Hubungan Antara Self Esteem dengan Frekuensi Merokok pada

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Frekuensi Merokok
1. Definisi frekuensi
Frekuensi berasal dari bahasa Inggris ‘frequency’
berarti kekerapan, keseimbangan, keseringan, atau jarangkerap. Smet (1994) mengatakan bahwa frekuensi adalah
sering tidaknya suatu perilaku itu muncul.
Dalam
Wikipedia (2013), frekuensi adalah jumlah putaran ulang
per peristiwa dalam satuan waktu yang diberikan.
2. Definisi merokok
Merokok adalah menghisap asap tembakau yang
dibakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya kembali
ke luar (Amstrong, 1990). Pendapat lain menyatakan bahwa
merokok adalah sesuatu yang dilakukan seseorang berupa
membakar tembakau dan menghisap asapnya, serta dapat
menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang di
sekitarnya
(Levy,
1984).
Menurut
Oskamp
(dalam
Susmiati, 2003), perilaku merokok adalah kegiatan
menghisap asap tembakau yang telah menjadi cerutu
kemudian
disulut
api.
Sedangkan
9
Husaini
(2006)
10
berpendapat bahwa merokok berarti membakar tembakau
dan daun tar, dan menghisap asap yang dihasilkannya.
Berdasarkan
pendapat
di
atas,
maka
dapat
disimpulkan bahwa merokok adalah kegiatan membakar
tembakau yang telah digulung menjadi lintingan rokok,
kemudian menghisap asapnya, dan dihembuskan kembali
ke luar.
3. Definisi frekuensi merokok
Frekuensi merokok (Smet, 1994) adalah jumlah rokok
yang dihisap dalam satuan batang per hari. Dari frekuensi
merokok seseorang dapat diketahui perilaku merokoknya
yang sebenarnya.
4. Tipe perokok
Smet (1994) membagi perilaku merokok dalam 3 (tiga)
tipe, yaitu :
a. Perokok berat, menghisap lebih dari 15 batang
rokok dalam sehari.
b. Perokok sedang, menghisap 5-14 batang rokok
sehari.
c. Perokok ringan, menghisap 1- 4 batang rokok dalam
sehari.
11
5. Tahap dalam perilaku merokok
Laventhal dan Clearly (dalam Komalasari dan Helmi,
2002), mengungkap 4 tahap dalam perilaku merokok
sehingga menjadi perokok, yaitu :
a. Tahap Persiapan
Seseorang
menyenangkan
mendapatkan
tentang
gambaran
merokok
dengan
yang
cara
mendengar, melihat dari orang tua, media massa atau
dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbulkan minat
untuk merokok.
b. Tahap Permulaan
Seseorang sudah mencoba untuk merokok. Tahap
ini juga disebut perintisan merokok, yaitu tahap
apakah seseorang akan meneruskan merokok atau
tidak.
c. Tahap Menjadi Seorang Perokok
Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok
sebanyak empat batang per hari maka ia mempunyai
kecenderungan untuk menjadi perokok.
d. Tahap Mempertahankan Perilaku Merokok
Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu
bagian dari cara pengaturan diri (self regulating).
Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis
yang menyenangkan.
12
6. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku merokok
Menurut Mu’tadin (2002) ada beberapa penyebab
remaja merokok, antara lain :
a. Pengaruh Orang Tua
Perilaku merokok lebih banyak didapati pada
mereka yang tinggal dengan satu orang tua (single
parent). Remaja berperilaku merokok apabila ibu
mereka merokok daripada ayah yang merokok. Hal
ini lebih terlihat pada remaja putri.
b. Pengaruh Teman
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin
banyak remaja merokok maka semakin besar
kemungkinan teman-temannya adalah perokok, dan
sebaliknya. Ada dua kemungkinan yang terjadi dari
fakta tersebut, pertama remaja tersebut terpengaruh
oleh teman-temannya atau sebaliknya. Di antara
remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurangkurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok,
begitu pula dengan remaja non perokok.
c. Faktor Kepribadian
Orang mencoba untuk merokok karena alasan
ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit
dan kebosanan.
13
d. Pengaruh Iklan
Melihat iklan di media massa dan elektronik
yang menampilkan gambaran bahwa merokok
melambangkan kejantanan dan glamour, membuat
remaja seringkali terpicu untuk berperilaku seperti
yang ada dalam iklan tersebut.
Samrotul Fikriyah, (2012) melakukan penelitian
mengenai faktor yang memengaruhi perilaku merokok pada
mahasiswa di STIEKES Baptis Kediri pada tahun 2012.
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa dari berbagi
faktor yang diuji, faktor psikologis adalah yang paling
memengaruhi perilaku merokok.
Aspek yang muncul
dalam fakor psikologis ini adalah rasa rendah diri,
hubungan antar perorangan yang jelek, kurang mampu
mengatasi stres, putus sekolah, sosial ekonomi yang rendah,
tingkat pendidikan orang tua yang rendah, dan tahun-tahun
transisi antara sekolah dasar dan sekolah menengah (usia
11-16 tahun).
Penelitian lain mengenai perilaku merokok pernah
dilakukan oleh Veselska, at, al pada
tahun 2009 di
Slovakia. Penelitian mengenai hubungan antara self esteem
dengan awal mula pengonsumsian rokok dan ganja ini
mendapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara self
esteem
dengan
awal
mula
dan
keberlanjutan
14
pengonsumsian rokok dan ganja pada remaja. Remaja yang
berperilaku merokok mempunyai kaitan yang erat dengan
self esteem yang rendah.
Dapat disimpulkan bahwa, ada banyak faktor yang
memengaruhi remaja untuk merokok. Di antaranya,
pengaruh orang tua, kepribadian, teman sebaya, lingkungan
sosial, faktor psikologis, dan self esteem.
B. Self Esteem
1. Definisi self esteem
Self Esteem adalah hasil evaluasi individu terhadap
dirinya sendiri yang merupakan sikap penerimaan atau
penolakan, serta menunjukkan seberapa besar individu
percaya pada dirinya, merasa mampu, berarti, berhasil, dan
berharga
(Coppersmith,
1967)
dengan
menganalisa
seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya (Stuart dan
Sundeen, 1998). Evaluasi diartikan sebagai penilaian yang
positif atau negatif yang dihubungkan dengan konsep diri
seseorang terhadap dirinya sendiri secara positif, namun
juga sebaliknya dapat menghargai secara negatif.
Heatherton dan Polivy (1991) mengatakan self esteem
adalah suatu tingkah laku evaluasi diri sendiri sebagai
realisasi kepercayaan pribadi yang mencakup keahlian,
kemampuan, dan relasi sosial, dengan komponen berupa
performance, social, dan physical. Klass dan Hodge, 1978
15
(dalam Ghufron, 2010) mengatakan self esteem adalah hasil
evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu, yang
diperoleh dari interaksi individu dengan lingkungan,
penerimaan, penghargaan, dan perlakuan orang lain
terhadap individu tersebut. Santrock (2003) mengatakan
self esteem merupakan dimensi evaluatif yang menyeluruh
dari diri.
Berdasarkan definisi beberapa tokoh di atas, dapat
disimpulkan bahwa self esteem adalah suatu penilaian
subyektif yang dibuat individu sebagai hasil evaluasi diri
sendiri yang mencakup komponen performance, social, dan
physical (Heatherton dan Polivy, 1991). Hasil evaluasi
tersebut tercermin dalam sikap positif atau negatif, dengan
mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju yang
berasal dari berbagai sumber, baik internal maupun
eksternal
diri.
Penilaian
tersebut
selanjutnya
akan
menentukan penghargaan dan penerimaan individu atas
dirinya, hal inilah yang akan kemudian menunjukkan
tingkatan self esteem seseorang.
16
2. Komponen self esteem
Menurut Heatherton dan Polivy (1991), ada tiga
komponen dalam konsep self esteem :
a. Performance
Performance mengacu pada evaluasi kemampuan
umum yang dimiliki individu, antara lain kapasitas
mengatur diri, keyakinan diri, dan kemampuan
intelektual.
b. Social
Social self esteem mengacu pada bagaimana
individu mengevaluasi bahwa orang lain bisa
menerima
dirinya.
Apabila
orang-orang
di
sekelilingnya menunjukkan sikap menghargai dan
menghormati terhadap individu, maka individu akan
menunjukkan tingkat
self
esteem yang tinggi.
Individu yang mempunyai social self esteem yang
rendah akan mengalami kecemasan sosial dan akan
merasa khawatir tentang penilaian orang lain terhadap
dirinya.
c. Physical
Evaluasi pandangan individu mengenai bentuk
tubuhnya, termasuk diantaranya ketertarikan fisik,
bentuk tubuh, dan citra tubuh.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam
penelitian ini menggunakan komponen self esteem
17
yang dikemukakan oleh Heatherton dan Polivy (1991),
yaitu Performance, Social, dan Physical.
3. Faktor-faktor yang memengaruhi self esteem
Menurut Coopesmith (1967), faktor-faktor yang
berperan pada tinggi rendahnya self esteem antara lain :
a. Jenis Kelamin
Beberapa
penelitian
menunjukkan
bahwa
remaja putri mudah terkena gangguan citra diri
dibandingkan dengan remaja putra. Secara khusus,
harga diri remaja putri rendah, tingkat kesadaran diri
mereka tinggi dan citra diri mereka mudah
terganggu dibandingkan
dengan remaja putra
(Rosenberg dan Simmons, dalam Sternberg, 1999).
Sebagai contoh, remaja putri lebih mudah sensitif
tentang diri mereka, merasa khawatir dengan
kemampuan mereka, menerima kekurangan diri, dan
peka terhadap penilaian orang lain. Hal ini karena
remaja putri peduli dengan dirinya, agar dapat
diterima dalam kelompok (Sternberg, 1999).
b. Inteligensi
Individu dengan self esteem yang tinggi akan
mencapai prestasi akademik yang tinggi daripada
individu dengan self esteem yang rendah. Individu
dengan self esteem yang tinggi memiliki skor
18
inteligensi yang relatif baik, taraf aspirasi yang baik,
dan selalu berusaha keras.
c. Kondisi Fisik
Coopersmith
(1967)
menemukan
adanya
hubungan yang konsisten antara daya tarik fisik dan
tinggi badan dengan self esteem. Individu dengan
kondisi
fisik
yang
yang
menarik
cenderung
memiliki self esteem yang lebih baik dibandingkan
dengan kondisi fisik remaja yang kurang menarik.
d. Lingkungan Keluarga
Coopersmith
(1967)
berpendapat
bahwa
perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif
dan mendidik yang demokratis akan membuat anak
mendapat self esteem yang tinggi. Orang tua yang
sering memberi hukuman dan larangan tanpa alasan
dapat menyebabkan anak merasa tidak berharga.
Mereka yang berasal dari keluarga bahagia akan
memiliki self esteem tinggi karena mengalami
perasaan nyaman yang berasal dari penerimaan,
cinta, dan tanggapan positif orang tua mereka.
Sedangkan penolakan, perasaan diacuhkan, dan
tidak dihargai membuat remaja mengalami perasaan
negatif terhadap dirinya sendiri.
19
e. Lingkungan Sosial
Klass dan Hodge, (dalam Ghufron, 2010)
berpendapat
bahwa
pembentukan
self
esteem
dimulai dari seseorang yang menyadari dirinya
berharga atau tidak. Hal ini merupakan hasil dari
proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan
perlakuan orang lain kepadanya.
Berdasarkan peran-peran self esteem yang telah
diungkapkan di atas, tinggi rendahnya frekuensi
merokok pada remaja putri ditentukan oleh berbagai
macam faktor, dari lingkungan terdekatnya, yakni
lingkungan keluarga, hingga lingkungan sosial.
Penghargaan,
penerimaan,
dan
perlakuan
lingkungan sekitar yang positif terhadap diri remaja
putri membuat ia dapat menghargai dirinya sendiri
dan merasa diterima oleh lingkungan, sehingga
perilaku-perilaku yang negatif dapat dihindari.
Sebaliknya,
penghargaan,
penerimaan,
dan
perlakuan lingkungan yang negatif akan membuat
remaja putri merasa tidak berharga sehingga ia akan
melakukan hal-hal yang negatif agar mendapat
perhatian dari lingkungannya.
20
C. Remaja
1. Definisi remaja
Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata
adolescere (kata Latin, adolescentia yang berarti remaja)
yang berarti tumbuh, atau tumbuh menjadi dewasa
(Hurlock,
1999).
Istilah
adolescence,
seperti
yang
dipergunakan saat ini mempunyai arti yang luas mencakup
kematangan mental, emosional, dan fisik.
Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa
secara psikologis masa remaja adalah masa ketika individu
mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia saat
anak tidak merasa tidak lagi berada di bawah tingkat orangorang yang lebih tua, melainkan berada pada tingkatan yang
sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Remaja
juga didefinisikan sebagai suatu periode perkembangan
transisi antara masa anak-anak dan dewasa, yang diikuti
oleh perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional
(Santrock, 1998).
Sedangkan menurut Monks (1991), remaja adalah
individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sudah
mengalami peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa,
dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal,
15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21
tahun adalah masa remaja akhir. Sarwono (1994),
menyatakan definisi remaja untuk masyarakat Indonesia
21
adalah menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum
menikah.
Dari berbagai definisi remaja di atas, maka dalam
penelitian ini menggunakan subjek remaja akhir usia 18-24
tahun.
2. Ciri-ciri masa remaja
Menurut
Havigrust
(1961)
(dalam
Hurlock,
1999)
menjelaskan ciri-ciri masa remaja antara lain :
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental
yang cepat dan penting. Semua perkembangan itu
menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan
pembentukan sikap, nilai dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan ini tidak berarti terputus dengan atau
berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya.
Tetapi peralihan merupakan perpindahan dari satu
tahap
perkembangan ke
tahap
perkembangan
berikutnya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama
masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.
Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat diikuti
dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga
22
berlangung pesat. Perubahan fisik menurun, maka
perubahan sikap dan perilaku juga akan menurun.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya sendirisendiri, namun masalah pada masa remaja sering
menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak
laki-laki maupun anak perempuan.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanakkanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok
lebih penting daripada bersikap individualistis.
Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja
awal masih tetap penting bagi anak laki-laki dan
perempuan, namun lambat laun mereka mulai
mendambakan identitas diri, dengan kata lain ingin
menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan
ketakutan
Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah
anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat
dipercaya dan cenderung berperilaku merusak,
menyebabkan
orang
dewasa
yang
harus
membimbing dan mengawasi kehidupan remaja.
23
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan
orang lain sebagimana yang ia inginkan dan bukan
sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Semakin mendekatnya usia kematangan, para
remaja
menjadi
gelisah
untuk
meninggalkan
stereotipe belasan tahun. Untuk memberikan kesan
bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai
memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan
dengan status dewasa yaitu merokok, minum
minuman keras, menggunakan obat-obatan dan
terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap
bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka
inginkan. Remaja putri dengan self esteem yang
rendah juga akan melakukan perbuatan tersebut agar
mendapat perhatian dari lingkungan sekitar.
24
D. Hubungan Antara Self Esteem dengan Frekuensi
Merokok Pada Remaja Putri
Remaja mulai merokok dikatakan Erikson (1963)
berkaitan dengan adanya krisis psikososial yang dialami
pada masa perkembangan, yaitu masa ketika mereka sedang
mencari jati dirinya. Pengaruh dari lingkungan luar sangat
mempengaruhi perilaku mereka sehari-hari, terutama dalam
perilaku merokok.
Remaja putri dengan self esteem yang tinggi
menandakan bahwa remaja putri selalu diliputi rasa percaya
diri, perasaan bisa melakukan sesuatu, dan penghargaan diri
yang positif, sehingga mereka tidak akan terpengaruh
lingkungan sekitar untuk melakukan tindakan yang negatif,
seperti merokok, karena mereka sadar bahwa perilaku
merokok dapat merusak diri ideal mereka, sehingga,
perilaku merokok dapat mereka hindari. Memiliki self
esteem tinggi dapat memberikan manfaat kepada individu
yang memilikinya, yaitu individu merasa baik tentang diri
sendiri, mampu mengatasi tantangan secara efektif dan
mampu menanggapi umpan balik yang negatif dari
lingkungan, individu juga mampu hidup di dunia sosial,
percaya
bahwa
lingkungannya
berhak
memberikan
penilaian dan menghormati mereka (Heatherton dan Polivy,
1991).
25
Sebaliknya, remaja dengan self esteem rendah
cenderung memiliki penghayatan bahwa dirinya tidak
sebaik dan seberharga orang lain sehingga seringkali
mereka merasa orang lain tidak menyukai diri mereka apa
adanya. Kondisi seperti ini membuat mereka lebih peka dan
lebih memperhatikan penerimaan dari lingkungan, sehingga
apa yang dilakukan oleh lingkungan akan berpengaruh juga
terhadap mereka, seperti merokok (Brigham, 1991).
Self esteem dijelaskan Coopersmith (1967) sebagai
penilaian yang dibuat individu tentang dirinya yang
menimbulkan perasaan mampu, berarti, berhasil dan
berharga. Penilaian diri ini selanjutnya mewarnai tingkah
laku individu dan gaya berespon dalam menghadapi suatu
stimulus atau situasi. Self esteem sebagai penilaian individu
mengenai sejauh mana dirinya sebagai orang yang mampu,
berarti, berhasil dan berharga, bersifat umum, dan relatif
menetap selama beberapa tahun. Hal ini dipertegas oleh
Lecky (1960) (dalam Marieta, 2000) bahwa penilaian diri
relatif
bertahan
terhadap
perubahan
karena
adanya
kebutuhan akan keseimbangan psikologis dalam diri.
Remaja putri dengan self esteem yang tinggi mampu
menjaga dirinya untuk tidak merokok, sehingga mereka
akan mempunyai frekuensi merokok yang lebih rendah.
Dan remaja putri dengan self esteem yang rendah akan
26
mudah terpengaruh lingkungan sekitar yang merokok,
sehingga frekuensi merokok mereka akan meningkat.
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu :
ada hubungan negatif yang signifikan antara self esteem
dengan frekuensi merokok pada remaja putri perokok di
UKSW. Makin tinggi tingkat self esteem remaja putri, maka
frekuensi merokoknya akan semakin rendah. Dan semakin
rendah tingkat self esteem remaja, maka frekuensi
merokoknya akan semakin tinggi.
Download