PETANI BUAH PANDAN (Pandanus yulianti martilli) DALAM HUTAN LINDUNG DESA EKAPAME, LANNY JAYA, PAPUA PROPOSAL DISERTASI Sebagai Ganti Nilai UAS Dua Mata Kuliah (Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Wilayah) DARI Prof. Dr. Ir. SOEMARNO, MS OLEH BEEN KOGOYA NIM : 107040100111006 PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2012 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia dan Rahmat-Nya penulis dapat menyusun tugas suatu evaluasi akhir kuliah atau ujian Akhir semester (UAS), dari dua mata kuliah Ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dan perencanaan pengembangan wilayah yang diberikan dengan tujuan menyusun proposal Disertasi untuk sejauh mana kemampuan mahasiswa menguasai materi yang diberikan dalam proses belajar mengajar selama perkuliahan berlangsung. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Prof. Dr. Ir. SOEMARNO, SM. Selaku Direktur Program Pascasarjana, Fakultas Pertanian, juga sebagai Guru Besar Universitas Brawijaya (UB) Malang yang telah memberikan kuliah Ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dan perencanaan pengembangan wilayah, 2. Semua teman-teman kuliah minat pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan angkatan tahun 2011 yang telah memberikan masukan dan semangat dari teman-teman sehingga tugas ini bisa dapat dikerjakan 170 halaman dalam jangka waktu tiga bulan. Tugas Proposal Disertasi ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis oleh karena itu penulis secara terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca untuk menuju kesempurnaannya sebuah karya Tulis yang berkualis (Disertasi). Sebelumnya penulis tak lupa ucapan terima kasih. Malang 22 Januari 2012 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTARA ISI ..................................................................................................... ii BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1.2. Perumusan Masalah .................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................... 1 1 6 12 13 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Tanaman Pandanus ............ 2.1.1. Marfologi dan Genetika Tanaman Pandanus ..................... 2.1.2. Lingkungan Tumbuh tanaman Pandanus Panjang ............. 2.1.3. Budidaya Tanaman Pandanus ........................................... 2.1.4. Manfaat Tanaman Pandanus ............................................ 2.1.5. Strategi Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung .................. 2.1.5.1. Pengelolaan Tanaman Nasional Gunung Halimun .. 2.1.5.2. Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) manggar ...................................................... 2.2. Kajian Teori .................................................................................... 2.2.1. Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tanaman Hutan Tropis .................................... 2.2.2. Ekologi Hutan ....................................................................... 2.2.3. Ekosistem Hutan .................................................................. 2.2.4. Hutan Lindung dan Fungsinya ............................................ 2.2.5. Hubungan Hutan dan Masyarakat Setempat ....................... 2.2.6. Kearifan Lokal ..................................................................... 14 14 14 21 26 33 45 45 BAB III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN ................................................... 3.1. Kerangka Pikir .............................................................................. 3.2. Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel ................ 129 129 145 BAB IV. METODE PENELITIAN ...................................................................... 4.1. Objek dan Ruang Lingkup Penelitian ............................................. 4.2. Metode Penentuan Daerah Penelitian dan Penarikan Contoh ....... 4.3. Langkah-langkah Prosedur Penelitian ........................................... 4.4. Metode Pengumpulan Data ............................................................ 4.5. Metode Analisis Data ...................................................................... 4.5.1. Deskripsikan Lingkungan Tumbuh Tanaman Buah Pandan .. 4.5.2. Deskripsikan Dua Jenis Tanaman Buah Pandan .................. 4.5.3. Deskripsikan sistem Budidaya Tanaman buah pandan ........ 4.5.4. Analisis SWOT ...................................................................... 4.5.4.1. Analisis IFAS dan EFAS .......................................... 4.5.4.2. Matrik SWOT ............................................................. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 154 154 155 157 159 160 160 160 161 161 161 164 169 i 53 55 55 72 84 110 113 120 DAFTAR TABEL 1. Perbedaan kondisi lingkungan tumbuh tanaman pandanus panjang 2. Suhu rata-rata bulanan ........... 25 ................................................................................. 57 3. Kecepatan angin dalam hutan tropis ............................................................ 60 4. Biomassa produktivitas bersih pada setiap kelompok komponen vegetasi yang menyusun ekosistem hutan ................................................................. 107 5. Berbagai manfaat yang diperoleh oleh masyarakat lokal dari sumberdaya hutan sekitarnya .......................................................................................... 6. Analisis strategi faktor internal (IFAS) 7. Analisis strategi faktor Eksternal (EFAS) ii 120 ......................................................... 164 ..................................................... 165 DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pikir penelitian hubungan antara manusia, buah pandan dan hutan lindung ................................................................................................ 2. Prosedur penarikan contoh penentuan wilayah dan petani bertahap ........... 157 .......................................... 158 ................................................................................................ 166 3. Skema langkah-langkah operasional penelitian 4. Matrik SWOT 133 5. Diagram analisis SWOT ............................................................................... iii 168 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Buah Pandan (Pandanus yulianettii martelli) merupakan salah satu tumbuhan buah tropik yang dapat tumbuh dalam hutan lindung di kawasan pegunungan Jayawijaya yang memiliki lima jenis dari marga Pandanus adalah anggota Pandanaceae yang paling luas penyebarannya dan kisaran habitat yang ditempatinya di pegunungan tengah Jayawijaya Papua . Buah pandan termasuk tanaman endemik, secara umum habitat asal tanaman ini adalah hutan primer dengan kondisi tanah lembab, subur berhumus, kapur, hingga tanah berpasir putih yang relatif kering dan miskin zat-zat hara. Tanaman ini ditemukan tumbuh liar di wilayah Papua dan Papua New Guinea merupakan suatu suku tumbuhan yang berbentuk semak, perdu atau dengan pohon batang besar dan tumbuh tegak, bercabang-cabang atau liana. Di wilayah Papua, tanaman buah pandan ditemukan tumbuh di daerah dengan ketinggian antara 3.500-4000 meter di atas permukaan laut, sehingga tanaman buah pandan tidak dapat tumbuh pada daerah dataran dibawah 3000 meter di atas permukaan laut di Papua. Craven dan de Fretes (1987) menyatakan bahwa berbagai jenis pandanus sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di daerah dataran tinggi Irian Jaya dan Papua New Guinea. Masyarakat lokal sudah dimanfaatkannya secara ekstensif. Buahnya digunakan sebagai bahan pangan, sedangkan daunnya untuk membuat tikar dan atap rumah. Buah 1 2 pandan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi untuk kebutuhan bagi umat manusia, dibandingkan dengan pandanus lainnya. Dalam masyarakat di tanah papua bagian pedalaman pegunungan tengah jayawijaya buah pandan lebih dikenal dengan sebutan nama daerah adalah woromo, lim, gawan, terep dan tawi, sebagai makanan fungsional. Sebutan nama buah pandan berdasarkan ciri khas tanaman buah pandan seperti karakteristik daun, batang, biji, daging, dan ketebalan kulit biji dan daging buah, sedangkan masyarakat umum dengan sebutan kelapa hutan karena buah pandan hidup di dalam hutan. Buah pandan yang terdiri dari beberapa kultivar yang belum dikenal oleh masyarakat luas tetapi masyarakat pegunungan Jayawijaya secara tradisional sejak dahulu telah mengkonsumsi sebagai makanan sehari-hari diambil dari bagian biji dan daging buah, karena rasanya gurih enak dan aromanya seperti kelapa karenanya orang menyebutnya kelapa hutan. Salain itu bagian daun dibuat tikar dan atap rumah, batang sebagai papan untuk bangunan rumah dan akar sebagai bahan dasar pembuat tas (noken) khas papua dan teknologi budidaya, penanganan pascapanen yang sederhana merupakan warisan secara ilmu turun-temurun dari nenek moyang. Pada dasarnya terdapat lima jenis buah pandan di Papua. Namun, secara garis besar diketahui ada 4 jenis terdiri dari 12 kultivar yang dikembangkan oleh masyarakat setempat, karena memiliki nilai ekonomis, dan sesuai dengan agroekologi buah pandan masing-masing daerah pegunungan tengah Jayawijaya mempunyai variasi iklim dari suatu daerah ke daerah lain berbeda-beda menyebabkan munculnya banyak kultivar baru buah pandan. 3 Rose (1982), Klasifikasi tanaman buah pandan adalah sebagai berikut : Kingdom : Plant/tumbuhan Divisi : Spermaophyta Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledonae Ordo : Pandanales Famili : Pandanaceae Genus : Pandanus Spesies : pandanus yulianti martelli Buah pandan mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan di daerah pedalaman pegunungan Jayawijaya Papua, karena memiliki peluang besar untuk eksplorasi pangan dari biji dan daging buah. Biji dapat menghasilkan minyak goreng yang berkualitas baik dari segi kesehatan dibandingkan dengan minyak goreng dari kelapa sawit dan daging buah dapat menghasilkan tepung untuk pembuatan berbagai macam jenis makanan olahan. Akar selain pembuatan tas (noken) juga akan dimanfaatkan sebagai tali pengikat kapal, karena benang dari akar buah pandan memiliki karakter halus dan kuat. Selain itu daun memiliki peluang besar untuk membuat berbagi kegiatan lain terutama untuk pembuatan tikar, karena buah pandan memiliki karakter daun halus, kuat, panjang dan lebar dibandinggkan dengan daun pandan lain yang memiliki daun kasar tebal dan pendek, namun telah lama dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan tikar oleh masyarakat di Jawa Barat dan hasilnya di ekspor (Siti dan Mulyati, 2010). Disamping itu untuk dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah pedalaman papua 4 melalui buah pandan ini lebih mudah dan tepat dibandingkan dengan komoditi pertanian yang lainnya karena pengetahuan secara tradisional telah ada pada mereka. Selain dari nilai manfaat langsung dari buah pandan juga memiliki nilai manfaat tidak langsung yaitu sebagai pengatur hidrologi air juga melindungi tumbuhan dan hewan lain disekitarnya, karena buah pandan memiliki ciri khas tumbuh dibawah tegakan lebih baik daripada tumbuh tanpa naungan, sehingga petani memiliki pengetahuan unik dalam sistem budidaya buah pandan dibawah naungan dari tegakan hutan lindung. Pengetahuan ini dari turun temurun khususnya masyarakat pegunungan Jayawijaya pada umumnya. Karena hutan mempunyai pengaruh untuk buah pandan tumbuh baik dan menghasilkan buah yang tersedia pangan bagi masyarakat setempat. Anonimous (1993) menyebutkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman papua merupakan suku terpencil yang tinggal di pegunungan Jayawijaya yaitu suku Dani. Papua Selatan sejak akhir abad 14 suku ini hidup di bawah suatu sistem struktur sosial dan aturan adat yang sangat ketat. Aturan adat suku Dani mencakup segala aspek kehidupan, dari sistem kepercayaan, mata pencaharian, kehidupan sosial dan aturan-aturan tentang kehidupan sehari-hari. Selain contoh-contoh di atas, aturan adat ini juga mencakup pengaturan sistem pertanian ladang berpindah. Wilayah mereka dibagi ke dalam 2 zonasi berdasarkan struktur dan fungsinya yaitu zonasi pertama yang berupa hutan kampung, zonasi kedua merupakan daerah hutan lindung yang tidak boleh dibuka menjadi ladang berpindah. Sistem 5 pengelolaan yang memberikan banyak keuntungan ini belum banyak dipahami oleh masyarakat di luar komunitas selain suku Dani. Dalam sejarah perkembangan kelompok masyarakat tradisional di seluruh dunia pada umumnya sistem pertanian lahan berpindah, sama halnya dengan kelompok masyarakat di pegunungan tengah jayawijaya, namun agak berbeda sejarahnya, mereka telah mempunyai suatu bentuk pengetahuan lokal/tradisional tentang alokasi wilayah pengelolaan sumber daya alam dengan sistem pertanian ladang tetap di dalam hutan lindung sebagai kebun buah pandan dan hutan kampung sebagai budidaya pertanian lainnya . Pengetahuan yang biasa disebut Pengetahuan Ekologi Tradisional (Traditional Ecological Knowledge) ini didapat dari akumulasi hasil pengamatan pada kurun waktu yang lama dan diwariskan secara turun-temurun. Kelompok masyarakat pegunungan tengah jayawijaya mempunyai tradisional aturan tata guna lahan tersendiri, namun umumnya sama dalam beberapa prinsip dasar. Sebagai kelompok masyarakat yang telah hidup lama berdampingan dengan alam sekitarnya, mereka menyadari pentingnya kelestarian alam. Perlindungan ini ternyata mempunyai arti penting bagi ekosistem sekitarnya, karena hutan berfungsi sebagai penyangga kekayaan sumber genetik (genepool), sebagai habitat dari hewan liar, melindungi tanah dari erosi, menjaga hidrologi air ketika hujan dan kemarau, untuk menjaga mikroklimat, pelindung dari angin, produksi sumber humus, penyedia pestisida alami, penyedia makanan, dan lain sebagainya (Sunaryo dan Joshi, 2003). Sistem pertanian ladang atau perladangan telah lama dikenal masyarakat luas dan telah lama pula dipraktekkan di berbagai negara tropis di 6 Asia, Amerika dan Afrika, termasuk di negara Indonesia (Sutanto,2003) . Sistem pertanian ladang di pegunungan tengah Jayawijaya memiliki karakter khusus, yaitu menggarap lahan pertanian secara berpindah-pindah di lahan hutan kampung. Para peladang, menebang hutan untuk ditanami tanaman umbi-umbian dan tanaman lainnya secara terus menurus pada lahan yang ,sama menyababkan tanah semakin menjadi miskin unsur hara bagi tanaman. Pada saat lahan diberokan, berlangsung proses suksesi alami menuju terbentuknya hutan sekunder. Hutan sekunder tersebut dapat dibuka kembali sebagai ladang, dan dengan demikian daur pemanfaatan lahan untuk pertanian dimulai kembali bahwa bila masa bero berlangsung cukup lama, struktur dan komposisi hutan sekunder tersebut hampir mendekati struktur dan komposisi hutan primer. Sedangkan sistem ladang pertanian tetap di dalam hutan (kebun buah pandan) dapat menunjukkan bahwa jumlah total biomasa dari hutan primer telah menyediakan waktu puluhan sampai ratusan tahun sehingga hutan primer setelah tersedia kadar nutrien bertambah secara signifikan bagi tanaman pertanian dan siklus nutrisi serta mekanisme konservasi dijaga baik oleh siklus berulang dari sistem perladangan tetap di dalam hutan primer, sehingga lahan tetap di hutan primer merupakan lahan hidup yang menghasilkan berbagai jenis makanan dan materi lainnya . Disamping itu hutan primer juga memiliki komponen abiotik dan komponen biotik yang mencakup produser, konsumen dan pengurai secara alamiah sehingga hasil produk pertanian tidak memiliki dampak yang negatif bagi umat manusia . Namun saat ini komoditi pangan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi belum ada yang mampu dapat tumbuh 7 dan berkembang dengan baik dibawah naungan tegakan hutan primer dengan produksi dalam jumlah yang lebih besar tujuan untuk pasar, oleh karena itu dirasa penting untuk melakukan penelitian ilmiah akademik komoditi pertanian yang sesuai kearifan lokal berkenaan dengan meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan yang menentukan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. 1.2. Perumusan Masalah Selama ini telah banyak terdapat indikasi bahwa kebutuhan manusia terhadap sumberdaya hutan selalu meningkat, demikian juga pada dekade mendatang. Diperkirakan pada tahun 2050 penduduk di kawasan pegunungan Jayawijaya akan meningkat empat kali lipat, sehingga permintaan dan konsumsi akan sumber-sumber biologi dan fisik akan bertambah pesat pula, sekaligus juga meningkatkan dampak terhadap jasa yang dapat diberikan oleh hutan. Hal ini bersamaan pula dengan meningkatnya degradasi dalam hal kemampuan hutan untuk menyediakan jasa. Sekitar 40 persen dari lahan pertanian telah mengalami degradasi selam a setengah abad terakhir akibat erosi, salinisasi, pemampatan, penurunan zat-zat hara, polusi dan urbanisasi (Anonymous, 2001). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa pengaruh lain yang diakibatkan oleh manusia terhadap hutan diantaranya ialah perubahan siklus nitrogen, fosfor, belerang dan karbon, sehingga menyebabkan terjadinya hujan asam, peledakan populasi, serta matinya ikan di sungai-sungai dan perairan pesisir. Selain itu secara bersamaan telah terjadi pula perubahan iklim yang terpicu oleh perubahan tersebut di atas. 8 Degradasi jasa hutan ini menjadi lebih parah oleh hilangnya pengetahuan tradisional suatu pengetahuan yang seringkali ternyata dapat membantu pemanfaatan hutan yang lestari. Kombinasi dari permintaan terhadap jasa hutan yang senantiasa tinggi dan degradasi hutan yang bertambah parah ini telah memperkecil peluang untuk menuju pembangunan berkelanjutan. Kesejahteraan manusia dipengaruhi tidak hanya oleh kesenjangan antara ketersediaan dan permintaan jasa hutan, namun juga oleh bertambahnya kerentanan individu, masyarakat dan negara. Hutan yang produktif beserta segala jasanya dapat menyediakan sumberdaya untuk manusia dan pilihan-pilihan yang ada dapat dimanfaatkan untuk melawan bencana alam atau pergolakan sosial yang mungkin terjadi. Hutan yang tertata dengan baik akan mengurangi resiko dan kerentanan, sementara hutan yang tidak dikelola dengan baik akan membahayakan manusia karena mempertinggi resiko terjadinya banjir, kekeringan, kegagalan panen pertanian atau penyakit. Degradasi jasa hutan dapat terjadi karena berbagai sebab, antara lain permintaan yang tinggi terhadap jasa tersebut akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi, perubahan demografis dan pilihan-pilihan individu (individual choice). Mekanisme pasar ternyata tidak selalu menjamin keberlangsungan jasa konservasi hutan, mengingat bahwa mekanisme pasar untuk jasa hutan tertentu, seperti jasa kultural atau jasa pengaturan, memang tidak tersedia. Kalaupun mekanisme pasar tersebut telah dikembangkan, kebijakan dan institusi yang ada tidak memungkinkan masyarakat yang hidup pada hutan tersebut untuk mengambil 9 keuntungan yang tersedia. Contohnya, saat ini mulai dikembangkan tatanan institusi mengenai penjualan karbon dengan cara mempertahankan suatu lahan berhutan agar tidak ditebang. Sementara itu, dipihak lain terdapat dorongan kuat untuk menebang hutan guna mendapatkan insentif ekonomi. Jadi, meskipun suatu mekanisme pasar untuk jasa hutan telah dikembangkan, hasil yang diperoleh secara sosial atau ekologis mungkin tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perlu ditekankan pula bahwa pasar seringkali tidak mampu memenuhi aspek keadilan inter dan atau antar generasi yang terkait dengan pengelolaan hutan untuk generasi masa kini dan masa mendatang, mengingat bahwa beberapa perubahan yang terjadi pada hutan tidak akan dapat dikembalikan ke kondisi semula. Sementara itu perencanaan pengelolaan hutan lestari dan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan, selama ini oleh pemerintah selalu dilakukan secara sentralistik tanpa melibatkan peranserta masyarakat. Sebagian elit birokrasi beranggapan bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisis kondisi dan merumuskan permasalahan, apalagi mencari solusi pemecahannya, sehingga masyarakat kurang terlibat dalam setiap tahapan proses pemberdayaan. Akibatnya masyarakat kurang memahami dan mengerti untuk apa dan bagaimana program tersebut dilakukan, sehingga mendorong masyarakat bersikap tidak peduli dan tidak bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan program tersebut. Kondisi seperti ini telah ditunjukkan dari hasil penelitian Mulyadi (2005) dalam Rujehan (2010) bahwa pada masyarakat lokal di Hutan 10 Pendidikan dan Penelitian Bukit Soeharto (HPPBS), bahwa masyarakat yang terlibat pada intensitas partisipasi relatif kecil yaitu sebesar 29,79 % (sebanyak 56 responden dari total 188 responden). Keterlibatan mereka pada intensitas partisipasi "informasi", "konsultasi" dan "pengambilan keputusan", ini mengindikasi-kan bahwa kecil kemungkinan terjadi adanya perubahan di masyarakat yang dapat mendorong keberhasilan program konservasi di wilayah tersebut. Mengingat kondisi yang terjadi seperti di atas maka perlu dilakukan penelitian secara mendalam apa yang terjadi sesungguhnya pada pengelolaan hutan. Konflik pemanfaatan hutan antar pihak yang berkepentingan yang sering terjadi di mana-mana mengindikasikan sistem pengelolaan hutan belum maksimal. Oleh karena itu perlu dicari solusi yang tepat dalam upaya memperbaiki sistem pengelolaan yang ada. Sistem pengelolaan yang ada selama ini masih mengandalkan konsep konservasi tanpa pemanfaatan langsung oleh masyarakat setempat. Meskipun melalui perambahan hutan dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat setempat, ini mengindi-kasikan memang masyarakat tersebut memerlukan keberadaan hutan untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Hutan dianggap sebagai lahan yang dapat memberikan kontribusi ekonomi yang cukup berarti. Disisi lain kontribusi ekonomi yang diraih terkadang bertentangan dengan prinsip kelestarian ekosistem hutan. Untuk itu, strategi pengelolaan hutan yang dapat mempertimbangkan prinsip biologi dan prinsip ekologi menjadi pertanyaan yang perlu dijawab. 11 Pada era otonomi khusus di Papua ada tekanan terhadap hutan disebabkan tidak hanya oleh pertumbuhan penduduk yang memerlukan ruang dan lahan untuk hidup, tetapi juga oleh perubahan sistem sosial. Perubahan sistem sosial masyarakat tadinya memandang hutan itu sebagai sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat subsistem sudah beralih menjadi kome rsial. Berubahnya sistem ini sebagai konsekuensi dari meningkatnya akses infomasi di masyarakat sehingga berdampak berubahnya sikap masyarakat yang cenderung menganggap sumberdaya alam merupakan potensi untuk meningkatkan pendapatan. Dalam prakteknya dari kecenderungan tersebut berdasarkan fakta yang ada di lapangan, tidak hanya dilakukan secara legal tetapi secara ilegal atau disebut dengan perambahan hutan ataupun dalam bentuk pemanfaatan hutan yang tidak terkendali. Sebagai contoh di Kabupaten Jayawijaya dimekarkan menjadi beberapa kabupaten baru, disamping itu untuk akses barang bangunan masuk di wilayah pendalaman Papua ini melalui transpotasi udara menyebabkan harga bahan bangunan lebih mahal, sehingga pembangunan gedung perkantoran dan perumahan rata-rata dibangun dengan bahan kayu ini memberikan peluang bagi pengusaha kayu masuk di dalam hutan menebang pohon yang berumur ratusan sampai ribian tahun yang ada di alam dengan cara permintaan langsung kepada masyarakat setempat diberi uang untuk perpohon, tanpa penduli dengan tanaman mereka yang ada di dalam hutan. Dari berbagai kondisi yang telah disampaikan di atas, maka disini permasalahan secara umum dalam rencana penelitian ini ialah “bagaimana 12 untuk mempertahankan pengetahun lokal/tradisional tentang dudidaya tanaman buah pandan papua di dalam hutan kawasan hutan lindung pegunungan tengah Jayawijaya dapat menunjang upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat dan perlindungan keberadaan hutan tetap hijau berkelanjutan sebagai persembahan untuk anak cucu secara regenerasi umat manusia” Dari rumusan permasalahan umum tersebut, maka selanjutnya secara rinci permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik lingkungan tumbuh buah pandan di dalam hutan lindung di desa Ekapame? 2. Bagaimana karakteristik dua jenis buah pandan yang telah budidayakan oleh petani di dalam hutan lindung di desa Ekapame? 3. Bagaimana sistem penggunaan lahan dan budidaya buah pandan oleh petani di dalam hutan lindung di desa Ekapame? 4. Bagaimana karakteristik lingkungan internal dan eksternal petani buah pandan dalam pengelolaan hutan lindung di desa Ekapame? 5. Bagaimana strategi pelestarian buah pandan dalam hutan lindung di desa Ekapame yang berkelanjutan ? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini agar dapat menjawab permasalahan yang ada sebagai berikut : 13 1. Untuk memperoleh gambaran lengkap dan mendalam tentang karakteristik lingkungan tumbuh buah pandan di dalam hutan lindung di desa Ekapame. 2. Untuk memperoleh karakteristik dua gambaran lengkap dan jenis buah pandan yang mendalam tentang dibudidayakan di dalam hutan lindung oleh petani di desa Ekapame. 3. Untuk memperoleh gambaran lengkap dan mendalam tentang sistem penggunaan lahan dan budidaya buah pandan di dalam hutan lindung oleh petani di desa Ekapame. 4. Untuk memperoleh lingkungan internal gambaran lengkap dan mendalam tentang dan eksternal petani buah pandan dalam pengelolaan hutan lindung di desa Ekapame. 5. Untuk strategi pelestarian buah pandan dan hutan lindung yang berkelanjutan di desa Ekapame. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik secara praktis maupun secara akademis sebagai berikut : 1. Sebagai bahan masukan bagi penyusun rencana pengelolaan hutan lestari kawasan pegunungan jayawijaya secara komprehensif dan partisipatif dalam memperbaiki dan meningkatkan sistem pertanian yang ada. 2. Sebagai bahan referensi untuk pengembangan keilmuan yang berkaitan dengan pelestarian hutan dalam rangka memperkaya dan menyempurnakan materi, disamping itu juga dapat digunakan sebagai acuan bagi para peneliti selanjutnya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Tanaman Pandanus 2.1.1. Marpologi dan Genetika Tanaman Pandanus Hasil kajian etnobotani pandan semak ( Pandanus odoratissimus L.f) oleh Mulyati el. al (2008), Lokasi penelitian etnobotani pandan pantai di Ujung Kulon, Banten dilakukan di 3 lokasi yaitu Ciundil (di luar kawasan taman nasional), Legon Pakis dan Tanjung Lame (di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon) tujuan penelitian adalah etnobotani tentang pemanfaatan dan peranan ekonomi pandan samak (Pandanus odoratissimus) di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon dan sekitarnya. Metode penelitian observasi atau pengamatan langsung di lapangan dan wawancara semi structural dan open ended dengan subyek beberapa informan yang meliputi pengrajin pandan dan tokoh adat. Data yang dicatat mencakup keberadaan dan kepemilikan tanaman pandan samak (P. odoratissimus) di lapangan, proses pembuatan anyaman, dan aspek sosial-ekonomi produk anyaman tersebut bagi masyarakat setempat. Melaporkan bahwa perawakannya berupa pandan pohon berukuran sedang hingga besar. Batang tingginya mencapai tinggi 15 m. Akar penopang tampak jelas, mencapai tinggi 1 m atau lebih, berbintil tajam, kulit luar abu-abu kecoklatan. Dedaunan tersusun dalam karangan rapat, di ujung atas batang, tersusun melingkar dalam 3 lingkaran; helaian daun berukuran 50-300 cm x 516 cm, kaku, agak berlilin putih, ujung meruncing, tepinya berduri kaku-sangat tajam, duri kuning pucat; permukaan atas hijau, halus, duri pada lipatan daun bagian atas tidak jelas, pertulangan daun halus; permukaan bawah hijau pucat, 14 15 pertulangan daun lebih jelas, duri di sepanjang tulang daun utama, duri membalik sangat jelas. Perbungaan jantan di ujung, panjang ca. 1 m, tandan dengan ca. 10 cabang perbungaan, masing-masing cabang dengan daun pelindung, daun pelindung kuning pucat hingga kuning pucat-krem, panjang mencapai 50 cm; bunga jantan sangat banyak, tersusun kompak dan berjejalan dalam satu cabang perbungaan, wangi, membuka hanya dalam 1 hari, dalam 3-4 hari perbungaan jantan layu. Perbuahan tunggal, di ujung, bentuk gada, panjang ca. 1 m atau lebih. Buah berupa buah majemuk dua tingkat (cephalium), membulat hingga bulat melonjong, keras, berat mencapai 15 kg, panjang 8-30 cm, diameter 4-20 cm, hijau berubah menjadi oranye kemerahan bila masak, tersusun atas jejalan 38-200 buah majemuk tingkat satu (phalange); antara satu tingkatan dengan tingkatan lainnya dipisahkan oleh relung. Phalange bulat melonjong hingga membulat telur, menyempit di bagian bawah, hijau hingga oranye di bagian atas, kuning hingga oranye kemerahan di bagian bawah, 2.511 cm x 1.5-6.5 cm, terdiri dari 4-15 daun buah; tiap phalange terdiri dari jejalan 4-15 buah tunggal (drupa), tersusun kompak dan rapat. Drupa bulat melonjong hingga membulat telur, bentuk-ukuran-warna sama dengan phalange; pangkal putik pendek, coklat hingga coklat kehitaman, menghadap ke dalam. Karakter morfologi P. odoratissimus -terutama bentuk, warna dan ukuran phalange- sangat bervariasi. Sedemikian bervariasinya sehingga banyak nama jenis baru diterbitkan untuk tiap variasi tersebut (Jebb, 1992). Beberapa nama jenis yang dipublikasi untuk takson dari Jawa saja antara lain P. littoralis Junghuhn dan P. samak Hasskarl. Kedua nama tersebut sudah dinyatakan 16 sebagai sinonim untuk P. odoratissimus (Warburg, 1900a dan 1900b). Selain itu keabsahan nama jenis P. odoratissimus sendiri masih merupakan kontroversi hingga saat ini, terutama terkait dengan polemik di antara para ahli akan mana nama yang lebih valid P. odoratissimus atau P. tectorius Parkinson ex.Z. Heyne (1927) mencatat banyak nama daerah untuk takson yang diidentifikasi sebagai P. odoratissimus, antara lain pandan laut, pandan samak, pandan tebu, pandan nipah, pandan bau-bau, pandan putih, pandan kapur, pandan abu, pandan cucuk, pandan duri, dan masih banyak lagi. Pemberian nama daerah merujuk kepada tiga hal penting, yaitu morfologi (termasuk kemiripan dengan jenis tumbuhan lain yang lebih dikenal misalnya tebu, nipah), tempat tumbuh, dan kegunaannya. Pemberian nama daerah merujuk kepada ketiga hal tersebut merupakan praktek yang sangat umum dalam berbagai kebudayaan (Berlin, 1992). Hasil penelitian Sri Endarti dan Sri Handayani (2010), tentang keragaman genetik pandan asal Jawa Barat melaporkan bahwa hasil amplifikasi DNA dengan PCR menggunakan dua primer menunjukkan 10 jenis Pandanus menghasilkan produk PCR yang dapat dibaca dan diberi nilai sehingga hasilnya pola pita DNA setelah gel elektroforesis menunjukkan bahwa setiap jenis primer menghasilkan pita DNA yang berbeda. Jumlah pita yang dihasilkan sangat bergantung pada bagaimana primer mengenal homolognya pada cetakan DNA yang diinginkan 11. Semakin banyak situs penempelan dari primer yang digunakan, semakin banyak jumlah pita DNA yang dihasilkan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa diperoleh 19 fragmen DNA yang 17 berukuran dari 200 bp hingga 1.5 kb dimana 17 (91,5%) diantaranya merupakan pita polimorfik. Tingkat polimorfisme yang relatif tinggi dengan penanda ISSR menunjukkan indeks penanda yang tinggi. Rata-rata setiap primer menghasilkan 9,5 pita yang dapat dideteksi dan diberi nilai. Jumlah pita polimorfik tertinggi 11 terdapat pada primer ISSR2 dan jumlah pita polimorfik terendah (2) terdapat pada primer ISSR7. Hasil ini sesuai dengan hasil seleksi primer sebelumnya. Kedua primer ini merupakan primer yang menghasilkan pola pita polimorfik untuk 10 jenis Pandanus. Hasil pengamatan menunjukkan tidak adanya fragmen DNA unik yang dideteksi pada dua primer. Analisis ketidaksamaan genetik. Data digunakan untuk 10 jenis Pandanus berdasarkan produk amplifikasi DNA. Nilai ketidaksamaan genetik untuk 10 jenis Pandanus berkisar antara 0,267-0,957 dengan yang tertinggi (0,957) terdapat antara P. pseudolais dan P. spinistigmaticus, dan antara P. kurzii dan P. pseudolais sedangkan nilai ketidaksamaan genetik terendah 0,267 terdapat antara P. scabrifolius dan P. bidur. Jenis yang memiliki nilai ketidaksamaan genetik tertinggi menunjukkan kedua jenis ini sangat berbeda secara genetik satu dengan yang lain sedangkan jenis yang memiliki ketidaksamaan genetik terendah menunjukkan bahwa kedua jenis ini memiliki properti genetika sangat mirip satu dengan yang lain. Analisis klaster. Berdasarkan profil pita DNA setelah diinterpretasi dan diterjemahkan ke data biner, dilakukan analisis klaster. Analisis klaster pada 10 jenis Pandanus menghasilkan. Pengelompokan terbentuk pada jarak genetik 0,46-0,96 (tingkat kemiripan 4-54%. Hal ini menunjukkan bahwa ke 10 jenis Pandanus memiliki keragaman genetik yang tinggi. Pada jarak genetik 0,60 18 (tingkat kemiripan 40%) didapatkan tiga kelompok. Empat jenis Pandanus, yaitu P. bidur, P. polycephalus, P. multifurcatus dan P. dubius menyebar pada kelompok I, lima jenis lain Pandanus lainnya, yaitu P. spinistigmaticus, P. pseudolais, P. kurzii, P. nitidus dan P. scabrifolius pada kelompok II, dan satu jenis, yaitu P. amaryullifolius memencil sendiri pada kelompok III. Nilai ketidaksamaan genetik ke 10 jenis Pandanus berkisar antara 0,267 hingga 0,957 menunjukkan keragaman genetik yang tinggi. Nilai ketidaksamaan genetika tertinggi (0,957) tercatat antara P. pseudolais dan P. spinistigmaticus, juga antara P. kurzii dan P. pseudolais, sedangkan ketidaksamaan genetik terendah (0,267) tercatat antara P. scabrifolius dan P. bidur. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa Pandanus memiliki variasi genetik yang luas sehingga diduga semua jenis Pandanus yang ada di Jawa Barat semuanya bervariasi secara genetik. Hal ini mendukung beberapa pendapat bahwa tanaman pandan yang umumnya berumah dua termasuk tanaman menyerbuk silang. Populasi tanaman menyerbuk silang umumnya akan mempunyai variasi genetik yang luas Hasil penelitian Stone (1983) tentang sistem polinasi pada tanaman pandan menyatakan bahwa tanaman pandan mempunyai jumlah polen per bunga yang sangat banyak. Darjanto dan Satifah (1990), bahwa tanaman yang memiliki polen yang banyak merupakan ciri dari tumbuhan menyerbuk silang. Dengan adanya variasi ini, untuk selanjutnya kegiatan seleksi dapat dilakukan. Baihaki menyatakan bahwa seleksi akan berhasil apabila tanaman yang akan diseleksi memiliki variasi. Informasi jarak genetik dapat dijadikan dasar untuk menentukan aksesi yang akan dipilih sebagai materi persilangan untuk merakit 19 pandan hibrida. Semakin jauh jarak genetik antar aksesi, maka akan memiliki efek heterosis yang tinggi apabila disilangkan. Walaupun demikian, dalam seleksi materi untuk persilangan, tidak hanya faktor jarak genetik yang diperhitungkan, tapi karakter-karakter lain yang menarik dan menonjol perlu diikutsertakan untuk menghasilkan rekombinan yang baik. Untuk itu perlu diketahui korelasi antara karakter vegetatif dan generatif, sehingga lebih terarah dan efektif. Dan dapat disimpulkan bahwa keragaman genetik 10 jenis Pandanus asal Jawa Barat dapat dideteksi menggunakan penanda ISSR. Hasil ini memperkuat laporan sebelumnya bahwa penanda ISSR dapat digunakan secara efektif untuk menduga keragaman genetik pada tingkat jenis. Dari dua primer ISSR diperoleh 19 pita DNA, dan 17 pita (91,5%) diantaranya merupakan pita polimorfik. Hasil dendrogram menunjukkan pada jarak genetik 0,60 terdapat tiga kelompok utama, kelompok pertama terdiri atas empat jenis Pandanus, yaitu P. bidur, P. polycephalus, P. multifurcatus dan P. dubius, kelompok kedua terdiri atas lima jenis, yaitu P. spinistigmaticus, P. pseudolais, P. kurzii, P. nitidus, dan P. scabrifolius, dan kelompok ketiga terdiri atas satu jenis, yaitu P. amaryllifolius. Untuk memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh mengenai kondisi keragaman genetika Pandanus, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan berbagai jenis yang ada di Jawa menggunakan lebih banyak primer ISSR dan/atau menggunakan marka molekuler selain ISSR, seperti AFLP dan SSR untuk mendeteksi keragaman genetik yang lebih akurat. Siti dan Mulyati (2010), menyatakan bahwa masyarakat setempat tentang keanekaragaman Pengetahuan lokal jenis pandan ini 20 menunjukkan bahwa masyarakat Sunda di Tasikmalaya mengenal 3 jenis pandan, yakni: 1. Pandan wangi (P. amaiyllifolius Roxb.) daunnya dimanfaatkan untuk pewangi makanan. 2. Pandan samak (Pandanus tectorius Sol.) daunnya merupakan bahan baku kerajinan anyaman. 3. Cangkuang (P.fiircatus Roxb.), daunnya dimanfaatkan untuk pembungkus gula kelapa dan garam. 4. Pandan wangi ditanam di pekarangan rumah, meskipun jarang dijumpai. Pandan samak ditanam di pekarangan dan kebun. Hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa pertumbuhan dari pandan samak di pekarangan kurang berkembang dengan baik (perawakannya kecil). Di kebun jenis ini ditanam secara tumpangsari dengan tanaman lain seperti pisang dan kelapa. Cangkuang kurang dikenal oleh masyarakat lokal di Tasikmalaya dan jenis ini dijumpai tumbuh liar menggerombol di tepi jalan meniju Cipatujah. Pandanus tectorius dikenal dengan beberapa nama lokal, seperti pandan darat atau pandan laut. Pemberian nama lokal tersebut disesuaikan dengan habitat hidupan liamya. Setelah dibudidayakan, jenis ini dikenal dengan beberapa nama, daerah seperti "pandan temen", "pandan jaksi" atau "jaksi", dan "jaksi jalu" atau jaksi jantan. Pandan temen mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: panjang daun dapat mencapai 3 m, lebar 6 cm, warna hijau keabuan, tekstur agak kasar; duri pada tepi daun agak rapat; daun muda tumbuh menjulai/jatuh; 21 sistem perakarannya tidak melebar. Menurut penuturan masyarakat kultivar ini peka terhadap hama dan penyakit. Pandan jaksi mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: panjang daun kurang dari 2 m, lebar kurang dari 6 cm, warna hijau muda, tekstur halus, berduri jarang; daun muda tumbuh sedikit melengkung; sistem perakarannya melebar. Masyarakat menuturkan bahwa kuttivar ini lebih kuat terhadap serangan hama dan penyakit. Pandan jaksi jalu memiliki ciri hampir sama dengan pandan jaksi hanya panjang daun lebih pendek (kurang dari 1 m), warna daun lebih hijau; duriduri pada tepi daun lebih rapat, lebih panjang, lebih tajam dan bentuknya agak melengkung seperti taji ayam. 2.1.2. Lingkungan Tumbuh Tanaman Pandanus Panjang Hasil penelitian Naingolan (2001) tentang aspek ekologi pandanus panjang (Pandanus conodineus Lamk) di daerah dataran rendah Manokwari. Tujuan penelitian adalah mengkaji aspek ekologis Pandanus panjang serta keadaan pertumbuhannya pada dua daerah SP6 dan Nuni pada berbagai ketinggian tempat di Manokwari. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik survey selama satu bulan. Variabel pengamatan aspek ekologis meliputi analisa tanah (jenis, sifat fisik), iklim mikro (temperatur udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya matahari), persentase naungan, topografi ketinggian tempat serta asosiasi dengan tumbuhan lain. Hasilnya melaporkan bahwa tanah di daerah tempat tumbuh pandanus kultivar panjang terbagi dalam dua kelompok jenis tanah, yakni typic Tropofluvents yang setara 22 dengan Alluvial Gleik/Eutrik dan Regosol. Tanah Tropofluvents bisa terbentuk dari bahan endapan alluvium yang terbawa arus sungai di saat banjir, akibat morfologi profit tanah memperlihatkan enam lapisan lembaran yang pada dasarnya bukan horizon karena bukan hasil perkembangan tanah. Sebaliknya jenis tanah Quart/ipsamments terbentuk dari bahan utama pasir pantai. Bahan yang ada di horizon A masih baru mengalami pelapukan. Tanah terebut tersusun dalam tiga lapisan dimana pasir merupakan fraksi pembentuk utama. Berdasarkan pembagian daerahnya, jenis tanah typic Tropofluvents dijumpai pada semua unit pengamatan 100 % di daerah SP6, sedangkan jenis tanah Quartzipsamments di daerah nuni. Kelas tekstur tanah tempat pandanus panjang secara keseluruhan terdiri atas tiga kelas yaitu lempung liat berdebu, liat berdebu dan lempung berpasir. Tekstur tanah lempung liat berdebu di daerah SP6 dijumpai tiga unit pengamatan 75 %. Satu unit yang lain termasuk dalam kelas tekstur tanah liat berdebu, sedangkan kelas tekstur tanah lempung berpasir hanya dijumpai di daerah Nuni. Tanah tempat tumbuh pandanus panjang dapat dikelompokan ke dalam tiga bentuk tekstur tanah yaitu sudut, sudut membulat dan butir lepas. Bentuk struktur tanah yang terakhir hanya dijumpai di daerah Nuni. Bentuk struktur tanah seperti ini dikarenakan daerah tempat tumbuh pandanus panjang tersebut berada pada zone pantai yang memiliki butiran tanah berupa campuran humus hasil dekomposisi dan pasir. Meskipun sudut membulat merupakan struktur tanah paling dominan dijumpai didaerah SP6, tetapi dijumpai juga tanah struktur tanah yang lain yaitu sudut. 23 Warna tanah di daerah tempat tumbuh pandanus panjang dapat dibedakan menjadi tiga yaitu coklat tua kekuningan, coklat kekuningan dan hitam. Perbandingan jumlah unit pengamatan berdasarkan warna tanah dari empat unit pengamatan yang dibuat untuk daerah SP6 adalah 1 : 1 dimana sebanyak dua unit 50 % memiliki warna tanah coklat tua kekuningan dan dua unit 50% yang lain berwarna coklat kekuningan warna kuning pada tanah tersebut dikarenakan adanya kandungan liat yang banyak dijumpai, sedangkan untuk warna coklat ada kemungkinan berasal dari bahan induk alluvium dan penambahan humus hasil dekomposisi serasah. Warna hitam yang hanya dijumpai pada tanah di daerah Nuni dimungkinkan oleh kandungan bahan organic yang relatif tinggi sebagai dekomposisi serasah. Variabel pengamatan terhadap iklim mikro meliputi kelembaban udara, temperature udara, dan intensitas cahaya matahari. Intensitas cahaya matahari diukur sekali pada siang hari selama satu minggu. Pengukuran temperature dan kelembaban udara dilakukan selama satu minggu pada setiap plot pengamatan yang dibuat. Frekwensi pengukuran setiap harinya berlangsung tiga kali yaitu pagi, siang dan sore sehingga memperoleh rata-rata harian dan rata-rata frekwensi pengukuran pada tabel berikut ini : 24 Tabel 1. Perbedaan kondisi lingkungan tumbuh pandanus panjang Variabel Pengamatan Temperatur Udara (0C) SPA 23,5-33,0 (27,8)* Nuni 24,8-31,4 (27,7)* Kelembaban udara (%) 73,0-98,0 (87,8)* 76,0-96,0 (87,9)* Intensitas Cahaya Matahari (LUX) 1628,6->3000 1000->3000 Pesentase naungan (%) 0-15 10 Topografi (%) 0-5 5 Ketinggian tempat (mdpl) 25-70 10 Sumber : Naingolan 2001. nilai rata-rata Hasil pengukuran temperature dan kelembaban udara pada lingkungan tempat tumbuh pandanus panjang tidak menunjukkan adanya perbedaan hasil pengukuran yang besar atau relatif sama. Adanya perbedaan hasil pengukuran yang relative kecil dapat dipengaruhi oleh letak, kondisi tempat tumbuh, penutupan tajuk serta kondisi cuaca yang berawa pada saat pengukuran di tiap-tiap lokasi. Tanaman pandanus panjang yang diamati di daerah Nuni berbeda pada zone tepi pantai dengan kondisi penutupan tajuk yang agak rapat dan pada kondisi tanah tempat tumbuh yang berair. Kisaran temperatur udara untuk daerah tempat tumbuh pandanus panjang adalah 23,5-28,0 0C di pagi hari 28,0-33,0 0C di siang hari dan 26,729,2 0C di sore hari. Kelembaban udara untuk kedua daerah tersebut berkisaran antara 85,0-98,0 % pada pagi hari, siang hari antara 73,0-91,0 % dan 86,0-98,0 pada sore hari. Berdasarkan hasil tersebut bahwa suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman pandanus panjang di daerah dataran rendah manukwari berkisar antara 23,5-33,0 0C dengan kelembaban udara optimum 73,0-98,0 %. 25 Pandanus panjang pada dasarnya membutuhkan intensitas cahaya matahari yang relatif tinggi terutama untuk proses fotosintesis pada saat pembentukan buah, meskipun pandanus panjang berasosiasi dengan tetumbuhan lain, tetapi bagian tajuk yang ternaungi relatif sangat kecil bahwa untuk kondisi tajuk yang jarang rata-rata intensitas cahaya matahari yang diterima >3000 lux, dengan kisaran 2800 lux - >3000 lux nilai terendah kisaran untuk daerah SP6 sebesar 2800 lux lebih banyak disebabkan oleh kondisi cuaca yang berawan pada saat pengukuran. Rata-rata intensitas cahaya matahari dibawah kondisi tajuk yang rapat untuk kedua daerah tempat tumbuh pandanus panjang adalah 1692,85 lux, dengan kisaran 1000-2107,1 lux. Pandanus panjang di daerah Nuni mencapai penutupan tajuk hingga 80 %, sedangkan di daerah SP6 hanya berkisar antara 60-70 %. Penutupan tajuk pandanus panjang yang lebih rapat yang dipengaruhi oleh jumlah individu perumpun yang lebih banyak mengakibatkan hasil pengukuran intensitas cahaya matahari dibawah kondisi tajuk yang rapat di daerah Nuni lebih rendah dibandingkan kondisi penutupan tajuk yang sama untuk daerah SP6, sehingga dapat disimpulkan bahwa pandanus panjang tergolong jenis yang membutuhkan banyak cahaya untuk proses pertumbuhannya. Hasil pengamatan persentase naungan menunjukkan bahwa tajuk rumpun pandanus panjang yang ternaungi vagetasi lain relatif kecil. Dari empat unit pengamatan yang ada di daerah SP6, dua unit berbeda pada naungan sebesar 10 % sementara dua unit yang lain berada pada naungan 15 % dan tanpa naungan. Persentase naungan yang diterima untuk unit 26 pengamatan di daerah Nuni sebesar 10 %. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pandanus panjang dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanpa naungan hingga naungan ringan sebesar 15 %. Keadaan topografi lapangan kedua daerah tempat tumbuh pandanus panjang tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Pandanus panjang dijumpai pada topografi datar hingga landai. Kondisi topografi tempat tumbuh pandanus panjang untuk daerah Nuni tergolong landai 5%. Pandanus panjang di daerah SP6 ditemukan pada lapangan dengan topografi datar 0 % sebanyak dua unit pengamatan. Unit-unit pengamatan yang lain untuk daerah SP6 berada pada kondisi topografi landai 5%. Dengan demikian pandanus panjang untuk daerah dataran rendah di Manokwari cenderung ditanam dan tumbuh dengan baik pada areal dengan topografi datar hingga landai. Pengamatan ketinggian tempat secara keseluruhan pada kedua daerah penelitian menunjukkan bahwa pandanus panjang tumbuh pada ketinggian 10 meter hingga 70 meter di atas permukaan laut. Empat unit pengamatan yang dibuat untuk daerah SP6 dua unit 50% ditemukan ketinggian 30 meter di atas permukaan laut. Kedua unit yang lain berada pada ketinggian 25 meter dan 70 meter di atas permukaan laut. Pandanus panjang di daerah Nuni hanya dijumpai pada ketinggian 10 meter di atas permukan laut. 2.1.3. Budidaya Tanaman Pandanus Hasil penelitian Aditya dan Benyamin (2008) tentang teknik budidaya tanaman pandan. bertujuan Penelitian untuk mengetahui teknik pembibitan dan penanaman pandan tingkat persemaian sampai siap tanam. Metode 27 penelitian Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan perlakuan yang diujicobakan polybag ukuran besar (11 cm x 18 cm), sedang (8 cm x 15 cm), dan kecil (6 cm x 12 cm), serta jenis media sapih yaitu: tanah (M1) serta campuran tanah dan pasir laut (M2). Kedua faktor perlakuan tesebut dikombinasikan menjadi enam kombinasi perlakuan masing-masing 10 sampel dan tiga ulangan sehingga total adalah 180 semai. Pertumbuhan tinggi dari yang terbesar sampai terendah terlihat pada perlakuan sebagai berikut : U1M1 (37,70 cm), U1M2 (37,77 cm), U2M2 (33,57 cm), U2M1 (33,33 cm), U3M1 (33,27), dan U3M2 (22,13 cm). Benih pandan yang ditanam pada media tanah dan pasir dalam polybag 11 cm x 18 cm menunjukkan pertumbuhan yang terbaik sampai siap tanam. Hasilnya melaporkan bahwa ukuran polybag besar dengan media campuran tanah dan pasir laut (U1M2) memberikan pertumbuhan terbaik dari parameter tinggi, jumlah daun, berat basah akar, dan rasio tucuk akar. Sedangkan pertumbuhan terendah ditunjukkan pada perlakuan polybag ukuran kecil dengan media sapih campuran tanah dan pasir laut (U3M2). Hal ini diduga disebabkan karena polybag ukuran besar mempunyai volumen media tumbuh lebih besar sehingga mampu menyediakan hara yang lebih banyak bagi semai sampai umur siap tanam (enam bulan), sedangkan polybag ukuran kecil dengan volume media yang kecil memberikan ketersediaan unsur hara yang lebih rendah, sehingga kurang mencukupi kebutuhan semai sampai umur enam bulan. Campuran tanah dan pasir laut memberikan pertumbuhan terbaik diduga keberadaan pasir laut memberikan tempat tumbuh seperti pada habitat alaminya, karena pandan wong merupakan jenis yang banyak tumbuh di daerah pantai berpasir. 28 Berdasarkan nilai uji Duncan diketahui bahwa kombinasi perlakuan terbaik dalam jumlah daun adalah kombinasi perlakuan ukuran polybag besar dengan media sapih campuran tanah dan pasir (U1M2) dengan jumlah daun sebanyak 13 helai. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah daun berkorelasi positif dengan pertumbuhan tinggi semai. Hal ini terjadi karena adanya hubungan antara daun dan proses fotosintesis. Daun dalam jumlah yang banyak, maka proses fotosintesis menjadi lebih optimal, karena daun berfungsi menangkap dan memanfaatkan cahaya matahari untuk selanjunya proses menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh bagian tanaman. Pasir laut memberikan kondisi media mempunyai drainase dan aerasi yang lebih baik, menjaga media tetap remah dan gembur serta media menjadi lebih ringan sehingga lebih memudahkan pada saat pengangkutan. Menurut standar SNI (1999) mengenai pembuatan persemaian permanen hutan, media sapih yang baik memiliki persyaratan yaitu: 1) Cukup kuat dan rapat untuk menahan benih, kecambah atau stek selama proses perkecambahan atau pengakaran; 2) Dapat menyerap air sehingga penyiraman tidak terlalu sering dilakukan; 3) Cukup mudah untuk melewatkan air apabila terlalu sering dilakukan; 4) mengandung unsur hara yang memadai; 5) Tingkat keasaman normal; 6) Bebas dari benih tanaman pengganggu; dan 7) Cukup ringan. Pasir laut mengandung unsur Na dan Cl, sehingga keberadaannya pada media tumbuh dapat memperkaya unsur hara mikro Cl yang berperan penting untuk reaksi fotosintesis yang menghasilkan oksigen (Atmanto, 2000). 29 Biomassa akar semai sebagai hasil dari pertumbuhan akar tanaman yang dipengaruhi oleh ukuran polybag sebagai ruang tumbuh dan media tanaman sebagi penyedia unsur hara. Pada ukuran polybag yang besar pertumbuhan akar tanaman menjadi lebih baik karena ruang tumbuh lebih luas. Biomassa merupakan hasil dari proses metabolisme tanaman yang mengambil zat-zat yang dibutuhkan dari lingkungan, baik dalam bentuk zat-zat anorganik maupun organik (Atmanto, 2000). Ruang tumbuh yang lebih besar juga memberikan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman terutama pertumbuhan akar yang berkorelasi positif dengan pertumbuhan bagian atas. Kosasih dan Heryati (2006) mengatakan bahwa suatu media harus mempunyai empat fungsi utama yaitu memberi unsur hara dan sebagai medium perakaran, menyediakan air dan sebagai tempat penampungan air, menyediakan udara untuk respirasi akar, dan sebagai tempat bertumbuhnya tanaman. Mindawati dan Susilo (2005), bahwa anakan yang siap dipindahkan ke lapangan harus mempunyai nisbah pucuk akar antara 2-5, untuk daerah temperate akan lebih baik jika nisbah pucuk akar mendekati 5, sedangkan untuk daerah tropika akan lebih baik jika nisbah pucuk akar mendekati 1. Berdasarkan nilai uji Duncan nisbah pucuk akar terbaik ditunjukkan pada kombinasi perlakuan ukuran polybag sedang dengan media campuran tanah dan pasir (U2M2) tetapi tidak berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan U2M1, U1M2, dan U2M1. Hal ini diduga karena pada ukuran polybag sedang pertumbuhan akar seimbang antara pertumbuhan lateral dan pertumbuhan memanjang, sedangkan polybag besar karena mempunyai ruang tumbuh akar lebih lebar, mengakibatkan pertumbuhan akar tidak hanya memanjang ke 30 bawah tetapi juga ke samping/lateral. Bahwa ketesediaan unsur hara dipengaruhi oleh kecepatan hara bergerak melalui tanah (media) ke permukaan akar dan kecepatan pertumbuhan akar, serta jenis media yang digunakan sangat berpengaruh pada pertumbuhan bibit. Pertumbuhan akar pada pandan sangat penting karena di samping untuk pertumbuhan tanaman juga fungsi akar pandan sangat diperlukan ketika ditumbuhkan di lapangan yaitu di tepi pantai sebagai penahan abrasi pantai serta mempertahankan tanaman supaya tidak mudah roboh karena di tepi laut pada umumnya mempunyai tiupan angin yang kencang. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa : 1. Perlakuan ukuran polybag dan media sapih memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan pertumbuhan tinggi dari yang terbesar sampai terendah adalah sebagai berikut : U1M1 (37,70 cm), U1M2 (37,77 cm), U2M2 (33,57 cm), U2M1 (33,33 cm), U3M1 (33,27), dan U3M2 (22,13 cm). 2. Penggunaan pasir laut sebagai campuran media sapih pandan wong dapat memberikan kondisi draenase dan aerasi yang lebih baik serta menyiapkan semai pada kondisi tempat tumbuh alaminya. 3. Bibit pandan wong siap untuk ditanam di lapangan setelah berumur enam bulan di persemaian dengan tinggi rata-rata di atas 30 cm. 4. Kombinasi perlakuan polybag ukuran sedang dengan media campuran tanah dan pasir dapat diaplikasikan untuk kegiatan budidaya pandan wong karena selain mempunyai nisbah pucuk akar terbaik, pertumbuhan tinggi baik serta lebih ekonomis. 31 Mulyati et.al (2008), menyatakan bahwa budidaya pandan samak tidak memerlukan persyaratan khusus. Anakan atau tunas-tunas yang keluar dari batang dan dikenal dengan sebutan “sengket” dapat dijadikan bibit. Bibit ditanam pada lahan yang agak basah dengan kedalaman 20-30 cm dengan jarak tanam 80-100 cm Penyiangan atau pembersihan gulma tidak diperlukan setelah 1 tahun masa tanam. Pengambilan daun pertama dapat dilakukan setelah tanaman berumur 2 tahun atau setelah keluar daun 19-15 lembar. Pemanenan dapat dilakukan setiap 2 bulan sekali selama lebih dari 20 tahun. Siti susiarti dan Mulyati Rahayu (2010), menyatakan bahwa Pandan merupakan salah satu komoditi perkebunan di Tasikmalaya dan dengan area seluas 599 ha dengan produksi 282,33 ton per tahun, tak ayal lagi pandan memiliki prospek pengembangan yang baik. Umumnya perkebunan pandan dimiliki oleh rakyat. Bahan baku kerajinan pandan di Tasikmalaya dirasakan tidak mencukupi kebutuhan sehingga diperlukan upaya budidaya. Area perkebunan pandan terdapat di beberapa kecamatan seperti di Cikalong (103 ha), Cipatujah (31 ha), Pager Ageung (302 ha), Parung ponteng (130 ha), Rajapolah (24 ha), dan Sukaresik (121 ha). Di dua lokasi yang pertama pandan ditanam di sekitar tepi pantai, sementara di lokasi-lokasi lainnya hingga sekitar 500 m di atas permukaan laut. Area perkebunan di Cikalong dan Cipatujah mengalami kerusakan akibat adanya tsunami pada tanggal 17 Juli 2006. Saat ini kekurangan bahan baku pandan dipasok dari daerah luar seperti Gombong dan Serang. U s a h a p e m b u d i d a y a a n p a n d a n t i d a k memerlukan persyarat-an khusus. "Sengke" (tunas-tunas) atau anakan yang keluar dari batang 32 dapat dijadikan bibit, ditanam pada lahan yang agak basah dengan jarak tanam I x 2 m. Pengambilan sengke sebaiknya yang telah mempunyai akar cukup panjang. Penyiangan dan pemupukan dilakukan pads awal penanaman dan tidak diperlukan setelah 1 tahun inasa tanam. Pengambilan daun pertama dapat dilakukan setelah berumur 2 tahun (pandan temen) dan 1 tahun (pandan jaksi). Pemanenan dapat dilakukan setiap 2 minggu dan dengan pemeliharaan optimal, pemanenan dapat mencapai lebih dari 20 tahun. Pembudidayaan pandan dapat pula dilakukan dari bijinya (umumnya pandan laut), namun prosesnya cukup lama sehingga jarang dilakukan. Beberapa hams dan penyakit juga ditemukan menyerang perkebunan pandan. Stone (1983), melaporkan sejenis jamur Alternaria alternate menyerang perkebunan pandan di India, yang menyebabkan daun-daun pandan berubah warna menjadi hitam, sedangkan Botryodiplodia theobrornae mengakibatkan daun menjadi pucat. Hama yang menyerang perkebunan pandan di Tasikmalaya adalah sejenis ulat Acara microce. Hama ini menyerang pada bagian pangkal umbut batang sehingga menyebabkan daun berlubang dan pucuk-pucuk daun mengering. Pada serangan ringan, pemberantasannya dapat dilakukan dengan cara rnenyemprotkan pestisida, sedangkan senangan yang cukup berat sebaiknya tanaman dihancurkan dan diganti dengan tanaman baru. Menurut informasi petani pandan setempat, penyemprotan dengan jenis pestisida yang digunakan tidak efektif, oleh karena itu perlu dilakukan alternative lain atau penelitian lebih lanjut untuk menentukan jenis atau dosis pestisida tentang teknik-teknik menganyam perlu ditingkatkan, sehingga produk hasil anyaman pandan dapat lebih bervariasi dan dapat bersaing 33 dengan produk kerajinan dari bahan baku lainnya. Dengan demikian salah satu dari pengetahuan lokal, tradisi dan budaya bangsa Indonesia tetap terpelihara. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian antara lain penjualan langsung bahan baku setengah jadi (lontongan) ke luar negri, yang dapat menyebabkan menurunnya kreatifitas pengrajin dan hasil industri. 2.1.4 Manfaat Tanaman Pandanus Hasil penelitian Ina dan Totok (2006), tentang peningkatan teknik pengolaan pandan. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh informasi proses pengeringan dan pewarnaan untuk meningkatkan kualitas daun pandan sebagai bahan baku barang kerajinan. pengeringan dan pewarnaan untuk meningkatkan kualitas daun pandan sebagai bahan baku industri kerajinan. Metode Pegujian yang dilakukan adalah pengujian sifat mekanik (kekuatan tarik) dan analisa kimia yang terdiri dari analisa lignin dan selulosa. Selain itu dilakukan pengujian hasil pewarnaan ketahanan terhadap sinar. (a). Analisis komponen kimia Cara pengambilan/persiapan bahan untuk analisis dilakukan berdasarkan standar dan prosedur yang berlaku di laboratorium Puslitbang Hasil Hutan, Bogor. Setiap contoh digiling halus dan diayak sampai didapat serbuk yang lolos saringan 40 mesh dan tertahan pada saringan 60 mesh. Analisis sifat kimia yang terdiri dari kadar lignin dilakukan berdasarkan standar D-1106-56 dan penetapan kadar holoselulosa dilakukan menurut metode Norman dan Jenkin, (b). Analisis sifat mekanik Pengujian yang dilakukan adalah kekuatan tarik pandan setelah diberi perlakuan dengan menggunakan SNI 08-0276. Kekuatan tarik serat adalah beban maksimal yang dapat ditahan 34 oleh suatu contoh uji hingga putus. (c). Pengujian hasil pewarnaan daun pandan Metode yang dilakukan berdasarkan pada SNI 08-0289-1989 (Tahan luntur warna terhadap cahaya terang hari). Pengujian dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik di Yogyakarta. Evaluasi hasil pewarnaan dilakukan terhadap kenampakan visualnya (skala nilai 1-4). Makin tahan terhadap sinar, maka makin tinggi nilainya. Data hasil pengujian sifat fisiko dan mekanik daun pandan dicermati dengan rancangan percobaan acak lengkap berpola faktorial. Sebagai faktor adalah kondisi daun pandan (A), terdiri dari dua taraf, yaitu segar (a1) dan kering (a2); macam zat warna yang digunakan (B), yaitu zat warna sam (b1) dan zat warna basa (b2); dan suhu pengovenan (C) terdiri dari 3 taraf yaitu 50 °C (c1), 60 °C (c2) dan 70 °C (c3). Ulangan masing-masing taraf kombinasi perlakuan dilakukan sebanyak 2 kali. Sekurangnya pengaruh faktor dalam bentuk tunggal (A, B, C) atau bentuk interaksi (AB, AC, BC, ABC) nyata, maka pencermatan data dilanjutkan dengan uji beda jarak Duncan. Hasilnya melaporkan bahwa komponen kimia pandan dari Banten, Pandeglang banyaknya mengandung air di dalam struktur dinding sel suatu pohon hidup pada dasarnya tetap konstan dari musim ke musim, meskipun banyaknya air dalam rongga sel daun mungkin berubah-ubah. Air di dalam rongga sel pada daun digunakan sebagai bahan untuk fotosintesis. Kandungan air daun pandan yang telah mengalami perlakuan berkisar antara 7,88-9,14%. Selanjutnya menurut uji Duncan (Tabel 3) menunjukkan bahwa yang berasal dari pandan segar, zat warna asam dengan suhu pengovenan 70°C (A1B1C3) menghasilkan kadar air yang berbeda nyata dengan semua contoh perlakuan. 35 Kadar air tertinggi terdapat pada contoh pandan segar, zat warna asam dan pengovenan selama 50°C (A1B1C1) yaitu 9,14% dan kadar air terendah terdapat pada contoh pandan segar, zat warna asam dan suhu oven selama 70°C (A1B1C3) yaitu 7,36%. Dapat dilihat bahwa suhu oven 70°C menghasilkan kadar air yang rendah bahkan bila dibandingkan dengan kontrol (pandan masyarakat) meskipun tidak terlalu jauh berbedanya. Daun pandan memiliki kadar air yang cukup tinggi (9%) disebabkan mempunyai epidermis yang memiliki kutikula (lapisan berlilin), kutikula menghambat pertukaran gas antara daun dan atmosfer sehingga mencegah kehilangan air yang berlebihan. Selanjutnya dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan), ternyata kadar air daun pandan yang mengalami perlakuan (A, B, dan C) lebih tinggi. Analisis keragaman menunjukkan bahwa kondisi daun (A) berinteraksi dengan macam zat warna (B) mempengaruhi kadar lignin. Sedangkan suhu oven (C) tidak berpengaruh nyata. Demikian pula interaksinya dengan kondisi daun dan macam zat warna (AC, BC dan ABC) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lignin. Lignin adalah suatu polimer yang komplek dengan berat molekul yang tinggi. Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel. Diantara selsel, lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel bersama-sama. Dalam dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan berfungsi memberikan ketegaran pada sel. Kandungan lignin daun pandan berkisar antara 18-22%, Contoh pandan segar (A1) atau yang direbus terlebih dahulu dan ditambah dengan soda kostik secara rata-rata memperlihatkan kadar lignin yang lebih rendah dibandingkan dengan pandan yang tidak dimasak (pandan kering) (A2). Hal ini disebabkan lignin dan mungkin lemak-lemak alam lainnya 36 larut bila dikerjakan dengan alkali (soda kostik). Pengerjaan dengan soda kostik selain memberikan akibat yang menguntungkan yaitu menambah daya serap, juga memberikan dampak yang merugikan dengan larutnya lignin dan lemak alam yang ikut menopang kekuatan serat. Selanjutnya kadar lignin daun pandan yang tidak mengalami perlakuan (kontrol) berada pada selang kisaran kadar lignin daun pandan yang mengalami perlakuan berupa kondisi daun, macam zat warna dan suhu oven. Kadar holoselulosa, ternyata macam zat warna (B) berinteraksi dengan suhu oven (C) dan mempengaruhi kadar holoselulosa tersebut (Tabel 2). Demikian pula interaksi antara kondisi daun (A) dengan suhu oven (C) berpengaruh nyata terhadap kadar holoselulosa. Selulosa adalah bentuk polisakarida sebagai hasil fotosintesis dalam tumbuh-tumbuhan. Struktur selulosa terdiri dari unit-unit anhidro glukosa yang terikat satu sama lain pada atom C ke satu dan atom C ke empat dengan beta konfigurasi. Selulosa mempunyai fungsi untuk memberikan kekuatan tarik pada suatu sel, karena adanya ikatan kovalen yang kuat pada cincin piranosa dan antar unit gula penyusun selulosa, semakin tinggi kadar selulosa maka kelenturan juga semakin tinggi. Selanjutnya berdasarkan hasil uji beda jarak Duncan menunjukkan bahwa terdapat terdapatnya variasi kandungan selulosa pada daun pandan. Kandungan selulosa pada daun pandan berkisar antara 83-88 persen. Kandungan selulosa tertinggi terdapat pada contoh pandan segar, zat warna basa dengan suhu oven 70°C (A1B2C3) dan contoh pandan kering, zat warna asam dengan suhu oven 60°C (A1B1C2) dan terendah terdapat pada contoh pandan segar zat warna asam dengan suhu oven 50 dan 60°C (A1B1C1 dan A1B1C2). Pandan dari masyarakat memiliki nilai selulosa 37 yang lebih kecil yaitu sebesar 76 persen. Apabila dilihat secara keseluruhan, maka pandan yang menggunakan zat warna asam memiliki kadar selulosa yang lebih kecil bila dibandingkan dengan yang menggunakan zat warna basa, hal ini disebabkan karena zat warna asam, adalah zat warna yang pada pencelupannya menggunakan asam sebagai bahan bantunya, dengan demikian besar kecilnya dosis asam yang digunakan akan berpengaruh terhadap serat selulosa, sebab umumnya serat selulosa tidak tahan terhadap asam mineral, sehingga alternatif pemakaiannya harus diperhitungkan secara benar. Di samping itu tidak semua golongan zat warna asam dapat mencelup serat selulosa. Selanjutnya kadar holoselulosa daun pandan tanpa perlakuan atau kontrol (76,37%) ternyata nilainya berada di bawah kadar untuk daun pandan yang diberi perlakuan yaitu pada selang 83,27 – 88,72 %. Selain menganalisis sifat kimia, daun pandan juga diuji sifat fisiknya yaitu gaya tarik dan ketahanan pandan terhadap sinar. Sifat fisik dan ketahanan pandan terhadap sinar. Kekuatan merupakan salah satu sifat serat yang sangat penting supaya serat-serat tersebut tahan terhadap tarikan-tarikan pada waktu pengolahan selanjutnya. Kekuatan dalam keadaan basah yang diperlukan lebih rendah dari keadaan kering karena pengerjaan atau pengolahan selanjutnya dilakukan pada keadaan kering. Kekuatan tarik serat adalah beban maksimal yang dapat ditahan oleh suatu contoh uji hingga putus. Kekuatan tarik pandan berkisar antara 2,3 – 6,0 kg. Sedangkan pandan masyarakat memiliki kekuatan tarik 5 kg. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kondisi daun (A) berinteraksi dengan suhu oven (C) mempengaruhi kekuatan tarik. Demikian pula halnya dengan macam zat warna (B), tetapi 38 interaksinya (BC, ABC) tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan tarik. Kekuatan tarik merupakan salah satu sifat serat yang sangat penting supaya serat-serat tersebut tahan terhadap tarikan-tarikan pada waktu pengolahan selanjutnya. Kekuatan dalam keadaan basah yang diperlukan lebih rendah dari keadaan kering karena pengerjaan atau pengolahan selanjutnya dilakukan pada keadaan kering. Dari data dapat dilihat bahwa kekuatan tarik atau gaya tarik pandan sangat bervariasi. Tetapi dapat dilihat bahwa contoh pandan segar yang direbus dan ditambah dengan soda kostik (A1) serta menggunakan zat warna asam (B1) memiliki nilai gaya tarik yang lebih kecil bila dibandingkan dengan contoh pandan kering (A2) dan menggunakan zat warna basa (B2). Hal ini kemungkinan disebabkan larutnya kadar lignin dan lemak alam lainnya yang berpengaruh pada kekuatan serat pada waktu dikerjakan dengan alkali dan zat warna asam pada dosis tertentu berpengaruh pada serat selulosa, sebab pada umumnya serat selulosa tidak tahan terhadap asam mineral (Anonimous, 1985). Kekuatan tarik daun pandan tanpa perlakuan (kontrol) yaitu 5,1 kg berada pada selang kekuatan tarik daun pandan yang diberi perlakuan yaitu 2,3 – 6,0 kg. Nilai ketahanan sinar hasil pencelupan pandan masyarakat menunjukkan nilai yang sama dari pandan hasil pemutihan. Nilai ketahanan sinar berkisar antara 2-3. Meskipun nilai ketahanan sinar pandan yang menggunakan zat warna asam lebih tinggi sedikit dari pandan yang menggunakan zat warna basa, secara visual pandan yang menggunakan zat warna basa menghasilkan warna yang lebih terang dan lebih meresap pada serat pandan dibandingkan bila menggunakan zat warna asam. Hal ini mungkin 39 disebabkan sifat zat warna itu sendiri terhadap pandan, dimana zat warna tersebut akan terserap dengan kondisi dan konsentrasi yang berbeda-beda, sedangkan secara teoritis, zat warna basa tidak mempunyai afinitas terhadap serat selulosa. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Hasil analisa komponen kimia daun pandan adalah kadar air berkisar antara 7-9 persen; kadar lignin 18-22 persen; kadar selulosa 83-88 persen. Sedangkan kekuatan tarik pandan berkisar antara 2-6 kg dan ketahan pandan terhadap sinar berkisar antara 2 - 3. 2. 2. Pewarnaan daun pandan dengan menggunakan zat warna basa menghasilkan warna yang lebih baik dan cerah serta rata-rata kadar lignin dan kadar selulosa yang lebih besar daripada menggunakan zat warna asam. Nilai ketahahan terhadap sinar untuk daun pandan yang menggunakan zat warna basa adalah 2-3. 3. 3. Contoh daun pandan dengan perlakuan keadaan tidak segar, menggunakan zat warna basa dengan suhu pengovenan 70°C rata-rata menghasilkan kadar air, kadar ligin dan selulosa serta gaya tarik yang baik. Secara tradisional pandan digunakan oleh masyarakat di kawasan Malesia dan Pasifik untuk berbagai macam keperluan sehari-hari. Pemanfaatan padan di bagian barat Malesia (termasuk kawasan barat Indonesia) tidak seluas di bagian timur Malesia (termasuk kawasan timur Indonesia) dan Pasifik (Powel, 1976; Stone, 1982, 1984; Leigh, 2002). Di bagian barat Indonesia umumnya hanya daun pandan yang digunakan, seperti untuk bahan penyedap 40 makanan (pandan wangi P. amaryllifolius Roxb.) dan pemanfaatan lain hanya sebatas untuk peralatan rumah tangga seperti tikar, topi, keranjang, dan upacara adat (pandan samak P. odoratissimus; pandan bidur P. dubius Spreng. dan cangkuang P. furcatus Roxb.). Di Lombok (Nusa Tenggara Barat), daun pandan digunakan dalam upacara adat perang-perangan yang berkaitan dengan prosesi kesuburan tanah (Keim, 2007). Hasil pengamatan dan wawancara diketahui bahwa pemanfaatan pandan samak di lokasi penelitian hanya untuk kebutuhan bahan baku anyaman seperti tikar dan keperluan rumah tangga lainnya dan tidak dijumpai adanya tradisi penggunaan pandan samak untuk upacara adat. Selain pandan samak, masyarakat di Jawa Barat khususnya di daerah Tasikmalaya, juga mengenal takson lain yang dibudidayakan guna dimanfaatkan daunnya sebagaimana layaknya pada pandan samak. Takson ini dikenal dengan nama daerah jaksi atau pandan jaksi, jaksi jalu dan pandan temen (Susiarti dan Rahayu, 2006). Perbedaan ketiga takson tersebut didasarkan pada ukuran panjang daun, warna, tektur dan duri pada daun serta sistem perakaran. Di antara ketiga tanaman pandan budidaya ini, pandan jaksi adalah yang paling umum ditanam dan digunakan pengrajin pandan Tasikmalaya karena tektur daunnya lebih halus sehingga lebih mudah untuk dianyam untuk berbagai keperluan. Berbeda dengan pandan samak, pandan-pandan tersebut di atas ditemukan dan dibudidayakan di daerah pegunungan. Lebih jauh lagi, pandan-pandan ini ditemukan tidak pernah berbunga, ukuran daun lebih pendek, tekstur yang lebih halus dan lunak sehingga lebih mudah untuk dianyam. 41 Keim et.al (2006) bahwa pandan jaksi kemungkinan besar adalah cangkuang, jenis yang juga diketahui terdapat di Jawa Barat, tumbuh di pedalaman (termasuk dataran agak tinggi), dan juga dibudidayakan serta dimanfaatkan daunnya (Backer, 1925; Backer dan Bakhuizen v.d. Brink Jr., 1968). Cangkuang diketahui ditanam oleh masyarakat Sunda pada tempattempat suci Hindu-Sunda atau yang dikeramatkan seperti yang ditemukan di Subang yang dikenal sebagai situs candi Cangkuang. Berbeda dengan masyarakat di Tasikmalaya dan Subang, masyarakat di Ujung Kulon hanya mengenal tanaman budidaya pandan laut (P. odoratissimus), mereka menyebutnya dengan pandan samak dan pandan wangi (P. amaryllifolius Roxb.) sebagai jenis-jenis pandan yang dimanfaatkan dalam kehidupan seharihari mereka. Meski di Ujung Kulon juga ditemukan P. furcatus dan bidur P. dubius Spreng. Lebih lanjut Keim et al,. (2006), masyarakat setempat tidak membudidayakan serta memanfaatkannya sebagaimana pandan samak. Dalam kaitan dengan P. odoratissimus, masyarakat Ujung Kulon mengenal dua entitas yang berbeda di mana mereka membedakan antara takson yang dibudidayakan (disebut dengan pandan samak) dan yang liar (disebut dengan pandan laut). Masyarakat Ujung Kulon memahami dengan baik meskipun menempatkan keduanya ke dalam dua entitas yang berbeda, mereka menempatkan keduanya sebagai berkerebat sangat dekat, lebih dekat daripada dengan cangkuang atau bidur. Pembubuhan kata “laut” dalam nama daerah pandan “laut” dapat ditafsirkan bahwa masyarakat Ujung Kulon memahamniya sebagai takson liar darimana pandan samak dahulu diambil oleh leluhur mereka untuk dibudidaya. 42 Daun muda pandan yang masih lentur dengan panjang 1 m atau lebih diambil untuk bahan anyaman. Bagian ujung dan pangkal daun dipotong sehingga berukuran 80-100 cm. Duri di bagian tepi daun dihilangkan dengan menggunakan alat yang disebut “panyucuk”, kemudian daun dibelah memanjang dengan “panyoak” menjadi 4 bagian. Daun yang telah dibelah menjadi 4 tersebut dikenal dengan sebutan “aray”. Lebar aray dapat diatur dengan panyoak. Makin sempit lebar array, hasil anyaman semakin halus, kemudian getah atau lendir yang terdapat pada aray dihilangkan dengan menggunakan “pamaut” sehingga aray menjadi lentur dan mudah untuk dianyam. Setelah aray terkumpul sebanyak 1 genggam (dihasilkan dari sekitar 20 lembar daun pandan), lalu diikat, dijemur atau dikering anginkan selama sekitar 2-3 jam, kemudian dilipat menjadi 4 bagian, selanjutnya direbus selama 6 jam. Setelah itu didiamkan atau direndam dalam air selama 2 jam dengan tujuan untuk menghilangkan sisasisa lendir yang masih menempel pada daun. Aray yang telah dimasak, dijemur kembali di bawah sinar matahari selama 2 hari dan hasilnya disebut “aray putihan” atau “aray bodas” (bodas artinya putih). Sebelum dianyam aray putihan ini dipukul-pukul perlahan-lahan atau dipaut kembali agar menjadi lemas dan permukaannya halus. Proses awal menganyam disebut ”ngelabang” karena bentuknya seperti kaki kelabang- dan akhir menganyam disebut”ngaput” yaitu menutup bagian tepi anyaman. Sebelum dipasarkan, hasil anyaman tikar dijemur kembali agar terlihat tidak kusam. Lamanya perebusan dan ukuran aray merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi mutu hasil anyaman. Jika pada penjemuran kurang sinar atau cuaca mendung maka hasil anyaman tampak 43 berwarna putih kusam, sedangkan jika perebusan aray kurang lama maka aray mudah patah pada saat dianyam. Proses menganyam “samak” tikar atau “kaneron” tas membutuhkan waktu selama 2 hari. Setiap 1 lembar tikar dengan ukuran 1,20 x 2 m memerlukan 3 ikatan aray bodas, sementara untuk kaneron sebanyak 2 ikatan. Menurut penuturan penduduk, selain pandan samak, daun cangkuang dan bidur juga dapat dianyam, namun kurang umum dilakukan karena hasil anyaman daun kedua jenis tersebut kurang halus dan kurang awet (hanya bertahan sekitar 2 tahun saja), sementara hasil anyaman pandan samak dapat bertahan hingga 4 tahun. Pandan “laut” (hidupan liar dari pandan samak) tidak diminati sebagai bahan baku anyaman karena struktur daunnya yang kaku dan getas (mudah patah) sehingga proses pemasakannya akan memakan waktu yang jauh lebih lama. Kebiasaan menganyam tampaknya merupakan tradisi yang telah dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat di Jawa (Backer 1925; Hofstede 1925), termasuk di Ujung Kulon. Menurut informasi masyarakat, saat ini kegiatan menganyam pandan di Ujung Kulon hanya dijumpai di beberapa daerah seperti Ciundil, Legon Pakis, Tanjung Lame dan Cegok. Hanya di Ciundil bahan baku daun pandan untuk kerajinan anyaman dipanen dari tanaman yang dibudidaya, sementara di kedua lokasi lainnya diambil dari tumbuhan liar. Menurut keterangan masyarakat, pandan samak pertama kali dibudidayakan di Ciundil pada tahun 1950-an. Kegiatan budidaya tersebut ditengarai sudah jauh lebih tua dari yang diketahui, karena Hofstede (1925) dan Backer (1925) telah mencatat bahwa masyarakat di Jawa Barat, termasuk Ujung Kulon, telah lama menanam pandan samak untuk kebutuhan seharihari. 44 Catatan di seputar tahun 1950-an lebih mengacu kepada penanaman secara luas untuk kegiatan perekonomian. Kegiatan menganyam daun pandan di Ciundil sebagian besar dilakukan oleh kaum wanita. Kaum pria umumnya membantu dalam pengambilan daun dan memasarkan hasil anyaman. Sekitar 90% dari jumlah KK di Ciundil dapat menganyam daun pandan samak untuk tikar (tikar samak). Pembuatan tikar selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, juga untuk diperdagangkan. Dalam 1 bulan pengrajin dapat menghasilkan 1015 lembar tikar samak yang diperdagangkan dengan harga jual Rp. 10.00015.000 per lembarnya. Karena tidak semua penduduk mempunyai pohon pandan samak, maka pembagian hasil penjualan antara pemilik pohon dan pengrajin adalah 2 : 1. Kendala yang dihadapi pengrajin pandan adalah pemasarannya. Menurut mereka saat ini dalam 1 bulan hanya terjual 5-10 tikar. Berdasarkan hasil pengamatan penyebab rendahnya daya jual tikar samak masyarakat Ujung Kulon terutama disebabkan oleh masih sederhananya teknik penganyaman serta tidak digunakannya pewarna sehingga tikar masih nampak kusam dan kurang menarik. Penyuluhan tentang teknik penganyaman yang lebih baik dengan ditunjang oleh pewarnaan yang lebih kaya dan variatif sangat dianjurkan dengan harapan dapat meningkatkan nilai jual tikar produksi masyarakat Ujung Kulon tersebut. Berbeda dengan Ciundil, di Legon Pakis dan Tanjung Lame kegiatan menganyam tikar samak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kedua lokasi tersebut terletak di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, sehingga pengambilan daun sangat dibatasi karena eksploitasi yang berlebihan 45 dikhawatirkan dapat mengganggu pelestarian ekosistem kawasan Taman Nasional. Lebih lanjut susiarti dan Rahayu (2010) bahwa masyarakat Ujung Kulon memanfaatkan daun pandan pantai (Pandanus odoratissimus) untuk pembuatan aneka kebutuhan rumah tangga, terutama tikar. Masyarakat mengenal dua entitas yang berbeda untuk dua taksa yang diidentifikasi sebagai P. odoratissimus, pandan samak dan pandan “laut”. Keduanya dianggap berkerabat dekat dengan pandan “laut” yang merupakan hidupan liar untuk pandan samak. Meskipun mengenal dengan baik cangkuang (P. furcatus) dan bidur (P. dubius), keduanya tidak dipakai sebagai bahan baku anyaman. Hanya di Ciundil pandan samak tercatat dibudidayakan masyarakat. Perlu adanya penyuluhan tentang teknik menganyam dan penerapan model (desain) dan tata warna yang lebih bervariasi guna meningkatkan nilai jual tikar samak masyarakat Ujung Kulon. Peningkatan nilai jual diharapkan akan meningkatkan volume penjualan dan pada akhirnya akan menarik lebih banyak keterlibatan anggota masyarakat dalam industri kerajinan tersebut serta akhirnya akan melestarikan tradisi kerajinan daun pandan Ujung Kulon. 2.1.5. Strategi Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung 2.1.5.1. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) Widada (2001), pernah melakukan penelitian pada kawasan lindung di antaranya adalah Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Hasil yang diperoleh dari penelitiannya menunjukkan bahwa dalam memantapkan fungsi 46 kawasan terdapat sejumlah kendala, baik kendala internal maupun kendala eksternal yaitu : 1. Kendala Internal a. Aksebilitas rendah, yaitu : kondisi fisik lingkungan berupa topografi yang bergunung-gunung, jalan menuju kawasan sebagian besar jelek (berbatu), sarana angkutan umum sangat terbatas. b. Sarana dan prasana terbatas, yaitu : meliputi sarana dan prasarana untuk kegiatan wisata alam, pengamanan kawasan, maupun untuk kepentingan penelitian dan pengelolaan TNGH. c. Sumber daya manusia (SDM) terbatas, terutama dari segi kualitas dan distribusi di lapangan. d. Publikasi dan promosi TNGH belum optimal, baik untuk skala lokal, nasional maupun Internasional. Demikian juga data, informasi dan materi promosi belum tersedia secara memadai. e. Kondisi tata batas tidak jelas. f. Peraturan yang bersifat teknis belum lengkap 2. Kendala Eksternal a. Tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat sekitar kawasan yang relafif masih rendah menyebabkan persepsi mereka tentang peranan TNGH sebagai kawasan pelestarian alam masih terbatas. b. Terbatasnya keterampilan di bidang kewirausahaan menyebabkan sebagian besar masyarakat sekitar kawasan tergantung pada sumberdaya hutan sebagai sumber perekonomian mereka. Hal ini tidak 47 jarang mengakibatkan munculnya pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu secara illegal. c. Adanya potensi tambang emas di sekitar dan di dalam kawasan TNGH menarik minat masyarakat sekitar kawasan maupun pendatang untuk melakukan kegiatan penambangan emas secara liar, d. Secara tradisional, sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan melakukan perburuan satwa liar di dalam kawasan hutan dan juga melakukan perambahan hutan. e. Koordinasi belum dilakukan secara optimal, baik dengan instansi terkait yaitu Pemerintah Daerah, Dinas Pariwisata, Pekerjaan umum, Perindustrian, Pertanian dan Perkebunan, Koperasi, Lembaga Sosial masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi maupun pihak swasta dan pihak terkait lainnya. Perwujudan secara optimal pengelolaan kawasan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan dengan memperhatikan potensi dan sejumlah kendala yang ada, maka landasan strategi pengelolaan dan pengembangan TNGH di arahkan kepada 3 (tiga) aspek sebagai berikut: 1) Peningkatan Fungsi Ekologis; yaitu bagaimana pengelolaan dan pengembangan TNGH tetap mempertahankan kelestarian sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. 2) Peningkatan Fungsi Pemanfaatan, yaitu bagaimana pengelolaan dan pengembangan TNGH mampu mewujudkan kegiatan wisata alam atau 48 ekowisata, penelitian dan pendidikan konservasi, serta budidaya dengan tetap mempertahankan kelestarian dan ekosistem hutan TNGH. 3) Peningkatan bagaimana Pemberdayaan pengelolaan dan Masyarakat Sekitar; pengembangan TNGH yaitu mampu meningkatkan peranserta dan kesejahteraan masyarakat sekitar TNGH. Selanjutnya dalam upaya pemantapan kawasan pengelolaan TNGH, dimana salah satu kendala yang cu kup rumit ialah mengenai tata batas kawasan yang masih belum jelas dan juga mengenai bentuk kawasan yang menyerupai jari-jari tangan manusia. Karena bentuknya yang tidak teratur serta tata batas yang belum jelas, mengakibatkan munculnya kerumitan dalam upaya pengelolaan TNGH. Ketidakjelasan tata batas sering menimbulkan konflik antara petugas TNGH dengan pihak lain, baik dengan masyarakat maupun dengan instansi lain. Oleh karena itu, dalam rangka pemantapan kawasan tersebut maka dilakukan upayaupaya, antara lain : 1) Rekonstruksi Tata Batas, adalah penataan batas ulang kawasan TNGH. Untuk itu diupayakan melalui kerjasama kehutanan dengan Pemerintah Daerah dan melibatkan pula persetujuan masyarakat setempat. 2) Penataan Batas Zonasi, adalah penataan batas berdasarkan fungsi kawasan yang mencakup zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan intensif. 3) Survei Identifikasi Kawasan Hutan dalam rangka usulan perluasan kawsan TNGH. Sementara upaya pengelolaan sumberdaya alam mencakup aktivitas 49 penelitian, inventarisasi, monitoring dan evaluasi terhadap potensi flora, fauna dan ekosistemnya termasuk sumberdaya air. Data potensi yang diperoleh dari kegiatan penelitian atau inventarisasi tersebut dijadikan database untuk mendukung perkembangan Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan sekaligus untuk kepentingan dalam penentuan rencana dan kebijakan pengelolaan TNGH. Dalam rangka optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam, maka TNGH berupaya melibatkan dan bekerja sama dengan instansi lain, seperti LIPI, Litbang Kehutanan, Perguruan Tinggi, atau LSM yang terkait dalam kegiatan penelitian, evaluasi dan monitoring. Di samping itu, TNGH juga memberikan banyak kemudahan kepada pihak lain (mahasiswa atau peneliti) yang ingin melakukan kegiatan di TNGH. Sarana dan prasarana untuk mendukung program penelitian telah mulai dikembangkan, misainya dengan membangun Pusat Penelitian Cikaniki yang dilengkapi dengan berbagai peralatan laboratorium dan konservasi yang memadai. Demikian juga untuk penelitian ekosistem tajuk hutan, telah tersedia fasilitas Canopy Trail dengan panjang 100 meter dan tinggi 20-30 meter dari permukaan tanah. Sedangkan upaya perlindungan dan pengamanan untuk mencegah dan membatasi kerusakan flora dan fauna beserta ekosistemnya akibat dari adanya gangguan kawasan. Gangguan ka wasan TNGH yang bersumber dari perbuatan manusia antara lain perambahan kawasan, pencurian kayu, perburuan ilegal, dan lain-lain. Di samping itu, gangguan kawasan bisa disebabkan karena hama dan penyakit atau akibat bencana alam. 50 Upaya penanggulangan gang guan kawasan dilakukan dengan pendekatan secara preventif dan represif. Preventif, yaitu tindakan pencegahan yang dilakukan melalui kegiatan operasi gabungan, patroli rutin secara intensif, mengembangkan pengamanan swakarsa masyarakat, menjalin kemitraan dengan kader konservasi, dan lain-lain. Sedangkan secara represif, yaitu penindakan sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dilakukan melalui upaya penindakan pelanggar secara langsung berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. TNGH dengan segala potensi keindahan, kekayaan alam, dan budaya masayarakat setempat serta dengan jarak yang relatif dekat dari Jakarta (± 100 km) pada dasarnya memiliki nilai jual yang tinggi sebagai obyek wisata. Dengan kata lain, upaya pengembangan wisata alam TNGH menjanjikan dan berpeluang tumbuh dan berkembang dan mampu menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan sumber pendapatan bagi masyarakat di sekitar kawasan TNGH. Dalam rangka mewujudkan optimalisasi pengembangan wisata alam TNGH dengan memperhatikan potensi dan kendala yang ada, maka upayaupaya yang ditempuh antara lain sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia TNGH, melalui berbagai pelatihan di bidang wisata alam, baik di dlaam maupun di luar negeri di samping kegiatan on the job training untuk meningkatkan kemampuan SDM dalam perencanaan, pengembangan dan pengelolaan wisata alam. 51 2. Pembangunan sarana dan prasarana serta fasilitas untuk mendukung kegiatan wisata alam serta pengembangan potensi obyek wisata untuk berbagai jenis kegiatan wisata di berbagai lokasi di TNGH. 3) Peningkatan sarana, media, dan kegiatan publikasi serta promosi TNGH baik dalam skala nasional maupun internasional dengan media elektronik dan cetak. 4) Pembangunan Pusat informasi Pengunjung di kantor pusat TNGH di Kabandungan dan Cikaniki, serta membangun arboretum sebagai miniatur kawasan TNGH. 5) Pembinaan dan pengembangan keterampilan dalam wirausaha di bidang wisata alam kepada masyarakat di sekitar kawasan maupun dengan lembaga bisnis professional dan juga melibatkan LSM serta perguruan tinggi. 6) Pengembangan pendidikan paket -paket wisata alam bernuansa lingkungan dan atau penelitian konservasi dengan melibatkan LSM clan perguruan tinggi serta pishak-pihak terkait lainnya. Selanjutnya dalam hal pembinaan daerah penyangga yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Mengingat tingkat sosial ekonomi masyakarakt di sekitar kawasan TNGH (52 desa penyangga) kondisinya masih sangat rendah, maka salah satu kunci keberhasilan pengelolaan adalah dengan melibatkan partisipasi masyarakat melalui pendekatan pemberdayaan ekonomi desa penyangga. Sejalan dengan upaya tersebut, maka pembinaan daerah dilakukan dengan tujuan utama, yaitu : program 52 1) Memberikan dan meningkatkan wawasan/pengetahuan masyarakat desa penyangga tentang pentingnya upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. 2) Meningkatkan keterampilan masyarakat desa dalam melakukan budidaya sumberdaya alam yang berwawasan konservasi. 3) Meningkatkan keterampilan kewirausahaan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa penyangga. 4) Menjalin kemitraan dengan harapan masyarakat mampu berperan aktif dalam upaya menjaga dan melestarikan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistem kawasan TNGH. Sedangkan program-program pembinaan daerah diwujudkan melalui kegiatankegialan, antara lain: 1) Pelatihan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan konservasi (Participatory Rural Appraisal - PRA). 2) Pelatihan kewirausahaan dan koperasi bagi masyarakat desa penyangga. 3) Pengembangan ekonomi masyarakat desa penyangga melalui pemberian bantuan Usaha Pedesaan yang sejalan dengan misi konservasi. 4) Pengembangan model atau pilot project pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasiskan konservasi sumberdaya alam. Pendidikan lingkungan atau pendidikan konservasi untuk tingkat anak-anak (sekolah dasar), generasi muds dan tingkat dewasa (masyarakat). Terakhir dari sisi pemantapan koordinasi dalam rangka optimalisasi pengelolaan TNGH, maka dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan dilakukan koordinasi dengan pihak-pihak lain seperti 53 Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, tokoh masyarakat, LSM, perguruan tinggi, dan pihak-pihak lain yang terkait. Hasil penelitian yang dilakukan Widada (2001) seperti yang disampaikan di atas ternyata belum melakukan kajian analisis SWOT ((Stemgths, Weaknesses, Opportunities, Threats) secara komprehensif, sehingga hasil analisis yang dicapai belum tentu berdasarkan kondisi internal dan eksternal yang terjadi. Disamping itu hasil penelitian tersebut belum spesifik, karena antara upaya pelestarian manfaat ekonomi dan manfaat non ekonomi tidak jelas. Sementara penelitian yang dilakukan di kawasan HLSW lebih terarah dan mendalam. Sehingga dengan mengkombinasikan strategi pelestarian manfaat ekonomi dengan manfaat non ekonomi HLSW diharapkan dapat mencapai sasaran (goals) penelitian, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat dan pelestarian lingkungan. 4.5.1.2. Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Manggar DAS Balikpapan. Manggar Fitriansyah terletak (2006) di wilayah dalam telah administratif melakukan kota penelitian berkenaan dengan strategi pengelolaannya menggunakan analisis SWOT (Sterngths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Berdasarkan kajian faktorfaktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang ada, kemudian dilakukan analisis sehingga telah menghasilkan beberapa formulasi strategi sebagai berikut: 1) Strategi SO; mengundang investor yang mau berinvestasi di 54 bidang pertanian, peternakan ataupun pariwisata dan membangun sarana dan prasarana lainnya sesuai peluang yang ingin dikembangkan, seperti perbaikan jalan atau penunjang lainnya. Selain itu bekerjasama antara instansi terkait dan masyarakat dalam kegiatan pelestarian DAS Manggar yang masih kurang. 2) Strategi ST; karena sering terjadinya kebakaran lahan khususnya ketika musim kemarau penanggulangan tiba, kebakaran maka hutan dapat yang membentuk melibatkan tim instansi terkait dan masyarakat. Selanjutnya DAS atau waduk Manggar sebagai sumber air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk kota Balikpapan dapat terganggu debitnya pads musim kemarau, maka dapat dilakukan kegiatan reboisasi di sekitar hutan lindung clan waduk serta melakukan penghijauan. di sekitar sungai. Adanya kegiatan peternakan yang mengganggu khususnya babi dapat dilakukan dengan membatasi kegiatan tersebut atau memindahkan ke lokasi yang jauh dari DAS Manggar karena limbah dari perternakan ini dapat mencemari waduk. 3) Strategi WO; dibentuk tim yang tugasnya khusus mengelola DAS Manggar dengan melibatkan beberapa instansi terkait (seperti BP-DAS, Bapedalda, Kelurahan setempat) dan masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan karena selama ini pengelolaan hanya berada di tingkat propinsi (BP-DAS). Disamping itu dapat meningkatkan koordinasi dan berbagi informasi antar instansi terkait dan masyarakat. Banyak masyarakat yang berada di DAS Manggar perlu dilakukan 55 sosialisasi untuk pengembangan DAS tersebut, karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang DAS Manggar terutama obyek hutan lindung dan waduk. Memberikan pelatihan kerja yang sesuai dengan kondisi daerah mereka serta mengganti dengan harga yang layak atau tanah masyarakat yang terkena pengembangan DAS Manggar (waduk). 4) Strategi WT; banyak kegiatan pertanian dan peternakan perlu dilakukan penyuluhan tentang pertanian dan peternakan yang balk agar tidak mengganggu lingkungan sekitar seperti pencemaran air, tanah dan udara atau kerusakan lainnya. Mengendalikan hama binatang yang menggangu pertanian masyarakat sebagai akibat adanya kawasan hutan lindung. Kemudian membuat kebijakan atau peraturan untuk pengelolaan DAS Manggar secara komprehensif demi terjaganya keanekaragaman hayati yang masih ada. Metoda analisis penelitian yang dilakukan di kawasan DAS Manggar hanya terbatas pads penggunaan analisis SWOT saja. Sementara metoda analisis penelitian yang dilakukan di kawasan HLSW tidak hanya terbatas pada penggunaan analisis SWOT. 2.2. Kajian Teori 2.2.1. Faktor-Faktor Lingkungan Tanaman Hutan Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Arief (1994) menyatakan bahwa daerah tropis adalah wilayah yang terletak di antara garis isoterm 180 C bulan terdingin. Daerah tropis secara keseluruhan mencakup 30 % dari luas permukaan bumi. Hutan Tropis 56 merupakan hutan yang berada di daerah tropis. Di daerah tropis suhu udara rata-rata tahunan umumnya tinggi (di atas 180°C dengan perubahan antara suhu rata-rata pada bulan terpanas dan terdingin sangat rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa di daerah tropis ini suhu udara hampir sama sepanjang tahun. Perubahan suhu harian, antara suhu minimum dan maksimum harian cukup tinggi. Sebagai contoh disampaikan keadaan temperatur udara di Bogor (300 m dpl) sebagai berikut : Tabel 2. Suhu Rata-Rata Bulanan Maksimum (juli) 25,3o C Minimum (juni) 24,3°C Perbedaan 1,0°C Suhu rata-rata harian Maksimum (Pkl 14.00) 32,4°C Minimum (Pkl 06.00) 23,4°C Perbedaan 9,0°C Perbedaan suhu akan berkaitan pula dengan tinggi tempat di atas permukaan laut (d.p.l). Semakin tinggi suatu tempat suhu akan semakin turun, rata-rata setiap penambahan tinggi suatu sebesar 100 m suhu akan turun 0,4 – 0,7°C. Curah hujan di daerah tropis umumnya tinggi. Di sekitar equator (Lintang 00) mempunyai curah hujan yang tertinggi dan semakin jauh dari equator curah hujan akan semakin berkurang. Matahari akan berada tepat di atas equator (zenit) dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan Maret dan September. Pada saat matahari berada tepat di atas equator akan terjadi pemanasan yang tinggi, 57 udara lembab akan bergerak naik dan menjadi dingin sehingga akan terbentuk awan yang selanjutnya akan turun kembali sebagai hujan. Pembentukan awan hujan juga dipengaruhi oleh angin, yaitu angin Pasat Timur Laut dan angin Pasat Tenggara, dan untuk daerah Asia Tenggara dipengaruhi pula oleh adanya angin Monsun (angin Musim), yaitu angin Monsun Timur Laut dan angin Monsun Tenggara. Adanya angin tersebut akan menimbulkan adanya periodisasi curah hujan, yaitu adanya musim penghujan dan musim kemarau. Hal ini mempunyai arti penting baik bagi vegetasi secara umum maupun dalam hal pemanfaatan lahan. Besar kecilnya curah hujan di daerah tropis juga dipengaruhi oleh tinggi tempat dan jarak tempat dari permukaan laut. Pada suatu wilayah pegunungan curah hujan akan semakin besar dengan bertambahnya ketinggian tempat namun pada tempat yang lebih tinggi lagi curah hujannya semakin berkurang (Weidelt, 1995). Ciri lain curah hujan di wilayah tropis adalah tingginya intensitas curah hujan. Sebagai contoh : tahun 1974 di daerah Honduras terjadi curah hujan sebesar 1.000 mm dalam kurun waktu 48 jam, di Baguio (Filiphina) tercatat curah hujan sebesar 1.130 mm dalam 24 jam dan di Venezuela sebesar 1.200 mm hanya dalam jangka waktu 4 jam. Daerah tropis mempunyai lama penyinaran matahari yang tinggi dan merata sepanjang tahun dengan perbedaan yang sangat rendah. Radiasi sinar matahari dengan intensitas yang tinggi akan berkurang dengan adanya awan dan kelembaban udara yang tinggi. Di Hutan hanya pohon-pohon yang tertinggi saja yang menerima cahaya secara penuh. Perlindungan terhadap tingginya intensitas cahaya dilakukan antara lain : warna daun muda yang 58 merah kecoklatan, panphotometri dan adanya permukaan tajuk yang mengkilat. Pada lapisan tajuk bagian bawah intensitas cahaya akan semakin berkurang dan intensitas cahaya yang dapat mencapai permukaan tanah hanya sekitar 1%. Cahaya merupakan faktor yang sangat penting terutama untuk ruangan di antara lapisan tajuk bagian tengah dan permukaan tanah, dimana pada ruangan tersebut terdapat permudaan berbagai jenis pohon. Angin dapat pula dimasukkan dalam faktor iklim. Efek Mekanis dan fisiologis angin terhadap vegetasi seperti halnya yang terjadi pada wilayah iklim campuran. Hal yang tidak dapat dibandingkan adalah seringnya terjadi badai di daerah tropis atau siklon tropis. Adanya siklon ini sangat membahayakan tegakan, tidak hanya merusak hutan alam yang ada, merusak suksesi yang telah berlangsung dan bahkan lebih berbahaya untuk hutan tanaman. Hutan dapat mengurangi kecepatan pergerakan angin. Weidelt (1995) telah mengukur kecepatan angin di hutan hujan tropis di wilayah Brasilia bagian Selatan. Hasil Pengukuran adalah sebagai berikut : 59 Tabel 3. Kecepatan Angin Dalam Hutan Tropis LOKASI PENGUKURAN Tempat Terbuka (150 m dari tepi hutan) KECEPATAN ANGIN 0,63 km/jam 100 m di dalam tegakan 0,13 km/jam 1100m di dalam tegakan 0 km / jam (tidak ada angin Angin merupakan faktor lingkungan yang penting, yang berperan dalam mengalirkan udara baru yang banyak mengandung karbondioksida. Apabila tidak ada angin kandungan karbondioksida dalam hutan tidak tercukupi. Fotosintesis atau fotosintesa merupakan proses pembuatan makanan yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan sinar matahari dan enzimenzim. Fotosintesis adalah suatu proses biokimia yang dilakukan tumbuhan, alga, dan beberapa jenis bakteri untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi) dengan memanfaatkan energi cahaya. Fotosintesis adalah fungsi utama dari daun. Proses fotosintesis sangat penting bagi kehidupan di bumi karena hampir semua makhluk hidup tergantung pada proses ini. Proses Fotosintesis juga berjasa menghasilkan sebagian besar oksigen yang terdapat di atmosfer bumi. Daun terdiri dari jaringan-jaringan yang masing-masing mempunyai fungsi spesifik. Jaringan-jaringan tersebut adalah Epidermis Jaringan ini terbagi menjadi epidermis atas dan epidermis bawah, berfungsi melindungi jaringan yang terdapat di bawahnya. Jaringan Pagar atau Jaringan Tiang dikenal juga dengan istilah jaringan palisade, merupakan jaringan yang berfungsi sebagai tempat terjadinya proses fotosintesis. 60 Jaringan bunga karang disebut juga jaringan spons karena lebih berongga bila dibandingkan dengan jaringan palisade, berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan. Berkas pembuluh angkut terdiri dari xilem atau pembuluh kayu dan floem atau pembuluh tapis, pada tumbuhan dikotil keduanya dipisahkan oleh kambium. Xilem berfungsi untuk mengangkut air dan garam yang diserap akar dari dalam tanah ke daun (untuk digunakan sebagai bahan fotosintesis). Floem berfungsi untuk mengangkut hasil fotosintesis dari daun ke seluruh bagian tumbuhan, termasuk daun itu sendiri. Stoma (jamak: stomata) berfungsi sebagai organ respirasi. Stoma mengambil CO2 dari udara untuk dijadikan bahan fotosintesis, mengeluarkan O2 sebagai hasil fotosintesis. Stoma ibarat hidung kita dimana stoma mengambil CO2 dari udara dan mengeluarkan O2, sedangkan hidung mengambil O2 dan mengeluarkan CO2. Stoma terletak di epidermis bawah. Selain stoma, tumbuhan tingkat tinggi juga bernafas melalui lentisel yang terletak pada batang. Fungsi Daun adalah pembuat makanan yang utama bagian dari hampir semua tumbuhan. bunga, rumput, semak belukar, dan pohon tergantung pada daun-daunnya untuk membuat makanan untuk keperluan tumbuhan tersebut. Demikian juga banyak tumbuhan yang lain, meliputi paku-pakuan, sayursayuran, buah-buhan dan rumput-rumputan. Tiap daun merupakan suatu pabrik makanan kecil. Daun menangkap energi dari cahaya matahari dan digunakan untuk membuat gula merupakan hasil menyerap air dari tanah dan karbondioksida dari udara. Gula ini diubah untuk banyakunsur kimia lain. 61 Unsur ini menjadi makanan yang menyediakan energi pada tumbuhan untuk bertumbuh, untuk menghasilkan bunga dan benih, dan untuk melanjutkan semua aktivitas lainnya. Cadangan makanan tumbuhan dibuat oleh daun tersimpan dalam buah, akar, biji, batang, dan bahkan di dalam daundaunnya. Tanpa makanan ini, tumbuhan tidak bisa hidup. Sebagai tambahan, semua bahan makanan yang manusia dan binatang makan dihasilkan juga dari tumbuhan atau dari hewan yang memakan tumbuhan. Daun beragam ukuran dan bentuknya antar tumbuh-tumbuhan. Banyak yang bujur telur, tetapi yang lain berbentuk lancip, menjari, berbentuk hati, atau banyak lagi bentuk yang lain. Kehidupan tumbuhan hijau sangat tergantung pada daun, karena daun merupakan organ terpenting bagi tumbuhan autotrof obligat, tumbuhan harus membuat kebutuhan energinya sendiri melalui konversi energi cahaya menjadi energi kimia. Bentuk daun sangat beragam, namun biasanya berupa helaian, bisa tipis atau tebal. Gambaran dua dimensi daun digunakan sebagai pembeda bagi bentuk-bentuk daun. Bentuk dasar daun membulat, dengan variasi cuping menjari atau menjadi elips dan memanjang. Bentuk ekstremnya bisa meruncing panjang. Daun juga bisa bermodifikasi menjadi duri (misalnya pada kaktus), dan berakibat daun kehilangan fungsinya sebagai organ fotosintetik. Daun tumbuhan sukulen atau xerofit juga dapat mengalami peralihan fungsi menjadi organ penyimpan air. Daun segar (kiri) dan tua. Daun tua telah kehilangan klorofil sebagai bagian dari penuaan. Warna hijau pada daun berasal dari kandungan klorofil pada daun. Klorofil adalah senyawa pigmen yang berperan dalam menyeleksi panjang gelombang cahaya yang energinya diambil dalam 62 fotosintesis. Sebenarnya daun juga memiliki pigmen lain, misalnya karoten (berwarna jingga), xantofil (berwarna kuning), dan antosianin (berwarna merah, biru, atau ungu, tergantung derajat keasaman). Daun tua kehilangan klorofil sehingga warnanya berubah menjadi kuning atau merah (dapat dilihat dengan jelas pada daun yang gugur). Daun sebagai organ tumbuhan yang berwarna hijau mempunyai beberapa fungsi : 1. Tempat terjadinya fotosintesis. pada tumbuhan dikotil, terjadinya fotosintesis di jaringan parenkim palisade. sedangkan pada tumbuhan monokotil, fotosintesis terjadi pada jaringan spons. 2. Sebagai organ pernapasan atau respirasi. Di daun terdapat stomata yang befungsi sebagai organ respirasi (lihat keterangan di bawah pada Anatomi Daun). 3. Tempat terjadinya transpirasi. Transpirasi merupakan proses menguapnya air pada daun. Proses transpirasi terjadi pada daun lewat stomata atau mulut daun yang terdapat pada permukaan daun, dan lebih banyak pada permukaan daun bagian bawah. 4. Tempat terjadinya gutasi. Tempat keluarnya cairan dari dalam tumbuhan 5. Alat reproduksi vegetatif. Daun dapat dijadikan bagian untuk memperbanyak tanaman. contoh sederhana pada tanaman cocor bebek (tunas daun). Sejumlah Angiospermae efisien dalam melakukan fotosintesis pada intensitas cahaya rendah daripada intensitas cahaya tinggi, sedangkan banyak Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi. Perbandingan antara kedua kelompok tanarnan tersebut pada intensitas cahaya rendah dan 63 tinggi seringkali dapat memberikan tekanan-tekanan pada kapasitas fotosintesis terutama pada penimbunan makanan. Simarangkir (2000) mengemukakan pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat dengan laju fotosintesis akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi. Akan tetapi pada titik jenuh cahaya, tanaman tidak mampu menambah hasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya bertambah. Selain itu produk fotosintesis sebanding dengan total luas daun aktif yang dapat melakukan fotosintesis. Pernyataan Daniel, et al. (1992) bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman karena produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel meristematik kearah diameter batang, terutama pada intensitas cahaya yang rendah. Parameter penting iklim untuk mengungkapkan kondisi iklim di hutan adalah suhu dan curah hujan. Banyak usaha telah dilakukan untuk membuat korelasi antara zone-zone vegetasi dengan daerah-daerah iklim tropis. Kadang-kadang suhu dipertimbangkan sebagai faktor yang paling penting dan juga curah hujan sebagai faktor yang terberat. Pada umumnya pertumbuhan meningkat kalau temperatur naik dan menurun apabila temperatur turun. Namun kecepatan pertumbuhan ini tidak terus menerus bertambah dengan naiknya temperatur, oleh karena pada suatu saat timbul efek-efek membahayakan dan kecepatan pertumbuhan menurun. Kerusakan karena suhu yang tinggi disebabkan oleh kekeringan dan respirasi yang amat tinggi, sehingga konsumsi bahan makanan akan melebihi produksi fotosintesa. Suhu mempengaruhi pertumbuhan karena efeknya 64 terhadap semua aktivitas metabolisme seperti digesti, translokasi, respirasi dan pembangunan protoplasma baru. Pertumbuhan biasanya bertambah dengan meningkatnya suhu sampai mencapai suatu suhu tinggi yang kritis untuk suatu spesies dan kemudian pertumbuhan menurun dengan cepat. Penurunan pertumbuhan mungkin disebabkan oleh respirasi yang berlebihan dan mereduksi karbohidrat karena penurunan fotosintesis. Pada daerah tropika hujan yang jumlahnya tinggi dan merata sepanjang tahun terjadi di daerah sekitar equator tetapi semakin berkurang baik jumlah maupun sebarannya pada daerah yang semakin jauh dari equator. Hal ini menyebabkan terjadinya variasi iklim. Dengan adanya variasi iklim membawa konsekuensi ekologis penting terhadap kehidupan vegetasi antara lain berpengaruh pada proses pertumbuhan daun, bunga dan buah. Selain hujan berpengaruh pada variasi iklim, hujan juga berpengaruh bagi tersedianya air bagi pertumbuhan tanaman. Lakitan (1993), iklim banyak diubah oleh ketinggian tempat. Bagianbagian yang lebih tinggi dari suat daerah umumnya lebih banyak kena pasir daripada bagian-bagian yang lebih rendah. Pada elevasi-elavasi yang lebih tinggi radiasi matahari selama cuaca terang adalah lebih terik daripada elevasielevasi yang lebih rendah. Angin yang lebih keras meniup pada elevasi-elevasi yang tinggi daripada elevasi-elevasi yang lebih rendah. Temperatur tanah menurun dengan meningkatnya ketinggian. Atmosfer kurang rapat pada elevasi-elevasi yang lebih tinggi karena itu kurang dapat mengabsorbsi dan memegang panas. Lembah-lembah dan jurang-jurang dapat lebih banyak 65 terkena bahaya hawa dingin dibandingkan lereng-lereng didekatnya yang berada beberapa ratus meter lebih tinggi. Lebih lanjut Lakitan (1993), menjelaskan bahwa ketinggian tempat mempunyai efek-efek tidak langsung terhadap riap dan bentuk pohon-pohon hutan. Efek tidak langsung dari bertambahnya ketinggian terhadap pohonpohon sebagai individu adalah sebagai berikut : 1. Pertumbuhan tinggi menurun secara teratur, 2. Riap total lambat laun akan menurun, 3. Waktu pengembangan diperpanjang, yaitu pohon memerlukan waktu lebih lama untuk menjadi dewasa. 4. Perkembangan tajuk lambat laun menjadi lebih rendah dan lebih mendekati tanah 5. Proporsi cabang-cabang dan ranting-ranting meningkat Efek dari bertambahnya elevasi terhadap keseluruhan tegakan, yaitu : 1. Banyak/jumlah batang per hektar bertambah, namun proporsi dari batang yang mempunyai klas diameter lebih besar menurun 2. Tinggi rata-rata dari tegakan menurun 3. Riap tahunan rata-rata dari seluruh tegakan dewasa menjadi sangat kurang 4. Proporsi dari ranting-ranting dan kayu cabang meningkat. Lereng dapat didefnisikan sebagai sudut yang dibentuk oleh permukaan dengan horisontal, dan menunjukkan habungan dari permukaan tempat tumbuh terhadap horisontal (Lakitan, 1993). Efek penting dari lereng adalah terhadap pengaliran air di atas permukaan tanah dan drainase, dan melalui 66 faktor-faktor kandungan air tanah. Efek penting lainnya adalah melalui pengeringan terhadap temperatur dan air dari permukaan tanah. Lereng merubah intensitas pengeringan dengan cara merubah sudut jatuh sinar matahari. Kedalaman tanah dan kandungan air berubah secara langsung dengan besarnya lereng. Besar kecilnya lereng dan pengaruhnya terhadap keadaan tanah adalah sebagai berikut : a. Lereng-lereng kecil, kedalaman tanahnya sedang, suplai air biasanya banyak. Produksi dapat tinggi asalkan iklim baik. b. Lereng-lereng sedang, kedalaman tanah sedang, suplai air sedang. Tegakan-tegakan rapat dan produksi tinggi kalau iklim baik. c. Lereng-lereng curam, tanah biasanya dangkal, pohon-pohon tertentu tumbuh disini, terutama yang dangkal perakarannya. d. Lereng-lereng Amat curam, tanahnya tipis dengan batu-batuan tersebar dipermukaan. Biasanya ditumbuhi pohon-pohon dan kecil. Lakitan (1993), arah lereng juga berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon, karena arah lereng menentukan banyaknya sinar matahari yang diterima. Lereng yang mengarah ke kutub jauh lebih lembab dan lebih sejuk daripada yang mengarah ke khatulistiwa/equator. Lereng yang menghadap ke timur kena pengaruh matahari pagi, dan lebih terlindung dari pengaruh angin barat daya dan angin barat selama bagian siang hari yang terpanas. Lereng yang menghadap ke Timur bagus untuk pertumbuhan pohon dan seringkali ditandai dengan oleh tegakan-tegakan yang rapat dan yang baik pertumbuhannya. Begitu juga dengan lereng-lereng yang menghadap ke utara terlindung dari efek matahari selama siang hari dan juga terlindung dari efek 67 angindan biasanya pertumbuhan pohon juga baik di sini. Lereng-lereng yang menghadap ke selatan keadaannya panas dan relatif kering seperti halnya dengan lereng-lereng yang menghadap ke barat. Keadaan kering di sini menyebabkan api lebih cepat merusak, sehingga pertumbuhan pohon umumnya terganggu. Cahaya merupakan faktor penting terhadap berlangsungnya fotosintesis, sementara fotosintesis merupakan proses yang menjadi kunci dapat berlangsungnya proses metabolisme yang lain di dalam tanaman (Kramer dan Kozlowski, 1979). Setiap tanaman atau jenis pohon mempunyai toleransi yang berlainan terhadap cahaya matahari. Ada tanaman yang tumbuh baik ditempat terbuka sebaliknya ada beberapa tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada tempat teduh/bernaungan. Ada pula tanaman yang memerlukan intensitas cahaya yang berbeda sepanjang periode hidupnya. Pada waktu masih muda memerlukan cahaya dengan intensitas rendah dan menjelang sapihan mulai memerlukan cahaya dengan intensitas tinggi (Faridah, E. 1996). Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lain mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan perilaku yang berbeda. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang 68 tinggi tetapi beberapa spesies tidak. (Suhardi, 1995), Sebagian dari jenis-jenis dipterocarpaceae terutama untuk jenis kayu yang mempunyai berat jenis tinggi atau tenggelam dalam air atau sebagian lagi tergolong jenis semi toleran atau gap appertunist yaitu jenis-jenis yang memiliki kayu terapung atau berat jenis rendah. Kebutuhan cahaya untuk pertumbuhannya di waktu muda (tingkat anakan) berkisar antara 50 – 85 % dari cahaya total. Untuk jenis-jenis semitoleran naungan untuk anakan diperlukan sampai umur 3 – 4 tahun atau sampai tanaman mencapai tinggi 1 – 3 meter. Sedangkan untuk jenis-jenis toleran lebih lama lagi yaitu 5 – 8 tahun. Sangat sedikit jenis yang tergolong intoleran antara lain Shorea concorta (Rasyid H. A. dkk, 1991). Suhardi (1995) mengemukakan Hopea gregaria yang termasuk dalam jenis Dipterocarpaceae, di tempat penuh memberikan pertumbuhan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan tempat cahaya masuk sebahagian. Dibandingkan dengan lama penyinaran dan jenis cahaya, intensitas cahaya merupakan faktor yang paling berperan terhadap kecepatan berjalannya fotosintesis. Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa sampai intensitas 10.000 lux, grafik kecepatan fotosintesis bergerak linear positif. Data penelitian tersebut adalah untuk tanaman dewasa, sedangkan untuk tanaman muda (tingkat semai-sapihan) belum diperoleh data. Selain itu, penelitian mengenai kekhususan sifat akan kebutuhan cahaya pada jenis-jenis tanaman tertentu juga belum dikerjakan. Pengurangan intensitas sinar sampai 60% 69 berpengaruh positif nyata terhadap pertumbuhan awal tinggi dan diameter semai kapur. Rasyid H.A dkk (1991) lebih jauh menjelaskan bahwa penanaman jenis Diperocarpaceae di lapangan terbuka harus mempergunakan peneduh. Jenis tanaman peneduh yang dapat digunakan antara lain Albizia falcataria (Sengon) atau jenis lain yang memiliki tajuk ringan dan memiliki persyaratan tempat tumbuh yang sama dengan jenis Dipterocarpaceae yang akan ditanam ditempat tersebut. Pada umumnya anakan meranti khususnya pada tingkat seedling kurang tahan terhadap defisit air tanah, kecuali anakan Shorea leprosula. Pada tempat terbuka kondisi permudaan semai umumnya berdaun kecil dan lemah. Pada bagian hutan yang bercelah lebar umumnya banyak dijumpai tumbuh pancang dan tiang. Permudaan tingkat semai dari jenis-jenis meranti ringan umumnya kurang tahan terhadap naungan berat, kecuali permudaan dari jenis-jenis meranti berat/tenggelam. Marjenah (2001) yang mengadakan penelitian untuk jenis Shorea pauciflora dan Shorea selanica mengemukakan, pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman dipengaruhi oleh cahaya; pertumbuhan tinggi lebih cepat pada tempat ternaung daripada tempat terbuka. Sebaliknya, pertumbuhan diameter lebih cepat pada tempat terbuka dari pada tempat ternaung sehingga tanaman yang ditanam pada tempat terbuka cendrung pendek dan kekar. Sudut percabangan tanaman lebih besar di tempat ternaung daripada di tempat terbuka. Simarangkir (2000) lebih lanjut memperlihatkan perbandingan besar riap diameter jenis Dipterocarpaceae Dryobalanops Lanceolata pada lebar jalur 70 tanaman sebesar 56,8% pada lebar jalur tanaman 4 m dan pada lebar jalur tanam 2 m besarnya 43,2% sehinga nilai riap diameter pada jalur tanam 4 m lebih tinggi 5.7 mm (13,6%) dari tiap diameter dilebar jalur tanam 2 m. Hal ini menunjukkan bahwa ruang lingkup tumbuhnya lebih memadai untuk pertambahan diameter tanaman, disebabkan besarnya intensitas cahaya yang diterima telah cukup dan juga lebih bebas dari himpitan atau gangguan tanaman dari bagian samping atau sekitarnya mengakibatkan pertumbuhan tanaman kearah menyatakan bagian bahwa samping pertumbuhan terganggu/tertekan. diameter batang Lakitan tergantung (1993) pada kelembaban nisbi, permukaan tajuk dan sistem perakaran juga dipengaruhi iklim dan kondisi tanah. Tingginya suhu udara akan meningkatkan laju transpirasi, hal ini antara lain dapat ditandai dengan turunnya kelembaban udara relatif. Apabila hal seperti ini cukup lama berlangsung maka, dapat menyebabkan keseimbangan air tanaman terganggu dan dapat menurunkan pertumbuhan tanaman termasuk diameter tanaman. Pengujian pengaruh naungan terhadap pertumbuhan diameter semai Shorea pauciflora dan Shorea selanica secara keseluruhan menunjukkan bahwa antara perlakuan tanpa naungan riap diameter lebih besar daripada sarlon satu lapis dan sarlon dua lapis. Hal ini membuktikan bahwa dalam pertumbuhannya, tumbuhan sangat memerlukan cahaya (sinar), sehingga pada kondisi dimana tumbuhan cukup mendapatkan cahaya untuk aktivitas fisiologisnya, tumbuhan cenderung melakukan pertumbuhan ke samping (pertumbuhan diameter). Shorea pauciflora dan Shorea selanica yang ditanam pada bedengan dengan naungan sarlon mempunyai luas daun yang lebih 71 besar daripada yang ditanam di pada tanaman sebagai akibat dari perbedaan intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Marjenah (2001) lebih lanjut menyatakan bahwa morfologi jenis memberikan respon terhadap intensitas cahaya juga terhadap naungan. Naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada jika berada pada tempat terbuka. mengemukakan bahwa jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan. Keadaan seperti ini dapat dilihat pada hasil penelitian dimana daun-daun yang mempunyai jumlah luas daun yang lebih besar mempunyai pertumbuhan yang besar pula. Jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat ternaung daripada di tempat terbuka. Jenis yang diteliti memberikan respon terhadap perbedaan intensitas cahaya. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada di tempat terbuka. Naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun. Tanaman yang ditanam ditempat terbuka mempunyai daun yang lebih tebal daripada di tempat ternaung. Jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat ternaung daripada di tempat terbuka. Ditempat terbuka mempunyai kandungan klorofil lebih rendah dari pada tempat ternaung. Naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada di tempat terbuka. bahwa kandungan klorofil Shorea parvifolia pada tempat terbuka mempunyai kandungan klorofil lebih rendah yaitu 34,80 satuan, sedangkan dengan naungan sarlon satu lapis berjumlah 42,21 satuan dan naungan sarlon dua lapis 48,05 satuan; sedangkan Shorea smithiana pada tempat terbuka 72 kandungan klorofilnya 32,91 satuan, naungan sarlon satu lapis 36,49 satuan dan naungan sarlon dua lapis 40,01 satuan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Daniel et al (1992) bahwa daun-daun yang berasal dari posisi terbuka dan ternaung, atau dari tumbuhan toleran dan intoleran, mempunyai morfologi yang sangat bervariasi. Daun yang terbuka, lebih kecil, lebih tebal dan lebih menyerupai kulit daripada daun ternaung pada umur dan jenis yang sama Simarangkir (2000) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dengan intensitas cahaya nol persen akan mengakibatkan pengaruh yang berlawanan, yaitu suhu rendah, kelembaban tinggi, evaporasi dan transportasi yang rendah. Tanaman cukup mengambil air, tetapi proses fotosintensis tidak dapat berlangsung tanpa cahaya matahari. Sedangkan Lakitan (1993) berpendapat bahwa pengaruh cahaya terhadap pembesaran sel dan diferensiasi sel berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, ukuran daun serta batang. Pada umumnya cahaya yang diperlukan oleh setiap jenis tanaman berbeda. 2.2.2. Ekologi Hutan Istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal atau tempat hidup atau habitat, dan logos yang berarti ilmu, telaah, studi, atau kajian (Soemarwoto, 1983; Irwan, 1992; Resosoedarmo dkk., 1986). Oleh karena itu, secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau ilmu tentang tempat tinggal makhluk hidup. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soerianegara dan Indrawan, 1982; Resosoedarmo dkk., 1986). Irwan (1992), ekologi adalah ilmu 73 pengetahuan mengenai hubungan antara organisme dengan lingkungannya. Dapat juga didefinisikan bahwa ekologi adalah ilmu yang mempelajari pengaruh faktor lingkungan terhadap makhluk hidup. bahwa ekologi adalah ilmu yang mencoba mempelajari hubungan antara tumbuhan, binatang, dan manusia dengan lingkungan tempat mereka hidup; bagaimana kondisi kehidupannya, dan mengapa mereka ada atau hidup di lingkungan tersebut. Kendeigh (1980) mengemukakan bahwa ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme yang satu dengan organisme yang lain serta lingkungannya. Hubungan timbal balik itu merupakan kenyataan yang telah terbukti sebagai respon organisme dalam cara-caranya berhubungan dengan organisme lain maupun dengan semua komponen lingkungannya. Hubungan timbal balik atau yang dikenal dalam pengetahuan ekologi sebagai interaksi antara organisme dengan lingkungannya, sesungguhnya merupakan hubungan yang sangat erat dan kompleks, sehingga ekologi disebut juga sebagai biologi lingkungan (Odum, 1993). Lingkungan merupakan gabungan dari berbagai komponen fisik maupun hayati yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang ada di dalamnya. Jadi, lingkungan di sini mempunyai arti l uas mencakup semua hal yang ada di luar organisme yang bersangkutan, misalnya radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembapan, topografi, parasit, predator, dan kompetitor (Kendeigh, 1980; Heddy, Soemitro, dan Soekartomo, 1986). Odum (1993) menyatakan bahwa ekologi adalah suatu studi tentang struktur dan fungsi ekosistem atau alam dan manusia sebagai 74 bagiannya. Struktur ekosistem menunjukkan suatu keadaan dari sistem ekologi pada waktu dan tempat tertentu termasuk keadaan densitas organisme, biomassa, penyebaran materi (unsur hara), energi, serta faktor-faktor fisik dan kimia lainnya yang menciptakan keadaan sistem tersebut. Fungsi ekosistem menunjukkan hubungan sebab akibat yang terjadi secara keseluruhan antar komponen dalam sistem. Hal ini jelas membuktikan bahwa ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari seluruh pola hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya, serta dengan semua komponen yang ada di sekitarnya. Adapun ekologi hutan adalah cabang dari ekologi yang khusus mempelajari ekosistem hutan. Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem karena hubungan antara masyarakat tetumbuhan pembentuk hutan dengan binatang liar dan alam lingkungannya sangat erat. Oleh karena itu, hutan yang dipandang sebagai suatu ekosistem dapat dipelajari dari segi autekologi maupun sinekologinya (Soerianegara dan Indrawan, 1982). Dari segi autekologi, maka di hutan bisa dipelajari pengaruh suatu faktor lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis pohon yang sifat kajiannya mendekati fisiologi tumbuhan, dapat juga dipelajari pengaruh suatu faktor lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis binatang liar atau margasatwa. Bahkan dalam autekologi dapat dipelajari pola perilaku suatu jenis binatang liar, sifat adaptasi suatu jenis binatang liar, maupun sifat adaptasi suatu jenis pohon. Dari segi sinekologi, dapat dipelajari berbagai kelompok jenis tumbuhan sebagai suatu komunitas, misalnya mempelajari pengaruh keadaan tempat tumbuh terhadap komposisi dan 75 struktur vegetasi, atau terhadap produksi hutan. Dalam ekosistem hutan itu bisa juga dipelajari pengaruh berbagai faktor ekologi terhadap kondisi populasi, baik populasi tumbuhan maupun populasi binatang liar yang ada di dalamnya. Akan tetapi pada prinsipnya dalam ekologi hutan, kajian dari kedua segi (autekologi dan sinekologi) itu sangat penting karena pengetahuan tentang hutan secara keseluruhan mencakup pengetahuan semua komponen pembentuk hutan, sehingga kajian ini diperlukan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem adalah sangat tepat, mengingat hutan itu dibentuk atau disusun oleh banyak komponen yang masing-masing komponen tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dipisahpisahkan, bahkan saling memengaruhi dan saling bergantung. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diperhatikan beberapa definisi tentang hutan sebagai berikut. (1) Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999). (2) Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem (Kadri dkk., 1992). (3) Hutan adalah masyarakat te tumbuhan didominasi oleh pohon -pohon lingkungan yang berbeda dan dengan yang dikuasai mempunyai keadaan di atau keadaan luar hutan 76 (Soerianegara dan Indrawan, 1982). (4) Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan di permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis (Arief, 1994). Jika ditelaah lebih mendalam tentang beberapa pengertian atau definisi tentang hutan tersebut, maka di dalam pengertian hutan itu terkandung dan erat kaitannya dengan proses alam yang saling berhubungan. Di antara proses alam yang dimaksudkan antara lain (Arief, 1994), sebagai berikut : 1. Proses yang berkenaan dengan siklus air dan pengawetan tanah, dan disebut dengan proses hidrologi. Ini berarti bahwa hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat penyerapan air hujan maupun embun yang akhirnya akan mengalir air ke sungai-sungai di tengah hutan yang memiliki mata air, dan proses ini berlangsung secara teratur mengikuti irama alam. Selain itu, adanya komunitas tumbuhan yang membentuk hutan bisa berperan untuk melindungi tanah dari kekuatan erosi, serta melestarikan siklus unsur hara di dalamnya. 2. Proses pengendalian iklim maupun pengaruh iklim terhadap eksistensi hutan. Vegetasi pembentuk hutan merupakan komponen alam yang mampu mengendalikan iklim melalui pengendalian fluktuasi atau perubahan unsur-unsur iklim yang ada di sekitarnya, misalnya temperatur, kelembapan, angin, dan curah hujan, serta menentukan kondisi iklim setempat dan iklim makro. Sebaliknya, unsur-unsur iklim tersebut adalah komponen alam yang memengaruhi kehidupan. 77 Sehingga curah hujan (air), radiasi matahari, temperatur, kelembapan, dan angin semuanya sangat memengaruhi kehidupan yang ada di permukaan bumi. 3. Proses yang berkaitan dengan kesuburan tanah. Tanah hutan merupakan tempat pembentukan humus yang utama dan tempat penyimpanan unsur-unsur mineral yang dibutuhkan oleh tetumbuhan dan akan memengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan yang terbent uk. Kesuburan tanah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis batuan induk yang membentuknya, kondisi selama dalam proses pembentukan, tekstur dan struktur tanah, kelembapan tanah, suhu tanah, air tanah, topografi wilayah, vegetasi, dan organisme hidup. Semua faktor tersebut yang menyebabkan terbentuknya bermacam-macam formasi hutan dan vegetasi hutan. 4. Keanekaragaman hayati. Hutan merupakan gudang plasma nutfah (sumber genetik) dari berbagai jenis tumbuhan (flora) dan binatang (fauna). Jika hutan rusak, dapat dipastikan akan terjadi erosi plasma nutfah yang akan berakibat punahnya berbagai kehidupan yang tadinya ada di hutan serta menurunnya keanekaragaman hayati. Perlu diperhatikan bahwa keanekaragaman hayati merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat. 5. Kekayaan sumber daya alam. Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia karena dapat memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi 78 negara. Selain itu, hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya baik berupa kayu, binatang liar, pangan, rumput, maupun obat-obatan. 6. Objek wisata alam. Hutan mempunyai potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi, sarana untuk mengenal dan mengagumi keagungan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagai tempat rekreasi. Berdasarkan atas komposisi jenis organisme yang dikaji, maka ekologi digolongkan menjadi dua sebagai berikut. 1. Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh autekologi misalnya mempelajari sejarah hidup suatu spesies organisme (baik tumbuhan maupun binatang), perilaku, dan adaptasinya terhadap lingkungan. Jadi, jika kita mempelajari hubungan antara pohon Pinus merkusil dengan lingkungannya, maka itu termasuk autekologi. Contoh lain adalah mempelajari perilaku hidup siamang (Hylobates syndactylus) di habitat aslinya, mempelajari kemampuan adaptasi badak jawa (Rhinoceros sundaicus) di suatu taman nasional Pulau Sumatra, mempelajari kemampuan adaptasi pohon merbau (Intsia palembanica) di padang alang-alang, dan lain sebagainya. 2. Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam satu kesatuan dan Baling berinteraksi dalam daerah tertentu. Misalnya mempelajari struktur dan komposisi spesies 79 tumbuhan di hutan rawa, hutan gambut, atau di hutan payau, mempelajari pola distribusi binatang liar di hutan alam, hutan wisata, suaka margasatwa, atau di taman nasional, dan lain sebagainya. Berdasarkan atas habitat suatu spesies atau kelompok spesies organisme, maka ekologi dapat digolongkan sebagai berikut. 1. Ekologi daratan (terestrial), yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di wilayah daratan. Contoh wilayah daratan adalah tegalan, kebun, ladang, hutan lahan kering, padang rumput, atau. gurun. 2. Ekologi air tawar (freshwater), yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di wilayah perairan tawar. Contoh wilayah perairan tawar adalah danau, sungai, kolam, sumur, rawa, atau. sawah. 3. Ekologi bahari, yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di wilayah perairan asin atau lautan. 4. Ekologi estuarin, yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di wilayah perairan payau. Contoh wilayah perairan payau adalah muara sungai, daerah perairan pantai dan teluk. 80 5. Ekologi hutan, yaitu mempelajari hubungan timbal batik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di ekosistem hutan. 6. Ekologi padang rumput, yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di ekosistem padang rumput. Mempelajari ekologi hutan merupakan kegiatan manusia secara menyeluruh dengan tujuan mengarahkan atau memelihara ekosistem hutan dalam keadaan yang memungkinkan untuk selalu bisa dijadikan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan manusia sepanjang masa. Mengingat hutan merupakan suatu ekosistem, dan setiap ekosistem apapun dibentuk oleh banyak komponen baik komponen hayati maupun komponen non hayati, maka semua informasi tentang masing-masing komponen sangat penting, dan untuk itu diperlukan bidang ilmu yang relevan terhadap kajian komponen ekosistem. Oleh karena itu, beberapa bidang ilmu yang relevan dengan ekologi hutan diuraikan sebagai berikut (Arief, 1994; Soerianegara dan Indrawan, 1982). Tanah adalah tubuh alam (bumi) yang berasal dari berbagai campuran hasil pelapukan oleh iklim dan terdiri atas komposisi bahan organik dan anorganik yang menyelimuti bumi, sehingga mampu menyediakan air, udara, dan hara bagi tumbuhan, serta sebagai tempat berdiri tegaknya tumbuhtumbuhan. Ilmu tanah murni disebut pedologi, sedangkan ilmu yang mempelajari tanah dari sudut pandang sebagai faktor tempat tumbuh disebut edafologi. Kesuburan tanah memengaruhi keadaan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di 81 atasnya. Kesuburan tanah akan berpengaruh terhadap tipe vegetasi yang terbentuk serta berpengaruh terhadap keproduktifan hutan. Oleh karena itu, tanah merupakan salah satu faktor pembatas alam yang memengaruhi pertumbuhan semua spesies tumbuhan, struktur, dan komposisi vegetasi, sehingga akan berpengaruh terhadap tipe hutannya. Indriyanto (2005) menyatakan bahwa kajian dari segi autekologi terhadap makhluk hidup yang ada di dalam hutan hampir sama dengan kajian fisiologi (fisiologi tumbuhan maupun fisiologi hewan). Telah dikemukakan bahwa fisiologi mempelajari proses kerja yang terjadi dalam tubuh organisme. Salah satu proses yang terjadi di dalam tubuh organisme ada proses yang bersifat kimia yang dinamakan proses biokimia. Sebagai contoh pengetahuan tentang proses pembentukan resin pada pohon anggota genus Pinus, pembentukan damar pada pohon anggota famili Dipterocarpaceae, pembentukan lateks pada pohon Hevea brassiliensis, Dyers costulata, pembentukan kopal pada pohon anggota genus Agathis, pembentukan kemenyan pada pohon Styrax benzoin, dan pengetahuan tentang proses biokimia lainnya sangat diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar dapat diketahui unsur-unsur lingkungan apa yang berpengaruh terhadap produksi resin, damar, lateks, kopal, atau kemenyan. Sebuah ekosistem terdiri atas komponen hayati (makhluk hidup) dan non hayati yang antara kedua komponen tersebut saling berinteraksi (Odum, 1993). Sehingga hubungan timbal balik (interaksi) antara tumbuhan, binatang, manusia, dan unsur lingkungan lainnya di mana tumbuhan, binatang, atau manusia itu hidup, bagaimana mereka hidup, dan mengapa mereka hidup 82 di suatu habitat. Cagar alam dan suaka margasatwa, taman burung dan taman wisata, taman laut, taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi, semuanya merupakan suatu ekosistem. Manusia yang memanfaatkan atau mengelola ekosistem tersebut harus mempunyai pengetahuan ekologi (ekologi hutan) dan mau menerapkan dalam setiap kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga hutan dapat dimanfaatkan secara maksimal dan kelestariannya terjamin. Bahkan seharusnya pengetahuan ekologi hutan menjadi prasyarat bagi profesi rimbawan, bagi para. petugas yang mengelola ekosistem hutan, bagi para pecinta alam dan lingkungan, dan bagi siapa pun yang ingin memanfaatkan atau mempunyai kepentingan dengan ekosistem hutan (Manan, 1978). Dengan demikian, kesalahan yang mungkin terjadi dalam melakukan pengelolaan terhadap semua jenis ekosistem hutan dapat dicegah dan dihindari. Dalam bidang pembinaan hutan, dapat dikemukakan bahwa silvikultur sesungguhnya sama dengan penerapan ekologi hutan untuk aspek budi daya pohon hutan. Manan (1978) menyatakan bahwa pentingnya menerapkan konsep ekologi dalam perhutanan, hal itu sebagai respons terhadap adanya upaya penanaman secara monokultur yang dilakukan besarbesaran. Sesungguhnya yang dinamakan silvikultur intensif (intensive silviculture) itu hanya bisa bertahan jika dilakukan pemberian pupuk, pemberantasan hama dan penyakit, Beserta perlindungan secara intensif terhadap kebakaran. Gejala tersebut sudah mulai tampak dan terasa dalam pengelolaan hutan jati dan hutan tusam di Indonesia, sehingga memang 83 lebih baik berhatihati dalam membangun hutan monokultur, tegakan murni, ataupun hutan seumur dalam Skala besar. Berdasarkan atas uraian di atas, maka logis (masuk akal) bahwa setiap langkah dan tindakan manusia dalam mengelola sumber daya alam seperti air, tanah, mineral, minyak bumi, energi, dan hutan akan selalu mengakibatkan perubahan yang positif maupun negatif. Dalam hal demikian, pengetahuan ekologi dapat membantu manusia untuk memanfaatkan dan melestarikan sumber daya alam. Oleh karena itu, di bidang perhutanan, kesalahan pengelolaan hutan dapat dihindari jika semua orang yang terkait dengan ekosistem hutan itu memahami aturan main ekologi yang disebut sebagai konsep ekologi. Penebangan hutan atau penjarangan pohon yang dilakukan terlalu keras, kesalahan memilih jenis pohon untuk reboisasi, pemasukan jenis asing tanpa pengujian dan percobaan lapangan terlebih dahulu, konversi hutan alam di pegunungan menjadi hutan tanaman penebangan hutan tanpa keahlian rimbawan, monokultur, pembakaran hutan, perladangan berpindah, dan kegiatan lain yang merusak ekosistem hutan, semuanya akan berakibat parch dan mengancam kelestarian sumber daya hutan di Indonesia. Dengan demikian, para rimbawan dan calon rimbawan harus berpandangan jauh ke depan tentang kelestarian hutan, dan perlu membekali diri dengan pengetahuan ekologi hutan. Menurut saran yang dikemukakan oleh Manan (1978): "Lebih baik berhemat dalam memanfaatkan kekayaan nasional berupa hutan daripada di kemudian hari kita dan generasi kita mewarisi jutaan hektar padang alang-alang yang 84 gersang." 2.2.3. Ekosistem Hutan Istilah ekosistem pertama kali diusulkan oleh seorang ahli ekologi berkebangsaan Inggris bernama A.G. Tansley pada tahun 1935, meskipun tentu saja konsep itu sama sekali bukan merupakan konsep yang baru. Terbukti bahwa sebelum akhir tahun 1800-an, pernyataan resmi tentang istilah dan konsep yang berkaitan dengan ekosistem mulai terbit cukup menarik dalam literatur-literatur ekologi di Amerika, Eropa, dan Rusia (Odum, 1993). Beberapa penulis lain telah menggunakan istilah yang berbeda, tetapi maksudnya sama dengan ekosistem. Misalnya pada tahun 1877 seorang ahli ekologi bangsa Jerman bernama Karl Mobius telah menulis tentang komunitas organisme dalam batu karang, dan menggunakan istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem yaitu biocoenosis (biokoenosis). Pada tahun 1887 seorang ahli ekologi berkebangsaan Amerika bernama S.A. Forbes telah menulis karangan kuno tentang danau, dan menggunakan istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem, yaitu microcosm (mikrokosm). Pada periode tahun 1846-1903 seorang ahli ekologi bangsa Rusia bernama V.V. Dokuchaev dan seorang ahli ekologi hutan bangsa Rusia bernama G.F. Morozov telah menaruh perhatian besar terhadap ekosistem dan menggunakan istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem yaitu biokoenosis, sedangkan di kalangan ahli ekologi bangsa Rusia Bering menggunakan istilah geobiokoenosis yang memiliki makna sama dengan ekosistem. Demikian juga masih ada ahli-ahli ekologi lainnya yang telah 85 menggunakan istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem antara lain: Friederichs pada tahun 1930 menggunakan istilah holocoenl holokoen, Thieneman pada tahun 1939 menggunakan istilah biosystem-biosistem, Vernadsky pada tahun 1944 menggunakan istilah bioenert body (Odum, 1993). Beberapa definisi tentang ekosistem dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Ekosistem, yaitu suatu unit ekologi yang di dalamnya terdapat struktur dan fungsi (Setiadi, 1983). Struktur yang dimaksudkan dalam definisi ekosistem tersebut adalah berhubungan dengan keanekaragaman spesies (species diversity). Pada ekosistem yang strukturnya kompleks, maka akan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi. Adapun kata fungsi yang dimaksudkan dalam definisi ekosistem menurut A.G. Tansley adalah berhubungan dengan siklus materi dan arus energi melalui komponen-komponen ekosistem. 2. Ekosistem, yaitu tatanan kesatuan secara kompleks di dalamnya terdapat habitat, tumbuhan, dan binatang yang dipertimbangkan sebagai unit kesatuan secara utuh, sehingga semuanya akan menjadi bagian mats rantai siklus materi dan aliran energi (Setiadi, 1983). 3. Ekosistem, yaitu unit fungsional dasar dalam ekologi yang di dalamnya tercakup organisms dan lingkungannya (lingkungan biotik dan abiotik) dan di antara keduanya saling memengaruhi (Odum, 1993). Ekosistem dikatakan sebagai suatu unit fungsional dasar dalam ekologi karena merupakan satuan terkecil yang memiliki komponen secara lengkap, memiliki relung ekologi secara lengkap, serta terdapat proses ekologi secara lengkap, sehingga di dalam unit ini siklus materi dan arus energi terjadi 86 sesuai dengan kondisi ekosistemnya. 4. Ekosistem, yaitu tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi (UU Lingkungan Hidup Tahun 1999). Unsur-unsur lingkungan hidup baik unsur biotik maupun abiotik, baik makhluk hidup maupun benda coati, semuanya tersusun sebagai satu kesatuan dalam ekosistem yang masing-masing tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa hidup sendiri, melainkan saling berhubungan, saling mempengaruhi, saling berinteraksi, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan. 5. Ekosistem, hubungan yaitu t im b a l suatu balik sistem ekologi antara yang m a k h lu k terbentuk h id u p oleh dengan lingkungannya. Tingkatan organisasi ini dikatakan sebagai suatu sistem karena memiliki komponen dengan fungsi berbeda yang terkoordinasi secara baik sehingga masing-masing komponen terjadi hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik terwujudkan dalam rantai makanan yang pada setiap proses ini terjadi aliran energi dan siklus materi. Semua ekosistem, baik ekosistem terestrial (daratan) maupun akuatik (perairan) terdiri atas komponen-komponen yang dapat dikelompokkan berdasarkan segi trofik atau nutrisi dan segi struktur dasar ekosistem (Odum, 1993). Pengelompokan masing-masing komponen ekosistem dari tiap segi tersebut berdasarkan atas segi struktur dasar ekosistem, maka komponen ekosistem terdiri atas dua jenis sebagai berikut (Gopal dan Bhardwaj, 1979; Setiadi, 1983) sebagai berikut : 1. Komponen biotik (komponen makhluk hidup), misalnya tetumbuhan dan 87 mikroba. 2. Komponen abiotik (komponen benda coati), misalnya air, udara, tanah, dan energi. Berdasarkan segi trofik atau nutrisi, maka komponen biotik dalam ekosistem terdiri atas dua jenis sebagai berikut (Odum, 1993; Gopal dan Bhardwaj, 1979; Resosoedarmo dkk., 1986; Irwin, 1992). 1. Komponen autotrofik (autotrophic). Kata autotrofik berasal dari kata autos artinya sendiri, dan trophikos artinya menyediakan makanan. Komponen autotrofik, yaitu organisme yang mampu menyediakan atau mensintesis makanannya sendiri berupa bahan organik berasal dari bahan-bahan anorganik dengan bantuan klorofil dan energi utama berupa radiasi matahari. Oleh karena itu, organisme yang mengandung klorofil termasuk ke dalam golongan autotrof dan pada umumnya adalah golongan tetumbuhan. Pada komponen autrofik terjadi pengikatan energi radiasi matahari dan sintesis bahan anorganik menjadi bahan organik kompleks. 2. Komponen heterotrofik (heterotrofhic). Kata heterotrof berasal dari kata hetero artinya berbeda atau lain, dan trophikos artinya menyediakan makanan. Komponen heterotrofik, yaitu organisme yang hidupnya selalu memanfaatkan bahan organik sebagai bahan makanannya, sedangkan bahan organik yang dimanfaatkan itu disediakan oleh organisme lain. Jadi, komponen heterotrofik memperoleh bahan makanan dari komponen autotrofik, kemudian sebagian anggota komponen ini menguraikan bahan organik kompleks ke dalam bentuk bahan anorganik yang sederhana. Dengan demikian, binatang, jamur, jasad renik termasuk ke 88 dalam golongan komponen heterotrofik. Odum (1993) mengemukakan bahwa semua ekosistem apabila ditinjau dari segi struktur dasarnya terdiri atas empat komponen. Pernyataan yang serupa juga dikemukakan oleh Resosoedarmo dkk. (1986) bahwa ekosistem ditinjau dari segi penyusunnya terdiri atas empat komponen, yaitu komponen abiotik, komponen biotik yang mencakup produsen, konsumen, dan pengurai. Masing-masing dari empat komponen tersebut diuraikan sebagai berikut. 1. Komponen abiotik (benda coati atau nonhayati), yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri etas tanah, air, udara, sinar matahari, dan lain sebagainya yang berupa medium atau substrat untuk berlangsungnya kehidupan. Setiadi (1983), komponen biotik dari suatu ekosistem dapat meliputi senyawa dari elemen inorganik misalnya tanah, air, kalsium, oksigen, karbonat, fosfat, dan berbagai ikatan senyawa organik. Selain itu, juga ada faktorfaktor fisik yang terlibat misalnya uap air, angin, dan radiasi matahari. 2. Komponen produsen, yaitu organisme autotrofik yang pada umumnya berupa tumbuhan hijau. Produsen menggunakan energi radiasi matahari dalam proses fotosintesis, sehingga mampu mengasimilasi CO 2 dan H20 menghasilkan energi kimia yang tersimpan dalam karbohidrat. Energi kimia inilah sebenarnya merupakan sumber energi yang kaya senyawa karbon. Dalam proses fotosintesis tersebut, oksigen dikeluarkan oleh tumbuhan hijau kemudian dimanfaatkan oleh semua makhluk hidup di dalam proses pernapasan. 3. Komponen konsumen, yaitu organisme heterotrofik misalnya binatang dan manusia yang makan organisme lain. Jadi, yang disebut sebagai konsumen 89 adalah semua organisme dalam ekosistem yang menggunakan hasil sintesis (bahan organik) dari produsen atau dari organisme lainnya. Berdasarkan kategori tersebut, make yang termasuk konsumen adalah semua jenis binatang dan manusia yang terdapat dalam suatu ekosistem. Konsumen dapat digolongkan ke dalam: konsumen pertama, konsumen kedua, konsumen ketiga, clan mikrokonsumen (Resosoedarmo dkk., 1986; Setiadi, 1983). a. Konsumen pertama adalah golongan herbivora, yaitu binatang yang makan tetumbuhan hijau. Contoh organisme yang termasuk herbivora adalah serangga, rodensia, kelinci, kijang, sapi, kerbau, kambing, zooplankton, crustaceae, dan mollusca. b. Konsumen kedua adalah golongan karnivora kecil clan omnivore. Karnivora kecil, yaitu binatang yang berukuran tubuh lebih kecil dari karnivora besar dan memakan binatang lain yang masih hidup, misalnya anjing, kucing, rubah, anjing hutan, burung prenjak, burung jalak, dan burung gagak. c. Konsumen ketiga adalah golongan karnivora besar (karnivora tingkat tinggi). Karnivora besar, yaitu binatang yang memakan atau memangsa karnivora kecil, herbivore, maupun omnivore, misalnya singe, harimau, serigala, dan burung rajawali. d. Mikrokonsumen adalah tumbuhan atau binatang yang hidupnya sebagai parasit, scavenger, dan saproba. Parasit tumbuhan maupun binatang hidupnya bergantung kepada sumber makanan dari inangnya. Sedangkan scavenger dan saproba hidup dengan makan 90 bangkai binatang dan tumbuhan yang telah mati. 4. Komponen pengurai, yaitu mikroorganisme yang hidupnya bergantung kepada bahan organik dari organisme mati (binatang, tumbuhan, dan manusia yang telah mati). Mikroorganisme pengurai tersebut pada umumnya terdiri atas bakteri dan jamur. Berdasarkan atas tahap dalam proses penguraian bahan organik dari organisme mati, make organisme pengurai terbagi atas dekomposer dan transformer (Setiadi, 1983). Dekomposer, yaitu mikroorganisme yang menyerang bangkai hewan dan sisa tumbuhan mati, kemudian memecah bahan organik kompleks ke dalam ikatan yang lebih sederhana, dan proses dekomposisi itu disebut humifikasi yang menghasilkan humus. Transformer, yaitu mikroorganisme yang meneruskan proses dekomposisi dengan mengubah ikatan organik sederhana ke dalam benhik bahan anorganik yang siap dimanfaatkan lagi oleh produsen (tetumbuhan), dan proses dekomposisi itu disebut mineralisasi yang menghasilkan zat hara. Pada semua ekosistem dengan tingkat organisasi yang berbedabeda, di dalamnya selalu terdapat empat komponen utama, selalu terjadi interaksi antar komponen, dan terdapat proses ekologi yang secara umum sama (Resosoedarmo dkk., 1986). Perbedaan antarekosistem yang tingkat organisasinya berbeda itu hanya terletak pada beberapa hal antara lain: 1. jumlah spesies organisme produsen yang menjadi komponen ekosistem, 2. jumlah spesies organisme konsumen yang menjadi komponen ekosistem, 3. jumlah spesies organisme pengurai yang menjadi komponen ekosistem, 4. jumlah dan jenis komponen abiotik yang terdapat dalam ekosistem, 91 5. kompleksitas atau kerumitan interaksi antarkomponen dalam ekosistem, 6. tiap-tiap proses ekologi yang berjalan dalam ekosistem. Irwan (1992), bahwa ekosistem itu mempunyai keteraturan sebagai perwujudan dari kemampuan ekosistem untuk memelihara diri sendiri, mengatur diri sendiri, dan dengan sendirinya mengadakan keseimbangan kembali. Keseimbangan yang terdapat dalam suatu ekosistem disebut homeostatis, yaitu kemampuan ekosistem untuk menahan berbagai perubahan dalam sistem secara keseluruhan (Resosoedarmo dkk., 1986). Homeostatic berasal dari kata homeo yang artinya sama, dan static yang artinya berdiri (Odum, 1993). Oleh karena itu, homeostatis itu sesungguhnya adalah kestabilan yang dinamis, karena perubahan-perubahan yang terjadi pada ekosistem akan tetap mengarah kepada tercapainya keseimbangan barn. Keseimbangan ekosistem itu diatur oleh berbagai faktor yang sangat kompleks (rumit). Faktor-faktor yang terlibat dalam mekanisme keseimbangan ekosistem antara lain mencakup mekanisme yang mengatur penyimpanan bahan-bahan, pelepasan hara, pertumbuhan organisme dan populasi, proses produksi, serta dekomposisi bahanbahan organik. Berdasarkan uraian tersebut, maka kondisi ekosistem dalam keseimbangan (homeostatis) mempunyai arti bahwa ekosistem itu telah mantap atau telah mencapai klimaks, sehingga ekosistem mempunyai daya tahan yang besar untuk menghadapi berbagai gangguan yang . menimpannya. Daya tahan ekosistem dalam menghadapi gangguan sangat bergantung kepada usia dari ekosistem tersebut. Ekosistem muda 92 tentu mempunyai daya tahan yang lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem dewasa (tua). Daya tahan ekosistem yang besar menunjukkan bahwa ekosistem mampu menghadapi gangguan, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi akibat gangguan itu masih ditolerir bahkan ekosistem mampu pulih kembali dan menuju kepada kondisi keseimbangan. Berkaitan dengan daya tahan ekosistem seperti tersebut, di dalam ekologi terdapat istilah yang dikenal dengan daya lenting. Soemarwoto menunjukkan kemampuan (1983), daya ekosistem untuk lenting pulih (resilience) setelah terkena gangguan. Makin cepat kondisi ekosistem itu pulih berarti makin pendek masa pulih, makin banyak gangguan yang dapat ditanggulangi, sehingga berarti juga makin besar atau makin tinggi daya lentingnya. Suatu ekosistem yang ingin dipertahankan sifat-sifatnya seperti taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman burung, taman hutan raga, serta jenis ekosistem lainnya, harus memiliki daya lenting yang tinggi. Irwan (1992) mengemukakan bahwa setiap ekosistem akan memberikan tanggapan (respons) terhadap suatu gangguan. Tanggapan ekosistem terhadap gangguan dilakukan sesuai dengan daya lentingnya. Daya lenting merupakan sifat suatu ekosistem yang memberikan kemungkinan ekosistem tersebut pulih kembali ke keseimbangan semula setelah mengalami gangguan. Oleh karena itu, suatu ekosistem yang mendapat gangguan ada kemungkinan kembali kepada kondisi keseimbangan seperti semula atau juga berkembang menuju kepada keseimbangan baru yang berbeda dengan kondisi awal, hal demikian bergantung kepada 93 besar kecilnya gangguan yang dialami dan bergantung kepada besar kecilnya daya lenting yang dimiliki ekosistem. Gangguan yang jauh melebihi daya lenting suatu eksosistem, akan menciptakan ekosistem dinamika yang yang mengarah menyimpang atau kepada berbeda terbentuknya dengan kondisi ekosistem sebelumnya. Bahkan Resosoedarmo dkk. (1986) mengemukakan bahwa suatu ekosistem itu mempunyai daya lenting (daya tahan) yang besar, tetapi pada umumnya batas mekanisme keseimbangan dinamis (homeostatic) masih dapat diterobos oleh kegiatan manusia. Misalnya aktivitas penebangan/eksploitasi hutan alam yang berlebihan, apalagi penebangan liar serta perambahan yang dilakukan terhadap kawasan pelestarian alam (taman nasional, hutan wisata, suaka alam, dan lain sebagainya), dan hutan lindung merupakan suatu kegiatan yang seringkah melampaui batas mekanisme homeostatic dalam ekosistem hutan. Kegiatan inilah yang disebut dengan merusak hutan karena ekosistem hutan dapat berubah secara permanen atau bahkan rusak sama sekali. Semua makhluk hidup mempunyai tempat hidup yang disebut habitat (Soemarwoto, 1983; Resosoedarmo dkk., 1986; Irwan, 1992; Odum, 1993). Kalau kita ingin mencari atau ingin berjumpa dengan suatu organisme tertentu, maka harus tabu lebih dahulu tempat hidupnya (habitat), sehingga ke habitat itulah kita pergi untuk mencari atau berjumpa dengan organisme tersebut. Oleh sebab itu, habitat suatu organisme bisa juga disebut alamat organisme itu (Resosoedarmo dkk., 1986; Irwan, 1992). Semua organisme atau makhluk hidup mempunyai habitat atau tempat 94 hidup. Contohnya, habitat pans dan ikan hie adalah air laut, habitat ikan mas adalah air tawar, habitat buaya muara adalah perairan payau, habitat monyet dan harimau adalah hutan, habitat pohon bakau adalah daerah pasang curet, habitat pohon butun dan ketapang adalah hutan pantai, habitat Cemara di gunung adalah hutan dataran tinggi, habitat manggis adalah hutan dataran rendah dan hutan rawa, habitat ramin adalah hutan gambut dan daerah dataran rendah lainnya, pohon-pohon anggota famili pada umumnya hidup di daerah dataran rendah, pohon aren habitatnya di tanah darat dataran rendah hingga daerah pegunungan, dan pohon durian habitatnya di tanah darat dataran rendah. Istilah habitat dapat juga dipakai untuk menunjukkan tempat tumbuh sekelompok organisme dari berbagai spesies yang membentuk suatu. komunitas. untuk tempat hidup suatu padang rumput dapat menggunakan habitat padang rumput, untuk hutan mangrove dapat menggunakan istilah habitat hutan mangrove, untuk hutan pantai dapat menggunakan habitat hutan pantai, untuk hutan rawa dapat menggunakan habitat hutan rawa, dan lain sebagainya. Dalam hal seperti ini, maka habitat sekelompok organisme mencakup organisme lain yang merupakan komponen lingkungan (komponen lingkungan biotik) dan komponen lingkungan abiotik (Resosoedarmo dkk., 1986). bahwa habitat suatu organisme itu pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya. Persyaratan hidup setiap organisme merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada dalam habitat dan diperlukan oleh setiap organisme untuk mempertahankan hidupnya. Kisaran faktor-faktor 95 ekologi bagi setiap organisme memiliki perbedaan pada batas bawah disebut titik minimum, batas atas disebut titik maksimum, di antara titik minimum dan titik maksimum disebut titik optimum. Ketiga titik tersebut dinamakan titik kardinal. Oleh karena itu, setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya. Apabila ada gangguan yang menimpa pada habitat akan menyebabkan terjadi perubahan pada komponen habitat, sehingga ada kemungkinan habitat menjadi tidak cocok bagi organisme yang menghuninya. Jadi, apabila kondisi habitat berubah hingga di luar titik minimum dan maksimum (di luar kisaran faktor-faktor ekologi) yang diperlukan oleh setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat pindah (migrasi) ke tempat lain. Jika perubahan yang terjadi dalam habitat berjalan lambat, misalnya berjalan selama beberapa generasi, maka organisme yang menghuninya pada umumnya bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru meskipun di luar batas-batas semula. Melalui proses adaptasi (penyesuaian diri) tersebut, lama-lama terbentuklah ras-ras baru yang mempunyai sifat berbeda dengan sebelumnya. Perlu diketahui bahwa habitat organisme bisa lebih dari satu tempat. Misalnya burung pipit mempunyai habitat di sawah untuk aktivitas mencari makan, juga mempunyai habitat di atas pepohonan untuk bertelur. Habitat ikan salem ketika dewasa adalah di laut, waktu akan bertelur pindah habitatnya di sungai, bahkan sampai ke hulu sungai. Ikan salem bertelur di hulu sungai dan anak yang telah ditetaskan akan tinggal bertahun-tahun di sungai, kemudian ketika memasuki fase dewasa ikan salem itu pindah 96 habitat lagi ke laut (Soemarwoto, 1983). Pohon matoa (Pometia pinnata) mempunyai habitat di pinggir sungai, juga di daerah yang bertanah liat, tanah pasir atau lempung di hutan daratan dataran rendah hingga di hutan pegunungan (ketinggian tempat kurang dari 1.700 m dpl.). Pohon kempas (Koompassia malaccensis) mempunyai habitat di hutan rawa, juga di hutan daratan dengan tanah liat atau pasir yang ketinggian tempatnya adalah 0-600 m dpl. Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam ekosistem (Heddy dkk., 1986). Resosoedarmo dkk. (1986), relung yaitu posisi atau status organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu. Relung suatu organisme ditentukan oleh tempat hidupnya (habitat) dan oleh berbagai fungsi yang dikerjakannya, sehingga dikatakan sebagai profesi organisme dalam habitatnya. Profesi organisme menunjukkan fungsi organisme dalam habitatnya. Berbagai organisme dapat hidup bersama dalam satu habitat. Akan tetapi, jika dua atau lebih organisme mempunyai relung yang sama dalam satu habitat, maka akan terjadi persaingan. Makin besar kesamaan relung dari organismeorganisme yang hidup bersama dalam satu habitat, maka makin intensif persaingannya. Energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan kerja (Odum, 1993). Manusia memerlukan energi untuk berjalan, untuk berpikir, dan untuk aktivitas lainnya. Bentuk-bentuk energi yang nyata berguna bagi organisme hidup dapat berupa energi mekanik, energi kimia, energi radiasi, dan energi panas. Energi yang dimiliki oleh setiap organisme hidup adalah energi kimia 97 yang diperoleh dari makanannya dalam bentuk protein, karbohidrat, lemak, dan sebagainya. Energi tersebut diciptakan pertama kali pada tingkatan produsen, yaitu tumbuhan hijau dengan mengubah energi matahari ke dalam bentuk energi potensial. Energi potensial adalah energi yang tersimpan dan dapat digunakan untuk melakukan kerja, contohnya protein, karbohidrat, dan lemak. Adapun energi kinetik merupakan energi yang terlepaskan atau energi yang dibebaskan oleh organisme berupa energi gerak. bahwa energi di alam bebas atau di dalam ekosistem ini tunduk pada hukum termodinamika, yaitu hukum termodinamika I dan hukum termodinamika II (Odum, 1993 dalam Indriyanto, 2005), sebagai kerikut : 1. Hukum termodinamika I berbunyi: "energi dapat diubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain, tetapi tidak pernah dapat diciptakan atau dimusnahkan". Misalnya, energi cahaya sebagai bentuk energi dapat diubah menjadi energi kinetik, dapat diubah menjadi energi panas, dan dapat diubah menjadi energi potensial dalam suatu makanan bergantung kepada keadaan, tetapi tak satu pun dari energi tersebut dimusnahkan, bahwa penyerapan radiasi matahari oleh daratan dan lautan akan mengakibatkan adanya suatu daerah yang panas dan dingin, timbul perbedaan tekanan udara antar daerah panas dan dingin, sehingga timbullah gerakan udara dari daerah bertekanan udara tinggi ke daerah bertekanan udara rendah. Gerakan udara itu yang disebut angin dan dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan kincir angin untuk berbagai keperluan. Hal itu suatu bukti bahwa energi tidak dimusnahkan, tetapi diubah dari bentuk energi yang satu ke bentuk energi lainnya. Memang hukum 98 tersebut menerangkan bahwa energi itu dapat diubah-ubah bentuknya, dan semua energi yang memasuki organisme, ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang populasi, atau tersimpan atau terlepaskan. Jadi, organisme dapat dianggap sebagai salah satu komponen pengubah energi dalam sistem ekologi. 2. Hukum termodinamika II berbunyi: "setiap terjadi perubahan bentuk energi, pasti terjadi degradasi energi dari bentuk energi yang terpusat menjadi bentuk energi yang terpencar, dan di dalam proses transformasi energi selalu melepaskan panas dalam bentuk energi yang tidak dapat digunakan". Misalnya, benda yang panas pasti akan menyebarkan panas ke lingkungan yang suhunya lebih rendah. Dalam proses fotosintesis tidak semua energi radiasi matahari yang diterima oleh tumbuhan hijau diubah menjadi energi kimia (energi potensial) dalam bentuk pangan (karbohidrat, protein, dan lemak), tetapi sebagian dari energi itu dilepaskan ke lingkungan sebagai energi panas. Oleh karena itu, tidak ada sistem pengubahan energi yang berjalan secara efisien (tidak ada. yang 100%). Hukum ini berguna untuk menerangkan bahwa meskipun energi itu tidak pernah hilang (tidak pernah musnah atau hancur) dari sistem alam, tetapi energi tersebut sebagian akan berubah menjadi bentuk energi yang kurang bermanfaat. Misalnya, suatu energi yang diambil binatang dari tumbuhan atau dari binatang lain biasanya dalam bentuk makanan padat dan bermanfaat untuk keperluan hidupnya. Akan tetapi, sebagian dari energi itu akan keluar dari tubuh binatang berupa energi panas karena melakukan kegiatan. Energi panas inilah merupakan energi yang terbuang tanpa guna. 99 Kedua proses tersebut (aliran energi dan siklus materi) berjalan melalui rantai makanan. Adanya aliran energi dan siklus materi yang berjalan melalui rantai makanan, menyebabkan rantai makanan menjadi salah satu proses ekologi yang mewujudkan hubungan timbal balik antar organisme atau dengan lingkungannya. Di samping itu, berdasarkan tingkat energi yang diperoleh setiap komponen dalam rantai makanan (mencakup produsen dan konsumen), maka komponen tersebut dapat digolongkan ke dalam beberapa golongan sesuai dengan tingkat energi atau tingkat nutrisi yang disebut dengan tingkat trofik. Rantai makanan, yaitu transfer atau pemindahan energi dari sumbernya melalui serangkaian organisme yang dimakan dan yang memakan (Odum, 1993). Mengingat energi makanan itu ada dalam bentuk energi kimia atau energi potensial, dan di dalamnya mengandung energi dan materi, maka rantai makanan dapat didefinisikan sebagai transfer atau pemindahan energi dan materi melalui serangkaian organisme. Di dalam suatu ekosistem hanya tumbuhan hijau yang mampu menangkap energi radiasi matahari dan mengubahnya ke dalam bentuk energi kimia dalam tubuh tumbuhan, misalnya karbohidrat, protein, dan lemak. Energi makanan yang dibuat oleh tumbuhan hijau itu sebagian digunakan untuk dirinya sendiri dan sebagian lagi merupakan sumber daya yang dimanfaatkan oleh herbivore. Herbivore dimangsa oleh karnivora, dan karnivora dimangsa oleh karnivora lainnya, demikian seterusnya terjadilah proses pemindahan energi dan materi dari satu organisme ke organisme lain dan ke lingkungannya. Dari hal tersebut dapat terlihat bahwa suatu kehidupan dapat menyokong kehidupan lainnya. Dengan kata lain, dari satu organisme ke organisme yang lain akan 100 terbentuk suatu rantai yang disebut dengan rantai makanan. Semakin pendek rantai makanan, maka semakin dekat jarak antara organisme pada permulaan rantai dan organisme pada ujung rantai, sehingga semakin besar energi yang dapat disimpan dalam tubuh organisme di ujung rantai makanan (Resosoedarmo dkk., 1986). Pada prinsipnya, rantai makanan dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok sebagai berikut. 1. Rantai pemangsa, yaitu pemindahan energi dan materi dari produsen (tumbuhan) ke binatang kecil, kemudian ke binatang yang besar, dan berakhir pada binatang paling besar termasuk manusia. 2. Rantai parasit, yaitu pemindahan energi dan materi dari organisme besar ke organisme kecil. 3. Rantai saprofit, yaitu pemindahan energi dan materi dari organisme coati (bahan organik) ke mikroorganisme atau jasad renik. Jaringan makanan, yaitu gabungan dari berbagai rantai makanan (Odum, 1993). Semua rantai makanan dalam suatu ekosistem tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan antar rantai makanan. Bahkan di dalam ekosistem, ketiga kelompok rantai makanan yang telah disebutkan di etas (rantai pemangsa, rantai parasit, dan rantai saprofit) saling berkaitan. Dengan kata lain, jika tiap-tiap rantai makanan yang ada di dalam ekosistem disambungsambungkan dan membentuk gabungan rantai makanan yang lebih kompleks, maka terbentuk jaringan makanan. Jaringan makanan dalam suatu ekosistem dapat menggambarkan kestabilan ekosistem tersebut. Makin banyak rantai makanan dan makin besar 101 kemungkinan terbentuknya gabungan dalam jaringan makanan, akan menunjukkan kestabilan ekosistem makin tinggi. Oleh karena itu, untuk menjaga kestabilan ekosistem, di dalam setiap kegiatan pengelolaan sumber daya alam tidak diperkenankan memutuskan rantai makanan yang ada, apalagi menghilangkan satu atau lebih rantai makanan yang ada dalam ekosistem. Dalam ekosistem alam dikenal adanya tingkat trofik suatu kelompok organisme. Heddy dkk. (1986), menyatakan bahwa tingkat trofik menunjukkan urutan organisme dalam rantai makanan pada suatu ekosistem. Oleh karena itu, berbagai organisme yang memperoleh sumber makanan melalui langkah yang sama dianggap termasuk ke dalam tingkat trofik yang sama (Resosoedarmo dkk., 1986; Odum, 1993). Berdasarkan atas pemahaman tingkat trofik, maka organisme dalam ekosistem dikelompokkan sebagai berikut. a. Tingkat trofik pertama, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai produsen. Semua jenis tumbuhan hijau membentuk tingkat trofik pertama. b. Tingkat trofik kedua, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai herbivora. Semua herbivora (konsumen primer) membentuk tingkat trofik kedua. c. Tingkat trofik ketiga, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai karnivora kecil (konsumen sekunder). d. Tingkat trofik keempat, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai karnivora besar (karnivora tingkat tinggi). e. Tingkat trofik kelima, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai 102 perombak (dekomposer dan transformer) atau semua mikroorganisme. Odum (1993), bahwa fenomena interaksi yang terjadi dalam rantai makanan dan hubungan antara ukuran organisme dan metabolismenya menghasilkan berbagai komunitas dengan struktur trofik tertentu. Oleh karena itu, setiap tipe ekosistem, misalnya danau, hutan, terumbu karang, dan padang rumput akan memiliki struktur trofik dengan sifat tertentu. Struktur trofik dapat diukur dan dideskripsikan dengan istilah biomassa (standing crop) per satuan luas atau dengan pemyataan jumlah energi yang terikat per satuan luas per satuan waktu pada setiap tingkat trofik secara berurutan. Jika diperhatikan dengan saksama bahwa pada setiap tahap dalam rantai makanan akan ada sejumlah energi yang hilang karena tidak terasimilasi atau lepas sebagai panas, sehingga organisme yang berada pada ujung tingkat trofik akan memperoleh energi lebih kecil. Dengan kata lain, jika makin panjang rantai makanan, energi yang tersedia bagi kelompok organisme yang terakhir semakin kecil (sedikit). Apabila energi yang tersedia dalam suatu rantai makanan itu disusun secara berurutan berdasarkan urutan tingkat trofik, maka membentuk sebuah kerucut yang dikenal dengan piramida ekologi. Dengan demikian, sesungguhnya piramida ekologi itu merupakan susunan tingkat trofik (tingkat nutrisi atau tingkat energi) secara berurutan menurut rantai makanan atau jaringan makanan dalam ekosistem. Sumber daya energi yang utama untuk semua tingkat trofik adalah radiasi matahari. Suatu permukaan di alam yang tidak terlindung dan mendapat radiasi matahari secara langsung, maka permukaan itu akan menerima energi 103 dari radiasi matahari dengan kecepatan 1,94 g-kalori/cm2/menit, akan tetapi pada umumnya radiasi matahari yang dapat mencapai permukaan bumi hanya 46%, hal itu disebabkan adanya penyerapan dan pemantulan sebagian energi oleh atmosfer, asap, partikel-partikel debu, dan awan (Kendeigh, 1980). Manfaat utama dari energi matahari yang bisa sampai ke permukaan bumi adalah untuk kepentingan tetumbuhan hijau yang dalam proses kehidupan tumbuhan dikenal dengan fotosintesis dan respirasi. Dalam proses fotosintesis, organisme-organisme yang berfotosintesis (autotrof) hanya memanfaatkan 50% dari radiasi matahari yang diterima dan efisiensi pemanfaatan energi yang diserap oleh autotrof hingga mencapai produktivitas primer bersih hanya lebih kurang 1% (Odum, 1993). Vickery (1984) menyatakan bahwa energi radiasi matahari yang memasuki sebuah ekosistem hanya sebagian kecil saja yang secara nyata diterima oleh organismeorganisme autotrof dan diubah menjadi energi kimia. Tumbuh-tumbuhan hijau berfotosintesis selama lebih kurang 10 jam per hari dalam waktu siang hari. Jika intensitas radiasi matahari dalam kondisi maksimal, maka faktor yang menjadi pembatas efektivitas proses fotosintesis adalah ketersediaan air, CO2 dan unsur hara-unsur hara lainnya dari lingkungan. Pada ekosistem hutan alam yang kondisi vegetasinya sempurna, jumlah klorofil per satuan luas lebih banyak dibandingkan dengan ekosistem lainnya, hal itu disebabkan karena keanekaragaman yang tinggi dari spesies tumbuhan penyusunnya dan stratifikasi yang kompleks menempatkan daun-daun pada setiap strata tajuk, sehingga jumlah energi radiasi matahari yang dapat diubah menjadi energi kimia pada ekosistem hutan tersebut menjadi lebih banyak. 104 Di dalam setiap ekosistem baik daratan maupun perairan, terdapat organisme hidup dan benda coati (lingkungan abiotik) yang menunjang proses kehidupan. Proses kehidupan di alam tersebut merupakan kejadian yang mengubah bentuk energi pada berbagai komponen ekosistem. Proses-proses yang terlibat dalam pengubahan energi dalam ekosistem meliputi proses metabolisme, aliran energi pada berbagai tingkat trofik, dan siklus biogeokimia (Chapman dan. Reiss, 1997; Odum, 1993). Proses metabolisme merupakan proses fisiologi yang terdapat pada tubuh organisme hidup dan proses ini menjadi ciri yang membedakan antara organisme hidup dengan benda coati. Metabolisms meliputi proses anabolisme dan katabolisme. Anabolisme yaitu proses penyusunan (asimilasi) kimiawi yang dilakukan dalam proses fotosintesis dan menghasilkan zat-zat kimia seperti karbohidrat, protein, lemak, dan lain sebagainya. Katabolisme, yaitu proses pembongkaran (disimilasi) energi yang tersimpan dalam zat-zat kimia hasil anabolisme untuk menyelenggarakan proses kehidupan, dan katabolisme ini dikenal juga sebagai proses respirasi. Hasil dari kegiatan metabolisms adalah pertumbuhan dan penambahan biomassa, dan penimbunan biomassa itu disebut produksi (Odum, 1993; Kormondy, 1991). produksi selama periode waktu tertentu disebut produktivitas. Baik produksi maupun produktivitas kedua-duanya secara umum berhubungan dengan biomassa pada tingkat trofik tertentu (Kendeigh, 1980). Resosoedarmo dkk. (1986) bahwa setiap ekosistem atau komunitas atau bagian-bagian lain dalam organisme makhluk hidup memiliki produktivitas. Kecepatan energi radiasi matahari yang diubah oleh tetumbuhan hijau 105 menjadi energi kimia dikenal sebagai produktivitas primer (Vickery, 1984; Chapman dan Reiss, 1997). Odum (1993) menyatakan bahwa produktivitas primer merupakan kecepatan energi radiasi matahari yang disimpan melalui aktivitas fotosintesis oleh organisme produsen dalam bentuk bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan pangan. Produktivitas primer digolongkan menjadi dua, yaitu produktivitas primer kotor dan produktivitas primer bersih. 1. Produktivitas primer kotor, yaitu kecepatan total fotosintesis, mencakup banyaknya bahan organik yang digunakan dalam respirasi atau pe rn apa san se lama pe riode pen gu ku ran . Produktivitas primer kotor disebut juga fotosintesis total atau asimilasi total. 2. Produktivitas primer bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan organik dalam jaringan tumbuhan sebagai kelebihan bahan organik yang sebagian telah dipakai untuk respirasi tumbuhan selama proses pengukuran. Produktivitas primer bersih disebut juga fotosintesis yang kelihatan atau asimilasi bersih. Di dalam suatu ekosistem hutan pada umumnya terjadi distribusi vertikal dari produktivitas primer bersih, hal itu berhubungan dengan terjadinya distribusi vertikal dari biomassanya. Data distribusi biomassa dan produktivitas primer bersih pada setiap kelompok komponen vegetasi yang menyusun ekosistem hutan disajikan pada tabel sebagai berikut. 106 Tabel 4. Biomassa dan Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kelompok Komponen Vegetasi yang Menyusun Ekosistem Hutan. Kelompok Komponen Vegetasi Pohon (bagian batang dan tajuk) Perdu (bagian batang dan tajuk) Biomassa (g/m 2) 6.403 158 Semak dan herba (bagian batang dan 2 Pohon (bagian akar) 3.325 Semak dan herba (bagian akar) Primer Bersih (g/m2/tahun) 796 61 2 Tajuk Perdu (bagian akar) Produktivitas 260 305 73 1 4 (Sumber: Odum, 1993) Produktivitas primer bersih memiliki kegunaan yang sangat penting untuk memahami sebuah ekosistem karena hal itu dapat menggambarkan energi yang memiliki produktivitas primer bersih rendah, akan menyokong organisme heterotrof yang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan ekosistem yang memiliki produktivitas primer bersih tinggi. Produktivitas primer bersih pada hutan tropik, secara kasar dapat dikaitkan dengan banyaknya hujan di suatu daerah. Pada hutan hujan yang selalu hijau (ever green) mempunyai produktivitas primer bersih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan savana (padang rumput yang sangat luas). Produktivitas komunitas bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan organik yang tidak digunakan oleh pemakan (heterotrof) selama satu tahun atau selama musim pertumbuhan. Dengan kata lain bahwa produktivitas komunitas bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan organik pada penghasil-penghasil primer yang telah ditinggalkan oleh pemakai. Adapun produktivitas sekunder, 107 yaitu kecepatan penyimpanan energi pada organisme hidup tingkat konsumen. Sudah tentu bahwa energi yang tersimpan pada tingkat trofik yang lebih tinggi akan semakin kecil atau menurun. Total arus energi pada tingkatan heterotrof sebaiknya disebut asimilasi dan bukan produksi karena organisme heterotrof mengambil bahan organik dari organisme autotrof dan mengasimilasikannya ke dalam jaringan tubuh mereka, maka konsep produktivitas kotor dan produktivitas bersih pada tingkatan heterotrof tidak digunakan. Dengan demikian, peningkatan biomassa pada, heterotrof merupakan laju asimilasi dan bukan produksi (Odum, 1993). Vickery (1984), hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10° LU dan 10° LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25°C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembapan udara 80%. Arief (1994) mengemukakan bahwa hutan hujan tropis adalah klimaks utama dari hutan-hutan di dataran rendah yang mempunyai tiga stratum tajuk, yaitu stratum A, B, dan C, atau bahkan memiliki lebih dari tiga stratum tajuk. Santoso (1996) dan Direktorat Jenderal Kehutanan (1976) mengemukakan bahwa tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari 108 pantai. Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu. hijau. Keanekaragaman spesies tumbuhan dan binatang yang ada di hutan hujan tropis sangat tinggi. Vickery (1984) menyatakan bahwa jumlah spesies pohon yang ditemukan dalam hutan hujan tropis lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada ekosistem yang lainnya. Misalnya, hutan hujan tropis di Amazonia mengandung spesies pohon dan semak sebanyak 240 spesies. Haeruman (1980) juga menyatakan bahwa hutan alam tropis yang masih utuh mempunyai jumlah spesies tumbuhan yang sangat banyak. Hutan di Kalimantan mempunyai lebih dari 40.000 spesies tumbuhan, dan merupakan hutan yang paling kaya spesiesnya di dunia. Di antara 40.000 spesies tumbuhan tersebut, terdapat lebih dari 4.000 spesies tumbuhan yang termasuk golongan pepohonan besar dan penting. Di dalam setiap hektar hutan tropis seperti tersebut mengandung sedikitnya 320 pohon yang berukuran garis tengah lebih dari 10 cm. Di samping itu, di hutan hujan tropis Indonesia telah banyak dikenali ratusan spesies rotan, spesies pohon tengkawang, spesies anggrek hutan, dan beberapa spesies umbi-umbian sebagai sumber makanan dan obat-obatan. Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tetumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah 109 naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan (Arief, 1994). Itu semua merupakan ciri umum bagi ekosistem hutan hujan tropis. Selain ciri umum yang telah dikemukakan di atas, masih ada ciri yang dimiliki ekosistem hutan hujan tropis, yaitu kecepatan daur ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara (Vickery, 1984). Jadi, faktor pembatas di hutan hujan tropis adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku bagi tetumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Dengan demikian, herba dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah naungan pohon. Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zona atau wilayah menurut (Santoso, 1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). 1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0-1.000 m dari permukaan laut. 2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 1.000-3.300 m dari permukaan laut. 3. Zona 3 dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 3.300-4.100 m dari permukaan laut. Ekosistem hutan musim merupakan ekosistem hutan campuran yang berada di daerah beriklim meson (monsoon), yaitu daerah dengan perbedaan antara musim kering dan basah yang jelas (Arief, 1994). Tipe ekosistem hutan musim terdapat pada daerah-daerah yang memiliki tipe iklim C dan D (tipe iklim menurut klasifikasi Schmid dan Ferguson) dengan rata-rata curah 110 hujan 1.000-2.000 mm per tahun dengan rata-rata suhu bulanan sebesar 21°32°C (Santoso, 1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976; Arief, 1994). Penyebaran lokasi ekosistem hutan musim meliputi wilayah negaranegara yang beriklim musim (monsoon), misalnya di India, Myanmar, Indonesia, Afrika Timur, dan Australia Utara (Vickery, 1984). Di Indonesia, tipe ekosistem hutan musim berada di Jawa (terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur), di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian. Vegetasi yang berada dalam ekosistem hutan musim didominasi oleh spesies-spesies pohon yang menggugurkan daun di musim kering, sehingga tipe ekosistem hutan musim disebut juga hutan gugur daun atau deciduous forest (Vickery, 1984). Pada ekosistem hutan ini umumnya hanya memiliki satu lapisan tajuk atau satu stratum dengan tajuk-tajuk pohon yang tidak saling tumpang-tindih, sehingga masih banyak sinar matahari yang bisa masuk hutan sampai ke lantai hutan, apalagi pada saat sedang gugur daun. Hal itu memungkinkan tumbuh dan berkembangnya berbagai spesies semak dan herba yang menutup lantai hutan secara rapat, sehingga menyulitkan bagi orang untuk masuk ke dalam hutan. 2.2.4. Hutan Lindung dan Fungsinya Undang-undang kehutanan No. 41 Tahun 1999 pada 1 dijelaskan bahwa hutan ialah suatu kesatuan ekosistem berupa hambaran lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan devinisi “kawasan hutan” yang dijelaskan dalam pasal yang sama 111 yaitu sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipergunakan keberadaannya sebagai hutan tetap. Berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan hutan lindung pada Bab IV pada 8 disebutkan kriteria kawasan hutan lindung ialah : 1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175 dan atau; 2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, dan atau; 3. Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih; Areal hutan yang dijadikan hutan lindung secara ideal ialah hutan alam yang masih utuh terdiri dari pohon-pohon yang besar dan tinggi sampai kepada pohon-pohon yang perdu, serta tumbuhan yang merambat, yang semuanya menyusun lapisan-lapisan tajuk (strata). Oleh karena itu dengan keutuhannya, maka hutan lindung menjadi bagian terpenting dalam suatu DAS, karena hutan dapat memperkecil perbedaan debit air sungai pada musim hujan dan kemarau. Hutan mempunyai tempat atau kedudukan yang strategis pada suatu daerah yang tinggi dengan kelerengan yang besar dan pada tanah berpasir yang mudah tererosi dengan curah hujan besar dan intensitas hujan tinggi. Mengingat hutan lindung pegunungan jayawijaya sangat strategis dengan beberapa pemakaran Kabupaten baru, maka penelitian strategi pelestarian menjadi bagian penting dipertimbangkan. 112 Selanjutnya fungsi hutan lindung yang tercantum dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 ialah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah erosi, mengendalikan erosi, mencegah intruksi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Dengan dasar ini, HLPJ merupakan bagian terpenting dalam mengendalikan lingkungan yang terancam. Fakta di lapangan bahwa Hutan Lindung Pegunungan Jayawijaya (HLPJ), sedang mengalami berbagai tekanan dari program pembangunan wilayah oleh pemerintah pusat melalui pemerintah provinsi Papua melakukan pemekaran delapan Kabupaten baru di wilayah pegunungan Jayawijaya menyebabkan kebutuhan kayu di pasar cukup tinggi, sehingga kondisi yang alami HLPJ dapat terganggu fungsi ekosistem yang dimilikinya. Hutan dengan vegetasinya mempunyai kaitan yang erat dengan tanah dan air. Apa yang terjadi dengan hutan akan berpengaruh kepada kelangsungan hutan, oleh karena itu tindakan pengelolaan hutan dengan baik, secara terpadu, juga merupakan upaya konservasi tanah dan air. Hutan memiliki fungsi klimatologi yang penting, khususnya dengan penyerapan CO2 dalam proses fotosintesis sekaligus pelepasan O2 dalam proses yang sama (Rujehan, 2010). Pemanfaatan hutan yang dilakukan pada blok perlindungan berupa pemanfaatan yang diperuntukkan bagi peneliti dan kunjungan formal. Pada blok kegiatan terbatas dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan yang dimaksud yaitu peneliti, kunjungan formal, kunjungan pendidikan dan pelatihan, olahraga tantangan dan kunjungan ekowisata. 113 2.2.5. Hubungan Hutan dan Masyarakat Setempat Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa hutan ialah suatu kesatuan ekosistem berupa hampran lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sementara Rahmawati (2004) bahwa hutan sebagai sumberdaya alam yang memberikan manfaat bagi kesejahteraan manusia, baik baik manfaat tangible yang dirasakan secara langsung, maupun manfaat intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa dan hasil tebang. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan pengaturan tata air, serta pencegahan erosi. Sedangkan istilah masyarakat setempat dijelaskan pula dalam Undang-Undang tersebut di atas ialah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan, yang membentuk komonitas yang didasarkan pada mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejahteraan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama. Teori ini sangat relevan dengan perilaku masyarakat setempat sekitar pegunungan Jayawijaya, karena masyarakat yang ada disana hidup berkelompok tinggal di sekitar/pinggiran hutan lindung yang memerlukan lahan dan ruang untuk hidup. Hubungan hutan dan masyarakat setempat tidak lepas dari konsep ekosistem yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 2004). Selanjutnya Soerjani, Ahmad dan Munir (1987) lebih jauh menyatakan bahwa 114 ekosistem transformasi dicirikan energi dengan yang berlangsungnya sepenuhnya pertukaran berlangsung materi diantara dan berbagai komponen dalam sistem itu sendiri atau dengan sistem lain di luarnya, sehingga antara hutan dan masyarakat setempat bukan tidak mungkin memiliki saling ketergantungan. Namun beberapa kebijakan pemerintah bahwa sumberdaya alam hanya diperlakukan sebagai komoditi dan alat produksi, tanpa memperhatikan subsistem sosio-kultural dan masyarakat yang sehurusnya merupakan bagian dari sistem alam dan kehidupan (Riyanto, 2006). Hal ini tentunya membutuhkan dukungan sumberdaya alam atau hutan untuk mewujudkan hal tersebut. Ketergantungan masyarakat setempat terhadap hutan sebenarnya sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun. Tentu saja orientasi dan motivasi ketergantungan tersebut tidak akan sama antar generasi atau antar satu kelompok masyarakat di suatu wilayah dengan kelompok masyarakat di wilayah lainnya. Kondisi ini bias saja dan senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan budaya dan perekonomian seiring dengan keterbukaan wilayah sebagai dampak pembangunan. Perubahan motivasi yang umum di jumpai ialah dari skala subsistem menuju ke semi-komersial atau bahkan komersial (Sardjono, 2004). Soemarwoto (1983), menyatakan perubahan suatu sistem (termasuk sistem sosial) pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari suatu pembangunan. Sejalan dengan kondisi yang terjadi pada kawasan pegunungan Jayawijaya yang sudah terdampak dari pembangunan wilayah dan akses pemekaran Kabupaten baru ke wilayah masyarakat setempat, sehingga sistem sosial di masyarakat sedang mengalami perubahan yang 115 menuju pada skala komersial, sementara luasan lahan pertanian semakin terbatas. Selanjutnya dijelaskan disini bahwa ketergantungan masyarakat lokal terhadap hutan dalam tingkatan tertentu juga harus dilihat dari keuntungan yang juga bias diperoleh sumberdaya itu sendiri dari masyarakat sekitarnya yaitu terjaga kelestarian struktur dan fungsi yang dimilikinya. Dengan kata lain terdapat saling ketergantungan (Interdependence) antara masyarakat dan sumberdaya hutan di sekitarnya. Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di beberapa lokasi kegiatan kehutanan di Provinsi Kalimantan Timur (Sardjono, et all. 1998) mengidentifikasikan berbagai bentuk interdependence hutan dan masyarakat sesuai dengan perkembangan wilayahnya serta pengelompokkannya dalam empat pola. Dengan sedikit modifikasi ke empat pola tersebut disajikan sebagai berikut : 1). Pola Ekstrasi Pola ini dijumpai pada kelompok masyarakat tradisional yang lokasinya tidak langsung berdekatan dengan industri. Pemanfaatan sumberdaya terbatas kebutuhan yang dikendalikan etika dan norma yang berlaku. Pandangan bahwa lingkungan sosial merupakan bagian dari ekosistem yang lebih luas mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana. Dengan demikian struktur sumberdaya walaupun ada perubahan tetapi dengan resiliensi yang dimilikinya mampu memperbaiki diri dan mengembalikan fungsinya kembali. 116 2). Pola Eksploitasi Pola ini merupakan konsekuensi dari peningkatan populasi (termasuk akibat migrasi) dan peningkatan kebutuhan hidup yang menyebabkan sistem sosial terpisah dari sistem hutan guna meningkatkan aliran manfaatnya. Kondisi ini dijumpai pada daerah-daerah terbuka yang berada di sekitar pusat pembangunan ekonomi dengan tingkat migrasi dari luar yang relatif tinggi (termasuk desa-desa baru yang dihuni masyarakat pendatang). Struktur dan fungsi hutan mengalami degradasi akibat aliran baik (dalam bentuk pemeliharaan dan rehabilitasi) yang kurang diperhatikan. 3). Pola Konfrotasi Pola ini ditujukan khusus pada wilayah-wilayah hutan yang dapat dikonversi ataupun bahkan kawasan konservasi yang memiliki kekayaan sumberdaya alam mineral. Adapun konflik kepentingan yang tinggi mengakibatkan tidak adanya kejelasan akan keselarasan kepentingan pembangunan ekonomi dan kebutuhan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal. Struktur dan fungsi hutan alam (dengan demikian juga manfaat yang diberikan pada masyarakat) akan sangat tergantung dari input dan tujuan yang ingin dicapai, untuk itu sistem sosial tidak integral dengan sistem alam atau hutan. 4). Pola Kooperasi Pola ini pada dasarnya merupakan konsep pola ideal yang merupakan alternatif pendayagunaan saling ketergantungan masyarakat lokal dengan sumberdaya hutan disekitarnya. Pola ini adanya kepentingan paralel antara 117 upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (sistem sosial) dan mempertahankan kesinambungan struktur dan fungsi sumberdaya hutan (sistem alam) aliran fungsi dan manfaat dari sistem sosial dalam perspektif kelestarian tidak cukup sama besarnya dengan pemanfaatan sistem alam, tetapi bilamana mingkin justru lebih besar. Kondisi ini penting ditinjau dari : (1) aspek demografi peningkatan penduduk beserta tuntutan kebutuhan hidup); dan (2) aspek daya dukung lingkungan yang dapat menurun tanpa upaya memandai. Pola ini tampaknya yang menjadi paradigma baru pembangunan kehutanan yaitu community based and ecosystem ariented. Dari berbagai pola yang disebutkan di atas, kawasan HLPJ sudah mengarah kepada pola konfrontasi mengingat banyak terjadi konflik kepentingan baik secara vertikal maupun horizontal, sehingga hal ini menjadi landasan untuk menemukan pelestarian yang tepat berdasarkan kondisi internal dan eksternal wilayah untuk menyelamatkan ekosistem hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Beberapa pola hubungan antara hutan dan masyarakat dengan pola yang berbeda-beda. Perbedaan perkembangan kondisi wilayah. tersebut sangat berkaitan dengan Pada kondisi wilayah yang belum banyak tersentuh pembangunan dan masyarakat masih menganggap sumberdaya hutan pemenuhan kebutuhan yang bersifat subsistem, maka pola interaksinya cenderung pada pola ekstrasi. Hutan pada wilayah yang lebih maju karena sudah tersentuh pembangunan dan masyarakatnya sudah berpikir ke arah komersialisasi akibat dari tuntutan hidup yang berkembang, maka pola interaksinya cenderung pada pola eksploitasi dan konfrontasi. Sementara pola 118 kooperasi adalah pola yang paling ideal karena adanya keseimbangan kepentingan antara tuntutan hidup masyarakat setempat dengan tuntuntan pelestarian hutan. Kawasan HLPJ yang sedang terdampak dari pembangunan wilayah sehingga mengalami peningkatan jumlah kerusakan hutan, tentu masyarakat tidak lagi menjadi komponen ekosistem hutan seperti pola ekstrasi, tetapi sudah pola eksploitasi bahkan pola konfrontasi. Kondisi seperti ini sangat berdampak pada kelestarian HLPJ, sehingga diperlukan perencanaan yang matang dalam pengeloaan kawasan, agar fungsi utama HLPJ terjaga. Oleh karena itu dalam penetilian ini ingin mencari suatu komoditi unggul yang tepat sesuai karakteristik wilayah kelola di hutan sebagai landasan pengelolaan kawasan tersebut ke depan. Sebenarnya amat mudah dipahami bilamana sebagian besar masyarakat di wilayah-wilayah pedesaan atau pendalaman di luar Jawa mengantungkan kehidupan dan penghidupannya dari sumberdaya hutan, mengingat lebih dari 60 % dari luas wilayah datarannya berupa hutan. Ketergantungan tersebut tidak sebatas pada aspek produksi hutan, tetapi juga fungsi perlindungan tata klimat yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lokal secara langsung maupun tidak langsung dari ekosistem tersebut, dalam mempertahankan hidup (axistence) dan peningkatan kesejahteraan mereka (Welfare) (Sardjono, 2004). Secara jelas hal tersebut disajikan pada tabel 5 119 Tabel 5. Berbagai Manfaat yang Diperoleh oleh Masyarakat Lokal dari Sumberdaya Hutan di Sekitarnya. Hutan Produksi Lindung Tata Klimat Lain-Lain Manfaat Bagi Masyarakat Lokal Langsung Tidak Langsung ï‚· Hasil hutan kayu dan turunannya (konstruksi berat,atap/dinding, peralata, kayu bakar/arang); ï‚· Hasil hutan Nir-Kayu (a.l. buahbuahan, biji-bijian, sayur-mayur, rempah-rempah, binatang buruang, getah-getahan, rotan bambu, gaharu, sarang, burung, madu); ï‚· Areal untuk bercocok tanam/berladang; ï‚· Tanah (kesuburan tanah, kelembaban, erosi air dan angin, bentang alam); ï‚· Tata air (air bersih, proteksi banjir, dan kekeringan); ï‚· Keaneka ragaman hayati (flora dan fauna, mikroorganisme); ï‚· ï‚· Iklim mikro (kesejukan, dan curah hujan lokal); ï‚· Udara bersih (penghasilan oksigen dan menyerap karbondioksida); ï‚· Sinar matahari; ï‚· Polusi udara (fitter debu dan partikel padat lainnya, serta kebisingan); ï‚· Tabas tanah dan/atau tanda kepemilikan lahan; ï‚· Perlindungan tempat-tempat keramat/dihormati termasuk tanah atau hutan adat; ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Penghasilan (semi komersial dan); Pelestarian kegiatan budaya lokal yang berbasis produk hutan (a.l. upacara “beliant” masyarakat dayak); Pelestarian dan perkembangan industri rumah tangga masyarakat; Keterjaminan produktivitas pertanian dan kemandirian pangan; Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat; Pelestarian pengetahuan dan teknologi tradisional (a.l. budidaya tanaman, berburu binatang, pembuatan zat pewarna dan racun, pemanenan madu); Kenyamanan dan kedamaian kehidupan pedesaan; Mendukung kehidupan yang sehat dan sejahtera; Mengurangi dampak bencana alam (misalnya kemarau panjang dan kebakaran hutan); Mendukung pelestarian identitas kelembagaan lokal (a.l. gotongroyong, pewarisan, ganti rugi); Melestarikan etika konservasi dan pergaulan hidup anggota masyarakat; Sumber : Sardjono 2004 Tabel di atas menunjukkan berbagai manfaat dari hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Manfaat yang diperoleh berupa manfaat langsung dan tidak laungsung sesuai dengan fungsi hutannya. 120 Manfaat tidak langsung sebagai manifestasi positif yang diterima masyarakat setempat dari manfaat langsung, sehingga pada gilirannya kedua manfaat yang diterima tersebut dapat disejahterakan masyarakat setempat. 2.2.6. Kearifan Lokal Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. “Berpijak pada Kearifan Lokal” Anonimous (2001), menyatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap 121 baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Lebih lanjut Anonimous (2001) menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan. Bentukbentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hokum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Edy (2010) menyatakan bahwa ada beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah: 1. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah 122 dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati. 2. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak. 3. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‘ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat. 4. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan. 5. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat. 6. Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig. Kerifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. 123 Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kegiatan manusia memperlakukan lingkungan alamiahnya, itulah kebudayaan. Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan . Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuan-penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan (Hidayat, 2000). Dengan melihat kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan maka ia akan mengalami reinforcement secara terus-menerus menjadi yang lebih baik. Lebih lanjut menjelaskan bahwa humanisasi merupakan ideal proses dan tujuan kebudayaan. Oleh karena itu maka kearifan lokal sebagai manifestasi kebudayaan yang terjadi dengan penguatan-penguatan dalam kehidupannya menunjukkan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Artinya sebagai manifestasi humanitas manusia, kearifan lokal dianggap baik sehingga ia mengalami penguatan secara terus-menerus. Tetapi, apakah ia akan tetap menjadi dirinya tanpa perubahan, benturan kebudayaan akan menjawabnya. Sunaryo dan Joshi (2003) menjelaskan bahwa ada beberapa alasan yang menyebabkan teknologi dan informasi yang ditawarkan ditolak para petani, antara lain: (1) Teknologi yang direkomendasikan seringkali tidak menjawab 124 masalah yang dihadapi petani sasaran. (2) Teknologi yang ditawarkan sulit diterapkan petani dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal yang sudah ada. (3) Inovasi teknologi justru menciptakan masalah baru bagi petani karena kurang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya setempat. (4) Penerapan teknologi membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang diperoleh kurang memadai. (5) Sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah sehingga tidak mampu menyampaikan pesan dengan tepat. (6) Adanya ketidakpedulian petani terhadap tawaran teknologi baru, seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu. (7) Adanya ketidak-pastian dalam penguasaan sumber daya (lahan, dan sebagainya). Para pemegang kebijakan, pakar atau peneliti kadang kala kurang dapat memahami hambatan dan peluang yang berkembang di masyarakat sehingga teknologi yang dianjurkan tidak menyentuh pada akar permasalahan yang ada. Dengan demikian, diseminasi teknologi yang tidak tepat guna banyak yang tidak diadopsi oleh masyarakat. Para pakar pertanian membantah bahwa gagalnya masyarakat mengadopsi teknologi anjuran dikarenakan mereka konservatif, irrasional, malas atau bodoh (Sunaryo dan Joshi, 2003), tetapi lebih dikarenakan Manusia mempunyai kapasitas untuk apa yang terjadi di sekelilingnya, selanjutnya menganlisis dan menafsirkan baik sebagai hasil pengamatan maupun pengalaman, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Jadi pengetahuan merupakan keluaran dari proses pembelajaran, penjelasan berdasarkan pemikiran dan persepsi mereka. Namun demikian dalam tataran falsafah ilmu, pengetahuan bukanlah merupakan kebenaran 125 yang bersifat mutlak atau hakiki. Pengetahuan sendiri tidak mengarah ke suatu tindakan nyata. Di balik pengetahuan atau di sisi pengetahuan dalam masyarakat ada norma budaya atau kewajiban yang dapat mempengaruhi arah keputusan yang diambil baik kemudian bersifat positif maupun negatif. Pilihan tindakan tidak lepas juga dari pertimbangan faktor-faktor eksternal seperti kekuatan pasar, kebijakan pemerintah, termasuk kondisi keuangan rumah tangga petani sendiri sehingga mungkin mendorong petani untuk memilih tindakan pengelolaan yang sederhana (sub-optimal) baik secara teknis maupun ekologis. Namun petani dapat belajar akibat dari tindakan mereka dan akan memperkaya serta mempertajam pengetahuannya. Pengamatan dan tanggapan seksama terhadap hasil uji coba atau observasi, bahkan kerugian akibat serangan hama dan penyakit serta kerusakan akibat alam (musim, iklim) akan lebih memperkaya system pengetahuannya. Lebih lanjut, tambahan pengetahuan petani juga mungkin diperoleh dari sumber eksternal seperti radio, televisi, tetangga dan penyuluh. Ringkasnya, sistem pengetahuan petani bersifat dinamis, karena terus berubah sesuai dengan waktu dan interaksi dengan lingkungan yang berkembang. Sunaryo dan Joshi (2003), lebih lanjut menjelaskan bahwa pengetahuan indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan inovasi atau uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan masukan internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk 126 menyesuaikan dengan kondisi baru setempat. Oleh karena itu pengetahuan indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis atau tak berubah. Pengetahuan indigenous ini berkembang melalui tradisi lisan dari mulut ke mulut atau melalui pendidikan informal dan sejenisnya dan selalu mendapatkan tambahan dari pengalaman baru, tetapi pengetahuan ini juga dapat hilang atau tereduksi. Sudah tentu, pengetahuan-pengetahuan yang tidak relevan dengan perubahan keadaan dan kebutuhan akan hilang atau ditinggalkan. Kapasitas petani dalam mengelola perubahan juga merupakan bagian dari pengetahuan indigenous. Dengan demikian, pengetahuan indigenous dapat dilihat sebagai sebuah akumulasi pengalaman kolektif dari generasi ke generasi yang dinamis dan yang selalu berubah terus-menerus mengikuti perkembangan jaman. Indigenous pengetahuan berarti indigenous asli atau merujuk pribumi. pada Kata masyarakat indigenous indigenous. dalam Yang dimaksud dengan masyarakat indigenous di sini adalah penduduk asli yang tinggal di lokasi geografis tertentu, yang mempunyai sistem budaya dan kepercayaan yang berbeda dengan sistem pengetahuan dunia intelektual/internasional. Kenyataan ini menyebabkan banyak pihak yang berkeberatan dengan penggunaan istilah pengetahuan indigenous dan mereka lebih menyukai penggunaan istilah pengetahuan lokal (Noor, et.all 2007). Pengetahuan lokal merupakan konsep yang lebih luas yang merujuk pada pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu untuk jangka waktu yang lama. Pada pendekatan ini, kita tidak perlu mengetahui apakah masyarakat tersebut penduduk asli atau tidak. Yang jauh 127 lebih penting adalah bagaimana suatu pandangan masyarakat dalam wilayah tertentu dan bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungannya, bukan apakah mereka itu penduduk asli atau tidak. Hal ini penting dalam usaha memobilisasi pengetahuan mereka untuk merancang intervensi yang lebih tepat-guna. Dalam beberapa pustaka istilah pengetahuan indigenous sering kali dirancukan dengan pengetahuan lokal. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kata indigenous dalam pengetahuan indigenous lebih merujuk pada sifat tempat, dimana pengetahuan tersebut berkembang secara ‘in situ’, bukan pada asli atau tidaknya aktor yang mengembangan pengetahuan tersebut. Jika kita berpedoman pada konsep terakhir ini, maka pengetahuan indigenous sama dengan pengetahuan lokal dan dalam paparan selanjutnya kedua istilah tersebut berarti sama. Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Adakalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem bertani mereka. Karenanya teknologi eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, sumber daya alam dan bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik bertani maupun keterampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam. Jadi pengetahuan indigenous tidak hanya sebatas pada apa yang dicerminkan dalam metode dan teknik bertaninya saja, tetapi juga mencakup tentang 128 pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis. Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos, yang dianut dalam jangka waktu cukup lama inilah yang disebut ’kearifan budaya lokal’. Dalam penelitian ini akan mempelajari tentang kearifan lokal penduduk di kawasan pegunungan tengah Jayawijaya yang mempunyai pengetahuan tentang budidaya tanaman buah pandan di dalam hutan sebagai pengetahuan warisan nenek moyang dari turun temurun. BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN 3.1.Kerangka Pikir Tuhan menciptakan Pulau Papua dengan berbagai keunikan alamnya mulai dari bentang laut sampai bentang pegunungan (Papua Natural Landscape Unique). Di Pulau Papua inilah juga hidup Ciptaan Mulia “Papuanees” sebanyak 250 suku dengan berbagai budaya yang juga unik. Sejak kapan Pulau Papua terbentuk dan Sejak kapan 250 suku asli Papua mendiami Pulau Papua ini merupakan rahasia dan kuasa mutlak Tuhan sebagai Pencipta Alam Semesta. Yang Pasti Tuhan menciptakan Papuanees untuk mendiami, menguasai, mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan ciptaanNya dengan takut akan Tuhan agar tidak menjadi bencana bagi alam semesta Pulau Papua. Pulau Papua dapat terbentuk melalui proses geologi yang berlangsung jutaan tahun lampau membuat Pulau Papua sungguh sangat kaya sehingga tidak berlebihan kalau dijuluki sebagai Heaven’s Land or Island. Keunikan Landscape dan Ekosistem Hutannya (Unique’s Natural Landacape and Forest Ecosystem of Papua Island) turut memposisikan Pulau Papua sebagai pulau dengan kekayaan sumber daya alam hayati darat dan laut tertinggi dengan tingkat species endemisme tertinggi (Highest Biodiversity with highest endemic species) di Indonesia dan bahkan di Dunia. Di Pulau Papua diperkirakan tumbuh 20.000-30.000 jenis tumbuhan berkayu; hidup 330 jenis reptilia dan amfibi, 650 jenis burung, 164 jenis mamalia dan 750 jenis kupu-kupu (anonymous, 2009). Pulau Papua dengan 129 130 jumlah penduduk kurang lebih 2.5 juta mendiami daratan seluas 42.224.840 hektar, lebih dari 80 % wilayah daratan Papua masih merupakan kawasan hutan. Kawasan hutan Papua sungguh sangat kaya dengan flora dan fauna serta berbagai jasa lingkungan “environmental services”. Selama lebih dari tiga dekade yaitu sejak tahun 1970an, kekayaan sumberdaya hutan baik kayu dan non kayu di hutan tropis Papua telah dieksploitasi dan bahkan dijadikan regional and national economy wheel primary mover terutama dalam hal antara lain perolehan devisa termasuk peningkatan pendapatan asli daerah, penyediaan lapangan kerja, dan mendorong pengembangan wilayah serta pertumbuhan ekonomi namun tidak berbasis pendekatan masyarakat asli papua terpinggirkan. Salah satu keunikan flora di Papua adalah Bauh pandan. Buah Pandan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa yang dianugerahkan kepada masyarakat Papua khususnya penduduk pegunungan Jayawijaya merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Masyarakat setempat yang memberikan manfaat serbaguna yaitu buah sebagai pangan, daun pengerajin tikat, akar pengerajin tas (noken), dan batang sebagai bahan bangunan rumah dibandingkan dengan 700 spesies tumbuahan pandan yang lain di dunia. Buah pandan juga merupakan salah satu sumber daya alam yang berperan dalam menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan kesuburan tanah. Ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat nadi kehidupan manusia. Buah pandan tumbuh dan berkembang biak dalam hutan secara bebas merupakan salah satu tumbuhan endemik yang terdiri dari beberapa jenis yang 131 belum teridentifikasi baik keberadaannya di Papua terutama pedalaman pegunungan tengah sepanjang dari New Gunea sampai tembagapura, dan setiap daerah masing-masing memberi nama sesuai dengan fungsi dan manfaat buah pandan. Rata-rata penduduk membudidayakan dengan cara yang sama, karena menurut sejarah peradaban manusia mulai bergerak dari timur arah ke barat melalui pegunungan tersebut, sehingga budaya yang sama yaitu pola budidaya dalam hutan dengan cara penanganan pascapanen yang unik dengan pertanian pada umumnya. Keberadaan buah pandan dalam hutan merupakan pelindung bagi hutan dari ancaman manusia dan sebaliknya tanpa hutan buah pandan tidak dapat tumbuh dan berbuah dengan baik, hubungan dengan manusia akan kekurangan pangan, sehingga antara satu dengan yang lain saling berkaitan, antara manusia, buah pandan dan hutan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan di alam pegunungan tengah Jayawijaya. Dengan demikian tertekaitan hubungan antara manusia dengan alam dan lingkungan tidak terpisahkan dari antara satu dengan yang lain, maka kita akan menjumpai penduduk di kawasan pegunungan tengah Jayawijaya mempunyai kepercayaan bahwa hutan adalah ibu (mama) yang artinya sumber kesediaan makanan bagi manusia seperti sosok seorang ibu yang menyimpan makanan dan memberi kepada anak-anaknya, memelihara, mendidik dan setelah meninggal dunia rohnya akan kembali kepadanya atau ada yang menyebutkan bahwa hutan adalah rumah penjimpanan makanan bagi manusia. Gambar berikut menjelaskan kerangka pikir penelitian yang secara garis besar menunjukkan hubungan antara manusia, hutan dan buah pandan dalam 132 rangka menjaga kesimbangan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat setempat dan pelestarian Hutan yang berkelanjutan. Hutan Penduduk Fungsi dan Manfaat Lahan Buah Pandan Nilai Ekonomis Tujuan Sosial Budaya dan Ekonomi Aktivitas Ekonomi Prinsip Ekologi: Keseimbangan Ekosistem (Konservasi) Prinsip Ekonomi : Pendapatan dan Pertumbuhan Penyangga Kehidupan Sosial Ekonomi Penyangga Kehidupan Sosial Budaya Manfaat sosial budaya dan Ekonomi Strategi Pelestaraian Buah Pandan Peningkatan Ekonomi Masyarakat Setempata dan Pelestarian Hutan yang Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Hubungan antara Manusia, Buah Pandan dan Hutan. Prinsip ekonomi dari nilai-nilai buah pandan yang terkandung tersebut menyangkut pendapatan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat. Secara ekonomi tentunya buah pandan dapat memberikan kontribusi bagi 133 penghidupan masyarakat tersebut sebagai pendukung ekonomi keluarga, terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar hutan. Hasil penelitian Lestari (2006), di wilayah Hutan Lindung Bontang (HLB), menyebutkan bahwa masyarakat yang melakukan pemanfaatan lahan dalam bentuk usahatani pada kawasan hutan lindung tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang berpenghasilan terbatas. Dengan kata lain hal tersebut termotivasi untuk memenuhi kekurangan penghasilan yang diperoleh dari usaha selain bertani seperti pegawai negeri, berdagang dan jasa lainnya. Prinsip ekologi menuntut adanya keseimbangan dan ketersediaan ekosistem dalam hutan lindung pegunungan Jayawijaya (HLPJ), dimana eksistensi dan esensi ekosistemnya belum banyak dapat dirubah oleh aktivitas masyarakat setempat. Aktivitas masyarakat setempat sangat bersahabat dengan lingkungan, tentu banyak kerangaman hayati yang belum punah dari habitat aslinya dan tetap bertahan baik flora maupun Fauna di kawasan pegunungan Jayawijaya. Keseimbangan tersebut diduga sebagai dampak saling keterkaitan antara manusia, buah pandan dan hutan. Hubungan antara keterkaitan memberikan peluang bagi kehadiran flora dan fauna yang lain berinteraksi dalam kawasan hutan tersebut sebagai tempat tinggal mereka dan berkembang biak menjadi suatu komonitas baru dalam hutan lindung. Hal ini ditambah lagi dengan adanya sistem sosial budaya masyarakat setempat yang mengambil seperlunya saja secara teratur pada lahan mereka masing-masing untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan belum memenuhi kebutuhan pasar. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 134 lingkungan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sementara Rahmawaty (2004) memahami bahwa hutan sebagai sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air serta pencegahan erosi. Tindakan di atas mengindikasikan keberadaan buah pandan di dalam hutan lindung pegunungan Jayawijaya telah memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat setempat melalui aktivitasnya. Buah pandan arti penting dalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat pegunungan jayawijaya. Setiap keluarga memiliki kebun rahasia dalam hutan sebagai tempat penjimpanan pangan, karena buah pandan setiap tahun berbuah. Pada musin panen setiap keluarga memanen hasil buah pandan dan hasil panen tersebut disimpan di dalam rumah rahasia sebagai tempat penjimpanan hasil panen sementara dan di tempat ini memiliki fungsi sebagai pengeringan sekaligus pengemasan untuk di pasar atau konsumsi sendiri ataupun kegiatan bakti sosial lainnya. Hubungan hutan dan masyarakat setempat tidak lepas dari konsep ekosistem yaitu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan (Suemarwoto, 2004). Selanjutnya Soerjani, Ahmad dan Munir (1987) lebih jauh menyatakan bahwa ekosistem dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi dan transformasi energi yang sepenuhnya berlangsung di antara berbagai komponen dalam sistem itu 135 sendiri atau dengan sistem lain di luarnya, sehingga antara hutan dan masyarakat setempat bukan tidak mungkin memiliki saling ketergantungan. Namun beberapa kebijakan pemerintah, bahwa sumberdaya alam hanya diperlukan sebagai komoditi dan alat produksi, tanpa memperhatikan subsistem susio-kultural masyarakat yang seharusnya merupakan bagian dari sistem alam dan kehidupan (Kartodiharjo, 2006). Sementara itu masyarakat sebagai sebuah kesatuan sosial memiliki kecenderungan untuk menuju keadaan yang stabil dan teratur (Riyanto, 2006). Hal ini tentunya membutuhkan dukungan sumberdaya alam atau hutan untuk mewujudkan hal tersebut. Ketergantungan masyarakat setempat terhadap hutan sebenarnya sudah berlangsung ratusan bahkn ribuan tahun. Tentu saja orientasi dan motivasi ketergantuangan tersebut tidak akan sama antar generasi atau antara satu kelompok masyarakat di suatu wilayah dengan kelompok di wilayah lainnya. Kondisi ini bisa saja dan senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan budaya dan perekonomian seiring dengan keterbukaan wilayah sebagai dampak pembangunan. Perubahan motivasi yang umum dijumpai ialah dari skala subsistensi menuju semi-komersial atau bahkan komersial (Sarjono, 2004). Soemarwoto (2004), menyatakan bahwa perubahan suatu sistem (termasuk sistem sosial), pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari suatu pembangunan. Sejalan dengan kondisi yang terjadi pada kawasan pegunungan tengah jayawijaya yang sedang berlangsung terdampak dari pembangunan wilayah dan akses informasi yang terbuka ke wilayah masyarakat sempat, sehingga sistem sosial dimasyarakat yang bersahabat lingkungan sedang mengalami perubahan yang menuju pada pengolahan 136 kayu, sementara tanaman buah pandan sedang mengalami kerusakan yang luas. Karena dengan adanya pemakaran beberapa kabupaten baru di wilayah pegunungan Jayawijaya mengakibatkan lahan buah pandan sedang dirusakan bahkan dalam kebun buah pandan sedang dirusakan demi membangun kantor pemerintahan. Disamping kayu-kayunya diambil untuk membangun kantorkantor pemerintahan dan lebih parah lagi beberapa taman nasional yang ada di kawasan tersebut saat ini dijadikan sebagai pusat kantor pemerintahan yaitu Kabupaten Nguda merupakan dalam kawasan taman nasional Lorenzt, Kabupaten Mamberamo Tengah dalam Cagar Alam Foja. Dan tidak dapat mempertimbangkan keberadaan berbagai jenis hayati baik flora maupun fauna yang ada di dalamnya yang tidak dimiliki dunia lain ini sebagai kekayaan alam Indonesia yang seharusnya dipertahankan dan dipelihara tetapi hilang begitu saja dalam kurung waktu singkat demi pemekaran Kabupaten baru di Papua. Untuk menghilangkan sumberdaya alam lebih mudah dan cepat daripada pemulihan kembali sumberdaya alam, oleh karena itu pentingnya kesadaran untuk mengatur, memelihara dan mengelola sumberdaya alam yang ada secara bijaksana, agar menikmati hasil sumberdaya alam saat ini yang sama dengan generasi yang akan datang, karena dunia ini bukan milik individual tetapi milik bersama artinya siapa saja hadir (lahir), di suatu wilayah tertentu mempunyai hak untuk menikmati apa saja yang tersedia di alam tersebut, tetapi ia mempunyai kewajiban untuk mengatur, memelihara dan mengelola sumberdaya alam yang ada sebagai kekayaan yang dimiliki untuk mempertahankan hidupnya di dunia. Dengan demikian sebagai tindakan 137 perlindungan, pengawetan, pemeliharaan dan pengumpulan barang-barang yang ada. Ide untuk pengawetan sumberdaya lahan bagi pemakaian di masa yang akan datang ialah ide yang paling banyak mendapat perhatian, sehingga disini perlu dilihat pentingnya penggunaan sumberdaya alam yang efisien dan teratur secara berkesinambungan. Widada (2001), menyatakan bahwa suatu bentuk evolusi kultural dimana pada saat dulu, pengelolaan sumberdaya alam yang menjamin pemanfaatan secara bijaksana dan bagi sumberdaya terbaharui menjamin keseimbangan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Jadi sumberdaya alam bukalah memelihara persediaan secara permanen tanpa pengurangan dan pengrusakan, karena jika demikian penggunaan sama dengan nol (Suparmoko, 1997). Lebih lanjut di kemukakan oleh Suparmoko (1997), bahwa pengurangan atau peniadaan penggunaan, karena lebih mementikan bentuk penggunaan yang lain dalam hal sumberdaya itu memiliki penggunaan yang bermacam-macam (multiple use resource). Pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaataan dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Dikaitkan dengan kebun buah pandan di dalam hutan lindung adalah suatu kegiatan penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, pemanfaatan sumberdaya lestari, pencegahan dan penanggulangan ancaman dan gangguan kerusakan kawasan hutan, hasil hutan dan kelestarian hutan yang berkelanjutan. 138 Hutan dan penghidupan masyarakat Adat di Tanah Papua merupakan dua hal yang saling berhubungan erat dan tidak dapat terpisahkan, bagi masyarakat setempat di Tanah Papua yang masih hidup bergantung sepenuhnya pada pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai sumber penghidupannya. Secara turun-temurun. Masyarakat setempat penghidupannya bergantung dari kekayaan alam, termasuk kekayaan hutan. Pengelolaan hutan dan pemanfaatanya dilakukan dengan cara yang sederhana berdasarkan pengetahuan setempat. Kebutuhan air bersih, protein hewani, bahan pangan lokal dan obat-obatan, bahan bangunan diambil dari kawasan hutan mereka. Rujehan (2010) menyatakan bahwa sistem sosial dan sekosistemnya selalu menunjukka interaksi dinamik dan terjadi perubahan pada sistem yang disebabkan oleh sistem yang lain, sehingga menimbulkan perubahan baru pada sistem tersebut. Interaksi ini adalah sebuah gaya yang tidak terputus. Interaksi antara dua sistem dapat di analisis melalui perpindahan (aliran), energi, materi dan informasi antara dua sistem tersebut dengan komponen individualnya. Dalam interaksi lingkungan alam (ekosistem) dan manusia, manusia merupakan pelaku pembangunan. Masyarakat di sekitar hutan dengan kehidupan yang bersentuhan langsung dengan hutan merasakan dampak keberadaan hutan secara langsung, baik dalam arti positif maupun negatif. Maka sangat berasalan menempatkan masyarakat disekitar hutan sebagai mitra utama pengelolaan hutan menuju hutan lestari. Hal ini sejalan dengan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM), sebagai paradigm baru pengelolaan hutan. 139 Pengelolaan hutan secara lestari ialah proses pengelolaan hutan permanen untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang telah ditentukan dengan berdasarkan komoditas produksi dan manfaat lain yang diinginkan, tanpa mengakibatkan kemuduran nilai dan produktivitas dimasa yang akan datang dan tanpa mengakibatkan timbulnya akibat yang tidak diharapkan pada komponen fisik dan lingkungan sosial (Soedirma, 1995 dalam Rujehan, 2010). Berdasarkan pemahaman ini, maka hutan buah pandan dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi. Sementara Anonimous (2002), menyebutkan bahwa pengelolaan hutan secara lestari mengintegrasikan pengelolaan lingkungan, ekonomi dan sosial. Pengelolaan hutan lestari (sustainable forest managemeng) sebagai suatu sistem pengelolaan hutan yang menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dengan memperhatikan fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan secara seimbang. Sosial disini dimaksudkan dampak positif pada kesejahteraan sosial dan ekonomi jangka panjang untuk masyarakat lokal. Selanjutnya lingkungan dimaksudkan menjaga fungsi lingkungan hidup yang meliputi stabilis daerah aliran sungai, konservasi sumberdaya biologi dan perlindungan habitan kehidupan liar. Sedangkan ekonomi dimaksudkan konsep kelestarian hasil (Anonimous 2008). Perlu digaris bawahi, bahwa prinsip kelestarian hutan cukup hanya ditinjau dari sisi mempertahankan dan jika memungkinkan meningkatkan daya dukung dan fungsi lingkungan (environmental sustainability) atau dari sisi produktivitas dan keuntungan ekonomi antar generasi (economic sustainability) sama. Akan tetapi juga tidak bisa diabaikan kelestarian ditinjau dari segi aspek sosial (social sustainability), yaitu kesesuaian dengan pengelolaan sumberdaya 140 hutan dengan norma-norma sosial masyarakat setempat (Sarjono, 2004). Lebih jauh dijelaskan lagi, bahwa hal tersebut dapat diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya yang mampu merefleksikan kepentingan (interests) dan kependulian (concerns) dari individu, kelompok dan institusi sosial. Sementara Upton dan Bass (1995), menyetakan prinsip-prinsip umum kelestarian yang diharapkan dalam pengelolaan hutan ialah : 1. Kelestarian lingkungan (environmental sustainability), menunjukkan bahwa ekosistem mampu mendukung kehidupan organisme secara sehat, disamping pada waktu yang bersamaan mampu memelihara produktivitas, adaptabilitas, serta kapabilitas untuk memperbaharui diri (renewable), dimana hal ini mensyaratkan pengelolaan hutan yang menghormati dan dibangun atas dasar proses-proses alami; 2. Kelestarian sosial (social sustainability), merefleksikan hubungan antara pembangunan dan norma-norma sosial, dimana hal ini suatu kegiatan secara sosial lestari bilamana memiliki kesesuaian dengan norma-norma sosial atau tidak melebihi kapasitas masyarakat untuk suatu perubahan; 3. Kelestarian ekonomi (economic sustainability), menuntut bahwa keuntungan bagi suatu (beberapa) kelompok tidak melebihi biaya yang diperlukan dan capital yang setara dapat diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya; Sementara Sagaroa (2006), menyatakan bahwa konflik penguasaan sumberdaya alam terjadi manakala struktur dan tatanan hukum lokal (adat) dihancurkan. Adanya pengintegrasian dan penyeragaman ketentuan yang mengatur pola penguasaan dan pengelolaan didominasi oleh pemerintah 141 sebagai refresentasi negara, untuk kepentingan mengejar pertumbuhan ekonomi negara. Akan tetapi pola penguasaan dan pengelolaan tersebut seringkali tanpa memperhatikan kehidupan masyarakat yang bergantung hidupnya dari daya dukung lingkungan dan hutan. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan di kawasan hutan pegunungan jayawijaya untuk menemukan strategi yang adil dan pengelolaan hutan tanpa merusakan mendapat keuntungan dari hutan melalui budidaya tanaman buah pandan sesuai kondisi lingkungan dan sosial budaya masyarakat setempat. Hutan merupaka kekayaan alam yang harus dipelihara dan dimanfaatkan untuk kehidupan umat manusia, dimana dalam pemanfaatannya harus memperhatikan azas kelestarian yang berkelanjuatan, sehingga generasi mendatang masih dapat merasakan manfaatnya. Dengan menjaga kelestarian hutan, maka secara tidak langsung membantu dalam memperlambat terjadinya pengaruh yang sangat ditakuti oleh seluruh dunia yaitu dengan menipisnya lapisan ozon, yang diduga dipengaruhi oleh rusaknya hutan-hutan tropis akibat dari penebangan liar (Ilegal Loging), yang oleh sebagian orang dijadikan mata pencarian kehidupan dan pengambilan sumberdaya alam yang berlebihan oleh pemerintah. Dengan prinsip pengelolaan hutan lestari, generasi mendatang masih dapat melihat hutan dalam cara pandang yang sepaham, yaitu hutan yang sehat secara ekologi serta produktif bagi ekonomi (Soemarno, Affandi dan priyono, 2011). Lebih lanjut , Soemarno, Affandi dan priyono (2011), mejelaskan lebih jauh bahwa pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari bila memenuhi 3 (tiga) kriteria yaitu : (1) kelestarian produksi, adalah terjadinya keberlangsungan 142 pemanfaatan hasil hutan dan usahanya; (2) kelestarian ekologi/lingkungan, adalah salah satu dimensi hasil pengelolaan hutan lestari yang dapat menjamin terpeliharanya fungsi ekosistem beserta komponennya (biotik dan abiotik) dalam jangka panjang dan ; (3) kelestarian sosial dan budaya, adalah salah satu dimensi hasil pengelolaan hutan lestari yang menjamin kesejahteraan dan integrasi sosial melalui pelaksanaan jaminan akses dan control komuniti terhadap sumberdaya hutan, pengendalian dampak pengusahaan hutan terhadap komuniti, dan hubungan ketenagakerjaan yang harmonis antara unit manajemen dan pekerja. Raharjo dan Pradhan (2000), pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat (PSHBM) ialah salah satu alternatif atau pilihan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang saat ini mengalami keterpurukan, sebagai akibat akumulasi dari kesalahan-kesalahan pengurusan dimasa lalu. Kesalahan dari pengelolaan dimasa yang lalu pada intinya adalah pada pengurusan sektoral dan sentralistik dan tidak patuh pada prinsip pengelolaan berkelanjutan yang secara jelas menekankan pada aspek ekonomi, ekologi dan equity (keadilan). Ketidakpatuhan tersebut juga memperlihatkan pada pengurusan yang mangkir terhadap amanah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 mengamanatkan bahwa hutan sebagai sumberdaya alam harus dimanfaatkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa pada banyak tempat selain Indonesia, alasan memilih metode pengelolaan berbasis masyarakat adalah : (1) kurangnya “keampuhan” dan tidak berkelanjutan secara ekonomi daripada metode “konservasi yang mengesampingkan” masyarakat yang diwariskan dari 143 masa kolonial; (2) pentingnya melindungi sumberdaya alam dimana populasi masyarakat yang tinggal disekitarnya berada dalam proporsi besar; (3) kebutuhan untuk menyediakan insentif ekonomi kepada masyarakat lokal sehingga mereka dapat menggunakan sumberdaya dengan berkelanjutan; (4) kelangsungan pengelolaan hak milik bersama; (5) adanya bukti-bukti kemanjuran pendekatan “bottom up” terhadap pembangunan daerah pedesaan dan; (6) pentingnya menyediakan ganti rugi terhadap ketidakadilan akibat pemindahan secara paksa saat dibentuknya wilayah yang dilindungi. Untuk menuju hutan lestari yang dimaksud, perlu dipertahankan kualitas manfaat biologi, ekologi dan ekonomi yang diberikan oleh ekosistem hutan sehingga pada gilirannya lingkungan ekosistem dapat terjaga dengan baik. Akan tetapi berdasarkan laporan dari kementerian Kehutanan Republik Indonesia menyebutkan bahwa ekosistem hutan di Indonesia sudah mengalami banyak gangguan yang dapat menurunkan nilai manfaatnya. Dari laporan tersebut menjelaskan bahwa gangguan-gangguan ekosistem ini menyebabkan degradasi ekosistem hutan yang sudah mencapai 59,17 juta hektar dari luas total Indonesia sebesar 120,3 juta hekar atau dengan laju degradasi reta-rata pertahun mencapai 2, 8 juta hektar (Tuheteru, 2008). Degradasi ekosistem tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu diantaranya perambahan hutan atau illegal loging, tumpang tidih pemanfaatan lahan dan kebakaran hutan. Khusus yang berkaitan dengan aktivitas perambahan hutan biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu seperti faktor-faktor ekonomi dan sosial budaya masyarakat. 144 Untuk menghindari hal tersebut, pengembangan komoditi unggulan dan sistem pengelolaan karifan lokal berorientasi pada penguatan ekonomi masyarakat setempat. Sistem pengelolaan partisipatif dapat menjamin kelestarian manfaat ekonomi (tangible dan intangible), sebagai penyangga penghidupan dan kehidupan untuk menuju kesejahteraan manusia dan mahkluk lainnya. Manfaat tersebut, bagi hutan yang sudah terlajur degradasi dapat ditingkatkan lagi melalui konservasi kawasan baik melalui kegiatan perlindungan, pemeliharaan atau pengawetan maupun pemanfaatan yang terbatas. Konservasi diartikan sebagai suatu usaha pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam sehingga dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan untuk generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi yang akan datang (Irwanto, 2006). Dari kenyataan ini jelaslah bahwa kegiatan konservasi berarti keberlangsungan fungsi ekologi dan manfaat ekonomi, sehingga keberlangsungan fungsi dan manfaat tersebut menjadi indikator keberhasilan suatu konservasi. Rujehan (2010), menjelaskan bahwa tujuan utama konservasi, menurut “Strategi Konservasi Sedunia” (World Consevation Strategy) ada tiga yaitu : (1) memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan; (2) mempertahankan keanekaan genesis dan; (3) menjamin manfaat jenis (spesies) serta ekosistem secara berkelanjutan. Dari tujuan tersebut, maka ada peluang bagi masyarakat pegunungan Jayawijaya untuk memanfaatkan buah 145 pandan dan ekosistem yang ada di sekitarnya. Disisi lain bila dilihat dari sejarah perkembangan peradaban manusia di muka bumi, sesungguhnya manusia tidak pernah lepas dari aspek pemanfaatan dan pengelolaan aneka ragam jenis dan ekosistem di lingkungan sekitarnya. 3.2. Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel Untuk mendapatkan kesamaan pikir dan pemahaman yang sama pada penelitian ini dalam berbagai istilah, maka diperlukan batasan operasional dengan beberapa penjelasan dan cara pengukurannya adalah tanaman buah pandan memiliki struktur botani lengkap yaitu akar, batang, dan daun. Tanaman ini tumbuh pada suatu daerah tertentu mempunyai kondisi iklim yang berdeda dengan daerah lainnya, sehingga pola usahatani tanaman buah pandan pun berbeda dengan tanaman pertanian lainnya, maka cara pengukurannya sebagai berikut : 1. Gambaran lengkap adalah pengambilan data atau informasi secara fisik maupun non fisik secara luas pada suatu wilayah/daerah tertentu tentang aktivitas masyarakat terhadap objek tertentu yang sedang atau akan diamati untuk mampu mendeskriptifkan untuk memberikan informasi kepada pengguna jasa objek tersebut lebih luas. 2. Gambaran mendalam adalah pengambilan data atau informasi secara khusus pada objek tertentu melalui pendekatan partisipan (ikut terlibat) dalam aktivitas masyarakat pada suatu daerah tertentu untuk memaknai dari objek yang diamati sebagai suatu nilai budaya, sosial, ekonomi, 146 politik, hukum dan pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat sebagai aset milik suatu bangsa. 3. Ketinggian tempat adalah pengukuran ketinggian dari kawasan pegunungan jayawijaya terdapat suatu titik pada daerah yang lebih jauh dari permukaan di atas laut (DPL), memiliki ciri khas iklim yang berbeda dengan keberadaan flora dan fauna yang unik di dunia. Salah satu hasil flora yang unik adalah buah pandan yang dapat tumbuh di daerah pegunungan jayawijaya memiliki cirri khas buah pandan sebagai pangan dibandingkan dengan jenis pandan yang lain, karena membedakan antara jenis pandan satu dengan yang lain indikasinya adalah ketinggian tempat. 4. Topografi adalah kawasan pegunungan jayawijaya memiliki garis kontur benteng alam yang berbeda dengan wilayah lain dan terdapat bendabenda alam yang unik membandingkan dengan wilayah lain di dunia. Karakteristik unik yang membedakan peta topografi dari jenis peta lainnya adalah peta ini menunjukkan kontur topografi atau bentuk tanah di samping fitur lainnya seperti jalan, sungai, danau, dan lain-lain. Karena peta topografi menunjukkan kontur bentuk tanah, maka peta jenis ini merupakan jenis peta yang paling cocok untuk kegiatan outdoor dari peta kebanyakan. 5. Buah adalah pertumbuhan sempurna dari bakal buah (ovarium). Setiap bakal buah berisi satu atau lebih bakal biji (ovulum), yang masing-masing mengandung sel telur. Bakal biji itu dibuahi melalui suatu proses yang diawali oleh peristiwa penyerbukan, yakni berpindahnya serbuk sari dari kepala sari ke kepala putik. Setelah serbuk sari melekat di kepala putik, 147 serbuk sari berkecambah dan isinya tumbuh menjadi buluh serbuk sari yang berisi sperma. Buluh ini terus tumbuh menembus tangkai putik menuju bakal biji di mana terjadi persatuan antara sperma yang berasal dari serbuk sari dengan sel telur yang berdiam dalam bakal biji, membentuk zigot yang bersifat diploid. Pembuahan pada tumbuhan berbunga ini melibatkan baik plasmogami, yakni persatuan protoplasma sel telur dan sperma, dan kariogami, yakni persatuan inti sel keduanya. Setelah itu, zigot yang terbentuk mulai bertumbuh menjadi embrio (lembaga), bakal biji tumbuh menjadi biji, dan dinding bakal buah, yang disebut perikarp, tumbuh menjadi berdaging (pada buah batu atau drupa) atau membentuk lapisan pelindung yang kering dan keras (pada buah geluk atau nux). Sementara itu, kelopak bunga (sepal), mahkota (petal), benangsari (stamen) dan putik (pistil) akan gugur atau bisa jadi bertahan sebagian hingga buah menjadi pembentukan buah ini terus berlangsung hingga biji menjadi masak. Pada sebagian buah berbiji banyak, pertumbuhan daging buahnya sebanding dengan jumlah bakal biji yang terbuahi. 6. Daging buah adalah dinding buah pandan yang berasal dari perkembangan dinding bakal buah pada bunga, dikenal sebagai perikarp (pericarpium). Perikarp ini sering berkembang lebih jauh, sehingga dapat dibedakan atas dua lapisan atau lebih. Yang di bagian luar disebut dinding luar, eksokarp (exocarpium), atau epikarp (epicarpium); yang di dalam disebut dinding dalam atau endokarp (endocarpium); serta lapisan tengah (bisa beberapa lapis) yang disebut dinding tengah atau mesokarp 148 (mesocarpium). Pada sebagian buah, khususnya buah tunggal yang berasal dari bakal buah tenggelam, kadang-kadang bagian-bagian bunga yang lain (umpamanya tabung perhiasan bunga, kelopak, mahkota, atau benangsari) bersatu dengan bakal buah dan turut berkembang membentuk buah. Jika bagian-bagian itu merupakan bagian utama dari buah, maka buah itu lalu disebut buah semu. 7. Temperatur adalah sebuah keadaan standar yang digunakan dalam pengukuran tekanan udara. Standar ini digunakan agar setiap data dalam percobaan yang berbeda-beda dapat dibandingkan. Standar yang paling umum digunakan adalah standar IUPAC dan NIST. Terdapat juga variasi standar lainnya yang ditetapkan oleh organisasi-organisasi lainnya. Standar IUPAC sekarang ini adalah temperatur 0 °C (273,15 K, 32 °F) dan tekanan absolut 100 kPa (14,504 psi), sedangkan standar NIST adalah 20 °C (293,15 K, 68 °F) dan tekanan absolut 101,325 kPa (14,696 psi). Pengembunan akan terjadi bila kelembaban nisbi mencapai 100 %. Pada daerah lembab seperti di daerah tropis, ρ v akan lebih tinggi daripada daerah temperate yang relatif kering terutama pada musim dingin (winter). Pada musim dingin kapasitas udara untuk menampung uap air menjadi kecil. 8. Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata - rata dari pergerakan molekul- molekul. Jadi suatu keadaan yang menentukan kemampuan untuk memindahkan (transfer) panas ke benda - benda lain atau menerima panas dari benda - benda lain tersebut. Selama 24 jam, suhu udara selalu 149 mengalami perubahan – perubahan. Di atas lautan perubahan suhu berlangsung lebih banyak perlahan – lahan daripada di atas daratan. Variasi suhu pada permukaan laut kurang dari 1°C, dan dalam keadaan tenang variasi suhu udara dekat laut hampir sama. Sebaliknya diatas daerah pedalaman continental dan padang gurun perubahan suhu udara permukaan antara siang dan malam mencapai 20°C. Sedangkan pada daerah pantai variasinya tergantung dari arah angin yang bertiup. Variasinya besar bila angin bertiup dari atas daratan dan sebaliknya. 9. Daun adalah salah satu organ tanaman buah pandan tumbuh dari batang, umumnya berwarna hijau (mengandung klorofil) dan terutama berfungsi sebagai penangkap energi dari cahaya matahari melalui fotosintesis. Daun merupakan organ terpenting bagi buah pandan dalam melangsungkan hidupnya karena buah pandan adalah organisme autotrof obligat, ia harus memasok kebutuhan energinya sendiri melalui konversi energi cahaya menjadi energi kimia. Bentuk daun makhota menempel pada batang pokok sebelum membentuk cabang. Bentuk ekstremnya bisa meruncing panjang. Warna hijau pada daun berasal dari kandungan klorofil pada daun. Klorofil adalah senyawa pigmen yang berperan dalam menyeleksi panjang gelombang cahaya yang energinya diambil dalam fotosintesis, daun juga memiliki pigmen lain, misalnya karoten (berwarna jingga), xantofil (berwarna kuning), dan antosianin (berwarna merah, biru, atau ungu, tergantung derajat keasaman). Daun tua kehilangan klorofil sehingga warnanya berubah menjadi kuning atau merah sampai coklat. Stoma 150 berfungsi sebagai organ respirasi. Stoma mengambil CO2 dari udara untuk dijadikan bahan fotosintesis, mengeluarkan O2 sebagai hasil fotosintesis. Stoma ibarat hidung kita dimana stoma mengambil CO2 dari udara dan mengeluarkan O2, sedangkan hidung mengambil O2 dan mengeluarkan CO2. Stoma terletak di epidermis bawah. 10. Batang adalah salah satu bagian organ dari tanaman buah pandan setelah akar. Batang bersatu dengan akar melanjutkan sari makanan yang dibawa oleh akar melalui jaringan pengangkut ke daun dan sebaliknya dari daun ke akar. Batang berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan juga sebagai jalur transfer air melalui jaringan xylem dari akar ke daun untuk mempercepat proses fotosintesis kemudian pengangkutan hasil proses fotosintesis berupa gula untuk disimpan pada organ tubuh bagian bawah melalui jaringan pholoem dari daun. Dan juga ada yang melepaskan dari hasil proses fotosintesis melalui stomata daun sebagai gas yang tidak penting bagi kebutuhan tanaman dalam bentuk respirasi sebagai hasil buangan dari sisa tubuh tanaman. 11. Kelembaban udara adalah menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat (relatif) dinyatakan sebagai kelembaban mutlak, maupun defisit membandingkan antara tekanan uap air. kelembaban nisbi Kelembaban nisbi kandungan/tekanan uap air aktual dengan keadaan jenuhnya atau pada kapasitas udara untuk menampung uap air. Kapasitas udara untuk menampung uap air tergantung pada suhu udara 151 selisih antara tekanan uap air jenuh dengan tekanan uap aktual. 12. Biji adalah bagian yang berasal dari bakal biji dan di dalamnya mengandung calon individu baru, yaitu lembaga. Lembaga akan terjadi setelah terjadi penyerbukan atau persarian yang diikuti oleh pembuahan. Habitus atau perawakan buah pandan biji sangat bervariasi, tergantung pada jenisnya, misalnya Woromo, gawan, lim dan terep. Pengelompokan klasik menjadi Monocotyledoneae (tumbuhan berkeping biji tunggal) 13. Benih adalah memperbanyak tanaman dan atau atau bagiannya yang mengembangbiakkan digunakan untuk tanaman. Dalam perkembangbiakkan secara generatif, bibit diperoleh dari benih yang disemaikan. Sementara perkembangbiakkan secara vegetatif bibit dapat diartikan sebagai bagian tanaman yang berfungsi sebagai alat reproduksi. Kecilnya embrio tanaman tertutup dalam penutup yang disebut kulit biji, biasanya dengan beberapa makanan yang disimpan . Pembentukan benih melengkapi proses reproduksi pada tumbuhan biji (dimulai dengan perkembangan bunga dan polinasi ), dengan embrio yang dikembangkan dari zigot dan kulit biji dari integumen dari ovula. Benih telah menjadi perkembangan penting dalam reproduksi dan penyebaran tanaman berbunga. Hal ini dapat dilihat oleh keberhasilan tanaman bibit (angiosperma) dalam mendominasi biologi relung di darat, dari hutan ke padang rumput baik dalam panas dan dingin iklim . 14. penanganan pascapanen adalah tahap tanaman produksi segera setelah panen , termasuk pembersihan, sortasi dan pengepakan. Tanaman dipisahkan dari pohon tanamannya. Penanganan pascapanen sangat 152 menentukan kualitas akhir, apakah tanaman ini dijual seharga segar konsumsi, atau digunakan sebagai bahan dalam makanan olahan produk . Tujuan yang paling penting dari penanganan pasca panen adalah menjaga produk, untuk menghindari hilangnya kelembaban dan memperlambat perubahan kimia, dan menghindari kerusakan fisik untuk menunda pembusukan. Setelah lapangan, pascapanen dilanjutkan di rumah kemasan. Dalam pemanenan mekanis, pengolahan juga mungkin mulai sebagai bagian dari proses panen yang sebenarnya, dengan awal pembersihan dan penyortiran yang dilakukan oleh petani. Pascapanen awal kondisi penyimpanan sangat penting untuk menjaga kualitas. Tanaman buah pandan memiliki kisaran optimum untuk suhu penyimpanan dan kelembaban. Berbagai metode berkecepatan tinggi pemanas, dapat dikontrol untuk memperpanjang masa simpan. 15. Sistem budidaya adalah budidaya tanaman buah pandan pertanian berkelanjutan seperti pertanian organik atau pertanian ekstensif , yang melibatkan masukan lebih tinggi dari tenaga kerja, dan energi relatif luas tanah bertani, tetapi fokus pada menjaga kesehatan jangka panjang ekologi lahan pertanian, hasil produk yang tinggi tanpa menggunakan bahan kimia. 16. Akar adalah organ tanaman yang terletak di bawah permukaan tanah. Hal ini tidak selalu terjadi, namun karena root juga dapat udara (tumbuh di atas tanah udara ) atau mengaerasi (tumbuh di atas tanah atau terutama di atas air). Selanjutnya, batang biasanya terjadi di bawah tanah tidak luar biasa baik (lihat rimpang ). Jadi, lebih baik untuk mendefinisikan root sebagai 153 bagian dari tubuh tanaman yang beruang tidak ada daun, dan karena itu juga tidak memiliki node . Ada juga perbedaan penting antara struktur internal batang dan akar. Akar pertama yang berasal dari tumbuhan disebut radikula . Empat fungsi utama dari akar adalah 1) penyerapan air dan nutrisi anorganik, 2) penahan dari tubuh tanaman untuk tanah dan 3) penyimpanan makanan dan nutrisi dan 4) untuk mencegah erosi tanah. Menanggapi konsentrasi nutrisi, akar juga mensintesis sitokinin , yang bertindak sebagai sinyal untuk seberapa cepat tunas dapat tumbuh. Akar sering berfungsi dalam penyimpanan makanan dan nutrisi.. 17. Naungan adalah tanaman kemampuan untuk mentolerir rendah cahaya tingkat. Istilah ini juga digunakan dalam hortikultura dan lansekap , meskipun dalam konteks ini penggunaannya kadang-kadang ceroboh, terutama berkenaan dengan pelabelan tanaman untuk dijual di pembibitan . Naungan toleransi adalah istilah relatif, dan penggunaannya dan makna tergantung pada konteks. Satu dapat membandingkan besar pohon satu sama lain, tetapi ketika membandingkan understory pohon-pohon dan semak , atau non-kayu tanaman, istilah mengambil makna yang berbeda. Bahkan dalam konteks tertentu, toleransi naungan bukanlah variabel tunggal atau kontinum sederhana, melainkan, kompleks multi-faceted milik tanaman, karena tanaman yang berbeda menunjukkan berbeda adaptasi untuk teduh . Bahkan, tanaman yang sama dapat menunjukkan berbagai tingkat toleransi naungan atau bahkan kebutuhan untuk cahaya, tergantung pada sejarah masa lalu atau tahap perkembangan. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Objek dan Ruang Lingkup Metode Penelitian sesuai dengan konsep petani buah pandan dalam hutan lindung, maka penelitian ini metode yang akan digunakan adalah metode kualitatif untuk mempelajari fenomena kesesuaian lingkungan tumbuh tamanan buah pandan, jenis buah pandan yang dapat dibudidayakan oleh petani di Pegunungan Jayawijaya. Jadi objek utama atau unit analisis penelitian adalah lingkungan tumbuh yaitu : ketinggian tempat, suhu, kelembapan, cahaya, temperature, intensitas cahaya matahari,dan jenis buah pandan terdiri dari dua yaitu Woromo dan Gawang yang menjadi objek pengamatan adalah masing-masing, karakteristik daun, akar, batang, biji, daging buah dan karakteristik pohon. Dan pola budidaya yaitu karakteristik perbenihan, pesemaian, pemindahan bibit, cara penanaman, pemeliharaan tanaman dan penanganan pascapanen. Dan objek pelengkan adalah individu atau petani buah pandan dalam aktivitas usahatani di dalam hutan lindung pada umumnya bertemu langsung dengan petani atau anggota rumah tangganya. Berdasarkan semua aspek kajian di atas akan membuat strategi pelestarian hutan lindung di kawasan pegunungan Jayawijaya. Oleh karena itu, lingkup kajian tidah hanya pada teknis budidaya, tetapi juga kajian strategi pengembangan tanaman buah pandan, agar hutan tetap terpelihara sepanjang masa yang berkelanjutan. 154 155 4.2. Metode Penentuan Daerah Penelitian dan Penarikan Contoh Desa sentra produksi buah pandan yang dipilih sebagai daerah atau lokasi penelitian terletak di Kabupaten Lanny Jaya sebagai pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya merupakan Kabupaten induk di kawasan pegunungan jayawijaya provinsi Papua. Untuk penentuan daerah dan penarikan contoh digunakan teknik penarikan beberapa tahap (Multistage Sampling), Tarigan dan Suparmoko (1995). Tahap-tahap penentuan daerah dan penarikan contoh populasi adalah sebagai berikut : tahap pertama memilih salah satu Kabupaten pemekaran baru sentra produksi buah pandan secara radom. Tahap kedua memilih salah satu kecamatan sentra produksi buah pandan dari beberapa kecamatan dalam wilayah kabupaten sentra produksi yang terpilih pada tahap pertama secara radom. Tahap ketiga, memilih satu desa sentra produksi buah pandan dari lima besar desa sentra produksi dalam wilayah kecamatan yang terpilih pada tahap kebua secara radom. Tahap keempat menarik petani contoh di desa terpilih pada tahap ketiga. Tahap kelima menerapkan teknis wawantara yakni petani pemilik kebun buah pandan. Untuk membantu memahami, mekanisme penarikan contoh secara bertahap tersebut dalam bentuk alur di gambar 2 berikut. 156 8 Kabupaten Baru Pegunungan Jayawijaya 7 Kabupaten yang tidak masuk dalam wilayah penelitian Kabupaten Lanny Jaya yang terpilih sebagai daerah penelitian Kabupaten Lanny Jaya memiliki10 Distrik 9 Distrik tidak masuk dalam daerah Penelitian Kecamatan Gamilea terpilih sebagai daerah penelitian Distrik Gamilea mempunyai 42 Desa 41 Desa yang tidak masuk dalam daerah Penelitian Desa Ekapame yang terpilih sebagai daerah penelitian Desa Ekapame mempunyai jumlah penduduk 1.300 jiwa 10 orang dipilih sebagai contoh petani sampel Individu (kepala suku, tokoh adat, tokoh Agama) di Desa Ekapame merupakan sampel tidak termasuk jumlah petani sampel di atas Gambar 2. Prosedur Penarikan Contoh penentuan wilayah penelitian dan petani bertahap (Multistage Sampling) 157 4.3. Langkah-Langkah Prosedur Penelitian Penelitian ini akan dilakukan melalui 4 (empat), tahap. Tahap pertama melakukan studi pendahuluan dengan tujuan untuk melihat dan memahami dari dekat tentang situasi dan kondisi wilayah penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang ada dalam kawasan pegunungan jayawijaya terutama permasalahan dari kondisi biofisik kawasan hutan. Dari sini akan dapat diketahui bagaimana hubungan kondisi boifisik kawasan hutan dengan perilaku masyarakat yang bermukim disekitarnya, sehingga atas dasar studi pendahuluan dan kerangka pikir akan menjadi landasan dalam menentukan penelitian bagaimana diskemakan dalam langkah-langkah operasional sebagai berikut (Gamber 3) Studi Pendahuluan Survei Identifikasi Lingkungan Tumbuh Buah pandan Identifikasi dua jenis Buah pandan Identifikasi sistem Bududaya Buah pandan masyarakat setempat Analisis Deskriptif Analisis SWOT Ekosistem terpelihara t Strategi Pelestarian buah pandan dan Hutan yang berkelanjutan Gambar 3. Skema langkah-langkah Operasional Penelitian Identifikasi Kondisi Internal dan Eksternal Budidaya dalam hutan berdasarkan isu-isu pengelolaan hutan berkelanjutan 158 Berdasarkan skema pada gambar 3, di atas selanjutnya tahap kedua adalah identifikasi ekolagi jenis buah pandan yang sesuai dengan kondisi lingkungan tumbuh di kawasan pegunungan Jayawijaya sebagai komoditi unggulan daerah tersebut. Pada tahap ini menyerap beberapa data dan informasi dari masyarakat setempat mengenai tujuan pemanfaat kawasan dan cara-cara pemanfaatan lahan hutan lindung. Data dan informasi yang diperoleh selanjutnya dijadikan sebagai bahan analisis dalam memahami perilaku masyarakat setempat dalam pemanfaatan lahan hutan dan kemungkinan dampak ekosistem yang ditimbulkan. Selanjutnya untuk mengetahui manfaat buah pandan bagi masyarakat setempat, tahap ketiga melakukan analisis mengenai dampak sosial budaya dan ekonomi dalam masyarakat setempat yang dianggap nilai-nilai penting dari leluhur mereka tentang pemanfaatan lahan hutan dan cara-cara pengaturan untuk memberikan nilai ekonomi dalam keluarga masyarakat setempat. Selanjutnya tahap keempat melakukan indentifikasi kondisi internal dan eksternal petani buah pandan berdasarkan isi-isu manfaat ekonomi,biologi dan ekologi hutan lidung tersebut. Dalam identifikasi kondisi internal, data dan informasi yang dibutuhkan yang berkaitan dengan faktor-faktor kekuatan dan kelemahan upaya mempertahankan hutan lindung, sementara identifikasi kondisi eksternal berkaitan dengan faktor-faktor peluang dan ancaman upaya menpertahankan hutan lindung. Data dan informasi ini selanjutnya dianalisis untuk menentukan strategi tetap mempertahankan hutan lindung. Analisis strategi tersebut dilakukan secara terpisah menjadi 2 (dua) bagian yaitu strategi 159 mempertahankan manfaat ekonomi dan strategi mempertahankan manfaat non ekonomi (biologi dan ekologi) hutan lindung. 4.4. Metode Pengumpulan data Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer atau data utama dapat dikumpulkan dari para responden terpilih dari masyarakat setempat melalui teknik wawancara langsung yang akan dipandu kuesioner yang dirancang dengan format terstruktur dan semi-struktur (structured interview and semi-structured interview). Mulyana (2001), menyatakan bahwa dalam merancang kuesioner tersebut ada 2 (dua) hal yang perlu dijawab yaitu : 1) bagaimana responden dijangkau dan; 2) spesifikasi data yang ingin diperoleh. Cara lain dalam pengumpulan data disini adalah melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion-FGD), melibatkan para pihak terkait seperti kepala suku, tokoh Adat, tokoh Agama masyarakat setempat. Disamping itu data utama juga akan dikumpulkan melalui observasi langsung ke lapangan (field observation), dengan cara dokumentasi atau mencatat kondisi lingkungan melalui atat pengukuran thermohigrometer untuk temperature udara, kelembapan udara, Lux meter untuk intensitas cahaya matahari, klinometer untuk topografi dan ketinggian tempat di atas permukaan laut (DPL), dan alat pengaris dan meter untuk menggukur luas daun, panjang daun, diameter batang, rata-rata panjang akar udara, ukuran biji yaitu : besar, sedang, kecil dan karakteristik buah pandan sesuai dengan tujuan penelitian. Sedangkan data sekunder atau data penunjang akan dikumpulkan dari Dinas 160 kehutanan dan perkebunan Kabupaten maupun Provinsi Papua. Untuk melengkapi data penunjang yang dimaksud juga akan dikumpulkan melalui studi kepustakaan, informasi yang bersumber dari majalah, buletin dan jurnal/laporan penelitian (media cetak dan elektronik/internet). 4.5. Metode Analisis Data Untuk memudahkan penyajian analisis, maka sistimatika uraian sesuai dengan tata urutan penyajian tujuan penelitian. 4.5.1. Deskripsi Lingkungan Tumbuh Tanaman Buah Pandan Deskripsi tersebut pada dasarnya diarahkan untuk memahami : 1. Temperatur Udara rata-rata harian di daerah asal tumbuh tanaman buah pandan. 2. Kelembapan Udara rata-rata harian di daerah asal tumbuh tanaman buah pandan. 3. Intensitas Cahaya matahari rata-rata harian di daerah asal tumbuh tanaman buah pandan; 4. Persentase naungan tajuk tegakan lain terhadapa tanaman buah pandan 5. Topografi, rata-rata kemiringan daerah asal tumbuh tanaman buah pandan; 6. Ketinggian tempat, rata-rata ketinggian tempat asal tumbuh tanaman buah pandan; 7. Kondisi tanah yaitu, warna, struktur, tekstur dan kandungan bahan organik serta pH tanah. 161 4.5.2. Deskripsi dua Jenis Tanaman Buah Pandan Deskripsi 2 (dua) jenis buah pandan tersebut pada dasarnya diarahkan untuk memahami : 1. Daun yaitu : rata-rata jumlah, bentuk, ukuran dan warna daun 2. Buah yaitu : rata-rata berat buah, warna buah, ukuran biji , warna daging dan manfaat buah pandan; 3. Pohon yaitu : rata-rata bentuk pohon, banyaknya jumlah anakan, cabang, warna pohon, banyaknya akar udara dan penampilan pohan buah pandan; 4.5.3. Deskrisi Sistem Budidaya Tanaman Buah Pandan Deskripsi tersebut pada dasarnya diarahkan untuk memahami : 1. Aspek Pembibitan yaitu : pemilihan benih, cara pesemaian, pemeliharaan bibit dan cara pemindahan pada lahan penanaman (tempat tetap) 2. Aspek Penanaman yaitu : persiapan lahan, pemindahan bibit, pengaturan jarak tanam, pemeliharaan tanaman; 3. Aspek penanganan pascapanen yaitu : cara panen, pengeringan hasil panen, pengemasan hasil panen dan cara memasarkanya. 4.5.3. Analisis SWOT Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah identifikasi faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal dengan menggunakan SWOT, pembuatan matrik SWOT. 162 4.5.4.1. Analisis IFAS dan EFAS Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis faktor-faktor strategi internal dan disusun dalam suatu tabel IFAS (Internal strategy factor analysis summary), yang merumuskan faktor-faktor strategi disebut dalam kerangka strength (kekuatan) dan weakness (kelemahan) Petani. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : a. Analisis Strategi Faktor Internal (IFAS) Untuk membuat matrik faktor strategi internal (IFAS), dengan cara sebagai berikut : 1. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan petani dalam kolom 1(satu). 2. Membuat bobot masing-masing faktor dalam kolom 2 (dua) mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategi petani. Jumlah bobot tidak boleh lebih dari 1,00 3. Menghitung ranting (dalam kolom 3) untuk setiap faktor dengan memberi skala mulai dari 4 (outstanding), sampai dengan 1,00 (poor). 4. Mengalikan bobot pada kolom 2 (dua) dengan rating pada kolom 3 (tiga) untuk mendapatkan pembobotan dalam kolom 4 (empat). Hasil berupa skor pembobotan untuk setiap faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor). 5. Menggunakan kolom 5 (lima), untuk memberi komentar atau catatan mengenai alasan dipilihnya faktor-faktor tertentu dan bagaimana perhitungannya skor pembobotannya. 163 6. Menjumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4) untuk mendapatkan total skor pembobotan bagi petani yang bersangkutan. Nilai total menunjukkan bagaimana petani tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor strategi internalnya. Tabel 6. Analisis Strategi Faktor Internal (IFAS) Faktor internal 1 Kekuatan Kelemahan Total Bobot 2 Ranting 3 Bobot x Ranting 4 Komentar 5 b. Analisis Strategi Faktor Eksternal (EFAS) Menggunakan analisis faktor-faktor Strategi Eksternal yang disusun dalam suatu tabel EFAS (Eksternal Strategi factor Analysis Summary), dalam rangka opportunities (peluang) dan Threats (Ancaman) petani. Langkah-langkahnya sebagai berikut : 1. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan petani dalam kolom 1(satu). 2. Membuat bobot masing-masing faktor dalam kolom 2 (dua) mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategi petani. Jumlah bobot tidak boleh lebih dari 1,00 3. Menghitung ranting (dalam kolom 3) untuk setiap faktor dengan memberi skala mulai dari 4 (outstanding), sampai dengan 1,00 (poor). 4. Mengalikan bobot pada kolom 2 (dua) dengan rating pada kolom 3 (tiga) untuk mendapatkan pembobotan dalam kolom 4 (empat). Hasil berupa 164 skor pembobotan untuk setiap faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor). 5. Menggunakan kolom 5 (lima), untuk memberi komentar atau catatan mengenai alasan dipilihnya faktor-faktor tertentu dan bagaimana perhitungannya skor pembobotannya. 6. Menjumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4) untuk mendapatkan total skor pembobotan bagi petani yang bersangkutan. Nilai total menunjukkan bagaimana petani tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor strategi internalnya. Tabel 7. Analisis Strategi Faktor Eksternal (EFAS) Faktor Eksternal 1 Peluang Ancaman Total Bobot 2 Ranting 3 Bobot x Ranting 4 Komentar 5 4.5.4.2. Matrik SWOT Menggunakan analisis SWOT untuk menentukan strategi yang dipilih, semua informasi yang didapat dari analisis strategi factor internal dan eksternal dimasukkan dalam model kuantitatif perumusan strategi. Alat yang dipakai adalah matrik SWOT. Matrik SWOT dapat mengambarkan secara jelas bilamana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi petani dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini dapat menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternative strategi dapat lihat pada gambar berikut ini : 165 IFAS WEAKNESS STRENGTH EFAS STRATEGI SO STRATEGI WO Strategi yang menggunakan Strategi untuk OPPORTUNITIES kekuatan untuk menangkap mengatasi kelemahan kesempatan/peluang dengan mengambil kesempatan yang ada STRATEGI ST STRATEGI WT Strategi yang menggunakan Strategi untuk THRETS kekuatan untuk menghindari mengatasi kelemahan ancaman dan menghindari ancaman Gambar 4. Matrik SWOT David (2004), menyatakan bahwa matrik SWOT merupakan alat pencocokan yang penting untuk membantu manajer mengembangkan 4 (empat) tipe strategi yaitu : SO, Strategi WO, Strategi ST dan Strategi WT. strategi SO adalah strategi kekuatan peluang yang mana menggunakan kekuatan internal organisasi untuk memanfaatkan peluang eksternal, strategi WO atau strategi kelemahan peluang bertujuan untuk memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang eksternal, strategi ST atau strategi kekuatan ancaman menggunakan kekuatan ornganisasi untuk menghindari dan mengurangi dampak ancaman eksternal, dan WT atau strategi kelemahan ancaman diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman lingkungan. 166 Tujuan dari penggunaan matrik SWOT tersebut adalah untuk menghasilkan strategi alternatif yang layak, bukan untuk memilih atau menetapkan strategi mana yang terbaik. Langkah-langkah dalam membuat matrik adalah : 1. Membuat daftar peluang eksternal Petani Buah Pandan 2. Membuat daftar ancaman eksternal Petani Buah Pandan 3. Membuat daftar kekuatan internal Petani Buah Pandan 4. Membuat daftar kelemahan internal Petani Buah pandan 5. Mencocokan kekuatan-kekuatan internal dan peluang-peluang eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel strategi SO. 6. Mencocokan kelemahan-kelemahan internal dan peluang-peluang eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel strategi WO. 7. Mencocokan kekuatan-kekuatan internal dan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel strategi ST 8. Mencocokan kelemahan-kelemahan internal dan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel strategi WT. Untuk mengetahui kinerja petani dan arah pengembangan selanjutnya dapat ditentukan oleh kombinansi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threts) dengan faktor internal kekuatan (strength) dan dengan kelemahan (weaknesses) (Rangkuti, 1996) dapat lihat pada gamabr 5, berikut ini : 167 3 1 BERBAGAI PELUANG (WO) (SO) Mendukung Strategi Konservatif Mendukung Strategi Agresif KELEMAHAN INTERNAL YANG KRITIS KEKUATAN INTERNAL YANG BERSAR 4 2 (WT) (ST) Mendukung Strategi Defensif BERBAGAI ANCAMAN Mendukung Strategi Deversifikasi/Bersaing Gambar 5. Diagram Analisis SWOT Keterangan : Kuadran 1. Merupakan situasi yang menguntungkan Petani karena Petani dapat menggunakan kekuatan internalnya untuk memanfaatkan peluang eksternal, mengatasi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi inia adalah mendukung budidaya kearifan lokal yang agresif. Kuadran 2. Meskipun menghadapi berbagai ancaman, Petani masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah 168 menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan strategi diversifikasi (produk/pasar). Kuadran 3. Petani menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi dilain pihak Petani menghadapi beberapa kendala atau kelemahan internal. Fokus strategi ini adalah meminimalkan masalahmasalah internal Petani sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik dengan strategi konservatif. Kuadran 4. Situasi ini sangat tidak menguntungkan karena petani dihadapi pada berbagai ancaman dan kelemahan internal. 169 DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1985. Cara uji Ketahanan luntur warna terhadap cahaya terang hari. Departemen Perindustrian, Jakarta. SNI 08-0289. Browning. B. L. The Chemistry of Wood. John Willey and Sons Inc. New York. ,1990. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan Hutan Lindung, Jakarta. ,1993. Etnografi Irian Jaya. Panduan sosial budaya. Buku satu kelompok penelitian Etnografi Irian Jaya. UNCEN Jayapura. ,1999. Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, Jakarta. ,1990. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan Hutan Lindung, Jakarta. ,2001. Ekosistem dan kesejahteraan manusia. Suatu kerangka piker untuk penelitian. Laporan kelompok kerja “ conceptual framework millennium ecosystem assessment”. pp.42 http://www.kehati.or.id/pdf/summaryMA Indonesia.pdf. ,2002. Buku I pengelolaan hutan lestari di tingkat unit manajemen hak perusahaan hutan. Prosiding lokakarya dan pameran. Berau forest management project, Jakarta.pp.129 , 2008. Hasil hutan bukan kayu (sebuah potensi bagi peningkatan kesejahteraanmasyarakat). http://www.bpdasjeneberang.net/index2.php?option=com content&do pdf=1&id=22 , 2009. Peluang investasi di penanaman modal (BKPM) http://www.Papua.go.id. Papua. Badan of Papua koordinasi Province. Aditya Hani dan Benyamin Dendang, 2008. Teknik pembibitan pandan (pandanus tectorius parlinson EX.Z). Balai penelitian Kehutanan Ciamis. Info Hutan Vol. V No. 3 : 255-260, Hal Atmanto, W.D. 2000. Fisiologi Pohon. Diktat Kuliah. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 170 Badan Standarisasi Nasional. 1999. Pembuatan Persemaian Permanen Tanaman Hutan. Jakarta. Berlin, B. 1973. Folk systematics in relation to biological classification and nomenclature. Annual Review of Ecology & Systematic 4: 250271. ,1992. Ethnobiological Classification: Principles of Categorization of Plants and Animals in Traditional Societies. Princeton: Princeton University Press. Backer, C.A. 1925. Handboek voor de Flora van Java. vol. 1. Batavia: Drukkerijen Ruygrok. Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1968. Flora of Java (Spermatophytes only). vol. 3. Groningen: NV. P. Noordhoff. Chapman, J. L. dan M. J. Reiss. 1997. Ecology: Principles and Applications. Cambridge University Press. Fifth Edition. Craven,I. and Y. de Fretes, 1987. Arfak mountains nature conservation area Irian jaya. A world wildlife fund roport for the direetorate general of forest protection and nature conservation Bogor, Indonesia. Daniel T. W, J.A. Helms and F.S. Baker, 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. David R. fred, 2004. Konsep-konsep manajemen strategi. Edisi Sembilan. PT. Intan sejati klaten. Darjanto, S. Satifah, 1990. Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan, PT Gramedia, Jakarta, p.143. hal Direktorat Jenderal Kehutanan. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Kehutanan. Edy Suryadi, 2010. Kearifan lokal dan perilaku edukatif, ilmiah, religious. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 810 November. pengaruh kearifan lokal Sunda terhadap akumulasi perilaku edukatif, ilmiah, dan religious sivitas Akademik Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.pp.601-617 hal Faridah E, 1996. Pengaruh Intensitas Cahaya, Mikoriza Dan Serbuk Arang Pada Pertumbuhan Alam Drybalanops Sp Buletin Penelitian Nomor 29. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 171 Fitriansyah, M. 2006. Pelaksanaan dan strategi pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) manggar wilayah kota Balipapan. Skripsi program sarjana pada jurusan manajemen hutan fakultas kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. http://www.rimbawa.com/sosial/MODEL%20FOREST%20PPROA CH.pdf. Gopal, B. dan N. Bhardwaj. 1979. Elements of Ecology. Department of Botany. Rajasthan University Jaipur, India. Haeruman Js, H. 1980. Hutan sebagai Lingkungan Hidup. Jakarta: Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Heddy S., S.B. Soemitro, dan S. Soekartomo. 1986. Pengantar Ekologi. Jakarta: Rajawali. Heyne, K. 1927. De Nuttige Planten van Nederlandsch Indië. 2nd ed. vol. 1. Batavia: Department van Landbouw, Nijverheid en Handel in Nederlandsch Indië. Hidayat, T. 2000. Studi kearifan budaya petani Banjar dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut. Jurnal Kalimantan Agrikultura 7(3), Desember 2000. Hlm. 105-111. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Hofstede, H.W. 1925. Het Pandanblad: Als Grondstof voor Pandanhoedenindustrie op Java. Eibergen: H. Heinen. de Ina Winarni dan Totok K. Waluyo, 2006. Peningkatan teknik pengolahan daun pandan dalam pewarnaan dan pengeringan. Makara sains, Volume 12, No.7, mei 118-136. Hal Indriyanto, 2005. Ekologi hutan. PT. Bumi Aksra. Jakarta. Irwan, Z.D. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi: Ekosistem, Komunitas, dan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Jebb, M. 1992. A Field Guide to Pandanus in New Guinea, the Bismarck Archipelago & the Solomon Islands. Madang: Christensen Research Institute. Kadri, W. dkk. 1992. Manual Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 172 Kartodiharjo, H., dan Supriono, A. 2000. Dampak pembangunan sektoral terhadap konversi dan degradasi hutan alam : kasus pembanguna HTI dan perkebunan di Indonesia. Occasional paper No. 26 (1). Center for International forestry research, Bogor. Pp. 17 http://www.cofi.cqiar.or/publications/pdf file/occpapers/op26i.pdf Kramer P. J. and T. T. Kozlowski, 1979. Physiology of Woody Plants. Academic Press, Inc. Florida. Keim, A.P., Rugayah, S. Prawiroatmodjo, M. Rahayu, F.I. Windadri, S. Sunarti, K. Kramadibrata, Y. Santika, Dewi, Sunardi, dan Hamzah. 2006. Keanekaragaman suku pandan (Pandanaceae) di beberapa wilayah terpilih dalam lingkup Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Laporan Perjalanan Eksplorasi dan Pengungkapan Pemanfaatan Flora untuk Revisi Suku-suku Terpilih, Taman Nasional Ujung Kulon-Banten. Herbarium Bogoriense, Bogor. Bogor: Puslit Biologi LIPI. Keim, A.P. 2007. 300 tahun Linnaeus: Pandanaceae, Linnaeus dan Koneksi Swedia.”Memperingati 300 tahun Carolus Linnaeus”. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor, 24 Mei 2007. Kendeigh, S.C. 1980. Ecology with Special Reference to Animal and Man. Department of Zoology University of Illinois at Urbana-Champaign. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited. Kormondy, E.J. 1991. Concepts of Ecology. Third Edition. New Delhi: PrenticeHall of India Private Limited. Kosasih, A. S. dan Y. Heryati. 2006. Pengaruh Medium Sapih Terhadap Pertumbuhan Bibit Shorea selanica Bl. di Persemaian. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam III (2) : 147-155. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Lakitan, B. 1993. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Leigh, C. 2002. Baining Dances and Bark Cloth Masks, East Britain ProvincePapua New Guinea. Tucson: Art-Pacific. Lestari, W. 2006. Kajian pratek-praktek pemanfaatan lahan oleh masyarakat di sekitar hutan lindung Bontang (HLB). Skripsi program Sarjana pada jurusan manajemen hutan Fakultas kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.pp.83 Manan, S. 1978. Masalah Pembinaan Kelestarian Ekosistem Hutan. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut 173 Pertanian Bogor. Marjenah, 2001. Pengaruh Perbedaan Naungan di Persemaian Terhadap Pertumbuhan dan Respon Morfologi Dua Jenis Semai Meranti. Jurnal Ilmiah Kehutanan ”Rimba Kalimantan” Vol. 6. Nomor. 2. Samarinda. Kalimantan Timur. Mindawati, Nina dan E. Y. Susilo. 2005. Pengaruh Macam Media terhadap Pertumbuhan Semai Acacia mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam II (1) : 53-59. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Mulyana Deddy. 2001. Metodologi penelitian kualitatif pradigma baru ilmu komunikasi dan ilmu sosia lainnya. PT. Remaja Rosdakya Bandung. Mulyadi,F. 2005. Partisipasi masyarakat lokal dalam upaya konservasi di hutan penelitian dan pendidikan di bukit Soeharto. Tesis program master pada program studi kehutanan program pasca sarjana Universitas Mulawarman, Samarinda. pp. 128 Mulyati Rahayu, Siti Sunarti, Ary Prihaedhyanto Keim, 2008. Kajian Etnobotani pandan Semak (Pandanus odoratissimus L.f) : pemanfaatan dan peranannya dalam usaha menunjang penghasilan keluarga di Ujung kulon Banten. “Herbarium bogoriense” Bidang Botani, pusat penelitian biologi-LIPI. Biodiversitas volume 9, nomor 4 oktober 310-314 Hal. Naingolan, 2001. Aspek ekologi kultivar buah merah panjang (pandanus conoideus Lamk) di daerah dataran rendah Manokwari. Jurusan kehutanan, Fakultas Pertanian. Universitas Cenderawasih manokwari. Manokwari. Noor, H.Dj., S.S. Antarlina dan I. Noor. 2007; Kearifan lokal dalam budidaya jeruk di lahan rawa. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor. Odum, E. HLM. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan dari buku Fundamentals of Ecology. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Powell, J.M. 1976b. Some useful wild and domesticated plants of the Huli of Papua. Science in New Guinea 4: 173-201. Raharjo, D.Y. dan Pradhan U, 2000. Pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat : wahana atau pilihan. 11 Hal. http://www.damarnet.org/download/makalah%20seminar%20PSH BM-Damar.pdf. 174 Rahmawaty, 2004. Tijauan Aspek pengembangan hutan rakyat. Fakultas pertanian jurusan Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan.pp. 9. http://www.library.usu.ac.id/downlond/pdf/hutanrahmawaty9. Rasyid. H.A, Marfuah, Wijayakusumah. H, Hendarsyah. D. 1991, Vademikum Dipterocarpaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Riyanto, G. 2006. Orde politik dan kebijakan pengelolaan Hutan di Indonesia. Masyarakat (jurnal sosiologi), Edisi: XIII. No. 2. Des-2006. Tema Pembangunan sosial dan lingkungan. Lab sosio-pusat kajian sosiologi fisip UI, Jakarta. pp. 216. Rose, C.J. 1982 Preliminary observations on the Pandanus (Pandanus julianettii Martelli). Proceedings of the Second Papua New Guinea Food Crops Conference. Port Moresby: Department of Primary Industry, PNG. Rumphius, G.E. 1743. Herbarium Amboinense. Vol. 4. Amsterdam: Franciscus Changuion. Resosoedarmo, S., K. Kartawinata, dan A. Soegiarto. 1986. Pengantar Ekologi. Bandung: Remadja Rosda Karya. Rujehan, 2010. Pengelolaan kawasan Hutan lindung sungai wain (HLSW) Kalimantan Timur. Disertasi Program Doktor Ilmu pertanian. Program pascasarjana Universitas Brawijaya Malang. Sagaroa, Y. 2006. Kebijakan dan kelembagaan CBFM di tingkat Nasional dan kolaborasi mulpihak. Paper untuk workshop kelembagaan CBFM . UGM dan JAVLEC. Yogyakarta. pp.9 http://www.infojawa.org/pekanraya/downlond/h3cbfmmaterilohsag aroa.doc Santoso, Y. 1996. Diversitas dan Tipologi Ekosistem Hutan yang Perlu Dilestarikan. Proseding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi pada Tanggal 10-12 Agustus 1995. Kerja Sama Fakultas Kehutanan IPB dengan Yayasan Gunung Menghijau dan Yayasan Pendidikan Ambarwati. Bogor. Setiadi, Y. 1983. Pengertian Dasar tentang Konsep Ekosistem. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Simarangkir B.D.A.S, 2000. Analisis Riap Dryobalanopslanceolata Burck pada Lebar Jalur yang Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Frontir Nomor 32. Kalimantan Timur. 175 Sri Endarti Rahayu dan Sri Handayani, 2010. Keragaman genetik panda nasal Jawa barat berdasarkan penanda inter simple sequence repeat. Jurusan biologi, fakultas biologi, Universitas Nasional. Makara sains, Volume 14, No.2, November 158-162 Hal Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor soemarno, Affandi, M.R.; dan Sugeng Priyono, 2011. Green Teknologi pengelolaan lahan Agroforestry. Program pascasarjana, Fakultas pertanian Universitas Brawijaya malang. Malang. Soedirman, S. 1995. Manajemen perusahaan hutan (diklat kuliah), Fakultas kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. pp. 34 Soerjani, M.; R. Ahmad dan R. Munir, 1987. Lingkungan (Sumberdaya alam dan kependudukan dan pembangunan). Penerbit Unversitas Indonesia Jakarta. pp.283 Soemarwoto, O. 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan.pp.381 Suhardi, 1995. Effect Of Shading, Mycorrhiza Inoculated And Organic Matter On The Growth Of Hopea Gregaria Seedling Buletin Penelitian Nomor 28. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Susiarti, S. dan M. Rahayu. 2006. Kajian Etnobotani Pandanaceae di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Laporan Perjalanan Eksplorasi dan Pengungkapan Pemanfaatan Flora untuk Refisi Suku-suku Terpilih. Bogor: Puslit Biologi LIPI. , 2010. Kajian etnobotani pandan semak (Pandanus tectorius Sol) di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Berita biologi 10 April Laboratorium etnobotani. Pusat penelitian biologi-LIPI. Bogor. Sunaryo dan L. Joshi. 2003. Peranan pengetahuan ekologi lokal dalam sistem agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor, Indonesia. Suparmoko, 1997. Ekonomi sumberdaya alam (suatu pendekatan teori) Edisi ketiga. BPFE. Universitas Gajah Mada Yogyakarta.pp,568 Stone, B.C. 1982. New Guinea Pandanaceae: First approach to ecology and biogeography. In: Gressitt, J.L. (ed.). Biogeography and Ecology of New Guinea. Vol. 1. Monographiae Biologicae 42. The Hague: Dr. W. Junk Publ. 176 ,1983. A guide to collecting Pandanaceae (Pandanus, Freycinetia and Sararanga). Annals of the Missouri Botanical Garden 70: 137-145. ,1984. Pandanus from Ok Tedi Region, Papua New Guinea, collected by Debra Donoghue. Economic Botany 38: 304-313. Tuheteru, F.D. 2008. Deforestasi dan pemanasan Global. Mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. http://www.hotinfile.com/files/877235dqz/ASIDANPEMANASANG LOBAL-051207.DOC. Upton, C. and Bass, S. 1995. The forest certification handbook. Earthscan publications Ltd. London. Vickery, M.L. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley and Sons. New York. HLM. 56-76. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Warburg, O. 1900b. (21 Dec.). Pandanaceae. In: Engler, A. (ed.). Pflanzenreich 4, 9 (3): 1-100. Berlin: Engelmann. Weidelt, H. J, 1995, Silvikultur Hutan Alam Tropika (Diterjemahkan oleh : Nunuk Supriyanto), Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Widada, 2001. Konservasi sumberdaya alam hayati dan upaya pengelolaan taman Nasional Gunung Halimun. Program pascasarjana/ S3 Institut Pertanian Bogor. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PHP/TFGD. htm.