Teraju REPUBLIKA SENIN, 14 JANUARI 2011 23 R GENDE FOKUS PERHATIAN KOALISI PEREMPUAN INDONESIA DALAM PROLEGNAS 2011 RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. RUU tentang Kerukunan Umat Beragama. RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri. RUU Tentang Desa. RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. RUU Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (sudah dihapus dalam Prolegnas 2011). Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Harapan Lahirnya UU Sensitif Gender Fakta tentang keterpurukan perempuan hanya dapat diperbarui melalui kebijakan-kebijakan yang sensitif gender. Oleh Nurul S Hamami mendemen UUD 1945 sebanyak empat kali dalam kurun 1999-2001 merupakan salah satu berkah reformasi politik yang bergulir sejak tumbangnya rezim Orde Baru pada Mei 1998. Perubahan terhadap konstitusi negara ini dimaksudkan agar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik dengan memungkinkan terjadinya perubahan substantif dalam institusi ketatanegaraan bangsa. Harapan akan lahirnya institusi ketatanegaraan yang lebih baik dari sebelumnya tecermin dalam penguatan peran dan fungsi parlemen (DPR) yang sebelumnya hanya dikenal sebagai “lembaga stempel”. Hasil perubahan terhadap UUD 1945 itu menguatkan fungsi DPR sebagai lembaga yang berwenang melakukan pembentukan undang-undang (Pasal 20 ayat 1). Bandingkan dengan sebelum amendemen, kewenangan itu menjadi milik presiden dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat 1). A Dengan penguatan peran DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya, diharapkan kebijakan-kebijakan yang lahir dalam bentuk UU akan mampu membawa kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Tidak hanya berorientasi pada kepentingan rakyat banyak secara umum, tapi lebih dari itu adalah produk kebijakan yang memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Pembicaraan mengenai harapan akan lahirnya kebijakan nasional berupa UU yang bersensitif gender menjadi relevan ketika DPR telah menetapkan 70 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011. Sebab, Prolegnas dapat dikatakan sebagai hulu dalam alur pembentukan UU. Sensitif gender atau tidaknya sebuah UU yang sedang disusun amat bergantung pada bagian awalnya. Mengapa harus setara dan adil gender? Pertanyaan ini selalu muncul setiap kali kita membincangkan masalah kesetaraan dan keadilan gender. Sebagai sebuah tugas mulia, pemerintah seharusnya memang bersikap adil dalam menyejahterakan rakyatnya. Namun, faktanya tak selalu sama dengan harapan. Tingkat kematian ibu setelah melahirkan di Indonesia masih terbilang tinggi di Asia Tenggara. Kesenjangan tingkat pendidikan antara perempuan dan laki-laki masih besar. Tenaga kerja perempuan masih kurang mendapat perlindungan hak dan hukum, baik di dalam maupun luar negeri. Di bidang politik, jumlah perempuan dalam posisi legislatif, eksekutif, dan birokrasi masih terbilang rendah. Suramnya fakta tentang keterpurukan perempuan tersebut hanya dapat diperbarui melalui kebijakan-kebijakan yang sensitif terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Hanya dengan prinsip kesetaraan dan keadilan gender itulah perbedaan fungsi dan peran perempuan dan laki-laki dalam segala bidang kehidupan semakin nihil. Untuk itu, harapan besar akan lahirnya UU yang sensitif gender sangat ditunggu dan dinanti dalam pembahasan Prolegnas 2011. persoalan yang dapat menempatkan perempuan dalam kondisi yang rentan diskriminasi, baik secara substansi maupun implementasinya kelak. Harapan KPI, dibutuhkan komitmen serius dari kalangan perempuan di parlemen untuk mewujudkan kebijakan yang konstitusional dan adil gender. Komitmen itu sejatinya tak melulu dibebankan kepada anggota parlemen dari kalangan perempuan. Semestinya, komitmen serius juga menjadi tugas dan kewajiban para anggota parlemen laki-laki dalam upaya menjadikan DPR sebagai lembaga pembuat kebijakan yang sensitif gender. Harapan akan kehidupan rakyat yang lebih baik tanpa diskriminasi di segala bidang kehidupan hanya dapat terwujud dengan produkproduk UU yang sensitif gender. Kendala yang dihadapi Meski harapan akan lahirnya Terjaminnya keadilan gender Sebagaimana juga termuat dalam Lampiran Perpres Nomor 7/2005 tentang rencana pembangunan jangka menengah (RPJMN) 2004-2009, keadilan gender dalam berbagai perundangan, program pembangunan, dan kebijakan publik harus terjamin. Ini tentunya dimaksudkan agar diskriminasi dalam berbagai bentuk harus dihapuskan. Oleh karenanya, sasaran upaya penghapusan diskriminasi itu diarahkan pada terlaksananya peraturan perundangundangan yang tidak mengandung perlakuan diskriminasi kepada setiap warga negara. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dalam rilis media pertengahan Januari lalu menegaskan bahwa mereka akan melebihkan perhatiannya kepada 11 RUU dari 70 yang masuk Prolegnas. Kesebelasnya dinilai memiliki UNGKAPAN YANG KELIRU MENGENAI ‘GENDER’ Gender identik dengan perempuan. Gender adalah masalah perempuan. UU yang sensitif gender terbuka lebar, dengan menguatnya fungsi legislasi DPR, tidak serta-merta persoalannya menjadi gampang. Beberapa kendala diperkirakan muncul dalam perjalanan menuju ke sana. Kendala utama yang diperkirakan bakal menghadang adalah struktur parlemen kita yang tidak sensitif gender. Masih dominannya laki-laki sebagai pimpinan parlemen, fraksi, serta badanbadan lainnya di DPR, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang diputuskan. Oleh karena itu, dibutuhkan jumlah perempuan dan laki-laki yang seimbang dalam jabatan-jabatan pengambil keputusan di parlemen. Hal ini memang terkait dengan belum seimbangnya jumlah anggota perempuan di parlemen dibandingkan laki-laki. Dominasi fraksi atas anggotanya juga menjadi kendala lain yang bisa menghambat akan lahirnya harapan tersebut. Kerja keras yang sudah dilakukan anggota parlemen dalam rapat-rapat dari panitia perumus maupun panitia kerja, masih mungkin dimentahkan karena tidak sesuai hasilnya dengan “selera” fraksi. Kendala lain yang tak kalah beratnya adalah kemungkinan masih rendahnya perspektif gender dari para anggota parlemen. Hal ini menyangkut kapasitas anggota parlemen dalam membaca isu-isu gender. Padahal, perspektif gender yang dimiliki oleh para anggota parlemen menjadi jalan pembuka bagi terwujudnya UU yang sensitif gender pula. Perjuangan untuk menghasilkan UU yang sensitif gender jelas masih panjang dan terjal. Tapi, tak ada yang tidak mungkin. Apalagi perjuangan ini untuk menghasilkan kebijakan yang membuat kehidupan rakyat lebih baik lagi. ■ SALIS AKBAR/ANTARA