PENTINGNYA MEDIA DALAM MENINGKATKAN KUALITAS

advertisement
PENTINGNYA MEDIA DALAM MENINGKATKAN KUALITAS
PEMBELAJARAN SISWA DI SEKOLAH DASAR
Oleh
I Ketut Suda
Universitas Hindu Indonesia
ABSTRAK
Artikel ini secara umum membahas pentingnya media dalam meningkatkan
kualitas pembelajaran siswa di ruang kelas dengan harapan dapat lebih memahami
keberadaan media dan perannya dalam sebuah proses pembelajaran. Dari hasil kajian ini
didapat beberapa temuan bahwa media pembelajaran mempunyai peran penting dalam
setiap proses pembelajaran, khususnya di kelas rendah, karena siswa kelas rendah
belum mampu berpikir abstrak, sehingga materi yang diajarkan oleh guru perlu
divisualisasikan dalam bentuk yang lebih nyata/kongkrit. Secara didaktis psikologis
media pembelajaran sangat membantu perkembangan psikologis anak dalam hal belajar.
Alasan ketiga, penggunaan media dalam proses pembelajaran dapat pula memberikan
pengalaman bermakna bagi para peserta didik.
Dalam tataran praksis media dapat dirancang melalui lima langkah antara lain:
(1) media harus dirancang sesederhana mungkin sehingga jelas dan mudah dipahami
oleh siswa; (2) media hendaknya dirancang sesuai dengan pokok bahasan yang akan
diajarkan; (3) media hendaknya dirancang tidak terlalu menjelimet dan tidak membuat
anak-anak menjadi bingung; (4) media hendaknya dirancang dengan bahan-bahan yang
sederhana dan mudah didapat, tetapi tidak mengurangi makna dan fungsi media itu
sendiri; (5) media dapat dirancang dalam bentuk model, gambar, bagan berstruktur, dan
lain-lain, tetapi dengan bahan yang murah dan mudah didapat sehingga tidak
menyulitkan guru dalam merancang media dimaksud. Temuan terakhir bahwa
penggunaan media dalam proses pembelajaran dapat berimplikasi pada tiga hal, antara
lain pada diri guru, pada diri siswa dan pada proses pembelajaran di ruang kelas.
Kata-Kata Kunci: Media pembelajaran, siswa kelas rendah, kualitas
pembelajaran
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan dunia yang semakin kompleks belakangan ini, Indonesia
sebagai salah satu negara bangsa (nation state) mengalami tantangan yang cukup berat
dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan dalam bidang pendidikan.
Rendahnya mutu pendidikan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas pembelajaran
yang terjadi di sekolah tidak pelak lagi telah berimplikasi terhadap kualitas sumber daya
manusia yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Hal ini terbukti dari hasil
survey yang dilakukan UNDP tahun 2013 tentang Human Depelovment Index Indonesia
masih menempati nomor urut besar, dibandingkan negara-negara Asia lainnya yakni
nomor 108 dari 187 negera yang disurvei (hdr.undp.org). Salah satu indikator yang
digunakan UNDP untuk nenentukan tinggi rendahnya HDI ini adalah faktor pendidikan.
Berbicara soal kualitas pendidikan, tidak dapat dilepaskan dari proses
pembelajaran di ruang kelas. Pembelajaran di ruang kelas mencakup dua aspek penting
yakni guru dan siswa. Guru mempunyai tugas mengajar dan siswa belajar. Mengajar
adalah mengkomunikasikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dengan
maksud agar mereka mengetahui atau mengerti apa yang diajarkan oleh guru kepadanya
(Depdikbud dalam Suka, 1982:18). Sedangkan belajar dapat diartikan sebagai proses
perubahan tingkah laku melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya
(Hamalik,1990:4). Perlu disadari bahwa pembelajaran itu merupakan suatu system,
yang di dalamnya terdapat sejumlah komponen yang saling berhubungan satu sama
lainnya dalam rangka mencapai tujuan. Beberapa komponen dimaksud meliputi: (1)
tujuan, (2) bahan/materi ajar, (3) metoda, (4) alat/media dan, (5) evaluasi (Ali,1992:30).
Karena pembelajaran merupakan suatu system maka keberhasilan pembelajaran sangat
ditentukan oleh sejauh mana efektifitas tiap-tiap komponen tersebut berinteraksi.
Media sebagai salah satu komponen dalam sistem itu, mempunyai fungsi
sebagai sarana komunikasi non-verbal. Sebagai salah satu komponen sistem, berarti
media mutlak harus ada atau harus dimanfaatkan di dalam setiap pembelajaran.
Dikatakan demikian sebab jika salah satu komponen itu tidak ada maka hasil yang
2
diperoleh tidak akan maksimal. Terkait dengan hal itu, Carpenter dan Dale (dalam
Darma,1983:6) menyatakan: ”bahwa belajar memerlukan partisipasi dan latihan”.
Belajar pada dasarnya melakukan aktivitas, maka dalam proses pembelajaran para siswa
perlu banyak berpartisipasi. Partisipasi siswa dapat dilakukan dengan jalan
mendengarkan, melihat, menulis, merasakan, dan memikirkan. Terkait hal tersebut
Carpenter dan Dale mengemukakan betapa pentingnya media pembelajaran dalam
proses belajar para siswa.
Terkait dengan hal itu Frohn seorang ahli psikologi mengemukakan bahwa
perkembangan berpikir manusia itu melalui tiga strata/lapisan/tingkatan, sejak masa
kanak-kanak sampai dewasa. Adapun tingkatan perkembangan yang dimaksud adalah:
(1) lapisan kongkrit/lapisan alat indra, (2) lapisan skematis, dan (3) lapisan abstrak
(Darma,1983:10). Pada lapisan kongkrit (lapisan alat indra) manusia itu masih berada
pada masa kanak-kanak, dengan demikian mereka masih berpikir dengan hal-hal yang
bersifat kongkrit (nyata). Dengan demikian saat belajar mereka masih memerlukan
peragaan langsung. Selanjutnya, pada lapisan skematis anak sudah agak besar dan akan
lebih mudah belajar bila anak diberikan/dibantu dengan gambar. Lapisan ini merupakan
peralihan dari lapisan kongkrit ke arah berpikir abstrak. Sedangkan pada lapisan abstrak
manusia sudah dewasa (usia 20 th ke atas) sudah sanggup dan biasa berpikir abstrak
yang sudah jarang dan hampir tidak perlu lagi bayangan kongkrit atau skemanya.
Menurut Darma (1983) arah pembelajaran memang menuju pada pemakaian
bahasa yang bersifat abstrak, karena bahasa memegang peranan penting terhadap proses
berpikir manusia. Tetapi bila lapisan pertama (lapisan kongkrit/lapisan alat indra)
tersebut kurang diperhatikan atau kurang dilatih dengan sungguh-sungguh maka
pengetahuan yang diterima pada lapisan selanjutnya menjadi samar-samar, kurang
berisi, dan kurang bermakna. Terkait dengan fase perkembangan anak Piaget (dalam
Suarni, 1996 :121) membagi perkembangan anak (manusia) menjadi empat tingkat
yaitu: (1) sensori motoris: 0,0 – 2,0 tahun; (2) preoperasional: 2,0 – 7,0 tahun; (3)
operasional kogkrit: 7,0 – 11,0 tahun; (4) operasional formal: 11,0-- …..tahun;
Pada tingkat sensori motoris yang lebih banyak berperan pada diri anak adalah
penggunaan panca indra seperti: mata, telinga, dan mulut. Pada masa kanak-kanak ini
anak belum mempunyai tentang konsepsi yang tetap. Anak hanya dapat mengetahui hal3
hal yang ditangkap dengan indranya. Tingkat preoperasional, anak mulai timbul
perkembangan kognitifnya tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai
(dilihat) di dalam lingkungannya saja. Baru menjelang akhir tahun kedua anak telah
mengenal simbol/nama. Tingkat operasional kongkrit, anak telah mengetahui simbolsimbol matematis tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak. Pada tingkat
operasional formal, anak telah mempunyai pemikiran yang abstrak.
Melihat umur anak sekolah dasar yang rata-rata berkisar 6 sampai dengan 13
tahun dihubungkan dengan pembagian perkembangan menurut Piaget di atas, maka
secara umum anak sekolah dasar tergolong dalam fase (tingkat) operasional kongkrit.
Lebih lanjut Suarni (1996) mengatakan bahwa dalam fase ini anak/siswa betul-betul
pada masa yang sangat nyata atau kongkrit, dan belum dapat memahami hal-hal yang
abstrak. Pada fase ini anak masih memiliki sifat egosentris yang tinggi menyebabkan
pikiran-pikirannya sulit untuk dibelokkan atau dibalik.
Studi yang dilakukan British Audio Visual Association (1995) tentang persepsi
murid memperkirakan bahwa sekitar 75% kesan dapat ditangkap melalui indra sentuhan
dan rabaan, 6% dari indra penciuman dan rasa. Kalau belajar hanya dengan membaca
saja maka pengetahuan yang mengendap hanya sekitar 10%, dan jika hanya melalui
pendengaran saja mengendapnya berkisar 20%. Kalau diadakan penggabungan yakni:
melihat dan mendengar maka pengendapan pengetahuan berkisar 50%. Mengalami
sendiri dan mengulang pada kesempatan lain pengetahuan yang mengendap bisa
mencapai 90%. Mengalami sendiri melalui media tingkat pengendapannya bisa
mencapai 80% (Malapu,1998). Jadi dengan demikian bila guru dalam pembelajaran di
sekolah
mampu
berkomunikasi
atau
menyampaikan
pesan
(pengetahuan,
keterampilan,dan sikap) dengan menggunakan media pembelajaran atau seluruh
komponen sistem dalam pembelajaran secara efektif maka hasil belajar siswa akan
tercapai secara optimal.
Namun, apa yang diharapkan secara ideal dalam urian di atas dan jika dikaitkan
dengan realitas di lapangan, khususnya dalam proses pembelajaran pada jenjang
pendidikan Sekolah Dasar, masih sangat jauh dari yang diharapkan. Secara realitas
pada jenjang pendidikan SD ada kecendrungan para guru masih terpaku pada
4
pendekatan verbal dengan metoda ceramah tanpa menggunakan media dalam
mengkomunikasikan materi pelajaran pada siswa. Adanya kecendrungan seperti itu di
satu sisi, dan di sisi lain rendahnya kualitas pembelajaran di Indonesia yang bermuara
pula pada rendahnya kualitas Human Depelovment Index, membuat media
pembelajaran menjadi issu menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Memang selama ini
telah ada ahli yang mengkaji persoalan ini, seperti Wilkinson, telah mengkaji persoalan
serupa dengan simpulan: “bahwa media merupakan alat mengajar dan belajar. Di mana
alat ini harus ada untuk memenuhi kebutuhan/keperluan siswa dalam proses
pembelajaran” (Bakhtiar1986:58). Ini berarti di dalam proses pembelajaran, baik siswa
maupun guru sama-sama memerlukan alat tersebut (media) agar kebutuhan yang
beragam dari kurikulum dan siswa secara individual dapat terpenuhi melalui pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan. Di bagian lain Bakhtiar (1986) juga menjelaskan bahwa di
dalam pembelajaran hendaknya tidak terpaku pada satu media saja melainkan dapat
menggunakan media yang bervariasi. Artinya, di dalam setiap pembelajaran akan lebih
baik menggunakan berbagai media atau menggunakan media yang kondusif terhadap
materi yang dipelajari siswa. Sejalan dengan itu Sulaiman (1981:8) mengatakan bahwa
alat-alat audio-visual tidak saja menghasilkan cara belajar yang efektif dalam waktu
yang lebih singkat tetapi apa yang diterima melalui alat-alat audio-visual lebih lama dan
lebih baik tinggal dalam ingatan. Namun, kajian-kajian yang dilakukan beberapa pakar
di atas belum menekankan pentingnya penggunaan media dalam proses pembelajaran di
ruang kelas, terlebih lagi tidak mengkaji penggunaan media dalam pembelajaran bagi
siswa di kelas rendah. Oleh karena itu issu ini sangat menarik untuk dikaji lebih
mendalam lagi.
Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai
berikut.
1.1.1 Mengapakah pembelajaran, khususnya di kelas rendah perlu menggunakan
media?
1.1.2
Bagaimanakah cara merancang media pembelajaran agar proses pembelajaran
dapat mencapai hasil yang efektif dan efisien?
5
1.1.3 Bagaimanakah implikasi penggunaan media terhadap pencapaian hasil belajar
siswa, khususnya pada jenjang pendidikan dasar ?
1.2 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas maka tujuan dilakukan penelitian ini adalah
:
1.1.1 Untuk mengetahui perlunya penggunaan media dalam pembelajaran, khususnya
di kelas rendah
1.1.2 Untuk mengetahui cara merancang media dalam pembelajaran guna mencapai
hasil
belajar yang efektif dan efisien.
1.1.3 Untuk mengetahui implikasi penggunaan media dalam pembelajaran terhadap
hasil belajar siswa.
BAB II
PEMBAHASAN
4.1 Alasan Penggunaan Media dalam Pembelajaran, khususnya di Kelas Rendah
4.1.1 Siswa di Sekolah Dasar Masih Berpikir Konkrit
Sebuah hasil penelitian Encyclopedia of Educational Reseach mengatakan
bahwa pembelajaran dengan media dapat memberi nilai/manfaat antara lain :
mengurangi verbalisme, menarik perhatian dan minat siswa, mendorong siswa untuk
bertanya, materi yang dipelajari siswa dapat lebih menetap dan tidak mudah dilupakan.
Selain itu, menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri bagi siswa karena mendapat
pengalaman
yang nyata dalam belajar, juga menjadi salah satu alasan perlunya
diterapkan media pembelajaran dalam proses pembelajaran di ruang kelas. Penggunaan
media dalam proses pembelajaran juga dapat menimbulkan pikiran yang teratur dan
kontinou, serta dapat membantu tumbuhnya pengertian dan perkembangan kemampuan
berbahasa (Usman, 1995 : 31). Sejalan dengan itu Sudjana (1995) mengatakan bahwa,
‘’penggunaan media pembelajaran dapat memberikan pengalaman
meletakkan
nyata dan
dasar perkembangan siswa sehingga hasil belajar siswa bertambah
mantap’’.
6
Sebagai alat penyalur informasi belajar, media juga sangat efektif dan efisien
untuk mengkongkritkan materi ajar yang sifatnya abstrak. Sebab sasaran akhir dari
sebuah proses pembelajaran adalah pembentukan sikap dan prilaku peserta didik. Oleh
karena itulah kehadiran media untuk memvisualisasikan berbagai konsep abstrak yang
diajarkan dalam sebuah materi pembelajaran pada level sekolah dasar mutlak
diperlukan. Tetapi dalam kenyataannya guru-guru di tingkat sekolah dasar dalam
mengajar berbagai bidang studi sering mengalami kendala dalam hal
media. Hal ini dikarenakan
penggunaan
beberapa faktor diantaranya : (1) pembuatan media
memerlukan biaya yang cukup tinggi, sementara guru kurang memiliki akses untuk
mendapatkan sumber-sumber dana, baik dari RAPBS maupun dari sumber lainnya; (2)
pembuatan media pembelajaran juga memerlukan keterampilan khusus, sementara
banyak guru yang kurang memiliki keahlian dalam bidang tersebut; (3) banyak juga
guru yang bersifat permisif terhadap permasalahan tersebut. Dengan kondisi demikian,
meskipun media memiliki peranan yang sangat menentukan keberhasilan sebuah proses
pembelajaran, tetapi dalam kenyataanya banyak juga guru yang kurang tertarik untuk
menggunakan media. Dalam konteks ini guru dapat dikatakan masih bersifat solid
scholarship artinya dalam melaksanakan proses pembelajaran hanya mengandalkan
pengetahuan dan pengalaman yang didapatinya semasih di bangku kuliah, tanpa ada
upaya
untuk
meningkatkan
kualitas
pembelajaran
sesuai
dengan
dinamika
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat ini.
4.1.2 Alasan Didaktis-Psikologis
Secara didaktis-psikologis penggunaan media dalam setiap proses pembelajaran
sangatlah dibutuhkan, sebab dengan media konsep-konsep serta nilai-nilai yang bersifat
abstrak dapat disederhanakan dalam bentuk visualisasi sehingga dapat dipahami oleh
siswa. Selain itu penggunaan media dapat melibatkan seluruh pribadi siswa, baik fisik
maupun psikhis, serta efektif terhadap segala tife belajar, lebih-lebih bagi siswa yang
memiliki tife belajar campuran. Hal ini sejalan dengan Hamalik (1980:23) yang
mengatakan bahwa : ‘’dalam rangka mengefektifkan pembelajaran perlu diupayakan
penggunaan alat-alat komunikasi non-verbal sebagai penyalur informasi yang dapat
mempermudah pemahaman siswa dalam belajarnya.
7
Salah satu alat komunikasi dimaksud adalah media pembelajaran, sebab pada
dasarnya media pembelajaran dapat mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara
guru dan siswa dalam pembelajaran di ruang kelas. Dalam konteks ini Suparno (1987:
1) mengatakan bahwa media pembelajaran adalah suatu alat yang dipakai sebagai
saluran untuk menyampaikan
pesan, yakni pesan yang tekandung dalam materi
pembelajaran. Dalam perspektif yang sedikit berbeda Darma (1983) memberi istilah
media sebagai alat peraga, yaitu alat bantu yang digunakan guru dalam
mengkomunikasikan
materi pelajaran kepada siswanya. Dengan demikian dapat
dipahami betapa pentingnya penggunaan media dalam setiap proses pembelajaran
dilihat dari aspek didaktis-psikologis lebih-lebih pada pembelajaran di kelas rendah.
Terkait dengan persoalan media dalam proses pembelajaran Ali (1992 : 89) dan Hasan
(1994 : 23) memberi pengertian yang sama tentang media yaitu : segala sesuatu yang
dapat digunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian,
dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar siswa ke arah yang lebih
baik.
Berangkat dari gambaran tersebut, maka secara tegas dapat dikatakan bahwa
secara didaktis psikologis media pembelajaran sangat membantu perkembangan
psikologis anak dalam hal belajar. Dikatakan demikian sebab secara psikologis alat
bantu mengajar berupa media pembelajaran sangat memudahkan siswa dalam hal
belajar karena media dapat membuat hal-hal yang bersifat abstrak menjadi lebih
kongkrit (nyata). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Rusyan (1993) yakni pada
prinsipnya media itu dipakai dalam proses pembelajaran dengan maksud untuk
membuat cara berkomunikasi yang lebih efektif dan efisien.
Terkait dengan efektivitas penggunaan media dalam proses pembelajaran
Depdikbud
(1992:79)
menegaskan
bahwa
penggunaan
media
dalam
proses
pembelajaran dapat membangkitkan minat dan motivasi belajar siswa, mengurangi atau
menghindari terjadinya verbalisme, membangkitkan nalar yang teratur, sistematis, dan
untuk menumbuhkan pengertian dan mengembangkan nilai-nilai pada diri siswa. Di
samping itu, pengunaan media pembelajaran sangat penting karena dapat menyingkat
8
waktu. Artinya, pembelajaran dengan menggunakan media dapat menyederhanakan
masalah terutama dalam menyampaikan hal-hal yang baru dan asing bagi siswa.
4.1.3 Alasan Pengalaman Bermakna yang Diterima Siswa
Dalam perspektif Empirismenya John Locke sebagaimana dikutif Ahmadi,
(1991) bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan, bahkan dalam
pandangannya ini John Locke mengatakan bahwa manusia terlahir bagaikan kertas putih
bersih yang belum ditulisi dengan pengalaman apa-apa (tabularasa). Berangkat dari
pandangan tersebut, maka dalam proses pembentukan kepribadian anak-anak banyak
faktor yang dapat mempengaruhinya. Demikian halanya dengan keberhasilan sebuah
proses pembelajaran di ruang kelas, sangat dipengaruhi oleh berbagai hal. Salah satunya
adalah efektifitas lingkungan atau pengalaman yang diterima siswa. Agar pembelajaran
dapat mencapai hasil yang efektif, maka guru dituntut memiliki kesanggupan dan
kemampuan dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pengajar dan pendidik yang
profesional. Terkait dengan hal itu, guru selain harus mampu memilih materi yang
cocok dengan perkembangan siswa, juga dituntut kemampuan dalam menyampaikan
informasi/materi pelajaran kepada siswa secara metodis sehingga mereka mendapat
pengalaman yang kondusdip bagi proses belajarnya.
Dalam konteks ini guru dituntut berkesangupan mengembangkan cara-cara
berkomunikasi yang efektif sebagai penyalur informasi belajar. Hal demikian menurut
Suka (1982:8) dikarenakan ‘’mengajar pada dasarnya mengkomunikasikan sesuatu
(pengetahuan, keterampilan, sikap) kepada siswa agar mereka dapat mengetahui dan
memahami apa yang diajarkan oleh guru di ruang kelas. Dalam berkomunikasi secara
umum orang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Namun, dalam proses
komunikasi bisa saja terjadi apa yang disebut verbalisme, jika dalam proses
pembelajaran siswa hanya diberi pengalaman (pengetahuan, sikap, dan keterampilan)
melalui kata-kata saja tanpa menggunakan alat bantu berupa media (Darma, 1983 :10).
Untuk mengurangi sifat verbalisme dalam proses pembelajaran inilah guru perlu
menggunakan media pembelajaran.
9
Selaian itu, proses pembelajaran melalui komunikasi verbal saja, cenderung
bersifat ekspositoris , artinya guru bertindak sebagai komando sementara siswa bersifat
pasif dan hanya mengikuti apa komando sang guru. Padahal menurut Rustyah (1982 :
49—52) dalam pembelajaran diharapkan ada hubungan interaktif di antara individu
(guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan lingkungan yang lain seperti
media) atau apa yang disebut dengan istilah multi comunication. Dengan demikian
siswa ikut terlibat secara menyeluruh dalam proses pembelajaran yang sedang
berlansung. Jika meminjam gagasan Suarni (1996) dapat dikatakan bahwa pembelajaran
akan berhasil dengan baik sesuai tujuan yang ditetapkan, apabila guru dapat melibatkan
seluruh pribadi siswa baik fisik, maupun psikhis (emosional, intelektual, dan
psikomotor), dalam proses pembelajaran itu sendiri.
4.2 Merancang Media Pembelajaran yang Efektif dan Efisien
4.2.1 Media sebagai Alat Komunikasi Non-Verbal
Media pembelajaran dalam konteks ini mengandung makna alat bantu mengajar
atau alat-alat komunikasi non-verbal. Sebagai alat bantu penyalur informasi dalam
proses pembelajaran, media perlu dirancang sedemikian rupa sehingga dapat .
dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Dengan rancangan media yang efektif dan
efisien guru dapat mempermudah pemahaman siswa atas materi pelajaran yang
disampaikannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hamalik (1980 : 23)
bahwa media pembelajaran adalah alat-alat komunikasi yang dapat mengefektifkan
komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam pembelajaran di ruang kelas. Hal
senada dikemukakan pula oleh Suparno (1987:1) bahwa media pembelajaran adalah
suatu alat yang dipakai sebagai saluran untuk menyampaikan suatu pesan yang dalam
hal ini adalah pesan dari guru kepada siswa.
Jadi di dalam sebuah proses komunikasi antara guru dan siswa perlu ada alat
komunikasi, yang dalam proses belajar-mengajar disebut media pembelajaran.Terkait
dengan pengertian media pembelajaran Djamarah (1991:92--93) mengatakan bahwa
kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata ‘’medium’’
yang secara harafiah berarti perantara atau pengantar. Dengan demikian media
merupakan wahana penyalur pesan atau informasi belajar. Dalam makna yang demikian
10
maka media bisa dikonotasikan dengan istilah ‘’alat’’ dalam pendidikan. Dalam konteks
pendidikan alat didefinisikan sebagai apa saja yang dapat dijadikan perantara untuk
mencapai tujuan pendidikan. Meski media dikonotasikan sebagai alat dalam pendidikan
namun, dalam kajian ini peneliti hanya menggunakan istilah media untuk menyamakan
peristilahan. Bila media merupakan sumber belajar, maka secara luas media dapat
diartikan manusia, benda, ataupun pristiwa yang memungkinkan anak didik
memperoleh pengetahuan, sikap,
dan keterampilan. Kemudian untuk dapat
menghindari proses pembelajaran yang bersifat verbalisme, maka perlu dirancang media
pembelajaran yang baik, sehingga guru dapat menjelaskan materi pelajaran secara baik
pula.
4.2.2 Beberapa Jenis Media Pembelajaran
Dari penelusuran berbagai sumber yang ada secara umum sebenarnya banyak
media yang bisa digunakan untuk menunjang proses pembelajaran di ruang kelas.
Namun, dalam konteks ini dapat diidentifikasi tujuh jenis media pembelajaran antara
lain:
1. Realthing adalah manusia (pengajar) benda yang sesungguhnya (bukan gambar,
atau model) dan pristiwa yang sebenarnya terjadi.
2. Verbal representation adalah media tulis/cetak, misalnya buku teks, refrensi, dan
bahan bacaan lainnya.
3. Grafhic representation adalah berupa chart, diagram, gambar, atau lukisan.
4. Still picture seperti foto, slide, film strif, dan OHP. Still picture kadang-kadang
dapat berupa gambar hitam-putih, dan dapat pula berupa gambar berwarna.
5. Audio (recording) seperti pita kaset, reel tape, piringan hitam, sound track pada
film ataupun pita pada video tape.
6. Program adalah kumpulan informasi yang berurutan. Program bisa berbentuk
verbal, (buku teks) visual, maupun video.
7. Simulations. Media ini kita kenal dengan istilah simulation and game, yaitu
suatu permainan yang menirukan kejadian yang sebenarnya.
11
Selain tujuh kategori media yang dapat digunakan sebagai alat bantu
dalam proses pembelajaran di ruang kelas sebagaimana diuraikan di atas
sebenarnya masih ada lagi media yang lain seperti papan tulis, meja, kursi, dan
sebagainya. Semua media ini disebut media material, sebab semuanya kongkret,
dalam arti dapat dilihat dengan mata. Media material ini disebut juga sebagai
alat bantu ‘’visual’’, sebab dapat membantu memvisualisasikan hal-hal yang
abstrak menjadi hal yang bersifat kongkrit (nyata).
Penggunaan alat bantu visual dalam proses pembelajaran sejalan dengan
pandangan Dwyer (1967) salah seorang tokoh aliran realisme yang menegaskan
bahwa belajar yang sempurna hanya dapat tercapai jika menggunakan bahanbahan visual yang mendekati realitas. Hal ini sejalan pula dengan pandangan
Milar, dkk., (1957) yang mengatakan bahwa makin banyak sifat bahan visual
yang menyerupai realitas, maka semakin mudah pula terjadinya proses belajar
pada diri siswa.
Pada praktiknya penggunaan media visual, lebih banyak digunakan pada
anak-anak yang berusia 7-13 tahun atau pada anak-anak sekolah dasar,
dibandingkan pada anak-anak sekolah menengah ke atas, sebab anak-anak pada
usia ini belum mampu berpikir abstrak sehingga materi yang diajarkan perlu
divisualisasikan dalam bentuk yang nyata. Dengan cara seperti itu, dapat
membantu anak-anak dalam proses internalisasi berbagai pengetahuan yang
diajarkan oleh guru dalam proses pembelajaran.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan guru dalam menentukan media
yang akan digunakan adalah sifat-sifat media itu sendiri. Secara umum bahan
audiovisual mempunyai lima sifat yaitu :
1. Kemampuan untuk meningkatkan persepsi;
2. Kemampuan untuk meningkatkan pengertian;
3. Kemampuan untuk meningkatkan transfer/pengalihan bbelajar;
4. Kemampuan untuk memberi penguatan (reiforcmant);
5. Kemampuan untuk meningkatkan retensi (ingatan).
12
Dalam konteks ini yang perlu disadari dari sifat-sifat media tersebut adalah
tidak semua media memiliki potensi yang sama banyaknya. Tetapi kelima hal tersebut
di atas harus digaris bawahi guru. Sebab jika tidak bahan-bahan tersebut akan
kehilangan perananya dalam proses belajar.
4.2.3 Cara Merancang Media Pembelajaran yang Efektif
Sudah menjadi wacana publik di kalangan para pendidik bahwa media
merupakan alat bantu mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan
efisien. Guna dapat menciptakan media yang efektif dalam proses pembelajaran guru
seharusnya memahami materi pembelajaran yang akan diajarkan, dan media apa yang
cocok digunakan sebagai alat bantu dalam penyampaian materi tersebut. Selain itu, guru
juga dituntut cerdas dalam menentukan macam dan jenis alat bantu yang akan
digunakan dalam proses pembelajaran itu sendiri.
Hal demikian mengingat dalam
proses pembelajaran, bukan hanya media material yang dapat dijadikan alat bantu
pembelajaran, akan tetapi media non-material pun dapat pula dimanfaatkan. Ada
beberapa macam media non-material yang sering dipakai sebagai media pendidikan
pada umumnya. Media-media itu adalah suruhan, larangan, nasihat, hukuman,
peringatan, bimbingan, hadiah, pujian, dan sebagainya.
Terlepas dari bentuk-bentuk dan jenis-jenis media dalam pendidikan, dan terkait
dengan masalah pemilihan media, menurut Djmarah (1991:96) semuanya akan
berpulang pada guru, dalam arti bagaimana guru memilih media yang tepat berdasarkan
pertimbangan yang hati-hati agar proses pembelajaran dapat mencapai tujuannya secara
efektif dan efisien. Semua itu kembali berpulang pada keterampilan guru dalam memilih
dan merancang media yang tepat dan benar.
Jadi, cara merancang media yang efektif dalam pencapaian tujuan pembelajaran
selain tergantung pada kemampuan guru, di sini juga dapat dikemukakan beberapa cara
yang efektif untuk merancang media pembelajaran yang baik. Antara lain, (1) media
harus dirancang sesederhana mungkin sehingga jelas dan mudah dipahami oleh siswa;
(2) media hendaknya dirancang sesuai dengan pokok bahasan yang akan diajarkan; (3)
media hendaknya dirancang tidak terlalu menjelimet dan tidak membuat anak-anak
13
menjadi bingung; (4) media hendaknya dirancang dengan bahan-bahan yang sederhana
dan mudah didapat, tetapi tidak mengurangi makna dan fungsi media itu sendiri; (5)
media dapat dirancang dalam bentuk model, gambar, bagan berstruktur, dan lain-lain,
tetapi dengan bahan yang murah dan mudah didapat sehingga tidak menyulitkan guru
dalam merancang media dimaksud.
4.3 Implikasi Penggunaan Media dalam Proses Pembelajaran di Ruang Kelas
4.3.1 Implikasi terhadap Guru
Penggunaan media dalam proses pembelajaran di ruang kelas dapat berimplikasi
terhadap beberapa hal antara lain, terhadap guru uitu sendiri, terhadap siswa, dan
terhadap proses pembelajaran di ruang kelas. Implikasi penggunaan media terhadap
guru dapat berupa memudahkan dirinya dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Dikatakan demikian sebab dengan menggunakan media guru tidak terlalu banyak
menghafal materi yang akan diajarkan. Selain itu dengan alat bantu mengajar (media
pembelajaran) guru dapat lebih terstruktur di dalam menyampaikan materi karena sudah
dirancang sebelumnya, dan sudah disediakan dalam bentuk media itu sendiri. Dengan
demikian jelas pembelajaran dengan menggunakan media dapat memudahkan guru
dalam melakukan transfer pengetahuan (trenfer of konwledge) dan pada gilirannya dapat
mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Bukan hanya itu, dengan
menggunakan media guru dapat lebih mudah mengoragnisir materi pelajaran, sehingga
penyajian materi pelajaran dapat dilakukan secara sistematis dan terstruktur.
Namun demikian, harus diakui pula bahwa penggunaan media bagi guru dapat
merepotkan dirinya, sebab menyiapak media yang sesuai dengan bahan yang akan
dajarkan bukanlah pekerjaan mudah. Sebab selain, pembuatannya rumit, juga
memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga guru harus rela mengeluarkan koceknya
untuk hal tersebut. Jadi, berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengguanan
media dalam proses pembelajaran di ruang kelas tidak hanya berimplikasi positif bagi
diri guru itu sendiri tetapi juga berimplikasi negatif. Namun demikian, sebagai seorang
guru mau tidak mau, suka tidak suka untuk bisa mencapai hasil yang efetif dan efisien
dalam proses pembelajaran di sekolah wajib dalam melakukan proses pembelajaran
menggunakan media yang baik dan menarik perhatian siswa.
14
4.3.2 Implikasi terhadap Siswa
Selain
berimplikasi
terhadap
guru,
penggunaan
media
dalam
proses
pembelajaran di ruang kelas ternyata berimplikasi pula terhadap diri siswa itu sendiri.
Dalam sebuah proses pembelajaran siswa sering hanya dipandang sebagai obyek
semata. Padahal seharusnya selain sebagai objek siswa juga harus diperlakukan sebagai
subjek didik dalam sebuah proses pembelajaran. Konskuensi dari pernyataan tersebut,
guru dalam memberi materi pelajaran terhadap siswa hendaknya memperhatikan
kemampuan dan keinginan siswa. Jika guru dalam proses pembelajaran memandang
siswa sbagai objek atau klient semata, maka guru tersebut masih melihat fungsi guru
sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan sebagai indoktrinator.
Terkait dengan itu Susilo (2007:87) mengatakan : setiap orientasi pendidikan
dapat dikaji berdasarkan empat dimensi yang ada, yakni dimensi status anak didik,
dimensi peran guru, dimensi materi pengajaran, dan dimensi manajemen pendidikan.
Masing-masing dimensi mempunyai dua
kutub ekstrem yang terentang secara
kontinyu. Dimensi status anak didik terentang dari anak berstatus sebagai objek atau
klient, dan anak didik berstatus sebagai subjek atau warga belajar. Dimensi kedua
adalah fungsi guru yang terentang dari kutub fungsi guru sebagai pemegang otoritas
tertinggi keilmuan dan indoktrinator, sampai pada kutub lain guru sebagai fasilitator dan
motivator dalam proses pendidikan. Dimensi yang ketiga adalah materi pendidikan,
yang memiliki rentang dari yang bersifat materi oriented atau subjek oriented sampai
problem oriented. Dimensi keempat adalah manejemen pendidikan yang terentang dari
manjemen yang bersifat sentralistis sampai manajemen yang bersifat desentralistis atau
school-based management.
Dari keempat dimensi yang ada seharusnya guru selalu berpegang pada kutub
kedua dari dimensi-dimensi yang ada, seperti siswa harus dipandang sebagai subjek dan
bukan sebagai objek semata. Demikian pula guru dalam mengajar harus melihat
fungsinya sebagai fasilitator dan motivator dan tidak sebagai pemegang otoritas
tertinggi bidang keilmuan atau sebagai indoktrinator, dan seterusnya. Jika hal ini bisa
dilakukan oleh guru, dan dalam proses pembelajaran selalu berpegang pada prinsipprinsip pedagogis, ditambah penggunaan alat bantu mengajar maka bukan merupakan
15
keniscayaan jika tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya akan tercapai
secara efektif dan efisien. Dengan demikian siswa akan menjadi senang dan betah
mengikuti pelajaran di sekolah, yang pada gilirannya akan dapat berimplikasi pada
perubahan sikap dan perilaku siswa itu sendiri.
4.3.3 Implikasi terhadap Proses Pembelajaran di Ruang Kelas
Telah dipahami bahwa proses pembelajaran di ruang kelas merupakan kegiatan
yang paling pokok dari keseluruhan proses pendidikan.
Pernyataan tersebut
mengandung arti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak
bergantung pada bagaimana proses pembelajaran itu dirancang dan dilakukan oleh guru
itu sendiri. Dengan meminjam gagasan Djamarah (1994 :15) dapat dikatakan bahwa
proses pembelajaran merupakan inti dari kegiatan pendidikan. Sebagai inti dari kegiatan
pendidikan, proses pembelajaran merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan
pendidikan itu sendiri. Artinya, tujuan pendidikan tidak akan pernah tercapai apabila
interaksi belajar-mengajar tidak pernah berlangsung dalam pendidikan.
Dari perspektif yang berbeda dapat dikatakan bahwa berhasil tidaknya proses
pembelajaran di ruang kelas juga ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain : (1) faktor
kemampuan guru; (2) faktor sarana dan prasarana penunjang proses pembelajaran; (3)
faktor lingkungan sekolah; dan (4) faktor penggunaan alat bantu mengajar (media
pembelajaran). Faktor kemampuan guru di sini paling tidak menyangkut dua
kemampuan dasar, yakni kemampuan mendesain program dan keterampilan
mengkomunikasikannya kepada siswa. Kedua, modal dasar itu sebenarnya telah
terhimpun dalam tiga macam kompetensi sebagai dasar kemampuan guru, yakni
keperibadian, penguasaan bahan pengajaran, dan kemampuan dalam cara-cara
mengajar. Bila ketiga macam kompetensi itu dapat dipahami dan dikuasai oleh guru,
maka guru dapat melaksanakan pengajaran dengan baik.
Namun begitu, guru tidak cukup hanya memiliki dasar-dasar kompetensi itu,
tetapi masih ada kompetensi lainnya yang harus dikuasai guru. Misalnya kompetensi
guru dalam merancang dan menggunakan alat bantu mengajar yang biasa disebut
median pembelajaran. Apabila guru memiliki kemampuan yang baik atau memiliki
16
kompetensi dalam hal merancang dan menggunakan media pembelajaran, tentu hal ini
akan berimplikasi terhadap kelancaran proses pembelajaran di ruang kelas. Sebab
penggunaan media yang baik dan benar dapat mempermudah guru dalam menjelaskan
materi pelajaran yang diajarkan sehingga pada gilirannya dapat mempercepat
pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa penggunaan media ternyata
berimplikasi pula terhadap proses pembelajaran di ruang kelas, yakni dapat membantu
guru dalam penyampaian materi pelajaran, dan dapat menciptakan suasana belajar yang
aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan (PAIKEM). Dikatakan demikian sebab
dengan alat bantu mengajar siswa akan lebih terangsang untuk belajar secara aktif,
inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Selain itu penggunaan alat bantu mengajar dapat
pula merangsang anak-anak untuk mengemukakan pertanyaan dan paling tidak dapat
memberi respon yang positif terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di
ruang kelas.
BAB III
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian dalam bab-bab di atas dapat ditarik simpulan yang
merupakan abstarksi dari keseluruhan isi kajian ini. Adapun simpulan yang dapat
dikemukakan di sini adalah sebagai berikut.
1. Ada tiga alas an mendasar perlunya digunakan media dalam proses
pembelajaran di ruang kelas, terutama bagi para siswa sekolah dasar, yakni
karena, pertma siswa SD cenderung masih berpikir kongkrit, sehingga materi
pelajaran yang bersifat abstrak perlu divisualisasikan sehingga menjadi lebih
nyata,
kedua
penggunaan
media
dalam
proses
pembelajaran
dapat
membangkitkan minat dan motivasi belajar siswa, mengurangi atau menghindari
terjadinya verbalisme, membangkitkan nalar yang teratur, sistematis, dan untuk
menumbuhkan pengertian dan mengembangkan nilai-nilai pada diri siswa.
17
Ketiga, pembelajaran dengan menggunakan media dapat pula memberikan
pengalaman bermakna bagi siswa karena dengan penggunaan media siswa dapat
menyaksikan secara langsung hal-hal yang terjadi di sekelilingnya.
2. Secara umum ada beberapa cara yang efektif untuk merancang media
pembelajaran yang baik, antara lain, (1) media harus dirancang sesederhana
mungkin sehingga jelas dan mudah dipahami oleh siswa; (2) media hendaknya
dirancang sesuai dengan pokok bahasan yang akan diajarkan; (3) media
hendaknya dirancang tidak terlalu menjelimet dan tidak membuat anak-anak
menjadi bingung; (4) media hendaknya dirancang dengan bahan-bahan yang
sederhana dan mudah didapat, tetapi tidak mengurangi makna dan fungsi media
itu sendiri; (5) media dapat dirancang dalam bentuk model, gambar, bagan
berstruktur, dan lain-lain, tetapi dengan bahan yang murah dan mudah didapat
sehingga tidak menyulitkan guru dalam merancang media dimaksud.
3. Penggunaan media dalam proses pembelajaran di ruang kelas ternyata
berimplikasi terhadap beberapa hal antara lain: pada diri guru itu sendiri, yakni
dengan penggunaan media dapat memudahkan guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran di ruang kelas; (2) terhadap diri siswa, dimana dengan penggunaan
media dalam proses pembelajaran dapat merangsang siswa untuk belajar secara
lebih aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan; (3) terhadap proses
pembelajaran di ruang kekas, yakni dapat membantu guru dalam penyampaian
materi pelajaran, dan dapat menciptakan suasana belajar yang aktif, inovatif,
kreatif, dan menyenangkan (PAIKEM).
5.2 Saran-Saran
1. Mengingat betapa pentingnya peranan media dalam proses pembelajaran di
ruang kelas maka kepada semua guru bidang studi, khususnya yang mengajar
di kelas rendah disarankan agar senantiasa menggunakan media dalam proses
pembelajaran sebab penggunaan media dalam proses pembelajaran dapat
meningkatkan kreativitas siswa dalam hal belajar.
2. Kepada para pemegang kebijakan pendidikan di negeri ini disarankan agar
memberikan perhatian yang lebih baik terhadap proses pengadaan alat bantu
18
mengajar di sekolah, mengingat betapa pentingnya peranan media dalam proses
pembelajaran di ruang kelas, sementara guru atau pihak manajemen sekolah
mengamlami kendala dalam proses pengadaan media pembelajaran mengnigat
terbatasnya sunber daya ekonomi yang dimiliki pihak sekolah atau guru yang
bersangkutan. .
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, H., Abu 1991. Psikologi Perkembangan. Penerbit Rineka Cipta : Jakarta
Ali, H., Muhamad, 1992. Guru dalam Proses Belajar-Mengajar. Penerbit Sinar Baru :
Bandung.
Bachtiar, Harsja, W., 1984. Media dalam Pembelajaran. Penelitian selama 60 tahun
Gene L. Wilkinson. Penerbit CV. Rajawali : Jakarta.
Darma, I Made, 1983. Alat Peraga dan Komunikasi Pendidikan, Diktat Materi Pelajaran
Alat Peraga dan Komunikasi Pendidikan, untuk Siswa SPG negeri Denpasar.
Djamarah, Syaiful Bakri, 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Penerbit Usaha
Nasional : Surabaya.
Depdikbud 1989. Materi dan Program Latihan Kerja Guru PMP SLTP. Penerbit Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah : Jakarta.
Depdikbud, 1992. Materi Latihan Kerja Guru PMP SLTP. Penerbit Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah : Jakarta.
Depdikbud, 1999. Materi Latihan Kerja Guru PPKn SD. Penerbit Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah : Jakarta.
Gorda I Gusti Ngurah, 1997. Metodelogi Penelitian Ilmu Sosial Ekonomi. Penerbit
Widya Kriya Gematama : Denpasar.
Hamalik, Oemar, 1990. Media Pendidikan. Penerbit Alumni : Bandung.
Hamalik Oemar, 1990a. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan
CBSA. Penerbit CV. Sinar Baru: Bandung.
Hasan, Chalijah, 1994. Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan. Penerbit Alikhlas :
Surabaya.
Idris, H. Zahari, 1987. Dasar-dasar Pendidikan. Penerbit : Angkasa Raya : Padang.
Mudyaharjo, Reja, dan Waini Rasyidin, 1995. Dasar-Dasar Kependidikan. Penerbit
Dirjen Bimas Hindu dan Buda dan Universitas Terbuka : Jakarta.
Mudzakir, Ahmad, dan Joko Sutrisno, 1997. Psikologi Pendidikan. Penerbit Pustaka
setia : Bandung.
Malapu Syarun 1998. Profesionalisme Guru dalam Upaya Meningkatan Potensi Peserta
Didik. Mutu Fol. VII. No.2 Edisi Juli—Desember 1998. Penerbit Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud : Jakarta.
Netra, I. B., 1974. Statistik Infrensial. Penerbit Usaha Nasional Surabaya.
Nurkencana, Wayan, dan P. N. Sunartana, 1983. Evaluasi Pendidikan. Penerbit Usaha
Nasional : Surabaya
19
Poerwadarminta, W. J. S., 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Suntingan Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Penerbit Balai Pustaka : Jakarta.
Roestyah, N. K., 1982. Masalah Pengajaran sebagai Suatu Sistem. Penerbit PT. Bhineka
Aksara : Jakarta.
Rusyan A. Tabrani, 1993. Proses Belajar-Mengajar yang Efektif Tingkat Pendidikan
Dasar. Penerbit : Bina Budaya : Bandung.
Suarni, Ni Ketut, 1996. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Diktat Materi Kuliah
Perkembangan dan Belajar Peserta Didik, untuk Mahasiswa D-2. PGSD FKIP
Singaraja.
Suka, komang dan I Dewa Arta, 1982. Uraian Pokok Didaktik/Metodik Umum. Diklat
Materi Pelajaran Didaktik dan Metodik Umum untuk SPG Negeri
DenpaSuleiman, Amir, Hamzah, 1979. Media Audio Visual untuk pengajaran,
Penerangan, Penyuluhan. Penerbit PT. Gramedia : Jakarta.
Sudjana, Hana, 1995. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Penerbit Sinar Baru
Aglensindo : Bandung.
Suparno, 1987. Media Pengajaran Bahasa. Penerbit Intan Pariwara :
Yogyakarta.Sutarno, Ap., dkk., 1978. Teknik Penilaian Pendidikan. Penerbit Tiga
Serangkai : Solo.
Surakhmad, Winarno, 1975. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metodik Teknik.
Penerbit Tarsito : Bandung.
Susilo, M., Joko, 2007. Pembodohan siswa Tersistematis. Penerbit PINUS Book
Publiser : Yogyakarta.
Usman, Moh Uzer, 1995. Menjadi Guru Profesional. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya :
Bandung.
Wirya, I Nyoman, dkk., 1999. Efektifitas Metode Diskusi dan Kontribusinya bagi
Upaya Peningkatan Prestasi Belajar PPKn di Kelas VI Sekolah Dasar. Penerbit
Bagian Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas Dikdasmen Kabupaten Tabanan,
Propinsi Bali.
20
Download