RENEGOTIATION AND EXPROPRIATION Pembahasan materi ini

advertisement
RENEGOTIATION AND EXPROPRIATION
Pembahasan materi ini pada perubahan atau penghentian suatu perjanjian investasi
internasional
yang
terjadi
antara
negara
dan
investor
asing
dan
ekspropriasi
(pengambilalihan) aset yang dimiliki investor asing. Meskipun hukum dalam negeri suatu
negara mungkin merupakan hukum yang tepat dari perjanjian investasi dan dan karena itu
akan menawarkan kerangka hukum awal untuk menentukan legalitas sebuah renegosiasi
kontrak atau ekspropriasi aset milik asing, hukum internasional dapat – dan telah – digunakan
oleh investor asing sebagai standar utama legalitas dalam kasus tersebut.
1. Pembatasan Kedaulatan Negara Terkait Hubungan Kontraktual dengan Investor
Asing
Negara-negara pemilik modal berusaha untuk mengendalikan kedaulatan suatu negara
dalam bidang kontraktual dengan dua cara teknik hukum utama:

Dengan menegaskan bahwa hukum yang tepat untuk mengatur perjanjian investasi
internasional adalah hukum internasional; dan

Dengan mengadaptasi stabilization clause dalam perjanjian investasi internasional
dalam arti pemerintah tidak perlu melakukan pembatalan perjanjian tersebut maupun
memodifikasi perjanjian, melalui legislasi maupun melalui tindakan administrasi.
Berdasarkan prinsip-prinsip perjanjian yang mengharuskan para pihak menghormati
kontrak yang dibuat mengakibatkan negara tempat investasi/tuan rumah berada pada posisi
yang lemah dibandingkan dengan negara asal investor. Hal ini karena negara tersebut dibatasi
untuk mengubah perjanjian investasi.
1.1. Internasionalisasi Perjanjian Investasi Internasional
Saran yang mendukung perjanjian investasi internasional yang diatur dengan hukum
internasional sebagai hukum yang tepat telah didiskusikan dalam sejumlah arbitrase
internasional akhir 1970 dan awal 1980 yang timbul dari ekspropriasi, sepanjang awal tahun
1970, dalam industri minyak di wilayah Timur Tengah. Dalam kasus abritrase Texaco,
internasionalisasi perjanjian konsesi minyak antara perusahaan minyak Amerika dengan
Pemerintah Libya, yang diasimilasi pada hukum internasional didasarkan dua prinsip, (1)
berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional dan prinsip-prinsip umum hukum, di dalam
klausul pilihan hukum perjanjian konsesi dibuat untuk menentukan sejauh mana hukum
Libya bisa diterapkan pada perjanjian tersebut. Berdasarkan hal ini maka ekspropriasi atas
aset perusahaan Amerika Serikat oleh Libya adalah sah apabila hukum Libya pada perjanjian
investasi tersebut telah sesuai dengan hukum internasional. (2) Pada kenyataannya perjanjian
investasi
merupakan
perjanjian
pengembangan
ekonomi
menekankan
pentingnya
internasional. Menurut Prof. Dupuy, sejumlah perjanjian memperbolehkan asimiliasi dengan
hukum internasional berdasarkan materi permasalahan yang luas, jangka waktu, dan besarnya
investasi. Hal ini memerlukan suatu penghitungan stabilitas di mana investor dapat dilindungi
dari ketidakpastian hukum dan perhitungan pemerintah yang memungkinkan melakukan
pencabutan atau pembatalan perjanjian. Pada saat stabilization clause disisipkan akan
menghapus semua atau sebagian perjanjian tersebut dari hukum internal dan membuka
pengajuan korelatif untuk peraturan sui generis atau ke dalam sistem hukum internasional
yang benar.
Dalam kasus arbitrase Liamco v. Libya, Dr. Mahmassani, mempertimbangkan bahwa
bahwa karakterisasi konsesi sebagai perjanjian pembangunan ekonomi, tanpa lebih, cukup
untuk mengasimilasi perjanjian tersebut pada hukum transnasional. Dengan kesimpulan
bahwa hukum yang paling tepat dari konsesi adalah hukum Libya, tidak termasuk bagian dari
hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional.
Dalam kasus
arbitrase Aminoil v. Kuwait, menunjukkan bahwa penerapan hukum internasional publik,
yang ditemukan untuk menjadi bagian dari hukum Kuwait.
Keputusan arbitrase Liamco dan Aminoil menunjukkan asimilasi hukum nasional
dengan hukum transnasional. Khususnya Aminoil, perjanjian konsesi menggabungkan
sumber-sumber hukum internasional sebagai bagian dari hukum Kuwait, dan sejalan dengan
prinsip-prinsip umum hukum yang mengakui hak negara dalam kapasitasnya sebagai
pelindung kepentingan umum.
Pendekatan hukum transnasional dapat menghindari ketidakbergunaan prosedur
penyelesaian sengketa, yang jika tidak dilakukan akan terjerat dalam konflik yang sia-sia atas
hukum yang berlaku, dengan penggunaan hukum nasional yang eksklusif dan investor asing
bersikeras mengangkat sengketa secara internasionalisasi. Di sisi lain, di mana kekuasaan
negara diutamakan, hukum nasional dapat dipilih untuk mengesampingkan hukum
internasional.
1. 2. Sanctity of Contract dan Stabilization Clause
Makna sesungguhnya perjanjian investasi dapat dilindungi dari upaya perubahan
hukum di masa yang akan datang dengan adanya stabilization clause, karena stabilization
clause dapat digunakan untuk mengecualikan aturan hukum nasional dari regulasi perjanjian,
dengan memasukkan hukum internasional atau prinsip-prinsip umum hukum sebagai hukum
yang tepat dari perjanjian.
Dalam teori sanctity of contract, kehendak para pihak harus menjadi dasar dari
perjanjian. Akibatnya stabilization clause, sebagai ungkapan kehendak para pihak, harus
ditegakkan. Stabilization clause menjadi kontroversi karena membatasi penerapan aturan
berdasarkan hukum tuan rumah investasi dan menerapkan hukum internasional beserta
prinsip-prinsipnya. Selain itu juga membatasi perubahan-perubahan pada perjanjian investasi
berdasarkan aturan hukum negara tuan rumah.
Penyelesaian kasus Texaco, merupakan dampak penerapan stabilization clause yang
membatasi kedaulatan suatu negara dalam kaitannya dengan hak atas kekayaan alam selama
periode konsesi. Penyelesaian kasus Liamco, menjelaskan bahwa prinsip pacta sunt servanda
maka negara yang melakukan nasionalisasi berkewajiban memberikan kompensasi. Kasus BP
v. Libya, hanya menyatakan bahwa konsesi melibatkan hubungan kontrak langsung antara
responden dan penuntut.
Kasus Aminoil, stabilization clause tidak dapat membatasi kepentingan nasional
termasuk perlu aturan tentang nasionalisasi pada negara. Jadi, kasus ini mengalami perubahan
kondisi yang mendasar yang tertuang di dalam keputusan Aminoil sebagai pembenaran untuk
melakukan renegoisasi perjanjian.
Akhirnya, stabilization clause, semacam pertanyaan ketepatan penggunaan hukum
dari perjanjian investasi, sebagai suatu permasalahan yang harus didasarkan pada
kesepakatan para pihak. Berdasarkan perkembangan dunia, negara tuan rumah memiliki
posisi yang seimbang dengan negara asal investor. Dengan demikian, walaupun penerapan
stabilization
clause
pada
perjanjian
investasi telah
berkurang,
dampaknya tidak
dapat dianggap telah menghilang dari peraturan hukum investasi internasional.
2. Renegoisasi Perjanjian Investasi Internasional
Dalam rangka untuk menghindari ketidaklenturan suatu perjanjian yang diatur dengan
menciptakan stabilization clause, terdapat suatu pemikiran bahwa perjanjian investasi
seharusnya memasukkan pasal renegoisasi dalam format standar. Menurut Dr. Cyinthia
Wallace, renegoisasi perjanjian yang dilakukan oleh suatu negara sebagai hasil yang secara
bertahap menggeser posisi tawar menjadi dari Multinational Enterprise (MNE) kepada
negara. Renegosiasi perjanjian tidak hanya atas permintaan dari negara tempat investasi tetapi
dapat atas permintaan MNE. MNE dapat menerima renegosiasi yang diprakarsai oleh negara
rumah, terutama
dalam hal akan menyebabkan terganggunya operasi perusahaan dan
menjamin stabilitas jangka panjang.
Dr. Wallace menunjukkan, jika negosiasi yang dikenakan pada MNE tidak masuk
akal, mungkin menimbulkan sejumlah paksaan ekonomi diluar kesepakatan, yaitu dengan
cara mengurangi aset perusahaan, atau melakukan penjualan sebagian di bawah nilai wajar,
dengan adanya tekanan dalam negosiasi. Berdasarkan paksaaan maka dapat terjadi tindakan
nasionalisasi tanpa adanya kompensasi atas tindakan tersebut. Renegosiasi akan
menimbulkan suatu pertanyaan apakah terdapat suatu doktrin pemaksaan yang tidak adil
pada hukum internasional yang dapat mengontrol penyalahgunaan kekuasaan pada bagian
suatu negara dalam proses renegosiasi.
Dengan tidak adanya aturan yang ditetapkan dalam hukum internasional tentang
masalah control of coercion, pengendalian atas suatu hal yang tidak masuk akal dikenakan
pada investor asing dengan cara renegosiasi kontrak harus dilakukan analisis dengan analogi
prinsip umum hukum kontrak yang ada dalam sistem hukum modern. Khususnya, masalah
prosedur dan diskriminasi harus dianggap sebagai faktor-faktor yang merusak dalam
renegosiasi antara negara dan investor asing.
Dalam penyelesaian Aminoil, Pengadilan menolak argumentasi perusahaan Amerika,
bahwa renegosiasi tertentu dari perjanjian konsesi dengan Kuwait telah dinodai oleh tekanan
dalam usaha tersebut dengan ancaman untuk mematikan atau larangan total ekspor dan oleh
karena itu, sehingga perusahaan tidak dapat terikat dengan hasil renegoisasi. Selanjutnya,
pengadilan mengatakan bahwa meskipun ada ancaman larangan dalam kondisi tertentu,
mereka tidak dapat dikatakan merusak perjanjian. Pertama, Aminoil secara sadar tidak
membuat kualifikasi bahwa sesuatu yang terlarang sedang dikenakan atasnya. Kedua,
pengadilan berpendapat bahwa, sebenarnya, perusahaan telah membuat pilihan dengan
menyetujui hasil renegosiasi walaupun tuntutan tersebut tidak menyenangkan. Hal ini
didasarkan tidak adanya protes ataupun pengaduan atas perjanjian tersebut sejak tahun 1973.
Berdasarkan hal tersebut pengadilan menekankan perlu bagi perusahaan mengajukan
keberatan atas dugaan adanya tekanan pada renegosiasi berdasarkan alasan yang tepat.
Pengadilan menunjukkan bahwa tidak akan mudah mencampuri proses perundingan antara
para pihak dan tidak akan menulis ulang kontrak hanya karena berisi hal-hal yang tidak
disetujui yang kemudian disepakati oleh investor asing. Investor asing tidak memiliki pilihan
lain selain menyetujuinya karena pilihan yang dihadapinya adalah lebih baik untuk menerima
daripada untuk mengakhiri operasi.
Pada renegosiasi akan menimbul pertanyaan: bagaimana membedakan antara tindakan
sah atas kekuatan ekonomi dari negara-negara dan mereka melakukan tekanan untuk
melemahkan persetujuan dari pihak investor untuk melakukan negosiasi ulang? Pedoman
tertentu yang dapat disarankan pertama, ancaman cedera fisik atas personil dari korporasi
menjadi bagian yang seharusnya selalu melemahkan perjanjian. Ini adalah prinsip yang
dikenal pada kebanyakan sistem hukum kontrak. Kedua, ancaman kerusakan fisik atau
kerusakan atas properti perusahaan harus memiliki efek yang sama pada tempat di mana tidak
ada pembenaran atas gangguan tersebut. Di sisi lain, nasionalisasi dengan kompensasi penuh
dan secara efektif bukan dianggap sebagai tindakan paksaan semata, mengingat adanya
keabsahan atas tindakan tersebut. Bagaimanapun apabila kompensasi yang ditawarkan lebih
rendah dibandingkan dengan nilai aset investor asing, mungkin menunjukkan sejumlah bukti
adanya tekanan yang tidak dapat dibenarkan.
3. Ekspropriasi atas Aset Perusahaan Asing
3. 1 Ekspropriasi Secara Umum
Ekspropriasi adalah tindakan pengambilalihan aset dari satu pihak kepada pihak lain
yang disertai dengan ganti rugi. Pengambilalihan aset tersebut dilakukan oleh pemegang
otoritas, biasanya dalam hal ini adalah negara, ataupun oleh pihak lain berdasarkan perintah
dari pemegang otoritas tersebut. Negara akan melakukan pengambilalihan atau pencabutan
atas hak milik asing. Ekspropriasi kadang disebut juga sebagai nasionalisasi.
Tindakan ekspropriasi akan menimbulkan beberapa permasalahan. Permasalahan
yang akan timbul diantaranya adalah masalah keabsahan tindakan pengambilalihan tersebut
dan masalah ganti rugi atas pengambilalihan aset. Ekspropriasi harus dilakukan berdasarkan
peraturan yang sesuai standar hukum internasional mengenai ekspropriasi.
3. 2 Keabsahan Ekspropriasi Menurut Hukum Negara Setempat
Tindakan ekspropriasi harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan
pada negara tempat aset yang diambilalih berada. Peraturan tersebut akan mengesahkan
tindakan ekspropriasi yang dilakukan negara bersangkutan. Apabila terjadi perselisihan atas
tindakan ekspropriasi tersebut maka investor asing terlebih dahulu menyelesaikannya
berdasarkan hukum negara setempat sebelum membawanya kepada forum internasional
untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan hukum internasional.
Pada umumnya tindakan ekspropriasi tidak akan menimbulkan permasalahan apabila
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta sesuai dengan
kaidah hukum internasional. Permasalahan yang timbul pada tindakan ekspropriasi karena
dilakukan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak sesuai standar yang berlaku.
Selain itu permasalahan yang timbul adalah tidak sesuainya ganti rugi yang diberikan oleh
negara kepada investor yang asetnya diambilalih. Hal ini karena investor mendapatkan ganti
rugi yang tidak sesuai dengan investasi yang telah ditanamkannya. Berdasarkan hal tesebut
maka hukum internasional berperan untuk menentukan standar yang diikuti oleh negara yang
akan melakukan ekspropriasi sehingga tidak merugikan investor asing yang telah
menanamkan modal di negara tersebut.
3.3 Keabsahan Ekspropriasi Menurut Hukum Internasional
3.3.1. Konflik Pelaksanaan Ekspropriasi
Tindakan ekspropriasi menjadi sah dilakukan oleh negara apabila dilakukan untuk
kepentingan kepentingan umum (public purpose), tanpa diskriminasi dan disertai pembayaran
ganti rugi atau kompensasi yang memadai dan efektif (prompt adequate, effective). Ketiga hal
tersebut menjadi standar internasional dalam hal akan dilakukannya ekspropriasi terhadap
aset milik asing. Standar tersebut tidak sepenuhnya diakui oleh banyak negara, terutama
negara asal investor asing. Mereka berpendapat bahwa standar tersebut lebih melindungi
kepentingan negara asal investor. Pada era 1970-an negara-negara tersebut berupaya mencari
alternatif lain melalui PBB untuk negara tempat dilakukannya ekspropriasi memiliki
kekuatan yang seimbang dengan negara asal investor, terutama masalah pemberian ganti
kerugian.
Saat ini dalam hal dilakukannya ekspropriasi maka berdasarkan standar internasional
yang telah diterima oleh banyak negara. Beberapa faktor penting terkait dengan standar
tindakan ekspropriasi adalah pertama penentuan standar tersebut berdasarkan kesepakatan
bilateral antar dua negara yang terkait dengan ekspropriasi, yaitu negara asal investor dan
negara tempat investasi. Kedua, kebijakan ekspropriasi tersebut wajib dijelaskan kepada
negara yang perusahaan-perusahaannya mengalami tindakan ekspropriasi. Ketiga pengadilan
negara asal investor tidak dapat turut campur dalam hal terjadi ekspropriasi yang tidak sesuai
dengan standar internasional. Keempat peraturan mengenai ekspropriasi yang dibuat oleh
negara yang melakukan ekspropriasi pada umumnya telah memenuhi standar internasional
yang telah ditetapkan walaupun pengaturan perjanjian investasi kedua negara tersebut lebih
didominasi oleh negara tempat investasi. Kelima ketentuan tentang standar internasional
tentang ekspropriasi akan dipergunakan dalam penyelesaian sengketa ekspropriasi di
pengadilan internasional.
3.3.2 Persyaratan Keabsahan Ekspropriasi
Untuk melakukan ekspropriasi maka pihak yang melakukan pengambilalihan harus
memenuhi beberapa ketentuan yaitu ekpropriasi untuk kepentingan umum, perlakuan non
diskriminasi dan kompensasi atas pengambilalihan tersebut. Ekspropriasi biasanya dilakukan
untuk tujuan kepentingan perekonomian negara pengambilalih. Oleh karena itu negara
tersebut tidak dapat melakukan tindakan ekspropriasi secara sewenang-wenang. Terdapat dua
faktor yang harus dipenuhi oleh negara saat melakukan ekspropriasi yaitu tindakan tersebut
dilakukan semata-mata untuk kepentingan umum dan negara bukan untuk kepentingan
pribadi atau kepentingan penguasa dan harus memenuhi rasa keadilan.
Kepentingan Umum
Ekspropriasi terhadap perusahaan asing harus didasarkan kepada kepentingan umum
dalam hal ini adalah kepentingan perekonomian negara. Ekspropriasi yang dilakukan atas
dasar kepentingan penguasa atau pribadi tidak dapat dibenarkan. Pengambilalihan aset
dengan alasan terjadinya kejahatan kemanusiaan atau genosida atau bentuk pelanggaran
HAM lainnya tidak dapat menjadi alasan untuk dilakukannya ekspropriasi. Dengan demikian
ekspropriasi tidak dapat dilakukan semata-mata atas dasar tujuan atau kepentingan politik
negara tempat investasi.
Perlakuan Non Diskriminasi
Ekspropriasi selain dilakukan dengan alasan untuk kepentingan umum maka juga
harus dilakukan dengan tidak memberikan perlakukan diskriminatif. Perlakuan non
diskriminatif mengacu kepada hubungan antara pesaing dalam negeri, asal negara perusahaan
asing. Perusahaan-perusahaan yang diambilalih asetnya harus mendapatkan perlakuan yang
sama terhadap perusahaan lain yang juga diambilalih asetnya yang berasal dari negara lain.
Selain itu perlakuan non diskriminatif juga berlaku dalam pengambilalihan aset juga
dilakukan terhadap perusahaan dalam negeri. Dengan demikian tidak ada perbedaan
perlakukan pengambilalihan aset dan kepemilikannya antara perusahaan asing dengan
perusahaan domestik.
Hal-hal yang termasuk perlakukan diskriminasi terhadap tindakan ekspropriasi antara
lain eksproprasi dilakukan berdasarkan kebijakan ekonomi negara yang tidak beralasan untuk
dilakukannya ekspropriasi, tindakan pembalasan (retaliation) terhadap negara asal
perusahaan asing atas dasar politik. Dengan demikian perlu penilaian objektif atas tindakan
ekspropriasi tersebut.
3. 4 Ganti Kerugian
Salah satu hal penting pada permasalahan ekspropriasi adalah ganti rugi.
Permasalahan tersebut timbul terhadap perhitungan besarnya ganti rugi terhadap aset
perusahaan asing yang dilakukan pengambilalihan. Pembayaran ganti rugi didasarkan kepada
kerugian yang nyata diterima oleh perusahaan ditambah keuntungan yang diharapkan. Selain
persoalan besarnya jumlah ganti rugi yang diterima oleh perusahaan maka perbedaan cara
perhitungan ganti rugi juga menjadi masalah dalam menentukan besarnya ganti kerugian
akibat ekspropriasi.
3. 4. 1 Cara Penghitungan Ganti Rugi
Cara penghitungan ganti rugi yang akan diterima oleh perusahaan yang aset dan
kepemilikannya diambilalih merupakan masalah berikutnya yang harus diselesaikan oleh
kedua belah pihak. Hal ini kerena perbedaan cara penghitungan ganti rugi. Penghitungan
ganti rugi biasanya berdasarkan kerugian nyata yang diterima oleh investor atas investasi
yang telah ditanamkannya. Selain kerugian nyata atas tindakan ekspropriasi, ganti rugi yang
diberikan termasuk keuntungan yang akan dihilang akibat tindakan ekspropriasi tersebut.
Salah satu cara penghitungan ganti rugi dengan menggunakan metode Discounted Cash Flow
Method (DSF) dan “Net Book Value”. Perbedaan-perbedaan ini yang dapat menimbulkan
sengketa antara kedua belah pihak.
Berdasarkan ketentuan pasal 42 Convention Establishing ICSID maka para pihak
yang bersengketa diberikan kebebasan untuk menentukan sistem hukum yang akan
dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam hal tidak ditentukan sistem
hukum yang akan dipergunakan maka pengadilan internasional akan memutus berdasarkan
hukum salah satu negara yang bersengketa dan aturan-aturan berdasarkan hukum
internasional.
Dalam pengambilan putusan atas permasalahan ganti rugi tersebut maka
ICSID berprinsip untuk melindungi hak-hak dari investor asing untuk mendapatkan
kompensasi atas tindakan ekspropriasi tersebut. Kompensasi tersebut didasarkan atas
hilangnya aset perusahaan dan keuntungan yang diharapkan. Pada kasus Amco Asia,
pengadilan menentukan untuk mengganti kerugian akibat ekspropriasi dilakukan dengan
dasar perhitungan DCF.
Pada kasus lain pengadilan menolak pemberian ganti rugi
berdasarkan nilai buku pada aset yang diambilalih yang diajukan oleh Indonesia. Terdapat
dua metode untuk penghitungan ganti rugi. Pada era 1980-1989 penentuan ganti rugi
didasarkan kepada kerugian nyata yang diterima oleh perusahaan sejak dilakukannya
ekspropriasi hingga adanya putusan atas sengketa ganti rugi tersebut. Pada era 1990-1999
perhitungan didasarkan kepada kerugian nyata yang diterima oleh perusahaan sejak adanya
putusan sengketa hingga berakhirnya investasi di negara tersebut berdasarkan perhitungan
DCF. Pada sengketa Southern Pacific Properties (Middle East) Limited v Arab Republic
Egypt, pengadilan menolak penghitungan ganti rugi berdasarkan metode DCF. Alasan
penolakan karena proyek yang diambilalih belum memenuhi persyaratan jangka waktu
seperti yang ditetapkan berdasarkan perhitungan DCF, sehingga akan menghasilkan
perhitungan ganti rugi yang bersifat spekulatif. Untuk menyelesaikan penghitungan ganti
rugi, pengadilan memutuskan pemberian ganti rugi dihitung berdasarkan perhitungan secara
objektif sebagai kompensasi yang adil atas sejumlah modal dan berbagai biaya-biaya yang
telah dikeluarkan selama berinvestasi oleh investor dengan memperhitungan bunga.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka untuk penghitungan ganti rugi tidak ada metode
yang ditetapkan secara khusus. Pada umumnya metode yang dipergunakan adalah metode
DCF dan menghindari perhitungan dengan metode Net Book Value.
3. 4. 2 Penentuan Kerugian
Salah satu hal penting dari ganti rugi atas tindakan ekspropriasi adalah menentukan
hal apa saja yang diberikan sebagai ganti rugi atas tindakan ekspropriasi. Pada umumnya
investor akan mendapatkan kompensasi secara penuh atas kerugian yang dideritanya akibat
ekspropriasi termasuk kerugian atas kehilangan keuntungan yang seharusnya diterima
investor. Ganti rugi yang diterima investor apabila ekspropriasi tersebut dilakukan secara sah.
Walaupun ada beberapa kasus pemberian ganti rugi akibat ekspropriasi yang tidak sah seperti
pada peradilan kasus Texaco. Pembayaran ganti rugi
harus memenuhi standar prompt
adequate, effective.
3.4.3 Penyelesaian Sengketa Ganti Rugi Berdasarkan Perjanjian Lump Sum
Para pihak yang bersengketa terhadap tindakan ekspropriasi terkadang menolak untuk
menyelesaikannya menurut ketentuan hukum internasional ataupun arbitrase internasional
dengan
berbagai
alasan.
Untuk
menyelesaikan
permasalahan
tersebut
mereka
mempergunakan perjanjian lump sum. Contoh pelaksanaan hal tersebut adalah pembayaran
lump sum oleh Uni Sovyet kepada Swedia pada tahun 1941 dan 1946 dan tahun 1986 kepada
pemerintah Inggris sebesar £ 45 juta sebagai kompensasi atas penyitaan aset yang dimiliki
Inggris saat terjadi Revolusi di Rusia pada tahun 1917. Penyelesaian kasus ekspropriasi
perusahan Amerika Serikat Kalamazoo Spice Extraction Co (Kal-Spice) yang diambilalih
oleh Pemerintah Militer Ethiopia pada tahun 1975 dilakukan melalui perjanjian lump sum.
Pembayaran lump sum sebesar US $ 7 juta oleh pemerintah Ethiopia dengan diikuti
dicabutnya klaim serta tuntutan dari Amerika Serikat kepada Ethiopia. Praktik ini sering
dilakukan oleh beberapa negara namun tidak menjadi bahan pertimbanghan bagi pengadilan
internasional dalam memutus sengketa ganti rugi tindakan ekspropriasi.
4. Skema Jaminan Investasi
Ancaman dari resiko-resiko yang bersifat politis, seperti misalnya pengambilalihan
(ekspropriasi), adalah sebuah faktor yang akan meningkatkan biaya dari penanaman modal
yang dirasakan pada suatu negara. Bagaimanapun, biaya-biaya ini dapat dikurangi jika
penjaminan diambil guna menanggulangi resiko politis.
Dengan demikian, guna meyakinkan ketersediaan penanganan resiko-resiko politis,
pemerintah selaku pemilik modal harus mendukung sektor publik atau skema gabungan
antara sektor publik dan swasta. Beberapa skema telah secara tradisional terfokus pada
pengembangan negara tuan rumah dan telah diberikan sebagai bagian dari bantuan dalam dan
luar negeri, walaupun beberapa skema, seperti misalnya United Kingdom Export Credit
Guarantee Department (ECGD), digerakan pada investasi dan perdagangan internasional
secara umum. Oleh karena itu, beberapa skema mungkin lebih hanya sebagai pelayanan
penjaminan; hal tersebut mungkin sebuah perangkat dari kebijakan pembangaunan ekonomi
dalam dan luar negeri.
Sekema nasional seperti ini pertama kali diperkenalkan di Amerika serikat melalui
Economic Co-operation act 1948. Yang ketika itu bertujuan untuk menawarkan penjaminan
investasi bagi rekonstruksi pasca perang Eropa. Bagaimanapun, hal tersebut kemudian
diundangkan untuk mencakup penanaman modal pada negara-negara kurang berkembang.
Berdasarkan Undang-Undang Bantuan Asing Tahun 1961 (The Foreign Assistance Act of
1961) skema tersebut telah dijalankan sebagai bagian program bantuan asing dari Amerika
Serikat yang dilaksanakan oleh Agency for International Development (AID). Kemudian
muncul skema baru yang disusun pada tahun 1969 yaitu Overseas Private Investment
Corporation (OPIC).
Pada saat ini OPIC diperkuat guna menawarkan jaminan investasi yang mendasarkan
pada asas perdagangan yang bersandar pada perjanjian dan kredit dari pemerintah Amerika
Serikat. Perlindungan dibutuhkan hanya dengan suatu perjanjian di negara tuan rumah. Pada
akhirnya negosiasi investasi Amerika Serikat menjamin kesepakatan dengan negara tuan
rumah. Perjanjian ini meyakinkan bahwa hak-hak dari OPIC (atau suksesornya dalam judul
perjanjian atau yang ditunjuk) dengan subrograsi melalui pembayaran suatu klaim yang
dikenal oleh negara tuan rumah. Hal tersebut juga menyediakan mekanisme arbitrase
internasional dalam hal terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi.
Jaminan (asuransi) yang tersedia mampu mengatasi permasalahan terkait dengan pengambil
alihan, resiko-resiko sengketa, ketidaksesuaian nilai mata uang, atau hal-hal yang telah
disebutkan di atas, perselisihan perdata dan Letter of Credit (LC). Di atas peristiwa pada
suatu perjanjian yang diasuransikan para investor akan mempresentasikan suatu klaim bagi
OPIC, yang mana akan kemudian dipertimbangkan kemungkinannya untuk tidak lebih dari
perlindungan yang telah disepakati. Haruskah perselisihan muncul, investor dan OPIC
kemungkinan menyerahkan hal tersebut pada mekanisme arbitrase. Setelah klaim dibayarkan,
OPIC akan melaksanakan hak subrograsinya guna mengatasi negara tuan rumah dalam
kesepakatan perjanjian jaminan investasi.
Di Inggris melalui Export Credits Guarantee Departmen (ECGD) dengan dasar
Undang-Undang Tahun 1961 tentang penjaminan Export dan Investasi, penjaminan diberikan
hanya kepada investasi langsung yang baru dalam perusahaan asing guna mengatasi kerugian,
pengambilalihan, pembatasan, pada pengiriman uang dan resiko-resiko politis tertentu yang
mampu menunjang kelangsungan dari suatu sistem investasi.
Kemudian, sebuah pengembangan terkini yang cukup signifikan dan memiliki
kekuatan mengikat pada Konvensi Bank Dunia tentang Pendirian
Lembaga Penjamin
Investasi tahun 1985 ( The World Bank Convention Establishing the Multilateral Investment
Guarentee Agency, MIGA). Pembentukan MIGA bertujuan untuk memberikan perlindungan
atas investasi yang telah ditanamkan terhadap risiko politik di negara tuan rumah.
Konvensi ini menawarkan bantuan berupa nasihat dan pelayanan standar negaranegara yang bermaksud meningkatkan kondisi dan arus investasi di negaranya. MIGA
memberikan keuntungan berupa menggabungkan investasi dari banyak negara dan yang
memudahkan akses pada cakupan yang lebih luas bagi para investor bukan sekedar sistem
investasi nasional saja.
Seluruh negara anggota Bank Dunia dapat bergabung dengan MIGA untuk
mendapatkan jaminan terhadap risiko-risiko yang diatur berdasarkan MIGA. Cakupan
perlindungan yang diberikan diperluas dalam hal terjadi pelanggaran kontrak perjanjian
dengan memberikan perlindungan bagi investor terhadap resiko penyalahgunaan proses
hukum yang mana hal tersebut mungkin terjadi melalui penyangkalan akses pada proses
peradilan maupun forum arbitrase guna menentukan keabsahan gugatan pelanggaran yang
dinyatakan leh negara tuan rumah. Kemudian perlindungan dikecualikan apabila negara tuan
rumah bertindak dalam kepentingan masyarakat yang bertujuan pembentukan aturan
mengenai aktivitas ekonomi dan urusan teritori seputar hal tersebut. Kemudian, Aturan
Operasional MIGA menyatakan bahwa perlindungan mencakup, namun tidak terbatas pada
ukuran ekspropriasi, nasionalisasi, konfiskasi, penyitaan, perampasan, lampiran serta
pembekuan aset.
Perlindungan yang diberikan termasuk investasi berupa saham dan investasi langsung
non saham. Beragam bentuk dari investasi saham diberikan perlindungan terkait dengan legal
formal terhadap proyek atau pembagian hasil yang diselenggarakan oleh pemohon guna
menjamin. Sebagai contoh dari investasi langsung non saham yang dilindungi termasuk
kontrak sharing produksi, kontrak pembagian keuntungan, kontrak manajemen, perjanjian
franchise, perjanjian lisensi, perjanjian operasi leasing, dan bentuk-bentuk perjanjian lain
yang direkomendasikan oleh presiden dan disetujui oleh anggota.
5. Penutup
Bab ini telah mempertimbangkan beberapa area yang menjadi prinsip penting dalam
hukum internasional yang menjadi standar hubungan antara investor asing dan negara tuan
rumah. Walaupun telah ditetapkan standar tersebut, pertentangan antara doktrin dan normanorma kebiasaan tetap terjadi. Pertentangan tersebut pada hal-hal negosiasi ulang dan isu
ekspropriasi, perjanjian ganti rugi berdasarkan lump sum dan jaminan sistem investasi. Hal
tersebut di atas tentu saja merupakan dampak dari fenomena pasar bebas dan globalisasi
ekonomi.
Download