UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA UJI EFEK ANTIHIPERGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL 70% BIJI RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN DENGAN METODE INDUKSI ALOKSAN SKRIPSI FIKA HILMIYATU DURRY NIM. 1112102000070 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN JAKARTA 2016 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA UJI EFEK ANTIHIPERGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL 70% BIJI RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN DENGAN METODE INDUKSI ALOKSAN SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi FIKA HILMIYATU DURRY NIM. 1112102000070 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA 2016 ii iii iv v ABSTRAK Nama Program Studi Judul : Fika Hilmiyatu Durry : Farmasi : Uji Efek Antihiperglikemik Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) pada Tikus Putih Jantan dengan Metode Induksi Aloksan Rambutan (Nephelium lappaceum L.) merupakan salah satu tanaman yang banyak ditemui di Indonesia, di mana bijinya digunakan secara tradisional oleh masyarakat untuk menurunkan kadar glukosa darah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol 70% biji rambutan tehadap penurunan kadar glukosa darah dan perubahan histologi pankreas tikus diinduksi aloksan, serta terhadap penghambatan aktivitas enzim α glukosidase. Pada uji dengan metode induksi aloksan, tikus dibagi menjadi enam kelompok yaitu kontrol normal, kontrol positif, kontrol negatif, dan tiga kelompok uji diberi ekstrak dosis 80; 160; dan 320 mg/kgBB. Perlakuan dilakukan selama 21 hari, dimulai 7 hari setelah induksi aloksan dosis 150 mg/kgBB secara intraperitoneal. Pengukuran kadar glukosa darah puasa (GDP) dilakukan pada waktu sebelum induksi, hari ke0, 7, 14, dan 21 perlakuan. Pada hari ke-21 setelah pengukuran GDP, satu tikus dari tiap kelompok diambil organ pankreasnya untuk diamati secara histologi. Parameter pengamatan histologi yaitu penghitungan jumlah sel pulau langerhans pankreas. Untuk uji penghambatan enzim α glukosidase, tikus dibagi dalam tiga kelompok yaitu kontrol positif, kontrol negatif, dan kelompok ekstrak dosis 320 mg/kg BB. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan pada menit ke-0, 30, 60, 90, dan 120 setelah pemberian sukrosa. Hasil penelitian menunjukkan persentase penurunan kadar GDP pada dosis ekstrak 80; 160; dan 320 mg/kgBB yaitu 42,10%, 48,83%, 57,36% sedangkan pada kontrol positif yaitu 63,96%. Pada pengamatan histologi, tikus kelompok ekstrak 320 mg/kgBB memiliki jumlah sel pada langerhans pankreas yang hampir sama dengan kelompok kontrol positif. Pada uji penghambatan enzim α glukosidase, ekstrak dosis 320 mg/kgBB terbukti mampu menghambat peningkatan kadar glukosa darah postprandial tikus dengan lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Penelitian ini membuktikan bahwa ekstrak etanol biji rambutan memiliki efek antihiperglikemia dan berpotensi dalam pengobatan diabetes. Kata Kunci : Antihiperglikemia, aloksan, glukosidase, Nephelium lappaceum L. vi biji rambutan, histologi, α ABSTRACT Name Major Title : Fika Hilmiyatu Durry : Pharmacy :Antihyperglycemic Activity of 70% Ethanolic Extract of Rambutan Seed (Nephelium lappaceum L.) in Alloxan Induced White Male Rats Rambutan (Nephelium lappaceum L.) is one of the local plant from Indonesia that its seed used traditionally to decrease blood glucose level. This study aim to know the affect of 70% ethanolic extract of rambutan seed in lowering blood glucose level and pancreatic histology of alloxan induced rats and α glucosidase enzyme blocking activity. For alloxan induced method, 30 rats divided into six groups, normal control, positive control, negative control, and test groups were treated with extract in three different dose:80, 160, and 320 mg/kg BB. Before treatment, rats were induced by alloxan at a dose of 150 mg/kgBB, intraperitoneally. After 7 days of induction, rats were treated orally for 21 days. Blood glucose measurement performed before induction, day 0, 7, 14, and 21 after treatment. At 21st day treatment after measuring blood glucose level, one rat from each groups were sacrificed and the pancreas was taken to be observed histologically. Histology observation parameter was to calculate the cell in rat’s pancreas islet. In α glucosidase enzyme blocking activity test, rats divided into three groups, positive control, negative control, test group treated with extraxt at dose 320 mg/kgBB. Blood glucose level then measured at 0 30, 60, 90, and 120 minutes after sucrose treatment. Result showed that extract ethanol of rambutan seed can control blood glucose level. Percentage of decreasing blood glucose level of glybenclamide and extract treatment at doses 80, 160, and 320 mg/kgBB are 63.96%, 42.10%, 48.83%, and 57.36% respectively. As the result of histological study, rat which treated with extract at dose 320 mg/kg BB has similar amount of islet cell with positive control group. In α glucosidase enzyme blocking activity test, the result shows that extract at dose 320 mg/kgBB can inhibit the rising of postprandial blood glucose level faster than positive control. This study proved that 70% ethanolic extract of rambutan seed has antihyperglycamic effect and potential as diabetic treatment. Keyword : Antihyperglycemic, alloxan, rambutan seed, histology, α glucosidase, Nephelium lappaceum L. vii KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi. Serta shalawat dan salam untuk baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa petunjuk bagi seluruh umat manusia, semoga kelak kita mendapatkan syafaat beliau. Skripsi ini berjudul “Uji Efek Antihiperglikemik Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) pada Tikus Putih Jantan dengan Metode Induksi Aloksan” yang telah diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada: 1. Bapak Yardi, Ph.D., Apt dan Bapak Drs. Ahmad Musir, M. Sc., Apt. selaku pembimbing yang memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Arief Sumantri, M. Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dr. Nurmeilis, M. Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak dan ibu dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis. 5. Para staf karyawan dan laboran Program Studi Farmasi yang telah banyak membantu selama berlangsungnya penelitian ini. 6. Bapak H. Khariri Machmud dan Ibu Nanik Nikmatus Sa’diyah yang selalu menjadi orang tua terhebat yang telah berjuang keras membantu, mendo’akan dan mendukung penulis dengan sepenuh hati. Serta kakak Mayli Faroh Nabila yang selalu memberikan doa dan semangat. 7. Sahabat seperjuangan selama kuliah, geng 99 Ummi Habibah, Santi Susilawati, dan Addina Syahida. Terima kasih atas semua kebaikan, viii perhatian, semangat, bantuan, dan do’a selama masa perkuliahan dan penelitian. 8. Teman seperjuangan penelitian Farmakologi 2012 terima kasih atas segala bantuan dan semangat selama penelitian berlangsung. 9. Teman-teman Farmasi 2012, terkhusus untuk Farmasi AC yang banyak membantu penulis selama masa perkuliahan. 10. Umi Kulsum, Afra, Noni, Endang, Niha (Farmasi 2012), dan Irma (Hubungan Internasional 2012). Terima kasih atas segala bantuan selama penelitian berlangsung. 11. Teman-teman Reenable JJBB yang tiada henti memberikan doa, semangat, dan hiburan selama kepada penulis. 12. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembaca pada umumnya. Ciputat, Desember 2016 Penulis ix x DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ......................................................................................................i HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................ Error! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN ............................................. Error! Bookmark not defined. ABSTRAK .......................................................................................................................vi ABSTRACT .................................................................................................................... vii KATA PENGANTAR .................................................................................................. viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...... Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI ...................................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .........................................................................................................xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1 1.1. Latar belakang .............................................................................................1 1.2. Rumusan masalah........................................................................................3 1.3. Hipotesa ......................................................................................................3 1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................3 1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................................3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................4 2.1. Rambutan ....................................................................................................4 2.1.1. Klasifikasi Tanaman .................................................................... 4 2.1.2. Nama lain ..................................................................................... 4 2.1.3. Morfologi ..................................................................................... 5 2.1.4. Persebaran .................................................................................... 5 2.1.5. Kandungan Kimia ........................................................................ 5 2.1.6. Penggunaan .................................................................................. 6 2.1.7. Literatur Review .......................................................................... 6 2.2. Hewan coba .................................................................................................9 2.3. Ekstrak dan Ekstraksi ................................................................................ 10 2.3.1. Ekstrak ....................................................................................... 10 2.3.2. Ekstraksi .................................................................................... 10 2.3.3. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut ..................................... 11 2.4. Diabetes Mellitus ...................................................................................... 13 2.4.1. Definisi ...................................................................................... 13 2.4.2. Klasifikasi .................................................................................. 13 2.4.3. Etiologi dan Patofisiologi ........................................................... 14 2.4.4. Faktor risiko ............................................................................... 16 2.4.5. Gejala ......................................................................................... 16 2.4.6. Diagnosa .................................................................................... 17 xi 2.4.7. Tatalaksana ................................................................................ 17 Peranan Pankreas dalam mengatur Metabolisme Glukosa ........................ 20 Aloksan ..................................................................................................... 21 Glibenklamid ............................................................................................. 22 Metode Pengujian Diabetes ....................................................................... 24 2.9.1. Metode Induksi oleh Bahan Kimia ............................................. 24 2.9.2. Metode Toleransi Glukosa ......................................................... 24 2.10. Metode Pengukuran Kadar Glukosa Darah ............................................... 24 2.10.1. Metode Oksidasi Reduksi .......................................................... 24 2.10.2. Metode Kondensasi .................................................................... 25 2.10.3. Metode Enzimatik ...................................................................... 25 2.11. Glukometer ............................................................................................... 25 2.5. 2.6. 2.7. 2.9. BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 28 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 28 3.2. Alat dan Bahan .......................................................................................... 28 3.2.1. Alat ............................................................................................ 28 3.2.2. Bahan ......................................................................................... 28 3.3. Prosedur Kerja ........................................................................................... 29 3.3.1. Penyiapan Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan .......................... 29 3.3.2. Penapisan Fitokimia ................................................................... 30 3.3.3. Pengujian Parameter Spesifik Ekstrak ........................................ 31 3.3.4. Pengujian Parameter Non Spesifik Ekstrak ................................ 31 3.3.5. Uji Antihiperglikemik ................................................................ 32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 39 4.1. Determinasi Tanaman ............................................................................... 39 4.2. Penyiapan Sampel ..................................................................................... 39 4.3. Ekstraksi Biji Rambutan ............................................................................ 39 4.4. Penapisan Fitokimia .................................................................................. 40 4.5. Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak ........................................... 42 4.6. Uji Efek Antihiperglikemik ....................................................................... 43 4.6.1. Metode Induksi Aloksan ............................................................ 43 4.6.2. Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α Glukosidase .................... 49 4.6.2. Pengamatan Histologi Pankreas ................................................. 51 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................... 55 5.1. Kesimpulan ............................................................................................... 55 5.2. Saran ......................................................................................................... 55 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 56 LAMPIRAN 61 xii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 4.1. Buah Rambutan Parakan .............................................................................4 Struktur Aloksan .......................................................................................21 Struktur Glibenklamid ...............................................................................22 Struktur akarbosa ......................................................................................23 Strip glukometer ........................................................................................26 Gambaran Histologi Pankreas Tikus Uji ...................................................52 xiii DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Tabel 3.1. Tabel 3.2. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 4.6. Tabel 4.7. Kriteria Diagnosa Diabetes Mellitus ............................................................17 Kelompok Perlakuan Hewan Uji .................................................................32 Kelompok Perlakuan Uji Toleransi Glukosa Oral ........................................33 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 70% ...........................................40 Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan ..42 Kadar glukosa darah pada uji pendahuluan ..................................................44 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Kadar Glukosa Darah Tikus ....................46 Persentase Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus .....................................46 Rata-Rata dan Standar Deviasi Kadar Glukosa Darah .................................50 Jumlah Sel Pulau Langerhans Pankreas Tikus Uji .......................................53 xiv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12 Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Halaman Determinasi Biji Rambutan .......................................................................62 Surat Keterangan Kesehatan Hewan .........................................................63 Surat CoA Aloksan ...................................................................................64 Alur Pembuatan Ekstrak ............................................................................65 Alur Aklimatisasi Hewan ..........................................................................66 Alur Kerja Uji Induksi Aloksan ................................................................67 Alur Kerja Uji Toleransi Glukosa .............................................................68 Perhitungan Dosis .....................................................................................69 Penapisan Fitokimia Ekstrak .....................................................................72 Gambar Kegiatan Penelitian ......................................................................74 Perhitungan Rendemen, Kadar Air, dan Kadar Abu Ekstrak .....................75 Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Pendahuluan ...........................................76 Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Induksi Aloksan .....................................77 Kadar Glukosa Uji Penghambatan Aktivitas Enzim α Glukosidase ..........78 Persentase Penurunan Kadar Glukosa Darah Uji Induksi Aloksan ............79 Analisis Kadar Glukosa Darah Uji Induksi Aloksan .................................80 Analisis Kadar Glukosa Darah Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α Glukosidase ...............................................................................................87 Foto Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Induksi Aloksan 91 Foto Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α Glukosidase ........................................................96 xv BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan kondisi gangguan metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa di dalam darah (hiperglikemia) dan beresiko menyebabkan kerusakan mikrovasular seperti retinopati, nefropati, dan neuropati (WHO, 2006). Tingginya kadar glukosa darah pada pasien diabetes berkaitan dengan adanya gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (DiPiro, 2005). Diabetes merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas atau disebabkan oleh resistensi insulin sehingga tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang telah dihasilkan secara efektif. Diabetes dan komplikasinya merupakan penyebab kematian utama di banyak negara di dunia, terutama pada negara-negara berkembang. Berdasarkan International Diabetes Federation (IDF) Diabetes Atlas, pada tahun 2015 satu di antara 11 orang dewasa di dunia menderita diabetes dan diperkirakan pada tahun 2040 akan menjadi satu di antara 10 orang dewasa. Di antara penderita diabetes ini IDF memperkirakan sebanyak 193 juta di antaranya atau bisa dikatakan salah satu di antara dua orang yang terkena diabetes, merupakan penderita diabetes yang tidak terdiagnosa sehingga resiko komplikasi akan lebih besar. Pada tahun 2015 diabetes gestasi terjadi pada satu diantara tujuh kelahiran dan sebanyak 542.000 anak menderita diabetes tipe 1. Di Indonesia, besar angka kejadian diabetes yang terdiagnosa berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yaitu sebesar 1,5%. Menurut WHO hingga tahun 2014 angka kejadian diabetes di Indonesia mencapai 7 % (WHO, 2016). Dan pada tahun 2015 berdasarkan IDF Diabetes Atlas, jumlah penderita diabetes di Indonesia yaitu sebanyak 6,2% atau sekitar 15 juta orang. Dengan sekitar 5,2 juta orang di antaranya merupakan pasien diabetes yang tidak terdiagnosa. . 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 Kadar gula darah yang tinggi dapat merusak sistem organ dalam tubuh serta menyebabkan serangan jantung, stroke, gagal ginjal, kebutaan, impotensi dan infeksi yang dapat menyebabkan amputasi. Dampak diabetes tersebut dapat diminimalkan jika kadar gula darah dikontrol dengan baik. Pasien diabetes tipe 1 bisa menghindari komplikasi jika menjaga kadar gula darah dengan ketat (WHO, 2015). Pengontrolan kadar gula darah dapat dilakukan dengan penggunaan insulin serta mengonsumsi obat antidiabetes oral (Depkes RI, 2005). Kadar gula darah juga dapat dikontrol menggunakan obat herbal (Hosseini, 2015), dibuktikan dengan berbagai penelitian terkait manfaat fitoterapi terhadap manajemen diabetes (Ghorbani, 2013). Di Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati yang begitu luas, memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan fitoterapi sebagai obat antidiabetes. Rambutan (Nephelium lappaceum L.) yang banyak ditemui di Indonesia, juga telah menarik peneliti untuk mengeksplorasi aktivitas terapeutik dari tanaman ini, termasuk sebagai antihiperglikemik. Penelitian yang dilakukan oleh Afika (2015) membuktikan bahwa pemberian ekstrak etanol biji rambutan selama 7 hari dapat menurunkan kadar gula darah puasa mencit model diabet, dengan dosis optimal yaitu 23,4 mg/kgBB. Pada penelitian yang dilakukan Syifa (2008) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol biji rambutan dosis 50, 100, dan 200 mg/kgBB selama 7 hari memiliki kemampuan yang sama dengan glibenklamid dalam menurunkan kadar gula darah puasa tikus jantan yang diinduksi aloksan. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2013) menyatakan bahwa pada mencit yang diberikan air seduhan biji rambutan dalam dosis tinggi (3,12 g/kgBB), jumlah sel β pankreas yang hidup hampir sama dengan jumlah sel β yang hidup jika diberikan glibenklamid 0,65 mg/kgBB.` Berdasarkan dari penelitian yang sebelumnya sudah pernah dilakukan, maka pada penelitian ini akan dilakukan penelitian lanjutan uji efek antidiabetes dari ekstrak etanol 70% biji rambutan. Pada penelitian ini peneliti akan menguji pengaruh ekstrak etanol 70% biji rambutan terhadap penurunan kadar glukosa darah dan perubahan histologi pankreas tikus yang diinduksi aloksan setelah pemberian ekstrak selama 21 hari. Selain itu peneliti juga melakukan pengamatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 pengaruh ekstrak etanol 70% biji rambutan terhadap penghambatan enzim α glukosidase. 1.2. Rumusan masalah Apakah pemberian ekstrak etanol 70% biji rambutan memiliki efek tehadap penurunan kadar glukosa darah tikus dan perubahan histologi pankreas tikus yang diinduksi aloksan serta terhadap penghambatan aktivitas enzim α glukosidase? 1.3. Hipotesa Ekstrak etanol 70% biji rambutan memiliki efek tehadap penurunan kadar glukosa darah tikus dan perubahan histologi pankreas tikus yang diinduksi aloksan serta terhadap penghambatan aktivitas enzim α glukosidase. 1.4. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol 70% biji rambutan tehadap penurunan kadar glukosa darah tikus dan perubahan histologi pankreas tikus yang diinduksi aloksan serta terhadap penghambatan aktivitas enzim α glukosidase. 1.5. Manfaat Penelitian a. Secara Teoritis Hasil penelitian ini dapat mengembangkan ilmu pengetahuan tentang ekstrak biji rambutan yang digunakan sebagai antihiperglikemia. b. Secara Aplikatif Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi sebagai landasan ilmiah untuk mengembangkan obat tradisional terutama sebagai antihiperglikemia. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rambutan 2.1.1. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan ilmu taksonomi, klasifikasi rambutan parakan adalah sebagai berikut (ITIS): Kingdom : Plantae Subkingdom : Viridiplantae Divisi : Tracheophyta Subdivisi : Spermatophytina Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Suku : Sapindaceae Marga : Nephelium L. Jenis : Nephelium lappaceum L. Varietas : Parakan 2.1.2. Gambar 2.1. Buah Rambutan Parakan Sumber: Dokumen pribadi Nama lain (Dalimartha, 2003) Di Indonesia rambutan dikenal dengan berbagai nama, antara lain: Sumatera : Rambutan, rambot, rambut, rambuteun, rambuta, jailan, folui, bairabit, puru biancak, puru biawak, hahujam, kakapas, likis, takujung alu Jawa : Rambutan, corogol, tundun, bunglon, buwa buluwan Kalimantan : Rambutan, siban, banamon, beriti, sanggalaong, sagalong, beliti, maliti, kayokan, bengayau, puson Sulawesi : Rambutan, rambuta, rambusa, barangkasa, bolangkat, balatu, balatung, walatu, wayatu, wulangas, lelamu, lelamun, toleang Maluku : Rambutan, rambuta Rambutan juga dikenal dengan beberapa bahasa asing dengan nama Shao tzu (China), rambutan (Bahasa Tagalog), dan ramustan (bahasa Spanyol). 4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5 2.1.3. Morfologi Rambutan merupakan tumbuhan tropis yang tumbuh pada iklim lembab dengan curah hujan tahunan paling sedikit 2.000 mm. Pohon rambutan mampu tumbuh hingga ketinggian 15-25 m dan mempunyai banyak cabang. Terdapat beberapa jenis buah rambutan, anatara lain ropiah, parakan, simacan, sinyonya, lebakbulus, dan binjei (Dalimartha, 2003). Rambutan parakan memiliki daunnya bulat cuspidate berujung lancip serta bertangkai pendek. Daun berwarna hijau tua dengan panjang 14-16 cm dan lebar 4-5 cm. Bunga rambutan parakan berbentuk bulat kuning dengan warna kekuningan (Departemen Pertanian, 2003). Rambutan berbunga pada akhir musim kemarau dan berbuah pada musim hujan yaitu antara bulan November-Februari. (Dalimartha, 2003). Buah rambutan parakan memiliki bentuk lonjong dengan warna buah masak yaitu merah kehitaman serta rambut buah berwarna merah dan kaku. Daging buah berwarna putih kekuningan mudah terkelupas dari bijinya yang berbentuk lonjong. Rasanya manis dan tidak banyak mengandung banyak air (Departemen Pertanian, 2003). 2.1.4. Persebaran Rambutan merupakan tanaman asli Malaysia dan Indonesia. Tanaman ini banyak ditanam di Asia Tenggara sejak lama. Hingga kini tanaman rambutan juga ditanam di India, Sri Lanka, dataran rendah di Amerika Selatan, Australia utara, Papua Nugini, kepulauan Pasifik dan Hawaii (Lim, 2012) 2.1.5. Kandungan Kimia Kulit batang rambutan mengandung tanin, saponin, flavonoid, dan zat besi. Daun rambutan mengandung tanin dan saponin. Buah rambutan mengandung karbohidrat, protein, lemak, fosfor, besi, kalsium, dan vitamin C (Dalimartha, 2003). Kulit buahnya mengandung tanin, dengan senyawa yang memiliki konsentrasi terbesar yaitu geraniin (Thitilertdecha, 2010). Terdapat beberapa penelitian yang telah melakukan penapisan fitokimia ekstrak biji rambutan, antara lain pada penelitian yang dilakukan oleh Elya (2015) yang menunjukkan bahwa biji rambutan mengandung alkaloid, flavonoid, dan glikosida. Uji kandungan metabolit sekunder biji rambutan pada penelitian oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6 Yuda (2015) menunjukkan hasil positif terhadap senyawa fenol, flavonoid, dan tannin. Dan pada penelitian oleh Soeng (2015) menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji rambutan mengandung triterpenoid, terpenoid, alkaloid, dan fenol. 2.1.6. Penggunaan Bagian tanaman yang digunakan yaitu kulit buah, kulit kayu, daun, biji, dan akarnya. Kulit buah rambutan digunakan sebagai terapi disentri dan demam. Kulit kayu sebagai terapi sariawan, daunnya digunakan sebagai terapi diare dan untuk menghitamkan rambut, akarnya digunakan sebagai terapi demam. Sedangkan biji rambutan digunakan pada terapi diabetes melitus (Dalimartha, 2003) 2.1.7. Literatur Review Berikut merupakan beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang efek antihiperglikemik biji rambutan. 2.1.7.1. Efek Ekstrak Etanol Biji Rambutan (Nephelium Lappaceum L.) dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah Puasa Mencit Model Diabet (Afika, 2015) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek ekstrak etanol biji rambutan terhadap kadar glukosa darah puasa (GDP) mencit yang diinduksi aloksan. Uji dilakukan terhadap 25 ekor mencit jantan galur Swiss Webster, yang dibagi ke dalam lima kelompok. Kelompok I sebagai kontrol negatif, kelompok II diberi glibenklamid 0,65 mg/kgBB. Kelompok III IV, dan V sebagai kelompok uji, diberikan ekstrak etanol biji rambutan dengan dosis berturut-turut sebesar 11,7 mg/kgBB, 23,4 mg/kgBB, dan 46,8 mg/kgBB. Perlakuan diberikan secara peroral selama 7 hari, dengan sebelumnya mencit telah diinduksi dengan aloksan dengan dosis 3,36 mg/kg BB. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan sebelum induksi, 3 hari setelah induksi, dan setelah 7 hari perlakuan. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji rambutan terbukti menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan, dengan rata-rata penurunan GDP pada kelompok II, III, IV, V berturut-turut adalah 55 mg/dL, 24,9 mg/dL, 38,2 mg/dL, dan 37,4 mg/dL. Sehingga disimpulkan bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7 ekstrak etanol biji rambutan dapat menurunkan kadar GDP dengan dosis optimal 23,4 mg/kgBB. 2.1.7.2. Potensi Ekstrak Etanol Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Jantan yang Diinduksi Aloksan (Syifa, 2008) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi ekstrak etanol biji rambutan sebagai penurun kadar glukosa darah puasa pada tikus Sprague Dawley jantan yang telah diinduksi aloksan. Parameter yang diukur yaitu kadar glukosa darah puasa yang ditetapkan dengan metode Glucose Oxidative-Phenyl Aminoantipirin (GOD-PAP). Hewan uji dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok I (kontrol normal), kelompok II (kontrol positif), kelompok III (kontrol negatif), kelompok IV, V, dan VI (perlakuan variasi dosis ekstrak). Ekstrak etanol biji rambutan didapat dengan metode ekstraksi perkolasi, diberikan pada tikus selama 7 hari melalui per oral dengan dosis 50, 100, dan 200 mg/kg BB dimulai 48 jam setelah induksi dengan aloksan (dosis 125 mg/kg melalui subkutan). Hasil analisa Paired Samples T-Test (p<0,05) menunjukkan adanya pengaruh induksi aloksan terhadap kenaikan kadar GDP. Persentase penurunan kadar GDP setelah pemberian ekstrak biji rambutan dosis 50, 100 dan 200 mg/kg berturut-turut yaitu 48,114%; 47,747 %; dan 49,882 %. Analisa One Way ANOVA (p>0,05) yang dilanjutkan dengan uji Tukey menunjukkan ketiga dosis ekstrak etanol biji rambutan ini memiliki kemampuan yang sama dengan glibenklamid dalam menurunkan kadar GDP tikus jantan yang diinduksi aloksan. Analisa correlative bivariate (p>0,01) menunjukkan adanya korelasi yang searah antara peningkatan dosis ekstrak dengan presentase penurunan kadar GDP tikus. 2.1.7.3. Pengaruh Air Seduhan Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) terhadap Glukosa Darah dan Histologi Pankreas Mencit yang diinduksi Aloksan (Rahayu, 2013) Penelitian ini dilakukan untuk menguji efek seduhan biji rambutan terhadap penurunan kadar glukosa darah dan berat badan mencit. Uji dilakukan terhadap 30 ekor mencit yang terbagi menjadi 6 kelompok. Kelompok I sebagai kelompok normal, kelompok II sebagai kontrol negatif, kelompok III sebagai UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 kontrok positif, kelompok IV, V, dan VI sebagai kelompok uji yang diberi infusa biji rambutan dengan dosis masing-masing sebesar 1,56 g/kgBB, 2,34 g/kgBB, dan 3,12 g/kgBB. Perlakuan diberikan selama 16 hari, setelah mencit dinyatakan diabetes akibat pemberian aloksan dosis 250 mg/kgBB. Gula darah puasa diperiksa setiap 4 hari yaitu pada hari ke 1, 4, 8, 12, dan 16 menggunakan glukometer. Dilakukan pula pengukuran berat badan tikus setiap 2 hari sekali. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa air seduhan biji rambutan dapat menurunkan kadar gula darah serta berat badan mencit secara signifikan. Pemeriksaan histologi pankreas mencit dilakukan terhadap kelompok perlakuan dan menunjukkan bahwa pada mencit yang diberikan air seduhan biji rambutan dalam dosis tinggi (3,12 g/kgBB), jumlah sel β pankreas yang hidup hampir sama dengan jumlah sel β yang hidup jika diberikan glibenklamid. Sehingga disimpulkan bahwa khasiat air seduhan biji rambutan dosis 3,12 gram/kg BB tidak berbeda secara signifikan dengan glibenklamid 0,65 mg/kg BB. 2.1.7.4. Kandungan Metabolit Sekunder dan Efek Penurunan Glukosa Darah Ekstrak Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) pada Mencit (Mus musculus) (Yuda, 2015) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder, aktivitas, dan dosis efektif ekstrak biji rambutan terhadap penurunan kadar glukosa darah mencit. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut metanol. Ekstrak yang telah didapat diuji kandungan metabolit sekundernya menggunakan reaksi warna serta dilakukan uji aktivitas penurunan kadar glukosa darah hewan uji. Uji dilakukan terhadap 20 ekor mencit jantan yang dibagi dalam 4 kelompok uji. Dosis yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebesar 0,05 mg/20 g BB, 0,09 mg/20 g BB, dan 0,18 mg/20 g BB. Sebelum diberikan ekstrak, semua hewan coba diberi aloksan secara intraperitonial dengan dosis sebesar 150 mg/Kg BB mencit. Setelah diberikan aloksan, kemudian dilanjutkan dengan uji toleransi glukosa oral. Pemberian toleransi glukosa secara oral ini tujuannya agar hewan uji mengalami diabetes. Pemberian toleransi glukosa dilakukan selama 3 hari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 9 berturut-turut dengan volume pemberian 0,5 mL. Mencit yang digunakan pada penelitian ini yaitu mencit dengan kadar gula darah lebih dari 200 mg/dL. Pemberian ekstrak dimulai setelah mencit dinyatakan mengalami hiperglikemia. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan pada hari ke-0, 4, dan 8 menggunakan alat glukometer. Data yang didapat dianalisa menggunakan uji statistik ANAVA satu arah, dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur Duncan (BNJD). Berdasarkan hasil pengujian kandungan metabolit sekunder, diketahui bahwa ekstrak mengandung senyawa fenol, flavonoid, dan tannin. Berdasarkan pengujian kadar glukosa darah, ekstrak biji rambutan terbukti memiliki aktivitas penurunan kadar glukosa darah. Hasil analisa ANAVA satu arah dan dilanjutkan dengan uji lanjutan BNJD menunjukan bahwa dosis 0,09 mg/ 20 g BB merupakan dosis efektif sebagai penurunan kadar glukosa darah. 2.2. Hewan coba Pada penelitian ini digunakan hewan coba tikus putih galur sprague dawley. Berdasarkan taksonomi, klasifikasi tikus galur sprague dawley yaitu sebagai berikut (ITIS): Kingdom : Animalia Subkingdom : Bilateria Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mammalia Subkelas : Theria Ordo : Rodentia Subordo : Myomorpha Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus Species : Rattus norvegicus Galur : Sprague Dawley UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 Tikus jenis ini memiliki panjang hingga 400 mm, dengan bobot bervariasi antara 140 hingga 500 g (Armitage, 2004). Tikus galur sprague dawley memiliki bulu putih, dengan bentuk kepala yang sempit dan panjang. Tikus ini memiliki laju reproduksi yang tinggi serta kejadian tumor spontan juga rendah. Penanganan tikus mudah dan cenderung tenang sehingga sering digunakan sebagai hewan coba di laboratorium (Johnson, 2012). Tikus juga terbukti sensitif terhadap induksi dengan aloksan yang bermanfaat pada uji efek antihiperglikemik (Tyrberg, 2001). 2.3. Ekstrak dan Ekstraksi 2.3.1. Ekstrak Menurut Farmakope Indonesia edisi 4, ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi standar yang telah ditetapkan. 2.3.2. Ekstraksi Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia dengan pelarut cair sehingga akan terpisah dari bahan-bahan yang tidak larut (Depkes RI, 2000). Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Mukhriani, 2014). Pelarut dan metode ekstraksi harus disesuaikan dengan struktur kimia senyawa yang dikandung simplisia, yang nantinya akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan derajat keasaman (Depkes RI, 2000). Faktor utama untuk pertimbangan dalam pemilihan cairan penyari antara lain selektivitas, kemudahan bekerja dan proses menggunakan cairan tersebut, ekonomis, ramah lingkungan, serta keamanan cairan penyari. Cairan pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau disebut juga pharmaceutical grade (Depkes RI, 2000). Cairan pelarut yang digunakan disesuaikan untuk penyarian selektif atau total. Pada ekstraksi selektif, simplisia diekstraksi menggunakan pelarut dengan polaritas yang sesuai. Pelarut non polar untuk menyari senyawa lipofilik, pelarut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 11 dengan kepolaran sedang menyari senyawa dengan kepolaran sedang, dan pelarut polar menyari senyawa yang lebih polar. Ekstraksi selektif juga bisa dilakukan menggunakan pelarut dengan polaritas bertingkat. Ekstraksi total dilakukan bertujuan untuk menyari senyawa metabolit sekunder sebanyak mungkin dengan memanfaatkan kemampuan pelarut alkohol meningkatkan permeabilitas dinding sel, sehingga dapat menyari senyawa dengan kepolaran tinggi, sedang, maupun rendah. Ekstraksi total dilakukan menggunakan cairan pelarut organik polar, misalnya etanol, metanol, atau campuran alkohol-air (Sarker (ed), 2006). 2.3.3. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut Berdasarkan suhu selama proses ekstraksi, metode ekstraksi menggunakan pelarut dapat dibedakan menjadi cara panas dan cara dingin. 1. Cara dingin a. Maserasi Maserasi dilakukan dengan cara bahan tanaman yang akan diekstraksi diletakkan dalam wadah tertutup dan ditambahkan dengan pelarut yang sesuai (Handa, 2008). Proses pengekstraksian simplisia dilakukan pada suhu kamar, dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan (Depkes RI, 2000). Maserasi dilakukan dalam waktu minimal 3 hari, setelah itu cairan dipisahan dari bahan padat melalui proses filtrasi sehingga didapat maserat (Handa, 2008). Maserat dipekatkan dengan cara diuapkan pelarutnya hingga didapat ekstrak kental. Kemudian dilakukan remaserasi yang berarti dilakukan pengulangan maserasi setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes RI, 2000). Pada metode maserasi, ekstraksi berlangsung secara lambat melalui proses difusi. Pengocokan atau pengadukan yang dilakukan bertujuan untuk menggantikan cairan jenuh yang berada di sekitar permukaan partikel bahan tanaman dengan pelarut yang belum jenuh. Ekstraksi dilakukan pada wadah tertutup untuk mencegah penguapan pelarut (Handa, 2008). b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi yang dilakukan pada suhu ruang, dengan pelarut yang selalu baru sampai semua senyawa kimia terekstrak sempurna. (Depkes RI, 2000). Pada ekstraksi dengan cara perkolasi, mula-mula simplisia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 12 direndam dengan pelarut dan di atasnya juga ditambahkan dengan pelarut. Kemudian pelarut akan mengalir melewati simplisia dan menetes melalui bagian bawah percolator. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam ekstraksi dengan perkolasi antara lain kepadatan simplisia yang diletakkan dalam perkolator serta laju alir pelarut dalam perkolator. Simplisia yang terlalu padat dalam perkolator akan sulit dialiri oleh pelarut sehingga ekstraksi tidak berjalan maksimal sedangkan laju alir akan menentukan waktu kontak antara simplisia dan pelarut (Sarker (ed), 2006). 2. Cara panas a. Refluks Refluks adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan pelarut pada titik didihnya selama waktu tertentu. Jumlah pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi dengan refluks relatif konstan karena adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000). b. Soxhlet Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000). Keuntungan ekstraksi dengan sokletasi yaitu adanya proses yang kontinu, sehingga sokletasi cenderung hemat waktu dan hemat pelarut dibanding maserasi maupun perkolasi (Sarker (ed), 2006). c. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur di atas suhu ruang, biasanya pada suhu 40-500C (Depkes RI, 2000). d. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air dengan temperatur dan waktu tertentu (15-20 menit). Bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, di mana temperatur terukur 96-980C (Depkes RI, 2000). Kelemahan metode ini yaitu mudah terkontaminasi dengan jamur dan bakteri (Handa, 2008). e. Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama, yaitu ≥ 30 menit dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 2.4. Diabetes Mellitus 2.4.1. Definisi Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Diabetes disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya, sehingga menyebabkan ketidaknormalan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi kronis pada mikrovaskular, makrovaskular, serta neuropati (Sukandar, 2009). 2.4.2. Klasifikasi Diabetes mellitus dapat dibedakan berdasarkan etiologinya yaitu diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes gestasi, serta diabetes tipe lain. 1. Diabetes Tipe 1 Diabetes tipe ini disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas akibat reaksi autoimun sehingga terjadi defisiensi insulin secara absolut. Reaksi autoimun umumnya terjadi setelah waktu yang panjang (9-13 tahun) dan ditandai dengan adanya parameter sistem imun. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya autoimun ini masih belum diketahui (Sukandar, 2009). Diabetes tipe 1 populasinya sangat sedikit, yaitu sekitar kurang dari 5-10% dari semua populasi diabetes (Depkes RI, 2005). 2. Diabetes Tipe 2 DM tipe dua ditandai dengan adanya resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Tanda resistensi insulin yaitu adanya peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, serta penurunan pengambilan glukosa pada otot skelet. DM tipe dua merupakan jenis diabetes yang lebih umum terjadi dibanding diabetes tipe 1, yaitu terjadi pada 9095% dari semua kasus diabetes dan lebih disebabkan oleh gaya hidup penderita seperti kurang olahraga, kelebihan kalori, dan obesitas (Sukandar, 2009). 3. Diabetes Gestasi Merupakan intoleransi glukosa yang terjadi saat kehamilan. Diabetes gestasi dapat terjadi 7% dari semua kehamilan. Terapi diabetes gestasi perlu dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas perinatal (DiPiro, 2005). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 14 4. Diabetes Tipe Lain Diabetes tipe lain merupakan diabetes yang tejadi dikarenakan defek genetik fungsi sel β pankreas, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, diabetes karena obat atau zat kimia, serta diabetes karena infeksi (Sukandar, 2009). 2.4.3. Etiologi dan Patofisiologi 1. Diabetes Mellitus Tipe 1 Penderita diabetes tipe 1 mengalami gangguan produksi insulin yang disebabkan adanya kerusakan pada sel yang mensekresikan insulin, yaitu sel β pankreas. Hal ini disebabkan adanya reaksi autoimun yang bisa dipicu oleh faktor lingkungan, misalnya karena paparan virus dan toksin pada individu yang rentan secara genetik. Destruksi yang disebabkan autoimun pada sel β pankreas akan mengakibatkan penurunan sekresi insulin (Koda-Kimble (ed), 2009). Penurunan kadar insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme pada diabetes tipe 1. Diabetes tipe 1 dihubungkan dengan beberapa jenis antibodi, yaitu Islet Cell Cytoplasmic Antibodies (ICCA), Islet Cell Surface Antibodies (ICSA), dan antibodi terhadap Glutamic Acid Decarboxylase (GAD) (Depkes RI, 2005). ICCA merupakan antibodi yang cukup akurat untuk mengenali pasien diabetes tipe 1. Hampir 90% pasien DM tipe 1 di dalam darahnya terdapat ICCA, dimana pada tubuh non diabetik frekuensi adanya ICCA hanya 0,5-4% saja. ICCA tidak spesifik dikenali oleh sel β saja pada pulau langerhans, tetapi juga dapat dikenali oleh sel lain, yaitu sel α dan sel δ pulau langerhans pada pankreas. Namun, serangan autoimun secara selektif hanya menghancurkan sel-sel β (Depkes RI, 2005). ICSA atau antibodi terhadap antigen permukaan sel ditemukan pada 80% penderita DM tipe 1 serta pada beberapa penderita DM tipe 2. Antibodi terhadap enzim GAD ditemukan pada 80% pasien yang baru didiagnosis positif menderita diabetes tipe 1. Adanya antibodi anti-GAD ini merupakan prediktor untuk DM tipe 1, khususnya pada populasi yang berisiko tinggi (Depkes RI, 2005). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 15 Sel β pankreas normal mampu mensekresikan insulin jauh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mengontrol metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Inilah mengapa pada mulanya pasien DM tipe 1 tidak merasakan gejala meskipun sel β pankreas mulai mengalami kerusakan. Efek hiperglikemia baru terlihat saat sel β pankreas telah berkurang sebanyak 80-90%. Reaksi autoimun ini biasanya mulai berkembang pada masa anak-anak atau pada awal masa dewasa. Dalam waktu kurang dari 8-10 tahun kerusakan telah terjadi pada seluruh sel β pankreas sehingga menyebabkan defisiensi insulin absolut (Koda-Kimble (ed), 2009). 2. Diabetes Mellitus Tipe 2 Etiologi diabetes tipe 2 merupakan multifaktor yang masih belum sepenuhnya jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan berperan penting dalam menyebabkan terjadinya penyakit diabetes tipe 2. Pasien diabetes tipe 2 memiliki kemungkinan adanya riwayat keluarga menderita diabetes yang lebih tinggi dibanding pasien diabetes tipe 1. Faktor lingkungan yang berkontribusi dalam perkembangan resistensi insulin antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta gaya hidup (Depkes RI, 2005). Pada awalnya patofisiologis diabetes tipe 2 ditandai bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena kurangnya respon pada sel-sel sasaran insulin, atau disebut juga sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin ini disebabkan antara lain oleh obesitas, gaya hidup kurang gerak dan penuaan (Depkes RI, 2005). Resistensi insulin akan menyebabkan gangguan ambilan glukosa ke dalam jaringan dan produksi glukosa hepatik akan meningkat sehingga akan menyebabkan akumulasi glukosa berlebih pada sirkulasi darah (KodaKimble (ed), 2009). Pada diabetes tipe 2, selain terjadi resistensi insulin, juga terdapat gangguan sekresi insulin. Pada awal perkembangan diabetes tipe 2, sel β pankreas mengalami gangguan pada sekresi insulin yang seharusnya terjadi segera setelah kadar glukosa darah meningkat. Apabila tidak ditangani dengan baik, maka akan terjadi kerusakan sel β pankreas secara progresif dan akan menyebabkan defisiensi insulin (Depkes RI, 2005). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 16 3. Diabetes Mellitus Gestasional Diabetes Mellitus Gestasional merupakan keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita DM gestasi, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Keadaan ini biasanya hanya berlangsung sementara atau temporer dan umumnya dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan. Namun, dampak yang ditimbulkan buruk bagi bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Selain itu, ibu yang pernah menderita DM gestasi akan lebih besar risikonya untuk menderita diabetes lagi di masa depan (Depkes RI, 2005). 2.4.4. Faktor risiko Orang yang patut waspada jika memiliki faktor risiko diabetes, antara lain (Depkes RI, 2005): 1. Memiliki riwayat diabetes dalam keluarga; riwayat diabetes gestasional; pernah melahirkan bayi dengan berat > 4 kg; kista ovarium; serta riwayat glukosa darah terganggu dan toleransi glukosa terganggu. 2. Obesitas, dengan berat badan >120% berat badan ideal 3. Umur >65 tahun 4. Memiliki riwayat penyakit hipertensi 5. Memiliki riwayat penyakit hiperlipidemia, dengan kadar HDL <35 mg/dl dan kadar lipid darah >250mg/dl 6. Kurang olahraga dan pola makan rendah serat 2.4.5. Gejala Diabetes biasanya tanpa gejala. Tetapi terdapat beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala yang biasanya dirasakan antara lain sering buang air kecil (poliuria), sering merasa haus (polidipsia), dan sering merasa lapar (polifagia). Sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan dan kaki, timbul gatal yang mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas (Depkes RI, 2005). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 17 Pada diabetes tipe 1, penderita biasanya memiliki tubuh yang kurus. Diabetes tipe ini biasanya akan berkembang menjadi diabetes ketoasidosis, karena insulin pasien sangat rendah disertai dengan meningkatnya hormon glukagon. Sebanyak 20-40% pasien mengalami diabetes ketoasidosis setelah mengalami gejala seperti poliuria terutama pada malam hari, polidipsia, polifagia, dan kehilangan berat badan (DiPiro, 2005). Pasien diabetes tipe 2 biasanya asimptomatik. Pasien diketahui menderita diabetes setelah muncul komplikasi yang mengindikasikan bahwa pasien telah menderita diabetes selama bertahun-tahun. Pasien umumnya terdeteksi adanya letargi, poliuria, nokturia, polidipsia, dan jarang terdapat penurunan berat badan yang signifikan (DiPiro, 2005). Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, serta komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes RI, 2005). 2.4.6. Diagnosa Berdasarkan American College of Clinical Pharmacy (2013), parameter diagnosa diabetes mellitus tipe 1 dan 2 untuk pasien yang tidak sedang hamil yaitu: Tabel 2.1. Kriteria Diagnosa Diabetes Mellitus Parameter Gula darah puasa Gula darah sewaktu Gula darah 2 jam setelah makan Glycated Haemoglobin (HbA1c) 2.4.7. Nilai > 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL disertai adanya gejala hiperglikemia ≥ 200 mg/dL ≥ 6,5 % Tatalaksana (Depkes RI, 2005) 2.4.7.1. Terapi non farmakologi a. Pengaturan Diet Diet yang baik berperan dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Penderita diabetes dianjurkan makan dengan komposisi seimbang sesuai kecukupan gizi yang baik, yaitu karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-25%. Asupan kalori disesuaikan dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 18 pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik untuk dapat mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah terbukti dapat mengurangi resistensi insulin serta memperbaiki respon sel β terhadap stimulus glukosa. Selain jumlah kalori, jenis bahan makanan yang dikonsumsi juga perlu diperhatikan. Asupan kolesterol tidak lebih dari 300 mg, dengan sumber yang berasal dari bahan nabati karena mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibanding asam lemak jenuh. Masukan serat minimal 25 g per hari, karena dapat membantu mengatasi rasa lapar yang biasa dirasakan pasien DM tanpa khawatir masukan kalori berlebih. b. Olah Raga Olahraga dapat memperbanyak jumlah serta meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh, juga akan meningkatkan penggunaan glukosa. Olahraga yang disarankan bagi penderita diabetes yaitu bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Zona sasaran olah raga yang dilakukan yaitu 7585% denyut nadi maksimal (220-umur), yang disesuaikan pula dengan kemampuan dan kondisi penderita. Olah raga yang disarankan antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lainnya yang dilakukan selama total 30-40 menit per hari diawali pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan selama 5-10 menit. 2.4.6.2. Terapi Farmakologi a. Terapi Insulin Terapi insulin wajib diberikan pada penderita diabetes tipe 1. Pada diabetes tipe 1, sel β kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak bisa lagi memproduksi insulin. Sehingga penderita harus mendapat insulin eksogen untuk membantu proses metabolisme dalam tubuh. Pada penderita diabetes tipe 2, sebagian besar tidak memerlukan terapi insulin di samping terapi hipoglikemik oral. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19 b. Terapi Obat Hipoglikemik Oral Golongan Sulfonilurea Obat golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan untuk pasien diabetes dewasa baru dengan berat badan normal atau kurang serta pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Obat golongan ini merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas, sehingga hanya akan efektif jika sel β pankreas masih dapat berproduksi. Obat sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal, dan tiroid. Yang termasuk golongan sulfonilurea antara lain glibenklamid, glipizida, glikazida, glimepirida, dan glikuidon. Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin Obat golongan ini merupakan obat baru yang cara kerjanya mirip golongan sulfonilurea, yaitu dengan meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya obat golongan meglitinida dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat antidiabetik oral lainnya. Adapun yang termasuk golongan ini yaitu repaglinida dan nateglinida. Golongan Biguanida Obat golongan biguanida bekerja bukan dengan merangsang sekresi insulin, tetapi langsung pada hati yaitu dengan menurunkan produksi glukosa hati. Biguanida hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Satu-satunya senyawa biguanida yang masih dipakai saat ini adalah metformin. Golongan Tiazolidindion (TZD) Golongan tiazolidindion bekerja dengan menurunkan resistensi insulin dan menurunkan kecepatan glikoneogenesis. Tiazolidindion meningkatkan kepekaan sel tubuh terhadap insulin, yaitu dengan cara berikatan dengan peroxisome proliferator activated receptor-gama (PPARγ) di otot, jaringan lemak dan hati. Adapun yang termasuk golongan tiazolidindion yaitu rosiglitazine dan pioglitazone. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20 Golongan Inhibitor α-Glukosidase Senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim ini berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida pada dinding usus halus. Senyawa inibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja menghidrolisa polisakarida di lumen usus alus. Obat ini efektif bagi pasien dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dL. Adapun yang termasuk golongan inhibitor α-glukosidase yaitu akarbosa dan miglitol. 2.5. Peranan Pankreas dalam mengatur Metabolisme Glukosa Pankreas manusia tersusun atas dua bagian, yaitu bagian eksokrin yang berperan pada pencernaan dan bagian endokrin yang beperan dalam sekresi hormon. Kelenjar endokrin terdiri dari kumpulan sel, yaitu pulau langerhans, yang menjaga keseimbangan nutrisi dalam darah dan sel depo. Inti pulau langerhans terdiri dari sel β (65-90%) yang mensekresikan insulin, dan permukaannya tersusun atas sel α (15-20%) yang mensekresikan glukagon, sel δ (3-10%) yang mensekresikan somatostatin, dan sel PP (1%) yang memproduksi polipeptida (Skelin, 2010). Insulin dan glukagon merupakan dua hormon yang bekerja bersama untuk menjaga kadar gula darah tetap dalam rentang normal. Glukosa yang bersirkulasi dalam darah dapat berasal dari makanan yang diserap melalui usus halus, proses glikogenolisis (pemecahan glikogen menjadi glukosa), dan proses glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari sumber non karbohidrat) (Aronoff, 2004). Sekresi insulin akan meningkat jika kadar glukosa darah meningkat. Adanya insulin akan menurunkan kadar glukosa dalam darah, dengan cara meningkatkan ambilan glukosa ke dalam otot, jaringan adiposa dan jaringan lain dalam tubuh, serta menstimulasi hati untuk menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen (Bowen, 2002). Glukagon memiliki efek yang berlawanan dengan insulin, yaitu akan meningkatan kadar glukosa darah. Sekresi glukagon dari sel α pankreas dirangsang oleh rendahnya kadar glukosa plasma, serta oleh glukokortikoid dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 21 katekolamin. Pelepasan glukagon dihambat oleh insulin, somatostatin, dan glukosa. Setelah disekresi, glukagon akan merangsang pemecahan glikogen yang disimpan di hati dan merangsang proses glukoneogenesis hepatik sehingga kadar glukosa darah akan meningkat (Bowen, 2002) 2.6. Aloksan Gambar 2.2. Struktur Aloksan (Sumber : https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Alloxan#section=ChemicaloI)_-Vendors) Rumus molekul : C4H2N2O4 Bobot molekul : 142,07 gr/mol Penyimpanan : Simpan aloksan dalam wadah tertutup rapat dan dalam tempat dengan aliran udara yang baik. Jangan simpan di atas suhu 80 C atau 46,40 F (National Center for Biotechnology Information, nd). Aloksan merupakan turunan urea yang bersifat hidrofilik dan tidak stabil. Aloksan biasa digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan model diabetes seperti kelinci, tikus, mencit, dan anjing. Pada hewan coba, aloksan menginduksi respon keseimbangan kadar glukosa dalam darah sehingga juga akan mempengaruhi konsentrasi plasma darah yang diikuti dengan perubahan struktur pada sel β pankreas dan menimbulkan kematian sel (Rohilla, 2012). Tingkat keparahan penyakit diabetes yang ditimbulkan aloksan bisa diatur dengan memvariasiakan dosis aloksan yang diberikan pada hewan coba (Etuk, 2010). Dosis yang biasa digunakan untuk menginduksi diabetes pada tikus yaitu 65 mg/kgBB diberikan secara intravena (Gruppuso, 1990). Jika diberikan secara intaperitoneal atau subkutan dosis yang diberikan 2-3 kali lebih besar (Szkudelski, 2001). Aloksan dosis tunggal yang diberikan pada semua jenis hewan coba, yaitu sebanyak 140-180 mg/kgBB (dosis yang biasa digunakan 150 mg/kgBB), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 22 diencerkan dengan aquades 5% b/v dan diberikan melalui vena marginalis kelinci atau secara intraperitoneal pada mencit atau tikus (Etuk, 2010). Aloksan memiliki bentuk yang mirip dengan glukosa sehingga akan diambil secara selektif dan terakumulasi pada sel β pankreas. Kesamaan bentuk ini memungkinkan aloksan ditransport ke dalam sitosol dengan bantuan transporter glukosa (GLUT2) menuju membran plasma sel β. Aloksan kemudian mengalami reaksi reduksi-oksidasi yang menghasilkan produk yang sitotoksik dan akhirnya akan menyebabkan nekrosis secara selektif pada sel β pankreas. Aloksan juga dapat mengganggu keseimbangan kadar ion Ca2+ intrasel yang juga berkontribusi dalam menyebabkan kerusakan sel β pada pulau langerhans. Efek biologis lain yang juga disebabkan oleh aloksan yaitu dapat menghambat secara selektif sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa melalui penghambatan terhadap enzim glukokinase. Penghambatan glukokinase dapat mengurangi oksidasi glukosa dan pembentukan ATP yang akhirnya dapat menekan sekresi insulin. (Rohilla, 2012). 2.7. Glibenklamid Gambar 2.3. Struktur Glibenklamid (Sumber: Martindale: The Complete Drug Reference 36th edition p. 440) Nama lain : Glibenclamida, glyburide, glybenclamidum, glibenklamidas Rumus molekul : C23H28ClN3O5S Bobot molekul : 494,0 g/mol Pemerian : Serbuk kristal putih atau hampir putih Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam alkohol, sukar larut dalam diklorometan Dosis : Dosis inisiasi 2,5-5 mg per hari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 23 Farmakokinetik : Glibenklamid mudah diabsorpsi pada saluran gastrointestinal, dengan konsentrasi maksimum biasanya tercapai kurang dari 2-4 jam. Absorpsi dapat diperlambat pada kondisi pasien hiperglikemik dan dapat berbeda tergantung ukuran partikel sediaan yang digunakan. Glibenklamid dimetabolisme hampir seluruhnya di liver. Sebanyak 50% obat diekskresi melalui urin sementara 50% lainnya melalui empedu dan dikeluarkan bersama feses (Sweetman, 2009). 2.8. Akarbosa Gambar 2.4. Struktur akarbosa (Sumber: Martindale: The Complete Drug Reference 36th edition p. 436) Nama lain : Acarbosum, akarbosi, akarbos. Rumus molekul : C25H43NO18 Bobot molekul : 645,6 g/mol Pemerian : Serbuk higroskopis, amorf, berwarna putih atau kekuningan. Kelarutan : Sangat larut dalam air, larut dalam metil alkohol, praktis tidak larut dalam diklorometan. Dosis : Dosis inisiasi 25-50 mg per hari, kemudian dinaikkan bertahap hingga 25-50 mg tiga kali sehari. Farmakokinetik : Di saluran cerna, sebagian besar akarbosa tetap dalam bentuk aktifnya sehingga bisa menimbulkan efek farmakologis di saluran cerna. Akarbosa dimetabolisme oleh enzim intestinal dan flora dalam usus. Akarbosa terabsorbsi dalam bentuk metabolitnya hingga sebesar 35% dari dosis yang diberikan. Akarbosa diekskresi melalui urin dan feses (Sweetman, 2009). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 24 2.9. Metode Pengujian Diabetes 2.9.1. Metode Induksi oleh Bahan Kimia Metode pengujian diabetes dapat dilakukan pada hewan coba model diabet yang telah diinduksi bahan kimia. Bahan kimia yang paling umum digunakan yaitu streptozotosin dan aloksan. Kedua bahan ini memiliki sifat diabetogenik jika diberikan melalui parenteral (intravena, intraperitoneal, subkutan). Dosis yang dibutuhkan untuk menginduksi diabetes tergantung pada spesies hewan coba yang digunakan, rute pemberian, dan status gizi hewan (Etuk, 2010). 2.9.2. Metode Toleransi Glukosa Metode toleransi glukosa merupakan metode yang umum digunakan untuk menguji bahan uji obat diabetes pada tikus. Dengan dilakukannya uji ini akan diketahui kemampuan tubuh dalam menggunakan karbohidrat. Ketika pemberian glukosa melalui peroral, kadar glukosa dalam darah akan meningkat dan mencapai puncak dalam waktu ½-1 jam, kemudian akan kembali normal setelah 2-3 jam. Prosedur uji dilakukan dengan cara hewan uji dipuasakan sepanjang malam, kemudian diukur kadar glukosa puasa tikus (sebagai baseline) lalu diberikan bahan uji obat diabetes dan glukosa melalui per oral sebanyak 1-2,5 g/kgBB. Pengukuran kadar glukosa darah selanjutnya dilakukan lagi pada interval waktu tertentu setelah dilakukan pemberian glukosa (Etuk, 2010). 2.10. Metode Pengukuran Kadar Glukosa Darah Pemeriksaan kadar gula darah bisa dilakukan dengan tiga macam metode, yaitu metode oksidasi reduksi, metode kondensasi, dan metode enzimatik (McMillin, 1990). 2.10.1. Metode Oksidasi Reduksi Metode ini dilakukan berdasarkan sifat glukosa sebagai zat pereduksi dalam larutan alkali panas. tetapi metode ini non spesifik karena adanya zat non glukosa lain yang juga bersifat mereduksi (McMillin, 1990). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 25 2.10.2. Metode Kondensasi Prinsip metode ini yaitu kondensasi glukosa dengan amin aromatis primer dalam asam asetat glasial panas (reagen o-toluidin). Metode ini spesifik mengukur glukosa saja dan dapat digunakan untuk mengukur glukosa dalam berbagai cairan tubuh, termasuk dalam darah (Dubowski, 2008). Protein dalam darah mula-mula diendapkan dengan asam trikloroasetat. Kemudian glukosa pada filtrat direaksikan dengan reagen o-toluidin sehingga akan menghasilkan warna hijau, dan diukur menggunakan kolorimetri (WHO, 2003). 2.10.3. Metode Enzimatik Pada metode ini menggunakan enzim-enzim yang bekerja secara spesifik pada glukosa. Sehingga hasil yang didapat relatif lebih tepat dibanding metode lainnya. Enzim yang paling sering digunakan pada analisa glukosa secara enzimatik yaitu heksokinase dan glucose oxidase. Pada metode dengan enzim heksokinase, glucose-6-fosfat yang berasal dari glukosa dan ATP dari heksokinase akan dioksidasi oleh NAD. Reaksi ini dikatalis dengan adanya glucose-6-fosfat dehidrogenasi sehingga akan membentuk NADH yang dapat dianalisa dengan spektrofotometer. Pada metode dengan enzim glucose oxidase, glukosa dioksidasi oleh glucose oxidase membentuk glukonolakton dan hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida selanjutnya teroksidasi oleh peroksidase membentuk senyawa yang dapat dianalisa dengan spektrofotometer (Duxbury, 2004). 2.11. Glukometer Glukometer merupakan alat kesehatan yang digunakan untuk mengukur kadar glukosa darah. Glukometer banyak digunakan di rumah sakit, klinik, ruang gawat darurat, serta penggunaan di rumah. Glukometer memberikan analisa kadar glukosa darah secara cepat, sehingga dapat segera dilakukan managemen kondisi hipoglikemik atau hiperglikemik yang dialami pasien (Toyushkina, 2009). Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan glukometer memiliki kelebihan antara lain metode pengukuran yang mudah, cepat, hanya memerlukan sampel darah dalam jumlah yang sedikit, dan akurat. Tetapi kerugiannya antara lain harganya yang relatif mahal, serta ketepatan hasil yang didapat bisa dipengaruhi oleh suhu (King, 1995). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26 Glukometer terdiri dari dua bagian yaitu bagian reaksi enzimatik dan detektor. Bagian enzimatik berada pada strip atau kuvet dalam kondisi terdehidrasi. Glukosa dalam sampel darah akan menghidrasi kemudian bereaksi dengan enzim dan menghasilkan senyawa yang dapat terdeteksi. Hingga saat ini terdapat tiga reaksi enzimatik yang biasa digunakan pada glukometer antara lain glucose oxidase, glucose dehydrohenase, dan hexokinase. (Toyushkina, 2009). Gambar 2.5. Strip glukometer (Heller, 2008) Terdapat beberapa prinsip kerja glukometer, antara lain dengan prinsip kolorimetri dan prinsip elektrokimia. Pada glukometer dengan prinsip kolorimetri, reaksi antara glukosa dan enzim menghasilkan hidrogen peroksida atau senyawa antara lain yang dapat bereaksi dengan pewarna, sehingga akan menghasilkan perubahan warna yang intensitasnya berbanding lurus dengan konsentrasi glukosa pada sampel (Toyushkina, 2009). Prinsip reaksi pada glukometer kolorimetri dijelaskan sebagai berikut (Yamada, 2011): Glucose oxidase Glukosa + O2 Asam glukoronat + H2O2 Peroksidase Kromogen + H2O2 Warna Sedangkan pada glukometer dengan prinsip elektrokimia mengandung enzim sebagai biosensor yang menghasilkan elektron sehingga dapat terdeteksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 27 oleh detektor. Reaksi pada glukometer ini dijelaskan sebagai berikut (Wang, 2008): Glukosa + GOX(ox) GOX(red) + 2M (ox) 2M(red) asam glukoronat + GOX (red) GOX(ox) + 2M(red) +2H+ 2M(ox) + 2e- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian I dan Laboratorium Animal House FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Maret 2016 sampai dengan bulan September 2016. 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain perangkat alat destilasi, vacum rotary evaporator (EYELA), erlenmeyer (pyrex), timbangan analitik, blender, spatula, corong, batang pengaduk, alumunium foil, kapas steril, kertas saring, lemari pendingin, desikator, botol maserasi, tabung reaksi, botol maserasi, botol maserat, alokoholmeter, kandang tikus beserta wadah makan dan minumnya, alas bedah, alat bedah, stoples, timbangan, glukometer GlucoDR. 3.2.2. Bahan 1. Bahan Uji Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji rambutan (Nephelium lappaceum L). Biji diambil dari buah rambutan segar yang diambil dari Serang, Banten pada bulan Februari 2016. Jenis rambutan yang digunakan yaitu rambutan parakan yaitu dengan ciri buah berbentuk lonjong, warna buah masak yaitu merah kehitaman serta rambut buah berwarna merah dan kaku. Daging buah berwarna putih kekuningan, rasanya manis dan tidak banyak mengandung banyak air, serta mudah terkelupas dari bijinya yang berbentuk lonjong. Selain itu digunakan pula glibenklamid (Indofarma) dan akarbosa sebagai kontrol positif, sukrosa, serta aloksan (Sigma-aldrich) sebagai penginduksi. 28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 29 2. Hewan Uji Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan galur spreague dawley berumur 2-3 bulan dengan berat 150-200 g yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 3. Bahan Kimia Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah etanol 70%, H2SO4 pekat, amonia encer, etil asetat, FeCl3, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendroff, asam klorida, NaOH, aquadest, Na CMC, formalin, dan larutan saline. 3.3. Prosedur Kerja 3.3.1. Penyiapan Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan 3.3.1.1. Penyiapan Bahan Uji Buah rambutan parakan segar dikumpulkan dari Serang, Banten. Sebelum biji diproses menjadi simplisia, sampel tanaman rambutan (Nephelium lappaceum L.) yaitu berupa ranting, daun, dan buah diidentifikasi di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, LIPI, Bogor untuk memverifikasi identitas tanaman. 3.3.1.2. Pembuatan Simplisia Simplisia biji rambutan dibuat dengan tahap sebagai berikut: 1. Biji rambutan dipisahkan dari daging buahnya dan didapat biji segar sebanyak 2 kg. 2. Biji dicuci dengan air mengalir. 3. Biji dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan dihindarkan dari sinar matahari. 4. Setelah kering, dilakukan sortasi kembali untuk memastikan simplisia bebas dari pengotor. 5. Simplisia digiling hingga menjadi serbuk kemudian ditimbang dan disimpan dalam wadah yang kering, tertutup rapat, serta terhindar dari cahaya matahari. Simplisia yang didapat yaitu sebanyak 903 gram. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 30 3.3.1.3. Ekstraksi Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Sebanyak 451,5 g serbuk simplisia masing-masing dimasukkan ke dalam dua wadah botol berwarna cokelat, kemudian ditambahkan pelarut hingga setinggi kurang lebih 2,5 cm di atas serbuk simplisia. Jumlah total pelarut etanol 70% yang digunakan adalah sebanyak 7 L. Campuran disimpan di tempat gelap dengan sesekali dilakukan pengadukan. Maserasi dilakukan dalam waktu 3 hari, setelah itu cairan dipisahkan dari simplisia melalui proses filtrasi menggunakan kapas dan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan rotary evaporator hingga didapat ekstrak kental. Maserasi dilakukan berkali-kali hingga pelarut berwarna jernih. Ekstrak kental selanjutnya dikeringkan kembali dengan menggunakan freeze dry. Proses pengeringan ini dilakukan di Laboratorium Fitokimia Gedung Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Jawa Barat. 3.3.2. Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia dilakukan dengan menguji adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan fenolik. Prosedur pengujian dilakukan sebagai berikut: 1. Identifikasi Alkaloid Identifikasi alkaloid dilakukan dengan cara ekstrak diuapkan di cawan porselen, kemudian dilarutkan dengan asam klorida encer 2 M. Larutan yang diperoleh kemudian dibagi ke dalam tiga tabung reaksi. Tabung pertama sebagai kontrol, tabung kedua diuji menggunakan pereaksi Mayer, dan tabung ketiga diuji dengan pereaksi Dragendroff. Pada penambahan pereaksi Mayer, hasil positif jika terbentuk dengan endapan berwarna putih atau kuning. Sedangkan pada penambahan pereaksi Dragendroff hasil positif ditunjukkan dengan adanya endapan berwarna oranye hingga merah (Farnsworth, 1966). 2. Identifikasi Flavonoid Ekstrak diencerkan dengan etanol 70%, lalu ditambahkan dengan 2 mg serbuk magnesium dan ditambahkan dengan asam klorida. Hasil menunjukkan positif mengandung flavonoid jika terbentuk warna merah muda, oranye, atau warna merah hingga ungu (Fransworth, 1966; Evans, 2002). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 31 3. Identifikasi Saponin Ekstrak ditambahkan aquades, lalu dikocok kuat. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil selama tidak kurang dari 10 menit (Fransworth, 1966). 4. Identifikasi Tanin Ekstrak dipanaskan dalam 10 mL aquades dalam tabung reaksi, kemudian disaring. Filtrat ditambahkan FeCl 3 0,1% dan diamati, hasil positif jika terbentuk warna biru, hijau, biru kehijauan, hijau kecoklatan atau biru kehitaman (Evans, 2002; Fransworth, 1966). 5. Identifikasi Steroid/Triterpenoid Sebanyak 1 mL ekstrak dicampur dengan 3 mL kloroform kemudian ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat dan 2 mL asam asetat anhidrat (reagen Liebermann-Burchard). Hasil menunjukkan positif mengandung steroid jika terjadi perubahan warna menjadi biru atau biru kehijauan. Sedangkan hasil positif mengandung triterpenoid jika terbentuk warna merah, pink, atau ungu (Farnsworth, 1966). 6. Identifiasi Antrakuinon Ekstrak dididihkan dengan 10 mL asam sulfat dan disaring selagi masih panas. Kemudian filtrat dikocok dengan 5 ml kloroform. Fraksi kloroform diambil menggunakan pipet dan ditempatkan dalam tabung reaksi lalu ditambahkan dengan amonia encer. Hasil positif jika terjadi perubahan warna pada larutan (Ayoola, 2008). 3.3.3. Pengujian Parameter Spesifik Ekstrak Uji parameter spesifik yang dilakukan meliputi parameter organoleptik ekstrak yaitu warna, bentuk, dan bau ekstrak yang diuji menggunakan panca indera (Depkes RI, 2000). 3.3.4. Pengujian Parameter Non Spesifik Ekstrak Uji parameter non spesifik yang dilakukan yaitu kadar air dan kadar abu ekstrak (Depkes RI, 2000). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 32 1. Kadar Air (Metode Gravimetri) Pengukuran kadar air dilakukan dengan ekstrak ditimbang 3 gram dalam wadah yang telah ditara. Kemudian ekstrak dipanaskan pada suhu 105 0C selama 5 jam kemudian ditimbang kembali. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%. 2. Kadar Abu Ekstrak ditimbang seksama 2-3 gram, dimasukkan dalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ekstrak diratakan. Dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, didinginkan, lalu ditimbang. Jika arang tidak dapat hilang, ditambahkan air panas, disaring menggunakan kertas saring bebas abu, kemudian dipijarkan sisa abu dan kertas saring dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke dalam krus, diuapkan, dan dipijarkan hingga bobot tetap lalu ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap berat ekstrak dan dinyatakan dalam % b/b. 3.3.5. Uji Antihiperglikemik 3.3.5.1. Pengelompokan Hewan Uji Hewan uji dikelompokkan menjadi enam kelompok untuk uji dengan metode induksi aloksan (tabel 3.1.) dan menjadi tiga kelompok untuk uji toleransi glukosa oral (tabel 3.2.). Setiap kelompok uji terdiri dari 5 ekor tikus sesuai dengan syarat oleh WHO (WHO, 2000). Tabel 3.1. Kelompok Perlakuan Hewan Uji Kelompok I II Jumlah 5 5 III 5 IV 5 V 5 VI 5 Perlakuan Kontrol normal, diberi suspensi NaCMC 0,5% Kontrol negatif, diinduksi aloksan dan suspensi NaCMC 0,5% Kontrol positif, diinduksi aloksan kemudian diberi suspensi glibenklamid 0,1 mg/200 g BB Diinduksi aloksan dan diberi suspensi ekstrak etanol 70% biji rambutan dosis 80 mg/kgBB Diinduksi aloksan dan diberi suspensi ekstrak etanol 70% biji rambutan dosis 160 mg/kgBB Diinduksi aloksan dan diberi suspensi ekstrak etanol 70% biji rambutan dosis 320 mg/kgBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 33 Tabel 3.2. Kelompok Perlakuan Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α Glukosidase Kelompok Jumlah I 5 II 5 III 5 Perlakuan Kontrol negatif, diberi larutan sukrosa Kontrol positif, diberi akarbosa kemudian larutan sukrosa Diberi ekstrak etanol 70% biji rambutan dosis 320 mg/kgBB kemudian larutan sukrosa 3.3.5.2. Aklimatisasi Hewan Uji Hewan uji diaklimatisasi selama dua minggu agar dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Selama proses adaptasi ini diamati kondisi umum hewan coba serta dilakukan penimbangan berat badan. 3.3.5.3. Pembuatan Sediaan Dosis Uji 1. Dosis Ekstrak Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) Dosis ekstrak etanol biji rambutan (Nephelium lappaceum L.) yang digunakan yaitu 80 mg/kgBB, 160 mg/kgBB, dan 320 mg/kgBB atau sebesar 16 mg/200 gr BB, 32 mg/200 gr BB, dan 64 mg/200 gr BB yang diberikan kepada tikus masing-masing kelompok uji. Pemilihan dosis diambil berdasarkan dosis yang paling optimal pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu oleh Syifa (2008) dan Afika (2015). Ekstrak dibuat dalam bentuk suspensi dengan suspending agent NaCMC konsentrasi 0,5%. Proses pembuatan sediaan yaitu sebagai berikut: a. NaCMC dikembangkan dengan air panas sebanyak 20 kali berat Na CMC. b. Setelah mengembang, NaCMC digerus hingga homogen dengan perlahan ditambahkan akuades. c. Ekstrak ditambahkan dalam suspensi dan digerus hingga homogen. 2. Dosis Glibenklamid Glibenklamid diberikan dalam bentuk suspensi dengan suspending agent NaCMC sesuai dosis efektif pemberian oral pada manusia yaitu 5 mg/60kgBB. Dosis ini dikonversikan berdasarkan perhitungan menggunakan luas permukaan tubuh sehingga didapat dosis untuk setiap 200 g BB tikus yaitu 0,1 mg/200g BB. Proses pembuatan sediaan yaitu sebagai berikut: a. NaCMC dikembangkan dengan air panas sebanyak 20 kali berat Na CMC. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 34 b. Setelah mengembang, NaCMC digerus hingga homogen dengan perlahan ditambahkan akuades. c. Glibenklamid ditambahkan dalam suspensi dan digerus hingga homogen. 3. Dosis Aloksan Dosis aloksan yang diberikan dalam percobaan yaitu 150 mg/kgBB yang dilakukan melalui intraperitoneal. Aloksan diberikan dalam bentuk larutan dalam saline dingin. Aloksan yang sudah dilarutkan segera diberikan pada hewan uji. 4. Dosis Akarbosa Akarbosa diberikan dalam bentuk suspensi dengan suspending agent NaCMC 0,5 % sesuai dosis efektif pemberian oral pada manusia yaitu 50 mg/60 kg BB. Dosis ini dikonversikan berdasarkan perhitungan menggunakan luas permukaan tubuh sehingga didapat dosis untuk setiap 200 g BB tikus yaitu 1 mg/ 200 g BB. Proses pembuatan sediaan yaitu sebagai berikut: a. NaCMC dikembangkan dengan air panas sebanyak 20 kali berat Na CMC. b. Setelah mengembang, NaCMC digerus hingga homogen dengan perlahan ditambahkan akuades. c. Akarbosa ditambahkan dalam suspensi dan digerus hingga homogen. 5. Dosis Sukrosa Sukrosa diberikan dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 80% b/v. Dosis sukrosa yang diberikan yaitu sebesar 4 g/kg BB atau setara dengan 0,8 g/200 g tikus. 3.3.5.4. Uji Pendahuluan Induksi Aloksan Uji pendahuluan induksi aloksan dilakukan untuk menentukan metode induksi yang tepat yang nantinya akan dilakukan saat penelitian. Uji dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Disiapkan empat ekor tikus yang akan digunakan. Satu ekor nantinya sebagai kontrol dan tiga tikus akan dilakukan induksi. Tikus diaklimatisasi selama tujuh hari dengan dilakukan pemantauan berat badan setiap harinya. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 35 2. Sebelum dilakukan induksi, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam namun tetap mendapat akses untuk minum, kemudian dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa. 3. Aloksan monohidrat yang telah dilarutkan dalam salin normal steril diinjeksikan pada tikus 1, 2, dan 3 melalui rute intraperitoneal dengan dosis sebesar 30 mg/200 g BB tikus. 4. Hewan uji diberikan larutan glukosa 5% selama 24 jam penuh, dimulai 1 jam setelah dilakukannya induksi. Hal ini dilakukan karena aloksan dapat menyebabkan kondisi hipoglikemia parah pada hewan uji. 5. Kadar glukosa darah puasa tikus diperiksa kembali pada hari ke-3 dan ke-7 setelah induksi. Sebelum dilakukan pemeriksaan, tikus dipuasakan dahulu selama 12 jam. Hewan uji dikatakan mengalami kondisi hiperglikemia jika kadar glukosa darah lebih dari 140 mg/dL (Wang, 2010; Ulas, 2015). 3.3.5.5. Induksi Aloksan Induksi yang dilakukan bertujuan untuk menimbulkan kondisi diabetes pada hewan uji. Prosedur induksi dilakukan sebagai berikut: 1. Sebelum dilakukan induksi, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam dengan tetap mendapat akses untuk minum. 2. Aloksan monohidrat yang telah dilarutkan dalam salin normal steril diinjeksikan pada tikus kelompok II sampai kelompok VI melalui rute intraperitoneal dengan dosis 30 mg/200 g BB tikus. 3. Hewan uji diberikan larutan glukosa 5% selama 24 jam penuh, dimulai 1 jam setelah dilakukannya induksi. Hal ini dilakukan karena aloksan dapat menyebabkan kondisi hipoglikemia parah pada hewan uji. 4. Kadar glukosa darah puasa tikus diperiksa kembali pada hari-7 setelah induksi. Sebelum dilakukan pemeriksaan, tikus dipuasakan dahulu selama 12 jam. Hewan uji dikatakan mengalami kondisi hiperglikemia jika kadar glukosa darah lebih dari 140 mg/dL (Wang, 2010; Ulas, 2015). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 36 3.3.5.6. Pemberian Bahan Uji Setelah tikus dinyatakan mengalami kondisi hiperglikemik, selanjutnya dilakukan pemberian bahan uji. Pemberian dilakukan melalui peroral pada masing-masing kelompok uji sesuai dengan yang tertera pada tabel kelompok perlakuan hewan uji. Bahan uji diberikan setiap hari selama 21 hari dengan frekuensi pemberian satu kali dalam sehari. Selama masa ini hewan uji mendapat akses makan sebanyak 10% dari berat badannya dan minum secara ad libitum. 3.3.5.7. Pengukuran Kadar Glukosa Darah Sampel darah pada pengukuran kadar glukosa darah diambil dari vena ekor tikus. Pengambilan darah dilakukan dengan cara tikus dimasukkan ke dalam kandang, lalu ekor tikus dibersihkan dengan alkohol 70%. Darah diambil melalui intravena yaitu dengan membuat torehan pada ujung ekor menggunakan gunting bedah lalu ekor dipijat perlahan agar darah keluar. Kadar gula darah diukur menggunakan alat glukometer GlucoDR Biosensor dengan cara tetesan darah tikus ditempatkan pada strip yang telah dimasukkan pada glukometer. Nilai kadar glukosa darah yang terukur dinyatakan dalam satuan miligram per desimeter. Pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan setiap 7 hari yaitu pada hari ke-0, 7, 14, dan 21 pemberian bahan uji dengan sebelumnya tikus dipuasakan dahulu selama 12 jam. 3.3.5.8. Uji Penghambatan Aktivitas Enzim α Glukosidase Sebelum dilakukan uji, tikus dipuasakan selama 12 jam. Tikus kemudian diberikan sediaan uji melalui oral, yaitu suspensi NaCMC 0,5% untuk kontrol negatif, akarbosa untuk kelompok kontrol positif, dan ekstrak etanol 70% biji rambutan dosis 320 mg/kgBB untuk kelompok uji. Selang 30 menit kemudian setiap kelompok diberikan larutan sukrosa melalui peroral, serta kadar glukosa darah tikus segera diukur sebagai kadar glukosa darah menit ke-0. Selanjutnya kadar glukosa darah tikus diukur pada menit ke 30, 60, 90, dan 120. 3.3.5.9. Penyiapan Preparat Jaringan Pankreas Pengambilan jaringan pankreas dilakukan pada hari ke-21 setelah dilakukan pengukuran kadar darah. Hewan uji diterminasi menggunakan eter, kemudian dibedah dan diambil organ pankreasnya. Organ pankreas tikus difiksasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 37 dengan formalin 10%. Kemudian dilakukan dehidrasi yang bertujuan untuk mengeluarkan air yang terkandung dalam jaringan. Dehidrasi dilakukan menggunakan cairan dehidran, yaitu dengan etanol selama 20-30 menit. Setelah itu dilakukan clearing dengan xylol selama 10 menit, kemudian dilakukan infiltrasi paraplas dengan titik cair 45-60˚C selama 30 menit dan dilakukan embedding. Jaringan selanjutnya dipotong dengan ketebalan 5-7 μm (Anonim, 2014). Jaringan diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin eosin untuk pengamatan mikroskopik. Setelah itu preparat diberi entelan dan ditutup menggunakan cover glass dengan hati-hati agar tidak terdapat gelembung. Preparasi jaringan pankreas dilakukan di Laboratorium Histopatologi Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 3.3.5.10. Pengamatan Histologi Pankreas Pengamatan histologi dilakukan untuk mengetahui perbedaan struktur jaringan pankreas pada masing-masing perlakuan. Parameter yang diamati yaitu gambaran deskriptif serta penghitungan jumlah sel pulau langerhans pankreas tikus. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya Olympus SZ61 dengan perbesaran 400x. Hasil pemeriksaan preparat dianalisa secara deskriptif. 3.3.5.11.Metode Pengolahan dan Statistik Data 1. Pengolahan data Data yang diperoleh selanjutnya diolah secara statistik menggunakan aplikasi SPSS. Data yang didapat dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dilakukan menggunakan metode Kolmogorof-Smirnof, sedangkan uji homogenitas dilakukan menggunakan metode Levene. Jika data yang didapat terdistribusi normal dan memiliki varian yang homogen, selanjutnya dilakukan analisa data menggunakan metode analisis varian satu arah (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Jika data yang didapat tidak terdistribusi normal atau memiliki varian yang tidak homogen, maka analisa data dilakukan menggunakan metode Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (Dahlan, 2012). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 38 Hipotesis: Ho : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara setiap kelompok. Ha : Terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok. Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka Ho diterima. Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ho ditolak. 2. Presentase penurunan kadar glukosa darah Perhitungan persentase penurunan kadar glukosa darah dilakukan untuk mengetahui kemampuan ekstrak dalam menurunkan kadar glukosa, yang dihitung dengan cara: Presentase penurunan kadar glukosa darah = Go −Gt Go x 100% Keterangan: Go = Gula darah puasa sebelum diberikan sediaan uji G t = Gula darah puasa setelah diberikan sediaan uji UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tanaman Determinasi dilakukan untuk memastikan identitas tanaman yang akan digunakan. Determinasi dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, LIPI, Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa sampel yang digunakan yaitu Nephelium lappaceum L. suku Sapindaceae (Lampiran 1). 4.2. Penyiapan Sampel Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu tanaman rambutan (Nephelium lappaceum L.), yaitu pada bagian bijinya. Jenis rambutan yang digunakan yaitu rambutan parakan. Sampel diambil dari Serang, Banten pada bulan Februari 2016. Sampel yang dikumpulkan sesuai dengan deskripsi rambutan varietas parakan menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian (2003), yaitu buah rambutan parakan memiliki bentuk lonjong dengan warna buah masak yaitu merah kehitaman serta rambut buah berwarna merah dan kaku. Daging buah berwarna putih kekuningan mudah terkelupas dari bijinya yang berbentuk lonjong. Rasanya manis dan tidak banyak mengandung banyak air. Buah rambutan yang telah dikumpulkan dikupas dan diambil bijinya. Biji lalu dicuci dengan air mengalir kemudian dirajang dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan serta terhindar dari sinar matahari langsung. Setelah kering, biji disortasi kembali kemudian dihaluskan. Hal ini bertujuan untuk memperbesar luas permukaan kontak dengan pelarut, sehingga proses ekstraksi bisa berjalan maksimal. Serbuk simplisia biji rambutan yang didapat yaitu sebanyak 903 gram. 4.3. Ekstraksi Biji Rambutan Ekstraksi biji rambutan dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Jika dibandingkan dengan metode ekstraksi dingin lainnya, maserasi lebih mudah dilakukan serta membutuhkan alat yang lebih sederhana. Etanol 70% merupakan salah satu pelarut pilihan utama yang digunakan untuk 39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 40 ekstraksi metabolit sekunder yang belum diketahui strukturnya karena daya ekstraksinya yang luas dapat menyari semua metabolit sekunder (Saifudin, 2014). Sebanyak 903 g serbuk simplisia biji rambutan direndam dengan pelarut dalam botol gelap pada suhu ruang. Maserat yang didapat disaring menggunakan kapas dan kertas saring hingga didapat filtrat. Filtrat selanjutnya dipekatkan menggunakan rotary evaporator hingga didapat ekstrak kental. Sedangkan serbuk simplisia dimasukkan kembali dalam botol untuk dilakukan pengulangan maserasi (remaserasi). Pengulangan dilakukan hingga maserat berwarna hampir jernih. Ekstrak kental yang didapat dari proses ekstraksi yaitu sebanyak 68,77 g. Ekstrak kental yang didapat masih memiliki kadar air yang cukup tinggi, sehingga dilakukan pengeringan kembali menggunakan metode freeze-dry. Proses pengeringan dilakukan selama 10 jam di Laboratorium Fitokimia Gedung Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Jawa Barat. Ekstrak yang didapat setelah freeze dry sebanyak 49,19 gram dan dihitung rendemen yang didapat yaitu sebesar 5,45 %. 4.4. Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam sampel. Hasil penapisan fitokimia yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 4.1. (Lampiran 9). Tabel 4.1. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan Pengujian senyawa Alkaloid Flavonoid Indikator hasil Hasil positif a) Pereaksi (a) Menggunakan Dragendroff: pereaksi adanya endapan dragendorf berwarna oranye terbentuk endapan hingga merah b) Pereaksi Mayer: (b) Menggunakan pereaksi meyer terbentuk dengan terbentuk endapan endapan berwarna putih putih kekuningan atau kuning. Terbentuk warna Terdapat endapan merah muda, oranye, berwarna oranye atau warna merah hingga ungu Kesimpulan + + UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 41 Saponin Tanin Steroid Triterpenoid Antrakuinon Terbentuknya buih yang stabil selama tidak kurang dari 10 menit Terbentuk warna biru, hijau, biru kehijauan, hijau kecoklatan atau biru kehitaman Terjadi perubahan warna menjadi biru atau biru kehijauan. Terbentuk warna merah, pink, atau ungu Terjadi perubahan warna pada larutan Setelah pengocokan terbentuk busa yang hilang setelah 10 menit Terbentuk warna hijau kecokelatan - + Tidak terjadi perubahan warna - Tidak terjadi perubahan warna - Tidak terjadi perubahan warna - Keterangan: (+) Memberikan reaksi positif; (-) Memberikan reaksi negatif Terdapat beberapa penelitian yang telah melakukan penapisan fitokimia ekstrak biji rambutan. Penelitian yang dilakukan oleh Zulhipri (2007) membuktikan bahwa biji rambutan mengandung senyawa fenolik dan flavonoid. Uji fitokimia juga dilakukan oleh Elya (2015) yang menunjukkan bahwa biji rambutan mengandung alkaloid, flavonoid, dan glikosida. Uji kandungan metabolit sekunder biji rambutan pada penelitian oleh Yuda (2015) menunjukkan hasil positif terhadap senyawa fenol, flavonoid, dan tannin. Kemudian pada penelitian oleh Soeng (2015) menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji rambutan mengandung triterpenoid, terpenoid, alkaloid, dan fenol. Hasil penapisan fitokimia yang didapat pada penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol 70% biji rambutan positif terhadap senyawa alkaloid, flavonoid dan tanin, serta menunjukkan hasil negatif untuk saponin, steroid, triterpenoid, dan antrakuinon. Hasil yang didapat sedikit berbeda dengan penapisan fitokimia yang pernah dilakukan oleh Soeng (2015), di mana pada penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji rambutan juga mengandung triterpenoid. Adanya perbedaan hasil ini bisa disebabkan lingkungan tempat tumbuh tanaman yang berbeda. Kadar kandungan senyawa metabolit sekunder pada suatu tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor biotik dan abiotik. Faktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 42 abiotik yaitu segala faktor pada habitat tempat tumbuh tanaman seperti intensitas cahaya, ketersediaan air, temperatur tempat tumbuh, serta komposisi tanah (Pavarini, 2012). 4.5. Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak Parameter spesifik dan non spesifik merupakan proses standardisasi yang dilakukan untuk menjamin mutu ekstrak. Parameter spesifik ekstrak yang dilakukan pada penelitian ini yaitu identifikasi organoleptis meliputi bentuk, warna, dan bau yang menjadi karakter spesifik ekstrak. Serta dilakukan pengujian dua parameter non spesifik yaitu pengujian kadar air dan kadar abu. Pengujian kadar air dilakukan untuk memberikan batasan minimal atau rentang besarnya kandungan air dalam ekstrak. Sedangkan pengujian kadar abu dilakukan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal pembuatan hingga terbentuk ekstrak (Depkes, 2000). Hasil pengujian parameter spesifik dan non spesifik ekstrak dijelaskan pada tabel 4.2. Tabel 4.2. Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak Etanol 70% Biji Rambutan No. Parameter 1 Identitas ekstrak 2 Organoleptis 3 4 Kadar air Kadar abu Hasil Nama latin tumbuhan: Nephelium lappaceum L. Nama Indonesia : Rambutan Bagian tumbuhan yang digunakan : biji Warna : Cokelat gelap Bentuk : Kental Bau : Aromatik 8,98 % 6,78 % Parameter kadar air ekstrak penting untuk diketahui karena kadar air dapat memengaruhi stabilitas dan bentuk ekstrak. Kadar air ekstrak etanol 70% biji rambutan yang didapat dari uji kadar air yaitu sebesar 8,98%, di mana batas kadar air ekstrak yang masih memenuhi syarat yaitu kurang dari 10%. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan cepatnya pertumbuhan jamur dalam ekstrak. Sedangkan kadar abu ekstrak yang didapat dari uji kadar abu yaitu sebesar 6,78%. Kadar abu ekstrak masih memenuhi persyaratan yaitu di bawah 16,67% (Depkes RI, 1995). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 43 4.6. Uji Efek Antihiperglikemik 4.6.1. Metode Induksi Aloksan Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui efek hiperglikemik ekstrak etanol biji rambutan. Uji dilakukan terhadap 30 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley berusia 2-3 bulan dengan bobot 150-200 g. Tikus dipilih karena tikus memiliki fisiologi yang menyerupai manusia (NABR, 2015). Tikus uji dikelompokkan menjadi enam kelompok yang terdiri dari 3 kelompok kontrol dan 3 kelompok dosis uji. Kelompok kontrol meliputi kontrol normal, kontrol negatif, dan kontrol positif. Kelompok kontrol pada penelitian digunakan untuk memastikan bahwa perubahan kadar glukosa darah hanya disebabkan oleh sediaan uji yang diberikan (Pithon, 2013). Sebelum dilakukan induksi, tikus diaklimatisasi selama 7 hari. Selama proses aklimatisasi ini, tikus diberi makan dan minum secara ad libitum serta ditimbang berat badannya setiap hari. Tikus digunakan dalam penelitian jika tidak mengalami penurunan berat badan lebih dari 10% (Foltz, 1999; IACUC, 2014). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan perubahan kadar glukosa darah setelah pemberian sediaan uji pada tikus diabetes. Aloksan digunakan sebagai senyawa diabetogen untuk menimbulkan kondisi hiperglikemik pada tikus. Tikus putih terbukti sensitif terhadap efek diabetogenik oleh aloksan (Rerup, 1970 dikutip dari Lenzen, 2007). Aloksan menyebabkan diabetes dengan cara merusak secara spesifik sel β pada pankreas tikus (Gorus, 1982), sehingga pankreas tidak mampu memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup. Sebelum dilakukan induksi dengan aloksan, tikus dipuasakan selama 12 jam. Hal ini dikarenakan glukosa dapat memberikan sifat proteksi terhadap efek diabetogenik aloksan, meskipun efek proteksi dipengaruhi juga oleh konsentrasi glukosa. Kemiripan struktur antara glukosa dan aloksan menyebabkan glukosa dapat menghambat secara kompetitif ambilan aloksan ke dalam sel β pankreas (Jorns, 1997). Tikus dipuasakan terlebih dahulu untuk meminimalkan kadar glukosa dalam darah. Penginduksian menggunakan aloksan dilakukan secara intraperitoneal dengan dosis yang digunakan sebesar 150 mg/kgBB dan konsentrasi larutan 30 mg/ml. Aloksan bersifat diabetogenik jika diberikan secara parenteral, baik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 44 melalui rute intravena, intraperitoneal, atau subkutan (Rohilla, 2012). Rute pemberian dilakukan melalui rute intraperitoneal karena lebih ditoleransi oleh tikus (Federiuk, 2004; Radenkovi`c, 2015). Dosis yang diberikan pada penelitian ini diambil dari penelitian sebelumnya oleh Radenkovi`c (2013). Pemberian aloksan dosis 150 mg/kgBB melalui rute intraperitoneal juga telah dilakukan pada uji pendahuluan, yang terbukti dapat menyebabkan diabetes pada hari ke-7 setelah induksi. Kadar glukosa darah puasa tikus saat uji pendahuluan dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3. Kadar glukosa darah puasa pada uji pendahuluan Tikus 1 2 3 4 (Normal) Kadar Glukosa Darah (mg/dL) Sebelum induksi 3 hari setelah induksi 7 hari setelah induksi 100 128 166 126 136 161 125 287 492 92 99 91 Aloksan dapat menimbulkan diabetes pada tikus dengan mengalami empat fase. Fase pertama merupakan fase hipoglikemia yang berlangsung selama 30 menit setelah injeksi aloksan. Fase kedua merupakan fase hiperglikemia, yang terjadi sekitar satu jam setelah injeksi aloksan, dan berlangsung selama 2-4 jam. Fase ketiga yaitu fase hipoglikemia lagi, yang biasanya terjadi 4-8 jam setelah injeksi aloksan (Lenzen, 2007). Fase ini berlangsung selama beberapa jam dan dapat berakibat fatal jika tanpa asupan glukosa (Radenkovic, 2015). Untuk mencegah kematian hewan uji, selang 1 jam setelah injeksi aloksan tikus diberikan larutan glukosa 5% secara ad libitum selama 24 jam. Sedangkan fase keempat yaitu fase hiperglikemia permanen yang ditimbulkan oleh aloksan (Lenzen, 2007). Pengecekan kadar glukosa darah dilakukan 7 hari setelah induksi. Tikus dinyatakan diabetes jika kadar glukosa darah tikus lebih dari 140 mg/dL (Wang, 2010; Ulas, 2015). Setelah tikus dinyatakan diabetes, masing-masing tikus mulai diberikan sediaan uji. Pada pengujian ini, sediaan dibuat dalam bentuk suspensi dengan suspending agent NaCMC konsentrasi 0,5%. Hal ini dikarenakan glibenklamid yang digunakan sebagai kontrol positif, tidak larut dalam air sehingga didispersikan dalam bentuk suspensi. NaCMC konsentrasi 0,5% UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 45 digunakan karena dapat mendispersikan glibenklamid dan ekstrak pada setiap konsentrasi. Kontrol positif menggunakan glibenklamid dengan dosis tikus sebesar 0,5 mg/kgBB. Glibenklamid bekerja dengan cara meningkatkan pelepasan insulin dari sel β pankreas (Brunton, 2008). Glibenklamid digunakan sebagai pembanding positif karena pada penelitian ini diharapkan ekstrak mampu mengurangi kerusakan sel β pankreas sehingga dapat memproduksi insulin lebih banyak. Pada kelompok kontrol negatif, tikus yang telah diinduksi diberi NaCMC 0,5% untuk memastikan bahwa kadar glukosa darah tikus yang diinduksi tetapi tidak diberi ekstrak, tetap berada pada kondisi hiperglikemia. Kelompok kontrol normal tidak diperlakukan apapun, untuk memastikan bahwa kadar glukosa darah tikus yang tidak diberi perlakuan berada pada rentang normal. Sedangkan pada kelompok dosis, tikus diberi ekstrak etanol biji rambutan dengan dosis masing-masing sebesar 80 mg/kgBB, 160 mg/kgBB, dan 320 mg/kgBB. Waktu pemberian ekstrak dilakukan satu kali perhari (pukul 09.0010.00) selama 21 hari, dengan dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan pada hari ke 7, 14, dan 21 setelah pemberian ekstrak. Kadar glukosa darah diukur menggunakan alat glukometer GlucoDR biosensor. Pada manusia, pemeriksaan kadar gula darah puasa (GDP) dilakukan pagi hari sebelum sarapan, setelah dilakukan puasa pada malam harinya. Pemeriksaan paling baik dilakukan pada jam tersebut, karena pada waktu kadar glukosa darah meningkat, atau biasa disebut dawn phenomenon. Dawn phenomenon merupakan kondisi normal terjadinya peningkatan kadar glukosa darah di pagi hari sebagai persiapan tubuh untuk melakukan aktivitas. Pada manusia normal, peningkatan kadar glukosa darah ini diimbangi pula dengan produksi insulin, sehingga kadar glukosa tetap dalam batas normal. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan pasien diabetes, di mana kadar glukosa darah cukup tinggi (ADA, 2013). Dawn phenomenon juga terjadi pada tikus laboratorium (Bailey, 2014) namun terjadi pada awal malam hari karena tikus merupakan hewan nokturnal (Gale, 2011). Sehingga pemeriksaan kadar GDP dilakukan sekitar pukul 18.00 – 19.00 setelah tikus dipuasakan selama siang hari. Selain itu, pada penelitian oleh Sun (2016) juga telah membuktikan bahwa tikus yang dipuasakan selama siang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 46 hari memiliki variasi nilai GDP yang konsisten lebih rendah dibanding tikus yang dipuasakan selama malam hari. Pada penelitian ini pemeriksaan kadar GDP dilakukan pada jam 18.00-19.00 petang. Nilai rerata dan standar deviasi kadar GDP tikus selama uji dijelaskan pada tabel 4.4. dan nilai persentase penurunan kadar glukosa darah tikus dijelaskan pada tabel 4.5. Tabel 4.4. Nilai Rerata dan Standar Deviasi Kadar Glukosa Darah Tikus Waktu Kontrol Positif Sebelum Induksi 104,2 ± 19,31 Setelah Induksi 354,6 ± 163,34 Hari Ke-7 237,4 ± 139,37 Hari Ke-14 188,6 ± 103,23 Hari Ke-21 127,8 ± 30,51 Kadar Glukosa Darah (mg/dL) Dosis Tinggi Dosis Sedang 110 ± 9,08 98,2 ± 13,57 289 ± 85,4 282,6 ± 122,24 147,2 ± 19,25 220,4 ± 77,82 162,2 ± 54,04 189,6 ± 111,37 122,8 ± 19,38 144,6 ± 44,55 Dosis Rendah 94,6 ± 11,87 325,4 ± 143,63 290 ± 133,84 259 ± 110,24 188,4 ± 76,66 Data ditampilkan dalam bentuk Rerata ± Standar Deviasi Kadar Glukosa darah (mg/dL) Grafik Rerata Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Metode Induksi Aloksan 400 350 300 250 200 150 100 50 0 dosis tinggi dosis sedang dosis rendah kontrol positif kontrol negatif kontrol normal Tabel 4.5 Persentase Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Kelompok Uji Kontrol Positif Dosis Tinggi Dosis Sedang Dosis Rendah Hari Ke-7 33,05% 48,89% 22,01% 10,88% Hari Ke-14 46,81% 43,87% 32,91% 20,41% Hari Ke-21 63,96% 57,36% 48,83% 42,10% UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 47 Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa di antara kelompok dosis rendah, sedang, dan tinggi, kelompok dosis yang menunjukkan persentase penurunan kadar glukosa darah dari paling besar adalah kelompok dosis tinggi (57,36%), kemudian kelompok dosis sedang (48,83 %) dan kelompok dosis rendah (42,1%). Persentase penurunan ketiga dosis yang diberikan ini masih di bawah penurunan kadar glukosa oleh kontrol positif yaitu sebesar 63,96%. Berdasarkan persentase penurunan kadar glukosa darah, dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar glukosa darah bersifat dose-dependent, di mana peningkatan dosis ekstrak menyebabkan peningkatan efek penurunan kadar glukosa darah tikus yang diinduksi aloksan. Analisa hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus dilakukan menggunakan program SPSS 22.0. Hasil analisa data dapat dilihat pada lampiran 16. Uji yang pertama dilakukan yaitu uji normalitas dan homogenitas. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data di setiap kelompok uji memiliki sebaran yang normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnof. Sedangkan uji homogenitas dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah antar kelompok uji memiliki varian data yang sama atau tidak. Uji homogenitas dilakukan menggunakan metode Levene. Data dikatakan memiliki sebaran normal dan homogen jika memiliki nilai signifikansi ≥ 0,05 (Dahlan, 2012). Secara statistika, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian analitik komparatif numerik tidak berpasangan. Untuk analisa data, uji yang pertama dilakukan yaitu uji normalitas dan homogenitas. Jika data terdistribusi normal dan memiliki varian yang homogen, data dianalisa dengan metode One-Way ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Jika data tidak terdistribusi normal dan memiliki varian yang homogen, maka data dianalisa dengan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (Dahlan, 2012). Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa data yang diperoleh tidak tersebar normal pada hari ke-21 (p ≤ 0,05). Data juga tidak memiliki varian yang homogen pada waktu setelah induksi, hari ke-7, dan hari ke-21 setelah pemberian ekstrak (p ≤ 0,05). Karena terdapat data yang tidak terdistribusi normal serta tidak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 48 homogen, maka pengolahan data tidak bisa dilakukan dengan metode One-Way ANOVA. Pengolahan data selanjutnya dilakukan dengan metode Kruskal-Wallis. Berdasarkan hasil analisa dengan metode Kruskal-Wallis, diketahui bahwa semua kelompok memiliki perbedaan secara bermakna pada waktu setelah induksi, pada hari ke-7, ke-14, dan ke-21 (p ≤ 0,05) serta tidak memiliki perbedaan bermakna pada waktu sebelum induksi (p ≥ 0,05). Analisis selanjutnya dilanjutkan dengan metode Mann-Whitney untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan secara bermakna antara kelompok. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa secara statistik kelompok kontrol positif, dosis 160 mg/kgBB, dan dosis 320 mg/kgBB memiliki perbedaan bermakna dengan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok ini memiliki aktivitas dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus. Senyawa metabolit sekunder yang dikandung ekstrak etanol biji rambutan berperan penting dalam aktivitas antihiperglikemik yang ditimbulkan. Berdasarkan penapisan fitokimia yang sudah dilakukan, ekstrak etanol 70% biji rambutan positif mengandung alkaloid, flavonoid, serta tannin. Alkaloid terbukti memiliki efek antihiperglikemik dengan cara menurunkan transport glukosa melewati epitel intestinal. Alkaloid juga terbukti berperan dalam regenerasi sel islet pankreas serta menghambat enzim α glukosidase (Narender, 2011). Flavonoid terbukti mampu menurunkan kadar glukosa darah dengan cara menghambat absorpsi glukosa serta meningkatkan toleransi glukosa. Flavonoid juga terbukti mampu menghambat kerja enzim α glukosidase. Selain itu, flavonoid juga terbukti bekerja menyerupai insulin, yaitu bekerja dengan menstimulasi ambilan glukosa pada jaringan perifer serta berperan dalam ekspresi enzim yang berperan dalam jalur metabolisme karbohidrat (Brahmachari, 2011). Tanin terbukti memiliki efek sebagai antioksidan (Amarowicz, 2007) yang bermanfaat dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Pada kondisi hiperglikemia, jumlah stres oksidatif meningkat yang menyebabkan menurunnya jumlah sel β pankreas dan sekresi insulin. Adanya antioksidan dapat meningkatkan jumlah sel β pankreas serta menstimulasi sekresi insulin (Kajimoto dan Kaneto, 2004). Pada penelitian yang dilakukan oleh Thitilertdecha (2010) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 49 membuktikan bahwa senyawa tanin yang paling banyak terkandung pada kulit buah rambutan adalah geraniin. Namun masih perlu dilakukan penelitian lanjutan apakah senyawa tersebut juga merupakan senyawa tanin yang terkandung pada biji rambutan. 4.6.2. Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α Glukosidase Penelitian oleh Zulhipri (2007) membuktikan bahwa ekstrak metanol biji rambutan memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α glukosidase. Sehingga pada penelitian ini akan dibuktikan bagaimana aktivitas ekstrak etanol biji rambutan terhadap enzim α glukosidase. Enzim α glukosidase merupakan enzim pada intesinal yang bekerja menghidrolisis karbohidrat sehingga terpecah menjadi monosakarida dan dapat diabsorpsi dalam saluran cerna. Penghambat enzim α glukosidase dapat menghambat absorpsi karbohidrat sehingga menghambat peningkatan kadar glukosa darah postprandial (Brunton (ed), 2008; Hayakawa, 1984). Pada uji aktivitas enzim α glukosidase ini, digunakan pembanding positif akarbosa, suatu oligosakarida yang bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α glukosidase seperti α amilase, sukrase, dan maltase (Hayakawa, 1984). Larutan gula yang dibebankan pada tikus uji yaitu sukrosa yang termasuk dalam golongan disakarida. Uji dilakukan pada tiga kelompok uji, yaitu kelompok kontrol positif, kelompok kontrol negatif, serta kelompok dosis uji. Dosis yang diberikan untuk kelompok dosis uji yaitu ekstrak etanol 70% biji rambutan dosis 320 mg/kgBB. Pemilihan dosis ini dilakukan berdasarkan kelompok dosis yang memberikan aktivitas paling optimum pada uji dengan metode induksi aloksan. Sebelum perlakuan, hewan uji dipuasakan selama 12 jam dengan tetap mendapat akses air minum. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kadar glukosa darah awal yang seragam serta untuk memastikan perubahan kadar glukosa darah tikus nantinya tidak dipengaruhi apapun selain sediaan uji dan larutan sukrosa yang diberikan. Nilai rerata dan standar deviasi kadar glukosa darah tikus dari setiap kelompok dijelaskan pada tabel 4.6. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 50 Tabel 4.6. Rata-Rata dan Standar Deviasi Kadar Glukosa Darah Waktu Menit ke-0 Menit ke-30 Menit ke-60 Menit ke-90 Menit ke-120 Kadar Glukosa Darah (mg/dL) Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 320 mg/kgBB 103,4 ± 9,29 99,8 ± 13,44 99,8 ± 8,23 140,4 ± 21,89 126,4 ± 14,21 155,6 ± 11,37 193,8 ± 25,06 165,6 ± 21,76 134,6 ± 11,37 133,8 ± 22,08 128,2 ± 8,53 126,4 ± 10,78 106,8 ± 28,31 113,6 ± 16,26 101,4 ± 18,49 Data ditampilkan dalam bentuk Rerata ± Standar Deviasi Kadar Glukosa Darah (mg/dL) Grafik Rerata Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Penghambatan Enzim α Glukosidase 250 200 150 Kontrol Positif 100 Kontrol Negatif Dosis 320 mg/kgBB 50 0 0 30 60 90 120 150 Menit ke- Analisa data dilakukan menggunakan aplikasi SPSS 22.0. Hasil analisa data dapat dilihat pada lampiran 17. Uji yang pertama dilakukan yaitu uji normalitas menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov serta uji homogenitas menggunakan metode Levene. Berdasarkan hasil analisa, data yang didapat terdistribusi normal dan memiliki varian yang homogen (p ≥ 0,05) sehingga uji bisa dilanjutkan menggunakan metode One-Way ANOVA. Berdasarkan uji One-Way ANOVA, diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna pada menit ke-60 (p ≤ 0,05). Analisa data dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui kelompok manakah yang memiliki perbedaan secara bermakna. Berdasarkan uji BNT, diketahui bahwa kelompok dosis tinggi berbeda secara bermakna dengan kontrol negatif pada menit ke-60 (p ≤ 0,05). Hal ini menunjukkan adanya efek penghambatan peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan pada kelompok dosis tinggi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 51 Berdasarkan uji BNT juga terlihat adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol positif dan kelompok dosis uji pada menit ke-60 (p ≤ 0,05). Meskipun demikian, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan dalam waktu puncak kadar glukosa darah tertinggi. Pada kelompok dosis uji, kadar glukosa darah tertinggi terlihat pada menit ke-30 dan mengalami penurunan pada menit ke-60. Sedangkan pada kelompok kontrol positif, kadar glukosa darah menit ke30 tidak berbeda bermakna dengan kelompok kontrol dosis uji, dan masih mengalami kenaikan serta mengalami puncak kadar glukosa darah pada menit ke60. Hal ini menunjukkan ekstrak etanol biji rambutan dosis tinggi lebih kuat berikatan dengan enzim α glukosidase jika dibandingkan dengan kontrol positif. Aktivitas penghambatan peningkatan kadar glukosa darah dari ekstrak etanol biji rambutan disebabkan adanya senyawa metabolit sekunder yang terkandung. Senyawa metabolit sekunder yang terkandung yaitu alkaloid dan flavonoid terbukti memiliki aktivitas dalam penghambatan enzim α glukosidase (Narender, 2011; Brahmachari, 2011). 4.6.2. Pengamatan Histologi Pankreas Pada penelitian ini pengamatan histologi dilakukan untuk memberikan gambaran histologi pulau langerhans tikus uji. Setelah dilakukan pengukuran kadar glukosa darah puasa tikus pada hari ke-21, tikus diterminasi kemudian satu tikus dari setiap kelompok diambil organ pankreasnya untuk dilakukan pengamatan histologi. Tikus yang diambil organ pankreasnya dipilih berdasarkan nilai persentase penurunan kadar glukosa darah yang paling besar dalam satu kelompok. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61) secara dekskriptif dengan perbesaran 400 x. Pulau langerhans tikus terdiri dari beberapa macam sel yaitu sel α, sel β, sel δ, dan sel PP. Jumlah sel β pada pulau langerhans tikus paling banyak dibandingkan dengan sel lain, yaitu mencapai 60-80% dari pulau langerhans (Steiner, 2010). Pada penelitian ini, preparat pankreas diberi pewarnaan hematoksilin eosin. Pada pewarnaan dengan metode ini mampu untuk menggambarkan pulau langerhans tikus uji. Parameter dalam pengamatan histologi ini adalah gambaran deskriptif pulau langerhans serta penghitungan jumlah sel pada pulau langerhans pankreas tikus uji. Penggambaran pulau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 52 langerhans tikus uji ditunjukkan pada gambar 4.1. dan jumlah sel pada pulau langerhans masing-masing kelompok dijelaskan dalam tabel 4.7. Berdasarkan pengamatan mikroskopik, dapat terlihat bahwa pada tikus kelompok kontrol normal, kontrol positif dan pada kelompok dosis 320 mg/kgBB pulau langerhans tikus terlihat dengan jelas dan luas. Berbeda halnya dengan pada kelompok kontrol negatif, kelompok dosis 80 mg/kgBB dan dosis 160 mg/kgBB pulau langerhans tikus terlihat jauh lebih sempit. Gambar 4.1. Gambaran Histologi Pankreas Tikus Uji Kontrol normal Kontrol positif Kontrol negatif Dosis rendah Dosis sedang Dosis tinggi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 53 Berdasarkan penghitungan sel pada pulau langerhans tikus juga diketahui bahwa jumlah sel pada pulau langerhans paling banyak terdapat pada kelompok normal. Sedangkan jumlah sel pulau langerhans yang paling sedikit terlihat pada kelompok kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa aloksan terbukti dapat menyebabkan kematian sel β pankreas. Sedangkan untuk kelompok dosis uji, hasil pengamatan membuktikan bahwa ekstrak etanol biji rambutan dosis tinggi mampu mengurangi kerusakan pada pulau langerhans tikus dengan paling baik dibandingkan kelompok dosis sedang dan dosis rendah. Hal ini dilihat dari jumlah sel pada kelompok dosis tinggi paling mendekati jumlah sel pada kelompok kontrol positif. Tabel 4.7. Jumlah Sel Pulau Langerhans Pankreas Tikus Uji Kelompok Perlakuan Jumlah Sel pada Pulau Langerhans Tikus Uji Kontrol normal 143 Kontrol positif 120 Kontrol negatif 28 Dosis tinggi 98 Dosis sedang 47 Dosis rendah 39 Aloksan merupakan salah satu senyawa kimia yang sering digunakan sebagai penginduksi diabetes. Aloksan merupakan turunan urea yang dapat menyebabkan nekrosis secara selektif pada sel β pankreas (Etuk, 2010). Di dalam tubuh, aloksan dapat membentuk reactive oxygen species (ROS) yang merupakan mediator penting dalam perusakan sel β pankreas (Hosseini, 2015). Sel β pankreas rentan terhadap stres oksidatif karena sel β pankreas menunjukkan aktivitas serta ekspresi enzim yang sangat rendah dibandingkan dengan jaringan lainnya, di mana enzim ini penting dalam proteksi sel terhadap stres oksidatif. Enzim yang dimaksud antara lain katalase, glutathione peroxidase, cytosolic Cu2+/Zn2+ dismutase dan mitochondrial Mn2+ dismutase (Lenzen, 1996). Sel β pankreas memiliki kemampuan untuk beregenerasi demi mempertahankan keseimbangan kadar glukosa darah, meskipun kemampuan regenerasi ini akan menurun dan prosesnya akan semakin lambat seiring dengan bertambahnya usia (Hosseini, 2015). Regenerasi sel β pankreas dapat terjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 54 melalui replikasi sel β yang masih hidup atau melalui neogenesis stem cell dan sel progenitor. Neogenesis dapat berasal dari sel tipe lain pada pankreas, misalnya sel α, sel δ, epitel duktus, sel acinar, dan sel sentroacinar. Namun, proses ini membutuhkan aktivator seperti hormon, growth factor, dan aktivator lainnya (Bouwens, 2005). Penelitian mengenai efek ekstrak biji rambutan terhadap histologi pankreas mencit pernah dilakukan sebelumnya oleh Rahayu (2013). Hasil pemeriksaan histologi pada penelitian ini membuktikan bahwa air seduhan biji rambutan memiliki aktivitas pada proses regerasi sel β pankreas, dengan jumlah sel β pankreas yang hidup pada mencit kelompok dosis tinggi (3,12 g/kg BB) hampir sama dengan jumlah sel β pankreas mencit kelompok kontrol positif. Kemampuan perbaikan sel islet pankreas oleh ekstrak etanol biji rambutan disebabkan oleh senyawa metabolit sekunder yang terkandung. Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak etanol biji rambutan yaitu alkaloid terbukti berperan dalam regenerasi sel islet pankreas (Narender, 2011). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Setelah dilakukan pemberian ekstrak etanol 70% biji rambutan selama 21 hari, presentase penurunan kadar glukosa darah terbesar ditunjukkan pada kelompok uji dosis 320 mg/kgBB yaitu sebesar 57,36%. . 2. Ekstrak etanol biji rambutan dosis 320 mg/kgBB terbukti mampu menghambat peningkatan kadar glukosa darah postprandial tikus uji dengan lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. 3. Pada pengamatan histologi, ekstrak biji rambutan dosis 320 mg/kgBB terbukti paling baik dalam perbaikan kerusakan langerhans pankreas tikus. 5.2. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai dosis efektif maksimal dalam menurunkan kadar glukosa darah serta uji toksisitas dari ekstrak etanol 70% biji rambutan. 55 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR PUSTAKA Afika, M., Sastramihardja, H. S., Indriyanti, R. A. 2015. Efek Ekstrak Etanol Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah Puasa Mencit Model Diabet. Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: 2460-657X Amarowicz, R. 2007. Tannin: The New Natural Antioxidants. European Journal of Lipid Science and Technology Vol. 109 page 549-551 American College of Clinical Pharmacy. 2013. Pharmacotherapy Review Program for Advanced Clinical Pharmacy Practice. Lenexa, Kansas: American College of Clinical Pharmacy American Diabetes Association. 2013. Dawn Phenomenon. http://www.diabetes.org/living-with-diabetes/treatment-and-care/bloodgluc ose-control/dawn-phenomenon.html Anonim. 2014. Standard Operating Procedure Preparing Pancreas Section for Histology. Duarte, California: Integrated Islet Distribution Program Armitage, D. 2004. Rattus norvegicus. Animal Diversity Web. Diakses tanggal 28 Maret 2016 dari http://animaldiversity.org/accounts/Rattus_norvegicus/ Aronoff, S. L. et al. 2004. Glucose Metabolism and Regulation: Beyond Insulin and Glucagon. Diabetes Spectrum Vol. 17 (3) Ayoola, G. A. et al. 2008. Phytochemical Screening and Antioxidant Activities of Some Selected Medicinal Plants Used for Malaria Therapy in Southwestern Nigeria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research 7 (3) 1019-1024 Bailey, S. M., Udoh, U. S., dan Young, M. E. 2014. Circadian Regulation of Metabolism. Journal of Endocrinology Vol. 222 No. 2 Bouwens, L., Rooman, I. 2005. Regulation of Pancreatic Beta-Cell Mass. Physiological Reviews Vol 85 Page 1255-1270 Bowen, R. 2002. The Endocrine Pancreas: Introduction and Index. Diakses pada 25 April 2016 dari http://arbl.cvmbs.colostate.edu/hbooks/pathphys/ endocrine/pancreas/ Brahmachari, G. 2011. Bio-Flavonoids with Promising Antidiabetic Potentials: A Critical Survey. Opportunity, Challange, and Scope of Natural Product in Medicinal Chemistry page 187-212 Brunton, L. L. et al (ed). 2008. Goodman & Gilman’s: Manual of Pharmacology and Therapeutics. United States: McGraw-Hill Companies 56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 57 Dahlan, S. M. 2012. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat, dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS. Jakarta: Salemba Medika Dalimartha, S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 3. Jakarta: Puspa Swara Departemen Kesehatan RI. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Departemen Pertanian. 2003. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 518Kpts/PD.210/10/2003 tentang Pelepasan Rambutan Parakan sebagai Varietas Unggul Jakarta DiPiro, J. T. et al. 2005. Pharmacotherapy: A phisiologic Approach. McGrawHill Dubowski, K. M. 2008. An o-Toluidine Method for Body Fluid Glucose Determination. Clinical Chemistry 54:11 1919-1920 Duxbury, M. 2004. An Enzymatic Clinical Chemistry Laboratory Experiment Incorporating an Introduction to Mathematical Method Comparison Techniques. Biochemistry and Molecular Biology Education Vol. 32, No. 4, Page 246–249, Etuk, E. U. 2010. Animal Model for Studying Diabetes Mellitus. Agriculture and Biology Journal of North America 1 (2): 130-134 Evans, W. C. 2002. Trease & Evans Pharmacognosy 15th Edition. Elsevier Federiuk, I. F. et al. 2004. Induction of Type-1 Diabetes Mellitus in Laboratory Rats by Use of Alloxan: Route of Administration, Pitfalls, and Insulin Treatment. Comparative Medicine Vol. 54 No. 3 Page 252-257 Foltz, C. J., Ullman-Cullere, M. 1999. Guidelines for Assessing the Health and Condition of Mice. Lab Animal Vol. 28 No. 4 Fransworth, N. R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical Sciences Vol. 55 No. 3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 58 Gale, J. E. et al. 2011. Disruption of Circadian Rhythms Accelerates Development of Diabetes through Pancreatic Beta-Cell Loss and Dysfunction. Journal of Biological Rhythms Vol 26 No 5 Page 423-433 Ghorbani, A. 2013. Best Herbs for Managing Diabetes: A Review of Clinical Studies. Braz. J. Pharm. Sci., V.49, P.413-422 Ghorbani, A. 2013. Phytotherapy for Diabetic Dyslipidemia: Evidence from Clinical Trials. Clin. Lipidol., V.8, P.311-319, 2013b. Gorus, F. K., Malaisse, W. J., Pipeleers, D. G. 1982. Selective uptake of Alloxan by Pancreatic B-Cells. The Biochemical Journal Vol. 208 No. 2 Page 513515 Gruppuso, P. A. et al. 1990. Hepatic Protein Phosphotyrosine Phosphatase: Dephosphorylation of Insulin and epidermal Growth Factor Receptors in Normal and Alloxan Diabetic Rats. Journal of Clinical Investigation Vol. 85; 1754-1760 Handa, S. S., Khanuja, S. P. S., Longo, G., Rakesh, D. D. (ed). 2008. Extraction Technologies for Medicinal and Aromatic Plants. Trieste, Italia: International Center for Science and High Technology Hayakawa, Tetuo et al. 1984. Effect of Acarbose, an α-glucosidase inhibitor (Bay G 5421), on Orally Loaded Glucose, Maltose, and Sucrose and on Blood Glucose Control in Non-Insulin-Dependent Diabetics. Nagoya Journal of Medicine Scienc 47 page 35-41 Heller, A. Feldman, B. 2008. Electrochemical Glucose Sensors and Their Application in Diabetes Management. Chemical Reviews, 108, page 24822506 Hosseini, A., Shafiee-Nick, R., Ghorbani, A. 2015. Pancreatic Beta Cell Protection/Regeneration with Phytotherapy. Brazilian Journal of Pharmaceutical Sciences Vol. 51 No. 1 IDF Diabetes Atlas, 7th edition. 2015. International Diabetes Federation Integrated Taxonomic Information System. nd. Nephelium lappaceum L.. http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&searc h_value=506073 Integrated Taxonomic Information System. nd. Rattus norvegicus. http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&searc h_value=180363 Johnson, M. 2012. Laboratory Mice and Rats. http://www.labome.com/method/ Laboratory-Mice-and-Rats.html Jorns, A. et al. 1997. Comparative Toxicity of Alloxan, N-Alkylalloxans and Ninhydrin to Isolated Pancreatic Islets In Vitro. Journal of Endocrinology Vol. 155 page 283-293 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 59 Kajimoto, Y. dan Kaneto, H. 2004. Role of Oxidative Stress in Pancreatic BetaCell Dysfunction. Annals of The New York Academy of Science page 168176 King, J. M., Eigenmann, C. A., Colagiuri, S. 1995. Effect of Ambient Temperature and Humidity on Performance of Blood Glucose Meters. Diabetic Medicine: A Journal of The British Diabetic Association Vol. 12, No. 4, Page 337-340 Koda-Kimble, M. A. et al (ed). 2009. Apllied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs Ninth Edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins Lenzen, S. 2007. Alloxan and Streptozocin Diabetes In Endokrinologie III Vorträge im Rahmen des Projektes ‘Zeitstrukturen endokriner Systeme’ [Endocrinology III lectures within the ‘time structures of endocrine systems’ project framework]. Abhandlung der Sächs. Akad. Wiss., Mathnaturwiss Klasse, Publisher Saxon Academy of Sciences, Leipzig, commissioned by S. Hirzel Verlag, Stuttgart/ Leipzig, pp 119–138 Lenzen, S., Drinkgern, J., and Tiedge, M. 1996. Low Antioxidant Enzyme Gene Expression in Pancreatid Islets Compared with Various Other Mouse Tissues. Free Radical Biology and Medicine Vol. 20 Issue 3 Page 463-466 Lim, T. K. 2012. Edible Medicinal and Non-Medicinal Plants: Volume 6 p. 62-71. DOI 10.1007/978-94-007-5628-1 McMillin. 1990. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. Third Edition. Boston: Butterworths Publisher Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa Aktif. Jurnal Kesehatan Vol. VII No. 2 Narender, T. Khaliq, T. and Madhur, G. 2011. Naturally Occuring Antihyperglycemic and Antidyslipidemic Agents. Opportunity, Challange, and Scope of Natural Product in Medicinal Chemistry page 155-185 National Association for Biomedical Research (NABR). 2015. Mice and Rats: The Essential Need for Animals in Medical Research. Washington DC National Center for Biotechnology Information. nd. PubChem Compound Database; Alloxan CID 5781, https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/ compound/5781 Pavarini, D. P. et al. 2012. Exogenous influences on plant secondary metabolite levels. Animal Feed Science and Technology Vol 176 Page 5-16 Pithon, M. M. 2013. Importance of the Control Group in Scientific Research. Dental Press Journal of Orthodontics Vol. 18 No. 6 Radenkovi´c, M., Stojanovi´c, M., dan Prostran, M. 2015. Experimental Diabetes Induced by Alloxan and Streptozotocin: The Current State of The Art. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 60 Journal of Pharmacological 10.1016/j.vascn.2015.11.004. and Toxicological Methods DOI: Rahayu, L. dkk. 2013. Pengaruh Air Seduhan Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) terhadap Glukosa Darah dan Histologi Pankreas Mencit yang Diinduksi Aloksan. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 11 No. 1 28-35 Rohilla, A. and Ali, S., 2012. Alloxan Induced Diabetes: Mechanism and Effect. International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Science Vol. 3 (2) Saifudin, Azis. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder: Teori, Konsep, dan Teknik Pemurnian. Yogyakarta: Deepublish. Sarker, S. D., Latif, Z., and Gray, A. I. 2006. Natural Products Isolation Second Edition. Totowa, New Jersey: Humana Press Skelin, M., Rupnik, M., Cencic, A. 2010. Pancreatic Beta Cell Lines and Their Application in Diabetes Mellitus Research. Altex Vol. 27 2/10 Soeng, S. et al. 2015. Inhibitory Potential of Rambutan Seeds Extract and Fractions on Adipogenesis in 3T3-L1 Cell Line. Journal of Experimental and Integrative Medicine Vol. 5 Issue 1 Steiner, D. J. et al. 2010. Pancreatic Islet Plasticity: Interspecies Comparison of Islet Architecture and Composition. Islets Vol. 2 Page 135-145 Sukandar, E. Y. dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta: ISFI Penerbitan Sun, C. et al. 2016. Effect of Fasting Time on Measuring Mouse Blood Glucose Level. International Journal of Clinical and Experimental Medicine Vol. 9 Page 4186-4189 Sweetman, S.C. (Ed). 2009. Martindale: The Complete Drug Reference 36th Edition. Pharmaceutical Press Syifa’, N. 2008. Potensi Ekstrak Etanol Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) sebagai Penurun Kadar Gluosa Darah pada Tikus Jantan yang diinduksi Aloksan. Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia. Skripsi Szkudelski T. 2001. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin Action B Cells of Rat Pancreas. Physiological Research Vol. 50 Page 536-546 The Institutional Animal Care and Use Committee (IACUC). 2014. Weight Loss in Research Animals (approved script 2003) Thitilertdecha, N. et al. Identification of Major Phenolic Compounds from Nephelium lappaceum L. and Their Antioxidant Activities. Molecules Vol 15 page 1453-1465 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 61 Tonyushkina, K., Nichols, J. H. 2009. Glucose Meters: A Review of Technical Challenges to Obtaining Accurate Results. Journal of Diabetes Science and Technology 3(4): 971–980. Tyrberg, B., Andersson, A., and Borg, L. A. 2001. Species Differences in Susceptibility of Transplanted and Cultured pancreatic islets to the betacell toxin alloxan. General and Comparative Endocrinology 122 (3), 238251 Ulas, M. et al. 2015. Anti-Diabetic Potential of Chromium Histidin in Diabetic Retinopathy Rats. BioMed Central Complementary and Alternative Medicine 15:16 Wang, J. 2008. Electrochemical Glucose Biosensors. Chemical Reviews 108 (2) page 814-825 Wang, Z. et al. 2010. Estimation of Normal Range of Blood Glucose in Rats. Journal of Hygiene Research. vol. 39(2): pp 133-7, 142. World Health Organization. 2000. General Guidelines for Methodologies on Research and Evaluation of Traditional Medicine. Geneva: World Health Organization World Health Organization. 2003. Manual of Basic Techniques for Health Laboratory 2nd Edition. Geneva: World Health Organization World Health Organization. 2006. Defintion and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate Hyperglycemia: Report of a WHO/IDF Consultation. Geneva: World Health Organization World Health Organization. 2015. Diabetes programme: World Diabetes Day 2015. http://www.who.int/diabetes/wdd_2015/en/ World Health Organization. 2016. Diabetes Country http://www.who.int/diabetes/country-profiles/en/ Profiles 2016. Yamada, S. 2011. Historical Achievements of Self-Monitoring of Blood Glucose Technology Development in Japan. Journal of Diabetes Science and Technology Vol. 5, Issue 5 Yuda, A. A. G. P., Rusli R., dan Ibrahim A. 2015. Kandungan Metabolit Sekunder dan efek Penurunan Glukosa Darah Ekstrak Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) pada Mencit (Mus musculus). Jurnal Sains dan Kesehatan Vol. 1 No. 3 Zulhipri, Kartika, I. R., Sumaji, I. 2007. Uji Fitokimia dan Aktivitas Antidiabetes ekstrak Biji Rambutan (Nephelium lappaceum L.) dengan Berbagai Pelarut. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Vol. 13 No. 03 89-97 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 62 Lampiran 1. Determinasi Biji Rambutan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 63 Lampiran 2. Surat Keterangan Kesehatan Hewan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 64 Lampiran 3. Surat CoA Aloksan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 65 Lampiran 4. Alur Pembuatan Ekstrak Biji Rambutan Nephelium lappaceum L. Determinasi tanaman Biji dipisahkan dari daging buahnya Dicuci dengan air bersih dan mengalir Dikeringkan dengan cara diangin-anginkan Sortasi kering Dihaluskan hingga menjadi serbuk Simplisia biji rambutan 903 gram serbuk biji rambutan dimaserasi dengan etanol 70%. Disimpan di tempat gelap dan sesekali diaduk. Pelarut diganti setiap 3 hari. Disaring dengan kapas dan kertas saring. Kemudian dilakukan remaserasi hingga didapat filtrat bening Maserat dipekatkan dengan rotary evaporator Ekstrak kental UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 66 Lampiran 5. Alur Aklimatisasi Hewan Uji Metode Induksi Aloksan Disiapkan 30 ekor tikus putih jantan dengan bobot 150-250 gr Diadaptasikan selama 14 hari Tikus dikelompokkan secara acak menjadi 6 kelompok: 5 ekor kelompok kontrol normal 5 ekor kelompok kontrol positif 5 ekor kelompok kontrol negatif 5 ekor kelompok ekstrak etanol biji rambutan dosis 80 mg/kgBB 5 ekor kelompok ekstrak etanol biji rambutan dosis 160 mg/kgBB 5 ekor kelompok ekstrak biji rambutan dosis 320 mg/kgBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 67 Lampiran 6. Alur Kerja Uji Induksi Aloksan Persiapan tikus puasa selama 12 jam Kontrol normal Kontrol negatif Kontrol Positif Dosis 80 mg/kgBB Dosis 160 mg/kgBB Dosis 320 mg/kgBB Induksi aloksan dosis 30 mg/200 gr BB tikus Perkembangan hewan uji selama 7 hari Pengukuran kadar hiperglikemia awal Suspensi NaCMC 0,5% Suspensi NaCMC 0,5% Glibencla mid 0,1 mg/200 gr Ekstrak Dosis 80 mg/kgBB Ekstrak Dosis 160 mg/kgBB Ekstrak Dosis 320 mg/kgBB Ukur kadar gula darah pada hari ke 7, 14, 21, 28 hari Ambil jaringan pankreas pada hari ke 28 setelah dilakukan pengukuran kadar gula darah Analisa data UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 68 Lampiran 7. Alur Kerja Uji Toleransi Glukosa Tikus dipuasakan selama 12 jam Kontrol negatif Kontrol positif Na CMC 0,5 % Akarbosa Dosis tinggi Ekstrak etanol 70 % biji rambutan dosis 320 mg/kgBB Larutan sukrosa 80% sebanyak 4 gr/kg BB tikus atau setara dengan 0,8 g/200 g tikus, lalu segera cek kadar glukosa darah puasa pada menit ke-0 Pemeriksaan kadar glukosa darah pada menit ke 30, 60, 90, dan 120 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 69 Lampiran 8. Perhitungan Dosis A. Aloksan Dosis 30 mg/200 g BB tikus Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume larutan aloksan adalah : VAO = Dosis × Berat Badan Konsentrasi 30 mg ⁄200 g BB ×200 g = 30 mg⁄ mL = 1 mL B. Glibenklamid km hewan HED (mg/kg) = dosis hewan (mg/kg) x 5 mg/60 kg = dosis hewan (mg/kg) x 0,083 mg/kg ` = dosis hewan (mg/kg) x 0,162 Dosis hewan ` = Dosis hewan = 0,5 mg/kg km manusia 6 37 0,083 mg/kg 0,162 = 0,1 mg/200 g BB Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume suspensi sediaan glibenklamid adalah : VAO = Dosis × Berat Badan Konsentrasi 0,1 mg ⁄200 g BB ×200 g = 0,1 mg⁄ mL = 1 mL C. Akarbosa HED (mg/kg) = dosis hewan (mg/kg) x 50 mg/60 kg = dosis hewan (mg/kg) x km hewan km manusia 6 37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 70 0,83 mg/kg = dosis hewan (mg/kg) x 0,162 Dosis hewan = 0,083 mg/kg 0,162 = 5 mg/kg = 1 mg/ 200 g Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume suspensi sediaan akarbosa adalah : VAO = Dosis × Berat Badan Konsentrasi 1 mg ⁄200 g BB ×200 g = 1 mg⁄ mL = 1 mL D. Sukrosa Dosis = 4 g/kg BB = 0,8 g/200 g BB Konsentrasi sukrosa 80 % = 80 mg/ 100 mL = 0,8 mg/mL Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume larutan adalah : VAO = Dosis × Berat Badan Konsentrasi 0,8 mg ⁄200 g BB ×200 g = 0,8 mg⁄ mL = 1 mL E. Ekstrak biji rambutan Ekstrak etanol biji rambutan diberikan dalam dosis: Dosis rendah = 80 mg/kgBB Dosis sedang = 160 mg/kgBB Dosis tinggi = 320 mg/kgBB 1. Dosis rendah Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume suspensi sediaan untuk dosis rendah adalah : Dosis rendah = 80 mg/kgBB = 16 mg/200 g BB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 71 VAO = Dosis × Berat Badan Konsentrasi 16 mg ⁄200 g BB ×200 g = 16 mg⁄ mL = 1 mL 2. Dosis sedang Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume suspensi sediaan untuk dosis sedang adalah : Dosis sedang = 160 mg/kgBB = 32 mg/200 g BB VAO = Dosis × Berat Badan Konsentrasi 32 mg ⁄200 g BB ×200 g = 32 mg⁄ mL = 1 mL 3. Dosis tinggi Untuk satu ekor tikus 200 g, maka volume suspensi sediaan untuk dosis tinggi adalah : Dosis tinggi = 320 mg/kgBB = 64 mg/200 g BB VAO = Dosis × Berat Badan Konsentrasi 64 mg ⁄200 g BB ×200 g = 64 mg⁄ mL = 1 mL UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 72 Lampiran 9. Penapisan Fitokimia Ekstrak No. Uji Keterangan gambar Indikator hasil positif Hasil (a) Pereaksi Hasil : + kandungan 1 Alkaloid Dragendroff: (a) (b) (a) Menggunakan adanya endapan pereaksi berwarna oranye terbentuk endapan hingga merah dragendorf (b) Menggunakan (b) Pereaksi Mayer: pereaksi meyer terbentuk dengan terbentuk endapan endapan berwarna putih kekuningan (+) putih atau kuning. 2 Flavonoid Terbentuk warna Hasil : (+) merah muda, oranye, Terdapat atau warna endapan merah berwarna oranye hingga ungu 3 Tanin Terbentuk warna biru, Hasil : + hijau, biru kehijauan, Terbentuk warna hijau hijau kecoklatan atau kecokelatan biru kehitaman 4 Saponin Terbentuknya yang stabil buih Hasil : (-) selama Setelah pengocokan tidak kurang dari 10 terbentuk busa yang menit hilang setelah 10 menit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 73 5 Steroid dan i. triterpenoid Steroid : Terjadi Hasil : perubahan warna Tidak terjadi perubahan menjadi biru atau warna biru kehijauan. ii. Triterpenoid : terbentuk warna merah, pink, atau ungu 6 Antrakuinon Terjadi perubahan Hasil : - warna pada larutan Tidak terjadi perubahan warna UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 74 Lampiran 10. Gambar Kegiatan Penelitian Buah rambutan parakan Simplisia biji rambutan Proses filtrasi Ekstraksi dengan metode maserasi Penimbangan hewan uji Penguapan filtrat dengan rotary evaporator Pemberian sediaan uji Ekstrak etanol 70% biji rambutan Glukometer GlucoDR Pengukuran kadar glukosa darah tikus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 75 Lampiran 11. Perhitungan Rendemen, Kadar Air, dan Kadar Abu Ekstrak Perhitungan Rendemen Ekstrak Persentase rendemen ekstrak = = Bobot Ekstrak Bobot Simplisia 49,19 gram 903 gram × 100% × 100% = 5,44 % Pemeriksaan Kadar Air Berat botol timbang kosong = 12,0533 gram Berat sampel (A) = 2,5365 gram Berat botol timbang + sampel sebelum dioven (B) = 14,5898 gram Berat botol timbang + sampel sesudah dioven (C) = 14,3619 gram % Kadar Air = B - C x 100% A = 14,5898 – 14,3619 x 100% 2,5365 = 8,98 % Pemeriksaan Kadar Abu Berat kurs kosong (A) = 37,3845 gram Berat sampel = 2,5469 gram Berat kurs + sampel sebelum ditanur (B) = 39,9314 gram Berat kurs + sampel sesudah ditanur (C) = 37,5573 gram % Kadar Abu = C – A x 100% B–A = 37,5573 – 37,3845 x 100% 39,9314 – 37,3845 = 6,78% UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 76 Lampiran 12 Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Pendahuluan Kadar glukosa darah (mg/dL) Tikus Sebelum induksi 3 hari setelah 7 hari setelah induksi induksi 1 100 128 166 2 126 136 161 3 125 287 492 4 (Normal) 92 99 91 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 77 Lampiran 13. Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Induksi Aloksan Kelompok Perlakuan Kontrol normal Kontrol negatif Kontrol positif Dosis 80 mg/kgBB Dosis 160 mg/kgBB Dosis 320 mg/kgBB 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 Sebelum induksi 111 82 75 97 139 91 92 115 111 88 138 101 98 93 91 99 79 95 111 89 98 100 119 82 92 106 122 109 98 115 Kadar Glukosa Darah (mg/dL) Setelah Hari7 Hari14 induksi 95 105 102 113 57 89 117 111 116 60 87 115 55 96 80 471 355 399 411 327 328 423 549 554 160 168 168 273 254 281 580 470 372 443 264 143 155 141 123 268 169 153 327 143 152 232 178 183 486 426 375 462 435 379 289 254 212 158 154 146 399 216 338 379 284 276 332 313 109 159 139 83 144 150 142 338 131 157 178 159 155 216 152 126 359 124 119 354 170 254 Hari21 99 114 119 97 66 420 281 600 170 284 123 154 77 142 143s 156 284 254 143 105 179 196 129 83 136 114 133 108 107 152 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 78 Lampiran 14. Kadar Glukosa Uji Penghambatan Aktivitas Enzim α Glukosidase Kadar Glukosa Darah (mg/dL) Kelompok Menit ke- Menit ke- Menit ke- Menit ke- Menit ke0 30 60 90 120 Kontrol 94 180 222 160 82 negatif 107 162 216 147 72 113 149 189 124 122 138 156 189 135 129 110 125 180 125 120 Kontrol 97 138 174 126 116 positif 106 139 162 125 102 109 139 164 125 122 88 124 145 117 85 99 136 143 134 121 Ekstrak dosis 113 142 132 111 104 tinggi 82 160 137 132 108 103 167 153 133 119 90 142 126 118 106 111 137 112 93 70 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 79 Lampiran 15. Persentase Penurunan Kadar Glukosa Darah Uji Induksi Aloksan A. Kontrol Positif (Glibenklamid) Hari ke-7 pemberian ekstrak 354,6−237,4 × 100 % = 33,05 % 354,6 Hari ke-14 pemberian ekstrak Hari ke-21 pemberian ekstrak 354,6−188,6 354,6 354,6−127,8 354,6 × 100 % = 46,81 % × 100 % = 63,96 % B. Dosis Rendah (Ekstrak 80 mg/kg BB) Hari ke-7 pemberian ekstrak 325,4−289,4 × 100 % = 11,06 % 325,4 Hari ke-14 pemberian ekstrak Hari ke-21 pemberian ekstrak 325,4−259 325,4 × 100 % = 20,41 % 325,4−188,4 325,4 × 100 % = 42,10 % C. Dosis Sedang (Ekstrak 160 mg/kg BB) Hari ke-7 pemberian ekstrak 282,6−220,4 282,6 Hari ke-14 pemberian ekstrak Hari ke-21 pemberian ekstrak × 100 % = 22,01 % 282,6−189,6 282,6 282,6−144,6 282,6 × 100 % = 32,91 % × 100 % = 48,83 % D. Dosis Tinggi (Ekstrak 320 mg/kg BB) Hari ke-7 pemberian ekstrak 272,75−147,2 Hari ke-14 pemberian ekstrak Hari ke-21 pemberian ekstrak 272,75 × 100 % = 49,07 % 272,75−162,2 272,75 272,75−122,8 272,75 × 100 % = 43,88 % × 100 % = 57,51 % UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 80 Lampiran 16. Analisis Kadar Glukosa Darah Uji Induksi Aloksan 1. Uji Normalitas dan Homogenitas kadar glukosa darah a. Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov Tujuan : Untuk melihat distribusi data kadar glukosa darah tikus Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus terdistribusi normal Ha = Data kadar glukosa darah tikus tidak terdistribusi normal Pengambilan Keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak Keputusan : Kadar glukosa tikus tidak terdistribusi normal pada data hari ke-21 setelah pemberian ekstrak (p ≤ 0,05) b. Uji Homogenitas Levene Tujuan : Untuk melihat data kadar glukosa darah tikus uji homogen atau tidak Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus homogen Ha = Data kadar glukosa darah tikus tidak homogen Pengambilan Keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 81 Kesimpulan : Data kadar glukosa darah tidak homogen pada waktu setelah induksi, hari ke-7, dan hari ke-21 (p ≤ 0,05) sehingga analisis dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis. 2. Uji Kruskal-Wallis Tujuan : Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan secara bermakna pada data kadar glukosa darah tikus uji Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus tidak berbeda secara bermakna Ha = Data kadar glukosa darah tikus berbeda secara bermakna Pengambilan Keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada waktu setelah induksi, hari ke-7, ke-14, dan ke-21. Sedangkan pada waktu sebelum induksi tidak terdapat perbedaan secara bermakna. Analisis dilanjutkan dengan uji Mann Whitney. 3. Uji Mann Whitney Tujuan : Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan secara bermakna pada data kadar glukosa darah tikus uji UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 82 Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus tidak berbeda secara bermakna Ha = Data kadar glukosa darah tikus berbeda secara bermakna Pengambilan Keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak a. Kontrol Positif vs Kontrol Negatif Tidak ada perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kontrol positif dengan kontrol negatif pada waktu sebelum induksi, setelah induksi, serta pada hari ke-7. Terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol positif dengan kontrol negatif pada hari ke14 dan ke-21. b. Kontrol Positif vs Dosis Tinggi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 83 Tidak ada perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kontrol positif dengan dosis tinggi pada waktu sebelum induksi, setelah induksi, serta pada hari ke-7, ke-14 dan ke-21 pemberian ekstrak. c. Kontrol Positif vs Dosis Sedang Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol positif dan dosis sedang pada waktu sebelum induksi, setelah induksi, hari ke-7, ke-14, dan ke-21 pemberian ekstrak. d. Kontrol Positif vs Dosis Rendah Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol positif dan dosis rendah pada waktu sebelum induksi, setelah induksi, serta pada hari ke-7, ke-14, dan ke-21pemberian ekstrak. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 84 e. Kontrol Negatif vs Dosis Tinggi Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol negatif dan dosis tinggi pada waktu sebelum dan setelah induksi. Terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol negatif dengan dosis tinggi pada hari ke-7, ke -14, dan ke-21 pemberian ekstrak. f. Kontrol Negatif vs Dosis Sedang Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol negatif dan dosis sedang pada waktu sebelum induksi, setelah induksi, hari ke-7 dan ke-14 pemberian ekstrak. Terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol negatif dengan dosis sedang pada hari ke21 pemberian ekstrak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 85 g. Kontrol Negatif vs Dosis Rendah Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kelompok kontrol negatif dan dosis rendah pada waktu sebelum induksi, setelah induksi, hari ke-7, ke-14, dan ke-21 pemberian ekstrak. h. Dosis Tinggi vs Dosis Sedang Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus dosis tinggi dan dosis sedang pada waktu sebelum induksi, setelah induksi, serta pada hari ke-7, ke-14, dan ke-21 pemberian ekstrak. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 86 i. Dosis Tinggi vs Dosis Rendah Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kelompok dosis tinggi dan dosis rendah pada waktu sebelum induksi, setelah induksi, hari ke-14, dan ke-21 pemberian ekstrak. Terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus kelompok dosis tinggi dengan dosis rendah pada hari ke-7 pemberian ekstrak j. Dosis Sedang vs Dosis Rendah Tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kadar glukosa darah tikus dosis sedang dan dosis rendah pada waktu sebelum induksi, setelah induksi, serta pada hari ke-7, ke-14, dan ke-21 pemberian ekstrak. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 87 Lampiran 17. Analisis Kadar Glukosa Darah Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α Glukosidase 1. Uji Normalitas dan Homogenitas kadar glukosa darah a. Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov Tujuan : Untuk melihat distribusi data kadar glukosa darah tikus Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus terdistribusi normal Ha = Data kadar glukosa darah tikus tidak terdistribusi normal Pengambilan Keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak Keputusan : Kadar glukosa tikus terdistribusi normal pada data menit ke-0, 30, 60, 90, dan 120 (p ≥ 0,05) b. Uji Homogenitas Levene Tujuan : Untuk melihat data kadar glukosa darah tikus uji homogen atau tidak Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus homogen Ha = Data kadar glukosa darah tikus tidak homogen Pengambilan Keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 88 Kesimpulan : Data kadar glukosa darah homogen pada menit ke-0, 30, 60, 90, dan 120 (p ≥ 0,05) sehingga analisis dilanjutkan dengan uji analisa varian (ANOVA) satu arah. 2. Uji analisa varian (ANOVA) satu arah Tujuan : Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan secara bermakna pada data kadar glukosa darah tikus uji Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus tidak berbeda secara bermakna Ha = Data kadar glukosa darah tikus berbeda secara bermakna Pengambilan Keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 89 Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada menit ke-60 (p ≤ 0,05). Sedangkan pada menit ke-0, 30, 90, dan 120 tidak terdapat perbedaan secara bermakna (p ≥ 0,05). Analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil. 3. Uji Beda Nyata Terkecil Tujuan : Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan secara bermakna pada data kadar glukosa darah tikus uji Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus tidak berbeda secara bermakna Ha = Data kadar glukosa darah tikus berbeda secara bermakna Pengambilan Keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 90 Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol positif, kontrol negatif, dan kelompok uji pada menit ke-60 (p ≤ 0,05). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 91 Lampiran 18. Foto Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Induksi Aloksan Kelompok Sebelum Perlakuan Induksi 7 Hari Setelah Induksi 7 Hari Setelah Pemberian Sediaan 14 Hari Setelah Pemberian Sediaan 21 Hari Setelah Pemberian Sediaan Kontrol Normal Kontrol negatif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 92 Kontrol positif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 93 Dosis rendah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 94 Dosis sedang Dosis tinggi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 95 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 96 Lampiran 19. Foto Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α Glukosidase Kelompok Menit Ke-0 Perlakuan Setelah Pemberian Larutan Sukrosa Kontrol Negatif Menit Ke-30 Setelah Pemberian Larutan Sukrosa Menit Ke-60 Setelah Pemberian Larutan Sukrosa Menit Ke-90 Setelah Pemberian Larutan Sukrosa Menit Ke120 Setelah Pemberian Larutan Sukrosa Kontrol Positif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 97 Dosis Tinggi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 98 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta