RENEGOTIATION AND EXPROPRIATION Pembahasan materi ini pada perubahan atau penghentian suatu perjanjian investasi internasional yang terjadi antara negara dan investor asing dan ekspropriasi (pengambilalihan) aset yang dimiliki investor asing. Meskipun hukum dalam negeri suatu negara mungkin merupakan hukum yang tepat dari perjanjian investasi dan dan karena itu akan menawarkan kerangka hukum awal untuk menentukan legalitas sebuah renegosiasi kontrak atau ekspropriasi aset milik asing, hukum internasional dapat – dan telah – digunakan oleh investor asing sebagai standar utama legalitas dalam kasus tersebut. 1. Pembatasan Kedaulatan Negara Terkait Hubungan Kontraktual dengan Investor Asing Negara-negara pemilik modal berusaha untuk mengendalikan kedaulatan suatu negara dalam bidang kontraktual dengan dua cara teknik hukum utama: Dengan menegaskan bahwa hukum yang tepat untuk mengatur perjanjian investasi internasional adalah hukum internasional; dan Dengan mengadaptasi stabilization clause dalam perjanjian investasi internasional dalam arti pemerintah tidak perlu melakukan pembatalan perjanjian tersebut maupun memodifikasi perjanjian, melalui legislasi maupun melalui tindakan administrasi. Berdasarkan prinsip-prinsip perjanjian yang mengharuskan para pihak menghormati kontrak yang dibuat mengakibatkan negara tempat investasi/tuan rumah berada pada posisi yang lemah dibandingkan dengan negara asal investor. Hal ini karena negara tersebut dibatasi untuk mengubah perjanjian investasi. 1.1. Internasionalisasi Perjanjian Investasi Internasional Saran yang mendukung perjanjian investasi internasional yang diatur dengan hukum internasional sebagai hukum yang tepat telah didiskusikan dalam sejumlah arbitrase internasional akhir 1970 dan awal 1980 yang timbul dari ekspropriasi, sepanjang awal tahun 1970, dalam industri minyak di wilayah Timur Tengah. Dalam kasus abritrase Texaco, internasionalisasi perjanjian konsesi minyak antara perusahaan minyak Amerika dengan Pemerintah Libya, yang diasimilasi pada hukum internasional didasarkan dua prinsip, (1) berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional dan prinsip-prinsip umum hukum, di dalam klausul pilihan hukum perjanjian konsesi dibuat untuk menentukan sejauh mana hukum Libya bisa diterapkan pada perjanjian tersebut. Berdasarkan hal ini maka ekspropriasi atas aset perusahaan Amerika Serikat oleh Libya adalah sah apabila hukum Libya pada perjanjian investasi tersebut telah sesuai dengan hukum internasional. (2) Pada kenyataannya perjanjian investasi merupakan perjanjian pengembangan ekonomi menekankan pentingnya internasional. Menurut Prof. Dupuy, sejumlah perjanjian memperbolehkan asimiliasi dengan hukum internasional berdasarkan materi permasalahan yang luas, jangka waktu, dan besarnya investasi. Hal ini memerlukan suatu penghitungan stabilitas di mana investor dapat dilindungi dari ketidakpastian hukum dan perhitungan pemerintah yang memungkinkan melakukan pencabutan atau pembatalan perjanjian. Pada saat stabilization clause disisipkan akan menghapus semua atau sebagian perjanjian tersebut dari hukum internal dan membuka pengajuan korelatif untuk peraturan sui generis atau ke dalam sistem hukum internasional yang benar. Dalam kasus arbitrase Liamco v. Libya, Dr. Mahmassani, mempertimbangkan bahwa bahwa karakterisasi konsesi sebagai perjanjian pembangunan ekonomi, tanpa lebih, cukup untuk mengasimilasi perjanjian tersebut pada hukum transnasional. Dengan kesimpulan bahwa hukum yang paling tepat dari konsesi adalah hukum Libya, tidak termasuk bagian dari hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Dalam kasus arbitrase Aminoil v. Kuwait, menunjukkan bahwa penerapan hukum internasional publik, yang ditemukan untuk menjadi bagian dari hukum Kuwait. Keputusan arbitrase Liamco dan Aminoil menunjukkan asimilasi hukum nasional dengan hukum transnasional. Khususnya Aminoil, perjanjian konsesi menggabungkan sumber-sumber hukum internasional sebagai bagian dari hukum Kuwait, dan sejalan dengan prinsip-prinsip umum hukum yang mengakui hak negara dalam kapasitasnya sebagai pelindung kepentingan umum. Pendekatan hukum transnasional dapat menghindari ketidakbergunaan prosedur penyelesaian sengketa, yang jika tidak dilakukan akan terjerat dalam konflik yang sia-sia atas hukum yang berlaku, dengan penggunaan hukum nasional yang eksklusif dan investor asing bersikeras mengangkat sengketa secara internasionalisasi. Di sisi lain, di mana kekuasaan negara diutamakan, hukum nasional dapat dipilih untuk mengesampingkan hukum internasional. 1. 2. Sanctity of Contract dan Stabilization Clause Makna sesungguhnya perjanjian investasi dapat dilindungi dari upaya perubahan hukum di masa yang akan datang dengan adanya stabilization clause, karena stabilization clause dapat digunakan untuk mengecualikan aturan hukum nasional dari regulasi perjanjian, dengan memasukkan hukum internasional atau prinsip-prinsip umum hukum sebagai hukum yang tepat dari perjanjian. Dalam teori sanctity of contract, kehendak para pihak harus menjadi dasar dari perjanjian. Akibatnya stabilization clause, sebagai ungkapan kehendak para pihak, harus ditegakkan. Stabilization clause menjadi kontroversi karena membatasi penerapan aturan berdasarkan hukum tuan rumah investasi dan menerapkan hukum internasional beserta prinsip-prinsipnya. Selain itu juga membatasi perubahan-perubahan pada perjanjian investasi berdasarkan aturan hukum negara tuan rumah. Penyelesaian kasus Texaco, merupakan dampak penerapan stabilization clause yang membatasi kedaulatan suatu negara dalam kaitannya dengan hak atas kekayaan alam selama periode konsesi. Penyelesaian kasus Liamco, menjelaskan bahwa prinsip pacta sunt servanda maka negara yang melakukan nasionalisasi berkewajiban memberikan kompensasi. Kasus BP v. Libya, hanya menyatakan bahwa konsesi melibatkan hubungan kontrak langsung antara responden dan penuntut. Kasus Aminoil, stabilization clause tidak dapat membatasi kepentingan nasional termasuk perlu aturan tentang nasionalisasi pada negara. Jadi, kasus ini mengalami perubahan kondisi yang mendasar yang tertuang di dalam keputusan Aminoil sebagai pembenaran untuk melakukan renegoisasi perjanjian. Akhirnya, stabilization clause, semacam pertanyaan ketepatan penggunaan hukum dari perjanjian investasi, sebagai suatu permasalahan yang harus didasarkan pada kesepakatan para pihak. Berdasarkan perkembangan dunia, negara tuan rumah memiliki posisi yang seimbang dengan negara asal investor. Dengan demikian, walaupun penerapan stabilization clause pada perjanjian investasi telah berkurang, dampaknya tidak dapat dianggap telah menghilang dari peraturan hukum investasi internasional. 2. Renegoisasi Perjanjian Investasi Internasional Dalam rangka untuk menghindari ketidaklenturan suatu perjanjian yang diatur dengan menciptakan stabilization clause, terdapat suatu pemikiran bahwa perjanjian investasi seharusnya memasukkan pasal renegoisasi dalam format standar. Menurut Dr. Cyinthia Wallace, renegoisasi perjanjian yang dilakukan oleh suatu negara sebagai hasil yang secara bertahap menggeser posisi tawar menjadi dari Multinational Enterprise (MNE) kepada negara. Renegosiasi perjanjian tidak hanya atas permintaan dari negara tempat investasi tetapi dapat atas permintaan MNE. MNE dapat menerima renegosiasi yang diprakarsai oleh negara rumah, terutama dalam hal akan menyebabkan terganggunya operasi perusahaan dan menjamin stabilitas jangka panjang. Dr. Wallace menunjukkan, jika negosiasi yang dikenakan pada MNE tidak masuk akal, mungkin menimbulkan sejumlah paksaan ekonomi diluar kesepakatan, yaitu dengan cara mengurangi aset perusahaan, atau melakukan penjualan sebagian di bawah nilai wajar, dengan adanya tekanan dalam negosiasi. Berdasarkan paksaaan maka dapat terjadi tindakan nasionalisasi tanpa adanya kompensasi atas tindakan tersebut. Renegosiasi akan menimbulkan suatu pertanyaan apakah terdapat suatu doktrin pemaksaan yang tidak adil pada hukum internasional yang dapat mengontrol penyalahgunaan kekuasaan pada bagian suatu negara dalam proses renegosiasi. Dengan tidak adanya aturan yang ditetapkan dalam hukum internasional tentang masalah control of coercion, pengendalian atas suatu hal yang tidak masuk akal dikenakan pada investor asing dengan cara renegosiasi kontrak harus dilakukan analisis dengan analogi prinsip umum hukum kontrak yang ada dalam sistem hukum modern. Khususnya, masalah prosedur dan diskriminasi harus dianggap sebagai faktor-faktor yang merusak dalam renegosiasi antara negara dan investor asing. Dalam penyelesaian Aminoil, Pengadilan menolak argumentasi perusahaan Amerika, bahwa renegosiasi tertentu dari perjanjian konsesi dengan Kuwait telah dinodai oleh tekanan dalam usaha tersebut dengan ancaman untuk mematikan atau larangan total ekspor dan oleh karena itu, sehingga perusahaan tidak dapat terikat dengan hasil renegoisasi. Selanjutnya, pengadilan mengatakan bahwa meskipun ada ancaman larangan dalam kondisi tertentu, mereka tidak dapat dikatakan merusak perjanjian. Pertama, Aminoil secara sadar tidak membuat kualifikasi bahwa sesuatu yang terlarang sedang dikenakan atasnya. Kedua, pengadilan berpendapat bahwa, sebenarnya, perusahaan telah membuat pilihan dengan menyetujui hasil renegosiasi walaupun tuntutan tersebut tidak menyenangkan. Hal ini didasarkan tidak adanya protes ataupun pengaduan atas perjanjian tersebut sejak tahun 1973. Berdasarkan hal tersebut pengadilan menekankan perlu bagi perusahaan mengajukan keberatan atas dugaan adanya tekanan pada renegosiasi berdasarkan alasan yang tepat. Pengadilan menunjukkan bahwa tidak akan mudah mencampuri proses perundingan antara para pihak dan tidak akan menulis ulang kontrak hanya karena berisi hal-hal yang tidak disetujui yang kemudian disepakati oleh investor asing. Investor asing tidak memiliki pilihan lain selain menyetujuinya karena pilihan yang dihadapinya adalah lebih baik untuk menerima daripada untuk mengakhiri operasi. Pada renegosiasi akan menimbul pertanyaan: bagaimana membedakan antara tindakan sah atas kekuatan ekonomi dari negara-negara dan mereka melakukan tekanan untuk melemahkan persetujuan dari pihak investor untuk melakukan negosiasi ulang? Pedoman tertentu yang dapat disarankan pertama, ancaman cedera fisik atas personil dari korporasi menjadi bagian yang seharusnya selalu melemahkan perjanjian. Ini adalah prinsip yang dikenal pada kebanyakan sistem hukum kontrak. Kedua, ancaman kerusakan fisik atau kerusakan atas properti perusahaan harus memiliki efek yang sama pada tempat di mana tidak ada pembenaran atas gangguan tersebut. Di sisi lain, nasionalisasi dengan kompensasi penuh dan secara efektif bukan dianggap sebagai tindakan paksaan semata, mengingat adanya keabsahan atas tindakan tersebut. Bagaimanapun apabila kompensasi yang ditawarkan lebih rendah dibandingkan dengan nilai aset investor asing, mungkin menunjukkan sejumlah bukti adanya tekanan yang tidak dapat dibenarkan. 3. Ekspropriasi atas Aset Perusahaan Asing 3. 1 Ekspropriasi Secara Umum Ekspropriasi adalah tindakan pengambilalihan aset dari satu pihak kepada pihak lain yang disertai dengan ganti rugi. Pengambilalihan aset tersebut dilakukan oleh pemegang otoritas, biasanya dalam hal ini adalah negara, ataupun oleh pihak lain berdasarkan perintah dari pemegang otoritas tersebut. Negara akan melakukan pengambilalihan atau pencabutan atas hak milik asing. Ekspropriasi kadang disebut juga sebagai nasionalisasi. Tindakan ekspropriasi akan menimbulkan beberapa permasalahan. Permasalahan yang akan timbul diantaranya adalah masalah keabsahan tindakan pengambilalihan tersebut dan masalah ganti rugi atas pengambilalihan aset. Ekspropriasi harus dilakukan berdasarkan peraturan yang sesuai standar hukum internasional mengenai ekspropriasi. 3. 2 Keabsahan Ekspropriasi Menurut Hukum Negara Setempat Tindakan ekspropriasi harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan pada negara tempat aset yang diambilalih berada. Peraturan tersebut akan mengesahkan tindakan ekspropriasi yang dilakukan negara bersangkutan. Apabila terjadi perselisihan atas tindakan ekspropriasi tersebut maka investor asing terlebih dahulu menyelesaikannya berdasarkan hukum negara setempat sebelum membawanya kepada forum internasional untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan hukum internasional. Pada umumnya tindakan ekspropriasi tidak akan menimbulkan permasalahan apabila dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta sesuai dengan kaidah hukum internasional. Permasalahan yang timbul pada tindakan ekspropriasi karena dilakukan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak sesuai standar yang berlaku. Selain itu permasalahan yang timbul adalah tidak sesuainya ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada investor yang asetnya diambilalih. Hal ini karena investor mendapatkan ganti rugi yang tidak sesuai dengan investasi yang telah ditanamkannya. Berdasarkan hal tesebut maka hukum internasional berperan untuk menentukan standar yang diikuti oleh negara yang akan melakukan ekspropriasi sehingga tidak merugikan investor asing yang telah menanamkan modal di negara tersebut. 3.3 Keabsahan Ekspropriasi Menurut Hukum Internasional 3.3.1. Konflik Pelaksanaan Ekspropriasi Tindakan ekspropriasi menjadi sah dilakukan oleh negara apabila dilakukan untuk kepentingan kepentingan umum (public purpose), tanpa diskriminasi dan disertai pembayaran ganti rugi atau kompensasi yang memadai dan efektif (prompt adequate, effective). Ketiga hal tersebut menjadi standar internasional dalam hal akan dilakukannya ekspropriasi terhadap aset milik asing. Standar tersebut tidak sepenuhnya diakui oleh banyak negara, terutama negara asal investor asing. Mereka berpendapat bahwa standar tersebut lebih melindungi kepentingan negara asal investor. Pada era 1970-an negara-negara tersebut berupaya mencari alternatif lain melalui PBB untuk negara tempat dilakukannya ekspropriasi memiliki kekuatan yang seimbang dengan negara asal investor, terutama masalah pemberian ganti kerugian. Saat ini dalam hal dilakukannya ekspropriasi maka berdasarkan standar internasional yang telah diterima oleh banyak negara. Beberapa faktor penting terkait dengan standar tindakan ekspropriasi adalah pertama penentuan standar tersebut berdasarkan kesepakatan bilateral antar dua negara yang terkait dengan ekspropriasi, yaitu negara asal investor dan negara tempat investasi. Kedua, kebijakan ekspropriasi tersebut wajib dijelaskan kepada negara yang perusahaan-perusahaannya mengalami tindakan ekspropriasi. Ketiga pengadilan negara asal investor tidak dapat turut campur dalam hal terjadi ekspropriasi yang tidak sesuai dengan standar internasional. Keempat peraturan mengenai ekspropriasi yang dibuat oleh negara yang melakukan ekspropriasi pada umumnya telah memenuhi standar internasional yang telah ditetapkan walaupun pengaturan perjanjian investasi kedua negara tersebut lebih didominasi oleh negara tempat investasi. Kelima ketentuan tentang standar internasional tentang ekspropriasi akan dipergunakan dalam penyelesaian sengketa ekspropriasi di pengadilan internasional. 3.3.2 Persyaratan Keabsahan Ekspropriasi Untuk melakukan ekspropriasi maka pihak yang melakukan pengambilalihan harus memenuhi beberapa ketentuan yaitu ekpropriasi untuk kepentingan umum, perlakuan non diskriminasi dan kompensasi atas pengambilalihan tersebut. Ekspropriasi biasanya dilakukan untuk tujuan kepentingan perekonomian negara pengambilalih. Oleh karena itu negara tersebut tidak dapat melakukan tindakan ekspropriasi secara sewenang-wenang. Terdapat dua faktor yang harus dipenuhi oleh negara saat melakukan ekspropriasi yaitu tindakan tersebut dilakukan semata-mata untuk kepentingan umum dan negara bukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan penguasa dan harus memenuhi rasa keadilan. Kepentingan Umum Ekspropriasi terhadap perusahaan asing harus didasarkan kepada kepentingan umum dalam hal ini adalah kepentingan perekonomian negara. Ekspropriasi yang dilakukan atas dasar kepentingan penguasa atau pribadi tidak dapat dibenarkan. Pengambilalihan aset dengan alasan terjadinya kejahatan kemanusiaan atau genosida atau bentuk pelanggaran HAM lainnya tidak dapat menjadi alasan untuk dilakukannya ekspropriasi. Dengan demikian ekspropriasi tidak dapat dilakukan semata-mata atas dasar tujuan atau kepentingan politik negara tempat investasi. Perlakuan Non Diskriminasi Ekspropriasi selain dilakukan dengan alasan untuk kepentingan umum maka juga harus dilakukan dengan tidak memberikan perlakukan diskriminatif. Perlakuan non diskriminatif mengacu kepada hubungan antara pesaing dalam negeri, asal negara perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan yang diambilalih asetnya harus mendapatkan perlakuan yang sama terhadap perusahaan lain yang juga diambilalih asetnya yang berasal dari negara lain. Selain itu perlakuan non diskriminatif juga berlaku dalam pengambilalihan aset juga dilakukan terhadap perusahaan dalam negeri. Dengan demikian tidak ada perbedaan perlakukan pengambilalihan aset dan kepemilikannya antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik. Hal-hal yang termasuk perlakukan diskriminasi terhadap tindakan ekspropriasi antara lain eksproprasi dilakukan berdasarkan kebijakan ekonomi negara yang tidak beralasan untuk dilakukannya ekspropriasi, tindakan pembalasan (retaliation) terhadap negara asal perusahaan asing atas dasar politik. Dengan demikian perlu penilaian objektif atas tindakan ekspropriasi tersebut. 3. 4 Ganti Kerugian Salah satu hal penting pada permasalahan ekspropriasi adalah ganti rugi. Permasalahan tersebut timbul terhadap perhitungan besarnya ganti rugi terhadap aset perusahaan asing yang dilakukan pengambilalihan. Pembayaran ganti rugi didasarkan kepada kerugian yang nyata diterima oleh perusahaan ditambah keuntungan yang diharapkan. Selain persoalan besarnya jumlah ganti rugi yang diterima oleh perusahaan maka perbedaan cara perhitungan ganti rugi juga menjadi masalah dalam menentukan besarnya ganti kerugian akibat ekspropriasi. 3. 4. 1 Cara Penghitungan Ganti Rugi Cara penghitungan ganti rugi yang akan diterima oleh perusahaan yang aset dan kepemilikannya diambilalih merupakan masalah berikutnya yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak. Hal ini kerena perbedaan cara penghitungan ganti rugi. Penghitungan ganti rugi biasanya berdasarkan kerugian nyata yang diterima oleh investor atas investasi yang telah ditanamkannya. Selain kerugian nyata atas tindakan ekspropriasi, ganti rugi yang diberikan termasuk keuntungan yang akan dihilang akibat tindakan ekspropriasi tersebut. Salah satu cara penghitungan ganti rugi dengan menggunakan metode Discounted Cash Flow Method (DSF) dan “Net Book Value”. Perbedaan-perbedaan ini yang dapat menimbulkan sengketa antara kedua belah pihak. Berdasarkan ketentuan pasal 42 Convention Establishing ICSID maka para pihak yang bersengketa diberikan kebebasan untuk menentukan sistem hukum yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam hal tidak ditentukan sistem hukum yang akan dipergunakan maka pengadilan internasional akan memutus berdasarkan hukum salah satu negara yang bersengketa dan aturan-aturan berdasarkan hukum internasional. Dalam pengambilan putusan atas permasalahan ganti rugi tersebut maka ICSID berprinsip untuk melindungi hak-hak dari investor asing untuk mendapatkan kompensasi atas tindakan ekspropriasi tersebut. Kompensasi tersebut didasarkan atas hilangnya aset perusahaan dan keuntungan yang diharapkan. Pada kasus Amco Asia, pengadilan menentukan untuk mengganti kerugian akibat ekspropriasi dilakukan dengan dasar perhitungan DCF. Pada kasus lain pengadilan menolak pemberian ganti rugi berdasarkan nilai buku pada aset yang diambilalih yang diajukan oleh Indonesia. Terdapat dua metode untuk penghitungan ganti rugi. Pada era 1980-1989 penentuan ganti rugi didasarkan kepada kerugian nyata yang diterima oleh perusahaan sejak dilakukannya ekspropriasi hingga adanya putusan atas sengketa ganti rugi tersebut. Pada era 1990-1999 perhitungan didasarkan kepada kerugian nyata yang diterima oleh perusahaan sejak adanya putusan sengketa hingga berakhirnya investasi di negara tersebut berdasarkan perhitungan DCF. Pada sengketa Southern Pacific Properties (Middle East) Limited v Arab Republic Egypt, pengadilan menolak penghitungan ganti rugi berdasarkan metode DCF. Alasan penolakan karena proyek yang diambilalih belum memenuhi persyaratan jangka waktu seperti yang ditetapkan berdasarkan perhitungan DCF, sehingga akan menghasilkan perhitungan ganti rugi yang bersifat spekulatif. Untuk menyelesaikan penghitungan ganti rugi, pengadilan memutuskan pemberian ganti rugi dihitung berdasarkan perhitungan secara objektif sebagai kompensasi yang adil atas sejumlah modal dan berbagai biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama berinvestasi oleh investor dengan memperhitungan bunga. Berdasarkan hal tersebut di atas maka untuk penghitungan ganti rugi tidak ada metode yang ditetapkan secara khusus. Pada umumnya metode yang dipergunakan adalah metode DCF dan menghindari perhitungan dengan metode Net Book Value. 3. 4. 2 Penentuan Kerugian Salah satu hal penting dari ganti rugi atas tindakan ekspropriasi adalah menentukan hal apa saja yang diberikan sebagai ganti rugi atas tindakan ekspropriasi. Pada umumnya investor akan mendapatkan kompensasi secara penuh atas kerugian yang dideritanya akibat ekspropriasi termasuk kerugian atas kehilangan keuntungan yang seharusnya diterima investor. Ganti rugi yang diterima investor apabila ekspropriasi tersebut dilakukan secara sah. Walaupun ada beberapa kasus pemberian ganti rugi akibat ekspropriasi yang tidak sah seperti pada peradilan kasus Texaco. Pembayaran ganti rugi harus memenuhi standar prompt adequate, effective. 3.4.3 Penyelesaian Sengketa Ganti Rugi Berdasarkan Perjanjian Lump Sum Para pihak yang bersengketa terhadap tindakan ekspropriasi terkadang menolak untuk menyelesaikannya menurut ketentuan hukum internasional ataupun arbitrase internasional dengan berbagai alasan. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut mereka mempergunakan perjanjian lump sum. Contoh pelaksanaan hal tersebut adalah pembayaran lump sum oleh Uni Sovyet kepada Swedia pada tahun 1941 dan 1946 dan tahun 1986 kepada pemerintah Inggris sebesar £ 45 juta sebagai kompensasi atas penyitaan aset yang dimiliki Inggris saat terjadi Revolusi di Rusia pada tahun 1917. Penyelesaian kasus ekspropriasi perusahan Amerika Serikat Kalamazoo Spice Extraction Co (Kal-Spice) yang diambilalih oleh Pemerintah Militer Ethiopia pada tahun 1975 dilakukan melalui perjanjian lump sum. Pembayaran lump sum sebesar US $ 7 juta oleh pemerintah Ethiopia dengan diikuti dicabutnya klaim serta tuntutan dari Amerika Serikat kepada Ethiopia. Praktik ini sering dilakukan oleh beberapa negara namun tidak menjadi bahan pertimbanghan bagi pengadilan internasional dalam memutus sengketa ganti rugi tindakan ekspropriasi. 4. Skema Jaminan Investasi Ancaman dari resiko-resiko yang bersifat politis, seperti misalnya pengambilalihan (ekspropriasi), adalah sebuah faktor yang akan meningkatkan biaya dari penanaman modal yang dirasakan pada suatu negara. Bagaimanapun, biaya-biaya ini dapat dikurangi jika penjaminan diambil guna menanggulangi resiko politis. Dengan demikian, guna meyakinkan ketersediaan penanganan resiko-resiko politis, pemerintah selaku pemilik modal harus mendukung sektor publik atau skema gabungan antara sektor publik dan swasta. Beberapa skema telah secara tradisional terfokus pada pengembangan negara tuan rumah dan telah diberikan sebagai bagian dari bantuan dalam dan luar negeri, walaupun beberapa skema, seperti misalnya United Kingdom Export Credit Guarantee Department (ECGD), digerakan pada investasi dan perdagangan internasional secara umum. Oleh karena itu, beberapa skema mungkin lebih hanya sebagai pelayanan penjaminan; hal tersebut mungkin sebuah perangkat dari kebijakan pembangaunan ekonomi dalam dan luar negeri. Sekema nasional seperti ini pertama kali diperkenalkan di Amerika serikat melalui Economic Co-operation act 1948. Yang ketika itu bertujuan untuk menawarkan penjaminan investasi bagi rekonstruksi pasca perang Eropa. Bagaimanapun, hal tersebut kemudian diundangkan untuk mencakup penanaman modal pada negara-negara kurang berkembang. Berdasarkan Undang-Undang Bantuan Asing Tahun 1961 (The Foreign Assistance Act of 1961) skema tersebut telah dijalankan sebagai bagian program bantuan asing dari Amerika Serikat yang dilaksanakan oleh Agency for International Development (AID). Kemudian muncul skema baru yang disusun pada tahun 1969 yaitu Overseas Private Investment Corporation (OPIC). Pada saat ini OPIC diperkuat guna menawarkan jaminan investasi yang mendasarkan pada asas perdagangan yang bersandar pada perjanjian dan kredit dari pemerintah Amerika Serikat. Perlindungan dibutuhkan hanya dengan suatu perjanjian di negara tuan rumah. Pada akhirnya negosiasi investasi Amerika Serikat menjamin kesepakatan dengan negara tuan rumah. Perjanjian ini meyakinkan bahwa hak-hak dari OPIC (atau suksesornya dalam judul perjanjian atau yang ditunjuk) dengan subrograsi melalui pembayaran suatu klaim yang dikenal oleh negara tuan rumah. Hal tersebut juga menyediakan mekanisme arbitrase internasional dalam hal terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi. Jaminan (asuransi) yang tersedia mampu mengatasi permasalahan terkait dengan pengambil alihan, resiko-resiko sengketa, ketidaksesuaian nilai mata uang, atau hal-hal yang telah disebutkan di atas, perselisihan perdata dan Letter of Credit (LC). Di atas peristiwa pada suatu perjanjian yang diasuransikan para investor akan mempresentasikan suatu klaim bagi OPIC, yang mana akan kemudian dipertimbangkan kemungkinannya untuk tidak lebih dari perlindungan yang telah disepakati. Haruskah perselisihan muncul, investor dan OPIC kemungkinan menyerahkan hal tersebut pada mekanisme arbitrase. Setelah klaim dibayarkan, OPIC akan melaksanakan hak subrograsinya guna mengatasi negara tuan rumah dalam kesepakatan perjanjian jaminan investasi. Di Inggris melalui Export Credits Guarantee Departmen (ECGD) dengan dasar Undang-Undang Tahun 1961 tentang penjaminan Export dan Investasi, penjaminan diberikan hanya kepada investasi langsung yang baru dalam perusahaan asing guna mengatasi kerugian, pengambilalihan, pembatasan, pada pengiriman uang dan resiko-resiko politis tertentu yang mampu menunjang kelangsungan dari suatu sistem investasi. Kemudian, sebuah pengembangan terkini yang cukup signifikan dan memiliki kekuatan mengikat pada Konvensi Bank Dunia tentang Pendirian Lembaga Penjamin Investasi tahun 1985 ( The World Bank Convention Establishing the Multilateral Investment Guarentee Agency, MIGA). Pembentukan MIGA bertujuan untuk memberikan perlindungan atas investasi yang telah ditanamkan terhadap risiko politik di negara tuan rumah. Konvensi ini menawarkan bantuan berupa nasihat dan pelayanan standar negaranegara yang bermaksud meningkatkan kondisi dan arus investasi di negaranya. MIGA memberikan keuntungan berupa menggabungkan investasi dari banyak negara dan yang memudahkan akses pada cakupan yang lebih luas bagi para investor bukan sekedar sistem investasi nasional saja. Seluruh negara anggota Bank Dunia dapat bergabung dengan MIGA untuk mendapatkan jaminan terhadap risiko-risiko yang diatur berdasarkan MIGA. Cakupan perlindungan yang diberikan diperluas dalam hal terjadi pelanggaran kontrak perjanjian dengan memberikan perlindungan bagi investor terhadap resiko penyalahgunaan proses hukum yang mana hal tersebut mungkin terjadi melalui penyangkalan akses pada proses peradilan maupun forum arbitrase guna menentukan keabsahan gugatan pelanggaran yang dinyatakan leh negara tuan rumah. Kemudian perlindungan dikecualikan apabila negara tuan rumah bertindak dalam kepentingan masyarakat yang bertujuan pembentukan aturan mengenai aktivitas ekonomi dan urusan teritori seputar hal tersebut. Kemudian, Aturan Operasional MIGA menyatakan bahwa perlindungan mencakup, namun tidak terbatas pada ukuran ekspropriasi, nasionalisasi, konfiskasi, penyitaan, perampasan, lampiran serta pembekuan aset. Perlindungan yang diberikan termasuk investasi berupa saham dan investasi langsung non saham. Beragam bentuk dari investasi saham diberikan perlindungan terkait dengan legal formal terhadap proyek atau pembagian hasil yang diselenggarakan oleh pemohon guna menjamin. Sebagai contoh dari investasi langsung non saham yang dilindungi termasuk kontrak sharing produksi, kontrak pembagian keuntungan, kontrak manajemen, perjanjian franchise, perjanjian lisensi, perjanjian operasi leasing, dan bentuk-bentuk perjanjian lain yang direkomendasikan oleh presiden dan disetujui oleh anggota. 5. Penutup Bab ini telah mempertimbangkan beberapa area yang menjadi prinsip penting dalam hukum internasional yang menjadi standar hubungan antara investor asing dan negara tuan rumah. Walaupun telah ditetapkan standar tersebut, pertentangan antara doktrin dan normanorma kebiasaan tetap terjadi. Pertentangan tersebut pada hal-hal negosiasi ulang dan isu ekspropriasi, perjanjian ganti rugi berdasarkan lump sum dan jaminan sistem investasi. Hal tersebut di atas tentu saja merupakan dampak dari fenomena pasar bebas dan globalisasi ekonomi.