IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON

advertisement
IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN
(GH|MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG,
BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG
SKRIPSI
DINY WIDYANINGRUM
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011 RINGKASAN
DINY WIDYANINGRUM. D14070111. 2011. Identifikasi Keragaman Gen
Hormon Pertumbuhan (GH|MspI) pada Sapi Friesian Holstein di BIB
Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang. Skripsi. Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D.
Upaya dalam meningkatkan produktivitas ternak dapat dilakukan melalui
seleksi pada level DNA. Teknik PCR-RFLP dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya keragaman gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis seperti sifat
pertumbuhan dan produksi. Gen hormon pertumbuhan (GH) merupakan penyandi
hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh somatotropes dalam kelenjar hipofisa
bagian depan dan berperan dalam pertumbuhan jaringan, reproduksi, laktasi, serta
metabolisme. Adanya keragaman gen hormon pertumbuhan diharapkan dapat
menjadi informasi dasar seleksi berdasarkan penciri DNA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen GH|MspI pada
sapi Friesian Holstein (FH) dan sapi pedaging sebagai pembanding. Sampel darah
yang digunakan berasal dari 89 ekor sapi FH dari BIB Lembang (17 ekor), BBIB
Singosari (32 ekor), dan BET Cipelang (40 ekor); serta 37 ekor sapi pedaging
(Simental, Limousin, Angus, dan Brahman) dari BET Cipelang. Amplifikasi gen GH
dilakukan dengan teknik PCR, sedangkan untuk menentukan genotipe dilakukan
dengan teknik PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi MspI yang mengenali situs
potong C|CGG. Analisis data yang digunakan adalah frekuensi genotipe, frekuensi
alel, keseimbangan Hardy-Weinberg, dan heterozigositas.
Amplifikasi gen GH menghasilkan fragmen dengan panjang 327 pb, yang
terletak pada intron 3 dan ekson 4. Ada tiga genotipe yang teridentifikasi, yaitu
GH|MspI (+/+), (+/-), dan (-/-); dengan dua tipe alel, yaitu GH|MspI (+) dan (-).
Bangsa sapi FH di tiga lokasi memiliki frekuensi genotipe GH|MspI (+/+) lebih
tinggi (0,697) dibandingkan dengan frekuensi genotipe GH|MspI (+/-) (0,258) dan
GH|MspI (-/-) (0,045). Frekuensi genotipe GH|MspI (+/+) pada sapi Simental dan
Angus sangat tinggi (1,000), sedangkan pada sapi Limousin dan Brahman sangat
rendah (0,144 dan 0,000).
Gen GH|MspI pada sapi FH di tiga lokasi bersifat polimorfik dengan alel
GH|MspI (+) tertinggi (0,826). Pada sapi Limousin dan Brahman di BET Cipelang
bersifat polimorfik dengan alel GH|MspI (-) tertinggi (0,643 dan 0,600), sebaliknya
pada sapi Simental dan Angus bersifat monomorfik yang seluruhnya memiliki alel
GH|MspI (+) (1,000). Seluruh bangsa sapi FH berada dalam keseimbangan HardyWeinberg (χ2 < χ2(0,05)), namun sebaliknya pada seluruh sapi pedaging di BET
Cipelang (χ2 > χ2(0,05)). Analisis heterozigositas menunjukkan tingkat keragaman gen
GH|MspI pada seluruh sapi FH adalah rendah, demikian pula pada sapi pedaging,
kecuali pada sapi Brahman. Adanya keragaman gen GH|MspI dapat dijadikan
pertimbangan sebagai informasi dasar seleksi ternak unggul terhadap sifat
pertumbuhan pada sapi FH dan sapi pedaging.
Kata-kata kunci : sapi FH, gen GH|MspI, keragaman genetik, sapi pedaging,
PCR-RFLP
ABSTRACT
Identification of The Growth Hormone (GH|MspI) Gene Polymorphism in
Holstein Friesian Cattle in BIB Lembang, BBIB Singosari, and
BET Cipelang
Widyaningrum, D., C. Sumantri, and A. Anggraeni
Growth hormone (GH) is an anabolic hormone synthesized and secreted by
somatotroph cells from the anterior lobe of the pituitary. The GH plays an important
role in postnatal growth and development, tissue growth, lactation, reproduction, and
metabolism. This study was aimed to identify polymorphism of the growth hormone
gene (GH) in dairy cattle and beef cattle as a comparison. Holstein Friesian (HF)
cattle for a total number of 89 heads from BIB Lembang (17), BBIB Singosari (32)
and BET Cipelang (40); and four breeds of beef cattle for a total number of 37 heads
from BET Cipelang were genotyped at intron 3 of the GH gene using PCR-RFLP
method by MspI restriction enzyme. Genotyping the GH gene resulted in three
genotypes, namely GH|MspI (+/+), (+/-), and (-/-), with two alleles, namely GH|MspI
(+) and (-). Genetic polymorphism was detected in HF cattle and beef cattle, the
exception was for Simental and Angus. The frequency of the GH|MspI (+) allele
contrast to the GH|MspI (-) allele for HF cattle were 0.826 vs 0.174. GH|MspI (+/+)
genotype had the highest frequency for HF (0,826), Simental, and Angus (1,000); but
very limited for Limousin and Brahman (0,144 and 0,000). Chi-Square analysis
showed that HF from the three locations were in Hardy-Weinberg equilibrium (χ2 <
χ2(0,05)), but contrast on beef cattle (χ2 > χ2(0,05)). The value of heterozigosity
expectation (He) for HF and beef cattles were estimated between 0.000-0.800. The
genetic variation of the GH|MspI gene was low in most of these cattles, the exception
was for Brahman.
Keywords : Holstein Friesian, GH|MspI gene, Genetic Polymorphism, Beef Cattle,
PCR-RFLP
IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN
(GH|MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG,
BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG
DINY WIDYANINGRUM
D14070111
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul
: Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan (GH|MspI)
pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan
BET Cipelang
Nama
: Diny Widyaningrum
NIM
: D14070111
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr.Sc.) (Ir. Anneke Anggraeni, M.Si., Ph.D.)
NIP. 19591212 198603 1 004
NIP. 19630924 199803 2 001
Mengetahui :
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr.Sc.)
NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 11 April 2011
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Mei 1989 di Bogor, Jawa Barat. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Eman Sulaeman,
S.Pd, M.M. dan Ibu Nia Kania MS., SE, M.MPd. Pendidikan dasar diselesaikan pada
tahun 2001 di SD Negeri Pengadilan 3, Bogor. Pendidikan lanjutan menengah
pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP Negeri 2, Bogor, dan pendidikan
lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMA Negeri 6, Bogor, Jawa
Barat.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Selama mengikuti
pendidikan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan (HIMAPROTER), Fakultas Peternakan IPB periode 2008-2009 sebagai
staf club Ruminansia dan periode 2009-2010 sebagai Badan Pengawas Himpro; serta
menjadi anggota Animal Breeding and Genetic Student Community (ABGSCi)
periode 2010-2011. Penulis berkesempatan mendapatkan beasiswa BBM tahun 2009
dan PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) tahun 2010 dan 2011. Selain itu, penulis
juga berperan aktif dalam kepanitiaan di Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Skripsi yang berjudul Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan
(GH|MspI) pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan
BET Cipelang ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Ternak sapi perah merupakan salah satu komoditas yang memiliki berbagai
manfaat. Namun, perkembangan populasi dan produktivitas sapi perah di Indonesia
dalam pemenuhan konsumsi masyarakat belum optimal. Upaya dalam meningkatkan
produktivitas ternak dapat dilakukan melalui seleksi pada level DNA. Salah satunya
yaitu dengan teknik PCR-RFLP yang digunakan untuk mendeteksi adanya
keragaman gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis seperti sifat pertumbuhan
dan produksi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen hormon
pertumbuhan dengan PCR-RFLP pada sapi FH serta sapi pedaging sebagai
pembanding agar dapat diketahui informasi dasar genetik untuk seleksi ternak-ternak
unggul. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya
meningkatkan produktivitas ternak sapi di Indonesia. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan terhadap
kemajuan dunia peternakan di Indonesia. Amin.
Bogor, 11 April 2011
Penulis DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ..............................................................................................
i
ABSTRACT.................................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
v
KATA PENGANTAR .................................................................................
vi
DAFTAR ISI................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
x
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................
Tujuan ..............................................................................................
1
2
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
3
Sapi ..................................................................................................
Sapi Perah.............................................................................
Sapi Pedaging .......................................................................
Hormon Pertumbuhan ......................................................................
Gen Hormon Pertumbuhan ..............................................................
Polymerase Chain Reaction – Restriction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP) ............................................................
Keragaman Genetik..........................................................................
Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan ...........................................
3
3
4
5
5
MATERI DAN METODE ...........................................................................
10
Lokasi dan Waktu ............................................................................
Materi ...............................................................................................
Prosedur ...........................................................................................
Pengambilan Sampel ............................................................
Ekstraksi DNA .....................................................................
Amplifikasi Gen GH|MspI ...................................................
Elektroforesis, Genotyping (Penentuan Genotipe), dan
Penentuan Alel .....................................................................
Analisis Data ....................................................................................
Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel ...............................
Keseimbangan Hardy-Weinberg .........................................
Heterozigositas ....................................................................
10
10
12
12
12
12
7
8
8
13
13
13
14
14
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
16
Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan (GH) .................................
Keragaman Gen GH|MspI ................................................................
Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel ...........................................
Keseimbangan Hardy-Weinberg ......................................................
Heterozigositas .................................................................................
16
17
19
23
24
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
26
Kesimpulan .....................................................................................
Saran ...............................................................................................
26
26
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
28
LAMPIRAN.................................................................................................
33
viii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan .......
10
2. Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel dari Gen GH|MspI pada
Sapi FH dan Sapi Pedaging ..............................................................
20
3. Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) Berdasarkan Uji χ2 ............
23
4. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Nilai Heterozigositas
Harapan (He) Gen GH|MspI pada Sapi FH dan Sapi Pedaging .......
24
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Rekonstruksi Struktur Gen GH .........................................................
6
2. Visualisasi Amplifikasi PCR Fragmen Gen GH ...............................
16
3. Posisi Penempelan Primer, Perbedaan Fragmen Gen GH dan Situs
Pemotongan Enzim Restriksi MspI Berdasarkan Sekuen Gen GH
Sapi pada GenBank (Kode Akses : M57764) ....................................
17
4. Visualisasi PCR-RFLP Fragmen Gen GH|MspI ..............................
18
5. Keragaman Gen GH|MspI pada Sapi FH dan Sapi Pedaging ...........
19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi perah merupakan salah satu sumber plasma nutfah yang berperan dalam
memenuhi ketersediaan pangan. Perkembangan populasi sapi perah di Indonesia
hingga saat ini belum mencapai angka optimal dalam pemenuhan pangan
masyarakat. Berdasarkan data statistik peternakan, populasi sapi perah di Indonesia
pada tahun 2008 sebesar 407,8 ribu ekor dan pada tahun 2009 hanya meningkat
hingga mencapai 423,8 ribu ekor, dengan tingkat konsumsi susu sebesar 9,53 kg per
kapita per tahun. Rataan produksi sapi perah di Indonesia masih di bawah angka 10
liter per ekor per hari. Terbatasnya populasi dan produktivitas sapi perah
mengakibatkan produksi susu dari dalam negeri hanya mampu mensuplai sekitar 23
persen dari kebutuhan susu nasional, sedangkan kekurangannya masih harus impor
(Direktorat Jenderal Peternakan, 2009).
Hingga saat ini, usaha pengembangan populasi dan produktivitas ternak telah
dilakukan oleh berbagai institusi unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal
Peternakan, seperti BBIB, BIB, dan BET. Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang
dan Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari merupakan unit pelaksana
teknis yang melaksanakan replacement pejantan dan produksi bibit unggul secara
berkesinambungan melalui penyediaan semen beku. Balai Embrio Ternak (BET)
Cipelang merupakan unit pelaksana teknis yang melakukan produksi, penyimpanan,
dan pendistribusian embrio ternak serta aplikasi transfer embrio ternak. Berbagai unit
tersebut memiliki peran dan fungsi penting untuk meningkatkan kualitas bibit
unggul.
Upaya dalam meningkatkan produktivitas ternak dapat dilakukan dengan
perbaikan manajemen pemeliharaan, pakan, dan perbaikan genetik. Perbaikan
genetik dapat dilakukan melalui seleksi dan persilangan. Seleksi ternak dapat
dilakukan pada level DNA dengan menilai keragaman gen tertentu. Seiring dengan
berkembangnya teknologi dalam bidang genetika molekuler, keragaman DNA pada
lokus gen dapat dideteksi secara lebih cepat dan akurat. Salah satu teknik genetika
molekuler yang digunakan untuk mengidentifikasi keragaman suatu fragmen gen
adalah teknik PCR-RFLP (Polimerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism) dengan enzim restriksi MspI. Analisis PCR-RFLP sering digunakan
untuk mendeteksi lokasi genetik dalam kromosom yang menyandikan atau
mendeteksi adanya keragaman gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis seperti
sifat pertumbuhan dan produksi.
Sifat
pertumbuhan
ternak
dikendalikan
oleh
gen-gen
pengontrol
pertumbuhan. Salah satu gen yang dapat mempengaruhi pertumbuhan adalah gen
hormon pertumbuhan (Growth Hormone Gene). Gen hormon pertumbuhan (GH)
merupakan penyandi hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh somatotropes,
dalam kelenjar hipofisa bagian depan dan memiliki beberapa aktivitas fisiologi. Gen
GH berperan penting dalam mengatur sifat-sifat pertumbuhan, reproduksi,
metabolisme, laktasi, dan perkembangan kelenjar susu. Gen tersebut dapat dijadikan
sebagai kandidat gen dalam program Marker Asissted Selection (MAS). Penerapan
MAS memerlukan marker molekuler yang dapat diperoleh melalui teknik PCRRFLP, PCR-SSCP, DGGE, maupun analisis sekuen (sequencing). Oleh karena itu,
adanya keragaman gen hormon pertumbuhan diharapkan dapat menjadi informasi
dasar seleksi berdasarkan penciri DNA untuk meningkatkan sifat pertumbuhan,
produksi, serta kualitas susu sapi perah di Indonesia. Selain itu, pada sapi pedaging
juga dapat menjadi informasi dasar seleksi dengan melihat tingkat keragaman gen
GH yang memiliki peran berbeda, yaitu untuk pertumbuhan dan produksi karkas.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen hormon
pertumbuhan menggunakan enzim restriksi MspI (GH|MspI) dengan metode PCRRFLP pada sapi Friesian Holstein dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET
Cipelang serta digunakan sapi pedaging dari BET Cipelang sebagai pembanding
untuk mengetahui informasi keragaman gen hormon pertumbuhannya.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi
Ternak sapi secara zoologi termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum
Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae,
genus Bos, dan spesies Bos taurus (sapi Eropa), Bos indicus (sapi bergumba), dan
Bos sondaicus (Blakely dan Bade, 1998). Spesies Bos taurus memiliki keunggulan
pada tingkat pertumbuhan dan produksi yang tinggi, sedangkan spesies Bos indicus
lebih unggul dalam hal adaptasinya (resisten pada kondisi lingkungan yang kurang
baik) (Gorbani et al., 2009), namun Bos indicus memiliki kelemahan yaitu
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai dewasa kelamin dengan
periode kebuntingan yang lebih panjang (Parakkasi, 1999). Pengelompokan sapi juga
dapat didasarkan pada tujuan produksinya, yaitu tipe sapi perah, tipe sapi pedaging,
dan tipe campuran.
Sapi Perah
Bangsa sapi perah yang terdapat di dunia pada dasarnya dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu kelompok sapi perah sub-tropis dan kelompok sapi perah tropis.
Menurut Ensminger dan Tyler (2006), bangsa-bangsa sapi perah subtropis, yaitu
Friesian Holstein, Yersey, Guernsey, Ayrshire, dan Brown Swiss. Bangsa-bangsa sapi
perah tropis, yaitu Red Sindi, Sahiwal, dan PFH (Peranakan Fries Holland). Sapi
Friesian Holstein (FH) menduduki populasi terbesar hampir di seluruh dunia, baik
negara subtropis maupun tropis.
Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus primigenius
yang tidak berpunuk dan ditemukan di provinsi North Holland dan West Friesland,
Belanda (Schmidt dan Vleck, 1974). Sapi FH memiliki ciri-ciri berwarna belang
hitam putih, pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk persegi, warna bulu
pada bagian bawah kaki dan ekor berwarna putih, memiliki sifat jinak, tenang,
mudah dikendalikan, tidak tahan panas dan dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan (French, 1996). Sapi FH merupakan bangsa sapi perah yang memiliki
tingkat produksi susu tertinggi dengan kadar lemak terendah dibandingkan sapi perah
lainnya (Blakely dan Bade, 1998). Produksi susu sapi FH di daerah tropis dapat
mencapai 4500-5500 liter per laktasi. Berat badan sapi FH jantan dapat mencapai
1000 kg dan sapi FH betina 650 kg (Chandra et al., 2009).
Peternakan sapi perah dapat dijadikan sumber penghasil susu yang efisien dan
secara komersial umum ditemukan di negara-negara seperti Australia, Inggris dan
Amerika. Menurut Buckle et al. (2007), seekor sapi perah yang baik akan
menghasilkan sekitar 5000 liter susu per tahun (kira-kira sepuluh kali berat badannya
sendiri). Di Indonesia, rataan produksi susu sapi perah mencapai 3000
kg/ekor/laktasi (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008). Sifat produksi susu pada sapi
perah adalah sifat kuantitatif yang dapat dikendalikan oleh banyak gen dan
diwariskan serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Noor, 2000).
Pertumbuhan, reproduksi, dan produktivitas sapi perah dapat dipengaruhi
oleh pakan dan manajemen pemeliharaan. Suhu lingkungan yang optimum untuk
pemeliharaan sapi perah berkisar antara 5-21 oC, dengan kisaran kelembaban 50-75%
(Ensminger dan Tyler, 2006). Pada tingkat pakan tinggi, sapi Holstein dapat
mencapai pubertas pada umur 262 hari, sedangkan pada tingkat pakan rendah,
pubertas terjadi pada umur 504 hari atau lebih (Tomaszewska et al., 1991). Sifat
reproduksi pada peternakan sapi perah rakyat di Indonesia, seperti pada sapi FH
menunjukkan umur pertama beranak adalah 3,5 tahun (3-4 tahun), masa kering 45-60
hari, masa kosong 60 hari, calving interval 15-16 bulan, dan service per conception
(S/C) = 2 (Dudi et al., 2006).
Sapi Pedaging
Sapi pedaging memiliki keunggulan dalam menghasilkan karkas berkualitas
dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Beberapa bangsa sapi pedaging dari spesies
Bos taurus yaitu sapi Limousin dan Simental. Sapi Limousin memiliki perdagingan
yang bagus dengan laju pertumbuhan yang tinggi (Phillips, 2001), dengan bobot
badan sapi betina normalnya adalah 600 kg dan bobot sapi jantan mencapai 1000 kg.
Bangsa sapi Simmental memiliki karakter berat sapih dan pertambahan berat badan
pasca sapih yang tinggi (Williamson dan Payne, 1993). Sapi yang termasuk dalam
spesies Bos indicus, seperti sapi Brahman, memiliki ciri khas yaitu berpunuk di
bagian punggungnya, berambut pendek dan halus, serta sebagian besar berwarna
putih. Spesies Bos indicus memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan
panas dan tahan terhadap penyakit caplak (Phillips, 2001).
4
Pemeliharaan sapi potong untuk mempercepat kenaikan bobot badan dapat
dilakukan dengan metode penggemukkan yang terdiri atas sistem penggemukkan
ekstensif (pasture fattening) dan sistem penggemukkan intensif (dry lot fattening).
Sapi yang digemukkan secara intensif memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi
daripada sapi dipelihara pada sistem ekstensif, sehingga waktu yang diperlukan
untuk mencapai bobot tertentu menjadi lebih singkat. Sistem pemeliharaan yang
bervariasi menyebabkan tingginya keragaman pada respon pertumbuhan sapi
(Parakkasi, 1999).
Hormon Pertumbuhan
Menurut Lawrence dan Fowler (2002), pertumbuhan merupakan suatu proses
deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan jumlah sel pada
tingkat dan titik yang berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan
dikarakterisasikan oleh peningkatan jumlah sel pada jaringan (hyperplasia) dan
peningkatan ukuran sel (hypertrophy). Pertumbuhan ternak dapat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan dan faktor genetik, ataupun interaksi keduanya. Salah satu faktor
genetik yang berperan dalam pertumbuhan suatu individu adalah gen GH (growth
hormone) atau lebih dikenal dengan gen hormon pertumbuhan.
Hormon pertumbuhan (growth hormone) merupakan hormon peptida yang
secara alami dihasilkan oleh somatotropes, subclass dari sel hipofisa acidophilic
yang terletak dalam kelenjar hipofisa bagian depan (Reis et al., 2001). Hormon
pertumbuhan adalah salah satu faktor yang paling penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan sel hewan (Pierzchala et al., 2004). Hormon pertumbuhan pada
ruminansia diketahui bertanggung jawab untuk galactopoiesis dan persistensi laktasi
(Svennersten-Sjaunja dan Olsson, 2005), sehingga sapi perah yang dipilih untuk
produksi susu tinggi diharapkan dapat melepaskan sejumlah besar GH endogen dari
rata-ratanya.
Gen Hormon Pertumbuhan
Gen merupakan bagian segmen DNA termasuk semua nukleotida yang
ditranskripsi ke dalam mRNA yang akan ditranslasi menjadi protein (Brown, 1999;
Muladno, 2002). Bagian gen yang mengkode asam amino dan menghasilkan protein
disebut daerah penyandi atau coding sequence (CDS) dan terdapat pula bagian
5
segmen depan (leader segment) dan segmen belakang (trailer segment) yang
mengapit daerah CDS. Beberapa gen pada eukaryot bersifat tidak kontinyu karena
adanya ekson (pengkode protein) dan intron (space internal antara pengkode protein).
Pada saat transkripsi, bagian intron hilang (splicing), sehingga proses translasi
berjalan baik (Brown, 1999).
Bovine Growth Hormone (bGH) merupakan sebuah peptida tunggal dengan
berat molekul 22 KDa dan disusun oleh 191 asam amino (Wallis, 1973) dengan
panjang sekuen nukleotida 2856 pb (Gordon et al., 1983). Gen hormon pertumbuhan
sapi Bos taurus (bovine growth hormone gene) terdiri dari lima ekson dan dipisahkan
oleh empat intron (Gordon et al., 1983) dan terletak pada kromosom 19 (Hediger et
al., 1990). Rekonstruksi struktur gen GH dapat digambarkan berdasarkan sekuens
gen GH di GenBank (nomor akses : M57764) (Gambar 1).
Kodon awal ATG
Kodon akhir TAG
Coding Sequence (CDS)
5’
3’
Ekson 1
Flanking
Region 5’
Ekson 2
Intron 1
Ekson 3
Intron 2
Ekson 4
Intron 3
Ekson 5
Intron 4
Flanking
Region 3’
Keterangan :
Lokus
Panjang
Gen
Sekuen depan
Ekson 1
Ekson 2
Ekson 3
Ekson 4
Ekson 5
= BOVGH
= 2856 pb
= 649-723, 971-1131, 1359-1475, 1703-1864, 2138-2439
= 648
= 648 pb
= 649-723
= 75 pb
Intron 1
= 724-970
= 971-1131
= 161 pb
Intron 2
= 1132-1358
= 1359-1475
= 117 pb
Intron 3
= 1476-1702
= 1703-1864
= 162 pb
Intron 4
= 1865-2137
= 2138-2439
= 302 pb
Sekuen ujung
= 2440-2856
= 247 pb
= 227 pb
= 227 pb
= 273 pb
= 417 pb
Gambar 1. Rekonstruksi Struktur Gen GH
Sumber : Gordon et al. (1983)
Gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas,
dan respon imun (Ge et al., 2003). Gen GH menjadi hal penting dalam mengatur
sifat-sifat pada ternak yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga Beauchemin et al.
(2006) menyatakan bahwa gen GH dapat dijadikan kandidat gen dalam program
6
Marker Asissted Selection pada sapi. Gen GH juga berperan sebagai pengatur utama
pada pertumbuhan pasca kelahiran, perkembangan jaringan, otot, tulang, dan
jaringan adiposa, pertumbuhan kelenjar mamary, laktasi, reproduksi, serta
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak dalam tubuh (Akers, 2006). Gen GH
membutuhkan receptor dalam mekanisme ekspresinya ke target jaringan. Menurut
Zhou dan Jiang (2005), pada tingkatan jaringan, aksi biologis dari gen GH dimediasi
oleh gen GHR.
Polymerase Chain Reaction – Restriction Fragment Length Polymorphism
(PCR-RFLP)
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu reaksi in vitro untuk
menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul
DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan bantuan
enzim polymerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam mesin
thermocycler (Muladno, 2002). RFLP adalah profil DNA berupa fragmen-fragmen
DNA hasil pemotongan enzim endonuklease untuk berbagai individu. Enzim
endonuklease atau enzim restruksi (RE) yang mengenali situs pemotongan empat dan
enam basa umum dipakai untuk analisis keragaman genetik menggunakan
pendekatan analisis RFLP (Green, 1998). Penciri molekuler DNA restriction
fragment length polymorphism (RFLP) memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi
dan secara luas telah digunakan untuk mendapatkan gambaran populasi genetik dan
juga untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode sifat-sifat penting (Montaldo &
Herrera, 1998). Analisis RFLP dapat digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman
gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu
(Sumantri et al., 2004) dan kualitas karkas (Beauchemin et al., 2006)
Menurut Vasconcellos et al. (2003), teknik PCR-RFLP telah digunakan
secara luas untuk mendapatkan variasi pada setiap daerah atau lokasi DNA, baik
pada daerah yang bersifat penyandi (coding region) maupun pada daerah yang tidak
penyandi atau daerah non-coding pada genom. Tingkat polimorfisme dan mutasi
yang tinggi di daerah non-coding diduga dapat mempengaruhi ekspresi gen secara
tidak langsung (Funk, 2001).
7
Keragaman Genetik
Keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk mengetahui dan
melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus,
serta menentukan hubungan antar subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu
spesies (Hartl dan Clark, 1997). Keragaman genetik antara subpopulasi dapat
diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel dan genotipe di
antara subpopulasi (Li et al., 2000). Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki
frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99 (Nei, 1987). Hukum HardyWeinberg menyatakan frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar akan
selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic
drift; selain itu silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi frekuensi
genotipe (Noor, 2008). Estimasi perhitungan keragaman genetik dalam populasi
secara kuantitatif dapat diperoleh melalui dua ukuran keragaman variasi populasi,
yaitu proporsi lokus polimorfisme dalam populasi dan rata-rata proporsi individu
heterozigot dalam setiap lokus (Nei dan Kumar, 2000).
Pendugaan nilai heterosigositas diperoleh untuk mendapatkan keragaman
genetik dalam populasi yang dapat digunakan untuk membantu program seleksi pada
ternak yang akan digunakan sebagai sumber genetik pada generasi berikutnya
(Marson et al., 2005). Menurut Javanmard et al. (2005), nilai heterozigositas di
bawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi dan
jika nilai Ho lebih rendah dari He maka dapat mengindikasikan adanya proses seleksi
yang intensif (Machado et al., 2003; Tambasco et al., 2003). Avise (1994)
menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya
hidup populasi tersebut akan semakin tinggi. Seiring dengan menurunnya derajat
heterozigositas akibat dari silang dalam dan fragmentasi populasi, sebagian besar alel
resesif yang bersifat lethal semakin meningkat frekuensinya. Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan
Variasi DNA pada lokus gen hormon pertumbuhan banyak dipelajari akhirakhir ini, dengan kemajuan teknik molekuler, sehingga variasi gen hormon
pertumbuhan dapat dideteksi secara lebih cepat dan akurat. Polimorfisme gen GH
ekson IV dan intron 3 dengan situs restriksi menggunakan enzim AluI dan MspI telah
8
dilaporkan sebelumnya pada sapi Nadji (Rastegari et al., 2010); serta sapi South
Anatolian dan East Anatolian Red (Yardibi et al., 2009).
Identifikasi mutasi pada hormon pertumbuhan dapat diseleksi pada tingkat
DNA (Khatami et al., 2005). Cowan et al. (1989) mendeteksi keragaman lokus gen
menggunakan enzim restriksi MspI dan berdasarkan data PCR-RFLP telah diketahui
bahwa gen GH memiliki keragaman yang tinggi akibat adanya mutasi. Mutasi dapat
terjadi pada level DNA akibat adanya perubahan basa-basa DNA (A = Adenin, T =
Timin, G = Guanin, S = Sitosin) dalam bentuk (tipe) substitusi (transisi atau
transversi), delesi, insersi dan inversi (Nei, 1987). Situs pemotongan enzim restriksi
MspI berubah akibat adanya mutasi transisi dari basa C menjadi basa T (Yao et al.,
1996). Mutasi transisi dapat terjadi akibat adanya substitusi antara basa Adenin
dengan Guanin (Purin) atau antara basa Sitosin dengan Timin (Pirimidin) (Paolella,
1997).
Keragaman gen GH|MspI terletak pada intron 3 dari gen hormon
pertumbuhan pada posisi sekuen 1547 (Zhang et al., 1993) dan panjang fragmen gen
GH|MspI berdasarkan hasil yang diperoleh Zhou et al. (2005), yaitu 329 pb.
Keragaman gen GH|MspI telah dilaporkan pada berbagai ternak seperti sapi Holstein
Beijing yang menunjukkan adanya tiga genotipe, yaitu GH|MspI (+/+) (224 pb, 105
pb), GH|MspI (+/-) (329 pb, 224 pb, 105 pb), dan GH|MspI (-/-) (329 pb).
Keragaman gen GH pada sifat produksi susu menunjukkan bahwa sapi bergenotipe
GH|MspI (+/+) memiliki tingkat produksi susu dan protein susu yang lebih tinggi
serta persentase lemak lebih sedikit dibandingkan sapi bergenotipe GH|MspI (+/-),
dengan frekuensi alel rata-rata sebesar 0,875 untuk alel GH|MspI (+) (Zhou et al.,
2005). Menurut Thomas et al. (2006), fragmen GH|MspI pada sapi Brangus
bergenotipe GH|MspI (+/-) (heterozigot) memiliki pengaruh positif terhadap
pertambahan bobot badan harian dan karkas; selain itu, genotip GH|MspI (+/+) dan
GH|MspI (+/-) fragmen GH|MspI berpengaruh positif pada sifat bobot badan dan
kualitas daging (Unanian et al., 2000).
9
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak,
Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus sampai dengan Nopember 2010.
Materi
Sampel
Sampel yang digunakan sebanyak 126 ekor sapi meliputi 89 ekor sapi
Friesian Holstein dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta 37
ekor sapi pedaging (Simental, Limousin, Angus, dan Brahman) dari BET Cipelang
sebagai pembanding (Tabel 1). Sampel-sampel tersebut berupa sampel darah yang
merupakan koleksi Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan
Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan
No.
Bangsa Sapi
Jenis
Kelamin
Tipe Sapi
Lokasi
1
FH
♂
Sapi Perah
BIB Lembang
Jumlah
(Ekor)
17
2
FH
♂
Sapi Perah
BBIB Singosari
32
3
FH
♀
Sapi Perah
BET Cipelang
40
Subtotal
89
4
Simental
♀
Sapi Pedaging
BET Cipelang 13
5
Limousin
♀
Sapi Pedaging
BET Cipelang 14
6
Angus
♀
Sapi Pedaging
BET Cipelang 5
7
Brahman
♀
Sapi Pedaging
BET Cipelang 5
Subtotal
37
Total Keseluruhan Sampel
126
Keterangan : ♂= jantan dan ♀ = betina
Penanganan dan Pengambilan Sampel
Bahan-bahan yang digunakan adalah ethanol absolute. Alat-alat yang
digunakan, yaitu jarum vennoject dan tabung vaccutainer tanpa heparin.
Ekstraksi DNA
Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah sampel darah
200µl, EDTA (Ethylinediamine tetraacetic), destilation water, 40 µl SDS 10%
(Sodium Dodecyl Sulfat), 10 µl enzim Proteinase K 5 mg/ml, 400 µl phenol, 400 µl
CIAA, 800 µl etanol absolute, etanol 70%, 40 µl NaCl 5M, 1 x STE (5 M NaCl. 2 M
Tris HCL, 0,2 M EDTA), Elution Buffer, dan 100 µl TE 80% (Tris EDTA).
Peralatan yang digunakan adalah tabung eppendorf 1,5 ml, satu set mikro pipet, tip,
vortexmixer, autoclave, mikrosentrifuge, rotary mixer, inkubator, refrigerator, dan
freezer.
Primer
Primer yang digunakan dalam penelitian fragmen gen GH|MspI berdasarkan
sumber Mitra et al. (1995), adalah forward : 5’ CCC ACG GGC AAG AAT GAG
GC, dan reverse 5’ TGA GGA ACT GCA GGG GCC CA.
Amplifikasi Gen GH|MspI
Bahan yang digunakan dalam analisa PCR-RFLP (Polymerase Chain
Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism) adalah sampel DNA,
destilated water, 10x buffer PCR, MgCl2, pasangan primer fragmen gen GH|MspI,
enzim Taq DNA polymerase, dNTP (deoxy Nukleotida Triposfat), dan enzim
restriksi MspI serta buffernya. Alat yang digunakan adalah satu set pipet mikro,
sentrifuge, mesin thermocycler, rak dan tabung eppendorf, tip pipet, dan vortex.
Elektoforesis dan Genotyping (Penentuan Genotipe)
Bahan yang digunakan adalah produk PCR, agarose, loading dye, marker
100 pb, TBE 1x (1 M Tris; 0,9 M Asam Borat; 0,01 M EDTA pH 8,0), dan ethidium
bromide. Alat yang digunakan adalah tip pipet, mikropipet 10 P Gilson, gelas kimia,
gelas ukur, stirrer, cetakan, power supply electrophoresis, alat foto UV trans
iluminator, dan sarung tangan.
11
Prosedur
Pengambilan Sampel
Sampel darah diambil melalui vena jugularis menggunakan jarum vennoject
dan tabung vaccutainer tanpa heparin. Sampel darah tersebut ditambahkan etanol
absolute dengan perbandingan 1 : 2 dan disimpan pada suhu ruang.
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dilakukan dari sampel darah dengan menggunakan metode
Sambrook et al. (1989), yang meliputi tahapan :
Preparasi Sampel. Sampel darah 200 µl dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml,
kemudian ditambahkan air destilasi 1000 µl. Sampel disentrifugasi pada kecepatan
8000 rpm selama 5 menit, supernatan dibuang.
Degradasi Protein. Sampel yang telah bersih dari alkohol ditambahkan 1xSTE
sebanyak 350 µl, 40 µl SDS 10% dan 10 µl proteinase K 5 mg/ml, kemudian
dikocok perlahan dalam inkubasi pada suhu 55 ˚C selama dua jam.
Degradasi Bahan Organik. Larutan yang telah diinkubasi ditambahkan 400 µl
phenol, 400 µl chloroform isoamyl alcohol (24:1) dan 40 µl NaCl, kemudian dikocok
perlahan pada suhu ruang selama 1 jam.
Presipitasi DNA. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit
hingga supernatan yang mengandung DNA terpisah dari larutan fenol. Supernatan
sebanyak 400 µl dipindahkan ke tabung baru, ditambahkan 40 µl NaCl 5 M dan 800
µl etanol absolute, dihomogenkan, kemudian larutan di-freezing over night. Tahapan
selanjutnya, disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit, kemudian
bagian supernatan dipisahkan dan ditambahkan 800 µl EtOH 70%, dan tahap ini
diulang kembali, kemudian didiamkan dalam keadaan terbuka. Tahap selanjutnya
ditambahkan 100 µl TE 80% dan disimpan dalam freezer sampai akan digunakan.
Amplifikasi Gen GH|MspI
Amplifikasi gen GH menggunakan metode PCR. Pereaksi amplifikasi DNA
yang digunakan terdiri dari sampel DNA 1µl, destilated water 9,7 µl, primer 0,1 μl,
Taq polymerase 0,05 µl dan buffer 1,25 µl, dNTP 0,1 µl, dan MgCl2 0,25 µl.
Amplifikasi invitro berlangsung sebanyak 35 siklus menggunakan mesin
12
thermocycler dengan kondisi suhu pradenaturasi 94 °C selama 5 menit, denaturasi
94 °C selama 45 detik, annealing 62 °C selama 45 detik dan extensi 72 °C selama 1
menit, dan extensi akhir 72 °C selama 5 menit. Produk PCR dielektroforesis
menggunakan agarose 1,5% untuk mengetahui panjang amplifikasi gen GH.
Elektroforesis, Genotyping (Penentuan Genotipe), dan Penentuan Alel
Penentuan genotipe menggunakan pendekatan RFLP dengan menggunakan
produk PCR 5 µl yang ditambahkan 1 µl destilation water, buffer 0,7 µl, dan enzim
MspI 0,3 µl, kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 16 jam. Produk
pemotongan DNA tersebut divisualisasikan pada gel agarose 2% dengan buffer 0,5 x
TBE (Tris Borat EDTA) yang diwarnai dengan ethidium bromide, dan dijalankan
menggunakan power supply electrophoresis pada tegangan 100 Volt. Hasil
elektroforesis diamati dengan bantuan sinar UV trans iluminator.
Pita-pita DNA yang muncul dibandingkan dengan marker untuk diketahui
panjang fragmennya dan jumlah pita DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk
menentukan genotipe pita DNA. Penentuan alel GH|MspI (+) dan GH|MspI (-)
ditunjukan dengan jumlah dan ukuran besarnya fragmen yang terpotong berdasarkan
sekuen gen GH (Gordon et al., 1983). Alel GH|MspI (+) memiliki titik potong MspI
(C|CGG) dan menunjukan adanya dua fragmen yang masing-masing panjangnya 103
pb dan 223 pb, sedangkan alel GH|MspI (-) tidak memiliki titik potong dan hanya
menunjukan satu fragmen yang panjangnya 327 pb.
Analisis Data
Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel
Keragaman genotipe masing-masing sampel dapat dilihat dari pita-pita yang
ditemukan. Frekuensi genotipe dan frekuensi alel dapat dihitung dengan rumus Nei
dan Kumar (2000). Frekuensi genotipe
) dapat diketahui dengan menghitung
perbandingan jumlah genotipe tertentu pada sampel setiap lokasi pengamatan,
dengan rumus sebagai berikut :
13
Frekuensi alel
) merupakan rasio relatif suatu alel terhadap keseluruhan
alel pada suatu lokus dalam populasi, dengan rumus sebagai berikut :
∑
Keterangan :
nii
nij
N
= frekuensi genotipe ke-ii
= frekuensi alel ke-i
= jumlah individu bergenotipe ii
= jumlah individu bergenotipe ij
= jumlah individu sampel
Keseimbangan Hardy-Weinberg
Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan menggunakan perhitungan ChiKuadrat (Hartl dan Clark, 1997) :
Keterangan :
O
E
= uji Chi-kuadrat
= jumlah pengamatan genotipe ke-i
= jumlah harapan genotipe ke-i
Heterozigositas
Keragaman genetik dapat diketahui melalui estimasi frekuensi heterozigositas
pengamatan yang diperoleh dari masing-masing lokasi, dengan menggunakan rumus
Weir (1996) sebagai berikut :
Keterangan :
Ho = heterozigositas pengamatan
nij = jumlah individu heterozigot
N = jumlah individu yang diamati
Heterozigositas
harapan
(He)
berdasarkan
frekuensi
alel
dihitung
menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut :
14
Keterangan :
He = nilai heterozigositas harapan
= frekuensi alel
q = jumlah alel
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan (GH)
Amplifikasi gen hormon pertumbuhan pada sapi FH yang berasal dari BIB
Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta sapi pedaging (sebagai
pembanding) dari BET Cipelang, berhasil dilakukan dengan metode PCR
menggunakan primer berdasarkan Mitra et al. (1995). Hasil amplifikasi fragmen gen
GH sapi di seluruh lokasi divisualisasikan pada gel agarose 1,5% (Gambar 2).
M
1
500 pb
400 pb
300 pb
2
3
4
327 pb
200 pb
100 pb
Keterangan : M = Marker; 1-4 = No. Sampel
Gambar 2. Visualisasi Amplifikasi PCR Fragmen Gen GH
Gen GH merupakan peptida tunggal dengan panjang sekuen nukleotida 2856
pb, yang terdiri dari lima ekson dan dipisahkan oleh empat intron (Gordon et al.,
1983). Berdasarkan pasangan primer yang digunakan, panjang produk hasil
amplifikasi fragmen gen GH adalah 327 pb, yang terletak pada intron 3 dan ekson 4.
Panjang fragmen ini mendekati hasil amplifikasi Zhou et al. (2005), yaitu 329 pb.
Persentase keberhasilan amplifikasi gen GH ini sangat baik mencapai 100%
(126/126). Keberhasilan amplifikasi gen sangat ditentukan oleh kondisi penempelan
primer pada gen target dan kondisi thermocycler (suhu denaturasi, annealing, dan
extensi). Selain itu, juga bergantung pada interaksi komponen pereaksi PCR dalam
konsentrasi yang tepat (Viljoen et al., 2005). Suhu annealing yang digunakan pada
penelitian ini adalah 62 oC selama 45 detik. Berbeda dengan yang disarankan oleh
Mitra et al. (1995) bahwa penempelan primer (annealing) terjadi pada suhu 60 oC
selama 40 detik. Suhu annealing tersebut tidak dapat digunakan pada penelitian ini.
Jika suhu tersebut digunakan, maka tingkat keberhasilan amplifikasi pada gen
hormon pertumbuhan pada sapi ini kurang menunjukkan hasil yang optimum.
Keragaman Gen GH|MspI
Keragaman gen hormon pertumbuhan diketahui dengan menentukan alel dan
genotipe pada setiap individu melalui pendekatan PCR-RFLP menggunakan enzim
restriksi MspI. Enzim tersebut hanya mengenali situs pemotongan empat basa, yaitu
C│CGG. Penentuan alel GH|MspI (+) dan GH|MspI (-) ditunjukkan dengan jumlah
dan ukuran besarnya fragmen yang terpotong. Alel GH|MspI (+) memiliki dua
fragmen dengan panjang masing-masing 104 pb dan 223 pb, sedangkan alel
GH|MspI (-) hanya memiliki satu fragmen dengan panjang 327 pb. Perbedaan
fragmen antara alel GH|MspI (+) dan GH|MspI (-) dapat diakibatkan oleh adanya
mutasi yang menyebabkan enzim MspI mengenali situs pemotongan basa baru.
Perbedaan fragmen gen GH dapat dilihat berdasarkan sekuen gen GH (dalam
GenBank, kode akses : M57764) yang terdapat pada Gambar 3 berikut,
Forward
1441 cccccacggg caagaatgag gcccagcaga aatcagtgag tggcaacctc ggaccgagga
1501 gcaggggacc tccttcatcc taagtaggct gccccagctc ccgcac|cggc ctggggcggc
1561 cttctccccg aggtggcgga ggttgttgga tggcagtgga ggatgatggt gggcggtggt
1621 ggcaggaggt cctcgggcag aggccgacct tgcagggctg ccccagaccc gcggcaccca
1681 ccgaccaccc acctgccagc aggacttgga gctgcttcgc atctcactgc tcctcatcca
1741 gtcgtggctt gggcccctgc agttcctcag cagagtcttc accaacagct tggtgtttgg
Reverse
Alel GH|MspI (+) :
5’---gccccagctcccgcac|cggc---3’
Alel GH|MspI (-) :
5’---gccccagctcccgcactggc---3’
Keterangan : Alel GH|MspI (+) Mempunyai Basa C pada Posisi Basa ke-1547
Alel GH|MspI (-) Mempunyai Basa T pada Posisi Basa ke-1547
Gambar 3. Posisi Penempelan Primer, Perbedaan Fragmen Gen GH dan Situs
Pemotongan Enzim Restriksi MspI Berdasarkan Sekuen Gen GH
Sapi pada GenBank (Kode Akses : M57764)
Sumber : Gordon et al. (1983)
Hal ini sebanding dengan pendapat Cowan et al. (1989) yang menyatakan
bahwa gen GH memiliki keragaman tinggi akibat adanya mutasi. Mutasi dapat
17
terjadi pada level DNA akibat adanya perubahan basa-basa DNA (A = Adenin, T =
Timin, G = Guanin, C = Citosin) dalam bentuk substitusi (transisi atau transversi),
delesi (hilang), atau insersi dan inversi (Nei, 1987). Dilihat berdasarkan perbedaan
situs pemotongan basa pada masing-masing alel (Gambar 3), diduga bahwa terjadi
mutasi substitusi transisi. Substitusi transisi antara basa pirimidin, yaitu C (Cytosine)
menjadi T (Tymine) merubah situs pemotongan enzim restriksi MspI (Yao et al.,
1996).
Keragaman gen GH|MspI sapi diketahui terletak pada intron 3 pada posisi
sekuen 1547 (Zhang et al., 1993). Daerah intron yang merupakan space internal
antara pengkode protein pada sekuen gen, akan hilang (splicing) saat proses
transkripsi, sehingga diduga pengaruh mutasi yang terjadi pada gen GH|MspI, yaitu
silent mutation. Silent mutation atau synonimous tidak terjadi pada situs aktif protein
dan tidak menyebabkan perubahan asam amino karena beberapa asam amino yang
sama dikodekan oleh kodon yang berbeda (Nei, 1987 ; Paolella, 1997).
Hasil PCR-RFLP fragmen gen GH|MspI pada gel agarose 2% menunjukkan
adanya pola pita beragam dengan tiga macam genotipe (Gambar 4), yaitu genotipe
GH|MspI (+/+) yang terdiri dari dua pita (104 pb, 223 pb), genotipe GH|MspI (+/-)
yang terdiri dari 3 pita (104 pb, 223 pb, 327 pb), dan genotipe GH|MspI (-/-) yang
terdiri dari satu pita tidak terpotong (327 pb). Individu bergenotipe GH|MspI (+/+)
dan GH|MspI (-/-) dikenal sebagai individu yang homozigot, sedangkan individu
bergenotipe GH|MspI (+/-) dikenal sebagai individu yang heterozigot.
M
+/-
+/+
+/+
+/+
+/+
+/+
+/+
+/+
-/-
500 bp
400 bp
300 bp
327 bp
200 bp
223 bp
100 bp
104 bp
Keterangan : M = Marker 100 pb ; (+/+, +/-, -/-) = Genotipe
Gambar 4. Visualisasi PCR-RFLP Fragmen Gen GH|MspI
18
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan tiga macam genotipe, yaitu GH|MspI
(+/+), GH|MspI (+/-), dan GH|MspI (-/-) pada sapi FH di BBIB Singosari dan BET
Cipelang, sedangkan pada sapi FH di BBIB ditemukan dua macam genotipe, yaitu
GH|MspI (+/+) dan GH|MspI (+/-). Hasil ini sebanding dengan penelitian Zhou et al.
(2005) yang menunjukkan bahwa amplifikasi PCR-RFLP gen GH|MspI pada sapi
Beijing Holstein menghasilkan tiga genotipe. Hasil penelitian untuk gen GH|MspI
pada sapi pedaging di BET Cipelang, yaitu sapi Limousin juga ditemukan tiga
genotipe. Pada sapi Brahman hanya ditemukan dua genotipe, yaitu GH|MspI (+/-)
dan GH|MspI (-/-), sedangkan pada sapi Simental serta sapi Angus hanya ditemukan
satu genotipe GH|MspI (+/+). Keragaman gen GH|MspI dapat terlihat jelas
berdasarkan jumlah genotipe sapi yang diamati (Gambar 5).
GH|Msp (‐/‐)
28
Jumlah Sapi (ekor)
30
GH|Msp (+/‐)
23
GH|Msp (+/+)
25
20
11
13
15
10
6
10
7
6
5
0
2
0
6
0
2
5
2
4
0
FH BIB
FH BBIB
0
FH BET
Simental
0
0
Limousin
Angus
1
Brahman
Bangsa Sapi
Keterangan : Sapi FH = BIB Lembang (♂), BBIB Singosari (♂), dan BET Cipelang (♀); Sapi
Pedaging BET Cipelang (♀) = Simental, Limousin, Angus, dan Brahman
Gambar 5. Keragaman Gen GH|MspI pada Sapi FH dan Sapi Pedaging
Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel
Frekuensi genotipe dan frekuensi alel gen GH|MspI tertera pada Tabel 2.
Persamaan dan perbedaan frekuensi genotipe maupun alel ditemukan antara sapi FH
jantan maupun betina; dan sapi pedaging sebagai pembanding.
19
Tabel 2. Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel dari Gen GH|MspI pada Sapi FH
dan Sapi Pedaging
Bangsa
(ekor)*
Lokasi
Frekuensi Genotipe
Alel
+/+
+/-
-/-
+
-
0,647
(11)
0,718
(23)
0,700
(28)
0,697
(62)
0,353
(6)
0,219
(7)
0,250
(10)
0,258
(23)
0,000
(0)
0,063
(2)
0,050
(2)
0,045
(4)
0,824 0,176
1,000
(13)
0,144
(2)
1,000
(5)
0,000
(0)
0,541
(20)
0,000
(0)
0,428
(6)
0,000
(0)
0,800
(4)
0,270
(10)
0,000
(0)
0,428
(6)
0,000
(0)
0,200
(1)
0,189
(7)
1,000 0,000
Sapi Perah
FH ♂ (17)
BIB Lembang
FH ♂ (32)
BBIB
Singosari
FH ♀ (40)
BET Cipelang
Sub Total (89)
0,828 0,172
0,825 0,175
0,826 0,174
Sapi Pedaging
Simental ♀ (13)
BET Cipelang
Limousin ♀ (14)
BET Cipelang
Angus ♀ (5)
BET Cipelang
Brahman ♀ (5)
BET Cipelang
Sub Total (37)
0,357 0,643
1,000 0,000
0,400 0,600
0,676 0,324
Keterangan : (...)* adalah jumlah sampel sapi
Hasil analisis dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa pada sapi FH dari BIB
Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang memiliki genotipe GH|MspI (+/+)
paling tinggi dengan frekuensi genotipe masing-masing sebesar 0,647, 0,718 dan
0,700; sedangkan genotipe GH|MspI (-/-) ditemukan paling rendah pada seluruh
bangsa sapi FH di tiga lokasi dengan nilai frekuensi genotipe masing-masing sebesar
0,000, 0,063 dan 0,050. Secara keseluruhan, bangsa sapi FH di tiga lokasi memiliki
frekuensi genotipe GH|MspI (+/+) yang jauh lebih tinggi (0,697) dibandingkan
dengan frekuensi genotipe GH|MspI (+/-) (0,258) dan GH|MspI (-/-) (0,045). Sapi FH
yang berasal dari BIB Lembang dan BBIB Singosari merupakan sapi pejantan; dan
kemungkinan sapi tersebut dijadikan sapi pejantan unggul terseleksi sifat
pertumbuhan dan produksi susu tinggi yang aktif digunakan dalam inseminasi buatan
(IB). Tinggi atau rendahnya frekuensi genotipe GH|MspI yang dimiliki oleh sapi FH
20
yang termasuk tipe perah, dapat dihubungkan dengan sifat kuantitatif seperti
banyaknya produksi susu.
Perolehan hasil penelitian pada sapi FH ini menunjukkan hasil yang berbeda
jika dibandingkan dengan sapi pedaging di BET Cipelang. Sapi Simental dan Angus
memiliki genotipe GH|MspI (+/+) sangat tinggi dengan frekuensi genotipe sebesar
1,000. Frekuensi genotipe pada sapi Limousin dan Brahman menunjukkan hasil yang
berbanding terbalik dengan frekuensi sapi FH, Simental, dan Angus. Sapi Limousin
dan Brahman memiliki genotipe GH|MspI (+/+) sangat rendah dengan frekuensi
genotipe masing-masing sebesar 0,144 dan 0,000. Sapi Limousin lebih banyak
memiliki genotipe GH|MspI (+/-) dan GH|MspI (-/-) dengan frekuensi genotipe
berimbang sebesar 0,428; sedangkan sapi Brahman memiliki genotipe GH|MspI (+/-)
paling tinggi dengan frekuensi genotipe sebesar 0,800. Secara keseluruhan, bangsa
sapi pedaging di BET memiliki frekuensi genotipe GH|MspI (+/+) yang lebih tinggi
(0,541) dibandingkan dengan frekuensi genotipe GH|MspI (+/-) (0,270) dan
GH|MspI (-/-) (0,189). Gen GH pada tipe pedaging memiliki peran yang berbeda
dengan tipe perah. Tinggi atau rendahnya frekuensi genotipe GH|MspI pada tipe
pedaging dapat dihubungkan dengan sifat pertumbuhan dan produksi karkas.
Genotipe dapat dihubungkan dengan sifat produksi susu maupun karkas.
Menurut Zhou et al. (2005), sapi Beijing Holstein bergenotipe GH|MspI (+/+)
menghasilkan produksi susu dan protein yang tinggi, dengan lemak yang lebih
rendah. Hasil penelitian lain yang dilakukan pada sapi perah FH Polandia (Dybus,
2002) menunjukkan bahwa genotipe GH|MspI (+/+) memiliki produksi susu dan
lemak susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe GH|MspI (+/-) dan
GH|MspI (-/-). Sapi Brangus bergenotipe GH|MspI (+/-) berpengaruh positif terhadap
PBBH, karkas, dan kualitas daging (Thomas et al., 2006).
Pada sapi FH dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta
sapi pedaging dari BET Cipelang, ada tiga genotipe yang teridentifikasi, yaitu
GH|MspI (+/+), GH|MspI (+/-) dan GH|MspI (-/-), sehingga hanya terdapat dua tipe
alel yang ditemukan, yaitu alel GH|MspI (+) dan GH|MspI (-). Keragaman genetik
antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan
frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 2000). Hasil analisis frekuensi alel
menunjukkan nilai yang beragam di antara keseluruhan sapi yang diamati (Tabel 2).
21
Sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang
memiliki alel GH|MspI (+) lebih tinggi dengan frekuensi alel masing-masing sebesar
0,824, 0,828, dan 0,825. Secara keseluruhan, bangsa sapi FH jantan maupun betina di
tiga lokasi memiliki frekuensi alel GH|MspI (+) lebih tinggi terhadap alel
GH|MspI (-) (0,826 vs 0,174). Hasil penelitian ini sebanding dengan pendapat
Zhou et al. (2005) dimana frekuensi alel GH|MspI (+) pada sapi Beijing Holstein,
yaitu 0,875. Dilihat berdasarkan besar frekuensi alelnya yang hampir berimbang di
antara lokasi pengamatan, sapi FH dari tiga lokasi tersebut bersifat polimorfik. Hal
ini sesuai dengan pendapat Nei (1987) yang menyatakan bahwa suatu alel dikatakan
polimorfik atau beragam jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari
0,99, namun jika terjadi sebaliknya maka bersifat monomorfik atau seragam.
Terdapat perbedaan tipe dan frekuensi alel dari gen GH|MspI yang ditemukan
antara sapi FH dan sapi pedaging. Sapi Limousin dan Brahman memiliki frekuensi
alel GH|MspI (-) lebih tinggi terhadap alel GH|MspI (+) masing-masing sebesar
0,643 vs 0,357 untuk sapi Limousin; dan sebesar 0,600 vs 0,400 untuk sapi Brahman,
sehingga kedua sapi tersebut bersifat polimorfik. Pada sapi Simental dan Angus,
hanya satu tipe alel yang ditemukan, yaitu alel GH|MspI (+) dengan frekuensi
sebesar 1,000, sehingga bersifat monomorfik. Hal ini dapat terjadi oleh adanya
manajemen perkawinan yang tidak acak, seleksi terhadap sifat tertentu, dan tingkat
silang dalam yang tinggi (Bourdon, 2000).
Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan hasil yang sama terhadap
gen GH|MspI, yaitu ditemukannya alel GH|MspI (+) yang lebih tinggi dibanding alel
GH|MspI (-), dengan nilai frekuensi alel yang mendekati hasil penelitian ini.
Frekuensi alel GH|MspI (+) sapi Holstein di Iran sebesar 0,83 (Zakizadeh et al.,
2006), frekuensi alel GH|MspI (+) dan alel GH|MspI (-) pada Iranian Holstein Bull
masing-masing sebesar 0,883 dan 0,117 (Gorbani et al., 2009), dan ditemukan juga
frekuensi alel GH|MspI (+) sapi Holstein sebesar 1,00 (Lagziel et al., 2000). Nilai
frekuensi alel GH|MspI (+) yang tinggi ditemukan pada sapi Angus, yaitu sebesar
0,86 (Lagziel et al., 2000) dan pada sapi Simmental sebesar 0,773 (Jakaria et al.,
2009). Nilai frekuensi alel GH|MspI (-) pada sapi Brahman ditemukan sebesar 0,64
(Beauchemin, 2006), sedangkan beberapa penelitian lain pada Sapi Limousin
menunjukkan nilai frekuensi alel GH|MspI (-) yang lebih rendah, yaitu sebesar 0,136
22
(Jakaria et al., 2009). Yao et al. (1996) berpendapat bahwa sapi Bos indicus, seperti
sapi Brahman memiliki karakteristik yang lebih tinggi untuk alel GH|MspI (-).
Keseimbangan Hardy-Weinberg
Analisis Chi-Kuadrat dapat digunakan untuk mengetahui seimbang atau
tidaknya frekuensi genotipe (p2, 2pq, q2) atau frekuensi alel (p dan q) pada suatu
populasi ternak. Hasil analisis Chi-Kuadrat pada sapi FH dari tiga lokasi dan sapi
pedaging dari BET Cipelang sebagai pembanding tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) Berdasarkan Uji χ2
Lokasi
χ2
FH ♂ (17)
BIB Lembang
Td
FH ♂ (32)
BBIB Singosari
1,716tn
FH ♀ (40)
BET Cipelang
0,720 tn
Bangsa (ekor)*
Sapi Perah
0,919 tn
Sub Total (89)
Sapi Pedaging
Simental ♀ (13)
BET Cipelang
Td
Limousin ♀ (14)
BET Cipelang
0,062 tn
Angus ♀ (5)
BET Cipelang
Td
Brahman ♀ (5)
BET Cipelang
Td
Sub Total (37)
5,437 *
Keterangan : (...)* adalah jumlah sampel sapi; χ2 0,05(1) = 3,84; tn = tidak nyata; * = nyata ; td = tidak
dapat dihitung
Analisis Chi-Kuadrat (χ2) pada sapi FH dari BBIB Singosari dan BET
Cipelang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (χ2 < χ2(0,05)), sehingga dapat
dikatakan frekuensi genotipe gen GH|MspI pada sapi FH tersebut berada dalam
keadaan seimbang. Keadaan seimbang juga ditemukan pada sapi Limousin di BET
Cipelang. Secara keseluruhan, hasil analisis Chi-Kuadrat pada sapi FH di BIB
Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata, sehingga sampel sapi FH pengamatan tersebut berada dalam keadaan
seimbang; sedangkan pada sapi pedaging di BET Cipelang menunjukkan hasil yang
23
nyata (χ2 > χ2(0,05)), sehingga berada dalam keadaan tidak seimbang. Nilai χ2 pada
sapi FH di BIB Lembang, Simental, Angus, dan Brahman tidak dapat dihitung. Hal
ini dikarenakan frekuensi genotipe pada sapi pengamatan tersebut tidak memenuhi
asumsi untuk dilakukan analisis keseimbangan Hardy-Weinberg.
Nilai Chi-Kuadrat (χ2) yang tidak berbeda nyata juga dapat dikatakan bahwa
hasil perkawinan antar individu dari setiap bangsa tersebut berada pada
keseimbangan. Menurut Noor (2008), suatu populasi yang cukup besar berada dalam
keadaan keseimbangan Hardy-Weinberg jika frekuensi genotipe dominan dan resesif
konstan dari generasi ke generasi, tidak ada seleksi, mutasi, migrasi, serta genetic
drift. Seleksi merupakan salah satu faktor yang dapat mengubah keseimbangan
dalam populasi secara cepat. Keseimbangan frekuensi genotipe gen GH|MspI pada
sapi FH di BBIB Singosari dan BET Cipelang, serta sapi Limousin di BET Cipelang
dapat menunjukkan bahwa tidak adanya seleksi secara langsung berdasarkan pada
genotipe gen GH|MspI.
Heterozigositas
Nilai heterozigositas gen GH|MspI pada sampel sapi Friesian Holstein di tiga
lokasi dan sapi pedaging di BET Cipelang diperoleh berdasarkan frekuensi alel.
Hasil tersebut tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Nilai Heterozigositas Harapan
(He) Gen GH|MspI pada Sapi FH dan Sapi Pedaging
Bangsa (ekor)*
Lokasi
Ho
He
FH ♂ (17)
BIB Lembang
0,353
0,291
FH ♂ (32)
BBIB Singosari
0,219
0,285
FH ♀ (40)
BET Cipelang
0,250
0,289
0,258
0,288
Sapi Perah
Sub Total (89)
Sapi Pedaging
Simental ♀ (13)
BET Cipelang
0,000
0,000
Limousin ♀ (14)
BET Cipelang
0,429
0,459
Angus ♀ (5)
BET Cipelang
0,000
0,000
24
Brahman ♀ (5)
BET Cipelang
Sub Total (37)
0,800
0,480
0,270
0,438
Keterangan : (...)* adalah jumlah sampel sapi
Pendugaan nilai heterozigositas diperoleh untuk mendapatkan keragaman
genetik dalam populasi yang dapat digunakan untuk membantu program seleksi pada
ternak yang akan digunakan sebagai sumber genetik pada generasi berikutnya
(Marson et al., 2005). Berdasarkan hasil analisis, nilai heterozigositas pengamatan
(Ho) pada seluruh sapi FH bernilai antara 0,219-0,353 dan pada sapi pedaging
bernilai antara 0,000-0,429, kecuali pada sapi Brahman (0,800). Menurut Javanmard
et al. (2005), nilai heterozigositas di bawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya
variasi suatu gen dalam populasi. Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat keragaman
gen GH|MspI pada sapi FH dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang;
serta sapi Simental, Limousin, dan Angus. Berbeda dengan sapi Brahman yang
memiliki nilai Ho tertinggi, yaitu 0,800. Besarnya nilai Ho tersebut menunjukkan
tingginya tingkat keragaman gen GH|MspI pada sapi Brahman. Keragaman yang
tinggi dapat menunjukkan tingkat heterozigositas yang tinggi, sehingga dapat
dilakukan seleksi.
Nilai heterozigositas harapan (He) diketahui untuk mengetahui perbedaan
nilainya terhadap nilai heterozigositas pengamatan (Ho). Berdasarkan hasil analisis
yang tertera pada Tabel 4, nilai Ho yang lebih tinggi dari He terdapat pada sapi FH di
BIB Lembang, sehingga mengindikasikan bahwa tingkat heterozigositasnya tinggi.
Oleh karena itu, maka seleksi dapat dilakukan agar diperoleh sifat pertumbuhan atau
produksi yang seragam. Secara keseluruhan, nilai Ho dan He pada sapi FH dari tiga
lokasi yang diamati tidak menunjukkan adanya perbedaan nilai yang besar, yaitu
dengan rataan nilai Ho = 0,258 dan He = 0,288. Hasil yang sama juga ditunjukkan
pada sapi pedaging, kecuali pada sapi Bahman yang memiliki nilai Ho lebih tinggi
dari He (Ho = 0,800 dan He = 0,480). Menurut Machado et al. (2003), jika nilai Ho
lebih rendah dari He maka dapat mengindikasikan adanya proses seleksi yang
intensif. Hal ini menunjukkan bahwa pada seluruh sapi FH maupun sapi pedaging
(kecuali sapi Brahman) diperkirakan tidak terjadi proses seleksi intensif yang secara
langsung berdasarkan gen GH|MspI.
25
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Gen GH|MspI pada sapi FH di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET
Cipelang bersifat polimorfik dengan dua alel, yaitu alel GH|MspI (+) dan (-); serta
tiga genotipe, yaitu GH|MspI (+/+), (+/-), dan (-/-). Frekuensi alel GH|MspI (+)
(0,826) lebih tinggi dari alel GH|MspI (-) (0,174). Frekuensi genotipe GH|MspI (+/+)
ditemukan paling tinggi pada sapi FH di tiga lokasi. Sapi FH berada dalam
keseimbangan Hardy-Weinberg dan memiliki tingkat keragaman gen GH|MspI yang
rendah (0,219-0,353).
Sapi pedaging di BET Cipelang memiliki genotipe yang bervariasi. Gen
GH|MspI pada sapi Limousin dan Brahman bersifat polimorfik, tetapi pada sapi
Simental dan Angus bersifat monomorfik dengan frekuensi alel GH|MspI (+/+) sama
dengan 1,000. Sapi pedaging tidak berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg dan
memiliki tingkat keragaman gen GH|MspI yang rendah (0,000-0,429), kecuali pada
sapi Brahman (0,800).
Saran
Jumlah sampel yang lebih banyak dengan populasi dari balai-balai penelitian,
industri, dan peternakan rakyat pada berbagai manajemen yang berbeda-beda akan
memberikan gambaran tentang keragaman genetik yang lebih akurat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Shalawat serta salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penghargaan dan rasa syukur yang sangat tinggi penulis sampaikan kepada orang tua
tercinta, Eman Sulaeman, S.Pd, M.M. dan Nia Kania MS, SE, M.MPd atas segala
doa, kasih sayang, dukungan, motivasi serta bimbingannya bagi penulis; kepada adik
tersayang, Naufal Rifki Kusuma, yang selalu menghibur, menyemangati, dan
memberikan warna dalam kehidupan penulis; serta kepada keluarga besar Bapak dan
Ibu penulis atas doanya. Semoga penulis dapat selalu memberikan kebahagian
kepada keluarga tercinta.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Cece
Sumantri, M.Agr.Sc. selaku pembimbing utama dan Ir. Anneke Anggraeni, M.Si.,
Ph.D. selaku pembimbing anggota atas segala arahan, bimbingan, motivasi, dan ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis; serta kepada Dr. Ir. Asnath M. Fuah.
selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan arahannya selama studi.
Terima kasih juga kepada Ir. Sri Darwati, M.Si., Dr. Ir. Didid Diapari, M.Si., dan Dr.
Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc.Agr., selaku dosen penguji sidang atas kritik dan sarannya
yang bermanfaat.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada K’ Eryk, K’ Restu, Bpk.
Ihsan, Bpk. Andi, Ibu Suri, K’ Surya, dan K’ Sutikno atas masukan dan
bimbingannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ahmad Isnaeni
yang selalu memberi perhatian dan semangat penulis, kepada Annisa O.R. yang
selalu menemani selama studi dan penelitian; Gilang A., Anis, Maya R., Khairul B.,
dan Alfian A.C. Umam yang selalu memberi warna dalam kehidupan kampus IPB
tercinta; serta kepada sahabat-sahabat di Laboratorium GMT (Wike, Tiffany, Gabby,
Iren, Priskilla, Ulin, Ferdy, Revy, Leni, dan lainnya), Maya G., Basriansyah, sahabatsahabat dari IPTP 44, SMA, dan asrama, terima kasih atas doa dan kebersamaannya.
Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penulis dan dunia peternakan Indonesia. Amin.
Bogor, 11 April 2011
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Akers, R. M. 2006. Major advances associated with hormone and growth factor
regulation of mammary growth and lactation in dairy cows. J. Dairy Sci.
89 : 1222–1234.
Avise, J. C. 1994. Molekular Markers. Natural History and Evolution. Chapman and
Hall, Inc., New York.
Beauchemin, V.R., Thomas, M.G., Franke, D.E., & Silver, G.A. 2006. Evaluation of
DNA polymorphism involving growth hormone relative to growth and
carcass characteristics in Brahman steers. Genet. Mol. Res. 5 : 438-447.
Blakely, J. & D. H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Terjemahan : B. Srigandono.
Gadjah Mada University Press, Yogjakarta.
Bourdon, R. M. 2000. Understanding Animal Breeding. 2nd ed. Prentice Hall. Inc.
Upper Saddle River, New Jersey.
Brown, T. A. 1999. Genome. Garland Science Publishing, New York.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, & M. Wooton. 2007. Ilmu Pangan.
Terjemahan : H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Chandra, S., B. Sutrasno, T. H. Siwi, A. Kumalajati, H. Supriadi, A. Marsudi, &
Budiningsih. 2009. Pemeliharaan Bibit Sapi Perah. BPPTU Sapi Perah
Baturaden, Purwokerto.
Cowan, C. M., M. R. Dentine, R. L. Ax, & L. A. Schuler. 1989. Restriction fragment
length polymorphism associated with growth hormone and prolactin genes in
Holstein bulls : evidence for a novel growth hormone allele. J. Anim. Genet.
20 : 157-165.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Statistik Peternakan 2008. Direktorat Jenderal
Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik Peternakan 2009. Direktorat Jenderal
Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Dudi, D. Rahmat, & T. Dhalika. 2006. Evaluasi potensi genetik sapi perah Fries
Holland (FH) di Koperasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari Kabupaten
Sumedang. J. Ilmu Ternak. 6 : 1-11.
Dybus, A. 2002. Association of growth hormone (GH) and prolactin (PRL) genes
polymorphism with milk production traits in Polish Black-and-White cattle.
Anim. Sci. Papers and Rep. 20 : 203-212.
Ensminger, M. E. & H. D. Tyler. 2006. Dairy Cattle Science. 4th ed. The Interstate
Printers and Publisher Inc., Danville, Illinois.
French, M. H. 1996. European Breeds of Cattle Food and Agriculture. Rome, United
Nations.
Funk, D. 2001. Genetic technologies in the 1992. http://www.inform.umd.edu/EdRes
/Topic/AgrEnv/Add/genetic/ [5 September 2010]
Ge, W., Davis, M. E., Hines H. C., Irvin, K. M., & R. C. M. Simmen. 2003.
Association of single nucleotide polymorphism in the growth hormone and
growth hormone receptor genes with blood serum insulin-like growth factor I
concentration and growth traits in Angus cattle. J. Anim. Sci. 81: 641-648.
Gorbani, A., R.V. Torshizi, M. Bonyadi, & C. Amirinia. 2009. Restriction fragment
length polymorphism of bovine growth hormone gene intron 3 and its
association with testis biometry traits in Iranian Holstein bull. African J. of
Microbiol. Res. 3 : 809-814.
Gordon, D. F., D. P. Quick, C. R. Ewin, J. E. Donelson, & R. A. Maurer. 1983.
Nukleotide sequence of the bovine growth hormone chromosomal gene. Mol.
Cell. Endocrinol. 33 : 81-95.
Green, E. K. 1998. Restriction fragment length polymorphism. In : Rapley, R and
J. M. Walker. Eds. Molekular Biology Methods Handbook. Human Press.
Totowa, New Jersey.
Hartl, D. L. & A. G. Clark. 1997. Principle of Population Genetic. Sinaver
Associates, Sunderland, MA.
Hediger, R., S. E. Johnson, W. Barendse, R. D. Drinkwater, S. S. Moore, & J. Hetzel.
1990. Assignment of the growth hormone gene locus to 19q26-qter in cattle
and to 11q25-qter in sheep by in situ hybridization. J. Genom. 8 : 171-174.
Jakaria, R.R. Noor, H. Martojo, D. Duryadi, & B. Tappa. 2009. Identification of
growth hormone (GH) gene MspI and AluI loci polymorphism in beef cattles.
J. Anim. Prod. 1 : 42-47.
Javanmard, A., N. Asadzadeh, M. H. Banabazi, & J. Tavakolian. 2005. The allele
and genotype frequencies of bovine pituitary specific transcription factor and
leptin genes in Iranian cattle and buffalo populations using PCR-RFLP.
Iranian J. of Biotechnol. 2 : 104-108.
Khatami, S. R., E. Lazebnvi, V. F. Maksimenko, & G.E. Sulimova. 2005.
Association of polymorphism of the growth hormone and prolactin genes
with milk productivity in YarosIavI and black-and-white cattle. J. Genet.
41: 229-236.
Lagziel, A., S. Denise, O. Hanotte, S. Dhara, V. Glazko, A. Broadhead, R. Davoli,
V. Russo, & M. Soller. 2000. Geographic and breed distribution of an MspI
PCR-RFLP in the bovine growth homone (bGH) gene. J. Anim. Genet.
31: 210–213.
Lawrence, T. L. J. & Fowler, V. R. 2002. Growth of Farm Animals. 2nd ed. CABI
Publishing, New York.
Li, X., K. Li, B. Fan, Y. Gong, S. Zhao, Z. Peng, & B. Liu. 2000. The genetic
diversity of seven pigs breeds in China, estimated by means of micosatellites.
J. Anim. Sci. 9 : 1193-1195.
Machado, M. A., I. Schuster, M. L. Martinez, & A. L. Campos. 2003. Genetic
diversity of four breed using microsatellite markers. Rev. Bras. De Zool.
32 : 93-98.
29
Marson, E. P., J. B. S. Ferraz, F. V. Meirelles, J. C. C. Balieiro, J. P. Eler, L. G. G.
Figuerido, & G. B. Mourao. 2005. Genetik characterization of EuropeanZebu composite bovine using RFLP markers. J. Genet. Mol. Res. 4 : 496-505.
Mitra, A., P. Sciilee, C. R. Balakrisiinan, & F. Pirciiner. 1995. Polymorphisms at
growth hormone and prolactine loci in Indian cattle and buffalo. J. Anim.
Breed. and Genet. 112 : 71-74.
Montaldo, H. H. & C. A. M. Herrera. 1998. Use of molecular markers and major
genes in the genetic improvement of livestock. J. Biotechnol. 1 : 2.
Muladno. 2002. Teknologi Rekayasa Genetik. Pustaka Wira Usaha Muda, Bogor.
Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press, New
York.
Nei, M. & S. Kumar. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. Oxford
University Press, New York.
Noor, R. R. 2008. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.
Paolella, P. 1997. Introduction to Molecular Biology. Mc Graw Hill Companies, Inc.,
Boston, Massachusetts.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Phillips, C. J. 2001. Principles of Cattle Production. CABI Publishing, New York.
Pierzchala, M., B. Tadeusz, & K. Jolanta. 2004. Growth rate and carcass quality in
relation to GH|MspI and GH|HaeI PCR-RFLP polymorphism in pigs.
J. Anim. Sci. Papers and Rep. 22 : 57-64.
Rastegari, A., H. Roshanfekr, M. Mamouie, & S. R. Khatami. 2010. Growth
hormone genotyping of Nadji cattle breed using PCR-RFLP. J. Anim. and
Vet. Adv. 9 : 1265-1266.
Reis, C., D. Navas, N. Pereira, & A. Cravador. 2001. Growth hormone AluI
polymorphism analysis in eight portuguese bovine breeds. Arch. Zootec.
50 : 41-48.
Sambrook, J., E. F. Fritsch, & J. F. Medrano. 1989. Molecular Cloning : A
Laboratory Manual. 2nd ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York.
Schmidt, G. H. & L. D. V. Vleck. 1974. Principles of Dairy Science. W. H. Freeman
and Company, San Fransisco.
Sumantri, C. A., A. Anggraeni, R. R. A. Maheswari, K. Dwiyanto, A. Fajarallah, &
B. Brahmantiyo. 2004. Frekuensi gen kappa-kasein (κ-kasein) pada sapi
perah FH berdasarkan produksi susu di BPTU Baturaden. Prosiding. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004.
Svennersten-Sjaunja, K. & K. Olsson. 2005. Endocrinology of milk production.
Domest. Anim. Endocrinol. 29 : 241–258.
30
Tambasco, D. D., C. C. P. Paz, M. Tambasco-Studart, A. P. Pereira, M. M. Alencar,
A. R. Freitas, L. L. Coutinho, I. U. Packer, & L. C. A. Regitano. 2003.
Candidate genes for growth traits in beef cattle crosses Bos taurus x Bos
indicus. J. Anim. Breed. Genet. 120 : 51-56.
Thomas, M. G., G. A. Silver, & R. M. Enns. 2006. Relationships of DNA
polymorphism in growth hormone (GH) to growth and carcass traits observed
in a population of Brangus bulls with larger number of sires. Int. Plant and
Animal Genome. XIV: P526. (Abstr.).
Tomaszewska, M. W., I. K. Sutama, I. G. Putu, & T. D. Chaniago. 1991. Reproduksi,
Tingkah Laku, dan Produksi Ternak di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Unanian, M. M., C. C. Borreto, A. R. De Freitas, & C. M. T. Cordeiro. 2000.
Association between GH gene polymorphism and weigth traits in Nellore
Novines. Rev. Bras Zootec. 29 : 1380-1386.
Vasconcellos L. P. M. K., D. T. Talhari, A. P. Pereira, L. L. Coutinho, & L. C. A.
Regitano. 2003. Genetic characterization of Aberdeen Angus cattle using
molecular markers. Genet. Mol. Biol. 26: 133-137.
Viljoen, G. J., L. H. Nel, & J. R. Crowther. 2005. Molecular Diagnostic PCR
Handbook. Springer, Dordrecht, Netherland.
Wallis, M. 1973. The primary structure of bovine growth hormone. FEBS Lett.
35 : 11-14.
Weir, B. S. 1996. Genetic Data Analysis : Method for Discrete Population Genetic
Data. 2nd ed. Sinauer Associates. Sunderland, MA.
Williamson, G. & W. J. A. Payne. 1993. An Introduction of Animal Husbandary in
Tropics. Longman, London.
Yao, J., S. E. Aggerey, D. Zadworny, J. E. Hayes, & U. Kuhnlein. 1996. Sequence
variations in the bovine growth hormone gene characterized by single strand
conformation polymorphism (SSCP) analysis and their association with milk
production traits in Holstein. J. Genet. 144 : 1809–1816.
Yardibi, H., T. H. Gulhan, I. Paya, F. Kaygisiz, G. Ciftioglu, A. Mengi, & K.
Oztabak. 2009. Association of growth hormone gene polymorphisms with
milk production traits in South Anatolian and East Anatolian Red cattle.
J. Anim. and Vet. Adv. 5 : 1040-1044.
Zakizadeh, S., G. Rahimi, S. R. Mirae-Ashtiani, A. Nejati-Javaremi, M. MoradiShahrbabak, P. Reinecke, M. Reissmann, A.A. Masoudi, C. Amirinia, & S.A.
Mirhadi. 2006. Analysis of bovine growth hormone gene polymorphisms in
three iranian native breeds and holstein cattle by RFLP-PCR. J. Biotechnol.
5 : 385-390.
Zhang, H. M., K. C. Maddock, D. R. Brown, S. K. Denise & R. L. Ax. 1993. A novel
allele of the bovine somatotropin gene detected by PCR-RFLP analysis.
J. Anim. Sci. 71 : 2276.
31
Zhou, G. L., H. G. Jin, S. L. Guo, Q. Zhu & Y. H. Whu. 2005. Association of genetic
polymorphism in GH gene with milk production traits in Beijing Holstein
cows. J. Biosci. 30 : 595-598.
Zhou, Y. & H. Jiang. 2005. Trait-associated sequence variation in the bovine growth
hormone receptor 1A promoter does not affect promoter activity in vitro.
J. Anim. Genet. 36 : 156-159.
32
LAMPIRAN
Lampiran 1. Sekuen Gen GH Sapi dari GenBank dengan Kode Akses. M57764
Sumber : Gordon et al. (1983)
LOCUS
DEFINITION
ACCESSION
VERSION
KEYWORDS
SOURCE
ORGANISM
REFERENCE
AUTHORS
TITLE
JOURNAL
PUBMED
COMMENT
FEATURES
Source
gene
mRNA
exon
CDS
intron
exon
intron
exon
intron
exon
intron
BOVGHGH
2856 bp
DNA
linear
MAM 27-APR-1993
Bovine growth hormone gene, complete cds.
M57764 M28453
M57764.1 GI:163091
growth hormone.
Bos taurus (cattle)
Bos taurus </Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?id=9913>
Eukaryota; Metazoa; Chordata; Craniata; Vertebrata;
Euteleostomi; Mammalia; Eutheria; Laurasiatheria;
Cetartiodactyla; Ruminantia; Pecora; Bovidae; Bovinae; Bos.
1 (bases 1 to 2856)
Gordon,D.F., Quick,D.P., Erwin,C.R., Donelson,J.E. and
Maurer,R.A.
Nucleotide sequence of the bovine growth hormone chromosomal
gene
Mol. Cell. Endocrinol. 33 (1), 81-95 (1983)
6357899 </pubmed/6357899>
Original source text: Bovine liver DNA.
Location/Qualifiers
1..2856
/organism="Bos taurus"
/mol_type="genomic DNA"
/db_xref="taxon:9913 </Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?id=9913>"
/tissue_type="liver"
join(649..723,971..1131,1359..1475,1703..1864,2138..2439)
/gene="GH1"
join(649..723,971..1131,1359..1475,1703..1864,2138..2439)
/gene="GH1"
/product="growth hormone"
649..723
/gene="GH1"
/number=1
join(711..723,971..1131,1359..1475,1703..1864,2138..2338)
/gene="GH1"
/codon_start=1
/product="growth hormone"
/protein_id="AAA30544.1 </protein/163092>"
/db_xref="GI:163092"
/translation="MMAAGPRTSLLLAFALLCLPWTQVVGAFPAMSLSGLFANAVLRA
QHLHQLAADTFKEFERTYIPEGQRYSIQNTQVAFCFSETIPAPTGKNEAQQKSDLELL
RISLLLIQSWLGPLQFLSRVFTNSLVFGTSDRVYEKLKDLEEGILALMRELEDGTPRA
GQILKQTYDKFDTNMRSDDALLKNYGLLSCFRKDLHKTETYLRVMKCRRFGEASCAF"
724..970
/gene="GH1"
/number=1
971..1131
/gene="GH1"
/number=2
1132..1358
/gene="GH1"
/number=2
1359..1475
/gene="GH1"
/number=3
1476..1702
/gene="GH1"
/number=3
1703..1864
/gene="GH1"
/number=4
1865..2137
/gene="GH1"
34
exon
/number=4
2138..2439
/gene="GH1"
/number=5
ORIGIN
1
61
121
181
241
301
361
421
481
541
601
661
721
781
841
901
961
1021
1081
1141
1201
1261
1321
1381
1441
1501
1561
1621
1681
1741
1801
1861
1921
1981
2041
2101
2161
2221
2281
2341
2401
2461
2521
2581
2641
2701
2761
2821
gtactggggt
tgagtctcct
cttctgctgc
agacagcagc
ttgccatttc
tccgaccctc
ctcgcttctg
ccctgtgtgc
gacatgaccc
ttagcacagg
ggagagagag
aggacccagt
caggtaagct
ctgccgatgg
ctacacccag
ggggctggca
ctctccctag
actcaggtgg
ctccgggctc
cgagggatgc
agtgggagga
gcagaaacgg
caccagctta
gacagagata
cccccacggg
gcaggggacc
cttctccccg
ggcaggaggt
ccgaccaccc
gtcgtggctt
cacctcggac
gcgggtgggg
cttagccagg
agcagtccag
ttctccaagc
ggcccttcgg
ggctgggcag
cgcgctgctc
gacgtacctg
gccagccatc
ccactgtcct
ctattctggg
ggcatgctgg
cctcctgggc
cctggttctt
caatcccacc
aaacctagcc
agagaaaatg
gggttgcctt
gcatttgcag
tgctgctgct
ccaccaggtc
ctcctccaat
agcgacccca
ctacctcccc
acagccctct
cagagaagga
ctgccagtgg
aagaagccag
tcaccagacg
cgctaaaatc
atgtgttcag
acatttggcc
ggagatcagg
gcccccggac
tgggcgcctt
agcacctgca
gtcctagggg
aactgaggag
gggtgtgtgg
gacctgggtg
ctccatccag
caagaatgag
tccttcatcc
aggtggcgga
cctcgggcag
acctgccagc
gggcccctgc
cgtgtctatg
atggcgttgt
agaatgcacg
ccttgaccca
ctgtagggga
cctctctgtc
atcctcaagc
aagaactacg
agggtcatga
tgttgtttgc
ttcctaataa
gggtggggtg
ggatgcggtg
cagaaagaag
agttccagcc
cgctaaagta
tccaagagtg
cctccaacat
tctcttctcc
ctagattctt
gctaagttgc
cccgtccctg
gcatgaaagt
tggactgcag
tttaaaaaga
ggctggtggc
acgggaacag
tccttgcata
ggtataaaaa
actcagggtc
ccctccattc
agctttgggc
aagtttgaaa
cgtctagctc
ctccctgctc
cccagccatg
tcagctggct
tggggaggca
ttcagccgta
ggtggggagg
ggtgtgttct
aacacccagg
gcccagcaga
taagtaggct
ggttgttgga
aggccgacct
aggacttgga
agttcctcag
agaagctgaa
gggtcccttc
tgggcttggg
ggggaaacct
gggtggaaaa
tctccctccc
agacctatga
gtctgctctc
agtgccgccg
ccctcccccg
aatgaggaaa
gggcaggaca
ggctctatgg
caggcacatc
ccactcatag
cttggagcgg
ggaagaaatt
gtgaggaagt
aggggattta
tacggctgag
ttcagtcgtg
ggattctcca
gaaaagtgaa
ccttccagaa
aaacctatgg
agtggagacg
gatgagtgag
aatgtataga
tggcccagca
ctgtggacag
gcgtgtccta
tttagggctt
tgttctcagt
cctggggccc
ctggctttcg
tccttgtccg
gctgacacct
ggaaggggtg
ttttatccaa
gttccgaata
tcccccagga
ttgccttctg
aatcagtgag
gccccagctc
tggcagtgga
tgcagggctg
gctgcttcgc
cagagtcttc
ggacctggag
catgtggggg
gagacagatc
tttccccttt
tggagcgggc
ttggcaggag
caaatttgac
ctgcttccgg
cttcggggag
tgccttcctt
ttgcatcgca
gcaaggggga
gtacccaggt
cccttctctg
gacactcata
tctctccctc
aaagcaagat
aatgag tctgacccag
ccacctggga
tccgacctgt
ggcaagaaca
agtgaagtca
tggggtgcca
ggtgggctct
ggatgatgac
aggaggttct
gcacacaggt
gggaccaatt
ctcaccagct
aaggggtaat
ccgaatgtga
ccctggaggg
tccgtcgcgg
ccctgctctg
gcctgtttgc
tcaaagagtt
aatccacacc
gtagggatgt
aggcggggag
gcgcacctac
cttctctgaa
tggcaacctc
ccgcaccggc
ggatgatggt
ccccagaccc
atctcactgc
accaacagct
gaaggcatcc
ccatgcccgc
cctgctctct
tgaaacctcc
aggagggagc
ctggaagatg
acaaacatgc
aaggacctgc
gccagctgtg
gaccctggaa
ttgtctgagt
ggattgggaa
gctgaagaat
tgacacaccc
gctcaggagg
cctcatcagc
aggctattaa
ggattgaacc
agcccattcg
gcgacgccat
ttggagtggg
ctcagttgtg
ttgccttctc
caagctgaga
aagcctgggg
aaattatcca
ggggggaaag
ccaggatccc
atgatggctg
gcggggggcc
acataggtat
aagggtaggt
ccctcctggt
cctgccctgg
caacgctgtg
tgtaagctcc
ccctccacac
ggttagggga
gggaaccgcg
atcccggagg
accatcccgg
ggaccgagga
ctggggcggc
gggcggtggt
gcggcaccca
tcctcatcca
tggtgtttgg
tggccctgat
cctctcctgg
ccctctttct
ttcctcgccc
tgctcctgag
gcaccccccg
gcagtgacga
ataagacgga
ccttctagtt
ggtgccactc
aggtgtcatt
gacaatagca
tgacccggtt
tgtccacgcc
gctccgcctt
ccaccaaacc
gtgcagaggg
35
Download