Etika Bahasa Jurnalistik dan kode etik jurnalistik.

advertisement
“Etika Bahasa Jurnalistik dan kode etik jurnalistik”
1
A.Arti dan Definisi Etika
Secara etimologis, berdasarkan yang diungkapkan Bertens dalam (Hikmat, 2011) etika
berasal dari bahasa Yunani Kuno, ethikos, yang berarti timbul dari kebiasaan. Ada juga yang
mengkategorikan berasal dari kata ethos yang berarti adat atau kebiasaan atau bentuk jamaknya
la etha atau ta ethe yang artinya samaadat kebiasaan. Etika dan moral lebih kurang sama
pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan. Moral atau moralitas untuk
perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
Istilah lain yang identik dengan etika adalah susila dan akhlak. Susila (Sansekerta),lebih
menunjukan kepada dasar-dasar, prinsip, dan aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Akhlak
(Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak menurut Ruslan dalam (dalam Lastra, 2011).
Menurut Ki Hajar Dewantara, etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan
keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran
dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat
merupakan perbuatan.
Menurut K. Bertens, etika dapat dibedakan dalam tiga arti. Pertama, kata etika bisa dipakai
dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau niali
moral. Maksudnya adalah kode etik. Ketiga, etika adalah ilmu tentang apa yang baik atau buruk.
Dalam hukum dan masyarakat terdapat etika. Jika hukum berbicara tentang peraturan tertulis
dan bersifat memaksa, maka etika lebih banyak menyentuh peraturan tidak tertulis sebagai hasil
kesepakatan-kesepakatan dalam masyarakat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang
lain. Dalam etika tak ada kekuatan yang sifatnya memaksa. Etika berpulang pada hati nurani
setiap individu (Sumadiria, 2005: 228).
B.Pengertian Bahasa Jurnalistik
Menurut Jus Badudu dalam (dalam Nina, 2013), bahasa jurnalistik tunduk pada bahasa baku.
Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan
paling besar wibawanya. Kemudian dalam (dalam Sarwoko, 2007) Jus Badudu menyatakan
bahwa bahasa jurnalistik itu harus sederhana, mudah dipahami, teratur, dan efektif. Bahasa yang
sederhana dan mudah dipahami berarti menggunakan kata dan struktur kalimat yang mudah
dimengerti pemakai bahasa umum. Bahasanya teratur berarti setiap kata dalam kalimat sudah
ditempatkan sesuai dengan kaidah. Efektif, bahasa pers haruslah tidak bertele-tele, tetapi tidak
juga terlalu berhemat sehingga maknanya menjadi kabur.
Dengan berpijak pada pendapat para pakar dan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur, atau
pengolah media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan, dan penayang
berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik
dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya.
2
C.Ciri Bahasa Jurnalistik
Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala
tersebut. yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis,
gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata. (diksi) yang
tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan kata atau istilahistilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika (Sumadiria, 2005:53-61). Berikut perincian
penjelasannya.
1. Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau. kalimat yang paling banyak
diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat
intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat
yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa
jurnalistik.
2. Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak
berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling
yang tersedia pada kolom-¬kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas,
sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekwensinya apa pun pesan yang akan
disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.
3. Padat
Menurut. PatmonoSK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996:
45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragrap yang
ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti
terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalinat yang singkat
tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kaliamat yang padat, kecuali singkat juga
mengandung lebih banyak informasi.
4. Lugas
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata
dan kalimat yang bisa membingunglian khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi
dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari
kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
5.Jelas
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam
adalah wara yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan,
maka terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada.
Kedua warna itu sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu. Perbedaan warna hitam
dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas
3
susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK),
jelas sasaran atau maksudnya.
6.Jernih
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan
sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan,
kita hanya dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium dengan
air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila
dimasukkan ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh.
Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat
yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali
fakta, kebenaran, kepentingan public. Dalam bahasa kiai, jermh berarti bersikap berprasangka
baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang
komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola piker positif (positive thinking) dan
menolak pola pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat
melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan
kepala dingin, hati jernih dan dada lapang.
Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa
pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan,
kebenaran, kepentingan rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya
hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan
pimpinan partai politik.
7. Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan
perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur,
terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku.
Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan karyakarya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada memunculkan semangat
dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya wartawan, sementara
karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut seniman.
Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang,
bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras
apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta
permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif
tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula
bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa
edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.
8. Demokratis
4
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis
berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak
yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan
bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga
samasekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam
lingkungan priyayi dan kraton.
Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan
pengemis dan pemulung secara sama.Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka
kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan pengemis
keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif
dalam penulisan berita, laporan, gambar, karikatur, atau teks foto.
Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama di
depan hukum schingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda.
Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang
membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih
dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, karena.
bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis. Sebagai
contoh, prisiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.
9. Populis
Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya
jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca, pendengar,
atau. pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua
lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu rumah tangga
sampai ibu-ibu pejabat dharma wanita. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa yang elitis
adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja, terutama mereka
yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
10. Logis
Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraph jurnalistik
harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahasa
jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Di sini berlaku hokum logis.
Sebagai contoh, apakah logis kalau dalam berita dikatakan: jumlah korban tewas dalam musibah
longsor dan banjir banding itu 225 orang namun sampai berita ini diturunkan belum juga
melapor.. Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana mungkin korban yang sudah
tewas, bisa melapor?
Menurut salah seorang wartawan senior Kompas dalam bukunya yang mengupas masalah
kalimat jumalistik, dengan berbekal kemampuan menggunakan logika (silogisme), seorang
wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan, fakta, persoalan, ataupun pernyataan
seorang sumber berita. Ia akan lebih kritis, tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang
mengemukakan peryataan atau keterangan dengan motif-motif tertentu (Dewabrata, 2004:76).
5
11. Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa
jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai
dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman
pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar
pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh
berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui
anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan.
Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran
pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.
12. Menghindari kata tutur
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal.
Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus kota,
atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh pihak yang
diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya menekankan
pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh
kata-kata tutur: bilang, dilangin, bikin, diksih tahu, mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.
13. Menghindari kata dan istilah asing
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan makna
setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata
asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonym dan heterogen. tidak saling
mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosialekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik,
memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan,
sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri,
juga mencelakakan orang lain.
14. Pilihan kata (diksi) yang tepat
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya
harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas. Artinya setiap kata yang
dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan
kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai
varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan
matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak.
Pilihan kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat
fatal. Seperti ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, pengertian pilihan kata atau diksi jauh
lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata itu. Istilah ini bukan saja digunakan untuk
6
menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi
juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan.
Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang
menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian
dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang
memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).
15. Mengutamakan kalimat aktif
Kalimat akiff lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada
kalimat pasif. Sebagai contoh presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presided.Contoh lain,
pencuri mengambil perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya perhiasan itu
dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan katanya, dan kuat
maknanya (clear and strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas
pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.
16. Menghindari kata atau istilah teknis
Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami,
ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah
satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis.
Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu
yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa tidak boleh
dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efelitf, juga mengandung unsur
pemerkosaan.
Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia kedokteran, atau berbagai istilah teknis
dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila
dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan
mudah dipahami maksudnya, maka istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa
dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus
disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda kerung.
Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis,
mencerminkan media itu :
o
kurang melakukai pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas,
o
tidak memiliki editor bahasa,
o
idak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau
o
tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.
17. Tunduk kepada kaidah etika
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan saja
harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya, melainkan juga
7
harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan
pikiran tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu.
D.Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
Penggunaan bahasa jurnalistik itu tidak boleh sembarangan. Melainkan harus berdasarkan
kaidah-kaidah dari bahasa Indonesia itu sendiri. Dan sesuai prinsip-prinsip dasar dalam bahasa
jurnalistik yang telah ditentukan.
Dalam bahasa jurnalistik ada empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan oleh Leech,
yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.
1.
Prinsip Prosesibilitas
Prinsip ini merupakan suatu proses dimana penulis harus memahami dari pesan yang akan
disampaikan. Sehingga pembaca dapat mudah memahaminya, maka di sini penulis harus
menentukan beberapa hal yaitu:
o
Bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan.
o
Bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan tersebut.
o
Bagaiman mengurutkan satuan-satuan pesan tersebut.
Ketiga hal di atas akan saling berkaitan. Penyusunan bahasa jurnalistik dengan menerapkan
bahasa Indonesia yang baik itu harus cepat menimbulkan pemahaman pembaca dalam kondisi
apapun tentang fakta atau berita yang disampaikan. Sehingga, prinsip prosesibilitas ini tidak
terlanggar.
2.
Prinsip Kejelasan
Yaitu prinsip dimana penulis dituntut agar teks dapat mudah dipahami oleh pembaca. Dengan
menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (abiguity) sehingga mudah dipahami.
3.
Prinsip Ekonomi
Yaitu teks harus ditulis sesingkat mungkin tanpa harus merusak dan mereduksi pesan.
4.
Prinsip Ekspresivitas
Pinsip ini disebut pula dengan prinsip ikonisitas. Yang mana prinsip ini menganjurkan agar
teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan.
Maka dari itu untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan
berbahasa tulis secara terus-menerus. Serta melakukan penyuntingan tanpa pernah berhenti.
Dengan demikian keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang sesuai
dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang telah ditetapkan dan mudah dimengerti oleh
masyarakat serta memuaskan pembacanya akan bisa diwujudkan.
8
E.Berpedoman pada Bahasa Baku
Bahasa jurnalistik yang ditulis dalam bahasa Indonesia juga harus dapat dipahami oleh
pembaca di seluruh nusantara. Bahasa Indonesia juga mengenal berbagai ragam bahasa,
termasuk dialek. Bila surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya menggunakan bahasa
Indonesia dengan salah satu dialek tertentu, besar kemungkinannya tulisan dalam surat
kabar/majalah tersebut tidak dapat dipahami oleh pembaca di seluruh nusantara. Seperti
dikemukakan oleh J.S. Badudu, -- bahasa baku, baik lisan maupun tulisan dipakai oleh golongan
masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya.
Contohnya:
PLN sebagai penyedia layanan publik tentu harus bertanggung jawab atas kerugian itu.
Terlebih-Iebih, sumber kerusakan sebenamya sudah diketahui empat hari sebelumnya, bahkan
hari pemadaman pun sudah direncanakan dan diatur PLN. (Republika, 23 Mei 1997)
Bahasa Indonesia baku itulah yang seharusnya digunakan dalam bahasa jumalistik agar dapat
dipahami oleh pembaca di seluruh tanah air. Karena itu, bahasa jurnalistik sama sekali tidak
berbeda dengan bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia yang digunakan dalam komunikasi
resmi: pidato resmi kenegaraan, surat-menyurat resmi, menulis laporan resmi, menulis buku ajar,
makalah (paper), skripsi, tesis, disertasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.
Jadi, kalau pada kenyataannya ada sedikit perbedaan antara bahasa jurnalistik dengan bahasa
Indonesia baku, bukan pada hakikatnya memang hams berbeda. Akan tetapi, perbedaan itu lebih
disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat teknis di samping kurangnya kemampuan berbahasa
para jurnalis dan redaktur surat kabar yang bersangkutan, seperti telah disinggung di muka.
F.Bahasa yang Digunakan Efektif dan Efisien
Bahasa yang efektif ialah bahasa yang mencapai sasaran yang dimaksudkan (Moeliono, 1993:
I). Bahasa Indonesia jurnalistik yang efektif membuahkan hasil atau efek yang diharapkan
pembicaraan karena cocok atau relevan dengan peristiwa atau sesuai dengan keadaan yang
menjadi latarnya. Bahasa Indonesia jurnalistik yang efisien ialah bahasa yang mengikuti kaidah
yang dibakukan atau yang dianggap baku, dengan mempertimbangkan mh~' ukuran umum, yang
mengatasi varlasi dialek atau idiolek (perseorangan), bagi pemakaian bahasa yang benar dan
patut menjadi contoh untuk diikuti. Hoed (1977: 3) dalam penelitiannya tentang "Kata Mubazir
dalam Surat Kabar Harlan Berbahasa Indonesia" menyatakan, usaha mencapai efisiensi
didasarkan pada probabilitas munculnya suatu kata dalam konteks tertentu (probability of
accurance).
G.Penyimpangan Bahasa Jurnalistik
Meskipun bahasa jurnalistik mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang telah ditentukan, namun
masih terlihat penyimpangan terhadap kaidah bahasa jurnalistik yang tidak sesuai dengan kaidah
bahasa Indonesia. Demikian pula penyimpangan mengenai tataran tanda baca. Penyimpangan
bahasa jurnalistik ini sepertinya menjadi hal yang lazim, sehingga bahasa jurnalistik dianggap
9
sebagai perusak bahasa Indonesia. Mestinya bahasa junalistik tetap harus mengacu pada kaidah
bahasa yang telah baku, karena media massa sangat erat kaitannya dengan masyarakat.
Adapun beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dari kaidah bahasa Indonesia baku, yaitu:
1. Penyimpangan Klerikal (Ejaan dan Tanda Baca)
Kesalahan ini sering kali kita temukan dalam media massa, baik dalam penulisan kata, seperti
Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis kuatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron. Dan
kesalahan tanda baca juga dapat ditemui dalam penggunaan tanda titik, tanda koma, tanda
hubung, dan lain-lain.
Maka dalam memilih ejaan kata yang tepat kita harus memerlukan sedikit ketelitian. Karena
bahasa Indonesia banyak memiliki bentuk kembar, seperti kata risiko-resiko, sekadar-sekedar,
Senin-Senen, film-pilem, juang-joang. Memang kata-kata seperti itu sering kali membuat kita
bingung dan akhirnya kita membuat kesalahan dalam penulisannya. Biasanya hal ini dikarenakan
adanya pengaruh dari bahasa daerah. Maka kita harus memilih ejaan yang sesuai dengan Ejaan
Yang Disempurnakan.
2. Penyimpangan Gramatikal
Penyimpangan gramatikal ini terdiri atas:
a.
Kesalahan Pemenggalan
Kesalahan pemenggalan kata dalam media massa terkesan asal penggal saja. Hal ini
dikarenakan pemenggalannya menggunakan program komputer bahasa asing. Dal hal ini bisa
diatasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
b.
Penyimpangan Morfologis
Penyimpangan ini sering dijumpai pada judul berita dalam media massa yang menggunakan
kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata
kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Misalnya: “Muluskan Boediono, Lobi
Komisi IX”, “Cemburu, Pelajar Bunuh Pelajar”, “Ngaku Buat Jaga Diri Bapak-Bapak Ditangkep
Pulisi Karena Bawa Sajam”.
c.
Kesalahan Sintaksis
Kesalahan ini yaitu berupa pemakaian tata bahasa atau struktur kalimat yang kurang benar
sehingga sering mengacaukan arti dari kalimat tersebut. Hal ini disebabkan karena logika penulis
yang kurang bagus. Contoh: “Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika
Serikat”. Judul tersebut seharusnya ditulis, “Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor
Ke Amerika Serikat”.
3. Penyimpangan Semantik
Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau menimbulkan
dampak buruk pemberitaan dan untuk melebih-lebihkan (bombastis). Contoh: Penyesuaian tarif
BBM merupakan kebijakan pemerintah yang tidak populis. Pemakaian kata penyesuaian tarif,
10
tidak dapat dimaknai dari segi makna lugas saja melainkan juga harus dilihat dari makna figuratif
(kias) yang mengandung eufimismedengan alasan kesopanan.
4. Penyimpangan Dari Aspek Kewacanaan
Penyimpangan ini dapat diketahuai dari aspek kewacanaan dari penggunaan bahasa yang
dilihat dari makna bahasa yang berkaitan dengan aktivitas dan sistem-sistem di luar bahasa.
Contoh penyimpangan dari aspek kewacanaan ini yaitu berita tentang tragedi kematian Munir
(Pejuang HAM). Meski pelaku dan dalang pembunuhnya belum ditemukan, namun media massa
telah membentuk opini masyarakat tentang para pelakunya. Pemberitaan tersebut memiliki
pendapat yang berbeda dari masing-masing media sehingga menjadikan isi berita menjadi tidak
realistis. Bahkan, terlalu dibesar-besarkan sehingga membuat para pembacanya bingung.
Permasalahan yang muncul adalah masalah peminjaman istilah-istilah atau kata-kata asing
yang pada dasarnya sudah populer di masyarakat. Penggunaan istilah asing tersebut telah
bertaburan di media massa. Tetapi, penggantian istilah asing yang tidak ada penggantinya dalam
bahasa Indonesia akan menimbulkan kesulitan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, maka perlu dilakukan penyuntingan atau
editing baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, ejaan, serta pemakaian bahasa
jurnalistikyang baik secara umum. Agar penulis atau wartawan mampu memilih kosakata yang
tepat, maka mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan
teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata
yang sama, yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa
mendaftar kata-kata dan lawan katanya.
Dengan demikian,penulis atau wartawan bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan
bermakna bagi pembaca. Sementara dalam penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa
prinsip yang dilakukan:
1.
Balancing, yaitu menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan.
2.
Visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data yang aktual.
3.
Logika cerita yang mereferensi pada kecocokan.
4.
Akurasi data.
5.
Kelengkapan data, setidaknya prinsip 5W1H.
6.
Panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan halaman.
Oleh karena itu diperlukan latihan menulis secara terus-menerus, dan latihan penyuntingan
yang berkelanjutan. Dengan upaya pelatihan dan penyuntingan tersebut, maka diharapkan
seorangjurnalis dapat menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan
selera pembacanya, pendengarnya, atau penontonnya.
11
A. Pengertian Kode Etik Jurnalistik
Kode (Inggris: code, dan Latin: codex) adalah buku undang-undang kumpulan sandi dan kata
yang disepakati dalam lalu lintas telegrafi serta susunan prinsip hidup dalam masyarakat. Etik
atau etika merupakan moral filosofi filsafat praktis dan ajaran kesusilaan. Menurut KBBI etika
mengandung arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban.
Moral adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan demikian, kode etik jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan dan juga
norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penertiban. Kode Etik
jurnalistik ialah ikrar yang bersumber pada hati nurani wartawam dalam melaksanakan
kemerdekaan mengeluarkan pikiran yang dijamin sepenuhnya oleh pasal 28 UUD 1945, yang
merupakan landasan konstitusi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kemerdekaan mengeluarkan pikiran ialah hak paling mendasar yang dimiliki setiap insan
wartawan, yang wajib di jungjung tingggi dan di hormati oleh semua pihak. Sekalipun
kemerdekaan mengeluarkan pikiran merupakan hak wartawan yang dijamin konstitusi,
mengingat negara kesatuan republik Indonesia ialah negara berdasarkan hukum, maka setiap
wartawan wajib menegakan hukum, keadilan dan kebenaran dalam menggunakan haknya untuk
mengaluarkan pikiran.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan:
1. Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
2. Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and
recheck).
3. Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
4. Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut namanya.
Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat
beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
5. Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes
only).
6. Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu
suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi
wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya
“berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan
yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus
1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI
berintikan tujuh hal sebagai berikut:
12
1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan
informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta
dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan
plagiat.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul,
serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi
latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta
melayani Hak Jawab.
Kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia.
Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak
masyarakat.Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi
pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.Pengawasan
dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran
pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
B. Mengapa Diperlukan Kode Etik Jurnalistik Bagi Para Jurnalis.
Kode Etik Jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan, dan juga normal tertulis
yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penerbitan.
Mengapa Perlu Kode Etik……?
Kode etik jurnalistik diperlukan karena membantu para wartawan menentukan apa yang
benar dan apa yang salah, baik atau buruk, dan bertanggung jawab atau tidak dalam proses kerja
kewartawanan. Etika ditentukan dan dilaksanakan secara pribadi. Secara sederhana, kaidah etika
dirujuk dari kode etik (code of ethics) yang bersifat normatif dan universal sebagai kewajiban
moral yang harus dijalankan oleh institusi pers. Epitsemologi diwujudkan melalui langkah
metodologis berdasarkan pedoman prilaku (code of conduct) yang bersifat praksis dan spesifik
bagi setiap wartawan dalam lingkup lembaga persnya. Nilai dari kode etik bertumpu pada rasa
malu dan bersalah (shamefully and guilty feeling) dari hati nurani. Karena itulah kode etik terkait
dengan perkembangan dan pergeseran nilai masyarakat.
13
C. Ciri-ciri Kode Etik Jurnalistik
Adapun ciri dari suatu kode etik adalah sebagai berikut :
1. Kode etik mempunyai sanksi yang bersifat moral terhadap anggota kelompok tersebut
2. Daya jangkau suatu kode etik hanya tertuju kepada kelompok yang mempunyai kode etik
tersebut
3. Kode etik dibuat dan di susun oleh lembaga / kelompok profesi yang bersangkutan sesuai
dengan aturan organisasi itu dan bukan dari pihak luar.
Seorang jurnalis tidak boleh mencelakakan sumber berita, baik itu karena
keterusterangannya yang konyol dan tolol maupun karena tidak tahu situasi dan kondisi sumber
berita yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, kode etik jurnalistik
sesungguhnya berfungsi sebagai berikut :
a. Alat control social, yaitu tidak hanya megatur hubungan antara sesame anggota seprofesi,
tetapi juga dapat juga mengatur hubungan antara anggota organisasi profesi tersebut
dengan masyarakat.
b. Mencegah adanya control dan campur tangan pihak lain, termasuk pemeritnah atau
kelompok masyarakat tertentu.
D. Manfaat Kode Etik Jurnalistik
Manfaat kode etik jurnalistik adalah memperlihatkan kepada publik suatu karya
jurnalistik. Kode etik ini pula sebagai penuntun seorang wartawan dalam melakukan tugasnya,
baik dalam peliputan suatu berita atau menulis dan menyiarkan berita tersebut. Dengan memiliki
kode ini, maka wartawan dapat menimbang apakah tindakan yang dilakukannya benar atau salah,
baik atau jahat, bertanggungjawab atau tidak. Ketaatan terhadap kode etik jurnalistik dapat
dijadikan tolok ukur keprofesionalan warawan. Dengan demikian, seorang wartawan dapat
dikatakan professional jika ia menaati kode etik jurnalistik, yaitu memberitakan secara
berimbang, melakukan check and recheck, tidak mencampurkan fakta dan opini yang
menghakimi, tidak menyuap dan disuap, tidak membuat berita bohong, menjunjung tinggi asas
praduga tak bersalah, dan menghormati kehidupan pribadi narasumber.
Dengan adanya kode etik ini, maka seharusnya wartawan dapat:
1. Menimbang prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai, kewajiban terhadap dirinya dan kewajiban
terhadap orang lain.
2. Menentukan bagi dirinya sendiri bagaimana ia akan hidup, bagaimana ia akan
melaksanakan pekerjaan kewartawanannya, bagaimana ia akan berpikir tentang
dirinyasendiri dan tentang orang lain, bagaimana ia akan berperilaku dan bereaksi
14
terhadap orang-orang serta isu-isu di sekitarnya. (Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik,
Rosihan Anwar 1996).
Wartawan Indonesia juga bekerja berdasarkan kode etik yang disusun mengikuti
perubahan dan tuntutan zaman. Kendati kode etik ini tidak langsung berkaitan dengan hukum,
tetapi pelanggaran kode etik sangat berpotensi untuk berhadapan dengan hukum. Kode etik
wartawan Indonesia mengenal beberapa prinsip utama yang tidak boleh dilanggar. Itu meliputi :
1. Wartawan Indonesia harus menghormati hak masyakat untuk memperoleh informasi
yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan
informasi serta memberikan identitas kepada sumber berita.
3. Wartawan Indonesia menghormati asa praduga tak bersalah, tidak mencampurkan
adukkan fakta dan opini, berimbang, serta selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak
melakukan plagiat.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan
cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai embargo, latar belakang dan off the
record sesuai kesepakatan.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta
melayani hak jawab.
Prinsip mematuhi kode etik ini kini semakin penting jika mengingat kesadaran
masyarakat akan hukum makin tinggi. Di luar kode etik yang ditetapkan oleh Dewan Pers,
sebenarnya pegangan wartawan Indonesia dalam melakukan tugas adalah “berkiblat” terhadap
aturan-aturan di dalam undang-undang yang berlaku.
Misalnya, hak seseorang atas wilayah rumah dan pekarangannya yang diatur dalam
hukum positif. Dalam kaitan ini, maka seorang wartawan tidak bisa, atas nama tugas untuk
masuk tanpa izin. Tidak hanya melanggar etika, tetapi telah melanggar hak privat seseorang.
Kasus-kasus demikian sangat berpotensi untuk diperkarakan. Pihak yang dirugikan mempunyai
hak untuk, misalnya, melapor ke polisi.
Mengakui identitas diri sebagai wartawan adalah keharusan. Tetapi, dalam hal-hal
tertentu, untuk kegiatan investigasi reportase, identitas ini kadang harus ditutupi. Kendati
demikian, dalam proses investigasi ini, pada saatnya wartawan harus membuka identitasnya.
Kode Etik jurnalis menjadi penuntun seorang wartawan untuk dua hal dalam melakukan
profesinya: pencarian dan penulisan berita. Pencarian meliputi etika selama proses perencanaan
hingga pencarian berita itu (termasuk pengambilan foto, proses wawancara, pemuatan dokumen)
serta penulisan berita yang meliputi proses penulisan sampai berita tersebut selesai.
Dengan demikian, maka ketika seseorang wartawan merencanakam untuk menulis
sebuah berita dengan rencana tertentu yang tak terpuji, maka ia sebenarnya sudah mulai
melanggar kode etik.
15
Kode etik sebagai suatu pertanggungjawabam bermakna pula bahwa seorang wartawan
berani dan jujur untuk mengakui bahwa berita yang dibuatnya adalah mengambil milik orang
lain atau berita yang dibuatnya salah. Dalam kaitan inilah, maka wartawan harus menyebut
sumber berita untuk berita yang dibuatnya. Penyebutan ini, di sisi lain, juga untuk mencegah jika
ternyata berita itu salah dan ada pihak yang menggugat.
Mengakui kekeliruan adalah harga mahal yang harus dilakukan wartawan terhadap berita
atau ketidakakuratan yang dibuat. Tapi, harga mahal ini mutlak harus dilakukan dan dengan cara
ini justru akan memberikan penilaian dan citra positif pada pers. Karena itulah, bantahan atau
ralat, sepanjang itu memang benar, harus dilakukan pada kesempatan yang pertama. Wartawan
harus mengakui kekeliruannya dan meminta maaf atas kekeliruan yang dibuat.
E. Contoh Penyimpangan Kode Etik Jurnalistik
Kasus Pertama
Kasus Kekeliruan Berita Di News Online
Dewan Pers mengesahkan kode etik jurnalistik online pada 3 Februari 2012. Nama
resminya adalah Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) (Asep Syamsul M.Romli,
JURNALISTIK ONLINE: 2012). Pengesahan dilakukan oleh Ketua Dewan Pers, Bagir Manan
dan 31 perusahaan berita, 11 organisasi dan tokoh pers menandatangani PPMS yang disusun
Dewan Pers.
PPMS mengacu pada UUPers no. 40 tahun 1999, dan Kode Etik Jurnalistik (2006) dan Kode
Etik WartawanIndonesia (KEWI).
Pada dasarnya PPMS ini sama saja dengan KEJ/KEWI “tidak boleh memuat informasi
bohong, fintah sadis dan cabul; tidak memuat isi yang mengandung prasangka, dan kebencian
yang terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan
kekerasan; tidak memuat isi diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin dan bahasa, serta
tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani”.
Diungkap juga mengenai koreksi, hak jawab atau ralat.
Contoh pelanggaran :
Salah satu contoh kasus kekeliruan berita di news online adalah kasus Imanda Amalia
yang dikabarkan sebagai WNI yang tewas saat kerusuhan di Mesir bulan Februari 2011 lalu.
Berita ini diperoleh dari sebuah posting di akun facebook milik Science of Universe.
Imanda dikabarkan berada di Mesir sebagai relawan United Nations Relief and Works
Agency (UNRWA). Meski belum ada kejelasan data dari Kedutaan Besar maupun dari
Kementerian Luar Negeri, namun beberapa news online seperti detik.com dan tribunnews telah
16
memberitakan hal tersebut di running news mereka, bahkan sampai diikuti oleh beberapa stasiun
televisi swasta sehingga hampir seluruh masyarakat percaya akan hal itu.
Namun rupaya berita tersebut hanyalah isu belaka, pada akhirnya Kemenlu RI
memastikan bahwa tidak ada WNI yang tewas di Mesir. Meskipun demikian, kekeliruan berita
dalam news online adalah sering dianggap sebagai hal wajar karena memang para wartawan
media online harus bersaing untuk mendapatkan berita tercepat dan karena pemuatan berita
tersebut bersifat running news, sehingga berita yang salah dapat diperbaiki dalam berita terbaru
yang dimuat. Inilah rupanya yang membuat masyarakat jarang sekali protes bila ada kekeliruan
berita di news online.
Pelanggaran etika jurnalistik dalam media online, seperti yang terjadi dalam kasus di atas
memang rawan terjadi. Contoh pelanggaran etika jurnalistik pada kasus di atas ialah penggunaan
media sosial sebagai sumber berita tanpa adanya verifikasi terlebih dahulu. Selain itu, dalam
media online juga rawan terjadi pelanggaran hak cipta dengan mengambil gambar dan mengutip
tanpa mencantumkan sumber, dan plagiarisme.
Hal ini jelas merupakan pelanggaran bagi kode etik jurnalistik (KEJ) yang dalam pasalpasalnya menyebutkan bahwa wartawan Indonesia menghasilkan berita yang akurat,
menghasilkan berita faktual dan jelas sumbernya, pengambilan gambar, foto, suara dilengkapi
sumber, tidak melakukan plagiat, dan selalu menguji informasi.
KASUS KEDUA
Saham PT Krakatau Steel; Dewan Pers: Ada Pelanggaran Kode Etik
Dewan Pers menilai, terjadi pelanggaran kode etik dalam kasus dugaan permintaan hak
istimewa untuk membeli saham penawaran umum perdana PT Krakatau Steel oleh wartawan.
Pelanggaran itu berupa penyalahgunaan profesi serta pemanfaatan jaringan yang dimiliki
sejumlah wartawan peliput di Bursa Efek Indonesia.
”Tindakan itu menimbulkan konflik kepentingan karena sebagai wartawan yang meliput
kegiatan di Bursa Efek Indonesia juga berusaha terlibat dalam proses jual beli saham untuk
kepentingan pribadi. Ini bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik,” ujar Ketua Komisi
Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Agus Sudibyo di Jakarta, Rabu
(1/12).
Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak
menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Dalam situs Dewan Pers, tafsiran terhadap
pasal ini, (a) menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan
pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi
pengetahuan umum; (b) suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas
dari pihak lain yang memengaruhi independensi.
17
Agus menyatakan, Dewan Pers menghargai sikap profesional dan niat baik detik.com,
Kompas, MetroTV, dan Seputar Indonesia dalam proses penyelesaian kasus ini. Dewan Pers
mengimbau segenap pers Indonesia menegakkan kode etik jurnalistik dan profesionalisme
media.
Harian Kompas pun menghormati putusan Dewan Pers yang menyatakan seorang
wartawan Kompas berinisial RN terbukti melanggar kode etik jurnalistik. Pada hari yang sama,
harian Kompas telah menindaklanjuti putusan Dewan Pers itu dengan memberhentikan
wartawannya itu sebagai wartawan Kompas.
”Manajemen harian Kompas pun memberhentikan yang bersangkutan sebagai wartawan
Kompas. Pemberhentian berlaku sejak diterbitkannya Keputusan Dewan Pers,” kata Redaktur
Pelaksana Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Dalam keputusannya, Dewan Pers sejauh ini belum menemukan bukti kuat adanya praktik
pemerasan, yang dilakukan wartawan, terkait dengan kasus pemberitaan penawaran umum
perdana saham PT Krakatau Steel. Keputusan ini dibuat Dewan Pers setelah melakukan
pemeriksaan silang dan klarifikasi dengan pihak-pihak terkait.
KASUS KETIGA
Wartawan Kecipratan APBD Provinsi
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kali ini juga membidik media. Wartawan
peliput kegiatan Humas Pemerintah Provinsi juga kecipratan anggaran daerah. Biro Humas dan
Protokol Pemprov Sulawesi Selatan mengusulkan anggaran untuk jasa peliputan kegiatan
Pemprov Sulawesi Selatan yang cukup besar. Dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) 2010
disebutkan adanya belanja upah atau jasa pihak ketiga sebesar Rp 675 juta.
Dalam rinciannya, anggaran itu ditujukan ke beberapa media tertentu. Anggaran terbesar
dialokasikan untuk jasa atau upah peliput dan publikasi. Angkanya mencapai Rp 240 juta selama
12 bulan. Tidak jelas kepada siapa dana itu akan diberikan. Dalam draft APBD, mereka hanya
mencantum demikian.
Selain itu, ada pula anggaran khusus untuk jasa liputan TVRI Sulawesi Selatan sebesar Rp 120
juta, jasa/upah petugas TVRI Sulawesi Selatan Rp 90 juta, jasa liputan Fajar Tv Rp 60 juta, serta
jasa publikasi dan dokumentasi dalam rangka 17 Agustus yang mencapai Rp 45 juta untuk tiga
stasiun lokal.
"Anggaran ini patut dipertanyakan sebab tidak ada dasarnya. Saya kira bukan zamannya
lagi wartawan diberi upah saat meliput suatu peristiwa. Saya yakin wartawan tidak akan
menerima yang seperti itu," kata anggota Komisi A, Andi Mariattang. Melihat perkembangan
18
media saat ini, tambah Mariattang yang juga mantan wartawan, tidak ada lagi wartawan digaji
oleh pemerintah. Mereka meliput berdasarkan penugasan kantor dari media masing-masing.
Gaji khusus untuk wartawan juga ada pada nomenklatur lain, yaitu tersosialisasinya rencana
kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup Pemprov Sulawesi Selatan. Total
anggarannya mencapai Rp 34,6 juta. Anggaran tersebut ditujukan kepada lima media, yaitu
Harian Fajar Rp 7,2 juta, Tribun Timur Rp 7,2 juta, Berita Kota Rp 6,7 juta, Ujungpandang
Ekspres Rp 6,7 juta, dan Seputar Indonesia Rp 6,7 juta.
Kepala Biro Humas dan Protokol Agus Sumantri yang dikonfirmasi soal ini mengatakan,
alokasi anggaran tersebut, bukan untuk mengupah atau menggaji wartawan peliput kegiatan
pemerintah provinsi atau dinas terkait. Tetapi, dipakai apabila ada agenda acara pemerintah
provinsi untuk keluar daerah. "Tentu ada makan minumnya serta biaya penginapan (hotel) dalam
perjalanan peliputan. Tapi kalau semisal dibayar oleh kabupaten yang melakukan acara, maka
dana tersebut tidak digunakan," jelas Agus kepada Tempo Sabtu kemarin. Untuk anggaran
sebesar Rp 240 juta, itu katanya untuk biaya jasa kemitraan dengan beberapa media.
19
PENUTUP
KESIMPULAN
Etika bahasa jurnalistik menjadi pedoman setiap jurnalis atau para pengelola medis massa
untuk memperhatikan serta tunduk kepada kaidah bahasa media massa. Dalam etika bahasa
jurnalistik, komitmen, kapasitas, kualitas, dan kredibilitas suatu media, benar-benar
dipertaruhkan. Seorang jurnalis kurang bermoral dari media yang tidak profesional, akan
memandang etika bahasa jurnalistik sebagai suatu kemustahilan. Sebalikya seorang jurnalis
bermoral dari media profesional, akan melihat etika bahasa jurnalistik sebagai suatu keharusan.
Dengan etika, fungsi media tercerahkan dan termuliakan. Tanpa etika, kehadiran suatu media
awal dari kehancuran.
Bagi seorang wartawan, sama dengan profesi lainnya,kodet etik adalah penting. Ini adalah
semangat korps yang merupakan bagian dari pekerjaan .Wartawan dalam tugasnya tidak hanya
mencari, mengumpulkan dan menyajikan berita. Namun lebih dari itu adalah dalam semangat
untuk memberikan informasi, edukasi dan hiburan kepada audiens.
Kode etik adalah aturan kerja yang tidak begitu ketat namun mencerminkan semangat
kesatuan wartawan kapan dan dimanapun bekerja. Sekaligus pula sebagai sebuah pegangan
dalam bekerja sehingga di satu sisi dapat melindungi diri, dilindungi oleh kode etik ini dan juga
melindungi sumber berita. Kode Etik Wartawan Indonesia adalah bagian dari budaya kerja yang
profesional, bukan sekedar macan kertas.
Bekerja tanpa kode etik menunjukkan seseorang tidak profesional. Beda wartawan yang
profesional dan tidak profesional adalah dari bagaimana dia bekerja. Apakah dalam memburu
beritanya dia memegang kodet etik atau semua cara dihalalkan. Seringkali kode etik ini
dicampakkan karena memang sikap tidak profesional wartawan itu tidak terbawa dalam dirinya.
20
Download