(Melek Lingkungan), Pendidikan Lingkungan dan PPLH

advertisement
Keterkaitan Ekoliterasi (Melek Lingkungan), Pendidikan Lingkungan dan
PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)
Oleh : Iid Moh. Abdul Wahid, S.Si, M.I.L
I.
PENDAHULUAN
Pembangunan yang dilaksanakan saat ini di berbagai negara mengalami
perkembangan pesat pada berbagai sektor. Namun, masyarakat dunia juga menghadapi
berbagai bencana/ permasalahan lingkungan, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan
kebakaran hutan yang menimbulkan kerugian materi maupun korban manusia.
Pada saat ini telah terjadi krisis dan permasalahan ekologi, yang ditandai dengan
sistem ekologi mengalami ketidakstabilan maupun gangguan kesetimbangan pertukaran
energi-materi dan informasi yang selanjutnya mengakibatkan ketidakseimbangan pada
fungsi-fungsi distribusi serta akumulasi energi-materi antara satu organisme dengan
organisme lain dan alam lingkungannya sementara itu organisme (manusia) dengan
teknologi, perilaku dan organisasi sosialnya belum mampu melakukan penyesuaian yang
berarti dalam mengantisipasi atau merespons guncangan tersebut (Dharmawan, 2007).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa krisis ekologi ini merupakan krisis hubungan antar manusia
dan kebudayaannya dengan lingkungan hidup tempat mereka berlindung, bermukim, dan
mengeksploitasi sumberdaya alam (
Masyarakat internasional saat ini telah menyepakati pentingnya menjaga bumi dari
pencemaran dan kerusakan, misalnya melalui pembangunan berkelanjutan. Pembangunan
berkelanjutan telah menjadi komitmen dan tanggung jawab bersama masyarakat dunia
untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan dan kehancuran akibat pembangunan yang
tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Pembangunan berkelanjutan berusaha untuk
memahami interaksi antara alam dan masyarakat dalam rangka untuk mempromosikan
transisi menuju keberlanjutan. Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah memenuhi
kebutuhan dasar manusia sambil menjaga sistem pendukung kehidupan planet bumi.
Dalam rangka menghadapi tantangan lingkungan di bumi, ada kebutuhan untuk
mendidik dan memberi informasi kepada masyarakat mengenai permasalahan lingkungan.
Salah satu komitmen masyarakat dan pemerintah internasional dalam menjaga bumi dari
pencemaran dan kerusakan adalah melalui pelaksanaan Pendidikan Lingkungan Hidup
0
(Environment Education), yang merupakan kunci untuk mempersiapkan masyarakat
dengan pengetahuan, keahlian, nilai dan sikap peduli lingkungan sehingga dapat
berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah lingkungan.
Pendidikan Lingkungan Hidup menurut konvensi UNESCO di Tbilisi (1997)
merupakan suatu proses yang bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat dunia yang
memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan peduli terhadap masalah-masalah yang
terkait di dalamnya serta memiliki pengetahuan, motivasi, komitmen, dan keterampilan
untuk bekerja, baik secara perorangan maupun kolektif dalam mencari alternatif atau
memberi solusi ada sekarang dan untuk menghindari timbulnya masalah-masalah
lingkungan hidup baruterhadap permasalahan lingkungan hidup yang
Di berbagai penjuru dunia dewasa ini, dijelaskan oleh Anwari (2010), bahwa
kerusakan ekologi kian mengemuka dan bahkan mulai mengalahkan isu-isu politik dan
ekonomi. Bahkan, kerusakan ekologi ditengarai sebagai isu super sensitif. Pada satu sisi,
segilintir manusia bertindak meluluhlantakkan ekologi atas dasar ambisi dan egoisme.
Pada sisi lain, dampak buruk kerusakan ekologi dirasakan oleh hampir seluruh manusia.
Segala upaya dipandang mutlak dilakukan demi mencegah agar kerusakan ekologi tidak
semakin parah. Dunia pendidikan pun dituntut mampu untuk turut serta menemukan solusi
agar kerusakan ekologi tak terpilin menuju titik nadir kehancuran.
Masalah lingkungan hidup tidak dapat diatasi hanya melalui reposisi hubungan
manusia dengan lingkungan alamnya, tetapi juga harus melalui reorientasi nilai, etika dan
norma-norma kehidupan yang kemudian tersimpul dalam tindakan kolektif, serta
restrukturisasi hubungan sosial antar individu, individu dengan kelompok, kelompok
dengan kelompok, dan antara kelompok dengan organisasi yang lebih besar (misal: negara,
lembaga internasional). Pada titik ini pula, dunia pendidikan dituntut mampu
mengembangkan perspektif yang relevan (Anwari, 2010). Pertama, dunia pendidikan
harus membangun pengertian bahwa kerusakan ekologi merupakan dampak buruk dari
ulah manusia memperebutkan sumber-sumber daya. Kedua, dunia pendidikan memahami
kerusakan ekologi sebagai realitas buruk yang meminta tumbal pengorbanan manusia. Dua
hal ini penting dimengerti oleh dunia pendidikan sebagai saling hubungan antara manusia
dan lingkungan.
1
Sampai saat ini telah berkembang tiga teori etika lingkungan (Keraf, 2020), yaitu:
antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Antroposentrisme adalah etika
lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Hanya
manusia dan kepentingannyalah yang mempunyai nilai. Manusia sebagai penguasa alam
yang boleh melakukan apa saja. Segala sesuatu yang ada di alam semesta hanya akan
mendapat nilai dan perhatian sejauh mendukung dan demi kepentingan manusia, sehingga
alam beserta seluruh isinya hanya dipandang sebagi objek, sumber daya, alat atau sarana
bagi pemenuhan kepentingan, kebutuhan dan tujuan manusia. Dalam pandangan
antroposentris ini alam dikonstruksikan tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Etika
antroposentrisme ini sering dituding sebagai penyebab krisis ekologi karena dari etika ini
lahir sikap dan perilaku eksploitatif yang tidak peduli sama sekali terhadap keberlanjutan
alam. Sebagai akibat berciri instrumentalitik dan egoistis.
Biosentrisme adalah etika lingkungan yang memandang setiap kehidupan dan
makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri sehingga makhluk
hidup selain manusia yang ada di alam ini, perlu diperlakukan secara moral, terlepas dari
apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak. Sebagai konsekuensinya, alam semesta adalah
suatu komunitas moral, dimana setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia
maupun bukan manusia samasama mempunyai nilai moral. Dengan demikian, Gudynas
(1990) menyatakan bahwa etika tidak lagi hanya diberlakukaan sebatas pada komunitas
manusia, tetapi juga berlaku bagi seluruh komunitas biotik manusia dan makhluk hidup
lainnya. Setiap makhluk hidup, baik tumbuhan maupun hewan pada dasarnya mempunyai
hak hidup, demikian pula sistem kehidupan. Implikasinya, agar antroposentrisme berubah
menjadi biosentrisme maka segala sesuatu yang bersifat hirarkis harus dihindari dengan
cara menyatu dengan dan bukan berada di atas organisme lain. Ekosentrisme, etika
diperluas ke seluruh system ekologi baik biotik maupun abiotik. Pandangan ekosentrisme
ini memahami bahwa secara ekologis makhluk hidup dan lingkungan abiotiknya saling
terkait, tidak terpisah, sehingga kewajiban dan tanggung jawab moral manusia tidak hanya
dibatasi pada makhluk hidup, melainkan juga berlaku kepada semua anggota atau realita
ekologi.
Ekologi pendidikan, menurut Dian Permata Suri (2006), adalah sebuah ekosistem
pendidikan yang meliputi beberapa macam komponen lingkungan anak. Selama ini dikenal
2
bahwa sekolah adalah satu-satunya faktor yang mendukung keberhasilan pendidikan.
Namun demikian, ternyata ekologi pendidikan menjelaskan bahwa sekolah bukan satusatunya faktor yang mendukung keberhasilan pendidikan, namun harapannya memiliki
kontribusi besar dalam pendidikan karena bersifat kurikuler.
Terdapat empat prinsip ekologi yang banyak digunakan sebagai perspektif oleh
kalangan intelektual, ilmuwan, dan penggiat hijau atau green. Empat prinsip ini
menimbulkan beberapa konsekuensi (Ife, 2002), yaitu sebagai berikut:
1) holistik (holism): filosofi ekosentrik, respek pada kehidupan dan alam, menolak
solusi linear, perubahan yang bersifat organik;
2) keberlanjutan (sustainibility): konservasi mengurangi konsumsi eko-nomi tanpa
menekankan pada pertumbuhan, kendala pada pengem-bangan teknologi;
3) keanekaragaman (diversity): anti kapitalis, menghargai perbedaan, tidak ada
jawaban tunggal atas suatu masalah, desntralisasi, jejaring (networking) dan
komunikasi lateral, teknologi tepat guna (lower level technology); dan
4) keseimbangan (equilibrium): global/lokal, yin/yang, gender, hak/ tanggung jawab,
perdamaian dan kerjasama.
Dengan prinsip tersebut sebenarnya mempunyai banyak hubungan yang sangat erat
agar tujuan utama berupa kelestarian lingkungan melalui upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan dapat terwujud dalam konteks keadilan yang mencakup keadilan
ekologi, keadilan ekonomi dan keadilan sosiologis.
3
II.
DEFINISI DAN SEJARAH
A. Ekoliterasi
Secara harfiah kata literasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
kemampuan untuk membaca dan menulis atau dengan istilah yang sedang berkembang
adalah melek. Sejak kelahirannya, masalah literasi lingkungan telah menarik perhatian
banyak peneliti pendidikan dan ilmuwan lingkungan. Meskipun istilah ini telah banyak
didiskusikan, tetapi tidak ada definisi yang disepakati secara umum. Definisi awal literasi
lingkungan dikemukakan oleh Roth (1968) yang mendefinisikan orang yang melek
lingkungan sebagai seseorang yang memiliki keterampilan dasar, pemahaman dan
perasaan mengenai hubungan manusia-lingkungan. Roth menambahkan bahwa orang
melek lingkungan memahami keterkaitan antara sistem alam dan sosial, kesatuan manusia
dengan alam, bagaimana teknologi mempengaruhi pengambilan keputusan masalah
lingkungan dan pembelajaran tentang lingkungan adalah suatu usaha seumur hidup.
Ecoliteracy berarti keadaan di mana seseorang, sudah tercerahkan tentang pentingnya
lingkungan hidup. Ecoliteracy menggambarkan kesadaran tentang pentingnya lingkungan
hidup. Dengan demikian, orang yang sudah sampai pada taraf ecoliteracy adalah orang yang
sudah sangat menyadari betapa pentingnya lingkungan hidup, pentingnya menjaga dan
merawat bumi, ekosistem, alam sebagai tempat tinggal dan berkembangnya kehidupan. Atas
dasar dan digerakkan oleh kesadaran inilah manusia menata pola dan gaya hidupnya menjadi
pola dan gaya hidup yang selaras dengan lingkungan hidup. Manusia lalu menggunakan
kesadaran tersebut untuk menuntun hidupnya dalam segala dimensinya sampai menjadi sebuah
budaya yang merasuki semua anggota masyarakat untuk akhirnya terciptalah sebuah
masyarakat yang berkelanjutan. Ecoliteracy merupakan cara berpikir tentang dunia dalam hal
sistem alam dan manusia yang saling bergantung termasuk pertimbangan dari konsekuensi dari
tindakan manusia dan interaksi dalam konteks alami. (Keraf (2014) dalam Tamam, 2014).
B. Pendidikan Lingkungan Hidup
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) secara formal yaitu kegiatan pendidikan di
bidang lingkungan hidup yang diselenggarakan melalui sekolah yang terdiri atas
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang dilakukan secara terstruktur dengan
menggunakan metode pendekatan kurikulum yang terintegrasi maupun kurikulum yang
monolitik atau tersendiri. Sedangkan Pendidikan Lingkungan Hidup non Formal
4
merupakan proses membangun kesadaran dan kepedulian lingkungan diluar sekolah
seperti rumah tangga dan masyarakat sehari hari.
Pendidikan Lingkungan Hidup sebenarnya sudah dilaksanakan sejak 25 tahun yang
lalu dengan nama Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) dengan cara
mengintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain. Namun hasilnya tidak berhasil karena
berbagai masalah diantaranya yang sudah disebutkan di atas. Tentu belajar dari
pengalaman, kegagalan atau ketidakberhasilan ini jangan terulang lagi. Agar tidak terulang
maka diperlukan kesungguhan pemerintah dalam menunjang program mulok ini dengan
mempersiapkan gurunya melalui pelatihan. PLH memiliki karakteristik tersendiri sehingga
gurunyapun harus disiapkan, demikian juga dengan segala perangkat dan fasilitas untuk
melaksanakan program.
Proses pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup yang dilaksanakan hendaknya
merupakan suatu proses mengorganisasi nilai dan memperjelas konsep-konsep untuk
membina keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk memahami dan menghargai antar
hubungan manusia, kebudayaan, dan lingkungan fisiknya. Pengetahuan dan kesadaran
tentang keberadaan dan ruang lingkup masalah lingkungan adalah penting karena dapat
membangkitkan kepedulian dan perhatian terhadap lingkungan. Penekanannya harus pada
(i) pengetahuan tentang penyebab, (ii) pengetahuan tentang efek, dan (iii) pengetahuan
tentang strategi untuk berubah, ketika menghadapi masalah lingkungan.
Selain itu perlunya pendidikan lingkungan juga mencakup pada aspek etika
terhadap lingkungan. Etika lingkungan sendiri merupakan sikap dan perilaku dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini tidak lepas dari prinsip etika lingkungan.
Prinsip etika lingkungan menurut Chiras (1993: 76) adalah: Pertama, bumi ini memiliki
persediaan sumber daya alam yang terbatas dan harus digunakan oleh semua organisme.
Kedua, manusia merupakan bagian dari alam oleh karena itu harus tunduk kepada
hukumhukum alam dan tidak kebal terhadap hukum alam tersebut. Manusia bukan
merupakan puncak pencapaian alam tetapi merupakan anggota dari jaringan kehidupan
yang saling berhubungan (interconnected web of life) sehingga harus patuh kepada hokumhukum dan keterbatasan-keterbatasan alam. Ketiga, keberhasilan manusia terletak dalam
bentuk kerjasama dengan kekuatan-kekuatan alam bukan mendominasi alam. Keempat,
5
ekosistem yang berfungsi baik dan sehat adalah sangat penting bagi semua kehidupan
(Adisendjaya, 2007).
C. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009, Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum.
Tujuan dari Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menurut Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah :
1) melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup
2) menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
3) menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
4) menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5) mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
6) menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
7) menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari
hak asasi manusia;
8) mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
9) mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
10) mengantisipasi isu lingkungan global.
Jika melihat definisi dan tujuan serta aspeknya maka dapat dilihat bahwa
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan konsep yang menaungi
segala usaha dan upaya untuk menjaga lingkungan hidup yang ada dalam arti mempunyai
cakupan lebih luas dibandingkan dengan
6
III.
KETERKAITAN EKOLITERASI, PLH DAN PPLH
Satu hubungan yang sangat dinamis antara manusia dan lingkungannya, dapat dilihat
dari bagaimana cara manusia hidup bersama, berdampingan dengan semua komponen di
sekitarnya. Kemampuan yang dimiliki setiap individu untuk berperilaku baik dalam
kesehariannya dengan menggunakan pemahamannya terhadap kondisi lingkungan itulah yang
disebut dengan literasi lingkungan atau environment literacy. Literasi lingkungan bukanlah
sebuah disiplin ilmu baru atau bahkan sebuah konsep baru dalam mengkaji hubungan manusia
terhadap lingkungannya. Ini merupakan pemikiran yang sederhana dan berangkat dari fisis
determinisme, fisis possibilisme atau bahkan pandangan antroposentrisme.
Fisis determinisme merupakan pandangan bahwa alam telah menyediakan semua yang
dibutuhkan manusia untuk hidup dan manusia berusaha untuk sejalan dengan kondisi
lingkungan yang ada. Dalam hal ini, manusia tidak mempunyai banyak alternatif untuk
menentukan perannya terhadap lingkungan di mana dia tinggal. Lain halnya dengan fisis
possibilisme, manusia mempunyai begitu banyak kemungkinan, begitu banyak alternatif
untuk meminimalisir kekurangan dari kondisi lingkungan yang ada.8 Dengan kata lain,
manusia bisa berpikir dan berupaya keras bagaimana mengatasi keterbatasan yang alam
sediakan. Literasi lingkungan dapat berupa hal-hal sederhana, misalnya:
1. Menyediakan 25% ruang terbuka bervegetasi di rumah. Dengan adanya lahan terbuka
bervegetasi, berarti telah membiarkan air hujan bisa masuk meresap ke dalam tanah,
telah memberikan kelangsungan dalam siklus gas terutama oksigen dan karbon dioksida
dengan baik.
2. Menyediakan fentilasi yang cukup. Dengan adanya fentilasi, berarti selain terjadi siklus
gas terutama oksigen dan karbon dioksida dengan baik. Fentilasi berguna juga untuk
mencegah rumah menjadi tempat yang kumuh dan lembab.
3. Membiarkan cahaya matahari masuk di pagi dan siang hari. Cahaya matahari berfungsi
untuk membunuh bakteri jahat di rumah.
4. Mendirikan rumah di tempat yang landai. Dengan demikian penghuni rumah bisa
terhindar dari resiko longsor jika terjadi hujan lebat.
7
Sejak kelahirannya, masalah literasi lingkungan telah menarik perhatian banyak
peneliti pendidikan dan ilmuwan lingkungan. Meskipun istilah ini telah banyak
didiskusikan, tetapi tidak ada definisi yang disepakati secara umum. Definisi awal literasi
lingkungan dikemukakan oleh Roth (1968) yang mendefinisikan orang yang melek
lingkungan sebagai seseorang yang memiliki keterampilan dasar, pemahaman dan perasaan
mengenai hubungan manusia-lingkungan. Kemudian Roth menambahkan bahwa orang
melek lingkungan memahami keterkaitan antara sistem alam dan sosial, kesatuan manusia
dengan alam, bagaimana teknologi mempengaruhi pengambilan keputusan masalah
lingkungan dan pembelajaran tentang lingkungan adalah suatu usaha seumur hidup.
Meskipun ada perbedaan definisi dan komponen literasi lingkungan, solusi untuk
mengatasi masalah lingkungan adalah dengan mengembangkan masyarakat yang melek
lingkungan, berperilaku dengan cara yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Sebuah perilaku dianggap yang bertanggung jawab terhadap lingkungan ketika tindakan
individu atau kelompok menganjurkan penggunaan secara berkelanjutan atau efisien
terhadap sumber daya alam. Salah satu wujud/ bentuk masyarakat yang memiliki literasi
lingkungan adalah masyarakat yang berkarakter peduli lingkungan. Karakter merupakan
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan
adat istiadat.
Untuk membangun masyarakat berkarakter peduli lingkungan, salah satunya melalui
pendidikan merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi dunia masa depan dan
merupakan cara yang paling efektif dalam membentuk masyarakat yang memiliki
kemampuan untuk menghadapi tantangan di masa depan. Pendidikan menjadi dasar bagi
tindakan dan penting untuk dapat meningkatkan kapasitas masyarakat, hal ini menekankan
bahwa baik pendidikan formal dan non formal sangat diperlukan untuk mengubah sikap
masyarakat. Selama ini pendidikan di seluruh dunia lebih mengutamakan literasi dasar
(matematika, fisika, kimia, biologi teknologi dan lain-lain) daripada literasi lingkungan
(konservasi sumberdaya, multikulturalisme, pembangunan berkelanjutan, demokrasi,
kepekaan sosial, budi pekerti dan lain-lain).bidang pendidikan. Seperti kita ketahui, Karena
8
itu perlu dilakukan reorientasi pendidikan, yang berarti diintegrasikannya literasi lingkungan
dengan literasi dasar.
Reorientasi pendidikan telah menjadi istilah yang sangat penting bagi pengelola
sekolah dan pendidik pada semua tingkatan pendidikan untuk memahami perubahan yang
dibutuhkan. Reorientasi yang penting adalah lebih banyak dimasukannya prinsip-prinsip,
keterampilan, perspektif dan nilai-niai yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan
dalam pendidikan, yang tepat dan relevan dengan satuan pendidikan. Reorientasi pendidikan
juga dipandang sebagai upaya mengembangkan pendidikan/ pembelajaran yang
membangkitkan pengetahuan, keterampilan, perspektif, dan nilai yang akan membimbing
dan memotivasi manusia menuju kehidupan yang berkelanjutan, berpartisipasi dalam
masyarakat yang demokratis, dan hidup secara berkelanjutan (Desfandi, 2015).
Salah satu bentuk implementasi pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan
berbasis Pendidikan Lingkungan Hidup yang dilaksanakan secara terprogram di sekolah
adalah program Eco School. Program Eco School merupakan program internasional yang
bertujuan untuk meningkatkan literasi lingkungan pada siswa. Program Eco School
dikembangkan oleh Foundation of Enviromental Education (FEE) pada tahun 1994, yang
dikembangkan atas dasar kebutuhan untuk melibatkan kaum muda dalam hidup dan
pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal.mencari solusi terhadap tantangan ingkungan.
Munculnya Eco School, berangkat dari keprihatinan bersama untuk memperbaiki kualitas
lingkungan. Cukup banyak strategi yang telah ditempuh untuk memperbaiki kualitas
lingkungan, mulai dari penyuluhan, penataran, bimbingan, proyek percontohan dan
perbaikan komponen yang menyebabkan rusaknya lingkungan seperti reboisasi, kali bersih,
jumat bersih dan gerakan sadar kebersihan. Program-program tersebut sudah lama dilakukan
tetapi tidak memberikan hasil yang signifikan, karena yang dirasakan hanya kerusakan yang
terus berlanjut dan semakin parah (Desfandi, 2015)
Program Eco School / Adiwiyata memilki fokus yang kuat pada masalah-masalah
sumber daya, energi dan limbah sebagai bidang utama tindakan.15 Meskipun program ini
dikoordinasikan melalui kerangka kerja umum di tingkat internasional, negara-negara
anggota yang melaksanakan program Eco School memiliki fleksibilitas dalam menyesuaikan
program dengan kebutuhan mereka. Umumnya sekolah yang berpartisipasi menerapkan
9
proses tujuh langkah untuk menuju sertifikasi Green Flag, meskipun variasi ada dalam isi
dan fokus dari langkah-langkah. Umumnya Langkah-langkah yang dilakukan adalah untuk:
1. Memperbaiki lingkungan sekolah,
2. Mengurangi sampah dan limbah,
3. Mengurangi penggunaan energi dan air,
4. Menemukan cara-cara yang efisien perjalanan ke dan dari sekolah,
5. Mempromosikan gaya hidup sehat,
6. Mendorong kewarganegaraan aktif,
7. Membangun kemitraan yang kuat dengan berbagai kelompok masyarakat
Di Indonesia, dalam upaya mempercepat pengembangan Pendidikan Lingkungan
Hidup khususnya jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,
maka pada tanggal 21 Februari 2006 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan telah mencanangkan Program Adiwiyata, dengan tujuan
mendorong dan membentuk sekolah Peduli dan Berbudaya Lingkungan yang mampu
berpartisipasi dan melaksanakan upaya pelestarian lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan bagi kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang. Adiwiyata
mempunyai pengertian atau makna sebagai tempat yang baik dan ideal di mana dapat
diperoleh segala ilmu pengetahuan dan berbagai norma serta etika yang dapat menjadi hidup
kita dan menuju kepada cita-cita pembangunan berkelanjutan.dasar manusia menuju
terciptanya kesejahteraan (Desfandi, 2015)
Program Adiwiyata dilaksanakan guna mewujudkan warga sekolah yang
bertanggung jawab dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui
tata kelola sekolah yang baik untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Kegiatan yang
dilakukan misalnya pengolahan limbah, pramuka Saka Taruna Bumi, penanggulangan
banjir, kantin dan sekolah sehat dan sebagainya. Dengan melaksanakan program Adiwiyata
akan menciptakan warga sekolah, khususnya peserta didik yang peduli dan berbudaya
lingkungan, sekaligus mendukung dan mewujudkan sumberdaya manusia yang memiliki
karakter bangsa terhadap perkembangan ekonomi, sosial, dan lingkungannya dalam
mencapai pembangunan berkelanjutan di daerah. Pelaksanaan Program Adiwiyata menurut
Kementerian Lingkungan Hidup (2012) diletakkan pada dua prinsip dasar berikut ini:
10
1. Partisipatif: Komunitas sekolah terlibat dalam manajemen sekolah yang meliputi
keseluruhan proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi sesuai tanggung jawab dan
peran.
2. Berkelanjutan: Seluruh kegiatan harus dilakukan secara terencana dan terus menerus
secara komprehensif
Sekolah yang telah melaksanakan kegiatan-kegiatan dengan baik sesuai dengan
program Eco School, akan memperoleh pengharagaan “Sekolah Adiwiyata” dari
Kementerian Lingkungan Hidup. Sekolah yang telah melaksanakan Program Adiwiyata
selain diharapkan dapat mewujudkan lingkungan sekolah sehat, bersih, indah dan nyaman,
sehingga dapat membentuk warga sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan, sekolah
Adiwiyata juga diharapkan dapat menjadi agen perubahan bagi masyarakat di sekitar
sekolah. Sekolah harus menjadi model bagi masyarakat dalam mewujudkan lingkungan yang
sehat, bersih, indah dan nyaman. Sikap peduli dan berbudaya lingkungan dari warga sekolah
diharapkan dapat ditularkan/berimbas kepada masyarakat sekitar sekolah, guna mewujudkan
masyarakat yang berkarakter peduli lingkungan.
Dari aksi nyata bentuk pendidikan lingkungan hidup di tingkat sekolah sebagaimana
contoh di atas melalui program Adiwiyata tentunya akan membentuk karakter siswa dalam
memperlakukan lingkungannya dengan bijak sehingga terbangun literasi (melek)
lingkungan yang tentunya bermuara pada tujuan akhir terbentuknya lingkungan yang lestari
dan nyaman huni. Dengan kata lain adalah terbentuknya Lingkungan yang lestari, nyaman,
layak huni, terjaga merupakan impact dari segala upaya dan usaha perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang terbentuk dari sikap dan perilaku yang berpihak pada
lingkungan (ekoliterasi/melek lingkungan). Terbentuknya
ekoliterasi ini sebagai buah
(output) dari proses pendidikan lingkungan yang dilakukan baik formal maupun informal
secara kontinyu/berkesinambungan.
11
IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keterkaitan antara ekoliterasi dengan pendidikan lingkungan hidup dan perlindungan,
pengelolaan lingkungan hidup adalah mutlak dan merupakan sistem causalitas. Hubungan
sebab akibat ini dimulai dengan adanya keprihatinan kerusakan, krisis dan permasalahan
lingkungan yang menimbulkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. Usaha
tersebut dimulai dengan penyadaran melalui pendidikan lingkungan yang membentuk
karakter peduli lingkungan sehingga dilakukan upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan yang berprinsip pada keadilan ekologi, ekonomi dan sosiologis secara
bersamaan sehingga tujuan akhir lingkungan hidup yang lestari dapat terwujud.
B. Saran
1. Untuk mencapai tujuan dan sasaran perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
hendaknya dilakukan upaya yang berkesinambungan dalam :
a. Melakukan pendidikan lingkungan secara formal dan informal.
b. Mengembangkan sistem insentif dan disinsentif pada pelaksanaan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup
2. Menekankan pada para pendidik akan pentingnya pembentukan karakter, sikap dan
perilaku yang berbudaya dan berwawasan lingkungan.
3. Mengedepankan keteladanan dalam pembentukan karakter peduli lingkungan untuk
membentuk ekoliterasi pada masyarakat.
12
DAFTAR PUSTAKA
Adisendjaja, Yusuf Hilmi. 2007. Penerapan Pendidikan Lingkungan Di Sekolah. Seminar Open Mind
Jurusan Biolgi FKIP Universitas Pasundan. Bandung tanggal 21 Mei 2007
Coss, Roger. 2013. Review of Ecoliterate: How Educators are Cultivating Emotional, Social, and
Ecological Intelligence. University of the Pacific. Journal of Sustainability Education Vol. 5, May
2013 ISSN: 2151-7452
Darsiharjo. 2005. “Eco-School” Sebagai Media Pedidikan Lingkungan Di Sekolah. Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional “Peran Pendidikan di Persekolahan dalam Mempersiapkan Generasi Peduli
Lingkungan” di Auditorium JICA FPMIPA UPI Bandung pada tanggal 1 Desember 2005.
Desfandi, M. 2015. Mewujudkan Masyarakat Berkarakter Peduli Lingkungan Melalui Program Adiwiyata.
SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 2(1), 2015, 31-37. doi:10.15408/
sd.v2i1.1661
Dharmawan, A. H. 2007. “Konsep-konsep Dasar dan Isyu-Isyu Kritikal Ekologi Manusia”. Modul Kuliah
Ekologi Manusia. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, IPB, Bogor.
Dian
Permata Suri. 2006. Apa dan Bagaimana Pendidikan Berwawasan
http://www.jugaguru.com/article/49/tahun/2006/bulan/09/tanggal/20/id/146/
Ekologi?
Freuder, Tracy Grace. 2006. Designing for the Future: Promoting Ecoliteracy in Children’s Outdoor Play
Environments. faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University. USA
https://m.tempo.co/read/news/2016/11/24/083822718/kajian-lingkungan-hidup-harus-merangkul-seluruhstakeholder, diakses tanggal 22 Desember 2016 jam 14.15
KLH, 2014. Ekoliterasi. http://www.menlh.go.id/melek-ekologis/ Diakses tanggal 22 Desember 2016 jam
14.13
Kementerian Lingkungan Hidup. (2012). Panduan Adiwiyata. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup
Republik Indonesia
Keraf, Sonny. A. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, PT. Kompas Media
Nusantara.
Ozsoy, Sibel., Ertepinar, Hamide., dan Saglam, Necdet. (2012). Can Eco-Schools Improve Elementary
School Students’ Environmental Literacy Levels? Jurnal: Asia-Pacific Forum on Science Learning
and Teaching, Vol. 13 Issue 2/December 2012.
Raharja, Setya. 2010. Pendidikan Berwawasan Ekologi : Pemberdayaan Lingkungan Sekitar Untuk
Pembelajaran. Jurusan Administrasi Pendidikan FIP UNY. Jogjakarta
Taman, Badrud. 2014. Peningkatan Ecoliteracy siswa sebagai Green Consumer melalui Pemanfaatan
Kemasan Produk Konsumsi dalam Pembelajaran IPS. UPI. Bandung.
0
Download