REDD di Indonesia - Epistema Institute

advertisement
cover ok print.indd 1
15/03/2011 11:02:39
REDD di Indonesia,
ke mana akan melangkah?
Seri hukum dan keadilan iklim
S
eri ini adalah publikasi untuk menyebarluaskan
proses-proses pembelajaran dan karya ilmiah mengenai
aspek hukum dalam persoalan-persoalan perubahan
iklim. Seri ini diterbitkan atas dasar pertimbangan masih kurangnya
publikasi-publikasi mengenai perubahan iklim yang berfokus pada
persoalan hukum, keadilan sosial dan lingkungan. Tema-tema ini
mempunyai arti penting bagi Indonesia mengingat kompleksnya
persoalan-persoalan ekologis dan sosial akibat perubahan iklim,
kebijakan dan proyek-proyek yang terkait dengannya. Bagaimanakah
kebijakan dan proyek-proyek ini menjamin keadilan bagi masyarakat
yang paling rentan dan paling terkena dampak proyek serta dampak
perubahan iklim itu sendiri serta keadilan terhadap lingkungan?
Inilah tema-tema pokok dari rangkaian publikasi dalam Seri ini.
Khusus publikasi dalam Seri ini diterbitkan oleh Perkumpulan
untuk Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)
dukungan pendanaan dari Rainforest Foundation Norwegia.
Publikasi dalam seri ini:
Tenurial dalam perdebatan REDD: Pokok persoalan atau hanya
pelengkap? (Lorenzo Cotula dan James Mayers).
Hukum, perubahan iklim dan REDD: Prosiding pelatihan kerangka
hukum dan kebijakan perubahan iklim, khususnya REDD dari perspektif
hak masyarakat dan keberlanjutan hutan (Bernadinus Steni dan Mumu
Muhajir, penyunting).
SERI HUKUM DAN Keadilan Iklim
REDD di Indonesia,
ke mana akan melangkah?
Studi tentang kebijakan pemerintah dan
kerentanan sosial masyarakat
Penyunting:
Mumu Muhajir
HuMa
Jakarta, 2010
REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Studi tentang kebijakan
pemerintah dan kerentanan sosial masyarakat / Penyunting: Mumu Muhajir.
–Ed.1. –Jakarta: HuMa, 2010.
x, 338 hlm. ill. : 23 x 15 cm.
ISBN 978-602-8829-08-3
REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Studi tentang kebijakan
pemerintah dan kerentanan sosial masyarakat
© 2010
All rights reserved
Penyunting: Mumu Muhajir
Kontributor: Bernadinus Steni, Iwi Sartika, Laurensius Gawing, Mumu
Muhajir, Myrna A. Safitri, Rano Rahman, Semiarto Aji Purwanto
Foto sampul: Mumu Muhajir
Cover dan Layout: Nur Budiman
Edisi pertama: Juni 2010
Penerbit:
HuMA-Jakarta
Jl. Jati Agung No.8
Jakarta 12540
Telepon: +62-21-78845871; 78832167
Faksimile: +62-21 7806959
E-mail: [email protected]; [email protected]
Website: www.hukumdanmasyarakat.org; www.huma.or.id
Kalam Pembuka
Riuh rendah perdebatan mengenai upaya pengurangan emisi melalui
mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
(Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, REDD)
serta pengembangannya kemudian melalui REDD+ (mekanisme REDD yang
ditambah dengan peran konservasi, sustainable management of forests (SMF)
dan peningkatan stock karbon hutan di negara berkembang) mewarnai
wacana advokasi kebijakan dan akademik di Indonesia sejak beberapa tahun
ini. Pertanyaan yang jamak diajukan terhadap hal ini adalah se-siap apakah
pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan dan program terkait REDD
dan se-siap apa pulakah masyarakat adat/lokal menghadapi pelaksanaan
program REDD di wilayahnya.
Buku ini mencoba menjawab pertanyaan itu dengan memaparkan data
dan analisis yang diperoleh para penulisnya melalui beberapa penelitian yang
kami - Learning Centre Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis
Masyarakat dan Ekologis (HuMa) – lakukan bersama dengan para mitra kami.
Penelitian yang berlangsung di paruh pertama tahun 2010 mengurai berbagai
permasalahan terkait dengan kebijakan, peraturan perundang-undangan dan
kelembagaan pembangunan lingkungan hidup secara umum dan kaitannya
dengan perubahan iklim dan REDD secara khusus di tingkat nasional dan
dua daerah penelitian: Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Selanjutnya
kami menganalisis pula potensi kerentanan sosial yang akan terjadi pada
beberapa komunitas adat/lokal di kedua provinsi seandainya program REDD
akan dijalankan di wilayah tersebut. Pengalaman masyarakat berinteraksi
dengan agen dan program pembangunan ekonomi dan lingkungan adalah
modal utama untuk memprediksi faktor-faktor yang akan berpengaruh pada
kerentanan dan kelentingan sosial mereka.
Penelitian ini dapat lakukan karena dukungan dari Rainforest Foundation
Norwegia (RFN). Kami berterima kasih kepada lembaga tersebut. Selanjutnya,
kami menyampaikan penghargaan kepada para peneliti yang terlibat dalam
kegiatan ini: Laurensius Gawing dan Iwi Sartika (Lembaga Bela Banua Talino,
Pontianak) dan Rano Rahman (Yayasan Betang Borneo, Palangkaraya).
Penghargaan yang sama kami alamatkan kepada Dr. Semiarto Aji Purwanto
(Departemen Antropologi Universitas Indonesia) sebagai supervisor studi
kasus kerentanan sosial masyarakat. Kepada Mumu Muhajir dari Learning
Centre HuMa yang mengkoordinir penelitian dan akhirnya menjadi
penyunting buku ini kami sampaikan ucapan terima kasih.
Direktur dan staf Lembaga Bela Banua Talino dan Yayasan Betang
Borneo telah memberikan dukungannya pula dalam kegiatan ini, karenanya
kepada mereka kami ingin menyampaikan terima kasih. Para informan yang
meliputi pejabat pemerintah dari Jakarta, Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Barat, akademisi, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat dan teramat penting
para tokoh adat dan seluruh warga di desa-desa penelitian di Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Barat menjadi bagian yang penting dalam penelitian
ini. Terima kasih kepada mereka semua. Kepada Dr. Agus Mulyana dari
CIFOR (Center for International Forestry Research), Bogor serta Darmawan
Triwibowo dari Perkumpulan Prakarsa, Jakarta yang berkenan menjadi
pengkaji ahli atas temuan-temuan penelitian, kami juga menyampaikan
terima kasih. Demikian pula ucapan yang sama kami sampaikan kepada
para peserta seminar hasil penelitian yang telah memberikan masukan
berharga bagi penyempurnaan laporan penelitian ini.
Dengan segala kesadaran, kami mengakui masih banyak kelemahan
dalam penelitian serta penulisan buku ini. Buku ini hanyalah sebuah noktah
dalam pusaran pengembangan wacana advokasi keadilan iklim di Indonesia.
Bagi kami, ini adalah awal untuk terus mengikuti perkembangan REDD di
Indonesia dan mengabarkannya kepada publik.
Jakarta,
Juni 2010
Myrna A. Safitri
Koordinator eksektuif
Learning Centre HuMa
vi
SERI HUKUM DAN Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Daftar Isi
Kalam Pembuka..................................................................................... v
Daftar isi.................................................................................................. vi
Daftar kotak, peta, bagan dan tabel................................................ x
1. REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan
masyarakat: Sebuah pengantar
Mumu Muhajir dan Myrna A. Safitri......................................... 1
2. Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai
Kopenhagen
Bernadinus Steni............................................................................. 23
3. Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
(REDD) sebagai kasus
Mumu Muhajir................................................................................. 99
4. Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah
terhadap perubahan iklim/REDD di Kalimantan Tengah
Mumu Muhajir................................................................................. 183
5. Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan
pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kalimantan
Barat
Laurensius Gawing......................................................................... 235
6. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan
perubahan iklim/REDD: Studi di tiga desa di Kalimantan
Semiarto Aji Purwanto, Iwi Sartika dan Rano Rahman..... 269
Daftar pustaka.......................................................................................... 329
Biodata Penulis ........................................................................................ 337
Daftar Isi
vii
Daftar kotak, peta, bagan dan tabel
Kotak
Kotak 2.1. Laporan IPCC 1990 ............................................................. 27
Kotak 2.2. Pasal 4 ayat 8 Konvensi Perubahan Iklim........................ 32
Kotak 2.3. Net dan Gross....................................................................... 72
Kotak 2.4. Praktek SFM.......................................................................... 74
Kotak 3.1. REDD dan pengentasan kemiskinan................................. 138
Kotak 5.1. Indicative Guidance Demonstration Activities................... 236
Peta
Peta 5.1.
Lokasi DA FFI (IUPHHK RE) Danau Siawan-Belida
(SK Menhut No 259/2009).................................................. 245
Bagan
Bagan 2.1. Perbandingan emisi karbon negara maju-negara
berkembang........................................................................... 60
Bagan 2.2. Skema REDD (1).................................................................... 76
Bagan 2.3. Skema REDD (2)................................................................... 79
Bagan 2.4. Aspek yang mempengaruhi baseline................................. 80
Bagan 2.5. Posisi tawar para pihak . .................................................... 85
Bagan 6.1. Percampuran struktur pemerintahan adat dan desa di
Jelemuk ................................................................................. 274
Bagan 6.2. Kalender musim orang Kantuk.......................................... 281
Bagan 6.3. Skor akses desa ke situs...................................................... 298
Tabel
Tabel 2.1. Daftar negara Annex I, Annex II dan Non-Annex......... 39
Tabel 2.2. Negara-negara yang masuk dalam Annex B Protokol
Kyoto dan target pengurangan emisi mereka.................. 41
Tabel 2.3. Contoh gap emisi per kapita negara berkembang.......... 60
Tabel 2.4. Skenario pengurangan emisi IPCC .................................. 61
Tabel 2.5. Skenario cakupan REDD plus............................................ 70
Tabel 2.6. Skenario definisi deforestasi ............................................. 82
Tabel 2.7. Peta perdebatan antara negara maju dan negara
berkembang . ........................................................................ 87
Tabel 2.8. Teks safeguard yang melemah .......................................... 89
viii
SERI HUKUM DAN Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Tabel 3.1. RPJM 2004 – 2009 .............................................................. 104
Tabel 3.2. RKP 2008............................................................................... 108
Table 3.3. RPJM 2010-2014..................................................................... 113
Tabel 3.4. RKP 2010................................................................................ 116
Tabel 3.5. Renstra KL Dephut 2009 ................................................... 126
Tabel 3.6. Kegiatan Dephut di tahun 2010 terkait dengan
efektivitas perumusan pendanaan terkait adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim.................................................... 127
Tabel 3.7. Pembagian keuntungan menurut Permenhut P30/2009 143
Tabel 3.8. Perbedaan lembaga terkait perubahan iklim di bawah
Dephut .................................................................................. 158
Tabel 3.9. Alokasi anggaran peningkatan kapasitas penanganan
perubahan iklim di APBN 2010 ........................................ 170
Tabel 5.1. Luas wilayah dan jumlah kecamatan Kabupaten
Kapuas Hulu ........................................................................ 242
Tabel 5.2. Kawasan konservasi Kapuas Hulu . .................................. 256
Tabel 6.1. Jenis kegiatan utama produktif warga Desa Petak Puti 306
Tabel 6.2. Proses perladangan dengan kalender musim ................. 309
Tabel 6.3. Taksonomi Dayak Ngaju...................................................... 310
Tabel 6.4. Pembagian kawasan di Desa Petak Puti dan Kalumpang 311
Daftar Isi
ix
1. REDD di Indonesia, kebijakan
p e m e r i n t a h d a n ke r e n t a n a n
masyarakat: Sebuah pengantar
Mumu Muhajir dan Myrna A. Safitri
1.1 Upaya-upaya dunia internasional menanggapi perubahan
iklim: Menyeimbangkan tanggung jawab?
Pada mulanya, banyak pihak memahami fenomena perubahan iklim
sebagai proses alamiah semata. Hampir tidak terdapat pengaruh manusia di
dalamnya. Kesadaran bahwa manusia berperan penting dalam menyumbang
percepatan perubahan iklim sekaligus mengendalikannya mulai menguat
ketika berbagai laporan penelitian menunjukkan kebenaran hal ini. Misalkan
saja laporan penelitian Callender – seorang peneliti berkebangsaan Inggris –
pada tahun 1938 yang mempertanyakan kemungkinan naiknya jumlah CO2
di atmosfer disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Kemudian pada
tahun 1950-an, seorang peneliti bernama Keeling menemukan metode untuk
mengukur konsentrasi CO2 di atmosfer dan bahkan bisa menunjukkan bahwa
kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer berkorelasi dengan emisi karbon yang
disebabkan pembakaran bahan bakar fosil. Metode ini disempurnakan pada
tahun 1970-an dimana para peneliti dapat menemukan angka yang lebih
tepat soal naiknya konsentrasi CO2 di atmosfer yang ternyata tidak hanya
disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, tetapi juga pembukaan lahan
(Bolin, 2007:11-2). Konsumsi energi fosil serta pembukaan lahan adalah dua
contoh kontribusi besar manusia terhadap perubahan iklim.
Selain menjadi penyumbang bagi terjadinya perubahan iklim, manusia
juga menjadi korban daripadanya. Perubahan iklim memberikan dampak
yang luar biasa pada kelangsungan hidup milyaran manusia penghuni planet
ini. Bumi yang makin panas membuat lapisan salju meleleh, menaikkan
permukaan air laut, menguatkan dan mempersering datangnya topan, curah
hujan, mengebalkan dan sekaligus meragamkan berbagai macam penyakit.
Akibatnya, pola tanam pertanian berubah, ikan berpindah migrasinya, arus
transportasi laut dan udara terganggu, dan ratusan juta manusia harus
REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar
1
pindah atau dipindah paksa karena pemukimannya sudah tidak layak untuk
ditempati (Burroughs, 2007:221-31).
United Nations Framework on Climate Change Convention atau Kerangka
kerja Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (selanjutnya disingkat
UNFCCC)1 pada tahun 1992 menyatakan secara tegas bahwa ada sebagian
umat manusia yang bertanggung jawab lebih dalam mempercepat perubahan
iklim tersebut. Kelompok ini meliputi mereka yang sekarang menikmati
kesejahteraan tinggi dengan cara memakai konsumsi sumber daya alam
secara tidak wajar. Mereka adalah negara-negara maju yang dalam UNFCCC
dilabeli sebagai Negara Annex 1.2 Termasuk ke dalam kategori negara-negara
ini antara lain adalah Amerika Serikat, Australia, Negara-negara Eropa di
luar Negara Eropa Timur.
Ironisnya, penanggung dampak negatif terbesar akibat perubahan
iklim ini bukanlah mereka yang menyebabkannya. Negara berkembang
terutama negara-negara kepulauan seperti Indonesia menerima dampak
perubahan iklim yang lebih besar daripada negara-negara maju. Karena
itu, UNFCCC – setidaknya sampai saat ini –mewajibkan negara-negara
maju untuk membantu negara-negara berkembang dalam menghadapi
perubahan iklim ini.
Sebuah cara paling tepat untuk mengatasi dampak terburuk perubahan
iklim adalah penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).3 UNFCCC telah
mewajibkan negara-negara maju untuk menurunkan emisi GRK yang
dihasilkan di negara mereka. Menariknya, beberapa negara berkembang juga
ingin berkontribusi pada penurunan emisi tersebut dengan menyodorkan
hutan-hutan mereka sebagai penyerap karbon. Dalam teori-teori mengenai
perubahan iklim, karbon adalah salah satu gas yang menjadi penyumbang
penting bagi pemanasan global dan pada akhirnya memicu perubahan iklim
(Solomom dkk., 2007). Dengan hutan-hutan yang mereka miliki, negaranegara berkembang berkeyakinan bahwa gas-gas karbon itu dapat terserap
oleh hutan-hutan mereka, sehingga secara signifikan dapat menyumbang
pada penurunan emisi.
Kontribusi hutan yang unik dalam perubahan iklim – sebagai
penyumbang sekaligus penyerap emisi rumah kaca – sebenarnya sudah
disinggung dalam sebuah laporan dari Inter-governmental Panel on Climate
Change (Panel antar pemerintah mengenai perubahan iklim, selanjutnya
disingkat IPCC)4 pada tahun 2001. Laporan yang dikenal dengan Third
Assesment Report (TAR) itu menyebutkan kontribusi perubahan tata
1
2
3
4
Penjelasan lebih jauh mengenai UNFCCC lihat bab 2.2 buku ini.
Secara lengkap tentang daftar negara-negara yang termasuk ke dalam kategori negara Annex 1 ini lihat
di Bab 2.2.(e) buku ini.
Tentang definisi emisi GRK lihat bagian 1.4 pada bab ini.
IPCC adalah sebuah panel pakar antarpemerintah yang dibentuk pada tahun 1988 oleh World Meteorological
Organization (WMO) dan the United Nations Environment Programme (UNEP) yang bertugas meneliti
resiko perubahan iklim akibat tindakan manusia. Lebih lanjut bisa dilihat di bab 2.2.
2
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
guna lahan pada perubahan iklim sejak dekade 1980-an hingga laporan
itu diterbitkan berjumlah kurang lebih seperempat dari emisi global yang
ada waktu itu. Penyumbang terbesar dari perubahan tata guna lahan itu
adalah deforestasi.5 Dalam bagian lain laporan itu menyatakan sejak tahun
1850 diperkirakan hutan dunia hilang sebesar 20% yang menyumbang 90%
emisi akibat perubahan tata guna lahan (Houghton dkk., 2001).
TAR yang dikeluarkan oleh IPCC ini menginisiasi lahirnya sebuah
dokumen UNFCCC yang dihasilkan di dalam COP 7 tahun 2001 yang
diselenggarakan di Marrakesh, Maroko, yang dikenal dengan nama
“Marrakesh Accord”. Dalam berbagai keputusan COP 7 tersebut, TAR
berulang kali disebutkan sebagai rujukan penting dalam pengambilan
keputusan para peserta dan bahkan memerintahkan badan-badan ad-hoc
seperti SABTA atau SBTA untuk memperhatikan hasil-hasil kajian yang ada
di dalam TAR dalam setiap putaran perundingannya.
Perlu kami jelaskan terlebih dahulu bahwa COP atau Conference of
Parties adalah sebuah forum pengambil keputusan tertinggi dari para pihak
dalam UNFCCC. Forum ini bertanggungjawab untuk merancang upayaupaya internasional terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.6
Termasuk pula dalam tugas COP ini adalah mengkaji ulang penerapan
kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dalam UNFCCC serta menguji
komitmen para pihak dalam menjalankan kesepakatan-kesepakatan
tersebut.7
Kembali pada Marrakesh Accord. Dokumen ini antara lain memasukkan
hutan dalam strategi mitigasi perubahan iklim. Namun dalam perundingan,
hanya aspek reforestasi dan aforestasi saja yang dimasukkan ke dalam
skema mitigasi, yang kemudian dimasukkan ke dalam Skema CDM dalam
Protokol Kyoto. 8 Sementara itu, pencegahan deforestasi – yang sebenarnya
penyebab utama perubahan iklim– tidak dibahas. Penyebabnya, antara lain,
adalah masalah definisi hutan yang masih ambigu dan lingkup CDM hanya
berupa proyek yang kecil, sementara deforestasi lingkupnya secara geografi
lebih luas (Swallow dkk., 2007).
Barulah dalam COP 11 di Montreal pada Desember 2005, UNFCCC
mengeluarkan pertimbangan kemungkinan adanya kebijakan strategi
pengurangan emisi dari deforestasi di hutan tropis. Kajian soal kemungkinan
adanya kebijakan itu akan dilakukan dalam waktu dua tahun. Dalam COP
11 ini pula, Kosta Rika dan Papua Nugini mengajukan usulan mekanisme
5
6
7
8
Dalam laporan itu, deforestasi didefinisikan sebagai “Conversion of forest to non-forest” atau perubahan hutan
menjadi bukan hutan; sementara itu, buku ini menggunakan istilah deforestasi untuk menjelaskan perubahan
secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Istilah yang dipakai dalam buku ini sama dengan pengertian deforestasi di dalam Protokol Kyoto (decision
11/COP 7 UNFCCC 2001; dapat dilihat di unfccc.int/resource/docs/cop7/13a01.pdf (diakses 28-09-2010))
Untuk definisi adaptasi dan mitigsi bisa dilihat pada bagian 1.4 bab ini.
Deskripsi lebih rinci mengenai COP dan perkembangannya dapat dilihat pada bab 2.2 (d) buku ini.
Skema aforestasi dan reforestasi ini masuk ke dalam Skema CDM di dalam Protokol Kyoto. Penjelasan
lebih lanjut soal Protokol Kyoto dapat dibaca pada Bab 2.3 buku ini.
REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar
3
pengurangan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) akibat deforestasi atau Reducing
Emissions from Deforestation (RED).
Dalam rangka memperkuat argumentasi keharusan masuknya “avoided
deforestation”,9 IPCC tahun 2007 mengeluarkan laporan keempatnya yang
menyatakan ada sekitar 1,6 miliar ton gas karbon dioksida (CO2) yang
dilepaskan per tahunnya ke atmosfer akibat perubahan tata guna lahan,
sebagian besarnya disumbangkan oleh deforestasi. Jumlah itu merupakan
seperlima dari jumlah emisi global yang ada saat ini (Solomon dkk., 2007).
Dalam COP 13 di Bali, Desember 2007, avoided deforestation resmi
dimasukkan dalam materi perundingan UNFCCC yang kemungkinan
persetujuan atas mekanismenya akan diadakan di COP 15 di Kopenhagen
tahun 2009. Di COP 13 ini juga dihasilkan Bali Action Plan yang berisi
kesepakatan untuk melanjutkan perundingan yang mempertimbangkan
kebijakan dan insentif positif untuk isu yang berkaitan dengan pengurangan
ERK dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang. Dari
perundingan ini pula ditakzimkan istilah REDD atau Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation.10
Skema REDD inilah yang kemudian menjadi riuh rendah diperbincangkan.
Ratusan publikasi ilmiah dicetak dan diperdebatkan. Penamaan REDD
juga mengalami perkembangan. REDD pada awalnya hanya menyangkut
pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, aspek “negatif” dalam skema
ini. Mengingat skema REDD juga perlu disusupi dengan aspek “positif”
berupa pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), konservasi
dan peningkatan penyimpanan karbon (carbon stock), maka dalam
perkembangannya skema REDD ini ditambahi “+” di huruf terakhirnya
sehingga menjadi REDD+ (Angelsen,Wertz-Kanounnikoff, 2008:15). Skema
terakhir itulah yang masuk di dalam COP 13, diperkuat di COP 14 Poznan dan
didiskusikan dengan panas dengan harapan dapat terwujud komitmen yang
mengikat – namun gagal – di COP 15 Kopenhagen tahun 2009 kemarin.
Dengan demikian, dari sisi negara berkembang, REDD+ merupakan
skema kedua setelah CDM (Clean Development Mechanism/Skema
Pembangunan Bersih) yang menghubungkan mereka dengan tugas yang
sebenarnya menjadi tanggung jawab utama negara-negara maju: mitigasi
perubahan iklim. Pada skema CDM ini – skema yang dilahirkan oleh Protokol
Kyoto – negara-negara berkembang menyelenggarakan berbagai proyek yang
hasilnya adalah penurunan emisi GRK. Hasil penurunan emisi ini (Kredit
Emisi) ini kemudian dijual kepada negara-negara maju. Dengan demikian,
negara-negara berkembang “membantu” negara-negara maju memenuhi
kewajibannya menurunkan emisi dengan imbalan insentif keuangan.
9
10
Definisi Avoided Deforestation dapat dilihat pada 1.4 bab ini.
Mengenai REDD dan berbagai skema yang diusulkan lihat bab 2, khususnya bagian 2.7 buku ini.
4
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Mengikutsertakan negara-negara berkembang di dalam kewajiban
pengurangan emisi merupakan salah satu perdebatan panas di dalam
UNFCCC. Hasilnya nyata dalam COP 15 di Kopenhagen yang menghasilkan
Copenhagen Accord 2009. Walaupun kesepakatan ini tidak mengikat secara
hukum, namun membuka jalan bagi keterlibatan negara-negara berkembang
dengan keharusan mengirimkan komitmen pengendalian perubahan iklim
ke sekretariat UNFCCC.
Indonesia adalah salah satu negara yang menyatakan komitmen
pengendalian iklim secara sukarela tersebut. Namun, UNFCCC sendiri
menegaskan bahwa komitmen pengendalian iklim tersebut harus
diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan secara umum di masingmasing negara berkembang, terutama dalam usaha pembangunan ekonomi
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bagaimanakah Indonesia
menyiapkan perangkat hukum dan kelembagaan untuk menjalankan
komitmen ini akan kami jelaskan di bagian berikut.
1.2 REDD di Indonesia
Indonesia membuka tangan lebar masuknya sektor hutan dalam skema
mitigasi perubahan iklim. Sebelum COP-13, Indonesia di bawah koordinasi
Kementerian Kehutanan (melalui IFCA) telah menetapkan Road Map REDDI
(Indonesia) yang terbagi ke dalam tiga fase:11
1. Persiapan (readiness) pada tahun 2007; Tahap ini bertujuan untuk
menyiapkan perangkat metodologi dan strategi implementasi REDDI,
termasuk penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi pelaksanaan (pilot/
demonstration activities, selanjutnya disingkat DA). Tahapan tersebut
dilakukan dengan melakukan komunikasi/koordinasi/konsultasi dengan
para pihak.
2. Pilot/transisi (2008-2012), merupakan tahapan untuk mengujicoba
metodologi dan strategi, dan merupakan tahapan transisi dari nonmarket (fund-based) ke mekanisme pasar (market mechanism),12 dan
ke arah implementasi REDD secara penuh (dari 2012 atau lebih awal
tergantung perkembangan negosiasi dan kesiapan Indonesia) dengan
tata cara (rules and procedures) berdasarkan keputusan COP dan
ketentuan di Indonesia. Pada tahapan ini tetap dilakukan komunikasi
dan konsultasi dengan para pihak dengan penekanan pada para pihak
11
12
Mengenai IFCA dapat dilihat dalam Bab 3.3 sub (ii) buku ini.
Mekanisme Pasar atau Market Mechanism yang dimaksud dalam pelaksanaan REDD merupakan tahapan
dimana pembiayaan pelaksanaan REDD tidak digantungkan pada alokasi dana yang sudah ditentukan;
namun didasarkan pada siklus penawaran dan permintaan yang berkembang di pasar biasa, sehingga bisa
jadi sebuah proyek REDD tidak berjalan karena tidak diminati, di sisi lain, ada juga proyek REDD yang
diminati sehingga dapat berjalan dengan harga yang tinggi. Fund Based Mechanism merupakan mekanisme
di dalam REDD dimana pembiayaannya berasal dari alokasi dana tertentu yang sudah disepakati oleh
para pihak, dalam hal ini negara-negara maju. Mekanisme ini menghindari adanya proyek REDD yang
tidak jalan atau terbengkalai serta dengan mekanisme harga yang sudah (di-) tetap (-kan). Penjelasan
lain bisa disimak di Bab 2.6 buku ini.
REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar
5
di daerah, penyiapan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara
REDD (termasuk tentang DA), pemilihan lokasi dan dimulainya DA.
Komunikasi dan konsultasi dengan penekanan dengan para pihak di
daerah ini dimaksudkan untuk memperkuat konsolidasi karena pihak
daerahlah yang sebenarnya yang akan menanggung pelaksanaan REDD.
3. REDD setelah 2012 (full implementation) merupakan tahapan akhir
yang diharapkan pada tahun 2012 ini telah ada kesepakatan secara
internasional mekanisme REDD.
Dengan kebijakan tanpa sesal atau “non-regret policy” pada soal REDD
ini, Pemerintah Indonesia berharap skema REDD bisa terlaksana sebagai
pengganti Protokol Kyoto yang kekuatan hukumnya akan berakhir di tahun
2012. Kebijakan tanpa sesal itu berarti jikapun REDD tidak terlaksana –
karena tidak disepakati para pihak di dalam UNFCCC sebagai pengganti
Protokol Kyoto – maka dua tahapan yang disebutkan di atas tetap “berguna”
bagi perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia. Selain itu, usaha yang
telah dilakukan ini menunjukkan Indonesia tidak tinggal diam dalam ikut
menurunkan emisi karbon dunia.
Bukan hanya dalam soal REDD, Indonesia menunjukkan keinginannya
terlibat dalam mitigasi perubahan iklim. Menjelang perundingan COP 15
di Kopenhagen, Pemerintah Indonesia menyatakan secara sukarela berniat
menurunkan tingkat emisinya sebesar 26% pada tahun 2020 dibandingkan
pada emisi pada situasi biasa atau dikenal dengan istilah business as usual
(BAU) atau 41% jika ada bantuan internasional.
Kesanggupan ini sudah dilaporkan Indonesia ke Sekretariat UNFCCC
bulan Februari 2010 sebagai tindak lanjut Copenhagen Accord 2009.
Kesanggupan pemerintah menurunkan emisi itu erat hubungannya dengan
profil emisi Indonesia serta adanya tawaran skema pembiayaan REDD.
Penyumbang emisi terbesar Indonesia berasal dari tata guna lahan, deforestasi
dan kebakaran lahan gambut. Ketiganya menyumbang 61% dari total emisi
Indonesia di tahun 2005 (Ministry of Environment, 2009). Sementara,
penurunan emisi dari ketiga sektor itu relatif berbiaya murah (cost-effective)
dengan imbal hasil yang besar. Berbiaya murah, karena pengaturan serta
pengelolaan pada ketiga soal itu sebenarnya sudah dikerjakan Indonesia.
Tanpa harus bekerja dari nol. Ditambah dengan kenyataan ada banyak
insentif yang dapat diraih oleh Indonesia atas pengelolaan yang biasa
dilakukan di tiga sektor itu, termasuk di dalamnya REDD. Karena itu pula,
Kementerian Kehutanan mendapatkan perintah dari Presiden Indonesia
untuk berkontribusi dalam penurunan emisi itu. Kontribusi Kementerian
Kehutanan merupakan yang terbesar yakni lebih dari separuh (51%) dari
target penurunan pemerintah sebesar 26% .
13
13
Penjelasan singkat soal “non-regret policy” itu dapat disimak di Bab 3.3 buku ini.
6
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Pada titik inilah kita penting mengkaji REDD ini untuk melihat apakah
komitmen besar dari pemerintah itu telah diimbangi dengan kesiapan
yang memadai dari aspek kebijakan dan hukum, kelembagaan dan alokasi
anggaran. Lebih penting dari itu adalah apakah masyarakat telah siap atau
sebaliknya akan rentan jika proyek-proyek REDD dilaksanakan di wilayah
mereka.
Buku ini kami tulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Isinya
adalah hasil-hasil penelitian yang kami lakukan di Learning Centre HuMa
dengan melibatkan sejumlah mitra peneliti dari perguruan tinggi dan
organisasi non pemerintah.
1.3 Tentang penelitian perubahan iklim/REDD
(a) Lingkup dan masalah penelitian
Kami membagi penelitian ini ke dalam dua kegiatan. Pertama adalah
penelitian tentang kerangka kebijakan dan hukum serta kelembagaan yang
terkait dengan perubahan iklim dan REDD di tingkat internasional, nasional
dan daerah. Kedua adalah studi kasus mengenai kesiapan dan kerentanan
sosial masyarakat adat/lokal dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hakhak mereka atas tanah dan sumber daya di wilayah-wilayah yang potensial
menjadi wilayah pelaksanaan proyek REDD di Kalimantan Barat (Kabupaten
Kapuas Hulu) dan Kalimantan Tengah (Kabupaten Kapuas).
Penelitian kerangka hukum dan kelembagaan kami lakukan untuk
mengetahui seberapa jauh instrumen hukum/kebijakan dan kelembagaan
di tingkat internasional, nasional dan daerah, terkait dengan perubahan
iklim, khususnya REDD, yang ada mengatur pengakuan, pemenuhan dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat/lokal atas hutan serta perlindungan
hutan secara umum; seberapa jauh perangkat kelembagaan yang ada berfungsi
untuk menjalankan pengakuan, pemenuhan dan perlindungan tersebut?
Secara khusus, penelitian hukum dan kelembagaan internasional
kami lakukan untuk mengetahui dinamika perundingan perubahan iklim
di UNFCCC. Kami memandang pengetahuan tentang apa yang terjadi di
tingkat internasional ini penting untuk memprediksi bagaimana REDD
akan berjalan di Indonesia. Di sisi lain, pengetahuan yang baik tentang
perbandingan hukum menjadi penting dalam melihat sejauh mana hukum
nasional tunduk pada hukum internasional.
Di tingkat nasional, penelitian ini melihat perkembangan kebijakan/
hukum dan kelembagaan dengan perubahan iklim dan REDD. Masalah
spesifiknya adalah seberapa jauh kebijakan/hukum itu melindungi dan
memenuhi hak-hak masyarakat adat/lokal atas tanah dan sumber daya
mereka. Kami menganalisis peraturan yang terkait langsung atau tidak
langsung dengan perubahan iklim atau REDD dan memprediksi (potensi)
REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar
7
dampak pelaksanaannya. Kami juga melihat bentuk kelembagaan yang
dibentuk yang terkait dengan pengendalian perubahan iklim.
Di tingkat provinsi dan kabupaten, penelitian mencari sejauh mana
peraturan dan lembaga yang ada di daerah dapat mengantisipasi pelaksanaan
REDD. Penelitian ini mengungkap sejauh mana pelaksanaan REDD atau
secara lebih umum kebijakan perubahan iklim ini diintegrasikan dalam
rencana pembangunan daerah. Penelitian juga mengungkapkan bagaimana
persoalan ini terkait dengan masalah pembagian kewenangan pusat
dan daerah dalam pengelolaan hutan. Di tingkat daerah ini kami juga
mempelajari kemampuan kebijakan pemerintah daerah dalam pemenuhan
dan perlindungan hak-hak masyarakat adat/lokal. Studi kasus tentang kesiapan dan kerentanan sosial masyarakat kami
lakukan untuk mengetahui sampai dimana pengetahuan masyarakat
mengetahui REDD dan bagaimana kondisi riil masyarakat dalam pengelolaan
hutan, pengembangan pranata dan kegiatan ekonomi, modal sosial,
hubungan dengan dunia luar, kelembagaan, konflik dan penyelesaian
konflik. Secara umum studi kasus ini diarahkan untuk mengetahui sejauh
mana kondisi-kondisi tersebut dapat diantisipasi menjadikan masyarakat
siap atau rentan menghadapi REDD.
(b)Metode
Penelitian kerangka hukum dan kebijakan kami lakukan utamanya
dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Peneliti
menganalisis dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh UNFCC, pemerintah
pusat dan pemerintah daerah yang memiliki kekuatan hukum. Di tingkat
daerah, penelitian kami lengkapi juga dengan wawancara dengan sejumlah
informan untuk mengetahui keberadaan dan aktivitas lembaga-lembaga
pemerintah yang menangani urusan lingkungan hidup dan kehutanan secara
umum dan perubahan iklim khususnya. Penelitian untuk level internasional
kami lakukan dengan mengamati peran negara-negara, khususnya Indonesia
dalam perundingan-perundingan perubahan iklim di UNFCCC, serta peran
kelompok masyarakat sipil dalam perundingan tersebut.
Dalam penelitian soal kerentanan dan kesiapan masyarakat,
pengumpulan data dilakukan dengan metoda pemahaman masalah secara
cepat (rapid appraisal) dengan memanfaatkan tenaga peneliti yang telah
memahami dinamika penduduk dan masalah di sekitar lokasi penelitian.
Dengan menggunakan metode yang acap digunakan dalam penelitian
antropologi, kami melakukan sejumlah wawancara pada informan kunci,
mendiskusikan berbagai isu terkait dengan warga masyarakat dan mengamati
kondisi fisik dan interaksi sosial di tingkat komunitas. Selain itu para peneliti
juga membaca secara kritis aneka pustaka baik buku, artikel dan laporan
tentang wilayah tersebut maupun data statistik.
8
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Sebagaimana telah kami sampaikan di bagian 1.3 (a), studi kasus
dilakukan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Di kedua provinsi
ini kami memilih lokasi yang selama ini diusulkan (atau berpotensi)
menjadi lokasi proyek kegiatan REDD, yakni di Desa Jelemuk, Kabupaten
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dan Desa Kalumpang dan Desa Petak Puti,
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Penelitian ini sendiri secara keseluruhan dilakukan dalam waktu enam
bulan antara Januari – Juni 2010. Khusus untuk penelitian hukum/kebijakan
kami mengamati perkembangan yang terjadi dalam kurun tahun 2007 - 2010.
Dalam kenyataannya, ada fakta-fakta sebelum tahun 2007 yang terpaksa
harus diungkapkan karena kuatnya keterkaitannya dengan periode yang
diteliti. Rentang tahun 2007 – 2010 dipilih karena dalam rentang tahun
inilah perbincangan soal perubahan iklim/REDD masuk di dalam wacana
publik dan pemerintah Indonesia mulai serius menanggapinya.
Dalam menjalankan penelitian ini kami mendapati sejumlah kendala,
baik dari sisi substansi maupun teknis. Kehilangan salah satu anggota
peneliti di lapangan dan data yang tidak terkumpul sesuai dengan yang
diharapkan harus kami hadapi dan carikan solusinya. Selain itu mengingat
REDD merupakan skema yang belum solid sehingga sangatlah sulit
memperkirakan tanggapan pemerintah atau dampaknya pada masyarakat.
Oleh sebab itu kami hanya mampu mengidentifikasi tanggapan-tanggapan
pemerintah pusat dan daerah yang telah mewujud dalam peraturan
perundang-undangan. Adapun untuk memprediksi kemungkinan dampak
REDD pada masyarakat kami mencoba menarik analoginya dengan melihat
beberapa proyek pembangunan ekonomi atau lingkungan hidup yang masuk
ke dalam masyarakat desa.
1.4 Konsep-konsep
Dalam penelitian ini ada banyak istilah yang kami gunakan dan masingmasing merujuk pada konsep yang khusus, yakni:
(i) Perubahan iklim. Menurut definisi UNFCCC, perubahan iklim adalah
perubahan pada iklim yang disebabkan langsung atau tidak langsung
oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi
atmosfer global. Dengan demikian, UNFCCC membagi perubahan
iklim akibat aktivitas manusia dan akibat alami. Sebenarnya,
perubahan iklim sudah terjadi sejak pertama kali bumi terbentuk
dan secara alami terjadi dalam jangka waktu yang lama. Namun,
sejak revolusi industri pada abad ke sembilan belas, pertama kali
dalam sejarah manusia, aktivitas manusia mempengaruhi iklim.
Perubahan iklim itu terjadi karena adanya perubahan kandungan gasgas yang ada di atmosfer bumi yang disebabkan oleh meningkatnya
gas rumah kaca. Perubahan iklim mencakup perubahan pada pola
REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar
9
angin, tekanan udara, pola curah hujan dan suhu permukaan bumi.
Perubahan iklim kadang disamakan dengan istilah pemanasan global,
padahal istilah pemanasan global hanya mencakup bagian kecil dari
pengertian perubahan iklim.
(ii) Pemanasan global. Secara saintifik pemanasan global adalah
fenomena atmosfer bumi dalam melindungi bumi agar tetap hangat
dengan menahan sebagian pantulan sinar inframerah matahari tetap
di bawah selimut atmosfer bumi. Istilah ini lebih tepat dikatakan
sebagai efek rumah kaca. Ada beberapa gas di atmosfer yang
berperan penting terjadinya efek rumah kaca, yakni uap air (H2O),
karbon dioksida (CO2), metan (CH4), nitrogen oksida (N2O) dan ozon
(O3). Sampai saat ini ada dua perjanjian internasional yang mengatur
mengenai gas-gas di atmosfer ini. Protocol Montreal mengatur emisi
rumah kaca yang dihasilkan manusia, yakni halocarbon (CFCs,
HCFCs, dan lain-lain), dan gas yang mengandung clorin dan bromin.
Sedangkan Protokol Kyoto, mengatur gas-gas rumah kaca berupa
CO2, N2O, CH4, SF6, HFCs dan PFCs.
(iii) Emisi Gas Rumah Kaca. Konsep itu terdiri dari kata “emisi” dan frase
“gas rumah kaca” atau GRK. Emisi merupakan zat, energi dan/atau
komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/
atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/
atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. Sementara
GRK, dalam definisi IPCC merupakan gas-gas di atmosfer, baik berupa
gas alami maupun yang dihasilkan oleh manusia, yang menyerap dan
memancarkan radiasi pada panjang gelombang tertentu di dalam
spektrum radiasi panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi,
oleh atmosfer itu sendiri maupun oleh awan. Gas rumah kaca inilah
yang menyebabkan lahirnya efek rumah kaca. Gas-gas rumah kaca
alami antara lain adalah uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metan
(CH4), nitrogen oksida (N2O) dan ozon (O3). Sementara gas rumah
kaca yang dihasilkan oleh manusia antara lain adalah halocarbon
(CFCs, HCFCs, dan lain-lain), gas yang mengandung clorin dan
bromin (Solomon dkk., 2007).
(iv) REDD. Kepanjangan REDD dalam perdebatan di UNFCCC tidak selalu
konsisten. Ia bisa kepanjangan dari pengurangan emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan di negara berkembang/Reducing Emissions
from Deforestation and forest Degradation in developing countries
atau kepanjangan dari Pengurangan emisi dari deforestasi di negara
berkembang/Reducing Emissions from Deforestation in developing
Countries. Kepanjangan REDD yang pertama itu merupakan istilah
yang diperkenalkan oleh Indonesia pada COP 13, Desember 2007, di
10
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Bali. Definisi resmi Indonesia tentang REDD adalah semua upaya
pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan
penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan
melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional
yang berkelanjutan.
REDD dalam pelaksanaannya merujuk pada dua hal. Pertama,
proses pembentukan mekanisme pembayaran kepada negara
berkembang yang telah mengurangi emisinya lewat pengurangan laju
deforestasi dan degradasi hutan. Kedua, ia merujuk pada aktivitas
persiapan bagi negara agar terlibat dalam mekanisme REDD, yang
setidaknya akan melakukan pengujian dan pengembangan metodologi,
teknologi dan institusi pengelolaan hutan secara berkelanjutan yang
berupaya untuk mengurangi emisi karbon. Di Indonesia, rujukan
kedua itu dikenal dengan istilah Demonstration Activities (DA).
(v) Carbon Offset. Merupakan kredit pengurangan emisi rumah kaca
yang berasal dari proyek atau organisasi lain yang melakukan praktik
pengeluaran emisi gas rumah kaca yang rendah di tempat lain.
Dengan demikian, biarpun bernama carbon, ia tidak hanya terbatas
pada karbon saja, namun juga mencakup emisi rumah kaca lain
di luar karbon. Pengaturan Carbon Offset ini diatur dalam CO2‐eq
atau carbon dioxide-equivalent. Carbon Offset memungkinkan calon
pembeli kredit membayar pihak lain untuk membuat proyek yang
mengurangi emisi dengan atas nama calon pembeli kredit itu.
Istilah ini muncul bersamaan dengan lahirnya Protokol Kyoto yang
memberikan pilihan kepada negara maju – daripada melakukan
pengurangan emisi di dalam negerinya – membiayai sebuah atau
beberapa proyek pengurangan emisi di negara berkembang yang
hasil pengurangan emisi itu akan dianggap sebagai pelaksanaan
kewajiban pengurangan emisi negara maju (Bullock, Childs, Picken,
2009). Dalam perkembangannya aktor yang terlibat dalam Carbon
Offset ini tidak hanya negara, namun juga individu dan perusahaan/
privat.
(vi) Perdagangan karbon. Carbon Offset ini biasanya berjalan lewat
mekanisme perdagangan karbon yang terdiri dari dua tipe, yaitu
compliance dan voluntary. Pada perdagangan karbon yang bersifat
compliance, para aktor (individu, perusahaan, pemerintah atau bentuk
lembaga lain) membeli kredit karbon berdasarkan suatu batasan
(“Cap”) karbon yang boleh dikeluarkan, sementara dalam perdagangan
karbon yang bersifat voluntary – yang jumlahnya jauh lebih kecil dari
yang compliance – para aktor membeli kredit pengurangan emisi
untuk memitigasi pengeluaran emisi karbonnya sendiri.
REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar
11
(vii) Deforestasi. Menurut Marrakesh Accord (COP 7) disebutkan bahwa
deforestasi adalah direct human-induced conversion of forested land
to non-forested land. 14 Sementara Indonesia sendiri memakai definisi
yang hampir sama dengan definisi menurut UNFCCC itu dengan
menyebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen
dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh
kegiatan manusia.15
(viii) Reforestasi. Ada dua definisi soal Reforestasi ini: untuk keperluan
skema CDM dan lebih umum. Untuk keperluan skema CDM dapat
dilihat pada Marrakesh Accord (COP 7) yang menyebutkan bahwa
reforestasi adalah perubahan wilayah non-hutan menjadi hutan yang
dilakukan oleh manusia melalui penanaman atau pembibitan yang
dilakukan pada lahan yang dulunya hutan yang sudah dikonversi
menjadi kawasan non-hutan.16 Lahan yang dapat dijadikan proyek
reforestasi ini terbatas pada lahan yang tidak memiliki hutan sejak
31 Desember 1989. Sementara menurut Pemerintah Indonesia,
reforestasi didefinisikan sebagai penghutanan pada lahan yang sejak
tanggal 31 Desember 1989 bukan merupakan hutan.17 Penyebutan
tanggal 31 Desember 1989, sebagaimana juga ada di dalam Marrakesh
Accord, merupakan persyaratan di dalam skema CDM untuk periode
komitmen pertama (2007-2012).
Sementara itu, untuk definisi yang lebih umum, reforestasi
adalah proses penghutanan pada lahan yang sebelumnya memiliki
hutan namun telah dikonversi untuk keperluan lain (Solomon dkk.,
2007).
Dalam buku ini, kecuali disebutkan lain, istilah reforestasi
merujuk pada pengertian dalam skema CDM.
(ix) Aforestasi. Sebagaimana reforestasi, aforestasi ini memiliki dua
pengertian: dalam skema CDM dan lebih umum. Dalam skema
CDM, aforestasi disebutkan sebagai penghutanan pada lahan yang
selama 50 tahun atau lebih bukan merupakan hutan,18 atau menurut
Marrakesh Accord sebagai “the direct human-induced conversion of
land that has not been forested for a period of at least 50 years to
forested land through planting, seeding and/or the human-induced
promotion of natural seed sources”.19
14
15
16
17
18
19
unfccc.int/resource/docs/cop7/13a01.pdf (diakses 28-09-2010).
Pasal 1 butir 10 Permenhut P. P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi
dan Degradasi Hutan (REDD).
unfccc.int/resource/docs/cop7/13a01.pdf (diakses 28-09-2010).
Pasal 1 butir 2 Permenhut P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi Dalam
Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih.
Pasal 1 butir 1 Permenhut P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi Dalam
Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih.
unfccc.int/resource/docs/cop7/13a01.pdf (diakses 28-09-2010).
12
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Aforestasi, dalam pengertian lebih luas, dimaknai sebagai
penghutanan pada lahan yang sebelumnya belum pernah menjadi
hutan (Solomon dkk., 2007).
Dalam buku ini, kecuali disebutkan lain, istilah Aforestasi
merujuk pada pengertian dalam skema CDM.
(x) Degradasi hutan. Istilah ini belum dikenal dalam perundingan
perubahan iklim. Indonesia, menyebut istilah degradasi hutan ini
sebagai penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama
periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.20 Istilah ini
serta istilah deforestasi terkait dengan istilah lain, yakni hutan.
(xi) Hutan. Sampai saat ini UNFCCC mengadopsi istilah hutan yang
dipunyai oleh FAO, yakni dengan mengatakan a minimum area of
land of 0.05-1.0 hectares with tree crown cover (or equivalent stocking
level) of more than 10-30 per cent with trees with the potential to
reach a minimum height of 2-5 metres at maturity in situ.21 Tidak ada
penjelasan apakah bisa juga dikatakan hutan ketika jenis pohonnya
hampir seragam.
Istilah Indonesia untuk hutan lebih bermasalah lagi. Hutan
menurut Indonesia adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan.22 Pengertian hutan itu dibedakan
pengertiannya dengan kawasan hutan, yakni wilayah tertentu yang
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.23
(xii) Sustainable Forest Management (SFM). Pengertian SFM yang
dibuat oleh Second Ministerial Conference on the Protection of
Forests in Europe (MCPFE) pada tanggal 16-17 Juni 1993 di Helsinki,
Finland (Helsinki Resolution) dapat dijadikan rujukan karena
pengertian ini juga diadopsi oleh FAO. Menurut Helsinki Resolution,
SFM adalah: The stewardship and use of forests and forest lands in
a way, and at a rate, that maintains their biodiversity, productivity,
regeneration capacity, vitality and their potential to fulfill, now and
in the future, relevant ecological, economic and social functions, at
local, national, and global levels, and that does not cause damage
to other ecosystems (Pengusahaan hutan dan lahan hutan yang
mempertimbangkan keanekaragaman hayati, produktivitasnya,
kapasitas regenerasi, vitalitas dan potensinya untuk memenuhi fungsi
20
21
22
23
Pasal 1 butir 11 Permenhut P. P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi
dan Degradasi Hutan (REDD).
unfccc.int/resource/docs/cop7/13a01.pdf (diakses 28-09-2010).
Pasal 1 butir 2 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
Pasal 1 butir 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar
13
ekologis, ekonomi dan sosial, pada masa sekarang dan masa depan,
baik pada tingkatan lokal, nasional dan global, dan pemenuhan fungsi
itu tidak menyebabkan kerusakan pada ekosistem lain).24
Dalam praktiknya, SFM lebih ditujukan pada praktik perusahaan
kayu besar dalam mengusahakan kekayaan kayu di wilayah konsesinya.
Dengan definisi dan standar yang terlalu luas menyebabkan banyak
perusahaan yang mengaku mengikuti standar tertentu SFM, padahal
dalam prakteknya tidak demikian. Ketika SFM ini coba dimasukkan
dalam perdebatan tentang REDD (dimasukkan kala perundingan
soal teks REDD pada perundingan AWG di Bonn, Juni 2009), maka
yang menerima manfaat adalah perusahaan kayu. Padahal perusahaan
kayu ini menjadi biang terjadinya deforestasi dan penghasil banyak
karbon (Global Witness, 2009).
(xiii) Sustainable Management of Forest (SMF). Istilah ini muncul dalam
perdebatan REDD ketika dicantumkan dalam Bali Action Plan 2007
Bali Action Plan memandatkan peran “..sustainable management of
forest…” dalam usaha mitigasi perubahan iklim.25 Pengertian SMF ini
juga diperkuat di dalam Copenhagen Accord yang dihasilkan COP 15
tahun 2009.26 Belum ada ditemukan penjelasan apa yang dimaksud
dengan SMF ini, serta apa yang membedakannya dengan istilah SFM
(xiv) Adaptasi. Dalam definisi yang lebih umum, adaptasi berarti
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Dalam persoalan
perubahan iklim, adaptasi berarti penyesuaian dalam sistem alam
atau kehidupan manusia untuk menanggapi perubahan iklim baik
yang aktual atau yang diperkirakan atau dampaknya, yang ditujukan
untuk mengurangi kerugian atau memanfaatkan peluang yang
paling menguntungkan (Parry dkk., 2007). Persoalan adaptasi ini
kurang begitu hangat dibicarakan dalam perundingan perubahan
iklim di UNFCCC, baik soal kejelasan dana buat adaptasi maupun
transfer teknologi dari negara-negara maju. Padahal, tindakan
adaptasi sangat diperlukan oleh banyak negara-negara yang sudah
diperkirakan akan terkena dampak oleh perubahan iklim, terutama
negara-negara kecil dan kepulauan. Negara-negara maju diwajibkan
membantu negara-negara berkembang agar dapat melakukan adaptasi
terhadap perubahan iklim dengan cara bantuan keuangan dan transfer
teknologi. Sampai perdebatan terakhir di COP 15, kedua isu dalam
adaptasi itu belum jelas wujudnya.
(xv) Mitigasi. Dalam perdebatan soal perubahan iklim, mitigasi
merupakan intervensi manusia untuk mengurangi tekanan manusia
24
25
26
http://www.foresteurope.org/filestore/foresteurope/Conferences/Helsinki/helsinki_resolution_h1.pdf (diakses
28-09-2010).
unfccc.int/files/meetings/cop_13/application/pdf/cp_bali_act_p.pdf (diakses 28-09-20100.
http://unfccc.int/resource/docs/2009/cop15/eng/11a01.pdf (diakses 28-09-2010).
14
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
pada sistem iklim. Termasuk ke dalam tindakan mitigasi disini adalah
strategi untuk mengurangi sumber dan emisi gas rumah kaca serta
memperbesar penyerapan gas rumah kaca. Isu mitigasi, dianalogikan
dengan rem dalam mekanik mobil, mengambil porsi yang besar
dalam perdebatan perubahan iklim di UNFCCC. Sampai saat ini,
sebenarnya, berdasarkan Protokol Kyoto, hanya negara-negara maju
yang diwajibkan melaksanakan tindakan mitigasi. Namun, negara
berkembang dibolehkan ikut membantu negara maju lewat CDM.
Selain CDM, skema lain yang sekarang hangat diperdebatkan, yakni
REDD, juga merupakan cara agar negara-negara berkembang, terutama
yang memiliki hutan, ikut serta dalam melakukan mitigasi perubahan
iklim.
(xvi) Avoided Deforestation: merupakan istilah cair yang dipergunakan
untuk menyebut upaya pencegahan atau pengurangan hilangnya hutan
dengan maksud untuk menurunkan emisi GRK yang mengakibatkan
pemanasan global (Griffiths, 2007). REDD merupakan salah satu
upaya yang masuk ke dalam pengertian Avoided Deforestation
ini. Dekatnya pengertian REDD dengan Avoided Deforestation ini
menyebabkan ada yang mendefinisikan Avoided Deforestation ini
sebagai penggunaan insentif keuangan untuk mengurangi tingkat
deforestasi dan kerusakan hutan (Palmer, Engel, 2009). Di lain pihak,
FAO sendiri masih belum memberikan definisi yang jelas soal Avoided
Deforestation ini
(xvii) Entitas nasional dan Entitas internasional. Dua istilah ini
diperkenalkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 30/MenhutII/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan (REDD). Kedua entitas ini merupakan pelaku dari
REDD. Entitas nasional adalah pemegang izin usaha pemanfaatan
hasil hutan pada kawasan hutan, pengelola hutan negara dan
pemilik atau pengelola hutan hak. Sementara entitas internasional
adalah mitra penyandang dana untuk pelaksanaan REDD. Dengan
definisi demikian, maka entitas nasional ini menjadi pelaksana dari
sebuah proyek REDD yang dibiayai oleh entitas internasional atau
entitas nasional melakukan proyek yang nantinya menghasilkan
sertifikat REDD yang akan dijual ke entitas internasional. Hak
dari entitas nasional hanyalah menerima pembayaran dari entitas
internasional atas penurunan emisi yang berhasil dilakukannya dan
entitas internasional berhak mempergunakan sertifikat REDD untuk
dikompensasikan dengan kewajiban penurunan emisinya.
(xviii)Pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak. Pengakuan lebih
merujuk kepada usaha pihak eksternal dalam mengakui keberadaan
dan penghormatan pada pihak lain. Dalam hubungan dengan negara,
REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar
15
pengakuan negara atas keberadaan hak suatu masyarakat yang menjadi
dasar pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat tersebut.
Pemenuhan hak merupakan usaha negara untuk mendekatkan kebijakan
yang dilakukanya dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat
dengan tujuan memberikan ruang bagi penikmatan hak-hak tersebut.
Perlindungan hak merupakan usaha negara untuk sedapat mungkin
menjauhkan diri dan pihak lainnya dari usaha-usaha pelanggaran
hak-hak masyarakat. Termasuk juga didalamnya usaha melindungi
secara nyata keberlangsungan pelaksanaan hak-hak tersebut.
(xix) Hukum dan Kebijakan. Hukum yang dimaksud dalam penelitian
ini secara terbatas adalah segala peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan oleh institusi negara di tingkat nasional dan
daerah. Adapun kebijakan yang dimaksud pada buku ini merupakan
keputusan otoritas publik yang mendapatkan mandat dari rakyat/
publik. Kebijakan secara pengertian jauh lebih luas dari peraturan
perundang-undangan, karena ia juga mencakup sistem anggaran
dan strategi pelaksanaan keputusan, termasuk pengawasannya.
Karenanya kebijakan publik jika dilihat secara siklus mencakup
kegiatan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan monitoring
kebijakan. Peraturan perundang-undangan adalah alat otoritatif
negara untuk melegitimasi kebijakan sekaligus untuk melaksanakan
kebijakan tersebut.
(xx) Perencanaan Kebijakan. Dimaksudkan sebagai usaha pemerintah
untuk merencanakan program-program kebijakannya. Pemerintah
yang dimaksud adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Perencanaan kebijakan juga menyangkut proses penapisan usulan dari
masyarakat. Namun, penelitian ini lebih bertumpu pada dokumen
perencanaan kebijakan seperti halnya Rencana Kerja Pemerintah
Jangka Panjang (RPJP), Rencana Kerja Pemerintah Jangka Menengah
(RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah per tahun (RKP), Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) atau dokumen perencanaan
lainnya. Sementara itu diperiksa juga Rencana Strategis (Renstra)
serta Rencana Kerja (Renja) yang merupakan perencanaan kebijakan
di tingkat instansi teknis.
(xxi) Pelaksanaan Kebijakan. Merupakan upaya-upaya nyata dari
pemerintah untuk menjalankan program-program kebijakan yang
telah direncanakan sebelumnya secara sah. Salah satu bentuk
pelaksanaan kebijakan adalah pembuatan peraturan perundangundangan, pembentukan lembaga serta pengalokasian anggaran.
(xxii)Masyarakat adat. Pengertian masyarakat adat mengikuti pandangan
dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yakni, komunitaskomunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun
16
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas
tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh
hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan
kehidupan masyarakat (AMAN, 2003).
(xxiii)Masyarakat/komunitas lokal. Ada dua istilah yang dipakai dalam
buku ini, yakni masyarakat lokal dan komunitas lokal, yang dipakai
secara bergantian namun mempunyai pengertian yang sama.
Komunitas lokal mengacu pada konsep masyarakat setempat, yang
dipakai oleh Koentjaraningrat untuk merujuk pada satuan sosial yang
utuh dan terikat pada sistem ekologi tertentu (Koentjaraningrat,
1990). Dalam konsep ini, keterikatan pada wilayah atau tempat
tinggal lebih tinggi ketimbang ikatan kerabat atau etnik. Sekalipun
demikian, susah untuk begitu saja memisahkan frase komunitas lokal
dengan kelompok sosial yang telah lama menempati suatu wilayah.
Pada situasi tersebut, komunitas lokal beririsan dengan konsep
masyarakat adat (indigenous people). Dalam laporan ini, komunitas
lokal dipakai sebagai konsep untuk menggambarkan satuan sosial
di desa-desa sekitar dengan menyadari fakta bahwa ada di antara
mereka yang merupakan bagian dari masyarakat adat dan ada yang
pendatang.
1.5 Temuan-temuan utama
Di tingkat internasional perdebatan terus belanjut mengenai beberapa
hal krusial terkait dengan perubahan iklim. Tulisan yang dibuat oleh Steni
pada bab 2 memaparkan dengan jelas perkembangan diskursus, konsep
dan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam berbagai perundingan
internasional terkait dengan perubahan iklim. Dalam tulisannya itu, Steni
membuktikan bahwa isu-isu seperti komitmen pengurangan emisi masih
saja digayuti oleh kepentingan domestik. Selain itu, ia menunjukkan masih
belum bulatnya kesepakatan mengenai tindakan yang harus diberikan
terhadap negara-negara berkembang yang rawan terkena dampak perubahan
iklim dan kelompok-kelompok masyarakat rentan. Di sini terbukti bahwa
perundingan di tingkat internasional dalam soal penanggulangan dampak
perubahan iklim belum memberikan jalan terang ke arah adanya keadilan
iklim.
Sementara itu, terkait dengan REDD, Steni setelah panjang lebar
mengupas sejarah kemunculan serta perkembangan selanjutnya dalam
perumusan konsep dan kesepakatan REDD menyatakan bahwa persoalanpersoalan terkait dengan rona awal (base line), skala, cakupan dan
mekanisme pendanaan masih belum tuntas dibahas. Skema pendanaan
REDD umumnya mengerucut pada dua pilihan, yaitu transaksi pasar atau
pendanaan publik. Apapun pilihan itu, hak mendasar dari proposal REDD
REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar
17
adalah tanggung jawab negara-negara Annex 1 untuk mengembangkan
proyek-proyek REDD di negara-negara berkembang sebagai bagian dari
kewajiban mereka mengurangi emisi. Bagi negara-negara berkembang
REDD kemudian menjadi mimpi untuk mengeruk keuntungan mengingat
peluang adanya carbon offset dimana hutan-hutan tropis mereka dapat
menjadi sumber pendapatan baru.
Namun, apakah sejatinya dampak semua ini bagi masyarakat adat
dan masyarakat lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan? Pada bab
ini, Steni yang mengikuti beberapa pertemuan internasional memaparkan
bahwa negara-negara para pihak dalam COP belum memberikan perhatian
memadai terhadap persoalan ini. “Respons para pihak dalam perundingan
terhadap usulan masyarakat sipil agar hak masyarakat adat diakui, hingga kini
masih suram. Banyak negara berkembang menolak atau mendiamkan saja
usulan-usulan tersebut karena sebagian besar kawasan hutan dikuasai oleh
negara. Sepanjang kondisi negosiasi tersebut tidak berubah, perundingan
ini sulit untuk memberi ruang yang memadai bagi pengakuan masyarakat
adat maupun lokal sebagai pra-kondisi atas REDD atau safeguard yang
melindungi dan memperkuat isu hak dalam skema REDD,” demikian secara
singkat Steni menyimpulkan.
Jika perundingan intenasional masih belum memberikan titik terang,
bagaimanakah halnya dengan perkembangan yang terjadi pada kebijakan
dan hukum di Indonesia. Dalam kajian mengenai hal ini di tingkat nasional,
Muhajir, sebagaimana tertuang dalam bab 3, menyatakan bahwa respon
pemerintah bisa dikatakan cepat saat memberikan komitmen atau membuat
infrastruktur kebijakan terkait isu tersebut.
Ironisnya, Muhajir menemukan bahwa Pemerintah Indonesia masih
belum mampu secara konsisten mengintegrasikan komitmen itu ke dalam
program pembangunan. Pemerintah Indonesia memang membuat berbagai
peraturan yang memberi jalan pada implementasi REDD, mendirikan lembaga
yang mengurus soal perubahan iklim dan bahkan mulai mengalokasikan
anggaran untuk beberapa program/kegiatan. Hanya saja, tanggapan yang
cepat itu seperti berjalan tanpa perencanaan. Ada banyak program/kegiatan
yang belum disinergikan dengan kegiatan/program lain yang berada di
berbagai instansi sektoral. Belum lagi jika dihubungkan dengan kegiatan
serupa yang ada di tingkat daerah.
Hal ini menguatkan kesimpulan Muhajir bahwa kebijakan Pemerintah
Indonesia mengenai perubahan iklim dan REDD masih bersifat ad hoc.
Ini terjadi karena keinginan pemerintah untuk memberikan respon cepat
terhadap masalah perubahan iklim dan REDD – sebagai penanda kepada
dunia internasional tentang tingginya derajat ketanggapan Pemerintah
Indonesia pada issu ini – tidak didukung oleh kesiapan birokrasi dan
mekanisme kerja yang terkoordinasi antara lembaga pemerintah.
18
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Melengkapi analisisnya, Muhajir memaparkan sejumlah contoh.
Misalnya pembuatan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.
P.68/2008 mengenai Demonstration Activities REDD tidak diketahui adanya
perencanaan terlebih dahulu. Demikian pula, Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI) yang dibentuk tahun 2008, dengan tugas mengkoordinasikan
kementerian/lembaga pemerintah terkait, tetapi tidak diberikan anggaran
sampai tahun 2010. Situasi ini membuat kita patut mempertanyakan
bagaimanakah kebijakan dan lembaga-lembaga ini mampu secara efektif
melindungi kepentingan masyarakat (potensial) terkena dampak proyek REDD
Keadaan yang hampir sama ditemukan pula di tingkat pemerintah
daerah. Tanggapan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah serta Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Kapuas Hulu terhadap
isu perubahan iklim/REDD bukan tanggapan yang sudah direncanakan
sebelumnya. Bukan pula diikuti dengan dengan pembuatan peraturan
perundang-undangan, kelembagaan dan alokasi anggaran yang memadai.
Di Kalimantan Tengah, sebagaimana dijelaskan oleh Muhajir (bab 4),
pemerintah provinsi sebenarnya sudah memiliki “pendapat” terkait dengan
responnya pada perkembangan implementasi REDD. Pendapat itu berupa
bahwa tahun 2009 dipandang sebagai awal permulaan diterapkannya
beberapa skema mitigasi perubahan iklim pada tingkatan lokal atau
daerah, salah satunya adalah REDD. Untuk keperluan itu, Pemerintah
Provinsi Kalimantan Tengah akan mempersiapkan diri dan ikut terlibat
dalam berbagai proses dan kegiatan untuk mitigasi perubahan iklim
dan pemanasan global khususnya yang dikaitkan dengan deforestasi dan
degradasi hutan tropis dan hutan rawa gambut. Hanya saja, belum ada
infrastruktur kebijakan yang mewadahi atau memberikan penahapan
agar tujuan itu tercapai. Pembuatan dua lembaga, Komisi Daerah REDD
(Komda REDD) dan Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) memang bisa
diapresiasi, namun tantangan selanjutnya adalah soal koordinasi serta alokasi
anggaran harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum bisa bekerja dengan
baik. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sudah memiliki kebijakan
penguatan kelembagaan adat dan penguatan kepemilikan masyarakat adat
atas tanah dan hak-hak atas tanah. Namun penelusuran secara berhati-hati
pada kebijakan tersebut berpotensi mengaburkan tujuan penguatan posisi
masyarakat adat itu, karena, salah satunya, terlalu kentalnya aroma birokrasi
negara di kelembagaan adat.
Sementara di Kalimantan Barat situasinya juga sama. Gawing dalam
bab 5 menyatakan bahwa respon pemerintah berjalan seperti trial and error
sehingga menyingkapkan adanya inkonsistensi kebijakan. Kabupaten Kapuas
Hulu mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Konservasi, namun karena
kurang disambut pihak lain membuat Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu
berpindah haluan mengeluarkan izin pengusahaan hutan. Ketika REDD
REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar
19
diperkenalkan, dengan tangan terbuka Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu
menerima. Namun, karena ketidakjelasan kontribusi REDD pada Penerimaan
Asli Daerah (PAD) kabupaten membuat pemerintah kabupaten ini mulai
terlihat enggan dengan REDD.
Apa yang muncul dalam rangkuman temuan-temuan penelitian di atas
menunjukkan pada kita bahwa pemerintah pusat dan daerah masih harus
berjuang untuk menyiapkan kebijakan yang efektif menyambut REDD.
Sekarang kita beralih pada level analisis yang terendah namun terpenting,
yaitu masyarakat. Sebagaimana masalah penelitian yang kami sampaikan
pada bagian sebelumya, sangat penting bagi kita untuk mengetahui derajat
pengetahuan dan kesiapan masyarakat mengenai REDD ini. Untuk menjawab
pertanyaan itulah hasil penelitian yang dituliskan Purwanto, Kartika dan
Rahman (bab 6) menorehkan urgensi yang tidak dapat dipisahkan dalam
keseluruhan hasil studi ini. Mereka menemukan bahwa dampak perubahan
iklim dirasakan oleh masyarakat di desa-desa penelitian, namun diskursus
mengenai perubahan iklim masih beredar pada elit desa. Demikian pula
informasi mengenai rencana pelaksanaan proyek REDD di sekitar lokasi
mereka masih samar-samar diketahui masyarakat.
Purwanto, Kartika dan Rahman memperingatkan bahwa proyek REDD
akan kontraproduktif dalam membangun modal sosial dalam masyarakat,
menyelesaikan konflik dan mengakui hak-hak mereka atas tanah dan
hutan jika pemerintah dan pelaku proyek tidak belajar dari pengalaman
intervensi pembangunan di masa silam. Intervensi pembangunan ternyata
sama memberikan efek traumatiknya dengan intervensi konservasi
pada masyarakat desa penelitian di Kalimantan Tengah. Mereka harus
mengalihkan mata pencaharian mereka agar mengikuti intervensi konservasi
yang dibawa oleh pemerintah dan lembaga konservasi orangutan. Sementara
itu di Kalimantan Barat, para peneliti ini menemukan daya resiliensi sosial
yang cukup tinggi dari masyarakat melalui lembaga-lembaga adat mereka.
Meskipun demikian, informasi yang terbatas mengenai REDD tak pelak
membuat masyarakat bertanya-tanya tentang kepastian hak mereka dan
sistem normatif apa yang akan mengatur dan melindungi mereka seperti
tampak dalam kutipan sebuah pernyataan tokoh masyarakat yang kami
ambil dari bab 6 di bawah ini:
“Dalam sosialisasi memang udah cukup transparan tetapi ada yang kurang
jelas, seperti apa perjanjiannya nanti misalnya, hukum apa yang kita mau
pakai, seandainya terjadi pelanggaran-pelanggaran. Secara proyek jelas, cuma
belum ada perjanjian untuk menguatkan siapa yang bertanggung jawab jika
ada masalah.”
Proyek-proyek REDD yang akan dijalankan, oleh siapapun, dengan skema
apapun, hendaknya mampu menjawab pertanyaan di atas. Atas dasar itulah
kita dapat menilai seberapa jauh proyek-proyek ini mampu memberikan
20
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
perlindungan pada masyarakat adat/lokal yang ruang kehidupannya harus
berbagi dengan proyek ini.
Lebih dari itu, kesiapan internal dalam masyarakat juga menjadi
prasyarat kesuksesan lain bagi calon-calon proyek REDD. Selama ini, lembaga
pemerintahan desa merupakan benteng terakhir masyarakat agar dapat
beradaptasi secara formal dengan intervensi pembangunan dan konservasi.
Perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan penguatan lembagalembaga adat. Bagaimanakan kedua lembaga dengan sumber otoritas yang
berbeda ini dapat bersinergi adalah persoalan terpentingnya. Selain itu,
patut pula dipertanyakan bagaimana keduanya memberikan ruang bagi
suara dari kaum muda dan perempuan.
1.6 Organisasi buku
Buku ini terdiri dari enam bab. Pada bab 2 kita akan menemukan
sebuah deskripsi dan analisis mengenai pekembangan diskursus dan
kebijakan perubahan iklim dan REDD di tingkat intenasional. Bab ini
memberikan latar belakang untuk mengetahui situasi terkini isu-isu yang
dirundingkan serta sudah sejauh mana perkembangan skema REDD. Tidak
hanya REDD yang disinggung, mekanisme insentif lain yang bergerak dalam
wilayah mitigasi perubahan iklim juga dibeberkan lengkap dengan potensi
dampaknya bagi masyarakat.
Bab 3 secara khusus mendiskusikan kebijakan pemerintah pusat
menanggapi isu perubahan iklim/REDD dengan mendasarkan diri pada
empat aspek yakni perencanaan kebijakan, peraturan perundang-undangan,
kelembagaan dan alokasi anggaran. Bab 4 dan 5 membahas isu serupa namun
yang terjadi di daerah, Bab 4 merupakan tulisan tentang situasi terkini dari
kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kapuas
terkait respon mereka pada isu perubahan iklim dan tawaran insentif berupa
REDD; sedangkan Bab 5 memperlihatkan kebijakan serupa di Provinsi
Kalimantan Barat dan Kabupaten Kapuas Hulu.
Setelah bagaimana situasi terkini perundingan di tingkat internasional
dan respon kebijakan pemerintah di berbagai tingkatan diketahui, tulisan
dalam bab 6 melengkapi kajian ini dengan memperlihatkan bagaimana
masyarakat di tiga desa di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah
memberikan responnya, baik atas apa yang dilakukan oleh pemerintah
maupun pihak lain terkait dengan isu perubahan iklim, tawaran skema
REDD atau proyek-proyek pembangunan lain yang terkait. Bab ini sekaligus
menunjukkan bahwa apa yang terjadi di tingkat internasional/nasional/
regional ternyata berpengaruh pada tatanan sosial masyarakat di tingkat
tapak.
REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar
21
2.Per u b ah an I k l i m , R ED D d an
perdebatan hak: Dari Bali sampai
Kopenhagen
Bernadinus Steni
2.1 Pendahuluan
Pada 1898, ilmuwan Swedia, Svante Ahrrenius, mengingatkan bahwa
emisi karbon dioksida (CO2) dapat menjadi penyebab pemanasan global.
Tahun 1950, Saturday Evening Post, sebuah koran yang kemudian menjadi
salah satu yang terbesar di Amerika, menampilkan artikel dengan pertanyaan
“Is the world getting warmer?” Artikel itu meski mulai membuka pandora
pemanasan global namun isu yang diangkat tidak mendalam bahkan
cenderung seperti lelucon. Misalnya, akibat cuaca panas maka ikan terbang
negeri tropis pun meluncur di pinggiran pantai New Jersey amerika (Henson,
2006:235). Namun, apapun yang dikemukakan oleh koran itu, telah menjadi
titik awal informasi ke publik mengenai sesuatu telah terjadi pada suhu
dan iklim global.
Perdebatan ilmiah mengenai perubahan iklim baru mulai muncul pada
tahun 1960-an, tapi banyak hal lain yang lebih menyita perhatian, seperti
perang nuklir, sehingga sangat sedikit orang yang mengetahui isu ini. Ketika
perdebatan ilmiah dimulai tahun 1970-an pun bukan pemanasan global yang
menjadi perhatian pers tetapi justru pendinginan global (cool down). Suhu
bumi secara perlahan menurun selama kurang lebih tiga dekade. Sejumlah
ahli yang tidak konvensional berspekulasi bahwa debu dan partikel sulfat
yang menutupi matahari menjadi sebab pendinginan tersebut. Sebuah
film dokumenter Inggris tahun 1974 memberi peringatan bahwa musim
dingin yang brutal cukup memadai untuk menutup garis lintang utara
dengan kilauan salju dan dalam musim panas berikutnya tidak bisa hilang
sepenuhnya. Hal ini potensial untuk menjadi benua dengan lapisan kerak
es dalam dekade mendatang.
Dua studi yang dilakukan pada penghujung 1970-an dari National
Aeronautics and Space Administration (NASA) mengkonfirmasi bahwa
konsentrasi CO 2 yang terus bertambah di udara akan menuju pada
pemanasan yang signifikan. Uji coba model berbasis komputer kemudian
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
23
berkembang pesat. Model-model tersebut selanjutnya mengkonfirmasi bahwa
pemanasan sedang berjalan. Pada akhirnya, perubahan di atmosfir sendiri
secara empirik membenarkan simulasi komputer dan temuan-temuan ilmiah
tersebut. Pada penghujung 1980, temperatur global telah mulai meningkat
dan sejak itu tidak pernah menurun kecuali penurunan selama dua tahun
setelah erupsi vulkanik Gunung Pinatubo tahun 1991 (Henson, 2006:236).
Situasi berubah ketika lubang pada lapisan ozon ditemukan di
Antartika tahun 1985. Meskipun masih belum begitu jelas perbedaan antara
pengurangan ozon dengan perubahan iklim, penemuan tersebut menjadi
sebuah tanda mengenai kerentanan atmosfir yang diperlihatkan dengan
jelas oleh foto satelit. Perubahan iklim bergema pada musim panas 1988 di
Amerika. Ketika itu kebakaran hutan skala luas terjadi di Taman Nasional
Yellowstone di Amerika Serikat, sebagian aliran sungai Mississippi kering
dan bulan juni sebagai bulan terpanas di Washington membuat seorang
ilmuwan NASA, James Hansen, bersaksi di depan Kongres Amerika dengan
yakin 99% perubahan iklim sedang terjadi di depan mata dan nampaknya
sebagian besar dipicu oleh kegiatan manusia (Henson, 2006:236).
Meskipun dibayangi oleh pandangan dari beberapa politisi konservatif
yang meragukan perubahan iklim, kandidat presiden Amerika ketika itu,
George Bush Sr, dalam kampanyenya mengatakan bahwa “siapa yang
beranggapan bahwa kita tidak dapat melakukan sesuatu atas efek gas
rumah kaca, maka dia harus melupakan ’Efek Gedung Putih”. Meskipun
drama meteorologis 1988 secara khusus melanda Amerika Serikat, namun
gelombang politiknya berkumandang jauh dan luas. Pada September tahun
itu, Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher juga mengingatkan rakyat
Inggris bahwa “kita tanpa sadar telah memulai eksperimen yang masif
terhadap sistem planet”. Seorang pengajar di Royal School of Mines, Jeremy
Leggett, dalam bukunya The Carbon War menulis “1998 merupakan tahun
istimewa yang tidak pernah terjadi dalam sejarah” (Henson, 2006:237-8).
Di sisi lain, peta perundingan politik di tingkat global semakin
memperlihatkan makin kuatnya aliansi negara-negara selatan untuk
menekan negara maju agar keadilan global terwujud lewat pembagian
sumber daya yang merata. Menguatnya diskusi hak atas pembangunan hingga
menghadirkan Deklarasi PBB mengenai Hak atas Pembangunan tahun 1986
merupakan hasil dari kekuatan lobi politik negara berkembang, meskipun
masih diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari Amerika Serikat.
Menurut Amartya Sen dan David Beetham, secara garis besar hak atas
pembangunan merefleksikan dua hal. Pertama, sebagai tuntutan ke negara
maju untuk menghargai hak negara berkembang membangun. Hak tersebut
tidak boleh dihalangi. Kedua, sebagai pernyataan yang menegaskan kontrol
penuh oleh negara berkembang (dan juga masyarakat) atas kesejahteraan
dan sumber daya alam mereka sendiri (Sen, Beetham, 2006:1-8, 79-95).
24
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Prinsip ini bisa juga diperiksa dalam pasal 1 ayat (2) Konvensi Hak-Hak
Ekonomi Sosial dan Budaya 1966.
Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, negara berkembang
senantiasa menekankan bahwa isu iklim merupakan bukti kuat ketidakadilan
pembangunan. Bahwa sebab utama peningkatan emisi global dipicu oleh
negara maju yang telah menggunakan sumber daya bumi secara boros
namun akibatnya justru paling banyak diderita oleh negara berkembang,
terutama negara-negara kecil kepulauan yang justru sama sekali tidak
melakukan pembangunan massif (Friman, 2006:2). Karena itu, perundingan
perubahan iklim dikemas oleh negara berkembang untuk menekankan
ketidakadilan pemanfaatan sumber daya bumi dimana fakta historis
menunjukan bahwa negara maju telah menghabiskan kekayaan alam jauh
lebih banyak sehingga menyumbang polusi global lebih besar daripada negara
berkembang. Menimbang sejarah eksploitasi tersebut, negara berkembang
secara kuat mengartikulasikan pentingnya hak negara berkembang untuk
tetap membangun sehingga dalam konteks pengurangan emisi, negara
berkembang tidak bisa diberi kewajiban yang sama dengan negara maju.
Untuk mempertegas tuntutan komitmen pengurangan emisi negara
maju maka pasca perdebatan target dan beban pengurangan emisi dalam
Berlin Mandat (1995), pada 1997 sebelum COP 3 Kyoto, Brazil mengajukan
proposal berjudul Proposed Elements of a Protocol to the United Nations
Framework Convention on Climate Change. Kesimpulan kunci yang
digarisbawahi proposal tersebut adalah menimbang Negara-negara Utara
memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap perubahan iklim karena
sejarah pelepasan emisi masa lalu mereka, negara-negara tersebut harus
diberi beban lebih besar dalam penanganan perubahan iklim. Karena itu,
proposal tersebut menganjurkan agar beban masing-masing negara diberikan
berdasarkan level emisi di masa lalu (Friman, 2006:25). Tulisan ini membahas dua hal. Pertama, bagaimana perubahan iklim
dibicarakan dalam perundingan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam
hal ini, pembicaraan tersebut terkait dengan komitmen dan tanggung jawab
pihak yang berunding yang secara garis besar dibagi atas negara majunegara berkembang serta komitmen kapan emisi dikurangi dan berapa
jumlahnya. Kedua, secara khusus saya akan melihat bagaimana komitmen
dan perdebatan-perdebatan tersebut berlanjut dalam isu yang menjangkau
kawasan hutan, terutama REDD (Reducing Emission from Deforestation
and Forest Degradation) yang makin ramai dibicarakan, tidak hanya
dalam perundingan internasional tetapi terutama dalam skala nasional di
Indonesia. Isu REDD juga melibatkan beberapa aspek lain yang melekat
seperti hak masyarakat dan kelestarian hutan. Dua aspek ini akan dibahas
secara khusus dalam bagian tentang REDD.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
25
2.2 Konvensi Perubahan Iklim
(a) Sejarah
Merespons peningkatan temuan ilmiah atas perubahan iklim, seri
konferensi antar pemerintah yang fokus pada perubahan iklim dibuat. Pada
1998, konferensi pertama diselenggarakan di Toronto. Konferensi tersebut
bertajuk Changing Atmosphere menggoyang wacana publik dan menyita
perhatian Internasional ketika 340 peserta konferensi dengan berbagai latar
belakang dan berasal dari 46 negara merekomendasikan konvensi kerangka
kerja global yang komprehensif untuk melindungi atmosfir. Dengan mengacu
pada proposal yang diajukan oleh Malta, Majelis Umum PBB akhirnya
menjawab perubahan iklim untuk pertama kali dengan mengadopsi resolusi
43/53. Resolusi ini paling tidak menghadirkan dua aspek penting yang
akan menjadi perdebatan dalam perundingan-perundingan berikutnya.
Pertama, mengakui bahwa perubahan iklim merupakan masalah bersama
umat manusia terutama karena iklim merupakan kondisi yang esensial yang
mempertahankan kehidupan di muka bumi. Kedua, menentukan bahwa
tindakan yang perlu dan dalam jangka waktu yang tepat seharusnya diambil
dalam kerangka kerja global untuk menghadapi perubahan iklim.
Jika diperiksa lagi ke belakang, konferensi ini tak luput dari peran
sejumlah lembaga-lembaga yang berkecimpung di isu lingkungan dan
terutama iklim yakni WMO (The World Meteorological Organization),
UNEP (United Nations Environment Programme) dan ICSU (International
Council of Scientific Union). Setelah mengidentifikasi perubahan iklim
sebagai masalah yang mendesak maka pada tahun 1979, lembaga-lembaga
tersebut menyusun Program Iklim Dunia (World Climate Programme)
(UNFCCC, 2006:16-20).
Untuk menyokong pemahaman yang lebih baik bagi pembuat kebijakan
dan publik secara keseluruhan mengenai apa yang dilakukan oleh para
periset perubahan iklim, UNEP dan WMO selanjutnya membentuk IPCC
(Intergovernmental Panel on Climate Change). IPCC diberi mandat untuk
melakukan asesmen terhadap situasi pengetahuan tentang sistem iklim
dan perubahan iklim, lingkungan, dampak sosial dan ekonomi perubahan
iklim dan strategi respons yang memungkinkan.
IPCC mengeluarkan Laporan Asesmen Pertama pada 1990 setelah
disetujui melalui proses peer review yang melelahkan oleh ratusan ilmuwan
dan pakar (kotak 2.1.). Laporan tersebut menegaskan basis atau taji ilmiah
dari isu perubahan iklim. Karena itu, laporan itu merupakan laporan yang
memiliki efek yang kuat bagi pembuat kebijakan maupun publik secara
keseluruhan dan berpengaruh terhadap negosiasi atas konvensi perubahan
iklim. Temuan ini kurang lebih menjadi kerangka yang terus dikembangkan
dalam temuan-temuan berikutnya hingga Laporan IPCC keempat pada 2007
(Solomon dkk., 2007).
26
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Kotak 2.1. Laporan IPCC 1990
❑ GRK (Gas Rumah Kaca) manusia nampaknya mengakibatkan cepatnya
perubahan iklim. Karbondioksida diproduksi ketika bahan bakar fosil dibakar
dan efeknya makin intensif ketika hutan sebagai penyerap karbon ditebang. Gas
methane dan nitrous terlepas ke atmosfer sebagai akibat pembukaan pertanian,
perubahan dalam penggunaan lahan dan sebab-sebab lain. Chlorofluorocarbons
(CFCs) dan gas-gas lainnya juga memainkan peran dalam memerangkap
panas dalam atmosfer bumi. Dengan mempertebal “selimut” atmosfir, emisi
manusia mengacaukan lingkaran energi yang mengendalikan sistem iklim.
❑ Model iklim memprediksikan bahwa temperatur global akan naik hingga
kira-kira 1 - 3.5C pada tahun 2100. Proyeksi ini dibuat berdasarkan tren
emisi saat laporan disusun dan berisi beberapa ketidakpastian terutama pada
level regional. Selanjutnya, menurut laporan ini, karena iklim tidak segera
merespons emisi GRK, iklim akan terus berubah dalam ratusan tahun hingga
konsentrasi gas di atmosfir stabil. Sementara transisi iklim yang cepat dan
tidak dapat diprediksi tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Ada bukti-bukti
ilmiah bahwa perubahan iklim sudah terjadi.
❑ Perubahan iklim akan memiliki efek pada lingkungan global. Secara umum,
makin cepat perubahan iklim, makin besar resiko kerusakan. Jika tren yang
sedang berjalan terus berlanjut, permukaan laut diprediksikan akan naik
antara 15-95 cm pada 2100 yang mengakibatkan banjir dan kerusakan lainnya.
Wilayah iklim (dan juga wilayah ekosistem dan pertanian) dapat bergeser.
Sementara hutan, padang pasir, dan berbagai ekosistem yang tidak terkelola
dapat menjadi lebih basah, lebih kering, lebih panas atau lebih dingin.
Sebagai hasilnya, banyak hal mengalami kemunduran atau terpecah-pecah
dan spesies tertentu akan punah.
❑ Manusia akan menghadapi tekanan dan resiko baru. Ketahanan pangan
global nampaknya terancam sementara beberapa wilayah akan mengalami
kekurangan makanan dan kelaparan. Sumber daya air akan terpengaruh
karena pola presipitasi (pengendapan) dan evaporasi (penguapan) mengubah
seluruh dunia. Infrastruktur fisik akan rusak, secara khusus oleh kenaikan
permukaan laut dan beragam situasi ekstrim yang barangkali akan meningkat
di sejumlah tempat baik dalam frekuensi maupun intensitas. Aktivitas
ekonomi, pemukiman dan kesehatan manusia akan mengalami dampak
langsung maupun tidak langsung. Orang miskin, dalam hal ini, adalah pihak
yang paling menderita dari efek negatif perubahan iklim;
❑ Manusia dan ekosistem harus beradaptasi dengan regim iklim yang akan
datang. Emisi masa lalu dan masa kini telah meyakinkan bahwa akan ada
beberapa derajat perubahan iklim pada abad 21. Beradaptasi terhadap efekefek ini akan membutuhkan pemahaman yang mendalam atas sistem alam,
sistem sosial dan ekonomi dan tingkat kepekaan sistem-sistem tersebut
terhadap perubahan iklim dan kemampuan dasar mereka untuk beradaptasi.
Beberapa strategi tersedia untuk mempromosikan adaptasi.
❑ Menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer membutuhkan usaha
luar biasa. Dengan mengacu pada tren saat laporan ini dibuat (350
ppm), peningkatan karbondioksida dan GRK lainnya diprediksikan
meningkat dua kali lipat dari konsentrasi karbondioksida di era praIndustri pada tahun 2030. Dan pada tahun 2100 akan meningkat
tiga kali lipat dari masa pra-industri. Upaya-upaya menstabilkan
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
27
konsentrasi karbondioksida pada level saat laporan dibuat akan menunda
kenaikan ganda konsentrasi karbondioksida ke tahun 2100. Jika upaya ini
dipertahankan maka emisi pada akhirnya harus turun hingga kurang dari 30
% dari level saat laporan dibuat. Pemangkasan tersebut harus dibuat meskipun
di satu sisi ada pertumbuhan penduduk dan ekspansi ekonomi dunia.
Pada 1990, Konferensi Iklim Dunia yang ke-2 diselenggarakan di Jenewa.
Berbeda halnya dengan konferensi pertama, konferensi ke-2 lebih politis
sifatnya karena lebih banyak dihadiri oleh para menteri dari 137 negara,
termasuk Uni Eropa (ketika itu masih disebut European Community).
Konferensi ini melahirkan Deklarasi Menteri yang berisi berbagai upaya
yang lebih konkrit, termasuk rekomendasi untuk membentuk perjanjian
kerangka kerja mengenai perubahan iklim (UNFCCC, 2002:6-7).
Deklarasi yang final diadopsi setelah proses tawar menawar politik yang
alot. Kesepakatan yang tercapai pada akhirnya menggarisbawahi beberapa
hal penting. Pertama, tidak menyepakati target spesifik pengurangan emisi.
Kedua, menyokong beberapa prinsip penting yang dalam perkembangan
selanjutnya diadopsi dalam Konvensi Perubahan Iklim. Prinsip-prinsip
tersebut adalah perubahan iklim sebagai common concern of humankind
(masalah bersama umat manusia), pentingnya keadilan melalui prinsip
common but differentiated responsibilities (tanggung jawab yang sama namun
secara khusus harus dibedakan sesuai kemampuan) dengan menimbang
level pembangunan yang berbeda, prinsip sustainable development
(pembangunan berkelanjutan) dan the precautionary principle (kehatihatian dini) (Murdiyarso, 2003:26). Ketiga, telah terjadi ancaman serius
atau kerugian yang tidak bisa dielak sehingga kurangnya kepastian ilmiah
tidak menjadi alasan untuk menunda tindakan yang efektif biaya untuk
mencegah pengurangan mutu lingkungan.27
Sementara itu, publik internasional mulai bereaksi. Meskipun tidak
secara langsung dialamatkan pada perubahan iklim, rentetan gelombang
panas dan badai destruktif yang tidak lazim di Amerika dan di beberapa
tempat diberitakan secara beruntun dalam laporan pers tentang perubahan
iklim dan dampak yang akan terjadi. Gelombang sentimen lingkungan
internasional plus temuan lubang ozon di Antartika tahun 1985 (meskipun
tidak berhubungan dengan perubahan iklim) memuncak.28
Di bawah bayang-bayang tekanan publik internasional, pada Desember
1990, Majelis Umum PBB setuju untuk memulai melakukan perundingan
untuk membentuk perjanjian. Hasilnya, melalui Resolusi 45/21, Majelis
Umum PBB membentuk The Intergovernmental Negotiating Committee
for a Framework Convention on Climate Change (INC/FCCC) yang menjadi
27
28
United Nations Department of Public Information, February 1997.
United Nations Department of Public Information, February 1997.
28
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
wadah tunggal proses negosiasi antarpemerintah di bawah naungan Majelis
Umum PBB.29
INC/FCCC kemudian bertemu dalam empat sesi antara Februari 1991
hingga Mei 1992. Negosiator perundingan dari 150 negara menyusun kerangka
kerja perubahan iklim dengan sedikit kejar tayang agar bisa diluncurkan
pada KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi di Rio de Jeneiro Brazil, pada
1992. Hanya 15 bulan setelah dibentuk, bulan Mei 1992 INC menyodorkan
draf akhir untuk diadopsi di New York pada Mei 1992. Seminggu kemudian
draft tersebut diluncurkan dan dibuka untuk penandatanganan dari para
pihak pada bulan Juni 1992 dalam KTT Bumi Brazil. Pada kesempatan itu
154 negara peserta KTT menandatangani kerangka kerja perubahan iklim
yang selanjutnya disebut The United Nations Framework Convention on
Climate Change atau UNFCCC. Bulan Maret 1994, Konvensi Perubahan
Iklim mulai berlaku (UNFCCC, 2006:16-20). Saat ini, terdapat 194 pihak
yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (193 negara dan 1 organisasi
ekonomi regional – European Union).30
Konvensi Perubahan Iklim membangun sebuah proses menjawab
masalah perubahan iklim dalam dekade mendatang. Secara khusus, konvensi
merancang sebuah sistem dimana pemerintah nasional melaporkan informasi
mengenai emisi GRK secara nasional dan strategi-strategi menghadapi
perubahan iklim. Informasi tersebut selanjutnya ditinjau secara regular
untuk memeriksa perkembangan konvensi. Selain itu, negara-negara maju
setuju untuk mempromosikan transfer pendanaan dan teknologi untuk
menolong negara berkembang untuk merespons perubahan iklim. Mereka
juga berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah yang bertujuan
menstabilkan emisi mereka ke level 1990 pada tahun 2000.
(b) Tujuan Konvensi
Tujuan paling utama konvensi adalah menstabilkan konsentrasi GRK
pada level yang mencegah bahaya campur tangan manusia terhadap sistem
iklim. Level tersebut tidak ditentukan secara eksplisit dalam konvensi namun
seharusnya tercapai dalam tenggang waktu yang memadai bagi eksosistem
untuk beradaptasi secara natural terhadap perubahan iklim, memastikan
produksi makanan tidak terancam dan memberi jalan bagi pembangunan
ekonomi dalam cara yang berkelanjutan.31 Untuk mencapai tujuan ini,
para pihak dalam konvensi yakni negara-negara yang telah meratifikasi,
menerima, menyetujui atau mengikatkan diri terhadap perjanjian ini,
tunduk pada seperangkat komitmen umum yang menempatkan kewajiban
fundamental baik bagi negara industri maupun berkembang untuk mengatasi
perubahan iklim.
29
30
31
United Nations Department of Public Information, February 1997.
http://unfccc.int/essential_background/convention/status_of_ratification/items/2631.php, (diakses 15-04-2010)
Pasal 2 UNFCCC.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
29
Dalam praktik, upaya mencapai tujuan konvensi dilakukan dengan
berbagai cara dan pendekatan. Secara umum, para pihak dibagi berdasarkan
jumlah emisi yang dikeluarkan di masa lalu. Negara-negara industri yang
kemudian disebut Annex I yang menjadi kontributor paling besar dalam
peningkatan GRK diberi kewajiban dan beban lebih besar dari negara-negara
yang lain (Non-Annex I). Pendekatan ini bersifat historis sehingga seringkali
dihubungkan dengan prinsip common but differentiated responsibility.
Namun, meskipun menurut konvensi, tanggung jawab negara maju lebih
besar, di antara negara maju pun, batasan atau jatah emisi berbeda-beda
untuk masing-masing negara, tergantung sejarah pelepasan emisi. Konvensi
selanjutnya merumuskan bahwa berdasarkan tanggung jawab dan beban
pengurangan emisi yang ditetapkan, semua negara yang terikat dalam
konvensi, dengan penekanan terutama negara-negara maju, wajib melakukan
langkah-langkah dan intervensi kebijakan yang relevan untuk mencapai
target yang ditetapkan.
(c) Prinsip-Prinsip Dasar
Dalam upaya mencapai tujuan konvensi, para pihak dipandu oleh
beberapa prinsip yang tertera secara eksplisit dalam pasal 5 konvensi.
Prinsip-prinsip tersebut oleh Marie-Claire Cordonier Segger dan Rajat Rana
dikategorikan sebagai kebijakan dan hukum yang terbaik untuk generasi
berikut (Segger, Rana, 2008:18-19). Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut:
(i) Common but Differentiated Responsibilities and Respective
Capabilities
Pasal 5 ayat 1:
The Parties should protect the climate system for the benefit of present and
future generations of humankind, on the basis of equity and in accordance
with their common but differentiated responsibilities and respective capabilities.
Accordingly, the developed country Parties should take the lead in combating
climate change and the adverse effects thereof.
Segger dan Rana menyebut prinsip ini, the principle of common
but differentiated obligations. Secara historis prinsip ini berkembang
dari gagasan common heritage of mankind atau warisan bersama umat
manusia dan merupakan manifestasi dari prinsip-prinsip umum keadilan
dalam hukum internasional. Prinsip ini mengakui bahwa semua negara
memiliki tanggung jawab yang sama terhadap lingkungan hidup tapi
30
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
secara historis ada perbedaan kontribusi antara negara maju dan negara
berkembang dalam mengatasi masalah lingkungan global dan juga
mengakui adanya perbedaan dalam kapasitas ekonomi dan teknologi
masing-masing dalam menangani masalah-masalah ini. Deklarasi Rio
menyebutkan bahwa “dengan melihat perbedaan kontribusi terhadap
degradasi lingkungan global, negara pihak memiliki tanggung jawab
yang sama namun secara khusus harus dibedakan sesuai kemampuan.
Negara maju mengakui tanggung jawab yang mereka emban dalam
upaya internasional memenuhi pembangunan berkelanjutan dengan
melihat tekanan yang dilakukan masyarakat negara maju terhadap
lingkungan global dan sumber daya teknologi dan finansial yang mereka
miliki.”(CISDL, 2002).
Prinsip common but differentiated responsibility mencakup dua
elemen fundamental. Pertama, tanggung jawab yang sama dari semua
negara atas lingkungan baik pada level nasional maupun global. Kedua,
perlu mempertimbangkan situasi yang berbeda yang berkaitan dengan
kontribusi historis setiap negara terhadap perkembangan masalah
lingkungan tertentu dan memperhatikan kemampuan masing-masing
negara untuk mencegah, mengurangi atau mengontrol ancaman yang
terjadi.
(ii) The Specific Needs and Special Circumstances of Developing Country
Pasal 5 ayat 2
The specific needs and special circumstances of developing country Parties,
especially those that are particularly vulnerable to the adverse effects of climate
change, and of those Parties, especially developing country Parties, that would
have to bear a disproportionate or abnormal burden under the Convention,
should be given full consideration.
Marie-Claire Cordonier Segger dan Rajat Rana menyebut prinsip
ini the principle of equity and the eradication of poverty. Prinsip ini
merupakan tekanan lebih lanjut dari prinsip common but differentiated
responsibility. Aspek keadilan dalam prinsip ini adalah bahwa upaya
mengatasi perubahan iklim tidak boleh menambah beban luar biasa
bagi negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim atau negaranegara berkembang yang masih bersusah payah untuk menggapai
pertumbuhan ekonomi. Karena itu berbasis prinsip ini, negara maju
wajib membantu negara berkembang, terutama yang rentan terhadap
dampak perubahan iklim dalam menyediakan pendanaan adaptasi
terhadap dampak-dampak tersebut (pasal 4).
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
31
(iii) The Principle of the Precautionary Measures
Pasal 5 ayat 3
The Parties should take precautionary measures to anticipate, prevent or
minimize the causes of climate change and mitigate its adverse effects. Where
there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific
certainty should not be used as a reason for postponing such measures, taking
into account that policies and measures to deal with climate change should
be cost-effective so as to ensure global benefits at the lowest possible cost. To
achieve this, such policies and measures should take into account different
socio-economic contexts, be comprehensive, cover all relevant sources, sinks
and reservoirs of greenhouse gases and adaptation, and comprise all economic
sectors. Efforts to address climate change may be carried out cooperatively
by interested Parties.
Dalam kategori Segger dan Rana prinsip ini disebut the principle
of the precautionary approach to human health, natural resources and
ecosystems. Menurut mereka, prinsip precautionary pada dasarnya
menggeser beban lingkungan kepada orang-orang yang mengusulkan
aktivitas yang berpotensi sebagai ancaman serius terhadap lingkungan.
Prinsip ini hadir sebagai pencegahan daripada pemulihan, sehingga
pendekatannya adalah mengemas data ilmiah yang kokoh dan sesuai
dalam pembuatan kebijakan pembangunan dan menjunjung kewajiban
untuk menggunakan langkah-langkah yang hati-hati sejak dini dalam
setiap kasus yang potensial menimbulkan kerusakan. Karena itu, aspek
penting dalam prinsip ini adalah demi menjamin agar tidak terjadi
dampak perubahan iklim yang lebih serius maka langkah-langkah awal
perlu dilakukan dengan mengacu pada bukti-bukti yang sudah terjadi
tanpa harus menunggu kepastian dan sokongan kepastian ilmiah yang
solid dan kokoh.
Konvensi menggarisbawahi bahwa prinsip pencegahan dalam
precautionary principle bekerja pada dua sisi, tidak hanya pada dampak
perubahan iklim tapi juga mencegah dampak dari upaya-upaya mitigasi
perubahan iklim. Artinya, langkah-langkah yang diambil untuk
mengatasi perubahan iklim pun tidak boleh menimbulkan kerugian
bagi manusia maupun lingkungan. Hal ini secara tegas disebutkan
dalam pasal 4 ayat 8 Konvensi (kotak 2.2.):
Kotak 2.2. Pasal 4 ayat 8 Konvensi Perubahan Iklim
Dalam mengimpelentasikan komitmen atas pasal ini, para pihak
wajib memberikan pertimbangan penuh untuk tindakan-tindakan
yang perlu dalam kerangka Konvensi, termasuk tindakan-tindakan
yang berkaitan dengan pendanaan, asuransi, transfer teknologi, untuk
memenuhi kebutuhan dan perhatian khusus dari negara-negara
32
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
berkembang dari dampak negatif perubahan iklim dan/atau dampak-dampak
yang terjadi dari langkah-langkah untuk menghadapi perubahahan iklim,
terutama berkaitan dengan:
a. Negara-negara pulau-pulau kecil;
b. Negara-Negara yang memiliki wilayah lebih rendah dari permukaan laut
c. Negara-negara yang memiliki wilayah kering atau semi-kering, area
yang berhutan dan area yang hutannya mengalami kerusakan secara
perlahan;
d. Negara-negara yang rentan terhadap bencana alam;
e. Negara-negara dengan daerah-daerah yang dapat menuju kekeringan dan
penggurunan;
f. Negara-negara dengan wilayah-wilayah yang polusi kotanya tinggi;
g. Negara-negara dengan ekosistem yang rentan, termasuk ekosistem
pegunungan;
h. Negara-negara dengan ekonomi yang sangat tergantung pada pendapatan
dari produksi, proses-proses produksi dan ekspor dan/atau konsumsi bahan
bakar fosil dan produk-produk intensif energi yang terkait; dan
i. Negara-negara transit dan yang hanya terdiri dari daratan.
Rumusan pasal 8 antara lain menjadi basis hukum usulan safeguard
atau kebijakan pengaman yang saat ini muncul dalam perundingan
perubahan iklim, terutama dalam skema-skema mitigasi perubahan
iklim, termasuk skema di isu kehutanan.
(iv) The Principle of Sustainable Development
Pasal 5 ayat 4
The Parties have a right to, and should, promote sustainable development.
Policies and measures to protect the climate system against human-induced
change should be appropriate for the specific conditions of each Party and
should be integrated with national development programmes, taking into
account that economic development is essential for adopting measures to
address climate change.
Sustainable development atau pembangunan berkelanjutan
merupakan konsep yang hadir sejak lama sebagai anti-tesis atas konsep
pembangunan modern yang eksploitatif. Berbeda dari pembangunan
modern, prinsip utama pembangunan berkelanjutan adalah sebuah
pembangunan yang dapat mencukupi kebutuhan sekarang tanpa
mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi
kebutuhan mereka sendiri. Elemen-elemen pokok pembangunan
berkelanjutan adalah (WCED, 1988:12-3):
1. Tercukupinya kebutuhan dasar
2. Pemanfaatan sumber daya yang hemat dan efisien karena ada batas
sumber daya lingkungan menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan
manusia
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
33
3. Teknologi ramah lingkungan
4. Demokratisasi dalam pengambilan keputusan atas sumber daya
5. Pembatasan jumlah penduduk
Singkatnya, pembangunan berkelanjutan berhubungan dengan
pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi pengembangan
teknologi serta perubahan kelembagaan yang konsisten dengan
kebutuhan hari depan dan kebutuhan masa kini.
(v) Cooperate to Promote a Supportive and Open International Economic
System
Pasal 5 ayat 5
The Parties should cooperate to promote a supportive and open international
economic system that would lead to sustainable economic growth and
development in all Parties, particularly developing country Parties, thus enabling
them better to address the problems of climate change. Measures taken to
combat climate change, including unilateral ones, should not constitute a
means of arbitrary or unjustifiable discrimination or a disguised restriction
on international trade.
Prinsip ini berkaitan dengan hak untuk tetap membangun, terutama
bagi negara berkembang. Karena itu, halangan yang diskriminatif
termasuk melalui pembatasan perdagangan tidak bisa dilakukan semenamena meskipun dirancang sebagai langkah untuk mengatasi perubahan
iklim. Prinsip ini muncul sebagai artikulasi dari hak atas pembangunan
(rights to development) yang disuarakan negara berkembang.
(d)Kelembagaan Konvensi
(i)
Intergovernmental Negotiating Committee (INC)
INC dipersiapkan sejak 1990 untuk menyelenggarakan negosiasi
perubahan iklim, termasuk perundingan di Rio de Jeneiro 1992.
Meskipun tidak mengikat, banyak rekomendasi INC yang mendorong
agar konvensi dapat diimplementasikan, antara lain menyangkut
keuangan, laporan emisi dan komitmen. INC bertemu untuk terakhir
kalinya pada bulan Februari 1995 dan selanjutnya berbagai proses
perundingan berikut diteruskan oleh Conference of Parties.
(ii) Conference of Parties (COP)
COP merupakan asosiasi para pihak yang meratifikasi konvensi.
Menurut konvensi, COP merupakan badan tertinggi konvensi yang
berwenang membuat keputusan. COP bertanggung jawab menjaga
konsistensi upaya internasional dalam mencapai tujuan utama
konvensi. Karena itu, secara rutin COP meninjau komitmen para pihak
melalui peninjauan komunikasi nasional dan pengalaman para pihak
34
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
menerapkan kebijakan nasionalnya terkait isu perubahan iklim. COP
diselenggarakan setahun sekali, kecuali karena suatu kondisi tertentu
para pihak menghendaki lain. Penentuan tempat penyelenggaraan
COP tergantung tawaran calon tuan rumah. Jika tidak ada penawaran,
otomatis COP diselenggarakan di sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman.
(iii) Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA)
Konvensi membentuk SBSTA sebagai badan pembantu tetap yang
bertugas menangani masalah-masalah teknis dan ilmiah. SBSTA bekerja
berdasarkan keputusan COP, namun bisa juga memberikan nasihat
dan menjembatani konvensi dengan sumber-sumber informasi ilmiah
sehingga masalah-masalah teknis dan metodologis yang dihadapi
konvensi dapat dipecahkan. Untuk membuat informasi tetap update
dan akurat, SBSTA mendapat informasi dari kumpulan para pakar yang
tergabung dalam IPCC maupun lembaga-lembaga lainnya. Kadangkala,
SBSTA juga bisa meminta IPCC menyusun laporan khusus atau makalah
teknis di sela-sela tugas utama IPCC menyusun assessment report
secara berkala.
(iv) Subsidiary Body for Implementation (SBI)
Badan pembantu tetap lainnya adalah SBI yang bertugas melakukan
penilaian terhadap Komunikasi Nasional dan Inventarisasi Emisi yang
disampaikan para pihak sesuai dengan komitmen yang diberikan (pasal
4). SBI juga bisa memberikan saran kepada COP dalam hal mekanisme
keuangan yang dioperasikan Global Environment Facility (GEF), urusan
administrasi dan masalah lain yang berkaitan dengan anggaran. Dalam
perkembangan perundingan terkini, SBI juga terlibat intensif dalam
mendiskusikan mekanisme pendanaan baru untuk adaptasi dan juga
REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).
Dalam melakukan tugas-tugas tersebut SBI sering melakukan kerja
sama dengan SBSTA dalam menyelesaikan masalah-masalah umum
(cross-cutting issues) antara lain membahas perkembangan mekanisme,
penaatan (compliance), pengembangan kapasitas dan kerentanan negara
berkembang dan cara-cara mengatasinya.
(v) Ad-hoc Group
Dalam hal-hal tertentu, COP bisa membentuk Ad-hoc group, sifatnya
sementara sesuai kebutuhan. Ad-hoc yang pernah dibentuk, antara lain:
• Ad-hoc Group on Berlin Mandate (AGBM). Dibentuk pada COP
pertama di Berlin untuk menyelenggarakan berbagai pertemuan
yang berujung pada pembentukan dan pengadopsian Protokol Kyoto.
• Ad-hoc Group on Article 13 Konvensi (AG13) yang dibentuk
untuk mempelajari kemungkinan implementasi pasal 13 konvensi
yang mengatur tentang resolusi berbagai pertanyaan mengenai
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
35
•
•
•
implementasi konvensi. Pasal ini mensyaratkan adanya konsultasi
multilateral, sehingga AG13 melakukan pertemuan enam kali dan
mempresentasikan hasilnya dalam COP 4.
Joint Working Group (JWG). Dibentuk dalam COP 4 untuk
menyelesaikan sistem penaatan di bawah Protokol Kyoto. Hasil
kerja kelompok ini terkubur dalam kemelut perundingan COP
6 di Den Haag, Belanda dan akhirnya diperpanjang hingga sesi
kedua COP 6 di Bonn.
Ad-hoc Working Group on Further Commitments for Annex I
Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP) yang dibentuk COP
11 di Montreal untuk membahas komitmen berikut dari negaranegara maju di bawah Protokol Kyoto. AWG-KP diharapkan
menyelesaikan pekerjaannya pada 2009, namun perundingan COP
15 di Kopenhagen tidak menyepakati apapun sehingga AWG-KP
terus bekerja dan diharapkan bisa menghasilkan konsensus pada
COP 16 di Meksiko.32
Ad-hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under
the Convention (AWG-LCA). Pada COP 13 di Bali, dalam rangka
mencapai keputusan yang mengikat di COP 15 di Kopenhagen
maka melalui keputusan 1/CP.13 atau disebut dengan the Bali
Action Plan, COP meluncurkan proses yang komprehensif
untuk memberi jalan yang luas, efektif dan berkelanjutan
bagi penerapan konvensi melalui tindakan kerja sama jangka
panjang hingga dan melampaui 2012. AWG-LCA diharapkan
menyelesaikan pekerjaannya sebelum COP 15 di Kopenhagen dan
mempresentasikan hasil pekerjaannya dalam COP 15 tersebut agar
diadopsi. Namun COP 15 tidak menghasilkan keputusan apapun
atas AWG-LCA sehingga COP melalui decision 1/CP.15 tentang
hasil kerja AWG-LCA memperpanjang mandat AWG-LCA untuk
memampukan kelompok kerja tersebut melanjutkan pekerjaannya
dengan harapan akan mempresentasikan hasil kerjanya pada COP
16 di Meksiko.33
(vi) Biro
Biro terdiri dari tiga yakni Biro COP, SBSTA dan SBI. Biro COP
dibentuk dan dipilih oleh COP pada setiap awal sesinya. Tugas biro
adalah mengarahkan pekerjaan COP dan badan-badan pembantunya.
Untuk mempertahankan kesinambungan tugasnya, biro COP tidak
hanya bekerja dalam satu sesi COP, tetapi juga pada periode antarsesi
(inter-sessional period). Biro COP beranggotakan 11 orang yang mewakili
lima wilayah PBB yaitu Asia, Afrika, Eropa Timur, Amerika Latin dan
32
33
http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/4577.php, (diakses 12-03-2010).
http://unfccc.int/meetings/items/4381.php (diakses 12-03-2010).
36
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Karibia, Eropa Barat dan group lain (Western Europe and Others
Group, WEOG). Yang termasuk group lain adalah Australia, Kanada,
Eslandia, Selandia Baru, Norwegia, Swiss dan Amerika Serikat. Sebelas
anggota tersebut termasuk satu orang Presiden COP, tujuh orang wakil
presiden, satu orang ketua SBSTA, satu orang ketua SBI, dan satu orang
Pelapor. Biro COP dipilih untuk satu tahun tetapi anggotanya dapat
dipilih ulang untuk kedua kalinya. Sementara biro SBSTA dan SBI
terdiri dari Ketua, Wakil Ketua dan Pelapor. Tugasnya mirip dengan
dengan biro COP tetapi dengan masa jabatan dua tahun.
(vii) Global Environment Facility (GEF)
Konvensi membentuk mekanisme keuangan untuk membiayai
berbagai kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim dan
implementasi konvensi di negara berkembang. Untuk sementara,
mekanisme tersebut dikelolah GEF. GEF sendiri dibentuk tahun 1991
oleh berbagai negara dan meminta Bank Dunia untuk mengelola
dana pilot sebesar 1 milyar USD dengan misi membantu melindungi
lingkungan global dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, kesepakatan pertama antara
GEF dan UNFCCC terjadi di COP 2 tahun 1996, kemudian diperbarui
dalam COP 4 dan selanjutnya ditinjau setiap empat tahun sekali. Dana
GEF diimplementasikan oleh Bank Dunia, UNDP dan UNEP. Persoalan
birokrasi dan jumlah dana yang minim mewarnai perjalanan GEF hingga
kini. Karena itu, dalam perdebatan terkini, banyak proposal dari negara
pihak mengusulkan agar pendanaan perubahan iklim melalui GEF
diperbarui dan bahkan diganti dengan mekanisme yang lebih efektif.
(viii)Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
IPCC bukan merupakan kelembagaan konvensi tetapi memberikan
masukan yang sangat penting dalam proses negosiasi perubahan
iklim. IPCC dibentuk oleh WMO dan UNEP pada 1989 sebagai panel
ilmuwan yang diusulkan pemerintah untuk melakukan penilaian dan
pembahasan yang mendalam terhadap literatur teknis dan ilmiah
dan hal-hal yang terkait. IPCC dikenal dengan Laporan Pengkajian
(Assessment Report) yang secara luas dikenal sebagai informasi yang
otoritatif dan dapat dipercaya tentang perubahan iklim. Hingga saat
ini IPCC telah mengeluarkan empat Laporan Pengkajian yakni tahun
laporan pertama 1990, laporan kedua 1995, laporan ketiga 2001 dan
laporan keempat 2007. Laporan-laporan ini menjadi dasar ilmiah bagi
COP untuk melakukan negosiasi.34
34
Untuk melihat jenis dan berbagai laporan IPCC, silakan unduh di http://www.ipcc.ch/publications_and_data/
publications_and_data.htm, (diakses 03-02-2010).
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
37
(ix) Sekretariat Konvensi
Sekretariat Konvensi berkedudukan di Bonn, Jerman. Tugas
utamanya tercantum dalam pasal 8 konvensi, yakni:
• Mengatur penyelenggaraan dan memberikan layanan dalam COP,
pertemuan-pertemuan badan pembantu dan biro;
• Mengkompilasi dan meneruskan laporan yang diterimanya;
• Memberikan fasilitas kepada para pihak, khususnya permintaan
dari negara berkembang dalam hal kompilasi dan komunikasi
informasi sesuai dengan yang diamanatkan konvensi.
Selain tiga tugas di atas sekretariat juga membantu koordinasi teknis
antara sekretariat dengan badan-badan yang relevan, menyiapkan dokumen
pertemuan dan berbagai dukungan teknis lainnya.
(e) Pembagian para pihak
Konvensi Perubahan Iklim membagi para pihak menjadi dua bagian besar
yakni Annex I dan Non-Annex I. Negara-negara Annex I diberi beberapa
mandat penting, antara lain, sebagai berikut:
1. Melakukan langkah-langkah domestik melalui kebijakan maupun
tindakan lainnya dalam mitigasi perubahan iklim yang mengurangi emisi
GRK dan melindungi serta memperluas penyerapan dan penyimpanan
GRK. Kebijakan dan tindakan-tindakan tersebut harus menggambarkan
bahwa negara-negara Annex I menjadi yang terdepan dalam mencapai
tujuan konvensi dengan menimbang kondisi nasional masing-masing
seperti struktur ekonomi dan basis sumber daya, kebutuhan untuk
tetap memelihara pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan
hingga teknologi pendukung;
2. Melaporkan perkembangan kebijakan dan langkah-langkah yang
diambil dalam enam bulan setelah konvensi berlaku dan seterusnya
memberikan laporan secara reguler kepada COP melalui sekertariat
UNFCCC. Rincian mengenai apa saja yang dilaporkan tercantum dalam
pasal 12 Konvensi. Beberapa di antaranya adalah daftar jenis GRK baik
sumber maupun penyimpanannya yang tidak diatur dalam Protokol
Montreal, deskripsi umum mengenai langkah-langkah yang diambil
atau yang dipertimbangkan oleh negara yang bersangkutan dalam
mengimplementasi konvensi, dan informasi lain yang relevan dalam
mencapai tujuan konvensi.
3. Melakukan beberapa kewajiban, antara lain: (a) berkoordinasi dengan
sesama Annex I untuk mencapai tujuan konvensi, (b) melakukan
identifikasi dan tinjauan secara periodik atas kebijakan domestik maupun
praktik yang mengakibatkan peningkatan GRK yang tidak diatur Protokol
Montreal, (c) menyediakan sumber daya finansial baru dan tambahan
38
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
atas pendanaan yang sudah ada kepada negara berkembang agar
negara-negara berkembang mampu membuat kebijakan dan melakukan
langkah-langkah mitigasi perubahan iklim (pasal 12 paragraf 1), (d)
bersama negara-negara Annex II, membantu adaptasi negara-negara
berkembang yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, (e) bersama
negara-negara Annex II melakukan langkah-langkah praktis dengan
mempromosikan, memfasilitasi, mendanai sedapat mungkin transfer
atau akses terhadap teknologi ramah lingkungan dan keterampilan yang
diperlukan oleh negara lain terutama negara-negara berkembang agar
memampukan negara-negara tersebut memenuhi tujuan konvensi.
Tabel 2.1. Daftar negara Annex I, Annex II dan Non-Annex
Annex I
Australia
Austria
Belarusia
Belgia
Bulgaria
Kanada
Kroasia
Republik Ceko
Denmark
Uni Eropa
Estonia
Finlandia
Prancis
Jerman
Yunani
Hungaria
Islandia
Irlandia
Italia
Jepang
Latvia
Liechtenstein
Lithuania
Luksemburg
Monako
Belanda
Selandia Baru
Norwegia
Polandia
Portugal
Rumania
Annex II
Australia
Austria
Belgia
Kanada
Denmark
Uni Eropa
Finlandia
Prancis
Jerman
Yunani
Islandia
Irlandia
Italia
Jepang
Luksemburg
Belanda
Selandia Baru
Norwegia
Portugal
Spanyol
Swedia
Swiss
Inggris dan Irlandia
Utara
Amerika Serikat
Non-Annex
(negara-negara selain negara
Annex I dan Annex II)
–Penyebutan Non-Annex sendiri
tidak ada di dalam Konvensi
Perubahan Iklim.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
39
Federasi Rusia
Slovakia
Slovenia
Spanyol
Swedia
Swiss
Turki
Ukraina
Inggris dan
Irlandia Utara
Amerika Serikat
Sementara non-Annex I atau seringkali disebut negara berkembang diberi
mandat untuk membentuk kebijakan dan melakukan langkah-langkah yang
perlu dalam mencapai tujuan konvensi tetapi dengan dukungan negara maju,
baik dukungan teknologi, pendanaan hingga pengembangan kapasitas.
Pembagian para pihak dalam perkembangan selanjutnya menimbulkan
perdebatan, terutama berkaitan dengan pembagian beban dan tanggung
jawab dalam mencapai tujuan konvensi, terutama pasca berakhirnya
komitmen pertama Protokol Kyoto (2008-2012).
2.3 Protokol Kyoto
Protokol Kyoto (PK) merupakan salah satu cara agar Konvensi Perubahan
Iklim bisa diterapkan. Pembentukan protokol sudah mulai diinisiasi sejak
COP pertama 1995 yang menghasilkan Mandat Berlin untuk membentuk
Ad-hoc Group on Berlin Mandate (AGBM). Perdebatan panjang selama
2 tahun akhirnya menghasilkan dokumen protokol namun kesepakatan
implementasinya tidak mudah.
Hingga saat ini, Protokol Kyoto merupakan satu-satunya langkah
konkrit konvensi yang mengikat secara hukum. Protokol Kyoto secara
eksplisit mencantumkan enam GRK yang harus dikurangi oleh negara
maju, yakni Carbon Dioxide (CO 2), Methane (CH 4), Nitrous Oxide
(N2O), Hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs) dan Sulphur
Hexaf luoride (SF 6 ). Berdasarkan perhitungan GRK nasional yang
dikomunikasikan ke COP maka disepakati rata-rata target pengurangan emisi
negara maju adalah 5,2 % di bawah level 1990. Metode pengurangan emisi
Kyoto adalah menggunakan jatah (assigned amount). Sebuah negara tidak
boleh melebihi jatah tertentu. Jika lebih, maka negara tersebut diwajibkan
menurunkan emisinya dalam jumlah tertentu. Sebaliknya, beberapa negara
tidak sanggup menghabiskan jatah yang disepakati sehingga untuk negara
tersebut terjadi saldo emisi yang kemudian dikenal dengan hot air. Karena
itu, pada tabel terlihat negara-negara yang harus mengurangi 8%, tapi juga
40
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
nampak negara-negara yang bisa menambah emisi hingga 10%. Protokol
Kyoto menyebut dua kategori negara ini sebagai Annex B (tabel 2.2.)
Tabel 2.2. Negara-negara yang masuk dalam Annex B
Protokol Kyoto dan target pengurangan emisi mereka
Negara
EU-15 negara, Bulgaria, Republik Ceko,
Estonia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania,
Monaco, Rumania, Slovakia, Slovenia, Swiss
Target (1990 - 2008/2012)
-8%
US
-7%
Kanada, Hongaria, Jepang, Polandia
-6%
Kroasia
-5%
Selandia Baru, Federasi Rusia, Ukraina
0
Norwegia
+1%
Australia
+8%
Islandia
+10%
Pada 2007, negara-negara yang tercatat dalam Annex B bertambah
karena protokol membuka peluang amandemen atas negara-negara yang
menjadi Annex B. Amandemen negara-negara Annex B pun diterima pada
November 2006, melalui keputusan 10/CMP.2. Sejak itu, ada penambahan
22 negara Annex B Protokol Kyoto.
Menurut PK, untuk mencapai target di atas maka negara-negara maju
diberi kebebasan untuk mencari cara yang paling murah dan mudah sesuai
kemampuan negara dan situasi nasional dan pada akhirnya bertujuan
menghindari kegoncangan ekonomi domestik dan global. Karena itu,
beberapa kemudahan diberikan, antara lain 15 Negara EU bersama-sama
saling menyokong (tanggung renteng) pencapain target bersama EU di
bawah skema yang disebut bubble. Menurut skema ini masing-masing
negara anggota EU memiliki target individual yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan internal EU tapi gabungan capaian individual akan mendukung
target bersama pengurangan 8%.
Protokol juga memberi kemudahan bagi negara-negara dalam transisi
ekonomi atau EITs untuk menentukan sendiri periode dimulainya
perhitungan emisi atau disebut baseline di luar 1990. Kemudahan diberikan
karena asumsi bahwa negara-negara tersebut sedang dalam proses transisi.
Beban pengurangan emisi tidak boleh membuat transisi ekonomi ambruk.
Sementara Amerika dan Australia yang tercatat sebagai penyumbang emisi
tidak mau mengadopsi PK. Ini merupakan tantangan pelaksanaan Kyoto
dan perundingan perubahan iklim secara keseluruhan yang akan dibahas
di bagian sendiri tulisan ini.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
41
Protokol Kyoto tidak langsung berlaku ketika negara-negara peratifikasi
konvensi setuju dengan protokol tersebut. Ada dua syarat utama agar
Protokol Kyoto berkekuatan hukum dan berlaku mengikat. Pertama,
sekurang-kurangnya protokol harus diratifikasi oleh 55 negara peratifikasi
Konvensi Perubahan Iklim. Kedua, agregat emisi negara-negara Annex
I peratifikasi Protokol Kyoto minimal 55% dari total emisi keseluruhan
Annex I di tahun 1990.
Syarat pertama terpenuhi ketika tanggal 23 Mei 2002, Islandia
menandatangani protokol tersebut. Selanjutnya, 18 November 2004
Rusia meratifikasi Protokol Kyoto sehingga agregat emisi negara Annex I
penandatangan Kyoto melampaui 55% yakni sebesar 61.79%. Hal ini berarti
kedua syarat telah dipenuhi sehingga sesuai pasal 25 Protokol Kyoto, 90
hari setelah ratifikasi Rusia, yaitu pada tanggal 16 Februari 2005, protokol
ini mulai berlaku mengikat tanpa ada reservasi.
(a) Mekanisme Protokol Kyoto
Untuk memberi jalan bagi upaya pengurangan emisi maka Protokol
Kyoto membentuk tiga mekanisme yang disebut flexible mechanism.
Disebut fleksibel karena ketiga mekanisme ini memberi kesempatan
bagi negara-negara tersebut untuk bisa memilih mekanisme mana yang
membantu mereka mengurangi emisi. Ketiga mekanisme tersebut adalah
Joint Implementation (JI), Emission Trading (ET) dan Clean Development
Mechanism (CDM).
(i)
42
Clean Development Mechanism
CDM memberi kesempatan bagi negara maju untuk mengurangi
emisi dengan melakukan proyek di negara berkembang dan memperoleh
sertifikat yang disebut Certified Emission Reductions (CERs) dari proyekproyek tersebut, masing-masing sertifikat setara dengan satu ton CO2.
CERs dapat diperdagangkan dan diperjualbelikan serta digunakan oleh
negara-negara industri untuk mencapai target pengurangan emisi
mereka di bawah Protokol Kyoto. Mekanisme ini diyakini mendorong
bekerjanya prinsip sustainable development dan pengurangan emisi
sambil memberikan negara-negara maju fleksibilitas dalam melakukan
upaya pengurangan emisi sesuatu target yang disepakati.
Proyek CDM harus melalui kualifikasi yang ketat, registrasi
publik dan proses pemberian CERs yang dirancang untuk memastikan
pengurangan emisi yang nyata, terukur dan dapat diverifikasi yang
melampaui apa yang terjadi tanpa proyek atau Business as Usual
(BAU). Mekanisme operasional CDM ditinjau oleh Dewan Eksekutif
CDM dan mengarahkan proyek terutama pada negara-negara yang
telah meratifikasi Protokol Kyoto. Supaya bisa dicatat, sebuah proyek
pertama-tama harus disetujui oleh Designated National Authorities
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
(DNA). Validasi proyek selanjutnya dilakukan melalui Designated
Operational Entity (DOEs) sebagai perangkat untuk sertifikasi proyek
sebagaimana tercantum dalam pasal 12(5). DOEs juga punya kewenangan
mensertifikasi pengurangan emisi yang diperoleh melalui proyek.
Mekanisme CDM dilihat oleh banyak orang sebagai pembuka jalan
global bagi investasi lingkungan dan skema kredit yang menyedikan
instrumen offset emisi yang terstandar melalui CERs. CDM merupakan
meknisme yang mengejutkan dalam perundingan Protokol Kyoto.
Pada pertemuan sebelumnya, delegasi Brazil mengajukan proposal
untuk membentuk Green Development Fund, namun proposal tersebut
tidak banyak dibicarakan dalam perundingan Kyoto. Bentuk dan dasar
CDM yang tertuang dalam pasal 12, dengan demikian merupakan
bayi yang murni lahir dari kelit kelindan negosiasi di Kyoto. Pasal
ini kemungkinan besar merupakan hasil dari proses perundingan
pasal 12 yang dirumuskan dalam grup perancang yang berbeda dari
grup perumus pasal 6 yang membahas “Joint Implementation”, namun
memiliki konsep yang sama yakni memberi kesempatan bagi Annex I
untuk mendanai proyek pengurangan emisi di negara tertentu.
Keunikan pasal 12 adalah proyek Annex I tersebut bisa dilakukan
di negara berkembang yang tidak membuat komitmen penurunan
emisi di bawah Protokol Kyoto, di luar negara Annex I atau mekanisme
offset. Pasal 12 secara eksplisit menyokong negara-negara Non-Annex
I untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan berkontribusi
terhadap tujuan utama konvensi dan membantu Annex I dalam
memenuhi kewajiban mereka sebagaimana disebutkan dalam pasal 3
(Freestone, 2009:11).
Perangkat CDM dibentuk lebih dini daripada dua mekanisme
lainnya yakni tahun 2000. Start cepat CDM dilakukan berdasarkan
pasal 12 (10) Protokol Kyoto. Dari proses ini, CDM memberi peluang
pengurangan emisi sejak 2000 dan menjadi permulaan pemenuhan
komitmen Annex I. Konsekuensinya, berdasarkan mekanisme
pasar CDM berlaku segera setelah adopsi Marrakesh Accord tahun
2001. Selanjutnya, para pihak diberi kewenangan untuk melakukan
kredit retroaktif dari pengurangan emisi mulai tahun 2000. Sebagai
mekanisme internasional pertama yang mulai beroperasi, CDM
memberi kesempatan bagi pengembang proyek untuk merancang dan
mengembangkan proyek pengurangan emisi.
Secara formal, CDM mulai dihitung sebagai kredit dalam skema
perubahan iklim di bawah komitmen Kyoto sejak awal 2006. Sejak
itu, CDM telah mencatat lebih dari 1000 proyek dan diprediksikan
mampu menghasilkan CERs lebih dari 2,7 milliar ton CO2 setara dengan
komitmen periode pertama Protokol Kyoto, 2008–2012.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
43
(ii) Joint Implementation
Mekanisme JI diatur dalam pasal 6 Protokol Kyoto. JI memberikan
kesempatan bagi negara Annex B Protokol Kyoto untuk melakukan
pengurangan atau pembatasan emisi agar memperoleh Emission
Reduction Units (ERUs) dari proyek pengurangan emisi atau penyerapan
emisi dari pihak Annex B yang lain. Satu ERUs setara dengan satu ton
CO2 yang bisa dihitung sebagai upaya untuk mencapai target Kyoto.
JI menyediakan beberapa cara yang fleksibel dan efisien bagi
negara Annex B dalam memenuhi komitmen mereka di bawah Kyoto,
sementara negara tuan rumah tempat proyek dilakukan mendapat
keuntungan dari investasi asing dan transfer teknologi. Seperti
halnya CDM, proyek JI harus mampu mengurangi emisi baik dari
sumber maupun perluasan perangkap emisi dengan penyerapan yang
melampaui BAU. Proyek harus mendapat persetujuan dari negara tuan
rumah proyek dan peserta proyek swasta harus mendapat pengesahan
dari negara pihak untuk bisa berpartisipasi dalam proyek.
Pembentukan infrastruktur dasar JI bergantung pada waktu
efektif kapan Protokol Kyoto berlaku, sehingga pembentukan Komite
Supervisor JI ditunda (sama dengan Dewan Eksekutif CDM) hingga
Desember 2005. Namun paralel dengan proses pembentukan Komite
Supervisor, usulan proyek JI meningkat dan terus didesain, sehingga
pada permulaan komitmen pertama Kyoto tahun 2008, pasar ERUs
memperoleh momentum. Proyek yang dimulai dari tahun 2000 bisa
disebut sebagai proyek JI jika proyek-proyek tersebut memenuhi
persyaratan yang relevan. Tapi ERUs hanya boleh dikeluarkan untuk
periode kredit sejak awal 2008. Belajar dari proses yang ditempuh
CDM, JI hadir dengan menggunakan banyak petikan pelajaran maupun
kerangka kerja yang sebelummya sudah dibentuk dalam CDM.
Untuk dapat menghasilkan ERUs, JI mengenal dua trek prosedur.
Pertama, prosedur trek satu, yakni jika negara tuan rumah mampu
memenuhi persyaratan yang sesuai standar yang diakui untuk
mentransfer maupun memenuhi ERUs, maka tuan rumah dapat
memverifikasi pengurangan emisi dan perluasan perangkap emisi dari
proyek JI sebagai sesuatu yang sifatnya melampaui BAU (additional).
Berdasarkan verifikasi tersebut, negara tuan rumah dapat mengeluarkan
ERUs dalam jumlah tertentu. Kedua, prosedur trek dua, yakni jika
negara tuan rumah tidak dapat memenuhi semua persyaratan tapi
hanya terbatas pada seperangkat persyaratan yang memenuhi standar
maka verifikasi pengurangan emisi atau perluasan perangkap emisi
sebagai sesuatu yang melampaui BAU (additional) harus dilakukan
melalui prosedur verifikasi di bawah Komite Supervisor JI atau
Joint Implementation Supervisory Committee (JISC). Sebuah entitas
44
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
independen yang diakreditasi oleh JISC harus menentukan apakah
persyaratan yang relevan telah terpenuhi sebelum pihak negara tuan
rumah dapat mengeluarkan dan mentransfer ERUs. Di sisi lain, negara
tuan rumah yang memenuhi semua persyaratan yang sesuai standar
yang diakui bisa juga memilih menggunakan prosedur verifikasi di
bawah JISC atau prosedur trek 2.
(iii) Emission Trading
Target pengurangan emisi telah diwujudkan melalui jatah emisi
yang dikenal dengan assigned amount (jatah yang diperbolehkan)
dalam periode komitmen pertama 2008-2012. Jatah emisi dibagi ke
dalam Assigned Amount Units (AAUs) atau unit jatah yang disepakati.
Konsep ini mendasari skema perdagangan emisi dan secara hukum
tercantum dalam pasal 17 Protokol Kyoto. Perdagangan emisi dalam
skema ET membolehkan sebuah negara Annex I untuk mencadangkan
unit emisi dari jumlah emisi yang diperbolehkan, dengan syarat
cadangan tersebut tidak untuk dikonsumsi. Cadangan yang berlebihan
tersebut dapat dijual ke negara Annex I lainnya yang melampaui jatah
emisi yang diperbolehkan.
Dengan demikian, sebuah komoditi baru telah dibuat dalam
bentuk pengurangan atau perangkap emisi. Karena karbondioksida
merupakan gas utama yang diperangkap atau dikurangi maka orang
secara sederhana menyebut proses ini sebagai perdagangan karbon.
Seperti komoditi lainnya, karbon saat ini memiliki rute pasar dan
diperdagangkan di antara pelaku pasar, sehingga dikenal dengan
sebutan pasar karbon.
Selain perdagangan emisi aktual, Protokol Kyoto juga mengakui
skema perdagangan emisi dari beberapa unit yang masing-masingnya
setara dengan satu ton karbon. Unit-unit tersebut adalah:
1. Removal Unit (RMU) yang mengacu pada aktivitas land use,
land-use change and forestry (LULUCF) atau tata guna lahan dan
perubahan tata guna lahan dan hutan melalui kegiatan reforestasi
dan aforestasi
2. Emission Reduction Unit (ERU) yang diperoleh lewat skema proyek
Joint Implementation
3. Certified Emission Reduction (CER) yang diperoleh lewat aktivitas
proyek dalam skema Clean Development Mechanism
Transfer dan perolehan para pihak lewat unit-unit ini diamati
dan dicatat melalui sistem pencatatan di bawah Protokol Kyoto. Pada
level nasional, negara pihak (Annex I) diwajibkan untuk memelihara
cadangan ERUs, CERs dan AAUs/RMUs dalam catatan nasional.
Cadangan ini dikenal dengan commitment period reserve, dan tidak
boleh kurang dari 90 persen AAU negara yang bersangkutan.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
45
Dari segi skala geografis, perdagangan emisi dibentuk sebagai
instrumen kebijakan iklim pada level nasional maupun regional. Melaui
skema perdagangan, pemerintah dapat merancang kewajiban emisi
yang harus dicapai oleh entitas yang akan berpartisipasi dalam skema
tersebut. Di antara pasar yang ada, skema Perdagangan Emisi Uni
Eropa (European Union Emissions Trading Scheme/EUETS) merupakan
operasi pasar yang paling besar hingga saat ini.
(b) Kelembagaan Protokol Kyoto
Selain mengacu pada struktur kelembagaan yang telah tersedia dalam
konvensi perubahan iklim, Protokol Kyoto mengembangkan beberapa struktur
sendiri yang berbeda tapi sekaligus melengkapi struktur kelembagaan yang
berusaha mewujudkan konvensi.
(i)
Conference of Meeting Parties
CMP merupakan konferensi para pihak yang meratifikasi Protokol
Kyoto. Dalam rumusan yang lebih panjang disebut dengan Conference
of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto
Protocol (CMP).
CMP melakukan pertemuan tahunan pada waktu yang sama
dengan COP. Para pihak konvensi yang tidak menjadi para pihak
dalam Protokol Kyoto dapat berpartisipasi dalam CMP sebagai observer
(pengamat) tapi tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan.
Fungsi CMP dalam kaitannya dengan protokol mirip dengan fungsi
yang dimainkan COP terhadap konvensi. 
Pertemuan pertama CMP diselenggarakan di Montreal, Kanada
pada Desember 2005 bersamaan dengan COP ke-11. Dalam pertemuan
ini, para pihak CMP mengadopsi keputusan yang menggarisbawahi
langkah penting bagi tindakan internasional ke depan terhadap
perubahan iklim. Para pihak CMP juga secara formal mengadopsi
“aturan pelaksana” Protokol Kyoto yang disebut dengan “Marrakesh
Accords” yang terdiri dari seperangkat kerangka kerja implementasi
Protokol.
Beberapa kelembagaan yang dibentuk di bawah dan ditugaskan
membantu COP seperti SBSTA dan SBI juga memiliki mandat
melayani CMP. Demikian halnya biro juga melayani CMP. Meski
demikian, beberapa anggota biro COP yang mewakili pihak yang
bukan merupakan negara anggota Protokol Kyoto harus diganti oleh
anggota yang mewakili Protokol Kyoto.
(ii) Komite Mekanisme Kyoto
Dalam rangka melaksanakan tiga mekanisme Kyoto yang
mengikuti standar yang telah ditetapkan maka dibentuk beberapa
46
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
lembaga yang mendukung pelaksanaan mekanisme-mekanisme
tersebut. Pertama, Dewan Eksekutif CDM. Lembaga ini menyiapkan
keputusan bagi CMP dan mengambil peranan dalam berbagai tugas
yang berhubungan dengan pelaksanaan CDM sehari-hari termasuk
memberikan akreditasi bagi entitas operasional. Kedua, komite
pemantau JI atau Joint Implementation Supervisory Committee
(JISC). Komite ini bekerja berdasarkan kewenangan dan panduan
yang diberikan CMP dan memiliki peranan men-supervisi verifikasi
unit pengurangan emisi (ERUs) yang dilakukan oleh proyek JI dengan
menggunakan prosedur verifikasi yang disediakan oleh standard JISC.
Ketiga, komite pemenuhan atau compliance committee. Komite ini
diuraikan lebih dalam pada bagian berikut karena berkaitan dengan
target pemenuhan emisi negara Annex I yang menjadi tujuan utama
konvensi.
(iii) The Compliance Committee
Mekanisme pemenuhan Protokol Kyoto dirancang untuk
memperkuat integritas lingkungan, mendukung kredibilitas pasar
karbon dan memastikan transparansi perhitungan karbon oleh para
pihak. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi, mempromosikan dan
menegakan pemenuhan komitmen terhadap Protokol. Mekanisme
pemenuhan Protokol Kyoto atau compliance mechanism merupakan
sistem yang paling komprehensif dan teliti untuk sebuah perjanjian
lingkungan multilateral saat ini. Mekanisme yang kuat dan efektif
merupakan kunci untuk menyukseskan penerapan Protokol.35
Komite Pemenuhan atau The Compliance Committee terdiri dari
dua bagian yakni bagian fasilitatif dan bagian penegakan. Sebagaimana
namanya, bagian fasilitatif bertujuan memberikan nasihat dan bantuan
kepada negara pihak dalam rangka mempromosikan pemenuhan
Protokol Kyoto. Sementara bagian penegakan mempunyai tanggung
jawab untuk menentukan konsekuensi apa yang diberikan kepada
negara pihak yang tidak mampu memenuhi target komitmen mereka.
Komposisi keanggotaan yang mengisi kedua bagian ini terdiri dari 10
anggota termasuk perwakilan resmi dari masing-masing region PBB
(Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia, Eropa Tengah dan Timur,
Eropa Barat dan Yang Lain), satu orang dari negara berkembang
kepulauan kecil, satu dari negara Annex I dan satu dari Non-Annex
I. Mekanisme kerja dan pengambilan keputusan kedua bagian adalah
komite menyelenggarakan pleno yang dihadiri anggota kedua bagian
dan sebuah biro yang mencakup ketua dan wakil ketua setiap bagian
dan mempunyai tugas mendukung pekerjaan kedua bagian. Keputusan
35
http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010).
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
47
dalam pleno dan bagian fasilitatif akan mengikat jika dilakukan oleh
tiga perempat mayoritas. Sementara keputusan dalam bagian penegakan
membutuhan tambahan dari dua kali lipat negara anggota Annex I
dan Non-Annex I.36
Menurut pasal 8 Protokol Kyoto, melalui bagian-bagian ini
komite mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan mengenai
implementasi protokol yang dapat diajukan tim review pakar, sebuah
negara terhadap implementasi di negaranya sendiri, atau sebuah
negara terhadap implementasi di negara lain dan semunya didukung
oleh informasi yang kuat. Setiap negara mengangkat sebuah badan
yang bertugas menandatangani dokumen yang diserahkan ke komisi
pemenuhan yang berisi pertanyaan-pertanyaan implementasi dan
komentar yang melengkapi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Biro
komite mendistribusikan pertanyaan implementasi ke bagian yang
bertanggung jawab sesuai mandat yang diberikan. Selain itu, manakala
mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan implementasi, bagian penegakan
sewaktu-waktu dapat meneruskan pertanyaan implementasi ke bagian
fasilitatif.
Bagian penegakan bertanggung jawab untuk menentukan apakah
suatu negara pihak dalam Annex I tidak memenuhi target emisi,
keluar dari syarat metodologis dan pelaporan inventaris GRK, dan
tidak mencapai persyaratan standar yang digariskan mekanisme Kyoto.
Bagian ini bisa dibantu oleh review pakar maupun laporan negara
pihak yang bersangkutan. Dalam hal terjadi ketidaksepahaman antara
review pakar dengan negara pihak terkait, bagian penegakan wajib
menentukan apakah melakukan penyesuaian terhadap inventarisasi
GRK negara pihak yang bersangkutan atau mengkoreksi kompilasi
dan database perhitungan untuk menghitung unit emisi yang akan
ditetapkan (Assigned Amount Unit).37
Mandat bagian fasilitatif adalah memberikan nasihat dan fasilitasi
terhadap negara pihak dalam mengimplementasi Protokol dan
mempromosikan pemenuhan Protokol kepada para pihak berdasarkan
komitmen mereka terhadap Kyoto. Bagian ini juga bertanggung
jawab untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penerapan komitmen
Kyoto oleh negara Annex I dalam kaitannya dengan langkah-langkah
terukur yang diperlukan dalam mencegah perubahan iklim melalui
cara yang mengurangi dampak negatif bagi negara berkembang
sekaligus memberi jaminan bahwa penggunaan mekanisme Kyoto oleh
negara Annex I merupakan sesuatu yang suplemen terhadap tindakan
domestik. Lebih lanjut, bagian fasilitatif bisa menyediakan semacam
36
37
http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010).
http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010).
48
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
“peringatan dini” mengenai kemungkinan tidak terpenuhinya target
pengurangan emisi, syarat metodologis dan pelaporan inventaris GRK,
dan komitmen mengenai pelaporan atas informasi yang mendukung
pemenuhan target dalam inventarisasi tahunan negara Annex I.38 Selain
itu, bagian fasilitatif juga mempertimbangkan prinsip common but
differentiated responsibilities terhadap negara pihak dan situasi-situasi
yang terkait dengan pertanyaan implementasi sebelum memberikan
jawaban.39
Dalam kaitannya dengan bagian penegakan, setiap tipe noncompliance (tidak memenuhi komitmen) memerlukan serangkaian
tindakan. Misalnya, jika bagian penegakan telah menentukan bahwa
emisi sebuah negara pihak telah melampaui unit yang disepakati, maka
bagian penegakan harus menyatakan bahwa negara yang dimaksud
tidak memenuhi target dan mewajibkan negara tersebut untuk
membuat laporan perbedaan antara emisi yang dikeluarkan dengan
emisi yang disepakati selama periode komitmen kedua, plus tambahan
pengurangan emisi 30%. Selain itu, bagian penegakan juga mewajibkan
negara tersebut untuk mengajukan Rencana Tindakan Pemenuhan
(Compliance Action Plan) dan menunda kelayakan (eligibility) negara
tersebut untuk melakukan transfer dalam mekanisme pedagangan
emisi (Emission Trading) sampai negara tersebut kembali ke trek
pemenuhan target.40
Namun demikian, tidak ada hubungan antara langkah yang
diambil bagian penegak terhadap negara non-compliance dengan
bagian fasilitatif. Berdasarkan kewenangannya, bagian fasilitatif tetap
memutuskan untuk memberikan nasihat dan fasilitasi bantuan terhadap
negara pihak tertentu yang berkaitan dengan implementasi Protokol,
memfasilitasi bantuan finansial dan teknikal terhadap pihak dimaksud,
termasuk transfer teknologi dan pengembangan kapasitas maupun
memformulasikan rekomodendasi terhadap pihak tersebut.
Dalam bagian penegakan, pertanyaan atas implementasi
akan diselesaikan dalam kurang lebih 35 minggu sejak pertanyaan
implementasi diterima oleh bagian penegakan. Dalam hal permintaan
yang mendesak, termasuk permintaan yang berhubungan dengan
kelayakan untuk berpartisipasi dalam mekanisme Kyoto, disediakan
prosedur yang dipercepat termasuk periode tahap awal yang
diperpendek. Tahap awal merupakan periode pemeriksaan dokumen
untuk menentukan langkah-langkah berikut yang harus diambil oleh
sebuah negara dalam kaitannya dengan upaya mengimplementasi
mekanisme Kyoto. Di luar deadline tiga minggu yang diberikan untuk
38
39
40
http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010).
http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010).
http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010).
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
49
melengkapi tahap awal, tidak ada deadline yang disediakan bagi bagian
fasilitatif. 41
Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan
implementasi, terdapat prosedur rinci dengan kerangka waktu yang
spesifik untuk bagian penegakan, termasuk peluang untuk sebuah
negara pihak menghadapi Komite Pemenuhan untuk membuat
laporan formal tertulis dan permintaan dengar pendapat dimana
negara tersebut dapat menghadirkan pandangannya dan mengundang
testimoni pakar.
Bagian-bagian Komite Pemenuhan akan menggunakan cara
musyarawah mufakat dalam merespons laporan-laporan dari tim
review pakar, badan-badan tambahan (subsidiary bodies), para pihak
dan sumber-sumber resmi lainnya. Organisasi antar-negara maupun
non-pemerintah yang kompeten dapat mengajukan informasi teknis
dan faktual yang relevan terhadap bagian terkait sesudah pelaksanaan
tahap awal.42
Selain menggunakan mekanisme pengawas dari bagian penegakan
secara eksternal, secara internal pun setiap negara pihak yang tidak
memenuhi persyaratan laporan harus mengembangkan rencana
tindakan pemenuhan dan jika ditemukan negara-negara pihak tidak
memenuhi kriteria untuk berpartisipasi dalam mekanisme maka mereka
kehilangan ukuran kelayakan (eligibility) mereka. Dalam semua kasus,
bagian penegakan akan membuat pengumuman publik bahwa negara
tertentu tidak memenuhi target mereka dan juga mengumumkan
konsekuensi apa yang harus dilakukan akibat ketidakpatuhan
tersebut. Jika sebuah negara pihak ingin pencabutan atau penundaan
kelayakan dalam perdagangan emisi dihapus dan hendak mendapatkan
kelayakannya kembali, maka negara yang bersangkutan dapat meminta
review pakar atau langsung mengajukan ke bagian penegakan untuk
membuktikan bahwa negara tersebut telah menangani persoalannya
dan telah memenuhi kriteria yang relevan.43
Dalam hal pemenuhan target pengurangan emisi, setelah
terlaksananya review pakar terhadap inventarisasi final dari emisi
tahunan, sebuah negara Annex I memiliki kesempatan 100 hari untuk
mengemas cara yang perlu dalam mengatasi beberapa kekurangan
dalam pemenuhan target (seperti memperoleh AAUs, CERs, ERUs atau
RMUs melalui perdagangan emisi). Jika hingga akhir 100 hari, emisi
negara tersebut masih lebih besar dari emisi yang dijatahkan (assigned
amount), bagian penegakan akan mengumumkan bahwa negara pihak
41
42
43
http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010).
http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010).
http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010).
50
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
tersebut tidak memenuhi target, sehingga harus melaksanakan sejumlah
konsekuensi seperti telah diuraikan di atas.44
Sebagai aturan umum, keputusan yang diambil oleh kedua bagian
dalam komite ini tidak dapat diajukan banding. Pengecualiannya
adalah keputusan dari bagian penegakan mengenai target pengurangan
emisi. Namun, banding hanya dilakukan jika pihak yang mengajukan
keberatan meyakini telah terjadi kesalahan dalam standar yang diakui
(due process).45
(c) Perdagangan Karbon
Perdagangan karbon merupakan salah satu jalan keluar dalam Protokol
Kyoto. Di sana pasar memainkan peranan sangat penting dan aspek formal,
antara lain sertifikat dan bukti tertulis penguasaan karbon, menjadi basis
pelaksanaan transaksi. Semua tipe transaksi yang berkaitan dengan transfer
kredit karbon memerlukan seperangkat kontrak yang sesuai. Sekali kontrak
disepakati, CERs dan ERUs serta cadangan yang dialokasikan di bawah skema
perdagangan emisi akan segera diperdagangkan dalam apa yang disebut
pasar sekunder atau secondary market. Pasar karbon merupakan wilayah
hukum yang kemudian menjadi sangat canggih dan rumit. Sebagian besar
transaksi sekunder diatur oleh standar dan butir-butir kontrak. Namun,
sebagian besar kredit JI dan CDM masih diperdagangkan melalui kontrak di
muka (secara umum mengacu pada Emission Reduction Purchase Agreements
atau ERPAs). Penerapan proyek CDM maupun JI menuju pada tersedianya
hubungan hukum antara negara-negara yang memiliki kedaulatan berbeda
dengan subyek hukum lain baik privat maupun publik yang terlibat dalam
proyek. Berbagai hubungan tersebut diatur dalam kerangka kontrak yang
secara umum terbagi atas tiga tipe instrumen kontrak, sebagai berikut
(Freestone, 2009:15-16):
1. Instrumen unilateral dari negara Non Annex I dan Annex I, seperti
surat persetujuan (Approval Letters) untuk proyek JI dan CDM;.
2. Instrumen bilateral antara negara Annex I dan non-Annex I, seperti
perjanjian negara tuan rumah atau Memoranda of Understanding yang
mengatur transfer AAUs atau ERUs sebagaimana tercantum dalam pasal
6 dan 7 Protokol Kyoto.
3. Instrumen bilateral atau multilateral antara peserta proyek yang bisa
terdiri dari negara Annex I atau non-Annex I, subyek hukum privat
atau publik, yang mengatur implementasi proyek pengurangan emisi,
alokasi resiko dan transfer dana dan kredit karbon.
Dua kategori pertama merupakan perjanjian yang fokus pada pengesahan
proyek oleh negara pihak yang terlibat dan transfer atas apa yang secara
44
45
http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010).
http://unfccc.int/kyoto_protocol/compliance/items/3024.php, (diakses 14-03-2010).
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
51
internasional didefinisikan sebagai kredit karbon, sepanjang rangkaian
tindakan kedaulatan diperlukan. Aktivitas proyek JI sangat tergantung pada
konfirmasi dari negara tuan rumah untuk mengkonversi AAUs menjadi ERUs
setelah proyek tersebut diverifikasi. Dalam kasus CDM, persetujuan sederhana
dari negara tuan rumah sudah cukup untuk memperbolehkan keluarnya kredit.
Kontrak karbon mendefinisikan relasi antara para pihak dalam mengawali
pasar yang diwarnai oleh variasi resiko dan ketidakpastian yang kompleks.
Kontrak perlu mencatat perjanjian antarpihak, mengidentifikasi tanggung
jawab, mengalokasikan resiko, memberi dasar bagi hak dan merumuskan
kewajiban yang jelas dan dapat diterapkan. Untuk mendorong adanya
standar yang diakui, dalam pasar telah dilakukan berbagai upaya untuk
menstandarkan ERPAs dan dokumen karbon terkait lainnya. Meski demikian,
pengalaman menunjukan proyek karbon hadir dalam berbagai bentuk dan
variasi. Konteks regional, tipe proyek, ukuran proyek dan status keuangan
proyek serta kepemilikan proyek menentukan kondisi dari dan format
transaksi CDM/JI selanjutnya. Bank Dunia dan Asosiasi Perdagangan Emisi
Internasional (International Emission Trading Association atau IETA) telah
mengembangkan model ERPAs yang terstandar dan tersedia bagi publik.
Mekanisme Kyoto telah meletakan nilai pasar pada pengurangan emisi
GRK bahkan sebelum Protokol Kyoto diberlakukan. Berawal dari permulaan
yang sederhana dan jumlah yang kecil, saat ini telah terjadi ledakan
jumlah pasar karbon di bawah Protokol Kyoto yang disokong oleh skema
perdagangan emisi nasional maupun regional dimana perdagangan paling
besar saat ini adalah EU Emission Trading Scheme (EU ETS). Pada tahun
2008, Bank Dunia memperkirakan total jumlah pasar karbon 2007 sekitar
US$67 milyar, dimana US$50 milyar dari jumlah tersebut berasal dari EU
ETS. Statistik 2008 memprediksikan bahwa di tengah resesi ekonomi, pasar
karbon justru akan mampu melampaui US$120 milyar (Freestone, 2009:13).
UNEP memperkirakan bahwa 5.2 milyar kredit CDM akan dikeluarkan
dalam periode 2009 hingga 2020.46
Dalam perkembangan pasar yang sangat cepat seperti ini, Mekanisme
Kyoto menyediakan referensi dasar bagi peraturan yang jumlahnya makin
meningkat serta acuan bagi sistem dan standar. Hingga saat ini, CDM
merupakan satu-satunya mekanisme yang menghubungkan pengurangan
emisi yang dilakukan di negara berkembang ke dalam pasar global. Hubungan
antara Protokol Kyoto dengan EU ETS dilakukan melalui pengadopsian
mekanisme “Linking Directive” atau sertifikasi proyek pengurangan
emisi dalam pasar EU langsung berdasarkan Protokol Kyoto, yang telah
meningkatkan ketertarikan partisipasi sektor publik dan privat terhadap
kredit yang diperoleh melalui proyek JI dan CDM.47 Namun dari kedua
46
47
http://www.cdmpipeline.org/overview (diakses 14-03-2010).
Linking in the EU ETS Bulletin, Vol. 115 No. 1 Monday, 19 September 2005.
52
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
mekanisme ini, CDM merupakan mekanisme yang paling banyak diminati
(mayoritas dana perubahan iklim, lebih dari US $ 12 milyar diperoleh melalui
skema ini tahun 2007). Sementara JI telah berkembang agak terlambat,
bukan hanya karena mayoritas negara yang potensial terlibat dalam proyek
JI (Rusia dan Ukraina) lamban mengembangkan kerangka persetujuan JI
tetapi juga karena JI tidak mendapat keuntungan seperti halnya kebijakan
“start cepat” CDM (Freestone, 2009:14).
2.4 Tantangan dalam perundingan internasional
Perubahan iklim dan kebijakan untuk mengurangi dampaknya memiliki
implikasi ekonomi dan lingkungan yang sangat besar. Di sisi lain, data
menunjukan bahwa negara maju bertanggung jawab terhadap 2/3 dari
emisi masa lalu. Namun mereka memiliki segala perlengkapan terbaik
untuk menangkal dampak merusak dari perubahan iklim. Sementara negara
berkembang masih sangat membutuhkan pembangunan ekonomi dan lebih
rentan terhadap dampak perubahan iklim. Perbedaan-perbedaan tersebut
bermuara pada pertarungan yang serius dan cenderung membangun temboktembok argumen yang sulit diterobos. Masing-masing negara mencari afiliasi
yang garis negosiasinya paling dekat dengan kepentingan domestik. Karena
itu, dalam perundingan terbentuk banyak kubu yang sangat menentukan
pola dan isi negosiasi. Beberapa grup strategis yang dijelaskan disini sangat
menentukan proses perundingan.
(i)
Uni Eropa
Uni Eropa adalah grup negara-negara yang terlibat dalam
persemakmuran ekonomi Uni Eropa. Dalam sejarah perundingan
perubahan iklim, Uni Eropa memainkan peran signifikan dalam
mendorong negara-negara Annex I mencapai target pengurangan emisi.
Secara keseluruhan, EU mendukung target pengurangan emisi yang
sifatnya mengikat dan waktu yang jelas. Namun, antarnegara anggota
EU sendiri terjadi perdebatan sengit mengenai pencantuman target.
EU yang diwakili negara-negara anggota yang mapan mengajukan
target cukup ambisius pengurangan emisi 30% pada tahun 2020.
Namun tekanan dari negara-negara anggota EU yang lain, terutama
dari Jerman dan Eropa Timur yang masih intensif menggunakan batu
bara dan bahan bakar fosil lain menguburkan target ambisius tersebut
dan dipangkas menjadi 20%.48
(ii) The JUSSCANZ
Grup ini merupakan kumpulan negara-negara maju non-Eropa
– termasuk Jepang, Amerika, Swis, Kanada, Australia, Selandia Baru
dan Norwegia. Negara-negara non Uni Eropa dalam grup ini cenderung
48
http://www.guardian.co.uk/environment/2009/oct/ (diakses 21-10-2009).
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
53
mendorong pendekatan yang lebih fleksibel dalam mencapai target
pembatasan emisi. Amerika yang memainkan peranan penting dalam
mendraft pasal 4.2 konvensi tentang komitmen negara maju untuk
membatasi emisi dengan telah menyusun rumusan yang kerap disebut
“ambiguisitas kreatif” karena teks tersebut menimbulkan interpretasi
ganda atas komitmen negara maju. Interpretasi pertama yang sering
menjadi argumen Amerika adalah negara maju bisa secara fleksibel
menggunakan pendekatan yang perlu diambil dalam mencapai tujuan
konvensi, tergantung kondisi dan kemampuan negara masing-masing.
Fleksibilitas seringkali diterjemahkan sebagai langkah-langkah yang
paling minimal agar mencegah resiko penurunan pertumbuhan
ekonomi. Posisi inilah yang diambil Amerika termasuk ketika negara
ini menolak Protokol Kyoto. Interpretasi yang kedua dan secara umum
dipakai oleh negara berkembang untuk menuntut negara maju adalah
negara-negara maju wajib membuat upaya yang mendalam dan luas
untuk mengembalikan emisi GRK mereka ke level 1990 pada tahun
2000. Ketika Clinton menguasai gedung putih tahun 1993, posisi
Amerika sedikit mencair dan secara tegas mengumumkan maksud
Amerika untuk mengejar stabilisasi GRK. Sayangnya, setelah digantikan
oleh Bush jr, Amerika kembali menganut posisi konservatif dengan
mendorong upaya agar komitmen dan target pengurangan emisi ditekan
dan bahkan dihindari.
(iii) CEITs (Countries with Economic in Transition).
Negara-negara yang masuk dalam grup CEITs adalah negaranegara Eropa Tengah dan Timur bekas Uni Soviet yang juga merupakan
emitter signifikan atas GRK. Namun seiring dengan kemacetan
ekonomi yang terjadi pasca berakhirnya komunisme, negara-negara
ini tidak banyak menghasilkan GRK sehingga secara tidak langsung
mencapai target mempertahankan emisi di bawah level 1990 pada
tahun 2000. Situasi ini dalam perkembangan selanjutnya menghasilkan
keuntungan ganda bagi negara-negara EITs terutama ketika masuk
dalam skema perdagangan emisi. Mereka adalah negara saldo emisi
sehingga menikmati keuntungan melalui hot air, yakni sebuah situasi
dimana suatu negara masih memiliki jatah emisi yang bisa dipakai
atau diperjualbelikan dengan negara lain dan jatah tersebut diperoleh
bukan karena aktivitas tambahan apapun yang secara sengaja dilakukan
sebagai upaya mencapai stabilisasi GRK.
(iv) The Group 77 dan China
Negara-negara berkembang bergabung dalam G77 dan China
mengembangkan posisi mengenai komitmen pengurangan emisi,
pendanaan dan transfer teknologi. Meski demikian, G77 merupakan
54
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
group yang kepentingan anggotanya paling bervariasi dan seringkali
bertentangan satu sama lain. Misalnya, China dan India kecanduan
menggunakan batu bara dalam industrialisasi mereka yang membuat
kedua negara ini, terutama China bangkit menjadi negara ekonomi
baru yang disegani. China bersama beberapa Negara Asia lainnya
yang laju perekonomiannya meroket, bertahan untuk tidak menjadi
target berikut dari komitmen pengurangan emisi. Negara-negara
Afrika cenderung untuk fokus pada isu kerentanan dan dampak
perubahan iklim. Karena itu, proposal paling sering dari Negaranegara Afrika adalah mendesak komitmen pendanaan negara maju
segera terwujud. Seringkali, beberapa Negara Afrika meninggalkan
koalisi untuk bergabung mendukung satu opsi tertentu dari negara
maju karena terpedaya oleh kucuran dana segar yang dijanjikan negara
maju. Sementara, negara pemilik hutan seperti Indonesia dan Brazil
bergulat dengan deforestasi dan stok karbon yang menjadi salah satu
isu paling hangat di perundingan. Namun, meski berbeda, secara umum
G77 dan China sama dalam posisi mendesak negara maju memenuhi
tanggung jawab historis berdasarkan prinsip common but differentiated
responsibility sekaligus meminta negara maju segera mewujudkan
komitmen pendanaan, dukungan pengembangan kapasitas dan transfer
teknologi ramah lingkungan ke negara berkembang.
(v) The Association of Small Island States atau AOSIS
Kelompok AOSIS merupakan asosiasi negara kepulauan yang
paling banyak terkena dampak perubahan iklim. Sehingga barangkali
merekalah yang sungguh-sungguh memikirkan cara mengatasi
perubahan iklim melalui berbagai desakan dan usulan konkrit
pelaksanaan konvensi. Sebagian negara kepulauan saat ini sudah
terkena dampak kenaikan permukaan air laut sehingga terancam
kehilangan negara dan menjadi pengungsi abadi di negara tetangga
yang lebih besar. Karena itu, posisi negara kepulauan sangat kuat
mendorong pemangkasan secara signifikan emisi domestik negara
maju. Tuvalu, misalnya di Kopenhagen, atas nama AOSIS mendesak
negara maju agar kenaikan jumlah GRK tidak boleh lebih dari 350
ppm sampai 2015 untuk mencegah kenaikan suhu bumi lebih dari
1,5°C. Bagi Tuvalu, kenaikan sebesar itu berarti kehilangan sebagian
besar negara mereka.49
(vi) Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau The Organization of
Petroleum Exporting Countries (OPEC)
Anggota OPEC cenderung mengkonsentrasikan diri pada
pemaparan atas dampak signifikan perundingan perubahan iklim
49
http://www.planet-positive.org/ppblog/?tag=tuvalu (diakses 14-03-2010).
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
55
terhadap negara anggota OPEC jika negara-negara lain mengurangi
penggunaan bahan bakar minyak fosil. Arab Saudi, Kuwait dan beberapa
negara minyak lainnya berkali-kali menekankan ketidakpastian saintifik
sehingga menekankan bahwa langkah maju perundingan konvensi
harus dilakukan hati-hati. Lobi Arab yang kuat, China dan juga
Amerika bahkan mempengaruhi laporan akhir IPCC untuk bagian
yang disebut Summary for Policymakers. Scientific American mencatat
keberatan Arab Saudi dan China berakibat IPCC menghilangkan sebuah
kalimat yang mengatakan bahwa dampak emisi GRK oleh manusia
pada penghangatan bumi belakangan ini adalah lima kali lebih besar
daripada yang disebabkan matahari (Friedman, 2009:166-167). Kalimat
tersebut mengancam keberlanjutan bisnis minyak dan industri negaranegara tersebut. Membiarkan sains mengambang tanpa kesimpulan
yang valid merupakan salah satu target para pelobi agar keputusan
akhir perundingan masih bisa dinegosiasikan secara politik.
(vii) Kalangan Bisnis
Hampir sama dengan kelompok negara anggota OPEC, kalangan
bisnis sangat kuatir dengan dampak negatif perundingan perubahan
iklim terhadap operasi bisnis yang dominan menggunakan bahan
bakar fosil. Beberapa kelompok bisnis mulai mengikuti diskusi lebih
dekat, antara lain sektor asuransi yang mengkategorikan diri mereka
sebagai kelompok rentan yang terkena dampak perubahan iklim
akibat semakin seringnya klaim kerugian yang muncul karena badai
dan beberapa dampak lain perubahan iklim. Sementara kelompok
bisnis yang mempromosikan energi bersih atau dikenal dengan sebut
“energi biru” di Amerika melihat perubahan iklim sebagai peluang
baru dalam bisnis energi. Meski beberapa laporan ilmiah menunjukan
dampak pada lingkungan akibat pengembangan energi baru, banyak
negara, termasuk Indonesia terus mempromosikan energi alternatif,
antara lain proyek kelapa sawit sebagai pilihan menghadapi desakan
tersedianya energi alternatif pengganti bahan bakar fosil.
(viii) Aktivis Lingkungan
Aktivis lingkungan telah terlibat dalam isu perubahan iklim
sejak awal. Beberapa di antaranya sangat aktif dalam lobi delegasi
dan media dan memproduksi newsletter selama perundingan. Namun,
mayoritas aktivis lingkungan berasal dari negara maju. Beberapa
di antara jaringan yang sangat besar dan mempengaruhi proses
perundingan adalah Climate Action Network (CAN), Friends of the
Earth International (FOEI), dan NGO konservasi seperti The Nature
Conservancy, Conservation International dan World Wildlife Fund.
The Climate Action Network (CAN) merupakan jaringan lebih dari
56
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
450 NGOs di seluruh dunia yang bekerja untuk mempromosikan
tindakan pemerintah dan individu untuk membatasi penyebab
perubahan iklim dari tindakan manusia sampai pada level ekologis yang
berkelanjutan. Anggota CAN memberi prioritas terhadap rekomendasi
Komisi Brundtland (1987) mengenai komitmen pada lingkungan
yang sehat maupun pembangunan yang mempertemukan kebutuhan
saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Visi CAN adalah untuk
melindungi atmosfer di samping memberi ruang bagi pembangunan
yang berkelanjutan dan berkeadilan di seluruh dunia.50
FOEI merupakan jaringan isu lingkungan akar rumput terbesar
di dunia yang mencakup grup dari 77 negara dan kurang lebih 5000
aktivis lokal di setiap kontinen. Menurut FOEI, dunia menghadapi
tantangan lingkungan yang berhubungan satu sama lain, yang
mengancam hidup dan kehidupan jutaan orang. Sebab utama
tantangan-tantangan ini adalah berasal dari level konsumsi kita
yang tidak berkelanjutan yang menggunakan energi untuk produksi
dan transportasi dalam jumlah yang sangat besar. Solusi utamanya
adalah hak komunitas untuk memilih sumber energi mereka yang
berkelanjutan dan mengembangkan level konsumsi yang sehat. Ini
juga menjadi kebutuhan untuk pengurangan GRK dan desakan untuk
semua orang agar sama-sama membagi sumber daya dalam batas-batas
ekologis. FOEI bekerja untuk keadilan iklim dan akses energi lewat
proyek dan kampanye berbasis komunitas yang proaktif.51
Sementara grup NGO konservasi cenderung menggunakan jalur
kedekatan mereka dengan pemerintah nasional di masing-masing
negara maupun sejumlah perusahaan pencemar untuk melakukan
kerja sama. Tak jarang posisi mereka dikritik keras karena memoderasi
gerakan lingkungan yang sangat mengkritik bahkan cenderung menolak
lobi dengan perusahaan pencemar. Johann Harry, kolumnis The Nation
mengungkap kedekatan perusahaan pencemar dengan NGOs konservasi
sedemikian rupa sehingga posisi NGOs tersebut seperti tangan kanan
yang efektif dari para pencemar untuk mengkampanyekan kesuksesan
perusahaan-perusahaan pencemar tersebut dalam menjaga lingkungan,
meskipun dalam kenyataannya, kampanye tersebut lebih sebagai upaya
menyembunyikan tindakan pencemaran yang sudah rutin dilakukan
(Harry, 2010).
Jaringan NGOs yang banyak melibatkan masyarakat sipil dari
negara-negara selatan relatif baru muncul namun mulai menunjukan
pengaruh dalam proses perundingan. Beberapa di antaranya adalah
50
51
http://www.climatenetwork.org/about-can/index_html (diakses 27-04-2009).
http://www.foei.org/en/what-we-do/climate-and-energy, (diakses 27-04-2009).
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
57
TWN (Third World Network) yang bicara mengenai jaringan kelompok
dunia ketiga untuk sama-sama menuntut aksi yang serius dan
signifikan dari negara maju terhadap pengurangan emisi. Kelompok
lain adalah Jubilee South yang antara lain mengusung keadilan iklim
dan menolak utang sebagai jalan keluar pendanaan perubahan iklim
di negara berkembang.
(ix) Pemerintah Lokal
Banyak kota, negara bagian atau provinsi di seluruh dunia
telah meluncurkan program perubahan iklim, bahkan lebih ambisius
dari apa yang dikembangkan oleh pemerintah nasional. Pemerintah
kota memainkan peranan krusial karena kewenangan mereka dalam
mengatu pemanfaatan energi, transportasi publik, dan aktivitas sektor
publik lainnya yang memproduksi emisi. Walikota maupun para
pemimpin pemerintahan kota lainnya telah bergabung dalam asosiasi
untuk mempresentasikan pandangan mereka dalam pertemuan yang
terkait konvensi perubahan iklim.
Salah satu perkembangan pada level pemerintahan lokal adalah
Governors’ Climate and Forests Task Force (GCF) yang diinisiasi oleh
Gubernur California, Arnold Schwarzenegger. Selain California, GFC
kemudian menarik minat beberapa negara bagian dan provinsi di negara
lain, yakni Brazil (Acre, Amapá, Amazonas dan Pará), Indonesia (Aceh,
Kalimantan Timur, Papua dan Kalimantan Barat), Meksiko (Campeche),
Nigeria (Cross River State), Amerika (Wisconsin dan Illinois). Para
gubernur mengklaim bahwa 50% hutan tropis dunia berada di wilayah
provinsi. Karena itu, para gubernur dalam GCF merumuskan berbagai
rekomendasi kebijakan terhadap REDD. Pada November 2008, dalam
pertemuan pertama GFC berjudul Governors’ Global Climate Summit
di Los Angeles ditandatangani sebuah Memoranda of Understanding
(MOUs) yang bertujuan untuk membagikan pengalaman dan praktik
terbaik, pengembangan kapasitas dan pengembangan rekomendasi
untuk para pengambil kebijakan dan perumus peraturan mengenai
cara-cara untuk mengintegrasikan REDD dan aktivitas lain yang
berhubungan dengan karbon hutan dalam upaya memenuhi target
pengurangan GRK.52
2.5 Isu yang terus diperdebatkan
Sejak konvensi dibentuk dan ditandatangani oleh berbagai negara,
debat atas sejumlah konsep maupun rancangan keputusan politik mewarnai
proses-proses perundingan, terutama dalam COP. Garis besar perdebatan
tersebut seperti sudah disinggung dalam bagian sebelumnya mencakup dua
52
Lihat informasi lebih lanjut mengenai GCF dalam http://gcftaskforce.org/about.html.
58
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
hal yakni: pertama, komitmen pengurangan emisi yang mengikat secara
hukum dan tegas dalam penentuan waktu. Kedua, bantuan dan dukungan
terhadap negara berkembang dan kelompok-kelompok rentan.
(a) Komitmen pengurangan emisi
Perdebatan komitmen pengurangan emisi berkaitan dengan dua hal.
Pertama, siapa yang akan melakukan pengurangan emisi dan bagaimana
menentukan beban. Kedua, melalui cara apa dan bagaimana menentukan
waktu.
Dalam kaitannya dengan siapa yang akan melakukan pengurangan emisi,
dua kutub yang masih bertentangan hingga kini adalah negara berkembang
dan negara maju. Argumen historis, ekonomi, politik hingga hukum dipakai
secara bersamaan untuk memperkuat posisi masing. Namun, secara garis
besar titik perdebatan kedua kutub adalah mengenai penerapan prinsip
common but differentiated responsibility.
Menurut negara berkembang, common but differentiated responsibility
berarti bahwa semua negara memiliki tanggung jawab namun berdasarkan
emisi historis, negara maju mempunyai tanggung jawab besar untuk
melakukan pengurangan emisi. Dalam hal ini, terdapat pembagian beban
pengurangan emisi yang menurut negara berkembang merupakan dasar
moral dan hukum untuk menagih komitmen negara maju dalam memangkas
emisi domestik mereka.
Banyak kelompok pendukung argumen negara berkembang melihat
tanggung jawab historis negara maju merupakan pengembangan prinsip
keadilan dalam hubungan internasional. Anup Shah, dari kelompok Climate
Justice, antara lain menjabarkan isu keadilan dalam tiga implikasi yang
berkaitan dengan prinsip common but differentiated responsibility (Shah
2009):
• Negara-negara maju atau industri telah mengeluarkan emisi jauh lebih
banyak daripada negara berkembang yang memampukan mereka untuk
mencapai jalan industri dengan cara yang murah. Sementara negara
berkembang baru saja memulai perjalanan industri mereka;
• Negara-negara maju menghadapi tanggung jawab dan beban yang jauh
lebih besar untuk mengambil langkah-langkah menghadapi perubahan
iklim; dan
• Negara-negara maju harus mendukung negara-negara berkembang
beradaptasi untuk mencegah polusi pembangunan melalui cara mudah
dan murah, antara lain ditempuh lewat pendanaan dan transfer
teknologi.
Anup Shah menegaskan bahwa fakta historis memang menunjukan
kontribusi signifikan negara maju dalam meningkatkan polusi GRK global.
Fakta tersebut ditampilkan oleh Martin Khor dari Third World Network
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
59
terutama berkaitan dengan konsumsi karbon negara maju yang sangat
royal dan boros, dibanding negara berkembang. Lihat bagan 2.1:
Bagan 2.1. Perbandingan emisi karbon
negara maju dan negara berkembang
Emisi karbon masa lalu antara annex I dan
non-annex I (1800-2008)
Asumsi: Dunia hanya
memiliki 600 gigaton
emisi karbon untuk
budget dari 18002050
rest of the world
91
27%
annex l countries
240
73%
Pada 2008, dunia
telah mengkonsumsi
331 gigaton.
Sebagian besar oleh
Annex I
Sumber: (Shah, 2009)
Selain itu, fakta lain menunjukan bahwa emisi per kapita negara
berkembang masih jauh lebih sedikit dibandingkan negara maju (tabel
2.3.). Emisi negara berkembang umumnya merupakan emisi untuk bertahan
hidup (survival emissions), bukan emisi kemewahan seperti yang diproduksi
negara maju (luxury emissions).53
Tabel 2.3. Contoh gap emisi per kapita negara berkembang
Negara Berkembang
Senegal
Honduras
Bangladesh
Negara Maju
Amerika
Inggris
Irlandia
Pendapatan per orang
(US $)
1,792
3,430
2,053
Pendapatan per orang
(US $)
41,890
33,328
38,505
Emisi tahunan per
orang
0.4 ton
1.1 ton
0.3 ton
Emisi tahunan per
orang
20.6 ton
9.8 ton
10.5 ton
Sumber: Human Development Report UNDP 2007/2008
53
www.chinaview.cn, (diakses 05-12-2009).
60
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Tanggung jawab historis negara maju tidak bisa disangkal. Karena itu,
laporan-laporan IPCC telah membuat skenario pengurangan emisi agar
mencapai tujuan konvensi, terutama ditujukan kepada negara maju. IPCC
antara lain menggarisbawahi pengurangan signifikan emisi negara maju
pada tahun 2020 antara 25-40% (tabel 2.4.).
Tabel 2.4. Skenario pengurangan emisi IPCC
IPCC Box 13.7: The range of the difference between emissions in 1990 and emission
allowances in 2020/2050 for various GHG concentration levels for Annex I and
non‐Annex I countries
Kategori Skenario
Regio
A‐450 ppm
Annex I
CO2‐eq
Non‐Annex I
B‐550 ppm CO2‐eq
Annex I
Non‐Annex I
C‐650 ppm
CO2‐eq
Annex I
Non‐Annex I
2020
2050
‐25% to ‐40%
‐80% to ‐95%
Substantial deviation Substantial deviation
from baseline in
from baseline in all
Latin America,
regions
Middle East, East
Asia and entrally‐
Planned Asia
‐10% to ‐30%
Deviation from
baseline in Latin
America and Middle
East, East Asia
0% to ‐25%
Baseline
‐40% to ‐90%
Deviation from
baseline in most
regions, especially in
Latin America and
Middle East
‐30% to ‐80%
Deviation from
baseline in Latin
America and Middle
East, East Asia
Perkembangan negosiasi perubahan iklim hingga Protokol Kyoto
memang menunjukan bahwa prinsip common but differentiated responsibility
diterjemahkan sebagai tanggung jawab negara maju untuk melakukan
pengurangan emisi. Karena itu, Protokol Kyoto tidak menambahkan
kewajiban baru yang ditujukan kepada negara berkembang tapi mengikuti
pemahaman yang berkembang sebelum dan selama konvensi perubahan
iklim diformulasikan, yakni negara maju harus berada di depan dalam
mengatasi isu perubahan iklim.
Namun, perundingan selanjutnya menampilkan situasi yang berbeda.
Dalam perdebatan yang berkembang, negosiasi perundingan tidak
menghadirkan prinsip common but differentiated responsibility sebagai
berbagi beban yang adil berbasis tanggung jawab historis tapi menimbulkan
tafsir jamak yang saling bertarung, sarat kepentingan ekonomi-politik.
Amerika misalnya mendorong interpretasi prinsip tersebut dengan
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
61
menekankan common responsibility atau tanggung jawab bersama sebagai
prioritas sebelum menentukan siapa yang bertanggung jawab. Seketaris
negara di bawah Presiden Bush, jr, Timothy Wirth mengungkapkan sebagai
berikut:
Let me be clear — developing countries must participate in this treaty. The
rationale for developing countries to act is clear: while at present they are
responsible for less than half of global emissions, over the next decades, their
percentage of the total will grow, despite the fact that their per capita emissions
will continue to remain far below our own.We must address this trend of rising
emissions if we are to truly make a dent the long-term problem (Mumma, Hodas,
2008:627).
Posisi Amerika didukung oleh beberapa pakar hukum, antara lain Albert
Mumma dan David Hodas, masing-masing dari Fakultas Hukum Nairobi,
Kenya dan Fakultas Hukum Widener University, Amerika. Menurut kedua
ahli hukum tersebut Protokol Kyoto telah menghilangkan makna dari prinsip
common but differentiated responsibility dengan hanya memberi beban bagi
negara maju. Argument mereka adalah sebagai berikut:
Kyoto Protocol “common but differentiated responsibilities” lost its original
meaning that all nations have a duty to protect common resources, but the
nature and extent of each nation’s obligations will be equitably allocated, duty
being the common denominator. Instead, the concept has come to be understood
as excluding developing nations from climate change obligations. The adjectives
remain—common and differentiated, but the noun—responsibility—they modify
has been removed from the term. There is no necessary reason why common
but differentiated responsibility should mean no responsibility. Thus, Kyoto is
flawed for the reasons described above and because it is a false articulation of
common but differentiated responsibilities (Mumma, Hodas, 2008:631).
Nampak jelas argumen Albert Mumma dan David Hodas menuntut
pertanggungjawaban negara berkembang terhadap perubahan iklim.
Common responsibility yang didukung dua pakar hukum ini mempunyai arti
bahwa semua negara memiliki beban yang sama dalam menangani perubahan
iklim. Tidak ada lagi “dosa” pelepasan emisi di masa lalu karena perubahan
iklim semata-mata berhubungan dengan masa depan bersama.
Konsep tanggung jawab bersama sebetulnya bukan sesuatu yang baru.
Sebelum laporan Bruntland 1987 yang berjudul “Our Common Future”,
konsep common responsibility kerap dipakai dalam prinsip kewajiban
para pihak terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), terutama
hak sipil politik 1966 yang mendorong tanggung jawab mutlak negara
untuk menghargai dan memastikan hak-hak tersebut diakui, tanpa perduli
kondisi-kondisi tertentu atau tidak ada pengecualian (South Asia Human
Rights Documentation Center, 2006:18). Pada prinsipnya tekanan terhadap
tanggung jawab negara yang cenderung bersifat memaksa muncul karena
sejarah pelanggaran HAM masa lalu. Negara pada masa lalu seringkali
62
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
menjadi aktor utama pelanggaran HAM baik secara sengaja maupun tidak
sengaja. Karena itu, instrumen HAM internasional mendesak agar negara
mengambil peranan untuk memastikan HAM terwujud.
Belajar dari sejarah pergulatan HAM, argumen Albert Mumma dan
David Hodas telah melewatkan pertimbangan historis-politik yang menjadi
alasan mengapa negara maju memiliki beban lebih besar daripada negara
berkembang. Secara historis, merekalah biang perubahan iklim dan peletak
batu pertama model pembangunan modern yang eskploitatif. Di sisi
lain, negara maju sebagai sumber emisi terbesar bukannya tidak mampu
mengurangi emisi domestik, tapi tidak ingin melakukan tindakan tersebut
karena akan mengubah cara hidup mereka yang berpengaruh pada perubahan
standar hidup. Amerika, misalnya, jika melakukan investasi efisiensi energi
dan energi bersih, pada tahun 2020 diperkirakan akan memotong emisi
CO2 dari industri perlistrikan hampir mencapai 50% di bawah level 1990
dan menabung $350/tahun dari rata-rata kebutuhan energi rumah tangga.
Satu studi yang lain memperkirakan pengembangan 20% - 30% dalam
perekonomian Amerika akan meningkatkan GDP (Gross Domestic Product)
kira-kira 0,1% pada tahun 2030 dan menghasilkan perolehan total antara
0,5 – 1,5 juta pekerjaan.54
Isu yang utama dengan demikian adalah keadilan. Sebagaimana
diuraikan oleh Virak Prum dari Universitas Nagoya, perubahan iklim yang
dipicu sebagian besar oleh GRK dari negara maju telah mengakibatkan
penderitaan bagi banyak negara berkembang yang tidak siap dari
aspek apapun (teknologi, keuangan dan sumber daya lainnya) untuk
menghadapinya (Prum, 2007:223-4). Sangat tidak adil jika negara-negara
yang baru berkembang kemudian menderita akibat perubahan iklim dan
segera dipaksa memikul tanggung jawab mengatasi perubahan iklim yang
secara historis bukan merupakan akibat perbuatan negara tersebut.
Namun, akibat isu keadilan yang mewarnai perdebatan common but
differentiated responsibility, Amerika yang diikuti Australia menyatakan diri
keluar dari Protokol Kyoto.55 Amerika di bawah Presiden Bush, menyatakan
Protokol Kyoto tidak sesuai dengan kepentingan ekonomi Amerika dan tidak
lagi menjadi hasil perundingan yang berbasis sains tetapi dikemudikan oleh
kepentingan politik negara berkembang.56
Menurut delegasi Amerika, emisi masa lalu merupakan cerita lama
dan Amerika menerima prinsip common but differentiated responsibility
dalam konvensi bukan karena Amerika menerima tanggung jawab historis
pengurangan emisi tapi semata-mata karena Amerika memiliki tingkat
54
55
56
Lihat eco Newsletter, Issue No 3, Volume CXVI, Poznan 3 December 2008.
Dalam perkembangannya, Australia menyatakan menandatangani Protokol Kyoto setelah ada pergantian
Rejim dari Howard kepada Kevin Rudd. Penandatanganan Protokol Kyoto oleh Australia ini dilakukan di
awal-awal perundingan COP 13 Bali tahun 2007.
Telegraph,12:00AM BST 29 Maret 2001.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
63
kemakmuran yang lebih baik (Prum, 2007:231). Dalam hal ini, tanggung
jawab berbeda menurut Amerika disebabkan karena kemakmuran yang
berbeda. Australia, di bawah John Howard, sekutu terdekat Bush melihat
Protokol Kyoto sebagai ancaman. Di depan parlemen, Howard menyatakan
“It is not in Australia’s interests to ratify. The protocol would cost us jobs
and damage our industry”.57
Meski tanpa Amerika, Protokol Kyoto telah meletakan dasar komitmen
pengurangan emisi yang berlaku mengikat untuk negara maju. Pasca
komitmen pertama Protokol Kyoto (2008 – 2012), komitmen pengurangan
emisi harus diteruskan sebagai wujud pelaksanaan konvensi. Dalam
perundingan komitmen jangka panjang AWG LCA maupun AWG KP target
pengurangan emisi terus mengalami perdebatan. Usulan yang tercantum
dalam AWG KP adalah pemotongan emisi antara 30-45 % di bawah level
1990 untuk periode komitmen 2013 – 2018 atau 2013 – 2020. Namun semua
usulan tersebut masih dalam tanda kurung (bracket) yang artinya belum
ada kesepakatan apapun.
Sementara untuk tindakan jangka panjang, AWG LCA mencantumkan
dua usulan. Pertama, pemotongan agregat emisi global di bawah level tahun
1990 antara 50%, 85% atau 95% pada tahun 2050. Tiga usulan persentase
ini masih diperdebatkan, belum ada kesepakatan. Kedua, pemotongan emisi
negara maju antara 75–85 % atau paling tidak 80-95% atau lebih dari 95% di
bawah level 1990 pada tahun 2050. Ketiga usulan persentase ini pun masih
dalam perdebatan sehingga masih dicantumkan dalam tanda kurung.
Hingga COP 15 Kopenhagen, belum jelas benar apa proposal konkrit
negara maju dalam merespons pemotongan emisi domestik. EU yang selama
ini dikenal membawa kepemimpinan yang baik dalam perundingan awalnya
mengusulkan angka 80-95% pada 2050 dan 20 sampai 30% pada 2020 jika
negara-negara maju lainnya menyepakati tindakan yang sama. Namun,
komitmen terakhir EU hanya berani menyebut angka 20% untuk tahun
2020. Amerika bahkan lebih rendah karena mencantumkan penurunan 17%
dengan baseline 2005. Artinya, hanya naik 4% dari baseline 1990. China dan
India sebagai negara berkembang justru menaruh komitmen pengurangan
emisi lebih besar, masing-masing 40-45% dan 20-25%.
Kecenderungan lain memperlihatkan bahwa di samping mencantumkan
angka pengurangan emisi, negara-negara maju juga mendorong offset untuk
meraih target yang dimaksud. Offset adalah strategi pemotongan emisi yang
dibolehkan regim Protokol Kyoto yang memberikan peluang upaya negara
maju untuk mengejar target pengurangan emisi domestik melalui proyek
yang berbiaya ekonomi murah di negara berkembang.
Dalam paket “Climate dan Energi”, hingga 2020 EU membolehkan
offset lebih dari setengah tanggung jawab pengurangan emisi dalam negeri.
57
http://www.timeshighereducation.co.uk/story.asp?storyCode=169527&sectioncode=26, (diakses 12-01-2009).
64
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Sektor di luar EU ETS seperti transportasi permukaan dapat memperoleh
73% pengurangan karbon pada periode 2013-2020 melalui pembelian CERs.
Kurang lebih usaha pengurangan 781 juta ton CO2 dari 1.07 milyar ton CO2
di luar EU ETS yang menjadi tanggung jawab EU dapat diperoleh melalui
pembelian CERs. Sementara sektor dalam EUTS dapat melakukan 50%
usahanya pada 2008-2020 melalui CERs yang mewakili 1,6 milyar ton CO2.
Artinya, jika kredit CERs tersedia, semuanya akan digunakan EU karena
kredit CERs jauh lebih murah dari kredit yang tersedia lewat jalur pasar
perdagangan emisi EU (Bullock, Childs, Picken, 2009:8, 11). Upaya ini
memperlihatkan bahwa negara maju telah mempergunakan mekanisme
Kyoto secara tidak proporsional. Menurut Protokol Kyoto, penggunaan
mekanisme Kyoto hanya merupakan pelengkap dan bukan pengganti
upaya penurunan emisi domestik. Pada saat yang sama, negara yang tidak
meratifikasi Protokol Kyoto, seperti Amerika, juga mendorong skema offset.
Dari komitmen 17% pengurangan emisi, Amerika menaruh 10% offset.
Di sisi lain, penggunaan mekanisme Kyoto juga telah dimanipulasi
sedemikian rupa bukan sebagai upaya menyumbang penurunan emisi
domestik tetapi dipakai sebagai peluang baru untuk mendatangkan
keuntungan. Perusahaan-perusanaan Inggris yang mencatat rekor sebagai
pembeli terbesar proyek CDM memiliki 1,223 proyek. Dalam banyak kasus,
mereka tidak benar-benar mengalokasikan CERs sebagai upaya mengurangi
emisi domestik, tetapi sebagai broker yang menjual kembali CERs ke
emitter (pelaku pelepasan emisi) di negara lain (Bullock, Childs, Picken,
2009:10).
(b) Dukungan terhadap Negara Berkembang dan Kelompok Rentan
Hingga Kopenhagen, komitmen pendanaan untuk adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim di negara berkembang, terutama negara-negara kepulauan
kecil yang sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut seperti
Tuvalu, Maladewa, Kiribati, Mauritius, Marshal Island belum mengalami
pergerakan berarti. Pembentukan dana adaptasi yang baru disepakati di COP
14 Poznan hingga kini belum terwujud. Bahkan dalam COP tersebut, Jepang
menolak untuk memberikan kompensasi dan bantuan kepada negara-negara
berkembang dengan menyatakan “kami bukan mesin ATM”. Negara-negara
kepulauan pun makin sekarat karena dalam kenyataan kenaikan permukaan
air laut yang lebih cepat dari yang diprediksikan.
Dalam setiap perundingan dan hingga kini, negara maju justru
menggunakan alasan pertumbuhan ekonomi dan keadilan sebagai argumen
bahwa mereka tidak bisa dipaksa untuk memangkas emisi mereka secara
drastis dan membantu negara-negara rentan. Ada dua alasan utama
negara maju. Pertama, pemangkasan akan beresiko pada ambruknya nadi
perekonomian karena bisa dipastikan akan ada rasionalisasi industri dan
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
65
pengetatan cara hidup. Pernyataan Presiden Bush yang mundur dari Kyoto
menjadi wakil dari argumen ini, “tidak seorang pun boleh mengatur cara
hidup warga Amerika, seperti halnya warga Amerika tidak pernah mengatur
cara hidup anda”. Kedua, jika masalahnya adalah pengurangan emisi maka
semua warga dunia harus terlibat dengan caranya sendiri untuk mengurangi
jumlah emisi mereka atau common responsibility. Jadi, pengurangan emisi
merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya beban dan tanggung
jawab negara-negara tertentu. Berkali-kali Amerika menekankan common
responsibility, bahkan Obama pun menegaskan posisi tersebut.
2.6 Reducing Emissions from Deforestation and Forest (REDD)
REDD merupakan satu diantara beberapa skema yang hangat
diperdebatkan dalam perundingan perubahan iklim. Skema ini awalnya
dirancang oleh Papua Nugini dan Kosta Rika yang tidak mendapat
keuntungan apapun dari skema perubahan iklim di bawah rejim Protokol
Kyoto. Dua skema Kyoto, emission trading (ET) dan joint implementation
(JI) hanya berlaku untuk dan di antara negara Annex I. Satu skema lagi,
clean development mechanism (CDM), melibatkan negara berkembang tapi
dibatasi tidak lebih dari 1% pengurangan atas total emisi negara maju yang
bisa dikerjakan melalui proyek CDM di negara berkembang. Jumlah yang
sangat kecil ini tidak lepas dari prinsip pengurangan emisi domestik sebagai
tujuan utama Protokol Kyoto. Artinya, mekanisme ET, JI maupun CDM hanya
pelengkap (additional) atas tujuan utama Kyoto yakni mendesak negara
Annex I agar mengurangi emisi domestik-nya (Murdiyarso, 2007:48-59).
(a) Sejarah Singkat
Perdebatan REDD atau REDD+ berawal dari perdebatan mengenai
kerangka implementasi konvensi perubahan iklim, terutama Protokol Kyoto.
Pasal 2 ayat 1 a (ii) Protokol Kyoto menyebutkan:
Protection and enhancement of sinks and reservoirs of greenhouse gases not
controlled by the Montreal Protocol, taking into account its commitments under
relevant international environmental agreements; promotion of sustainable forest
management practices, afforestation and reforestation.
(Melindungi dan memperluas penyerapan dan penampungan Gas-gas Rumah
Kaca yang tidak diatur oleh Protokol Montreal, dengan mengingat komitmennya
menurut kesepakatan-kesepakatan lingkungan tingkat internasional;
mendukung praktik-praktik pengelolaan kehutanan yang berkelanjutan,
penghijauan kembali dan penanaman hutan).
Apa yang tercantum dalam protokol kyoto diatur lebih lanjut dalam
aturan pelaksana protokol Kyoto yang dibahas di COP 7 di Marrakesh,
Maroko, 2001. Aturan pelaksana tersebut selanjutnya disebut Marrakesh
Accords. Salah satu keputusan Marrakesh Accords adalah mengenai
66
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
penggunaan lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan, termasuk
definisi, modalitas (cara) dan panduannya atau disebut LULUCF (Marrakesh
Accord 11/CP.7, Lampiran 1 A).
Berkaitan dengan definisi hutan dan panduan terhadap mekanisme CDM
yang memasukan isu kehutanan aforestasi dan reforestasi, Marrakesh Accords
memutuskan beberapa panduan dasar, antara lain sebagai berikut:
Definisi Hutan:
1. Areanya minimal 0,05-1 hektar
2. Tutupan tajuk lebih dari 10-30 persen
3. Ketinggian tajuk 2-5 meter
4. Hutan tertutup dengan variasi jenis
5. Semak belukar yang menutupi rapat tanah atau hutan terbuka
6. Tegakan pohon alam dan perkebunan yang belum mencapai tingkat
kepadatan jenis atau keragaman jenis 10-30 persen atau ketinggian
pohon 2-5 meter akan diperhitungkan sebagai hutan jika wilayah-wilayah
itu biasanya membentuk kawasan hutan yang untuk sementara tidak
berhutan karena intervensi manusia seperti dipanen atau akibat sebabsebab alamiah tapi diharapkan kembali menjadi hutan
Selanjutnya, ada tiga istilah lain yang sudah tertuang dalam Protokol
Kyoto yakni aforestasi, sustainable forest management dan reforestasi.
Ketiganya didefinisikan sebagai berikut:
Aforestasi:
1. Konversi akibat tindakan langsung manusia
2. Tidak berhutan selama paling tidak 50 tahun
3. Dihutankan kembali lewat penanaman, penyemaian maupun promosi
langsung pengembangbiakan sumber-sumber benih alamiah
Reforestasi:
1. Konversi akibat tindakan langsung manusia dari tidak berhutan menjadi
berhutan
2. Metodenya lewat penanaman, penyemaian maupun promosi langung
pengembangbiakan sumber-sumber benih alamiah di daerah yang
dulunya berhutan tapi telah dikonversikan menjadi daerah yang tidak
berhutan
3. Untuk komitmen pertama (2008 – 2012) tindakan reforestasi dibatasi
pada reforestasi yang akan dilakukan pada wilayah-wilayah yang tidak
berhutan pada 31 Desember 1989.
Sustainable Forest Management:
Praktek yang sistemik untuk menjaga dan menggunakan tanah
berhutan yang bertujuan memenuhi fungsi sosial, ekonomi dan ekologi
hutan yang relevan (termasuk keanekaragaman hayati) melalui cara yang
berkelanjutan
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
67
Keempat konsep ini setidaknya menggarisbawahi beberapa hal yang
menimbulkan perdebatan serius dalam perundingan perubahan iklim,
termasuk ketika perdebatan REDD mulai mengadopsi konsep-konsep
tersebut. Namun, bagaimana pun juga, definisi hutan, konsep aforestasi
dan reforestasi telah menjadi landasan hukum yang membuat banyak pihak
melirik konsep-konsep ini dalam perdebatan REDD.
(b) Deforestasi dan degradasi hutan
Dalam perundingan perubahan iklim selanjutnya, embrio isu kehutanan
yang sudah berkembang dalam skema Kyoto mengalami perkembangan
signifikan. Papua Nugini sebelum COP 11 di Montreal tahun 2005 melihat
perlunya upaya serius mengatasi emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan. Inisiatif PNG didorong secara kuat oleh Kevin Condrad, duta besar
dan utusan khusus PNG untuk lingkungan dan perubahan iklim. Condrad
menjalani studinya di Columbia Business School dengan fokus pada
proyek penelitian mengenai apakah uang dari kredit karbon setara dengan
pendapatan dari logging. Logging yang tidak terkontrol memang menjadi
masalah nasional di PNG. Karena itu, Condrad melihat isu perubahan iklim
sebagai peluang politik untuk menegosiasikan nilai ekonomi hutan dalam
pasar karbon dan menekan laju deforestasi.
Agar mendapat resonansi politik yang signifikan, Professor Geoffrey Heal
supervisor proyek penelitian Condrad dalam proyek tersebut mendukung
Condrad untuk membujuk Perdana Mentri PNG, Michael Somare, agar
mendorong terbentuknya koalisi yang menyuarakan kredit karbon hutan
dalam perundingan perubahan iklim. Pada Januari 2005, Somare menyerukan
pembentukan Coalition for Rainforest Nations pada forum pemimpin dunia
yang diselenggarakan di Universitas Columbia. Bulan Mei, dalam acara
Global Roundtable on Climate Change di Universitas Columbia, Somare
kembali mengusulkan hal serupa dengan menyebut rekan-rekannya dari
negara-negara hutan hujan seperti Peru, Kongo, Kosta Rika, Republik
Dominika, Mozambik, Tanzania and Zambia untuk membentuk koalisi
tersebut. Koalisi negara-negara hutan hujan kemudian terbentuk kemudian
mengusung ambisi untuk memasukan offset sertifikat emisi yang terkait
dengan deforestasi dalam pasar emisi karbon global (Lang, 2009:221-222).
PNG kemudian menggandeng Kosta Rika yang juga sedang dililit utang
untuk mencari sumber alternatif pemulihan ekonomi. Dalam proposal
kedua negara yang dibahas pada COP Montreal tersebut, PNG dan Kosta
Rika mengajukan dua opsi kerangka hukum ke depan. Pertama, membuat
protokol tambahan yang khusus mengatur emisi dari deforestasi dan
degradasi. Kedua, mengembangkan lebih lanjut substansi yang sudah
tercantum dalam Protokol Kyoto dan Marrakesh Accords dengan salah satu
tambahan penting yakni proyek kredit karbon harus dibuat secara spesifik
68
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
untuk isu deforestasi dan degradasi. Dalam bahasa yang lain, negara yang
ingin dan mampu mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
seharusnya diberikan kompensasi secara finansial melalui mekanisme pasar
karena sudah melakukan upaya itu dengan menahan diri tidak melakukan
konversi hutan untuk pertumbuhan ekonomi.
Selain Papua Nugini dan Kosta Rika, proposal ini didukung oleh enam
negara pihak yan lain, yakni: Bolivia, Republik Afrika Tengah, Chili, Kongo,
Republik Dominika dan Nikaragua. Negara-negara ini menjadi koalisi yang
disebut dengan “Koalisi Negara Hutan Hujan” (Coalition of Rainforest
Nations) dan menunjuk Universitas Kolumbia sebagai sekretariat. Banyak
negara pihak menyepakati pentingnya isu yang disampaikan PNG dan Kosta
Rika, sehingga COP membentuk kontak grup, semacam panitia khusus,
untuk merancang kesimpulan yang menjadi bahan tindak lanjut dalam
menjawab isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. Selanjutnya,
secara teknis dan metodologis isu ini dibahas di bagian SBSTA (PNG, Kosta
Rika, 2005). Untuk mendukung proses ini dari aspek ilmiah, maka IPCC
mengkonsolidasikan berbagai penelitian di bidang ini. Hasil temuan IPCC
pada tahun 2007, antara lain memperlihatkan kontribusi deforestasi dan
degradasi hutan terhadap emisi dunia sebesar 17,3 % dari total emisi yang
dilepaskan (Solomon, S. dkk., 2007:2).
Dalam perkembangan selanjutnya, isu pengurangan emisi dari deforestasi
dan degradasi mendapat kerangka hukum awal dalam COP 13 di Bali,
2007. Keputusan Bali, disebut dengan Bali Action Plan (BAP), antara lain
memberikan dasar hukum pengembangan skema dan pilot project REDD
saat ini. Dalam paragraf 1 b (iii) BAP disebutkan bahwa:
Tindakan mitigasi internasional/nasional mencakup deforestasi dan degradasi
tapi juga menyangkut konservasi, sustainable management of forest, perluasan
stok karbon di negara-negara berkembang
Dengan demikian dari pasal ini, cakupan REDD adalah deforestasi,
degradasi, perluasan stok karbon, konservasi dan SMF. Konsep ini persis
mengikuti logika LULUCF yang disepakati dalam Marrakesh Accord, sehingga
kerap disebut REDD plus LULUCF.
Bali Action Plan dalam pasal lain juga mengemukakan tiga hal dalam
kaitannya dengan REDD yakni:
1. Pengembangan proyek-proyek percontohan atau pilot project REDD
2. Pengembangan kapasitas dan transfer teknologi ke negara berkembang
3. Panduan untuk proyek-proyek REDD lewat metodologi yang kokoh dan
dapat dipercaya
Tiga aspek ini menjadi landasan uji coba proyek REDD di berbagai
lokasi, termasuk di Indonesia. Sebagai uji coba, belum ada skema yang
pasti, sehingga berbagai skema ditawarkan oleh pemrakarsa atau pengusaha
karbon dengan standar dan metodologi sendiri.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
69
(c) REDD plus
Pada COP 14 di Poznan, REDD yang ditetapkan dalam BAP paragraph 1
b (iii) dipertegas tidak hanya deforestasi dan degradasi tetapi juga mencakup
konservasi, SFM/SMF, aforestasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari
skema CDM. Perkembangan ini kerap disebut REDD plus. Sama seperti
perdebatan REDD, dalam REDD plus isu yang tetap dipergunjingkan adalah
cakupan. Namun beberapa isu lain yang mencuat adalah cara perhitungan
dengan pendekatan net dan gross, konsep sustainable forest management
dan persoalan tropical hot air.
(i) Cakupan
Cakupan REDD menjadi kompleks dan rumit, tidak hanya deforestasi
dan degradasi tapi juga mencakup beberapa komponen LULUCF dan
konservasi. Penambahan konservasi diusulkan oleh negara-negara
Afrika, terutama dari Congo Basin (Kongo, Kamerun, Tanzania, Ghana,
dst.) yang tingkat deforestasinya rendah. Argumen utama mereka, jika
skema REDD akan membayar negara-negara yang tingkat deforestasinya
tinggi sebagai kompensasi agar level deforestasi tersebut menurun maka
negara-negara Congo Basin tidak akan mendapat keuntungan apa pun.
Benefit akan diperoleh olen negara-negara dengan tingkat deforestasi
tinggi seperti Brazil dan Indonesia.
Untuk mencegah deforestasi dan memberikan keuntungan bagi
negara-negara dengan level deforestasi yang rendah maka perhitungan
stok karbon hutan dimasukan ke dalam REDD. Disana jumlah stok
karbon negara-negara Congo Basin yang melimpah akan mendapat
benefit. Selain itu, kelompok negara maju seperti Amerika, Australia
dan Uni Eropa mendorong masuknya LULUCF dalam skema REDD.
Masuknya konservasi dan LULUCF dalam usulan baru untuk
skema REDD membuat kompleksitas metodologi semakin pelik. Dalam
formulasi yang sederhana, definisi REDD dan contoh konsekuensi
hukumnya antara lain tergambar dalam tabel 2.5.
Tabel 2.5. Skenario cakupan REDD plus
70
REDD plus
Konsekuensi pada
hak
Segala
bentuk
pembukaan lahan
pertanian dan konversi
kawasan hutan
Hak untuk membuka
kebun dalam skala kecil
pun diperhitungkan
sebagai deforestasi.
Membuka
dilarang
Pembukaan lahan
pertanian & kawasan
hutan dibagi dalam
kategori (skala besar,
sedang dan kecil)
Hak membuka kebun
skala kecil ditoleransi
untuk tujuan yang jelas.
Misalnya, kepentingan
subsisten
Berkebun diperbolehkan
untuk luas tertentu
Konsekuensi hukum
kebun
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
(ii) Tropical Hot Air
Cakupan REDD yang akan memasukan aforestasi dan reforestasi
menimbulkan sejumlah kritik, antara lain menyangkut definisi hutan
versi Protokol Kyoto akan diadopsi. Artinya, perkebunan dan HTI
(Hutan Tanaman Industri) bisa dikategorikan sebagai hutan. Logikanya
sederhana, perkebunan dan HTI merupakan bentuk reforestasi atau
penanaman kembali sehingga bisa dikategorikan sebagai upaya
memperluas karbon stok sebagaimana disebutkan dalam Bali Action
Plan dan ditegaskan dalam keputusan COP 14 mengenai REDD plus.
Jumlah karbon inilah yang akan diperdagangkan. Dengan demikian,
hanya dengan menjalankan business as usual (BAU) berdasarkan dasar
konsesi yang jelas tanpa melakukan upaya ekstra yang berkaitan dengan
skema perubahan iklim, kelompok-kelompok pemegang izin atau
konsesi perkebunan dan HTI justru mendapat keuntungan. Mereka bisa
mendapat keuntungan ganda dari pekerjaannya sehari-hari.
Hal yang sama potensial terjadi di kawasan konservasi. Dengan
mengacu pada stok karbon kawasan konservasi yang masih utuh dan
terpelihara secara natural para pencari sertifikat offset berbondongbondong menargetkan kawasan tersebut sebagai tempat transaksi karbon
paling menguntungkan. Hanya dengan sedikit upaya agar konservasi
karbon tetap dikategorikan sebagai tindakan additionality sebagaimana
dituntut oleh MRV yang didesak dalam UNFCCC, para pelaku pasar
dapat dengan mudah mendapatkan sertifikat offset lewat jual beli
karbon kawasan konservasi yang melimpah ruah.
Situasi ini mirip dengan perdagangan hot air yang membuat negaranegara seperti Rusia dan Ukraina mendapat rejeki nomplok hanya
karena laju pertumbuhan ekonomi mereka sebelum 1990 mandek,
jauh di bawah asumsi pelepasan emisi yang dirancang dalam skema
Kyoto. Menurut asumsi ini, laju pertumbuhan ekonomi yang rendah
akan diikuti oleh pelepasan GRK yang rendah. Sehingga, pertumbuhan
ekonomi yang lamban membuat jatah emisi Rusia dan Ukraina tahun
1990 tidak tercapai atau kurang dari yang dijatahkan. Karena itu, saldo
jatah mereka diobral ke pasar internasional dan melalui mekanisme
Emission Trading (ET) dibeli berbondong-bondong oleh negara-negara
maju agar jatah pengurangan emisi dalam negeri negara-negara maju
tersebut dapat tercapai. Tanpa berusaha apa pun, Rusia mendapat durian
runtuh. Demikian halnya dengan pelaku logging dan perkebunan. Tanpa
suatu usaha ekstra mereka mendapat benefit yang dipanen justru dari
tindakan yang merusak hutan alam. Situasi ini layak disebut perdagangan
hot air kawasan hutan tropis.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
71
(iii) Net-Net dan Gross-Net
Kehadiran LULUCF dalam perdebatan REDD mengundang rentetan
perdebatan metodologis yang mengacu pada metodologi LULUCF. Salah
satu masalah kalkulasi karbon adalah bagaimana melakukan perhitungan
sebagai rujukan dalam baseline, apakah stok karbon atau deforestasi
atau campuran keduanya. Sekelompok negara yang dikomandani Brazil
berpendirian bahwa apa yang dihitung dalam REDD adalah deforestasi.
Karena itu, berbasis pada level deforestasi tertentu, sebuah negara
merancang baseline yang diikuti langkah-langkah tertentu agar pada
suatu waktu rata-rata deforestasi tersebut menurun, bahkan berhenti
di titik nol. Menurut mereka, deforestasi itulah yang bermasalah,
sehingga harus dikurangi. Metodologi yang digunakan adalah GrossNet. Brazil sendiri memiliki masalah dengan level deforestasi yang
tinggi. Sehingga, secara politik upayanya yang getol untuk mengatasi
deforestasi merupakan artikulasi dari masalah dalam negeri. Namun,
pendekatan ini dinilai hanya menguntungkan pelaku deforestasi karena
membedakan secara tegas antara emisi total dan total penyerapan (kotak
2.3.). Bagaimana pun juga upaya positif untuk membuat stok karbon
tetap stabil harus diapresiasi, terutama karena upaya tersebut dilakukan
oleh berbagai komunitas yang hidup di dalam dan sekitar kawasan
hutan. Tetapi, kerumitan obyek perhitungan sangat kompleks, tidak
saja karena persoalan teknis tapi juga berurusan dengan politik.
Kotak 2.3. Net dan Gross
Dalam aturan LULUCF di bawah Kyoto, dirancang dua alternatif metodologi
perhitungan emisi yakni net-net dan gross-net. Sistem yang akan digunakan
untuk menghitung tergantung pada apakah negara Annex I yang bersangkutan
merupakan emitter semata atau murni sebagai penyerap karbon di sektor
tata guna lahan dan kehutanan dengan mengacu pada level 1990. Para Pihak
yang tata guna lahan dan kehutanannya semata-mata merupakan sumber GRK
menurut level 1990 harus menghitung dengan merujuk perhitungan net-net
untuk deforestasi. Sementara pihak yang tata guna lahan dan kehutanan
mereka merupakan penyerap menurut level 1990 harus menggunakan metode
perhitungan Gross- Net (Global Witness, The Wilderness Society, Rainforest
Action Network, Wetlands International, 2009).
Perhitungan Net-net
Perhitungan net-net merupakan sebuah ukuran yang dipakai dalam dinamika
karbon (pergeseran dan pergerakan) yang kasat mata (emisi minus penyerapan)
yang diperoleh sebagai hasil dinamika karbon dalam periode komitmen tapi
tanpa memasukan dinamika karbon dalam tahun yang menjadi awal rujukan.
Misalnya baseline mengacu pada tahun 1990.* Tetapi dengan perhitungan
net-net, hanya dilihat total karbon yang kasat mata saat ini, bukan lagi pada
tahun 1990.
* Kyoto Protocol Article 3.7.
72
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Perhitungan Gross-net
Perhitungan gross-net merupakan ukuran yang dipakai untuk mengukur total
atau gross dinamika karbon dalam periode komitmen (tidak membandingbandingkan dinamika karbon yang ada saat ini dengan tahun rujukan awal untuk
baseline, tapi melihat agregat karbon sejak tahun rujukan awal hingga kini).
Sebagian besar negara Annex I mendorong metode perhitungan
net-net karena perkebunan dan tegakan pohon baru bisa dikalkulasikan
sebagai upaya penyerapan karbon yang mengimbangi emisi yang
dikeluarkan. Kontribusi pencapaian target pengurangan emisi
dihitung tersendiri dalam perhitungan stabilitas stok karbon atau
dikenal dengan permanence, yakni kemampuan menjaga stok karbon
agar tetap bertahan dalam periode komitmen. Sementara deforestasi
dikategorikan terpisah sebagai pelepas emisi yang tidak akan dibayar.
Pembayaran hanya dilakukan jika pihak yang bersangkutan mampu
menjaga stok karbonnya. Namun, pendekatan net-net tidak merujuk
ke level deforestasi dan tingkat pelepasan emisi di masa lalu. Hal ini
merupakan manifestasi dari lobi politik kelompok negara-negara maju
yang telah mengeksploitasi hutan mereka untuk pembangunan pada era
booming industri. Jika tahun-tahun penuh eksploitasi tersebut dihitung
maka rata-rata emisi negara-negara Annex I boleh jadi meningkat.
Untuk mencegah beban tanggung jawab yang lebih berat maka mereka
mendorong agar perhitungan net-net dipertimbangkan dalam metode
LULUCF dan juga diusulkan untuk menjadi metodologi perhitungan
karbon dalam skema REDD.
(iv) Sustainable Forest Management/SFM
Banyak kelompok gerakan sosial yang mempertanyakan konsep
Sustainable Forest Management yang tiba-tiba muncul dalam teks
AWG LCA. Rumusan ini berbeda dengan konsep Bali Action Plan yakni
Sustainable Management of Forest atau SMF. Salah satu pertanyaan
penting adalah apakah SFM menguntungkan masyarakat lokal pemilik
hutan atau hanya perusahaan pemilik konsesi. Dalam kebijakan
maupun rekomendasi kebijakan sejumlah lembaga yang berkecimpung
di bidang kehutanan, SFM rupanya lebih banyak digunakan sebagai
konsep pengelolaan hutan lestari dalam industri kehutanan. Artinya,
prinsip dasar konsep ini bukan hutan yang lestari tetapi logging yang
lestari. Di Indonesia, konsep ini dikenal dengan nama sistem tebang
habis dengan permudaan buatan (THPB), sistem tebang habis dengan
permudaan alami (THPA), sistem tebang pilih tanam Indonesia (TPTI),
sistem tebang pilih tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sementara SMF
dipahami secara lebih luas, tidak hanya dalam konteks industri tapi
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
73
juga pengelolaan lestari yang dilakukan komunitas lokal maupun adat.
Sebagaimana ditemukan dalam penelitian Ashwini Chhatre dan Arun
Agrawal, dengan menggunakan data asli dari 80 hutan yang dikuasai
bersama oleh masyarakat di 10 negara yang tersebar di Asia, Afrika
dan Amerika Latin, bahwa penguasaan hutan yang lebih luas dan
otonomi dalam pengambilan keputusan yang lebih besar pada level
lokal berkaitan erat dengan penyimpanan karbon yang cukup tinggi
dan keuntungan bagi penghidupan masyarakat setempat. Lebih lanjut,
kedua peneliti berargumen bahwa komunitas lokal membatasi konsumsi
mereka terhadap produk hutan ketika mereka memililiki penguasaan
hutan bersama, sehingga meningkatkan cadangan karbon (Chhatre,
Agrawal, 2009)
Fakta sebaliknya ditunjukan oleh SFM. Berbagai laporan juga
menunjukan kegagalan SFM. Global Witness, misalnya, mengeluarkan
laporan bahwa hanya sedikit dari konsep ini yang sukses. Kegagalannya
rata-rata di atas 90% (Global Witness, 2009).
Kotak 2.4. Praktek SFM
SFM didukung oleh berbagai donor untuk mengatasi degradasi dan deforestasi
hutan tropis.
1. 1990: ITTO merancang program “Objective 2000” yang mendorong agar
hutan tropis dikelolah secara berkelanjutan pada 2000. Pada 2005, hanya
7% hutan produksi tropis yang dikelolah secara berkelanjutan. ITTO gagal
93% dari targetnya;
2. 1997: World Bank dan WWF meluncurkan program bersama dengan
tujuan membuat 200 juta hektar produksi hutan kayu dikelolah di bawah
sertifikat pengelolaan berkelanjutan yang independen pada tahun 2005.
Mereka mencapai target hanya 31,8 juta hektar (16% dari target) hanya
sepertiga dari jumlah itu yang merupakan hutan tropis (9,54 juta hektar).
Namun, dengan berani keduanya mengusulkan pembaruan program
dengan target baru 300 juta hektar pada tahun 2010.
3. 2004: ASEAN menggarisbawahi perhatian bersama untuk mempromosikan
sumber daya hutan dan eksosistem kritis berbasis sustainable managemen
of forest lewat pemberantasan praktik-praktik yang tidak berkelanjutan
di bawah payung Vientiane Action Plan. Lima tahun kemudian (2009),
FAO memperkirakan bahwa rata-rata deforestasi di negara-negara ASEAN
nampaknya terus berlanjut dari periode 2000-2005 yakni 3,7 juta hektar
per tahun
Sumber: Global Witness, September 2009:5
(d) Faktor-faktor yang dibahas dalam skema REDD
Menengok ke belakang sebelum COP 13 di Bali, proposal REDD sematamata mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh PNG dan Kosta Rika.
Skema keuangannya adalah pasar dan public fund. Skema pasar menyerahkan
upaya mendapatkan uang untuk membiayai REDD dari transaksi pasar.
74
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Sementara public fund menganjurkan agar skema REDD dibiayai dari danadana publik. Dari segi tanggung jawab, proposal ini mendorong tanggung
jawab negara Annex I, baik melalui mekanisme pasar maupun public fund
untuk mengembangkan proyek-proyek itu di negara berkembang. Jadi
pada intinya proposal ini masih mendorong tanggung jawab negara maju
untuk membiayai proyek REDD sebagai bagian dari kewajiban pengurangan
emisi global maupun domestik. Namun demikian, status skema REDD
masih merupakan rancangan yang tersebar dalam berbagai versi di banyak
organisasi maupun negara.
Rancangan skema REDD yang diusulkan negara-negara pemrakarsa
versi sebelum Bali juga dipicu oleh refleksi keuntungan dari skema CDM
Kehutanan di bawah komitmen Protokol Kyoto. Berbagai negara tropis
sebetulnya cemburu melihat proyek CDM Kehutanan di China yang luar
biasa menguntungkan negeri itu. Uang karbon hutan berlomba-lomba ke
China melalui proyek penanaman (reforestasi) sebagai metode utama CDM
Kehutanan. Beberapa kalkulasi menyebutkan, keuntungan per hektar dari
proyek karbon 3 kali lipat dari pendapatan pertanian biasa. Beberapa di
antara pengusaha lokal yang bergelimang keuntungan menjadi legiun duta
besar kredit karbon negeri tirai bambu tersebut.58 Karena itu, negara-negara
yang memiliki hutan alam juga mendorong agar tidak hanya China, negeri
tanpa hutan alam, yang dimabuk badai uang karbon tapi juga para pemilik
hutan tropis.
Dalam berbagai perdebatan, tiga faktor kunci yang kerap dibahas dalam
rancangan skema REDD yakni baseline, skala, cakupan dan mekanisme
finansial.59
(i) Baseline atau rona awal
Berbagai proposal skema REDD umumnya dimulai dari perhitungan
jumlah emisi yang disebabkan oleh level deforestasi tertentu dalam
periode waktu tertentu dalam wilayah tertentu. Tahapan ini disebut
penentuan baseline. Baseline terdiri dari dua aspek kunci, yakni periode
waktu dan skala.
Pertama, periode waktu, yakni sebuah periode kapan deforestasi
diukur. Jika baseline merujuk jauh ke masa lampau bahkan sebelum
revolusi industri maka disebut historical baseline. Misalnya diukur laju
deforestasi dan emisi yang dikeluarkan dari deforestasi tersebut pada
periode 1780 – 1970. Baseline historis menentukan level deforestasi
dan total emisi (karbon, dll) yang menjadi ukuran untuk menentukan
proksi tindakan ke depan.
58
59
The Straits Times, Saturday, June 13, 2009.
Uraian mengenai baseline, skala, cakupan dan mekanisme finansial REDD, lihat di Charlie Parker, Andrew
Mitchell, Mandar Trivendi, dan Niki Mardas, 2009. Lihat juga uraian mengenai isu, opsi-opsi dan implikasi
REDD, baik sosial, ekonomi maupun ekologis dalam Arild Angelsen ed 2008: 11-86.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
75
Dari pengukuran atas unit-unit massa karbon tersebut, disebut carbon
pool, ditemukan kesimpulan bahwa tingkat rata-rata deforestasi yang
meningkat juga diikuti dengan meningkatnya agregat emisi. Karena itu,
untuk menurunkan agregat emisi maka dalam periode tertentu, misalnya
2000 – 2030, dibuatlah proyek REDD agar laju peningkatan emisi
dikurangi. Untuk mengurangi laju tersebut maka aktivitas deforestasi
sebagai sumber emisi harus dihentikan. Aktivitas-aktivitas tersebut
adalah proses produksi dalam berbagai skala luasan. Skala besar, antara
lain penebangan kayu untuk kebutuhan pasar. Sebagian keuntungannya
menjadi pendapatan negara maupun pengusaha. Sementara skala kecil
misalnya pembukaan ladang dan kebutuhan kayu bakar dari masyarakat
adat atau masyarakat lokal di dalam maupun pinggir kawasan hutan.
Dalam hal ini, tindakan REDD untuk menghentikan aktivitas-aktivitas
tersebut akan berdampak langsung pada terputusnya akses para pelaku
maupun negara yang bersangkutan terhadap sumber penghasilan mereka.
Untuk itu, para pelaku tersebut harus diberi kompensasi agar kerugian
mereka ditanggulangi dan aktivitas mereka berhenti.
Bagan 2.2. Skema REDD (1)
Rata-rata
deforestasi
Baseline Proyek
Kredit
Periode 1990 - 2009
Tindakan
REDD
2030
Skema (1) di atas memperlihatkan bahwa baseline diambil dari
rata-rata deforestasi pada periode 1990 – 2009. Melalui proyek REDD,
maka rata-rata deforestasi sejak 2009 menurun tajam hingga menjadi
nol atau zero deforestasi pada 2030. Dalam hal ini, selain pentingnya
akurasi perhitungan level deforestasi dan jumlah emisi, asumsi lain dalam
penentuan baseline adalah target pengurangan atau zero deforestasi
benar-benar merupakan hasil dari tindakan REDD. Ada pengandaian
disana bahwa tanpa campur tangan REDD, level deforestasi akan stabil
business as usual atau cenderung meningkat dan agregat emisi karbon
akan bertambah. Karena itu, selama proyek berlangsung, tidak boleh
ada aktivitas yang mengganggu statistik penurunan level deforestasi dan
76
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
pengurangan emisi. Gangguan tersebut misalnya penebangan pohon
dan konversi hutan.
Baseline historis dalam dirinya sendiri berhadapan dengan sejumlah
tantangan. Tantangan pertama adalah menyangkut model atau pola
pembangunan masa lalu. Jika baseline ini mengejar perhitungan dari
sumber emisi, carbon source, dari kawasan hutan maka waktu yang
dipilih adalah periode kapan dimulainya bentuk-bentuk pembangunan
yang eksploitatif dan sarat emisi GRK. Misalnya, di Indonesia periode
ketika booming industri kayu dimulai, kira-kira 1970-an. Seandainya
dalam periode baseline yang dipilih, ada perubahan gaya pembangunan,
seperti intervensi pendekatan sustainable development, maka perubahan
itu akan mempengaruhi agregat emisi dan menentukan proksi tindakan
ke depan, berapa jumlah emisi yang harus dikurangi.
Tantangan berikut adalah menyangkut data. Artinya, seberapa jauh
data, seberapa dalam kualitasnya dan seberapa kuat validitasnya yang
tersedia untuk menghitung secara obyektif agregat emisi dari deforestasi
dalam periode baseline historis yang ditentukan. Tantangan terhadap data
menjadi persoalan pelik terutama bagi kelompok negara berkembang
yang database kehutanannya sangat amburadul yang merupakan
akumulasi dari pertemuan berbagai kompleksitas masalah, seperti konflik
antarsektor yang mengatur sumber daya alam, kapasitas birokrat yang
terbatas, minimnya teknologi, dan seterusnya. Tantangan ini dalam
perundingan perubahan iklim disuarakan negara berkembang ke meja
negosiasi, terutama pemilik hutan tropis agar penyiapan infrastruktur
yang memadai untuk menuju data yang valid, reliable dan komprehensif
dapat dibantu oleh sumber daya dari negara maju.
Tantangan lain adalah kapasitas dari tiga level aktor, yakni: (1)
birokrat, (2) lembaga pengawas dan kelompok masyarakat sipil, (3)
masyarakat di wilayah proyek. Menghadapi pengetahuan para pemrakarsa
proyek atau pialang karbon yang sangat maju, baik dalam isu global
perubahan iklim maupun dalam isu teknis seperti perhitungan karbon,
verifikasi, dan isu metodologis lainnya, tiga level aktor di atas harus
berpacu dengan waktu agar dalam lobi dan negosiasi bisa mengimbangi
pengetahuan dan keluasan informasi yang dimiliki pemrakarsa. Tanpa
perimbangan informasi maka perundingan atau perjanjian para pihak
sudah memberi kemenangan lebih awal bagi pemrakarsa.
Secara normatif, dalam konteks perlindungan hak masyarakat adat
di dalam dan sekitar kawasan hutan, sumber informasi dan pengetahuan
yang memadai harus disediakan oleh pemrakarsa pembangunan
melalui mekanisme free anda prior informed consent (FPIC). Prinsip
informasi yang terbuka, dikemas dalam bahasa yang mudah dan bisa
dipahami masyarakat merupakan salah satu kekuatan dalam FPIC.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
77
Dia bisa menjadi mekanisme sekaligus prinsip yang menjadi pengawal
(safeguard) bagi masyarakat dalam merespons skema REDD. Prinsip
ini juga bisa dikerjakan dalam skema AMDAL (Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan) yang sudah lazim dalam hukum Indonesia.
Namun pengalaman penerapan hukum AMDAL yang seringkali menjadi
ladang negosiasi penuh nuansa korupsi antara pengusul proyek dengan
birokrat tertentu merupakan signal jelek yang harus dikoreksi. Dalam
hal ini, mendorong pengawasan yang lebih tegas dan konsisten juga
membutuhkan kerangka hukum yang lebih pasti, tegas, komprehensif
dan jelas akibat hukumnya.
Selanjutnya, baseline historis juga memperlihatkan ketegangan
antara neraca keuntungan ekonomi dan kepentingan menurunkan laju
deforestasi. Dalam pemikiran yang agak konspiratif yang memang kerap
terjadi dalam sejarah pembagian keuntungan hasil hutan di Indonesia,
skema deforestasi bisa dipermainkan dengan licin oleh pemrakarsa
dengan memberi rate deforestasi yang tinggi di masa lalu agar harga
atas upaya pemulihannya dibayar dengan mahal.60 Disini, keuntungan
yang melimpah menjadi target.
Sementara, upaya menekan laju deforestasi dikembalikan pada
perspektif normatif, diserahkan kembali pada mandat pemerintah yang
paradoksnya hanya mendapat remah dari jatah keuntungan. Kasus
terakhir, Lapindo misalnya, memperlihatkan pemerintah yang demikian
toleran terhadap pelecehan dan pengabaian hak asasi manusia yang
sangat jelas oleh perbuatan langsung maupun tidak langsung Lapindo.
Toleransi seperti ini, selain merupakan bawaan relasi kuasa yang timpang
antara pemilik modal dengan rakyat jelata, juga diselimuti oleh kerangka
normatif yang suram, sehingga mudah diterjemahkan sebagai kerangka
yang menguntungkan para pelanggar dari jeratan hukum. Seandainya
senjata hukum perlindungan hak masyarakat cukup memadai, koreksi
atas akses kekuasaan dan relasi kuasa yang timpang antara pemilik modal
atau pemrakarsa proyek dengan rakyat barangkali bisa diimbangi.
Baseline historis juga menantang skema pendanaan. Manakalah
penurunan laju deforestasi dan pengurangan emisi GRK dari deforestasi
menjadi basis perhitungan untuk mendapatkan manfaat, sekelompok
negara-negara di sekitar wilayah Congo Basin sulit mendapat manfaat
dari sana. Sejak lama wilayah tersebut memiliki laju deforestasi yang
sangat rendah. Karena itu, supaya mendapat manfaat dari skema ini,
60
Di masa keemasan industri kayu Indonesia, pengusaha-pengusaha kayu dilindungi aparat untuk
mengeksploitasi hutan sebesar-besarnya tanpa terjerat masalah hukum. Dalam kerja sama tersebut,
militer dan politikus-birokrat, biasa disebut sebagai silent partner, menerima ekuiti 20-25 % tanpa ikut
dalam kegiatan manajemen di lapangan, namun bertanggung jawab atas keamanan dari dan memberi
perlindungan politik bagi keberadaan HPH tersebut. Maka itu, tidak begitu mengejutkan bahwa antara
tahun 1967-1980 terdapat 519 konsesi HPH untuk kawasan seluas 53 juta ha, diberikan tanpa melalui
prosedur lelang (Kartodiharjo, Jhamtani 2006:26).
78
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
negara-negara Congo Basin mengembangkan suatu proposal proyeksi
deforestasi di masa depan. Dalam rancangan skema itu, mereka akan
menebang sebagian hutannya agar sampai pada taraf deforestasi tertentu.
Jumlah proyeksi deforestasi tersebut akan menjadi modal bagi mereka
untuk mendapat bayaran dari negara maju. Ini adalah jungkir balik
baseline, semacam senam aritmetika, dengan mengutak-atik angka agar
perhitungan deforestasi tidak hanya berbasis ukuran masa lalu maupun
sekarang tapi juga proyeksi di masa depan.
Bagan 2.3. Skema REDD (2)
Baseline Proyek
Kredit
Rata-rata
deforestasi
Tindakan
REDD
Periode 1990 - 2009
2030
Pada skema ini, laju deforestasi yang rendah pada periode 1990-2009
dirancang agar mengalami peningkatan hingga level tertentu pada 2030.
Jumlah yang diprediksikan tersebut akan diperhitungkan sebagai agregat
laju deforestasi yang harus diatasi. Untuk itu, negara yang bersangkutan
perlu dibayar agar tingkat laju deforestasinya berkurang. Peta perdebatan
ini menjadi salah satu alasan lahirnya periode baseline yang bersifat ke
depan atau projected baseline. Meski memiliki kontradiksi etis yang
membingungkan, sebagian negara berkembang juga setuju dengan
skema ini, tetapi dengan argumentasi yang lain. Indonesia adalah salah
satu di antaranya. Ada dua alasan. Pertama, projected baseline tidak
akan mengalami masalah dalam pengumpulan data karena sejak dini
sudah dipersiapkan. Kedua, ada harapan bahwa transfer teknologi dan
dukungan pendanaan akan mengalami kemajuan lewat mandat yang
sedikit memaksa dalam skema pasca 2012. Sehingga, hambatan teknologi
dan pendanaan akan segera bisa diatasi.
Namun, secara politis dua argumentasi tersebut masih merupakan
harapan yang sulit diprediksi karena siapa pun tidak bisa menjadi peramal
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
79
akan kemana bandul harapan tersebut berhenti. Namun jika berkaca pada
pengalaman perundingan sebelumnya dalam putaran UNFCCC, negara
maju selalu pandai memainkan strategi dalam mendorong skema baru
yang membuat mereka luput dari kewajiban yang bersifat memaksa.
Jika pengalaman tersebut menjadi rujukan untuk memprediksi hasil
perundingan untuk skema pasca 2012, kemungkinan besar strategi jitu
negara maju akan kembali memenangkan pertarungan.
Gambaran kompleks atas aspek yang mempengaruhi baseline dapat
dilihat dalam bagan berikut.
Bagan 2.4. Aspek yang mempengaruhi baseline
!
Kedua, skala yakni komponen yang berkaitan dengan luasan wilayah
dimana deforestasi diukur. Dalam perdebatan yang sedang terjadi,
skala umumnya mencakup tiga level, yakni sub-nasional, nasional dan
global. Jika skala-nya adalah nasional maka perhitungan baseline akan
mencakup seluruh kawasan hutan alam yang tersisa dari suatu negara.
Perhitungannya akan lebih rumit karena pola dan karakter masingmasing wilayah berbeda, baik perbedaan hutan secara fisik maupun
konstelasi sosial politik yang bergulat di sekitar hutan. Misalnya,
perhitungan baseline di daerah kaya hujan dengan daerah kering akan
berbeda karena elemen ekosistem pendukung hutan yang juga berbeda
atau jenis pembentuk carbon pool -nya berbeda. Daya dukung ekosistem
80
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
akan memberi garansi bagi keberlanjutan hutan serta menentukan
level (kuantitas dan kualitas) tindakan REDD yang diperlukan. Dalam
konteks sosial-politik, pemaknaan hutan oleh penduduk sekitar hutan
juga berpengaruh terhadap tindakan REDD, apakah hutan dimaknai
semata-mata sebagai aspek ekonomi, ekologi atau juga wilayah kultural,
sebagaimana kerap didefinisikan oleh kelompok masyarakat adat. Di
sisi lain, jika cakupannya luas, misalnya skala nasional, tindakan REDD
akan menjadi tindakan nasional. Dalam hal ini, ketangguhan metodologi
(eligibility) menjadi isu kunci.
Selain itu, aspek governance kehutanan menjadi isu kunci lain yang
memungkinkan apakah skala tertentu bisa efektif atau justru menjadi
bumerang bagi masa depan lingkungan dan secara politik merugikan
posisi negara dalam percaturan komitmen mitigasi perubahan iklim.
Misalnya, sejauh mana masing-masing sektor mendukung tindakan
REDD, meskipun tugas pokok dan fungsi mereka justru membolehkan
pembukaan kawasan hutan. Contoh, bidang pertambangan dan
perkebunan secara yuridis mendapat mandat undang-undang untuk
membuka dan memperluas areal pertambangan maupun perkebunan.
Jika tetap mengikuti undang-undang yang ada maka proyek REDD
dalam skala nasional akan mengalami kebocoran. Inilah yang disebut
leakage atau kebocoran yang menjadi perhatian serius dalam putaran
perundingan iklim. Lebih serius lagi, kebocoran merupakan sesuatu
yang normal dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi suatu
negara atau suatu keluarga dalam skala yang lebih mikro.
Masalah yang mirip juga akan terjadi jika skalanya sub-nasional.
Dalam logika hukum ekonomi biasa, konservasi suatu area untuk
proyek REDD akan mengurangi salah satu sumber daya. Pengurangan
akan dibalas dengan memacu eksploitasi kawasan hutan di wilayah
lain yang bukan merupakan wilayah REDD. Disini, laju emisi di luar
wilayah REDD dikawatirkan justru melesat naik karena pembukaan
kawasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dalam level implementasi, baik skala nasional maupun subnasional
akan berdampak langsung terhadap hak tenure maupun akses komunitas
yang tinggal di kawasan tersebut.61 De facto maupun de jure, penguasaan
komunitas beralih ke tangan pemrakarsa proyek karena baik penguasaan
maupun hak yang melekat di dalamnya akan dibatasi, bahkan dihapuskan
jika semua jenis konversi lahan/hutan diperhitungkan sebagai deforestasi.
Menebang pohon untuk membangun rumah, pembukaan bekas ladang
untuk pertanian akan dipangkas agar tujuan pengurangan deforestasi
dan emisi dapat terwujud.
61
Bahkan dalam kondisi di mana belum ada kepastian skema REDD tersebut, kekuatan hak tenure masyarakat
terus melemah. Situasi ini dapat disimak di Bab 6 buku ini.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
81
(ii) Scope atau Cakupan
Aspek cakupan dalam perdebatan REDD sebelum REDD plus hanya
meliputi deforestasi dan degradasi hutan. Karena itu, skema yang
dirancang dalam baseline adalah mendorong agar deforestasi semakin
berkurang bahkan pada suatu titik waktu deforestasi akan berhenti total
atau nol. Pertanyaan metodologis yang berkonsekuensi langsung pada
pertumbuhan ekonomi negara berkembang adalah apa yang dimaksud
dengan deforestasi. Ada dua kemungkinan definisi yakni deforestasi
terbatas akan ditoleransi. Sementara definisi lain sama sekali tidak
memberi ruang bagi segala jenis deforestasi, bahkan dalam skala yang
sangat kecil sekalipun. Tabel berikut ini (tabel 2.6.) memperlihatkan
dua definisi deforestasi terhadap hak.
Tabel 2.6. Skenario definisi deforestasi
Deforestasi
Semua jenis konversi
hutan, baik skala besar,
sedang maupun kecil
diperhitungkan sebagai
deforestasi
Konsekuensi
pada Hak
Konsekuensi Hukum
Hak untuk menebang
Menebang pohon
pohon dalam skala kecil dilarang
pun diperhitungkan
sebagai deforestasi
Deforestasi dibagi
Deforestasi skala kecil
Menebang pohon
dalam kategori (skala
ditoleransi untuk tujuan diperbolehkan untuk
besar, sedang dan kecil) yang jelas. Misalnya,
luas tertentu
kepentingan subsistem
Degradasi berkaitan dengan mutu ekosistem atau seberapa tinggi
kualitas hutan. Namun degradasi masih dalam perdebatan sengit,
terutama karena kesulitan serius menentukan keadaan degradasi
dan juga emisi yang keluar dari keadaan tersebut. Karena itu, dalam
berbagai proposal negara, degradasi jarang disebut. Baik degradasi
maupun deforestasi berhubungan dengan waktu dan ruang yang
dibicarakan dalam pembahasan kebijakan. Artinya, dalam ruang politik
dan kebijakan harus ada kepastian mengenai waktu penurunan laju
deforestasi dan konsistensi upaya melakukan penurunan tersebut atau
disebut dengan permanence. Jika penurunan deforestasi hanya untuk 30
tahun dan setelah itu laju deforestasi justru meningkat, artinya kebijakan
penurunan deforestasi tidak menjamin permanence. Dalam kaitannya
dengan ruang, perdebatan yang rumit berkaitan dengan kebocoran atau
leakage, sebagaimana sudah diuraikan di atas.
82
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
(iii) Mekanisme finansial
Skema pembiayaan seringkali menjadi kunci perdebatan perundingan
perubahan iklim. Disini, logika pembiayaan berawal dari asumsi
ekonomi bahwa negara pihak pemilik hutan atau negara berkembang
akan rugi jika diminta menghentikan laju deforestasinya. Deforestasi
menurut mereka, justru terjadi untuk mendukung laju pertumbuhan
ekonomi karena konversi hutan dilakukan untuk meraih pertumbuhan
ekonomi baik oleh perusahaan, masyarakat maupun lembaga negara
secara langsung. Untuk menggantikan manfaat deforestasi tersebut,
pelaku deforestasi perlu dibayar atau diberi kompensasi agar target
pertumbuhan ekonominya tetap terpenuhi dan laju deforestasi ditekan
hingga titik nol.
Dalam usulan di atas meja, ada dua skema pembiayaan. Skema
pertama adalah pembiayaan berasal dari public fund, dana publik yang
dikumpulkan dari berbagai negara melalui proses tertentu oleh suatu
institusi dalam UNFCCC. Selanjutnya, dana tersebut dialokasikan kepada
negara-negara pemilik hutan melalui syarat-syarat tertentu. Relasi
pendanaan ini adalah G to G (Government to Government). Skema
ini diusulkan Brazil dan sebagian besar didukung oleh negara-negara
Amerika Latin. Menurut mereka, skema fund akan menolong masyarakat
miskin yang tidak punya pengetahuan tentang permainan pasar. Fund
akan diatur oleh pemerintah dan dialokasikan kepada komunitas yang
benar-benar merupakan pemilik hutan serta mengacu pada list prioritas
kepentingan dalam negeri.
Skema kedua adalah melalui pasar. Skema ini dimotori oleh
world bank dan sebagian besar negara-negara maju. Mereka skeptis
penggalangan dana publik akan mampu memenuhi target jumlah
dana yang diperlukan agar skema REDD bisa efektif. Selain itu, hantu
governance negara berkembang yang buruk kerap menjadi alasan untuk
memindahkan peran negara ke swasta. Dari segi akumulasi dana,
menurut mereka pasar memiliki peluang tak terbatas untuk memenuhi
kebutuhan pendanaan. Selain itu, skema ini menurut negara maju, juga
akan menguntungkan lebih banyak pihak, terutama swasta. Mengikuti
sifatnya yang cair dan tergantung para pihak, relasi pendanaan ini adalah
P to P (Private to Private).
Jawaban negara maju yang dominan adalah REDD akan dibiayai
tapi juga diperhitungkan sebagai offset, meskipun secara hukum offset
dibatasi dalam konvensi. Offset adalah upaya negara maju mencari cara
termurah dengan mengobral proyek karbon dan proyek perubahan
iklim lainnya di negara lain, terutama negara berkembang dan hasilnya
berupa koleksi sertifikat akan diperhitungkan sebagai bagian dari target
pengurangan emisi domestik serta keberlanjutan polusi industri dalam
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
83
negeri. Argumen pembenaran mereka bersembunyi di balik prinsip
konvensi dan Kyoto yakni murah secara ekonomi dan tidak akan
mengancam putaran roda ekonomi secara nasional.
Soal lain yang juga krusial adalah subyek penerima benefit. Secara
normatif, penerima benefit adalah para pihak yang berunding atau negara
sebagai subyek hukum. Namun de facto, penjaga hutan abadi adalah
komunitas adat/lokal yang sejak lama hidup dan bergantung pada hutan.
Banyak kelompok indigenous peoples, seperti AMAN dari Indonesia,
UN Permanent Forum on Indigenous Peoples, Aliansi Indigenous
Peoples dari Amazon menekankan bahwa kehadiran mereka menjadi
kunci keberhasilan proyek REDD. Karena itu, sejumlah perkembangan
perdebatan dalam COP menunjukan respons terhadap eksistensi
indigenous peoples sebagai subyek yang harus dipertimbangkan dalam
berbagai isu seputar REDD, antara lain implementasi dan pembagian
benefit. Namun, belum ada proposal yang tegas mengenai perimbangan
pembagian keuntungan.
Jika regim hukum property yang menjadi alas hukum pembagian
benefit maka akan ada dua kemungkinan hukum bagi komunitas yang
memiliki hutan kolektif. Pertama, alas hukum yang jelas dan tegas untuk
kontrak harus berbasis pada hukum yang bisa diterima dan disepakati
dalam pakem hubungan dagang lintas negara. Dalam hal ini, bukti
kepemilikan hutan berupa sertifikat harus ada atau jika mengikuti
skema dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, sudah ada
peraturan yang secara jelas dan tegas mengakui hak masyarakat yang
bersangkutan. Kedua, hukum adat kemungkinan akan ditolak karena
banyak aspek yang sulit terukur, misalnya nilai kultural dan sosial
hutan. Aspek-aspek ini dalam hukum modern sudah lama ditiadakan.
Kalaupun diterima, sebagian besar diperlakukan sebagai aspirasi belaka,
bukan sesuatu yang bisa terwujud.
Dalam konteks offset, diskusi pembagian keuntungan adalah
pemrakarsa proyek REDD akan mendapat sertifikat pengurangan emisi
dari setiap uang yang dikeluarkan untuk mengkompensasi kerugian
orang atau pihak yang aksesnya terhadap hutan dibatasi atau dihilangkan.
Penentuan harga dibicarakan secara kontraktual dalam kesepakatan.
Dalam public fund, keuntungan akan diatur oleh peraturan pemerintah
nasional atau ditetapkan dalam UNFCCC. Sebagai perbandingan, dalam
proyek CDM harga yang dibicarakan dalam pembicaraan UNFCCC, satu
sertifikat senilai dengan hak untuk mengemisi 1 ton GRK.
Gambaran dalam bagan berikut ini memperlihatkan contoh faktorfaktor yang mempengaruhi bekerjanya pembiayaan. Pilihan skema,
pasar atau public fund mempengaruhi pengaturan hingga jumlah dana
REDD. Alas hak menentukan benefit yang diperoleh. Politik hukum
84
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
mempengaruhi jaminan atas hak, apakah diakui atau dibatasi. Relasi
dan level pengetahuan para pihak menentukan kekuatan posisi tawar
dalam perundingan, terutama dalam rancangan bagi hasil. Lihat bagan
2.5. berikut:
Bagan 2.5. Posisi tawar para pihak
!
(e) Proses Perundingan Hak dalam REDD
Awalnya, perdebatan isu hak masyarakat lokal/adat di negara-negara
berkembang dalam perundingan perubahan iklim lebih banyak dibicarakan
dalam skema adaptasi, baik di bawah Konvensi maupun Protokol Kyoto.
Skema adaptasi mendorong negara-negara Annex I yang tercantum dalam
lampiran Konvensi Perubahan Iklim 1992, memberikan dukungan bagi
adaptasi yang dilakukan masyarakat lokal/adat terhadap perubahan iklim
melalui bantuan teknologi yang ramah lingkungan, pengembangan kapasitas
dan dukungan finansial (Article 4 par 3 dan 4 Convention). Skema ini
diuraikan panjang lebar dalam Program Kerja Nairobi dan terus dibahas
dalam berbagai putaran perundingan.
Selanjutnya, isu masyarakat adat bersamaan dengan isu lain seperti
governance dan safeguard menguat dalam perdebatan mitigasi ketika
isu kehutanan menjadi salah satu agenda dalam upaya mitigasi di luar
skema Kyoto atau bagian dari perdebatan komitmen jangka panjang pasca
berakhirnya komitmen pertama Protokol Kyoto 2012. Mulai COP 13 di Bali,
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
85
di bawah AWG-LCA, diskusi kehutanan dibicarakan lewat skema NAMAs
(Nationally Appropriate Mitigation Actions) dan REDD. Dua skema ini
menjadi perdebatan yang hampir sulit dicari titik temunya, terutama antara
negara maju dan negara berkembang. Berikut ini beberapa perkembangan
yang penulis amati selama mengikuti perundingan ini sejak Bali sampai
Kopenhagen:
(i) COP 13 Bali
Dalam skema jangka panjang (long term cooperative action), COP
Bali merupakan awal bergulirnya keputusan REDD secara formal.
Sebelumnya, isu ini berkembang dari proposal PNG dan Kosta Rika pada
COP 11 di Montreal. PNG dan Kosta Rika mengajukan ke UNFCCC agar
isu kehutanan perlu direspons karena perhatian terhadap isu kehutanan
di bawah skema Kyoto, sangat lemah. Banyak negara hutan tropis yang
melihat perlunya merespons isu kehutanan secara lebih dalam. Mereka
kemudian tergabung dalam koalisi Rainforest Nations Coalition. Proposal
ini kemudian ditanggapi oleh berbagai proposal negara-negara lain,
termasuk negara-negara maju.
Keputusan Bali kemudian menjadi perdebatan panjang dalam
seri perundingan berikutnya. Mengacu pada tuntutan proposal PNG
dan Kosta Rika serta negara berkembang lainnya pemilik hutan yang
menuntut agar negara-negara pemilik hutan dibayar untuk tidak
melakukan deforestasi maka negara-negara maju juga mengajukan
sejumlah syarat-syarat. Perdebatan itu antara lain mengenai cakupan
REDD yang diperluas oleh konservasi, SMF, perluasan karbon stok. Selain
itu, perdebatan juga mencakup tanggung jawab dan bagi beban.
Isu kehutanan yang sudah mulai ramai diperdebatkan memicu
keterlibatan masyarakat adat yang menjadi pemangku kepentingan
langsung kawasan hutan. Secara umum bersama kelompok masyarakat
sipil lainnya, masyarakat adat mendorong skema REDD tidak
menimbulkan kerugian bagi masyarakat adat dan tetap menempatkan
tanggung jawab utama pengurangan emisi ada pada negara maju. Dalam
hal ini, masyarakat sipil mendesak agar negara maju tidak melihat
REDD sebagai peluang offset seperti skema CDM. Perdebatan ini terus
berlanjut ke putaran-putaran sebelumnya.
(ii) COP 14 Poznan
Di COP 14 di Poznan Polandia, 2008, berlanjut sejumlah perdebatan,
terutama mengenai posisi REDD, apakah sebagai kewajiban atau
kesukarelaan negara berkembang, offset negara maju atau percampuran
keduanya. Secara umum, peta perdebatannya adalah sebagai berikut:
86
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Tabel 2.7. Peta perdebatan antara negara maju dan negara berkembang
Negara Berkembang
Negara Maju
Mendorong negara maju mendukung
pendanaan, transfer teknologi dan
pengembangan kapasitas ke negara
berkembang, terutama mendukung
Mendorong skema REDD merupakan
tanggung jawab negara berkembang
di bawah NAMAs. REDD di bawah
NAMAs secara singkat berarti semua
REDD sebagai bagian dari tanggung
jawab historis negara maju.
Sebagian negara berkembang setuju
REDD di bawah NAMAs tapi tetap
merupakan tanggung jawab negara
maju dan bukan offset
pembiayaan berada di pundak negara
REDD, bukan di negara maju.
Sebagian negara maju setuju
secara terbatas usulan pembiayaan,
pengembangan kapasitas dan
transfer teknologi dari negara maju
tapi di bawah skema offset
Berkaitan dengan hak masyarakat adat, peta perdebatannya sulit
dipilah antara negara berkembang dengan negara maju. Banyak negara
berkembang yang tidak setuju dengan masuknya hak masyarakat adat
ke dalam skema REDD. Kongo dan Guyana misalnya melihat bahwa
semua orang di negara mereka merupakan Indigenous Peoples (IPs),
karena itu tidak perlu dibeda-bedakan dan diberi perlakuan khusus.
Dalam konstitusi mereka, semua warga negara mendapat perlakuan
yang sama. Argumen ini persis sama dengan argumen delegasi Amerika
yang melihat bahwa Amerika merupakan negara majemuk sehingga
semua etnik ditempatkan secara sama secara konstitusional. Tidak ada
perlakuan khusus terhadap IPs.
Sebaliknya, negara-negara seperti Bolivia dan Paraguay sangat kuat
mendorong hak Indigenous Peoples menjadi salah satu prinsip dasar
bekerjanya REDD. Alasan mereka adalah bagi IPs hutan adalah diri
mereka sendiri. Sangat tidak fair jika hutan yang merupakan bagian dari
hidup IPs dibicarakan di agenda internasional tanpa mengikutsertakan
mereka atau bahkan sama sekali tidak menyinggung soal peran signifikan
mereka.
Dua perdebatan ini mewarnai perdebatan SBSTA di Poznan.
Hasilnya, dalam salah satu keputusannya, SBSTA menyebut perlunya
mengakomodasi Indigenous People tanpa “s” dalam proses monitoring
dan evaluasi REDD. Artinya, meski diterima, konsep ini tidak diterima
sepenuhnya. Tanpa “s”, konsep ini kehilangan roh kolektifnya dan hanya
menjadi sekedar kumpulan individu. Sebagai individu maka IPs tidak bisa
mengklaim hak-hak kolektif tapi menjadi hak individu warga negara.
Hilangnya “s” dalam istilah indigenous peoples menimbulkan reaksi
yang sangat keras dari kelompok IPs dan kelompok-kelompok pendukung
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
87
IPs. Pernyataan kaukus IPs menegaskan bahwa negara-negara yang
menolak IPs yang disebut group Canzus Group (Amerika, Kanada, New
Zealand dan Australia) menunjukan langgengnya cara berpikir yang
keliru tentang IPs dan memaksakan kekeliruan kebijakan domestik
mereka ke level perundingan internasional.
(iii) Intersessional Meeting Bonn
Intersessional meeting di Bonn diselenggarakan bulan Juni 2009.
Pertemuan ini merupakan salah satu perundingan yang berusaha
menghasilkan dokumen yang solid sebelum dibawa ke perundingan
puncak COP 15 di Kopenhagen. Kemajuan berarti dalam perundingan
ini adalah hak IPs diterima sebagai salah satu cakupan dalam prinsip,
implementasi dan monitoring REDD.
Perkembangan Bonn memang menunjukan langkah maju daripada
Poznan. Di Bonn, Australia berbalik mendukung IPs (dengan “s”) dalam
rumusan teks SBSTA. Namun persoalannya kembali ke asumsi dasar
skema REDD. Menurut negara-negara maju REDD adalah karpet merah
untuk offset, sementara menurut negara berkembang REDD bukan
offset tapi kewajiban negara maju di luar kewajiban domestik mereka
untuk mengurangi emisi.
(iv) Intersessional Meeting Bangkok
Isu masyarakat adat kembali menjadi perdebatan di Bangkok ketika
para pihak mengkonsolidasikan teks. Konsolidasi dilakukan karena teks
REDD dalam AWG LCA sangat detail dan tidak sistematis sehingga
para pihak sepakat agar teks tersebut perlu dipadatkan. Dalam teks
negosiasi (non-paper 11, 3 Oktober 2009)62, IPs masuk sebagai prinsip
dasar yang harus menjadi rujukan dalam REDD, mulai dari desain,
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Demikian halnya
dengan instrumen implementasi REDD, IPs diusulkan menjadi salah satu
aktor kunci yang akan memantau praktik REDD dan akan menerima
keuntungan langsung yang adil dari REDD. Namun, rumusan tersebut
melemah dalam keputusan akhir melalui non-paper 18, 8 Oktober
2009. Dalam versi terakhir ini, pengakuan hak masyarakat adat harus
mempertimbangkan situasi nasional. Dengan kata lain, jika situasi
nasional tidak memungkikan maka pengakuan tersebut bisa dikecualikan.
Secara historis, isu IPs merupakan salah satu usulan yang secara
kuat didorong oleh kalangan masyarakat sipil. Namun, usulan tersebut
menjadi bola liar yang dikemas sedemikian rupa oleh para pihak untuk
62
Non-paper adalah draft teks negosiasi yang dikeluarkan oleh masing-masing sub-isu. Misalnya, isu
REDD, pendanaan, transfer teknologi, dll. Draft teks ini jika sudah disepakati oleh anggota yang terlibat
di dalamnya, akan dibawa ke pleno dan meminta komentar anggota pleno. Jika disepakati pleno maka
teks ini bersama sub-isu lainnya akan dibawa ke forum yang lebih tinggi setingkat menteri atau kepala
negara untuk mendapat persetujuan umum.
88
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
ditempatkan dalam channel yang mereka miliki. Nampaknya, tegangan
utama belum bergeser dari perdebatan soal tanggung jawab dan
cakupannya. Amerika mengusulkan agar tanggung jawab harus berada
di bawah payung common responsibility, sebuah usulan yang keluar dari
prinsip utama Konvensi Perubahan Iklim, common but differentiated.
(v) Intersessional Meeting Barcelona
Bulan November, pertemuan intersessional terakhir diselenggarakan,
sebelum COP 15 Kopenhagen. AWG LCA mengeluarkan lagi nonpaper No 39 versi pukul 19.00 waktu setempat. Dalam kaitannya
dengan IPs, keputusan Barcelona sama persis dengan non-paper 18,
Bangkok 8 Oktober, 2009. Namun, terdapat kerisauan yang mendalam
terhadap aspek lain yang juga mempengaruhi hak masyarakat adat
dan keberlanjutan hutan. Aspek tersebut safeguard atau kebijakan
pengaman melawan konversi hutan alam. Perbedaan tersebut dapat
dilihat pada tabel 2.8.
Tabel 2.8.Teks safeguard yang melemah
Non paper 11 Versi
Bangkok, 3 Oktober
Ensure that the actions
are consistent with
the conservation of
biological diversity.
(Protect biological
diversity), including
safeguards against the
conversion of natural
forests to forest
plantations
Non paper 18 versi
Bangkok, 8 Oktober
Promote actions that
are consistent with
the conservation of
biological diversity and
enhance other social
and environmental
benefits(, including
environmental
ecosystem services),
complementary to the
aims and objectives of
relevant international
conventions
and agreements.
Non Paper 39 Versi
Barcelona, 5 November
(Promote) actions that
are consistent with
the conservation of
biological diversity
(, and do not provide
incentives for conversion
of natural forests) (,
including safeguards
on the conversion of
natural forests)
Ada beberapa perbedaan yang mendasar, yakni istilah “ensure”
dan “promote”. Di Bangkok, non-paper kedua, versi 8 Oktober,
istilah “promote” sudah dikritik habis oleh berbagai negara karena
maknanya yang terlalu lemah. Selain itu, safeguard konversi hutan
alam ke perkebunan dihilangkan sehingga menimbulkan kritik yang
sangat tajam dari berbagai negara seperti Bolivia dan India. Keduanya
mengkhawatirkan bahwa hilangnya safeguard ini akan menguntungkan
industri skala besar yang sedang menunggu untuk mengkonversi hutan
alam. Rumusan versi 8 Oktober ini, antara lain merupakan hasil kerja
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
89
dari Indonesia dan Kanada selaku negara yang diberi mandat untuk
mengkonsolidasikan pasal-pasal safeguard. Sebagai respons atas nonpaper 8 Oktober ini, banyak negara mengusulkan istilah “ensure”
yang sudah terdapat dalam Non Paper versi 3 Oktober karena sifatnya
lebih mendesak, bila perlu memaksa negara-negara pihak, terutama
yang memiliki hutan tropis, untuk menghentikan laju konversi hutan
alam.
Di Barcelona istilah “ensure” rupanya tidak berhasil didorong lagi ke
dalam teks. Dugaan bahwa lobi perusahaan logging sangat besar, boleh
jadi merupakan perumus hantu (ghost writer) dari pasal ini. Namun,
safeguard konversi hutan alam masih ada, tapi kata “plantation” tetap
lenyap. Penyebutan “plantation” sebetulnya diusulkan sebagai upaya
langsung berbagai pihak, terutama aktivis lingkungan, untuk menekan
laju konversi hutan alam untuk perkebunan skala besar di berbagai
negara pemilik hutan tropis, seperti kelapa sawit di Indonesia dan soya
atau kedelai di Brazil dan Amerika Latin umumnya. Menghilangkan
kata “plantation” berarti mendorong negara pihak untuk mendakwa
semua jenis konversi sebagai bentuk deforestasi, termasuk skala kecil
yang biasa dikerjakan dengan bergilir oleh masyarakat adat. Dalam
hal ini, kekuatiran kelompok masyarakat adat adalah safeguard ini
justru melepaskan para pelaku konversi skala besar dengan dalih telah
mendapat izin dan menangkap para pelaku ladang bergilir dengan
alasan perbuatan illegal.
(vi) COP 15 Kopenhagen
Kopenhagen diharapkan menjadi gawang terakhir perundingan
dimana semua kegaduhan yang berlangsung pasca COP 13 di Bali bisa
diselesaikan dan menghasilkan keputusan final yang mengikat semua
pihak. Namun harapan tersebut sama sekali tidak terwujud. Kopenhagen
hanya menghasilkan kekisruhan perundingan yang mengecewakan
semua pihak.
Minggu kedua perundingan merupakan titik perundingan yang
paling buruk. Negara maju benar-benar sukses menggunakan janji
pendanaan untuk mengakomodasi negara-negara berkembang yang vokal
dan meninggalkan substansi perundingan. Kebuntuan sudah dimulai
ketika usulan Tuvalu agar kenaikan suhu global tidak boleh melebihi 350
ppm tidak dibeli negara maju. Sebaliknya, sejumlah negara melakukan
gerakan terselubung untuk mengambil keputusan di belakang layar dan
memanfaatkan forum PBB sebagai arena justifikasi.
Hari Jumat, 18 Desember pukul 10.30 pm, Presiden Obama tiba-tiba
mengumumkan bahwa Amerika Serikat mendukung hasil perundingan
di belakang layar grup BASIC (Brazil, Afrika Selatan, India dan China)
serta Ethiopia yang mengklaim mewakili grup Afrika. Selanjutnya, dia
90
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
menegaskan bahwa Accord yang disusun beberapa negara tersebut
telah final meskipun sebagian besar negara belum menyatakan
posisinya terhadap Accord tersebut. Setelah itu, Obama meninggalkan
Kopenhagen, meninggalkan perseteruan akibat pekerjaan tersembunyi
mereka di balik pintu perundingan tertutup beberapa negara.63
Perkembangan selanjutnya 25 negara yang lain kemudian menerima
Accord. Rumor yang berkembang mengatakan bahwa selain didorong
Australia dan Amerika, beberapa negara maju lain seperti Swedia, Inggris,
Prancis dan Jerman memainkan peranan yang pro-aktif untuk membuat
Accord diterima banyak negara. Janji Amerika untuk mengucurkan 100
milyar dollar pada tahun 2020 juga memikat beberapa negara miskin di
Selatan sehingga turut menyatakan Accord ini sebagai kemajuan.
Tengah malam berbagai informasi yang berkembang mengatakan
bahwa Sekertariat UNFCCC mendraft Accord yang sudah dibicarakan
dalam ruang tertutup grup BASIC dan sebagian besar negara maju.
Dalam draf tersebut, REDD dikeluarkan karena ada beberapa persoalan
yang belum diputuskan dalam MRV dan Keuangan. Namun, teks REDD
masih terus dibicarakan di bawah AWG LCA.
Keesokan harinya, Sabtu, 19 Desember 2009, pukul 21.00 Accord
dibawa ke pleno. Tuvalu langsung mengambil posisi memblokir
pengadopsian Accord. Berbagai negara pendukung Accord kemudian
menyerang Tuvalu. Namun Venezuela, Bolivia, Nicaragua, Kuba,
Sudan dan Arab Saudi tegas menolak Accord. Alasan mereka adalah
pertama-tama, Accord ini tidak cukup secara substansial, lemah dan
tidak mengikat. Selain itu, proses perumusannya tertutup dan tidak
mengakomodasi proses yang demokratis dalam UN. Karena itu, Arab
Saudi bersikukuh dengan prinsip bahwa tanpa konsensus Accord tersebut
tidak bisa diterima.
Inggris kemudian mengusulkan agar Accord tetap diterima tapi
dengan mencantumkan catatan kaki mengenai negara-negara yang tidak
setuju dengan Accord. Namun, usulan tersebut melanggar prosedur dasar
dalam UN yang mengharuskan adanya konsensus dalam pengambilan
keputusan atas Accord. Inggris mengusulkan agar prosedur dasar UN
tersebut dibuat fleksibel agar Accord diterima dengan catatan semacam
dissenting opinion. Namun proposal tersebut ditolak karena upaya
membuat agar prosedur tersebut fleksibel juga membutuhkan konsensus.
Pleno menemui jalan buntu. Delegasi Arab Saudi menyebut pleno
tersebut sebagai pleno terburuk sepanjang keterlibatan mereka di
63
Berita soal kekisruhan di Kopenhagen bisa dilihat di sejumlah Koran Internasional, misalnya Barack Obama’s
speech disappoints and fuels frustration at Kopenhagen lihat di http://www.guardian.co.uk/environment/2009/
dec/18/obama-speech-Kopenhagen, Jeremy Hance, (December 18, 2009). Bolivia’s President blames
capitalism for global warming. Lihat http://news.mongabay.com/2009/1218-hance_morales.html, lihat juga
Ed Crooks, Fiona Harvey, dan Andrew Ward, Financial Times, December 20, 2009, Financial Times.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
91
UN. Inggris kemudian mengusulkan jeda waktu. Selama jeda tersebut
negosiasi yang berlangsung adalah tidak ada jalan lain selain membuat
Accord dengan dissenting serta mencantumkan negara-negara yang
setuju dengan Accord di bawah heading Accord tersebut.
Pukul 11 pagi pleno dibuka lagi dengan satu usulan, tidak ada
komitmen yang mengikat secara hukum tapi hanya menjadi “take note of
the Copenhagen Accord of the 18th of December of 2009.” Artinya, siapa
yang memberikan pernyataan dukungan terhadap Accord, dia setuju
terhadap Accord. Accord kemudian diputuskan dan menjadi semacam
voluntary agreement atau persetujuan sukarela yang pengadopsiannya
tergantung pada negara-negara yang terlibat dan dimasukan dalam
Decision 2/CP 15. Secara umum gambaran substansinya kurang lebih
sebagai berikut:
1. Perlunya tetap mempertahankan temperature di bawah 2°C. Tapi
menyerahkan komitmen pengurangan emisi ke masing-masing negara
2. Tidak mengikat secara hukum. Dalam versi yang lebih awal, ada
paragraf yang menyebutkan perlunya pekerjaan lanjutan untuk
mencapai kesepakatan yang mengikat secara hukum dalam COP 16
di Meksiko tahun 2010. Tapi dalam versi terakhir, paragraf tersebut
dihilangkan.
3. Accord ini esensinya adalah semacam sistem “jaminan dan tinjauan”.
Dia mencantumkan 2 lampiran. Lampiran pertama untuk negara
maju, sementara lampiran kedua untuk negara berkembang untuk
mengisi target pengurangan emisi yang mereka jaminkan untuk
dicapai. Negara-negara memiliki waktu hingga 31 Januari untuk
melaporkan target pengurangan emisinya ke Sekretariat UNFCCC.
4. Negara maju mengajukan jaminan target pengurangan emisi tahun
2020 tapi dapat memilih tahun baseline mereka sendiri.
5. Komitmen yang samar-samar untuk melakukan review apakah
negara-negara mencapai target pengurangan emisi atau tidak.
Tidak jelas bagaimana review ini dilakukan tapi barangkali hanya
mempunyai sedikit konsekuensi karena ini tidak mengikat secara
hukum.
Belakangan ketika perjanjian yang tidak mengikat secara hukum
ini dipertanyakan oleh banyak media sebagai salah satu kontribusi
buruk Amerika, Obama justru cenderung menyalahkan China yang
mendorong tidak ada komitmen yang mengikat secara hukum di
Kopenhagen. Obama juga menuduh negara berkembang sebagai biang
kerok kemunduran perundingan karena mengungkit-ungkit preseden
dari komitmen Kyoto yang memaksa negara maju untuk memangkas
emisi domestik mereka. Obama menekankan komitmen global semua
92
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
negara untuk memangkas emisi masing-masing, tanpa merujuk ke
monumen Protokol Kyoto. Dia mengatakan “getting out of that mindset,
and moving towards the position where everybody recognises that we all
need to move together.”64
(1) Posisi REDD
Copenhagen Accord tidak mengatur REDD secara jelas tetapi melalui
Decision 4/CP 15, COP memberikan semua tanggung jawab metodologi pada
SBSTA untuk tetap melakukan uji coba REDD plus dengan mengakomodasi
hak masyarakat adat, termasuk menyediakan panduan bagaimana masyarakat
adat bisa terlibat secara penuh dalam mekanisme monitoring dan pelaporan
REDD. Melalui Decision 1/CP 15, COP juga memutuskan AWG-LCA dan
AWG-KP diberi mandat untuk terus bekerja dan menghasilkan teks yang
final hingga COP 16 di Meksiko. Dengan demikian, diskusi REDD masih
terus dilanjutkan di AWG-LCA dan diharapkan bisa dipresentasikan pada
COP 16.
Namun, dalam Accord teks mengenai REDD hanya berhubungan dengan
mekanisme pendanaan. Ada dua pasal yang berhubungan, yakni Pasal 6
dan Pasal 8. Pasal 6 sendiri berisi:
“Mengakui peran penting REDD dan kebutuhan untuk menyedikan insentif
positif melalui pembentukan mekanisme REDD-plus yang sesegera mungkin
untuk memobilisasi sumber keuangan dari negara maju”.
Beberapa aspek yang perlu digarisbawahi adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan pendanaan yang baru dan tambahan, dapat diprediksi dan
memadai wajib disediakan kepada negara-negara berkembang termasuk
keuangan yang mendasar untuk REDD-plus, adaptasi, pengembangan
dan transfer teknologi dan pengembangan kapasitas.
2. Komitmen kolektif oleh negara maju adalah menyediakan sumber
pendanaan yang baru dan tambahan, termasuk kehutanan dan investasi
melalui institusi internasional hingga 30 miliar USD selama periode 20102020 dengan alokasi yang berimbang antara adaptasi dan mitigasi.
3. Negara maju berkomitmen untuk mencapai mobilisasi pendanaan secara
bersama sebesar 100 miliar USD pada tahun 2020 untuk menjawab
kebutuhan negara-negara berkembang (dari sumber pendanaan publik,
privat, multilateral dan alternatif pendanaan lain).
Accord ini mempercayakan pengurangan emisi domestik pada niat
baik negara-negara maju yang dalam berbagai bukti proses perundingan
ini, sama sekali tidak menunjukan niat baik. Target-target pengurangan
emisi makin leluasa setelah Copenhagen Accord tidak mengikat secara
hukum. Target pengurangan emisi domestik sepenuhnya diserahkan ke
64
Http://www.guardian.co.uk/environment/2009/dec/20/china-blamed-copenhagen-climate-failure (diakses 2012-2009).
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
93
masing-masing negara dan menjadi bagian dalam national communication
yang dilaporkan sekali dalam 2 tahun. Namun tidak ada “paksaan” untuk
mengejar target tersebut.
Yvo de Boer, Sekretaris UNFCCC mengatakan Accord ini secara politik
penting sebagai bentuk kemauan politik untuk melangkah ke depan. EU
juga melihat Accord tersebut sebagai awal yang baik untuk memulai. Singkat
cerita, banyak negara maju setuju dengan Accord ini. Indonesia pun dengan
senang hati turut terlibat dalam euforia persetujuan tersebut. Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono melihat Copenhagen Accord sebagai hasil yang positif,
apalagi usulan Indonesia mengenai MRV diterima dengan baik.65
Namun, banyak analis melihat sebaliknya. Copenhagen Accord adalah
klimaks yang buruk untuk perundingan yang diharapkan oleh jutaan mata
di seluruh dunia dan khususnya para korban di negara-negara kepulauan
yang hampir kehilangan harapan. Tuvalu, negara kepulauan yang hampir
tenggelam telah ditinggal sendirian menunggu ajal. Koran Sunday menulis,
tidak ada lagi harapan hopenhagen tapi hanya sebuah Hopelesshagen.66
Accord ini secara mendasar merupakan perjanjian antara Amerika
dan China. Dia mewakili pergeseran dalam dunia politik dan tata dunia
baru dimana Amerika dan China setuju pada konsep-konsep tertentu dan
mendikte sebagian besar dunia. Ketidaknyamanan dirasakan secara umum
oleh negara-negara lain, terutama negara-negara kecil kepulauan berkaitan
dengan bagaimana Accord dibuat dan juga banyak diskusi tentang apa saja
dampak proses ini terhadap proses PBB secara umum.
George Monbiot, aktivis lingkungan dan kolumnis lingkungan ternama di
Guardian menulis skenario yang melatari perjanjian dan komitmen ini:67
This has not happened by accident: it is the result of a systematic campaign of
sabotage by certain states, driven and promoted by the energy industries. (Accord
ini bukan merupakan kebetulan tapi merupakan hasil dari kampanye sabotase
yang sistematis dari negara-negara tertentu, yang didorong dan dipromosikan
oleh negara-negara konsumen energi)
Selanjutnya Monbiot dengan sarkastis mengatakan:
This idiocy has been aided and abetted by the nations characterised, until now,
as the good guys: those that have made firm commitments, only to invalidate
them with loopholes, false accounting and outsourcing. In all cases immediate
self-interest has trumped the long-term welfare of humankind. Corporate profits
and political expediency have proved more urgent considerations than either
the natural world or human civilisation. Our political systems are incapable of
discharging the main function of government: to protect us from each other.
Di sisi lain, seorang kolumnis lain Robin McKie, di Guardian tetap
optimis bahwa tidak semuanya lenyap dari Kopenhagen. Masih ada harapan
65
66
67
Kompas.com Minggu, 20 Desember 2009, (diakses pada 20-12-2009).
http://www.sundayindependent.co.za/index.php?fArticleId=5292809, (diakses 20-12-2009).
George Monbiot, The Guardian (UK), (diakses 19-12-2009).
94
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
karena Kopenhagen mencapai kesepakatan mengenai pendanaan dan juga
perhatian bersama untuk tetap menjaga suhu bumi agar tidak naik hingga
2°C.68
2.7 Penutup
PBB telah menghasilkan Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992. Tujuan
utamanya adalah pengurangan emisi global hingga level yang tidak terlalu
membahayakan manusia dan iklim di bumi. Karena itu, berbagai negara
yang menjadi pihak dalam konvensi ini harus melakukan upaya-upaya
serius pengurangan emisi. Berkaitan dengan upaya tersebut, konvensi secara
eksplisit telah menempatkan negara maju sebagai pihak yang mempunyai
tanggung jawab lebih besar dalam pengurangan emisi global. Sementara
negara berkembang ikut terlibat dalam upaya bersama mengurangi emisi
sejauh mendapat dukungan negara maju. Pembagian ini selanjutnya
dipertegas dalam kategori Annex I dan Non-Annex I yang berkonsekuensi
secara langsung pada berat ringannya tanggung jawab mitigasi dan dukungan
adaptasi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, nampak jelas bahwa
secara normatif konvensi telah merumuskan sedemikian rupa pembagian
tanggung jawab antar para pihak konvensi dan berbasis pembagian tersebut,
dalam implementasi konvensi, para pihak dituntut untuk mewujudkan
tanggung jawab dalam komitmen yang konkrit.
Komitmen berhubungan dengan upaya pengurangan emisi domestik,
baik jumlah maupun target waktu kapan pengurangan mulai dilakukan.
Selain itu, komitmen juga berkaitan dengan dukungan terhadap negaranegara berkembang terutama kelompok negara yang rentan terhadap
perubahan iklim. Berkaitan dengan komitmen tersebut, skenario target
pengurangan emisi telah dipaparkan oleh IPCC, namun hingga kini tidak
satu pun negara maju yang secara resmi mendukung jumlah target yang
diusulkan IPCC, baik tahun 2020 maupun 2050. Sementara dukungan
terhadap negara berkembang, terutama kelompok negara-negara kepulauan
yang sebagian wilayahnya sudah tenggelam karena naiknya permukaan
air laut, sampai saat ini masih tarik ulur. Bahkan proposal negara-negara
rentan tersebut agar kenaikan emisi global tidak boleh lebih dari 350 ppm
dianggap tidak mengakomodasi kesulitan negara maju untuk menekan level
konsumsi emisi yang sudah terlanjur mapan.
Sebaliknya, negara maju justru mendorong agar pengurangan emisi tidak
dilakukan dari dalam (emisi domestik) tapi justru menggunakan skema
offset melalui penyerapan dan penyimpanan karbon di hutan-hutan tropis
negara berkembang. Melalui obral offset, konvensi telah dilanggar karena
offset merupakan jual beli kertas yang dilakukan secara terbatas untuk
68
Robin McKie, Guardian, Sunday 20 December 2009.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
95
mencapai target pengurangan emisi, bukan pengurangan emisi domestik
yang sebenarnya. Di sisi lain, offset juga merupakan proyek yang menjadi
beban negara berkembang sehingga de fakto, tanggung jawab pengurangan
emisi justru lebih banyak dilakukan negara berkembang. Padahal, berbagai
laporan menunjukan bahwa negara maju sesungguhnya mampu mengurangi
emisi domestik bahkan melampaui skenario yang diusulkan IPCC. Pada saat
yang sama, negara berkembang seperti China dan India justru tampil dengan
taruhan komitmen pengurangan emisi yang jauh lebih besar dari negara
maju mana pun. Situasi ini memperlihatkan ironi sekaligus pertanyaan yang
sangat mendasar mengenai siapa yang oleh konvensi telah diberi tanggung
jawab lebih besar, negara maju atau malah negara berkembang.
Konvensi memang telah diinterpretasi sedemikian rupa dalam
perundingan ini, baik untuk mendukung rumusan-rumusan yang tertera
dalam konvensi maupun sebaliknya untuk memanipulasi rumusan-rumusan
tersebut untuk mempertahankan kepentingan konsumsi emisi domestik.
Dapat dikatakan, menjawab pertanyaan awal tulisan ini mengenai ruang
dan waktu; ruang berhubungan dengan komitmen dan tanggung jawab
pihak yang berunding; sementara, waktu berhubungan dengan kapan emisi
dikurangi dan berapa jumlahnya, segera terlihat dalam perundingan proses
tarik ulur komitmen negara maju yang hingga kini terus berlangsung. Proses
tarik ulur saat ini sampai pada titik negara maju melemparkan tanggung
jawab ke negara berkembang dan mempertahankan industri dan konsumsi
dalam negeri pada level yang makin membahayakan iklim bumi. Hal ini
dibuktikan dengan pergeseran konsentrasi perdebatan ke isu-isu pelepasan
emisi negara berkembang, khususnya pelepasan emisi dari kerusakan dan
penurunan kualitas hutan. Angka 17% emisi dari deforestasi digunakan
sedemikian rupa untuk menjadi salah satu topik paling hangat bahkan
mengalihkan pembicaraan mengenai 80% emisi global yang sebagian besar
disumbang negara maju.
Setelah adanya proposal PNG dan Kosta Rika, isu deforestasi memang
segera menjadi salah satu topik hangat perundingan dan terkait erat
dengan komitmen pengurangan emisi negara maju. Secara singkat, REDD
menjadi seksi karena melibatkan target offset negara maju di satu sisi dan
di sisi lain berkaitan dengan beberapa isu krusial kawasan hutan di negara
berkembang pemilik hutan. Di samping itu, negara berkembang juga ingin
hutan menjadi topik pembicaraan karena dari sana bisa dikeruk pendapatan
baru bagi negara.
Dalam negosiasi yang makin rumit dan kompleks, masyarakat yang
hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan justru tidak banyak didengar
dan dilibatkan dalam proses ini. Respons para pihak dalam perundingan
terhadap usulan masyarakat sipil agar hak masyarakat adat diakui, hingga kini
masih suram. Banyak negara berkembang menolak atau mendiamkan saja
96
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
usulan-usulan tersebut karena sebagian besar kawasan hutan dikuasai oleh
negara. Sepanjang kondisi negosiasi tersebut tidak berubah, perundingan
ini sulit untuk memberi ruang yang memadai bagi pengakuan masyarakat
adat maupun lokal sebagai pra-kondisi atas REDD atau safeguard yang
melindungi dan memperkuat isu hak dalam skema REDD. Namun tanpa
upaya mendorong perubahan proses dan isi perundingan, tidak ada isu
hak yang tercantum dalam REDD. Karena itu, keterlibatan masyarakat sipil
sangat perlu didorong agar regim REDD tidak menjadi ancaman baru bagi
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dan bagi keberlanjutan
hutan sendiri.
Secara substantif, negosiasi yang diharapkan ke depan adalah usulan yang
semakin memperkuat tuntutan pengurangan emisi domestik negara maju.
Sementara di negara berkembang, berbagai skema untuk perubahan iklim,
khususnya REDD yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat adat
dan lokal harus menyokong tuntutan agar masyarakat yang secara de facto
menguasai dan menjamin keberlanjutan kawasan hutan berdasarkan prinsip
kearifan tradisional, harus diakui. Fakta yang menyingkap kemampuan
masyarakat adat dan lokal menjaga hutan dan memelihara stok karbon
telah dipaparkan di berbagai hasil penelitian. Dukungan temuan ilmiah dan
data lapangan tersebut perlu disuarakan terus menerus agar bisa menjadi
kekuatan yang menjadi isi keputusan final mengenai Perubahan Iklim.
Untuk itu, sebagai langkah awal beberapa aspek metodologi rekomendasi
UNFCCC ke SBSTA untuk mendorong ada standar dan metode yang
menjamin keterlibatan penuh masyarakat adat harus diterjemahkan oleh
negara pihak dalam aksi yang konkrit.
Di sisi lain, untuk kalangan masyarakat sipil, keteguhan sikap diperlukan
untuk mendorong isu hak masyarakat adat dan lokal tidak kehilangan
momentum di tengah riuh rendah perundingan ini. Penerimaan terhadap hak
menegaskan bahwa perundingan perubahan iklim, secara khusus REDD yang
berbicara mengenai masa depan lingkungan bumi tidak boleh mengabaikan
eksistensi hak manusia saat ini. Itulah prinsip dasar konvensi perubahan
iklim yang harus diperjuangkan dalam proses perundingan ini.
Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
97
3.Tanggapan kebijakan perubahan
iklim di Indonesia: Mekanisme
Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation
(REDD) sebagai kasus
Mumu Muhajir
3.1 Indonesia dan perubahan iklim/REDD
Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 26% tanpa
bantuan luar negeri dan atau 41% jika ada bantuan luar negeri pada
tahun 2020 menjadi pertaruhan tersendiri ketika komitmen itu harus
diintegrasikan ke dalam kebijakan pembangunan Indonesia.69 Penurunan
emisi hampir sama dan sebangun dengan penurunan laju pertumbuhan
ekonomi. Padahal Indonesia sendiri sedang dalam proses membangun
yang kalau dilihat dari struktur perekonomiannya menggantungkan pada
pemanfaatan sumber daya alam.
Indonesia nampaknya siap dengan konsekuensi itu karena merasa bahwa
kontribusi terbesar emisi Indonesia berada di sektor kehutanan dimana
perkembangan perundingan perubahan iklim mengarahkan skema REDD
sebagai satu-satunya skema yang siap untuk menggantikan Protokol Kyoto
di tahun 2012 nanti. Skema REDD memang menjanjikan insentif yang
besar bagi Indonesia.
Dukungan dari luar negeri juga mulai berdatangan. Tidak hanya dalam
bentuk hutang, tetapi juga dalam bentuk hibah dengan jumlah yang luar
biasa besar. MoU antara Indonesia dengan Norwegia di Bulan Mei 2010 ini
membuktikan itu.70 Norwegia menyepakati akan memberikan dana hibah
sebesar $1 miliar di tahun terakhir kesepakatan (tahun 2013) jika Indonesia
mau dan berhasil menjalankan skema usaha menurunkan emisi lewat
pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Ini merupakan dukungan
besar pada pelaksanaan skema REDD.
69
70
http://www.reuters.com/article/idUSSP495601 (diakses 08-04-2010).
Letter of Intent between the Government of The Kingdom of Norway and The Government of Indonesia on
“Cooperation on reducing greenhouse gas emission from deforestation and forest degradation”, 26 Mei 2010.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
99
REDD sendiri merupakan dua hal yang diintegrasikan: Pertama,
sebagai tujuan dan kedua sebagai mekanisme pembiayaan. Sebagai tujuan,
ia mengharapkan adanya pengurangan emisi rumah kaca lewat cara
pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan. Sebagai mekanisme
pembiayaan, ia berusaha membuat tata cara pembiayaan/mekanisme
kompensasi bagi usaha pengurangan deforestasi dan degradasi hutan yang
berakibat pada turunnya emisi rumah kaca utamanya CO2.
Jelaslah, REDD akan bersentuhan dengan persoalan di sekitar kehutanan
atau pemanfaatan lahan. Hutan adalah tempat bergantung bagi sekitar satu
milyar orang di dunia dan umumnya orang miskin. Di sinilah cecabang itu
bermula: tawaran mekanisme itu – dengan sejumlah besar dana kompensasi
– memberikan harapan dapat menyelesaikan persoalan yang selama ini
membelit kehutanan dan memberikan kesejahteraan bagi mereka yang
tergantung kepada hutan; namun di sisi lain, terutama karena mekanisme itu
pada soalnya adalah pembiayaan, masih kurangnya transparansi, kurangnya
partisipasi dan akuntabilitas di kalangan pemangku kehutanan serta sederet
masalah tata pemerintahan lainnya, dikhawatirkan akan memberikan
dampak merugikan bagi masyarakat atau akan kembali meneguhkan
pandangan hutan sebagai sumber daya ekonomi semata.
REDD lebih mungkin untuk dilakukan dengan sistem hukum nasional
dibandingkan dengan memakai sistem hukum lainnya, seperti hukum adat
(Cotula, Mayers, 2009:16). Proses pengintegrasian dan penyelarasan skema
REDD ke dalam kebijakan kehutanan atau pemanfaatan lahan karena
menjadi hal penting dilakukan.
Tulisan di bawah akan membahas tanggapan kebijakan pemerintah
(pusat) Indonesia atas isu perubahan iklim dan atau REDD. Tanggapan yang
dimaksud berupa perencanaan kebijakan pembangunan dan pelaksanaan
kebijakan, yang dalam buku ini dilihat dalam tiga aspek, yaitu: peraturan
perundang-undangan yang dibuat, kelembagaan yang dibentuk dan
anggaran yang dialokasikan. Tulisan ini akan dibagi ke dalam beberapa
subtema, yakni terlebih dahulu membicarakan tanggapan kebijakan atas
soal perubahan iklim, dengan melihat sisi perencanaan kebijakan dan
pelaksanaan kebijakannya. Subtema selanjutnya akan lebih detail lagi
membahas soal REDD dengan juga membaginya dalam dua pembahasan,
yaitu perencanaan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan.
3.2 Tanggapan kebijakan pemerintah Indonesia terkait perubahan
iklim
Keterlibatan Indonesia dalam perundingan perubahan iklim di bawah
payung UNFCCC semakin kuat setelah menjadi tuan rumah COP 13/MOP
11 pada bulan Desember 2007 di Bali. Tidak hanya tuan rumah, Pemerintah
Indonesia juga mengusulkan sebuah peta jalan bernama Bali Action Plan
100
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
yang isinya antara lain adalah mendorong lahirnya sebuah kesepakatan
internasional pasca-Protokol Kyoto serta pentingnya sektor hutan dalam
strategi mitigasi perubahan iklim dengan memperluas usulan awal dalam
skema ini, yakni RED, menjadi REDD, dengan menambahkan “Degradation”
sebagai “D” kedua.71
Sejak saat itu, tanggapan Indonesia dalam soal perubahan iklim berjalan
cepat dan dalam. Tingginya kepentingan Indonesia dalam soal REDD ini
telah mendorong pemerintah Indonesia untuk semakin “mendomestikan”
piranti-piranti dalam perjanjian internasional dalam soal perubahan iklim.
Domestifikasi piranti-piranti dalam perjanjian internasional dalam soal
perubahan iklim sendiri sangat direkomendasikan oleh Konvensi Perubahan
Iklim agar dilakukan oleh masing-masing pihak negara.72 Dalam prosesnya,
domestifikasi itu harus memperhatikan benar pertumbuhan ekonomi sebagai
dasar utama merespon perubahan iklim.
(a) Rencana Kebijakan
Penulis akan melihat pada 2 dokumen Repelita yang mencandrakan
periode ini, yakni Repelita V (1989/90 – 1993/94) serta Repelita VI (1994/95
– 1998/99) serta 1 dokumen Propenas atau Program Pembangunan nasional
2000 – 2004 dan turunannya. Selain itu akan ditelusuri juga RPJP, RPJM
dan RKP tahun 2005 – 2010. Pembatasan pada REPELITA V didasarkan pada
alasan lahirnya UNFCCC serta ditandatanganinya UNFCCC oleh Indonesia
pada tahun 1992
(i) REPELITA V dan VI
Dari penelusuran dua dokumen REPELITA tersebut ternyata
pemerintah Indonesia sudah menyadari soal perubahan iklim dan
dampaknya bagi pembangunan. Ia hadir dalam latar belakang sebagai
pertimbangan perencanaan pembangunan; namun sayangnya luput ketika
masuk ke dalam program-program pembangunan. Pemerintah hanya
mendekati persoalan perubahan iklim dalam kaca mata terbatas, hanya
dilihat dalam soal teknis, yakni Program Pengembangan Meteorologi
dan Geofisika yang hadir didalam REPELITA V. 73 Pemerintah belum
sampai memikirkan bagaimana mengantisipasi dan mengintegrasikannya
ke dalam kebijakan pembangunan lainnya.
Program Pengembangan Metereologi dan Geofisika ini, walaupun
terbatas, tetapi pada REPELITA VI,74 oleh pemerintah telah dihubungkan
dengan adanya kesadaran di tingkat internasional untuk menjaga
71
72
73
74
Lihat bab 2.2 dan 2.3 untuk penjelasan mengenai UNFCCC, Bali Roadmap dan Protokol Kyoto.
Pasal 3 Paragraf 4 Kerangka Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim.
Ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1989 tentang Rencana Pembangunan Lima
Tahun Kelima (1989/90 - 1993/94).
Ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1994 tentang Rencana Pembangunan Lima
Tahun Keenam (1994/95 - 1998/99).
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
101
lingkungan hidup global dalam hal ini antisipasi pemanasan suhu bumi.
Program ini tidak lagi hanya merupakan kebijakan untuk menanggapi
kepentingan domestik/dalam negeri Indonesia, tetapi sudah ada
kesadaran untuk menghubungkannya dengan perundingan di tingkat
internasional terkait perubahan iklim. Catatan penting pada Program
Pengembangan Meteorologi dan Geofisika ini adalah merupakan satusatunya program pemerintah yang secara konsisten dimunculkan dalam
dokumen perencanaan pembangunan hingga tahun 2010.
(ii) PROPENAS 2000 – 2004 dan REPETA 2004
Tidak ada indikasi yang mengarah pada usaha pengantisipasian
perubahan iklim pada tingkat kebijakan dalam PROPENAS 2000 2004,75 namun pengantisipasian perubahan iklim itu masuk ke dalam
REPETA (Rencana Pembangunan Tahunan) 2004. Dalam REPETA 2004,
sebagai turunan dari Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan
dan Pencemaran Lingkungan Hidup, ada 3 kegiatan pokok yang akan
dilakukan, yakni (1) Menyusun strategi dan program mitigasi LH serta
adaptasi terhadap perubahan iklim global; (2) Mengembangkan kajian
perubahan iklim dan pemanasan global; serta (3) Merintis penerapan
skema Clean Development Mechanism (CDM) dalam rangka memberikan
kontribusi terhadap pencapaian tujuan Konvensi Perubahan Iklim
Global (UNFCCC).
Usaha mengantisipasi perubahan iklim itu dilihat oleh REPETA
2004 sebagai pekerjaan lintar sektoral dengan mendaftar sejumlah
instansi pemerintah sebagai instansi pelaksana lengkap dengan alokasi
pembiayaannya.76
Dari REPETA 2004 itu juga terlihat bahwa isu perubahan iklim
semakin dekat dalam perencanaan kebijakan pemerintah Indonesia
dan memilih skema mitigasi perubahan iklim berupa CDM sebagai
penghubung pertama isu perubahan iklim di tingkat global dengan
perencanaan kebijakan pembangunan di Indonesia.
(iii) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025
Dokumen perencanaan pembangunan nasional berupa RPJP
2005 – 2025 ini dikukuhkan dengan UU No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025. RPJP
Nasional merupakan dokumen perencanaan sebagai pengganti hilangnya
GBHN. Ia merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden.
RPJP Nasional ini merupakan pedoman bagi penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional serta acuan bagi penyusunan
75
76
Ditetapkan dengan UU No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000 – 2004.
Depperindag, Kantor Meneg Budpar, Deptan, Dephut, Dept Energi dan SD Mineral, Dep. Kelautan dan
Perikanan, Dephub, Kantor Meneg LH, BAPETEN, BATAN, Kantor Meneg Ristek, Depdagri, Depkimpraswil,
Depkes, BPPT, LIPI, Depnakertrans.
102
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
RPJP daerah. Sementara itu, RPJM Nasional menjadi pedoman bagi
penyusunan RKP tahunan dan RKP tahunan menjadi acuan bagi
penyusunan APBN.
Dalam RPJP Nasional ini, perubahan iklim dan pemanasan global
dianggap sebagai tantangan bagi keberlanjutan pembangunan dalam
jangka panjang. Dalam bidang sumber daya alam dan lingkungan
hidup, RPJP Nasional ini menyebutkan bahwa jasa-jasa lingkungan
adalah penopang hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan itu adalah
keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan air secara
alamiah, keindahan alam, dan udara bersih.
(iv) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004 – 2009
RPJM 2004 – 2009 ini merupakan penjabaran visi, misi dan program
presiden yang terpilih pada Pemilu tahun 2004. Ia merupakan acuan
bagi a.Kementerian/Lembaga dalam menyusun Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga; b. Pemerintah Daerah dalam menyusun RPJM
Daerah; dan c. Pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah.
RPJM Nasional 2004-2009 ini dikukuhkan ke dalam Peraturan Presiden
No. 7 Tahun 2005. Dilihat dari waktu kelahirannya, RPJM ini disusun
terlebih dahulu sebelum ada RPJP Nasional.
RPJM 2004 – 2009 melihat ada tiga isu yang masuk ke dalam kategori
“permasalahan” dalam pengelolaan SDA/lingkungan hidup. Ketiga
isu itu adalah soal belum dilakukannya adaptasi kebijakan terhadap
perubahan iklim dan pemanasan global, alternatif pendanaan lingkungan
belum dikembangkan dan belum dipahaminya serta diterapkannya isu
lingkungan global ke dalam pembangunan nasional dan daerah.
Masalah utama dalam permasalahan pertama adalah adaptasi
terhadap perubahan iklim belum dilakukan. Perubahan iklim belum
menjadi pertimbangan di dalam kebijakan kesehatan, pemukiman,
pertanian dan tata ruang. Padahal perubahan iklim, dalam keyakinan
Pemerintah Indonesia, sudah ada buktinya, yakni berupa el nino dan
la nina dimana Indonesia pasti mendapatkan dampak buruknya.
Di sisi lain, ternyata, menurut Pemerintah Indonesia, Indonesia dapat
menarik untung dari isu perubahan iklim, terutama karena Indonesia
sudah meratifikasi Protokol Kyoto yang memungkinkan negara maju
menurunkan emisinya dengan menanamkan investasi berupa CDM di
negara-negara berkembang.77 Indonesia merasa peluang itu belum begitu
dimaksimalkan yang juga tampak dari sedikitnya alternatif pendanaan
lingkungan yang ada di Indonesia. CDM, DNS (Debt for Nature Swap)
dan green tax tidak banyak peluang bergerak karena kakunya sistem
keuangan di Indonesia.
77
Lihat bab 2 untuk penjelasan mengenai CDM.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
103
Setelah masalah dikenali, RPJM 2004 – 2009 menetapkan sasaran
utama berupa mengarusutamakan konsep pembangunan berkelanjutan
ke dalam kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Bisa dikatakan
isu lama yang terus digaungkan kembali. Dari sasaran utama itu
lahir sasaran lain yang sifatnya sektoral, yaitu: kehutanan, kelautan,
pertambangan dan sumber daya mineral, dan lingkungan hidup. Semua
isu perubahan iklim pembunyiannya ada di dalam sektor lingkungan
hidup. Tidak ada sasaran (dan kemudian program) yang ada kaitannya
dengan perubahan iklim di dalam sektor kehutanan serta kelautan atau
pertambangan dan sumber daya mineral.
Kedua permasalahan sebagaimana disebutkan di atas dicarikan
jalan keluarnya dengan dibuatkan program pembangunan sebagaimana
tampak dalam tabel:
Tabel 3.1. RPJM 2004 - 2009
Permasalahan
Perubahan Iklim/
Pemanasan global
Belum dilakukan
Adaptasi Perubahan
Iklim
Program Pembangunan
Kegiatan Pokok
Program Perlindungan
dan Konservasi Sumber
daya alam
1. Pengkajian dampak
hujan asam (acid
deposition) di sektor
pertanian
Program Pengendalian
Pencemaran dan
Perusakan lingkungan
Hidup
2. Pengkajian
mendalam terhadap
dampak perubahan
iklim global dan
upaya antisipasinya
pada sektor-sektor
prioritas
Program Pengendalian
Pencemaran dan
Perusakan lingkungan
Hidup
3. Adaptasi dampak
perubahan iklim
pada rencana
strategis sektor
maupun rencana
pembangunan daerah
Belum berkembangnya Program Pengendalian
Alternatif Pendanaan Pencemaran dan
Lingkungan
Perusakan lingkungan
Hidup
3. Perumusan aturan
dan mekanisme
pelaksanaan tentang
alternatif pendanaan
lingkungan, seperti
DNS (debt for nature
swap), CDM (Clean
Development
104
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Mechanism), retribusi
lingkungan, dan
sebagainya.
Titik fokus RPJM 2004-2009 dalam soal perubahan iklim ini
berada pada sisi adaptasi perubahan iklim – dan bukan di sisi mitigasi
perubahan iklim – yang seterusnya akan mewarnai penyusunan RKP 2006
– 2010. CDM yang sebenarnya masuk dalam skema mitigasi perubahan
iklim, ternyata oleh pemerintah ditempat dalam kebijakan pendanaan
lingkungan hidup yang disamakan posisinya dengan skema pendanaan
lingkungan hidup lainnya seperti Debt for Nature Swaps (DNS).
(v) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2005
Menelusuri RKP bukan hanya penting untuk melihat program apa
yang akan dikerjakan oleh pemerintah pada tahun tertentu, tetapi
juga dapat mengetahui pembagian alokasi anggaran dalam APBN. RKP
merupakan pedoman bagi penyusunan APBN dan pada saat yang sama
mengacu pada RPJM Nasional.
Catatan penting terkait dengan RKP 2005 ini adalah bahwa ia tidak
mengacu kepada RPJM 2005 – 2009, yang memang pada waktu itu
belum disusun. Tapi mengacu kepada Rencana Pembangunan Nasional
(Repenas) Transisi yang berwawasan lima tahun ke depan, terutama
pada tahun-tahun awalnya. Tapi RKP 2005 ini tetap menjadi acuan
bagi penyusunan APBN 2005.
Dari penelusuran pada RKP 2005 ini, penulis hanya menemukan
2 kali frase perubahan iklim dan pemanasan global dibunyikan.
Pertama, ketika menjelaskan perbedaan antara perubahan iklim dan
pemanasan global; dan kedua, muncul sebagai salah satu kegiatan pokok
berupa Perumusan Kebijakan untuk mengadaptasi perubahan iklim
yang merupakan turunan dari Program Pembangunan Pengendalian
Pencemaran Lingkungan Hidup.
Kegiatan pokok lain yang berhubungan dengan isu perubahan
iklim adalah inventarisasi dan pengendalian pencemaran dari bahanbahan perusak ozon (ozon depleting substances) dan inventarisasi dan
persiapan kegiatan melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean
Development Mechanism). Keduanya merupakan usaha untuk menarik
pendanaan global yang berasal dari perjanjian internasional berupa
Protokol Montreal dan Protokol Kyoto.
Untuk Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup ini
disediakan pagu sebesar Rp 143 miliar lebih, yang dibagi-bagi di antara
beberapa lembaga pemerintah (ESDM, MENLH, LIPI, Badan Tenaga
Nuklir Nasional, Lainnya).
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
105
(vi) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 200678
Penelusuran pada bab soal lingkungan hidup dan SDA dalam RKP
2006 ditemukan adanya kegiatan pokok yang berhubungan langsung
dengan perubahan iklim, yakni berupa Pengkajian mekanisme adaptasi
dampak perubahan iklim pada rencana strategis sektor maupun rencana
pembangunan daerah dan Pengkajian aturan dan mekanisme DNS dan
CDM. Yang menarik adalah Departemen Kehutanan tidak masuk sebagai
instansi yang mendapatkan alokasi dana untuk melaksanakan kegiatan
pokok ini. Instansi yang mengerjakan kegiatan pokok yang merupakan
turunan dari program pembangunan “Program Pengendalian Pencemaran
dan Perusakan Lingkungan Hidup” ini adalah Kementerian Lingkungan
Hidup, Departemen ESDM, LIPI dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir.
Sebagaimana diketahui bahwa setidaknya ada 4 program dalam RPJM
2004 – 2009 yang dapat dihubungkan dengan isu perubahan iklim dan
hanya Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan lingkungan
Hidup yang memiliki kegiatan pokok yang langsung menyebutkan
hubungannya dengan perubahan iklim; yang juga muncul dalam RKP
2006 dengan kegiatan pokok yang lebih rinci. Tiga program lainnya
merencanakan kegiatan pokok yang lebih umum. Ambil contohnya
soal kegiatan yang ada di dalam program Program Pengembangan
Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup,
berupa pengesahan, penerapan dan pemantauan perjanjian internasional
di bidang lingkungan hidup yang telah disahkan, yang ada di dalam
RPJM 2004 – 2009. Ternyata hal yang sama muncul di dalam RKP 2006,
tetapi kegiatannya masih umum bahkan secara gramatika sama persis
dengan apa yang di dalam RPJM 2004 – 2009. Tidak ada kegiatan pokok
dalam RKP 2006 dari Program ini yang jauh lebih rinci.
Dalam RKP ini, jelas terlihat bahwa pemerintah tidak
memperhitungkan skema mitigasi yang di tahun sebelumnya dimasukkan
dalam kegiatan pokok dalam program pembangunan tahun 2005.
Pemilihan pada sisi adaptasi memang sesuai dengan posisi Indonesia
yang merupakan negara Non-Annex dalam payung UNFCCC.
Dengan memilih adaptasi, pemerintah sebenarnya telah berjalan
di jalan yang benar. Indonesia bukanlah negara yang diharuskan
menurunkan emisi, tapi karena posisinya sebagai negara kepulauan,
Indonesia harus menyiapkan diri agar bisa menyesuaikan diri dengan
dampak perubahan iklim. Namun memang menjadi masalah tersendiri
karena program-program mitigasi iklim yang dijalankan pada tahuntahun sebelumnya seperti tidak ada keberlanjutannya.
78
Ditetapkan dengan Peraturan Presiden No 39 Tahun 2005.
106
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
(vii) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 200779
Dalam RKP 2007 ini, tidak ada lagi pembunyian “perubahan iklim”
atau “pemanasan global”; tidak ada lagi usaha-usaha, misalnya dalam
pengendalian kerusakan lingkungan yang memang ditujukan atau dalam
rangka antisipasi perubahan iklim. Ini tentu agak mengejutkan.
Memang ada penyebutan soal “iklim”, tapi fokus kegiatan yang
dimaksud masuk ke dalam usaha penyediaan informasi yang cepat
dan tepat untuk mengantisipasi dampak bencana alam yang berasal
dari variabilitas iklim yang ada di negara kepulauan Indonesia.
Kegiatan yang muncul, misalnya saja, Pembangunan Sistem Peringatan
Dini Meteorologi, serta informasi iklim untuk bidang pertanian. Ini
merupakan bentuk lain dari pengembangan metereologi dan geofisika
yang sudah ada sejak jaman REPELITA.
Yang banyak hadir adalah kebijakan-kebijakan dalam lingkungan
hidup dan energi yang bersifat “umum” dan sudah disebutkan dalam
RKP sebelumnya. Misalnya saja adalah pengembangan energi terbarukan
lewat biofuel yang masuk dalam fokus 4 Pengembangan SDA untuk
Energi Terbarukan yang ada di dalam Prioritas Pembangunan III berupa
Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Perdesaan. Atau
kegiatan pengendalian kebakaran hutan, Peningkatan rehabilitasi hutan
dan lahan, khususnya DAS-DAS prioritas, percepatan pembentukan
KPH (Dephut); rehabilitasi hutan dan lahan serta penyediaan informasi
lingkungan (Kemeneg LH).
(viii) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 200880
Untungnya, frase “perubahan iklim” kembali hadir di dalam RKP
2008, terutama dalam bab Perbaikan Pengelolaan Sumber daya alam
dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, yakni di dalam pembicaraan
mengenai lingkungan hidup dan pengembangan metereologi dan
geofisika. Dalam soal Pengembangan Metereologi dan Geofisika ini
ada informasi yang cukup membanggakan yang menunjukkan bahwa
“..penelitian tentang perubahan iklim dan dampak sosio-ekonomi dalam
rentang waktu tahun 1900-2000 serta skenario perubahannya pada rentang
waktu tahun 2000-2010 untuk skala kabupaten juga telah dilakukan..”
Selain itu adaptasi kebijakan atas perubahan iklim dan belum
adanya sistem peringatan dini soal cuaca dan iklim ekstrim menjadi
dua soal masalah yang dicoba dicarikan kegiatan untuk diselesaikan.
Berikut tabel yang menunjukkan kembali munculnya isu perubahan
iklim di dalam radar dokumen perencanaan kebijakan pembangunan
pemerintah. Tidak semata kehadiran kembali, tetapi kehadiran yang
79
80
Ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2006.
Ditetapkan dengan peraturan Presiden No. 18 Tahun 2007.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
107
semarak. Muncul dengan target dan sasaran yang lebih kuantitatif,
lengkap dengan penunjukan instansi pelaksananya. Target yang lebih
kuantitatif sebenarnya menunjukkan bahwa pemerintah sudah percaya
diri dalam merengkuh isu perubahan iklim ini dengan mengintegrasikan
ke dalam kebijakan pembangunan tahunannya.
Tabel 3.2. RKP 2008
RKP 2008
Sasaran
(indikator)
Instansi
Pelaksana
Program
Kegiatan Pokok
Program
Pengendalian
Pencemaran
dan Perusakan
Lingkungan
Hidup
Pengendalian
dampak
perubahan
iklim dengan
peningkatan
kinerja
pelaksanaan CDM
di 5 provinsi
Kemeneg LH,
Dep.ESDM,
LIPI,
BATAN
Program
Pengembangan
Kapasitas
Pengelolaan
Sumber Daya
Alam dan
Lingkungan
Hidup
Pengembangan
debt swaps bidang
lingkungan hidup
(DNS).
Kemeneg LH,
Dephut, Dep.
ESDM,
Kemeneg PDT
Program
Pengembangan
dan Pembinaan
Meteorologi dan
Geofisika
Pengembangan
penelitian
meteorologi,
klimatologi, dan
geofisika.
Pengembangan
perangkat
ekonomi dan
pendanaan
lingkungan
Pengembangan
sistem data
dan informasi
meteorologi,
klimatologi, dan
geofisika.
108
Tersusunnya
BMG
laporan deteksi
dan skenario
perubahan
iklim serta
dampaknya di 45
kabupaten dan
model prakiraan
trayektori air
polutan di 5 kota
besar.
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
(ix)Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 200981
Dalam RKP tahun 2009 ini, isu perubahan iklim semakin dianggap
penting untuk ditanggapi dalam bentuk kebijakan oleh pemerintah. Ia
dianggap sebagai salah satu masalah dan tantangan dalam pembangunan
Indonesia terutama karena kaitannya dengan ketahanan pangan
dan pengelolaan sumber daya air dan energi. Tantangan itu harus
ditanggapi dengan: (1) melengkapi dan lebih mengakuratkan pendataan
dan permodelan iklim regional untuk Indonesia; (2) memperbaiki
pengintegrasian tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, termasuk
pengurangan resiko bencana ke dalam perencanaan pembangunan
nasional dan daerah;(3) meningkatkan dan menseragamkan kepedulian
dan pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah yang masih rendah
dan belum seragam dalam soal adapasi dan mitigasi perubahan iklim
serta pengurangan resiko bencana; serta (4) meningkatkan koordinasi
antar lembaga dalam menangani perubahan iklim dan pengurangan
resiko bencana dengan memanfaatkan struktur institusi yang sudah ada.
Setelah tantangan dikenali maka RKP 2009 membuat arahan dan
fokus kegiatan yang ada hubungannya dengan antisipasi perubahan
iklim, yakni fokus berupa Peningkatan Kapasitas Mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan iklim global. Ada sekitar 27 kegiatan yang dijalankan
dalam fokus ini yang bidang kegiatannya merentang dari kegiatan
pengembangan pertanian, energi, kehutanan, pengelolaan lingkungan
hidup, metereologi dan geofisika, pengurangan resiko bencana,
penataan ruang serta kelautan sampai dengan bidang keuangan negara
(pengalokasian DAK).
Dalam RKP 2009 ini perundingan soal perubahan iklim di tingkat
internasional mulai dianggap penting oleh Departemen Luar Negeri.
Secara khusus disinggung pula posisi Indonesia sebagai tuan rumah
penyelenggaraan COP 13 UNFCCC, di Bali pada bulan Desember 2007,
sebagai bukti komitmen Indonesia dalam “…menyelamatkan kehidupan
manusia dari perubahan iklim”.
Anehnya, kegiatan Indonesia sebagai tuan rumah konferensi perubahan
iklim (COP 13) di Bali itu, tidak disinggung sama sekali di dalam RKP 2007
(khususnya Bab 7) dan juga di dalam RKP 2008 (hanya disinggung soal
pentingnya memperhatikan perundingan dalam bidang penyelamatan
dan pengelolaan lingkungan hidup tanpa menyinggung UNFCCC).
Dengan demikian, pentingnya penyelamatan manusia dari perubahan
iklim dengan terlibat dalam UNFCCC serta juga memperjuangkan posisi
Indonesia di dalam perundingan soal perubahan iklim bisa dikatakan
baru disadari dua tahun kemudian setelah COP 13 tahun 2007 dilakukan.
81
Ditetapkan dengan Peraturan Presiden No 38 Tahun 2008. Merupakan RKP terakhir yang mengacu pada
RPJM 2004-2009.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
109
Sayangnya, penyinggungan soal Indonesia menjadi tuan rumah dalam
konferensi internasional terkait lingkungan hidup tidak diturunkan ke
dalam kebijakan yang lebih rendah di tingkat Departemen Luar Negeri.
Memang disebutkan bahwa memfasilitasi peningkatan kerja sama
internasional dalam bidang lingkungan hidup menjadi salah satu arahan
pembangunan di dalam RKP 2009 ini, tetapi ketika diturunkan lagi ke
tingkat kegiatan pokok, soal ini tidak disebutkan lagi.
Dalam Bab 18, disinggung mengenai turunnya produktivitas
perikanan tangkap dan budidaya yang disebabkan oleh perubahan
iklim dan bencana alam. Dalam bab yang juga mengatur soal
kehutanan ini, sama sekali tidak ada penyinggungan perubahan iklim
dengan apa yang terjadi pada sektor kehutanan, yang juga mengalami
kemorosotan produksi. Nampaknya pemerintah melihat bahwa faktor
yang menyebabkan kemorosotan produktivitas dalam sektor kehutanan
lebih karena disebabkan pengelolaan kehutanan yang tidak baik.
Perubahan iklim dianggap penting harus dihadapi karena
pengaruhnya pada posisi Indonesia sebagai negara yang masih
menggantungkan diri pada proses pemanfaatan sumber daya alam.
Padahal, sumber daya alam/lingkungan akan menghadapi masalah besar
akibat perubahan iklim ini. Sehingga perubahan iklim tidak baik buat
pertumbuhan ekonomi, karena itu harus serius dihadapi.
Perubahan iklim tidak pernah mendapatkan keistimewaan ini dalam
bab 31 RKP 2009 yang membahas SDA dan lingkungan hidup seperti di
dalam RKP tahun-tahun sebelumnya. Sekarang ia menjadi faktor penting
bagi semua masalah, tantangan, arahan pembangunan yang mengatur
soal SDA dan lingkungan hidup. Dalam RKP 2009-lah kemudian semua
persoalan lingkungan hidup dan SDA, termasuk kehutanan, dibuhulkan
ke dalam satu titik, yaitu perubahan iklim. Penulis menghitung 18 kali
frase ‘perubahan iklim’ dan 8 kali kata “iklim” disebutkan dalam bab
ini (ditambah 4 kali frase ‘perubahan iklim’ jika Matrik dimasukkan
dalam bagian bab ini); sebuah jumlah yang luar biasa besar dari biasanya
disebut di bawah angka 5 di RKP tahun-tahun sebelumnya.
Dimasukkannya perubahan iklim sebagai “buhul” persoalan
lingkungan hidup dan SDA ini memunculkan sedikitnya dua
konsekuensi. Konsekuensi pertama adalah dibuatnya sasaran/arahan
kebijakan “baru” yang dimaksudkan sebagai antisipasi perubahan iklim.
Pengembangan konsep dan pelaksanaan pilot project REDD di dalam
bidang kehutanan atau pengembangan upaya mitigasi (dan adaptasi)
perubahan iklim di wilayah pesisir untuk bidang kelautan adalah dua
contohnya. Konsekuensi kedua adalah ada kebijakan dan program/
kegiatan pokok pembangunan di tahun-tahun sebelumnya didekati atau
dikaitkan peranannya (baik positif atau negatif) dengan perubahan iklim.
Program pengendalian pencemaran lingkungan (PROKASIH, Program
110
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Langit Biru, PROPER, dan bahkan ADIPURA), misalnya, dicoba diberi
warna baru dengan dikaitkan pada isu perubahan iklim.
Namun, ketika masuk ke dalam matrik program RKP 2009, ada
beberapa sasaran/arahan kebijakan yang menghilang, misalnya REDD
tersebut. Namun, jika menilik pada bidang kehutanan, maka ada
sasaran program (indikator pelaksanaan) yang berhubungan dengan
antisipasi perubahan iklim, khususnya soal REDD, yakni pengevaluasian
pada minimal 70% penggunaan dan perubahan kawasan (hutan) yang
bermasalah serta pembentukan wilayah KPH di 28 wilayah provinsi.
RKP 2009 merupakan RKP pertama yang merencanakan kebijakan
mitigasi perubahan iklim, dari yang sebelumnya hanya soal adaptasi
yang diperhatikan. Catatan lain, bidang kehutanan yang dalam kebijakan
perubahan iklim sebelumnya jarang disinggung keterkaitannya (dengan
menganggap CDM semata sebagai bagian dari pendanaan lingkungan),
mulai dilihat keterkaitannya dalam soal mitigasi perubahan iklim dengan
skema REDD atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan. Perlu dicatat pula, bahwa secara sektoral, pengembangan
skema REDD ini sudah sejak tahun 2007 dikerjakan oleh Departemen
Kehutanan. Pembunyian REDD di dalam RKP 2009 ini sebagai tindak
lanjut hasil-hasil COP 13, Bali, Desember 2007. Nampaknya, ada semacam
“kompetisi”, dari masing-masing sektoral agar kegiatan yang dulunya
dilakukan dalam lingkup kecil sektor mereka diakui atau diperhatikan
oleh Pemerintah sebagai kebijakan pemerintah.
Sektor lain yang selalu dilihat keterkaitannya dengan perubahan
iklim ini antara lain adalah soal kelautan, pertanian, lingkungan hidup
dan perhubungan c.q. bidang metereologi dan geofisika. Catatan lain
yang penting adalah pada RKP 2009 ini, pengurangan risiko bencana
semakin diintegrasikan ke dalam kebijakan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim.
Dengan demikian, setidaknya ada dua fokus kegiatan dalam
pembangunan yang awalnya tidak dilihat keterkaitannya dengan perubahan
iklim, dengan RKP 2009 ini kedua fokus itu diberikan perhatiannya
khusus dalam kaca mata perubahan iklim. Kedua fokus itu adalah bidang
kehutanan dengan REDD-nya dan bidang pengurangan resiko bencana.
(x) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 201482
Menarik untuk melihat bagian pendahuluan pada Buku I tentang
prioritas nasional yang menjabarkan apa yang sudah dicapai kurun waktu
lima tahun terakhir. Hampir semua pencapaian yang diceritakan adalah
pencapaian di bidang ekonomi, seperti cerita pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, keberhasilan pembangunan infrastruktur, konsolidasi fiskal, dst.
82
Ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor No. 5 Tahun 2010. RPJM Nasional 2010 – 2014 merupakan
penjabaran visi dan misi SBY-Boediono, sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2009 – 2014.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
111
Lingkungan hidup c.q. perubahan iklim ditempatkan sebagai
tantangan pembangunan nasional yang harus dihadapi. Dalam tantangan
nomor lima itu, RPJM 2010 – 2014 berkeyakinan pertumbuhan ekonomi
tidak boleh merusak lingkungan tidak lain dan tidak bukan karena
kerusakan lingkungan akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi
tidak berkelanjutan. Rusaknya lingkungan mengakibatkan tingginya
biaya hidup sehingga kualitas hidup turun disertai dengan munculnya
epidemik dan penyakit saluran pernapasan. Perubahan iklim memperluas
dimensi lingkungan hidup karena potensi merusaknya dalam bentuk
bencana alam dan juga menurunnya produktivitas dari sumber daya alam.
Berbeda dengan dokumen perencanaan pembangunan yang sudah
dikutip sebelumnya dalam soal mendudukkan isu perubahan iklim,
yang kebanyakan masih ditempatkan dalam bagian pertimbangan yang
masih dianggap “jauh” dan belum saatnya untuk dihadapi, RPJM 20102014 ini melihat perubahan iklim sebagai salah satu “ancaman” bagi
upaya Indonesia dalam mensejahterakan rakyatnya pada lima tahun
mendatang. Satu ancaman lagi berasal dari krisis ekonomi global. Salah
satu ancaman dari perubahan iklim ini adalah bahwa peningkatan
kesadaran global dalam perubahan iklim telah menyebabkan negaranegara harus menyesuaikan pembangunannya dengan agenda perubahan
iklim. Selain itu dampak dari perubahan iklim pada peningkatan
harga pangan dan energi akan berkontribusi langsung pada sulitnya
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Lalu apa yang ditawarkan sebagai solusi untuk menghadapi ancaman
dari perubahan iklim? Terlihat dari misi Melanjutkan Pembangunan
menuju Indonesia yang Sejahtera, bahwa untuk perubahan iklim akan
dihadapi dengan “…kebijakan adaptasi dan mitigasi…melalui kebijakan
antara lain: rehabilitasi hutan dan lahan, peningkatan pengelolaan daerah
aliran sungai, dan pengembangan energi dan transportasi yang ramah
lingkungan, pengendalian emisi gas rumah kaca(GRK) dan pengendalian
pencemaran dan kerusakan lingkungan..” Peningkatan kapasitas dalam
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ini juga dijadikan salah satu
prioritas pembangunan dalam bidang SDA/lingkungan hidup.
Di dalam RPJM 2010 – 2014 ini kembali diutarakan komitmen
pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 26% dari BAU
(business as usual) pada tahun 2020 dengan usaha sendiri atau sebesar
41% jika ada dukungan dari dunia internasional. Dengan demikian,
komitmen yang pada awalnya diucapkan oleh Presiden SBY pada saat
pertemuan G-20 di Pittsburg itu menemukan landasan hukumnya.
Karena itu pula perubahan iklim mewarnai di dalam banyak prioritas
pembangunan. Ia hadir dalam prioritas ketahanan pangan, lingkungan
hidup dan pengelolaan bencana dan Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi
112
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Teknologi. Perubahan iklim merupakan satu dari empat kebijakan
lintas bidang (lainnya: penanggulangan kemiskinan, pembangunan
kelautan berdimensi kepulauan, dan perlindungan anak) dimana dalam
pelaksanaannya dilakukan lintas sektoral instansi pemerintah.
Di dalam Bab X tentang SDA dan lingkungan hidup, prioritas
pembangunan yang berkaitan langsung dengan perubahan iklim tidak
hanya dalam bentuk peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim, tetapi juga peningkatan kualitas informasi iklim dan
bencana alam serta peningkatan kapasitas kelembagaan penanganan
perubahan iklim.
Jika diperhatikan dalam soal keberlanjutan program pembangunan
yang merentang sejak REPELITA V, maka program peningkatan kualitas
informasi iklim dan bencana alam merupakan program yang terus
menerus ada dan dari tahun ke tahun, setelah peningkatan kuantitas,
maka sekarang saatnya adalah meningkatkan kualitas hasil berupa
informasi iklim dan bencana alam.
Table 3.3. RPJM 2010-2014
Fokus Prioritas
Indikator
Strategi
Peningkatan
Kualitas Informasi
Iklim, Cuaca dan
Bencana Alam
Lainnya,
meningkatnya
kapasitas pelayanan
serta ketersediaan
data dan informasi
iklim, cuaca dan
bencana alam
lainnya yang cepat
dan akurat
Peningkatan
Adaptasi dan
Mitigasi terhadap
Perubahan Iklim,
meningkatnya
kemampuan
adaptasi dan
mitigasi para pihak
dalam menghadapi
dampak perubahan
iklim
Peningkatan
Kapasitas
Kelembagaan
Penanganan
Perubahan Iklim
menguatnya
kapasitas
institusi dalam
mengantisipasi
dan menangani
dampak perubahan
iklim
1. peningkatan kapasitas sumber
daya manusia dan penguatan
kelembagaan;
2. peningkatan akurasi jangkauan
dan kecepatan penyampaian
informasi dengan menambah
dan membangun jaringan
observasi, telekomunikasi dan
sistem kalibrasi;
3. pendirian Pusat Basis Data dan
informasi yang terintegrasi;
4. peningkatan kerja sama dan
mengembangkan penelitian
mengenai perubahan iklim dan
resiko bencana alam;
5. penyediaan peta kerentanan
wilayah Indonesia terhadap
dampak perubahan iklim;
6. pendirian stasiun monitoring
perubahan iklim di seluruh
wilayah Indonesia;
7. pengembangan kebijakan
dan peraturan perundangan
mengenai perubahan iklim dan
kebencanaan.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
113
Satu yang menarik dari RPJM 2010-2014 terkait dengan kebijakan
perubahan iklim ini adalah, walaupun disebutkan sebagai salah satu
sasaran prioritas dalam Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Bencana
Alam serta Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, namun
pendanaan alternatif untuk pengendalian dampak perubahan iklim,
tidak lagi hadir dalam strategi untuk mencapai sasaran pembangunan
tersebut. Sehingga tidak ada turunan kebijakan yang lebih rendah yang
bisa diimplementasikan di lapangan.
Pembunyian perubahan iklim lengkap dengan pembuatan program
pembangunannya memang sudah ada di PROPENAS 2000 – 2004
yang juga didorong oleh semakin jelasnya insentif finansial dari
dunia internasional: terlihat dari lahirnya CDM atau dimasukkannya
penyimpanan karbon dalam PP 34/2002. Walaupun demikian, Dalam
RPJM 2010-2014-lah isu perubahan iklim semakin dirasakan urgensinya
untuk dihadapi dan diintegrasikan ke dalam kebijakan nasional/daerah
karena potensi besarnya menghambat peningkatan kesejahteraan rakyat.
perubahan iklim tidak baik bagi pertumbuhan ekonomi. Sisi mitigasi
perubahan iklim, yang hanya muncul sedikit di dalam RPJM 2004 – 2009,
mulai diperjelas keberadaanya di dalam kegiatan pembangunan.
(xi) Rencana Kerja Pemerintah Tahun 201083
Perubahan iklim disinggung dalam masalah Sumber daya alam
dan lingkungan hidup yang dapat mengancam pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup yang merupakan penopang jalannya pembangunan
berkelanjutan. Dalam soal adaptasi dan mitigas perubahan iklim, RKP
2010 ini mencatat beberapa kemajuan yang dilakukan di tahun 2009.
Selain soal peningkatan upaya pengarusutamaan perubahan iklim ke
dalam seluruh sektor pembangunan, soal kemampauan adaptasi dan
mitigasi di daerah-daerah yang rawan dampak perubahan iklim juga
harus ditingkatkan.
Upaya untuk mengarusutamakan perubahan iklim ke seluruh
sektor pembangunan itu uniknya juga melahirkan pengklaiman yang
hadir misalnya pada kegiatan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GERHAN), yang sejauh penulis baca di dalam dokumen perencanaan
pembangunan seperti RKP sebelum RKP 2010 ini tidak pernah dilihat
dalam hubungannya dengan isu perubahan iklim. Departemen
Kehutanan-lah yang kemudian melihat GERHAN sebagai upaya antisipasi
perubahan iklim. Padahal pada awalnya GERHAN ini bukanlah upaya
antisipasi perubahan iklim.
Sebagaimana terlihat dalam RPJM 2010 – 2014, yang memasukkan
perubahan iklim, sebagai kebijakan lintas bidang, dalam RKP ini mulai
83
Ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2009. RKP 2010 ini merupakan RKP pertama yang
mengacu kepada RPJM tahun 2010 - 2014
114
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
terlihat bagaimana masalah-masalah yang dulunya berdiri menjauh dari
isu perubahan iklim mulai didekati. Contoh yang bisa diketengahkan
adalah soal pengaruh perubahan iklim pada upaya penanggulangan
kemiskinan, yang hadir dalam bentuk perubahan pola tanam bagi petani,
rusaknya air dan sanitasi serta bencana alam. Atau bahkan pengaruh
perubahan iklim pada peningkatan inflasi karena terganggunya produksi
dan transportasi barang-barang.
Perubahan iklim masuk ke dalam prioritas kelima kebijakan
pembangunan di tahun 2010 berupa “Peningkatan kualitas pengelolaan
SDA/Lingkungan hidup dan kapasitas pengelolaan perubahan iklim” yang
salah satu arahnya adalah peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim dan bencana alam lainnya. Ada beberapa sasaran yang
dikuantifikasikan seperti pengurangan hotspot kebakaran hutan sampai
10%, peningkatan pengelolaan 18 DAS, rehabilitasi hutan seluas 100.000
ha serta yang lebih bersifat kualitatif seperti peningkatan operasionalitas
RTRWN-RTRW Provinsi dan kabupaten/kota serta RTR Pulau.
Lalu apa program dan kegiatan pokok yang akan dilakukan oleh
pemerintah terkait dengan perubahan iklim? Karena perubahan
iklim sudah menjadi kebijakan yang lintas bidang dan menurut
pertimbangan pemerintah telah memberikan dampak yang tidak baik
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat lewat pertumbuhan ekonomi,
maka bidang yang dimasuki oleh isu perubahan iklim tidak lagi terbatas
pada soal pengelolaan SDA dan lingkungan hidup (Bab 9). Namun,
ia juga masuk ke dalam soal Ekonomi (Bab 2; dalam soal dampaknya
pada inflasi dan penurunan kesejahteraan masyarakat serta kerja sama
ekonomi internasional berupa kapasitas pendonor mitigasi perubahan
iklim), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Bab 3; dalam soal penelitian
mitigasi perubahan iklim bidang kelautan, penulisan soal perubahan
iklim dalam jurnal, penelitian kebumian), Sarana dan Prasarana (Bab 4;
dalam soal revitalisasi fungsi hidrologi, zonasi pantai tertentu, bangunan
pengaman pantai), serta Wilayah dan Tata Ruang (Bab 8; dalam soal
penyiapan strategi pengurangan bencana di wilayah rawan bencana,
penintegrasian pengurangan resiko bencana dengan adaptasi/mitigasi
perubahan iklim).
Dalam Bab 9, ada dua prioritas dalam bidang SDA/lingkungan
hidup ini, yakni (1) Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Mendukung
Pembangunan Ekonomi serta (2) Peningkatan Kualitas dan Kelestarian
Lingkungan Hidup. Sebagai perbandingan, dalam RKP 2009, misalnya,
perubahan iklim hanya hadir di dalam prioritas kedua. Dalam RKP 2010
ini kedua prioritas itu berada di bawah payung isu perubahan iklim.
Kedua prioritas itu kemudian diturunkan ke dalam 8 fokus, yaitu: (a)
Peningkatan Ketahanan Pangan; (b) Revitalisasi Pertanian, Perikanan,
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
115
dan Kehutanan; (c) Peningkatan Ketahanan Energi; (d) Peningkatan
Pengelolaan Sumber Daya Air; (e) Peningkatan Rehabilitasi dan
Konservasi Sumber Daya Alam; (f) Peningkatan Pengelolaan Sumber
Daya Kelautan,; (g) Peningkatan Kualitas Daya Dukung Lingkungan
Hidup; dan (h) Peningkatan Kapasitas Mitigasi dan Adaptasi Perubahan
Iklim. Dari fokus bidang ini kemudian diturunkan ke dalam 113 item
kegiatan yang terkait langsung/tidak langsung dengan perubahan iklim.
Dalam fokus peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim ada 16 item kegiatan yang akan dilakukan. Beberapa item yang
penting dibuatkan dalam bentuk tabel:
Tabel 3.4. RKP 2010
peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
Kegiatan
Sasaran/indikator
Instansi Pelaksana
1. mitigasi bencana
lingkungan laut
dan pesisir
1. Peningkatan ketahanan
masyarakat terhadap
bencana di 2 lokasi;
2. Peningkatan kapasitas
perencanaan mitigasi
bencana di 2 lokasi
prioritas
3. Peningkatankapasitas
perencanaan adaptasi
perubahan iklim di 2
lokasi
4. green belt kawasan
pesisir di 3 lokasi
DKP
2. Pengendalian
Kerusakan
Lingkungan
1. Pengendalian kerusakan KLH
hutan dan lahan di 8
provinsi di Sumatera dan
Kalimantan yang rawan
kebakaran
2. Perlindungan
lapisan ozon melalui
perhitungan jejak emisi
karbon di 3 lokasi,
3. Pengembangan mitigasi
kampung iklim di 3
lokasi,
4. Montoring dan evaluasi
16 proyek CDM, 30 ton
ozon depleting potential
(ODP)
5. Pelaksanaan Program
Menuju Indonesia Hijau
116
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
3. Pengembangan
Kapasitas
Pengelolaan
Sumber Daya
Alam dan
Lingkungan
Hidup
1. Meningkatnya kinerja
DNPI
Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI)
dengan tersedianya
strategi pembangunan
berkelanjutan rendah
emisi di 4 sektor,
kebijakan dan strategi
perubahan iklim
di bidang adaptasi,
mitigasi, alih teknologi,
pendanaan, post 2012,
land use change and
forestry, serta basis
ilmiah dan inventarisasi
GRK;
2. Koordinasi implementasi
kebijakan, pemantauan
dan evaluasi
implementasi kebijakan
pengendalian perubahan
iklim;
3. Menguatnya posisi
Indonesia di fora-fora
internasional dalam
pengendalian perubahan
iklim
Pengembangan
Sistem
Peringatan Dini
Iklim
(CEWS)
1. Terbangunnya Sistem
BMKG
Peringatan Dini Iklim
(CEWS) yang meliputi
antara lain, terpasangnya
AWS 10 lokasi, ARG 10
lokasi, penakar hujan
1.000 lokasi.
2. Tersusunnya Peta dan
Atlas mengenai Iklim
sebanyak 3 pet
Pengembangan
Perubahan Iklim
dan
Kualitas Udara
1. Terlaksananya Workshop BMKG
International on Climate
Information Service in
Supporting Mitigation
and Adaptation to
Climate Change in
Infrastructure and
Health Sector
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
117
Pengukuhan dan
Penatagunaan
Kawasan
Hutan
1. Draft final peta
Dephut
penunjukan dan
penetapan KH (Kawasan
Hutan) di propinsi Riau
dan Kalimantan Tengah
(2 judul);
2. Data penetapan kawasan
hutan yang sudah temu
gelang di 33 propinsi (33
judul);
3. Laporan tindak lanjut
hasil pencermatan
permasalahan perubahan
fungsi di 4 lokasi (4
judul);
4. Peta hasil telaahan
permohonan perubahan
fungsi dan peruntukan
KH di 20 lokasi (20
judul).
Pembangunan KPH
1. Draft SK penetapan
Dephut
wilayah KPHP dan KPHL
di 4 propinsi (4 judul);
2. Data fasilitasi
implementasi
pembangunan KPH di
33 propinsi (33 judul);
3. Data monitoring dan
evaluasi pembangunan
KPH di 15 propinsi (15
judul).
Inventarisasi Hutan
dan Pengembangan
Informasi SDA dan
LH
1. Model penghitungan
karbon tegakan hutan di
2 lokasi (2 judul)
Pengembangan
Hutan
Tanaman dan Hutan
Tanaman Rakyat
Terwujudnya pemberian izin Dephut
HTI/HTR kumulatif seluas
12,4 juta ha dan penanaman
kumulatif seluas 6 juta ha
(tahun 2010 HTI seluas
600.000 ha dan HTR seluas
200.000 ha)
118
Dephut
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
(b) Pelaksanaan Kebijakan
Dalam soal pelaksanaan kebijakan terkait soal lingkungan hidup serta
perubahan iklim, pemerintah berjalan maju. Hal ini bisa dilihat dari
keterlibatan pemerintah Indonesia dalam soal lingkungan hidup global
dengan menghadiri KTT Bumi di Rio de Jenairo, Brazil tahun 1992. Indonesia
juga terlibat aktif menghadiri perundingan konvensi perubahan iklim.
Posisi Indonesia dalam perundingan perubahan iklim, sebagaimana
negara-negara Non-Annex lainnya, sebenarnya menjadi pihak yang pasif
atau menjadi pihak yang menuntut pihak negara-negara Annex 1 agar
bertindak mengurangi emisinya dan mengirimkan bantuan agar negaranegara berkembang dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun,
perkembangan ekonomi yang luar biasa dari sebagai negara berkembang
seperti China, India dan Brazil memunculkan ide agar negara-negara
berkembang dengan ekonomi baik tersebut mulai dikenai kewajiban
menurunkan emisi domestiknya sebagaimana negara-negara Annex 1.
Amerika Serikat adalah aktor utama yang mendorong ide ini diwujudkan
dalam setiap perundingan UNFCCC.
Negara-negara berkembang mati-matian menolak ide tersebut. China,
misalnya, beralasan, bahwa walaupun emisinya mengalahkan Amerika,
namun secara emisi per kapita masih jauh di bawah Amerika. Yang
menunjukkan bahwa pengurangan emisi di dalam negeri China – yang dapat
dibaca dengan mengurangi pertumbuhan ekonomi – belum layak dilakukan
karena masih banyaknya penduduk China yang miskin. Ini menjadi alasan
utama penolakan tersebut.
Copenhagen Accord yang dihasilkan dari perundingan panas COP 15
di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009 menjadi jalan tengah untuk
menghindari “deadlock” yang dapat bermuara tidak adanya kesepakatan
mengikat secara internasional pasca berakhirnya Protokol Kyoto di tahun
2012. Dalam Copenhagen Accord disebutkan bahwa diperlukan “deep cut
emission” dari negera-negara Annex 1 yang dibarengi dengan usaha-usaha
negara berkembang untuk secara sukarela menahan laju emisi domestik
yang harus dimasukkan dalam NAPA mereka.84
Usulan pengurangan emisi secara sukarela ini harus dimasukkan ke
sekretariat UNFCCC paling akhir pada Februari 2010. Pada titik inilah,
Indonesia mengajukan usulan yang secara sukarela akan mengurangi
emisinya sebanyak 26% pada tahun 2022 atau 41% jika penurunan emisi
itu mendapatkan bantuan dari dunia internasional.
Indonesia sangat yakin bahwa target 26% atau 41% itu dapat diwujudkan
mengingat sebagaian besar emisi yang akan dikurangi berasal dari sektor
kehutanan dan lahan gambut.
84
http://www.unfccc.int/resource/docs/2009/cop15/eng/l07.pdf (diakses 17-03-2010). lihat juga penjelasan Steni
di bab 2.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
119
Indonesia sudah memiliki dokumen yang berisi road map atau peta
jalan agar target itu tercapai. Misalnya adalah dokumen yang dibuat
oleh Kementerian Keuangan dan Road Map Sectoral yang dibuat oleh
Bappenas.
Masalahnya adalah dokumen itu tidak memiliki kekuatan hukum apapun
atau kekuatan pendorong agar Indonesia benar-benar melaksanakan target
itu. Dokumen itu hanya menjadi arahan bagi terciptanya kebijakan yang
lebih spesifik, termasuk penyusunan RPJM 2010-2014. Karena itu, Penulis
tidak akan masuk ke dalam pembacaan dua dokumen itu, namun akan
mengangkat kebijakan apa – yang direalisasikan dalam bentuk peraturan
perundangan, pembentukan lembaga dan alokasi budget – yang disediakan
oleh pemerintah agar target itu tercapai.
Soal Pelaksanaan Kebijakan terkait perubahan iklim akan langsung
dihubungkan dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait dengan
REDD dalam bab berikutnya yang dimaksudkan agar lebih fokus.
3.3 Tanggapan Kebijakan Pemerintah Indonesia Terkait
REDD
Dalam dokumen perencanaan pemerintah yang penulis paparkan dalam
bagian sebelumnya dapat dibaca dalam dua perspektif. Pertama, pemerintah
Indonesia cukup berhati-hati untuk tidak segera menanggapi “kemajuan”
perundingan UNFCCC yang mulai memasukkan sektor hutan dalam bagian
mitigasi perubahan iklim. Namun, kedua, dengan semakin banyaknya
tindakan yang diambil oleh pemerintah, termasuk komitmen penurunan
emisi atau pembuatan dokumen-dokumen peta jalan penurunan emisi,
bisa dilihat adanya keterlambatan memasukkannya ke dalam dokumen
perencanaan pembangunan. Hal ini didasari oleh adanya hambatan dari
program/kegiatan di tahun-tahun sebelumnya serta keterbatasan anggaran.
Hal yang berbeda diperlihatkan pemerintah dalam menanggapi REDD. Sejak
awal 2008, tanggapan kebijakan pemerintah soal REDD ini tampak jelas.
(a) Rencana Kebijakan Pemerintah
(i) Rencana Kebijakan di Pemerintah Pusat
Pembacaan terhadap RKP 2006, 2007, dan 2008, tidak ditemukan
pembunyian REDD atau program/kegiatan yang mengarah ke dalam
pengembangan Skema REDD. Bahkan di dalam tiga RKP ini tidak
disinggung secara spesifik keterlibatan Indonesia di dalam perundingan
UNFCCC. Tidak ada penyinggungan posisi Indonesia sebagai tuan rumah
untuk COP 13 di Bali pada Desember 2007 atau kegiatan-kegiatan pra
perundingan untuk COP (terlibat di dalam perundingan badan-badan
adhoc di dalam payung sekretariat UNFCCC seperti SABSTA, SBA,
AWG-LC, dst). Nampaknya, keterlibatan sebagai tuan rumah atau
terlibat aktif di dalam perundingan iklim dimasukkan sebagai kegiatan
120
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
“biasa” masing-masing sektoral (setidaknya tiga instansi, yaitu: Deplu,
Kemeneg LH, Dephut).
Tanggapan berbeda muncul dari pemerintah Indonesia terkait soal
adaptasi/mitigasi di wilayah laut atau pesisir. Dalam soal kerjasama
dengan negara lain, RKP 2008 secara jelas akan memfasilitasi kerja
sama regional dengan tiga negara dalam dua kegiatan yang berbeda
(yakni, Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) dengan Filipina dan
Malaysia; dan kerjasama regional Bismarck Solomon Seas Ecoregion,
dengan Papua Nugini). Tidak berhenti di sana, Kerja sama regional di
bawah Coral Triangle Initiative (CTI) ini selalu dibunyikan keberadaannya
sejak tahun 2005 (didukung dengan RKP 2006), dan seterusnya masuk
di dalam RKP 2007, 2008, 2009 dan 2010. REDD tidak mendapatkan
keistimewaan seperti itu.
Pengembangan skema REDD baru hadir di dalam RKP 2009
sebagai tindak lanjut dari hasil perundingan UNFCCC (COP 13),
Desember 2007 di Bali. Perlu dua tahun bagi pemerintah Indonesia
untuk mempertimbangkan skema ini ke dalam rencana kerja
pembangunannya.
Pengembangan skema REDD berupa pelaksanaan pilot project
REDD ini masuk ke dalam kegiatan pokok berupa inventarisasi hutan
dan pengembangan informasi lingkungan hidup dimana sasaran dari
kegiatan ini adalah, salah satunya, penyiapan implementasi REDD. Ia
masuk ke dalam program peningkatan kualitas dan akses informasi SDA
dan lingkungan hidup dimana ada 4 institusi pelaksananya (Dephut,
Kemeneg LH, ESDM, BAKOSURTANAL) dengan alokasi bujet yang
cukup besar (Rp. 170 Miliar lebih). Namun penyiapan implementasi
REDD kemungkinan besar akan dilakukan oleh Dephut sehingga alokasi
bujet bagi pelaksanaan REDD tidaklah sebesar itu.
Sayangnya, pengimplementasian REDD itu menghilang di RKP 2010
di tengah semaraknya isu perubahan iklim yang mewarnai hampir semua
isu pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Ia hanya muncul dalam
kegiatan-kegiatan kecil dan terpisah yang punya sasaran seperti kajian
model penghitungan karbon tegakan hutan yang bisa diinterpretasikan
ada hubungannya dengan implementasi REDD. Atau dalam kegiatan
berupa tindak lanjut dari penataan batas kawasan hutan yang dikerjakan
oleh Departemen Kehutanan. Ia tidak lagi muncul secara mandiri dan
percaya diri sebagaimana muncul di RKP 2009. Sehingga, keberlanjutan
dukungan pemerintah pada implementasi REDD ini dipertanyakan.
(1) Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2008
Tapi, memang ada banyak inisiatif pembangunan yang terlalu sulit
untuk diantisipasi jika hanya diarahkan dalam bentuk perencanaan
kebijakan berupa RKP. Apalagi RKP untuk tahun tertentu
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
121
penyusunannya dilakukan tahun sebelumnya; sehingga bisa jadi ada
kejadian luar biasa antara waktu selesai penyusunan RKP dengan
waktu pelaksanaan RKP yang perlu diantisipasi segera. Nampaknya
REDD masuk dalam kriteria ini.
Setelah sama sekali tidak disebut di dalam RKP 2008, REDD muncul
kembali dalam sebuah aturan Inpres No. 5 Tahun 2008 tentang Fokus
Program Ekonomi tahun 2008 – 2009 yang dikeluarkan oleh presiden
tanggal 22 Mei 2008. Inpres ini dalam kacamatan penulis merupakan
salah satu bentuk perencanaan kebijakan karena isinya berupa arahan
dan perintah pada masing-masing instansi pemerintah.
Inpres No. 5 Tahun 2008 memandatkan kepada Menko Perekonomian
untuk mengkoordinasikan kegiatan yang dilakukan oleh menteri,
kepala lembaga dan gubernur. Macam kegiatan yang harus dikerjakan
oleh para menteri, kepala lembaga dan gubernur ini diatur di dalam
lampiran Inpres ini.
Salah satu kegiatan itu adalah melaksanakan REDD yang berada
di bawah program percepatan pengurangan emisi dalam kebijakan
Peningkatan Kualitas Lingkungan. Ada 4 kegiatan yang dianggap sebagai
program penurunan emisi ini, yaitu: melaksanakan REDD, melaksanakan
DNS, mendorong pelaksanaan CDM dan pemanfaatan energi panas
bumi untuk listrik.
Keluaran yang diharapkan hadir dari pelaksanaan REDD ini adalah
“..peraturan bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan
Hidup mengenai program dan mekanisme kerja pengurangan emisi dari
deforestation…”. Kedua menteri ini juga ditunjuk sebagai penanggung
jawabnya. Keluaran ini ditenggatkan hadir pada Desember 2008.
Jika dibandingkan dengan RKP 2008, sebenarnya kelahiran Inpres
yang mengintruksikan dilakukannya REDD merupakan terobosan besar.
Bisa dikatakan ini bentuk pemokusan kebijakan yang diambil oleh
Presiden tanpa melihat pada RKP 2008 yang sudah disusunnya.
Presiden tidak bisa dikatakan menyalahi aturan dengan mengeluarkan
Inpres yang isinya mengatur kegiatan yang tidak ada di dalam Perpres
soal RKP 2008; namun ini semakin menegaskan bahwa kebijakan REDD
diambil secara impulsif, tanpa ada didesain terlebih dahulu.
Bisa dilihat dari target program ini yang berupa terjadinya penurunan
emisi. Bagaimana mungkin itu dilakukan pada saat skema REDD-nya
sendiri baru digodok dan belum disepakati oleh komunitas internasional?
Adanya pencantuman target itu menunjukkan bahwa pemerintah masih
meraba-raba skema bernama REDD itu.
Bukan berarti Inpres ini tidak ada sisi positifnya. Instruksi Presiden ini
telah memerintahkan Menko Perekonomian untuk mengkoordinasikan
kegiatan dua menteri (Kehutanan dan Lingkungan Hidup) untuk
membuat program REDD. Ini menunjukkan bahwa REDD tidak bisa
122
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
dilakukan oleh satu departemen sektoral saja. Ia membutuhkan kerja
sama setidaknya dua departemen itu.
Namun, ada yang aneh dalam Inpres 5/2008. Kementrian Lingkungan
Hidup tidak disebutkan dalam urutan pihak yang menerima instruksi.
Tapi tetap ditempatkan sebagai pihak yang menerima tanggung jawab
untuk membuat peraturan bersama Menhut terkait REDD.
KemenLH memang tidak dicantumkan dalam Inpres tentang fokus
pembangunan ekonomi itu karena koordinator KemenLH bukanlah
Menko Perekonomian, melainkan Menko Kesra. Di sisi lain, Menko Kesra
sendiri tidak “disuruh” oleh presiden untuk mengkoordinasi KemenLH
untuk melaksanakan REDD bersama-sama dengan Menhut.
Sejauh mana hal itu jadi pengaruh? Yang pasti, target berupa
peraturan bersama Menhut dan Men-LH, kita ketahui bersama, tidak
tercapai. Menhutlah yang kemudian yang mengambil inisiatif dengan
mengatur “sendiri” aturan yang terkait dengan REDD (Bulan Desember
2008, lahir Permenhut 68/2009 tentang DA REDD).
(ii) Rencana Kebijakan di Departemen Kehutanan
Sama halnya ketika bicara soal dokumen perencanaan pembangunan
pemerintah, penjelasan atas dokumen perencanaan yang ada di dalam
Departemen Kehutanan akan dilakukan dengan cara kronologis dan
tidak berdasarkan pembedaan termin (jangka panjang, menengah dan
tahunan)
(1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan 2006 – 2025
Jika kita membaca Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan
2006 – 2025 atau RPJP Kehutanan 2006 - 2025, Departemen
Kehutanan sepertinya melihat faktor perubahan iklim sebagai
“penyebab”. 85 Dalam soal pengelolaan kehutanan, Departemen
Kehutanan melihat bahwa peningkatan frekuensi kebakaran hutan
dan lahan disebabkan oleh pemanfaatan kayu dari hutan alam
yang tidak terkendali dan konversi hutan besar-besaran dan situasi
ini diperparah dengan berubahnya iklim global. Tidak ada posisi
yang melihat bahwa kebakaran hutan dan lahan juga menjadi
penyumbang terbesar peningkatan emisi Indonesia atau secara global
menyumbang setidaknya 20% dari emisi global di tahun 2005.
(2) Rencana Strategis Kementerian/lembaga Departemen Kehutanan
tahun 2005 – 2009
Dalam Rencana Strategis Kementerian/lembaga Departemen
Kehutanan tahun 2005 – 2009 (penyempurnaan) tidak ada satupun
kebijakan yang menyebut REDD atau bahkan perubahan iklim.
85
Ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.27/Menhut-II/2006 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Kehutanan 2006 – 2025.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
123
Hanya saja di dalam paragraf awal Renstra KL Dephut ini disebutkan
fungsi hutan sebagai penyeimbang iklim. 86 Pandangan yang jauh
lebih “lembut’ daripada pandangan di dalam RPJP Kehutanan 2006
– 2025 yang menyebut perubahan iklim sebagai penyebab.
(3) Rencana Kerja (Renja) Departemen Kehutanan tahun 2007
Skema REDD sebenarnya sudah dikembangkan oleh Departemen
Kehutanan, setidaknya sejak tahun 2007 yang ditandai dengan
lahirnya IFCA atau Indonesia Forest Climate Alliance yang melahirkan
dokumen strategi REDD Indonesia dan keaktifannya dalam fora
internasional yang membicarakan soal perubahan iklim dan hutan.
Bahkan IFCA sudah menyusun Peta Jalan pelaksanaan REDD Indonesia
dari tahun 2007 sampai dengan implementasi penuh di tahun 2012.
Tapi penelusuran pada dokumen Rencana Kerja Departemen
Kehutanan tahun 2007, tidak ada satu pun rencana kegiatan yang
akan dilakukan oleh Dephut terkait dengan perubahan iklim atau
spesifik REDD. Rencana kegiatan yang dicantumkan merupakan
tugas dan kewenangan Departemen Kehutanan dalam mengurus soal
kehutanan, tanpa ada embel-embel perubahan iklim dan peranan
hutan sebagai penyerap/penyimpan dan penghasil emisi karbon.
(4) Rencana Kerja (Renja) Departemen Kehutanan tahun 2008
Dalam Renja Dephut tahun 2008, sebenarnya tidak ada kegiatan
yang secara spesifik dikaitkan dengan isu mitigasi perubahan iklim
berupa REDD. Sepertinya Renja Dephut 2008 ini mengikuti benar
acuan di dalam RKP 2008. Tapi skema REDD memang sedang
primadona dalam isu perubahan iklim di tingkat internasional.
Indonesia, dengan potensi luas kawasan hutannya yang terluas ketiga
di dunia (137, 09 juta ha) dengan laju deforestasi yang mencapai 1,3
juta/pertahun serta lahan gambut yang mencapai 17 juta ha atau
10 % luas Negara Indonesia, tentu tidak bisa (atau ingin) tinggal
diam.
Lalu terbitlah satu kegiatan yang keluaran/indikatornya adalah
80% Paket IPTEK Teknologi dan Kelembagaan Pemanfaatan Jasa
Hutan sebagai Penyerap karbon, yang berada di bawah program
penelitian dan pengembangan IPTEK, dengan kegiatan pokok berupa
penelitian dan Pengembangan Kehutanan yang disisipkan dalam
kegiatan tahun 2008 berupa Litbang Pemanfaatan dan pemasaran
jasa hutan. Penanggung jawab program ini ada di bawah Balitbang
Dephut dengan koordinasi dengan Dirjen RLPS, Ditjen PHKA, Ditjen
BPK dan Setjen Baplan.
86
Ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 58/Menhut-II/2006 tentang Rencana Strategis
Kementerian/lembaga Departemen Kehutanan 2005- 2009. Dokumen Renstra KL ini merupakan
penyempurnaan dari Renstra KL 2005 – 2009 sebelumnya yang ditetapkan dengan Permenhut P. 04/
menhut-II/2005.
124
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Tentu saja, penelitian tentang pemanfaatan jasa hutan sebagai
penyerap karbon tidak serta merta mengarah kepada pengembangan
skema REDD, tapi juga bisa mengarah pada skema CDM, misalnya.
Pertanyaannya adalah kenapa baru dilakukan sekarang? Dan pastinya
di tahun-tahun awal mulai diterapkannya CDM – setidaknya di
tahun 2004 – sudah terlebih dulu dilakukan penelitian tentang
peran hutan sebagai penyerap karbon. Apakah data penelitian itu
tidak cukup?
(5) Rencana Kerja (Renja) Departemen Kehutanan tahun 2009
Dalam RKP tahun 2009, ada sasaran program berupa
pengembangan skema REDD dalam bentuk pelaksanaan pilot project
REDD. Namun, pilot project REDD ini tidak lagi ada di dalam
kegiatan pokok yang akan dikerjakan oleh pemerintah. Ia hanya ada
dalam bentuk acuan pembangunan tapi tidak hadir ketika masuk
ke dalam rencana kerja tahunan.
Dalam Renja Dephut 2009 ini, 87 kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan oleh Dephut difokuskan pada dua hal, yaitu peningkatan
kualitas pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan; serta
peningkatan kapasitas mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan
iklim global. Walaupun demikian, ketika dihadapkan dengan
kegiatan prioritas tahun 2009 sebagai pelaksana dari Lima Kebijakan
Prioritas Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009, nampak bahwa
tidak ada kegiatan yang secara spesifik menyebutkan perubahan
iklim dan REDD.88
Renja Dephut 2009 sebagai dokumen perencanaan tingkat
departemen yang mengacu pada RKP 2009 ini memang
mencantumkan kegiatan berupa pengumpulan dan pemutakhiran
data dan informasi SDH (Sumber Daya Hutan), dimana keluaran
dari kegiatan ini salah satunya adalah penyiapan implementasi
REDD. Tidak disebutkan apakah berbentuk pilot project REDD atau
memang REDD itu sendiri.
Dan memang keluaran/indikator berupa “penyiapan implementasi
REDD” itu tidak hadir begitu saja. Renstra Dephut 2009 ini, berbeda
misalnya dengan RKP 2009, menyebutkan bahwa harus ada kegiatan
di tahun 2009 yang menjembatani antara implementasi REDD di
Indonesia dengan apa yang terjadi di perundingan perubahan iklim
di bawah payung UNFCCC. Kegiatan itu berupa “Pengembangan
kemitraan dalam rangka perubahan iklim” yang keluarannya berupa
87
88
Ditetapkan dengan Permenhut No. P. 54/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Kementerian/LembagaDepartemen Kehutanan tahun 2009.
Lima Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009: Pemberantasan pencurian kayu di hutan
negara dan perdagangan kayu illegal; Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan;Rehabilitasi
dan Konservasi Sumber Daya Hutan;Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
hutan; dan Pemantapan kawasan hutan.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
125
implementasi komitmen internasional bidang perubahan iklim, yang
sepertinya mengarah pada REDD.
Dengan demikian, Departemen Kehutanan mencoba untuk
bernegosiasi dengan perencanaan jangka menengah (Renstra KL
Dephut 2005 – 2009) yang sebenarnya dibuatnya sendiri itu yang
sayangnya memberikan perhatian sedikit sekali pada peranan
hutan dalam perubahan iklim. Perkembangan isu perubahan
iklim dari sektor kehutanan memang berjalan cepat dan, dalam
banyak hal menjanjikan insentif yang tinggi bagi sektor kehutanan.
Perkembangan itu nampaknya harus ditanggapi oleh Departemen
Kehutanan walaupun sebenarnya tidak secara bulat didukung oleh
kebijakan kehutanan 5 tahunannya itu.
Hal itu dibuktikan dengan lahirnya peraturan setingkat menteri
yang secara spesifik menyebut soal REDD yang dikeluarkan di akhir
tahun 2008 (Permenhut P. 68/Menhut-II/2008) dan di tahun 2009
(Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 dan Permenhut P. 36/MenhutII/2009). Padahal, kegiatan yang direncanakan akan dilakukan di
tahun 2009 terkait REDD ini ditempatkan dalam kegiatan yang tidak
ada hubungannya dengan pembentukan kebijakan/peraturan yang
ada hubungannya dengan REDD. Kegiatan yang menyebutkan REDD
sebagai keluarannya/indikatornya berada pada wilayah pengumpulan
informasi soal SDH.
Tabel 3.5. Renstra KL Dephut 2009
Program
Peningkatan
Akses
Informasi SDA
dan LH
Kegiatan tahun
2009
Output
Penanggung
jawab
Pengumpulan
dan
pemutakhiran
data dan
informasi SDH
Penyiapan
implementasi
REDD
Kepala Pusat
Inventarisasi
dan Perpetaan
Kehutanan,
Baplan
Pengembangan
kemitraan
dalam rangka
perubahan
iklim
Implementasi
komitmen
internasional
bidang
perubahan
iklim
Baplan
(6) Rencana Kerja (Renja) Departemen Kehutanan tahun 2010
Bersamaan dengan tidak lagi disebutnya REDD di dalam RKP
2010, Hilang juga kata “REDD” di dalam Renja Dephut 2010. Tidak
ada kegiatan yang secara spesifik menyebutkan akan menyiapkan
pelaksanaan skema REDD atau setidaknya meneruskan kegiatan
126
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
yang ada di tahun 2009 di dalam Renja Dephut 2010 ini.Semua
kegiatan lebih bersifat umum yakni antisipasi adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim di sektor kehutanan, yang bisa berarti apa saja,
tidak harus REDD.
Sebagai gantinya, muncul banyak kegiatan dalam sektor
kehutanan yang dikaitkan dengan perubahan iklim. Hal ini memang
terkait dengan posisi kehutanan yang ditempatkan dalam dua
prioritas pembangunan menurut RKP 2010, yakni di dalam Prioritas 4
dan Prioritas 5.89 Dalam Prioritas 4, kehutanan terdapat dalam fokus
kegiatan berupa revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan,
sedangkan dalam prioritas 5 ada 3 kegiatan, yakni 1) Peningkatan
Kapasitas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim dan Bencana Alam
Lainnya, 2) Peningkatan Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya
Alam dan Kualitas Daya Dukung Lingkungan, dan 3) Peningkatan
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Dari RKP 2010 ini, muncul
11 (sebelas) program Dephut dalam Renja 2010.
Tapi sepertinya Dephut tidak mau kehilangan momentum dalam
pengembangan REDD atau mekanisme insentif dari hutan terkait
perubahan iklim lainnya, karena itu di dalam Renja 2010, salah satu
isu strategis yang menjadi dasar penyusunan Renja 2010 ini adalah
pengelolaan/pemanfaatan sumber daya hutan dalam kerangka
perubahan iklim, khususnya efektivitas perumusan pendanaan terkait
dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dephut sudah melihat
sisi pendanaan dalam soal adaptasi/mitigasi perubahan iklim dan
tidak lagi berfokus kepada sisi riset atau pengumpulan informasi SDH.
Lalu muncullah kegiatan-kegiatan di tahun 2010 yang mencakup
ke dalam isu strategis berupa efektivitas perumusan pendanaan
terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Tabel 3.6. Kegiatan Dephut di tahun 2010
terkait dengan efektivitas perumusan pendanaan
terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
89
Program
Kegiatan
Output
Penerapan
Kepemerintahan
Yang Baik
Pembinaan/penyelenggaraan
kerjasama internasional
- Partisipasi
pertemuan/
konvensi internasional, 120
kegiatan
Penanggung jawab
Ka. Pusat
Kerjasama
Luar
Negeri
Prioritas keempat: “Pemulihan Ekonomi yang Didukung Oleh Pembangunan Pertanian, Infrastruktur dan
Energi”dalam Sub Prioritas “Pertumbuhan Ekonomi”. Prioritas kelima: Peningkatan Kualitas Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Kapasitas Penanganan Perubahan Iklim.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
127
Program
Kegiatan
Output
Penanggung jawab
- Penyusunan
bahan sidang,
International
Arrangement/
Agreement dan
Project Proposal,
20 kegiatan
- Sosialisasi/
workshop/seminar/publikasi/
monev kegiatan
kerjasama internasional, 20
kegiatan
- Penguatan dan
pengembangan
hubungan kerjasama luar negeri, 10 kegiatan
Pembinaan
standardisasi
dan
Lingkungan
128
Pengembangan
Ka. Pusat
Standar Pengelo- Standardisasi
laan Hutan Lestari Lingkungan
dan Jasa Lingkungan :
- Rancangan
Standar Perdagangan Karbon
Sukarela, 1
judul.
- Pengembangan
kemitraan dalam
mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim, 1
paket.
- Pengembangan
Pengendalian
Dampak Lingkungan : (1)
-A p r e s i a s i
masyarakat terhadap perubahan
iklim meningkat,
4 propinsi; (2)
- Inisiatif dan
apresiasi
masyarakat
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Program
Kegiatan
Output
Penanggung jawab
dalam menyikapi perubahan
iklim meningkat, 4 propinsi
Penelitian dan
Pengembangan
Iptek
Penelitian dan
Pengembangan
Kehutanan
Perubahan Iklim:
- Hasil kajian
Strategi Mitigasi
Kehutanan, 1
paket
Ka. Pusat Litbang Hutan
dan Konservasi Alam
- Ka. Pusat
- Hasil peneli Litbang Hatian Perubahan
sil Hutan
Iklim, 1 paket
- Ka. Pusat
- Perhitungan
Litbang
Emisi KehuHutan
tanan (InventaTanaman
risasi), 1 paket
- Ka. Pusat
- Strategi AdaptaPenelitian
si Bioekologi
Sosek dan
dan Sosial
Kebijakan
Ekonomi Budaya
Kehutanan
Terhadap Perubahan Iklim, 1
paket
Perlindungan dan Pengembangan
Konservasi Sum- Jasa Lingkungan
ber Daya Alam
dan Wisata
Alam
PNBP di bidang
Jasling dan wisata
alam meningkat
sebesar 20%
Dir. Pemanfaatan Jasa
Lingkungan
dan Wisata
Alam
Peningkatan
Kualitas dan
Akses Informasi
Sumber Daya
Alam dan
Lingkungan
Hidup
- Model penghitungan karbon
tegakan hutan
di 2 lokasi , 2
judul
- Basis data citra
seluruh Indonesia, 2 judul (**)
Dir. Inventarisasi dan
Pemantauan
Sumber Daya
Hutan
Inventarisasi Hutan dan
Pengembangan
Informasi SDA
dan LH
Dengan demikian, terlihat bahwa Dephut mencoba untuk
menyisipkan berbagai kegiatan agar ada kelanjutan pengembangan
REDD yang sudah dikerjakan di tahun 2009 kemarin. Dan hal itu
dimungkinkan, asalkan Departemen terkait membuat pembedaan
prioritas pembangunan nasional dan prioritas Departemen
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
129
kehutanan sendiri. Semua kegiatan yang dilakukan oleh Dephut
di luar prioritas pembangunan nasional dapat dimasukkan sebagai
prioritas Dephut sendiri.
Dengan menarik salah satu kegiatan tahunannya ke taraf yang
lebih umum; dengan tidak membunyikan “REDD”, tetapi “efektifitas
mekanisme pendanaan terkait adaptasi/mitigasi perubahan
iklim”, nampaknya pihak Dephut atau tepatnya pihak di dalam
Dephut yang mendorong pengembangan skema REDD setidaknya
sejak tahun 2007, tidak menyerah begitu saja pada tidak adanya
dukungan kebijakan di tingkat pemerintah dan Dephut sendiri serta
ketidakjelasan masa depan skema REDD di tingkat perundingan
internasional terkait perubahan iklim.
Dan memang, IFCA sendiri, misalnya, mengusung yang
namanya “no-regret policy” dalam pengembangan REDD ini. Yang
artinya, jikapun REDD tidak berhasil mendapatkan legitimasi di
tingkat internasional dan karenanya tidak dapat dijalankan, maka
kebijakan/program/kegiatan yang telah dilakukan sebagai persiapan
pengembangan REDD itu tidak menjadi “kebijakan/ program/
kegiatan” yang sia-sia. Ia tetap menjadi kebijakan yang tetap ada
artinya bagi – jika tidak ada artinya bagi strategi adaptasi/mitigasi
perubahan iklim - pembangunan kehutanan secara keseluruhan.
Dalam posisi ini, menurut penulis, justru Dephut dan Indonesia
sendiri dalam posisi yang “aman” atau tepatnya mencari posisi
aman dari naik turunnya tensi jadi tidaknya skema REDD sebagai
pengganti atau sebagai pendamping dari komitmen internasional
dalam perubahan iklim pasca 2012.
(7) Rencana Strategis Kementerian/lembaga Departemen Kehutanan
tahun 2010 - 2014
Baru pada Renstra Dephut 2010 -2014 isu perubahan iklim
dan keterkaitannya dengan kehutanan dimunculkan, dalam
bentuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan.90
Setidaknya ada 3 kebijakan yang akan dilakukan oleh Dephut dalam
antisipasi perubahan iklim ini, yakni (1) peningkatan keberdayaan
pengelolaan lahan gambut; (2) peningkatan hasil rehabilitasi seluas
500.000 ha/tahun dan (3) Penekanan laju deforestasi secara sungguhsungguh diantaranya melalui kerjasama lintas kementerian terkait
serta optimialisasi dan efisiensi pendanaan seperti IHPH, PSDH dan
DR. Dari tiga kebijakan ini lahir setidaknya 25 kegiatan lengkap
dengan alokasi anggarannya.
90
Ditetapkan dengan Permenhut Nomor P. 08/Menhut-II/2010.
130
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
REDD sendiri atau tepatnya Demonstration Activities REDD (DA
REDD) yang akan dilakukan di dua kawasan konservasi dengan tipe
lahan gambut, sendiri berada di bawah program Pengembangan
pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam dalam kebijakan
peningkatan keberdayaan pengelolaan lahan gambut. Perlu dicatat bahwa
Demonstration Activities ini sendiri merupakan nama lain dari pilot
project REDD yang dalam RKP tahun 2009 sempat disinggung namun
menghilang ketika masuk ke dalam kegiatan yang lebih rinci.
Dua buah Demonstration Activities REDD di kawasan konservasi
lahan gambut ini nampaknya direncanakan akan dilakukan di tahun 2012
dan 2013. Provinsi yang mendapatkan kehormatan untuk melaksanakan
DA REDD ini ada di wilayah Regional III atau Kalimantan dan tepatnya
di Kalimantan Tengah. Dengan demikian 2 DA REDD itu direncanakan
di dua kawasan konservasi dengan tipe lahan gambut yang berada di
Kalimantan Tengah.
Tentu saja pelaksanaan DA REDD itu tidak mungkin berjalan tanpa
dukungan dari kegiatan lain seperti penguatan lembaga kehutanan
yang akan meneliti soal kebijakan kehutanan dan perubahan iklim,
pengendalian kebakaran hutan, pengembangan kawasan konservasi dan
ekosistem esensial, dan seterusnya baik yang terkait langsung maupun
tidak langsung. Namun catatan lain dari Renstra Dephut ini adalah
bentuk kegiatan yang secara langsung dikaitkan dengan perubahan
iklim lebih banyak dalam bentuk kegiatan penelitian.
Tapi di sisi lain, ketika Renstra Dephut 2010-2014 ini dihubungkan
dengan Renja Dephut 2010, maka hilangnya REDD di dalam Renja 2010
Dephut mengindikasikan ketidakberlanjutan usaha pengembangan
REDD (dan bukan skema lain mitigasi perubahan iklim di sektor
kehutanan) dan juga tidak memperlihatkan kuatnya posisi Indonesia
terkait REDD itu. Jika memang di tahun 2012 akan diadakan REDD,
maka di dalam Renja 2010 ini seharusnya diadakan pula kegiatan yang
ada hubungannya dengan kelanjutan dari kegiatan pengembangan REDD
di tahun 2009 dan begitu seterusnya di tahun 2011. Yang ada malah
penggantian REDD dengan “mekanisme pendanaan” di tahun 2010 ini
sehingga pengembangan REDD tidaklah menjadi prioritas.
Penyusunan dokumen perencanaan seperti halnya Renja Departemen
Kehutanan merupakan usaha Departemen Kehutanan untuk
mengkoordinasikan semua kegiatan yang dilakukan oleh instansi di
bawahnya. Dalam horizon yang lebih luas, Renja itu merupakan refleksi
dari program-program yang disusun oleh pemerintah yang terdapat di
dalam RPJP, RPJM atau RKP tahunannya. Sehingga bisa diperlihatkan
satu irama yang sama antara yang diinginkan oleh pemerintah dengan
Departemen Kehutanan. Dan yang paling penting, ia berhubungan
dengan alokasi anggaran yang diberikan oleh negara lewat APBN.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
131
Tentu menjadi hal yang harus dipertanyakan minimnya kegiatan
“pengembangan REDD” dalam dokumen resmi perencanaan yang
disusun baik oleh pemerintah maupun Departemen Kehutanan sendiri.
Hanya Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2008 dan RKP 2009 saja, REDD
disebutkan secara eksplisit dan itupun kemudian malah menghilang di
tahun 2010, berubah menjadi kegiatan-kegiatan yang memang terkait
dengan perubahan iklim namun tidak menyebut langsung soal REDD.
Penulis hanya bisa menduga hal ini terkait dengan masih belum
jelasnya pembicaraan REDD di tingkat perundingan internasional terkait
perubahan iklim dan REDD.
Namun, Dephut sepertinya tetap berharap REDD ini jadi dijalankan
dengan terlihat pada akan diadakannya dua DA REDD di tahun 2012
dan 2013 di dalam Renstra Dephut 2010 – 2014. Jika memang demikian,
mengapa penyebutan REDD di tahun 2010 malah dihilangkan dan diganti
dengan frase yang lebih umum (“mekanisme pendanaan”)? Bukankah
seharusnya jika yakin DA REDD akan dijalankan di tahun 2012 dan
2013, pentahapan ke arah sana perlu terus menerus diperlihatkan di
tiap tahun Renja Dephut?
(iii) REDD: Mencari Celah Dalam Perencanaan Pembangunan
Dari pembacaan dokumen perencanaan sampai tahun 2010 ini, dapat
ditarik kesimpulan bahwa REDD tidak pernah menjadi fokus kebijakan
pemerintah. Ia hanya muncul sekali di tahun 2009 dan kemudian
menghilang di tahun 2010 kembali ke bentuk umum berupa “adaptasi/
mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan”. Hal tersebut membuat
Departemen Kehutanan menyesuaikan kebijakan/program/kegiatan
terutama yang terkait dengan adaptasi/mitigasi perubahan iklim dari
sektor kehutanan dengan apa yang direncanakan oleh pemerintah.
Namun hal tersebut tidak membuat menyerah pihak Departemen
Kehutanan, atau pihak di dalam Departemen Kehutanan yang
mendorong pengembangan REDD setidaknya sejak tahun 2007, agar
REDD ini tetap terlaksana. Renstra 2010 – 2014 menetapkan tahun
2012 dan 2013 akan diadakan DA REDD. Sementara hilangnya REDD di
tahun 2010 ini diantisipasi dengan membuat salah satu sasaran kegiatan
pembangunan tahun 2010 berupa efektifitas mekanisme pendanaan
terkait adaptasi/mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan. REDD
memang tidak lagi disebut, tapi bukan berarti ia tidak ada. Ia tetap
dibayangkan ada.
(b) Pelaksanaan Kebijakan
(i) Peraturan Perundang-undangan
REDD merupakan skema pemberian insentif buat usaha-usaha
pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan kerusakan hutan.
132
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Pada awalnya, skema ini hanya memberikan insentif pada usaha
pengurangan laju deforestasi dan kerusakan hutan yang kemudian
diterjemahkan pada seberapa besar karbon yang bisa ditahan di
hutan. Tapi berdasarkan keputusan di COP 13 dan COP 14, peranan
hutan dalam mitigasi perubahan iklim tidak hanya dari sisi negatifnya
(mencegah deforestasi dan kerusakan hutan), tapi perlu juga dilihat sisi
positifnya, yang diterjemahkan dalam skema REDD yang berkembang
sekarang berupa usaha-usaha peningkatan karbon, pengelolaan hutan
yang berkelanjutan dan konservasi; dikenal dengan REDD+ (Angelsen,
Wertz-Kanounnikoff, 2008:15).
Skema REDD memang masih berkembang, termasuk dalam
hal pemberian insentifnya. Tapi yang jelas, pemberian insentifnya
berdasarkan pada “performa” sehingga penentuan “angka awal” atau
dasar perhitungan – yang dikenal sebagai referensi – menjadi sangat
penting. Setelah angka referensi ditentukan, maka kemudian dibuatkan
model laju deforestasi/degradasi hutan jika tidak diintervensi oleh
REDD (BAU) yang kemudian diperbandingkan dengan pengurangan
laju deforestasi yang dilakukan dalam skema REDD. Angka antara laju
deforestasi BAU dengan yang dihasilkan dari skema REDD itulah yang
kemudian dijadikan dasar seberapa besar insentif itu diberikan. Dengan
demikian, semakin besar tekanan pada hutan, baik tekanan deforestasi
maupun kerusakan hutan, akan semakin memperbesar pula “harga”
karbon di hutan tersebut.
Dengan melihat penjelasan singkat soal REDD tersebut maka
kita bisa menentukan pada kebijakan apa intervensi REDD itu harus
dilakukan. Kebijakan dalam sektor kehutanan tentu adalah hal yang
penting diperhatikan, terutama dalam soal kebijakan pengaturan
penggunaan hutan dan peningkatan “harga” hutan.
Selain itu, kebijakan di luar sektor kehutanan yang mendorong
terjadinya deforestasi dan degradasi juga harus dilihat. Bentuknya
sangatlah beragam, misalnya kebijakan pertanian dan perkebunan, pola
kebijakan ekonomi, pengaturan penduduk, penggunaan lahan, dst.
Di Indonesia misalnya, deforestasi lebih banyak terjadi karena
disengaja dan bahkan diformalkan. Studi Greenomics menyebutkan
bahwa angka deforestasi tertinggi di Indonesia terjadi di kawasan hutan
produksi yang dapat dikonversi (HPK) (Greenomics Indonesia, 2009).
Penentuan suatu kawasan menjadi HPK atau bukan serta pelepasan
kawasan hutannya merupakan wewenang Menteri Kehutanan. Sementara
itu, pola pemanfaatan hutan yang tidak berkelanjutan membuat kondisi
hutan di Indonesia terus turun.
Di sisi lain, tekanan terhadap hutan tidak hanya terjadi dari dalam
sektor kehutanan, tetapi juga berasal dari luar sektor kehutanan. Di
Indonesia tekanan terbesar datang dari perluasan perkebunan dan
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
133
pertanian, selain, dalam angka yang lebih kecil tapi menghancurkan,
pertambangan. Selain itu banyak aktivitas pembangunan non kehutanan
yang dikerjakan di dalam kawasan hutan.
Terlihat bahwa, sebagaimana perubahan iklim, REDD ini sendiri
harus diperlakukan sebagai kebijakan lintas bidang. Selama “harga”
suatu kawasan hutan dari sudut ekonomi lebih kecil daripada jika
di kawasan hutan itu ditanami sawit, misalnya, maka hutan akan
terus terancam dialihstatuskan dan dialihfungsikan. Kebijakan untuk
menurunkan insentif penggunaan lahan hutan untuk perkebunan/
pertanian karenanya perlu juga diperhatikan.
(1) Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Langsung
REDD
Jika dilihat dari segi keterhubungan langsung dengan soal REDD,
sebenarnya baru ada dua peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Itu pun diatur dalam peraturan perundang-undangan
setingkat menteri, yaitu: Permenhut P. 68/Menhut-II/2008 tentang
Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi
dan Degradasi Hutan (selanjutnya Permenhut P68/2008) dan
Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (selanjutnya
Permenhut P30/2009).
Permenhut P. 36/Menhut-II/2009 tentang Tatacara Perizinan
Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon
Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (selanjutnya Permenhut
P36/2009), kerap kali disebut sebagai peraturan yang mengatur
soal REDD. Padahal, Permenhut P 36/2009 mengatur hal yang
lebih umum daripada REDD, yakni soal jasa lingkungan. Memang,
permenhut ini mempunyai kedekatan dengan pengaturan soal REDD
yang karenanya tetap akan disinggung dalam sub-bab di bawah ini.
Ada satu peraturan perundangan yang tidak penulis cantumkan
dalam bagian ini walaupun secara jelas menyebut soal REDD, yaitu
Inpres No 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun
2008 – 2009. Penulis melihat bahwa isi dari Inpres itu bukan bersifat
mengatur, tetapi lebih bersifat mengarahkan sebuah atau beberapa
lembaga untuk bekerja berdasarkan arahan tersebut. Sehingga
penulis memasukkannya ke dalam bagian Rencana kebijakan
-
134
Permenhut P. 68/Menhut-II/2008 tentang Demonstration
Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan
Aturan ini disusun sebagai respon pemerintah Indonesia
c.q. Departemen Kehutanan pada apa yang dihasilkan di dalam
COP 13, Desember 2007 di Bali, terutama dalam soal REDD.
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Disebutkan bahwa sebagai tindak lanjut dari hasil perjanjian
COP 13 tersebut, pemerintah Indonesia sudah menetapkan
kebijakan soal pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan
degradasi hutan atau REDD.
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan “pemerintah telah
menetapkan kebijakan untuk mengurangi emisi karbon dari
deforestasi dan degradasi hutan” serta dalam bentuk apa
kebijakan itu diwujudkan, misalnya peraturan perundanganundangan nomor berapa yang mengatur soal tersebut? Apakah
yang dimaksud itu adalah Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008
tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), karena inilah
satu-satunya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan
oleh pemerintah pasca COP 13 Bali 2007 yang juga dicantumkan
dalam pertimbangan permenhut P 68/2008? Padahal, dalam
Perpres ini hanya diatur tugas DNPI yang semuanya bersifat
umum, tidak ada yang spesifik menyebutkan REDD. Ataukah,
kebijakan yang dimaksud itu adalah Instruksi Presiden No. 5
tahun 2008 yang mengatur soal Fokus Program Ekonomi tahun
2008 – 2009 yang mengatur soal pelaksanaan REDD?
Peraturan ini sendiri dilakukan sebagai pembuka jalan
dilaksanakannya REDD yang sebenarnya masih dalam tahap
persetujuan di fora kebijakan internasional, yang dinamai
Demonstration Activities (DA). DA ini dilakukan sebagai cara
untuk “menguji dan mengembangkan metodologi, teknologi
dan institusi pengelolaan hutan secara berkelanjutan yang
berupaya untuk mengurangi emisi karbon melalui pengendalian
deforestasi dan degradasi hutan”; yang kemudian diharapkan
akan lahir desain pengelolaan hutan yang tepat untuk
menjalankan REDD.
Lokasi yang bisa digunakan untuk DA REDD ini adalah
hutan negara dan hutan hak. Sementara yang dapat menjadi
pelaksananya (pemrakarsa) adalah pihak pemerintah, pemegang
izin pemanfaatan hasil hutan kayu, pemegang/pengelola hutan
hak, pengelola hutan adat, kepala kesatuan pengelola hutan.
Pemrakarsa ini terbagi lagi antara pihak yang menyediakan
dananya sendiri dan yang bermitra dengan pihak lain.
DA ini harus mendapatkan persetujan dari Menteri
Kehutanan. Sebelum persetujuan menteri itu didapatkan,
pemrakarsa harus terlebih dahulu melewati proses perizinan.
Pemrakarsa mengajukan permohonan kepada Menteri Kehutanan
dengan melampirkan rancangan DA dan dilampiri dengan status
dan lokasi berikut peta lokasi calon areal, bentuk dan jangka
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
135
waktu kerja sama, perkiraan nilai kegiatan, manajemen resiko
dan rencana alokasi distribusi pendapatan.
Permohonan itu akan diperiksa oleh Kelompok Kerja
Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen
Kehutanan dan Menteri Kehutanan bisa melakukan tiga hal
atas penilaian itu, yaitu: menyetujui, menyetujui dengan syarat
dan menolak. Jika disetujui, DA itu akan dilakukan paling lama
selama 5 tahun. Kriteria dan indikator kelayakan pelaksanaan
DA, yang menjadi dasar Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan
Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan dan Menteri
Kehutanan dalam menilai proposal DA REDD, akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri.
-
Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
(REDD)
Dalam Pasal peralihan Permenhut P.30/Menhut-II/2009
tentang REDD disebutkan bahwa REDD baru dilaksanakan
setelah ada persetujuan internasional tentang REDD. Sebelum ada
peraturan di tingkat internasional itu, REDD dilaksanakan dalam
bentuk Demonstration activities (DA), peningkatan kapasitas
dan transfer teknologi, serta perdagangan karbon sukarela.
Dengan demikian, REDD di Indonesia dapat dilakukan dalam
dua jalur, yaitu melalui jalur DA (sebagaimana diatur di dalam
Permenhut P.68/2008) atau jalur REDD dengan dana dari dagang
karbon sukarela/peningkatan kapasitas dan transfer teknologi.
DA sebenarnya bisa dialihkan jadi proyek REDD dengan
berbagai persyaratan yang sampai sekarang belum ditentukan.
Semua pemrakarsa mengajukan usulannya kepada
Departemen Kehutanan yang kemudian usulan itu akan
diserahkan pada dua komisi untuk dinilai. Jika mengambil
jalur DA, maka Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim
di Lingkungan Departemen Kehutanan yang akan menilainya;
sementara jika jalur REDD lewat dagang karbon sukarela/
peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, maka ada komisi
REDD yang akan menilainya.
Subyek pemohon proyek REDD terbagi dua menjadi entitas
nasional dan entitas internasional yang dibedakan berdasarkan
fungsinya. Entitas nasional sebagai pemegang status hak
atas hutan sementara entitas internasional bertugas sebagai
penyandang dana.
REDD hanya bisa dilakukan di wilayah yang sudah berizin.
Ada 12 pemilik hak/izin yang bisa menjadi pelaku REDD, yakni
136
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHH-HKM, IUPHHK-HTR,
IUPHHK-RE, KPHP, KPHL, KPHK, Kepala Unit Pelaksana Teknis
Konservasi Sumber Daya Alam atau Kepala Unit Pelaksana
Teknis Taman Nasional, Pengelola Hutan Adat, pemilik dan
pengelola Hutan Hak, pengelola Hutan Desa. Dengan rincian
pelaku REDD sebagaimana diatur dalam Permenhut ini, maka
tidak ada jalan lain bagi organisasi lingkungan yang selama ini
berencana melaksanakan REDD, seperti FFI atau KFCP, kecuali
membuat unit usaha lain yang mengajukan permohonan untuk
mendapatkan setidaknya 3 bentuk hak/izin (IUPHHK-HA,
IUPHHK-HT dan IUPHHK-RE).
Persyaratan dalam mengajukan REDD di semua kawasan
hutan itu pada dasarnya sama, yakni memiliki izin hak (berupa
pemanfaatan(mis. IUPHHK-HT) atau pengelolaan (mis. Hutan
Desa), memiliki kriteria lokasi pelaksanaan REDD dan memiliki
rencana pelaksanaan REDD. Namun ada persyaratan lain yang
dikenakan bagi pengajuan di luar lokasi KPHP, KPHL/KPHK
serta Hutan Konservasi, yaitu memperoleh rekomendasi untuk
pelaksanaan REDD dari Pemerintah Daerah.
Pengajuan permohonan diajukan kepada Menteri Kehutanan
yang kemudian proposalnya akan diteliti oleh Komisi REDD
dalam jangka waktu 14 hari. Hasil penelitian komisi REDD ini
kemudian akan diserahkan kepada Menteri Kehutanan. Menteri
Kehutananlah yang akan menentukan proposal itu diterima
atau ditolak.
Jika diterima, pemrakarsa dapat melaksanakan REDD
yang izinnya berlaku selama 30 tahun dan setelahnya bisa
diperpanjang. Pemrakarsa diwajibkan untuk menetapkan
referensi emisi, melakukan pemantauan dan menyerahkan hasil
pemantauan itu kepada menteri lewat Komisi REDD.
VER atau sertifikat Pengurangan Emisi Karbon sendiri
didapatkan oleh pemrakarsa jika laporan pemantauan itu telah
diverifikasi oleh Lembaga Penilai Independen yang laporannya
dberikan kembali kepada Komisi REDD. Komisi REDD-lah
yang akan menerbitkan sertifikat pengurangan emisi karbon
itu. Sertifikat pengurangan emisi karbon inilah yang dapat
diperjualbelikan.
Dalam soal distribusi insentif yang didapat dari penjualan
Sertifikat itu, Permenhut ini tidak mengatur dengan jelas pihak
mana yang berhak atas distribusi insentif itu. Yang jelas diatur
adalah penerimaan negara dari REDD yang secara tersirat
menunjukkan bahwa salah satu pihak yang berhak atas distribusi
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
137
insentif itu adalah pemerintah. Pengaturan soal ini akan diatur
lebih lanjut di dalam peraturan perundang-undangan.
Penerimaan negara dari pelaksanaan REDD ini akan
diperlakukan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
yang pengaturan perundang-undangannya sudah ada. Sehingga
jika REDD ingin diperlakukan sebagai salah satu PNBP di
Departemen Kehutanan harus terlebih dahulu ada perubahan
pada peraturan perundangan yang mengatur soal PNBP khusus
di Departemen Kehutanan. Kedua, karena REDD ini dihitung
secara nasional namun dengan pelaksanaan di tingkat daerah,
maka perlu ada perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah. Aturan soal ini pun sudah ada.
Kotak 3.1. REDD dan pengentasan kemiskinan
Dimensi REDD, menurut permenhut ini, tidak hanya khusus
mengantisipasi perubahan iklim, tetapi ternyata dikaitkan dengan
usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hadir dalam
bentuk pengentasan kemiskinan. Karena itu pula salah satu kriteria
pemilihan lokasi yang dimasukkan dalam proposal REDD ini adalah
ada tidaknya rencana pengentasan kemiskinan di daerah sekitar
lokasi REDD. Hal yang sama juga hadir di dalam kriteria pemberian
rekomendasi dari pemerintah daerah yakni kesesuaian proyek REDD
ini dengan prioritas pembangunan berupa program pengentasan
kemiskinan.
Jembatan penghubung antara proyek REDD dengan pengentasan
kemiskinan ini tampaknya hadir dalam bentuk distribusi insentif
yang diterima oleh pemerintah sebagai PNBP. Karena itu pula harus
ada kesesuaian antara lokasi REDD dengan program pengentasan
kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah (daerah) dimana salah
satu sumber pembiayaannya berasal dari PNBP REDD tersebut. Ini
menjadi alasan utama mengapa hanya pihak pemerintah saja yang
dicantumkan dalam aturan soal distribusi insentif.
Pengkaitan REDD dengan isu pengentasan kemiskinan sebenarnya
seirama dengan kebijakan pembangunan yang diusung oleh Presiden
SBY yang menginginkan pembangunan yang dilakukan di Indonesia
itu harus mengarah pada pro-poor, pro-job, dan pro-growth.
Jika REDD tidak semata diperlakukan sebagai kegiatan pengurangan
emisi, tapi juga pengentasan kemiskinan, maka ia memerlukan
dukungan kebijakan lintas bidang, lintas departemen. Kebijakan REDD
harus memperhatikan kebijakan di bidang lain yang dapat menunjang
atau malah menghambat keberhasilan proyek REDD. Apalagi ada
anggapan deforestasi merupakan salah satu cara untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan (Kanninen dkk,
2009). Jika ini yang diminta, maka pengaturan REDD dengan Peraturan
Menteri (Kehutanan) menjadi hambatan tersendiri. Peraturan
Menteri Kehutanan mempunyai keterbatasan karena hanya bisa
mengatur hal yang menjadi kewenangan Menteri Kehutanan. Ia tentu
138
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
akan menyalahi aturan jika mengatur hal di luar kewenangannya.
Sementara permintaan terhadap skema REDD jauh melampaui
kewenangan Departemen Kehutanan. Hal ini tidak berarti REDD
membutuhkan dukungan dari peraturan perundangan dengan
hirarki lebih tinggi dari Permenhut; tapi koordinasi antar departemen
dengan melegalkannya dalam bentuk peraturan bersama, atau
pengkoordinasian di tingkat menteri koordinator dapat saja
dilakukan.
-
Permenhut P. 36/Menhut-II/2009 tentang Tatacara Perizinan
Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan
Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung
Banyak pihak yang menyebutkan bahwa Permenhut P36/2009
sebagai peraturan yang mengatur soal REDD. Namun, menurut
penulis, Permenhut P36/2009 mengatur soal jasa lingkungan
dari sektor kehutanan berupa penyimpanan dan penyerapan
karbon yang sudah diatur di dalam PP No 6/2007. Suatu aktivitas
yang lebih umum daripada skema REDD, walaupun keduanya
bertumpu pada karbon.
Dari sisi substansi yang diatur, Permenhut P36/2009 ini
sebenarnya jauh lebih kuat dari Permenhut P30/2009 mengingat,
pertama, jasa lingkungan berupa penyimpanan dan penyerapan
karbon yang sudah diatur di dalam peraturan perundangan
Indonesia yang hirarkhinya lebih tinggi dari Permenhut, yakni
PP No 6/2007. Kedua, pemerintah sudah mengakui adanya
skema penyimpanan/penyerapan karbon sebagai salah satu
hak yang bisa didapatkan oleh para pihak. Ketiga, soal IUPJL
Perdagangan Karbon bahkan jauh sebelumnya sudah diatur
dalam mekanisme A-R CDM.91
Permenhut P36/2009 ini diatur untuk mengantisipasi
perkembangan perdagangan karbon secara sukarela dari sektor
kehutanan yang berada di luar mekanisme REDD atau CDM. Ini
terlihat dari mekanisme pembiayaannya yang bersifat sukarela
dan berasal dari perdagangan karbon. Mekanisme perdagangan
karbon sendiri jelas tidak bergantung pada kesepakatan G to
G atau Negara dengan Negara. Sementara REDD, yang juga
mengatur soal emisi karbon, merupakan mekanisme yang
bersifat compliant yang sifat mengikatnya baru akan dijalankan
jika ada kesepakatan di bawah perundingan UNFCCC.
Apa yang diatur di dalam Permenhut P36/2009 ini baru
berhubungan dengan skema REDD ketika menyangkut
91
Aforestation – Reforestation CDM. Di Indonesia diatur dalam Permenhut P14/Menhut-II/2004, tanggal 5
Oktober 2004.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
139
dua soal. Pertama, ketika dihubungkan dengan Permenhut
P30/2009 yang menyatakan bahwa aktivitas REDD sebelum
ada kesepakatan di UNFCCC pada tahun 2012 akan dilakukan
dengan, salah satunya, perdagangan karbon sukarela. Dengan
demikian, kesepakatan perdagangan karbon secara sukarela
yang didasarkan pada aktivitas mitigasi perubahan iklim dari
sektor kehutanan (non-CDM; bentuknya penyimpanan karbon
di hutan) sebelum ada kesepakatan internasional akan bisa
dianggap sebagai pelaksanaan REDD. Hanya saja kriteria apa
suatu kegiatan perdagangan karbon sukarela dapat dianggap
sebagai pelaksanaan REDD tidak diatur dengan jelas dalam
Permenhut ini.
Kedua, dalam soal Usaha Pemanfaatan Penyimpanan Karbon
(UP PAN Karbon). UP PAN Karbon ini dalam banyak hal memang
sama dengan REDD. Disebutkan bahwa sertifikat VER (verified
Emission Reduction) dari PAN Karbon harus divalidasi mengikuti
prosedur mekanisme compliant yang diakui dan dimasukan
dalam carbon baseline REDD Nasional serta diregistrasi pada
Badan Registrasi Nasional. Selain itu kesepakatan jual beli PANKARBON harus dinegosiasikan kembali. Kedua hal ini terjadi jika
REDD benar-benar dilaksanakan pada akhir tahun 2012. Dengan
demikian, REDD hanya mengatur hal kecil saja dari soal jasa
lingkungan berupa penyimpanan/penyerapan karbon ini.
Sementara itu, soal UP RAN Karbon (Usaha Pemanfaatan
Penyerapan Karbon) tidak tergantung pada disepakati atau
tidaknya REDD di tingkat internasional di tahun 2012. Ia bisa
berjalan terus sampai izinnya – yang berumur 25 tahun –
habis.
Penyebutan angka 25 tahun sebagai jangka waktu proyek
UP RAN/PAN Karbon ini di mata penulis cukup mengagetkan.
Permenhut ini ternyata mengatur berbeda soal jangka waktu
berlakunya IUP RAN/PAN karbon ini dengan apa yang diatur di
dalam PP No 6 Tahun 2007. Dalam Pasal 29 ayat 1 huruf f serta
Pasal 50 ayat 1 huruf f PP No. 6 Tahun 2007 terang dikatakan
bahwa “..usaha penyerapan karbon dan usaha penyimpanan
karbon diberikan paling lama 30 (tiga puluh) tahun dengan
luas sesuai kebutuhan investasi…”. Tidak ada cukup alasan
untuk melihat mengapa Permenhut P36/2009 tersebut mengatur
berbeda soal jangka waktu berlakunya izin tersebut. Namun,
jika mengikuti azas hirarkhi peraturan perundang-undangan,
pengaturan soal jangka waktu dalam Permenhut itu batal demi
hukum.
140
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Pemberian IUP RAN/PAN Karbon dibedakan berdasarkan
areal yang berizin dan tidak berizin. Di areal yang sudah
ada izinnya, hanya pemilik izin di lahan tersebut yang bisa
mengajukan IUP PAN/RAN Karbon. Tidak ada keterangan lain
yang menyebutkan pihak lain di luar pemilik izin/hak yang dapat
mengajukan IUP RAN/PAN di areal yang berizin.
Tapi ada perkecualiannya yakni bagi areal yang dibebani
IUPHHK atau izin pemanfaatan hasil hutan kayu (berarti hanya
di kawasan hutan produksi), pihak lain dapat mengajukan
permohonan kepada menteri (Pasal 8 Ayat 2). Tapi, tata aturan
mengenai hal itu akan ditentukan kemudian dalam bentuk
peraturan menteri. Dengan demikian, di kawasan yang berizin
pemanfaatan hasil hutan kayu saja pemohon selain pemilik izin
dapat mengajukan IUP RAN/PAN Karbon.
Pemilik izin di lahan itu antara lain adalah pemilik IUPHHKHA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, IUPHHK-HTR, pemilik izin
pemanfaatan hutan lindung, pengelola HKm dan hutan desa.
Selain pihak-pihak tersebut, ternyata Permenhut P36/2009
ini juga memberikan kesempatan kepada pihak lain yang
ingin mengajukan permohonan IUP PAN/RAN karbon , yakni
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung, Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus pada
hutan produksi dan/atau hutan lindung, Hutan Rakyat, dan
Hutan Masyarakat Hukum Adat (Pasal 21). Masyarakat hukum
adat yang memiliki izin pengelolaan hutan di kawasan hutan
lindung atau produksi dapat mengajukan permohonan IUP
PAN/RAN karbon sesuai dengan peraturan ini.
Semua permohonan, kecuali pemilik izin IUPHHK-HTR,
diajukan kepada Menteri Kehutanan, dengan melampirkan
surat izin/hak dan proposal Usaha Pemanfaatan Penyerapan/
Penyimpanan Karbon. Sementara, untuk pemilik izin IUPHHKHTR permohonannya diajukan kepada bupati dengan syarat
yang hampir sama dengan pemilik izin lainnya.
Namun penulis sedikit bingung dengan rujukan antar
pasal dan isi dari Permenhut P 36/2009 ini. Misalnya dalam
soal pemberian izin di lahan yang sudah ada izinnya; pemilik
IUPHHK- HTR yang mengajukan permohonan kepada bupati,
pengaturan lebih lanjutnya merujuk pada Pasal 10 (Pasal 5 Ayat
4). Ternyata Pasal 10 ini mengatur soal pemberian izin oleh
gubernur. Pasal yang mengatur soal pemberian izin oleh bupati
sendiri diatur dalam pasal 9.
Bahkan Pasal 9 ini tidak berdiri sendiri. Pasal 9 Ayat 1
mengatur bahwa Kepala Dinas Kabupaten/Kota melakukan
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
141
pemeriksaan atas kelengkapan persyaratan pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) yang isinya berupa penolakan
Kepala Dinas Provinsi atas permohonan pemohon. Jadi, apakah
pemohon IUPHHK-HTR yang akan mengajukan IUPJL berupa
IUP RAN/PAN menyerahkan terlebih dahulu permohonannya
kepada gubernur yang jika permohonannya ditolak baru akan
diserahkan pemrosesannya ke tangan bupati?
Lebih fatal dari itu adalah dalam hal pemberi izin untuk
kawasan yang tidak dibebani izin. Tidak ada penjelasan
pembagian kewenangan antara bupati/gubernur dan menteri
dalam memberikan izin. Misalnya kriteria kawasan yang tidak
dibebani izin seperti apa yang izinnya harus dikeluarkan oleh
bupati atau gubernur atau menteri.
Pasal 8 ayat 1 sebenarnya memberikan sedikit penjelasan
yakni dengan menyebutkan bahwa di dalam areal yang tidak
dibebani izin pemanfaatan hasil hutan kayu/IUPHHK maka
kewenangan pemberian izinnya ada di tangan menteri. Apa
saja areal yang tidak dibebani dengan IUPHHK? Dalam lingkup
Permenhut P 36/2009 ini maka kawasan itu adalah kawasan
hutan lindung, dan kawasan hutan produksi yang tidak dibebani
izin.
Tidak berhenti di sana, Pasal 8 ayat 2 menyebutkan bagi
areal yang dibebani dengan izin pemanfaatan hasil hutan
kayu, izinnya di tangan menteri. Dengan demikian, wewenang
pemberian izin IUP RAN/PAN Karbon yang berada di areal yang
tidak berizin semuanya berada di tangan menteri.
Jikapun interpretasi penulis terhadap pasal 8 itu salah dan
pihak selain menteri dapat mengeluarkan izin IUP RAN/PAN
Karbon di areal yang tidak dibebani izin, maka pengaturannya
juga tidak jelas dan membingungkan. Perhatikan hubungan
antara Pasal 10 dan Pasal 9 yang dijelaskan di atas: permohonan
pemohon yang ditolak oleh gubernur dapat diproses lagi di
tingkat bupati dengan persyaratan yang sama. Ini terjadi karena
dalam rujukan Pasal 9 adalah Pasal 10 ayat 2. Seharusnya Pasal 9
merujuk pada Pasal 7 ayat 2, sebagaimana pasal 10 dan Pasal 11.
Jelaslah, kewenangan bupati menjadi besar. Ia bisa
mengeluarkan izin IUPJL di kawasan HTR, izin di kawasan
yang tidak dibebani izin dan menerima permohonan dan
mengeluarkan izin di kawasan yang tidak berizin yang
permohonannya ditolak oleh gubernur. Itupun dengan catatan,
kewenangan itu tidak dianulir oleh Pasal 8.
142
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Substansi lain yang juga membingungkan adalah Permenhut
ini tidak membedakan antara Proposal UP RAP-KARBON dan/
atau UP PAN-KARBON dengan Proposal Usaha Pemanfaatan
Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi (Proposal UPJL). Begitu
juga, permenhut ini tidak memberikan penjelasan perbedaan
antara pemegang IUP RAP/PAN Karbon dengan pengembang
proyek IUP RAP/PAN Karbon.
Di tengah ketidakjelasan isi peraturan, Permenhut P36/2009
ini ternyata mengatur hal yang luput diatur di dalam Permenhut
P30/2009 dan sudah lama ditunggu-tunggu oleh pihak investor,
yakni soal pembagian keuntungan. Menurut Permenhut ini,
keuntungan dibagikan kepada tiga pihak, yaitu: pemerintah,
masyarakat dan pengembang dengan persentase yang berbedabeda tergantung pada wilayah mana perdagangan karbon itu
dilakukan.
Tabel 3.7. Pembagian keuntungan menurut
Permenhut P30/2009
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Pemegang izin/
Distribusi
Pengembang Pemerintah Masyarakat Pengembang
IUPHHK-HA
20%
20%
60%
IUPHHK-HT
20%
20%
60%
IUPHHK-RE
20%
20%
60%
IUPHHK-HTR
20%
50%
30%
Hutan Rakyat
10%
70%
20%
Hutan
20%
50%
30%
Kemasyarakatan
Hutan Adat
10%
70%
20%
Hutan Desa
20%
50%
30%
KPH
30%
20%
50%
KHDTK
50%
20%
30%
Hutan Lindung
50%
20%
30%
Hasil pembagian dana yang diterima oleh pemerintah akan
diperlakukan sebagai PNBP; sementara pembagian dana bagi
masyarakat akan disalurkan ke dalam bentuk trust fund yang
pengelolaannya diatur bersama oleh masyarakat dan pemerintah
desa serta pengembang proyek. Trust fund ini dipergunakan
untuk membiayai “..kegiatan pengamanan areal hutan proyek
Pengembangan RAP-KARBON dan/atau PAN-KARBON dalam
rangka mencegah kebocoran (leakeage)...(Pasal 17 ayat 4)”.
Berbeda dengan REDD sebagaimana diatur dalam Permenhut P
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
143
30/2009 yang mengaitkan dana hasil REDD dengan pengentasan
kemiskinan, dana yang diterima dari proyek karbon itu
sebenarnya juga dipergunakan untuk keperluan pemberdayaan
masyarakat namun dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
kebocoran (leakage) dari wilayah proyek tersebut.
(2) Peraturan perundang-undangan tidak langsung mengatur
REDD
Untuk membicarakan soal peratuaran perundang-undangan yang
mengatur secara tidak langsung skema REDD, mau tidak mau akan
mengarah pada persoalan perubahan iklim dan atau lingkungan
hidup serta pengelolaan sumber daya alam. Jika diteropong
dalam masalah ini, REDD sebenarnya bagian kecil dari persoalan
lingkungan yang coba dicandra oleh pemerintah.
Karena pengaturannya hanya dalam bentuk Permenhut,
sementara urusan pengembangan skema REDD ini digantungkan
pada kebijakan lain yang justru lebih umum dan mendasar,
seperti dengan persoalan Kehutanan dan Tata Ruang, maka REDD
menghadapi keterbatasan karena tidak bisa mengatur di luar lingkup
Departemen Kehutanan. Dalam soal itu pula mencari hubungan
REDD dengan peraturan di atasnya menjadi penting.
Ada beberapa sektor yang terkait langsung dengan soal
perubahan iklim/REDD ini:
1. Lingkungan hidup
- UU No. 6 Tahun 1994 tentang Ratifikasi UNFCCC
- UU No 17 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
hidup. UU Ini mengganti UU No.23 Tahun 1997 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pada 5 Juni 1992, Indonesia menandatangani Konvensi
Perubahan iklim (UNFCCC) dan meratifikasinya ke dalam UU
No. 6 Tahun 1994 tentang Ratifikasi UNFCCC. Ini merupakan
bukti keseriusan pemerintah dalam menanggapi isu perubahan
iklim. Namun bisa dikatakan derajat kepentingan Indonesia,
sebagai negara berkembang dan masuk dalam kategori negara
Non-Annex, dalam soal perundingan iklim ini sangat rendah.
Karena tidak ada kewajiban apapun yang ditimpakan perjanjian
internasional itu kepada Indonesia serta tidak ada insentif apapun
kepadanya. Walaupun demikian, sebagai negara berkembang dan
anggota UNFCCC, Indonesia diharuskan melaporkan kondisi Gas
Rumah Kaca dampak dan usaha mitigasinya kepada sekretariat
UNFCCC. Dokumen yang dilaporkan itu bernama “The First
144
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
National Communication on Climate Change Convention” yang
dilaporkan kepada Sekretariat UNFCCC pada tahun 1999.
Pada tahun 1997, Pemerintah Indonesia menandatangai
Protokol Kyoto dan meratifikasinya pada Bulan Juni tahun 2004
dan dituangkan dalam bentuk UU No 17 Tahun 2004. Salah
satu keuntungan Indonesia dalam Protokol Kyoto adalah dapat
terlibat dalam mekanisme CDM atau Mekanisme Pembangunan
Bersih. Komnas PI, dijelaskan di bawah, banyak berperan dalam
mendorong pembuat kebijakan agar meratifikasi Protokol Kyoto.
UU 23 Tahun 1997 memberikan jalan bagi upaya pengelolaan
lingkungan hidup, termasuk dalam usaha pencegahan kerusakan
lingkungan hidup. AMDAL adalah alat untuk mengukur sejauh
mana kegiatan pembangunan memberikan dampak pada daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta memberikan
solusi pengurangan dampaknya. Selain pencegahan, UU No 23
Tahun 1997 juga memberikan sanksi yang tegas kepada para
pencemar dengan mendayagunakan prinsip pencemar membayar
dan strict liability.
UU 32 Tahun 2009 bergerak lebih maju lagi. Instrumen
pencegahan kerusakan lingkungan tidak hanya Amdal/UKL-UPL,
tetapi juga Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), tata ruang,
baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup, izin lingkungan, instrumen ekonomi lingkungan hidup,
peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,
anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan
hidup, audit lingkungan hidup; dan instrumen lain sesuai
dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Selain itu di tingkat kebijakan akan ada yang namanya
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RPPLH) yag disusun secara berjenjang dari tingkat nasional,
provinsi sampai kabupaten/kota, inventarisasi lingkungan hidup
(nasional, pulau/kepulauan dan ekoregion) dan penetapan
wilayah ekoregion.
Dalam lingkup lingkungan hidup pula diatur soal penanganan
kebakaran hutan dan lahan, yang dalam soal sumbangannya pada
emisi Indonesia menempati posisi paling atas.
2. Penataan ruang
- UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang telah
dirubah dengan UU No. 26 Tahun 2007.
Proses penataan ruang dianggap dapat memberikan arahan
bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan karena tidak
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
145
hanya soal penataan ruangnya yang diatur, tetapi juga masalah
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Ketiga hal itu penting dalam soal perubahan iklim penataan
ruang (yang disertai dengan lemahnya pengawasan) menyebabkan
banyak lahan dalam kondisi tidak jelas peruntukannya sehingga
menyulitkan untuk dikendalikan.
Soal lemahnya penegakan hukum dalam mengawasi
peruntukan lahan diselesaikan oleh UU 26/2007 yang
memberikan sanksi bagi siapa saja yang melanggar peruntukan
lahan yang sudah disepakati sebelumnya.
3. Kebencanaan
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanganan
Bencana
Persoalan kebencanaan merupakan persoalan yang dalam
kacamata pemerintah Indonesia dianggap paling dekat untuk
didekatkan dengan pengendalian perubahan iklim. Beberapa kali,
Pemerintah dalam dokumen perencanaan memandang penting
pengendalian soal kebencanaan ini dengan melihat, misalnya,
posisi geografis Indonesia yang berada di garis gunung berapi,
dan diapit dua samudera besar. Pada saat yang sama, kondisi
kebanyakan penduduknya masih belum sejahtera sehingga masih
banyak penduduk yang berdiam di wilayah rawan bencana dan
tidak menyadari soal kerawanan ini.
Berbeda dengan cara pendekatan dulu dalam memandang
soal kebencanaan yang selalu berlaku sebagai “pemadam
kebakaran” atau pada saat terjadi bencana. UU 24/2007 ini
memberikan arahan lain dalam penanganan kebencanaan yang
tidak hanya pada saat terjadi bencana, tetapi juga pada sebelum
terjadi bencana (sistem pencegahan dini, pendidikan tentang
kerawanan wilayah,dst) serta monitoring dan pengawasannya.
UU 24/2007 melengkapi dirinya dengan BNPB, sebuah badan
di tingkat nasional, yang wewenang pada saat terjadi bencana/
keadaan gawat darurat, dapat memerintah badan pemerintah/
swasta apapun, seperti TNI, untuk membantu proses evakuasi
bencana dan dapat memidanakan pihak yang menghalangi
kerja BNPB ketika melakukan evakuasi bencana. Selain itu,
soal pendanaan juga diatur sehingga dana dapat dipergunakan
untuk kegiatan yang tepat sasaran. BNPB ini ditetapkan dengan
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB).
UU 24/2007 dilengkapi dengan tiga Peraturan Pemerintah
turunannya, yaitu: (1) PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang
146
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; (2) PP Nomor 22
Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan
Bencana; serta (3) PP Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta
Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah
dalam Penanggulangan Bencana. Untuk mengatur kelembagaan
di tingkat pusat dan daerah, telah ditetapkan
4. Kehutanan
- Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
sebagaiman diubah dengan UU No 19 Tahun 2004
Kehutanan jelas sektor yang sangat dekat sekali dalam soal
perubahan iklim. Posisinya sangat unik, karena hutan dapat
bekerja sebagai penyebab peningkatan emisi rumah kaca atau
juga sebagai penyerap emisi rumah kaca. Posisi yang unik
ini serta sulitnya menghitung emisi yang keluar dari hutan
menyebabkan perdebatan tentang hutan dalam perundingan
iklim berjalan tersendat-sendat.
Kehutanan dianggap sebagai faktor penting dalam perjanjian
iklim pasca Protokol Kyoto baru dibicarakan kencang di COP 11 di
montreal sampai COP 15 di Kopenhagen. Skema REDD menjadi
skema yang paling siap untuk dijadikan pengganti Protokol
Kyoto pasca 2012 dan itu berimbas pada peningkatan posisi
Departemen Kehutanan dalam soal perubahan iklim ini.
UU 41/1999 memberikan arahan bagi pengelolaan kehutanan
di Indonesia yang secara status dibedakan menjadi dua, yaitu
hutan negara dan hutan hak. Karena posisi yang lebih kuat dan
lebih luas maka soal hutan negara sebenarnya lebih banyak
dibicarakan ketika berbicara soal “hutan”.
Pemerintah c.q. Departemen Kehutanan sebagai pengelola
hutan di Indonesia mengatur semua urusan yang ada
hubungannya dengan penggunaan kawasan hutan, termasuk
soal peruntukan hutan dan bagi siapa serta seberapa lama.
Kebijakan desentralisasi membuat Departemen Kehutanan
harus membagi perannya dalam mengelola kehutanan dengan
pemerintah daerah; walaupun dalam kenyataannya, peran
pemerintah daerah tetap kecil.
Sektor kehutanan menjadi penting dalam soal perubahan
iklim karena ia menjadi penyumbang terbesar emisi dari
Indonesia (kebanyakan dari kebakaran hutan dan pembukaan
hutan – apalagi jika lahannya gambut). Dengan menurunkan
emisi dari sektor kehutanan, maka Indonesia mempunyai
peluang besar untuk menurunkan emisi sebanyak 26% di
tahun 2020.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
147
Dalam proses penurunan emisi sendiri, bisa dikatakan,
Indonesia tinggal membetulkan praktik-praktik tidak baik
dalam pengelolaan hutan, seperti menyelesaikan masalah tata
batas kawasan hutan (mis. kawasan hutan yang tumpang tindih
peruntukan (dan kepemilikannya) dengan pihak lain, termasuk
dengan masyarakat adat), mengatur soal pelepasan kawasan
hutan, alih status kawasan hutan, pembalakan liar (direncanakan
atau tidak direncanakan), serius dalam mengelola kawasan hutan
konservasi dan hutan lindung serta pengelolaan dan pengawasan
pada pemanfaatan hutan produksi.
Tetapi tinggal membetulkan praktik-praktik itu tidaklah
berarti menyelesaikan soal dalam kehutanan ini gampang
adanya. Keterikatan hutan dengan kepentingan ekonomi, sosial
dan politik membuat persoalan kehutanan tidak bisa diselesaikan
sendiri oleh kehutanan. Apalagi praktik tidak baik itu sudah
mengarah pelemahan institusi kehutanan (misalnya, dengan
perilaku korupsi).
Beberapa peraturan pelaksanana UU 41/1999 yang
berhubungan dengan soal perubahan iklim antara lain: PP. No.
44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; PP No. 45
Tahun 2004 tentang perlindungan Hutan; PP No 6 Tahun 2007
tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
serta pemanfaatan hutan; serta PP 10 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
5. Pertanian
- UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
- Undang-Undang No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
- Undang-Undang No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Jika dilihat dari masa hubungannya dengan persoalan
perubahan iklim, pertanian merupakan salah satu sektor yang
mempunyai hubungan panjang dengan soal perubahan iklim ini,
terutama dihubungkan dengan kegiatan di bidang klimatologi
dan metereologi. Kerja pertanian memang banyak ditentukan
oleh kondisi iklim daerahnya. Pemerintah sudah memperhatikan
kerentanan pertanian ini sejak perlunya dibangun stasiun-stasiun
iklim untuk membantu petani meramalkan musim.
Pertanian merupakan sektor lain yang sebenarnya, dalam
konteks LULUCF, memegang peranan penting dalam soal
pengendalian perubahan iklim. Pertanian, sebagaimana
kehutanan, sama-sama berurusan dengan masalah pemanfaatan
148
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
lahan yang kontestasinya sangat tinggi; apalagi dengan kondisi
Indonesia yang kemajuan ekonominya masih mengandalkan
pada sumber daya alam. Tetapi pertanian juga berperan sebagai
penyumbang emisi.
Jika dihubungkan dengan soal peningkatan emisi dari hutan,
peran pertanian, terutama perkebunan memegang peranan
besar. Pembukaan lahan hutan, baik berizin maupun tidak
berizin, untuk kepentingan perkebunan yang berjalan dengan
sangat masif telah menjadi faktor utama terjadinya deforestasi
di Indonesia. Perhatian yang lebih besar untuk mengarahkan
sektor perkebunan agar tidak mempergunakan lahan hutan
dalam ekspansi lahannya perlu dilakukan segera. Apalagi,
banyak pembukaan lahan hutan atau praktik perkebunan besar
yang dikerjakan di lahan bergambut. Praktek ini sebenarnya
diperbolehkan dengan kriteria tertentu yang ditentukan oleh
perundang-undangan (mis. Permentan no. 14/Permentan/
PL.110/2/2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut
untuk budidaya kelapa sawit)
Agar deforestasi bisa dibatasi dan pemakaian lahan gambut
untuk kepentingan perkebunan harus dibuat kebijakan yang
mempersulit kedua proses itu terjadi yang dalam kenyataannya
justru lebih mudah, karena misalnya hanya dengan perizinan dari
bupati, perkebunan di lahan APL dapat dilangsungkan. Selain
pendekatan lewat perubahan regulasi, mempersulit pemakaian
lahan hutan dan lahan bergambut buat perkebunan dapat
juga dilakukan lewat pendekatan ekonomi, seperti pengenaan
disinsentif berupa pajak ekspor atau bentuk pajak lainnya.
Dalam soal lahan untuk pangan, pemerintah makin
menyadari semakin sempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi
lahan pertanian yang masif yang terjadi di Jawa. Sebagai usaha
untuk mencapai ketahanan pangan, pemerintah mencari lahanlahan subur yang berada di luar jawa. Kebanyakan lahan itu
berada di kawasan hutan. Ini juga menjadi persoalan penting
di dalam pengendalian perubahan iklim.
Apalagi disadari bahwa iklim yang berubah-ubah seperti
sekarang ini membuat posisi pertanian juga menjadi rentan
yang mendatangkan berbagai masalah seperti sulitnya memulai
masa tanam, kerusakan saat panen, timbulnya hama tanaman
baru dan lebih kebal terhadap pestisida, dan masih banyak lagi.
Masalah tersebut tentu akan menggangu ketahanan pangan yang
dengan tersengal dicobategakkan oleh pemerintah.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
149
(ii) Kelembagaan
Kelembagaan merupakan faktor kedua yang penting untuk melihat
bagaimana suatu kebijakan (pemerintah) direalisasikan di tingkat
lapangan. Pembentukan kelembagaan merupakan isyarat penting bahwa
kebijakan itu bisa dijalankan. Dalam menganalisa kelembagaan ini ada
beberapa isu yang bisa dikemukakan, seperti misalnya: (1) distribusi hak
dan kewajiban antar aktor; (2) koordinasi atau interaksi antar aktor dan
(3) Institusi/lembaga ini menentukan siapa yang mempunyai akses ke
suatu sumber daya dan kekuasaan untuk membuat keputusan.
Pengertian kelembagaan ini hanya merujuk pada proses pembentukan
lembaga dan bagaimana lembaga tersebut bekerja untuk mewujudkan
kebijakan pemerintah. Karenanya ia tidak merujuk pada pengertian
“institutionalisasi” yang tidak hanya mencakup pembentukan
lembaga tetapi juga proses pelembagaan nilai-nilai dan struktur yang
berkembang.
Sebelum melangkah ke arah sana, akan dibicarakan terlebih dahulu
sejarah singkat pembentukan lembaga terkait perubahan iklim dan
REDD di Indonesia.
(1) Sejarah singkat pembentukan kelembagaan terkait perubahan
iklim/REDD
Dalam soal pembentukan lembaga yang mengurus perubahan
iklim, Indonesia sudah berjalan jauh. Kementerian Lingkungan
Hidup menjadi pionirnya. Bukan hanya dalam soal ditunjuknya KLH
sebagai “national focal point” atau “perwakilan nasional” Indonesia
perundingan UNFCCC atau adanya Unit Perubahan Iklim yang berada
di bawah Deputi Perlindungan Lingkungan Hidup. Namun, KLH
pada awal tahun 1990-an diisi oleh orang-orang yang punya visi
jauh dan berdedikasi tinggi dalam soal lingkungan hidup sehingga
menghasilkan ide-ide perlindungan lingkungan hidup cukup visioner
untuk ukuran negara berkembang seperti Indonesia.
Pada tahun 1990, Pemerintah Indonesia sudah membentuk
lembaga yang bernama Komisi Nasional tentang Iklim dan
Lingkungan Hidup yang diketuai oleh Menteri Lingkungan Hidup
dengan anggotanya yang berasal dari berbagai sektor seperti
kehutanan dan pertanian (NEDO, 2006). Pembentukan lembaga
ini mendahului keterlibatan pemerintah Indonesia dalam Konvensi
Bumi di Rio de Janeiro, 1992. Ia merupakan respon KLH dengan
semakin menanjaknya isu perubahan iklim – waktu itu tepatnya
soal lapisan ozon yang bolong – di dunia internasional.
Pada tahun 1992, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini
Kementerian Lingkungan Hidup, kembali membentuk lembaga ad
150
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
hoc yang berhubungan dengan antisipasi perubahan iklim bernama
Komisi Nasional Perubahan Iklim (Komnas PI). Komnas PI ini
dibentuk dengan Keputusan MenLH No. 35 Tahun 1992.
Keanggotaan Komisi Nasional Perubahan Iklim ini pada awalnya
lebih luas dari Komisi Nasional Iklim dan Lingkungan Hidup,
karena anggotanya tidak hanya datang dari pihak pemerintah, tetapi
juga dari kalangan akademik dan NGO. Jika dilihat dalam struktur
pemerintah saat itu, pembentukan lembaga pemerintah yang
memasukkan unsur NGO menjadi catatan tersendiri. Bahkan bisa
dikatakan, pembentukan lembaga selanjutnya, baik di dalam soal
perubahan iklim maupun REDD tidak lagi menempatkan anggota
non-pemerintah sebagai salah satu anggotanya.
Namun, struktur keanggotaan Komnas PI ini berubah seiring
dengan lahirnya Keputusan MenLH No. 53 Tahun 2003 dengan
hanya meninggalkan anggota dari kalangan pemerintah saja.
Tugas Komnas PI ini adalah membantu Pemerintah Indonesia
dalam membuat kebijakan untuk mengantisipasi dampak perubahan
iklim, memonitor dan mengevaluasi kebijakan yang ada terkait
perubahan iklim dan pelaksanaan di lapangan. Komnas juga bertugas
untuk memberikan bantuan kepada Pemerintah Indonesia dalam
menanggapi perkembangan perundingan internasional terkait
perubahan iklim dan menginisiasi kerjasama baik secara nasional,
regional dan internasional dalam mengantisipasi dampak perubahan
iklim.
Seiring dengan makin ramainya perbincangan soal mitigasi
perubahan iklim dari sektor kehutanan yang diatur dalam Protokol
Kyoto, Indonesia menanggapinya dengan meratifikasi Protokol Kyoto
dengan UU No 17 Tahun 2004. Sayang sekali, ketika Protokol Kyoto
diimplementasikan di lapangan, pengurangan emisi dari deforestasi
dijadikan skema yang hanya berlaku di negara-negara industri
(Annex 1), dan dikeluarkan dari Mekanisme Pembangunan Bersih
atau CDM. Padahal hanya dalam skema CDM inilah, negara-negara
berkembang dapat bekerja sama dengan negara-negara maju dalam
usaha mitigasi perubahan iklim.
Kebijakan Indonesia terkait CDM cukup tanggap dengan
pembentukan peraturan serta lembaga. Sebelum adanya CDM,
kebijakan Indonesia terkait perubahan iklim masih kabur dan tidak
ada keterkaitannya dengan apa yang dilakukan di dalam negeri
Indonesia. CDM merupakan piranti internasional pertama terkait
perubahan iklim yang diadopsi oleh Indonesia dan dimasukkan
dalam kebijakan pemerintah Indonesia. Wujud dari kebijakan itu
tampak dalam peraturan perundang-undangan serta pembentukan
lembaga.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
151
Terkait dengan soal kelembagaan, Pemerintah Indonesia
memutuskan untuk mengambil alih tugas Komnas PI dan kemudian
diserahkan ke lembaga baru bernama Komisi Nasional Mekanisme
Pembangunan Bersih atau Komnas MPB. Komnas MPB itu sendiri
merupakan perwujudan dari Designated National Authority
sebagaimana diminta dalam Protokol Kyoto dan berada di bawah
naungan Kementerian Lingkungan Hidup. Komnas MPB ini didirikan
dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 206 Tahun 2005.
Dengan pengambil alihan tugas ini, Komnas PI pun dibubarkan.
Komnas MPB ini bertanggungjawab untuk mengeluarkan surat
persetujuan atas usulan proyek-proyek CDM, melakukan monitoring
terhadap kemajuan proyek CDM, mengorganisir pertemuanpertemuan untuk tim teknis, serta memberikan konsultansi dan
fasilitasi kepada para pemangku kepentingan, pengembang proyek, dan
masyarakat terkait dengan data dan informasi terkait dengan CDM.
Struktur Komnas MPB mengalami perubahan yang disebabkan
karena lahirnya Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada tahun
2008. Perubahan Komnas MPB ini ditetapkan dengan KepmenLH
No. 522 Tahun 2009 yang berupa perubahan pada struktur dengan
memasukkan Komnas MPB ke dalam kesekretariatan DNPI,
menambah jumlah anggota Komnas MPB dari 9 menjadi 14 instansi,
membentuk Tim Teknis, Kelompok Tenaga Ahli dan Forum Para
Pemangku Kepentingan. Kesekretariatan DNPI juga berkewajiban
untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan Komnas MPB.
Dengan demikian, Komnas MPB ini tidak diambil alih tugasnya
oleh DNPI, sebagaimana Komnas MPB mengambil tugas Komnas
PI. Hal tersebut terjadi karena posisi Komnas MPB diwajibkan ada
jika Indonesia ingin mendapatkan insentif dari adanya proyek CDM.
Selain itu, DNPI sendiri menjadi salah satu anggota Komnas MPB.
(2) Lembaga terkait REDD
Di tempat lain, di Departemen Kehutanan tidak tinggal diam
dalam mengantisipasi isu perubahan iklim ini, terutama dengan
semakin menguatnya dorongan dari komunitas internasional
untuk mengikutsertakan hutan – dalam hal ini pengurangan emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan – ke dalam strategi mitigasi
perubahan iklim. Bahkan, sampai sekarang, hanya opsi REDD ini
yang lebih siap dijadikan sebagai pengganti Protokol Kyoto pasca
2012 nanti.
Selain memberdayakan fungsi-fungsi kelembagaan yang ada
di bawah Departemen Kehutanan (sekarang menjadi Kementerian
Kehutanan), seperti Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dirjen
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Dirjen PHKA dan Baplan
152
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
serta Balitbang Dephut, Kemenhut juga merasa penting untuk
membentuk badan ad-hoc di luar lembaga-lembaga yang sudah ada.
1. IFCA - Indonesia Forest Climate Alliance.
Pada bulan Juli 2007, Kemenhut membentuk IFCA atau Indonesia
Forest Climate Alliance yang dimaksudkan sebagai forum untuk
komunikasi/ koordinasi para stakeholder serta memberikan fasilitasi
substansi dalam membahas isu-isu REDD. IFCA ini berada di bawah
Badan Litbang Kehutanan. IFCA ini tidak mempunyai nama resmi
dalam Bahasa Indonesia; biarpun ia adalah lembaga yang dibentuk
oleh Departemen Kehutanan.
Di dalamnya, anggotanya tidak hanya berasal dari staf Dephut,
tetapi juga stakeholder lain semisal Bappenas atau KLH, serta dari nonpemerintah, seperti dari kalangan NGO atau lembaga penelitian, baik
nasional maupun internasional. Karena hanya sebagai forum kemunikasi,
IFCA tidak mempunyai kewenangan apapun yang sifatnya eksekutif. Ia
malah menjadi semacam think tank yang menggodok skema REDD versi
Indonesia atau menyebarluaskan pentingnya skema REDD dan harus
terlibatnya Indonesia REDD kepada segenap khalayak.
Sebagaimana sudah disinggung dalam soal perencanaan kebijakan
pemerintah c.q. Departemen kehutanan, pada tahun 2007 dan tahun
2008, tidak ada kegiatan pemerintah yang berhubungan langsung dengan
skema REDD, yang berkonsekuensi pada tidak ada atau minimnya
alokasi dana yang disediakan oleh pemerintah untuk mendorong isu
ini. Karena itu dapat dipahami ketika IFCA dalam melakukan penelitian
soal REDD tersebut mengandalkan bantuan asing seperti dari Bank
Dunia, Pemerintah Australia, Inggris dan Jerman. Mungkin ini alasan
paling sahih mengapa IFCA tidak memiliki nama resmi dalam Bahasa
Indonesia.
Kontribusi IFCA yang dapat dicatat adalah dengan membuat
semacam path way REDD dari mulai tahap perencanaan, readiness
sampai implementasi penuh di tahun 2012. Path way ini kemudian
dipublikasikan dengan judul : “IFCA Consolidation Report: REDD in
Indonesia”(Departemen Kehutanan, 2008).
2. Lembaga ad hoc yang disinggung dalam 3 Permenhut terkait
REDD
Permenhut P 68/2008 menyiapkan sebuah lembaga yang bertugas
membantu Menhut menilai usulan DA REDD dari para pengembang
bernama Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan
Departemen Kehutanan. Sebagaimana disebutkan akan disebutkan di
bawah, ada beberapa nama Kelompok Kerja yang berhubungan dengan
soal perubahan iklim, namun baru dengan SK 2010 dibentuk atau
tepatnya revisi pmbentukan lembaga yang memang bertugas untuk
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
153
memberikan penilaian usulan pihak ketiga terkait kegiatan mitigasi,
adaptasi, transfer teknologi dalam Kementerian Kehutanan, yang
bernama Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan.
Untuk melaksanakan Permenhut P 30/2009 secara paripurna,
Departemen Kehutanan harus membentuk atau menunjuk beberapa
lembaga, yakni membentuk Komisi REDD dan menunjuk Komite
Akreditasi Nasional untuk mengakreditasi Lembaga Penilai Independen
sebelum keputusan lahir di tingkat UNFCCC. Dalam tulisan ini hanya
akan dibahas Komisi REDD saja.
-
Komisi REDD
Komisi REDD ini adalah komisi yang dibentuk oleh Menteri
Kehutanan dan bertugas dalam pengurusan pelaksanaan REDD.
Dalam Permenhut P 30/2009 tidak ada satu pasal pun yang
menyebutkan ketentuan lebih lanjut soal pembentukan Komisi
REDD ini. Seolah sudah ada Komisi REDD di tingkat Departemen
Kehutanan. Dalam kenyataan Komisi REDD ini belum dibentuk.
Memang sempat ada draft Permenhut yang mengatur soal
pembentukan Komisi REDD ini.92 Namun sampai sekarang kelanjutan
penyusunan Permenhut REDD masih dalam tahap revisi.93
Permenhut ini juga tidak memberikan arahan lembaga mana
yang sementara akan mengerjakan tugas Komisi REDD jika Komisi
REDD belum terbentuk. Jelasnya, dari sejak 1 Mei 2009 sampai saat
tulisan ini dibuat, posisi Permenhut itu masih belum bisa bergerak
karena belum ada lembaga yang mengurus soal permohonan REDD
atau mengeluarkan Sertifikat Pengurangan Emisi Karbon.
Tapi pemerintah memang tidak perlu terburu-buru dalam
soal pembentukan REDD ini, mengingat status REDD yang masih
digantungkan pada hasil di perundingan internasional. Selain itu,
Permenhut ini sudah membuat jalan keluarnya sendiri: sebelum
tahun 2012 atau saat diberlakukannya REDD, maka REDD akan
dilakukan dalam bentuk DA REDD, peningkatan kapasitas dan
transfer teknologi, serta perdagangan karbon sukarela.
Untuk DA REDD, tugas itu bisa diambil alih oleh Pokja PI
Kemenhut, sementara untuk perdagangan karbon sukarela bisa
diselaraskan dengan Permenhut P 36/2009.
Permenhut P 36/2009 sendiri hanya membutuhkan pembentukan
satu lembaga saja, yakni Badan Registrasi Nasional. Pembentukan
konsultan atau lembaga penilai independen sendiri tidak diatur
karena bisa memakai lembaga penilai independen yang ada.
92
93
Draft yang dimiliki Penulis tertanggal 18 Maret 2009 berjudul Komisi Penanganan Pengurangan Emisi dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (Komisi REDD).
IFCA, 2010. REDD Indonesia: sampai dimana kita? IFCA Newsletter, Volume 1 May 2010.
154
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Sementara dalam urusan pengurusan permohonan, Permenhut ini
mempergunakan lembaga yang sudah ada di dalam Dephut, yakni
Dirjen BPK yang dibantu oleh Dirjen Baplan.
Namun Permenhut mengatur cara jika Badan Registrasi Nasional
belum terbentuk. Tugas Badan Registrasi Nasional akan dilakukan
oleh Dirjen BPK. Tapi bentuk peregistrasian itu masih harus
dijelaskan mengingat Dirjen BPK ini sangat luas: ke bagian mana
di dalam Dirjen BPK penyampaian hasil verifikasinya? Kejelasan
ini penting karena dari hasil registrasi itu akan muncul yang
namanya Sertifikat VER (Verified Emission Reduction) yang bisa
diperjualbelikan baik di pasar dalam maupun luar negeri.
3. Kelompok Kerja Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
(REDD)
Pokja ini dibentuk berdasarkan SK Balitbang No 5/VIII-SET/2009
pada tanggal 13 Februari 2009 namun keberlakuan SK ini berlaku surut
hingga tanggal 1 Januari 2009. Pokja ini berada di bawah Balitbang
Dephut dan memang dibentuk karena menyadari fungsi penting
Balitbang sebagai badan yang memberikan rekomendasi-rekomendasi
teknis-scientific berkaitan dengan rencana implementasi REDD.
Tugas Pokja REDD Balitbang itu sendiri adalah: 1. Mendokumentasikan
seluruh informasi berkaitan dengan hasil-hasil studi, penelitian, dan
inisiatif berkaitan dengan upaya penurunan emisi dari deforestasi dan
degradasi; 2. Menyusun rekomendasi-rekomendasi teknis-scientific dan
kebijakan tentang langkah tindak lanjut yang harus dilakukan Indonesia
guna menangkap peluang dari skema REDD dan proses negosiasi lebih
lanjut; 3. Bekerjasama dengan mitra memfasilitasi berbagai bentuk
pertemuan seperti focus group discussion, workshop dan lain-lain
dengan berbagai pihak, sebagai langkah persiapan implementasi skema
REDD di Indonesia; 4. Mensinergikan seluruh upaya dan kegiatan
yang berhubungan dengan penurunan emisi gas rumah kaca melalui
REDD di Indonesia dalam payung IFCA; 5. Mendukung tugas-tugas
Kelompok Kerja Perubahan lklim Lingkup Departemen Kehutanan
dalam melaksanakan program dan kegiatan yang terkait perubahan
iklim, terutama yang menyangkut aspek teknis-saintifik dan analisis
kebijakan; 6. Memberikan masukan kepada Kepala Badan Litbang
Kehutanan tentang kebijakan yang berkaitan dengan REDD dan isu
lain yang terkait perubahan iklim.
Dari tugas itu terlihat bahwa Pokja REDD Balitbang itu tidak
hendak dikerdilkan di bawah sarang Balitbang saja, tetapi merambah
pula ke tingkat nasional dengan memberikan rekomendasi, misalnya,
bagi penyusunan kebijakan terkait REDD pada pemerintah.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
155
Namun ada tugas yang terdengar agak janggal, yakni tugas ke-4
yang hendak menyinergikan semua upaya/kegiatan dalam soal REDD
di bawah payung IFCA. Apakah yang dimaksud itu lintas departemen
atau hanya internal departemen saja? Jika soalnya mengarah keluar dari
departemen maka pertanyaan soal legitimasi mengemuka. Misalnya
harus mensinergikan upaya terkait penurunan emisi lewat REDD ini
dengan DNPI: apakah kedudukan kedua badan ini sepadan. Lebih tepat
DNPI yang mensinergikan upaya/kegiatan terkait dengan REDD dengan
Pokja REDD Balitbang.
Ini, sebagaimana akan dilihat di bawah ketika membicarakan
soal Kelompok kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan,
memperlihatkan adanya semangat yang luar biasa dari kalangan
Departemen Kehutanan untuk menarik semua isu REDD ke tangan
Dephut dan di sisi lain menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga di
bawah Dephut saling bersaing dalam soal REDD. Balitbang – lewat
Pokja REDD – memosisikan dirinya sebagai lembaga yang hendak
menyinergikan seluruh upaya dan kegiatan terkait REDD di bawah
IFCA, tanpa sama sekali menyebut di wilayah mana dan berdasarkan
kewenangan apa. Balitbang memang dapat percaya diri dalam berbicara
soal REDD (atau perubahan iklim lingkup Dephut) karena di dalam
Renja Dephut sendiri sejak 2008 - 2010, banyak sekali kegiatan yang
mengarah pada penelitian soal REDD.
Soal koordinasi dengan lembaga lain. Ada dua lembaga yang disebut
dalam SK ini, yakni IFCA dan Kelompok kerja Perubahan Iklim lingkup
Departemen Kehutanan.
Hubungan dengan IFCA tidak disebutkan dengan jelas. Hanya saja
ada penjelasan bahwa IFCA ini dibentuk sebagai media komunikasi
dan fasilitasi substansi, koordinasi dan sinergi. Apakah Pokja REDD
ini ingin melakukan tugas yang berbeda dengan IFCA atau malah
ingin memperkuat peran IFCA, khususnya terkait dengan memberikan
rekomendasi-rekomendasi saintifik-teknis berkaitan dengan rencana
implementasi REDD? Dan yang lebih penting lagi, apakah ada perbedaan
antara IFCA dengan Pokja REDD Balitbang ini?
Sebaliknya, hubungan dengan Kelompok kerja Perubahan Iklim
lingkup Departemen Kehutanan disebutkan dengan jelas dimana Pokja
REDD akan mendukung tugas Pokja PI, terutama untuk soal analisa
kebijakan dan rekomendasi saintifik-teknis.
4. Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan
Departemen Kehutanan
Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan
Departemen Kehutanan merupakan lembaga yang disebut di dalam
156
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Permenhut P 68/2008 yang bertugas membantu Menteri Kehutanan
dalam menilai kelayakan permohonan Demonstration Activities (DA)
REDD yang diajukan para pemohon. Penulis tidak bisa melacak
keberadaan lembaga yang sebenarnya dibutuhkan dengan segera ini.
Hanya saja pada tahun 2008, dengan SK Nomor 455/Menhut-II/2008,
Departemen Kehutanan ternyata membentuk sebuah lembaga dengan
nama yang hampir mirip Kelompok Kerja Perubahan Iklim di Lingkungan
Departemen Kehutanan. Perbedaan nama membuat penulis yakin bahwa
kedua lembaga tersebut merupakan dua lembaga yang berbeda. Selain
itu, yang paling penting adalah, sebagaimana akan dijelaskan di bawah,
Kelompok Kerja Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan
ini tidak diberikan kewenangan untuk membantu Menteri Kehutanan
dalam menilai usulan pihak ketiga terkait DA REDD.
5. Kelompok kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan
Penulis membuat penamaan generik berupa Pokja Perubahan Iklim
karena berubah-ubahnya pembentukan serta nama pada, setidaknya
tiga, lembaga yang ketika dibaca sebenarnya menyandang tugas yang
sama. Sub-judul di atas dipakai karena nama lembaga itu yang paling
akhir dibentuk dan sampai sekarang belum ada perubahan baik dari
nama maupun struktur organisasinya.
Keberadaan Pokja Perubahan Iklim di bawah Kementerian Kehutanan
ini ternyata berubah-ubah dan menunjukkan dinamisnya pembentukan
kelembagaan terkait REDD di Departemen Kehutanan.
Setelah pembentukannya pada 2 Desember 2008, Kelompok Kerja
Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan dalam waktu
yang sangat singkat, kemudian dirubah menjadi Kelompok kerja
Perubahan Iklim lingkup Departemen Kehutanan, yang dibentuk
dengan SK No. 13/Menhut-II/2009 pada tanggal 12 Januari 2009.
Namun hampir setahun kemudian, pada tanggal 26 Januari 2010,
Kementerian Kehutanan mengeluarkan SK Nomor 64/Menhut-II/2010
yang merupakan perubahan terhadap SK Nomor 13/Menhut-II/2009
sekaligus membubarkan Kelompok kerja Perubahan Iklim lingkup
Departemen Kehutanan dan menggantikannya dengan Kelompok kerja
Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan.
Tabel di bawah mencoba untuk menjabarkan perbedaan antara tiga
lembaga yang sebenarnya bertugas sama namun perbedaan kebijakan
di atasnya telah membuatnya bisa dibedakan. Ada beberapa isu yang
layak untuk dicatat.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
157
Tabel 3.8. perbedaan lembaga terkait perubahan iklim
di bawah Dephut
Item
Pembeda
SK Nomor 455/
Menhut-II/2008
SK No. 13/MenhutII/2009
SK No. 64/
Menhut-II/2010
Kelompok Kerja
Perubahan Iklim di
Lingkungan Departemen Kehutanan
Kelompok kerja
Perubahan Iklim
lingkup Departemen
Kehutanan
Kelompok kerja
Perubahan Iklim
Kementerian Kehutanan
Dasar
‘…perlu ditetapkan
pembentu- kebijakan pengelokan
laan hutan dengan
mengembangkan
pengendalian perubahan iklim di
bidang Kehutanan’
“…perlu ditetapkan
kebijakan pengelolaan hutan yang
mengaplikasikan
pengendalian perubahan iklim di
bidang Kehutanan”
“…dikembangkan
kebijakan pengelolaan hutan secara
lestari sebagai
upaya mitigasi perubahan iklim”
Dasar Perundangundangan
10 item
10 item
11 item (ditambah
dengan Perpres No
84/P tahun 2009)
Tugas
a. memberikan
a. memberikan
a. memberikan
masukan kepada
masukan kepada
masukan keMenteri KehuMenteri Kehupada Menteri
tanan tentang
tanan tentang
Kehutanan tenkebijakan, dan
kebijakan, dan
tang kebijakan,
rencana strategi,
rencana strategi,
strategi, program
serta program
serta program
dan kegiatan
dan kegiatan
dan kegiatan
adaptasi dan
yang terkait peyang terkait pemitigasi perubarubahan iklim
rubahan iklim
han iklim pada
di lingkungan
lingkup Departekementerian KeDepartemen Kemen Kehutanan
hutanan
hutanan
b. Membantu
b. Membantu Menb. Membantu MenMenteri Kehuteri Kehutanan
teri Kehutanan
tanan di dalam
di dalam melakdi dalam melakmelaksanakan
sanakan tugas
sanakan kegiakegiatan yang
kegiatan-kegtan yang terkait
terkait perubahan
iatan adaptasi,
perubahan iklim
iklim yang memitigasi, dan
yang meliputi
liputi kegiatanalih teknologi
kegiatan-kegkegiatan adaptasi,
pada Kementeiatan adaptasi,
mitigasi, dan alih
rian Kehutanan.
mitigasi, dan
teknologi lingkup c. Membantu Menalih teknologi
Departemen Keteri Kehutanan
di lingkungan
hutanan.
melakukan
Departemen Ke- c. Membantu Menevaluasi kebihutanan.
teri Kehutanan
jakan adaptasi,
mitigasi, dan
Nama
158
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
c. Membantu Men- mengevaluasi ke alih teknologi
teri Kehutanan
bijakan kegiatan
Kementerian
mengevaluasi
terkait perubahan
Kehutanan.
kebijakan kegiklim yang med. Mengelola data
iatan terkait
liputi kegiatandan informasi
perubahan iklim
kegiatan adaptasi,
kegiatan-kegyang meliputi
mitigasi, dan alih
iatan adaptasi,
kegiatan-kegteknologi lingkup
mitigasi, dan
iatan adaptasi,
Departemen Kealih teknologi
mitigasi, dan
hutanan.
pada Kementealih teknologi
d. Mengelola data
rian Kehutanan.
di lingkungan
dan informasi
e. Membantu
Departemen Keterkait perubahan
menteri Kehuhutanan.
iklim yang metanan menilai
d. Mengelola data
liputi kegiatanusulan kegiatan
dan informasi
kegiatan adaptasi,
pihak ketiga
terkait perubamitigasi, dan alih
yang berkaitan
han iklim yang
teknologi lingkup
dengan implemeliputi kegDepartemen Kementasi kebiiatan-kegiatan
hutanan.
jakan adaptasi,
adaptasi, mitie. Memfasilitasi inimitigasi dan
gasi, dan alih
siatif para pihak
alih teknologi
teknologi di
dalam mitigasi
perubahan iklim
lingkungan Deperubahan iklim
pada Kementepartemen Kehudi bidang kehurian Kehutanan
tanan
tanan, meliputi
yang antara lain
mekanisme pemmeliputi mekabangunan bersih
nisme pembandan pengurangunan bersih
gan emisi dari
dan pengurandeforestasi dan
gan emisi dari
degradasi hutan.
deforestasi dan
degradasi hutan
(REDD).
Ketua
Dirjen Baplan
Staf Ahli Menteri
Kehutanan Bidang
Kemitraan
Staf Ahli Menteri
Kehutanan Bidang
Kemitraan
Sekretaris
-(diganti dengan
ketua eksekutif,
yakni, Staf Ahli
Menteri bidang
Lingkungan Hidup)
Sekretaris I : Badan
Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan
sekretaris II : Direktur Perencanaan
Kawasan Huta
Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Kehutanan
Anggota
14 anggota (memasukkan Sekretaris Inspektorat
Jenderal)
12 Anggota
14 Anggota (memasukkan Kabiro
Perencanaan)
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
159
Pembiayaan
Anggaran Departemen
Kehutanan
KeDiatur dan wajib
beradaan/
pengangkatan
sekretariat/
sub-kelompok
Anggaran Departemen
Kehutanan
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Kementerian Kehutanan
Diatur dan wajib
Diatur tapi optional
(diserahkan pada
ketua Pokja)
Pertama: Asal usul. Nampak jelas bahwa SK No. 64/Menhut-II/2010
jauh lebih tegas dalam membuat alasan pembentukan lembaga ini
dengan menghubungkannya pada apa yang terjadi setelah COP 13 Bali
dan peranan hutan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Ia secara
terbuka menyatakan bahwa pengembangan kebijakan pengelolaan hutan
secara lestari memang bisa dijadikan strategi mitigasi perubahan iklim.
Titik tekannya ada pada pengembangan pengelolaan hutan secara lestari
dan bukan pada perubahan iklimnya. Sementara dalam 2 SK sebelumnya
disebutkan pengembangan kebijakan kehutanan disesuaikan dengan
pengendalian perubahan iklim.
Kedua: Legitimasi staf ahli menteri. Dari segi struktur organisasi,
dua SK menteri terakhir (2009 dan 2010) menempatkan lembaga di
bawah Menteri Kehutanan (Baplan, BPK, PHKA, RLPA, Balitbang,
Sekjen dan Irjen) berada di posisi sebagai pengarah, sementara dalam
SK tahun 2008, posisi Baplan justru sebagai ketua Pokja itu. Posisi ini
jelas “menurunkan” posisi Dirjen Baplan di bawah Dirjen-Dirjen lain.
Karena itu pula SK tahun 2008 itu hanya berlaku kurang dari satu
setengah bulan.
Namun menempatkan staf ahli sebagai ketua harian dalam Pokja PI
Kementrian Kehutanan juga rawan dalam soal legitimasi. Dalam Struktur
Organisasi Departemen Kehutanan, posisi staf ahli memang tinggi karena
langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri
Kehutanan, tapi dia tidak mempunyai relasi kerja dengan organisasi
lain di dalam Departemen Kehutanan (semisal Irjen, Dirjen)94. Memang,
dalam urusan keadministrasian ia diatur oleh Sekjen c.q. Biro Umum
bagian Tata Usaha Pimpinan, namun tidak dalam soal lainnya.
Staf ahli bahkan, menurut Permenhut P 13/Menhut-II/2005,95
bertugas memberikan telaahan mengenai masalah tertentu sesuai bidang
keahliannya, yang tidak menjadi bidang tugas Sekretariat Jenderal,
94
95
Lihat bagan struktur organisasi Departemen Kehutanan di dalam Permenhut P 13/Menhut-II/2005.
Dirubah dengan Permenhut P 64/Menhut-II/2008; namun tidak ada perubahan pada soal staf ahli
menteri
160
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Direktorat Jenderal, Badan, dan Inspektorat Jenderal. Tugasnya hanya
memberikan telaahan atas suatu perkara yang sesuai dengan bidang
keahliannya yang tidak menjadi tugas bagian lain di Departemen
Kehutanan. Lalu jika tugasnya hanya menelaah, dari mana datangnya
legitimasi untuk mengkoordinasi anggota dalam Pokja itu atau
mengangkat anggota sekretariat Pokja PI?
Seharusnya ada perubahan pada tugas staf ahli menteri terdahulu
sebelum membebankan dia dengan kewenangan yang lebih bersifat
“eksekutorial”.
Posisi staf ahli menteri sebagai ketua Pokja PI Kementerian
Kehutanan dan kemudian dihubungkan dengan tugas “sebenarnya” staf
ahli menteri sebenarnya membuka satu pesan penting: Departemen
Kehutanan masih belum yakin akan ditempatkan di mana, atau siapa
yang harus memegang isu perubahan iklim ketika harus diintegrasikan
ke dalam struktur organisasinya. Departemen Kehutanan hampir
yakin bahwa isu perubahan iklim dalam sektor kehutanan itu bukan
isu sektoral; ia harus bersifat lintas sektoral. Namun siapa yang lebih
punya kewenangan untuk memegang isu itu di dalam internal Dephut
sendiri? SK tahun 2008 dengan sangat yakin bahwa hal itu bisa
dikoordinasikan di bawah Dirjen Baplan, namun kemudian dianggap
tidak sesuai dan kemudian diserahkan kepada staf ahli menteri yang
bertugas hanya menelaah perkara yang bukan tugas lembaga di bawah
Menhut lainnya.
Penempatan staf ahli sebagai Ketua Pokja PI Kemenhut barangkali
dipergunakan untuk memperlihatkan bahwa isu perubahan iklim tidak
bisa berada di bawah kangkangan satu dirjen tertentu. Dalam hal ini,
penempatan itu sudah baik. Memberikan kursi ketua Pokja pada “orang
dekat menteri” juga bisa berdampak baik dalam meredakan perbedaan
persepsi antar dirjen atau badan di bawah Menhut terkait perubahan
iklim.
Di sisi lain, masalah terbatasnya tugas staf ahli menjadi keterbatasan
tersendiri dalam mengerjakan tugas terkait perubahan iklim (yang
bukan tugas dirjen, sekjen, irjen dan badan), tapi juga tidak otomatis
langsung menjadi kewenangan dirinya, tanpa ada perubahan dahulu
pada tugas pokoknya.
Ketiga: Koordinasi. Dari segi tugas, Kelompok kerja Perubahan
Iklim Kementerian Kehutanan (SK tahun 2010) menjadi pihak yang
menilai usulan - dan tidak lagi hanya memfasilitasi - pihak ketiga
dalam kegiatan terkait implementasi kebijakan perubahan iklim baik
itu berupa Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) atau REDD.
Menarik untuk menghubungkan tugas Kelompok kerja Perubahan
Iklim Kementerian Kehutanan ini terutama dalam membantu Menhut
dalam menilai usulan pihak ketiga terkait, antara lain CDM dan REDD,
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
161
dengan lembaga-lembaga lain (DNPI) termasuk dengan lembagalembaga yang disinggung keberadaannya dalam 3 Peraturan Menteri
terkait REDD maupun dalam soal CDM.
Dalam soal CDM, khususnya soal A-R CDM, Permenhut P 14/
Menhut-II/2004 menyebutkan bahwa Menteri Kehutanan dapat membuat
sebuah kelompok kerja yang tugasnya adalah memberikan saran dan
pertimbangan kepada Menhut terkait dengan usulan CDM di lingkungan
Departemen Kehutanan.
Setelah menerima saran dan pertimbangan, Menhut membuat “…
arahan atas usulan proyek, dan memberikan keterangan kepada Komisi
Nasional MPB bahwa usulan proyek tersebut mempunyai kontribusi
terhadap pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan…”(Pasal
11). Pengembang proyek yang telah menerima arahan dari Menhut
tersebut akhirnya akan membuat Dokumen Rancangan Proyek (DRP)
dan menyerahkannya kepada Komnas MPB untuk dinilai.
Singkatnya, dalam urusan CDM, lembaga yang berhak menilai adalah
Komnas MPB. Menhut hanya memberikan semacam rekomendasi yang
menyatakan bahwa usulan proyek yang diusulkan oleh pengembang
sudah sesuai dengan arah pembangunan berkelanjutan di bawah
Departemen Kehutanan.
Dengan melihat kesamaan tugas antara kelompok kerja dengan
Pokja PI Kemenhut ini, maka setelah lahirnya SK 2010 ini, seluruh
usulan pengembang CDM kehutanan akan mendapatkan penilaian
dari Pokja ini.
Lalu bagaimana hubungan antara Pokja PI Kemenhut ini dengan
lembaga yang disinggung di dalam 3 Permenhut terkait REDD?
Sepertinya hanya dalam urusan DA REDD saja peranan dari Pokja PI
Kemenhut ini. Dalam soal REDD, sudah ada badan yang akan dibentuk
bernama Komisi REDD; karena belum dibentuk maka bentuk hubungan
koordinasinya belum kelihatan. Dalam soal perdagangan karbon berupa
pemanfaatan penyerapan/penyimpanan karbon, sebagaimana diatur
di dalam Permenhut P 36/2009, bentuk koordinasinya belum jelas
dan sepertinya Permenhut P36/2009 ini lebih akan mempergunakan
lembaga-lembaga yang memang terbiasa – tidak membentuk lembaga
baru atau – mengurus soal perizinan atau pengurusan verifikasi, dst.
Dalam hubungannya dengan DNPI, penulis akan menceritakan
terlebih dulu soal struktur DNPI ini.
6. Dewan Nasional Perubahan Iklim
Dewan Nasional Perubahan Iklim atau DNPI didirikan dengan
Perpres No. 46 Tahun 2008 pada tanggal 4 Juli 2008. Pada dasarnya dua
hal yang diminta dikerjakan oleh DNPI ini, yaitu mengkoordinasikan
pelaksanaan pengendalian perubahan iklim, dan memperkuat posisi
162
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan
iklim.
Adapun tugas DNPI adalah a. merumuskan kebijakan nasional,
strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; b.
mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian
perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi
dan pendanaan; c. merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme
dan tata cara perdagangan karbon; d. melaksanakan pemantauan dan
evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim;
e. memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara- negara
maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan
iklim.
Dalam struktur kelembagaan, DNPI merupakan lembaga setingkat
departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dimana
dia duduk sebagai ketua DNPI. Menko Kesra dan Menko perekonomian
menjadi wakil ketuanya. Untuk kerja sehari-hari, DNPI ini dilakukan
oleh ketua harian (Rahmat Witoelar) yang ternyata bukan perwakilan
dari departemen atau lembaga pemerintah lainnya. Anggota DNPI terdiri
dari 17 menteri dan ditambah dengan Kepala BMKG (Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika). Dalam tugas kesehariannya, Ketua Harian
dibantu oleh Sekretariat DNPI dan Kelompok Kerja.
Sekretariat DNPI dijalankan oleh Sekretariat DNPI yang dipimpin
oleh seorang Kepala Sekretariat. Sementara dalam soal Kelompok Kerja,
DNPI membentuk 8 kelompok kerja yakni: 1. Kelompok Kerja Adaptasi;
2. Kelompok Kerja Mitigasi; 3. Kelompok Kerja Alih Teknologi; 4.
Kelompok Kerja Pendanaan; 5. Kelompok Kerja Pasca 2012; 6. Kelompok
Kerja Kehutanan dan Alih Guna Lahan; 7. Kelompok Kerja Dasar Ilmu
Pengetahuan dan Inventarisasi Gas Rumah Kaca; dan 8. Kelompok Kerja
Kelautan. Pada awalnya hanya 6 pokja saja yang diatur di dalam Perpres
46/2008 tersebut. Namun, Ketua Harian diberi keleluasan membentuk
kelompok kerja baru jika dibutuhkan.
Soal legitimasi. Soal legitimasi ini penting dibicarakan mengingat
ia sangat menentukan dalam mengatur hubungan kerja di dalam serta
ke luar lembaga DNPI. Sebagaimana disebutkan di atas, selain tugastugas spesifik yang dibebankan pemerintah, DNPI juga melakukan
kerja-kerja koordinasi terkait kegiatan pengendalian perubahan iklim
yang sifatnya lintas sektor.
Persoalan pertama ada dalam kepemimpinan Ketua Harian yang
ditunjuk sebagai individual, tanpa jabatan, sementara ia membawahi
menteri-menteri lain. Sangat sulit dibayangkan seorang individual,
biarpun ditunjuk oleh Presiden, melakukan tugas-tugas koordinasi lintas
sektor departemen. Selain ego sektoral, tetap saja struktur birokrasi
mengharuskan bawahan mengikuti garis atasannya langsung di dalam
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
163
suatu departemen. Kesulitan yang dirasakan DNPI dalam soal ini adalah
tidak bisa menghadiri pertemuan setingkat menteri baik di dalam negeri
maupun di luar negeri jika yang diundang adalah menteri. Tentu saja
hal ini menyulitkan koordinasi ketua harian dengan menteri-menteri
lain di bawahnya.96 Karena itu ada usulan meningkatkan posisi DNPI
ini sebagai lembaga pemerintah setingkat dengan kementerian, sehingga
ketua hariannya harus dijabat oleh pejabat setingkat dengan menteri
atau bisa saja DNPI tetap dalam posisinya sekarang namun ketuanya
dijabat oleh pejabat setingkat menteri.97 Usulan ini masih harus ditunggu
realisasinya.
Selain itu, posisi DNPI yang ditempatkan di bawah koordinasi
KemenLH juga menemui kesulitan melakukan koordinasi dengan
departemen lain, karena dipandang posisi KemenLH setara, bahkan “lebih
rendah” karena berbentuk kementerian negara, dengan kementerian
lain, apalagi jika dibandingkan dengan kementerian yang mengelola
sumber daya (alam) tertentu. Penempatan di bawah KemenLH sendiri
wajar karena Perpres menentukan bahwa DNPI dibiayai oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Kesulitan itu sebenarnya sudah dicoba dicarikan jalan keluarnya.
Pada bulan Januari 2010 kemarin, sebagai hasil dari Rapat Pleno DNPI,
administrasi DNPI – walaupun masih dibiayai dari Anggaran KemenLH – ditarik dan ditempatkan di bawah koordinasi Kemenko Kesra;
tidak lagi menginduk pada Kemen-LH. Dengan harapan, penempatan di
bawah Kemenko akan memudahkan koordinasi DNPI dengan anggotaanggotanya atau lembaga di luar DNPI.98
Hasil rapat lain yang terkait dengan penguatan kelembagaan DNPI
adalah akan dibentuknya Sekjen di Sekretariat DNPI dan pelengkapan
pimpinan Pokja dari instansi terkait yang sesuai dengan keahliannya
dan dimintai kesediaan waktu untuk bekerja di DNPI.
Soal alokasi anggaran. Perpres menyebutkan bahwa DNPI ini akan
dibiayai berdasarkan Anggaran dari dalam KemenLH sendiri. Dalam
RKP 2010, DNPI ini disinggung dalam kegiatan berupa Pengembangan
Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, serta
penyelenggaraan operasional untuk mendukung pelaksanaan tugas dan
fungsi DNPI, yang sasarannya adalah meningkatnya kinerja DNPI. Dalam
RKP 2010, tampak bahwa DNPI dilepaskan dari KemenLH karena disebut
langsung sebagai instansi pelaksana lengkap dengan pagu indikatifnya.
Masing-masing dua kegiatan itu masing-masing diberikan pagu indikatif
sebesar Rp. 19,7 miliar dan Rp 10,3 miliar.
96
97
98
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/22/03045091/Posisi.DNPI.Tak.Jelas (diakses 15-05-2010).
http://www.pikiran-rakyat.com/node/107682 (diakses 15-05-2010).
http://www.menkokesra.go.id/node/73 (diakses 15-05-2010).
164
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Soal Koordinasi dalam soal REDD. Soal ini penting dibicarakan untuk
melihat sejauh mana skema REDD yang dikembangkan dalam tingkat
departemen sektoral dapat dikoordinasikan oleh DNPI untuk kemudian
diselaraskan dengan kepentingan departemen sektoral lain.
Dengan menempatkan DNPI berada di bawah Menko Kesra
sebenarnya dapat mengangkat posisi kelembagaan DNPI ketika
melakukan koordinasi dengan kementerian lain. Mungkin hambatan
terbesar sekarang adalah dalam soal ketua harian DNPI yang tidak
dijabat oleh pejabat setingkat menteri.
Menko Kesra sendiri memang mempunyai kewenangan untuk
mengkoordinasi kementerian dalam bidang kesra dimana Kementrian
Lingkungan Hidup berada di bawahnya. Penarikan DNPI ke Menko
Kesra dapat dinilai wajar.
Tapi, dalam soal REDD ini, ada departemen sektoral yang merasa
paling berhak merancang, mengelola dan mengawasinya: Departemen
Kehutanan. Sayangnya, Departemen Kehutanan ini berada di dalam
wewenang koordinasi Menko Perekonomian.
Contoh sulitnya berkoordinasi antar departemen terlihat jelas di
dalam hasil Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2008. Inpres ini memberikan
tanggung jawab pembuatan program dan mekanisme REDD kepada dua
Departemen: Kehutanan dan Lingkungan hidup di bawah koordinasi
Menko Perekonomian. Hasil yang diharapkan dari (harapan) padunya
koordinasi itu yang berupa peraturan bersama antara Menhut dan MenLH
terkait REDD akhirnya tidak tercapai. Yang ada adalah Permenhut P
68/2008 yang memang dikeluarkan pada Desember 2008.
Contoh di atas menunjukkan bahwa koordinasi antara Menhut dan
Men-LH saja tidak terjadi. Bagaimana pula lembaga non departemen
yang dipimpin oleh bukan pejabat setingkat menteri mengambil inisiatif
untuk mengkoordinasi kegiatan yang dengan Inpres sendiri ternyata
tidak dapat memaksakan hal itu terjadi?
(iii) Alokasi Anggaran
Alokasi anggaran yang dimaksud untuk memeriksa sejauh mana
bentuk kegiatan sebagai turunan baik dari perencanaan kebijakan
maupun pelaksanaan dibiayai oleh negara. Ini untuk melihat sejauh
mana pemerintah menyediakan dana yang cukup agar pelaksanaan
kebijakan itu berjalan.
Anggaran ini penting juga diperhatikan karena ia seperti bahan
bakar yang membuat sebuah kebijakan jalan. Anggaran memiliki tiga
peran klasik: sebagai instrumen regulasi, stabilisasi dan redistribusi
(Fernandez, 2009:10-1). Peran anggaran sebagai regulasi terdapat dalam
kenyataan bahwa anggaran dapat mengatur pola perilaku dan kinerja
pemerintah sekaligus juga warganya. Ketatnya anggaran bagi polisi hutan
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
165
selalu dijadikan alasan lemahnya pengawasan aparat kehutanan pada
wilayah hutannya sehingga menimbulkan praktik perambahan liar. Peran
anggaran di sisi stabilisasi lebih terjadi karena ia menjadi pegangan
bagi pelaku ekonomi dalam memprediksi pergolakan perekonomian.
Peran anggaran dari sisi ini nampak dalam menentukan tingkat inflasi
atau arus masuk barang. Terakhir, sebagai alat redistribusi, anggaran
berperan dalam membagai-bagi pendapatan yang masuk dan kemudian
dibagikan kembali, misalnya, dalam bentuk subsidi atau stimulus fiskal
lainnya. Redistribusi yang tidak tepat sasaran dapat menjauhkan suatu
program/kegiatan dari tujuannya.
Berbicara soal alokasi anggaran juga penting untuk melihat sejauh
mana keluwesan anggaran dalam suatu tahun ketika ada kebutuhan/
kepentingan baru sebagai antisipasi pada suatu keadaan/tuntutan.
Perubahan iklim/REDD bisa dikatakan sebagai keadaan/tuntutan baru
yang direspon oleh pemerintah Indonesia.
(1) Kebijakan pembiayaan perubahan iklim?
Dalam soal perubahan iklim/REDD ini ada beberapa isu yang perlu
dimasuki terlebih dahulu sebelum masuk untuk memeriksa alokasi
anggaran yang ada di dalam APBN.
Pertama, Indonesia bukanlah negara yang dikenai kewajiban
untuk menurunkan emisi. Indonesia bukanlah negara Annex 1 yang
menurut Protokol Kyoto diwajibkan menurunkan emisinya. Indonesia
justru mendapatkan kemudahan dalam mengakses dana adaptasi yang
disediakan oleh negara-negara Annex 1. Hal ini disebabkan Indonesia
dan negara berkembang lainnya memberikan kontribusi kecil pada
perubahan iklim, namun pada saat yang sama, karena posisi wilayah,
kekurangan dana dan teknologi membuat posisinya menjadi rawan.
Kedua, penggunaan dana APBN untuk kepentingan penurunan emisi
sebenarnya sangat merugikan Indonesia. Apalagi jika dalam penggunaan
APBN tersebut dilakukan dengan mengurangi atau memindahkan alokasi
anggaran untuk kegiatan-kegiatan pembangunan. Indonesia seharusnya
malah dibantu dalam bentuk bantuan pendanaan atau tranfer teknologi
dari negara-negara maju.
Dalam Nota Keuangan APBN-P 2009, 99 Pemerintah secara
tegas menyatakan bahwa dalam hal penanganan perubahan iklim
pembiayaannya tidak berasal dari pengurangan atau pemindahan alokasi
dari program-program yang ada. Namun benar-benar harus berasal dari
sumber pembiayaan baru. Sumber pembiayaan baru in berasal dana
yang disediakan oleh negara-negara maju sebagai kewajibannya dalam
menurunkan emisi. Atau berasal dari pembiayaan swasta, baik dalam
99
Bab IV Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun anggaran 2009.
166
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
bentuk penanaman investasi, penggunaan dana tanggung jawab sosial
(CSR) atau kerja sama publik-private (Public-Private Partnership’s).
Selain itu, pemerintah juga mendorong dilakukannya penyelarasan
atau pemaduan program antar kementerian dan lembaga (K/L). Dengan
cara itu akan ditemukan program-program bersama yang dibiayai
bersama, atau disatukan dalam satu program, sehingga ada efesiensi
dan efektivitas anggaran.
Dalam soal tidak akan mengambil alokasi anggaran dari programprogram yang sudah, pemerintah nampaknya sudah tegas (walaupun,
masih sumir dalam arti kekuatan hukumnya mengingat belum ada
ketegasan pencantumannya di dalam kebijakan keuangan negara).
Tapi dalam soal dari mana sumber dana baru ini berasal, kebijakan
keuangan pemerintah sepertinya tidak terlalu tegas. Tidak ada penegasan
apakah utang luar negeri dapat atau tidak dapat membiayai program
pengendalian perubahan iklim. Begitu juga dalam soal utang dalam
negeri: boleh atau tidak membiayai program-program tersebut? Jika
diperbolehkan, berapa persentasenya dan apakah ada pembatasan
tertentu dalam penggunaannya? Jika tidak boleh berasal dari utang luar
atau dalam negeri, bagaimana strateginya untuk membiayai kegiatan
penanganan iklim yang pastinya berbiaya sangat besar?
Tidak mengatur belum tentu dalam prakteknya tidak terjadi.
Pemerintah Indonesia ternyata telah menerima utangan dari pihak negara
asing untuk kegiatan yang berupa penanganan masalah perubahan
iklim dan itu sudah dilakukan setidaknya sejak tahun 2007. Utangan
itu berasal dari JICA100 dan AFD Francis101 yang terus berlanjut sampai
tahun 2010. Tidak hanya dari Jepang dan Prancis, pada tahun 2010 ini,
Bank Dunia menyetujui utang baru sebesar $200 juta bagi Indonesia
dalam bentuk Climate Change Development Policy Program102. Utang itu
dipergunakan untuk mendorong perubahan kebijakan terkait perubahan
iklim termasuk didalamnya perubahan peraturan perundang-undangan.
Hanya dalam soal hibah saja pemerintah sudah sangat tegas.
Penerimaan negara berupa hibah dari luar negeri sebagian besar akan
dipergunakan untuk program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Terakhir, pemerintah juga memberikan dukungan dan stimulus dalam
bentuk regulasi di bidang keuangan, kebijakan fiskal dan non-fiskal.
Stimulus itu hadir dalam bentuk subsidi maupun kebijakan perpajakan
(pengurangan pajak, pajak ditanggung pemerintah (DTP)).
100
101
102
http://www.mofa.go.jp/ICSFiles/afieldfile/2008/09/02/h2008_indon.pdf (diakses 06-06-2010).
http://www.afd.fr/jahia/webdav/site/afd/users/admin_indonesie/public/PressRelease_CCPL2_30062009.pdf
(diakses 06-06-2010).
http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0,
contentMDK:22592150~pagePK:1497618~piPK:217854~theSitePK:226309,00.html?cid=3001_3 (diakses
06-06-2010).
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
167
(2) Alokasi anggaran perubahan iklim/REDD dalam APBN
Dalam RKP 2009 atau RKP 2010, dimana perubahan iklim disebut
dengan tegas, ada banyak alokasi anggaran untuk membiayai programprogram pembangunan yang kemudian diberikan “warna” perubahan
iklim. Penanganan kebakaran hutan, merupakan kegiatan yang sudah
ada sebelum isu perubahan iklim ini menguat dan sebelumnya tidak
pernah dikaitkan dengannya. Begitu juga rehabilitasi hutan/lahan: ia
merupakan kegiatan di dalam internal departemen yang ditujukan
untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup Indonesia sendiri
serta memperkuat pengelolaan negara atas wilayah hutan. Tidak ada
hubungannya dengan perubahan iklim.
Tapi, contoh-contoh kegiatan di atas itu memang berkontribusi pada
perubahan iklim, baik positif maupun negatif. Dan dengan semakin
menguatnya isu perubahan iklim di perundingan internasional lengkap
dengan mekanisme pendanaannya semakin timbul “kebutuhan” atau
“kepentingan” Indonesia untuk terlibat; dengan konsekuensi Indonesia
harus menyesuaikan kegiatan-kegiatan sebagai turunan dari program
pembangunan tertentu dengan perubahan iklim. Kenyataannya,
tidak hanya menyesuaikan dengan isu perubahan iklim, tapi bahkan
membuat kegiatan baru dari suatu program yang sudah ada yang sengaja
dirundukkan di dalam payung perjanjian perubahan iklim.
Apalagi kemudian soal perubahan iklim dianggap sebagai kebijakan
lintas bidang menurut RPJM 2010 – 2014 dan tercetus di dalam RKP
2009 sebagai kegiatan meningkatkan kapasitas mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan iklim global. Jika melihat jarak antara “meletupnya”
isu perubahan iklim di Indonesia yang dimulai pada tahun 2007, dengan
bagaimana perubahan iklim diartikulasikan di dalam kebijakan ada
jarak cukup lebar sejauh dua tahun. Padahal dalam dua tahun itu silih
berganti kebijakan dicetuskan, seminar diadakan dan kegiatan-kegiatan
lainnya.
Dalam APBN 2009, alokasi anggaran untuk kegiatan itu cukup
besar, yakni Rp 2 trilliun. Alokasi ini kemudian akan dibagikan kepada
unit-unit departemen yang dapat merealisasikannya. Ada beberapa
lembaga departemen yang disebut dalam RKP 2009 sebagai penanggung
jawab kegiatan itu, yakni KemenLH, Dephut, DESDM, BATAN, LIPI,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Bakosurtanal, Departemen
Pertanian dan BMKG. Tapi, penulis tidak menemukan secara spesifik
bagaimana kegiatan itu dilakukan dalam tiap departemen. Nampak
bahwa alokasi anggaran sebesar itu dipakai untuk membiayai kegiatankegiatan yang sudah ada dan kemudian dibunyikan sebagai “peningkatan
kapasitas mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global”.
168
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Dalam APBN-P 2009, bentuk dukungan keringanan pajak itu
diberikan dalam bentuk subsidi pajak. Pajak yang ditanggung oleh
pemerintah yang terkait langsung dengan perubahan iklim ini diberikan
untuk program TFCA atau Trofical Forest Conservation Act yang
jumlahnya mencapai Rp 80 miliar. Spesifik pajak yang ditanggung
pemerintah itu untuk pajak penghasilan (PPh). Ia merupakan realisasi
dari salah satu kebijakan keringanan pajak atas aliran dana yang
bersumber dari bantuan luar negeri kepada entitas nirlaba di Indonesia
yang melakukan program konservasi lingkungan dalam mengatasi
dampak perubahan iklim.
Program TFCA sendiri merupakan program untuk menjalankan
skema Debt for Nature Swaps antara Amerika Serikat dengan Indonesia,
yang realisasinya pernah diinstruksikan oleh Presiden No 5 Tahun 2008
pada bulan September 2008.
Dalam soal hibah, APBN-P 2009 menyebutkan bahwa alokasi dana
hibah (Rp. 991,6 miliar) dimana alokasi penggunaan dana hibah itu
dipergunakan untuk mendanai program-program mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim.
Bagaimana dengan APBN 2010? RKP 2010 menyebutkan bahwa salah
satu prioritas pembangunan di tahun 2010 adalah peningkatan kualitas
pengelolaan sumber daya alam dan kapasitas penanganan perubahan
iklim. Jika dibandingkan dengan prioritas di RKP 2009, tampak
bahwa prioritas ini jauh lebih lemah; dengan tidak menempatkannya
pada prioritas tersendiri serta tidak merinci apa yang disebut dengan
penanganan perubahan iklim tersebut. Ia terlihat kurang percaya diri
dibandingkan dengan di RKP 2009.
Walaupun demikian, alokasi anggaran buat menunjang salah satu
prioritas tahun 2010 ini yang mencapai Rp. 3,2 trilliun lebih besar
daripada tahun sebelumnya yang mencapai Rp 2 trilliun. Ada lima fokus
kegiatan yang akan dibiayai dengan anggaran sebesar itu berdasarkan
APBN 2010.103 Khusus untuk prioritas peningkatan kapasitas penanganan
perubahan iklim nampaknya akan dilakukan pada fokus kegiatan
berupa peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
dan bencana alam lainnya.
103
(1) peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan bencana alam lainnya sebesar Rp475,3
miliar (2)peningkatan rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam dan kualitas daya dukung lingkungan
sebesar Rp792,4miliar; (3) peningkatan pengelolaan sumber daya air terpadu sebesar Rp436,6 miliar;(4)
peningkatan pengelolaan sumber daya kelautan sebesar Rp564,6 miliar; dan (5) peningkatan kualitas tata
ruang dan pengelolaan pertanahan sebesar Rp1,2 triliun.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
169
Tabel 3.9. Alokasi anggaran peningkatan kapasitas penanganan
perubahan iklim di APBN 2010
Fokus kegiatan
Peningkatan kapasitas
adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim dan
bencana alam lainnya
Besar alokasi
anggaran
Rp. 475,3 miliar
Sasaran
1. Pengendalian
kebakaran hutan
2. Peningkatan
sistem informasi
peringatan dini
cuaca dan iklim
ekstrim, tsunami,
serta potensi
kebakaran hutan.
Sementara itu 4 fokus kegiatan lainnya sebenarnya bisa saja
dihubungkan dengan peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim. Namun, penulis mengikuti maksud dari penulis
APBN 2010 yang tidak memasukkan kegiatan itu sebagai hal yang
juga bisa dianggap sebagai bagian dari kegiatan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim.
Dalam APBN-P 2010 disebutkan bahwa kebijakan subsidi pajak
pada kegiatan yang terkait penanganan iklim tetap dilakukan. Bahkan
pada tahun 2010 ini nilainya meningkat. Tidak seperti APBN-P 2009,
dalam APBN-P 2010 ini, subsidi pajak yang diberikan sebesar Rp. 900
miliar (angka ini tidak hadir di dalam APBN 2010) berupa PPN adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim. Subsidi pajak itu diberikan bagi pelaku
usaha di bidang energi terbarukan (sebenarnya, pelaku usaha energi
terbarukan ini menerima dua bantuan subsidi pajak: PPN Adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim serta PPN Bahan Bakar Nabati).
Selain itu, APBN-P juga mencatat peningkatan penerimaan hibah
(Rp1.658 miliar) yang sebagian besar akan dialokasikan untuk mendanai
program-program mitigasi perubahan iklim.
Dari apa yang diuraikan di atas tampak bahwa Pemerintah Indonesia
membiayai kegiatan penanganan perubahan iklim – sejauh yang
disebutkan di dalam kedua APBN 2009/APBN-P 2009 dan 2010 sebagai
kegiatan penanganan perubahan iklim – dari dana APBN, walaupun
tidak dengan cara mengurangi/memindahkan alokasi anggaran dari
program yang sudah ada.
Jika membandingkan antara angka hibah dengan alokasi anggaran
untuk kegiatan penanganan perubahan iklim di tahun 2009 dan 2010
ada beberapa hal yang bisa dicatat. Pertama, ada jurang yang sangat
dalam antara alokasi anggaran dengan hibah di tahun 2009, dimana ada
defisit di hibah. Sementara di tahun 2010, alokasi anggaran penanganan
170
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
perubahan iklim sebenarnya bisa ditutupi dengan dana hibah. Dengan
demikian, Pemerintah Indonesia tidak harus mempergunakan dana dari
dalam negeri untuk membiayai program perubahan iklim.
Namun masalahnya adalah dana hibah yang berasal dari luar negeri
itu sendiri sudah memiliki maksud penggunaannya. Dengan demikian,
tetap saja membuka kemungkinan penggunaan dana dari dalam negeri
untuk membiayai kegiatan penanganan perubahan iklim.
Dalam soal keluwesan alokasi anggaran penulis akan mengajukan
contoh pada soal anggaran bagi DNPI.
Sebagaimana diketahui, DNPI didirikan pada pertengahan tahun
2008 lengkap dengan alokasi anggarannya dari Kementerian LH. DNPI
merupakan salah satu perwujudan strategi pemerintah dalam soal
penanganan perubahan iklim ini berupa pembentukan kelembagaan.
Selama masa dua tahun ini, DNPI mengalami pasang surut peran dan
seperti dianaktirikan walaupun Indonesia semakin kencang menanggapai
isu perubahan iklim ini. Penganaktirian itu terlihat dari struktur
lembaganya serta anggarannya yang berasal dari dana Kementerian LH
yang sebenarnya sudah sangat sedikit.
Semakin seriusnya pemerintah Indonesia menanggapi perubahan
iklim dengan salah satunya mengintegrasikannya ke dalam program
pembangunan mendorong harus semakin kuatnya peran DNPI. Setelah
dalam dua RKP sebelumnya (2008 dan 2009) peran kelembagaan tidak
disebutkan sama sekali di dalam penanganan perubahan iklim, maka
dalam RKP 2010 peran DNPI dikenali: didorong untuk ditingkatkan
kualitasnya disertai dengan pengalokasian dana.
Tidak hanya dalam soal kinerjanya, RKP 2010 juga secara terus terang
menyebutkan bahwa operasional sehari-hari DNPI juga harus disokong
dalam bentuk pemberian honorarium dan kebutuhan operasional
sehari-harinya. Secara tersirat, selama ini pembiayaan DNPI masih
mengandalkan dana dari induknya: Kementerian Lingkungan Hidup
atau bahkan tanpa ada belanja pegawai (yang karena itu akan diberikan
honor). Pagu indikatif yang diberikan sebesar Rp 30 miliar itu dalam
tahun 2010 ini diharapkan DNPI dapat hidup dan bekerja lebih giat.
Namun, dalam penelusuran penulis pada APBN 2010 atau APBN-P
2010, terutama pada bagian Belanja Pemerintah Pusat 2010, tidak ada
penyebutan sama sekali pada soal DNPI ini. Padahal lembaga non
departemen lainnya yang diberikan pagu indikatif di dalam RKP 2010
seperti BMKG, disebutkan kembali lengkap dengan program yang akan
dijalankan dan anggaran yang harus dikelolanya atau Dewan Kelautan
Nasional yang berada di bawah koordinasi Departemen Kelautan dan
Perikanan.
Dalam kondisi itu, posisi DNPI kembali menghadapi tantangan
tersendiri di dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Perubahan pada
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
171
Perpres 5/2008 menjadi keharusan dengan materi perubahan yang bisa
diusulkan khusus soal pembiayaan ini adalah dengan mencantumkan
bahwa DNPI dibiayai oleh APBN; tidak lagi dibiayai oleh DIPA
Kementerian Lingkungan Hidup.
3.4.Kebijakan terkait REDD dan perlindungan hak-hak
masyarakat adat/lokal
REDD lebih mungkin dilakukan dalam lingkup sistem hukum negara
daripada sistem hukum adat. Sementara di sisi lain, posisi masyarakat
sendiri dalam pengelolaan sumber daya kehutanan masih rawan. Sehingga
sistem hukum negara yang memberikan perlindungan kepada hak-hak dan
kepentingan masyarakat adat/lokal menjadi penting dalam pelaksanaan
proyek REDD ini. Jangan sampai sistem hukum negara yang mengatur soal
REDD malah semakin menyingkirkan posisi masyarakat.
Untuk membaca apakah peraturan perundangan ini mengatur soal
pemenuhan, penghormatan dan perlindungan kepentingan dan hak
masyarakat adat/lokal, penulis akan membaginya dalam dua soal. Soal
pertama adalah soal keterlibatan masyarakat dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan tersebut dan kedua, soal bagaimana peraturan
perundang-undangan itu sendiri secara substansi melindungi hak dan
kepentingan masyarakat yang dilihat dari segi bentuk pemenuhan/
perlindungan hak atau kepentingan, keikutsertaan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan, posisi masyarakat dalam REDD dan pembagian
keuntungan.
(a) Keterlibatan Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Perundangundangan
Dalam catatan penulis, hanya pada saat penyusunan Peraturan Menteri
yang nantinya menjadi Permenhut P 30/2009, Departemen Kehutanan
menyebarluaskan draft penyusunannya ke masyarakat dan ada inisiatif untuk
menerima usulan dari masyarakat104. Draft yang disebarluaskan itu sendiri
terdiri dari dua draft, yakni draft tertanggal 14 Juli 2008 dan 18 Maret 2009.
Permenhut P 30/2009 sendiri ditetapkan pada tanggal 1 Mei 2009.
Konsultasi publik pernah dilakukan oleh Departemen Kehutanan
pada bulan Maret 2009, yang mengundang para pemangku kepentingan,
termasuk dari kalangan masyarakat sipil. Tapi sayang sekali, konsultasi
publik itu hanya dijadikan topeng untuk memperlihatkan bahwa proses
penyusunan peraturan itu sudah memenuhi syarat partisipasi publik. Hal
itu terlihat bahwa apa yang diutarakan oleh masyarakat sipil hanya dianggap
sebagai masukan saja – tidak masuk ke dalam substansi pengaturan dalam
104
Kementerian Kehutanan sedang berencana menyusun draft Permenhut tentang Komisi REDD, yang entah
sampai sekarang belum terlaksana.
172
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Permenhut P 30/2009 – dan keputusan tertingginya berada di tangan para
penyusun peraturan yang berasal dari unsur pemerintah.
(b) Isi Peraturan Perundang-undangan
- Permenhut P. 68/Menhut-II/2008 tentang Demonstration Activities
Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
Permenhut ini sama sekali tidak mencantumkan bentuk perlindungan
apa yang akan dilakukan oleh pemerintah terhadap hak/kepentingan
masyarakat yang berada di daerah lokasi DA REDD. Dalam proposal DA
REDD yang diajukan oleh pemrakarsa, tidak ada persyaratan yang secara
jelas dan kuat mewajibkan pengelola untuk menghormati hak/kepentingan
masyarakat adat/lokal. Tidak ada kewajiban untuk memasukkan dalam
proposal itu persetujuan tertulis masyarakat atau dalam derajat yang lebih
rendah, hasil konsultasi dengan masyarakat sekitar lokasi.
Proposal DA REDD hanya berisi status dan lokasi berikut peta lokasi
calon areal, bentuk dan jangka waktu kerja sama, perkiraan nilai kegiatan,
manajemen resiko dan rencana alokasi distribusi pendapatan. Nampaknya
permenhut ini berjalan di keyakinan bahwa lahan hutan yang akan dijadikan
lokasi REDD merupakan lahan dalam status clean and clear. Tidak ada
persyaratan untuk memperlihatkan status hukum kawasan yang diajukan
oleh para pemrakarsa.
Posisi masyarakat yang rawan dalam penyusunan DA REDD bisa
dicontohkan dalam rencana alokasi pembagian pendapatan. Dalam soal
ini, tidak jelas pihak mana saja yang dianggap berhak mendapatkan alokasi
pembagian pendapatan itu. Taruhlah masyarakat memang dijadikan salah
satu pihak yang berhak, tetapi apakah ada proses konsultasi dengan
masyarakat dalam soal pembagian pendapatan itu? Tidak diatur. Bahkan
nampaknya, pihak pemrakarsa-lah yang menentukan sendiri rencana
alokasi pembagian pendapatannya tersebut yang kemudian akan ditetapkan
ketentuannya oleh menteri.
Ketidakjelasan posisi masyarakat dalam proses penyusunan proposal
DA REDD itu sendiri membuat posisi masyarakat dalam DA REDD sendiri
menjadi tidak jelas. Jika saja memang masyarakat mendapatkan alokasi
pembagian keuntungan, hal itu menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai
hak dan kewajiban tertentu yang harus dilakukan agar mendapatkan
pembagian pendapatan. Sayangnya dalam Permenhut ini, posisi masyarakat
hanya sebagai pihak penerima dampak.
Di atas semua itu, masyarakat tidak dianggap sebagai pihak yang dapat
memberikan persetujuan atau tidak terhadap proyek REDD yang berada di
sekitar wilayah hidup mereka. Menterilah satu-satunya pihak yang dapat
memberikan persetujuan atas proposal DA REDD itu.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
173
-
Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)
Permenhut P30/2009 ini memperjelas ketentuan yang diatur dalam
Permenhut P68/2008, terutama dalam hal subyek pemohon, tata cara
permohonan, penilaian dan persetujuan proyek, hak dan kewajiban,
penetapan referensi emisi, pemantauan dan pelaporan, verifikasi
dan sertifikasi, serta distribusi insentif dan liabilitas. Namun posisi
masyarakat tetap tidak dibicarakan secara proporsional.
Partisipasi masyarakat adat/lokal dalam proses penyusunan proposal
maupun persetujuan proyek REDD yang dilakukan oleh pihak ketiga
sama sekali tidak disinggung dalam peraturan ini. Sehingga boleh
dikatakan proyek REDD ini dapat berjalan tanpa harus mengikutsertakan
persetujuan dari masyarakat sekitar proyek.
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam kriteria pemilihan
lokasi adalah aspek sosial, ekonomi dan budaya dimana perinciannya
berupa ketergantungan masyarakat terhadap lokasi; ada/tidaknya
konfllik; keterlibatan para pihak dalam pengelolaan hutan, dan kejelasan
tentang dimensi pengentasan kemiskinan. Dari kriteria pemilihan lokasi
itu, tidak ada yang mengarah pada bahwa pemrakarsa harus melakukan
konsultasi serta permintaan izin kepada masyarakat sekitar lokasi. Yang
ada adalah penceritaan kondisi hutan dengan masyarakat sekitar lokasi
yang proporsi kerjanya ada di tangan pemrakarsa.
Di sisi lain, posisi masyarakat dalam pelaksanaan REDD tidak lagi
hanya objek tetapi bisa berlaku sebagai subjek pelaksana REDD yang bisa
terlibat setidaknya dalam lima mekanisme: sebagai pemilik IUPHHKHTR, Pengelola hutan desa, Hutan Kemasyarakatan, hutan adat dan
pemilik/pengelola hutan hak. Dalam lima mekanisme ini masyarakat
dapat mengajukan sendiri sebagai pemrakarsa REDD.
Dari sisi ini, pemerintah sudah menyediakan ruang bagi masyarakat
untuk terlibat aktif sebagai pelaku REDD. Hanya saja, persyaratan
yang dibebankan pada kelima pemilik hak itu hampir sama dengan
apa yang dibebankan kepada pihak lain yang notabene secara finansial
dan kelembagaan jauh lebih kuat. Pada titik ini pemerintah sebenarnya
bisa mengatur soal peningkatan kapasitas atau bentuk lain bantuan
pada pihak masyarakat tersebut. Bayangkan, berapa biaya yang harus
dikeluarkan oleh sebuah desa nun jauh di pedalaman dan jauh dari
Jakarta yang hendak mengurus izin sebagai pihak pemrakarsa REDD.
Masalah lainnya jauh ke belakang pada soal cara mendapatkan hak
pengelolaan itu serta soal bahwa hak yang diberikan kepada masyarakat
adalah hak pengelolaan dan bukannya hak atas milik.
IUPHHK-HTR masih belum berjalan lancar di tingkat lapangan
biarpun dukungan finansial sudah disediakan oleh pemerintah pusat.
174
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Pemerintah daerah sepertinya masih belum begitu percaya dengan
mekanisme ini dibandingkan dengan memberikan izin pengelolaan hutan
untuk keperluan lain, seperti untuk perkebunan atau pertambangan.
Hutan Desa masih membutuhkan sosialisasi lebih lanjut mengingat
peraturan pelaksananya baru diluncurkan tahun 2007 kemarin. Hutan
Kemasyarakatan juga berjalan menyiput.
Alasan utama kesulitan masyarakat dalam mengakses hak
pengelolaan itu adalah sistem birokrasi dalam bentuk perizinan
yang rumit dan berbiaya besar, ketiadaaan dukungan dana untuk
mewujudkannya serta kapasitas yang masih harus ditingkatkan. Secara
lebih makro, dukungan kebijakan pemerintah lebih mengarahkan hutan
untuk dikelola dalam skala besar, industrial daripada dikelola skala
kecil oleh masyarakat.
Hutan Adat tetap merupakan skema yang pelik. Sampai saat ini
belum ada pengakuan dari pemerintah atas suatu masyarakat adat
lengkap dengan haknya atas suatu kawasan hutan tertentu. Padahal
pengakuan atas suatu masyarakat menjadi syarat utama agar masyarakat
adat tersebut dapat mengakses Hak Pengelolaan Hutan Adat. Dalam
soal masyarakat adat ini ketara bahwa Permenhut ini mengatur hal yang
tidak mungkin berjalan tanpa ada perubahan pada kebijakan lain dalam
kebijakan soal pengakuan masyarakat adat. Pencantuman Pengelola
Hutan Adat hanya tinggal pencantuman yang tidak ada konsekuensi
apapun pada perbaikan posisi masyarakat adat; bahkan terancam terlalu
sulit terlaksana di lapangan.
Sementara itu, masalah klasik berupa hanya diberikannya hak
pengelolaan dan bukannya status hak yang lebih tinggi, seperti hak
atas milik, membuat posisi masyarakat adat/lokal yang bergantung pada
hutan tetap tidak kuat. Hak atas pengelolaan suatu kawasan bekerja
mengikuti batas waktu tertentu dan malahan, bisa dihentikan di tengah
jalan jika tidak mengikuti aturan.
Posisi masyarakat dalam pelaksanaan dengan demikian sebenarnya
diberi jalan untuk terlibat, tetapi keterlibatan itu masih jauh dari harapan
karena dukungan yang lebih mendasar tidak diberikan, termasuk dalam
soal pengakuan masyarakat adat.
Sementara itu, bagi masyarakat adat/lokal yang tidak (atau,
sengaja agar tidak) memiliki hak atas pengelolaan kawasan hutan,
kabarnya tidaklah menggembirakan. Setelah sama sekali tidak diakui
keberadaannya dalam proyek REDD karena tidak adanya keharusan
pemrakarsa REDD mengadakan konsultasi dan meminta izin kepada
mereka, dalam soal pembagian keuntungan pun posisi mereka tidak
jelas.
Hanya pemerintah yang disebutkan sebagai pihak yang akan
menerima “insentif” dari pelaksanaan REDD. Tentu saja pihak lain yang
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
175
juga menerima insentif adalah pemrakarsa REDD sendiri. Masyarakat
sama sekali disebut sebagai pihak yang akan menerima manfaat dari
pelaksanaan REDD ini. Masyarakat hanya ditempatkan sebagai pihak
yang harus di tingkatkan kesejahteraannya lewat program pengentasan
kemiskinan.
Pemerintah nampaknya melihat keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan hutan - yang harus dijelaskan oleh pemrakarsa dalam
pengajuan proposal REDD-nya – tidak otomatis membuat mereka
mendapatkan insentif dari pelaksanaan REDD. “Insentif” itu mengalir
dari pembeli sertifikat REDD ke pemrakarsa REDD yang kemudian
dibagi dengan pemerintah. Pemerintahlah yang akan menentukan
buat apa insentif itu, termasuk, mungkin untuk membiayai program
pengentasan kemiskinan.
Distribusi insentif itu menjadi tidak jelas karena dalam Permenhut
ini disebutkan bahwa untuk keperluan apa insentif itu dikeluarkan
oleh pemerintah akan diatur kemudian dengan peraturan perundangundangan yang setidaknya berhubungan dengan mekanisme penerimaan
keuangan negara berupa PNBP. Jadi ada kemungkinan besar, insentif
yang (mungkin) diterima masyarakat di sekitar lokasi proyek REDD
akan jauh lebih kecil.
Sebaliknya, yang ketara dari distribusi insentif itu adalah sebagaian
akan dipergunakan untuk jaminan pelaksanaan REDD pada tingkat
nasional, yang bisa berupa pengelolaan registrasi nasional serta
penanganan pengurangan emisi nasional. Tidak ada penyebutan secara
tersurat bahwa sebagian dana dari hasil proyek REDD tersebut akan
masuk, katakanlah, untuk mensejahterakan rakyat lewat program
pengentasan kemiskinan. Hal ini membuat keterkaitan antara REDD
dengan program pengentasan kemiskinan menjadi rapuh, yang
membuatnya lebih tepat dikatakan sebagai hanya jargon.
-
Permenhut P. 36/Menhut-II/2009 tentang Tatacara Perizinan Usaha
Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada
Hutan Produksi dan Hutan Lindung
Dalam soal pemenuhan/perlindungan hak atau kepentingan
masyarakat adat/lokal, Permenhut ini tidak jauh berbeda dengan
dua permenhut sebelumnya. Tidak ada persyaratan yang mewajibkan
pemrakarsa IUP PAN/RAN Karbon terlebih dahulu melakukan konsultasi
atau meminta persetujuan dari masyarakat adat/lokal yang berada
di sekitar wilayah proyek. Dengan demikian, proposal proyek bisa
disusun tanpa ada persetujuan masyarakat. Begitu juga pemerintah,
dalam menilai proposal yang masuk tidak harus meminta pendapat
atau persetujuan masyarakat dalam menentukan layak atau tidaknya
proyek tersebut.
176
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Dalam perjelasan terdahulu, baik dalam kawasan yang sudah
dibebani izin (kecuali izin IUPHHK-HTR) atau belum dibebani izin,
pemberian izinnya dimohonkan dan dikeluarkan oleh menteri. Hal ini
tentu, sekali lagi, mempersulit pemegang hak pengelolaan HKm atau
Hutan Desa atau Hutan Adat, yang berada jauh dari Jakarta.
Posisi masyarakat yang tidak memiliki IUP RAN/PAN Karbon,
disebut sebagai masyarakat setempat, dibicarakan dalam proposal
IUP PAN/RAN Karbon sebagai pihak yang akan direncanakan untuk
diberdayakan serta dalam soal pembagian keuntungan dari proyek.
Angka persentase itu memang masih misterius latar belakang
pembagiannya, tapi angka persentase bagi masyarakat membesar dan
mengecil tergantung siapa dan di wilayah mana proyek penjualan
karbon itu dilakukan. Persentase bagi masyarakat berturut-turut dari
yang terbesar (70%) yang terjadi jika pengembang proyek itu berasal
dari pengelola Hutan Rakyat dan Hutan Adat; menengah (50%) jika
pengembang berasal dari IUPHHK-HTR, Pengelola HKm dan Hutan
Desa; dan persentase terkecil (20%) didapatkan masyarakat jika
pengembang proyek/pemegang izinnya berasal dari IUPHHK-HA,
IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, KPH, KHDTK, dan hutan lindung.
Tampak bahwa bagian bagi masyarakat bertambah besar jika
pengembang proyek adalah mereka sendiri. Masalahnya adalah
permohonan untuk mendapatkan izin itu sulit dan memakan biaya
yang besar yang memperkecil peluang bagi masyarakat setempat
untuk memprakarsai pelaksanaan kegiatan PAN/RAN karbon
tersebut. Masyarakat setempat kemungkinan besar hanya menjadi
penerima dampak dan secara kalkulasi, akan menerima bagian kecil
dari pembagian keuntungan hasil penjualan karbon tersebut, karena
pemrakarsanya bukan berasal dari kalangan masyarakat sendiri.
Kondisi yang dijelaskan berdasarkan 3 peraturan setingkat menteri
di atas senyatanya sangat mengkhawatirkan. Perlindungan negara pada
hak atas hutan/lahan yang dimiliki oleh masyarakat adat/lokal sudah
demikian terdegradasi. Meskipun hutan adat diakui adanya, namun
pengakuan negara atas masyarakat adat sulit didapatkan karena adanya
persyaratan berupa: sistem adatnya masih ada dan penerapannya
konsisten dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangundangan (Colchester dkk., 2006). Padahal pengakuan negara atas
masyarakat adat itu menjadi syarat penting untuk mendapatkan hak
pengelolaan hutan adat.
Sementara masyarakat lokal yang mencoba menggugat sengketa
lahan/hutan dihadapkan pada ketiadaan syarat formal berupa sertifikat
tanah yang seharusnya bisa mereka dapatkan jika sistem pendaftaran
tanahnya berlangsung dengan adil dan transparan.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
177
Dengan keadaan seperti itu, masyarakat adat/lokal tidaklah berdaya
ketika hutan dialihkan kepemilikan/pengelolaannya ke tangan negara
atau swasta. Mereka sama sekali tidak diberi hak untuk didengar
pendapatnya apalagi untuk melakukan penolakan.
Dalam proyek REDD, hal-hal yang disebutkan dalam 3 paragraf
sebelumnya sama sekali tidak dibicarakan. Karena itu pertahanan
terakhir masyarakat, sebagaimana juga ketika lahan/hutan mereka
diambil paksa yakni dengan cara meminta kompensasi yang adil,
adalah dalam pembagian keuntungan yang adil. Sayang sekali dalam
soal ini pun posisi masyarakat tetap lemah. Permenhut P68/2008
menyerahkan pembagian kompensasi itu ke tangan pemrakarsa dan
pemerintah; Permenhut P30/2009 menyerahkannya pada kebijaksanaan
pemerintah dalam membagi alokasi PNBP; sementara Permenhut
P36/2009 menggantungkan kepada para pengembang proyek yang bukan
berasal dari mereka (IUPHHK-HA, IUPHHK-HT dan IUPHHK-RE atau
pihak pemerintah) dengan konsekuensi pembagian keuntungan yang
lebih kecil.
3.5 Kesimpulan
Dari apa yang sudah diuraikan dalam 3 bab sebelumnya, maka
jawaban singkat atas 3 pertanyaan penelitian di atas adalah sebagai
berikut: Pemerintah Indonesia sudah dengan tanggap memberikan respon
kebijakan terhadap perubahan iklim/skema REDD, baik di dalam rencana
pembangunan berupa program pembangunan maupun pelaksananan
kebijakannya: membuat aturan khusus, membentuk lembaga baru dan
memberikan alokasi anggaran buat pelaksanaan program pembangunan
terkait perubahan iklim dan operasional lembaga.
Tanggapan kebijakan itu jika ditarik ke arah yang lebih umum hadir dalam
tiga bentuk: pertama, Pemerintah Indonesia mengalokasikan sumber daya
untuk menciptakan kebijakan yang sama sekali belum dikenal sebelumnya
yang semata-mata ditujukan untuk mengatur hal baru sebagaimana tampak
dalam pembuatan aturan dan kelembagaan terkait CDM atau REDD.
Kedua, menyelaraskan kebijakan yang sudah ada dengan prioritas
baru pengendalian perubahan iklim/REDD yang tampak dalam soal
pengembangan meterologi dan geofisika, penanggulangan kebakaran hutan/
lahan dan rehabilitasi lahan/hutan.
Ketiga, pemerintah tidak mengatur tegas soal itu, yang bisa ditelusuri
dari tidak adanya peraturan perundangan yang mengaturnya, namun
kenyataannya tetap dilaksanakan, seperti dalam soal penerimaan hutang luar
negeri untuk membiayai program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Kesenjangan antara apa yang direncanakan dengan apa yang akan
dilaksanakan memang terlihat. Kesenjangan itu tidak hanya hadir ketika
178
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
dibandingkan antara perencanaan dengan implementasi kebijakan, tetapi
juga muncul di dalam masing-masing bentuk kebijakan yang diteliti itu
tadi. Paling menonjol kesenjangan itu terjadi ketika semuanya dibandingkan
dengan alokasi anggaran.
Kesenjangan internal perencanaan kebijakan terjadi ketika masuk dalam
proses penurunan kebijakan umum pembangunan ke dalam bentuk program
dan seterusnya ke dalam kegiatan. Contohnya adalah soal REDD yang
muncul di RKP 2009 ketika berbicara kebijakan umum sampai program,
namun kemudian tidak muncul dalam bentuk kegiatan pembangunan.
Entah kenapa hal itu terjadi.
Kesenjangan antara perencanaan dengan pelaksanaan kebijakan jelas
akan terjadi. Dalam peraturan perundang-undangan, misalnya, UU No. 6
Tahun 1994 tentang Ratifikasi UNFCCC atau UU No 17 tahun 2004 tentang
Ratifikasi Protokol Kyoto, tidak cukup kuat untuk menghela pengaturan
terkait perubahan iklim/REDD karena kedudukannya masih lemah jika
dibandingkan dengan UU buatan dalam negeri. Sampai sekarang bagaimana
bentuk pelaksanaan dari kedua UU itu masih sumir. Selain itu, aturan soal
REDD diatur dalam bentuk peraturan menteri, padahal skema REDD sendiri
membutuhkan koordinasi dengan pihak lain. Bahkan instruksi presiden di
tahun 2008 agar terbentuk peraturan bersama antara Menteri Kehutanan
dengan Menteri Lingkungan Hidup terkait REDD tidak kesampaian. Menhut
yang akhirnya pegang kendali. Masalah koordinasi antar departemen, sumber
dana terbatas, dan kebijakan penganggaran (dana bagi suatu departemen
diharapkan tetap sama di tahun selanjutnya, sehingga kelebihan dana
akibat tidak terpakai di tahun sebelumnya dianggap kegagalan memicu
departemen/lembaga membuat anggaran sama dengan tahun sebelumnya,
menjadi faktor penyebabnya), tetap menjadi batu sandungan penting dalam
proses penyelarasan kebijakan tersebut.
Soal legitimasi hadir menjadi catatan penting dalam kelembagaan terkait
perubahan iklim dan REDD. Dana yang minim, keterbatasan secara struktur
keorganisasian adalah dua alasan yang tidak memungkinkannya melakukan
koordinasi yang sebenarnya menjadi tupoksinya. Apalagi terlihat dukungan
kepada DNPI dalam bentuk pengalokasian anggaran juga masih belum jelas,
biarpun RKP 2010 telah menyebutkan dengan tegas, namun menghilang di
APBN 2010. Di sisi lain, Departemen Kehutanan seakan berlomba dalam
pembentukan lembaga untuk membicarakan soal perubahan iklim sektor
kehutanan dan REDD. Dukungan pemerintah dalam soal pengendalian
perubahan iklim memang jelas, biarpun baru dibunyikan dalam dua
tahun terakhir, tetapi tidak untuk dukungan REDD. Padahal jelas sekali
Departemen Kehutanan menginginkan REDD sebagai alternatif pembiayaan
baru di sektor kehutanan.
Pemerintah Indonesia ternyata belum begitu pandai dalam menyelaraskan
kebijakan jangka panjangnya dengan kebijakan tahunan serta dengan
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
179
kebijakan tahunan departemen/lembaga; terutama dalam menanggapi
sebuah program yang berjangka panjang yang membutuhkan kesinambungan
per tahun anggarannya dan koordinasi antar sektor. REDD adalah salah satu
contoh program berjangka panjang dan membutuhkan kesinambungan per
tahunnya. Pemerintah tampak memberikan dukungan penuh di RKP 2009,
namun kemudian malah menghilang di tahun 2010. Renstra lima tahunan
Dephut juga merencanakan pelaksanaan REDD di tahun 2012-2013, tapi di
Renja 2010-nya REDD tidak disebut dengan tegas keberadaannya.
Kesenjangan dengan alokasi anggaran memang tampak jelas. Apa yang
direncanakan di dalam RKP, bisa jadi tidak ada di dalam APBN, misalnya
pembiayaan operasional DNPI itu. Ini terjadi karena ada perbedaan
proses antara perencanaan pembangunan dengan penganggaran anggaran.
Perencanaan pembangunan memang dapat dibuat setransparan mungkin
dengan menerima usulan apapun dari masyarakat lewat musrenbang,
misalnya. Tapi ia membentur proses penganggaran yang dijalankan hanya
ada di satu tangan, eksekutif. DPR hanya disodori hal-hal umum saja,
namun pengaturan detailnya, termasuk alokasi anggaran untuk menjalankan
program-program tertentu, hanya diketahui oleh kalangan eksekutif saja.
Terpisahnya proses perencanaan dengan penganggaran itu membuat
perkembangan baru yang sudah dicandra di dalam rencana kebijakan bisa
menghilang ketika dibicarakan di tingkat penyusunan APBN.
Masalah kesenjangan kebijakan, ego sektoral, lemahnya koordinasi,
minimnya dana, ketidakjelasan penggunaan dana hutang, dapat menjadi
penghalang besar tanggung jawab negara dalam memenuhi dan melindungi
hak-hak masyarakat adat/lokal, yang menjadi penerima dampak terbesar baik
dalam skema REDD. Situasi terkini mereka sedang tidak terlalu bagus.
Pengakuan masyarakat adat masih minim dilakukan sementara kondisi
masyarakat lokal sendiri terkepung dalam kebijakan dan sistem hukum yang
tidak memihak mereka. Lalu datanglah REDD – yang biarpun ditempelkan
padanya program pengurangan kemiskinan – namun dengan maksud yang
jauh dari itu: menahan emisi agar tidak menguap ke atmosfer.
Akses itu memang diberikan. Masyarakat dapat berperan sebagai
pelaku atau penerima manfaat sekaligus dari skema REDD. Tapi pemberian
akses itu tidak disertai dengan perubahan kebijakan yang lebih berorietasi
kepada mereka, termasuk dalam alokasi pemanfaatan hutan yang masih
lebih banyak diberikan kepada industri. Tidak ada pencantuman kewajiban
melibatkan masyarakat dalam perencanaan atau dimintai izin ketika proyek
akan dilakukan.
Pada titik itu, kompensasi atau dalam aturan REDD ini mewujud dalam
soal pembagian keuntungan menjadi harapan terakhir. Namun harapan
itu pun tipis dapat memenuhi hak dan kepentingan masyarakat. Hampir
semua perencanaan pembagian keuntungan ditetapkan oleh pihak lain, baik
180
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
pemerintah atau swasta, dalam semua skema REDD: DA REDD, REDD sendiri
dan IUP PAN/RAN Karbon. Masyarakat sendiri akan menerima kompensasi
dari REDD ini secara tidak langsung, dalam bentuk dana program yang
pengelolaan dananya masih harus ditunggu realisasinya.
Bahan untuk didiskusikan
Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat dan kemudian didiskusikan
lebih lanjut dimana penelitian ini tidak mencandranya:
1. Soal kebijakan keuangan terkait perubahan iklim/REDD merupakan
topik yang sangat penting untuk dijelaskan untuk melihat sejauh
mana pemerintah Indonesia benar-benar sejalan dengan keinginan
komunitas internasional sebagai pihak yang belum dikenai kewajiban
menurunkan sendiri emisi dalam negerinya dan sebaliknya dibantu
oleh negara-negara maju di dalam pengendalian perubahan iklimnya.
Apakah hutang luar negeri boleh dipergunakan untuk membiayai
program-program pencegahan kebencanaan yang ada hubungannya
dengan program adaptasi/mitigasi perubahan iklim.
2. Soal penggunaan dana dari REDD untuk membiayai program-program
pengurangan kemiskinan. Pertanyaan penting untuk bagian ini adalah
bagaimana dana itu dikelola, siapa yang mengelola apakah masih dalam
lingkup departemen sektoral yang membawahi kewenangan pelaksanaan
REDD. Selain itu ditegaskan pula bahwa dana dari REDD ini tidak
akan mengurangi dana pemerintah yang memang sudah dialokasikan
untuk program-progran pengurangan kemiskian. Jangan sampai REDD
mengambil alih peran dana pemerintah dalam usaha pengurangan
kemiskinan. Keengganan beberapa daerah tingkat dua dalam menerima
REDD karena tidak jelasnya kontribusi REDD ke dalam APBD mereka
menjadi jalan pembuka untuk melihat itu. Soal ini juga berhubungan
dengan kebijakan keuangan negara.
3. Soal hubungan kebijakan perubahan iklim/REDD dihubungkan dengan
kebijakan desentralisasi. Penelitian ini sudah mendedahkan beberapa
lembaga di tingkat pusat yang diberikan kewenangan untuk melakukan
pelaksanaan REDD baik sebagai koordinator, regulator, pemberi izin,
pengawas. Namun penelitian ini masih belum dapat mencandra
bagaimana hubungan lembaga-lembaga tersebut dengan lembagalembaga sejenis atau yang diberi kewenangan terkait perubahan iklim/
REDD yang berada di daerah. Perkembangan kemungkinan dapat
dikembangkannya skema REDD di luar skema REDD nasional dapat
menjadi pintu pembuka ke arah sana.
Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (Redd) sebagai kasus
181
4.Bersiap tanpa rencana: Tanggapan
kebijakan pemerintah terhadap
perubahan iklim/REDD di
Kalimantan Tengah
Mumu Muhajir
4.1 Pendahuluan
Dalam tiga tahun terakhir, isu perubahan iklim dan REDD telah menjadi
diskursus penting, tidak hanya di kalangan saintis, tetapi juga di kalangan
aktivis dan pemerintah. Respon dari kalangan pemerintah di Indonesia yang
akan dijadikan perhatian dalam laporan riset ini. Respon pemerintah terhadap
isunya itu sendiri merupakan hal yang baik, yang menunjukkan berjalannya
roda pemerintahan. Perubahan iklim/REDD merupakan fenomena yang
akan berdampak besar pada kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia,
dilihat, misalnya, dampak pada ketergantungan sebagian besar masyarakat
Indonesia pada ketersediaan SDA. Perubahan iklim dikawatirkan akan
menjadi penghalang penting tercapainya kesejahteraan mereka.
Respon itu sendiri berjalan karena ada tantangan yang harus dihadapi.
Respon selalu berarti sekumpulan pertanyaan: respon terhadap apa atau
siapa? mengapa? dan bagaimana respon itu dilakukan. Lalu, karena ini
berhubungan dengan respon pemerintah, pertanyaan penting mengemuka:
apakah respon itu sudah sejalan dengan apa yang dimaui oleh masyarakat,
terutama masyarakat yang terkena dampak? Tanpa ada kesesuaian dengan
kemauan dan atau respon itu melindungi kepentingan masyarakat, maka
pemerintah seperti mesin otonom yang dipertanyakan akuntabilitasnya di
hadapan rakyatnya. Ia memang merespon dengan baik isu tersebut namun
ia sebenarnya sedang merespon selain kepentingan rakyatnya. Lalu ia
merespon terhadap kepentingan siapa atau apa?
Pertanyaan-pertanyaan di atas memang sangat komplek dan akan
sangat baik jika dijawab. Hanya saja laporan ini ada keterbatasannya.
Laporan ini pada dasarnya hanya akan mencoba pertanyaan sederhana:
bagaimana pemerintah merespon isu perubahan iklim dan REDD tersebut
dan bagaimana pemerintah mengintegrasikan respon tersebut ke dalam
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
183
kebijakan sehari-hari kerja pemerintahannya dan apakah respon pemerintah
itu telah melindungi kepentingan masyarakat terkena dampak, yang
kami perkecil luasannya sebagai masyarakat adat dan lokal? Laporan ini
karenanya berlaku seperti pemotretan atas respon pemerintah dalam tiga
tahun terakhir (2007 – 2010). Tapi, ada beberapa kebijakan di luar rentang
waktu itu yang ternyata harus disebut karena keterkaitan kuatnya dengan
perubahan iklim/REDD. Laporan ini juga tidak terlalu berfokus pada siapa
yang sedang direspon oleh pemerintah atau aktor di luar pemerintah.
Walaupun demikian, secara tersirat, dalam pemotretan respon
pemerintah tersebut sebenarnya bisa terlihat siapa yang sedang direspon
paling banyak oleh pemerintah tersebut. Apalagi jika dilihat dalam
kenyataannya isu perubahan iklim dan REDD merupakan isu yang berasal
dari dunia internasional.
“Setelah di bab sebelumnya menjelaskan soal respon kebijakan
pemerintah pusat, dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan respon
kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
dan Pemerintah Kabupaten Kapuas.105 Terlebih dahulu penulis paparkan
respon kebijakan di provinsi Kalimantan Tengah sebelum masuk untuk
membahas respon kebijakan di Kabupaten Kapuas. Menilik respon kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam soal perubahan iklim/REDD
ini penting karena sejatinya di wilayah pemerintah daerahlah pelaksanaan
dan sekaligus dampak/manfaat dari kegiatan penanggulangan perubahan
iklim/skema REDD itu terjadi. Tanpa adanya respon yang sepadan dari
pemerintah daerah dikawatirkan pelaksanaan kegiatan penanggulangan
perubahan iklim/REDD menghadapi kendala penting, terutama dalam
menghubungkan kepentingan masyarakat internasional dengan masyarakat
di tingkat lokal.
4.2 Respon Kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
(a) Sekilas Provinsi Kalimantan Tengah
Secara geografis, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan Provinsi terluas
ketiga setelah provinsi Papua dan Provinsi Kalimantan Timur dengan luas
wilayah 153.564 km2. Dari luas wilayah itu, 69,9% diantaranya masih berupa
hutan (10.735.935 hektar). Data ini berdasar kepada hasil paduserasi antara
TGHK dengan RTRWP pada Oktober 1999. Data terbaru masih belum
tersedia mengingat RTRWP baru Kalimantan Tengah yang diajukan sejak
tahun 2003 masih belum kelar pembahasannya. Sebagian besar wilayah
Provinsi Kalimantan Tengah merupakan dataran rendah, ketinggiannya
berkisar antara 0 s/d 150 meter dari permukaan air laut. Kecuali sebagian
kecil di wilayah Utara merupakan daerah perbukitan dimana terbentang
105
Liat bab 3 buku ini.
184
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
pegunungan Muller-Schwanner dengan puncak tertingginya (Bukit Raya)
mencapai 2.278 meter dari permukaan air laut.
Jumlah penduduk pada tahun 2008 adalah 2,1 juta jiwa dengan tingkat
kepadatan penduduk sebesar 14 jiwa per km2; jauh di bawah rata-rata
tingkat kepadatan penduduk secara nasional/Indonesia yag sebesar 123
jiwa per km2. Sebagain besar penduduk menggantungkan hidupnya pada
pertanian (60,67% dari angkatan kerja), sebagian kecilnya terserap di sektor
lainnya.
Pada awalnya, Kalimantan Tengah hanya memiliki 5 kabupaten, namun
sejak ada pemekaran wilayah di tahun 2002, jumlah kabupaten di Kalimantan
Tengah bertambah menjadi 13 kabupaten dan 1 kota.
(b) Kalimantan Tengah, Perubahan Iklim, REDD
Setengah luas Kalimantan Tengah adalah hutan, seperlimanya lahan
gambut, sehingga menjadikannya calon kuat percontohan REDD Plus
(REDD+). Kalimantan Tengah dipandang memiliki peran penting dalam
mencapai solusi bagi masalah perubahan iklim dengan potensi hutan dan
ekosistem gambut yang banyak menyimpan karbon.Tidak hanya karena
luas dan masih terjaganya hutan, tetapi karena luasnya lahan gambut
yang berada di sebelah selatan Provinsi Kalimantan Tengah. Luas lahan
gambut mencapai 3.010.640 hektar dengan kedalaman yang bervariasi: dari
yang kedalamannya kurang dari 0.5m sampai yang lebih dari 8 m. Namun
umumnya didominasi oleh kedalaman gambut yang dalamnya lebih dari 2
meter yang luasnya mencapai 41, 06% atau sekitar 1.236.071 hektar. Lahan
Gambut di Kalimantan Tengah ini merupakan lahan gambut yang terbesar di
Kalimantan (52,18% dari total lahan gambut Pulau Kalimantan) (Wahyunto
dan I Nyoman N. Suryadiputra, 2008:37).
Lahan Gambut berperan penting dalam penyerapan atau penahan
karbon. Potensinya sangat besar pada kontribusi perubahan iklim jika
ia secara sengaja atau tidak sengaja dibuat terbuka. Karena karbon yang
terlepas tidak hanya dari pepohonan yang tumbuh di atasnya, tetapi juga
dari bahan organik yang terurai di dalam tanah. Di lahan gambut sendiri,
karbon lebih banyak terdapat di dalam permukaan tanah daripada di atas
permukaan tanah.
Dan inilah yang sedang terjadi di Kalimantan Tengah. Dari 3,1 juta
hektare kawasan gambut, lebih dari 1,5 juta hektar sudah rusak dan
perlu direhabilitasi.106 Kerusakan dipicu aktivitas pembukaan proyek eks
Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare, serta pembukaan
kawasan gambut untuk sawit dan hutan tanam industri (HTI). Bukan hanya
lahan gambut yang rusak, di Kalimantan Tengah sendiri terdapat lebih
kurang 5,3 juta hektar lahan kritis. Masifnya kerusakan hutan dan lahan di
106
http://regional.kompas.com/read/2010/05/25/17572054/Hutan.Kalimantan Tengah.Rusak.Parah (diakses
03-06-2010).
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
185
Kalimantan Tengah ini telah merugikan lingkungan dan masyarakat akibat
mudah terjadinya kebakaran hutan, banjir, hilangnya keanekaragaman
hayati.
Kondisi hutan/lahan gambut di Kalimantan Tengah yang berada di
dalam tekanan berat ini bisa dengan gampang dilihat dengan mengamati
struktur perekonomian di Kalimantan Tengah. Saat ini sektor perkebunan,
terutama sawit, merupakan salah satu sektor terpenting untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Tengah. Kontribusinya mencapai
37,07% pada PDRB Kalimantan Tengah. Kontribusinya ini ternyata masih
belum mencapai titik maksimal, masih bisa ditingkatkan. Sayangnya
peningkatan kontribusi itu tidak hanya dengan proses intensifikasi (perbaikan
standar, efesiensi panen, dst) namun dengan melakukan ekspansi lahan.
Ekspansi ini tidak hanya pada lahan non-kehutanan, namun juga masuk
ke areal berhutan (Pokja Sawit Multipihak Pemerintah Provinsi, 2008:15)
Karena itu, setidaknya sejak tahun 2007, sudah banyak pihak yang bekerja
di Kalimantan Tengah dan bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah berusaha mencari solusi yang dapat mencegah dampak
perubahan iklim sekaligus memperhatikan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejak tahun 2007 pula, Provinsi Kalimantan Tengah selalu diajak oleh
pemerintah pusat untuk ikut terlibat di dalam perbincangan internasional
terkait perubahan iklim. Terakhir adalah kehadiran Provinsi Kalimantan
Tengah di COP 15 di Kopenhagen, Denmark. 107
Potensi Kalimantan Tengah memberikan solusi bagi mitigasi perubahan
iklim mendorong banyak pihak untuk datang ke Kalimantan Tengah dan
bekerja sama dengan pemerintah provinsi dengan membawa kepentingannya
masing-masing. Beberapa lembaga penting yang patut dicatat adalah Wetland
Internasional, Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival) Mawas, KFCP (The
Kalimantan Forest and Climate Partnership) dan Kemitraan.
1. Wetland Internasional
Wetland Internasional sudah sejak lama bekerja di Kalimantan
Tengah dan berkonsentrasi di masalah lahan gambut di Kalimantan
Tengah. Bersama-sama dengan mitra lainnya dengan pembiayaan dari
Pemerintah Belanda dan Indonesia, 108 berhasil menyusun Rencana
Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks Proyek Pengembangan
Lahan Gambut di Kalimantan Tengah atau Rencana Induk PLG. Rencana
Induk PLG ini diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah dan swasta
dan juga masyarakat dalam melakukan aktivitas apapun di lahan eks
PLG tersebut. Ia menjadi tatanan penting bagi implementasi Inpres
No 2 Tahun 2007 Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan
107
108
Syahrin Daulay (Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010.
CIMTROP-UNPAR, CARE, Bappenas, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Pemerintah Kabupaten Pulang
Pisau, Pemerintah Kabupaten Kapuas, Pemerintah Kabupaten Barito Selatan dan Pemkot Palangkaraya.
186
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Hanya sayangnya,
baik Inpres no 2/2007 maupun Rencana Induk PLG ini menghadapi
kendala di dalam pelaksanaannya. Inpres 2/2007 tidak maksimal
berjalan karena tiadanya dukungan dana sementara Rencana Induk
PLG itu kemungkinan besar akan menjadi dokumen mati. Hal tersebut
terjadi karena adanya perbedaan pandangan antara masing-masing
pemerintah pusat, pemerintah daerah yang mewadahi wilayah PLG.109
Apapun kondisinya, Rencana Induk PLG merupakan dokumen penting
bagi siapapun pihak yang mau bekerja di isu REDD di Kalimantan
Tengah.
2. Yayasan BOS Mawas
Yayasan BOS Mawas merupakan lembaga yang bekerja untuk
menyelamatkan orangutan, reintrodusir orangutan dan sekaligus
melindungi habitatnya. BOS Mawas merupakan salah satu anggota
konsorsium dari KFCP. BOS Mawas punya kepentingan besar melindungi
hutan dan lahan gambut yang ada di dua kabupaten, Barito Selatan
dan Kapuas. Terkait dengan lahan PLG, BOS Mawas bekerja di Blok E
PLG seluas kurang lebih 300.000 hektar. Penunjukan kerja ini diperkuat
dengan Izin Prinsip Untuk Kerjasama Konservasi dari Gubernur
Kalimantan Tengah (berupa Surat Gubernur Kalimantan Tengah No.38/
GUB-VII/2002, tanggal 31 Juli 2002).110 Dalam soal perdagangan karbon,
BOS mawas sudah berjalan jauh dengan membuat skema Debt-for-Nature
Swaps dan Perdagangan Karbon sendiri (Smits, 2003).
3. KFCP (Kalimantan Forest and Climate Partnership)
KFCP merupakan proyek DA (Demonstration Activities) REDD
terbesar yang diadakan di Indonesia dengan biaya kurang lebih 30
juta dolar Australia yang ditandatangani pada September 2007. KFCP
kemudian dimasukkan ke dalam bagian dari kerja sama yang lebih
luas antara Indonesia dan Australia terkait perubahan iklim dengan
spesifik REDD bernama Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership
(IAFCP) yang ditandatangani oleh PM Australia, Kevin Rudd dan
Presiden Indonesia, SBY pada 13 Juni 2008. Setelah memberikan 30
juta dolar Australia pada KFCP, IAFCP berkomitmen memberikan dana
sebesar 10 juta dolar Australia bagi proyek Hutan dan Iklim pemerintah
Indonesia.
KFCP berusaha membangun beberapa pola yang kemungkinan
harus hadir di dalam proyek REDD, antara lain soal hitung-hitungan
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan; mendekatkan
109
110
Muri (CARE International Indonesia site Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010.
Informasi dari website BOS Mawas: http://www.sambojalodge.com/AboutBOSFoundation/BOSMawas/
(diakses 03-06-2010) .
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
187
perhitungan karbon hutan ke dalam sistem kehutanan Indonesia,
pembayaran insentif kepada masyarakat yang tergantung hutan di
Kalimantan Tengah dan membangun kerjasama institusional dengan
pemerintah dalam pelaksanaan REDD. KFCP ini bekerja di areal kurang
lebih 150.000 ha yang ada di Kalimantan Tengah. Namun sampai sekarang
penunjukan detail lokasi mana yang akan dijadikan wilayah DA REDD
belum dilakukan. Walaupun demikian, kemungkinan besar lokasi itu
akan berada di sekitar Blok E PLG.111 KFCP sekarang ini menempati salah
satu gedung di perkantoran Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah.
4. Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia atau
Kemitraan
Pihak ketiga lain, yang sepertinya bukan pihak terakhir, yang menjalin
kerja sama dengan Provinsi Kalimantan Tengah adalah Kemitraan112.
Kerjasama antara Kemitraan dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
tidak melulu soal REDD, namun lebih luas yakni perbaikan tata kelola
pemerintahan yang baik di Kalimantan Tengah. Ada beberapa isu yang
akan dikerjasamakan yakni, (1) soal Lingkungan Hidup dan Rencana
Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Pengembangan Lahan Gambut (PLG)
di Kalimantan Tengah; (2) Ekonomi dan perdagangan dalam konteks
perubahan iklim; (3) pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar
hutan; serta (4) tata kelola pemerintahan yang baik.
Saat ini kegiatan yang sudah berlangsung adalah konsultasi publik
Rencana Induk PLG kepada yang berjenjang dilakukan dari tingkat
desa sampai dengan kabupaten. Di tingkat desa, konsultasi dilakukan
di sekitar 28 desa, 22 kecamatan dan 4 kabupaten/kota, yakni di
Kota Palangkaraya, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Kapuas, dan
Kabupaten Barito Selatan.
REDD sendiri masuk ke 4 isu yang dikerjasamakan di atas. Misalnya
saja akan ada sosialisasi soal REDD pada semua aparat pemerintah dan
masyarakat yang berada di dalam kawasan Blok A dan E PLG serta
peningkatan kapasitas pejabat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
untuk mempersiapkan implementasi REDD yang masuk di dalam isu
Lingkungan Hidup dan Rencana PLG.
Hal yang menarik lain dari kegiatan di dalam isu pertama ini adalah
penyelesaian masalah penguasaan tanah dan inventarisasi tanah-tanah
adat.113 Hanya saja, dalam dokumen yang penulis dapatkan yang bernama
“Matriks Kerangka Logis Kegiatan Sebagai Tindak Lanjut Surat Perjanjian
Kerjasama (SPK) Antara Kemitraan dengan Pemerintah Provinsi
111
112
113
Aleu Dohong (Staf KFCP), wawancara, 22-06-2010.
http://www.kemitraan.or.id/ (diakses 05-06-2010).
http://www.kemitraan.or.id/partnership-events/central-kalimantan-and-the-partnership-signed-formal-agreement/
lang-pref/id/ (diakses 05-06-2010).
188
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Kalimantan Tengah”, dua kegiatan penting itu tidak dicantumkan. Yang
ada malah fasilitasi adanya pola integrasi antara usulan skema REDD
dengan hutan masyarakat (CBFM) di mana salah satu bentuk CBFM
itu adalah hutan adat. Kejelasan soal ini, terutama inventarisasi tanahtanah adat, sangat penting dipikirkan dengan masak karena sudah ada
Pergub yang mengatur soal Tanah adat dan Hak-hak adat atas tanah
yang di samping menghembuskan kabar baik, namun mengintai di
belakangnya persoalan tersendiri bagi tanah-tanah adat. Penjelasan soal
Pergub ini akan dijelaskan di sub bab lain tulisan ini.
Lembaga yang diuraikan di atas tidak bisa mewakili tingkah polah
pihak-pihak lain yang sedang bekerja di Kalimantan Tengah terutama
yang terkait dengan perubahan iklim. WWF, misalnya, yang fasilitasi
dalam Heart of Borneo-nya memberikan nuansa tersendiri dalam
isu perubahan iklim/REDD di Kalimantan Tengah. Tapi penguraian
secara singkat keempat pelaku penting REDD di Kalimantan Tengah
ini bisa menunjukkan dengan siapa dan atas insentif siapa sebenarnya
respon (kebijakan) pemerintah di Kalimantan Tengah bergerak dalam
menanggapi isu perubahan iklim dan REDD. Penjelasan lebih detail
soal respon kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah akan
diuraikan di bawah.
(c) Respon Kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah atas
Perubahan Iklim dan REDD
(i) Perencanaan kebijakan pembangunan
Perencanaan kebijakan merupakan salah satu alat bagi pemerintah
untuk merencanakan suatu program di masa mendatang dengan
memperhitungkan kekuatan dan kelemahan para pihak baik yang ada
di dalam internal pemerintah maupun pihak di luar pemerintah, seperti
sektor swasta dan masyarakat sipil. Ia sebenarnya bisa menjadi alat
untuk mengkoordinasikan kerja semua pemangku kepentingan agar
dapat mencapai target tertentu.
Bagi daerah sendiri, perencanaan pembangunan ini berisi rencana
pembangunan dan tahapan untuk meraih visi daerahnya, baik yang
berjangka panjang, menengah atau pertahun yang dilakukan oleh
pemerintah maupun dinas-dinas terkait. Selain sebagai alat koordinasi,
proses perencanaan kebijakan pembangunan itu sendiri dapat dijadikan
alat untuk mengukur sudah sejauh mana pelaksanaan pembangunan
itu mencapai sasaran atau target, menjadi alat untuk mengawasi dan
mengendalikan pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan apa
yang ditargetkan, serta sebagai alat untuk membuka umpan balik
dari para pemangku kepentingan daerah perihal tahapan pelaksanaan
pembangunan.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
189
Untuk keperluan tulisan ini, dokumen perencanaan pembangunan
yang akan ditelisik dimulai dari dokumen perencanaan yang berjangka
panjang atau yang biasanya lebih abstrak, lalu berlanjut ke dokumen
perencanaan yang berjangka menengah serta akhirnya dokumen yang
lebih rigid yang berjangka tahunan. Dokumen perencanaan ini terbagi
antara pemerintah daerah secara umum serta dokumen milik dinas-dinas
atau dikenal sebagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Karena
keterbatasan data dan juga pelingkupan yang rigid, yakni dengan hanya
melihat keterkaitannya dengan isu perubahan iklim/REDD, hanya
dokumen yang disebutkan di bawah saja yang akan diteliti isinya.
Sebagian informasi juga berasal dari wawancara yang dilakukan oleh
penulis dengan kalangan staf pemerintah dan LSM pada pertengahanakhir Juni 2010 kemarin.
(1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi
Kalimantan Tengah 2006 - 2025
Dilihat dari sisi perencanaan kebijakan yang lahir dalam
bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP
Daerah) Provinsi Kalimantan Tengah, belum ada pembunyian
soal perubahan iklim atau REDD. Kondisi ini bisa dimaklumi
mengingat RPJP daerah Provinsi Kalimantan Tengah ini dibuat
pada tahun 2005.114 Dalam soal pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup, sebagai misi nomor sebelas pembangunan
Daerah Kalimantan Tengah, respon Pemerintah Provinsi Kalimantan
Tengah diarahkan pada persoalan lingkungan yang sifatnya lokal
(kebakaran hutan, dilemma kekayaan sumber daya alam berupa
emas antara sisi ekonomi dan lingkungan) dan belum menyentuh
persoalan lingkungan yang sifatnya global. Selain itu, perlindungan
lingkungan bisa dikatakan hanya ditanggungkan pada perbaikan
sistem perizinan serta pembentukan lembaga koordinasi yang lintas
sektoral dan lintas pelaku.
Perhatian pada sektor ekonomi tetap mendominasi misi
pembangunan daerah ini. Lingkungan hidup sedapat mungkin tidak
menghalangi pada peningkatan kesejahteraan lewat pembangunan
ekonomi. Karenanya banyak arahan di dalam misi pengelolaan
lingkungan hidup menekankan pada “pola pemanfaatan” SDA
yang ada dan bahkan ada satu arahan pembangunan yang
jelas mencantumkan peningkatan keberdayaan perusahaan dan
masyarakat dalam menyeimbangkan pengelolaan dan pelestarian
SDA.
114
Ditetapkan dengan Perda Nomor 12 Tahun 2005 pada tanggal 15 November 2005.
190
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
(2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi
Kalimantan Tengah 2006 - 2010
Tindak lanjut misi kesebelas pembangunan daerah yang
menyangkut pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ini kemudian
ditindaklanjuti ke dalam bentuk RPJMD 2006 – 2010115. Hanya saja,
penetapan yang bersamaan dengan RPJPD, membuat RPJMD hanya
menambahkan detail yang tidak terlalu jauh dari apa yang ada di
dalam RPJPD.
Tiga isu tetap mendominasi misi pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup ini, yakni pola pemanfaatan, keberdayaan
perusahaan dan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup.
Pola pemanfaatan SDA sebenarnya dibuat untuk menyelaraskan
antara proses eksploitasi dan perlindungan SDA-nya. Namun
arahan yang ada di dalam bagian ini lebih banyak soal bagaimana
memudahkan proses eksploitasi, misalnya, dengan peningkatan
birokrasi perizinan, peningkatan penerimaan daerah dari PNPB
(Penerimaan Negara Bukan Pajak), peningkatan kualitas layanan
perizinan dan pengawasan dalam bidang tambang dan batubara.
Dalam soal keberdayaan perusahaan dan masyarakat, di samping
soal perluasan akses pada SDA, terdapat pula arahan pembangunan
yang cukup penting untuk dibicarakan, yakni dalam soal penggalian
dan pemanfaatan kearifan lokal dalam pengelolaan dan pelestarian
lingkungan hidup. Program ini dijalankan dalam tiga sasaran:
penggalian kearifan lokal, menyosialisasikannya pada murid sekolah
dan masyarakat umum dan mengimplementasikannya ke dalam
kebijakan daerah dalam soal pelestarian lingkungan hidup.
Sementara soal pelestarian lingkungan masih didominasi dengan
usaha penyelesaian limbah lingkungan, peningkatan kapasitas SDM,
pencegahan kebakaran dan lahan dan isu lingkungan primordial
lainnya.
Dengan demikian, sebagaimana RPJPD, tidak ada pembicaraan
atau tanggapan pemerintah daerah Kalimantan Tengah dalam soal
perubahan iklim atau REDD. Sektor kehutanan, yang paling dekat
hubungannya dengan isu REDD, masih berkutat pada masalah
klasik dalam soal pelembagaan penataan kawasan hutan, koordinasi
antar sektor, peningkatan penerimaan daerah, akses dunia usaha
dan masyarakat pada hutan. Isu rehabilitasi/reboisasi/penghijauan
hutan belum ada pengaitannya dengan isu perubahan iklim. Bisa
dipastikan bahwa masuknya program ini merupakan tindak lanjut
dari program nasional Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan
dan Lahan) yang pertama dicanangkan pada tahun 2004.
115
Ditetapkan dengan Perda Nomor 13 Tahun 2005 pada tanggal 15 November 2005.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
191
(3) Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Kalimantan
Tengah 2009
Isu perubahan iklim mulai disebutkan di dalam RKPD Provinsi
Pemerintah Kalimantan Tengah 2009 ketika berbicara soal pelestarian
lingkungan hidup116. Hal ini seiring dengan mulai menguatnya isu
perubahan iklim/REDD di dalam RKP (Pemerintah Pusat) 2009.
Hanya saja, berbeda dengan RKP 2009 yang memandang isu
perubahan iklim tidak hanya ada di dalam isu lingkungan hidup,
Pemerintah Kalimantan Tengah memasukkan isu perubahan
iklim dan REDD ke dalam program pengelolaan dan pelestarian
lingkungan hidup.
Secara jelas Pemerintah Kalimantan Tengah menyebutkan bahwa
tahun 2009 merupakan permulaan diterapkannya beberapa skema
mitigasi perubahan iklim pada tingkatan lokal atau daerah. Skema
mitigasi yang dimaksud berurusan dengan deforestasi dan degradasi
hutan tropis dan hutan rawa gambut, yang dalam skema mitigasi
pemanasan global dikenal sebagai REDD. Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah karenanya mempersiapkan diri untuk terlibat
dalam proses dan kegiatan REDD tersebut.
Hanya saja, masih belum jelasnya Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah dalam menempatkan tantangan lingkungan
global tersebut di dalam kebijakan sehari-hari pemerintahannya
menimbulkan setidaknya dua situasi: Pertama, situasi dimana
pemerintah Kalimantan Tengah membuat program dan kegiatan
yang hampir sama dengan kegiatan tahun-tahun sebelumnya, dengan
item yang hampir sama dan kemudian menyisipkan isu perubahan
iklim pada beberapa program/kegiatan yang dirasa ada hubungannya.
Sehingga ketika rencana kerja itu dijalankan terdapat fleksibilitas
untuk merengkuh isu perubahan iklim di dalam program/kegiatan
pembangunannya. Pada titik ini, aparat birokratlah yang menentukan
satu item kegiatan tertentu mempunyai hubungan atau tidak ada
hubungan dengan isu mitigasi perubahan iklim/REDD.
Ada beberapa program dan aktivitas yang tersebar setidaknya di
4 lembaga (Dinas Pertanian/Peternakan, Dinas Perkebunan, Dinas
Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup) yang bisa dikaitkan
dengan aktivitas mitigasi perubahan iklim. Program dan aktivitas itu
antara lain terkait dengan pencegahan kebakaran hutan dan lahan,
dan penyebarluasan infomasi dan pengelolaan lingkungan hidup/
hutan (pemantapan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, partisipasi
masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan non kayu, pengendalian
pencemaran udara).
116
Ditetapkan dengan Pergub Kalimantan Tengah No. 13 Tahun 2008 pada tanggal 31 Mei 2008.
192
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Situasi kedua yang timbul sebagai konsekuensi tidak adanya
pembunyian perubahan iklim, atau strategi mitigasi perubahan
iklim berupa REDD dalam program dan kegiatan pemerintah adalah
pada tidak adanya alokasi bujet sehingga anggaran akan lebih
diprioritaskan untuk program/kegiatan yang disebutkan secara jelas.
Dengan kata lain, program/kegiatan yang disinyalir ada hubungannya
dengan persiapan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah untuk
terlibat di dalam proses dan kegiatan implementasi skema mitigasi
perubahan iklim, sebenarnya tidak menjadi prioritas. Prioritas
utama tetap pada apa yang disebutkan dengan terang benderang
di dalam RKPD 2009.
Dua situasi itu merupakan bukti kebingungan Pemerintah
Provinsi Kalimantan Tengah dalam menanggapi isu perubahan iklim,
secara khusus sisi mitigasinya. Ketidakjelasan perundingan REDD di
tingkat internasional, belum padunya kebijakan pemerintah nasional
dan pada saat yang sama derasnya penawaran terkait mitigasi
perubahan iklim ini membuat pemerintah provinsi bersikap mendua.
Membunyikan secara jelas dalam rencana pembangunannya dapat
berkonsekuensi tidak dijalankan jika ternyata implementasi REDD
masih ada dalam tahap uji coba atau ternyata tertahan karena belum
ada kesepakatan pasti. Ini dapat memberikan rapor jelek bagi aparat
pemerintah. Sementara jika tidak membunyikan sama sekali berarti
ada peluang yang dibiarkan lewat begitu saja, dengan konsekuensi
hilangnya peluang tambahan pendapatan daerah.
(4) Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Kalimantan
Tengah 2010
Dalam RKPD 2010, disusun dalam kalimat yang sama namun
dengan susunan paragraph yang lebih rapi dengan apa yang
tertulis dalam RKPD 2009, disebutkan bahwa tahun 2010 (kembali)
dipandang sebagai awal “tahapan inisiasi untuk implementasi lokal
dari beberapa wacana skema mitigasi yang sudah dicanangkan…Untuk
itu Kalimantan Tengah akan mempersiapkan diri dan ikut terlibat
dalam berbagai proses dan kegiatan untuk mitigasi perubahan iklim
dan pemanasan global khususnya yang dikaitkan dengan deforestasi
dan degradasi hutan tropis dan hutan rawa gambut.”117
Dengan kesamaan kalimat seperti di atas secara umum bisa
dipastikan RKPD 2010 mempunyai semangat yang sama dengan apa
yang ada di dalam RKPD 2009 sebagai bukti mulai ditanggapinya
isu perubahan iklim, terutama skema mitigasi perubahan iklim
berupa REDD, oleh Pemprov Kalimantan Tengah. Ada keinginan
117
Hal IV-11 dalam Pergub 11 Tahun 2009 tentang RKPD Provinsi Kalimantan Tengah 2010 ditetapkan pada
17 Juni 2009. Bandingkan kalimatnya dengan Hal. IV-45 pada RKPD 2009.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
193
dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah untuk terlibat dalam
proses dan kegiatan pengembangan skema mitigasi perubahan
iklim tersebut.
Pembacaan terhadap RKPD Provinsi Kalimantan Tengah 2010
jika dibanding dengan RKP 2010 juga menunjukkan apa yang
menjadi prioritas pembangunan di tingkat pemerintah nasional
tidak harus menjadi prioritas di tingkat pemerintahan provinsi.
Dalam soal isu perubahan iklim, misalnya, pemerintah pusat telah
melihat bahwa isu perubahan iklim ini merupakan isu yang lintas
bidang/sektor dan perlu dihadapi agar tidak menghambat usaha
peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemerintah memasukkan isu
perubahan iklim ini sebagai “buhul” berbagai program/aktivitas yang
dijalankan oleh masing-masing sektoral departemen atau lembaga
pemerintah lainnya.
Sementara dalam RKPD Provinsi Kalimantan Tengah 2010,
ketegasan soal perubahan iklim itu tidak ada. Tapi Pemerintah
Provinsi Kalimantan Tengah sebenarnya ingin terlibat atau dilibatkan
dalam proses dan kegiatan skema mitigasi perubahan iklim lewat
REDD tersebut. Hanya saja, perubahan iklim tetap bukanlah isu
prioritas Provinsi Kalimantan Tengah yang terlihat dari masih
ditempatkannya isu perubahan iklim dalam program pengelolaan
dan pelestarian lingkungan hidup.
Walaupun demikian, RKPD Provinsi Kalimantan Tengah 2010 ini
lebih terlihat program dan aktivitas nyata terkait dengan perubahan
iklim/REDD dibandingkan dengan RKPD 2009. Program dan
kegiatan itu memang kegiatan yang sudah ada di dalam RKPD 2009,
hanya saja keluarannya (outputnya) ditambahkan isu perubahan
iklim, tepatnya dampak bencana dari perubahan iklim.
Semua kegiatan yang ada hubungannya dengan pencegahan
dampak bencana perubahan iklim itu ada di sektor pertanian. Di
dalam sektor pertanian, kegiatannya dapat dibagi dalam tiga kegiatan
mencakup soal peningkatan kapasitas (baik PNS maupun petani –
lewat sekolah iklim), pencegahan penyakit tanaman pangan, serta
pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Lembaga yang masuk
dalam lingkup sektor pertanian ini adalah Dinas Pertanian dan
Peternakan serta Dinas Perkebunan.
Di sektor kehutanan dan lingkungan hidup, sebenarnya ada
aktivitas yang sama dengan aktivitas di sektor pertanian, yakni
kegiatan pengendalian kebakaran hutan, lahan dan pekarangan,
namun keluarannya tidak ditarik ke isu perubahan iklim. Tidak
ada penjelasan bahwa program tersebut dikaitkan dengan
perubahan iklim. Padahal, dalam rancangan skema mitigasi
194
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
perubahan iklim lewat kehutanan seperti REDD, pengendalian
kebakaran hutan dan lahan merupakan unsur penting dalam
skema tersebut. Kegiatan di sektor lingkungan hidup dan
kehutanan ini banyak dikerjakan oleh Dinas Kehutanan dan BLH.
Dengan kondisi di atas, mengapa program dan kegiatan
yang sama di dua lembaga yang sebenarnya sering dikaitkan
dengan isu perubahan iklim tidak dianggap sebagai bagian juga
dari pengendalian dampak perubahan iklim? Apa susahnya
menambahkan output pada program/aktivitas di BLH dan Dinas
Kehutanan berupa pengendalian dampak perubahan iklim. Apakah
ada unsur ketidaksengajaan sehingga penyusun RKPD 2010 luput
memasukkan hal itu ke dalam kegiatan di lingkup BLH dan Dinas
Kehutanan?
Hasil wawancara dengan pihak BLH justru menunjukkan bahwa
isu perubahan iklim sudah mulai ramai dibicarakan di kalangan
internal mereka setidaknya sejak tahun 2008. BLH bahkan sudah
ditunjuk sebagai fasilitator untuk isu ini di Kalimantan Tengah. 118
Sudah banyak kegiatan yang ada hubungannya dengan isu perubahan
iklim atau REDD yang dilakukan dalam dua tahun terakhir (20092010). Umumnya adalah program sosialisasi (seminar, workshop)
untuk mengenalkan isu perubahan iklim dan mitigasinya ke kalangan
pemerintahan yang dananya memang tidak berasal dari APBD,
namun berasal dari para pemrakarsa (mis. Kemitraan).
Fakta itu menunjukkan dua hal. Pertama, ketiadaan dana
untuk kegiatan terkait langsung dengan perubahan iklim menjadi
penegasan bahwa belum ada prioritas dari pemerintah untuk
menempatkan isu perubahan iklim di dalam kegiatan BLH.
Kedua, di sisi yang lain, ada kesenjangan yang terlalu kentara
(yang sebenarnya bisa dijembatani) antara yang dituliskan di dalam
dokumen RKPD dengan fungsi dan kerja sehari-hari SKPD. Seolah
penyusun RKPD 2010 luput untuk melihat bahwa sudah ada badan/
dinas di Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang sebenarnya –
ditunjang dengan tupoksi yang jauh lebih terkait – lebih memiliki
atau yang juga memiliki sumber daya untuk menjalankan kegiatan/
aktivitas terkait perubahan iklim, daripada atau di samping Dinas
Pertanian dan Peternakan dan Dinas Perkebunan.
Tapi menunjuk sektor pertanian (dan perkebunan) sebagai
sektor pertama di Kalimantan Tengah yang dibebani dengan isu
pengendalian perubahan iklim sebenarnya tidak menyimpang
jauh dari kebijakan perubahan iklim di tingkat nasional. Dalam
118
Dra. Ernie Hermine L, M.Si (Kabag Pemulihan Kerusakan Lingkungan Hidup, BLH Provinsi Kalimantan
Tengah), wawancara, 22-06-2010.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
195
RKP 2010 serta RPJMD 2010 – 2014 memang terlihat sekali bahwa
sektor pertanian diperhatikan benar dampaknya akibat perubahan
iklim tersebut dan konsekuensinya banyak aktivitas yang dibiaya
untuk pengendalian dampak tersebut. Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah nampaknya bersikap sama dengan menegaskan
keterkaitan antara dampak yang terjadi di sektor pertanian, seperti
penyebarluasan hama penyakit tanaman, serta akibat-akibat lain
dari perubahan iklim.
(5) Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Pengelola
dan Pelestarian Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah
Tahun 2006-2010
Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan
Pengelola dan Pelestarian Lingkungan Hidup (Renstra SKPD BPPLH)
Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2006 - 2010 ini dibuat pada
tahun 2006 dan hanya berisi rencana umum kerja BPPLH. Belum
ada pandangan umum BPLLH Kalimantan Tengah ini terkait dengan
perubahan iklim atau skema mitigasi perubahan iklim. Rencana
strategis lebih banyak menekankan pada aktivitas mendasar seperti
pengumpulan data soal pencemaran atau keanekaragaman hayati
atau soal peningkatan kualitas SDM.
Hasil wawancara dengan beberapa narasumber menyatakan
bahwa isu perubahan iklim baru hanya dalam tahap wacana sehingga
belum dimasukkan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan
BLH.119 Yang dimaksud dalam tahapan wacana ini lebih banyak
dalam bentuk peningkatan kapasitas staf PNS dengan melakukan
atau memfasilitasi banyak workshop terkait perubahan iklim dan
REDD serta sosialisasi ke masyarakat umum, misalnya, dalam bentuk
pemasangan poster.
Karena tidak tercantum di dalam rencana kerja mereka, maka
ketika melakukan fasilitasi workshop, seminar perubahan iklim/
REDD ini dananya tidak berasal dari APBD, namun berasal dari
kerja sama dengan pemrakarsa, seperti Partnership. Informan yang
ditanya, semuanya membetulkan bahwa belum ada alokasi bujet
yang dialokasikan bahkan hanya untuk pelaksanaan workshop/
seminar bagi peningkatan kapasitas staf BLH sendiri.
(6) Green Government Policy
Kebijakan ini disinggung oleh Kepala Bappeda Kalimantan
Tengah sebagai salah satu bukti persiapan Kalimantan Tengah ikut
dalam proses dan kegiatan skema mitigasi perubahan iklim. Selain
119
Dra. Ernie Hermine L, M.Si (Kabag Pemulihan Kerusakan Lingkungan Hidup, BLH Provinsi Kalimantan
Tengah), wawancara, 22-06-2010.
196
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Green Government Policy, ada 3 bentuk persiapan lain, yakni,
kebijakan dalam pengelolaan gambut, pemanfaatan lahan-lahan
terlantar dan keterlibatan dalam program Heart of Borneo (HoB).
Kebijakan Pemerintah Hijau ini merupakan andalan dari
Gubernur Kalimantan Tengah saat ini (Agustin Teras Narang) dalam
menunjukkan Kalimantan Tengah sebagai provinsi yang dapat
melaksanakan pembangunan yang berlandaskan pada pelestarian
lingkungan hidup. Tidak ada peraturan formal yang meneguhkan
Kebijakan Pemerintah Hijau ini. Ia lebih sebagai manifestasi visi dan
misi Gubernur Kalimantan Tengah terpilih. Setidaknya, sejak tahun
2008, berkali-kali dalam pidatonya dan pertemuan-pertemuan formalinformal dengan bawahannya, gubernur menyebut soal kebijakan ini.
Salah satu yang diinginkan di dalam Kebijakan Pemerintah
Hijau ini adalah adanya keseimbangan antara proyek pembangunan
ekonomi dengan perlindungan lingkungan, terutama dengan
mengatur soal pemberian izin untuk usaha eksploitasi SDA.
Kebijakan Pemerintah Hijau mewajibkan kepada para pemilik izin
usaha untuk sebelumnya memiliki dokumen amdal dan dalam
pelaksanaan eksploitasinya memperhatikan aturan-aturan soal
lingkungan hidup (misal, reklamasi tambang).
Kebijakan Pemerintah Hijau ini menjadi pembeda Kalimantan
Tengah dengan provinsi lain, sehingga dalam satu kesempatan
memunculkan keinginan untuk menjadikan Kalimantan Tengah
sebagai Green Province atau Provinsi Hijau.120 Sampai sekarang,
bentuk nyata dari Provinsi Hijau itu atau usaha untuk mencapai itu
masih dalam bentuk wacana dan menjadi perbincangan di kalangan
birokrat Kalimantan Tengah.
Tidak hanya berhenti di sana, Kebijakan Pemerintah Hijau ini
ternyata menarik perhatian pihak-pihak yang mengusung skema
mitigasi perubahan iklim berupa REDD. Kebijakan Pemerintah
Hijau itu menjadi point penting untuk menempatkan Kalimantan
Tengah sebagai calon wilayah percontohan REDD plus.121
Saat ini ada keinginan untuk menempatkan Kebijakan
Pemerintah Hijau itu sebagai kebijakan “resmi” Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah dengan mencarikan legalitas hukum formal,
termasuk dengan Peraturan Daerah (Perda). Sebagai tahapan ke arah
terbentuknya Perda, sampai saat ini sudah tersusun naskah akademik
tentang Kebijakan Pemerintah Hijau. Cara lain yang ditempuh
oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah untuk menguatkan
posisi hukum kebijakan ini adalah dengan memasukkannya ke
120
121
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2010/04/23/brk,20100423-242746,id.html (diakses 18-06-2010).
http://www.kemitraan.or.id/newsroom/Kalimantan Tengah-masuk-percontohan-redd-plus/lang-pref/id/ (diakses
25-06-2010).
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
197
dalam RPJMD 2011 – 2016 yang merupakan wujud dari visi dan misi
gubernur terpilih (yakni, Agustin Teras Narang).122
(ii) Tanggapan setengah hati: Antara perencanaan dan menangkap peluang
Dari penelusuran pada dokumen perencanaan kebijakan di Provinsi
Kalimantan Tengah ini, tampak bahwa isu perubahan iklim dan REDD
merupakan isu baru yang baru dicantumkan di dalam RKPD 2009 dan
pelan-pelan muncul dalam bentuk program dan aktivitas pemerintah
pada tahun 2010. Tapi kemunculannya pun tidak tegas dalam bentuk
program/aktivitas tersendiri, namun hanya disangkutkan di dalam
keluaran/output beberapa kegiatan. Sementara itu ada penunjukkan
aktor yang kurang komprehensif dengan tidak melibatkan dinas yang
sumberdayanya sudah lama bergelut atau berdekatan dengan isu
perubahan iklim seperti BLH dan Dinas Kehutanan.
Informasi dari para informan dalam soal ketiadaan isu perubahan
iklim dan REDD dalam RPJPD atau RPJMD, RKPD dan dokumen
perencanaan lainnya menyebutkan bahwa hal itu merupakan hal yang
wajar. Skema REDD sendiri baru muncul di medio tahun 2007, sementara
Dokumen RPJPD, RPJMD dan Renstra BLH disusun pada pertengahan
tahun 2005. Ketiadaan skema REDD di dalam dokumen yang disusun
pasca 2007 lebih disebabkan karena belum disetujuinya skema REDD
di dunia internasional.
Ketika disangkutkan dengan belum adanya rencana program/kegiatan
nyata pemerintah provinsi dalam soal perubahan iklim, semua informan
menunjuk pada dua alasan. Alasan pertama adalah belum pastinya soal
perundingan perubahan iklim, terutama dalam soal REDD di tingkat
internasional. Biarpun skema mitigasi perubahan iklim itu sudah
banyak yang ditawarkan, namun pemerintah provinsi masih menunggu
versi mana dari skema mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan
yang akan disepakati oleh dunia internasional. Hal itu terkait dengan
pembayaran yang akan diterima dan kepada siapa karbon akan dijual.
Alasan kedua, menunjuk pada belum pastinya kebijakan di tingkat
nasional. Pemerintah Pusat belum juga memiliki kebijakan yang tegas
dalam soal REDD itu, serta perubahan iklim dalam cakupan yang lebih
luas. Pemerintah provinsi masih melihat bahwa kebijakan di tingkat
nasional itu masih belum banyak yang disosialisasikan di tingkat daerah.
Karenanya, semua informan menyatakan bahwa lebih baik menunggu
daripada membuat kebijakan yang nantinya malah jadi salah.
Nyatanya adalah kalangan internal BLH menyatakan bahwa mereka
sudah beberapa kali memfasilitasi seminar/workshop terkait dengan
perubahan iklim/REDD, atau kehadiran gubernur dalam perundingan
122
Syahrin Daulay (Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010.
198
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
UNFCCC, atau keterbukaannya pada KFCP dan pemrakarsa REDD lainnya,123
dan sederet kegiatan lainnya yang menunjukkan bahwa kerja-kerja
tersebut seolah tidak dianggap sebagai bagian kerja “resmi” pemerintah
karena seolah berjalan tanpa ada perencanaan. Ini menunjukkan ada
kesenjangan antara perencanaan dengan kerja sehari-hari pemerintah
dan kegagapan dalam menangkap sebuah peluang yang berinsentif besar.
Penelusuran terhadap dokumen perencanaan ini untuk membaca
sejauh mana pemerintah provinsi menempatkan isu perubahan iklim
dan REDD dalam kebijakan sehari-harinya. Dibalik pernyataannya
bahwa isu perubahan iklim dan REDD merupakan prioritas utama
(dengan disebutkan pertama kali) program pengelolaan dan pelestarian
lingkungan hidup, dan menyatakan pemerintah provinsi akan terlibat
dan mempersiapkan diri dalam implementasi di tingkat lokal skema
mitigasi berupa REDD, sebenarnya tidak dibarengi dengan rencana
program atau aktivitas nyata di lapangan.
Dengan demikian, sikap atau tanggapan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah soal skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD
– berkebalikan dengan informasi dari para informan – ternyata sudah
jelas: Pemerintah provinsi akan terlibat dan mempersiapkan diri dalam
proses dan kegiatan skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD.
REDD bisa jadi seperti target bergerak yang riskan jika terlalu tergesa
dimasukkan ke dalam dokumen perencanaan, tetapi sikap pemerintah
provinsi sudah jelas. Namun bagaimana keterlibatan dan persiapan diri
itu akan dilakukan memang menjadi kabur.
Hal tersebut terjadi karena Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
belum secara serius menempatkan dokumen perencanaannya sebagai
cara untuk mengendalikan pembangunan serta memperkuat koordinasi
antar instansi pemerintah. Dokumen perencanaan hanya dianggap
sebagai dokumen formal saja sebagai keharusan karena diperintahkan
peraturan perundang-undangan. Adanya susun kalimat yang hampir
sama di dua RKPD 2009 dan 2010 serta luputnya pelibatan dua institusi
penting menjadi buktinya.
Padahal, selain itu pengendalian pembangunan, dokumen
perencanaan juga dapat diperlakukan sebagai sarana monitoring. Jika
pernyataan keharusan terlibat dan mempersiapkan diri di dalam proses
dan kegiatan skema mitigasi perubahan iklim itu dinyatakan dalam
susunan kalimat yang sama, berarti proses “perenungan” atas apa yang
sudah dilakukan luput dilakukan. Atau itu juga menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, kerjakerja pemerintahan di tahun lalu dengan tahun berikutnya.
123
Pemrakarsa REDD yang melakukan aktivitas REDD di Kalimantan Tengah dapat dilihat di laporan ICRAF,
lihat (Sakuntaladewi dkk., 2009:3-5).
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
199
Sisi lain dari minimnya pembunyian perubahan iklim/REDD di
dalam dokumen perencanaan memperlihatkan kepada kita bahwa
dokumen perencanaan seperti tidak menapak pada “realitas”. Ia
seperti proses yang independen yang kemudian menganulir beberapa
kerja-kerja penting atau tantangan-tantangan terkini. Ini tidak berarti
bahwa perubahan iklim/REDD harus berada dalam prioritas penting
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Karena bagaimanapun proses
pembentukan dokumen perencanaan merupakan proses yang berisi tarik
menarik kepentingan, penguatan atau pengalihan serta penghilangan
usulan-usulan tertentu dan seterusnya.
Tapi setidaknya, dokumen perencanaan dapat memperlihatkan
tanda kuat berupa tahapan-tahapan program/kegiatan yang jelas yang
menunjukkan “bentuk mempersiapkan diri atau keterlibatan” yang akan
diambil oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terkait dengan
isu perubahan iklim dan REDD.
Persiapan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah provinsi
dalam mengendalikan perubahan iklim/REDD selayaknya sudah mulai
dimasukkan ke dalam dokumen perencanaan dengan berkaca pada apa
yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Ini akan memudahkan kerja
pemerintah sekaligus memudahkan pihak lain melihat apa yang akan
dikerjakan pemerintah dan memprediksi kinerjanya.
Semakin luas diskresi pejabat/staf pemerintahan dalam
menjalankan aktivitasnya semakin sulit bagi pihak luar untuk menakar
akuntabilitasnya. Apakah kerja-kerja yang dilakukan selama ini terkait
dengan isu perubahan iklim sudah dilaporkan ke rakyatnya atau wakil
rakyatnya di DPRD? Jika pun dilaporkan, atas dasar apa laporan itu
dilakukan jika tidak ada dokumen perencanaan di masa sebelumnya
sebagai tolok ukur untuk melihat apa yang sebenarnya dilakukan oleh
pemerintah? Yang lebih penting lagi, apakah masyarakat Kalimantan
Tengah sudah mengetahui apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah
provinsi terkait dengan kesiapan diri dan keterlibatan dalam proses/
kegiatan implementasi di tingkat lokal skema mitigasi perubahan iklim
berupa REDD? Dari mana masyarakat Kalimantan Tengah melihat
kerja pemerintah itu jika program/kegiatannya tidak direncanakan dan
bekerja secara acak?
(iii) Pelaksanaan Kebijakan
Ada dua bentuk pelaksanaan kebijakan yang akan dilihat untuk
keperluan laporan ini, yakni peraturan perundang-undangan dan
kelembagaan. Isi peraturan perundang-undangan yang dilihat adalah
terkait atau tidak terkait langsung dengan perubahan iklim/REDD dan
peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang mengatur soal
200
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
perlindungan hak dan kepentingan masyarakat adat/lokal. Sementara,
kelembagaan yang dimaksud dalam pengertian yang sempit, yakni
suatu organisasi dengan tugas, kerja dan fungsi tertentu, yang untuk
keperluan penulisan ini, penting untuk dilihat tanggapannya dalam
soal perubahan iklim dan REDD. Lingkup dari dua bentuk pelaksanaan
kebijakan ini berada di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.
Dalam pelaksanaan kebijakan berupa peraturan perundangundangan dan kelembagaan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
ternyata sudah melakukan aktivitas yang cukup maju dibandingkan
dengan pemerintah provinsi lainnya. Di bawah adalah uraiannya.
(1) Peraturan perundang-undangan
-
Peraturan perundang-undangan terkait langsung/tidak
langsung dengan isu perubahan iklim/REDD
Sampai laporan ini ditulis, Pemerintah Provinsi Kalimantan
Tengah belum mengeluarkan suatu peraturan perundangundangan berupa Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur
yang mengatur soal perubahan iklim atau REDD. Peraturan yang
dimaksud ini adalah peraturan yang langsung/tidak langsung
mengatur soal perubahan iklim dan bersifat “regeling” atau
mengatur. Hal ini disebabkan karena sebenarnya, jika dilihat
dari segi terbitnya peraturan, pemerintah provinsi baru-baru ini
sudah mengeluarkan 2 peraturan perundangan yang langsung
mengatur perubahan iklim/REDD, namun bersifat menetapkan,
yakni pembentukan dua lembaga (DDPI dan Komda REDD) yang
penjelasannya akan diuraikan di bagian lain tulisan ini.
Keinginan ke arah terbentuknya peraturan di daerah yang
mengatur perubahan iklim, terutama untuk REDD, sebenarnya
sudah mulai muncul di kalangan birokrat di Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah. Setidaknya ada tiga faktor yang mendorong
keinginan itu: pertama, karena menghangatnya perdebatan soal
ini tidak hanya di media, tapi juga masuk ke dalam perbincangan
di kalangan birokrat. Kedua, semakin intensifnya tawaran
dari pihak-pihak yang menawarkan kerja sama dalam REDD
dan bahkan sudah ada beberapa inisiatif yang disepakati oleh
pemerintah provinsi, misalnya KFCP. Dalam bahasa yang lebih
lugas, ketiadaan peraturan perundang-undangan di tingkat
daerah menyebabkan pemerintah daerah tidak bisa merespon
tawaran atau memantau pergerakan para inisiator REDD serta
pedagang karbon yang semakin hari semakin banyak yang
datang ke Kalimantan Tengah.
Terakhir, keinginan untuk mengatur sendiri soal REDD ini
dilatar belakangi dengan ketidakpuasan terhadap peraturan di
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
201
tingkat nasional yang mengatur soal REDD.124 Ketidakpuasan
itu diarahkan pada pembagian kewenangan serta, yang paling
penting, pembagian keuntungan/hasil REDD antara pemerintah
daerah dan pemerintah pusat (c.q. Departemen Kehutanan).
Menurut salah seorang staf BLH, ada aturan dalam
permenhut yang mengatur soal DA/REDD yang belum
mempertimbangkan kewenangan peraturan daerah yang
mengacu kepada UU Pemerintahan Daerah. Permenhut itu lebih
mengacu pada UU 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.125
Satu aspek yang dilihat adalah dalam soal pengaturan soal
hutan rakyat/adat. Menurut staf itu, kewenangan pemberian
izin di hutan adat atau hutan rakyat sebenarnya sudah menjadi
wewenang pemerintah daerah, lalu mengapa di dalam Permenhut
No 36 Tahun 2009 diatur soal pembagian hasil di kawasan hutan
adat dan hutan rakyat. Dalam pandangan staf itu, permenhut itu
telah melewati kewenangannya, karena seharusnya Pemda-lah
yang menentukan persentase bagi hasil masing-masing pihak
yang melaksanakan skema REDD di hutan rakyat dan hutan
adat. Ini menjadi alasan kuat mengapa Perda atau peraturan
perundangan di tingkat daerah lainnya diperlukan.
Di luar perda soal perubahan iklim, ada dua peraturan lain
yang selayaknya dipersiapkan oleh Kalimantan Tengah untuk
menyambut REDD, yakni Perda tentang Pengelolaan SDA dan
Perda tentang Penataan Ruang. Perda Pengelolaan SDA sangat
penting untuk menjembatani program antar dinas di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota. Perda SDA ini, selain untuk
memperjelas visi Kalimantan Tengah dalam menyeimbangkan
eksploitasi ekonomi dengan pelestarian lingkungan hidup, sangat
penting untuk menurunkan ego masing-masing sektoral serta
mempermulus kerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota.
Perda Penataan Ruang jelas sangat penting bagi Kalimantan
Tengah dalam mengatur pemanfaatan ruangnya. Saat ini
Perda Kalimantan Tengah soal Penataan Ruang ini masih
dibicarakan dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen
Kehutanan126. Ketidakjelasan pengaturan ruang ini menyebabkan
ketidakpastian pembangunan di Kalimantan Tengah, termasuk
dalam menunjuk suatu kawasan sebagai kawasan untuk
implementasi REDD.127
124
125
126
127
Permenhut No. 68 tahun 2008, Permenhut No. 30 Tahun 2009, Permenhut No. 36 Tahun 2009.
Langen Budiharjo (staf BLH), wawancara, 23-06-2010.
Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang RTRWP Kalimantan Tengah. Perda ini belum disetujui oleh Pemerintah
Pusat; dengan demikian sudah tujuh tahun Kalimantan Tengah tidak memiliki RTRWP.
Aleu Dohong (Staf KFCP), wawancara, 22-06-2010.
202
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
a. Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran
Hutan dan atau Lahan
Dalam tulisan ini, tidak hanya Perda Nomor 5/2003 saja yang
akan dibahas. Tapi juga peraturan pelaksana dari Perda ini serta
regulasi lain di tingkat daerah yang terkait dengan pembakaran
lahan dan hutan.
Peraturan daerah ini dibuat sebagai kelanjutan dari perintah
PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran
dan atau Lahan. Perda ini bertujuan untuk mengendalikan dampak
pencemaran udara akibat kebakaran di hutan dan lahan.
Perda ini – mengikuti perintah peraturan di atasnya, PP No
4/2001 – tidak hendak melarang semua aktivitas pembakaran hutan
atau lahan. Ada dua aktivitas pembakaran hutan dan lahan yang
masih diperbolehkan dengan ada pembatasan tertentu. Dua aktivitas
pembakaran yang masih diperbolehkan itu adalah:
1) Pembakaran lahan dan hutan untuk tujuan khusus atau kondisi
yang tidak dapat dielakkan antara lain pengendalian kebakaran
hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat
tumbuhan dan satwa.
2) Kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka
lahan untuk ladang dan atau kebun.128
Namun kedua aktivitas itu tetap ada pembatasannya. Pembakaran
lahan dan hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat
dihindari dibatasi dengan harus adanya izin terlebih dahulu dari
pejabat yang berwenang. Sementara bagi masyarakat adat/tradisional
aktivitas itu dibatasi dengan jika pembakaran hutan/lahan itu ke
luar dari areal ladangnya.
Sebagai konsekuensi adanya pembatasan serta untuk menentukan
apakah aktivitas pembakaran masyarakat itu di dalam atau di luar
ladang maka Perda ini meminta kepada gubernur/bupati untuk
melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang
potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Termasuk di dalam inventarisasi itu adalah kepemilikan dan luasan
ladang penduduk. Inventarisasi ini menjadi dasar untuk menentukan
apakah aktivitas pembakaran itu ke luar dari ladangnya atau apakah
pembakaran itu masuk dalam kualifikasi pembakaran dengan tujuan
khusus. Sayangnya, sampai sekarang belum ada peraturan lanjutan
atau petunjuk teknis tentang pelaksanaan inventarisasi ini.
128
Pasal 11 dan Penjelasannya PP No. 4 Tahun 2001.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
203
Pemerintah provinsi sendiri baru hanya mengeluarkan 2 SK
Gubernur terkait dengan tindak lanjut dari Perda Nomor 5/2003
tersebut serta 1 buah Instruksi Gubernur. 2 SK Gubernur itu terkait
dengan Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian Kebakaran Hutan
dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah (Keputusan Gubernur
Kalimantan Tengah Nomor : 77 Tahun 2005) dan Petunjuk Teknis
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan
Tengah (Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 78 Tahun
2005). Isi dari kedua SK Gubernur tersebut tidak ada satu pun yang
menyinggung soal inventarisasi kegiatan dan lahan yang potensial
dilakukan pembakaran.
Ketiadaan inventarisasi itu membuat posisi masyarakat adat/
lokal yang sebenarnya mempunyai keluwesan melakukan kearifan
tradisional dalam mengusahakan ladangnya lewat pembakaran lahan
menjadi rentan. Mereka dapat dikenai sanksi yang ada di dalam
Perda karena melakukan pembakaran hutan/lahan.
Apalagi kemudian pemerintah provinsi mengeluarkan Instruksi
Gubernur no. 364/1337/DISTAN tanggal 6 Agustus 2007 yang tegas
melarang aktivitas pembakaran hutan, lahan dan pekarangan
tanpa kecuali. Kebijakan ini memang sangat populis dan sangat
pro lingkungan hidup, apalagi Kalimantan Tengah pada waktu itu
menjadi sorotan akibat kebakaran hutan/lahan yang tiada akhir.
Namun konsekuensi berat mengenai peladang yang memakai
metode pembakaran lahan, karena mereka tidak bisa membuka
lahan untuk berladang atau dengan kata lain, mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhan pangannya (Noordin, 2008). Mereka bahkan
ketakutan untuk membuka lahan.129
Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah provinsi akhirnya
mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2008 yang mengatur
soal Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat
di Kalimantan Tengah. Dalam Pergub ini pembukaan lahan dengan
cara pembakaran diperbolehkan, namun dengan cara selektif dan
terkendali dengan terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari
aparat pemerintah. Peladang atau masyarakat yang ingin membakar
lahan harus mendapatkan izin dari Ketua RT jika luasnya 0,1 hektar,
dari Kepala Desa jika luasnya antara 0,1 – 0,5 hektar dan dari Camat
jika lahannya 0,5 – 2,5 hektar.130 Izin di kecamatan dibatasi maksimal
100 hektare dan di kelurahan atau desa maksimal 10 hektare pada
hari dan wilayah yang sama dan dilakukan di atas pukul 15.00
WIB dengan melihat kondisi suhu dan arah angin. Seiring dengan
129
130
Staf BLH Kalimantan Tengah, wawancara, 23-06-2010.
http://nusantara.tvone.co.id/berita/view/13530/2009/05/09/semua_pembakaran_lahan_di_Kalimantan
Tengah_harus_berizin/ (diakses 01-07-2010).
204
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
larangan terbatas ini, diperkenalkan pula sistem pembukaan lahan
tanpa bakar. Namun respon dari masyarakat tidak kuat.
Nyatanya, keinginan untuk mengatur pembakaran lahan
dan hutan secara terkendali ini menemui kesulitan di lapangan.
Salah satunya karena petani di Kalimantan Tengah rata-rata
memiliki lahan di atas 2 hektar sehingga meminta izin dari
kecamatan dianggap terlalu sulit dan jauh. Intinya, Pergub ini
tetap belum mengakomodasi kepentingan petani/peladang yang
aktivitas berladangnya bergantung pada proses pembakaran.
Karena itu, kebakaran hutan kerap terjadi lagi sehingga memaksa
Gubernur Teras Narang untuk mencabut kembali Pergub Nomor
52/2008 itu pada 10 Agustus 2009.131 (Pencabutan itu sendiri
tidak ditindaklanjuti dengan lahirnya keputusan pencabutan atau
lahirnya peraturan baru penggantinya. Pergub 52/2008 dicabut
secara lisan oleh Gubernur Teras Narang dalam suatu konferensi
pers). Pencabutan itu, ternyata, menghidupkan kembali larangan
pembakaran lahan tanpa kecuali sebagaimana ditegaskan dalam
Inpres tahun 2007 itu.
Namun, tetap saja kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan
Tengah kerap terjadi, yang asalnya tidak hanya berasal dari
peladang/petani masyarakat, tetapi utamanya dari pembukaan lahan
perusahaan perkebunan besar, seperti sawit132.
Tanggapan pemerintah dalam soal pembukaan lahan/sistem
pertanian dengan cara membakar hutan/lahan ini sebenarnya
menjadi titik penting untuk melihat bagaimana dia menempatkan
posisi masyarakat adat/lokal ketika berhadapan isu lingkungan
hidup. Apalagi tekanan atas masih terjadinya pembakaran hutan di
Kalimantan Tengah makin menguat – bukan hanya oleh kepentingan
kelancaran transportasi atau kesehatan – tetapi juga oleh keinginan
Indonesia untuk terlibat lebih jauh dalam perundingan perubahan
iklim dengan melaksanakan salah satu skema mitigasi perubahan
iklim berupa REDD. Pembakaran lahan dan hutan apalagi di lahan
gambut merupakan salah satu kontributor terbesar bertambahnya
karbon di atmosfer yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu
emitter terbesar dunia saat ini. Pembolehan atau juga pembiaran
terus terjadinya kebakaran hutan akan bertentangan dengan tujuan
implementasi REDD.
Di tengah himpitan kepentingan itu, kebijakan Kalimantan
Tengah dalam soal pelarangan pembakaran hutan dan lahan telah
tegas: melarang tanpa kecuali. Namun pelarangan tanpa memberikan
131
132
http://regional.kompas.com/read/2009/08/10/13073996/Kalimantan Tengah.Kembali.Larang.Pembakaran.
Lahan (diakses 01-07-2010).
http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=9741 (diakses 01-07-2010).
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
205
solusi yang berarti bagi banyak petani yang sudah bergenerasi
memakai sistem pembakaran lahan, hanya akan membuat posisi
masyarakat adat/lokal terus terpinggirkan133.
Padahal, dalam pandangan penulis, Pemerintah Pemerintah
Provinsi Kalimantan Tengah belum menjalankan satu kegiatan
penting yang tetap dapat mewadahi kepentingan petani: melakukan
inventarisasi wilayah dan aktivitas yang potensial terjadi kebakaran/
dilakukan pembakaran.134 Belum lagi kewajiban itu dilakukan,
pemerintah provinsi malah membuat Pergub 52/2008 yang justru
memberikan beban tambahan kepada masyarakat. Lalu, sebelum
jelas benar keberhasilan/kekurangan Pergub 52/2008, dalam jangka
waktu yang belum genap satu tahun, Pergub itu dicabut (secara
lisan) dan larangan pembakaran tanpa kecuali ditegaskan berlaku
kembali (juga secara lisan).
Selain itu, yang justru paling penting adalah pelarangan
pembakaran hutan/lahan tanpa kecuali justru bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi (PP No 4 Tahun 2001) yang masih
memberikan pengecualian pada dua aktivitas pembakaran lahan/
hutan.
Dengan melihat turun naiknya kebijakan dalam soal pembakaran
hutan/lahan ini, bisa dipahami mengapa dalam RKPD 2010 soal
perubahan iklim justru dimasukkan dalam sektor pertanian.
Karena di titik inilah kepentingan masyarakat paling besar terlihat.
Penyelesaian soal pembakaran hutan/lahan di lahan pertanian/
perkebunan menjadi salah satu prasyarat penting untuk melihat
serius tidaknya Provinsi Kalimantan Tengah dalam memberi jalan
implemetasi skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD. Yang
nampak sekarang adalah pelarangan pembakaran hutan/lahan itu
menimbulkan reaksi keras di kalangan masyarakat.
-
Peraturan Perundang-undangan terkait dengan perlindungan
hak/kepentingan masyarakat Adat/Lokal
Peraturan perundangan yang terkait dengan perlindungan hak/
kepentingan masyarakat adat/lokal mau tidak mau harus dilihat
untuk melihat bagaimana pemerintah melindungi hak/kepentingan
masyarakat terkait dengan perubahan iklim terutama skema mitigasi
perubahan iklim berupa REDD. Apalagi, ternyata terlihat bahwa
di tingkat daerah belum ada peraturan terkait langsung dengan
133
134
Solusi itu antara lain adalah pengenalan sistem pertanian non-pembakaran lahan/hutan atau pengenalan
kearifan tradisional peladangan non-bakar. Aktivitas ini direncanakan di dalam RKPD 2009-2010, namun
dengan alokasi bujet yang kurang optimal. Merubah kebiasaan pertanian bukanlah pekerjaan mudah.
Seharusnya perhatian pada soal ini diperkuat, sosialisasi diperkuat, opsi diperbanyak, dibuat tahapan,
dukung dengan dana yang rasional, dst.
Pasal 29 Ayat (1) PP No. 4 Tahun 2001.
206
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
perubahan iklim dan pada sisi yang lain, peraturan yang mengatur
soal yang secara isi berkaitan dengan perubahan iklim, namun
tidak disebutkan adanya perubahan iklim, seperti dalam soal Perda
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, ternyata isinya juga agak
meminggirkan kepentingan dan hak masyarakat.
Ada dua peraturan di tingkat Provinsi Kalimantan Tengah yang
akan disorot untuk melihat usaha pemerintah melindungi kepentingan
dan hak masyarakatnya, terutama masyarakat adat. Kedua peraturan
itu adalah Perda Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan
Adat Dayak Kalimantan Tengah (selanjutnya Perda 16/2008) serta
Pergub 13/2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat di atas
Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah (selanjutnya Pergub 13/2009).
a. Perda Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008
tentang Kelembagaan Adat Dayak Kalimantan Tengah.
Perda yang ditetapkan pada 18 Desember 2008 ini sebenarnya
penyempurnaan terhadap Perda Provinsi Kalimantan Tengah
Nomor 14/1998 tentang Kademangan di Provinsi Daerah Tingkat
I Kalimantan Tengah. Penyempurnaan itu tidak hanya pada sisi
Lembaga Kademangan, tetapi juga pembentukan lembaga adat
baru yang dikenalkan oleh Perda 16/2008.
Hukum Adat dan hukum negara: Posisi Perda 16/2008
Menurut Perda 16/2008 maksud dari pemberdayaan
kelembagaan adat Dayak adalah untuk mendorong lahirnya “...
usaha upaya pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan adat
istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan menegakkan hukum adatdalam
masyarakat...” sehingga dapat terbangun karakter masyarakat adat
Dayak yang nantinya dipergunakan untuk mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, menunjang
kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan dan kelangsungan
pembangunan serta meningkatkan Ketahanan Nasional dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hukum adat yang diakui oleh Perda ini adalah hukum
adat yang hidup di dalam hati nurani masyarakat yang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional. Apa yang dimaksud
dengan kepentingan nasional? Perda ini tidak ada penjelasannya.
Lalu apakah ketika ada situasi dimana hukum adat itu
bertentangan dengan kepentingan nasional – dalam pengertian
dan lingkup apapun – tidak akan lagi dianggap sebagai hukum
adat? Perda ini sebenarnya melakukan pembatasan – mungkin
tidak akan menghapus - terhadap hukum-hukum Adat Dayak
yang berkembang di Kalimantan Tengah.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
207
Dengan demikian, semua aturan adat yang akan diakui harus
tunduk kepada kepentingan nasional dan kepentingan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Semua pengertian yang dibuat
tidak sama sekali menunjukkan posisi adat yang seimbang
atau menjadi unsur penting dalam pembentukan, katakanlah,
pengertian kepentingan nasional itu. Posisi adat secara default
berada di luar kepentingan nasional, kecuali aturan adat yang
sesuai dengan kepentingan nasional.
Selain itu, ada keinginan untuk mengintegrasikan peradilan
adat ke dalam peradilan negara; hanya saja dengan posisi adat yang
lebih rendah, di mana keputusan peradilan adat tentang suatu
perkara dapat dijadikan pertimbangan bagi penyelesaian perkara
sejenis yang sedang berjalan di aparat penegak hukum (Pasal
29); dan tidak menjadi penyelesaian konflik/sengketa itu sendiri.
Proses untuk melakukan penapisan pada hukum adat Dayak
yang masih berkembang di masyarakat dengan kriteria sesuai
dengan kepentingan nasional atau tidak, menunjang kinerja
pemerintah atau tidak sehingga nanti akan ditemukan “Hukum
Adat Dayak” dalam pengertian Perda 16/2008 ini.
Tapi sepertinya Perda ini tidak berhenti di sana. Perda ini
juga mencoba untuk menyusupkan pada sistem birokrasi negara
berupa kelembagaan adat baru; yang jika dihubungkan dengan
maksud dan tujuan pembuatan Perda ini merupakan bentuk
pemberdayaan adat Dayak.
Kelembagaan adat Dayak: Struktur organisasi
Menurut Perda ini, ada dua kelembagaan adat Dayak:
yang sengaja dibentuk dan yang sudah ada dan tumbuh di
masyarakat. Majelis Adat Dayak Nasional dan seterusnya ke
bawah merupakan lembaga adat Dayak yang sengaja dibentuk,
sementara Kademangan adalah lembaga adat yang sudah ada
dan tumbuh di masyarakat.
Di dalam Munas II (Musyawarah Nasional II) Dewan Adat
Dayak se-Kalimantan tanggal 2-5 September 2006 di Pontianak
dihasilkan keinginan untuk melakukan sinergi antara Majelis
Adat Dayak Nasional, Dewan Adat Dayak Provinsi, Dewan Adat
Dayak Kabupaten/Kota, Dewan Adat Dayak Kecamatan, Dewan
Adat Dayak Desa/Kelurahan dengan Lembaga Pemangku Hukum
Adat (Kedamangan).
Struktur lembaga adat yang sengaja dibentuk memiliki
hirarkhi berjenjang dimulai dari Majelis Adat Dayak Nasional,
Dewan Adat Dayak Provinsi, Dewan Adat Dayak kabupaten/
kota, Dewan Adat Dayak Kecamatan, Dewan Adat Dayak
208
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Desa/Kelurahan. Wilayahnya mengikuti pembagian wilayah
administratif pemerintah. Di dalam masing-masing majelis/
dewan adat itu dibuatlah Barisan Pertahanan Masyarakat Adat
Dayak yang tugasnya adalah untuk mengawal perjuangan
masyarakat adat Dayak mempertahankan keberadaannya,
membantu tugas Damang dalam menegakkan hukum adat dan
mengantisipasi gangguan terhadap kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia di daerah perbatasan.
Selain itu ada juga yang disebut dengan Lembaga Kademangan
yang berada di tingkat kecamatan. Kademangan dikatakan sebagai
lembaga adat yang memiliki wilayah adat, kesatuan masyarakat
adat dan hukum adat dalam wilayah Provinsi Kalimantan
Tengah yang terdiri dari himpunan beberapa desa/ kelurahan/
kecamatan/kabupaten dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan
demikian, wilayah Kademangan tidak mengikuti struktur
teritorial Pemerintah Indonesia sebagaimana Majelis/Dewan
Adat Dayak. Di dalam Kademangan ini terdapat pula Kerapatan
Mantir Perdamaian Adat Kecamatan yang dijabat sekaligus oleh
Damang Kepala Adat. Sementara di tingkat desa/kelurahan
ada juga Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Desa/Kelurahan.
Memperhatikan keberadaan dua lembaga adat Dayak itu,
terlihat bahwa struktur lembaga adat yang dibangun oleh Perda
ini bersifat ramping sampai kabupaten/kota, lalu menjadi gemuk
di tingkat kecamatan dan desa. Di kecamatan selain ada Dewan
Adat Dayak Kecamatan, akan ada juga Kademangan. Sementara
di tingkat desa/kelurahan, Dewan Adat Dayak Desa/Kelurahan
akan didampingi oleh kerapatan Mantir/Let Perdamaian.
Tapi titik tekan Perda ini adalah pada pemberdayaan tugas
dan fungsi Damang Kepala Adat. Dewan Adat Dayak Provinsi
dan seterusnya sampai ke tingkat desa/kelurahan bertugas untuk
mendukung kelancaran tugas Damang Kepala Adat. Karena
itu, Perda ini tidak mengatur soal tata cara pembentukan atau
pengangkatan masing-masing Majelis/Dewan Adat Dayak; yang
diatur hanya pengangkatan/pemberhentian Kademangan.
Damang Kepala Adat ini diangkat dan diberhentikan oleh
bupati, begitu juga Mantir Adat. Perbedaannya adalah: Damang
Kepala Adat dipilih dengan suara terbanyak oleh pejabat adat dan
pemerintahan desa di bawahnya melalui suatu proses pemilihan;
hasil pemilihan itu kemudian dilihat oleh Dewan Adat Dayak
Kabupaten/Kota yang kemudian mengusulkan kepada bupati
untuk diangkat. Sementara Mantir diusulkan oleh Damang
Kepala Adat melalui Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota dan
diangkat/diberhentikan oleh bupati.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
209
Sementara itu, Mantir Adat dapat dipilih berkali-kali asalkan
tidak melewati umur 65 tahun; Damang, selain dibatasi umur
(30 – 65 tahun), hanya dapat satu kali lagi dipilih.
Jika diperhatikan, usaha untuk memprofesionalkan jabatan
adat berupa Damang Kepala Adat dan Mantir Adat dilakukan
dengan menyesuaikan diri dengan tata cara pemilihan pejabat
publik lainnya yang ada: pemilihan umum dan diangkat dengan
suara terbanyak.
Namun, dalam proses pemilihan itu menyisakan satu
masalah: Damang Kepala Adat ternyata dipilih “para pejabat”
baik dari kalangan adat maupun pemerintahan desa135. Begitu
juga pemilihan Mantir Adat yang merupakan wewenang Damang
Kepala Adat. Dengan demikian, sama sekali tidak membuka
kemungkinan pemilihnya berasal dari kalangan rakyat biasa
yang berada di wilayah kademangan. Sehingga Perda ini seperti
melupakan penguatan/pemberdayaan masyarakat adat secara
umum dalam mempertahankan hak/kepentingannya. Apalagi,
dengan proses pengangkatan dan pemberhentiannya, posisi
Damang Kepala Adat tidak ubahnya personel pemerintah.
Masalah lain timbul dari segi alokasi anggaran untuk
menunjang operasional dan program kerja Kademangan dan
Majelis/Dewan Adat Dayak. Perda ini menyatakan bahwa untuk
membiayai operasional Majelis Adat Dayak Nasional Kalimantan
Tengah dan Dewan Adat Dayak Provinsi akan diambil dari APBN
provinsi, sementara itu untuk Dewan Adat Dayak Kabupaten/
Kota, Dewan Adat Dayak Kecamatan, dan Dewan Adat Dayak
Desa/Kelurahan serta Kademangan wajib dibiayai oleh APBD
kabupaten/kota.
Penambahan Kelembagaan adat ini menimbulkan konsekuensi
pada banyaknya personel pemerintahan di tingkat kecamatan dan
desa. Bayangkan saja, jika secara berturut-turut ada pemilihan
Kepada Desa dan Damang Kepala Adat dan struktur ke bawahnya:
berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh APBD.
Selain itu, Perda ini sebenarnya tidaklah berjalan dengan
baik, karena masih adanya koordinasi yang lemah antara
provinsi dengan kabupaten. Masalah paling utama adalah dalam
soal pembiayaan operasional dan program kerja Dewan Adat
Kabupaten/Kota dst ke bawah yang harus dibiayai oleh APBD
kabupaten/desa. Banyak kabupaten/kota di Kalimantan Tengah
135
Pemilih adalah semua Kepala Desa dan Lurah atau Pejabat Kepala Desa dan Pejabat Lurah, semua ketua
Badan Permusyawaratan Desa, Ketua Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan semua anggota Kerapatan
Mantir Perdamaian Adat Kecamatan bersangkutan dan semua ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat
Desa/Kelurahan wilayah Kedamangan bersangkutan (Pasal 18 Perda 16/2008).
210
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
yang belum mengalokasikan anggarannya buat operasional
dan kerja dewan adat itu, bahkan ada yang belum terbentuk.
Masalah perbedaan haluan politik serta desentralisasi merupakan
halangan terbesar ditindaklanjutinya Perda ini di tingkat
kabupaten/kota.136
b. Peraturan Gubernur 13/2009 tentang Tanah Adat dan Hakhak Adat di atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah
Sebagai tindak lanjut dari lahirnya Perda Nomor 16 Tahun
2008, pada tanggal 25 Juni 2009 lahirlah Pergub No 13/2009
yang secara khusus mengatur tanah adat dan hak-hak adat atas
tanah di Kalimantan Tengah. Pergub ini didasari keinginan untuk
memperkuat status tanah adat dan hak-hak adat atas tanah yang
dipandang kurang kuat di mata peraturan perundang-undangan.
Pengertian tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada
di wilayah Kedamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang
dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun
bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik
perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui
oleh Damang Kepala Adat. Dengan demikian ada dua macam
tanah adat: tanah adat milik bersama atau tanah ulayat dan tanah
adat milik perseorangan (tanah milik pribadi yang diperoleh
dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah, warisan,
dapat berupa kebun atau tanah yang ada tanam tumbuhnya
maupun tanah kosong belaka). Tanah adat ini karenanya bisa
melewati batas desa/kelurahan. Tanah adat juga bisa berada di
dalam hutan. Sayangnya Pergub ini tidak memberikan penjelasan
tentang hutan dan bahkan tidak ada satu pun aturan kehutanan
yang dirujuk di dalam Pergub ini.
Sementara itu, hak-hak adat di atas tanah adalah hak
bersama maupun hak perorangan untuk mengelola, memungut
dan memanfaatkan sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya,
di dalam maupun di atas tanah yang berada di dalam hutan
di luar tanah adat. Pengertian “di dalam tanah” selayaknya
ada penjelasan lebih lanjutnya agar bisa dilihat kesesuaiannya
dengan Hukum Agraria Nasional yang membatasi kepemilikan
persorangan hanya pada apa yang ada di atas tanah. Sementara
apa yang berada di dalam tanah sepenuhnya dikuasai oleh
negara. Mengapa kesesuaiannya dengan kebijakan agraria
nasional penting? Karena Pergub ini mendorong agar tanahtanah adat dan hak-hak adat atas tanah didaftarkan mengikuti
UU Pokok Agraria.
136
Alue Dohong (staf KPCP), wawancara, 22-06-2010.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
211
Lagi-lagi, pengertian ini dipakai untuk kawasan hutan yang
berada di luar tanah adat. Dengan kata lain, hak-hak adat atas
tanah dapat berlaku bagi kawasan hutan yang bukan diklaim
sebagai tanah adat. Pergub ini menerabas keterbatasan pengaturan
kewenangan agraria di Indonesia yang terbagi dua: tanah di
bawah kewenangan Badan Pertanahan Negara dan (tanah)
hutan berada di dalam kewenangan Departemen Kehutanan.
Dengan demikian, Pergub ini berlaku baik di dalam maupun
di luar hutan, di atas tanah maupun di bawah tanah. Di sini
bisa dilihat bagaimana Pergub ini mengenyampingkan begitu
saja keberadaan peraturan perundang-undangan soal kehutanan
serta beberapa aturan dalam UUPA. Atau memang sengaja, agar
aturan dalam Pergub ini tidak bertentangan dengan pengertian
Hutan Adat menurut UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Karena yang diatur oleh Pergub ini adalah soal tanah adat dan
hak-hak adat di atas tanah dan bukannya soal hutan adat.
Pengaturan soal tanah adat dan hak-hak adat atas Tanah
dalam Pergub ini meliputi soal kepemilikan dan pengusahaan,
tata cara mendapatkan SKT, larangan pengalihan hak,
pengawasan dan pembiayaan.
Lembaga yang penting untuk mengatur dua hal ini berada
di pundak Kademangan. Kademangan ini tidak hanya yang
berada di tingkat kecamatan (Kerapatan Mantir Perdamaian Adat
Kecamatan), namun juga yang berada di tingkat desa/kelurahan
(Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Desa/Kelurahan). Tugasnya
adalah membantu masyarakat adat dayak untuk menginventarisir
tanah-tanah adat dan hak-hak adat atas tanah masyarakat adat
dayak; yang salah satu kewenangannya adalah mengatur soal
kepemilikan, pengusahaan, pemanfaatan dan pembagian tanah
adat dan hak-hak atas tanah.
Damang Kepala Adatlah yang mengeluarkan Surat
Keterangan Tanah (SKT) Tanah Adat dan Hak-hak Adat atas
Tanah. Ada tiga jenis SKT yang diatur di dalam Pergub ini:
(1) Atas nama para ahli waris bersama untuk tanah adat milik
bersama; (2) atas nama perorangan untuk tanah adat milik
perseorangan; dan (3) atas nama para ahli waris atau atas nama
perseorangan untuk hak-hak adat di atas tanah.
Dalam proses mendapatkan SKT itu, tidak ada pelibatan
pemerintah, semua dilakukan secara independen oleh
kelembagaan kademangan kecamatan dan desa/kelurahan,
termasuk dalam pengukuran, pematokan, pengaturan soal bukti
kepemilikan. Pemerintah bisa membantu dalam memberikan
bantuan keuangan pada pemohon SKT.
212
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
SKT ini merupakan prasyarat penting agar bisa mendapatkan
sertifikat tanah sebagaimana di atur di dalam UUPA. Walaupun
demikian, SKT ini tetap menjadi bukti yang kuat jika ada tanah
adat atau hak-hak adat atas tanah yang akan dijadikan dasar
dalam perjanjian pola kemitraan dengan pihak lain dihadapan
pejabat yang berwenang.
Pergub ini tidak mengatur apa yang dimaksud dengan
Perjanjian Pola Kemitraan? Siapa yang dimaksud dengan
pejabat yang berwenang itu? Pergub ini ingin menunjukkan
bahwa SKT sebenarnya sudah dapat dijadikan bukti yang kuat
atas kepemilikan tanah, tidak kalah dibandingkan dengan yang
sudah disertifikasi.
Hanya saja, Kademangan tetap mendorong pemilik SKT agar
melanjutkan prosesnya penguatan haknya dengan mengikuti
proses sertifikasi menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
Ini menunjukkan bahwa Pergub ini masih melihat bagaimana
pun sertifikat tanah yang dibuat oleh negara jauh lebih kuat
ketimbang SKT atau bukti kepemilikan tanah adat lainnya. Ini
sesuai dengan tujuan Pergub ini yang ingin memperkuat posisi
tanah adat dan hak-hak adat atas tanah.
Yang perlu dilihat sekarang adalah bagaimana kedudukan
SKT itu ketika akan dijadikan dasar terjadi perjanjian pola
kerjasama dengan pihak lain, misalnya dengan pengusaha
perkebunan. Apakah posisi SKT ini dapat diterima oleh pejabat
pemberi izin baik di dinas perkebunan maupun di tingkat
Departemen Perkebunan dan BPN? Ataukah justru posisi SKT
ini malah mempermudah pihak lain untuk menguasai lahan?
Dengan demikian, Pergub ini memposisikan pengaturan
tanah adat dengan SKT-nya berdiri sejajar dengan peraturan
keagrarian yang diatur di dalam UU Pokok Agraria. Pergub ini
bahkan mengatur sendiri soal “pendaftaran” tanah adat yang
dimiliki secara komunal. Padahal aturan hak ulayat menurut UU
Pokok Agraria pada dasarnya sudah dibatasi. UU Pokok Agraria,
terutama pada saat pendaftaran tanahnya, lebih mengacu pada
hak perorangan, tidak lagi hak komunal (Bakker, 2010:187).
Ada dualisme pengaturan soal tanah yang ada di Kalimantan
Tengah. Tapi apakah dualisme ini mengarah kepada ketidakpastian
hukum (Aslan Noor, 2006)? SKT tetap ditempatkan sebagai
bukti untuk dilakukan proses sertifikat. Ini menunjukkan
bahwa Pergub ini lebih berkeinginan untuk memberikan bukti
tertulis kepada hak atas kepemilikan tanah adat/hak-hak adat
atas tanah.Nyatanya Pergub ini tetap berpendapat bahwa
pengaturan dengan UUPA – lewat sertifikasi tanah – jauh lebih
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
213
kuat kedudukan hukumnya ketimbang pengaturan tanah adat
lewat Pergub ini.
Masalah yang perlu dilihat lebih jauh justru adalah posisi
SKT itu ketika ia dijadikan bukti untuk proses sertifikasi menurut
UU Pokok Agraria. Beberapa masalah beruntut muncul: pertama,
bagaimana posisi bukti berupa SKT tanah adat yang tanahnya
ada di dalam hutan? BPN selalu menolak perdaftaran tanah
yang posisinya ada di dalam kawasan hutan yang menurutnya
merupakan wewenang Departemen Kehutanan.
Kedua, bagaimana pula posisi SKT tanah adat yang tanahnya
dimiliki komunal? Akan sulit, karena sertifikasi BPN hanya
mengenal pendaftaran berdasarkan kepemilikian perseorangan.
Namun BPN sebenarnya memberikan jalan keluar dengan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 5 Tahun 1999
(PMA/KBPN 5/1999). Namun konsekuensinya adalah prosesnya
kembali ke awal atau mengulang dan bahkan PMA/KBPN 5/1999
ini memiliki kriteria tersendiri soal masyarakat adat yang dapat
mengajukan tanah ulayat (tanah komunal), sehingga ada resiko
tidak lolos kualifikasi tersebut.
Jalan keluar kedua adalah dengan mendaftarkan tanah
komunal itu atas nama perseorangan. Ini justru lebih beresiko
karena bisa saja pemilik nama itu menjualnya secara sembunyisembunyi dari masyarakatnya.
Dua hal ini selayaknya masuk dalam agenda Pemerintah
Provinsi Kalimantan Tengah jika memang punya kepedulian
dan keinginan untuk meningkatkan kekuatan hukum tanah
adat dan hak-hak adat atas tanah. Solusi macam apa yang paling
bijak yang tetap dapat menyelamatkan kepemilikan seseorang/
kelompok masyarakat atas tanah adatnya.
Selain soal penguatan posisi tanah adat di hadapan peraturan
negara, Pergub ini hendak menertibkan tanah-tanah adat dan
hak-ahak adat di atas tanah yang ada di Kalimantan Tengah.
Penertiban itu sendiri dilakukan dalam 3 tahap: (1) inventarisasi
tanah adat dan hak-hak adat atas tanah; (2) penerbitan SKT
dan (3) sertifikasi dan atau pemutihan kepemilikan tanah adat.
Akhir dari penertiban ini adalah adanya kejelasan status dan
tata batas tanah adat dengan bukan tanah adat.
Dari kegiatan penertiban itu, inventarisasi tanah adat dan
hak-hak adat atas tanah merupakan aktivitas penting karena jika
enam tahun setelah Pergub ini lahir masih ada tanah adat yang
belum diinventarisir, maka kepemilikannya tidak diakui. Tapi
apakah ini ada konsekuensinya pada hilangnya tanah adat atau
hak-hak adat atas tanah? Sepertinya tidak. Hanya saja kedudukan
214
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
tanah adat itu tidak akan diakui kepemilikannya, baik oleh
kelembagaan adat Kademangan maupun pemerintah.
Pada titik ini kerja Kademangan harus didukung karena
tugasnya membantu masyarakat adat Dayak melakukan
inventarisasi tanah adat dan hak-hak adat atas tanah. Masalahnya
adalah, pertama, kademangan ini akan mendapatkan sokongan
dana dari APBD kabupaten/kota sebagaimana diamanatkan
Perda 16/2008; jadi dikembalikan lagi pada prioritas kabupaten/
kota masing-masing.
Kedua, proses inventarisasi itu sendiri memerlukan biaya
yang menurut Pergub ini sepenuhnya menjadi tanggung
jawab pemohon. Pemerintah dapat membantu proses itu
dengan memberikan bantuan/hibah yang berasal dari APBD
kabupaten/kota atau APBD provinsi. Sekali lagi, ini ditentukan
oleh prioritas masing-masing kabupaten/kota dengan asumsi
pemerintah provinsi mendukung penuh pelaksanaan Pergub
ini di lapangan.
Ketiga, proses inventarisasi haruslah dilakukan dengan
semangat transparansi dan pendampingan penuh dari Lembaga
Kademangan tanpa pilih bulu. Tidak boleh ada pengistimewaan
atau dukungan terbuka/diam-diam fungsionaris Kademangan
ketika melakukan inventarisasi di suatu kawasan tanah adat yang
kondisinya belum clear atau masih ada saling pengklaiman dari
banyak pihak. Sayangnya, Pergub tidak memberikan pengaturan
petunjuk soal bagaimana seharusnya fungsionaris Kademangan
melakukan kerjanya. Ini penting karena jangan sampai proses
inventarisasi ini menimbulkan orang atau kelompok masyarakat
yang akhirnya jadi tanpa tanah.
Tapi, jika tujuannya adalah penguatan posisi tanah adat dan
hak-hak adat atas tanah, Pergub ini bersifat mendua. Dalam soal
berpindahnya hak kepemilikan tanah adat dan hak-hak adat
atas tanah, ada satu dari tiga pengecualian yang merupakan
hal lumrah ada dalam pengaturan tanah tapi justru berbahaya,
yakni berpindah karena untuk kepentingan pembangunan di
daerah.
Adanya pengecualian atas larangan berpindahnya hak
kepemilikan tanah adat berupa kepentingan pembangunan
di daerah sebenarnya tidak jauh beda dengan pengaturan
lain dalam soal tanah. Masyarakat diharuskan memberikan
hak atas tanahnya ketika pemerintah hendak melaksanakan
pembangunan di tanah tersebut. Dan bukankah atas nama
pembangunanlah posisi tanah adat serta hukum-hukum adatnya
selama ini dibuat tidak berdaya?
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
215
Memang, Pergub ini telah membatasi pengecualian atas
larangan itu dengan membuat keharusan: (1) adanya penetapan
oleh kerapatan mantir perdamaian adat yang kemudian disahkan
oleh Damang Kepala Adat; (2) pemilik/para pemilik tanah
adat dan hak-hak adat atas tanah mendapatkan kompensasi
yang adil. Pertanyaannya apa itu kerapatan mantir perdamaian
adat? Ternyata isinya adalah para mantir yang berada di bawah
koordinasi Damang Kepala Adat. Hal itu akan efektif berlaku
bagi pencegahan beralihnya hak atas tanah adat karena adanya
kehendak bersama ahli waris dan kehendak pribadi atau
melindungi pemilik/para pemilik tanah adat ketika ada pihak
lain yang menginginkan tanah adat tersebut.
Tapi ketika soalnya adalah adanya kepentingan pembangunan
di daerah, Pergub ini tidak mengatur harus adanya persetujuan
dari pemilik tanah adat. Cukup dengan penetapan para mantir
adat yang nantinya disetujui oleh Damang Kepala Adat, maka
suatu tanah adat, baik yang dimiliki perseorangan maupun
bersama, bisa berpindah tangan. Ini menjadi celah buruk di
dalam Pergub tersebut.
Dan pasti, tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan
pembangunan di daerah itu; yang berarti bisa apa saja tergantung
kepentingan penyokong pembangunan (bisa pemerintah, bisa
pengusaha atau pihak lainnya). Bayangkan jika pembangunan di
daerah itu berupa implementasi REDD? Ia bisa berarti baik atau
buruk pada keberadaan tanah-tanah adat. (Ingat, karena tanahtanah adat ada yang berupa hutan). Ketika pun posisi tanah
adat sudah kuat, tapi ia tetap tidak berdaya ketika berhadapan
dengan pembangunan. Jika dilihat dari sisi ini, Pergub ini
sebenarnya tidak maju sedikit pun dari arah untuk memperbaiki
posisi tanah adat dan hak-hak adat atas tanah. Secara umum ini
menunjukkan masih lemahnya posisi kepemilikan masyarakat
atas tanah di hadapan rejim pembangunan (ifdal kasim, Endang
Suhendar, 1997).
(2) Kelembagaan
1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalimantan
Tengah
Bappeda Kalimantan Tengah memegang peranan penting
dalam mengonsolidasikan perencanaan pembangunan,
menyusun Rencanan APBD dan sekaligus menjadi lembaga
yang mengevaluasi program/kegiatan pembangunan yang
dikerjakan tahun-tahun sebelumnya. Bappeda menjadi aktor
utama dalam membuat rencana pembangunan, baik rencana
216
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
pembangunan jangka panjang (RPJP), menengah (RPJMD) atau
pendek (tahunan) Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.
Ia mengkoordinir proses pembuatan dokumen perencanaan
pembangunan dari mulai penjaringan aspirasi di masyarakat
sampai dengan mengkonsolidasikan program/kegiatan di
masing-masing dinas pemerintah.
Dengan demikian, uraian tentang perencanaan kebijakan
pembangunan di atas sebenarnya sudah dapat mewakili
bagaimana peranan Bappeda dalam isu perubahan iklim/
REDD di Kalimantan Tengah. Bappeda, bersama dengan BLH
Kalimantan Tengah, ditunjuk sebagai sekretariat untuk Dewan
Daerah Perubahan Iklim Provinsi Kalimantan Tengah.
Bappeda juga menjadi aktor penting dalam membantu
gubernur untuk menentukan suatu kebijakan daerahnya.
Beberapa inisiatif gubernur sebagian dilahirkan di Bappeda,
ada juga yang digodok dan dikembangkan lebih detail, seperti
kebijakan Green Government Policy.
2. BLH (Badan Lingkungan Hidup) Kalimantan Tengah
BLH atau Badan Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah
sudah ditunjuk sebagai semacam focal point bagi Kalimantan
Tengah dalam soal perubahan iklim dan REDD. Sebagai sebuah
badan dan bukan dinas, BLH sebenarnya tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan kegiatan langsung di lapangan;
ia berlaku sebagai fasilitator atau koordinator berbagai kegiatan
yang dipunyai oleh berbagai dinas yang ada kaitannya dengan
lingkungan hidup.
BLH Kalimantan Tengah merupakan badan yang masih
muda, baru didirikan dengan Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Tengah Nomor 7 Tahun 2008 tanggal 18 April
2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis
Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dan baru efektif berjalan
dimulai sejak pelantikan para pejabat struktural tanggal
12 Juli 2008 dan serah terima Kepala Badan tanggal 29
Juli 2008. Sebelumnya, untuk urusan lingkungan hidup di
Kalimantan Tengah berada di bawah kewenangan BPPLHD
(Badan Pengelola dan Pelestarian Lingkungan Hidup Daerah).
Walaupun sudah ditunjuk sebagai focal point untuk urusan
perubahan iklim/REDD, sampai tahun 2010 ini, BLH sebenarnya
belum memiliki program/aktivitas khusus terkait dengan
perubahan iklim/REDD. Sehingga bisa dipastikan BLH belum
mengalokasikan anggaran khusus untuk menunjang kegiatannya
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
217
sebagai focal point itu. BLH baru akan memasukkan program/
aktvitas tersendiri terkait dengan perubahan iklim/REDD ini
di tahun 2011.
Kegiatannya sebagai “focal point” masih terbatas pada
kegiatan yang lebih banyak bertumpu pada soal fasilitasi rapat
internal atau koordinasi, seminar/workshop, dan sosialisasi
terbatas. Selain itu, BLH juga kerap kali mendampingi Gubernur
Kalimantan Tengah ketika menghadiri acara yang ada kaitannya
dengan perubahan iklim/REDD.
Ketiadaan dukungan program/aktivitas terkait perubahan
iklim/REDD membuat BLH harus bersikap selektif di dalam
melakukan kegiatannya, termasuk dengan memasukkan kegiatan
ini ke dalam program/kegiatan yang sudah ada sehingga ada
pembiayaannya. Rapat-rapat internal maupun koordinasi serta
sosialisasi berjalan di dalam koridor ini. Sementara untuk
kegiatan-kegiatan besar yang menyedot anggaran besar, BLH
masih belum bisa menyediakan sendiri anggarannya, karena
memang tidak ada alokasinya. Jalan keluarnya adalah dengan
melakukan kerja sama dengan pihak ketiga. Bentuk kegiatannya
pun masih terbatas pada lingkup peningkatan kapasitas, seperti
seminar/workshop yang berisi pengenalan soal perubahan
iklim/REDD di kalangan internal pemerintah daerah, kesiapan
pemerintah daerah dalam menghadapi implementasi REDD.
Pertemuan langsung dengan beberapa staf dan pejabat
BLH Kalimantan Tengah dapat diambil kesimpulan, mereka
melihat isu perubahan iklim/REDD merupakan isu strategis
dan kesempatan emas yang harus dimanfaatkan untuk
mengarusutamakan isu lingkungan hidup ke dalam program
pembangunan di Kalimantan Tengah. Mereka sangat antusias
dalam mempelajari isu dan perkembangan baru dalam isu
perubahan iklim dan terutama REDD. Biarpun skema REDD
belum jelas, mereka merasa bahwa pemerintah provinsi harus
mempersiapkan diri dalam pengimplementasiannya.
Ada sikap yang cukup menarik dari kalangan BLH ini,
mereka melihat bahwa isu perubahan iklim atau REDD ini
merupakan isu internasional dan merupakan skema yang lebih
menguntungkan negara-negara Barat (dalam hal ini negara
Annex 1= negara yang harus menurunkan emisinya berdasarkan
Protokol Kyoto). REDD merupakan skema terselubung yang
membuat Indonesia harus menurunkan emisinya, padahal
Indonesia belum dikenai kewajiban itu. REDD adalah bentuk
pengalihan tanggung jawab negara-negara barat ke negara-negara
tropis seperti Indonesia.
218
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Di sisi lain, REDD merupakan skema yang menarik insentif
besar dimana Kalimantan Tengah – dengan kondisi hutan yang
masih bagus dengan lahan gambut yang luas – dapat mengambil
peranan dan sekaligus menarik insentif itu masuk ke Kalimantan
Tengah. Persiapan terus dilakukan untuk menarik insentif itu
masuk ke Kalimantan Tengah.
Tidak hanya itu, wacana yang terus berkembang di internal
BLH dan instansi pemerintah lain di Kalimantan Tengah
membuatnya dapat dijadikan kendaraan untuk melakukan
perbaikan dalam soal lingkungan hidup. Belum pernah ada
masa dimana Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah demikian
memperhatikan isu lingkungan hidup ini selain ketika isu
perubahan iklim dan REDD masuk ke Kalimantan Tengah.
Semua pejabat di Provinsi Kalimantan Tengah telah diberikan
sosialisasi apa itu perubahan iklim, apa itu skema REDD dan
apa yang harus dipersiapkan.137 “Kekuatan” wacana REDD bahkan
membuat konsolidasi antar dinas menjadi suatu aktivitas yang
sering dilakukan dan dipandang penting. Dalam kondisi seperti
ini, bagi BLH, badan yang sebenarnya hanya bisa melakukan
fasilitasi dan koordinasi dalam soal lingkungan hidup, merupakan
kesempatan emas untuk memegang peranan.138
Walaupun belum ada kata perubahan iklim/REDD di
dalam dokumen kebijakan BLH Kalimantan Tengah, namun
peranannya sebagai fasilitator beberapa inisiatif penting dalam
soal lingkungan hidup, dipandang BLH sebagai salah satu
penarik dan persiapan Kalimantan Tengah untuk menerima
skema REDD atau skema mitigasi perubahan iklim lainnya. BLH
selama ini menjadi fasilitator untuk “Heart of Borneo”, sebuah
inisiatif untuk melindungi kawasan hutan yang merentang di
tiga provinsi dan dua negara. BLH juga berlaku sebagai focal
point untuk perlindungan soal gambut di Kalimantan Tengah
serta menjadi koordinator untuk Pusat Informasi Lingkungan
Hidup, yang berusaha mengkonsolidasi data lingkungan di
seputar Kalimantan Tengah. Selain itu, ia menjadi penyusun
kebijakan Green Government Policy yang dicanangkan oleh
Gubernur Kalimantan Tengah.
Tapi, secara organisasi, BLH yang berupa badan memang
agak kesulitan jika harus mengkoordinasi semua kegiatan yang
ada hubungannya dengan perubahan iklim/REDD yang sifatnya
137
138
Syahrin Daulay (Kepala Bappeda Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010 dan Herson B. Aden
(Kepala Bappeda Kabupaten Kapuas), wawancara, 24-06-2010.
Selain REDD, satu faktor pendorong lainnya adalah lahirnya UU Lingkungan Hidup baru (UU 32/2009)
yang lebih kuat daripada UU Lingkungan Hidup sebelumnya.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
219
juga lintas sektoral. Selama ini juga, ketika harus melakukan
koordinasi isu lingkungan hidup di Kalimantan Tengah,
BLH harus dapat bekerja sama dengan pihak lain dengan
menyesuaikan kegiatannya agar ada kesesuaiannya dengan pihak
lain, terutama dinas teknis. Tanpa ada kesesuaian itu, BLH tidak
bisa mengeksekusinya langsung di lapangan. Misalkan dalam
soal penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Kegiatan ini
sebagian ada di dalam koordinasinya, sebagian lain ada di Dinas
Kehutanan. Kegiatan yang ada di dalam wewenang BLH pada
dasarnya terbatas pada sosialisasi atau penyediaan narasumber
ketika dinas lain memerlukan SDM yang memahami dampak
kebakaran hutan bagi lingkungan. BLH sebenarnya membuat
kerangka besar penanggulangan kebakaran, namun prakteknya
di lapangan digantungkan ada tidaknya program/kegiatan yang
sama di dinas teknis terkait.
Pada titik ini, sulit sekali bagi BLH untuk melakukan
pengarusutamaan isu perubahan iklim di Kalimantan Tengah.
BLH tidak memiliki kekuatan untuk menolak kehadiran suatu
badan usaha yang izinnya datang dari dinas teknis lain atau
menarik suatu izin yang dikeluarkan oleh dinas teknis terkait
lain. BLH hanya sekedar memberikan penilaian dan rekomendasi
yang pelaksanaanya digantungkan pada dinas teknis.
3. Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kalimantan Tengah
Soal lemahnya koordinasi ini menjadi salah alasan lahirnya
DDPI di Kalimantan Tengah. Isu perubahan iklim merupakan isu
yang lintas sektoral dan sangat kompleks sehingga memerlukan
suatu lembaga tersendiri yang kuat untuk mengendalikannya dan
menjadikannya arus utama di dalam pembangunan Kalimantan
Tengah.
DDPI merupakan lembaga pertama yang didirikan di
Indonesia untuk mengurus soal perubahan iklim di tingkat
daerah. Ia ditetapkan dengan SK Gubernur Kalimantan Tengah
Nomor 188.44/153/2010 tentang Pembentukan Dewan Daerah
Perubahan Iklim pada tanggal 11 Mei 2010. Ia memiliki kesamaan
beberapa fungsi sebagai mana Dewan Nasional Perubahan
Iklim dengan cakupan wilayah yang lebih sempit. Dalam
pembentukannya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
melakukan komunikasi intensif dengan DNPI di Jakarta. Bisa
dikatakan, pembentukannya tidaklah serta merta dan sudah
sepengetahuan pemerintah pusat, dalam hal ini DNPI.
Tugas dan fungsi DDPI adalah (1) Mengkordinasikan
Pengendalian perubahan Iklim dan memperkuat posisi Provinsi
220
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Kalimantan Tengah untuk turut serta berperan pada skala
nasional maupun skala global dalam pengendalian perubahan
iklim; (2) Merumuskan Kebijakan Daerah, Strategi, program dan
kegiatan pengendalian perubahan iklim; (3) Mengkordinasikan
kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan
iklim di daerah yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih
teknomogi dan pendanaan;(4) Merumuskan kebijakan daerah
terhadap pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan
karbon;(5) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi
kebijakan daerah tentang pengendalian perubahan iklim.
Sebagian besar tugas dan fungsinya hampir sama dengan DNPI,
hanya cakupan wilayahnya saja yang lebih terbatas.
Sebagaimana juga DNPI, DDPI dipimpin oleh seorang ketua,
yang tugas kesehariannya diemban oleh ketua harian. Ketua
DDPI adalah Gubernur Kalimantan Tengah sementara kepala
hariannya diemban oleh Sekda Provinsi Kalimantan Tengah.
DDPI juga memiliki sekretariat DDPI yang ditempatkan di
Badan Lingkungan Hidup Daerah yang diketuai oleh seorang
kepala sekretariat. Ia juga dibantu oleh 4 kelompok kerja (lebih
sedikit dari yang dimiliki oleh DNPI), yakni pokja adaptasi,
pokja mitigasi, pokja alih teknologi dan pokja pendanaan. Isi
dari Pokaj ini tidak hanya dari instansi pemerintah, tapi juga
para pakar dan akademisi. Dalam susunan keanggotaan DDPI,
selain unsur pemerintah, unsur lain juga diakomodasi, yakni
unsur LSM, akademisi/para pakar dan Majelis Adat Dayak dan
Majelis Adat Dayak Nasional.
Melihat susunan keanggotaan DDPI, yang memasukkan
semua pejabat teras, bahkan gubernur, dan hampir semua dinas
yang ada di Kalimantan Tengah, sebenarnya terlihat kuat untuk
memegang peranan pengendalian perubahan iklim, terutama
dalam soal pembuatan kebijakan dan koordinasi antar sektor
di daerah.
Sementara itu, susunan organisasi DDPI dibagi-bagi ke dalam
5 Komisi Daerah (Komda): yakni Komda REDD dan Lahan
Gambut, Komda Tambang dan Energi, Komda Pertanian dan
Perkebunan, Komda Infrastruktur dan Komda Transportasi. Di
dalam masing-masing komda ini terdapat 3 pokja, yakni pokja
adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan. Dari lima
komda itu, hanya Komda REDD dan Lahan Gambut yang baru
terbentuk bahkan duluan dibentuk daripada DDPI.
Sedikit catatan atas pembentukan DDPI perlu kiranya
ditambahkan mengingat belum bisa menilai kiprah DDPI
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
221
karena umurnya yang masih muda. Catatan itu antara lain
mengenai: pertama, dalam susunan keanggotaan DDPI, hanya
unsur masyarakat Adat Dayak yang diwadahi, sementara unsur
adat lainnya belum diberi kesempatan. Ini mungkin akan jadi
halangan harus melakukan koordinasi dengan kabupaten/kota
yang mayoritasnya tidak terwakili oleh Majelis Adat Dayak dan
Majelis Adat Dayak Nasional.
Kedua, pembentukan DDPI ini tidak ada di dalam RKPD
Provinsi Kalimantan Tengah 2010, sehingga segi pembiayaan
akan jadi halangan terbesar sampai akhir tahun 2010 ini. Ia
barangkali akan dibiayai penuh pada tahun 2011 tergantung ada
tidaknya DDPI di dalam SKPD Provinsi Kalimantan Tengah 2011.
Berkaca pada DNPI yang dibentuk pada tahun 2008, baru pada
tahun 2010 ia mendapatkan pembiayaan tersendiri dan keluar
dari pembiayaan induknya (KLH).
Segi pembiayaan ini bisa tidak jadi masalah jika masingmasing anggota di dalam DDPI – tidak ada satu pun yang
bersifat individual – membuat perencanaan kegiataan terkait
dengan DDPI di masing-masing anggaran dinas/badan-nya.
Untuk melakukan ini, perlu ada koordinasi yang intensif antar
sektor selain soal pembunyian DDPI di dalam penyusunan
program tahunannya. Tanpa ini dilakukan, kerja DDPI tidak
akan maksimal dan hanya akan mengambil kerjaan yang tidak
dikerjakan oleh dinas lain atau hanya menjadi narasumber.
Ketiga, karena susunan keanggotaannya tidak ada yang
individual dan semuanya mewakili lembaganya masing-masing,
maka harus ada pembagian waktu kerja yang proporsional
antara tugasnya sebagai ketua/wakil ketua/anggota DDPI dengan
tugas keseharian dia di instansinya. Apalagi kerja DDPI berupa
rapat koordinasi harus dilakukan sedikitnya sekali dalam tiga
bulan. Pembagian waktu ini sebenarnya bisa diantisipasi ketika
dilakukan penyusunan program di masing-masing instansi atau
musrenbangda. Tanpa itu dilakukan, ada salah satu kerjaan yang
tidak akan maksimal dikerjakan.
4. Komisi Daerah REDD dan Lahan Gambut Provinsi Kalimantan
Tengah
Komda REDD ini dibentuk dengan SK Gubernur No.
188.44/152/2010 tentang Pembentukan Komisi Daerah
Pengurangan Emisi dari Kegiatan Deforestasi dan Degradasi
hutan (REDD) serta Lahan Gambut pada tanggal 11 April 2010
atau terlebih dahulu dibentuk daripada DDPI yang kemudian
malah menjadi payung komda ini. Walaupun ada kata Lahan
222
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Gambut di belakangnya, namun yang kemudian disebut
selanjutnya oleh SK Gubernur itu hanya REDD saja, sehingga
komda ini dikenal sebagai Komda REDD. Sama dengan DPPI,
Komda REDD juga merupakan yang pertama dibentuk di
Indonesia.
Komda REDD ini dibentuk untuk melakukan fasilitasi,
komunikasi dan koordinasi usulan skema REDD oleh berbagai
pihak di Kalimantan Tengah. Selama ini, aktivitas para
pemrakarsa REDD berjalan bebas tanpa harus terlebih dahulu
koordinasi dengan pemerintah provinsi. Beberapa pihak
(termasuk didalamnya pemerintah pusat yang memberikan izin
pemanfaatan hutan) langsung melakukan pertemuan dengan
pemerintah kabupaten tanpa terlebih dahulu melalui pintu
provinsi. Selain itu, pemrakarsa REDD – sering disebut dalam
makna yang peyoratif sebagai carbon cowboy – ini kerap kali
melakukan aktivitas di lapangan (mengambil sampel tanah,
mengukur kawasan hutan) tanpa ada izin atau pengawasan
dari pemerintah daerah. Pihak pemrakarsa sendiri mengalami
hambatan ketika harus memasuki pintu pemerintah daerah
yang kebijakannya dalam soal perubahan iklim masih belum
begitu jelas: dinas mana yang harus ditemui, apakah hanya BLH
dan Dishut saja, bagaimana dengan Dinas PU, misalnya, atau
masalah cara mendapatkan izin agar bisa melakukan aktivitas
terkait dengan REDD.
Pembentukan Komda REDD ini mencoba mengatasi dua
permasalahan itu. Komda REDD diharapkan menjadi pintu
pertama para pemrakarsa REDD yang hendak melakukan
aktivitas di Kalimantan Tengah. Tugas Komda REDD memang
tidak hanya memberikan rekomendasi kepada gubernur
atau bupati mengenai usulan pemrakarsa REDD, tetapi juga
menyusun kriteria dan indikator serta syarat-syarat lokasi
pelaksanaan REDD dan atau DA REDD. Tugas lainnya adalah
fasilitasi riset serta sosialisasi dan training yang ada hubungannya
dengan REDD. Dilihat dari fungsinya, Komda REDD ini menjadi
jembatan komunikasi antara berbagai aktor dan melakukan
koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota serta nasional
dan global. Tampak bahwa Komda REDD ini diharapkan
menjadi lembaga yang solid di tingkat provinsi (tidak lagi
direcoki masalah koordinasi lemah antar instansi di internal
Provinsi Kalimantan Tengah) sehingga bisa melakukan tugas
dan fungsinya ke luar, misalnya ketika berhadapan dengan pihak
dari pemerintah pusat atau komunitas internasional.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
223
Berbeda dengan DDPI, susunan keanggotaan Komda REDD
ini campuran antara anggota yang mewakili instansinya dengan
anggota personal. Jabatan pucuk seperti ketua (dijabat oleh
sekda provinsi) atau wakil ketua merupakan perwakilan instansi
sementara sekretaris dan seterusnya ke bawah dijabat secara
individual walaupun sebenarnya berasal dari suatu instansi
atau karena kepakaran tertentu. Mayoritas Komda REDD ini
dijabat oleh perwakilan dari BLH Kalimantan Tengah, termasuk
sekretaris Komda REDD. Dari segi struktur organisasi, Komda
REDD ini dibantu oleh sembilan kordinator bidang yang
mencakupi semua tugas dan fungsi Komda REDD.
Catatan terhadap komda REDD sebagaian besar bisa dilihat
dalam catatan penulis soal DDPI, kecuali catatannya soal
keberadaan Majelis Adat Dayak/Majelis Adat Dayak Nasional.
Pembiayaan dan bagaimana mekanisme kerja internal perlu
diperhatikan terlebih dahulu pada masa awal pembentukannya
ini. Komda REDD tidak ada perencanaannya di dalam RKP 2010
sehingga hampir bisa dipastikan tidak ada anggarannya.
Kedua, kehadiran DDPI dan kemudian menjadi payung bagi
Komda REDD, mengharuskan ada penambahan mekanisme
kerja di dalam Komda REDD yang menghubungkannya dengan
keberadaan DPPI. Misalnya, apakah Komda REDD masih
harus bertanggung jawab langsung kepada gubernur pada
saat yang sama Komda REDD berada di bawah DDPI? Jika
tetap dibiarkan maka posisi Komda REDD sebenarnya tidak
tergantung pada DDPI dan ini ada hubungannya dengan soal
efesiensi pemerintah.
Ada banyak jabatan ganda yang dijabat oleh pejabat yang
berada di dua lembaga ini. Jabatan ketua harian DDPI yang
juga ketua Komda REDD adalah Sekretaris Daerah Pemerintah
Kalimantan Tengah. Begitu juga jabatan Kepala BLH, Kepala
Dishut dan Kepala Bappeda. Adanya tugas yang hampir sama
antara DDPI dan Komda REDD terutama pada tugas DDPI
dalam mengkoordinasikan kebijakan dalam perdagangan karbon,
sehingga harus ada perampingan di Komda REDD. Ini sebagai
cara untuk mengefesienkan kerja dan anggaran pemerintah
serta agar pemrakarsa REDD, misalnya, atau pihak lain yang
berkepentingan dengan perubahan iklim/REDD tidak malah
dibingungkan lembaga mana yang harus ditemuinya atau malah
ditambah pintu birokrasinya.
Satu catatan penting adalah soal pembiayaan dari sumber
lain yang tidak mengikat. Catatan ini bisa diberlakukan pula
pada DDPI. Ada dua sumber pembiayaan: APBD dan sumber
224
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
lain yang tidak mengikat. APBD dalam jangka waktu dekat ini
tidak dapat diharapkan; kecuali ada program tersendiri atau
pengalihan dari dana yang sudah direncanakan atau menambah
item kecil kegiatan di bawah satu program di RKPD 2011. Tanpa
melakukan ini sulit DDPI dan Komda REDD ini bekerja maksimal.
Pengertian dari sumber (dana) lain yang tidak mengikat
perlu diatur demi alasan transparansi dan akuntabilitas kedua
lembaga ini. Ini untuk mengantisipasi banyaknya tawaran kerja
sama dari berbagai pihak, tidak hanya dalam negeri, tetapi juga
pihak luar negeri. Agar bisa didapat sumber dana lain yang tidak
mengikat, tentu saja harus diatur jenis dana, donatur, kuantitas
dan frekuensi dana yang didapatkan sehingga dapat dinilai oleh
siapapun bahwa dana itu memang tidak mengikat. Sehingga
pengertian tidak mengikat tidak hanya diberikan oleh kalangan
internal kedua lembaga itu atau pemerintah, tapi juga oleh pihak
lain yang berada di luar kedua lembaga/pemerintah.
4.3 Respon kebijakan Pemerintah Kabupaten Kapuas
(a) Sekilas Kabupaten Kapuas
Kabupaten Kapuas merupakan salah satu kabupaten yang disebut-sebut,
misalnya oleh KPCP, akan dijadikan tempat pelaksanaan skema REDD atau
DA REDD. Kabupaten yang beribukota Kuala Kapuas ini memiliki luas
kurang lebih 1.499.900 Hektar atau 9,77% dari luas Provinsi Kalimantan
Tengah. Jumlah kecamatan di Kapuas ada 12 yang jika dilihat dari geografi
tanahnya terbagi di dalam dua bagian: sebelah selatan (9 kecamatan)
geografinya berupa rawa dengan ketinggian tanah mencapai 50 s/d 100
m di atas permukaan tanah, sementara di sebelah utara (3 kecamatan)
bertekstur bukit dengan ketinggilan 100 s/d 500 di atas permukaan laut.
Kepadatan penduduk pada tahun 2003 diperkirakan sekitar 21 jiwa/km2
dengan rata-rata penduduk bergantung pada pertanian.
Pada daerah berawa di sebelah selatan Kabupaten Kapuas inilah
diadakan Proyek 1 juta hektar sawah yang luasnya mencapai 1,4 juta hektar.
Proyek itu sendiri 85%-nya ada di wilayah Kabupaten Kapuas. Pembukaan
lahan di area berawa yang sebenarnya tidak bersahabat bagi manusia ini
disertai dengan penempatan para transmigran yang mencapai 13ribu KK
(kepala keluarga) (McCarthy, 2001) yang kemudian menimbulkan persoalan
tersendiri, terutama konflik pertanahan (Gamma Galudra ddk., 2009). Data
terakhir menunjukkan bahwa transmigran yang beada di PLG kurang lebih
14.935 KK (61.000 jiwa), dan telah memanfaatkan lahan seluas 60.332 hektar
(Burhanuddin Ali, 2003).
Proyek 1 juta hektar sawah atau Proyek lahan Gambut atau PLG ini sendiri
menimbulkan banyak kritikan dari berbagai pihak sehingga aktivitasnya
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
225
benar-benar dihentikan pada tahun 1999.139 Namun penghentian proyek
tersebut tidak menghentikan pembukaan lahan gambut – salah satunya
karena masih banyaknya perizinan di bidang kehutanan yang dikeluarkan
oleh pemerintah kabupaten yang didasari oleh semangat desentralisasi.
Sehingga kemudian dipikirkan harus adanya pengelolaan secara terpadu
untuk merehabilitasi yang dituangkan ke dalam Inpres No 2 Tahun 2007.
Tiga tahun Inpres itu dibuat, tindak lanjut di lapangan masih jauh dari
yang diharapkan.140
Kabupaten Kapuas memiliki luas lahan gambut sekitar 524.640 hektar
atau 35 persen dari keseluruhan luas Kabupaten Kapuas. Apalagi sebagian
besarnya rusak yang menjadi alasan utama mengapa REDD potensial
dilakukan di kabupaten ini. Selain BOS Mawas, yang memang sudah
beraktivitas di wilayah Kapuas dan secara spesifik di PLG, yang sudah
memiliki ‘wilayah tertentu” buat REDD; pihak pemrakarsa lain, seperti
KFCP belum memiliki wilayah yang jelas.
(b) Respon kebijakan Kabupaten Kapuas
Pada tingkat tapak, ternyata respon kebijakan pemerintah kabupaten
Kapuas belum berjalan seirama dengan apa yang terjadi di tingkat
nasional maupun provinsi. Padahal, pada tingkat kabupatenlah sebenarnya
pelaksanaan dari usaha mitigasi/adaptasi perubahan iklim, termasuk REDD,
dilakukan. Berikut penjelasannya.
(i) Perencanaan Kebijakan
Dalam soal perencanaan kebijakan, belum ada pembunyian soal
perubahan iklim, strategi mitigasinya, serta REDD di dalam dokumen
perencanaan baik itu RPJP, RPJMD ataupun RKPD Kabupaten Kapuas.
Dalam pernyataan dari Kepala Bappeda Kabupaten Kapuas, Pemerintah
Kabupaten Kapuas sementara ini dalam posisi menunggu kepastian
implementasi skema mitigasi perubahan iklim. Menunggu itu tidak
hanya kebijakan dari pemerintahan di atasnya, tetapi juga dari pihak
internasional, yakni dalam perundingan perubahan iklim.141
(1) Rencana Kerja Pemerintah Kabupaten Kapuas
a. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Kapuas 2010
Ambil contoh dalam dokumen perencanaan berupa RKPD
Kabupaten Kapuas 2010 yang merupakan dokumen paling terkini
dan paling rigid dalam merencanakan bentuk program dan
aktivitas pemerintah per tahunnya. Terlihat belum ada bahkan
pembunyian perubahan iklim atau REDD di dalam RKPD 2010.142
139
140
141
142
Dihentikan dengan Perpres No. 80 tahun 1999.
Muri (Staf CARE International Indonesia site Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010 dan Syahrin
Daulay (Kepala Bappeda Kalimantan Tengah), wawancara, 22-06-2010.
Herson B. Aden (Kepala Bappeda Kabupaten Kapuas), wawancara, 24-06-2010.
ditetapkan dengan PerBup No. 179 tahun 2010 pada tanggal 8 Juni 2009.
226
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Hanya saja, dalam pembicaraan soal lingkungan hidup dan
kehutanan, ada banyak rencana program yang berkaitan dengan
isu perubahan iklim, seperti halnya penanggulangan kebakaran
hutan atau lahan. Namun, kondisinya sama dengan apa yang
direncanakan dalam RKPD pemerintah provinsi 2009 di mana
kegiatan pencegahan kebakaran hutan itu tidak dianggap sebagai
bagian dari pencegahan dampak perubahan iklim. Namun lebih
sebagai pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup atau sebagai
bagian dari pencegahan bencana.
Walaupun belum ada pembunyian dalam RKPD 2010 (yang
berarti Pemerintah Kabupaten Kapuas tidak ada rencana untuk
terlibat dalam proses atau kegiatan terkait skema mitigasi
perubahan iklim di tahun 2010 ini) namun respon kebijakan
pemerintah pusat dan provinsi dalam soal perubahan iklim/
REDD ini (serta iming-iming insentif besar dari luar negeri)
tetap saja menyeret kerja Pemerintah Kabupaten Kapuas untuk
mau tidak mau merespon isu itu pula, setidaknya sebagai
pendamping atau peserta workshop untuk peningkatan kapasitas.
Karena belum ada kebijakan yang memang diarahkan untuk
menanggulangi perubahan iklim/REDD, maka hanya kegiatan
sosialisasi saja yang dilakukan. Itu pun sosialisasinya hanya
terbatas pada pejabat atau staf dari dinas-dinas terkait dan
belum sampai pada sosialisasi di tingkat lokasi/tapak.
Ketiadaan kebijakan itu serta sikap menunggu itu juga dilatar
belakangi dengan adanya beda persepsi dalam melihat suatu
kegiatan yang menyebabkan perbedaan dalam menyimpan skala
prioritas atas suatu program/kegiatan. Pencegahan kebakaran
hutan, misalnya, bagi Pemerintah Kabupaten Kapuas, hal
itu merupakan aktivitas mencegah pencemaran udara serta
agar tidak mengganggu lalu lintas transportasi. Sementara,
bagi masyarakat internasional, hal itu berarti kenaikan emisi.
Karena itu bagi Pemerintah Kabupaten Kapuas, kebakaran
hutan bukanlah hal yang harus dihilangkan seratus persen.
Pembakaran lahan di lahan gambut merupakan proses agar
mendapatkan nutrisi yang cukup jika tanah itu akan dijadikan
lahan pertanian. Tanpa pembakaran lahan, nutrisi bagi tanaman
akan kurang. Praktek ini sudah dilakukan bergenerasi-generasi
oleh petani-petani di lahan gambut.
Karena itu pula, Pemerintah Kabupaten Kapuas dalam
merespon soal kebakaran hutan ini membaginya ke dalam
dua kategori: kebakaran hutan yang terkendali serta kebakaran
hutan yang tidak terkendali. Keduanya dibedakan dalam
skala kebakaran dan tujuan dari pembakaran hutan/lahan
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
227
tersebut. Kebakaran hutan yang tidak terkendali ini yang
tidak diperbolehkan. Sementara kebakaran terkendali masih
diperbolehkan.
Masih diperbolehkannya pembakaran hutan tentu saja akan
mengganggu perkembangan skema mitigasi perubahan iklim
berupa REDD. Misalnya saja akan berpengaruh pada kebocoran
atau “leakage”. Hal yang tentu saja akan sedapat mungkin dicegah
oleh para pemrakarsa atau pendukung kebijakan REDD. Di sisi
lain, pembolehan ini bertentangan dengan kebijakan provinsi
yang melarang sama sekali pembakaran hutan/lahan. Ini soal
menarik dan beberapa kali informan di Kabupten Kapuas
menyatakan ketidakpuasannya dengan kebijakan ini.
Beda persepsi ini, dalam kacamata Kepala Bappeda
Kapuas, akan semakin meruncing ketika insentif yang berupa
dana masuk dalam perdebatan. Hal ini sebenarnya harus
diselesaikan terlebih dahulu dengan memberi kesempatan
kepada Kabupaten Kapuas untuk mendefinisikan keseimbangan
antara pembangunan dengan perlindungan lingkungan atau
pembangunan berkelanjutan. Soal lain yang akan menjadi fokus
Pemerintah Kabupaten Kapuas adalah dalam soal perlindungan
masyarakat, misalnya dalam merancang kegiatan yang langsung
bersentuhan dengan kepentingan masyarakat sekitar termasuk
dalam melakukan sosialisasi yang lebih gencar dan terarah dalam
soal pencegahan perubahan iklim/REDD.
(2) Perencanaan di tingkat SKPD
a. Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Penelusuran pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan
mengalami nasib yang sama seperti di Pemerintah Kabupaten
Kapuas: belum ada program/kegiatan khusus yang ada kaitannya
dengan perubahan iklim/REDD. Penelusuran itu dilakukan pada
dokumen Renja Dinas Perkebunan/Kehutanan tahun 2009 dan
tahun 2010. Prioritas program dalam kedua Renja tersebut lebih
banyak yang bernuansa ekonomi, seperti peningkatan kontribusi
PAD, berkembanya industri kehutanan.
Walaupun demikian, ada kegiatan yang sebenarnya
memiliki keterkaitan langsung dengan perubahan iklim, namun
tidak ada penarikan ke arah isu perubahan iklim. Dalam
Renja 2010, kegiatan itu berupa rehabilitasi lahan dan hutan,
penertiban illegal logging dan pengendalian kebakaran hutan
dan lahan. Ketiga kegiatan ini merupakan kelanjutan dari
program serupa yang ada di Renja 2009. Bentuk rehabilitasi
itu ternyata bermacam-macam, tidak hanya penanaman biasa
228
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Dinas Perkebunan dan Kehutanan, tetapi juga rehabilitasi
yang mengajak peran serta masyarakat, seperti program Hutan
Tanaman Rakyat (HTR).
b. Badan Lingkungan Hidup Kapuas
Menurut penuturan seorang staf BLH Kapuas, belum
ada pembunyian perubahan iklim atau REDD di dalam
dokumen perencanaan kebijakan yang dibuat oleh BLH.
Namun penelusuran penulis terhadap Rencana Kerja (Renja)
BLH Kabupaten Kapuas tahun 2009 menemukan adanya
program terkait dengan perubahan iklim, lengkap dengan
pagu indikatifnya (batasan anggaran yang sudah disetujui
yang nantinya menjadi dasar alokasi anggaran di dalam APBD
Kapuas).
-
Renja BLH Kapuas 2009
Di bawah Program Perlindungan dan Konservasi SDA,
ada satu item kegiatan bernama pengendalian dampak
perubahan iklim yang keluarannya berupa data dan informasi
dan prosedur rencana antisipasi menghadapi perubahan
iklim. Dananya berasal dari APBD tahun 2009 dan lokasi
kegiatannya hanya ada di ibukota Kabupaten Kapuas, Kuala
Kapuas.
Adanya kegiatan pengendalian dampak perubahan iklim
di level kabupaten ini cukup mengagetkan karena hasil
wawancara sebelumnya dengan para staf yang ada di Kapuas,
tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa kegiatan terkait
dengan perubahan iklim itu ada. Kegiatan BLH Kapuas ini
melewati – dalam segi cepatnya tanggapan – dibandingkan
dengan BLH Kalimantan Tengah di level provinsi. Renja
ini benar-benar mengikuti RKP 2009 di level pemerintah
pusat yang juga menjadi RKP pertama yang membunyikan
perubahan iklim di dalam program dan kegiatan pemerintah
tahunannya.
Selain program yang menyebut langsung perubahan
iklim, seperti biasa ada kegiatan yang punya kontribusi pada
pengendalian dampak perubahan iklim, seperti program
pengendalian kebakaran hutan/lahan. Menariknya program
pengendalian kebakaran hutan ini memiliki banyak item
kegiatannya, tersebar di tiga program, tidak hanya berada di
satu program khusus. Pagunya juga sangat besar mencapai
kurang lebih 500 jutaan. Ini menunjukkan adanya prioritas
BLH untuk benar-benar mengendalian kebakaran hutan/
lahan.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
229
-
Renja BLH Kapuas 2010
Sayangnya adalah kegiatan di bawah Program
Perlindungan dan Konservasi SDA terkait perubahan iklim
tidak berlanjut sampai tahun 2010. Tidak ada kegiatan
yang secara spesifik menyebutkan pengendalian dampak
perubahan iklim. Ketidakberlanjutan kegiatan ini memang
menjadi tanda tanya.
Walaupun demikian, perhatian terhadap kegiatan yang
tidak menyebut perubahan iklim namun terkait erat dengan
itu masih ada berupa program pengendalian kebakaran
hutan. Hanya saja, jika dilihat dari pagu indikatifnya ternyata
lebih rendah dari Renja di tahun 2009. Selain itu item
kegiatannya juga lebih sedikit.
(ii) Pelaksanaan Kebijakan
Posisi Pemerintah Kabupaten Kapuas yang menunggu membuat
Pemerintah Kabupaten Kapuas lebih menunggu inisiatif dari pemerintah
di atasnya dalam soal perubahan iklim atau REDD ini. Tidak ada
peraturan khusus yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas yang
mengatur soal perubahan iklim/REDD atau aturan lainnya yang dapat
dikaitkan dengan pengendalian kebakaran hutan, misalnya.
Ketiadaan adanya aturan sendiri soal pengendalian kebakaran hutan/
lahan membuat aturan di tingkat provinsi berlaku di level Kabupaten
Kapuas. Sehingga keinginan dari Kepala Bappeda agar pelarangan
kebakaran hutan atau lahan dengan pengecualian menjadi tidak
mendapatkan dukungan hukum.
Dalam soal peraturan yang melindungi kepentingan masyarakat adat/
lokal, ternyata Kabupaten Kapuas belum juga memilikinya. Penuturan
Kepala Bappeda menyatakan bahwa untuk aturan ini masih mengikuti
aturan di tingkat provinsi, termasuk Perda No 16/2008 dan Pergub
13/2009. Tapi memang diakui, ada hambatan di dalam pelaksanaannya,
termasuk alokasi anggaran dari APBD untuk menunjang operasional
dan program kerja Dewan Adat Dayak tingkat kabupaten sampai desa/
kelurahan, serta lembaga adat Kademangan.
Sisi lembaga. Dari sisi lembaga, BLH Kapuas dianggap sebagai focal
point untuk kegiatan yang ada hubungannya dengan pengendalian
perubahan iklim dan memang terbukti dalam Renja tahun 2009, BLH
kapuas menganggarkan kurang lebih Rp 40 juta untuk menunjang
kegiatan itu. Selain itu, BLH Kapuas rajin dalam melakukan sosialisasi
ke masyarakat dan menjalin kerja sama dengan KLH pusat kaitannya
dengan perubahan iklim/REDD. Tapi keterbatasan struktur lembaganya
yang berupa “badan” membuatnya tidak dapat melakukan eksekusi
230
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
langsung di lapangan sehingga keberhasilannya tergantung pada ada
tidaknya program/kegiatan sejenis di SKPD Teknis.
Sementara di Dinas Perkebunan dan Kehutanan, wacana soal
perubahan iklim atau REDD malah kurang begitu dikenal. Menurut
salah satu staf, dinas ini lebih banyak mengerjakan program/kegiatan
yang ada hubungannya dengan perkebunan.143 Masalah perkebunan di
Kapuas meninggalkan banyak masalah, terutama pemberian izin yang
tumpang tindih dengan sesama pemilik izin atau dengan kawasan
kehutanan. Mereka semua sedang berkonsentrasi untuk menyelesaikan
persoalan itu di bidang perkebunan itu. Data dalam Renja 2009 dan
2010 mengafirmasi kondisi itu: lebih banyak program/kegiatan yang ada
hubungannya dengan perkebunan ketimbang sektor kehutanan. Hal ini
bisa dipahami, seiring dengan makin turunnya pamor sektor kehutanan,
maka sektor perkebunan, terutama sawit, menjadi komoditas penting
yang sumbangannya pada PAD Kapuas cukup signifikan.
Dalam hubungannya dengan keberadaan DDPI dan Komda REDD,
belum pernah ada kunjungan atau koordinasi DDPI/Komda REDD
ke Kapuas atau bahkan sosialisasi keberadaan dua lembaga baru di
tingkat provinsi tersebut.144 Ini menunjukkan bahwa dua lembaga itu
harus bekerja keras lagi untuk meningkatkan kerja dan kehadirannya
di tingkat kabupaten/kota.
4.4 Kesimpulan
Dari apa yang sudah dituturkan di atas, kita bisa melihat bahwa tanggapan
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kapuas terhadap
isu perubahan iklim/REDD bukan tanggapan yang sudah direncanakan
sebelumnya atau dibarengi dengan pembuatan kebijakan yang terlihat dalam
peraturan perundang-undangan, kelembagaan dan alokasi anggaran. Empat
hal itu merupakan kriteria untuk melihat apakah tanggapan yang selama
ini diperlihatkan memiliki dasar pijakannya atau memiliki arahan tertentu
atau dengan mempertimbangkan konsekuensinya bagi perlindungan hak/
kepentingan masyarakat adat/lokal.
Dalam soal perencanaan kebijakan (pembangunan), tampak betapa
pemerintah hanya memperlakukan dokumen perencanaan (RPJPD, RPJMD,
RKPD, RENSTRA SKPD, RENJA SKPD) yang dibuat dengan susah payah
dengan proses berjenjang untuk menjaring aspirasi masyarakat, ternyata
tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Dokumen perencanaan
sebenarnya dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengendalikan
pembangunan, memperkuat koordinasi antar instansi pemerintah atau
143
144
Staf Dishutbun Kapuas, wawancara, 24-06-2010
Staf BLH Kapuas, wawancara, 24-06-2010.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
231
monitoring pembangunan. Akhirnya, pemerintah seperti berjalan tanpa
rencana di dalam permainan yang belum jelas bentuknya itu.
Dari penelusuran pada dokumen perencanaan kebijakan, tampak
sebenarnya Provinsi Kalimantan Tengah sudah mempersiapkan diri untuk
terlibat dalam proses dan aktivitas implementasi di tingkat lokal skema
mitigasi perubahan iklim berupa REDD. Namun, tindak lanjut persiapan diri
itu kemudian menjadi tidak jelas karena tidak banyak program/kegiatan yang
dibuat yang menunjukkan adanya tahapan menuju kesiapan diri itu. Biarpun
kemudian sektor pertanian diberi kepercayaan untuk terlibat di dalam
pengendalian perubahan iklim, pemerintah provinsi luput melibatkan dua
dua institusi penting lainnya yang justru secara kewenangan dan kapasitas
memiliki keterkaitan dengan pengendalian perubahan iklim. Sementara di
tingkat Kabupaten Kapuas, malah belum ada kebijakan yang tegas.
Kedua pemerintah daerah sama-sama belum memiliki peraturan
yang terkait dengan perubahan iklim/REDD, namun Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah memiliki peraturan daerah yang mengatur soal
kebakaran hutan. Hanya saja ketika hal itu dilaksanakan tetap tidak
menyelesaikan masalah kebakaran hutan dan malah merugikan masyarakat
yang memakai cara tradisional dalam membuka lahannya. Hal itu di tengah
tidak dilaksanakannya kewajiban pemerintah melakukan inventarisasi jenis
kegiatan dan wilayah yang potensial terjadi kebakaran hutan.
Bahkan, Pemerintah Kabupaten Kapuas memiliki pandangan yang
berbeda dalam melihat kebakaran hutan/lahan itu: ada jenis kebakaran
yang dikendalikan dan yang tidak terkendali. Pelarangan tanpa kecuali
pembakaran hutan malah akan membuat masyarakat lebih menderita
dilihat misalnya dari sisi geografis Kapuas yang berlahan gambut dan sisi
ketahanan pangan masyarakat.
Ketegangan ini menunjukkan masih adanya kesenjangan dalam
penyelesaian masalah lingkungan dengan perlindungan kepentingan/hak
masyarakat. Padahal penurunan emisi dengan cara pencegahan kebakaran
hutan menempati posisi penting dalam skema REDD. Perlindungan
lingkungan hidup tanpa memberikan solusi makin sempitnya akses
masyarakat pada SDA sebenarnya juga tidak akan berkelanjutan.
Di sisi lain, perlindungan terhadap kepentingan masyarakat adat atas
tanah adat dan hak-hak adat atas tanahnya ternyata tidak ada gunanya
selama pemerintah belum bisa mendefinisikan tujuan pembangunan yang
lebih aspiratif, dan belum bisa menerima penolakan masyarakat. Pergub
soal Tanah Adat itu memang dapat menerabas kesulitan yang ada dalam
soal bukti tertulis bagi kepemilikan komunal, namun tidak memberikan
solusi ketika bukti tertulis itu dikonstestasi dengan peraturan pertanahan
menurut UU Pokok Agraria yang justru menjadi acuan tertinggi Pergub
tersebut.
232
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Penguatan kepemilitan atas tanah adat juga harus dibarengi dengan
pemberdayaan pada kelembagaan adat Kademangan dalam arti Lembaga
Kademangan yang lebih independen dan benar-benar memperhatikan
kepentingan masyarakatnya. Namun, posisi Damang yang mulai dari
pemilihan (diangkat dan dipilih oleh bupati) sampai anggaran program
dan operasionalnya tidak lepas dari tangan pemerintah, maka cukup jadi
alasan untuk bertanya: apa sebenarnya tujuan sebenarnya “pemberdayaan”
kelembagaan adat di Kalimantan Tengah? Kondisi ini dihubungkan dengan
betapa lebih mudah (secara teoritis) proses lepasnya tanah adat/hak-hak
adat atas tanah demi alasan pembangunan dibandingkan jika itu kehendak
pemilik. Sebuah lembaga kademangan yang lebih kredibel dapat mencegah
proses itu.
Di tengah kondisi yang cukup rentan bagi masyarakat tersebut, maksud
pemerintah provinsi untuk semakin terlibat di dalam proses implemetasi
skema REDD makin nyata dengan dibentuknya dua lembaga: DDPI dan
Komda REDD. Terlalu tergesa-gesa untuk menilai kinerja badan tersebut
yang juga baru dibentuk pertengahan tahun 2010 ini. Tapi pembentukan
lembaga penting yang sama sekali tidak ada rencananya di dalam RKPD
2010 kembali mencelikan mata kita pada kaburnya jalur jalan yang ditempuh
pemerintah dalam menjalankan kebijakannya. Terbukti, Komda REDD harus
diredefinisikan kembali begitu terbentuk DDPI sebulan kemudian, karena
ternyata posisi Komda REDD berada di bawah koordinasi DDPI dan tidak
lagi bertanggung jawab langsung kepada gubernur.
Pujian memang layak diberikan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan
Tengah yang berani membuat dua badan pertama di tingkat provinsi di
Indonesia. Tapi hadangan masalah akan terus ada, karena pilihan untuk
menyelesaikan masalah dengan cara ad-hoc pada dasarnya dilandasi
kesadaran bahwa instansi-instansi tradisional/lama – entah karena tidak
dipercaya atau tidak mampu – tidak lagi dianggap mampu memegang
peranan dalam menghadapi tantangan baru. Masalah yang membuat
instansi lama tidak mampu itu akan juga dihadapi oleh dua lembaga adhoc itu: koordinasi lemah baik internal di satu level pemerintah maupun
antar pemerintah, anggaran yang tidak cukup dan tidak efesien sampai
sesuatu sederhana, sosialisasi. Tantangan terdekat yang bisa dilakukan oleh
kedua lembaga itu adalah memberitahu seorang pejabat di Kapuas akan
keberadaannya dan kesiapan untuk bekerja sama dengannya.
Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim/
Redd di Kalimantan Tengah
233
5.“Indah kabar dari rupa: Kerangka
hukum dan kelembagaan
pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan
Barat
Laurensius Gawing
5.1 Provinsi Kalimantan Barat dan REDD
Kalimantan Barat jika ditilik dari luasan kawasan dipastikan menyimpan
cadangan carbon yang memadai, apalagi jika dihitung dari tutupan hutannya.
Atas pertimbangan tersebutlah maka provinsi ini dijadikan salah satu lokasi
percontohan kegiatan REDD. Propinsi ini berbatasan masing-masing di
utara dengan Sarawak, selatan dengan Laut Jawa dan Kalimantan Tengah,
timur dengan Kalimantan Timur dan bagian barat berbatasan dengan Laut
Natuna dan Selat Karimata.
Kalimantan Barat merupakan satu di antara beberapa provinsi di
Indonesia, yang terpilih menjadi lokasi pelaksanaan uji coba REDD, selain
karena stok karbon yang memadai juga dianggap telah mengalami degradasi
dan deforestasi tinggi, akibat pembalakan liar dan pembukaan perkebunan
skala luas. Perkebunan skala luas tidak hanya mengancam eksistensi hutan
primer yang menjadi tujuan pengurangan emisi karbon, juga mengancam
ekosistem gambut yang daya serap karbonnya tinggi dan kini menjadi
alasan kuat mengapa REDD plus dilakukan. Wilayah bergambut tersebut,
mendominasi berbagai kawasan di Kalimantan Barat, sehingga beberapa
pemrakarsa uji coba REDD memasukan kawasan bergambut tebal sebagai
hal penting untuk diselamatkan. Setelah Ulu Massen di Aceh, Malinau
di Kalimantan Timur dan Kabupaten Kapuas di Kalimantan Tengah kini,
Kalimantan Barat turut melaksanakan kegiatan serupa dengan memilih
lokasi uji coba atau demonstration activities di Kabupaten Ketapang dan
Kapuas Hulu. Uji coba REDD yang kini berlangsung tak lepas dari keluarnya
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
235
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) nomor 68 Tahun 2008 tentang
Demonstration Activities REDD, yang menjadi landasan pijakannya.
Salah satu alasan mengapa penting dilakukan DA REDD di Indonesia
adalah tentunya merujuk kepada salah satu keputusan 2/COP-13 tentang
REDD yang menyebutkan pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk
REDD mencakup tiga hal yakni:
1) Pilot/ demonstration activities (Proyek-proyek Percontohan)
2) Capacity building dan technology transfer (pengembangan kapasitas
dan transfer teknologi)
3) Indicative guidance (Panduan untuk proyek percontohan)145
Kotak 5.1. Indicative Guidance Demonstration Activities
Demonstration activities harus mendapat persetujuan host Party dalam hal ini
Pemerintah, Penghitungan pengurangan / peningkatan emisi harus sesuai hasil,
terukur, transparan, dapat diverifikasi, dan konsisten sepanjang waktu, Pelaporan
menggunakan reporting guidelines (Good Practice Guidance for Land Use, LandUse Change and Forestry) sebagai dasar penghitungan dan monitoring emisi,
Pengurangan emisi dari national demonstration activities dievaluasi berdasar
emisi deforestasi dan degradasi nasional. Subnational demonstration activities
dievaluasi dalam batas kegiatan tersebut, termasuk evaluasi terhadap pengalihan
emisi sebagai dampak dari kegiatan dimaksud (leakage).
Pengurangan/peningkatan emisi dari demonstration activity didasarkan pada
emisi di masa lampau, dengan memperhatikan kondisi masing-masing negara,
pemakain pendekatan sub-national harus merupakan suatu langkah menuju
pendekatan national reference levels/baseline dan estimasi pengurangan emisi,
Demonstration activities harus konsisten dengan provisi di bawah UNFF, CCD,
dan CBD, Pengalaman dari implementasi demonstration activities dilaporkan
dan tersedia melalui Web platform; termasuk dalam pelaporan demonstration
activities deskripsi kegiatan, efektivitas, dan informasi lain yang relevan. Dianjurkan
menggunakan independent expert review.
Dalam kesepakatan ‘Bali Action Plan’, beberapa kesepakatan yang
tertuang memberikan gambaran ke arah mana REDD tertuju. Hal tersebut,
memperkuat keinginan negara-negara inisiator sekaligus suporternya
yakni, negara maju, selain harus memenuhi kewajiban peningkatan target
penurunan emisi dan membantu negara berkembang (capacity building,
transfer teknologi, bantuan keuangan) dalam upaya mengurangi dampak
negatif perubahan iklim, negara berkembang juga didorong melakukan aksi
nyata dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam
konteks pembangunan berkelanjutan, a.l. melalui integrasi upaya adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim ke dalam perencanaan nasional dan sectoral
planning. Beberapa butir penting dari keputusan COP-13 tentang REDD yang
memerlukan tindak lanjut segera maupun terjemahan lebih lanjut untuk
145
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), December 2007 Report of the
Parties on its Thirteenth session, held in Bali 30 to 15 December 2007.
236
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
implementasinya di Indonesia antara lain : REDD dilaksanakan atas dasar
sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan negara
(sovereignity), negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity
building, transfer teknologi di bidang metodologi dan institusional, pilot /
demonstration activities, Untuk pelaksanaan pilot/demonstration activities
dan implementasi REDD, diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai
standar internasional. Oleh karenanya COP-13 menyepakati indicative
guidance untuk pilot/demonstration activities, dimana terdapat tanggung
jawab internasional, nasional (Pemerintah Pusat) dan sub-nasional
(pelaksana di daerah).
(a) Kerangka Hukum
Lalu bagaimanakah kesiapan segenap elemen Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat terhadap kegiatan ujicoba REDD yang berlangsung?
Semenjak COP-13, banyak perdebatan yang muncul sebagai reaksi atas
hasil-hasil perundingan mengenai perubahan iklim di tingkat internasional.
Dinamika ini ternyata juga memengaruhi situasi dan cara pandang umum
di Kalimantan Barat. Efek tersebut tergambar jelas, ketika adanya pemikiran
bahwa REDD tidaklah seindah yang dibayangkan dan diwacanakan selama
ini, yakni Kalimantan Barat hanya perlu menjaga hutan dan pasti akan
diberi kompensasi berupa sejumlah nominal tertentu. Namun benang kusut
perdebatan dan perundingan kerjasama penanggulangan dampak perubahan
iklim, ternyata membutuhkan berbagai persyaratan yang tidak mudah.
Banyak prasyarat nan rumit yang mesti dilalui, dan tentu saja harus mengikuti
standar internasional yang hingga saat ini terus dinegosiasikan.
Selain persoalan negosiasi yang rumit, persoalan teknis terkait
pelaksanaan REDD sejauh ini juga memberi hambatan tersendiri bagi para
pihak untuk berpartisipasi. Dalam situasi yang demikian, secara umum skema
REDD membuat kebingungan termasuk Pemerintah Provinsi Kalimantan
Barat (maupun Kabupaten Kapuas Hulu). Dilematis terjadi karena di sisi
lain harus bergerak cepat mengantisipasi maupun menangkap peluang,
namun sebaliknya Pemda harus menunggu kebijakan atau aturan hukum
yang benar-benar jelas dari Jakarta dan tentu saja kepastian skema REDD
yang nanti dijalankan. Contohnya adalah keragu-raguan Pemda dalam
mengambil kebijakan tentang perubahan iklim (REDD) karena harus
menunggu peraturan nasional, dan tak heran jika berbagai daerah cenderung
memilih untuk pasif
Akibatnya, pada rentang waktu 2008-2009 mekanisme REDD yang
didukung oleh Pemerintahan SBY tidak mendapat apresiasi yang cukup luas
dari daerah. Konteks Kalimantan Barat contohnya adalah, ketika Gubernur
Cornelis diundang oleh Gubernur California (USA) Arnold Schwarzenegger
ke Los Angeles pada 30 September - 2 Oktober 2009 untuk menghadiri
kegiatan “Governors Global Climate Summit”. Cornelis hadir namun
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
237
selanjutnya Cornelis menolak menandatangani deklarasi dalam kegiatan
tersebut, yang berisikan kesepahaman untuk mengatasi dampak perubahan
iklim dan komitmen bersama lainnya termasuk berbagi informasi mengenai
penanganan pembalakan liar, penggunaan energi, transfer teknologi, karena
merasa bahwa belum ada titik terang seperti apa kontribusi konkret REDD
dan atau program pengurangan emisi bagi daerah semisal Kalimantan Barat,
yang menyiapkan hutan sebagai penyerap emisi rumah kaca.
“…..Saya tidak tanda tangan, karena tidak jelas apa yang menjadi kewajiban
negara maju dan apa yang menjadi kewajiban negara berkembang. Kita mau
ini jelas. Kalau kita dituntut sebagai paru-paru dunia, bagaimana kehidupan
kita, apa yang akan mereka (negara maju, red) berikan kepada kita, bagaimana
mengatasi masyarakat kita dan seterusnya, ini yang kita mau. Kalau kita sudah
teken, nanti repot kita,” 146
Namun, setelah keluarnya Permenhut No P. 36/Menhut-II/2009
(selanjutnya Permenhut P36/2009) yang dalam lampirannya menyebutkan
pembagian keuntungan dalam proyek REDD, ditambah lagi ketika Menhut
melakukan meluncurkan secara resmi lokasi DA-REDD di Indonesia, 147
yang menunjuk Kalimantan Barat sebagai salah satu wilayahnya, situasi di
Kalimantan Barat sedikit berubah.
Terhitung pasca CoP 13 di Bali 2007 yang lalu, dan keluarnya Permenhut
mengenai demonstration activities , beberapa aktifitas berhubungan dengan
REDD sudah mulai berjalan di Kalimantan Barat. Namun semuanya masih
dalam taraf menjajaki lokasi dan koordinatif sifatnya. Pemrakarsa yang secara
intens mensosialisasikan kegiatannya adalah Fauna and Flora International
(FFI) melalui Frank Momberg (Asia Director for Programe DevelopmentFFI). Sejumlah pendekatan dilakukan terhadap Dinas Kehutanan berkaitan
dengan rencana lokasi proyek. Selain mendekati unsur pemerintah, Frank
juga mendiskusikan rencananya dengan berbagai NGO lokal seperti
PPSDAK-Pancur Kasih yang bergerak di isu Pemetaan Partisipatif dan
Yayasan Titian.
Di Kalimantan Barat saat ini ada dua kabupaten yang telah melaksanakan
aktifitas ujicoba REDD, yakni Kabupaten Ketapang (Sungai Putri) dan
Kabupaten Kapuas Hulu (Danau Siawan-Belida). Di Ketapang, inisiatif
ini dikembangkan oleh Fauna and Flora International (FFI) didukung
oleh MacQuarie Bank (Australia). Selanjutnya, FFI melakukan aktifitas
serupa di Kapuas Hulu, dengan lokasi uji coba di Danau Siawan-Belida
dan menggunakan alas hak izin restorasi ekosistem (IUPHHK-Restorasi
Ekosistem) dari Menteri Kehutanan untuk eks HPH PT.Trikaka. FFI dalam
kegiatannya menggunakan pendekatan skema pasar (voluntary bases) di
146
147
http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/2009/10/11/10861/Gubernur-Kalimantan Barat-Tolak-Teken-MoUGlobal-Warming (diakses 13-05-2010).
http://portal.antara.co.id/berita/1264754693/menhut-launching-indonesia-redd-demonstration-activities (diakses
13-05-2010).
238
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
berbagai proyek REDD yang mereka lakukan. Di Kapuas Hulu, pada saat ini
ada satu kegiatan lagi yang mendorong ujicoba REDD berbasis kerjasama
bilateral antara Indonsia dan Jerman. Saat ini mereka tengah melaksanakan
kegiatan uji coba melalui kegiatan bertajuk Forest and Climate Change
Program (ForClime) yang akan dibiayai oleh Pemerintah Jerman.
Tetapi yang menarik adalah, setelah sekian lama proses masuknya
kegiatan ujicoba REDD ke Kalimantan Barat, tidak ditemukan adanya
kebijakan atau aturan (legal formal) di level Pemerintah Propinsi Kalimantan
Barat yang dapat dijadikan rambu-rambu pelaksananaan REDD dalam hal ini
kegiatan ujicobanya. Ketiadaan aturan secara legal formal yang mengatur soal
pelaksanaan REDD didasari oleh prinsip kehati-hatian Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat dalam menyikapi arahan kebijakan pusat terutama Dewan
Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang mengingatkan agar Pemda tidak
terburu-buru melakukan perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga dan
atau mengeluarkan kebijakan yang dapat bertumbukan dengan kebijakan
nasional tentang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.148
Beberapa kebijakan lain yang sifatnya parsial terkait pelaksanaan
REDD memang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat,
namun kebijakan tersebut bukan by design melainkan respons atas tawaran
kerjasama dari pihak lain terutama pengembang REDD. Contohnya adalah
ketika membuka workshop Hutan Desa di Hotel Santika Pontianak, Gubernur
Kalimantan Barat dan Menteri Kehutanan akan menandatangani sebuah
nota kesepahaman (MoU) tentang dukungan terhadap Hutan Desa sebagai
salah satu bentuk partisipasi masyarakat mendukung kegiatan pelaksanaan
REDD di Kalimantan Barat. 149
Selain itu, Gubernur Cornelis baru memulai beberapa hal berkaitan
dengan pelaksanaan REDD termasuk menyepakati sebuah nota kesepahaman
dengan Menteri Kehutanan mengenai dukungan terhadap skema Hutan
Desa, Hutan Kemasyarakatan serta Hutan Rakyat sebagai bentuk partisipasi
masyarakat dalam kegiatan REDD. 150 Sebelum proses ujicoba REDD
berlangsung, Gubernur Kalimantan Barat berulang kali melakukan eksposur
atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan isu perubahan iklim.
Namun hingga saat ini belum terlihat kebijakan progresif yang diambil.
Lalu, bagaimanakah proses dan kerja-kerja DA REDD yang berlangsung?
Kedua pengembang saat ini menjalankan kerja-kerjanya lebih banyak
berhubungan dengan dua kabupaten yang menjadi pusat kegiatan yakni
Kabupaten Kapuas Hulu dan Ketapang. Peran pemerintah provinsi hanya
sifatnya koordinatif dan fasilitasi karena terhalang oleh kisi-kisi otonomi
yang diserahkan ke kabupaten.
148
149
150
Yoseph Lejo (Project officer OEDAS), wawancara, 3-06-2010.
http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7624%3Amenhut-buka-workshophutan-desa-&Itemid=364 (diakses 02-06-2010).
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/7816 (diakses 02-06-2010).
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
239
Alasan mengapa belum ada kebijakan langsung terkait dengan REDD
di level provinsi adalah adanya anggapan bahwa soal REDD merupakan
kewenangan pemerintah pusat dan belum pastinya mekanisme REDD seperti
apa yang akan diterapkan. Pendapat lain menyatakan bahwa REDD adalah
isu Kementerian Kehutanan, sehingga satu-satunya yang berwenang adalah
Menhut dan daerah tinggal menunggu kabar dari pusat.151 Pembentukan
Pokja Perubahan Iklim yang merupakan salah satu kebijakan standar yang
mesti dilakukan oleh daerah, terutama yang saat ini terkena DA REDD,
belum dilakukan di Kalimantan Barat.152 Kondisi berbeda ditemukan di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah yang sudah mulai membentuk
Pokja dan atau Dewan Daerah Perubahan Iklim.
(b) Kelembagaan
Bicara mengenai kelembagaan yang mengurusi tentang REDD, tidak
terlepas dari sisi kebijakan dan aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah
provinsi. Selama tidak ada kebijakan dan aturan yang secara legal formal
menaungi kerja-kerja perubahan iklim, baik itu mitigasi maupun adaptasi
perubahan iklim, maka pada saat yang bersamaan kita tidak akan menemukan
adanya kelembagaan baik itu Kelompok Kerja Perubahan Iklim, maupun
Dewan Daerah Perubahan Iklim. Di Kalimantan Barat hingga penelitian
ini dilaksanakan, Pokja Perubahan Iklim dan Dewan Daerah Perubahan
Iklim belum terbentuk.
Dalam pelaksanaan kegiatan ujicoba REDD, walaupun belum memiliki
Pokja REDD dan Dewan Daerah Perubahan Iklim, untuk sementara
pemerintah provinsi mengandalkan Dinas Kehutanan sebagai ‘Leading Sector’
menangani isu REDD. Sehingga, secara kelembagaan yang memiliki otoritas
ketika bicara REDD di Kalimantan Barat praktis hanya Dishut. Namun
dengan posisi yang demikian, instansi yang mengurusi isu hutan tersebut
cukup tertatih-tatih dan tidak mampu berbuat banyak karena keterbatasan
sumber daya manusia dan pendanaan. Jauh lebih dalam lagi, halangan dinas
untuk lebih aktif dalam isu REDD ini adalah karena sifatnya yang lintas
sektoral terutama melibatkan instansi lain seperti Bappeda, Lingkungan
Hidup, dan badan-badan konservasi lainnya yang ada di Pontianak.
Penelusuran yang dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai
kebijakan dan kelembagaan yang dibentuk untuk menangani isu REDD di
Kalimantan Barat, hanya kegiatan berupa workshop-workshop yang hampir
keseluruhannya adalah inisiatif organisasi masyarakat sipil yang memiliki
concern terhadap isu perubahan iklim dan atau REDD. Berbagai kegiatan lain
berbentuk training-training pengenalan REDD juga dilakukan oleh Ornop
dan lembaga pemrakarsa REDD di Kalimantan Barat (FFI, DED,GTZ).
151
152
Staf Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara
http://www.vhrmedia.com/Dinas-Kehutanan-Kalimantan Barat-Perlu-Pokja-Tangani-REDD-berita4060.html
(diakses 13-05-2010)
240
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Rentang waktu 2008-hingga saat penelitian ini dilakukan, tidak
ditemukan workshop dan atau pelatihan yang murni dilakukan oleh
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat guna memberi informasi
dan pemahaman kepada para pihak secara komprehensif, sebagai upaya
mendorong pengurangan dampak perubahan iklim di Kalimantan Barat.
Alasan utama di balik ketiadaan upaya mengkampanyekan isu perubahan
iklim tersebut disebabkan berbagai alasan, dan umumnya adalah ketiadaan
dana dan sumber daya manusia.
Meskipun belum ada Pokja atau kebijakan mengenai Perubahan Iklim
dan REDD secara khusus, namun Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat
bekerjasama dengan World Wide Fund for Nature (WWF) telah membangun
kesepakatan untuk menjaga kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi di
Kabupaten Singang, Kapuas Hulu dan Melawi sebagai bagian dari program
Heart of Borneo (HOB). HoB sendiri adalah kerjasama tiga negara yakni
Indonesia Malaysia dan Brunei Darussalam, untuk menjaga kawasan penting
di sepanjang perbatasan ke tiga negara tersebut. Inisiatif tersebut sudah
mulai berjalan dengan melakukan pengintegrasian kesepakatan-kesepakatan
antar ketiga negara dengan berbagai program, terutama di dua kabupaten
yang menjadi focus HoB. Contoh pengintegrasiannya adalah menganggarkan
dana kegiatan HOB bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).153
Secara umum, jika bicara mengenai apa saja aturan hukum atau kebijakan
mengenai REDD, dan apa saja kelembagaan yang terbentuk guna merespon
isu REDD di Kalimantan Barat, berdasarkan interview dan telaahan penelitian
belum sepenuhnya menemukan kebijakan dan kelembagaan yang dibentuk
semisal Pokja Perubahan Iklim, Dewan Daerah Perubahan Iklim dan atau
penamaan lainnya pada level propinsi. Praktis selama ini kegiatan DA
REDD yang dilaksanakan di dua kabupaten, yang lebih banyak “bermain”
adalah Dinas Kehutanan dengan kapasitas sebagai perpanjangan tangan
Kementerian Kehutanan di daerah. Situasi ini didukung oleh keadaan
seperti contoh: Flora and Fauna International (FFI) yang mengusung skema
pasar lebih memfokuskan dirinya ke kabupaten (pendekatan kabupaten)
sehingga pemerintah provinsi tidak memiliki andil yang begitu besar.
Begitu pula kerjasama bilateral Indonesia-Jerman dalam proyek Forest
and Climate Change Programe (ForClime), hampir semua proses yang saat
ini sedang berjalan, hanya berkisar di tataran Dinas Kehutanan Provinsi
dan langsung menuju Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai
tempat pelaksanaan.
153
Bambang Bider (Koordinator HOB), wawancara, 26-03-2010.
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
241
5.2 Kabupaten Kapuas Hulu dan REDD
Kabupaten Kapuas Hulu terletak paling ujung Sungai Kapuas dan
berjarak 600 Km dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Secara
astronomi, kabupaten ini berada pada 0,5° Lintang Utara sampai 1,4 Lintang
Selatan dan 111,40° sampai 114,10° Bujur Timur. Dan secara administratif,
kabupaten ini terbagi atas 24 kecamatan, namun 1 kecamatan pemekaran
Putussibau Selatan yakni Kecamatan Hulu Kapuas masih tarik ulur letak
ibu kota kecamatan, sehingga saat ini jumlahnya hanya 23 kecamatan
(Bappeda Kapuas Hulu 2008).
Tabel 5.1 Luas wilayah dan jumlah kecamatan
Kabupaten Kapuas Hulu
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Kecamatan
Silat Hilir
Silat Hulu
Hulu Gurung
Bunut Hulu
Mentebah
Manday
Kalis
Kedamin/Putussibau Selatan
Embaloh Hilir
Bunut Hilir
Boyan Tanjung
Batu Datuk
Embau
Selimbau
Suhaid
Seberuang
Semitau
Empanang
Puring Kencana
Badau
Batang Lupar
Embaloh Hulu
Putussibau/Putussibau Utara
Luas (km²)
1.777.10
1.061.80
432.90
1.118.14
781.26
1.069.00
1.184.00
5.352.30
1.869.10
844.10
824.00
531.20
422.50
999.24
620.56
573.80
562.70
357.25
448.55
700.00
1.332.90
3.457.60
4.122.00
29.824.00
Persentase
3.94
3.56
1.45
3.75
2.62
3.58
3.97
17.94
6.26
2.83
2.76
1.78
1.42
3.35
2.08
1.92
1.89
1.20
1.50
2.35
4.47
11.59
13.81
100.00
Sumber: (BPS Kabupaten Kapuas Hulu 2008)
Pasca COP 13 di Bali, Indonesia secara khusus memulai proyek
percontohan REDD sebagai mandat dari CoP 13 yang menegaskan bahwa
kerja-kerja pengurangan emisi berbasis skema pengganti Protokol Kyoto
mesti melakukan uji coba atau demonstration activities. Keluarnya Permenhut
P68/2008 tentang Demonstration Activities menjadi penguat legalitas proyek
242
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
ujicoba, termasuk di Kapuas Hulu. Selain aturan secara legal formal tersebut,
Menhut juga merilis secara resmi kegiatan DA di seluruh Indonesia.154
Kegiatan ujicoba REDD di Kapuas Hulu bermula ketika terjadi
kesepakatan bilateral antara Pemerintah Jerman dan Indonesia untuk
melakukan kerjasama pengurangan emisi pasca COP 13 Bali. Sebagai bentuk
komitmen Pemerintah Jerman sebagai negara maju (Annex 1) bersedia
membantu pendanaan guna membiayai kerja-kerja pengurangan emisi yang
tertuang dalam kerjasama Forest and Climate Change Programe (ForClime).
Sebagai lanjutannya, pada tahun 2008, tim feasibility melakukan penjajakan
di Kapuas Hulu dan hasilnya tim merekomendasikan bahwa kabupaten ini
dianggap layak untuk dijadikan lokasi ujicoba dengan berbagai pertimbangan
sebagai berikut:
a) Perluasan perkebunan sawit yang terencana (sekitar 390,000 ha) di areal
hutan dan lahan gambut akan menjadi sumber emisi karbon utama
CO2 dalam waktu dekat.
b) Hanya 3 dari 14 HPH (pemegang izin IUPHHK) yang pada saat ini
dikelola dengan aktif. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, karena
wilayah-wilayah yang dimaksud tidak cukup terlindungi dari penebangan
liar, perambahan, dan pertanian tebang bakar, dan tidak menghasilkan
pemasukan serta lapangan pekerjaan yang paling dibutuhkan oleh
kabupaten.
c) Hutan rawa gambut yang terdegradasi dan kering merupakan
penghasil karbon dioksida yang besar serta rentan terhadap bahaya
kebakaran.155
Kerjasama bilateral Indonesia-Jerman ini berdasarkan keterangan dan
wawancara lapangan dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kapuas
Hulu, dalam pelaksanaannya mencoba menguji skema compliance atau pasar
wajib. Namun hingga saat ini, kegiatan ujicoba di Kapuas Hulu terutama
kerjasama bilateral tersebut masih berkutat pada hal-hal teknis berupa
peningkatan sumber daya manusia terutama staf Dinas Kehutanan.
Pada saat yang bersamaan, pasca COP 13 di Bali, Fauna and Flora
International (FFI) juga melakukan penjajakan di Kapuas Hulu. Setelah
sukses membangun kerjasama dengan Pemerintah Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) dengan menjadikan Ulu Masen sebagai lokasi proyek
ujicoba, FFI hendak menyelenggarakan kerjasama serupa dengan Pemerintah
Kabupaten Kapuas Hulu. Setelah melakukan koordinasi dengan pemerintah
Kabupaten, kini FFI telah mengantongi MoU untuk melakukan kegiatan
proyek ujicoba REDD di Kapuas Hulu.
154
155
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6015 (diakses 15-05-2010).
Dikutip dari presentasi Tim Studi Kelayakan Gabungan Komponen Finansial (FC)/Komponen Teknis (TC)
untuk Program Hutan dan Perubahan Iklim Indonesia-Jerman, dipresentasikan tanggal 19 November 2008
dalam rapat para pihak di Putussibau, Kapuas Hulu.
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
243
1. Fauna and Flora International (FFI)
Organisasi yang terdaftar di Amerika Serikat sebagai sebuah lembaga
non profit ini, mengklaim organisasinya adalah organisasi konservasi
internasional pertama di dunia.156 Organisasi ini eksis dalam isu
keanekaragaman hayati dan saat ini fokus kepada isu-isu lingkungan
terutama isu perubahan iklim. FFI memulai aktivitasnya di Kapuas
Hulu setelah pertemuan pertama dengan Bupati (Tambul Husin) yang
di fasilitasi oleh Y. Jimbau anggota DPRD Kapuas Hulu periode 20042009. Pertemuan tersebut menjadi landasan FFI yang dimotori oleh
Frank Momberg (Asia Director for Programme Development-FFI) waktu
itu, sehingga, terbentuk sebuah Memorandum of Understanding (MoU)
antara Pemda Kapuas Hulu dan FFI terkait proyek ujicoba REDD di
Kapuas Hulu khususnya di lahan gambut di bantaran Danau Sentarum
seluas ±170.000 hektar.157
Secara umum tujuan ujicoba yang diusung FFI adalah menjadikan
“Karbon Hutan Masyarakat Milik Bersama” atau yang lazim disebut
“Community Carbon Pool”. Frank Momberg, menjabarkan konsep
Community Carbon Pool adalah “The project is based on community
rights and developing a benefit mechanism directly for communities
for future REDD credits”,158 artinya proyek tersebut berbasis hak-hak
masyarakat (adat) dengan membangun sebuah mekanisme keuntungan
yang langsung kepada masyarakat ketika REDD dilaksanakan pada 2012
yang akan datang.
Pemilihan lokasi DA yang diprakarsai oleh FFI, melingkupi dua
lokasi yakni; Danau Siawan-Belidak untuk tujuan menjaga (Restorasi)
eks HPH PT Trikaka dan hutan gambut tebal di kawasan Hutan
Produksi Konversi (HPK) eks HPH PT.Trikaka. Restorasi areal HPK
Danau Siawan – Danau Belida dengan luas 45.569 hektar. Cita-cita
proyek ini adalah mengembalikan fungsi produksi (perubahan fungsi
hutan menjadi hutan produksi tetap). Selain itu restorasi ekosistem
bertujuan mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur
non-hayati (tanah dan air) sehingga tercapai keseimbangan hayati
dan ekosistemnya. Hal lain adalah, pemegang izin IUPHHK RE dapat
diberikan Izin Usaha Pengelolaan Jasa Lingkungan (IUPJL) untuk
penyerapan dan penyimpanan karbon dengan tujuan untuk menjamin
pendanaan untuk perlindungan dan pengelolaan hutan gambut jangka
panjang, dan memberikan insentif kepada masyarakat setempat dan
pemerintah daerah.
156
157
158
http://www.fauna-flora.org/thentonow.php.
“Nota Kesepahaman (MoU) Mengenai Hutan Gambut di Kapuas Hulu” antara Pemda Kapuas Hulu, Macquarie
Capital Group Limited dan Fauna and Flora International .Tanggal 22 Agustus 2008 di Putussibau, pasal 2 (dua)
http://fficop15.wordpress.com/2009/12/12/community-carbon-cop15/
244
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Peta 5.1. Lokasi DA FFI (IUPHHK RE) Danau Siawan-Belida
(SK Menhut No 259/2009)
Sumber: Fauna and Flora International (FFI
Lokasi lain yang digunakan untuk area DA REDD di Kapuas Hulu
adalah seputaran Zona Penyangga Taman Nasioal Danau Sentarum.
Tujuan pemilihan lokasi ini adalah untuk mengurangi konversi lahan
gambut oleh sektor perkebunan di Kapuas Hulu terutama di kawasan
Areal Penggunaan Lain (APL). Berdasarkan paparan resmi FFI melalui
berbagai pertemuan sosialisasi, tujuan DA yang dilaksanakan di kawasan
penyangga TNDS antara lain adalah : Melindungi hutan gambut di
Kawasan Budidaya Non Kehutanan (Areal Pengunaan Lain/ APL)
dengan fokus zona penyangga Taman Nasional Danau Sentarum dan
zona penyangga Danau Siawan – Danau Belida. Dan beberapa sektor
lainnya yang menjadi concern proyek DA tersebut adalah pendampingan
perusahaan perkebunan untuk sertifikasi RSPO; identifikasi hutan
dengan nilai konservasi tinggi (HCVF), termasuk gambut, didalam
wilayah IUP dan HGU dan pendampingan kepada Pemda untuk revisi
tata ruang kabupaten berdasarkan pengalihan lahan kritis untuk
perkebunan, areal hutan untuk perlindungan dan produksi.159
Saat ini, FFI yang disokong MACQUARIE Bank (Australia) dan
beberapa NGO lokal semacam Yayasan Kaban, Lanting Borneo, dan
PPSDAK-PK serta Yayasan Titian, terus melaksanakan kegiatan persiapan
DA yang berpusat di Danau Siawan - Belida serta zona penyangga
159
Presentasi FFI yang disampaikan pada Workshop RSPO; HCVF dan REDD, Kapuas Hulu 11- 13 Mei 2009.
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
245
TNDS. Beberapa wilayah yang menjadi pusat kegiatan melingkupi
Desa Nanga Tuan di Kecamatan Embaloh Hilir dan Desa Jelemuk di
Kecamatan Bika.160
2. Kerjasama Indonesia-Jerman (forClime)
Pasca kesepakatan antar pemerintah (negosiasi bilateral) yang
dibangun bulan Oktober 2007 dan diperkuat oleh hasil COP 13 di Bali,
sebagai salah satu negara yang berkomitmen untuk menyalurkan bantuan
finansialnya pemerintah Jerman saat ini telah memulai aktivitasnya
di Indonesia dengan wilayah focus Kalimantan. Kalimantan Barat
sebagai salah satu tujuan yang dijadikan lokasi REDD (demonstration
activities), saat ini menunjuk Kabupaten Kapuas Hulu sebagai lokasi
pilot project tersebut. Dengan pertimbangan, bahwa kabupaten ini sudah
mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Konservasi, dengan dua buah
taman nasional di dalamnya.
Langkah awal kerjasama G to G ini sudah mulai dirasakan
kegiatannya, sejak pertengahan 2008 dengan melakukan berbagai
asesmen. Pada tanggal 8/11/2008, kerjasama Indonesia-Jerman di
Kapuas Hulu mulai dibicarakan dengan serius pada rapat para pihak di
Putussibau. Rapat yang mempertemukan para pihak seperti Departemen
Kehutanan, Pemda Kapuas Hulu, dan Pemerintah Jerman dan konsultan
(OBF, AHT Group AG) tersebut membahas beberapa temuan studi
kelayakan yang dilakukan sebelumnya di Kapuas Hulu. Studi kelayakan
yang dihasilkan oleh kerjasama ini, memuat beberapa kesimpulan
kegiatan apa saja yang dianjurkan untuk dilakukan di Kapuas Hulu
dalam rangka kegiatan kerjasama tersebut161 :
1. Membantu kesiapan di Dinas Kehutanan kabupaten (Reference
Emission Level, pemantauan karbon).
2. Membantu Bappeda dalam revisi rencana tata ruang kabupaten dan
jika memungkinkan, pengembangan rencana tata ruang partisipatif
di tingkat kecamatan (untuk Embaloh Hilir dan Embaloh Hulu).
3. Membantu Pokja REDD di Kapuas Hulu.
4. Membantu kegiatan-kegiatan percontohan yang terpilih.
Atas kesimpulan dan rekomendasi studi kelayakan tersebut, Kapuas
Hulu dinyatakan sebagai salah satu area pelaksanan proyek percontohan
REDD. Proyek kerjasama yang sedang berlangsung di Kapuas Hulu adalah
proyek yang termasuk dalam proyek besar bernama Forest and Climate
Change Programme (forClime). Proyek yang sektor keuangannya dikelola
oleh KfW (Bank Jerman) ini pada sisi-sisi teknis lainnya dibantu oleh
berbagai organisasi lain seperti GTZ, CIM, DED dan InWENT.
160
161
Soal Desa Jelemuk ini dijelaskan lebih lanjut di bab 6.2 buku ini.
Kesimpulan tersebut disampaikan dalam Rapat Para Pihak, tanggal 11/11/2008 di Kabupaten Kapuas Hulu,
Putussibau.
246
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Kegiatan yang sedang berlangsung saat ini di Kapuas Hulu, lebih
difokuskan pada penyiapan kemampuan-kemampuan teknis terkait
Geographycal Information Sytem (GIS) dan Community Forestry
(Perhutanan Masyarakat). Untuk itu Pemerintah Jerman menempatkan
dua orang tenaga ahli dari Deutscher Entwicklungsdienst /The German
Development Service (DED) dan berkantor di Dinas Kehutanan Kapuas
Hulu. Seperti yang telah disinggung di atas tujuan utama kehadiran
DED di Kapuas Hulu, khusus memberikan peningkatan kapasitas pada
instansi terkait (Dinas Kehutanan, Bapeda dll) terkait spatial information
technologies, khususnya remote sensing methodologies. Beberapa release
dan publikasi kegiatan DED selalu menjelaskan prioritas dan kegiatan apa
saja yang berlangsung di Kapuas Hulu, salah satunya seperti berikut:
…One of the major activities of the DED in the Climate Change and Forestry
program is to support preparedness for REDD in West-Kalimantan. This
includes measures in Community Forestry Management and GIS/Remote
Sensing. The activities aim at empowering the District Forestry Services
to implement REDD measures and projects. For this aim DED supports
the provincial Forestry Service in setting up a GIS Service Centre that will
train and support employees of district forestry services in regard to forest
monitoring, carbon accounting and land-use planning. These activities are
carried out in close cooperation with the Forestry Service of Kapuas Hulu.
Kapuas Hulu acts as a pilot district for REDD preparedness – trainings
are carried out and evaluated, pilot areas are identified and data about
these pilot areas is collected.162
GTZ yang bertugas untuk sisi teknis legal formal, seperti menyusun
kelembagaan pelaksanaan REDD, saat ini kegiatannya praktis pada
tataran sosialisasi dan memfasilitasi terbentuknya Kelompok Kerja
(pokja) Perubahan Iklim di Kapuas Hulu, namun hingga kini inisiatif
mengenai Pokja tersebut masih terbengkalai. Pertengahan 2009, lembaga
ini memfasilitasi kunjungan studi banding untuk beberapa person yang
akan mengurusi Pokja REDD ke Kaltim, guna melihat kerja-kerja serupa
yang dilakukan oleh GTZ di Malinau dan beberapa wilayah lainnya di
Kalimantan Timur.
(a) Kerangka Hukum REDD di Kabupaten Kapuas Hulu
(i) MOU Kabupaten Kapuas Hulu dan FFI
Kabupaten yang berada di hulu Sungai Kapuas dan berbatasan
langsung dengan Sarawak Malaysia ini, sudah cukup lama bersentuhan
dengan isu perubahan iklim. Sejak tahun 2003, kabupaten ini
menyatakan bahwa Kapuas Hulu menjadi Kabupaten Konservasi. Ide
dasarnya mengacu bukan hanya semata kepada konservasi semata namun
berorientasi ke hasil perundingan perubahan iklim CoP ke 3 Tahun
162
http://gisdevelopment.net/technology/rs/ma09_Lupp.htm.
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
247
1997 yang menelurkan Protokol Kyoto. Dalam berbagai pertimbangan
dan ide dasarnya seperti yang tertuang dalam SK Bupati Kapuas Hulu
144/2003 dan dipertajam oleh buku yang ditulis oleh Bupati Kapuas
Hulu berjudul Kabupaten Konservasi, di mana pembentukan Kabupaten
Konservasi bermuara kepada peluang untuk mengakses pendanaan
dari luar negeri (kompensasi) sebagai basis pembiayaan pembangunan,
peluang tersebut dapat bersumber dari : Global Environment Facilities/
GEF, Debt for Nature Swap, NGO internasional (Abang Tambul Husin,
2005). Semangat itu pula yang melatarbelakangi munculnya gagasan
Kabupaten Konservasi walaupun sempat mengalami pasang-surut dalam
pemberlakuannya, namun gagasan menjadi Kabupaten Konservasi
masih melekat erat.
Sejak CoP ke 13 berakhir dan meretas jalan pemberlakukan REDD
serta menghasilkan kesepakatan Bali Road Map dan Bali Action Plan,
Kabupaten Kapuas Hulu semakin menarik perhatian pengembang
REDD. Tidak heran, jika beberapa waktu setelah 2007 berakhir aktifitas
survey dan pejajakan lokasi ujicoba REDD terus datang ke Kapuas Hulu.
Dan akhirnya kabupaten ini menjadi lokasi ujicoba REDD oleh dua
pemrakarsa REDD yaitu FFI dan kerjasama bilateral Indonesia-Jerman.
Masuknya kegiatan ujicoba tersebut tentunya membawa implikasi kepada
bagaimana respons dan kesiapan Kabupaten Kapuas Hulu menghadapi
kegiatan tersebut. Saat ini dua kegiatan ujicoba REDD yang berlangsung,
hanya FFI yang intens melakukan kegiatannya mulai dari survey-survey
hingga pertemuan dengan komunitas di berbagai lokasi. Berdasarkan
release FFI-Kapuas Hulu setidaknya ada sekitar 15 kegiatan survey dan
assessment yang telah dilakukan sejak Maret-Desember 2009; kegiatan
ini belum ditambah dengan berbagai kegiatan sosialisasi, training
dan pertemuan di tingkat kecamatan yang dilakukan FFI sehubungan
dengan rencana pemberlakukan ujicoba REDD di Kapuas Hulu (Fauna
and Flora International, Program Kapuas Hulu, 2009).
Untuk menaungi kegiatan FFI di Kapuas Hulu, Pemda Kapuas
Hulu telah menandatangani sebuah nota kesepahaman/MoU mengenai
kegiatan ujicoba REDD di lahan Gambut di Kabupaten Kapuas Hulu.
MoU tersebut ditanda tangani pada tanggal 22 Agustus 2008, bertindak
sebagai pihak pertama dalam MoU ini adalah: Drs. Abang Tambul
Husin (Bupati Kapuas Hulu), Pihak kedua : Oliver Yates (Dir Eksekutif
Macquarie Capital Group Limited-Australia) dan pihak ketiga : Frank
Momberg (Dir.Pengembangan Program Asia-FFI). Latar belakang MoU
ini adalah kesepahaman para pihak atas fakta bahwa hutan dapat
memberikan keuntungan nyata bagi masyarakat lokal dan lingkungan
global, dan bahwa pendapatan daerah dapat diperoleh melaui upayaupaya penyelamatan hutan dan menurunkan pelepasan emisi karbon ke
248
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
atmosfir. Selain itu, Macquarie Capital Group Limited dan Fauna and
Flora International (FFI) telah menanda-tangani kesepakatan untuk
mengembangkan proyek-proyek yang dapat menurunkan emisi karbon
melalui “pencegahan deforestasi dan degradasi hutan” (REDD). Berbagai
proyek tersebut akan memanfaatkan mekanisme pendanaan karbon
demi kelangsungan upaya perlindungan hutan, pelestarian lingkungan
dan keanekaragaman hayati, serta menyediakan keuntungan ekonomi
bagi masyarakat lokal.
Nota kesepahaman ini dimaksudkan guna memberikan sebuah
kerangka kerja pengembangan proyek REDD dan mekanisme kerjasama
antar para pihak. Dari MoU ini hal penting yang akan dihasilkan adalah
sebuah dokumen rancangan proyek yang disepakati secara bersama
dengan nilai komersial yang layak. Artinya MoU ini akan memberi
landasan bagi kerjasama yang lebih baik antar para pihak selanjutnya,
oleh sebab itu nota kesepahaman ini akan menghasilkan sebuah
dokumen rancangan proyek.
MoU ini pada pasal 2 (dua) secara spesifik berbicara mengenai
Proyek REDD yang akan dilaksanakan di sekitar Danau Sentarum dengan
luas kurang lebih 170.000 hektar, mencakup areal hutan gambut dalam
bantaran Danau Sentarum dan akan melindungi gambut di DAS Hulu
Kapuas. Berbasis nota kesepahaman ini, ada beberapa proyek yang
akan diusulkan yakni:
• Menurunkan deforestasi sehingga menghindarkan pelepasan karbon
dari hutan gambut ke atmosfir
• Menghasilkan “karbon kredit” yang akan diakui secara international
dan memiliki kelayakan komersial dari proyek termaksud dalam
tatanan mekanisme perdagangan karbon internasional, sehingga
menyediakan aliran pendapatan kepada para pihak;
• Melindungi keanekaragaman hayati di wilayah kerja proyek yang
diusulkan, termasuk pelestarian populasi Orang Utan secara
nyata
• Menyediakan dana operasional untuk meningkatkan upaya-upaya
penegakan hukum dalam perlindungan hutan;
• Mengembangkan mekanisme pembagian keuntungan yang layak
di antara para pemangku kepentingan, khususnya Pemda dan
masyarakat lokal demi mencapai pembangunan masyarakat
berkelanjutan
Dalam MoU ini, terutama pasal 3 (tiga) dibicarakan pula mengenai
tanggung jawab para pihak. Pihak pertama (Pemda Kapuas Hulu) dalam
MoU ini akan menyediakan dukungan dan bantuan teknis kepada
Macquarie dan FFI mengembangkan proyek. Kewajiban lain adalah
melaksanakan perlindungan terhadap hutan di lokasi proyek dan yang
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
249
terakhir adalah menyediakan surat dukungan atas usulan pilot project
REDD kepada Menteri Kehutanan, serta bantuan yang diperlukan dalam
proses penataan ulang wilayah hutan di lokasi proyek yang diusulkan.
Pihak kedua (Macquarie Capital) akan bertanggung jawab dalam
pelayanan finansial dan secara ekslusif akan bertindak sebagai penjual
hasil proyek (termasuk penjualan kredit karbon). Sedangkan pihak ketiga
(FFI) akan bertanggung jawab dalam pengelolaan proyek konservasi,
termasuk penilaian dan pemantauan proyek, serta pengembangan
kerjasama dengan masyarakat lokal sebagai ujung tombak pemangkukepentingan serta mitra-mitra lain yang diperlukan.
Pasal 4 (empat) nota kesepahaman ini menjelaskan kewajiban
para pihak dan hak-hak khusus yang harus dilaksanakan dalam
phase awal proyek ini. Para pihak sepakat untuk bekerjasama untuk
mengembangkan sebuah Dokumen Rancangan Proyek (Project Design
Document/ PDD) yang memberikan penjelasan rinci mengenai usulan
proyek yang termaktub dalam MoU ini. para pihak sepakat untuk
bekerjasama namun dengan kewajiban khusus yang berkaitan dengan
pengembangan PDD. Dengan kata lain, MoU ini hanya memberi kerangka
dasar untuk kerjasama yang lebih detil yang tertuang dalam PDD dan
akan dikembangkan secara bersama oleh para pihak, tentunya dengan
kewajiban-kewajiban khusus. Dalam pasal 5 (lima) menjelaskan bahwa,
perjanjian atau MoU ini berlaku sejak ditanda-tangani (22/8/2008)
dan akan berakhir jika digantikan oleh sebuah kontrak kerjasama yang
sah secara hukum dan berkaitan dengan PDD yang rinci. Selain itu,
MoU ini akan berakhir jika para pihak sepakat untuk mengakhiri MoU
ini melalui perundingan atas usulan salah satu pihak. Perundingan
setidaknya dilakukan maksimal setelah 30 hari setelah tanggal usulan
dari salah satu pihak atau minimal dalam jangka waktu 18 bulan dari
penandatanganan MoU ini.
Mou yang dibuat dalam dua bahasa ini (Inggris dan Indonesia),
merupakan langkah kebijakan yang diambil untuk memberi ruang bagi
pelaksanaan REDD di Kapuas Hulu. Walaupun secara proses pembuatan
MoU ini tidak partisipatif dalam hal pelibatan para pihak, termasuk
dalam soal klausul yang ada di dalam MoU dan terkesan kejar setoran,
namun MoU ini menjadi penanda bahwa program ujicoba REDD mulai
dilakukan di Kapuas Hulu.163
Tetapi, walaupun sudah menanda-tangani MoU dengan FFI dan
Maquarie, daya dukung pemda terhadap proyek ini terbilang rendah.
Sejak ditanda-tangani dan bersepakat untuk bekerjasama untuk
menghasilkan sebuah dokumen bernama PDD, tidak terlihat dengan
163
Drs.Alexander Rombonang MM (staff ahli Bupati Kapuas Hulu bidang Konservasi dan kawasan Perbatasan),
wawancara, 17-03-2010.
250
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
jelas hal apa saja yang dilakukan Pemda selaku pihak pertama dalam
menunjang kegiatan ujicoba REDD terutama di tataran teknis. Padahal
dalam MoU bahwa Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu memiliki
tanggung jawab sebagai berikut:
• Menyediakan dukungan dan bantuan teknis kepada Macquarie dan
FFI dalam mengembangkan Proyek;
• Melaksanakan Perlindungan terhadap hutan di lokasi proyek, dengan
dukungan dan bantuan teknis dari FFI, termasuk usulan moratorium
konversi hutan dan pencegahan pembalakan liar di wilayah lokasi
proyek termaksud;
• Menyediakan sebuah surat dukungan atas usulan Pilot Proyek REDD
kepada Menteri Kehutanan sebagaimana terlampir dalam dokumen
Lampiran 1, serta bantuan yang diperlukan dalam proses penataanulang wilayah di lokasi proyek yang diusulkan;
Indikasi lain terlihat dari tidak lagi intensnya komunikasi antara
FFI dan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu sehingga posisi mereka
merenggang, dan akibatnya kegiatan koordinasi dan penajaman visi
bersama soal proyek menjadi tidak terpelihara dengan baik.164 Beberapa
alasan muncul adalah, karena Pemda merasa bahwa belum ada kejelasan
mekanisme pelaksanaan proyek dan telah terjadi perpindahan lokasi
proyek dari Danau Sentarum sesuai MoU, ke Danau Siawan-Belida
oleh FFI, sehingga perlu adanya konsolidasi lanjutan terkait lokasi
baru tersebut.
Dari situasi yang berkembang terkini, praktis FFI bergerak sendiri
untuk mengkonsolidasikan kegiatan di lokasi barunya, yakni SiawanBelida. Sejak memfokuskan kegiatan pada lokasi Siawan-Belida, FFI
memusatkan kegiatannya di Desa Nanga Tuan, Kecamatan Bunut
Hilir.
Dari pantauan di lokasi ternyata tidak banyak pihak yang paham
mengenai apa yang dilakukan oleh FFI di Nanga Tuan.165 Beberapa
kunjungan dan survey yang dilakukan oleh FFI hanya pemberitahuan
dan langsung menuju lokasi kegiatan di danau. Terlepas dari kerumitan
pola kerjasama dan belum jelasnya proyek ujicoba REDD bertajuk
Community Carbon Pool oleh FFI, terlihat ada ketidaksiapan Pemda
Kapuas Hulu dalam menjalankan kegiatan kerjasama tersebut.
Dua hal bisa dicatat sebagai penyebabnya: pertama, berhubungan
dengan riuh rendahnya negosiasi skema penanggulangan dampak
perubahan iklim dan masuknya kegiatan ujicoba REDD, muncul ekspektasi
yang menggebu-gebu di benak para penyelenggara pemerintahan daerah,
bahwa kegiatan konservasi menjaga hutan sekaligus menjual karbon
164
165
Eko Darmawan (Koordinator FFI Kapuas Hulu), wawancara, 18-03-2010.
Kepala Desa Nanga Tuan, wawancara, 27-5-2010.
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
251
dapat memberikan limpahan uang, guna mendukung pembangunan
di Kalimantan Barat dan khususnya di Kapuas Hulu. Namun, setelah
ada sedikit titik terang bagaimana skema REDD calon pengganti
Kyoto Protocol yang menitik beratkan pada aspek performance based
yang artinya mekanisme pemberian kompensasi kepada pengembang
hanya akan diberikan jika yang bersangkutan sanggup membuktikan
bahwa mereka telah mampu menurunkan emisi di lokasi proyeknya,
hal tersebut membuat Pemda seperti tidak bersemangat. Karena dalam
dugaan mereka selama ini, mekanisme pembayaran yang dibayangkan
adalah Pemda menyediakan hutan yang memiliki stok karbon banyak
lalu diukur, dihitung lalu dijual dan langsung terima uangnya. Akibat
hasil perundingan yang menyepakati mekanisme berbasis performance
based, artinya harus menunggu sekian lama, memunculkan kekecewaan
terhadap mekanisme kompensasi dalam REDD.
Kedua, kebijakan benefit sharing yang tidak memadai untuk Pemda.
Hal tersebut karena FFI yang hendak melakukan kegiatan ujicoba REDD
di Danau Siawan-Belida memakai izin bernama Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu - Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Jika mekanisme
IUPHHK-RE yang dipakai, maka sesuai dengan Permenhut P36/2009,
bagian Pemerintah hanya 20% dibandingkan dengan Pengembang
yang 60%, 20% sisanya dibagikan kepada masyarakat. Melihat angka
pembagian yang sangat kecil tersebut, ada ide agar 20% milik masyarakat
sebaiknya diserahkan ke pemerintah daerah karena nantinya uang itu
akan dikembalikan ke masyarakat melalui anggaran pembangunan di
APBD. Terlebih lagi bagian 20% milik pemerintah akan dibagi lagi secara
proporsional sebagai berikut pusat 40%, provinsi 20% dan kabupaten
(40%).
Pembagian itu jelas dipandang tidak adil oleh kalangan Pemerintah
Kabupaten Kapuas Hulu. Kabupaten Kapuas Hulu telah ‘mengorbankan’
56,21% dari total wilayahnya sebagai kawasan konservasi dan penyerap
emisi berbahaya, sudah selayaknya usaha ini diberi apresiasi.166 Bupati
Kapuas Hulu bahkan kerap kali mengutarakan mengenai pola bagi
hasil ini ketika pertemuan-pertemuan berkaitan dengan kerja-kerja
perubahan iklim, namun FFI dan pengembang lain tidak begitu serius
menanggapi. Akhirnya, kegerahan itu muncul ketika Bupati Kapuas
Hulu menolak membuka sebuah workshop REDD yang digagas oleh
salah satu pengembang REDD di Putussibau, karena beranggapan bahwa
kegiatan ujicoba REDD belum jelas kompensasi terhadap PAD.167
Selain itu, kebijakan REDD yang tengah dilaksanakan saat ini belum
menemukan keserasian dalam hal mekanisme benefit sharing. Ketika
166
167
Drs.Alexander Rombonang MM (staff ahli Bupati Kapuas Hulu bidang Konservasi dan kawasan Perbatasan),
wawancara, 17-03-2010.
Harian Berkat, kamis, 29 Oktober 2009.
252
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
menggagas konsep Kabupaten Konservasi 2003 yang lalu, ada keinginan
Pemda agar uang hasil jasa lingkungan perdagangan karbon diserahkan
dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Konservasi, ataupun
Dana Alokasi Umum (DAU) sehingga Kabupaten Kapuas Hulu dapat
memaksimalkan dana hasil penjualan tersebut untuk pembangunan
(Tambul Husin, 2005:57) Akan tetapi hingga saat ini, perkembangan
kebijakan pusat terkait benefit sharing belum mengakomodasi usulan
tersebut.
(ii) Kebijakan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten
Konservasi
Selain MoU kerjasama mengenai hutan gambut yang pada
gilirannya menjadi dasar kerjasama pelaksanaan REDD, ada kebijakan
lain sebelumnya yang dilakukan oleh Pemda Kapuas Hulu terkait isu
Perubahan Iklim. Kebijakan itu adalah menjadikan Kabupaten Kapuas
Hulu sebagai Kabupaten Konservasi.
Konsep Kabupaten Konservasi ini dimunculkan sebagai respons atas
hasil perundingan perubahan iklim di Kyoto, yang memunculkan skema
Clean Development Mechanism (CDM) dan memungkinkan adanya
perdagangan emisi antar negara. Selanjutnya, Kabupaten Kapuas Hulu
kemudian mengeluarkan SK Bupati 144/2003 yang menetapkan Kapuas
Hulu sebagai Kabupaten Konservasi dan untuk menjalankan konsep ini,
Pemda membentuk Pokja Kabupaten Konservasi yang bertugas untuk
mengawal perjalanan konsep ini.
Banyak pihak bertanya-tanya apa gerangan yang dalam benak
para deklarator sekaligus konseptor Kabupaten Konservasi. Dengan
luas wilayah 29.824 km2 (20,33% luas dari Provinsi Kalimantan Barat)
adalah aset yang berharga dimanfaatkan untuk pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu. Menurut pihakpihak yang selama ini mengandalkan hutan sebagai sumber uang,
menjadikan sumber daya hutan yang tersedia sedemikian luas, hanya
untuk kawasan konservasi kurang tepat, karena persoalan besar berupa
belum meratanya pembangunan dan kemiskinan belum beranjak dari
kehidupan masyarakat. Semestinya hutan dapat memberikan jalan
keluar dari segala permasalahan tersebut. Namun ide untuk menjadikan
Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi semakin menguat ketika
disadari bahwa, eksploitasi hutan secara konvensional selama ini,
dengan membabat hutan ternyata tidak jua menghasilkan kesejahteraan
bagi masyarakat, terutama masyarakat yang ada di dalam dan sekitar
hutan.
Inisiatif Kabupaten Konservasi sebetulnya adalah amanat workshop
internasional tentang konservasi yang melibatkan mahasiswa dan
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
253
peneliti dari berbagai negara di kecamatan Embaloh Hulu 2002. Dan
pada tahun 2003, amanat tersebut diwujudkan dengan keluarnya Surat
Keputusan Bupati nomor 144/2003 tentang Penetapan Kabupaten
Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi (selanjutnya SK Bupati
144/2003). Secara substansi, Kabupaten Konservasi membatasi posisi
kabupaten yang tata wilayahnya memiliki kawasan konservasi dengan
luas (magnitude) dan tingkat kepentingan (importance) yang signifikan
secara global, nasional atau regional. Tujuan operasional Kabupaten
Konservasi adalah wilayah administratif yang mempunyai komitmen
politik untuk menjalankan pelaksanaan pembangunan berlandaskan
pemanfaatan berkelanjutan, perlindungan sistem penyangga kehidupan
dan pengawetan keanekaragaman hayati (Abang Tambul Husein, 2005).
Pada 22 Juni tahun 2004, pasca penetapan melalui SK Bupati
144/2003, bertempat di Kecamatan Lanjak dilaksanakan kegiatan
Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi.
Deklarasi ini tak akan berlangsung sedemikian rupa tanpa dukungan
dari berbagai pihak, berdasarkan penelusuran dokumen berbagai
kegiatan telah ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu guna
membentuk Kabupaten Konservasi. Dukungan dan kegiatan tersebut
menjadi landasan kuat pembentukan kabupaten ini menjadi Kabupaten
Konservasi, antara lain berupa:
1. Pernyataan dukungan tertulis dari 122 Kepala Desa di wilayah
Kabupaten Kapuas Hulu.
2. Menerbitkan SK Bupati Kapuas Hulu 144/2004 tentang Kabupaten
Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. SK ini dilengkapi
dengan rekomendasi DPRD Kapuas Hulu.
3. Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi
oleh Gubernur Kalimantan Barat (Usman Ja’far) pada hari lingkungan
hidup se-dunia di Lanjak Kecamatan Batang Lupar
4. Menyelenggarakan pertemuan di Hotel Crown Jakarta, untuk
mensosialisasikan wacana Kabupaten Konservasi bekerjasama
dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan dihadiri oleh 30 bupati
se-Indonesia.
5. Dialog di MetroTV dan TVRI soal kampanye dan sosialisasi
Kabupaten Konservasi
6. Lokakarya internasional “Kapuas Hulu menuju Kabupaten
Konservasi”
7. Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Kabupaten Konservasi di
Kapuas Hulu dan Pusat
8. Pembentukan Pokja Penanggulangan Pembalakan Haram.168
168
Drs.Alexander Rombonang MM (Staff Ahli Bupati Kapuas Hulu bidang Konservasi dan kawasan Perbatasan),
wawancara, 17-03-2010.
254
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Berdasarkan prinsip pembangunan berlanjutan dan aspek-aspek
konservasi yang menaunginya, maka tujuan Kabupaten Konservasi dibagi
dua, yaitu tujuan dengan skala makro dan tujuan dengan skala mikro:
1. Membangun suatu model pembangunan wilayah yang memadukan
antara konservasi alam dan kegiatan pembangunan (Integrated
Conservation and Development Project/ICDP).
2. Meningkatkan tanggung jawab dan peranan masyarakat dalam usaha
perlindungan dan konservasi alam melalui pengelolaan hutan yang
berbasis kemasyarakatan (Community-based Conservation/CBC).
3. Melalui penerapan ICDP dan CBC sebagai pendekatan pembangunan,
diharapkan terjadinya keseimbangan antara pemanfaatan dan
usaha perlindungan terhadap sumber daya alam, sehingga terwujud
pembangunan berkelanjutan yang pada akhirnya menjamin
terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarkat secara berkelanjutan
pula (sustainable livelihoods).
4. Mencegah dan atau menghentikan kegiatan ekstraksi atau
eksploitasi sumber daya alam hutan secara illegal (illegal cutting)
yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lingkungan
(deforestation dan forest degradation).
5. Meningkatkan hubungan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten
Kapuas Hulu dengan dunia internasional dalam rangka pengelolaan
hutan serta habitatnya, melalui suatu mekanisme yang dikenal
dengan Clean Development Mechanism-CDM.
6. Tersedianya dukungan dana dalam penyelenggaraan pembangunan
sebagai kompensasi atas kesediaan Kabupaten Kapuas Hulu
melakukan kegiatan konservasi alam yang bermanfaat bagi seluruh
mahluk yang ada di muka bumi ini.
Tujuan dengan skala mikro adalah :
1. Memantapkan fungsi kawasan konservasi sekaligus mengamankannya
dari berbagai aktivitas illegal.
2. Menciptakan peluang/kesempatan ekonomi bagi daerah untuk
mengembangkan kemampuannya mengelola sumber daya alam yang
dimiliki secara kreatif dan inovatif guna meningkatkan pendapatan
daerah serta kesejahteraan masyarakat.
3. Meningkatkan nilai tambah terhadap produk-produk hasil hutan
sebagai bahan baku industri di seluruh wilayah Kabupaten Kapuas
Hulu.
4. Membangun sistem ekonomi rakyat yang berbasis pengelolaan
hasil-hasil non kayu.
5. Meningkatkan peran masyarakat dalam perlindungan, pelestarian
dan pengawasan sumber daya alam (hutan dan keanekaragaman
hayati) (Abang Tambul Husin, 2005)
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
255
Jika merujuk pada nilai serta maksud dan tujuan pembentukan
Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi, ada korelasi
langsung konsep ini dengan REDD sebagai sasaran utama penelitian ini.
Walau sebenarnya kelahiran konsep Kabupaten Konservasi mendahului
lahirnya REDD namun ada perkembangan yang menciptakan situasi
pemungkin (enabling condition) bagi konsep Kabupaten Konservasi
untuk kembali dibangkitkan.
Poin pentingnya adalah, konsep “Kabupaten Konservasi” yang
dikembangkan Kabupaten Kapuas Hulu perlu dihargai, oleh sebab itu
perlu ada insentif positif bagi penyelamatan hutan yang dilakukan
oleh para pihak yang secara serius dan terus menerus. Dari fakta yang
tersedia, Kabupaten Kapuas Hulu telah melakukan hal tersebut, dengan
menyediakan 56,21% wilayahnya sebagai kawasan konservasi. Memeriksa
lebih jauh hubungan konsep Kabupaten Konservasi ini dengan
inisatif REDD, kita akan menemukan bahwa ide dasarnya berangkat
dari Protokol Kyoto yang disahkan pada tahun 1997. Di beberapa
bagiannya mensyaratkan perlu ada usaha pengurangan emisi melalui
Clean Mechanism Development (CDM) yang dalam praktiknya turut
memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang memelihara
hutan. Jadi, walaupun secara konseptual inisiatif Kabupaten Konservasi
ini tidak berkaitan dengan REDD, namun secara kontekstual keduanya
memiliki visi dan misi yang sama yakni mengurangi emisi dengan
menyelamatkan hutan.
Berdasarkan wawancara dengan Alexander Rombonang MM, staf
ahli Konservasi Kapuas Hulu sekaligus otak terbentuknya Kabupaten
Konservasi, pada lampiran SK Bupati Kapuas Hulu 144/2004 disebutkan
bahwa salah satu dasar pemikiran Kabupaten Konservasi adalah
karena dari luasnya yang 29.842 km2, 56,21%-nya merupakan kawasan
lindung atau kawasan konservasi. Oleh sebab itu, Kapuas Hulu layak
mendapatkan kompensasi atas usahanya menjaga hutan tetap lestari. Hal
tersebut ditegaskannya sehubungan dengan dipilihnya Kabupaten Kapuas
Hulu sebagai salah satu lokasi ujicoba REDD. Karena menurutnya,
Kabupaten Konservasi selama ini bertujuan untuk menjaga kelestarian
hutan dan tidak mengeluarkan izin-izin atau memberi ruang eksploitasi
di kawasan tersebut. Selanjutnya, atas usaha tersebut Pemerintah Kapuas
Hulu mengharapkan perhatian Pemerintah dan dunia internasional atas
inisiatif yang dilakukan, dengan memberikan kompensasi secara layak
demi kelangsungan pembangunan dan keselamatan bumi tentunya.
256
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Tabel 5.2. Kawasan konservasi Kapuas Hulu
No
1
2
3
4
5
Kawasan
TN Betung Kerihun
TN Danau Sentarum
HL. Danau Empangau
Daerah Resapan Air
Lahan Gambut
Total
Luas (hektar)
800.000
132.000
628.973
49.546
67.082
1.677.601 (56,21%)
Sumber: Dinas Kehutanan Kapuas Hulu (2008)
Kebijakan tentang Kabupaten Konservasi hingga saat ini terus
mengalami pasang surut, perkembangan terbaru menyiratkan bahwa
sampai saat ini rencana induk Kabupaten Konservasi belum terintegrasi
maksimal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Kapuas Hulu.
Selain kebijakan langsung yang berkaitan dengan REDD, Kapuas
Hulu juga memiliki beberapa kegiatan yang berkaitan langsung dengan
kegiatan konservasi yakni menjadi bagian dari program Heart of Borneo
(HoB). Program yang diinisiasi oleh WWF ini melibatkan tiga negara
yang berbatasan langsung di Pulau Borneo yaitu Indonesia, Malaysia
dan Brunei Darussalam. Kawasan yang dilindungi oleh inisiatif ini
adalah kawasan-kawasan penting yang memiliki nilai konservasi tinggi.
Di Kalimantan Barat setidaknya ada 3 kabupaten yang terkena lokasi
yaitu Kabupaten Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Di Kapuas Hulu
saat ini, inisiatif HoB telah memiliki Pokja yang aktifitasnya dibiayai
oleh APBD Kapuas Hulu.
(b) Kelembagaan REDD di Kabupaten Kapuas Hulu
Selain kebijakan atau aturan hukum yang dibentuk oleh Kapuas Hulu
baik atas inisiatif daerah ataupun penerjemahan kebijakan di atasnya, penting
untuk melihat sisi kelembagaan apa saja yang telah dan akan dibentuk oleh
Kapuas Hulu berkaitan dengan REDD. Dari hasil penelitian yang dilakukan
selama 3 bulan di Kapuas Hulu, belum terdapat satu institusi baru yang
secara khusus dibentuk guna menghadapi program ujicoba REDD.
Untuk saat ini semua kegiatan yang berbasis isu hutan termasuk
REDD masih memakai institusi konvensional di bidang kehutanan yaitu
Dinas Kehutanan Kapuas Hulu. Dinas memfasilitasi berbagai kegiatan dua
pengembang yang ada saat ini, berupa penentuan lokasi dan membantu hal
teknis lain seperti sosialisasi dan sisi administrasi. Dinas Kehutanan sebagai
instansi resmi mengurusi isu hutan, saat ini menjadi tempat koordinasi
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
257
satu-satunya tentang proyek REDD. Instansi lain yang sebenarnya memiliki
perhatian dan keterlibatan dalam isu ini semisal Bappeda atau kantor
Lingkungan Hidup dinamikanya tidak seaktif Dinas Kehutanan.
Hingga saat ini belum ada kelembagaan yang secara khusus dibentuk
untuk mengurusi isu REDD di Kapuas Hulu.169 Namun rencana untuk
membentuk sebuah kelompok kerja sudah sering didiskusikan oleh para
pihak yang terkait isu ini, seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan,
Bappeda dan Sekretariat daerah, bahwa ada keperluan untuk membentuk
Pokja perubahan iklim. Hingga bulan Mei 2010 ketika diadakan Focus Group
Discussion “Refleksi kerja-kerja perubahan di Kapuas Hulu” yang sekaligus
adalah presentasi dan klarifikasi temuan penelitian ini menemukan bahwa
draft SK Bupati tentang Pokja sudah memasuki draft final dan segera akan
disahkan. 170
(i) Masalah dalam kelembagaan
Isu perubahan iklim adalah isu yang baru dan rumit. Keruwetan
dalam menghadapi isu iklim ternyata tidak hanya melanda Kapuas
Hulu, melainkan menyapu bersih semua lapisan di negara ini. Isu iklim
hanya ‘dimainkan’ oleh segelintir kelompok namun berpengaruh kepada
semua mahluk yang ada di muka bumi.
Pertama, soal kurangnya kapasitas. Dalam menghadapi situasi seperti
disebut dalam paragraf di atas itu, peran negara sebagai fasilitator dan
penyedia informasi bagi warganya tak kunjung maksimal terlihat. Soal
kurangnya kapasitas, baik di Pemda Kapuas Hulu maupun di lembaga
yang jadi “leading sector ”-nya, Dishut Kapuas Hulu, memang persoalan
pelik. Ambil contoh, dari berbagai diskusi, pengamatan lapangan dan
wawancara yang dilakukan dengan berbagai pihak terlihat bahwa isu
perubahan iklim adalah sesuatu yang tidak dimengerti oleh masyarakat,
namun tidak sama sekali terlihat peran Pemda guna memberikan
pemahaman dan pencerahan kepada masyarakat. Tanggung jawab
penyebaran informasi oleh negara yang dalam hal ini diwakili oleh
Pemda Kapuas Hulu, lebih banyak diambil alih oleh Ornop lingkungan
dan gerakan sosial baik melalui training, sosialisasi, buletin maupun
pertemuan kampung untuk membahas dampak perubahan iklim dan
isu di dalamnya termasuk REDD.
Kedua, persoalan lainnya adalah memusatnya informasi hanya di
beberapa kalangan tertentu di Kapuas Hulu. Dari diskusi yang dilakukan
di Kapuas Hulu, terlihat bahwa isu REDD dan terutama proyek kerjasama
169
170
Drs.Alexander Rombonang MM (Staff Ahli Bupati Kapuas Hulu bidang Konservasi dan kawasan Perbatasan),
wawancara, 17-02-2010.
Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Merpati Indah, Putussibau. melibatkan 15 orang peserta dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, Kantor Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,
dan Staff Ahli bidang Konservasi dan Kawasan Perbatasan serta organisasi non pemerintah seperti :
LBBT,WWF,AMAN dan pengembang REDD di Kapuas Hulu : FFI dan DED.
258
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
perubahan iklim di Kapuas Hulu ternyata hanya dipahami segelintir
aparat dan eksklusif ada di Dinas Kehutanan. Oleh sebab itu, wajar saja
jika terjadi kekalutan institusi menghadapi isu perubahan iklim karena
mereka, secara struktural, tidak dibekali informasi mengenai perubahan
iklim khususnya REDD yang cukup memadai. Kekalutan itu akhirnya
berbuah sikap saling melimpahkan. Hal tersebut tergambar ketika
mewawancarai beberapa pejabat di Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda),171 ketika ditanyai apa saja peran Bappeda Kapuas
Hulu dalam menghadapi isu perubahan iklim dan terutama REDD?
Jawaban yang muncul mengisyaratkan bahwa isu Iklim dan REDD itu
adalah kewenangan Dinas Kehutanan selaku “leading sector-nya”, tanpa
merinci peran Bappeda selaku institusi penting dalam perencanaan
pembangunan di Bumi Uncak Kapuas.
Hampir semua elemen dan instansi di Kabupaten Kapuas Hulu,
menganggap bahwa segala informasi mengenai perubahan iklim dan
REDD berada di tangan Dinas Kehutanan. Artinya tanggung jawab
sosialisasi, informasi pencerahan kepada semua pihak adalah tugas
Dinas Kehutanan. Tentu saja hal ini tidak proprosional dan cenderung
berlebihan apalagi ketika menelusuri sumber daya dan kapasitas Dinas
Kehutanan mengemban tugas ini, sesungguhnya kapasitasnya tidak
berbeda jauh dari instansi lain yang terkait isu perubahan iklim seperti
Kantor Lingkungan Hidup, Bappeda, dan tentu saja sekretariat daerah.
Di Dinas Kehutanan tidak semua staff memiliki pengetahuan memadai
soal isu perubahan iklim, apalagi informasi mengenai REDD yang relatif
rumit dan berubah-ubah karena dalam proses negosisasi. Oleh karena
situasi demikian, sejak awal 2009 Dinas Kehutanan mendapat asistensi
intensif dari Pemerintah Jerman dengan menempatkan dua tenaga ahli
dari DED Jerman yakni Patrick Oswald dan Berthold memberikan
bantuan teknis untuk meningkatkan kapasitas instansi terkait (Dinas
Kehutanan), dalam hal teknologi informasi spasial khususnya remote
sensing (melatih GIS) dan Community Forestry. Selain urusan teknis
yang nantinya dilakukan oleh berbagai lembaga (DED,GTZ,CIM, inWEnt)
urusan finansial akan diurus oleh KfW.
Ketiga, kekalutan lain yang terjadi di Kapuas Hulu adalah ketika
merespon kegiatan ujicoba REDD, terjadi kebingungan institusi
mana yang akan secara intensif mengawal isu perubahan iklim dan
berbagai proyek ujicoba REDD. Perdebatan panjang terjadi, ketika
mendiskusikan pilihan-pilihan alternatif jalan keluar dari situasi ini.
Ada dua pandangan berbeda dalam perdebatan mengenai kelembagaan
apa yang akan mengurusi isu iklim, termasuk REDD di Kapuas Hulu.
171
Sofiandi (Kepala Penelitian dan Statistik Bappeda) dan Syarifah Maryam (Kabid Ekonomi- Bappeda),
wawancara, 18-03-2010.
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
259
Pandangan pertama, mengusulkan agar segala urusan mengenai isu
perubahan iklim diurusi oleh Pokja Konservasi yang pernah dibentuk
oleh Pemda guna mengawal konsep Kabupaten Konservasi, dan tentu
saja tujuan dan intisari yang diurus tak jauh berbeda. Usulan ini datang
dari kantor bupati atau sekretariat daerah. Namun pandangan kedua
berpendapat bahwa, isu iklim termasuk REDD sebaiknya diurusi oleh
sebuah organisasi baru berupa Pokja Perubahan Iklim dan atau dengan
nama lain, karena ada kebijakan pusat yang membenarkan hal tersebut,
yakni dari Dewan Nasional Perubahan Iklm (DNPI) dan Kementerian
Kehutanan. Pandangan ini dimunculkan oleh Dinas Kehutanan sebagai
tindak lanjut dari arahan Kementerian Kehutanan agar daerah segera
membentuk Pokja atau Dewan Daerah Perubahan Iklim sebagai respon
atas mekanisme REDD yang mulai berdinamika.
5.3 R E D D d a n Pe rl i n d u n g a n Ha k d a n Ke p e n t i n g a n
Masyarakat
Protokol Kyoto persis akan berakhir pada 2012, namun hingga 2010
mekanisme penggantinya belum menemukan titik terang seperti apa bentuk
idealnya. Organisasi lingkungan semacam Greenpeace, Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) atau jaringan NGO semacam Climate Justice Now
dengan tegas mengecam negosiasi dan berbagai poin resultannya, karena
tidak berkeadilan dan menihilkan eksistensi masyarakat adat, yang selama ini
berada dalam hutan dan di sekitar kawasan hutan. Menurut para penentang
perundingan, apa yang terjadi hanya memberikan keuntungan bagi negara
kaya penghasil emisi paling besar (Annex 1), dan mengeksloitasi negaranegara berkembang. Untuk itu perlu ada pembenahan ulang mengenai ide
dasar REDD yakni menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan,
tanpa diselingi embel-embel lain.
Sejarah dan pengalaman panjang masyarakat adat yang bermukim di
dalam dan sekitar hutan telah membuktikan, bahwa mereka adalah pelaku
konservasi sejati. Perilaku peduli terhadap alam terutama hutan, bukanlah
semata didorong oleh rasa cinta lingkungan an-sich, melainkan didasari oleh
perilaku hidup turun-temurun dibalut oleh keyakinan sosio-religius-magis
yang kental dengan hutannya. Perilaku bijak memperlakukan hutan bukan
hanya sebagai objek ekonomi, hingga saat ini dapat ditemukan pada berbagai
komunitas masyarakat adat di berbagai kawasan di Indonesia termasuk
termasuk yang dilakukan oleh masyarakat adat di Kapuas Hulu.
Kearifan pengelolaan hutan yang dipakai masyarakat adat selama ini,
nyatanya berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Paradigma usang yang menganggap hutan sebagai tambang uang hingga
kini masih saja awet dipertahankan oleh penyelenggara negara. Tentu saja,
260
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
akibat yang dirasakan saat ini adalah kerusakan hutan yang masif dan
bencana ekologi yang tiada henti.
Potret buram pengelolaan hutan oleh negara yang sentralistik serta
miskin pelibatan masyarakat, di sana-sini telah menimbulkan dampak serius
terhadap deforestasi dan kerusakan hutan di Indonesia. Dikeluarkannya
peraturan dan kebijakan mengenai pemanfaatan sumber daya alam terutama
kayu beberapa dekade silam merupakan awal cerita penurunan kualitas
lingkungan dan peminggiran kelompok masyarakat adat yang berdiam
di sekitar kawasan hutan. Anehnya, walaupun aturan tersebut digadanggadangkan demi kesejahteraan masyarakat namun survey potensi desa
(Podes : 2004) melansir data bahwa eksploitasi hutan secara besar-besaran
tidak berbanding lurus dengan perbaikan ekonomi masyarakat di sekitar
kawasan hutan.
Riuh rendahnya pembicaraan mengenai REDD dan perdagangan karbon
yang dilaksanakan di Kabupaten Kapuas Hulu, memang secara samar
(umum) terdengar hingga pelosok desa. Di ruang-ruang diskusi mengenai
isu iklim dan REDD di tingkat kampung, masyarakat hanya memaknainya
sebagai dagangan karbon semata, walaupun definisinya perdagangan
karbon tak mereka pahami secara betul. Namun yang mesti diingat adalah,
masyarakat kerap hanya membincangkan seputar limpahan uang yang
dihasilkan oleh proyek tersebut, tanpa mendiskusikan lebih jauh mengenai
dampak buruk berupa terabaikannya hak dan akses atas hutan, dan tentu
saja kerumitan skemanya.
Pemaknaan masyarakat yang hanya berkutat pada uang, terindikasi kuat
akibat asupan informasi yang disampaikan oleh Pemda dan pemrakarsa DA
yang terus menerangkan bahwa REDD adalah jalan terbaik saat ini untuk
mendapat keuntungan finansial dan pada saat yang sama, hutan tetap terjaga
kelestariannya. Di setiap kesempatan, pemrakarsa terus mendengungkan
nominal-nominal yang dapat membelalakan mata orang kampung.
Tentunya, penggiringan pemahaman seperti ini, tidak dapat dibenarkan
karena mengaburkan makna penyelamatan iklim yang sesungguhnya.
Semestinya, diskusi dan sosialisasi yang dilakukan di tiap kampung, mesti
membincangkan bagaimana hak dan pelibatan masyarakat secara optimal
dalam kerja-kerja perubahan iklim terutama proyek REDD. Pelibatan
masyarakat perlu dilakukan agar mereka tidak hanya dijadikan objek oleh
pemrakarsa REDD, namun juga menjadi subyek dalam menanggulangi
dampak perubahan iklim tersebut. Artinya, dengan segala kearifan lokal
yang tersedia dan terbukti mampu menjaga hutan dengan baik selama ini,
seharusnya mereka mendapatkan apresiasi dari pemerintah dan pengembang.
Dengan bahasa yang lain, pemerintah mesti memberikan ruang partisipasi
yang seluasnya kepada masyarakat adat, berupa hak yang sama dalam
mengelola proyek berbasis skema memakai alas hak berupa Hutan Adat,
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
261
karena pola konservasi berbasis kearifan lokal mengelola hutan di Kapuas
Hulu masih ada dan dipraktikan hingga saat ini.
Berbagai persoalan yang muncul dalam masa inisiatif ujicoba REDD di
Kapuas Hulu, semestinya dapat dimininalisir jika proses sosialisasi kepada
masyarakat berangkat dari rambu-rambu yang disepakati dalam skema
REDD, dan berbasis penghormatan kepada hak-hak masyarakat adat atas
wilayah dan hutan. Karena selama ini sosialisasi hanya corong kampanye
akan mulainya proyek namun alpa memberikan pemahaman mengenai
prinsip-prinsip seperti Free Prior and Informed Consent (FPIC) secara
utuh. Sehingga, saat ini informasi yang diterima oleh masyarakat jauh dari
hal-hal bertajuk hak-hak masyarakat dalam DA/REDD dan hanya berkisar
keuntungan finansial semata.
Keresahan-keresahan mendalam tertangkap ketika berdiskusi mengenai
proyek REDD yang akan masuk ke Kapuas Hulu, jika pada tahun 2012
nanti skema ini akan dilaksanakan. Rasa khawatir itu muncul karena
dapat dipastikan bahwa proyek yang nantinya dilaksanakan akan memakai
hutan yang selama ini didiami oleh masyarakat adat. Hingga kini interaksi
berbagai komunitas adat yang ada di Kapuas Hulu terhadap hutan masih
sangat tinggi. Interaksi tersebut berupa aktivitas seperti berladang, berburu,
meramu hasil hutan bahkan mengadakan ritual-ritual adat di hutan yang
mereka anggap keramat. Sehingga, ketika proyek REDD masuk, tentu
akan membatasi ruang gerak mereka untuk mengakses hutan, yang secara
otomatis membuat aktifitas rutin dan kearifan lokal mengelola hutan yang
dilakukan selama ini akan terhenti, termasuk melakukan ritual-ritual yang
menjadi basis hidupnya adat istiadat.
Rumitnya persoalan teknis dan ketidaktahuan mengenai prosedur
melaksanakan proyek REDD, adalah bagian yang tak terpisahkan dari
keluhan dan keresahan masyarakat adat di Kapuas Hulu. Walaupun dalam
Permenhut P36/2009 menyatakan Hutan Adat dan Hutan Desa dapat
menjadi alas hak untuk melaksanakan proyek berbasis skema REDD,
namun situasinya menjadi sulit karena secara defacto pengakuan atas
hak-hak masyarakat adat oleh Pemerintah terutama hak memiliki hutan
secara komunal hingga saat ini menjadi barang ‘haram’. Walaupun secara
konstitusi sebenarnya diperbolehkan, terutama Pasal 18 b dan Pasal 21.
Secara umum masyarakat adat dijamin kesempatannya untuk melakukan
proyek secara mandiri, namun kompleksitas urusan teknis dan prosedur
pengajuan izin menjadi hambatan maha besar bagi mereka. Jika ditinjau
secara lebih detil, peluang yang ditawarkan oleh Permenhut P30/2009 dan
Permenhut P36/2009 akan menjadi sia-sia karena pengakuan hukum atas
masyarakat adat di Indonesia masih jauh dari harapan.172
172
Penjelasan rinci atas dua Permenhut ini dapat dilihat Bab 3.3 (b) buku ini
262
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Walaupun Hutan Adat dapat dijadikan lokasi REDD namun dalam
prakteknya sangat sulit mengandalkan klausul tersebut mengingat hakhak masyarakat di Indonesia tidak diakui dengan baik secara legal formal.
Contohnya di Menua Sungai Utik, komunitas adat ini belum diakui
keberadaannya secara hukum (legalitas formal) karena tidak ada Peraturan
Daerah tentang pengakuan hukum yang menjadi dasar hukumnya. Padahal,
komunitas ini sudah mendiami wilayah adatnya ratusan tahun silam, dan
telah berulang kali meminta pengakuan formal ke Pemda melaui usahausaha memperjelas status hutan adatnya melalui pemetaan partisipatif.
Namun belum direspon dengan baik oleh pemerintah. Usaha-usaha
pencarian legalitas formal itu menarik perhatian Lembaga Ekolabel Indonesia
dengan mendorong agar mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan berbasis
masyarakat lestari, dan mendapatkannya pada tahun 2008 lalu.
5.4 Kesimpulan dan Rekomendasi
(a) Kesimpulan
Dampak perubahan iklim akibat dari pemanasan global saat ini menjadi
pembicaraan paling menarik perhatian umat manusia di muka bumi.
Perdebatan tentang sebab dan akibatnya telah menjadi santapan setiap hari
melalui pemberitaan di media cetak, elektronik dan media online lainnya.
Ulah manusia terutama negara kaya (Annex 1) yang menjadi emiter terbesar,
namun terus menghindari tanggung jawabnya seperti yang dimandatkan
Protokol Kyoto merupakan penyebab utama gagalnya berbagai perundingan
tentang mekanisme mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim melalu
skema REDD. Pada saat yang sama, dampak buruk perubahan iklim pun
terus merangsek ke semua sudut bumi. Kabupaten Kapuas Hulu yang selama
ini tak terpengaruh secara signifikan, 10-20 tahun belakangan merasakan
keanehan-keanehan iklim di wilayahnya secara ekstrem. Mulai banyak
yang mengalami gagal tanam akibat ladang tidak dapat dibakar akibat
hujan yang selalu turun, atau dengan kata lain telah terjadi perubahan
siklus perladangan asli. Selain gagal tanam, gagal panen akibat padinya
terendam air (banjir) adalah persoalan yang melanda berbagai wilayah di
Kapuas Hulu. Hasil wawancara, Focus Group Discussion, bahkan temuan
lapangan menemukan fakta bahwa dampak perubahan iklim telah terjadi dan
cenderung mengganas, oleh sebab itu, jika tidak ada usaha-usaha yang serius
menanggulanginya maka akan berdampak lebih buruk bagi semua aspek,
terutama eksistensi masyarakat adat yang berkehidupan tradisional.
Sejak Kabupaten Kapuas Hulu yang mendeklarasikan diri sebagai
Kabupaten Konservasi tahun 2003, kini telah menjadi lokasi ujicoba REDD.
Ada dua pengembang yang mulai melakukan aktifitasnya di sana, yaitu
FFI dan Pemerintah Jerman (DED,GtZ). Walaupun masih berkutat pada
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
263
tahapan persiapan, namun dapat disepakati bahwa proyek REDD sudah ada
dan terus berdinamika di Kapuas Hulu. Sejak dideklarasikan melalui SK
Bupati Kapuas Hulu Nomor 144 Tahun 2003, banyak pihak yang memandang
inisiatif ini dengan sebelah mata, karena hanya mengharap kucuran uang
dari luar negeri tanpa melihat bahwa penyelamatan iklim adalah tugas
dan tanggung jawab pemerintah secara utuh. Akibatnya, ketika kucuran
dana tidak kunjung datang pada periode 2003-2009, Pemda Kapuas Hulu
tidak terlihat serius untuk menindaklanjuti konsep Kabupaten Konservasi
tersebut. Contoh nyata dari sikap ini adalah mengeluarkan izin tebang kayu
berdasarkan SK Menhut tentang HPHH 100 hektar yang dilakukan oleh
bupati. Jika Pemda serius dengan konsep yang dibangun, hal-hal seperti ini
tidak semestinya terjadi. Akibatnya, setelah SK HPHH 100 hektar dicabut
oleh Menteri Kehutanan, penebangan hutan malah semakin marak dan
merusak dalam rentang waktu 2003-2007. Pembalakaan haram yang kerap
disebut illegal logging yang terjadi di Kapuas Hulu pada beberapa waktu
lalu tidak hanya melawan hukum, tetapi juga merongrong kedaulatan
negara. Hal tersebut terjadi, karena pengusaha kayu dari Malaysia dapat
masuk tanpa izin ke Kapuas Hulu dan membawa log-log hasil tebangan
ke Sarawak yang anehnya Pemda Kapuas Hulu tutup mata.
Pasca COP 13 di Bali, yang meretas jalan mengenai Reducing Emission
from Deforestation and Degradation (REDD), Pemda Kapuas Hulu kembali
bergeliat dengan mempromosikan diri untuk bekerja sama dalam proyek
iklim berbasis skema REDD. Hasilnya, saat ini Pemda Kapuas Hulu telah
menanda tangani sebuah MoU dengan Fauna and Flora International (FFI)
untuk pelaksanaan demonstration activities di Danau Sentarum, walaupun
kemudian mengalami pemindahan lokasi ke Danau Siawan-Belidak. Selain
itu, saat ini Pemda Kapuas Hulu juga telah menjadi lokasi kerjasama
Program Hutan dan Perubahan Iklim antara Pemerintah Indonesia dan
Jerman. Kerjasama yang dilandasi oleh kesepakatan bilateral tahun 2007
yang lalu, kini telah memulai aktivitasnya dengan membantu penyiapan
teknis melaksanakan REDD.
Namun yang sangat disesali dari proses pelaksanaan DA di Kapuas
Hulu, adalah minimnya informasi dan sosialisasi kepada para pihak. Jika
menanyakan perihal kegiatan ujicoba REDD di Kapuas Hulu kepada pejabat
Pemda selevel kepala bidang, selain Dinas Kehutanan, seperti Bappeda,
Kantor Lingkungan Hidup atau para camat sebagai ujung tombak di
lapangan, jawaban yang diberikan tidak kontekstual atau jauh dari memadai.
Banyak di antara mereka, mengakui belum mendapat informasi tentang
REDD. Hal tersebut menandakan ada sisi-sisi yang perlu ditingkatkan dari
program ujicoba ini, terutama peningkatan kapasitas birokrasi memahami
isu iklim dan berbagai program mitigasi dan adaptasi di dalamnya.
264
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Bagaimana dengan masyarakat, apakah mereka mendapatkan informasi
yang cukup tentang DA dan proyek iklim lainnya? Pengakuan masyarakat
seperti yang dipaparkan pada bagian-bagian di muka, bahwa informasi
yang disebarkan sangat tidak memadai. Contohnya, sejak tahun 2008
ketika DA sudah mulai menjadi isu yang hangat, masyarakat adat Iban
di Sungai Utik di Kecamatan Embaloh Hulu dan masyarakat adat Punan
Uheng Kereho di kecamatan Hulu Kapuas/Putussibau Selatan, sama sekali
tidak mendapat informasi memadai mengenai proyek ujicoba tersebut.
Bahkan informasi mengenai apa dan bagaimana perubahan iklim terjadi
serta cara mitigasi dan adaptasi yang menjadi bagian penting dari proses
penyelamatan iklim sama sekali tak tersebar secara baik di Kapuas Hulu
terutama oleh Pemda. Pemda Kapuas Hulu yang semestinya mengambil
peran lebih besar untuk menjelaskan duduk perkara ujicoba REDD, dan
melakukan pendidikan iklim bagi masyarakat hingga kini terus berkutat
dengan rutinitasnya. Selama rentang 2008-2010 di Kapuas Hulu belum
tertemukan ada pertemuan sosialisasi, atau pertemuan yang bersifat
peningkatan kapasitas bagi masyarakat awam untuk membicarakan dampak
perubahan iklim dan bagaimana menanggulanginya yang murni dilakukan
atas inisiatif dan pendanaan oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu.
Beberapa kegiatan kecil mengenai pendidikan iklim, sosialisasi hanya
dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap dampak
perubahan iklim dan serta pengembang REDD, yang dalam pelaksanaannya
kerap melibatkan pemkab.
Hal utama yang perlu diketahui publik saat ini adalah, hingga saat
ini kegiatan ujicoba yang berjalan di Kapuas Hulu, hanya bersandar pada
nota kesepahaman (MoU) yang ditanda-tangani pada tanggal 22 Agustus
2008 antara Pemda Kapuas Hulu (pihak pertama), Macquarie Capital Group
Limited (pihak kedua) dan Fauna and Flora International (pihak ketiga),
dan MoU tersebut hanya berlaku selama 18 bulan terhitung dari tanggal
penanda-tanganan. Dapat dipastikan bahwa berdasarkan Pasal 5 MoU
tersebut, kontrak kerjasama ini sudah habis masa berlakunya (expired),
karena 18 bulan setelah tanggal 22 Agustus 2008 saat penanda-tanganan
adalah Februari 2010. Namun hingga saat ini belum ada pembicaraan serius
dari FFI dan Macquarie Capital Group Limited untuk melanjutkan MoU
bersama Pemda Kapuas Hulu. Artinya hingga saat ini (1 Juni 2010), salah satu
fondasi kerjasama pelaksanaan ujicoba REDD di Kapuas Hulu berakhir.
Namun, hingga saat ini hanya MoU tersebut memberikan kerangka
kerjasama terkait REDD di Kapuas Hulu yang melibatkan pemerintah derah
secara langsung (bupati tanda tangan). Terkait kerjasama bilateral (IndonesiaJerman) dalam proyek Forest and Climate Change Program (ForClime),
Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu hingga kini belum melakukan kerjasama
secara penuh karena semua kebijakan mengenai aktifitas ujicoba ini di
masih menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan RI.
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
265
Selain ketiadaan kerangka hukum dan kebijakan yang kuat terkait
REDD di Kapuas Hulu, kabupaten ini pun mengalami kendala dalam soal
kelembagaan. Karena hingga saat tidak ada lembaga yang secara khusus
mengurusi isu perubahan iklim berikut proyek kerja samanya. Lembaga
yang selama ini menjadi persinggahan pemrakarsa REDD adalah instansi
konvensional bidang kehutanan yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kapuas Hulu. Dinas ini dalam segala keterbatasannya, mencoba memfasilitasi
pemrakarsa REDD dalam informasi lahan atau kawasan hutan, dan jembatan
koordinasi dengan instansi lain di Kabupaten Kapuas Hulu. Inisiatif untuk
membentuk kelembagaan berupa Kelompok Kerja (Pokja) Perubahan Iklim
memang sudah berkembang, dengan beredarnya info bahwa draft Surat
Ketetapan Bupati tentang Pokja Perubahan Iklim sudah memasuki tahap
final. Namun kendalanya adalah pergantian rezim daerah (Pilkada) yang
dapat sewaktu-waktu ’mengganggu’ isi SK Bupati terutama berkaitan dengan
mutasi personil di Pemda. Oleh sebab itu, SK akan diserahkan kepada
bupati terpilih yang akan dilantik pada bulan Agustus 2010. Persoalan lain,
minimnya pengetahuan aparatus Pemda terkait isu perubahan iklim dan
termasuk REDD, membuat beban Dinas Kehutanan kian bertambah karena
dinas dan kantor lain yang terkait secara erat dalam isu iklim (Lingkungan
Hidup, Bappeda, Sekretariat Daerah) ’melimpahkan’ isu ini kepada Dinas
Kehutanan.
Dalam semua rangkaian ujicoba perubahan iklim baik yang berbasis
pasar (Voluntary-based) yang diusung oleh FFI dan Macquarie Capital Group
Limited, maupun yang menggunakan pendekatan pasar wajib (Compliance/
Mandatory-based) yang pakai oleh kerjasama bilateral Indonesia-Jerman,
sejauh ini belum menyentuh masyarakat adat secara utuh. Dari hasil
pantauan lapangan dan penelusuran dokumen, tidak menemukan adanya
pelibatan masyarakat adat secara substantif baik dalam hal perencanaan,
maupun pelaksaanaan proyek ujicoba REDD. Selain itu sosialisasi yang
dilakukan berkenaan dengan pelaksanaan proyek, belum menghasilkan
pemahaman yang memadai di tingkat masyarakat. Karena sosialisasi lebih
banyak menekankan pada aspek benefit-sharing daripada memberikan
gambaran bagaimana dampak proyek pada hak-hak masyarakat adat di
sekitar lokasi.
(b) Rekomendasi
Berangkat dari kompleksitas persoalan yang ada di Kapuas Hulu,
berkenaan dengan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim yang
terjadi dan melanda komunitas masyarakat adat di Kapuas Hulu, dan telah
dimulainya ujicoba REDD yang telah dilaksanakan oleh FFI dan Pemerintah
Indonesia-Jerman, serta bagaimana menyoal hal-hal yang berkenaan dengan
pemenuhan hak-hak masyarakat adat yang wilayahnya dijadikan lokasi
266
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
pilot project REDD dipenuhi secara utuh, maka penelitian ini hendak
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut :
• Penting untuk memastikan proyek ujicoba REDD yang dilaksanakan
di Kapuas Hulu menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat
adat atas hutan. Oleh sebab itu, dalam proses mitigasi dan adaptasi
dampak perubahan iklim di Kapuas Hulu perlu melibatkan masyarakat
adat secara penuh. Pelibatan masyarakat tersebut mesti ada di setiap
proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proyek iklim yang
ada di Kapuas Hulu;
• Pemda Kapuas Hulu perlu membentuk Kelompok Kerja Perubahan Iklim
dan atau dengan nama lain, yang bertugas mengurusi isu Perubahan
Iklim termasuk REDD. Sehingga, semua hal yang berkaitan dengan isu
tersebut menjadi terpusat dan terkonsolidasi dengan baik;
• Penting untuk pemda mengeluarkan kebijakan dan atau aturan hukum
yang kuat sebagai fondasi pelaksanaan REDD di Kapuas Hulu secara
khusus dan secara umum memberikan dasar pelaksanaan kegiatan
yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim.
Dengan catatan, kebijakan tersebut mesti menempatkan masyarakat adat
sebagai pemangku kepentingan penting. Untuk lebih memaksimalkan
hal tersebut segala pembiayaan dibebankan ke dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan atau bekerjasama dengan
pihak ketiga.
“Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstration
Activities REDD di Kalimantan Barat
267
6.Kesiapan dan kerentanan sosial
menghadapi kebijakan perubahan
iklim/REDD: Studi di tiga desa di
Kalimantan
Semiarto Aji Purwanto, Iwi Sartika dan Rano Rahman
6.1 Pendahuluan: Indonesia dan antisipasi perubahan iklim
global
Kontribusi sektor kehutanan, baik sebagai penyerap maupun penghasil
emisi gas rumah kaca, pada perubahan iklim global sudah lama disadari
oleh para ilmuwan. Laporan IPCC ketiga (2001) dan keempat (2007)173
secara konsisten memperlihatkan bahwa seperlima dari emisi gas rumah
kaca global disumbangkan oleh sektor perubahan lahan dimana kontribusi
paling besar berasal dari deforestasi.
Sebelum COP 11 di Montreal, Kanada, perhatian negara pihak pada
hutan masih terbatas pada aforestation dan reforestation yang diatur
dalam Protokol Kyoto. Belum ada perhatian pada kontribusi hutan yang
ada sekarang (existing forest) sebagai penyerap emisi gas rumah kaca.
Pada COP 11 inilah muncul usulan dari Papua Nugini dan Kosta Rika agar
UNFCCC mempertimbang sebuah mekanisme mitigasi emisi gas rumah
kaca dari deforestasi atau RED (Reducing Emissions from Deforestation in
Developing Countries).
Dua tahun kemudian, Di COP 13, Bali, lahirlah Bali Roadmap yang selain
mempertegas perlu dimasukkannya emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan di negara berkembang ke dalam skema perundingan perubahan
iklim, juga mengusulkan inisiatif skema pelaksanaannya. Skema ini bahkan
diharapkan menjadi penerus dari Protokol Kyoto pasca 2012. Inisiatif
tersebut muncul dalam banyak istilah, namun istilah REDD (Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation), yang diusulkan
oleh Indonesia, mendapatkan banyak perhatian. Perundingan internasional
tentang REDD ini masih berlangsung di tingkat internasional. Ia memasuki
173
Soal Laporan IPCC serta perundingan COP sampai COP 15 di Kopenhagen 2009 dapat dilihat di bab 1
serta di bab 2 buku ini.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
269
masa perundingan krusial menjelang COP 15 tahun 2009 di Kopenhagen.
Meskipun demikian, belum ada kesepakatan solid bagaimana konsep,
cakupan dan strategi implementasi REDD.
Di sudut lain, bagi banyak pihak di Indonesia, REDD – walau dalam
bentuk prototypenya – selain berpotensi memperuncing perkara tetapi bisa
juga membuka pintu penyelesaian tunggakan perkara yang ada di sektor
kehutanan. Pemerintah Indonesia sendiri merespon potensi besar REDD
itu dengan mengikat kerja sama dengan pihak lain dalam melaksanakan
pilot proyek REDD, yang dikenal dengan istilah Demonstration Activities
(selanjutnya disingkat DA) dan menyiapkan perangkat kebijakan nasional
yang terkait dengan pelaksanaan REDD.
Potensi besar yang ada dalam REDD selayaknya diantisipasi demi
untuk keuntungan masyarakat dan keberlanjutan hutan. Kebijakan, hukum
serta kelembagaan yang menunjang tercapainya kedua hal tersebut perlu
kiranya dikenali dan kalau perlu dibangun di tingkat nasional maupun
daerah. 174 Karenanya perlu ada kajian yang komprehensif mengenai
kerangka hukum dan kelembagaan apa saja yang ada dan perlu ada bagi
pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat/lokal
dan keberlanjutan hutan. Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya
adalah kajian mengenai kesiapan dan kerentananan sosial masyarakat
(sosial readiness and vulnerability) terhadap (potensi) pelaksanaan proyekproyek perubahan iklim khususnya REDD. Kajian yang terakhir ini akan
menemukan berbagai kapasitas dan masalah sosial dalam masyarakat yang
akan memengaruhi daya kesiapan dan kerentanan mereka untuk mengelola
hutan dan melindungi hak-hak mereka terhadap berbagai proyek REDD.
6.2 Konteks penelitian
Learning Centre HuMa – sekarang menjadi Yayasan Epistema –
berinisiatif menyelenggarakan penelitian untuk mempelajari persoalanpersoalan hukum dan sosial dalam perumusan dan pelaksaaan kebijakan
dan proyek REDD di Indonesia sebagai masukan bagi perumusan dan
advokasi kebijakan pada isu tersebut.
Penelitian untuk mengungkap aspek sosial budaya pada komunitas
terdekat dengan sumber daya alam, dalam hal ini hutan, penting dilakukan
karena tiga hal. Pertama, komunitas sekitar hutan merupakan komunitas
lokal yang selama ini terekspos oleh berbagai investasi modal. Sebagai
komunitas lokal, 175 sebagian dari mereka hidup dalam alam subsisten atau
174
175
Penjelasan soal ini dapat dilihat di Bab 3, 4 dan 5 buku ini.
Komunitas lokal mengacu pada konsep masyarakat setempat, yang dipakai oleh Koentjaraningrat untuk
merujuk pada satuan sosial yang utuh dan terikat pada sistem ekologi tertentu. (Koentjaraningrat 1990).
Dalam konsep ini, keterikatan pada wilayah atau tempat tinggal lebih tinggi ketimbang ikatan kerabat atau
etnik. Sekalipun demikian, susah untuk begitu saja memisahkan frase komunitas lokal dengan kelompok
sosial yang telah lama menempati suatu wilayah. Pada situasi tersebut, komunitas lokal beririsan dengan
konsep masyarakat adat (indigenous people). Dalam laporan ini, komunitas lokal dipakai sebagai konsep
270
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
pra-kapitalis; namun masuknya investasi modal dalam bentuk perusahaan
konsesi hutan atau tambang, menyebabkan mereka langsung berhadapan
dengan ekonomi kapitalis. Pertemuan dua sistem ekonomi ini selalu menarik
untuk dikaji karena menunjukkan kekhasan adaptasi suatu komunitas atas
tantangan yang bersifat global. Kedua, mereka menempati wilayah marginal
dalam arti jauh dari pusat kekuasaan. Efektivitas pemerintahan dan alokasi
pembangunan seringkali jauh dari harapan untuk memajukan komunitas
tersebut. Ketiga, sebagai komunitas yang berada dalam atau sekitar wilayah
hutan, mereka memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Bukan
saja sebagai sumber penghidupan, hutan memiliki makna dan ikatan kultural
yang kuat pada banyak komunitas lokal.
Ketiga hal di atas menjadi semakin signifikan untuk dikaji mengingat
isu REDD dan perubahan iklim global pada umumnya merupakan sebuah
isu baru yang datang dari pemahaman saintifik atas fenomena ekologi
dewasa ini. Di lapangan, pemahaman demikian merupakan pilihan
penjelasan budaya untuk memahami lingkungan, di samping berbagai
penjelasan budaya yang lain yang muncul dari tradisi. Para ahli antropologi
(Puntenney, 2009:314) telah menunjukkan pentingnya pemahaman budaya
dimana intensitas pertemuan antar budaya demikian tinggi. Dalam konteks
mencoba mengantisipasi masuknya ide dan kegiatan baru, dan membahas
tentang bagaimana komunitas lokal yang awalnya hidup dengan teknologi
sederhana dan sistem ekonomi pra-kapital di pedalaman Kalimantan
mencoba bertahan di tengah maraknya penanaman modal dan isu global,
penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menghadirkan dokumentasi sistem pengelolaan sumber daya alam,
terutama hutan, pada komunitas lokal di Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah: bagaimana bentuknya, dinamikanya dalam kekinian
dan kemungkinan eksistensinya di masa depan
b. Mengkaji kondisi sosial masyarakat, kesiapan dan kerentanan pranata
sosialnya terhadap kemungkinan aplikasi REDD di lokasi Proyek REDD
di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah;
Lokasi
Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat menjadi salah satu kasus
studi penelitian ini.176 Terletak di wilayah perbatasan dengan Sarawak,
Malaysia, Kapuas Hulu memiliki luas 29.842 km2 dan meliputi 23 kecamatan
dengan ibukota Putussibau. Di sebelah utara, wilayah ini berbatasan, sebelah
timur dengan Provinsi Kalimantan Timur, sebelah barat dan selatan dengan
Kabupaten Sintang. Penelitian ini difokuskan di Desa Jelemuk di pinggir
176
untuk menggambarkan satuan sosial di desa-desa sekitar dengan menyadari fakta bahwa ada di antara
mereka yang merupakan bagian dari masyarakat adat dan ada yang pendatang.
Penjelasan soal bagaimana Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu menanggapi isu perubahan iklim dapat
dilihat pada bab 5 buku ini.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
271
Sungai Manday yang berada di dataran rendah. Secara administratif, desa
ini terdiri atas dua dusun yakni Dusun Jelemuk dan Dusun Sinar Manday,
yang dibagi lagi ke dalam dua RW dan empat RT.
Penelitian untuk kasus kedua dilakukan di Kabupaten Kapuas, salah
satu kabupaten yang terluas wilayahnya di Kalimantan Tengah yang berdiri
sejak 1959. 177 Beribu kota di Kuala Kapuas, Kabupaten Kapuas mempunyai
luas wilayah 14.999 km2 tersebar ke dalam 14 kecamatan. Adapun kawasan
yang menjadi lokasi riset adalah Kecamatan Mantangai dan Timpah. Di
Kecamatan Mantangai, penelitian dilakukan di Desa Kalumpang, sedangkan
di Kecamatan Timpah penelitian dilakukan di Desa Petak Puti.
Metode
Pengumpulan data dilakukan dengan metoda pemahaman masalah secara
cepat (rapid appraisal) dengan memanfaatkan tenaga peneliti yang telah
memahami dinamika penduduk dan masalah di sekitar lokasi penelitian.
Kualifikasi peneliti dengan demikian menjadi satu hal yang penting dalam
menjamin data yang valid; tim beruntung mendapatkan dua orang aktivis
LSM yang bergerak di bidang lingkungan. Penelitian di Desa Petak Puti
dan Kalumpang dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan
dengan melakukan assessment yang dilakukan pada awal Januari 2010
disusul dengan kunjungan ke lokasi Desa Petak Puti oleh penulis pada 1621 Maret 2010. Tahap kedua, merupakan tahap pendalaman yang dilakukan
pada awal April selama 6 hari dari tanggal 5 – 10 April 2010. Penelitian di
Desa Jelemuk dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama dilakukan selama 5
hari, dari tanggal 14-18 Maret 2010, dimana peneliti tinggal dan mengamati
berbagai persoalan di desa; tahap kedua dilakukan selama 5 hari, dari
tanggal 4-8 Mei 2010, dengan melakukan aktifitas yang sama termasuk
melakukan klarifikasi dan melengkapi kekurangan data dan informasi. Data
diperoleh dengan melakukan sejumlah wawancara pada informan kunci,
mendiskusikan berbagai isu terkait dengan warga masyarakat, mengamati
kondisi fisik dan interaksi sosial di tingkat komunitas dan membaca
secara kritis aneka pustaka baik buku, artikel dan laporan tentang wilayah
tersebut maupun data statistik. Untuk mendapatkan masukan, seusai fase
pencarian data lapangan, dilakukan lokakarya pada tanggal 15 Juni 2010
yang bertempat di Hotel Santika, Jakarta, dengan narasumber dari lembaga
penelitian kehutanan internasional.
177
Sementara untuk tanggapan Pemerintah Kabupaten Kapuas soal isu perubahan iklim ini dapat dilihat pada
bab 4 buku ini.
272
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
6.2 Galau di Jelemuk: Studi kasus di Kalimantan Barat
(a) Wilayah dan Penduduk Desa Jelemuk
Desa Jelemuk178 dapat dijangkau melalui sungai dengan dua alternatif
jalur, pertama melalui Nanga Kalis dengan mencarter speedboat seharga
Rp 500.000 (pulang-pergi); kedua dari Putussibau melalui Kecamatan
Bika (standar angkutan umum Putussibau–Bika Rp. 40.000), dengan
memperpanjang trayek sampai ke Desa Jelemuk (dengan tambahan biaya
Rp. 20.000) memakan waktu sekitar dua jam. Desa Jelemuk berbatasan
dengan Kecamatan Bunut Hilir di sebelah Barat, Kecamatan Kedamin di
sebelah timur, dan Desa Penyeluang (Kecamatan Bika) di sebelah Utara.
Tepatnya, Desa Jelemuk berada di sebelah Selatan Kota Putussibau, Ibukota
Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat.
Hampir seluruh penduduk Desa Jelemuk adalah komunitas Dayak
Kantuk (selanjutnya dalam tulisan ini disebut orang Kantuk, sesuai dengan
bagaimana komunitas ini menyebut dirinya). Suku Kantuk dikelompokkan
ke dalam “Ibanic” atau kerabat Iban, yang merupakan kelompok Dayak
terbesar di Kalimantan Barat dan Sarawak, bersama dengan suku lain
seperti Seberuang, Mualang dan Desa (Sellato, 1994:11). Asimilasi karena
perkawinan memungkinkan untuk menjumpai suku lain seperti Flores,
Batak, Dayak Kalis, Jawa dan Tionghoa, yang jumlahnya masih sangat
kecil. Berdasarkan sensus penduduk 2010, Desa Jelemuk terdiri dari 558
jiwa yang terbagi ke dalam 140 kepala keluarga (KK). Mereka bermukim
dan membangun rumah tidak jauh dari pinggiran Sungai Manday dengan
alasan gampang mengakses air untuk mandi-cuci-kakus (MCK). Oleh karena
itu, meski memiliki rumah tinggal, hampir semua keluarga besar di desa
ini juga memiliki rumah terapung (lanting) yang hanya digunakan untuk
keperluan MCK.
Orang Kantuk di desa ini masih memegang teguh hukum adat yang
ditopang oleh struktur pemerintahan adat yang masih kuat meski sudah
terjadi percampuran dengan struktur pemerintahan desa. Ini dibuktikan
dengan masih berfungsinya perangkat adat sejalan dengan fungsi perangkat
desa dalam kerangka kontrol sosial, meskipun sebetulnya struktur ini
termasuk struktur baru, karena sebelumnya, ketika orang Kantuk masih
berada di rumah panjang, mereka hanya mengenal tuai rumah bukan
Kepala Kampung, (orang yang berperan menentukan ritual-ritual dan
waktu untuk mengelola sumber daya alam seperti berladang). Bahkan,
percampuran struktur pemerintahan adat dan desa dirasakan lebih efektif
karena mengutamakan musyawarah dan kekeluargaan sebagai mekanisme
pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik di tingkat lokal. Selain itu,
178
Nama Jelemuk berasal dari nama pohon yaitu pohon Jelemuk, buahnya bisa dimakan dan bentuknya
seperti buah mangga. Menurut masyarakat setempat, yang disampaikan pada saat diskusi terfokus, pohon
ini sudah punah.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
273
jenjang atau tingkatannya pun dirasakan tidak terlalu panjang. Di bawah
ini adalah gambaran kedua struktur yang dimaksud:
Bagan 6.1. Percampuran struktur pemerintahan adat dan
desa di Jelemuk
Struktur I: Versi Lama
(Pra 1970-an - 1989)
Temenggung
Struktur II: Versi Baru
(1989 - Sekarang)
Setingkat dan/
atau masuk dalam
pengurus desa
Ka. Kemplit
Ka. Adat
Ka. kampung
Kebayan/Manteri
Temenggung
Ka. Kemplit
Setingkat dan/
atau masuk dalam
pengurus dusun
Ka. Adat
Pengurus RT/RW
Garis Penyelesaian perkara
Garis Tingkatan Kewenangan dan
Tanggung Jawab
Struktur I (struktur lama) merupakan struktur pemerintahan adat orang
Kantuk. Temenggung memiliki kedudukan tertinggi,179 diikuti oleh Kepala
Kemplit dan Ketua Adat, kemudian Kepala Kampung dan diikuti Kebayan.
Namun, demikian, jika melihat dari sejarah, Kepala Kampung memiliki
peran yang sangat besar, diantaranya mengambil inisiatif dan sekaligus
memimpin perpindahan orang Kantuk dari Ulak Jelemuk ke Desa Jelemuk
sekarang. Kepala Kampung juga dipilih dengan cara musyawarah, baru
kemudian dilakukan voting dengan menggunakan biji jagung. Jabatan ini
juga tidak dibatasi periodenya karena berdasarkan kepercayaan masyarakat.
Jabatan Kepala Kampung kemudian hilang setelah terjadi perubahan sistem
pemerintahan kampung menjadi desa (1989). Sebelum 1970-an sampai 1989,
orang Kantuk memiliki 2 orang Kepala Kampung, yakni Pak Rema dan
Pak Budau. Perubahan kampung menjadi desa disertai dengan berubahnya
struktur pemerintahan adat orang Kantuk dimana selain jabatan Kepala
Kampung, jabatan Kebayan pun menjadi hilang.
179
Temenggung adalah jabatan tertinggi yang kekuasaannya mencakup beberapa kampung atau dusun dan/
atau desa yang disebut Ketemenggungan. Ia memiliki wewenang yang lebih luas baik dalam menyelesaikan
perkara maupun dalam mengatur adat istiadat yang berlaku di suatu wilayah tertentu. Kepala Kemplit
adalah orang yang membantu Temenggung dan berkuasa pada beberapa kampung saja. Kepala Adat
adalah orang yang bertanggung jawab penuh untuk mengurusi adat istiadat. Kepala Kampung adalah
orang yang berkuasa dan bertanggung jawab dalam satu kampung saja.
274
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Struktur II (struktur baru) menunjukan eksistensi Temenggung sampai
ke Ketua Adat masih diakui. Peran dan tanggung jawab Temenggung
sampai ke Ketua Adat tidak jauh berbeda dengan struktur lama, Kepala
Komplek/Pateh merupakan bagian dari pengurus desa, sedangkan Ketua
Adat merupakan bagian dari pengurus dusun. Tidak terlalu jelas bagaimana
dan dimana kewenangan dan tanggung jawab Kepala Kampung (yang
dulu) berada: apakah kewenangan dan fungsinya sama, atau berada pada
pengurus RT/RW, atau memang peran dan kewenangan itu telah hilang.
Ini mengingat pentingnya andil konsep desa dalam Undang-undang No. 5
Tahun 1979 yang di banyak tempat telah mengaburkan institusi lokal seperti
kampung (Safitri, 2000:16). Namun yang jelas, struktur ini menunjukkan
bahwa selain menangani urusan administrasi desa, RT/RW juga dibebani
dengan urusan penyelesaian perkara.
Terjadinya perubahan struktur pemerintahan adat (versi lama dan baru) di
desa Jelemuk pada tahun 1989 ini juga erat kaitannya dengan dikeluarkannya
dan dilaksanakannya Undang-undang Pemerintahan Desa, dan pada tahun
inilah pertama kalinya Jelemuk menjadi nama desa (awalnya dengan nama
kampung).180 Sudah rahasia umum dan menjadi kajian banyak penelitian
bahwa produk hukum ini telah melemahkan kelembagaan lokal/adat di
banyak masyarakat/komunitas karena menyamakan struktur pemerintahan
desa di seluruh Indonesia. Penyamaan struktur ini dimaksudkan untuk
memberikan kontrol yang semakin besar terhadap seluruh aspek kehidupam
masyarakat lokal/adat di pedesaan.
Kedua struktur di atas menunjukan percampuran antara struktur
pemerintahan adat dan pemerintahan desa (versi lama dan baru). Ini
memberikan gambaran adanya proses pengaburan institusi lokal seperti
yang dimaksudkan sebelumnya. Dengan mengacu kepada Undangundang Pemerintahan Desa inilah, termasuk Undang-undang Otonomi
Daerah, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu melakukan kontekstualisasi
dalam bentuk Perda No. 11/2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan
Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga adat.181 Sangat jelas, adanya
intervensi pemerintah terhadap struktur pemerintahan adat dengan
melakukan formalisasi struktur pemerintahan adat. Namun demikian, diskusi
dengan beberapa narasumber tidak menggiring ke arah tesis tersebut. Para
narasumber hanya berkali-kali mengungkapkan dengan sederhana bahwa
inilah buah dari otonomi daerah dan pengaruhnya terhadap sistem politik
lokal. Hal yang menarik bahwa orang Kantuk merasa bahwa struktur
yang mereka jalankan sekarang cukup efektif dan diakui sebagai bentuk
180
181
Pada tahun 1989 Jelemuk menjadi desa yang terbagi ke dalam 4 dusun (kala itu Dusun Jongkong, Dusun
Melapi, Dusun Jangka, dan Dusun Cempaka). Pada tahun 2007, Jelemuk menjadi desa sendiri.
Kebijakan inilah yang dijadikan cantolan hukum dikeluarkannya SK Bupati No. 62 Tahun 2001 tentang
Penetapan Nama-nama Kepala Adat Definitif se-Kabupaten Kapuas Hulu yang berhak menerima tunjangan
penghasilan.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
275
desentralisasi desa. Dari struktur di atas, tidak terlihat bagaimana Kepala
Desa memiliki sentralisasi kekuasaan dengan adanya legitimasi yang
diberikan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1979, dimana porsi pengaturan
lembaga Kepala Desa sangat besar (Safitri, 2000:22-23).
Perlu dicatat bahwa meskipun orang Kantuk mengakui struktur versi
lama merupakan struktur pemerintahan adat, namun sesungguhnya jabatanjabatan seperti Temenggung, Kepala Kemplit maupun Kebayan belum
ada ketika mereka masih hidup dengan pranata rumah panjang (sebelum
perpindahan ke Ulak Jelemuk). Dalam rumah panjang, struktur pemerintahan
adat lebih sederhana, dimana hanya ada Tuai Rumah dan Kepala Kampung
(sebelum Undang-undang Pemerintahan Desa). Tuai Rumah dan Kepala Adat
memiliki peran besar dalam menentukan kapan musimnya boleh berladang
atau membuka hutan, menentukan wilayah-wilayah yang boleh dikelola
serta mengatur dinamika serta mengorganisir kehidupan rumah panjang,
termasuk penyelesaian perkara. Yang membedakan keduanya hanya cakupan
wilayah tugas dimana Kepala Kampung lebih luas dibandingkan Tuai Rumah.
Karena struktur yang begitu sederhana, Pekat atau musyawarah menjadi
hal yang sangat penting dalam melakukan pengambilan keputusan.
(b) Sejarah singkat migrasi orang Kantuk di Desa Jelemuk
Berdasarkan sejarah migrasinya, orang Kantuk yang berdiam di
Desa Jelemuk adalah perpindahan dari Empanang (Sekarang Kecamatan
Empanang dengan Nanga Kantuk sebagai Ibukota Kecamatannya, terletak
di sebelah barat Desa Jelemuk) ke Ulak 182 Jelemuk (di hilir Sungai Manday)
dikarenakan kalah ‘berperang’ dengan suku Iban. Tidak diketahui persis
tahun perpindahan tersebut, namun pada tahun 1970, mereka kembali
pindah dari Ulak Jelemuk ke hulu Kampung Ulak Jelemuk. Ada beberapa
versi tentang alasan migrasi orang Kantuk dari Ulak Jelemuk, pertama
karena alasan penyakit kolera dan yang kedua alasan tanah yang semakin
sempit karena longsor, sementara jumlah penduduk semakin bertambah.
Namun yang pasti, migrasi ini dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama
dengan memilih wilayah hulu Kampung Ulak Jelemuk karena orang
Kantuk masih memegang petuah pendahulu mereka, “ … jika pindah harus
mudik air.” Pada masa ini, peran Kepala Kampung masih begitu besar,
salah satunya memutuskan untuk migrasi, mengorganisir dan memimpin
warganya. Para narasumber mengungkapkan dengan jelas bahwa mulanya
Kepala Kampunglah (Pak Budau) salah seorang dari 6 KK yang pertama
kali membuka hutan di wilayah Desa Jelemuk sekarang. Tahun-tahun
berikutnya, warga dari Kampung terdekat lain seperti Samak dan Nyamuk
juga melakukan migrasi ke wilayah yang sama, namun kedua kampung ini
juga merupakan komunitas Dayak Kantuk.
182
Ulak adalah bahasa lokal yang artinya perputaran air
276
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Sejarah migrasi orang Kantuk juga ditandai dengan perubahan rumah
tinggal, semula mendiami rumah panjang kemudian membentuk rumah
tunggal sendiri-sendiri. Terlepas dari alasan perpindahan di paragrap
sebelumnya, perubahan rumah tinggal merupakan implikasi dari program
resettlement penduduk desa terpencil yang diusung oleh Dinas Sosial pada
tahun 1970-an, dimana masyarakat diminta untuk tidak lagi membuat
dan tinggal di rumah panjang dengan alasan rawan kebakaran dan tidak
memenuhi standar kesehatan. Perubahan ini juga diikuti dengan hilangnya
pranata rumah panjang (termasuk struktur adat Tuai Rumah dan Kepala
Kampung) sampai dijalankannya struktur adat versi lama tahun 19701989.
Melihat sejarah perpindahannya, dapat dikatakan bahwa Desa Jelemuk
berusia masih sangat muda, 39 tahun per 2010. Sampai saat ini, orang Kantuk
merupakan salah satu populasi yang cukup besar tidak saja di desa ini,
tetapi secara umum, orang Kantuk, dengan bahasa Kantuk sebagai bahasa
pengantar, juga adalah salah satu suku besar di Kabupaten Kapuas Hulu.
Selain di Desa Jelemuk, orang Kantuk juga tersebar di beberapa desa lain
di pinggir Sungai Manday seperti Desa Tekalong, Desa Pala Pintas, Desa
Keling Semulung, Desa Nanga Tuan, dan Desa Bunut Hulu.
(c) Sistem kontrol sosial dan mekanisme penyelesaian konflik lokal
Sistem peradilan adat masih dijalankan dan dipercaya oleh orang
Kantuk bisa memberikan akses terhadap keadilan. Namun, karena sudah
terjadi percampuran dengan struktur desa, kasus-kasus diselesaikan melalui
mekanisme musyawarah di tingkat RT dan RW terlebih dahulu baru
kemudian naik ke struktur adat di atasnya (Kepala Kampung), dan jika
tidak terselesaikan akan naik ke atasnya lagi (Kepala komplek), demikian
selanjutnya terus mengikuti tingkatan adat sampai tingkatan tertinggi
untuk kasus-kasus yang ‘rumit’. Bagaimana menentukan bentuk pelanggaran
dan sanksi atas pelanggaran yang terjadi, orang Kantuk menjadikan Buku
Ketentuan Hukum Adat dan Budaya Suku Dayak Kantuk sebagai pegangan
dalam pertimbangan dan keputusan suatu kasus/perkara. Buku ini
pertama kalinya dibuat pada tahun 2002 ketika terjadi konflik tapal batas
antara Desa Jelemuk dan Nanga Tuan. Buku ini dirasakan perlu digagas
(penulisannya) berdasarkan musyawarah desa untuk bisa menjadi pegangan
dalam penyelesaian konflik.
Untuk perkara ringan, orang Kantuk akan mengutamakan dan
mengusahakan musyawarah dan penyelesaian kekeluargaan. Sedangkan
untuk perkara yang ‘rumit’, dimana kedua belah pihak bersikukuh tidak
bersalah, mekanisme penyelesaian paling akhir adalah dengan sumpah
atau sabung ayam. Sumpah biasanya tidak disarankan oleh pengurus adat
karena dianggap terlalu berat dan tidak berprikemanusiaan dimana yang
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
277
terbukti bersalah diyakini akan mati karena proses dalam sumpah melibatkan
hal-hal yang mistis (misal memanggil roh-roh dan seluruh binatang buas)
dan masih diyakini kebenarannya. Dalam 10 tahun terakhir, sistem sabung
ayam merupakan mekanisme yang sering dijalankan oleh orang Kantuk
karena dianggap penyelesaian ‘paling akhir’ yang lebih berperikemanusiaan
dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan sumpah dalam penyelesaian
perkara yang rumit (kondisi dimana kedua belah pihak yang bersengketa/
bertikai saling ngotot merasa benar). Sabung ayam biasanya melibatkan
seluruh warga dalam gelar perkara dan tentunya beserta pengurus adat. Di
samping mengatur penyelesaian perkara, buku hukum adat orang Kantuk
juga memuat pengaturan-pengaturan terkait pengelolaan Sumber Daya
Alam di wilayah mereka.
Menyadari dinamika di masyarakat, orang Kantuk di Desa Jelemuk
ini juga terus menerus melakukan peninjauan ulang atas Buku Ketentuan
Hukum Adat dan Budaya mereka. Dan, sampai saat ini sudah dilakukan
4 kali revisi atas substansi yang dilakukan pada Mei 2006. Selain Buku
Ketentuan Hukum Adat dan Budaya, orang Kantuk juga memberikan porsi
khusus pengaturan wilayah danau dan sungai dalam Peraturan Pengelolaan
Sungai, Danau dan Perairan Umum di Wilayah Desa Jelemuk. Peraturan
ini dihasilkan melalui Musyawarah Desa yang dilakukan pada tahun
2009. Peraturan ini dirasakan perlu mengingat wilayah mereka memiliki
banyak danau dan sungai kecil, yang tidak diatur dalam buku hukum adat
mereka.
Meskipun diungkapkan dengan jelas bahwa hukum adat masih
menjadi alat kontrol sosial yang efektif untuk menciptakan keteraturan
sosial namun fakta bahwa ada kekhawatiran masyarakat terkait penegakan
hukum adat bisa dirasakan ketika berdiskusi dengan perangkat desa dan
perangkat adat. Ini utamanya ketika mereka harus berhadapan dengan
pihak yang menjadikan hukum negara sebagai alas klaim penguasaan atas
suatu wilayah, misalnya perusahaan. Di samping itu, kekhawatiran bahwa
hukum adat tidak dipercayai dan dihormati juga terdengar, terutama jika
menyangkut pelanggaran yang melibatkan aktor dari fungsionaris adat
itu sendiri. Menurut mereka lagi, hal-hal seperti ini bisa berdampak pada
tidak diakuinya lagi kekuatan hukum adat jika harus berhadapan dengan
kekuasaan yang lebih besar dan akibatnya adalah ketidakpercayaan orang
Kantuk dalam menegakan hukum adat mereka sendiri. Dengan alasan ini
pula, mekanisme penyelesaian konflik dengan menggunakan hukum negara
juga mau tidak mau mereka tempuh meskipun mereka sadar mereka harus
menembus birokrasi yang sangat tidak berpihak kepada mereka.
(d) Tradisi dan adat istiadat orang Kantuk di Desa Jelemuk
Orang Kantuk di Desa Jelemuk masih memegang teguh tradisi dan
adat istiadat yang mereka sebut dengan istilah adat lama’ meski seluruh
278
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
penduduk sudah memeluk agama Katolik dan Kristen Protestan (agama
mayoritas). Sehingga, ritual-ritual pegelak, pedera’ masih dijalankan, terutama
oleh orang-orang tua yang masih kuat memegang adat lama’. Bahkan, gereja
Katolik memungkinkan melakukan inkulturasi (penggabungan) praktik
tradisi lama dan tradisi gereja dalam beberapa kondisi. Sedangkan gereja
Protestan, jelas melarang praktik-praktik seperti ini dilakukan oleh jemaatnya
karena dianggap men-Tuhankan benda. Secara umum, masyarakat Desa
Jelemuk menggambarkan bahwa sejauh ini tidak pernah sedikitpun ada
konflik yang berbau etnis dan agama, mereka masih bisa mempertahankan
hidup toleransi tanpa adanya diskriminasi terhadap komunitas non-Kantuk
dan non-Kristen meski jumlahnya sangat sedikit. Orang Kantuk juga relatif
terbuka untuk menerima komunitas dari etnis dan agama lain sepanjang
eksistensi tradisi dan adat istiadat mereka dihormati.
Tidak banyak orang Kantuk di Desa Jelemuk yang bekerja di
pemerintahan, kalaupun ada, paling sebatas guru honorer di Sekolah Dasar.
Untuk satu Sekolah Dasar yang ada di Desa Jelemuk, hanya ada 4 orang
Guru yang bertanggung jawab untuk 90-an orang murid. Dari empat orang
Guru, 3 orang adalah Pegawai Negeri Sipil (2 orang adalah orang lokal dan
1 orang dari NTT, yakni kepala sekolah dan hanya satu orang guru bantu
perempuan yang juga orang lokal di Desa Jelemuk).
Sebagian besar anak-anak tamatan SD terpaksa dikirim oleh orang tua
mereka ke Kecamatan Bika untuk melanjutkan ke SLTP dan SLTA karena
Desa Jelemuk hanya memiliki satu saja Sekolah (SD). Kondisi ini juga
memaksa para orang tua untuk mulai membiasakan anak-anak mereka
hidup mandiri dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengepel
lantai, memasak, mencuci pakaian sendiri, demikian diungkapkan oleh
seorang ibu yang anaknya sudah kelas enam SD saat penelitian ini sedang
dilakukan.
“… apalagi anak-anak yang masuk kelas enam harus mulai dibiasakan hidup
mandiri, biar nanti kalau mereka tamat dan mau melanjutkan sekolah ke Bika
atau Putussibau, kalau tidak masuk asrama paling dititip di rumah keluarga
atau kerabat yang ada di sana. Jadi, memang harus diajari bekerja”183
Ini juga dialami oleh beberapa anak muda yang terpaksa bermigrasi
ke kota seperti Pontianak untuk melanjutkan kuliah, ke Putussibau untuk
menjadi pekerja lepas dan paling jauh ke Malaysia tetapi hanya sebentar.
Aktifitas kaum muda di desa ini bisa terlihat sore hari ketika mereka sedang
bermain bola voli. Secara umum, orang Kantuk di Desa Jelemuk ini bekerja
sebagai nelayan (mencari ikan), pengusaha keramba ikan, peladang gilir
balik dan pemburu. Sebagian penduduk juga bekerja di luar desa yakni
di Danau Sentarum, Danau Beliung dan Kobul. Namun, sebagian besar
memang bekerja sebagai petani.
183
Diungkapkan oleh Ibu Ida kepada penulis di Jelemuk pada tanggal 5 Mei 2010.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
279
(e) Perekonomian Desa Hutan
(i) Orang Kantuk dan Hutan
Orang Kantuk di Desa Jelemuk hampir seluruhnya hidup dari
berladang gilir-balik (beumai), dan menoreh karet sebagai mata
pencaharian utama. Di samping itu, mereka menanam tanaman buah
dan sayur-mayur, berternak unggas (ayam dan bebek) dan hewan (babi
dan sapi) serta mencari ikan di sungai dengan Pukat, Jala, dan Bubu
serta berburu ke hutan. Beberapa orang membuka warung sembako
(terdapat tujuh warung sembako di Desa Jelemuk). Pada musim tertentu,
mereka juga mengumpulkan buah ncerinak dan majau (tengkawang).
Pekerjaan ini sebagian besar dilakukan oleh ibu-ibu karena memang
di beberapa keluarga melakukan pembagian kerja, kaum laki-laki pergi
ke hutan untuk mengumpulkan buah hingga sore, sedangkan kaum
perempuan membersihkan dan merebus buah sembari melakukan
kegiatan-kegiatan domestik lainnya seperti memasak, mengasuh anak
dan mencuci. Namun demikian, umumnya tidak ada pemisahan peran
yang jelas antara laki-laki dan perempuan kaitannya dengan aktifitas
ekonomi mereka, sangat tergantung kepada kesepakatan dalam setiap
keluarga. Terkadang, bahkan anak-anak juga dilibatkan membantu
pekerjaan membersihkan buah tengkawang di sela-sela waktu pulang
sekolah atau libur dengan upah 1 bungkus indomie untuk 1 karung
buah.
Bagi orang Kantuk, berladang masih menjadi kegiatan ekonomi
penting yang dilakukan turun temurun. Tahun 2009, penilaian yang
dilakukan oleh lembaga KaBan (Kami Anak Bangsa)184 menunjukan
bahwa ada sekitar 576.000/meter wilayah hutan yang sudah diladangi
oleh orang Kantuk. Konsep berladang ini sendiri jauh melampui sekedar
menjalankan tradisi dari nenek-moyang mereka. Diungkapkan, “ …
kalau tidak beladang, bagaimana kami bisa hidup. Berladang saja hidup
masih susah, apalagi tidak berladang. Ini cukup untuk menggambarkan
tingkat ketergantugan mereka terhadap produksi padi (beras) sebagai
salah satu bahan pokok yang memasok kebutuhan mereka terhadap
karbohidrat dengan menanam berbagai jenis padi di ladang dan
tanaman-tanaman sumber karbohidrat lainnya (bisa menjadi pengganti
nasi) seperti singkong, ketela, talas, jawak (sejenis gandum) dan lingkau
(tanaman biji). Di samping itu, berladang juga memungkinkan mereka
menyediakan sumber protein nabati dan vitamin dengan menanam
kacang-kacangan dan sayur-mayur seperti mentimun, katup, periak,
184
Perkumpulan KaBan adalah sebuah organisasi lembaga swadaya masyarakat yang berkedudukan di
Pontianak, yang dalam program REDD dari FFI mengerjakan survei awal mengenai kondisi masyarakat di
desa-desa wilayah DA. Nama KaBan diambil dari singkatan Kami Anak Bangsa namun jika dilafalkan sebagai
kaban dalam bahasa setempat berarti ‘kawan’. Lembaga ini sendiri fokus melakukan pengorganisasian
rakyat dan good governance, budidaya madu dan karet.
280
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
kucai (daun bawang) dan terong. Kesemuanya ini diproduksi dalam
jumlah yang terbatas untuk keperluan sehari-hari mereka (subsisten),
dan selebihnya jika ada dimungkinkan untuk dijual kepada orang luar
atau desa lain yang datang. Cara lain adalah dengan melakukan barter
produk ladang dengan bahan sembako, misal barter antara terong
dan gula. Dengan 3 kilogram terong (1 kilogram=Rp. 5.000,00) bisa
memperoleh 1 kilogram gula (1 kilogram=Rp. 13.000).
Menoreh karet merupakan kegiatan ekonomi yang cukup bertahan
lama bagi orang Kantuk Desa Jelemuk, karena sebagian besar warga desa
memiliki kebun yang ditanami paling sedikit sekitar 50 – 100 batang
pohon karet setiap keluarga. Menoreh karet bisa dilakukan sepanjang
tahun sepanjang curah hujannya kecil. Biasanya, orang Kantuk menoreh
setelah selesai masa nugal sembari menunggu musim panen tiba. Saat
menunggu musim panen tiba, biasanya pagi hari mereka menoreh karet
dan setelah selesai dilanjutkan dengan mantun (membersihkan ladang
dari gulma). Ini semua dilakukan berdasarkan kalender musim orang
Kantuk, yang tentu saja sangat tergantung kepada kondisi iklim/cuaca
tertentu, misalnya musim membakar ladang hanya bisa dilakukan pada
saat iklim/cuaca panas.
Bagan 6.2. Kalender musim orang Kantuk
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
281
Kalender musim orang Kantuk tidak jauh berbeda dengan komunitas
Dayak lain di Kapuas Hulu dan alat-alat produksinya pun tidak jauh
berbeda bahkan sama, misal untuk berladang, diperlukan kampak/
parang untuk menebas dan menebang, ketam untuk mengetam padi,
tongkat kayu untuk menugal; sedangkan untuk noreh karet diperlukan
piso’ untuk menyadap kulit karet. Musim menebang dan menebas
dilakukan pada bulan Juni-Juli, membakar pada bulan Agustus dan
menanam dilakukan pada bulan September, kemudian masa menunggu
panen dengan membersihkan ladang dari gulma pada bulan Oktober
– November. Persiapan panen (menyiapkan alat-alat dan perlengkapan
panen seperti alat ketam padi, bakul penampung padi dan keranjang
pengangkut padi, tikar jemuran, karung, dan lain sebagainya) dilakukan
pada bulan Desember. Musim panen biasanya berlangsung pada bulan
Januari – Februari, yang diawali dengan panen padi ketan terlebih dahulu
yang diolah menjadi pam atau emping (olahan padi ketan muda sejenis
oats/cereals). Setelah itu, baru dilanjutkan dengan panen padi biasa, lalu
panen padi muda (panen susulan untuk padi yang matang belakangan)
pada bulan Maret. Bulan April – pertengahan Mei adalah masanya
untuk beristirahat, biasanya aktifitas ke ladang hanya untuk mencari
sayur-mayur yang menjadi tumpang sari tanaman padi. Pertengahan Mei
biasanya dilakukan gawai (pesta). Demikian seterusnya aktifitas ekonomi
berladang yang dilakukan oleh orang Kantuk dengan mengikuti kalender
musim. Selain aktifitas berladang, menoreh karet juga menjadi bagian
penting dalam kelender musim orang kantuk, bahkan ini berlangsung
sepanjang musim atau bulan, terkecuali jika hari hujan.
Meskipun dalam dua tahun terakhir harga karet diketahui pernah
sangat anjlok, warga Desa Jelemuk tetap menoreh karet.185 Pilihan ini
dilakukan di samping karena tidak memiliki alternatif pencaharian lain
yang tetap, budaya pertanian multikultur yang dilakukan lebih kepada
sekedar memanfaatkan lahan pekarangan rumah daripada kosong, dan
syukur-syukur jika bisa menambah persediaan kebutuhan sehari-hari,
dan suatu saat dapat memiliki nilai komoditi. Hampir semua keluarga
memiliki tanaman buah (nangka, pinang, pisang, jambu, mangga,
rambutan dan kelapa), sayur mayur (terong, cabai, dan singkong), dan
tanaman obat dan/atau bumbu (kunyit, serei, sirih dan mengkudu,
bahkan beberapa macam tanaman hortikultura (cacao, kopi dan tebu).
Sebetulnya, ini menunjukan bahwa pekarangan rumah oleh orang Kantuk
tidak sekedar menyediakan kebutuhan sehari-hari, tetapi merupakan
bentuk tata produksi dalam skala kecil untuk keperluan subsisten
mereka. Praktik-praktik inipun sesungguhnya menunjukan relasi orang
185
Pada saat berlangsungnya penelitian ini, yakni bulan April 2010, harga karet mulai naik mencapai Rp.
7.500 – 10.000 per kilogram.
282
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Kantuk dengan sumber daya alamnya. Berbagai jenis tanaman tersebut
sebagian besar juga mereka tanami di kebun, ladang, dan pemuda’ (lahan
bekas ladang). Dengan menanamnya di sekitar rumah, mereka tidak
perlu jauh-jauh ke hutan atau ke kebun, jika hanya untuk kebutuhan
sehari-hari yang mendesak. Di samping itu, ini juga salah satu cara
untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap pasar.
Tengkawang menjadi salah satu alternatif ekonomi orang Kantuk,
namun sangat tergantung musim (berbuah hanya 4-5 tahun) dan
harganya menurun drastis mencapai Rp. 2000,00/kilogram dari Rp.
7.500,00 pada awal musim (bulan Maret 2010) ketika penelitian ini
dilakukan. Mereka bisa memperoleh harga yang lumayan tinggi jika
menjual ke Malaysia. Mereka menduga ada pihak-pihak tertentu (yang
perlu ditelusuri lebih jauh) yang melakukan praktik monopoli terhadap
tengkawang, sehingga harga sangat anjlok. Namun demikian, hampir
seluruh warga desa tetap menghabiskan musim tengkawang dengan
mengambil buahnya seta membersihkannya, merebus, menjemur
dan kemudian menjual pada pengepul/pengumpul di Kecamatan
Bika, “daripada tidak ada sumber pendapatan sama sekali, apalagi di
musim banjir seperti ini”. Demikian kata salah seorang ibu pemetik
tengkawang.
Berbagai komoditi di atas menjadi sumber pemenuhan kebutuhan
akan pangan, sandang dan papan orang Kantuk. Kebutuhan ini
mengharuskan mereka untuk mengatur pola konsumsi dan distribusi atas
berbagai komoditi yang dimaksud. Pengaturan pola konsumsi ini bisa
dilihat dari bagaimana mereka mengatur pasokan sumber karbohidrat,
protein, vitamin dan mineral yang ketersediaannya mudah dijangkau
dengan adanya pemanfaatan tanah pekarangan, konsep tembawai dan
pemuda’. Meskipun dikatakan sebelumnya bahwa pola produksi seperti
ini memungkinkan orang Kantuk untuk mengurangi ketergantungannya
terhadap pasar, namun pola konsumsi mereka tetap dipengaruhi oleh
pasar, terutama untuk kebutuhan akan beberapa bahan pokok seperti
gula, minyak goreng, kopi, penyedap masakan (micin), garam, dan lain
sebagainya. Untuk distribusi, selain untuk keluarga (inti), orang Kantuk
mengandalkan pasar kelontong yang ada di Kecamatan Bika, karena
satu-satunya situs ekonomi besar di sini adalah pasar di Putussibau, yang
letaknya cukup jauh dan memakan biaya transportasi yang cukup besar
untuk mencapainya.186 Akibatnya, distribusi komoditi mengandalkan
pengepul (penampung) karet dan tengkawang, dan terkadang pembeli
yang datang langsung ke desa untuk menjual sayur-mayur dan ikan.
186
Dari desanya, untuk ke Putussibau, warga Jelemuk harus ke Nanga Kalis yang memakan waktu lebih
lama karena arahnya yang melawan arus (mudik) dan biaya transportasi yang lebih besar dibandingkan
ke pasar di Kecamatan Bika.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
283
(f) Orang Kantuk dan program-program pembangunan
Intervensi pemerintah begitu kuat mempengaruhi kehidupan orang
Kantuk di Desa Jelemuk. Secara historis, seperti yang telah disampaikan di
muka, mereka juga tidak luput dari program “pemukiman kembali” yang telah
menghilangkan pranata rumah panjang dari kehidupan mereka.187 Sampai
saat inipun, orang Kantuk di Desa Jelemuk tidak terlepas dari program
“pembangunan” dalam bentuk eksploitasi sumber daya alam (hutan) oleh
HPH yang belum terbukti memberikan keuntungan bagi mereka. Seyogyanya,
“pembangunan” adalah untuk kepentingan menegakkan ketertiban dan
pengawasan, namun kenyataannya sumber daya (alam) masyarakat lebih
kepada untuk kepentingan nasional (Sellato, 2002:55; Li, 2002: XV).
Orang Kantuk sendiri melihat kebijakan “pembangunan” pemerintah
itu baik adanya karena untuk kemakmuran rakyat, sehingga mereka
haruslah mematuhinya. Di lain pihak, ada pula kesadaran bahwa intervensi
pemerintah selama ini tidak cukup meyakinkan mereka bahwa itu betulbetul untuk kepentingan mereka. Ini utama dirasakan dari semakin sulitnya
mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka karena harga yang
tinggi tidak sebanding dengan pendapatan (cash) mereka dari berbagai
aktifitas ekonomi yang mereka jalankan selama ini. Bandingkan saja, harga
1 kilogram karet (Rp. 9.000-10.000) dengan harga 1 kilogram minyak goreng
(Rp. 15.000).188
Kaitannya dengan program-program pemerintah, dalam sepuluh
tahun terakhir ini, setidaknya ada beberapa program seperti PPIP (Proyek
Pemberdayaan Infrastruktur pedesaan), BLT (Bantuan Langsung Tunai),
Raskin (Beras Miskin) yang datang ke desa ini. PPIP merupakan bantuan
yang disalurkan dalam bentuk dana sebesar 250 juta yang dikelola oleh OMS
(Organisasi Masyarakat Setempat).189 Orang Kantuk melihat program seperti
ini baik, dianggap tidak menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat
karena adanya pelibatan langsung seluruh masyarakat dan realisasinya dapat
dilihat secara kasat mata dalam bentuk jalan cor semen, tong air minum
untuk setiap rumah, serta jembatan dan stecther (port).
Desa Jelemuk pernah menerima program bantuan pemerintah dalam
bentuk BLT pada bulan Februari 2009. Namun, bantuan ini hanya berlangsung
selama setahun saja (satu kali). Respon masyarakat cukup beragam terhadap
BLT ini, ada yang mengatakan baik karena uang cash memang diperlukan,
187
188
189
Program ini tidak hanya berdampak pada kehidupan orang Kantuk, namun juga bagi suku-suku (Dayak)
lainnya di Borneo (Kalimantan dan Sabah), di antaranya Punan yang dikenal sebagai suku nomads yang
harus merubah cara hidup mereka dari mengumpulkan hasil hutan menjadi bertani dengan sistem menetap
sekitar tahun 1967 (lih. Sellato, 2002:55-59).
Persoalan ini dikemukakan oleh kaum ibu dari bincang-bincang informal dengan peneliti saat berkunjung
dari rumah ke rumah di RT. 1 dan 2, di Desa Jelemuk pertengahan Maret 2010.
OMS dibentuk setelah proyek masuk dan menjadi syarat pemberian bantuan. Komponen OMS terdiri dari
Ketua, Sekretaris, Bendahara dan anggota. Mekanisme pemilihan orang yang bertanggung jawab untuk
masing-masing komponen dilakukan melalui 3-4 kali rapat Desa.
284
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
bisa langsung digunakan untuk memenuhi keperluan mereka. Ada juga
kekhawatiran bahwa bantuan tunai gampang di mark-up. Namun, secara
umum, BLT dianggap sangat rentan konflik antara yang masuk sebagai
Rumah Tangga Penerima Manfaat (RTPM) dan yang bukan, karena hampir
semua warga merasa membutuhkan bantuan itu. Sementara, persoalan
administrasi juga muncul kaitannya dengan pendataan yang tidak akurat
sehingga membuat kesulitan dalam pendistribuian bantuan. Ini disikapi
oleh pengurus desa dengan mengambil kebijaksanaan untuk membagi
rata bantuan bagi seluruh warga per RTPM agar tidak ada kecemburuan
sosial. Ada pernyataan menarik yang diungkapkan oleh beberapa warga
ketika ditanya, “Apakah anda mau dikatakan miskin?”Jawabnya, “Bukan mau
atau tidak, tetapi dana itu kan memang sudah ada dari pemerintah dan
program pemerintah. Apapun nama program itu, jika program pemerintah,
ya kita terima, toh kalaupun kita minta belum tentu kita dikasih 300 ribu
per triwulan”.
Respon yang hampir sama juga muncul kaitannya dengan pembagian
Raskin yang sudah lama dirasakan oleh warga Desa Jelemuk. Dan, kendala
yang dihadapi diawal bergulirnya bantuan ini juga masih berkutat pada
persoalan administrasi, dimana ada tercatat 62 KK sebagai RTPM, sementara
banyak warga yang protes karena merasa berhak. Menyikapi ini, pengurus
Desa mengambil kebijaksanaan untuk membagi rata Raskin ke seluruh
penduduk dengan menalangi pembelian Raskin dari dolog di Putussibau
(menggunakan kas desa). Setelah itu, setiap keluarga akan datang sendiri
ke kantor desa untuk membeli dengan harga Rp. 2.500/kilogram.
Selain program bantuan di atas, Desa Jelemuk juga pernah memperoleh
bantuan (IDT=Inpres Desa Tertinggal) dalam bentuk alat pertanian seperti
hand-tractor, racun (pestisida), bibit ayam ras, dan ikan. Namun demikian,
sedikit dari warga desa yang mengetahui bantuan-bantuan ini dikarenakan
tidak ada musywarah atau sosialisasi dari pemerintah terlebih dahulu
dengan masyarakat. Bantuan dalam bentuk alatpun tidak dirasakan efektif
karena tidak adanya asistensi teknis serta pendidikan dan pelatihan untuk
masyarakat bagaimana mengembangkan bantuan-bantuan tersebut agar
memberikan manfaat lebih bagi mereka.
Program-program lain seperti PNPM juga mulai diperkenalkan ke warga
Desa Jelemuk. Namun, sampai saat laporan ini dibuat, proyek ini masih
dalam proses sosialiasi dari Fasilitator Kecamatan (FK). Salah satu program
PNPM yang cukup mendapat perhatian warga dalam proses sosialisasi adalah
Simpan Pinjam Perempuan, yakni bantuan dalam bentuk uang tunai yang
harus dikelola oleh kelompok ibu-ibu (satu kelompok terdiri dari 5-6 orang).
Warga Desa Jelemuk melihat program ini cukup “membingungkan” mereka
karena akan ada proses perankingan terlebih dahulu. Sebelumnya, semua
desa diminta ajukan usulan ke kecamatan untuk dinilai oleh petugas.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
285
“Ini membingungkan, mestinya kalau ada bantuan dibagi per desa dari kecamatan.
Meski tidak rata, tetapi sama-sama dapat. Dengan sistem ranking ini, siapa
yang mesti dapat?. Kita belum tentu terima jika aturan mainnya begitu.”190
(g) Sistem tenurial orang Kantuk
Seperti yang telah disampaikan di bagian sebelumnya, orang Kantuk
masih bertahan hidup dengan adat mereka, meski perlahan mulai tergerus
oleh ‘pembangunan’, salah satunya ketika mereka tidak lagi mempertahankan
budaya rumah panjang. Inipun berpengaruh terhadap lunturnya tradisitradisi yang mereka jalankan ketika masih di rumah panjang, misalnya tradisi
membagi hasil buruan, sekarang setiap orang berburu untuk keperluannya
sendiri dan kalaupun hasil buruannya banyak, biasanya untuk dijual.
Konsep penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam/hutan oleh
orang Kantuk erat kaitannya dengan tradisi berladang, karena dari sinilah
konsep penguasaan terhadap suatu wilayah dimulai. Pada orang Kantuk,
ketika pertama kali membuka lahan untuk berladang, saat itu suatu wilayah
dinyatakan oleh pengelola sebagai ‘milik’ dan diakui oleh seluruh warga
masyarakat. Namun, ini juga melalui ketentuan, misalnya, sebuah wilayah
atau lahan yang sudah dibuka haruslah dipelihara (ditebas dan ditanami)
terus menerus setelah selama satu tahun diladangi. “… dengan membuka
lahan, umumnya berladang, lahan ditebas, ditebang, dibakar, ditanami padi
lalu panen. Setelah selesai dipanen, nah itu jadi milik kita”, demikian diungkap
oleh peserta diskusi terfokus saat penelitian berlangsung. Wilayah bekas
ladang ini dikenal dengan sebutan pemuda’ oleh orang Kantuk. Pemuda’
yang dalam waktu lama tidak dikelola setelah satu tahun bisa berpindah
kepemilikannya kepada pihak lain “…. Jika hanya nebas saja, tidak ditebang
dan tidak dikerjakan selanjutnya, dia tidak berhak atas lahan” lanjut salah
satu narasumber dalam diskusi tersebut.
Meski dinyatakan sebagai ‘milik’, secara legal formal praktik-praktik
memperoleh hak atas tanah/wilayah seperti ini tidak diakui, karena
bentuk klaim dengan mengelola lahan yang kerap dilakukan oleh orang
Kantuk tidak memiliki legitimasi dalam bentuk sertifikat kepemilikan.
Lahan berladang yang sudah menjadi pemuda’, biasanya akan ditinggalkan
dan biasanya akan diladangi lagi setelah 5 tahun. Untuk menunjukkan
penguasaan atas suatu pemuda’, orang Kantuk mengandalkan tanda-tanda
alam seperti sungai, pohon besar dan terkadang sengaja ditanam tanaman
keras sebagai bukti klaim atas wilayah. Konsep ini terus dijalankan orang
Kantuk selama bertahun-tahun, dan mereka meyakini bahwa aturan adat/
hukum adat mereka memiliki kekuatan dalam mengatur ini. Orang luar
juga diperbolehkan untuk membuka lahan di wilayah Desa Jelemuk dengan
mengikuti aturan-aturan adat mereka, tetapi tidak untuk pihak-pihak yang
190
Yahya (Kepala Desa Jelemuk), wawancara, 16-03-2010.
286
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
akan melakukan pembukaan lahan dalam skala besar untuk keperluan
industri oleh perusahaan-perusahaan besar seperti perusahaan perkebunan
kelapa sawit. Ini dibuktikan dengan penolakan masyarakat Desa Jelemuk
atas perusahaan kelapa sawit PT. Benua Internasional Anugerah yang akan
masuk pada tahun 2008.
Konsep penguasaan dan pengelolaan tanah oleh orang Kantuk di wilayah
ini juga bisa dilihat dari konsep tembawai (kawasan non-hutan bekas tempat
membangung rumah). Tembawai biasanya dikuasi oleh keluarga atau satu
keturunan yang dulunya (yang bersangkutan atau nenek-moyangnya)
membangun rumah di lahan yang dimaksud. Orang lain (banyak orang)
di luar anggota keluarga bisa saja mengelola tembawai, biasanya dengan
menanam tanaman buah seperti rambutan, durian dan lain sebagainya.
Namun, mereka juga hanya boleh mengambil buah dari tanamana yang
dia tanam sendiri, tidak boleh memanen buah yang ditanam orang lain
karena akan dikenakan sanksi adat. Status kepemilikan bersama (tembawai
bersama) biasanya tetap bermula dari penguasaan oleh satu keluarga/
keturunan (dimiliki bersama oleh satu keluarga/keturunan), ini disebut
dengan Tembawai Tigas. Semua orang boleh menanam dan mengambil,
namun harus dilakukan secara bersama-sama, tidak boleh mengambil/
menguasai sendiri.
Kaitannya dengan konsep penguasaan wilayah, orang Kantuk di Desa
Jelemuk juga mengenal sistem warisan (mewariskan tanah/wilayah kelola),
utamanya untuk lahan membuat rumah dan berladang. Oleh karena itu,
dalam satu hamparan lahan, pengelolanya adalah satu klan (keluarga/
keturunan). Konsep penguasaan wilayah bisa juga bersifat individu-satu
keluarga namun pengelolaannya secara kolektif dengan sistem kerja
kelompok, ini ditandai dengan masih hidupnya tradisi kerja ambik-ari atau
beduruk (sistem kerja gilir-balik) dimulai dari saat menebang, menebas
dan menanam sampai panen, dan ini berlaku juga untuk pekerjaan lain
seperti membangun rumah.
(h) Praktek pengelolaan hutan oleh orang Kantuk
(i) Klasifikasi sumber daya alam dan hutan
Secara historis, tidak terbantahkan bahwa orang Kantuk di Desa
Jelemuk sudah hidup dari memanfaatkan sumber daya yang ada di
dalam hutan yang mereka sebut dengan istilah Kampung (untuk hutan
perawan). Kampung adalah istilah untuk hutan perawan, dan aktifitas
pembukaan lahan di hutan ini disebut ngampung. Tidak ada klasifikasi
khusus untuk jenis-jenis sumber daya alam, karena hutan dipandang
wujud dari kesatuan keberadaan sumber daya alam seperti tanah, air dan
udara beserta turunan-turunannya yang terintegrasi dan dimanfaatkan
untuk keberlangsungan hidup. “Belum tahu pengelompokan seperti
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
287
itu. Yang jelas, kita di sini kenal hutan, di hutan ada kayu”, demikian
diungkapkan seorang ibu di Jelemuk.
Orang Kantuk juga mengakui pentingnya menjaga keseimbangan
dengan alam, yang paling utamanya adalah dengan menjaga hutan
karena adanya siklus kehidupan yang ada, dan masyarakat masuk di
dalamnya sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu, ketika bicara Kampung
atau hutan, terintegrasi di dalamnya banyak unsur-unsur yang ada
di muka bumi baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Inilah yang
mendasari orang Kantuk menjaga relasi mereka dengan alam/hutan
dalam bentuk ritual-ritual, misalnya ketika pertama kali membuka lahan
(baik untuk berladang maupun membangun rumah), ada sampi (do’a)
yang disampaikan oleh orang Kantuk kepada yang mereka yakini sebagai
kekuatan lebih besar yang berkuasa atas tanah, air dan udara.
“ … yang bisi’ yang ngempang-ngelayang, bisi’ ngaru-ngacau- ngerigau,
minta disepah-diseliah. Minta sepah-seliah, utai ti ka’ munuh-ma’ti kami
nyak anang damping agik, mutung tanjung, ngepat ke darat, ndak tau’ alah.
Kami minta’ panjai umur, ndak ada kapal, kami cari’ bisik’. Utai ti sekolah
suruh pintar, isak iya ati disuruh tajam, pinta ke ia tajam bepikir, sekolah
isak panjai isak tamat, isak nemu mata pelajar.” (… mohon dijauhkan dari
segala mara bahaya. Bagi anak yang sekolah agar bisa diberikan ketajaman
berpikir, kelak menjadi pintar dan bisa tamat sekolah).191
Meskipun orang Kantuk tidak melakukan klasifikasi secara
khusus untuk sumber daya alam. Namun, ketika ditanya mereka bisa
menjelaskan dengan baik jenis-jenis kayu yang ada di hutan meski tidak
begitu lengkap misalnya, hampir semua narasumber menyebut jenis
kayu yang hampir sama seperti jelutung, meranti, dan kelansam. Hutan
juga mereka yakini menyediakan tanaman (sumber) obat-obatan seperti
akar bentak yang biasa digunakan untuk mengobati sakit kepala atau
untuk diminumkan kepada Ibu yang baru habis melahirkan karena bisa
membantu menghentikan pendarahan. Untuk tanah/lahan, orang Kantuk
mengenal tanah pekarangan rumah, tanah/lahan untuk berladang
(baru) dan pemuda (biasanya dijadikan kebun sayur atau buah)’, dan
kuburan. Kaitannya dengan air, orang Kantuk memiliki beberapa danau
dan sungai yang dikelompokan ke dalam danau dan sungai besar dan
kecil yang memiliki aturan pengelolaan sendiri-sendiri. Menuba ikan
hanya boleh dilakukan di Sungai-sungai kecil dan danau yang sudah
ditentukan dalam buku Hukum Adat.
Tidak ada proses transfer pengetahuan secara khusus dalam
menentukan atau mengelompokan sumber daya alam, karena orang
Kantuk sendiri belum pernah secara bersama-sama melakuan
inventarisasi terhadap sumber daya yang ada. Pengetahuan yang mereka
191
Pak Jenggot (salah satu tetua di Desa Jelemuk), wawancara, 16-03-2010.
288
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
miliki lebih kepada pengalaman dalam melakukan akses terhadap
sumber daya tersebut, misal ketika hendak membangun rumah, dengan
sendirinya mereka akan menggunakan pengetahuan turun temurun
alami mereka untuk mencari jenis kayu keras yang tepat seperti Meranti
dan Belian. Pengetahuan alami turun temurun mereka juga mampu
mengidentifikasi jenis-jenis tanaman yang bisa dijadikan obat dan
bumbu serta yang bisa dijadikan bahan untuk membuat tikar seperti
pandan dan bahan untuk membuat keranjang seperti rotan.
(ii) Pranata dan praktik pengelolaan hutan oleh orang Kantuk
Pengelolaan hutan oleh orang Kantuk menjadi bagian penting yang
diatur dengan menggunakan aturan lokal atau hukum adat. Aturan
lokal juga digunakan untuk mengatur pengelolaan wilayah perairan,
dimana orang Kantuk di Desa Jelemuk telah memiliki aturan tentang
pengelolaan sungai, danau dan perairan yang mereka buat pada tahun
2009. Menurut para narasumber, proses ini mereka lakukan karena
didorong pula oleh ide Kabupaten Konservasi yang dicanangkan oleh
Bupati Abang Thambul Husin pada tahun 2003 melalui SK Bupati No.
144 Tahun 2003, yang dipandang oleh orang Kantuk sebagai ide yang
sangat baik pada mulanya karena menjaga keberlangsungan hutan
dan alam tempat mereka menggantungkan hidup. Ide Kabupaten
Konservasi ini juga merupakan manifestasi dari reformasi birokrasi
di level kabupaten yang bertujuan pada peningkatan kinerja aparat,
memacu pertumbuhan ekonomi namun dengan tetap mengindahkan
kelestarian alam (Purwanto, 2008).192
Jika dulu pranata rumah panjang menjadi salah satu kekuatan dalam
mempertahankan pengelolaan yang lestari, saat ini orang Kantuk masih
terus mempertahankan struktur pemerintahan adat dengan adanya
pengurus adat di samping pengurus desa yang dikukuhkan dalam hukum
adat yang sampai saat ini dipegang teguh oleh orang Kantuk. Meski
demikian, sebetulnya, intervensi pemerintah dalam memformalkan
struktur pemerintahan adat termasuk memunculkan istilah baru untuk
beberapa jabatan di struktur adat seperti Temenggung, Ketua Kemplit
dan Ketua Adat telah memilki kontribusi terhadap kaburnya pranata
rumah panjang dimana peran Tuai Rumah dan Kepala Kampung yang
menjadi sangat penting dalam pengelolaan hutan kala itu sudah dengan
sendirinya juga hilang.
Sebagai masyarakat yang hidupnya bergantung kepada hutan,
orang Kantuk di Desa Jelemuk memiliki sistem pengelolaan yang
berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka
sendiri. Selama inipun, belajar dari banyak tempat, mereka melihat
192
Ide tentang Kabupaten Konservasi juga sudah dibahas pada Bab 5 Buku ini.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
289
sistem pengelolaan versi pemerintah cenderung eksploitatif dan
mengabaikan keberlangsungan hidup mereka dan hak-hak mereka.
Inilah yang menjadi dasar kuat penolakan warga Desa Jelemuk terhadap
perkebunan kelapa sawit di daerah mereka. Dalam bagian terdahulu
laporan ini telah dijelaskan tentang bentuk-bentuk pengelolaan seperti
berladang (swidden cultivation), tumpang sari (agro forestry), dan juga
menjaga hutan-hutan yang dianggap tempat keramat dengan adanya
ritual-ritual. Kebiasaan masyarakat dalam melakukan tebang pilih serta
penggunaan alat-alat produksi yang tidak merusak anak-anak kayu dan
kayu lain di sekitar pohon yang akan ditebang juga merupakan bentuk
pengelolaan yang mereka anggap berkelanjutan. Selama ini, praktik
pengelolaan yang demikian disebut sebagai sistem hutan kerakyatan
(Lynch, Talbott, 2001).
(iii)Eksistensi pranata dan praktik pengelolaan hutan di luar
masyarakat
Meskipun masyarakat Jelemuk sadar bahwa selama ini mereka
telah menjalankan pengelolaan hutan mereka secara berkelanjutan,
namun kekuatan luar dalam bentuk penggunaan alat-alat berat seperti
bulldozer dan ekskavator pada akhir tidak bisa mereka tolak, terutama
pada masa terjadinya pembalakan liar di hutan mereka. Fakta lain
hadirnya pranata dan praktik dari luar di salam kawasan hutan Desa
Jelemuk adalah fakta bahwa wilayah hutan mereka merupakan wilayah
eks beroperasinya tiga Perusahaan HPH; PT. Ulak Jelemuk (1977), PT.
Puncak (1976) dan PT. Trikaka (1979).
Diskusi terfokus dengan beberapa narasumber menggambarkan
adanya konflik meski tidak meluas yang terjadi baik antara perusahaan
dengan kelompok masyarakat yang kontra, maupun antar masyarakat
yang pro dan yang kontra terhadap perusahaan. Peristiwa paling penting
terjadi pada tahun 2000 yakni konflik orang Kantuk di Desa Jelemuk vs.
PT Barito Pasifik. Ketika itu, perusahaan ini ‘menurunkan’ kayu, namun
ditahan oleh warga karena ternyata perusahaan ini telah beroperasi
melampui areal yang diijinkan (yakni meluas sampai ke wilayah hutan
Jelemuk, padahal seharusnya di luar kawasan hutan Desa Jelemuk).
Pola-pola klaim wilayah sepihak juga pernah dilakukan perkebunan
kelapa sawit PT. Borneo Internasional Anugerah (BIA) yang melakukan
sosialisasi pada tahun 2006. Saat itu, warga Jelemuk menolak kehadiran
perusahaan ini. Namun, pada April 2010, PT. First Borneo Plantations
sebagai Holding Company PT. BIA kembali menyampaikan rencana
realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit PT. BIA dengan
mengundang kepala desa dan perangkat adat untuk hadir dalam
pertemuan di Putussibau. Terkait dengan rencana realisasi perkebunan
290
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
sawit ini, beberapa orang perangkat desa kembali menyatakan bahwa
sikap mereka masih sama, yakni menolak dengan alasan bahwa
perkebunan sawit hanya akan menggunduli hutan mereka (sebelum
realisasi perkebunan, perusahaan akan mengambil kayu), kemudian
mereka akan kehilangan tanah karena tidak ada jaminan tanah
kembali dengan masa perpanjangan ijin perkebunan kelapa sawit yang
dimungkinkan. Pada akhirnya, ini hanya akan menjadikan orang Kantuk
di Desa Jelemuk ‘menjadi kuli di tanahnya sendiri’, demikian diungkapkan
oleh Kepala Desa Jelemuk, dengan ilustrasi di bawah ini:
“Saya sendiri tidak setuju. Sewaktu pertemuan, mereka (baca: PT. BIA)
mengundang Kades; dan penyampaian mereka memang baguslah katanya.
Cuma, saya bilang, masyarakat Jelemuk 30 tahun lalu penduduknya cuma
30 KK dan sekarang sudah lebih dari 100 KK. Dengan adanya hutan, dibuka
sawit, dan dari 100 KK ini, dikreditkanlah 2 Ha per KK, sudah habis hutan
kita. Sementara, sawit itu 35 tahun baru peremajaan, dan masih boleh
diperpanjang lagi. Apakah selama 25 tahun perusahaan bisa memperluas
lahan bagi masyarakat; bagi katakanlah anak-anak sekarang yang belum
kawin, yang mungkin minta. Apakah bisa disediakan?. Iya kalau memang
bisa disediakan, kalaupun tidak, apakah ada alternatif lain?. Sebab, kalau
tidak, akan ada kesenjangan antara yang ada sawit dan yang tidak ada sawit.
Bisa-bisa, ujungnya jadi penonton di tanah sendiri karena sudah tidak ada
lahan. Jadi kuli di tanah sendiri.”193
Klaim bertumbukan (contested claim) juga pernah terjadi antara
warga Desa Jelemuk dan orang luar di batas wilayah (Sungai) Jelemuk
dan Nanga Tuan. Klaim berawal ketika salah seorang tokoh adat Jelemuk
dan beberapa orang dari luar wilayah Jelemuk (Batang Tuan) menuba
ikan dengan menggunakan akar. Ini merupakan salah satu sistem
penguasaan yang membingungkan orang Kantuk di Desa Jelemuk
karena wilayah ini diklaim sebagai wilayah bebas (open access) oleh
pihak yang me-nuba, sehingga penegakan aturan adat (hukum adat)
tidak bisa dijalankan atas apa yang mereka anggap pelanggaran.194
Sementara, menurut beberapa perangkat adat dan desa, aturan adat
itu pun berpijak pada aturan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah
Kabupaten Kapuas Hulu tentang pemeliharaan wilayah sungai. Dalam
aturan tersebut, Batang Tuan merupakan salah satu sungai besar yang
tidak boleh dituba dalam berdasarkan Musyawarah Desa Jelemuk pada
tahun 2009.
193
194
Yahya (Kepala Desa Jelemuk), wawancara, 16-03-2010.
Menuba dengan menggunakan akar diperbolehkan hanya dalam jumlah tertentu dan hanya dalam wilayah
sungai yang tidak diakses langsung oleh masyarakat. Dalam kasus ini, menurut warga Jelemuk, para
penuba telah menuba di wilayah sungai yang diakses oleh banyak orang dan menggunakan akar tuba
dalam jumlah sangat besar hingga mampu menghasilkan sampai 7 ton ikan. Dengan dalih open access,
para penuba menolak dijatuhkan sanksi adat, sehingga warga Jelemuk terpaksa mengadukan kasus ini
ke Polisi namun tidak direspon dengan baik dengan alasan kejadian di luar wilayah Jelemuk.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
291
Berangkat dari persoalan di atas, meskipun adanya kekhawatiran
warga Desa Jelemuk terhadap kekuatan luar (penguasaan luar), namun
hukum dan aturan lokal terkait pengelolaan sumber daya alam mereka
tetap akan mereka tegakan. Ini pula yang menjadi landasan pikir
dilakukannya peninjauan Buku Hukum Adat mereka selama ini. Proses
ini terrmasuk bagaimana memaksimalkan peran perangkat adat dan
bagaimana hukum adat itu sendiri melakukan adaptasi dan memiliki
kekuatan ketika mereka berhadapan dengan kekuatan luar tersebut,
seperti perusahaan.
Munculnya bentuk-bentuk pengelolaan lain (dari luar) di wilayah
orang Kantuk ini tidak lepas dari skema-skema pemberian ijin dari
pemerintah. Dengan pola penguasaan dan pengelolaan seperti ini, orang
Kantuk khawatir bahwa penegakan aturan adat mereka semakin sulit
dilakukan dalam dinamika yang terus berubah dan menyeret mereka
pada kerentanan hilang sumber daya alamnya.
Dalam beberapa kasus atau konflik yang terjadi, terutama konflik
dengan perusahaan, masyarakat cenderung melihat konflik ini sebagai
absennya pelaksanaan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent,
ketiadaan partisipasi masyarakat dan ganti rugi, tetapi belum sampai
kepada kesadaran bahwa ini bagian dari usaha yang melanggar hak-hak
tenurial dan sistem tenurial yang mereka jalankan selama ini.
(iv) Perubahan ekologi hutan di mata orang Kantuk
Orang Kantuk menyadari bahwa telah terjadi perubahan ekologi
hutan mereka, setidaknya dilihat dari dua aspek yakni aspek fisik dan non
fisik. Aspek fisik salah satunya dapat ditandai dengan semakin sulitnya
memperoleh binatang buruan, hal ini diungkapkan salah seorang Ibu:
“Dulu, jika hendak berambik ari (mengerjakan ladang di suatu tempat secara
bersama-sama dan bergiliran, istilah lokal lainnya beduruk), biasanya kaum
perempuan pergi lebih dulu ke ladang, kaum laki-laki pergi ngasu (berburu)
dulu, sebentar sudah dapat buruan (babi), sekarang susah. Kita dulu ndak
susah dapat babi, jalan jak sebentar dah dapat. Kalau sekarang, bedanya
jauh sekali.”195
Hal lain adalah seringnya banjir, yang dulunya banjir datang sekali
dalam 5 tahun, sekarang kecenderungannya terjadi setiap tahun dan
berlangsung dalam waktu yang cukup panjang. Dan, saat banjir tiba,
orang Kantuk di Desa Jelemuk tidak saja terancam gagal panen tetapi
juga menurunkan produktifitas karet karena kebun karet merekapun
tidak luput dari rendaman air, bahkan permukaan air bisa sampai ke
teras rumah warga yang sudah temasuk di dataran yang paling tinggi
di Desa Jelemuk.
195
Diungkapkan oleh Ibu Ida, saat Wawancara dengan Pak Jenggot, Selasa, 16 Maret 2010.
292
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Aspek non-fisik bisa dirasakan langsung ketika hari panas atau hujan,
jika dulunya cuaca atau iklim sangat gampang dikira-kira, sekarang
sering terjadi perubahan ekstrim misalnya dari cuaca yang ekstrim
panas, bisa berubah jadi ekstrim dingin. Ini juga sangat berpengaruh
terhadap jam kerja warga, misalnya ketika cuaca dianggap ‘bagus’ untuk
menoreh karet, di tengah pekerjaan harus berhenti karena hujan tibatiba datang, dan tentu pekerjaan mereka tidak membuahkan hasil.
Contoh lainnya adalah ketika cuaca panas, warga biasanya menjemur
padi atau pakaian, dan sering terjadi pergantian cuaca secara tiba-tiba
menjadi hujan beberapa saat kemudian.
Kedua aspek di atas juga berpengaruh terhadap praktik dan
penggunaan pengetahuan lokal orang Kantuk, misalnya dalam membaca
tanda-tanda alam seperti suara burung untuk menentukan kapan
musim yang tepat untuk berladang.196 Menurut salah seorang tokoh
yang dituakan, ini tidak saja disebabkan tidak adanya proses transfer
pengetahuan dari yang tua ke yang muda, tapi juga dikarenakan kondisi
alam yang tidak memungkinkan lagi. Di samping itu, pola penguasaan
tanah yang awalnya tidak dibatasi, mau tidak mau juga berubah karena
ketersediaan tanah dengan jumlah penduduk tidak lagi berimbang.
(i) Perubahan pada sumber daya alam
Sumber daya alam yang selama ini memberikan peran penting bagi
orang Kantuk dalam bertahan hidup (survival) perlahan menunjukan
penurunan kuantitas dan kualitasnya. Kualitas air Sungai Manday yang
semakin hari semakin keruh berpengaruh terhadap ketersediaan jenis ikan
seperti arwana misalnya. Orang Kantuk pernah melakukan panen besar
ikan arwana pada tahun 1981, dan sekarang sulit untuk memperoleh ikan
jenis ini.197 Hal ini dikarena air Sungai Manday yang sudah semakin keruh
dan juga penggunaan alat-alat produksi yang merusak misalnya dengan
menggunakan setrum listrik.
Ketersediaan kayu-kayu di hutan seperti jenis kayu Meranti, Jelutung,
Kelansam, Tempurau, dan Kempas juga semakin berkurang padahal selama
ini masyarakat memanfaatkan hanya untuk membangun rumah dan beberapa
dijual dalam jumlah yang tidak begitu banyak hanya untuk memenuhi
keperluan sehari-hari. Itupun mereka lakukan dengan sistem Tebang-Banjir
atau TB yang mereka lakukan sangat tergantung dengan pasang-surutnya
196
197
Diungkapkan oleh salah seorang tetua Desa Jelemuk bahwa untuk berladang, biasanya menunggu burung
Ketupung atau burung Padi berbunyi. Jika suaranya nyaring, dipercaya merupakan waktu yang baik dan
diperbolehkan untuk berladang, sebaliknya jika sumbang, dipercayai bukan waktu yang tepat, apakah baik
(nyaring), atau tidak (sumbang). Jika nyaring berarti sudah boleh berladang.
Pada tahun 1980-an, ikan Arwana (Silok) pernah menjadi primadona warga Jelemuk sebagai salah satu
sumber mata pencaharian keluarga karena harganya cukup mahal, terutama untuk jenis ikan arwana
merah yang bisa mencapai harga Rp. 50.000; per ekor untuk ukuran sedang.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
293
sungai, sekitar sekali dalam 5 tahun.198 Aktifitas ini terpaksa mereka
tinggalkan sejak berlangsungnya operasi penertiban pembalakan liar oleh
Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu 2004. Padahal, aktifitas TB ini juga
pernah menjadi alternatif ekonomi yang menjanjikan dan cukup mengubah
kehidupan orang Kantuk di Jelemuk yang dulunya rumah mereka hanya
dari kayu, sekarang tidak asing lagi menjumpai beberapa rumah warga
berbentuk semi-permanen.
Perlu dicatat bahwa operasi penertiban illegal logging tersebut memang
pada dasarnya dilakukan untuk memberantas aktifitas illegal logging yang
terorganisir dilakukan oleh para pengusaha asing dari Malaysia. Namun
demikian, usaha penertiban ini tidak memiliki pengaruh yang cukup
signifikan. Bukannya membuat para cukong kayu menghentikan laju aktifitas
mereka, justru masyarakat kecil seperti orang Kantuk di Desa Jelemuk inilah
yang kemudian menjadi sasaran operasi pemberantasan illegal logging. Di
bawah ini adalah ilustrasi keberatan orang Kantuk terhadap istilah illegal
logging bagi aktifitas penebangan mereka, yang diungkapkan oleh seorang
ibu dalam wawancara bersama seorang tokoh tua di Desa ini;
“Kami sebenarnya tidak terima kalau nebang pake kampak dibilang illegal
logging. Yang dibilang illegal logging itukan pake mesin semua. Kalau TebangBanjir itu kan, kalau tidak banjir kita tidak tebang, susah keluarkan kayu
besar-besar. Kalau 5 tahun tidak banjir, 5 tahun kita tidak tebang. Kayu tidak
bisa diangkat-angkat. Mana bisa, karena jauh.”199
Meski demikian, warga Desa Jelemuk mau tidak mau mencari alternatif
sumber pencaharian lain, meskipun mereka yakin bahwa aktifitas menebang
yang mereka lakukan selama ini tidaklah merusak. Di samping itu, aturan
adat mereka mengharuskan mereka untuk menebang kayu seperlunya dan
hanya mencari kayu yang diameternya sudah besar agar hutan tidak gundul.
(i) Iklim, cuaca dan kehidupan keseharian orang Kantuk di Desa
Jelemuk
Orang Kantuk tidak memiliki sebutan atau istilah khusus untuk
menunjukan karakter iklim (climate) dan cuaca (weather), tetapi
mengelompokannya ke dalam musim hujan dan panas (kering atau
kemarau). Secara harfiah, tidak ada pembedaan cuaca dan iklim. Pada
musim hujan, orang Kantuk sedikit melakukan aktifitas di luar rumah.
Aktifitas berladang di tanah keringpun beralih kepada berladang lahan
basah, sehingga tidak perlu melakukan aktifitas pembakaran, namun
biasanya tidak bisa dihindari pemakaian pestisida untuk mengusir hama.
Dengan curah hujan yang cukup tinggi, orang Kantuk melihat banjir
198
199
TB atauTebang Banjir adalah aktivitas penebangan yang hanya dilakukan saat debit air naik (banjir), dengan
demikian akan mudah untuk mengeluarkan dan ‘menurunkan’ kayu-kayu yang sudah ditebang dari hutan
ke sungai.
Diungkapkan oleh seorang Ibu (yang tidak ingin namanya disebutkan) kepada peneliti, 16-03-2010.
294
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
di desa mereka sudah seakan menjadi agenda rutin tiap tahun yang
awalnya paling hanya datang 3-4 tahun sekali. Satu-satunya hal yang
mungkin disyukuri oleh orang Kantuk adalah tambahan persediaan air
hujan untuk konsumsi mereka (diminum), karena air Sungai Manday
tidak layak untuk diminum tetapi hanya untuk mandi dan mencuci.
Hal lain saat musim tengkawang tiba, mereka tidak perlu jauh-jauh
masuk hutan untuk mencari buahnya karena permukaan air sungai
dapat mempercepat dan mempersingkat akses mereka.
Pada musim kering, banyak aktifitas produksi yang bisa dilakukan
oleh orang Kantuk ketimbang di musim hujan. Namun jika musim
ini berkepanjangan, tetap akan berdampak pada menurunnya tingkat
produktifitas lahan dan produk pertanian, misalnya karet. Musim
kemarau memang sedikit memberikan keuntungan, misalnya, selain
gampang menjemur/mengeringkan padi, biasanya musim ini akan
mempermudah mencari ikan, karena permukaan sungai turun. Namun,
tetap saja, jika berlangsung dalam rentang waktu lama, kondisi ini bisa
mengancam tingkat produktifitas pertanian orang kantuk; air getah karet
sedikit, tanaman padi dan sayur mayur kering. Pada musim kemarau,
ketersediaan air bersih juga tidak memadai dan akan membawa dampak
ikutan lainnya seperti penyakit. Sistem distribusi dan transportasi orang
Kantuk juga akan sangat terganggu dimusim kering dan cenderung
mengisolir mereka dari situs-situs ekonomi.
(ii) Orang Kantuk di Desa Jelemuk dan perubahan iklim global
Perubahan iklim bukanlah sesuatu yang asing didengar oleh orang
Kantuk di Desa Jelemuk saat ini. Mereka cukup melek informasi tentang
iklim global dengan adanya televisi yang bisa dijumpai hampir di setiap
rumah. Mereka menyadari bahwa ada yang berubah dengan lingkungan
dan alam tempat mereka bertahan hidup. Hal yang paling jelas adalah
ketika mereka mencoba menilai tingkat produktifitas pertanian mereka.
Mereka mengungkapkan bahwa ini sangat tergantung musim.
“Tergantung musim. Kalau pas tidak banjir, bisa dapat banyak padi. Tapi
kalau banjir, kurang malah, karena Di samping banjir juga kadang kena
hama. Ini membuat padi mati kadang-kadang. Tergantung iklim. Kalau
dirawa, habis padinya kena banjir. Karena perubahan iklim bah”.200
Tingkat produktifitas pertanian orang Kantuk juga diakui sangat
berpengaruh pada pola konsumsi mereka, misalnya terpaksa membeli
beras jika hasil panen tidak mengalami surplus. Pola konsumsi seperti ini
akan membuat mereka tergantung pada pasar. Cara bertanam multikultur
dengan menanam berbagai jenis tanaman seperti sayur mayur dan buahbuahan di sekeliling dan sekitar rumah yang sebetulnya merupakan
200
Diungkapkan oleh Pak Asoi dalam diskusi terfokus, 14-03-2010.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
295
salah satu cara orang Kantuk mengurangi ketergantungan mereka
terhadap pasar pun tidak bisa terlepas dari pengaruh iklim dan cuaca
global. Dengan kondisi seperti ini, orang Kantuk pun sudah berproses
untuk menyesuaikan diri (adaptasi) dengan berbagai mekanisme
survival, seperti menanam padi di lahan basah (paya’) dengan jenis
padi berumur pendek. Selama ini, orang Kantuk menanam padi yang
berumur panjang (tahunan) seperti padi darat, padi sibau, padi payun,
padi arang dan padi kayan. Menurut Dove, ada beberapa dasar bagi orang
Kantuk untuk menentukan jenis dan/atau nama padi, pertama padi yang
lengket atau tidak; kedua penyesuaian pada tanah kering atau berpaya
(basah); ketiga kepentingan-kepentingan keagamaan (Dove, 1988).
Pengaruh iklim dan cuaca global terhadap pola pertanian orang
Kantuk di desa secara sederhana salah satunya bisa dilihat dari bagaimana
mereka mempertahankan sistem bertani di lahan kering dan lahan
basah. Sistem ini sebetulnya untuk mengantisipasi dampak-dampak dari
perubahan iklim. Namun demikian, ini bukannya tidak memunculkan
kendala lain, misalnya untuk mengatasi persoalan hama mereka terpaksa
menggunakan pestisida yang tentu saja menambah lagi beban ekonomi
keluarga. Di samping itu, mereka juga mulai menerapkan pola pertanian
dengan sistem pengairan (irigasi), yang mungkin mereka lakukan di
lahan basah.
Pola-pola konsumsi dan distribusi yang berubah setidaknya dalam
tujuh tahun terakhir, juga merupakan bentuk-bentuk adaptasi orang
Kantuk, misalnya ketersediaan padi di lumbung yang semakin hari
mengalami penurunan.201 Namun, ini pula yang membuat mereka mulai
tergantung kepada pasar, yang awalnya hanya sebatas konsumsi gula,
kopi, teh, minyak tanah dan minyak goreng, dalam tujuh tahun terakhir,
pernah ada beberapa keluarga yang harus menutupi defisit produksi beras
dengan membeli ke pasar, terutama ketika banjir panjang atau musim
paceklik. Hal ini terjadi ketika mereka sudah mengenal pasar. Sebelumnya,
orang Kantuk memiliki tradisi “meminjam” surplus dari keluarga lain
yang nantinya akan dikembalikan jika produksi mulai meningkat.
Meskipun orang Kantuk menyadari iklim yang sudah berubah,
namun mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup bagaimana
iklim bisa berubah. Ini bisa terlihat dengan respon mereka yang melihat
perubahan iklim global seolah-olah merupakan “takdir” yang tidak bisa
mereka tolak karena berlaku dan dirasakan oleh semua orang di muka
bumi ini tanpa terkecuali. Sehingga, ketika ada solusi yang ditawarkan
untuk merubah “takdir” itu dalam bentuk REDD di wilayah mereka,
201
Setiap keluarga orang Kantuk memiliki lumbung untuk menyimpan persediaan padi di rumahnya. Lumbung
ini terletak di bagian belakang ataupun di bagian samping rumah tinggal dalam bentuk ruangan kecil atau
lebih persis seperti gudang, tempat mereka menyimpang karung-karung yang sudah terisi gabah kering.
296
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
ini dianggap sesuatu yang sangat baik, apalagi jika bisa memberikan
keuntungan bagi masyarakat.
(j) Orang Kantuk di Desa Jelemuk dan REDD
Iklim global yang berubah tentu saja berdampak terhadap kehidupan
orang Jelemuk. Selain dampak-dampak yang dirasakan baik langsung maupun
tidak langsung. Kaitannya dengan ini, dalam setahun terakhir (2009),
kawasan hutan Jelemuk menjadi salah satu target proyek iklim (penurunan
emisi) dalam bentuk REDD (Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation). Proyek REDD di wilayah ini difokuskan pada Danau
Siawan – Belidak, namun setelah beberapa kali survey yang dilakukan
oleh FFI, ternyata wilayah kawasan hutan orang Kantuk masuk dalam site
proyek wilayah VI dalam peta site Demonstration Activities (DA) REDD
ini. Kenyataan ini mengharuskan orang Jelemuk mencari tahu tentang
apa yang sedang dilakuan di dalam kawasan hutan mereka. Ini pula yang
mendorong mereka untuk terlibat dalam beberapa kali survey, termasuk
dalam proses pertemuan-pertemuan sosialisasi proyek ini.
Alhasil, dalam 2 tahun terakhir, Desa Jelemuk tidak lagi menjadi desa
yang biasa-biasa saja, mereka terbiasa berinteraksi dengan orang “kulit putih”
dan orang-orang LSM dengan masuknya hutan mereka sebagai wilayah
REDD. Setelah diketahui bahwa wilayah desa mereka masuk dalam wilayah
DA REDD, FFI seringkali melakukan akses ke wilayah hutan di SiawanBelida melalui Desa Jelemuk karena memang desa ini satu-satunya desa
yang dekat aksesnya dengan hutan dibandingkan desa lain. Desa Jelemuk
juga bahkan dilibatkan dalam beberapa kali survey oleh FFI diantaranya
survey buaya, survey burung, survey kedalaman gambut dan survey kelelawar
yang dilakukan pada tahun 2009 (Fauna and Flora International Program
Kapuas Hulu 2009). Sebelumnya, Kepala Desa mengungkapkan bahwa
desa mereka belum pernah dijamah oleh program/proyek yang dilakukan
oleh LSM baik dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan maupun
penyadaran, apalagi dari pemerintah. Warga Desa Jelemuk sendiri baru
menyadari jika hutan mereka memiliki peran yang sangat penting kaitannnya
dengan penurunan emisi penyebab pemanasan global. Selama ini, mereka
hanya menjalankan tradisi nenek-moyang dalam mengelola hutan karena
memang menjadi kebutuhan hidup mereka.
Kaitannya dengan pengetahuan warga Jelemuk tentang REDD, mereka
mengakui bahwa proses sosialisasi yang pernah dilakukan oleh FFI dan
LSM KaBan cukup membantu mereka. Namun demikian, diakui pula bahwa
masih banyak hal-hal lain yang belum begitu jelas misalnya kaitannya
dengan perjanjian, basis hukum yang belum jelas, dan hal-hal lain kaitannya
dengan mekanisme complain masyarakat jika terjadi masalah di kemudian
hari, seperti yang diungkapkan oleh Kepala Desa Jelemuk berikut ini:
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
297
“Dalam sosialisasi memang udah cukup transparan tetapi ada yang kurang
jelas, seperti apa perjanjiannya nanti misalnya, hukum apa yang kita mau pakai,
seandainya terjadi pelanggaran-pelanggaran. Secara proyek jelas, Cuma belum ada
perjanjian untuk menguatkan siapa yang bertanggung jawab jika ada masalah.” 202
Kawasan hutan Desa Jelemuk merupakan kawasan hutan gambut
dengan kedalaman gambut berkisar 15 – 17 meter ke dalam perut bumi.203
Di dalam kawasan hutan ini masih terdapat banyak pohon-pohon besar
bernilai komoditi dengan kisaran diameter yang tidak dijelaskan pasti oleh
beberapa orang yang dijumpai oleh penulis. Ini diungkapkan oleh beberapa
orang warga desa yang terlibat langsung dalam survey.204 Lagi, salah seorang
narasumber yang pernah ikut dalam pemetaan bersama dengan tim survey
FFI mengatakan bahwa hutan mereka belum pernah ‘disentuh’ kecuali
untuk berburu, itupun paling sekitar 1-2 km, jarak maksimal yang lazim
ditempuh warga dari permukaan air ke dalam kawasan hutan. Selama ini,
orang Kantuk di Desa Jemuk hanya menunjukan 6% aksesibilitasnya terhadap
hutan selama ini dengan penguasaan lahan dan tingkat ketergantungan
terhadap hutan yang tinggi dari 21 desa yang berada di sekitar hutan atau
site REDD di Siawan-Belida (Perkumpulan KaBan 2009).
Bagan 6.3. Skor akses desa ke situs
Sumber: Perkumpulan KaBan 2009
202
203
204
Pak Kuyung (warga Desa Jelemuk), wawancara, 16-03-2010.
Menurut peserta FGD, hal ini pernah disampaikan oleh para peneliti yang dikontrak oleh FFI untuk
melakukan penelitian kedalaman gambut ketika berdiskusi dengan penduduk lokal.
Suvey dilakukan dengan melibatkan 7 orang warga Desa secara bergiliran dalam sekali survey. Sampai
dituliskannya laporan ini, sudah dilakukan 4 kali survey, diantaraya untuk meneliti kelelawar, burung,
gambut, hutan/kayu.
298
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Diagram dari laporan PAR Perkumpulan KaBan tahun 2009 menunjukan
memang ada beberapa wilayah yang juga memiliki akses yang cukup tinggi
terhadap wilayah yang menjadi site REDD, berkisar 6-7% seperti Pala Pintas,
Keling Semulung, Bunut Hulu, Bunut Tengah, dan Nanga Tuan. Namun,
menurut warga Desa Jelemuk, wilayah-wilayah tersebut di atas secara jarak
masih sangat jauh dari kawasan hutan jika dibandingkan desa Mereka.
Justru, penduduk mempertegas bahwa sebetulnya wilayah hutan mereka
dan/atau desa mereka tidak termasuk di wilayah Siawan-Belida (secara
administratif). Bahwa kemudian FFI lebih banyak melakukan akses ke site
REDD melalui wilayah Desa Jelemuk, mereka menduga hanya dikarenakan
jarak desa mereka yang dekat dengan kawsan hutan. Ini memang tidak
bisa dipastikan mengingat, belum adanya batas-batas yang jelas di kawasan
hutan (versi masyarakat).
Kawasan hutan gambut dinilai mampu menyerap banyak karbon.
Beberapa narasumber yang dijumpai mengungkapkan bahwa inilah yang
menjadi salah satu argumentasi penting dijadikannya wilayah hutan Desa
Jelemuk ini sebagai DA REDD. Selain itu, kawasan hutan ini juga merupakan
eks wilayah beroperasinya HPH yang dianggap telah melakukan deforestasi di
kawasan hutan ini. Oleh karena itu, proyek REDD di wilayah ini dilakukan
dengan skema Restorasi Ekosistem (RE).
Skema IUPHHK-RE yang diajukan oleh FFI dengan luas 45.569 hektar,
yakni mencakup kawasan hutan wilayah Danau Siawan dan Danau Belida
(Hutan Lindung), wilayah eks HPH Trikaka (Hutan Produksi) dan Benua
Indah (Hutan Konversi). Keseluruhan, ada 21 desa dari 7 kecamatan yang
menjadi wilayah sekitar DA REDD, dan 6 diantaranya termasuk Jelemuk
merupakan wilayah yang direkomendasikan oleh Perkumpulan KaBan sebagai
wilayah ‘dalam’ kawasan situs REDD (Perkumpulan KaBan 2009).
Dalam diskusi terfokus bersama perangkat desa terungkap bahwa awalnya
warga Desa Jelemuk tidak tahu jika survey dilakukan di wilayah mereka
dan bahkan tidak tahu jika wilayah mereka menjadi DA REDD. Mereka
secara tidak sengaja bertemu dengan tim survey yang turun ke wilayah
Desa mereka karena kehabisan logitsik. Dari sinilah perbincangan soal
REDD dan Carbon Trade bermula di Desa Jelemuk ini, sampai kemudian
masyarakat mengatakan bahwa telah dilakukan sosialisasi REDD oleh FFI
untuk di kecamatan dan sekali lagi di desa pada bulan Maret 2010. Namun,
pada lain kesempatan, Koordinator FFI Kalbar membantah, bahwa proses
dianggap baru pada tahap kosultasi dan persiapan sosial masyarakat dengan
melakukan assessment ekonomi, sosial dan budaya. Menurutnya, proses
sosialisasi dilakukan jika sudah mengarah kepada implementasi, sementara
proses ke arah implementasi REDD masih sangat panjang karena IUPHHK
(Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) sedang diajukan ke Departemen
Kehutanan untuk RE. “Sebelum ijin RE didapat, tidak mungkin REDD bisa
dilakukan,” demikian ungkapannya. Di samping itu, FFI meyakinkan bahwa
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
299
skema-skema lain untuk kawasan hutan di luar IUPHHK-RE seperti HTR
(Hutan Tanaman Rakyat), HA (Hutan Adat) maupun Hutan Desa belum
ada kejelasan, seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat.
REDD yang diketahui oleh warga Jelemuk adalah proyek yang tujuannya
untuk jual beli karbon. Dalam jual-beli, keputusannya tergantung kepada
masyarakat apakah menerima atau menolak. Kesepakatan ini bisa dilakukan
oleh Lembaga Kerjasama Antar Desa yang anggotanya adalah 6 desa yang
menjadi site DA REDD, sehingga memperoleh gambaran yang utuh tentang
respon desa-desa lain. Secara prinsip, masyarakat melihat proyek REDD akan
menjamin kelestarian hutan mereka. Namun pada waktu yang sama, muncul
kekhawatiran bahwa mereka akan kehilangan akses terhadap sumber daya
di hutan tempat mereka menggantungkan hidup selama ini. Dan, masih
belum jelas bagi mereka, dimana persisnya wilayah dari kawasan hutan
mereka yang masuk dalam wilayah REDD karena batas-batas yang belum
begitu jelas. Konsep “menjaga hutan” tidak menjadi masalah bagi mereka,
karena hutan memang harus dijaga, seperti yang diungkapkan oleh Kepala
Desa Jelemuk di bawah ini:
“…yang jadi masalah ke depannya, masyarakat tidak punya pekerjaan atau
alih kerja (harus dicarikan kerja) jika memang hutan itu nanti tidak bisa lagi
dimanfaatkan. Intinya, kalau memang harus dibuka, harus dicarikan jalan keluar
bagi masyarakat.”205
Selain persolan alternatif mata pencaharian, masyarakat Jelemuk juga
tidak begitu setuju dengan presentase 20% nilai jual jasa lingkungan
yang akan mereka peroleh dari IUPHHK-RE.206 Menurut pengurus Desa,
Masyarakat mestinya memperoleh setidaknya 50% karena mereka dituntut
“menjaga hutan”, bahkan kemungkinan tidak bisa lagi mengakses hutan yang
menjadi wilayah REDD. Dengan tanggung jawab yang begitu besar, jika ini
bisa direspon oleh pemerintah maupun FFI, diungkapkan bahwa 70%-80%
warga Desa Jelemuk akan menyetujui proyek REDD berjalan di desanya.
Dari uraian di atas, memang masih ada beberapa hal yang belum begitu
jelas bagi masyarakat kaitannya dengan REDD, diantaranya bagaimana
memastikan posisi mereka sebagai “pemilik hutan” memperoleh manfaat
dari proyek REDD. Hampir bisa dipastikan bahwa mereka tidak akan cukup
kuat (posisi yang tidak setara) untuk menegosiasikan presentase 50% seperti
yang mereka inginkan dengan pengetahuan mereka yang belum cukup
memadai demikian pula dengan belum diakomodirnya isu perubahan iklim
dan REDD dalam aspek hukum. Baik FFI maupun Pemerintah Kabupaten
Kapuas Hulu mengakui bahwa belum ada perangkat hukum yang bisa
dijadikan ‘cantolan’ untuk proyek REDD di wilayah ini.207
205
206
207
Yahya (Kepala Desa Jelemuk), wawancara, 16-03-2010.
Lih. Lampiran III Permenhut RI No. P. 36 /Menhut-II/ 2009.
Ini diungkapkan dalam Pertemuan Regional Mitra-mitra The Samdhana Institute ‘Pencapaian Pelaksanaan
Kegiatan REDD Preparedness Wilayah Kerja Kalimantan’, 29-30 Maret 2010 di Pontianak.
300
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Tidak bisa dipungkiri pula, bahwa wacana tentang REDD yang
berkembang di Desa Jelemuk berkutat pada persoalan “uang”, meskipun
FFI memastikan bahwa meskipun akan ada “uang” kompensasi dari
perdagangan karbon, itu akan masuk kas desa. Penggunaanya harus
direncanakan oleh desa setiap tahun, utamanya untuk kepentingan umum
seperti untuk pembangunan puskesmas, pendidikan gratis, atau untuk
kegiatan pertanian.
6.3 Menunggu REDD di desa: Kasus di Desa Petak Puti dan
Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
(a) Kondisi geografis dan aksesibilitas
Desa Petak Puti berada di kawasan hulu kawasan DAS Mantangai masuk
ke dalam daerah administrasi Kecamatan Timpah di Kabupaten Kapuas.
Dalam pembagian blok kawasan proyek Pengembangan Lahan Gambut
(PLG), Desa Petak Puti masuk di kawasan blok E. Ada dua alternatif
jalan yang dapat di tempuh dari Kota Palangkaraya untuk sampai ke Desa
Petak Puti. Pertama, melalui Kota Kuala Kapuas; dari Kota Kuala Kapuas
dilanjutkan menggunakan kelotok. Jadwal keberangkatan ke Petak Puti dari
Kota Kuala Kapuas hanya ada setiap hari rabu dengan biaya Rp. 90.000,00.
Ke dua, dari Palangkaraya melalui jalan darat, transit di kota Kecamatan
Timpah; dengan biaya sebesar Rp. 100.000,00. Perjalanan selanjutnya melalui
Sungai Kapuas, dengan kelotok atau perahu motor sewaan, dengan uang
sewa paling murah Rp. 350.000. Sebetulnya saat ini sudah dapat di tempuh
dengan menggunakan sepeda motor, akan tetapi resiko perjalanannya cukup
tinggi karena harus menyusuri jalan yang rusak dan melewati hutan.
Sementara, Desa Kalumpang secara administratif berada di Kecamatan
Mantangai. Dari ibukota Kecamatan Mantangai, Desa Kalumpang di pisahkan
oleh satu desa yaitu Desa Mantangai Mulu yang berada di sebelah selatan. Di
sebelah utara Desa Kalumpang berbatasan dengan Desa Katunjung (ke hulu
Sungai Kapuas dari Kalumpang). Dalam pembagian blok di kawasan PLG
desa Kalumpang masuk di kawasan Blok A sebelah utara. Jalur transportasi
dari Kota Kuala Kapuas menuju Desa Kalumpang bisa melalui jalan darat
dan melalui jalur Sungai Kapuas. Apabila melalui jalur darat angkutan
umum yang ada adalah taksi L-300, waktu yang di perlukan adalah + 1,5
jam dengan ongkos Rp. 35.000,00 . Angkutan umum ini hanya sampai di
Kecamatan Mantangai, selanjutnya perjalanan ke Desa Kalumpang dapat
ditempuh dengan menggunakan ojek dengan biaya Rp. 25.000,00 dengan
waktu tempuh + 30 menit.
Transportasi menuju desa Kalumpang melalui Sungai Kapuas biasanya
menggunakan speed boat atau taksi air (long boat). Apabila menggunakan
long boat waktu yang di tempuh adalah + 4 jam dengan biaya Rp. 35.000,
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
301
sedangkan jika menggunakan speed boat biayanya Rp. 60.000,00 dengan
estimasi waktu 2 jam. Perjalanan melalui jalur sungai ini bisa langsung
sampai ke Desa Kalumpang.
(b) Penduduk desa penelitian
Petak Puti termasuk lewu (kampung) yang baru; mulai ada sejak era
penjajahan Jepang. Lewu Petak Puti di pertama di buka oleh 4 orang utama
yaitu Bapak Soeta dan 3 orang pelarian Romusha Jepang yang bersuku
Madura dan Jawa, Bapak Soeta sendiri adalah keturunan Dayak dari daerah
Lamandau. Meskipun statusnya diawali sebagai tempat persembunyian dari
kejaran penjajah Jepang, seiring jalannya waktu Desa Petak Puti berkembang
menjadi perkampungan. Ada tiga kelompok pemukiman di desa ini, yaitu
kampung asal, kampung seberang dan kampung hilir.
Desa Petak Puti memiliki jumlah penduduk sebanyak 808 orang
berasal dari 238 Kepala keluarga terdiri dari 394 orang laki-laki dan 414
orang perempuan. Desa Petak Puti berpenduduk mayoritas bersuku Dayak,
adapun suku lain yang tinggal antara lain suku Banjar dan Jawa. Suku
Dayak di Desa Petak Puti adalah anak suku Dayak yaitu suku Dayak Ngaju,
sedangkan suku Banjar yang ada adalah pendatang yang berbaur akibat
status perkawinan saja, sedangkan suku Jawa relatif sedikit saja.
“Desa Petak Puti mulai banyak penduduknya setelah datangnya penduduk asli
dari sungai kapuas ini, mereka ada yang dari timpah, mantangai, juga ada dari
kampung-kampung lain di sepanjang sungai kapuas ini. Kebetulan daerah kami
ini banyak ikan karena itulah banyak yang datang ke desa ini” ujar Mantir Adat
Desa Petak Puti.
Masyarakat Desa Petak Puti kebanyakan memiliki rumah di tepian
sungai, saat ini masih ada beberapa rumah yang menghadap ke sungai.
Alasan pemilihan rumah di tepi sungai selain untuk aktifitas mandi, mencuci
dan jamban kakus .
Berbeda dengan Petak Puti, Desa Kalumpang merupakan lewu yang
sudah cukup lama keberadaannya, mulai dibuka sejak masa penjajahan
Belanda. Secara administrasi Desa Kalumpang sendiri merupakan pecahan
dari desan Mantangai . Berdasarkan wawancara dengan Mantir Adat Desa
Kalumpang, Desa Mantangai dibagi menjadi 3 desa yaitu Desa Mantangai
hilir, Desa Mantangai Hulu dan Desa Kalumpang. Saat ini, jumlah penduduk
Kalumpang ada 1.106 jiwa dengan 297 kepala keluarga. Masyarakat Desa
Kalumpang dengan Desa Petak Puti mayoritas penduduknya adalah samasama orang Dayak Ngaju, namun di Desa Kalumpang ada sejumlah suku
lain (terutama orang Jawa dan Banjar) yang cukup banyak, dibandingkan
dengan warga Desa Petak Puti. Pembauran antara penduduk asli Dayak
dengan penduduk yang pendatang relatif baik, ditandai dengan penggunaan
bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pengantar sehari-hari.
302
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
(c) Tradisi dan adat-istiadat
Agama Kaharingan sebagai agama asli suku Dayak Ngaju banyak
berpengaruh pada tradisi dan adat istiadat. Meski saat ini penduduk di
Petak Puti dan Kalumpang sudah banyak yang memeluk ‘agama baru’
(Islam, Kristen dan Katolik) adat istiadat maupun tradisi yang di gunakan
masyarakat masih menggunakan tradisi dan adat leluhur yang beragama
Kaharingan.
Warga Desa Petak Puti maupun Kalumpang masih cukup kuat dalam
memegang adat istiadat mereka, hal ini tercermin dalam kehidupan
masyarakat Petak Puti maupun Kalumpang dalam melaksanakan upacara
pernikahan. Acara Nikah Adat senantiasa ada dalam setiap pernikahan
maupun pada kegiatan pertunangan. Kondisi ini bukan berarti tidak ada
pergeseran atau hilangnya budaya (adat istiadat), misalnya saja ritual adat
dalam membuka ladang, saat ini sudah jarang lagi di temukan, karena
aktivitas berladang sebagaimana era sebelum sekarang sudah jarang di
temui. Saat ini ketika memulai penanaman padi warga desa jarang yang mau
repot melaksanakan upacara adat terlebih dahulu. Realitas ini sebetulnya
bukan menandakan bahwa masyarakat Dayak Ngaju di Desa Kalumpang
atau Petak Puti tidak meyakini lagi adat dan tradisi.
(d) Organisasi sosial dan sistem politik lokal
Selain organisasi pemerintahan desa masyarakat desa Petak Puti dan
Kalumpang memiliki perangkat adat yang di sebut Mantir Adat yang terdiri
dari tiga orang yaitu mantir kepala dan dua mantir anggota. Keberadaan
mantir adat sebenarnya sudah lama ada di kampung-kampung suku Dayak
termasuk di Desa Petak Puti maupun di desa desa yang lain. Hal lain yang
ditemui di Desa Kalumpang yaitu keberadaan Mantir Adat baru, setelah
ada Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2007 diberlakukan. Sebelumnya Mantir
Adat di Desa Kalumpang tidak di ada, penyebabnya adalah pergeseran
adanya pemerintahan desa yang mengurus sistem pengelolaan kehidupan
bermasyarakat. Sementara Mantir Adat Petak Puti sudah ada sejak lama,
bahkan sebelum ada peraturan daerah tersebut.
Mantir Adat di pilih langsung secara musyawarah mufakat oleh
masyarakat kampung. Terakhir pemilihan Mantir Adat di Desa Kalumpang
maupun Desa Petak Puti dilakukan secara dengan menggunakan pemilihan
dengan jalan pengambilan suara perwakilan RT dan kampung. Peran
Mantir Adat dalam kehidupan masyarakat Puti berkaitan dengan masalahmasalah perkawinan, waris, pengelolaan hutan, pengelolaan danau maupun
sengketa masalah pertanahan seperti tata batas. Apabila ada permasalahan
tidak mampu Diselesailkan tingkat Mantir Adat biasanya akan di bawa ke
Damang Kepala Adat.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
303
Perbedaan keberadaan perangkat adat saat ini dan sebelumnya (sebelum
ada Perda) adalah pada pengesahan mantir dan perangkat adat lainnya.
Sebelumnya perangkat adat bekerja langsung setelah terpilih dan di lakukan
upacara adat. Dalam perkembangan saat ini Damang Kepala Adat mendapat
insentif bulanan dari Pemda.
“Dulu, sebelum ada peraturan baru, mantir adat bekerja tanpa ada SK, tapi
sekarang saya baru akan berani melakukan penerapan denda adat setelah ada SK”.208
(e) Hukum adat dan dinamikanya
Secara umum penerapan hukum adat oleh suku Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah dilaksanakan pada wilayah ritual dan beberapa bagian
kehidupan sehari hari. Penerapan hukum adat di Desa Petak Puti baik
pelaksanaan beberapa ritual, dan kawin adat serta pemberian sangsi adat
dilakukan oleh Nantir Adat dibantu oleh anggotanya. Penerapan denda
adat atau jipen dilakukan oleh Mantir Adat.
Dalam melaksanakan adat suku Dayak, ada dua aliran yaitu:
• Tersilah kepada keduniawian. Hukum adat ini berlaku dalam perkara
kriminal, etika dan pergaulan masyarakat. Hukum adat juga mengadili
perkara yang berhubungan dengan kemasyarakatan misalnya: masalah
harta benda, pusaka, perceraian, ketentuan ahli waris, masalah anak
dalam perceraian, milik perpantangan, hak-hak atas tanah.
• Tersilah kepada agama. hukum adat yang tersilah kepada agama
menghukum siapa pun yang telah menghina dan mencemarkan halhal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat, misalnya:
merusak kubur, merusak pahewan, merusak petak ruas, merusak petak
pali, merusak indus, merusak sandung, melanggar adat pali di saat
kampung memegang rutas, melanggar adat negeri ketika memalas pali,
melanggar adat pali di tempat orang melahirkan, melanggar adat pali
pada saat pengobatan orang sakit, merusak pangantoho (rumah kecil
tempat pujaan), tulah berzina dengan saudara, tulah berzina dengan
ibu/bapak, tulah berzina dengan misan dan merusak pantar.
Di Desa Petak Puti maupun Desa Kalumpang penerapan jipen terhadap
perusakan sumber daya alam seperti hutan dan sungai tidak berlaku.
Misalnya adanya penebangan pohon hutan maupun kebakaran akibat
pembakaran lahan kebun, tidak ada hukuman adat untuk itu. Masalah
dalam pengelolaan sungai, misalnya proses penambangan di bantaran sungai
yang diyakini oleh masyarakat juga merusak kondisi air sungai, juga tidak
diselesaikan melalui jipen adat. Alasan utama tidak berlakuknya denda
adat ini karena hal-hal di atas masuk dalam aktivitas untuk menyambung
keberlanjutan hidup masyarakat. Oleh karena itu jipen berlaku pada
wilayah pelanggaran lain, misalnya pelanggaran norma terkait hubungan
208
Kiting Simson Soeta (Mantir Adat), wawancara, 19-03-2010.
304
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
horizontal antar masyarakat seperti perselingkuhan dan tindakan kriminal
yang merugikan salah satu pihak masyarakat.
Di Kalimantan Tengah pemberlakuan hukum adat sebelumnya bisa
dianggap lemah, bahkan kurang begitu diperhatikan. Namun, saat ini
seiring dengan dikeluarkannya peraturan daerah mengenai kelembagaan
adat,209 pemberlakuan hukum adat menjadi diperhatikan lagi. Urusan-urusan
mengenai hak kepemilikan tanah adat pun mulai diperhatikan dengan
diterbitkannya Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 13 Tahun 2009,
yang memberikan wewenang kepada kelembagaan adat di tingkat kampung/
desa untuk melakukan pengukuran tanah adat milik masyarakat. Selanjutnya
untuk pengesahan surat tanah dilakukan oleh Damang Kepala Adat.210
(f) Perekonomian masyarakat desa hutan
Keseharian masyarakat Desa Petak Puti dan Kalumpang tidak terlalu
berbeda. Namun dalam hal pekerjaan, masyarakat Petak Puti lebih banyak
melakukan aktivitas mencari ikan sedangkan di Kalumpang masyarakat lebih
banyak yang memantat gita (menyadap karet). Aktivitas mencari ikan bagi
masyarakat Desa Kalumpang bukan merupakan pekerjaan utama, hal ini
berbeda dengan masyarakat Petak Puti dimana mencari ikan adalah aktivitas
utama mata pencaharian. Selain itu masyarakat Kalumpang juga bercocok
tanam sayur, sedangkan di Desa Petak Puti aktivitas ini sulit di temui.
Mayoritas warga Desa Petak Puti adalah pencari ikan, warga menangkap
ikan dari danau di sekitar kampung. Hasil tangkapan ikan di Petak Puti
lebih banyak dari desa-desa lain di DAS Kapuas, hal ini di ketahui dari
jumlah ikan yang dibeli pengumpul ikan dari masyarakat. Dalam satu
minggu biasanya pengumpul ikan dapat membawa ikan basah diatas 300
kilogram, warga Desa Petak Puti juga mengubah hasil tangkapan ikan
menjadi lebih tinggi nilai jualnya dengan cara dikeringkan. Harga ikan
basah di Petak Puti berkisar Rp. 15.000,00 sampai Rp. 20.000,00/kilogram
sedangkan ikan yang sudah dikeringkan harganya rata-rata berkisar Rp.
30.000,00/kilogram.
Selain itu, berkebun karet merupakan penghasilan kedua terbanyak yang
dilakukan oleh warga Petak Puti maupun Kalumpang, hal ini didukung
dengan harga karet yang cukup tinggi. Harga komoditas karet di Petak
Puti saat ini mencapai Rp. 8.500,00 sedangkan di daerah hilir seperti di
Desa Sei Ahas atau Kalumpang harganya Rp. 6.500,00.
Ketergantungan kepada hutan masih melekat pula pada warga Desa
Petak Puti, warga Petak Puti biasanya memanfaatkan hasil hutan berupa
kayu, kulit gemor, madu dan damar. Saat ini, mencari kayu secara ilegal
dan mencari kulit gemor semakin jarang dilakukan karena adanya larangan
aktivitas pembalakan liar. Mencari damar juga semakin berkurang saat ini
209
210
Perda Nomor 16 Tahun 2008 Kelembagaan Adat Dayak Kalimantan Tengah.
Lebih jelas soal Perda kelembagaan Adat Dayak serta Pergub 13/2009 dapat dilihat di bab 4.2 (c) buku ini
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
305
karena semakin sedikit damar yang terdapat dari hutan. Sementara mencari
madu masih dilakukan oleh warga Petak Puti.
Tabel 6.1. Jenis kegiatan utama produktif warga
Desa Petak Puti
No.
Pekerjaan
1
Mencari ikan
Keterangan
Ikan merupakan sumber penghasilan utama, pada musim
panen selama 3 bln memasuki bulan kemarau rata-rata ikan
yang dijual dari Desa Petak Puti sebanyak +- 1 ton/hari.
2
Usaha karet
Karet merupakan satu sumber produksi bahan kedua
masyarakat Petak Puti selain ikan.
3
Mencari rotan
Rotan (luas lahan > 10 hektar) tetapi masyarakat gunakan
rotan bukan untuk dijadikan tambahan penghasilan.
4
Mencai madu
Madu hutan, masih menjadi usahakan oleh beberapa
kepala keluarga.
5
Mencari kayu Kayu, masih didapati masyarakat yang bekerja di sektor
secara liar
ini, penebangan di lakukan secara liar kemudian dijual
ke pemilik bansaw yang memiliki surat-menyurat izin
pemanfaatan kayu. Kasus terakhir yang terjadi adalah
penyitaan kayu hasil kerja masyarakat oleh aparat
kepolisian.
6
Memungut getah Damar, pada saat ini sudah sangat jarang damar dari
damar
hutan yang di jual oleh masyarakat Petak Puti. Berdasrkan
wawancara dengan pedagang di kapal yang membeli damar,
rentang waktu penjualan damar oleh masyarakat saat ini
hanya ada sekitar satu kali setiap 3 sampai 4 bulan.
Aktivitas perekonomian masyarakat Desa Petak Puti juga di topang dari
mencari emas. Masyarakat Petak Puti tidak mencari emas di kawasan Desa
Kalumpang. Biasanya masyarakat menambang emas ke daerah Kecamatan
Pujon.
Dalam kehidupan keseharian masyarakat Desa Petak Puti saat ini selalu
membeli beras, karena sudah jarang ada warga yang menanam padi di kebun.
Selain itu, lahan di sekitar sungai juga semakin sering terlanda banjir. Warga
Petak Puti juga membeli sayur dari pedagang dari luar, karena di lahan di
sekitar perkampungan yang berpasir sulit dipergunakan untuk bercocok
tanam; sangat sedikit daerah yang dapat ditanami sayur maupun palawija
lainnya. Oleh karena itu, warga membeli beras dan sayuran dari kapal atau
klotok-klotok penjual sayur yang berasal dari luar desa. Selain dari para
penjual di sungai, kebutuhan lain masyarakat Petak Puti didapatkan dari
berbelanja di pasar mingguan yang dibuka di jalan desa. Pasar mingguan ini
telah ada sejak lama, saat Petak Puti ramai dengan bisnis kayu liar. Barang
barang yang dijual selain sembilan bahan makanan pokok, adalah barangbarang kelontong, pakaian, kosmetik, bahkan voucher telepon seluler.
306
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Sementara itu, masyarakat Kalumpang sebagian besar menggunakan
kawasan hutan sebagai lahan kebun karet dan rotan, serta ladang padi dan
sayur untuk keperluan sehari-hari. Karet dan rotan sebagai hasil produksi
desa biasanya di jual ke tengkulak yang datang ke desa atau juga kepada
pengumpul orang desa setempat. Rotan merupakan hasil kebun yang tidak
begitu banyak lagi diusahakan sebagai sumber pendapatan masyarakat,
tidak banyak lagi warga Kalumpang yang memiliki kebun rotan. Kebun
warga banyak yang habis karena kebakaran dan tergusur oleh projek
Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar. Kebakaran kebun
bagi warga Kalumpang menjadi ancaman serius pada musim kemarau,
menurut warga kebakaran semakin tidak terkendali setelah dibukanya
kanal-kanal PLG.
Harga komoditas rotan di Kalumpang berkisar 100 ribu/kuintal. Rotan
yang dijual di Kalumpang adalah rotan basah, tidak ada kegiatan proses
pengeringan rotan. Barang jadi berupa anyam-anyaman dari rotan hanya
sebagai pekerjaan sampingan ibu-ibu dan skalanya tidak besar, di tingkat
perorangan saja dan belum terorganisir dengan baik. Produksi anyaman
rotan dalam jumlah besar dilakukan hanya bila ada pesanan.
Berbeda dengan di Petak Puti, penduduk Desa Kalumpang masih
banyak yang menanam padi, bahkan di Kalumpang terdapat 3 tempat
penggilingan padi. Kebanyakan padi hasil bertani tidak dijual melainkan
digunakan untuk dikonsumsi sendiri. Umumnya, warga Desa Kalumpang
yang berkebun karet membeli beras untuk konsumsi harian.
Aktivitas masyarakat Kalumpang di bidang perkayuan saat ini sudah tidak
ada lagi sekarang, hanya perusahaan (bansaw) saja yang ada. Sebelumnya
masyarakat Kalumpang banyak yang melakukan usaha di bidang perkayuan
namun saat ini sudah tidak ada lagi, mereka berhenti total pada tahun 2006.
Adapun bansaw yang beroperasi di Desa Kalumpang dimiliki dan dikelola
orang luar desa. Kayu yang diproduksi juga bukan berasal dari kawasan Desa
Kalumpang, melainkan dari kawasan hulu. Aktivitas penebangan kayu oleh
warga Desa Kalumpang mencapai puncaknya pasca dibukanya kanal-kanal
PLG yang mempermudah akses masyarakat terhadap kawasan hutan.
Masyarakat Desa Kalumpang mulai melakukan penanaman kebun karet
pada tahun 2000, selanjutnya warga mulai banyak menanami lahannya
dengan karet pada tahun 2004. Sebelumnya menyadap karet dan pertanian
sudah hampir ditinggalkan oleh sebagian besar warga desa, namun setelah
aktivitas di sektor perkayuan sulit diusahakan lagi menyadap karet menjadi
pilihan terbesar dari warga Kalumpang. Harga karet di Kalumpang ketika
penelitian adalah Rp. 6.000/kilogram; harga karet terendah pernah mencapai
Rp. 1000/kilogram ini terjadi pada akhir tahun 2008 pada saat terjadi krisis
global.
Selain berkebun, masyarakat Kalumpang juga memiliki aktivitas mencari
ikan untuk dijual pada tetangga, “Bisa-bisa kami mencari ikan itu kan,
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
307
tapi digarami saja (ikan asin) dan dijual dengan tetangga-tetangga saja…..
Untung-untunganya saja, ibaratnya menjual jika ada lebihnya dari yang
untuk dimakan itu dijual”.
Dari paparan di atas terlihat bahwa bentuk produksi yang paling
dominan dua kampung ini adalah mencari ikan, kebun karet dan ladang.
Alasan mata pencaharian karet menjadi pilihan utamanya karena harga
karet sudah mulai membaik. Di tingkat petani harga karet mencapai
harga kisaran Rp. 6.500 - 9.000 tergantung bentuk karet yang akan dijual.
Bentuk karet untuk dijual ada dua macam, yaitu bentuk takuluk gita dan
tampang. Bentuk takuluk gita adalah hasil panen karet yang tidak ada
campuran dalam bentuk langsung wadah karet. Sedangkan bentuk tampang
adalah bentuk hasil panen karet berupa karet bak atau kotak kayu. Bentuk
karet ini biasanya dicampur dengan tawas. Karet biasanya dijual langsung
atau ada pembeli yang menggunakan kelotok datang langsung ke rumah
warga. Biasanya masyarakat menjual karet dalam jangka waktu dua hari
atau juga setiap minggu, misalnya, warga biasa menjual hari Rabu, karena
pada hari Kamis atau Rabu malam warga berbelanja kebutuhan pokok ke
pasar mingguan.
Laki-laki dan perempuan berperan penting dalam mamantat gita
(menyadap karet). Karet disadap pagi hari mulai sekitar pukul 05 – 06
pagi. Biasanya sebelum berangkat warga menyiapkan dulu perbelakalan
untuk sarapan atau sarapan langsung di rumah. Jarak tempuh menuju
kebun karet berkisar antara 1 – 3 kilometer dari belakang kampung atau
dengan lama waktu sekitar 15 – 30 menit dari kampung. Alat transportasi
yang digunakan adalah sebuah perahu kecil atau biasa di sebut ces yang
bisa dimuati 3 - 4 orang dewasa. Untuk kebun karet yang berada pada
pinggiran sungai besar bisa menggunakan perahu yang agak lebih besar yaitu
kelotok. Pada pukul 11 – 12 siang mereka sudah pulang dengan membawa
hasil panen karet. Bentuk karet yang dibawa bisa berbentuk takuluk gita
atau bentuk tampang.
Rata-rata per hari per satu orang berkisar menyadap antara 10 – 25
kilogram karet, tergantung kemampuan seseorang dalam menyadap karet.
Kisaran rata-rata, satu orang mampu menyadap karet sejumlah 200 – 400
pokok pohon. Apabila dihitung rata-rata penghasilan perkepala kelurga
dalam memanen karet paling rendah adalah 10 kilogram dengan harga
karet Rp. 7.000,00 maka mereka dapat menghasilkan uang dalam tiap hari
adalah Rp. 70.000
Warga Petak Puti maupun Kalumpang menjual hasil kebun karetnya
kepada penampung. Kebanyakan pembeli karet/penampung ini adalah orang
Banjar, selain itu ada beberapa warga setempat yang menjadi penampung.
Hasil karet ini kemudian dibawa lagi ke pabrik di Banjarmasin dengan
menggunakan kapal pengangkut yang dibawa melalui Sungai Kapuas,
selanjutnya dipindahkan ke truk pengangkut di Mantangai atau kota
308
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Kecamatan Mandomai. Menurut salah seorang penampung di kampung
Kalumpang, harga jual di pabrik berkisar Rp. 11.000,00 – 14.000,00 /
kilogram.
Wilayah rawa gambut sejak dulu sudah dikelola oleh masyarakat untuk
kebutuhan pangan dan konsumsi. Begitu juga halnya bagi masyarakat
di kampung Kalumpang. Walaupun proyek PLG tahun 1996 telah
menghancurkan tatanan dan ekosistem wilayah, namun masyarakat masih
mampu bertahan dengan produksi dan konsumsi pangan cukup. Untuk
tambahan produksi pangan, masyarakat menggunakan lahan di sekitar
galian eks PLG sebagai lokasi ladang, yang kemudian dijadikan kebun karet
211
atau kebun buah. Pada saat penggalian kanal PLG, ���
banyak kebun warga
Kalumpang yang terkena gusuran pembuatan kanal. Semenjak itu banyak
tuntutan warga kepada pemerintah untuk mengganti atas kerugian yang
ditimbulkan. Akibat lain dari penggalian kanal itu adalah terangkatnya pirit
gambut yang mengakibatkan air asam. Ini berpengaruh terhadap kesuburan
tanah dan perkembangbiakan ikan pada rawa atau beje milik masyarakat.
Untuk mempengaruhi dan mempercepat kesuburan tanah, masyarakat
menggunakan sistem bakar, dengan terlebih dahulu membuat sekat bakar.
Di bawah ini adalah proses perladangan dengan kalender musim:
Tabel 6.2. Proses perladangan dengan kalender musim
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Bulan
Mei – Juli
Juli – Agustus
Agustus – September
September – Oktober
Oktober – November
Desember – februari
Maret – April
April – Mei
Aktivitas
Manggau leka malan (mecari tempat berladang)
Mandirik (Menebas)
Maneweng (Menebang)
Manusul(membakar)
Manugal (menanam padi)
Ngamawao (membersihkan rumput)
Ngetem (panen)
Bakabun (membuat kebun)
Dulu proses menentukan musim bisa dilihat dengan melihat rasi bintang.
Namun sejak tahun 2000-an menurut warga, kalender musim tanam sulit
dipastikan. Terkadang musim hujan terlalu cepat dan musim kemarau
kemarau terlalu lama. Dan ini sangat berpengaruh dengan produksi dan
konsumsi masyarakat akan pangan.
Di Desa Petak Puti jumlah yang berladang sekarang tidak banyak,
berbeda dengan di Kalumpang. Kemampuan masyarakat dalam membuka
ladang dengan sistem handep atau haruyung adalah lahan seluas ± 2 hektar.
Dengan lahan dua hektar biasannya diperlukan bibit padi tugalan sekitar 20
gantang, dan akan diperoleh hasil 1 koyan atau 1.000 gantang atau sekitar
± 4 ton padi kering yang setara dengan beras sekitar 2 - 3 ton beras. Harga
211
Persoalan PLG atau Pengelolaan Lahan Gambut disinggung pula dalam bab 4.3 Buku ini.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
309
jual beras saat ini berkisar antara Rp. 5.000 – 6.000 /Kilogram. Hasil padi
tersebut saat ini jarang untuk dijual, hanya dikonsumsi untuk kebutuhan
sehari-hari selama 10 - 12 bulan untuk satu keluarga dengan 5 - 6 orang.
Warga Kalumpang berladang dengan sistem menetap, walaupun
hasilnya tidak sebanyak dengan menggunakan sistem perladangan gilir balik.
Apabila dihitung rata-rata, setiap kepala keluarga di kampung Kalumpang
mempunyai lokasi lahan 2 hektar kebun karet dengan 1 hektar lokasi ladang.
Dalam berladang, warga tidak menggunakan dengan hitungan hektar, namun
dengan hitungan luas borongan; satu hektar sama dengan 35 borongan, satu
borongan sama dengan 10 x 10 depa. Satu hektar ladang memerlukan bibit
padi gunung sebanyak 5 blek yang apabila hasil panen padi berhasil dapat
menghasilkan ± 100 blek padi atau setara dengan beras 50 – 60 blek. Jadi
diperkirakan satu borongan dapat menghasilkan 3 blek padi.
Pada tahun 2007 - 2008 hanya sedikit masyarakat yang berladang karena
himbauan dari pemerintah provinsi dalam penanggulangan kebakaran hutan
dan pembatasan kebakaran hutan dan lahan. Dalam peraturan tersebut
ada aturan yang mengharuskan masyarakat untuk melakukan pembakaran
lahan dengan batasan – batasan tertentu. Hal ini membuat masyarakat
yang melakukan perladangan enggan berladang karena takut ditangkap
jika membakar lahan saat berladang.212
Diperkirakan sejak lima tahun terakhir ini, terjadi pergeseran tradisi
dalam membuka ladang di Kalumpang. Jika dahulu semua proses berladang
dilakukan secara handep (gotong royong) saat ini ada yang menggunakan
sistem bayar atau upah. Upah perhari untuk mengerjakan ladang adalah Rp.
40.000,00. Dengan handep apabila seseorang tidak hadir akan digantikan
orang lain dengan membayar uang sejumlah Rp. 20.000 / hari.
(g) Sistem tenurial Dayak Ngaju
Pada daerah penelitian, terdapat masyarakat adat Dayak Ngaju.
Suku Dayak Ngaju merupakan suku terbesar di Kalimantan Tengah
yang keberadaanya tersebar di beberapa wilayah daerah aliran sungai di
Kalimantan Tengah, termasuk di daerah aliran Sungai Kapuas dan Kahayan.
Dayak Ngaju terdiri dari 4 suku kecil dan 90 suku sedatuk dengan perincian
jumlah tertera di tabel ini:
Tabel 6.3. Taksonomi Dayak Ngaju
No.
1
2
3
4
212
Suku Kecil
Dayak Ngaju
Dayak Ma`anyan
Dayak Dusun
Dayak Lawangan
Jumlah Suku Sedatuk
53 suku sedatuk
8 suku sedatuk
8 suku sedatuk
21 suku sedatuk
Penjelasan lebih lanjut soal pelarangan bakar lahan ini dapat dilihat di bab 4 (c) buku ini.
310
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Masyarakat adat Dayak Ngaju menganut kepercayaan Kaharingan yang
masih cukup kuat sampai sekarang. Hal ini bisa dilihat dari ritual-ritual
adat yang yang dilakukan.
(i) Sistem penataan kawasan secara tradisonal
Penguasaan lahan hak masyarakat di Desa Petak Puti maupun
Desa Kalumpang dilakukan dengan menggunakan sistem ayungku.
Kepemilikan ini biasanya didapat dari pembagian-pembagian tanah
oleh para orang tua, keluarga atau dari hasil membuka lahan kosong
baik berupa hutan maupun semak-semak. Dari membuka lahan lalu
berladang, apabila sudah ditanami dengan berbagai pohon produktif
maka lahan itu menjadi milik si pembuka. Tanaman produktif adalah
tanda kepemilikan dari orang yang membuka ladang tersebut.
Pembagian kawasan di Desa Petak Puti dan Kalumpang mengikuti
prinsip dan karakter yang serupa. Dalam tabel, terlihat sbb:
Tabel 6.4. Pembagian kawasan di Desa Petak Puti
dan Kalumpang
Desa Petak Puti
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Sungei (sungai)
Lewu atau kampung (desa)
Himba (hutan)
Pukung Pahewan
Napu (rawa)
Huma atau tana (ladang)
Kabun kalakah (kebun)
Bahutaya (semak)
Danau
Desa Kalumpang
1. Sungei (sungai)
2. Lewu atau kampung (desa)
3. Himba(hutan)
4. Pukung Pahewan
5. Napu (rawa)
6. Huma atau tana (ladang)
7. Kabun kalakah(kebun)
8. Bahutaya (semak)
9. Danau
10. Handil
Sungei (sungai) merupakan urat nadi kehidupan bagi masyarakat
yang hidup dan tinggal sungai kapuas. Sungai juga merupakan jalur
transportasi antar kampung yang memang kebanyakan berada di
pinggir sungai. Selain sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan hidup
rumah tangga seperti mandi, cuci dan kakus (MCK), Sungai Kapuas
juga dimanfaatkan untuk menambah penghasilan ekonomi seperti
menangkap berbagai jenis ikan dengan menggunakan alat tradisional
seperti rengge, lunta, satawan, buwu dan pisi (pancing). Untuk keperluan
air minum dan memasak (air bersih) biasanya masyarakat mengambil
dari air sumur yang dicampur tawas untuk membersihkan air sumur
tersebut. Sebagian warga lainnya dengan menggunakan air sedot dari
dalam tanah.
Lewu atau kampung adalah wilayah atau tempat berkumpul
komunitas masyarakat untuk dapat lebih memudahkan interaksi antar
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
311
keluarga dan kerabat. Di lewu inilah sistem pemerintahan berjalan
dengan membawahi beberapa Rukun Tetangga (RT).
Himba (hutan) merupakan sebuah kawasan yang mana mereka
gunakan untuk berbagai aktivitas diantaranya adalah untuk berburu,
memungut hasil hutan (beberapa jenis rotan dan getah), gemor, jelutung,
tumbuhan obat-obatan dan menggunakan beberapa jenis kayu untuk
keperluan rumah.
Kalehkak (bekas kampung) adalah bekas pemukiman yang sudah
lama ditinggalkan dan masih di kelola secara baik. Biasanya kalehkak di
gunakan masyarakat untuk mengambil berbagai jenis rotan, tengkawang,
karet dan buah-buahan lainnya seperti durian, cempedak. Kalehkak
terbagi dalam dua bagian, yaitu kalehkak lewu yang merupakan bekas
pemukiman (kampungn atau desa) yang dimanfaatkan dan dimiliki
secara komunal oleh keturunan dari komunitas kampung tersebut
dan kalehkak dukuh atau bekas bermukim sementara yang masih
dimanfaatkan dan dikelola kawasannya.
Napu (Rawa) adalah sebuah wilayah yang mempunyai dataran tanah
agak rendah dan berair (rawa). Pada lokasi ini biasanya mempunyai
tingkat keasaman yang lebih dan bagi masyarakat biasanya di
gunakan untuk lokasi persawahan padi. Selain itu biasanya masyarakat
memanfaatkan lahan pada daerah rawa ini adalah dengan membuat
beje atau kolam tradisional. Dan jenis tanaman yang banyak terdapat
pada daerah rawa ini adalah tanaman purun yang digunakan masyarakat
untuk membuat tikar (tikar purun).
Huma atau tana (ladang) ladang adalah sebuah lokasi tempat
masyarakat menanam berbagai jenis padi. Jenis padi yang ditanam
biasanya hanya satu kali musim (satu kali tanam) atau padi gunung.
Dalam berladang juga adalah merupakan sebuah tahap awal masyarakat
dalam membuka kebun (kabun) apabila di lokasi ladang tersebut subur.
Untuk menunggu hasil panen tiba, biasanya masyarakat menanam
berbagai jenis sayur untuk kebutuhan sehari-hari. Dan setelah selesai
panen biasanya ditanami lagi dengan karet atau berbagai jenis buahbuahan seperti durian, cempedak. Akhir dari proses berladang dan
kemudian menjadi tana adalah melakukan usaha kebun (kabun) dari
bekas areal ladang yang sudah ditanami padi. Biasanya pada kebun ini
terbagi menjadi dua sebutan.
Kabun kalakah (kebun) adalah sebuah areal dimana terdapat
kumpulan berbagai jenis pohon yang digunakan warga sebagai mata
pencaharian atau tambahan kebutuhan pangan. Biasanya pada kebun
ini terbagi menjadi dua sebutan yaitu, pertama adalah Kabun Bua yaitu
kebun campuran yang ditanami berbagai jenis tanaman buah-buahan
seperti nangka, rambutan, pinang, durian, dll. Dan yang kedua adalah
312
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Kabun gita atau kabun uwei (kebun karet atau rotan) yang mempunyai
jenis tanaman khusus yaitu pohon karet atau rotan.
Bahu taya (semak) adalah semak belukar yang diperkirakan sudah
berumur di atas dari 15 tahun. Atau semak belukar yang akan menjadi
hutan. Semak belukar ini bisa juga bekas lahan berladang masyarakat
yang sudah ditumbuhi oleh pohon-pohon perdu seperti karamunting,
alang-alang dan rumput-rumput liar. Lahan ini masih bisa dijadikan
ladang, walaupun tidak sesubur pada ladang yang baru dengan membuka
hutan (gilir balik). Hal ini karena tingkat kesuburannya rendah dari
unsur hara yang terserap oleh tanaman padi selama proses peladangan
sebelumnya.
Pukung Pahewan adalah sebuah kawasan hutan dimana kawasan ini
merupakan kawasan tempat roh-roh gaib tinggal. Menurut masyarakat
setempat kawasan ini merupakan daerah yang tidak boleh diganggu
atau dirusak keberadaannya. Di lokasi pahewan ini biasanya terdapat
patung dan rumah-rumahan tempat untuk memberikan sajian kepada
roh-roh yang tinggal di Tojahan tersebut. Biasanya sebagian masyarakat
apabila menghajatkan sesuatu dan hajat tersebut terkabul maka mereka
akan membayar hajat ke lokasi pahewan tersebut.
Pahewan merupakan sebuah kawasan hutan yang dimiliki secara
komunal oleh masyarakat Dayak yang keberadaannya dilindungi dan
dimanfaatkan dengan berdasarkan aturan hukum adat yang berlaku
dikampungnya. Penyebutan hutan menjadi pahewan, tajahan atau
himba keramat biasanya dipengaruhi oleh mimpi yang dialami oleh
masyarakat banyak, yang bersifat peringatan/pemberitahuan dan dialami
oleh orang banyak atau oleh kejadian-kejadian aneh yang dialami oleh
masyarakat pada wilayah tersebut. Kawasan hutan lainnya pun dapat
menjadi himba keramat apabila terdapat pertanda pada kawasan tersebut
seperti disebutkan diatas. Dalam masa-masa mendatang kemungkinan
besar himba keramat dapat bertambah luas jika terdapat tanda-tanda
tersebut.
Handil adalah sistem pengairan pada daerah pasang surut pada
kawasan rawa gambut berbentuk parit. Handil merupakan konsep
pengelolaan kawasan yang unik dimana pada awalnya adalah sebuah
sungai kecil (saka) yang dijadikan parit memanjang untuk mengatur
arus sungai. Pada sisi kiri dan kanan handil dijadikan masyarakat tempat
untuk dijadikan lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah. Dulunya
handil adalah sebuah sungai kecil yang digunakan warga untuk jalur
transportasi ke lokasi ladang, kebung karet, kebun panting dan menuju
arah hutan untuk memungut hasil hutan. Penamaan handil biasanya
diambil dari nama pohon, nama tumbuhan, nama orang, nama ikan atau
nama alam lainnya. Setiap satuan handil dipimpin oleh seorang kepala
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
313
handil yang mengkoordinir setiap kegiatan pengaturan, pemeliharaan
sungai dan handil serta mengatur pembagian lahan di kiri kanan handil.
Oleh karena itu kepala handil sangat berperan dalam pembagian lahan
untuk masyarakat di kampung. Kepala handil dipilih oleh anggota handil
dengan sistem musyawarah bersama anggotan handil.
Untuk membantu pengelolaan lahan, kepala handil dibantu oleh
seorang kepala padang dan seorang pengerak. Kepala padang adalah
orang yang mengkoordinir kegiatan berladang pada musim tanam padi.
Dan penggerak adalah seorang yang biasanya mengumpulkan warga
untuk berkumpul apabila diadakan musyawarah atau kegiatan, misalnya
gotong royong atau handep. Lama kepemimpinan kepala handil tidak
terbatas selama kepala handil tersebut masih mampu dan akan dipilih
lagi bersama anggota handil dengan azas mufakat dan kekeluargaan.
Untuk membatasi lahan warga biasanya dibuat tatas (parit kecil)
yang berguna untuk batas tanah warga dan juga digunakan untuk
mengeluarkan kayu atau saluran air untuk kolam ikan tradisional atau
biasa di sebut beje. Untuk menjadi keanggotaan handil warga yang
terlibat harus melakukan berbagai proses, antara lain :
a. Membayar uang ke kas kelompok handil untuk gotong royong
pembersihan handil dan memberikan sumbangan kepada anggota
handil apabila mengalami musibah.
b. Setelah membayar sumbangan kepada kepala handil atau
pembantunya, maka anggota handil akan diberi lahan untuk
berladang atau berkebun karet dan buah. Luas lahan tidak ditentukan
secara pasti tergantung anggota kelompok.
c. Anggota handil harus melakukan kegiatan gotong royong atas
permintaan kepala handil. Keputusan ini biasa dikeluarkan setelah
ada rapat dengan anggota handil. Kegiatan gotong royong dilakukan
untuk pembagian lokasi lahan baru untuk berladang.
Pengaturan sistem kepemilikan lahan di kawasan handil, memang
belum berbentuk dokumen tertulis, tetapi berlaku dalam kehidupan
sehari-hari. Tanda kepemilikan kawasan handil adalah adanya jenis
tanaman produktif seperti jenis karet, jelutung, cempedak atau durian.
Dalam hal jual beli lokasi lahan (misalnya, kebun karet) biasanya dapat
diperjualbelikan kepada orang lain yang masih ada ikatan keluaraga
di kampung, sebatas memenuhi prinsip adat istiadat. Luas lahan atau
lokasi (ladang atau kebun) dinyatakan dengan luasan lembar atau depa.
Penjualan lokasi lahan atau kebun dilakukan kedua belah pihak dengan
disaksikan atau diketahui oleh kepala handil atau pambakal. Selain jual
beli, pergantian kepemilikan bisa berdasarkan pemberian seseorang,
warisan, tukar menukar (nangkiri) atau sistem gadai (sandak). Tukar
314
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
menukar atau barter bisa berupa lahan kebun dengan sebuah perahu
kelotok atau rumah.
Kepemilikan komunal, misalnya wilayah kampung, ditandai dengan
batas yang sudah diatur oleh pemerintahan berdasarkan dari peta
kampung. Wilayah atau batas kampung biasanya ditandai dengan
sebuah sungai atau pohon. Batas kampung tersebut didasarkan pada
kesepakatan antar kampung bersebelahan yang sejak dulu sudah terjalin
serta masih ada hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
(ii) Pengelolaan Handil saat ini
Saat ini terdapat beberapa handil di Kalumpang, dimana pada
pinggiran handil-handil tersebut banyak terdapat kebun karet dan
kebun buah milik masyarakat. Kebun karet dan buah tersebut sudah
puluhan tahun ada yang pengeloalaannya diserahkan kepada secara
turun temurun. Selain itu juga, sejak tahun 1990-an pengelolaan ladang
menetap mulai mereka lakukan. Walaupun hasilnya tidak sebanyak
ladang gilir balik yang dulu mereka lakukan.
Ancaman terbesar pada kawasan handil adalah kebakaran hutan dan
lahan. Hal ini dimulai sejak dibukanya Pengembangan Lahan Gambut
(PLG) 1 juta hektar pada tahun 1996. Awalnya kebakaran besar terhadap
hutan dan lahan di kawasan handil adalah pada tahun 1997 – 1998
dimana saat itu juga kemarau sangat panjang. Hal ini mengakibatkan
banyak kebun masyarakat yang terbakar karena merembet dari lahan
semak. Berdasarkan informasi dari beberapa masyarakat Kalumpang,
sejak dibuatnya kanal untuk PLG, banyak masyarakat mengambil kayu
dan membabat hutan di hulu handil-handil. Dampak yang ditimbulkan
adalah bekas hutan tersebut menjadi semak dan mudah terbakar pada
saat musim kemarau. Biasanya ini terjadi saat beberapa warga melakukan
kegiatan berladang untuk membuka lahan. Walaupun saat pembakaran
dijaga oleh pembuka ladang, namun apabila terdapat kawasan gambut
tebal, api di dalam tanah gambut juga ikut terbakar.
Kendala lain adalah pada saat musim kemarau akses menuju kebun
karet apabila musim kemarau. Karena pada musim ini air surut dan
untuk menuju akses tersebut terpaksa harus menunggu air pasang.
Apabila air pasang siang hari, artinya proses penyadapan karet sudah
mulai berkurang getahnya karena getah karet mengucur banyak pada
pagi hari.
Di luar kebakaran dan usaha karet, dampak lain yang ditimbulkan
proyek kanalisasi PLG adalah air pada kawasan rawa cepat mengering
yang mengakibatkan beje milik masyarakat tidak berfungsi secara
baik. Karena beje membutuhkan kedalaman air yang cukup baik untuk
perkembangan ikan pada saat musim banjir.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
315
(iii) Dinamika Tenurial di Desa Petak Puti
Masyarakat Petak Puti mulai banyak melakukan penanaman karet
di kebun-kebun yang sudah lama ditinggalkan dan pada lahan tidur
yang masih tersedia luas. Diprediksi, ke depan di Desa Petak Puti,
aktivitas berkebun karet dapat mengimbangi aktivitas dan penghasilan
dari mencari ikan. Selain itu, masyarakat saat ini sedang mengajukan
pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Inisiatif pengajuan HTR
pertama kali diusulkan kepada masyarakat oleh Penyuluh Kehutanan
Kecamatan Timpah pada tanggal 8 Desember 2009. Menariknya,
bahwa masyarakat sendiri belum paham peraturan terkait tentang HTR
(Permenhut no 23 tahun 2007). Pengetahuan yang ada tentang HTR
sejauh ini hanya pada kompensasi yang akan didapat dan syarat-syarat
administrasi pengajuan HTR saja. Aturan secara utuh dan mekanisme
pengaturan HTR-nya, masyarakat Desa Petak Puti tidak mengetahui.
Berdasarkan hasil wawancara, alasan masyarakat Desa Petak Puti
mengajukan HTR adalah karena belum jelasnya kepemilikan dan
pengelolaan serta pemanfaatan lahan yang ada di Desa Petak Puti
(kawasan hutan negara eks HPH). Alasan lain adalah untuk menambah
penghasilan masyarakat, baik yang berupa insentif pengelolaan hutan
maupun dari hasil menanam kayu serta untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi kayu sendiri.
Luas areal lahan yang diajukan untuk HTR di Desa Petak Puti seluas +
4.500 ha. Proses yang sudah dilakukan dalam pengajuan antara lain:
a. Membentuk kelompok, kelompok yang di bentuk terdiri dari 5 – 7 orang.
b. Pemetaan bersama penyuluh kehutanan.
c. Pembagian areal untuk kelompok masing masing mendapatkan 15 ha.
d. Penyusunan proposal dan kelengkapan administrasi.
e. Pengajuan ke pemerintah daerah Kabupaten Kapuas.
Walaupun menerima ide HTR, masyarakat Petak Puti juga menolak
investasi sawit dengan alasan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan
sebagai penopang hasil mata pencaharian warga dan sebagai upaya
untuk melindungi kepemilikan masyarakat atas tanah untuk masa
depan generasi baru di Petak Puti (anak cucu).
Alasan lain dikemukakan oleh Mantir Adat Desa Petak Puti soal
penolakan investasi sawit itu, yang lebih menyorot soal tawaran
investasi sawit yang ditawarkan berupa sistem PIR tidak menguntungkan
masyarakat dalam jangka panjang.213 Pendapat itu didapatkannya setelah
bertanya pada masyarakat di desa-desa lain di sekitar Petak Puti yang
menerima investasi sawit dengan sistem PIR. Menurutnya, dengan
sistem PIR itu, masyarakat hanya diperlakukan sebagai buruh; padahal
213
Kiting Simson Soeta (Mantir Adat), wawancara, 19-03-2010.
316
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
tanah yang diusahakan perkebunan sawit itu sebenarnya adalah tanah
mereka. Dengan demikian, kepemilikan masyarakat atas tanah menjadi
tidak jelas dan suatu saat bisa hilang.
Masyarakat Petak Puti bisa menerima investasi sawit asalkan
lahannya tidak berada di “Tanah Adat”, melainkan di “Tanah Ulayat”,
yang jaraknya 10 KM dari Desa Petak Puti. Sebaliknya, bagi pengusaha
sawit, menanam sawit di Tanah Adat lebih menguntungkan karena
lahannya yang dekat dengan desa (kurang lebih berjarak 5 KM dari
Petak Puti).
HTR sendiri akan dikerjakan di lahan “Tanah Adat” (atau Hutan
Produksi menurut klaim pemerintah). Mengapa Masyarakat Desa Petak
Puti mau menerima HTR di “Tanah Adat”-nya? Ini terkait dengan
kontestasi tenure masyarakat Desa Petak Puti dengan pihak luar termasuk
pemerintah dan pengusaha, dan pilihan yang jauh lebih tidak berbahaya
terkait dengan kekuatan kepemilikan mereka atas lahan itu dibandingkan
dengan memberikan pengusahaannya pada pengusaha sawit.
“Tanah Adat” bagi Masyarakat Desa Petak Puti adalah lahan yang
bisa dibagi-bagi ke masing-masing penduduk desa dan dapat dimiliki
yang dasar penentuannya didasarkan pada hukum adat.214 Dasar
pembagiannya adalah seberapa kuat bukti masing-masing penduduk itu
mengusahakan lahannya masing-masing (membuka lahan, mengurus,
menanami dengan tanaman dan usaha lainnya) serta adanya pembagian
lahan yang ditentukan oleh pendiri Desa Petak Puti. Ketika pemerintah
mau melaksanakan proyek HTR di lahan “Tanah Adat”, bahkan mau
membiayai proses awalnya, hal itu dianggap sebagai bentuk “pengakuan”
pemerintah atas lahan itu sebagai lahan milik mereka.215
Terjadi pergeseran sistem kepemilikan di Petak Puti, dari kepemilikan
komunal menjadi personal. Perubahan itu dimulai dengan pembagian
tanah oleh pemilik tanah yang luas kepada ahli waris, pembukaan lahan
baru, dan proses jual beli. Jika proyek HTR terealisasi akan ada lagi jenis
kepemilikian tanah baru yaitu ‘tanah yang dibagi pemerintah’.
(h) Praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat
(i) Klasifikasi Sumber Daya Alam dan Hutan
Dalam pengelolaan sumber daya hutan, masyarakat Dayak Ngaju
mengenal klasifikasi hutan antara lain yakni kaleka, petak bahu, pahewan,
eka malan manana satiar, tajahan dan pukung himba.
214
215
Kiting Simson Soeta (Mantir Adat), wawancara, 19-03-2010.
Hal ini juga berjalin dengan lahirnya Perda 16/2008 dan Pergub 13/2009 yang memberikan “kewenangan”
kepada Kelembagaan Adat berupa Kademangan – dimana Mantir Adat Desa adalah salah satu proponentnya
- untuk memberikan “bukti” kepemilikan tanah adat dan hak-hak adat atas tanah. Tanah Adat dan Hak-Hak
Adat atas Tanah yang diatur di dalam Pergub 19/2009 bahkan bisa berlaku di wilayah hutan. Lihat Muhajir
dalam bab 4.2. (c) buku ini.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
317
Kaleka merupakan daerah atau tanah tempat tinggal peninggalan
generasi terdahulu suku Dayak yang biasanya ditandai dengan adanya
bekas tiang-tiang rumah betang/rumah panggung, pohon-pohon besar
dan berumur tua seperti durian, langsat dan sebagainya. Lokasi tersebut
umumnya dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun
temurun sebagai harta waris yang peruntukan dan pemanfaatannya
(misal mengambil buah-buahan) untuk kepentingan bersama.
Petak bahu Petak bahu adalah bekas ladang yang sudah digarap
dalam rotasi perladangan berpindah dengan siklus penggarapan 1020 tahun. Petak bahu biasanya sudah menjadi hutan kembali, dan
kepemilikiannya dimiliki secara komunal.
Pahewan adalah hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat adat,
pahewan biasanya di yakini sebagi hutan yang memiliki daya magis.
Apabila ada yang berusaha untuk merusak kelestariannya maka akan
orang yang tersebut akan mendapat rintangan , misalnya kecelakaan
maupun gangguan yang lain.
Eka malan manana satiar adalah tempat bercocok tanam tumpang
sari dan ruang pemanfaatan masyarakat adat untuk berusaha, seperti
mencari ikan, damar, dan berburu.
Tajahan merupakan suatu lokasi yang dikeramatkan oleh Suku
Dayak khususnya yang beragama Kaharingan. Di lokasi tajahan didirikan
rumah berukuran kecil sebagai tempat untuk menaruh sesajen sebagai
tanda persembahan kepada roh-roh halus yang bersemayam ditempat
itu. Rumah kecil tersebut biasanya disertai dengan beberapa patung
kecil yang merupakan simbol atau replika dari anggota keluarga yang
sudah meninggal dan roh orang meninggal tersebut diyakini berdiam
dalam patung-patung kecil tersebut sehingga tidak mengganggu anggota
keluarga yang masih hidup. Lokasi tajahan biasanya pada kawasan hutan
yang masih lebat dan terkesan angker dan sebab itu biasanya pada
lokasi tempat tersebut dilarang melakukan aktivitas manusia seperti
menebang hutan, berburu dan lain-lainnya. Konsep tajahan sangat
relevan dengan kegiatan konservasi karena didalamnya terdapat aspek
perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati.
Pukung Himba adalah bagian dari kawasan hutan rimba yang
dicadangkan untuk tidak ditebang/dieksploitasi karena fungsinya sebagai
lokasi untuk pemindahan roh-roh halus (Gana dalam bahasa Dayak
Ngaju) dari daerah/kawasan yang akan dijadikan ladang. Peladang suku
Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah memamahi bahwa di dalam kegiatan
pembukaan ladang, harus ada kawasan hutan yang harus dicadangkan
sebagai tempat untuk memidahkan roh-roh penunggu (gana) yang
bermukim pada lokasi yang akan dijadikan ladang ke lokasi baru yang
dalam bahasa Dayak Ngaju sering disebut dengan pukung himba. Ciri-ciri
318
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
daerah yang dijadikan pukung himba umumnya wilayah yang berhutan
lebat dan berumur tua dengan diameter vegetasi kayu rata-rata berukuran
relatif sangat besar, belum banyak terjamah oleh kegiatan manusia dan
banyak dihuni oleh satwa liar. Hutan yang berumur tua dengan ukuran
kayu besar dan terkesan sangat angker dipercayai sebagai tempat yang
disenangi roh-roh (gana) untuk tempat bermukim.
Namun demikian sampai saat ini belum ada dokumentasi lengkap
mengenai keberadaan kawasan-kawasan ini. Upaya untuk pelestarian
kawasan tanah adat dan kawasan adat seperti kaleka dan pahewan saat
ini dijawab oleh pemda dengan dikeluarkannya peraturan gubernur
yang mengatur tentang inventarisasi dan menyangkut hal teknis lain
seperti pengukuran, pemetaan, dan pemasangan batas tanah, yang
pengesahannya dilakukan oleh Damang Kepala Adat.
Suku Dayak Ngaju di daerah Kalumpang dan Petak Puti adalah
masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi kepada hutan. Namun
demikian pengelolaan hutan oleh suku Dayak tetap dilakukan secara
arif. Perubahan sikap atas kearifan lokal terjadi seiring dengan hadirnya
pengaruh-pengaruh dari luar, terutama kontak dengan kelompok luar,
proyek pemerintah dan investasi swasta.
(ii) Pranata dan praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat
Cara pengelolaan hutan secara adat Dayak sebetulnya sudah
mengedepankan unsur pencegahan terhadap kerusakan hutan; terlihat
misalnya cara membakar dengan membuat sekat bakar. Pembersihan
sekeliling daerah yang akan dibakar diikuti dengan membuat galian
tatas sebagai sekat lahan yang akan dibakar. Selain itu, pembakaran
umumnya dilakukan tengah hari saat panas terik mencapai puncaknya
dan angin tidak bertiup kencang. Saat panas terik memuncak, materi
pembakaran akan cepat habis dan tidak menimbulkan asap dalam waktu
lama. Angin juga tidak bertiup kencang, sehingga tidak berpotensi
menimbulkan kebakaran tak terkendali.
(iii) Eksistensi pranata dan praktik pengelolaan hutan dari luar masyarakat
Praktik-praktik pengelolaan hutan yang berlebihan dan merusak
mulai dilakukan oleh suku Dayak sejak masuknya HPH maupun
pengaruh yang sifatnya dari luar. Hal ini juga terjadi di daerah penelitian,
awalnya masyarakat menjaga hutan dan memelihara kawasan dengan
kearifan lokal, tetapi setelah datangnya Perusahaan HPH banyak kawasan
hutan yang ditebang secara besar-besaran. Penebangan kayu secara
liar oleh masyarakat juga diakibatkan oleh adanya iming-iming untuk
mendapatkan uang yang lebih mudah. Kebutuhan-kebutuhan baru yang
hadir di tengah masyarakat Dayak mendorong warga masyarakat untuk
mengeksploitasi sumber daya hutan secara berlebihan.
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
319
Aktivitas pengelolaan hutan yang lestari dan sudah mulai
ditinggalkan, hal ini terjadi karena upaya-upaya untuk melakukan
penghentian perusakan hutan secara nyata masih sebatas pada
program saja. Eksploitasi Hutan melalui saluran resmi berupa izinizin pemanfaatan kayu mapun izin HPH juga turut serta memicu
masyarakat untuk melakukan pembalakan, banyak perusahaan kecil
yang mempunyai dokumen pemanfaat hasil hutan justru mendapatkan
bahan mentah kayu dari masyarakat, hal inilah yang memicu terjadinya
praktik perusakan hutan secara berkelanjutan dan masal.
Selain itu di daerah penelitian juga muncul bahwa aktivitas
pembukaan PLG juga berperan atas terjadinya perambahan hutan hutan
di sekitar desa penelitian. Di Desa Kalumpang, masyarakat beramairamai melakukan penebangan hutan setelah ada kemudahan akses
untuk mengeluarkan kayu dari melalui kanal-kanal PLG. Akibat dari
penebangan hutan secara tak terkendali adalah menipisnya hutan di
dekat desa.
Perubahan pola ketergantungan terhadap hutan dari cara-cara
pengelolaan dengan kearifan tradisional menjadi ketergantungan
terhadap hutan dengan cara eksloitasi kayu menjadikan masyarakat
memiliki keinginan untuk mendapat keuntungan dari hasil pembalakan
liar.
Penebangan hutan secara liar dan tidak terkontrol oleh pemerintah
berdampak pada pola upaya masyarakat untuk mendapatkan penghasilan,
apabila sebelumnya masyarakat mengabaikan kebun karet dan ladangladang serta lahan tak tergarap, kini masyarakat mulai melirik usaha
pembalakan liar. Tidak mengherankan apabila sekarang masyarakat
masih bermimpi bisa melakukan aktivitas penebangan hutan seperti saat
masa pembalakan liar marak. Inisiatif adanya hutan Tanaman Rakyat
(HTR) di Petak Puti oleh warga dimaknai sebagai harapan mereka akan
menjadi leluasa memanfaatkan hasil kayu dari hutan untuk dijual. Ini
tentunya menjadi sebuah ironi bila dihadapkan dengan tujuan mulia
dari HTR.
(iv) Konflik sumber daya hutan
Perkembangan pengelolaan hutan di kawasan PLG, utamanya di
kawasan desa penelitian menghadirkan konflik baru dalam pengelolaan
sumber daya hutan. Masyarakat yang sudah terbiasa mengambil kayu
menjadi terganggu setelah ada larangan pembalakan liar.
Selain itu konflik sumber daya hutan lain juga muncul dengan adanya
kegiatan konservasi yang dilakukan di kawasan PLG. Di kawasan desa
penelitian hadir sebuah upaya konservasi hutan dan orang utan oleh
Yayasan Borneo Orangutan Society Mawas (BOS Mawas). Masyarakat
320
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Desa Petak Puti maupun Desa Kalumpang dan desa-desa di sekitarnya
kawasan konservasi pernah mengalami konflik dengan BOS Mawas.
Konflik yang terjadi antara lain adalah terbatasnya akses masyarakat
terhadap hutan di kawasan konservasi. Masyarakat lokal yang terbiasa
keluar masuk hutan untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu juga
mendapatkan dampak atas adanya kegiatan konservasi. Pengelola
konservasi curiga bahwa masuknya warga ke dalam hutan adalah untuk
melakukan pembalakan liar.
Warga Petak Puti memiliki catatan tersendiri atas hadirnya BOS
Mawas yang melakukan konservasi orang utan dan hutan, masyarakat
Petak Puti sempat menolak kehadiran NGO ini. Mereka merasa terganggu
aktivitas mengambil hasil hutannya, di samping menjadi terbatasnya
akses mereka masuk ke kawasan hutan dan danau. Berdasarkan hasil
wawancara, penentangan keras atas kehadiran NGO ini karena warga
dilarang untuk masuk ke danau yang merupakan sumber utama
untuk mencari ikan. Sumbu konflik disulut operasi tim kepolisian
yang didampingi BOS Mawas untuk menangkap warga yang masuk
wilayah konservasi. Terjadi kekerasan dan perusakan aset warga yang
tertangkap tangan sedang mengolah kayu; mesin gergaji dirusak bahkan
ada yang dibenamkan ke sungai. Secara psikologis warga juga terteror
dengan helikopter dan pesawat capung yang terbang rendah di kawasan
desa. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari warga, mereka tidak
mengetahui apabila mereka telah dianggap masuk daerah konservasi
Mawas.
Konflik dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya di
kawasan Desa Petak Puti dan Kalumpang, antara lain persinggungan
dengan perkebunan kepala sawit dan penambang tanpa izin yang
melakukan penyedotan lumpur sungai di tepian kebun-kebun karet.
Perselisihan batas yang terjadi biasanya hanya sebatas permasalahan
antar warga dan diselesaikan dengan cara adat atau kekeluargaan.
(i) Perubahan ekologi hutan di mata masyarakat
Perubahan kondisi sumber daya alam kurang lebih terjadi serupa di
Petak Puti dan Kalumpang; warga menilai bahwa kerusakan sumber daya
alam adalah akibat kesalahan pengelolaan pada masa lalu. Masalah ekologi
hutan dan perairan sudah mulai diperhatikan oleh masyakat, karena mereka
kesulitan mencari kayu bangunan dan berubahnya air sungai. Mereka juga
mengatakan bahwa keselamatan mereka akan terancam apabila hutan
dan sungai serta kawasan kawasan lain rusak. Hal ini dirasakan langsung
oleh warga Kalumpang, yang sulit mencari ikan. Masyarakat beranggapan
sulitnya mencari ikan disebabkan karena sungai yang sudah tidak baik lagi
kondisinya. Begitu juga pandangan masyarakat terhadap ekologi hutan,
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
321
masyarakat di kawasan eks PLG sekarang semakin baik kesadarannya untuk
melakukan perbaikan kawasan.
Perubahan iklim dirasakan dampaknya oleh masyarakat; musin hujan dan
kemarau lebih sulit diperkirakan sehingga tidak ada patokan bagi masyarakat
dalam aktivitas berladang. Salah satu yang sangat mencolok adalah siklus
hujan yang tidak stabil, yang secara langsung menggangu aktivitas menyadap
karet. Sekalipun demikian, pengetahuan warga mengenai perubahan iklim
global belum cukup, masyarakat kebanyakan hanya mendengar saja tentang
isu perubahan iklim. Sumber informasi tentang perubahan iklim global
umumnya didapat dari kalangan NGO.
Kawasan Desa Petak Puti masuk dalam kawasan Demonstration Activities
REDD yang dirintis oleh IAFCP dengan pelaksana KFCP. Di desa-desa
tertentu, KFCP telah melakukan beberapa aktivitas penelitian sosial dan
ekonomi dengan membuat baseline survey. Namun, dalam pelaksanaan
kawasan DA REDD, KFCP dipandang masih belum cukup melibatkan
masyarakat lokal. Sosialisasi tentang keberadaan proyek ini belum diketahui
perangkat desa, apalagi masyarakat umum; bahkan di wilayah penelitian,
KFCP belum pernah melakukan sosialisasi.
6.4 Masyarakat lokal menghadapi perubahan iklim global
(a) Modal sosial dan potensi
Kehidupan orang Kantuk di Desa Jelemuk dan orang Ngaju di Desa
Petak Puti dan Kalumpang tidak bisa dipisahkan dari hutan (relasi mutual),
selama puluhan generasi mereka mengandalkan hutan untuk bertahan
hidup. Memisahkan dari hutan berarti memisahkan mereka dari sumber
penghidupan mereka. Seorang novelis mengibaratkan relasi ini sebagai, “…
menghancurkan intelegensi yang menghubungkan telur dengan induk ayam,
susu dengan sapi, makanan dengan hutan, air dengan sungai, udara dengan
kehidupan, dan bumi dengan eksistensi manusia.” (Roy 1999:97).
Program-program pemerintah melalui kebijakan-kebijakan pemberdayaan
baik secara langsung maupun tidak langsung juga berdampak terhadap
kehidupan sosial-ekonomi orang Kantuk di Desa Jelemuk. Namun, persoalanpersoalan ekonomi, sosial dan budaya yang mereka hadapi belum dilihat
sebagai dampak intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan
tersebut, terutama kebijakan pembangunan yang berorientasi ekonomi
semata dan menjauhkan mereka dari hutan. Di samping itu, Programprogram bantuan maupun income bagi desa belum dilihat sebagai wujud
pembangunan yang bisa mengancam tingkat kemandirian dan keberdayaan
orang Kantuk. Dinamika seperti ini juga perlahan berpengaruh pada
pola pikir pentingnya ‘uang cash’ bagi masyarakat, dimana proses dalam
penyelesaian konflik sering berujung pada ganti rugi, misalnya dalam bentuk
322
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
income bagi desa. Bahkan, sesungguhnya, hal-hal seperti ini sangat rentan
konflik internal di masyarakat.
Fenomena semacam itu dijumpai pula di Petak Puti; warga seringkali
mengasosiasikan program pembangunan sebagai bantuan pemerintah.
Mereka telah terbiasa melihat berbagai macam program untuk masyarakat
sekitar hutan diluncurkan. Demikian terbiasanya, warga Petak Puti sampai
mampu menganalisis apakah suatu program akan berlanjut atau tidak,
mereka mampu mengantisipasi bagaimana memanfaatkan program untuk
kepentingan mereka dalam waktu singkat.
Kemampuan menafsir dan merespons berbagai hal yang datang dari
luar menunjukkan kelenturan pranata sosial pada kedua komunitas Dayak
ini. Orang Kantuk sempat mengkhawatirkan keberlanjutan hukum adat
mereka ketika berhadapan dengan investor yang menanam modal dalam
industri kayu dan hutan. Namun melalui berbagai penyesuaian, aturan
hukum adat itu masih berlaku dalam kehidupan sehari-hari berdampingan
dengan hukum positif, meskipun dalam posisi yang berbeda. Sebaliknya,
pada orang Ngaju di Petak Puti dan Kalumpang, sebagaimana desa-desa
lain di Kalimantan Tengah, berbagai kebijakan pemerintah daerah baik di
propinsi maupun kabupaten, telah menempatkan pranata lokal ke posisi
yang penting. Sistem pemerintahan adat, misalnya, dewasa ini banyak
mewarnai peraturan daerah mengenai penyelenggaraan pemerintahan di
tingkat desa.
Di kedua komunitas juga terlihat bagaimana ekonomi pasar masuk dan
bekerja pada konteks masyarakat sederhana. Orang Kantuk secara tradisional
sudah terhubungkan dengan pasar puluhan tahun lalu, terutama dengan
komoditas hasil hutan seperti tengkawang. Pedagang atau pengumpul
menjadi kontak pembuka rantai ekonomi hutan antara orang Kantuk
dengan pengusaha di kota. Bagi orang Ngaju, terutama di Petak Puti dan
Kalumpang, kehadiran mereka di wilayah sekarang adalah akibat alasan
ekonomi. Walaupun Petak Puti mempunyai sejarah pembukaan desa yang
khas, namun gelombang migrasi ke desa itu di kemudian hari lekat dengan
kepentingan perladangan. Pada kedua komunitas, ladang menjadi bagian
penting dalam tradisi ekonomi mereka. Ladang itu pula yang membawa
mereka pada pengaturan kepemilikan dan kepenguasaan lahan. Melalui
klaim kepemilikan ladang, orang Ngaju dan Kantuk mengajukan mosi
tidak percaya mereka terhadap perusahaan yang menguasai hutan atau
terhadap lembaga konservasi yang coba menutup akses mereka untuk
masuk ke hutan.
Sejak dua-tiga dasawarsa terakhir, secara umum masyarakat pedalaman
Kalimantan menjadi bagian penting dari upaya mendapat kayu di luar jalur
resmi HPH. Secara stereotipik mereka sering dikatakan sebagai pembalak liar
yang mengerjakan operasi pembalakan tanpa izin dengan dukungan dana
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
323
dari pengusaha luar kampung mereka. Setelah puluhan tahun dimanjakan
oleh ekonomi illegal, kini kedua komunitas mesti mengembangkan kegiatan
ekonomi alternatif. Beruntung, alam yang relatif ramah, masih menyediakan
sungai dan danau penuh ikan. Di Jelemuk dan Petak Puti, seperti halnya
di desa-desa sekitar mereka, mencari ikan patut dipertimbangkan sebagai
kontributor ekonomi alternatif. Secara tradisional, cara mereka menangkap
ikan dengan membuat ‘lubuk-lubuk’ buatan di danau dan menguras ikannya
saat kemarau, dalam batas tertentu mampu mendukung ekonomi rumah
tangga.
Kasus-kasus di desa penelitian menunjukkan potensi pranata lokal
sebagai modal sosial untuk mengantisipasi program yang diinisiasi struktur
kekuasaan yang lebih tinggi dan kuat: pemerintah pusat atau kaum penanam
modal. Khususnya dalam mengantisipasi kemungkinan penerapan REDD,
ada tiga modal sosial yang tersedia dan dapat dikembangkan.
Pertama, toleransi budaya masyarakat adat Dayak secara umum, atau
Kantuk dan Ngaju secara khusus, yang relatif lentur. Kelenturan ini membuat
mereka tidak serta merta mengalami kehilangan identitas kedayakan (cultural
loss) mereka dan tergantikan dengan identitas budaya lain. Alih-alih, mereka
menempatkan berbagai unsur luar dan memadukannya ke dalam tradisi
mereka. Proses perubahan orientasi ekonomi ke arah pasar, misalnya, dapat
terjadi karena pengalaman mereka berhubungan dengan para pengumpul
hasil hutan non-kayu puluhan tahun lalu. Konversi nilai barang ke dalam
satuan uang (monetisasi) berjalan melalui proses yang panjang dan natural
melalui perdagangan hasil hutan non-kayu ini. Sedemikian jauh, budaya
Dayak cukup lentur dan terbuka pada pranata uang dengan memasukkan
satuan hitungan ini, misalnya, ke dalam pranata denda adat ‘jipen’.
Kedua, sistem perladangan yang menjadi bagian utama kehidupan
masyarakat Dayak. Perladangan menyediakan kemungkinan untuk
mengeksplorasi wilayah yang lebih luas sehingga pengetahuan tentang lokasi,
aneka jenis satwa dan tumbuhan menjadi semakin kompleks. Dalam arus
perubahan akibat pembangunan, pengetahuan perladangan menjadi bekal
bagi orang Dayak untuk masuk ke dalam ekonomi kayu. Mereka masuk ke
dalam industri pembalakan, baik resmi melalui perusahaan pemegang HPH
maupun dalam pembalakan liar. Mereka mengenali wilayah, jenis kayu,
teknik dan keterampilan untuk menebang. Lebih jauh, mereka menjadi
lebih terbuka dan paham berhubungan dengan kaum pemodal. Mereka juga
menjadi lebih tahu dan mampu menyiasati berbagai aturan pemerintah
terkait dengan pengelolaan kayu di hutan. Pengetahuan dan kemampuan
ini menjadi modal sosial yang penting dalam menafsirkan program REDD
yang di samping berimplikasi pada uang juga terbungkus dalam aneka
kebijakan dan aturan pemerintah.
324
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Ketiga, di Jelemuk, Petak Puti dan Kalumpang, penelitian mencatat
bagaimana toleransi budaya, keterbukaan dan kesiapan mereka menghadapi
kelompok lain untuk hidup bersama. Di desa-desa itu, komunitas lokal terdiri
dari masyarakat adat Dayak dan pendatang antara lain dari Banjar, Jawa, Bugis
dan Cina. Kelompok Dayak itu sendiri terdiri dari beberapa sub-etnik Dayak
yang berbeda. Kehidupan sosial-budaya yang relatif menghadirkan variasi
etnik ini menjadi modal untuk tatanan yang lebih terbuka multikultural.
Dengan demikian, apabila perencana program REDD mau mengeksplorasi
modal sosial ini maka proses perencanaan yang partisipatif dan melibatkan
banyak stakeholder luar komunitas dapat dirancang dengan lebih baik.
(b) Kerentanan dan ancaman
Munculnya konsep “menjaga hutan” yang dituntut kepada warga Desa
Jelemuk sebagai salah satu wilayah yang berada di sekitar situs DA REDD
menimbulkan pertanyaan “apakah selama ini mereka tidak menjaga hutan?”.
Pertanyaan lain muncul ketika skema IUPHHK RE (untuk hutan yang
dianggap deforest atau rusak) diajukan oleh FFI dalam proyek REDD ini, “apa
indikator kerusakan hutan?”. Warga Jelemuk meyakini bahwa hutan mereka
masih memiliki banyak sekali pohon dengan kayu berdiameter besar, meski
wilayah ini adalah eks HPH. Pertanyaan-pertanyaan di atas dan beberapa
pernyataan yang menyiratkan kekhawatiran dan kebingungan warga Jelemuk
menunjukkan tidak memadainya pengetahuan mereka tentang proyek REDD.
Hal serupa terjadi juga di Petak Puti. Meski elit desa secara tergagap-gagap
mampu mengutarakan berbagai hal yang berhubungan dengan ‘pemanasan
global’ dan ‘perubahan cuaca’, namun umumnya warga tidak memahami
keniscayaan wilayah mereka menjadi bagian dari proyek REDD
Sekilas, ketidaktahuan warga atas rencana proyek besar yang akan
menimpa desa mereka merupakan masalah klasik yang terjadi sejak mereka
berurusan dengan negara. Dalam struktur hubungan negara-desa yang
demikian jauh jaraknya, suara dari desa tidak terdengar sebagai sebuah
kepentingan di telinga negara. Sebaliknya, suara negara terdengar sayup
dari kejauhan; namun menjadi gegap gempita ketika proyek berjalan.
Di Jelemuk, dimana sudah ada kegiatan awal dari FFI untuk memetakan
wilayah bakal proyek REDD, proses konsultasi dan sosialisasi yang sedang
berlangsung belum mampu menjelaskan kekhawatiran masyarakat Desa
Jelemuk baik kaitannya dengan IUPHHK-RE maupun REDD. Hal yang
paling ditakutkan adalah aksesibilitas mereka, kepastian hak atas wilayah
(dan hak-hak tenurial lainnya), kecilnya presentase jasa lingkungan bagi
masyarakat pemilik dan penjaga, mekanisme pendanaan di tingkat desa,
dan mekanisme keluhan atau penyelesaian sengketa jika terjadi kesalahan
atau pelanggaran. Prinsip FPIC diterapkan baru sebatas pada pelibatan dan
partisipasi perangkat desa dan perangkat adat, belum sepenuhnya melibatkan
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
325
aktor sentral yang juga memiliki peran penting dalam pengambilan
keputusan misalnya kaum perempuan. Ini menjadi penting untuk dikaji
lagi untuk memperjelas posisi tawar masyarakat Jelemuk dalam proyek
REDD, apalagi jika kemudian dilakukan carbon-trading.
Kepastian hak atas wilayah/kawasan hutan menjadi penting bagi orang
Kantuk, lebih dari sekedar dipenuhinya prinsip Free, Prior and Informed
Consent, yang bisa saja menjadi sekedar “atas nama”. Kepastian hak (hak
ekonomi, sosial dan budaya) termasuk memberikan jaminan bahwa orang
Kantuk di Desa Jelemuk tidak akan kehilangan aksesnya atas wilayah
hutan mereka, sehingga mereka tidak akan “dipaksa” untuk mengalihkan
mata pencaharian mereka yang bergantung kepada hutan atau bahkan
mengeluarkan mereka dari kawasan hutan.
Di Petak Puti, pembicaraan terakhir yang berkembang adalah pemberian
bantuan melalui program pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Melalui program ini, warga desa diberi kesempatan untuk mengelola hutan
negara eks HPH dan menerima bagian yang sama besarnya. Kepada warga
yang menjadi anggota kelompok, disediakan insentif bibit tanaman keras
dan uang untuk modal bertanam. Ketidakjelasan informasi menyebabkan
warga menerka-nerka motif di balik program tersebut. Bagi sebagian
warga, bantuan uang yang akan diterima menjadi harapan bahwa mereka
tak perlu lagi repot bekerja; sementara bagi yang lain, pembagian wilayah
hutan negara tersebut berarti lahan gratis bagi mereka; ada lagi yang masih
mengincar sisa kayu di hutan negara, walaupun mereka diharapkan untuk
menjaganya. Masih belum jelas pula, apakah program HTR ini adalah atau
sejalan dengan program REDD.
Secara khusus, ketahanan sosial-budaya komunitas lokal dapat terancam
apabila program REDD tidak mengantisipasi dua hal utama. Pertama,
kesenjangan ide dan pengetahuan mengenai ancaman perubahan iklim
global dan hubungannya dengan masyarakat setempat. Di lapangan, yang
mereka tahu dan alami adalah bahwa nantinya akan ada larangan bagi
mereka untuk masuk ke wilayah hutan tertentu. Karena aktivitas dan
makna hutan bukan sekedar ekonomi, tetapi juga sosial-budaya (misalnya
penyelenggaraan upacara, situs keramat dan tatanan kosmologi) maka
larangan untuk mengakses hutan berarti menjauhkan mereka dari kebutuhan
sosial-budaya.
Kedua, masyarakat desa sekitar hutan, termasuk komunitas lokal yang
menjadi kasus telah beradaptasi dengan sistem ekonomi pasar seperti
intensifikasi perladangan melalui penggantian komoditas dari tanaman
pangan ke tanaman keras; dari berladang ke berkebun. Mereka juga terlibat
dalam bisnis jual beli hasil hutan kayu dan non kayu. Urusan sustainabilitas
lingkungan terkait dengan bisnis ini seringkali terlewatkan; dan mengemuka
sebagai himbauan-himbauan untuk mencari alternatif ekonomi lain. Kalau
326
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
ini terjadi pada program REDD maka rencana pengurangan emisi karbon
lalu akan tereduksi menjadi pengalihan ke mata pencaharian baru. Suatu
pengalihan dari penyadaran cara berpikir ke teknis memenuhi kebutuhan
hidup belaka.
6.5 Penutup: Pranata Sosial dan Globalisasi Masalah
Lepas dari berbagai macam kritik, fenomena mendekat dan
menyatupadunya berbagai kebudayaan menjadi/dalam satu tatanan
dunia telah mengakibatkan persoalan manusia tidak lagi dengan mudah
dimasukkan pada kotak lokal-global, desa-kota atau masyarakat-negara.
Di semua lini, persoalan-persoalan itu mengemuka dan ditafsir dengan
perangkat budaya yang tersedia dalam konteks tertentu. Isu perubahan
iklim global (global climate change) tidak lepas dari tesis tersebut. Para
ahli antropologi telah menunjukkan pentingnya pemahaman budaya dalam
melihat hubungan antara fenomena alam yang dianggap sebagai ancaman
global dengan pengetahuan dan tradisi lokal di suatu komunitas. Dalam
ranah yang konkret di komunitas, perubahan iklim biasanya terekam pada
perubahan pola cuaca (local weather pattern), misalnya, dalam bentuk
musim hujan yang berubah (Create, Nuttall, 2009:394). Dalam penelitian
ini, rekaman itu bahkan bertambah panjang deretan datanya dengan
tambahan berbagai tafsir lokal atas kebijakan negara dalam menghadapi
isu perubahan iklim global.
Berangkat dari uraian-uraian persoalan yang dihadapi oleh orang Kantuk
di Desa Jelemuk dan komunitas adat Ngaju di Petak Puti dan Kalumpang,
berikut adalah sejumlah ulasan umum mengenai respons komunitas
terhadap kebijakan pemerintah dan program-program pemberdayaan, dan
kelembagaan lokal masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.
1. Masyarakat lokal dan isu pemanasan global. Berbagai kebijakan
pemerintah baik di masa lalu maupun masa sekarang, terutama kaitannya
dengan usaha mitigasi terhadap perubahan iklim tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap kehidupan ekonomi, sosial dan budaya
orang Kantuk di Desa Jelemuk. Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu
sebagai Kabupaten Konservasi (SK Bupati Kapuas Hulu 144 tahun 2003)
bahkan tidak berpengaruh terhadap menurunnya tingkat eksploitasi
SDA di Kabupaten Kapuas Hulu. Di Petak Puti dan Kalumpang, isu
pemanasan global bahkan baru menyentuh beberapa lapisan elite desa;
kalah tempat dengan wacana HTR yang mengandung beberapa ide dari
program REDD.
2. Trauma lokal atas kebijakan nasional. Operasi penertiban pembalakan liar
yang dilakukan Pemerintah menjadi momok yang menakutkan, bahkan
keyakinan bahwa mereka tidak melakukan pembalakan liar sekalipun
tidak mampu membuat mereka bisa mengakses hutan mereka sendiri
Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklim/Redd: Studi
di tiga desa di Kalimantan
327
dengan rasa aman. Kebijakan konservasi, tidak kalah traumatiknya,
sebagaimana dialami warga Petak Puti. Rangkaian kegiatan penegakan
hukum atas daerah konservasi terasa sebagai teror bagi warga desa.
Karena itu, merekapun sangat hati-hati bahkan berusaha perlahan
mengalihkan mata pencaharian mereka yang dianggap ‘merambah
hutan’ ke usaha-usaha atau sumber-sumber pendapatan lain, misalnya
mencari ikan. Program-program pembangunan yang selama ini dianggap
menjadi jawaban atas persoalan-persoalan warga Desa Jelemuk, Petak
Puti dan Kalumpang pada kenyataannya tidak lepas dari ‘pengalihan’
atau bahkan ‘penambahan’ dari persoalan lama ke persoalan baru.
3. Kelembagaan lokal dan tantangan global. Lembaga desa memainkan
peran penting sebagai perisai terakhir dalam pengambilan keputusan.
Namun demikian, eksistensi lembaga adat dan aturan-aturan adat juga
menjadi bagian yang akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan
keputusan dimana proses-proses dalam musyawarah desa memungkinkan
partisipasi yang seluas-luasnya dari lembaga Adat. Namun, tidak
demikian dengan partisipasi kelompok-kelompok tertentu seperti kaum
muda dan kaum perempuan. Tidak terdengarnya ‘suara’ dari kelompokkelompok ini juga menjadi tantangan tersendiri dalam penelitian ini.
4. Membumikan isu global. Proyek percontohan REDD memungkinkan
masyarakat Desa Jelemuk untuk ‘kembali’ ke hutan. Namun sayang
sekali, proses-proses yang berlangsung selama ini tidak dibarengi
dengan pemahaman mereka yang memadai tentang perubahan iklim dan
dampak-dampaknya terhadap kehidupan mereka. Belum terlihat adanya
kesadaran masyarakat di Desa Jelemuk bahwa praktik-praktik pengelolaan
yang mereka lakukan selama ini merupakan bagian dari usaha-usaha
penurunan emisi yang sedang ramai-ramainya diperbincangkan oleh
banyak kalangan di dunia saat ini. Sekalipun demikian, baik di Jelemuk
maupun Petak Puti, warga mengindikasikan terjadinya perubahan pola
hujan dan banjir di wilayahnya; di Jelemuk mereka menengarai musim
banjir lima tahunan yang menjadi acara tahunan rutin, sementara di
Petak Puti, banjir yang tak bisa diduga lagi datangnya menyebabkan
keengganan untuk bertanam padi di dekat sungai.
328
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Daftar pustaka
Ali, Burhanuddin. 2003. Pengalaman Pengembangan Kegiatan Pengelolaan
Lahan Gambut oleh Pemerintah Daerah, Makallah presentasi, Semiloka
Proyek Karbon Hutan, Perlindungan Iklim Global dan Pembangunan
Berkelanjutan, Palangkaraya, 28-29 Agustus
Alloy, Sujarni, Albertus dan Chatarina Pancer Istiyani. 2008. Mozaik Dayak,
Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak:
Institut Dayakologi
AMAN, 2003. Kumpulan Pernyataan Sikap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(1999- 2002). Jakarta: Sekretariat Nasional AMAN
Angelsen, Arild (ed), 2008, Moving Ahead with REDD; Issues, Options and
Implications, Bogor: CIFOR
Angelsen, A dan Wertz-Kanounnikoff, S. 2008. What Are the Key Design
Issues for REDD and the Criteria for Assessing Options? Dalam:
Arild Angelsen (ed), Moving Ahead with REDD; Issues, Options and
Implications, hal. 11-21. Bogor: CIFOR
Bakker, Laurens, 2010. “Dapatkah Kami Memperoleh Hak Ulayat?” Tanah
dan Masyarakat di Kabupaten Paser dan Nunukan, Kalimantan Timur”,
dalam: Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (edt.), “Hukum Agraria
dan Masyarakat di Indonesia: Studi tentang Tanah, kekayaan Alam dan
Ruang di masa Kolonial dan Desentralisasi”, hal 183-212, Jakarta: HuMa,
Vob Vallenhoven Institute, KITLV
Bappeda Kapuas Hulu (2008) Profile Daerah Kabupaten Kapuas Hulu
Bolin, Bert., 2007. A history of the Science and Politics of Climate Change:
The Role of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge:
Cambridge University Press
Bullock., Simon, Mike Childs, dan Tom Picken, 2009. A Dangerous
Distraction: Why Offsetting is Failing the Climate and People, The
evidence. London: Friends of the Earth England, Wales and Northern
Ireland
Burroughs, William , 2007. Climate Change: A Multidisciplinary Approach,
Cambridge: Cambridge University Press
Daftar Pustaka
329
BPS Kapuas Hulu (2008) Kabupaten Kapuas Hulu Dalam Angka
CISDL (the Centre for International Sustainable Development Law), 2002,
the Principle of Common But Differentiated Responsibilities: Origins
and Scope, A CISDL Legal Brief For the World Summit on Sustainable
Development, Johannesburg: CISDL
Chhatre A, Agrawal A, 2009, Trade-offs and synergies between carbon storage
and livelihood benefits from forest commons. Proc Natl Acad Sci USA
106:17667–17670, http://www.pnas.org/content/106/42/17667.full
Cotula, L. and Mayers, J. 2009. Tenure in REDD – Start-point or
afterthought?
Natural Resource Issues No. 15. London: International Institute for
Environment and Development.
Create, S.A. dan M. Nuttall. ‘Epilogue: Anthropology, Science and Climate
Change Policy’. Dalam Create, S.A., dan M.Nuttall, (eds.). Anthropology
and Climate Change: From encounter to actions . California: Left Cost
Press Inc.
Departemen Kehutanan, 2008. IFCA Consolidation Report: REDD in
Indonesia, Jakarta,
Dove, M. R., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia: Suatu Studi Kasus di
Kalimantan Barat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Fauna and Flora International, Program Kapuas Hulu, 2009. Progress Report
Aktifitas Lapangan, Maret-Desember 2009. Putussibau: Fauna and Flora
International
Fernandez , Joe., 2009. “Anggaran Prokaum Miskin: Konsep dan Praktek”,
dalam: Abdul Waidl, Yuna Farhan dan Diding Sakri (eds) “Anggaran
Pro-Kaum Miskin: Sebuah Upaya Menyejahterakan Masyarakat., hal 3-31.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Freestone, David, 2009, “The International Climate Change Legal and
Institutional Framework: An Overview,” dalam: David Freestone dan
Charlotte Streck, Legal Aspects of Carbon Trading: Kyoto, Kopenhagen
and Beyond, Oxford University Press
Friedman, Thomas, L. 2009, Hot, Flat and Crowded, Mengapa Kita Butuh
Revolusi Hijau dan Bagaimana Memperbarui Masa Depan Global Kita,
terj Alex Tri Kantjono, Jakarta: Gramedia
330
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Friman, Mathias, 2006. Historical Responsibility, the Concept’s History in
Climate Change Negotiations and its Problem-solving Potential, Master
thesis, Linköping University, Faculty of Arts and Sciences, Tema V,
Supervisor: Björn-Ola Linnér
Galudra, Gamma, Meine van Noordwijk, Suyanto, Idris Sardi dan Ujjwal
Pradhan. 2009. Hot Spot of Emission and Confusion: Land Tenure
Insecurity, Contested Policies and Competing Claims in the Central
Kalimantan Ex-Mega Rice Project Area, Bogor: ICRAF, KPCP
Global Witness, 2009, Trick or Treat: REDD, Development and Sustainable
Forest Management, London: Global Witness
Global Witness, The Wilderness Society, Rainforest Action Network
and Wetlands International, 2009, “De-constructing LULUCF and
its perversities: How Annex I parties avoid their responsibilities in
LULUCF - Rules made by loggers for loggers”, http://www.wetlands.org/
WatchRead/tabid/56/mod/1570/articleType/ArticleView/articleId/2280/
Deconstructing-LULUCF-and-its-perversities.aspx (diakses 12-082009)
Greenomics Indonesia. 2009. “Menguji” Rencana Pemenuhan Target
Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan
Lahan Gambut (Kertas Kebijakan). http://www.greenomics.org/docs/
Laporan Emisi Greenomics_bahasa.pdf (diakses 20-05-2010)
Griffiths, Tom. 2007. “RED”: AWAS? “Pencegahan deforestasi” dan hakhak Masyarakat adat dan komunitas local (terj). Forest Peoples
Programme
Harry, Johann, 2010, The Wrong Kind of Green, The Nation 22 March
Henson, Robert, 2006. The Rough Guide to Climate Change: the Symptoms,
the Science, The Solutions. London: Rough Guides
Houghton, J.T., Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer, P.J. van der Linden, X. Dai,
K. Maskell, and C.A. Johnson (eds.), 2001, Climate Change 2001: The
Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge:
Cambridge University Press
Kanninen, M., Murdiyarso, D., Seymour, F., Angelsen, A., Wunder, S.,
German, L. 2009. Apakah hutan dapat tumbuh di atas uang?: implikasi
penelitian deforestasi bagi kebijakan yang mendukung REDD (Perspektif
Kehutanan 4). Bogor: CIFOR
Daftar Pustaka
331
Kartodiharjo, Hariadi, dan Jhamtani, Hira, eds, 2006, Politik Lingkungan
dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta: Equinox
Kasim, Ifdhal dan Endang Suhendar, 1997. “Kebijakan Pertanahan Orde
Baru: Mengabaikan Keadilan Demi Pertumbuhan Ekonomi,” dalam Noer
Fauzi (edt), Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan,
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rhineka
Cipta
Lang, Chris., 2009. Forests, “Carbon Markets and Hot Air: Why the Carbon
Stored in Forests Should not be Traded”. dalam: Steffen Böhm and
Siddhartha Dabhi (eds), Upsetting the Offset: The Political Economy of
Carbon Markets, Hal 214-229. London: MayFlyBooks,
Li, T. M., 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Lynch, Owen J., and Kirk Talbott, 1995. Balancing Acts: Community-Based
Forest Management and National Law in Asia and the Pacific. Washington,
DC: World Resources Institute.
McCarthy, John F. 2001. Decentralisation and Forest Management in Kapuas
District, Central Kalimantan, Bogor: CIFOR
Ministry of Environment, 2009, Indonesia Second National Communication
Under The United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC), Jakarta: Ministry of Environment
Ministry of Finance, 2009, Ministry of Finance Green Paper: Economic and
Fiscal Policy Strategies for Climate Change Mitigation in Indonesia,
Jakarta: Ministry of Finance and Australia Indonesia Partnership
Mumma, Albert dan David Hodas, 2008, Designing a Global Post-Kyoto
Climate Change Protocol that Advances Human Development,
Georgetown International Environmental Law Review (GIELR), Vol. 20,
No. 4, p. 619, 2008; Widener Law School Legal Studies Research Paper
No. 08-67
Murdiyarso, Daniel, 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi
Perubahan Iklim. Jakarta: Kompas
NEDO, 2006. CDM Development in Indonesia-Enabling Policies, Institutions
and Programmes, Issues and Challenges 2006, kyomecha.org. www.
kyomecha.org/pdf/CDM_Development_in_Indonesia_NEDO_2006-2.
pdf(diakses 12-04-2010)
332
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Noor, Aslan, 2006, Konsep hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia:
tinjauan dari ajaran Hak Asasi Manusia, Bandung: Mandar Maju,
Noordin, 2008. Larangan Bakar Ladang bagi Petani Ethno-Agro Forest ;
Politik Penguasaan Lahan Terselubung-Sistematis, http://nordin-journal.
blogspot.com/2007/09/larangan-bakar-ladang-bagi-petani-ethno.html
(diakses 25-06-2010)
Papua New Guinea and Costa Rica, 2005, Reducing Emission from
Deforestation in Developing Countries: Approaches to Stimulate Action,
Submission by the Governments of Papua New Guinea and Costa
Rica, http://unfccc.int/documentation/documents/advanced_search/
items/3594.php?rec=j&priref=600003611#beg, (diakses 15-06-2009)
Palmer, Charles, and Stefanie Engel, 2009. Avoided Deforestation: Prospects
for Mitigating Climate Change. London: Routledge
Parker, Charlie., Andrew Mitchell, Mandar Trivendi, dan Niki Mardas,
2009. the Little REDD+ Book: An updated guide to governmental and
non-governmental proposals for reducing emissions from deforestation
and degradation. Oxford: Global Canopy Programme.
Parry, M.L. O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson
(eds), 2007. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability
Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report
of the Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007. Cambridge:
Cambridge University Press
Perkumpulan KaBan, 2009. Laporan Participatory Rural Appraisal,
Putussibau: Perkumpulan KaBan
Pokja Sawit Multipihak Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, 2008,
Draft Naskah Akademik Perkebunan Sawit Berkelanjutan, Palangkaraya:
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
Prum, Virak, March 2007, Climate Change and North-South Divide: Between
and Within, Forum of international development studies 34, 223-244,
2007-03, Nagoya University
Puntenney, PJ., 2009. ‘Where Managerial And Scientific Knowledge Meet
Sociocultural Systems: Local Realities, Global Responsibility’. Dalam:
S.A.Create & M.Nuttall, (eds), Anthropology and Climate Change. From
Encounter to Actions. California: Left Cost Press Inc.
Purwanto, SA., 2008. ‘Reformasi Birokrasi Kita: Tatanan yang Dibayangkan
Masyarakat Desa Sungai Utik, Kalimantan Barat’, Makalah, Simposium
Daftar Pustaka
333
Internasional Jurnal Antropologi Indonesia, 22-26 Juli 2008, di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan)
Roy, A. 1999. The Cost of Living (Versi Terjemahan dicetak pada 2004).
New York: Modern Library.
Sakuntaladewi, Niken, Suyanto, Gamma Galudra, Efrian Muharrom dan
Ujjwal Pradhan 2009, Assessment of the Institutional Setting and
Payment Distribution for REDD in the Province of Central Kalimantan.
Bogor: ICRAF, KFCP
Safitri, M. A. 2000. Desa, Institusi Lokal dan Pengelolaan Hutan: Refleksi
Kebijakan dan Praktik. Jakarta: ELSAM.
Segger, Marie-Claire Cordonier and Rajat Rana 2008. Selecting Best Policies
and Law for Future Generations, Legal Working Paper and Worked
Examples, Montreal: World Future Council dan CISDL
Sellato, B., 1994. Nomads of the Borneo Rainforest. Honolulu: University
of Hawaii Press.
Sellato, B., 2002. Innermost Borneo. Paris; Singapore: Seven Orients;
Singapore University.
Sen, Amartya and Beetham, David, (eds), 2006. Development as Human
Rights, Harvard: Harvard School
Shah, Anup, 2009, Climate Justice and Equity, Global Issues.org, http://
www.globalissues.org/print/article/231, (diakses 18 Maret 2010)
Smits, Willie. 2003, The BOS “Mawas” Debt for Nature Swap and Carbon Offset
Agreement, Makalah, Semiloka Proyek Karbon Hutan, Perlindungan
Iklim Global dan Pembangunan Berkelanjutan, Palangkaraya, 28-29
Agustus
Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.
Tignor and H.L. Miller (eds.) 2007, Climate Change 2007: The Physical
Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change,2007
Cambridge: Cambridge University Press.
South Asia Human Rights Documentation Center, 2006, Introducing Human
Rights, an Overview Including Issues of Gender Justice, Environmental,
and Consumer Law, New Delhi: Oxford University Press.
334
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
Swallow, B, M. van Noordwijk, S. Dewi, D. Murdiyarso, D. White, J.
Gockowski, G. Hyman, S. Budidarsono, V. Robiglio, V. Meadu, A.
Ekadinata, F. Agus, K. Hairiah, P.N. Mbile, D.J. Sonwa, S. Weise. 2007.
Opportunities for Avoided Deforestation with Sustainable Benefits. An
Interim Report by the ASB Partnership for the Tropical Forest Margins.
Nairobi: ASB Partnership for the Tropical Forest Margins
Tambul Husin, Abang., 2005. Kabupaten Konservasi. Jakarta: Gramedia
Direct Selling
UNFCCC, 2002. A guide to the Climate Change Convention Process,
Preliminary 2nd edition Issued for informational purposes only, Bonn:
Climate Change Secretariat
UNFCCC, 2006. UNFCCC: Handbook. Bonn, Germany: Climate Change
Secretariat
Wahyunto and I Nyoman N. Suryadiputra. 2008. Peatland Distribution in
Sumatra and Kalimantan-explanation of its data sets including source
of information, accuracy, data constraints and gaps. Bogor: Wetlands
International – Indonesia Programme
WCED, 1988, Hari Depan Kita Bersama (terj), Jakarta: Gramedia
Daftar Pustaka
335
Biodata penulis
Bernadinus Steni
Peneliti sekaligus aktivis yang banyak berkecimpung dalam penelitian
dan advokasi hukum dan masyarakat adat sejak bergabung dengan
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologi
(HuMa) tahun 2003. Sekarang lebih banyak bergelut dalam isu perubahan
iklim, REDD dan perlindungan hak masyarakat adat.
Iwi Sartika
Aktivis pembelaan hak-hak masyarakat adat yang bergabung dengan
Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Pontianak, Kalimantan Barat.
Mempunyai ketertarikan yang besar dalam penelitian soal posisi masyarakat
adat dalam isu perubahan iklim dan REDD.
Laurensius Gawing
Peneliti sekaligus aktivis yang bergabung dengan LBBT (Lembaga Bela
Banua Talino), Pontianak, Kalimantan Barat yang banyak menghabiskan
waktu untuk meneliti kehidupan masyarakat adat di Kalimantan Barat.
Seiring dengan hangatnya isu perubahan iklim/REDD menguatkan minatnya
untuk lebih melihat dampak perubahan iklim/REDD bagi kehidupan
masyarakat adat
Mumu Muhajir
Peneliti di Learning Center-Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum
berbasis Masyarakat dan Ekologi (LC-HuMa). Mendalami aspek kebijakan
dan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Myrna A. Safitri
Peneliti sekaligus Koordinator Eksekutif Learning Center-Perkumpulan
untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologi (LC-HuMa).
Terlibat dalam banyak penelitian soal hukum dan sosial kehutanan dan
pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Beliau sedang menyelesaikan
pendidikan Doktor di Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden.
Biodata Penulis
337
Rano Rahman
Aktivis pembelaan hak-hak masyarakat adat yang sekarang menjabat
sebagai sebagai Direktur Yayasan Betang Borneo, Palangkaraya, Kalimantan
Tengah. Banyak terlibat dalam penguatan hak-hak masyarakat adat dalam
isu perubahan iklim dan skema REDD
Semiarto Aji Purwanto
Dosen sekaligus peneliti di Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Penelitiannya banyak bersentuhan
dengan posisi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Sekarang meminati kajian antropologi dan perubahan iklim .
338
Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
cover ok print.indd 1
15/03/2011 11:02:39
Download