PENTINGNYA MEDIA DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN SISWA DI SEKOLAH DASAR Oleh I Ketut Suda Universitas Hindu Indonesia ABSTRAK Artikel ini secara umum membahas pentingnya media dalam meningkatkan kualitas pembelajaran siswa di ruang kelas dengan harapan dapat lebih memahami keberadaan media dan perannya dalam sebuah proses pembelajaran. Dari hasil kajian ini didapat beberapa temuan bahwa media pembelajaran mempunyai peran penting dalam setiap proses pembelajaran, khususnya di kelas rendah, karena siswa kelas rendah belum mampu berpikir abstrak, sehingga materi yang diajarkan oleh guru perlu divisualisasikan dalam bentuk yang lebih nyata/kongkrit. Secara didaktis psikologis media pembelajaran sangat membantu perkembangan psikologis anak dalam hal belajar. Alasan ketiga, penggunaan media dalam proses pembelajaran dapat pula memberikan pengalaman bermakna bagi para peserta didik. Dalam tataran praksis media dapat dirancang melalui lima langkah antara lain: (1) media harus dirancang sesederhana mungkin sehingga jelas dan mudah dipahami oleh siswa; (2) media hendaknya dirancang sesuai dengan pokok bahasan yang akan diajarkan; (3) media hendaknya dirancang tidak terlalu menjelimet dan tidak membuat anak-anak menjadi bingung; (4) media hendaknya dirancang dengan bahan-bahan yang sederhana dan mudah didapat, tetapi tidak mengurangi makna dan fungsi media itu sendiri; (5) media dapat dirancang dalam bentuk model, gambar, bagan berstruktur, dan lain-lain, tetapi dengan bahan yang murah dan mudah didapat sehingga tidak menyulitkan guru dalam merancang media dimaksud. Temuan terakhir bahwa penggunaan media dalam proses pembelajaran dapat berimplikasi pada tiga hal, antara lain pada diri guru, pada diri siswa dan pada proses pembelajaran di ruang kelas. Kata-Kata Kunci: Media pembelajaran, siswa kelas rendah, kualitas pembelajaran 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan dunia yang semakin kompleks belakangan ini, Indonesia sebagai salah satu negara bangsa (nation state) mengalami tantangan yang cukup berat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan dalam bidang pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas pembelajaran yang terjadi di sekolah tidak pelak lagi telah berimplikasi terhadap kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Hal ini terbukti dari hasil survey yang dilakukan UNDP tahun 2013 tentang Human Depelovment Index Indonesia masih menempati nomor urut besar, dibandingkan negara-negara Asia lainnya yakni nomor 108 dari 187 negera yang disurvei (hdr.undp.org). Salah satu indikator yang digunakan UNDP untuk nenentukan tinggi rendahnya HDI ini adalah faktor pendidikan. Berbicara soal kualitas pendidikan, tidak dapat dilepaskan dari proses pembelajaran di ruang kelas. Pembelajaran di ruang kelas mencakup dua aspek penting yakni guru dan siswa. Guru mempunyai tugas mengajar dan siswa belajar. Mengajar adalah mengkomunikasikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dengan maksud agar mereka mengetahui atau mengerti apa yang diajarkan oleh guru kepadanya (Depdikbud dalam Suka, 1982:18). Sedangkan belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya (Hamalik,1990:4). Perlu disadari bahwa pembelajaran itu merupakan suatu system, yang di dalamnya terdapat sejumlah komponen yang saling berhubungan satu sama lainnya dalam rangka mencapai tujuan. Beberapa komponen dimaksud meliputi: (1) tujuan, (2) bahan/materi ajar, (3) metoda, (4) alat/media dan, (5) evaluasi (Ali,1992:30). Karena pembelajaran merupakan suatu system maka keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan oleh sejauh mana efektifitas tiap-tiap komponen tersebut berinteraksi. Media sebagai salah satu komponen dalam sistem itu, mempunyai fungsi sebagai sarana komunikasi non-verbal. Sebagai salah satu komponen sistem, berarti media mutlak harus ada atau harus dimanfaatkan di dalam setiap pembelajaran. Dikatakan demikian sebab jika salah satu komponen itu tidak ada maka hasil yang 2 diperoleh tidak akan maksimal. Terkait dengan hal itu, Carpenter dan Dale (dalam Darma,1983:6) menyatakan: ”bahwa belajar memerlukan partisipasi dan latihan”. Belajar pada dasarnya melakukan aktivitas, maka dalam proses pembelajaran para siswa perlu banyak berpartisipasi. Partisipasi siswa dapat dilakukan dengan jalan mendengarkan, melihat, menulis, merasakan, dan memikirkan. Terkait hal tersebut Carpenter dan Dale mengemukakan betapa pentingnya media pembelajaran dalam proses belajar para siswa. Terkait dengan hal itu Frohn seorang ahli psikologi mengemukakan bahwa perkembangan berpikir manusia itu melalui tiga strata/lapisan/tingkatan, sejak masa kanak-kanak sampai dewasa. Adapun tingkatan perkembangan yang dimaksud adalah: (1) lapisan kongkrit/lapisan alat indra, (2) lapisan skematis, dan (3) lapisan abstrak (Darma,1983:10). Pada lapisan kongkrit (lapisan alat indra) manusia itu masih berada pada masa kanak-kanak, dengan demikian mereka masih berpikir dengan hal-hal yang bersifat kongkrit (nyata). Dengan demikian saat belajar mereka masih memerlukan peragaan langsung. Selanjutnya, pada lapisan skematis anak sudah agak besar dan akan lebih mudah belajar bila anak diberikan/dibantu dengan gambar. Lapisan ini merupakan peralihan dari lapisan kongkrit ke arah berpikir abstrak. Sedangkan pada lapisan abstrak manusia sudah dewasa (usia 20 th ke atas) sudah sanggup dan biasa berpikir abstrak yang sudah jarang dan hampir tidak perlu lagi bayangan kongkrit atau skemanya. Menurut Darma (1983) arah pembelajaran memang menuju pada pemakaian bahasa yang bersifat abstrak, karena bahasa memegang peranan penting terhadap proses berpikir manusia. Tetapi bila lapisan pertama (lapisan kongkrit/lapisan alat indra) tersebut kurang diperhatikan atau kurang dilatih dengan sungguh-sungguh maka pengetahuan yang diterima pada lapisan selanjutnya menjadi samar-samar, kurang berisi, dan kurang bermakna. Terkait dengan fase perkembangan anak Piaget (dalam Suarni, 1996 :121) membagi perkembangan anak (manusia) menjadi empat tingkat yaitu: (1) sensori motoris: 0,0 – 2,0 tahun; (2) preoperasional: 2,0 – 7,0 tahun; (3) operasional kogkrit: 7,0 – 11,0 tahun; (4) operasional formal: 11,0-- …..tahun; Pada tingkat sensori motoris yang lebih banyak berperan pada diri anak adalah penggunaan panca indra seperti: mata, telinga, dan mulut. Pada masa kanak-kanak ini anak belum mempunyai tentang konsepsi yang tetap. Anak hanya dapat mengetahui hal3 hal yang ditangkap dengan indranya. Tingkat preoperasional, anak mulai timbul perkembangan kognitifnya tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja. Baru menjelang akhir tahun kedua anak telah mengenal simbol/nama. Tingkat operasional kongkrit, anak telah mengetahui simbolsimbol matematis tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak. Pada tingkat operasional formal, anak telah mempunyai pemikiran yang abstrak. Melihat umur anak sekolah dasar yang rata-rata berkisar 6 sampai dengan 13 tahun dihubungkan dengan pembagian perkembangan menurut Piaget di atas, maka secara umum anak sekolah dasar tergolong dalam fase (tingkat) operasional kongkrit. Lebih lanjut Suarni (1996) mengatakan bahwa dalam fase ini anak/siswa betul-betul pada masa yang sangat nyata atau kongkrit, dan belum dapat memahami hal-hal yang abstrak. Pada fase ini anak masih memiliki sifat egosentris yang tinggi menyebabkan pikiran-pikirannya sulit untuk dibelokkan atau dibalik. Studi yang dilakukan British Audio Visual Association (1995) tentang persepsi murid memperkirakan bahwa sekitar 75% kesan dapat ditangkap melalui indra sentuhan dan rabaan, 6% dari indra penciuman dan rasa. Kalau belajar hanya dengan membaca saja maka pengetahuan yang mengendap hanya sekitar 10%, dan jika hanya melalui pendengaran saja mengendapnya berkisar 20%. Kalau diadakan penggabungan yakni: melihat dan mendengar maka pengendapan pengetahuan berkisar 50%. Mengalami sendiri dan mengulang pada kesempatan lain pengetahuan yang mengendap bisa mencapai 90%. Mengalami sendiri melalui media tingkat pengendapannya bisa mencapai 80% (Malapu,1998). Jadi dengan demikian bila guru dalam pembelajaran di sekolah mampu berkomunikasi atau menyampaikan pesan (pengetahuan, keterampilan,dan sikap) dengan menggunakan media pembelajaran atau seluruh komponen sistem dalam pembelajaran secara efektif maka hasil belajar siswa akan tercapai secara optimal. Namun, apa yang diharapkan secara ideal dalam urian di atas dan jika dikaitkan dengan realitas di lapangan, khususnya dalam proses pembelajaran pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar, masih sangat jauh dari yang diharapkan. Secara realitas pada jenjang pendidikan SD ada kecendrungan para guru masih terpaku pada 4 pendekatan verbal dengan metoda ceramah tanpa menggunakan media dalam mengkomunikasikan materi pelajaran pada siswa. Adanya kecendrungan seperti itu di satu sisi, dan di sisi lain rendahnya kualitas pembelajaran di Indonesia yang bermuara pula pada rendahnya kualitas Human Depelovment Index, membuat media pembelajaran menjadi issu menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Memang selama ini telah ada ahli yang mengkaji persoalan ini, seperti Wilkinson, telah mengkaji persoalan serupa dengan simpulan: “bahwa media merupakan alat mengajar dan belajar. Di mana alat ini harus ada untuk memenuhi kebutuhan/keperluan siswa dalam proses pembelajaran” (Bakhtiar1986:58). Ini berarti di dalam proses pembelajaran, baik siswa maupun guru sama-sama memerlukan alat tersebut (media) agar kebutuhan yang beragam dari kurikulum dan siswa secara individual dapat terpenuhi melalui pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Di bagian lain Bakhtiar (1986) juga menjelaskan bahwa di dalam pembelajaran hendaknya tidak terpaku pada satu media saja melainkan dapat menggunakan media yang bervariasi. Artinya, di dalam setiap pembelajaran akan lebih baik menggunakan berbagai media atau menggunakan media yang kondusif terhadap materi yang dipelajari siswa. Sejalan dengan itu Sulaiman (1981:8) mengatakan bahwa alat-alat audio-visual tidak saja menghasilkan cara belajar yang efektif dalam waktu yang lebih singkat tetapi apa yang diterima melalui alat-alat audio-visual lebih lama dan lebih baik tinggal dalam ingatan. Namun, kajian-kajian yang dilakukan beberapa pakar di atas belum menekankan pentingnya penggunaan media dalam proses pembelajaran di ruang kelas, terlebih lagi tidak mengkaji penggunaan media dalam pembelajaran bagi siswa di kelas rendah. Oleh karena itu issu ini sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi. Rumusan Masalah Berangkat dari uraian di atas, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut. 1.1.1 Mengapakah pembelajaran, khususnya di kelas rendah perlu menggunakan media? 1.1.2 Bagaimanakah cara merancang media pembelajaran agar proses pembelajaran dapat mencapai hasil yang efektif dan efisien? 5 1.1.3 Bagaimanakah implikasi penggunaan media terhadap pencapaian hasil belajar siswa, khususnya pada jenjang pendidikan dasar ? 1.2 Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas maka tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 1.1.1 Untuk mengetahui perlunya penggunaan media dalam pembelajaran, khususnya di kelas rendah 1.1.2 Untuk mengetahui cara merancang media dalam pembelajaran guna mencapai hasil belajar yang efektif dan efisien. 1.1.3 Untuk mengetahui implikasi penggunaan media dalam pembelajaran terhadap hasil belajar siswa. BAB II PEMBAHASAN 4.1 Alasan Penggunaan Media dalam Pembelajaran, khususnya di Kelas Rendah 4.1.1 Siswa di Sekolah Dasar Masih Berpikir Konkrit Sebuah hasil penelitian Encyclopedia of Educational Reseach mengatakan bahwa pembelajaran dengan media dapat memberi nilai/manfaat antara lain : mengurangi verbalisme, menarik perhatian dan minat siswa, mendorong siswa untuk bertanya, materi yang dipelajari siswa dapat lebih menetap dan tidak mudah dilupakan. Selain itu, menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri bagi siswa karena mendapat pengalaman yang nyata dalam belajar, juga menjadi salah satu alasan perlunya diterapkan media pembelajaran dalam proses pembelajaran di ruang kelas. Penggunaan media dalam proses pembelajaran juga dapat menimbulkan pikiran yang teratur dan kontinou, serta dapat membantu tumbuhnya pengertian dan perkembangan kemampuan berbahasa (Usman, 1995 : 31). Sejalan dengan itu Sudjana (1995) mengatakan bahwa, ‘’penggunaan media pembelajaran dapat memberikan pengalaman meletakkan nyata dan dasar perkembangan siswa sehingga hasil belajar siswa bertambah mantap’’. 6 Sebagai alat penyalur informasi belajar, media juga sangat efektif dan efisien untuk mengkongkritkan materi ajar yang sifatnya abstrak. Sebab sasaran akhir dari sebuah proses pembelajaran adalah pembentukan sikap dan prilaku peserta didik. Oleh karena itulah kehadiran media untuk memvisualisasikan berbagai konsep abstrak yang diajarkan dalam sebuah materi pembelajaran pada level sekolah dasar mutlak diperlukan. Tetapi dalam kenyataannya guru-guru di tingkat sekolah dasar dalam mengajar berbagai bidang studi sering mengalami kendala dalam hal media. Hal ini dikarenakan penggunaan beberapa faktor diantaranya : (1) pembuatan media memerlukan biaya yang cukup tinggi, sementara guru kurang memiliki akses untuk mendapatkan sumber-sumber dana, baik dari RAPBS maupun dari sumber lainnya; (2) pembuatan media pembelajaran juga memerlukan keterampilan khusus, sementara banyak guru yang kurang memiliki keahlian dalam bidang tersebut; (3) banyak juga guru yang bersifat permisif terhadap permasalahan tersebut. Dengan kondisi demikian, meskipun media memiliki peranan yang sangat menentukan keberhasilan sebuah proses pembelajaran, tetapi dalam kenyataanya banyak juga guru yang kurang tertarik untuk menggunakan media. Dalam konteks ini guru dapat dikatakan masih bersifat solid scholarship artinya dalam melaksanakan proses pembelajaran hanya mengandalkan pengetahuan dan pengalaman yang didapatinya semasih di bangku kuliah, tanpa ada upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sesuai dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat ini. 4.1.2 Alasan Didaktis-Psikologis Secara didaktis-psikologis penggunaan media dalam setiap proses pembelajaran sangatlah dibutuhkan, sebab dengan media konsep-konsep serta nilai-nilai yang bersifat abstrak dapat disederhanakan dalam bentuk visualisasi sehingga dapat dipahami oleh siswa. Selain itu penggunaan media dapat melibatkan seluruh pribadi siswa, baik fisik maupun psikhis, serta efektif terhadap segala tife belajar, lebih-lebih bagi siswa yang memiliki tife belajar campuran. Hal ini sejalan dengan Hamalik (1980:23) yang mengatakan bahwa : ‘’dalam rangka mengefektifkan pembelajaran perlu diupayakan penggunaan alat-alat komunikasi non-verbal sebagai penyalur informasi yang dapat mempermudah pemahaman siswa dalam belajarnya. 7 Salah satu alat komunikasi dimaksud adalah media pembelajaran, sebab pada dasarnya media pembelajaran dapat mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam pembelajaran di ruang kelas. Dalam konteks ini Suparno (1987: 1) mengatakan bahwa media pembelajaran adalah suatu alat yang dipakai sebagai saluran untuk menyampaikan pesan, yakni pesan yang tekandung dalam materi pembelajaran. Dalam perspektif yang sedikit berbeda Darma (1983) memberi istilah media sebagai alat peraga, yaitu alat bantu yang digunakan guru dalam mengkomunikasikan materi pelajaran kepada siswanya. Dengan demikian dapat dipahami betapa pentingnya penggunaan media dalam setiap proses pembelajaran dilihat dari aspek didaktis-psikologis lebih-lebih pada pembelajaran di kelas rendah. Terkait dengan persoalan media dalam proses pembelajaran Ali (1992 : 89) dan Hasan (1994 : 23) memberi pengertian yang sama tentang media yaitu : segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar siswa ke arah yang lebih baik. Berangkat dari gambaran tersebut, maka secara tegas dapat dikatakan bahwa secara didaktis psikologis media pembelajaran sangat membantu perkembangan psikologis anak dalam hal belajar. Dikatakan demikian sebab secara psikologis alat bantu mengajar berupa media pembelajaran sangat memudahkan siswa dalam hal belajar karena media dapat membuat hal-hal yang bersifat abstrak menjadi lebih kongkrit (nyata). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Rusyan (1993) yakni pada prinsipnya media itu dipakai dalam proses pembelajaran dengan maksud untuk membuat cara berkomunikasi yang lebih efektif dan efisien. Terkait dengan efektivitas penggunaan media dalam proses pembelajaran Depdikbud (1992:79) menegaskan bahwa penggunaan media dalam proses pembelajaran dapat membangkitkan minat dan motivasi belajar siswa, mengurangi atau menghindari terjadinya verbalisme, membangkitkan nalar yang teratur, sistematis, dan untuk menumbuhkan pengertian dan mengembangkan nilai-nilai pada diri siswa. Di samping itu, pengunaan media pembelajaran sangat penting karena dapat menyingkat 8 waktu. Artinya, pembelajaran dengan menggunakan media dapat menyederhanakan masalah terutama dalam menyampaikan hal-hal yang baru dan asing bagi siswa. 4.1.3 Alasan Pengalaman Bermakna yang Diterima Siswa Dalam perspektif Empirismenya John Locke sebagaimana dikutif Ahmadi, (1991) bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan, bahkan dalam pandangannya ini John Locke mengatakan bahwa manusia terlahir bagaikan kertas putih bersih yang belum ditulisi dengan pengalaman apa-apa (tabularasa). Berangkat dari pandangan tersebut, maka dalam proses pembentukan kepribadian anak-anak banyak faktor yang dapat mempengaruhinya. Demikian halanya dengan keberhasilan sebuah proses pembelajaran di ruang kelas, sangat dipengaruhi oleh berbagai hal. Salah satunya adalah efektifitas lingkungan atau pengalaman yang diterima siswa. Agar pembelajaran dapat mencapai hasil yang efektif, maka guru dituntut memiliki kesanggupan dan kemampuan dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik yang profesional. Terkait dengan hal itu, guru selain harus mampu memilih materi yang cocok dengan perkembangan siswa, juga dituntut kemampuan dalam menyampaikan informasi/materi pelajaran kepada siswa secara metodis sehingga mereka mendapat pengalaman yang kondusdip bagi proses belajarnya. Dalam konteks ini guru dituntut berkesangupan mengembangkan cara-cara berkomunikasi yang efektif sebagai penyalur informasi belajar. Hal demikian menurut Suka (1982:8) dikarenakan ‘’mengajar pada dasarnya mengkomunikasikan sesuatu (pengetahuan, keterampilan, sikap) kepada siswa agar mereka dapat mengetahui dan memahami apa yang diajarkan oleh guru di ruang kelas. Dalam berkomunikasi secara umum orang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Namun, dalam proses komunikasi bisa saja terjadi apa yang disebut verbalisme, jika dalam proses pembelajaran siswa hanya diberi pengalaman (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) melalui kata-kata saja tanpa menggunakan alat bantu berupa media (Darma, 1983 :10). Untuk mengurangi sifat verbalisme dalam proses pembelajaran inilah guru perlu menggunakan media pembelajaran. 9 Selaian itu, proses pembelajaran melalui komunikasi verbal saja, cenderung bersifat ekspositoris , artinya guru bertindak sebagai komando sementara siswa bersifat pasif dan hanya mengikuti apa komando sang guru. Padahal menurut Rustyah (1982 : 49—52) dalam pembelajaran diharapkan ada hubungan interaktif di antara individu (guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan lingkungan yang lain seperti media) atau apa yang disebut dengan istilah multi comunication. Dengan demikian siswa ikut terlibat secara menyeluruh dalam proses pembelajaran yang sedang berlansung. Jika meminjam gagasan Suarni (1996) dapat dikatakan bahwa pembelajaran akan berhasil dengan baik sesuai tujuan yang ditetapkan, apabila guru dapat melibatkan seluruh pribadi siswa baik fisik, maupun psikhis (emosional, intelektual, dan psikomotor), dalam proses pembelajaran itu sendiri. 4.2 Merancang Media Pembelajaran yang Efektif dan Efisien 4.2.1 Media sebagai Alat Komunikasi Non-Verbal Media pembelajaran dalam konteks ini mengandung makna alat bantu mengajar atau alat-alat komunikasi non-verbal. Sebagai alat bantu penyalur informasi dalam proses pembelajaran, media perlu dirancang sedemikian rupa sehingga dapat . dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Dengan rancangan media yang efektif dan efisien guru dapat mempermudah pemahaman siswa atas materi pelajaran yang disampaikannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hamalik (1980 : 23) bahwa media pembelajaran adalah alat-alat komunikasi yang dapat mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam pembelajaran di ruang kelas. Hal senada dikemukakan pula oleh Suparno (1987:1) bahwa media pembelajaran adalah suatu alat yang dipakai sebagai saluran untuk menyampaikan suatu pesan yang dalam hal ini adalah pesan dari guru kepada siswa. Jadi di dalam sebuah proses komunikasi antara guru dan siswa perlu ada alat komunikasi, yang dalam proses belajar-mengajar disebut media pembelajaran.Terkait dengan pengertian media pembelajaran Djamarah (1991:92--93) mengatakan bahwa kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata ‘’medium’’ yang secara harafiah berarti perantara atau pengantar. Dengan demikian media merupakan wahana penyalur pesan atau informasi belajar. Dalam makna yang demikian 10 maka media bisa dikonotasikan dengan istilah ‘’alat’’ dalam pendidikan. Dalam konteks pendidikan alat didefinisikan sebagai apa saja yang dapat dijadikan perantara untuk mencapai tujuan pendidikan. Meski media dikonotasikan sebagai alat dalam pendidikan namun, dalam kajian ini peneliti hanya menggunakan istilah media untuk menyamakan peristilahan. Bila media merupakan sumber belajar, maka secara luas media dapat diartikan manusia, benda, ataupun pristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Kemudian untuk dapat menghindari proses pembelajaran yang bersifat verbalisme, maka perlu dirancang media pembelajaran yang baik, sehingga guru dapat menjelaskan materi pelajaran secara baik pula. 4.2.2 Beberapa Jenis Media Pembelajaran Dari penelusuran berbagai sumber yang ada secara umum sebenarnya banyak media yang bisa digunakan untuk menunjang proses pembelajaran di ruang kelas. Namun, dalam konteks ini dapat diidentifikasi tujuh jenis media pembelajaran antara lain: 1. Realthing adalah manusia (pengajar) benda yang sesungguhnya (bukan gambar, atau model) dan pristiwa yang sebenarnya terjadi. 2. Verbal representation adalah media tulis/cetak, misalnya buku teks, refrensi, dan bahan bacaan lainnya. 3. Grafhic representation adalah berupa chart, diagram, gambar, atau lukisan. 4. Still picture seperti foto, slide, film strif, dan OHP. Still picture kadang-kadang dapat berupa gambar hitam-putih, dan dapat pula berupa gambar berwarna. 5. Audio (recording) seperti pita kaset, reel tape, piringan hitam, sound track pada film ataupun pita pada video tape. 6. Program adalah kumpulan informasi yang berurutan. Program bisa berbentuk verbal, (buku teks) visual, maupun video. 7. Simulations. Media ini kita kenal dengan istilah simulation and game, yaitu suatu permainan yang menirukan kejadian yang sebenarnya. 11 Selain tujuh kategori media yang dapat digunakan sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran di ruang kelas sebagaimana diuraikan di atas sebenarnya masih ada lagi media yang lain seperti papan tulis, meja, kursi, dan sebagainya. Semua media ini disebut media material, sebab semuanya kongkret, dalam arti dapat dilihat dengan mata. Media material ini disebut juga sebagai alat bantu ‘’visual’’, sebab dapat membantu memvisualisasikan hal-hal yang abstrak menjadi hal yang bersifat kongkrit (nyata). Penggunaan alat bantu visual dalam proses pembelajaran sejalan dengan pandangan Dwyer (1967) salah seorang tokoh aliran realisme yang menegaskan bahwa belajar yang sempurna hanya dapat tercapai jika menggunakan bahanbahan visual yang mendekati realitas. Hal ini sejalan pula dengan pandangan Milar, dkk., (1957) yang mengatakan bahwa makin banyak sifat bahan visual yang menyerupai realitas, maka semakin mudah pula terjadinya proses belajar pada diri siswa. Pada praktiknya penggunaan media visual, lebih banyak digunakan pada anak-anak yang berusia 7-13 tahun atau pada anak-anak sekolah dasar, dibandingkan pada anak-anak sekolah menengah ke atas, sebab anak-anak pada usia ini belum mampu berpikir abstrak sehingga materi yang diajarkan perlu divisualisasikan dalam bentuk yang nyata. Dengan cara seperti itu, dapat membantu anak-anak dalam proses internalisasi berbagai pengetahuan yang diajarkan oleh guru dalam proses pembelajaran. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan guru dalam menentukan media yang akan digunakan adalah sifat-sifat media itu sendiri. Secara umum bahan audiovisual mempunyai lima sifat yaitu : 1. Kemampuan untuk meningkatkan persepsi; 2. Kemampuan untuk meningkatkan pengertian; 3. Kemampuan untuk meningkatkan transfer/pengalihan bbelajar; 4. Kemampuan untuk memberi penguatan (reiforcmant); 5. Kemampuan untuk meningkatkan retensi (ingatan). 12 Dalam konteks ini yang perlu disadari dari sifat-sifat media tersebut adalah tidak semua media memiliki potensi yang sama banyaknya. Tetapi kelima hal tersebut di atas harus digaris bawahi guru. Sebab jika tidak bahan-bahan tersebut akan kehilangan perananya dalam proses belajar. 4.2.3 Cara Merancang Media Pembelajaran yang Efektif Sudah menjadi wacana publik di kalangan para pendidik bahwa media merupakan alat bantu mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Guna dapat menciptakan media yang efektif dalam proses pembelajaran guru seharusnya memahami materi pembelajaran yang akan diajarkan, dan media apa yang cocok digunakan sebagai alat bantu dalam penyampaian materi tersebut. Selain itu, guru juga dituntut cerdas dalam menentukan macam dan jenis alat bantu yang akan digunakan dalam proses pembelajaran itu sendiri. Hal demikian mengingat dalam proses pembelajaran, bukan hanya media material yang dapat dijadikan alat bantu pembelajaran, akan tetapi media non-material pun dapat pula dimanfaatkan. Ada beberapa macam media non-material yang sering dipakai sebagai media pendidikan pada umumnya. Media-media itu adalah suruhan, larangan, nasihat, hukuman, peringatan, bimbingan, hadiah, pujian, dan sebagainya. Terlepas dari bentuk-bentuk dan jenis-jenis media dalam pendidikan, dan terkait dengan masalah pemilihan media, menurut Djmarah (1991:96) semuanya akan berpulang pada guru, dalam arti bagaimana guru memilih media yang tepat berdasarkan pertimbangan yang hati-hati agar proses pembelajaran dapat mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Semua itu kembali berpulang pada keterampilan guru dalam memilih dan merancang media yang tepat dan benar. Jadi, cara merancang media yang efektif dalam pencapaian tujuan pembelajaran selain tergantung pada kemampuan guru, di sini juga dapat dikemukakan beberapa cara yang efektif untuk merancang media pembelajaran yang baik. Antara lain, (1) media harus dirancang sesederhana mungkin sehingga jelas dan mudah dipahami oleh siswa; (2) media hendaknya dirancang sesuai dengan pokok bahasan yang akan diajarkan; (3) media hendaknya dirancang tidak terlalu menjelimet dan tidak membuat anak-anak 13 menjadi bingung; (4) media hendaknya dirancang dengan bahan-bahan yang sederhana dan mudah didapat, tetapi tidak mengurangi makna dan fungsi media itu sendiri; (5) media dapat dirancang dalam bentuk model, gambar, bagan berstruktur, dan lain-lain, tetapi dengan bahan yang murah dan mudah didapat sehingga tidak menyulitkan guru dalam merancang media dimaksud. 4.3 Implikasi Penggunaan Media dalam Proses Pembelajaran di Ruang Kelas 4.3.1 Implikasi terhadap Guru Penggunaan media dalam proses pembelajaran di ruang kelas dapat berimplikasi terhadap beberapa hal antara lain, terhadap guru uitu sendiri, terhadap siswa, dan terhadap proses pembelajaran di ruang kelas. Implikasi penggunaan media terhadap guru dapat berupa memudahkan dirinya dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dikatakan demikian sebab dengan menggunakan media guru tidak terlalu banyak menghafal materi yang akan diajarkan. Selain itu dengan alat bantu mengajar (media pembelajaran) guru dapat lebih terstruktur di dalam menyampaikan materi karena sudah dirancang sebelumnya, dan sudah disediakan dalam bentuk media itu sendiri. Dengan demikian jelas pembelajaran dengan menggunakan media dapat memudahkan guru dalam melakukan transfer pengetahuan (trenfer of konwledge) dan pada gilirannya dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Bukan hanya itu, dengan menggunakan media guru dapat lebih mudah mengoragnisir materi pelajaran, sehingga penyajian materi pelajaran dapat dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Namun demikian, harus diakui pula bahwa penggunaan media bagi guru dapat merepotkan dirinya, sebab menyiapak media yang sesuai dengan bahan yang akan dajarkan bukanlah pekerjaan mudah. Sebab selain, pembuatannya rumit, juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga guru harus rela mengeluarkan koceknya untuk hal tersebut. Jadi, berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengguanan media dalam proses pembelajaran di ruang kelas tidak hanya berimplikasi positif bagi diri guru itu sendiri tetapi juga berimplikasi negatif. Namun demikian, sebagai seorang guru mau tidak mau, suka tidak suka untuk bisa mencapai hasil yang efetif dan efisien dalam proses pembelajaran di sekolah wajib dalam melakukan proses pembelajaran menggunakan media yang baik dan menarik perhatian siswa. 14 4.3.2 Implikasi terhadap Siswa Selain berimplikasi terhadap guru, penggunaan media dalam proses pembelajaran di ruang kelas ternyata berimplikasi pula terhadap diri siswa itu sendiri. Dalam sebuah proses pembelajaran siswa sering hanya dipandang sebagai obyek semata. Padahal seharusnya selain sebagai objek siswa juga harus diperlakukan sebagai subjek didik dalam sebuah proses pembelajaran. Konskuensi dari pernyataan tersebut, guru dalam memberi materi pelajaran terhadap siswa hendaknya memperhatikan kemampuan dan keinginan siswa. Jika guru dalam proses pembelajaran memandang siswa sbagai objek atau klient semata, maka guru tersebut masih melihat fungsi guru sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan sebagai indoktrinator. Terkait dengan itu Susilo (2007:87) mengatakan : setiap orientasi pendidikan dapat dikaji berdasarkan empat dimensi yang ada, yakni dimensi status anak didik, dimensi peran guru, dimensi materi pengajaran, dan dimensi manajemen pendidikan. Masing-masing dimensi mempunyai dua kutub ekstrem yang terentang secara kontinyu. Dimensi status anak didik terentang dari anak berstatus sebagai objek atau klient, dan anak didik berstatus sebagai subjek atau warga belajar. Dimensi kedua adalah fungsi guru yang terentang dari kutub fungsi guru sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, sampai pada kutub lain guru sebagai fasilitator dan motivator dalam proses pendidikan. Dimensi yang ketiga adalah materi pendidikan, yang memiliki rentang dari yang bersifat materi oriented atau subjek oriented sampai problem oriented. Dimensi keempat adalah manejemen pendidikan yang terentang dari manjemen yang bersifat sentralistis sampai manajemen yang bersifat desentralistis atau school-based management. Dari keempat dimensi yang ada seharusnya guru selalu berpegang pada kutub kedua dari dimensi-dimensi yang ada, seperti siswa harus dipandang sebagai subjek dan bukan sebagai objek semata. Demikian pula guru dalam mengajar harus melihat fungsinya sebagai fasilitator dan motivator dan tidak sebagai pemegang otoritas tertinggi bidang keilmuan atau sebagai indoktrinator, dan seterusnya. Jika hal ini bisa dilakukan oleh guru, dan dalam proses pembelajaran selalu berpegang pada prinsipprinsip pedagogis, ditambah penggunaan alat bantu mengajar maka bukan merupakan 15 keniscayaan jika tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya akan tercapai secara efektif dan efisien. Dengan demikian siswa akan menjadi senang dan betah mengikuti pelajaran di sekolah, yang pada gilirannya akan dapat berimplikasi pada perubahan sikap dan perilaku siswa itu sendiri. 4.3.3 Implikasi terhadap Proses Pembelajaran di Ruang Kelas Telah dipahami bahwa proses pembelajaran di ruang kelas merupakan kegiatan yang paling pokok dari keseluruhan proses pendidikan. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses pembelajaran itu dirancang dan dilakukan oleh guru itu sendiri. Dengan meminjam gagasan Djamarah (1994 :15) dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran merupakan inti dari kegiatan pendidikan. Sebagai inti dari kegiatan pendidikan, proses pembelajaran merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Artinya, tujuan pendidikan tidak akan pernah tercapai apabila interaksi belajar-mengajar tidak pernah berlangsung dalam pendidikan. Dari perspektif yang berbeda dapat dikatakan bahwa berhasil tidaknya proses pembelajaran di ruang kelas juga ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain : (1) faktor kemampuan guru; (2) faktor sarana dan prasarana penunjang proses pembelajaran; (3) faktor lingkungan sekolah; dan (4) faktor penggunaan alat bantu mengajar (media pembelajaran). Faktor kemampuan guru di sini paling tidak menyangkut dua kemampuan dasar, yakni kemampuan mendesain program dan keterampilan mengkomunikasikannya kepada siswa. Kedua, modal dasar itu sebenarnya telah terhimpun dalam tiga macam kompetensi sebagai dasar kemampuan guru, yakni keperibadian, penguasaan bahan pengajaran, dan kemampuan dalam cara-cara mengajar. Bila ketiga macam kompetensi itu dapat dipahami dan dikuasai oleh guru, maka guru dapat melaksanakan pengajaran dengan baik. Namun begitu, guru tidak cukup hanya memiliki dasar-dasar kompetensi itu, tetapi masih ada kompetensi lainnya yang harus dikuasai guru. Misalnya kompetensi guru dalam merancang dan menggunakan alat bantu mengajar yang biasa disebut median pembelajaran. Apabila guru memiliki kemampuan yang baik atau memiliki 16 kompetensi dalam hal merancang dan menggunakan media pembelajaran, tentu hal ini akan berimplikasi terhadap kelancaran proses pembelajaran di ruang kelas. Sebab penggunaan media yang baik dan benar dapat mempermudah guru dalam menjelaskan materi pelajaran yang diajarkan sehingga pada gilirannya dapat mempercepat pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa penggunaan media ternyata berimplikasi pula terhadap proses pembelajaran di ruang kelas, yakni dapat membantu guru dalam penyampaian materi pelajaran, dan dapat menciptakan suasana belajar yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan (PAIKEM). Dikatakan demikian sebab dengan alat bantu mengajar siswa akan lebih terangsang untuk belajar secara aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Selain itu penggunaan alat bantu mengajar dapat pula merangsang anak-anak untuk mengemukakan pertanyaan dan paling tidak dapat memberi respon yang positif terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di ruang kelas. BAB III PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan uraian dalam bab-bab di atas dapat ditarik simpulan yang merupakan abstarksi dari keseluruhan isi kajian ini. Adapun simpulan yang dapat dikemukakan di sini adalah sebagai berikut. 1. Ada tiga alas an mendasar perlunya digunakan media dalam proses pembelajaran di ruang kelas, terutama bagi para siswa sekolah dasar, yakni karena, pertma siswa SD cenderung masih berpikir kongkrit, sehingga materi pelajaran yang bersifat abstrak perlu divisualisasikan sehingga menjadi lebih nyata, kedua penggunaan media dalam proses pembelajaran dapat membangkitkan minat dan motivasi belajar siswa, mengurangi atau menghindari terjadinya verbalisme, membangkitkan nalar yang teratur, sistematis, dan untuk menumbuhkan pengertian dan mengembangkan nilai-nilai pada diri siswa. 17 Ketiga, pembelajaran dengan menggunakan media dapat pula memberikan pengalaman bermakna bagi siswa karena dengan penggunaan media siswa dapat menyaksikan secara langsung hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. 2. Secara umum ada beberapa cara yang efektif untuk merancang media pembelajaran yang baik, antara lain, (1) media harus dirancang sesederhana mungkin sehingga jelas dan mudah dipahami oleh siswa; (2) media hendaknya dirancang sesuai dengan pokok bahasan yang akan diajarkan; (3) media hendaknya dirancang tidak terlalu menjelimet dan tidak membuat anak-anak menjadi bingung; (4) media hendaknya dirancang dengan bahan-bahan yang sederhana dan mudah didapat, tetapi tidak mengurangi makna dan fungsi media itu sendiri; (5) media dapat dirancang dalam bentuk model, gambar, bagan berstruktur, dan lain-lain, tetapi dengan bahan yang murah dan mudah didapat sehingga tidak menyulitkan guru dalam merancang media dimaksud. 3. Penggunaan media dalam proses pembelajaran di ruang kelas ternyata berimplikasi terhadap beberapa hal antara lain: pada diri guru itu sendiri, yakni dengan penggunaan media dapat memudahkan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di ruang kelas; (2) terhadap diri siswa, dimana dengan penggunaan media dalam proses pembelajaran dapat merangsang siswa untuk belajar secara lebih aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan; (3) terhadap proses pembelajaran di ruang kekas, yakni dapat membantu guru dalam penyampaian materi pelajaran, dan dapat menciptakan suasana belajar yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan (PAIKEM). 5.2 Saran-Saran 1. Mengingat betapa pentingnya peranan media dalam proses pembelajaran di ruang kelas maka kepada semua guru bidang studi, khususnya yang mengajar di kelas rendah disarankan agar senantiasa menggunakan media dalam proses pembelajaran sebab penggunaan media dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam hal belajar. 2. Kepada para pemegang kebijakan pendidikan di negeri ini disarankan agar memberikan perhatian yang lebih baik terhadap proses pengadaan alat bantu 18 mengajar di sekolah, mengingat betapa pentingnya peranan media dalam proses pembelajaran di ruang kelas, sementara guru atau pihak manajemen sekolah mengamlami kendala dalam proses pengadaan media pembelajaran mengnigat terbatasnya sunber daya ekonomi yang dimiliki pihak sekolah atau guru yang bersangkutan. . DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, H., Abu 1991. Psikologi Perkembangan. Penerbit Rineka Cipta : Jakarta Ali, H., Muhamad, 1992. Guru dalam Proses Belajar-Mengajar. Penerbit Sinar Baru : Bandung. Bachtiar, Harsja, W., 1984. Media dalam Pembelajaran. Penelitian selama 60 tahun Gene L. Wilkinson. Penerbit CV. Rajawali : Jakarta. Darma, I Made, 1983. Alat Peraga dan Komunikasi Pendidikan, Diktat Materi Pelajaran Alat Peraga dan Komunikasi Pendidikan, untuk Siswa SPG negeri Denpasar. Djamarah, Syaiful Bakri, 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Penerbit Usaha Nasional : Surabaya. Depdikbud 1989. Materi dan Program Latihan Kerja Guru PMP SLTP. Penerbit Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah : Jakarta. Depdikbud, 1992. Materi Latihan Kerja Guru PMP SLTP. Penerbit Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah : Jakarta. Depdikbud, 1999. Materi Latihan Kerja Guru PPKn SD. Penerbit Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah : Jakarta. Gorda I Gusti Ngurah, 1997. Metodelogi Penelitian Ilmu Sosial Ekonomi. Penerbit Widya Kriya Gematama : Denpasar. Hamalik, Oemar, 1990. Media Pendidikan. Penerbit Alumni : Bandung. Hamalik Oemar, 1990a. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA. Penerbit CV. Sinar Baru: Bandung. Hasan, Chalijah, 1994. Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan. Penerbit Alikhlas : Surabaya. Idris, H. Zahari, 1987. Dasar-dasar Pendidikan. Penerbit : Angkasa Raya : Padang. Mudyaharjo, Reja, dan Waini Rasyidin, 1995. Dasar-Dasar Kependidikan. Penerbit Dirjen Bimas Hindu dan Buda dan Universitas Terbuka : Jakarta. Mudzakir, Ahmad, dan Joko Sutrisno, 1997. Psikologi Pendidikan. Penerbit Pustaka setia : Bandung. Malapu Syarun 1998. Profesionalisme Guru dalam Upaya Meningkatan Potensi Peserta Didik. Mutu Fol. VII. No.2 Edisi Juli—Desember 1998. Penerbit Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud : Jakarta. Netra, I. B., 1974. Statistik Infrensial. Penerbit Usaha Nasional Surabaya. Nurkencana, Wayan, dan P. N. Sunartana, 1983. Evaluasi Pendidikan. Penerbit Usaha Nasional : Surabaya 19 Poerwadarminta, W. J. S., 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Suntingan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Penerbit Balai Pustaka : Jakarta. Roestyah, N. K., 1982. Masalah Pengajaran sebagai Suatu Sistem. Penerbit PT. Bhineka Aksara : Jakarta. Rusyan A. Tabrani, 1993. Proses Belajar-Mengajar yang Efektif Tingkat Pendidikan Dasar. Penerbit : Bina Budaya : Bandung. Suarni, Ni Ketut, 1996. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Diktat Materi Kuliah Perkembangan dan Belajar Peserta Didik, untuk Mahasiswa D-2. PGSD FKIP Singaraja. Suka, komang dan I Dewa Arta, 1982. Uraian Pokok Didaktik/Metodik Umum. Diklat Materi Pelajaran Didaktik dan Metodik Umum untuk SPG Negeri DenpaSuleiman, Amir, Hamzah, 1979. Media Audio Visual untuk pengajaran, Penerangan, Penyuluhan. Penerbit PT. Gramedia : Jakarta. Sudjana, Hana, 1995. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Penerbit Sinar Baru Aglensindo : Bandung. Suparno, 1987. Media Pengajaran Bahasa. Penerbit Intan Pariwara : Yogyakarta.Sutarno, Ap., dkk., 1978. Teknik Penilaian Pendidikan. Penerbit Tiga Serangkai : Solo. Surakhmad, Winarno, 1975. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metodik Teknik. Penerbit Tarsito : Bandung. Susilo, M., Joko, 2007. Pembodohan siswa Tersistematis. Penerbit PINUS Book Publiser : Yogyakarta. Usman, Moh Uzer, 1995. Menjadi Guru Profesional. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya : Bandung. Wirya, I Nyoman, dkk., 1999. Efektifitas Metode Diskusi dan Kontribusinya bagi Upaya Peningkatan Prestasi Belajar PPKn di Kelas VI Sekolah Dasar. Penerbit Bagian Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas Dikdasmen Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali. 20