EVALUASI PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH TAHUN 2010 DI KABUPATEN BANDUNG Penelitian Oleh Dr. Drs. Agustinus Widanarto, M.Si. JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2011 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi dan merupakan sarana implementasi kedaulatan rakyat dalam bidang politik, yakni memilih dan menentukan orangorang yang akan menjalankan hak kedaulatan dalam berbagai lembaga politik untuk mengambil suatu keputusan dengan atas nama rakyat. Kualitas dari Pemilu sangat menentukan kualitas lembaga eksekutif yang berujung pada kualitas kebijakan publik, alasannya karena nantinya eksekutif memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk mempengaruhi proses tatanan pemerintahan di daerah yang bersangkutan. Keberhasilan penyelenggaraan Pemilu dapat juga dijadikan suatu ukuran keberhasilan dalam menciptakan dan membangun nuansa demokrasi, sebab Pemilu merupakan salah satu indikator dari suatu negara dapat dikatakan/digolongkan menjadi negara yang demokratis, seperti yang dikatakan Gaffar (2000: 8-9) sebagai berikut: Dalam suatu negara demokrasi, Pemilu dilaksanakan secara teratur, setiap warga negara, yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktivitas pemilihan termasuk didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara. Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung dalam konteks daerah disebut Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung merupakan sarana merupakan partisipasi masyarakat (publik). Dalam hal ini rakyat secara langsung menentukan siapa yang hendak memimpin jalannya tatanan pemerintahan selama lima tahun mendatang. Terpilihnya Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berkualitas merupakan suatu harapan utama terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah yang balk. Pemilukada merupakan momentum untuk dapat melaksanakan suksesi kepemimpinan lokal sebagai wujud implementasi demokrasi yang partisipatif. Melalul Pemilukada, rakyat dapat berpartisipasi langsung dalam menentukan pemimpinnya yang mereka nilai aspiratif, kapabel, kredibel dan akseptabel. Hal ini merupakan lompatan demokrasi yang cukup penting dalam lanskap sosio politik Indonesia, dari yang corak sentralistik di masa Orde Baru menjadi desentralistik di era reformasi. Melalui konsep desentralisasi diharapkan akan tenvujud kesejahteraan masyarakat dan keterlibatan publik dalam proses politik yang sehat. Kepala daerah dalam perspektif organisasi memiliki peran strategic yang menentukan tingkat keberhasilan sebuah organisasi. Pemimpin dalam sebuah organisasi merupakan figur dan alat utama untuk dapat menjalankan roda organisasi ke arah yang lebih balk. Dalam hal ini Pemilukada secara langsung merupakan sarana serta wahana untuk dapat melahirkan dan menciptakan pemimpin yang berkualitas dan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat khususnya khususnya masyarakat lokal. Untuk itu sangatlah penting keterlibatan masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih untuk dapat mengapresiasi dan memberikan dukungan serta menyalurkan aspirasinya dalam pelaksanaan Pemilukada ini, dengan tujuan untuk dapat ikut menentukan dan menciptakan pemimpin yang berkualitas dan dapat menentukan roda pemerintahan yang baik. Pemilukada merupakan proses transformasi politik, maka Pemilukada selain merupakan bagian dari penataan struktur kekuasaan makro agar lebih menjamin fungsinya mekanisme check and balances system di antara lembaga-lembaga politik dari tingkat pusat sampai daerah, masyarakat mengharapkan pula agar pelaksanaan Pemilukada dapat menghasilkan Kepala Daerah yang lebih akuntabel, berkualitas, legitimit, aspiratif dan peka terhadap kepentingan masyarakat. Makna Pemilukada bagi perkembangan tatanan pemerintahan memiliki kapasitas yang tinggi, sehingga politik merupakan suatu proses yang mampu mewujudkan pembagian kekuasaan yang berpihak kepada kebaikan, kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu partisipasi masyarakat sangat mutlak dibutuhkan. Pelaksanaan Pemilukada sangat membutuhkan partisipasi masyarakat yang aktif dan berkualitas, sebab tanpa adanya keterlibatan aktif dari masyarakat sebagai pemilih dalam berbagai tahapan Pemilukada dapat dipastikan kurang berkualitas. Hal ini sesuai dengan bentuk partisipasi politik yang dikemukakan oleh Rush dan Althop (2000: 124) bahwa bentuk partisipasi secara bertingkat dari tertinggi bergerak ke yang terendah sebagai berikut: 1. Menduduki jabatan politik atau adminstratif 2. Mencari jabatan politik atau administratif 3. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik 4. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik 5. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik 6. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik 7. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya 8. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik 9. Voting (pemberian suara). Berdasarkan pendapat tersebut di atas, voting (pemberian suara) merupakan bentuk partisipasi politik yang paling rendah, namun demikian sangat signifikan. Begitu juga dalam proses penyelenggaraan Pemilukada sangat memerlukan partisipasi politik masyarakat yang tinggi dari kalangan masyarakat. Dengan kata lain artinya adalah bahwa masyarakat yang sudah memiliki hak pilih untuk dapat memberikan aspirasinya dalam pelaksanaan Pemilukada dalam bentuk memberikan suara untuk dapat memilih dan menentukan pemimpin di masa mendatang untuk dapat menjalankan roda pemerintahan di daerah yang bersangkutan. Pelaksanaan Pemilukada memiliki peran strategic untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, termasuk Pemilukada di Kabupaten Bandung yang saat ini merupakan yang ke dua kalinya pelaksanaan Pemilukada secara langsung. Pertarna dilaksanakan pada tahun 2005 yang lalu. Artinya adalah bahwa Pemilukada saat ini merupakan evaluasi dari pelaksanaan Pemilukada yang pertama, dimana Pemilukada ini bertujuan agar terbentuk pemerintahan yang lebih legitimit, lebih bertanggung jawab kepada publik, lebih mampu mengedepankan kepentingan umum dari pada kepentingan kelompok dan individu. Hasil dari pelaksanan Pemilukada secara langsung ini dibutuhkan pemimpin yang akan dapat melakukan terobosan baru baik dalam meningkatkan kinerja aparatur birokrasi, merekonstruksi peranan sosial bagi para pelaku gerakan sosial, dapat memperbaiki kontelasi politik yang selama ini memperlambat proses terciptanya tatanan pemerintahan yang baik, efektif dan mampu menciptakan kesejahteraan rakyat. Dengan menyadari betapa pentingnya Pemilukada, maka dalam pelaksanaannya harus melibatkan semua pihak dengan suatu kesadaran yang utuh. Baik buruk penyelenggaraan Pemilukada ditentukan oleh kualitas dan kapabilitas KPU Daerah yang bertindak sebagai pelaksana dari penyelenggaraan pemilu baik penyelenggara teknis, maupun mengatur agar semua pihak yang memenuhi syarat dapat mengajukan sebagai Calon Bupati dan Wakil Bupati serta, penentuan daftar pemilih tetap (DPT). Kualitas partai politik sebagai pengusung calon, partai politik dengan segala dinamikanya tentu mengambil peran dalam perebutan kekuasaan yang ada, sebab partai politik memang ada dan hadir untuk memperebutkan kekuasaan secara. teratur. Mengamati perkembangan partai politik, sampai saat ini masih dapat dikatakan kurang mampu dalam menghadirkan calon-calon pemimpin yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan, justru calon yang dapat dihadirkan itu lebih banyak didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Proses terakhir penyelenggaraan Pemilukada di tangan rakyat bukan di tangan elit, oteh karenanya Pemilu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini rakyatlah yang berdaulat, rakyat yang berhak menentukan siapa yang hendak menjadi pemimpin, bukanlah uang yang menentukan kekuasaan dan bukan pula popularitas yang abstrak yang menentukan kekuasaan akan tetapi rasionalitas publik, kehendak publik, kemandirian publik, kematangan publik dan kesadaran publik yang menentukan dalam Pemilukada. Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul: “Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung”. 1.2. Perumusan Masalah Fokus permasalahan dalam penelitian ini perilaku pemilih belum menunjukkan sebagai pemilih yang cerdas, dewasa, bertanggungjawab dan rasional. Hal ini terihat dari jumlah daftar pemilih tetap yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai angka 49%, pilihan yang dijatuhkan masyarakat bukan berdasarkan pertimbangan yang matang, adanya keterlibatan oknum birokrasi pemerintahan dalam mengarahkan pilihan masyarakat, rendahnya keaktifan dalam proses Pemilukada terutama dalam masa kampanye pada pemilukada putaran pertama. 1.3. Identifikasi Masalah Dalam penelitian ini peneliti merumuskan identifikasi masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung. 2) Hambatan-hambatan pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung. 3) Upaya-upaya pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung. 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan a. Untuk mendeskripsikan perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung. b. Untuk mendeskripsikan hambatan-hambatan pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung. c. Untuk mendeskripsikan upaya-upaya pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung. Manfaat Penelitian a. Dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan bagi stakeholders, penentu kebijakan dalam rangka mendukung suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung di Kabupaten Bandung. b. Sebagai bahan rekomendasi bagi stakeholders Kabupaten Bandung dalam mendukung suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Kabupaten Bandung pada waktu-waktu yang akan datang. 1.5. Kerangka Pemikiran Menjadikan peran Pemilu sebagai alat demokrasi, berarti memposisikan pemilu dalam azasinya sebagai wahana pembentukan representatif government. Berlangsungnya Pemilu sebagai wahana representatif government sebagai metode pemerintahan, telah melibatkan berbagai mekanisme dan prosedur tertentu serta melibatkan berbagai kekuatan komponen bangsa baik pada tatanan suprastruktur politik maupun tatanan infra struktur politik. Masingmasing berproses dalam memilih sebagian dari anggota masyarakat, untuk menduduki berbagai jabatan pemerintahan dalam suatu pemerintahan demokratis. Salah satu syarat terwujudnya pemerintahan yang baik adalah terwujudnya proses demokrasi yang berkualitas yaitu demokrasi yang tidak saja memberi ruang bagi setiap anggota masyarakat secara prosedural melaksanakan hak-haknya, tetapi juga demokrasi yang substantif, yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara yang memenuhi kualitas partisipasi dan penyelenggaraan politik yang tinggi. Gaffar (2007: 7-9) memberikan beberapa hal pokok yang menggambarkan terlaksananya proses politik dan pemerintahan yang demokratis: 1. Akuntabilitas; yaitu setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuh termasuk perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan akan dijalankannya. 2. Rotasi kekuasaan; yaitu dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. 3. Rekruitment politik yang terbuka; orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi jabatan. 4. Pemilihan umum; dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur, dimana setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan hak tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. 5. Menikmati hak-hak dasar yaitu dalam satu negara yang demokratis, setiap warga negara dapat menikmati hak-hak dasar secara bebas, termasuk didalamnya adalah hak-hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk berkumpul dan bebas (freedom of assembly) dan hak untuk menikmati pers yang bebas (freedom of press). Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dipahami bahwa Pemilukada yang langsung, umum bebas, dan rahasia serta yang jujur dan adil itu dalam hal ini pemilih dapat menggunakan hak tersebut sesuai dengan hati nurani merupakan salah satu alat utama proses penyelenggaraan politik yang demokratis. Terlaksananya Pemilukada yang berkualitas merupakan dasar terwujudnya sistem politik yang kuat, karena akan menghasilkan pemegang jabatan publik yang terbaik, bukan sembarang orang. Hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan adanya akurasi partisipasi dan aspirasi masyarakat. Berkaitan dengan penelitian ini yang membahas tentang perilaku pemilih dalam pemilihan Kepala Daerah secara langsung pada tahun 2010 di Kabupaten Bandung, maka ada beberapa konsep dasar yang dikemukan dalam kerangka teori, yaitu partisipasi politik (political participation), dan perilaku memilih (voting behavior). 1.5.1. Partisipasi Politik Keikutisertaan masyarakat dalam Pemilu khususnya dalam Pemilukada merupakan serangkaian kegiatan dalam proses pembuatan keputusan. Pemilukada merupakan kesempatan bagi rakayat untuk memilihi wakil-wakilnya dan memilih pejabat pemerintah serta menentukan apakah yang mereka inginkan untuk dikerjakan oleh pemerintah. Untuk itu, Pemilu berkaitan erat dengan partisipasi politik, karena keikutsertaan rakyat dalam Pemilu termasuk dalam Pemilukada merupakan salah satu bentuk partisipasi rakyat dalam sebuah negara demokratis. Untuk itu anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan politik, misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan ini kebutuhan dan kepentingan mereka akan tersalurkan atau terwakili. Keyakinan akan kebutuhan dan kepentingan tersebut sangat berpengaruh dalam pemilihan umum, khususnya dalam memberikan pilihan pada salah satu kontestan atau partai politik. 1.5.2. Voting Behaviour Perilaku pemilih didasarkan pada dua model atau dua pendekatan, yaitu pertama pendekatan sosiologis dan kedua pendekatan psikologis. Di lingkungan ilmuwan sosial Amerika Serikat, pendekatan pertama disebut sebagai Aliran Columbia (The Columbia School of Electoral Behavior), sementara pendekatan kedua disebut dengan Aliran Michigan (The Michigan Survey Research Center), Afan Gaffar (1992) Pendekatan Sosiologis lebih menekankan peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang, sementara pendekatan psikologis lebih mendasarkan faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku politiknya. Selain itu, ada pula pendekatan lain yaitu pendekatan politik rasional yang lebih melihat bahwa perilaku politik seseorang berdasarkan pada pertimbangan untung-rugi yang didapat oleh orang tersebut. 1.6. Metode Penelitian Penelitian Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung, menggunakan metode deskriptif melalui pendekatan kualitatif. Metode deskriptif dengan mengkombinasikan data kuantitatif dan data kualitatif (dominant less dominant) yang merupakan cara untuk menggambarkan suatu gejala, proses atau suatu kegiatan yang dilakukan serta memusatkan perhatian pada pemecahan masalah yang ada dan bersifat aktual dengan jalan data-data dan informasi dikumpulkan, setelah itu dijelaskan dan kemudian dianalisa untuk memperoleh jawaban. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang mempunyai hak pilih dalam pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung sebanyak 2.126.683 pemilih. Dan ukuran populasi 2.126.683 orang beberapa orang pemilih dijadikan sebagai informan atau lebih tepatnya ada 30 informan, yaitu diambil dari masing-masing seorang tokoh masyarakat di tiap kecamatan. Untuk mendapatkan data yang akurat yang dapat mewakili populasi maka teknik pengambilan sampel menggunakan teknik Purposive sampling. Teknik Pengumpulan Data Proses pengumpulan data mengutamakam perspektif emik, artinya mementingkan pandangan informan yakni bagaimana mereka memandang dan menafsirkan dari pendiriannya. Teknik pengumpulan data yang utama dalam pendekatan kualitatif adalah observasi dan wawancara mendalam. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah 1. Wawancara 2. Observasi terhadap objek penelitian 3. Studi kepustakaan, yakni mempelajari dan menelaah serta menganalisis literatur baik berupa buku-buku, artikel, maupun karya ilmiah yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian, dan dilengkapi dengan data sekunder dari hasil poling yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Bandung. Tahapan Pengumpulan Data Tahapan pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini mengikuti petunjuk Lincoln (1985:235-236) yaitu meliputi tiga tahap sebagai berikut: 1. Tahap Orientasi; pada tahap, ini peneliti sudah memiliki gambaran umum tentang masalah yang diteliti. Pada fase ini peneliti juga melakukan kunjungan, melakukan wawancara kepada beberapa informan, observasi. Informasi yang diperoleh selanjutnya dikaji untuk menemukan hal yang menarik dan bermanfaat yang ada kaitannya dengan permasalahan, yaitu dalam upaya memahami fokus penelitian maka selanjutnya dijadikan paradigma penelitian dan kemudian dijadikan pedoman untuk mengumpulkan data. 2. Tahap Eksplorasi; pada tahap ini pengumpulan data lebih memfokuskan yaitu sesuai dengan paradigma yang telah disusun. Wawancara dan obervasi yang dilakukan sudah mengarah, terstruktur dan sekaligus terlampir, sehingga diperoleh informasi yang lengkap dan mendalam tentang aspek-aspek yang diteliti. Sumber data telah disesuaikan dengan permasalahan. 3. Tahapan Member Check; Semua data yang telah dikumpulkan kemudian dituangkan dalam catatan (field notes). Untuk memperoleh data yang kredibel selain dilakukan melalui trianggulasi, maka perlu dilakukan member check artinya suatu proses penyampaian informasi hasil pengumpulan data kepada sumber data. Jadi data yang diperoleh itu dicek kembali oleh sumber data sehingga data tersebut kebenarannya diakui oleh pemberi data. Teknis Analisis Data Miles dan Huberman (1984:16) memberi petunjuk secara umum tentang langkahlangkah dalam analisis data kualitatif yaitu melalui: 1. Rekap data; Seperti telah dikemukakan bahwa dalam penelitian kualitatif teknik pengumpulan data yang digunakan melalui observasi, wawancara mendalam dan studi dokumentasi. 2. Reduksi data; Semakin lama pengumpulan data berlangsung, maka semakin banyak data yang diperoleh. Data dari berbagai sumber tersebut ada yang sama ada yang berbeda, ada yang penting dan ada yang tidak, ada yang bermakna dan ada yang tidak. Dalam tahap reduksi ini peneliti melakukan pengklarifikasian data, memilih data yang berguna, yang penting dan yang bermakna. Data yang tidak penting dibuang. Dengan reduksi data ini maka basil penelitian menjadi jelas dan tajam. 3. Penyajian Data; Setelah data yang banyak tersebut direduksi, maka supaya data tersebut mudah dipahami baik oleh diri sendiri maupun orang lain, sehingga data tersebut perlu disajikan. Penyajian data dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, misalnya grafik, tabel, dan uraian rinci. Data yang disajikan tersebut sudah melalui tahapan analisis seperti di atas. 4. Verifikasi dan Penyimpulan; setelah data disajikan dalam bentuk uraian rinci maka analisis selanjutnya adalah memferifikasi terhadap data yang telah disajikan tersebut. Dalam memferifikasi ini selanjutnya peneliti dapat memberikan tafsiran, makna dan mencari hubungan antara satu kategori dengan kategori lain. 1.7. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung dan kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam waktu 3 (Tiga) bulan dengan pelaksanaan pada Dulan Juli 2011 s.d. bulan September 2011. Rincian jadual kegiatan sebagai berikut: Tabel 1.1. Jadual Kegiatan Penelitian Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung No. Nama Kegiatan 1. Persiapan - Penjajagan - Penyusunan Proposal - Penyusunan Instrumen Penelitian - Pelatihan Surveyor Pengumpulan data dan Lapangan Penyusunan Laporan Penyelesaian laporan 2. 3. 4. I II Bulan Juli 2011 s.d. September 2011 III IV I II III IV I II X X X X III IV X X X X X X X X X X X X X BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemilihan Umum Merupakan Proses Demokratisasi Salah satu syarat untuk terwujudnya pemerintahan yang baik adalah terwujudnya proses demokrasi yang berkualitas yaitu demokrasi yang tidak saja memberi uang bagi setiap anggota masyarakat secara prosedural melaksanakan hak-haknya tetapi juga demokrasi yang substantif, yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara yang memenuhi kualitas partisipasi dan penyelenggaraan politik yang tinggi. Gaffar (2000:7-9) beberapa hal pokok yang menggambarkan terlaksananya proses politik dan pemerintahan yang demokratis yaitu: 1. Akuntabilitas; setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuh termasuk perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan akan dijalaninya. 2. Rotasi kekuasaan; dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai, jadi tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. 3. Rekruitmen politik yang terbuka; setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi jabatan tersebut. 4. Pemilihan umum, yaitu dalam suatu negara demokrasi, Pemilu dilaksanakan secara teratur, dimana setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan hak tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. 5. Menikmati hak-hak dasar, yaitu dalam suatu negara demokratis, setiap warga negara dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas termasuk didalamnya hak-hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk berkumpul dan kebebasan pers. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami pemilu yang bebas, teratur dan pemilih dapat menggunakan hak tersebut sesuai dengan hati nuraninya merupakan salah satu alat ukur utama proses penyelenggaraan politik yang demokratis. Terlaksana Pemilu yang berkualitas merupakan dasar terwujudnya sistem politik yang kuat, karena akan menghasilkan pemegang jabatan publik yang terbaik bukan sembarang orang. Hasil pemilihan umum kepala daerah yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat dianggap mencerminkan dengan akurasi partisipasi dan aspirasi masyarakat. Di kebanyakan negara demokrasi, penyelenggaraan pemilihan umum merupakan suatu aktivitas politik penting yang sudah berkala, dengan pengalaman penyelenggaraan yang beragam. Di berbagai negara maju, proses Pemilu sudah berlangsung cukup matang, baik pada level penyelenggara, sistem Pemilu yang digunakan maupun pada tingkat perilaku pemilih. Melalui Pemilu, dapat memupuk kekuasaan yang absah dan mencapai tingkat perwakilan politik (political representativeness) tertentu. Menurut Sanit (1985:173) dalam jangka pendek pelaksanaan Pemilu dapat bermanfaat untuk mencapai kekuasaan yang absah dan perwakilan politik, tetapi dalam jangka panjang pemilu bermanfaat bagi pembentukan budaya politik dan pelembagaan politik. Ralmian (2001:190) menambahkan bahwa pada hakikatnya Pemilu merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakinya yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat guna menjalankan kedaulatan rakyat. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa Pemilu bukan saja wahana tenvujudnya proses kompetisi peserta Pemilu memperebutkan kekuasaan yang absah pada jabatan-jabatan publik, melainkan juga membentuk tingkat kematangan budaya politik masyarakat dan lembaga-lembaga politik mempertanggungjawabkan kinerjanya selama menjalankan aktivitas politik selama waktu tertentu, dan rakyat akan memberikan kepercayaan kepada pemimpin, lembaga-lembaga tersebut yang mendapat kepercayaannya. 2.2. Definisi Makna Dan Penyelenggara Pemilukada Pemilukada merupakan salah satu kegiatan politik yang merupakan implementasi hak kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin untuk masa 5 tahun mendatang. Melalui Pemilukada terjadi pergantian pemegang kekuasaan secara teratur, damai dan berkualitas. Menurut Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pemilihan kepala daerah adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat di wilayah propinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemilukada juga merupakan terobosan baru dalam sistem politik Indonesia, khususnya untuk level pemerintahan lokal. Sebelum pemilukada, kepala daerah dipilih melaui sebuah proses politik yang tidak dapat disebut Pemilu, karena tidak melibatkan rakyat pemilih. Menurut Zuhro, dkk (2009:48 mengadakan bahwa pemilukada merupakan momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan lokal sebagai wujud implementasi demokrasi yang partisipatif Pemilukada merupakan pemilihan yang diselenggarakan di daerah otonom yang merupakan perintah dari perubahan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Menururt Irtanto (2008:159) yang dimaksud pemilukada adalah suatu proses politik untuk memilih kepala daerah secara langsung. Terselenggaranya Pemilukada merupakan amanat Pasal 56 ayat (1) UU no. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Berdasarkan landasan hukum di atas, Pemilukada merupakan kegiatan pemilihan umum yang bertujuan memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk daerah otonom tertentu, yang diharapkan mampu mewujudkan sistem politik yang lebih stabil dan berkualitas, karena terjadi proses pendewasaan pemilih, partai politik, penyelenggara dan media massa. Lebih lanjut Sanit (1985: 157) mengatakan: proses pelaksanaan Pemilu berpengaruh langsung kepada pembentukan budaya politik, sebab tingkah laku para kontestan dan penyelenggara Pemilu langsung dihayati oleh anggota masyarakat yang mengetahuinya, baik pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan, maupun melalui informasi. Selanjutnya sistem ini mengatur beberapa hal berikut ini yaitu jurus pencalonan kandidat, jurus pencoblosan suara, besar/bobot daerah pemilihan, lingkup daerah pemilihan dan jurus pengambilan keputusan. Ditambahkan Rahman (2001: 170) bahwa sistem pemilihan, walaupun terlihat hanya suatu mekanise untuk menentukan komposisi pemerintah selama beberapa tahun kemudian, namun sesungguhnya merupakan sarana utama bagi partisipasi politik para individu dalam masyarakat yang luas, komplek dan modern, boleh jadi pemilu merupakan kunci untuk menentukan suatu sistem yang demokratis. Oleh karena itu Pemilukada sebagai salah satu proses demokrasi yang ada dalam sistem politik Indonesia, memiliki signifikansi yang tinggi dalam pembangunan politik Indonesia di masa mendatang serta dalam menciptakan keseimbangan antara politik lokal dan pusat, dapat memperkuat otonomi daerah dalam prinsip negara kesatuan. Untuk dapat melaksanakan amanat UU NO.32 Tahun 2004, pasal 57 menyerahkan pelaksana Pemilukada kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai berikut: (1) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pennohonan agar KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD sebab akan menimbulkan ketidak independenan KPUD dalam penyelenggaraan pemilu. KPUD bertanggungjawab kepada publik dan kepada DPRD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugas. Dengan banyak kasus dalam Pemilukada, dalam hal ini perlu adanya peningkatan kualitas pemilu dengan memperhatikan beberapa hal berikut menurut Irtanto (2008: 161): 1. Perhatikan iklim demokratisasi harus dimulai dari partai politik (terutama) yang memenuhi ketentuan Perundang-undangan dalam proses penjaringan, penyaringan dan penetapan calon kepala daerah. Partai politik harus memiliki sistern dan mekanisme rekruitment calon kepala daerah yang demokratis. 2. Peraturan Perundang-undangan yang dibuat, benar-benar mencenninkan demokratisasi itu sendiri dan tidak anarkhi. 3. Sistem dan mekanisme kerja masing-masing lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan Pilkada tidak tumpang tindih dan kontaminatif 4. Pemerintah harus benar-benar independen dan tidak melakukan interpensi dalam bentuk apa pun. 5. Kedewasaan dan kematangan politik masyarakat senantiasa tumbuh dan berkembang melalui pendidikan politik. Dari hal tersebut di atas, terlihat bahwa keberhasilan penyelenggaraan Pemilukada tidak hanya bergantung pada profesionalisme KPUD, melainkan juga keterlibatan aktif masyarakat dan independensi terhadap pemerintah. Sebagaimana sebuah proses Pemilu, Pemilukada merupakan bagian dari sebuah kebijakan nasional yang diharapkan mampu memperkuat sistem politik Indonesia. Oleh karena itu Pemilukada memiliki manfaat yang penting. Mubarok (dalam Irtanto 2008: 161162) menyebutkan ada beberapa manfaat Pemilukada sebagai berikut: a. Kongkritisasi demokrasi, yaitu proses pilkada akan memenuhi kaidah proses demokratisasi di dua level struktural dan kultural. Di level struktural lebih beradab karena melibatkan partisipasi publik yang makin luas. Kaidah 50 plus satu adalah angka rill dan mutlak merupakan cerminan dan representasi suara rakyat. Di level kultural proses pilkada ditenggarai akan memberi keleluasaan bagi merembesnya nilai-nilai transparansi, independensi dan kejujuran. b. Ada kemungkinan kekerasan terhadap proses dan data terkurangi. c. Terkuranginya mekanisme politik uang. Menambahkan manfaat positif yang telah disampaikan Mubarok, Afiti (dalam Irtanto ,2008: 163) memberikan manfaat lainnya adalah lahirnya pemimpin yang mengenal konteks lokal dan bertanggungjawab kepada rakyat, dengan asumsi bahwa rakyat akan memilih orang yang mereka kenal dengan baik. Sementara itu Huda (dalam Irtanto 2008: 162) menambahkan dua keuntungan positif yaitu Pilkada langsung memberi kesempatan yang luas untuk terpilihnya kepala daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat; stabilitas pemerintahan lebih terjaga berhubung kepala daerah tidak mudah dijatuhkan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, Pemilukada memiliki peranan yang strategic untuk mengimplementasikan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin, sehingga akan lebih bertanggungjawab kepada rakyat dibandingkan kepada partai politiknya. UU No. 32 tahun 2004 pasal 56 ayat (2) mengatakan bahwa pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurangkurangnya 15% dari jumlah kursi di DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Adapun syarat yang harus terpenuhi bagi calon kepala daerah adalah: a. Bertaqwa kepada Tuhan YME b. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan atau sederajat d. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pelaksanaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter f. Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau lebih g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat daerahnya. i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perorangan dan atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara. k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela m. Memiliki NPWP atau bagi yang mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak. n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri; o. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 kali masa jabatan yang sama. p. Tidak sedang sebagai penjabat daerah. 2.3. Definisi Strategi Dan Jenis-Jenis Kampanye Kampanye merupakan sisi lain dari sebuah proses Pemilu, sebab melalui kampanye kandidat dapat lebih memperkenalkan diri, menyatakan diri sebagai kandidat yang siap memegang kekuasaan yang diberikan publik. Kampanye merupakan ajang adu kepantasan, kelayakan, adu strategi, adu kekuatan keuangan dan investasi politik. Melalui kampanyelah seseorang ingin dipilih, seseorang menyatakan gagasan untuk melaksanakan tanggungjawab sebagai pemimpin, menyelesaikan masalah yang ada, menawarkan solusi bagi kehidupan publik yang haws dengan kualitas pemimpin. Menurut Nimmo (1989: 219); bahwa dalam setiap pemilihan terdapat unsur-unsur propoganda (terutama dalam komunikasi organisasi melalui parta, politik, tetapi sifat dasar kampanye politik kontemporer terletak pada paya untuk mempersuasi melalui periklanan massa (komunikasi massa) dan retorik (komunikasi interpersonal) bukan pada propoganda. Untuk berhasil menenangkan pilihan memerlukan penggunaan rencana kampanye dan kampanye total. Inilah yang disebut dengan strategi kampanye. Membangun strategi kampanye yang terpenting perumusan ide kampanye. Slogan menjadi penentu keberhasilan ide. Ide merupakan tema organisasi kampanye dan slogan harus mampu memberikan harapan akan kemajuan. Selain itu ada strategi untuk meningkatkan popularitas kampanye yaitu melakukan kegiatan yang monumental dan sedikit aneh sehingga memberikan kekuatan politik bagi publik. Menurut Nimmo (1989: 220) kandidat tidak hanya cukup dikenal dengan cara yang unik, tetapi memiliki citra kandidat yang sempurna. Rencana kampanye yang lebih detail diturunkan dalam strategi kampanye dilakukan melalui empat segi: 1. Ada formasi awal dari organisasi kampanye, terdiri atas para politikus yang berpengalaman (baik pejabat pemerintah maupwn pernimpin partai), juru kampanye profesional (termasuk segala jenis personal dari manajer, merencanakan pesan iklan, mengumpulkan dana, membuat iklan televisi, menulis pidato dan melatih kandidat penampilan di depan umum, sukarelawan (sejumlah orang yang bersedia melakukan hubungan telepon, menjilak perangko, berkunjung ke rumah-rumah, menaikkan tenda dan sebagainya. 2. Proses dana dikumpulkan dan dipergunakan bagaimana riset untuk mendapat informasi yang diperlukan mengenai masalah yang dikemukakan, pemilih dan opisis dan bagaimana menyampaikan pesan kandidat. 3. Sifat kampanye yang menyangkut komunikasi kampanyelah yang menyebabkan berjalannya konsep kampanye total dengan menggunakan sarana komunikasi total. 4. Menggunakan strategi terapan yang aplikatif sebagai berikut kampanye tatap muka, media elektronik (televisi), telepon, kampanye radio, surat langsung, surat kabar, poster, kampanye, interpersonal, kampanye organisasi. Strategi kampanye yang baik akan mampu menggerakan partisipasi politik pemilih, sebab kampanye juga melakukan ajakan untuk memberikan suara. Partisipasi masyarakat dalam Pemilu dapat berbagai bentuk, seperti ikut serta dalam kampanye, membicarakan persoalan politik menjelang pemilihan suara, menyumbang dan sebagainya. Menurut Rush dan Althof (2000: 124) bahwa bentuk partisipasi politik secara bertingkat dari tertinggi ke yang rendah sebagai berikut: 1. Menduduki jabatan politik atau administratif 2. Mencari jabatan politik atau administratif 3. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik 4. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik 5. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (Quasi political) 6. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik 7. Partisipasi dalam rapat umum, demonstarsi dan sebagainya 8. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik 9. Voting (pemberian suara) Gabriel Almon (dalam Mc Andrew, 2000: 47) memberikan perbedaan partisipasi dalam konvensional dan non konvensional sebagai berikut: Tabel 2.1. Bentuk Kegiatan Partisipasi Politik Konvensional Non – Konvensional Pemberian Suara Pengajuan Petisi Diskusi Politik Berdemokrasi Kegiatan Kompanye Konfronstrasi Membentuk dan bergabung dalam kelompok Mogok kepentingan Tindak kekerasan politik terhadap harta Komunikasi individu dengan pejabat politik benda (perusakan, pengeboman, pembakaran) dan administrasi Tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan) Perang gerilya dan revolusi Berdasarkan kedua pendapat ahli tersebut, keterlibatan pemilih dalam Pemilukada dapat terjadi dalam hal berikut seperti kegiatan kampanye, voting, diskusi politik, mengikuti rapat umum. Dari tahapan proses pemilukada penentuan pilihan merupakan tahapan yang paling krusial dalam menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Tahapan inilah yang paling ditunggu bagi semua pihak yang berkepentingan dalam proses pemilu, baik pengurus partai, kandidat pasangan kepala daerah, bahkan penyelenggara pemilukada juga menanti apakah pemilih mampu menggunakan hak pilihnya secara baik atau sekedar memenuhi hak konstitusionalnya. Strategi Kampanye Kampanye merupakan tahanpan penting dalam setiap Pemilu, karena, melalui kegiatan inilah para kandidat memperkenalkan dirinya terhadap publik, yaitu para pemilih dengan harapan pemilih mau menyerahkan kedaulatan politik kepada kandidat, baik dalam lembaga legislatif maupun eksekutif. Kampanye menurut Nimmo (1989:199) adalah penciptaan, penciptaan ulang dan pengalihan lambang signifikan secara sinambung melalui komunikasi. Kampanye menggabungkan partisipasi aktif yang melakukan kampanye dan pemberia suara. Kampanye merupakan suatu faktor utama dalam membantu para pemberi suara mencapai pilihan dalam pemilhan umum. Strategi kampanye menurut Nimmo (1989:202) merupakan metode/cara untuk memenangkan pemilihan umum melalui berbagai pilihan-pilihan yang ada, berlandaskan pada kemampuan dan dukungan yang dimiliki, serta harapan untuk meraih simpati publik Jenis-jenis Kampanye Strategi kampanye yang baik akan mampu menggerakan partisipasi politik pemilih, sebab kampanye juga melakukan ajakan untuk memberikan suara. Adapun macam kampanye dapat dilihat dari bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan oleh para politisi yang bersaing dalam pemilihan umum. Menurut Nimmo (1989) kampanye massa merupakan pilihan yang banyak dilakukan. Menurut Nimmo (1989:220) dalam kampanye, pemilih menggunakan berbagai media untuk mengumpulkan empat jenis informasi yaitu (a) Apa yang akan dicari dalam kampanye; (b) apa isi yang penting dalam kampanye; (c) posisi kandidat terhadap isu yang penting; (d) informasi tentang kepribadian dan atribut lain dari kandidat. Berdasarkan pendapat tersebut, kampanye merupakan upaya pemilih untuk memahami hal-hal yang mendasar dari sisi kandidat, sebab kualitas kandidat merupakan prasyarat keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan. Kampanye menghadirkan citra kandidat secara lebih baik, belum tentu sesuai dengan apa yang sebenarnya ada. Oleh karena itu kampanye tidak akan dilihat secara gamblang sebab pemilih akan melakukan pembandingan. 2.4. Marketing Politik dalam Memenangkan Pemilu Proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia saat ini salah satunya ditandai adanya multi partai yang sangat jelas dapat menuntut persaingan yang ketat diantara partai-partai politik yang ada. Berbagai cara dilakukan oleh para partai politik untuk dapat meraih massa yang banyak, bisa dengan memperlihatkan dan menyampaikan visi dan misi dari partai politik, menampilkan para pengurus partai politiknya, program kerja dari partai politik dan masih banyak hal lain untuk dapat menumbuh-kembangkan partai politik tersebut. Namun realita yang ada tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan itu sangat ketat bahkan tanpa, disadari dapat bersaing dalam merubah posisi partai politik yang satu dengan partai politik yang lainnya. Secara umum yang menjadikan partai politik menarik perhatian masyarakat untuk dipilih atau didukung adalah Kelembagaan partai politik menurut Netherlands Institute for Multiparty Democracy (dalam Sparinga 2006:12-15), adalah: 1. Ketangguhan Organisasi: Partai politik berkepentingan meraih pemilih dan kekuasaan politik. Hal ini hanya dapat dicapai secara memuaskan melalui penyebaran sumber-daya partai secara efektif, pada tingkat lokal, regional dan nasional. Ini berarti, kita berkepentingan untuk mengetahui dan mampu menggunakan kemampuan material maupun sumber-daya manusia dan financial yang dimiliki partai, termasuk keterampilan dan orang-orang yang selanjutnya akan mengelola itu semua. Untuk mencapai ketangguahan organisasi tersebut maka diperlukan Perencanaan tahunan kegiatan partai; Desentralisasi sumberdaya, Transparansi dalam menangani sumber-daya, Akuntabilitas, Tata-hubungan dan prosedur seleksi yang didasarkan pada prestasi dan solidaritas. 2. Demokrasi Internal Partai: bahwa partai yang memiliki aturan dan prosedur yang bersifat impersonal (tidak tergantung pada orang) untuk menghindari terjadinya kontrol sewenang-wenang dalam pemilihan internal (misalnya dalam penyusunan daftar calon legislatif) serta berfungsinya partai di bawah kendali pimpinan partai atau klik tertentu. 3. Identitas Politik, partai politik yang serius harus memiliki identitas atau jati diri ideologic, bahkan identitas itu juga dibutuhkan untuk tujuan-tujuan organisasi, pemilihan umum, dan pemerintah. 4. Keutuhan Internal: perbedaan pendapat itu disampaikan dan diselesaikan dalam politik intra-partai. 5. Kapasitas Berkampanye. Dukungan suara bagi partai tidaklah datang dengan sendirinya. Dukungan suara harus dicari melalui serangkaian langkah dan diraih dengan menjamin terpenuhinya syarat-syarat penting tertentu. Sementara itu yang seharusnya dilaksanakan oleh partai yang mengalami agar dapat memenangkan pemilihan umum seperti pada model Nowak dan Warneryd (dalam Venus, 2004:22-24) ini terdapat beberapa elemen kampanye yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut: 1. Intended effect (efek yang diharapkan). Efek yang hendak dicapai harus dirumuskan dengan jelas. Dengan demikian, penentuan elemen-elemen lainnya akan lebih mudah dilakukan. Kesalahan umum yang sering terjadi adalah terlalu ‘mengagung-agungkan’ potensi efek kampanye, sehingga efek yang ingin dicapai menjadi tidak jelas dan tegas. 2. Competiting communication (Persaingan Komunikasi). Agar suatu kampanye menjadi efektif, maka perlu diperhitungkan potensi gangguan dari kampanye yang bertolak belakang (counter campaign). 3. Communication object (Objek komunikasi). Objek kampanye biasanya dipusatkan pada satu hal saja, karena untuk objek yang berbeda menghendaki metode komunikasi yang berbeda. Ketika objek kampanye telah ditentukan, pelaku kampanye akan dihadapkan lagi pada pilihan apa yang akan ditonjolkan atau ditekankan pada objek tersebut. 4. Target population & receiving group (populasi target dan kelompok penerima). Kelompok penerima adalah bagian dari populasi target. Agar penyebaran pesan lebih mudah dilakukan maka penyebaran pesan lebih baik ditunjukan pada opinion leader (pemuka pendapat) dari populasi target. Kelompok penerima dan populasi target dapat diklasifikasikan menurut sulit atau mudahnya mereka dijangkau oleh pesan kampanye. Mereka adalah bagian dari kelompok yang sulit dijangkau. 5. The channel (saluran). Saluran yang digunakan dapat bermacarn-macam tergantung karakteristik kelompok penerima dan jenis pesan kampanye. Media dapat menjangkau hampir seluruh kelompok, namun bila tujuannya adalah mempengaruhi perilaku maka akan lebih efektif bila dilakukan melalui saluran antar pribadi. 6. The message (pesan). Pesan dapat dibentuk sesuai dengan karakteristik kelompok yang menerimanya. Pesan juga dapat dibagi kedalam tiga fungsi yakni: menumbuhkan kesadaran, mempengaruhi, serta memperteguh dan meyakinkan penerima pesan bahwa pilihan atau tindakan mereka adalah benar. 7. The communicator/sender (komunikator/pengirim pesan). Komunikator dapat dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya seorang ahli atau seorang yang dipercaya khalayak, atau malah seseorang yang memiliki kedua sifat tersebut. Pendeknya komunikator harus memiliki kredibilitas di mata penerima pesannya. 8. The obtained effect (efek yang dicapai). Efek kampanye meliputi efek kognitif (perhatian, peningkatan pengetahuan dan kesadaran), afektif (berhubungan dengan perasaan, mood dan sikap), dan konatif (keputusan bertindak dan penerapan). Unsur-unsur di atas merupakan unsur dasar yang harus dimiliki oleh partai politik, untuk mematangkan/menguatkan/mengalihkan perhatian pemilih terhadap suatu partai selain proses marketing politik yang dilakukan oleh partai tersebut. Sedangkan menurut Baines et. Al, Dalam (Nursal, 2004:49-50) proses dan orientasi political marketing sangat bebeda dengan Business Marketing yang mana political marketing adalah cara-cara yang dilakukan organisasi politik dengan enam hal berikut: 1. Mengkomunikasikan pesan-pesannya, ditargetkan atau tidak ditargetkan, langsung atau tidak langsung, kepada para pendukungnya dan pada para pemilih lainnya. 2. Mengembangkan kredibilitas dan kepercayaan para pendukung, para pemilih lainnya dan sumber-sumber eksternal agar mereka memberi dukungan finansial dan untuk mengembangkan dan menjaga struktur manajemen di tingkat lokal maupun nasional. 3. Berinteraksi dan merespon dengan para pendukung, influencers, para legislator, para kompetitior, dan masyarakat umum dalam pengembangan dan pengadaptasian kebijakankebijakan dan strategi. 4. Menyampaikan kepada semua pihak berkepentingan atau stake holders, melalui berbagai media, tentang informasi, saran dan kepemimpinan yang diharapkan atau dibutuhkan dalam negara demokrasi. 5. Menyediakan pelatihan, sumber daya informasi dan materi-materi kampanye untuk kandidat, para agen pemasar dan atau para aktivis partai. 6. Berusaha mempengaruhi dan mendorong para pemilih, media-media dan influencers penting lainnya untuk mendukung partai atau kandidat yang diajukan organisasi dan/atau supaya jangan mendukung para pesaing. Sedangkan Menurut Niffenneger dan Butler & Collins (dalam Firmanzah, 2008:199207) menjelaskan karakteristik marketing politik dengan lebih rinci. Karakteristik dan content marketing politik berbeda dengan marketing komersial. Meskipun proses marketing politik masih mengikuti proses yang terdapat dalam marketing komersial, namun hal-hal yang dibahas di tiap tahapan proses sangat berbeda antara marketing komersial dengan marketing politik. Proses marketing politik menurut Niffenneger (dalam. Firmanzah 2008:199) terlihat seperti di bawah ini: Tabel 2.2. Proses Marketing Politik Program Marketing - Platform Partai - Masa lalu - Karakteristik Personal Promosi (Promotion) - Advertising - Publikasi, Evant Debat Harga (Price) - Biaya Ekonomi - Biaya Psikologis - Efek Image Nasional Tempat (Place) - Program Marketing - Personal - Program Voluneer Sumber: Data Olahan dari Peneliti Produk (Product) Produk (Product). Niffengger (dalam Firmanzah, 2008:200) membagi produk politik dalam tiga kategori, (1) Party Platform (Platform Partai), (2) Past Record (Catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lampau), dan (3) Personal Characteristic (Ciri Pribadi). Produk utama dari sebuah institusi politik adalah platform partai yang berisikan konsep, identitas ideology, dan program kerja sebuah institusi politik. 1. Promosi (Promotion). Promosi juga bisa dilakukan oleh institusi politik melalui debat di TV Niffenegger dan Schrott, (dalam Firmannzah, 2008:204). Dalam acara macam ini, publik berkesempatan melihat pertarungan program kerja yang ditawarkan oleh masingmasing institusi politik. Selain itu, promosi juga bisa dilakukan melalui pengerahan masa dalam jumlah besar untuk menghadiri sebuah ‘Tabligh-Akbar’ atau ‘Temu Kader’. Selain ingin tetap menjaga hubungan antara institusi politik dengan massanya, kesempatan semacam ini akan diliput oleh media massa sehingga secara tidak langsung bisa dilihat sebagai media promosi. Lambang, symbol, dan warna bendera partai yang disebar melalui pamplet, umbul-umbul dan poster semasa periode kampanye juga merupakan media promosi institusi politik. Promosi dalam hal ini juga terkait dengan publikasi partai politik. 2. Harga (Price). Harga dalam marketing politik mencakup banyak hal, mulai ekonomi, psikologis sampai ke citra nasional Niffenegger (dalam Firmanzah, 2008:205). Harga ekonomi meliputi semua biaya yang dikeluarkan institusi politik selama periode kamanye. Dari biaya Man, publikasi, biaya 'rapat akbar' sampai ke biaya administrasi pengorganisasian tim kampanye. Harga psikologis mengacu pada harga persepsi psikologis, misalnya apakah pemilih merasa nyaman dengan latar belakang, etnis, agama, pendidikan dan lain-lain - seorang kandidat presiden. Harga image nasional berkaitan dengan apakah pemilih merasa kandidat presiden tersebut bisa memberikan citra positif suatu bangsa negara dan bisa menjadi kebanggaan nasional atau tidak. 3. Tempat (Place). Tempat (place) berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah institusi politik dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih atau calon pemilih, Niffenegger (dalam Firmanzah, 2008:207). Kampanye politik memang harus bisa menyentuh segenap lapisan masyarakat. Hal ini bisa dicapai dengan melakukan segmentasi publik. Niffenegger; Smith & Hirst, (dalam Firmanzah, 2008:207). Sebuah institusi politik harus bisa mengidentifikasi dan memetakan struktur serta karakteristik masyarakat. Pemetaan ini bisa dilakukan secara geografis. Identifikasi dilakukan dengan melihat konsentrasi penduduk di suatu wilayah, penyebarannya dan kondisi fisik geografisnya. Berdasarkan konsep teori tersebut di atas bahwa marketing politik ini dapat membantu menumbuhkembangkan partai politik untuk mendapat posisi di hati rakyat dan bahkan dapat dijadikan stategi di dalam kampanye untuk dapat memenangkan pemilu. 2.5. Pemilih Dan Perilaku Pemilih Dalam Pemilukada Pemilih merupakan pihak yang paling krusial dalam setiap pemilihan umum, termasuk dalam Pemilukada. Pemilihlah yang akan menyerahkan kekuasaan melalui proses tersebut kepada seseorang untuk dijalankan sebagaimana mestinya. Menurut pasal 68 Undang-undang No.32 Tahun 2004 yang dimaksud Pemilih adalah Warga Negara RI yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah menikah/kawin mempunyai hak memilih. Pemilih dapat menggunakan hak pilihnya apabila terdaftar sebagai pemilih, dan tidak mengalami gangguan kejiwaan atau tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Saat ini pemilih memiliki perilaku politik yang berbeda dengan era sebelumnya. Perubahan keadaan lingkungan sosial ekonomi serta teknologi memberi pengaruh bagi terbentuknya perilaku pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Di era orde lama pemilih sangat terikat pada politik aliran, sedangkan pada zaman orde baru pemilih sangat tergantung pada tekanan yang diberikan oleh pemerintah. Firmansyah (2008:85) hubungan antara kontestan dengan pemilih adalah hubungan yang tidak stabil, karena semakin kritisnya masyarakat dan semakin luntur ikatan tradisional atau primordial, saat ini para pemilih kerap kali memindahkan dukungan mereka dari satu kontestan ke kontestan lain. Selain itu karakteristik pemilih Indonesia saat ini mengalami perubahan dilihat dari keterikatan ideologic. Pemilih lebih memperhatikan hubungan kepentingan daripada hubungan ideologic bahkan keagamaan. Pemilih adalah semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mempengaruhi dan meyakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Sebuah pemilihan merupakan suatu kegiatan yang melibatkan orang atau lembaga tertentu berkompetisi memperebutkan jabatan publik tertentu. Sebuah pemilihan adalah sebuah kompetisi untuk jabatan atas ekspresi formal dari sebuah populasi, untuk mengambil keputusan bersama bagi kandidat yang memenangkan pemilihan. Pemilih memeiliki beberapa karakteristik, seperti konstituen partai tertentu, massa mengambang dan non partisan. Pemilih bisa saja terikat secara sangat dekat dengan partai kandidat, partai tertentu bisa juga terikat dengan seseorang berupa tim sukses tanpa memandang partai politik, pemilih juga bisa terikat karena memiliki profesi yang sama, pemilih juga memandang karena permintaan atasan, pemilih juga bisa karena jasa, kedekatan kelahiran, kesamaan visi dan popularitas. Pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen partai politik tertentu. Terdapat kelompok masyarakat yang memang non partisan, dimana ideologi dan tujuan politiknya tidak diikatkan kepada suatu partai tertentu. Ada beberapa alasan pemilih menggunakan hak pilihnya. Alasan tersebut bisa religi, etnik, kesamaan visi. Firmansyah mengatakan bahwa: “keputusan memilih selama pemilihan umum dapat dianalogikan sebagai perilaku pembelian (purchasing) dalam dunia bisnis dan komersial. Dalam dunia bisnis dan komersial keputusan pemebelian yang salah akan berdampak langsung kepada subyek dengan kehilangan (utility loss) barang atau jasa yang dibelinya”. Perilaku pemilih dari perspektif ekonomi yaitu memilih lebih merupakan konsumsi ketimbang keputusan investasi. Insentif ekonomi dilihat sebagai keuntungan secara ekonomis ketika pemilih memberikan dukungan kepada suatu kontestan politik. Dalam perspektif individual keputusan memilih akan dilihat sebagai perilaku konsumsi dan pembelanjaan yang dengan cepat hilang dan habis. Dalam realitas politik pemilih juga yang tidak berpikir strategic pemilih menggunakan hak pilihnya karena ingin melaksanakan hak konstitusinya, tanpa memikirkan secara jauh efek yang ditimbulkan dari pilihan tersebut. Cukup banyak masyarakat yang menggunakan hak pilihnya sebagai kebanggaan psikologis, seperti menunaikan kewajiban sebagai warga negara, menegaskan identitas kelompok dan menunaikan loyalitas terhadap partai. Kondisi politik nasional yang hingar bingar telah memberikan andil terhadap perilaku pemilih. Ketika proses pemilukada melahirkan banyak konflik, ketika pemimpin baru tidak mampu memberikan harapan perbaikan pemerintahan, ketika janji politik yang disampaikan pada saat kampanye tidak ditepati oleh banyak perilaku politik maka pemilih menjadi tidak perlu memilih atau memandang memilih sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat. Atas dasar itu pemilih seringkali kesulitan untuk menentukan pilihan yang tepat, rasional, dan mampu memberikan efek positif bagi lahirnya pejabat publik yang kuat dan pro rakyat. Infonnasi yang berlebihan juga memberikan kesulitan untuk menentukan pilihan karena adanya kesulitas untuk menata infonnasi. Pemilih mendapat informasi politik dalam jumlah besar dan beragam seringkali berasal dari berbagai macam sumber yang sangat mungkin bersifat kontradiktif. Alasan lain yang memberikan andil terhadap jatuhnya pilihan-pilihan pemilih adalah alasan loyalitas dan ideologi kepada partai. Brennan dan Lomasky (dalam Firmansyah) menyatakan bahwa: keputusan memilih selama Pemilu adalah perilaku ekspresif. Perilaku ini tidak jauh berbeda dengan perilaku suporter yang memberikan dukungannya pada sebuah tim sepak bola. Perilaku pemilih sangat dipengaruhi oleh loyalitas dan ideologi. Keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan tedadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada partai politik jagoannya. Loyalitas kepada partai politik tertentu masih menjadi alasan bagi pemilih untuk memilih partai tertentu, cukup banyak masyarakat yang menggunakan hak pilihnya yang menunjukkan loyalitas kepada partai politik. Perilaku pemilih dipengaruhi oleh sikap politik yang dibangun melalui proses sosialisasi politik yang panjang. Proses sosialisasi itu kemudian membentuk ikatan yang kuat dengan partai politik atau organisasi kemasyarakatan lainnya. Ikatan seperti inilah yang disebut identifikasi partai. Dengan teori identifikasi partai seolah-olah semua pemilih relatif mempunyai pilihan yang tetap. Simbol kelompok dan ikatan kesejarahan, dengan proses tertentu dapat melekat pada simbol partai, sehingga terciptalah identifikasi partai. Latar belakang sosial budaya juga dapat dianggap sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih. Karakteristik dan pengelompokan sosial merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih. Karakteristik sosial dan pengelompokan sosial, usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan dalam kelompok formal dan informal dan lainnya memberi pengaruh signifikan terhadap pembentukan perilaku pemilih. Pemilih yang cerdas, rasional, matang dan mantap yang diharapkan dalam Pemilukada Kabupaten Cianjur 2011 adalah pemilih yang mampu menggunakan hak pilihnya secara rasional, yaitu memilih atas dasar pertimbangan yang sesuai dengan kebutuhan, nilai dan harapan pemilih. Nursal (2004:6) mengatakan bahwa pemilih melakukan penilaian terhadap, tawaran partai (kandidat dalam kampanye). Pemilih itu memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan mendapat informasi yang cukup. Pilihan juga atas dasar kepentingan umum bukan kepentingan pribadi. Seiring dengan hal tersebut alasan pemilih yang penting yang dapat dikategorikan pemilih rasional adalah isu dan kebijakan politik, pemilih memilih atas dasar kebijakan atau program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika suatu saat menang. Pemilih emosional juga merupakan fenomena pemilu diberbagai negara berkembang, bahkan di negara maju. Pemilih emosional menempatkan faktor-faktor emosi sebagai penentu arahan pilihannya. Seperti sifat yang melekat pada pribadi kandidat, ketokohan dan agama. Pemilih memilih karena beberapa alasan, yang diantaranya isu-isu dan kebijakan politik, representasi agama atau keyakinan, representasi kelas sosial dan sikap, loyal kepada tokoh tertentu. Pemilih memeberikan suaranya dengan berbagai petimbangan, kondisis psikologis dan kondisi objektif ada yang sangat rasional, ada yang tidak peduli, ada juga yang pragmatic, ada juga yang ikut-ikutan, ada juga karena ketakutan akan dinyatakan golput (golongan putih). Dan Nimmo (1989:187-197) mengklasifikasikan pemilih sebagai berikut: 1. Pemberi suara yang rasional; pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara dengan ciri sebagai berikut: (a) Selalu dapat mengambil putusan bila dihadapkan kepada alternatif, (b) Memilah alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif lain, (c) menyususn alternatif dengan cara transit; Jika A lebih disukai daripada B dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C, (d) selalu memilih alternatif yang peringkat preferensinya paling tinggi, (e). Selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan kepada alternatif yang sama. 2. Pemberi suara yang reaktif, pemberi suara yang bereaksi terhadap pemilihan umum berdasarkan faktor-faktor sosial dan demografi jangka panjang, yakni pemberian suara lagi-lagi merupakan aksi diri. Pengaruh sosial yang paling penting adalah ikatan emosional kepada partai politik. 3. Pemberi suara yang responsif; memiliki karakter sebagai pemberi suara yang impermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa politik, dan pengaruh yang berubah-ubah terhadap kapasitas kandidat; pemilih respon dengan masalahmasalah pokok dan relevan tentang kebijakan umum, tentang prestasi pemerintrah dan kepribadian ekskutif variasi dalam rangsangan yang diberikan oleh kepemimpinan politik, partai dan kandidat sangat penting dalam pandangan pemberi suara karena tanggapan rakyat akan sangat dikondisikan oleh rangsangan ini. 4. Pemberi suara yang aktif, pemberi suara yang berperilaku sebagai ia membuat suatu objek dari apa yang ia lihatnya, memberinya makna dan menggunakan makna itu sebagai dasar untuk mengarahkan tindakannya. Tindakannya merupakan hasil indikasi yang dibuatnya, bukan sekedar memberi respon saja. Dengan demikian berdasarkan hal tersebut perilaku pemilih dapat bersifat rasional, reaktif, responsif dan aktif. Perilaku pemilih merupakan salah satu bentuk dari perilaku politik anggota masyarakat. Aktivitas politik baik yang bersifat sederhana mauptm yang hebat merupakan bentuk nyata dari sikap dan kognisis yang dimiliki oleh seseorang. Secara bebas perilaku politik menurut Rahman (2001:50) dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku politik para aktor politik dan warga negara yang dalam manifestasi kongkritnya telah saling memiliki hubungan dengan kultur politik. Lebih dalam Gabriel Almond mengatakan bahwa: Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga-lembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan pengakuan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik yang menarik dikaji adalah perilaku pemilih artina perilaku orang yang memilih hak pilih dalam setiap pemilihan umum. Pemilih sebagai pihak yang paling menentukan kualitas penyelenggaraan pemilu, kualitas kepala daerah dan kualitas demokrasi memiliki berbagai kecenderungan yang dimunculkan oleh hal yang bersifat psikologis, ekonomis, informatif dan relasi lainnya. Kematangan pemilih akan mempengaruhi tingkat perilaku pemilih artinya adalah hal-hal yang berkaitan dengan potensi internal seperti pendidikan, kualitas dan kuantitas informasi, interaksi dengan perilaku politik dan kemampuan memilih dari berbagai alternatif yang ada. Definisi Perilaku Pemilih Sebelum pengertian perilaku pemilih terlebih dahulu dijelaskan pengertian pemilih, perilaku dan perilaku pemilih. Pemilih menurut firmansya (2008:87) adalah sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendudkung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan bersangkutan. Perilaku merupakan ekspresi kognisi dan sikap manusia terhadap sesuatu. Rahman (2001:51) mengatakan bahwa: perilaku warga negara yang ikut serta dalam pemilu merupakan bentuk sikap warga terhadap pemerintah merupakan perilaku politik. Perilaku pemilih menurut Surbekti (1992:145) adalah keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Melwit (dalam Nursal 2004:65) mendefinisikan: perilaku pemilih merupakan pengambilan keputusan cepat dan bahwa pengambilan keputusan itu tergantung pada situasi sosial politik tertentu yang tidak berbeda dengan pengambilan keputusan lainnya. Berdasarkan kepada beberapa definisi yang disampaikan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa definisi perilaku pemilih adalah bentuk dari aktivitas warga negara yang berhak menggunakan hak pilih dalam suatu kegiatan pemilihan umum sebagai ekspresi pernahaman tertentu tentang proses pemilihan dan calon yang terlibat. Perilaku pemilih di Indonesia dapat dirumuskan dalam sejumlah postulat hukum, setidaknya ada tujuh postulat hukum perilaku pemilih di Indonesia. Hukum-hukum perilaku pemilih di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Warna aliran dari sebuah partai politik mempengaruhi perilaku pemilih. Aliran politik di Indonesia untuk saat ini dapat dipilah dalam tiga kategori aliran yaitu sekuler, moderat dan agama. Perilaku pemilih akan ditentukan oleh persepsi diri mereka dalam klaster aliran tersebut dan bagaimana mereka mempersepsikan ideologi partai politik yang ada. Apabila pemilih mempersepsikan dirinya dalam klaster aliran sekuler maka pilihan politiknya akan iatuh pada partai yang berada pada klaster sekuler dan sebagainya. Pemilih yang berada dalam suatu klaster aliran tertentu sangat kecil kemungkinannya untuk memilih partai di luar klaster dimana dia berada. 2. Partai dengan spektrum ideologi ekstrim tidak akan mendapatkan dukungan pemilih dalam jumlah yang signifikan. Secara linier spektrum ideologi berada dalam kutub fundamentalis sekuler dan fundamentalis agama, mereka yang berada dalam dua kutub ekstrim tersebut tidak akan mendapatkan dukungan dari pemilih. Pemilih dari dua kutub ekstrim tersebut adalah minoritas partai yang mendeklarasikan dirinya dalam posisi ini akan terlikuidasi dengan sendirimya. 3. Partai dengan spektrum ideologi tengah atau moderat mendapatkan dukungan yang besar dari pemilih. Hukum ke tiga ini merupakan anti tesis hukum ke dua dari perilaku pemilih di Indonesia. Partai-partai dengan ideologi moderat memiliki modal dasar untuk mendapatkan dukungan besar dari pemilih. Untuk mengaktualkan potensi itu partai-partai tengah/moderat hanya perlu memoles organisasinya untuk dapat dikenal publik secara luas. 4. Sirkulasi suara pemilih hanya berputar dalam lingkup spektrum ideologi yang sama. Kalau terjadi suara yang berpindan (swing voter) maka perpindahan suara pemilih tidak akan melintasi klaster ideologi yang ada. Peningkatan perolehan suara sebuah partai hanya akan mengurangi perolehan suara partai lain dalam klaster yang sama. Dengan kata lain, naik turun perolehana suara partai adalah proses menambah dan mengurangi perolehan suara partai dalam klaster yang sama. Kanibalisme terjadi diantara partai-partai dalam klaster ideologi yang sama. Kanibalisme tidak terjadi melintasi klaster-klaster ideologi. 5. Perilaku pemilih yang melintas batas Muster ideologi dapat terjadi pada suara pemilih protes (protest voter). Pemilih protes merupakan bentuk ekspresi politik dalam situasi yang tidak normal.Pemilih protes ini muncul diantaranya akibat dari konflik internal partai maupun perlakuan tidak adil penguasa terhadap sebuah partai politik tertentu. Perilaku pemilih menyebrangi lintas batas klaster ideologi sebagai pelampiasan atas situasi tersebut. 6. Kekokohan partai mampu mendonhkrak peroehan suara partai. Ketokohan partai adalah magnet partai. Perilaku pemilih dapat berubah terkait dengan eksistensi pemimpin dan kepemimpinan partai. Apabila di dalam partai terdapat tokoh yang berwibawa dan disegani maka pemilih akan cenderung memilih partai dengan ketokohan partai yang jelas. Apabila partai politik tidak memiliki tokoh sentral maka daya magnetik partai akan berkurang. 7. Penistaan terhadap seorang tokoh atau partai akan melahirkan simpati pemilih untuk memberikan suara kepada tokoh atau partai tersebut. Partaipartai atau tokoh yang dinistakan oleh lawan politik akan mendapatkan simpati pemilih. Sebaliknya partai atau tokoh yang agresif atau menistakan lawan politiknya atau tidak santun dengan lawan politiknya cenderung akan dijauhi pemilih. Berdasarkan tujuh postulat tersebut, dapat dinyatakan bahwa perilaku pemilih dapat berbentuk beragam sesuai dengan sikap politik yang dimiliki oleh masing-masing individu. Ke tujugh tersebut dapat didasarkan pada keterikatan ideologi, ketokohan, modest. Belakangan ini perilaku pemilih lebih banyak dipengaruhi oeleh pandangan pragmatic dari pemilih. Perilaku pemilih didasarkan pada dua model atau dua pendekatan, yaitu pertama pendekatan sosiologis dan kedua pendekatan psikologis. Di lingkungan ilmuwan social Amerika Serikat, pendekatan pertama disebut sebagai Aliran Columbia (The Columbia School of Electoral Behavior), sementara pendekatan kedua disebut dengan Aliran Michigan (The Michigan Survey Research Center). Gaffar (1992) Pendekatan Sosiologis lebih menekankan peranan factor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang, sementara pendekatan psikologis lebih mendasarkan factor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku politiknya. Selain itu, ada pula pendekatan lain yaitu pendekatan politik rasional yang lebih melihat bahwa perilaku politik seseorang berdasarkan pada pertimbangan untung-rugi yang didapat oleh orang tersebut. a. Pendekatan Sosiologis Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial seperti umur (tua-muda), jenis kelamin (pria-wanita), agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pernahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal, seperti keanggotaan seseorang dalam pengelompoka organisasi keagamaan, organisasi profesi, kelompok okupasi dan sebagainya, maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik pemilih, karena kelompok-kelompok ini mempunyai peranan yang besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Dean Jaros (1974), ketika mencoba menghubungkan antara keanggotaan dalam suatu kelompok dengan perilaku politik seseorang menyederhanakan pengelompokan sosial itu ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok primer, kelompok sekunder dan kelompok kategori. Gerald Pomper (1975), memperinci pengaruh pengelompok sosial dalam kajian voting behavior ke dalam dua variable, yaitu variable predisposisi sosial ekonomi pemilih. Menurut Pomper, predisposisi sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku pemilih. Preferensi-preferensi politik keluarga, apakah preferensi politik ayah atau ibu, akan berpengaruh pada preferensi politik anak. Predisposisi sosial-ekonomi ini bisa berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan sebagainya. Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih tampak pada penelitian Lipset. Di beberapa negara dimana partai tidak mempunyai batas yang jelas dengan agama, kelompok minoritas di bidang ekonomi, politik dan diskriman-diskriman tertentu, cenderung untuk memilih partai yang berfaham liberal atau partai yang berhaluan kiri. Sementara kelompok mayoritas cenderung untuk memberikan suaranya pada partai konservatif atau partai sayap kanan. Jenis kelamin juga merupakan variabel sosiologis yang dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih, meskipun hubungan ini tidak selalu konsisten. Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih. Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik. Perbedaan dalam struktur sosial, yang paling tinggi tingkat pengaruhnya terhadap perilaku politik adalah faktor kelas (status ekonominya), terutama di negara-negara industri. Hal yang sama pernah dikemukakan oleh Milbrath bahwa lingkungan kelas menengah-bawah cenderung menghasilkan status-changer (kaum liberal), sementara lingkungan kelas menengah-atas cenderung menghasilkan status defender (kaum konservatif). b. Pendekatan Psikologis Munculnya pendekatan psikologis merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut pendekatan psikologis, menentukan pilihan karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi. Sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Fungsi sikap menurut Greenstein ada tiga. Pertaina, sikap merupakan fungsi kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Artinya, seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutannya. Ketiga, sikap merupakan fungsi ekstemalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang merupakan upayan untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berujud mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) dan ekstemalisasi diri, seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan identifikasi. Sikap terbentuk melalui proses yang panjang, dari mulai kecil sampai dewasa melalui apa yang disebut sebagai proses sosialisasi. Melalui proses sosialisasi ini kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik, yang berupa simpati terhadap partai politik. Ikatan pskologis ini yang kemudian dikenal sebagai identifikasi partai. Konsep identifikasi partai dijadikan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih oleh penganut pendekatan psikologis. c. Pendekatan Politis Rasional Perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika berada dibilik suara, tetapi jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural, afillasi-afiliasi okupasi atau identifikasi partai melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup merupakan variabel-variabel yang secara sendiri-sendiri atau komplementer mempengaruhi perilaku politik seseorang. Keberadaan dan ruang gerak pemilih seolah-olah hanya ditentukan oleh posisi individu dalam lapisan sosialnya. Penjelasan-penjelasan perilaku pemilih tidak harus permanen seperti karakeristik sosiologis atau identifikasi partai tetapi berubah-ubah sesuai waktu dan peristiwa-peristiwa politik tertentu, terutama peristiwa-peristiwa dramatik yang menyangkut persoalan mendasar. Dengan begitu, isu-isu politik menjadi pertimbangan yang panting. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang dicalonkan. Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbanganpertimbangan rasional. Perilaku pemilih berdasarkan pertimbangan rasional tidak hanya berupa memilih alternatif yang paling menguntungkan (maximum gained) atau mendatangkan kerugian yang paling sedikit; tetapi juga dalam arti memilih alternatif yang menimbulkan resiko yang kecil (least risk), yang penting mendahulukan selamat. Dengan begitu, diasumsikan bahwa para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang diajukan maupun calon (kandidat) yang ditampilkan. Penilaian rasional terhadap kandidat ini bisa didasarkan pada jabatan, informasi, pribadi yang populer karena prestasi di berbagai bidang dan semacamnya. Melwit dan kawan-kawan menyebut model ini sebagai “Consumer Model” of Party Choice yaitu bahwa perilaku pemilih merupakan pengambilan keputusan yang berifat instan, tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusankeputusan lain. Studi tentang perilaku memilih juga dikembangkan oleh Dennis Kavanagh, yang memberikan lima pendekatan untuk melihat dan menjelaskan perilaku memilih, melihat kegiatan memilih, yaitu: Pertama, pendekatan struktural; yang melihat kegiatan memilih sebagai produk dart konteks struktur yang lebih lugs, seperti struktur sosial, sistem kepartaian, sistem pemilihan umum dan program-program yang ditawarkan oleh partai politik kepada warga negara. Dalam pendekatan ini diprediksikan bahwa perilaku seseorang dalam menetukan pilihan politiknya dipengaruhi oleh struktur sosial seperti kelas, agama, bahasa, letak geografis dan semacamnya. Kedua, pendekatan sosiologis, yang hampir mirip dengan pendekatan sturktural, hanya saja pendekatan ini lebih menekankan kegiatan memilih dalam kaitannya dengan konteks sosial. Dimana pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (Kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas sosial dan pendapatan. Dalam kaitan dengan hal ini, Affan Gaffar menyebutnya sebagai karakteristik-karekteristik sosial yang digolongkan dalam beberapa indikator yaitu pendidikan, pekerjaan/jabatan, jenis kelamin dan usia. 2.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pemilih 1. Penyelenggara Pemilu Hal-hal yang menjadi alasan seseorang atau sekelompok orang untuk berperilaku tertentu dapat dikatakan sebagai faktor yang memberikan kontribusi terhadap perilaku seseorang atau sekelompok orang tersebut. Dalam perspektif ilmu psikologi, perilaku merupakan ekspresi nyata dari sikap, terhadap sesuatu, dan sikap merupakan internalisasi atau pemantapan dari berbagai infortnasi, ilmu pengetahuan, data dan sebagainya. Perilaku anggota masyarakat dalam persoalan politik, baik pemilu, kebijakan pemerintah, partai politik, dan berbagai hal lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan kehidupan bernegara dapat dikatakan sebagai perilaku politik. Salah satu hal yang dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku politik warga negara adalah penyelenggaraan pemilu. Sanit (1985:158) mengatakan bahwa: hasil pemilu berpengaruh terhadap orientasi atau budaya politik melalui tingkah laku dan pola-pola interaksi dari peserta pemilu yang keluar sebagai pemenang. Pola interaksi di antara struktur itulah yang selanjutnya memberikan warna kepada orientasi politik anggota masyarakat. Disinilah Sanit Lebih menekan pentingnya proses penyelenggaraan pemilu yang baik bagi terwujudnya perilaku politik anggota masyarakat yang kondusif bagi terbangunnya sistem politik yang sehat. Lebih jauh Sanit (1985:159) menjelaskan bahwa: Perpaduan anatara pengetahuan, perasaan dan penilaian anggota masyarakat terhadap keselarasan di antara apa yang dihasilkan pemilu dengan nilai-nilai dasar tersebut, merupakan pemebentukan orientasi politik anggota masyarakat. Jadi, orientasi masyarakat yang terbentuk atas pelaksanaan pemilu adalah mengenai peserta, pelaksna dan pola interaksi di antara sesama peserta atau kontestan dengan masyarakat, diantara peserta dengan pelaksana dan diantara pelaksana dengan masyarakat. Lebih jauh Sanit (1985:159). Mengkaitkan orientasi anggota masyarakat dengan perilaku pemenang Pemilu. Menurutnya hasil pemilu membentuk orientasi anggota masyarakat mengenai dampak pemimpin, lembaga-lembaga politik yang dikendalikan oleh para pemimpin tersebut, tingkah laku pemimpin dan lembaga-lembaga politik, pola pembagian kekuasaan mereka, serta pola sirkulasi pemimpin. Oleh karena itu penyelenggara pemilu dan elit-elit politik yang terpilih tidak dapat berperilaku sesuai dengan kehendak dirinya sendiri, melainkan harus mengindahkan pendapat publik. Penyelenggara pemilu tidak dapat hanya sekedar penyelenggara, tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh kualitas pemilu itu sendiri. 2. Aliran Politik Politik ini berkembang hampir di seluruh dunia dengan berbagai variasi dan latar belakang hadirnya politik tersebut. Seperti yang disampaikan Gaffar (2000:123) bahwa fenomena politik aliran tidak saja di Indonesia, tetapi merupakan gejala yang mendunia. Menururtnya gejala muncul dan berkembangnya konservatisme di Amerika sejak masa pmerintahan Ronald Reagen merupakan bukti kongkrit saat agama dijadikan simbol solidaritas baru. Dalam politik ini tidak ada seorangpun yang dapat mendiskualifikasi besarnya peranan Christian Coalition dalam mobilisasi dukungan politik bagi kalangan konservatif di Amerika. Dalam sejarah politik di Indonesia, eksistensi politik aliran sudah berlangsung sangat lama. Aliran yang dapat berkembang sejak lama dapat terpusat dalam beberapa aliran utama yaitu agama, nasionalisme dan pragmatisme. Aliran dipahami sebagai suatu fenomena dari kenyataan kehidupan sosial politik Indonesia dimana partai politik merupakan sebuah sungai besar di mana air mengalir dari sejumlah anak sungai, baik yang besar maupun yang kecil. Dalam politik Indonesia, politik aliran sudah ditegaskan oleh Diffor Geertz (dalam Gaffar 2000:125) yang menyebutkan politik digolongkan dalam tiga aliran utama yaitu model santri, abangan dan priyayai. Orang abangan memiliki orientasi politik dan ekonomi yang berbeda dengan orang-orang cenderung, santri memilih untuk berpihak kepada partai politik yang tradisional, sekuler dan nasionalistik. Sementara orang-orang santri cenderung memilih untuk berpihak pada, partai-partai Islam. 3. Eksistensi Partai Politik Sebagai lembaga politik yang memiliki hak yang sah untuk terlibat secara aktif dalam memperebutkan kekuasaan politik melalui Pemilu, eksistensi partai secara normatif sangat strategic. Saat ini pemilih sudah meninggalkan pertimbangan partai politik sebagai alasan memilih, karena pemilih kecewa dengan perilaku partai politik selama ini. Sanit 1985:184) terdapat kondisi objektif yang mengganggu kinerja partai, yang mendorong pemilih untuk meninggalkan partai tersebut. Ke tiga hal tersebut adalah: (1) kepemimpinan, dimana pemimpin partai cenderung melihat dirinya bukan sebagai pemimpin kepartaian tetapi bertindak sebagai wakil dari kelompok sosial dan kelompok agama. (2) Masalah pengorganisasian partai politik. Basis politik aliran yang sudah mentradisi dalam kehidupan partai politik di Indonesia ikut pula membatasi ruang lingkup pendukung suatu partai, (3) masalah dana bagi kegiatan partai. Dari ke tiga persoalan partai ini, partai tidak mampu menjalankan fungsi klasiknya, dan berpindah sebagai wadah politik sesaay (political broker) sebagai batu loncatan pihakpihak tertentu untuk menguasai kekuasaan di jabatan publik. Tingkat Pendidikan Politik Pilihan-pilihan politik yang diambil oleh pemilih tidak terlepas darai wawasan, ilmu pengetahuan, data yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kenegaraan. Pendidikan dipahami sebagai proses internalisasi nilai dan informasi politik, sehingga mampu memberikan arahan yang tepat dalam melakukan aktivitas politik. Pendidikan politik dapat memberikan dorongan kepada pemilih untuk mampu menempatkan politik sebagai proses yang wajib walaupun seringkali mengecewakan. Politik sampai saat ini masih dipandang sebagai kegiatan orang-orang yang curang dengan permainan kotor, sehingga banyak pihak yang tidak mau membicarakan proses secara teratur, matang dan menyeluruh. Pendidikan politik merupakan tugas infrastruktur politik, sebagaimana disampaikan oleh Rahinan (2001:68) adalah: sebagai usaha radar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Selanjutnya bahwa pendidikan politik dimulai dari kenikmatan meminati tradisi dalam bentuk pengamatan dan peniruan terhadap tingkah laku orang tua, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada satu pun yang tampak di depan mata tanpa memberikan kontribusi terhadapnya. 5. Lingkungan Lingkungan yang mempengaruhi perilaku politik pemilih apakah menjadi orang yang mampu menempatkan diri sebagai individu dan kelompok yang tepat, atau tidak peduli dengan kondisi perpolitikan nasional. Menururt Brewster Smith (dalam Rahman 2001:124) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku politik: 1. Lingkungan sosial politik tidak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. 2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. 3. Struktur kepribadiaan yang tercennin dalam sikap individu. Dalam hal ini terdapat tiga basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian diri, eksternalisasi dan pertahanan diri. 4. Faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yakni keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok dan ancaman dengan segala bentuknya. Berdasarkan pendapat di atas, perilaku pemilih sangat bertgantung kepada lingkungan individu berada. Internasionalisasi melalui berbagai pendidikan lingkungan berbaga kalah dibandingkan dengan pengaruh-pengaruh eksternal, seperti kekuatan media massa, keluarga dan tetangga. BAB III GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 3.1. Kondisi Geografis dan Demografis 3.1.1. Kondisi Geografis Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang Ibukotanya adalah Soreang. Secara geografis letak Kabupaten Bandung berada pada 6o,41 – 7o,19’ Lintang Selatan dan diantara 107o22’ – 108o5’ Bujur Timur dengan luas wilayah 176.239 ha. Batas-batas wilayah Kabupaten Bandung sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kota Bandung; - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut; - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur, dan - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat. Kabupaten Bandung terdiri atas 30 kecamatan, 266 desa dan 9 kelurahan (sebelum adanya pemekaran) saat laporan ini dibuat, Kabupaten Bandung terdiri dari 31 kecamatan yang terakhir adalah Kecamatan Kota Waringin sebagai pemekaran dari Kecamatan Soreang. Letak wilayah Kabupaten Bandung dapat dilihat pada gambar peta berikut ini. Gambar Peta Kabupaten Bandung Sebagian besar wilayah di Kabupaten Bandung adalah pegunungan. Di antara puncakpuncaknya adalah: Sebelah Utara terdapat Gunung Bukit Tunggal (2.200 m), Gunung Tangkuban Perahu (2.076 m) (saat ini masuk kepada wilayah Kabupaten Bandung Barat) di perbatasan dengan Kabupaten Purwakarta. Sedangkan di sebelah Selatan terdapat Gunung Patuha (2.334 m), Gunung Malabar (2.321 m), serta Gunung Papandayan (2.62 m), dan Gunung Guntur (2.249 m), keduanya berbatasan dengan Kabupaten Garut. Wilayah Kabupaten Bandung beriklim tropis dipengaruhi oleh angina muson dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 1500 sampai 4000 mm/tahun, seuhu rata-rata berkisar antara 19oC sampai dengan 24oC. Berikut ini perjelasan secara detail dalam table wilayah Kabupaten Bandung per kecamatan sebagai berikut: Table 3.1. Daftar Nama dan Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2010 No. Nama Kecamatan 1. Cileunyi 2. Cimenyan 3. Cilengkrang 4. Bojongsoang 5. Margahayu 6. Ketapang 7. Dayeuhkolot 8. Banjaran 9. Cangkuang 10. Pamengpeuk 11. Pangalengan 12. Ranca Bali 13. Arjasari 14. Cimaung 15. Cicalengka Nama Desa/ Kelurahan Cileunyi Kulon, Cileunyi Wetan, Cimekar, Cinunuk, Cibiru Hilir dan Cibiru Wetan Padasuka, Cibeunying, Cimenyan, Mandalamekar, Cikadut, Ciburial, Sindanglaya, Mekarsaluyu dan Mekarmanik Jati Endah, Cilengkrang, Cipanjalu, Melatiwangi, Ciporeat dan Girimekar Lengkong, Bojongsoang, Buah Batu, Cipagalo, Bojongsari dan Tegallur Margahayu tengah, Margahayu Selatan, Sukamenak, Sulaeman dan Sayati Sangkan Hurip, Katapang, Cililin, Gandasari, Parungserab, Sukamukti, Cilanpeni, Pangauban, Banyusari dan Sekarwangi Pasawahan, Dayeuhkolot, Cangkuang Wetan, Cangkuang Kulon, Sukapuran dan Citeureup Kamasan, Banjaran Wetan, Banjaran Kulon, Ciapus, Sindangparon, Kiangroke, Tarajusari, Mekarjaya, Margahurip, Neglasari dan Pasirmulya Nagrak, Tanjungsari, Pananjung, Ciluncat, Bandasari, jatisari dan Cangkuang Sukasari, Bojongmanggu, Rancatungku, Bojongkunci, Rancamulya dan Langonsari Pangalengan, Margahayu, Warnasari, Sukamanah, Lamajang, Margamukti, Margamulya, Banjarsari, Sukaluyu, Tribaktimulya, Pulosari, Wanasuka dan Margamekar Oatengan, Sukaresmi, Indragiri, Cipelah dan Alam Endah Arjasari, Lebakwangi, Batukarut, Ancolmekar, Baros, Mangunjaya, Mekarjaya, Pinggirsari, Patrolsari, Rancakole dan Margaluyu Jagabaya, Cimaung, Pasirhuni, Campakamulya, Cipinang, Mekarsari, Sukamaju, Cikalong dan Malasari Cucalengka Kulon, Cicalengka Wetan, Babakan Peuteuy, Cikuya, Dampit, Margaasih, Narawita, Panenjoan, tanjungwangi, Tenjolaya, Waluya Luas Wilayah (Km2) 27,87 41,24 110,94 26,62 9,63 20,42 11,23 62,59 13,29 312,21 54,20 64,13 116,70 dan Nagrog 16. 17. 18. 19. 20. 21. Nagreg Cikancung Rancaekek Ciparay Pacet Kertasari 22. Baleendah 23. Majalaya 24. Solokan Jeruk 25. Paseh 26. Ibun 27. Soreang 28. Pasirjambu 29. Ciwidey 30. Margaasih Sukapura, Cibeureum, Santosa, Tarumajaya, Neglawangi, Cihawuk dan Cikembang Baleendah, Andir, Jelekong, Manggahang, Margamekar, Bojongmalaka dan Rancamanyar Majalaya, Wangisagara, Biru, Padamulya, Bojong, Majaserta, Majakerta, Sukamaju, Padaulan, Sukamaju dan Sukamukti Rancakasumba, Solokan Jeruk, Cibodas, Panyadap, Bojongemas, Padamukti dan Langensari Cigeuntur, Cipedes, Loa, Cijagra, Cipaku, Sindangsari, Drawati, Sukamanah, Sukamantri, Karangtunggal, Mekarpawitan dan Tangismekar Ibun, Laksana, Dukuh, Talun, Pangguh, Lampengan, Neglasari, Mekarwangi, Sudi, Tangulun, Cibeet dan Karyalaksana Soreang, Sadu, Cilame, Penyiapan, Kopo, Padasuka, Cibodas, Jelegong, Pameuntasan, Sukajadi, Pamekaran, Kutawaringin, Sukamulya, Jatisari, Buninagara, Gajahmekar, Karamatmulya dan Sukanagara Pasirjambu, Cibodas, Cikoneng, Cukanggenteng, Cisondari, Margamulya, Mekarsari, Mekarmulya, Sugihmukti dan Tenjolaya Lebakmuncang, Ciwidey, Nengkelan, Panundaan, Panyocokan, Rawabogo dan Sukawening Margaasih, Lagadar, Nanjung, Mekarrahayu, Rahayu dan Cigondewah Hilir 35,75 46,04 53,13 93,73 23,80 39,49 43,92 41,08 43,00 69,29 37,11 138,89 3.1.2. Kondisi Demografis Jumlah penduduk Kabupaten Bandung yang cukup besar dapat dijadikan asset dalam pembangunan apabila kualitas sumber daya manusianya dikelola dengan baik dan sebaliknya jumlah penduduk yang cukup besar di Kabupaten Bandung bisa menjadi penghambat dalam pembangunan apabila kualitas sumber daya manusianya tidak dikelola dengan baik. Pada tahun 2008 jumlah penduduk Kabupaten Bandung tercatat mencapai 4.399.482 jiwa, penduduk laki-laki berjumlah 2.224.108 jiwa sedangkan perempuan 2.175.374 jiwa sehingga rasio jenis kelaminya mencapai 102,24. Dengan rata-rata pendapatan per kmnya 1431 jiwa, dimana Kecamatan margahayu memiliki kepadatan yang paling tinggi yaitu sebesar 10.861/km2 sedangkan Kecamatan Pasir Jambu merupaka kepadatan yang terendah yaitu sebesar 323 km2, dengan mata pencaharian yaitu di sector-sektor industry, pertanian, pertambangan, perdagangan dan jasa. Sedangkan jumlah penduduk di Kabupaten Bandung berdasarkan luas wilayah dan kepadatan Penduduk di Kabupaten bandung dapat dilihat pada table berikut: Tabel 3.2. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Bandung No. Nama Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. Cileunyi Cimenyan Cilengkrang Bojongsoang Margahayu Ketapang Dayeuhkolot Banjaran Cangkuang Pamengpeuk Pangalengan Ranca Bali Arjasari Cimaung Cicalengka Nagreg Cikancung Rancaekek Ciparay Pacet Kertasari Baleendah Majalaya Solokan Jeruk Paseh Ibun Soreang Pasirjambu Ciwidey Luas Wilayah Penduduk (Km2) Pendapatan (Per Km2) 30. Margaasih Sumber: Kantor BPS Kabupaten Bandung 2010. 3.1.3. Ketenagakerjaan Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 10 tahun ke atas, mereka terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Proporsi penduduk yang tergolong angkatan kerja dikenal sebagai Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam pasar kerja (bekerja atau mencari pekerjaan). Berdasarkan data pada tahun 2008 jumlah pencari kerja yang terdaftar sebanyak 15.158, hal ini berarti terjadi penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya 15.642 orang. Kebijakan pembangunan di bidang social menyangkut berbagai aspek memang sangat kompleks. Selain berdampak terhadap ekonomi juga dalam social politik masyarakat, bahkan keberhasilan pembangunan bidang social dapat dievaluasi dan dijadikan sebagai indicator untuk tahun-tahun selanjutnya. Keberhasilan pembangunan di bidang social tidak hanya dapat dilihat dari bentuk fisiknya saja, namun harus dilihat secara keseluruhan yaitu segi fisik dan mental. Dari segi fisik meliputi pembangunan sarana dan prasarana misalnya gedung dan penunjang lainnya, sedangkan segi mental meliputi kondisi mental penduduknya. 3.1.4. Topograpi Perkembangan dan hasil pembangunan di Kabupaten Bandung secara umum dapat dilihat dari beberapa indicator makro, yaitu Indikator Makro ekonomi dan Indikator makro Sosial Budaya, yang pada akhirnya dakan bermuara pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berikut uraian mengenai estimasi perhitungan kedua indicator tersebut: 3.1.5. Indikator Makro Sosial & Budaya Indicator makro Sosial yang dijadikan penilaian keberhasilan pembangunan terdiri atas indicator makro social yang berasalah dari komponen kesehatan, komponen pendidikan dan komponen agama. Indicator makro social masyarakat Kabupaten Bandung tahun 2008 adalah sebagai berikut: 1) Social - Laju pertumbuhan penduduk : 2,93% - Angkat Harapan Hidup (AHH): 68,42 tahun - Angkat Kematian bayi (AKB): 37,36 - Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK): 52,84% - Rasio ketergantungan: 52,48% - Angkat Melek Huruf (AHM): 98,84% 2) Budaya - Masyarakat Kabupaten Bandung sebagian besar merupakan masyarakat suku sunda dengan aneka khazanah kebudayaan yang dimilikinya - Pluralitas yang terjadi di beberapa wilayah perkotaan dapat diterima oleh masyarakat serta hidup berdampingan secara rukun dan damai. 3) Hankam - Di Kabupaten Bandung terdapat beberapa instansi militer dan polisi baik pusat pendidikan maupun kesatuan - Terdapat KODIM sebagai Komando territorial TNI, yaitu KODIM 0609 Bandung - Penanganan Kamtibmas di wilayah Hukum Kabupaten Bandung dilaksanakan oleh Polres Soreang. 4) Agama - Kehidupan beragama berjalan kondusif - Kerjasama antar umat beragama diwujudkan dalam forum kerukunan umat beragama - Komposisi penduduk menurut agama dan sarana peribadatan: a. Islam: 3.983.409 orang, masjid: 5.664 buah, mushola: 8.181 buah b. Kristen: 26.831 orang, Gereja Kristen: 7 buah c. Katolik: 39.609 orang, Gereja Katolik: 4 buah d. Hindu: 4.806 orang, Pura: 1 buah e. Budha: 5.009 orang, Cihara: 1 buah f. Konghucu: - 3.2. Visi dan Misi Kabupaten Bandung Visi Visi Kabupaten Bandung yang telah ditetapkan yaitu sebagai berikut: “Terwujudnya masyarakat Kabupaten Bandung yang Repeh, Rapih, Kertaraharja melalui Akselerasi Pembangunan Partisipatif yang Berbasis Religius, Kultural dan Berwawasan Lingkungan denganBerorientasi pada Peningkatan Kinerja Pembangunan Desa”. Makna dari Visi tersebut di atas adalah: Repeh Rapih Kertaraharja adalah tujuan yang ingin dicapai, yaitu suatu kondisi masyarakat Kabupaten Bandung yang hidup dalam keadaan aman, tertib, tentram, damai, sejahtera, senantiasa berada dalam lindungan, bimbingan dan rahmat dari Allah SWT. Akselerasi Pembangunan atau percepatan pembangunan adalah segala upaya yang dilakukan untuk membuat proses pembangunan lebih cepat, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Percepatan pembangunan tersebut mengandung maksud menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi cepatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di Kabupaten Bandung. Partisipatif merupakan pendekatan yang diterapkan dalam upaya pencapaian tujuan dengan pengertian bahwa masyarakat mempunyai ruang yang sangat lugs untuk berperan aktif dalam keseluruhan proses pembangunan, mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan pengawasan. Sesuai dengan paradigma kepemerintahan yang baik, bahwa kedudukan masyarakat dalam pembangunan adalah sebagai subjek yang turut membantu mengarahkan pembangunan sesuai dengan prakarsa, tuntutan, kehendak dan kebutuhannya secara proporsional dan bertangg-ungjawab. Religius mengandung pengertian bahwa nilai-nilai, norma, semangat dan kaidah agama khususnya Islam yang diyakini dan dianut serta menjadi karakter dan identitas mayoritas, masyarakat Kabupaten Bandung harus menjiwai, mewarnai, menjadi roh dan pedoman seluruh aktivitas kehidupan, termasuk penyelenggaraan pernerintahan dan pembangunan, dengan tetap menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan hidup beragama. Kultural mengandung pengertian bahwa nilai-nilai budaya Sunda yang baik, melekat dan menjadi jati diri masyarakat Kabupaten Bandung harus tumbuh dan berkembang seiring dengan laju pembangunan, serta menjadi perekat keselarasan dan stabilitas sosial. Pengembangan budaya Sunda tersebut dilakukan dengan tetap menghargai pluralitas kehidupan masyarakat secara proporsional. Berwawasan lingkungan mengandung pengertian perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan yang didasari oleh kesadaran akan fungsi strategic lingkungan terhadap keberlangsungan hidup manusia. Daya dukung dan kualitas lingkungan harus menjadi acuan utama segala aktivitas pembangunan agar tercipta tatanan kehidupan yang seimbang, nyaman dan berkelanjutan. Peningkatan Kinerja Pembangunan Desa mengandung pengertian, bahwa pembangungan di Kabupaten Bandung memberikan perhatian yang besar dan sungguhsungguh terhadap pembangunan desa, peningkatan. kualitas kineja sungguh-sungguh desa dan pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Desa yang dalam susunan pemerintahan merupakan unit pemerintahan terendah adalah ujung tombak pembangunan. Daerah dan lokus yang menjadi muara seluruh aktivitas pembangunan. MISI Untuk mewujudkan Visi di atas, maka harus ditetapkan juga. Misi yang harus mendapatkan perhatian seksama dimana tugas yang diemban oleh Pemerintah Kabupaten Bandung adalah: 1. Mewujudkan pemerintahan yang baik. Memelihara stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib, tentram dan dinamis. 2. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia 3. Meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat 4. Memantapkan keshalehan sosial berlandaskan iman dan takwa 5. Menggali dan menumbuhkembangkan budaya sunda 6. Memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan. 7. Meningkatkan kinerja pembangunan. Desa 3.3. Sejarah Kabupaten Bandung lahir melalui Piagam Sultan Agung Mataram, yaitu pada ping Songo tahun Alif bulan Muharam atau sama dengan hari Sabtu, Tanggal 20 April Tahun 1641 M, sebagai Bupati Pertama pada waktu itu adalah Tumenggung Wiraangunangun (1641-1681 M). Dari bukti sejarah tersebut maka ditetapkan bahwa tanggal 20 April sebagai tanggal, Hari Jadi Kabupaten Bandung, Jabatan Bupati kemudian digantikan oleh Tumenggung Nyili salah seorang putranya. Namun Nyili tidak lama memegang jabatan tersebut karena mengikuti Sultan Banten. Jabatan Bupati kemudian dilanjutkan oleh Tumenggung Ardikusumah, seorang Dalem Tenjolaya (Timbanganten) dari tahun 1681-1704. Selanjutnya kedudukan Bupati Kabupaten Bandung dari R. Ardikusumah diserahkan kepada putranya R. Ardisuta yang diangkat tahun 1704 setelah Pemerintah Belanda mengadakan pertemuan dengan para Bupati Wilayah Priangan di Cirebon. R. Ardisuta (17041747) terkenal dengan nama Tumenggung Anggadiredja I setelah wafat dia sering disebut Dalem Gordah. Sebagai penggantinya diangkat Putra tertuanya Demang Hatapradja yang bergelar Anggadiredja II (1707-1747). Pada masa Pemerintahan Anggadiredja III (1763-1794) Kabupaten Bandung disatukan dengan Timbanganten, bahkan pada tahun 1786 dia memasukkan Batulayang ke dalam Pemerintahannya. Juga pada masa Pemerintahan Adipati Wiranatakusumah II (17941829) inilah Ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak (Dayeuh Kolot) ke Pinggir sungai Cikapundung atau alun-alun Kota Bandung sekarang. Pemindahan Ibukota itu atas dasar perintah dari Gubernur Jendral Hindia Belanda Daendels tanggal 25 Mei 1810, dengan alasan karena daerah baru tersebut dinilai akan memberikan prospek yang lebih baik terhadap perkembangan wilayah tersebut. Setelah kepala pemerintahan di pegang oleh Bupati Wiranatakusumah IV (18461874) Ibukota Kabupaten Bandung berkembang pesat dan beliau dikenal sebagai Bupati yang progresif. Dialah peletak dasar master plan Kabupaten Bandung, yang disebut Negorij Bandoeng. Tahun 1850 dia mendirikan pendopo Kabupaten Bandung dan Mesjid Agung. kemudian dia memprakarsai pembangunan sekolah Raja (pendidikan Guru) dan mendirikan sekolah untuk para menak (Opleiding School Voor Indische Anibtenaaren), atas jasa-jasanya dalam membangun Kabupaten Bandung disegala bidang beliau mendapatkan penghargaan dari pernerintah Kolonial Belanda berupa Bintang jasa, sehingga masyarakat menjulukinya dengan sebutan dalem bintang. Dimasa pemerintahan R. Adipati Kusumandilaga jalan Kereta Api mulai masuk, tepatnya tanggal 17 Mei 1884. Dengan masuknya jalan Kereta Api ini Ibukota Bandung kian ramai. Penghuninya bukan hanya pribumi, bangsa Eropa dan Cina pun mulai menetap di ibukota, dampaknya perekonomian Kota Bandung semakin maju. Setelah wafat penggantinya diangkat R.A.A. Martanegara, Bupati ini pun terkenal sebagai perencana kota yang jempolan. Martanegara juga dianggap mampu menggerakkan rakyatnya untuk berpartisipasi aktif dalam menata wilayah kumuh menjadi pemukiman yang nyaman. Pada masa pemerintahan R.A.A. Martanegara (1893-1918) ini atau tepatnya pada tanggal 21 Februari 1906, kota Bandung sebagai Ibukota Kabupaten Bandung berubah statusnya menjadi Gementee (Kotamadya). Periode selanjutnya Bupati Kabupaten Bandung dijabat oleh Aria Wiranatakusumah V (Dalem Haji) yang menjabat selama 2 periode, pertama tahun 1912-1931 sebagai Bupati yang ke 12 dan berikutnya tahun 1935-1945 sebagai Bupati yang ke 14. Pada periode tahun 1931-1935 R.T. Sumadipradja menjabat sebagai Bupati ke 13. Selanjutnva pejabat Bupati ke 15 adalah R.T.E. Suriaputra (1945-1947) dan penggantinya adalah R.T.M Wiranatakusumah VI alias Aom Male (1948-1956), kemudian diganti oleh R. Apandi Wiriadipura sebagai Bupati ke 17 yang dijabatnya hanya 1 tahun (1956-1957). Sebagai Bupati berikutnya adalah Letkol R. Memet Ardiwilaga (1960-1967). Kemudian pada masa transisi kehidupan politik Orde Lama ke Orde Baru adalah Kolonel Masturi. Pada masa Pimpinan Kolonel R.H. Lily Sumantri tercatat peristiwa penting yaitu rencana pemindahan Ibukota Kabupaten Bandung ke Wilayah Hukum Kabupaten Bandung yang semula berada di Kotarnadva Bandung ke Wilayah Hukum Kabupaten Bandung yaitu daerah Baleendah. Peletakan batu pertamanya pada tanggal 20 April 1974 yaitu pada saat Hari Jadi Kabupaten Bandung yang ke 333. Rencana kepindahan Ibukota tersebut berlanjut hingga jabatan Bupati dipegang oleh Kolonel R. Sani Lupias Abdurachman (1980-1985). Atas pertimbangan secara fisik geografis daerah Baleendah tidak memungkinkan untuk dijadikan sebagai Ibukota Kabupaten, maka ketika Jabatan Bupati dipegang oleh Kolonel H.D. Cherman Affendi (1985-1990), Ibukota Kabupaten Bandung pindah ke lokasi baru yaitu Kecamatan Soreang. Dipinggir Jalan Raya Soreang tepatnya di Desa Pamekaran inilah di Bangun Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung seluas 24 Ha, dengan menampilkan arsitektur khas gaga Priangan sehingga kompleks perkantoran ini disebut-sebut sebagai kompleks perkantoran termegah di Jawa Barat. Pembangunan perkantoran yang belum rampung seluruhnya dan dilanjutkan oleh bupati berikutnya yaitu Kolonel H.U. Djatipermana, sehingga pembangunan tersebut dirampungkan dalam kurun waktu 1990-1992. Tanggal 5 Desember 2000, Kolonel H. Obar Sobarua, S.IP, terpilih oleh DPRD Kabupaten Bandung menjadi Bupati Bandung dengan didampingi oleh Drs. H. Eliyadi Agraraharja sebagai Wakil Bupati. Sejak itu, Soreang betul-betul difungsikan menjadi pusat Pemerintahan. Tahun 2003 semua aparat Daerah, kecuali Dinas Pekerjaan umum, Dinas Perhubungan, Dinas Kebersihan, Kantor BLKD, dan Kantor Diklat, sudah resmi berkantor di komplek perkantoran Kabupaten Bandung. Pada masa pemerintahan H. Obar Sobarua S.IP. telah dibangun Stadion Olahraga si Jalak Harupat, yaitu stadion bertaraf intemasional yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Bandung. Selain itu pada masa pemerintahan Obar Sobarua, berdasarkan aspirasi masyarakat yang diperkuat oleh Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, Kota Administratif Cimahi berubah status menjadi Kota Otonom. Tanggal 5 Desember 2005. H. Obar Sobarua, S.IP, menjabat Bupati Bandung untuk kedua kalinya didampingi oleh H. Yadi Srimulyadi sebagai Wakil Bupati, melalui proses pemilihan langsung oleh seluruh masyarakat Kabupaten Bandung. Dimasa pemerintahan H. Obar Sobarua yang kedua ini, berdasarkan dinamika masyarakat dan didukung oleh hasil penelitian dan pengkajian dari 5 perguruan tinggi, secara yuridis sudah terbentuk Kabupaten Bandung Barat bersamaan dengan keluarnya UndangUndang Nomor 12 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Propinsi Jawa Barat. 3.4. Pemerintahan Kabupaten Bandung merupakan salah satu wilayah terluas di Propinsi Jawa Barat bersama beberapa daerah kabupaten/kota lainnya. Pada tahun 2001, daerah ini baru berjumlah 39 (tiga puluh Sembilan) kecamatan setelah Kecamatan Cimahi Selatan, Cimahi Tengah dan Cimahi Utara memisahkan diri menjadi Kota Cimahi. Sesuai dengan laju pembangunan di Kabupaten Bandung, jumlah kecamatan pada bulan Agustus 2001 dimekarkan menjadi 43 (empat puluh tiga) kecamatan, yaitu Kecamatan Nagrek merupakan pemekaran dari kecamatan Clealengka, Kecamatan Rongga merupakan pemekaran dari Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Solokan Jeruk merupakan pemekaran dari Kecamatan Majalaya, dengan 436 (empat ratus tiga puluh enam) desa/kelurahan. Pada pertengahan tahun 2003 ini jumlah kecamatan bertambah dua lagi yaitu Kecamatan Cihampelas merupakan pemekaran dari Kecamatan Cililin, dan Kecamatan Cangkuang merupakan pemekaran dari Kecamatan Banjaran. Dengan demikian, pada akhir tahun 2003 ini jumlah kecamatan di Kabupaten Bandung menjadi 45 (empat puluh lima) kecamatan. Pada tahun 2007, wilayah Kabupaten Bandung dimekarkan. Kabupaten Bandung Barat yang terdiri dari 15 Kecamatan di wilayah Barat Kabupaten Bandung menjadi kabupaten tersendiri terpisah dari Kabupaten Bandung. Oleh karena itu, jumlah kecamatan di Kabupaten Bandung setelah pemekaran berjumlah 30 Kecamatan. Berikut ini akan diuraikan kecamatan, nama camat dan no telp dari masing-masing-masing kecamatan di Kabupaten Bandung. Tabel 3.3. Daftar Kecamatan dan Nama Camat Se-Kabupaten Bandung No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. Kecamatan Cileunyi Cimenyan Cilengkrang Bojongsoang Margahayu Margaasih Katapang Banjaran Pameungpeuk Pangalengan Arjasari Cimaung Cicalengka Nagreg Cikancung Rancaekek Ciparay Pacet Kertasari Baleendah Majalaya Solokanjeruk Paseh Dayeuhkolot Ibun Soreang Pasirjambu Ciwidey Rancabali Cangkuang Kutawaringin Camat Asep Rahmadi, S.IP Dede Sutardi, SH. Alamat Kantor & E-mail No. Telp Yeti Yuliati, S.IP. 3.5. Gambaran Sosial Ekonomi Masyarakat Di Kabupaten Bandung Seiring bergulirnya otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten Bandung merespon dengan memfokuskan kebijakan pembangunan pada upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia secara nyata dan berkelanjutan (sustainable). Pemerintah Kabupaten Bandung telah menetapkan proyeksi pencapaian IPM, ini sejalan dengan cita-cita Pemerintah Propinsi Jawa Barat yang menetapkan target angka IPM sebesar 80 di tahun 2010. Status pembangunan manusia di Kabupaten Bandung secara sederhana tetapi mencakup berbagai bidang pembangunan. Diharapkan akan muncul pemahaman dan harapan-harapan baru bagi kemajuan pembangunan manusia di Kabupaten Bandung, sehingga akan terdapat upaya yang lebih kuat dari berbagai komponen masyarakat Kabupaten Bandung untuk melakukan perbaikan ke depan terhadap berbagai indikator pembangunan dasar, seperti kesehatan, pendidikan dan kemampuan ekonomi masyarakat. Gambaran sosial ekonomi suatu wilayah merupakan faktor yang krusial dalam mencermati kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat suatu wilayah (propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan atau Desa), sejalan dengan semangat otonomi daerah strategi pembangunan lebih fokus pada sasaran wilayah yang lebih kecil, maka ketersediaan data menurut wilayah yang lebih kecil (small area) tidak dapat dielakan upaya-upaya untuk menyajikan data menurut small area harus terus diupayakan. Kualitas sumber manusia yang dimiliki suatu daerah dapat dilihat dari Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup dimensi pokok pembangunan manusia yang dinilai dapat mencerminkan status kemampuan dasar penduduk, yaitu pencapaian tingkat pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, tingkat kesehatan dan tingkat daya beli. 3.6. Partisipasi dan Dinamika Politik Di Kabupaten Bandung Berbeda dengan gerakan separatisme yang menuntut kemerdekaan atau tuntutan mengubah bentuk negara dari kesatuan ke federasi, munculnya gerakan menuntut pembentukan atau pemekaran suatu daerah sebenarnya harus dianggap sebagai hal biasa dalam perkembangan dinamika kehidupan daerah guna meningkatkan efefidifias dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. Upaya ini akan sulit dicapai jika pemerintah mempunyai kemampuan yang terbatas dalam melayani kebutuhan masyarakatnya baik karena faktor geografis, demografis maupun faktor kemampuan SDM aparatnya. Oleh karena itu pemekaran daerah harus dilihat sebagai salah satu jalan keluar terlaksananya tugas-tugas pokok pemerintahan yang meliputi bidang pelayanan, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, pemliharaan hubungan yang harmonis diantara warga masyarakat, jaminan bagi diterapkannya perlakuan yang adil kepada sesama warga masyarakat, pekerjaan umum dan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan sosial, penerapan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas serta pemeliharaan SDA dan lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan Fungsi utama pemerintahan menurut Ryaas Rasyid meneakup pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment) dan pembangunan (development). Dengan demikian pemekaran atau pembentukan suatu daerah seperti halnya terjadi pada Kabupaten Bandung yang selama ini sudah mengalami dua kali pemekaran yaitu pada tahun 2001 yakni terlepasnya Kotif Cimahi dari Kabupaten induk yang sekarang berubah statusnya menjadi Kota Cimahi. Begitu pula yang ke dua kalinya terjadi pada tahun 2007 yaitu terlepasnya 15 Kecamatan bagian Bandung sebelah Barat dari Kabupaten Bandung yang sekarang statusnya berubah menjadi Kabupaten Bandung Barat. Hal ini jelas bahwa keduanya itu dapat dikatakan bertitik tolak dari beberapa kepentingan diantaranya dari aspek hukum akan mempertimbangkan: penerapan peraturan yang berlaku; penggunaan sangsi hukum dan penyelenggaraan kekuasaan yang bersumber hukum. Dari aspek sosiologi, pertimbangan didasarkan pada usaha penataan masyarakat dan upaya perubahan hubunganhubungan bermasyarakat. Aspek ekonomi akan mempertimbangkan: upaya manfaat dan pengorbanan serta penentuan prioritas untuk efisiensi dan efektivitas. Aspek politik akan mempertimbangkan: pelaksanaan tujuan-tujuan politik dan kehidupan politik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Aspek sejarah mempertimbangkan zaman keemasan atau penindasan masa lalu sebagai modal kebangkitan untuk menyongsong masa depan yang lebih balk. Aspek geografi dan lingkungan akan mempertimbangkan dari batas-batas alam dan kesatuan ekosistem. Aspek administrasi dengan mempertimbangkan span of control, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. (Gandana: 2000). Dilihat dari perspektif politik, dinamika, dan partisipasi politik di Kabupaten Bandung terlihat relatif cukup tinggi, setidaknya jika dilihat dari partispasi masyarakat dalam Pemilu. Dalam Pemilu legislatif 2004 lalu dari sekitar 2,8 juta pemilih maka ada sekitar 2.257.385 suara sah, sisanya karena rusak dan tidak sah. Dari data-data Pemilu sebelumnya juga terlihat bahwa partisipasi masyarakat dalam Pemilu cukup tinggi rata-rata di atas 80%. Demikian juga jika dilihat dari orientasi dan afiliasi politik, masyarakat di Kabupaten Bandung juga cukup dinamis dan beragam, dimana orientasi mereka bukan hanya loyalitas buta pada satu partai tapi sering berubah sejalan dengan perubahan dan dinamika politik yang terjadi. Dengan agak mengenyampingkan Pemilu-Pemilu masa lalu yang penuh rekayasa dimana salah satu partai politik harus selalu menang sehingga masyarakat tidak punya pilihan yang lebih bebas dan terbuka. Maka dalam Pemilu pasca reformasi ini terlihat bahwa afiliasi dan orientasi politik masayarakt di wilayah ini lebih bebas dan terbuka. Misalnya jika dalam Pemilu 1999, PDI-P muncul sebagai peraih suara mayoritas dengan suara sebesar 36,12% untuk DPR-RI, 36,21% untuk DPRD I dan 35,78% untuk DPRD Kabupaten Bandung, maka dalam Pemilu 2004 lalu posisi pertama diduduki oleh Partai Golkar sebesar 34,17%. (sumber Kesbang dan Linmas Kabupaten Bandung). Dalam Pemilu 2004, terjadi perubahan dalam hal raihan suara yang semula dimenangkan PDI-P bergeser pada Golkar. Selain itu, muncul dua partai baru yang termasuk dalam posisi 6 besar, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD) yang berada pada urutan ketiga dan kelima. Dilihat dari dua kali Pemilu tersebut nampak bahwa perubahan dan pergeseran dalam orientasi dan afiliasi politik terjadi, dimana euforia pasca. Dalam Pemilu 2004, terjadi perubahan dalam hal raihan suara yang semula dimenangkan PDI-P bergeser pada Golkar. Selain itu, muncul dua partai baru yang termasuk dalam posisi 6 besar, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD) yang berada pada urutan ketiga dan kelima. Dilihat dari dua kali Pemilu tersebut nampak bahwa perubahan dan pergeseran dalam orientasi dan afiliasi politik terjadi, dimana euforia pasca reformasi dengan memberikan dukungan kepada Megawati (PDI-P) telah berakhir. Hanya perlu satu kali periode pemerintahan, masyarakat di wilayah ini kembali memberikan dukungannya pada Golkar. Sebagaimana terjadi di tingkat nasional, ada semacam romantisme untuk kembali kepada masa pemerintahan Orde Baru yang lebih memberikan stabilitas dan keamanan. Sementara masa pemerintahan Orde Reformasi dinilai ticlak memberikan kepastian dan stabilitas, meskipun disitu terbersit pula harapan kepada para politisi muda yang dinilai “bersih dan peduli” yakni saat itu PKS dan juga “Partai Demokrat” sehingga masyarakat di daerah ini memberikan dukungan dan pilihannya kepada partai ini sehingga, menempatkan posisinya di urutan ketiga dan kelima dan karenanya langsung menggeser posisi PKB dan PBB ke luar dari 6 besar di daerah ini. PKS memang sebuah fenomena; bayangkan dari 1 kursi hasil Pemilu 1999 kini dapat menempatkan kadernya, di 6 kursi artinya setiap daerah pemilihan di Kabupaten Bandung ini ia menempatkan seorang wakilnya, artinya simpati dan dukungan dari masyarakat di wilayah ini hampir merata terhadap PKS. Akan tetapi lain halnya dengan pemilu Tahun 2009 bahwa Partai Demokrat sangat mendominasi dan mernpunvai suara terbanyak di daerah ini sehingga dapat menggeser/ mendongkrak partai-partai besar lainnya. Dan posisi urutan ke 5 menjadi urutan pertama sehingga berdampak juga kepada perolehan kursi di daerah dan akhirnya Partai Demokrat inilah yang memenangkan pemilu secara nasional pada tahun 2009. Partispasi politik masyarakat tidak dapat hanya diukur oleh keikutsertaan mereka hanya dalam Pemilu tapi juga dalam bentuk kegiatan lain baik yang bersifat konvensional seperti diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan serta komunikasi individual dengan pejabat politik dan administrasi. Maupun bentuk partisipasi politik yang non konvensional seperti pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi, mogok, kekerasan terhadap manusia maupun benda serta perang gerilya dan revolusi. Melihat dinamika politik yang terjadi di Kabupaten Bandung, tentu saja tingkat partisipasi politik di daerah ini sangat tinggi. Karena semua cara untuk dapat mencapai suatu tujuan mesti dilakukan baik yang bersifat partisipasi konvensional maupun yang non konvensioal kecuali yang bersifat kekerasan dan perang gerilya. Dan ini semua tidak hanya semata melibatkan elitnya saja melainkan juga melibatkan massanya, dalam hal ini terjalinnya/terbinanya suatu keharmonisan antara elit politik dan massanya sehingga dapat bersama-sama menjalankan pembangunan dan fungsi pemerintahan lainnya dengan baik. Akan tetapi partisipasi politik masyarakat dalam pesta demokrasi seperti halnya dalam Pemilukada yang baru dilaksanakan ini melihat partisipasi politik masyarakat yang dapat dikatakan melemah atau menurun. Menurunnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilukada ini bisa disebabkan berbagai faktor misalnya saja tingkat kedewasaan masyarakat dalam memaharni arti penting pemilu masih rendah atau masyarakat sudah mulai jenuh dengan melakukan pemilihan yang dapat membawa dampak ke arah BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung pada tahun 2010 telah melaksanakan pesta demokrasi yang sarat dengan isu-isu dan perhelatan politik dari tingkat grassroot sampai dengan elit politik. Pesta demokrasi tersebut menjadi salah satu women penting bagi sejarah Kabupaten Bandung yang telah memilih Bupati/Wakil Bupati baru, pasca kepemimpinan incumbent yang sudah 2 (dua) kali memimpin Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung masih memerlukan banyak pembelajaran dan pendewasaaan pola-pola pembangunan yang tidak hanya ditujukan dalam pembangunan sektor-sektor fisik tetapi juga sektor non fisik yang salah satunya adalah pembangunan politik. Pembangunan politik merupakan mata rantai (sub sistem) pembangunan yang strategic. Bahkan pembangunan politik merupakan basis dari sub sistem yang lain sebagai awal adanya legitimasi dan kepercayaan masyarakat untuk melahirkan seorang pemimpin, kewenangan dan kekuasaan. Keberhasilan pembangunan politik ditentukan oleh kualitas pemahaman dan pengertian masyarakat terhadap konsep politik secara utuh. Utuh dalam hal ini adalah tidak parsial atau setengah-setengah, karena jika parsial maka tujuan dari pembangunan politik masyarakat tidak akan pernah tercapai. Salah satu indikator pembangunan politik adalah perilaku masyarakat dalam mensikapi dan memaknai pemilihan figur pemimpin yang duduk di lembaga perwakilan (DPRD) maupun lembaga eksekutif (Walikota/Bupati). Kondisi perilaku pemilih di Kabupaten Bandung pada saat Pemilu Legislatif Tahun 2009 tidak mungkin dapat dijadikan tolok ukur obyektif perilaku pemilih untuk Pemilukada Bupati Bandung tahun 2010. Hal ini lumrah karena memerlukan kesungguhan motivasi dan financial. Internal motivasi, perencanaan strategic, vooter dan Financial sangat tergantung dari peran serta stakeholders yang memiliki Visi dan Misi pembangunan politik masyarakat Kabupaten Bandung. Perilaku memilih menurut Jack C Pleno adalah dimaksudkan sebagai studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pilihan itu. Pandangan lain mengenai perilaku memilih misalnya menurut Bone dan Raney: perilaku memilih diartikan dengan pernyataan bahwa "In most study of voting behavior…, voting behavior is pictured as having the two dimension. Preference...., can be used to measure his approval or disapproval of Demokratic and Republican Parties, their percevied stands on issues, and the personal quality of their candidate ...., Activity has six main categories: organization activities, organization contributors, opinion leaders, voters, and apolitical". Dengan mengacu pada pandangan tersebut, maka perilaku memilih adalah tingkahlaku atau tindakan individu dalam proses pemberian suara dalam penyelanggaraan Pemilu serta latar belakang seseorang melakukan tindakan tersebut. Tingkahlaku atau tindakan individu dalam proses pemberian suara ialah meliputi tiga aspek yakni preferensi (orientasi terhadap, isu, orientasi terhadap kualitas personal kandidat, identifikasi partai), aktivitas (keterlibatan dalam partai politik tertentu, keterlibatan dalam setiap kampanye, kehadiran dalam pemungutan suara) dan pilihan terhadap salah satu partai politik tertentu. Fenomena awal perilaku politik pemilih di Kabupaten Bandung terjadi pada tahun 2009, dimana keberhasilan kebijakan strategic pembangunan ekonomi mempunyai korelasi dengan perubahan perilaku politik elite masyarakat dan elite agama, yaitu: sebagian besar meninggalkan partai-partai Islam untuk mendukung Partai Demokrat, Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), kecuali sebagian kecil penduduk di kecamatan tertentu. Sosialisasi politik mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap, perilaku elite masyarakat dan elit agama. Penerimaan ideologi Pancasila dan ditinggalkannya ideologi Islam oleh elite masyarakat dan elite agama menunjukkan terjadinya perubahan orientasi politik agama yang selanjutnya mendorong terjadinya perubahan perilaku terhadap perubahan perilaku elite masyarakat dan agama di Kabupaten Bandung. Tampaknya elite agamatelah kehilangan peranan dominannya dalarn bidang politik, dan telah menjadi sasaran dari berbagai kepentingan politik yang pruralistik. Dari fenomena tersebut, tentunya perubahan dapat terjadi dalam hitungan detik di level masyarakat Kabupaten Bandung dalam menjelang Pemilukada tahun 2010 (termasuk elit masyarakat) seperti halnya pada saat Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Tahun 2009. Seperti diketahui, bahwa jumlah pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Bandung sebanyak 8 pasang, sesuai dengan nomor urut peserta dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Marwan — Asep; 2. Atori — Dadi; 3. Tatang — Ujang; 4. Deding — Siswanda; 5. Yadi Srimulyadi — Rusna Kosasih; 6. Asep — Dayat; 7. Dadang Naser — Deden R.; 8. Ridho Budiman — Dadang Rusdiana. Untuk mengetahui bagaimana perilaku pemilih dan sikap masyarakat dalam hal partisipasi politik masyarakat pada, Pemilukada ini dapat digambarkan pada rekapitulasi hasil kajian terhadap persepsi dan perilaku pemilih di Kabupaten Bandung Tahun 2010 sebagai berikut: Hasil Survey Tahap 1 Pemilukada Kab. Bandung Tahun 2010 271 655 1202 114 2643 2184 1647 797 204 59 Tidak akan Memilih 1% Hasil Survey Tahap 1 Pemilukada Kab. Bandung Tahun 2010 Marwan/Asep 3% Atori/Dadi 7% Tatang/Ujang 1% Deding/Siswanda 12% Belum Punya Pilihan 27% Yadi/Rusna 17% Ridho/Dadang 8% Dadang/Deden 22% Asep/Dayat 2% Berdasarkan hasil rekapitulasi pada putaran pertama tersebut terlihat hasil yang beragam, pemilih dalam menentukan pilihan siapa yang paling cocok untuk menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hasil yang diperoleh berdasarkan pilihan masyarakat dari hasil Survei Tahap I yang dilakukan pada bulan Juli 2010 dalam kajian ini menunjukkan pasangan. Dadang Naser dan Deden yang paling cocok untuk menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bandung pada periode tahun 2010 sampai 2015, terbukti dengan pilihan masyarakat tertinggi jatuh pada pasangan tersebut sebesar 22%. Akan tetapi jika melihat hasil kajian terhadap persepsi dan perilaku pemilih pada Pemilukada di Kabupaten Bandung pada tahun 2010 ini justru yang paling tinggi itu masyarakat yang tidak mempunyai pilihan yaitu sebesar 27%. Hal ini menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat dalam menjelang Pemilkuda Di Kabupaten Bandung dapat dikatakan masih rendah begitu juga perilaku pemilih dan sikap masyarakat dalam penentuan pilihannya masih dapat dikatakan rendah atau kurang. Ada beberapa alasan pemilih belum punya pilihan dalam Pemilukada Tahun 2010 yang diperoleh dari hasil Survei Tahap I kepada masyarakat sebagai berikut: Ketidaktahuan warga tentang calon yang akan dipilih Belum adanya pendekatan dari calon maupun tim sukses Menunggu adanya pemberian dana tertentu dari pasangan calon Sosialisasi yang dilakukan pasangan calon masih kurang Belum adanya tokoh masyarakat yang menggerakkan Terlalu banyak calon sehingga membingungkan Perilaku masyarakat yang merahasiakan pilihannya Jadwal pemilihan yang masih lama Semua calon sama saja, tidak ada yang berbeda yaitu memberikan janji manis waktu kampanye namun realisasinya tidak ada Belum mengurus persyratan-persyaratan seperti DPT dan KTP Menunggu tindakan-tindakan nyata yang akan dilakukan pasangan calon Bagi para ibu-ibu menunggu pilihan suaminya Sosialisasi pemilihan oleh KPUD dirasakan kurang, sehingga warga acuh terhadap pemilukada Menunggu visi dan misi yang akan di usung pasangan calon Meginginkan pasangan calon door to door ke setiap rumah masyarakat, sebagai bentuk perhatian terhadap masyarakat Menunggu yang ramai dibicarakan saja Menunggu sembako yang diberikan Belum ada koordinir dari koordinator/ pejabat setempat Menunggu jadwal kampanye terlebih dahulu Menunggu dana yang lebih besar dari pasangan calon, baru tanda tangan Masih meragukan kemampuan para calon Apatis terhadap pemilukada Tidak ada alasan Hasil kajian terhadap persepsi dan perilaku pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten Bandung ini awalnya tidak dapat dikatakan sebagai jaminan bahwa pasangan Dadang Naser dan Deden R Rumaji ini mutlak sebagai pemenang dalam pelaksanaan Pemilukada Tahun 2010. Kajian ini hanya merupakan alat bantu untuk menggambarkan peta politik di Kabupaten Bandung menjelang Pemilukada tersebut. Dengan adanya kajian ini beberapa elemen/unsur terkait dapat terbantu dan dapat memanfaatkan situasi peta politik tersebut. Akan tetapi dengan berjalannya waktu sampai tiba saatnya pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Bandung terbukti pasangan Dadang Naser dan Deden ini meraih suara terbanyak yakni mencapai 29,72% sesuai dengan hasil kajian terhadap persepsi perilaku pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten Bandung yang telah dilakukan, walaupun harus terjadi putaran ke dua karena perolehan suara dari semua pasangan calon tidak memenuhi kuota yakni sebesar 30%, bahkan berdasarkan quick count yang dilakukan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Kabupaten Bandung mendapati justru. sebesar 37% warga Kabupaten Bandung tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput). Tingginya golongan putih (golput) dalam Pemilukada pada putaran ini disinyalir disebabkan oleh beberapa hal diantaranya saja kedewasaan pemilih dalam pesta demokrasi ini masih dikatakan rendah, tidak ditemukannya visi-misi dari pasangan calon, DPT, dan poster kampanye di hampir semua TPS kurang. Banyak kalangan yang memprihatinkan dan sangat menyayangkan terhadap tingginya golput ini karena pesta demokrasi Kabupaten Bandung ini terlihat sepi pemilih. Partisipasi politik masyarakat untuk menggunakan hak suara di TPS sangat rendah sehingga ini dapat berdampak kepada hasil perolehan suara, terhadap pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tidak memperoleh suara 30% sehingga mendorong untuk terjadinya putaran ke II yang tentunya memakan biaya yang sangat besar dalam pesta demokrasi tersebut. Dengan demikian dalam hal ini kajian terhadap, persepsi dan perilaku pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten Bandung dilakukan kembali Survei Tahap II yang dilakukan pada pertengahan bulan Oktober 2010, dengan hasil kajian sebagai berikut: Hasil Survey Tahap 2 Pemilukada Kab. Bandung Tahun 2010 5297 4049 718 Dadang Naser/Deden Rumaji Ridho Budiman/Darus Belum Punya Pilihan 111 Tidak akan Memilih Hasil Survey Tahap 2 Pemilukada Kabupaten Bandung Tahun 2010 Tidak akan Memilih 1% Belum Punya Pilihan 7% Ridho Budiman/Darus 40% Dadang Naser/Deden Rumaji 52% Berdasarkan hasil kajian terhadap persepsi dan perilaku pemilih dalam Pemilukada Putaran ke II di Kabupaten Bandung, menunjukkan bahwa hanya ada dua pasangan yang masuk ke dalam putaran ke II. Kedua pasangan ini merupakan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dan kedua dalam putaran I yaitu pasangan Dadang Naser/Deden dan pasangan Ridho Budiman/Dadang Rusdiana. Dalam putaran ke II ini pun hasil kajian terhadap persepsi dan perilaku pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten Bandung menunjukkan masih pasangan Dadang Naser dan Deden yang memperoleh suara terbanyak yakni sebesar 52% dan. pasangan Ridho Budiman/ Darus memperoleh suara sebesar 40% dan sisanya tidak punya pilihan. sebesar 7% dan tidak akan memilih 1%. Adapun beberapa alasan beberapa responden yang belum punya pilihan sebagai berikut: Tabel 3.4. Alasan Responden Belum Mempunyai Pilihan. No. Nama Kecamatan 1. Kecamatan Ciparay 2. Kecamatan Margaasih 3. Kecamatan Kutawaringin 4. Kecamatan Cileunyi 5. Kecamatan Cicalengka 6. Kecamatan Cilengkrang 7. Kecamatan Soreang Alasan belum Punya Pilihan • Daerah yang lebih jauh, seperti desa babakan dan mekarlakasana, responden yang belum punya pilihan beralasan mengaku masih menuggu calon memberi amplop (uang). • Masih rahasia karena takut tim survey adalah mata-mata salah satu calon • Menunggu dana stimulus putaran kedua • Menunggu keputusan dari pengajian maupun tokoh setempat seperti RT/RW. • Menunggu adanya pemberian uang. • Sudah tidak percaya lagi karena semuanya sama saja. • Menginginkan jalan diperbaiki baru masyarakat akan memilih calon tersebut. • Responden masih menunggu uang • Menunggu dari para tokoh masyarakat untuk di arahkan karena masyarakat suka yang ramenya baru dipilih. • Tidak ada sosialisasi lagi dari para calon sehingga masyrakat belum tahu calon yang lolos di putaran kedua (masyarakat baru tahu ada putaran kedua dan calonnya yang lolos dari tim survey). • Mengira Pilkada sudah selesai. • PILKADA putaran I mengganggu ketertiban umum sehingga malas mengikuti pilkada putaran II • Menunggu dana stimulus • Menunggu stimulus uang • Calon sudah kalah dalam putaran I maka menunggu arahan saja. • Butuh perbaikan Jalan terlebih dahulu • Dana stimulus hanya dibagikan pada sebagian masyarakat saja (pejabat desa) • Tidak mau memberikan suara sebelum dana turun • Caton yang di usung kalah, maka belum mengetahui harus • Kecamatan Katapang • • 9. Kecamatan Margahayu • • • 10. Kecamatan Paseh • • • • 11. Kecamatan Cikancung 12. Kecamatan Nagreg 13. Kecamatan Pameungpeuk • • • • • • • • • 8. • • • • • • • 14. Kecamatan Cangkuang 15. Kecamatan Ciwidey 16. Kecamatan Cimaung • • • 17. Kecamatan Solokan Jeruk • 18. Kecamatan Majalaya • • • • • memilih yang mana. Belum ada tokoh dan aparat yang mengarahkan untuk putaran II Calon yang lolos ke putaran II tidak kompeten Belum ada sosialisasi dari aparat/tokoh yang mengarahkan untuk putaran II Menunggu dana kucuran Masih menunggu ramenya dari masyarakat kebanyakan. Belum tahu kalau ada putaran ke II, masayarakat menyangka bahwa pilkada telah selesai Calonnya kalah maka belum ada pilihan yang lain. Masih bingung Belum terdata dalam DPT Belum ada arahan dari tim sukses calon yang saga dukkung kemarin (karena calonnya kalah) Calonnya kalah maka belum ada pilihan yang lain. Belum ada arahan dari tokoh masyarakat Masih menunggu dana putaran kedua Nanti saja pada saat mendekati pencoblosan Belum ada arahan untuk pilkada putaran II Menunggu yang rame saja Ingin memilih sesuai hati nurani (raliasia) Belum ada/punya pilihan Masyarakat menilai bahwa pilkada putaran ke II ini banyak masalah, mereka merasa kecewa bahwa putaran I tidak berjalan dengan baik. Konsistensi para pendukung calon yang kemarin kalah masih kuat. Menunggu uang dari team khusus atau calon Rahasia Masyarakat kecewa atas pilkada putaran I Belum mengetahui calon Menunggu arahan suami, anak, atasan atau pimpinan/tokoh Menunggu jumlah suara calon terbanyak itu yang dipilih/ikut yang rame dibicarakan Menunggu uang turun dari calon atau team sukses Rahasia pemilih Menunggu suara terbanayak (yang sering dibicarakan masyarakat) Menginginkan jalan diperbaiki dahutu baru akan memilih calon tersebut. Menunggu amplop dari tim sukses Menunggu dana dari tim sukses pilkada putaran II Menunggu uang atau sembako dari calon Rahasia Menunggu yang ramainya saja dari masyarakat banyak • 19. Kecamatan Rancaekek • • • • 20. Kecamatan Banjaran 21. Kecamatan Kertasari 22. Kecamatan Bojongsoang 23. • • • • • • • • Kecamatan Dayeuhkolot • • 24. Kecamatan Baleendah 25. Kecamatan Cimenyan 26. Kecamatan Arjasari 27. Kecamatan Rancabali 28. Kecaman Ibun 29. Kecamatan Pacet 30. Kecamatan Pasir Jambu • • • • • • • • • • • • • • • • • 31. • Kecamatan Pangalengan • Menunggu jalan di perbaiki terlebih dahulu baru suara masyarakat kebanyakan akan memilih calon tersebut (terutama desa padaulun) Baru Ridho yang sudah datang langsung ke masyarakat membagi bagikan sembako (terutama saat masyarakat sedang mengalami bencana banjir) Masyarakat sekarang sudah apatis, memilih kalau ada uangnya saja sebab kalau sudah terpilih akan lupa pada janjinya pada masyarakat Belum ada arahan untuk Pilkada putaran II suara mau diarahkan kemana. Hampir keseluruhan desa di Rancaekek menginginkan perbaikan jalan Belum tahu sebab belum ada arahan untuk pilkada puaran II Menunggu kucuran dana Belum mengetahui mana yang ramenya di masyarakat Menunggu kucuran dana Terlalu banyak janji dari calon-calon namun tidak ada realisasinya Karena belum ada sosialisasi langsung, dari calon Masyarakat menunggu arahan Menunggu di beri uang Menunggu rarnenya saja pas hari pencoblosan Calon yang kemarin kalah, sehingga belum tahu akan memilih siapa Menunggu subsidi dari calon Belum ada calon turun ke masyarakat langsung Menunggu diberi uang Rahasia, bagaimana nanti saja pas hari pencoblosan Menunggu diberi uang Menunggu calon yang datang langsung ke masyrakat Menunggu dana kucuran Menunggu pas pencoblosan Menunggu arahan saja dan ramenya saat pencoblosan Menunggu stimulus dana Menunggu uang atau sembako yang dibagikan Tergantung hari H saja Masih bingung Terlalu banyak janji jadi memusingkan Jenuh dengan pemilu langsung Belum mengurus persyratan-persyaratan seperti DPT dan KTP Menunggu tindakan-tindakan nyata yang akan dilakukan pasangan calon Belum adanya tokoh masyarakat yang menggerti Meginginkan pasangan calon door to door ke setiap rumah • • • masyarakat, sebagai bentuk perhatian terhadap masyarakat Menuggu yang rainai dibicarakan saja Menunggu sembak-o yang diberikan Belum ada koordinir dari koordinator/pejabat setempat Hal yang sama dalam hasil kajian pada putaran ke II ini pun tidak dapat dijadikan patokan utama atau tidak bisa dijadikan jaminan untuk kemenangan dalam pelaksanaan Pemilukada putaran ke II, tetapi pelaksanaan yang sesungguhnya yang dapat diakui dan terima oleh setiap kalangan. Hasil kajian ini sebatas alat bantu peta politik dalam pesta demokrasi, dan hanya merupakan gambaran semata bagi para elemen atau unsur terkait. Akan tetapi dalam waktu pelaksanan Pemiluklad yang sesungguhnya adalah memang betul pada putaran ke II itu pun pasangan Dadang Naser dan Dedenlah yang mengantongi suara paling banyak dengan 674.370 suara atau sebesar 53,24% mengungguli kandidat lainnya yaitu Ridho Budiman/Dadang Rusdiana yang meraih suara 592.392 atau sebesar 46,76% suara. Hal ini meneguhkan kemenangan pasangan yang diusung Partai Golkar itu setelah unggul pada putaran pertama. Pasangan Dadang Naser/Deden unggul di 21 Kecamatan dan pasangan Ridho/Dadang Rusdiana unggul di 10 Kecamatan lainnya. Inilah hasil pesta demokrasi yang sesungguhnya yang harus diterima oleh semua kalangan, dan berharap pasangan terpilih ini dapat merealisasikan dan menjalankan roda pemerintahan dengan baik, dan bagi pasangan yang kalah dapat menepati kesepakatan untuk menerima hasil Pilkada dengan damai. Pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Bandung pada putaran II yang dilakukan pada Tanggal 31 Oktober 2010 ini terlihat tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilukada atau dalam menyampaikan aspirasi dalam menentukan pilihannya terlihat menurun dibandingkan dengan putaran pertama, yakni dari 64,99 persen pada putaran pertama, menjadi 61,56 persen pada putaran ke dua. Hal ini disinyalir disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah menurut informasi sekitar 1000 orang pemilih sedang menunaikan ibadah haji sehingga tidak bisa menyampaikan hak pilihnya terutama di daerah perkotaan. Namun demikian capaian jumlah pemilih ini masih dapat dikatakan proporsional. Dengan melihat adanya kesesuaian antara hasil kajian dengan hasil pelaksanaan ini artinya adalah bahwa hasil kajian benar-benar dapat membantu terselenggaranya Pemilukada terutama dalam mendeskripsikan peta politik/tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pelaksanaan Pernilukada khususnya di Kabupaten Bandung. Terselenggaranya pelaksanaan Pemilukada dengan sukses ini perlu adanya kesiapan dan dukungan dari semua pihak termasuk pemilih dalam menyampaikan aspirasinya untuk dapat menentukan suatu pilihan terhadap pasangan calon yang akan menduduki jabatan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kedudukan/posisi jabatan dapat diperoleh berdasarkan dari sikap dan perilaku pemilih dalam menentukan pilihan terhadap pasangan calonnya, sehingga perilaku pemilih dalam Pemilukada mempunyai andil yang sangat besar. Perilaku pemilih menurut Nimmo (1989:186-197) terdiri dari pemilih rasional, pemberi suara yang aktif, pemberi suara yang responsif, pemberi suara yang aktif Nimmo (1989:187– 197) mengklasifikasikan pemilih sebagai berikut: 1. Pemberi suara yang rasional; yaitu pemberi suara yang turut memutuskan pemberiansuara dengan ciri-ciri: (a) selalu dapat rnengabil putusan bila dihadapkan kepada alternatif (b) memilah alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakal lebih disukai, sama saja, atau lebih rendah apabila dibandingkan dengan alternatif lain; (c) menyusun alternatif dengan cara transit, jika A lebih disukai daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C; (d) selalu memilih alternatif yang peringkat preferensinya paling tinggi; dan (e) selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan kepada alternatif-alternatif yang sama. 2. Pemberi suara yang reaktif pemberi suara bereaksi terhadap pemilihan umum berdasarkan faktor-faktor sosial dan. demokrasi jangka panjang, yakni pemberian suara lagi-lagi merupakan aksi diri. Pengaruh sosial yang paling penting adalah ikatan emosional kepada partai politik. 3. Pemberi suara yang responsif memiliki karakter sebagai pemberi suara yang impermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa politik dan pengaruh yang berubahubah terhadap pilihan para pemberi suara, memiliki kesetiaan kepada partai, tetapi tidak menentukan perilaku pemilihan, lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka pendek, sebagai fungsi terhadap isu dan penghargaan terhadap kapasitas kandidat, pemilih respon dengan masalah pokok dan relevan tentang kebijakan umum, tentang prestasi pemerintah dan kepribadiaan eksekutif variasi dalam rangsangan yang diberikan oleh kepemimpinan politik, partai dan kandidat sangat penting dalam pandangan pemberi suara karena tanggapan rakyat akan sangat dikondisikan oleh rangsangan ini. 4. Pemberi suara yang aktif, yaitu pemberi suara yang berperilaku sebagai ia membuat suatu objek dari apa yang dilihatnya, memeberinya makna dan menggunakan makna itu sebagai dasar untk mengarahkan tindakannya. Tindakannya merupakan hasil indikasi yang dibuatnya, bukan sekedar memberi respon saja. Dari klasifikasi yang disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilih yang menerima informasi dapat bersikap beragam, sesuai dengan psikologinya, lingkungan sosialnya, lingkungan politiknya dan lain sebagainya. pemilih yang responsif merupakan pemilih yang paling baik untuk kasus Kabupaten Bandung, manakala masyarakatnya masih kurang mengerti politik. Dalam penelitiaan ini mengkaji apakah perilaku pemilih di Kabupaten Bandung dalam Pemilukada bersifat responsif atau. tidak. Hasil penelitian tentang perilaku pemilih terlihat dalam penjelasan ini: Dalam menentukan pilihannya, pemilih dapat berlaku stabil atau tidak berubah pilihan berdasarkan pilihan-pilihan sebelumnya. Pemilih yang responsive akan memilih sesuai dengan keadaan yang berkembang. Terkadang memilih atas dasar partai politik, terkadang atas dasar program partai yang ditawarkan, terkadang atas dasar kapasitas calon, dan banyak lagi. Perilaku politik yang rseponsif ini bisa berubah-rubah setiap saat, bergantung pemahaman dan nilai politik pemilih itu sendiri, sejauhmana pemilih memiliki tingkat kestabilan sikap politik dalam Pemilukada Kabupaten Bandung Tahun 2010. Dalam hal ini informan lebih banyak menilai bahwa tidak sependapat tentang perilaku yang berubah-rubah dari kalangan pemilih. Artinya adalah bahwa penilaian responden atas perilaku pemilih adalah stabil dan tidak berubah-ubah. Pemilih responsif menururt teori masih loyal atas politik tertentu. Partai politik yang bersaing dalam kancah Politik masih memiliki masa loyal yang didasarkan atas pendidikan dan sosialisasi politik yang sudah berlangsung lama, sehingga informasi dan kondisi politik tidak serta merubah perilaku politik. Responsibilitas pemilih tidak terlalu mudah, karena pemilih memiliki nilai-nilai politik yang ditanamkan oleh partai tertentu. Sejauhmana hal ini dimiliki oleh pemilih di Kabupaten Bandung dalam Pemilukada Tahun 2010, maka peneliti dapat menjelaskan hasil penelitian tersebut. Dalam hal ini bahwa responden lebih banyak menilai bahwa tentang kesetiaan pemilih kepada partai politik tertentu menunjukkan bahwa penilaian responden atas kesetiaaan kepada partai politik sudah berkurang dibanding masa yang lalu. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu Ketua Partai politik menyatakan bahwa pemilih saat ini tidak terlalu terikat dengan partai tertentu. Simbol-simbol tradisional yang melekat pada partai masa lalu tidak lagi menjadi kekuatan utama sebab pemilih sudah begitu bebas dan tidak terikat dengan politik orang tua. Pragmatisme politik merupakan bagian dari perilaku pemilih. Pemilih dapat memilih atas pertimbangan-pertimbangan yang sangat sederhana, yaitu barang, uang dan yang lainnya yang bersifat material. Sejalan dengan kondisi yang sangat transparan, politik sudah berkembang ke arah pragtisme sehingga kondisi seperti ini menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan politik Indonesia saat ini. Sejauhmana hal ini terjadi, maka dapat dideskripsikan bahwa infonnan lebih banyak menilai tentang perilaku pemilih yang dipengaruhi oleh faktor-faktor material seperti uang, barang. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian responder tentang kecenderungan pemilih yang bersikap pragmatic bernilai tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu tim sukses pasangan terpilih didapatkan informasi bahwa perilaku pemilih memang memiliki kecenderungan ke arah pragmatic, terutama sejak berlangsung beberapa kali Pemilu secara langsung. Hal ini terjadi karena pemilih memandang penting sejumlah uang untuk menghargai hak suara yang dimilikinya. Pragmatisme pemilih lebih dipicu oleh kehilangan proses penyadaran politik. Selain faktor uang dan barang sebagai konpensasi politik yang menentukan pilihanpilihan pemilih, ternyata dalam setiap Pemilu ada juga yang memilih atas dasar program kerja yang ditawarkan oleh kandidat, partai politik dan tim sukses pasangan tersebut. Melalui tawaran kerja pemilih menaruhkan harapannya bagi terwujudnya pemerintahan yang mampu berpihak kepada pemilih. Pemilih memilih pemimpin yang diharapkan mampu membuat kebijakan yang berdampak positif bagi kehidupan bersama. Pemilih lebih memilih program kerja dibandingkan kepribadian kandidat, seperti kebaikan, keramahan dan sebagainya. Sejauhmana ini terjadi dalam pemilih selama Pemilukada di Kabupaten Bandung 2010, peneliti mempertanyakan hat ini kepada salah satu yang dijadikan informan dalam penelitian ini. Dalam hal ini responden lebih banyak menilai bahwa perilaku pemilih yang memilih atas dasar program kerja sangat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian informan keinginan terhadap seorang pemimpin yang berdasarkan kepada program kerja saja juga tidak diinginkan akan tetapi masyarakat menginginkan pemimpin yang fleksibel. Pemilih yang responsif juga memiliki karakteristik sebagai pemilih yang menghargai kapasitas kandidat. Artinya pemilih mempertimbangkan kemampuan kandidat dalam menjalankan pemerintahan setelah terpilihnya, seperti kemampuan manajerial, kepemimpinan dan sebagainya. Pemilih seperti ini lebih rasional dan mampu memikirkan informan yang dimilikinya untuk kepentingan penentuan pilihan. Pemilih dengan karakteristik seperti memiliki minat politik yang lebih dibandingkan dengan pemilih yang menjadikan uang sebagai kompensasi kedaulatan politiknya. Penilaian informan tentang perilaku pemilih yang mampu menghargai kapasitas kandidat termasuk gagasan dan kepribadiannya sangat dikatakan masih rendah. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu informan didapatkan penilaian bahwa pemilih dalam putaran pertama masih sulit untuk dilihat apakah berdasarkan pada pemahaman pemilih atas kapasitas calon atau hal lainnya. Hal ini terjadi karena jumlah kandidat yang banyak, yaitu 8 pasangan calon sehingga pemilih kesulitan untuk menentukan kapasitas masingmasing calon. Akan tetapi pada putaran kedua, suasana semakin menarik karena diprediksikan pemilih lebih mudah untuk mengukur kualitas calon. Pemilih yang responsif juga memperhatikan dengan seksama isu-isu yang berkembang, baik yang menyangkut calon, partai politik, dan persoalan daerah. Menyangkut calon kepala daerah, pemilih mesti memahami beberapa isu penting seperti pengalaman organisasi yang telah ditempuh oleh calon. Kinerja calon dalam berbagai organisasi yang diikutinya, kepernimpinan calon, kapabilitas manajemen dan teknis. Partai politik merupakan lembaga yang menentukan masa depan politik daerah, baik dari sisi kebijakan yang akan muncul, perilaku anggota partai di parlemen dan perilaku organisasi partai politik. Persoalan daerah juga harus mendapat perhatian pemilih karena dengan memahami hal tersebut, maka pemilih dapat menentukan siapa pemimpin yang akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan tersebut. Sejauhmana pendapat infonnan mengenai perilaku pemilih yang ada di Kabupaten Bandung dalam Pemilukada. Tahun 2010 tentang isu-isu yang menjadi perhatian pemilih dapat digambarkan seperti yang dikemukakan oleh infonnan. Infonnan lebih banyak memberikan penilaian kurang perhatian pemilih terhadap isu-isu yang berkembang sekitar Pemilukada. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan beberapa informan didapatkan informasi bahwa pemilih di Kabupaten Bandung secara umum tidak banyak yang peduli dengan isu-isu tentang pemilihan umum kepala daerah, karena pemilih tidak memiliki pendidikan politik yang memadai, sehingga tidak memiliki keinginan untuk memahami proses politik secara baik. Selain itu, kejenuhan politik yang melanda masyarakat akibat intensitas yang sangat tinggi dalam kegiatan politik menyebabkan apatisme politik meningkat. Masyarakat memandang politik sekedar proses yang tidak lagi bermakna, artinya proses hanya sekedar berlangsung pergantiaan kekuasaan, dan masyarakat tidak bisa menaruh harapan yang tinggi terhadap hasil. Evaluasi pemimpin merupakan bagian terpenting dari cara memilih atau menentukan pilihan. Pemimpin yang merupakan bagian penting untuk mendapat perhatian pemilih, sebab dengan hal itu pemilih memahami kelemahan yang ada. Kebijakan yang diambil selama ini dan pihak-pihak yang terlibat dalam merumuskan kebijakan, melaksanakan kebijakan dan menikmati hasil kebijakan itu sendiri. Evaluasi pemimpin juga berkaitan dengan tingkat keberhasilan dan kegagalan pembangunan yang dirancang oleh pemimpin sebelumnya. Sejauhmana pemilih dapat melakukan kegiatan evaluasi pemimpin yang merupakan kegiatan penting untuk menentukan pemimpin berikutnya, Penilaiaan. informan mengenai pemilih melakukan evaluasi terhadap kinerja pemimpin ini relatif mengatakan kurang melakukan evaluasi terhadap kinerja pemimpin. Berdasarkan wawancara dengan salah satu infonnan tentang hal ini didapatkan kesimpulan bahwa para pemilih masih belum bisa mengevaluasi kinerja pemimpin pada masa sebelumnya sehingga pemilih sulit untuk menentukan kapasitas pemimpin yang dibutuhkan di masa mendatang. Selain pemimpin eksekutif, evaluasi pemilih juga dilakukan terhadap para wakil rakyat yang ada di DPRD tennasuk partai pengusungnya. Kebutuhan publik dari kegiatan ini adalah pemilih dapat melihat keseriusan partai politik dalam mengelola kekuasaan yang telah diberikan rakyat. Melalui evaluasi kinerja partai politik yang mengusung anggota DPRD terlihat bahwa suatu partai berkualitas baik dan yang lainnya tidak. Sejauhmana pengetahuan pemilih mengenai hal ini peneliti mewawancarai salah satu informan. Informan tnembenikan penilaian terhadap partai pengusung dan kinerja anggota DPRD yang terjadi selama ini. Kepemimpinan partai politik merupakan figur sentral dalam menentukan keberhasilan kandidat bupati dalam menjalankan roda pemerintahan. Intervensi partai politik dalam berbagai kegiatan administrasi pemerintahan sudah Sering mengemuka dalam banyak diskusi, baik di kalangan birokrasi maupun politisi itu sendiri. Birokrasi merasa partai politik memiliki agenda dalam setiap program pembangunan yang seringkali menghendaki adanya pembagian keuntungan. Hal ini sangat merugikan publik, dimana pelayanan publik seringkali terganggu. Sejauhmana aktifitas atau proses keingin-tahuan pemilih mengenai para ketua partai di tingkat lokal, peneliti menggajukan pertanyaan ke salah satu informan. Penilaian informan terhadap pertanyaan mengenai pemilih mempertimbangkan pilihannya atas kepemimpinan partai politik ini memang terjadinya pengetahuan yang tinggi dari pemilih tentang ketua partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih melakukan evaluasi terhadap kinerja pemimpin partai tingkat lokal itu relatif rendah. Berdasarkan wawancara dengan salah satu informan didapatkan informasi pemilih hanya mengetahui pemimpin partai politik itu hanya mengetahui pemimpin partai tingkat nasional, bukan pemimpin partai di tingkat lokal. Oleh karena itu di dalam Pemilukada eksistensi pemimpin partai tidak mendapat perhatian yang memadai. Kinerja kandidat semasa aktifis partai politik menjadi salah satu bagian penting dalam melihat kepemimpinan dan peluang untuk keberhasilan di masa mendatang. Sebagai politisi, kandidat tentu memiliki catatan jejak politik yang menggambarkan kualitas sebagai aktifis politik di tingkat Kabupaten Bandung. Hal ini dipertanyakan kepada salah satu informan bahwa informan lebih banyak memberikan penilaian dalam memperhatikan kinerja kandidat dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung. 4.2. Hambatan-hambatan Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tabun 2010 Di Kabupaten Bandung Proses penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) di Kabupaten Bandung tahun 2010 yang baru dilaksanakan, secara umum dapat dikatakan berjalan dengan baik. Ini semua atas terselengaranya kerjasama dari berbagai elemen atau unsur terkait yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilukada tersebut mulai dari KPU sebagai penyelenggara Pemilu sampai kepada pemilih yang mempunyai peran besar dalam pelaksanaan Pemilukada. Bahu membahu di setiap unsur/elemen untuk dapat menciptakan iklim demokratis yang kondusif, permasalahan-permasalahan ditekan sedemikian rupa demi terselenggaranya Pemilukada yang Luber dan Jurdil dan mencenninkan pesta demokratis yang damai yang tentunya ini juga dapat diciptakan dari perilaku pemilih yang dapat memberikan aspirasi dalam menentukan pilihan terhadap pasangan yang layak untuk menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten Bandung Tahun 2010-2015 mendatang. Walaupun upaya secara optimal telah dilakukan oleh berbagai pihak demi terselenggaranya Pemilukada yang sukses, akan tetapi dalam hal ini masih ditemukannya hambatan-hambatan dalam terselenggaranya Pemilukada tersebut, terutama hambatan-hambatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung yaitu sebagai berikut: 1. Masih terdapat pemilih yang tidak memberikan hak pilihnya/tidak menyampaikan aspirasinya dalam hal ini tidak memberikan suara dalam pelaksanaan Pemilukada Tahun 2010. 2. Pada putaran pertama terjadi Golput sebesar 49% dari jumlah pemilih tetap yang ditetapkan KPU tidak datang ke TPS untuk menyampaikan aspirasinya, dan masih terdapat pemilih yang tidak menentukan pilihan setelah datang ke TPS. 3. Merosotnya/terjadi penurunan tingkat partisipasi politik masyarakat dalam keikutsertaan penyelenggaraan Pemilukada, tahun 2010 di Kabupaten Bandung pada putaran ke dua dibandingkan pada putaran pertama yakni dari 64,99% pada putaran pertama turun menjadi 62,56% pada putaran ke dua. 4. Banyak pemilih yang tidak mengetahui perihal visi, misi dan program dari pasangan calon sehingga pemilih tidak menentukan pilihan. 5. Kurangnya sosialisasi yang diserap oteh masyarakat mengenai arti pentingnya Pemilukada di Kabupaten Bandung yang berdampak kepada pemilih tidak menyampaikan hak pilihnya. 6. Terjadinya titik kejenuhan masyarakat dengan rangkaian proses pemilihan umum yang dianggap tidak membawa perubahan. 7. Kedewasaan berpolitik masyarakat Kabupaten Bandung dapat dikatakan masih rendah. Ini terbukti masih adanya beberapa pemilih yang akan memberikan pilihan apabila adanya amplop yang diterima untuk mendukung salah satu pasangan calon. 8. Terjadinya, krisis kepercayaan kepada para calon yang dinilai masyarakat hanya mengumbar janji akan tetapi diragukan untuk dapat merealisasikan janji-janjinya. 9. Kurang adanya pendekatan dari para pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati kepada masyarakat sehingga untuk mengenal sosok calon Bupati dan Wakil Bupati lebih sulit. 10. Pemilih menilai masih adanya keraguan kemampuan yang dimiliki oleh para pasangan calon untuk dapat membawa amanah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. 4.3. Upaya-upaya Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung Dari berbagai hambatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 yang ditemukan, maka ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemilih dalam pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala sebagai berikut: 1. Mencari informasi tentang penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten bandung. 2. Mencari infirmasi tentang keberadaan dari pasangan calon. 3. Menumbuh-kembangkan kesadaran bahwa Pemilukada ini merupakan pesta demokrasi yang akan menentukan nasib 5 tahun ke depan. 4. Menghindari untuk golput dan mengajak pihak lain untuk tidak golput. 5. Mencari informasi tentang kemampuan, visi, misi program kerja dari berbagai pasangan calon. 6. Menghindari terjadinya money politik. 7. Mendukung menciptakan pesta demokratis ini yang kondusif, aman dan damai serta bersifat Luber dan Jurdil. 8. Dapat membantu menyebarkan informasi mengenai pentingnya arti dari sehuah proses Pemilukada. Dengan berbagai upaya yang dilakukan, diharapkan hambatan-hambatan atau kelemahankelemahan yang ditemukan dalam Pemilukada tahun 2010 ini tidak terjadi lagi dalam Pemilukada yang akan datang. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian terhadap perilaku pemilih dalam Pemilukada Tahun 2010. Di Kabupaten Bandung dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung masih dapat dikatakan relatif kurang baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku pemilih dalam hal memberikan sikap/memberikan suara dalam Pemilukada Tahun 2010 masih rendah, masih banyak daftar pemilih tetap yang tidak memberikan suara dan masih lehih banyak memilih untuk golongan putih (Golput). Begitu juga para pemilih belum mencerminkan sikap dewasa dalam kajian politik misalnya saja masih ditemukannya pemilih yang kurang menyadari pentingnya arti Pemilu sehingga masih banyak pemilih yang mensikapi terhadap Pemilukada ini dengan sikap acuh dan masih banyak pemilih yang mengharapkan pamrih terhadap suara yang diberikannya atau terjadi kontrak dan money politik antara pemilih daerah pasangan dan calon. 2. Hambatan-hambatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 Di Kabupaten Bandung antara lain: masih terdapatnya pemilih yang tidak memberikan hak pilihnya yaitu pada putaran pertama terjadi Golput sebesar 49% dari jumlah pemilih tetap yang ditetapkan KPU. Merosotnya /terjadinya penurunan tingkat partisipasi politik masyarakat dalam keikutsertaan penyelenggaraan Pemilukada tahun 2010 di Kabupaten Bandung pada putaran ke dua dibandingkan pada putaran pertama yakni dari 64,99% pada putaran pertama turun menjadi 62,56% pada putaran ke dua. Kurangnya sosialisasi yang diserap oleh masyarakat mengenai arti pentingnya Pemilukada di Kabupaten Bandung yang berdampak kepada pemilih tidak menyampaikan hak pilihnya dan terjadinya titik kejenuhan masyarakat dengan rangkaian proses pemilihan umum yang dianggap tidak membawa perubahan. 3. Upaya-upaya perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung antara lain: Menumbuhkembangkan kesadaran bahwa Pemilukada ini merupakan pesta demokrasi yang akan menentukan nasib 5 tahun ke depan, menghindari untuk golput dan mengajak pihak lain untuk tidak golput, menghindari terjadinya money politik, mendukung menciptakan pesta demokratis ini yang kondusif, aman dan damai serta bersifat Luber dan Jurdil, dapat membantu menyebarkan informasi mengenai pentingnya arti dari sebuah proses Pemilukada. 5.2. Saran 1. Penyelenggara Pemilukada (KPUD) atau stakeholders lainnya serta para, individu meningkatkan sosialisasi politik tentang pentingnya arti dari penyelenggaraan Pemilukada bagi masyarakat. 2. Partai politik atau pihak lain dapat meningkatkan pemberian pendidikan politik secara berkala dan kontinue, bukan hanya sebatas menghadapi Pemilukada saja, supaya dapat mendorong tingkat kedewasaan dalam berpolitik. 3. Mensosialisasikan kepada para pemilih untuk menghindari Golput, karena dengan golput ini berarti masyarakat tidak menentukan sikap atau tidak memberikan suara dan tidak mempunyai arti dan makna terhadap penyelenggaraan Pemilukada. 4. Penyelenggara Pemilukada, pengawas Pemilukada dan pihak terkait lainnya dapat meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilukada supaya tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran termasuk money politik yang dilakukan oleh para calon. DAFTAR PUSTAKA BUKU Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-dasar Ilmu Poliik. Jakarta: Gramedia Firmansyah, 2008. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Gaffar, Affan. 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hadi, Sutrisno. 2001. Metodologi Reserch. Jogjakarta. Andi. Mas'oed Mohtar dan Colin Mc Andrew. 2000. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Miles, Mathew B & Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Alih Bahasa Tjetjep Rohendi Effendi. Jakarta: UI Press. Mulyana. Dedi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Bandung: Rosda Karya. Mustapadidjaya. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta: LAN Nursal, Adman. 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: PT Gramedia Utama. Ralunan, Arifin. 2001. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: SIC Rush, Michael dan Philip Althop. 2000. Pengantar Sosiologi Politik (TerjemahanKartini kartono), Jakarta: Rajawali Sanit, Arbi. 1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali. Singarimbun. Masri dan Sofian Effendi. 2005. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. DOKUMENTASI Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor: 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Badan Statistik Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung Dalam Angka Tahun 2010. Hadi Setia Tunggal. 2008. Kumpulan Paket UU Pemilu, Bandung Harvarindo,