puti. Pembauran antara penduduk asli Dayak dengan penduduk yang pendatang relatif baik, ditandai dengan penggunaan bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pengantar sehari-hari. 302 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? (c) Tradisi dan adat-istiadat Agama Kaharingan sebagai agama asli suku Dayak Ngaju banyak berpengaruh pada tradisi dan adat istiadat. Meski saat ini penduduk di Petak Puti dan Kalumpang sudah banyak yang memeluk ‘agama baru’ (Islam, Kristen dan Katolik) adat istiadat maupun tradisi yang di gunakan masyarakat masih menggunakan tradisi dan adat leluhur yang beragama Kaharingan. Warga Desa Petak Puti maupun Kalumpang masih cukup kuat dalam memegang adat istiadat mereka, hal ini tercermin dalam kehidupan masyarakat Petak Puti maupun Kalumpang dalam melaksanakan upacara pernikahan. Acara Nikah Adat senantiasa ada dalam setiap pernikahan maupun pada kegiatan pertunangan. Kondisi ini bukan berarti tidak ada pergeseran atau hilangnya budaya (adat istiadat), misalnya saja ritual adat dalam membuka ladang, saat ini sudah jarang lagi di temukan, karena aktivitas berladang sebagaimana era sebelum sekarang sudah jarang di temui. Saat ini ketika memulai penanaman padi warga desa jarang yang mau repot melaksanakan upacara adat terlebih dahulu. Realitas ini sebetulnya bukan menandakan bahwa masyarakat Dayak Ngaju di Desa Kalumpang atau Petak Puti tidak meyakini lagi adat dan tradisi. (d) Organisasi sosial dan sistem politik lokal Selain organisasi pemerintahan desa masyarakat desa Petak Puti dan Kalumpang memiliki perangkat adat yang di sebut Mantir Adat yang terdiri dari tiga orang yaitu mantir kepala dan dua mantir anggota. Keberadaan mantir adat sebenarnya sudah lama ada di kampung-kampung suku Dayak termasuk di Desa Petak Puti maupun di desa desa yang lain. Hal lain yang ditemui di Desa Kalumpang yaitu keberadaan Mantir Adat baru, setelah ada Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2007 diberlakukan. Sebelumnya Mantir Adat di Desa Kalumpang tidak di ada, penyebabnya adalah pergeseran adanya pemerintahan desa yang mengurus sistem pengelolaan kehidupan bermasyarakat. Sementara Mantir Adat Petak Puti sudah ada sejak lama, bahkan sebelum ada peraturan daerah tersebut. Mantir Adat di pilih langsung secara musyawarah mufakat oleh masyarakat kampung. Terakhir pemilihan Mantir Adat di Desa Kalumpang maupun Desa Petak Puti dilakukan secara dengan menggunakan pemilihan dengan jalan pengambilan suara perwakilan RT dan kampung. Peran Mantir Adat dalam kehidupan masyarakat Puti berkaitan dengan masalahmasalah perkawinan, waris, pengelolaan hutan, pengelolaan danau maupun sengketa masalah pertanahan seperti tata batas. Apabila ada permasalahan tidak mampu Diselesailkan tingkat Mantir Adat biasanya akan di bawa ke Damang Kepala Adat. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 303 Perbedaan keberadaan perangkat adat saat ini dan sebelumnya (sebelum ada Perda) adalah pada pengesahan mantir dan perangkat adat lainnya. Sebelumnya perangkat adat bekerja langsung setelah terpilih dan di lakukan upacara adat. Dalam perkembangan saat ini Damang Kepala Adat mendapat insentif bulanan dari Pemda. “Dulu, sebelum ada peraturan baru, mantir adat bekerja tanpa ada SK, tapi sekarang saya baru akan berani melakukan penerapan denda adat setelah ada SK”.208 (e) Hukum adat dan dinamikanya Secara umum penerapan hukum adat oleh suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah dilaksanakan pada wilayah ritual dan beberapa bagian kehidupan sehari hari. Penerapan hukum adat di Desa Petak Puti baik pelaksanaan beberapa ritual, dan kawin adat serta pemberian sangsi adat dilakukan oleh Nantir Adat dibantu oleh anggotanya. Penerapan denda adat atau jipen dilakukan oleh Mantir Adat. Dalam melaksanakan adat suku Dayak, ada dua aliran yaitu: • Tersilah kepada keduniawian. Hukum adat ini berlaku dalam perkara kriminal, etika dan pergaulan masyarakat. Hukum adat juga mengadili perkara yang berhubungan dengan kemasyarakatan misalnya: masalah harta benda, pusaka, perceraian, ketentuan ahli waris, masalah anak dalam perceraian, milik perpantangan, hak-hak atas tanah. • Tersilah kepada agama. hukum adat yang tersilah kepada agama menghukum siapa pun yang telah menghina dan mencemarkan halhal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat, misalnya: merusak kubur, merusak pahewan, merusak petak ruas, merusak petak pali, merusak indus, merusak sandung, melanggar adat pali di saat kampung memegang rutas, melanggar adat negeri ketika memalas pali, melanggar adat pali di tempat orang melahirkan, melanggar adat pali pada saat pengobatan orang sakit, merusak pangantoho (rumah kecil tempat pujaan), tulah berzina dengan saudara, tulah berzina dengan ibu/bapak, tulah berzina dengan misan dan merusak pantar. Di Desa Petak Puti maupun Desa Kalumpang penerapan jipen terhadap perusakan sumber daya alam seperti hutan dan sungai tidak berlaku. Misalnya adanya penebangan pohon hutan maupun kebakaran akibat pembakaran lahan kebun, tidak ada hukuman adat untuk itu. Masalah dalam pengelolaan sungai, misalnya proses penambangan di bantaran sungai yang diyakini oleh masyarakat juga merusak kondisi air sungai, juga tidak diselesaikan melalui jipen adat. Alasan utama tidak berlakuknya denda adat ini karena hal-hal di atas masuk dalam aktivitas untuk menyambung keberlanjutan hidup masyarakat. Oleh karena itu jipen berlaku pada wilayah pelanggaran lain, misalnya pelanggaran norma terkait hubungan 208 Kiting Simson Soeta (Mantir Adat), wawancara, 19-03-2010. 304 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? horizontal antar masyarakat seperti perselingkuhan dan tindakan kriminal yang merugikan salah satu pihak masyarakat. Di Kalimantan Tengah pemberlakuan hukum adat sebelumnya bisa dianggap lemah, bahkan kurang begitu diperhatikan. Namun, saat ini seiring dengan dikeluarkannya peraturan daerah mengenai kelembagaan adat,209 pemberlakuan hukum adat menjadi diperhatikan lagi. Urusan-urusan mengenai hak kepemilikan tanah adat pun mulai diperhatikan dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 13 Tahun 2009, yang memberikan wewenang kepada kelembagaan adat di tingkat kampung/ desa untuk melakukan pengukuran tanah adat milik masyarakat. Selanjutnya untuk pengesahan surat tanah dilakukan oleh Damang Kepala Adat.210 (f) Perekonomian masyarakat desa hutan Keseharian masyarakat Desa Petak Puti dan Kalumpang tidak terlalu berbeda. Namun dalam hal pekerjaan, masyarakat Petak Puti lebih banyak melakukan aktivitas mencari ikan sedangkan di Kalumpang masyarakat lebih banyak yang memantat gita (menyadap karet). Aktivitas mencari ikan bagi masyarakat Desa Kalumpang bukan merupakan pekerjaan utama, hal ini berbeda dengan masyarakat Petak Puti dimana mencari ikan adalah aktivitas utama mata pencaharian. Selain itu masyarakat Kalumpang juga bercocok tanam sayur, sedangkan di Desa Petak Puti aktivitas ini sulit di temui. Mayoritas warga Desa Petak Puti adalah pencari ikan, warga menangkap ikan dari danau di sekitar kampung. Hasil tangkapan ikan di Petak Puti lebih banyak dari desa-desa lain di DAS Kapuas, hal ini di ketahui dari jumlah ikan yang dibeli pengumpul ikan dari masyarakat. Dalam satu minggu biasanya pengumpul ikan dapat membawa ikan basah diatas 300 kilogram, warga Desa Petak Puti juga mengubah hasil tangkapan ikan menjadi lebih tinggi nilai jualnya dengan cara dikeringkan. Harga ikan basah di Petak Puti berkisar Rp. 15.000,00 sampai Rp. 20.000,00/kilogram sedangkan ikan yang sudah dikeringkan harganya rata-rata berkisar Rp. 30.000,00/kilogram. Selain itu, berkebun karet merupakan penghasilan kedua terbanyak yang dilakukan oleh warga Petak Puti maupun Kalumpang, hal ini didukung dengan harga karet yang cukup tinggi. Harga komoditas karet di Petak Puti saat ini mencapai Rp. 8.500,00 sedangkan di daerah hilir seperti di Desa Sei Ahas atau Kalumpang harganya Rp. 6.500,00. Ketergantungan kepada hutan masih melekat pula pada warga Desa Petak Puti, warga Petak Puti biasanya memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, kulit gemor, madu dan damar. Saat ini, mencari kayu secara ilegal dan mencari kulit gemor semakin jarang dilakukan karena adanya larangan aktivitas pembalakan liar. Mencari damar juga semakin berkurang saat ini 209 210 Perda Nomor 16 Tahun 2008 Kelembagaan Adat Dayak Kalimantan Tengah. Lebih jelas soal Perda kelembagaan Adat Dayak serta Pergub 13/2009 dapat dilihat di bab 4.2 (c) buku ini Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 305 karena semakin sedikit damar yang terdapat dari hutan. Sementara mencari madu masih dilakukan oleh warga Petak Puti. Tabel 6.1. Jenis kegiatan utama produktif warga Desa Petak Puti No. Pekerjaan 1 Mencari ikan Keterangan Ikan merupakan sumber penghasilan utama, pada musim panen selama 3 bln memasuki bulan kemarau rata-rata ikan yang dijual dari Desa Petak Puti sebanyak +- 1 ton/hari. 2 Usaha karet Karet merupakan satu sumber produksi bahan kedua masyarakat Petak Puti selain ikan. 3 Mencari rotan Rotan (luas lahan > 10 hektar) tetapi masyarakat gunakan rotan bukan untuk dijadikan tambahan penghasilan. 4 Mencai madu Madu hutan, masih menjadi usahakan oleh beberapa kepala keluarga. 5 Mencari kayu Kayu, masih didapati masyarakat yang bekerja di sektor secara liar ini, penebangan di lakukan secara liar kemudian dijual ke pemilik bansaw yang memiliki surat-menyurat izin pemanfaatan kayu. Kasus terakhir yang terjadi adalah penyitaan kayu hasil kerja masyarakat oleh aparat kepolisian. 6 Memungut getah Damar, pada saat ini sudah sangat jarang damar dari damar hutan yang di jual oleh masyarakat Petak Puti. Berdasrkan wawancara dengan pedagang di kapal yang membeli damar, rentang waktu penjualan damar oleh masyarakat saat ini hanya ada sekitar satu kali setiap 3 sampai 4 bulan. Aktivitas perekonomian masyarakat Desa Petak Puti juga di topang dari mencari emas. Masyarakat Petak Puti tidak mencari emas di kawasan Desa Kalumpang. Biasanya masyarakat menambang emas ke daerah Kecamatan Pujon. Dalam kehidupan keseharian masyarakat Desa Petak Puti saat ini selalu membeli beras, karena sudah jarang ada warga yang menanam padi di kebun. Selain itu, lahan di sekitar sungai juga semakin sering terlanda banjir. Warga Petak Puti juga membeli sayur dari pedagang dari luar, karena di lahan di sekitar perkampungan yang berpasir sulit dipergunakan untuk bercocok tanam; sangat sedikit daerah yang dapat ditanami sayur maupun palawija lainnya. Oleh karena itu, warga membeli beras dan sayuran dari kapal atau klotok-klotok penjual sayur yang berasal dari luar desa. Selain dari para penjual di sungai, kebutuhan lain masyarakat Petak Puti didapatkan dari berbelanja di pasar mingguan yang dibuka di jalan desa. Pasar mingguan ini telah ada sejak lama, saat Petak Puti ramai dengan bisnis kayu liar. Barang barang yang dijual selain sembilan bahan makanan pokok, adalah barangbarang kelontong, pakaian, kosmetik, bahkan voucher telepon seluler. 306 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Sementara itu, masyarakat Kalumpang sebagian besar menggunakan kawasan hutan sebagai lahan kebun karet dan rotan, serta ladang padi dan sayur untuk keperluan sehari-hari. Karet dan rotan sebagai hasil produksi desa biasanya di jual ke tengkulak yang datang ke desa atau juga kepada pengumpul orang desa setempat. Rotan merupakan hasil kebun yang tidak begitu banyak lagi diusahakan sebagai sumber pendapatan masyarakat, tidak banyak lagi warga Kalumpang yang memiliki kebun rotan. Kebun warga banyak yang habis karena kebakaran dan tergusur oleh projek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar. Kebakaran kebun bagi warga Kalumpang menjadi ancaman serius pada musim kemarau, menurut warga kebakaran semakin tidak terkendali setelah dibukanya kanal-kanal PLG. Harga komoditas rotan di Kalumpang berkisar 100 ribu/kuintal. Rotan yang dijual di Kalumpang adalah rotan basah, tidak ada kegiatan proses pengeringan rotan. Barang jadi berupa anyam-anyaman dari rotan hanya sebagai pekerjaan sampingan ibu-ibu dan skalanya tidak besar, di tingkat perorangan saja dan belum terorganisir dengan baik. Produksi anyaman rotan dalam jumlah besar dilakukan hanya bila ada pesanan. Berbeda dengan di Petak Puti, penduduk Desa Kalumpang masih banyak yang menanam padi, bahkan di Kalumpang terdapat 3 tempat penggilingan padi. Kebanyakan padi hasil bertani tidak dijual melainkan digunakan untuk dikonsumsi sendiri. Umumnya, warga Desa Kalumpang yang berkebun karet membeli beras untuk konsumsi harian. Aktivitas masyarakat Kalumpang di bidang perkayuan saat ini sudah tidak ada lagi sekarang, hanya perusahaan (bansaw) saja yang ada. Sebelumnya masyarakat Kalumpang banyak yang melakukan usaha di bidang perkayuan namun saat ini sudah tidak ada lagi, mereka berhenti total pada tahun 2006. Adapun bansaw yang beroperasi di Desa Kalumpang dimiliki dan dikelola orang luar desa. Kayu yang diproduksi juga bukan berasal dari kawasan Desa Kalumpang, melainkan dari kawasan hulu. Aktivitas penebangan kayu oleh warga Desa Kalumpang mencapai puncaknya pasca dibukanya kanal-kanal PLG yang mempermudah akses masyarakat terhadap kawasan hutan. Masyarakat Desa Kalumpang mulai melakukan penanaman kebun karet pada tahun 2000, selanjutnya warga mulai banyak menanami lahannya dengan karet pada tahun 2004. Sebelumnya menyadap karet dan pertanian sudah hampir ditinggalkan oleh sebagian besar warga desa, namun setelah aktivitas di sektor perkayuan sulit diusahakan lagi menyadap karet menjadi pilihan terbesar dari warga Kalumpang. Harga karet di Kalumpang ketika penelitian adalah Rp. 6.000/kilogram; harga karet terendah pernah mencapai Rp. 1000/kilogram ini terjadi pada akhir tahun 2008 pada saat terjadi krisis global. Selain berkebun, masyarakat Kalumpang juga memiliki aktivitas mencari ikan untuk dijual pada tetangga, “Bisa-bisa kami mencari ikan itu kan, Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 307 tapi digarami saja (ikan asin) dan dijual dengan tetangga-tetangga saja….. Untung-untunganya saja, ibaratnya menjual jika ada lebihnya dari yang untuk dimakan itu dijual”. Dari paparan di atas terlihat bahwa bentuk produksi yang paling dominan dua kampung ini adalah mencari ikan, kebun karet dan ladang. Alasan mata pencaharian karet menjadi pilihan utamanya karena harga karet sudah mulai membaik. Di tingkat petani harga karet mencapai harga kisaran Rp. 6.500 - 9.000 tergantung bentuk karet yang akan dijual. Bentuk karet untuk dijual ada dua macam, yaitu bentuk takuluk gita dan tampang. Bentuk takuluk gita adalah hasil panen karet yang tidak ada campuran dalam bentuk langsung wadah karet. Sedangkan bentuk tampang adalah bentuk hasil panen karet berupa karet bak atau kotak kayu. Bentuk karet ini biasanya dicampur dengan tawas. Karet biasanya dijual langsung atau ada pembeli yang menggunakan kelotok datang langsung ke rumah warga. Biasanya masyarakat menjual karet dalam jangka waktu dua hari atau juga setiap minggu, misalnya, warga biasa menjual hari Rabu, karena pada hari Kamis atau Rabu malam warga berbelanja kebutuhan pokok ke pasar mingguan. Laki-laki dan perempuan berperan penting dalam mamantat gita (menyadap karet). Karet disadap pagi hari mulai sekitar pukul 05 – 06 pagi. Biasanya sebelum berangkat warga menyiapkan dulu perbelakalan untuk sarapan atau sarapan langsung di rumah. Jarak tempuh menuju kebun karet berkisar antara 1 – 3 kilometer dari belakang kampung atau dengan lama waktu sekitar 15 – 30 menit dari kampung. Alat transportasi yang digunakan adalah sebuah perahu kecil atau biasa di sebut ces yang bisa dimuati 3 - 4 orang dewasa. Untuk kebun karet yang berada pada pinggiran sungai besar bisa menggunakan perahu yang agak lebih besar yaitu kelotok. Pada pukul 11 – 12 siang mereka sudah pulang dengan membawa hasil panen karet. Bentuk karet yang dibawa bisa berbentuk takuluk gita atau bentuk tampang. Rata-rata per hari per satu orang berkisar menyadap antara 10 – 25 kilogram karet, tergantung kemampuan seseorang dalam menyadap karet. Kisaran rata-rata, satu orang mampu menyadap karet sejumlah 200 – 400 pokok pohon. Apabila dihitung rata-rata penghasilan perkepala kelurga dalam memanen karet paling rendah adalah 10 kilogram dengan harga karet Rp. 7.000,00 maka mereka dapat menghasilkan uang dalam tiap hari adalah Rp. 70.000 Warga Petak Puti maupun Kalumpang menjual hasil kebun karetnya kepada penampung. Kebanyakan pembeli karet/penampung ini adalah orang Banjar, selain itu ada beberapa warga setempat yang menjadi penampung. Hasil karet ini kemudian dibawa lagi ke pabrik di Banjarmasin dengan menggunakan kapal pengangkut yang dibawa melalui Sungai Kapuas, selanjutnya dipindahkan ke truk pengangkut di Mantangai atau kota 308 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Kecamatan Mandomai. Menurut salah seorang penampung di kampung Kalumpang, harga jual di pabrik berkisar Rp. 11.000,00 – 14.000,00 / kilogram. Wilayah rawa gambut sejak dulu sudah dikelola oleh masyarakat untuk kebutuhan pangan dan konsumsi. Begitu juga halnya bagi masyarakat di kampung Kalumpang. Walaupun proyek PLG tahun 1996 telah menghancurkan tatanan dan ekosistem wilayah, namun masyarakat masih mampu bertahan dengan produksi dan konsumsi pangan cukup. Untuk tambahan produksi pangan, masyarakat menggunakan lahan di sekitar galian eks PLG sebagai lokasi ladang, yang kemudian dijadikan kebun karet 211 atau kebun buah. Pada saat penggalian kanal PLG, ��� banyak kebun warga Kalumpang yang terkena gusuran pembuatan kanal. Semenjak itu banyak tuntutan warga kepada pemerintah untuk mengganti atas kerugian yang ditimbulkan. Akibat lain dari penggalian kanal itu adalah terangkatnya pirit gambut yang mengakibatkan air asam. Ini berpengaruh terhadap kesuburan tanah dan perkembangbiakan ikan pada rawa atau beje milik masyarakat. Untuk mempengaruhi dan mempercepat kesuburan tanah, masyarakat menggunakan sistem bakar, dengan terlebih dahulu membuat sekat bakar. Di bawah ini adalah proses perladangan dengan kalender musim: Tabel 6.2. Proses perladangan dengan kalender musim No 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan Mei – Juli Juli – Agustus Agustus – September September – Oktober Oktober – November Desember – februari Maret – April April – Mei Aktivitas Manggau leka malan (mecari tempat berladang) Mandirik (Menebas) Maneweng (Menebang) Manusul(membakar) Manugal (menanam padi) Ngamawao (membersihkan rumput) Ngetem (panen) Bakabun (membuat kebun) Dulu proses menentukan musim bisa dilihat dengan melihat rasi bintang. Namun sejak tahun 2000-an menurut warga, kalender musim tanam sulit dipastikan. Terkadang musim hujan terlalu cepat dan musim kemarau kemarau terlalu lama. Dan ini sangat berpengaruh dengan produksi dan konsumsi masyarakat akan pangan. Di Desa Petak Puti jumlah yang berladang sekarang tidak banyak, berbeda dengan di Kalumpang. Kemampuan masyarakat dalam membuka ladang dengan sistem handep atau haruyung adalah lahan seluas ± 2 hektar. Dengan lahan dua hektar biasannya diperlukan bibit padi tugalan sekitar 20 gantang, dan akan diperoleh hasil 1 koyan atau 1.000 gantang atau sekitar ± 4 ton padi kering yang setara dengan beras sekitar 2 - 3 ton beras. Harga 211 Persoalan PLG atau Pengelolaan Lahan Gambut disinggung pula dalam bab 4.3 Buku ini. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 309 jual beras saat ini berkisar antara Rp. 5.000 – 6.000 /Kilogram. Hasil padi tersebut saat ini jarang untuk dijual, hanya dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari selama 10 - 12 bulan untuk satu keluarga dengan 5 - 6 orang. Warga Kalumpang berladang dengan sistem menetap, walaupun hasilnya tidak sebanyak dengan menggunakan sistem perladangan gilir balik. Apabila dihitung rata-rata, setiap kepala keluarga di kampung Kalumpang mempunyai lokasi lahan 2 hektar kebun karet dengan 1 hektar lokasi ladang. Dalam berladang, warga tidak menggunakan dengan hitungan hektar, namun dengan hitungan luas borongan; satu hektar sama dengan 35 borongan, satu borongan sama dengan 10 x 10 depa. Satu hektar ladang memerlukan bibit padi gunung sebanyak 5 blek yang apabila hasil panen padi berhasil dapat menghasilkan ± 100 blek padi atau setara dengan beras 50 – 60 blek. Jadi diperkirakan satu borongan dapat menghasilkan 3 blek padi. Pada tahun 2007 - 2008 hanya sedikit masyarakat yang berladang karena himbauan dari pemerintah provinsi dalam penanggulangan kebakaran hutan dan pembatasan kebakaran hutan dan lahan. Dalam peraturan tersebut ada aturan yang mengharuskan masyarakat untuk melakukan pembakaran lahan dengan batasan – batasan tertentu. Hal ini membuat masyarakat yang melakukan perladangan enggan berladang karena takut ditangkap jika membakar lahan saat berladang.212 Diperkirakan sejak lima tahun terakhir ini, terjadi pergeseran tradisi dalam membuka ladang di Kalumpang. Jika dahulu semua proses berladang dilakukan secara handep (gotong royong) saat ini ada yang menggunakan sistem bayar atau upah. Upah perhari untuk mengerjakan ladang adalah Rp. 40.000,00. Dengan handep apabila seseorang tidak hadir akan digantikan orang lain dengan membayar uang sejumlah Rp. 20.000 / hari. (g) Sistem tenurial Dayak Ngaju Pada daerah penelitian, terdapat masyarakat adat Dayak Ngaju. Suku Dayak Ngaju merupakan suku terbesar di Kalimantan Tengah yang keberadaanya tersebar di beberapa wilayah daerah aliran sungai di Kalimantan Tengah, termasuk di daerah aliran Sungai Kapuas dan Kahayan. Dayak Ngaju terdiri dari 4 suku kecil dan 90 suku sedatuk dengan perincian jumlah tertera di tabel ini: Tabel 6.3. Taksonomi Dayak Ngaju No. 1 2 3 4 212 Suku Kecil Dayak Ngaju Dayak Ma`anyan Dayak Dusun Dayak Lawangan Jumlah Suku Sedatuk 53 suku sedatuk 8 suku sedatuk 8 suku sedatuk 21 suku sedatuk Penjelasan lebih lanjut soal pelarangan bakar lahan ini dapat dilihat di bab 4 (c) buku ini. 310 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Masyarakat adat Dayak Ngaju menganut kepercayaan Kaharingan yang masih cukup kuat sampai sekarang. Hal ini bisa dilihat dari ritual-ritual adat yang yang dilakukan. (i) Sistem penataan kawasan secara tradisonal Penguasaan lahan hak masyarakat di Desa Petak Puti maupun Desa Kalumpang dilakukan dengan menggunakan sistem ayungku. Kepemilikan ini biasanya didapat dari pembagian-pembagian tanah oleh para orang tua, keluarga atau dari hasil membuka lahan kosong baik berupa hutan maupun semak-semak. Dari membuka lahan lalu berladang, apabila sudah ditanami dengan berbagai pohon produktif maka lahan itu menjadi milik si pembuka. Tanaman produktif adalah tanda kepemilikan dari orang yang membuka ladang tersebut. Pembagian kawasan di Desa Petak Puti dan Kalumpang mengikuti prinsip dan karakter yang serupa. Dalam tabel, terlihat sbb: Tabel 6.4. Pembagian kawasan di Desa Petak Puti dan Kalumpang Desa Petak Puti 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Sungei (sungai) Lewu atau kampung (desa) Himba (hutan) Pukung Pahewan Napu (rawa) Huma atau tana (ladang) Kabun kalakah (kebun) Bahutaya (semak) Danau Desa Kalumpang 1. Sungei (sungai) 2. Lewu atau kampung (desa) 3. Himba(hutan) 4. Pukung Pahewan 5. Napu (rawa) 6. Huma atau tana (ladang) 7. Kabun kalakah(kebun) 8. Bahutaya (semak) 9. Danau 10. Handil Sungei (sungai) merupakan urat nadi kehidupan bagi masyarakat yang hidup dan tinggal sungai kapuas. Sungai juga merupakan jalur transportasi antar kampung yang memang kebanyakan berada di pinggir sungai. Selain sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga seperti mandi, cuci dan kakus (MCK), Sungai Kapuas juga dimanfaatkan untuk menambah penghasilan ekonomi seperti menangkap berbagai jenis ikan dengan menggunakan alat tradisional seperti rengge, lunta, satawan, buwu dan pisi (pancing). Untuk keperluan air minum dan memasak (air bersih) biasanya masyarakat mengambil dari air sumur yang dicampur tawas untuk membersihkan air sumur tersebut. Sebagian warga lainnya dengan menggunakan air sedot dari dalam tanah. Lewu atau kampung adalah wilayah atau tempat berkumpul komunitas masyarakat untuk dapat lebih memudahkan interaksi antar Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 311 keluarga dan kerabat. Di lewu inilah sistem pemerintahan berjalan dengan membawahi beberapa Rukun Tetangga (RT). Himba (hutan) merupakan sebuah kawasan yang mana mereka gunakan untuk berbagai aktivitas diantaranya adalah untuk berburu, memungut hasil hutan (beberapa jenis rotan dan getah), gemor, jelutung, tumbuhan obat-obatan dan menggunakan beberapa jenis kayu untuk keperluan rumah. Kalehkak (bekas kampung) adalah bekas pemukiman yang sudah lama ditinggalkan dan masih di kelola secara baik. Biasanya kalehkak di gunakan masyarakat untuk mengambil berbagai jenis rotan, tengkawang, karet dan buah-buahan lainnya seperti durian, cempedak. Kalehkak terbagi dalam dua bagian, yaitu kalehkak lewu yang merupakan bekas pemukiman (kampungn atau desa) yang dimanfaatkan dan dimiliki secara komunal oleh keturunan dari komunitas kampung tersebut dan kalehkak dukuh atau bekas bermukim sementara yang masih dimanfaatkan dan dikelola kawasannya. Napu (Rawa) adalah sebuah wilayah yang mempunyai dataran tanah agak rendah dan berair (rawa). Pada lokasi ini biasanya mempunyai tingkat keasaman yang lebih dan bagi masyarakat biasanya di gunakan untuk lokasi persawahan padi. Selain itu biasanya masyarakat memanfaatkan lahan pada daerah rawa ini adalah dengan membuat beje atau kolam tradisional. Dan jenis tanaman yang banyak terdapat pada daerah rawa ini adalah tanaman purun yang digunakan masyarakat untuk membuat tikar (tikar purun). Huma atau tana (ladang) ladang adalah sebuah lokasi tempat masyarakat menanam berbagai jenis padi. Jenis padi yang ditanam biasanya hanya satu kali musim (satu kali tanam) atau padi gunung. Dalam berladang juga adalah merupakan sebuah tahap awal masyarakat dalam membuka kebun (kabun) apabila di lokasi ladang tersebut subur. Untuk menunggu hasil panen tiba, biasanya masyarakat menanam berbagai jenis sayur untuk kebutuhan sehari-hari. Dan setelah selesai panen biasanya ditanami lagi dengan karet atau berbagai jenis buahbuahan seperti durian, cempedak. Akhir dari proses berladang dan kemudian menjadi tana adalah melakukan usaha kebun (kabun) dari bekas areal ladang yang sudah ditanami padi. Biasanya pada kebun ini terbagi menjadi dua sebutan. Kabun kalakah (kebun) adalah sebuah areal dimana terdapat kumpulan berbagai jenis pohon yang digunakan warga sebagai mata pencaharian atau tambahan kebutuhan pangan. Biasanya pada kebun ini terbagi menjadi dua sebutan yaitu, pertama adalah Kabun Bua yaitu kebun campuran yang ditanami berbagai jenis tanaman buah-buahan seperti nangka, rambutan, pinang, durian, dll. Dan yang kedua adalah 312 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Kabun gita atau kabun uwei (kebun karet atau rotan) yang mempunyai jenis tanaman khusus yaitu pohon karet atau rotan. Bahu taya (semak) adalah semak belukar yang diperkirakan sudah berumur di atas dari 15 tahun. Atau semak belukar yang akan menjadi hutan. Semak belukar ini bisa juga bekas lahan berladang masyarakat yang sudah ditumbuhi oleh pohon-pohon perdu seperti karamunting, alang-alang dan rumput-rumput liar. Lahan ini masih bisa dijadikan ladang, walaupun tidak sesubur pada ladang yang baru dengan membuka hutan (gilir balik). Hal ini karena tingkat kesuburannya rendah dari unsur hara yang terserap oleh tanaman padi selama proses peladangan sebelumnya. Pukung Pahewan adalah sebuah kawasan hutan dimana kawasan ini merupakan kawasan tempat roh-roh gaib tinggal. Menurut masyarakat setempat kawasan ini merupakan daerah yang tidak boleh diganggu atau dirusak keberadaannya. Di lokasi pahewan ini biasanya terdapat patung dan rumah-rumahan tempat untuk memberikan sajian kepada roh-roh yang tinggal di Tojahan tersebut. Biasanya sebagian masyarakat apabila menghajatkan sesuatu dan hajat tersebut terkabul maka mereka akan membayar hajat ke lokasi pahewan tersebut. Pahewan merupakan sebuah kawasan hutan yang dimiliki secara komunal oleh masyarakat Dayak yang keberadaannya dilindungi dan dimanfaatkan dengan berdasarkan aturan hukum adat yang berlaku dikampungnya. Penyebutan hutan menjadi pahewan, tajahan atau himba keramat biasanya dipengaruhi oleh mimpi yang dialami oleh masyarakat banyak, yang bersifat peringatan/pemberitahuan dan dialami oleh orang banyak atau oleh kejadian-kejadian aneh yang dialami oleh masyarakat pada wilayah tersebut. Kawasan hutan lainnya pun dapat menjadi himba keramat apabila terdapat pertanda pada kawasan tersebut seperti disebutkan diatas. Dalam masa-masa mendatang kemungkinan besar himba keramat dapat bertambah luas jika terdapat tanda-tanda tersebut. Handil adalah sistem pengairan pada daerah pasang surut pada kawasan rawa gambut berbentuk parit. Handil merupakan konsep pengelolaan kawasan yang unik dimana pada awalnya adalah sebuah sungai kecil (saka) yang dijadikan parit memanjang untuk mengatur arus sungai. Pada sisi kiri dan kanan handil dijadikan masyarakat tempat untuk dijadikan lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah. Dulunya handil adalah sebuah sungai kecil yang digunakan warga untuk jalur transportasi ke lokasi ladang, kebung karet, kebun panting dan menuju arah hutan untuk memungut hasil hutan. Penamaan handil biasanya diambil dari nama pohon, nama tumbuhan, nama orang, nama ikan atau nama alam lainnya. Setiap satuan handil dipimpin oleh seorang kepala Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 313 handil yang mengkoordinir setiap kegiatan pengaturan, pemeliharaan sungai dan handil serta mengatur pembagian lahan di kiri kanan handil. Oleh karena itu kepala handil sangat berperan dalam pembagian lahan untuk masyarakat di kampung. Kepala handil dipilih oleh anggota handil dengan sistem musyawarah bersama anggotan handil. Untuk membantu pengelolaan lahan, kepala handil dibantu oleh seorang kepala padang dan seorang pengerak. Kepala padang adalah orang yang mengkoordinir kegiatan berladang pada musim tanam padi. Dan penggerak adalah seorang yang biasanya mengumpulkan warga untuk berkumpul apabila diadakan musyawarah atau kegiatan, misalnya gotong royong atau handep. Lama kepemimpinan kepala handil tidak terbatas selama kepala handil tersebut masih mampu dan akan dipilih lagi bersama anggota handil dengan azas mufakat dan kekeluargaan. Untuk membatasi lahan warga biasanya dibuat tatas (parit kecil) yang berguna untuk batas tanah warga dan juga digunakan untuk mengeluarkan kayu atau saluran air untuk kolam ikan tradisional atau biasa di sebut beje. Untuk menjadi keanggotaan handil warga yang terlibat harus melakukan berbagai proses, antara lain : a. Membayar uang ke kas kelompok handil untuk gotong royong pembersihan handil dan memberikan sumbangan kepada anggota handil apabila mengalami musibah. b. Setelah membayar sumbangan kepada kepala handil atau pembantunya, maka anggota handil akan diberi lahan untuk berladang atau berkebun karet dan buah. Luas lahan tidak ditentukan secara pasti tergantung anggota kelompok. c. Anggota handil harus melakukan kegiatan gotong royong atas permintaan kepala handil. Keputusan ini biasa dikeluarkan setelah ada rapat dengan anggota handil. Kegiatan gotong royong dilakukan untuk pembagian lokasi lahan baru untuk berladang. Pengaturan sistem kepemilikan lahan di kawasan handil, memang belum berbentuk dokumen tertulis, tetapi berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Tanda kepemilikan kawasan handil adalah adanya jenis tanaman produktif seperti jenis karet, jelutung, cempedak atau durian. Dalam hal jual beli lokasi lahan (misalnya, kebun karet) biasanya dapat diperjualbelikan kepada orang lain yang masih ada ikatan keluaraga di kampung, sebatas memenuhi prinsip adat istiadat. Luas lahan atau lokasi (ladang atau kebun) dinyatakan dengan luasan lembar atau depa. Penjualan lokasi lahan atau kebun dilakukan kedua belah pihak dengan disaksikan atau diketahui oleh kepala handil atau pambakal. Selain jual beli, pergantian kepemilikan bisa berdasarkan pemberian seseorang, warisan, tukar menukar (nangkiri) atau sistem gadai (sandak). Tukar 314 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? menukar atau barter bisa berupa lahan kebun dengan sebuah perahu kelotok atau rumah. Kepemilikan komunal, misalnya wilayah kampung, ditandai dengan batas yang sudah diatur oleh pemerintahan berdasarkan dari peta kampung. Wilayah atau batas kampung biasanya ditandai dengan sebuah sungai atau pohon. Batas kampung tersebut didasarkan pada kesepakatan antar kampung bersebelahan yang sejak dulu sudah terjalin serta masih ada hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. (ii) Pengelolaan Handil saat ini Saat ini terdapat beberapa handil di Kalumpang, dimana pada pinggiran handil-handil tersebut banyak terdapat kebun karet dan kebun buah milik masyarakat. Kebun karet dan buah tersebut sudah puluhan tahun ada yang pengeloalaannya diserahkan kepada secara turun temurun. Selain itu juga, sejak tahun 1990-an pengelolaan ladang menetap mulai mereka lakukan. Walaupun hasilnya tidak sebanyak ladang gilir balik yang dulu mereka lakukan. Ancaman terbesar pada kawasan handil adalah kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dimulai sejak dibukanya Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar pada tahun 1996. Awalnya kebakaran besar terhadap hutan dan lahan di kawasan handil adalah pada tahun 1997 – 1998 dimana saat itu juga kemarau sangat panjang. Hal ini mengakibatkan banyak kebun masyarakat yang terbakar karena merembet dari lahan semak. Berdasarkan informasi dari beberapa masyarakat Kalumpang, sejak dibuatnya kanal untuk PLG, banyak masyarakat mengambil kayu dan membabat hutan di hulu handil-handil. Dampak yang ditimbulkan adalah bekas hutan tersebut menjadi semak dan mudah terbakar pada saat musim kemarau. Biasanya ini terjadi saat beberapa warga melakukan kegiatan berladang untuk membuka lahan. Walaupun saat pembakaran dijaga oleh pembuka ladang, namun apabila terdapat kawasan gambut tebal, api di dalam tanah gambut juga ikut terbakar. Kendala lain adalah pada saat musim kemarau akses menuju kebun karet apabila musim kemarau. Karena pada musim ini air surut dan untuk menuju akses tersebut terpaksa harus menunggu air pasang. Apabila air pasang siang hari, artinya proses penyadapan karet sudah mulai berkurang getahnya karena getah karet mengucur banyak pada pagi hari. Di luar kebakaran dan usaha karet, dampak lain yang ditimbulkan proyek kanalisasi PLG adalah air pada kawasan rawa cepat mengering yang mengakibatkan beje milik masyarakat tidak berfungsi secara baik. Karena beje membutuhkan kedalaman air yang cukup baik untuk perkembangan ikan pada saat musim banjir. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 315 (iii) Dinamika Tenurial di Desa Petak Puti Masyarakat Petak Puti mulai banyak melakukan penanaman karet di kebun-kebun yang sudah lama ditinggalkan dan pada lahan tidur yang masih tersedia luas. Diprediksi, ke depan di Desa Petak Puti, aktivitas berkebun karet dapat mengimbangi aktivitas dan penghasilan dari mencari ikan. Selain itu, masyarakat saat ini sedang mengajukan pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Inisiatif pengajuan HTR pertama kali diusulkan kepada masyarakat oleh Penyuluh Kehutanan Kecamatan Timpah pada tanggal 8 Desember 2009. Menariknya, bahwa masyarakat sendiri belum paham peraturan terkait tentang HTR (Permenhut no 23 tahun 2007). Pengetahuan yang ada tentang HTR sejauh ini hanya pada kompensasi yang akan didapat dan syarat-syarat administrasi pengajuan HTR saja. Aturan secara utuh dan mekanisme pengaturan HTR-nya, masyarakat Desa Petak Puti tidak mengetahui. Berdasarkan hasil wawancara, alasan masyarakat Desa Petak Puti mengajukan HTR adalah karena belum jelasnya kepemilikan dan pengelolaan serta pemanfaatan lahan yang ada di Desa Petak Puti (kawasan hutan negara eks HPH). Alasan lain adalah untuk menambah penghasilan masyarakat, baik yang berupa insentif pengelolaan hutan maupun dari hasil menanam kayu serta untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kayu sendiri. Luas areal lahan yang diajukan untuk HTR di Desa Petak Puti seluas + 4.500 ha. Proses yang sudah dilakukan dalam pengajuan antara lain: a. Membentuk kelompok, kelompok yang di bentuk terdiri dari 5 – 7 orang. b. Pemetaan bersama penyuluh kehutanan. c. Pembagian areal untuk kelompok masing masing mendapatkan 15 ha. d. Penyusunan proposal dan kelengkapan administrasi. e. Pengajuan ke pemerintah daerah Kabupaten Kapuas. Walaupun menerima ide HTR, masyarakat Petak Puti juga menolak investasi sawit dengan alasan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan sebagai penopang hasil mata pencaharian warga dan sebagai upaya untuk melindungi kepemilikan masyarakat atas tanah untuk masa depan generasi baru di Petak Puti (anak cucu). Alasan lain dikemukakan oleh Mantir Adat Desa Petak Puti soal penolakan investasi sawit itu, yang lebih menyorot soal tawaran investasi sawit yang ditawarkan berupa sistem PIR tidak menguntungkan masyarakat dalam jangka panjang.213 Pendapat itu didapatkannya setelah bertanya pada masyarakat di desa-desa lain di sekitar Petak Puti yang menerima investasi sawit dengan sistem PIR. Menurutnya, dengan sistem PIR itu, masyarakat hanya diperlakukan sebagai buruh; padahal 213 Kiting Simson Soeta (Mantir Adat), wawancara, 19-03-2010. 316 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? tanah yang diusahakan perkebunan sawit itu sebenarnya adalah tanah mereka. Dengan demikian, kepemilikan masyarakat atas tanah menjadi tidak jelas dan suatu saat bisa hilang. Masyarakat Petak Puti bisa menerima investasi sawit asalkan lahannya tidak berada di “Tanah Adat”, melainkan di “Tanah Ulayat”, yang jaraknya 10 KM dari Desa Petak Puti. Sebaliknya, bagi pengusaha sawit, menanam sawit di Tanah Adat lebih menguntungkan karena lahannya yang dekat dengan desa (kurang lebih berjarak 5 KM dari Petak Puti). HTR sendiri akan dikerjakan di lahan “Tanah Adat” (atau Hutan Produksi menurut klaim pemerintah). Mengapa Masyarakat Desa Petak Puti mau menerima HTR di “Tanah Adat”-nya? Ini terkait dengan kontestasi tenure masyarakat Desa Petak Puti dengan pihak luar termasuk pemerintah dan pengusaha, dan pilihan yang jauh lebih tidak berbahaya terkait dengan kekuatan kepemilikan mereka atas lahan itu dibandingkan dengan memberikan pengusahaannya pada pengusaha sawit. “Tanah Adat” bagi Masyarakat Desa Petak Puti adalah lahan yang bisa dibagi-bagi ke masing-masing penduduk desa dan dapat dimiliki yang dasar penentuannya didasarkan pada hukum adat.214 Dasar pembagiannya adalah seberapa kuat bukti masing-masing penduduk itu mengusahakan lahannya masing-masing (membuka lahan, mengurus, menanami dengan tanaman dan usaha lainnya) serta adanya pembagian lahan yang ditentukan oleh pendiri Desa Petak Puti. Ketika pemerintah mau melaksanakan proyek HTR di lahan “Tanah Adat”, bahkan mau membiayai proses awalnya, hal itu dianggap sebagai bentuk “pengakuan” pemerintah atas lahan itu sebagai lahan milik mereka.215 Terjadi pergeseran sistem kepemilikan di Petak Puti, dari kepemilikan komunal menjadi personal. Perubahan itu dimulai dengan pembagian tanah oleh pemilik tanah yang luas kepada ahli waris, pembukaan lahan baru, dan proses jual beli. Jika proyek HTR terealisasi akan ada lagi jenis kepemilikian tanah baru yaitu ‘tanah yang dibagi pemerintah’. (h) Praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat (i) Klasifikasi Sumber Daya Alam dan Hutan Dalam pengelolaan sumber daya hutan, masyarakat Dayak Ngaju mengenal klasifikasi hutan antara lain yakni kaleka, petak bahu, pahewan, eka malan manana satiar, tajahan dan pukung himba. 214 215 Kiting Simson Soeta (Mantir Adat), wawancara, 19-03-2010. Hal ini juga berjalin dengan lahirnya Perda 16/2008 dan Pergub 13/2009 yang memberikan “kewenangan” kepada Kelembagaan Adat berupa Kademangan – dimana Mantir Adat Desa adalah salah satu proponentnya - untuk memberikan “bukti” kepemilikan tanah adat dan hak-hak adat atas tanah. Tanah Adat dan Hak-Hak Adat atas Tanah yang diatur di dalam Pergub 19/2009 bahkan bisa berlaku di wilayah hutan. Lihat Muhajir dalam bab 4.2. (c) buku ini. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 317 Kaleka merupakan daerah atau tanah tempat tinggal peninggalan generasi terdahulu suku Dayak yang biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang rumah betang/rumah panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua seperti durian, langsat dan sebagainya. Lokasi tersebut umumnya dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun temurun sebagai harta waris yang peruntukan dan pemanfaatannya (misal mengambil buah-buahan) untuk kepentingan bersama. Petak bahu Petak bahu adalah bekas ladang yang sudah digarap dalam rotasi perladangan berpindah dengan siklus penggarapan 1020 tahun. Petak bahu biasanya sudah menjadi hutan kembali, dan kepemilikiannya dimiliki secara komunal. Pahewan adalah hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat adat, pahewan biasanya di yakini sebagi hutan yang memiliki daya magis. Apabila ada yang berusaha untuk merusak kelestariannya maka akan orang yang tersebut akan mendapat rintangan , misalnya kecelakaan maupun gangguan yang lain. Eka malan manana satiar adalah tempat bercocok tanam tumpang sari dan ruang pemanfaatan masyarakat adat untuk berusaha, seperti mencari ikan, damar, dan berburu. Tajahan merupakan suatu lokasi yang dikeramatkan oleh Suku Dayak khususnya yang beragama Kaharingan. Di lokasi tajahan didirikan rumah berukuran kecil sebagai tempat untuk menaruh sesajen sebagai tanda persembahan kepada roh-roh halus yang bersemayam ditempat itu. Rumah kecil tersebut biasanya disertai dengan beberapa patung kecil yang merupakan simbol atau replika dari anggota keluarga yang sudah meninggal dan roh orang meninggal tersebut diyakini berdiam dalam patung-patung kecil tersebut sehingga tidak mengganggu anggota keluarga yang masih hidup. Lokasi tajahan biasanya pada kawasan hutan yang masih lebat dan terkesan angker dan sebab itu biasanya pada lokasi tempat tersebut dilarang melakukan aktivitas manusia seperti menebang hutan, berburu dan lain-lainnya. Konsep tajahan sangat relevan dengan kegiatan konservasi karena didalamnya terdapat aspek perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati. Pukung Himba adalah bagian dari kawasan hutan rimba yang dicadangkan untuk tidak ditebang/dieksploitasi karena fungsinya sebagai lokasi untuk pemindahan roh-roh halus (Gana dalam bahasa Dayak Ngaju) dari daerah/kawasan yang akan dijadikan ladang. Peladang suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah memamahi bahwa di dalam kegiatan pembukaan ladang, harus ada kawasan hutan yang harus dicadangkan sebagai tempat untuk memidahkan roh-roh penunggu (gana) yang bermukim pada lokasi yang akan dijadikan ladang ke lokasi baru yang dalam bahasa Dayak Ngaju sering disebut dengan pukung himba. Ciri-ciri 318 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? daerah yang dijadikan pukung himba umumnya wilayah yang berhutan lebat dan berumur tua dengan diameter vegetasi kayu rata-rata berukuran relatif sangat besar, belum banyak terjamah oleh kegiatan manusia dan banyak dihuni oleh satwa liar. Hutan yang berumur tua dengan ukuran kayu besar dan terkesan sangat angker dipercayai sebagai tempat yang disenangi roh-roh (gana) untuk tempat bermukim. Namun demikian sampai saat ini belum ada dokumentasi lengkap mengenai keberadaan kawasan-kawasan ini. Upaya untuk pelestarian kawasan tanah adat dan kawasan adat seperti kaleka dan pahewan saat ini dijawab oleh pemda dengan dikeluarkannya peraturan gubernur yang mengatur tentang inventarisasi dan menyangkut hal teknis lain seperti pengukuran, pemetaan, dan pemasangan batas tanah, yang pengesahannya dilakukan oleh Damang Kepala Adat. Suku Dayak Ngaju di daerah Kalumpang dan Petak Puti adalah masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi kepada hutan. Namun demikian pengelolaan hutan oleh suku Dayak tetap dilakukan secara arif. Perubahan sikap atas kearifan lokal terjadi seiring dengan hadirnya pengaruh-pengaruh dari luar, terutama kontak dengan kelompok luar, proyek pemerintah dan investasi swasta. (ii) Pranata dan praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat Cara pengelolaan hutan secara adat Dayak sebetulnya sudah mengedepankan unsur pencegahan terhadap kerusakan hutan; terlihat misalnya cara membakar dengan membuat sekat bakar. Pembersihan sekeliling daerah yang akan dibakar diikuti dengan membuat galian tatas sebagai sekat lahan yang akan dibakar. Selain itu, pembakaran umumnya dilakukan tengah hari saat panas terik mencapai puncaknya dan angin tidak bertiup kencang. Saat panas terik memuncak, materi pembakaran akan cepat habis dan tidak menimbulkan asap dalam waktu lama. Angin juga tidak bertiup kencang, sehingga tidak berpotensi menimbulkan kebakaran tak terkendali. (iii) Eksistensi pranata dan praktik pengelolaan hutan dari luar masyarakat Praktik-praktik pengelolaan hutan yang berlebihan dan merusak mulai dilakukan oleh suku Dayak sejak masuknya HPH maupun pengaruh yang sifatnya dari luar. Hal ini juga terjadi di daerah penelitian, awalnya masyarakat menjaga hutan dan memelihara kawasan dengan kearifan lokal, tetapi setelah datangnya Perusahaan HPH banyak kawasan hutan yang ditebang secara besar-besaran. Penebangan kayu secara liar oleh masyarakat juga diakibatkan oleh adanya iming-iming untuk mendapatkan uang yang lebih mudah. Kebutuhan-kebutuhan baru yang hadir di tengah masyarakat Dayak mendorong warga masyarakat untuk mengeksploitasi sumber daya hutan secara berlebihan. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 319 Aktivitas pengelolaan hutan yang lestari dan sudah mulai ditinggalkan, hal ini terjadi karena upaya-upaya untuk melakukan penghentian perusakan hutan secara nyata masih sebatas pada program saja. Eksploitasi Hutan melalui saluran resmi berupa izinizin pemanfaatan kayu mapun izin HPH juga turut serta memicu masyarakat untuk melakukan pembalakan, banyak perusahaan kecil yang mempunyai dokumen pemanfaat hasil hutan justru mendapatkan bahan mentah kayu dari masyarakat, hal inilah yang memicu terjadinya praktik perusakan hutan secara berkelanjutan dan masal. Selain itu di daerah penelitian juga muncul bahwa aktivitas pembukaan PLG juga berperan atas terjadinya perambahan hutan hutan di sekitar desa penelitian. Di Desa Kalumpang, masyarakat beramairamai melakukan penebangan hutan setelah ada kemudahan akses untuk mengeluarkan kayu dari melalui kanal-kanal PLG. Akibat dari penebangan hutan secara tak terkendali adalah menipisnya hutan di dekat desa. Perubahan pola ketergantungan terhadap hutan dari cara-cara pengelolaan dengan kearifan tradisional menjadi ketergantungan terhadap hutan dengan cara eksloitasi kayu menjadikan masyarakat memiliki keinginan untuk mendapat keuntungan dari hasil pembalakan liar. Penebangan hutan secara liar dan tidak terkontrol oleh pemerintah berdampak pada pola upaya masyarakat untuk mendapatkan penghasilan, apabila sebelumnya masyarakat mengabaikan kebun karet dan ladangladang serta lahan tak tergarap, kini masyarakat mulai melirik usaha pembalakan liar. Tidak mengherankan apabila sekarang masyarakat masih bermimpi bisa melakukan aktivitas penebangan hutan seperti saat masa pembalakan liar marak. Inisiatif adanya hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Petak Puti oleh warga dimaknai sebagai harapan mereka akan menjadi leluasa memanfaatkan hasil kayu dari hutan untuk dijual. Ini tentunya menjadi sebuah ironi bila dihadapkan dengan tujuan mulia dari HTR. (iv) Konflik sumber daya hutan Perkembangan pengelolaan hutan di kawasan PLG, utamanya di kawasan desa penelitian menghadirkan konflik baru dalam pengelolaan sumber daya hutan. Masyarakat yang sudah terbiasa mengambil kayu menjadi terganggu setelah ada larangan pembalakan liar. Selain itu konflik sumber daya hutan lain juga muncul dengan adanya kegiatan konservasi yang dilakukan di kawasan PLG. Di kawasan desa penelitian hadir sebuah upaya konservasi hutan dan orang utan oleh Yayasan Borneo Orangutan Society Mawas (BOS Mawas). Masyarakat 320 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Desa Petak Puti maupun Desa Kalumpang dan desa-desa di sekitarnya kawasan konservasi pernah mengalami konflik dengan BOS Mawas. Konflik yang terjadi antara lain adalah terbatasnya akses masyarakat terhadap hutan di kawasan konservasi. Masyarakat lokal yang terbiasa keluar masuk hutan untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu juga mendapatkan dampak atas adanya kegiatan konservasi. Pengelola konservasi curiga bahwa masuknya warga ke dalam hutan adalah untuk melakukan pembalakan liar. Warga Petak Puti memiliki catatan tersendiri atas hadirnya BOS Mawas yang melakukan konservasi orang utan dan hutan, masyarakat Petak Puti sempat menolak kehadiran NGO ini. Mereka merasa terganggu aktivitas mengambil hasil hutannya, di samping menjadi terbatasnya akses mereka masuk ke kawasan hutan dan danau. Berdasarkan hasil wawancara, penentangan keras atas kehadiran NGO ini karena warga dilarang untuk masuk ke danau yang merupakan sumber utama untuk mencari ikan. Sumbu konflik disulut operasi tim kepolisian yang didampingi BOS Mawas untuk menangkap warga yang masuk wilayah konservasi. Terjadi kekerasan dan perusakan aset warga yang tertangkap tangan sedang mengolah kayu; mesin gergaji dirusak bahkan ada yang dibenamkan ke sungai. Secara psikologis warga juga terteror dengan helikopter dan pesawat capung yang terbang rendah di kawasan desa. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari warga, mereka tidak mengetahui apabila mereka telah dianggap masuk daerah konservasi Mawas. Konflik dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya di kawasan Desa Petak Puti dan Kalumpang, antara lain persinggungan dengan perkebunan kepala sawit dan penambang tanpa izin yang melakukan penyedotan lumpur sungai di tepian kebun-kebun karet. Perselisihan batas yang terjadi biasanya hanya sebatas permasalahan antar warga dan diselesaikan dengan cara adat atau kekeluargaan. (i) Perubahan ekologi hutan di mata masyarakat Perubahan kondisi sumber daya alam kurang lebih terjadi serupa di Petak Puti dan Kalumpang; warga menilai bahwa kerusakan sumber daya alam adalah akibat kesalahan pengelolaan pada masa lalu. Masalah ekologi hutan dan perairan sudah mulai diperhatikan oleh masyakat, karena mereka kesulitan mencari kayu bangunan dan berubahnya air sungai. Mereka juga mengatakan bahwa keselamatan mereka akan terancam apabila hutan dan sungai serta kawasan kawasan lain rusak. Hal ini dirasakan langsung oleh warga Kalumpang, yang sulit mencari ikan. Masyarakat beranggapan sulitnya mencari ikan disebabkan karena sungai yang sudah tidak baik lagi kondisinya. Begitu juga pandangan masyarakat terhadap ekologi hutan, Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 321 masyarakat di kawasan eks PLG sekarang semakin baik kesadarannya untuk melakukan perbaikan kawasan. Perubahan iklim dirasakan dampaknya oleh masyarakat; musin hujan dan kemarau lebih sulit diperkirakan sehingga tidak ada patokan bagi masyarakat dalam aktivitas berladang. Salah satu yang sangat mencolok adalah siklus hujan yang tidak stabil, yang secara langsung menggangu aktivitas menyadap karet. Sekalipun demikian, pengetahuan warga mengenai perubahan iklim global belum cukup, masyarakat kebanyakan hanya mendengar saja tentang isu perubahan iklim. Sumber informasi tentang perubahan iklim global umumnya didapat dari kalangan NGO. Kawasan Desa Petak Puti masuk dalam kawasan Demonstration Activities REDD yang dirintis oleh IAFCP dengan pelaksana KFCP. Di desa-desa tertentu, KFCP telah melakukan beberapa aktivitas penelitian sosial dan ekonomi dengan membuat baseline survey. Namun, dalam pelaksanaan kawasan DA REDD, KFCP dipandang masih belum cukup melibatkan masyarakat lokal. Sosialisasi tentang keberadaan proyek ini belum diketahui perangkat desa, apalagi masyarakat umum; bahkan di wilayah penelitian, KFCP belum pernah melakukan sosialisasi. 6.4 Masyarakat lokal menghadapi perubahan iklim global (a) Modal sosial dan potensi Kehidupan orang Kantuk di Desa Jelemuk dan orang Ngaju di Desa Petak Puti dan Kalumpang tidak bisa dipisahkan dari hutan (relasi mutual), selama puluhan generasi mereka mengandalkan hutan untuk bertahan hidup. Memisahkan dari hutan berarti memisahkan mereka dari sumber penghidupan mereka. Seorang novelis mengibaratkan relasi ini sebagai, “… menghancurkan intelegensi yang menghubungkan telur dengan induk ayam, susu dengan sapi, makanan dengan hutan, air dengan sungai, udara dengan kehidupan, dan bumi dengan eksistensi manusia.” (Roy 1999:97). Program-program pemerintah melalui kebijakan-kebijakan pemberdayaan baik secara langsung maupun tidak langsung juga berdampak terhadap kehidupan sosial-ekonomi orang Kantuk di Desa Jelemuk. Namun, persoalanpersoalan ekonomi, sosial dan budaya yang mereka hadapi belum dilihat sebagai dampak intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan tersebut, terutama kebijakan pembangunan yang berorientasi ekonomi semata dan menjauhkan mereka dari hutan. Di samping itu, Programprogram bantuan maupun income bagi desa belum dilihat sebagai wujud pembangunan yang bisa mengancam tingkat kemandirian dan keberdayaan orang Kantuk. Dinamika seperti ini juga perlahan berpengaruh pada pola pikir pentingnya ‘uang cash’ bagi masyarakat, dimana proses dalam penyelesaian konflik sering berujung pada ganti rugi, misalnya dalam bentuk 322 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? income bagi desa. Bahkan, sesungguhnya, hal-hal seperti ini sangat rentan konflik internal di masyarakat. Fenomena semacam itu dijumpai pula di Petak Puti; warga seringkali mengasosiasikan program pembangunan sebagai bantuan pemerintah. Mereka telah terbiasa melihat berbagai macam program untuk masyarakat sekitar hutan diluncurkan. Demikian terbiasanya, warga Petak Puti sampai mampu menganalisis apakah suatu program akan berlanjut atau tidak, mereka mampu mengantisipasi bagaimana memanfaatkan program untuk kepentingan mereka dalam waktu singkat. Kemampuan menafsir dan merespons berbagai hal yang datang dari luar menunjukkan kelenturan pranata sosial pada kedua komunitas Dayak ini. Orang Kantuk sempat mengkhawatirkan keberlanjutan hukum adat mereka ketika berhadapan dengan investor yang menanam modal dalam industri kayu dan hutan. Namun melalui berbagai penyesuaian, aturan hukum adat itu masih berlaku dalam kehidupan sehari-hari berdampingan dengan hukum positif, meskipun dalam posisi yang berbeda. Sebaliknya, pada orang Ngaju di Petak Puti dan Kalumpang, sebagaimana desa-desa lain di Kalimantan Tengah, berbagai kebijakan pemerintah daerah baik di propinsi maupun kabupaten, telah menempatkan pranata lokal ke posisi yang penting. Sistem pemerintahan adat, misalnya, dewasa ini banyak mewarnai peraturan daerah mengenai penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa. Di kedua komunitas juga terlihat bagaimana ekonomi pasar masuk dan bekerja pada konteks masyarakat sederhana. Orang Kantuk secara tradisional sudah terhubungkan dengan pasar puluhan tahun lalu, terutama dengan komoditas hasil hutan seperti tengkawang. Pedagang atau pengumpul menjadi kontak pembuka rantai ekonomi hutan antara orang Kantuk dengan pengusaha di kota. Bagi orang Ngaju, terutama di Petak Puti dan Kalumpang, kehadiran mereka di wilayah sekarang adalah akibat alasan ekonomi. Walaupun Petak Puti mempunyai sejarah pembukaan desa yang khas, namun gelombang migrasi ke desa itu di kemudian hari lekat dengan kepentingan perladangan. Pada kedua komunitas, ladang menjadi bagian penting dalam tradisi ekonomi mereka. Ladang itu pula yang membawa mereka pada pengaturan kepemilikan dan kepenguasaan lahan. Melalui klaim kepemilikan ladang, orang Ngaju dan Kantuk mengajukan mosi tidak percaya mereka terhadap perusahaan yang menguasai hutan atau terhadap lembaga konservasi yang coba menutup akses mereka untuk masuk ke hutan. Sejak dua-tiga dasawarsa terakhir, secara umum masyarakat pedalaman Kalimantan menjadi bagian penting dari upaya mendapat kayu di luar jalur resmi HPH. Secara stereotipik mereka sering dikatakan sebagai pembalak liar yang mengerjakan operasi pembalakan tanpa izin dengan dukungan dana Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 323 dari pengusaha luar kampung mereka. Setelah puluhan tahun dimanjakan oleh ekonomi illegal, kini kedua komunitas mesti mengembangkan kegiatan ekonomi alternatif. Beruntung, alam yang relatif ramah, masih menyediakan sungai dan danau penuh ikan. Di Jelemuk dan Petak Puti, seperti halnya di desa-desa sekitar mereka, mencari ikan patut dipertimbangkan sebagai kontributor ekonomi alternatif. Secara tradisional, cara mereka menangkap ikan dengan membuat ‘lubuk-lubuk’ buatan di danau dan menguras ikannya saat kemarau, dalam batas tertentu mampu mendukung ekonomi rumah tangga. Kasus-kasus di desa penelitian menunjukkan potensi pranata lokal sebagai modal sosial untuk mengantisipasi program yang diinisiasi struktur kekuasaan yang lebih tinggi dan kuat: pemerintah pusat atau kaum penanam modal. Khususnya dalam mengantisipasi kemungkinan penerapan REDD, ada tiga modal sosial yang tersedia dan dapat dikembangkan. Pertama, toleransi budaya masyarakat adat Dayak secara umum, atau Kantuk dan Ngaju secara khusus, yang relatif lentur. Kelenturan ini membuat mereka tidak serta merta mengalami kehilangan identitas kedayakan (cultural loss) mereka dan tergantikan dengan identitas budaya lain. Alih-alih, mereka menempatkan berbagai unsur luar dan memadukannya ke dalam tradisi mereka. Proses perubahan orientasi ekonomi ke arah pasar, misalnya, dapat terjadi karena pengalaman mereka berhubungan dengan para pengumpul hasil hutan non-kayu puluhan tahun lalu. Konversi nilai barang ke dalam satuan uang (monetisasi) berjalan melalui proses yang panjang dan natural melalui perdagangan hasil hutan non-kayu ini. Sedemikian jauh, budaya Dayak cukup lentur dan terbuka pada pranata uang dengan memasukkan satuan hitungan ini, misalnya, ke dalam pranata denda adat ‘jipen’. Kedua, sistem perladangan yang menjadi bagian utama kehidupan masyarakat Dayak. Perladangan menyediakan kemungkinan untuk mengeksplorasi wilayah yang lebih luas sehingga pengetahuan tentang lokasi, aneka jenis satwa dan tumbuhan menjadi semakin kompleks. Dalam arus perubahan akibat pembangunan, pengetahuan perladangan menjadi bekal bagi orang Dayak untuk masuk ke dalam ekonomi kayu. Mereka masuk ke dalam industri pembalakan, baik resmi melalui perusahaan pemegang HPH maupun dalam pembalakan liar. Mereka mengenali wilayah, jenis kayu, teknik dan keterampilan untuk menebang. Lebih jauh, mereka menjadi lebih terbuka dan paham berhubungan dengan kaum pemodal. Mereka juga menjadi lebih tahu dan mampu menyiasati berbagai aturan pemerintah terkait dengan pengelolaan kayu di hutan. Pengetahuan dan kemampuan ini menjadi modal sosial yang penting dalam menafsirkan program REDD yang di samping berimplikasi pada uang juga terbungkus dalam aneka kebijakan dan aturan pemerintah. 324 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Ketiga, di Jelemuk, Petak Puti dan Kalumpang, penelitian mencatat bagaimana toleransi budaya, keterbukaan dan kesiapan mereka menghadapi kelompok lain untuk hidup bersama. Di desa-desa itu, komunitas lokal terdiri dari masyarakat adat Dayak dan pendatang antara lain dari Banjar, Jawa, Bugis dan Cina. Kelompok Dayak itu sendiri terdiri dari beberapa sub-etnik Dayak yang berbeda. Kehidupan sosial-budaya yang relatif menghadirkan variasi etnik ini menjadi modal untuk tatanan yang lebih terbuka multikultural. Dengan demikian, apabila perencana program REDD mau mengeksplorasi modal sosial ini maka proses perencanaan yang partisipatif dan melibatkan banyak stakeholder luar komunitas dapat dirancang dengan lebih baik. (b) Kerentanan dan ancaman Munculnya konsep “menjaga hutan” yang dituntut kepada warga Desa Jelemuk sebagai salah satu wilayah yang berada di sekitar situs DA REDD menimbulkan pertanyaan “apakah selama ini mereka tidak menjaga hutan?”. Pertanyaan lain muncul ketika skema IUPHHK RE (untuk hutan yang dianggap deforest atau rusak) diajukan oleh FFI dalam proyek REDD ini, “apa indikator kerusakan hutan?”. Warga Jelemuk meyakini bahwa hutan mereka masih memiliki banyak sekali pohon dengan kayu berdiameter besar, meski wilayah ini adalah eks HPH. Pertanyaan-pertanyaan di atas dan beberapa pernyataan yang menyiratkan kekhawatiran dan kebingungan warga Jelemuk menunjukkan tidak memadainya pengetahuan mereka tentang proyek REDD. Hal serupa terjadi juga di Petak Puti. Meski elit desa secara tergagap-gagap mampu mengutarakan berbagai hal yang berhubungan dengan ‘pemanasan global’ dan ‘perubahan cuaca’, namun umumnya warga tidak memahami keniscayaan wilayah mereka menjadi bagian dari proyek REDD Sekilas, ketidaktahuan warga atas rencana proyek besar yang akan menimpa desa mereka merupakan masalah klasik yang terjadi sejak mereka berurusan dengan negara. Dalam struktur hubungan negara-desa yang demikian jauh jaraknya, suara dari desa tidak terdengar sebagai sebuah kepentingan di telinga negara. Sebaliknya, suara negara terdengar sayup dari kejauhan; namun menjadi gegap gempita ketika proyek berjalan. Di Jelemuk, dimana sudah ada kegiatan awal dari FFI untuk memetakan wilayah bakal proyek REDD, proses konsultasi dan sosialisasi yang sedang berlangsung belum mampu menjelaskan kekhawatiran masyarakat Desa Jelemuk baik kaitannya dengan IUPHHK-RE maupun REDD. Hal yang paling ditakutkan adalah aksesibilitas mereka, kepastian hak atas wilayah (dan hak-hak tenurial lainnya), kecilnya presentase jasa lingkungan bagi masyarakat pemilik dan penjaga, mekanisme pendanaan di tingkat desa, dan mekanisme keluhan atau penyelesaian sengketa jika terjadi kesalahan atau pelanggaran. Prinsip FPIC diterapkan baru sebatas pada pelibatan dan partisipasi perangkat desa dan perangkat adat, belum sepenuhnya melibatkan Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 325 aktor sentral yang juga memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan misalnya kaum perempuan. Ini menjadi penting untuk dikaji lagi untuk memperjelas posisi tawar masyarakat Jelemuk dalam proyek REDD, apalagi jika kemudian dilakukan carbon-trading. Kepastian hak atas wilayah/kawasan hutan menjadi penting bagi orang Kantuk, lebih dari sekedar dipenuhinya prinsip Free, Prior and Informed Consent, yang bisa saja menjadi sekedar “atas nama”. Kepastian hak (hak ekonomi, sosial dan budaya) termasuk memberikan jaminan bahwa orang Kantuk di Desa Jelemuk tidak akan kehilangan aksesnya atas wilayah hutan mereka, sehingga mereka tidak akan “dipaksa” untuk mengalihkan mata pencaharian mereka yang bergantung kepada hutan atau bahkan mengeluarkan mereka dari kawasan hutan. Di Petak Puti, pembicaraan terakhir yang berkembang adalah pemberian bantuan melalui program pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Melalui program ini, warga desa diberi kesempatan untuk mengelola hutan negara eks HPH dan menerima bagian yang sama besarnya. Kepada warga yang menjadi anggota kelompok, disediakan insentif bibit tanaman keras dan uang untuk modal bertanam. Ketidakjelasan informasi menyebabkan warga menerka-nerka motif di balik program tersebut. Bagi sebagian warga, bantuan uang yang akan diterima menjadi harapan bahwa mereka tak perlu lagi repot bekerja; sementara bagi yang lain, pembagian wilayah hutan negara tersebut berarti lahan gratis bagi mereka; ada lagi yang masih mengincar sisa kayu di hutan negara, walaupun mereka diharapkan untuk menjaganya. Masih belum jelas pula, apakah program HTR ini adalah atau sejalan dengan program REDD. Secara khusus, ketahanan sosial-budaya komunitas lokal dapat terancam apabila program REDD tidak mengantisipasi dua hal utama. Pertama, kesenjangan ide dan pengetahuan mengenai ancaman perubahan iklim global dan hubungannya dengan masyarakat setempat. Di lapangan, yang mereka tahu dan alami adalah bahwa nantinya akan ada larangan bagi mereka untuk masuk ke wilayah hutan tertentu. Karena aktivitas dan makna hutan bukan sekedar ekonomi, tetapi juga sosial-budaya (misalnya penyelenggaraan upacara, situs keramat dan tatanan kosmologi) maka larangan untuk mengakses hutan berarti menjauhkan mereka dari kebutuhan sosial-budaya. Kedua, masyarakat desa sekitar hutan, termasuk komunitas lokal yang menjadi kasus telah beradaptasi dengan sistem ekonomi pasar seperti intensifikasi perladangan melalui penggantian komoditas dari tanaman pangan ke tanaman keras; dari berladang ke berkebun. Mereka juga terlibat dalam bisnis jual beli hasil hutan kayu dan non kayu. Urusan sustainabilitas lingkungan terkait dengan bisnis ini seringkali terlewatkan; dan mengemuka sebagai himbauan-himbauan untuk mencari alternatif ekonomi lain. Kalau 326 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? ini terjadi pada program REDD maka rencana pengurangan emisi karbon lalu akan tereduksi menjadi pengalihan ke mata pencaharian baru. Suatu pengalihan dari penyadaran cara berpikir ke teknis memenuhi kebutuhan hidup belaka. 6.5 Penutup: Pranata Sosial dan Globalisasi Masalah Lepas dari berbagai macam kritik, fenomena mendekat dan menyatupadunya berbagai kebudayaan menjadi/dalam satu tatanan dunia telah mengakibatkan persoalan manusia tidak lagi dengan mudah dimasukkan pada kotak lokal-global, desa-kota atau masyarakat-negara. Di semua lini, persoalan-persoalan itu mengemuka dan ditafsir dengan perangkat budaya yang tersedia dalam konteks tertentu. Isu perubahan iklim global (global climate change) tidak lepas dari tesis tersebut. Para ahli antropologi telah menunjukkan pentingnya pemahaman budaya dalam melihat hubungan antara fenomena alam yang dianggap sebagai ancaman global dengan pengetahuan dan tradisi lokal di suatu komunitas. Dalam ranah yang konkret di komunitas, perubahan iklim biasanya terekam pada perubahan pola cuaca (local weather pattern), misalnya, dalam bentuk musim hujan yang berubah (Create, Nuttall, 2009:394). Dalam penelitian ini, rekaman itu bahkan bertambah panjang deretan datanya dengan tambahan berbagai tafsir lokal atas kebijakan negara dalam menghadapi isu perubahan iklim global. Berangkat dari uraian-uraian persoalan yang dihadapi oleh orang Kantuk di Desa Jelemuk dan komunitas adat Ngaju di Petak Puti dan Kalumpang, berikut adalah sejumlah ulasan umum mengenai respons komunitas terhadap kebijakan pemerintah dan program-program pemberdayaan, dan kelembagaan lokal masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim. 1. Masyarakat lokal dan isu pemanasan global. Berbagai kebijakan pemerintah baik di masa lalu maupun masa sekarang, terutama kaitannya dengan usaha mitigasi terhadap perubahan iklim tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan ekonomi, sosial dan budaya orang Kantuk di Desa Jelemuk. Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi (SK Bupati Kapuas Hulu 144 tahun 2003) bahkan tidak berpengaruh terhadap menurunnya tingkat eksploitasi SDA di Kabupaten Kapuas Hulu. Di Petak Puti dan Kalumpang, isu pemanasan global bahkan baru menyentuh beberapa lapisan elite desa; kalah tempat dengan wacana HTR yang mengandung beberapa ide dari program REDD. 2. Trauma lokal atas kebijakan nasional. Operasi penertiban pembalakan liar yang dilakukan Pemerintah menjadi momok yang menakutkan, bahkan keyakinan bahwa mereka tidak melakukan pembalakan liar sekalipun tidak mampu membuat mereka bisa mengakses hutan mereka sendiri Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi di tiga desa di Kalimantan 327 dengan rasa aman. Kebijakan konservasi, tidak kalah traumatiknya, sebagaimana dialami warga Petak Puti. Rangkaian kegiatan penegakan hukum atas daerah konservasi terasa sebagai teror bagi warga desa. Karena itu, merekapun sangat hati-hati bahkan berusaha perlahan mengalihkan mata pencaharian mereka yang dianggap ‘merambah hutan’ ke usaha-usaha atau sumber-sumber pendapatan lain, misalnya mencari ikan. Program-program pembangunan yang selama ini dianggap menjadi jawaban atas persoalan-persoalan warga Desa Jelemuk, Petak Puti dan Kalumpang pada kenyataannya tidak lepas dari ‘pengalihan’ atau bahkan ‘penambahan’ dari persoalan lama ke persoalan baru. 3. Kelembagaan lokal dan tantangan global. Lembaga desa memainkan peran penting sebagai perisai terakhir dalam pengambilan keputusan. Namun demikian, eksistensi lembaga adat dan aturan-aturan adat juga menjadi bagian yang akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan dimana proses-proses dalam musyawarah desa memungkinkan partisipasi yang seluas-luasnya dari lembaga Adat. Namun, tidak demikian dengan partisipasi kelompok-kelompok tertentu seperti kaum muda dan kaum perempuan. Tidak terdengarnya ‘suara’ dari kelompokkelompok ini juga menjadi tantangan tersendiri dalam penelitian ini. 4. Membumikan isu global. Proyek percontohan REDD memungkinkan masyarakat Desa Jelemuk untuk ‘kembali’ ke hutan. Namun sayang sekali, proses-proses yang berlangsung selama ini tidak dibarengi dengan pemahaman mereka yang memadai tentang perubahan iklim dan dampak-dampaknya terhadap kehidupan mereka. Belum terlihat adanya kesadaran masyarakat di Desa Jelemuk bahwa praktik-praktik pengelolaan yang mereka lakukan selama ini merupakan bagian dari usaha-usaha penurunan emisi yang sedang ramai-ramainya diperbincangkan oleh banyak kalangan di dunia saat ini. Sekalipun demikian, baik di Jelemuk maupun Petak Puti, warga mengindikasikan terjadinya perubahan pola hujan dan banjir di wilayahnya; di Jelemuk mereka menengarai musim banjir lima tahunan yang menjadi acara tahunan rutin, sementara di Petak Puti, banjir yang tak bisa diduga lagi datangnya menyebabkan keengganan untuk bertanam padi di dekat sungai. 328 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Daftar pustaka Ali, Burhanuddin. 2003. Pengalaman Pengembangan Kegiatan Pengelolaan Lahan Gambut oleh Pemerintah Daerah, Makallah presentasi, Semiloka Proyek Karbon Hutan, Perlindungan Iklim Global dan Pembangunan Berkelanjutan, Palangkaraya, 28-29 Agustus Alloy, Sujarni, Albertus dan Chatarina Pancer Istiyani. 2008. Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi AMAN, 2003. Kumpulan Pernyataan Sikap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (1999- 2002). Jakarta: Sekretariat Nasional AMAN Angelsen, Arild (ed), 2008, Moving Ahead with REDD; Issues, Options and Implications, Bogor: CIFOR Angelsen, A dan Wertz-Kanounnikoff, S. 2008. What Are the Key Design Issues for REDD and the Criteria for Assessing Options? Dalam: Arild Angelsen (ed), Moving Ahead with REDD; Issues, Options and Implications, hal. 11-21. Bogor: CIFOR Bakker, Laurens, 2010. “Dapatkah Kami Memperoleh Hak Ulayat?” Tanah dan Masyarakat di Kabupaten Paser dan Nunukan, Kalimantan Timur”, dalam: Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (edt.), “Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia: Studi tentang Tanah, kekayaan Alam dan Ruang di masa Kolonial dan Desentralisasi”, hal 183-212, Jakarta: HuMa, Vob Vallenhoven Institute, KITLV Bappeda Kapuas Hulu (2008) Profile Daerah Kabupaten Kapuas Hulu Bolin, Bert., 2007. A history of the Science and Politics of Climate Change: The Role of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge: Cambridge University Press Bullock., Simon, Mike Childs, dan Tom Picken, 2009. A Dangerous Distraction: Why Offsetting is Failing the Climate and People, The evidence. London: Friends of the Earth England, Wales and Northern Ireland Burroughs, William , 2007. Climate Change: A Multidisciplinary Approach, Cambridge: Cambridge University Press Daftar Pustaka 329 BPS Kapuas Hulu (2008) Kabupaten Kapuas Hulu Dalam Angka CISDL (the Centre for International Sustainable Development Law), 2002, the Principle of Common But Differentiated Responsibilities: Origins and Scope, A CISDL Legal Brief For the World Summit on Sustainable Development, Johannesburg: CISDL Chhatre A, Agrawal A, 2009, Trade-offs and synergies between carbon storage and livelihood benefits from forest commons. Proc Natl Acad Sci USA 106:17667–17670, http://www.pnas.org/content/106/42/17667.full Cotula, L. and Mayers, J. 2009. Tenure in REDD – Start-point or afterthought? Natural Resource Issues No. 15. London: International Institute for Environment and Development. Create, S.A. dan M. Nuttall. ‘Epilogue: Anthropology, Science and Climate Change Policy’. Dalam Create, S.A., dan M.Nuttall, (eds.). Anthropology and Climate Change: From encounter to actions . California: Left Cost Press Inc. Departemen Kehutanan, 2008. IFCA Consolidation Report: REDD in Indonesia, Jakarta, Dove, M. R., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia: Suatu Studi Kasus di Kalimantan Barat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fauna and Flora International, Program Kapuas Hulu, 2009. Progress Report Aktifitas Lapangan, Maret-Desember 2009. Putussibau: Fauna and Flora International Fernandez , Joe., 2009. “Anggaran Prokaum Miskin: Konsep dan Praktek”, dalam: Abdul Waidl, Yuna Farhan dan Diding Sakri (eds) “Anggaran Pro-Kaum Miskin: Sebuah Upaya Menyejahterakan Masyarakat., hal 3-31. Jakarta: Pustaka LP3ES. Freestone, David, 2009, “The International Climate Change Legal and Institutional Framework: An Overview,” dalam: David Freestone dan Charlotte Streck, Legal Aspects of Carbon Trading: Kyoto, Kopenhagen and Beyond, Oxford University Press Friedman, Thomas, L. 2009, Hot, Flat and Crowded, Mengapa Kita Butuh Revolusi Hijau dan Bagaimana Memperbarui Masa Depan Global Kita, terj Alex Tri Kantjono, Jakarta: Gramedia 330 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Friman, Mathias, 2006. Historical Responsibility, the Concept’s History in Climate Change Negotiations and its Problem-solving Potential, Master thesis, Linköping University, Faculty of Arts and Sciences, Tema V, Supervisor: Björn-Ola Linnér Galudra, Gamma, Meine van Noordwijk, Suyanto, Idris Sardi dan Ujjwal Pradhan. 2009. Hot Spot of Emission and Confusion: Land Tenure Insecurity, Contested Policies and Competing Claims in the Central Kalimantan Ex-Mega Rice Project Area, Bogor: ICRAF, KPCP Global Witness, 2009, Trick or Treat: REDD, Development and Sustainable Forest Management, London: Global Witness Global Witness, The Wilderness Society, Rainforest Action Network and Wetlands International, 2009, “De-constructing LULUCF and its perversities: How Annex I parties avoid their responsibilities in LULUCF - Rules made by loggers for loggers”, http://www.wetlands.org/ WatchRead/tabid/56/mod/1570/articleType/ArticleView/articleId/2280/ Deconstructing-LULUCF-and-its-perversities.aspx (diakses 12-082009) Greenomics Indonesia. 2009. “Menguji” Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut (Kertas Kebijakan). http://www.greenomics.org/docs/ Laporan Emisi Greenomics_bahasa.pdf (diakses 20-05-2010) Griffiths, Tom. 2007. “RED”: AWAS? “Pencegahan deforestasi” dan hakhak Masyarakat adat dan komunitas local (terj). Forest Peoples Programme Harry, Johann, 2010, The Wrong Kind of Green, The Nation 22 March Henson, Robert, 2006. The Rough Guide to Climate Change: the Symptoms, the Science, The Solutions. London: Rough Guides Houghton, J.T., Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer, P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C.A. Johnson (eds.), 2001, Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Press Kanninen, M., Murdiyarso, D., Seymour, F., Angelsen, A., Wunder, S., German, L. 2009. Apakah hutan dapat tumbuh di atas uang?: implikasi penelitian deforestasi bagi kebijakan yang mendukung REDD (Perspektif Kehutanan 4). Bogor: CIFOR Daftar Pustaka 331 Kartodiharjo, Hariadi, dan Jhamtani, Hira, eds, 2006, Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta: Equinox Kasim, Ifdhal dan Endang Suhendar, 1997. “Kebijakan Pertanahan Orde Baru: Mengabaikan Keadilan Demi Pertumbuhan Ekonomi,” dalam Noer Fauzi (edt), Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rhineka Cipta Lang, Chris., 2009. Forests, “Carbon Markets and Hot Air: Why the Carbon Stored in Forests Should not be Traded”. dalam: Steffen Böhm and Siddhartha Dabhi (eds), Upsetting the Offset: The Political Economy of Carbon Markets, Hal 214-229. London: MayFlyBooks, Li, T. M., 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lynch, Owen J., and Kirk Talbott, 1995. Balancing Acts: Community-Based Forest Management and National Law in Asia and the Pacific. Washington, DC: World Resources Institute. McCarthy, John F. 2001. Decentralisation and Forest Management in Kapuas District, Central Kalimantan, Bogor: CIFOR Ministry of Environment, 2009, Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Jakarta: Ministry of Environment Ministry of Finance, 2009, Ministry of Finance Green Paper: Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate Change Mitigation in Indonesia, Jakarta: Ministry of Finance and Australia Indonesia Partnership Mumma, Albert dan David Hodas, 2008, Designing a Global Post-Kyoto Climate Change Protocol that Advances Human Development, Georgetown International Environmental Law Review (GIELR), Vol. 20, No. 4, p. 619, 2008; Widener Law School Legal Studies Research Paper No. 08-67 Murdiyarso, Daniel, 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. Jakarta: Kompas NEDO, 2006. CDM Development in Indonesia-Enabling Policies, Institutions and Programmes, Issues and Challenges 2006, kyomecha.org. www. kyomecha.org/pdf/CDM_Development_in_Indonesia_NEDO_2006-2. pdf(diakses 12-04-2010) 332 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Noor, Aslan, 2006, Konsep hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia: tinjauan dari ajaran Hak Asasi Manusia, Bandung: Mandar Maju, Noordin, 2008. Larangan Bakar Ladang bagi Petani Ethno-Agro Forest ; Politik Penguasaan Lahan Terselubung-Sistematis, http://nordin-journal. blogspot.com/2007/09/larangan-bakar-ladang-bagi-petani-ethno.html (diakses 25-06-2010) Papua New Guinea and Costa Rica, 2005, Reducing Emission from Deforestation in Developing Countries: Approaches to Stimulate Action, Submission by the Governments of Papua New Guinea and Costa Rica, http://unfccc.int/documentation/documents/advanced_search/ items/3594.php?rec=j&priref=600003611#beg, (diakses 15-06-2009) Palmer, Charles, and Stefanie Engel, 2009. Avoided Deforestation: Prospects for Mitigating Climate Change. London: Routledge Parker, Charlie., Andrew Mitchell, Mandar Trivendi, dan Niki Mardas, 2009. the Little REDD+ Book: An updated guide to governmental and non-governmental proposals for reducing emissions from deforestation and degradation. Oxford: Global Canopy Programme. Parry, M.L. O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson (eds), 2007. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007. Cambridge: Cambridge University Press Perkumpulan KaBan, 2009. Laporan Participatory Rural Appraisal, Putussibau: Perkumpulan KaBan Pokja Sawit Multipihak Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, 2008, Draft Naskah Akademik Perkebunan Sawit Berkelanjutan, Palangkaraya: Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Prum, Virak, March 2007, Climate Change and North-South Divide: Between and Within, Forum of international development studies 34, 223-244, 2007-03, Nagoya University Puntenney, PJ., 2009. ‘Where Managerial And Scientific Knowledge Meet Sociocultural Systems: Local Realities, Global Responsibility’. Dalam: S.A.Create & M.Nuttall, (eds), Anthropology and Climate Change. From Encounter to Actions. California: Left Cost Press Inc. Purwanto, SA., 2008. ‘Reformasi Birokrasi Kita: Tatanan yang Dibayangkan Masyarakat Desa Sungai Utik, Kalimantan Barat’, Makalah, Simposium Daftar Pustaka 333 Internasional Jurnal Antropologi Indonesia, 22-26 Juli 2008, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan) Roy, A. 1999. The Cost of Living (Versi Terjemahan dicetak pada 2004). New York: Modern Library. Sakuntaladewi, Niken, Suyanto, Gamma Galudra, Efrian Muharrom dan Ujjwal Pradhan 2009, Assessment of the Institutional Setting and Payment Distribution for REDD in the Province of Central Kalimantan. Bogor: ICRAF, KFCP Safitri, M. A. 2000. Desa, Institusi Lokal dan Pengelolaan Hutan: Refleksi Kebijakan dan Praktik. Jakarta: ELSAM. Segger, Marie-Claire Cordonier and Rajat Rana 2008. Selecting Best Policies and Law for Future Generations, Legal Working Paper and Worked Examples, Montreal: World Future Council dan CISDL Sellato, B., 1994. Nomads of the Borneo Rainforest. Honolulu: University of Hawaii Press. Sellato, B., 2002. Innermost Borneo. Paris; Singapore: Seven Orients; Singapore University. Sen, Amartya and Beetham, David, (eds), 2006. Development as Human Rights, Harvard: Harvard School Shah, Anup, 2009, Climate Justice and Equity, Global Issues.org, http:// www.globalissues.org/print/article/231, (diakses 18 Maret 2010) Smits, Willie. 2003, The BOS “Mawas” Debt for Nature Swap and Carbon Offset Agreement, Makalah, Semiloka Proyek Karbon Hutan, Perlindungan Iklim Global dan Pembangunan Berkelanjutan, Palangkaraya, 28-29 Agustus Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (eds.) 2007, Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change,2007 Cambridge: Cambridge University Press. South Asia Human Rights Documentation Center, 2006, Introducing Human Rights, an Overview Including Issues of Gender Justice, Environmental, and Consumer Law, New Delhi: Oxford University Press. 334 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Swallow, B, M. van Noordwijk, S. Dewi, D. Murdiyarso, D. White, J. Gockowski, G. Hyman, S. Budidarsono, V. Robiglio, V. Meadu, A. Ekadinata, F. Agus, K. Hairiah, P.N. Mbile, D.J. Sonwa, S. Weise. 2007. Opportunities for Avoided Deforestation with Sustainable Benefits. An Interim Report by the ASB Partnership for the Tropical Forest Margins. Nairobi: ASB Partnership for the Tropical Forest Margins Tambul Husin, Abang., 2005. Kabupaten Konservasi. Jakarta: Gramedia Direct Selling UNFCCC, 2002. A guide to the Climate Change Convention Process, Preliminary 2nd edition Issued for informational purposes only, Bonn: Climate Change Secretariat UNFCCC, 2006. UNFCCC: Handbook. Bonn, Germany: Climate Change Secretariat Wahyunto and I Nyoman N. Suryadiputra. 2008. Peatland Distribution in Sumatra and Kalimantan-explanation of its data sets including source of information, accuracy, data constraints and gaps. Bogor: Wetlands International – Indonesia Programme WCED, 1988, Hari Depan Kita Bersama (terj), Jakarta: Gramedia Daftar Pustaka 335 Biodata penulis Bernadinus Steni Peneliti sekaligus aktivis yang banyak berkecimpung dalam penelitian dan advokasi hukum dan masyarakat adat sejak bergabung dengan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa) tahun 2003. Sekarang lebih banyak bergelut dalam isu perubahan iklim, REDD dan perlindungan hak masyarakat adat. Iwi Sartika Aktivis pembelaan hak-hak masyarakat adat yang bergabung dengan Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Pontianak, Kalimantan Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar dalam penelitian soal posisi masyarakat adat dalam isu perubahan iklim dan REDD. Laurensius Gawing Peneliti sekaligus aktivis yang bergabung dengan LBBT (Lembaga Bela Banua Talino), Pontianak, Kalimantan Barat yang banyak menghabiskan waktu untuk meneliti kehidupan masyarakat adat di Kalimantan Barat. Seiring dengan hangatnya isu perubahan iklim/REDD menguatkan minatnya untuk lebih melihat dampak perubahan iklim/REDD bagi kehidupan masyarakat adat Mumu Muhajir Peneliti di Learning Center-Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologi (LC-HuMa). Mendalami aspek kebijakan dan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Myrna A. Safitri Peneliti sekaligus Koordinator Eksekutif Learning Center-Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologi (LC-HuMa). Terlibat dalam banyak penelitian soal hukum dan sosial kehutanan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Beliau sedang menyelesaikan pendidikan Doktor di Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden. Biodata Penulis 337 Rano Rahman Aktivis pembelaan hak-hak masyarakat adat yang sekarang menjabat sebagai sebagai Direktur Yayasan Betang Borneo, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Banyak terlibat dalam penguatan hak-hak masyarakat adat dalam isu perubahan iklim dan skema REDD Semiarto Aji Purwanto Dosen sekaligus peneliti di Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Penelitiannya banyak bersentuhan dengan posisi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Sekarang meminati kajian antropologi dan perubahan iklim . 338 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? cover ok print.indd 1 15/03/2011 11:02:39