BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Campak 2.1.1 Definisi dan

advertisement
40
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Penyakit Campak
2.1.1
Definisi dan Etiologi Penyakit Campak
Campak merupakan penyakit infeksi akut, kebanyakan menyerang anak-anak dan
disebabkan oleh virus (WHO, 2004). Virus penyebab penyakit campak termasuk ke dalam
genus morbilivirus dan famili paramixovirus. Karateristik penyakit campak pada umumnya
adalah : demam dengan suhu >38ºC, rash dan disertai satu atau lebih gejala batuk, pilek, atau
mata merah/konjungtivitis (WHO, 2004). Pada penyakit campak ada 3 stadium yaitu stadium
prodromal, stadium erupsi dan stadium convalencens. Sembilan puluh persen anak yang
tidak kebal akan terserang penyakit campak. Manusia merupakan satu-satunya reservoir,
seseorang yang pernah terserang campak akan memiliki imunitas seumur hidupnya (Depkes,
2008). Departemen kesehatan RI mendefinisikan penyakit campak kedalam tiga katagori
untuk kepentingan surveilans yaitu:
1. Tersangka campak (suspected measles case) yaitu kasus campak dengan gejalagejala bercak kemerahan di tubuh didahului dengan demam/panas, batuk, pilek dan
mata merah.
2. Kasus klinis campak yaitu kasus dengan gejala-gejala bercak kemerahan di tubuh
terbentuk makulo popular selama tiga hari atau lebih disertai panas badan 38ºC atau
lebih dan disertai salah satu gejala batuk, pilek atau mata merah.
3. Kasus campak konfirmasi (Confirmed measles case) yaitu kasus klinis campak
disertai salah satu katagori: pemeriksaan laboratorium serologis positif campak,
ditemukan koplik spot atau meninggal karena campak.
41
Penyakit campak disebabkan oleh measles virus (MV), genus virus morbili famili
Paramyxoviridae (RNA), jenis morbilivirus yang mudah mati karena panas, cahaya, ether
dan trypsin (Depkes, 2008). Virus akan menjadi tidak aktif pada suhu 37ºC, pH asam atau
bila dimasukkan dalam lemari es selama beberapa jam. Dengan pembekuan lambat maka
infeksifitasnya akan hilang. Selama masa prodromal, virus dapat ditemukan di dalam sekresi
nasofaring, darah dan air kemih. Virus campak hanya dapat ditularkan dari manusia ke
manusia dan hanya dapat aktif pada suhu kamar selama 34 jam di alam bebas (Andriani,
2009).
2.1.2
Gejala Klinis dan Penularan Penyakit Campak
Secara umum gejala atau tanda-tanda campak menurut Depkes (2008) adalah:
a.
Panas badan biasanya ±38ºC selama 3 hari atau lebih, disertai salah satu gejala batuk,
pilek, mata merah atau mata berair.
b.
Gejala yang khas adalah adanya koplik’s spot atau bercak putih keabuan dengan dasar
merah di pipi bagian dalam (mucosa bucal).
c.
Bercak kemerahan/rash yang dimulai dari belakang telinga pada tubuh berbentuk
makulo papular selama tiga hari atau lebih, dalam 4-7 hari akan menyebar keseluruh
tubuh.
d.
kemerahan makulo papular setelah 1 minggu sampai 1 bulan berubah menjadi
kehitaman (hiperpigmentasi) disertai kulit bersisik.
Pada awal infeksinya penyakit campak agak sulit untuk dideteksi, namun pada
umumnya manifestasi klinik penyakit campak terdiri dari tiga fase/stadium yaitu fase
prodromal, fase erupsi / paraxysmal dan fase convalescen. Periode sejak terjadinya infeksi
sampai munculnya gejala berkisar antara 10 sampai dengan 12 hari.
42
a.
Fase pertama pada penyakit campak yaitu fase prodromal dimulai dengan demam,
perasaan tidak enak badan (WHO, 1999). Fase ini berlangsung selama 4-5 hari dengan
gejala demam yang terus meningkat hingga mencapai puncaknya 39,4°C-40,6°C,
malaise, batuk, faring merah, nyeri menelan, foto fobia, konjungtivitis dan hidung
meler. Menjelang akhir stadium prodormal dan 24 jam sebelum timbul eksantema akan
timbul bercak koplik yang berwarna putih kelabu sebesar ujung jarum. Bercak ini
muncul pertama kali pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar bawah terutama
molar tiga tetapi dapat menyebar secara tidak teratur pada mukosa bukal yang lain.
Menjelang kira-kira hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas sampai seluruh
mukosa mulut. Pada fase ini gambaran penyakit secara klinis menyerupai influenza
sehingga sering didiagnosis sebagai influenza. Diagnosa campak ditegakkan pada fase
ini bila ada bercak koplik dan penderita pernah kontak dengan penderita campak dalam
waktu 2 minggu terakhir.
b.
Fase kedua adalah fase erupsi/paraxysmal. Fase erupsi biasanya berlangsung selama 47 hari dengan gejala khas koriza dan batuk bertambah. Terjadi ruam atau eritema yang
berbentuk makula-papula disertai naiknya suhu badan. Eritema biasanya muncul
pertama kali pada daerah batas rambut dan dahi, serta belakang telinga kemudian pada
24 jam pertama akan menyebar dengan cepat ke seluruh muka, leher, lengan atas dan
bagian atas dada. Pada 24 jam berikutnya ruam ini akan menyebar ke seluruh
punggung, abdomen, seluruh lengan dan paha. Pada saat ruam muncul suhu badan
kadang-kadang naik sangat tinggi hingga mencapai 40,5°C. Pada muka dan dada akan
terjadi confluent akibat ruam yang muncul saling rengkuh. Kadang-kadang akan terjadi
perdarahan ringan pada kulit, rasa gatal dan muka bengkak. Ruam ini akan menghilang
43
dalam 2-3 hari dengan urutan yang sama dengan saat terjadinya. Pada Fase ini
terdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di daerah leher
belakang. Tidak jarang disertai diare dan muntah.
c.
Fase ketiga adalah fase convalescen pada fase ini erupsi berkurang dan terjadi
hiperpigmentasi, yang lama kelamaan akan menghilang sendiri. Suhu tubuh penderita
akan menurun pada fase ini kecuali bila terjadi komplikasi. Hiperpigmentasi
merupakan gejala yang patognomonik untuk morbili yang membedakannya dengan
penyakit lain yang mempunyai eritema atau eksantema. Pada anak-anak di Indonesia
pada fase ini sering ditandai dengan kulit bersisik (Casaeri, 2002).
Menurut Depkes 2006, cara penularan campak adalah:
a.
Penularan terutama melalui batuk, bersin (sekresi hidung). Pada saat pasien batuk atau
bersin virus akan ikut tersebar ke udara dan dapat bertahan selama 2 jam di udara
terbuka sehingga dapat menulari orang lain yang berada dekat dengan pasien.
b.
Dapat mulai menularkan 1-3 hari sebelum panas sampai 4 hari setelah timbul rash.
c.
Puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama
sakit.
Masa inkubasi penyakit campak adalah 8-13 hari, dengan rata-rata 10 hari.
2.1.3 Epidemiologi
Campak merupakan penyakit yang ada diseluruh negara di dunia ini. Campak dikenal
sebagai penyakit yang infeksius sejak 150 juta tahun yang lalu, pada tahun 1846 Panun
mempelajari penyakit campak di Kepulauan Faroe dan menyatakan penyakit campak
merupakan penyakit menular dengan masa inkubasi kurang lebih 2 minggu dan setelah
infeksi setiap penderitanya akan memiliki kekebalan seumur hidupnya (WHO, 1999).
44
Pada daerah beriklim sedang penyakit campak biasanya muncul pada musim semi
dan akhir musim dingin sedangkan di daerah yang beriklim tropis campak lebih banyak
terjadi pada musim panas. Campak merupakan penyakit endemis di daerah metropolitan dan
kemungkinan periode untuk terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) umumnya antara 2-3 tahun,
sedangkan pada daerah yang terpencil interval antar KLB (honeymoon period) umumnya
lebih panjang, namun daerah yang terkena lebih luas dan lebih berat (Chin, 2009).
2.1.3.1 Situasi campak di dunia.
Sebelum vaksin campak digunakan, epidemi campak berulang setiap 2-5 tahun sekali
dan berlangsung selama 3-4 bulan. Kasus yang terbanyak adalah pada anak-anak usia pra
sekolah dan pada awal usia sekolah serta sedikit kasus pada usia di atas 20 tahun. Setelah
digunakannya vaksin campak terjadi penurunan inseden campak secara besar-besaran. Salah
satu contoh adalah di Amerika Serikat. Sebelum era vaksin setiap tahun dilaporkan 200.000500.000 kasus campak setiap tahunnya tapi sejak tahun 1963 insiden campak berkurang
hingga 99%. Insiden terendah terjadi pada tahun 1983 namun pada awal tahun 1990-an
kembali terjadi peningkatan kasus campak sehingga direkomendasikan untuk memulai
imunisasi dua dosis. Pada tahun 1993 sampai tahun 1996 kurang dari 1000 kasus campak
pertahun dilaporkan ke CDC. Untuk wilayah Asia tenggara WHO menyebutkan bahwa pada
tahun 1989 dilaporkan terjadi 440.000 kasus campak dan kemudian menurun menjadi
88.584 kasus pada tahun 2002. Campak merupakan penyebab utama kematian anak-anak di
wilayah Asia Tenggara sekitar 29% kematian adalah akibat campak (WHO, 2003).
Pada tahun 1980 sebelum kebijakan vaksinasi dilaksanakan campak diperkirakan
telah membunuh 2,6 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia. Selama periode tahun 2000
45
dan 2008 pelaksanaan imunisasi campak sudah menurunkan kematian akibat campak sebesar
78% dari 733.000 kematian pada tahun 2000 menjadi 164.000 pada tahun 2008 (WHO,
2011).
2.1.3.2 Situasi campak di Indonesia
Untuk wilayah Indonesia pada tahun 1990 terjadi 218.029 kasus campak dan
kemudian menurun menjadi 114.531 pada tahun 1997.
Pada tahun 2009 di Indonesia dilaporkan terdapat 18.055 kasus campak dengan
angka insiden sebesar 0,77 per 10.000 penduduk. Tiga Provinsi dengan Insident Rate (IR)
tertinggi adalah Riau (3,52/10.000 penduduk, Sumatera Barat 2/10.000 penduduk dan
Kalimantan Selatan 1,98 per 10.000 penduduk). Selama periode Januari sampai dengan
Desember 2009 di Indonesia telah terjadi 96 kali KLB campak, 2.770 penderita ditemukan
saat KLB dengan kematian 42 orang (1,52%). Kelompok umur tertinggi yang menderita
campak adalah umur 5-9 tahun yaitu sebesar 5.698 orang sedangkan yang paling rendah
adalah usia <1 tahun sebanyak 1.890 orang (Depkes, 2009).
2.1.3.3 Situasi campak di Bali
Pada tahun 2010 dilaporkan 256 kasus campak di Provinsi Bali, dengan IR sebesar
0,41 per 10.000 penduduk dan CFR sebesar 0,78%. IR tertinggi terjadi di Kabupaten
Karangasem yaitu sebesar 2,47 per 10.000 penduduk dengan CFR sebesar 2,04%. Sejak
bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2011 di Provinsi Bali telah terjadi enam
kali KLB campak (Dikes Bali, 2010).
2.1.4
Penanggulangan dan Pemberantasan Penyakit Campak
46
Penanggulangan penyakit campak terutama dilakukan melalui pengamatan yang ketat
untuk penemuan kasus secara dini, pengobatan penderita secara dini terutama untuk
mencegah komplikasi dan pendidikan kesehatan masyarakat untuk menjaga gizi anak,
menghilangkan kebiasaan yang merugikan penderita dan perlunya imunisasi campak bagi
anak-anak.
Pada KLB akibat campak dalam upaya penanggulangannya perlu dilaksanakan
pemberian vitamin A. Defisiensi vitamin A pada penderita campak berhubungan dengan
angka komplikasi campak dan tingginya angka kematian akibat campak. Penelitian di USA
menyebutkan bahwa pada penderita campak yang berusia kurang dari 2 tahun risiko untuk
menderita komplikasi dua kali lebih besar bila level vitamin A yang dimiliki <5 ug/dl
dibandingkan dengan anak yang level vitamin A lebih tinggi (WHO, 2004).
Pada penderita campak pemberian vitamin A berfungsi meningkatkan daya tahan
tubuh dan memelihara mukosa saluran pernafasan dan pencernaan sehingga terbukti
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat campak. Terapi vitamin A pada penderita
campak terbukti menurunkan keparahan penyakit akibat komplikasi seperti batuk, pneumonia
dan diare, sehingga lama perawatan di rumah sakit menjadi berkurang (WHO, 2004).
Fatalitas kasus pada anak-anak penderita campak sedang atau berat menurun 50% lebih
setelah mendapatkan terapi vitamin A (Casaeri, 2002). Pemberian vitamin A pada anak-anak
penderita campak direkomendasikan pada situasi: tingkat kematian akibat campak lebih dari
1%, berada pada wilayah yang diketahui defisiensi vitamin A, dan pada semua kasus campak
dengan komplikasi (WHO, 2004).
47
2.1.5
Tahap-Tahap Dalam Pemberantasan Campak
Departemen Kesehatan RI (2008), menyatakan bahwa pemberantasan campak
meliputi 3 (tiga) tahapan yaitu tahap reduksi, tahap eliminasi dan tahap eradikasi.
2.1.5.1 Tahap reduksi
Pada tahapan reduksi campak terbagi menjadi dua tahapan yaitu tahap pengendalian
dan tahap pencegahan KLB. Pada tahap pengendalian cakupan imunisasi campak sudah lebih
dari 80%, sudah terjadi penurunan kasus dan kematian dan interval terjadinya KLB berkisar
antara 4-8 tahun. Pada tahap pencegahan KLB kasus dan kematian telah menurun dengan
tajam, interval terjadinya KLB lebih panjang.
2.1.5.2. Tahap eliminasi
Pada tahap ini cakupan imunisasi sudah lebih dari 95%. Kasus campak sudah sangat
jarang terjadi dan KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai tidak
terlindung harus diselidiki dan diberikan imunisasi ulangan.
Strategi untuk mencapai eliminasi campak meliputi mencapai, mempertahankan dan
mengevaluasi. Surveilans aktif merupakan komponen penting dalam upaya pencapaian tahap
eliminasi campak (WHO, 1999).
2.1.5.3 Tahap eradikasi
Cakupan imunisasi sudah sangat tinggi dan merata. Pada tahap ini kasus campak
sudah tidak ditemukan dan transmisi virus sudah dapat diputuskan. Negara- negara di dunia
sudah memasuki tahap eliminasi.
Beberapa tantangan yang masih dihadapi dalam pengendalian campak di wilayah
Asia Tenggara adalah: Menurunkan angka kematian campak pada daerah dengan insiden
yang tinggi, menyiapkan komitmen jangka panjang, mengimplementasikan strategi Eliminasi
48
Polio dengan tujuan Eliminasi Campak, memperbaiki cakupan imunisasi dan pelaksanaan
surveilans campak dan memperkuat manajemen kasus (WHO, 1999).
2.2
Penelitian yang Berkaitan dengan Faktor Risiko Kejadian Campak
Campak diperkirakan telah membunuh 2 juta anak setiap tahun dan kebanyakan
kasus terjadi di negara berkembang. Case Fatality Rate (CFR) campak di negara berkembang
berkisar antara 3-15%. CFR campak sangat berkaitan dengan umur terkena campak, derajat
keparahan penyakit, status gizi dan pengobatan (WHO,1999). Faktanya campak berinteraksi
dengan kekurangan energi, protein dan keadaan defisiensi vitamin A. Pada penderita campak
yang disertai dengan defisiensi vitamin A dapat mempercepat terjadinya luka pada mata
(xerophthalmia) terutama bila menyerang anak-anak usia muda dan anak gizi kurang/buruk
serta keadaan malnutrisi protein dan energi. Kejadian campak umumnya meningkat pada
lingkungan yang tidak sehat, diperparah oleh gizi buruk dan defisiensi vitamin A, serta anakanak yang kehilangan kekebalan tubuh. Penurunan kekebalan tubuh pada penderita campak
umumnya bertahan hingga 4 bulan setelah infeksi dan keadaan ini dapat merupakan faktor
risiko untuk terjadinya komplikasi yang memperparah penyakit campak seperti pneumonia
dan diare (Andrew, 1989).
Kematian pada penderita campak umumnya diakibatkan oleh komplikasi yang
menyertai penyakit campak. Sebuah penelitian yang dilakukan di Dhaka Bangladesh tentang
efektivitas vaksin dan faktor risiko campak memperlihatkan bahwa campak lebih banyak
terjadi pada rumah tangga dengan anak lebih dari 1 orang (OR= 4,6; CI= 0,8-24,8; p<0,001),
tidak diimunisasi (OR= 4,1; CI= 2,2-7,8; p<0,001). Pada penelitian ini juga ditemukan kasus
campak lebih banyak terjadi pada penderita yang ibunya berpendidikan rendah dan berasal
49
dari keluarga yang keadaan sosial ekonominya rendah. Tidak ada interaksi yang signifikan
dari usia dan jenis kelamin (Akrammuzzaman 2002).
Pneumonia merupakan komplikasi yang umum terjadi pada penderita campak. Sebuah
penelitian retrospektif tentang faktor risiko yang menjadi penyebab terjadinya komplikasi
pneumonia pada penderita campak memperoleh hasil bahwa usia muda dan malnutrisi
merupakan faktor risiko kejadian campak, sedangkan jenis kelamin dan sejarah paparan
infeksi sebelumnya tidak terbukti merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi pneumonia
pada campak. Pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa status imunisasi memiliki efek
proteksi terhadap pneumonia (Maria, 2004).
Kejadian campak kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan yang lambat,
kekurangan asupan makanan, malabsorbsi dan kehilangan nutrien penting bagi tubuh,
defisiensi vitamin A dan menurunnya kekebalan tubuh akibat adanya infeksi lain dalam
tubuh seperti pilek, diare dapat berperan terhadap kejadian campak dan memperparah
keadaan malnutrisi. Rendahnya asupan makanan dapat menyebabkan anorexsia, dehidrasi
dan lesi pada mukosa bukal. Jumlah kejadian campak yang sebenarnya terjadi mungkin saja
lebih tinggi dari yang dilaporkan karena petugas kesehatan seringkali mengidentifikasi
penyakit masa kanak-kanak hanya sebagai pneumonia/diare dan tidak menyadari bahwa ini
adalah suatu komplikasi campak (Andrew, 1989).
Imunisasi campak merupakan upaya pencegahan yang paling efektif untuk menurunkan
insiden campak. Di negara berkembang imunisasi umumnya diberikan pada usia 9 bulan
sedangkan di negara maju pemberian imunisasi campak dilaksanakan setelah anak berusia
12 bulan. Kebijakan ini berhubungan dengan usia kehilangan maternal antibody yang dialami
anak-anak di negara berkembang berbeda dengan anak-anak di negara maju.
50
Sebuah studi yang dilaksanakan di perkotaan Afrika untuk mengetahui faktor risiko
pada bayi muda yang terkena campak di wilayah perkotaan Afrika yang memiliki cakupan
vaksinasi campak yang tinggi, memperoleh hasil bahwa insiden campak sangat tinggi (sekitar
4%) pada bayi yang berusia dibawah 1 tahun, dari jumlah ini sekitar 10% penderita berusia
antara 4,5-9 bulan. Faktor risiko utama tingginya angka insiden campak pada anak-anak ini
adalah usia ibu. Anak-anak yang terlahir dari ibu yang berusia muda (15-24 tahun) memiliki
titer antibody yang lebih rendah dan berisiko lebih tinggi untuk terkena campak bila
dibandingkan dengan anak-anak dari ibu yang lebih tua. Hal ini disebabkan karena ibu muda
mengirimkan titer antibody yang lebih rendah kepada anak-anak mereka dan meningkatkan
proporsi bayi yang rentan terhadap campak, sehingga mereka akan terinfeksi campak
sebelum usia vaksinasi campak (Bale et al, 2011).
Penyebaran campak erat sekali dengan perilaku, status gizi, keadaan lingkungan dan
pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan. Sebuah penelitian di Kabupaten Tolitoli
Provinsi Sulawesi Tengah membuktikan bahwa faktor risiko kejadian campak di Kabupaten
Tolitoli adalah belum pernah menderita penyakit campak (OR= 22,031; 95%CI= 6,37576,136), status imunisasi (OR= 28,897; 95%CI= 10,471-79,746), status gizi (OR= 5,371;
95%CI= 1,904-15,151) dan pengetahuan ibu (Suardiyasa, 2008). Penelitian ini sejenis dengan
yang dilaksanakan di Kabupaten Kendal yang menemukan beberapa faktor risiko yang
bermakna secara statistik sebagai faktor risiko campak adalah: status tidak diimunisasi, status
gizi, umur, riwayat kontak, kepadatan hunian, ventilasi dan persepsi jelek tentang campak
(Casaeri, 2003).
Penelitian yang dilaksanakan di wilayah Puskesmas Mlonggo I Kabupaten Jepara
menunjukkan ada hubungan bermakna antara faktor anak (status gizi OR= 0,771, p= 0,47;
51
status vaksinasi campak OR= 3,76, p= 0,001; dan umur saat vaksinasi campak OR= 3,250,
p= 0,032) dan faktor lingkungan (kepadatan hunian OR= 6,397, p= 0,0001; ventilasi OR=
7,091, p= 0,0001; dan pencahayaan OR= 6,052, p= 0,0001) dengan kejadian campak
(Endang, 2006).
2.3 Determinan yang Berhubungan dengan Kejadian Campak
2.3.1
Status Imunisasi
Pada periode sebelum ditemukannya vaksin, setiap tahun dilaporkan 100 juta
penderita campak dengan 6,5 juta kematian terjadi di seluruh dunia. Imunisasi yang diberikan
pada usia 12-15 bulan memberikan imunitas kepada 94-98% penerimanya. Tingkat imunitas
seseorang terhadap penyakit campak dapat meningkat sampai 99% dengan pemberian
vaksinasi campak (Chin, 2009).
Semua orang yang belum pernah terserang campak dan orang-orang yang tidak
diimunisasi akan rentan terhadap penyakit campak. Pada anak- anak yang sudah pernah
menderita campak maka kekebalan
yang timbul bersifat permanen sehingga serangan
ulangan penyakit ini jarang terjadi.
Bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang pernah menderita campak akan memiliki
maternal antibody terhadap penyakit campak. Namun kadar antibody ini akan berangsurangsur menurun. Perlindungan dari maternal antibody ini hanya 6-9 bulan pertama
kelahirannya. Bayi yang terlahir dari ibu yang memiliki kekebalan karena vaksinasi campak
akan menerima antibodi pasif dari ibunya lebih sedikit jika dibandingkan dengan bayi yang
terlahir dari ibu yang mendapatkan kekebalan alamiah sehingga mereka lebih rentan terhadap
52
campak dan membutuhkan imunisasi campak yang lebih awal jadwal yang biasa dilakukan
(Chin, 2009).
Satu-satunya reservoir penyakit campak adalah manusia, dan penularannya adalah
melalui kontak langsung hal ini memungkinkan penyakit campak untuk dieradikasi.
Vaksinasi merupakan upaya yang paling efektif dalam mencegah dan memberantas penyakit
campak. Pada masa sebelum ditemukannya vaksin campak, lebih dari 90% penduduk telah
terinfeksi sebelum mereka mencapai usia 20 tahun setiap tahunnya terjadi 100 juta penderita
kasus dengan 6 juta kematian. Imunisasi dapat menaikkan tingkat imunitas sampai sekitar
99%. Dengan program imunisasi yang efektif untuk bayi dan anak-anak kasus campak di
negara seperti Amerika dan Kanada turun sebesar 99% (Chin, 2009). Pemberian imunisasi
ini telah berhasil menurunkan insiden campak pada kelompok umur bayi (<1 tahun) dan
kelompok umur anak (1-4 tahun) secara cukup tajam (Depkes, 2009).
Untuk mendapatkan respon imun yang optimal dari imunisasi campak, vaksin campak
harus diberikan pada umur yang tepat ketika bayi mulai kehilangan maternal antibody dari
ibunya. Selanjutnya respon imun yang muncul diharapkan menggantikan maternal antibody
untuk melawan infeksi campak.
WHO menggunakan data age specific rate of seroconversion and age specific
incidence and mortality rates campak untuk memperkirakan jumlah kasus dan kematian yang
dapat menegaskan efek imunisasi pada umur yang berbeda. Data di Kenya, Amerika Latin
dan Haiti memperlihatkan efek maksimum dari imunisasi diperoleh pada usia 8-10 bulan. Hal
ini mendasari WHO merekomendasikan pemberian satu dosis campak saat anak berumur 9
bulan. Negara-negara di Afrika yang memiliki angka kematian akibat campak yang tinggi
untuk bayi berusia <9 bulan melaporkan, rendahnya cakupan imunisasi campak (hanya 60%)
53
pada anak dengan usia yang lebih tua telah meningkatkan penularan campak pada bayi. Pada
daerah yang cakupan imunisasinya cukup baik (>90%) ternyata insiden penularan campak
pada bayi yang berusia <9 bulan menjadi rendah (WHO, 1999).
Menurut WHO (1999), beberapa faktor determinan yang mempengaruhi respon
terhadap imunisasi antara lain faktor host, faktor agent dan faktor program. Faktor host yang
mempengaruhi respon imunisasi antara lain:
2.3.1.1 Umur
Umur sangat mempengaruhi respon terhadap imunisasi. Respon imunisasi dapat
meningkat pada anak-anak yang telah kehilangan antibodi maternal. Pemberian imunisasi
pada umur yang tepat akan memberikan perlindungan yang sama dengan antibodi maternal
yang dimiliki sebelum imunisasi atau dengan kata lain alasan utama pemberian imunisasi
pada umur yang berbeda tergantung pada level antibodi maternal yang dimiliki. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemberian vaksin Edmonston Zagreb (EZ) akan memberikan
antibodi yang lebih rendah bila diberikan pada anak-anak yang masih memiliki antibodi
maternal dibandingkan bila vaksin ini diberikan pada anak-anak yang sudah kehilangan
antibodi maternalnya.
2.3.1.2. Tingkat antibodi maternal
Studi awal menyebutkan anak–anak di USA kehilangan antibodi maternal ketika
berusia 12 bulan, sedangkan di negara berkembang pada usia 6 bulan. Dengan menggunakan
test yang lebih sensitive diketahui bahwa kekebalan antibodi maternal pada beberapa anak
dapat bertahan lebih lama, dan hal ini dapat menurunkan efektivitas imunisasi. Angka
kehilangan antibodi maternal ditemukan berkorelasi dengan status sosial ekonomi.
Rendahnya antibodi ibu terutama pada negara-negara di Asia Tenggara, menurunnya
54
efesiensi IgG campak melalui plasenta dan bertambahnya antibodi pasif karena
meningkatnya frekwensi infeksi pada masa bayi serta hilangnya antibodi melalui usus karena
penyakit diare merupakan penyebab kehilangan antibodi maternal lebih awal terjadi pada
negara berkembang.
2.3.1.3 Status gizi
Pada anak-anak dengan malnutrisi respon imunisasi dilaporkan terganggu, study lain
juga menyebutkan bahwa angka serokonversi terendah ada pada anak-anak dengan
malnutrisi/gizi buruk. Expanded Programmme on Imunization (EPI) merekomendasikan
untuk memberikan prioritas utama pada anak-anak dengan Gizi buruk untuk diimunisasi,
sebab status gizi yang kurang/buruk merupakan faktor risiko untuk terjadinya campak berat
dan menurunnya status gizi setelah terinfeksi campak.
2.3.1.4 Penyakit
a. Penyakit akut
Vaksin campak aman dan efektif di berikan pada anak-anak yang sedang menderita
inveksi akut. Sebuah studi di USA memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan serokonversi
pada anak anak dengan infeksi saluran pernafasan dibandingkan dengan anak-anak yang
sehat. WHO merekomendasikan imunisasi campak tidak berbahaya diberikan pada anakanak dengan infeksi akut namun apabila anak sakit cukup berat imunisasi dapat ditunda
sampai anak sembuh.
b. Anak dengan Imunosupresi
Anak-anak dengan imunosupresi merupakan kontraindikasi terhadap imunisasi
campak karena dikhawatirkan akan terjadi efek samping. Pada anak-anak yang menderita
55
infeksi HIV, imunisasi campak tetap dapat diberikan karena penelitian menunjukkan tidak
ada efek samping pada anak penderita HIV yang diimunisasi pada usia sembilan bulan di
negara berkembang dan usia 12 bulan di negara maju. Serokonversi pada anak dengan infeksi
HIV ditemukan lebih rendah dibandingan dengan anak normal. Untuk anak-anak yang
sedang menjalani kemoterapi ACIP merekomendasikan vaksinasi harus ditangguhkan karena
respon antibodi anak yang sedang dalam kemoterapi atau radiasi menjadi lemah. Setelah 3
bulan selesasi terapi anak dapat divaksinasi campak.
2.3.1.5 Faktor agent
Faktor agent yang berpengaruh pada respon imunisasi adalah strain virus dan dosis
vaksin. Strain dari vaksin virus yang pertama mempunyai respon imunnologis yang lebih
besar dari pada strain virus yang kemudian semakin dilemahkan. Dosis yang
direkomendasikan WHO adalah 0,5 ml. Hasil penelitian membuktikan bahwa respon
imunologis akan lebih rendah apabila dosis ini diturunkan.
2.3.1.6 Faktor lain
Selain faktor host dan agent terdapat faktor lain yang menentukan respon imunisasi
adalah faktor program seperti cold chain, dan teknik penyuntikan.
Bila kita lihat dari faktor program yang dapat mempengaruhi respon terhadap
imunisasi antara lain pemeliharaan cold chain yang buruk dapat mengakibatkan rendahnya
efficacy vaksin. Vaksin sangat sensitive terhadap panas dan sinar matahari. Menggunakan
desinfektan untuk sterilisasi jarum suntik dan variasi dosis yang digunakan dapat
menurunkan efikasi vaksin. Hasil penelitian yang dilakukan di Serang menemukan bahwa
efikasi vaksin campak pada balita yang berusia 15-59 bulan sangat rendah yaitu sebesar 16%
populasi dengan efektifitas vaksin tidak kurang dari 47% pada kelompok yang diimunisasi
56
campak dengan cakupan 90%. Capaian ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan
standar WHO yaitu efikasi 80% dengan cakupan imunisasi 80% ( Salmapadri, 2002).
2.3.2 Status Gizi
Status gizi didifinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan
oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Status ini ditunjukkan dengan
penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang
berasal dari pangan yang dikonsumsi (Almatsier (2001).
2.3.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
Status gizi penduduk dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks seperti sosial,
ekonomi, budaya kesehatan, lingkungan alam maupun penduduk yang saling berkaitan satu
dengan yang lainnya. Pada tahun 2003 diperkirakan 27,5% balita mengalami gangguan gizi
kurang dan 8,5% diantaranya mengalami gizi buruk. WHO menyatakan prevalensi KEP di
Indonesia termasuk tinggi.
Penyebab timbulnya gizi kurang/buruk pada anak balita umumnya dapat dibedakan
menjadi penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung terdiri dari makanan dan
penyakit infeksi yang diderita anak. Sedangkan penyebab tidak langsung diantaranya
ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan serta kesehatan
lingkungan.
2.3.2.2 Penilaian status gizi secara antropometri
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang ”Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak”.
Penggunaan antropometri sebagai salah satu metode untuk mengukur status gizi masyarakat
sangat luas. Antropometri adalah cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan di
57
masayarakat. Contoh penggunaannya pada, program gizi masyarakat dalam pengukuran
status gizi balita ataupun kegiatan penapisan status gizi masyarakat. Antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Keunggulan Antropometri :
1.
Prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel cukup besar.
2.
Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli.
3.
Alat murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat.
4.
Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan.
5.
Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.
6.
Umumnya dapat mengidentifikasi status buruk, kurang dan baik, karena sudah ada
ambang batas yang jelas.
7.
Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
8.
Dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi.
Sebagai indikator status gizi, antropometri dapat dilakukan dengan mengukur
beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia.
Jenis parameter antropometri : umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar
kepala, lingkar dada, dan jaringan lunak.
Pengukuran dari beberapa parameter akan merupakan indeks antropometri. Indeks
antropometri merupakan rasio dari suatu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran
atau yang dihubungkan dengan umur.
Beberapa indeks antropometri :
58
1. BB/U (Berat Badan terhadap Umur)
2. TB/ U (Tinggi Badan terhadap Umur)
3. BB/ TB (Berat Badan terhadap Tinggi Badan)
4. Lila/ U (Lingkar Lengan Atas terhadap Umur)
5. Indeks Massa Tubuh (IMT)
6. Tebal Lemak Bawah Kulit menurut Umur
7. Rasio Lingkar Pinggang dan Pinggul
Berdasarakan standar antripometri bahwa status gizi balita (anak umur 0-60 bulan)
dapat diukur berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan menurut umur
(PB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut panjang badan (BB/PB),
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan index masa tubuh menurut umur (IMT/U).
Sedangkan untuk anak berumur 5-18 tahun status gizi dapat dihitung dengan index masa
tubuh menurut umur (IMT/U).
a. Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Ukuran antropometri yang memberikan gambaran tentang masa tubuh (otot dan lemak)
adalah berat badan. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil
karena masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak seperti penyakit
infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya makanan yang dikonsumsi.
Penggunaan indeks BB/U sebagai status gizi sensitif untuk melihat perubahan status gizi
jangka pendek dan lebih menggambarkan status gizi seseorang pada masa kini.
59
b. Indeks Berat badan/ Tinggi Badan (BB/TB)
Pengukuran indeks BB/TB tidak memerlukan data umur. Indeks BB/TB dapat menjadi
indikator status gizi saat ini, namun tidak dapat menggambarkan apakah anak pendek
atau cukup tinggi badan atau kelebihan TB menurut umur karena umur tidak
dipertimbangkan.
c. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Indeks TB/U dapat digunakan untuk menggambarkan status gizi masa lampau dan
sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat.
d. Indeks Masa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)
Pengukuran status gizi anak usia 0-60 bulan berdasarkan IMT/U status gizi
dikatagori menjadi:
1. Sangat kurus dengan ambang batas (z-score) <-3SD.
2. Kurus dengan ambang batas (z-score) -3 SD sampai dengan <-2 SD.
3. Normal dengan ambang batas (z-score) -2 SD sampai dengan 1 SD.
4. Gemuk dengan ambang batas (z-score) > 2 SD.
Pengukuran status gizi anak usian 5-18 tahun berdasarkan IMT/U status gizi
dikatagorikan menjadi:
1. Sangat kurus dengan ambang batas (z-score) <-3SD.
2. Kurus dengan ambang batas (z-score) -3 SD sampai dengan <-2 SD.
3. Normal dengan ambang batas (z-score) -2 SD sampai dengan 1 SD.
4. Gemuk dengan ambang batas (z-score) >1 SD sampai dengan 2 SD.
5. Obesitas dengan ambang batas (z-score) >2 SD.
60
IMT =
Berat badan (kg)_______
Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)
Kehilangan berat badan akibat campak sangat sering terjadi. Sebuah studi di Afrika
melaporkan bahwa penyakit campak menyebabkan penurunan berat badan yang drastis dan
campak dilaporkan lebih banyak terjadi pada anak-anak dengan maramus kwashiorkor di
Negeria (Andrew, 1989).
Campak pada umumnya lebih parah ditemukan pada anak-anak usia dini dan yang
kekurangan gizi. Pada golongan ini campak biasanya ditemukan dengan ruam dengan
perdarahan, kehilangan protein karena enterophaty, otitis media, sariawan, dehidrasi,diare,
dan infeksi kulit yang berat (Chin, 2009).
Derajat keparahan penyakit campak akan lebih berat dan dapat menyebabkan kematian
pada anak-anak dengan malnutrisi karena status gizi yang kurang/buruk merupakan faktor
risiko untuk terjadinya campak berat dan status gizi anak dapat menurun setelah terinfeksi
campak (WHO, 1999).
2.3.3 Defisiensi Vitamin A
Pada anak-anak dengan defisiensi vitamin A, penyakit campak akan semakin parah.
Pada komunitas yang terlindungi dari defisiensi vitamin A kematian akibat campak dapat
dikurangi. Perlindungan terhadap defisiensi vitamin A tidak hanya melalui pemberian
vitamin A secara regular, namun dengan memastikan bahwa seluruh anak penderita campak
telah mendapatkan suplemen vitamin A. Sebuah penelitian di Tazmania memperlihatkan
terjadinya penurunan CFR ketika anak-anak penderita campak diberikan vitamin A (Andrew,
1989). Pemberian vitamin A dosis tinggi pada anak-anak penderita campak sejak awal sakit
61
secara bermakna telah menurunkan angka komplikasi dan kematian akibat campak sekitar
66% (UNICEF, 2007).
Kekurangan vitamin A dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh, dan menggangu
fungsi sel-sel yang melindungi lapisan paru-paru dan usus. Keadaan ini mengakibatkan selsel tidak mampu untuk mencegah terjadinya infeksi (WHO, 2004).
Beberapa survei epidemiologi menemukan hubungan antara defisiensi vitamin A
dengan infeksi dan menemukan faktor penyebab utamanya. Sebuah studi pada anak-anak
Indonesia memperlihatkan anak-anak penderita campak yang menderita defisiensi vitamin A
lebih berisiko untuk terkena komplikasi seperti diare daan gangguan pernafasan. Studi ini
juga memberikan bukti bahwa pemberian suplemen vitamin A pada anak-anak penderita
campak di Indonesia menurunkan sekitar 34% kematian akibat campak (WHO, 2004).
Anak-anak berusia kurang dari 2 tahun dengan tingkat vitamin A yang sangat rendah
apabila terkena infeksi campak akan memiliki risiko kematian dua kali lebih besar
dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki tingkat vitamin A yang lebih tinggi.
Kekurangan vitamin A dikaitkan dengan tingginya komplikasi dan kematian akibat campak.
Pemberian terapi vitamin A dapat mengurangi tingkat keparahan akibat komplikasi penyakit
campak seperti pneumonia dan diare. Lama perawatan dirumah sakit juga berkurang dengan
pemberian terapi vitamin A pada penderita campak (WHO, 2004).
2.3.4 Pendidikan
Bagaimana seseorang bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya
sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Orang yang berpendidikan tinggi umumnya
bersikap lebih rasional sehingga mereka lebih mudah dalam menerima gagasan baru.
2.3.5 Perilaku
62
Faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan
individu adalah perilaku. Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang
dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Soekidjo, 2005).
Persepsi sehat-sakit diantara masyarakat berbeda-beda. Persepsi ini mempengaruhi
perilaku masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan. Perilaku pencarian pelayanan
kesehatan oleh masyarakat dibedakan menjadi:
a. Tidak bertindak apa-apa. Masyarakat yang menderita sakit tidak melakukan apapun
terhadap sakit yang diderita dengan berbagai alasan seperti kondisi sakitnya tidak
mengganggu kegiatan sehari-hari, penyakit itu akan hilang dengan sendirinya tanpa
diobati, fasilitas kesehatan letaknya sangat jauh, petugas kesehatan tidak simpatik, takut
pergi ke rumah sakit ataupun karena tidak adanya biaya.
b. Tindakan mengobati sendiri. Alasan masyarakat mengobati diri sendiri biasanya karena
mereka sudah percaya pada diri sendiri dan berdasarkan pengalaman yang lalu usaha
mengobati sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan.
c. Mencari pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional menduduki peringkat pertama
pada masyarakat pedesaan dibanding pengobatan lainnya. Hal ini disebabkan karena pada
masyarakat yang masih sederhana masalah sehat-sakit lebih bersifat budaya
dibandingkan dengan gangguan fisik sehingga masyarakat lebih memilih pengobatan
yang berorientasi kepada sosial budaya dibanding metode pengobatan yang bersifat
asing.
c. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat dan sejenisnya
termasuk tukang jamu. Obat-obatan yang mereka peroleh umumnya obat yang tidak
memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol.
63
d. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang disediakan pemerintah
atau lembaga kesehatan swasta seperti balai pengobatan, puskesmas dan rumah sakit.
e. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter
praktek.
2.3.6 Keadaan Sosial Ekonimi Keluarga
Anak-anak yang tubuh pada lingkungan sosial ekonomi yang buruk umumnya lebih
mudah mengalami infeksi silang. Kemiskinan bertanggung jawab terhadap penyakit yang
ditemukan pada anak. Kemiskinan dapat mengurangi kapasitas orang tua untuk mendukung
perawatan kesehatan bagi anak-anak mereka.
2.3.7 Kepadatan Hunian
Menurut Aaby dkk yang dikutip oleh Casaeri, 2001, anak-anak yang tinggal di rumah
yang padat penghuni memiliki attack rate campak yang lebih besar dibandingkan dengan
anak-anak yang tinggal di rumah yang tidak padat penghuni. Tempat-tempat umum seperti
sekolah dasar dan tempat berkumpulnya anak-anak dapat merupakan bagian yang
mempengaruhi intensitas campak selain tempat tinggal.
64
2.4 Kerangka Teori Penelitian
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Determinan Sosial Ekonomi
Faktor Ibu
Status gizi
Kondisi Lingkungan
Pendidikan
Persepsi
Tradisi
Kecelakaan
Riwayat kontak
Kekurangan Vit A
Kepadatan hunian
Asupan makanan
Ventilasi
Akses terhadap layanan kesehatan
Status Imunisasi
Faktor host
SAKIT CAMPAK
Sehat
Faktor agent
Faktor diri anak
Gangguan pertumbuhan
Faktor pelaksanaan
Antibody Campak
Umur
Program Imunisasi
Kematian
Kerangka teori penelitian dibuat mengacu pada konsep sehat sakit menurut Mosley
dan dimodifikasi berdasarkan teori-teori, atau penelitian-penelitian yang memuat faktorfaktor risiko yang mempengaruhi kejadian campak.
Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa yang dapat menjadi faktor risiko
penyakit campak adalah status imunisasi, faktor ibu, faktor kondisi lingkungan, status gizi
anak. Faktor ibu sebagai faktor risiko campak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu,
persepsi ibu tentang penyakit campak dan tradisi suatu daerah yang menentukan tindakan ibu
apabila anaknya terkena campak. Kondisi lingkungan terutama akses ke pelayanan kesehatan
dan faktor ibu bisa juga mempengaruhi status imunisasi dari seorang anak. Tujuan dari
imunisasi adalah terbentuknya anti body terhadap campak. Keberhasilan imunisasi
dipengaruhi oleh faktor host, faktor agent dan pelaksanaan program imunisasi terutama
penyimpanan vaksin. Status gizi anak dan riwayat kontak anak dengan penderita campak
juga merupakan faktor risiko seorang anak tertular campak.
42
Download