BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di antara komponen terpenting dalam pendidikan Islam adalah peserta didik. Peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam merupakan subjek sekaligus objek dimana aktivitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa kehadiran peserta didik. Samsul Nizar mengatakan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan.1 Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka setiap peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya. Menurut Asma Hasan fahmi yang dikutip Samsul Nizar mengatakan bahwa tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi oleh peserta didik antara lain: (1) peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu, (2) tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan, (3) memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu diberbagai tempat, (4) setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya, (5) peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.2 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir mengatakan bahwa istilah yang tepat untuk menyebut individu yang sedang menuntut ilmu adalah peserta didik bukan anak didik.3 Definisi tersebut memberi arti bahwa yang disebut sebagai peserta didik memiliki cakupan yang luas bukan hanya yang berada di pendidikan formal saja melainkan di pendidikan non formal juga. Anak kandung merupakan peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik 1 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam:Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm.47. 2 Ibid., hlm. 50-51. 3 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm. 103. 1 2 di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya, ,umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama,4 dan santri merupakan peserta didik dalam pesantren. Di zaman modern ini semakin banyak berdiri pondok tahfidz yang mengkhususkan bagi para individu yang menghafal Al-Qur’an. Menghafal AlQur’an merupakan upaya dalam menuntut ilmu, maka bisa disebut sebagai peserta didik. Usaha-usaha pemeliharaan Al-Qur’an melalui “hafalan” yang dilakukan oleh para sahabat ternyata tidak berhenti pada masa itu saja. Dari generasi ke generasi berikutnya hingga sekarang justru semakin mendapatkan perhatian yang serius. Menghafal Al-Qur’an merupakan perbuatan yang sangat mulia disisi Allah. Di antara keutamaan dalam menghafal Al-Qur’an yaitu mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, sakinah atau tentram jiwanya, tajam ingatan, bersih intuisinya, dan lain sebagainya. Perkembangan zaman yang kian hari semakin banyak permasalahan moral tidak hanya ditimbulkan oleh remaja-remaja sebagai peserta didik tetapi juga ditimbulkan oleh orang-orang yang menghafal Al-Qur’an di pondok pesantren. Masih banyak ditemui orang-orang yang menghafal Al-Qur’an namun tidak malu berboncengan dengan lawan jenis, berhubungan dengan lawan jenis dalam artian pacaran yang dianggap sebagai ta’arufan, tidak bisa menahan amarah, banyak bicara, suka mengumpat sana sini, memutuskan tali silaturrahmi dengan teman karena terjadinya perselisihan yang terjadi di dalam pesantren maupun dengan teman diluar pesantren dan perbuatan tercela lainnya. Banyak yang berkeinginan untuk menghafal Al-Qur’an, akan tetapi memiliki niat yang berbeda-beda. Niat merupakan hal yang paling utama sebelum melakukan sesuatu. Oleh karena itu, sebelum menghafal Al-Qur’an hendaklah menata niat dengan baik yaitu ikhlas ingin mendekatkan diri kepada Allah. Dengan niat ikhlas untuk ibadah, maka selama proses menghafal Al-Qur’an akan senantiasa semangat dan tidak merasa terganggu dengan kendala-kendala yang timbul selama proses menghafal. Pada 4 Ibid. 3 kenyataan sekarang ini, mereka yang menghafal Al-Qur’an tidak memurnikan niatnya untuk ikhlas ibadah kepada Allah. Sehingga yang terjadi adalah selama proses menghafal Al-Qur’an mudah merasa terganggu dengan kendala-kendala yang timbul baik dari faktor eksternal maupun internal. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang sangat dimuliakan. Dan bagi orang yang menghafal Al-Qur’an dijadikan sebagai Ahli Allah atau orangorang yang paling dekat dengan Allah. Sebagai orang yang paling dekat dengan Allah sudah seharusnya dapat menjauhi segala bentuk kemaksiatan dan semakin menambah kebaikan-kebaikan serta semakin mendekatkan diri kepada Allah agar tidak mendapat laknat dari Allah dikarenakan perbuatanperbuatan tercela yang dilakukannya. Hendaklah ketika ingin melakukan kemaksiatan mengingat bahwa mereka merupakan pembawa Al-Qur’an yang tidak sepantasnya melakukan kemaksiatan. Dengan begitu akan meminimalisir untuk melakukan perbuatan yang tercela. Dari persoalan di atas, maka diperlukan adanya etika yang harus diperhatikan bagi para individu yang sedang menghafal Al-Qur’an agar dapat mengkhatamkan Al-Qur’an tanpa hambatan yang berat dan dapat semakin mendekatkan diri kepada Allah. Etika bagi orang yang menghafal Al-Qur’an semakin luntur khususnya etika personalnya. Dalam hal ini Imam al-Hafidz, al-Faqih, al-Muhaddits Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Mari bin hasan bin Husein bin Muhammad bin Jum’ah bin Hisyam al-Nawawi al-Dimasyqiy atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Nawawi yang merupakan ulama cukup besar dalam memberikan sumbangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan kepada seluruh umat Islam khususnya dalam bidang fiqih dan hadits. Melihat penduduk damaskus yang saat itu gemar untuk mengkaji AlQur’an mendorong Imam Nawawi untuk menulis kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an yang berisi keutamaan membaca dan mengkaji Al-Qur’an. Imam Nawawi ikut berpartisipasi dalam memberikan kontribusi keilmuan dalam pendidikan Islam. Pada bab IV dalam kitabnya yang diberi nama At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, Imam Nawawi memaparkan beberapa konsep etika peserta didik dalam pendidikan Islam khususnya bagi 4 para individu yang sedang belajar Al-Qur’an. Pada bab IV tersebut berisi etika mengajar dan belajar Al-Qur’an. Etika belajar Al-Qur’an meliputi etika personal peserta didik dan etika sosial peserta didik. Yang menarik dari konsep yang ditawarkan Imam Nawawi adalah bahwa dalam memberikan berbagai pernyataan mengenai etika peserta didik beliau sering mencantumkan hadits dan perkataan Ulama sebagai penguat argumennya. Selain itu, Imam Nawawi tidak hanya menawarkan konsepnya secara teoritis melainkan juga menerangkan pengaplikasiannya dalam pendidikan Islam. Karya Imam Nawawi ini menjadi penting untuk dikaji secara mendalam sebagai referensi keilmuan dalam pendidikan Islam agar dapat dijadikan acuan bagi para peserta didik khususnya bagi individu yang sedang menghafal Al-Qur’an yang termasuk dalam proses belajar Al-Qur’an. Namun apakah konsep yang ditawarkan Imam Nawawi masih mempunyai relevansi dengan pendidikan Islam sekarang? Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melihat lebih jauh tentang bagaimana konsep etika peserta didik dalam kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an. Sebagai ahlu Allah, orang sedang menghafal Al-Qur’an harus mengetahui etika-etika yang harus diperhatikan selama proses menghafal Al-Qur’an agar bisa menjaga hafalan Al-Qur’an dengan baik. Sehubungan dengan persoalan diatas, maka dirasa perlu adanya pembahasan etika belajar. Maka dalam skripsi ini penulis tertarik untuk meneliti konsep etika dalam pendidikan Islam yang memfokuskan pada etika peserta didik dalam pendidikan Islam. Dan pada penelitian ini judul yang diangkat penulis adalah “Konsep Etika Peserta Didik dalam Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran Imam Nawawi dalam Kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an)”. B. Fokus Penelitian Berdasarkan judul di atas, maka dalam penelitian ini penulis akan membahas konsep etika peserta didik dalam pendidikan Islam dalam kitab AtTibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an karya Imam Nawawi. Pada bab 4 dalam 5 kitabnya At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an beliau memaparkan beberapa adab dan akhlak yang harus dimiliki pendidik dan peserta didik. Namun, penulis hanya akan memfokuskan pembahasan kepada etika peserta didik dalam belajar Al-Qur’an yang salah satunya adalah proses menghafal AlQur’an. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis paparkan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana konsep etika peserta didik perspektif Imam Nawawi dalam kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an? 2. Bagaimana aplikasi konsep etika peserta didik dalam pembelajaran dalam kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis bertujuan untuk: 1. Mengetahui konsep etika peserta didik yang dipaparkan Imam Nawawi dalam kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an. 2. Mengetahui aplikasi konsep etika peserta didik dalam pembelajaran dalam kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an. E. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini, diharapkan mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun praktis, adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Mengetahui pemikiran Imam Nawawi tentang etika peserta didik. b. Memberikan sumbangsih pemikiran tentang etika peserta didik yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits berdasarkan pemikiran Imam Nawawi. 6 c. Menambah khazanah intelektual Islam dalam bidang pendidikan Islam terutama pada ranah etika peserta didik dalam pemikiran Imam Nawawi. 2. Manfaat Praktis a. Dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi pendidik; baik guru, orang tua maupun tokoh masyarakat, dalam menumbuhkan/menanamkan nilai-nilai moral yang baik dalam belajar kepada peserta didiknya. b. Dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi para peserta didk dalam memahami bagaimana beretika yang baik dalam belajar. c. Sebagai salah satu bentuk karya ilmiah yang dapat dijadikan bahan referensi dalam pembuatan tugas karya ilmiah selanjutnya.