evaluasi perilaku pemilih dalam pemilihan

advertisement
EVALUASI PERILAKU PEMILIH
DALAM PEMILIHAN UMUM
KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH
TAHUN 2010 DI KABUPATEN BANDUNG
Penelitian
Oleh
Dr. Drs. Agustinus Widanarto, M.Si.
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi dan merupakan sarana
implementasi kedaulatan rakyat dalam bidang politik, yakni memilih dan menentukan orangorang yang akan menjalankan hak kedaulatan dalam berbagai lembaga politik untuk
mengambil suatu keputusan dengan atas nama rakyat. Kualitas dari Pemilu sangat
menentukan kualitas lembaga eksekutif yang berujung pada kualitas kebijakan publik,
alasannya karena nantinya eksekutif memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk
mempengaruhi proses tatanan pemerintahan di daerah yang bersangkutan. Keberhasilan
penyelenggaraan Pemilu dapat juga dijadikan suatu ukuran keberhasilan dalam menciptakan
dan membangun nuansa demokrasi, sebab Pemilu merupakan salah satu indikator dari suatu
negara dapat dikatakan/digolongkan menjadi negara yang demokratis, seperti yang dikatakan
Gaffar (2000: 8-9) sebagai berikut:
Dalam suatu negara demokrasi, Pemilu dilaksanakan secara teratur, setiap warga
negara, yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas
menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas
menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau
paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktivitas
pemilihan termasuk didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan
suara.
Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung dalam konteks daerah disebut Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung merupakan sarana merupakan
partisipasi masyarakat (publik). Dalam hal ini rakyat secara langsung menentukan siapa yang
hendak memimpin jalannya tatanan pemerintahan selama lima tahun mendatang.
Terpilihnya Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berkualitas merupakan
suatu harapan utama terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah yang balk. Pemilukada
merupakan momentum untuk dapat melaksanakan suksesi kepemimpinan lokal sebagai
wujud implementasi demokrasi yang partisipatif. Melalul Pemilukada, rakyat dapat
berpartisipasi langsung dalam menentukan pemimpinnya yang mereka nilai aspiratif,
kapabel, kredibel dan akseptabel. Hal ini merupakan lompatan demokrasi yang cukup penting
dalam lanskap sosio politik Indonesia, dari yang corak sentralistik di masa Orde Baru
menjadi desentralistik di era reformasi.
Melalui konsep desentralisasi diharapkan akan tenvujud kesejahteraan masyarakat dan
keterlibatan publik dalam proses politik yang sehat. Kepala daerah dalam perspektif
organisasi memiliki peran strategic yang menentukan tingkat keberhasilan sebuah organisasi.
Pemimpin dalam sebuah organisasi merupakan figur dan alat utama untuk dapat menjalankan
roda organisasi ke arah yang lebih balk. Dalam hal ini Pemilukada secara langsung
merupakan sarana serta wahana untuk dapat melahirkan dan menciptakan pemimpin yang
berkualitas dan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat khususnya khususnya
masyarakat lokal. Untuk itu sangatlah penting keterlibatan masyarakat yang sudah
mempunyai hak pilih untuk dapat mengapresiasi dan memberikan dukungan serta
menyalurkan aspirasinya dalam pelaksanaan Pemilukada ini, dengan tujuan untuk dapat ikut
menentukan dan menciptakan pemimpin yang berkualitas dan dapat menentukan roda
pemerintahan yang baik.
Pemilukada merupakan proses transformasi politik, maka Pemilukada selain
merupakan bagian dari penataan struktur kekuasaan makro agar lebih menjamin fungsinya
mekanisme check and balances system di antara lembaga-lembaga politik dari tingkat pusat
sampai daerah, masyarakat mengharapkan pula agar pelaksanaan Pemilukada dapat
menghasilkan Kepala Daerah yang lebih akuntabel, berkualitas, legitimit, aspiratif dan peka
terhadap kepentingan masyarakat.
Makna Pemilukada bagi perkembangan tatanan pemerintahan memiliki kapasitas
yang tinggi, sehingga politik merupakan suatu proses yang mampu mewujudkan pembagian
kekuasaan yang berpihak kepada kebaikan, kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu
partisipasi masyarakat sangat mutlak dibutuhkan.
Pelaksanaan Pemilukada sangat membutuhkan partisipasi masyarakat yang aktif dan
berkualitas, sebab tanpa adanya keterlibatan aktif dari masyarakat sebagai pemilih dalam
berbagai tahapan Pemilukada dapat dipastikan kurang berkualitas. Hal ini sesuai dengan
bentuk partisipasi politik yang dikemukakan oleh Rush dan Althop (2000: 124) bahwa bentuk
partisipasi secara bertingkat dari tertinggi bergerak ke yang terendah sebagai berikut:
1. Menduduki jabatan politik atau adminstratif
2. Mencari jabatan politik atau administratif
3. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
4. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
5. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik
6. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
7. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya
8. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik
9. Voting (pemberian suara).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, voting (pemberian suara) merupakan bentuk
partisipasi politik yang paling rendah, namun demikian sangat signifikan. Begitu juga dalam
proses penyelenggaraan Pemilukada sangat memerlukan partisipasi politik masyarakat yang
tinggi dari kalangan masyarakat. Dengan kata lain artinya adalah bahwa masyarakat yang
sudah memiliki hak pilih untuk dapat memberikan aspirasinya dalam pelaksanaan
Pemilukada dalam bentuk memberikan suara untuk dapat memilih dan menentukan
pemimpin di masa mendatang untuk dapat menjalankan roda pemerintahan di daerah yang
bersangkutan.
Pelaksanaan Pemilukada memiliki peran strategic untuk mewujudkan pemerintahan
yang baik, termasuk Pemilukada di Kabupaten Bandung yang saat ini merupakan yang ke dua
kalinya pelaksanaan Pemilukada secara langsung. Pertarna dilaksanakan pada tahun 2005
yang lalu. Artinya adalah bahwa Pemilukada saat ini merupakan evaluasi dari pelaksanaan
Pemilukada yang pertama, dimana Pemilukada ini bertujuan agar terbentuk pemerintahan
yang lebih legitimit, lebih bertanggung jawab kepada publik, lebih mampu mengedepankan
kepentingan umum dari pada kepentingan kelompok dan individu.
Hasil dari pelaksanan Pemilukada secara langsung ini dibutuhkan pemimpin yang
akan dapat melakukan terobosan baru baik dalam meningkatkan kinerja aparatur birokrasi,
merekonstruksi peranan sosial bagi para pelaku gerakan sosial, dapat memperbaiki kontelasi
politik yang selama ini memperlambat proses terciptanya tatanan pemerintahan yang baik,
efektif dan mampu menciptakan kesejahteraan rakyat.
Dengan menyadari betapa pentingnya Pemilukada, maka dalam pelaksanaannya harus
melibatkan semua pihak dengan suatu kesadaran yang utuh. Baik buruk penyelenggaraan
Pemilukada ditentukan oleh kualitas dan kapabilitas KPU Daerah yang bertindak sebagai
pelaksana dari penyelenggaraan pemilu baik penyelenggara teknis, maupun mengatur agar
semua pihak yang memenuhi syarat dapat mengajukan sebagai Calon Bupati dan Wakil
Bupati serta, penentuan daftar pemilih tetap (DPT).
Kualitas partai politik sebagai pengusung calon, partai politik dengan segala
dinamikanya tentu mengambil peran dalam perebutan kekuasaan yang ada, sebab partai
politik memang ada dan hadir untuk memperebutkan kekuasaan secara. teratur.
Mengamati perkembangan partai politik, sampai saat ini masih dapat dikatakan
kurang mampu dalam menghadirkan calon-calon pemimpin yang dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan, justru calon yang dapat dihadirkan itu lebih banyak didorong oleh
kepentingan-kepentingan tertentu. Proses terakhir penyelenggaraan Pemilukada di tangan
rakyat bukan di tangan elit, oteh karenanya Pemilu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam hal ini rakyatlah yang berdaulat, rakyat yang berhak menentukan siapa yang hendak
menjadi pemimpin, bukanlah uang yang menentukan kekuasaan dan bukan pula popularitas
yang abstrak yang menentukan kekuasaan akan tetapi rasionalitas publik, kehendak publik,
kemandirian publik, kematangan publik dan kesadaran publik yang menentukan dalam
Pemilukada. Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul:
“Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung”.
1.2. Perumusan Masalah
Fokus permasalahan dalam penelitian ini perilaku pemilih belum menunjukkan
sebagai pemilih yang cerdas, dewasa, bertanggungjawab dan rasional. Hal ini terihat dari
jumlah daftar pemilih tetap yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai angka 49%,
pilihan yang dijatuhkan masyarakat bukan berdasarkan pertimbangan yang matang, adanya
keterlibatan oknum birokrasi pemerintahan dalam mengarahkan pilihan masyarakat,
rendahnya keaktifan dalam proses Pemilukada terutama dalam masa kampanye pada
pemilukada putaran pertama.
1.3. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini peneliti merumuskan identifikasi masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
2) Hambatan-hambatan pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
3) Upaya-upaya pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
a. Untuk mendeskripsikan perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
b. Untuk mendeskripsikan hambatan-hambatan pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
c. Untuk mendeskripsikan upaya-upaya pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
Manfaat Penelitian
a. Dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan bagi stakeholders, penentu kebijakan
dalam rangka mendukung suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah
secara langsung di Kabupaten Bandung.
b. Sebagai bahan rekomendasi bagi stakeholders Kabupaten Bandung dalam mendukung
suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Kabupaten
Bandung pada waktu-waktu yang akan datang.
1.5. Kerangka Pemikiran
Menjadikan peran Pemilu sebagai alat demokrasi, berarti memposisikan pemilu dalam
azasinya sebagai wahana pembentukan representatif government. Berlangsungnya Pemilu
sebagai wahana representatif government sebagai metode pemerintahan, telah melibatkan
berbagai mekanisme dan prosedur tertentu serta melibatkan berbagai kekuatan komponen
bangsa baik pada tatanan suprastruktur politik maupun tatanan infra struktur politik. Masingmasing berproses dalam memilih sebagian dari anggota masyarakat, untuk menduduki
berbagai jabatan pemerintahan dalam suatu pemerintahan demokratis.
Salah satu syarat terwujudnya pemerintahan yang baik adalah terwujudnya proses
demokrasi yang berkualitas yaitu demokrasi yang tidak saja memberi ruang bagi setiap
anggota masyarakat secara prosedural melaksanakan hak-haknya, tetapi juga demokrasi yang
substantif, yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara yang memenuhi kualitas
partisipasi dan penyelenggaraan politik yang tinggi.
Gaffar (2007: 7-9) memberikan beberapa hal pokok yang menggambarkan
terlaksananya proses politik dan pemerintahan yang demokratis:
1. Akuntabilitas; yaitu setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuh
termasuk perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan akan
dijalankannya.
2. Rotasi kekuasaan; yaitu dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi
kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai.
3. Rekruitment politik yang terbuka; orang yang memenuhi syarat untuk mengisi
suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam
melakukan kompetisi jabatan.
4. Pemilihan umum; dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara
teratur, dimana setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk
memilih dan dipilih dan bebas menggunakan hak tersebut sesuai dengan kehendak
hati nuraninya.
5. Menikmati hak-hak dasar yaitu dalam satu negara yang demokratis, setiap warga
negara dapat menikmati hak-hak dasar secara bebas, termasuk didalamnya adalah
hak-hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk
berkumpul dan bebas (freedom of assembly) dan hak untuk menikmati pers yang
bebas (freedom of press).
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dipahami bahwa Pemilukada yang langsung,
umum bebas, dan rahasia serta yang jujur dan adil itu dalam hal ini pemilih dapat
menggunakan hak tersebut sesuai dengan hati nurani merupakan salah satu alat utama proses
penyelenggaraan politik yang demokratis. Terlaksananya Pemilukada yang berkualitas
merupakan dasar terwujudnya sistem politik yang kuat, karena akan menghasilkan pemegang
jabatan publik yang terbaik, bukan sembarang orang. Hasil pemilihan umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan adanya akurasi
partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Berkaitan dengan penelitian ini yang membahas tentang perilaku pemilih dalam
pemilihan Kepala Daerah secara langsung pada tahun 2010 di Kabupaten Bandung, maka ada
beberapa konsep dasar yang dikemukan dalam kerangka teori, yaitu partisipasi politik
(political participation), dan perilaku memilih (voting behavior).
1.5.1. Partisipasi Politik
Keikutisertaan masyarakat dalam Pemilu khususnya dalam Pemilukada merupakan
serangkaian kegiatan dalam proses pembuatan keputusan. Pemilukada merupakan
kesempatan bagi rakayat untuk memilihi wakil-wakilnya dan memilih pejabat pemerintah
serta menentukan apakah yang mereka inginkan untuk dikerjakan oleh pemerintah. Untuk itu,
Pemilu berkaitan erat dengan partisipasi politik, karena keikutsertaan rakyat dalam Pemilu
termasuk dalam Pemilukada merupakan salah satu bentuk partisipasi rakyat dalam sebuah
negara demokratis.
Untuk itu anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan politik, misalnya
melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan
ini kebutuhan dan kepentingan mereka akan tersalurkan atau terwakili. Keyakinan akan
kebutuhan dan kepentingan tersebut sangat berpengaruh dalam pemilihan umum, khususnya
dalam memberikan pilihan pada salah satu kontestan atau partai politik.
1.5.2. Voting Behaviour
Perilaku pemilih didasarkan pada dua model atau dua pendekatan, yaitu pertama
pendekatan sosiologis dan kedua pendekatan psikologis. Di lingkungan ilmuwan sosial
Amerika Serikat, pendekatan pertama disebut sebagai Aliran Columbia (The Columbia
School of Electoral Behavior), sementara pendekatan kedua disebut dengan Aliran Michigan
(The Michigan Survey Research Center), Afan Gaffar (1992) Pendekatan Sosiologis lebih
menekankan peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang,
sementara pendekatan psikologis lebih mendasarkan faktor psikologis seseorang dalam
menentukan perilaku politiknya. Selain itu, ada pula pendekatan lain yaitu pendekatan politik
rasional yang lebih melihat bahwa perilaku politik seseorang berdasarkan pada pertimbangan
untung-rugi yang didapat oleh orang tersebut.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung, menggunakan metode deskriptif
melalui pendekatan kualitatif. Metode deskriptif dengan mengkombinasikan data kuantitatif
dan data kualitatif (dominant less dominant) yang merupakan cara untuk menggambarkan
suatu gejala, proses atau suatu kegiatan yang dilakukan serta memusatkan perhatian pada
pemecahan masalah yang ada dan bersifat aktual dengan jalan data-data dan informasi
dikumpulkan, setelah itu dijelaskan dan kemudian dianalisa untuk memperoleh jawaban.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang mempunyai hak pilih dalam
pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten
Bandung sebanyak 2.126.683 pemilih. Dan ukuran populasi 2.126.683 orang beberapa orang
pemilih dijadikan sebagai informan atau lebih tepatnya ada 30 informan, yaitu diambil dari
masing-masing seorang tokoh masyarakat di tiap kecamatan. Untuk mendapatkan data yang
akurat yang dapat mewakili populasi maka teknik pengambilan sampel menggunakan teknik
Purposive sampling.
Teknik Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data mengutamakam perspektif emik, artinya mementingkan
pandangan informan yakni bagaimana mereka memandang dan menafsirkan dari
pendiriannya. Teknik pengumpulan data yang utama dalam pendekatan kualitatif adalah
observasi dan wawancara mendalam.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
1. Wawancara
2. Observasi terhadap objek penelitian
3. Studi kepustakaan, yakni mempelajari dan menelaah serta menganalisis literatur baik
berupa buku-buku, artikel, maupun karya ilmiah yang ada relevansinya dengan
permasalahan penelitian, dan dilengkapi dengan data sekunder dari hasil poling yang
dilakukan oleh KPU Kabupaten Bandung.
Tahapan Pengumpulan Data
Tahapan pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini mengikuti petunjuk
Lincoln (1985:235-236) yaitu meliputi tiga tahap sebagai berikut:
1. Tahap Orientasi; pada tahap, ini peneliti sudah memiliki gambaran umum tentang
masalah yang diteliti. Pada fase ini peneliti juga melakukan kunjungan, melakukan
wawancara kepada beberapa informan, observasi. Informasi yang diperoleh selanjutnya
dikaji untuk menemukan hal yang menarik dan bermanfaat yang ada kaitannya dengan
permasalahan, yaitu dalam upaya memahami fokus penelitian maka selanjutnya dijadikan
paradigma penelitian dan kemudian dijadikan pedoman untuk mengumpulkan data.
2. Tahap Eksplorasi; pada tahap ini pengumpulan data lebih memfokuskan yaitu sesuai
dengan paradigma yang telah disusun. Wawancara dan obervasi yang dilakukan sudah
mengarah, terstruktur dan sekaligus terlampir, sehingga diperoleh informasi yang lengkap
dan mendalam tentang aspek-aspek yang diteliti. Sumber data telah disesuaikan dengan
permasalahan.
3. Tahapan Member Check; Semua data yang telah dikumpulkan kemudian dituangkan
dalam catatan (field notes). Untuk memperoleh data yang kredibel selain dilakukan
melalui trianggulasi, maka perlu dilakukan member check artinya suatu proses
penyampaian informasi hasil pengumpulan data kepada sumber data. Jadi data yang
diperoleh itu dicek kembali oleh sumber data sehingga data tersebut kebenarannya diakui
oleh pemberi data.
Teknis Analisis Data
Miles dan Huberman (1984:16) memberi petunjuk secara umum tentang langkahlangkah dalam analisis data kualitatif yaitu melalui:
1. Rekap data; Seperti telah dikemukakan bahwa dalam penelitian kualitatif teknik
pengumpulan data yang digunakan melalui observasi, wawancara mendalam dan studi
dokumentasi.
2. Reduksi data; Semakin lama pengumpulan data berlangsung, maka semakin banyak data
yang diperoleh. Data dari berbagai sumber tersebut ada yang sama ada yang berbeda, ada
yang penting dan ada yang tidak, ada yang bermakna dan ada yang tidak. Dalam tahap
reduksi ini peneliti melakukan pengklarifikasian data, memilih data yang berguna, yang
penting dan yang bermakna. Data yang tidak penting dibuang. Dengan reduksi data ini
maka basil penelitian menjadi jelas dan tajam.
3. Penyajian Data; Setelah data yang banyak tersebut direduksi, maka supaya data tersebut
mudah dipahami baik oleh diri sendiri maupun orang lain, sehingga data tersebut perlu
disajikan. Penyajian data dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, misalnya grafik, tabel,
dan uraian rinci. Data yang disajikan tersebut sudah melalui tahapan analisis seperti di
atas.
4. Verifikasi dan Penyimpulan; setelah data disajikan dalam bentuk uraian rinci maka
analisis selanjutnya adalah memferifikasi terhadap data yang telah disajikan tersebut.
Dalam memferifikasi ini selanjutnya peneliti dapat memberikan tafsiran, makna dan
mencari hubungan antara satu kategori dengan kategori lain.
1.7. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung
dan kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam waktu 3 (Tiga) bulan dengan pelaksanaan
pada Dulan Juli 2011 s.d. bulan September 2011. Rincian jadual kegiatan sebagai berikut:
Tabel 1.1.
Jadual Kegiatan Penelitian Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung
No.
Nama Kegiatan
1.
Persiapan
- Penjajagan
- Penyusunan Proposal
- Penyusunan Instrumen
Penelitian
- Pelatihan Surveyor
Pengumpulan data dan
Lapangan
Penyusunan Laporan
Penyelesaian laporan
2.
3.
4.
I
II
Bulan Juli 2011 s.d. September 2011
III IV I
II III IV I
II
X
X
X
X
III
IV
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemilihan Umum Merupakan Proses Demokratisasi
Salah satu syarat untuk terwujudnya pemerintahan yang baik adalah terwujudnya
proses demokrasi yang berkualitas yaitu demokrasi yang tidak saja memberi uang bagi setiap
anggota masyarakat secara prosedural melaksanakan hak-haknya tetapi juga demokrasi yang
substantif, yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara yang memenuhi kualitas
partisipasi dan penyelenggaraan politik yang tinggi.
Gaffar (2000:7-9) beberapa hal pokok yang menggambarkan terlaksananya proses
politik dan pemerintahan yang demokratis yaitu:
1. Akuntabilitas; setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuh termasuk
perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan akan dijalaninya.
2. Rotasi kekuasaan; dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada,
dan dilakukan secara teratur dan damai, jadi tidak hanya satu orang yang selalu
memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali.
3. Rekruitmen politik yang terbuka; setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu
jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan
kompetisi jabatan tersebut.
4. Pemilihan umum, yaitu dalam suatu negara demokrasi, Pemilu dilaksanakan secara
teratur, dimana setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih
dan dipilih dan bebas menggunakan hak tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya.
5. Menikmati hak-hak dasar, yaitu dalam suatu negara demokratis, setiap warga negara
dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas termasuk didalamnya hak-hak untuk
menyatakan pendapat, hak untuk berkumpul dan kebebasan pers.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami pemilu yang bebas, teratur dan
pemilih dapat menggunakan hak tersebut sesuai dengan hati nuraninya merupakan salah satu
alat ukur utama proses penyelenggaraan politik yang demokratis. Terlaksana Pemilu yang
berkualitas merupakan dasar terwujudnya sistem politik yang kuat, karena akan
menghasilkan pemegang jabatan publik yang terbaik bukan sembarang orang. Hasil
pemilihan umum kepala daerah yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat dianggap mencerminkan dengan akurasi
partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Di kebanyakan negara demokrasi, penyelenggaraan pemilihan umum merupakan
suatu aktivitas politik penting yang sudah berkala, dengan pengalaman penyelenggaraan yang
beragam. Di berbagai negara maju, proses Pemilu sudah berlangsung cukup matang, baik
pada level penyelenggara, sistem Pemilu yang digunakan maupun pada tingkat perilaku
pemilih. Melalui Pemilu, dapat memupuk kekuasaan yang absah dan mencapai tingkat
perwakilan politik (political representativeness) tertentu. Menurut Sanit (1985:173) dalam
jangka pendek pelaksanaan Pemilu dapat bermanfaat untuk mencapai kekuasaan yang absah
dan perwakilan politik, tetapi dalam jangka panjang pemilu bermanfaat bagi pembentukan
budaya politik dan pelembagaan politik. Ralmian (2001:190) menambahkan bahwa pada
hakikatnya Pemilu merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan
wakil-wakinya yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat guna menjalankan
kedaulatan rakyat.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa Pemilu bukan saja wahana
tenvujudnya proses kompetisi peserta Pemilu memperebutkan kekuasaan yang absah pada
jabatan-jabatan publik, melainkan juga membentuk tingkat kematangan budaya politik
masyarakat dan lembaga-lembaga politik mempertanggungjawabkan kinerjanya selama
menjalankan aktivitas politik selama waktu tertentu, dan rakyat akan memberikan
kepercayaan kepada pemimpin, lembaga-lembaga tersebut yang mendapat kepercayaannya.
2.2. Definisi Makna Dan Penyelenggara Pemilukada
Pemilukada merupakan salah satu kegiatan politik yang merupakan implementasi hak
kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin untuk masa 5 tahun mendatang. Melalui
Pemilukada terjadi pergantian pemegang kekuasaan secara teratur, damai dan berkualitas.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pemilihan
kepala daerah adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat di wilayah propinsi dan/atau
Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah.
Pemilukada juga merupakan terobosan baru dalam sistem politik Indonesia,
khususnya untuk level pemerintahan lokal. Sebelum pemilukada, kepala daerah dipilih
melaui sebuah proses politik yang tidak dapat disebut Pemilu, karena tidak melibatkan rakyat
pemilih. Menurut Zuhro, dkk (2009:48 mengadakan bahwa pemilukada merupakan
momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan lokal sebagai wujud implementasi
demokrasi yang partisipatif
Pemilukada merupakan pemilihan yang diselenggarakan di daerah otonom yang
merupakan perintah dari perubahan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Menururt Irtanto (2008:159) yang dimaksud pemilukada adalah suatu proses politik untuk
memilih kepala daerah secara langsung. Terselenggaranya Pemilukada merupakan amanat
Pasal 56 ayat (1) UU no. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa: Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Berdasarkan landasan
hukum di atas, Pemilukada merupakan kegiatan pemilihan umum yang bertujuan memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk daerah otonom tertentu, yang diharapkan
mampu mewujudkan sistem politik yang lebih stabil dan berkualitas, karena terjadi proses
pendewasaan pemilih, partai politik, penyelenggara dan media massa.
Lebih lanjut Sanit (1985: 157) mengatakan: proses pelaksanaan Pemilu berpengaruh
langsung kepada pembentukan budaya politik, sebab tingkah laku para kontestan dan
penyelenggara Pemilu langsung dihayati oleh anggota masyarakat yang mengetahuinya, baik
pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan, maupun melalui informasi. Selanjutnya
sistem ini mengatur beberapa hal berikut ini yaitu jurus pencalonan kandidat, jurus
pencoblosan suara, besar/bobot daerah pemilihan, lingkup daerah pemilihan dan jurus
pengambilan keputusan.
Ditambahkan Rahman (2001: 170) bahwa sistem pemilihan, walaupun terlihat hanya
suatu mekanise untuk menentukan komposisi pemerintah selama beberapa tahun kemudian,
namun sesungguhnya merupakan sarana utama bagi partisipasi politik para individu dalam
masyarakat yang luas, komplek dan modern, boleh jadi pemilu merupakan kunci untuk
menentukan suatu sistem yang demokratis.
Oleh karena itu Pemilukada sebagai salah satu proses demokrasi yang ada dalam
sistem politik Indonesia, memiliki signifikansi yang tinggi dalam pembangunan politik
Indonesia di masa mendatang serta dalam menciptakan keseimbangan antara politik lokal dan
pusat, dapat memperkuat otonomi daerah dalam prinsip negara kesatuan.
Untuk dapat melaksanakan amanat UU NO.32 Tahun 2004, pasal 57 menyerahkan
pelaksana Pemilukada kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai berikut: (1)
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan
laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.
Mahkamah Konstitusi
(MK) mengabulkan
pennohonan agar
KPUD tidak
bertanggungjawab kepada DPRD sebab akan menimbulkan ketidak independenan KPUD
dalam penyelenggaraan pemilu. KPUD bertanggungjawab kepada publik dan kepada DPRD
hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugas. Dengan banyak kasus dalam Pemilukada,
dalam hal ini perlu adanya peningkatan kualitas pemilu dengan memperhatikan beberapa hal
berikut menurut Irtanto (2008: 161):
1. Perhatikan iklim demokratisasi harus dimulai dari partai politik (terutama) yang
memenuhi ketentuan Perundang-undangan dalam proses penjaringan, penyaringan
dan penetapan calon kepala daerah. Partai politik harus memiliki sistern dan
mekanisme rekruitment calon kepala daerah yang demokratis.
2. Peraturan
Perundang-undangan
yang
dibuat,
benar-benar
mencenninkan
demokratisasi itu sendiri dan tidak anarkhi.
3. Sistem dan mekanisme kerja masing-masing lembaga yang terkait dengan
penyelenggaraan Pilkada tidak tumpang tindih dan kontaminatif
4. Pemerintah harus benar-benar independen dan tidak melakukan interpensi dalam
bentuk apa pun.
5. Kedewasaan dan kematangan politik masyarakat senantiasa tumbuh dan
berkembang melalui pendidikan politik.
Dari hal tersebut di atas, terlihat bahwa keberhasilan penyelenggaraan Pemilukada
tidak hanya bergantung pada profesionalisme KPUD, melainkan juga keterlibatan aktif
masyarakat dan independensi terhadap pemerintah.
Sebagaimana sebuah proses Pemilu, Pemilukada merupakan bagian dari sebuah
kebijakan nasional yang diharapkan mampu memperkuat sistem politik Indonesia. Oleh
karena itu Pemilukada memiliki manfaat yang penting. Mubarok (dalam Irtanto 2008: 161162) menyebutkan ada beberapa manfaat Pemilukada sebagai berikut:
a. Kongkritisasi demokrasi, yaitu proses pilkada akan memenuhi kaidah proses
demokratisasi di dua level struktural dan kultural. Di level struktural lebih beradab
karena melibatkan partisipasi publik yang makin luas. Kaidah 50 plus satu adalah
angka rill dan mutlak merupakan cerminan dan representasi suara rakyat. Di level
kultural proses pilkada ditenggarai akan memberi keleluasaan bagi merembesnya
nilai-nilai transparansi, independensi dan kejujuran.
b. Ada kemungkinan kekerasan terhadap proses dan data terkurangi.
c. Terkuranginya mekanisme politik uang.
Menambahkan manfaat positif yang telah disampaikan Mubarok, Afiti (dalam Irtanto
,2008: 163) memberikan manfaat lainnya adalah lahirnya pemimpin yang mengenal konteks
lokal dan bertanggungjawab kepada rakyat, dengan asumsi bahwa rakyat akan memilih orang
yang mereka kenal dengan baik. Sementara itu Huda (dalam Irtanto 2008: 162)
menambahkan dua keuntungan positif yaitu Pilkada langsung memberi kesempatan yang luas
untuk terpilihnya kepala daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat; stabilitas
pemerintahan lebih terjaga berhubung kepala daerah tidak mudah dijatuhkan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, Pemilukada memiliki peranan yang strategic
untuk mengimplementasikan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin, sehingga akan
lebih bertanggungjawab kepada rakyat dibandingkan kepada partai politiknya.
UU No. 32 tahun 2004 pasal 56 ayat (2) mengatakan bahwa pasangan calon diajukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik. Partai politik atau gabungan partai politik
dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurangkurangnya 15% dari jumlah kursi di DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah
dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Adapun syarat yang harus terpenuhi bagi calon kepala daerah adalah:
a. Bertaqwa kepada Tuhan YME
b. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan atau sederajat
d. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun
e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pelaksanaan kesehatan menyeluruh dari tim
dokter
f. Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau lebih
g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat daerahnya.
i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan
j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perorangan dan atau secara badan
hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara.
k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap
l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
m. Memiliki NPWP atau bagi yang mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran
pajak.
n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan
dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 kali
masa jabatan yang sama.
p. Tidak sedang sebagai penjabat daerah.
2.3. Definisi Strategi Dan Jenis-Jenis Kampanye
Kampanye merupakan sisi lain dari sebuah proses Pemilu, sebab melalui kampanye
kandidat dapat lebih memperkenalkan diri, menyatakan diri sebagai kandidat yang siap
memegang kekuasaan yang diberikan publik. Kampanye merupakan ajang adu kepantasan,
kelayakan, adu strategi, adu kekuatan keuangan dan investasi politik. Melalui kampanyelah
seseorang ingin dipilih, seseorang menyatakan gagasan untuk melaksanakan tanggungjawab
sebagai pemimpin, menyelesaikan masalah yang ada, menawarkan solusi bagi kehidupan
publik yang haws dengan kualitas pemimpin.
Menurut Nimmo (1989: 219); bahwa dalam setiap pemilihan terdapat unsur-unsur
propoganda (terutama dalam komunikasi organisasi melalui parta, politik, tetapi sifat dasar
kampanye politik kontemporer terletak pada paya untuk mempersuasi melalui periklanan
massa (komunikasi massa) dan retorik (komunikasi interpersonal) bukan pada propoganda.
Untuk berhasil menenangkan pilihan memerlukan penggunaan rencana kampanye dan
kampanye total. Inilah yang disebut dengan strategi kampanye.
Membangun strategi kampanye yang terpenting perumusan ide kampanye. Slogan
menjadi penentu keberhasilan ide. Ide merupakan tema organisasi kampanye dan slogan
harus mampu memberikan harapan akan kemajuan. Selain itu ada strategi untuk
meningkatkan popularitas kampanye yaitu melakukan kegiatan yang monumental dan sedikit
aneh sehingga memberikan kekuatan politik bagi publik.
Menurut Nimmo (1989: 220) kandidat tidak hanya cukup dikenal dengan cara yang
unik, tetapi memiliki citra kandidat yang sempurna. Rencana kampanye yang lebih detail
diturunkan dalam strategi kampanye dilakukan melalui empat segi:
1. Ada formasi awal dari organisasi kampanye, terdiri atas para politikus yang
berpengalaman (baik pejabat pemerintah maupwn pernimpin partai), juru
kampanye
profesional
(termasuk
segala
jenis
personal
dari
manajer,
merencanakan pesan iklan, mengumpulkan dana, membuat iklan televisi, menulis
pidato dan melatih kandidat penampilan di depan umum, sukarelawan (sejumlah
orang yang bersedia melakukan hubungan telepon, menjilak perangko, berkunjung
ke rumah-rumah, menaikkan tenda dan sebagainya.
2. Proses dana dikumpulkan dan dipergunakan bagaimana riset untuk mendapat
informasi yang diperlukan mengenai masalah yang dikemukakan, pemilih dan
opisis dan bagaimana menyampaikan pesan kandidat.
3. Sifat kampanye yang menyangkut komunikasi kampanyelah yang menyebabkan
berjalannya konsep kampanye total dengan menggunakan sarana komunikasi
total.
4. Menggunakan strategi terapan yang aplikatif sebagai berikut kampanye tatap
muka, media elektronik (televisi), telepon, kampanye radio, surat langsung, surat
kabar, poster, kampanye, interpersonal, kampanye organisasi.
Strategi kampanye yang baik akan mampu menggerakan partisipasi politik pemilih,
sebab kampanye juga melakukan ajakan untuk memberikan suara. Partisipasi masyarakat
dalam Pemilu dapat berbagai bentuk, seperti ikut serta dalam kampanye, membicarakan
persoalan politik menjelang pemilihan suara, menyumbang dan sebagainya. Menurut Rush
dan Althof (2000: 124) bahwa bentuk partisipasi politik secara bertingkat dari tertinggi ke
yang rendah sebagai berikut:
1. Menduduki jabatan politik atau administratif
2. Mencari jabatan politik atau administratif
3. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
4. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
5. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (Quasi political)
6. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
7. Partisipasi dalam rapat umum, demonstarsi dan sebagainya
8. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik
9. Voting (pemberian suara)
Gabriel Almon (dalam Mc Andrew, 2000: 47) memberikan perbedaan partisipasi
dalam konvensional dan non konvensional sebagai berikut:
Tabel 2.1.
Bentuk Kegiatan Partisipasi Politik
Konvensional
Non – Konvensional
Pemberian Suara
Pengajuan Petisi
Diskusi Politik
Berdemokrasi
Kegiatan Kompanye
Konfronstrasi
Membentuk dan bergabung dalam kelompok
Mogok
kepentingan
Tindak kekerasan politik terhadap harta
Komunikasi individu dengan pejabat politik
benda (perusakan, pengeboman, pembakaran)
dan administrasi
Tindakan kekerasan politik terhadap manusia
(penculikan, pembunuhan)
Perang gerilya dan revolusi
Berdasarkan kedua pendapat ahli tersebut, keterlibatan pemilih dalam Pemilukada
dapat terjadi dalam hal berikut seperti kegiatan kampanye, voting, diskusi politik, mengikuti
rapat umum. Dari tahapan proses pemilukada penentuan pilihan merupakan tahapan yang
paling krusial dalam menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Tahapan inilah yang paling
ditunggu bagi semua pihak yang berkepentingan dalam proses pemilu, baik pengurus partai,
kandidat pasangan kepala daerah, bahkan penyelenggara pemilukada juga menanti apakah
pemilih mampu menggunakan hak pilihnya secara baik atau sekedar memenuhi hak
konstitusionalnya.
Strategi Kampanye
Kampanye merupakan tahanpan penting dalam setiap Pemilu, karena, melalui
kegiatan inilah para kandidat memperkenalkan dirinya terhadap publik, yaitu para pemilih
dengan harapan pemilih mau menyerahkan kedaulatan politik kepada kandidat, baik dalam
lembaga legislatif maupun eksekutif. Kampanye menurut Nimmo (1989:199) adalah
penciptaan, penciptaan ulang dan pengalihan lambang signifikan secara sinambung melalui
komunikasi. Kampanye menggabungkan partisipasi aktif yang melakukan kampanye dan
pemberia suara. Kampanye merupakan suatu faktor utama dalam membantu para pemberi
suara mencapai pilihan dalam pemilhan umum. Strategi kampanye menurut Nimmo
(1989:202) merupakan metode/cara untuk memenangkan pemilihan umum melalui berbagai
pilihan-pilihan yang ada, berlandaskan pada kemampuan dan dukungan yang dimiliki, serta
harapan untuk meraih simpati publik
Jenis-jenis Kampanye
Strategi kampanye yang baik akan mampu menggerakan partisipasi politik pemilih,
sebab kampanye juga melakukan ajakan untuk memberikan suara. Adapun macam kampanye
dapat dilihat dari bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan oleh para politisi yang bersaing
dalam pemilihan umum. Menurut Nimmo (1989) kampanye massa merupakan pilihan yang
banyak dilakukan.
Menurut Nimmo (1989:220) dalam kampanye, pemilih menggunakan berbagai media
untuk mengumpulkan empat jenis informasi yaitu (a) Apa yang akan dicari dalam kampanye;
(b) apa isi yang penting dalam kampanye; (c) posisi kandidat terhadap isu yang penting; (d)
informasi tentang kepribadian dan atribut lain dari kandidat.
Berdasarkan pendapat tersebut, kampanye merupakan upaya pemilih untuk
memahami hal-hal yang mendasar dari sisi kandidat, sebab kualitas kandidat merupakan
prasyarat keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan. Kampanye menghadirkan citra
kandidat secara lebih baik, belum tentu sesuai dengan apa yang sebenarnya ada. Oleh karena
itu kampanye tidak akan dilihat secara gamblang sebab pemilih akan melakukan
pembandingan.
2.4. Marketing Politik dalam Memenangkan Pemilu
Proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia saat ini salah satunya ditandai adanya
multi partai yang sangat jelas dapat menuntut persaingan yang ketat diantara partai-partai
politik yang ada. Berbagai cara dilakukan oleh para partai politik untuk dapat meraih massa
yang banyak, bisa dengan memperlihatkan dan menyampaikan visi dan misi dari partai
politik, menampilkan para pengurus partai politiknya, program kerja dari partai politik dan
masih banyak hal lain untuk dapat menumbuh-kembangkan partai politik tersebut. Namun
realita yang ada tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan itu sangat ketat bahkan tanpa,
disadari dapat bersaing dalam merubah posisi partai politik yang satu dengan partai politik
yang lainnya.
Secara umum yang menjadikan partai politik menarik perhatian masyarakat untuk
dipilih atau didukung adalah Kelembagaan partai politik menurut Netherlands Institute for
Multiparty Democracy (dalam Sparinga 2006:12-15), adalah:
1. Ketangguhan Organisasi: Partai politik berkepentingan meraih pemilih dan
kekuasaan politik. Hal ini hanya dapat dicapai secara memuaskan melalui
penyebaran sumber-daya partai secara efektif, pada tingkat lokal, regional dan
nasional. Ini berarti, kita berkepentingan untuk mengetahui dan mampu
menggunakan kemampuan material maupun sumber-daya manusia dan financial
yang dimiliki partai, termasuk keterampilan dan orang-orang yang selanjutnya
akan mengelola itu semua. Untuk mencapai ketangguahan organisasi tersebut
maka diperlukan Perencanaan tahunan kegiatan partai; Desentralisasi sumberdaya, Transparansi dalam menangani sumber-daya, Akuntabilitas, Tata-hubungan
dan prosedur seleksi yang didasarkan pada prestasi dan solidaritas.
2. Demokrasi Internal Partai: bahwa partai yang memiliki aturan dan prosedur yang
bersifat impersonal (tidak tergantung pada orang) untuk menghindari terjadinya
kontrol sewenang-wenang dalam pemilihan internal (misalnya dalam penyusunan
daftar calon legislatif) serta berfungsinya partai di bawah kendali pimpinan partai
atau klik tertentu.
3. Identitas Politik, partai politik yang serius harus memiliki identitas atau jati diri
ideologic, bahkan identitas itu juga dibutuhkan untuk tujuan-tujuan organisasi,
pemilihan umum, dan pemerintah.
4. Keutuhan Internal: perbedaan pendapat itu disampaikan dan diselesaikan dalam
politik intra-partai.
5. Kapasitas Berkampanye. Dukungan suara bagi partai tidaklah datang dengan
sendirinya. Dukungan suara harus dicari melalui serangkaian langkah dan diraih
dengan menjamin terpenuhinya syarat-syarat penting tertentu.
Sementara itu yang seharusnya dilaksanakan oleh partai yang mengalami agar dapat
memenangkan pemilihan umum seperti pada model Nowak dan Warneryd (dalam Venus,
2004:22-24) ini terdapat beberapa elemen kampanye yang harus diperhatikan yakni sebagai
berikut:
1. Intended effect (efek yang diharapkan). Efek yang hendak dicapai harus
dirumuskan dengan jelas. Dengan demikian, penentuan elemen-elemen lainnya
akan lebih mudah dilakukan. Kesalahan umum yang sering terjadi adalah terlalu
‘mengagung-agungkan’ potensi efek kampanye, sehingga efek yang ingin dicapai
menjadi tidak jelas dan tegas.
2. Competiting communication (Persaingan Komunikasi). Agar suatu kampanye
menjadi efektif, maka perlu diperhitungkan potensi gangguan dari kampanye yang
bertolak belakang (counter campaign).
3. Communication object (Objek komunikasi). Objek kampanye biasanya dipusatkan
pada satu hal saja, karena untuk objek yang berbeda menghendaki metode
komunikasi yang berbeda. Ketika objek kampanye telah ditentukan, pelaku
kampanye akan dihadapkan lagi pada pilihan apa yang akan ditonjolkan atau
ditekankan pada objek tersebut.
4. Target population & receiving group (populasi target dan kelompok penerima).
Kelompok penerima adalah bagian dari populasi target. Agar penyebaran pesan
lebih mudah dilakukan maka penyebaran pesan lebih baik ditunjukan pada
opinion leader (pemuka pendapat) dari populasi target. Kelompok penerima dan
populasi target dapat diklasifikasikan menurut sulit atau mudahnya mereka
dijangkau oleh pesan kampanye. Mereka adalah bagian dari kelompok yang sulit
dijangkau.
5. The channel (saluran). Saluran yang digunakan dapat bermacarn-macam
tergantung karakteristik kelompok penerima dan jenis pesan kampanye. Media
dapat menjangkau hampir seluruh kelompok, namun bila tujuannya adalah
mempengaruhi perilaku maka akan lebih efektif bila dilakukan melalui saluran
antar pribadi.
6. The message (pesan). Pesan dapat dibentuk sesuai dengan karakteristik kelompok
yang menerimanya. Pesan juga dapat dibagi kedalam tiga fungsi yakni:
menumbuhkan kesadaran, mempengaruhi, serta memperteguh dan meyakinkan
penerima pesan bahwa pilihan atau tindakan mereka adalah benar.
7. The communicator/sender (komunikator/pengirim pesan). Komunikator dapat
dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya seorang ahli atau seorang
yang dipercaya khalayak, atau malah seseorang yang memiliki kedua sifat
tersebut. Pendeknya komunikator harus memiliki kredibilitas di mata penerima
pesannya.
8. The obtained effect (efek yang dicapai). Efek kampanye meliputi efek kognitif
(perhatian, peningkatan pengetahuan dan kesadaran), afektif (berhubungan dengan
perasaan, mood dan sikap), dan konatif (keputusan bertindak dan penerapan).
Unsur-unsur di atas merupakan unsur dasar yang harus dimiliki oleh partai politik,
untuk mematangkan/menguatkan/mengalihkan perhatian pemilih terhadap suatu partai selain
proses marketing politik yang dilakukan oleh partai tersebut. Sedangkan menurut Baines et.
Al, Dalam (Nursal, 2004:49-50) proses dan orientasi political marketing sangat bebeda
dengan Business Marketing yang mana political marketing adalah cara-cara yang dilakukan
organisasi politik dengan enam hal berikut:
1. Mengkomunikasikan pesan-pesannya, ditargetkan atau tidak ditargetkan, langsung atau
tidak langsung, kepada para pendukungnya dan pada para pemilih lainnya.
2. Mengembangkan kredibilitas dan kepercayaan para pendukung, para pemilih lainnya dan
sumber-sumber eksternal agar mereka memberi dukungan finansial dan untuk
mengembangkan dan menjaga struktur manajemen di tingkat lokal maupun nasional.
3. Berinteraksi dan merespon dengan para pendukung, influencers, para legislator, para
kompetitior, dan masyarakat umum dalam pengembangan dan pengadaptasian kebijakankebijakan dan strategi.
4. Menyampaikan kepada semua pihak berkepentingan atau stake holders, melalui berbagai
media, tentang informasi, saran dan kepemimpinan yang diharapkan atau dibutuhkan
dalam negara demokrasi.
5. Menyediakan pelatihan, sumber daya informasi dan materi-materi kampanye untuk
kandidat, para agen pemasar dan atau para aktivis partai.
6. Berusaha mempengaruhi dan mendorong para pemilih, media-media dan influencers
penting lainnya untuk mendukung partai atau kandidat yang diajukan organisasi dan/atau
supaya jangan mendukung para pesaing.
Sedangkan Menurut Niffenneger dan Butler & Collins (dalam Firmanzah, 2008:199207) menjelaskan karakteristik marketing politik dengan lebih rinci. Karakteristik dan content
marketing politik berbeda dengan marketing komersial. Meskipun proses marketing politik
masih mengikuti proses yang terdapat dalam marketing komersial, namun hal-hal yang
dibahas di tiap tahapan proses sangat berbeda antara marketing komersial dengan marketing
politik. Proses marketing politik menurut Niffenneger (dalam. Firmanzah 2008:199) terlihat
seperti di bawah ini:
Tabel 2.2.
Proses Marketing Politik
Program Marketing
- Platform Partai
- Masa lalu
- Karakteristik Personal
Promosi (Promotion)
- Advertising
- Publikasi, Evant Debat
Harga (Price)
- Biaya Ekonomi
- Biaya Psikologis
- Efek Image Nasional
Tempat (Place)
- Program Marketing
- Personal
- Program Voluneer
Sumber: Data Olahan dari Peneliti
Produk (Product)
Produk (Product). Niffengger (dalam Firmanzah, 2008:200) membagi produk politik
dalam tiga kategori, (1) Party Platform (Platform Partai), (2) Past Record (Catatan tentang
hal-hal yang dilakukan di masa lampau), dan (3) Personal Characteristic (Ciri Pribadi).
Produk utama dari sebuah institusi politik adalah platform partai yang berisikan konsep,
identitas ideology, dan program kerja sebuah institusi politik.
1. Promosi (Promotion). Promosi juga bisa dilakukan oleh institusi politik melalui debat di
TV Niffenegger dan Schrott, (dalam Firmannzah, 2008:204). Dalam acara macam ini,
publik berkesempatan melihat pertarungan program kerja yang ditawarkan oleh masingmasing institusi politik. Selain itu, promosi juga bisa dilakukan melalui pengerahan masa
dalam jumlah besar untuk menghadiri sebuah ‘Tabligh-Akbar’ atau ‘Temu Kader’. Selain
ingin tetap menjaga hubungan antara institusi politik dengan massanya, kesempatan
semacam ini akan diliput oleh media massa sehingga secara tidak langsung bisa dilihat
sebagai media promosi. Lambang, symbol, dan warna bendera partai yang disebar melalui
pamplet, umbul-umbul dan poster semasa periode kampanye juga merupakan media
promosi institusi politik. Promosi dalam hal ini juga terkait dengan publikasi partai
politik.
2. Harga (Price). Harga dalam marketing politik mencakup banyak hal, mulai ekonomi,
psikologis sampai ke citra nasional Niffenegger (dalam Firmanzah, 2008:205). Harga
ekonomi meliputi semua biaya yang dikeluarkan institusi politik selama periode
kamanye. Dari biaya Man, publikasi, biaya 'rapat akbar' sampai ke biaya administrasi
pengorganisasian tim kampanye. Harga psikologis mengacu pada harga persepsi
psikologis, misalnya apakah pemilih merasa nyaman dengan latar belakang, etnis, agama,
pendidikan dan lain-lain - seorang kandidat presiden. Harga image nasional berkaitan
dengan apakah pemilih merasa kandidat presiden tersebut bisa memberikan citra positif
suatu bangsa negara dan bisa menjadi kebanggaan nasional atau tidak.
3. Tempat (Place). Tempat (place) berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah
institusi politik dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih atau calon
pemilih, Niffenegger (dalam Firmanzah, 2008:207). Kampanye politik memang harus
bisa menyentuh segenap lapisan masyarakat. Hal ini bisa dicapai dengan melakukan
segmentasi publik. Niffenegger; Smith & Hirst, (dalam Firmanzah, 2008:207). Sebuah
institusi politik harus bisa mengidentifikasi dan memetakan struktur serta karakteristik
masyarakat. Pemetaan ini bisa dilakukan secara geografis. Identifikasi dilakukan dengan
melihat konsentrasi penduduk di suatu wilayah, penyebarannya dan kondisi fisik
geografisnya.
Berdasarkan konsep teori tersebut di atas bahwa marketing politik ini dapat
membantu menumbuhkembangkan partai politik untuk mendapat posisi di hati rakyat dan
bahkan dapat dijadikan stategi di dalam kampanye untuk dapat memenangkan pemilu.
2.5. Pemilih Dan Perilaku Pemilih Dalam Pemilukada
Pemilih merupakan pihak yang paling krusial dalam setiap pemilihan umum,
termasuk dalam Pemilukada. Pemilihlah yang akan menyerahkan kekuasaan melalui proses
tersebut kepada seseorang untuk dijalankan sebagaimana mestinya. Menurut pasal 68
Undang-undang No.32 Tahun 2004 yang dimaksud Pemilih adalah Warga Negara RI yang
pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur
17 tahun atau sudah pernah menikah/kawin mempunyai hak memilih. Pemilih dapat
menggunakan hak pilihnya apabila terdaftar sebagai pemilih, dan tidak mengalami gangguan
kejiwaan atau tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Saat ini pemilih memiliki perilaku politik yang berbeda dengan era sebelumnya.
Perubahan keadaan lingkungan sosial ekonomi serta teknologi memberi pengaruh bagi
terbentuknya perilaku pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Di era orde
lama pemilih sangat terikat pada politik aliran, sedangkan pada zaman orde baru pemilih
sangat tergantung pada tekanan yang diberikan oleh pemerintah. Firmansyah (2008:85)
hubungan antara kontestan dengan pemilih adalah hubungan yang tidak stabil, karena
semakin kritisnya masyarakat dan semakin luntur ikatan tradisional atau primordial, saat ini
para pemilih kerap kali memindahkan dukungan mereka dari satu kontestan ke kontestan lain.
Selain itu karakteristik pemilih Indonesia saat ini mengalami perubahan dilihat dari
keterikatan ideologic. Pemilih lebih memperhatikan hubungan kepentingan daripada
hubungan ideologic bahkan keagamaan. Pemilih adalah semua pihak yang menjadi tujuan
utama para kontestan untuk mempengaruhi dan meyakinkan agar mendukung dan kemudian
memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan.
Sebuah pemilihan merupakan suatu kegiatan yang melibatkan orang atau lembaga
tertentu berkompetisi memperebutkan jabatan publik tertentu. Sebuah pemilihan adalah
sebuah kompetisi untuk jabatan atas ekspresi formal dari sebuah populasi, untuk mengambil
keputusan bersama bagi kandidat yang memenangkan pemilihan.
Pemilih memeiliki beberapa karakteristik, seperti konstituen partai tertentu, massa
mengambang dan non partisan. Pemilih bisa saja terikat secara sangat dekat dengan partai
kandidat, partai tertentu bisa juga terikat dengan seseorang berupa tim sukses tanpa
memandang partai politik, pemilih juga bisa terikat karena memiliki profesi yang sama,
pemilih juga memandang karena permintaan atasan, pemilih juga bisa karena jasa, kedekatan
kelahiran, kesamaan visi dan popularitas.
Pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen
partai politik tertentu. Terdapat kelompok masyarakat yang memang non partisan, dimana
ideologi dan tujuan politiknya tidak diikatkan kepada suatu partai tertentu. Ada beberapa
alasan pemilih menggunakan hak pilihnya. Alasan tersebut bisa religi, etnik, kesamaan visi.
Firmansyah mengatakan bahwa: “keputusan memilih selama pemilihan umum dapat
dianalogikan sebagai perilaku pembelian (purchasing) dalam dunia bisnis dan komersial.
Dalam dunia bisnis dan komersial keputusan pemebelian yang salah akan berdampak
langsung kepada subyek dengan kehilangan (utility loss) barang atau jasa yang dibelinya”.
Perilaku pemilih dari perspektif ekonomi yaitu memilih lebih merupakan konsumsi
ketimbang keputusan investasi. Insentif ekonomi dilihat sebagai keuntungan secara ekonomis
ketika pemilih memberikan dukungan kepada suatu kontestan politik. Dalam perspektif
individual keputusan memilih akan dilihat sebagai perilaku konsumsi dan pembelanjaan yang
dengan cepat hilang dan habis.
Dalam realitas politik pemilih juga yang tidak berpikir strategic pemilih menggunakan
hak pilihnya karena ingin melaksanakan hak konstitusinya, tanpa memikirkan secara jauh
efek yang ditimbulkan dari pilihan tersebut. Cukup banyak masyarakat yang menggunakan
hak pilihnya sebagai kebanggaan psikologis, seperti menunaikan kewajiban sebagai warga
negara, menegaskan identitas kelompok dan menunaikan loyalitas terhadap partai.
Kondisi politik nasional yang hingar bingar telah memberikan andil terhadap perilaku
pemilih. Ketika proses pemilukada melahirkan banyak konflik, ketika pemimpin baru tidak
mampu memberikan harapan perbaikan pemerintahan, ketika janji politik yang disampaikan
pada saat kampanye tidak ditepati oleh banyak perilaku politik maka pemilih menjadi tidak
perlu memilih atau memandang memilih sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat.
Atas dasar itu pemilih seringkali kesulitan untuk menentukan pilihan yang tepat,
rasional, dan mampu memberikan efek positif bagi lahirnya pejabat publik yang kuat dan pro
rakyat. Infonnasi yang berlebihan juga memberikan kesulitan untuk menentukan pilihan
karena adanya kesulitas untuk menata infonnasi. Pemilih mendapat informasi politik dalam
jumlah besar dan beragam seringkali berasal dari berbagai macam sumber yang sangat
mungkin bersifat kontradiktif.
Alasan lain yang memberikan andil terhadap jatuhnya pilihan-pilihan pemilih adalah
alasan loyalitas dan ideologi kepada partai. Brennan dan Lomasky (dalam Firmansyah)
menyatakan bahwa: keputusan memilih selama Pemilu adalah perilaku ekspresif. Perilaku ini
tidak jauh berbeda dengan perilaku suporter yang memberikan dukungannya pada sebuah tim
sepak bola. Perilaku pemilih sangat dipengaruhi oleh loyalitas dan ideologi. Keputusan untuk
memberikan dukungan dan suara tidak akan tedadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih
yang cukup tinggi kepada partai politik jagoannya. Loyalitas kepada partai politik tertentu
masih menjadi alasan bagi pemilih untuk memilih partai tertentu, cukup banyak masyarakat
yang menggunakan hak pilihnya yang menunjukkan loyalitas kepada partai politik.
Perilaku pemilih dipengaruhi oleh sikap politik yang dibangun melalui proses
sosialisasi politik yang panjang. Proses sosialisasi itu kemudian membentuk ikatan yang kuat
dengan partai politik atau organisasi kemasyarakatan lainnya. Ikatan seperti inilah yang
disebut identifikasi partai. Dengan teori identifikasi partai seolah-olah semua pemilih relatif
mempunyai pilihan yang tetap. Simbol kelompok dan ikatan kesejarahan, dengan proses
tertentu dapat melekat pada simbol partai, sehingga terciptalah identifikasi partai. Latar
belakang sosial budaya juga dapat dianggap sebagai faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku pemilih. Karakteristik dan pengelompokan sosial merupakan faktor yang
mempengaruhi perilaku pemilih. Karakteristik sosial dan pengelompokan sosial, usia, jenis
kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan dalam kelompok formal dan
informal dan lainnya memberi pengaruh signifikan terhadap pembentukan perilaku pemilih.
Pemilih yang cerdas, rasional, matang dan mantap yang diharapkan dalam
Pemilukada Kabupaten Cianjur 2011 adalah pemilih yang mampu menggunakan hak pilihnya
secara rasional, yaitu memilih atas dasar pertimbangan yang sesuai dengan kebutuhan, nilai
dan harapan pemilih. Nursal (2004:6) mengatakan bahwa pemilih melakukan penilaian
terhadap, tawaran partai (kandidat dalam kampanye). Pemilih itu memiliki motivasi, prinsip,
pengetahuan dan mendapat informasi yang cukup. Pilihan juga atas dasar kepentingan umum
bukan kepentingan pribadi. Seiring dengan hal tersebut alasan pemilih yang penting yang
dapat dikategorikan pemilih rasional adalah isu dan kebijakan politik, pemilih memilih atas
dasar kebijakan atau program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat
politik jika suatu saat menang.
Pemilih emosional juga merupakan fenomena pemilu diberbagai negara berkembang,
bahkan di negara maju. Pemilih emosional menempatkan faktor-faktor emosi sebagai penentu
arahan pilihannya. Seperti sifat yang melekat pada pribadi kandidat, ketokohan dan agama.
Pemilih memilih karena beberapa alasan, yang diantaranya isu-isu dan kebijakan politik,
representasi agama atau keyakinan, representasi kelas sosial dan sikap, loyal kepada tokoh
tertentu. Pemilih memeberikan suaranya dengan berbagai petimbangan, kondisis psikologis
dan kondisi objektif ada yang sangat rasional, ada yang tidak peduli, ada juga yang
pragmatic, ada juga yang ikut-ikutan, ada juga karena ketakutan akan dinyatakan golput
(golongan putih). Dan Nimmo (1989:187-197) mengklasifikasikan pemilih sebagai berikut:
1. Pemberi suara yang rasional; pemberi suara yang turut memutuskan pemberian
suara dengan ciri sebagai berikut: (a) Selalu dapat mengambil putusan bila
dihadapkan kepada alternatif, (b) Memilah alternatif sehingga masing-masing
apakah lebih disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan
alternatif lain, (c) menyususn alternatif dengan cara transit; Jika A lebih disukai
daripada B dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C, (d) selalu memilih
alternatif yang peringkat preferensinya paling tinggi, (e). Selalu mengambil
keputusan yang sama bila dihadapkan kepada alternatif yang sama.
2. Pemberi suara yang reaktif, pemberi suara yang bereaksi terhadap pemilihan
umum berdasarkan faktor-faktor sosial dan demografi jangka panjang, yakni
pemberian suara lagi-lagi merupakan aksi diri. Pengaruh sosial yang paling
penting adalah ikatan emosional kepada partai politik.
3. Pemberi suara yang responsif; memiliki karakter sebagai pemberi suara yang
impermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa politik, dan pengaruh yang
berubah-ubah terhadap kapasitas kandidat; pemilih respon dengan masalahmasalah pokok dan relevan tentang kebijakan umum, tentang prestasi pemerintrah
dan kepribadian ekskutif variasi dalam rangsangan yang diberikan oleh
kepemimpinan politik, partai dan kandidat sangat penting dalam pandangan
pemberi suara karena tanggapan rakyat akan sangat dikondisikan oleh rangsangan
ini.
4. Pemberi suara yang aktif, pemberi suara yang berperilaku sebagai ia membuat
suatu objek dari apa yang ia lihatnya, memberinya makna dan menggunakan
makna itu sebagai dasar untuk mengarahkan tindakannya. Tindakannya
merupakan hasil indikasi yang dibuatnya, bukan sekedar memberi respon saja.
Dengan demikian berdasarkan hal tersebut perilaku pemilih dapat bersifat rasional,
reaktif, responsif dan aktif.
Perilaku pemilih merupakan salah satu bentuk dari perilaku politik anggota
masyarakat. Aktivitas politik baik yang bersifat sederhana mauptm yang hebat merupakan
bentuk nyata dari sikap dan kognisis yang dimiliki oleh seseorang. Secara bebas perilaku
politik menurut Rahman (2001:50) dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku politik
para aktor politik dan warga negara yang dalam manifestasi kongkritnya telah saling
memiliki hubungan dengan kultur politik. Lebih dalam Gabriel Almond mengatakan bahwa:
Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga-lembaga pemerintah dan antara
kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan
pengakuan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik yang
menarik dikaji adalah perilaku pemilih artina perilaku orang yang memilih hak pilih dalam
setiap pemilihan umum.
Pemilih sebagai pihak yang paling menentukan kualitas penyelenggaraan pemilu,
kualitas kepala daerah dan kualitas demokrasi memiliki berbagai kecenderungan yang
dimunculkan oleh hal yang bersifat psikologis, ekonomis, informatif dan relasi lainnya.
Kematangan pemilih akan mempengaruhi tingkat perilaku pemilih artinya adalah hal-hal
yang berkaitan dengan potensi internal seperti pendidikan, kualitas dan kuantitas informasi,
interaksi dengan perilaku politik dan kemampuan memilih dari berbagai alternatif yang ada.
Definisi Perilaku Pemilih
Sebelum pengertian perilaku pemilih terlebih dahulu dijelaskan pengertian pemilih,
perilaku dan perilaku pemilih. Pemilih menurut firmansya (2008:87) adalah sebagai semua
pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar
mendudkung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan bersangkutan.
Perilaku merupakan ekspresi kognisi dan sikap manusia terhadap sesuatu. Rahman
(2001:51) mengatakan bahwa: perilaku warga negara yang ikut serta dalam pemilu
merupakan bentuk sikap warga terhadap pemerintah merupakan perilaku politik. Perilaku
pemilih menurut Surbekti (1992:145) adalah keikutsertaan warga negara dalam pemilihan
umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan yakni apakah memilih atau tidak
memilih dalam pemilihan umum. Melwit (dalam Nursal 2004:65) mendefinisikan: perilaku
pemilih merupakan pengambilan keputusan cepat dan bahwa pengambilan keputusan itu
tergantung pada situasi sosial politik tertentu yang tidak berbeda dengan pengambilan
keputusan lainnya.
Berdasarkan kepada beberapa definisi yang disampaikan para ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa definisi perilaku pemilih adalah bentuk dari aktivitas warga negara yang
berhak menggunakan hak pilih dalam suatu kegiatan pemilihan umum sebagai ekspresi
pernahaman tertentu tentang proses pemilihan dan calon yang terlibat.
Perilaku pemilih di Indonesia dapat dirumuskan dalam sejumlah postulat hukum,
setidaknya ada tujuh postulat hukum perilaku pemilih di Indonesia. Hukum-hukum perilaku
pemilih di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Warna aliran dari sebuah partai politik mempengaruhi perilaku pemilih. Aliran
politik di Indonesia untuk saat ini dapat dipilah dalam tiga kategori aliran yaitu
sekuler, moderat dan agama. Perilaku pemilih akan ditentukan oleh persepsi diri
mereka dalam klaster aliran tersebut dan bagaimana mereka mempersepsikan
ideologi partai politik yang ada. Apabila pemilih mempersepsikan dirinya dalam
klaster aliran sekuler maka pilihan politiknya akan iatuh pada partai yang berada
pada klaster sekuler dan sebagainya. Pemilih yang berada dalam suatu klaster
aliran tertentu sangat kecil kemungkinannya untuk memilih partai di luar klaster
dimana dia berada.
2. Partai dengan spektrum ideologi ekstrim tidak akan mendapatkan dukungan
pemilih dalam jumlah yang signifikan. Secara linier spektrum ideologi berada
dalam kutub fundamentalis sekuler dan fundamentalis agama, mereka yang berada
dalam dua kutub ekstrim tersebut tidak akan mendapatkan dukungan dari pemilih.
Pemilih dari dua kutub ekstrim tersebut adalah minoritas partai yang
mendeklarasikan dirinya dalam posisi ini akan terlikuidasi dengan sendirimya.
3. Partai dengan spektrum ideologi tengah atau moderat mendapatkan dukungan
yang besar dari pemilih. Hukum ke tiga ini merupakan anti tesis hukum ke dua
dari perilaku pemilih di Indonesia. Partai-partai dengan ideologi moderat memiliki
modal dasar untuk mendapatkan dukungan besar dari pemilih. Untuk
mengaktualkan potensi itu partai-partai tengah/moderat hanya perlu memoles
organisasinya untuk dapat dikenal publik secara luas.
4. Sirkulasi suara pemilih hanya berputar dalam lingkup spektrum ideologi yang
sama. Kalau terjadi suara yang berpindan (swing voter) maka perpindahan suara
pemilih tidak akan melintasi klaster ideologi yang ada. Peningkatan perolehan
suara sebuah partai hanya akan mengurangi perolehan suara partai lain dalam
klaster yang sama. Dengan kata lain, naik turun perolehana suara partai adalah
proses menambah dan mengurangi perolehan suara partai dalam klaster yang
sama. Kanibalisme terjadi diantara partai-partai dalam klaster ideologi yang sama.
Kanibalisme tidak terjadi melintasi klaster-klaster ideologi.
5. Perilaku pemilih yang melintas batas Muster ideologi dapat terjadi pada suara
pemilih protes (protest voter). Pemilih protes merupakan bentuk ekspresi politik
dalam situasi yang tidak normal.Pemilih protes ini muncul diantaranya akibat dari
konflik internal partai maupun perlakuan tidak adil penguasa terhadap sebuah
partai politik tertentu. Perilaku pemilih menyebrangi lintas batas klaster ideologi
sebagai pelampiasan atas situasi tersebut.
6. Kekokohan partai mampu mendonhkrak peroehan suara partai. Ketokohan partai
adalah magnet partai. Perilaku pemilih dapat berubah terkait dengan eksistensi
pemimpin dan kepemimpinan partai. Apabila di dalam partai terdapat tokoh yang
berwibawa dan disegani maka pemilih akan cenderung memilih partai dengan
ketokohan partai yang jelas. Apabila partai politik tidak memiliki tokoh sentral
maka daya magnetik partai akan berkurang.
7. Penistaan terhadap seorang tokoh atau partai akan melahirkan simpati pemilih
untuk memberikan suara kepada tokoh atau partai tersebut. Partaipartai atau tokoh
yang dinistakan oleh lawan politik akan mendapatkan simpati pemilih. Sebaliknya
partai atau tokoh yang agresif atau menistakan lawan politiknya atau tidak santun
dengan lawan politiknya cenderung akan dijauhi pemilih.
Berdasarkan tujuh postulat tersebut, dapat dinyatakan bahwa perilaku pemilih dapat
berbentuk beragam sesuai dengan sikap politik yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Ke tujugh tersebut dapat didasarkan pada keterikatan ideologi, ketokohan, modest.
Belakangan ini perilaku pemilih lebih banyak dipengaruhi oeleh pandangan pragmatic dari
pemilih.
Perilaku pemilih didasarkan pada dua model atau dua pendekatan, yaitu pertama
pendekatan sosiologis dan kedua pendekatan psikologis. Di lingkungan ilmuwan social
Amerika Serikat, pendekatan pertama disebut sebagai Aliran Columbia (The Columbia
School of Electoral Behavior), sementara pendekatan kedua disebut dengan Aliran Michigan
(The Michigan Survey Research Center). Gaffar (1992) Pendekatan Sosiologis lebih
menekankan peranan factor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang,
sementara pendekatan psikologis lebih mendasarkan factor psikologis seseorang dalam
menentukan perilaku politiknya. Selain itu, ada pula pendekatan lain yaitu pendekatan politik
rasional yang lebih melihat bahwa perilaku politik seseorang berdasarkan pada pertimbangan
untung-rugi yang didapat oleh orang tersebut.
a. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan
pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menentukan perilaku
pemilih. Pengelompokan sosial seperti umur (tua-muda), jenis kelamin (pria-wanita), agama
dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk
perilaku pemilih. Untuk itu, pernahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal,
seperti keanggotaan seseorang dalam pengelompoka organisasi keagamaan, organisasi
profesi, kelompok okupasi dan sebagainya, maupun pengelompokan informal seperti
keluarga, pertemanan ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang
sangat vital dalam memahami perilaku politik pemilih, karena kelompok-kelompok ini
mempunyai peranan yang besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.
Dean Jaros (1974), ketika mencoba menghubungkan antara keanggotaan dalam suatu
kelompok dengan perilaku politik seseorang menyederhanakan pengelompokan sosial itu ke
dalam tiga kelompok, yaitu kelompok primer, kelompok sekunder dan kelompok kategori.
Gerald Pomper (1975), memperinci pengaruh pengelompok sosial dalam kajian
voting behavior ke dalam dua variable, yaitu variable predisposisi sosial ekonomi pemilih.
Menurut Pomper, predisposisi sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih mempunyai
hubungan yang signifikan dengan perilaku pemilih. Preferensi-preferensi politik keluarga,
apakah preferensi politik ayah atau ibu, akan berpengaruh pada preferensi politik anak.
Predisposisi sosial-ekonomi ini bisa berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial,
karakteristik demografis dan sebagainya.
Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih tampak pada penelitian Lipset. Di
beberapa negara dimana partai tidak mempunyai batas yang jelas dengan agama, kelompok
minoritas di bidang ekonomi, politik dan diskriman-diskriman tertentu, cenderung untuk
memilih partai yang berfaham liberal atau partai yang berhaluan kiri. Sementara kelompok
mayoritas cenderung untuk memberikan suaranya pada partai konservatif atau partai sayap
kanan. Jenis kelamin juga merupakan variabel sosiologis yang dapat dihubungkan dengan
perilaku pemilih, meskipun hubungan ini tidak selalu konsisten.
Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih. Adanya rasa
kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik. Perbedaan dalam
struktur sosial, yang paling tinggi tingkat pengaruhnya terhadap perilaku politik adalah faktor
kelas (status ekonominya), terutama di negara-negara industri. Hal yang sama pernah
dikemukakan oleh Milbrath bahwa lingkungan kelas menengah-bawah cenderung
menghasilkan status-changer (kaum liberal), sementara lingkungan kelas menengah-atas
cenderung menghasilkan status defender (kaum konservatif).
b. Pendekatan Psikologis
Munculnya pendekatan psikologis merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka
terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep
psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut
pendekatan psikologis, menentukan pilihan karena pengaruh kekuatan psikologis yang
berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi. Sikap seseorang sebagai refleksi
dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi
perilaku politiknya.
Fungsi sikap menurut Greenstein ada tiga. Pertaina, sikap merupakan fungsi
kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat
dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Artinya,
seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan itu untuk sama atau tidak sama dengan
tokoh yang diseganinya atau kelompok panutannya. Ketiga, sikap merupakan fungsi
ekstemalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang merupakan upayan untuk
mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berujud mekanisme pertahanan
diri (defence mechanism) dan ekstemalisasi diri, seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan
identifikasi. Sikap terbentuk melalui proses yang panjang, dari mulai kecil sampai dewasa
melalui apa yang disebut sebagai proses sosialisasi.
Melalui proses sosialisasi ini kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat
antara seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik, yang berupa simpati
terhadap partai politik. Ikatan pskologis ini yang kemudian dikenal sebagai identifikasi partai.
Konsep identifikasi partai dijadikan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih oleh
penganut pendekatan psikologis.
c. Pendekatan Politis Rasional
Perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika
berada dibilik suara, tetapi jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai.
Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural, afillasi-afiliasi
okupasi atau identifikasi partai melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup merupakan
variabel-variabel yang secara sendiri-sendiri atau komplementer mempengaruhi perilaku
politik seseorang. Keberadaan dan ruang gerak pemilih seolah-olah hanya ditentukan oleh
posisi individu dalam lapisan sosialnya.
Penjelasan-penjelasan perilaku pemilih tidak harus permanen seperti karakeristik
sosiologis atau identifikasi partai tetapi berubah-ubah sesuai waktu dan peristiwa-peristiwa
politik tertentu, terutama peristiwa-peristiwa dramatik yang menyangkut persoalan mendasar.
Dengan begitu, isu-isu politik menjadi pertimbangan yang panting. Para pemilih akan
menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang
dicalonkan. Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbanganpertimbangan rasional.
Perilaku pemilih berdasarkan pertimbangan rasional tidak hanya berupa memilih
alternatif yang paling menguntungkan (maximum gained) atau mendatangkan kerugian yang
paling sedikit; tetapi juga dalam arti memilih alternatif yang menimbulkan resiko yang kecil
(least risk), yang penting mendahulukan selamat. Dengan begitu, diasumsikan bahwa para
pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang diajukan maupun calon
(kandidat) yang ditampilkan. Penilaian rasional terhadap kandidat ini bisa didasarkan pada
jabatan, informasi, pribadi yang populer karena prestasi di berbagai bidang dan semacamnya.
Melwit dan kawan-kawan menyebut model ini sebagai “Consumer Model” of Party Choice
yaitu bahwa perilaku pemilih merupakan pengambilan keputusan yang berifat instan,
tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusankeputusan lain.
Studi tentang perilaku memilih juga dikembangkan oleh Dennis Kavanagh, yang
memberikan lima pendekatan untuk melihat dan menjelaskan perilaku memilih, melihat
kegiatan memilih, yaitu: Pertama, pendekatan struktural; yang melihat kegiatan memilih
sebagai produk dart konteks struktur yang lebih lugs, seperti struktur sosial, sistem kepartaian,
sistem pemilihan umum dan program-program yang ditawarkan oleh partai politik kepada
warga negara. Dalam pendekatan ini diprediksikan bahwa perilaku seseorang dalam
menetukan pilihan politiknya dipengaruhi oleh struktur sosial seperti kelas, agama, bahasa,
letak geografis dan semacamnya.
Kedua, pendekatan sosiologis, yang hampir mirip dengan pendekatan sturktural,
hanya saja pendekatan ini lebih menekankan kegiatan memilih dalam kaitannya dengan
konteks sosial. Dimana pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar
belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (Kota-desa),
pekerjaan, pendidikan, kelas sosial dan pendapatan. Dalam kaitan dengan hal ini, Affan
Gaffar menyebutnya sebagai karakteristik-karekteristik sosial yang digolongkan dalam
beberapa indikator yaitu pendidikan, pekerjaan/jabatan, jenis kelamin dan usia.
2.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pemilih
1. Penyelenggara Pemilu
Hal-hal yang menjadi alasan seseorang atau sekelompok orang untuk berperilaku
tertentu dapat dikatakan sebagai faktor yang memberikan kontribusi terhadap perilaku
seseorang atau sekelompok orang tersebut. Dalam perspektif ilmu psikologi, perilaku
merupakan ekspresi nyata dari sikap, terhadap sesuatu, dan sikap merupakan internalisasi
atau pemantapan dari berbagai infortnasi, ilmu pengetahuan, data dan sebagainya.
Perilaku anggota masyarakat dalam persoalan politik, baik pemilu, kebijakan
pemerintah, partai politik, dan berbagai hal lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kehidupan bernegara dapat dikatakan sebagai perilaku politik. Salah satu hal yang dapat
memberikan pengaruh terhadap perilaku politik warga negara adalah penyelenggaraan
pemilu. Sanit (1985:158) mengatakan bahwa: hasil pemilu berpengaruh terhadap orientasi
atau budaya politik melalui tingkah laku dan pola-pola interaksi dari peserta pemilu yang
keluar sebagai pemenang. Pola interaksi di antara struktur itulah yang selanjutnya
memberikan warna kepada orientasi politik anggota masyarakat.
Disinilah Sanit Lebih menekan pentingnya proses penyelenggaraan pemilu yang baik
bagi terwujudnya perilaku politik anggota masyarakat yang kondusif bagi terbangunnya
sistem politik yang sehat. Lebih jauh Sanit (1985:159) menjelaskan bahwa: Perpaduan
anatara pengetahuan, perasaan dan penilaian anggota masyarakat terhadap keselarasan di
antara apa yang dihasilkan pemilu dengan nilai-nilai dasar tersebut, merupakan
pemebentukan orientasi politik anggota masyarakat. Jadi, orientasi masyarakat yang
terbentuk atas pelaksanaan pemilu adalah mengenai peserta, pelaksna dan pola interaksi di
antara sesama peserta atau kontestan dengan masyarakat, diantara peserta dengan pelaksana
dan diantara pelaksana dengan masyarakat.
Lebih jauh Sanit (1985:159). Mengkaitkan orientasi anggota masyarakat dengan
perilaku pemenang Pemilu. Menurutnya hasil pemilu membentuk orientasi anggota
masyarakat mengenai dampak pemimpin, lembaga-lembaga politik yang dikendalikan oleh
para pemimpin tersebut, tingkah laku pemimpin dan lembaga-lembaga politik, pola
pembagian kekuasaan mereka, serta pola sirkulasi pemimpin. Oleh karena itu penyelenggara
pemilu dan elit-elit politik yang terpilih tidak dapat berperilaku sesuai dengan kehendak
dirinya sendiri, melainkan harus mengindahkan pendapat publik. Penyelenggara pemilu tidak
dapat hanya sekedar penyelenggara, tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh kualitas
pemilu itu sendiri.
2. Aliran Politik
Politik ini berkembang hampir di seluruh dunia dengan berbagai variasi dan latar
belakang hadirnya politik tersebut. Seperti yang disampaikan Gaffar (2000:123) bahwa
fenomena politik aliran tidak saja di Indonesia, tetapi merupakan gejala yang mendunia.
Menururtnya gejala muncul dan berkembangnya konservatisme di Amerika sejak masa
pmerintahan Ronald Reagen merupakan bukti kongkrit saat agama dijadikan simbol
solidaritas baru. Dalam politik ini tidak ada seorangpun yang dapat mendiskualifikasi
besarnya peranan Christian Coalition dalam mobilisasi dukungan politik bagi kalangan
konservatif di Amerika.
Dalam sejarah politik di Indonesia, eksistensi politik aliran sudah berlangsung sangat
lama. Aliran yang dapat berkembang sejak lama dapat terpusat dalam beberapa aliran utama
yaitu agama, nasionalisme dan pragmatisme. Aliran dipahami sebagai suatu fenomena dari
kenyataan kehidupan sosial politik Indonesia dimana partai politik merupakan sebuah sungai
besar di mana air mengalir dari sejumlah anak sungai, baik yang besar maupun yang kecil.
Dalam politik Indonesia, politik aliran sudah ditegaskan oleh Diffor Geertz (dalam Gaffar
2000:125) yang menyebutkan politik digolongkan dalam tiga aliran utama yaitu model santri,
abangan dan priyayai. Orang abangan memiliki orientasi politik dan ekonomi yang berbeda
dengan orang-orang cenderung, santri memilih untuk berpihak kepada partai politik yang
tradisional, sekuler dan nasionalistik. Sementara orang-orang santri cenderung memilih untuk
berpihak pada, partai-partai Islam.
3. Eksistensi Partai Politik
Sebagai lembaga politik yang memiliki hak yang sah untuk terlibat secara aktif dalam
memperebutkan kekuasaan politik melalui Pemilu, eksistensi partai secara normatif sangat
strategic. Saat ini pemilih sudah meninggalkan pertimbangan partai politik sebagai alasan
memilih, karena pemilih kecewa dengan perilaku partai politik selama ini. Sanit 1985:184)
terdapat kondisi objektif yang mengganggu kinerja partai, yang mendorong pemilih untuk
meninggalkan partai tersebut. Ke tiga hal tersebut adalah: (1) kepemimpinan, dimana
pemimpin partai cenderung melihat dirinya bukan sebagai pemimpin kepartaian tetapi
bertindak sebagai wakil dari kelompok sosial dan kelompok agama. (2) Masalah
pengorganisasian partai politik. Basis politik aliran yang sudah mentradisi dalam kehidupan
partai politik di Indonesia ikut pula membatasi ruang lingkup pendukung suatu partai, (3)
masalah dana bagi kegiatan partai.
Dari ke tiga persoalan partai ini, partai tidak mampu menjalankan fungsi klasiknya,
dan berpindah sebagai wadah politik sesaay (political broker) sebagai batu loncatan pihakpihak tertentu untuk menguasai kekuasaan di jabatan publik.
Tingkat Pendidikan Politik
Pilihan-pilihan politik yang diambil oleh pemilih tidak terlepas darai wawasan, ilmu
pengetahuan, data yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kenegaraan. Pendidikan
dipahami sebagai proses internalisasi nilai dan informasi politik, sehingga mampu
memberikan arahan yang tepat dalam melakukan aktivitas politik. Pendidikan politik dapat
memberikan dorongan kepada pemilih untuk mampu menempatkan politik sebagai proses
yang wajib walaupun seringkali mengecewakan. Politik sampai saat ini masih dipandang
sebagai kegiatan orang-orang yang curang dengan permainan kotor, sehingga banyak pihak
yang tidak mau membicarakan proses secara teratur, matang dan menyeluruh.
Pendidikan politik merupakan tugas infrastruktur politik, sebagaimana disampaikan
oleh Rahinan (2001:68) adalah: sebagai usaha radar untuk mengubah proses sosialisasi
politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai yang
terkandung dalam sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Selanjutnya bahwa
pendidikan politik dimulai dari kenikmatan meminati tradisi dalam bentuk pengamatan dan
peniruan terhadap tingkah laku orang tua, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada satu pun
yang tampak di depan mata tanpa memberikan kontribusi terhadapnya.
5. Lingkungan
Lingkungan yang mempengaruhi perilaku politik pemilih apakah menjadi orang yang
mampu menempatkan diri sebagai individu dan kelompok yang tepat, atau tidak peduli
dengan kondisi perpolitikan nasional. Menururt Brewster Smith (dalam Rahman 2001:124)
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku politik:
1. Lingkungan sosial politik tidak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi,
sistem budaya, dan media massa.
2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk
kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan.
3. Struktur kepribadiaan yang tercennin dalam sikap individu. Dalam hal ini terdapat
tiga basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian diri, eksternalisasi dan
pertahanan diri.
4. Faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yakni keadaan yang
mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan
seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana
kelompok dan ancaman dengan segala bentuknya.
Berdasarkan pendapat di atas, perilaku pemilih sangat bertgantung kepada lingkungan
individu berada. Internasionalisasi melalui berbagai pendidikan lingkungan berbaga kalah
dibandingkan dengan pengaruh-pengaruh eksternal, seperti kekuatan media massa, keluarga
dan tetangga.
BAB III
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
3.1. Kondisi Geografis dan Demografis
3.1.1. Kondisi Geografis
Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang
Ibukotanya adalah Soreang. Secara geografis letak Kabupaten Bandung berada pada 6o,41 –
7o,19’ Lintang Selatan dan diantara 107o22’ – 108o5’ Bujur Timur dengan luas wilayah
176.239 ha. Batas-batas wilayah Kabupaten Bandung sebagai berikut:
-
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kota
Bandung;
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut;
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur, dan
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat.
Kabupaten Bandung terdiri atas 30 kecamatan, 266 desa dan 9 kelurahan (sebelum
adanya pemekaran) saat laporan ini dibuat, Kabupaten Bandung terdiri dari 31 kecamatan
yang terakhir adalah Kecamatan Kota Waringin sebagai pemekaran dari Kecamatan Soreang.
Letak wilayah Kabupaten Bandung dapat dilihat pada gambar peta berikut ini.
Gambar Peta Kabupaten Bandung
Sebagian besar wilayah di Kabupaten Bandung adalah pegunungan. Di antara puncakpuncaknya adalah: Sebelah Utara terdapat Gunung Bukit Tunggal (2.200 m), Gunung
Tangkuban Perahu (2.076 m) (saat ini masuk kepada wilayah Kabupaten Bandung Barat) di
perbatasan dengan Kabupaten Purwakarta. Sedangkan di sebelah Selatan terdapat Gunung
Patuha (2.334 m), Gunung Malabar (2.321 m), serta Gunung Papandayan (2.62 m), dan
Gunung Guntur (2.249 m), keduanya berbatasan dengan Kabupaten Garut.
Wilayah Kabupaten Bandung beriklim tropis dipengaruhi oleh angina muson dengan
curah hujan rata-rata berkisar antara 1500 sampai 4000 mm/tahun, seuhu rata-rata berkisar
antara 19oC sampai dengan 24oC. Berikut ini perjelasan secara detail dalam table wilayah
Kabupaten Bandung per kecamatan sebagai berikut:
Table 3.1.
Daftar Nama dan Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2010
No.
Nama Kecamatan
1.
Cileunyi
2.
Cimenyan
3.
Cilengkrang
4.
Bojongsoang
5.
Margahayu
6.
Ketapang
7.
Dayeuhkolot
8.
Banjaran
9.
Cangkuang
10.
Pamengpeuk
11.
Pangalengan
12.
Ranca Bali
13.
Arjasari
14.
Cimaung
15.
Cicalengka
Nama Desa/ Kelurahan
Cileunyi Kulon, Cileunyi Wetan, Cimekar,
Cinunuk, Cibiru Hilir dan Cibiru Wetan
Padasuka, Cibeunying, Cimenyan,
Mandalamekar, Cikadut, Ciburial, Sindanglaya,
Mekarsaluyu dan Mekarmanik
Jati Endah, Cilengkrang, Cipanjalu,
Melatiwangi, Ciporeat dan Girimekar
Lengkong, Bojongsoang, Buah Batu, Cipagalo,
Bojongsari dan Tegallur
Margahayu tengah, Margahayu Selatan,
Sukamenak, Sulaeman dan Sayati
Sangkan Hurip, Katapang, Cililin, Gandasari,
Parungserab, Sukamukti, Cilanpeni, Pangauban,
Banyusari dan Sekarwangi
Pasawahan, Dayeuhkolot, Cangkuang Wetan,
Cangkuang Kulon, Sukapuran dan Citeureup
Kamasan, Banjaran Wetan, Banjaran Kulon,
Ciapus, Sindangparon, Kiangroke, Tarajusari,
Mekarjaya, Margahurip, Neglasari dan
Pasirmulya
Nagrak, Tanjungsari, Pananjung, Ciluncat,
Bandasari, jatisari dan Cangkuang
Sukasari, Bojongmanggu, Rancatungku,
Bojongkunci, Rancamulya dan Langonsari
Pangalengan, Margahayu, Warnasari,
Sukamanah, Lamajang, Margamukti,
Margamulya, Banjarsari, Sukaluyu,
Tribaktimulya, Pulosari, Wanasuka dan
Margamekar
Oatengan, Sukaresmi, Indragiri, Cipelah dan
Alam Endah
Arjasari, Lebakwangi, Batukarut, Ancolmekar,
Baros, Mangunjaya, Mekarjaya, Pinggirsari,
Patrolsari, Rancakole dan Margaluyu
Jagabaya, Cimaung, Pasirhuni, Campakamulya,
Cipinang, Mekarsari, Sukamaju, Cikalong dan
Malasari
Cucalengka Kulon, Cicalengka Wetan, Babakan
Peuteuy, Cikuya, Dampit, Margaasih, Narawita,
Panenjoan, tanjungwangi, Tenjolaya, Waluya
Luas Wilayah
(Km2)
27,87
41,24
110,94
26,62
9,63
20,42
11,23
62,59
13,29
312,21
54,20
64,13
116,70
dan Nagrog
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Nagreg
Cikancung
Rancaekek
Ciparay
Pacet
Kertasari
22.
Baleendah
23.
Majalaya
24.
Solokan Jeruk
25.
Paseh
26.
Ibun
27.
Soreang
28.
Pasirjambu
29.
Ciwidey
30.
Margaasih
Sukapura, Cibeureum, Santosa, Tarumajaya,
Neglawangi, Cihawuk dan Cikembang
Baleendah, Andir, Jelekong, Manggahang,
Margamekar, Bojongmalaka dan Rancamanyar
Majalaya, Wangisagara, Biru, Padamulya,
Bojong, Majaserta, Majakerta, Sukamaju,
Padaulan, Sukamaju dan Sukamukti
Rancakasumba, Solokan Jeruk, Cibodas,
Panyadap, Bojongemas, Padamukti dan
Langensari
Cigeuntur, Cipedes, Loa, Cijagra, Cipaku,
Sindangsari, Drawati, Sukamanah, Sukamantri,
Karangtunggal, Mekarpawitan dan
Tangismekar
Ibun, Laksana, Dukuh, Talun, Pangguh,
Lampengan, Neglasari, Mekarwangi, Sudi,
Tangulun, Cibeet dan Karyalaksana
Soreang, Sadu, Cilame, Penyiapan, Kopo,
Padasuka, Cibodas, Jelegong, Pameuntasan,
Sukajadi, Pamekaran, Kutawaringin,
Sukamulya, Jatisari, Buninagara, Gajahmekar,
Karamatmulya dan Sukanagara
Pasirjambu, Cibodas, Cikoneng,
Cukanggenteng, Cisondari, Margamulya,
Mekarsari, Mekarmulya, Sugihmukti dan
Tenjolaya
Lebakmuncang, Ciwidey, Nengkelan,
Panundaan, Panyocokan, Rawabogo dan
Sukawening
Margaasih, Lagadar, Nanjung, Mekarrahayu,
Rahayu dan Cigondewah Hilir
35,75
46,04
53,13
93,73
23,80
39,49
43,92
41,08
43,00
69,29
37,11
138,89
3.1.2. Kondisi Demografis
Jumlah penduduk Kabupaten Bandung yang cukup besar dapat dijadikan asset dalam
pembangunan apabila kualitas sumber daya manusianya dikelola dengan baik dan sebaliknya
jumlah penduduk yang cukup besar di Kabupaten Bandung bisa menjadi penghambat dalam
pembangunan apabila kualitas sumber daya manusianya tidak dikelola dengan baik.
Pada tahun 2008 jumlah penduduk Kabupaten Bandung tercatat mencapai 4.399.482
jiwa, penduduk laki-laki berjumlah 2.224.108 jiwa sedangkan perempuan 2.175.374 jiwa
sehingga rasio jenis kelaminya mencapai 102,24. Dengan rata-rata pendapatan per kmnya
1431 jiwa, dimana Kecamatan margahayu memiliki kepadatan yang paling tinggi yaitu
sebesar 10.861/km2 sedangkan Kecamatan Pasir Jambu merupaka kepadatan yang terendah
yaitu sebesar 323 km2, dengan mata pencaharian yaitu di sector-sektor industry, pertanian,
pertambangan, perdagangan dan jasa.
Sedangkan jumlah penduduk di Kabupaten Bandung berdasarkan luas wilayah dan
kepadatan Penduduk di Kabupaten bandung dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 3.2.
Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Bandung
No. Nama Kecamatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
Cileunyi
Cimenyan
Cilengkrang
Bojongsoang
Margahayu
Ketapang
Dayeuhkolot
Banjaran
Cangkuang
Pamengpeuk
Pangalengan
Ranca Bali
Arjasari
Cimaung
Cicalengka
Nagreg
Cikancung
Rancaekek
Ciparay
Pacet
Kertasari
Baleendah
Majalaya
Solokan Jeruk
Paseh
Ibun
Soreang
Pasirjambu
Ciwidey
Luas Wilayah Penduduk
(Km2)
Pendapatan (Per
Km2)
30. Margaasih
Sumber: Kantor BPS Kabupaten Bandung 2010.
3.1.3. Ketenagakerjaan
Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 10 tahun ke atas,
mereka terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Proporsi penduduk yang
tergolong angkatan kerja dikenal sebagai Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK).
Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk yang masuk
dalam pasar kerja (bekerja atau mencari pekerjaan). Berdasarkan data pada tahun 2008
jumlah pencari kerja yang terdaftar sebanyak 15.158, hal ini berarti terjadi penurunan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya 15.642 orang.
Kebijakan pembangunan di bidang social menyangkut berbagai aspek memang sangat
kompleks. Selain berdampak terhadap ekonomi juga dalam social politik masyarakat, bahkan
keberhasilan pembangunan bidang social dapat dievaluasi dan dijadikan sebagai indicator
untuk tahun-tahun selanjutnya.
Keberhasilan pembangunan di bidang social tidak hanya dapat dilihat dari bentuk
fisiknya saja, namun harus dilihat secara keseluruhan yaitu segi fisik dan mental. Dari segi
fisik meliputi pembangunan sarana dan prasarana misalnya gedung dan penunjang lainnya,
sedangkan segi mental meliputi kondisi mental penduduknya.
3.1.4. Topograpi
Perkembangan dan hasil pembangunan di Kabupaten Bandung secara umum dapat
dilihat dari beberapa indicator makro, yaitu Indikator Makro ekonomi dan Indikator makro
Sosial Budaya, yang pada akhirnya dakan bermuara pada peningkatan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Berikut uraian mengenai estimasi perhitungan kedua indicator tersebut:
3.1.5. Indikator Makro Sosial & Budaya
Indicator makro Sosial yang dijadikan penilaian keberhasilan pembangunan terdiri
atas indicator makro social yang berasalah dari komponen kesehatan, komponen pendidikan
dan komponen agama. Indicator makro social masyarakat Kabupaten Bandung tahun 2008
adalah sebagai berikut:
1) Social
-
Laju pertumbuhan penduduk : 2,93%
-
Angkat Harapan Hidup (AHH): 68,42 tahun
-
Angkat Kematian bayi (AKB): 37,36
-
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK): 52,84%
-
Rasio ketergantungan: 52,48%
-
Angkat Melek Huruf (AHM): 98,84%
2) Budaya
-
Masyarakat Kabupaten Bandung sebagian besar merupakan masyarakat suku sunda
dengan aneka khazanah kebudayaan yang dimilikinya
-
Pluralitas yang terjadi di beberapa wilayah perkotaan dapat diterima oleh masyarakat
serta hidup berdampingan secara rukun dan damai.
3) Hankam
-
Di Kabupaten Bandung terdapat beberapa instansi militer dan polisi baik pusat
pendidikan maupun kesatuan
-
Terdapat KODIM sebagai Komando territorial TNI, yaitu KODIM 0609 Bandung
-
Penanganan Kamtibmas di wilayah Hukum Kabupaten Bandung dilaksanakan oleh
Polres Soreang.
4) Agama
-
Kehidupan beragama berjalan kondusif
-
Kerjasama antar umat beragama diwujudkan dalam forum kerukunan umat beragama
-
Komposisi penduduk menurut agama dan sarana peribadatan:
a. Islam: 3.983.409 orang, masjid: 5.664 buah, mushola: 8.181 buah
b. Kristen: 26.831 orang, Gereja Kristen: 7 buah
c. Katolik: 39.609 orang, Gereja Katolik: 4 buah
d. Hindu: 4.806 orang, Pura: 1 buah
e. Budha: 5.009 orang, Cihara: 1 buah
f. Konghucu: -
3.2. Visi dan Misi Kabupaten Bandung
Visi
Visi Kabupaten Bandung yang telah ditetapkan yaitu sebagai berikut: “Terwujudnya
masyarakat Kabupaten Bandung yang Repeh, Rapih, Kertaraharja melalui Akselerasi
Pembangunan Partisipatif yang Berbasis Religius, Kultural dan Berwawasan Lingkungan
denganBerorientasi pada Peningkatan Kinerja Pembangunan Desa”.
Makna dari Visi tersebut di atas adalah:
Repeh Rapih Kertaraharja adalah tujuan yang ingin dicapai, yaitu suatu kondisi
masyarakat Kabupaten Bandung yang hidup dalam keadaan aman, tertib, tentram, damai,
sejahtera, senantiasa berada dalam lindungan, bimbingan dan rahmat dari Allah SWT.
Akselerasi Pembangunan atau percepatan pembangunan adalah segala upaya yang
dilakukan untuk membuat proses pembangunan lebih cepat, sehingga manfaatnya dapat
dirasakan oleh masyarakat. Percepatan pembangunan tersebut mengandung maksud
menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi cepatnya pertumbuhan dan
perkembangan pembangunan di Kabupaten Bandung.
Partisipatif merupakan pendekatan yang diterapkan dalam upaya pencapaian tujuan
dengan pengertian bahwa masyarakat mempunyai ruang yang sangat lugs untuk berperan
aktif dalam keseluruhan proses pembangunan, mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan
pengawasan. Sesuai dengan paradigma kepemerintahan yang baik, bahwa kedudukan
masyarakat dalam pembangunan adalah sebagai subjek yang turut membantu mengarahkan
pembangunan sesuai dengan prakarsa, tuntutan, kehendak dan kebutuhannya secara
proporsional dan bertangg-ungjawab.
Religius mengandung pengertian bahwa nilai-nilai, norma, semangat dan kaidah
agama khususnya Islam yang diyakini dan dianut serta menjadi karakter dan identitas
mayoritas, masyarakat Kabupaten Bandung harus menjiwai, mewarnai, menjadi roh dan
pedoman seluruh aktivitas kehidupan, termasuk penyelenggaraan pernerintahan dan
pembangunan, dengan tetap menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan hidup beragama.
Kultural mengandung pengertian bahwa nilai-nilai budaya Sunda yang baik, melekat
dan menjadi jati diri masyarakat Kabupaten Bandung harus tumbuh dan berkembang seiring
dengan laju pembangunan, serta menjadi perekat keselarasan dan stabilitas sosial.
Pengembangan budaya Sunda tersebut dilakukan dengan tetap menghargai pluralitas
kehidupan masyarakat secara proporsional.
Berwawasan lingkungan mengandung pengertian perhatian dan kepedulian yang
tinggi terhadap keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan yang didasari oleh kesadaran
akan fungsi strategic lingkungan terhadap keberlangsungan hidup manusia. Daya dukung dan
kualitas lingkungan harus menjadi acuan utama segala aktivitas pembangunan agar tercipta
tatanan kehidupan yang seimbang, nyaman dan berkelanjutan.
Peningkatan
Kinerja
Pembangunan
Desa
mengandung
pengertian,
bahwa
pembangungan di Kabupaten Bandung memberikan perhatian yang besar dan sungguhsungguh terhadap pembangunan desa, peningkatan. kualitas kineja sungguh-sungguh desa
dan pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Desa yang dalam susunan pemerintahan
merupakan unit pemerintahan terendah adalah ujung tombak pembangunan. Daerah dan
lokus yang menjadi muara seluruh aktivitas pembangunan.
MISI
Untuk mewujudkan Visi di atas, maka harus ditetapkan juga. Misi yang harus
mendapatkan perhatian seksama dimana tugas yang diemban oleh Pemerintah Kabupaten
Bandung adalah:
1. Mewujudkan pemerintahan yang baik.
Memelihara stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib, tentram dan dinamis.
2. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
3. Meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat
4. Memantapkan keshalehan sosial berlandaskan iman dan takwa
5. Menggali dan menumbuhkembangkan budaya sunda
6. Memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.
7. Meningkatkan kinerja pembangunan. Desa
3.3. Sejarah
Kabupaten Bandung lahir melalui Piagam Sultan Agung Mataram, yaitu pada ping
Songo tahun Alif bulan Muharam atau sama dengan hari Sabtu, Tanggal 20 April Tahun
1641 M, sebagai Bupati Pertama pada waktu itu adalah Tumenggung Wiraangunangun
(1641-1681 M). Dari bukti sejarah tersebut maka ditetapkan bahwa tanggal 20 April sebagai
tanggal, Hari Jadi Kabupaten Bandung, Jabatan Bupati kemudian digantikan oleh
Tumenggung Nyili salah seorang putranya. Namun Nyili tidak lama memegang jabatan
tersebut karena mengikuti Sultan Banten. Jabatan Bupati kemudian dilanjutkan oleh
Tumenggung Ardikusumah, seorang Dalem Tenjolaya (Timbanganten) dari tahun 1681-1704.
Selanjutnya kedudukan Bupati Kabupaten Bandung dari R. Ardikusumah diserahkan
kepada putranya R. Ardisuta yang diangkat tahun 1704 setelah Pemerintah Belanda
mengadakan pertemuan dengan para Bupati Wilayah Priangan di Cirebon. R. Ardisuta (17041747) terkenal dengan nama Tumenggung Anggadiredja I setelah wafat dia sering disebut
Dalem Gordah. Sebagai penggantinya diangkat Putra tertuanya Demang Hatapradja yang
bergelar Anggadiredja II (1707-1747).
Pada masa Pemerintahan Anggadiredja III (1763-1794) Kabupaten Bandung
disatukan dengan Timbanganten, bahkan pada tahun 1786 dia memasukkan Batulayang ke
dalam Pemerintahannya. Juga pada masa Pemerintahan Adipati Wiranatakusumah II (17941829) inilah Ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak (Dayeuh Kolot) ke
Pinggir sungai Cikapundung atau alun-alun Kota Bandung sekarang. Pemindahan Ibukota itu
atas dasar perintah dari Gubernur Jendral Hindia Belanda Daendels tanggal 25 Mei 1810,
dengan alasan karena daerah baru tersebut dinilai akan memberikan prospek yang lebih baik
terhadap perkembangan wilayah tersebut.
Setelah kepala pemerintahan di pegang oleh Bupati Wiranatakusumah IV (18461874) Ibukota Kabupaten Bandung berkembang pesat dan beliau dikenal sebagai Bupati yang
progresif. Dialah peletak dasar master plan Kabupaten Bandung, yang disebut Negorij
Bandoeng. Tahun 1850 dia mendirikan pendopo Kabupaten Bandung dan Mesjid Agung.
kemudian dia memprakarsai pembangunan sekolah Raja (pendidikan Guru) dan mendirikan
sekolah untuk para menak (Opleiding School Voor Indische Anibtenaaren), atas jasa-jasanya
dalam membangun Kabupaten Bandung disegala bidang beliau mendapatkan penghargaan
dari pernerintah Kolonial Belanda berupa Bintang jasa, sehingga masyarakat menjulukinya
dengan sebutan dalem bintang.
Dimasa pemerintahan R. Adipati Kusumandilaga jalan Kereta Api mulai masuk,
tepatnya tanggal 17 Mei 1884. Dengan masuknya jalan Kereta Api ini Ibukota Bandung kian
ramai. Penghuninya bukan hanya pribumi, bangsa Eropa dan Cina pun mulai menetap di
ibukota, dampaknya perekonomian Kota Bandung semakin maju. Setelah wafat penggantinya
diangkat R.A.A. Martanegara, Bupati ini pun terkenal sebagai perencana kota yang jempolan.
Martanegara juga dianggap mampu menggerakkan rakyatnya untuk berpartisipasi aktif dalam
menata wilayah kumuh menjadi pemukiman yang nyaman. Pada masa pemerintahan R.A.A.
Martanegara (1893-1918) ini atau tepatnya pada tanggal 21 Februari 1906, kota Bandung
sebagai Ibukota Kabupaten Bandung berubah statusnya menjadi Gementee (Kotamadya).
Periode selanjutnya Bupati Kabupaten Bandung dijabat oleh Aria Wiranatakusumah
V (Dalem Haji) yang menjabat selama 2 periode, pertama tahun 1912-1931 sebagai Bupati
yang ke 12 dan berikutnya tahun 1935-1945 sebagai Bupati yang ke 14. Pada periode tahun
1931-1935 R.T. Sumadipradja menjabat sebagai Bupati ke 13. Selanjutnva pejabat Bupati ke
15 adalah R.T.E. Suriaputra (1945-1947) dan penggantinya adalah R.T.M Wiranatakusumah
VI alias Aom Male (1948-1956), kemudian diganti oleh R. Apandi Wiriadipura sebagai
Bupati ke 17 yang dijabatnya hanya 1 tahun (1956-1957).
Sebagai Bupati berikutnya adalah Letkol R. Memet Ardiwilaga (1960-1967).
Kemudian pada masa transisi kehidupan politik Orde Lama ke Orde Baru adalah Kolonel
Masturi. Pada masa Pimpinan Kolonel R.H. Lily Sumantri tercatat peristiwa penting yaitu
rencana pemindahan Ibukota Kabupaten Bandung ke Wilayah Hukum Kabupaten Bandung
yang semula berada di Kotarnadva Bandung ke Wilayah Hukum Kabupaten Bandung yaitu
daerah Baleendah. Peletakan batu pertamanya pada tanggal 20 April 1974 yaitu pada saat
Hari Jadi Kabupaten Bandung yang ke 333. Rencana kepindahan Ibukota tersebut berlanjut
hingga jabatan Bupati dipegang oleh Kolonel R. Sani Lupias Abdurachman (1980-1985).
Atas pertimbangan secara fisik geografis daerah Baleendah tidak memungkinkan untuk
dijadikan sebagai Ibukota Kabupaten, maka ketika Jabatan Bupati dipegang oleh Kolonel
H.D. Cherman Affendi (1985-1990), Ibukota Kabupaten Bandung pindah ke lokasi baru yaitu
Kecamatan Soreang. Dipinggir Jalan Raya Soreang tepatnya di Desa Pamekaran inilah di
Bangun Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung seluas 24 Ha, dengan menampilkan
arsitektur khas gaga Priangan sehingga kompleks perkantoran ini disebut-sebut sebagai
kompleks perkantoran termegah di Jawa Barat. Pembangunan perkantoran yang belum
rampung seluruhnya dan dilanjutkan oleh bupati berikutnya yaitu Kolonel H.U.
Djatipermana, sehingga pembangunan tersebut dirampungkan dalam kurun waktu 1990-1992.
Tanggal 5 Desember 2000, Kolonel H. Obar Sobarua, S.IP, terpilih oleh DPRD Kabupaten
Bandung menjadi Bupati Bandung dengan didampingi oleh Drs. H. Eliyadi Agraraharja
sebagai Wakil Bupati. Sejak itu, Soreang betul-betul difungsikan menjadi pusat
Pemerintahan. Tahun 2003 semua aparat Daerah, kecuali Dinas Pekerjaan umum, Dinas
Perhubungan, Dinas Kebersihan, Kantor BLKD, dan Kantor Diklat, sudah resmi berkantor di
komplek perkantoran Kabupaten Bandung. Pada masa pemerintahan H. Obar Sobarua S.IP.
telah dibangun Stadion Olahraga si Jalak Harupat, yaitu stadion bertaraf intemasional yang
menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Bandung. Selain itu pada masa pemerintahan
Obar Sobarua, berdasarkan aspirasi masyarakat yang diperkuat oleh Undang-undang Nomor
22 tahun 1999, Kota Administratif Cimahi berubah status menjadi Kota Otonom.
Tanggal 5 Desember 2005. H. Obar Sobarua, S.IP, menjabat Bupati Bandung untuk
kedua kalinya didampingi oleh H. Yadi Srimulyadi sebagai Wakil Bupati, melalui proses
pemilihan langsung oleh seluruh masyarakat Kabupaten Bandung.
Dimasa pemerintahan H. Obar Sobarua yang kedua ini, berdasarkan dinamika
masyarakat dan didukung oleh hasil penelitian dan pengkajian dari 5 perguruan tinggi, secara
yuridis sudah terbentuk Kabupaten Bandung Barat bersamaan dengan keluarnya UndangUndang Nomor 12 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Propinsi
Jawa Barat.
3.4. Pemerintahan
Kabupaten Bandung merupakan salah satu wilayah terluas di Propinsi Jawa Barat
bersama beberapa daerah kabupaten/kota lainnya. Pada tahun 2001, daerah ini baru
berjumlah 39 (tiga puluh Sembilan) kecamatan setelah Kecamatan Cimahi Selatan, Cimahi
Tengah dan Cimahi Utara memisahkan diri menjadi Kota Cimahi. Sesuai dengan laju
pembangunan di Kabupaten Bandung, jumlah kecamatan pada bulan Agustus 2001
dimekarkan menjadi 43 (empat puluh tiga) kecamatan, yaitu Kecamatan Nagrek merupakan
pemekaran dari kecamatan Clealengka, Kecamatan Rongga merupakan pemekaran dari
Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Solokan Jeruk merupakan pemekaran dari
Kecamatan Majalaya, dengan 436 (empat ratus tiga puluh enam) desa/kelurahan.
Pada pertengahan tahun 2003 ini jumlah kecamatan bertambah dua lagi yaitu
Kecamatan Cihampelas merupakan pemekaran dari Kecamatan Cililin, dan Kecamatan
Cangkuang merupakan pemekaran dari Kecamatan Banjaran. Dengan demikian, pada akhir
tahun 2003 ini jumlah kecamatan di Kabupaten Bandung menjadi 45 (empat puluh lima)
kecamatan.
Pada tahun 2007, wilayah Kabupaten Bandung dimekarkan. Kabupaten Bandung
Barat yang terdiri dari 15 Kecamatan di wilayah Barat Kabupaten Bandung menjadi
kabupaten tersendiri terpisah dari Kabupaten Bandung. Oleh karena itu, jumlah kecamatan di
Kabupaten Bandung setelah pemekaran berjumlah 30 Kecamatan. Berikut ini akan diuraikan
kecamatan, nama camat dan no telp dari masing-masing-masing kecamatan di Kabupaten
Bandung.
Tabel 3.3.
Daftar Kecamatan dan Nama Camat Se-Kabupaten Bandung
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
Kecamatan
Cileunyi
Cimenyan
Cilengkrang
Bojongsoang
Margahayu
Margaasih
Katapang
Banjaran
Pameungpeuk
Pangalengan
Arjasari
Cimaung
Cicalengka
Nagreg
Cikancung
Rancaekek
Ciparay
Pacet
Kertasari
Baleendah
Majalaya
Solokanjeruk
Paseh
Dayeuhkolot
Ibun
Soreang
Pasirjambu
Ciwidey
Rancabali
Cangkuang
Kutawaringin
Camat
Asep Rahmadi, S.IP
Dede Sutardi, SH.
Alamat Kantor & E-mail
No. Telp
Yeti Yuliati, S.IP.
3.5. Gambaran Sosial Ekonomi Masyarakat Di Kabupaten Bandung
Seiring bergulirnya otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten Bandung merespon
dengan memfokuskan kebijakan pembangunan pada upaya peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia secara nyata dan berkelanjutan (sustainable). Pemerintah Kabupaten Bandung
telah menetapkan proyeksi pencapaian IPM, ini sejalan dengan cita-cita Pemerintah Propinsi
Jawa Barat yang menetapkan target angka IPM sebesar 80 di tahun 2010.
Status pembangunan manusia di Kabupaten Bandung secara sederhana tetapi
mencakup berbagai bidang pembangunan. Diharapkan akan muncul pemahaman dan
harapan-harapan baru bagi kemajuan pembangunan manusia di Kabupaten Bandung,
sehingga akan terdapat upaya yang lebih kuat dari berbagai komponen masyarakat Kabupaten
Bandung untuk melakukan perbaikan ke depan terhadap berbagai indikator pembangunan
dasar, seperti kesehatan, pendidikan dan kemampuan ekonomi masyarakat.
Gambaran sosial ekonomi suatu wilayah merupakan faktor yang krusial dalam
mencermati
kondisi
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
suatu
wilayah
(propinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan atau Desa), sejalan dengan semangat otonomi daerah strategi
pembangunan lebih fokus pada sasaran wilayah yang lebih kecil, maka ketersediaan data
menurut wilayah yang lebih kecil (small area) tidak dapat dielakan upaya-upaya untuk
menyajikan data menurut small area harus terus diupayakan.
Kualitas sumber manusia yang dimiliki suatu daerah dapat dilihat dari Indek
Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup dimensi pokok pembangunan manusia yang
dinilai dapat mencerminkan status kemampuan dasar penduduk, yaitu pencapaian tingkat
pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, tingkat
kesehatan dan tingkat daya beli.
3.6. Partisipasi dan Dinamika Politik Di Kabupaten Bandung
Berbeda dengan gerakan separatisme yang menuntut kemerdekaan atau tuntutan
mengubah bentuk negara dari kesatuan ke federasi, munculnya gerakan menuntut
pembentukan atau pemekaran suatu daerah sebenarnya harus dianggap sebagai hal biasa
dalam perkembangan dinamika kehidupan daerah guna meningkatkan efefidifias dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakatnya. Upaya ini akan sulit dicapai jika pemerintah mempunyai kemampuan yang
terbatas dalam melayani kebutuhan masyarakatnya baik karena faktor geografis, demografis
maupun faktor kemampuan SDM aparatnya. Oleh karena itu pemekaran daerah harus dilihat
sebagai salah satu jalan keluar terlaksananya tugas-tugas pokok pemerintahan yang meliputi
bidang pelayanan, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, pemliharaan hubungan
yang harmonis diantara warga masyarakat, jaminan bagi diterapkannya perlakuan yang adil
kepada sesama warga masyarakat, pekerjaan umum dan pelayanan publik, peningkatan
kesejahteraan sosial, penerapan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas
serta pemeliharaan SDA dan lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan Fungsi utama
pemerintahan menurut Ryaas Rasyid meneakup pelayanan (service), pemberdayaan
(empowerment) dan pembangunan (development).
Dengan demikian pemekaran atau pembentukan suatu daerah seperti halnya terjadi
pada Kabupaten Bandung yang selama ini sudah mengalami dua kali pemekaran yaitu pada
tahun 2001 yakni terlepasnya Kotif Cimahi dari Kabupaten induk yang sekarang berubah
statusnya menjadi Kota Cimahi. Begitu pula yang ke dua kalinya terjadi pada tahun 2007
yaitu terlepasnya 15 Kecamatan bagian Bandung sebelah Barat dari Kabupaten Bandung
yang sekarang statusnya berubah menjadi Kabupaten Bandung Barat. Hal ini jelas bahwa
keduanya itu dapat dikatakan bertitik tolak dari beberapa kepentingan diantaranya dari aspek
hukum akan mempertimbangkan: penerapan peraturan yang berlaku; penggunaan sangsi
hukum dan penyelenggaraan kekuasaan yang bersumber hukum. Dari aspek sosiologi,
pertimbangan didasarkan pada usaha penataan masyarakat dan upaya perubahan hubunganhubungan bermasyarakat. Aspek ekonomi akan mempertimbangkan: upaya manfaat dan
pengorbanan serta penentuan prioritas untuk efisiensi dan efektivitas. Aspek politik akan
mempertimbangkan: pelaksanaan tujuan-tujuan politik dan kehidupan politik dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Aspek sejarah mempertimbangkan zaman keemasan atau
penindasan masa lalu sebagai modal kebangkitan untuk menyongsong masa depan yang lebih
balk. Aspek geografi dan lingkungan akan mempertimbangkan dari batas-batas alam dan
kesatuan ekosistem. Aspek administrasi dengan mempertimbangkan span of control, efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. (Gandana: 2000).
Dilihat dari perspektif politik, dinamika, dan partisipasi politik di Kabupaten Bandung
terlihat relatif cukup tinggi, setidaknya jika dilihat dari partispasi masyarakat dalam Pemilu.
Dalam Pemilu legislatif 2004 lalu dari sekitar 2,8 juta pemilih maka ada sekitar 2.257.385
suara sah, sisanya karena rusak dan tidak sah. Dari data-data Pemilu sebelumnya juga terlihat
bahwa partisipasi masyarakat dalam Pemilu cukup tinggi rata-rata di atas 80%.
Demikian juga jika dilihat dari orientasi dan afiliasi politik, masyarakat di Kabupaten
Bandung juga cukup dinamis dan beragam, dimana orientasi mereka bukan hanya loyalitas
buta pada satu partai tapi sering berubah sejalan dengan perubahan dan dinamika politik yang
terjadi. Dengan agak mengenyampingkan Pemilu-Pemilu masa lalu yang penuh rekayasa
dimana salah satu partai politik harus selalu menang sehingga masyarakat tidak punya pilihan
yang lebih bebas dan terbuka. Maka dalam Pemilu pasca reformasi ini terlihat bahwa afiliasi
dan orientasi politik masayarakt di wilayah ini lebih bebas dan terbuka. Misalnya jika dalam
Pemilu 1999, PDI-P muncul sebagai peraih suara mayoritas dengan suara sebesar 36,12%
untuk DPR-RI, 36,21% untuk DPRD I dan 35,78% untuk DPRD Kabupaten Bandung, maka
dalam Pemilu 2004 lalu posisi pertama diduduki oleh Partai Golkar sebesar 34,17%. (sumber
Kesbang dan Linmas Kabupaten Bandung).
Dalam Pemilu 2004, terjadi perubahan dalam hal raihan suara yang semula
dimenangkan PDI-P bergeser pada Golkar. Selain itu, muncul dua partai baru yang termasuk
dalam posisi 6 besar, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD) yang
berada pada urutan ketiga dan kelima.
Dilihat dari dua kali Pemilu tersebut nampak bahwa perubahan dan pergeseran dalam
orientasi dan afiliasi politik terjadi, dimana euforia pasca.
Dalam Pemilu 2004, terjadi perubahan dalam hal raihan suara yang semula
dimenangkan PDI-P bergeser pada Golkar. Selain itu, muncul dua partai baru yang termasuk
dalam posisi 6 besar, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD) yang
berada pada urutan ketiga dan kelima.
Dilihat dari dua kali Pemilu tersebut nampak bahwa perubahan dan pergeseran dalam
orientasi dan afiliasi politik terjadi, dimana euforia pasca reformasi dengan memberikan
dukungan kepada Megawati (PDI-P) telah berakhir. Hanya perlu satu kali periode
pemerintahan, masyarakat di wilayah ini kembali memberikan dukungannya pada Golkar.
Sebagaimana terjadi di tingkat nasional, ada semacam romantisme untuk kembali kepada
masa pemerintahan Orde Baru yang lebih memberikan stabilitas dan keamanan. Sementara
masa pemerintahan Orde Reformasi dinilai ticlak memberikan kepastian dan stabilitas,
meskipun disitu terbersit pula harapan kepada para politisi muda yang dinilai “bersih dan
peduli” yakni saat itu PKS dan juga “Partai Demokrat” sehingga masyarakat di daerah ini
memberikan dukungan dan pilihannya kepada partai ini sehingga, menempatkan posisinya di
urutan ketiga dan kelima dan karenanya langsung menggeser posisi PKB dan PBB ke luar
dari 6 besar di daerah ini. PKS memang sebuah fenomena; bayangkan dari 1 kursi hasil
Pemilu 1999 kini dapat menempatkan kadernya, di 6 kursi artinya setiap daerah pemilihan di
Kabupaten Bandung ini ia menempatkan seorang wakilnya, artinya simpati dan dukungan
dari masyarakat di wilayah ini hampir merata terhadap PKS.
Akan tetapi lain halnya dengan pemilu Tahun 2009 bahwa Partai Demokrat sangat
mendominasi dan mernpunvai suara terbanyak di daerah ini sehingga dapat menggeser/
mendongkrak partai-partai besar lainnya. Dan posisi urutan ke 5 menjadi urutan pertama
sehingga berdampak juga kepada perolehan kursi di daerah dan akhirnya Partai Demokrat
inilah yang memenangkan pemilu secara nasional pada tahun 2009.
Partispasi politik masyarakat tidak dapat hanya diukur oleh keikutsertaan mereka
hanya dalam Pemilu tapi juga dalam bentuk kegiatan lain baik yang bersifat konvensional
seperti diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dengan kelompok
kepentingan serta komunikasi individual dengan pejabat politik dan administrasi. Maupun
bentuk partisipasi politik yang non konvensional seperti pengajuan petisi, demonstrasi,
konfrontasi, mogok, kekerasan terhadap manusia maupun benda serta perang gerilya dan
revolusi.
Melihat dinamika politik yang terjadi di Kabupaten Bandung, tentu saja tingkat
partisipasi politik di daerah ini sangat tinggi. Karena semua cara untuk dapat mencapai suatu
tujuan mesti dilakukan baik yang bersifat partisipasi konvensional maupun yang non
konvensioal kecuali yang bersifat kekerasan dan perang gerilya. Dan ini semua tidak hanya
semata melibatkan elitnya saja melainkan juga melibatkan massanya, dalam hal ini
terjalinnya/terbinanya suatu keharmonisan antara elit politik dan massanya sehingga dapat
bersama-sama menjalankan pembangunan dan fungsi pemerintahan lainnya dengan baik.
Akan tetapi partisipasi politik masyarakat dalam pesta demokrasi seperti halnya dalam
Pemilukada yang baru dilaksanakan ini melihat partisipasi politik masyarakat yang dapat
dikatakan melemah atau menurun. Menurunnya partisipasi politik masyarakat dalam
pemilukada ini bisa disebabkan berbagai faktor misalnya saja tingkat kedewasaan masyarakat
dalam memaharni arti penting pemilu masih rendah atau masyarakat sudah mulai jenuh
dengan melakukan pemilihan yang dapat membawa dampak ke arah
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun
2010 di Kabupaten Bandung.
Kabupaten Bandung pada tahun 2010 telah melaksanakan pesta demokrasi yang sarat
dengan isu-isu dan perhelatan politik dari tingkat grassroot sampai dengan elit politik. Pesta
demokrasi tersebut menjadi salah satu women penting bagi sejarah Kabupaten Bandung yang
telah memilih Bupati/Wakil Bupati baru, pasca kepemimpinan incumbent yang sudah 2 (dua)
kali memimpin Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung masih memerlukan banyak
pembelajaran dan pendewasaaan pola-pola pembangunan yang tidak hanya ditujukan dalam
pembangunan sektor-sektor fisik tetapi juga sektor non fisik yang salah satunya adalah
pembangunan politik.
Pembangunan politik merupakan mata rantai (sub sistem) pembangunan yang strategic.
Bahkan pembangunan politik merupakan basis dari sub sistem yang lain sebagai awal adanya
legitimasi dan kepercayaan masyarakat untuk melahirkan seorang pemimpin, kewenangan dan
kekuasaan. Keberhasilan pembangunan politik ditentukan oleh kualitas pemahaman dan
pengertian masyarakat terhadap konsep politik secara utuh. Utuh dalam hal ini adalah tidak
parsial atau setengah-setengah, karena jika parsial maka tujuan dari pembangunan politik
masyarakat tidak akan pernah tercapai. Salah satu indikator pembangunan politik adalah perilaku
masyarakat dalam mensikapi dan memaknai pemilihan figur pemimpin yang duduk di lembaga
perwakilan (DPRD) maupun lembaga eksekutif (Walikota/Bupati).
Kondisi perilaku pemilih di Kabupaten Bandung pada saat Pemilu Legislatif Tahun 2009
tidak mungkin dapat dijadikan tolok ukur obyektif perilaku pemilih untuk Pemilukada Bupati
Bandung tahun 2010. Hal ini lumrah karena memerlukan kesungguhan motivasi dan financial.
Internal motivasi, perencanaan strategic, vooter dan Financial sangat tergantung dari peran serta
stakeholders yang memiliki Visi dan Misi pembangunan politik masyarakat Kabupaten Bandung.
Perilaku memilih menurut Jack C Pleno adalah dimaksudkan sebagai studi yang
memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat
dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pilihan itu. Pandangan
lain mengenai perilaku memilih misalnya menurut Bone dan Raney: perilaku memilih diartikan
dengan pernyataan bahwa "In most study of voting behavior…, voting behavior is pictured as
having the two dimension. Preference...., can be used to measure his approval or disapproval of
Demokratic and Republican Parties, their percevied stands on issues, and the personal quality of
their candidate ...., Activity has six main categories: organization activities, organization
contributors, opinion leaders, voters, and apolitical".
Dengan mengacu pada pandangan tersebut, maka perilaku memilih adalah tingkahlaku
atau tindakan individu dalam proses pemberian suara dalam penyelanggaraan Pemilu serta latar
belakang seseorang melakukan tindakan tersebut. Tingkahlaku atau tindakan individu dalam
proses pemberian suara ialah meliputi tiga aspek yakni preferensi (orientasi terhadap, isu,
orientasi terhadap kualitas personal kandidat, identifikasi partai), aktivitas (keterlibatan dalam
partai politik tertentu, keterlibatan dalam setiap kampanye, kehadiran dalam pemungutan suara)
dan pilihan terhadap salah satu partai politik tertentu.
Fenomena awal perilaku politik pemilih di Kabupaten Bandung terjadi pada tahun 2009,
dimana keberhasilan kebijakan strategic pembangunan ekonomi mempunyai korelasi dengan
perubahan perilaku politik elite masyarakat dan elite agama, yaitu: sebagian besar meninggalkan
partai-partai Islam untuk mendukung Partai Demokrat, Golongan Karya (Golkar) dan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), kecuali sebagian kecil penduduk di kecamatan
tertentu. Sosialisasi politik mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap, perilaku elite
masyarakat dan elit agama.
Penerimaan ideologi Pancasila dan ditinggalkannya ideologi Islam oleh elite masyarakat
dan elite agama menunjukkan terjadinya perubahan orientasi politik agama yang selanjutnya
mendorong terjadinya perubahan perilaku terhadap perubahan perilaku elite masyarakat dan
agama di Kabupaten Bandung. Tampaknya elite agamatelah kehilangan peranan dominannya
dalarn bidang politik, dan telah menjadi sasaran dari berbagai kepentingan politik yang
pruralistik. Dari fenomena tersebut, tentunya perubahan dapat terjadi dalam hitungan detik di
level masyarakat Kabupaten Bandung dalam menjelang Pemilukada tahun 2010 (termasuk elit
masyarakat) seperti halnya pada saat Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Tahun 2009.
Seperti diketahui, bahwa jumlah pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Bandung
sebanyak 8 pasang, sesuai dengan nomor urut peserta dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Marwan — Asep;
2. Atori — Dadi;
3. Tatang — Ujang;
4. Deding — Siswanda;
5. Yadi Srimulyadi — Rusna Kosasih;
6. Asep — Dayat;
7. Dadang Naser — Deden R.;
8. Ridho Budiman — Dadang Rusdiana.
Untuk mengetahui bagaimana perilaku pemilih dan sikap masyarakat dalam hal
partisipasi politik masyarakat pada, Pemilukada ini dapat digambarkan pada rekapitulasi hasil
kajian terhadap persepsi dan perilaku pemilih di Kabupaten Bandung Tahun 2010 sebagai
berikut:
Hasil Survey Tahap 1 Pemilukada
Kab. Bandung Tahun 2010
271
655
1202
114
2643
2184
1647
797
204
59
Tidak
akan
Memilih
1%
Hasil Survey Tahap 1 Pemilukada
Kab. Bandung Tahun 2010
Marwan/Asep
3%
Atori/Dadi
7%
Tatang/Ujang
1%
Deding/Siswanda
12%
Belum Punya
Pilihan
27%
Yadi/Rusna
17%
Ridho/Dadang
8%
Dadang/Deden
22%
Asep/Dayat
2%
Berdasarkan hasil rekapitulasi pada putaran pertama tersebut terlihat hasil yang beragam,
pemilih dalam menentukan pilihan siapa yang paling cocok untuk menjadi Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Hasil yang diperoleh berdasarkan pilihan masyarakat dari hasil Survei
Tahap I yang dilakukan pada bulan Juli 2010 dalam kajian ini menunjukkan pasangan. Dadang
Naser dan Deden yang paling cocok untuk menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten Bandung pada periode tahun 2010 sampai 2015, terbukti dengan pilihan masyarakat
tertinggi jatuh pada pasangan tersebut sebesar 22%. Akan tetapi jika melihat hasil kajian
terhadap persepsi dan perilaku pemilih pada Pemilukada di Kabupaten Bandung pada tahun 2010
ini justru yang paling tinggi itu masyarakat yang tidak mempunyai pilihan yaitu sebesar 27%.
Hal ini menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat dalam menjelang Pemilkuda Di Kabupaten
Bandung dapat dikatakan masih rendah begitu juga perilaku pemilih dan sikap masyarakat dalam
penentuan pilihannya masih dapat dikatakan rendah atau kurang. Ada beberapa alasan pemilih
belum punya pilihan dalam Pemilukada Tahun 2010 yang diperoleh dari hasil Survei Tahap I
kepada masyarakat sebagai berikut:
 Ketidaktahuan warga tentang calon yang akan dipilih
 Belum adanya pendekatan dari calon maupun tim sukses
 Menunggu adanya pemberian dana tertentu dari pasangan calon
 Sosialisasi yang dilakukan pasangan calon masih kurang
 Belum adanya tokoh masyarakat yang menggerakkan
 Terlalu banyak calon sehingga membingungkan
 Perilaku masyarakat yang merahasiakan pilihannya
 Jadwal pemilihan yang masih lama
 Semua calon sama saja, tidak ada yang berbeda yaitu memberikan janji manis waktu
kampanye namun realisasinya tidak ada
 Belum mengurus persyratan-persyaratan seperti DPT dan KTP
 Menunggu tindakan-tindakan nyata yang akan dilakukan pasangan calon
 Bagi para ibu-ibu menunggu pilihan suaminya
 Sosialisasi pemilihan oleh KPUD dirasakan kurang, sehingga warga acuh terhadap
pemilukada
 Menunggu visi dan misi yang akan di usung pasangan calon
 Meginginkan pasangan calon door to door ke setiap rumah masyarakat, sebagai bentuk
perhatian terhadap masyarakat
 Menunggu yang ramai dibicarakan saja
 Menunggu sembako yang diberikan
 Belum ada koordinir dari koordinator/ pejabat setempat
 Menunggu jadwal kampanye terlebih dahulu
 Menunggu dana yang lebih besar dari pasangan calon, baru tanda tangan
 Masih meragukan kemampuan para calon
 Apatis terhadap pemilukada
 Tidak ada alasan
Hasil kajian terhadap persepsi dan perilaku pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten
Bandung ini awalnya tidak dapat dikatakan sebagai jaminan bahwa pasangan Dadang Naser dan
Deden R Rumaji ini mutlak sebagai pemenang dalam pelaksanaan Pemilukada Tahun 2010.
Kajian ini hanya merupakan alat bantu untuk menggambarkan peta politik di Kabupaten
Bandung menjelang Pemilukada tersebut. Dengan adanya kajian ini beberapa elemen/unsur
terkait dapat terbantu dan dapat memanfaatkan situasi peta politik tersebut. Akan tetapi dengan
berjalannya waktu sampai tiba saatnya pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Bandung terbukti
pasangan Dadang Naser dan Deden ini meraih suara terbanyak yakni mencapai 29,72% sesuai
dengan hasil kajian terhadap persepsi perilaku pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten Bandung
yang telah dilakukan, walaupun harus terjadi putaran ke dua karena perolehan suara dari semua
pasangan calon tidak memenuhi kuota yakni sebesar 30%, bahkan berdasarkan quick count yang
dilakukan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Kabupaten Bandung
mendapati justru. sebesar 37% warga Kabupaten Bandung tidak menggunakan hak pilihnya atau
golongan putih (golput).
Tingginya golongan putih (golput) dalam Pemilukada pada putaran ini disinyalir
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya saja kedewasaan pemilih dalam pesta demokrasi ini
masih dikatakan rendah, tidak ditemukannya visi-misi dari pasangan calon, DPT, dan poster
kampanye di hampir semua TPS kurang. Banyak kalangan yang memprihatinkan dan sangat
menyayangkan terhadap tingginya golput ini karena pesta demokrasi Kabupaten Bandung ini
terlihat sepi pemilih. Partisipasi politik masyarakat untuk menggunakan hak suara di TPS sangat
rendah sehingga ini dapat berdampak kepada hasil perolehan suara, terhadap pasangan calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tidak memperoleh suara 30% sehingga
mendorong untuk terjadinya putaran ke II yang tentunya memakan biaya yang sangat besar
dalam pesta demokrasi tersebut. Dengan demikian dalam hal ini kajian terhadap, persepsi dan
perilaku pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten Bandung dilakukan kembali Survei Tahap II
yang dilakukan pada pertengahan bulan Oktober 2010, dengan hasil kajian sebagai berikut:
Hasil Survey Tahap 2 Pemilukada
Kab. Bandung Tahun 2010
5297
4049
718
Dadang
Naser/Deden
Rumaji
Ridho
Budiman/Darus
Belum Punya
Pilihan
111
Tidak akan
Memilih
Hasil Survey Tahap 2 Pemilukada
Kabupaten Bandung Tahun 2010
Tidak akan Memilih
1%
Belum Punya
Pilihan
7%
Ridho
Budiman/Darus
40%
Dadang
Naser/Deden
Rumaji
52%
Berdasarkan hasil kajian terhadap persepsi dan perilaku pemilih dalam Pemilukada
Putaran ke II di Kabupaten Bandung, menunjukkan bahwa hanya ada dua pasangan yang masuk
ke dalam putaran ke II. Kedua pasangan ini merupakan pasangan yang memperoleh suara
terbanyak dan kedua dalam putaran I yaitu pasangan Dadang Naser/Deden dan pasangan Ridho
Budiman/Dadang Rusdiana. Dalam putaran ke II ini pun hasil kajian terhadap persepsi dan
perilaku pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten Bandung menunjukkan masih pasangan
Dadang Naser dan Deden yang memperoleh suara terbanyak yakni sebesar 52% dan. pasangan
Ridho Budiman/ Darus memperoleh suara sebesar 40% dan sisanya tidak punya pilihan. sebesar
7% dan tidak akan memilih 1%. Adapun beberapa alasan beberapa responden yang belum punya
pilihan sebagai berikut:
Tabel 3.4.
Alasan Responden Belum Mempunyai Pilihan.
No. Nama Kecamatan
1. Kecamatan Ciparay
2.
Kecamatan Margaasih
3.
Kecamatan
Kutawaringin
4.
Kecamatan Cileunyi
5.
Kecamatan Cicalengka
6.
Kecamatan Cilengkrang
7.
Kecamatan Soreang
Alasan belum Punya Pilihan
• Daerah yang lebih jauh, seperti desa babakan dan
mekarlakasana, responden yang belum punya pilihan
beralasan mengaku masih menuggu calon memberi amplop
(uang).
• Masih rahasia karena takut tim survey adalah mata-mata
salah satu calon
• Menunggu dana stimulus putaran kedua
• Menunggu keputusan dari pengajian maupun tokoh
setempat seperti RT/RW.
• Menunggu adanya pemberian uang.
• Sudah tidak percaya lagi karena semuanya sama saja.
• Menginginkan jalan diperbaiki baru masyarakat akan
memilih calon tersebut.
• Responden masih menunggu uang
• Menunggu dari para tokoh masyarakat untuk di arahkan
karena masyarakat suka yang ramenya baru dipilih.
• Tidak ada sosialisasi lagi dari para calon sehingga
masyrakat belum tahu calon yang lolos di putaran kedua
(masyarakat baru tahu ada putaran kedua dan calonnya yang
lolos dari tim survey).
• Mengira Pilkada sudah selesai.
• PILKADA putaran I mengganggu ketertiban umum
sehingga malas mengikuti pilkada putaran II
• Menunggu dana stimulus
• Menunggu stimulus uang
• Calon sudah kalah dalam putaran I maka menunggu arahan
saja.
• Butuh perbaikan Jalan terlebih dahulu
• Dana stimulus hanya dibagikan pada sebagian masyarakat
saja (pejabat desa)
• Tidak mau memberikan suara sebelum dana turun
• Caton yang di usung kalah, maka belum mengetahui harus
•
Kecamatan Katapang
•
•
9.
Kecamatan Margahayu
•
•
•
10.
Kecamatan Paseh
•
•
•
•
11.
Kecamatan Cikancung
12.
Kecamatan Nagreg
13.
Kecamatan
Pameungpeuk
•
•
•
•
•
•
•
•
•
8.
•
•
•
•
•
•
•
14.
Kecamatan Cangkuang
15.
Kecamatan Ciwidey
16.
Kecamatan Cimaung
•
•
•
17.
Kecamatan Solokan
Jeruk
•
18.
Kecamatan Majalaya
•
•
•
•
•
memilih yang mana.
Belum ada tokoh dan aparat yang mengarahkan untuk
putaran II
Calon yang lolos ke putaran II tidak kompeten
Belum ada sosialisasi dari aparat/tokoh yang mengarahkan
untuk putaran II
Menunggu dana kucuran
Masih menunggu ramenya dari masyarakat kebanyakan.
Belum tahu kalau ada putaran ke II, masayarakat
menyangka bahwa pilkada telah selesai
Calonnya kalah maka belum ada pilihan yang lain.
Masih bingung
Belum terdata dalam DPT
Belum ada arahan dari tim sukses calon yang saga dukkung
kemarin (karena calonnya kalah)
Calonnya kalah maka belum ada pilihan yang lain.
Belum ada arahan dari tokoh masyarakat
Masih menunggu dana putaran kedua
Nanti saja pada saat mendekati pencoblosan
Belum ada arahan untuk pilkada putaran II
Menunggu yang rame saja
Ingin memilih sesuai hati nurani (raliasia)
Belum ada/punya pilihan
Masyarakat menilai bahwa pilkada putaran ke II ini banyak
masalah, mereka merasa kecewa bahwa putaran I tidak
berjalan dengan baik.
Konsistensi para pendukung calon yang kemarin kalah
masih kuat.
Menunggu uang dari team khusus atau calon
Rahasia
Masyarakat kecewa atas pilkada putaran I
Belum mengetahui calon
Menunggu arahan suami, anak, atasan atau pimpinan/tokoh
Menunggu jumlah suara calon terbanyak itu yang
dipilih/ikut yang rame dibicarakan
Menunggu uang turun dari calon atau team sukses
Rahasia pemilih
Menunggu suara terbanayak (yang sering dibicarakan
masyarakat)
Menginginkan jalan diperbaiki dahutu baru akan memilih
calon tersebut.
Menunggu amplop dari tim sukses
Menunggu dana dari tim sukses pilkada putaran II
Menunggu uang atau sembako dari calon
Rahasia
Menunggu yang ramainya saja dari masyarakat banyak
•
19.
Kecamatan Rancaekek
•
•
•
•
20.
Kecamatan Banjaran
21.
Kecamatan Kertasari
22.
Kecamatan
Bojongsoang
23.
•
•
•
•
•
•
•
•
Kecamatan Dayeuhkolot •
•
24.
Kecamatan Baleendah
25.
Kecamatan Cimenyan
26.
Kecamatan Arjasari
27.
Kecamatan Rancabali
28.
Kecaman Ibun
29.
Kecamatan Pacet
30.
Kecamatan Pasir Jambu
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
31.
•
Kecamatan Pangalengan •
Menunggu jalan di perbaiki terlebih dahulu baru suara
masyarakat kebanyakan akan memilih calon tersebut
(terutama desa padaulun)
Baru Ridho yang sudah datang langsung ke masyarakat
membagi bagikan sembako (terutama saat masyarakat
sedang mengalami bencana banjir)
Masyarakat sekarang sudah apatis, memilih kalau ada
uangnya saja sebab kalau sudah terpilih akan lupa pada
janjinya pada masyarakat
Belum ada arahan untuk Pilkada putaran II suara mau
diarahkan kemana.
Hampir keseluruhan desa di Rancaekek menginginkan
perbaikan jalan
Belum tahu sebab belum ada arahan untuk pilkada puaran II
Menunggu kucuran dana
Belum mengetahui mana yang ramenya di masyarakat
Menunggu kucuran dana
Terlalu banyak janji dari calon-calon namun tidak ada
realisasinya
Karena belum ada sosialisasi langsung, dari calon
Masyarakat menunggu arahan
Menunggu di beri uang
Menunggu rarnenya saja pas hari pencoblosan
Calon yang kemarin kalah, sehingga belum tahu akan
memilih siapa
Menunggu subsidi dari calon
Belum ada calon turun ke masyarakat langsung
Menunggu diberi uang
Rahasia, bagaimana nanti saja pas hari pencoblosan
Menunggu diberi uang
Menunggu calon yang datang langsung ke masyrakat
Menunggu dana kucuran
Menunggu pas pencoblosan
Menunggu arahan saja dan ramenya saat pencoblosan
Menunggu stimulus dana
Menunggu uang atau sembako yang dibagikan
Tergantung hari H saja
Masih bingung
Terlalu banyak janji jadi memusingkan
Jenuh dengan pemilu langsung
Belum mengurus persyratan-persyaratan seperti DPT dan
KTP
Menunggu tindakan-tindakan nyata yang akan dilakukan
pasangan calon
Belum adanya tokoh masyarakat yang menggerti
Meginginkan pasangan calon door to door ke setiap rumah
•
•
•
masyarakat, sebagai bentuk perhatian terhadap masyarakat
Menuggu yang rainai dibicarakan saja
Menunggu sembak-o yang diberikan
Belum ada koordinir dari koordinator/pejabat setempat
Hal yang sama dalam hasil kajian pada putaran ke II ini pun tidak dapat dijadikan
patokan utama atau tidak bisa dijadikan jaminan untuk kemenangan dalam pelaksanaan
Pemilukada putaran ke II, tetapi pelaksanaan yang sesungguhnya yang dapat diakui dan terima
oleh setiap kalangan. Hasil kajian ini sebatas alat bantu peta politik dalam pesta demokrasi, dan
hanya merupakan gambaran semata bagi para elemen atau unsur terkait. Akan tetapi dalam
waktu pelaksanan Pemiluklad yang sesungguhnya adalah memang betul pada putaran ke II itu
pun pasangan Dadang Naser dan Dedenlah yang mengantongi suara paling banyak dengan
674.370 suara atau sebesar 53,24% mengungguli kandidat lainnya yaitu Ridho Budiman/Dadang
Rusdiana yang meraih suara 592.392 atau sebesar 46,76% suara.
Hal ini meneguhkan kemenangan pasangan yang diusung Partai Golkar itu setelah unggul
pada putaran pertama. Pasangan Dadang Naser/Deden unggul di 21 Kecamatan dan pasangan
Ridho/Dadang Rusdiana unggul di 10 Kecamatan lainnya. Inilah hasil pesta demokrasi yang
sesungguhnya yang harus diterima oleh semua kalangan, dan berharap pasangan terpilih ini
dapat merealisasikan dan menjalankan roda pemerintahan dengan baik, dan bagi pasangan yang
kalah dapat menepati kesepakatan untuk menerima hasil Pilkada dengan damai.
Pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Bandung pada putaran II yang dilakukan pada
Tanggal 31 Oktober 2010 ini terlihat tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilukada
atau dalam menyampaikan aspirasi dalam menentukan pilihannya terlihat menurun dibandingkan
dengan putaran pertama, yakni dari 64,99 persen pada putaran pertama, menjadi 61,56 persen
pada putaran ke dua. Hal ini disinyalir disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah menurut
informasi sekitar 1000 orang pemilih sedang menunaikan ibadah haji sehingga tidak bisa
menyampaikan hak pilihnya terutama di daerah perkotaan. Namun demikian capaian jumlah
pemilih ini masih dapat dikatakan proporsional.
Dengan melihat adanya kesesuaian antara hasil kajian dengan hasil pelaksanaan ini
artinya adalah bahwa hasil kajian benar-benar dapat membantu terselenggaranya Pemilukada
terutama dalam mendeskripsikan peta politik/tingkat partisipasi politik masyarakat dalam
pelaksanaan Pernilukada khususnya di Kabupaten Bandung. Terselenggaranya pelaksanaan
Pemilukada dengan sukses ini perlu adanya kesiapan dan dukungan dari semua pihak termasuk
pemilih dalam menyampaikan aspirasinya untuk dapat menentukan suatu pilihan terhadap
pasangan calon yang akan menduduki jabatan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Kedudukan/posisi jabatan dapat diperoleh berdasarkan dari sikap dan perilaku pemilih dalam
menentukan pilihan terhadap pasangan calonnya, sehingga perilaku pemilih dalam Pemilukada
mempunyai andil yang sangat besar.
Perilaku pemilih menurut Nimmo (1989:186-197) terdiri dari pemilih rasional, pemberi
suara yang aktif, pemberi suara yang responsif, pemberi suara yang aktif Nimmo (1989:187–
197) mengklasifikasikan pemilih sebagai berikut:
1. Pemberi suara yang rasional; yaitu pemberi suara yang turut memutuskan
pemberiansuara dengan ciri-ciri: (a) selalu dapat rnengabil putusan bila dihadapkan
kepada alternatif (b) memilah alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakal
lebih disukai, sama saja, atau lebih rendah apabila dibandingkan dengan alternatif
lain; (c) menyusun alternatif dengan cara transit, jika A lebih disukai daripada B, dan
B daripada C, maka A lebih disukai daripada C; (d) selalu memilih alternatif yang
peringkat preferensinya paling tinggi; dan (e) selalu mengambil keputusan yang sama
bila dihadapkan kepada alternatif-alternatif yang sama.
2. Pemberi suara yang reaktif pemberi suara bereaksi terhadap pemilihan umum
berdasarkan faktor-faktor sosial dan. demokrasi jangka panjang, yakni pemberian
suara lagi-lagi merupakan aksi diri. Pengaruh sosial yang paling penting adalah ikatan
emosional kepada partai politik.
3. Pemberi suara yang responsif memiliki karakter sebagai pemberi suara yang
impermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa politik dan pengaruh yang berubahubah terhadap pilihan para pemberi suara, memiliki kesetiaan kepada partai, tetapi
tidak menentukan perilaku pemilihan, lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka
pendek, sebagai fungsi terhadap isu dan penghargaan terhadap kapasitas kandidat,
pemilih respon dengan masalah pokok dan relevan tentang kebijakan umum, tentang
prestasi pemerintah dan kepribadiaan eksekutif variasi dalam rangsangan yang
diberikan oleh kepemimpinan politik, partai dan kandidat sangat penting dalam
pandangan pemberi suara karena tanggapan rakyat akan sangat dikondisikan oleh
rangsangan ini.
4. Pemberi suara yang aktif, yaitu pemberi suara yang berperilaku sebagai ia membuat
suatu objek dari apa yang dilihatnya, memeberinya makna dan menggunakan makna
itu sebagai dasar untk mengarahkan tindakannya. Tindakannya merupakan hasil
indikasi yang dibuatnya, bukan sekedar memberi respon saja.
Dari klasifikasi yang disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilih yang
menerima informasi dapat bersikap beragam, sesuai dengan psikologinya, lingkungan sosialnya,
lingkungan politiknya dan lain sebagainya. pemilih yang responsif merupakan pemilih yang
paling baik untuk kasus Kabupaten Bandung, manakala masyarakatnya masih kurang mengerti
politik. Dalam penelitiaan ini mengkaji apakah perilaku pemilih di Kabupaten Bandung dalam
Pemilukada bersifat responsif atau. tidak. Hasil penelitian tentang perilaku pemilih terlihat dalam
penjelasan ini:
Dalam menentukan pilihannya, pemilih dapat berlaku stabil atau tidak berubah pilihan
berdasarkan pilihan-pilihan sebelumnya. Pemilih yang responsive akan memilih sesuai dengan
keadaan yang berkembang. Terkadang memilih atas dasar partai politik, terkadang atas dasar
program partai yang ditawarkan, terkadang atas dasar kapasitas calon, dan banyak lagi. Perilaku
politik yang rseponsif ini bisa berubah-rubah setiap saat, bergantung pemahaman dan nilai
politik pemilih itu sendiri, sejauhmana pemilih memiliki tingkat kestabilan sikap politik dalam
Pemilukada Kabupaten Bandung Tahun 2010. Dalam hal ini informan lebih banyak menilai
bahwa tidak sependapat tentang perilaku yang berubah-rubah dari kalangan pemilih. Artinya
adalah bahwa penilaian responden atas perilaku pemilih adalah stabil dan tidak berubah-ubah.
Pemilih responsif menururt teori masih loyal atas politik tertentu. Partai politik yang
bersaing dalam kancah Politik masih memiliki masa loyal yang didasarkan atas pendidikan dan
sosialisasi politik yang sudah berlangsung lama, sehingga informasi dan kondisi politik tidak
serta merubah perilaku politik. Responsibilitas pemilih tidak terlalu mudah, karena pemilih
memiliki nilai-nilai politik yang ditanamkan oleh partai tertentu. Sejauhmana hal ini dimiliki
oleh pemilih di Kabupaten Bandung dalam Pemilukada Tahun 2010, maka peneliti dapat
menjelaskan hasil penelitian tersebut.
Dalam hal ini bahwa responden lebih banyak menilai bahwa tentang kesetiaan pemilih
kepada partai politik tertentu menunjukkan bahwa penilaian responden atas kesetiaaan kepada
partai politik sudah berkurang dibanding masa yang lalu.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu Ketua Partai politik menyatakan bahwa
pemilih saat ini tidak terlalu terikat dengan partai tertentu. Simbol-simbol tradisional yang
melekat pada partai masa lalu tidak lagi menjadi kekuatan utama sebab pemilih sudah begitu
bebas dan tidak terikat dengan politik orang tua.
Pragmatisme politik merupakan bagian dari perilaku pemilih. Pemilih dapat memilih atas
pertimbangan-pertimbangan yang sangat sederhana, yaitu barang, uang dan yang lainnya yang
bersifat material. Sejalan dengan kondisi yang sangat transparan, politik sudah berkembang ke
arah pragtisme sehingga kondisi seperti ini menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan politik
Indonesia saat ini. Sejauhmana hal ini terjadi, maka dapat dideskripsikan bahwa infonnan lebih
banyak menilai tentang perilaku pemilih yang dipengaruhi oleh faktor-faktor material seperti
uang, barang. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian responder tentang kecenderungan pemilih
yang bersikap pragmatic bernilai tinggi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu tim sukses pasangan terpilih didapatkan
informasi bahwa perilaku pemilih memang memiliki kecenderungan ke arah pragmatic, terutama
sejak berlangsung beberapa kali Pemilu secara langsung. Hal ini terjadi karena pemilih
memandang penting sejumlah uang untuk menghargai hak suara yang dimilikinya. Pragmatisme
pemilih lebih dipicu oleh kehilangan proses penyadaran politik.
Selain faktor uang dan barang sebagai konpensasi politik yang menentukan pilihanpilihan pemilih, ternyata dalam setiap Pemilu ada juga yang memilih atas dasar program kerja
yang ditawarkan oleh kandidat, partai politik dan tim sukses pasangan tersebut. Melalui tawaran
kerja pemilih menaruhkan harapannya bagi terwujudnya pemerintahan yang mampu berpihak
kepada pemilih. Pemilih memilih pemimpin yang diharapkan mampu membuat kebijakan yang
berdampak positif bagi kehidupan bersama. Pemilih lebih memilih program kerja dibandingkan
kepribadian kandidat, seperti kebaikan, keramahan dan sebagainya. Sejauhmana ini terjadi dalam
pemilih selama Pemilukada di Kabupaten Bandung 2010, peneliti mempertanyakan hat ini
kepada salah satu yang dijadikan informan dalam penelitian ini.
Dalam hal ini responden lebih banyak menilai bahwa perilaku pemilih yang memilih atas
dasar program kerja sangat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian informan keinginan
terhadap seorang pemimpin yang berdasarkan kepada program kerja saja juga tidak diinginkan
akan tetapi masyarakat menginginkan pemimpin yang fleksibel.
Pemilih yang responsif juga memiliki karakteristik sebagai pemilih yang menghargai
kapasitas kandidat. Artinya pemilih mempertimbangkan kemampuan kandidat dalam
menjalankan pemerintahan setelah terpilihnya, seperti kemampuan manajerial, kepemimpinan
dan sebagainya. Pemilih seperti ini lebih rasional dan mampu memikirkan informan yang
dimilikinya untuk kepentingan penentuan pilihan. Pemilih dengan karakteristik seperti memiliki
minat politik yang lebih dibandingkan dengan pemilih yang menjadikan uang sebagai
kompensasi kedaulatan politiknya. Penilaian informan tentang perilaku pemilih yang mampu
menghargai kapasitas kandidat termasuk gagasan dan kepribadiannya sangat dikatakan masih
rendah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu informan didapatkan penilaian bahwa
pemilih dalam putaran pertama masih sulit untuk dilihat apakah berdasarkan pada pemahaman
pemilih atas kapasitas calon atau hal lainnya. Hal ini terjadi karena jumlah kandidat yang
banyak, yaitu 8 pasangan calon sehingga pemilih kesulitan untuk menentukan kapasitas masingmasing calon. Akan tetapi pada putaran kedua, suasana semakin menarik karena diprediksikan
pemilih lebih mudah untuk mengukur kualitas calon.
Pemilih yang responsif juga memperhatikan dengan seksama isu-isu yang berkembang,
baik yang menyangkut calon, partai politik, dan persoalan daerah. Menyangkut calon kepala
daerah, pemilih mesti memahami beberapa isu penting seperti pengalaman organisasi yang telah
ditempuh oleh calon. Kinerja calon dalam berbagai organisasi yang diikutinya, kepernimpinan
calon, kapabilitas manajemen dan teknis. Partai politik merupakan lembaga yang menentukan
masa depan politik daerah, baik dari sisi kebijakan yang akan muncul, perilaku anggota partai di
parlemen dan perilaku organisasi partai politik.
Persoalan daerah juga harus mendapat perhatian pemilih karena dengan memahami hal
tersebut, maka pemilih dapat menentukan siapa pemimpin yang akan mampu menyelesaikan
berbagai persoalan tersebut.
Sejauhmana pendapat infonnan mengenai perilaku pemilih yang ada di Kabupaten
Bandung dalam Pemilukada. Tahun 2010 tentang isu-isu yang menjadi perhatian pemilih dapat
digambarkan seperti yang dikemukakan oleh infonnan. Infonnan lebih banyak memberikan
penilaian kurang perhatian pemilih terhadap isu-isu yang berkembang sekitar Pemilukada.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan beberapa informan didapatkan informasi
bahwa pemilih di Kabupaten Bandung secara umum tidak banyak yang peduli dengan isu-isu
tentang pemilihan umum kepala daerah, karena pemilih tidak memiliki pendidikan politik yang
memadai, sehingga tidak memiliki keinginan untuk memahami proses politik secara baik. Selain
itu, kejenuhan politik yang melanda masyarakat akibat intensitas yang sangat tinggi dalam
kegiatan politik menyebabkan apatisme politik meningkat. Masyarakat memandang politik
sekedar proses yang tidak lagi bermakna, artinya proses hanya sekedar berlangsung pergantiaan
kekuasaan, dan masyarakat tidak bisa menaruh harapan yang tinggi terhadap hasil.
Evaluasi pemimpin merupakan bagian terpenting dari cara memilih atau menentukan
pilihan. Pemimpin yang merupakan bagian penting untuk mendapat perhatian pemilih, sebab
dengan hal itu pemilih memahami kelemahan yang ada. Kebijakan yang diambil selama ini dan
pihak-pihak yang terlibat dalam merumuskan kebijakan, melaksanakan kebijakan dan menikmati
hasil kebijakan itu sendiri. Evaluasi pemimpin juga berkaitan dengan tingkat keberhasilan dan
kegagalan pembangunan yang dirancang oleh pemimpin sebelumnya. Sejauhmana pemilih dapat
melakukan kegiatan evaluasi pemimpin yang merupakan kegiatan penting untuk menentukan
pemimpin berikutnya,
Penilaiaan. informan mengenai pemilih melakukan evaluasi terhadap kinerja pemimpin
ini relatif mengatakan kurang melakukan evaluasi terhadap kinerja pemimpin. Berdasarkan
wawancara dengan salah satu infonnan tentang hal ini didapatkan kesimpulan bahwa para
pemilih masih belum bisa mengevaluasi kinerja pemimpin pada masa sebelumnya sehingga
pemilih sulit untuk menentukan kapasitas pemimpin yang dibutuhkan di masa mendatang.
Selain pemimpin eksekutif, evaluasi pemilih juga dilakukan terhadap para wakil rakyat
yang ada di DPRD tennasuk partai pengusungnya. Kebutuhan publik dari kegiatan ini adalah
pemilih dapat melihat keseriusan partai politik dalam mengelola kekuasaan yang telah diberikan
rakyat. Melalui evaluasi kinerja partai politik yang mengusung anggota DPRD terlihat bahwa
suatu partai berkualitas baik dan yang lainnya tidak. Sejauhmana pengetahuan pemilih mengenai
hal ini peneliti mewawancarai salah satu informan. Informan tnembenikan penilaian terhadap
partai pengusung dan kinerja anggota DPRD yang terjadi selama ini.
Kepemimpinan partai politik merupakan figur sentral dalam menentukan keberhasilan
kandidat bupati dalam menjalankan roda pemerintahan. Intervensi partai politik dalam berbagai
kegiatan administrasi pemerintahan sudah Sering mengemuka dalam banyak diskusi, baik di
kalangan birokrasi maupun politisi itu sendiri. Birokrasi merasa partai politik memiliki agenda
dalam setiap program pembangunan yang seringkali menghendaki adanya pembagian
keuntungan. Hal ini sangat merugikan publik, dimana pelayanan publik seringkali terganggu.
Sejauhmana aktifitas atau proses keingin-tahuan pemilih mengenai para ketua partai di tingkat
lokal, peneliti menggajukan pertanyaan ke salah satu informan.
Penilaian informan terhadap pertanyaan mengenai pemilih mempertimbangkan
pilihannya atas kepemimpinan partai politik ini memang terjadinya pengetahuan yang tinggi dari
pemilih tentang ketua partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih melakukan evaluasi
terhadap kinerja pemimpin partai tingkat lokal itu relatif rendah.
Berdasarkan wawancara dengan salah satu informan didapatkan informasi pemilih hanya
mengetahui pemimpin partai politik itu hanya mengetahui pemimpin partai tingkat nasional,
bukan pemimpin partai di tingkat lokal. Oleh karena itu di dalam Pemilukada eksistensi
pemimpin partai tidak mendapat perhatian yang memadai.
Kinerja kandidat semasa aktifis partai politik menjadi salah satu bagian penting dalam
melihat kepemimpinan dan peluang untuk keberhasilan di masa mendatang. Sebagai politisi,
kandidat tentu memiliki catatan jejak politik yang menggambarkan kualitas sebagai aktifis
politik di tingkat Kabupaten Bandung. Hal ini dipertanyakan kepada salah satu informan bahwa
informan lebih banyak memberikan penilaian dalam memperhatikan kinerja kandidat dalam
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung.
4.2. Hambatan-hambatan Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Tabun 2010 Di Kabupaten Bandung
Proses penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pemilukada) di Kabupaten Bandung tahun 2010 yang baru dilaksanakan, secara umum dapat
dikatakan berjalan dengan baik. Ini semua atas terselengaranya kerjasama dari berbagai elemen
atau unsur terkait yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilukada tersebut mulai dari KPU
sebagai penyelenggara Pemilu sampai kepada pemilih yang mempunyai peran besar dalam
pelaksanaan Pemilukada.
Bahu membahu di setiap unsur/elemen untuk dapat menciptakan iklim demokratis yang
kondusif, permasalahan-permasalahan ditekan sedemikian rupa demi terselenggaranya
Pemilukada yang Luber dan Jurdil dan mencenninkan pesta demokratis yang damai yang
tentunya ini juga dapat diciptakan dari perilaku pemilih yang dapat memberikan aspirasi dalam
menentukan pilihan terhadap pasangan yang layak untuk menjadi Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah di Kabupaten Bandung Tahun 2010-2015 mendatang. Walaupun upaya secara
optimal telah dilakukan oleh berbagai pihak demi terselenggaranya Pemilukada yang sukses,
akan tetapi dalam hal ini masih ditemukannya hambatan-hambatan dalam terselenggaranya
Pemilukada tersebut, terutama hambatan-hambatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung yaitu sebagai
berikut:
1. Masih terdapat pemilih yang tidak memberikan hak pilihnya/tidak menyampaikan
aspirasinya dalam hal ini tidak memberikan suara dalam pelaksanaan Pemilukada Tahun
2010.
2. Pada putaran pertama terjadi Golput sebesar 49% dari jumlah pemilih tetap yang ditetapkan
KPU tidak datang ke TPS untuk menyampaikan aspirasinya, dan masih terdapat pemilih
yang tidak menentukan pilihan setelah datang ke TPS.
3. Merosotnya/terjadi penurunan tingkat partisipasi politik masyarakat dalam keikutsertaan
penyelenggaraan Pemilukada, tahun 2010 di Kabupaten Bandung pada putaran ke dua
dibandingkan pada putaran pertama yakni dari 64,99% pada putaran pertama turun menjadi
62,56% pada putaran ke dua.
4. Banyak pemilih yang tidak mengetahui perihal visi, misi dan program dari pasangan calon
sehingga pemilih tidak menentukan pilihan.
5. Kurangnya sosialisasi yang diserap oteh masyarakat mengenai arti pentingnya Pemilukada di
Kabupaten Bandung yang berdampak kepada pemilih tidak menyampaikan hak pilihnya.
6. Terjadinya titik kejenuhan masyarakat dengan rangkaian proses pemilihan umum yang
dianggap tidak membawa perubahan.
7. Kedewasaan berpolitik masyarakat Kabupaten Bandung dapat dikatakan masih rendah. Ini
terbukti masih adanya beberapa pemilih yang akan memberikan pilihan apabila adanya
amplop yang diterima untuk mendukung salah satu pasangan calon.
8. Terjadinya, krisis kepercayaan kepada para calon yang dinilai masyarakat hanya mengumbar
janji akan tetapi diragukan untuk dapat merealisasikan janji-janjinya.
9. Kurang adanya pendekatan dari para pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati kepada
masyarakat sehingga untuk mengenal sosok calon Bupati dan Wakil Bupati lebih sulit.
10. Pemilih menilai masih adanya keraguan kemampuan yang dimiliki oleh para pasangan calon
untuk dapat membawa amanah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
4.3. Upaya-upaya Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung
Dari berbagai hambatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Tahun 2010 yang ditemukan, maka ada upaya-upaya yang dilakukan oleh
pemilih dalam pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala sebagai berikut:
1. Mencari informasi tentang penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten bandung.
2. Mencari infirmasi tentang keberadaan dari pasangan calon.
3. Menumbuh-kembangkan kesadaran bahwa Pemilukada ini merupakan pesta demokrasi yang
akan menentukan nasib 5 tahun ke depan.
4. Menghindari untuk golput dan mengajak pihak lain untuk tidak golput.
5. Mencari informasi tentang kemampuan, visi, misi program kerja dari berbagai pasangan
calon.
6. Menghindari terjadinya money politik.
7. Mendukung menciptakan pesta demokratis ini yang kondusif, aman dan damai serta bersifat
Luber dan Jurdil.
8. Dapat membantu menyebarkan informasi mengenai pentingnya arti dari sehuah proses
Pemilukada.
Dengan berbagai upaya yang dilakukan, diharapkan hambatan-hambatan atau kelemahankelemahan yang ditemukan dalam Pemilukada tahun 2010 ini tidak terjadi lagi dalam
Pemilukada yang akan datang.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian terhadap perilaku pemilih dalam
Pemilukada Tahun 2010. Di Kabupaten Bandung dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun
2010 di Kabupaten Bandung masih dapat dikatakan relatif kurang baik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perilaku pemilih dalam hal memberikan sikap/memberikan suara dalam
Pemilukada Tahun 2010 masih rendah, masih banyak daftar pemilih tetap yang tidak
memberikan suara dan masih lehih banyak memilih untuk golongan putih (Golput). Begitu
juga para pemilih belum mencerminkan sikap dewasa dalam kajian politik misalnya saja
masih ditemukannya pemilih yang kurang menyadari pentingnya arti Pemilu sehingga masih
banyak pemilih yang mensikapi terhadap Pemilukada ini dengan sikap acuh dan masih
banyak pemilih yang mengharapkan pamrih terhadap suara yang diberikannya atau terjadi
kontrak dan money politik antara pemilih daerah pasangan dan calon.
2. Hambatan-hambatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Tahun 2010 Di Kabupaten Bandung antara lain: masih terdapatnya pemilih
yang tidak memberikan hak pilihnya yaitu pada putaran pertama terjadi Golput sebesar 49%
dari jumlah pemilih tetap yang ditetapkan KPU. Merosotnya /terjadinya penurunan tingkat
partisipasi politik masyarakat dalam keikutsertaan penyelenggaraan Pemilukada tahun 2010
di Kabupaten Bandung pada putaran ke dua dibandingkan pada putaran pertama yakni dari
64,99% pada putaran pertama turun menjadi 62,56% pada putaran ke dua. Kurangnya
sosialisasi yang diserap oleh masyarakat mengenai arti pentingnya Pemilukada di Kabupaten
Bandung yang berdampak kepada pemilih tidak menyampaikan hak pilihnya dan terjadinya
titik kejenuhan masyarakat dengan rangkaian proses pemilihan umum yang dianggap tidak
membawa perubahan.
3. Upaya-upaya perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung antara lain: Menumbuhkembangkan kesadaran
bahwa Pemilukada ini merupakan pesta demokrasi yang akan menentukan nasib 5 tahun ke
depan, menghindari untuk golput dan mengajak pihak lain untuk tidak golput, menghindari
terjadinya money politik, mendukung menciptakan pesta demokratis ini yang kondusif, aman
dan damai serta bersifat Luber dan Jurdil, dapat membantu menyebarkan informasi mengenai
pentingnya arti dari sebuah proses Pemilukada.
5.2. Saran
1. Penyelenggara Pemilukada (KPUD) atau stakeholders lainnya serta para, individu
meningkatkan sosialisasi politik tentang pentingnya arti dari penyelenggaraan Pemilukada
bagi masyarakat.
2. Partai politik atau pihak lain dapat meningkatkan pemberian pendidikan politik secara
berkala dan kontinue, bukan hanya sebatas menghadapi Pemilukada saja, supaya dapat
mendorong tingkat kedewasaan dalam berpolitik.
3. Mensosialisasikan kepada para pemilih untuk menghindari Golput, karena dengan golput ini
berarti masyarakat tidak menentukan sikap atau tidak memberikan suara dan tidak
mempunyai arti dan makna terhadap penyelenggaraan Pemilukada.
4. Penyelenggara Pemilukada, pengawas Pemilukada dan pihak terkait lainnya dapat
meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilukada supaya tidak terjadi
pelanggaran-pelanggaran termasuk money politik yang dilakukan oleh para calon.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-dasar Ilmu Poliik. Jakarta: Gramedia
Firmansyah, 2008. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Gaffar, Affan. 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Hadi, Sutrisno. 2001. Metodologi Reserch. Jogjakarta. Andi.
Mas'oed Mohtar dan Colin Mc Andrew. 2000. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press,
Miles, Mathew B & Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber tentang
Metode-metode Baru. Alih Bahasa Tjetjep Rohendi Effendi. Jakarta: UI Press.
Mulyana. Dedi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Bandung: Rosda Karya.
Mustapadidjaya. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta: LAN
Nursal, Adman. 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: PT Gramedia
Utama.
Ralunan, Arifin. 2001. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: SIC
Rush, Michael dan Philip Althop. 2000. Pengantar Sosiologi Politik (TerjemahanKartini
kartono), Jakarta: Rajawali
Sanit, Arbi. 1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Singarimbun. Masri dan Sofian Effendi. 2005. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
DOKUMENTASI
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor: 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Badan Statistik Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung Dalam Angka Tahun 2010.
Hadi Setia Tunggal. 2008. Kumpulan Paket UU Pemilu, Bandung Harvarindo,
Download